Pemberontakan Di Kertaloka - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEMBERONTAKAN DI KERTALOKA

SATU
PAGI menjelang di Desa Kampar yang terbilang tenteram dan damai. Sang Surya tampak mulai menyembul di ufuk timur. Sinarnya yang terang memancar, menghangati permukaan bumi membuat embun mulai menguap tersapu oleh tarian sang bayu yang berhembus semilir.

Penduduk desa itu tampak mulai keluar dari rumah menuju sawah ladang masing-masing. Anak-anak mulai bermain sambil tertawa riang, berkejaran ke sana kemari. Sementara para wanita sibuk berbenah diri, membantu suami atau orangtua yang hendak bekerja.

Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun tampak berjalan tenang. Rambutnya yang pendek dan telah memutih sebagian memakai ikat kepala hitam. Dengan sebuah cangkul yang di-letakkan di pundak, bisa ditebak kalau dia hendak menuju sawah ladangnya.

"Berangkat, Ki Kendil?" sapa seorang pemuda yang baru saja keluar dari pintu rumah.

Laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Kendil mengangguk. "Mau sama-sama, Jentara?" Ki Kendil menawarkan.

"Bolehlah...."

Setelah menerima tawaran itu, pemuda ini melambaikan tangan pada seorang wanita yang berdiri di muka pintu. Lalu dia berlari kecil, mensejajarkan langkahnya di samping Ki Kendil.

"Bagaimana istrimu? Suka tinggal di sini?" tanya Ki Kendil ketika mereka mulai melangkah bersama.

"Mudah-mudahan. Permulaan mungkin sulit, karena telah terbiasa hidup di keramaian kotaraja. Tapi sekarang kelihatannya dia mulai bisa menyesuaikan diri," sahut pemuda yang dipanggil Jentara.

"Syukurlah. Kehidupan di tempat ramai memang menyenangkan. Namun, kehidupan di desa tidak kalah menyenangkan pula," sahut Ki Kendil sambil tersenyum kecil. "Mungkin saja di sana jauh dari gunung. Tapi, di sini kita bisa melihatnya setiap hari. Mungkin pula, di sana mereka jarang melihat sawah ladang. Tapi di sini, kita lihat setiap hari. Di sini udaranya sejuk dan baik untuk kesehatan...."

"Di kotaraja banyak orang jahat Dan di sini belum...," timpal Jentara sambil tersenyum lebar.

Ki Kendil ikut tersenyum lebar. "Iya, belum..."

Dan kini mereka terdiam. Seolah, kata-kata Jentara mengingatkan mereka akan sesuatu. Wajah keduanya berubah lebih dalam.

"Bagaimana soal ancaman itu, Ki?" tanya Jentara, hati-hati.

"Mereka tidak berhak memaksa kita!" tandas Ki Kendil.

"Orang-orang itu kelihatannya sungguh-sungguh dengan ancamannya. Kita harus berbuat sesuatu, Ki Kendil!"

"Ya! Kita memang harus berbuat sesuatu. Tapi kita juga harus menghadapi sesuatu yang selama ini belum pernah menyentuh desa kita...," sahut laki-laki setengah baya itu lemah dengan wajah murung.

"Sungguh celaka dia!" umpat Jentara kesal.

"Siapa yang kau maksud?"

"Siapa lagi kalau bukan pemberontak-pemberontak keparat itu!" desis Jentara kesal.

Ki Kendil tersenyum kecil. "Tahukah kau, apa yang dilakukan Kanjeng Gusti Prabu terhadap rakyat?" tanya laki-laki setengah baya itu lagi.

"Beliau cukup baik...."

"Begitukah menurutmu?" tanya Ki Kendil, tersenyum getir. "Apa yang kita lihat selama ini? Pajak-pajak dinaikkan tanpa peduli kalau para petani gagal panen. Mereka tidak mau tahu kalau sawah-sawah kita rusak dan kekeringan. Mereka tidak mau dengar kesulitan kita. Pernahkah beliau menerima dan mendengar keluhan rakyatnya? Tidak! Beliau tetap bersenang-senang di istananya yang megah."

"Apakah Ki Kendil setuju dengan para pemberontak?" tanya Jentara.

"Entahlah.... Yah.... Mungkin saja mereka tidak puas oleh kebijaksanaan yang ditetapkan kerajaan. Atau mungkin juga pemberontakan itu didasari oleh kepentingan pribadi dari segolongan orang yang ingin berkuasa...," sahut Ki Kendil, tanpa memberi jawaban pasti. Nada suaranya terdengar mendesah pasrah.

"Lalu, apa yang bisa kita lakukan?"

"Aku telah menyuruh beberapa orang untuk menyelidiki, siapa dalang pemberontakan itu sebenarnya."

"Lalu?"

"Ada yang bilang kalau para pemberontak didalangi Kanjeng Gusti Katut Denowo...."

"Kanjeng Gusti Katut Denowo? Bukankah dia saudara Kanjeng Gusti Prabu sendiri?!" Wajah Jentara tampak terkejut Seolah dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Ki Kendil tersenyum getir. "Kita hanya rakyat kawula kecil, yang tidak tahu apa-apa. Yang kita inginkan hanya hidup tenteram. Itu saja...," kata laki-laki setengah baya ini.

"Menurut beberapa orang, katanya Kanjeng Gusti Katut Denowo mempunyai sifat buruk?" tanya Jentara, seperti untuk diri sendiri.

"Kita tidak bisa menilai orang dari cerita-cerita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," sahut Ki Kendil, seperti tak setuju pertanyaan Jentara.

"Toh kini terbukti, Ki Kendil."

"Maksudmu?"

"Ancaman yang mereka lakukan padamu, serta pada semua warga desa ini..."

"Hal itu biasa terjadi, setiap ada usaha pemberontakan. Mereka ingin mendapat dukungan dari setiap wilayah. Dan untuk itu, diperlukan segala cara untuk mewujudkan keinginannya," sahut Ki Kendil, yang tampaknya mengerti betul dengan ilmu ketatanegaraan.

"Meski cara itu tidak benar, dan sekaligus merugikan rakyat yang tidak berdaya?" tanya Jentara, tersenyum sinis.

"Apakah leluhur negeri Kertaloka ini mendirikan kerajaan atas dasar perdamaian?" Ki Kendil balik bertanya.

Jentara diam. Langkahnya langsung dihentikan, mengikuti orang tua itu.

"Buyutku mengatakan kalau luas Kerajaan Kertaloka tidak seberapa. Lalu pada penguasa ketiga, mereka memiliki pasukan besar dan hebat. Dari sini, haus akan kekuasaan mulai merasuki Kanjeng Gusti Prabu. Dia lantas meluaskan daerah kekuasaannya, Hhhh.... Kini hukum karma telah berlaku. Kerajaan tengah terancam. Lalu, siapakah yang menjadi korban? Kita! Kita yang tidak tahu apa-apa dan hidup menuruti kebijaksanaan mereka," jelas Ki Kendil, diiringi geram mendalam.

Kata-kata Ki Kendil itu terasa agak pedas. Bahkan keluar dari hatinya yang paling dalam. Sementara Jentara seperti terhenyak, seolah tidak percaya kalau laki-laki setengah baya yang pendiam itu bisa berucap demikian.

Untuk sesaat keduanya terdiam, seperti hanyut dalam pikiran masing-masing. Ki Kendil terhanyut oleh perasaan kesal yang ditumpahkannya. Sedang Jentara tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sementara, kaki mereka terus melangkah menuju sawah masing-masing. Dan baru saja Ki Kendil akan membuka mulut kembali...

"Aaa...!" Terdengar teriakan menyayat, yang membuat Ki Kendil dan Jentara berbalik ke arah sumber suara.

"Hei?! Apa itu?!" sentak Jentara, terkejut setengah mati.

Jauh di belakang mereka terlihat asap hitam membubung tinggi ke atas. Kelihatan kalau asap itu berasal dari Desa Kampar.

"Desa kita terbakar! Astaga...!" Jentara mendesis kaget Seketika dia cepat berlari kencang mendahului Ki Kendil.

********************

Seorang laki-laki bertubuh besar dan berwajah kasar tampak tengah menggebah kudanya sambil mengacung-acungkan golok besar di tangannya. Wajahnya yang ditumbuhi kumis melintang dan cambang bauk, tampak berkesan angker ketika mondar-mandir mengitari jalan utama Desa Kampar.

Sementara itu beberapa penduduk desa ini tampak berlarian karena rumah mereka terbakar. Yang lebih menggiriskan, mereka langsung ketakutan, dihajar senjata-senjata tajam orang-orang berpakaian serba merah yang tidak lain dari anak buah laki-laki bertubuh besar itu. Maka semakin sering saja jerit tangis wanita yang terdengar berbaur dengan jeritan-jeritan anak-anak.

"Ayo, bakar! Ratakan desa ini dengan tanah. Kumpulkan mereka di satu tempat! Ayo, cepat! Bunuh siapa saja yang mencoba melawan! Cepaaat..!" teriak laki-laki bertubuh besar itu, berusaha mengalahkan jeritan-jeritan para penduduk desa.

"Aaakh!"

Beberapa orang laki-laki penduduk desa yang berusaha melawan, langsung tewas terkena sabetan golok. Sedang anak istri mereka ditarik ke sana kemari. Orang-orang berbaju serba merah itu memang tidak mengenal rasa kasihan, membuat mayat mulai berserakan. Bahkan asap hitam pun semakin menyelimuti desa ini.

"Ayo, kumpul! Kumpuuul...!" teriak orang-orang berpakaian serba merah itu seraya menyeret para penduduk desa ke tempat yang lebih luas. Mereka yang ketakutan tidak berdaya melawan. Mereka hanya bisa menurut dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Sementara, laki-laki bertubuh besar dan bercambang bauk yang agaknya adalah ketua dari para perusuh ini, menggebah kudanya ke arah berkumpulnya orang-orang desa itu. Golok besar di tangannya terus diacung-acungkan, untuk menakut-nakuti.

"Dengar kalian semua! Mulai hari ini, Desa Kampar berada dalam kekuasaanku. Siapa yang tidak setuju, aku tak segan-segan memisahkan kepala dari leher kalian!" teriak laki-laki bertubuh besar itu garang.

"Biadab...!" maki seseorang di antara kumpulan penduduk Desa Kampar.

Serentak mereka semua berpaling ke arah datangnya makian tadi. Tampak seorang pemuda dengan wajah garang berdiri tegak di tengah-tengah sambil menggenggam cangkul.

"Kakang Jentara...!" Tiba-tiba terdengar seruan wanita yang berada di antara orang-orang desa yang dikumpulkan. Dia segera bangkit, hendak menghampiri. Namun, seorang laki-laki berseragam serba merah dan bersenjatakan golok besar menjambak rambutnya. Sehingga, wanita itu jatuh terjerembab.

"Surti! Keparat kalian! Lepaskan dia...!" teriak laki-laki yang tak lain dari Jentara dengan wajah gusar. Dia hendak menolong wanita yang tidak lain dari istrinya.

"Tetap di tempatmu!" hardik laki-laki bertubuh besar dengan cambang bauk itu, garang.

Namun Jentara seperti tidak mempedulikan bentakan yang mengandung ancaman itu. Dia segera melompat hendak menyelamatkan istrinya. Tapi bersamaan dengan itu....

"Bunuh dia!"

Seketika dua orang laki-laki berwajah seram langsung mencelat menghadang, begitu mendengar perintah lelaki bercambang bauk itu.

"Perampok Keparat! Kubunuh kalian! Heaaat...!" geram Jentara. Cangkul di tangannya seketika langsung diayunkan.

Bet!

Dua orang berseragam serba merah yang menghadang dengan tangkas menangkis serangan cangkul Jentara dengan golok.

Trak! Trak!

Terjadi benturan tiga senjata yang cukup keras, membuat masing-masing orang yang bertarung ini terjajar beberapa langkah. Dan belum juga Jentara bersiap, kedua penyerang sudah merangsek kembali. Secara bersamaan, mereka mengibaskan golok besar ke arah Jentara. Untung saja Jentara memiliki cukup bekal ilmu olah kanuragan. Dan dia langsung melenting ke atas, menghindari dua serangan lawan sekaligus. Bersamaan dengan itu kaki kanannya mencelat, menendang salah seorang lawan. Sementara cangkul di tangannya menghantam lawan yang lain.

Begkh! Trang! "Uhhh...!"

Salah seorang lawan kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri akibat tendangan Jentara. Sementara lawan yang seorang lagi masih mampu menangkis kelebatan cangkulnya.

"Kurang ajar! Bereskan dia secepatnya...!" geram lelaki bercambang bauk itu.

"Yeaaat!" Kembali seorang berseragam serba merah yang lain langsung melompat maju disertai sambaran golok yang bagai kilat. Dan karena untuk berkelit sudah tak memungkinkan, Jentara langsung memapak serangan itu dengan ayunan cangkulnya.

Trang!

Tidak seperti kedua lawan sebelumnya, kali ini laki-laki berseragam serba merah yang dihadapi Jentara memiliki gerakan gesit sekali. Begitu habis berbenturan senjata, dengan gerakan hampir bersamaan, laki-laki itu melepaskan tendangan menyodok dada Jentara. Masih untung Jentara mampu menghindar dengan melompat ke samping.

Tapi di luar dugaan, orang berbaju serba merah itu kembali melepaskan tendangan yang demikian cepat sambil memutar tubuhnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Jentara tak bisa menghinda-rinya. Maka....

Dukl

"Aaakh!" Jentara langsung berteriak kesakitan, begitu dadanya terhantam tendangan orang itu dengan telak. Tubuhnya kontan tenerembab ke belakang.

"Kakang Jentara...!" Wanita yang tengah dicengkeram seorang laki-laki berwajah kasar yang tadi menjambak rambutnya, berteriak cemas begitu melihat Jentara ambruk. Dan kepalanya langsung berpaling, ketika orang itu melompat dengan golok di tangan, siap menghabisi suaminya.

"Uhhh..." Jentara yang masih belum bangkit, jadi terkesiap. Tubuhnya langsung bergulingan, sehingga senjata golok itu hanya menghantam tanah. Orang berbaju serba merah ini cepat bagai kilat mengibaskan kakinya ke arah dada, begitu Jentara bangkit berdiri.

Duk!

"Ugkh!" Jentara melenguh, merasakan sesak pada dadanya, begitu mendapat tendangan dari orang berbaju serba merah ini. Dan belum juga hilang rasa sesaknya, kembali datang serangan berupa tusukan golok yang mengarah ke jantungnya. Begitu cepat gerakan orang itu, sehingga Jentara tak mampu menghindar. Dan...

Crab!

"Aaa...!" Jentara menjerit menyayat, ketika mata golok lawannya merobek jantungnya. Seketika darah menyembur keluar, begitu golok itu dicabut. Tubuh Jentara limbung sesaat, kemudian ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam kaku tak bergerak lagi.

"Kakang Jentara! Oh, tidak! Lepaskan! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" Surti berteriak menyayat. Dia berontak sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki yang sejak tadi menahannya.

Laki-laki yang mencengkeram Surti berusaha menahan, namun lelaki yang bercambang bauk memberi isyarat. Sehingga, segera dilepaskannya Surti dari cengkeramannya.

Kembali Surti berteriak, langsung menghambur menubruk mayat suaminya. Tangisnya langsung meledak saat itu juga. Sementara, tidak ada seorang pun yang berani menolong. Orang-orang desa itu hanya bisa memandang dengan wajah haru.

"Itu satu contoh lagi bagi kalian! Siapa yang berani melawan, maka kematian akibatnya! Mulai hari ini, dua puluh orang anak buahku akan tinggal di sini. Mereka akan melatih semua laki-laki di desa ini dalam ilmu perang. Karena nantinya kalian harus ikut perang!" teriak laki-laki bercambang bauk itu garang.

Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Mereka terdiam, membisu seperti patung!

********************

Tiga orang penunggang kuda tampak tengah menggebah tunggangannya masing-masing agar berlari lebih kencang. Sehingga, debu tampak mengepul tersepak kaki-kaki kuda di setiap jalan yang dilalui.

"Hiya! Hiya...!"

Yang menunggang kuda di tengah adalah seorang gadis berbaju serba merah jambu. Wajahnya cantik dengan kulit halus kemerahan. Rambutnya yang panjang sepunggung, diikat ke belakang. Dari caranya menyandang pedang di punggung dan berpakaian, terlihat kalau gadis itu berasal dari kalangan persilatan. Apalagi ketika melihat dua penunggang kuda yang mengapitnya. Mereka adalah dua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Masing-masing berbaju lusuh, dengan pedang di punggung.

Kelihatannya, mereka tergesa-gesa. Bahkan seperti tak peduli kalau kuda-kuda itu sudah terlihat letih. Walaupun mereka telah melakukan perjalanan cukup jauh, tapi sedikit pun tak ingin beristirahat. Mereka terus menggebah kuda masing-masing, namun tiba-tiba....

"Berhenti...!"

Mendadak satu teriakan nyaring berkumandang. Belum juga gema bentakan itu lenyap, sudah berkelebat lima sosok tubuh dari atas cabang-cabang pohon.

"Hieee...!"

Kuda-kuda yang dipacu cepat kontan terkejut, begitu penunggangnya menarik tali kekang kuat-kuat. Bahkan kaki depart binatang-binatang itu sampai terangkat tinggi.

"Gusti Ayu, lompat...!" Salah seorang penunggang kuda langsung berteriak sambil melompat. Sedangkan dua kawannya telah lebih dulu mencelat ke samping, ketika kuda-kuda itu tidak bisa dikendalikan lagi. Dan baru saja kaki mereka mendarat di tanah, kuda-kuda itu langsung kabur melarikan diri.

Ketiga penunggang kuda itu cepat bersiaga, langsung menyadari keadaan. Kini di depan mereka berdiri tegak lima sosok tubuh yang rata-rata berwajah kasar pada jarak tujuh langkah di depan. Tiga orang yang berada di tengah bersenjata pedang di punggung. Sementara di sebelah kiri menggenggam sebatang tongkat berkeluk sepanjang lima jengkal, yang pada ujungnya terdapat lempengan logam tajam berbentuk sabit. Sedangkan di sebelah kanan adalah laki-laki tanpa senjata dengan tangan terlipat di depan dada.

"Pucuk dicinta ulam tiba! Siapa sangka kalau hari ini kita bertemu seorang yang begitu penting artinya bagi kerajaan! Ha ha ha...!" kata seorang penghadang yang berada di tengah, sambil ketawa lebar.

"Kisanak! Siapa kalian? Apa maksudmu menghadang perjalanan kami?" tanya salah seorang laki-laki yang berdiri di sebelah kanan gadis berbaju merah jambu itu.

"Aku, Jatra Kendeng! Dan mereka adalah kawanku. Kami dikenal sebagai Lima Setan Jatayu. Nah! Demi keselamatan kalian, tinggalkan gadis itu!" sahut laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang ternyata bernama Jatra Kendeng.

"Jatra Kendeng! Hm.... Namamu begitu besar kudengar. Mestinya, orang sepertimu bisa bersikap lebih sopan pada pengembara biasa, seperti kami. Biarkanlah kami melanjutkan perjalanan dengan aman," kata laki-laki berbaju lusuh yang berdiri di kanan gadis itu.

"Pengembara biasa katamu? Ha ha ha...! Hei, Dua Monyet Buduk! Kalian kira aku bodoh, heh?! Kalian anggap kami tidak tahu, siapa kalian sebenarnya?! Gadis itu adalah putri bungsu Prabu Suryalaga! Nah! Berikan dia pada kami. Lalu, kalian boleh pergi dengan selamat!" ujar Jatra Kendeng.

Tiga orang yang mengaku sebagai pengembara ini terkejut. Juga si Gadis berbaju merah jambu. Wajah mereka tampak berubah pucat karena cemas.

"Ki Jatra Kendeng! Namaku Weru Sugala. Dan kawanku, Satya Watara. Sedangkan gadis ini adalah adik perempuanku yang bernama Sukesih. Kami bertiga berasal dari Perguruan Sapu Angin. Bagaimana mungkin kau menyamakannya dengan orang-orang kerajaan yang agung?" sanggah laki-laki yang mengaku bernama Weru Sugala.

"Huh, Monyet Kurap! Kau kira semudah itu membohongiku, heh?! Kau telah menguji kesabaranku!" dengus Jatra Kendeng geram.

Laki-laki bertampang seram ini langsung memberi isyarat. Maka seketika kedua kawannya yang bersenjata pedang langsung melompat menyerang.

"Yeaaa!"

"Heh?!" Weru Sugala dan Satya Watara terkejut bukan main. Namun, mereka tidak punya pilihan. Langsung pedang mereka dicabut memapak serangan dua orang lawan.

Sring!

"Adik Satya Watara! Kau jaga Sukesih. Dan biar kuhadapi mereka berdua!" teriak Weru Sugala, ketika melihat seorang penghadang lainnya telah melompat kearah gadis berbaju merah jambu.

"Heaaat!" Trang! Trang!

Dengan gagah berani Weru Sugala dan Satya Watara mempertahankan diri, sekaligus melindungi Sukesih. Pedang mereka langsung berkelebat memapak serangan lawan dengan gesit. Namun begitu, yang dihadapi mereka memang bukanlah orang sembarangan. Lima Setan Jatayu adalah tokoh persilatan yang rata-rata berkepandaian tinggi. Siapa pun sudah tahu kalau mereka tidak akan segan bertindak kejam terhadap lawan-lawannya.

Sebenarnya Weru Sugala memiliki kepandaian hebat. Namun, agaknya kedua lawan yang dihadapi bukanlah tandingannya. Buktinya serangannya sampai saat ini seperti kandas ditelan angin. Sebaliknya serangan kedua lawannya semakin gencar saja. Sehingga, pada enam jurus terakhir, Weru Sugala terus terdesak. Dia hanya mampu menangkis dan terus melompat ke sana kemari, menghindari serangan gencar lawan-lawannya.

"Yeaaa!" Salah seorang dari Lima Setan Jatayu melompat menerjang sambil membabatkan pedangnya. Namun dengan sigap Weru Sugala berusaha menangkis. Memang, justru itulah yang diharapkan para lawannya. Ternyata, orang itu cepat menghentikan serangan, dan. hanya melewatinya saja. Lalu kedua dari Lima Setan Jatayu lainnya langsung menyodokkan pedang ke arah perut.

Weru Sugala terkejut bukan main. Buru-buru pedangnya dikibaskan untuk menangkis.

Trang!

Belum juga Weru Sugala bersiap kembali, salah seorang lawannya telah melepaskan sebuah tendangan keras ke arah dada. Begitu cepat gerakan orang itu, sehingga dia tidak mampu berkelit. Dan...

Duk!

"Aaakh...!" Weru Sugala kontan menjerit tertahan begitu dadanya terhantam tendangan berisi tenaga dalam penuh. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang. Dan pada saat yang sama, seorang lagi dari Lima Setan Jatayu telah bersiap menyambut dengan pedangnya.

Cras!

"Hugkh...!" Weru Sugala hanya mampu melenguh begitu lehernya tertebas pedang. Kepalanya putus, menggelinding ke tanah. Tak lama, tubuhnya ambruk ke tanah, dengan darah mengalir deras.

"Kakang Weru Sugala...!" seru Satya Watara, ketika melihat Weru Sugala tewas. Wajahnya tampak pucat, menahan kaget.

Dan inilah kesalahan Satya Watara. Untuk sesaat, dia jadi lalai. Padahal, saat ini nyawanya tengah terancam lawan yang menggunakan kesempatan baik itu. Salah seorang dari Lima Setan Jatayu yang bersenjatakan tombak bercabang pada ujungnya, langsung melompat ganas. Tombaknya cepat disabetkan ke arah perut. Dan....

Brettt!

"Aaa!" Satya Watara kontan memekik setinggi langit, ketika senjata tombak bercabang itu merobek perutnya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan urat-urat berkerut di wajahnya. Pedangnya diayunkan kembali, berusaha menerjang penyerangnya. Namun baru saja hendak melompat, tubuhnya ambruk bersimbah darah. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak bergerak lagi. Mati!

DUA

"Paman Weru Sugala...! Paman Satya Watara...?! Oh...!"

Gadis berbaju merah jambu yang tadi dikenali sebagai Sukesih berseru kaget. Dia bermaksud memburu kedua mayat itu, namun tiga dari Lima Setan Jatayu telah menghadang. Dan perlahan-lahan, mereka mendekati sambil menyeringai lebar. Dan gadis itu pun jadi mengurungkan niatnya, perlahan-lahan mundur dengan wajah tegang.

"Cempaka Sari! Lebih baik kau ikut dengan kami. Jangan khawatir, kau akan mendapat perlakuan secara baik!" ujar Ki Jatra Kendeng, memperingatkan.

"Siapa sebenarnya yang menyuruh kalian menghadangku?!" bentak gadis yang sebenarnya bernama Cempaka Sari. Nada suaranya terdengar sengit.

"Kau tidak perlu tahu. Yang penting sekarang ikut saja dengan kami..."

"Huh! Kalian pasti orang suruhan pamanku, Katut Denowo!"

"Ha ha ha...!" Ki Jatra Kendeng hanya ketawa lebar tanpa menjawab.

"Betul, bukan?" tanya Cempaka Sari dingin, seperti ingin meyakinkan dugaannya.

Ki Jatra Kendeng menghentikan tawanya. Dan wajahnya tampak menyeringai sinis. "Tangkap dia!" ujar laki-laki itu, tanpa berpaling sedikit pun dari wajah cantik Cempaka Sari.

Seketika tiga orang anak buah Ki Jatra Kendeng melompat menyergap. Namun dengan tangkas gadis itu mencabut pedangnya.

Sring!

"Kalian boleh menangkapku, kalau ada yang mau mati!" dengus Cempaka Sari mengancam.

"Jangan hiraukan ancamannya. Dia sama sekali tidak tahu caranya menggunakan pedang. Ayo, tangkap dia!" sentak Ki Jatra Kendeng semakin berang.

Cempaka Sari jadi terkesiap. Hatinya terkejut, karena lagi-lagi Ki Jatra Kendeng tahu, kalau sebenarnya dia sama sekali tidak bisa memainkan pedang. Bahkan seumur hidupnya, baru sekali ini memegang senjata itu. Kedua tangannya yang menggenggam batang pedang terlihat gemetar, namun gadis itu berusaha menguatkan semangatnya.

"Boleh kalian coba kalau ingin mampus!" dengus Cempaka Sari seraya menggertak kembali.

Ketiga laki-laki dari Lima Setan Jatayu itu masih tetap ragu. Malah salah seorang menoleh ke arah Ki Jatra Kendeng.

"Ki, bagaimana kalau dia terluka?"

"Bodoh kau! Biar kuselesaikan...?!" Ki Jatra Kendeng menggeram.

Tapi baru saja laki-laki itu akan turun tangan sendiri menangkap Cempaka Sari, sudah terdengar derap langkah kuda mendekati mereka. Ki Jatra Kendeng dan kawan-kawannya segera menoleh ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Tampak seorang pemuda tampan berambut panjang dan berbaju rompi putih tengah berkuda bersama seorang gadis cantik berbaju biru muda. Sebentar saja, kedua penunggang kuda itu telah tiba di tempat ini.

"Hei! Kalau tidak ada urusan, cepat pergi dari sini!" hardik Ki Jatra Kendeng.

Sementara itu Cempaka Sari yang melihat gadis berbaju biru itu langsung tersenyum lebar. Dia segera berlari cepat, menghampiri.

"Pandan Wangi, Sahabatku! Oh, syukur kau berada di sini!" seru Cempaka Sari.

"Cempaka Sari...!" gadis berbaju biru muda yang dipanggil Pandan Wangi terkejut. Buru-buru dia melompat turun dari punggung kudanya. Sementara pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum memandangi dua gadis yang kini berpelukan beberapa saat untuk menumpahkan perasaan rindu.

"Apa yang kau lakukan di sini Cempaka Sari. Dan, apa yang hendak mereka perbuat padamu?" tanya Pandan Wangi, sambil memandang tajam ke arah Lima Setan Jatayu.

"Ceritanya panjang.... Dan orang-orang ini ingin menangkapku."

"Menangkapmu? Apa salahmu?! Atau mereka yang memang mencari maut?!" dengus gadis berjuluk si Kipas Maut itu.

"Sial! Hm.... Kini jumlah kalian bertambah banyak. Nah, bersiaplah untuk mampus!" geram Ki Jatra Kendeng.

Lelaki itu langsung melompat hendak menangkap Cempaka Sari. Tapi, tentu saja Pandan Wangi tak tinggal diam. Melihat sahabatnya terancam, dia langsung memapak serangan Ki Jatra Kendeng.

"Hiiih!" Plak! Plak!

Ki Jatra Kendeng sedikit terkejut, begitu kepalan tangannya mudah sekali ditangkis Pandan Wangi. Serangannya segera dilanjutkan dengan sodokan ke perut Pandan Wangi lewat satu tendangan keras. Namun gadis itu segera melejit ke samping, lalu balas menyerang dengan menendang ke arah tengkuk.

"Uts!" Ki Jatra Kendeng cepat-cepat melompat ke belakang, sambil berjumpalitan. Sehingga, tendangan gadis itu luput dari sasaran. Namun dari situ bisa dirasakan angin serangan kencang yang menandakan kalau gadis berbaju biru muda ini memiliki tenaga dalam tinggi.

"Bagus! Rupanya kau berisi juga! Hm.... Dengan begitu, kita bisa bermain-main barang sejenak!" kata Ki Jatra Kendeng, sinis.

"Boleh saja kau katakan main-main. Tapi, aku justru menginginkan kepalamu!" sahut Pandan Wangi ketus.

"Ha ha ha...! Kau kira gampang berbuat seenakmu pada Ki Jatra Kendeng? He, Cah Ayu! Lebih baik kau dan kawanmu menyerah. Dan, jangan ikut campur urusan Lima Setan Jatayu, kalau mau selamat!" gertak Ki Jatra Kendeng.

"O, jadi kalian yang berjuluk Lima Setan Jatayu yang terkenal itu?!" tanya Pandan Wangi dengan wajah dipasang terkejut. Namun sebenarnya gadis itu hanya mengejek saja. Dan agaknya, kata-kata Pandan Wangi ditanggapi Ki Jatra Kendeng serta keempat kawannya.

"Ha ha ha...! Rupanya dia baru tahu siapa kita, Ki!" seru kawannya sambil ketawa lebar. "Lebih baik jangan dilepaskan begitu saja. Gadis ini telah mencampuri urusan orang. Dan untuk itu, dia patut dihukum. Dia harus meladeni kita berlima, lalu baru boleh dilepaskan begitu saja."

"Cih! Kalau aku terkejut mendengar Lima Setan Jatayu, bukan berarti takut. Justru hal ini telah lama kutunggu-tunggu, karena aku menginginkan kepala kalian untuk penghias isi rumahku!" dengus gadis berjuluk Kipas Maut itu.

"Kurang ajar...!" maki Ki Jatra Kendeng geram. Wajahnya berkerut menahan amarah.

"Ki Jatra Kendeng! Gadis liar ini jangan diberi hati lagi. Tangkap dan bereskan secepatnya. Biar kami yang mengurus Cempaka Sari!" dengus seorang kawannya. Gerahamnya terdengar berkerotokan, menahan geram.

Bersama ketiga kawannya, orang itu langsung hendak meringkus Cempaka Sari. Namun belum terlaksana, Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja, kini melompat menghadang.

"Boleh saja kalian meringkusnya. Tapi, tampaknya tak semudah itu!" kata Pendekar Rajawali Sakti tenang.

"Kurang ajar! Rupanya kalian memang sengaja mencari penyakit! Kau boleh mampus lebih dulu. Yeaaat!"

Seorang dari Lima Setan Jatayu langsung menerjang menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, tiga lainnya meneruskan niat hendak menangkap Cempaka Sari.

"Hup!"

"Kurang ajar!" Orang yang menyerang Rangga mendengus geram ketika tindakannya luput dari sasaran.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat cepat, ke arah orang-orang yang hendak menangkap Cempaka Sari. Tangan dan kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, melepaskan pukulan dan tendangan bertubi-tubi.

Duk!

Begkh! "Aaakh! Ukh! Aduh!"

Tiga orang itu kontan terdorong terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulan dan tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di tubuh mereka.

"Jangan coba-coba meneruskan niat kalian, selama aku masih berdiri di sini!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat! Kau kira bisa berlagak di depan kami?! Huh! Kau boleh mampus sekarang juga!" dengus salah seorang sambil mencabut pedangnya.

Sring!

Bersamaan dengan itu, orang yang bersenjata tombak berujung logam seperti bulan sabit ikut membantu menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan dua orang lainnya masih tetap mengincar Cempaka Sari. Melihat hal itu, Pendekar Rajawali Sakti segera bertindak cepat. Dengan pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskannya pukulan jarak jauh ke arah dua dari Lima Setan Jatayu yang hendak meringkus Cempaka Sari.

"Hiiih!" Werrr!

Mendapat serangan jarak jauh, kedua orang yang hendak menangkap Cempaka Sari terpaksa mengurungkan niat. Pada saat yang bersamaan, tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat mendekati gadis itu.

"Berlindunglah di belakangku, Nisanak!" ujar Rangga, langsung menggaet si Gadis itu ke belakang.

Sementara pada saat itu juga datang serangan berupa tebasan pedang ke leher Rangga.

Wuttt! "Uts!"

Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepalanya, menghindarinya. Kemudian tangan kirinya menangkis kepalan lawan lainnya yang hendak menyodok ke dadanya.

Plak!

Begitu menangkis, kaki kanan Rangga bergerak cepat Langsung dihantamnya lambung seorang lawan yang terdekat

Duk! "Akh!"

Orang itu menjerit kesakitan begitu tendangan Rangga mendarat telak di lambungnya. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah dengan perut langsung mulas.

"Setan!"

Tiga dari Lima Setan Jatayu semakin kalap saja melihat salah seorang dari kawanya ambruk di tanah. Mereka segera menyerang pemuda itu dengan ganas.

"Yeaaa!"

Secara bersamaan, mereka mengibaskan senjata ke seluruh bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan. Cepat bagai kilat Rangga melompat tinggi menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Langsung dilepaskan satu tendangan ke arah orang yang terdekat. Namun orang itu cepat menangkis dengan mengayunkan pedangnya. Maka dengan gerakan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti menekuk kakinya. Dan dalam keadaan masih di udara, tubuh Rangga berputaran dengan kaki melepaskan satu tendangan kilat ke arah tangan salah seorang lawannya.

Duk! Des! "Akh!"

Kembali satu dari Lima Setan Jatayu terjungkal sambil menjerit kesakitan. Pergelangan tangannya langsung remuk. Sedangkan pedang dalam genggamannya yang terlepas, langsung disambar Rangga. Seketika Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang dalam genggamannya, karena pada saat yang sama dua bilah senjata meluruk ke arahnya.

Trang! "Akh!"

Kembali terdengar jeritan tertahan. Tangan salah seorang lawan Pendekar Rajawali Sakti kembali kesemutan manakala menangkis senjata yang dipegang Rangga. Dan belum lagi dia bersiaga, ujung pedang itu menyambar dadanya.

Bret! "Aaakh!"

Orang itu terhuyung-huyung ke belakang, dengan dada berlumur darah, tersayat senjata yang dipegang Pendekar Rajawali Sakti. Melihat lawannya terluka, salah satu dari Lima Setan Jatayu menggeram hebat. Langsung pedangnya dikibaskan menyambar ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Rangga hanya mendengus dingin. Lalu sambil menundukkan kepala, tubuhnya berputar. Langsung dilepaskan satu tendangan ke arah orang itu.

Duk! "Akh!"

Kembali terdengar jeritan keras. Pergelangan tangan orang itu langsung patah terkulai. Sementara senjata dalam genggamannya terlempar jauh.

"Bangsat! Kau akan terima balasannya!" geram lawan Pendekar Rajawali Sakti yang tinggal seorang lagi. Dia segera melompat menyerang Rangga dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.

Rangga tersenyum dingin. Rangkaian jurus dari lima jurus 'Rajawali Sakti' yang sejak tadi digunakannya, sama sekali tidak mampu diimbangi lawan-lawannya. Kedua kakinya bergerak lincah, diikuti gerakan tangannya yang seperti kepakan sayap burung rajawali.

Kini Rangga berusaha menerobos pertahanan lawan. Sementara orang yang menjadi lawannya mengibaskan pedang, menyambar ke arah pinggang. Namun pedang itu hanya menebas angin, karena tahu-tahu Rangga sudah melenting ke atas. Bahkan tiba-tiba saja, tubuhnya meluruk melepaskan tendangan dahsyat dengan jurus 'Rajawali Menyambar Mangsa'. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang itu tidak mampu menghindar.

Begkh! "Aaakh!"

Untung saja tendangan Pendekar Rajawali Sakti hanya dialiri tenaga dalam sedikit, sehingga orang itu hanya merasakan sesak pada dadanya yang mendapat tendangan cukup keras.

"Kurang ajar!"

Empat dari Lima Setan Jatayu berusaha bangkit berdiri. Sedangkan Rangga hanya memandangi dengan tangan terlipat di depan dada. Dan belum juga orang itu sempurna berdirinya....

"Aaakh!"

Serentak empat dari Lima Setan Jatayu berpaling ke arah sumber suara. Tampak Ki Jatra Kendeng sudah tersungkur di tanah sambil memegangi pangkal lengannya yang mengucurkan darah segar terkena sabetan kipas Pandan Wangi. Dia berusaha bangkit, namun ujung kipas gadis berbaju biru itu telah mengancam lehernya.

"Kau boleh bangun kalau ingin mampus!" dengus Pandan Wangi mengancam.

"Eh! Aku..., aku...."

Wajah Ki Jatra Kendeng tampak pucat. Bahkan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Sementara Pandan Wangi melipat kipasnya dan menyelipkan di pinggang. Sambil berkacak pinggang, dia menatap tajam pada Ki Jatra Kendeng

"Cepat pergi dari sini. Atau, kutebas lehermu!'

"Eh! Baik..., baik...," sahut Ki Jatra Kendeng, seraya bangkit. Langsung keempat kawannya diajak pergi dari sini.

"Tunggu dulu...!" cegah Cempaka Sari membentak dengan wajah berang. "Aku harus tahu, siapa yang menyuruh kalian menangkapku?!"

"Eh...!" Ki Jatra Kendeng tersedak. Lalu ditatapnya gadis berbaju biru yang berjuluk si Kipas Maut dengan wajah bingung.

"Kau dengar pertanyaannya? Jawablah! Siapa yang telah menyuruh kalian?" timpal Pandan Wangi.

"Kisanak! Kami..., kami bisa terbunuh kalau sampai mengatakannya...."

"Hm.... Kalau begitu, kalian tidak sayang dengan nyawamu sendiri? Lebih baik aku saja yang membunuh kalian!" ancam Pandan Wangi, langsung mencabut kipas bajanya lagi.

Sring!

Wajah Ki Jatra Kendeng kembali pucat, melihat Pandan Wangi akan mengancamnya. Seketika kepalanya mengangguk cepat.

"Baiklah...."

"Cepat katakan! Dan, jangan cari-cari alasan!"

"Kanjeng Gusti Katut Denowo..."

"Hm, sudah kuduga!" desis Cempaka Sari mendengus sinis. "Nah! Pergilah kalian. Dan katakan pada pamanku, bahwa pekerjaannya akan sia-sia bila hendak menggulingkan kekuasaan ayahku!

"Ba... baik, Kanjeng Gusti Ayu," sahut Ki Jatra Kendeng seraya memberi hormat. Kemudian segera dia berlalu dari tempat itu diikuti kawan-kawannya.

Rangga dan Pandan Wangi diam saja seraya memperhatikan Lima Setan Jatayu yang segera berkelebat cepat berlalu. Lalu perlahan-lahan, dihampirinya Cempaka Sari yang masih mematung dengan wajah lesu.

"Cempaka.... Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa kau meninggalkan istana kerajaan sejauh ini...?" tanya Pandan Wangi lirih.

Gadis berbaju merah jambu itu berpaling. Kemudian dipandangnya Pandan Wangi beberapa saat. Wajahnya tampak berduka. Dan tanpa bisa menahan rasa sedih di harinya, dia memeluk sahabatnya disertai isak perlahan.

Pandan Wangi mendekap erat sahabatnya sambil mengusap-usap rambutnya. Untuk sesaat dia tidak tahu, apa yang harus dikatakan. "Sudahlah. Jangan terus menangis, Cempaka. Kau kini selamat bersama kami. Nah! Sekarang ceritakan padaku, apa yang telah menimpamu...?" bujuk si Kipas Maut

Gadis itu melepaskan pelukannya. Kemudian disekanya beberapa tetes airmata yang sempat membasahi pipi. Lalu matanya melirik Rangga. "Ah, aku lupa! Kenalkan ini temanku...!" seru Pandan Wangi, memperkenalkan Cempaka Sari dengan Rangga.

Mereka saling berjabat tangan. Lalu terlihat Cempaka Sari seperti bingung dan tidak tahu harus berkata apa, ketika memandang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja Rangga sempat menyadari. Maka segera dilepaskannya tangan berbentuk indah ini.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku? Ceritakanlah. Jangan malu. Kakang Rangga saat ini adalah orang terdekatku. Tidak ada yang kami sembunyikan...," Pandan Wangi, berusaha memecah kebisuan yang terjadi.

"Orang terdekatmu? Jadi benar berita yang kudengar itu...?" kata Cempaka Sari disertai senyum manis di bibir.

"Berita apa yang kau dengar?"

"Bukankah Kakang Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?"

Pandan Wangi mengangguk.

"Sungguh beruntung nasibmu, Pandan...."

"Kau ini bisa saja. Apakah hanya itu yang hendak kau ceritakan padaku?"

"Bukan. Kepergianku sebenarnya khusus untuk menemuimu!"

Menemuiku?"

"Ya! Aku memerlukan pertolonganmu...," sahut Cempaka Sari sambil mengangguk.

"Pertolongan apakah yang bisa kuberikan?"

"Kerajaan saat ini terancam, karena Paman Katut Denowo mengadakan pemberontakan...."

"Pamanmu mengadakan pemberontakan? Apa sebabnya?"

"Beliau merasa kalau dialah sebenarnya yang pantas menduduki tahta kerajaan. Ayahanda tidak berdaya, karena tidak bisa membedakan siapa yang setia dan siapa yang hendak berkhianat," jelas Cempaka Sari.

"Lalu, apa yang bisa dilakukan kedua saudaramu?"

Cempaka Sari menggeleng lesu. "Kakang Andang Jaya mementingkan diri sendiri dan hidup hanya untuk bersenang-senang. Sedang Kakang Satya Darma terlalu lemah, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu, kuputuskan untuk meminta bantuan padamu...."

Pandan Wangi menepuk pundak sahabatnya disertai senyum menghibur. "Cempaka Sari... Kau adalah sahabatku. Maka, sudah tentu aku akan membantumu dengan senang hati. Tapi, bagaimana caranya aku harus membantumu?" hibur Pandan Wangi.

"Saat ini, Ayahanda tidak punya orang yang bisa dipercaya. Untuk saat ini memang sulit mengetahui, siapa orang yang berkhianat padanya. Juga, berapa banyak prajurit kerajaan yang termakan hasutan Paman Katut Denowo. Sehingga, bila para pemberontak menyerang kerajaan, bisa dipastikan keadaan akan kacau-balau. Bahkan bukan tidak mungkin Ayahanda akan terbunuh...," jelas Cempaka Sari, langsung tertunduk lesu.

"Lalu?"

"Bukankah Kakang Rangga adalah Raja Karang Setra? Aku bersedia menjadi budak kalian, asalkan Kakang Rangga sudi membantu bersama pasukannya untuk menggempur para pemberontak! Pandan Wangi, tolonglah aku Kakang Rangga, tolonglah aku! Aku tidak tahu, kepada siapa lagi harus meminta pertolongan...!"

Cempaka Sari memandang sepasang pendekar dari Karang Setra itu bergantian. Wajahnya tampak memerah dan kelopak matanya sembab. Gadis itu kembali menangis, dengan wajah tertunduk dalam.

Pandan Wangi lantas memeluk sahabatnya erat-erat. "Cempaka! Kau tidak perlu berkata begitu. Aku akan membantumu sekuat kemampuanku. Begitu juga Kakang Rangga. Bukankah begitu, Kakang?"

"Eh! iya... iya...," sahut Rangga, sedikit gugup.

"Jawablah yang tegas, Kakang. Biar Cempaka Sari bisa tenteram hatinya," ujar si Kipas Maut.

"Tentu saja aku bersedia membantumu."

"Nah! Kau dengar, bukan? Kami bersedia membantumu. Tenangkanlah hatimu, Cempaka!" ujar Pandan Wangi. Dipandangi sahabatnya disertai senyum yang teramat manis. Lalu disekanya airma-ta Cempaka Sari.

Cempaka Sari tersenyum, sambil memandang keduanya bergantian. "Terima kasih, Kakang Rangga.... Terima kasih, Sahabatku...," kata gadis itu lirih. Kemudian dipeluknya Pandan Wangi dengan rasa haru.

********************

TIGA

Seorang laki-laki bertubuh sedikit kurus berusia sekitar empat puluh tahun, tengah duduk gelisah di sebuah ruangan indah di dalam sebuah bangunan megah seperti istana. Sesekali mulutnya mengunyah buah-buahan yang terdapat di sebelah kursi berukir. Di kanan dan kirinya duduk dua orang wanita cantik yang sesekali mengipasi. Sementara di sebelah masing-masing wanita itu, berdiri tegak dua orang laki-laki bertubuh kekar dan berkulit hitam bersenjatakan tombak.

Di depan laki-laki kurus yang terbungkus pakaian indah itu, duduk bersila beberapa orang laki-laki. Melihat cara berpakaian serta beberapa senjata yang tersandang, bisa diduga kalau mereka adalah orang-orang persilatan.

Sementara tepat di depan laki-laki kurus yang memakai mahkota seperti layaknya seorang raja itu duduk bersila lima orang laki-laki berwajah kasar. Tiga orang bersenjata pedang, seorang bersenjata tombak yang pada ujungnya terdapat logam berbentuk bulan sabit, sedang yang seorang lagi tak bersenjata. Tak salah lagi, mereka adalah Lima Setan Jatayu, yang melaporkan kejadian beberapa waktu yang lalu.

"Hm.... Jadi kalian gagal menangkapnya...?" tanya laki-laki kurus itu tenang seraya mengunyah sebuah jambu kelutuk.

"Jika saja kedua orang itu tidak muncul, kami akan mudah meringkusnya sahut yang duduk paling depan. Orang ini tak lain dari Ki Jatra Kendeng.

"Siapa kedua orang itu?"

"Kami tidak mengenalnya, Kanjeng Gusti Prabu...."

Laki-laki kurus yang tak lain Katut Denowo itu mengedarkan padangan ke sekeliling, menyapu orang-orang yang duduk didepannya.

"Adakah di antara kalian yang tahu, siapa kedua orang itu?" tanya Katut Denowo dengan suara lantang.

"Menurut ciri-ciri yang dijelaskan Ki Jatra Kendeng tadi, orang itu adalah Pendekar Rajawali Sakti!" sahut laki-laki bertubuh cebol dan berkulit gelap.

"Bagus, Ki Singkil Wadaya. Jadi kau mengenalnya?" tanya Katut Denowo.

"Aku tidak mengenalnya. Tapi, orang itu berbahaya."

"Lalu, siapa gadis yang bersamanya?"

"Bisa jadi si Kipas Maut, kekasih si Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki cebol yang ternyata bemama Singkil Wadaya.

"Hm...," Katut Denowo bergumam. Dia berpikir sejenak, kemudian tersenyum. "Jadi Ki Jatra Kendeng dijatuhkan si Kipas Maut. Sedangkan keempat kawannya ditaklukkan si Pendekar Rajawali Sakti. Apakah karena semata-mata menjatuhkan Lima Setan Jatayu, maka kau mengatakan kalau mereka berbahaya?"

"Maaf, Kanjeng Gusti Prabu! Pendekar Rajawali Sakti memang sudah terkenal kedigdayaannya. Dalam rimba persilatan, dia termasuk tokoh nomor satu," jelas Ki Singkil Wadaya.

"Lalu, apa bahayanya mereka bagi kita?"

"Jika Cempaka Sari benar adalah kawan si Kipas Maut, maka sudah barang tentu akan meminta pertolongan mereka. Dan kalau si Kipas Maut membantunya, maka Pendekar Rajawali Sakti pasti ikut campur pula," jelas Ki Singkil Wadaya lagi.

"Pertolongan apa yang kau maksud?"

Ki Singkil Wadaya tersenyum. Sementara, seorang laki-laki berwajah bersih dan berbaju bersih yang berada di dekat Katut Denowo ikut tersenyum.

"Apa artinya jika Cempaka Sari berjalan sejauh itu? Sudah pasti mencari bantuan...," kali ini, laki-laki berwajah bersih itu yang menjawab. Dan dia dikenal dengan nama Indra Paksi.

"Cempaka Sari masih belia. Lagi pula, tahu apa dia soal urusan kerajaan?" sangkal Katut Denowo.

"Kakang Katut Denowo! Jangan remehkan setiap ancaman sekecil apa pun. Boleh jadi, Cempaka Sari masih belia yang menurutmu tidak tahu apa-apa soal kerajaan. Tapi, dia cerdas. Dan kita harus waspada terhadapnya, serta apa yang dilakukannya," jelas Indra Paksi mengemukakan kecurigaannya.

Katut Denowo berpikir untuk sesaat. Kemudian kepalanya mengangguk-angguk perlahan. "Hm, baiklah. Kalau begitu, suruh mata-mata kita di sana untuk mengawasi setiap gerak-geriknya. Dan bila ada yang mencurigakan, maka bereskan dia secepatnya!" ujar Katut Denowo, tegas.

"Tentu saja, Kakang. Maaf. Karena sebelum Kakang perintahkan, aku telah menyuruh mata-mata untuk mengawasinya. Kalau tidak, mana mungkin kita mengetahui kepergiannya," jelas Indra Paksi.

"Bagus, Indra Paksi! Tidak percuma kau ku angkat sebagai penasihatku!"

"Dan satu hal lagi, Kakang!" tambahnya lagi.

"Apa itu?"

"Kedua kawan Cempaka Sari itu juga harus dibereskan, kalau mencoba membantu!"

"Kau lebih mengerti soal itu. Nah, lakukanlah yang terbaik!"

"Tentu saja, Kakang!"

"Indra Paksi, ingat! Pendekar Rajawali Sakti bukan tokoh sembarangan. Lalu bagaimana caranya untuk membereskan orang itu?" tanya Ki Singkil Wadaya heran. Bahkan mimik wajahnya menunjukkan perasaan sinis.

Ki Singkil Wadaya tahu betul kalau kepandaian Indra Paksi tidak terlalu hebat. Bahkan boleh dibilang, sama sekali tidak berarti. Dan Katut Denowo mengangkatnya sebagai penasihat, hanya karena pemikirannya yang selama ini sering cemerlang. Tapi untuk urusan Pendekar Rajawali Sakti, yang harus dilakukan bukan hanya mengakalinya. Sebab dia tahu betul, dalam dunia persilatan jika hendak membereskan seseorang maka yang harus dilakukan adalah pertarungan. Dan di antara semua tokoh yang berada di ruangan ini menyadari, kalau harus berpikir seribu kali bila ingin menaklukkan Pendekar Rajawali Sakti!

"Ki Singkil Wadaya! Kau meragukan kemampuan kita semua, heh?!" tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang duduk di seberangnya.

Wajah orang itu tampak gusar, mendengar kata-kata Ki Singkil Wadaya. Jelas, hatinya tersinggung, karena merasa dianggap remeh.

"Sudahlah, Ki Kebo Ungu. Ki Singkil Wadaya tidak bermaksud merendahkan kita semua. Dia hanya sekadar memperingatkan. Biarlah Pendekar Rajawali Sakti akan menjadi urusanku," sahut Indra Paksi, menengahi.

"Nah! Kuanggap persoalan ini telah selesai. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing, karena aku hendak beristirahat," ujar Katut Denowo. Segera dia beranjak dari ruangan ini, diikuti kedua wanita yang sejak tadi berada di dekatnya.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Tdak seperti tadi, kali ini Cempaka Sari menggebah kudanya perlahan-lahan. Dengan dua orang pendekar digdaya yang menemaninya, dia merasa aman. Dan ketika tiba di kotaraja, Rangga tidak ikut bersama mereka. Pendekar Rajawali Sakti telah kembali ke Karang Setra, untuk menyiapkan segala sesuatu guna membantu Kerajaan Kertaloka seperti yang dinginkan Cempaka Sari.

"Kau tidak apa-apa, bukan?" tanya Cempaka Sari ketika mereka menelusuri jalan utama di kotaraja yang agak lengang dengan berkuda.

"Kenapa?" Pandan Wangi balik bertanya.

"Karena harus berpisah dengan Kakang Rangga?"

Pandan Wangi hanya tersenyum. "Kami biasa berpisah untuk beberapa saat. Terutama saat Kakang Rangga hendak bepergian seorang diri," sahut gadis berjuluk Kipas Maut itu.

"Tidak takut kalau Kakang Rangga tergoda gadis lain?" pancing Cempaka Sari.

"Tentu saja ada. Namun, aku selalu percaya padanya. Kau sendiri, bagaimana?"

Cempaka Sari hanya tersenyum manis. Pandangannya dialihkan ke tempat lain. Seperti ada sesuatu yang hendak disembunyikannya. "Aku belum berpikir untuk mencari kekasih...," elak Cempaka Sari.

"Hati-hati saja, Cempaka! Kalau begini selamanya, sama saja melawan kodrat!" goda Pandan Wangi.

Cempaka Sari tersenyum. "Tentu saja tidak. Hanya saja, belum menemukan pemuda yang pantas...," sahut gadis itu pelan.

"Apakah kau ingin mencari pemuda dari kalangan bangsawan?"

"Soal itu tidak penting. Yang jelas, aku ingin mencari pemuda gagah yang bertanggung jawab, dan mempunyai sifat terpuji. Yah..., barangkali seperti kakangmu itu!"

Pandan Wangi hanya tertawa kecil. Dalam hati, dia merasa bangga mendengar kata-kata sahabatnya. Paling tidak, Cempaka Sari memujinya kalau Pandan Wangi telah mendapatkan kekasih yang baik.

Ketika Pandan Wangi dan Cempaka Sari hampir tiba di gerbang Istana Kerajaan Kertaloka yang dijaga empat orang prajurit, mendadak pintu itu terbuka lebar. Tak lama dari dalam benteng istana keluar beberapa orang, melewati pintu gerbang.

"Hei?! Banyak orang keluar dari pintu gerbang kerajaan! Siapa mereka?" seru Pandan Wangi langsung menghentikan langkah kudanya.

"Mungkin rakyat yang mengadukan nasibnya...," sahut Cempaka Sari ikut berhenti.

"Apakah ayahmu sering menerima mereka?"

"Ayahanda tentu saja bersedia menerimanya!" sahut Cempaka Sari cepat.

"Wajah mereka terlihat muram...," gumam Pandan Wangi.

Cempaka Sari juga melihat hal yang sama. Dalam hatinya, timbul tanda tanya yang dalam. Dan dengan keadaan berpakaian seperti rakyat biasa, orang akan kesulitan untuk mengenalinya. Dan ketika orang-orang itu makin dekat, Pandan Wangi bergegas melompat dari kudanya yang berbulu putih. Langsung menghadap orang tua itu.

"Maaf, Kisanak. Dari manakah kalian barusan?" tanya Pandan Wangi ramah.

Orang yang ditanya adalah laki-laki tua bertubuh sedikit kurus, berbaju lusuh. Matanya memandang Pandan Wangi sejenak, kemudian menunjuk istana kerajaan.

"Apakah kalian menghadap Gusti Prabu?"

Orang tua itu mengangguk

"Lalu kalian ini siapa? Dan, apa yang kalian inginkan?"

"Kami rombongan petani, yang baru saja menghadap Gusti Prabu untuk meminta keringanan pajak tahun ini, banyak panen yang gagal. Namun, pajak tetap dinaikkan...," sahut orang tua itu lesu.

"Pajak dinaikkan? Siapa yang telah memberi perintah?!" tanya Cempaka Sari dengan wajah berkerut heran. Bergegas gadis itu juga turun dari kudanya.

"Siapa lagi? Tentu saja Kanjeng Gusti Prabu!" sahut orang tua itu, bernada jengkel.

"Tidak mungkin!"

Orang tua itu memandang Cempaka Sari dengan wajah terkejut. "Nisanak! Apa maksudmu?"

"Eh, tidak. Tidak ada apa-apa. Lalu, bagaimana hasil yang kalian peroleh tadi?" Cempaka Sari berusaha menepis rasa terkejut di hatinya.

"Percuma saja. Gusti Prabu tidak berkenan menerima kami...," sahut orang tua itu, lesu.

"Beliau tidak bersedia menerima kalian?"

"Bukan hanya kami. Tapi, juga rombongan lain. Dan itu berlangsung sejak lama, sampai sekarang ini," jelas orang tua itu.

"Siapa yang melarang kalian menemui beliau?"

"Penjaga gerbang istana."

"Hm...," gumam Cempaka Sari sambil mengangguk.

"Kusarankan, kalau kalian hendak bertemu Gusti Prabu lebih baik urungkan saja niat itu. Akan sia-sia saja...," lanjut orang tua itu, segera melanjutkan perjalanan.

"Aneh! Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa Ayah tidak bersedia menerima mereka?" gumam gadis itu begitu orang tua tadi telah jauh. Dia memang seperti tidak percaya dengan yang didengarnya barusan.

"Apakah mata-mata pamanmu telah menelusup begitu jauh ke tubuh istana, sehingga mempengaruhi orang-orang penting di dalamnya?" tanya Pandan Wangi. Si Kipas Maut sengaja menanyakan persoalannya langsung kepada Cempaka Sari.

"Entahlah. Aku tidak mengerti persoalan ini...!" sahut Cempaka Sari bingung.

"Sudahlah.... Lebih baik, kita tanyakan pada penjaga gerbang istana, siapa yang menyuruhnya untuk tidak menerima kedatangan rakyat," hibur Pandan Wangi.

Cempaka Sari mengangguk. Kemudian diajaknya Pandan Wangi memasuki gerbang istana. Kedua gadis itu kembali menaiki kuda masing-masing. Sebentar kemudian, kuda-kuda itu telah berjalan perlahan, menuju pintu gerbang istana yang dikelilingi tembok tinggi ini.

"Berhenti!" cegah salah seorang prajurit yang menjaga, sambil memalangkan tombak.

Cempaka Sari langsung memandang tajam pada empat orang prajurit kerajaan yang bertugas mengawasi pintu gerbang istana. Seketika mereka menunduk dan buru-buru membukakan pintu, ketika gadis itu menunjukkan lencana kerajaan. Lencana itu memang menandakan kalau dia adalah keluarga kerajaan.

"Kalian tahu, siapa aku!" sentak Cempaka Sari.

"Ampun Kanjeng Gusti Ayu. Tentu saja kami tahu!" sahut empat prajurit itu serentak.

"Jawab pertanyaanku! Kenapa kalian tidak memperbolehkan rombongan petani itu masuk menghadap Ayahanda?!" tanya Cempaka Sari lagi dengan nada sengit.

"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Penjagaan harus diperketat, sebab para pemberontak mulai melancarkan gerakan secara tak terduga. Mereka sebenarnya bukan petani, tapi para pemberontak yang sedang menyamar untuk mengetahui keadaan istana kerajaan!" sahut salah satu penjaga, tetap menundukkan kepala.

Cempaka Sari terdiam, seperti hendak meyakinkan kata-kata penjaga pintu gerbang istana itu. "Mustahil! Jika mereka pemberontak, kenapa tidak diberitahukan prajurit lain untuk menangkap?"

"Kita tidak bisa menangkap mereka tanpa bukti kuat. Begitulah yang selalu ditetapkan Kanjeng Gusti Prabu," sahut prajurit itu.

"Jika tidak mempunyai bukti, lalu kenapa menuduh mereka pemberontak?!"

"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Hamba terpaksa berbuat seperti itu, sebab kerajaan sedang diancam malapetaka. Maka dalam setiap keadaan, kami dituntut untuk waspada dan hati-hati."

Cempaka Sari jadi kesal bukan main. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Jawaban penjaga pintu gerbang itu memang benar, karena memang harus menjalankan tugasnya dengan baik. Hanya saja, gadis itu merasa kalau kecurigaan mereka tidak beralasan.

"Pandan Wangi! Mari kita ke dalam...!" ajak gadis ini langsung menggebah kudanya berlalu dari tempat itu. Pandan Wangi pun bergegas mengikuti.

Begitu sampai di halaman depan istana kerajaan, mereka melompat turun. Kuda mereka segera diberikan pada dua orang pengurus kandang kuda. Dan Cempaka Sari pun segera mengajak Pandan Wangi ke bangunan keputren.

Tak lama mereka berjalan, sebentar saja sudah tiba di depan bangunan yang khusus dimasuki oleh kawan wanita saja. Dari dalam, muncul seorang wanita setengah baya menyambut mereka.

"Tolong sediakan jamuan makan untuk kami berdua!" ujar Cempaka Sari pada wanita setengah baya itu.

"Baik, Kanjeng Gusti Ayu...!"

Tanpa berkata lagi, Cempaka Sari terus mengajak Pandan Wangi ke ruangan pribadinya. Entah, apa yang dirasakan gadis itu. Namun hatinya kelihatan gelisah bercampur kesal.

"Aku tidak tahu, kenapa Ayah bisa berbuat seperti ini!" sungut gadis itu kesal, ketika mereka telah duduk-duduk di lantai bersandarkan ranjang berukir indah.

"Mungkin ada alasan lain yang menyebabkan beliau berbuat begitu...," hibur Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu banyak soal kehidupan rakyat di luar sana, karena jarang bepergian. Tapi apa yang kulihat belakangan ini begitu menyedihkan. Banyak rakyat Kertaloka yang hidup miskin...," desah gadis itu.

Pandan Wangi membiarkan Cempaka Sari menumpahkan rasa kesalnya beberapa saat. Dengan begitu, dia berharap beban hati yang dipendam gadis itu bisa sedikit berkurang. Dia hanya mendengar seksama sambil memperhatikan Cempaka Sari yang terus mengelus-elus seekor kucing berbulu putih di pangkuannya.

"Bukankah hal ini bisa dibicarakan dengan ayahandamu?" tanya Pandan Wangi, setelah gadis itu terdiam.

"Aku memang hendak menanyakannya pada Ayah!"

"Sebaiknya memang begitu. Namun caranya harus bijaksana dan hati-hari...," saran Pandan Wangi.

"Maksudmu?"

"Bicaralah berdua. Dan, jangan dalam suasana resmi. Kau bisa bicara di kamarmu, di kamar beliau, atau di mana saja yang kira-kira aman."

"Aku justru ingin bicara di muka seluruh pejabat istana, agar Ayah tahu bahwa kebijaksanaannya betul-betul tidak bijaksana dan merugikan rakyat. Beban pajak yang terus bertambah, apakah suatu kebijaksanaan di saat rakyat hidup kesusahan, kelaparan, dan ancaman yang sewaktu-waktu datang dari pemberontak!" sentak gadis itu seperti ingin menumpahkan segala beban batinnya.

"Cempaka, tenanglah. Jangan bersikap begitu. Kau harus bersikap tenang. Dengan begitu, pikiranmu bisa terkendali dan tidak hanyut oleh amarah yang hanya akan menimbulkan kekacauan...," ujar Pandan Wangi.

"Aku bingung menghadapi keadaan ini...," keluh Cempaka Sari lirih, seraya menundukkan kepala.

Pandan Wangi mendekat. Gadis itu bermaksud hendak memeluk Cempaka Sari. Namun belum juga dia bergerak, terdengar ketukan pintu. Cempaka Sari segera bangkit dan membukakan pintu. Tampak seorang wanita setengah baya muncul membawa sebuah baki lebar berisi makanan.

"Apa ini? Kenapa harus piringku dengan piring kawanku dibeda-bedakan?!" tanya Cempaka Sari.

Gadis itu jadi geram karena pelayan menghidangkan makanan dengan piring berbeda. Piring yang digunakan memang biasa dipakai keluarga kerajaan. Sedangkan bagi Pandan Wangi hanya terbuat dari persolen biasa yang diperuntukkan bagi tamu-tamu kurang penting.

"Sudahlah, Cempaka. Aku tidak merasa terhina karena piring ini. Derajat seseorang bukan ditentukan oleh piring. Dia tidak salah...," kata Pandan Wangi, sambil menyuruh pelayan itu untuk cepat berlalu.

Dengan wajah sedikit gugup, pelayan itu buru-buru keluar. Sedangkan Pandan Wangi cepat menutup pintu.

"Aku memang tidak pernah memasukkan kawan ke dalam kamar pribadiku ini...," aku Cempaka Sari.

"Berarti aku yang pertama?"

"Kau adalah kawan istimewaku...."

Senyum Cempaka Sari terhenti ketika tiba-tiba kucing yang tadi dielus-elus tampak seenaknya menyantap makanan yang dihidangkan bagi Pandan Wangi.

"Putih! Astaga! Jangan kurang ajar! Ini bukan untukmu. Ayo, ke sana...!" bentak Cempaka Sari, tangannya cepat mengibas mengusir kucingnya.

Kucing itu terkejut dan melompat, lalu bersembunyi di kolong meja. Wajahnya tampak berkerut, memandang gadis itu dengan sorot mata iba.

"Aduh! Dia memang nakal sekali! Aku tidak pernah mengajak makan orang lain di kamar ini. Dan dia hafal betul dengan piringku. Mungkin piring bagianmu dikira miliknya. Memang, aku sering memberinya makan dikamar ini," jelas Cempaka Sari, segera membersihkan makanan yang menjadi bekas bekas mulut kucing itu.

"Sudahlah, Cempaka Sari. Dibersihkan sedikit juga tidak mengapa..."

"Ini sungguh keterlaluan! Sudah piringmu dibedakan, lalu makananmu dicuri kucingku. Nah! Karena kau berkeras juga, maka aku pun harus berkeras!"

"Maksudmu?"

"Kau harus makan bagianku. Dan bagianmu menjadi bagianku. Tidak boleh membantah!"

"Mana bisa begitu?!"

"Jangan membantah!" tandas Cempaka Sari, cepat. Langsung disambarnya makanan yang tadi diperuntukkan bagi Pandan Wangi.

"Ayo, kita bersantap!"

Pandan Wangi tidak bisa mengelak. Dan pada saat Cempaka Sari akan menyuap makanan ke mulutnya, mendadak saja Pandan Wangi berpaling. Lalu secepat kilat tangan kirinya menghantam pelan ke pergelangan tangan sahabatnya yang siap masuk mulut.

"Cempaka! Jangan makan makanan itu!" cegah Pandan Wangi, berteriak

EMPAT

Cempaka Sari terkejut setengah mati. Sedangkan makanan yang hendak disuapnya berhamburan ke atas lantai beralaskan permadani hijau. Memang tindakan Pandan Wangi benar-benar mengejutkannya.

"Pandan Wangi, ada apa? Kenapa kau berbuat begitu?" tanya gadis itu, heran.

Tapi si Kipas Maut tidak mempedulikan. Segera dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati kolong meja. Setelah berjongkok ditariknya sesuatu dari kolong. Dan ternyata kucing berbulu putih peliharaan Cempaka Sari sudah terbaring lesu. Kelopak matanya nyaris tertutup rapat, dengan napas satu-satu.

"Astaga! Putih? Apa yang terjadi padamu?!" seru Cempaka Sari, langsung bangkit. Gadis itu menghambur hendak memeluk kucing kesayangannya.

"Jangan Cempaka! Bersihkan tanganmu! Ayo cepat!" tahan Pandan Wangi kembali. Langsung dicarinya sesuatu untuk membersihkan telapak tangan sahabatnya yang tadi sempat memegang makanan.

Cempaka Sari semakin bingung saja. Dia tidak tahu, apa yang telah terjadi. Dan, kenapa Pandan Wangi tiba-tiba bersikap aneh?

"Makanan itu beracun. Dan kucingmu telah menjadi korbannya. Ada seseorang yang tidak menyukai kehadiranku. Dan orang itu menginginkan kematianku!" desis Pandan Wangi gusar.

"Kurang ajar! Pasti pelayan itu. Dia sengaja membedakan piring, agar sasarannya tepat padamu. Orang itu pengkhianat. Dan dia akan dihukum mati!" geram Cempaka Sari, hendak beranjak keluar.

"Tahan dulu! Jangan sampai terjadi sesuatu padamu. Kau tidak boleh gegabah!" cegah Pandan Wangi.

"Ini tempatku. Dan, tidak seorang pun kuizinkan berbuat seenaknya pada tamuku!" dengus Cempaka Sari. Dan baru saja dia membuka pintu....

Set! Set!

"Awaaas...!" Pandan Wangi berteriak memperingatkan. Langsung ditubruk sahabatnya itu, sehingga mereka terjerembab. Sekelebatan tadi, si Kipas Maut melihat dua bilah pisau kecil melayang deras ke arah mereka dari pintu yang baru dibuka sedikit oleh Cempaka Sari.

"Cempaka! Kau di sini saja, jangan ke mana-mana! Tutup pintu. Dan jangan dibuka, kalau ada yang mengetuk selain aku!" teriak Pandan Wangi langsung melesat keluar mengejar penyerang gelap tadi.

Tapi baru saja Pandan Wangi tiba di luar pintu kamar, kembali datang serangan menyambarnya. Cepat bagai kilat gadis itu melejit ke atas. Sementara sosok penyerang gelap itu terus berkelebat, ke arah taman keputren. Dan begitu Pandan Wangi mendarat di lantai, langsung dikejarnya sosok tadi, disertai ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi.

Pandan Wangi terus melesat. Kembali tubuhnya melenting melewati orang yang mencurigakan itu. Setelah berputaran di udara, kakinya mendarat di depan orang itu.

"Yeaaa!"

Merasa mendapat jalan buntu, orang bertopeng hitam itu langsung mencabut pedangnya. Seketika diserangnya Pandan Wangi dengan ganas.

"Kurang ajar!" dengus Pandan Wangi.

Cepat bagai kilat gadis itu memiringkan tubuhnya. Sehingga. Tebasan itu luput dari sasaran. Tapi orang bertopeng itu seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Pedangnya kembali menyambar ke arah leher Pandan Wangi. Cepat gadis itu membungkuk, dan langsung melompat ke samping dengan satu sodokan keras lewat kepalan tangannya ke dada orang bertopeng itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang itu tak mampu menghindari. Lalu....

Begkh! "Akh!"

Orang bertopeng itu mengeluh tertahan begitu dadanya telak terhantam pukulan si Kipas Maut. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang menghantam tembok

"Sekarang perlihatkan mukamu! Siapa kau sebenarnya...!" desis Pandan Wangi geram.

Cepat bagai kilat gadis itu melompat hendak melucuti topeng orang itu. Namun sebelum niatnya terlaksana, di luar dugaan orang bertopeng itu menghunus pedang. Dan....

Blesss! "Aaa!"

Tanpa dapat dicegah lagi pedang orang itu menghujam ke perutnya sendiri. Bola matanya tampak membelalak lebar. Dan seketika itu pula, darah merembes keluar dari perutnya yang tertembus pedang.

"Setan!" Pandan Wangi segera melucuti topeng yang dikenakan orang itu.

"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?!" hardik si Kipas Maut, begitu di balik topeng itu temyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun.

"Aaa..., aaakh...!"

Pemuda itu belum sempat meneruskan kata-katanya, tapi tiba-tiba sebilah pisau berkelebat cepat dan langsung menembus jantung pemuda itu. Tanpa dapat menggelepar lagi, pemuda itu langsung tewas.

Pandan Wangi cepat berbalik ke arah datangnya pisau tadi dan lima orang prajurit kerajaan berdiri tegak di belakangnya.

"Orang seperti dia tidak patut hidup lebih lama...," kata salah seorang prajurit istana itu, mendengus geram. "Bawa mayat orang ini, dan lemparkan ke jurang!"

"Kenapa kalian masuk ke sini...?"

Kelima prajurit istana itu segera membungkuk memberi hormat, ketika tahu-tahu saja Cempaka Sari telah berada di tempat itu.

"Hormat kami, Kanjeng Gusti Ayu...!" ucap prajurit yang tadi memberi perintah untuk membuang mayat.

"Hm.....Kalian belum menjawab pertanyaanku. Keputren terlarang dimasuki laki-laki. Kenapa kalian begitu cepat berada di sini?" tanya Cempaka Sari curiga.

"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Hamba mengerti. Namun Kanjeng Gusti Prabu memberi perintah agar di sekeliling keputren dijaga ketat. Beliau mengkhawatirkan keselamatanmu, Kanjeng Gusti Ayu. Dan..., ternyata kekhawatirannya terbukti oleh kemunculan pemuda bertopeng ini. Maaf, kami terlambat datang...," sahut prajurit istana itu.

Setelah berkata begitu, mereka segera berlalu meninggalkan Cempaka Sari yang masih diam mematung dengan wajah kesal. Sedangkan Pandan Wangi tersenyum kecil, langsung membimbingnya kembali kekamar.

"Kita akan selidiki sampai tuntas...," hibur Pandan Wangi.

Tapi Cempaka Sari mendengus geram. "Akan kucari semua pengkhianat yang ada dalam istana kerajaan ini!"

"Tentu saja! Bukankah itu yang menjadi keinginanmu menemuiku? Tapi, jangan tunjukkan kecurigaanmu. Sebab, mereka akan semakin berhati-hati karenanya...," ujar Pandan Wangi.

Cempaka Sari hanya mengangguk pelan.

********************

Desa Gimus terletak di sebelah tenggara Kadipaten Kadung Gede, yang masih termasuk wilayah Kerajaan Kertaloka. Desa ini sekaligus berbatasan dengan wilayah kerajaan lain, sehingga tidak heran bila suasananya cukup ramai, karena sering dilalui orang yang hendak keluar masuk Kerajaan Kertaloka. Sebagai wilayah perbatasan, penjagaan di berbagai tempat kelihatan cukup ketat. Itu terlihat dari jumlah pasukan kadipaten yang terbilang banyak.

Melihat kemakmuran kadipaten itu membuat Katut Denowo selalu mengincar daerah ini untuk ditaklukkan. Tapi itu pun bukanlah pekerjaan muda. Melalui penasihatnya, Katut Denowo mendapat siasat yang jitu. Maka disusupkannya beberapa orang mata-mata, untuk mencari kelemahan pasukan prajurit.

Setelah memperoleh keterangan lengkap maka pada suatu pagi, pasukan para pemberontak mulai menyerang Desa Gimus, sebagai serangan awal untuk menaklukkan kadipaten.

Tentu saja serangan mendadak ini membuat penduduk Desa Gimus tersentak kaget. Betapa tidak? Lebih dari lima puluh pasukan pemberontak bersenjata lengkap telah mengepung wilayah itu. Bahkan mereka telah membunuh rakyat yang tidak berdosa, serta membakar rumah-rumah penduduk.

Keadaan ini membuat seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang selama ini dipercaya sebagai Kepala Desa Gimus, sibuk menyiapkan pasukannya yang terdiri dari rakyat biasa, ditambah para prajurit penjaga perbatasan. Namun kebanyakan dari mereka tewas sia-sia.

Untung saja, sebelum para pemberontak berhasil menaklukan desa itu, mendadak dari arah timur menyerbu sepasukan berkuda. Dan seketika mereka menghantam para pemberontak dengan sebuah serangan dahsyat.

"Yeaaa!"

"Heh?!" Seorang laki-laki bertubuh besar dengan sebilah golok besar di tangan, terkejut setengah mati. Laki-laki pemimpin pemberontak yang bernama Ki Danang Pura ini begitu geram mendapat serangan yang tak terduga.

"Kurang ajar! Pasukan dari mana mereka?!" bentak Ki Danang Pura geram.

"Ki Danang! Kami tidak tahu dari mana mereka berasal!" sahut seorang anak buahnya.

"Apakah mereka tidak membawa panji kerajaan?"

"Tidak. Malah mereka sama sekali tidak berseragam prajurit. Pakaian mereka sebagaimana layaknya para petani. Namun, kemampuan mereka hebat bukan main. Bahkan pasukan kita banyak yang tewas!" sahut anak buahnya menjelaskan.

"Keparat! Akan kupancung pemimpinnya agar tahu siapa kita!" desis Ki Danang Pura. Langsung kudanya digebah, mencari pemimpin kawanan berkuda yang menyerang pasukannya.

Tak lama Ki Danang Pura telah melihat seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun, tengah mengamuk dahsyat dengan pedangnya. Sambil mengendalikan kudanya yang berbulu coklat, pedangnya terus berkelebat, maka dalam waktu singkat sudah setengah pasukan pemberontak yang tewas.

"Bocah Edan! Kau cari mampus rupanya. Lawanlah aku!" seru Ki Danang Pura, langsung melompat dari punggung kudanya. Segera laki-laki itu melompat menyerang pemuda tampan ini dengan golok besar terhunus.

Begitu mendengar bentakan, pemuda itu cepat berbalik. Perhatiannya dialihkan pada lawan barunya. Lalu, dia juga melompat dari punggung kudanya.

"Yeaaa...!" Ki Danang Pura tampak begitu bernafsu untuk menghabisi pemuda itu secepatnya tanpa mempedulikan kemampuan. Dengan mengerahkan segenap kepandaiannya diharapkan pemuda yang dianggap sebagai pemimpin yang telah mengacau kerjanya ini, akan binasa dalam waktu singkat

Namun serangan Ki Danang Pura tampaknya akan sia-sia saja. Bukan hanya tidak mampu membinasakan pemuda itu dalam waktu singkat, tapi justru dia yang terdesak habis-habisan. Permainan pedang pemuda itu hebat bukan main. Bahkan kelebatan pedangnya mampu mengurung sekujur tubuh Ki Danang Pura yang mulai berkeringat dingin itu.

Trang!

Golok besar di tangan Ki Danang Pura langsung nyaris terlepas dari genggaman, begitu memapak serangan pemuda itu. Bahkan tangannya sampai bergetar seperti kesemutan. Tidak sampai di situ saja. Pemuda itu cepat melepaskan tendangan dahsyat yang berisi tenaga dalam tinggi. Buru-buru orang tua itu menunduk, menghindari serangan. Begitu berhasil menghindari serangan, Ki Danang Pura langsung membabatkan goloknya ke arah perut pemuda itu sambil tetap merundukkan tubuh.

Wuttt!

Namun, cepat sekali tubuh pemuda itu mencelat ke samping. Dan pada saat yang sama pedangnya juga berkelebat cepat bagai kilat ke arah perut Begitu cepatnya, sehingga kelebatan pedangnya tak bisa dihindari lagi.

Bret!

"Aaa...!" Ki Danang Pura kontan terpekik. Perutnya robek dan isinya terburai keluar, begitu mata pedang pemuda itu membabatnya. Darah langsung mengucur deras dari sela-sela jari tangan kiri yang mendekap lukanya, begitu mata pedang pemuda itu membabatnya. Dan ketika tubuhnya terhuyung-huyung, satu tendangan menggeledek kembali mendarat di dadanya.

Des!

"Aaakh!" Ki Danang Pura menjerit tertahan. Dan begitu tubuhnya ambruk mencium tanah, tak ada gerakan lagi. Mati.

"Ki Danang Pura tewas...!" teriak seorang anak buahnya.

Begitu mendengar teriakan, para pemberontak yang lain menjadi terkejut setengah mati. Dengan serentak mereka berbalik hendak melarikan diri. Namun pemuda yang menjadi lawan Ki Danang Pura tidak tinggal diam begitu saja. Bersama kawan-kawannya, dia menghajar para pemberontak hingga tercerai-berai. Sebagian ada yang berhasil melarikan diri dari desa itu. Sementara beberapa orang tidak sempat menyelamatkan diri, binasa di tangan pasukan itu.

"Biarkan! Tidak usah dikejar...!" teriak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tiba-tiba menyeruak di antara kawanan pasukan berkuda.

Tak ada yang berani membangkang dari perintah itu. Dan kini pasukan berkuda itu berkumpul di hadapan pemuda berbaju rompi putih. Sementara pemuda yang tadi telah membinasakan Ki Danang Pura maju ke depan, lalu membungkuk memberi hormat

"Kanjeng Gusti Prabu, musuh telah berhasil dipukul mundur. Dan pemimpinnya telah kami tewaskan. Kami menerima perintahmu selanjutnya!" kata pemuda itu.

"Kerjamu sangat bagus, Bayu Umbara! Perintahkan anak buahmu untuk menemui kepala desa ini," ujar pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

Namun belum pemuda yang bernama Bayu Umbara beranjak melaksanakan perintah, datang berduyun-duyun penduduk desa yang selamat dari amukan para pemberontak. Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki setengah baya, yang tak lain dari Kepala Desa Gimus. Begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti laki-laki itu menjura, memberi hormat dengan telapak tangan merapat di depan dada.

"Kisanak.... Aku Ki Dipati Ukur, kepala desa ini. Atas nama semua warga desa, kami mengucapkan beribu terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan. Sehingga, para pemberontak itu dapat dikalahkan...!"

Rangga hanya mengangguk sedikit, sambil mengangkat tangan kanannya. Sementara, senyumnya selalu tak lepas tersungging di bibir.

"Kalau boleh tahu, siapakah kalian ini sebenarnya? Apakah pasukan kerajaan yang didatangkan untuk membantu kami?" tanya Ki Dipati Ukur.

"Kau tidak perlu tahu siapa kami ini, Ki. Yang penting untuk sementara, kau dan warga desamu telah aman. Para pemberontak itu memang semakin ganas saja. Dan jumlah mereka juga amat banyak. Mungkin besok atau nanti, mereka akan kembali dengan jumlah besar. Untuk itu biarlah beberapa anak buahku berada disini untuk melatih seluruh laki-laki penduduk desa ini dalam ilmu perang. Sehingga, sepeninggal kami kalian semua mampu menjaga diri," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Oh, Kisanak. Jika kalian pergi meninggalkan kami, mana mungkin kami mampu menahan serangan mereka kembali?" tanya Ki Dipati Ukur dengan wajah cemas.

"Ki, kerajaan kalian terancam bahaya. Sementara, di mana-mana para pemberontak mulai mengacau. Kami berniat membantu kalian. Tapi, bukan berarti harus membantu satu wilayah. Maka, kalian juga harus ikut membantu sekuat daya kemampuan. Untuk itu, perintahkanlah beberapa orang pemuda desa ini untuk meminta bantuan pada prajurit kadipaten. Sehingga kalian cukup mempunyai orang-orang yang berkemampuan tinggi!" ujar Rangga.

Ki Dipati Ukur terdiam kemudian mengangguk lemah.

"Nah, Ki. Kami harus pergi. Terimalah beberapa orang anak buahku. Lalu, kumpulkan seluruh laki-laki di desa ini untuk bergabung bersama mereka untuk berlatih ilmu perang!"

Setelah berkata begitu, Rangga dan prajurit yang dipimpinnya segera menggebah kudanya. Sebentar saja mereka telah berlalu dari tempat ini, meninggalkan debu-debu yang membubung tinggi ke angkasa.

Rangga memang sengaja membawa sekitar tiga puluh prajurit Kerajaan Karang Setra. Para prajurit itu dipimpinnya sendiri, dibantu beberapa perwira tangguh memimpin beberapa orang tamtama. Sehingga, pasukannya dapat dibagi menjadi beberapa pasukan kecil. Para prajurit Karang Setra ini memang sengaja tidak memakai seragam kerajaan. Karena, Rangga yang juga Raja Karang Setra tak ingin dituduh telah melanggar wilayah kerajaan lain. Dengan pakaian seperti rakyat biasa, para prajurit akan lebih leluasa memasuki kerajaan lain, tanpa dituduh melakukan pelanggaran wilayah.

Dan Pendekar Rajawali Sakti juga menyebar mata-mata ke segala penjuru Kerajaan Kertaloka. Sehingga bisa didapat keterangan jelas, wilayah mana saja yang menjadi sasaran para pemberontak. Sebenarnya jumlah mata-mata yang disebar hampir menyamai jumlah pasukan yang dibawa. Kerja mereka berantai sehingga berita lebih cepat diterima oleh Rangga. Dengan demikian memudahkan bagi mereka untuk menyerang para pemberontak itu di tempat wilayah yang akan dikuasai para pemberontak.

Dan kini telah didapat berita kalau Desa Taram Goro yang berada di selatan Kadipaten Kadung Gede ini akan diserbu pemberontak. Maka Pendekar Rajawali Sakti dan pasukannya segera bergerak ke arah selatan untuk menghadapi pasukan pemberontak yang akan menguasai desa itu. Dan memang, apa yang dilaporkan mata-mata itu benar adanya. Begitu mereka tiba di sana, keadaan desa itu serupa dengan apa yang dialami Desa Gimus.

"Bagi dua daerah penyerangan! Satu ke arah kiri dan satu lagi dari belakang!" teriak Rangga, memberi perintah.

"Siap, Kanjeng Gusti Prabu!" sahut keempat prajurit yang memimpin pasukan kecil dan terdiri dari enam prajurit.

Serentak para prajurit bergerak bersamaan. Dua belas orang menggempur dari arah kiri. Sementara yang lain berputar lewat jalan samping, untuk mengejutkan pasukan pemberontak dari belakang. Rangga sendiri maju paling depan langsung mengobrak-abrik pasukan pemberontak. Tindakan ini membuat orang-orang itu terkejut. Bahkan beberapa orang tewas terjungkal diiringi jeritan panjang.

"Kurang ajar! Siapa orang yang mencari mati, hingga berani-beraninya mengacau kita?!" dengus kepala pasukan pemberontak yang berjumlah sekitar tiga puluh lima orang. Langsung kudanya digebah, menghampiri Rangga, diiringi sepuluh orang pasukannya.

Mereka cepat bagai kilat bergerak, mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Dengan menggenggam sebilah pedang yang dipinjamnya dari seorang. prajurit, Pendekar Rajawali Sakti cepat memapak serangan para pemberontak.

Trang!

"Yeaaa!" Tombak di tangan ketua pemberontak itu berkelebat cepat, menyambar leher dan dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan bagai kilat, pemuda itu melompat dari punggung kuda hitamnya sambil mengibaskan pedang. Mendapat serangan kilat ini, ketua pemberontak itu cepat menangkis. Dan begitu Rangga mendarat di tanah, dilepaskannya satu tendangan keras ke arah dada pemberontak.

"Aaakh...!" Ketua pemberontak itu kontan terjajar beberapa langkah. Dan belum juga sempat menyadari apa yang terjadi, pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat. Sehingga orang itu tak bisa menghindarinya. Dan....

Brettt!

"Aaa...!" Kepala pasukan pemberontak itu langsung terjungkal ke tanah, dan tewas dengan perut robek.

"Kurang ajar! Serang dia...!" teriak salah seorang pemberontak itu garang.

"Aaa...!" Namun belum lagi mereka berbuat sesuatu, terdengar teriakan gegap gempita yang disusul tewasnya beberapa orang pasukan pemberontak. Dua belas pasukan berkuda telah menghajar mereka dengan ganas. Orang-orang itu terkejut. Dan dengan kemarahan meluap, mereka mengalihkan perhatian untuk menyerang kedua belas penunggang kuda yang datang dari belakang. Tapi baru saja mereka menyusun kekuatan, sekonyong-konyong sepasukan lain menyerang dari samping.

Pasukan pemberontak kembali tersentak kaget. Dan dalam keadaan tidak siap, banyak di antara mereka yang terbunuh. Hal itu membuat pertahanan mereka kacau. Dengan kalang kabut mereka menghadapi gempuran yang tiba-tiba. Kini dengan meninggalkan kawan-kawannya yang terluka dan terbunuh, sisa-sisa pasukan pemberontak itu melarikan diri.

"Ayo, kita kejar mereka...!" teriak Rangga.

Sebelumnya, Pendekar Rajawali Sakti telah meninggalkan satu pasukan kecil di desa ini, untuk melakukan apa yang telah dilakukan di Desa Gimus. Yaitu, menghimpun kekuatan yang terdiri dari penduduk desa ini untuk diberi pelajaran ilmu perang.

********************

LIMA

Kali ini wajah Katut Denowo tampak garang mendengar laporan yang diberikan anak buahnya. Sebelumnya, tidak pernah dia semarah ini. Buah dalam genggamannya yang siap dikunyah, langsung dilemparkannya ke dinding sampai hancur berantakan. Kemudian, dia bangkit berdiri dan menuding garang.

"Kurang ajar! Apa yang bisa kalian lakukan, heh?! Kalian katakan, jumlah pasukan itu kecil. Tapi kenapa mampu mengalahkan jumlah kalian yang lebih besar!" hardik Katut Denowo.

Beberapa orang anak buahnya yang bersimpuh di atas permadani tebal, hanya diam sambil menundukkan kepala. Keheningan kini menjalari semua orang yang hadir dalam ruangan itu.

"Pasukan dari mana mereka? Apakah pasukan kerajaan?!" tanya Katut Denowo membentak.

"Kami tidak tahu, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.

"Tolol! Apakah kalian tidak bisa melihat tanda-tanda yang dibawa, atau seragam yang dikenakan?!"

"Mereka tidak membawa tanda apa-apa. Juga tidak memakai seragam. Seperti kawanan petani, atau barangkali para perampok...."

"Dasar tolol! Mana mungkin mereka kawanan perampok. Aku telah memerintahkan Jambuka Ireng kawanan perampok yang kini menguasai Desa Kampar, untuk tidak mengganggu prajuritku. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu!"

Anak buah Katut Denowo yang bersimpuh di depan, diam tidak menjawab. Mereka semakin dalam menundukkan kepala.

Katut Denowo menghela napas sesak. Wajahnya tampak semakin geram bercampur amarah memuncak. "Indra Paksi! Apakah sudah kau periksa, siapa yang memimpin pasukan itu sebenarnya?" tanya Katut Denowo pada penasihatnya.

"Maaf, Kakang Katut Denowo. Aku belum mengetahui pasukan dari mana yang telah menghajar pasukan kita. Tapi segera akan kuselidiki siapa sebenarnya mereka," sahut Indra Paksi.

"Maaf, Gusti Prabu Katut Denowo. Bolehkah aku berbicara...?" Terdengar suara menyela, membuat Katut Denowo berpaling ke arah datangnya suara.

"Hm.... Apa yang hendak kau katakan, Singkil Wadaya? Katakanlah segera!"

"Menurutku, kemungkinan besar pasukan itu dipimpin Pendekar Rajawali Sakti...," sahut orang yang ternyata Ki Singkil Wadaya.

"Apakah menurutmu Suryalaga meminjamkan prajuritnya untuk memerangi kita dengan cara menyamar?"

Ki Singkil Wadaya tersenyum seraya menggeleng.

"Lalu, apa maksudmu?" desak Katut Denowo.

"Menurut yang kudengar, Pendekar Rajawali Sakti itu adalah seorang raja..."

"Seorang raja? Dari kerajaan mana?"

"Dia adalah Raja Karang Setra," kali ini Indra Paksi yang menjawab.

"Hm... Berarti Karang Setra telah melanggar batas wilayah Kerajaan Kertaloka! Kurang ajar! Mereka harus diberi pelajaran pahit!" desis Katut Denowo garang.

"Maaf, Kakang Katut Denowo. Kita tidak punya bukti soal itu. Mereka tidak berseragam prajurit. Jadi, tidak bisa menuduh begitu saja. Kalau kita menyerang Karang Setra, maka ada dua hal yang akan kita peroleh. Pertama, harus menghadapi pasukan besar yang terlatih, sebab Karang Setra saat ini adalah kerajaan terkuat. Yang kedua, Karang Setra memiliki banyak sahabat di sekelilingnya. Dan bila diserang, maka kerajaan lain di sekelilingnya pasti akan membantu. Maka kemungkinan menang bagi kita sangat tipis. Bahkan bisa jadi kehancuran bagi kita...," jelas Indra Paksi mengemukakan pendapatnya.

Katut Denowo tampak kesal sekali mendengar penjelasan itu. Namun demikian, dia bisa mengerti meski harus memendam perasaan geram. "Kau katakan bisa menahan Pendekar Rajawali Sakti. Nah! Sekarang, menjadi urusanmu! Kuperintahkan padamu untuk membinasakan Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Katut Denowo, dengan wajah gusar.

"Tentu saja, Kakang!" sahut Indra Paksi sambil tersenyum kecil.

"Indra Paksi! Bagaimana caramu membinasakan Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Singkil Wadaya, bernada sinis.

"Itu urusanku!" sahut Indra Paksi enteng.

"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring memenuhi ruangan itu. Tawa itu berasal dari seorang wanita kurus berusia lima puluh tahun. Sejak tadi, dia memang diam saja mendengar pembicaraan itu. Wanita tua itu memiliki sejumlah gelang yang berderet di kedua lengan dan pergelangan kedua kakinya. Sehingga ketika kedua tangannya bergerak-gerak, suara gemerincing gelangnya terdengar hampir sama kuat dengan tawanya.

"Hi hi hi...! Kenapa repot-repot mengurusi Pendekar Rajawali Sakti? Serahkan bocah ingusan itu padaku. Maka segalanya akan menjadi beres!" kata wanita tua itu.

"Nyi Kincring! Kuserahkan pemuda itu menjadi urusanmu, setelah Indra Paksi mencobanya!" ujar Katut Denowo.

"Hi hi hi...! Kenapa harus berlama-lama segala?" tanya wanita yang bernama Nyi Kincring, jumawa.

Katut Denowo bukannya tidak mengerti. Dia tahu, wanita ini memiliki kesaktian hebat yang tidak bisa diragukan lagi. Dan semua tokoh persilatan yang dikumpulkannya sekarang ini, merasa sungkan kalau harus berbantahan dengannya. Tapi selama ini, dia merasa yakin kalau Indra Paksi jarang gagal dalam menangani tugasnya. Entah bagaimana caranya dia akan membinasakan si Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Katut Denowo terus memberi kesempatan padanya.

"Begitu Indra Paksi gagal, Maka Nyi Kincring boleh langsung mengambil alih tugasnya. Inilah keputusanku!" tandas Katut Denowo.

"Hi hi hi...! Kalau Kanjeng Gusti Prabu telah menetapkan seperti itu, maka aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mudah-mudahan Indra Paksi bisa menyelesaikan tugasnya. Sebab kalau tidak, maka kepala bocah ingusan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti akan menggelinding di sepanjang wilayah Kerajaan Kertaloka! Hi hi hi...!" seru wanita tua itu seraya tertawa nyaring.

********************

Wajah Cempaka Sari tampak gelisah. Gadis itu mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya. Namun, Pandan Wangi tersenyum berusaha menepis kecemasan Cempaka Sari.

"Kau yakin, Pandan...?"

"Kau meragukan kemampuanku?"

"Tapi, istana dijaga ketat. Dan kau bisa celaka kalau ketahuan."

"Maka doakanlah. Mudah-mudahan saja aku selamat"

Cempaka Sari cepat mengangguk. "Tapi, aku tetap saja cemas...."

Pandan Wangi kembali tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya. "Kau telah bicara dengan Ayahanda. Dan beliau terkejut oleh kenaikan pajak yang semakin cepat Kau katakan pula kalau hal itu di luar sepengetahuannya. Kebijaksanaannya selalu dijalankan Patih Narasoma. Maka, orang itu patut dicurigai. Apa sebabnya dia berbuat seperti itu dan dengan dasar apa?"

Cempaka Sari terdiam.

"Sudahlah ... Jangan terlalu banyak dipikirkan. Kita harus mencari tahu, siapa saja di dalam istana ini yang berkomplot menggulingkan kekuasaan ayahmu. Kau telah menanyakan pelayan yang membawa makanan pada kita. Namun, dia sama sekali tidak tahu-menahu soal racun dalam makanan. Mungkin dia benar, kalau ada orang lain yang memperalatnya. Tapi mungkin juga dia berdusta. Kita harus tetap waspada. Nah, aku pergi dulu...," jelas Pandan Wangi.

Begitu selesai dengan kata-katanya, si Kipas Maut langsung melesat ke atas, memasuki lubang wuwungan kamar untuk menuju ke luar. Dia memang berniat mencari keterangan tentang semua yang terjadi di kerajaan ini. Wajahnya kini ditutupi topeng hitam. Begitu juga sekujur tubuhnya yang memakai pakaian hitam pula. Di luar terlihat gelap. Malam belum lagi terlalu larut. Penjagaan berlangsung terus-menerus di setiap halaman istana kerajaan. Begitu menginjakkan kakinya di atap, Pandan Wangi berkelebat cepat, dan sesaat hilang dari pandangan.

Si Kipas Maut terus berkelebat dari satu atap ke atap lain. Pandangannya dipasang setajam mungkin, mengawasi setiap prajurit istana yang sedang berjaga. Lalu ketika melihat suasana telah aman, gadis itu melesat ke bangunan bertingkat tiga yang terletak di samping bangunan utama. Di situlah Patih Narasoma tinggal!

"Hup!" Gadis itu melompat ringan ke serambi samping bangunan yang paling atas. Menurut Cempaka Sari, Patih Narasoma tinggal di tingkat ini. Tubuhnya terus melesat ke atas, dan hinggap di atap sebuah kamar. Lalu dibukanya sebuah genteng.

Di dalam ruangan terlihat seorang laki-laki berusia empat puluh tahun berpakaian bagus. Dia duduk mengelilingi sebuah meja. Di samping kiri dan kanan, nampak dua orang laki-laki berwajah kasar. Sedangkan di depannya, terlihat seorang pemuda berpakaian bagus. Tadi, Cempaka Sari sempat memperkenalkan pemuda itu, yang tak lain dari Pangeran Andang Jaya. Sedangkan orang tua berpakaian bagus itu jelas Patih Narasoma. Namun keempat laki-laki yang lain, sama sekali tidak dikenalnya. Tapi dari cara berpakaian dan senjata yang dikenakan, bisa diduga kalau mereka adalah tokoh-tokoh persilatan. Entah apa yang dikenakan di tempat ini. Paling tidak, kehadirannya adalah atas undangan Patih Narasoma.

"Kurang ajar! Jadi, Pendekar Rajawali Sakti telah mengacaukan pasukan kita?!" desis Patih Narasoma, dengan wajah geram. Kepalan tangannya dipukulkan ke telapak tangan yang satunya.

"Begitulah yang kami dengar. Indra Paksi yang akan mengurusnya. Dan kalau dia gagal, maka Nyi Kincring yang akan mengatasi pemuda itu," jelas salah seorang tamunya.

"Indra Paksi? Apa yang bisa dilakukannya? Huh! Dia hanya cari perhatian saja!" dengus Patih Narasoma.

"Katanya, dia punya cara untuk mengatasi pemuda ini...," jelas tamunya itu.

"Kami juga membawa pesan yang lain, Gusti Patih...."

"Pesan apa?"

Orang itu tidak langsung menjawab. Malah diperhatikannya keadaan sekeliling, seraya menajamkan pendengaran.

"Apakah tempat ini aman?"

"Jambak Situs! Kau tidak perlu meragukannya! Setengah dari prajurit kerajaan berada di tanganku!" sahut Patih Narasoma, memberi jaminan.

"Bagaimana dengan Panglima Panji Dharmala?"

"Jangan pedulikan! Dia terlalu setia pada si Suryalaga. Tapi kedua kaki tangannya telah berada dalam genggaman kita!"

"Hm, bagus! Kerjamu sangat bagus, Gusti Patih!" puji Jambak Situs.

"Nah! Sekarang katakan, pesan apa lagi yang kau bawa dari Kanjeng Gusti Prabu Katut Denowo?"

"Sehubungan ulah si Pendekar Rajawali Sakti, maka beliau menginginkan agar rencana dipercepat. Sebelum fajar, beliau menginginkan agar kerajaan ini harus jatuh. Untuk itulah kami berada di sini, membawa Kebo Ungu dan Singkil Wadaya guna membantu gerakan kita," jelas Jambak Situs.

"Baiklah kalau hal itu yang diinginkannya. Maka malam ini juga, semua pasukan akan disiagakan!" sahut Patih Narasoma. Laki-laki itu segera berpaling pada pemuda di depannya sambil tersenyum kecil.

"Bagaimana dengan kawan si Cempaka Sari, Kanjeng Pangeran?"

"Seperti yang Paman lihat sendiri, anak buahku telah gagal membunuhnya. Dia akan menjadi duri di dalam daging...," sahut Pangeran Andang Jaya, mengeluh pelan.

Patih Narasoma tersenyum. "He he he...! Tidak apa kalau kau tidak bisa menjalankan tugasmu dengan baik. Serahkan saja urusan gadis itu pada Paman. Besok sebelum fajar, dia akan terima kematiannya seperti yang lain."

"Tapi, Paman Patih. Apakah..., apakah kau akan membunuh ayah dan ibuku juga...?"

"He he he...! Jangan khawatir, Pangeran. Beliau akan selamat, asal tidak berbuat macam-macam."

"Tapi...."

"Sudahlah. Tak usah dikhawatirkan. Akan kujamin keselamatan mereka. Dan setelah semua ini selesai, akan segera kukirim utusan untuk melamar putri dari negeri Tiongkok yang kau inginkan itu! Ha ha ha...!"

Pangeran Andang Jaya tersenyum seraya mengangkat guci berisi arak di depannya.

"Mari kita minum untuk kejayaan bersama!"

"Mari...!" sambut yang lain seraya menenggak isi guci masing-masing.

********************

Malam semakin bertambah pekat. Dan di sekitar keputren terlihat sepi. Beberapa prajurit yang tadi berjaga, mendadak saja meninggalkan tempatnya. Bukan hanya di sekitar keputren saja yang terlihat sepi. Namun juga di sekitar bangunan utama juga terlihat senyap. Hanya terlihat beberapa orang prajurit saja yang berjaga di setiap pintu masuk.

Malam terus bergulir. Dan dari kejauhan, terdengar sayup-sayup ayam jantan berkokok. Tampak beberapa bayangan mengendap-endap memasuki keputren yang biasa dijaga ketat. Dan pada saat yang bersamaan, lebih dari dua puluh orang melangkah pelan mendekati bangunan utama.

Set!

Mendadak berkelebat beberapa batang anak panah ke arah prajurit penjaga. Dan...

Crab!

"Aaa!" Dua batang anak panah langsung menancap tepat di jantung dua orang prajurit yang berjaga di pintu utama. Sementara, prajurit-prajurit lain mendapat bagian yang sama. Saat itu juga berlompatan beberapa bayangan yang tadi mengendap-endap. Mereka memasuki pintu dengan mendobrak, lalu disertai teriakan lantang menyerbu ke dalam.

"Seraaang!"

"Heaaa!"

Namun bersamaan dengan itu, terdengar teriakan lain. Ternyata puluhan prajurit penjaga langsung menyambut serangan itu dari dalam dengan gencar. Beberapa orang yang tadi menyerang jadi terkejut. Lebih terkejut lagi, ketika datang serangan mendadak dari arah belakang. Obor-obor tampak mulai menyala hampir bersamaan dan mengurung dari segala penjuru. Kini orang-orang yang tadi mengendap-endap terjepit di tengah-tengah.

"Hajar mereka...!"

Terdengar teriakan berkumandang yang dikeluarkan seorang laki-laki gagah berusia empat puluh tahun lebih. Tangan kanannya mengangkat sebilah pedang sebagai isyarat. Dan dia adalah Panglima Panji Dharmala.

Set! Set!

Seketika datang serbuan panah yang memang telah disiapkan prajurit penjaga.

Crab! Crab!

"Aaa...!" Puluhan batang anak panah kontan menghajar orang-orang yang tengah terkepung. Mereka berlarian ke sana kemari dengan kalang kabut. Namun begitu, yang lain berusaha melawan. Melihat keberanian ini, orang-orang yang tadi nyalinya mulai ciut kembali bangkit untuk mengadakan perlawanan.

"Yeaaat!"

Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Jeritan panjang dan tubuh-tubuh bersimbah darah mulai mewarnai pagi yang masih gelap. Di salah satu pojok pertempuran, terlihat empat orang mengamuk hebat, sehingga banyak menewaskan prajurit kerajaan. Tak lama, sesosok tubuh ramping langsung berkelebat ke arah empat orang itu.

Trak! Wuuut!

"Heh?!" Dua orang dari mereka terkejut ketika senjata masing-masing ditangkis sosok tubuh ramping yang tidak lain dari Pandan Wangi.

"Sial! Rupanya kau perempuan brengsek itu, heh?!" geram orang bertubuh besar dan berkulit hitam. Senjatanya yang berupa tombak diayunkan.

"Hup!" Pandan Wangi melejit ke atas, menghindari serangan. "Kalian mencariku di keputren, bukan? Tapi yang kalian temukan di sana hanya bantal-bantal berselimut. Rencana busuk kalian tidak ada artinya. Dan hari ini, para pemberontak busuk seperti kalian akan mendapat hukuman setimpal!" kata Pandan Wangi, sinis.

"Kurang ajar! Kau telah tahu rencana kami?!" hardik seorang lagi.

Orang itu bertubuh pendek dengan kepala sedikit botak. Senjata andalannya yang berupa rantai besi panjang dan berujung runcing, melesat sambil meliuk-liuk menyambar Pandan Wangi.

Srak! Trak!

Pandan Wangi segera mencabut kipas di pinggang. Langsung ditangkisnya senjata laki-laki itu. Tubuhnya sendiri mencelat ke samping sambil berputar dua kali untuk menghindari serangan tombak lawan yang lain.

"Hm.... Rencana busuk kalian akan terbongkar hari ini!" dengus si Kipas Maut.

"Huh! Kau kira semudah itu, Gadis Liar?! Meski yang lainnya binasa, tapi kau akan segera menyusul di tangan Kebo Ungu!" desis laki-laki bertubuh besar dan berkulit hitam itu yang mengaku sebagai Kebo Ungu.

"Bagus! Aku ingin lihat, sampai di mana kemampuan para pemberontak seperti kalian!" sahut Pandan Wangi.

Bisa jadi Kebo Ungu memiliki kemampuan ilmu olah kanuragan yang hebat. Namun pengalamannya dalam bertarung agaknya masih kurang. Dia tak begitu banyak mengenal tokoh persilatan. Bahkan cenderung menganggap dirinya paling hebat. Namun saat Pandan Wangi mulai mendesaknya, Kebo Ungu kalang kabut sendiri. Masih untung, kawannya yang tidak lain dari Ki Singkil Wadaya cukup merepotkan gadis itu.

"Sial!" Gadis itu memaki geram. Kipasnya nyaris menyambar Kebo Ungu yang sudah kalang kabut menyelamatkan diri. Namun, ujung senjata Ki Singkil Wadaya cepat meliuk menyambar perutnya, seperti mulut seekor ular. Terpaksa dia harus menangkis serangan itu lebih dulu.

"Hm.... Aku semakin yakin kalau kau adalah si Kipas Maut. Sungguh suatu kehormatan bagiku bisa bertarung denganmu," kata Ki Singkil Wadaya dengan nada merendah.

Pujian itu mungkin akan membuat lawan besar kepala dan akhirnya akan menganggap enteng. Tapi, Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Dia sedang berpikir keras, bagaimana cara menalukkan kedua lawannya. Lalu setelah mendapat keputusan, dia segera melompat tinggi. Lalu diserangnya Ki Singkil Wadaya dengan gencar.

"Yeaaa!"

Kipas Mautnya terus menangkis, dan cepat balas menyerang. Untuk menghadapi Kebo Ungu, Pandan Wangi hanya mengelak. Dan perhatian serangannya dipusatkan pada Ki Singkil Wadaya.

"Heaaa!"

Trak! Wuuut!

Ujung rantai Ki Singkil Wadaya menyambar ke arah pinggang. Tapi cepat bagai kilat gadis itu mengibaskan senjata kipas di tangan. Lalu kaki kanannya menendang ke arah dada. Ki Singkil Wadaya terpaksa melompat ke belakang. Namun, ujung kipas Pandan Wangi telah mencelat mengejar lehernya. Untung saja pada saat itu juga Kebo Ungu mengibaskan tombaknya ke arah gadis itu.

"Yaaat!"

ENAM

Cepat sekali Pandan Wangi membungkuk, kemudian bergerak ke samping. Pada saat yang bersamaan, kipasnya berkelebat ke perut Kebo Ungu.

Bret!

"Aaakh!" Laki-laki bertubuh besar dan berkulit hitam itu terpekik keras. Tubuhnya terjungkal ke tanah bermandikan darah dengan perut robek.

Pandan Wangi segera tahu kalau pertahanan Kebo Ungu sangat buruk. Dia terlalu bernafsu menyerang tanpa menghiraukan serangan balik yang tiba-tiba. Pandan Wangi memang sengaja mencecar Ki Singkil Wadaya, dan merencanakan untuk mengincar kelengahan Kebo Ungu. Maka ketika kesempatan itu tiba, tanpa membuang-buang waktu lagi dibabatnya perut Kebo Ungu.

"Kurang ajar! Kau harus membayar kematiannya, Gadis Liar!" desis Ki Singkil Wadaya geram.

"Huh! Kalau mampu, cepat lakukanlah!" balas Pandan Wangi garang.

Kali ini, si Kipas Maut tidak terlalu kerepotan untuk memapak serangan Ki Singkil Wadaya. Meski senjata laki-laki bertubuh pendek itu meliuk-liuk menyambar, tapi gesit sekali gadis itu mengelak. Bahkan sesekali menangkis dengan Kipas Mautnya.

"Hiaaat!"

Bet!

Ki Singkil Wadaya melompat sambil berputaran. Begitu meluruk, kaki kirinya dihantamkan ke arah pinggang Pandan Wangi. Cepat bagai kilat gadis itu menangkis dengan kipasnya. Tentu saja Ki Singkil Wadaya tak ingin kehilangan kakinya. Cepat kedua kakinya ditekuk sambil berjumpalitan ke belakang. Sementara ujung rantainya menyambar deras ke arah dada Pandan Wangi.

"Hup!" Gadis itu mencelat ke atas. Kemudian, tubuhnya menukik deras sambil menghunuskan ujung kipasnya.

Trak! Trak! Wusss! Bret!

Senjata Ki Singkil Wadaya dihantam Pandan Wangi dengan kipasnya, yang kemudian menyambar ke arah leher. Ki Singkil Wadaya terkejut. Laki-laki itu berusaha menghindar ke belakang. Namun bersamaan itu, tubuh Pandan Wangi mencelat deras. Langsung kipasnya disabetkan ke arah perut laki-laki itu.

Bret!

"Aaa!" Orang tua bertubuh pendek itu kontan terpekik nyaring, begitu tersambar kipas Pandan Wangi di perutnya. Begitu ambruk di tanah, dia tewas bersimbah darah. Pandan Wangi mendengus sambil memandang ke sekeliling. Lalu, dia kembali mengamuk hebat menghajar pihak pemberontak yang dipimpin langsung Patih Narasoma.

Pertempuran berlangsung singkat. Panglima Panji Dharmala berhasil mengatasi dua pentolan pemberontak. Para prajurit kerajaan yang ikut dalam pemberontakan juga menyerah, digiring ke ruang tahanan. Sementara prajurit kerajaan yang masih setia pada Prabu Suryalaga bersorak-sorak menyambut kemenangan. Sementara itu Cempaka Sari berlari-lari kecil menghampiri Pandan Wangi. Kemudian dipeluknya erat-erat sahabatnya itu.

"Terima kasih, Sahabatku! Terima kasih...! Aku tidak tahu harus bagaimana membalas budi baikmu. Kalau saja kau tidak lekas-lekas memberitahu hal ini, maka tidak tahu apa yang bakal terjadi pada kami semua...."

Pandan Wangi hanya tersenyum-senyum ketika gadis itu membawanya menghadap Prabu Suryalaga. Laki-laki tua itu berdiri menyambut di ambang pintu bersama Panglima Panji Dharmala.

"Pandan Wangi! Seluruh rakyat Kerajaan Kertaloka dan aku sendiri, mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas pertolonganmu," ucap sang Prabu.

"Kanjeng Gusti Prabu, hamba merasa senang bisa ikut membantu menumpas para pemberontak. Tapi ini baru sebagian kecil. Sebab menurut hamba yang lainnya akan segera menyusul...."

"Ya! Aku mengerti. Semua pasukan kerajaan akan disiapkan untuk menyambut serangan para pemberontak lainnya."

"Pasukan Kanjeng Gusti Prabu telah berkurang banyak. Dan yang tersisa amat sedikit. Sedangkan kita tidak tahu, bagaimana kekuatan pasukan pemberontak lainnya...."

Sang Prabu terdiam beberapa saat. Sebelum menjebloskan Patih Narasoma dan yang lain ke dalam penjara, Panglima Panji Dharmala sempat menanyai soal jumlah pasukan pemberontak lainnya. Sehingga, bisa disadari bila pasukan pemberontak menyerbu ke kotaraja ini, maka sulit bagi pasukan kerajaan untuk mempertahankan diri. Karena, jumlah pemberontak cukup banyak.

"Pandan Wangi, apakah Kakang Rangga...."

"Mudah-mudahan dia cepat tiba di sini bersama pasukannya," sahut Pandan Wangi, cepat memotong pembicaraan Cempaka Sari yang kelihatan sungkan.

"Pasukan? Pasukan dari mana?" tanya Prabu Suryalaga heran.

Cempaka Sari lantas menceritakan pertemuan serta pembicaraannya dengan Pandan Wangi dan Rangga. Juga bantuan yang akan diberikan pasukan Karang Setra kepada Kerajaan Kertaloka.

"Jadi..., ah! Semestinya aku merasa malu karena tidak menghormatimu...," kata Prabu Suryalaga ketika Cempaka Sari menceritakan kalau Pandan Wangi adalah kekasih Raja Karang Setra.

********************

Pendekar Rajawali Sakti menggebah kuda hitamnya perlahan-lahan menuju kotaraja. Untuk tiba di sana, akan memakan waktu setengah harian. Namun, Rangga tidak ingin beristirahat. Padahal, saat ini telah lewat tengah malam. Pikirannya gelisah tidak menentu. Dia mengkhawatirkan keadaan Pandan Wangi di Istana Kerajaan Kertaloka. Keadaan di sana tidak aman. Dan entah, apa yang akan terjadi. Mungkin para pengkhianat yang berpihak pada Katut Denowo mencurigainya. Lalu, berupaya untuk melenyapkannya. Atau mungkin juga Pandan Wangi dan Cempaka Sari tidak sampai di istana kerajaan, karena mendapat hambatan di tengah jalanan.

"Hhh...!" Rangga menghela napas panjang.

Langkah Dewa Bayu membawanya ke sebuah kampung kecil. Tempat ini berada dalam wilayah Kadipaten Pakasan, agak ke sebelah utara. Dari sini, setelah menyeberangi sebuah hutan kecil maka akan tiba di pinggiran kotaraja.

"Lebih baik aku beristirahat barang sejenak...," desah Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat beberapa penduduk telah bangun. Bahkan satu atau dua orang telah duduk-duduk di beranda depan rumahnya.

Pemuda itu hendak memasuki sebuah rumah. Namun saat itu terdengar derap langkah kaki kuda dari belakang. Dengan sigap, Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Tampak penunggang kuda itu tersungkur sambil mengeluh kesakitan. Rangga buru-buru menghampiri, untuk melihat keadaan orang yang bersimbah darah itu.

"Nisanak! Astaga! Apa yang terjadi padamu...?!" seru Rangga kaget seraya memapah tubuh wanita itu.

"Aku..., aku diserang ka... kawanan pemberontak! Dan... oh, tolong...," suara wanita itu terdengar tersendat-sendat.

Rangga segera membopong tubuh wanita itu. Dia bermaksud membawanya ke dalam rumah salah seorang penduduk yang saat ini tengah berdiri dan langsung berlari-lari kecil menghampiri.

"Astaga! Apa yang telah terjadi...?!"

"Kisanak! Bolehkah menumpang di rumahmu? Wanita ini terluka parah?!" kata Rangga.

"Oh, silakan! Silakan...!" sahut orang itu seraya mengajak mereka ke dalam.

Namun, mendadak saja....

Crab! Des!

"Aaakh!" Rangga mengeluh tertahan. Dan seketika tubuhnya terlempar sampai berguling-gulingan. Begitu bangkit di tanah, Rangga terkesiap kaget. Tangan kanannya yang mendekap perut di bagian kiri tampak mengucurkan darah. Dan dadanya terasa nyeri akibat hantaman pukulan yang keras bukan main. Sementara wanita yang tadi dibopongnya mencelat ringan dan berdiri tegak sambil menyeringai lebar. Tangan kanannya menggenggam sebilah belati yang masih berlumur darah.

"Keparat! Siapa kau...?!" bentak Pendekar Rajawali Sakti geram seraya berusaha berdiri. Langsung diberikannya beberapa totokan di bagian sekitar lukanya.

"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Ajalmu sebentar lagi akan tiba. Sayang, orang segagah sepertimu harus mati karena perbuatamu yang sok pahlawan...," sahut wanita berambut panjang itu seraya tertawa nyaring.

Orang desa yang bermaksud hendak menolong jadi terkejut. Dan dia buru-buru masuk ke dalam rumahnya, langsung menutup pintu. Wajahnya tampak terkejut, sekaligus ketakutan. Dari lubang di sela-sela dinding rumahnya, dia mengintip apa yang terjadi selanjutnya.

"Apa maksudmu?!" sentak Rangga.

"Maksudku, kalau saja kau berada di pihak kami, maka sudah tentu aku tidak akan membiarkanmu mati secara amat menyedihkan...," sahut wanita itu.

"Kurang ajar! Jadi kau dari pihak pemberontak?" sentak Rangga.

"Hi hi hi...! Ternyata kau telah semakin pintar.

Nah! Sekarang, tidak usah banyak bicara lagi. Katakan saja satu keinginanmu, sebelum kau mati di tanganku!"

Rangga menyeringai menahan sakit pada lukanya. "Tidak semudah itu kau bisa membunuhku!" kata Rangga dingin.

"Begitukah menurutmu? Kita lihat sekarang," sahut wanita itu enteng.

Tiba-tiba saja, wanita itu melompat ringan. Lalu disambarnya Pendekar Rajawali Sakti sambil menghantam lewat satu tendangan menggeledek.

"Yaaa...!"

"Hup!" Cepat bagai kilat Rangga bergerak ke kiri. Sehingga tendangan itu luput dari sasaran. Dan Pendekar Rajawali Sakti terus menundukkan kepala, ketika wanita itu melakukan serangan berikut lewat tendangan kaki kiri. Begitu kedua tendangannya dapat dielakkan Pendekar Rajawali Sakti, wanita itu mendengus geram. Lalu dikirimkannya sodokan keras ke arah dada. Rangga cepat melompat ke belakang, namun wanita itu mengejarnya disertai lemparan dua bilah pisau ke arah dada dan perut.

"Hiiih!" Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menjatuhkan diri ke tanah, kemudian bergulingan. Sehingga kedua pisau itu luput dari sasaran. Namun baru saja dia bangkit berdiri, wanita itu telah mengirim serangan susulan lewat dua bilah pisau yang meluncur deras ke arah tengkuk dan punggung kiri.

Maka dengan gerakan cepat, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan. Begitu tercabut, pedang itu langsung dikibaskan ke arah pisau-pisau yang meluncur ke arahnya.

Sring! Tras!

Kelebatan pedang pusaka di tangan Pendekar Rajawali Sakti kontan membabat dua bilah pisau hingga hancur berantakan. Kemudian tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat, menghadang tubuh wanita itu.

Wanita itu jadi terkejut. Bukan saja karena batang pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bersinar kebiru-biruan di malam gelap menjelang subuh ini, tapi juga karena Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak cepat meski tubuhnya telah terluka.

"Yeaaa!" Wuuuk!

Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti nyaris menyambar leher wanita itu, membuat darahnya jadi tersirap dan mukanya pucat. Seketika terasa hawa panas yang menyengat tubuh manakala pedang itu berkelebat di sisi tubuhnya. Namun belum lagi keterkejutannya hilang, Pendekar Rajawali Sakti telah mengirimkan satu tendangan menggeledek lewat jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Duk! "Akh!"

Tubuh wanita itu kontan terjerembab, diiringi jeritan tertahan. Dan baru saja dia hendak bangkit, ujung pedang Rangga sudah mengancam tenggorokannya.

"Katakan! Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?!" ancam Rangga.

"Bunuh! Ayo, bunuhlah aku! Percuma saja, karena aku tidak akan memberitahumu!" sentak wanita itu garang.

"Telah banyak orang binasa di tanganku. Dan membunuh satu orang sepertimu bukanlah hal yang sulit. Tapi, itu terlalu enak. Dan aku ingin kau mati perlahan-lahan. Nah! Katakan, sebelum kau merasakannya nanti!" ancam Pendekar Rajawali Sakti sambil menekan tenggorokan wanita itu dengan pedangnya.

"Apa maksudmu...?"

"Maksudku jelas. Kau akan binasa secara menjijikkan. Bayangkan! Kau akan menjadi santapan serigala liar di hutan depan sana, dalam keadaan terikat!" desis Rangga geram.

Wanita itu terkejut. Dan seketika, wajahnya kembali berubah. "Kau tidak bersungguh-sungguh, bukan?" tanya wanita cantik ini, seperti meminta harapan hidup.

"Aku akan melakukannya kalau kau tidak mau bicara. Nah, katakan sekarang! Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?" desak Pendekar Rajawali Sakti.

"Lalu kalau aku mengaku, apakah akan dilepaskan?"

Rangga tersenyum kecil. "Bila kau kulepaskan, betapa bodohnya aku. Sebab, kau akan mengincarku untuk membunuhku lagi."

"Siapa yang ingin membunuhmu?!" tanya wanita cantik itu sengit.

"Huh! Seperti yang kau lakukan tadi!"

"Kalau aku memang berniat membunuhmu, tentu kutikam jantungmu. Dan, itu sangat mudah bagiku," kata wanita ini.

"Lalu, kenapa tidak kau lakukan?" tanya Rangga sedikit tertegun.

"Entahlah.... Aku..., aku tidak tega...."

Pemuda itu terdiam, lalu menyarungkan pedangnya. Sementara gadis itu bangkit perlahan-lahan, sambil memandang Rangga dengan wajah takut. Rangga berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Sedangkan matanya memandang gadis itu dengan tajam.

"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?" ulang Pendekar Rajawali Sakti dengan nada lebih lunak.

"Kenalkah kau dengan Gusti Indra Paksi?" wanita itu malah balik bertanya.

"Siapa orang itu. Dan, dia itu apamu?"

"Sudah kuduga! Kau tidak akan kenal dengannya...," wanita itu tersenyum kecil.

"Siapa dia?" Rangga tidak mempedulikan ocehan gadis itu.

"Dia..., ya yang menyuruhku untuk membunuhmu!" sahut wanita itu tersenyum kecil.

"Jangan main-main! Aku tidak kenal orang itu. Lalu, kenapa dia menginginkan kematianku?"

"Katanya kau berbahaya baginya...."

"Jangan bertele-tele! Katakan yang benar! Aku tidak kenal orang itu!" sentak Rangga mulai kesal.

"Mana aku tahu! Dia hanya berkata begitu, lalu menyerahkan imbalan untukku!" sahut wanita ini menjelaskan.

Rangga memandang wanita itu sesaat, kemudian menangkap kedua tangannya. Lalu dengan kasar dilepaskannya tali kekang kuda wanita itu, untuk mengikat kedua tangannya. Dan dengan kasar, dinaikkannya wanita itu ke punggung Dewa Bayu. Rangga sendiri melompat ke belakang, lalu menggebah kencang kudanya.

"Hiya!"

"Hei?! Mau kau bawa ke mana aku?!" teriak wanita itu.

"Di depan sana ada hutan kecil. Kukira, kawanan serigala tengah menunggu santapan pagi. Kau akan menjadi makanan lezat bagi mereka," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku telah berkata yang sebenarnya padamu!" teriak wanita ini kesal di antara laju kuda yang kencang.

"Kau akan berkata lebih jujur lagi, di depan mulut serigala-serigala itu."

"Apa lagi yang kau ingin ketahui?" tanya wanita ini lagi.

"Siapa Indra Paksi itu?! Dan, kenapa dia menginginkan kematianku?"

"Aku tidak tahu dia. Nyi Lasmi hanya mengatakan kalau dia orang terhormat, dari keluarga kerajaan. Dan aku harus meladeninya dengan baik."

"Siapa Nyi Lasmi?"

"Pimpinanku..."

"Pimpinanmu?"

"Ya! Dia yang memiliki rumah hiburan tempatku bekerja."

Rangga terdiam. Mulai diduga, siapa orang yang bernama Indra Paksi itu. "Hm. Gerakanmu bagus dan ilmu silatmu pun tidak rendah. Kenapa kau bekerja di tempat seperti itu?"

"Kau kira, siapa yang mengajarkan? Nyi Lasmi itu memiliki ilmu olah kanuragan yang hebat. Dia mengajarkan semua anak buahnya ilmu bela diri, untuk menghajar tamu-tamu kurang ajar," sahut wanita itu.

"Lalu, dari mana kau tahu kalau aku berada di desa itu?"

"Mana kutahu! Yang jelas aku ditugaskan ke Desa Wedu tadi, untuk menunggu dan membunuhmu. Sebelumnya, mereka memberitahu kalau kau memiliki kepandaian hebat. Aku sendiri takut. Maka kugunakan akalku. Kutangkap seekor kambing milik penduduk desa, lalu kutaburi pakaianku dengan darah segar, terlihat seperti luka."

"Apa hubungan Nyi Lasmi dengan Indra Paksi?" desak Pendekar Rajawali Sakti.

"Dia langganan tetap kami."

"Hm.... Kenalkah kau dengan Katut Denowo?" pancing Rangga.

"Siapa yang tidak kenal orang itu? Belakangan ini, namanya amat terkenal. Dia bermaksud menggulingkan kekuasaan Kanjeng Gusti Prabu. Tapi, aku tidak peduli soal itu. Siapa pun yang berkuasa di negeri ini, toh nasibku tidak akan lebih baik...!"

Rangga terdiam beberapa saat. Kemudian laju kudanya dihentikan.

"Kau tidak akan membunuhku, bukan?" tanya wanita itu berharap, dengan nada lirih.

Rangga tidak sempat menjawab. Karena pendengarannya yang tajam merasakan sesuatu berkelebat ke arah mereka.

"Awaaas...!" Teriak Pendekar Rajawali feakti seraya mendorong gadis itu. Rangga sendiri melompat ke bawah, lalu buru-buru bangkit dengan sikap waspada.

"Hi hi hi...! Jadi beginikah cara si Indra Paksi hendak menangani Pendekar Rajawali Sakti?"

TUJUH

Mendadak sosok bayangan kurus melesat turun dari salah satu cabang pohon, tepat di belakang Rangga. Begitu menyentuh tanah, dia berdiri tegak di depan Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata dia seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, dengan rambut panjang disanggul. Kedua pergelangan tangan dipenuhi gelang. Demikian juga pergelangan kedua kakinya.

"Siapa kau?" tanya Rangga dingin.

"Hi hi hi...! Tidak kenalkah kau dengan Nyi Kincring?"

"Aku lebih mengenalmu sebagai Setan Gelang Maut.

"Hi hi hi...! Agaknya kau kenal juga denganku, Bocah!"

"Nyi Kincring! Apa maksudmu berada di sini, dan menghadang perjalananku?"

"Untuk memastikan kalau kau tidak ikut campur dalam persoalan besar ini," jawab wanita tua yang memang Nyi Kincring.

"Apa maksudmu?!"

"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Kau terlalu ikut campur dalam urusan orang. Dan itu membuat Katut Denowo tidak senang. Maka jika kau ingin selamat, pergilah. Dan, jangan campuri urusannya!"

Pemuda itu tersenyum. "Hm, jadi Katut Denowo yang menyuruhmu? Bagus. Kau boleh kembali. Dan katakan padanya kalau aku tidak pernah diperintah orang lain. Apalagi orang-orang sepertimu!"

"Hm.... Agaknya kau terlalu merendahkanku. Kau boleh terima kematianmu sekarang juga!" Wanita tua itu mendengus geram. Kemudian tiba-tiba saja dia mencelat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Rangga melompat ke samping. Namun wanita berjuluk Setan Gelang Maut itu telah mengikuti. Pemuda itu terkesiap. Setiap kali datang serangan, selalu saja gelang-gelang wanita tua itu terbang dan menyambar ke arahnya pada jarak dekat. Beberapa kali, muka dan tubuhnya nyaris tersambar.

Set! Set!

"Sial!" maki Pendekar Rajawali Sakti geram.

"Hi hi hi...! Kau menganggap enteng padaku, Bocah? Sekarang rasakanlah!" dengus Setan Gelang Maut.

Berkali-kali wajah Rangga berkerut menahan rasa sakit di perut sambil menghindari setiap serangan yang semakin gencar. Sementara darah kembali merembes dari lukanya di pinggang. Pemuda itu menggigit bibirnya sendiri, lalu melompat ke belakang sambil membuat gerakan jungkir balik beberapa kali.

Sring! Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang pusaka saat Nyi Krincing mengejar dengan beberapa buah gelang mautnya yang berdesing ke arahnya.

Wung! Trang!

Lima buah gelang putus dan rontok seketika begitu Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya yang bersinar biru berkilauan. Rangga tidak berhenti sampai di situ. Dia langsung melompat menyerang Setan Gelang Maut.

"Hiyaaa!" Wuk!

Nyi Kincring terkejut. Buru-buru dia melompat ke samping. Namun, pedang Pendekar Rajawali Sakti terus mengejarnya. Cepat-cepat kepalanya di-tundukkan, kemudian tubuhnya jungkir balik ke kanan sambil melemparkan beberapa buah gelang di tangan.

"Hiiih!" Tubuh Rangga telah lebih dulu mencelat ke atas, sehingga senjata itu luput dari sasaran. Kini ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti bergulung-gulung menyambar ke mana saja wanita itu bergerak menghindar. Sampai saat ini, Pendekar Rajawali Sakti hanya mengerahkan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang digabung-gabungkan.

"Uhhh...." Nyi Kincring menjatuhkan diri, ketika senjata Pendekar Rajawali Sakti menyerang bagian atas tubuhnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan untuk bernapas. Dan mendadak saja kaki kiri wanita tua itu menyabet pinggang, tapi Rangga menangkis dengan pedangnya. Wanita itu terkesiap, langsung menarik pulang tendangannya. Dan tubuhnya langsung bergulingan, kemudian melejit ke atas. Tapi, Rangga telah menunggunya. Seketika satu tendangan menggeledek dilepaskan ke arah dada wanita bertubuh kerempeng itu. Dan....

Begkh! "Akh!"

Nyi Kincring kontan mengeluh tertahan begitu dadanya terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang berisi tenaga dalam sempurna. Tubuhnya terjajar kebelakang. Namun sebagai seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, dia mampu menjaga keseimbangannya.

Dan baru saja dia bersiap, saat itu pula pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke arah perut dengan kecepatan yang sulit diduga. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga....

Crasss! "Aaa...!"

Wanita tua itu terpekik. Darah mengucur deras dari perutnya yang robek, terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah kaget dan mata terbelalak. Kedua tangannya mendekap perut dan berusaha menghalangi darah yang terus mengucur.

"Heaaa!" Sementara Rangga melompat lagi. Dan kali ini, tendangannya di arahkan ke kerongkongan. Maka....

Desss! "Hugkh!"

Wanita tua itu kembali mengeluh tertahan. Tubuhnya terjerembab keras di tanah. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!

"Uhhh...!" Rangga menjatuhkan pantatnya, duduk bersandarkan pohon. Pedangnya telah dimasukkan dalam warangkanya kembali. Talapak tangan kanannya terus mendekap perutnya yang tadi terluka dan kembali mengucurkan darah. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit. Keringat dingin mulai menetes membasahi kening dan sebagian wajah. Pemuda itu duduk bersila. Pikirannya dipusatkan untuk menyalurkan hawa murni pada telapak kanannya, kemudian ditempelkan di perut agar lukanya cepat mengering.

Sementara itu, wanita yang pertama kali menyerang Pendekar Rajawali Sakti kini mendekat. Wajahnya kembali dibayangi perasaan ngeri bercampur kasihan. Disekanya keringat yang mengucur membasahi wajah Rangga. Kemudian, dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Dia hanya duduk bersila di hadapan Rangga yang saat itu tengah memejamkan mata. Tadi ikatan pada tangannya memang telah dibuka Rangga.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok. Dan waktu terus merambat. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti bersikap seperti tadi. Sedangkan gadis itu tetap tidak beranjak dari duduknya. Rangga membuka kelopak matanya, menghela napas panjang.

"Maafkan aku...," ucap wanita itu lirih.

"Kau punya kesempatan untuk lari. Kenapa tidak kau lakukan?" tanya Rangga pelan.

"Entahlah..."

"Kini kau bebas pergi ke mana saja yang kau kehendaki. Dan aku tidak akan menahanmu...," ujar Pendekar Rajawali Sakti, menawarkan.

Tapi wanita itu terdiam. Sedikit pun tidak beranjak dari duduknya. Kepalanya agak tertunduk ke dalam.

"Ayo, aku tidak menjebakmu. Kau boleh pergi sekarang...," kata Rangga.

"Aku tidak tahu harus pergi ke mana...," desah wanita itu lirih.

"Apakah kau tidak ingin kembali ke tempatmu semula?"

Kembali wanita itu terdiam. "Aku telah gagal menjalankan tugas. Dan kalau kembali, percuma saja. Nyi Lasmi akan menghukumku dengan berat..," desah wanita itu.

"Katakan saja kalau kau telah berhasil membunuhku...."

Wanita itu tersenyum. "Sampai kapan dia tahu kalau aku berbohong? Begitu mendengar kalau kau masih hidup, maka saat itu juga kematianku sudah ditentukan. Tapi sebenarnya bukan itu yang kupikirkan...," jelas wanita ini.

"Lalu?"

"Aku juga ingin hidup sebagaimana layaknya wanita baik-baik. Punya suami, punya anak, dan hidup tenang...," sahut wanita cantik ini semakin lirih.

"Hm... Lalu, kenapa tidak segera kau lakukan?"

"Dengan masa lalu yang silam, siapa laki-laki yang sudi padaku?"

"Kau masih muda. Dan..., cantik. Lagi pula, tidak semua laki-laki berpikiran seperti itu. Masih banyak laki-laki yang mampu melihat kenyataan kalau masa silam yang hitam, bisa saja kembali ke jalan benar," kata Rangga bijak.

"Benarkah?"

Rangga mengangguk seraya tersenyum dengan wajah mayakinkan. Kini wanita itu bangkit berdiri. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun kembali wajahnya tertunduk.

"Apa lagi?" tanya Rangga seraya ikut berdiri.

"Aku akan mencoba hidup dengan dunia baru...."

"Nah! Itu pikiran bagus."

"Ng.... Bolehkah kutahu, siapa namamu?" tanya wanita itu, langsung memandang Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum manis.

"Rangga...."

"Rangga...? Ng.... Bila kelak aku mempunyai anak, bolehkah kunamai anakku seperti namamu?"

"Tentu saja boleh...."

"Terima kasih, Rangga. Eh! Sekali lagi, maafkan kesalahanku. Aku betul-betul menyesal telah membuatmu terluka..."

Rangga hanya tersenyum. "Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Hari masih gelap, sedang kudaku tidak ada..."

"Aku antar kau sampai di pinggiran kotaraja. Dan setelah itu, kau bisa melanjutkan perjalanan...," kata Rangga, juga bergegas bangkit.

Baru saja mereka bangkit dan hendak melangkah, di kejauhan terdengar derap langkah dua ekor kuda menuju ke arah mereka. Rangga buru-buru mengajak wanita.itu bersembunyi di balik semak-semak yang ada di kiri dan kanan jalan ini. Dan ketika kedua penunggang kuda ini hampir mendekat, Pendekar Rajawali Sakti keluar dari persembunyian.

"Berhenti...!"

"Hieee!" Kedua penunggang kuda itu tersentak. Langsung laju kuda mereka dihentikan, dan segera melompat turun. Seketika pedang masing-masing dicabut dengan sikap bersiaga.

"Kurang ajar! Siapa yang berani menghadang perjalanan kami?!" hardik salah seorang penungang kuda.

Namun ketika melihat wajah pemuda berbaju rompi putih itu, seketika wajah mereka terkejut. Kemudian buru-buru mereka berlutut dengan sikap menghormat

"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Maafkan kesalahan kami!" ucap kedua orang itu serentak setelah menyarungkan pedang.

Rangga hanya tersenyum. Kemudian sebelah telapak tangannya diangkat sebagai isyarat. "Bangkitlah, kesalahan kalian kumaafkan, kalian memang harus waspada terhadap segala sesuatu. Oh, ya. Berita apa yang kalian bawa?"

Kedua orang itu bangkit. Kemudian salah seorang kembali memberi hormat. "Pasukan Parwata berhasil menghajar kawanan perampok Jambuka Ireng yang menguasai Desa Kampar di wilayah Kadipaten Wales. Dan kawanan perampok itu sendiri merupakan kaki tangan Katut Denowo!" jelas orang itu.

"Bagus. Yang lainnya?"

"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Tanpa izin, kami telah mengambil tindakan sendiri. Sebab keadaan betul-betul darurat!" jelas orang yang satu lagi dengan wajah takut.

"Tindakan apa yang kalian ambil?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, dengan dahi berkerut.

"Kami telah melihat sendiri kalau pasukan para pemberontak yang dipimpin Katut Denowo, telah bergerak menuju kotaraja. Sehingga seperti apa yang Kanjeng Gusti Prabu katakan, kami memberanikan diri memanggil pasukan-pasukan kita yang ditempatkan di berbagai wilayah, untuk berkumpul di pinggiran kotaraja Kerajaan Kertaloka guna menahan serangan mereka...," jelas orang itu.

"Apakah mereka sekarang sudah berangkat?"

"Sudah, Kanjeng Gusti Prabu!"

"Bagus. Tindakanmu kupuji. Nah! Sekarang, katakan berapa jumlah pasukan pemberontak itu?"

"Sekitar dua ratus orang, Kanjeng Gusti Prabu."

"Hm.... Cukup banyak juga..."

"Kami menunggu perintah apa yang selanjutnya harus kami lakukan, Kanjeng Gusti Prabu?"

Rangga terdiam beberapa saat berpikir. Kemudian ditatapnya dua orang yang selama ini menjadi mata-matanya. "Baiklah. Sekarang juga, kalian pergi ke Istana Kerajaan Kertaloka. Cari tahu soal Pandan Wangi. Kemudian lihat, apakah keadaan aman atau tidak. Bila istana kerajaan aman, maka temui Prabu Suryalaga. Katakan padanya, mengenai serangan yang akan dilakukan para pemberontak. Juga katakan kalau kita siap membantu. Suruh mereka kirim setengah dari pasukannya, sementara setengah lagi menjaga istana kerajaan. Kita gempur pasukan pemberontak itu dari dua jurus, seperti yang biasa sering kita lakukan. Mengerti?" jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Mengerti, Kanjeng Gusti Prabu! Lalu, bagaimana seandainya istana kerajaan telah dikuasai pihak pemberontak?"

"Tunggulah aku di tempat yang telah ditentukan. Akan kita serang para pemberontak yang ada di istana kerajaan itu, untuk mengamankan. Baru setelah itu, kita hadapi pasukan pemberontak lain yang sedang bergerak," jelas Rangga lagi.

"Kami mengerti, Kanjeng Gusti Prabu!"

"Nah! Pergilah kalian sekarang juga. Dan, sampaikan salamku pada Prabu Suryalaga!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Baik, Kanjeng Gusti Prabu!"

Kedua mata-mata itu segera melompat ke punggung kuda masing-masing, setelah memberi hormat pada Rangga. Lalu mereka menggebah kencang kuda masing-masing meninggalkan tempat ini.

Sementara itu, wanita yang tadi bersembunyi itu keluar dari semak-semak. Dipandanginya pemuda itu dengan wajah tak percaya. "Kanjeng Gusti Prabu? Apakah kau seorang raja, ataukah saudara raja?" tanya wanita itu ingin tahu.

"Sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Ayo, naik ke punggung Dewa Bayu. Sebentar lagi, hari akan terang. Mudah-mudahan kita sampai ke kotaraja sebelum matahari membentuk bayangan panjang...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Wajah wanita itu tampak masih menyimpan penasaran. Dan sesekali, mencuri pandang ke arah pemuda itu. Tapi dia akhirnya naik juga ke punggung Dewa Bayu. Kemudian baru Pendekar Rajawali Sakti mengikuti. Tapi baru saja Rangga menghenyakkan pantat di punggung kuda hitamnya, mendadak....

"Heh?!" Rangga buru-buru membalikkan kudanya. Seketika Dewa Bayu dihela kencang, mengejar sosok bayangan kuda yang sejak tadi mengintai.

"Ada apa, dan mau ke mana kita?" tanya wanita itu bingung, karena belum mengetahui apa yang terjadi.

Rangga tidak menjawab. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar seseorang yang sudah menggebah kudanya pada jarak dua puluh lima tombak di depan.

"Hiya! Hiya...!"

Sementara, wanita itu benar-benar takjub pada keperkasaan kuda tunggangan pemuda ini. Meski membawa beban dua orang, namun mampu lari kencang melebihi kecepatan angin. Tak heran kalau dalam waktu singkat, Rangga berhasil menyusul penunggang kuda di depan.

"Hiiih!"

"Oh?!" Gadis itu terkejut. Karena tiba-tiba saja penunggang kuda yang nyaris sejajar, mengibaskan sebilah golok ke arah mereka.

Sring!

Namun Pendekar Rajawali Sakti bertindak tidak kalah sigap. Langsung pedangnya dicabut, memapak sabetan golok itu. Lalu dalam waktu yang demikian cepat, Rangga langsung membabat pinggang penunggang kuda itu.

Bret! "Aaa...!"

Orang itu menjerit tertahan dan tubuhnya terjungkal dari punggung kudanya yang terus berlari kencang. Rangga menghentikan lari kudanya. Lalu dia melompat turun dari kudanya, langsung menghampiri orang yang terkapar bermandikan darah itu. Segera ujung pedangnya ditodongkan ke leher orang yang sudah tidak berdaya itu.

"Siapa yang menyuruhmu?!"

"Ehk... ah...." Orang itu mengeluh tertahan dengan wajah berkerut. Mulutnya hendak terbuka mengatakan sesuatu. Tapi, napasnya keburu putus.

Rangga kembali menyarungkan pedangnya disertai helaan napas pendek.

"Mungkin dia utusan yang sama...," kata wanita itu, pelan. "Padahal, tadi kau bisa melukai dan tidak membunuhnya..."

"Untuk apa? Bukankah kau sudah menduga, kalau dia utusan Katut Denowo untuk memata-matai. Lagi pula, kalau dia dibiarkan hidup, kau akan celaka...."

"Celaka bagaimana?"

"Mereka akan mengatakan pada Indra Paksi, kalau kau tidak membunuhku. Dan hidupmu tidak akan tenang, karena dikejar-kejar mereka."

"Benar juga...," sahut wanita ini, mengangguk.

"Dia membahayakan kita. Dan orang itu patut dibunuh...," lanjut Rangga.

Untuk sesaat keduanya terdiam.

"Siapa namamu?" tanya Rangga, pelan.

"Eh, apa?"

"Sejak tadi aku tidak tahu namamu...."

"Namaku Pratiwi...."

"Hm, nama yang bagus!" puji Rangga.

Wanita itu jadi tersipu malu. Matanya langsung merayap ke sekeliling untuk menyembunyikan wajahnya yang berubah merah dadu. "Terima kasih...," kata wanita itu pelan.

********************

DELAPAN

Di balairung utama Istana Kerajaan Kertaloka, telah berkumpul beberapa pejabat istana, beberapa perwira, dan Prabu Suryalaga sendiri. Tak ada yang membuka suara sampai dua orang gadis masuk ke dalam ruangan itu. Setelah memberi salam hormat, kedua gadis itu mengambil tempat duduk yang telah disediakan, sejajar Prabu Suryalaga. Sedangkan tepat di depan Raja Kertaloka ini, duduk dua pemuda dengan sikap hormat.

"Ada apakah gerangan Ayah memanggil kami?" tanya salah seorang gadis yang tidak lain Cempaka Sari.

"Dua orang utusan ini mengaku membawa pesan dari Raja Karang Setra. Aku hanya ingin memastikan kalau ini bukan tipu muslihat para pemberontak. Dan Pandan Wangi berasal dari Karang Setra. Maka tentu bisa membuktikan kebenaran mereka," jelas Prabu Suryalaga.

Prabu Suryalaga kemudian menatap Pandan Wangi. Sementara yang ditatap seperti tak peduli. Matanya terus memperhatikan dua pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun, bersenjatakan pedang. Keduanya memakai pakaian yang biasa dikenakan orang-orang persilatan.

"Pandan Wangi... Apakah kau kenal orang-orang yang mengaku sebagai utusan Karang Setra ini?" tanya Prabu Suryalaga.

"Kanjeng Gusti Prabu. Suruhlah mereka memperlihatkan kalung tanda pengenalnya. Sebab aku tahu, utusan Karang Setra memiliki tanda pengenal khusus," jelas Pandan Wangi.

Prabu Suryalaga mengangguk, kemudian berpaling pada kedua orang itu. "Nah, tunjukkanlah tanda pengenal kalian!" ujar laki-laki tua itu.

Kedua utusan itu segera mengeluarkan kalung bermatakan perak, sebesar genggaman tangan, berlambang Kerajaan Karang Setra.

"Kanjeng Gusti Prabu. Mereka memang utusan Karang Setra...," kata Pandan Wangi meyakinkan.

"Hm, baiklah. Sekarang jelaskan apa yang kalian bawa dari Karang Setra."

"Ampun, Gusti Prabu. Raja kami menawarkan bantuan tanpa imbalan apa pun, selain persahabatan. Dan karena berita ini darurat, maka kami langsung saja pada tujuannya. Maaf, Kanjeng Gusti Prabu. Selama ini tanpa pemberitahuan secara langsung, kami telah memerangi pemberontak yang telah menguasai sebagian dari Kerajaan Kertaloka. Raja kami berbuat seperti itu, atas permintaan putrimu yaitu Gusti Ayu Cempaka Sari. Dan ini dianggap mewakili keputusanmu. Dan setelah menghalau pasukan pemberontak, ternyata kami dengar mereka menghimpun diri. Pasukan pemberontak pada hari ini bermaksud menyerang kotaraja, dan hendak merebut istana kerajaan pada pagi ini juga. Oleh sebab itu, raja kami memberitahu agar Gusti Prabu bersiaga menyambut mereka," tutur salah seorang utusan.

"Cobalah kalian jelaskan bagaimana rencana rajamu itu?" pinta Prabu Suryalaga.

"Gusti Prabu Karang Setra menginginkan agar pasukan kerajaan ini dibagi dua. Setengahnya yang terdiri dari pasukan panah berada dalam istana, untuk berjaga di sekelilingnya. Sebagian lagi bersembunyi di luar bangunan istana, siap menyergap mereka. Tunggulah pasukan pemberontak itu sampai mendekati bangunan istana kerajaan. Dan apabila mereka sudah berhadapan dengan pasukan panah, maka saat itu juga pasukan lain menyerbu. Sedangkan pasukan Karang Setra yang berjumlah sekitar tiga puluh orang akan mengejutkan mereka dengan serangan dari belakang. Sehingga, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk kabur," jelas utusan itu, singkat.

Prabu Suryalaga dan yang lain terdiam mendengarkan rencana itu.

"Bagaimana, Gusti Prabu?" tanya Pandan Wangi.

"Apakah Raja Karang Setra yakin kalau siasatnya akan berhasil?" tanya sang Prabu setengah yakin.

"Percayalah, Gusti Prabu. Kemenangan berada di pihak pasukan yang bersemangat dan yakin akan mengalahkan musuhnya! Begitulah yang dikatakan raja hamba. Meski pasukan pemberontak lebih banyak, namun kita harus yakin akan memenangkan pertempuran," tegas utusan itu, meyakinkan.

"Baiklah. Kalian boleh istirahat, karena sekarang juga akan kusiapkan pasukan untuk menghadapi para pemberontak itu!" sahut Prabu Suryalaga bersemangat.

Kedua utusan itu segera bangkit berdiri, dan langsung memberi hormat. Dan dengan diantar dua orang prajurit, mereka segera menuju ruang peristirahatan bagi para tamu kerajaan. Sementara itu Prabu Suryalaga memerintahkan para prajurit yang hadir di situ untuk menyiapkan pasukan.

********************

Para prajurit Kerajaan Kertaloka menunggu beberapa saat dengan jantung berdebar dan gelisah. Demikian pula para prajurit dan para panglima perangnya. Pasukan pemberontak yang dinantikan belum juga kelihatan. Sementara itu, kotaraja kelihatan sedikit sepi. Seluruh rakyat telah bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Mereka memang telah dikabari kalau akan terjadi peperangan dahsyat.

Sementara itu Prabu Suryalaga menambahkan siasat baru. Lebih dari empat puluh pasukannya yang diberi pakaian biasa, diperintahkan untuk bertingkah seolah-olah sebagai penduduk biasa yang sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Dengan begitu diharapkan pasukan pemberontak akan lengah. Cukup lama mereka menunggu. Dan ketika matahari baru saja mengintip di balik bukit...

"Heaaa! Heaaa...!"

Apa yang ditunggu-tunggu mulai terlihat. Dari kejauhan, terdengar derap langkah kuda yang dipacu kencang bersama teriakan-teriakan membahana. Prajurit-prajurit yang tengah menyamar sebagai rakyat biasa, seketika pura-pura berlarian ke sana kemari, dengan sikap ketakutan. Sementara beberapa orang dari pasukan pemberontak berusaha menyerang.

Namun para prajurit yang menyamar itu tidak berusaha melawan. Mereka hanya melarikan diri sekencang-kencangnya. Karena jika mereka melawan, maka perhatian pasukan akan pecah. Bahkan akibatnya, penyergapan akan kacau. Sebab, pasukan pemberontak masih jauh dari jangkauan pasukan panah di benteng istana kerajaan.

"Hancurkan mereka! Bunuh seluruh penghuni kerajaan ini...!" teriak seorang laki-laki berpakaian mewah. Dia tidak lain dari Katut Denowo, memberi semangat.

Namun sebelum mereka berhasil mendobrak pintu gerbang kerajaan, sekonyong-konyong hujan panah telah menyambut

Twang! Cras! Crab! "Aaa...!"

Beberapa orang pemberontak langsung terkejut, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan mereka hanya terbeliak ngeri disertai jeritan tertahan, begitu anak-anak panah menembus dada.

"Hancurkan mereka! Jumlah kita lebih besar. Apa yang kalian takutkan?! Hancurkan gerbang ini, dan hajar mereka...!" kembali Katut Denowo berteriak memberi semangat

"Yeaaa!"

Pasukan pemberontak kembali berteriak saling sambung-menyambung, berupaya mendobrak pintu gerbang. Tapi saat itu juga, hujan anak panah kembali menyerbu. Dan kali ini datangnya dari samping kiri dan kanan, ditambah pasukan yang berada di atas benteng istana kerajaan.

"Serbuuu...!"

Terdengar teriakan dari arah kanan. Bersama sekitar dua puluh lima orang, menyerang pasukan pemberontak itu dengan semangat menyala-nyala. Pada saat yang bersamaan, kembali menyerbu sejumlah pasukan ke arah pasukan pemberontak yang sempat terkejut. Pertarungan memang tak bisa dielakkan lagi. Beberapa orang pemberontak sudah sejak tadi menjadi korban di tangan pasukan kerajaan. Namun, pasukan pemberontak masih berusaha balas menyerang. Terutama setelah menyadari kalau pasukan kerajaan berjumlah lebih sedikit Tapi yang lebih mengejutkan lagi....

"Heaaa...!" "Heh?!"

Tiba-tiba terdengar teriakan panjang membahana. Tampak sebuah pasukan lain yang berjumlah sekitar tiga puluh orang datang menyerbu menyerang para pemberontak. Pasukan itu dipimpin seorang pemuda berbaju rompi putih yang duduk di atas kuda hitamnya. Mereka menyerang dari belakang, pasukan pemberontak itu terkejut.

Sementara itu, pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti segera menggebah kudanya ke arah Katut Denowo. Rangga memang telah.mengenali ciri-cirinya, walaupun belum pernah bertemu.

"Katut Denowo! Menyerahlah... Pasukanmu telah kocar-kacir. Tak ada lagi kesempatan bagimu untuk merebut kerajaan ini!" ujar Rangga.

"Bangsat! Jadi, rupanya kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti! Huh! Sebaiknya kau tidak mencampuri urusan kerajaan lain. Ini bukan Karang Setra, jadi sebaiknya tarik pasukanmu!" sentak Katut Denowo.

"Siapa yang membawa prajurit? Yang kubawa hanya jago-jago Karang Setra saja, mereka bukan prajurit. Dan mereka juga jijik melihat tindakanmu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti dingin.

"Kau memang patut dihajar, Pendekar Rajawali Sakti! Heaaat..!"

Di atas punggung kudanya, Katut Denowo langsung membabatkan pedang ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Namun di luar dugaan, pemuda itu melenting tinggi ke atas mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu berada di udara, dengan kecepatan bagai kilat tubuhnya meluruk deras ke belakang Katut Denowo yang berada di punggung kuda. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Katut Denowo tak bisa menghindar. Lalu....

Tuk! Tuk! "Aaakh...!"

Tanpa dapat dicegah lagi, Katut Denowo yang kepandaiannya jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti ambruk ke tanah dengan tubuh lemas, begitu totokan Rangga mendarat di punggungnya. Pemimpin pemberontak itu agaknya langsung pingsan. Sehingga ketika Rangga berkelebat menyambar tubuhnya, rasanya seperti menyambar karung basah saja. Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting sambil membopong Katut Denowo, membawanya ke atas atap sebuah rumah penduduk.

"Berhenti!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, lantang menggelegar. Seketika seluruh pertempuran berhenti. Semua mata seketika memandang ke arah datangnya suara lantang tadi.

"Lihat! Pemimpin kalian telah berada di tanganku, maka sebaiknya kalian menyerah!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Melihat pemimpinnya tertangkap, pasukan pemberontak itu jadi hilang semangat. Beberapa orang mulai meletakkan senjata. Tapi sebagian besar telah tewas terbunuh. Dan begitu ada yang meletakkan senjata, yang lain segera menyerah.

"Hidup Prabu Suryalaga! Hidup Kerajaan Kertaloka...!" teriak para prajurit kerajaan yang setia pada Prabu Suryalaga.

Rangga segera membawa tubuh Katut Denowo untuk diserahkan pada pihak Kerajaan Kertaloka. Sedangkan para tokoh hitam yang ikut membantu pemberontakan, dengan kepandaiannya yang tinggi berhasil meloloskan diri dari kepungan jago-jago Karang Setra.

Sementara itu, para perwira Kerajaan Kertaloka segera menangkapi para pejabat istana yang terlibat dalam pemberontakan. Ada yang ditangkap saat peperangan, ada pula yang ditangkap setelah peperangan.

Dengan diiringi para prajurit Kerajaan Kertaloka dan pasukannya sendiri, Rangga memasuki gerbang kerajaan untuk menyerahkan biang kerusuhan pada Prabu Suryalaga.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: TENGKORAK HITAM

Pemberontakan Di Kertaloka

PEMBERONTAKAN DI KERTALOKA

SATU
PAGI menjelang di Desa Kampar yang terbilang tenteram dan damai. Sang Surya tampak mulai menyembul di ufuk timur. Sinarnya yang terang memancar, menghangati permukaan bumi membuat embun mulai menguap tersapu oleh tarian sang bayu yang berhembus semilir.

Penduduk desa itu tampak mulai keluar dari rumah menuju sawah ladang masing-masing. Anak-anak mulai bermain sambil tertawa riang, berkejaran ke sana kemari. Sementara para wanita sibuk berbenah diri, membantu suami atau orangtua yang hendak bekerja.

Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun tampak berjalan tenang. Rambutnya yang pendek dan telah memutih sebagian memakai ikat kepala hitam. Dengan sebuah cangkul yang di-letakkan di pundak, bisa ditebak kalau dia hendak menuju sawah ladangnya.

"Berangkat, Ki Kendil?" sapa seorang pemuda yang baru saja keluar dari pintu rumah.

Laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Kendil mengangguk. "Mau sama-sama, Jentara?" Ki Kendil menawarkan.

"Bolehlah...."

Setelah menerima tawaran itu, pemuda ini melambaikan tangan pada seorang wanita yang berdiri di muka pintu. Lalu dia berlari kecil, mensejajarkan langkahnya di samping Ki Kendil.

"Bagaimana istrimu? Suka tinggal di sini?" tanya Ki Kendil ketika mereka mulai melangkah bersama.

"Mudah-mudahan. Permulaan mungkin sulit, karena telah terbiasa hidup di keramaian kotaraja. Tapi sekarang kelihatannya dia mulai bisa menyesuaikan diri," sahut pemuda yang dipanggil Jentara.

"Syukurlah. Kehidupan di tempat ramai memang menyenangkan. Namun, kehidupan di desa tidak kalah menyenangkan pula," sahut Ki Kendil sambil tersenyum kecil. "Mungkin saja di sana jauh dari gunung. Tapi, di sini kita bisa melihatnya setiap hari. Mungkin pula, di sana mereka jarang melihat sawah ladang. Tapi di sini, kita lihat setiap hari. Di sini udaranya sejuk dan baik untuk kesehatan...."

"Di kotaraja banyak orang jahat Dan di sini belum...," timpal Jentara sambil tersenyum lebar.

Ki Kendil ikut tersenyum lebar. "Iya, belum..."

Dan kini mereka terdiam. Seolah, kata-kata Jentara mengingatkan mereka akan sesuatu. Wajah keduanya berubah lebih dalam.

"Bagaimana soal ancaman itu, Ki?" tanya Jentara, hati-hati.

"Mereka tidak berhak memaksa kita!" tandas Ki Kendil.

"Orang-orang itu kelihatannya sungguh-sungguh dengan ancamannya. Kita harus berbuat sesuatu, Ki Kendil!"

"Ya! Kita memang harus berbuat sesuatu. Tapi kita juga harus menghadapi sesuatu yang selama ini belum pernah menyentuh desa kita...," sahut laki-laki setengah baya itu lemah dengan wajah murung.

"Sungguh celaka dia!" umpat Jentara kesal.

"Siapa yang kau maksud?"

"Siapa lagi kalau bukan pemberontak-pemberontak keparat itu!" desis Jentara kesal.

Ki Kendil tersenyum kecil. "Tahukah kau, apa yang dilakukan Kanjeng Gusti Prabu terhadap rakyat?" tanya laki-laki setengah baya itu lagi.

"Beliau cukup baik...."

"Begitukah menurutmu?" tanya Ki Kendil, tersenyum getir. "Apa yang kita lihat selama ini? Pajak-pajak dinaikkan tanpa peduli kalau para petani gagal panen. Mereka tidak mau tahu kalau sawah-sawah kita rusak dan kekeringan. Mereka tidak mau dengar kesulitan kita. Pernahkah beliau menerima dan mendengar keluhan rakyatnya? Tidak! Beliau tetap bersenang-senang di istananya yang megah."

"Apakah Ki Kendil setuju dengan para pemberontak?" tanya Jentara.

"Entahlah.... Yah.... Mungkin saja mereka tidak puas oleh kebijaksanaan yang ditetapkan kerajaan. Atau mungkin juga pemberontakan itu didasari oleh kepentingan pribadi dari segolongan orang yang ingin berkuasa...," sahut Ki Kendil, tanpa memberi jawaban pasti. Nada suaranya terdengar mendesah pasrah.

"Lalu, apa yang bisa kita lakukan?"

"Aku telah menyuruh beberapa orang untuk menyelidiki, siapa dalang pemberontakan itu sebenarnya."

"Lalu?"

"Ada yang bilang kalau para pemberontak didalangi Kanjeng Gusti Katut Denowo...."

"Kanjeng Gusti Katut Denowo? Bukankah dia saudara Kanjeng Gusti Prabu sendiri?!" Wajah Jentara tampak terkejut Seolah dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Ki Kendil tersenyum getir. "Kita hanya rakyat kawula kecil, yang tidak tahu apa-apa. Yang kita inginkan hanya hidup tenteram. Itu saja...," kata laki-laki setengah baya ini.

"Menurut beberapa orang, katanya Kanjeng Gusti Katut Denowo mempunyai sifat buruk?" tanya Jentara, seperti untuk diri sendiri.

"Kita tidak bisa menilai orang dari cerita-cerita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," sahut Ki Kendil, seperti tak setuju pertanyaan Jentara.

"Toh kini terbukti, Ki Kendil."

"Maksudmu?"

"Ancaman yang mereka lakukan padamu, serta pada semua warga desa ini..."

"Hal itu biasa terjadi, setiap ada usaha pemberontakan. Mereka ingin mendapat dukungan dari setiap wilayah. Dan untuk itu, diperlukan segala cara untuk mewujudkan keinginannya," sahut Ki Kendil, yang tampaknya mengerti betul dengan ilmu ketatanegaraan.

"Meski cara itu tidak benar, dan sekaligus merugikan rakyat yang tidak berdaya?" tanya Jentara, tersenyum sinis.

"Apakah leluhur negeri Kertaloka ini mendirikan kerajaan atas dasar perdamaian?" Ki Kendil balik bertanya.

Jentara diam. Langkahnya langsung dihentikan, mengikuti orang tua itu.

"Buyutku mengatakan kalau luas Kerajaan Kertaloka tidak seberapa. Lalu pada penguasa ketiga, mereka memiliki pasukan besar dan hebat. Dari sini, haus akan kekuasaan mulai merasuki Kanjeng Gusti Prabu. Dia lantas meluaskan daerah kekuasaannya, Hhhh.... Kini hukum karma telah berlaku. Kerajaan tengah terancam. Lalu, siapakah yang menjadi korban? Kita! Kita yang tidak tahu apa-apa dan hidup menuruti kebijaksanaan mereka," jelas Ki Kendil, diiringi geram mendalam.

Kata-kata Ki Kendil itu terasa agak pedas. Bahkan keluar dari hatinya yang paling dalam. Sementara Jentara seperti terhenyak, seolah tidak percaya kalau laki-laki setengah baya yang pendiam itu bisa berucap demikian.

Untuk sesaat keduanya terdiam, seperti hanyut dalam pikiran masing-masing. Ki Kendil terhanyut oleh perasaan kesal yang ditumpahkannya. Sedang Jentara tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sementara, kaki mereka terus melangkah menuju sawah masing-masing. Dan baru saja Ki Kendil akan membuka mulut kembali...

"Aaa...!" Terdengar teriakan menyayat, yang membuat Ki Kendil dan Jentara berbalik ke arah sumber suara.

"Hei?! Apa itu?!" sentak Jentara, terkejut setengah mati.

Jauh di belakang mereka terlihat asap hitam membubung tinggi ke atas. Kelihatan kalau asap itu berasal dari Desa Kampar.

"Desa kita terbakar! Astaga...!" Jentara mendesis kaget Seketika dia cepat berlari kencang mendahului Ki Kendil.

********************

Seorang laki-laki bertubuh besar dan berwajah kasar tampak tengah menggebah kudanya sambil mengacung-acungkan golok besar di tangannya. Wajahnya yang ditumbuhi kumis melintang dan cambang bauk, tampak berkesan angker ketika mondar-mandir mengitari jalan utama Desa Kampar.

Sementara itu beberapa penduduk desa ini tampak berlarian karena rumah mereka terbakar. Yang lebih menggiriskan, mereka langsung ketakutan, dihajar senjata-senjata tajam orang-orang berpakaian serba merah yang tidak lain dari anak buah laki-laki bertubuh besar itu. Maka semakin sering saja jerit tangis wanita yang terdengar berbaur dengan jeritan-jeritan anak-anak.

"Ayo, bakar! Ratakan desa ini dengan tanah. Kumpulkan mereka di satu tempat! Ayo, cepat! Bunuh siapa saja yang mencoba melawan! Cepaaat..!" teriak laki-laki bertubuh besar itu, berusaha mengalahkan jeritan-jeritan para penduduk desa.

"Aaakh!"

Beberapa orang laki-laki penduduk desa yang berusaha melawan, langsung tewas terkena sabetan golok. Sedang anak istri mereka ditarik ke sana kemari. Orang-orang berbaju serba merah itu memang tidak mengenal rasa kasihan, membuat mayat mulai berserakan. Bahkan asap hitam pun semakin menyelimuti desa ini.

"Ayo, kumpul! Kumpuuul...!" teriak orang-orang berpakaian serba merah itu seraya menyeret para penduduk desa ke tempat yang lebih luas. Mereka yang ketakutan tidak berdaya melawan. Mereka hanya bisa menurut dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Sementara, laki-laki bertubuh besar dan bercambang bauk yang agaknya adalah ketua dari para perusuh ini, menggebah kudanya ke arah berkumpulnya orang-orang desa itu. Golok besar di tangannya terus diacung-acungkan, untuk menakut-nakuti.

"Dengar kalian semua! Mulai hari ini, Desa Kampar berada dalam kekuasaanku. Siapa yang tidak setuju, aku tak segan-segan memisahkan kepala dari leher kalian!" teriak laki-laki bertubuh besar itu garang.

"Biadab...!" maki seseorang di antara kumpulan penduduk Desa Kampar.

Serentak mereka semua berpaling ke arah datangnya makian tadi. Tampak seorang pemuda dengan wajah garang berdiri tegak di tengah-tengah sambil menggenggam cangkul.

"Kakang Jentara...!" Tiba-tiba terdengar seruan wanita yang berada di antara orang-orang desa yang dikumpulkan. Dia segera bangkit, hendak menghampiri. Namun, seorang laki-laki berseragam serba merah dan bersenjatakan golok besar menjambak rambutnya. Sehingga, wanita itu jatuh terjerembab.

"Surti! Keparat kalian! Lepaskan dia...!" teriak laki-laki yang tak lain dari Jentara dengan wajah gusar. Dia hendak menolong wanita yang tidak lain dari istrinya.

"Tetap di tempatmu!" hardik laki-laki bertubuh besar dengan cambang bauk itu, garang.

Namun Jentara seperti tidak mempedulikan bentakan yang mengandung ancaman itu. Dia segera melompat hendak menyelamatkan istrinya. Tapi bersamaan dengan itu....

"Bunuh dia!"

Seketika dua orang laki-laki berwajah seram langsung mencelat menghadang, begitu mendengar perintah lelaki bercambang bauk itu.

"Perampok Keparat! Kubunuh kalian! Heaaat...!" geram Jentara. Cangkul di tangannya seketika langsung diayunkan.

Bet!

Dua orang berseragam serba merah yang menghadang dengan tangkas menangkis serangan cangkul Jentara dengan golok.

Trak! Trak!

Terjadi benturan tiga senjata yang cukup keras, membuat masing-masing orang yang bertarung ini terjajar beberapa langkah. Dan belum juga Jentara bersiap, kedua penyerang sudah merangsek kembali. Secara bersamaan, mereka mengibaskan golok besar ke arah Jentara. Untung saja Jentara memiliki cukup bekal ilmu olah kanuragan. Dan dia langsung melenting ke atas, menghindari dua serangan lawan sekaligus. Bersamaan dengan itu kaki kanannya mencelat, menendang salah seorang lawan. Sementara cangkul di tangannya menghantam lawan yang lain.

Begkh! Trang! "Uhhh...!"

Salah seorang lawan kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri akibat tendangan Jentara. Sementara lawan yang seorang lagi masih mampu menangkis kelebatan cangkulnya.

"Kurang ajar! Bereskan dia secepatnya...!" geram lelaki bercambang bauk itu.

"Yeaaat!" Kembali seorang berseragam serba merah yang lain langsung melompat maju disertai sambaran golok yang bagai kilat. Dan karena untuk berkelit sudah tak memungkinkan, Jentara langsung memapak serangan itu dengan ayunan cangkulnya.

Trang!

Tidak seperti kedua lawan sebelumnya, kali ini laki-laki berseragam serba merah yang dihadapi Jentara memiliki gerakan gesit sekali. Begitu habis berbenturan senjata, dengan gerakan hampir bersamaan, laki-laki itu melepaskan tendangan menyodok dada Jentara. Masih untung Jentara mampu menghindar dengan melompat ke samping.

Tapi di luar dugaan, orang berbaju serba merah itu kembali melepaskan tendangan yang demikian cepat sambil memutar tubuhnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Jentara tak bisa menghinda-rinya. Maka....

Dukl

"Aaakh!" Jentara langsung berteriak kesakitan, begitu dadanya terhantam tendangan orang itu dengan telak. Tubuhnya kontan tenerembab ke belakang.

"Kakang Jentara...!" Wanita yang tengah dicengkeram seorang laki-laki berwajah kasar yang tadi menjambak rambutnya, berteriak cemas begitu melihat Jentara ambruk. Dan kepalanya langsung berpaling, ketika orang itu melompat dengan golok di tangan, siap menghabisi suaminya.

"Uhhh..." Jentara yang masih belum bangkit, jadi terkesiap. Tubuhnya langsung bergulingan, sehingga senjata golok itu hanya menghantam tanah. Orang berbaju serba merah ini cepat bagai kilat mengibaskan kakinya ke arah dada, begitu Jentara bangkit berdiri.

Duk!

"Ugkh!" Jentara melenguh, merasakan sesak pada dadanya, begitu mendapat tendangan dari orang berbaju serba merah ini. Dan belum juga hilang rasa sesaknya, kembali datang serangan berupa tusukan golok yang mengarah ke jantungnya. Begitu cepat gerakan orang itu, sehingga Jentara tak mampu menghindar. Dan...

Crab!

"Aaa...!" Jentara menjerit menyayat, ketika mata golok lawannya merobek jantungnya. Seketika darah menyembur keluar, begitu golok itu dicabut. Tubuh Jentara limbung sesaat, kemudian ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam kaku tak bergerak lagi.

"Kakang Jentara! Oh, tidak! Lepaskan! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" Surti berteriak menyayat. Dia berontak sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki yang sejak tadi menahannya.

Laki-laki yang mencengkeram Surti berusaha menahan, namun lelaki yang bercambang bauk memberi isyarat. Sehingga, segera dilepaskannya Surti dari cengkeramannya.

Kembali Surti berteriak, langsung menghambur menubruk mayat suaminya. Tangisnya langsung meledak saat itu juga. Sementara, tidak ada seorang pun yang berani menolong. Orang-orang desa itu hanya bisa memandang dengan wajah haru.

"Itu satu contoh lagi bagi kalian! Siapa yang berani melawan, maka kematian akibatnya! Mulai hari ini, dua puluh orang anak buahku akan tinggal di sini. Mereka akan melatih semua laki-laki di desa ini dalam ilmu perang. Karena nantinya kalian harus ikut perang!" teriak laki-laki bercambang bauk itu garang.

Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Mereka terdiam, membisu seperti patung!

********************

Tiga orang penunggang kuda tampak tengah menggebah tunggangannya masing-masing agar berlari lebih kencang. Sehingga, debu tampak mengepul tersepak kaki-kaki kuda di setiap jalan yang dilalui.

"Hiya! Hiya...!"

Yang menunggang kuda di tengah adalah seorang gadis berbaju serba merah jambu. Wajahnya cantik dengan kulit halus kemerahan. Rambutnya yang panjang sepunggung, diikat ke belakang. Dari caranya menyandang pedang di punggung dan berpakaian, terlihat kalau gadis itu berasal dari kalangan persilatan. Apalagi ketika melihat dua penunggang kuda yang mengapitnya. Mereka adalah dua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Masing-masing berbaju lusuh, dengan pedang di punggung.

Kelihatannya, mereka tergesa-gesa. Bahkan seperti tak peduli kalau kuda-kuda itu sudah terlihat letih. Walaupun mereka telah melakukan perjalanan cukup jauh, tapi sedikit pun tak ingin beristirahat. Mereka terus menggebah kuda masing-masing, namun tiba-tiba....

"Berhenti...!"

Mendadak satu teriakan nyaring berkumandang. Belum juga gema bentakan itu lenyap, sudah berkelebat lima sosok tubuh dari atas cabang-cabang pohon.

"Hieee...!"

Kuda-kuda yang dipacu cepat kontan terkejut, begitu penunggangnya menarik tali kekang kuat-kuat. Bahkan kaki depart binatang-binatang itu sampai terangkat tinggi.

"Gusti Ayu, lompat...!" Salah seorang penunggang kuda langsung berteriak sambil melompat. Sedangkan dua kawannya telah lebih dulu mencelat ke samping, ketika kuda-kuda itu tidak bisa dikendalikan lagi. Dan baru saja kaki mereka mendarat di tanah, kuda-kuda itu langsung kabur melarikan diri.

Ketiga penunggang kuda itu cepat bersiaga, langsung menyadari keadaan. Kini di depan mereka berdiri tegak lima sosok tubuh yang rata-rata berwajah kasar pada jarak tujuh langkah di depan. Tiga orang yang berada di tengah bersenjata pedang di punggung. Sementara di sebelah kiri menggenggam sebatang tongkat berkeluk sepanjang lima jengkal, yang pada ujungnya terdapat lempengan logam tajam berbentuk sabit. Sedangkan di sebelah kanan adalah laki-laki tanpa senjata dengan tangan terlipat di depan dada.

"Pucuk dicinta ulam tiba! Siapa sangka kalau hari ini kita bertemu seorang yang begitu penting artinya bagi kerajaan! Ha ha ha...!" kata seorang penghadang yang berada di tengah, sambil ketawa lebar.

"Kisanak! Siapa kalian? Apa maksudmu menghadang perjalanan kami?" tanya salah seorang laki-laki yang berdiri di sebelah kanan gadis berbaju merah jambu itu.

"Aku, Jatra Kendeng! Dan mereka adalah kawanku. Kami dikenal sebagai Lima Setan Jatayu. Nah! Demi keselamatan kalian, tinggalkan gadis itu!" sahut laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang ternyata bernama Jatra Kendeng.

"Jatra Kendeng! Hm.... Namamu begitu besar kudengar. Mestinya, orang sepertimu bisa bersikap lebih sopan pada pengembara biasa, seperti kami. Biarkanlah kami melanjutkan perjalanan dengan aman," kata laki-laki berbaju lusuh yang berdiri di kanan gadis itu.

"Pengembara biasa katamu? Ha ha ha...! Hei, Dua Monyet Buduk! Kalian kira aku bodoh, heh?! Kalian anggap kami tidak tahu, siapa kalian sebenarnya?! Gadis itu adalah putri bungsu Prabu Suryalaga! Nah! Berikan dia pada kami. Lalu, kalian boleh pergi dengan selamat!" ujar Jatra Kendeng.

Tiga orang yang mengaku sebagai pengembara ini terkejut. Juga si Gadis berbaju merah jambu. Wajah mereka tampak berubah pucat karena cemas.

"Ki Jatra Kendeng! Namaku Weru Sugala. Dan kawanku, Satya Watara. Sedangkan gadis ini adalah adik perempuanku yang bernama Sukesih. Kami bertiga berasal dari Perguruan Sapu Angin. Bagaimana mungkin kau menyamakannya dengan orang-orang kerajaan yang agung?" sanggah laki-laki yang mengaku bernama Weru Sugala.

"Huh, Monyet Kurap! Kau kira semudah itu membohongiku, heh?! Kau telah menguji kesabaranku!" dengus Jatra Kendeng geram.

Laki-laki bertampang seram ini langsung memberi isyarat. Maka seketika kedua kawannya yang bersenjata pedang langsung melompat menyerang.

"Yeaaa!"

"Heh?!" Weru Sugala dan Satya Watara terkejut bukan main. Namun, mereka tidak punya pilihan. Langsung pedang mereka dicabut memapak serangan dua orang lawan.

Sring!

"Adik Satya Watara! Kau jaga Sukesih. Dan biar kuhadapi mereka berdua!" teriak Weru Sugala, ketika melihat seorang penghadang lainnya telah melompat kearah gadis berbaju merah jambu.

"Heaaat!" Trang! Trang!

Dengan gagah berani Weru Sugala dan Satya Watara mempertahankan diri, sekaligus melindungi Sukesih. Pedang mereka langsung berkelebat memapak serangan lawan dengan gesit. Namun begitu, yang dihadapi mereka memang bukanlah orang sembarangan. Lima Setan Jatayu adalah tokoh persilatan yang rata-rata berkepandaian tinggi. Siapa pun sudah tahu kalau mereka tidak akan segan bertindak kejam terhadap lawan-lawannya.

Sebenarnya Weru Sugala memiliki kepandaian hebat. Namun, agaknya kedua lawan yang dihadapi bukanlah tandingannya. Buktinya serangannya sampai saat ini seperti kandas ditelan angin. Sebaliknya serangan kedua lawannya semakin gencar saja. Sehingga, pada enam jurus terakhir, Weru Sugala terus terdesak. Dia hanya mampu menangkis dan terus melompat ke sana kemari, menghindari serangan gencar lawan-lawannya.

"Yeaaa!" Salah seorang dari Lima Setan Jatayu melompat menerjang sambil membabatkan pedangnya. Namun dengan sigap Weru Sugala berusaha menangkis. Memang, justru itulah yang diharapkan para lawannya. Ternyata, orang itu cepat menghentikan serangan, dan. hanya melewatinya saja. Lalu kedua dari Lima Setan Jatayu lainnya langsung menyodokkan pedang ke arah perut.

Weru Sugala terkejut bukan main. Buru-buru pedangnya dikibaskan untuk menangkis.

Trang!

Belum juga Weru Sugala bersiap kembali, salah seorang lawannya telah melepaskan sebuah tendangan keras ke arah dada. Begitu cepat gerakan orang itu, sehingga dia tidak mampu berkelit. Dan...

Duk!

"Aaakh...!" Weru Sugala kontan menjerit tertahan begitu dadanya terhantam tendangan berisi tenaga dalam penuh. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang. Dan pada saat yang sama, seorang lagi dari Lima Setan Jatayu telah bersiap menyambut dengan pedangnya.

Cras!

"Hugkh...!" Weru Sugala hanya mampu melenguh begitu lehernya tertebas pedang. Kepalanya putus, menggelinding ke tanah. Tak lama, tubuhnya ambruk ke tanah, dengan darah mengalir deras.

"Kakang Weru Sugala...!" seru Satya Watara, ketika melihat Weru Sugala tewas. Wajahnya tampak pucat, menahan kaget.

Dan inilah kesalahan Satya Watara. Untuk sesaat, dia jadi lalai. Padahal, saat ini nyawanya tengah terancam lawan yang menggunakan kesempatan baik itu. Salah seorang dari Lima Setan Jatayu yang bersenjatakan tombak bercabang pada ujungnya, langsung melompat ganas. Tombaknya cepat disabetkan ke arah perut. Dan....

Brettt!

"Aaa!" Satya Watara kontan memekik setinggi langit, ketika senjata tombak bercabang itu merobek perutnya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan urat-urat berkerut di wajahnya. Pedangnya diayunkan kembali, berusaha menerjang penyerangnya. Namun baru saja hendak melompat, tubuhnya ambruk bersimbah darah. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak bergerak lagi. Mati!

DUA

"Paman Weru Sugala...! Paman Satya Watara...?! Oh...!"

Gadis berbaju merah jambu yang tadi dikenali sebagai Sukesih berseru kaget. Dia bermaksud memburu kedua mayat itu, namun tiga dari Lima Setan Jatayu telah menghadang. Dan perlahan-lahan, mereka mendekati sambil menyeringai lebar. Dan gadis itu pun jadi mengurungkan niatnya, perlahan-lahan mundur dengan wajah tegang.

"Cempaka Sari! Lebih baik kau ikut dengan kami. Jangan khawatir, kau akan mendapat perlakuan secara baik!" ujar Ki Jatra Kendeng, memperingatkan.

"Siapa sebenarnya yang menyuruh kalian menghadangku?!" bentak gadis yang sebenarnya bernama Cempaka Sari. Nada suaranya terdengar sengit.

"Kau tidak perlu tahu. Yang penting sekarang ikut saja dengan kami..."

"Huh! Kalian pasti orang suruhan pamanku, Katut Denowo!"

"Ha ha ha...!" Ki Jatra Kendeng hanya ketawa lebar tanpa menjawab.

"Betul, bukan?" tanya Cempaka Sari dingin, seperti ingin meyakinkan dugaannya.

Ki Jatra Kendeng menghentikan tawanya. Dan wajahnya tampak menyeringai sinis. "Tangkap dia!" ujar laki-laki itu, tanpa berpaling sedikit pun dari wajah cantik Cempaka Sari.

Seketika tiga orang anak buah Ki Jatra Kendeng melompat menyergap. Namun dengan tangkas gadis itu mencabut pedangnya.

Sring!

"Kalian boleh menangkapku, kalau ada yang mau mati!" dengus Cempaka Sari mengancam.

"Jangan hiraukan ancamannya. Dia sama sekali tidak tahu caranya menggunakan pedang. Ayo, tangkap dia!" sentak Ki Jatra Kendeng semakin berang.

Cempaka Sari jadi terkesiap. Hatinya terkejut, karena lagi-lagi Ki Jatra Kendeng tahu, kalau sebenarnya dia sama sekali tidak bisa memainkan pedang. Bahkan seumur hidupnya, baru sekali ini memegang senjata itu. Kedua tangannya yang menggenggam batang pedang terlihat gemetar, namun gadis itu berusaha menguatkan semangatnya.

"Boleh kalian coba kalau ingin mampus!" dengus Cempaka Sari seraya menggertak kembali.

Ketiga laki-laki dari Lima Setan Jatayu itu masih tetap ragu. Malah salah seorang menoleh ke arah Ki Jatra Kendeng.

"Ki, bagaimana kalau dia terluka?"

"Bodoh kau! Biar kuselesaikan...?!" Ki Jatra Kendeng menggeram.

Tapi baru saja laki-laki itu akan turun tangan sendiri menangkap Cempaka Sari, sudah terdengar derap langkah kuda mendekati mereka. Ki Jatra Kendeng dan kawan-kawannya segera menoleh ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Tampak seorang pemuda tampan berambut panjang dan berbaju rompi putih tengah berkuda bersama seorang gadis cantik berbaju biru muda. Sebentar saja, kedua penunggang kuda itu telah tiba di tempat ini.

"Hei! Kalau tidak ada urusan, cepat pergi dari sini!" hardik Ki Jatra Kendeng.

Sementara itu Cempaka Sari yang melihat gadis berbaju biru itu langsung tersenyum lebar. Dia segera berlari cepat, menghampiri.

"Pandan Wangi, Sahabatku! Oh, syukur kau berada di sini!" seru Cempaka Sari.

"Cempaka Sari...!" gadis berbaju biru muda yang dipanggil Pandan Wangi terkejut. Buru-buru dia melompat turun dari punggung kudanya. Sementara pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum memandangi dua gadis yang kini berpelukan beberapa saat untuk menumpahkan perasaan rindu.

"Apa yang kau lakukan di sini Cempaka Sari. Dan, apa yang hendak mereka perbuat padamu?" tanya Pandan Wangi, sambil memandang tajam ke arah Lima Setan Jatayu.

"Ceritanya panjang.... Dan orang-orang ini ingin menangkapku."

"Menangkapmu? Apa salahmu?! Atau mereka yang memang mencari maut?!" dengus gadis berjuluk si Kipas Maut itu.

"Sial! Hm.... Kini jumlah kalian bertambah banyak. Nah, bersiaplah untuk mampus!" geram Ki Jatra Kendeng.

Lelaki itu langsung melompat hendak menangkap Cempaka Sari. Tapi, tentu saja Pandan Wangi tak tinggal diam. Melihat sahabatnya terancam, dia langsung memapak serangan Ki Jatra Kendeng.

"Hiiih!" Plak! Plak!

Ki Jatra Kendeng sedikit terkejut, begitu kepalan tangannya mudah sekali ditangkis Pandan Wangi. Serangannya segera dilanjutkan dengan sodokan ke perut Pandan Wangi lewat satu tendangan keras. Namun gadis itu segera melejit ke samping, lalu balas menyerang dengan menendang ke arah tengkuk.

"Uts!" Ki Jatra Kendeng cepat-cepat melompat ke belakang, sambil berjumpalitan. Sehingga, tendangan gadis itu luput dari sasaran. Namun dari situ bisa dirasakan angin serangan kencang yang menandakan kalau gadis berbaju biru muda ini memiliki tenaga dalam tinggi.

"Bagus! Rupanya kau berisi juga! Hm.... Dengan begitu, kita bisa bermain-main barang sejenak!" kata Ki Jatra Kendeng, sinis.

"Boleh saja kau katakan main-main. Tapi, aku justru menginginkan kepalamu!" sahut Pandan Wangi ketus.

"Ha ha ha...! Kau kira gampang berbuat seenakmu pada Ki Jatra Kendeng? He, Cah Ayu! Lebih baik kau dan kawanmu menyerah. Dan, jangan ikut campur urusan Lima Setan Jatayu, kalau mau selamat!" gertak Ki Jatra Kendeng.

"O, jadi kalian yang berjuluk Lima Setan Jatayu yang terkenal itu?!" tanya Pandan Wangi dengan wajah dipasang terkejut. Namun sebenarnya gadis itu hanya mengejek saja. Dan agaknya, kata-kata Pandan Wangi ditanggapi Ki Jatra Kendeng serta keempat kawannya.

"Ha ha ha...! Rupanya dia baru tahu siapa kita, Ki!" seru kawannya sambil ketawa lebar. "Lebih baik jangan dilepaskan begitu saja. Gadis ini telah mencampuri urusan orang. Dan untuk itu, dia patut dihukum. Dia harus meladeni kita berlima, lalu baru boleh dilepaskan begitu saja."

"Cih! Kalau aku terkejut mendengar Lima Setan Jatayu, bukan berarti takut. Justru hal ini telah lama kutunggu-tunggu, karena aku menginginkan kepala kalian untuk penghias isi rumahku!" dengus gadis berjuluk Kipas Maut itu.

"Kurang ajar...!" maki Ki Jatra Kendeng geram. Wajahnya berkerut menahan amarah.

"Ki Jatra Kendeng! Gadis liar ini jangan diberi hati lagi. Tangkap dan bereskan secepatnya. Biar kami yang mengurus Cempaka Sari!" dengus seorang kawannya. Gerahamnya terdengar berkerotokan, menahan geram.

Bersama ketiga kawannya, orang itu langsung hendak meringkus Cempaka Sari. Namun belum terlaksana, Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja, kini melompat menghadang.

"Boleh saja kalian meringkusnya. Tapi, tampaknya tak semudah itu!" kata Pendekar Rajawali Sakti tenang.

"Kurang ajar! Rupanya kalian memang sengaja mencari penyakit! Kau boleh mampus lebih dulu. Yeaaat!"

Seorang dari Lima Setan Jatayu langsung menerjang menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, tiga lainnya meneruskan niat hendak menangkap Cempaka Sari.

"Hup!"

"Kurang ajar!" Orang yang menyerang Rangga mendengus geram ketika tindakannya luput dari sasaran.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat cepat, ke arah orang-orang yang hendak menangkap Cempaka Sari. Tangan dan kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, melepaskan pukulan dan tendangan bertubi-tubi.

Duk!

Begkh! "Aaakh! Ukh! Aduh!"

Tiga orang itu kontan terdorong terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulan dan tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di tubuh mereka.

"Jangan coba-coba meneruskan niat kalian, selama aku masih berdiri di sini!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat! Kau kira bisa berlagak di depan kami?! Huh! Kau boleh mampus sekarang juga!" dengus salah seorang sambil mencabut pedangnya.

Sring!

Bersamaan dengan itu, orang yang bersenjata tombak berujung logam seperti bulan sabit ikut membantu menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan dua orang lainnya masih tetap mengincar Cempaka Sari. Melihat hal itu, Pendekar Rajawali Sakti segera bertindak cepat. Dengan pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskannya pukulan jarak jauh ke arah dua dari Lima Setan Jatayu yang hendak meringkus Cempaka Sari.

"Hiiih!" Werrr!

Mendapat serangan jarak jauh, kedua orang yang hendak menangkap Cempaka Sari terpaksa mengurungkan niat. Pada saat yang bersamaan, tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat mendekati gadis itu.

"Berlindunglah di belakangku, Nisanak!" ujar Rangga, langsung menggaet si Gadis itu ke belakang.

Sementara pada saat itu juga datang serangan berupa tebasan pedang ke leher Rangga.

Wuttt! "Uts!"

Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepalanya, menghindarinya. Kemudian tangan kirinya menangkis kepalan lawan lainnya yang hendak menyodok ke dadanya.

Plak!

Begitu menangkis, kaki kanan Rangga bergerak cepat Langsung dihantamnya lambung seorang lawan yang terdekat

Duk! "Akh!"

Orang itu menjerit kesakitan begitu tendangan Rangga mendarat telak di lambungnya. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah dengan perut langsung mulas.

"Setan!"

Tiga dari Lima Setan Jatayu semakin kalap saja melihat salah seorang dari kawanya ambruk di tanah. Mereka segera menyerang pemuda itu dengan ganas.

"Yeaaa!"

Secara bersamaan, mereka mengibaskan senjata ke seluruh bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan. Cepat bagai kilat Rangga melompat tinggi menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Langsung dilepaskan satu tendangan ke arah orang yang terdekat. Namun orang itu cepat menangkis dengan mengayunkan pedangnya. Maka dengan gerakan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti menekuk kakinya. Dan dalam keadaan masih di udara, tubuh Rangga berputaran dengan kaki melepaskan satu tendangan kilat ke arah tangan salah seorang lawannya.

Duk! Des! "Akh!"

Kembali satu dari Lima Setan Jatayu terjungkal sambil menjerit kesakitan. Pergelangan tangannya langsung remuk. Sedangkan pedang dalam genggamannya yang terlepas, langsung disambar Rangga. Seketika Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang dalam genggamannya, karena pada saat yang sama dua bilah senjata meluruk ke arahnya.

Trang! "Akh!"

Kembali terdengar jeritan tertahan. Tangan salah seorang lawan Pendekar Rajawali Sakti kembali kesemutan manakala menangkis senjata yang dipegang Rangga. Dan belum lagi dia bersiaga, ujung pedang itu menyambar dadanya.

Bret! "Aaakh!"

Orang itu terhuyung-huyung ke belakang, dengan dada berlumur darah, tersayat senjata yang dipegang Pendekar Rajawali Sakti. Melihat lawannya terluka, salah satu dari Lima Setan Jatayu menggeram hebat. Langsung pedangnya dikibaskan menyambar ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Rangga hanya mendengus dingin. Lalu sambil menundukkan kepala, tubuhnya berputar. Langsung dilepaskan satu tendangan ke arah orang itu.

Duk! "Akh!"

Kembali terdengar jeritan keras. Pergelangan tangan orang itu langsung patah terkulai. Sementara senjata dalam genggamannya terlempar jauh.

"Bangsat! Kau akan terima balasannya!" geram lawan Pendekar Rajawali Sakti yang tinggal seorang lagi. Dia segera melompat menyerang Rangga dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.

Rangga tersenyum dingin. Rangkaian jurus dari lima jurus 'Rajawali Sakti' yang sejak tadi digunakannya, sama sekali tidak mampu diimbangi lawan-lawannya. Kedua kakinya bergerak lincah, diikuti gerakan tangannya yang seperti kepakan sayap burung rajawali.

Kini Rangga berusaha menerobos pertahanan lawan. Sementara orang yang menjadi lawannya mengibaskan pedang, menyambar ke arah pinggang. Namun pedang itu hanya menebas angin, karena tahu-tahu Rangga sudah melenting ke atas. Bahkan tiba-tiba saja, tubuhnya meluruk melepaskan tendangan dahsyat dengan jurus 'Rajawali Menyambar Mangsa'. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang itu tidak mampu menghindar.

Begkh! "Aaakh!"

Untung saja tendangan Pendekar Rajawali Sakti hanya dialiri tenaga dalam sedikit, sehingga orang itu hanya merasakan sesak pada dadanya yang mendapat tendangan cukup keras.

"Kurang ajar!"

Empat dari Lima Setan Jatayu berusaha bangkit berdiri. Sedangkan Rangga hanya memandangi dengan tangan terlipat di depan dada. Dan belum juga orang itu sempurna berdirinya....

"Aaakh!"

Serentak empat dari Lima Setan Jatayu berpaling ke arah sumber suara. Tampak Ki Jatra Kendeng sudah tersungkur di tanah sambil memegangi pangkal lengannya yang mengucurkan darah segar terkena sabetan kipas Pandan Wangi. Dia berusaha bangkit, namun ujung kipas gadis berbaju biru itu telah mengancam lehernya.

"Kau boleh bangun kalau ingin mampus!" dengus Pandan Wangi mengancam.

"Eh! Aku..., aku...."

Wajah Ki Jatra Kendeng tampak pucat. Bahkan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Sementara Pandan Wangi melipat kipasnya dan menyelipkan di pinggang. Sambil berkacak pinggang, dia menatap tajam pada Ki Jatra Kendeng

"Cepat pergi dari sini. Atau, kutebas lehermu!'

"Eh! Baik..., baik...," sahut Ki Jatra Kendeng, seraya bangkit. Langsung keempat kawannya diajak pergi dari sini.

"Tunggu dulu...!" cegah Cempaka Sari membentak dengan wajah berang. "Aku harus tahu, siapa yang menyuruh kalian menangkapku?!"

"Eh...!" Ki Jatra Kendeng tersedak. Lalu ditatapnya gadis berbaju biru yang berjuluk si Kipas Maut dengan wajah bingung.

"Kau dengar pertanyaannya? Jawablah! Siapa yang telah menyuruh kalian?" timpal Pandan Wangi.

"Kisanak! Kami..., kami bisa terbunuh kalau sampai mengatakannya...."

"Hm.... Kalau begitu, kalian tidak sayang dengan nyawamu sendiri? Lebih baik aku saja yang membunuh kalian!" ancam Pandan Wangi, langsung mencabut kipas bajanya lagi.

Sring!

Wajah Ki Jatra Kendeng kembali pucat, melihat Pandan Wangi akan mengancamnya. Seketika kepalanya mengangguk cepat.

"Baiklah...."

"Cepat katakan! Dan, jangan cari-cari alasan!"

"Kanjeng Gusti Katut Denowo..."

"Hm, sudah kuduga!" desis Cempaka Sari mendengus sinis. "Nah! Pergilah kalian. Dan katakan pada pamanku, bahwa pekerjaannya akan sia-sia bila hendak menggulingkan kekuasaan ayahku!

"Ba... baik, Kanjeng Gusti Ayu," sahut Ki Jatra Kendeng seraya memberi hormat. Kemudian segera dia berlalu dari tempat itu diikuti kawan-kawannya.

Rangga dan Pandan Wangi diam saja seraya memperhatikan Lima Setan Jatayu yang segera berkelebat cepat berlalu. Lalu perlahan-lahan, dihampirinya Cempaka Sari yang masih mematung dengan wajah lesu.

"Cempaka.... Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa kau meninggalkan istana kerajaan sejauh ini...?" tanya Pandan Wangi lirih.

Gadis berbaju merah jambu itu berpaling. Kemudian dipandangnya Pandan Wangi beberapa saat. Wajahnya tampak berduka. Dan tanpa bisa menahan rasa sedih di harinya, dia memeluk sahabatnya disertai isak perlahan.

Pandan Wangi mendekap erat sahabatnya sambil mengusap-usap rambutnya. Untuk sesaat dia tidak tahu, apa yang harus dikatakan. "Sudahlah. Jangan terus menangis, Cempaka. Kau kini selamat bersama kami. Nah! Sekarang ceritakan padaku, apa yang telah menimpamu...?" bujuk si Kipas Maut

Gadis itu melepaskan pelukannya. Kemudian disekanya beberapa tetes airmata yang sempat membasahi pipi. Lalu matanya melirik Rangga. "Ah, aku lupa! Kenalkan ini temanku...!" seru Pandan Wangi, memperkenalkan Cempaka Sari dengan Rangga.

Mereka saling berjabat tangan. Lalu terlihat Cempaka Sari seperti bingung dan tidak tahu harus berkata apa, ketika memandang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja Rangga sempat menyadari. Maka segera dilepaskannya tangan berbentuk indah ini.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku? Ceritakanlah. Jangan malu. Kakang Rangga saat ini adalah orang terdekatku. Tidak ada yang kami sembunyikan...," Pandan Wangi, berusaha memecah kebisuan yang terjadi.

"Orang terdekatmu? Jadi benar berita yang kudengar itu...?" kata Cempaka Sari disertai senyum manis di bibir.

"Berita apa yang kau dengar?"

"Bukankah Kakang Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?"

Pandan Wangi mengangguk.

"Sungguh beruntung nasibmu, Pandan...."

"Kau ini bisa saja. Apakah hanya itu yang hendak kau ceritakan padaku?"

"Bukan. Kepergianku sebenarnya khusus untuk menemuimu!"

Menemuiku?"

"Ya! Aku memerlukan pertolonganmu...," sahut Cempaka Sari sambil mengangguk.

"Pertolongan apakah yang bisa kuberikan?"

"Kerajaan saat ini terancam, karena Paman Katut Denowo mengadakan pemberontakan...."

"Pamanmu mengadakan pemberontakan? Apa sebabnya?"

"Beliau merasa kalau dialah sebenarnya yang pantas menduduki tahta kerajaan. Ayahanda tidak berdaya, karena tidak bisa membedakan siapa yang setia dan siapa yang hendak berkhianat," jelas Cempaka Sari.

"Lalu, apa yang bisa dilakukan kedua saudaramu?"

Cempaka Sari menggeleng lesu. "Kakang Andang Jaya mementingkan diri sendiri dan hidup hanya untuk bersenang-senang. Sedang Kakang Satya Darma terlalu lemah, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu, kuputuskan untuk meminta bantuan padamu...."

Pandan Wangi menepuk pundak sahabatnya disertai senyum menghibur. "Cempaka Sari... Kau adalah sahabatku. Maka, sudah tentu aku akan membantumu dengan senang hati. Tapi, bagaimana caranya aku harus membantumu?" hibur Pandan Wangi.

"Saat ini, Ayahanda tidak punya orang yang bisa dipercaya. Untuk saat ini memang sulit mengetahui, siapa orang yang berkhianat padanya. Juga, berapa banyak prajurit kerajaan yang termakan hasutan Paman Katut Denowo. Sehingga, bila para pemberontak menyerang kerajaan, bisa dipastikan keadaan akan kacau-balau. Bahkan bukan tidak mungkin Ayahanda akan terbunuh...," jelas Cempaka Sari, langsung tertunduk lesu.

"Lalu?"

"Bukankah Kakang Rangga adalah Raja Karang Setra? Aku bersedia menjadi budak kalian, asalkan Kakang Rangga sudi membantu bersama pasukannya untuk menggempur para pemberontak! Pandan Wangi, tolonglah aku Kakang Rangga, tolonglah aku! Aku tidak tahu, kepada siapa lagi harus meminta pertolongan...!"

Cempaka Sari memandang sepasang pendekar dari Karang Setra itu bergantian. Wajahnya tampak memerah dan kelopak matanya sembab. Gadis itu kembali menangis, dengan wajah tertunduk dalam.

Pandan Wangi lantas memeluk sahabatnya erat-erat. "Cempaka! Kau tidak perlu berkata begitu. Aku akan membantumu sekuat kemampuanku. Begitu juga Kakang Rangga. Bukankah begitu, Kakang?"

"Eh! iya... iya...," sahut Rangga, sedikit gugup.

"Jawablah yang tegas, Kakang. Biar Cempaka Sari bisa tenteram hatinya," ujar si Kipas Maut.

"Tentu saja aku bersedia membantumu."

"Nah! Kau dengar, bukan? Kami bersedia membantumu. Tenangkanlah hatimu, Cempaka!" ujar Pandan Wangi. Dipandangi sahabatnya disertai senyum yang teramat manis. Lalu disekanya airma-ta Cempaka Sari.

Cempaka Sari tersenyum, sambil memandang keduanya bergantian. "Terima kasih, Kakang Rangga.... Terima kasih, Sahabatku...," kata gadis itu lirih. Kemudian dipeluknya Pandan Wangi dengan rasa haru.

********************

TIGA

Seorang laki-laki bertubuh sedikit kurus berusia sekitar empat puluh tahun, tengah duduk gelisah di sebuah ruangan indah di dalam sebuah bangunan megah seperti istana. Sesekali mulutnya mengunyah buah-buahan yang terdapat di sebelah kursi berukir. Di kanan dan kirinya duduk dua orang wanita cantik yang sesekali mengipasi. Sementara di sebelah masing-masing wanita itu, berdiri tegak dua orang laki-laki bertubuh kekar dan berkulit hitam bersenjatakan tombak.

Di depan laki-laki kurus yang terbungkus pakaian indah itu, duduk bersila beberapa orang laki-laki. Melihat cara berpakaian serta beberapa senjata yang tersandang, bisa diduga kalau mereka adalah orang-orang persilatan.

Sementara tepat di depan laki-laki kurus yang memakai mahkota seperti layaknya seorang raja itu duduk bersila lima orang laki-laki berwajah kasar. Tiga orang bersenjata pedang, seorang bersenjata tombak yang pada ujungnya terdapat logam berbentuk bulan sabit, sedang yang seorang lagi tak bersenjata. Tak salah lagi, mereka adalah Lima Setan Jatayu, yang melaporkan kejadian beberapa waktu yang lalu.

"Hm.... Jadi kalian gagal menangkapnya...?" tanya laki-laki kurus itu tenang seraya mengunyah sebuah jambu kelutuk.

"Jika saja kedua orang itu tidak muncul, kami akan mudah meringkusnya sahut yang duduk paling depan. Orang ini tak lain dari Ki Jatra Kendeng.

"Siapa kedua orang itu?"

"Kami tidak mengenalnya, Kanjeng Gusti Prabu...."

Laki-laki kurus yang tak lain Katut Denowo itu mengedarkan padangan ke sekeliling, menyapu orang-orang yang duduk didepannya.

"Adakah di antara kalian yang tahu, siapa kedua orang itu?" tanya Katut Denowo dengan suara lantang.

"Menurut ciri-ciri yang dijelaskan Ki Jatra Kendeng tadi, orang itu adalah Pendekar Rajawali Sakti!" sahut laki-laki bertubuh cebol dan berkulit gelap.

"Bagus, Ki Singkil Wadaya. Jadi kau mengenalnya?" tanya Katut Denowo.

"Aku tidak mengenalnya. Tapi, orang itu berbahaya."

"Lalu, siapa gadis yang bersamanya?"

"Bisa jadi si Kipas Maut, kekasih si Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki cebol yang ternyata bemama Singkil Wadaya.

"Hm...," Katut Denowo bergumam. Dia berpikir sejenak, kemudian tersenyum. "Jadi Ki Jatra Kendeng dijatuhkan si Kipas Maut. Sedangkan keempat kawannya ditaklukkan si Pendekar Rajawali Sakti. Apakah karena semata-mata menjatuhkan Lima Setan Jatayu, maka kau mengatakan kalau mereka berbahaya?"

"Maaf, Kanjeng Gusti Prabu! Pendekar Rajawali Sakti memang sudah terkenal kedigdayaannya. Dalam rimba persilatan, dia termasuk tokoh nomor satu," jelas Ki Singkil Wadaya.

"Lalu, apa bahayanya mereka bagi kita?"

"Jika Cempaka Sari benar adalah kawan si Kipas Maut, maka sudah barang tentu akan meminta pertolongan mereka. Dan kalau si Kipas Maut membantunya, maka Pendekar Rajawali Sakti pasti ikut campur pula," jelas Ki Singkil Wadaya lagi.

"Pertolongan apa yang kau maksud?"

Ki Singkil Wadaya tersenyum. Sementara, seorang laki-laki berwajah bersih dan berbaju bersih yang berada di dekat Katut Denowo ikut tersenyum.

"Apa artinya jika Cempaka Sari berjalan sejauh itu? Sudah pasti mencari bantuan...," kali ini, laki-laki berwajah bersih itu yang menjawab. Dan dia dikenal dengan nama Indra Paksi.

"Cempaka Sari masih belia. Lagi pula, tahu apa dia soal urusan kerajaan?" sangkal Katut Denowo.

"Kakang Katut Denowo! Jangan remehkan setiap ancaman sekecil apa pun. Boleh jadi, Cempaka Sari masih belia yang menurutmu tidak tahu apa-apa soal kerajaan. Tapi, dia cerdas. Dan kita harus waspada terhadapnya, serta apa yang dilakukannya," jelas Indra Paksi mengemukakan kecurigaannya.

Katut Denowo berpikir untuk sesaat. Kemudian kepalanya mengangguk-angguk perlahan. "Hm, baiklah. Kalau begitu, suruh mata-mata kita di sana untuk mengawasi setiap gerak-geriknya. Dan bila ada yang mencurigakan, maka bereskan dia secepatnya!" ujar Katut Denowo, tegas.

"Tentu saja, Kakang. Maaf. Karena sebelum Kakang perintahkan, aku telah menyuruh mata-mata untuk mengawasinya. Kalau tidak, mana mungkin kita mengetahui kepergiannya," jelas Indra Paksi.

"Bagus, Indra Paksi! Tidak percuma kau ku angkat sebagai penasihatku!"

"Dan satu hal lagi, Kakang!" tambahnya lagi.

"Apa itu?"

"Kedua kawan Cempaka Sari itu juga harus dibereskan, kalau mencoba membantu!"

"Kau lebih mengerti soal itu. Nah, lakukanlah yang terbaik!"

"Tentu saja, Kakang!"

"Indra Paksi, ingat! Pendekar Rajawali Sakti bukan tokoh sembarangan. Lalu bagaimana caranya untuk membereskan orang itu?" tanya Ki Singkil Wadaya heran. Bahkan mimik wajahnya menunjukkan perasaan sinis.

Ki Singkil Wadaya tahu betul kalau kepandaian Indra Paksi tidak terlalu hebat. Bahkan boleh dibilang, sama sekali tidak berarti. Dan Katut Denowo mengangkatnya sebagai penasihat, hanya karena pemikirannya yang selama ini sering cemerlang. Tapi untuk urusan Pendekar Rajawali Sakti, yang harus dilakukan bukan hanya mengakalinya. Sebab dia tahu betul, dalam dunia persilatan jika hendak membereskan seseorang maka yang harus dilakukan adalah pertarungan. Dan di antara semua tokoh yang berada di ruangan ini menyadari, kalau harus berpikir seribu kali bila ingin menaklukkan Pendekar Rajawali Sakti!

"Ki Singkil Wadaya! Kau meragukan kemampuan kita semua, heh?!" tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang duduk di seberangnya.

Wajah orang itu tampak gusar, mendengar kata-kata Ki Singkil Wadaya. Jelas, hatinya tersinggung, karena merasa dianggap remeh.

"Sudahlah, Ki Kebo Ungu. Ki Singkil Wadaya tidak bermaksud merendahkan kita semua. Dia hanya sekadar memperingatkan. Biarlah Pendekar Rajawali Sakti akan menjadi urusanku," sahut Indra Paksi, menengahi.

"Nah! Kuanggap persoalan ini telah selesai. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing, karena aku hendak beristirahat," ujar Katut Denowo. Segera dia beranjak dari ruangan ini, diikuti kedua wanita yang sejak tadi berada di dekatnya.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Tdak seperti tadi, kali ini Cempaka Sari menggebah kudanya perlahan-lahan. Dengan dua orang pendekar digdaya yang menemaninya, dia merasa aman. Dan ketika tiba di kotaraja, Rangga tidak ikut bersama mereka. Pendekar Rajawali Sakti telah kembali ke Karang Setra, untuk menyiapkan segala sesuatu guna membantu Kerajaan Kertaloka seperti yang dinginkan Cempaka Sari.

"Kau tidak apa-apa, bukan?" tanya Cempaka Sari ketika mereka menelusuri jalan utama di kotaraja yang agak lengang dengan berkuda.

"Kenapa?" Pandan Wangi balik bertanya.

"Karena harus berpisah dengan Kakang Rangga?"

Pandan Wangi hanya tersenyum. "Kami biasa berpisah untuk beberapa saat. Terutama saat Kakang Rangga hendak bepergian seorang diri," sahut gadis berjuluk Kipas Maut itu.

"Tidak takut kalau Kakang Rangga tergoda gadis lain?" pancing Cempaka Sari.

"Tentu saja ada. Namun, aku selalu percaya padanya. Kau sendiri, bagaimana?"

Cempaka Sari hanya tersenyum manis. Pandangannya dialihkan ke tempat lain. Seperti ada sesuatu yang hendak disembunyikannya. "Aku belum berpikir untuk mencari kekasih...," elak Cempaka Sari.

"Hati-hati saja, Cempaka! Kalau begini selamanya, sama saja melawan kodrat!" goda Pandan Wangi.

Cempaka Sari tersenyum. "Tentu saja tidak. Hanya saja, belum menemukan pemuda yang pantas...," sahut gadis itu pelan.

"Apakah kau ingin mencari pemuda dari kalangan bangsawan?"

"Soal itu tidak penting. Yang jelas, aku ingin mencari pemuda gagah yang bertanggung jawab, dan mempunyai sifat terpuji. Yah..., barangkali seperti kakangmu itu!"

Pandan Wangi hanya tertawa kecil. Dalam hati, dia merasa bangga mendengar kata-kata sahabatnya. Paling tidak, Cempaka Sari memujinya kalau Pandan Wangi telah mendapatkan kekasih yang baik.

Ketika Pandan Wangi dan Cempaka Sari hampir tiba di gerbang Istana Kerajaan Kertaloka yang dijaga empat orang prajurit, mendadak pintu itu terbuka lebar. Tak lama dari dalam benteng istana keluar beberapa orang, melewati pintu gerbang.

"Hei?! Banyak orang keluar dari pintu gerbang kerajaan! Siapa mereka?" seru Pandan Wangi langsung menghentikan langkah kudanya.

"Mungkin rakyat yang mengadukan nasibnya...," sahut Cempaka Sari ikut berhenti.

"Apakah ayahmu sering menerima mereka?"

"Ayahanda tentu saja bersedia menerimanya!" sahut Cempaka Sari cepat.

"Wajah mereka terlihat muram...," gumam Pandan Wangi.

Cempaka Sari juga melihat hal yang sama. Dalam hatinya, timbul tanda tanya yang dalam. Dan dengan keadaan berpakaian seperti rakyat biasa, orang akan kesulitan untuk mengenalinya. Dan ketika orang-orang itu makin dekat, Pandan Wangi bergegas melompat dari kudanya yang berbulu putih. Langsung menghadap orang tua itu.

"Maaf, Kisanak. Dari manakah kalian barusan?" tanya Pandan Wangi ramah.

Orang yang ditanya adalah laki-laki tua bertubuh sedikit kurus, berbaju lusuh. Matanya memandang Pandan Wangi sejenak, kemudian menunjuk istana kerajaan.

"Apakah kalian menghadap Gusti Prabu?"

Orang tua itu mengangguk

"Lalu kalian ini siapa? Dan, apa yang kalian inginkan?"

"Kami rombongan petani, yang baru saja menghadap Gusti Prabu untuk meminta keringanan pajak tahun ini, banyak panen yang gagal. Namun, pajak tetap dinaikkan...," sahut orang tua itu lesu.

"Pajak dinaikkan? Siapa yang telah memberi perintah?!" tanya Cempaka Sari dengan wajah berkerut heran. Bergegas gadis itu juga turun dari kudanya.

"Siapa lagi? Tentu saja Kanjeng Gusti Prabu!" sahut orang tua itu, bernada jengkel.

"Tidak mungkin!"

Orang tua itu memandang Cempaka Sari dengan wajah terkejut. "Nisanak! Apa maksudmu?"

"Eh, tidak. Tidak ada apa-apa. Lalu, bagaimana hasil yang kalian peroleh tadi?" Cempaka Sari berusaha menepis rasa terkejut di hatinya.

"Percuma saja. Gusti Prabu tidak berkenan menerima kami...," sahut orang tua itu, lesu.

"Beliau tidak bersedia menerima kalian?"

"Bukan hanya kami. Tapi, juga rombongan lain. Dan itu berlangsung sejak lama, sampai sekarang ini," jelas orang tua itu.

"Siapa yang melarang kalian menemui beliau?"

"Penjaga gerbang istana."

"Hm...," gumam Cempaka Sari sambil mengangguk.

"Kusarankan, kalau kalian hendak bertemu Gusti Prabu lebih baik urungkan saja niat itu. Akan sia-sia saja...," lanjut orang tua itu, segera melanjutkan perjalanan.

"Aneh! Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa Ayah tidak bersedia menerima mereka?" gumam gadis itu begitu orang tua tadi telah jauh. Dia memang seperti tidak percaya dengan yang didengarnya barusan.

"Apakah mata-mata pamanmu telah menelusup begitu jauh ke tubuh istana, sehingga mempengaruhi orang-orang penting di dalamnya?" tanya Pandan Wangi. Si Kipas Maut sengaja menanyakan persoalannya langsung kepada Cempaka Sari.

"Entahlah. Aku tidak mengerti persoalan ini...!" sahut Cempaka Sari bingung.

"Sudahlah.... Lebih baik, kita tanyakan pada penjaga gerbang istana, siapa yang menyuruhnya untuk tidak menerima kedatangan rakyat," hibur Pandan Wangi.

Cempaka Sari mengangguk. Kemudian diajaknya Pandan Wangi memasuki gerbang istana. Kedua gadis itu kembali menaiki kuda masing-masing. Sebentar kemudian, kuda-kuda itu telah berjalan perlahan, menuju pintu gerbang istana yang dikelilingi tembok tinggi ini.

"Berhenti!" cegah salah seorang prajurit yang menjaga, sambil memalangkan tombak.

Cempaka Sari langsung memandang tajam pada empat orang prajurit kerajaan yang bertugas mengawasi pintu gerbang istana. Seketika mereka menunduk dan buru-buru membukakan pintu, ketika gadis itu menunjukkan lencana kerajaan. Lencana itu memang menandakan kalau dia adalah keluarga kerajaan.

"Kalian tahu, siapa aku!" sentak Cempaka Sari.

"Ampun Kanjeng Gusti Ayu. Tentu saja kami tahu!" sahut empat prajurit itu serentak.

"Jawab pertanyaanku! Kenapa kalian tidak memperbolehkan rombongan petani itu masuk menghadap Ayahanda?!" tanya Cempaka Sari lagi dengan nada sengit.

"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Penjagaan harus diperketat, sebab para pemberontak mulai melancarkan gerakan secara tak terduga. Mereka sebenarnya bukan petani, tapi para pemberontak yang sedang menyamar untuk mengetahui keadaan istana kerajaan!" sahut salah satu penjaga, tetap menundukkan kepala.

Cempaka Sari terdiam, seperti hendak meyakinkan kata-kata penjaga pintu gerbang istana itu. "Mustahil! Jika mereka pemberontak, kenapa tidak diberitahukan prajurit lain untuk menangkap?"

"Kita tidak bisa menangkap mereka tanpa bukti kuat. Begitulah yang selalu ditetapkan Kanjeng Gusti Prabu," sahut prajurit itu.

"Jika tidak mempunyai bukti, lalu kenapa menuduh mereka pemberontak?!"

"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Hamba terpaksa berbuat seperti itu, sebab kerajaan sedang diancam malapetaka. Maka dalam setiap keadaan, kami dituntut untuk waspada dan hati-hati."

Cempaka Sari jadi kesal bukan main. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Jawaban penjaga pintu gerbang itu memang benar, karena memang harus menjalankan tugasnya dengan baik. Hanya saja, gadis itu merasa kalau kecurigaan mereka tidak beralasan.

"Pandan Wangi! Mari kita ke dalam...!" ajak gadis ini langsung menggebah kudanya berlalu dari tempat itu. Pandan Wangi pun bergegas mengikuti.

Begitu sampai di halaman depan istana kerajaan, mereka melompat turun. Kuda mereka segera diberikan pada dua orang pengurus kandang kuda. Dan Cempaka Sari pun segera mengajak Pandan Wangi ke bangunan keputren.

Tak lama mereka berjalan, sebentar saja sudah tiba di depan bangunan yang khusus dimasuki oleh kawan wanita saja. Dari dalam, muncul seorang wanita setengah baya menyambut mereka.

"Tolong sediakan jamuan makan untuk kami berdua!" ujar Cempaka Sari pada wanita setengah baya itu.

"Baik, Kanjeng Gusti Ayu...!"

Tanpa berkata lagi, Cempaka Sari terus mengajak Pandan Wangi ke ruangan pribadinya. Entah, apa yang dirasakan gadis itu. Namun hatinya kelihatan gelisah bercampur kesal.

"Aku tidak tahu, kenapa Ayah bisa berbuat seperti ini!" sungut gadis itu kesal, ketika mereka telah duduk-duduk di lantai bersandarkan ranjang berukir indah.

"Mungkin ada alasan lain yang menyebabkan beliau berbuat begitu...," hibur Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu banyak soal kehidupan rakyat di luar sana, karena jarang bepergian. Tapi apa yang kulihat belakangan ini begitu menyedihkan. Banyak rakyat Kertaloka yang hidup miskin...," desah gadis itu.

Pandan Wangi membiarkan Cempaka Sari menumpahkan rasa kesalnya beberapa saat. Dengan begitu, dia berharap beban hati yang dipendam gadis itu bisa sedikit berkurang. Dia hanya mendengar seksama sambil memperhatikan Cempaka Sari yang terus mengelus-elus seekor kucing berbulu putih di pangkuannya.

"Bukankah hal ini bisa dibicarakan dengan ayahandamu?" tanya Pandan Wangi, setelah gadis itu terdiam.

"Aku memang hendak menanyakannya pada Ayah!"

"Sebaiknya memang begitu. Namun caranya harus bijaksana dan hati-hari...," saran Pandan Wangi.

"Maksudmu?"

"Bicaralah berdua. Dan, jangan dalam suasana resmi. Kau bisa bicara di kamarmu, di kamar beliau, atau di mana saja yang kira-kira aman."

"Aku justru ingin bicara di muka seluruh pejabat istana, agar Ayah tahu bahwa kebijaksanaannya betul-betul tidak bijaksana dan merugikan rakyat. Beban pajak yang terus bertambah, apakah suatu kebijaksanaan di saat rakyat hidup kesusahan, kelaparan, dan ancaman yang sewaktu-waktu datang dari pemberontak!" sentak gadis itu seperti ingin menumpahkan segala beban batinnya.

"Cempaka, tenanglah. Jangan bersikap begitu. Kau harus bersikap tenang. Dengan begitu, pikiranmu bisa terkendali dan tidak hanyut oleh amarah yang hanya akan menimbulkan kekacauan...," ujar Pandan Wangi.

"Aku bingung menghadapi keadaan ini...," keluh Cempaka Sari lirih, seraya menundukkan kepala.

Pandan Wangi mendekat. Gadis itu bermaksud hendak memeluk Cempaka Sari. Namun belum juga dia bergerak, terdengar ketukan pintu. Cempaka Sari segera bangkit dan membukakan pintu. Tampak seorang wanita setengah baya muncul membawa sebuah baki lebar berisi makanan.

"Apa ini? Kenapa harus piringku dengan piring kawanku dibeda-bedakan?!" tanya Cempaka Sari.

Gadis itu jadi geram karena pelayan menghidangkan makanan dengan piring berbeda. Piring yang digunakan memang biasa dipakai keluarga kerajaan. Sedangkan bagi Pandan Wangi hanya terbuat dari persolen biasa yang diperuntukkan bagi tamu-tamu kurang penting.

"Sudahlah, Cempaka. Aku tidak merasa terhina karena piring ini. Derajat seseorang bukan ditentukan oleh piring. Dia tidak salah...," kata Pandan Wangi, sambil menyuruh pelayan itu untuk cepat berlalu.

Dengan wajah sedikit gugup, pelayan itu buru-buru keluar. Sedangkan Pandan Wangi cepat menutup pintu.

"Aku memang tidak pernah memasukkan kawan ke dalam kamar pribadiku ini...," aku Cempaka Sari.

"Berarti aku yang pertama?"

"Kau adalah kawan istimewaku...."

Senyum Cempaka Sari terhenti ketika tiba-tiba kucing yang tadi dielus-elus tampak seenaknya menyantap makanan yang dihidangkan bagi Pandan Wangi.

"Putih! Astaga! Jangan kurang ajar! Ini bukan untukmu. Ayo, ke sana...!" bentak Cempaka Sari, tangannya cepat mengibas mengusir kucingnya.

Kucing itu terkejut dan melompat, lalu bersembunyi di kolong meja. Wajahnya tampak berkerut, memandang gadis itu dengan sorot mata iba.

"Aduh! Dia memang nakal sekali! Aku tidak pernah mengajak makan orang lain di kamar ini. Dan dia hafal betul dengan piringku. Mungkin piring bagianmu dikira miliknya. Memang, aku sering memberinya makan dikamar ini," jelas Cempaka Sari, segera membersihkan makanan yang menjadi bekas bekas mulut kucing itu.

"Sudahlah, Cempaka Sari. Dibersihkan sedikit juga tidak mengapa..."

"Ini sungguh keterlaluan! Sudah piringmu dibedakan, lalu makananmu dicuri kucingku. Nah! Karena kau berkeras juga, maka aku pun harus berkeras!"

"Maksudmu?"

"Kau harus makan bagianku. Dan bagianmu menjadi bagianku. Tidak boleh membantah!"

"Mana bisa begitu?!"

"Jangan membantah!" tandas Cempaka Sari, cepat. Langsung disambarnya makanan yang tadi diperuntukkan bagi Pandan Wangi.

"Ayo, kita bersantap!"

Pandan Wangi tidak bisa mengelak. Dan pada saat Cempaka Sari akan menyuap makanan ke mulutnya, mendadak saja Pandan Wangi berpaling. Lalu secepat kilat tangan kirinya menghantam pelan ke pergelangan tangan sahabatnya yang siap masuk mulut.

"Cempaka! Jangan makan makanan itu!" cegah Pandan Wangi, berteriak

EMPAT

Cempaka Sari terkejut setengah mati. Sedangkan makanan yang hendak disuapnya berhamburan ke atas lantai beralaskan permadani hijau. Memang tindakan Pandan Wangi benar-benar mengejutkannya.

"Pandan Wangi, ada apa? Kenapa kau berbuat begitu?" tanya gadis itu, heran.

Tapi si Kipas Maut tidak mempedulikan. Segera dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati kolong meja. Setelah berjongkok ditariknya sesuatu dari kolong. Dan ternyata kucing berbulu putih peliharaan Cempaka Sari sudah terbaring lesu. Kelopak matanya nyaris tertutup rapat, dengan napas satu-satu.

"Astaga! Putih? Apa yang terjadi padamu?!" seru Cempaka Sari, langsung bangkit. Gadis itu menghambur hendak memeluk kucing kesayangannya.

"Jangan Cempaka! Bersihkan tanganmu! Ayo cepat!" tahan Pandan Wangi kembali. Langsung dicarinya sesuatu untuk membersihkan telapak tangan sahabatnya yang tadi sempat memegang makanan.

Cempaka Sari semakin bingung saja. Dia tidak tahu, apa yang telah terjadi. Dan, kenapa Pandan Wangi tiba-tiba bersikap aneh?

"Makanan itu beracun. Dan kucingmu telah menjadi korbannya. Ada seseorang yang tidak menyukai kehadiranku. Dan orang itu menginginkan kematianku!" desis Pandan Wangi gusar.

"Kurang ajar! Pasti pelayan itu. Dia sengaja membedakan piring, agar sasarannya tepat padamu. Orang itu pengkhianat. Dan dia akan dihukum mati!" geram Cempaka Sari, hendak beranjak keluar.

"Tahan dulu! Jangan sampai terjadi sesuatu padamu. Kau tidak boleh gegabah!" cegah Pandan Wangi.

"Ini tempatku. Dan, tidak seorang pun kuizinkan berbuat seenaknya pada tamuku!" dengus Cempaka Sari. Dan baru saja dia membuka pintu....

Set! Set!

"Awaaas...!" Pandan Wangi berteriak memperingatkan. Langsung ditubruk sahabatnya itu, sehingga mereka terjerembab. Sekelebatan tadi, si Kipas Maut melihat dua bilah pisau kecil melayang deras ke arah mereka dari pintu yang baru dibuka sedikit oleh Cempaka Sari.

"Cempaka! Kau di sini saja, jangan ke mana-mana! Tutup pintu. Dan jangan dibuka, kalau ada yang mengetuk selain aku!" teriak Pandan Wangi langsung melesat keluar mengejar penyerang gelap tadi.

Tapi baru saja Pandan Wangi tiba di luar pintu kamar, kembali datang serangan menyambarnya. Cepat bagai kilat gadis itu melejit ke atas. Sementara sosok penyerang gelap itu terus berkelebat, ke arah taman keputren. Dan begitu Pandan Wangi mendarat di lantai, langsung dikejarnya sosok tadi, disertai ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi.

Pandan Wangi terus melesat. Kembali tubuhnya melenting melewati orang yang mencurigakan itu. Setelah berputaran di udara, kakinya mendarat di depan orang itu.

"Yeaaa!"

Merasa mendapat jalan buntu, orang bertopeng hitam itu langsung mencabut pedangnya. Seketika diserangnya Pandan Wangi dengan ganas.

"Kurang ajar!" dengus Pandan Wangi.

Cepat bagai kilat gadis itu memiringkan tubuhnya. Sehingga. Tebasan itu luput dari sasaran. Tapi orang bertopeng itu seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Pedangnya kembali menyambar ke arah leher Pandan Wangi. Cepat gadis itu membungkuk, dan langsung melompat ke samping dengan satu sodokan keras lewat kepalan tangannya ke dada orang bertopeng itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang itu tak mampu menghindari. Lalu....

Begkh! "Akh!"

Orang bertopeng itu mengeluh tertahan begitu dadanya telak terhantam pukulan si Kipas Maut. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang menghantam tembok

"Sekarang perlihatkan mukamu! Siapa kau sebenarnya...!" desis Pandan Wangi geram.

Cepat bagai kilat gadis itu melompat hendak melucuti topeng orang itu. Namun sebelum niatnya terlaksana, di luar dugaan orang bertopeng itu menghunus pedang. Dan....

Blesss! "Aaa!"

Tanpa dapat dicegah lagi pedang orang itu menghujam ke perutnya sendiri. Bola matanya tampak membelalak lebar. Dan seketika itu pula, darah merembes keluar dari perutnya yang tertembus pedang.

"Setan!" Pandan Wangi segera melucuti topeng yang dikenakan orang itu.

"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?!" hardik si Kipas Maut, begitu di balik topeng itu temyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun.

"Aaa..., aaakh...!"

Pemuda itu belum sempat meneruskan kata-katanya, tapi tiba-tiba sebilah pisau berkelebat cepat dan langsung menembus jantung pemuda itu. Tanpa dapat menggelepar lagi, pemuda itu langsung tewas.

Pandan Wangi cepat berbalik ke arah datangnya pisau tadi dan lima orang prajurit kerajaan berdiri tegak di belakangnya.

"Orang seperti dia tidak patut hidup lebih lama...," kata salah seorang prajurit istana itu, mendengus geram. "Bawa mayat orang ini, dan lemparkan ke jurang!"

"Kenapa kalian masuk ke sini...?"

Kelima prajurit istana itu segera membungkuk memberi hormat, ketika tahu-tahu saja Cempaka Sari telah berada di tempat itu.

"Hormat kami, Kanjeng Gusti Ayu...!" ucap prajurit yang tadi memberi perintah untuk membuang mayat.

"Hm.....Kalian belum menjawab pertanyaanku. Keputren terlarang dimasuki laki-laki. Kenapa kalian begitu cepat berada di sini?" tanya Cempaka Sari curiga.

"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Hamba mengerti. Namun Kanjeng Gusti Prabu memberi perintah agar di sekeliling keputren dijaga ketat. Beliau mengkhawatirkan keselamatanmu, Kanjeng Gusti Ayu. Dan..., ternyata kekhawatirannya terbukti oleh kemunculan pemuda bertopeng ini. Maaf, kami terlambat datang...," sahut prajurit istana itu.

Setelah berkata begitu, mereka segera berlalu meninggalkan Cempaka Sari yang masih diam mematung dengan wajah kesal. Sedangkan Pandan Wangi tersenyum kecil, langsung membimbingnya kembali kekamar.

"Kita akan selidiki sampai tuntas...," hibur Pandan Wangi.

Tapi Cempaka Sari mendengus geram. "Akan kucari semua pengkhianat yang ada dalam istana kerajaan ini!"

"Tentu saja! Bukankah itu yang menjadi keinginanmu menemuiku? Tapi, jangan tunjukkan kecurigaanmu. Sebab, mereka akan semakin berhati-hati karenanya...," ujar Pandan Wangi.

Cempaka Sari hanya mengangguk pelan.

********************

Desa Gimus terletak di sebelah tenggara Kadipaten Kadung Gede, yang masih termasuk wilayah Kerajaan Kertaloka. Desa ini sekaligus berbatasan dengan wilayah kerajaan lain, sehingga tidak heran bila suasananya cukup ramai, karena sering dilalui orang yang hendak keluar masuk Kerajaan Kertaloka. Sebagai wilayah perbatasan, penjagaan di berbagai tempat kelihatan cukup ketat. Itu terlihat dari jumlah pasukan kadipaten yang terbilang banyak.

Melihat kemakmuran kadipaten itu membuat Katut Denowo selalu mengincar daerah ini untuk ditaklukkan. Tapi itu pun bukanlah pekerjaan muda. Melalui penasihatnya, Katut Denowo mendapat siasat yang jitu. Maka disusupkannya beberapa orang mata-mata, untuk mencari kelemahan pasukan prajurit.

Setelah memperoleh keterangan lengkap maka pada suatu pagi, pasukan para pemberontak mulai menyerang Desa Gimus, sebagai serangan awal untuk menaklukkan kadipaten.

Tentu saja serangan mendadak ini membuat penduduk Desa Gimus tersentak kaget. Betapa tidak? Lebih dari lima puluh pasukan pemberontak bersenjata lengkap telah mengepung wilayah itu. Bahkan mereka telah membunuh rakyat yang tidak berdosa, serta membakar rumah-rumah penduduk.

Keadaan ini membuat seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang selama ini dipercaya sebagai Kepala Desa Gimus, sibuk menyiapkan pasukannya yang terdiri dari rakyat biasa, ditambah para prajurit penjaga perbatasan. Namun kebanyakan dari mereka tewas sia-sia.

Untung saja, sebelum para pemberontak berhasil menaklukan desa itu, mendadak dari arah timur menyerbu sepasukan berkuda. Dan seketika mereka menghantam para pemberontak dengan sebuah serangan dahsyat.

"Yeaaa!"

"Heh?!" Seorang laki-laki bertubuh besar dengan sebilah golok besar di tangan, terkejut setengah mati. Laki-laki pemimpin pemberontak yang bernama Ki Danang Pura ini begitu geram mendapat serangan yang tak terduga.

"Kurang ajar! Pasukan dari mana mereka?!" bentak Ki Danang Pura geram.

"Ki Danang! Kami tidak tahu dari mana mereka berasal!" sahut seorang anak buahnya.

"Apakah mereka tidak membawa panji kerajaan?"

"Tidak. Malah mereka sama sekali tidak berseragam prajurit. Pakaian mereka sebagaimana layaknya para petani. Namun, kemampuan mereka hebat bukan main. Bahkan pasukan kita banyak yang tewas!" sahut anak buahnya menjelaskan.

"Keparat! Akan kupancung pemimpinnya agar tahu siapa kita!" desis Ki Danang Pura. Langsung kudanya digebah, mencari pemimpin kawanan berkuda yang menyerang pasukannya.

Tak lama Ki Danang Pura telah melihat seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun, tengah mengamuk dahsyat dengan pedangnya. Sambil mengendalikan kudanya yang berbulu coklat, pedangnya terus berkelebat, maka dalam waktu singkat sudah setengah pasukan pemberontak yang tewas.

"Bocah Edan! Kau cari mampus rupanya. Lawanlah aku!" seru Ki Danang Pura, langsung melompat dari punggung kudanya. Segera laki-laki itu melompat menyerang pemuda tampan ini dengan golok besar terhunus.

Begitu mendengar bentakan, pemuda itu cepat berbalik. Perhatiannya dialihkan pada lawan barunya. Lalu, dia juga melompat dari punggung kudanya.

"Yeaaa...!" Ki Danang Pura tampak begitu bernafsu untuk menghabisi pemuda itu secepatnya tanpa mempedulikan kemampuan. Dengan mengerahkan segenap kepandaiannya diharapkan pemuda yang dianggap sebagai pemimpin yang telah mengacau kerjanya ini, akan binasa dalam waktu singkat

Namun serangan Ki Danang Pura tampaknya akan sia-sia saja. Bukan hanya tidak mampu membinasakan pemuda itu dalam waktu singkat, tapi justru dia yang terdesak habis-habisan. Permainan pedang pemuda itu hebat bukan main. Bahkan kelebatan pedangnya mampu mengurung sekujur tubuh Ki Danang Pura yang mulai berkeringat dingin itu.

Trang!

Golok besar di tangan Ki Danang Pura langsung nyaris terlepas dari genggaman, begitu memapak serangan pemuda itu. Bahkan tangannya sampai bergetar seperti kesemutan. Tidak sampai di situ saja. Pemuda itu cepat melepaskan tendangan dahsyat yang berisi tenaga dalam tinggi. Buru-buru orang tua itu menunduk, menghindari serangan. Begitu berhasil menghindari serangan, Ki Danang Pura langsung membabatkan goloknya ke arah perut pemuda itu sambil tetap merundukkan tubuh.

Wuttt!

Namun, cepat sekali tubuh pemuda itu mencelat ke samping. Dan pada saat yang sama pedangnya juga berkelebat cepat bagai kilat ke arah perut Begitu cepatnya, sehingga kelebatan pedangnya tak bisa dihindari lagi.

Bret!

"Aaa...!" Ki Danang Pura kontan terpekik. Perutnya robek dan isinya terburai keluar, begitu mata pedang pemuda itu membabatnya. Darah langsung mengucur deras dari sela-sela jari tangan kiri yang mendekap lukanya, begitu mata pedang pemuda itu membabatnya. Dan ketika tubuhnya terhuyung-huyung, satu tendangan menggeledek kembali mendarat di dadanya.

Des!

"Aaakh!" Ki Danang Pura menjerit tertahan. Dan begitu tubuhnya ambruk mencium tanah, tak ada gerakan lagi. Mati.

"Ki Danang Pura tewas...!" teriak seorang anak buahnya.

Begitu mendengar teriakan, para pemberontak yang lain menjadi terkejut setengah mati. Dengan serentak mereka berbalik hendak melarikan diri. Namun pemuda yang menjadi lawan Ki Danang Pura tidak tinggal diam begitu saja. Bersama kawan-kawannya, dia menghajar para pemberontak hingga tercerai-berai. Sebagian ada yang berhasil melarikan diri dari desa itu. Sementara beberapa orang tidak sempat menyelamatkan diri, binasa di tangan pasukan itu.

"Biarkan! Tidak usah dikejar...!" teriak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tiba-tiba menyeruak di antara kawanan pasukan berkuda.

Tak ada yang berani membangkang dari perintah itu. Dan kini pasukan berkuda itu berkumpul di hadapan pemuda berbaju rompi putih. Sementara pemuda yang tadi telah membinasakan Ki Danang Pura maju ke depan, lalu membungkuk memberi hormat

"Kanjeng Gusti Prabu, musuh telah berhasil dipukul mundur. Dan pemimpinnya telah kami tewaskan. Kami menerima perintahmu selanjutnya!" kata pemuda itu.

"Kerjamu sangat bagus, Bayu Umbara! Perintahkan anak buahmu untuk menemui kepala desa ini," ujar pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

Namun belum pemuda yang bernama Bayu Umbara beranjak melaksanakan perintah, datang berduyun-duyun penduduk desa yang selamat dari amukan para pemberontak. Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki setengah baya, yang tak lain dari Kepala Desa Gimus. Begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti laki-laki itu menjura, memberi hormat dengan telapak tangan merapat di depan dada.

"Kisanak.... Aku Ki Dipati Ukur, kepala desa ini. Atas nama semua warga desa, kami mengucapkan beribu terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan. Sehingga, para pemberontak itu dapat dikalahkan...!"

Rangga hanya mengangguk sedikit, sambil mengangkat tangan kanannya. Sementara, senyumnya selalu tak lepas tersungging di bibir.

"Kalau boleh tahu, siapakah kalian ini sebenarnya? Apakah pasukan kerajaan yang didatangkan untuk membantu kami?" tanya Ki Dipati Ukur.

"Kau tidak perlu tahu siapa kami ini, Ki. Yang penting untuk sementara, kau dan warga desamu telah aman. Para pemberontak itu memang semakin ganas saja. Dan jumlah mereka juga amat banyak. Mungkin besok atau nanti, mereka akan kembali dengan jumlah besar. Untuk itu biarlah beberapa anak buahku berada disini untuk melatih seluruh laki-laki penduduk desa ini dalam ilmu perang. Sehingga, sepeninggal kami kalian semua mampu menjaga diri," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Oh, Kisanak. Jika kalian pergi meninggalkan kami, mana mungkin kami mampu menahan serangan mereka kembali?" tanya Ki Dipati Ukur dengan wajah cemas.

"Ki, kerajaan kalian terancam bahaya. Sementara, di mana-mana para pemberontak mulai mengacau. Kami berniat membantu kalian. Tapi, bukan berarti harus membantu satu wilayah. Maka, kalian juga harus ikut membantu sekuat daya kemampuan. Untuk itu, perintahkanlah beberapa orang pemuda desa ini untuk meminta bantuan pada prajurit kadipaten. Sehingga kalian cukup mempunyai orang-orang yang berkemampuan tinggi!" ujar Rangga.

Ki Dipati Ukur terdiam kemudian mengangguk lemah.

"Nah, Ki. Kami harus pergi. Terimalah beberapa orang anak buahku. Lalu, kumpulkan seluruh laki-laki di desa ini untuk bergabung bersama mereka untuk berlatih ilmu perang!"

Setelah berkata begitu, Rangga dan prajurit yang dipimpinnya segera menggebah kudanya. Sebentar saja mereka telah berlalu dari tempat ini, meninggalkan debu-debu yang membubung tinggi ke angkasa.

Rangga memang sengaja membawa sekitar tiga puluh prajurit Kerajaan Karang Setra. Para prajurit itu dipimpinnya sendiri, dibantu beberapa perwira tangguh memimpin beberapa orang tamtama. Sehingga, pasukannya dapat dibagi menjadi beberapa pasukan kecil. Para prajurit Karang Setra ini memang sengaja tidak memakai seragam kerajaan. Karena, Rangga yang juga Raja Karang Setra tak ingin dituduh telah melanggar wilayah kerajaan lain. Dengan pakaian seperti rakyat biasa, para prajurit akan lebih leluasa memasuki kerajaan lain, tanpa dituduh melakukan pelanggaran wilayah.

Dan Pendekar Rajawali Sakti juga menyebar mata-mata ke segala penjuru Kerajaan Kertaloka. Sehingga bisa didapat keterangan jelas, wilayah mana saja yang menjadi sasaran para pemberontak. Sebenarnya jumlah mata-mata yang disebar hampir menyamai jumlah pasukan yang dibawa. Kerja mereka berantai sehingga berita lebih cepat diterima oleh Rangga. Dengan demikian memudahkan bagi mereka untuk menyerang para pemberontak itu di tempat wilayah yang akan dikuasai para pemberontak.

Dan kini telah didapat berita kalau Desa Taram Goro yang berada di selatan Kadipaten Kadung Gede ini akan diserbu pemberontak. Maka Pendekar Rajawali Sakti dan pasukannya segera bergerak ke arah selatan untuk menghadapi pasukan pemberontak yang akan menguasai desa itu. Dan memang, apa yang dilaporkan mata-mata itu benar adanya. Begitu mereka tiba di sana, keadaan desa itu serupa dengan apa yang dialami Desa Gimus.

"Bagi dua daerah penyerangan! Satu ke arah kiri dan satu lagi dari belakang!" teriak Rangga, memberi perintah.

"Siap, Kanjeng Gusti Prabu!" sahut keempat prajurit yang memimpin pasukan kecil dan terdiri dari enam prajurit.

Serentak para prajurit bergerak bersamaan. Dua belas orang menggempur dari arah kiri. Sementara yang lain berputar lewat jalan samping, untuk mengejutkan pasukan pemberontak dari belakang. Rangga sendiri maju paling depan langsung mengobrak-abrik pasukan pemberontak. Tindakan ini membuat orang-orang itu terkejut. Bahkan beberapa orang tewas terjungkal diiringi jeritan panjang.

"Kurang ajar! Siapa orang yang mencari mati, hingga berani-beraninya mengacau kita?!" dengus kepala pasukan pemberontak yang berjumlah sekitar tiga puluh lima orang. Langsung kudanya digebah, menghampiri Rangga, diiringi sepuluh orang pasukannya.

Mereka cepat bagai kilat bergerak, mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Dengan menggenggam sebilah pedang yang dipinjamnya dari seorang. prajurit, Pendekar Rajawali Sakti cepat memapak serangan para pemberontak.

Trang!

"Yeaaa!" Tombak di tangan ketua pemberontak itu berkelebat cepat, menyambar leher dan dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan bagai kilat, pemuda itu melompat dari punggung kuda hitamnya sambil mengibaskan pedang. Mendapat serangan kilat ini, ketua pemberontak itu cepat menangkis. Dan begitu Rangga mendarat di tanah, dilepaskannya satu tendangan keras ke arah dada pemberontak.

"Aaakh...!" Ketua pemberontak itu kontan terjajar beberapa langkah. Dan belum juga sempat menyadari apa yang terjadi, pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat. Sehingga orang itu tak bisa menghindarinya. Dan....

Brettt!

"Aaa...!" Kepala pasukan pemberontak itu langsung terjungkal ke tanah, dan tewas dengan perut robek.

"Kurang ajar! Serang dia...!" teriak salah seorang pemberontak itu garang.

"Aaa...!" Namun belum lagi mereka berbuat sesuatu, terdengar teriakan gegap gempita yang disusul tewasnya beberapa orang pasukan pemberontak. Dua belas pasukan berkuda telah menghajar mereka dengan ganas. Orang-orang itu terkejut. Dan dengan kemarahan meluap, mereka mengalihkan perhatian untuk menyerang kedua belas penunggang kuda yang datang dari belakang. Tapi baru saja mereka menyusun kekuatan, sekonyong-konyong sepasukan lain menyerang dari samping.

Pasukan pemberontak kembali tersentak kaget. Dan dalam keadaan tidak siap, banyak di antara mereka yang terbunuh. Hal itu membuat pertahanan mereka kacau. Dengan kalang kabut mereka menghadapi gempuran yang tiba-tiba. Kini dengan meninggalkan kawan-kawannya yang terluka dan terbunuh, sisa-sisa pasukan pemberontak itu melarikan diri.

"Ayo, kita kejar mereka...!" teriak Rangga.

Sebelumnya, Pendekar Rajawali Sakti telah meninggalkan satu pasukan kecil di desa ini, untuk melakukan apa yang telah dilakukan di Desa Gimus. Yaitu, menghimpun kekuatan yang terdiri dari penduduk desa ini untuk diberi pelajaran ilmu perang.

********************

LIMA

Kali ini wajah Katut Denowo tampak garang mendengar laporan yang diberikan anak buahnya. Sebelumnya, tidak pernah dia semarah ini. Buah dalam genggamannya yang siap dikunyah, langsung dilemparkannya ke dinding sampai hancur berantakan. Kemudian, dia bangkit berdiri dan menuding garang.

"Kurang ajar! Apa yang bisa kalian lakukan, heh?! Kalian katakan, jumlah pasukan itu kecil. Tapi kenapa mampu mengalahkan jumlah kalian yang lebih besar!" hardik Katut Denowo.

Beberapa orang anak buahnya yang bersimpuh di atas permadani tebal, hanya diam sambil menundukkan kepala. Keheningan kini menjalari semua orang yang hadir dalam ruangan itu.

"Pasukan dari mana mereka? Apakah pasukan kerajaan?!" tanya Katut Denowo membentak.

"Kami tidak tahu, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.

"Tolol! Apakah kalian tidak bisa melihat tanda-tanda yang dibawa, atau seragam yang dikenakan?!"

"Mereka tidak membawa tanda apa-apa. Juga tidak memakai seragam. Seperti kawanan petani, atau barangkali para perampok...."

"Dasar tolol! Mana mungkin mereka kawanan perampok. Aku telah memerintahkan Jambuka Ireng kawanan perampok yang kini menguasai Desa Kampar, untuk tidak mengganggu prajuritku. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu!"

Anak buah Katut Denowo yang bersimpuh di depan, diam tidak menjawab. Mereka semakin dalam menundukkan kepala.

Katut Denowo menghela napas sesak. Wajahnya tampak semakin geram bercampur amarah memuncak. "Indra Paksi! Apakah sudah kau periksa, siapa yang memimpin pasukan itu sebenarnya?" tanya Katut Denowo pada penasihatnya.

"Maaf, Kakang Katut Denowo. Aku belum mengetahui pasukan dari mana yang telah menghajar pasukan kita. Tapi segera akan kuselidiki siapa sebenarnya mereka," sahut Indra Paksi.

"Maaf, Gusti Prabu Katut Denowo. Bolehkah aku berbicara...?" Terdengar suara menyela, membuat Katut Denowo berpaling ke arah datangnya suara.

"Hm.... Apa yang hendak kau katakan, Singkil Wadaya? Katakanlah segera!"

"Menurutku, kemungkinan besar pasukan itu dipimpin Pendekar Rajawali Sakti...," sahut orang yang ternyata Ki Singkil Wadaya.

"Apakah menurutmu Suryalaga meminjamkan prajuritnya untuk memerangi kita dengan cara menyamar?"

Ki Singkil Wadaya tersenyum seraya menggeleng.

"Lalu, apa maksudmu?" desak Katut Denowo.

"Menurut yang kudengar, Pendekar Rajawali Sakti itu adalah seorang raja..."

"Seorang raja? Dari kerajaan mana?"

"Dia adalah Raja Karang Setra," kali ini Indra Paksi yang menjawab.

"Hm... Berarti Karang Setra telah melanggar batas wilayah Kerajaan Kertaloka! Kurang ajar! Mereka harus diberi pelajaran pahit!" desis Katut Denowo garang.

"Maaf, Kakang Katut Denowo. Kita tidak punya bukti soal itu. Mereka tidak berseragam prajurit. Jadi, tidak bisa menuduh begitu saja. Kalau kita menyerang Karang Setra, maka ada dua hal yang akan kita peroleh. Pertama, harus menghadapi pasukan besar yang terlatih, sebab Karang Setra saat ini adalah kerajaan terkuat. Yang kedua, Karang Setra memiliki banyak sahabat di sekelilingnya. Dan bila diserang, maka kerajaan lain di sekelilingnya pasti akan membantu. Maka kemungkinan menang bagi kita sangat tipis. Bahkan bisa jadi kehancuran bagi kita...," jelas Indra Paksi mengemukakan pendapatnya.

Katut Denowo tampak kesal sekali mendengar penjelasan itu. Namun demikian, dia bisa mengerti meski harus memendam perasaan geram. "Kau katakan bisa menahan Pendekar Rajawali Sakti. Nah! Sekarang, menjadi urusanmu! Kuperintahkan padamu untuk membinasakan Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Katut Denowo, dengan wajah gusar.

"Tentu saja, Kakang!" sahut Indra Paksi sambil tersenyum kecil.

"Indra Paksi! Bagaimana caramu membinasakan Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Singkil Wadaya, bernada sinis.

"Itu urusanku!" sahut Indra Paksi enteng.

"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring memenuhi ruangan itu. Tawa itu berasal dari seorang wanita kurus berusia lima puluh tahun. Sejak tadi, dia memang diam saja mendengar pembicaraan itu. Wanita tua itu memiliki sejumlah gelang yang berderet di kedua lengan dan pergelangan kedua kakinya. Sehingga ketika kedua tangannya bergerak-gerak, suara gemerincing gelangnya terdengar hampir sama kuat dengan tawanya.

"Hi hi hi...! Kenapa repot-repot mengurusi Pendekar Rajawali Sakti? Serahkan bocah ingusan itu padaku. Maka segalanya akan menjadi beres!" kata wanita tua itu.

"Nyi Kincring! Kuserahkan pemuda itu menjadi urusanmu, setelah Indra Paksi mencobanya!" ujar Katut Denowo.

"Hi hi hi...! Kenapa harus berlama-lama segala?" tanya wanita yang bernama Nyi Kincring, jumawa.

Katut Denowo bukannya tidak mengerti. Dia tahu, wanita ini memiliki kesaktian hebat yang tidak bisa diragukan lagi. Dan semua tokoh persilatan yang dikumpulkannya sekarang ini, merasa sungkan kalau harus berbantahan dengannya. Tapi selama ini, dia merasa yakin kalau Indra Paksi jarang gagal dalam menangani tugasnya. Entah bagaimana caranya dia akan membinasakan si Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Katut Denowo terus memberi kesempatan padanya.

"Begitu Indra Paksi gagal, Maka Nyi Kincring boleh langsung mengambil alih tugasnya. Inilah keputusanku!" tandas Katut Denowo.

"Hi hi hi...! Kalau Kanjeng Gusti Prabu telah menetapkan seperti itu, maka aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mudah-mudahan Indra Paksi bisa menyelesaikan tugasnya. Sebab kalau tidak, maka kepala bocah ingusan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti akan menggelinding di sepanjang wilayah Kerajaan Kertaloka! Hi hi hi...!" seru wanita tua itu seraya tertawa nyaring.

********************

Wajah Cempaka Sari tampak gelisah. Gadis itu mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya. Namun, Pandan Wangi tersenyum berusaha menepis kecemasan Cempaka Sari.

"Kau yakin, Pandan...?"

"Kau meragukan kemampuanku?"

"Tapi, istana dijaga ketat. Dan kau bisa celaka kalau ketahuan."

"Maka doakanlah. Mudah-mudahan saja aku selamat"

Cempaka Sari cepat mengangguk. "Tapi, aku tetap saja cemas...."

Pandan Wangi kembali tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya. "Kau telah bicara dengan Ayahanda. Dan beliau terkejut oleh kenaikan pajak yang semakin cepat Kau katakan pula kalau hal itu di luar sepengetahuannya. Kebijaksanaannya selalu dijalankan Patih Narasoma. Maka, orang itu patut dicurigai. Apa sebabnya dia berbuat seperti itu dan dengan dasar apa?"

Cempaka Sari terdiam.

"Sudahlah ... Jangan terlalu banyak dipikirkan. Kita harus mencari tahu, siapa saja di dalam istana ini yang berkomplot menggulingkan kekuasaan ayahmu. Kau telah menanyakan pelayan yang membawa makanan pada kita. Namun, dia sama sekali tidak tahu-menahu soal racun dalam makanan. Mungkin dia benar, kalau ada orang lain yang memperalatnya. Tapi mungkin juga dia berdusta. Kita harus tetap waspada. Nah, aku pergi dulu...," jelas Pandan Wangi.

Begitu selesai dengan kata-katanya, si Kipas Maut langsung melesat ke atas, memasuki lubang wuwungan kamar untuk menuju ke luar. Dia memang berniat mencari keterangan tentang semua yang terjadi di kerajaan ini. Wajahnya kini ditutupi topeng hitam. Begitu juga sekujur tubuhnya yang memakai pakaian hitam pula. Di luar terlihat gelap. Malam belum lagi terlalu larut. Penjagaan berlangsung terus-menerus di setiap halaman istana kerajaan. Begitu menginjakkan kakinya di atap, Pandan Wangi berkelebat cepat, dan sesaat hilang dari pandangan.

Si Kipas Maut terus berkelebat dari satu atap ke atap lain. Pandangannya dipasang setajam mungkin, mengawasi setiap prajurit istana yang sedang berjaga. Lalu ketika melihat suasana telah aman, gadis itu melesat ke bangunan bertingkat tiga yang terletak di samping bangunan utama. Di situlah Patih Narasoma tinggal!

"Hup!" Gadis itu melompat ringan ke serambi samping bangunan yang paling atas. Menurut Cempaka Sari, Patih Narasoma tinggal di tingkat ini. Tubuhnya terus melesat ke atas, dan hinggap di atap sebuah kamar. Lalu dibukanya sebuah genteng.

Di dalam ruangan terlihat seorang laki-laki berusia empat puluh tahun berpakaian bagus. Dia duduk mengelilingi sebuah meja. Di samping kiri dan kanan, nampak dua orang laki-laki berwajah kasar. Sedangkan di depannya, terlihat seorang pemuda berpakaian bagus. Tadi, Cempaka Sari sempat memperkenalkan pemuda itu, yang tak lain dari Pangeran Andang Jaya. Sedangkan orang tua berpakaian bagus itu jelas Patih Narasoma. Namun keempat laki-laki yang lain, sama sekali tidak dikenalnya. Tapi dari cara berpakaian dan senjata yang dikenakan, bisa diduga kalau mereka adalah tokoh-tokoh persilatan. Entah apa yang dikenakan di tempat ini. Paling tidak, kehadirannya adalah atas undangan Patih Narasoma.

"Kurang ajar! Jadi, Pendekar Rajawali Sakti telah mengacaukan pasukan kita?!" desis Patih Narasoma, dengan wajah geram. Kepalan tangannya dipukulkan ke telapak tangan yang satunya.

"Begitulah yang kami dengar. Indra Paksi yang akan mengurusnya. Dan kalau dia gagal, maka Nyi Kincring yang akan mengatasi pemuda itu," jelas salah seorang tamunya.

"Indra Paksi? Apa yang bisa dilakukannya? Huh! Dia hanya cari perhatian saja!" dengus Patih Narasoma.

"Katanya, dia punya cara untuk mengatasi pemuda ini...," jelas tamunya itu.

"Kami juga membawa pesan yang lain, Gusti Patih...."

"Pesan apa?"

Orang itu tidak langsung menjawab. Malah diperhatikannya keadaan sekeliling, seraya menajamkan pendengaran.

"Apakah tempat ini aman?"

"Jambak Situs! Kau tidak perlu meragukannya! Setengah dari prajurit kerajaan berada di tanganku!" sahut Patih Narasoma, memberi jaminan.

"Bagaimana dengan Panglima Panji Dharmala?"

"Jangan pedulikan! Dia terlalu setia pada si Suryalaga. Tapi kedua kaki tangannya telah berada dalam genggaman kita!"

"Hm, bagus! Kerjamu sangat bagus, Gusti Patih!" puji Jambak Situs.

"Nah! Sekarang katakan, pesan apa lagi yang kau bawa dari Kanjeng Gusti Prabu Katut Denowo?"

"Sehubungan ulah si Pendekar Rajawali Sakti, maka beliau menginginkan agar rencana dipercepat. Sebelum fajar, beliau menginginkan agar kerajaan ini harus jatuh. Untuk itulah kami berada di sini, membawa Kebo Ungu dan Singkil Wadaya guna membantu gerakan kita," jelas Jambak Situs.

"Baiklah kalau hal itu yang diinginkannya. Maka malam ini juga, semua pasukan akan disiagakan!" sahut Patih Narasoma. Laki-laki itu segera berpaling pada pemuda di depannya sambil tersenyum kecil.

"Bagaimana dengan kawan si Cempaka Sari, Kanjeng Pangeran?"

"Seperti yang Paman lihat sendiri, anak buahku telah gagal membunuhnya. Dia akan menjadi duri di dalam daging...," sahut Pangeran Andang Jaya, mengeluh pelan.

Patih Narasoma tersenyum. "He he he...! Tidak apa kalau kau tidak bisa menjalankan tugasmu dengan baik. Serahkan saja urusan gadis itu pada Paman. Besok sebelum fajar, dia akan terima kematiannya seperti yang lain."

"Tapi, Paman Patih. Apakah..., apakah kau akan membunuh ayah dan ibuku juga...?"

"He he he...! Jangan khawatir, Pangeran. Beliau akan selamat, asal tidak berbuat macam-macam."

"Tapi...."

"Sudahlah. Tak usah dikhawatirkan. Akan kujamin keselamatan mereka. Dan setelah semua ini selesai, akan segera kukirim utusan untuk melamar putri dari negeri Tiongkok yang kau inginkan itu! Ha ha ha...!"

Pangeran Andang Jaya tersenyum seraya mengangkat guci berisi arak di depannya.

"Mari kita minum untuk kejayaan bersama!"

"Mari...!" sambut yang lain seraya menenggak isi guci masing-masing.

********************

Malam semakin bertambah pekat. Dan di sekitar keputren terlihat sepi. Beberapa prajurit yang tadi berjaga, mendadak saja meninggalkan tempatnya. Bukan hanya di sekitar keputren saja yang terlihat sepi. Namun juga di sekitar bangunan utama juga terlihat senyap. Hanya terlihat beberapa orang prajurit saja yang berjaga di setiap pintu masuk.

Malam terus bergulir. Dan dari kejauhan, terdengar sayup-sayup ayam jantan berkokok. Tampak beberapa bayangan mengendap-endap memasuki keputren yang biasa dijaga ketat. Dan pada saat yang bersamaan, lebih dari dua puluh orang melangkah pelan mendekati bangunan utama.

Set!

Mendadak berkelebat beberapa batang anak panah ke arah prajurit penjaga. Dan...

Crab!

"Aaa!" Dua batang anak panah langsung menancap tepat di jantung dua orang prajurit yang berjaga di pintu utama. Sementara, prajurit-prajurit lain mendapat bagian yang sama. Saat itu juga berlompatan beberapa bayangan yang tadi mengendap-endap. Mereka memasuki pintu dengan mendobrak, lalu disertai teriakan lantang menyerbu ke dalam.

"Seraaang!"

"Heaaa!"

Namun bersamaan dengan itu, terdengar teriakan lain. Ternyata puluhan prajurit penjaga langsung menyambut serangan itu dari dalam dengan gencar. Beberapa orang yang tadi menyerang jadi terkejut. Lebih terkejut lagi, ketika datang serangan mendadak dari arah belakang. Obor-obor tampak mulai menyala hampir bersamaan dan mengurung dari segala penjuru. Kini orang-orang yang tadi mengendap-endap terjepit di tengah-tengah.

"Hajar mereka...!"

Terdengar teriakan berkumandang yang dikeluarkan seorang laki-laki gagah berusia empat puluh tahun lebih. Tangan kanannya mengangkat sebilah pedang sebagai isyarat. Dan dia adalah Panglima Panji Dharmala.

Set! Set!

Seketika datang serbuan panah yang memang telah disiapkan prajurit penjaga.

Crab! Crab!

"Aaa...!" Puluhan batang anak panah kontan menghajar orang-orang yang tengah terkepung. Mereka berlarian ke sana kemari dengan kalang kabut. Namun begitu, yang lain berusaha melawan. Melihat keberanian ini, orang-orang yang tadi nyalinya mulai ciut kembali bangkit untuk mengadakan perlawanan.

"Yeaaat!"

Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Jeritan panjang dan tubuh-tubuh bersimbah darah mulai mewarnai pagi yang masih gelap. Di salah satu pojok pertempuran, terlihat empat orang mengamuk hebat, sehingga banyak menewaskan prajurit kerajaan. Tak lama, sesosok tubuh ramping langsung berkelebat ke arah empat orang itu.

Trak! Wuuut!

"Heh?!" Dua orang dari mereka terkejut ketika senjata masing-masing ditangkis sosok tubuh ramping yang tidak lain dari Pandan Wangi.

"Sial! Rupanya kau perempuan brengsek itu, heh?!" geram orang bertubuh besar dan berkulit hitam. Senjatanya yang berupa tombak diayunkan.

"Hup!" Pandan Wangi melejit ke atas, menghindari serangan. "Kalian mencariku di keputren, bukan? Tapi yang kalian temukan di sana hanya bantal-bantal berselimut. Rencana busuk kalian tidak ada artinya. Dan hari ini, para pemberontak busuk seperti kalian akan mendapat hukuman setimpal!" kata Pandan Wangi, sinis.

"Kurang ajar! Kau telah tahu rencana kami?!" hardik seorang lagi.

Orang itu bertubuh pendek dengan kepala sedikit botak. Senjata andalannya yang berupa rantai besi panjang dan berujung runcing, melesat sambil meliuk-liuk menyambar Pandan Wangi.

Srak! Trak!

Pandan Wangi segera mencabut kipas di pinggang. Langsung ditangkisnya senjata laki-laki itu. Tubuhnya sendiri mencelat ke samping sambil berputar dua kali untuk menghindari serangan tombak lawan yang lain.

"Hm.... Rencana busuk kalian akan terbongkar hari ini!" dengus si Kipas Maut.

"Huh! Kau kira semudah itu, Gadis Liar?! Meski yang lainnya binasa, tapi kau akan segera menyusul di tangan Kebo Ungu!" desis laki-laki bertubuh besar dan berkulit hitam itu yang mengaku sebagai Kebo Ungu.

"Bagus! Aku ingin lihat, sampai di mana kemampuan para pemberontak seperti kalian!" sahut Pandan Wangi.

Bisa jadi Kebo Ungu memiliki kemampuan ilmu olah kanuragan yang hebat. Namun pengalamannya dalam bertarung agaknya masih kurang. Dia tak begitu banyak mengenal tokoh persilatan. Bahkan cenderung menganggap dirinya paling hebat. Namun saat Pandan Wangi mulai mendesaknya, Kebo Ungu kalang kabut sendiri. Masih untung, kawannya yang tidak lain dari Ki Singkil Wadaya cukup merepotkan gadis itu.

"Sial!" Gadis itu memaki geram. Kipasnya nyaris menyambar Kebo Ungu yang sudah kalang kabut menyelamatkan diri. Namun, ujung senjata Ki Singkil Wadaya cepat meliuk menyambar perutnya, seperti mulut seekor ular. Terpaksa dia harus menangkis serangan itu lebih dulu.

"Hm.... Aku semakin yakin kalau kau adalah si Kipas Maut. Sungguh suatu kehormatan bagiku bisa bertarung denganmu," kata Ki Singkil Wadaya dengan nada merendah.

Pujian itu mungkin akan membuat lawan besar kepala dan akhirnya akan menganggap enteng. Tapi, Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Dia sedang berpikir keras, bagaimana cara menalukkan kedua lawannya. Lalu setelah mendapat keputusan, dia segera melompat tinggi. Lalu diserangnya Ki Singkil Wadaya dengan gencar.

"Yeaaa!"

Kipas Mautnya terus menangkis, dan cepat balas menyerang. Untuk menghadapi Kebo Ungu, Pandan Wangi hanya mengelak. Dan perhatian serangannya dipusatkan pada Ki Singkil Wadaya.

"Heaaa!"

Trak! Wuuut!

Ujung rantai Ki Singkil Wadaya menyambar ke arah pinggang. Tapi cepat bagai kilat gadis itu mengibaskan senjata kipas di tangan. Lalu kaki kanannya menendang ke arah dada. Ki Singkil Wadaya terpaksa melompat ke belakang. Namun, ujung kipas Pandan Wangi telah mencelat mengejar lehernya. Untung saja pada saat itu juga Kebo Ungu mengibaskan tombaknya ke arah gadis itu.

"Yaaat!"

ENAM

Cepat sekali Pandan Wangi membungkuk, kemudian bergerak ke samping. Pada saat yang bersamaan, kipasnya berkelebat ke perut Kebo Ungu.

Bret!

"Aaakh!" Laki-laki bertubuh besar dan berkulit hitam itu terpekik keras. Tubuhnya terjungkal ke tanah bermandikan darah dengan perut robek.

Pandan Wangi segera tahu kalau pertahanan Kebo Ungu sangat buruk. Dia terlalu bernafsu menyerang tanpa menghiraukan serangan balik yang tiba-tiba. Pandan Wangi memang sengaja mencecar Ki Singkil Wadaya, dan merencanakan untuk mengincar kelengahan Kebo Ungu. Maka ketika kesempatan itu tiba, tanpa membuang-buang waktu lagi dibabatnya perut Kebo Ungu.

"Kurang ajar! Kau harus membayar kematiannya, Gadis Liar!" desis Ki Singkil Wadaya geram.

"Huh! Kalau mampu, cepat lakukanlah!" balas Pandan Wangi garang.

Kali ini, si Kipas Maut tidak terlalu kerepotan untuk memapak serangan Ki Singkil Wadaya. Meski senjata laki-laki bertubuh pendek itu meliuk-liuk menyambar, tapi gesit sekali gadis itu mengelak. Bahkan sesekali menangkis dengan Kipas Mautnya.

"Hiaaat!"

Bet!

Ki Singkil Wadaya melompat sambil berputaran. Begitu meluruk, kaki kirinya dihantamkan ke arah pinggang Pandan Wangi. Cepat bagai kilat gadis itu menangkis dengan kipasnya. Tentu saja Ki Singkil Wadaya tak ingin kehilangan kakinya. Cepat kedua kakinya ditekuk sambil berjumpalitan ke belakang. Sementara ujung rantainya menyambar deras ke arah dada Pandan Wangi.

"Hup!" Gadis itu mencelat ke atas. Kemudian, tubuhnya menukik deras sambil menghunuskan ujung kipasnya.

Trak! Trak! Wusss! Bret!

Senjata Ki Singkil Wadaya dihantam Pandan Wangi dengan kipasnya, yang kemudian menyambar ke arah leher. Ki Singkil Wadaya terkejut. Laki-laki itu berusaha menghindar ke belakang. Namun bersamaan itu, tubuh Pandan Wangi mencelat deras. Langsung kipasnya disabetkan ke arah perut laki-laki itu.

Bret!

"Aaa!" Orang tua bertubuh pendek itu kontan terpekik nyaring, begitu tersambar kipas Pandan Wangi di perutnya. Begitu ambruk di tanah, dia tewas bersimbah darah. Pandan Wangi mendengus sambil memandang ke sekeliling. Lalu, dia kembali mengamuk hebat menghajar pihak pemberontak yang dipimpin langsung Patih Narasoma.

Pertempuran berlangsung singkat. Panglima Panji Dharmala berhasil mengatasi dua pentolan pemberontak. Para prajurit kerajaan yang ikut dalam pemberontakan juga menyerah, digiring ke ruang tahanan. Sementara prajurit kerajaan yang masih setia pada Prabu Suryalaga bersorak-sorak menyambut kemenangan. Sementara itu Cempaka Sari berlari-lari kecil menghampiri Pandan Wangi. Kemudian dipeluknya erat-erat sahabatnya itu.

"Terima kasih, Sahabatku! Terima kasih...! Aku tidak tahu harus bagaimana membalas budi baikmu. Kalau saja kau tidak lekas-lekas memberitahu hal ini, maka tidak tahu apa yang bakal terjadi pada kami semua...."

Pandan Wangi hanya tersenyum-senyum ketika gadis itu membawanya menghadap Prabu Suryalaga. Laki-laki tua itu berdiri menyambut di ambang pintu bersama Panglima Panji Dharmala.

"Pandan Wangi! Seluruh rakyat Kerajaan Kertaloka dan aku sendiri, mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas pertolonganmu," ucap sang Prabu.

"Kanjeng Gusti Prabu, hamba merasa senang bisa ikut membantu menumpas para pemberontak. Tapi ini baru sebagian kecil. Sebab menurut hamba yang lainnya akan segera menyusul...."

"Ya! Aku mengerti. Semua pasukan kerajaan akan disiapkan untuk menyambut serangan para pemberontak lainnya."

"Pasukan Kanjeng Gusti Prabu telah berkurang banyak. Dan yang tersisa amat sedikit. Sedangkan kita tidak tahu, bagaimana kekuatan pasukan pemberontak lainnya...."

Sang Prabu terdiam beberapa saat. Sebelum menjebloskan Patih Narasoma dan yang lain ke dalam penjara, Panglima Panji Dharmala sempat menanyai soal jumlah pasukan pemberontak lainnya. Sehingga, bisa disadari bila pasukan pemberontak menyerbu ke kotaraja ini, maka sulit bagi pasukan kerajaan untuk mempertahankan diri. Karena, jumlah pemberontak cukup banyak.

"Pandan Wangi, apakah Kakang Rangga...."

"Mudah-mudahan dia cepat tiba di sini bersama pasukannya," sahut Pandan Wangi, cepat memotong pembicaraan Cempaka Sari yang kelihatan sungkan.

"Pasukan? Pasukan dari mana?" tanya Prabu Suryalaga heran.

Cempaka Sari lantas menceritakan pertemuan serta pembicaraannya dengan Pandan Wangi dan Rangga. Juga bantuan yang akan diberikan pasukan Karang Setra kepada Kerajaan Kertaloka.

"Jadi..., ah! Semestinya aku merasa malu karena tidak menghormatimu...," kata Prabu Suryalaga ketika Cempaka Sari menceritakan kalau Pandan Wangi adalah kekasih Raja Karang Setra.

********************

Pendekar Rajawali Sakti menggebah kuda hitamnya perlahan-lahan menuju kotaraja. Untuk tiba di sana, akan memakan waktu setengah harian. Namun, Rangga tidak ingin beristirahat. Padahal, saat ini telah lewat tengah malam. Pikirannya gelisah tidak menentu. Dia mengkhawatirkan keadaan Pandan Wangi di Istana Kerajaan Kertaloka. Keadaan di sana tidak aman. Dan entah, apa yang akan terjadi. Mungkin para pengkhianat yang berpihak pada Katut Denowo mencurigainya. Lalu, berupaya untuk melenyapkannya. Atau mungkin juga Pandan Wangi dan Cempaka Sari tidak sampai di istana kerajaan, karena mendapat hambatan di tengah jalanan.

"Hhh...!" Rangga menghela napas panjang.

Langkah Dewa Bayu membawanya ke sebuah kampung kecil. Tempat ini berada dalam wilayah Kadipaten Pakasan, agak ke sebelah utara. Dari sini, setelah menyeberangi sebuah hutan kecil maka akan tiba di pinggiran kotaraja.

"Lebih baik aku beristirahat barang sejenak...," desah Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat beberapa penduduk telah bangun. Bahkan satu atau dua orang telah duduk-duduk di beranda depan rumahnya.

Pemuda itu hendak memasuki sebuah rumah. Namun saat itu terdengar derap langkah kaki kuda dari belakang. Dengan sigap, Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Tampak penunggang kuda itu tersungkur sambil mengeluh kesakitan. Rangga buru-buru menghampiri, untuk melihat keadaan orang yang bersimbah darah itu.

"Nisanak! Astaga! Apa yang terjadi padamu...?!" seru Rangga kaget seraya memapah tubuh wanita itu.

"Aku..., aku diserang ka... kawanan pemberontak! Dan... oh, tolong...," suara wanita itu terdengar tersendat-sendat.

Rangga segera membopong tubuh wanita itu. Dia bermaksud membawanya ke dalam rumah salah seorang penduduk yang saat ini tengah berdiri dan langsung berlari-lari kecil menghampiri.

"Astaga! Apa yang telah terjadi...?!"

"Kisanak! Bolehkah menumpang di rumahmu? Wanita ini terluka parah?!" kata Rangga.

"Oh, silakan! Silakan...!" sahut orang itu seraya mengajak mereka ke dalam.

Namun, mendadak saja....

Crab! Des!

"Aaakh!" Rangga mengeluh tertahan. Dan seketika tubuhnya terlempar sampai berguling-gulingan. Begitu bangkit di tanah, Rangga terkesiap kaget. Tangan kanannya yang mendekap perut di bagian kiri tampak mengucurkan darah. Dan dadanya terasa nyeri akibat hantaman pukulan yang keras bukan main. Sementara wanita yang tadi dibopongnya mencelat ringan dan berdiri tegak sambil menyeringai lebar. Tangan kanannya menggenggam sebilah belati yang masih berlumur darah.

"Keparat! Siapa kau...?!" bentak Pendekar Rajawali Sakti geram seraya berusaha berdiri. Langsung diberikannya beberapa totokan di bagian sekitar lukanya.

"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Ajalmu sebentar lagi akan tiba. Sayang, orang segagah sepertimu harus mati karena perbuatamu yang sok pahlawan...," sahut wanita berambut panjang itu seraya tertawa nyaring.

Orang desa yang bermaksud hendak menolong jadi terkejut. Dan dia buru-buru masuk ke dalam rumahnya, langsung menutup pintu. Wajahnya tampak terkejut, sekaligus ketakutan. Dari lubang di sela-sela dinding rumahnya, dia mengintip apa yang terjadi selanjutnya.

"Apa maksudmu?!" sentak Rangga.

"Maksudku, kalau saja kau berada di pihak kami, maka sudah tentu aku tidak akan membiarkanmu mati secara amat menyedihkan...," sahut wanita itu.

"Kurang ajar! Jadi kau dari pihak pemberontak?" sentak Rangga.

"Hi hi hi...! Ternyata kau telah semakin pintar.

Nah! Sekarang, tidak usah banyak bicara lagi. Katakan saja satu keinginanmu, sebelum kau mati di tanganku!"

Rangga menyeringai menahan sakit pada lukanya. "Tidak semudah itu kau bisa membunuhku!" kata Rangga dingin.

"Begitukah menurutmu? Kita lihat sekarang," sahut wanita itu enteng.

Tiba-tiba saja, wanita itu melompat ringan. Lalu disambarnya Pendekar Rajawali Sakti sambil menghantam lewat satu tendangan menggeledek.

"Yaaa...!"

"Hup!" Cepat bagai kilat Rangga bergerak ke kiri. Sehingga tendangan itu luput dari sasaran. Dan Pendekar Rajawali Sakti terus menundukkan kepala, ketika wanita itu melakukan serangan berikut lewat tendangan kaki kiri. Begitu kedua tendangannya dapat dielakkan Pendekar Rajawali Sakti, wanita itu mendengus geram. Lalu dikirimkannya sodokan keras ke arah dada. Rangga cepat melompat ke belakang, namun wanita itu mengejarnya disertai lemparan dua bilah pisau ke arah dada dan perut.

"Hiiih!" Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menjatuhkan diri ke tanah, kemudian bergulingan. Sehingga kedua pisau itu luput dari sasaran. Namun baru saja dia bangkit berdiri, wanita itu telah mengirim serangan susulan lewat dua bilah pisau yang meluncur deras ke arah tengkuk dan punggung kiri.

Maka dengan gerakan cepat, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan. Begitu tercabut, pedang itu langsung dikibaskan ke arah pisau-pisau yang meluncur ke arahnya.

Sring! Tras!

Kelebatan pedang pusaka di tangan Pendekar Rajawali Sakti kontan membabat dua bilah pisau hingga hancur berantakan. Kemudian tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat, menghadang tubuh wanita itu.

Wanita itu jadi terkejut. Bukan saja karena batang pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bersinar kebiru-biruan di malam gelap menjelang subuh ini, tapi juga karena Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak cepat meski tubuhnya telah terluka.

"Yeaaa!" Wuuuk!

Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti nyaris menyambar leher wanita itu, membuat darahnya jadi tersirap dan mukanya pucat. Seketika terasa hawa panas yang menyengat tubuh manakala pedang itu berkelebat di sisi tubuhnya. Namun belum lagi keterkejutannya hilang, Pendekar Rajawali Sakti telah mengirimkan satu tendangan menggeledek lewat jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Duk! "Akh!"

Tubuh wanita itu kontan terjerembab, diiringi jeritan tertahan. Dan baru saja dia hendak bangkit, ujung pedang Rangga sudah mengancam tenggorokannya.

"Katakan! Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?!" ancam Rangga.

"Bunuh! Ayo, bunuhlah aku! Percuma saja, karena aku tidak akan memberitahumu!" sentak wanita itu garang.

"Telah banyak orang binasa di tanganku. Dan membunuh satu orang sepertimu bukanlah hal yang sulit. Tapi, itu terlalu enak. Dan aku ingin kau mati perlahan-lahan. Nah! Katakan, sebelum kau merasakannya nanti!" ancam Pendekar Rajawali Sakti sambil menekan tenggorokan wanita itu dengan pedangnya.

"Apa maksudmu...?"

"Maksudku jelas. Kau akan binasa secara menjijikkan. Bayangkan! Kau akan menjadi santapan serigala liar di hutan depan sana, dalam keadaan terikat!" desis Rangga geram.

Wanita itu terkejut. Dan seketika, wajahnya kembali berubah. "Kau tidak bersungguh-sungguh, bukan?" tanya wanita cantik ini, seperti meminta harapan hidup.

"Aku akan melakukannya kalau kau tidak mau bicara. Nah, katakan sekarang! Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?" desak Pendekar Rajawali Sakti.

"Lalu kalau aku mengaku, apakah akan dilepaskan?"

Rangga tersenyum kecil. "Bila kau kulepaskan, betapa bodohnya aku. Sebab, kau akan mengincarku untuk membunuhku lagi."

"Siapa yang ingin membunuhmu?!" tanya wanita cantik itu sengit.

"Huh! Seperti yang kau lakukan tadi!"

"Kalau aku memang berniat membunuhmu, tentu kutikam jantungmu. Dan, itu sangat mudah bagiku," kata wanita ini.

"Lalu, kenapa tidak kau lakukan?" tanya Rangga sedikit tertegun.

"Entahlah.... Aku..., aku tidak tega...."

Pemuda itu terdiam, lalu menyarungkan pedangnya. Sementara gadis itu bangkit perlahan-lahan, sambil memandang Rangga dengan wajah takut. Rangga berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Sedangkan matanya memandang gadis itu dengan tajam.

"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?" ulang Pendekar Rajawali Sakti dengan nada lebih lunak.

"Kenalkah kau dengan Gusti Indra Paksi?" wanita itu malah balik bertanya.

"Siapa orang itu. Dan, dia itu apamu?"

"Sudah kuduga! Kau tidak akan kenal dengannya...," wanita itu tersenyum kecil.

"Siapa dia?" Rangga tidak mempedulikan ocehan gadis itu.

"Dia..., ya yang menyuruhku untuk membunuhmu!" sahut wanita itu tersenyum kecil.

"Jangan main-main! Aku tidak kenal orang itu. Lalu, kenapa dia menginginkan kematianku?"

"Katanya kau berbahaya baginya...."

"Jangan bertele-tele! Katakan yang benar! Aku tidak kenal orang itu!" sentak Rangga mulai kesal.

"Mana aku tahu! Dia hanya berkata begitu, lalu menyerahkan imbalan untukku!" sahut wanita ini menjelaskan.

Rangga memandang wanita itu sesaat, kemudian menangkap kedua tangannya. Lalu dengan kasar dilepaskannya tali kekang kuda wanita itu, untuk mengikat kedua tangannya. Dan dengan kasar, dinaikkannya wanita itu ke punggung Dewa Bayu. Rangga sendiri melompat ke belakang, lalu menggebah kencang kudanya.

"Hiya!"

"Hei?! Mau kau bawa ke mana aku?!" teriak wanita itu.

"Di depan sana ada hutan kecil. Kukira, kawanan serigala tengah menunggu santapan pagi. Kau akan menjadi makanan lezat bagi mereka," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku telah berkata yang sebenarnya padamu!" teriak wanita ini kesal di antara laju kuda yang kencang.

"Kau akan berkata lebih jujur lagi, di depan mulut serigala-serigala itu."

"Apa lagi yang kau ingin ketahui?" tanya wanita ini lagi.

"Siapa Indra Paksi itu?! Dan, kenapa dia menginginkan kematianku?"

"Aku tidak tahu dia. Nyi Lasmi hanya mengatakan kalau dia orang terhormat, dari keluarga kerajaan. Dan aku harus meladeninya dengan baik."

"Siapa Nyi Lasmi?"

"Pimpinanku..."

"Pimpinanmu?"

"Ya! Dia yang memiliki rumah hiburan tempatku bekerja."

Rangga terdiam. Mulai diduga, siapa orang yang bernama Indra Paksi itu. "Hm. Gerakanmu bagus dan ilmu silatmu pun tidak rendah. Kenapa kau bekerja di tempat seperti itu?"

"Kau kira, siapa yang mengajarkan? Nyi Lasmi itu memiliki ilmu olah kanuragan yang hebat. Dia mengajarkan semua anak buahnya ilmu bela diri, untuk menghajar tamu-tamu kurang ajar," sahut wanita itu.

"Lalu, dari mana kau tahu kalau aku berada di desa itu?"

"Mana kutahu! Yang jelas aku ditugaskan ke Desa Wedu tadi, untuk menunggu dan membunuhmu. Sebelumnya, mereka memberitahu kalau kau memiliki kepandaian hebat. Aku sendiri takut. Maka kugunakan akalku. Kutangkap seekor kambing milik penduduk desa, lalu kutaburi pakaianku dengan darah segar, terlihat seperti luka."

"Apa hubungan Nyi Lasmi dengan Indra Paksi?" desak Pendekar Rajawali Sakti.

"Dia langganan tetap kami."

"Hm.... Kenalkah kau dengan Katut Denowo?" pancing Rangga.

"Siapa yang tidak kenal orang itu? Belakangan ini, namanya amat terkenal. Dia bermaksud menggulingkan kekuasaan Kanjeng Gusti Prabu. Tapi, aku tidak peduli soal itu. Siapa pun yang berkuasa di negeri ini, toh nasibku tidak akan lebih baik...!"

Rangga terdiam beberapa saat. Kemudian laju kudanya dihentikan.

"Kau tidak akan membunuhku, bukan?" tanya wanita itu berharap, dengan nada lirih.

Rangga tidak sempat menjawab. Karena pendengarannya yang tajam merasakan sesuatu berkelebat ke arah mereka.

"Awaaas...!" Teriak Pendekar Rajawali feakti seraya mendorong gadis itu. Rangga sendiri melompat ke bawah, lalu buru-buru bangkit dengan sikap waspada.

"Hi hi hi...! Jadi beginikah cara si Indra Paksi hendak menangani Pendekar Rajawali Sakti?"

TUJUH

Mendadak sosok bayangan kurus melesat turun dari salah satu cabang pohon, tepat di belakang Rangga. Begitu menyentuh tanah, dia berdiri tegak di depan Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata dia seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, dengan rambut panjang disanggul. Kedua pergelangan tangan dipenuhi gelang. Demikian juga pergelangan kedua kakinya.

"Siapa kau?" tanya Rangga dingin.

"Hi hi hi...! Tidak kenalkah kau dengan Nyi Kincring?"

"Aku lebih mengenalmu sebagai Setan Gelang Maut.

"Hi hi hi...! Agaknya kau kenal juga denganku, Bocah!"

"Nyi Kincring! Apa maksudmu berada di sini, dan menghadang perjalananku?"

"Untuk memastikan kalau kau tidak ikut campur dalam persoalan besar ini," jawab wanita tua yang memang Nyi Kincring.

"Apa maksudmu?!"

"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Kau terlalu ikut campur dalam urusan orang. Dan itu membuat Katut Denowo tidak senang. Maka jika kau ingin selamat, pergilah. Dan, jangan campuri urusannya!"

Pemuda itu tersenyum. "Hm, jadi Katut Denowo yang menyuruhmu? Bagus. Kau boleh kembali. Dan katakan padanya kalau aku tidak pernah diperintah orang lain. Apalagi orang-orang sepertimu!"

"Hm.... Agaknya kau terlalu merendahkanku. Kau boleh terima kematianmu sekarang juga!" Wanita tua itu mendengus geram. Kemudian tiba-tiba saja dia mencelat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Rangga melompat ke samping. Namun wanita berjuluk Setan Gelang Maut itu telah mengikuti. Pemuda itu terkesiap. Setiap kali datang serangan, selalu saja gelang-gelang wanita tua itu terbang dan menyambar ke arahnya pada jarak dekat. Beberapa kali, muka dan tubuhnya nyaris tersambar.

Set! Set!

"Sial!" maki Pendekar Rajawali Sakti geram.

"Hi hi hi...! Kau menganggap enteng padaku, Bocah? Sekarang rasakanlah!" dengus Setan Gelang Maut.

Berkali-kali wajah Rangga berkerut menahan rasa sakit di perut sambil menghindari setiap serangan yang semakin gencar. Sementara darah kembali merembes dari lukanya di pinggang. Pemuda itu menggigit bibirnya sendiri, lalu melompat ke belakang sambil membuat gerakan jungkir balik beberapa kali.

Sring! Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang pusaka saat Nyi Krincing mengejar dengan beberapa buah gelang mautnya yang berdesing ke arahnya.

Wung! Trang!

Lima buah gelang putus dan rontok seketika begitu Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya yang bersinar biru berkilauan. Rangga tidak berhenti sampai di situ. Dia langsung melompat menyerang Setan Gelang Maut.

"Hiyaaa!" Wuk!

Nyi Kincring terkejut. Buru-buru dia melompat ke samping. Namun, pedang Pendekar Rajawali Sakti terus mengejarnya. Cepat-cepat kepalanya di-tundukkan, kemudian tubuhnya jungkir balik ke kanan sambil melemparkan beberapa buah gelang di tangan.

"Hiiih!" Tubuh Rangga telah lebih dulu mencelat ke atas, sehingga senjata itu luput dari sasaran. Kini ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti bergulung-gulung menyambar ke mana saja wanita itu bergerak menghindar. Sampai saat ini, Pendekar Rajawali Sakti hanya mengerahkan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang digabung-gabungkan.

"Uhhh...." Nyi Kincring menjatuhkan diri, ketika senjata Pendekar Rajawali Sakti menyerang bagian atas tubuhnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan untuk bernapas. Dan mendadak saja kaki kiri wanita tua itu menyabet pinggang, tapi Rangga menangkis dengan pedangnya. Wanita itu terkesiap, langsung menarik pulang tendangannya. Dan tubuhnya langsung bergulingan, kemudian melejit ke atas. Tapi, Rangga telah menunggunya. Seketika satu tendangan menggeledek dilepaskan ke arah dada wanita bertubuh kerempeng itu. Dan....

Begkh! "Akh!"

Nyi Kincring kontan mengeluh tertahan begitu dadanya terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang berisi tenaga dalam sempurna. Tubuhnya terjajar kebelakang. Namun sebagai seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, dia mampu menjaga keseimbangannya.

Dan baru saja dia bersiap, saat itu pula pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke arah perut dengan kecepatan yang sulit diduga. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga....

Crasss! "Aaa...!"

Wanita tua itu terpekik. Darah mengucur deras dari perutnya yang robek, terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah kaget dan mata terbelalak. Kedua tangannya mendekap perut dan berusaha menghalangi darah yang terus mengucur.

"Heaaa!" Sementara Rangga melompat lagi. Dan kali ini, tendangannya di arahkan ke kerongkongan. Maka....

Desss! "Hugkh!"

Wanita tua itu kembali mengeluh tertahan. Tubuhnya terjerembab keras di tanah. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!

"Uhhh...!" Rangga menjatuhkan pantatnya, duduk bersandarkan pohon. Pedangnya telah dimasukkan dalam warangkanya kembali. Talapak tangan kanannya terus mendekap perutnya yang tadi terluka dan kembali mengucurkan darah. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit. Keringat dingin mulai menetes membasahi kening dan sebagian wajah. Pemuda itu duduk bersila. Pikirannya dipusatkan untuk menyalurkan hawa murni pada telapak kanannya, kemudian ditempelkan di perut agar lukanya cepat mengering.

Sementara itu, wanita yang pertama kali menyerang Pendekar Rajawali Sakti kini mendekat. Wajahnya kembali dibayangi perasaan ngeri bercampur kasihan. Disekanya keringat yang mengucur membasahi wajah Rangga. Kemudian, dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Dia hanya duduk bersila di hadapan Rangga yang saat itu tengah memejamkan mata. Tadi ikatan pada tangannya memang telah dibuka Rangga.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok. Dan waktu terus merambat. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti bersikap seperti tadi. Sedangkan gadis itu tetap tidak beranjak dari duduknya. Rangga membuka kelopak matanya, menghela napas panjang.

"Maafkan aku...," ucap wanita itu lirih.

"Kau punya kesempatan untuk lari. Kenapa tidak kau lakukan?" tanya Rangga pelan.

"Entahlah..."

"Kini kau bebas pergi ke mana saja yang kau kehendaki. Dan aku tidak akan menahanmu...," ujar Pendekar Rajawali Sakti, menawarkan.

Tapi wanita itu terdiam. Sedikit pun tidak beranjak dari duduknya. Kepalanya agak tertunduk ke dalam.

"Ayo, aku tidak menjebakmu. Kau boleh pergi sekarang...," kata Rangga.

"Aku tidak tahu harus pergi ke mana...," desah wanita itu lirih.

"Apakah kau tidak ingin kembali ke tempatmu semula?"

Kembali wanita itu terdiam. "Aku telah gagal menjalankan tugas. Dan kalau kembali, percuma saja. Nyi Lasmi akan menghukumku dengan berat..," desah wanita itu.

"Katakan saja kalau kau telah berhasil membunuhku...."

Wanita itu tersenyum. "Sampai kapan dia tahu kalau aku berbohong? Begitu mendengar kalau kau masih hidup, maka saat itu juga kematianku sudah ditentukan. Tapi sebenarnya bukan itu yang kupikirkan...," jelas wanita ini.

"Lalu?"

"Aku juga ingin hidup sebagaimana layaknya wanita baik-baik. Punya suami, punya anak, dan hidup tenang...," sahut wanita cantik ini semakin lirih.

"Hm... Lalu, kenapa tidak segera kau lakukan?"

"Dengan masa lalu yang silam, siapa laki-laki yang sudi padaku?"

"Kau masih muda. Dan..., cantik. Lagi pula, tidak semua laki-laki berpikiran seperti itu. Masih banyak laki-laki yang mampu melihat kenyataan kalau masa silam yang hitam, bisa saja kembali ke jalan benar," kata Rangga bijak.

"Benarkah?"

Rangga mengangguk seraya tersenyum dengan wajah mayakinkan. Kini wanita itu bangkit berdiri. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun kembali wajahnya tertunduk.

"Apa lagi?" tanya Rangga seraya ikut berdiri.

"Aku akan mencoba hidup dengan dunia baru...."

"Nah! Itu pikiran bagus."

"Ng.... Bolehkah kutahu, siapa namamu?" tanya wanita itu, langsung memandang Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum manis.

"Rangga...."

"Rangga...? Ng.... Bila kelak aku mempunyai anak, bolehkah kunamai anakku seperti namamu?"

"Tentu saja boleh...."

"Terima kasih, Rangga. Eh! Sekali lagi, maafkan kesalahanku. Aku betul-betul menyesal telah membuatmu terluka..."

Rangga hanya tersenyum. "Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Hari masih gelap, sedang kudaku tidak ada..."

"Aku antar kau sampai di pinggiran kotaraja. Dan setelah itu, kau bisa melanjutkan perjalanan...," kata Rangga, juga bergegas bangkit.

Baru saja mereka bangkit dan hendak melangkah, di kejauhan terdengar derap langkah dua ekor kuda menuju ke arah mereka. Rangga buru-buru mengajak wanita.itu bersembunyi di balik semak-semak yang ada di kiri dan kanan jalan ini. Dan ketika kedua penunggang kuda ini hampir mendekat, Pendekar Rajawali Sakti keluar dari persembunyian.

"Berhenti...!"

"Hieee!" Kedua penunggang kuda itu tersentak. Langsung laju kuda mereka dihentikan, dan segera melompat turun. Seketika pedang masing-masing dicabut dengan sikap bersiaga.

"Kurang ajar! Siapa yang berani menghadang perjalanan kami?!" hardik salah seorang penungang kuda.

Namun ketika melihat wajah pemuda berbaju rompi putih itu, seketika wajah mereka terkejut. Kemudian buru-buru mereka berlutut dengan sikap menghormat

"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Maafkan kesalahan kami!" ucap kedua orang itu serentak setelah menyarungkan pedang.

Rangga hanya tersenyum. Kemudian sebelah telapak tangannya diangkat sebagai isyarat. "Bangkitlah, kesalahan kalian kumaafkan, kalian memang harus waspada terhadap segala sesuatu. Oh, ya. Berita apa yang kalian bawa?"

Kedua orang itu bangkit. Kemudian salah seorang kembali memberi hormat. "Pasukan Parwata berhasil menghajar kawanan perampok Jambuka Ireng yang menguasai Desa Kampar di wilayah Kadipaten Wales. Dan kawanan perampok itu sendiri merupakan kaki tangan Katut Denowo!" jelas orang itu.

"Bagus. Yang lainnya?"

"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Tanpa izin, kami telah mengambil tindakan sendiri. Sebab keadaan betul-betul darurat!" jelas orang yang satu lagi dengan wajah takut.

"Tindakan apa yang kalian ambil?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, dengan dahi berkerut.

"Kami telah melihat sendiri kalau pasukan para pemberontak yang dipimpin Katut Denowo, telah bergerak menuju kotaraja. Sehingga seperti apa yang Kanjeng Gusti Prabu katakan, kami memberanikan diri memanggil pasukan-pasukan kita yang ditempatkan di berbagai wilayah, untuk berkumpul di pinggiran kotaraja Kerajaan Kertaloka guna menahan serangan mereka...," jelas orang itu.

"Apakah mereka sekarang sudah berangkat?"

"Sudah, Kanjeng Gusti Prabu!"

"Bagus. Tindakanmu kupuji. Nah! Sekarang, katakan berapa jumlah pasukan pemberontak itu?"

"Sekitar dua ratus orang, Kanjeng Gusti Prabu."

"Hm.... Cukup banyak juga..."

"Kami menunggu perintah apa yang selanjutnya harus kami lakukan, Kanjeng Gusti Prabu?"

Rangga terdiam beberapa saat berpikir. Kemudian ditatapnya dua orang yang selama ini menjadi mata-matanya. "Baiklah. Sekarang juga, kalian pergi ke Istana Kerajaan Kertaloka. Cari tahu soal Pandan Wangi. Kemudian lihat, apakah keadaan aman atau tidak. Bila istana kerajaan aman, maka temui Prabu Suryalaga. Katakan padanya, mengenai serangan yang akan dilakukan para pemberontak. Juga katakan kalau kita siap membantu. Suruh mereka kirim setengah dari pasukannya, sementara setengah lagi menjaga istana kerajaan. Kita gempur pasukan pemberontak itu dari dua jurus, seperti yang biasa sering kita lakukan. Mengerti?" jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Mengerti, Kanjeng Gusti Prabu! Lalu, bagaimana seandainya istana kerajaan telah dikuasai pihak pemberontak?"

"Tunggulah aku di tempat yang telah ditentukan. Akan kita serang para pemberontak yang ada di istana kerajaan itu, untuk mengamankan. Baru setelah itu, kita hadapi pasukan pemberontak lain yang sedang bergerak," jelas Rangga lagi.

"Kami mengerti, Kanjeng Gusti Prabu!"

"Nah! Pergilah kalian sekarang juga. Dan, sampaikan salamku pada Prabu Suryalaga!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Baik, Kanjeng Gusti Prabu!"

Kedua mata-mata itu segera melompat ke punggung kuda masing-masing, setelah memberi hormat pada Rangga. Lalu mereka menggebah kencang kuda masing-masing meninggalkan tempat ini.

Sementara itu, wanita yang tadi bersembunyi itu keluar dari semak-semak. Dipandanginya pemuda itu dengan wajah tak percaya. "Kanjeng Gusti Prabu? Apakah kau seorang raja, ataukah saudara raja?" tanya wanita itu ingin tahu.

"Sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Ayo, naik ke punggung Dewa Bayu. Sebentar lagi, hari akan terang. Mudah-mudahan kita sampai ke kotaraja sebelum matahari membentuk bayangan panjang...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Wajah wanita itu tampak masih menyimpan penasaran. Dan sesekali, mencuri pandang ke arah pemuda itu. Tapi dia akhirnya naik juga ke punggung Dewa Bayu. Kemudian baru Pendekar Rajawali Sakti mengikuti. Tapi baru saja Rangga menghenyakkan pantat di punggung kuda hitamnya, mendadak....

"Heh?!" Rangga buru-buru membalikkan kudanya. Seketika Dewa Bayu dihela kencang, mengejar sosok bayangan kuda yang sejak tadi mengintai.

"Ada apa, dan mau ke mana kita?" tanya wanita itu bingung, karena belum mengetahui apa yang terjadi.

Rangga tidak menjawab. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar seseorang yang sudah menggebah kudanya pada jarak dua puluh lima tombak di depan.

"Hiya! Hiya...!"

Sementara, wanita itu benar-benar takjub pada keperkasaan kuda tunggangan pemuda ini. Meski membawa beban dua orang, namun mampu lari kencang melebihi kecepatan angin. Tak heran kalau dalam waktu singkat, Rangga berhasil menyusul penunggang kuda di depan.

"Hiiih!"

"Oh?!" Gadis itu terkejut. Karena tiba-tiba saja penunggang kuda yang nyaris sejajar, mengibaskan sebilah golok ke arah mereka.

Sring!

Namun Pendekar Rajawali Sakti bertindak tidak kalah sigap. Langsung pedangnya dicabut, memapak sabetan golok itu. Lalu dalam waktu yang demikian cepat, Rangga langsung membabat pinggang penunggang kuda itu.

Bret! "Aaa...!"

Orang itu menjerit tertahan dan tubuhnya terjungkal dari punggung kudanya yang terus berlari kencang. Rangga menghentikan lari kudanya. Lalu dia melompat turun dari kudanya, langsung menghampiri orang yang terkapar bermandikan darah itu. Segera ujung pedangnya ditodongkan ke leher orang yang sudah tidak berdaya itu.

"Siapa yang menyuruhmu?!"

"Ehk... ah...." Orang itu mengeluh tertahan dengan wajah berkerut. Mulutnya hendak terbuka mengatakan sesuatu. Tapi, napasnya keburu putus.

Rangga kembali menyarungkan pedangnya disertai helaan napas pendek.

"Mungkin dia utusan yang sama...," kata wanita itu, pelan. "Padahal, tadi kau bisa melukai dan tidak membunuhnya..."

"Untuk apa? Bukankah kau sudah menduga, kalau dia utusan Katut Denowo untuk memata-matai. Lagi pula, kalau dia dibiarkan hidup, kau akan celaka...."

"Celaka bagaimana?"

"Mereka akan mengatakan pada Indra Paksi, kalau kau tidak membunuhku. Dan hidupmu tidak akan tenang, karena dikejar-kejar mereka."

"Benar juga...," sahut wanita ini, mengangguk.

"Dia membahayakan kita. Dan orang itu patut dibunuh...," lanjut Rangga.

Untuk sesaat keduanya terdiam.

"Siapa namamu?" tanya Rangga, pelan.

"Eh, apa?"

"Sejak tadi aku tidak tahu namamu...."

"Namaku Pratiwi...."

"Hm, nama yang bagus!" puji Rangga.

Wanita itu jadi tersipu malu. Matanya langsung merayap ke sekeliling untuk menyembunyikan wajahnya yang berubah merah dadu. "Terima kasih...," kata wanita itu pelan.

********************

DELAPAN

Di balairung utama Istana Kerajaan Kertaloka, telah berkumpul beberapa pejabat istana, beberapa perwira, dan Prabu Suryalaga sendiri. Tak ada yang membuka suara sampai dua orang gadis masuk ke dalam ruangan itu. Setelah memberi salam hormat, kedua gadis itu mengambil tempat duduk yang telah disediakan, sejajar Prabu Suryalaga. Sedangkan tepat di depan Raja Kertaloka ini, duduk dua pemuda dengan sikap hormat.

"Ada apakah gerangan Ayah memanggil kami?" tanya salah seorang gadis yang tidak lain Cempaka Sari.

"Dua orang utusan ini mengaku membawa pesan dari Raja Karang Setra. Aku hanya ingin memastikan kalau ini bukan tipu muslihat para pemberontak. Dan Pandan Wangi berasal dari Karang Setra. Maka tentu bisa membuktikan kebenaran mereka," jelas Prabu Suryalaga.

Prabu Suryalaga kemudian menatap Pandan Wangi. Sementara yang ditatap seperti tak peduli. Matanya terus memperhatikan dua pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun, bersenjatakan pedang. Keduanya memakai pakaian yang biasa dikenakan orang-orang persilatan.

"Pandan Wangi... Apakah kau kenal orang-orang yang mengaku sebagai utusan Karang Setra ini?" tanya Prabu Suryalaga.

"Kanjeng Gusti Prabu. Suruhlah mereka memperlihatkan kalung tanda pengenalnya. Sebab aku tahu, utusan Karang Setra memiliki tanda pengenal khusus," jelas Pandan Wangi.

Prabu Suryalaga mengangguk, kemudian berpaling pada kedua orang itu. "Nah, tunjukkanlah tanda pengenal kalian!" ujar laki-laki tua itu.

Kedua utusan itu segera mengeluarkan kalung bermatakan perak, sebesar genggaman tangan, berlambang Kerajaan Karang Setra.

"Kanjeng Gusti Prabu. Mereka memang utusan Karang Setra...," kata Pandan Wangi meyakinkan.

"Hm, baiklah. Sekarang jelaskan apa yang kalian bawa dari Karang Setra."

"Ampun, Gusti Prabu. Raja kami menawarkan bantuan tanpa imbalan apa pun, selain persahabatan. Dan karena berita ini darurat, maka kami langsung saja pada tujuannya. Maaf, Kanjeng Gusti Prabu. Selama ini tanpa pemberitahuan secara langsung, kami telah memerangi pemberontak yang telah menguasai sebagian dari Kerajaan Kertaloka. Raja kami berbuat seperti itu, atas permintaan putrimu yaitu Gusti Ayu Cempaka Sari. Dan ini dianggap mewakili keputusanmu. Dan setelah menghalau pasukan pemberontak, ternyata kami dengar mereka menghimpun diri. Pasukan pemberontak pada hari ini bermaksud menyerang kotaraja, dan hendak merebut istana kerajaan pada pagi ini juga. Oleh sebab itu, raja kami memberitahu agar Gusti Prabu bersiaga menyambut mereka," tutur salah seorang utusan.

"Cobalah kalian jelaskan bagaimana rencana rajamu itu?" pinta Prabu Suryalaga.

"Gusti Prabu Karang Setra menginginkan agar pasukan kerajaan ini dibagi dua. Setengahnya yang terdiri dari pasukan panah berada dalam istana, untuk berjaga di sekelilingnya. Sebagian lagi bersembunyi di luar bangunan istana, siap menyergap mereka. Tunggulah pasukan pemberontak itu sampai mendekati bangunan istana kerajaan. Dan apabila mereka sudah berhadapan dengan pasukan panah, maka saat itu juga pasukan lain menyerbu. Sedangkan pasukan Karang Setra yang berjumlah sekitar tiga puluh orang akan mengejutkan mereka dengan serangan dari belakang. Sehingga, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk kabur," jelas utusan itu, singkat.

Prabu Suryalaga dan yang lain terdiam mendengarkan rencana itu.

"Bagaimana, Gusti Prabu?" tanya Pandan Wangi.

"Apakah Raja Karang Setra yakin kalau siasatnya akan berhasil?" tanya sang Prabu setengah yakin.

"Percayalah, Gusti Prabu. Kemenangan berada di pihak pasukan yang bersemangat dan yakin akan mengalahkan musuhnya! Begitulah yang dikatakan raja hamba. Meski pasukan pemberontak lebih banyak, namun kita harus yakin akan memenangkan pertempuran," tegas utusan itu, meyakinkan.

"Baiklah. Kalian boleh istirahat, karena sekarang juga akan kusiapkan pasukan untuk menghadapi para pemberontak itu!" sahut Prabu Suryalaga bersemangat.

Kedua utusan itu segera bangkit berdiri, dan langsung memberi hormat. Dan dengan diantar dua orang prajurit, mereka segera menuju ruang peristirahatan bagi para tamu kerajaan. Sementara itu Prabu Suryalaga memerintahkan para prajurit yang hadir di situ untuk menyiapkan pasukan.

********************

Para prajurit Kerajaan Kertaloka menunggu beberapa saat dengan jantung berdebar dan gelisah. Demikian pula para prajurit dan para panglima perangnya. Pasukan pemberontak yang dinantikan belum juga kelihatan. Sementara itu, kotaraja kelihatan sedikit sepi. Seluruh rakyat telah bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Mereka memang telah dikabari kalau akan terjadi peperangan dahsyat.

Sementara itu Prabu Suryalaga menambahkan siasat baru. Lebih dari empat puluh pasukannya yang diberi pakaian biasa, diperintahkan untuk bertingkah seolah-olah sebagai penduduk biasa yang sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Dengan begitu diharapkan pasukan pemberontak akan lengah. Cukup lama mereka menunggu. Dan ketika matahari baru saja mengintip di balik bukit...

"Heaaa! Heaaa...!"

Apa yang ditunggu-tunggu mulai terlihat. Dari kejauhan, terdengar derap langkah kuda yang dipacu kencang bersama teriakan-teriakan membahana. Prajurit-prajurit yang tengah menyamar sebagai rakyat biasa, seketika pura-pura berlarian ke sana kemari, dengan sikap ketakutan. Sementara beberapa orang dari pasukan pemberontak berusaha menyerang.

Namun para prajurit yang menyamar itu tidak berusaha melawan. Mereka hanya melarikan diri sekencang-kencangnya. Karena jika mereka melawan, maka perhatian pasukan akan pecah. Bahkan akibatnya, penyergapan akan kacau. Sebab, pasukan pemberontak masih jauh dari jangkauan pasukan panah di benteng istana kerajaan.

"Hancurkan mereka! Bunuh seluruh penghuni kerajaan ini...!" teriak seorang laki-laki berpakaian mewah. Dia tidak lain dari Katut Denowo, memberi semangat.

Namun sebelum mereka berhasil mendobrak pintu gerbang kerajaan, sekonyong-konyong hujan panah telah menyambut

Twang! Cras! Crab! "Aaa...!"

Beberapa orang pemberontak langsung terkejut, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan mereka hanya terbeliak ngeri disertai jeritan tertahan, begitu anak-anak panah menembus dada.

"Hancurkan mereka! Jumlah kita lebih besar. Apa yang kalian takutkan?! Hancurkan gerbang ini, dan hajar mereka...!" kembali Katut Denowo berteriak memberi semangat

"Yeaaa!"

Pasukan pemberontak kembali berteriak saling sambung-menyambung, berupaya mendobrak pintu gerbang. Tapi saat itu juga, hujan anak panah kembali menyerbu. Dan kali ini datangnya dari samping kiri dan kanan, ditambah pasukan yang berada di atas benteng istana kerajaan.

"Serbuuu...!"

Terdengar teriakan dari arah kanan. Bersama sekitar dua puluh lima orang, menyerang pasukan pemberontak itu dengan semangat menyala-nyala. Pada saat yang bersamaan, kembali menyerbu sejumlah pasukan ke arah pasukan pemberontak yang sempat terkejut. Pertarungan memang tak bisa dielakkan lagi. Beberapa orang pemberontak sudah sejak tadi menjadi korban di tangan pasukan kerajaan. Namun, pasukan pemberontak masih berusaha balas menyerang. Terutama setelah menyadari kalau pasukan kerajaan berjumlah lebih sedikit Tapi yang lebih mengejutkan lagi....

"Heaaa...!" "Heh?!"

Tiba-tiba terdengar teriakan panjang membahana. Tampak sebuah pasukan lain yang berjumlah sekitar tiga puluh orang datang menyerbu menyerang para pemberontak. Pasukan itu dipimpin seorang pemuda berbaju rompi putih yang duduk di atas kuda hitamnya. Mereka menyerang dari belakang, pasukan pemberontak itu terkejut.

Sementara itu, pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti segera menggebah kudanya ke arah Katut Denowo. Rangga memang telah.mengenali ciri-cirinya, walaupun belum pernah bertemu.

"Katut Denowo! Menyerahlah... Pasukanmu telah kocar-kacir. Tak ada lagi kesempatan bagimu untuk merebut kerajaan ini!" ujar Rangga.

"Bangsat! Jadi, rupanya kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti! Huh! Sebaiknya kau tidak mencampuri urusan kerajaan lain. Ini bukan Karang Setra, jadi sebaiknya tarik pasukanmu!" sentak Katut Denowo.

"Siapa yang membawa prajurit? Yang kubawa hanya jago-jago Karang Setra saja, mereka bukan prajurit. Dan mereka juga jijik melihat tindakanmu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti dingin.

"Kau memang patut dihajar, Pendekar Rajawali Sakti! Heaaat..!"

Di atas punggung kudanya, Katut Denowo langsung membabatkan pedang ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Namun di luar dugaan, pemuda itu melenting tinggi ke atas mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu berada di udara, dengan kecepatan bagai kilat tubuhnya meluruk deras ke belakang Katut Denowo yang berada di punggung kuda. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Katut Denowo tak bisa menghindar. Lalu....

Tuk! Tuk! "Aaakh...!"

Tanpa dapat dicegah lagi, Katut Denowo yang kepandaiannya jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti ambruk ke tanah dengan tubuh lemas, begitu totokan Rangga mendarat di punggungnya. Pemimpin pemberontak itu agaknya langsung pingsan. Sehingga ketika Rangga berkelebat menyambar tubuhnya, rasanya seperti menyambar karung basah saja. Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting sambil membopong Katut Denowo, membawanya ke atas atap sebuah rumah penduduk.

"Berhenti!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, lantang menggelegar. Seketika seluruh pertempuran berhenti. Semua mata seketika memandang ke arah datangnya suara lantang tadi.

"Lihat! Pemimpin kalian telah berada di tanganku, maka sebaiknya kalian menyerah!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Melihat pemimpinnya tertangkap, pasukan pemberontak itu jadi hilang semangat. Beberapa orang mulai meletakkan senjata. Tapi sebagian besar telah tewas terbunuh. Dan begitu ada yang meletakkan senjata, yang lain segera menyerah.

"Hidup Prabu Suryalaga! Hidup Kerajaan Kertaloka...!" teriak para prajurit kerajaan yang setia pada Prabu Suryalaga.

Rangga segera membawa tubuh Katut Denowo untuk diserahkan pada pihak Kerajaan Kertaloka. Sedangkan para tokoh hitam yang ikut membantu pemberontakan, dengan kepandaiannya yang tinggi berhasil meloloskan diri dari kepungan jago-jago Karang Setra.

Sementara itu, para perwira Kerajaan Kertaloka segera menangkapi para pejabat istana yang terlibat dalam pemberontakan. Ada yang ditangkap saat peperangan, ada pula yang ditangkap setelah peperangan.

Dengan diiringi para prajurit Kerajaan Kertaloka dan pasukannya sendiri, Rangga memasuki gerbang kerajaan untuk menyerahkan biang kerusuhan pada Prabu Suryalaga.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: TENGKORAK HITAM