Hantu Putih Mata Elang - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

HANTU PUTIH MATA ELANG

SATU
MALAM semakin gelap. Di langit, awan hitam masih bergulung-gulung. Suara unggas malam sudah tidak terdengar lagi. Seakan-akan semuanya bersembunyi di sarang masing-masing. Rintik hujan masih turun satu persatu. Dan di beberapa tempat air masih terlihat menggenang. Memang hujan deras baru saja berhenti mengguyur bumi. Sehingga, yang tinggal hanya tanah tanah basah di sana-sini. Dan keadaan yang tak menyenangkan ini tak menghalangi dua orang penunggang kuda yang terus menggebah kudanya, menerobos pinggiran hutan yang banyak ditumbuhi semak-semak kecil.

Bila diperhatikan, akan terlihat kalau kedua laki-laki penunggang kuda itu berbeda usia. Yang seorang berkumis tebal melintang. Tubuhnya sedikit kurus, kira-kira berusia sekitar tiga puluh tahun. Sementara berada di sampingnya adalah seorang pemuda gagah berusia sekitar sembilan belas tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Rambutnya yang panjang sebahu diikat kain kuning. Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala ular.

"Apakah tidak sebaiknya kita beristirahat dulu, Den Wijaya? Perjalanan masih Jauh. Dan mungkin Raden telah letih...," usul laki-laki berkumis melintang ini.

Pemuda di samping laki-laki itu menoleh sekilas. Kemudian bibirnya mengulas senyum.

"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka, Paman Sembada!" sergah pemuda yang dipanggil Wijaya.

"Tidak akan lari gunung dikejar, Den Wijaya...," elak laki-laki yang dipanggil Sembada tersenyum.

"Sudah sepuluh tahun, Paman! Selama itu, aku hanya dua kali bertemu mereka. Bisakah Paman membayangkan, betapa rinduku pada mereka?" tandas Raden Wijaya.

"Ya... Telah sepuluh tahun Raden berada di Padepokan Wering Surya. Dan Paman bisa merasakan, betapa Raden merindukan kedua orangtua...,'' gumam Paman Sembada.

"Mereka baik-baik saja, Paman...?"

"Mereka baik-baik saja, Raden. Hanya ibumu yang agaknya sering melamun karena memikirkanmu...."

"Ah... Kasihan ibu. Selama ini, beliau amat menyayangiku. Apalagi aku anak satu-satunya. Seandainya aku punya adik, beliau tentu tidak akan begitu memperhatikan diriku seperti sekarang...," desah Raden Wijaya.

"Kenapa Raden berkata begitu? Menurut Paman, beliau akan tetap menyayangimu meski Raden mempunyai adik banyak," tanya Paman Sembada.

Raden Wijaya tersenyum. "Bukan begitu maksudku, Paman...."

"Lalu?"

"Ibunda tertalu memperhatikan diriku. Bahkan sangat berlebihan. Sehingga apabila aku tidak berada di dekatnya, beliau selalu risau dan takut kehilanganku. Bila aku mempunyai adik, tentu ada penghiburnya."

"Tapi, saat ini beliau pun telah mempunyai seseorang yang sering menghiburnya...," sahut Paman Sembada, tersenyum penuh arti.

"Maksud, Paman? Ayahandakah...?"

"Salah satunya."

"Lalu yang lainnya?"

"Bukan yang lainnya, Raden. Tapi seorang lagi"

"Paman.... Aku semakin tidak mengerti...," desah pemuda itu dengan kening berkerut dan wajah bingung.

"Ingatkah Raden pada Andini, putri Ki Bangun Satya...?" Paman Sembada malah bertanya.

"Hm... Siapa yang bisa melupakannya?" sahut Raden Wijaya, seraya tersenyum karena mulai mengerti ke mana tujuan pembicaraan pamannya. "Dialah orang yang Paman maksudkan?"

Paman Sembada mengangguk.

"Dia sering mengunjungi ibundamu...."

"Sudah besarkah dia sekarang, Paman...?"

"Bahkan telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik, Raden! Budi pekertinya juga baik. Tutur katanya pun selalu halus dan lembut."

"Hm…,” gumam Raden Wijaya pelan.

"Dia sering menanyakan keadaanmu, Den...," tambah Paman Sembada.

"Jangan menggodaku, Paman. Andini memang kawan bermainku sejak kecil. Namun, dia amat pemalu dan jarang bercakap-cakap denganku...," kata pemuda itu tersenyum malu.

"Paman tidak menggodamu. Dia memang sering menanyakan keadaanmu. Apakah kau betah, atau kesepian...? Dia pun sering mengkhawatirkanmu...," jelas Paman Sembada, semakin membuat pipi pemuda itu memerah.

"Paman terlalu mengada-ada. Siapa yang mengkhawatirkanku? Aku berada di padepokan. Dan di situ, kawan-kawanku banyak. Malah Ki Sabda Senjaya bukan orang sembarangan. Siapa yang hendak menyakitiku? bela Raden Wijaya berusaha menutupi perasaannya.

"Andini agaknya bukan mengkhawatirkan keselamatanmu, Den?"

"Lalu?"

"Dia mengkhawatirkan, kalau Raden akan ke pincut gadis lain," goda Paman Sembada, sambil tersenyum lebar.

"Paman bisa saja...!" Raden Wijaya tersipumalu ketika sadar kalau Paman Sembada hanya menggodanya.

"Dia amat setia padamu, Den...," lanjut laki-laki itu.

"Apakah menurut Paman aku tidak setia?"

"Hm.... Kalian telah dijodohkan sejak kecil. Lalu, sebagai kawan bermain ketika bocah. Kemudian, berpisah agak lama, ketika Raden harus berguru di Padepokan Wering Surya. Paman kira, setelah Raden menjadi seorang pemuda dan banyak bergaul, pasti akan melirik gadis-gadis cantik lainnya. Dan, akan melupakan Andini..."

Raden Wijaya tersenyum. "Andini baik, Paman. Dia berasal dari keluarga yang baik pula. Ibunda selalu menasihati agar aku mencari calon istri yang memiliki sifat terpuji. Sebab, hal ini akan melanggengkan kehidupan berumah tangga kelak...," kata Raden Wjaya.

"Ibundamu seorang yang bijak. Den. Apa yang beliau katakan, memang benar."

'Terima kasih, Paman. Hm... Tanpa sadar kita telah memperlambat perjalanan. Ayo, Paman! Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka. Heaaa! Heaaa...!" Raden Wijaya segera menggebah kudanya.

"Heaaa ..!" Paman Sembada mengikuti perbuatan majikannya.

Baru saja mereka menggebah kudanya, mendadak...

"Hi hi hi...!"

"Heh?!"

"Apa itu, Paman...?" Raden Wijaya terkejut ketika tiba-tiba terdengar tawa nyaring yang menggema di sekitarnya. Serentak keduanya memperlambat laju kuda. Bahkan kemudian berhenti sama sekali, dan langsung memandang ke sekeliling.

Tidak terlihat apa-apa Suasana masih gelap dan sepi. Sementara keadaan di sekitarnya keli-hatan kering. Agaknya, tadi di sini hujan tidak turun.

"Hati-hati, Den! Agaknya ada seseorang yang mengikuti perjalanan kita. Mendengar suara tawanya tadi, jelas dia bukan orang sembarangan. Kita masih belum tahu, apa maksudnya!" Paman Sembada mengingatkan.

"Siapa pun yang tertawa tadi, keluarlah! Per-lihatkan dirimu. Dan, utarakan maksudmu mengikuti kami...!" teriak Raden Wijaya lantang.

"Hi hi hi...! Bocah tampan... Agaknya kau telah ditakdirkan berjodoh padaku!" Kembali terdengar tawa nyaring, kemudian disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih ke hadapan mereka. Bayangan putih itu semakin jelas terlihat, ketika perlahan-lahan melangkah mendekati mereka.

"Heh?!" Paman Sembada terkejut ketika melihat seorang gadis berwajah cantik berusia sekitar sembilan belas tahun. Rambutnya yang panjang keemasan, tergerai sampai ke punggung dan tertiup angin. Bajunya sutera putih yang amat tipis sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat menantang gairah kelelakian. Ada hal yang sedikit aneh, sekaligus menakutkan dari gadis itu. Sepasang matanya tajam seperti mata seekor kucing di kegelapan. Bahkan kulitnya amat putih, sehingga terlihat pucat bagai mayat.

"Nisanak! Siapakah kau?! Dan, apa maksudmu menghadang perjalanan kami...?" tanya Raden Wijaya yang tadi ikut terpesona memandang kecantikan gadis itu.

"Hi hi hi...! Bocah tampan.... Namaku Gendari. Dan terus terang, tujuanku mencegat kalian karena aku tertarik dengan ketampananmu!" sahut gadis itu, tanpa basa-basi.

Raden Wijaya sebenarnya putra adipati yang menguasai Kadipaten Watu Pasir. Kehidupan mereka terbiasa oleh sikap sopan santun dengan menggunakan tutur kata yang halus. Apalagi bagi seorang wanita. Dan apa yang diucapkan gadis itu, sebenarnya hal yang tidak pantas. Sebab, perkataan seperti itu hanya diucapkan oleh wanita jalang yang sering mengumbar hawa nafsunya.

"Gendari! Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu? Aku sama sekali belum mengenalmu. Jadi bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu?" tanya Raden Wijaya, masih dengan nada halus agar tidak menyinggung perasaan gadis itu.

"Hi hi hi...! Bocah bagus! Kau memang masih muda sekali dan tidak tahu banyak soal kehidupan. Tapi, apakah perkataanku tadi sulit dimengerti? Aku menyukaimu dan ingin agar kau menemaniku di tempat sesunyi ini. Rasanya kau tidak perlu mengenalku!" sahut Gendari menegaskan.

Raden Wijaya menghela napas sesak. Sementara Paman Sembada sudah merasa jengah, bahkan merasa kesal atas sikap wanita itu. Sikapnya sama sekali tidak sopan. Demikian pula kata-katanya. Gerak-geriknya menunjukkan kalau wanita ini tidak ubahnya seperti pelacur. Atau, barangkali memang dia wanita jalang? Kalau tidak, apa yang dilakukannya di tempat sesunyi ini?

"Hati-hati, Den. Wanita ini bukan orang baik-baik…," ujar Paman Sembada, mengingatkan.

"Monyet kurus! Tutup mulutmu! Kau kira aku tidak mendengar apa yang kau bisikan, heh?!" hardik gadis bernama Gendari, garang.

Paman Sembada yang mulai jengkel melihat sikap gadis itu, kini menjadi marah ketika mendengar bentakan tadi. "Perempuan jalang! Kaulah yang seharusnya tutup mulut! Sikapmu sama sekali tidak pantas!" dengus Paman Sembada.

Mendengar itu, Gendari tiba-tiba saja tersenyum. Kemudian, dia tertawa nyaring sambil berkacak pinggang. "Hi hi hi...! Agaknya kau cemburu, he? Sayang sekali, saat ini majikanmu ada di sini. Kalau tidak, mungkin saja aku tertarik padamu! Tapi..., kau boleh menunggu giliran kalau suka," ujar Gendari sambil tertawa genit.

"Phuih! Wanita jalang tidak tahu diri! Kau kira, siapa dirimu?!" dengus Paman Sembada tidak bisa lagi menahan amarahnya.

"Hi hi hi...! Kenapa mencak-mencak begitu? Kau ingin menerkam dan membunuhku? Ayo, lakukan!" sahut Gendari tenang-tenang saja.

"Keparat! Wanita sepertimu memang sebaiknya mampus!" Paman Sembada mencabut golok di pinggang dan langsung melompat menyerang gadis di hadapannya.

"Paman, jangan...!" Raden Wijaya berusaha menahan, namun laki-laki itu agaknya tidak mampu lagi menguasai diri. Dia sudah langsung turun dari punggung kuda, langsung menerjang Gendari.

"Haiiit!"

"Hm..." Gadis berbaju putih itu mendengus pelan. Sama sekali dia tidak berusaha menangkis atau menghindar dari serangan.

Raden Wijaya sendiri terkejut dan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu pasti celaka! Bahkan bukan tidak mungkin akan terbunuh di tanga Paman Sembada.

Namun begitu serangan hampir tiba di tubuhnya, Gendari cepat mengangkat tangannya. Tangan kiri gadis itu menepis pergelangan tangan Paman Sembada. Dan sambil menundukkan kepala menghindari tebasan golok, cepat sekali kaki kanannya menendang ke dada laki-laki bertubuh agak kurus itu.

Begkh!

"Aaa...!" Paman Sembada memekik tertahan. Tubuhnya kontan terlempar ke belakang pada jarak tiga tombak. Dan mulut, hidung, dan kedua telinganya menetes darah segar tanpa bergerak lagi, mungkin tewas!

"Paman?!" seru Raden Wijaya kaget. Buru-buru pemuda itu turun dari punggung kuda, kemudian memeriksa keadaan laki-laki itu.

"Kau…, kau telah membunuhnya...? Tindakanmu kejam sekali, Nisanak! Apa sebenarnya yang kau inginkan...?!" Pemuda itu berdiri tegak seraya memandang gadis itu dengan sorot mata kebencian.

"Hm... Sayang sekali, pemuda setampanmu ternyata sedikit tuli? Baiklah. Mungkin kau lupa atau memang tidak mendengar. Kuulangi sekali lagi, aku menginginkanmu. Dan kau tidak boleh menolak!' tegas Gendari seraya menggeleng dan mendesah pelan.

"Gadis hina! Kau dengar jawabanku! Kau tidak pantas berkata seperti itu. Dan aku sama sekali tidak suka caramu! Kau telah membunuh orang. Dan untuk itu, patut mendapat hukuman!" sentak Raden Wijaya lantang.

Sret!

Raden Wijaya bermaksud mencabut pedang, dan segera akan membalas kematian Paman Sembada. Baginya, gadis itu sudah sangat keterlaluan dan tak bisa dibiarkan begitu saja. Semua tindakannya seolah-olah dapat diperolehnya dengan mudah. Segala apa yang diinginkannya harus terpenuhi!

"Kau hendak melawanku, Bocah Bagus...!" Suara Gendari terdengar tajam dan lantang. Sehingga terasa menusuk gendang telinga pemuda itu. Raden Wijaya terkejut dan merasakan kelainan ketika melihat bola mata gadis itu bersinar tajam. Sehingga membuat pandangannya silau dan pikirannya melayang-layang.

"Kau.... kau..." Raden Wijaya berusaha melawan sekuat tenaga pengaruh ilmu gaib jahat yang dilakukan gadis itu terhadapnya. Namun makin dilawan, tenaganya terasa semakin melemah. Bahkan pikirannya semakin melayang entah ke mana.

"Hi hi hi...! Kau kira bisa menahan aji 'Sirna Sukma', he?!" desis Gendari tersenyum lebar.

Pedang dalam genggaman pemuda itu terjatuh. Dan tatapan matanya jadi kosong. Malah kegarangannya yang tadi meluap, kini tidak terlihat bekasnya barang secuil.

"Mendekatlah padaku, Bocah Bagus. Ayo, mendekatlah...!" desah gadis itu sambil melambaikan tangan.

Kini Raden Wijaya menurut saja, seperti kerbau dicucuk hidungnya. Begitu mendekat, Gendari segera merangkul pinggangnya. Kemudian dengan sekali lompat, mereka melesat ringan menembus kegelapan malam, melewati dahan-dahan pepohonan di sekitarnya. Sayup-sayup terdengar tawa gadis itu yang nyaring.

"Hi hi hi...!"

********************

Di ruang utama Istana Kadipaten Watu Pasir, Adipati Detya Karsa termenung di atas kursi berukir indah. Pandangannya kosong ke depan. Sementara beberapa orang terdekatnya yang duduk bersila di depannya, diam membisu seperti merasakan kegundahan junjungannya. Ruangan kini sepi. Tidak ada seorang pun yang berani angkat bicara. Namun, tiba-tiba saja seseorang maju ke depan dan memberi penghormatan.

"Maafkan kelancangan hamba, Kanjeng Adipati...."

"Eh...!" Adipati itu sedikit terkejut, lalu tersenyum ketika melihat laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang baru saja memberi hormat. Ada apa, Kakang Bangun Satya...?"

"Kalau boleh hamba tahu, apakah gerangan yang membuat Kanjeng Adipati begitu gundah dan amat gelisah...?"

Adipati Detya Karsa menarik napas pendek. Kemudian matanya memandang kepala pasukan pengawal kadipaten. Ki Bangun Satya memang bukan hanya sekadar abdi kadipaten. Namun, dia juga seorang sahabat yang amat dekat dengan adipati itu. Bahkan sudah dianggap sebagai saudara tertua karena memang usia Ki Bangun Satya lebih tua beberapa tahun dibanding Adipati Detya Karsa sendiri.

"Katakanlah, Kanjeng Adipati. Mungkin hamba dan yang lain bisa meringankan beban batinmu."

"Kakang... Hari ini seharusnya putraku telah tiba bersama Ki Sembada. Bahkan seharusnya kemarin pagi. Namun sampai saat ini, mereka belum juga tiba sahut adipati itu dengan wajah gelisah.

"Apakah tidak mungkin mereka singgah dulu mengunjungi salah seorang sahabat Raden Wijaya...?" Ki Bangun Satya mencoba memberi alasan lain.

"Kurasa tidak, Kakang. Aku telah memberi perintah pada Ki Sembada, agar tidak mengalihkan perhatian kepada yang lain-lain, kecuali tujuan pulang."

"Kanjeng Adipati, bisa jadi kita tidak mengetahui keadaannya. Namun janganlah berprasangka buruk lebih dulu. Percayalah, bahwa mereka tidak lama lagi akan kembali...," hibur sahabat adipati ini.

"Hm.... Hatiku tidak tenang. Demikian juga is-triku. Dia selalu menyebut-nyebut Raden Wijaya. Agaknya kerinduan kepada putranya tiada kuasa lagi dibendung. Aku hanya khawatir terjadi hal-hal yang buruk terhadap mereka...," desah adipati ini, dengan wajah terlihat semakin cemas.

Ki Bangun Satya terdiam sejenak seperti merasakan kekhawatiran di hati junjungannya. "Kalau Kanjeng Adipati berkenan, biarlah hamba bersama beberapa orang prajurit akan mencari... "

"Kau, Kakang...? Hm ... Memang aku baru saja berpikir demikian. Sebaiknya, suruh beberapa orang prajurit mencari mereka. Kau tinggallah di sini dulu untuk menemaniku..."

"Maaf, bukannya hamba bermaksud menen-tang titah Kanjeng Adipati. Raden Wijaya sudah hamba anggap putra sendiri. Sehingga, hamba merasa ikut bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu yang buruk menimpanya. Untuk itu, hamba akan memastikannya. Biarlah hamba yang pimpin beberapa orang prajurit untuk mencarinya," tandas Ki Bangun Satya.

"Hm... Kalau memang sudah begitu kehendakmu, rasanya aku tidak bisa menahan lagi...."

"Terima kasih, Kanjeng Adipati!" ucap Ki Bangun Satya, seraya menghatur sembah. Kemudian dia segera bangkit dan duduknya.

"Pergilah, Kakang. Restuku menyertaimu...!"

"Baik, Kanjeng Adipati!" Ki Bangun Satya segera berbalik, meninggalkan ruangan ini.

********************

Ki Bangun Satya telah mengumpulkan tujuh orang prajurit pilihan untuk menyertainya dalam tugas ini. Namun sebelum berangkat, dia sempat singgah dulu dirumahnya.

"Kakang mendapat tugas berat dari Kanjeng Adipati...?" tanya Nyi Bangun Satya, istri Ki Bangun Satya, ketika melihat suaminya membawa keris pusaka yang selama ini jarang dibawa kalau tidak terpaksa sekali.

Keris berlekuk sebelas itu merupakan senjata pusaka turun-temurun dari perguruannya dulu. Selama ini, dia amat percaya kalau keris itu bertuah. Bahkan akan menambah kekuatan bagi dirinya. Istrinya tahu, hanya pada persoalan gawat saja Ki Bangun Satya sampai menggunakan keris itu.

"Raden Wijaya belum juga kembali...," kata Ki Bangun Satya seraya menghela napas berat.

"Hal itukah yang membuat Kanjeng Adipati risau...?"

Ki Bangun Satya mengangguk. Pada saat itu, masuk seorang gadis manis berusia sekitar enam belas tahun ke ruangan ini. Dia berdiri di pintu seraya menundukkan kepala. Wajahnya tampak muram.

"Kemarilah, Andini...," ujar Ki Bangun Satya.

Gadis bernama Andini melangkah pelan. Kemudian, dia duduk di samping orangtuanya. Ki Bangun Satya mengelus rambutnya sesaat. "Kau mendengar percakapan kami...?"

Andini mengangguk.

"Lalu, apa yang membuatmu begitu muram?"

Gadis itu tidak menjawab. Ki Bangun Satya kembali menghela napas sesak. Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu diajukan lagi. Dia tahu, Andini mencintai Raden Wijaya. Dan pemuda itu pun agaknya telah mencintai putrinya.

"Sudahlah, Andini. Hapus wajah murammu itu. Raden Wijaya tidak apa-apa..."

"Ananda mendengar berita dari kadipaten, kalau Kakang Wijaya mendapat kesulitan di tengah perjalanan…," suara gadis ini terdengar lirih.

Ki Bangun Satya tersenyum pahit. "Kenapa kau mempercayai kabar burung yang belum tentu kebenarannya, Anakku...?"

"Perasaan Ananda tidak tenang. Ayah..."

"Itu bisa terjadi di antara dua orang yang saling mengasihi. Sebaiknya, berdoalah. Mudah-mudahan Raden Wijaya tidak mengalami hal yang buruk dalam perjalanan...."

"Hamba selalu berdoa, Ayah..."

"Bagus!" Ki Bangun Satya, lalu kembali mengelus kepala putrinya.

"Ayah berangkat dulu...."

"Ayah...."

"Ada lagi yang hendak kau katakan...?"

Gadis itu terdiam untuk sesaat. "Ayah membawa senjata pusaka itu, kenapa…?"

"Hanya untuk berjaga-jaga saja."

"Tapi, Ayah selalu membawanya, jika merasa kalau persoalan yang dihadapi amat berat. Jika Ayah memang bermaksud mencari Kakang Wijaya, bukankah berart Ayah menduga kalau Kakang Wijaya dalam keadaan bahaya...?"

"Jangan berkata seperti itu, Andini!"

Gadis itu terdiam. Ki Bangun Satya juga membisu. Bagaimanapun, dia membenarkan apa yang dikatakan putrinya. Keselamatan Raden Wijaya memang mengkhawatirkan. Dan dia merasa ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada pemuda itu. Namun hal itu berusaha disembunyikannya di depan putrinya agar tidak menambah beban.

DUA

Hari menjelang sore ketika rombongan prajurit Kadipaten Watu Pasir menuju ke arah barat. Matahari mulai tenggelam membiaskan sinarnya yang merah kekuningan, membentuk bayang-bayang panjang. Beberapa prajurit tampak mulai letih. Namun melihat semangat ki Bangun Satya yang pantang menyerah, semangat mereka seperti terbangkit kembali.

Jarak Padepokan Wering Surya dengan Kadipaten Watu Pasir mampu ditempuh dalam seharian, bila berkuda terus menerus. Namun itu jarang dilakukan, karena tidak ada seekor kuda yang mampu terus berlari tanpa istirahat. Maka bila perjalanan ditempuh dengan berkuda seperti biasa, paling tidak akan memakan waktu kuran lebih dua hari. Biasanya kebanyakan orang selalu menempuh jalur selatan. Bisa juga melalui jalan pintas, yakni lewat arah barat. Hanya saja harus melewati beberapa hutan kecil dan daerah tandus, namun jarak bisa dipersingkat. Hal seperti ini yang diperhitungkan Ki Bangun Satya.

Laki-laki setengah baya itu menduga, bila hari keberangkatan Raden Wijaya empat hari lalu, semestinya telah sampai di kadipaten. Baik lewat barat maupun selatan. Dan bila mereka menemui kesulitan, paling tidak terjadinya di tengah perjalanan. Maka mereka mencarinya tidak sampai menuju wilayah Padepokan Wering Surya, melainkan diperhitungkan menurut perkiraan kalau di tengah perjalanan telah terjadi sesuatu hal. Namun begitu, sebelum membelok ke arah barat, Ki Bangun Satya sempat mengirim dua orang prajurit pergi ke padepokan itu untuk memastikan kalau Raden Wijaya telah kembali.

"Kenapa kita tidak memeriksanya saja ke Padepokan Wering Surya, Ki Bangun Satya? Siapa tahu Raden Wijaya belum melakukan perjalanan pulang...?" tanya salah seorang prajurit yang berjalan berdampingan laki-laki setengah baya itu.

"Aku tahu sifat Raden Wijaya, Durganda. Beliau tidak akan pernah membatalkan rencananya. Bila berkeras pulang, maka akan segera dilaksa-nakan meski gurunya sendiri mencoba mengha-langi. Beliau telah berjanji akan kembali pada ibundanya empat hari lalu. Maka janji itu pasti ditepatinya...!" tegas Ki Bangun Satya, yakin.

"Lalu, apa gerangan yang membuat kepulangan Raden Wijaya terlambat...?"

"Itulah yang sedang kita cari..."

Ki Durganda terdiam sesaat. Langkah kuda mereka terdengar pelan, dengan pandangan terlihat tajam ke sekitar tempat yang dilalui.

"Jangan bergerak berurutan. Tiga di sebelah kanan, dan tiga lainnya di sebelah kiri pada jarak pandang'" perintah Ki Bangun Satya.

Enam orang anak buah laki-laki setengah baya itu langsung mengikuti perintah. Tiga orang segera bergerak sebelah kiri, sejauh kira-kira delapan sampai sepuluh tombak. Hal yang sama juga dilakukan tiga prajurit lainnya. Sedangkan prajurit yang dipanggil tadi Durganda tetap melanjutkan kudanya di sebelah kepal pasukan kadipaten itu.

"Hatiku merasa tidak enak, Ki..."

Ki Bangun Satya melirik sekilas, namun tidak menyahut.

"Tempat ini sepi sekali...."

"Tenanglah, Durganda. Jangan membesar-besarkan persoalan.

Durganda terdiam. "Aku khawatir jika Raden Wijaya celaka...," desah Durganda, lirih.

"Jangan berpikir seperti itu."

"Dengarkah berita belakangan ini, Ki?" tanya prajurit itu dengan wajah cemas.

"Berita tentang apa...?"

"Hilangnya beberapa orang pemuda berwajah tampan secara aneh, dan sampai saat ini tidak di-ketahui rimbanya?"

"Hm...," gumam Ki Satya Bangun disertai angguk pelan.

"Aku khawatir...."

"Jangan lanjutkan kata-katamu itu, Durganda!" potong Ki Bangun Satya dengan wajah semakin cemas.

"Bisa jadi Raden Wijaya memiliki kepandaian hebat sepulang dari padepokan. Namun menurut berita yang kudengar, pelakunya memiliki kepandaian laksana iblis!"

Ki Bangun Satya terdiam. Kemudian matanya melirik Durganda sebentar. "Maksudmu tokoh yang disebut Hantu Putih Mata Elang...?"

Durganda mengangguk cepat. Sebaliknya, Ki Bangun Satya menghela napas sesak. Nama itu belakangan ini amat santer terdengar. Bukan hanya di wilayah Kadipate Watu Pasir saja, melainkan meluas ke berbagai tempat. Dan laki-laki setengah baya itu mengkhawatirkan hal ini. Dan agaknya, Adipati Watu Pasir sendiri mungkin berpikir seperti itu. Meski, tidak diutarakan.

"Ki Bangun Satya, kami menemukan sesuatu...!" teriak salah seorang prajurit mengagetkan laki-laki berusia setengah baya itu.

"Heh?!" Ki Bangun Satya ditemani Durganda segera menghampiri. Dan mereka langsung melihat salah seorang prajurit kadipaten tengah memegang sebilah pedang bergagang kepala ular. Jelas, senjata itu berasal dari Padepokan Wering Surya. Kalau saja hanya itu yang menjadi petunjuk, mungkin mereka masih ragu-ragu menduga. Namun, di dekatnya tergeletak sesosok mayat yang hanya bisa dikenali dari pakaiannya saja.

"Ki Sembada...?!" desis Ki Bangun Satya.

Kepala pasukan kadipaten itu yakin, setelah melihat sebuah gelang yang melingkar di lengan kanan mayat, yang bertanda khusus. Dan itu hanya dimiliki orang-orang tertentu di kalangan Kadipaten Watu Pasir.

"Dan pedang ini pasti milik Raden Wijaya...!" timpal Durganda.

"Astaga! Apa yang telah terjadi pada Raden Wijaya? Mungkinkah beliau..."

Salah seorang prajurit kadipaten yang terkejut menyaksikan kejadian itu, tidak mampu meneruskan kata-katanya. Dugaannya ternyata sama dengan yang lainnya kalau Raden Wijaya mengalami nasib naas!

"Tidak terlihat jejak apa pun selain tapak kuda-kuda mereka yang mungkin melarikan diri!" kata salah seorang prajurit melaporkan keadaan di sekitar itu setelah memeriksa barang sesaat.

"Hm… Kita kembali ke kadipaten untuk melaporkan keadaan ini. Kemudian, esok hari baru melanjutkan perjalanan setelah mendapat berita dari dua orang yang berada di Padepokan Wering Surya!" ujar Ki Bangun Satya.

"Maaf, Ki Apakah tidak sebaiknya ke Padepokan Wering Surya dulu, untuk menceritakan kejadian ini? Kalau kita menuju ke kadipaten, tentu akan kemalaman. Sedangkan bila ke padepokan, kita akan tiba di sana sebelum tengah malam. Lagi pula, ada baiknya Ki Sabda Senjaya mengetahui kejadian ini," usul Durganda.

Ki Bangun Satya berpikir sejenak, kemudian mengangguk perlahan. "Baiklah. Kurasa begitupun baik. Kita menum-pang bermalam di sana, kemudian pagi-pagi sekali kembali ke kadipaten. Lalu setelah melaporkan kejadian ini pada Kanjeng Adipati, kita adakan pencarian lagi!“ ujar Ki Bangun Satya.

********************

"Bocah nakal! Kalian kira bisa selamat dariku? Yaaat..!"

Seorang kakek berambut panjang melompat dengan ringan. Dan tahu tahu dia telah berada di hadapan dua orang gadis yang tengah dikejarnya. Langkah mereka kontan terhenti dan langsung menghunus pedang.

"Tua bangka cabul! Kau kira aku takut?!" desis gadis berbaju merah yang berwajah manis, langsung mengebutkan pedangnya.

Wuuut!

Namun dengan tenangnya laki-laki tua itu menangkis.

Trang!

Dan seketika kaki kanan kakek bertongkat hitam itu menendang ke dada. Cepat bagaikan kilat gadis itu bergerak ke samping. Kemudian dia melompat ke atas untuk menghindari kepalan tangan kiri yang mengancam.

"Haiiit!"

Gadis berbaju merah itu kembali menerjang. Ujung pedangnya menyambar ke arah kakek itu dengan kecepatan sulit diikuti mata. Namun kembali dengan tenang, tongkat kakek ini berkelebat menangkis. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya meluncur mengancam bagian dada. Gadis berbaju merah itu terkejut, lantas berusaha melompat ke belakang.

Namun sambil berputar, orang tua itu mengejar dengan ujung tongkat menyodok ke arah leher. Cepat bagai kilat gadis itu langsung menyodokkan satu tendangan keras, dan tak terhindari lagi.

Duk!

Gadis berbaju merah itu mengeluh kesakitan dengan tubuh terjungkal ke tanah. Namun, dia berusaha bangkit secepatnya. Sementara orang tua itu hanya terkekeh sambil berkacak pinggang

"He he he...! Kau kira ilmu silatmu bisa me-nandingi si Kalong Wetan?" ejek lelaki tua bertongkat hitam yang ternyata berjuluk Kalong Wetan.

"Orang tua cabul! Aku belum kalah...!" desis gadis berbaju merah itu, langsung menyilangkan pedang ke dada. Wajahnya tampak geram sekali ketika memandang orang tua itu.

"Nisanak! Biar dia hadapi kita berdua" kata gadis yang seorang lagi. Dia berbaju biru. Rambutnya yang dihiasi pita kuning. Rupanya, sejak tadi gadis berbaju merah itu seperti tak memberi kesempatan pada gadis berbaju biru dalam menyerang lawannya. Baru ketika tubuhnya terjungkal, dia menyadari kalau tak mungkin melawan kakek itu sendiri.

"He he he...! Kalian hendak maju berdua? Bo-leh juga. Iseng-iseng kita bermain sebentar, sebelum berlanjut pada permainan inti yang menggairahkan!" kata si Kalong Wetan.

"Tutup mulut kotormu itu!" sentak gadis berbaju merah.

"Huh! Biar kurobek mulut bangsat cabul ini!" desis gadis berbaju biru menimpali.

"Yaaat!"

Kedua gadis itu segera melompat bersamaan menenang. Namun orang tua itu sama sekali menganggap remeh mereka. Bahkan dia selalu tersenyum mengejek. Jelas dia amat memandang enteng.

Baru ketika serangan hampir dekat, si Kalong Wetan mengebut tongkatnya. Gerakannya seperti sembarangan saja. Tapi hasilnya…

Trang! Bet!

"Brengsek!" gadis berbaju merah itu mendengus kesal. Pedang di tangannya nyaris terlepas dari genggaman ketika tongkat si Kalong Wetan menyam-poknya. Sedangkan pedang di tangan gadis berbaju biru terpental sejauh dua tombak. Kebutan tongkat si Kalong Wetan yang bertenaga dalam tinggi sempat mengejutkan mereka.

Gadis berbaju merah itu agaknya memiliki kepandaian setingkat dibanding gadis berbaju biru. Sehingga dia masih mampu mengimbangi serangan barang dua jurus. Namun, harus jungkir balik menyelamatkan diri dari tendangan dan hantaman tongkat si Kalong Wetan.

"Haiiit!"

Dengan satu bentakan keras, tongkat si Kalong Wetan menyambar ke dada kedua gadis itu secara bersamaan. Gadis berbaju merah cepat memapak dengan pedangnya.

Trang!

Gadis itu terkejut setengah mati ketika pedangnya terpukul. Belum juga keterkejutannya hilang, si Kalong Wetan telah meluruk kembali dengan sambaran tongkatnya. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang. Sementara gadis yang satu lagi mencoba membantu. Namun tiba-tiba saja si Kalong Wetan berbalik. Ujung tongkatnya langsung menyodok dada kanan gadis berbaju biru ini. Sementara pada saat yang sama, kakek itu melepaskan satu tendangan keras menghantam gadis berbaju merah.

Duk!

"Akh...!"

Kedua gadis itu terjungkal disertai jerit kesa-kitan. Sementara orang tua itu terkekeh sambil berkacak pinggang.

"He he he...! Kurasa kita telah cukup bermain-main. Dan telah tiba saatnya untuk memulai permainan yang lebih mengasyikan!"

Kedua gadis itu jadi bergidik ngeri melihat si Kalong Wetan perlahan-lahan mendekati sambil menyeringai lebar. Dengan mulut meringis menahan rasa sakit, mereka beringsut ke belakang. Beberapa kali mata mereka melirik ke belakang, ba-rangkali bisa meloloskan diri. Atau mungkin ada orang yang dapat menolong. Dan sebelum si Kalong Wetan bertindak lebih jauh, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih.

"Tinggalkan kedua gadis ini! Dan, enyahlah kau dari sini secepatnya!"

Begitu mendarat, sosok bayangan putih itu langsung mengeluarkan bentakan menggelegar. Dan dia langsung berdiri di antara dua gadis itu dengan si Kalong Wetan.

"Kurang ajaaar! Siapa kau, hingga berani-be-raninya mengganggu urusanku! sentak si Kalong Wetan, begitu memperhatikan sosok pemuda tampan berbaju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung tampak tersampir di punggungnya.

"Orang tua! Sangat tidak pantas kau melaku-kan perbuatan cabul di usia yang sudah bau tanah! Tidak malukah pada diri sendiri? kata pemuda itu tenang tapi penuh kewibawaan.

"Bocah sinting! Tutup mulutmu...! Agaknya kau belum pernah menerima hajaran, he?! Atau kau memang ingin bermain-main denganku? Boleh! Akan kulihat sampai di mana nyalimu hingga berani bicara seperti itu pada si Kalong Wetan!"

Sebelum aku menjatuhkan tangan, sebutkan julukanmu!"

“Perlukah itu?” balas si Pemuda itu enteng.

"Bedebah! Kau rupanya terlalu menganggap remeh Anak Muda! Jangan salahkan aku bila bertangan kejam terhadapmu!"

"Heaaa...!" Begitu kata-katanya selesai, si Kalong Wetan langsung melompat menerjang pemuda itu.

Dari serangan yang datang, pemuda tampan itu tahu kalau orang tua ini memiliki ilmu olah kanuragan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal itulah yang membuatnya berhati-hati menghindari serangan.

"Hup!"

Pemuda itu segera melompat ke belakang, langsung menggunakan jurusnya. Gerakannya demikian cepat dan lincah. Kakinya bergerak dengan ayunan tubuh terhuyung-huyung seperti mabuk. Dan ini ternyata membuat si Kalong Wetan menjadi semakin geram saja. Dalam perkiraannya ujung tombaknya akan mengenai sasaran. Namun dengan gerakan yang tidak terduga, serangannya hanya menemukan sasaran kosong.

"Hebat! Jurus yang dimiliki pemuda itu mengagumkan sekali!" decak gadis berbaju merah itu dengan wajah kagum.

"Apakah kau kenal dengannya?" tanya gadis berbaju biru itu.

"Hm... Rasanya aku pernah mendengar ciri-ciri pemuda seperti dia!" kata gadis berbaju merah setelah terdiam.

"Jadi kau pernah mendengar tentang dia?"

"Ya.... Ayahku pernah bercerita sedikit ten-tangnya. Dia pasti Pendekar Rajawali Sakti!" jelas gadis berbaju merah itu, yakin.

"Pendekar Rajawali Sakti?" ulang gadis berbaju biru itu sambil menaikkan sepasang alisnya.

"Betul! Tidak salah lagi! Wajahnya tampan, memakai baju rompi. Serta, memilik pedang bergagang kepala burung rajawali!"

"Hm... Tapi, apakah dia mampu mengalahkan kakek cabul itu...?"

Gadis berbaju merah itu hanya terkikik pelan.

"Kenapa kau tertawa...?"

"Kenapa tidak? Pertanyaanmu aneh sekaligus lucu. Si Kalong Wetan bukanlah tandingan Pendekar Rajawali Sakti...."

Belum juga kata-kata gadis berbaju merah itu selesai, terdengar jeritan keras si Kalong Wetan. Tampak tubuhnya terjungkal sepuluh langkah. Sementara, tongkat di tangannya terpental jauh. Dari bibirnya menetes darah kental.

"Kalong Wetan! Kuberi peringatan padamu sekali lagi. Pergilah dari sini. Dan, kubur pikiran kotormu. Kalau tidak, aku bisa berbuat lebih buruk kepadamu!" desis pemuda tampan yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, mengancam.

Si Kalong Wetan bersungut-sungut bangkit sambil menyeka darah di bibir, matanya memandang tajam penuh kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti. Namun disadari, tidak ada gunanya melawan lagi. Segala jurus ampuh telah dikerahkannya untuk menghajar. Namun, pemuda itu sama sekali tidak merasa kesulitan. Bahkan serangan balik dari Pendekar Rajawali Sakti membuatnya terkejut.

Orang tua, berjuluk si Kalong Wetan melangkah pelan meninggalkan tempat ini. Rangga hanya menghela napas lega sambil memandang kepada kedua gadis yang baru saja ditolongnya. Dan kedua gadis itu pun melangkah, mendekati. Langsung kedua telapak tangan mereka dirangkapkan di depan dada.

"Pendekar Rajawali Sakti. Kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. !" ucap gadis berbaju merah itu.

"Hm… " Rangga bergumam disertai senyum manis. Dari mana gadis ini mengetahui julukannya?

TIGA

"Nisanak.... Kini kalian telah bebas dari an-camannya. Silakan lanjutkan perjalanan kembali..," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Mana bisa begitu, Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah menyelamatkan kami. Dan setidaknya kami berhutang budi!" sahut gadis yang berbaju merah.

Dahi Rangga jadi berkerut. Sementara gadis berbaju merah itu tersenyum manis. Sedangkan gadis berbaju biru tersenyum walau seperti dipaksakan. Dia sedikit kaget dengan kata-kata diucapkan gadis berbaju merah tadi.

"Nisanak! Kalian tidak perlu berbuat sesuatu sebagai tanda terima kasih. Menolong adalah kewajiban setiap orang..."

"Hm.... Sungguh mulia hatimu, Pendekar Rajawali Sakti. Tidakkah terpikir olehmu kalau kami bersedia melakukan apa saja yang kau inginkan sebagai ungkapan rasa terima kasih?" tanya gadis baju merah ini tersenyum genit.

"Nisanak! Bukankah sudah kau dengar tadi? Aku tidak menginginkan sesuatu dari kalian sebagai tanda terima kasih!" tegas Rangga.

"Hm.... Sayang sekali...."

"Apa maksudmu?"

"Jarang ada pemuda yang menyia-nyiakan kesempatan seperti ini...," gumam gadis berbaju merah itu.

Rangga semakin tidak mengerti kata-kata gadis itu. Bibirnya hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng. Lalu kakinya melangkah menuju kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Sementara gadis berbaju merah itu mengikuti. Sedangkan gadis berbaju biru tetap diam di tempatnya dengan wajah gelisah.

"Hei, tunggu dulu!" panggil gadis berbaju merah.

"Aku masih ada urusan, Nisanak. Maaf..., Rangga segera melompat ke punggung kudanya.

"Setidaknya..., apakah kau tidak ingin tahu nama kami..?"

Rangga menghela napas pendek dan berpikir. Mungkin dengan menuruti kata-kata terakhir gadis ini, persoalannya akan selesai.

"Baiklah… Siapa namamu...?"

"Namaku Roro Inten...

"Dan kawanmu?"

"Mana kutahu? Kenapa tidak kau tanyakan sendiri?!" gadis berbaju merah yang ternyata bernama Roro Inten ini malah balik bertanya.

"Sungguh aneh. Bukankah kalian berkawan? Masa' kau tidak tahu namanya?"

"Siapa yang mengatakan kami berkawan? Aku baru saja kenal dengannya tadi, saat si Tua Bangka Cabul itu ingin menodainya!"

"Oh, begitu. Baiklah, aku akan tanyakan sendiri...," sahut Rangga, seraya menggebah kuda perlahan segera dihampirinya gadis berbaju biru itu.

"Namaku.... Nila Dewi," sahut gadis itu per-lahan.

"Roro Inten dan Nila Dewi? Hm... Nama yang bagus sekali. Nah, kurasa telah cukup, bukan? Selamat tinggal!" Rangga bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun, Roro Inten kembali berteriak mencegahnya.

"Tunggu dulu!"

"Ada apa lagi?"

"Bagaimana kalau si Kalong Wetan kembali, dan bermaksud mengulangi perbuatannya yang tidak kesampaian? Apakah kau tega meninggalkan kami berdua di sini tanpa ada yang menolong?"

"Dia tidak akan berani melakukannya."

"Kenapa tidak? Bukankah jika kau pergi tidak akan ada yang menghalangi niatnya! Justru hal seperti ini yang amat dinantikan!"

Rangga berpikir sesaat. Dan rasanya, apa yang dikatakan Roro Inten ada benarnya. Bisa jadi Kalong Wetan akan meneruskan niatnya yang tidak kesampaian setelah pergi.

"Baiklah... Kalau demikian, kalian kuantar ke desa terdekat..." kata Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat turun dari kuda.

Roro Inten tampak tersenyum. Dan gadis berbaju merah itu buru-buru merendengi langkah Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, si Gadis berbaju biru yang bernama Nila Dewi mengikuti di belakang.

"Begitu lebih baik..!"

Rangga diam saja tidak menyahuti. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti hendak bertanya-tanya tentang kehadiran kedua gadis itu di tempat ini. Sebab, daerah di sekitarnya terlihat sepi dan tidak umum dilalui. Dan bila mereka tengah melakukan perjalanan, rasanya tidak lumrah mengambil jalan ini. Apalagi, keduanya tidak saling mengenal sebelumnya.

"Aku hanya kebetulan lewat saja...," Roro Inten menjelaskan lagi, seperti mengerti apa yang dipikirkan pemuda itu.

"Dan kau, bagaimana mulanya sehingga bisa bertemu tua bangka cabul itu, Nila Dewi...?" tanya Roro Inten.

"Aku...? Eh..."

"Mungkin kau kabur dari rumah, karena hendak dikawinkan dengan kakek-kakek, ya?" tebak Roro Inten disertai tawa kecil.

Nila Dewi tersenyum malu. "Bukan..."

"Lalu, apa...?"

Gadis berbaju biru itu menghela napas sesak. Dan wajahnya langsung terlihat muram. "Semula kami melakukan perjalanan berdua...," jelas Nila Dewi, lirih.

"Dengan kekasihmu...?" tebak Roro Inten.

Nila Dewi tersenyum pahit.

"Lalu?"

"Kami mendapat tugas dari guru ke wilayah selatan untuk mengunjungi salah seorang sahabatnya. Di tengah jalan itulah kami bertemu seorang gadis berwajah cantik dengan rambut keemasan. Kulitnya pucat seperti mayat. Kepandaiannya hebat sekali. Bahkan kami berdua dikalahkannya dengan mudah. Dia menginginkan Kakang Permana. Entah untuk apa. Tapi belakangan aku tahu kalau Kakang Permana akan dijadikan pemuas hawa nafsunya. Kakang Permana semula menolak. Namun, tiba-tiba saja dia menurut dan tidak mampu membantah kata-kata gadis itu. Aku mencoba menyerang, ketika dia menggandeng tangan Kakang Permana dan berkelebat cepat. Namun dengan sekali melambai-kan tangan, tubuhku dihantam pukulan hebat yang sama sekali tidak kuduga...," jelas Nila Dewi dengan wajah murung mengakhiri ceritanya.

"Hm... Tidak salah lagi Pasti perbuatan si Hantu Putih Mata Elang!" desis Roro lnten geram.

"Apakah kau kenal dengannya?" tanya Nila Dewi.

"Aku pernah mendengar sepak terjangnya! Gadis itu memiliki ilmu iblis. Dan kebiasaan anehnya, menculik pemuda-pemuda tampan untuk dijadikan pemuas nafsu setannya," kata Roro Inten sambil melirik Rangga.

"Apa maksudnya?" tanya Rangga mulai tertarik

"Mana kutahu! Hati-hati saja. Kau bisa menjadi korban berikutnya!" ingat gadis itu seraya tersenyum kecil.

Rangga ikut-ikutan tersenyum dan tidak ber-kata apa-apa lagi!

********************

Kuil Teratai Emas terletak di wilayah selatan, di atas Bukit Gondosewu. Bila melihat dari sisi bukit lainnya, maka akan terlihat rerumputan luas bagai permadani hijau menghampar di sekeliling kuil megah itu. Di depannya terdapat kebun bunga beraneka macam menghiasi sebuah kolam ikan. Sehingga apabila musim bunga mulai mekar halaman depan kuil seperti taman surgawi yang indah bukan main, bercampur harum semerbak wewangian. Di bagian belakang kuil terdapat kebun sayuran serta pepohonan besar yang tumbuh subur. Selintas terlihat seperti hutan lebat yang amat menyeramkan. Namun sesungguhnya segala hasil tanaman itu dipergunakan bagi kebutuhan sehari-hari seratus lebih siswa-siswa yang belajar agama di situ.

Kuil Teratai Emas didirikan lebih dari seabad yang lalu. Tak heran kalau dari sini banyak mene-lurkan murid yang tersebar di mana-mana. Semula kebanyakan dari mereka hanya berkecimpung dalam bidang agama. Namun karena beberapa puluh tahun lebih dari lima puluh rahib tewas di tangan orang-orang yang tidak menyukai mereka. Maka sejak Wiku Dharma Putera memimpin kuil itu, para muridnya diajarkan ilmu olah kanuragan. Paling tidak untuk sekadar membela diri dari tindakan orang-orang yang hendak berbuat jahat.

Wiku Dharma Putera sendiri yang sampai se-karang masih memimpin kuil itu, dulunya adalah seorang pendekar besar. Namanya amat disegani di kalangan persilatan. Sejak saat itu, lulusan Kuil Teratai Emas amat diperhitungkan serta disegani. Karena, kebanyakan watak muridnya yang welas asih dan sabar, serta tidak segan mengulurkan tangan membantu kaum lemah.

Kini pemimpin kuil berusia lebih dari tujuh puluh lima tahun itu tengah berdiri tegak di lantai depan kuil, memperhatikan murid-muridnya yang tengah berlatih ilmu olah kanuragan di bawah bimbingan beberapa orang rahib yang merupakan murid tertua. Beberapa kali bibirnya tersenyum. Kemudian dia menuruni undakan anak tangga yang berjumlah tujuh buah, lalu berkeliling memperhatikan muridnya satu persatu.

"Hormat kami, Guru Wiku...!"

Para murid merangkapkan kedua tangan di dada seraya sedikit membungkukkan tubuh. Dan Wiku Dharma Putera mengangkat sebelah tangannya beberapa kali, membalas penghormatan mereka. Dan baru saja mereka memusatkan latihan kembali...

"Hi hi hi...!"

Pagi yang cerah dan berhawa segar ini mendadak dikejutkan tawa nyaring yang berkumandang, mengelilingi kawasan kuil itu. Seketika para murid menghentikan latihan, dan mendongakkan kepala mencari-cari suara tawa tadi.

Wiku Dharma Putera memandang ke sekeliling tempat. Kemudian tangan kanannya diletakkan ke dada seraya membungkuk sedikit.

"Wahai, Nisanak! Tampakanlah dirimu, jika memang hendak bertamu. Sesungguhnya pintu kuil ini selalu terbuka bagi siapa saja yang hendak berkunjung...!" kata laki-laki tua itu. Suaranya pelan, namun jelas mengandung tenaga dalam kuat. Dan dia sudah menduga kalau suara tawa itu milik seorang wanita.

"Hi hi hi...! Sungguh tajam pendengaranmu, Orang Tua...!" sahut suara tadi, begitu sosoknya telah diketahui Wiku Dharma Putera.

Kemudian terlihat sesosok tubuh putih melayang ringan dari salah satu cabang pohon, dan hinggap di atas pagar halaman depan kuil. Sesosok tubuh itu memang seorang wanita belia berwajah cantik. Bibirnya merah merekah dengan rambut panjang sebahu berwarna keemasan yang berkibar-kibar tertiup angin pagi. Tubuhnya yang padat berisi, amat merangsang di balik kain sutera putih yang amat tipis. Melihat itu, murid-murid Kuil Teratai Emas langsung menunduk sambil menempelkan tangan di dada. Demikian juga Wiku Dharma Putera. Pemandangan itu amat tabu bagi mereka.

"Demi Batara Agung...! Apa yang kau inginkan di tempat kami ini, Nisanak?" tanya Wiku Dharma Putera.

"Hi hi hi...! Orang tua! Kulihat banyak muridmu yang masih belia dan gagah. Kau tentu tidak keberatan kalau aku ingin meminta barang sepuluh atau dua puluh orang, bukan?" sahut perempuan itu.

"Sesungguhnya, murid-muridku diperuntukkan bagi alam semesta ini. Namun, untuk tujuan mulia. Mereka akan menjadi abdi dewata yang agung. Lantas apakah yang kau inginkan dari mereka...?" tanya Wiku Dharma Putera, ramah.

"Mereka akan kujadikan abdi yang setia!" sahut wanita itu enteng.

"Apakah kau dewata sehingga berani bicara seperti itu?"

"Hi hi hi...! Tidak tahukah kau bahwa aku adalah dewi yang diutus untuk menjemput murid-muridmu?"

"Demi Jagad Dewa Batara! Sesungguhnya kata-katamu amat lancang, Nisanak! Mudah-mudahan dewata yang agung mengampuni dosa-dosamu. Pergilah dari tempat ini dengan damai, ujar Wiku Dharma Putera, terkejut.

"Hi hi hi...! Apakah kau kira mampu mengha-langi niat seorang dewi?" wanita itu tertawa mengejek dengan sikap amat merendahkan.

"Janganlah membuat kekacauan, Nisanak. Selamanya, Kuil Teratai Emas ini adalah tempat suci dan tidak boleh ada kekacauan. Kedatanganmu dengan niat buruk, akan menodai kuil ini. Maka dengan kerendahan hati, kuminta agar kau meninggalkan tempat ini!" kata Wiku Dharma Putera, mulai tegas.

"Hm... Kau kira mudah mengusirku, heh?!"

"Nisanak, janganlah mempermainkan kesabar-an seseorang. Karena, sesungguhnya itu membawa kerugian pada diri sendiri "

"Orang tua! Tidak usah banyak mulut! Berikan dua puluh muridmu yang akan kupilih sendiri. Dan setelah itu, kuil ini akan aman! Kalau tidak, kau boleh meratapi nasibmu di akherat sana!" dengus wanita itu dengan suara lantang. Sementara tangan kanannya menuding ke arah sang Wiku dengan sikap memandang rendah.

"Jagad Dewa Batara...! Jangan terlalu memak-sa kami untuk bertindak keras terhadapmu, Nisa-nak…!" dengus laki-laki tua itu.

"Banyak mulut! Hiiih!"

Gadis berkulit pucat bagai mayat itu menggeram seraya mengulurkan telapak tangan ke depan. Maka dari telapaknya yang terbuka keluar serangkum angin kencang berhawa dingin, langsung meluruk ke arah Wikut Dharma Putera.

"Heup!"

********************

Wiku Dharma Putera melompat ke samping. Namun bersamaan dengan itu kembali pukulan wanita itu menghantamnya. Untungnya dia masih mampu menyelamatkan diri dengan kembali melompat ke samping kanan. Namun...

"Aaa...!" Beberapa murid yang berada di belakang kontan menjerit kesakitan terkena pukulan nyasar. Mereka terjungkal ke tanah dengan tubuh kaku dan membiru. Tewas seketika.

"Demi Jagad Dewa Batara! Sesungguhnya kau telah berlaku kejam terhadap kami, Nisanak. Dan aku tidak bisa membiarkanmu bertindak sesuka hatimu di tempat suci ini!" desis Wiku Dharma Putera semakin marah menggelegak begitu mendarat di tanah dan melihat keadaan murid-muridnya.

Mendengar kata-kata sang Guru, maka semua murid kuil yang selamat serentak bersiaga dan mengurung gadis itu.

"Hi hi hi...! Apa yang bisa kau lakukan terhadap Hantu Putih Mata Elang? Kalian hanya akan mengantar nyawa percuma!"

"Hantu Putih Mata Elang? Hm, pantas! Kau adalah wanita cabul yang berwatak iblis. Tidak berdosa bagiku melenyapkan orang sepertimu!" dengus Wiku Dharma Putera.

"Banyak mulut! Ayo, keluarkan semua kepan-daianmu! Kudengar kau bekas pendekar kelas satu sebelum bercokol di tempat ini!" bentak wanita itu. Kembali dia menghantam orang tua itu dengan pukulan berhawa dingin.

"Yeaaat!" Wiku Dharma Putera cepat bagai kilat melompat tinggi untuk menghindari pukulan maut ini. Demikian juga beberapa muridnya. Namun sungguh malang, karena dua orang muridnya terlambat menghindar.

Brueeesss!

"Aaa...!" Kembali terdengar jerit kesakitan, begitu dua orang murid terhantam pukulan jarak jauh dari wanita berjuluk Hantu Putih Mata Elang. Tubuh kedua murid itu kontan tewas dengan tubuh membiru, begitu mencium tanah.

Begitu mendarat di tanah, Pemimpin Kuil Te-ratai Emas itu menggeram. Langsung dilepaskannya serangan balik disertai lentingan tubuhnya, memburu Hantu Putih Mata Elang dengan satu pukulan maut disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

"Yeaaa...!"

"Haiiit!"

Hantu Putih Mata Elang cepat bergerak melenting ke atas, menghindari pukulan Pimpinan Kuil Teratai Emas itu. Namun....

Plak!

Satu tebasan sisi tangan kanan terbuka yang dilancarkan Wiku Dharma Putera berhasil mengenai kaki lawan. Sementara Hantu Putih Mata Bang hanya tertawa mengejek. Dan seketika dilepaskannya satu sodokan keras ke dada sang Wiku dengan kepalan tangan kanan yang mengandung tenaga dalam kuat.

Wiku Dharma Putera mencoba menangkis untuk menjajaki tenaga dalam Hantu Putih Mata Elang. Namun, kemudian buru-buru dilepaskannya telapak tangannya yang menangkap kepalan tangan itu, ketika merasakan hawa dingin yang amat menyengat yang menjalar cepat ke pangkal lengannya.

Plak!

"Aaakh...!" Kalau saja sang Wiku tidak cepat melepaskan, niscaya hawa dingin itu akan membekukan seluruh aliran darahnya!

"Biadab! Ilmu iblis...!" desis laki-laki tua itu kaget, seraya mengibaskan tangannya yang terasa kaku.

"Hi hi hi...! Kesaktianmu tidak akan mampu mengalahkanku, Tua Bangka Busuk!" dengus Hantu Putih Mata Elang. Kemudian wanita ini segera melanjutkan serangan dengan melakukan tendangan ke arah leher.

"Hup!" Cepat bagai kilat Wiku Dharma Putera menun-dukkan kepala, dan langsung melepaskan serangan balasan dengan mengibaskan kaki kanan ke arah pinggang.

Hantu Putih Mata Elang menangkis dengan mengayunkan tangan kiri. Lalu dengan kecepatan sulit diimbangi, kaki kanannya menghantam ke arah dada.

Plak!

"Akh!" Wiku Dharma Putera kontan menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan darah kental menetes dari sudut bibir.

"Yaaat!"

Belum lagi laki-laki tua itu menguasai diri. Hantu Putih Mata Elang telah meluruk deras ke arahnya dengan satu kepalan ke arah muka. Begitu cepat gerakannya, sehingga Wiku Dharma Putera tak bisa menghindarinya. Dan....

Des!

"Aaa...!" Begitu kepalan tangan Hantu Putih Mata Elang mengantam muka, sang Wiku menjerit tertahan. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang, laksana daun kering yang tertiup angin. Dalam keadaan kaku dan membiru, tubuhnya ambruk dan tewas seketika!

"Guru Wiku...?!"

Seluruh murid Kuil Teratai Emas terkejut kaget dan menghampiri mayat pimpinannya. Sedangkan beberapa murid lain yang tidak mampu menahan amarah, sudah langsung menyerang Hantu Putih Mata Elang

"Wanita iblis, kau patut mampus...! Yeaaat!"

"Diaaam!" bentak Hantu Putih Mata Elang keras. Bola matanya bersinar tajam, manakala memandang ke arah sepuluh lawan yang siap menyerang.

Mendadak saja kesepuluh murid sang Wiku terdiam seperti patung. Sedangkan beberapa murid lain terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak tahu harus berbuat apa.

"Kalian semua ada di bawah perintahku! Ikuti semua kata-kataku. Mengerti..!" desis si Hantu Putih Mata Elang dengan nada suara mengandung sihir hebat.

Kesepuluh murid Wiku Dharma Putera menundukkan kepala dengan sikap hormat.

"Hi hi hi...! Bagus. Nah, sekarang ikut de-nganku!" Hantu Putih Mata Elang tertawa girang. Begitu tubuh berbalik dan berkelebat dan tempat ini, ke-sepuluh murid Wiku Dharma Putera yang seperti tersihir segera mengikuti dari belakang seperti korban yang dicucuk hidungnya.

"Wanita iblis! Kau kira bisa berbuat sesuka hatimu! Mampuslah kau!" bentak tiga orang murid utama sang Wiku. Mereka langsung menghantam wanita itu dengan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat.

"Hiiih!" Hantu Putih Mata Bang agaknya telah menyadari. Cepat tubuhnya berbalik, seraya balas menghantam dengan pukulan mautnya.

"Aaa...!" Ketiga murid utama sang Wiku kontan menjerit tertahan. Tubuh mereka langsung terjungkal dengan keadaan kaku membiru dan tewas seketika. Bukan hanya mereka. Bahkan empat orang lain yang berdiri di dekat mereka, tewas terkena pengaruh hantaman angin serangan Hantu Putih Mata Elang.

"Jangan!" cegah seorang murid tertua, ketika melihat beberapa murid lain hendak mengejar. “Hantu Putih Mata Elang bukan tandingan kita. Tidak ada gunanya menuntut balas jika hanya untuk mengantar nyawa percuma!"

Semua murid menaruh dendam dengan dada penuh gelegak amarah. Namun mereka terbiasa patuh dengan perintah murid tertua, sebagai pengganti kebijaksanaan sang Wiku. Apalagi saat ini Wiku Dharma Putera telah tiada dalam keadaan menyedihkan.

EMPAT

Tiga anak muda yang terdiri dari seorang laki-laki dan dua orang wanita telah memasuki Desa Waton Kapur. Sebuah desa yang ramai dan banyak dikunjungi pedagang yang datang dari berbagai daerah. Karena selain tempatnya yang tertata apik, desa ini juga merupakan persinggahan dari dua buah kadipaten yang saling berdekatan.

"Kurasa kalian bisa melanjutkan perjalanan sendiri...," kata pemuda tampan yang berjalan bersama dua orang gadis ini tenang.

Sementara gadis yang berbaju biru langsung menghampiri si Pemuda sambil merangkapkan kedua tangan ke dada, tubuhnya membungkuk sedikit.

"Terima kasih, Rangga. Rumah guruku tak ja-uh lagi ke arah tenggara. Kalau kalian tidak ke-beratan, sudilah mampir ke gubuk kami. Guruku pasti akan senang menerimamu...," ucap gadis berbaju biru ini.

"Terima kasih, Nila Dewi. Aku masih ada urusan sedikit. Mungkin lain kali jika ada kesempatan...," sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm, menyesal sekali. Tapi aku tidak akan memaksamu, Rangga. Dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, atas pertolonganmu. Juga kau Roro Inten. Aku mohon pamit!" ucap gadis berbaju biru yang memang Nila Dewi, segera meninggalkan Rangga dan gadis berbaju merah yang tak lain dari Roro Inten.

"Roro Inten... Kurasa aku pun akan segera melanjutkan perjalanan...," kata Rangga, begitu Nila Dewi telah cukup jauh.

"Eh, apa?" tanya Roro Inten, pura-pura tak mendengar.

"Aku akan melanjutkan perjalananku. Ten-tunya kau pun begitu, bukan?" ulang Rangga.

"Aku tidak punya tujuan...."

"Lalu, kenapa kau berkeliaran...?"

Roro Inten tersenyum manis. "Aku tidak betah di rumah!" sahut gadis berbaju merah itu enteng.

Rangga menggeleng lemah sambil tersenyum. "Sangat berbahaya bagi seorang gadis sepertimu melakukan perjalanan seorang diri...."

"Kalau begitu, ajaklah aku bersamamu!" sahut Roro Inten cepat.

Rangga kembali tersenyum. Gadis ini seperti tidak punya beban dalam pikirannya. Bicaranya asal keluar dari mulut. Dan dia hanya mengikuti jiwa mudanya saja tanpa dipikirkan lebih dulu.

"Aku tidak bisa mengajakmu...," kata Rangga, mantap.

"Kenapa? Apakah kau takut kekasihmu tahu, kemudian mendamprat habis-habisan?" tanya Roro Inten, seperti tak ada beban dan malu sama sekali.

"Hm, mungkin juga...," gumam pemuda berbaju rompi putih itu.

"Kalau begitu, aku diam-diam akan mengikutimu agar tidak ada yang tahu!"

"Aku ada urusan penting dan berbahaya, Roro Inten. Kuharap kau mengerti dan jangan mengikutiku"

"Aku bisa jaga diriku sendiri!" dengus gadis itu cepat.

"Seperti terhadap si Kalong Wetan itu, bukan?" sindir Rangga.

"Apa kau kira aku tidak bisa menghadapinya seorang diri?!"

Rangga menghela napas sesak.

"Apa sih urusanmu, sehingga berat sekali mengajakku? Apa kau mau menggulingkan kekuasaan raja sehingga dianggap berbahaya?" tanya Roro Inten.

"Aku ingin mencari si Hantu Putih Mata Elang...."

Roro Inten ketawa geli. "Aku tahu sekarang!" sentak Roro lnten.

"Tahu apa?"

"Sejak di perjalanan tadi, kau terus bertanya tentang wanita itu. He, wajahnya cantik sekali seperti bidadari. Dan yang lebih hebat, wataknya itu! Hm.... Siapa pemuda yang tidak terpikat? Kau pasti sudah membayangkan tentang keindahan tubuhnya, kehangatan belai tangannya...," celoteh Roro Inten.

"Roro Inten, cukup! Jangan berpikir kotor seperti itu!" potong Rangga kesal.

"Lalu, untuk apa kau menemuinya?!"

"Berusaha menghentikan sepak terjangnya," jawab Rangga, mantap.

Roro Inten kembali tertawa agak keras. Kata-kata pemuda itu dianggapnya hal yang lucu. Dalam pikirannya, mana mungkin ada pemuda yang mau menolak untuk memenuhi keinginan si Hantu Putih Mata Elang yang terkenal cantik dan bertubuh bagus? Jangankan diminta untuk meladeni. Bahkan tanpa berpikir dua kali akan menawarkan diri!

Rangga melompat ke punggung kudanya yang sejak memasuki desa ini hanya dituntun saja. Tidak dipedulikannya ejekan serta tawa sinis gadis itu. "Kau boleh berpikir dan menduga sesuka hatimu tentangku...! Heaaa!" Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya.

"Hei, tunggu...!" teriak Roro Inten hendak mencegah.

Namun, Rangga telah amat jauh dibawa lari kuda hitamnya dalam waktu singkat.

"Sial! Brengsek...!" maki Roro Inten kesal disertai sumpah serapah tidak karuan. Gadis berbaju merah itu melangkah pelan menyusuri tapak kuda Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, melintas dua orang laki-laki berkuda dari arah berlawanan. Dan wajah Roro Inten tampak tersenyum cerah.

"Heaaat..!" Mendadak saja tubuh gadis itu melompat dengan ringan. Dan tahu-tahu, satu tendangan kilat dilepaskan ke arah salah seorang penunggang kuda. Begitu cepatnya serangan gadis itu, sehingga si Penunggang Kuda tak mampu menghindari. Dan....

Begkh!

"Akh!" Orang itu kontan terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Dan sebelum dia bangkit, gadis berbaju merah itu telah bertengger menggantikannya di punggung kuda.

"Kurang ajar...!"

Sementara penunggang kuda yang satu lagi menggeram. Kudanya segera diarahkan pada gadis itu untuk menerjang. Langsung dia menyodok Roro Inten dengan kepalan tangannya.

Wuuut!

Namun, tangkas sekali Roro Inten menangkap kepalan tangan laki-laki itu dan mendorongnya dengan keras. Orang itu kontan terjungkal dan jatuh berdebuk keras di tanah. Sambil menahan sakit pada pantatnya yang ngilu bukan main, dia bangkit berdiri.

"Heaaa...!" Sementara Roro Inten sudah menggebah kudanya kencang-kencang, meninggalkan tempat ini. Meninggalkan kedua laki-laki tadi yang menyumpah tidak karuan.

********************

Sesosok bayangan putih tampak melayang-layang ringan dari satu cabang pohon, ke cabang pohon lain. Begitu ringan gerakannya, sehingga seperti kapas tertiup angin saja. Tubuhnya melayang turun ke bawah sebuah pohon beringin besar yang usianya telah ratusan tahun. Kulit kayunya yang besar, tidak mampu dipeluk dua orang laki-laki dewasa.

Sosok tubuh putih berambut keemasan itu menginjak salah satu akar yang sedikit mencuat di atas permukaan tanah. Dan...

Krekkk! Sungguh ajaib! Salah satu sisi batang pohon itu terkuak seukuran orang dewasa, laksana sebuah pintu. Lalu sosok yang ternyata seorang wanita ini masuk kedalam. Sebentar saja pintu rahasia itu menutup kembali.

Di dalamnya ternyata terdapat lubang yang berhubungan dengan sebuah lorong yang menjorok ke bawah. Di sisi kiri dan kanannya terpasang beberapa buah obor sebagai penerangan. Sosok berbaju putih itu kemudian memasuki sebuah pintu yang ada di sebelah kiri. Dan dia terus menyusuri sebuah lorong rahasia lain, sepanjang lebih kurang lima belas tombak yang terdapat tiga buah pintu di ujungnya.

Wanita berambut keemasan itu membuka pintu di sebelah kiri. Di situ, terdapat sebuah ruangan mewah dengan perabotan berupa tempat tidur besar berukir indah, sebuah lemari besar, dan sebuah meja berikut kursi. Seorang gadis berkulit sawo matang dan berwajah manis tampak duduk termenung membelakangi di sisi tempat tidur besar itu.

"Roro Inten...," panggil wanita berambut keemasan itu seraya mendekati.

"Hm...." Gadis berbaju merah yang tengah membelakanginya hanya bergumam pendek tanpa menoleh dan merubah sikap duduknya.

"Kau tidak menyambut ibu di depan... "

Gadis berkulit sawo matang yang ternyata Roro Inten tidak menyahut. Dia diam saja ketika wanita berambut keemasan berkulit pucat itu duduk di dekatnya sambil mengelus rambutnya.

"Kenapa?" tanya wanita berambut keemasan ini.

"Tidak apa-apa...," sahut Roro Inten.

"Wajahmu murung dan hatimu gelisah. Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Jangan berbohong pada lbu," desak wanita yang rupanya ibu dari Roro Inten.

Roro Inten itu memalingkan muka, menatap wanita di depannya untuk beberapa saat. Nyata sekali perbedaan di antara mereka berdua. Wajah Roro Inten memang tidak secantik wanita ini. Kulitnya, tubuhnya, dan... ah! Segalanya begitu tidak mirip. Bahkan bila mereka berjalan bersama, maka orang akan menduga bahwa. Roro Inten adalah kakak wanita ini. Padahal, wanita berambut keemasan ini adalah ibu Roro Inten. Roro Inten mendesah pelan. Sepertinya ada sesuatu yang menggayut pikirannya. Dan itu tidak sampai hah diutarakan pada ibunya.

"Katakanlah.... Mungkin Ibu bisa menolongmu...," bujuk wanita berambut keemasan itu, bernada lembut.

"Ibu...."

"Hm..." Roro Inten menundukkan kepala, tidak kuasa meneruskan kata-katanya. Wanita berambut keemasan yang tak lain dari Hantu Putih Mata Elang menaikkan dagunya, sehingga terpaksa mata mereka kembali bertatapan.

"Katakanlah," desak Hantu Putih Mata Elang.

"Aku..., aku, eh...! Tahukah lbu, kalau saat ini menjadi bahan pembicaraan orang?" tanya Roro Inten, seperti tak kuasa menyatakan maksudnya.

"Lalu?"

"Mereka berusaha membunuh lbu...."

"Apakah kau kira ada yang mampu membunuh ibumu?"

"Aku tidak mengkhawatirkan, karena percaya kalau kesaktian lbu demikian hebat..."

"Lalu apa yang kau maksudkan?"

"Kebencian mereka. Mereka begitu benci padamu. Dan... bisakah lbu mengerti pengaruhnya bagiku?"

"Bicaralah terus-terang, Anakku."

"Siapakah yang sudi berkawan denganku? Siapa pemuda yang sudi melirikku jika tahu kalau aku putri si Hantu Putih Mata Elang?'

Hantu Putih Mata Elang tersenyum begitu manis. "Apakah kau tengah menaksir seorang pemuda?"

Roro Inten terdiam. Namun sebentar kemudian kepalanya mengangguk pelan.

"Siapa orangnya?"

"Mungkin lbu pun mengenalnya. Dan..., saat ini dia tengah mencarimu."

"Mencari lbu? Hm, bukankah itu suatu kebe-tulan?"

"Ibu, aku mohon yang satu ini jangan dijadikan korbanmu. Aku..., aku mencintainya...," ratap Roro Inten, langsung menutup mukanya dengan telapak tangan.

Wanita berambut keperakan itu kembali tersenyum melihat putrinya tertunduk dengan walah tertutup telapak tangan. Lalu dia membelai rambut Roro Inten.

"Maksudku, bila dia memang mencari Ibu, bukankah lebih mudah aku mempertemukannya denganmu? Nah, katakanlah. Siapa pemuda itu?"

"Dia.., dia bernama Rangga. Dan dia terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti? Pilihan yang sepadan denganmu. Apakah kau memang telah bertemu dengannya?" tanya wanita berambut keemasan itu lagi disertai senyum girang.

Roro Inten mengangguk. Kemudian pertemuannya dengan si Pendekar Rajawali Sakti diceritakan.

"Hm, bagus! Dia tidak usah sibuk-sibuk mencari, karena ibu sendiri yang akan menemuinya!"

"Tapi, ibu! Dia…, ia bukan bermaksud menemuimu untuk berbaik-baikan!" seru Roro Inten, cemas.

"Tidak usah khawatir. Ibu tahu, apa yang harus dilakukan. Nah tunggulah di sini. Biar Ibu bawakan dia untukmu...."

"Ibu, hati-hati! Dia memiliki kepandaian hebat!"

"Kau meragukan kemampuanku?" Roro Inten tersenyum sambil menggeleng.

"Hapus kesedihan di hatimu dan tersenyumlah...!" ujar wanita berambut keemasan, dan segera berlalu dari ruangan ini.

Roro Inten tercenung kembali. Sebetulnya bukan hal seperti ini yang diharapkannya. Sejak pertemuannya dengan Pendekar Rajawali Sakti, gadis ini memang sudah kepincut. Dan jauh di dasar hatinya dia ingin merebut perhatian Rangga dengan cara wajar. Namun kelihatannya pemuda itu tidak menaruh hati barang sedikit padanya. Inilah yang membuatnya kecewa. Akibatnya tumbuh rasa sakit hati di hatinya. Dan ketika ibunya berniat hendak membawa pemuda itu padanya, Roro Inten tidak bermaksud mencegahnya. Meskipun, tidak sepenuh hati mendukung. Yang ada di benaknya adalah, dia harus bertemu pemuda itu lebih dulu.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Sepak terjang Hantu Putih Mata Elang bela-kangan ini memang amat meresahkan. Selama dua hari berkeliling di tiga wilayah kadipaten yang saling berdekatan, Pendekar Rajawali Sakti sering mendengar kalau banyak pemuda berwajah tampan hilang secara aneh. Dan semua orang yakin, bahwa itu perbuatan Hantu Putih Mata Elang. Hal ini bukan semata-mata dugaan belaka, sebab banyak saksi mata yang melihat perbuatannya menculik para pemuda.

Banyak pihak yang begitu mendendam dan ingin menuntut balas terhadap Hantu Putih Mata Elang. Sayang kebanyakan dari mereka berkemampuan rendah, dan akhirnya tewas di tangan wanita itu. Namun yang menyakitkan adalah, tidak seorang pun yang tahu di mana Hantu Putih Mata Elang bersembunyi. Dia datang begitu saja bagai angin dan lenyap seperti ditelan bumi.

Rangga bukannya tidak menyadari kesulitan itu. Namun akalnya cepat berpikir. Selama ini, Hantu Putih Mata Elang lebih banyak melakukan sepak terjangnya pada tiga wilayah kadipaten yang amat luas. Yaitu, Kadipaten Watu Pasir di utara, Kadipaten Karang Gantung di selatan, dan Kadipaten Beringin Wetu di barat. Menurut dugaannya, Hantu Putih Mata Elang pasti tinggal di salah satu kadipaten itu. Hal inilah yang sedang dijajaki Pendekar Rajawali Sakti!

Hari menjelang sore ketika Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan sebuah desa di wilayah Kadipaten Karang Gantung. Hatinya ragu-ragu sejenak ketika gerimis mulai turun perlahan. Sementara Dewa Bayu terlihat letih meski tadi sempat beristirahat barang sejenak. Satu hari penuh mereka mengitari wilayah selatan ini untuk mencari jejak Hantu Putih Mata Elang, namun tidak kunjung membawa hasil.

"Hei? Ada sebuah goa di sana! Mudah-mudahan cukup dalam untuk kita berteduh dan bermalam!" seru Rangga langsung seraya menggebah kudanya mendekati sebuah goa yang berada persis di bawah sebatang pohon.

Goa itu memang cukup dalam untuk menam-pung mereka berdua. Rangga sempat mencari ranting-ranting kering untuk membuat api unggun. Ketika api telah menyala. Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila di hadapannya.

Rangga menghela napas panjang. Udara mulai terasa dingin dan di luar angin bertiup kencang. Dan nyala api sempat bergoyang-goyang. Hujan yang mulai turun perlahan-lahan, berubah deras. Masih untung letak goa ini sedikit terhalang pohon di mulutnya, sehingga angin yang masuk ke dalam tidak begitu kencang. Namun begitu, sempat membuat Rangga kedinginan. Dewa Bayu beberapa kali mendengus-dengus sambil meringkik kecil.

"Hm...," gumam Rangga pelan. Meski kelihatannya tenang-tenang saja, sesungguhnya Pendekar Rajawali Sakti tengah menterapkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara'. Dia memang tidak menghilangkan kewaspadaan, sebab goa di dalam ini buntu. Bila ada seseorang yang berkepandaian tinggi dan hendak berbuat jahat, maka mudah saja mengurung Rangga di sini. Dan di antara desau angin, riuhnya dedaunan yang bergoyang-goyang serta rintik hujan yang sesekali diiringi kilatan petir dan guruh, ada gerakan halus yang tercipta bukan oleh kejadian alam. Amat halus dan ringan. Bahkan Rangga sendiri ragu, apakah pendengarannya benar pada saat ini?

"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Ternyata apa yang kudengar tentangmu cukup beralasan. Kau memang hebat dan telingamu amat terlatih meski dalam suasana ribut begini...!"

Terdengar satu suara yang diiringi tawa panjang. Namun Rangga tetap duduk bersila seperti semula. Belum tampak sesuatu apa pun di mulut goa. Namun dari datangnya suara yang cukup keras, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau orang itu cukup dekat. Bahkan begitu yakin kalau seseorang itu berada di atas pohon yang terletak di mulut goa.

"Nisanak! Kalau kau hendak berteduh, silakan masuk. Tempat ini masih cukup untuk beberapa orang lagi!" teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang. Dan dia merasa yakin kalau orang yang tertawa nyaring itu adalah wanita.

Selesai berkata begitu, dari atas mendadak melesat sesosok bayangan putih yang melayang turun bagai sehelai daun kering tertiup angin. Bahkan Rangga dibuat terkagum oleh ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Dan tahu-tahu orang itu telah berada di hadapannya sambil berkacak pinggang.

"Heh?!" Pemuda itu lebih terkejut lagi ketika melihat seraut wajah cantik dengan bibir merah merekah, berdiri di hadapannya. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna keemasan, dibiarkan lepas begitu saja. Bukan hanya itu. Lekuk-lekuk tubuhnya juga amat menantang. Bahkan begitu jelas terlihat di balik gaun tipis sutera putih yang tembus pandang. Pemuda itu sampai menelan ludahnya sendiri. Dan beberapa saat darahnya tersirap serta urat-urat di sekujur tubuhnya menegang.

"Benarkah kau tidak keberatan kalau aku menemanimu barang semalam di tempat ini...?" sapa sosok yang ternyata wanita itu dengan suara halus dan merdu.

Pendekar Rajawali Sakti cepat tersadar dari kekagumannya. Langsung ditariknya napas panjang. Dan cerita yang pernah didengar, dia bisa menduga kalau wanita yang dicarinya telah berdiri di hadapannya! Dan pemuda itu berusaha menghilangkan rasa kagetnya.

"Kau boleh menjawab pertanyaanku, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya wanita itu tersenyum manis. Dan nada suaranya masih terdengar manja merayu.

"Sebenarnya aku tidak memerlukan teman. Namun karena kau kehujanan, tentu saja aku tidak pelit jika hanya sekadar berteduh...."

"Hi hi hi...! Kau baik sekali. Dan.... amat tampan. Tidak heran kalau putriku tergila-gila padamu..."

"Putrimu? Siapakah putrimu?"

"Kau betul-betul tidak mengenalnya?”

"Hm... Mungkin suatu kehormatan bagiku bila bisa mengenal putri si Hantu Putih Mata Elang," kata Rangga, yang sudah bisa menduga siapa wanita ini.

"Hi hi hi...! Agaknya matamu pun jeli, Pendekar Rajawali Sakti. Ah! Putriku benar-benar pandai memiliki kekasih sepertimu!" sahut wanita berwajah pucat itu sambil tertawa nyaring.

"Hm... Dari tadi aku masih saja belum mengenal, siapa putrimu?"

"Kenalkah kau dengan Roro Inten?"

"Roro Inten? Jadi putrimu Roro Inten...?"

Rangga terkejut, seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri ketika si Hantu Putih Mata Elang menyebutkan nama putrinya.

LIMA

Roro Inten yang dikenal Rangga sebenarnya adalah seorang gadis polos. Bicaranya terus terang. Tak ada sesuatu pun yang tersembunyi di hatinya. Mungkinkah gadis itu memiliki seorang ibu seperti si Hantu Putih Mata Elang yang terkenal sebagai wanita cabul? Lagi pula sangat tidak sepadan. Karena bila dibandingkan, mereka seperti kakak beradik saja. Wajah Roro Inten manis seperti kebanyakan wajah gadis desa pada umumnya. Namun wajah si Hantu Putih Mata Elang amat cantik, bagai bidadari. Perbedaan itu amat jauh, membuat Rangga tak habis pikir.

"Roro Inten bertemu denganmu, ketika kau menyelamatkannya dan niat jahat si Kalong Wetan...," lanjut Hantu Putih Mata Elang ini menegaskan.

"Hm, ya!" Rangga mulai merasa yakin kalau Roro Inten yang dikenalnya adalah orang yang tengah dibicarakan wanita ini.

"Tidakkah kau tertarik sedikit pun padanya?" tanya wanita itu.

Rangga tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dipandangnya wajah Hantu Putih Mata Elang. Dan sepasang mata yang berkilat tajam itu seperti hendak menembus sanubarinya. Pemuda itu terkesiap, dan cepat mengerahkan tenaga batinnya untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang akan dilakukan wanita ini.

"Dia amat mencintaimu..."

"Hantu Putih Mata Elang. Tahukah kau, kenapa dan untuk urusan apa sehingga aku melakukan perjalanan di wilayah ini?" tanya Rangga, mengalihkan percakapan wanita itu.

"Roro Inten mengatakan kau sedang mencariku...."

"Bagus. Kurasa dia telah cerita banyak pada-mu. Juga, tentang niatku mencarimu?"

Mendengar itu Hantu Putih Mata Elang tertawa agak keras, langsung memandang pemuda itu dengan wajah geli. "Pendekar Rajawali Sakti! Boleh jadi kau memiliki kepandaian hebat, sehingga orang-orang takut padamu. Tapi meringkus Hantu Putih Mata Elang, kau boleh bermimpi. Ikutlah denganku, karena Roro Inten amat merindukanmu!"

"Aku tidak ada urusan dengan putrimu! Urusanku adalah denganmu!" desis Rangga, memandang tajam pada gadis itu.

Wajah Hantu Putih Mata Elang seketika berubah begitu mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Tiba-tiba saja sepasang matanya terlihat berkilau seperti mata kucing di kegelapan. Rangga sempat merinding, dan langsung melipatgandakan tenaga batinnya untuk menahan daya sihir yang mulai dilancarkan wanita ini.

"Pendekar Rajawali Sakti. Ikuti perintahku! ikuti perintahku...! Ikut aku...! Ikut aku...!" kata Hantu Putih Mata Elang dengan suara lantang. Gema suaranya memantul di danding-dinding goa.

Rangga cepat merangkapkan kedua tangan ke dada. Lalu matanya terkatup dengan sikap bersemadi. Dalam keadaan seperti itu, dia lebih leluasa melawan pengaruh sihir Hantu Putih Mata Elang. Bila membalas pandangan itu, maka Hantu Putih Mata Elang mampu mempengaruhinya dari dua jurus. Yaitu, lewat pandangan mata dan suara. Namun bila Pendekar Rajawali Sakti mengatupkan mata, maka yang dihadapi hanya pengaruh suara lantang yang dikumandangkan Hantu Putih Mata Elang. Dan hal itu terhitung ringan dibanding harus menahan kedua pengaruh.

"Ikut denganku! Ikut denganku...!" Hantu Putih Mata Elang melipatgandakan ke kuatannya. Maka dinding goa tampak bergetar hebat. Dan gaung suara Hantu Putih Mata Elang seperti hendak memecahkan kedua gendang telinga Rangga.

"Yaaat!" Pendekar Rajawali Sakti membentak nyaring, untuk mengimbangi suara Hantu Putih Mata Elang yang berisi tenaga dalam dan daya sihir kuat.

"Heh?! Hantu Putih Mata Elang terkejut. Untuk sesaat, suaranya dihentikan. Namun bersamaan dengan itu, tubuhnya melompat menerjang si Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaat!" Satu tendangan keras Hantu Putih Mata Elang mengancam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Maka dengan gerakan kilat Rangga menangkis dengan tangan kiri. Lalu dia melompat ke belakang, seraya mengayunkan tendangan kaki kanan ke pinggang si Hantu Putih Mata Elang.

"Haiiit!" Tak kalah sigap Hantu Putih Mata Elang mencelat ke belakang. Dengan satu lompatan jungkir balik, kakinya bertumpu pada dinding goa. Lalu, tubuhnya kembali meluruk ke arah Rangga dengan pukulan mautnya.

"Yeaaa!" Glarrr! "Uhhh...!"

Untung Rangga sempat melompat ke samping, dan terus bergulingan. Terasa hawa dingin menyengat dari angin serangan Hantu Putih Mata Elang yang dahsyat bukan main. Dinding goa yang terkena hantaman pukulan itu kontan hancur berantakan. Namun aneh, tidak ada debu yang mengepul. Seolah-olah, semua beku dihantam pukulan berhawa amat dingin itu.

"Hi hi hi..!" Hantu Putih Mata Elang tertawa nyaring. Lalu tubuhnya bergerak amat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti kembali.

Wuuut!

Kali ini kepalan tangan wanita ini yang bertenaga dalam kuat, meluruk ke arah muka. Kemudian terus diikuti tendangan kaki kiri ke arah dada. Rangga menangkis dengan mantap meski tangannya terasa bergetar dan sedikit nyeri. Gerakan si Hantu Putih Mata Elang memang cepat bukan main. Dan kali ini, agaknya dia bermaksud menyerang Rangga lewat permainan adu cepat. Sedikit saja salah menangkis, maka bukan tidak mungkin Pendekar Rajawali Sakti akan celaka sendiri.

Sebenarnya pertarungan dalam tempat sesem-pit ini, tidak menjadi masalah bagi Pendekar Rajawali Sakti. Yang membuatnya khawatir adalah, Dewa Bayu yang sejak tadi meringkik-ringkik dengan sikap cemas. Jika saja serangan wanita itu luput dan mengenai Dewa Bayu, maka kuda itu akan binasa!

"Hiyaaat!" Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke belakang untuk membuat jarak. Namun, wanita itu agaknya tidak sudi memberi kesempatan sedikit pun padanya. Hantu Putih Mata Elang langsung mengejar. Dengan bertumpu pada dinding goa, kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti menekan. Dan seketika tubuhnya mencelat, memapak kelebatan tangan si Hantu Putih Mata Elang.

Plak! "Uhhh...!" "Hiyaaa...!"

Kedua tangan mereka saling beradu, dan sama-sama meringis kesakitan. Hantu Putih Mata Elang masih sempat mengirim tendangan ke ulu hati, namun tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat keluar goa. Sehingga, tendangannya luput dari sasaran.

********************

"Yeaaat!" Dengan teriakan nyaring, Hantu Putih Mata Elang mengejar keluar.

"Hih!" Baru saja mulut goa dilewati Hantu Putih Mata Elang, Pendekar Rajawali Sakti telah menghadang dengan satu tendangan menggeledek. Wanita itu gelagapan. Namun dia masih sempat menangkis.

Plak!

Dan seketika satu sodokan keras dari Pendekar Rajawali Sakti yang tidak terduga, menghantam ke arah perut.

Duk! "Aaakh"

Hantu Putih Mata Elang menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

"Hiyaaat!" Belum juga Hantu Putih Mata Hang memantapkan keseimbangannya, Rangga melompat dan mengirim serangan berikut, menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Pendekar Rajawali Sakti telah menduga kalau lawannya akan membalas dengan pukulan maut pula. Dan agaknya, dugaan itu tidak salah. Sebab dalam keadaan terdesak seperti itu, Hantu Putih Mata Elang langsung melepaskan pukulan 'Inti Es' untuk memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti.

Plak! Des! "Aaakh!"

Kedua orang berlainan jenis ini terjungkal ke belakang, disertai keluh tertahan. Pendekar Rajawali Sakti masih mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya dengan napas tidak beraturan. Sebaliknya, Hantu Putih Mata Elang bergulingan disertai muntahan darah segar berkali-kali.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat lagi hendak menyerang. Namun, Hantu Putih Mata Elang cepat merogoh sakunya. Dan seketika telapak tangan kirinya melempaskan sebuah benda sebesar telur puyuh ke depan.

Blup!

Saat itu juga mengepul asap tipis menyerupai kabut yang menebal. Dalam waktu singkat, asap itu telah menutupi pandangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Setan...!" Rangga menggeram. Pendekar Rajawali Sakti yang tidak ingin kehilangan buruannya, segera menyiapkan aji 'Bayu Bajra' untuk mengusir asap yang menghalangi pandangan. Dan... "Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah!"

Werrr!

Seketika tercipta tiupan angin kencang yang berputar-putar, menerbangkan apa saja yang berada di depan, termasuk kabut tebal yang menghalangi pandangan.

"Kurang ajar...!" maki Pendekar Rajawali Sakti, ketika tak melihat Hantu Putih Mata Elang ada di tempatnya tadi, begitu kabut itu sirna. Rangga mencari ke sekeliling dengan pandangan matanya, sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. "Hm... Tentu dia tidak bisa berjalan jauh. Wanita itu tengah terluka. Dan tentu lukanya akan membatasi setiap gerakannya."

Pendekar Rajawab Sakti langsung bersuit nyaring. Sebentar saja kuda hitam yang berada di dalam goa segera keluar seraya meringkik keras dan mendengus beberapa kali. Rangga cepat melompat ke punggung, dan menggebahnya perlahan-lahan.

"Dewa Bayu! Susuri tempat ini” Kita cari wanita tadi. Tandailah baunya. Dan aku akan membedakan setiap gerakan yang terdengar di telingaku!" ujar pemuda itu.

"Hieee...!" Dewa Bayu meringkik pelan seraya menggerak-gerakkan kepala. Mereka menyusuri arah yang diduga tempat larinya wanita berbaju putih yang berjuluk Hantu Putih Mata Elang. Tanpa mengurangi kewaspadaan, dengan teliti Pendekar Rajawali Sakti menandai setiap gerakan, bau, dan desir angin yang bertiup.

"Hm.... Aku yakin, dia melewati tempat ini. Namun, jejaknya tidak terlihat Ke mana dia pergi?" gumam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan jalan-nya Dewa Bayu. Kemudian matanya beredar ke sekitarnya. Tempat ini semakin gelap, karena banyak pepohonan yang menaungi. Namun Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat kalau jauh di ujung yang mengarah keselatan, terdapat sebuah lembah datar yang luas menghampar. Didekatnya, terdapat sebuah sungai yang agak menjorok ke dalam. Suara arus airnya yang kencang, tertangkap oleh pendengarannya. Kini pemuda itu bersandar di bawah sebatang pohon beringin yang batangnya tak terpeluk oleh dua orang dewasa!

"Hieee...!" Dewa Bayu mendengus-dengus beberapa kali. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikannya. Dia masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin Hantu Putih Mata Elang bisa lenyap begitu saja tanpa bekas? Kalaupun lewat dahan-dahan atau ranting-ranting pohon yang cukup besar, pasti meninggalkan jejak berupa patahan ranting. Atau, daun yang berjatuhan sebelum waktunya. Atau juga, unggas malam yang terkejut karena merasa terganggu sehingga berterbangan. Tapi ternyata tanda-tanda itu tidak ada.

Kalaupun ada tanda, hanyalah jejak-jejak tapak kaki yang membingungkan, karena menunjukkan arah yang banyak. Sehingga, berkesan dilakukan oleh dua orang atau lebih. Mungkinkah si Hantu Putih Mata Elang tidak sendirian ketika datang menemuinya?

"Hm.... Ilmu apa yang dimilikinya? Bagaimana mungkin dia dapat menghilang begitu cepat...?" gumam Pendekar Rajawali Sakti tidak habis pikir.

********************

Dengan langkah terhuyung-huyung, sosok berbaju putih tampak menyusuri lorong. Beberapa kali dia berhenti dan menarik napas panjang sambil mendekap dada. Lalu, kakinya melangkah pelan. Tiba di ujung lorong, buru-buru dimasukinya kamar sebelah kanan. Di tempat itu, terdapat sebuah ruangan besar yang amat indah lengkap dengan segala perabotannya yang berkesan mewah.

Sosok yang ternyata seorang wanita ini menghampiri cermin dan berkaca sejenak. Dan matanya segera memperhatikan wajah yang pucat pasi bagai mayat. Lalu, dia duduk di atas ranjang dalam keadaan bersila untuk melakukan latihan pernapasan. Namun belum juga dia melakukannya, pintu kamar keburu dibuka. Tampak seorang gadis berkulit sawo matang dan berwajah manis, menyeruak masuk. Dengan langkah ragu-ragu, dia masuk sambil memandang sejenak pada wanita yang duduk di pembaringan.

"Ibu tertalu menganggap enteng dan merasa mampu menundukkan Pendekar Rajawali Sakti. Coba lihat. Apa hasil yang ibu peroleh sekarang...?" kata gadis itu dingin.

Sementara wanita berbaju putih dan berambut keemasan itu menghela napas berat. "Ibu memang tertalu menganggap enteng padanya...," desah wanita yang tak lain Hantu Putih Mata Elang.

"Dia tidak semudah yang ibu duga, bukan?" tanya gadis berkulit sawo matang yang memang Roro Inten.

"Pemuda itu memiliki tenaga luar biasa!"

Roro Inten tersenyum pahit. "Lalu apa yang akan ibu lakukan setelah ini?"

"Dia akan memperoleh bagiannya!" dengus Hantu Putih Mata Elang, geram.

"Ibu...!" sentak Roro Inten terkejut Langsung dipandangnya wanita itu dengan mata tajam.

"Kita tidak bisa berbaik-baik padanya !" tandas wanita berambut keemasan.

"Tapi ibu telah berjanji untuk tidak melukainya, dan menyerahkannya padaku hidup-hidup?" balas Roro Inten.

"Roro Inten... Anak itu tidak bisa dibujuk dengan cara halus! Mengertikah kau dengan kesulitan Ibu?"

"Tidakkah Ibu bisa menggunakan aji 'Sirep' atau sejenis itu?"

"Dia memiliki tenaga batin kuat, yang tidak bisa terpengaruh oleh aji 'Sirep' atau sihirku!"

Roro Inten menghela napas. Lalu kembali dipandangnya wanita berambut keemasan itu sejurus lamanya. "Yakinkah ibu akan mampu mengalahkannya jika melakukan pertarungan sekali lagi?" tanya Roro Inten, seperti meragukan kemampuan ibunya.

"Jika tidak ingat kalau kau menginginkannya dalam keadaan hidup, maka sudah pasti saat ini dia telah menjadi bangkai!" desis Hantu Putih Mata Elang geram.

"Ibu! Aku tadi menyaksikan pertarungan kalian...," gumam Roro Inten nyaris tidak terdengar.

"Hm, bagus! Bukankah kau melihat Ibu tidak sepenuh hari meladeninya?" sambut Hantu Putih Mata Elang.

"Dia memiliki kepandaian hebat. Kalau saja aku tidak membuat jejak palsu di sekitarnya, niscaya dia akan menemukan tempat persembunyian kita ini...," jelas Roro Inten.

"Untuk apa kau membuat jejak palsu segala? Apa kau kira dia bisa menemukan kita di sini, he?"

"Pendekar Rajawali Sakti bukan orang bodoh, Bu. Dia amat cerdik. Bahkan bisa menemukan persembunyian kita amat mudah jika Ibu meninggalkan jejek. Tidak ada yang mustahil di benaknya!"

"Hm.... Ibu merasa, kau terlalu membesar-besarkan kehebatan dirinya?"

"Karena dia memang hebat, Bu!" sahut Roro Inten, cepat.

"Apa kau kira ibu tidak mampu menaklukkan nya?"

"Ibu telah mencoba, bukan?" sahut gadis itu, balik bertanya dengan nada menyindir.

Hantu Putih Mata Elang tersenyum lebar, langsung mengusap-usap kepala putrinya. "Tahu apa kau tentang segala kesaktian yang kumiliki? Yang kuajarkan padamu hanya secuil dari apa yang kumiliki!" sahut wanita itu menegaskan.

Roro Inten tersenyum, dan memandang wajah ibunya. "Ibu akan menggunakan segala cara untuk meringkusnya hidup-hidup, bukan?" tanya Roro Inten.

"Kau kira aku tidak bisa mengatasinya?" Hantu Putih Mata Elang kini balik bertanya.

"Aku percaya, ibuku adalah orang terhebat sejagad!" puji Roro Inten.

"Nah, pergilah ke kamarmu. Dan, tenangkan hatimu. Dia akan menjadi milikmu dalam waktu tidak lama lagi!"

Roro Inten tersenyum dengan wajah girang. "Sungguhkah?!"

Wanita berambut keemasan itu mengangguk disertai senyum meyakinkan. Roro Inten segera berdiri dan berlalu dari ruangan ini sambil tertawa girang. Sepeninggalnya, Hantu Putih Mata Elang menghela napas panjang. Kemudian diambilnya sikap semadi. Cukup lama dia bersemadi.

Ketika Hantu Putih Mata Elang merasa kalau aliran darahnya kembali lancar dan jantungnya berdegup teratur, matanya segera dibuka. Lalu dia bangkit dan berjalan mendekati sebuah lemari. Dibukanya daun pintu lemari. Sebelah tangannya lantas menyudup ke dalam. Tak lama kemudian, terlihat lemari besar itu bergeser ke samping laksana daun pintu. Di belakangnya terlihat sebuah pintu yang menghubungkan keruangan lain. Hantu Putih Mata Elang segera ke dalam, lalu pintu kembali menutup!

Di dalam ruangan ini terlihat sedikit lebih gelap dibandingkan kamar semula. Suasananya pun terlihat lebih buruk. Dinding-dindingnya telah kusam. Lebih mirip dinding sebuah goa yang kasar dan banyak terdapat tonjolan batu. Persis di tengah-tengahnya, terdapat sebuah kolam berbentuk lingkaran. Beberapa kali terlihat gelembung-gelembung udara merebak ke permukaan, bersama asap tipis yang melayang ke udara.

Di seberang kolam yang bergaris tengah sekitar dua tombak, terdapat sebuah altar batu hitam berkilat sepanjang satu tombak dan lebar lima jengkal. Tebalnya kurang lebih tiga jengkal, dengan tiga buah undakan anak tangga yang tipis. Di ujung altar yang berdekatan dengan dinding ruangan, berdiri tegak sebuah patung marmer putih berbentuk seorang wanita cantik berambut panjang tergerai. Kedua tangannya ke atas, hendak mengikat rambut. Dan cara berdirinya sedikit meliuk, seperti hendak menari. Kalau ada hal yang paling aneh, adalah karena patung itu... telanjang!

Hantu Putih Mata Elang mendekati dan bersujud beberapa kali di depan patung itu. "Guru.... Aku datang mengunjungimu. Telah kutemukan seorang pemuda tampan yang memiliki kepandaian hebat. Tenaganya pun luar biasa. Bila aku berhasil mengisap sari kejantanannya, maka aku akan terus awet muda selama lima abad, sebelum kutemukan seorang pemuda seperti dia lagi. Namun hal ini amat membingungkan. Sebab, putriku ternyata mencintainya Aku sayang pada putriku. Tapi, juga tidak ingin kecantikan dan batas awet muda yang kumiliki luntur, sehingga kembali menjadi sosok yang mengerikan..."

Suasana terlihat hening ketika wanita itu menghentikan kata-katanya.

"Tolong berikan jalan keluar, bagaimana cara menyelesaikannya, Guru..?" tanya Hantu Putih Mata Elang dengan suara perlahan.

Beberapa saat suasana masih terasa sunyi, sebelum terdengar suara air kolam yang menggelegak. Hantu Putih Mata Elang memalingkan muka, dan melihat suatu keajaiban. Dari dalam kolam itu muncul sepuluh orang laki-laki muda, tanpa sehelai benang yang melekat di tubuh. Tatapan mata mereka kosong. Dan rata-rata, mereka bertubuh kurus dengan kulit pucat seperti mayat hidup. Mereka melompat keluar, dan duduk bersila mengelilingi tepi kolam menghadap wanita berambut keemasan itu.

"Hm.... Inikah yang diinginkan. Guru? Baiklah, aku akan patuh pada keputusannya...!" kata Hantu Putih Mata Elang disertai helaan napas panjang.

ENAM

Rangga memang masih penasaran sekali atas hilangnya Hantu Putih Mata Elang secara aneh. Rasanya, dia tidak berada jauh dari tempat ini. Dan pagi-pagi sekali, Pendekar Rajawali Sakti kembali menyusuri tempat itu.

"Hm.... Kalau saja ada suatu lorong rahasia di bawah tempat ini, mungkin berhubungan dengan sungai di sana...," gumam Rangga, menduga. Segera didekatinya sungai yang berada tidak jauh di depannya.

Sungai itu tampaknya dalam sekali. Sementara, lebarnya sekitar lima belas tombak. Pemuda itu menduga, tinggi air sungai dari dasarnya sekitar setengah tombak. Karena sungai itu dipenuhi baru sebesar kerbau sejauh mata memandang.

"Hm... Dinding-dindingnya banyak terdapat rongga menyerupai goa. Salah satunya pasti jalan tembus menuju sarangnya...," gumam pemuda itu menduga.

Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung Dewa Bayu. Lalu, dia memperhatikan dari tepi dinding sungai itu.

"Bagaimana mungkin dia bisa menuruni tebing ini tanpa tergelincir dan masuk ke dalam lubang-lubang itu?" gumam Rangga tidak habis pikir.

Dinding sungai kelihatan curam sekali. Bahkan nyaris berdin tegak. Tidak ada tempat untuk bergantung atau berpijak. Kalaupun ada, hanya beberapa buah batu yang sedikit menonjol keluar. Itu pun tidak mungkin untuk tempat berpijak. Satu-satunya jalan hanya.... terbang! Terbang? Mungkinkah Hantu Putih Mata Elang mampu terbang? Dan yang lebih membuatnya kesal, mungkinkah salah satu dari lubang yang banyak terdapat di dinding sungai ini merupakan jalan menuju sarang gadis berkulit pucat itu? Belum sempat Rangga berpikir lebih jauh, mendadak...

"Hiya! Hiya...!"

"Hm!" Pendekar Rajawali Sakti berbalik, dan berdiri tegak menanti dua orang penunggang kuda yang menggebah tunggangan ke arahnya.

Kedua penunggang kuda itu segera berhenti di depan Pendekar Rajawali Sakti, kemudian memandangnya dengan sikap curiga. Salah seorang yang berkulit hitam dan berambut pendek agak kaku, segera melompat turun dari kudanya.

"Anak muda! Siapa kau?! Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya laki-laki berkulit hitam itu.

"Aku hanya seorang pengembara. Namaku Rangga. Kebetulan saja aku kemalaman, dan menginap di sekitar tempat ini ," sahut Rangga jujur.

"Hm...." Kedua orang itu bergumam. Laki-laki berkulit hitam yang memegang sebatang tombak yang ujungnya berkeluk bagai batang keris, memandang kawannya yang bertubuh gemuk dan bermata sipit.

"Hm, Rangga...? Apakah kau yang berjuluk si Pendekar Rajawali Sakti?" lanjut laki-laki berkulit hitam, yang seperti pernah mendengar nama itu.

"Hanya julukan kosong saja, Kisanak...," sahut Rangga merendah.

Namun kedua orang itu cepat merangkapkan kedua tangan ke dada. Bahkan yang seorang lagi segera melompat turun dari punggung kudanya. "Kisanak! Terimalah salam hormat kami. Namaku Linggawuni. Dan kawanku Buntaran," kata laki-laki berkulit hitam yang bernama Linggawuni.

Rangga membalas salam penghormatan mereka. "Linggawuni dan Buntaran... Senang sekali bisa berkenalan dengan kalian. Kemanakah tujuan kalian, sehingga kelihatan terburu-buru?"

"Hm.... Sebenarnya kami hendak ke barat, untuk mencari seseorang," sahut Linggawuni. "Dan kau, apakah yang kau lakukan di sini, Pendekar Rajawali Sakti? Sepertinya ada sesuatu yang hendak kau lakukan. Apakah hendak terjun ke sungai?"

Rangga tersenyum mendengar gurauan Linggawuni. "Aku tengah mencari seseorang...."

"Di dalam sungai ini?" tanya Linggawuni dengan senyum.

"Ya."

"Hm.... Tentu kau menginginkannya untuk sarapan, bukan?"

Rangga tersenyum. "Kalau saja dia bisa kumakan, tentu untuk sarapan. Aku tengah mencari seseorang yang membuatku kesal, Linggawuni. Mungkin kalian pun mengenalnya."

"Bolehkah kami tahu, siapa orang yang kau cari? Mungkin di tengah perjalanan nanti kami bertemu, sahingga bisa memberitahukan padanya untuk menemuimu."

"Orang itu bernama Hantu Putih Mata Elang," kata Rangga.

"Hantu Putih Mata Elang?!" Linggawuni dan Buntaran terkejut. Mereka saling berpandangan sekilas. Kemudian Linggawuni kembali berpaling pada pemuda itu.

"Rangga, betulkah kau mencari orang itu?"

"Kau tidak salah mendengar, Linggawuni."

"Hm, kalau begitu kita satu tujuan! Ketahuilah, Rangga. Kami merupakan utusan Kadipaten Watu Pasir. Adipati Detya Karsa memberi perintah, agar kami mencari dan menghukum si Hantu Putih Mata Elang atas hilangnya putra beliau," jelas Linggawuni berterus-terang.

"Oh, begitukah? Hm.... Kenapa sang Adipati menduga kalau hilangnya putra beliau bersangkutan dengan si Hantu Putih Mata Elang? Apakah beliau mengetahuinya dengan pasti?"

"Tidak. Tapi, Raden Wijaya tidak pernah kembali sejak kepulangannya dan padepokan tempatnya berguru selama ini. Dan sang Adipati menghubungkannya dengan sepak terjang si Hantu Putih Mata Elang yang amat kaji. Sehingga. diduga Raden Wijaya hilang karena perbuatannya," sahut Linggawuni menjelaskan.

Rangga mengangguk. "Lalu, kalian menduga bahwa Hantu Putih Mata Elang menculik Raden Wijaya di tempat ini?" tanya Rangga lebih lanjut.

"Tepatnya, di sekitar kawasan Hutan Lengkeng ini!"

"Kenapa kalian menduga seperti itu?"

"Banyak dari pemuda yang diculik dibawa ke daerah ini, dan menghilang tanpa bekas seperti ditelan bumi. Para pengejar kebingungan. Mereka berusaha mencari, namun tidak pernah bertemu."

"Lalu, apakah kalian punya cara untuk memancingnya keluar?"

"Bukan kami, tapi Ki Bangun Satya."

"Ki Bangun Satya? Siapakah dia?"

"Dia adalah kepala pasukan prajurit Kadipaten Watu Pasir. Bersama dengan dua kepala pasukan di dua kadipaten terdekat, dia telah mengepung hutan ini," jelas Linggawuni.

"Pantas...," kata Rangga dengan senyum dan anggukkan kecil.

"Pantas kenapa, Rangga...?"

"Kalian tidak datang berdua saja..."

********************

Linggawuni dan Buntaran saling berpandang dan tersenyum pada Pendekar Rajawali Sakti. Kehadiran mereka memang tak berdua. Karena sesuai anjuran Ki Bangun Satya, seluruh hutan ini telah dibuat pagar betis pada jarak yang rapat. Sehingga, tidak heran kalau beberapa orang prajurit dikepalai seorang atau dua orang berkemampuan cukup lumayan.

"Dari mana kau tahu, Rangga?" tanya Buntaran yang sejak tadi banyak berdiam diri.

Linggawuni langsung menyikut perut kawannya. "Kau ini bagaimana, Buntaran? Pendekar Rajawali Sakti bukan tokoh sembarangan. Mana bisa disamakan dengan kita!"

"Ah! Jangan berkata seperti itu, Linggawuni Aku juga manusia biasa seperti kalian...," sahut Rangga merendah.

"Rangga, tujuan kita saat ini sama. Bagaimana kalau kita mengadakan pencarian bersama-sama?" ajak Linggawuni.

"Hm usul yang bagus sekali!"

"Kulihat kau lebih dulu mendapat petunjuk. Lalu adakah sesuatu yang bisa kami bantu...?" tanya Buntaran, menawarkan diri.

Rangga tersenyum. "Sebenarnya tadi malam aku sempat berhadapan dengannya. Tapi sayang..., dia berhasil meloloskan diri."

"Hm, sungguh hebat! Hantu Putih Mata Elang melarikan diri setelah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu menurutmu, dia melarikan diri ke tempat ini?" kata Linggawuni, penuh kekaguman.

Rangga mengangguk. Aku sebenarnya juga tidak mengerti kenapa wanita itu seperti tidak bersungguh-sungguh saat bertarung. Mungkin juga dia kasihan padaku," lanjut Rangga merendah.

“Atau mungkin juga dia naksir padamu Rangga!" sahut Linggawuni menggoda.

"Tahu sendiri. Hantu Putih Mata Elang itu pantang melihat pemuda tampan!" timpal Buntaran.

"Hm, kalian bisa saja!”

"Menurutmu, ke mana wanita itu melarikan diri? Apakah ke dalam sungai ini?" tanya Buntaran.

"Ini hanya perkiraan saja. Rasanya, tidak mungkin kalau dia raib ditelan bumi. Pasti ada sesuatu seperti jalan menuju perut bumi tempatnya bersarang. Dan menurutku, pasti ada jalan masuk lain. Coba lihat dinding sungai itu. Di sana banyak terlihat lubang seperti goa. Salah satunya pasti jalan menuju sarangnya. Aku tadi sedang berpikir. Kalau dugaanku benar, lalu bagaimana cara wanita itu masuk? Apakah dia memiliki ilmu terbang?"

"Atau barangkali dia memiliki ilmu 'Halimunan' yang mampu membuat dirinya lenyap, sehingga dengan mudah menyusup ke mana saja. Tidak terkecuali, ke perut bumi," sahut Buntaran.

Rangga memandang Buntaran sambil tersenyum. "Apakah sampai sejauh itu?"

"Kenapa tidak? Bukankah kita pernah mendengar ada seseorang yang memiliki ilmu seperti itu?" tandas Buntaran.

"Kurasa apa yang dikatakan Buntaran ada benarnya, Rangga," sahut Linggawuni menimpali.

Mendengar perkataan kedua orang itu, Rangga lagi-lagi tersenyum geli. "Linggawuni, dan kau Buntaran. Aji 'Halimunan' tidak seperti itu sifatnya. Aji itu hanya untuk menipu pandangan mata, namun tetap saja tidak mampu menembus bumi. Karena, sebenarnya dia masih berwujud tubuh kasar. Hanya saja, mata kitalah yang tidak melihatnya," jelas Rangga.

"O, begitu?" sahut keduanya mengerti.

"Lalu...?" tanya Linggawuni.

"Ya! Dengan cara apa wanita itu lenyap dan kejaranmu?"

"Entah bagaimana caranya. Tapi, aku yakin ada lorong rahasia di sekitar hutan ini. Satu-satunya petunjuk yang bisa diperoleh adalah goa-goa di dinding sungai itu," jelas Rangga.

"Tapi, bagaimana kita bisa membuktikannya? Tempat itu licin dan sulit dicapai. Kecuali kalau kita bisa terbang!" sahut Linggawuni sambil menggeleng lemah.

"Hm... Kenapa pusing-pusing? Panggillah anak buah kalian.... Dan, suruh mereka turun menggunakan tambang. Kemudian, susuri lubang lubang di dinding sungai ini satu persatu," sahut Rangga enteng.

"Hei? Kenapa tidak terpikir sejak tadi?!" Linggawuni tampak girang.

"Tapi, apakah hal itu tidak berbahaya bagi mereka? Bila mereka terjatuh, maka kemungkinan hidup tipis sekali. Sebab, batu-batu sungai yang besar itu telah menanti mereka," kata Buntaran cemas.

Mendengar itu wajah Linggawuni yang tadi cerah, kini tampak cemas seperti mengakui kebenaran kawannya.

Rangga hanya menghela napas panjang. "Setiap usaha pasti berakibat baik dan buruk. Namun segala sesuatu harus dicoba daripada tidak sama sekali! Aku tidak melihat bekas-bekas tambang di sekitar tempat ini. Jadi, jika benar salah satu dari lubang-lubang itu adalah jalan tembus menuju sarang Hantu Putih Mata Elang, maka kemungkinan dia turun tak menggunakan tambang. Mungkin juga..., terbang," sahut Pendekar Rajawali Sakti ragu. "Tapi apakah di antara kita ada yang mampu melakukannya?"

Keduanya menggeleng lemah.

"Nah! Aku pun tidak mampu melakukannya. Yang bisa kita lakukan, adalah usaha yang masuk di akal. Seperti, yang kukatakan tadi. Perintahkan anak buah kalian turun, menggunakan tambang. Dan, susuri goa-goa itu. Semua usaha pasti memerlukan tantangan. Dan untuk mencegah kemungkinan buruk, maka perlu persiapan matang. Misalnya, mencari tambang yang betul-betul kuat!" lanjut pemuda itu.

Linggawuni dan Buntaran terdiam beberapa saat memikirkan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, mereka mengangguk membenarkan.

"Baiklah. Kita akan coba dengan cara itu, Rangga," sahut Linggawuni. Segera saja dia bersuit nyaring.

Tidak berapa lama terlihat sepuluh orang penunggang kuda berdatangan ke tempat itu dari arah yang berbeda. Kesemuanya memberi salam hormat pada Linggawuni dan Buntaran. Setelah dikenalkan dengan Pendekar Rajawali Sakti, mereka memberi salam penghormatan. Baru setelah itu Linggawuni menerangkan rencana yang telah disusun.

Kini kesepuluh anak buah Linggawuni dan Buntaran segera bergegas mencari oyot-oyot pepohonan di sekitarnya. Kemudian, mereka menjalinnya menjadi beberapa buah tambang yang cukup panjang.

"Siapa di antara kalian yang takut, boleh tunjukkan tangan?!"

Pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti seperti memancing. Dan hasilnya, memang terbukti. Karena tidak ada seorang pun yang berani tunjuk tangan. Di hadapan orang banyak begitu, siapa sudi dikatakan pengecut.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. "Turunlah empat orang dari kalian. Sementara, setiap dua orang menahan seorang kawannya dengan memegang tambang! Aku sendiri akan mengawasi dengan seksama!"

Maka tanpa banyak bicara, mereka segera. melakukan apa yang diperintahkan Pendekar Rajawali Sakti.

********************

Istana Kadipaten Watu Pasir, Adipati Detya Karsa duduk termenung seorang diri. Baru saja, dia melihat istrinya yang masih saja gundah gulana. Wanita itu masih merasa sedih memikirkan nasib putra mereka yang sampai saat ini tidak tentu rimbanya. Jika hidup, ke mana perginya? Dan jika tewas, di mana bangkai dan kuburannya?

Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Adipati itu tidak tahan mendengar dan melihat kesedihan istrinya setiap hari. Segala cara diusahakannya untuk menemukan putranya kembali. Namun, hingga kini masih belum terlihat tanda-tanda kalau putranya akan ditemukan. Keyakinan laki-laki berusia empat puluh tahun lebih itu tertuju pada seseorang yang amat dicurigainya sebagai penyebab hilangnya Raden Wijaya. Siapa lagi kalau bukan Hantu Putih Mata Elang?!

Adipati Detya Karsa tidak kepalang tanggung bertindak. Dia telah mengeluarkan pengumuman. Bagi siapa saja yang bisa mendapatkan kepala Hantu Putih Mata Elang, maka akan diberi hadiah yang amat besar. Tidak heran, bila sejak dua hari ini, banyak orang berkumpul di sekitar Kadipaten Watu Pasir. Bukan saja para pendekar dari sekitar tempat lain, tapi juga dari tempat ini yang tergiur mendengar sayembara itu. Mereka bermaksud untuk mencari dan membawa kepala Hantu Putih Mata Elang ke hadapan sang Adipati.

Kebanyakan dari mereka memang mencari di sekitar Hutan Lengkeng. Sebab menurut cerita-cerita orang, Hantu Putih Mata Elang selalu menghilang di tempat itu. Meski demikian, tidak kurang pula yang mencarinya ke tempat lain, yang kira-kira mencurigakan. Yaitu, tempat di mana si Hantu Putih Mata Elang menculik korbannya.

"Mungkin saat ini mereka telah menemukan-nya, Gusti Adipati...," hibur seorang penasihat, yang saat ini menemani Adipati Detya Karsa duduk di beranda depan. Orang tua itu berusia sekitar enam puluh tahun. Dan dia seperti mengerti kegelisahan yang dirasakan junjungannya.

"Hm...." Adipati Detya Karsa menghela napas seraya bergumam pelan.

"Bersabarlah, Gusti Adipati. Kalau tidak hari ini mungkin besok...," hibur laki-laki tua itu lagi.

"Kalau tidak bertemu juga, bagaimana Ki Ja-yeng?"

Laki-laki tua yang dipanggil Jayeng menghela napas sambil mengalihkan pandangannya.

"Kita akan pikirkan cara lain untuk memancing iblis wanita itu keluar dari tempat persembunyiannya...," ujar Ki Jayeng.

"Hari ini dua hari sudah usaha pencarian mereka. Dan itu membuatku gelisah ..." desah adipati itu.

"Sudahlah, Gusti Adipati... Serahkan urusan ini pada Dewata Yang Agung. Mudah-mudahan kita akan mendapat bantuanNya. Lagi pula, Ki Bangun Satya serta yang lainnya telah berusaha sekuat daya. Kalaupun segala usaha telah dilakukan dan ternyata tidak membawa hasil, maka serahkan segalanya pada Hyang Jagad Batara ujar Ki Jayeng bijaksana.

"Ki Jayeng! Berat hatiku melepas putraku dengan penuh teka-teki seperti ini. Dia hilang tanpa bekas. Tahukah kau, bagaimana rasanya? Usia delapan tahun, dia telah berpisah dari kami karena harus belajar di Padepokan Wering Surya. Dan setelah dewasa, baru tiga kali kami bertemu dengannya. Dan setelah pelajaran di padepokan itu diselesaikan, kami gembira betul. Karena membayangkan bahwa sebentar lagi akan berkumpul. Tapi yang terjadi..., ah! Ini amat menyakitkan hatiku, Ki! Aku harus dapatkan wanita iblis itu!" desis Adipati Detya Karsa, gusar.

"Gusti Adipati.... Mereka pun berpikir, seperti apa yang Gusti Adipati pikirkan. Dan hamba percaya, mereka berusaha sekuat daya. Namun janganlah sekali sekali Gusti Adipati terlalu berharap kalau mereka kembali membawa hasil. Hal ini amat menyakitkan hati, bila ternyata mereka kembali dengan tangan hampa. Harus diingat, Gusti Adipati. Bahwa wanita itu bukan orang sembarangan. Kesaktiannya menjadi buah bibir di mana-mana. Bahkan kita pun masih ingat. ketika dia membunuh Wiku Dharma Putera yang dikenal memiliki ilmu olah kanuragan tinggi...," Ki Jayeng mengingatkan sang Adipati.

Adipati Detya Karsa terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. Pandangan matanya menerawang jauh ke depan. Di luar tampak mulai gelap. Mendung menyelimuti langit, dengan awan tebal berwarna kehitaman. Sebentar lagi hujan akan turun, sehingga waktu siang menjelang sore ini seperti berjalan cepat.

"Ki Jayeng! Aku ingin agar penjagaan diper-ketat!" kata sang Adipati tiba-tiba.

"Kenapa, Gusti Adipati?"

"Entahlah... Tiba-tiba perasaanku tidak enak...."

"Baiklah, Gusti Prabu. Hamba akan memberi-tahukannya pada kepala petugas jaga," sahut Ki Jayeng tanpa banyak bicara lagi.

Dan dia segera bangkit berdiri. Setelah menjura memberi hormat, laki-laki tua itu pergi dari hadapan sang Adipati. Baru saja orang tua itu berjalan tiga langkah....

"Aaa...!" Mendadak terdengar jeritan menyayat dari luar. Dan ini membuat langkah Ki Jayeng terhenti.

"Apa itu, Ki Jayeng?" tanya sang Adipati kaget.

"Entahlah, Gusti. Hamba akan memeriksanya!" sahut Ki Jayeng cepat.

"Aaa...!"

"Heh?!" Ki Jayeng dan Adipati Detya Karsa terkejut, ketika kembali terdengar teriakan tertahan dari arah belakang. Kemudian, disusul dari arah samping kanan, dan dari samping kiri dalam waktu singkat. Keduanya mulai bingung.

"Sementara, para penjaga yang berada di dekat pintu gerbang tampak bermaksud untuk memeriksa apa yang telah terjadi. Namun saat itu juga, dari arah luar, melesat dua sosok tubuh pemuda yang langsung menerkam. Kembali sang Adipati dan orang tua itu terkejut. Dalam waktu singkat, empat orang penjaga pintu gerbang tewas dengan leher tercekik. Namun hal yang lebih membuat keduanya tidak habis pikir, kedua pemuda yang menyerang para pengawal bertelanjang bulat!

TUJUH

"Ki Jayeng! Siapa kedua orang gila itu?" tanya Adipati Detya Karsa dengan suara bergetar.

"Entahlah, Gusti Adipati. Hamba baru melihatnya sekarang "

"Heh?!" Adipati Detya Karsa sedikit terkejut ketika melihat dari arah samping, dua orang pemuda yang telanjang pula! Demikian pula dari samping kiri. Dua orang dalam keadaan sama seperti kawan-kawannya tampak melesat cepat memasuki istana ini.

Perlahan-lahan kedua laki-laki telanjang bulat itu menghampiri sehingga membuat Adipati Detya Karsa dan Ki Jayeng tersentak dan mundur perlahan-lahan.

"Gusti Adipati, mereka tidak berdua...!" desis Ki Jayeng dengan suara tercekat ditenggorokan.

Adipati Detya Karsa mengangguk.

"Mereka bukan manusia biasa. Tapi seperti..., mayat hidup! Coba perhatikan! Sekujur tubuhnya pucat dan kurus kering, dengan pandangan mata kosong. Sungguh aneh orang-orang seperti ini memiliki tenaga kuat. Dan rasanya...."

"Ditunggangi setan?" potong sang Adipati, menduga.

"Semacam itu."

"Lalu apa yang mereka inginkan'"

"Bukan apa yang mereka inginkan, Gusti Adipati. Tapi, apa yang diinginkan majikan mereka dari kita. Biasanya ini karena balas dendam. Mungkin majikannya mereka merasa terganggu, dengan apa yang kita lakukan!" jelas Ki Jayeng.

"Aku tidak pernah berurusan dengan segala orang yang mampu membangkitkan mayat hidup!" desis sang Adipati, mulai geram.

"Gusti Adipati...."

"Hm..."

"Lupakah dengan...."

"Maksudnya, ini ulah si Hantu Putih Mata Elang?" potong sang Adipati menduga. Ki Jayeng mengangguk.

"Aaa...!"

"He...?!" Tiba-tiba kembali terdengar jeritan menyayat dari dalam istana. Keduanya tersentak kaget, dan langsung berlari ke arah kamar istri adipati. Tampak beberapa orang pelayan terkapar dan tewas, sepanjang ruang istana ini. Yang lainnya mencoba melarikan diri, namun dapat ditangkap dengan mudah oleh tiga orang pemuda yang memiliki ciri-ciri sama seperti di depan. Namun, bukan hal itu yang membuat sang Adipati kaget. Jelas, jeritan itu berasal dari kamarnya. Itulah yang menyebabkan mereka segera berlari.

"Istriku...!" teriak Adipati Detya Karsa cemas. Baru saja sang Adipati sampai di depan pintu kamar, namun saat itu juga muncul seseorang dari kamarnya. Seorang pemuda yang amat dikenalnya. Namun, kali ini amat lain. Tatapan matanya kosong dan tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Dan yang lebih mengerikan, tangan kanannya tengah mencekik seorang wanita berusia empat puluh tahun. Kedua bola mata wanita itu terbelalak dan lidahnya sedikit terjulur. Kedua kakinya terangkat dari lantai setinggi kurang lebih tiga jengkal.

"Wijaya...! Kau... kau...? Oh! Apa yang kau lakukan? Astaga! Kau..., kau membunuh ibumu sendiri?!" seru Adipati Detya Karsa, dengan perasaan sulit dilukiskan.

"Hi hi hi...! Kali ini kau akan mendapat balasan yang setimpal atas apa yang kau lakukan padaku!" teriak satu suara tawa nyaring yang membuat gemas sang Adipati dan Ki Jayeng. Dan seketika mereka berbalik.

Di hadapan mereka tahu-tahu berdiri seorang wanita cantik berambut keemasan, memakai baju putih yang tembus pandang. Sehingga setiap lekuk-lekuk tubuhnya yang indah merangsang terlihat. Bibirnya merah merekah, namun wajah serta seluruh permukaan kulitnya pucat pasi bagai mayat.

"Siapa kau...?!" hardik Adipati Detya Karsa geram, karena menduga bahwa wanita inilah yang mendalangi semua kejadian di tempatnya saat ini.

"Oh, jadi kau belum mengenalku? Padahal, kau telah menyuruh orang untuk mengacak-acak tempat tinggalku!" sahut wanita itu seraya menaikkan alis disertai senyum kaget.

"Hantu Putih Mata Elang?!" sentak Adipati Detya Karsa dan Ki Jayeng, hampir bersamaan.

"Hi hi hi...! Kini kau telah ingat rupanya...," kata wanita yang memang Hantu Putih Mata Elang.

"Iblis keparat! Kau hancurkan hidupku dengan membuat putraku begini. Lalu, kau bunuh istriku. Sekarang, apa lagi yang akan kau lakukan?!" bentak sang Adipati.

"Mengirimmu ke neraka!" desis wanita itu sambil tersenyum lebar.

"Kurang ajar! Kau tidak patut berkata seperti itu, Wanita Iblis!" hardik Ki Jayeng geram.

"Tua bangka busuk! Mau apa kau?! Kau kira bisa berbuat apa padaku, he?! Seluruh pengawal di kadipaten ini telah mampus. Dan, tidak ada yang bisa kau perbuat. Sebentar lagi, kalian pun akan menemui gilirannya. Hi hi hi...!"

"Kurang ajar...!" Ki Jayeng tidak bisa menahan geram. Dan laki-laki tua itu langsung melompat menyerang Hantu Putih Mata Elang.

Namun hanya dengan mengibaskan tangannya, wanita itu cepat menangkis serangan Ki Jayeng. Sehingga, membuat laki-laki tua itu terhuyung-huyung.

Plak!

Bahkan belum sempat Ki Jayeng mengatur keseimbangannya, tangan Hantu Putih Mata Elang telah kembali berkelebat. Dan…

Prakkk! "Aaa...!"

Orang tua itu menjerit tertahan begitu pukulan Hantu Putih Mata Elang mendarat di kepalanya. Kepalanya kontan remuk. Dan tubuhnya jatuh persis di hadapan sang Adipati dengan darah membanjiri lantai. Adipati Detya Karsa sendiri nyaris tidak percaya dengan pandangan matanya.

"Sekarang giliranmu!" desis Hantu Putih Mata Elang, langsung menjentikkan jarinya.

Maka pemuda yang tengah mencengkeram istri Adipati Detya Karsa itu langsung bergerak. Bahkan wanita yang dicekiknya dilemparkan hingga membentur dinding. Adipati Detya Karsa berteriak marah dengan mata melotot geram. Namun, pemuda itu sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan sudah langsung melompat menyerang.

"Bunuh dia!" perintah Hantu Putih Mata Elang.

"Wijaya! Sadarkah dengan apa yang kau lakukan?! Kau telah membunuh ibumu. Dan kini, kau hendak membunuh ayahmu pula! Sadarkah bahwa kau tengah diperalat iblis. Dialah yang seharusnya kau bunuh...!" teriak sang Adipati, berulang-ulang.

Namun Raden Wijaya bukannya sadar. Malah pemuda yang kini telanjang bulat itu menyerang dengan ganas. Sang Adipati yang sedikit memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan pontang panting menyelamatkan diri. Tubuhnya bergulingan di lantai, menghindari kejaran serangan anaknya sendiri. Namun, pemuda itu memojokkannya hingga laki-laki setengah baya itu tidak berkutik di sudut ruangan. Lalu....

Crok! "Aaa...!"

Sang Adipati tak berkutik lagi ketika tangan kanan Raden Wijaya menyambar batok kepala. Adipati Detya Karsa memekik setinggi langit dengan batok kepala remuk dan darah berceceran di lantai. Bersamaan dengan tewasnya sang Adipati, terdengar tawa panjang yang menggema di ruangan ini.

"Hi hi hi...!"

********************

Waktu terus berjalan. Dan tanpa terasa sebentar lagi malam akan tiba. Namun pekerjaan mencari sarang Hantu Putih Mata Elang belum juga membawa hasil. Kebanyakan dari goa-goa di dinding sungai itu berupa lekukan dangkal.

"Hm, apakah perkiraanku salah...?" gumam Rangga dengan dahi berkerut, ketika tengah beristirahat di pinggir sungai yang bertebing ini.

"Paling dalam hanya satu tombak...!" lapor Linggawuni.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.

"Bagaimana? Apakah akan kita teruskan pencarian di sini?" lanjut laki-laki berkulit legam itu.

Rangga memandang sekilas. Kemudian perha-bannya dialihkan pada keempat orang laki-laki yang tadi menuruni tebing. Kini, satu persatu mereka naik ke permukaan.

"Kelihatannya tidak membawa hasil. Mungkin dugaan Rangga keliru...," timpal Buntaran.

"Mungkin juga aku keliru. Namun, tidak ada salahnya dicoba, bukan? Lagi pula, baru sebagian lubang yang diperiksa. Siapa tahu lubang lainnya membawa hasil. Dan itu pun baru di satu sisi. Coba perhatikan sisi tebing yang lain. Di sana, terlihat suram. Dan itu menunjukkan kalau lubang-lubang di sebelah sana lebih dalam!" tunjuk Rangga, ke sisi tebing sungai lain.

"Sungai ini cukup lebar. Dan kalau benar Hantu Putih Mata Elang bersembunyi di Hutan Lengkeng ini, bagaimana mungkin bisa menyeberang ke sana?" tanya Linggawuni tidak percaya dengan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Pertanyaan itu sama dengan bagaimana cara wanita itu lenyap begitu saja di hutan ini? Padahal, semua orang yakin kalau dia bersembunyi di sini," sahut Rangga.

Linggawuni dan Buntaran terdiam. Sementara, anak buah mereka tengah melepas lelah. Sedang yang lain mencari ranting dan kayu-kayu kering yang akan dibuat api unggun.

"Bagaimana? Apakah kalian bersedia meneruskan pencarian di sini? Atau ada rencana lain yang hendak dilakukan?" tanya Rangga.

"Kami memang belum menemukan kepastian, di mana tempat persembunyian wanita itu. Bahkan sedikit sekali petunjuk yang kami peroleh...," kata Buntaran.

"Hhh..." Linggawuni menghela napas. "Agaknya kami tidak punya pilihan selain mengikuti rencanamu. Namun bila ini tidak membawa hasil, lalu apa yang akan kita lakukan?"

"Sebaiknya, nanti saja kita pikirkan lagi."

"Ya, baiklah...," sahut Linggawuni seraya merebahkan diri di dekat perapian yang telah dibuat anak buahnya.

Beberapa orang di antara mereka membuka perbekalan makanan dan membagikannya pada yang lain. Termasuk, Pendekar Rajawab Sakti.

"Tidak terlalu banyak. Namun, cukup untuk sekadar mengganjal perut di malam yang dingin begini...," kata Linggawuni sambil tersenyum.

Laki-laki itu segera mengunyah beberapa potong daging kering yang selesai dibakar.

"Apakah kau tahu ke mana hilangnya pemuda-pemuda yang menjadi korbannya, Rangga? Dan, sebenarnya untuk apa pemuda-pemuda itu diculiknya?" tanya Linggawuni, di tengah rebahannya.

"Aku tidak tahu. Tapi, mungkin saja berada di sarangnya. Wanita itu menculik, biasanya untuk menyempurnakan suatu ilmu atau mempertahankan ilmu yang sedang dianutnya. Hal itu biasa dilakukan oleh orang yang sedang menuntut ilmu hitam. Orang itu memerlukan korban, sesuai tuntutan ilmu itu..."

"Apakah pemuda-pemuda itu tewas...?"

"Bisa jadi. Namun, bisa juga mereka dibuat lupa akan asal-usulnya. Dan, mereka hanya mengerti perintah orang yang telah menculiknya," jelas Rangga.

"Tapi, untuk apa jika mereka dibuat seperti itu...?" tanya Linggawuni lagi.

Pertanyaan laki-laki berkulit gelap itu belum terjawab, ketika salah seorang anak buahnya berseru kaget.

"Ki Linggawuni, apa itu...?!" tunjuknya ke satu arah.

Bukan hanya Linggawuni saja yang berpaling. Malah semuanya segera berpaling, dan melihat dua orang pemuda tanpa berpakaian sehelai pun, melangkah menghampiri mereka perlahan-lahan. Semua orang yang tengah beristirahat langsung beranjak dengan sikap siaga.

********************

"Ki Linggawuni! Di sini ada lagi!" seru seorang anak buahnya yang lain, menunjuk ke satu arah.

Mereka menoleh, dan melihat tiga orang pemuda lagi menghampiri. Seperti dua orang pemuda yang pertama, mereka pun tidak mengenakan apa-apa untuk menutupi tubuhnya.

"Kurang ajar! Apa-apaan ini?! Orang-orang sinting...!" desis Linggawuni geram.

"Ki Linggawuni! Biar kuhajar orang-orang ini!" sahut anak buahnya seraya menghampiri.

Namun Rangga cepat menangkap pergelangan tangan orang itu, sehingga langkahnya tertahan. "Tahan, Kisanak!"

"Lepaskan, Rangga! Orang-orang sinting itu harus diberi pelajaran!"

"Tenanglah, Kisanak. Jangan terburu nafsu. Perhatikan baik-baik, mereka bukanlah orang sembarangan!"

"Maksudnya?"

"Pandangan matanya kosong. Raut wajah mereka dingin. Orang-orang ini telah mati jiwa dan semangatnya!" jelas pemuda itu menerangkan.

"Maksudmu mereka adalah...."

Ucapan Linggawuni yang mulai menduga, disambung cepat Buntaran dengan wajah tegang. "Korban-korbannya wanita iblis itu?!"

Rangga mengangguk pelan. "Mungkin saja...."

"Rangga! Coba lihat! Orang-orang ini muncul lagi dari segala arah!" seru Linggawuni kaget.

Apa yang dikatakan Linggawuni tidak salah. Jumlah pemuda berpenampilan aneh yang perlahan-lahan mengurung tidak kurang dari dua puluh orang.

"Apa yang harus kita lakukan, Rangga...?" desis Buntaran.

"Kita harus melakukan sesuatu!" sambung Linggawuni.

"Tunggu dulu! Jika jarak mereka telah lima langkah dari kita, barulah bertindak. Namun, saat ini kita tunggu. Apa yang hendak mereka lakukan," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Namun para pemuda yang mengurung agaknya tidak menghiraukan apa yang tengah terpikirkan Pendekar Rajawali Sakti beserta kawan-kawannya. Mereka terus melangkah, dan seperti tidak hendak berhenti.

"Kurang ajar...!" Buntaran memaki seraya berkacak pinggang. Tangan kanannya langsung menuding ke depan. "Sini kalian! Biar kutampar mukamu! Bocah tidak tahu adat...!"

Wuuut!

Salah seorang pemuda telanjang itu melompat menerkam Buntaran tanpa basa-basi. Dan bersamaan dengan itu, yang lainnya mengikuti. Maka secara bersamaan, mereka melompat menerkam orang-orang di hadapannya.

Plak!

"Setan...!"

Linggawuni dan Buntaran mendengus geram ketika merasakan tenaga pemuda-pemuda telanjang yang berusaha mencekik mereka itu kuat bukan main.

"Ki Linggawuni! Aaakh...!"

Beberapa anak buah Linggawuni dan Buntaran berteriak dengan suara tertahan. Mereka berusaha menangkis serangan. Namun, meski tubuh pemuda-pemuda telanjang itu kurus dan kelihatan tidak bertenaga, sesungguhnya memiliki tenaga amat kuat. Dengan sekali mengibaskan tangan, maka anak buah Linggawuni dibuat tidak berdaya. Sehingga, pemuda telanjang itu dengan mudah mencekiknya.

"Hiiih!" Rangga menggeram. Kedua tangannya langsung mencengkeram kedua pergelangan tangan pemuda telanjang yang menyerangnya. Kemudian dibantingnya dengan keras.

Pemuda telanjang itu jatuh berdebum. Namun, tidak sedikit pun keluar keluhan dan mulutnya. Dan seperti tidak merasakan rasa sakit, dia kembali bangun dan melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan garang.

Begkh! "Hugkh!"

Kembali pemuda telanjang itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terbanting tujuh langkah. Dan Rangga langsung melompat ke samping menolong salah seorang anak buah Linggawuni. Kedua tangannya mencengkeram ke pundak. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam disentaknya pemuda telanjang itu dan dibantingnya ke tanah. Kemudian, Rangga bergerak membantu yang lain.

"Yeaaat!"

"Hugkh...!"

Dalam waktu singkat, para pemuda telanjang itu terpelanting ke sana kemari. Namun meski demikian, mereka sama sekali tidak merasakan sakit. Bahkan mampu cepat bangkit. Raut wajahnya tampak datar, dan sama sekali tidak menyiratkan nafsu apa pun.

"Rangga! Apa yang akan kita lakukan...?" tanya Linggawuni cemas.

"Sudah, kita bunuh saja! Mereka berbahaya...!" desis Buntaran geram, seraya mencabut golok besar yang terselip dipunggung.

Sret!

Sikap Buntaran diikuti anak buahnya. Dalam keadaan begitu, mendadak....

"Hi hi hi...!" Terdengar suara ketawa nyaring yang berkumandang di sekitar tempat ini.

"Rangga...!" Wajah Linggawuni tampak cemas. Demikian pula anak buahnya yang lain.

Sebentar kemudian terlihat sesosok bayangan melesat. Dan bayangan itu makin jelas ketika melayang turun di hadapan mereka. Kini tampak seorang wanita jelita berpakaian serba putih yang amat tipis. Sehingga setiap lekuk-lekuk tubuhnya yang menggiurkan jelas terlihat. Kulitnya pucat. Dan bibirnya yang merah merekah, tersenyum lebar. Rambutnya yang panjang keemasan, berkibar-kibar ditiup angin malam.

"Hantu Putih Mata Elang...!" desis Rangga.

DELAPAN

"Hm.... Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Pendekar Rajawali Sakti...! Agaknya kau memang telah berjodoh denganku...!" seru wanita itu disertai tawa nyaring.

"Hantu Putih Mata Elang! Apa yang telah kau lakukan terhadap pemuda-pemuda itu?" desis Rangga tanpa mempedulikan kata-kata wanita itu.

"Mereka...? Hi H hi...! Hamba-hambaku yang selalu patuh terhadap perintahku. Tapi kalau kau cemburu, dengan mudah mereka akan kusingkirkan semua. Asal, kau bersedia menggantikan kedudukan mereka?!"

"Wanita iblis! Perbuatanmu sudah keterlaluan!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.

"Hi hi hi...! Begitukah menurut anggapanmu? Padahal, menurut orang-orang ini merasa betah tinggal denganku. Dan mereka bergiliran melayani semua kebutuhanku dengan senang hati. Bagaimana mungkin kau katakan perbuatanku keji?" sahut Hantu Putih Mata Elang, melecehkan.

"Hantu Putih Mata Elang! Sadarkah kau bahwa mereka tersiksa oleh cengkeraman sihirmu? Jika saja orang-orang ini dalam keadaan sadar, mana mungkin mereka sudi melayani nafsu iblismu!" bentak Pendekar Rajawali Sakti.

"O, begitu? Coba lihat. Bagaimana orang-orang ini begitu bernafsu memandang diriku. Padahal, mereka dalam keadaan sadar...," sahut wanita itu menunjuk ke arah Linggawuni dan anak buahnya.

Apa yang dikatakan wanita itu memang tidak salah. Semua anak buah Linggawuni dan Buntaran, termasuk kedua orang itu sendiri, memandang wanita itu tanpa berkedip. Segala kecantikan wajahnya, dan keindahan tubuhnya begitu amat menggiurkan dan merangsang kelelakian.

Linggawuni, Buntaran, dan beberapa anak buahnya cepat-cepat memperbaiki sikap, begitu mendengar kata-kata Hantu Putih Mata Elang meski masih tetap mencuri-curi pandang dengan sikap salah tingkah. Namun yang lainnya seperti tersirep. Bahkan sama sekali tidak mempedulikan keadaan, sampai kawan-kawannya mengingatkan.

"Hi hi hi...! Kau lihat, bukan? Mereka yang sadar pikirannya tidak menolak bila kuajak berjalan-jalan ke sorga. Bagaimana mungkin kau bisa menyalahkanku?" lanjut wanita itu, disertai tawa nyaring.

Tawa wanita itu terdengar begitu merdu dan menggelitik sukma. Demikian juga setiap gerakan kecil yang dilakukan tangan serta tubuhnya. Sehingga, membuat mereka panas dingin dengan jantung berdegup kencang.

Rangga menarik napas panjang, lalu memalingkan pandangan dan menguatkan tenaga batinnya. "Linggawuni! Suruh anak buahmu tidak menatap wanita iblis ini! Mereka akan celaka...!" kata pemuda itu mengingatkan.

Linggawuni terkesiap. Dan dia segera berteriak mengingatkan anak buahnya. "Palingkan muka kalian! Jangan menatap ke arah wanita iblis ini!"

Beberapa orang segera tersentak dan buru-buru memalingkan wajah. Namun, enam orang dari mereka terlihat mulai terpengaruh oleh suara tawa wanita itu. Dan mereka menatapnya tanpa berkedip.

"Hi hi hi...! Bocah bagus! Apakah kalian menolak untuk bersenang-senang denganku? hi hi hi...! Lihat kemari! Lihatlah...!" seru wanita berambut keemasan itu sambil menudingkan telunjuk ke matanya yang mulai bersinar tajam, mengandung daya sihir yang kuat.

"Buntaran! Tarik mereka. Dan kalau perlu, tampar untuk segera memalingkan muka!" teriak Linggawuni memerintah.

Buntaran segera melakukan apa yang dikatakan Linggawuni. Namun keenam anak buah mereka sama sekali tidak bergeming. Laki-laki bertubuh besar itu mulai kalap dan segera menghajar.

Duk! Duk!

Keenam orang itu sama sekali tidak bergeming. Bahkan seperti tidak merasakan sakit ketika kaki Buntaran menendang tubuh mereka dengan kuat.

"Kurang ajar...!" geram Buntaran marah.

"Hi hi hi...! Mereka ada dalam kekuasaanku. Dan, akan menuruti segala perintahku! Hi hi hi...! Ayo, hajar mereka! Hajaaar...!" teriak Hantu Putih Mata Elang itu sambil berteriak nyaring memerintahkan keenam anak buah Linggawuni untuk menyerang.

Sret!

"He, kurang ajar...!" Buntaran menggeram melihat anak buahnya segera mencabut golok dan siap menyerang. Belum lagi Buntaran menentukan apa yang harus dilakukan, kelebatan senjata mereka nyaris menyambar dirinya.

Wuuut!

Bet!

"Setaaan...!" Buntaran dan yang lainnya segera menghindar dan balas menyerang.

Trang! Cras! "Aaa...!"

Dua orang dari anak buah Linggawuni tewas disambar golok Buntaran. Sedang Linggawuni serta yang lainnya agaknya tidak sampai hari untuk menurunkan tangan kejam, sehingga mereka lebih banyak menghindar.

"Hi hi hi...! Ayo, bantu mereka anak-anak manis...!" teriak si Hantu Putih Mata Elang kepada pemuda-pemuda yang tidak berpakaian itu.

Mendengar perintah itu mereka yang sejak tadi diam, kini kembali bergerak menyerang Pendekar Rajawali Sakti beserta kawan-kawannya.

"Iblis jahanam! Kemari kalian! Akan kutebas batang leher kalian semua...!" desis Buntaran semakin kalap.

Laki-laki bertubuh gemuk itu mengayunkan golok besar di tangannya. Namun, kali ini dia dibuat terkejut. Karena, ternyata lawan-lawannya dengan mudah menghindar dan balas menyerang ganas. Hal ini membuat yang lainnya terpaksa harus bersikap tegas, kalau tidak ingin nyawa mereka melayang.

********************

"Wanita iblis, cukup sudah permainanmu! Hentikan semua ini...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghantam Hantu Putih Mata Elang dengan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.

"Haiiit! Hi hi hi...!" Wanita itu menghindar dengan mudah. Tubuhnya langsung melayang ke cabang pohon di belakangnya disertai tawa nyaring.

"Yaaat!" Rangga terus melompat mengejar sambil mengayunkan kepalan tangan.

Krak!

"Hi hi hi...! Lebih baik kau turuti kemauanku, Pendekar Rajawali Sakti! Kau hanya buang-buang waktu saja!" kata wanita itu, langsung mencelat dari tempatnya berpijak bagai selembar daun kering tertiup angin. Sehingga, hantaman Pendekar Rajawali Sakti yang cukup keras membuat cabang pohon itu hancur berantakan.

Pendekar Rajawali Sakti segera melayang turun dengan membuat lompatan jungkir balik beberapa kali. Lalu kakinya menjejak di tanah dengan mantap. Rangga tetap bersikap seperti tadi, memalingkan muka dari tatapan Hantu Putih Mata Elang. Karena hal itu lebih memudahkannya untuk menyerang. Selain menghindari godaan nafsu luar biasa melihat cara wanita itu berpakaian, juga menghindarkan diri dari tatapan mata yang mengandung daya sihir kuat.

"Kenapa terdiam, Cah Bagus? Ayo, seranglah aku. Puaskan hatimu dengan mengeluarkan seluruh kepandaian yang kau miliki! Setelah kau puas dan merasa senang, maka giliranku untuk bersenang-senang denganmu...!" kata wanita itu meledek.

Rangga mendengus pelan. Disadari kalau wanita ini memiliki kesaktian yang belum banyak diketahui. Namun dari pertarungan semalam, bisa diduga kalau tenaga dalam Hantu Putih Mata Elang tidak berada di atasnya. Kalau saja segenap ke mampuan yang dimilikinya dikerahkan, maka bisa jadi Linggawuni serta yang lainnya akan celaka. Tapi kalau memancing wanita ini untuk bertarung agak jauh, Pendekar Rajawali Sakti khawarir Linggawuni dan kelima orang yang kini berpihak padanya, akan celaka.

"Apa yang kau pikirkan, Cah Bagus? Kau ingin mendapat hadiah karena berhasil menyerahkan kepalaku pada adipati celaka itu? Hi hi hi..! Kalian terlambat. Sore tadi, seluruh keluarga Adipati Detya Karsa binasa di tanganku. Sia-sia saja usaha kalian...!"

"Hantu Putih Mata Elang, kau memang biadab! Ketahuilah! Aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka yang mengejarmu, karena mengharapkan hadiah. Tindakanku didasari belas kasihan!"

"Hi hi hi...! Sungguh mulia sekali sikapmu!" ejek wanita berambut keemasan itu.

"Hantu Putih Mata Elang. Sadarkah kau dengan perbuatanmu selama ini. Kau masih mempunyai seorang putri yang memiliki masa depan panjang. Jangan hancurkan hidupnya karena perbuatanmu yang keji dan biadab!" Pendekar Rajawali Sakti menasihati.

"Hi hi hi...! Kau pikir dirimu siapa berani menasihati? Hi Ki hi! Lebih baik, pikirkan dirimu sendiri. Karena, tidak lama lagi kau akan menjadi pembantuku yang setia!" balas Hantu Putih Mata Elang.

"Hm... Jangan harap itu akan terjadi!" desis Rangga geram.

"Begitukah?" Wajah wanita itu tampak pura-pura terkejut. Lalu dengan sekali mendengus sinis, telapak tangan kanannya menghantam ke muka.

"Haiiit!" Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega’, ketika serangkum cahaya putih menyambar ke arahnya, yang membawa hawa dingin menyengat.

"Yaaat...!" Kini Rangga balas menyerang. Dalam keadaan masih di udara dia menghentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh dan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Maka seketika dari kedua telapaknya yang terbuka meluruk dua sinar merah ke arah Hantu Putih Mata Elang.

Wanita itu terkejut dan merasakan hawa panas manakala dua sinar merah itu menuju ke arahnya.

"Yeaaat...!" Hantu Putih Mata Elang membentak nyaring. Tubuhnya seketika mencelat ke atas bagai kilat, menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan seketika itu pula, tubuhnya melesat menerjang Rangga yang baru saja mendarat di tanah.

"Hiyaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah sigap. Segera dipapaknya serangan Hantu Putih Mata Elang setelah mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Sehingga seketika berpendar sinar biru berkilauan yang menyambar-nyambar.

Sring! Wuuung!

Hantu Putih Mata Elang terkejut. Dia bermaksud menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut yang bertenaga amat kuat. Namun, cahaya biru yang terpancar dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti, berputar-putar seperti melindungi diri Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaa!" Tanpa mempedulikan hal itu, Hantu Putih Mata Elang segera menghentakkan tangannya. Maka selarik cahaya merah langsung menyambar ke arah Pendekar Rajawati Sakti begitu wanita itu selesai membentak nyaring. Begitu sinar merah itu menghantam pedang Pendekar Rajawati Sakti, akibatnya...

Blam!

"Heh?!" Ternyata cahaya merah yang dilepaskan Hantu Putih Mata Elang terpental balik, bahkan menyerang wanita itu sendiri. Wanita berambut keemasan itu tersentak kaget, lalu cepat melompat menghindar. Dan begitu mendarat kembali di tanah, dia kembali menyerang disertai lengkingan nyaring.

"Hm...." Pendekar Rajawali Sakti hanya bergumam. Tapi dia cepat mengusap batang pedangnya. Lalu pedangnya cepat disampirkan ke warangkanya di punggung. Sementara telapak tangannya kini telah digumpali oleh sinar biru yang berbentuk seperti bola.

"Mampus kau...!" desis Hantu Putih Mata Elang.

Begitu serangan hampir menyambar tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti cepat memapak dengan kedua tangannya. "Cakra Buana Sukma! Hihhh!"

Hantu Putih Mata Elang menggeram, dan langsung melipatgandakan tenaga. Namun alangkah terkejutnya dia, ketika merasakan tenaga dalamnya mengalir deras seperti tersedot. Rupanya, ajian yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti seperti menyeruak tenaga dalamnya. Wanita itu berusaha menarik kepalan tangannya, namun tidak mampu, bahkan seperti menyatu dengan telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Hantu Putih Mata Elang kembali menggeram. Dan dia berusaha menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan tangannya yang sebelah lagi. Dan...

Buk!

"Heh?!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti sedikit terguncang ketika kepalan tangan wanita itu menghantam dadanya. Namun yang lebih terkejut ternyata tangan si Hantu Putih Mata Elang tidak mampu dilepaskan. Dan dengan kedua kepalan tangan menempel maka tenaga dalamnya lebih cepat mengalir keluar.

"Demi iblis! Lepaskan ilmumu keparat! Lepaskaaan...!" teriak Hantu Putih Mata Elang geram dengan amarah meluap-luap.

"Hm...."

"Yeaaat!"

Hantu Putih Mata Elang agaknya hendak berbuat nekat dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki guna melepaskan diri dari pengaruh aji 'Cakra Buana Sukma' yang sedang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus sinis. Dan kembali tangan Rangga bergerak ke belakang punggung. Dan seketika pedangnya yang telah keluar dari warangka berkelebat.

Wuuut! Crasss!

Wanita itu kontan terpekik nyaring begitu kaki kanannya terbabat putus oleh pedang Pendekar Rajawali Sakti. Bersamaan dengan itu, Rangga, menghentakkan sebelah tangannya yang menempel pada tangan Hantu Putih Mata Elang. Begitu tubuh wanita itu terjajar, kembali pedangnya berkelebat cepat menyambar dada Hantu Putih Mata Elang. Dan....

"Shaaa...!"

"Aaa...!" Tubuh wanita berambut keemasan itu terjungkal disertai pekikan nyaring. Dadanya kontan menyemburkan darah segar. Tak lama tubuh wanita itu ambruk di tanah. Sesaat dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!

Rangga menghela napas panjang seraya me-nyarungkan pedangnya. Diperhatikannya Hantu Putih Mata Elang dengan seksama. Pada permukaan kulit si Hantu Putih Mata Elang, terlihat perubahan yang cepat. Kulitnya yang halus mulus, perlahan-lahan keriput. Rambutnya yang keemasan berubah putih. Dan tubuhnya yang padat berisi, perlahan-lahan mengempes. Dan kini hanya tinggal kulit pembalut tulang belaka. Sehingga dalam keadaan seperti itu, terlihat jelas keadaan tubuhnya yang asli. Seorang wanita tua dengan kulit keriput dan tubuh kurus kering penuh ubanan!

"Ibuuu...!" Mendadak seseorang berteriak haru, langsung menghampiri wanita itu dan memeluknya erat dan menangis sendu.

Rangga diam membisu tak kuasa melihat pemandangan itu. Perlahan-lahan didekatinya gadis itu dan berdiri di belakangnya.

"Maafkan aku, Roro Inten. Ibumu terlalu memaksa, sehingga tidak ada jalan lain bagiku selain menyelamatkan diri...," ucap Rangga lirih.

Gadis itu diam tidak menjawab. Rangga mendesah pelan. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Lama dia berdiri mematung, kemudian menoleh ke sekitarnya. Tampak Linggawuni tergeletak dengan tubuh penuh luka. Sementara, di dekatnya terlihat yang lain tergeletak tidak bergerak! Pemuda itu kembali menghela napas pendek kemudian berjalan meninggalkan gadis itu.

"Hendak ke manakah kau, Rangga...?" tanya Linggawuni lirih.

Pemuda itu memperhatikannya seksama. Kemudian setelah yakin kalau laki-laki itu mampu mengurus dirinya sendiri, dia melompat ke punggung kudanya. "Aku akan melanjutkan perjalananku, Linggawuni...," sahut Pendekar Rajawali Sakti datar.

Laki-laki itu mengangguk lemah, memandang pemuda itu sekilas.

"Selamat jalan, Kisanak...! Hiya!" Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya. Dan dalam waktu singkat, dia telah lenyap dari pandangan menembus kegelapan malam. Linggawuni memperhatikan sesaat, kemudian melangkah pelan. Sempat diliriknya Roro Inten yang masih memeluk jenazah ibunya sambil menangis perlahan. Kemudian tanpa mempedulikannya, laki-laki itu bergegas meninggalkan tempat ini.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: PERI PEMINUM DARAH

Hantu Putih Mata Elang

HANTU PUTIH MATA ELANG

SATU
MALAM semakin gelap. Di langit, awan hitam masih bergulung-gulung. Suara unggas malam sudah tidak terdengar lagi. Seakan-akan semuanya bersembunyi di sarang masing-masing. Rintik hujan masih turun satu persatu. Dan di beberapa tempat air masih terlihat menggenang. Memang hujan deras baru saja berhenti mengguyur bumi. Sehingga, yang tinggal hanya tanah tanah basah di sana-sini. Dan keadaan yang tak menyenangkan ini tak menghalangi dua orang penunggang kuda yang terus menggebah kudanya, menerobos pinggiran hutan yang banyak ditumbuhi semak-semak kecil.

Bila diperhatikan, akan terlihat kalau kedua laki-laki penunggang kuda itu berbeda usia. Yang seorang berkumis tebal melintang. Tubuhnya sedikit kurus, kira-kira berusia sekitar tiga puluh tahun. Sementara berada di sampingnya adalah seorang pemuda gagah berusia sekitar sembilan belas tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Rambutnya yang panjang sebahu diikat kain kuning. Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala ular.

"Apakah tidak sebaiknya kita beristirahat dulu, Den Wijaya? Perjalanan masih Jauh. Dan mungkin Raden telah letih...," usul laki-laki berkumis melintang ini.

Pemuda di samping laki-laki itu menoleh sekilas. Kemudian bibirnya mengulas senyum.

"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka, Paman Sembada!" sergah pemuda yang dipanggil Wijaya.

"Tidak akan lari gunung dikejar, Den Wijaya...," elak laki-laki yang dipanggil Sembada tersenyum.

"Sudah sepuluh tahun, Paman! Selama itu, aku hanya dua kali bertemu mereka. Bisakah Paman membayangkan, betapa rinduku pada mereka?" tandas Raden Wijaya.

"Ya... Telah sepuluh tahun Raden berada di Padepokan Wering Surya. Dan Paman bisa merasakan, betapa Raden merindukan kedua orangtua...,'' gumam Paman Sembada.

"Mereka baik-baik saja, Paman...?"

"Mereka baik-baik saja, Raden. Hanya ibumu yang agaknya sering melamun karena memikirkanmu...."

"Ah... Kasihan ibu. Selama ini, beliau amat menyayangiku. Apalagi aku anak satu-satunya. Seandainya aku punya adik, beliau tentu tidak akan begitu memperhatikan diriku seperti sekarang...," desah Raden Wijaya.

"Kenapa Raden berkata begitu? Menurut Paman, beliau akan tetap menyayangimu meski Raden mempunyai adik banyak," tanya Paman Sembada.

Raden Wijaya tersenyum. "Bukan begitu maksudku, Paman...."

"Lalu?"

"Ibunda tertalu memperhatikan diriku. Bahkan sangat berlebihan. Sehingga apabila aku tidak berada di dekatnya, beliau selalu risau dan takut kehilanganku. Bila aku mempunyai adik, tentu ada penghiburnya."

"Tapi, saat ini beliau pun telah mempunyai seseorang yang sering menghiburnya...," sahut Paman Sembada, tersenyum penuh arti.

"Maksud, Paman? Ayahandakah...?"

"Salah satunya."

"Lalu yang lainnya?"

"Bukan yang lainnya, Raden. Tapi seorang lagi"

"Paman.... Aku semakin tidak mengerti...," desah pemuda itu dengan kening berkerut dan wajah bingung.

"Ingatkah Raden pada Andini, putri Ki Bangun Satya...?" Paman Sembada malah bertanya.

"Hm... Siapa yang bisa melupakannya?" sahut Raden Wijaya, seraya tersenyum karena mulai mengerti ke mana tujuan pembicaraan pamannya. "Dialah orang yang Paman maksudkan?"

Paman Sembada mengangguk.

"Dia sering mengunjungi ibundamu...."

"Sudah besarkah dia sekarang, Paman...?"

"Bahkan telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik, Raden! Budi pekertinya juga baik. Tutur katanya pun selalu halus dan lembut."

"Hm…,” gumam Raden Wijaya pelan.

"Dia sering menanyakan keadaanmu, Den...," tambah Paman Sembada.

"Jangan menggodaku, Paman. Andini memang kawan bermainku sejak kecil. Namun, dia amat pemalu dan jarang bercakap-cakap denganku...," kata pemuda itu tersenyum malu.

"Paman tidak menggodamu. Dia memang sering menanyakan keadaanmu. Apakah kau betah, atau kesepian...? Dia pun sering mengkhawatirkanmu...," jelas Paman Sembada, semakin membuat pipi pemuda itu memerah.

"Paman terlalu mengada-ada. Siapa yang mengkhawatirkanku? Aku berada di padepokan. Dan di situ, kawan-kawanku banyak. Malah Ki Sabda Senjaya bukan orang sembarangan. Siapa yang hendak menyakitiku? bela Raden Wijaya berusaha menutupi perasaannya.

"Andini agaknya bukan mengkhawatirkan keselamatanmu, Den?"

"Lalu?"

"Dia mengkhawatirkan, kalau Raden akan ke pincut gadis lain," goda Paman Sembada, sambil tersenyum lebar.

"Paman bisa saja...!" Raden Wijaya tersipumalu ketika sadar kalau Paman Sembada hanya menggodanya.

"Dia amat setia padamu, Den...," lanjut laki-laki itu.

"Apakah menurut Paman aku tidak setia?"

"Hm.... Kalian telah dijodohkan sejak kecil. Lalu, sebagai kawan bermain ketika bocah. Kemudian, berpisah agak lama, ketika Raden harus berguru di Padepokan Wering Surya. Paman kira, setelah Raden menjadi seorang pemuda dan banyak bergaul, pasti akan melirik gadis-gadis cantik lainnya. Dan, akan melupakan Andini..."

Raden Wijaya tersenyum. "Andini baik, Paman. Dia berasal dari keluarga yang baik pula. Ibunda selalu menasihati agar aku mencari calon istri yang memiliki sifat terpuji. Sebab, hal ini akan melanggengkan kehidupan berumah tangga kelak...," kata Raden Wjaya.

"Ibundamu seorang yang bijak. Den. Apa yang beliau katakan, memang benar."

'Terima kasih, Paman. Hm... Tanpa sadar kita telah memperlambat perjalanan. Ayo, Paman! Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka. Heaaa! Heaaa...!" Raden Wijaya segera menggebah kudanya.

"Heaaa ..!" Paman Sembada mengikuti perbuatan majikannya.

Baru saja mereka menggebah kudanya, mendadak...

"Hi hi hi...!"

"Heh?!"

"Apa itu, Paman...?" Raden Wijaya terkejut ketika tiba-tiba terdengar tawa nyaring yang menggema di sekitarnya. Serentak keduanya memperlambat laju kuda. Bahkan kemudian berhenti sama sekali, dan langsung memandang ke sekeliling.

Tidak terlihat apa-apa Suasana masih gelap dan sepi. Sementara keadaan di sekitarnya keli-hatan kering. Agaknya, tadi di sini hujan tidak turun.

"Hati-hati, Den! Agaknya ada seseorang yang mengikuti perjalanan kita. Mendengar suara tawanya tadi, jelas dia bukan orang sembarangan. Kita masih belum tahu, apa maksudnya!" Paman Sembada mengingatkan.

"Siapa pun yang tertawa tadi, keluarlah! Per-lihatkan dirimu. Dan, utarakan maksudmu mengikuti kami...!" teriak Raden Wijaya lantang.

"Hi hi hi...! Bocah tampan... Agaknya kau telah ditakdirkan berjodoh padaku!" Kembali terdengar tawa nyaring, kemudian disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih ke hadapan mereka. Bayangan putih itu semakin jelas terlihat, ketika perlahan-lahan melangkah mendekati mereka.

"Heh?!" Paman Sembada terkejut ketika melihat seorang gadis berwajah cantik berusia sekitar sembilan belas tahun. Rambutnya yang panjang keemasan, tergerai sampai ke punggung dan tertiup angin. Bajunya sutera putih yang amat tipis sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat menantang gairah kelelakian. Ada hal yang sedikit aneh, sekaligus menakutkan dari gadis itu. Sepasang matanya tajam seperti mata seekor kucing di kegelapan. Bahkan kulitnya amat putih, sehingga terlihat pucat bagai mayat.

"Nisanak! Siapakah kau?! Dan, apa maksudmu menghadang perjalanan kami...?" tanya Raden Wijaya yang tadi ikut terpesona memandang kecantikan gadis itu.

"Hi hi hi...! Bocah tampan.... Namaku Gendari. Dan terus terang, tujuanku mencegat kalian karena aku tertarik dengan ketampananmu!" sahut gadis itu, tanpa basa-basi.

Raden Wijaya sebenarnya putra adipati yang menguasai Kadipaten Watu Pasir. Kehidupan mereka terbiasa oleh sikap sopan santun dengan menggunakan tutur kata yang halus. Apalagi bagi seorang wanita. Dan apa yang diucapkan gadis itu, sebenarnya hal yang tidak pantas. Sebab, perkataan seperti itu hanya diucapkan oleh wanita jalang yang sering mengumbar hawa nafsunya.

"Gendari! Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu? Aku sama sekali belum mengenalmu. Jadi bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu?" tanya Raden Wijaya, masih dengan nada halus agar tidak menyinggung perasaan gadis itu.

"Hi hi hi...! Bocah bagus! Kau memang masih muda sekali dan tidak tahu banyak soal kehidupan. Tapi, apakah perkataanku tadi sulit dimengerti? Aku menyukaimu dan ingin agar kau menemaniku di tempat sesunyi ini. Rasanya kau tidak perlu mengenalku!" sahut Gendari menegaskan.

Raden Wijaya menghela napas sesak. Sementara Paman Sembada sudah merasa jengah, bahkan merasa kesal atas sikap wanita itu. Sikapnya sama sekali tidak sopan. Demikian pula kata-katanya. Gerak-geriknya menunjukkan kalau wanita ini tidak ubahnya seperti pelacur. Atau, barangkali memang dia wanita jalang? Kalau tidak, apa yang dilakukannya di tempat sesunyi ini?

"Hati-hati, Den. Wanita ini bukan orang baik-baik…," ujar Paman Sembada, mengingatkan.

"Monyet kurus! Tutup mulutmu! Kau kira aku tidak mendengar apa yang kau bisikan, heh?!" hardik gadis bernama Gendari, garang.

Paman Sembada yang mulai jengkel melihat sikap gadis itu, kini menjadi marah ketika mendengar bentakan tadi. "Perempuan jalang! Kaulah yang seharusnya tutup mulut! Sikapmu sama sekali tidak pantas!" dengus Paman Sembada.

Mendengar itu, Gendari tiba-tiba saja tersenyum. Kemudian, dia tertawa nyaring sambil berkacak pinggang. "Hi hi hi...! Agaknya kau cemburu, he? Sayang sekali, saat ini majikanmu ada di sini. Kalau tidak, mungkin saja aku tertarik padamu! Tapi..., kau boleh menunggu giliran kalau suka," ujar Gendari sambil tertawa genit.

"Phuih! Wanita jalang tidak tahu diri! Kau kira, siapa dirimu?!" dengus Paman Sembada tidak bisa lagi menahan amarahnya.

"Hi hi hi...! Kenapa mencak-mencak begitu? Kau ingin menerkam dan membunuhku? Ayo, lakukan!" sahut Gendari tenang-tenang saja.

"Keparat! Wanita sepertimu memang sebaiknya mampus!" Paman Sembada mencabut golok di pinggang dan langsung melompat menyerang gadis di hadapannya.

"Paman, jangan...!" Raden Wijaya berusaha menahan, namun laki-laki itu agaknya tidak mampu lagi menguasai diri. Dia sudah langsung turun dari punggung kuda, langsung menerjang Gendari.

"Haiiit!"

"Hm..." Gadis berbaju putih itu mendengus pelan. Sama sekali dia tidak berusaha menangkis atau menghindar dari serangan.

Raden Wijaya sendiri terkejut dan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu pasti celaka! Bahkan bukan tidak mungkin akan terbunuh di tanga Paman Sembada.

Namun begitu serangan hampir tiba di tubuhnya, Gendari cepat mengangkat tangannya. Tangan kiri gadis itu menepis pergelangan tangan Paman Sembada. Dan sambil menundukkan kepala menghindari tebasan golok, cepat sekali kaki kanannya menendang ke dada laki-laki bertubuh agak kurus itu.

Begkh!

"Aaa...!" Paman Sembada memekik tertahan. Tubuhnya kontan terlempar ke belakang pada jarak tiga tombak. Dan mulut, hidung, dan kedua telinganya menetes darah segar tanpa bergerak lagi, mungkin tewas!

"Paman?!" seru Raden Wijaya kaget. Buru-buru pemuda itu turun dari punggung kuda, kemudian memeriksa keadaan laki-laki itu.

"Kau…, kau telah membunuhnya...? Tindakanmu kejam sekali, Nisanak! Apa sebenarnya yang kau inginkan...?!" Pemuda itu berdiri tegak seraya memandang gadis itu dengan sorot mata kebencian.

"Hm... Sayang sekali, pemuda setampanmu ternyata sedikit tuli? Baiklah. Mungkin kau lupa atau memang tidak mendengar. Kuulangi sekali lagi, aku menginginkanmu. Dan kau tidak boleh menolak!' tegas Gendari seraya menggeleng dan mendesah pelan.

"Gadis hina! Kau dengar jawabanku! Kau tidak pantas berkata seperti itu. Dan aku sama sekali tidak suka caramu! Kau telah membunuh orang. Dan untuk itu, patut mendapat hukuman!" sentak Raden Wijaya lantang.

Sret!

Raden Wijaya bermaksud mencabut pedang, dan segera akan membalas kematian Paman Sembada. Baginya, gadis itu sudah sangat keterlaluan dan tak bisa dibiarkan begitu saja. Semua tindakannya seolah-olah dapat diperolehnya dengan mudah. Segala apa yang diinginkannya harus terpenuhi!

"Kau hendak melawanku, Bocah Bagus...!" Suara Gendari terdengar tajam dan lantang. Sehingga terasa menusuk gendang telinga pemuda itu. Raden Wijaya terkejut dan merasakan kelainan ketika melihat bola mata gadis itu bersinar tajam. Sehingga membuat pandangannya silau dan pikirannya melayang-layang.

"Kau.... kau..." Raden Wijaya berusaha melawan sekuat tenaga pengaruh ilmu gaib jahat yang dilakukan gadis itu terhadapnya. Namun makin dilawan, tenaganya terasa semakin melemah. Bahkan pikirannya semakin melayang entah ke mana.

"Hi hi hi...! Kau kira bisa menahan aji 'Sirna Sukma', he?!" desis Gendari tersenyum lebar.

Pedang dalam genggaman pemuda itu terjatuh. Dan tatapan matanya jadi kosong. Malah kegarangannya yang tadi meluap, kini tidak terlihat bekasnya barang secuil.

"Mendekatlah padaku, Bocah Bagus. Ayo, mendekatlah...!" desah gadis itu sambil melambaikan tangan.

Kini Raden Wijaya menurut saja, seperti kerbau dicucuk hidungnya. Begitu mendekat, Gendari segera merangkul pinggangnya. Kemudian dengan sekali lompat, mereka melesat ringan menembus kegelapan malam, melewati dahan-dahan pepohonan di sekitarnya. Sayup-sayup terdengar tawa gadis itu yang nyaring.

"Hi hi hi...!"

********************

Di ruang utama Istana Kadipaten Watu Pasir, Adipati Detya Karsa termenung di atas kursi berukir indah. Pandangannya kosong ke depan. Sementara beberapa orang terdekatnya yang duduk bersila di depannya, diam membisu seperti merasakan kegundahan junjungannya. Ruangan kini sepi. Tidak ada seorang pun yang berani angkat bicara. Namun, tiba-tiba saja seseorang maju ke depan dan memberi penghormatan.

"Maafkan kelancangan hamba, Kanjeng Adipati...."

"Eh...!" Adipati itu sedikit terkejut, lalu tersenyum ketika melihat laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang baru saja memberi hormat. Ada apa, Kakang Bangun Satya...?"

"Kalau boleh hamba tahu, apakah gerangan yang membuat Kanjeng Adipati begitu gundah dan amat gelisah...?"

Adipati Detya Karsa menarik napas pendek. Kemudian matanya memandang kepala pasukan pengawal kadipaten. Ki Bangun Satya memang bukan hanya sekadar abdi kadipaten. Namun, dia juga seorang sahabat yang amat dekat dengan adipati itu. Bahkan sudah dianggap sebagai saudara tertua karena memang usia Ki Bangun Satya lebih tua beberapa tahun dibanding Adipati Detya Karsa sendiri.

"Katakanlah, Kanjeng Adipati. Mungkin hamba dan yang lain bisa meringankan beban batinmu."

"Kakang... Hari ini seharusnya putraku telah tiba bersama Ki Sembada. Bahkan seharusnya kemarin pagi. Namun sampai saat ini, mereka belum juga tiba sahut adipati itu dengan wajah gelisah.

"Apakah tidak mungkin mereka singgah dulu mengunjungi salah seorang sahabat Raden Wijaya...?" Ki Bangun Satya mencoba memberi alasan lain.

"Kurasa tidak, Kakang. Aku telah memberi perintah pada Ki Sembada, agar tidak mengalihkan perhatian kepada yang lain-lain, kecuali tujuan pulang."

"Kanjeng Adipati, bisa jadi kita tidak mengetahui keadaannya. Namun janganlah berprasangka buruk lebih dulu. Percayalah, bahwa mereka tidak lama lagi akan kembali...," hibur sahabat adipati ini.

"Hm.... Hatiku tidak tenang. Demikian juga is-triku. Dia selalu menyebut-nyebut Raden Wijaya. Agaknya kerinduan kepada putranya tiada kuasa lagi dibendung. Aku hanya khawatir terjadi hal-hal yang buruk terhadap mereka...," desah adipati ini, dengan wajah terlihat semakin cemas.

Ki Bangun Satya terdiam sejenak seperti merasakan kekhawatiran di hati junjungannya. "Kalau Kanjeng Adipati berkenan, biarlah hamba bersama beberapa orang prajurit akan mencari... "

"Kau, Kakang...? Hm ... Memang aku baru saja berpikir demikian. Sebaiknya, suruh beberapa orang prajurit mencari mereka. Kau tinggallah di sini dulu untuk menemaniku..."

"Maaf, bukannya hamba bermaksud menen-tang titah Kanjeng Adipati. Raden Wijaya sudah hamba anggap putra sendiri. Sehingga, hamba merasa ikut bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu yang buruk menimpanya. Untuk itu, hamba akan memastikannya. Biarlah hamba yang pimpin beberapa orang prajurit untuk mencarinya," tandas Ki Bangun Satya.

"Hm... Kalau memang sudah begitu kehendakmu, rasanya aku tidak bisa menahan lagi...."

"Terima kasih, Kanjeng Adipati!" ucap Ki Bangun Satya, seraya menghatur sembah. Kemudian dia segera bangkit dan duduknya.

"Pergilah, Kakang. Restuku menyertaimu...!"

"Baik, Kanjeng Adipati!" Ki Bangun Satya segera berbalik, meninggalkan ruangan ini.

********************

Ki Bangun Satya telah mengumpulkan tujuh orang prajurit pilihan untuk menyertainya dalam tugas ini. Namun sebelum berangkat, dia sempat singgah dulu dirumahnya.

"Kakang mendapat tugas berat dari Kanjeng Adipati...?" tanya Nyi Bangun Satya, istri Ki Bangun Satya, ketika melihat suaminya membawa keris pusaka yang selama ini jarang dibawa kalau tidak terpaksa sekali.

Keris berlekuk sebelas itu merupakan senjata pusaka turun-temurun dari perguruannya dulu. Selama ini, dia amat percaya kalau keris itu bertuah. Bahkan akan menambah kekuatan bagi dirinya. Istrinya tahu, hanya pada persoalan gawat saja Ki Bangun Satya sampai menggunakan keris itu.

"Raden Wijaya belum juga kembali...," kata Ki Bangun Satya seraya menghela napas berat.

"Hal itukah yang membuat Kanjeng Adipati risau...?"

Ki Bangun Satya mengangguk. Pada saat itu, masuk seorang gadis manis berusia sekitar enam belas tahun ke ruangan ini. Dia berdiri di pintu seraya menundukkan kepala. Wajahnya tampak muram.

"Kemarilah, Andini...," ujar Ki Bangun Satya.

Gadis bernama Andini melangkah pelan. Kemudian, dia duduk di samping orangtuanya. Ki Bangun Satya mengelus rambutnya sesaat. "Kau mendengar percakapan kami...?"

Andini mengangguk.

"Lalu, apa yang membuatmu begitu muram?"

Gadis itu tidak menjawab. Ki Bangun Satya kembali menghela napas sesak. Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu diajukan lagi. Dia tahu, Andini mencintai Raden Wijaya. Dan pemuda itu pun agaknya telah mencintai putrinya.

"Sudahlah, Andini. Hapus wajah murammu itu. Raden Wijaya tidak apa-apa..."

"Ananda mendengar berita dari kadipaten, kalau Kakang Wijaya mendapat kesulitan di tengah perjalanan…," suara gadis ini terdengar lirih.

Ki Bangun Satya tersenyum pahit. "Kenapa kau mempercayai kabar burung yang belum tentu kebenarannya, Anakku...?"

"Perasaan Ananda tidak tenang. Ayah..."

"Itu bisa terjadi di antara dua orang yang saling mengasihi. Sebaiknya, berdoalah. Mudah-mudahan Raden Wijaya tidak mengalami hal yang buruk dalam perjalanan...."

"Hamba selalu berdoa, Ayah..."

"Bagus!" Ki Bangun Satya, lalu kembali mengelus kepala putrinya.

"Ayah berangkat dulu...."

"Ayah...."

"Ada lagi yang hendak kau katakan...?"

Gadis itu terdiam untuk sesaat. "Ayah membawa senjata pusaka itu, kenapa…?"

"Hanya untuk berjaga-jaga saja."

"Tapi, Ayah selalu membawanya, jika merasa kalau persoalan yang dihadapi amat berat. Jika Ayah memang bermaksud mencari Kakang Wijaya, bukankah berart Ayah menduga kalau Kakang Wijaya dalam keadaan bahaya...?"

"Jangan berkata seperti itu, Andini!"

Gadis itu terdiam. Ki Bangun Satya juga membisu. Bagaimanapun, dia membenarkan apa yang dikatakan putrinya. Keselamatan Raden Wijaya memang mengkhawatirkan. Dan dia merasa ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada pemuda itu. Namun hal itu berusaha disembunyikannya di depan putrinya agar tidak menambah beban.

DUA

Hari menjelang sore ketika rombongan prajurit Kadipaten Watu Pasir menuju ke arah barat. Matahari mulai tenggelam membiaskan sinarnya yang merah kekuningan, membentuk bayang-bayang panjang. Beberapa prajurit tampak mulai letih. Namun melihat semangat ki Bangun Satya yang pantang menyerah, semangat mereka seperti terbangkit kembali.

Jarak Padepokan Wering Surya dengan Kadipaten Watu Pasir mampu ditempuh dalam seharian, bila berkuda terus menerus. Namun itu jarang dilakukan, karena tidak ada seekor kuda yang mampu terus berlari tanpa istirahat. Maka bila perjalanan ditempuh dengan berkuda seperti biasa, paling tidak akan memakan waktu kuran lebih dua hari. Biasanya kebanyakan orang selalu menempuh jalur selatan. Bisa juga melalui jalan pintas, yakni lewat arah barat. Hanya saja harus melewati beberapa hutan kecil dan daerah tandus, namun jarak bisa dipersingkat. Hal seperti ini yang diperhitungkan Ki Bangun Satya.

Laki-laki setengah baya itu menduga, bila hari keberangkatan Raden Wijaya empat hari lalu, semestinya telah sampai di kadipaten. Baik lewat barat maupun selatan. Dan bila mereka menemui kesulitan, paling tidak terjadinya di tengah perjalanan. Maka mereka mencarinya tidak sampai menuju wilayah Padepokan Wering Surya, melainkan diperhitungkan menurut perkiraan kalau di tengah perjalanan telah terjadi sesuatu hal. Namun begitu, sebelum membelok ke arah barat, Ki Bangun Satya sempat mengirim dua orang prajurit pergi ke padepokan itu untuk memastikan kalau Raden Wijaya telah kembali.

"Kenapa kita tidak memeriksanya saja ke Padepokan Wering Surya, Ki Bangun Satya? Siapa tahu Raden Wijaya belum melakukan perjalanan pulang...?" tanya salah seorang prajurit yang berjalan berdampingan laki-laki setengah baya itu.

"Aku tahu sifat Raden Wijaya, Durganda. Beliau tidak akan pernah membatalkan rencananya. Bila berkeras pulang, maka akan segera dilaksa-nakan meski gurunya sendiri mencoba mengha-langi. Beliau telah berjanji akan kembali pada ibundanya empat hari lalu. Maka janji itu pasti ditepatinya...!" tegas Ki Bangun Satya, yakin.

"Lalu, apa gerangan yang membuat kepulangan Raden Wijaya terlambat...?"

"Itulah yang sedang kita cari..."

Ki Durganda terdiam sesaat. Langkah kuda mereka terdengar pelan, dengan pandangan terlihat tajam ke sekitar tempat yang dilalui.

"Jangan bergerak berurutan. Tiga di sebelah kanan, dan tiga lainnya di sebelah kiri pada jarak pandang'" perintah Ki Bangun Satya.

Enam orang anak buah laki-laki setengah baya itu langsung mengikuti perintah. Tiga orang segera bergerak sebelah kiri, sejauh kira-kira delapan sampai sepuluh tombak. Hal yang sama juga dilakukan tiga prajurit lainnya. Sedangkan prajurit yang dipanggil tadi Durganda tetap melanjutkan kudanya di sebelah kepal pasukan kadipaten itu.

"Hatiku merasa tidak enak, Ki..."

Ki Bangun Satya melirik sekilas, namun tidak menyahut.

"Tempat ini sepi sekali...."

"Tenanglah, Durganda. Jangan membesar-besarkan persoalan.

Durganda terdiam. "Aku khawatir jika Raden Wijaya celaka...," desah Durganda, lirih.

"Jangan berpikir seperti itu."

"Dengarkah berita belakangan ini, Ki?" tanya prajurit itu dengan wajah cemas.

"Berita tentang apa...?"

"Hilangnya beberapa orang pemuda berwajah tampan secara aneh, dan sampai saat ini tidak di-ketahui rimbanya?"

"Hm...," gumam Ki Satya Bangun disertai angguk pelan.

"Aku khawatir...."

"Jangan lanjutkan kata-katamu itu, Durganda!" potong Ki Bangun Satya dengan wajah semakin cemas.

"Bisa jadi Raden Wijaya memiliki kepandaian hebat sepulang dari padepokan. Namun menurut berita yang kudengar, pelakunya memiliki kepandaian laksana iblis!"

Ki Bangun Satya terdiam. Kemudian matanya melirik Durganda sebentar. "Maksudmu tokoh yang disebut Hantu Putih Mata Elang...?"

Durganda mengangguk cepat. Sebaliknya, Ki Bangun Satya menghela napas sesak. Nama itu belakangan ini amat santer terdengar. Bukan hanya di wilayah Kadipate Watu Pasir saja, melainkan meluas ke berbagai tempat. Dan laki-laki setengah baya itu mengkhawatirkan hal ini. Dan agaknya, Adipati Watu Pasir sendiri mungkin berpikir seperti itu. Meski, tidak diutarakan.

"Ki Bangun Satya, kami menemukan sesuatu...!" teriak salah seorang prajurit mengagetkan laki-laki berusia setengah baya itu.

"Heh?!" Ki Bangun Satya ditemani Durganda segera menghampiri. Dan mereka langsung melihat salah seorang prajurit kadipaten tengah memegang sebilah pedang bergagang kepala ular. Jelas, senjata itu berasal dari Padepokan Wering Surya. Kalau saja hanya itu yang menjadi petunjuk, mungkin mereka masih ragu-ragu menduga. Namun, di dekatnya tergeletak sesosok mayat yang hanya bisa dikenali dari pakaiannya saja.

"Ki Sembada...?!" desis Ki Bangun Satya.

Kepala pasukan kadipaten itu yakin, setelah melihat sebuah gelang yang melingkar di lengan kanan mayat, yang bertanda khusus. Dan itu hanya dimiliki orang-orang tertentu di kalangan Kadipaten Watu Pasir.

"Dan pedang ini pasti milik Raden Wijaya...!" timpal Durganda.

"Astaga! Apa yang telah terjadi pada Raden Wijaya? Mungkinkah beliau..."

Salah seorang prajurit kadipaten yang terkejut menyaksikan kejadian itu, tidak mampu meneruskan kata-katanya. Dugaannya ternyata sama dengan yang lainnya kalau Raden Wijaya mengalami nasib naas!

"Tidak terlihat jejak apa pun selain tapak kuda-kuda mereka yang mungkin melarikan diri!" kata salah seorang prajurit melaporkan keadaan di sekitar itu setelah memeriksa barang sesaat.

"Hm… Kita kembali ke kadipaten untuk melaporkan keadaan ini. Kemudian, esok hari baru melanjutkan perjalanan setelah mendapat berita dari dua orang yang berada di Padepokan Wering Surya!" ujar Ki Bangun Satya.

"Maaf, Ki Apakah tidak sebaiknya ke Padepokan Wering Surya dulu, untuk menceritakan kejadian ini? Kalau kita menuju ke kadipaten, tentu akan kemalaman. Sedangkan bila ke padepokan, kita akan tiba di sana sebelum tengah malam. Lagi pula, ada baiknya Ki Sabda Senjaya mengetahui kejadian ini," usul Durganda.

Ki Bangun Satya berpikir sejenak, kemudian mengangguk perlahan. "Baiklah. Kurasa begitupun baik. Kita menum-pang bermalam di sana, kemudian pagi-pagi sekali kembali ke kadipaten. Lalu setelah melaporkan kejadian ini pada Kanjeng Adipati, kita adakan pencarian lagi!“ ujar Ki Bangun Satya.

********************

"Bocah nakal! Kalian kira bisa selamat dariku? Yaaat..!"

Seorang kakek berambut panjang melompat dengan ringan. Dan tahu tahu dia telah berada di hadapan dua orang gadis yang tengah dikejarnya. Langkah mereka kontan terhenti dan langsung menghunus pedang.

"Tua bangka cabul! Kau kira aku takut?!" desis gadis berbaju merah yang berwajah manis, langsung mengebutkan pedangnya.

Wuuut!

Namun dengan tenangnya laki-laki tua itu menangkis.

Trang!

Dan seketika kaki kanan kakek bertongkat hitam itu menendang ke dada. Cepat bagaikan kilat gadis itu bergerak ke samping. Kemudian dia melompat ke atas untuk menghindari kepalan tangan kiri yang mengancam.

"Haiiit!"

Gadis berbaju merah itu kembali menerjang. Ujung pedangnya menyambar ke arah kakek itu dengan kecepatan sulit diikuti mata. Namun kembali dengan tenang, tongkat kakek ini berkelebat menangkis. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya meluncur mengancam bagian dada. Gadis berbaju merah itu terkejut, lantas berusaha melompat ke belakang.

Namun sambil berputar, orang tua itu mengejar dengan ujung tongkat menyodok ke arah leher. Cepat bagai kilat gadis itu langsung menyodokkan satu tendangan keras, dan tak terhindari lagi.

Duk!

Gadis berbaju merah itu mengeluh kesakitan dengan tubuh terjungkal ke tanah. Namun, dia berusaha bangkit secepatnya. Sementara orang tua itu hanya terkekeh sambil berkacak pinggang

"He he he...! Kau kira ilmu silatmu bisa me-nandingi si Kalong Wetan?" ejek lelaki tua bertongkat hitam yang ternyata berjuluk Kalong Wetan.

"Orang tua cabul! Aku belum kalah...!" desis gadis berbaju merah itu, langsung menyilangkan pedang ke dada. Wajahnya tampak geram sekali ketika memandang orang tua itu.

"Nisanak! Biar dia hadapi kita berdua" kata gadis yang seorang lagi. Dia berbaju biru. Rambutnya yang dihiasi pita kuning. Rupanya, sejak tadi gadis berbaju merah itu seperti tak memberi kesempatan pada gadis berbaju biru dalam menyerang lawannya. Baru ketika tubuhnya terjungkal, dia menyadari kalau tak mungkin melawan kakek itu sendiri.

"He he he...! Kalian hendak maju berdua? Bo-leh juga. Iseng-iseng kita bermain sebentar, sebelum berlanjut pada permainan inti yang menggairahkan!" kata si Kalong Wetan.

"Tutup mulut kotormu itu!" sentak gadis berbaju merah.

"Huh! Biar kurobek mulut bangsat cabul ini!" desis gadis berbaju biru menimpali.

"Yaaat!"

Kedua gadis itu segera melompat bersamaan menenang. Namun orang tua itu sama sekali menganggap remeh mereka. Bahkan dia selalu tersenyum mengejek. Jelas dia amat memandang enteng.

Baru ketika serangan hampir dekat, si Kalong Wetan mengebut tongkatnya. Gerakannya seperti sembarangan saja. Tapi hasilnya…

Trang! Bet!

"Brengsek!" gadis berbaju merah itu mendengus kesal. Pedang di tangannya nyaris terlepas dari genggaman ketika tongkat si Kalong Wetan menyam-poknya. Sedangkan pedang di tangan gadis berbaju biru terpental sejauh dua tombak. Kebutan tongkat si Kalong Wetan yang bertenaga dalam tinggi sempat mengejutkan mereka.

Gadis berbaju merah itu agaknya memiliki kepandaian setingkat dibanding gadis berbaju biru. Sehingga dia masih mampu mengimbangi serangan barang dua jurus. Namun, harus jungkir balik menyelamatkan diri dari tendangan dan hantaman tongkat si Kalong Wetan.

"Haiiit!"

Dengan satu bentakan keras, tongkat si Kalong Wetan menyambar ke dada kedua gadis itu secara bersamaan. Gadis berbaju merah cepat memapak dengan pedangnya.

Trang!

Gadis itu terkejut setengah mati ketika pedangnya terpukul. Belum juga keterkejutannya hilang, si Kalong Wetan telah meluruk kembali dengan sambaran tongkatnya. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang. Sementara gadis yang satu lagi mencoba membantu. Namun tiba-tiba saja si Kalong Wetan berbalik. Ujung tongkatnya langsung menyodok dada kanan gadis berbaju biru ini. Sementara pada saat yang sama, kakek itu melepaskan satu tendangan keras menghantam gadis berbaju merah.

Duk!

"Akh...!"

Kedua gadis itu terjungkal disertai jerit kesa-kitan. Sementara orang tua itu terkekeh sambil berkacak pinggang.

"He he he...! Kurasa kita telah cukup bermain-main. Dan telah tiba saatnya untuk memulai permainan yang lebih mengasyikan!"

Kedua gadis itu jadi bergidik ngeri melihat si Kalong Wetan perlahan-lahan mendekati sambil menyeringai lebar. Dengan mulut meringis menahan rasa sakit, mereka beringsut ke belakang. Beberapa kali mata mereka melirik ke belakang, ba-rangkali bisa meloloskan diri. Atau mungkin ada orang yang dapat menolong. Dan sebelum si Kalong Wetan bertindak lebih jauh, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih.

"Tinggalkan kedua gadis ini! Dan, enyahlah kau dari sini secepatnya!"

Begitu mendarat, sosok bayangan putih itu langsung mengeluarkan bentakan menggelegar. Dan dia langsung berdiri di antara dua gadis itu dengan si Kalong Wetan.

"Kurang ajaaar! Siapa kau, hingga berani-be-raninya mengganggu urusanku! sentak si Kalong Wetan, begitu memperhatikan sosok pemuda tampan berbaju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung tampak tersampir di punggungnya.

"Orang tua! Sangat tidak pantas kau melaku-kan perbuatan cabul di usia yang sudah bau tanah! Tidak malukah pada diri sendiri? kata pemuda itu tenang tapi penuh kewibawaan.

"Bocah sinting! Tutup mulutmu...! Agaknya kau belum pernah menerima hajaran, he?! Atau kau memang ingin bermain-main denganku? Boleh! Akan kulihat sampai di mana nyalimu hingga berani bicara seperti itu pada si Kalong Wetan!"

Sebelum aku menjatuhkan tangan, sebutkan julukanmu!"

“Perlukah itu?” balas si Pemuda itu enteng.

"Bedebah! Kau rupanya terlalu menganggap remeh Anak Muda! Jangan salahkan aku bila bertangan kejam terhadapmu!"

"Heaaa...!" Begitu kata-katanya selesai, si Kalong Wetan langsung melompat menerjang pemuda itu.

Dari serangan yang datang, pemuda tampan itu tahu kalau orang tua ini memiliki ilmu olah kanuragan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal itulah yang membuatnya berhati-hati menghindari serangan.

"Hup!"

Pemuda itu segera melompat ke belakang, langsung menggunakan jurusnya. Gerakannya demikian cepat dan lincah. Kakinya bergerak dengan ayunan tubuh terhuyung-huyung seperti mabuk. Dan ini ternyata membuat si Kalong Wetan menjadi semakin geram saja. Dalam perkiraannya ujung tombaknya akan mengenai sasaran. Namun dengan gerakan yang tidak terduga, serangannya hanya menemukan sasaran kosong.

"Hebat! Jurus yang dimiliki pemuda itu mengagumkan sekali!" decak gadis berbaju merah itu dengan wajah kagum.

"Apakah kau kenal dengannya?" tanya gadis berbaju biru itu.

"Hm... Rasanya aku pernah mendengar ciri-ciri pemuda seperti dia!" kata gadis berbaju merah setelah terdiam.

"Jadi kau pernah mendengar tentang dia?"

"Ya.... Ayahku pernah bercerita sedikit ten-tangnya. Dia pasti Pendekar Rajawali Sakti!" jelas gadis berbaju merah itu, yakin.

"Pendekar Rajawali Sakti?" ulang gadis berbaju biru itu sambil menaikkan sepasang alisnya.

"Betul! Tidak salah lagi! Wajahnya tampan, memakai baju rompi. Serta, memilik pedang bergagang kepala burung rajawali!"

"Hm... Tapi, apakah dia mampu mengalahkan kakek cabul itu...?"

Gadis berbaju merah itu hanya terkikik pelan.

"Kenapa kau tertawa...?"

"Kenapa tidak? Pertanyaanmu aneh sekaligus lucu. Si Kalong Wetan bukanlah tandingan Pendekar Rajawali Sakti...."

Belum juga kata-kata gadis berbaju merah itu selesai, terdengar jeritan keras si Kalong Wetan. Tampak tubuhnya terjungkal sepuluh langkah. Sementara, tongkat di tangannya terpental jauh. Dari bibirnya menetes darah kental.

"Kalong Wetan! Kuberi peringatan padamu sekali lagi. Pergilah dari sini. Dan, kubur pikiran kotormu. Kalau tidak, aku bisa berbuat lebih buruk kepadamu!" desis pemuda tampan yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, mengancam.

Si Kalong Wetan bersungut-sungut bangkit sambil menyeka darah di bibir, matanya memandang tajam penuh kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti. Namun disadari, tidak ada gunanya melawan lagi. Segala jurus ampuh telah dikerahkannya untuk menghajar. Namun, pemuda itu sama sekali tidak merasa kesulitan. Bahkan serangan balik dari Pendekar Rajawali Sakti membuatnya terkejut.

Orang tua, berjuluk si Kalong Wetan melangkah pelan meninggalkan tempat ini. Rangga hanya menghela napas lega sambil memandang kepada kedua gadis yang baru saja ditolongnya. Dan kedua gadis itu pun melangkah, mendekati. Langsung kedua telapak tangan mereka dirangkapkan di depan dada.

"Pendekar Rajawali Sakti. Kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. !" ucap gadis berbaju merah itu.

"Hm… " Rangga bergumam disertai senyum manis. Dari mana gadis ini mengetahui julukannya?

TIGA

"Nisanak.... Kini kalian telah bebas dari an-camannya. Silakan lanjutkan perjalanan kembali..," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Mana bisa begitu, Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah menyelamatkan kami. Dan setidaknya kami berhutang budi!" sahut gadis yang berbaju merah.

Dahi Rangga jadi berkerut. Sementara gadis berbaju merah itu tersenyum manis. Sedangkan gadis berbaju biru tersenyum walau seperti dipaksakan. Dia sedikit kaget dengan kata-kata diucapkan gadis berbaju merah tadi.

"Nisanak! Kalian tidak perlu berbuat sesuatu sebagai tanda terima kasih. Menolong adalah kewajiban setiap orang..."

"Hm.... Sungguh mulia hatimu, Pendekar Rajawali Sakti. Tidakkah terpikir olehmu kalau kami bersedia melakukan apa saja yang kau inginkan sebagai ungkapan rasa terima kasih?" tanya gadis baju merah ini tersenyum genit.

"Nisanak! Bukankah sudah kau dengar tadi? Aku tidak menginginkan sesuatu dari kalian sebagai tanda terima kasih!" tegas Rangga.

"Hm.... Sayang sekali...."

"Apa maksudmu?"

"Jarang ada pemuda yang menyia-nyiakan kesempatan seperti ini...," gumam gadis berbaju merah itu.

Rangga semakin tidak mengerti kata-kata gadis itu. Bibirnya hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng. Lalu kakinya melangkah menuju kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Sementara gadis berbaju merah itu mengikuti. Sedangkan gadis berbaju biru tetap diam di tempatnya dengan wajah gelisah.

"Hei, tunggu dulu!" panggil gadis berbaju merah.

"Aku masih ada urusan, Nisanak. Maaf..., Rangga segera melompat ke punggung kudanya.

"Setidaknya..., apakah kau tidak ingin tahu nama kami..?"

Rangga menghela napas pendek dan berpikir. Mungkin dengan menuruti kata-kata terakhir gadis ini, persoalannya akan selesai.

"Baiklah… Siapa namamu...?"

"Namaku Roro Inten...

"Dan kawanmu?"

"Mana kutahu? Kenapa tidak kau tanyakan sendiri?!" gadis berbaju merah yang ternyata bernama Roro Inten ini malah balik bertanya.

"Sungguh aneh. Bukankah kalian berkawan? Masa' kau tidak tahu namanya?"

"Siapa yang mengatakan kami berkawan? Aku baru saja kenal dengannya tadi, saat si Tua Bangka Cabul itu ingin menodainya!"

"Oh, begitu. Baiklah, aku akan tanyakan sendiri...," sahut Rangga, seraya menggebah kuda perlahan segera dihampirinya gadis berbaju biru itu.

"Namaku.... Nila Dewi," sahut gadis itu per-lahan.

"Roro Inten dan Nila Dewi? Hm... Nama yang bagus sekali. Nah, kurasa telah cukup, bukan? Selamat tinggal!" Rangga bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun, Roro Inten kembali berteriak mencegahnya.

"Tunggu dulu!"

"Ada apa lagi?"

"Bagaimana kalau si Kalong Wetan kembali, dan bermaksud mengulangi perbuatannya yang tidak kesampaian? Apakah kau tega meninggalkan kami berdua di sini tanpa ada yang menolong?"

"Dia tidak akan berani melakukannya."

"Kenapa tidak? Bukankah jika kau pergi tidak akan ada yang menghalangi niatnya! Justru hal seperti ini yang amat dinantikan!"

Rangga berpikir sesaat. Dan rasanya, apa yang dikatakan Roro Inten ada benarnya. Bisa jadi Kalong Wetan akan meneruskan niatnya yang tidak kesampaian setelah pergi.

"Baiklah... Kalau demikian, kalian kuantar ke desa terdekat..." kata Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat turun dari kuda.

Roro Inten tampak tersenyum. Dan gadis berbaju merah itu buru-buru merendengi langkah Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, si Gadis berbaju biru yang bernama Nila Dewi mengikuti di belakang.

"Begitu lebih baik..!"

Rangga diam saja tidak menyahuti. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti hendak bertanya-tanya tentang kehadiran kedua gadis itu di tempat ini. Sebab, daerah di sekitarnya terlihat sepi dan tidak umum dilalui. Dan bila mereka tengah melakukan perjalanan, rasanya tidak lumrah mengambil jalan ini. Apalagi, keduanya tidak saling mengenal sebelumnya.

"Aku hanya kebetulan lewat saja...," Roro Inten menjelaskan lagi, seperti mengerti apa yang dipikirkan pemuda itu.

"Dan kau, bagaimana mulanya sehingga bisa bertemu tua bangka cabul itu, Nila Dewi...?" tanya Roro Inten.

"Aku...? Eh..."

"Mungkin kau kabur dari rumah, karena hendak dikawinkan dengan kakek-kakek, ya?" tebak Roro Inten disertai tawa kecil.

Nila Dewi tersenyum malu. "Bukan..."

"Lalu, apa...?"

Gadis berbaju biru itu menghela napas sesak. Dan wajahnya langsung terlihat muram. "Semula kami melakukan perjalanan berdua...," jelas Nila Dewi, lirih.

"Dengan kekasihmu...?" tebak Roro Inten.

Nila Dewi tersenyum pahit.

"Lalu?"

"Kami mendapat tugas dari guru ke wilayah selatan untuk mengunjungi salah seorang sahabatnya. Di tengah jalan itulah kami bertemu seorang gadis berwajah cantik dengan rambut keemasan. Kulitnya pucat seperti mayat. Kepandaiannya hebat sekali. Bahkan kami berdua dikalahkannya dengan mudah. Dia menginginkan Kakang Permana. Entah untuk apa. Tapi belakangan aku tahu kalau Kakang Permana akan dijadikan pemuas hawa nafsunya. Kakang Permana semula menolak. Namun, tiba-tiba saja dia menurut dan tidak mampu membantah kata-kata gadis itu. Aku mencoba menyerang, ketika dia menggandeng tangan Kakang Permana dan berkelebat cepat. Namun dengan sekali melambai-kan tangan, tubuhku dihantam pukulan hebat yang sama sekali tidak kuduga...," jelas Nila Dewi dengan wajah murung mengakhiri ceritanya.

"Hm... Tidak salah lagi Pasti perbuatan si Hantu Putih Mata Elang!" desis Roro lnten geram.

"Apakah kau kenal dengannya?" tanya Nila Dewi.

"Aku pernah mendengar sepak terjangnya! Gadis itu memiliki ilmu iblis. Dan kebiasaan anehnya, menculik pemuda-pemuda tampan untuk dijadikan pemuas nafsu setannya," kata Roro Inten sambil melirik Rangga.

"Apa maksudnya?" tanya Rangga mulai tertarik

"Mana kutahu! Hati-hati saja. Kau bisa menjadi korban berikutnya!" ingat gadis itu seraya tersenyum kecil.

Rangga ikut-ikutan tersenyum dan tidak ber-kata apa-apa lagi!

********************

Kuil Teratai Emas terletak di wilayah selatan, di atas Bukit Gondosewu. Bila melihat dari sisi bukit lainnya, maka akan terlihat rerumputan luas bagai permadani hijau menghampar di sekeliling kuil megah itu. Di depannya terdapat kebun bunga beraneka macam menghiasi sebuah kolam ikan. Sehingga apabila musim bunga mulai mekar halaman depan kuil seperti taman surgawi yang indah bukan main, bercampur harum semerbak wewangian. Di bagian belakang kuil terdapat kebun sayuran serta pepohonan besar yang tumbuh subur. Selintas terlihat seperti hutan lebat yang amat menyeramkan. Namun sesungguhnya segala hasil tanaman itu dipergunakan bagi kebutuhan sehari-hari seratus lebih siswa-siswa yang belajar agama di situ.

Kuil Teratai Emas didirikan lebih dari seabad yang lalu. Tak heran kalau dari sini banyak mene-lurkan murid yang tersebar di mana-mana. Semula kebanyakan dari mereka hanya berkecimpung dalam bidang agama. Namun karena beberapa puluh tahun lebih dari lima puluh rahib tewas di tangan orang-orang yang tidak menyukai mereka. Maka sejak Wiku Dharma Putera memimpin kuil itu, para muridnya diajarkan ilmu olah kanuragan. Paling tidak untuk sekadar membela diri dari tindakan orang-orang yang hendak berbuat jahat.

Wiku Dharma Putera sendiri yang sampai se-karang masih memimpin kuil itu, dulunya adalah seorang pendekar besar. Namanya amat disegani di kalangan persilatan. Sejak saat itu, lulusan Kuil Teratai Emas amat diperhitungkan serta disegani. Karena, kebanyakan watak muridnya yang welas asih dan sabar, serta tidak segan mengulurkan tangan membantu kaum lemah.

Kini pemimpin kuil berusia lebih dari tujuh puluh lima tahun itu tengah berdiri tegak di lantai depan kuil, memperhatikan murid-muridnya yang tengah berlatih ilmu olah kanuragan di bawah bimbingan beberapa orang rahib yang merupakan murid tertua. Beberapa kali bibirnya tersenyum. Kemudian dia menuruni undakan anak tangga yang berjumlah tujuh buah, lalu berkeliling memperhatikan muridnya satu persatu.

"Hormat kami, Guru Wiku...!"

Para murid merangkapkan kedua tangan di dada seraya sedikit membungkukkan tubuh. Dan Wiku Dharma Putera mengangkat sebelah tangannya beberapa kali, membalas penghormatan mereka. Dan baru saja mereka memusatkan latihan kembali...

"Hi hi hi...!"

Pagi yang cerah dan berhawa segar ini mendadak dikejutkan tawa nyaring yang berkumandang, mengelilingi kawasan kuil itu. Seketika para murid menghentikan latihan, dan mendongakkan kepala mencari-cari suara tawa tadi.

Wiku Dharma Putera memandang ke sekeliling tempat. Kemudian tangan kanannya diletakkan ke dada seraya membungkuk sedikit.

"Wahai, Nisanak! Tampakanlah dirimu, jika memang hendak bertamu. Sesungguhnya pintu kuil ini selalu terbuka bagi siapa saja yang hendak berkunjung...!" kata laki-laki tua itu. Suaranya pelan, namun jelas mengandung tenaga dalam kuat. Dan dia sudah menduga kalau suara tawa itu milik seorang wanita.

"Hi hi hi...! Sungguh tajam pendengaranmu, Orang Tua...!" sahut suara tadi, begitu sosoknya telah diketahui Wiku Dharma Putera.

Kemudian terlihat sesosok tubuh putih melayang ringan dari salah satu cabang pohon, dan hinggap di atas pagar halaman depan kuil. Sesosok tubuh itu memang seorang wanita belia berwajah cantik. Bibirnya merah merekah dengan rambut panjang sebahu berwarna keemasan yang berkibar-kibar tertiup angin pagi. Tubuhnya yang padat berisi, amat merangsang di balik kain sutera putih yang amat tipis. Melihat itu, murid-murid Kuil Teratai Emas langsung menunduk sambil menempelkan tangan di dada. Demikian juga Wiku Dharma Putera. Pemandangan itu amat tabu bagi mereka.

"Demi Batara Agung...! Apa yang kau inginkan di tempat kami ini, Nisanak?" tanya Wiku Dharma Putera.

"Hi hi hi...! Orang tua! Kulihat banyak muridmu yang masih belia dan gagah. Kau tentu tidak keberatan kalau aku ingin meminta barang sepuluh atau dua puluh orang, bukan?" sahut perempuan itu.

"Sesungguhnya, murid-muridku diperuntukkan bagi alam semesta ini. Namun, untuk tujuan mulia. Mereka akan menjadi abdi dewata yang agung. Lantas apakah yang kau inginkan dari mereka...?" tanya Wiku Dharma Putera, ramah.

"Mereka akan kujadikan abdi yang setia!" sahut wanita itu enteng.

"Apakah kau dewata sehingga berani bicara seperti itu?"

"Hi hi hi...! Tidak tahukah kau bahwa aku adalah dewi yang diutus untuk menjemput murid-muridmu?"

"Demi Jagad Dewa Batara! Sesungguhnya kata-katamu amat lancang, Nisanak! Mudah-mudahan dewata yang agung mengampuni dosa-dosamu. Pergilah dari tempat ini dengan damai, ujar Wiku Dharma Putera, terkejut.

"Hi hi hi...! Apakah kau kira mampu mengha-langi niat seorang dewi?" wanita itu tertawa mengejek dengan sikap amat merendahkan.

"Janganlah membuat kekacauan, Nisanak. Selamanya, Kuil Teratai Emas ini adalah tempat suci dan tidak boleh ada kekacauan. Kedatanganmu dengan niat buruk, akan menodai kuil ini. Maka dengan kerendahan hati, kuminta agar kau meninggalkan tempat ini!" kata Wiku Dharma Putera, mulai tegas.

"Hm... Kau kira mudah mengusirku, heh?!"

"Nisanak, janganlah mempermainkan kesabar-an seseorang. Karena, sesungguhnya itu membawa kerugian pada diri sendiri "

"Orang tua! Tidak usah banyak mulut! Berikan dua puluh muridmu yang akan kupilih sendiri. Dan setelah itu, kuil ini akan aman! Kalau tidak, kau boleh meratapi nasibmu di akherat sana!" dengus wanita itu dengan suara lantang. Sementara tangan kanannya menuding ke arah sang Wiku dengan sikap memandang rendah.

"Jagad Dewa Batara...! Jangan terlalu memak-sa kami untuk bertindak keras terhadapmu, Nisa-nak…!" dengus laki-laki tua itu.

"Banyak mulut! Hiiih!"

Gadis berkulit pucat bagai mayat itu menggeram seraya mengulurkan telapak tangan ke depan. Maka dari telapaknya yang terbuka keluar serangkum angin kencang berhawa dingin, langsung meluruk ke arah Wikut Dharma Putera.

"Heup!"

********************

Wiku Dharma Putera melompat ke samping. Namun bersamaan dengan itu kembali pukulan wanita itu menghantamnya. Untungnya dia masih mampu menyelamatkan diri dengan kembali melompat ke samping kanan. Namun...

"Aaa...!" Beberapa murid yang berada di belakang kontan menjerit kesakitan terkena pukulan nyasar. Mereka terjungkal ke tanah dengan tubuh kaku dan membiru. Tewas seketika.

"Demi Jagad Dewa Batara! Sesungguhnya kau telah berlaku kejam terhadap kami, Nisanak. Dan aku tidak bisa membiarkanmu bertindak sesuka hatimu di tempat suci ini!" desis Wiku Dharma Putera semakin marah menggelegak begitu mendarat di tanah dan melihat keadaan murid-muridnya.

Mendengar kata-kata sang Guru, maka semua murid kuil yang selamat serentak bersiaga dan mengurung gadis itu.

"Hi hi hi...! Apa yang bisa kau lakukan terhadap Hantu Putih Mata Elang? Kalian hanya akan mengantar nyawa percuma!"

"Hantu Putih Mata Elang? Hm, pantas! Kau adalah wanita cabul yang berwatak iblis. Tidak berdosa bagiku melenyapkan orang sepertimu!" dengus Wiku Dharma Putera.

"Banyak mulut! Ayo, keluarkan semua kepan-daianmu! Kudengar kau bekas pendekar kelas satu sebelum bercokol di tempat ini!" bentak wanita itu. Kembali dia menghantam orang tua itu dengan pukulan berhawa dingin.

"Yeaaat!" Wiku Dharma Putera cepat bagai kilat melompat tinggi untuk menghindari pukulan maut ini. Demikian juga beberapa muridnya. Namun sungguh malang, karena dua orang muridnya terlambat menghindar.

Brueeesss!

"Aaa...!" Kembali terdengar jerit kesakitan, begitu dua orang murid terhantam pukulan jarak jauh dari wanita berjuluk Hantu Putih Mata Elang. Tubuh kedua murid itu kontan tewas dengan tubuh membiru, begitu mencium tanah.

Begitu mendarat di tanah, Pemimpin Kuil Te-ratai Emas itu menggeram. Langsung dilepaskannya serangan balik disertai lentingan tubuhnya, memburu Hantu Putih Mata Elang dengan satu pukulan maut disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

"Yeaaa...!"

"Haiiit!"

Hantu Putih Mata Elang cepat bergerak melenting ke atas, menghindari pukulan Pimpinan Kuil Teratai Emas itu. Namun....

Plak!

Satu tebasan sisi tangan kanan terbuka yang dilancarkan Wiku Dharma Putera berhasil mengenai kaki lawan. Sementara Hantu Putih Mata Bang hanya tertawa mengejek. Dan seketika dilepaskannya satu sodokan keras ke dada sang Wiku dengan kepalan tangan kanan yang mengandung tenaga dalam kuat.

Wiku Dharma Putera mencoba menangkis untuk menjajaki tenaga dalam Hantu Putih Mata Elang. Namun, kemudian buru-buru dilepaskannya telapak tangannya yang menangkap kepalan tangan itu, ketika merasakan hawa dingin yang amat menyengat yang menjalar cepat ke pangkal lengannya.

Plak!

"Aaakh...!" Kalau saja sang Wiku tidak cepat melepaskan, niscaya hawa dingin itu akan membekukan seluruh aliran darahnya!

"Biadab! Ilmu iblis...!" desis laki-laki tua itu kaget, seraya mengibaskan tangannya yang terasa kaku.

"Hi hi hi...! Kesaktianmu tidak akan mampu mengalahkanku, Tua Bangka Busuk!" dengus Hantu Putih Mata Elang. Kemudian wanita ini segera melanjutkan serangan dengan melakukan tendangan ke arah leher.

"Hup!" Cepat bagai kilat Wiku Dharma Putera menun-dukkan kepala, dan langsung melepaskan serangan balasan dengan mengibaskan kaki kanan ke arah pinggang.

Hantu Putih Mata Elang menangkis dengan mengayunkan tangan kiri. Lalu dengan kecepatan sulit diimbangi, kaki kanannya menghantam ke arah dada.

Plak!

"Akh!" Wiku Dharma Putera kontan menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan darah kental menetes dari sudut bibir.

"Yaaat!"

Belum lagi laki-laki tua itu menguasai diri. Hantu Putih Mata Elang telah meluruk deras ke arahnya dengan satu kepalan ke arah muka. Begitu cepat gerakannya, sehingga Wiku Dharma Putera tak bisa menghindarinya. Dan....

Des!

"Aaa...!" Begitu kepalan tangan Hantu Putih Mata Elang mengantam muka, sang Wiku menjerit tertahan. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang, laksana daun kering yang tertiup angin. Dalam keadaan kaku dan membiru, tubuhnya ambruk dan tewas seketika!

"Guru Wiku...?!"

Seluruh murid Kuil Teratai Emas terkejut kaget dan menghampiri mayat pimpinannya. Sedangkan beberapa murid lain yang tidak mampu menahan amarah, sudah langsung menyerang Hantu Putih Mata Elang

"Wanita iblis, kau patut mampus...! Yeaaat!"

"Diaaam!" bentak Hantu Putih Mata Elang keras. Bola matanya bersinar tajam, manakala memandang ke arah sepuluh lawan yang siap menyerang.

Mendadak saja kesepuluh murid sang Wiku terdiam seperti patung. Sedangkan beberapa murid lain terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak tahu harus berbuat apa.

"Kalian semua ada di bawah perintahku! Ikuti semua kata-kataku. Mengerti..!" desis si Hantu Putih Mata Elang dengan nada suara mengandung sihir hebat.

Kesepuluh murid Wiku Dharma Putera menundukkan kepala dengan sikap hormat.

"Hi hi hi...! Bagus. Nah, sekarang ikut de-nganku!" Hantu Putih Mata Elang tertawa girang. Begitu tubuh berbalik dan berkelebat dan tempat ini, ke-sepuluh murid Wiku Dharma Putera yang seperti tersihir segera mengikuti dari belakang seperti korban yang dicucuk hidungnya.

"Wanita iblis! Kau kira bisa berbuat sesuka hatimu! Mampuslah kau!" bentak tiga orang murid utama sang Wiku. Mereka langsung menghantam wanita itu dengan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat.

"Hiiih!" Hantu Putih Mata Bang agaknya telah menyadari. Cepat tubuhnya berbalik, seraya balas menghantam dengan pukulan mautnya.

"Aaa...!" Ketiga murid utama sang Wiku kontan menjerit tertahan. Tubuh mereka langsung terjungkal dengan keadaan kaku membiru dan tewas seketika. Bukan hanya mereka. Bahkan empat orang lain yang berdiri di dekat mereka, tewas terkena pengaruh hantaman angin serangan Hantu Putih Mata Elang.

"Jangan!" cegah seorang murid tertua, ketika melihat beberapa murid lain hendak mengejar. “Hantu Putih Mata Elang bukan tandingan kita. Tidak ada gunanya menuntut balas jika hanya untuk mengantar nyawa percuma!"

Semua murid menaruh dendam dengan dada penuh gelegak amarah. Namun mereka terbiasa patuh dengan perintah murid tertua, sebagai pengganti kebijaksanaan sang Wiku. Apalagi saat ini Wiku Dharma Putera telah tiada dalam keadaan menyedihkan.

EMPAT

Tiga anak muda yang terdiri dari seorang laki-laki dan dua orang wanita telah memasuki Desa Waton Kapur. Sebuah desa yang ramai dan banyak dikunjungi pedagang yang datang dari berbagai daerah. Karena selain tempatnya yang tertata apik, desa ini juga merupakan persinggahan dari dua buah kadipaten yang saling berdekatan.

"Kurasa kalian bisa melanjutkan perjalanan sendiri...," kata pemuda tampan yang berjalan bersama dua orang gadis ini tenang.

Sementara gadis yang berbaju biru langsung menghampiri si Pemuda sambil merangkapkan kedua tangan ke dada, tubuhnya membungkuk sedikit.

"Terima kasih, Rangga. Rumah guruku tak ja-uh lagi ke arah tenggara. Kalau kalian tidak ke-beratan, sudilah mampir ke gubuk kami. Guruku pasti akan senang menerimamu...," ucap gadis berbaju biru ini.

"Terima kasih, Nila Dewi. Aku masih ada urusan sedikit. Mungkin lain kali jika ada kesempatan...," sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm, menyesal sekali. Tapi aku tidak akan memaksamu, Rangga. Dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, atas pertolonganmu. Juga kau Roro Inten. Aku mohon pamit!" ucap gadis berbaju biru yang memang Nila Dewi, segera meninggalkan Rangga dan gadis berbaju merah yang tak lain dari Roro Inten.

"Roro Inten... Kurasa aku pun akan segera melanjutkan perjalanan...," kata Rangga, begitu Nila Dewi telah cukup jauh.

"Eh, apa?" tanya Roro Inten, pura-pura tak mendengar.

"Aku akan melanjutkan perjalananku. Ten-tunya kau pun begitu, bukan?" ulang Rangga.

"Aku tidak punya tujuan...."

"Lalu, kenapa kau berkeliaran...?"

Roro Inten tersenyum manis. "Aku tidak betah di rumah!" sahut gadis berbaju merah itu enteng.

Rangga menggeleng lemah sambil tersenyum. "Sangat berbahaya bagi seorang gadis sepertimu melakukan perjalanan seorang diri...."

"Kalau begitu, ajaklah aku bersamamu!" sahut Roro Inten cepat.

Rangga kembali tersenyum. Gadis ini seperti tidak punya beban dalam pikirannya. Bicaranya asal keluar dari mulut. Dan dia hanya mengikuti jiwa mudanya saja tanpa dipikirkan lebih dulu.

"Aku tidak bisa mengajakmu...," kata Rangga, mantap.

"Kenapa? Apakah kau takut kekasihmu tahu, kemudian mendamprat habis-habisan?" tanya Roro Inten, seperti tak ada beban dan malu sama sekali.

"Hm, mungkin juga...," gumam pemuda berbaju rompi putih itu.

"Kalau begitu, aku diam-diam akan mengikutimu agar tidak ada yang tahu!"

"Aku ada urusan penting dan berbahaya, Roro Inten. Kuharap kau mengerti dan jangan mengikutiku"

"Aku bisa jaga diriku sendiri!" dengus gadis itu cepat.

"Seperti terhadap si Kalong Wetan itu, bukan?" sindir Rangga.

"Apa kau kira aku tidak bisa menghadapinya seorang diri?!"

Rangga menghela napas sesak.

"Apa sih urusanmu, sehingga berat sekali mengajakku? Apa kau mau menggulingkan kekuasaan raja sehingga dianggap berbahaya?" tanya Roro Inten.

"Aku ingin mencari si Hantu Putih Mata Elang...."

Roro Inten ketawa geli. "Aku tahu sekarang!" sentak Roro lnten.

"Tahu apa?"

"Sejak di perjalanan tadi, kau terus bertanya tentang wanita itu. He, wajahnya cantik sekali seperti bidadari. Dan yang lebih hebat, wataknya itu! Hm.... Siapa pemuda yang tidak terpikat? Kau pasti sudah membayangkan tentang keindahan tubuhnya, kehangatan belai tangannya...," celoteh Roro Inten.

"Roro Inten, cukup! Jangan berpikir kotor seperti itu!" potong Rangga kesal.

"Lalu, untuk apa kau menemuinya?!"

"Berusaha menghentikan sepak terjangnya," jawab Rangga, mantap.

Roro Inten kembali tertawa agak keras. Kata-kata pemuda itu dianggapnya hal yang lucu. Dalam pikirannya, mana mungkin ada pemuda yang mau menolak untuk memenuhi keinginan si Hantu Putih Mata Elang yang terkenal cantik dan bertubuh bagus? Jangankan diminta untuk meladeni. Bahkan tanpa berpikir dua kali akan menawarkan diri!

Rangga melompat ke punggung kudanya yang sejak memasuki desa ini hanya dituntun saja. Tidak dipedulikannya ejekan serta tawa sinis gadis itu. "Kau boleh berpikir dan menduga sesuka hatimu tentangku...! Heaaa!" Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya.

"Hei, tunggu...!" teriak Roro Inten hendak mencegah.

Namun, Rangga telah amat jauh dibawa lari kuda hitamnya dalam waktu singkat.

"Sial! Brengsek...!" maki Roro Inten kesal disertai sumpah serapah tidak karuan. Gadis berbaju merah itu melangkah pelan menyusuri tapak kuda Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, melintas dua orang laki-laki berkuda dari arah berlawanan. Dan wajah Roro Inten tampak tersenyum cerah.

"Heaaat..!" Mendadak saja tubuh gadis itu melompat dengan ringan. Dan tahu-tahu, satu tendangan kilat dilepaskan ke arah salah seorang penunggang kuda. Begitu cepatnya serangan gadis itu, sehingga si Penunggang Kuda tak mampu menghindari. Dan....

Begkh!

"Akh!" Orang itu kontan terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Dan sebelum dia bangkit, gadis berbaju merah itu telah bertengger menggantikannya di punggung kuda.

"Kurang ajar...!"

Sementara penunggang kuda yang satu lagi menggeram. Kudanya segera diarahkan pada gadis itu untuk menerjang. Langsung dia menyodok Roro Inten dengan kepalan tangannya.

Wuuut!

Namun, tangkas sekali Roro Inten menangkap kepalan tangan laki-laki itu dan mendorongnya dengan keras. Orang itu kontan terjungkal dan jatuh berdebuk keras di tanah. Sambil menahan sakit pada pantatnya yang ngilu bukan main, dia bangkit berdiri.

"Heaaa...!" Sementara Roro Inten sudah menggebah kudanya kencang-kencang, meninggalkan tempat ini. Meninggalkan kedua laki-laki tadi yang menyumpah tidak karuan.

********************

Sesosok bayangan putih tampak melayang-layang ringan dari satu cabang pohon, ke cabang pohon lain. Begitu ringan gerakannya, sehingga seperti kapas tertiup angin saja. Tubuhnya melayang turun ke bawah sebuah pohon beringin besar yang usianya telah ratusan tahun. Kulit kayunya yang besar, tidak mampu dipeluk dua orang laki-laki dewasa.

Sosok tubuh putih berambut keemasan itu menginjak salah satu akar yang sedikit mencuat di atas permukaan tanah. Dan...

Krekkk! Sungguh ajaib! Salah satu sisi batang pohon itu terkuak seukuran orang dewasa, laksana sebuah pintu. Lalu sosok yang ternyata seorang wanita ini masuk kedalam. Sebentar saja pintu rahasia itu menutup kembali.

Di dalamnya ternyata terdapat lubang yang berhubungan dengan sebuah lorong yang menjorok ke bawah. Di sisi kiri dan kanannya terpasang beberapa buah obor sebagai penerangan. Sosok berbaju putih itu kemudian memasuki sebuah pintu yang ada di sebelah kiri. Dan dia terus menyusuri sebuah lorong rahasia lain, sepanjang lebih kurang lima belas tombak yang terdapat tiga buah pintu di ujungnya.

Wanita berambut keemasan itu membuka pintu di sebelah kiri. Di situ, terdapat sebuah ruangan mewah dengan perabotan berupa tempat tidur besar berukir indah, sebuah lemari besar, dan sebuah meja berikut kursi. Seorang gadis berkulit sawo matang dan berwajah manis tampak duduk termenung membelakangi di sisi tempat tidur besar itu.

"Roro Inten...," panggil wanita berambut keemasan itu seraya mendekati.

"Hm...." Gadis berbaju merah yang tengah membelakanginya hanya bergumam pendek tanpa menoleh dan merubah sikap duduknya.

"Kau tidak menyambut ibu di depan... "

Gadis berkulit sawo matang yang ternyata Roro Inten tidak menyahut. Dia diam saja ketika wanita berambut keemasan berkulit pucat itu duduk di dekatnya sambil mengelus rambutnya.

"Kenapa?" tanya wanita berambut keemasan ini.

"Tidak apa-apa...," sahut Roro Inten.

"Wajahmu murung dan hatimu gelisah. Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Jangan berbohong pada lbu," desak wanita yang rupanya ibu dari Roro Inten.

Roro Inten itu memalingkan muka, menatap wanita di depannya untuk beberapa saat. Nyata sekali perbedaan di antara mereka berdua. Wajah Roro Inten memang tidak secantik wanita ini. Kulitnya, tubuhnya, dan... ah! Segalanya begitu tidak mirip. Bahkan bila mereka berjalan bersama, maka orang akan menduga bahwa. Roro Inten adalah kakak wanita ini. Padahal, wanita berambut keemasan ini adalah ibu Roro Inten. Roro Inten mendesah pelan. Sepertinya ada sesuatu yang menggayut pikirannya. Dan itu tidak sampai hah diutarakan pada ibunya.

"Katakanlah.... Mungkin Ibu bisa menolongmu...," bujuk wanita berambut keemasan itu, bernada lembut.

"Ibu...."

"Hm..." Roro Inten menundukkan kepala, tidak kuasa meneruskan kata-katanya. Wanita berambut keemasan yang tak lain dari Hantu Putih Mata Elang menaikkan dagunya, sehingga terpaksa mata mereka kembali bertatapan.

"Katakanlah," desak Hantu Putih Mata Elang.

"Aku..., aku, eh...! Tahukah lbu, kalau saat ini menjadi bahan pembicaraan orang?" tanya Roro Inten, seperti tak kuasa menyatakan maksudnya.

"Lalu?"

"Mereka berusaha membunuh lbu...."

"Apakah kau kira ada yang mampu membunuh ibumu?"

"Aku tidak mengkhawatirkan, karena percaya kalau kesaktian lbu demikian hebat..."

"Lalu apa yang kau maksudkan?"

"Kebencian mereka. Mereka begitu benci padamu. Dan... bisakah lbu mengerti pengaruhnya bagiku?"

"Bicaralah terus-terang, Anakku."

"Siapakah yang sudi berkawan denganku? Siapa pemuda yang sudi melirikku jika tahu kalau aku putri si Hantu Putih Mata Elang?'

Hantu Putih Mata Elang tersenyum begitu manis. "Apakah kau tengah menaksir seorang pemuda?"

Roro Inten terdiam. Namun sebentar kemudian kepalanya mengangguk pelan.

"Siapa orangnya?"

"Mungkin lbu pun mengenalnya. Dan..., saat ini dia tengah mencarimu."

"Mencari lbu? Hm, bukankah itu suatu kebe-tulan?"

"Ibu, aku mohon yang satu ini jangan dijadikan korbanmu. Aku..., aku mencintainya...," ratap Roro Inten, langsung menutup mukanya dengan telapak tangan.

Wanita berambut keperakan itu kembali tersenyum melihat putrinya tertunduk dengan walah tertutup telapak tangan. Lalu dia membelai rambut Roro Inten.

"Maksudku, bila dia memang mencari Ibu, bukankah lebih mudah aku mempertemukannya denganmu? Nah, katakanlah. Siapa pemuda itu?"

"Dia.., dia bernama Rangga. Dan dia terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti? Pilihan yang sepadan denganmu. Apakah kau memang telah bertemu dengannya?" tanya wanita berambut keemasan itu lagi disertai senyum girang.

Roro Inten mengangguk. Kemudian pertemuannya dengan si Pendekar Rajawali Sakti diceritakan.

"Hm, bagus! Dia tidak usah sibuk-sibuk mencari, karena ibu sendiri yang akan menemuinya!"

"Tapi, ibu! Dia…, ia bukan bermaksud menemuimu untuk berbaik-baikan!" seru Roro Inten, cemas.

"Tidak usah khawatir. Ibu tahu, apa yang harus dilakukan. Nah tunggulah di sini. Biar Ibu bawakan dia untukmu...."

"Ibu, hati-hati! Dia memiliki kepandaian hebat!"

"Kau meragukan kemampuanku?" Roro Inten tersenyum sambil menggeleng.

"Hapus kesedihan di hatimu dan tersenyumlah...!" ujar wanita berambut keemasan, dan segera berlalu dari ruangan ini.

Roro Inten tercenung kembali. Sebetulnya bukan hal seperti ini yang diharapkannya. Sejak pertemuannya dengan Pendekar Rajawali Sakti, gadis ini memang sudah kepincut. Dan jauh di dasar hatinya dia ingin merebut perhatian Rangga dengan cara wajar. Namun kelihatannya pemuda itu tidak menaruh hati barang sedikit padanya. Inilah yang membuatnya kecewa. Akibatnya tumbuh rasa sakit hati di hatinya. Dan ketika ibunya berniat hendak membawa pemuda itu padanya, Roro Inten tidak bermaksud mencegahnya. Meskipun, tidak sepenuh hati mendukung. Yang ada di benaknya adalah, dia harus bertemu pemuda itu lebih dulu.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Sepak terjang Hantu Putih Mata Elang bela-kangan ini memang amat meresahkan. Selama dua hari berkeliling di tiga wilayah kadipaten yang saling berdekatan, Pendekar Rajawali Sakti sering mendengar kalau banyak pemuda berwajah tampan hilang secara aneh. Dan semua orang yakin, bahwa itu perbuatan Hantu Putih Mata Elang. Hal ini bukan semata-mata dugaan belaka, sebab banyak saksi mata yang melihat perbuatannya menculik para pemuda.

Banyak pihak yang begitu mendendam dan ingin menuntut balas terhadap Hantu Putih Mata Elang. Sayang kebanyakan dari mereka berkemampuan rendah, dan akhirnya tewas di tangan wanita itu. Namun yang menyakitkan adalah, tidak seorang pun yang tahu di mana Hantu Putih Mata Elang bersembunyi. Dia datang begitu saja bagai angin dan lenyap seperti ditelan bumi.

Rangga bukannya tidak menyadari kesulitan itu. Namun akalnya cepat berpikir. Selama ini, Hantu Putih Mata Elang lebih banyak melakukan sepak terjangnya pada tiga wilayah kadipaten yang amat luas. Yaitu, Kadipaten Watu Pasir di utara, Kadipaten Karang Gantung di selatan, dan Kadipaten Beringin Wetu di barat. Menurut dugaannya, Hantu Putih Mata Elang pasti tinggal di salah satu kadipaten itu. Hal inilah yang sedang dijajaki Pendekar Rajawali Sakti!

Hari menjelang sore ketika Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan sebuah desa di wilayah Kadipaten Karang Gantung. Hatinya ragu-ragu sejenak ketika gerimis mulai turun perlahan. Sementara Dewa Bayu terlihat letih meski tadi sempat beristirahat barang sejenak. Satu hari penuh mereka mengitari wilayah selatan ini untuk mencari jejak Hantu Putih Mata Elang, namun tidak kunjung membawa hasil.

"Hei? Ada sebuah goa di sana! Mudah-mudahan cukup dalam untuk kita berteduh dan bermalam!" seru Rangga langsung seraya menggebah kudanya mendekati sebuah goa yang berada persis di bawah sebatang pohon.

Goa itu memang cukup dalam untuk menam-pung mereka berdua. Rangga sempat mencari ranting-ranting kering untuk membuat api unggun. Ketika api telah menyala. Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila di hadapannya.

Rangga menghela napas panjang. Udara mulai terasa dingin dan di luar angin bertiup kencang. Dan nyala api sempat bergoyang-goyang. Hujan yang mulai turun perlahan-lahan, berubah deras. Masih untung letak goa ini sedikit terhalang pohon di mulutnya, sehingga angin yang masuk ke dalam tidak begitu kencang. Namun begitu, sempat membuat Rangga kedinginan. Dewa Bayu beberapa kali mendengus-dengus sambil meringkik kecil.

"Hm...," gumam Rangga pelan. Meski kelihatannya tenang-tenang saja, sesungguhnya Pendekar Rajawali Sakti tengah menterapkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara'. Dia memang tidak menghilangkan kewaspadaan, sebab goa di dalam ini buntu. Bila ada seseorang yang berkepandaian tinggi dan hendak berbuat jahat, maka mudah saja mengurung Rangga di sini. Dan di antara desau angin, riuhnya dedaunan yang bergoyang-goyang serta rintik hujan yang sesekali diiringi kilatan petir dan guruh, ada gerakan halus yang tercipta bukan oleh kejadian alam. Amat halus dan ringan. Bahkan Rangga sendiri ragu, apakah pendengarannya benar pada saat ini?

"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Ternyata apa yang kudengar tentangmu cukup beralasan. Kau memang hebat dan telingamu amat terlatih meski dalam suasana ribut begini...!"

Terdengar satu suara yang diiringi tawa panjang. Namun Rangga tetap duduk bersila seperti semula. Belum tampak sesuatu apa pun di mulut goa. Namun dari datangnya suara yang cukup keras, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau orang itu cukup dekat. Bahkan begitu yakin kalau seseorang itu berada di atas pohon yang terletak di mulut goa.

"Nisanak! Kalau kau hendak berteduh, silakan masuk. Tempat ini masih cukup untuk beberapa orang lagi!" teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang. Dan dia merasa yakin kalau orang yang tertawa nyaring itu adalah wanita.

Selesai berkata begitu, dari atas mendadak melesat sesosok bayangan putih yang melayang turun bagai sehelai daun kering tertiup angin. Bahkan Rangga dibuat terkagum oleh ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Dan tahu-tahu orang itu telah berada di hadapannya sambil berkacak pinggang.

"Heh?!" Pemuda itu lebih terkejut lagi ketika melihat seraut wajah cantik dengan bibir merah merekah, berdiri di hadapannya. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna keemasan, dibiarkan lepas begitu saja. Bukan hanya itu. Lekuk-lekuk tubuhnya juga amat menantang. Bahkan begitu jelas terlihat di balik gaun tipis sutera putih yang tembus pandang. Pemuda itu sampai menelan ludahnya sendiri. Dan beberapa saat darahnya tersirap serta urat-urat di sekujur tubuhnya menegang.

"Benarkah kau tidak keberatan kalau aku menemanimu barang semalam di tempat ini...?" sapa sosok yang ternyata wanita itu dengan suara halus dan merdu.

Pendekar Rajawali Sakti cepat tersadar dari kekagumannya. Langsung ditariknya napas panjang. Dan cerita yang pernah didengar, dia bisa menduga kalau wanita yang dicarinya telah berdiri di hadapannya! Dan pemuda itu berusaha menghilangkan rasa kagetnya.

"Kau boleh menjawab pertanyaanku, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya wanita itu tersenyum manis. Dan nada suaranya masih terdengar manja merayu.

"Sebenarnya aku tidak memerlukan teman. Namun karena kau kehujanan, tentu saja aku tidak pelit jika hanya sekadar berteduh...."

"Hi hi hi...! Kau baik sekali. Dan.... amat tampan. Tidak heran kalau putriku tergila-gila padamu..."

"Putrimu? Siapakah putrimu?"

"Kau betul-betul tidak mengenalnya?”

"Hm... Mungkin suatu kehormatan bagiku bila bisa mengenal putri si Hantu Putih Mata Elang," kata Rangga, yang sudah bisa menduga siapa wanita ini.

"Hi hi hi...! Agaknya matamu pun jeli, Pendekar Rajawali Sakti. Ah! Putriku benar-benar pandai memiliki kekasih sepertimu!" sahut wanita berwajah pucat itu sambil tertawa nyaring.

"Hm... Dari tadi aku masih saja belum mengenal, siapa putrimu?"

"Kenalkah kau dengan Roro Inten?"

"Roro Inten? Jadi putrimu Roro Inten...?"

Rangga terkejut, seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri ketika si Hantu Putih Mata Elang menyebutkan nama putrinya.

LIMA

Roro Inten yang dikenal Rangga sebenarnya adalah seorang gadis polos. Bicaranya terus terang. Tak ada sesuatu pun yang tersembunyi di hatinya. Mungkinkah gadis itu memiliki seorang ibu seperti si Hantu Putih Mata Elang yang terkenal sebagai wanita cabul? Lagi pula sangat tidak sepadan. Karena bila dibandingkan, mereka seperti kakak beradik saja. Wajah Roro Inten manis seperti kebanyakan wajah gadis desa pada umumnya. Namun wajah si Hantu Putih Mata Elang amat cantik, bagai bidadari. Perbedaan itu amat jauh, membuat Rangga tak habis pikir.

"Roro Inten bertemu denganmu, ketika kau menyelamatkannya dan niat jahat si Kalong Wetan...," lanjut Hantu Putih Mata Elang ini menegaskan.

"Hm, ya!" Rangga mulai merasa yakin kalau Roro Inten yang dikenalnya adalah orang yang tengah dibicarakan wanita ini.

"Tidakkah kau tertarik sedikit pun padanya?" tanya wanita itu.

Rangga tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dipandangnya wajah Hantu Putih Mata Elang. Dan sepasang mata yang berkilat tajam itu seperti hendak menembus sanubarinya. Pemuda itu terkesiap, dan cepat mengerahkan tenaga batinnya untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang akan dilakukan wanita ini.

"Dia amat mencintaimu..."

"Hantu Putih Mata Elang. Tahukah kau, kenapa dan untuk urusan apa sehingga aku melakukan perjalanan di wilayah ini?" tanya Rangga, mengalihkan percakapan wanita itu.

"Roro Inten mengatakan kau sedang mencariku...."

"Bagus. Kurasa dia telah cerita banyak pada-mu. Juga, tentang niatku mencarimu?"

Mendengar itu Hantu Putih Mata Elang tertawa agak keras, langsung memandang pemuda itu dengan wajah geli. "Pendekar Rajawali Sakti! Boleh jadi kau memiliki kepandaian hebat, sehingga orang-orang takut padamu. Tapi meringkus Hantu Putih Mata Elang, kau boleh bermimpi. Ikutlah denganku, karena Roro Inten amat merindukanmu!"

"Aku tidak ada urusan dengan putrimu! Urusanku adalah denganmu!" desis Rangga, memandang tajam pada gadis itu.

Wajah Hantu Putih Mata Elang seketika berubah begitu mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Tiba-tiba saja sepasang matanya terlihat berkilau seperti mata kucing di kegelapan. Rangga sempat merinding, dan langsung melipatgandakan tenaga batinnya untuk menahan daya sihir yang mulai dilancarkan wanita ini.

"Pendekar Rajawali Sakti. Ikuti perintahku! ikuti perintahku...! Ikut aku...! Ikut aku...!" kata Hantu Putih Mata Elang dengan suara lantang. Gema suaranya memantul di danding-dinding goa.

Rangga cepat merangkapkan kedua tangan ke dada. Lalu matanya terkatup dengan sikap bersemadi. Dalam keadaan seperti itu, dia lebih leluasa melawan pengaruh sihir Hantu Putih Mata Elang. Bila membalas pandangan itu, maka Hantu Putih Mata Elang mampu mempengaruhinya dari dua jurus. Yaitu, lewat pandangan mata dan suara. Namun bila Pendekar Rajawali Sakti mengatupkan mata, maka yang dihadapi hanya pengaruh suara lantang yang dikumandangkan Hantu Putih Mata Elang. Dan hal itu terhitung ringan dibanding harus menahan kedua pengaruh.

"Ikut denganku! Ikut denganku...!" Hantu Putih Mata Elang melipatgandakan ke kuatannya. Maka dinding goa tampak bergetar hebat. Dan gaung suara Hantu Putih Mata Elang seperti hendak memecahkan kedua gendang telinga Rangga.

"Yaaat!" Pendekar Rajawali Sakti membentak nyaring, untuk mengimbangi suara Hantu Putih Mata Elang yang berisi tenaga dalam dan daya sihir kuat.

"Heh?! Hantu Putih Mata Elang terkejut. Untuk sesaat, suaranya dihentikan. Namun bersamaan dengan itu, tubuhnya melompat menerjang si Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaat!" Satu tendangan keras Hantu Putih Mata Elang mengancam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Maka dengan gerakan kilat Rangga menangkis dengan tangan kiri. Lalu dia melompat ke belakang, seraya mengayunkan tendangan kaki kanan ke pinggang si Hantu Putih Mata Elang.

"Haiiit!" Tak kalah sigap Hantu Putih Mata Elang mencelat ke belakang. Dengan satu lompatan jungkir balik, kakinya bertumpu pada dinding goa. Lalu, tubuhnya kembali meluruk ke arah Rangga dengan pukulan mautnya.

"Yeaaa!" Glarrr! "Uhhh...!"

Untung Rangga sempat melompat ke samping, dan terus bergulingan. Terasa hawa dingin menyengat dari angin serangan Hantu Putih Mata Elang yang dahsyat bukan main. Dinding goa yang terkena hantaman pukulan itu kontan hancur berantakan. Namun aneh, tidak ada debu yang mengepul. Seolah-olah, semua beku dihantam pukulan berhawa amat dingin itu.

"Hi hi hi..!" Hantu Putih Mata Elang tertawa nyaring. Lalu tubuhnya bergerak amat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti kembali.

Wuuut!

Kali ini kepalan tangan wanita ini yang bertenaga dalam kuat, meluruk ke arah muka. Kemudian terus diikuti tendangan kaki kiri ke arah dada. Rangga menangkis dengan mantap meski tangannya terasa bergetar dan sedikit nyeri. Gerakan si Hantu Putih Mata Elang memang cepat bukan main. Dan kali ini, agaknya dia bermaksud menyerang Rangga lewat permainan adu cepat. Sedikit saja salah menangkis, maka bukan tidak mungkin Pendekar Rajawali Sakti akan celaka sendiri.

Sebenarnya pertarungan dalam tempat sesem-pit ini, tidak menjadi masalah bagi Pendekar Rajawali Sakti. Yang membuatnya khawatir adalah, Dewa Bayu yang sejak tadi meringkik-ringkik dengan sikap cemas. Jika saja serangan wanita itu luput dan mengenai Dewa Bayu, maka kuda itu akan binasa!

"Hiyaaat!" Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke belakang untuk membuat jarak. Namun, wanita itu agaknya tidak sudi memberi kesempatan sedikit pun padanya. Hantu Putih Mata Elang langsung mengejar. Dengan bertumpu pada dinding goa, kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti menekan. Dan seketika tubuhnya mencelat, memapak kelebatan tangan si Hantu Putih Mata Elang.

Plak! "Uhhh...!" "Hiyaaa...!"

Kedua tangan mereka saling beradu, dan sama-sama meringis kesakitan. Hantu Putih Mata Elang masih sempat mengirim tendangan ke ulu hati, namun tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat keluar goa. Sehingga, tendangannya luput dari sasaran.

********************

"Yeaaat!" Dengan teriakan nyaring, Hantu Putih Mata Elang mengejar keluar.

"Hih!" Baru saja mulut goa dilewati Hantu Putih Mata Elang, Pendekar Rajawali Sakti telah menghadang dengan satu tendangan menggeledek. Wanita itu gelagapan. Namun dia masih sempat menangkis.

Plak!

Dan seketika satu sodokan keras dari Pendekar Rajawali Sakti yang tidak terduga, menghantam ke arah perut.

Duk! "Aaakh"

Hantu Putih Mata Elang menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

"Hiyaaat!" Belum juga Hantu Putih Mata Hang memantapkan keseimbangannya, Rangga melompat dan mengirim serangan berikut, menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Pendekar Rajawali Sakti telah menduga kalau lawannya akan membalas dengan pukulan maut pula. Dan agaknya, dugaan itu tidak salah. Sebab dalam keadaan terdesak seperti itu, Hantu Putih Mata Elang langsung melepaskan pukulan 'Inti Es' untuk memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti.

Plak! Des! "Aaakh!"

Kedua orang berlainan jenis ini terjungkal ke belakang, disertai keluh tertahan. Pendekar Rajawali Sakti masih mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya dengan napas tidak beraturan. Sebaliknya, Hantu Putih Mata Elang bergulingan disertai muntahan darah segar berkali-kali.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat lagi hendak menyerang. Namun, Hantu Putih Mata Elang cepat merogoh sakunya. Dan seketika telapak tangan kirinya melempaskan sebuah benda sebesar telur puyuh ke depan.

Blup!

Saat itu juga mengepul asap tipis menyerupai kabut yang menebal. Dalam waktu singkat, asap itu telah menutupi pandangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Setan...!" Rangga menggeram. Pendekar Rajawali Sakti yang tidak ingin kehilangan buruannya, segera menyiapkan aji 'Bayu Bajra' untuk mengusir asap yang menghalangi pandangan. Dan... "Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah!"

Werrr!

Seketika tercipta tiupan angin kencang yang berputar-putar, menerbangkan apa saja yang berada di depan, termasuk kabut tebal yang menghalangi pandangan.

"Kurang ajar...!" maki Pendekar Rajawali Sakti, ketika tak melihat Hantu Putih Mata Elang ada di tempatnya tadi, begitu kabut itu sirna. Rangga mencari ke sekeliling dengan pandangan matanya, sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. "Hm... Tentu dia tidak bisa berjalan jauh. Wanita itu tengah terluka. Dan tentu lukanya akan membatasi setiap gerakannya."

Pendekar Rajawab Sakti langsung bersuit nyaring. Sebentar saja kuda hitam yang berada di dalam goa segera keluar seraya meringkik keras dan mendengus beberapa kali. Rangga cepat melompat ke punggung, dan menggebahnya perlahan-lahan.

"Dewa Bayu! Susuri tempat ini” Kita cari wanita tadi. Tandailah baunya. Dan aku akan membedakan setiap gerakan yang terdengar di telingaku!" ujar pemuda itu.

"Hieee...!" Dewa Bayu meringkik pelan seraya menggerak-gerakkan kepala. Mereka menyusuri arah yang diduga tempat larinya wanita berbaju putih yang berjuluk Hantu Putih Mata Elang. Tanpa mengurangi kewaspadaan, dengan teliti Pendekar Rajawali Sakti menandai setiap gerakan, bau, dan desir angin yang bertiup.

"Hm.... Aku yakin, dia melewati tempat ini. Namun, jejaknya tidak terlihat Ke mana dia pergi?" gumam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan jalan-nya Dewa Bayu. Kemudian matanya beredar ke sekitarnya. Tempat ini semakin gelap, karena banyak pepohonan yang menaungi. Namun Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat kalau jauh di ujung yang mengarah keselatan, terdapat sebuah lembah datar yang luas menghampar. Didekatnya, terdapat sebuah sungai yang agak menjorok ke dalam. Suara arus airnya yang kencang, tertangkap oleh pendengarannya. Kini pemuda itu bersandar di bawah sebatang pohon beringin yang batangnya tak terpeluk oleh dua orang dewasa!

"Hieee...!" Dewa Bayu mendengus-dengus beberapa kali. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikannya. Dia masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin Hantu Putih Mata Elang bisa lenyap begitu saja tanpa bekas? Kalaupun lewat dahan-dahan atau ranting-ranting pohon yang cukup besar, pasti meninggalkan jejak berupa patahan ranting. Atau, daun yang berjatuhan sebelum waktunya. Atau juga, unggas malam yang terkejut karena merasa terganggu sehingga berterbangan. Tapi ternyata tanda-tanda itu tidak ada.

Kalaupun ada tanda, hanyalah jejak-jejak tapak kaki yang membingungkan, karena menunjukkan arah yang banyak. Sehingga, berkesan dilakukan oleh dua orang atau lebih. Mungkinkah si Hantu Putih Mata Elang tidak sendirian ketika datang menemuinya?

"Hm.... Ilmu apa yang dimilikinya? Bagaimana mungkin dia dapat menghilang begitu cepat...?" gumam Pendekar Rajawali Sakti tidak habis pikir.

********************

Dengan langkah terhuyung-huyung, sosok berbaju putih tampak menyusuri lorong. Beberapa kali dia berhenti dan menarik napas panjang sambil mendekap dada. Lalu, kakinya melangkah pelan. Tiba di ujung lorong, buru-buru dimasukinya kamar sebelah kanan. Di tempat itu, terdapat sebuah ruangan besar yang amat indah lengkap dengan segala perabotannya yang berkesan mewah.

Sosok yang ternyata seorang wanita ini menghampiri cermin dan berkaca sejenak. Dan matanya segera memperhatikan wajah yang pucat pasi bagai mayat. Lalu, dia duduk di atas ranjang dalam keadaan bersila untuk melakukan latihan pernapasan. Namun belum juga dia melakukannya, pintu kamar keburu dibuka. Tampak seorang gadis berkulit sawo matang dan berwajah manis, menyeruak masuk. Dengan langkah ragu-ragu, dia masuk sambil memandang sejenak pada wanita yang duduk di pembaringan.

"Ibu tertalu menganggap enteng dan merasa mampu menundukkan Pendekar Rajawali Sakti. Coba lihat. Apa hasil yang ibu peroleh sekarang...?" kata gadis itu dingin.

Sementara wanita berbaju putih dan berambut keemasan itu menghela napas berat. "Ibu memang tertalu menganggap enteng padanya...," desah wanita yang tak lain Hantu Putih Mata Elang.

"Dia tidak semudah yang ibu duga, bukan?" tanya gadis berkulit sawo matang yang memang Roro Inten.

"Pemuda itu memiliki tenaga luar biasa!"

Roro Inten tersenyum pahit. "Lalu apa yang akan ibu lakukan setelah ini?"

"Dia akan memperoleh bagiannya!" dengus Hantu Putih Mata Elang, geram.

"Ibu...!" sentak Roro Inten terkejut Langsung dipandangnya wanita itu dengan mata tajam.

"Kita tidak bisa berbaik-baik padanya !" tandas wanita berambut keemasan.

"Tapi ibu telah berjanji untuk tidak melukainya, dan menyerahkannya padaku hidup-hidup?" balas Roro Inten.

"Roro Inten... Anak itu tidak bisa dibujuk dengan cara halus! Mengertikah kau dengan kesulitan Ibu?"

"Tidakkah Ibu bisa menggunakan aji 'Sirep' atau sejenis itu?"

"Dia memiliki tenaga batin kuat, yang tidak bisa terpengaruh oleh aji 'Sirep' atau sihirku!"

Roro Inten menghela napas. Lalu kembali dipandangnya wanita berambut keemasan itu sejurus lamanya. "Yakinkah ibu akan mampu mengalahkannya jika melakukan pertarungan sekali lagi?" tanya Roro Inten, seperti meragukan kemampuan ibunya.

"Jika tidak ingat kalau kau menginginkannya dalam keadaan hidup, maka sudah pasti saat ini dia telah menjadi bangkai!" desis Hantu Putih Mata Elang geram.

"Ibu! Aku tadi menyaksikan pertarungan kalian...," gumam Roro Inten nyaris tidak terdengar.

"Hm, bagus! Bukankah kau melihat Ibu tidak sepenuh hari meladeninya?" sambut Hantu Putih Mata Elang.

"Dia memiliki kepandaian hebat. Kalau saja aku tidak membuat jejak palsu di sekitarnya, niscaya dia akan menemukan tempat persembunyian kita ini...," jelas Roro Inten.

"Untuk apa kau membuat jejak palsu segala? Apa kau kira dia bisa menemukan kita di sini, he?"

"Pendekar Rajawali Sakti bukan orang bodoh, Bu. Dia amat cerdik. Bahkan bisa menemukan persembunyian kita amat mudah jika Ibu meninggalkan jejek. Tidak ada yang mustahil di benaknya!"

"Hm.... Ibu merasa, kau terlalu membesar-besarkan kehebatan dirinya?"

"Karena dia memang hebat, Bu!" sahut Roro Inten, cepat.

"Apa kau kira ibu tidak mampu menaklukkan nya?"

"Ibu telah mencoba, bukan?" sahut gadis itu, balik bertanya dengan nada menyindir.

Hantu Putih Mata Elang tersenyum lebar, langsung mengusap-usap kepala putrinya. "Tahu apa kau tentang segala kesaktian yang kumiliki? Yang kuajarkan padamu hanya secuil dari apa yang kumiliki!" sahut wanita itu menegaskan.

Roro Inten tersenyum, dan memandang wajah ibunya. "Ibu akan menggunakan segala cara untuk meringkusnya hidup-hidup, bukan?" tanya Roro Inten.

"Kau kira aku tidak bisa mengatasinya?" Hantu Putih Mata Elang kini balik bertanya.

"Aku percaya, ibuku adalah orang terhebat sejagad!" puji Roro Inten.

"Nah, pergilah ke kamarmu. Dan, tenangkan hatimu. Dia akan menjadi milikmu dalam waktu tidak lama lagi!"

Roro Inten tersenyum dengan wajah girang. "Sungguhkah?!"

Wanita berambut keemasan itu mengangguk disertai senyum meyakinkan. Roro Inten segera berdiri dan berlalu dari ruangan ini sambil tertawa girang. Sepeninggalnya, Hantu Putih Mata Elang menghela napas panjang. Kemudian diambilnya sikap semadi. Cukup lama dia bersemadi.

Ketika Hantu Putih Mata Elang merasa kalau aliran darahnya kembali lancar dan jantungnya berdegup teratur, matanya segera dibuka. Lalu dia bangkit dan berjalan mendekati sebuah lemari. Dibukanya daun pintu lemari. Sebelah tangannya lantas menyudup ke dalam. Tak lama kemudian, terlihat lemari besar itu bergeser ke samping laksana daun pintu. Di belakangnya terlihat sebuah pintu yang menghubungkan keruangan lain. Hantu Putih Mata Elang segera ke dalam, lalu pintu kembali menutup!

Di dalam ruangan ini terlihat sedikit lebih gelap dibandingkan kamar semula. Suasananya pun terlihat lebih buruk. Dinding-dindingnya telah kusam. Lebih mirip dinding sebuah goa yang kasar dan banyak terdapat tonjolan batu. Persis di tengah-tengahnya, terdapat sebuah kolam berbentuk lingkaran. Beberapa kali terlihat gelembung-gelembung udara merebak ke permukaan, bersama asap tipis yang melayang ke udara.

Di seberang kolam yang bergaris tengah sekitar dua tombak, terdapat sebuah altar batu hitam berkilat sepanjang satu tombak dan lebar lima jengkal. Tebalnya kurang lebih tiga jengkal, dengan tiga buah undakan anak tangga yang tipis. Di ujung altar yang berdekatan dengan dinding ruangan, berdiri tegak sebuah patung marmer putih berbentuk seorang wanita cantik berambut panjang tergerai. Kedua tangannya ke atas, hendak mengikat rambut. Dan cara berdirinya sedikit meliuk, seperti hendak menari. Kalau ada hal yang paling aneh, adalah karena patung itu... telanjang!

Hantu Putih Mata Elang mendekati dan bersujud beberapa kali di depan patung itu. "Guru.... Aku datang mengunjungimu. Telah kutemukan seorang pemuda tampan yang memiliki kepandaian hebat. Tenaganya pun luar biasa. Bila aku berhasil mengisap sari kejantanannya, maka aku akan terus awet muda selama lima abad, sebelum kutemukan seorang pemuda seperti dia lagi. Namun hal ini amat membingungkan. Sebab, putriku ternyata mencintainya Aku sayang pada putriku. Tapi, juga tidak ingin kecantikan dan batas awet muda yang kumiliki luntur, sehingga kembali menjadi sosok yang mengerikan..."

Suasana terlihat hening ketika wanita itu menghentikan kata-katanya.

"Tolong berikan jalan keluar, bagaimana cara menyelesaikannya, Guru..?" tanya Hantu Putih Mata Elang dengan suara perlahan.

Beberapa saat suasana masih terasa sunyi, sebelum terdengar suara air kolam yang menggelegak. Hantu Putih Mata Elang memalingkan muka, dan melihat suatu keajaiban. Dari dalam kolam itu muncul sepuluh orang laki-laki muda, tanpa sehelai benang yang melekat di tubuh. Tatapan mata mereka kosong. Dan rata-rata, mereka bertubuh kurus dengan kulit pucat seperti mayat hidup. Mereka melompat keluar, dan duduk bersila mengelilingi tepi kolam menghadap wanita berambut keemasan itu.

"Hm.... Inikah yang diinginkan. Guru? Baiklah, aku akan patuh pada keputusannya...!" kata Hantu Putih Mata Elang disertai helaan napas panjang.

ENAM

Rangga memang masih penasaran sekali atas hilangnya Hantu Putih Mata Elang secara aneh. Rasanya, dia tidak berada jauh dari tempat ini. Dan pagi-pagi sekali, Pendekar Rajawali Sakti kembali menyusuri tempat itu.

"Hm.... Kalau saja ada suatu lorong rahasia di bawah tempat ini, mungkin berhubungan dengan sungai di sana...," gumam Rangga, menduga. Segera didekatinya sungai yang berada tidak jauh di depannya.

Sungai itu tampaknya dalam sekali. Sementara, lebarnya sekitar lima belas tombak. Pemuda itu menduga, tinggi air sungai dari dasarnya sekitar setengah tombak. Karena sungai itu dipenuhi baru sebesar kerbau sejauh mata memandang.

"Hm... Dinding-dindingnya banyak terdapat rongga menyerupai goa. Salah satunya pasti jalan tembus menuju sarangnya...," gumam pemuda itu menduga.

Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung Dewa Bayu. Lalu, dia memperhatikan dari tepi dinding sungai itu.

"Bagaimana mungkin dia bisa menuruni tebing ini tanpa tergelincir dan masuk ke dalam lubang-lubang itu?" gumam Rangga tidak habis pikir.

Dinding sungai kelihatan curam sekali. Bahkan nyaris berdin tegak. Tidak ada tempat untuk bergantung atau berpijak. Kalaupun ada, hanya beberapa buah batu yang sedikit menonjol keluar. Itu pun tidak mungkin untuk tempat berpijak. Satu-satunya jalan hanya.... terbang! Terbang? Mungkinkah Hantu Putih Mata Elang mampu terbang? Dan yang lebih membuatnya kesal, mungkinkah salah satu dari lubang yang banyak terdapat di dinding sungai ini merupakan jalan menuju sarang gadis berkulit pucat itu? Belum sempat Rangga berpikir lebih jauh, mendadak...

"Hiya! Hiya...!"

"Hm!" Pendekar Rajawali Sakti berbalik, dan berdiri tegak menanti dua orang penunggang kuda yang menggebah tunggangan ke arahnya.

Kedua penunggang kuda itu segera berhenti di depan Pendekar Rajawali Sakti, kemudian memandangnya dengan sikap curiga. Salah seorang yang berkulit hitam dan berambut pendek agak kaku, segera melompat turun dari kudanya.

"Anak muda! Siapa kau?! Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya laki-laki berkulit hitam itu.

"Aku hanya seorang pengembara. Namaku Rangga. Kebetulan saja aku kemalaman, dan menginap di sekitar tempat ini ," sahut Rangga jujur.

"Hm...." Kedua orang itu bergumam. Laki-laki berkulit hitam yang memegang sebatang tombak yang ujungnya berkeluk bagai batang keris, memandang kawannya yang bertubuh gemuk dan bermata sipit.

"Hm, Rangga...? Apakah kau yang berjuluk si Pendekar Rajawali Sakti?" lanjut laki-laki berkulit hitam, yang seperti pernah mendengar nama itu.

"Hanya julukan kosong saja, Kisanak...," sahut Rangga merendah.

Namun kedua orang itu cepat merangkapkan kedua tangan ke dada. Bahkan yang seorang lagi segera melompat turun dari punggung kudanya. "Kisanak! Terimalah salam hormat kami. Namaku Linggawuni. Dan kawanku Buntaran," kata laki-laki berkulit hitam yang bernama Linggawuni.

Rangga membalas salam penghormatan mereka. "Linggawuni dan Buntaran... Senang sekali bisa berkenalan dengan kalian. Kemanakah tujuan kalian, sehingga kelihatan terburu-buru?"

"Hm.... Sebenarnya kami hendak ke barat, untuk mencari seseorang," sahut Linggawuni. "Dan kau, apakah yang kau lakukan di sini, Pendekar Rajawali Sakti? Sepertinya ada sesuatu yang hendak kau lakukan. Apakah hendak terjun ke sungai?"

Rangga tersenyum mendengar gurauan Linggawuni. "Aku tengah mencari seseorang...."

"Di dalam sungai ini?" tanya Linggawuni dengan senyum.

"Ya."

"Hm.... Tentu kau menginginkannya untuk sarapan, bukan?"

Rangga tersenyum. "Kalau saja dia bisa kumakan, tentu untuk sarapan. Aku tengah mencari seseorang yang membuatku kesal, Linggawuni. Mungkin kalian pun mengenalnya."

"Bolehkah kami tahu, siapa orang yang kau cari? Mungkin di tengah perjalanan nanti kami bertemu, sahingga bisa memberitahukan padanya untuk menemuimu."

"Orang itu bernama Hantu Putih Mata Elang," kata Rangga.

"Hantu Putih Mata Elang?!" Linggawuni dan Buntaran terkejut. Mereka saling berpandangan sekilas. Kemudian Linggawuni kembali berpaling pada pemuda itu.

"Rangga, betulkah kau mencari orang itu?"

"Kau tidak salah mendengar, Linggawuni."

"Hm, kalau begitu kita satu tujuan! Ketahuilah, Rangga. Kami merupakan utusan Kadipaten Watu Pasir. Adipati Detya Karsa memberi perintah, agar kami mencari dan menghukum si Hantu Putih Mata Elang atas hilangnya putra beliau," jelas Linggawuni berterus-terang.

"Oh, begitukah? Hm.... Kenapa sang Adipati menduga kalau hilangnya putra beliau bersangkutan dengan si Hantu Putih Mata Elang? Apakah beliau mengetahuinya dengan pasti?"

"Tidak. Tapi, Raden Wijaya tidak pernah kembali sejak kepulangannya dan padepokan tempatnya berguru selama ini. Dan sang Adipati menghubungkannya dengan sepak terjang si Hantu Putih Mata Elang yang amat kaji. Sehingga. diduga Raden Wijaya hilang karena perbuatannya," sahut Linggawuni menjelaskan.

Rangga mengangguk. "Lalu, kalian menduga bahwa Hantu Putih Mata Elang menculik Raden Wijaya di tempat ini?" tanya Rangga lebih lanjut.

"Tepatnya, di sekitar kawasan Hutan Lengkeng ini!"

"Kenapa kalian menduga seperti itu?"

"Banyak dari pemuda yang diculik dibawa ke daerah ini, dan menghilang tanpa bekas seperti ditelan bumi. Para pengejar kebingungan. Mereka berusaha mencari, namun tidak pernah bertemu."

"Lalu, apakah kalian punya cara untuk memancingnya keluar?"

"Bukan kami, tapi Ki Bangun Satya."

"Ki Bangun Satya? Siapakah dia?"

"Dia adalah kepala pasukan prajurit Kadipaten Watu Pasir. Bersama dengan dua kepala pasukan di dua kadipaten terdekat, dia telah mengepung hutan ini," jelas Linggawuni.

"Pantas...," kata Rangga dengan senyum dan anggukkan kecil.

"Pantas kenapa, Rangga...?"

"Kalian tidak datang berdua saja..."

********************

Linggawuni dan Buntaran saling berpandang dan tersenyum pada Pendekar Rajawali Sakti. Kehadiran mereka memang tak berdua. Karena sesuai anjuran Ki Bangun Satya, seluruh hutan ini telah dibuat pagar betis pada jarak yang rapat. Sehingga, tidak heran kalau beberapa orang prajurit dikepalai seorang atau dua orang berkemampuan cukup lumayan.

"Dari mana kau tahu, Rangga?" tanya Buntaran yang sejak tadi banyak berdiam diri.

Linggawuni langsung menyikut perut kawannya. "Kau ini bagaimana, Buntaran? Pendekar Rajawali Sakti bukan tokoh sembarangan. Mana bisa disamakan dengan kita!"

"Ah! Jangan berkata seperti itu, Linggawuni Aku juga manusia biasa seperti kalian...," sahut Rangga merendah.

"Rangga, tujuan kita saat ini sama. Bagaimana kalau kita mengadakan pencarian bersama-sama?" ajak Linggawuni.

"Hm usul yang bagus sekali!"

"Kulihat kau lebih dulu mendapat petunjuk. Lalu adakah sesuatu yang bisa kami bantu...?" tanya Buntaran, menawarkan diri.

Rangga tersenyum. "Sebenarnya tadi malam aku sempat berhadapan dengannya. Tapi sayang..., dia berhasil meloloskan diri."

"Hm, sungguh hebat! Hantu Putih Mata Elang melarikan diri setelah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu menurutmu, dia melarikan diri ke tempat ini?" kata Linggawuni, penuh kekaguman.

Rangga mengangguk. Aku sebenarnya juga tidak mengerti kenapa wanita itu seperti tidak bersungguh-sungguh saat bertarung. Mungkin juga dia kasihan padaku," lanjut Rangga merendah.

“Atau mungkin juga dia naksir padamu Rangga!" sahut Linggawuni menggoda.

"Tahu sendiri. Hantu Putih Mata Elang itu pantang melihat pemuda tampan!" timpal Buntaran.

"Hm, kalian bisa saja!”

"Menurutmu, ke mana wanita itu melarikan diri? Apakah ke dalam sungai ini?" tanya Buntaran.

"Ini hanya perkiraan saja. Rasanya, tidak mungkin kalau dia raib ditelan bumi. Pasti ada sesuatu seperti jalan menuju perut bumi tempatnya bersarang. Dan menurutku, pasti ada jalan masuk lain. Coba lihat dinding sungai itu. Di sana banyak terlihat lubang seperti goa. Salah satunya pasti jalan menuju sarangnya. Aku tadi sedang berpikir. Kalau dugaanku benar, lalu bagaimana cara wanita itu masuk? Apakah dia memiliki ilmu terbang?"

"Atau barangkali dia memiliki ilmu 'Halimunan' yang mampu membuat dirinya lenyap, sehingga dengan mudah menyusup ke mana saja. Tidak terkecuali, ke perut bumi," sahut Buntaran.

Rangga memandang Buntaran sambil tersenyum. "Apakah sampai sejauh itu?"

"Kenapa tidak? Bukankah kita pernah mendengar ada seseorang yang memiliki ilmu seperti itu?" tandas Buntaran.

"Kurasa apa yang dikatakan Buntaran ada benarnya, Rangga," sahut Linggawuni menimpali.

Mendengar perkataan kedua orang itu, Rangga lagi-lagi tersenyum geli. "Linggawuni, dan kau Buntaran. Aji 'Halimunan' tidak seperti itu sifatnya. Aji itu hanya untuk menipu pandangan mata, namun tetap saja tidak mampu menembus bumi. Karena, sebenarnya dia masih berwujud tubuh kasar. Hanya saja, mata kitalah yang tidak melihatnya," jelas Rangga.

"O, begitu?" sahut keduanya mengerti.

"Lalu...?" tanya Linggawuni.

"Ya! Dengan cara apa wanita itu lenyap dan kejaranmu?"

"Entah bagaimana caranya. Tapi, aku yakin ada lorong rahasia di sekitar hutan ini. Satu-satunya petunjuk yang bisa diperoleh adalah goa-goa di dinding sungai itu," jelas Rangga.

"Tapi, bagaimana kita bisa membuktikannya? Tempat itu licin dan sulit dicapai. Kecuali kalau kita bisa terbang!" sahut Linggawuni sambil menggeleng lemah.

"Hm... Kenapa pusing-pusing? Panggillah anak buah kalian.... Dan, suruh mereka turun menggunakan tambang. Kemudian, susuri lubang lubang di dinding sungai ini satu persatu," sahut Rangga enteng.

"Hei? Kenapa tidak terpikir sejak tadi?!" Linggawuni tampak girang.

"Tapi, apakah hal itu tidak berbahaya bagi mereka? Bila mereka terjatuh, maka kemungkinan hidup tipis sekali. Sebab, batu-batu sungai yang besar itu telah menanti mereka," kata Buntaran cemas.

Mendengar itu wajah Linggawuni yang tadi cerah, kini tampak cemas seperti mengakui kebenaran kawannya.

Rangga hanya menghela napas panjang. "Setiap usaha pasti berakibat baik dan buruk. Namun segala sesuatu harus dicoba daripada tidak sama sekali! Aku tidak melihat bekas-bekas tambang di sekitar tempat ini. Jadi, jika benar salah satu dari lubang-lubang itu adalah jalan tembus menuju sarang Hantu Putih Mata Elang, maka kemungkinan dia turun tak menggunakan tambang. Mungkin juga..., terbang," sahut Pendekar Rajawali Sakti ragu. "Tapi apakah di antara kita ada yang mampu melakukannya?"

Keduanya menggeleng lemah.

"Nah! Aku pun tidak mampu melakukannya. Yang bisa kita lakukan, adalah usaha yang masuk di akal. Seperti, yang kukatakan tadi. Perintahkan anak buah kalian turun, menggunakan tambang. Dan, susuri goa-goa itu. Semua usaha pasti memerlukan tantangan. Dan untuk mencegah kemungkinan buruk, maka perlu persiapan matang. Misalnya, mencari tambang yang betul-betul kuat!" lanjut pemuda itu.

Linggawuni dan Buntaran terdiam beberapa saat memikirkan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, mereka mengangguk membenarkan.

"Baiklah. Kita akan coba dengan cara itu, Rangga," sahut Linggawuni. Segera saja dia bersuit nyaring.

Tidak berapa lama terlihat sepuluh orang penunggang kuda berdatangan ke tempat itu dari arah yang berbeda. Kesemuanya memberi salam hormat pada Linggawuni dan Buntaran. Setelah dikenalkan dengan Pendekar Rajawali Sakti, mereka memberi salam penghormatan. Baru setelah itu Linggawuni menerangkan rencana yang telah disusun.

Kini kesepuluh anak buah Linggawuni dan Buntaran segera bergegas mencari oyot-oyot pepohonan di sekitarnya. Kemudian, mereka menjalinnya menjadi beberapa buah tambang yang cukup panjang.

"Siapa di antara kalian yang takut, boleh tunjukkan tangan?!"

Pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti seperti memancing. Dan hasilnya, memang terbukti. Karena tidak ada seorang pun yang berani tunjuk tangan. Di hadapan orang banyak begitu, siapa sudi dikatakan pengecut.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. "Turunlah empat orang dari kalian. Sementara, setiap dua orang menahan seorang kawannya dengan memegang tambang! Aku sendiri akan mengawasi dengan seksama!"

Maka tanpa banyak bicara, mereka segera. melakukan apa yang diperintahkan Pendekar Rajawali Sakti.

********************

Istana Kadipaten Watu Pasir, Adipati Detya Karsa duduk termenung seorang diri. Baru saja, dia melihat istrinya yang masih saja gundah gulana. Wanita itu masih merasa sedih memikirkan nasib putra mereka yang sampai saat ini tidak tentu rimbanya. Jika hidup, ke mana perginya? Dan jika tewas, di mana bangkai dan kuburannya?

Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Adipati itu tidak tahan mendengar dan melihat kesedihan istrinya setiap hari. Segala cara diusahakannya untuk menemukan putranya kembali. Namun, hingga kini masih belum terlihat tanda-tanda kalau putranya akan ditemukan. Keyakinan laki-laki berusia empat puluh tahun lebih itu tertuju pada seseorang yang amat dicurigainya sebagai penyebab hilangnya Raden Wijaya. Siapa lagi kalau bukan Hantu Putih Mata Elang?!

Adipati Detya Karsa tidak kepalang tanggung bertindak. Dia telah mengeluarkan pengumuman. Bagi siapa saja yang bisa mendapatkan kepala Hantu Putih Mata Elang, maka akan diberi hadiah yang amat besar. Tidak heran, bila sejak dua hari ini, banyak orang berkumpul di sekitar Kadipaten Watu Pasir. Bukan saja para pendekar dari sekitar tempat lain, tapi juga dari tempat ini yang tergiur mendengar sayembara itu. Mereka bermaksud untuk mencari dan membawa kepala Hantu Putih Mata Elang ke hadapan sang Adipati.

Kebanyakan dari mereka memang mencari di sekitar Hutan Lengkeng. Sebab menurut cerita-cerita orang, Hantu Putih Mata Elang selalu menghilang di tempat itu. Meski demikian, tidak kurang pula yang mencarinya ke tempat lain, yang kira-kira mencurigakan. Yaitu, tempat di mana si Hantu Putih Mata Elang menculik korbannya.

"Mungkin saat ini mereka telah menemukan-nya, Gusti Adipati...," hibur seorang penasihat, yang saat ini menemani Adipati Detya Karsa duduk di beranda depan. Orang tua itu berusia sekitar enam puluh tahun. Dan dia seperti mengerti kegelisahan yang dirasakan junjungannya.

"Hm...." Adipati Detya Karsa menghela napas seraya bergumam pelan.

"Bersabarlah, Gusti Adipati. Kalau tidak hari ini mungkin besok...," hibur laki-laki tua itu lagi.

"Kalau tidak bertemu juga, bagaimana Ki Ja-yeng?"

Laki-laki tua yang dipanggil Jayeng menghela napas sambil mengalihkan pandangannya.

"Kita akan pikirkan cara lain untuk memancing iblis wanita itu keluar dari tempat persembunyiannya...," ujar Ki Jayeng.

"Hari ini dua hari sudah usaha pencarian mereka. Dan itu membuatku gelisah ..." desah adipati itu.

"Sudahlah, Gusti Adipati... Serahkan urusan ini pada Dewata Yang Agung. Mudah-mudahan kita akan mendapat bantuanNya. Lagi pula, Ki Bangun Satya serta yang lainnya telah berusaha sekuat daya. Kalaupun segala usaha telah dilakukan dan ternyata tidak membawa hasil, maka serahkan segalanya pada Hyang Jagad Batara ujar Ki Jayeng bijaksana.

"Ki Jayeng! Berat hatiku melepas putraku dengan penuh teka-teki seperti ini. Dia hilang tanpa bekas. Tahukah kau, bagaimana rasanya? Usia delapan tahun, dia telah berpisah dari kami karena harus belajar di Padepokan Wering Surya. Dan setelah dewasa, baru tiga kali kami bertemu dengannya. Dan setelah pelajaran di padepokan itu diselesaikan, kami gembira betul. Karena membayangkan bahwa sebentar lagi akan berkumpul. Tapi yang terjadi..., ah! Ini amat menyakitkan hatiku, Ki! Aku harus dapatkan wanita iblis itu!" desis Adipati Detya Karsa, gusar.

"Gusti Adipati.... Mereka pun berpikir, seperti apa yang Gusti Adipati pikirkan. Dan hamba percaya, mereka berusaha sekuat daya. Namun janganlah sekali sekali Gusti Adipati terlalu berharap kalau mereka kembali membawa hasil. Hal ini amat menyakitkan hati, bila ternyata mereka kembali dengan tangan hampa. Harus diingat, Gusti Adipati. Bahwa wanita itu bukan orang sembarangan. Kesaktiannya menjadi buah bibir di mana-mana. Bahkan kita pun masih ingat. ketika dia membunuh Wiku Dharma Putera yang dikenal memiliki ilmu olah kanuragan tinggi...," Ki Jayeng mengingatkan sang Adipati.

Adipati Detya Karsa terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. Pandangan matanya menerawang jauh ke depan. Di luar tampak mulai gelap. Mendung menyelimuti langit, dengan awan tebal berwarna kehitaman. Sebentar lagi hujan akan turun, sehingga waktu siang menjelang sore ini seperti berjalan cepat.

"Ki Jayeng! Aku ingin agar penjagaan diper-ketat!" kata sang Adipati tiba-tiba.

"Kenapa, Gusti Adipati?"

"Entahlah... Tiba-tiba perasaanku tidak enak...."

"Baiklah, Gusti Prabu. Hamba akan memberi-tahukannya pada kepala petugas jaga," sahut Ki Jayeng tanpa banyak bicara lagi.

Dan dia segera bangkit berdiri. Setelah menjura memberi hormat, laki-laki tua itu pergi dari hadapan sang Adipati. Baru saja orang tua itu berjalan tiga langkah....

"Aaa...!" Mendadak terdengar jeritan menyayat dari luar. Dan ini membuat langkah Ki Jayeng terhenti.

"Apa itu, Ki Jayeng?" tanya sang Adipati kaget.

"Entahlah, Gusti. Hamba akan memeriksanya!" sahut Ki Jayeng cepat.

"Aaa...!"

"Heh?!" Ki Jayeng dan Adipati Detya Karsa terkejut, ketika kembali terdengar teriakan tertahan dari arah belakang. Kemudian, disusul dari arah samping kanan, dan dari samping kiri dalam waktu singkat. Keduanya mulai bingung.

"Sementara, para penjaga yang berada di dekat pintu gerbang tampak bermaksud untuk memeriksa apa yang telah terjadi. Namun saat itu juga, dari arah luar, melesat dua sosok tubuh pemuda yang langsung menerkam. Kembali sang Adipati dan orang tua itu terkejut. Dalam waktu singkat, empat orang penjaga pintu gerbang tewas dengan leher tercekik. Namun hal yang lebih membuat keduanya tidak habis pikir, kedua pemuda yang menyerang para pengawal bertelanjang bulat!

TUJUH

"Ki Jayeng! Siapa kedua orang gila itu?" tanya Adipati Detya Karsa dengan suara bergetar.

"Entahlah, Gusti Adipati. Hamba baru melihatnya sekarang "

"Heh?!" Adipati Detya Karsa sedikit terkejut ketika melihat dari arah samping, dua orang pemuda yang telanjang pula! Demikian pula dari samping kiri. Dua orang dalam keadaan sama seperti kawan-kawannya tampak melesat cepat memasuki istana ini.

Perlahan-lahan kedua laki-laki telanjang bulat itu menghampiri sehingga membuat Adipati Detya Karsa dan Ki Jayeng tersentak dan mundur perlahan-lahan.

"Gusti Adipati, mereka tidak berdua...!" desis Ki Jayeng dengan suara tercekat ditenggorokan.

Adipati Detya Karsa mengangguk.

"Mereka bukan manusia biasa. Tapi seperti..., mayat hidup! Coba perhatikan! Sekujur tubuhnya pucat dan kurus kering, dengan pandangan mata kosong. Sungguh aneh orang-orang seperti ini memiliki tenaga kuat. Dan rasanya...."

"Ditunggangi setan?" potong sang Adipati, menduga.

"Semacam itu."

"Lalu apa yang mereka inginkan'"

"Bukan apa yang mereka inginkan, Gusti Adipati. Tapi, apa yang diinginkan majikan mereka dari kita. Biasanya ini karena balas dendam. Mungkin majikannya mereka merasa terganggu, dengan apa yang kita lakukan!" jelas Ki Jayeng.

"Aku tidak pernah berurusan dengan segala orang yang mampu membangkitkan mayat hidup!" desis sang Adipati, mulai geram.

"Gusti Adipati...."

"Hm..."

"Lupakah dengan...."

"Maksudnya, ini ulah si Hantu Putih Mata Elang?" potong sang Adipati menduga. Ki Jayeng mengangguk.

"Aaa...!"

"He...?!" Tiba-tiba kembali terdengar jeritan menyayat dari dalam istana. Keduanya tersentak kaget, dan langsung berlari ke arah kamar istri adipati. Tampak beberapa orang pelayan terkapar dan tewas, sepanjang ruang istana ini. Yang lainnya mencoba melarikan diri, namun dapat ditangkap dengan mudah oleh tiga orang pemuda yang memiliki ciri-ciri sama seperti di depan. Namun, bukan hal itu yang membuat sang Adipati kaget. Jelas, jeritan itu berasal dari kamarnya. Itulah yang menyebabkan mereka segera berlari.

"Istriku...!" teriak Adipati Detya Karsa cemas. Baru saja sang Adipati sampai di depan pintu kamar, namun saat itu juga muncul seseorang dari kamarnya. Seorang pemuda yang amat dikenalnya. Namun, kali ini amat lain. Tatapan matanya kosong dan tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Dan yang lebih mengerikan, tangan kanannya tengah mencekik seorang wanita berusia empat puluh tahun. Kedua bola mata wanita itu terbelalak dan lidahnya sedikit terjulur. Kedua kakinya terangkat dari lantai setinggi kurang lebih tiga jengkal.

"Wijaya...! Kau... kau...? Oh! Apa yang kau lakukan? Astaga! Kau..., kau membunuh ibumu sendiri?!" seru Adipati Detya Karsa, dengan perasaan sulit dilukiskan.

"Hi hi hi...! Kali ini kau akan mendapat balasan yang setimpal atas apa yang kau lakukan padaku!" teriak satu suara tawa nyaring yang membuat gemas sang Adipati dan Ki Jayeng. Dan seketika mereka berbalik.

Di hadapan mereka tahu-tahu berdiri seorang wanita cantik berambut keemasan, memakai baju putih yang tembus pandang. Sehingga setiap lekuk-lekuk tubuhnya yang indah merangsang terlihat. Bibirnya merah merekah, namun wajah serta seluruh permukaan kulitnya pucat pasi bagai mayat.

"Siapa kau...?!" hardik Adipati Detya Karsa geram, karena menduga bahwa wanita inilah yang mendalangi semua kejadian di tempatnya saat ini.

"Oh, jadi kau belum mengenalku? Padahal, kau telah menyuruh orang untuk mengacak-acak tempat tinggalku!" sahut wanita itu seraya menaikkan alis disertai senyum kaget.

"Hantu Putih Mata Elang?!" sentak Adipati Detya Karsa dan Ki Jayeng, hampir bersamaan.

"Hi hi hi...! Kini kau telah ingat rupanya...," kata wanita yang memang Hantu Putih Mata Elang.

"Iblis keparat! Kau hancurkan hidupku dengan membuat putraku begini. Lalu, kau bunuh istriku. Sekarang, apa lagi yang akan kau lakukan?!" bentak sang Adipati.

"Mengirimmu ke neraka!" desis wanita itu sambil tersenyum lebar.

"Kurang ajar! Kau tidak patut berkata seperti itu, Wanita Iblis!" hardik Ki Jayeng geram.

"Tua bangka busuk! Mau apa kau?! Kau kira bisa berbuat apa padaku, he?! Seluruh pengawal di kadipaten ini telah mampus. Dan, tidak ada yang bisa kau perbuat. Sebentar lagi, kalian pun akan menemui gilirannya. Hi hi hi...!"

"Kurang ajar...!" Ki Jayeng tidak bisa menahan geram. Dan laki-laki tua itu langsung melompat menyerang Hantu Putih Mata Elang.

Namun hanya dengan mengibaskan tangannya, wanita itu cepat menangkis serangan Ki Jayeng. Sehingga, membuat laki-laki tua itu terhuyung-huyung.

Plak!

Bahkan belum sempat Ki Jayeng mengatur keseimbangannya, tangan Hantu Putih Mata Elang telah kembali berkelebat. Dan…

Prakkk! "Aaa...!"

Orang tua itu menjerit tertahan begitu pukulan Hantu Putih Mata Elang mendarat di kepalanya. Kepalanya kontan remuk. Dan tubuhnya jatuh persis di hadapan sang Adipati dengan darah membanjiri lantai. Adipati Detya Karsa sendiri nyaris tidak percaya dengan pandangan matanya.

"Sekarang giliranmu!" desis Hantu Putih Mata Elang, langsung menjentikkan jarinya.

Maka pemuda yang tengah mencengkeram istri Adipati Detya Karsa itu langsung bergerak. Bahkan wanita yang dicekiknya dilemparkan hingga membentur dinding. Adipati Detya Karsa berteriak marah dengan mata melotot geram. Namun, pemuda itu sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan sudah langsung melompat menyerang.

"Bunuh dia!" perintah Hantu Putih Mata Elang.

"Wijaya! Sadarkah dengan apa yang kau lakukan?! Kau telah membunuh ibumu. Dan kini, kau hendak membunuh ayahmu pula! Sadarkah bahwa kau tengah diperalat iblis. Dialah yang seharusnya kau bunuh...!" teriak sang Adipati, berulang-ulang.

Namun Raden Wijaya bukannya sadar. Malah pemuda yang kini telanjang bulat itu menyerang dengan ganas. Sang Adipati yang sedikit memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan pontang panting menyelamatkan diri. Tubuhnya bergulingan di lantai, menghindari kejaran serangan anaknya sendiri. Namun, pemuda itu memojokkannya hingga laki-laki setengah baya itu tidak berkutik di sudut ruangan. Lalu....

Crok! "Aaa...!"

Sang Adipati tak berkutik lagi ketika tangan kanan Raden Wijaya menyambar batok kepala. Adipati Detya Karsa memekik setinggi langit dengan batok kepala remuk dan darah berceceran di lantai. Bersamaan dengan tewasnya sang Adipati, terdengar tawa panjang yang menggema di ruangan ini.

"Hi hi hi...!"

********************

Waktu terus berjalan. Dan tanpa terasa sebentar lagi malam akan tiba. Namun pekerjaan mencari sarang Hantu Putih Mata Elang belum juga membawa hasil. Kebanyakan dari goa-goa di dinding sungai itu berupa lekukan dangkal.

"Hm, apakah perkiraanku salah...?" gumam Rangga dengan dahi berkerut, ketika tengah beristirahat di pinggir sungai yang bertebing ini.

"Paling dalam hanya satu tombak...!" lapor Linggawuni.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.

"Bagaimana? Apakah akan kita teruskan pencarian di sini?" lanjut laki-laki berkulit legam itu.

Rangga memandang sekilas. Kemudian perha-bannya dialihkan pada keempat orang laki-laki yang tadi menuruni tebing. Kini, satu persatu mereka naik ke permukaan.

"Kelihatannya tidak membawa hasil. Mungkin dugaan Rangga keliru...," timpal Buntaran.

"Mungkin juga aku keliru. Namun, tidak ada salahnya dicoba, bukan? Lagi pula, baru sebagian lubang yang diperiksa. Siapa tahu lubang lainnya membawa hasil. Dan itu pun baru di satu sisi. Coba perhatikan sisi tebing yang lain. Di sana, terlihat suram. Dan itu menunjukkan kalau lubang-lubang di sebelah sana lebih dalam!" tunjuk Rangga, ke sisi tebing sungai lain.

"Sungai ini cukup lebar. Dan kalau benar Hantu Putih Mata Elang bersembunyi di Hutan Lengkeng ini, bagaimana mungkin bisa menyeberang ke sana?" tanya Linggawuni tidak percaya dengan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Pertanyaan itu sama dengan bagaimana cara wanita itu lenyap begitu saja di hutan ini? Padahal, semua orang yakin kalau dia bersembunyi di sini," sahut Rangga.

Linggawuni dan Buntaran terdiam. Sementara, anak buah mereka tengah melepas lelah. Sedang yang lain mencari ranting dan kayu-kayu kering yang akan dibuat api unggun.

"Bagaimana? Apakah kalian bersedia meneruskan pencarian di sini? Atau ada rencana lain yang hendak dilakukan?" tanya Rangga.

"Kami memang belum menemukan kepastian, di mana tempat persembunyian wanita itu. Bahkan sedikit sekali petunjuk yang kami peroleh...," kata Buntaran.

"Hhh..." Linggawuni menghela napas. "Agaknya kami tidak punya pilihan selain mengikuti rencanamu. Namun bila ini tidak membawa hasil, lalu apa yang akan kita lakukan?"

"Sebaiknya, nanti saja kita pikirkan lagi."

"Ya, baiklah...," sahut Linggawuni seraya merebahkan diri di dekat perapian yang telah dibuat anak buahnya.

Beberapa orang di antara mereka membuka perbekalan makanan dan membagikannya pada yang lain. Termasuk, Pendekar Rajawab Sakti.

"Tidak terlalu banyak. Namun, cukup untuk sekadar mengganjal perut di malam yang dingin begini...," kata Linggawuni sambil tersenyum.

Laki-laki itu segera mengunyah beberapa potong daging kering yang selesai dibakar.

"Apakah kau tahu ke mana hilangnya pemuda-pemuda yang menjadi korbannya, Rangga? Dan, sebenarnya untuk apa pemuda-pemuda itu diculiknya?" tanya Linggawuni, di tengah rebahannya.

"Aku tidak tahu. Tapi, mungkin saja berada di sarangnya. Wanita itu menculik, biasanya untuk menyempurnakan suatu ilmu atau mempertahankan ilmu yang sedang dianutnya. Hal itu biasa dilakukan oleh orang yang sedang menuntut ilmu hitam. Orang itu memerlukan korban, sesuai tuntutan ilmu itu..."

"Apakah pemuda-pemuda itu tewas...?"

"Bisa jadi. Namun, bisa juga mereka dibuat lupa akan asal-usulnya. Dan, mereka hanya mengerti perintah orang yang telah menculiknya," jelas Rangga.

"Tapi, untuk apa jika mereka dibuat seperti itu...?" tanya Linggawuni lagi.

Pertanyaan laki-laki berkulit gelap itu belum terjawab, ketika salah seorang anak buahnya berseru kaget.

"Ki Linggawuni, apa itu...?!" tunjuknya ke satu arah.

Bukan hanya Linggawuni saja yang berpaling. Malah semuanya segera berpaling, dan melihat dua orang pemuda tanpa berpakaian sehelai pun, melangkah menghampiri mereka perlahan-lahan. Semua orang yang tengah beristirahat langsung beranjak dengan sikap siaga.

********************

"Ki Linggawuni! Di sini ada lagi!" seru seorang anak buahnya yang lain, menunjuk ke satu arah.

Mereka menoleh, dan melihat tiga orang pemuda lagi menghampiri. Seperti dua orang pemuda yang pertama, mereka pun tidak mengenakan apa-apa untuk menutupi tubuhnya.

"Kurang ajar! Apa-apaan ini?! Orang-orang sinting...!" desis Linggawuni geram.

"Ki Linggawuni! Biar kuhajar orang-orang ini!" sahut anak buahnya seraya menghampiri.

Namun Rangga cepat menangkap pergelangan tangan orang itu, sehingga langkahnya tertahan. "Tahan, Kisanak!"

"Lepaskan, Rangga! Orang-orang sinting itu harus diberi pelajaran!"

"Tenanglah, Kisanak. Jangan terburu nafsu. Perhatikan baik-baik, mereka bukanlah orang sembarangan!"

"Maksudnya?"

"Pandangan matanya kosong. Raut wajah mereka dingin. Orang-orang ini telah mati jiwa dan semangatnya!" jelas pemuda itu menerangkan.

"Maksudmu mereka adalah...."

Ucapan Linggawuni yang mulai menduga, disambung cepat Buntaran dengan wajah tegang. "Korban-korbannya wanita iblis itu?!"

Rangga mengangguk pelan. "Mungkin saja...."

"Rangga! Coba lihat! Orang-orang ini muncul lagi dari segala arah!" seru Linggawuni kaget.

Apa yang dikatakan Linggawuni tidak salah. Jumlah pemuda berpenampilan aneh yang perlahan-lahan mengurung tidak kurang dari dua puluh orang.

"Apa yang harus kita lakukan, Rangga...?" desis Buntaran.

"Kita harus melakukan sesuatu!" sambung Linggawuni.

"Tunggu dulu! Jika jarak mereka telah lima langkah dari kita, barulah bertindak. Namun, saat ini kita tunggu. Apa yang hendak mereka lakukan," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Namun para pemuda yang mengurung agaknya tidak menghiraukan apa yang tengah terpikirkan Pendekar Rajawali Sakti beserta kawan-kawannya. Mereka terus melangkah, dan seperti tidak hendak berhenti.

"Kurang ajar...!" Buntaran memaki seraya berkacak pinggang. Tangan kanannya langsung menuding ke depan. "Sini kalian! Biar kutampar mukamu! Bocah tidak tahu adat...!"

Wuuut!

Salah seorang pemuda telanjang itu melompat menerkam Buntaran tanpa basa-basi. Dan bersamaan dengan itu, yang lainnya mengikuti. Maka secara bersamaan, mereka melompat menerkam orang-orang di hadapannya.

Plak!

"Setan...!"

Linggawuni dan Buntaran mendengus geram ketika merasakan tenaga pemuda-pemuda telanjang yang berusaha mencekik mereka itu kuat bukan main.

"Ki Linggawuni! Aaakh...!"

Beberapa anak buah Linggawuni dan Buntaran berteriak dengan suara tertahan. Mereka berusaha menangkis serangan. Namun, meski tubuh pemuda-pemuda telanjang itu kurus dan kelihatan tidak bertenaga, sesungguhnya memiliki tenaga amat kuat. Dengan sekali mengibaskan tangan, maka anak buah Linggawuni dibuat tidak berdaya. Sehingga, pemuda telanjang itu dengan mudah mencekiknya.

"Hiiih!" Rangga menggeram. Kedua tangannya langsung mencengkeram kedua pergelangan tangan pemuda telanjang yang menyerangnya. Kemudian dibantingnya dengan keras.

Pemuda telanjang itu jatuh berdebum. Namun, tidak sedikit pun keluar keluhan dan mulutnya. Dan seperti tidak merasakan rasa sakit, dia kembali bangun dan melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan garang.

Begkh! "Hugkh!"

Kembali pemuda telanjang itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terbanting tujuh langkah. Dan Rangga langsung melompat ke samping menolong salah seorang anak buah Linggawuni. Kedua tangannya mencengkeram ke pundak. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam disentaknya pemuda telanjang itu dan dibantingnya ke tanah. Kemudian, Rangga bergerak membantu yang lain.

"Yeaaat!"

"Hugkh...!"

Dalam waktu singkat, para pemuda telanjang itu terpelanting ke sana kemari. Namun meski demikian, mereka sama sekali tidak merasakan sakit. Bahkan mampu cepat bangkit. Raut wajahnya tampak datar, dan sama sekali tidak menyiratkan nafsu apa pun.

"Rangga! Apa yang akan kita lakukan...?" tanya Linggawuni cemas.

"Sudah, kita bunuh saja! Mereka berbahaya...!" desis Buntaran geram, seraya mencabut golok besar yang terselip dipunggung.

Sret!

Sikap Buntaran diikuti anak buahnya. Dalam keadaan begitu, mendadak....

"Hi hi hi...!" Terdengar suara ketawa nyaring yang berkumandang di sekitar tempat ini.

"Rangga...!" Wajah Linggawuni tampak cemas. Demikian pula anak buahnya yang lain.

Sebentar kemudian terlihat sesosok bayangan melesat. Dan bayangan itu makin jelas ketika melayang turun di hadapan mereka. Kini tampak seorang wanita jelita berpakaian serba putih yang amat tipis. Sehingga setiap lekuk-lekuk tubuhnya yang menggiurkan jelas terlihat. Kulitnya pucat. Dan bibirnya yang merah merekah, tersenyum lebar. Rambutnya yang panjang keemasan, berkibar-kibar ditiup angin malam.

"Hantu Putih Mata Elang...!" desis Rangga.

DELAPAN

"Hm.... Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Pendekar Rajawali Sakti...! Agaknya kau memang telah berjodoh denganku...!" seru wanita itu disertai tawa nyaring.

"Hantu Putih Mata Elang! Apa yang telah kau lakukan terhadap pemuda-pemuda itu?" desis Rangga tanpa mempedulikan kata-kata wanita itu.

"Mereka...? Hi H hi...! Hamba-hambaku yang selalu patuh terhadap perintahku. Tapi kalau kau cemburu, dengan mudah mereka akan kusingkirkan semua. Asal, kau bersedia menggantikan kedudukan mereka?!"

"Wanita iblis! Perbuatanmu sudah keterlaluan!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.

"Hi hi hi...! Begitukah menurut anggapanmu? Padahal, menurut orang-orang ini merasa betah tinggal denganku. Dan mereka bergiliran melayani semua kebutuhanku dengan senang hati. Bagaimana mungkin kau katakan perbuatanku keji?" sahut Hantu Putih Mata Elang, melecehkan.

"Hantu Putih Mata Elang! Sadarkah kau bahwa mereka tersiksa oleh cengkeraman sihirmu? Jika saja orang-orang ini dalam keadaan sadar, mana mungkin mereka sudi melayani nafsu iblismu!" bentak Pendekar Rajawali Sakti.

"O, begitu? Coba lihat. Bagaimana orang-orang ini begitu bernafsu memandang diriku. Padahal, mereka dalam keadaan sadar...," sahut wanita itu menunjuk ke arah Linggawuni dan anak buahnya.

Apa yang dikatakan wanita itu memang tidak salah. Semua anak buah Linggawuni dan Buntaran, termasuk kedua orang itu sendiri, memandang wanita itu tanpa berkedip. Segala kecantikan wajahnya, dan keindahan tubuhnya begitu amat menggiurkan dan merangsang kelelakian.

Linggawuni, Buntaran, dan beberapa anak buahnya cepat-cepat memperbaiki sikap, begitu mendengar kata-kata Hantu Putih Mata Elang meski masih tetap mencuri-curi pandang dengan sikap salah tingkah. Namun yang lainnya seperti tersirep. Bahkan sama sekali tidak mempedulikan keadaan, sampai kawan-kawannya mengingatkan.

"Hi hi hi...! Kau lihat, bukan? Mereka yang sadar pikirannya tidak menolak bila kuajak berjalan-jalan ke sorga. Bagaimana mungkin kau bisa menyalahkanku?" lanjut wanita itu, disertai tawa nyaring.

Tawa wanita itu terdengar begitu merdu dan menggelitik sukma. Demikian juga setiap gerakan kecil yang dilakukan tangan serta tubuhnya. Sehingga, membuat mereka panas dingin dengan jantung berdegup kencang.

Rangga menarik napas panjang, lalu memalingkan pandangan dan menguatkan tenaga batinnya. "Linggawuni! Suruh anak buahmu tidak menatap wanita iblis ini! Mereka akan celaka...!" kata pemuda itu mengingatkan.

Linggawuni terkesiap. Dan dia segera berteriak mengingatkan anak buahnya. "Palingkan muka kalian! Jangan menatap ke arah wanita iblis ini!"

Beberapa orang segera tersentak dan buru-buru memalingkan wajah. Namun, enam orang dari mereka terlihat mulai terpengaruh oleh suara tawa wanita itu. Dan mereka menatapnya tanpa berkedip.

"Hi hi hi...! Bocah bagus! Apakah kalian menolak untuk bersenang-senang denganku? hi hi hi...! Lihat kemari! Lihatlah...!" seru wanita berambut keemasan itu sambil menudingkan telunjuk ke matanya yang mulai bersinar tajam, mengandung daya sihir yang kuat.

"Buntaran! Tarik mereka. Dan kalau perlu, tampar untuk segera memalingkan muka!" teriak Linggawuni memerintah.

Buntaran segera melakukan apa yang dikatakan Linggawuni. Namun keenam anak buah mereka sama sekali tidak bergeming. Laki-laki bertubuh besar itu mulai kalap dan segera menghajar.

Duk! Duk!

Keenam orang itu sama sekali tidak bergeming. Bahkan seperti tidak merasakan sakit ketika kaki Buntaran menendang tubuh mereka dengan kuat.

"Kurang ajar...!" geram Buntaran marah.

"Hi hi hi...! Mereka ada dalam kekuasaanku. Dan, akan menuruti segala perintahku! Hi hi hi...! Ayo, hajar mereka! Hajaaar...!" teriak Hantu Putih Mata Elang itu sambil berteriak nyaring memerintahkan keenam anak buah Linggawuni untuk menyerang.

Sret!

"He, kurang ajar...!" Buntaran menggeram melihat anak buahnya segera mencabut golok dan siap menyerang. Belum lagi Buntaran menentukan apa yang harus dilakukan, kelebatan senjata mereka nyaris menyambar dirinya.

Wuuut!

Bet!

"Setaaan...!" Buntaran dan yang lainnya segera menghindar dan balas menyerang.

Trang! Cras! "Aaa...!"

Dua orang dari anak buah Linggawuni tewas disambar golok Buntaran. Sedang Linggawuni serta yang lainnya agaknya tidak sampai hari untuk menurunkan tangan kejam, sehingga mereka lebih banyak menghindar.

"Hi hi hi...! Ayo, bantu mereka anak-anak manis...!" teriak si Hantu Putih Mata Elang kepada pemuda-pemuda yang tidak berpakaian itu.

Mendengar perintah itu mereka yang sejak tadi diam, kini kembali bergerak menyerang Pendekar Rajawali Sakti beserta kawan-kawannya.

"Iblis jahanam! Kemari kalian! Akan kutebas batang leher kalian semua...!" desis Buntaran semakin kalap.

Laki-laki bertubuh gemuk itu mengayunkan golok besar di tangannya. Namun, kali ini dia dibuat terkejut. Karena, ternyata lawan-lawannya dengan mudah menghindar dan balas menyerang ganas. Hal ini membuat yang lainnya terpaksa harus bersikap tegas, kalau tidak ingin nyawa mereka melayang.

********************

"Wanita iblis, cukup sudah permainanmu! Hentikan semua ini...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti langsung menghantam Hantu Putih Mata Elang dengan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.

"Haiiit! Hi hi hi...!" Wanita itu menghindar dengan mudah. Tubuhnya langsung melayang ke cabang pohon di belakangnya disertai tawa nyaring.

"Yaaat!" Rangga terus melompat mengejar sambil mengayunkan kepalan tangan.

Krak!

"Hi hi hi...! Lebih baik kau turuti kemauanku, Pendekar Rajawali Sakti! Kau hanya buang-buang waktu saja!" kata wanita itu, langsung mencelat dari tempatnya berpijak bagai selembar daun kering tertiup angin. Sehingga, hantaman Pendekar Rajawali Sakti yang cukup keras membuat cabang pohon itu hancur berantakan.

Pendekar Rajawali Sakti segera melayang turun dengan membuat lompatan jungkir balik beberapa kali. Lalu kakinya menjejak di tanah dengan mantap. Rangga tetap bersikap seperti tadi, memalingkan muka dari tatapan Hantu Putih Mata Elang. Karena hal itu lebih memudahkannya untuk menyerang. Selain menghindari godaan nafsu luar biasa melihat cara wanita itu berpakaian, juga menghindarkan diri dari tatapan mata yang mengandung daya sihir kuat.

"Kenapa terdiam, Cah Bagus? Ayo, seranglah aku. Puaskan hatimu dengan mengeluarkan seluruh kepandaian yang kau miliki! Setelah kau puas dan merasa senang, maka giliranku untuk bersenang-senang denganmu...!" kata wanita itu meledek.

Rangga mendengus pelan. Disadari kalau wanita ini memiliki kesaktian yang belum banyak diketahui. Namun dari pertarungan semalam, bisa diduga kalau tenaga dalam Hantu Putih Mata Elang tidak berada di atasnya. Kalau saja segenap ke mampuan yang dimilikinya dikerahkan, maka bisa jadi Linggawuni serta yang lainnya akan celaka. Tapi kalau memancing wanita ini untuk bertarung agak jauh, Pendekar Rajawali Sakti khawarir Linggawuni dan kelima orang yang kini berpihak padanya, akan celaka.

"Apa yang kau pikirkan, Cah Bagus? Kau ingin mendapat hadiah karena berhasil menyerahkan kepalaku pada adipati celaka itu? Hi hi hi..! Kalian terlambat. Sore tadi, seluruh keluarga Adipati Detya Karsa binasa di tanganku. Sia-sia saja usaha kalian...!"

"Hantu Putih Mata Elang, kau memang biadab! Ketahuilah! Aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka yang mengejarmu, karena mengharapkan hadiah. Tindakanku didasari belas kasihan!"

"Hi hi hi...! Sungguh mulia sekali sikapmu!" ejek wanita berambut keemasan itu.

"Hantu Putih Mata Elang. Sadarkah kau dengan perbuatanmu selama ini. Kau masih mempunyai seorang putri yang memiliki masa depan panjang. Jangan hancurkan hidupnya karena perbuatanmu yang keji dan biadab!" Pendekar Rajawali Sakti menasihati.

"Hi hi hi...! Kau pikir dirimu siapa berani menasihati? Hi Ki hi! Lebih baik, pikirkan dirimu sendiri. Karena, tidak lama lagi kau akan menjadi pembantuku yang setia!" balas Hantu Putih Mata Elang.

"Hm... Jangan harap itu akan terjadi!" desis Rangga geram.

"Begitukah?" Wajah wanita itu tampak pura-pura terkejut. Lalu dengan sekali mendengus sinis, telapak tangan kanannya menghantam ke muka.

"Haiiit!" Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega’, ketika serangkum cahaya putih menyambar ke arahnya, yang membawa hawa dingin menyengat.

"Yaaat...!" Kini Rangga balas menyerang. Dalam keadaan masih di udara dia menghentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh dan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Maka seketika dari kedua telapaknya yang terbuka meluruk dua sinar merah ke arah Hantu Putih Mata Elang.

Wanita itu terkejut dan merasakan hawa panas manakala dua sinar merah itu menuju ke arahnya.

"Yeaaat...!" Hantu Putih Mata Elang membentak nyaring. Tubuhnya seketika mencelat ke atas bagai kilat, menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan seketika itu pula, tubuhnya melesat menerjang Rangga yang baru saja mendarat di tanah.

"Hiyaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah sigap. Segera dipapaknya serangan Hantu Putih Mata Elang setelah mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Sehingga seketika berpendar sinar biru berkilauan yang menyambar-nyambar.

Sring! Wuuung!

Hantu Putih Mata Elang terkejut. Dia bermaksud menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut yang bertenaga amat kuat. Namun, cahaya biru yang terpancar dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti, berputar-putar seperti melindungi diri Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaa!" Tanpa mempedulikan hal itu, Hantu Putih Mata Elang segera menghentakkan tangannya. Maka selarik cahaya merah langsung menyambar ke arah Pendekar Rajawati Sakti begitu wanita itu selesai membentak nyaring. Begitu sinar merah itu menghantam pedang Pendekar Rajawati Sakti, akibatnya...

Blam!

"Heh?!" Ternyata cahaya merah yang dilepaskan Hantu Putih Mata Elang terpental balik, bahkan menyerang wanita itu sendiri. Wanita berambut keemasan itu tersentak kaget, lalu cepat melompat menghindar. Dan begitu mendarat kembali di tanah, dia kembali menyerang disertai lengkingan nyaring.

"Hm...." Pendekar Rajawali Sakti hanya bergumam. Tapi dia cepat mengusap batang pedangnya. Lalu pedangnya cepat disampirkan ke warangkanya di punggung. Sementara telapak tangannya kini telah digumpali oleh sinar biru yang berbentuk seperti bola.

"Mampus kau...!" desis Hantu Putih Mata Elang.

Begitu serangan hampir menyambar tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti cepat memapak dengan kedua tangannya. "Cakra Buana Sukma! Hihhh!"

Hantu Putih Mata Elang menggeram, dan langsung melipatgandakan tenaga. Namun alangkah terkejutnya dia, ketika merasakan tenaga dalamnya mengalir deras seperti tersedot. Rupanya, ajian yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti seperti menyeruak tenaga dalamnya. Wanita itu berusaha menarik kepalan tangannya, namun tidak mampu, bahkan seperti menyatu dengan telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Hantu Putih Mata Elang kembali menggeram. Dan dia berusaha menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan tangannya yang sebelah lagi. Dan...

Buk!

"Heh?!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti sedikit terguncang ketika kepalan tangan wanita itu menghantam dadanya. Namun yang lebih terkejut ternyata tangan si Hantu Putih Mata Elang tidak mampu dilepaskan. Dan dengan kedua kepalan tangan menempel maka tenaga dalamnya lebih cepat mengalir keluar.

"Demi iblis! Lepaskan ilmumu keparat! Lepaskaaan...!" teriak Hantu Putih Mata Elang geram dengan amarah meluap-luap.

"Hm...."

"Yeaaat!"

Hantu Putih Mata Elang agaknya hendak berbuat nekat dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki guna melepaskan diri dari pengaruh aji 'Cakra Buana Sukma' yang sedang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus sinis. Dan kembali tangan Rangga bergerak ke belakang punggung. Dan seketika pedangnya yang telah keluar dari warangka berkelebat.

Wuuut! Crasss!

Wanita itu kontan terpekik nyaring begitu kaki kanannya terbabat putus oleh pedang Pendekar Rajawali Sakti. Bersamaan dengan itu, Rangga, menghentakkan sebelah tangannya yang menempel pada tangan Hantu Putih Mata Elang. Begitu tubuh wanita itu terjajar, kembali pedangnya berkelebat cepat menyambar dada Hantu Putih Mata Elang. Dan....

"Shaaa...!"

"Aaa...!" Tubuh wanita berambut keemasan itu terjungkal disertai pekikan nyaring. Dadanya kontan menyemburkan darah segar. Tak lama tubuh wanita itu ambruk di tanah. Sesaat dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!

Rangga menghela napas panjang seraya me-nyarungkan pedangnya. Diperhatikannya Hantu Putih Mata Elang dengan seksama. Pada permukaan kulit si Hantu Putih Mata Elang, terlihat perubahan yang cepat. Kulitnya yang halus mulus, perlahan-lahan keriput. Rambutnya yang keemasan berubah putih. Dan tubuhnya yang padat berisi, perlahan-lahan mengempes. Dan kini hanya tinggal kulit pembalut tulang belaka. Sehingga dalam keadaan seperti itu, terlihat jelas keadaan tubuhnya yang asli. Seorang wanita tua dengan kulit keriput dan tubuh kurus kering penuh ubanan!

"Ibuuu...!" Mendadak seseorang berteriak haru, langsung menghampiri wanita itu dan memeluknya erat dan menangis sendu.

Rangga diam membisu tak kuasa melihat pemandangan itu. Perlahan-lahan didekatinya gadis itu dan berdiri di belakangnya.

"Maafkan aku, Roro Inten. Ibumu terlalu memaksa, sehingga tidak ada jalan lain bagiku selain menyelamatkan diri...," ucap Rangga lirih.

Gadis itu diam tidak menjawab. Rangga mendesah pelan. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Lama dia berdiri mematung, kemudian menoleh ke sekitarnya. Tampak Linggawuni tergeletak dengan tubuh penuh luka. Sementara, di dekatnya terlihat yang lain tergeletak tidak bergerak! Pemuda itu kembali menghela napas pendek kemudian berjalan meninggalkan gadis itu.

"Hendak ke manakah kau, Rangga...?" tanya Linggawuni lirih.

Pemuda itu memperhatikannya seksama. Kemudian setelah yakin kalau laki-laki itu mampu mengurus dirinya sendiri, dia melompat ke punggung kudanya. "Aku akan melanjutkan perjalananku, Linggawuni...," sahut Pendekar Rajawali Sakti datar.

Laki-laki itu mengangguk lemah, memandang pemuda itu sekilas.

"Selamat jalan, Kisanak...! Hiya!" Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya. Dan dalam waktu singkat, dia telah lenyap dari pandangan menembus kegelapan malam. Linggawuni memperhatikan sesaat, kemudian melangkah pelan. Sempat diliriknya Roro Inten yang masih memeluk jenazah ibunya sambil menangis perlahan. Kemudian tanpa mempedulikannya, laki-laki itu bergegas meninggalkan tempat ini.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: PERI PEMINUM DARAH