Pangeran Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

PANGERAN IBLIS


Karya Teguh S

SATU

PAGI baru saja datang menjelang. Matahari belum lagi penuh menampakkan dirinya. Hanya cahayanya saja yang kuning kemerahan dari balik puncak Gunung Jungkun, di sebelah timur. Kabut tebal pun masih terlihat menyelimuti puncaknya. Saat burung-burung ramai berkicauan, terlihat seorang pemuda berjalan tertatih-tatih.

Semak belukar yang lebat disibaknya. Juga kerapatan pepohonan di kaki lereng Gunung Jungkun ditembusnya. Pakaiannya terlihat koyak, penuh noda darah yang telah kering. Bekas-bekas luka terlihat hampir di sekujur tubuhnya. Sesekali dia jatuh terguling, tersangkut akar. Tapi, pemuda itu cepat bangkit berdiri, dan terus melangkah terseok-seok.

“Oh...?!” Tiba-tiba saja kedua bola mata pemuda itu jadi terbeliak lebar.

Kepalanya terangkat ke atas dengan mulut ternganga. Seakan-akan, di depannya terlihat sesosok hantu. Tapi sebentar kemudian, kepalanya berpaling ke belakang. Saat itu, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari arah belakangnya. Suara teriakan orang-orang menggebah kuda pun terdengar, menimpali hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.

“Celaka...! Ke mana lagi aku harus pergi...?” desis pemuda itu, dengan wajah pucat pasi.

Jelas sekali terpancar dari raut wajahnya, kalau pemuda itu tengah kebingungan dan ketakutan setengah mati. Beberapa saat pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian kembali melangkah tergesa-gesa dengan kaki terseret. Dari gerakan kakinya, jelas sekali kalau luka yang dideritanya cukup parah.

“Ugkh...!” Bruk! “Sial...!"

Sebatang akar pohon yang menyembul dari dalam tanah menghantuk kakinya. Akibatnya, pemuda itu jatuh terguling. Setelah sedikit mengumpat, dia bergegas bangkit berdiri lagi dan terus saja melangkah tertatih-tatih. Sementara suara hentakan kaki-kaki kuda semakin jelas terdengar.

“Heh...?! Jurang...,” pemuda itu mendesis tertahan. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu di depannya terlihat sebuah jurang dalam menganga. Dan ketika wajahnya berpaling ke belakang, tampak debu mengepul tidak jauh di balik lebatnya pepohonan. Kecemasan semakin jelas membayang di wajahnya.

“Apa akalku sekarang...?” desis pemuda itu bertanya pada diri sendiri. Kembali pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian kakinya bergegas melangkah menghampiri sebongkah batu yang sangat besar. Lalu dengan susah payah, bongkahan batu itu dinaikinya. Kemudian tubuhnya bergulir turun ke baliknya. Tapi saat itu juga, bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata di balik batu ini menganga jurang yang sangat dalam. Sementara tanah yang menjadi pijakan kakinya hanya sedikit saja.

“Dewata Yang Agung... Tolonglah lepaskan aku dari kejaran mereka...,” desah pemuda itu, bernada putus asa.

Sementara, suara orang-orang yang mengejarnya semakin terdengar dekat saja. Dan pemuda itu tidak berani bergerak sedikit pun juga. Sedikit kepalanya mendongak ke atas, menatap bagian atas bongkahan batu ini. Ada sedikit rasa lega di dalam hati, begitu mengetahui dirinya terlindung batu yang sangat besar ini. Jadi, tidak akan mungkin ada orang yang bisa melihat ke balik batu ini dari atas sana.

Saat itu, tidak terdengar lagi derap kaki kuda. Yang terdengar kini hanya suara-suara beberapa orang bernada kasar. Terdengar jelas sekali suara orang-orang berbicara keras itu. Seakan-akan, tepat di balik bongkahan batu ini. Maka, pemuda itu semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun, seakan-akan tidak berani dilakukannya.

Seluruh tubuh pemuda itu sudah bersimbah keringat yang bercampur noda darah kering. Sementara geletar tubuhnya semakin bertambah keras, ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berkumis melintang tebal tampak tengah berdiri tegak di atas bongkahan batu ini. Pandangannya beredar ke sekeliling, lalu kepalanya dijulurkan ke bawah.

“Kau lihat dia, Rakada...?” terdengar teriakan seseorang dari balik batu itu.

“Tidak! Hanya jurang yang terlihat..!” sahut laki-laki berusia separuh baya yang berdiri di atas batu.

Dialah yang bernama Rakada. Beberapa saat, Rakada masih berdiri di atas batu itu. Pandangannya terus beredar ke sekeliling. Tapi memang, pemuda yang bersembunyi di bawahnya sama sekali tidak bisa terlihat lagi, karena terlindung batu yang sedikit menjorok ke dalam jurang.

“Hup...!” Dengan gerakan yang begitu ringan, laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu melompat turun dari atas bongkahan batu. Begitu ringan kakinya menjejak tanah berumput cukup tebal ini. Jelas, kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah lagi. Lalu, bergegas dihampirinya teman-temannya yang berjumlah tujuh orang.

Mereka semuanya laki-laki, bertubuh tegap dan berotot. Pakaian yang mereka kenakan warna biru muda, dengan potongan dan bentuk sama persis. Masing-masing di pinggang, tersandang sebilah pedang yang bagian ujung tangkainya berbentuk kepala seekor ular tengah menjulurkan lidahnya. Dan rata-rata, usia mereka sudah berada di atas empat puluh tahun. Hanya satu orang saja yang tampak masih muda. Mungkin baru dua puluh lima tahun. Tapi, pakaiannya lebih bagus dari yang lain.

“Huh! Mustahil kalau bisa menghilang begitu saja...!” dengus pemuda berwajah cukup tampan itu.

“Mungkin sudah jatuh ke dalam jurang, Barada,” kata Rakada menduga-duga.

“Jurangnya dalam sekali. Bahkan aku sendiri sulit untuk melihat dasarnya.”

“Mungkin juga, Den Barada. Jejaknya saja terputus sampai di sini,” sambung laki-laki yang bertubuh kurus.

“Kalaupun dia tidak jatuh ke dalam jurang, mana mungkin bisa bertahan hidup dalam keadaan seperti itu? Dia pasti mati kehabisan darah,” sambung yang lain.

“Aku belum puas, kalau belum bisa membawa kepalanya pada junjungan!” dengus pemuda berwajah cukup tampan yang bernama Barada.

“Lalu...?” tanya Rakada terputus.

“Cari sampai ketemu. Aku tidak akan kembali, sebelum kepalanya berada dalam genggaman tanganku!” tegur Barada sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

Mereka semua jadi saling berpandangan satu sama lain. Dan memang, di antara mereka berdelapan, Barada-lah yang paling tinggi tingkat kepandaiannya. Padahal usianya jauh lebih muda dari mereka. Apalagi Barada juga junjungan mereka. Hingga tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa membantah kata-katanya. Terlebih lagi, mereka tahu betul watak Barada. Dia tidak akan segan-segan memenggal kepala orang yang membuatnya jadi susah.

Memang, Barada cepat sekali naik darah, sehingga gampang meloloskan pedangnya. Tanpa diperintah dua kali, tujuh orang yang bersama Barada segera berpencar di sekitar jurang yang berada di kaki lereng Gunung Jungkun ini. Sedangkan Barada kembali meneliti tanah di sekitarnya. Jelas sekali terlihat di atas rerumputan, jejak-jejak kaki serta tetesan noda darah yang sudah hampir mengering. Diikutinya jejak-jejak yang tertera jelas, dan berakhir tepat di atas bongkahan batu sebesar kerbau ini. Barada berdiri tegak di atas bongkahan batu itu.

“Hm.... Mungkinkah dia jatuh ke dalam jurang...?” gumam Barada bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Jejak-jejak yang ada memang berakhir di atas batu ini. Tapi, tampaknya Barada tidak mau percaya begitu saja kalau buruannya terjerumus ke dalam jurang. Maka, kepalanya segera dijulurkan, mencoba menembus kabut tebal yang menutupi dasar jurang di depannya. Tapi kabut begitu tebal, sehingga sulit ditembus dengan pandangan mata biasa.

“Hm...,” tiba-tiba saja Barada menggumam kecil. Dan kelopak mata pemuda itu jadi menyipit. Keningnya juga terlihat berkerut. Perlahan tubuhnya direbahkan di atas batu itu. Lalu sedikit demi sedikit, tubuhnya bergeser. Hingga akhirnya, kepalanya menjulur ke jurang. Dan saat itu juga....

“Ha ha ha...!”

“Oh...?!” Pemuda yang masih berada di balik batu itu jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat kepala Barada menjulur ke bawah sambil tertawa keras terbahak-bahak. Begitu terkejutnya, sampai tangan kanannya tanpa sadar meraih sebuah batu sebesar kepalan tangan. Lalu dengan sisa-sisa kekuatan tenaga yang masih ada, batu itu dilemparkannya ke arah kepala Barada.

“Hih! Pergi kau, Iblis Busuk...!”

Wusss! “Upsss...!”

Untung saja Barada cepat menarik kepalanya kembali, sehingga lemparan batu itu tidak sampai mengenainya.

“Setan...!” geram Barada berang. Dia cepat berdiri tegak di atas batu itu. “Rakada! Kalian semua ke sini! Cepat..!” seru Bara-da lantang menggelegar.

Rakada dan enam orang lainnya bergegas datang menghampiri, begitu mendengar teriakan Barada yang begitu keras menggelegar. Sebentar saja, mereka sudah berada di sekitar bongkahan batu sebesar kerbau itu.

“Tikus busuk itu ada di sini. Di balik batu ini,” jelas Barada. Wajah Barada kelihatan berseri-seri.

Tidak memerah seperti tadi, ketika kehilangan buruannya. Dan tujuh orang yang bersamanya juga jadi gembira mendengar buruannya masih ada. Maka mereka bergegas naik ke atas batu, dan menjulurkan kepala ke bawah. Tapi setiap kali menjulurkan kepala, dari balik batu itu terlempar batu-batu sebesar kepalan tangan. Untung saja, mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Sehingga, lemparan batu itu bisa cepat dihindari.

“Setan keparat..! Dia mulai berani pada kita, Den Barada!” geram Rakada gusar.

“Kalian tangkap dia. Ingin sekali kepalanya kupenggal dengan pedangku sendiri!” perintah Barada.

Tanpa menghiraukan yang lain, Barada bergegas melompat turun dari atas batu itu. Sedangkan tujuh orang anak buahnya, jadi saling berpandangan. Tentu saja sulit bagi mereka untuk menangkap pemuda itu. Sedangkan batu ini berada tepat di bibir jurang. Bisa-bisa, malah mereka sendiri yang terjerumus ke dalam jurang ini. Padahal, tidak ada jalan lain lagi, selain melalui bagian atas batu ini

“Huh! Mau enaknya sendiri...!” gerutu salah seorang kesal.

“Sudah... Kalau dia sampai dengar, bisa celaka kau,” seorang lagi memperingatkan.

“Huh...!”

Tujuh orang laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu segera memeras otak, memikirkan cara untuk menangkap pemuda yang masih berada di balik batu ini. Memang sulit untuk mencapai ke sana. Terlebih lagi, di tempat itu banyak batu kerikil sebesar kepalan tangan yang bisa digunakan pemuda itu sebagai senjata untuk menghalau.

“Gordan.... Ini aku, Rakada. Kau dengar suaraku, Gordan...?!” teriak Rakada agak dikeraskan suaranya.

“Jangan coba-coba membujukku, Paman Rakada. Pergi kau, bersama iblis-iblis keparat itu!” sahut pemuda yang dipanggil Gordan, dan masih tetap berada di balik batu.

“Dengar, Gordan. Kalau kau mau keluar, aku berjanji akan melindungimu. Percayalah. Kau tidak akan apa-apa,” bujuk Rakada lagi.

“Pergi kau, Setan Keparat..!” jerit Gordan.

Rakada menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sedikit matanya melirik Barada, yang tengah duduk bersandar pada pohon, melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.

“Aku akan turun, Gordan...!” seru Rakada lagi. “Aku turun tidak membawa senjata...!”

“Jangan! Jangan lakukan itu, Paman Rakada. Kau akan jatuh ke dalam jurang. Aku tidak main-main. Kau akan jatuh...!” teriak Gordan sekuat-kuatnya.

Saat itu, terlihat batu-batu kerikil berjatuhan dari atas. Gordan cepat-cepat menjulurkan kepalanya, mendongak ke atas. Hatinya jadi terkesiap juga, begitu melihat Rakada berusaha turun menggunakan seutas tambang kulit. Tidak satu pun terlihat senjata tersandang di tubuhnya.

“Paman, naik cepat..! Kau akan jatuh nanti...!” seru Gordan memperingatkan.

Tapi, Rakada tetap saja bergerak turun. Bahkan semakin dekat saja dengan pemuda itu. Dan begitu sudah dekat, Rakada melompat dengan gerakan sangat ringan, jatuh tepat di depan Gordan. Pemuda itu bergegas melangkah mundur. Namun di tangan kanannya sudah tergenggam sebongkah batu yang cukup besar.

“Jangan mendekat, Paman Radaka,” sentak Gordan agak mendesis.

“Dengar, Gordan. Tidak ada gunanya terus bertahan di sini. Ingat, Barada terus menungguimu. Sebaiknya, keluar saja. Serahkan dirimu padanya,” bujuk Rakada.

“Tidak! Aku tidak akan menyerah pada iblis itu!” sentak Gordan tegas.

“Gordan...”

“Kuperingatkan sekali lagi, Paman Rakada. Cepat tinggalkan tempat ini. Atau, kau akan mati di dasar jurang sana,” desis Gordan memotong cepat.

Tapi, Rakada tampaknya tidak menghiraukan peringatan pemuda itu. Malah, kakinya melangkah mendekati dengan gerakan hati-hati sekali.

Sementara, punggung Gordan sudah begitu merapat ke dinding batu. Tidak ada lagi tempat baginya untuk menghindar. Dan begitu tangan Rakada menjulur hendak meraihnya, mendadak saja... “Hih...!”

“Heh...?!” Rakada jadi kaget setengah mati, begitu tiba- tiba saja Gordan menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam batu sebesar kepalan tangan. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali tindakannya, membuat Rakada jadi tersentak kaget.

“Uts...!” Cepat-cepat Rakada meliukkan tubuhnya, menghindari lemparan batu Gordan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Gordan sudah membungkuk. Lalu cepat sekali tangannya menyambar sepotong kayu yang kebetulan ada di situ. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, potongan kayu cukup besar itu langsung saja dikibaskannya ke arah kaki Rakada.

“lkh...!”

Tuk! “Aaa...!”

“Paman Rakada...?!” Gordan jadi menjerit, ketika tiba-tiba saja Rakada terhantam kayu pada kakinya. Dia terpeleset. Bahkan tubuhnya langsung meluncur deras ke dalam jurang disertai jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat.

Tampak di atas bongkahan batu ini, menyembul kepala-kepala yang menjulur ke bawah. Jeritan yang begitu keras rupanya sampai menggegerkan juga.

“Ada apa...?!” seru Barada juga terkejut mendengar jeritan melengking tadi.

“Rakada.... Dia jatuh ke dalam jurang,” sahut salah seorang.

“Apa...?!” Barada begitu terkejut mendengar Rakada tercebur ke dalam jurang.

Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlompat bangkit berdiri. Bergegas dihampirinya bongkahan batu di pinggiran jurang itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas batu. Lalu kepalanya langsung dijulurkan ke bawah.

“Setan keparat kau, Gordan! Kubunuh kau...!” teriak Barada berang setengah mati.

Tapi, Gordan hanya diam saja. Kepalanya menengadah ke atas, menatap Barada yang menjulurkan kepalanya ke balik batu ini. Begitu tajam sinar matanya, seakan-akan hendak menelan bulat-bulat. Sementara, Barada kembali berdiri tegak di atas batu. Tampak jelas sekali dari sinar matanya yang tajam, kalau hatinya begitu gusar atas keadaan ini. Salah seorang pembantu kepercayaannya sudah tewas tercebur jurang. Sedangkan Gordan masih tetap berada di balik batu di pinggiran jurang ini.

“Ayo pergi. Biar dia mampus kelaparan di situ!” dengus Barada kesal.

Memang tidak ada lagi yang bisa diperbuat, karena terlalu sulit untuk bisa mencapai ke balik batu itu. Sedangkan bagi Gordan sendiri, juga tidak mudah untuk bisa keluar. Enam orang yang mengikuti Barada segera berlompatan turun dari bongkahan batu sebesar kerbau itu. Sementara, Barada sudah berada di atas punggung kudanya. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah meninggalkan tepi jurang itu.

********************

DUA

Waktu terus berjalan, sesuai bergulirnya mentari ke arah barat. Di balik bongkahan batu besar yang berada tepat di bibir jurang, Gordan masih tetap duduk memeluk lutut. Dia berusaha berlindung dari sengatan matahari yang begitu terik. Pandangannya turus, tanpa berkedip sedikit pun merayapi dalamnya jurang di depannya. Walaupun matahari bersinar begitu terik, tapi kabut yang menyelimuti dasar jurang itu masih saja terlihat tebal. Sehingga, sulit sekali untuk bisa melihat jelas ke dasar jurang yang sangat dalam ini.

“Paman.... Kenapa kau rela mengorbankan nyawa untuk iblis-iblis keparat itu...?” desah Gordan perlahan. Begitu pelan suara pemuda itu, hampir-hampir tidak terdengar.

Sementara, matahari terus bergerak ke arah barat. Dan Gordan sudah merasakan perutnya bergolak minta diisi. Tapi, mana mungkin bisa mendapatkan makanan di tempat seperti ini. Sedangkan untuk bergerak saja, terasa sulit sekali. Begitu kecil tempat ini, sehingga tidak ada lagi ruang baginya untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Gordan jadi mengeluh. Sungguh tidak terpikirkan oleh Gordan tadi. Yang ada dalam pikirannya hanya menyelamatkan diri dari keangkaramurkaan Barada.

Sementara, angin yang bertiup dari dalam jurang sudah mulai terasa dingin menusuk kulit. Gordan semakin merapatkan pelukannya ke lutut, berusaha mengurangi rasa dingin yang mulai menggigilkan. Sedikit kepalanya mendongak ke atas. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Tidak terasa, hampir satu harian penuh dia berada di balik batu di tepi jurang ini.

“Oh! Apa yang harus kuperbuat..?” desah Gordan bertanya pada diri sendiri.

Nada suaranya jelas sekali terdengar seperti putus asa. Dan memang sedikit sekali harapan untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Bahkan Gordan merasakan tidak mungkin punya harapan lagi. Walaupun tadi mendengar Barada dan para pembantunya sudah pergi, tapi dia tidak yakin kalau mereka pergi begitu saja. Dia yakin, mereka pasti masih mengawasi dari tempat yang jauh. Dan kalaupun bisa keluar, pasti Gordan akan mati di ujung pedang Barada.

“Uh..." Gordan mengeluh kecil. Di saat Gordan sedang memikirkan cara yang tepat untuk bisa keluar, terdengar suara langkah kaki kuda mendekati jurang di balik batu sebesar kerbau tempatnya sekarang ini. Gordan jadi tersentak kaget. Cepat-cepat dia berdiri dan merapatkan punggungnya ke dinding batu yang agak cekung ini. Telinganya dipasang tajam-tajam, mencoba mendengarkan suara yang ada di balik batu ini.

“Sudah sore, Kakang. Sebaiknya kita bermalam saja di sini. Kelihatannya, tempat ini cukup baik untuk bermalam....” Terdengar suara yang sangat halus seorang wanita.

Tak lama, suara langkah kaki kuda pun terhenti. Begitu dekat suaranya di balik bongkahan batu ini. Sementara, Gordan tetap diam. Dia seperti tidak berani membuka suaranya sedikit pun juga. Namun pendengarannya tetap dipasang tajam-tajam.

“Berapa jauh lagi Desa Jungkun, Kakang?” Terdengar lagi suara halus seorang wanita, diikuti terdengarnya suara kaki menjejak tanah yang begitu ringan.

Jelas sekali dalam pendengaran Gordan, kalau ada dua orang di balik batu ini. Dan dari suara yang didengarnya, mereka terdiri dari seorang wanita dan seorang laki-laki. Tapi yang jelas, Gordan tidak kenal mereka. Namun demikian, telinganya terus dipasang lebar-lebar, agar bisa lebih jelas lagi mendengar. Dan di dalam hatinya, dia berharap bukan orang jahat seperti Barada yang datang, dan bisa mengeluarkannya dari sini. Bahkan tidak mungkin, perutnya yang sudah sejak tadi kosong bisa diisi.

“Ini sudah berada di kaki lereng Gunung Jungkun. Tidak begitu jauh lagi dari tempat ini. Pandan.” Terdengar suara sahutan seorang laki-laki yang bernada begitu lembut, seperti suara seorang putra mahkota.

“Tapi, sebaiknya kita bermalam saja di sini, Kakang. Biar perjalanan diteruskan besok pagi saja.”

“Begitu juga boleh. Biar kuda-kuda kita istirahat dulu. Kasihan, seharian penuh terus berjalan.”

Sementara Gordan dari balik batu, terus mendengarkan pembicaraan itu. Dia menduga-duga, siapa kedua orang ini...? Dan rasanya, suara itu belum pernah didengar sebelumnya. Gordan jadi ragu-ragu juga untuk meminta pertolongan. Dia khawatir, kalau kedua orang itu sama saja seperti Barada yang ingin memenggal kepalanya. Cukup lama juga Gordan berpikir mempertimbangkan kehadiran dua orang yang tidak dikenalnya. Hatinya jadi semakin gelisah saja. Dia masih terlihat ragu-ragu. Tapi akhirnya....

“Kisanak dan Nisanak....”

“Heh...?!” Terdengar nada suara terkejut dari balik batu.

“Siapakah kalian berdua? Apakah kalian bukan orang jahat..?” tanya Gordan. Suaranya dibuat dalam sekali, seakan tidak ingin bisa diketahui arahnya.

“Siapa itu yang berbicara...?” terdengar pertanyaan seorang wanita dari balik bongkahan batu ini.

“Aku. Dan kalian siapa...?”

“Kami dua orang pengembara yang hendak ke Desa Jungkun,” terdengar lagi suara sahutan dari seorang wanita.

“Apakah kalian ada hubungannya dengan Barada?”

“Siapa itu Barada...? Kami tidak pernah mendengar namanya.”

“Kalian bukan orang jahat?” Kali ini tidak terdengar sahutan. Dan untuk beberapa saat keadaan jadi sunyi.

“Kami hanya pengembara. Dan bukan orang jahat”

“Bagaimana aku bisa percaya kalau kalian bukan orang jahat...?”

“Kalau kau menunjukkan diri, akan tahu sendiri.“

Kini Gordan yang tidak bisa menyahuti. Dia terdiam memikirkan kata-kata wanita di balik batu itu. Dari nada suara dan kata-kata mereka, memang sepertinya bukan orang jahat. Terlebih lagi, mereka tidak mengenal orang yang bernama Barada. Dan juga, mengaku sebagai pengembara. Gordan jadi termenung beberapa saat lamanya. Dalam rimba persilatan, dia tahu kalau seorang pengembara belum tentu orang jahat. Bahkan kebanyakan adalah pendekar tangguh berilmu tinggi yang selalu membasmi keangkaramurkaan. Tapi tidak sedikit juga yang berwatak jahat, selalu membuat keonaran di mana saja berada.

“Kisanak! Di mana kau berada? Keluarlah...!” terdengar suara agak keras seorang laki-laki dari balik bongkahan batu di tepi jurang ini.

Gordan masih belum juga menjawab. Kepalanya didongakkan sedikit ke atas, menatap matahari yang sudah hampir tenggelam di ufuk barat Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Bahkan terasa begitu lembut menyapu kulit. Cahaya merah jingga menyemburat begitu indah, tapi tidak seindah hati dan pikiran Gordan yang terus gelisah. Cukup lama juga Gordan tidak bersuara sedikit pun.

Sementara, dari balik bongkahan batu ini juga tidak terdengar suara sama sekali. Sedangkan matahari sudah benar-benar tenggelam di peraduannya. Kegelapan menyelimuti seluruh daerah di kaki lereng Gunung Jungkun.

Selagi Barada berpikir, tiba-tiba dikejutkan oleh berkelebatnya sebuah bayangan putih yang begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depannya sudah berdiri seorang pemuda berusia sebaya dengannya. Wajahnya begitu tampan, bagaikan seorang pangeran. Dan pemuda itu berbaju rompi warna putih bersih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung.

Gordan cepat melompat bangkit berdiri, dan mera-patkan punggungnya ke bongkahan batu itu. Tampak jelas dalam keremangan cahaya bulan, wajahnya kelihatan pucat dan tubuhnya menggeletar kedinginan. Memang, angin yang bertiup dari dalam jurang ini begitu kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan.

“Sss..., siapa kau...?! Mau apa kau ke sini?” terdengar tergagap suara Gordan.

“Tenang..., jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu,” kata pemuda berbaju rompi putih itu lembut.

Gordan memandangi pemuda berbaju rompi putih yang datang bagaikan angin, dari ujung kepala hingga ujung jari kaki. Seakan sedang dinilainya, apakah pemuda itu bermaksud baik atau buruk. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja, membiarkan dirinya dinilai dengan cermat.

“Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini tidak sendiri. Ada adikku yang menunggu di balik batu ini,” jelas pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri, tetap dengan nada lembut.

Pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang tersampir di punggung itu memang Rangga. Dan dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Gordan tampaknya tidak mengenal sama sekali. Dan memang, dia belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya. Tak heran kalau dia masih tetap saja diam, dengan sorot mata begitu tajam bernada menyelidik. Seakan, hatinya masih belum percaya kalau pemuda yang memperkenalkan diri dengan nama Rangga itu berniat baik padanya.

“Kisanak! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu...? Kenapa kau berada di sini?” tanya Rangga, masih dengan nada suara lembut sekali.

“Aku.... Namaku Gordan. Aku...,” Gordan tidak bisa meneruskan kata-katanya. Tubuh Gordan jadi bergidik menggigil, saat hembusan angin yang cukup kencang menerpa. Memang sangat dingin angin yang datang dari dalam jurang di depannya.

“Kau terperosok...?” sambung Rangga menduga.

Gordan hanya menganggukkan kepala saja. Memang hanya itu yang bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya, kelihatan sangat sungkan. Apalagi, antara mereka baru sekali ini bertemu. Gordan khawatir, pemuda berbaju rompi putih itu orang suruhan Barada. Tapi rasa kecemasan dalam hatinya jadi terombang-ambing oleh sikap dan tutur kata Rangga yang begitu lembut. Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau pemuda berbaju rompi putih itu menampakkan kebengisan. Bahkan terasa begitu lembut dan sangat bersahabat.

“Sejak kapan kau berada di sini?” tanya Rangga lagi.

“Pagi tadi,” sahut Gordan pelan.

“Kalau kau mau, aku bersedia membantumu keluar dari sini,” kata Rangga menawarkan jasa.

“Kau..., kau akan mengeluarkan aku dari sini...? Untuk apa?

“Sejak pagi, kau terperosok ke sini. Untung saja tidak masuk ke dalam jurang. Kau tentu sangat lapar. Dan kebetulan, aku ada makanan sedikit. Dan lagi, kau kelihatannya terluka. Kau tentu tidak mau mati di sini, bukan...?”

Gordan hanya diam saja.

“Marilah. Aku akan menolongmu keluar dari sini.”

Gordan masih saja diam, meskipun Rangga sudah melangkah mendekati. Entah kenapa, Gordan jadi lunak. Dibiarkannya saja Pendekar Rajawali Sakti memeluk pinggangnya. Lalu, tiba-tiba saja....

“Hup!”
“Eh...?!"
Wusss...!

Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat ke atas. Dan Gordan jadi tersentak kaget setengah mati. Maka cepat matanya dipejamkan. Tapi tidak berapa lama kemudian, Gordan sudah merasakan kakinya menjejak tanah kembali. Dan pelukan tangan Rangga di pinggangnya juga sudah terlepas. Perlahan kelopak matanya dibuka.

Sungguh dia jadi terlongong bengong, menyadari dirinya kini sudah berada di tempat yang cukup lapang, tidak jauh dari tepi jurang. Dan di depannya kini bukan hanya Rangga yang ada, tapi ada pula seorang gadis berwajah cantik jelita. Bajunya warna biru yang cukup ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya begitu nyata terlihat.

“Kau sudah aman sekarang, Kisanak,” ujar Rangga, tetap lembut sekali.

“Oh...,” desah Gordan panjang.

“Mari, duduklah dekat api. Agar tubuhmu terasa lebih hangat,” ajak Rangga ramah.

Tanpa menoleh sedikit pun juga, Gordan mengikuti Pendekar Rajawali Sakti mendekati api. Kemudian dia duduk bersila, tidak jauh dari api yang menyala cukup besar. Sementara gadis cantik berbaju biru muda itu, sudah sibuk memutar-mutar panggangan daging. Kelihatannya, seperti daging kelinci. Bau harum daging kelinci panggang, membuat perut Gordan jadi berontak minta segera diisi. Tapi dia tetap saja diam, walaupun rasa lapar yang menghantam perutnya sudah hampir tidak tertahankan lagi. Dia tidak ingat lagi, kapan terakhir kali perutnya terisi makanan.

“Ini....” Gadis cantik yang memang Pandan Wangi menyodorkan satu panggangan kelinci yang sudah matang. Gordan kelihatan ragu-ragu sejenak. Matanya melirik sedikit pada Rangga. Baru kelinci panggang itu diambil setelah melihat kepala Rangga terangguk, sambil memberi senyum manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti juga mengambil kelinci panggang ini, kemudian me-reka makan tanpa berbicara lagi.

Gordan diam saja ketika Rangga memperhatikan dan memeriksa seluruh tubuhnya dengan cermat sekali. Tampak jelas, dalam siraman cahaya api kalau kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu sudah merebahkan diri, tidak jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf. Kelihatannya kau seperti baru saja habis mendapat siksaan. Luka-luka di tubuhmu jelas bekas cambukan,” kata Rangga bernada ragu-ragu.

Gordan masih saja tetap membisu. Di dalam hatinya, dikaguminya pengamatan Rangga yang begitu cermat, sehingga bisa mengetahui jenis luka. Dan memang, luka-luka yang dideritanya bekas deraan cambuk. Bahkan luka-luka memar di tubuhnya akibat mendapat pukulan serta tendangan.

“Siapa yang menyiksamu sampai seperti ini, Gordan?” tanya Rangga.

“Hhh...!” Gordan hanya menghembuskan napas saja. Seakan, Gordan begitu berat untuk mengatakan yang sebenarnya. Baru beberapa saat mereka saling mengenal, tapi sikap Rangga terlihat begitu memperhatikan. Dan hal ini membuat hati Gordan jadi tidak tenteram. Entah apa yang menyebabkannya. Dia sendiri tidak tahu. Sikap Rangga yang begitu lembut dan penuh perhatian, membuatnya jadi sulit membuka suara. Lidahnya seakan-akan jadi kelu, sulit digerakkan.

“Ceritakan saja, Gordan. Kalau kau punya persoalan yang bisa membahayakan nyawamu, kami berdua tidak segan-segan membantu. Asalkan, kau berada di pihak yang benar,” selak Pandan Wangi.

Gordan menatap gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu, kemudian beralih pada wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia sedang mencari kekuatan untuk membuka suara. Tapi itu masih saja terasa sulit dilakukan. Dan lidahnya terasa begitu kelu.

“Siapa yang menyiksamu, Gordan...?” tanya Pandan Wangi lagi, terus mendesak.

Gadis itu bangun, dan duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya terlihat begitu tajam, langsung menembus sepasang mata Gordan yang redup. Tapi pemuda itu malah mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak sanggup membalas tatapan mata Pandan Wangi yang menyorot sangat tajam.

“Sudahlah.... Mungkin kau tidak ingin kami berdua ikut campur dalam persoalanmu,” elak Rangga menengahi.

“Sebaiknya kau tidur saja, Gordan. Mudah-mudahan saja besok pagi tubuhmu sudah segar kembali.”

Gordan hanya menganggukkan kepala saja, kemudian menggeser duduknya. Lalu, tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun. Sementara, Rangga bangkit berdiri. Kakinya kemudian melangkah menjauhi pemuda itu. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Mereka kemudian duduk di atas sebatang akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Namun, perhatian mereka masih terus tertuju pada Gordan yang tampaknya sudah jatuh tertidur. Begitu cepat pemuda itu jatuh tertidur. Mungkin karena memang sudah begitu lelah.

Sementara, Rangga masih tetap duduk diam sambil memeluk sebelah lutut kanannya. Sedangkan Pandan Wangi sudah kembali merebahkan diri, dengan punggung bersandar pada akar yang menyembul dari dalam tanah ini. Dan malam pun terus merayap semakin bertambah larut Udara di sekitar tepian jurang kaki lereng Gunung Jungkun ini semakin terasa dingin menggigilkan tulang. Api yang menyala cukup besar, seakan tidak mampu mengusir udara dingin ini.

“Kakang....”

“Hm....” “Aku yakin kalau Gordan punya persoalan, Kakang. Jadi mana mungkin bisa terperosok ke dalam jurang itu, kalau tidak ada sebabnya. Dan lagi, di tubuhnya penuh luka bekas penyiksaan,” kata Pandan Wangi pelan setengah berbisik.

“Kalau memang benar, lalu...?”

“Apa salahnya kalau kita mencoba menolong, Kakang.”

“Tapi, Gordan sendiri seperti enggan ditolong orang lain. Sedangkan kita..., tidak mungkin bisa berbuat sesuatu kalau orangnya sendiri tidak menginginkannya.“

“Barangkali dia masih sulit mengungkapkannya, Kakang. Tunggu saja sampai besok pagi,” kata Pandan Wangi bersabar.

Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Kemudian tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun yang tetap menyala besar. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap duduk sambil memeluk lutut memperhatikan Gordan yang sejak tadi sudah mendengkur. Matanya melirik sedikit pada Rangga yang sudah memejamkan matanya. Terlihat gerakan di dadanya begitu halus dan teratur.

“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan nafasnya yang berat sekali.

Entah kenapa, perasaannya mengatakan kalau pemuda yang ditemuinya berada di balik batu harus ditolong. Tapi dia sama sekali tidak tahu, persoalan apa yang sedang dihadapi pemuda itu sehingga hampir saja tercebur ke dalam jurang sangat dalam. Sedangkan untuk menanyakannya, sudah tidak mungkin lagi. Gordan memang tidak menginginkan bantuan siapa pun juga, seperti yang dikatakan Rangga tadi. Dan tampaknya, pemuda itu merahasiakan persoalannya.

Pandan Wangi melihat kalau tidur pemuda itu gelisah sekali. Entah, sudah berapa kali Gor-dan menggelimpangkan tubuhnya. Dan, beberapa kali pula terdengar hembusan nafasnya yang begitu berat dan keras.

“Akh...!”

“Oh...?!” Pandan Wangi jadi terkejut. Dan gadis itu langsung terlompat bangkit berdiri, begitu tiba-tiba saja Gordan memekik seraya terbangun duduk dari tidurnya. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di depan pemuda itu. Tampak seluruh wajah dan tubuh Gordan bersimbah keringat dengan napas tersengal-sengal tak beraturan.

“Ada apa, Gordan...?” tanya Pandan Wangi, dengan kelopak mata agak menyipit memperhatikan wajah pemuda yang bersimbah keringat itu.

“Ohhh...,” Gordan hanya menghembuskan napas panjang-panjang saja. Sebentar Gordan seperti baru terjaga dari tidur dan mimpi buruknya, kemudian pandangannya ditujukan lurus ke wajah cantik Pandan Wangi. Beberapa kali nafasnya ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan rongga dadanya yang menda-dak saja jadi terasa sesak ingin dilonggarkan.

Sementara Pandan Wangi masih bersabar menunggu, seraya memperhatikan wajah yang berkeringat itu.

“Ada apa, Gordan? Kau bermimpi...?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Hhh...!”

********************

TIGA

Semalaman penuh Pandan Wangi tidak bisa memejamkan matanya. Sedangkan Gordan tidak juga ingin menceritakan mimpi buruk yang dialaminya semalam, hingga matanya juga tidak bisa dipejamkan lagi. Gordan hanya mengatakan kalau habis bermimpi. Hanya itu saja yang dikatakannya.

Dan pada pagi harinya, Pandan Wangi menceritakan tentang mimpi Gordan semalam pada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu ditanyakan tentang mimpinya, Pandan Wangi tidak bisa menjawab. Dan memang, dia tidak tahu apa mimpi yang dialami Gordan semalam.

Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran juga. Dihampirinya Gordan yang duduk terpisah dari mereka. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti menemaninya duduk di sebelah kanan.

“Kau bermimpi buruk semalam, Gordan?” tanya Rangga langsung.

Gordan hanya menganggukkan kepala sedikit.

“Kau mau menceritakannya padaku...?” pinta Rangga lembut.

Gordan masih tetap diam. Perlahan wajahnya berpaling, menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian pandangannya beralih lurus ke depan. Sekali ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.

Sementara Rangga masih sabar menunggu. Saat itu, Pandan Wangi datang menghampiri, setelah menyiapkan kuda-kuda. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu kemudian duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku tahu, kau sedang mengalami kesulitan, Gordan. Kau bisa mengurangi beban yang menghimpitmu kalau mau menceritakan sedikit persoalanmu padaku,” kata Rangga lagi mendesak.

“Terima kasih atas perhatian kalian berdua. Aku memang punya persoalan. Tapi sungguh..., aku tidak ingin kalian terlibat dalam persoalanku ini,” kata Gordan setelah cukup lama berdiam diri membisu.

“Kalau kau tidak ingin kami terlibat kami juga tidak ingin melibatkan diri. Kami hanya ingin mengurangi beban yang kau derita,” kata Rangga terus membujuk.

“Hhh...!” Lagi-lagi Gordan menghembuskan napas panjang.

“Katakan saja, Gordan,” desak Pandan Wangi.

“Kalau kukatakan, sudah pasti kalian tidak akan bisa menghindari. Kalian pasti akan terlibat walaupun berusaha menghindar. Sungguh! Aku tidak ingin ada korban lagi. Biarlah aku saja yang menderita, asalkan jangan orang lain yang ikut merasakannya,” kata Gordan masih dengan suara pelan.

“Kalaupun terlibat, kami akan mengatasinya sendiri. Percayalah...,” ujar Rangga meyakinkan.

“Kalian tidak akan melibatkan aku lagi...?”

“Tidak,” sahut Rangga mantap.

“Sungguh...?” Rangga mengangguk mantap.

“Terus terang, aku tidak sudi lagi melihat mereka. Apalagi berurusan dengan mereka. Aku akan pergi sejauh mungkin, ke tempat yang tidak bisa dijangkau mereka...,” kata Gordan, terdengar terputus nada suaranya.

“Siapa mereka, Gordan?” tanya Rangga.

“Mereka yang menyiksamu?” sambung Pandan Wangi, bertanya.

Gordan hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian... “Pangeran Iblis....”

“Pangeran Iblis...?!” desis Pandan Wangi dengan kening berkerut.

“Ya! Dia kejam sekali. Dia bukan lagi manusia, tapi iblis dari neraka.”

“Hm, siapa dia itu...?” gumam Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

“Aku tidak tahu, siapa dia sesungguhnya. Tahu-tahu, dia sudah ada dan langsung menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga. Dia datang seorang diri, tapi sudah bisa menguasai semua orang di kota kadipaten itu. Bahkan kini, sudah banyak desa yang dikuasainya. Aku sendiri tidak mengerti, sampai orang-orang begitu memuja. Sepertinya, dia dewa saja,” Gordan mulai menceritakannya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Sedangkan Gordan terdiam, mengumpulkan kata-kata yang akan diutarakannya pada kedua pendekar muda yang diketahuinya hanya dua orang pengembara saja, yang kebetulan lewat di tempat ini. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tahu, Gunung Jangkun ini juga masih termasuk Kadipaten Wurungga. Dan kota kadipaten itu tidak jauh lagi dari Desa Jungkun yang berada di kaki lereng gunung ini. Jaraknya pun tidak seberapa jauh Lagi dari sini. Tapi, kedua pendekar itu sama sekali tidak tahu keadaan sekarang di sana. Dan tampaknya, mereka terkejut mendengar Kadipaten Wurungga sudah dikuasai manusia iblis yang disebut Pangeran Iblis.

“Sudah banyak pendekar sakti dan digdaya yang berusaha untuk mengenyahkan Pangeran Iblis itu. Tapi, justru yang terjadi malah sulit diterima akal...,” sambung Gordan terputus nada suaranya.

“Apa maksudmu, Gordan?” Pandan Wangi meminta penjelasan.

“Seperti pamanku..., Paman Rakada. Semula, Paman Rakada mengajakku untuk mengusir Pangeran Iblis dari Kadipaten Wurungga. Tapi entah kenapa, justru paman jadi berbalik. Bahkan kini begitu patuh pada perintah Pangeran Iblis. Hingga, dia begitu tega hendak membunuhku,” sahut Gordan menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

“Hm.... Jadi, itu sebabnya sampai kau berada di balik batu itu kemarin...?” gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

“Benar. Bahkan Paman Rakada terjerumus masuk ke dalam jurang karena berusaha mengeluarkan aku dari sana.”

“Kenapa kau tidak keluar?”

“Tidak mungkin, Nini. Saat itu, Paman Rakada masih dipengaruhi pikirannya. Dia bukannya ingin mengeluarkan, tapi justru ingin menyerahkan aku pada orang kepercayaan Pangeran Iblis. Kalian tahu, kalau aku keluar kemarin, sudah pasti kalian hanya akan menemukan tubuhku saja. Sedangkan kepalaku akan dibawa pada Pangeran Iblis,” sahut Gordan.

“Untuk apa...?” tanya Pandan Wangi agak mendesis terkejut.

“Sebagai peringatan bagi siapa saja yang berani menentang kehendak Pangeran Iblis,” sahut Gordan.

“Edan..!” desis Rangga.

“Kejam sekali...!” dengus Pandan Wangi jadi geram.

“Aku sebenarnya sudah menjadi tawanan mereka. Tapi, aku bisa meloloskan diri dan terus kabur dari kadipatenan. Hingga aku sampai ke tempat ini, mereka terus mengejarku sampai di sini. Tapi setelah Paman Rakada tewas tercebur ke dalam jurang, mereka meninggalkanku begitu saja. Mereka berharap, aku mati kedinginan dan kelaparan di bibir jurang itu,” kata Gordan lagi.

“Hm...,” Rangga menggumam kecil.

“Mereka pasti tidak akan melepaskanku begitu saja. Mereka pasti akan kembali lagi ke sini untuk mengambil mayatku. Kalau tahu aku masih hidup, pasti mereka akan terus mengejar walaupun sampai ke ujung langit“ sambung Gordan.

Mereka kemudian terdiam membisu. Cukup lama juga tidak ada yang membuka suara lagi. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Sementara, Rangga sudah bangkit berdiri tegak. Matanya terus menatap lurus ke arah Desa Jungkun yang sudah terlihat dari tempat ini. Desa itu kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni lagi. Dan tidak jauh di sebelah selatan desa, terletak Kota Kadipaten Wurungga. Memang, tidak bisa terlihat dari lereng gunung ini, karena terhalang hutan kecil yang membatasi antara Kota Kadipaten Wurungga dengan Desa Jungkun. Tapi, ada jalan membelah hutan kecil itu yang menghubungkan ke kota kadipaten.

“Rasanya kita tidak mungkin bisa tinggal diam begitu saja, Kakang,” ujar Pandan Wangi, setelah berdiri dan berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh...?!” Gordan jadi tersentak kaget mendengar kata-kata gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.

Bukan hanya Rangga yang berpaling, tapi juga Pandan Wangi. Sementara, Gordan bergegas bangkit berdiri dari duduknya. Dan kakinya melangkah beberapa tindak, lalu berdiri tepat di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Gordan memang tidak tahu, siapa sebenarnya kedua anak muda yang telah menyelamatkan nyawanya dari mati kelaparan dan kedinginan di balik batu yang berada di bibir jurang.

Dia memang tidak mungkin lagi bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup, kalau tidak ditolong pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Terlebih lagi, tenaganya memang sudah tidak ada lagi. Bahkan dirinya dalam keadaan terluka akibat mendapat penyiksaan yang cukup berat dari para pengikut Pangeran Iblis.

“Tidak...! Kalian tidak boleh ke sana. Kalian, akan sia-sia, dan hanya menyerahkan nyawa saja kalau sampai ke sana,” cegah Gordan.

Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi yang juga tengah menatapnya. Kemudian, bibir Pendekar Rajawali Sakti bergerak membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Ditepuknya pundak Gordan, masih dengan bibir tersenyum.

“Kau tidak perlu mencemaskan kami berdua, Gordan...,” kata Rangga, terputus suaranya.

“Kau tahu, siapa kami berdua, Gordan...?” ujar Pandan Wangi bernada bertanya.

Gordan hanya diam saja memandangi kedua pendekar muda itu. Sejak kemarin, mereka berdua ini memang belum dikenalnya betul. Walaupun sudah memperkenalkan nama masing-masing, tapi yang sesungguhnya Gordan memang tidak tahu. Dan tanpa disadari kepalanya bergerak menggeleng.

“Kami pendekar-pendekar muda dari Karang Setra. Dan kalau ada persoalan seperti ini, sudah barang tentu tidak bisa tinggal diam begitu saja. Memang, sudah menjadi tugas para pendekar untuk membasmi keangkaramurkaan,” kata Pandan Wangi.

“Pendekar dari Karang Setra...?” desis Gordan seperti tidak percaya nada suaranya.

“Benar! Kami memang berasal dari sana,” kata Pandan Wangi lagi.

“Apakah..., apakah kalian yang dijuluki Sepasang Pendekar Karang Setra...?”

Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja, tapi disertai senyum lembut. Memang, julukan itu sudah pernah didengarnya dari orang-orang kalangan rimba persilatan. Kedua pendekar itu memang selalu mengatakan berasal dari Karang Setra. Sedangkan mereka selalu pergi mengembara berdua, menunaikan tugas kependekaran. Hingga, orang-orang dari kalangan rimba persilatan selalu menjuluki mereka Sepasang Pendekar Karang Setra.

“Dan kau..., kau pasti Pendekar Rajawali Sakti,” tebak Gordan lagi, seraya menatap Rangga dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. “Kau..., si Kipas Maut..?” ujar Gordan lagi, berpindah menatap Pandan Wangi.

“Tidak salah lagi, Gordan,” sahut Pandan Wangi, tanpa sedikit pun ada nada menyombongkan diri. Sengaja gadis itu mengatakan hal yang sebenarnya, agar Gordan tidak lagi mencegah dan merasa cemas kalau mereka ingin ke Kadipaten Wurungga.

“Oh...,” Gordan mendesah panjang, seraya menghembuskan nafasnya.

Tiba-tiba saja, pemuda itu jatuh berlutut. Lalu dipeluknya kedua kaki Rangga erat-erat. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak kaget. Demikian pula Pandan Wangi yang terkejut melihat sikap Gordan seperti itu.

“Bangunlah, Gordan. Tidak pantas kalau sikapmu begitu padaku,” kata Rangga seraya menarik tubuh pemuda itu hingga kembali berdiri.

“Maafkan aku.... Maafkan aku yang buta dan tidak mengenal kalian berdua para pendekar digdaya...,” ujar Gordan, agak terbata suaranya.

“Ah, sudahlah.... Kami juga manusia biasa sepertimu,” kata Rangga merendah.

“Sungguh, aku tidak tahu kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Oh..., sungguh bodoh aku yang tidak mengenali pendekar digdaya seperti kalian berdua.” Gordan membungkukkan tubuhnya, menjura memberi hormat pada kedua pendekar muda dari Karang Setra yang sudah dikenal sebagai Sepasang Pendekar Karang Setra.

Sikap hormat yang diberikan Gordan, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi merasa rikuh juga. Tapi, mereka sudah tidak bisa lagi menghilangkan rasa hormat pemuda itu. Maka kini terlihat rasa penyesalan di dalam sinar mata Pandan Wangi, karena mengatakan diri mereka berdua yang sesungguhnya. Tapi, apa boleh buat? Semua sudah telanjur, dan kata-kata yang sudah terucapkan tidak mungkin bisa ditarik kembali. Ibarat ludah yang sudah keluar, tidak mungkin dijilat lagi.

“Kalian sungguh-sungguh ingin pergi ke kota?” tanya Gordan, seakan ingin menegaskan.

“Benar, Gordan. Kami tidak mungkin bisa diam diri begitu saja setelah mendengar penuturanmu,” Pandan Wangi yang menyahuti, sebelum Rangga bisa membuka suara.

“Oh! Kalau kalian yang datang, aku yakin Pangeran iblis pasti bisa ditumpas,” kata Gordan mantap.

“Semua tergantung dari Hyang Widhi, Gordan. Jika sang Hyang Widhi menghendaki, kami tentu bisa menghentikannya,” kata Rangga merendah lagi.

“Nama kalian berdua sudah seringkali kudengar. Dan...,” Gordan tidak melanjutkan.

“Dan apa, Gordan?” Pandan Wangi meminta meneruskan.

“Terus terang, sebenarnya aku berusaha kabur dari mereka juga, untuk pergi ke Karang Setra. Dan aku ingin meminta bantuan para pendekar Karang Setra. Kudengar, Karang Setra memiliki pendekar-pendekar tangguh dan digdaya. Bahkan rajanya juga seorang yang sangat digdaya,” kata Gordan melanjutkan.

Rangga hanya tersenyum saja. Sudah barang tentu Gordan tidak tahu kalau sekarang ini sedang berhadapan dengan Raja Karang Setra. Dan Pandan Wangi juga hanya tersenyum saja. Matanya langsung melirik Pendekar Rajawali Sakti. Memang, tidak banyak orang yang tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah juga Raja Karang Setra. Dan kebanyakan orang hanya men-genal kalau pemuda itu hanya seorang pendekar yang berasal dari Karang Setra, yang terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

“Pendekar tangguh bisa didapatkan di mana saja, Gordan. Tidak harus di Karang Setra,” kata Rangga masih merendahkan diri.

“Tapi yang kudengar, Karang Setra memiliki begitu banyak pendekar tangguh dan digdaya. Seperti kalian ini. Begitu banyak orang yang membicarakan ketangguhan kalian berdua. Bahkan begitu banyak orang dari kalangan persilatan yang harus berpikir seribu kali jika ingin menantang kalian bertarung. Terutama sekali kau, Pendekar Rajawali Sakti. Kesaktian yang kau miliki memang tidak ada duanya di jagat raya ini,” lagi-lagi Gordan memuji.

“Ah, sudahlah. Tidak akan ada habisnya kalau terus membicarakan hal itu,” kata Rangga tidak ingin melanjutkan.

“Sudah terlalu siang, Kakang. Apa sebaiknya kita berangkat saja sekarang...? Dan sebelum malam tiba kurasa kita sudah bisa sampai di kota kadipaten,” kata Pandan Wangi mengusulkan.

“Baiklah,” sahut Rangga menyetujui.

"Tapi...”

Pendekar Rajawali Sakti menatap Gordan. Di sini hanya ada dua ekor kuda. Sedangkan mereka semua ada tiga orang. Rasanya, tidak mungkin kalau kedua pendekar muda itu meninggalkan Gordan seorang diri saja.

“Kau bersamaku, Gordan. Di Desa Jungkun nanti, aku akan membelikanmu kuda,” kata Rangga

“Oh, terima kasih.... Aku senang sekali bisa berkuda bersamamu, Pendekar Rajawali Sakti,” sambung Gordan, gembira.

“Ayolah. Jangan membuang-buang waktu lagi,” ajak Rangga.

Tak berapa lama kemudian, mereka sudah berkuda meninggalkan kaki lereng Gunung Jungkun itu. Dan jelas sekali kalau tujuan mereka ke Desa Jungkun yang terletak tidak jauh lagi dari tepian jurang itu. Rangga menunggang kudanya yang dikenal berna-ma Kuda Dewa Bayu. Di belakangnya duduk Gordan. Dipeluknya erat-erat pinggang Rangga. Hatinya agak ngeri juga dengan kecepatan lari kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan Pandan Wangi menunggang kuda putih miliknya. Begitu cepatnya kuda itu berlari, hingga seakan-akan keempat kakinya tidak lagi menepak tanah. Debu begitu tebal mengepul tinggi ke angkasa, diterjang kaki-kaki kuda. Sedangkan Pandan Wangi sudah mulai tertinggal sekitar lima batang tombak jauhnya di belakang. Gadis itu memang sulit untuk bisa menyamai kecepatan lari Kuda Dewa Bayu dengan kuda putihnya yang hanya seekor kuda biasa. Jelas saja, karena kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti adalah kuda pemberian dewa yang langsung diturunkan ke bumi dari kahyangan.

“Kakang, tunggu...!” teriak Pandan Wangi, begitu merasakan semakin jauh saja tertinggal.

Rangga berpaling ke belakang sebentar, kemudian memperlambat lari kudanya. Sehingga, dengan cepat Pandan Wangi bisa menyamai kuda hitam itu lagi. Dan kudanya terus dipacu cepat di samping Kuda Dewa Bayu. Kali ini, Rangga mengendalikan lari kudanya, agar Pandan Wangi tidak tertinggal lagi. Kini mereka tiba di Desa Jungkun, namun hanya singgah sebentar. Di desa ini, mereka mendapatkan seekor kuda yang bagus dan tegap untuk Gordan. Demikian pula pakaian yang bersih untuk mengganti baju Gordan yang sudah koyak bernoda darah. Memang masih ada luka-luka di tubuhnya, tapi sudah tidak lagi mengeluarkan darah. Dan hanya luka-luka kering saja yang tinggal menunggu kesembuhan.

Mereka terus melanjutkan perjalanan di atas kuda masing-masing, membelah hutan kecil yang menjadi pembatas antara Desa Jungkun dengan Kota Kadipaten Wurungga. Dan ternyata Gordan pandai sekali menunggang kuda. Hingga, dia tidak perlu takut tertinggal. Dan hanya Rangga saja yang bisa mengendalikan kecepatan lari kudanya, agar tidak meninggalkan yang lainnya.

Sementara matahari terus merayap ke arah barat, sesuai perjalanan waktu. Ketiga anak muda itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan tanah di dalam hutan kecil ini. Debu terus mengepul membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Gerbang perbatasan Kota Kadipaten Wurungga sudah terlihat Rangga memperlambat lari kudanya, diikuti Pandan Wangi dan Gordan. Tampak gerbang perbatasan yang terbuat dari batu itu dijaga enam orang berpakaian seragam prajurit kadipaten. Mereka masing-masing menggenggam sebatang tombak yang panjangnya dua kali dari tubuh mereka.

“Berhenti...!”
“Hooop...!”

Ketiga anak muda itu langsung menghentikan langkah kaki kudanya, begitu salah seorang prajurit kadi-paten penjaga gerbang memintanya berhenti. Lalu prajurit yang berteriak keras tadi menghampiri Rangga segera melompat turun dari punggung kudanya, diikuti Pandan Wangi. Sementara, Gordan masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Sebuah caping bambu yang cukup besar, memang cukup untuk melindungi wajahnya agar tidak dikenali di Kota Kadipaten Wurungga ini.

“Siapa kalian?! Dan, mau apa datang ke Kota Kadipaten Wurungga ini?” tanya prajurit yang masih berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.

Sikapnya begitu angkuh. Bahkan sedikit membusungkan dadanya. Tapi sorot matanya justru tidak berpindah dari wajah cantik Pandan Wangi yang berdiri tidak jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, lima orang prajurit lain mulai melangkah menghampiri. Mereka menyeringai begitu melihat wajah Pandan Wangi yang begitu cantik.

“Kami bertiga datang dari jauh. Dan hanya ingin lewat saja di kota kadipaten ini,” sahut Rangga memberi tahu

“Boleh kami lewat..?”

“Hm...,’ prajurit itu menggumam. Kakinya lalu melangkah menghampiri Pandan Wangi. Diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, seperti sedang menilai suatu barang yang sangat indah. Dan perlahan tangannya menjulur hendak menyentuh wajah si Kipas Maut itu. Tapi begitu jari tangannya hampir menyentuh pipi yang putih dan halus itu, mendadak saja....

“Hih!”
Plak!
“Aduhhh...!”

Prajurit itu kontan terpekik kaget, dan langsung menarik tangannya yang tiba-tiba saja terasa panas bagai terbakar. Cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah. Wajahnya langsung memerah, menatap tajam Pandan Wangi.

“Kurang ajar...! Hih
Bet!

Cepat sekali prajurit itu mengebutkan tombaknya, menyodok langsung ke arah lambung Pandan Wangi. Tapi hanya sedikit saja gadis ini mengegoskan tubuhnya, tombak yang cukup panjang itu lewat di samping tubuhnya. Dan tanpa dapat dilihat dengan mata biasa, si Kipas Maut itu sudah cepat menghentakkan kaki kirinya.

“Yeaaah...!”
Diegkh!
“Akh...!”

Kembali prajurit muda itu terpekik, dan langsung terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Tendangan Pandan Wangi yang begitu keras, tepat mendarat di dadanya. Akibatnya, prajurit itu hanya bisa menggelepar sedikit begitu jatuh di tanah, lalu mengejang kaku. Dia tewas seketika itu juga dengan tulang-tulang dada remuk, terkena tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tadi.

Sementara itu lima orang prajurit lain jadi terkejut setengah mati, melihat temannya tewas seketika, hanya sekali mendapat tendangan saja. Dan seperti ada yang memberi perintah, mereka langsung saja berlompatan cepat menerjang ke arah Pandan Wangi. Tapi belum juga melakukan serangan, mendadak saja....

“Hup! Hiyaaa...!”

Gordan yang sejak tadi duduk saja di punggung kudanya, langsung cepat melompat. Dan seketika pukulannya terlontar begitu cepat menghajar kelima prajurit itu. Begitu cepat gerakan-gerakannya, hingga membuat lima orang prajurit itu tidak dapat lagi mengetahuinya.

Dan tahu-tahu, mereka sudah berpentalan sambil menjerit keras melengking tinggi. Hanya dalam waktu sekejapan mata saja, Gordan sudah membuat lima orang prajurit itu terkapar tanpa dapat bangun-bangun lagi. Mereka seketika tewas dengan dada remuk, akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Gordan tadi.

“Seharusnya kalian tidak perlu membunuh mereka...,” desah Rangga menyesalkan.

“Maaf, Kakang. Mereka yang memulai,” Pandan Wangi membela diri.

“Gordan! Kenapa kau begitu tega membunuh mereka?” Rangga menatap Gordan yang sudah membuka caping bambunya.

“Mereka bukan para prajurit, Kakang,” sahut Gordan, yang kini sudah menyebut kakang pada Rangga, mengikuti Pandan Wangi. Dan memang, Rangga sendiri yang menghendakinya.

“Hm, lalu siapa mereka?”

“Iblis pengikut Pangeran Iblis,” sahut Gordan lagi.

“Hhh..., sudahlah. Ayo kita teruskan, sebelum ada orang lain yang melihat,” ajak Rangga tidak ingin memperpanjang lagi.

Mereka kembali berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing, dan terus memacu cepat meninggalkan gerbang perbatasan itu. Kini mereka lang-sung menuju Kota Kadipaten Wurungga. Dan saat itu, matahari sudah hampir tenggelam di balik belahan bumi bagian barat.

********************

EMPAT

Kota Kadipaten Wurungga memang sangat indah di waktu malam. Hampir di setiap sudut kota itu bermandikan cahaya lampu pelita yang berwarna-warni. Tapi, suasananya memang terasa tidak nyaman. Di mana-mana selalu terlihat prajurit bersenjata tombak dan pedang tengah berjaga-jaga. Seakan-akan, kota itu sedang menghadapi perang saja.

Rangga memilih sebuah rumah penginapan yang cukup besar dan apik di kota itu, tidak jauh dari bangunan kadipatenan yang dijaga puluhan prajurit berusia muda. Dari jendela kamar penginapannya, bisa terlihat langsung pintu gerbang masuk bagian depan kadipatenan. Ada sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit tengah berjaga-jaga di sana yang menyandang senjata lengkap.

“Kelihatannya penjagaan sangat ketat, Kakang. Seperti sedang menghadapi perang saja....”

Rangga berpaling, lalu tersenyum melihat Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Gadis itu juga rupanya memperhatikan penjagaan di sekitar bangunan tempat tinggal Adipati Wurungga ini. Dan di dalam hati, Rangga memang membenarkan ucapan Pandan Wangi. Rasanya, cukup sulit juga untuk bisa menembusnya.

“Kalau kalian ingin masuk ke dalam, aku tahu jalan rahasia yang teraman.”

Kedua pendekar dari Karang Setra itu agak terkejut juga, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Mereka cepat berbalik. Dan kening mereka langsung berkerut begitu melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun, tahu-tahu sudah berada di dalam kamar penginapan ini. Laki-laki itu mengenakan baju warna biru muda yang sangat halus. Dan pasti terbuat dari bahan sutera yang sangat mahal harganya.

Pada bagian dadanya terdapat sulaman benang emas bergambar bunga-bunga. Walaupun sudah berusia lebih dari separuh baya, tapi wajahnya yang bersih masih terlihat tampan. Rambutnya yang masih hitam pun tertata rapi, tergelung ke atas. Dari penampilannya, Rangga bisa menebak kalau laki-laki yang tahu-tahu sudah ada di dalam kamar penginapan ini pasti seorang pembesar kadipaten.

“Maaf kalau kedatanganku mengejutkan kalian,” ucap laki-laki separuh baya itu seraya membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi penghormatan.

Rangga segera membalas salam penghormatan itu. dengan membungkukkan tubuhnya juga. Pandan Wangi juga mengikuti sikap Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian Rangga mempersilakan tamunya ini duduk dengan sikap ramah, walaupun dari sorot matanya masih memancarkan rasa curiga.

“Maaf, siapakah Paman ini...? Rasanya kami belum pernah mengenal,” ucap Rangga, lembut dan penuh rasa hormat.

“Memang kita belum saling mengenal. Tapi terus terang saja, aku sudah mengenalmu, Rangga,” sahut laki-laki tua itu kalem.

“Oh...?!” Rangga kembali terkejut.

“Namaku Arya Sempana,” laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu memperkenalkan diri.

Rangga mengangguk sedikit, menerima perkenalan itu. Sementara, Pandan Wangi tetap berdiri saja membelakangi jendela. Dan di dalam kamar penginapan ini memang hanya ada dua buah kursi yang mengapit sebuah meja kayu, di samping sebuah ranjang berukuran besar. Namun, tidak ada perabotan lainnya di dalam kamar itu.

“Jangan heran, kenapa aku bisa tahu namamu, Rangga. Juga kedatangan kalian berdua di kadipaten ini,” lanjut Arya Sempana.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam sedikit saja.

“Gordan yang memberitahukan tentang kalian padaku.”

“Gordan...?!” Kembali Rangga terkejut. Sungguh tidak di sangka kalau Gordan sudah menceritakan kedatangannya pada orang lain, tanpa diketahui sama sekali. Tapi tidak ada waktu lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bertanya-tanya. Dia hanya diam saja dengan kepala dipenuhi segudang pertanyaan yang sulit dijawab saat ini.

“Gordan bukan saja keponakanku. Tapi, juga putra Gusti Adipati Utayasena,” jelas Arya Sempana.

“Ohhh...,” Rangga hanya bisa mendesah panjang saja.

“Dia sudah bercerita banyak tentang kalian berdua. Terus terang, ku ucapkan terima kasih karena kalian telah menyelamatkan nyawanya. Kalau tidak ada kalian berdua, entah apa yang terjadi terhadap Gordan. Mungkin saja, sekarang ini aku hanya bisa menerima kabar tentang nasibnya, tanpa dapat lagi bertemu orangnya,” lanjut Arya Sempana.

Kini Pendekar Rajawali Sakti baru tahu, ternyata Gordan putra adipati. Pantas saja dia tidak mau berjalan bersama-sama, setelah memasuki kota kadipaten ini. Pemuda itu lalu meminta untuk berpisah. Dan sekarang pun Rangga tidak tahu, di mana Gordan berada.

“Maaf, Paman. Boleh aku bertanya sedikit..,” pinta Rangga menyelak.

“Silakan,” sahut Arya Sempana ramah.

“Di mana Gordan sekarang berada?” tanya Rangga langsung.

“Keselamatannya sangat terancam kalau keberadaannya di Kadipaten Wurungga ini diketahui, Rangga. Dia langsung pergi setelah menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Juga tentang kalian berdua,” sahut Arya Sempana.

“Paman tahu, ke mana perginya?” selak Pandan Wangi bertanya.

“Dia tidak mau mengatakannya, walaupun sudah kudesak. Tapi memang, itu lebih baik untuk menjaga keselamatan dirinya,” sahut Arya Sempana lagi.

Rangga dan Pandan Wangi terdiam seraya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Sementara, Arya Sempana juga terdiam. Hanya dipandanginya saja kedua pendekar muda itu bergantian. Sikapnya masih terlihat sopan.

“Kalau boleh kutahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi di Kadipaten Wurungga ini, Paman?” tanya Rangga setelah cukup lama membisu.

“Sulit untuk menjelaskannya, Rangga. Kadipaten Wurungga ini benar-benar telah menjadi neraka. Di sini, sudah tidak ada lagi saling percaya. Masing-masing saling curiga. Bahkan pembunuhan terjadi di mana-mana. Sulit sekali untuk mengendalikan keadaan kacau ini. Bahkan dalam satu keluarga pun sulit menemui orang yang bisa dipercaya. Tidak ada lagi tempat aman dan damai di kadipaten ini.”

“Kenapa bisa begitu, Paman?” tanya Pandan Wangi, jadi ingin tahu lebih banyak lagi.

“Semua ini terjadi karena ulah Pangeran Iblis,” sahut Arya Sempana, agak gusar nadanya.

Sementara, Rangga hanya diam saja sambil mendengarkan semua penuturan laki-laki tua berbaju sutera halus yang sangat indah itu. Dicobanya untuk membandingkan antara cerita yang didengarnya dari Gordan, dengan cerita yang dituturkan Arya Sempana. Di saat mereka semua tengah terdiam, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita, disertai makian dan sumpah serapah.

Pendekar Rajawali Sakti bergegas bangkit berdiri, dan melangkah ke jendela. Sementara, Pandan Wangi juga cepat memutar tubuhnya. Sedangkan Arya Sempana segera menghampiri jendela kamar penginapan yang sejak tadi terbuka lebar itu.

Tampak di luar sana terlihat seorang gadis muda tengah meronta-ronta diseret empat orang berpakaian prajurit. Kedua tangan gadis itu terikat tambang yang dipegangi empat orang prajurit berusia muda. Banyak orang di jalan itu, tapi tak seorang pun yang berusaha menolongnya. Dan baru saja Rangga hendak bergerak melompat keluar dari jendela, Arya Sempana sudah lebih cepat mencekal pergelangan tangannya.

“Jangan...!” cegah Arya Sempana.

“Tapi, Paman....”

“Biarkan saja. Jangan ikut campur dulu urusan mereka. Biarkan gadis itu dibawa. Kau akan celaka nantinya bila menolongnya,” kata Arya Sempana memperingatkan.

Rangga jadi terdiam dengan kening berkerut, dan kelopak mata agak menyipit. Sungguh sulit dimengerti sikap Arya yang mencegahnya menolong gadis muda itu dari tangan-tangan kasar para prajurit. Gadis itu diseret dengan tambang yang mengikat kedua tangannya. Dia jatuh bangun sambil menjerit-jerit dan memaki-maki.

Namun tidak ada seorang pun yang mau menolongnya. Bahkan Arya Sempana sendiri mencegah Rangga yang hendak menolong. Dan inilah yang membuat Rangga jadi semakin tidak mengerti tentang keadaan di Kadipaten Wurungga ini. Apa yang terjadi benar-benar membuat Pendekar Rajawali Sakti bingung tidak mengerti.

Sementara, gadis itu sudah dibawa masuk ke dalam lingkungan kadipaten yang dijaga ketat puluhan prajurit bersenjata lengkap. Dan suara teriakannya pun lenyap, setelah melewati pintu gerbang masuk ke kadipatenan itu. Perlahan Rangga berbalik, dan pandangan matanya langsung menembus bola mata Arya Sempana. Sedangkan laki-laki separuh baya itu hanya menghembuskan napas panjang yang terasa berat sekali.

“Kelak kau akan mengerti sikapku tadi, Rangga,” ujar Arya Sempana perlahan.

Laki-laki tua itu membalikkan tubuhnya, dan melangkah mendekati kursi dari rotan. Sambil menghembuskan napas panjang, tubuhnya dihempaskan di kursi. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri membelakangi jendela, memandang ke wajah Arya Sempana yang tampak terselimut kabut tebal.

“Akan diapakan gadis itu, Paman?” tanya Pandan Wangi. Terdengar agak dalam nada suara si Kipas Maut Sorot matanya terlihat begitu dalam, tidak berkedip menatap mata Arya Sempana.

“Untuk pemuas nafsu pangeran,” sahut Arya Sempana pelan.

“Maksudmu...?” Pandan Wangi jadi bergidik juga mendengar penjelasan Arya Sempana barusan.

Sungguh tidak disangka kalau prajurit-prajurit Kadipaten Wurungga bisa berbuat seperti itu. Mereka mengambil paksa gadis-gadis untuk dipersembahkan pada Pangeran Iblis sebagai pemuas nafsu. Maka seketika darah si Kipas Maut itu jadi bergolak mendidih.

“Apa lagi yang dilakukan iblis itu selain memperkosa gadis-gadis?” tanya Pandan Wangi lagi.

Jelas sekali, kali ini nada suara Pandan Wangi terdengar begitu geram. Seakan-akan, dirinya sendirilah yang terkoyak saat itu. Sementara, Rangga hanya memandangi saja gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini. Dia tahu betul watak Pandan Wangi. Bila mendengar ada orang yang menginjak-injak martabat kaumnya, darahnya langsung bergolak mendidih. Tapi, inilah yang dikhawatirkan Pendekar Rajawali Sakti.

Pandan Wangi akan bertindak lebih beringas lagi, jika memang benar Pangeran Iblis menumpahkan nafsunya pada gadis-gadis secara paksa. Maka tidak ada seorang pun yang bisa membendung amarah si Kipas Maut itu, kalau sampai ada martabat kaumnya yang terinjak-injak. Bahkan Rangga sendiri agak kewalahan juga bila menahan luapan amarah gadis itu.

“Sudah terlalu banyak keangkaramurkaan yang ditimbulkannya di kadipaten ini. Entah ilmu apa yang dipakai, sehingga banyak orang berhasil dipengaruhi untuk menjadi pengikutnya. Termasuk, adikku sendiri yang juga pamannya Gordan. Dia juga terpengaruh Pangeran Iblis, hingga tega hendak memenggal leher keponakannya sendiri,” kembali Arya Sempana menjelaskan keadaan di Kadipaten Wurungga ini.

“Hhh! Aku jadi penasaran. Seperti apa sih, tampang Pangeran Iblis itu...?” desis Pandan Wangi agak mendengus.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Kedatangan Arya Sempana siang tadi, tentu saja membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi semakin penasaran. Mereka ingin tahu, seperti apa Pangeran Iblis yang kini menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga ini. Banyak sekali yang diceritakan Arya Sempana tentang Pangeran Iblis. Termasuk, segala tindak perbuatannya yang sangat tercela itu.

Dan kini membuat kedua pendekar dari Karang Setra itu semakin geram. Sampai jauh malam, Arya Sempana berada di kamar penginapan yang disewa Rangga. Dan tepat tengah malam, laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu baru meninggalkan kamar penginapan.

Sementara, Pandan Wangi belum juga beranjak ke kamarnya sendiri. Gadis itu masih saja tetap duduk di kursi yang dipindahkan ke dekat jendela. Sedangkan Rangga hanya berdiri saja memandang ke luar, mengamati sekitar bagian depan bangunan kadipatenan yang dijaga ketat sekali. Bahkan malam ini, penjagaan semakin bertambah ketat saja.

“Kau akan menyelidiki malam ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi, seraya berpaling menatap wajah Pandan Wangi.

“Ya! Aku ingin tahu, apa yang dilakukannya di dalam sana,” sahut Rangga, agak mendesah nada suaranya.

“Aku ikut, Kakang,” pinta Pandan Wangi.

Rangga menoleh, menatap tajam bola mata gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Sedangkan yang ditatap, malah membalas dengan sinar mata yang tidak kalah tajam. Jelas sekali dari sorot matanya, kalau Pandan Wangi begitu ingin ikut menyelidiki Pangeran Iblis malam ini.

“Kau tunggu aku saja di sini dulu, Pandan. Kita belum tahu keadaannya. Nanti kalau aku sudah tahu seluk-beluk kadipatenan ini, baru kau ikut,” tolak Rangga secara halus.

“Tapi, Kakang....”

“Dengar, Pandan.... Harus ada orang yang mengawasi dari sini. Kamar ini sangat cocok untuk mengawasi ke sana,” potong Rangga.

“Hhh...!” Pandan Wangi hanya menarik napas dalam-dalam.

Sedikit gadis itu mengangkat bahunya. Dia tahu, kalau Rangga sudah bilang tidak, selamanya tidak. Memang sulit untuk bisa merubah pendirian Pendekar Rajawali Sakti. Maka terpaksa Pandan Wangi harus mengalah.

“Aku pergi dulu, Pandan,” pamit Rangga.

“Paman Arya Sempana sudah menungguku di sana.”

Pandan Wangi menjulurkan kepalanya sedikit Tampak Arya Sempana berlindung di balik sebatang pohon beringin yang sangat besar, tidak jauh dari tembok samping pagar kadipatenan.

“Hati-hati, Kakang...”

“Hup!” Belum lagi hilang suara Pandan Wangi, Rangga sudah melesat begitu cepat keluar melalui jendela kamar penginapan ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga gerakannya bagai angin saja. Dan dalam sekejapan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Pandan Wangi bergegas menggeser kursinya, semakin dekat ke jendela. Bangunan istana kadipaten itu harus terus diawasi.

Saat itu, Rangga sudah berada di samping Arya Sempana. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti sampai di sana. Bahkan Pandan Wangi sendiri belum juga duduk di kursinya. Entah kenapa, gadis itu jadi tersenyum melihat Rangga sudah bersama Arya Sempana. Entah apa yang mereka percakapkan di sana. Dan rasanya terlalu jauh bagi Pandan Wangi untuk bisa mencuri dengar percakapan kedua laki-laki itu.

“Huh! Kalau saja aku bisa menguasai aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’ seperti Kakang Rangga, akan kusadap pembicaraan mereka. Sayang..., Kakang Rangga tidak mau mengajarkannya padaku,” keluh Pandan Wangi.

********************

*LIMA

Saat itu, Rangga dan Arya Sempana sudah berada di bagian belakang tembok istana Kadipaten Wurungga yang tingginya sekitar dua batang tombak. Hanya sebentar saja Rangga mengamati keadaan sekitarnya, kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali sudah melompat naik. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara.

Kemudian tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak bibir tembok yang tebal itu. Rangga menjulurkan kepalanya sedikit ke bagian dalam. Tidak ada seorang penjaga pun terlihat di bagian belakang ini. Ternyata pada bagian dalam dinding tembok pagar ini adalah sebuah taman yang sangat indah. Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke belakang. Tampak Arya Sempana masih tetap menunggu di bawah sambil mendongak ke atas, memandang padanya.

“Hup!” Arya Sempana langsung saja melompat naik, begitu Rangga memberi tanda dengan tangannya. Ternyata, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu cukup tinggi juga. Hanya sekali lesatan dan beberapa kali putaran tubuh, kakinya berhasil menjejak tepat di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau tidak salah, Paman...? Bukankah ini taman kaputren...,” tanya Rangga.

“Memang. Tapi hanya melalui jalan inilah yang teraman, Rangga. Tidak ada jalan lain lagi. Kau lihat sendiri. Tidak ada seorang penjaga pun di sana. Taman kaputren memang terlarang bagi orang luar. Khusus untuk keluarga adipati saja,” sahut Arya Sempana menjelaskan keadaan dalam lingkungan kadipatenan ini.

Sebentar Rangga mengamati keadaan sekitarnya. Memang, tidak terlihat seorang penjaga pun berkeliaran di dalam taman ini. Dan keadaannya juga cukup gelap. Sehingga, mereka tentu dengan mudah bisa masuk ke sana. Tapi Rangga tidak mau bertindak gegabah. Walaupun keadaan memungkinkan, tetap saja semuanya dipelajari secermat mungkin.

“Ayo, Rangga. Jangan buang-buang waktu,” ajak Arya Sempana.

“Tunggu...!” cegah Rangga cepat, seraya mencekal pergelangan tangan Arya Sempana. Laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu tidak jadi melompat turun. Rangga segera melepaskan cekalan tangannya. Dan pada saat itu, terlihat sesosok tubuh mengendap-endap di antara gerumbul tanaman bunga.

“Rupanya bukan hanya kita berdua yang ada di sini, Paman,” bisik Rangga perlahan. Begitu pelannya, sampai hampir tidak terdengar di telinga Arya Sempana. Dan laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu hanya menganggukkan kepala saja sedikit.

Dia juga melihat sosok tubuh berpakaian serba hitam tengah mengendap-endap di antara gerumbul semak pohon bunga. Tampak jelas kalau sosok tubuh itu sedang mendekati pintu masuk ke dalam taman ini. Dia berhenti sebentar. Lalu, tubuhnya berlindung di balik sebatang pohon beringin yang cukup besar, tidak jauh dari pintu yang tertutup rapat Dari bentuk tubuhnya yang tinggi tegap, jelas sekali kalau sosok tubuh itu seorang laki-laki.

Sebilah pedang berukuran panjang, tersampir di pinggangnya yang cukup ramping. Tampak pandangannya beredar ke sekeliling, seakan-akan tengah mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian tatapan matanya tertuju lurus ke arah pintu masuk ke dalam taman yang tetap tertutup rapat. Sementara dari atas tembok benteng, Rangga dan Arya Sempana terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun juga. Memang cukup sulit untuk bisa melihat wajah orang itu. Apalagi, malam ini langit tertutup awan hitam cukup tebal. Sehingga, sinar bulan tidak bisa memancarkan cahayanya sampai ke bumi.

“Kau tunggu dulu di sini, Paman. Aku ingin tahu, siapa orang itu. Juga, apa maksudnya berada di taman kaputren ini,” ujar Rangga.

Belum lagi Arya Sempana bisa membuka suaranya, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat cepat bagai kilat. Gerakannya juga sangat ringan, seperti kapas. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah berumput tebal dan terawat rapi ini.

“Hup...!” Kembali Rangga melesat ringan dengan kecepatan luar biasa sekali. Dan tahu-tahu dia sudah berada dekat di belakang orang berpakaian serba hitam yang ketat ini.

“Kisanak....”

“Heh...?!” Orang itu tampak terkejut sekali, begitu mendengar teguran dari belakangnya. Bagaikan kilat, tubuhnya berputar sambil mengibaskan tangan kirinya. Seketika itu juga, dari telapak tangan kirinya yang terbuka melesat deras secercah cahaya kilat keperakan.

“Haiiit!” Untung saja Rangga cepat mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan orang berpakaian serba hitam ini. Dan bagaikan kilat, kedua kakinya bergerak ke depan, sambil menghentakkan tangan kanannya ke arah dada orang berpakaian serba hitam ini.

“Hap!” Tapi orang berpakaian serba hitam itu malah menerima serangan balasan Rangga dengan hentakan tangannya pula. Hingga....

Plak!
“Hup!”
“Hap...!”

Mereka sama-sama berlompatan ke belakang, sejauh lima langkah. Untung saja, Rangga tadi tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Sehingga, orang berpakaian serba hitam itu hanya terhuyung sedikit sambil memegangi sebelah tangannya yang beradu dengan tangan Rangga tadi. Tapi orang berpakaian serba hitam itu sudah cepat bersiap hendak melakukan serangan. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang. Bahkan hampir saja tercabut, kalau Rangga tidak segera mencegahnya.

“Tunggu, Kisanak...!”

Kelopak mata Rangga jadi menyipit, melihat seluruh kepala dan wajah orang itu terbungkus kain hitam. Hanya bagian kedua bola matanya saja yang terlihat. Dan tampak jelas sekali dari sinar bola matanya, kalau orang berpakaian serba hitam itu terkejut melihat Pendekar Rajawali Sakti yang ada di depannya.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja orang berpakaian serba hitam itu melesat cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh, tung....”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk mencegah. Begitu cepat orang berpakaian serba hitam itu melesat. Sehingga dalam sekejapan mata saja dia sudah lenyap, setelah melewati tembok pagar yang cukup tinggi di bagian belakang istana kadipatenan ini.

“Hm.... Siapa dia? Lalu kenapa mesti lari...?” gumam Rangga bertanya pada diri sendiri. Saat itu terlihat Arya Sempana melompat turun dari atas tembok pagar. Dan langsung dihampirinya Rangga yang berdiri mematung di bawah pohon beringin, menatap lurus ke arah kepergian orang berpakaian serba hitam tadi.

“Kau kenali siapa dia, Rangga?” tanya Arya Sempana langsung.

“Tidak,” sahut Rangga pelan.

“Hm....”

“Dia memakai topeng kain,” Rangga menjelaskan, mendengar gumaman yang bernada tidak puas. Beberapa saat mereka terdiam.

“Ayo, Rangga. Kita terus saja,” ajak Arya Sempana.

“Ayolah....”

********************

Arya Sempana memang hafal betul seluk-beluk bangunan istana kadipatenan ini. Mereka melewati tempat-tempat yang tidak ada penjaganya, sehingga dengan mudah bisa sampai di bagian samping sebuah kamar yang kelihatannya cukup terang di dalam. Jendela kamar itu terlihat sedikit terbuka. Mereka mengendap-endap, merapatkan punggungnya mendekati jendela kamar itu.

“Itu kamar Gusti Adipati, Rangga. Tapi sekarang ditempati Pangeran Iblis,” jelas Arya Sempana. Rangga hanya diam saja.

Kini mereka berhenti setelah dekat dengan jendela kamar yang sedikit terbuka. Cahaya pelita dari dalam menerobos ke luar. Namun sesaat kemudian, kening kedua laki-laki itu jadi berkerut seraya saling melemparkan pandang.

“Iblis...!” desis Arya Sempana dengan wajah memerah seketika. Jelas sekali terdengar kalau di dalam kamar itu seseorang tengah memaksa melampiaskan nafsu binatangnya pada seorang wanita. Erangan dan rintihan lirih terdengar jelas menggiris hati, disertai dengusan napas berat dan memburu.

Tampak wajah Rangga jadi memerah. Dan nafasnya pun terdengar memburu. Kedua tangannya juga sudah terkepal erat. Sementara, di dalam kamar terdengar suara rintihan dan tangisan terisak dari seorang wanita. Dan tak berapa lama kemudian, terdengar tawa seorang laki-laki terkekeh.

“Pengawal...!” Terdengar suara keras dari dalam kamar.

“Seret perempuan ini keluar. Aku tidak sudi lagi melihat wajahnya. Kau mengerti maksudku...?”

“Mengerti, Gusti Pangeran.”

“Buang dia ke dalam jurang sekarang juga.”

“Baik, Gusti Pangeran.”

Sesaat, tidak lagi terdengar suara dari dalam kamar itu. Dan terlihat sepasang tangan menjulur ke luar meraih daun jendela, lalu menutupnya rapat-rapat. Sementara, Rangga dan Arya Sempana lebih merapatkan tubuh ke dinding.

“Iblis...!” desis Arya Sempana berang. Rangga melirik sedikit pada laki-laki berusia lebih dari separuh baya ini.

“Apakah dia Pangeran Iblis, Paman?” tanya Rangga. Suaranya terdengar sangat pelan, dan hampir saja tidak terdengar.

“Tidak ada lagi iblis cabul keparat selain dia, Rangga. Huh! Aku belum puas kalau belum bisa memenggal kepalanya,” sahut Arya Sempana mendengus berang.

“Nanti bisa dilakukan, Paman. Yang penting sekarang, kita harus selamatkan dulu Gusti Adipati Utayasena dari kurungan,” kata Rangga berusaha meredakan amarah laki-laki itu. “Kau tahu, di mana tempatnya kan, Paman...?”

“Ikuti aku,” ajak Arya Sempana.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera bergerak menyusuri bagian belakang dinding tembok bangunan istana kadipatenan ini. Rangga sengaja berjalan di belakang, mengikuti Arya Sempana. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, menjaga kalau-kalau ada prajurit penjaga lewat. Beberapa jendela kamar dilewati. Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu yang terbuat dari jeruji besi berwarna hitam pekat. Sebentar Arya Sempana mengamati keadaan di balik pintu berjeruji itu.

“Hanya ada dua orang penjaga, Rangga. Tepat di depan pintu masuk ke dalam kamar tahanan,” jelas Arya Sempana.

“Kau bisa bereskan mereka, Paman?”

“Anak kecil pun bisa, Rangga.”

Rangga hanya tersenyum saja. Memang jelas kalau tingkat kepandaian yang dimiliki Arya Sempana tentu jauh lebih tinggi daripada para prajurit di Kadipaten Wurungga ini.

“Kau tunggu saja dulu di sini, Rangga. Aku masih bisa bebas keluar masuk di dalam istana kadipaten ini. Selama ini, aku berpura-pura mematuhi perintah Pangeran Iblis,” kata Arya Sempana.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Sementara, Arya Sempana mendekati pintu berjeruji besi itu. Dia berdiri tegak di depan pintu dengan sikap dibuat angkuh sekali, begitu melihat dua orang prajurit penjaga bergegas menghampiri.

“Gusti..., ada perlu apa malam-malam datang ke sini?” tanya salah seorang prajurit.

“Bukakan pintu!” perintah Arya Sempana tegas.

“Tapi....”

“Buka kataku, cepat..!”

Kedua prajurit itu tampak bimbang. Mereka saling berpandangan sejenak, kemudian salah seorang membuka pintu berjeruji besi itu. Arya Sempana melangkah masuk dengan ayunan kaki begitu tenang. Dan ketika berada di antara dua orang prajurit yang masih berusia muda, mendadak saja....

“Hih! Yeaaah...!”
Bet! Wuk!
“Akh!” “Hegkh...!”

Tidak ada lagi suara yang terdengar. Begitu cepat Arya Sempana mengibaskan goloknya. Akibatnya, dua orang prajurit penjaga itu langsung terkapar tewas dengan darah berhamburan dari dadanya yang terbelah. Arya Sempana segera memanggil Rangga. Kemu-dian, disingkirkannya tubuh dua orang penjaga itu, dan disembunyikan di balik lekukan dinding batu.

“Ayo, Rangga. Cepat kita bebaskan Gusti Adipati,” ajak Arya Sempana.

Tanpa berbicara lagi, mereka bergegas menyusuri lorong yang tidak begitu panjang, tapi sangat gelap. Hanya ada beberapa buah obor terpancang di dinding, sehingga tidak memberikan cahaya yang cukup untuk menerangi lorong ini. Mereka lalu berhenti tepat di de-pan sebuah pintu yang terbuat dari besi baja. Dan tampaknya hanya ada sedikit lubang kotak pada ba-gian tengah atas pintu itu.

“Oh...?!”

“Ada apa, Paman...?”

Arya Sempana tidak bisa menjawab. Wajahnya kelihatan pucat sekali. Malah keringat juga sudah mengucur deras membasahi wajahnya yang jadi seperti mayat itu. Rangga jadi heran tidak mengerti. Bergegas disingkirkannya laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti mengintip ke dalam dari lubang di pintu.

“Oh, tidak...,” desis Rangga hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya di balik pintu besi. Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur beberapa tindak. Sementara, Arya Sempana berdiri menyandarkan punggungnya di dinding samping pintu. Wajahnya masih kelihatan pucat pasi. Saat itu, Rangga sudah mengepalkan kedua tangannya di samping pinggang. Dan....

“Hup...! Yeaaah...!”
Bet!

Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga menghentakkan kedua tangannya. Dan kedua telapak tangannya yang terbuka begitu menghentak ke depan tadi, langsung menyentuh daun pintu besi ini. Maka seketika itu juga, pintu yang terbuat dari besi baja tebal itu jebol.

Brak!
“Hup!”

Rangga cepat-cepat menerobos masuk ke dalam, di antara debu-debu yang menghalangi pandangannya sesaat. Kemudian kakinya bergegas melangkah menghampiri sesosok tubuh gemuk yang tergantung di tengah-tengah ruangan berukuran tidak begitu besar ini. Seluruh dinding ruangan terbuat dari batu, dan tidak ada jendela satu pun.

“Paman, bantu aku. Cepat..!” seru Rangga.

Arya Sempana bergegas masuk. Tanpa diminta dua kali, dibantunya Rangga menurunkan sosok tubuh laki-laki tua bertubuh gemuk yang tergantung dengan rantai besi. Tidak terlalu sulit untuk menurunkannya. Tapi tubuh yang gemuk itu memang berat. Bahkan, Arya Sempana sendiri hampir-hampir terjatuh saat menahannya. Dan mereka lalu membaringkan tubuh yang sudah tidak bernyawa itu di lantai batu yang dingin dan kotor berdebu ini.

“Gusti..., kenapa kau lakukan ini...?” keluh Arya Sempana tidak bisa menahan kesedihan, melihat adipatinya sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan gantung diri.

“Sudahlah, Paman. Tidak perlu disesali. Mungkin Gusti Adipati tidak kuat lagi menahan penderitaan. Sebaiknya, kita bawa jasadnya dan dikebumikan sebagaimana layaknya,” hibur Rangga, mencoba menenangkan perasaan Arya Sempana.

“Oh....” Rangga ingin mengangkat tubuh adipati itu, tapi Arya Sempana sudah lebih dulu mencegahnya. Dan laki-laki tua itu sendiri yang memondongnya, walaupun tubuhnya lebih kecil. Tapi dengan pengerahan tenaga dalam, tubuh yang gemuk itu bagaikan segumpal kapas saja berada di dalam pondongannya. Mereka segera keluar dari dalam kamar tahanan ini, tanpa membuang-buang waktu lagi.

Rangga sengaja berjalan paling depan, sambil mengawasi kalau-kalau ada penjaga yang lewat. Mereka langsung saja menuju bagian belakang istana kadipaten ini, dan terus menuju taman kaputren yang berada di bagian halaman belakang. Tidak ada seorang penjaga pun dijumpai. Rupanya, Pangeran Iblis mengkhususkan para penjaganya di depan, sehingga mengabaikan bagian belakang bangunan besar yang dikelilingi pagar tembok bagal benteng ini. Tanpa mendapatkan halangan apa-apa, mereka tiba di taman kaputren, dan langsung keluar dengan melompati pagar tembok yang tingginya sekitar dua batang tombak.

“Biar kugantikan, Paman,” pinta Rangga, setelah berada di luar.

Arya Sempana memandangi Pendekar Rajawali Sakti sejenak, kemudian menyerahkan tubuh Adipati Utayasena yang sudah tidak bernyawa. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Pendekar Rajawali Sakti langsung berlari cepat menuju rumah penginapan.

Sementara, Arya Sempana mengikuti dari arah belakang. Dia juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, tapi tetap saja tidak bisa menyamai kecepatan lari Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja, mereka sudah tiba di depan jendela kamar rumah penginapan. Pandan Wangi yang sejak tadi menunggu, jadi terkejut melihat kedatangan Rangga dan Arya Sempana. Bahkan, Pendekar Rajawali Sakti tengah membawa seorang laki-laki bertubuh gemuk dalam pondongannya. Segera dibukanya jendela kamar penginapan itu lebar-lebar. Lalu dibiarkannya Rangga melompat masuk ke dalam. Sedangkan Arya Sempana mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi setelah Rangga membaringkan tubuh adipati itu di atas pembaringan.

“Adipati Utayasena,” sahut Rangga.

“Adipati..? Kenapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.

Rangga tidak bisa menjawab. Malah tubuhnya dihenyakkan di kursi sambil menghembuskan napas panjang. Terasa begitu berat hembusan nafasnya. Sementara, Arya Sempana berdiri saja membelakangi jendela sambil memandangi tubuh Adipati Utayasena yang terbujur kaku tak bernyawa lagi. Terlihat jelas sekali pada lehernya, guratan merah bekas rantai yang menggantungnya di dalam kamar tahanan.

“Terlalu berat penderitaan yang harus ditanggungnya. Mungkin Gusti Adipati sudah tidak kuat lagi. Gusti Adipati bunuh diri di dalam kamar tahanannya, “ jelas Arya Sempana dengan nada suara sendu.

“Oh...,” Pandan Wangi hanya bisa mendesah saja.

Mereka semua jadi terdiam, tidak bicara lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Sementara, Arya Sempana sudah duduk di tepi pembaringan. Pandangan matanya tidak beralih sedikit pun dari wa-jah Adipati Wurungga. Kelihatan sekali kalau hatinya begitu sedih atas kematian penguasa kadipaten yang begitu mengenaskan ini. Gantung diri di saat seluruh rakyatnya membutuhkan seorang pemimpin yang bisa mengusir pengaruh jahat yang disebarkan Pangeran Iblis.

“Aku tidak tahu lagi, bagaimana nasib kadipaten ini tanpa pemimpin. Semua rakyat belum tahu kalau adipatinya...,” Arya Sempana tidak melanjutkan kata-katanya.

Memang sulit sekali bagi laki-laki tua itu untuk mengungkapkan perasaan hatinya dengan kata-kata. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Mereka juga tidak bisa lagi membuka suara. Mereka tahu, apa yang bakal terjadi bila seluruh rakyat tahu kalau adipatinya tewas gantung diri dalam kamar tahanan. Maka sudah barang tentu, tidak ada seorang pun yang sudi mempunyai pemimpin yang tidak dapat menanggung penderitaan.

Mereka semua membutuhkan seorang pemimpin yang kuat dan mampu menghadapi segala macam rintangan dan tantangan. Bahkan harus mampu mengusir pengacau seperti Pangeran Iblis. Kematian adipati yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat memalukan ini, sudah barang tentu tidak mungkin disebarluaskan di seluruh wilayah Kadipaten Wurungga. Karena akibatnya, martabat keluarga adipati akan hancur.

“Paman, apa masih ada keluarga adipati yang berada di luar kadipatenan?” tanya Rangga membuka suara, setelah cukup lama membisu.

“Hanya Gordan yang ada. Sedangkan seluruh keluarganya sudah tewas di tangan Pangeran Iblis. Tapi aku tidak tahu lagi, di mana Gordan sekarang berada,” sahut Arya Sempana.

“Apa sebaiknya kita kebumikan saja dulu, Kakang...,” usul Pandan Wangi.

“Bagaimana, Paman?” Rangga malah melontarkan pertanyaan pada Arya Sempana.

“Aku akan menyimpannya dulu di kuil. Aku tahu, kuil yang belum terjamah Pangeran Iblis,” sahut Arya Sempana.

“Setelah itu, aku akan membuat perhitungan terhadap Pangeran Iblis.”

“Kami berdua pasti bersamamu, Paman,” ujar Pandan Wangi.

“Terima kasih,” ucap Arya Sempana, terharu.

********************

ENAM

Rangga terpaksa membiarkan Arya Sempana membawa jasad Adipati Utayasena malam ini juga. Sedangkan laki-laki tua itu tidak mau ditemani. Padahal, Rangga sudah menyediakan diri untuk mengawalnya. Maka dengan perasaan berat, Pendekar Rajawali Sakti mengantarkan, walaupun hanya sampai di perbatasan kota. Sedangkan Pandan Wangi tetap menunggu di dalam kamar penginapan.

Setelah mengantarkan Arya Sempana sampai di perbatasan kota, Rangga tidak langsung ke rumah penginapannya. Sengaja diambilnya jalan memutar melalui tanah perkebunan rakyat kadipaten ini. Tidak ada seorang pun yang dijumpainya, hingga tiba di bagian belakang istana kadipatenan. Keadaan di sekitar istana itu masih tetap kelihatan sunyi. Tak ada seorang pun yang terlihat.

Sinar mata Pendekar Rajawali Sakti begitu tajam, mengamati keadaan sekitarnya. Sebentar kepalanya menengadah ke atas, menatap langit yang kelihatan begitu hitam, tertutup awan tebal. Angin pun bertiup cukup kencang, menebarkan udara dingin yang menggigilkan tubuh. Tapi, udara yang begitu dingin sama sekali tidak dirasakan Pendekar Rajawali Sakti.

Perlahan kakinya terayun mendekati dinding pagar belakang yang terbuat dari batu setinggi dua batang tombak lebih itu. Namun begitu berada dekat dengan dinding tembok batu ini, tiba-tiba saja....

Srak!

“Heh...?!” Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba di sekelilingnya bermunculan orang-orang berpakaian seragam prajurit. Mereka muncul dari balik pepohonan dan semak belukar yang banyak tubuh di sekitar bagian belakang bangunan istana kadipatenan ini. Dan sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung. Tidak ada lagi celah baginya untuk bisa meloloskan diri, ketika sudah terkepung oleh tidak kurang dari lima puluh orang berseragam prajurit kadipaten bersenjatakan tombak dan pedang terhunus.

“Ha ha ha...!”

“Hm....” Rangga hanya menggumam kecil saja, ketika tiba-tiba saja terdengar tawa yang begitu keras menggelegar.

Kepalanya mendongak sedikit, maka, tampaklah di bibir atas tembok pagar batu ini sudah berdiri seorang pemuda berwajah dingin, dan kelihatan pucat seperti mayat. Pakaiannya putih bersih dan agak ketat, dengan ikat pinggang dari kain berwarna kuning keemasan. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya yang cukup ramping. Rambutnya yang hitam lebat, terikat agak tergelung ke atas. Sementara bagian sampingnya dibiarkan meriap dipermainkan angin. Dia berdiri congkak sekali sambil berkacak pinggang.

Sedikit Rangga menggeser kakinya, merenggangkan jarak dengan dinding tembok pagar batu ini. Matanya terus menatap tajam pada pemuda berbaju putih yang wajahnya pucat seperti mayat. Dan pemuda itu juga membalasnya tidak kalah tajam. Matanya memancarkan cahaya kebengisan, seperti harimau yang tengah kelaparan melihat seekor domba gemuk. Rangga menaksir kalau usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, sebaya dengan dirinya.

“Tikus busuk..! Apa yang kau lakukan di sini, heh?!” lantang sekali nada suara pemuda berwajah pucat seperti mayat itu.

“Aku sedang jalan-jalan mencari udara segar,” sahut Rangga kalem. Namun, nada suaranya terdengar agak ditekan.

“Kau bawa pedang. Aku tidak percaya kalau kau hanya berjalan-jalan saja mencari angin,” dengus pemuda itu ketus. “Katakan yang benar, apa yang kau lakukan di tengah malam begini...?”

“Sudah kukatakan, aku....”
“Keparat..! Hih!”
Wusss!
“Heh...?! Hup!”

Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja tangan pemuda bermuka pucat itu menghentak ke arahnya. Dan dari telapak tangan kanannya yang terbuka, melesat deras secercah cahaya kemerahan bagai api ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga cepat melenting ke udara menghindari serangan lawan, cahaya merah bagai api itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit pun juga. Dan cahaya itu langsung menghantam tanah tepat di belakangnya. Maka seketika satu ledakan keras pun terdengar menggelegar, begitu cahaya merah menghantam tanah.

“Bagus...! Sudah kuduga, kau pasti punya maksud tertentu berada tengah malam di sini,” dengus pemuda bermuka pucat itu dingin.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan saja.

“Heh...! Kau tahu siapa aku, hah...?! Aku Gagak Gumilang yang menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga ini. Dan kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa izin. Jadi, harus mendapat hukuman yang setimpal!”

“O.... Rupanya kau yang bernama Pangeran Iblis itu...,” desis Rangga, terdengar sinis sekali nada suaranya.

“Nah, sekarang kau sudah tahu siapa aku. Cepat berlutut, dan sembah aku...!” perintah Gagak Gumilang lantang menggelegar.

“Hanya satu yang kusembah. Dan yang pasti, bukan manusia iblis sepertimu, Pangeran,” tegas Rangga.

“Keparat..! Kau harus mampus...!” geram Gagak Gumilang berang, melihat sikap Rangga yang jelas-jelas menantangnya. Wajahnya yang sudah pucat seperti mayat, semakin terlihat pucat. Dan sorot matanya begitu tajam memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar habis seluruh tubuh Rangga. Terdengar suara gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Perlahan tangan kanannya bergerak, dengan jari telunjuk menuding lurus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Bunuh tikus keparat itu...!”
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
“Hup!”

Belum lagi hilang teriakan perintah Pangeran Iblis, pemuda-pemuda berpakaian seragam prajurit kadipaten yang memang sudah mengepung, langsung saja berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan kecepatan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat tinggi ke udara. Dan belum juga tubuhnya bisa diputar, mendadak saja....

Wusss...!
“Ikh! Hap...!”

Cepat-cepat Rangga melenting dan berjumpalitan di udara, begitu tiba-tiba saja Pangeran Iblis menyerangnya dengan pukulan jarak jauh yang memancarkan cahaya merah bagai api itu. Kilatan cahaya merah itu lewat sedikit saja di dalam putaran tubuh Rangga. Lalu dengan cepat sekali tubuhnya meluruk turun. Dan sebelum terdengar ledakan keras menggelegar dari sebatang pohon yang hancur terhantam cahaya merah itu, kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti sudah menjejak tanah.

“Hiyaaat..!”

Langsung saja Rangga berlompatan sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun yang sangat cepat dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Walaupun jurusnya dikerahkan hanya tingkat pertama, tapi mengandung pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Dan gerakannya begitu cepat, sehingga sulit untuk diikuti pandangan mata biasa.

“Menyingkir kalian, kalau tidak mau mati sia-sia...!” seru Rangga lantang menggelegar.

“Yeaaah...!”

Namun, tak ada yang menggubris peringatan Rangga. Maka....

Buk! “Akh...!”

Salah seorang prajurit yang berada paling dekat, seketika terpental begitu terkena pukulan yang dilepaskan Rangga. Begitu kerasnya, sehingga prajurit berusia muda itu langsung tewas, setelah tubuhnya menghantam tanah. Tapi, prajurit-prajurit lain sudah cepat merangseknya tanpa kenal ampun.

Terpaksa Rangga harus berjumpalitan menghindari setiap serangan. Dan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti selalu dapat membalas dengan melepaskan pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam sempurna. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi sudah sejak tadi terdengar saling susul, disusul tubuh-tubuh tak bernyawa yang ambruk bergelimpangan. Satu persatu para prajurit itu terpental, dan jatuh keras di tanah tanpa nyawa.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa…!”

Agaknya Rangga tidak mau lagi memperlambat pertarungan yang tidak diinginkannya. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan sambil melepaskan beberapa kali pukulan keras dan beruntun. Maka jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar, disusul ambruknya tubuh-tubuh yang tidak bernyawa lagi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari separuh jumlah prajurit yang bergelimpangan.

“Munduuur...!”

Prajurit-prajurit berusia muda itu langsung berlompatan mundur, begitu terdengar teriakan keras menggelegar bernada memerintah. Dan belum lagi suara yang keras menggelegar itu menghilang dari pendengaran, dari atas dinding tembok pagar batu ini melesat sebuah bayangan putih. Dan tahu-tahu, di depan Rangga sudah berdiri Pangeran Iblis. Begitu cepat dan sangat ringan gerakannya, sehingga Rangga sendiri hampir tidak mendengar kedatangannya.

“Kau jelas bukan orang sembarangan, Kisanak. Katakan, siapa namamu?! Dan, apa tujuanmu datang ke sini malam-malam?” terdengar dalam sekali nada suara Pangeran Iblis.

"Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini memang sengaja untuk bertemu denganmu, Pangeran Iblis. Kau tentu sudah tahu, apa maksud kedatanganku malam-malam begini,” sahut Rangga kalem, namun bernada tegas sekali.

“Ha ha ha...!” Gagak Gumilang tertawa terbahak-bahak. Suara tawa laki-laki berjuluk Pangeran Iblis itu begitu menggelegar terdengar. Jelas sekali kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi tingkatannya. Bahkan daun-daun pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar bagian luar tembok benteng istana kadipatenan, langsung berguguran. Demikian pula prajurit-prajurit yang ada di sekitar tempat itu, yang juga langsung menutup telinga.

“Kau akan mampus di sini, Kutu busuk!” bentak Gagak Gumilang geram mendengar tantangan Rangga yang terbuka tadi.

“Lihat saja nanti. Kau atau aku yang akan mengisi lubang kubur,” dengus Rangga, menanggapi dengan sikap dingin.

“Phuih! Bersiaplah...!”

Pangeran Iblis langsung saja menyilangkan kedua tangannya di depan dada, bersiap-siap membuka serangan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih kelihatan berdiri tegak dengan tenang. Tubuhnya belum bergerak sedikit pun. Bahkan kedua kakinya bagaikan tertanam kuat di atas permukaan tanah yang sedikit berumput ini.

Beberapa saat lamanya mereka saling berpandangan dengan sinar mata yang sangat tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Saat itu, Pangeran Iblis sudah menggeser kakinya ke kanan perlahan-lahan menyusuri tanah. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya bergerak. Namun belum juga ada yang bergerak melakukan serangan, tiba-tiba saja....

“Hiyaaat..!”
“Heh...?!”
“Hah! Hup...!”

Bukan hanya Gagak Gumilang yang tersentak, begitu tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hitam melesat begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya. Bahkan Rangga juga jadi kaget setengah mati. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur sejauh tiga langkah. Dan pada saat yang bersamaan, Pangeran Iblis membanting tubuhnya ke tanah. Lalu tubuhnya bergulingan beberapa kali, tepat di saat terlihat sebuah kilatan cahaya keperakan yang begitu cepat menyambar ke arah kepalanya tadi.

“Hup!”

Dengan gerakan yang sangat manis dan ringan, Pangeran Iblis melenting. Tubuhnya berputaran sejenak, lalu kembali berdiri dengan kedua kakinya yang kokoh di atas permukaan tanah. Namun belum juga bisa menarik napas, kembali terlihat sosok bayangan hitam berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya. Bahkan gerakannya disertai kilatan cahaya keperakan yang berkelebat begitu cepat, hingga arahnya sulit di-ikuti pandangan mata biasa.

“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”

Sedikit sekali Pangeran Iblis mengegoskan kepala, hingga kilatan cahaya keperakan yang ternyata dari sebilah pedang itu lewat di depan wajahnya. Dan pada saat yang bersamaan, tangan kirinya menghentak ke depan, melepaskan satu pukulan lurus yang begitu cepat dan disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

“Haiiit..!”

Namun sosok tubuh berpakaian serba hitam itu lebih cepat lagi melenting ke atas. Dan tahu-tahu, tubuhnya sudah meluruk deras, sambil mengebutkan pedang beberapa kali ke arah kepala Pangeran Iblis.

“Setan! Phuih...!”

Gagak Gumilang jadi geram setengah mati. Terpaksa tubuhnya harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu gencar bagaikan air hujan yang ditumpahkan dari langit. Beberapa kali ujung pedang bercahaya keperakan itu hampir menebas kepalanya, namun masih bisa dihindari. Walaupun, dengan hati geram dan terus menyumpah serapah.

“Hiyaaat..!”

Begitu mendapatkan satu kesempatan yang sangat sedikit Pangeran Iblis tidak menyia-nyiakannya. Secepat kilat tubuhnya melenting ke belakang, dan langsung melesat tinggi ke atas. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya berkelebat dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Sret! Wuk!

Begitu cepat gerakan tangan Pangeran Iblis, sehingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, di dalam genggaman tangannya sudah tergenggam sebilah pedang yang memancarkan cahaya merah bagai kobaran api. Pemuda berwajah pucat seperti mayat itu langsung mengebutkan pedangnya kearah sosok berpakaian serba hitam yang tiba-tiba menyerangnya.

“Yeaaah...!”
Bet!
“Hih!”
Wuk!
Trang...!

Kilatan bunga api seketika terlihat memijar ke segala arah, begitu dua pedang berada di udara. Tampak mereka sama-sama melompat ke belakang sambil berputaran di udara beberapa kali. Dan hampir bersamaan, mereka menjejak di tanah. Namun....

“Ha ha ha...!”

Suara tawa Gagak Gumilang yang selama ini disebut Pangeran Iblis seketika terdengar meledak keras, begitu melihat pedang di tangan orang berpakaian serba hitam sudah terpenggal, tinggal gagangnya saja. Entah ke mana mata pedang orang berbaju serba hitam itu.

“Tikus-tikus busuk...! Kalian datang ke sini hanya mencari mampus saja! Huh...!” dengus Gagak Gumilang dingin.

Bet!

Indah sekali gerakan tangan Pangeran Iblis saat mengebutkan pedangnya hingga tersilang di depan dada. Dan perlahan-lahan kakinya bergegas ke depan. Sorot matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan kain hitam pula. Hanya bagian matanya saja yang terlihat.

Dan pada saat itu, terlihat puluhan orang berlari-lari menghampiri tempat ini. Pangeran Iblis tersenyum setelah tahu kalau yang datang adalah prajurit-prajurit yang berpihak kepadanya. Tampak berlari paling depan seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun, sebaya dengan pemuda berwajah pucat seperti mayat itu.

“Gusti! Biarkan mereka aku yang bereskan,” pinta pemuda itu setelah dekat dengan Pangeran Ibis.

“Hm..., Barada. Kau habisi saja orang tidak tahu diri itu!” dengus Gagak Gumilang sambil menunjuk ke arah orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam pula.

“Baik, Gusti Pangeran,” sahut pemuda yang ternyata memang Barada.

“Hup...!”

Setelah membungkuk memberi hormat, Barada langsung saja melompat mendekati orang berpakaian serba hitam yang kini sudah tidak memiliki senjata lagi. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga hampir tidak terdengar suara saat kakinya mendarat tepat lima langkah lagi di depan orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui siapa sebenarnya.

“Kau lawanku, Orang Hitam!” dengus Barada dibuat dingin nada suaranya.

Srat!

Langsung saja pemuda itu mencabut pedangnya yang berukuran cukup panjang, dan menyilangkannya di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menembus langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam di depannya. Dan perlahan-lahan, kedua kakinya bergerak menyilang ke samping, sambil tetap menyilangkan pedangnya. Tapi, kini pedangnya sudah berada tepat di depan ujung hidungnya.

“Yeaaat..!”
“Yeaaah...!”

TUJUH

Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi Barada langsung memberikan serangan-serangan yang begitu cepat dengan permainan pedang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Sementara orang berpakaian serba hitam itu terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang datang beruntun itu. Dan memang, kelihatannya Barada tidak sudi memberi kesempatan lawannya untuk membalas serangan.

Dia terus saja mencecar menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang gerakannya sangat cepat dan berbahaya sekali. Sedikit saja kelengahan, bisa mengakibatkan kematian bagi lawannya. Tapi gerakan-gerakan tubuh orang berpakaian serba hitam itu memang tidak bisa dikatakan ringan lagi. Begitu cepat, hingga sangat sulit bagi Barada untuk bisa mendesaknya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, pertarungan sudah berjalan sepuluh jurus.

Tapi sedikit, pun belum ada tanda-tanda kalau Barada bisa mengalahkan lawan. Bahkan untuk mendesak saja, masih mengalami kesulitan. Dan ini tentu saja membuat pemuda itu jadi bertambah berang setengah mati.

“Setan keparat! Kubunuh kau. Hiyaaat..!”

Barada benar-benar geram setengah mati, melihat lawannya begitu tangguh. Padahal, lawannya tidak menggunakan senjata apa-apa. Sedangkan dia sendiri memegang pedang. Tapi sudah lebih dari sepuluh jurus, belum juga bisa dirobohkannya. Mendesak saja, terasa sulit sekali. Gerakan-gerakan orang berpakaian serba hitam itu memang cepat luar biasa, sehingga sulit bagi Barada untuk bisa memasukkan serangan.

“Cukup untuk bermain-main, Barada! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, orang berpakaian serba hitam itu melesat tinggi ke udara, tepat di saat Barada menusukkan pedangnya ke depan dada lagi. Dan lesatannya ternyata membuat Barada jadi kebingungan. Namun belum juga bisa berbuat sesuatu, mendadak....

“Yeaaah...!”

“Oh...?!” Barada hanya bisa terlongong. Dan saat itu juga....

Prak! “Aaa...!”

Satu hantaman yang sangat keras mendarat tepat di atas kepala Barada. Akibatnya, pemuda itu menjerit melengking tinggi. Tampak kepalanya pecah dengan darah mengucur deras. Hanya sebentar saja Barada masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk ke tanah tak bernyawa lagi. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuhnya. Pemuda itu telah tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sementara orang berpakaian serba hitam yang belum bisa dikenali wajahnya, sudah menjejak kembali di tanah. Perlahan tubuhnya berputar dan kembali berhadapan dengan Gagak Gumilang yang selama ini dijuluki Pangeran Iblis.

Phuih!”

Sambil menyemburkan ludahnya, Gagak Gumilang melangkah perlahan-lahan menghampiri orang berpakaian serba hitam yang seluruh wajah dan kepalanya masih ditutupi kain hitam. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam itu.

Sementara, Rangga yang tidak mendapat kesempatan bertarung, hanya diam saja memperhatikan. Tapi sesekali pandangannya beredar ke sekeliling, menjaga kalau-kalau para pemuda yang berpakaian seragam prajurit kadipaten berbuat curang. Dan tampaknya para prajurit tidak ada yang bertindak, tanpa menunggu perintah dari Pangeran Iblis. Mereka hanya diam saja, tapi tetap membentuk lingkaran mengepung rapat tempat ini.

Cukup banyak juga jumlahnya. Dan kalau mereka dikerahkan untuk menyerang, sudah barang tentu akan sulit dihadapi. Tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti, jumlah seperti itu tidaklah menjadi persoalan. Dengan hanya mengerahkan aji ‘Bayu Bajra’, mereka bisa dihalau dengan mudah. Hanya saja, Rangga tidak akan ingin menggunakannya. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin bangunan istana kadipaten yang megah itu hancur terkena ajian yang sangat dahsyat. Sebuah aji kesaktian yang bisa menimbulkan bencana angin topan sangat dahsyat.

Sementara, Gagak Gumilang sudah berada sekitar lima langkah lagi di depan orang berpakaian serba hitam ini. Pedangnya yang memancarkan cahaya merah membara bagai api, masih tergenggam menjulur lurus di samping tubuhnya. Dan perlahan-lahan pedangnya diangkat lurus-lurus ke depan, hingga ujungnya tertuju langsung ke dada orang berpakaian serba hitam di depannya.

“Kau harus mampus, Keparat! Sudah terlalu banyak kerugian yang kuderita...!” desis Gagak Gumilang dingin menggetarkan.

Tapi orang berpakaian serba hitam itu hanya menggumam kecil saja. Sedikit kakinya bergeser ke kiri. Tapi Gagak Gumilang kembali mengarahkan ujung pedang tepat ke dada.

“Bersiaplah, Setan Keparat!” desis Gagak Gumilang masih tetap terdengar dingin sekali nada suaranya.

“Hm....”
“Hiyaaa...!”
“Hup! Yeaaah...!”

Kembali pertarungan berlangsung. Dan kali ini, Gagak Gumilang yang dikenal berjuluk Pangeran Iblis melakukan serangan-serangan dengan jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat. Pedangnya berkelebatan begitu cepat, hingga bentuknya lenyap tak terlihat lagi. Dan yang terlihat hanya kilatan cahaya merah saja yang berkelebatan di sekitar tubuh orang berpakaian serba hitam itu.

Pada saat pertarungan sudah berjalan beberapa jurus, Rangga memalingkan mukanya sedikit ke kanan. Dan saat itu, Pandan Wangi tampak tengah berdiri di atas tembok pagar batu berupa benteng yang mengelilingi bangunan istana kadipaten. Gadis itu berdiri tegak mengawasi jalannya pertarungan. Entah sudah berapa lama gadis yang berjuluk si Kipas maut itu berada di sana. Sementara di sebelah kanannya, berdiri Arya Sempana.

Di lain tempat pertarungan antara Pangeran Iblis melawan orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui siapa sebenarnya terus berjalan semakin sengit saja. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar bagaikan hendak meruntuhkan langit. Dan malam pun terus berjalan terasa lambat. Udara dingin yang bertiup agak kencang sama sekali tidak dirasakan lagi, tertimpa suasana yang begitu panas membakar dada.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Gagak Gumilang memutar tubuhnya ke bawah, begitu berada di udara. Dan bagaikan kilat, pedangnya disabetkan tepat mengarah ke kaki lawan. Tapi dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, orang berpakaian serba hitam itu melesat ke atas. Maka sabetan pedang yang memancarkan cahaya merah bagai api itu masih bisa dihindarinya. Dan pada saat yang bersamaan, mendadak saja Pangeran Iblis cepat memutar tubuhnya kembali. Lalu bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri. Begitu cepat serangan susulannya sehingga orang berbaju serba hitam ini jadi tersentak kaget setengah mati.

“Hap!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi orang berbaju serba hitam itu untuk menghindar. Maka cepat-cepat kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sehingga, pukulan tangan kiri Gagak Gumilang hanya menghantam keras pergelangan tangannya.

Prak! “Akh...!”

Tampak orang berpakaian serba hitam itu terpental sejauh enam langkah ke belakang, sambil mengeluarkan pekikan agak tertahan. Meskipun kakinya masih bisa menjejak manis, tapi tak urung tubuhnya terhuyung-huyung juga ke belakang beberapa langkah.

“Ukh...!”

Terdengar keluhan yang pendek. Tampak orang berpakaian serba hitam itu memegangi pergelangan tangan kirinya. Jelas sekali kalau tulang pergelangan tangan kirinya remuk akibat menahan pukulan Pangeran Iblis tadi.

“Mampus kau sekarang! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Gagak Gumilang melesat cepat sambil membabatkan pedang ke arah kepala lawannya. Tapi begitu mata pedang yang memancarkan cahaya merah hampir membelah kepala orang berpakaian serba hitam, mendadak saja terlihat satu bayangan putih berkelebat begitu cepat. Langsung disambarnya tubuh orang berpakaian serba hitam itu sambil melontarkan sebuah benda seperti batu kerikil ke arah Pangeran Iblis.

“Aih...!” Gagak Gumilang jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya melenting dan berputaran dua kali ke belakang. Kedua bola matanya jadi terbelalak, begitu melihat benda yang berhasil ditangkapnya tadi hanya sebuah kerikil kecil.

“Setan...!”

Sementara itu, orang berpakaian serba hitam yang diselamatkan dari ancaman ke matian, tahu-tahu sudah berada di atas tembok benteng bersama Pandan Wangi dan Arya Sempana. Tampak Rangga berdiri di samping orang berpakaian serba hitam itu. Rupanya Pendekar Rajawali Sakti yang menyelamatkan kepala orang berpakaian serba hitam itu dari tebasan pedang Pangeran Iblis.

“Setan keparat..! Turun kalian semua...!” teriak Gagak Gumilang lantang menggelegar.

Pangeran Iblis kelihatan geram sekali atas tindakan Rangga yang menyelamatkan lawannya. Sambil mengacungkan pedang ke arah para pendekar itu, dia berteriak keras menggelegar. Dan....

“Yaaah...!”
Wuk!
“Awaaas...!”

Begitu Gagak Gumilang menghentakkan pedangnya, seketika itu juga dari ujungnya memancar dua bola api yang langsung meluncur deras ke arah mereka yang berada di atas bibir tembok tebing. Namun dengan gerakan yang sangat indah dan cepat mereka berlompatan turun menghindar. Dan seketika itu juga, terdengar satu ledakan dahsyat menggelegar. Tampak pagar tembok yang tebal itu hancur berkeping-keping terlanda bola api yang memancar keluar dari ujung pedang Pangeran Iblis.

“Hiyaaa...!” Gagak Gumilang rupanya sudah benar-benar marah tak tertahankan lagi. Begitu kaki Rangga menjejak tanah, kembali tangan kanan Pangeran Iblis menghen-tak ke depan, setelah memindahkan pedang ke tangan kiri. Dan dari telapak tangannya yang terkembang lebar, meluncur secercah cahaya merah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Hiyaaa...!”

Hanya dengan satu lesatan yang ringan sekali, Rangga berhasil menghindari serangan Gagak Gumilang. Lalu kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar, ketika dinding pagar tembok batu terkena hajaran cahaya merah dari telapak tangan Pangeran Iblis.

“Serang mereka...!” seru Gagak Gumilang lantang menggelegar.

“Hiyaaa...!” “Yeaaa...!”

Seketika itu juga, para prajurit yang memang sejak tadi sudah siap menunggu perintah, langsung berlompatan menyerang. Pandan Wangi, Arya Sempana, dan orang berpakaian serba hitam segera berlompatan dengan senjata masing-masing. Sementara, senjata pedang orang berpakaian serba hitam itu dipungutnya dari seorang prajurit yang tergeletak tewas tidak jauh dari kakinya.

Dengan pedang itu, dia kembali mengamuk menghajar para prajurit yang menyerangnya. Malam yang seharusnya hening, kembali dipecahkan oleh teriakan-teriakan keras menggelegar, disertai raungan dan jerit melengking mengiringi kematian. Saat itu juga, angin yang bertiup cukup kencang malam ini menyebarkan aroma anyir darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa.

Sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi prajurit kadipaten itu yang ambruk tanpa nyawa. Sementara, Rangga masih tetap menghadapi Gagak Gumilang yang selama ini dikenal sebagai Pangeran Iblis yang ditakuti seluruh rakyat Kadipaten Wurungga. Mereka masih berdiri berhadapan, dan belum melakukan pertarungan.

“Setan...!”

Gagak Gumilang jadi berang setengah mati, ketika melihat para prajuritnya tidak ada yang bisa mendesak lawan-lawannya. Padahal, lawan hanya tiga orang saja. Tapi setiap gerakan tangan dan tubuh mereka selalu menimbulkan jatuh korban di pihak prajurit.

“Kau harus mengganti semua nyawa para prajuritku, Setan Keparat..!” geram Gagak Gumilang, sambil menudingkan ujung pedang ke arah dada Rangga.

“Nyawa orang sepertimu tidak ada harganya sama sekali. Bahkan kau tidak lagi pantas hidup di dunia ini, Pangeran Iblis,” desis Rangga dingin menggetarkan.

“Phuih! Kau harus mampus di tanganku, Rangga! “Lihat saja....” “Phuih! Hiyaaat..!”

Sambil menyemburkan ludah dan berteriak keras menggelegar, Pangeran Iblis melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya yang memancarkan cahaya merah bagai api, berkelebat begitu cepat di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi putih ini.

Tapi hanya menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindarinya. Bahkan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti mematahkan serangan Pangeran Iblis, sebelum sampai di tujuannya. Dan ini tentu saja membuat Pangeran Iblis jadi semakin geram. Maka jurus- jurusnya semakin diperhebat ke tingkatan yang sangat tinggi.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Bet! Wuk!

“Haiiit..!”

Beberapa kali Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan Pangeran Ib-lis yang begitu gencar dan tidak ada hentinya. Dan semakin lama, serangan-serangan yang dilancarkan semakin bertambah dahsyat. Rangga cepat menyadari kalau tidak akan mungkin bisa terus bertahan bila hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'

“Hup! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras, Rangga melenting ke atas, tepat di saat Gagak Gumilang membabatkan pedang ke arah kaki. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, tubuhnya meluruk deras. Dan pada saat yang sama, kedua kakinya berputaran cepat sekali. Dari gerakannya itu, bisa diketahui kalau Rangga mengerahkan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.

Jurus itu sangat cepat dan dahsyat, sehingga Pangeran Iblis jadi terhenyak kaget sesaat. Namun cepat-cepat pedangnya diputar ke atas kepala, hingga Rangga harus segera pula menarik serangannya kembali. Dan sebelum Pangeran Iblis bisa menurunkan pedangnya lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat memutar tubuhnya. Lalu bagaikan kilat, dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat pertama, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

“Hiyaaa...!” Wuk! “Heh...?!”

Pangeran Iblis jadi tersentak kaget setengah mati, melihat serangan yang begitu cepat dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

“Uts...!” Sambil mengegoskan tubuh sedikit ke kanan, cepat-cepat Pangeran Iblis membabatkan pedang dengan gerakan melintang ke arah depan tubuhnya. Dia memang berusaha melindungi diri dari incaran pukulan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.

Wuk! “Hap!”

Cepat-cepat Rangga menarik pulang pukulannya, lalu melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sementara, Gagak Gumilang juga melompat tiga langkah ke belakang. Kini, mereka berdiri berhadapan sambil mengatur pernapasan. Sementara, pertarungan di tempat lain masih terus berlangsung. Hanya saja sudah jelas bisa dipastikan, kalau prajurit-prajurit kadipaten tidak mampu lagi menghadapi tiga orang yang berkepandaian sangat tinggi. Namun, ternyata mereka tidak juga merasa gentar. Bahkan terus saja merangsek maju, walaupun su-dah lebih dari separuhnya yang tewas.

“Hhh...!” Pangeran Iblis mendengus sambil menghembuskan napas panjang, begitu mengetahui kekuatan prajuritnya semakin berkurang saja. Sedangkan dia sendiri, begitu sulit menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Dan sudah beberapa jurus pertarungan berlangsung, pemuda berbaju rompi putih itu belum juga bisa didesaknya.

“Huh! Biarkan mereka semua mampus! Sebaiknya, aku pergi saja dari sini. Aku harus mencari kekuatan baru. Huh...! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Rangga...!” dengus Gagak Gumilang dalam hati. Pangeran Iblis itu memang sudah merasa tidak akan mungkin bisa bertahan lebih lama lagi. Apalagi menghadapi Pendekar Rajawali Sakti seorang diri. Sedangkan kekuatan yang ada sekarang, sudah cukup terkuras menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.

“Awas...!” tiba-tiba saja Gagak Gumilang berseru lantang. Dan seketika itu juga, tangan kanannya dikebutkan cepat beberapa kali. Saat itu, terlihat beberapa bola api meluncur deras ke arah Rangga.

“Hup! Hiyaaa...!” Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus melenting ke atas, dan berjumpalitan beberapa kali menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pangeran Iblis. Dan pada saat Rangga sibuk menghadapi lontaran bola-bola api itu, cepat sekali Gagak Gumilang melesat meninggalkan tempat ini.

“Hei...! Jangan lari kau...!” seru Rangga terkejut.

Tapi Gagak Gumilang sudah begitu cepat melesat pergi. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan gelapnya malam.

“Hup! Hiyaaat..!” Rangga tidak sudi membuang-buang waktu lagi. Dengan cepat tubuhnya melesat mengejar, begitu bisa menghindari bola api yang terakhir menyerangnya. Dan pada saat yang bersamaan, orang berpakaian serba hitam itu melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah melesat pergi mengejar Pangeran Iblis.

“Hup! Hiyaaat..!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera melenting ke udara sambil cepat membabatkan pedang beberapa kali. Maka lima orang lawannya seketika menjerit melengking terbabat pedang. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, orang berbaju serba hitam itu terus melesat berlari cepat mengejar Pendekar Rajawali Sakti.

“Pangeran Iblis itu pergi, Paman...!” Rupanya Pandan Wangi juga melihat kepergian Pangeran Iblis yang dikejar Rangga dan orang berpakaian serba hitam tadi.

“Apa...?!” seni Arya Sempana kurang jelas mendengar.

“Pangeran Iblis kabur...!” Pandan Wangi mengulangi dengan suara dikeraskan.

“Keparat..! Ayo kita kejar!” balas Arya Sempana.

“Hiyaaat..!”

Tanpa menghiraukan para prajurit yang menjadi lawannya, Arya Sempana langsung saja melesat pergi, begitu Pandan Wangi juga melesat cepat meninggalkan lawan-lawannya. Sementara prajurit-prajurit yang jumlahnya tinggal sedikit itu jadi terlongong bengong. Mereka tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan, begitu melihat lawan-lawannya lari dengan kecepatan bagai kilat. Hingga dalam waktu sekejap mata saja, mereka sudah lenyap dari pandangan.

Sementara itu, Rangga yang mengejar Pangeran Iblis terus berlari dengan kecepatan penuh, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya, sehingga kedua kakinya bagaikan tidak menjejak tanah lagi. Dan di dalam kegelapan malam itu, hanya bayangan tubuhnya saja yang terlihat berkelebatan begitu cepat menuju utara.

“Hup! Hiyaaat..!”

Rangga mengempos seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya. Dan saat itu juga, tubuhnya melesat tinggi ke angkasa. Lalu dengan ringan sekali, ujung jari kakinya menjejak puncak pohon yang tertinggi.

“Hup!”

Sambil terus mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lain. Memang hanya dengan jalan inilah gerakannya bisa lebih cepat lagi, tanpa khawatir menabrak pohon yang semakin rapat saja tumbuh, setelah berada di luar perbatasan kota.

“Hup! Yeaaah...!”

DELAPAN

Begitu melihat bayangan putih berkelebat di antara pepohonan, bagaikan seekor burung rajawali Rangga melesat turun ke bawah dengan kecepatan luar biasa sekali. Gerakannya begitu indah dan ringan, sehingga langsung saja berlari cepat begitu kakinya menyentuh tanah.

“Hiyaaa...!”

Sambil mengempos tenaganya, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat, meluncur bagaikan sebatang anak panah lepas dari busur. Begitu cepatnya, hingga pemuda berbaju rompi putih itu melesat melewati kepala Pangeran Iblis yang masih saja berlari dengan kecepatan tinggi.

“Heh...?!”

Gagak Gumilang yang lebih dikenal berjuluk Pangeran Iblis jadi tersentak setengah mati, begitu merasakan adanya hembusan angin panas melewati bagian atas kepalanya. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, kembali dikejutkan oleh munculnya Pendekar Rajawali Sakti. Dan tahu-tahu, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

“Jangan harap bisa lari dariku, Pangeran Iblis! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!” terasa dingin sekali nada suara Rangga.

“Phuih...!”

Pangeran Iblis hanya menyemburkan ludahnya saja, menanggapi kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kakinya bergeser ke kanan, dan segera mencabut kembali pedangnya yang tadi sudah tersimpan dalam warangka yang tergantung di pinggang. Pedang bercahaya merah bagai memancarkan api itu bergerak-gerak perlahan, melintang di depan dada.

Sementara Rangga tetap berdiri tegak, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan setiap gerak yang dilakukan Pangeran Iblis.

“Kau hanya bermimpi bisa mengalahkan aku, Rangga,” desis Gagak Gumilang dingin.

Rangga hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Sorot matanya masih tetap memancar dendam, memperhatikan setiap gerak yang dilakukan Pangeran Iblis. Perlahan-lahan namun pasti, Gagak Gumilang sudah semakin dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan pedangnya sudah terulur lurus ke depan. Mulutnya sedikit menyeringai, bagai hendak meruntuhkan nyali pemuda berbaju rompi putih ini.

“Mampus kau sekarang, Tikus Keparat! Yeaaah...!”

Bet!

Cepat sekali Gagak Gumilang mengebutkan pedang ke arah dada. Namun hanya sedikit mengegoskan tubuhnya, Rangga berhasil menghindari tebasan pedang yang memancarkan cahaya merah dan berhawa panas itu.

“Yeaaah...!”

Gagak Gumilang terus menyerang dengan kebutan pedang yang begitu cepat dan sangat dahsyat! Mau tak mau, Rangga terpaksa menarik diri ke belakang sambil meliuk, menghindari setiap serangan yang sangat cepat luar biasa itu.

“Hap...!”

Sambil melenting berputar, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke belakang sejauh satu batang tombak. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedangnya.

“Hap!”
Sret!
Cring...!
“Heh...?!”

Gagak Gumilang jadi terbeliak, begitu melihat Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangka. Sungguh dahsyat pamor pedang itu. Seluruh mata pedangnya bersinar biru terang, sangat menyilaukan mata. Sehingga, keadaan dalam hutan di pinggiran Kota Kadipaten Wurungga itu jadi terang benderang, seperti siang hari.

Wuk! Wuk...!

Rangga mengayun-ayunkan pedangnya di depan dada, sehingga menimbulkan suara bagaikan angin topan yang menderu sangat dahsyat. Dan lagi, siapa saja yang mendengar, akan membuat jantung bergetar. Bahkan Gagak Gumilang sendiri jadi melangkah mundur beberapa tindak. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat pandangannya jadi terhalang. Bahkan matanya pun mulai terasa pedih.

“Phuih...!”

“Majulah, Pangeran Iblis. Kau akan merasakan kehebatan pedangku ini,” tantang Rangga, langsung.

Begitu datar dan dingin nada suara Pendekar Rajawali Sakti, membuat hati Pangeran Iblis jadi agak bergetar juga mendengarnya. Namun pemuda berwajah pucat seperti mayat itu memang bukan orang semba-rangan. Walaupun disadari akan menghadapi sebuah senjata pusaka yang berpamor sangat dahsyat dengan cepat kegentarannya bisa diusir. Bahkan sorot matanya semakin terlihat tajam. Wajahnya yang pucat pasi seperti tak pernah teralirkan darah, jadi kelihatan semakin meregang kaku.

“Phuih!”

Gagak Gumilang kembali menyemburkan ludahnya. Kemudian....

“Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pangeran Iblis melompat seraya mengangkat pedang tinggi- tinggi ke atas kepala. Dan begitu cepat sekali pedang kebanggaannya dibabatkan ke atas kepala Rangga.

“Hiyaaa...!”

Aneh, Pendekar Rajawali Sakti tidak menggeser kakinya sedikit pun juga. Padahal, pedang Pangeran Iblis sudah hampir membelah kepalanya! Untung pada saat yang tepat, pedangnya cepat sekali dikebutkan secara menyilang di atas kepalanya sendiri. Betapa terkejutnya Gagak Gumilang melihat tindakan Rangga. Apalagi, pedangnya tidak sempat lagi ditarik pulang. Sehingga....

Trang! “Ikh...!”

Gagak Gumilang terpekik kecil agak tertahan, begitu pedangnya beradu dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Saat itu juga, tubuhnya terpental balik ke belakang dan berputaran beberapa kali di udara. Tapi Pangeran Iblis cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, seraya menjejakkan kakinya kembali di tanah.

“Eh...?!”

Namun sesaat kemudian, kedua kelopak mata Pangeran Iblis jadi terbeliak lebar. Sulit dipercayai, kalau pedang yang selalu dibanggakan kini tinggi sepotong! Jelas pedang itu terpenggal buntung saat berbenturan dengan pedang milik Pendekar Rajawali Sakti tadi.

“Keparat! Hiyaaat..!”

Amarah Gagak Gumilang sudah tidak tertahankan lagi. Walaupun pedangnya tinggal sepotong lagi, laki-laki berjuluk Pangeran Iblis itu langsung saja melompat menyerang. Dan pada saat itu, Rangga cepat mengerahkan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu indah, seakan-akan sedang menari. Pedangnya meliuk-liuk bagaikan seekor naga, mengimbangi gerakan-gerakan pedang Pangeran Iblis yang tinggal sepotong.

“Ukh...!”

Namun baru saja pertarungan itu berlangsung beberapa jurus, Pangeran Iblis sudah mengeluh. Entah kenapa, kepalanya jadi terasa pening sekali. Dan pandangan matanya juga jadi berkunang-kunang. Perhatiannya langsung terpecah, hingga sulit sekali untuk mengerahkan jurus-jurusnya dengan sempurna. Akibatnya, serangan-serangannya jadi berantakan tidak teratur.

Sementara, Rangga hanya berlompatan saja sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang dilancarkan Pangeran Iblis. Tapi dari gerakannya, justru sebenarnya bukan menghindar, melainkan mengikuti arah serangan pemuda berwajah pucat itu.

“Setan keparat! Phuih...!”

Beberapa kali Gagak Gumilang memaki dan menyemburkan ludahnya. Tapi semakin berusaha keras mengerahkan jurus-jurusnya, semakin sulit saja dirinya dikendalikan. Bahkan perhatiannya pun semakin terasa terpecah.

“Setan...! Hiyaaat..!”

Gagak Gumilang melenting tinggi-tinggi ke udara, lalu cepat sekali menukik turun sambil memutar pedangnya yang tinggal sepenggal.

“Hap!”

Namun, lagi-lagi Rangga tidak berpindah sedikit pun juga. Pendekar Rajawali Sakti hanya menarik pedangnya ke atas kepala, sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat terakhir.

“Yeaaah...!” Trang! “Akh...!”

Kembali dua pedang beradu keras di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat itu juga, terdengar pekikan keras agak tertahan. Tampak Pangeran Iblis terpental cukup jauh ke belakang. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung sedikit, begitu kakinya menjejak tanah.

“Setan keparat! Phuih...!”

Semakin bertambah geram saja Pangeran Iblis melihat pedangnya terpenggal sampai ke pangkal batang pegangan. Kini, tidak mungkin lagi senjata kebanggaannya bisa digunakan. Sambil mendengus menyemburkan ludah, Pangeran Iblis membuang senjata yang tinggal gagangnya.

“Hap...!”

Pangeran Iblis cepat bersiap kembali melakukan pertarungan, walaupun kini hanya tinggal mengandalkan tangan kosong saja. Namun melihat lawannya tidak lagi memegang senjata, Rangga pun segera memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sehingga, keadaan di tempat pertarungan itu kembali terselimut kegelapan. Memang, pantang bagi Pendekar Rajawali Sakti menggunakan senjata, setelah melihat lawannya tidak menggunakan senjata lagi.

“Hm.... Rupanya dia akan mengerahkan ilmu kesak-tian. Baik..., aku akan melayaninya dengan aji ‘Cakra Buana Sukma’,” gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti segera merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dan perlahan-lahan, tubuhnya ditarik hingga miring ke kanan. Kemudian tubuhnya bergerak ke kiri, lalu berputar ke depan hingga tegak kembali. Perlahan kemudian, kakinya direntangkan lebar-lebar, hingga kedua lututnya tertekuk membentuk sudut runcing. Sementara, Pangeran Iblis juga sudah bersiap hendak menyerang dengan pengerahan ilmu kesaktian andalan.

“Tahan serangan aji pamungkasku, Rangga...!” desis Gagak Gumilang, dingin menggetarkan.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit. Saat itu, pada kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang masih merapat di depan dada sudah terlihat secercah cahaya biru yang menggumpal, seakan-akan hendak meledak ke luar. Sementara, Gagak Gumilang sudah mulai menggeser kakinya ke depan beberapa langkah. Gerakannya tampak begitu halus dan ringan. Dan pada saat jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi dari Pencakar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja kedua tangannya dihentakkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa.

“Hiyaaa...!” Dan pada saat yang bersamaan.... “Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Yeaaa....!”

Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya memancar ca-haya biru terang berkilau yang meluruk deras ke arah Pangeran Iblis. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, dari kedua telapak tangan Gagak Gumilang yang sudah berwarna merah belum memancarkan cahaya merahnya! Cahaya biru yang keluar dari telapak tangan Rangga, cepat sekali menggulung seluruh tubuh Gagak Gumilang. Akibatnya, Pangeran Iblis itu jadi tersentak kaget setengah mati.

“Hih! Yeaaah...!”

Gagak Gumilang cepat-cepat menghentakkan kedua tangannya ke samping, tapi kembali tersentak kaget setengah mati. Ternyata aji pamungkas yang dibang-gakannya seakan tidak berarti sama sekali. Laki-laki berwajah pucat itu benar-benar tidak dapat lagi mengerahkan satu aji kesaktian pun, dengan tubuh terselubung cahaya biru berkilauan menyilaukan mata ini.

“Ukh! Apa ini...?!” Pangeran Iblis semakin terperanjat, begitu merasakan adanya satu tarikan yang begitu kuat menguras tenaganya. Pangeran Iblis berusaha menahan menggunakan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tapi sungguh di luar dugaan, semakin kuat berusaha melawan, semakin besar pula kekuatannya terbuang keluar. Hingga akhirnya, kekuatan yang terus tersedot keluar tidak bisa dikendalikan lagi. Pada saat pertarungan aji kesaktian itu berlangsung, terlihat orang berpakaian serba hitam muncul. Kemudian disusul Pandan Wangi, lalu Arya Sempana yang mengikuti dari belakang.

“Jangan didekati...!” seru Pandan Wangi langsung mencegah, begitu melihat orang berpakaian serba hitam melangkah hendak menghampiri Gagak Gumilang.

Orang berpakaian serba hitam itu menghentikan ayunan langkahnya. Dan kepalanya cepat berpaling, menatap Pandan Wangi yang berdiri tidak jauh di belakangnya, didampingi Arya Sempana.

“Kenapa kau mencegahku, Pandan?” tanya orang berpakaian serba hitam itu.

“Heh...?! Kau mengenal namaku...?” Pandan Wangi jadi terkejut, mendengar orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui wajahnya sudah mengenal namanya.

“Kenapa aku tidak boleh mendekatinya, Pandan?” orang berpakaian serba hitam itu tidak mempedulikan keterkejutan Pandan Wangi.

“Kau akan celaka sendiri. Kakang Rangga tengah mengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya,” jelas Pandan Wangi singkat.

Walaupun hatinya masih merasa heran pada orang berpakaian serba hitam itu. Saat itu, tampak Rangga sudah mulai menggerak-kan kakinya. Perlahan-lahan, dihampirinya Pangeran Iblis. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar dua langkah lagi....

“Hap...!

Cepat sekali kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti terangkat ke atas kepala. Dan begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Raja-wali Sakti lenyap, seketika tubuh Gagak Gumilang jatuh telentang di atas tanah berumput tebal ini.

“Ah...! Bunuh aku, Keparat..! Bunuh aku...!” bentak Gagak Gumilang putus asa.

Memang Pangeran Iblis merasa tidak ada lagi gunanya hidup dalam keadaan seluruh tubuh lumpuh, akibat terkena aji ‘Cakra Buana Sukma’ tadi. Sedikit pun tubuhnya tidak bisa lagi digerakkan. Tak terkecuali jari-jari tangannya!

Saat itu, Pandan Wangi, Arya Sempana, dan orang berpakaian serba hitam sudah datang menghampiri. Pandan Wangi langsung saja memeluk lengan kanan Rangga dengan sikap manja dan penuh kasih.

“Dia sudah tidak lagi berbahaya, Paman. Kau bisa mengadili dan memberinya hukuman yang setimpal atas segala perbuatannya,” kata Rangga, sebelum ada yang sempat membuka suara.

“Terima kasih, Rangga. Tapi hukuman yang pantas untuknya nanti, tergantung keputusan rakyat,” sahut Arya Sempana gembira.

Dan pada saat itu, orang berpakaian serba hitam yang berdiri tepat di sebelah kanan Arya Sempana, membuka selubung kain hitam yang menyelubungi kepalanya sendiri.

“Gordan...!” Bukan hanya Pandan Wangi saja yang terpekik kaget, tapi juga Rangga dan Arya Sempana. Ternyata orang berpakaian serba hitam ini Gordan, pemuda yang hampir mati kedinginan dan kelaparan kalau saja tidak ditolong Rangga keluar dari perangkap batu yang ada di tepi jurang.

“Sebaiknya kita segera bawa saja iblis keparat ini ke kota, Paman. Biar rakyat yang menentukan hukumannya,” kata Gordan tegas.

“Baiklah. Tapi aku akan mengambil kuda dulu,” sahut Arya Sempana. Tanpa meminta persetujuan lagi, laki-laki tua itu bergegas pergi meninggalkan tempat ini. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah duduk berdampingan di atas sebatang pohon yang tumbang. Sedangkan Gordan menjaga Pangeran Iblis yang sudah tidak ber-daya sama sekali. Seluruh tubuhnya lumpuh, akibat terkena serangan aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti tadi...!

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: PENGHUNI LEMBAH NERAKA

Pangeran Iblis

Pendekar Rajawali Sakti

PANGERAN IBLIS


Karya Teguh S

SATU

PAGI baru saja datang menjelang. Matahari belum lagi penuh menampakkan dirinya. Hanya cahayanya saja yang kuning kemerahan dari balik puncak Gunung Jungkun, di sebelah timur. Kabut tebal pun masih terlihat menyelimuti puncaknya. Saat burung-burung ramai berkicauan, terlihat seorang pemuda berjalan tertatih-tatih.

Semak belukar yang lebat disibaknya. Juga kerapatan pepohonan di kaki lereng Gunung Jungkun ditembusnya. Pakaiannya terlihat koyak, penuh noda darah yang telah kering. Bekas-bekas luka terlihat hampir di sekujur tubuhnya. Sesekali dia jatuh terguling, tersangkut akar. Tapi, pemuda itu cepat bangkit berdiri, dan terus melangkah terseok-seok.

“Oh...?!” Tiba-tiba saja kedua bola mata pemuda itu jadi terbeliak lebar.

Kepalanya terangkat ke atas dengan mulut ternganga. Seakan-akan, di depannya terlihat sesosok hantu. Tapi sebentar kemudian, kepalanya berpaling ke belakang. Saat itu, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari arah belakangnya. Suara teriakan orang-orang menggebah kuda pun terdengar, menimpali hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.

“Celaka...! Ke mana lagi aku harus pergi...?” desis pemuda itu, dengan wajah pucat pasi.

Jelas sekali terpancar dari raut wajahnya, kalau pemuda itu tengah kebingungan dan ketakutan setengah mati. Beberapa saat pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian kembali melangkah tergesa-gesa dengan kaki terseret. Dari gerakan kakinya, jelas sekali kalau luka yang dideritanya cukup parah.

“Ugkh...!” Bruk! “Sial...!"

Sebatang akar pohon yang menyembul dari dalam tanah menghantuk kakinya. Akibatnya, pemuda itu jatuh terguling. Setelah sedikit mengumpat, dia bergegas bangkit berdiri lagi dan terus saja melangkah tertatih-tatih. Sementara suara hentakan kaki-kaki kuda semakin jelas terdengar.

“Heh...?! Jurang...,” pemuda itu mendesis tertahan. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu di depannya terlihat sebuah jurang dalam menganga. Dan ketika wajahnya berpaling ke belakang, tampak debu mengepul tidak jauh di balik lebatnya pepohonan. Kecemasan semakin jelas membayang di wajahnya.

“Apa akalku sekarang...?” desis pemuda itu bertanya pada diri sendiri. Kembali pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian kakinya bergegas melangkah menghampiri sebongkah batu yang sangat besar. Lalu dengan susah payah, bongkahan batu itu dinaikinya. Kemudian tubuhnya bergulir turun ke baliknya. Tapi saat itu juga, bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata di balik batu ini menganga jurang yang sangat dalam. Sementara tanah yang menjadi pijakan kakinya hanya sedikit saja.

“Dewata Yang Agung... Tolonglah lepaskan aku dari kejaran mereka...,” desah pemuda itu, bernada putus asa.

Sementara, suara orang-orang yang mengejarnya semakin terdengar dekat saja. Dan pemuda itu tidak berani bergerak sedikit pun juga. Sedikit kepalanya mendongak ke atas, menatap bagian atas bongkahan batu ini. Ada sedikit rasa lega di dalam hati, begitu mengetahui dirinya terlindung batu yang sangat besar ini. Jadi, tidak akan mungkin ada orang yang bisa melihat ke balik batu ini dari atas sana.

Saat itu, tidak terdengar lagi derap kaki kuda. Yang terdengar kini hanya suara-suara beberapa orang bernada kasar. Terdengar jelas sekali suara orang-orang berbicara keras itu. Seakan-akan, tepat di balik bongkahan batu ini. Maka, pemuda itu semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun, seakan-akan tidak berani dilakukannya.

Seluruh tubuh pemuda itu sudah bersimbah keringat yang bercampur noda darah kering. Sementara geletar tubuhnya semakin bertambah keras, ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berkumis melintang tebal tampak tengah berdiri tegak di atas bongkahan batu ini. Pandangannya beredar ke sekeliling, lalu kepalanya dijulurkan ke bawah.

“Kau lihat dia, Rakada...?” terdengar teriakan seseorang dari balik batu itu.

“Tidak! Hanya jurang yang terlihat..!” sahut laki-laki berusia separuh baya yang berdiri di atas batu.

Dialah yang bernama Rakada. Beberapa saat, Rakada masih berdiri di atas batu itu. Pandangannya terus beredar ke sekeliling. Tapi memang, pemuda yang bersembunyi di bawahnya sama sekali tidak bisa terlihat lagi, karena terlindung batu yang sedikit menjorok ke dalam jurang.

“Hup...!” Dengan gerakan yang begitu ringan, laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu melompat turun dari atas bongkahan batu. Begitu ringan kakinya menjejak tanah berumput cukup tebal ini. Jelas, kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah lagi. Lalu, bergegas dihampirinya teman-temannya yang berjumlah tujuh orang.

Mereka semuanya laki-laki, bertubuh tegap dan berotot. Pakaian yang mereka kenakan warna biru muda, dengan potongan dan bentuk sama persis. Masing-masing di pinggang, tersandang sebilah pedang yang bagian ujung tangkainya berbentuk kepala seekor ular tengah menjulurkan lidahnya. Dan rata-rata, usia mereka sudah berada di atas empat puluh tahun. Hanya satu orang saja yang tampak masih muda. Mungkin baru dua puluh lima tahun. Tapi, pakaiannya lebih bagus dari yang lain.

“Huh! Mustahil kalau bisa menghilang begitu saja...!” dengus pemuda berwajah cukup tampan itu.

“Mungkin sudah jatuh ke dalam jurang, Barada,” kata Rakada menduga-duga.

“Jurangnya dalam sekali. Bahkan aku sendiri sulit untuk melihat dasarnya.”

“Mungkin juga, Den Barada. Jejaknya saja terputus sampai di sini,” sambung laki-laki yang bertubuh kurus.

“Kalaupun dia tidak jatuh ke dalam jurang, mana mungkin bisa bertahan hidup dalam keadaan seperti itu? Dia pasti mati kehabisan darah,” sambung yang lain.

“Aku belum puas, kalau belum bisa membawa kepalanya pada junjungan!” dengus pemuda berwajah cukup tampan yang bernama Barada.

“Lalu...?” tanya Rakada terputus.

“Cari sampai ketemu. Aku tidak akan kembali, sebelum kepalanya berada dalam genggaman tanganku!” tegur Barada sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

Mereka semua jadi saling berpandangan satu sama lain. Dan memang, di antara mereka berdelapan, Barada-lah yang paling tinggi tingkat kepandaiannya. Padahal usianya jauh lebih muda dari mereka. Apalagi Barada juga junjungan mereka. Hingga tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa membantah kata-katanya. Terlebih lagi, mereka tahu betul watak Barada. Dia tidak akan segan-segan memenggal kepala orang yang membuatnya jadi susah.

Memang, Barada cepat sekali naik darah, sehingga gampang meloloskan pedangnya. Tanpa diperintah dua kali, tujuh orang yang bersama Barada segera berpencar di sekitar jurang yang berada di kaki lereng Gunung Jungkun ini. Sedangkan Barada kembali meneliti tanah di sekitarnya. Jelas sekali terlihat di atas rerumputan, jejak-jejak kaki serta tetesan noda darah yang sudah hampir mengering. Diikutinya jejak-jejak yang tertera jelas, dan berakhir tepat di atas bongkahan batu sebesar kerbau ini. Barada berdiri tegak di atas bongkahan batu itu.

“Hm.... Mungkinkah dia jatuh ke dalam jurang...?” gumam Barada bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Jejak-jejak yang ada memang berakhir di atas batu ini. Tapi, tampaknya Barada tidak mau percaya begitu saja kalau buruannya terjerumus ke dalam jurang. Maka, kepalanya segera dijulurkan, mencoba menembus kabut tebal yang menutupi dasar jurang di depannya. Tapi kabut begitu tebal, sehingga sulit ditembus dengan pandangan mata biasa.

“Hm...,” tiba-tiba saja Barada menggumam kecil. Dan kelopak mata pemuda itu jadi menyipit. Keningnya juga terlihat berkerut. Perlahan tubuhnya direbahkan di atas batu itu. Lalu sedikit demi sedikit, tubuhnya bergeser. Hingga akhirnya, kepalanya menjulur ke jurang. Dan saat itu juga....

“Ha ha ha...!”

“Oh...?!” Pemuda yang masih berada di balik batu itu jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat kepala Barada menjulur ke bawah sambil tertawa keras terbahak-bahak. Begitu terkejutnya, sampai tangan kanannya tanpa sadar meraih sebuah batu sebesar kepalan tangan. Lalu dengan sisa-sisa kekuatan tenaga yang masih ada, batu itu dilemparkannya ke arah kepala Barada.

“Hih! Pergi kau, Iblis Busuk...!”

Wusss! “Upsss...!”

Untung saja Barada cepat menarik kepalanya kembali, sehingga lemparan batu itu tidak sampai mengenainya.

“Setan...!” geram Barada berang. Dia cepat berdiri tegak di atas batu itu. “Rakada! Kalian semua ke sini! Cepat..!” seru Bara-da lantang menggelegar.

Rakada dan enam orang lainnya bergegas datang menghampiri, begitu mendengar teriakan Barada yang begitu keras menggelegar. Sebentar saja, mereka sudah berada di sekitar bongkahan batu sebesar kerbau itu.

“Tikus busuk itu ada di sini. Di balik batu ini,” jelas Barada. Wajah Barada kelihatan berseri-seri.

Tidak memerah seperti tadi, ketika kehilangan buruannya. Dan tujuh orang yang bersamanya juga jadi gembira mendengar buruannya masih ada. Maka mereka bergegas naik ke atas batu, dan menjulurkan kepala ke bawah. Tapi setiap kali menjulurkan kepala, dari balik batu itu terlempar batu-batu sebesar kepalan tangan. Untung saja, mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Sehingga, lemparan batu itu bisa cepat dihindari.

“Setan keparat..! Dia mulai berani pada kita, Den Barada!” geram Rakada gusar.

“Kalian tangkap dia. Ingin sekali kepalanya kupenggal dengan pedangku sendiri!” perintah Barada.

Tanpa menghiraukan yang lain, Barada bergegas melompat turun dari atas batu itu. Sedangkan tujuh orang anak buahnya, jadi saling berpandangan. Tentu saja sulit bagi mereka untuk menangkap pemuda itu. Sedangkan batu ini berada tepat di bibir jurang. Bisa-bisa, malah mereka sendiri yang terjerumus ke dalam jurang ini. Padahal, tidak ada jalan lain lagi, selain melalui bagian atas batu ini

“Huh! Mau enaknya sendiri...!” gerutu salah seorang kesal.

“Sudah... Kalau dia sampai dengar, bisa celaka kau,” seorang lagi memperingatkan.

“Huh...!”

Tujuh orang laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu segera memeras otak, memikirkan cara untuk menangkap pemuda yang masih berada di balik batu ini. Memang sulit untuk mencapai ke sana. Terlebih lagi, di tempat itu banyak batu kerikil sebesar kepalan tangan yang bisa digunakan pemuda itu sebagai senjata untuk menghalau.

“Gordan.... Ini aku, Rakada. Kau dengar suaraku, Gordan...?!” teriak Rakada agak dikeraskan suaranya.

“Jangan coba-coba membujukku, Paman Rakada. Pergi kau, bersama iblis-iblis keparat itu!” sahut pemuda yang dipanggil Gordan, dan masih tetap berada di balik batu.

“Dengar, Gordan. Kalau kau mau keluar, aku berjanji akan melindungimu. Percayalah. Kau tidak akan apa-apa,” bujuk Rakada lagi.

“Pergi kau, Setan Keparat..!” jerit Gordan.

Rakada menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sedikit matanya melirik Barada, yang tengah duduk bersandar pada pohon, melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari.

“Aku akan turun, Gordan...!” seru Rakada lagi. “Aku turun tidak membawa senjata...!”

“Jangan! Jangan lakukan itu, Paman Rakada. Kau akan jatuh ke dalam jurang. Aku tidak main-main. Kau akan jatuh...!” teriak Gordan sekuat-kuatnya.

Saat itu, terlihat batu-batu kerikil berjatuhan dari atas. Gordan cepat-cepat menjulurkan kepalanya, mendongak ke atas. Hatinya jadi terkesiap juga, begitu melihat Rakada berusaha turun menggunakan seutas tambang kulit. Tidak satu pun terlihat senjata tersandang di tubuhnya.

“Paman, naik cepat..! Kau akan jatuh nanti...!” seru Gordan memperingatkan.

Tapi, Rakada tetap saja bergerak turun. Bahkan semakin dekat saja dengan pemuda itu. Dan begitu sudah dekat, Rakada melompat dengan gerakan sangat ringan, jatuh tepat di depan Gordan. Pemuda itu bergegas melangkah mundur. Namun di tangan kanannya sudah tergenggam sebongkah batu yang cukup besar.

“Jangan mendekat, Paman Radaka,” sentak Gordan agak mendesis.

“Dengar, Gordan. Tidak ada gunanya terus bertahan di sini. Ingat, Barada terus menungguimu. Sebaiknya, keluar saja. Serahkan dirimu padanya,” bujuk Rakada.

“Tidak! Aku tidak akan menyerah pada iblis itu!” sentak Gordan tegas.

“Gordan...”

“Kuperingatkan sekali lagi, Paman Rakada. Cepat tinggalkan tempat ini. Atau, kau akan mati di dasar jurang sana,” desis Gordan memotong cepat.

Tapi, Rakada tampaknya tidak menghiraukan peringatan pemuda itu. Malah, kakinya melangkah mendekati dengan gerakan hati-hati sekali.

Sementara, punggung Gordan sudah begitu merapat ke dinding batu. Tidak ada lagi tempat baginya untuk menghindar. Dan begitu tangan Rakada menjulur hendak meraihnya, mendadak saja... “Hih...!”

“Heh...?!” Rakada jadi kaget setengah mati, begitu tiba- tiba saja Gordan menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam batu sebesar kepalan tangan. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali tindakannya, membuat Rakada jadi tersentak kaget.

“Uts...!” Cepat-cepat Rakada meliukkan tubuhnya, menghindari lemparan batu Gordan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Gordan sudah membungkuk. Lalu cepat sekali tangannya menyambar sepotong kayu yang kebetulan ada di situ. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, potongan kayu cukup besar itu langsung saja dikibaskannya ke arah kaki Rakada.

“lkh...!”

Tuk! “Aaa...!”

“Paman Rakada...?!” Gordan jadi menjerit, ketika tiba-tiba saja Rakada terhantam kayu pada kakinya. Dia terpeleset. Bahkan tubuhnya langsung meluncur deras ke dalam jurang disertai jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat.

Tampak di atas bongkahan batu ini, menyembul kepala-kepala yang menjulur ke bawah. Jeritan yang begitu keras rupanya sampai menggegerkan juga.

“Ada apa...?!” seru Barada juga terkejut mendengar jeritan melengking tadi.

“Rakada.... Dia jatuh ke dalam jurang,” sahut salah seorang.

“Apa...?!” Barada begitu terkejut mendengar Rakada tercebur ke dalam jurang.

Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlompat bangkit berdiri. Bergegas dihampirinya bongkahan batu di pinggiran jurang itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas batu. Lalu kepalanya langsung dijulurkan ke bawah.

“Setan keparat kau, Gordan! Kubunuh kau...!” teriak Barada berang setengah mati.

Tapi, Gordan hanya diam saja. Kepalanya menengadah ke atas, menatap Barada yang menjulurkan kepalanya ke balik batu ini. Begitu tajam sinar matanya, seakan-akan hendak menelan bulat-bulat. Sementara, Barada kembali berdiri tegak di atas batu. Tampak jelas sekali dari sinar matanya yang tajam, kalau hatinya begitu gusar atas keadaan ini. Salah seorang pembantu kepercayaannya sudah tewas tercebur jurang. Sedangkan Gordan masih tetap berada di balik batu di pinggiran jurang ini.

“Ayo pergi. Biar dia mampus kelaparan di situ!” dengus Barada kesal.

Memang tidak ada lagi yang bisa diperbuat, karena terlalu sulit untuk bisa mencapai ke balik batu itu. Sedangkan bagi Gordan sendiri, juga tidak mudah untuk bisa keluar. Enam orang yang mengikuti Barada segera berlompatan turun dari bongkahan batu sebesar kerbau itu. Sementara, Barada sudah berada di atas punggung kudanya. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah meninggalkan tepi jurang itu.

********************

DUA

Waktu terus berjalan, sesuai bergulirnya mentari ke arah barat. Di balik bongkahan batu besar yang berada tepat di bibir jurang, Gordan masih tetap duduk memeluk lutut. Dia berusaha berlindung dari sengatan matahari yang begitu terik. Pandangannya turus, tanpa berkedip sedikit pun merayapi dalamnya jurang di depannya. Walaupun matahari bersinar begitu terik, tapi kabut yang menyelimuti dasar jurang itu masih saja terlihat tebal. Sehingga, sulit sekali untuk bisa melihat jelas ke dasar jurang yang sangat dalam ini.

“Paman.... Kenapa kau rela mengorbankan nyawa untuk iblis-iblis keparat itu...?” desah Gordan perlahan. Begitu pelan suara pemuda itu, hampir-hampir tidak terdengar.

Sementara, matahari terus bergerak ke arah barat. Dan Gordan sudah merasakan perutnya bergolak minta diisi. Tapi, mana mungkin bisa mendapatkan makanan di tempat seperti ini. Sedangkan untuk bergerak saja, terasa sulit sekali. Begitu kecil tempat ini, sehingga tidak ada lagi ruang baginya untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Gordan jadi mengeluh. Sungguh tidak terpikirkan oleh Gordan tadi. Yang ada dalam pikirannya hanya menyelamatkan diri dari keangkaramurkaan Barada.

Sementara, angin yang bertiup dari dalam jurang sudah mulai terasa dingin menusuk kulit. Gordan semakin merapatkan pelukannya ke lutut, berusaha mengurangi rasa dingin yang mulai menggigilkan. Sedikit kepalanya mendongak ke atas. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Tidak terasa, hampir satu harian penuh dia berada di balik batu di tepi jurang ini.

“Oh! Apa yang harus kuperbuat..?” desah Gordan bertanya pada diri sendiri.

Nada suaranya jelas sekali terdengar seperti putus asa. Dan memang sedikit sekali harapan untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Bahkan Gordan merasakan tidak mungkin punya harapan lagi. Walaupun tadi mendengar Barada dan para pembantunya sudah pergi, tapi dia tidak yakin kalau mereka pergi begitu saja. Dia yakin, mereka pasti masih mengawasi dari tempat yang jauh. Dan kalaupun bisa keluar, pasti Gordan akan mati di ujung pedang Barada.

“Uh..." Gordan mengeluh kecil. Di saat Gordan sedang memikirkan cara yang tepat untuk bisa keluar, terdengar suara langkah kaki kuda mendekati jurang di balik batu sebesar kerbau tempatnya sekarang ini. Gordan jadi tersentak kaget. Cepat-cepat dia berdiri dan merapatkan punggungnya ke dinding batu yang agak cekung ini. Telinganya dipasang tajam-tajam, mencoba mendengarkan suara yang ada di balik batu ini.

“Sudah sore, Kakang. Sebaiknya kita bermalam saja di sini. Kelihatannya, tempat ini cukup baik untuk bermalam....” Terdengar suara yang sangat halus seorang wanita.

Tak lama, suara langkah kaki kuda pun terhenti. Begitu dekat suaranya di balik bongkahan batu ini. Sementara, Gordan tetap diam. Dia seperti tidak berani membuka suaranya sedikit pun juga. Namun pendengarannya tetap dipasang tajam-tajam.

“Berapa jauh lagi Desa Jungkun, Kakang?” Terdengar lagi suara halus seorang wanita, diikuti terdengarnya suara kaki menjejak tanah yang begitu ringan.

Jelas sekali dalam pendengaran Gordan, kalau ada dua orang di balik batu ini. Dan dari suara yang didengarnya, mereka terdiri dari seorang wanita dan seorang laki-laki. Tapi yang jelas, Gordan tidak kenal mereka. Namun demikian, telinganya terus dipasang lebar-lebar, agar bisa lebih jelas lagi mendengar. Dan di dalam hatinya, dia berharap bukan orang jahat seperti Barada yang datang, dan bisa mengeluarkannya dari sini. Bahkan tidak mungkin, perutnya yang sudah sejak tadi kosong bisa diisi.

“Ini sudah berada di kaki lereng Gunung Jungkun. Tidak begitu jauh lagi dari tempat ini. Pandan.” Terdengar suara sahutan seorang laki-laki yang bernada begitu lembut, seperti suara seorang putra mahkota.

“Tapi, sebaiknya kita bermalam saja di sini, Kakang. Biar perjalanan diteruskan besok pagi saja.”

“Begitu juga boleh. Biar kuda-kuda kita istirahat dulu. Kasihan, seharian penuh terus berjalan.”

Sementara Gordan dari balik batu, terus mendengarkan pembicaraan itu. Dia menduga-duga, siapa kedua orang ini...? Dan rasanya, suara itu belum pernah didengar sebelumnya. Gordan jadi ragu-ragu juga untuk meminta pertolongan. Dia khawatir, kalau kedua orang itu sama saja seperti Barada yang ingin memenggal kepalanya. Cukup lama juga Gordan berpikir mempertimbangkan kehadiran dua orang yang tidak dikenalnya. Hatinya jadi semakin gelisah saja. Dia masih terlihat ragu-ragu. Tapi akhirnya....

“Kisanak dan Nisanak....”

“Heh...?!” Terdengar nada suara terkejut dari balik batu.

“Siapakah kalian berdua? Apakah kalian bukan orang jahat..?” tanya Gordan. Suaranya dibuat dalam sekali, seakan tidak ingin bisa diketahui arahnya.

“Siapa itu yang berbicara...?” terdengar pertanyaan seorang wanita dari balik bongkahan batu ini.

“Aku. Dan kalian siapa...?”

“Kami dua orang pengembara yang hendak ke Desa Jungkun,” terdengar lagi suara sahutan dari seorang wanita.

“Apakah kalian ada hubungannya dengan Barada?”

“Siapa itu Barada...? Kami tidak pernah mendengar namanya.”

“Kalian bukan orang jahat?” Kali ini tidak terdengar sahutan. Dan untuk beberapa saat keadaan jadi sunyi.

“Kami hanya pengembara. Dan bukan orang jahat”

“Bagaimana aku bisa percaya kalau kalian bukan orang jahat...?”

“Kalau kau menunjukkan diri, akan tahu sendiri.“

Kini Gordan yang tidak bisa menyahuti. Dia terdiam memikirkan kata-kata wanita di balik batu itu. Dari nada suara dan kata-kata mereka, memang sepertinya bukan orang jahat. Terlebih lagi, mereka tidak mengenal orang yang bernama Barada. Dan juga, mengaku sebagai pengembara. Gordan jadi termenung beberapa saat lamanya. Dalam rimba persilatan, dia tahu kalau seorang pengembara belum tentu orang jahat. Bahkan kebanyakan adalah pendekar tangguh berilmu tinggi yang selalu membasmi keangkaramurkaan. Tapi tidak sedikit juga yang berwatak jahat, selalu membuat keonaran di mana saja berada.

“Kisanak! Di mana kau berada? Keluarlah...!” terdengar suara agak keras seorang laki-laki dari balik bongkahan batu di tepi jurang ini.

Gordan masih belum juga menjawab. Kepalanya didongakkan sedikit ke atas, menatap matahari yang sudah hampir tenggelam di ufuk barat Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Bahkan terasa begitu lembut menyapu kulit. Cahaya merah jingga menyemburat begitu indah, tapi tidak seindah hati dan pikiran Gordan yang terus gelisah. Cukup lama juga Gordan tidak bersuara sedikit pun.

Sementara, dari balik bongkahan batu ini juga tidak terdengar suara sama sekali. Sedangkan matahari sudah benar-benar tenggelam di peraduannya. Kegelapan menyelimuti seluruh daerah di kaki lereng Gunung Jungkun.

Selagi Barada berpikir, tiba-tiba dikejutkan oleh berkelebatnya sebuah bayangan putih yang begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depannya sudah berdiri seorang pemuda berusia sebaya dengannya. Wajahnya begitu tampan, bagaikan seorang pangeran. Dan pemuda itu berbaju rompi warna putih bersih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung.

Gordan cepat melompat bangkit berdiri, dan mera-patkan punggungnya ke bongkahan batu itu. Tampak jelas dalam keremangan cahaya bulan, wajahnya kelihatan pucat dan tubuhnya menggeletar kedinginan. Memang, angin yang bertiup dari dalam jurang ini begitu kencang menyebarkan udara dingin menggigilkan.

“Sss..., siapa kau...?! Mau apa kau ke sini?” terdengar tergagap suara Gordan.

“Tenang..., jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu,” kata pemuda berbaju rompi putih itu lembut.

Gordan memandangi pemuda berbaju rompi putih yang datang bagaikan angin, dari ujung kepala hingga ujung jari kaki. Seakan sedang dinilainya, apakah pemuda itu bermaksud baik atau buruk. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja, membiarkan dirinya dinilai dengan cermat.

“Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini tidak sendiri. Ada adikku yang menunggu di balik batu ini,” jelas pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri, tetap dengan nada lembut.

Pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang tersampir di punggung itu memang Rangga. Dan dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Gordan tampaknya tidak mengenal sama sekali. Dan memang, dia belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya. Tak heran kalau dia masih tetap saja diam, dengan sorot mata begitu tajam bernada menyelidik. Seakan, hatinya masih belum percaya kalau pemuda yang memperkenalkan diri dengan nama Rangga itu berniat baik padanya.

“Kisanak! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu...? Kenapa kau berada di sini?” tanya Rangga, masih dengan nada suara lembut sekali.

“Aku.... Namaku Gordan. Aku...,” Gordan tidak bisa meneruskan kata-katanya. Tubuh Gordan jadi bergidik menggigil, saat hembusan angin yang cukup kencang menerpa. Memang sangat dingin angin yang datang dari dalam jurang di depannya.

“Kau terperosok...?” sambung Rangga menduga.

Gordan hanya menganggukkan kepala saja. Memang hanya itu yang bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya, kelihatan sangat sungkan. Apalagi, antara mereka baru sekali ini bertemu. Gordan khawatir, pemuda berbaju rompi putih itu orang suruhan Barada. Tapi rasa kecemasan dalam hatinya jadi terombang-ambing oleh sikap dan tutur kata Rangga yang begitu lembut. Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau pemuda berbaju rompi putih itu menampakkan kebengisan. Bahkan terasa begitu lembut dan sangat bersahabat.

“Sejak kapan kau berada di sini?” tanya Rangga lagi.

“Pagi tadi,” sahut Gordan pelan.

“Kalau kau mau, aku bersedia membantumu keluar dari sini,” kata Rangga menawarkan jasa.

“Kau..., kau akan mengeluarkan aku dari sini...? Untuk apa?

“Sejak pagi, kau terperosok ke sini. Untung saja tidak masuk ke dalam jurang. Kau tentu sangat lapar. Dan kebetulan, aku ada makanan sedikit. Dan lagi, kau kelihatannya terluka. Kau tentu tidak mau mati di sini, bukan...?”

Gordan hanya diam saja.

“Marilah. Aku akan menolongmu keluar dari sini.”

Gordan masih saja diam, meskipun Rangga sudah melangkah mendekati. Entah kenapa, Gordan jadi lunak. Dibiarkannya saja Pendekar Rajawali Sakti memeluk pinggangnya. Lalu, tiba-tiba saja....

“Hup!”
“Eh...?!"
Wusss...!

Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat ke atas. Dan Gordan jadi tersentak kaget setengah mati. Maka cepat matanya dipejamkan. Tapi tidak berapa lama kemudian, Gordan sudah merasakan kakinya menjejak tanah kembali. Dan pelukan tangan Rangga di pinggangnya juga sudah terlepas. Perlahan kelopak matanya dibuka.

Sungguh dia jadi terlongong bengong, menyadari dirinya kini sudah berada di tempat yang cukup lapang, tidak jauh dari tepi jurang. Dan di depannya kini bukan hanya Rangga yang ada, tapi ada pula seorang gadis berwajah cantik jelita. Bajunya warna biru yang cukup ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya begitu nyata terlihat.

“Kau sudah aman sekarang, Kisanak,” ujar Rangga, tetap lembut sekali.

“Oh...,” desah Gordan panjang.

“Mari, duduklah dekat api. Agar tubuhmu terasa lebih hangat,” ajak Rangga ramah.

Tanpa menoleh sedikit pun juga, Gordan mengikuti Pendekar Rajawali Sakti mendekati api. Kemudian dia duduk bersila, tidak jauh dari api yang menyala cukup besar. Sementara gadis cantik berbaju biru muda itu, sudah sibuk memutar-mutar panggangan daging. Kelihatannya, seperti daging kelinci. Bau harum daging kelinci panggang, membuat perut Gordan jadi berontak minta segera diisi. Tapi dia tetap saja diam, walaupun rasa lapar yang menghantam perutnya sudah hampir tidak tertahankan lagi. Dia tidak ingat lagi, kapan terakhir kali perutnya terisi makanan.

“Ini....” Gadis cantik yang memang Pandan Wangi menyodorkan satu panggangan kelinci yang sudah matang. Gordan kelihatan ragu-ragu sejenak. Matanya melirik sedikit pada Rangga. Baru kelinci panggang itu diambil setelah melihat kepala Rangga terangguk, sambil memberi senyum manis sekali. Pendekar Rajawali Sakti juga mengambil kelinci panggang ini, kemudian me-reka makan tanpa berbicara lagi.

Gordan diam saja ketika Rangga memperhatikan dan memeriksa seluruh tubuhnya dengan cermat sekali. Tampak jelas, dalam siraman cahaya api kalau kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu sudah merebahkan diri, tidak jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Maaf. Kelihatannya kau seperti baru saja habis mendapat siksaan. Luka-luka di tubuhmu jelas bekas cambukan,” kata Rangga bernada ragu-ragu.

Gordan masih saja tetap membisu. Di dalam hatinya, dikaguminya pengamatan Rangga yang begitu cermat, sehingga bisa mengetahui jenis luka. Dan memang, luka-luka yang dideritanya bekas deraan cambuk. Bahkan luka-luka memar di tubuhnya akibat mendapat pukulan serta tendangan.

“Siapa yang menyiksamu sampai seperti ini, Gordan?” tanya Rangga.

“Hhh...!” Gordan hanya menghembuskan napas saja. Seakan, Gordan begitu berat untuk mengatakan yang sebenarnya. Baru beberapa saat mereka saling mengenal, tapi sikap Rangga terlihat begitu memperhatikan. Dan hal ini membuat hati Gordan jadi tidak tenteram. Entah apa yang menyebabkannya. Dia sendiri tidak tahu. Sikap Rangga yang begitu lembut dan penuh perhatian, membuatnya jadi sulit membuka suara. Lidahnya seakan-akan jadi kelu, sulit digerakkan.

“Ceritakan saja, Gordan. Kalau kau punya persoalan yang bisa membahayakan nyawamu, kami berdua tidak segan-segan membantu. Asalkan, kau berada di pihak yang benar,” selak Pandan Wangi.

Gordan menatap gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu, kemudian beralih pada wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia sedang mencari kekuatan untuk membuka suara. Tapi itu masih saja terasa sulit dilakukan. Dan lidahnya terasa begitu kelu.

“Siapa yang menyiksamu, Gordan...?” tanya Pandan Wangi lagi, terus mendesak.

Gadis itu bangun, dan duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya terlihat begitu tajam, langsung menembus sepasang mata Gordan yang redup. Tapi pemuda itu malah mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak sanggup membalas tatapan mata Pandan Wangi yang menyorot sangat tajam.

“Sudahlah.... Mungkin kau tidak ingin kami berdua ikut campur dalam persoalanmu,” elak Rangga menengahi.

“Sebaiknya kau tidur saja, Gordan. Mudah-mudahan saja besok pagi tubuhmu sudah segar kembali.”

Gordan hanya menganggukkan kepala saja, kemudian menggeser duduknya. Lalu, tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun. Sementara, Rangga bangkit berdiri. Kakinya kemudian melangkah menjauhi pemuda itu. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Mereka kemudian duduk di atas sebatang akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Namun, perhatian mereka masih terus tertuju pada Gordan yang tampaknya sudah jatuh tertidur. Begitu cepat pemuda itu jatuh tertidur. Mungkin karena memang sudah begitu lelah.

Sementara, Rangga masih tetap duduk diam sambil memeluk sebelah lutut kanannya. Sedangkan Pandan Wangi sudah kembali merebahkan diri, dengan punggung bersandar pada akar yang menyembul dari dalam tanah ini. Dan malam pun terus merayap semakin bertambah larut Udara di sekitar tepian jurang kaki lereng Gunung Jungkun ini semakin terasa dingin menggigilkan tulang. Api yang menyala cukup besar, seakan tidak mampu mengusir udara dingin ini.

“Kakang....”

“Hm....” “Aku yakin kalau Gordan punya persoalan, Kakang. Jadi mana mungkin bisa terperosok ke dalam jurang itu, kalau tidak ada sebabnya. Dan lagi, di tubuhnya penuh luka bekas penyiksaan,” kata Pandan Wangi pelan setengah berbisik.

“Kalau memang benar, lalu...?”

“Apa salahnya kalau kita mencoba menolong, Kakang.”

“Tapi, Gordan sendiri seperti enggan ditolong orang lain. Sedangkan kita..., tidak mungkin bisa berbuat sesuatu kalau orangnya sendiri tidak menginginkannya.“

“Barangkali dia masih sulit mengungkapkannya, Kakang. Tunggu saja sampai besok pagi,” kata Pandan Wangi bersabar.

Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Kemudian tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun yang tetap menyala besar. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap duduk sambil memeluk lutut memperhatikan Gordan yang sejak tadi sudah mendengkur. Matanya melirik sedikit pada Rangga yang sudah memejamkan matanya. Terlihat gerakan di dadanya begitu halus dan teratur.

“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan nafasnya yang berat sekali.

Entah kenapa, perasaannya mengatakan kalau pemuda yang ditemuinya berada di balik batu harus ditolong. Tapi dia sama sekali tidak tahu, persoalan apa yang sedang dihadapi pemuda itu sehingga hampir saja tercebur ke dalam jurang sangat dalam. Sedangkan untuk menanyakannya, sudah tidak mungkin lagi. Gordan memang tidak menginginkan bantuan siapa pun juga, seperti yang dikatakan Rangga tadi. Dan tampaknya, pemuda itu merahasiakan persoalannya.

Pandan Wangi melihat kalau tidur pemuda itu gelisah sekali. Entah, sudah berapa kali Gor-dan menggelimpangkan tubuhnya. Dan, beberapa kali pula terdengar hembusan nafasnya yang begitu berat dan keras.

“Akh...!”

“Oh...?!” Pandan Wangi jadi terkejut. Dan gadis itu langsung terlompat bangkit berdiri, begitu tiba-tiba saja Gordan memekik seraya terbangun duduk dari tidurnya. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di depan pemuda itu. Tampak seluruh wajah dan tubuh Gordan bersimbah keringat dengan napas tersengal-sengal tak beraturan.

“Ada apa, Gordan...?” tanya Pandan Wangi, dengan kelopak mata agak menyipit memperhatikan wajah pemuda yang bersimbah keringat itu.

“Ohhh...,” Gordan hanya menghembuskan napas panjang-panjang saja. Sebentar Gordan seperti baru terjaga dari tidur dan mimpi buruknya, kemudian pandangannya ditujukan lurus ke wajah cantik Pandan Wangi. Beberapa kali nafasnya ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan rongga dadanya yang menda-dak saja jadi terasa sesak ingin dilonggarkan.

Sementara Pandan Wangi masih bersabar menunggu, seraya memperhatikan wajah yang berkeringat itu.

“Ada apa, Gordan? Kau bermimpi...?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Hhh...!”

********************

TIGA

Semalaman penuh Pandan Wangi tidak bisa memejamkan matanya. Sedangkan Gordan tidak juga ingin menceritakan mimpi buruk yang dialaminya semalam, hingga matanya juga tidak bisa dipejamkan lagi. Gordan hanya mengatakan kalau habis bermimpi. Hanya itu saja yang dikatakannya.

Dan pada pagi harinya, Pandan Wangi menceritakan tentang mimpi Gordan semalam pada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu ditanyakan tentang mimpinya, Pandan Wangi tidak bisa menjawab. Dan memang, dia tidak tahu apa mimpi yang dialami Gordan semalam.

Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran juga. Dihampirinya Gordan yang duduk terpisah dari mereka. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti menemaninya duduk di sebelah kanan.

“Kau bermimpi buruk semalam, Gordan?” tanya Rangga langsung.

Gordan hanya menganggukkan kepala sedikit.

“Kau mau menceritakannya padaku...?” pinta Rangga lembut.

Gordan masih tetap diam. Perlahan wajahnya berpaling, menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian pandangannya beralih lurus ke depan. Sekali ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.

Sementara Rangga masih sabar menunggu. Saat itu, Pandan Wangi datang menghampiri, setelah menyiapkan kuda-kuda. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu kemudian duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku tahu, kau sedang mengalami kesulitan, Gordan. Kau bisa mengurangi beban yang menghimpitmu kalau mau menceritakan sedikit persoalanmu padaku,” kata Rangga lagi mendesak.

“Terima kasih atas perhatian kalian berdua. Aku memang punya persoalan. Tapi sungguh..., aku tidak ingin kalian terlibat dalam persoalanku ini,” kata Gordan setelah cukup lama berdiam diri membisu.

“Kalau kau tidak ingin kami terlibat kami juga tidak ingin melibatkan diri. Kami hanya ingin mengurangi beban yang kau derita,” kata Rangga terus membujuk.

“Hhh...!” Lagi-lagi Gordan menghembuskan napas panjang.

“Katakan saja, Gordan,” desak Pandan Wangi.

“Kalau kukatakan, sudah pasti kalian tidak akan bisa menghindari. Kalian pasti akan terlibat walaupun berusaha menghindar. Sungguh! Aku tidak ingin ada korban lagi. Biarlah aku saja yang menderita, asalkan jangan orang lain yang ikut merasakannya,” kata Gordan masih dengan suara pelan.

“Kalaupun terlibat, kami akan mengatasinya sendiri. Percayalah...,” ujar Rangga meyakinkan.

“Kalian tidak akan melibatkan aku lagi...?”

“Tidak,” sahut Rangga mantap.

“Sungguh...?” Rangga mengangguk mantap.

“Terus terang, aku tidak sudi lagi melihat mereka. Apalagi berurusan dengan mereka. Aku akan pergi sejauh mungkin, ke tempat yang tidak bisa dijangkau mereka...,” kata Gordan, terdengar terputus nada suaranya.

“Siapa mereka, Gordan?” tanya Rangga.

“Mereka yang menyiksamu?” sambung Pandan Wangi, bertanya.

Gordan hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian... “Pangeran Iblis....”

“Pangeran Iblis...?!” desis Pandan Wangi dengan kening berkerut.

“Ya! Dia kejam sekali. Dia bukan lagi manusia, tapi iblis dari neraka.”

“Hm, siapa dia itu...?” gumam Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

“Aku tidak tahu, siapa dia sesungguhnya. Tahu-tahu, dia sudah ada dan langsung menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga. Dia datang seorang diri, tapi sudah bisa menguasai semua orang di kota kadipaten itu. Bahkan kini, sudah banyak desa yang dikuasainya. Aku sendiri tidak mengerti, sampai orang-orang begitu memuja. Sepertinya, dia dewa saja,” Gordan mulai menceritakannya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Sedangkan Gordan terdiam, mengumpulkan kata-kata yang akan diutarakannya pada kedua pendekar muda yang diketahuinya hanya dua orang pengembara saja, yang kebetulan lewat di tempat ini. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tahu, Gunung Jangkun ini juga masih termasuk Kadipaten Wurungga. Dan kota kadipaten itu tidak jauh lagi dari Desa Jungkun yang berada di kaki lereng gunung ini. Jaraknya pun tidak seberapa jauh Lagi dari sini. Tapi, kedua pendekar itu sama sekali tidak tahu keadaan sekarang di sana. Dan tampaknya, mereka terkejut mendengar Kadipaten Wurungga sudah dikuasai manusia iblis yang disebut Pangeran Iblis.

“Sudah banyak pendekar sakti dan digdaya yang berusaha untuk mengenyahkan Pangeran Iblis itu. Tapi, justru yang terjadi malah sulit diterima akal...,” sambung Gordan terputus nada suaranya.

“Apa maksudmu, Gordan?” Pandan Wangi meminta penjelasan.

“Seperti pamanku..., Paman Rakada. Semula, Paman Rakada mengajakku untuk mengusir Pangeran Iblis dari Kadipaten Wurungga. Tapi entah kenapa, justru paman jadi berbalik. Bahkan kini begitu patuh pada perintah Pangeran Iblis. Hingga, dia begitu tega hendak membunuhku,” sahut Gordan menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

“Hm.... Jadi, itu sebabnya sampai kau berada di balik batu itu kemarin...?” gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

“Benar. Bahkan Paman Rakada terjerumus masuk ke dalam jurang karena berusaha mengeluarkan aku dari sana.”

“Kenapa kau tidak keluar?”

“Tidak mungkin, Nini. Saat itu, Paman Rakada masih dipengaruhi pikirannya. Dia bukannya ingin mengeluarkan, tapi justru ingin menyerahkan aku pada orang kepercayaan Pangeran Iblis. Kalian tahu, kalau aku keluar kemarin, sudah pasti kalian hanya akan menemukan tubuhku saja. Sedangkan kepalaku akan dibawa pada Pangeran Iblis,” sahut Gordan.

“Untuk apa...?” tanya Pandan Wangi agak mendesis terkejut.

“Sebagai peringatan bagi siapa saja yang berani menentang kehendak Pangeran Iblis,” sahut Gordan.

“Edan..!” desis Rangga.

“Kejam sekali...!” dengus Pandan Wangi jadi geram.

“Aku sebenarnya sudah menjadi tawanan mereka. Tapi, aku bisa meloloskan diri dan terus kabur dari kadipatenan. Hingga aku sampai ke tempat ini, mereka terus mengejarku sampai di sini. Tapi setelah Paman Rakada tewas tercebur ke dalam jurang, mereka meninggalkanku begitu saja. Mereka berharap, aku mati kedinginan dan kelaparan di bibir jurang itu,” kata Gordan lagi.

“Hm...,” Rangga menggumam kecil.

“Mereka pasti tidak akan melepaskanku begitu saja. Mereka pasti akan kembali lagi ke sini untuk mengambil mayatku. Kalau tahu aku masih hidup, pasti mereka akan terus mengejar walaupun sampai ke ujung langit“ sambung Gordan.

Mereka kemudian terdiam membisu. Cukup lama juga tidak ada yang membuka suara lagi. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Sementara, Rangga sudah bangkit berdiri tegak. Matanya terus menatap lurus ke arah Desa Jungkun yang sudah terlihat dari tempat ini. Desa itu kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni lagi. Dan tidak jauh di sebelah selatan desa, terletak Kota Kadipaten Wurungga. Memang, tidak bisa terlihat dari lereng gunung ini, karena terhalang hutan kecil yang membatasi antara Kota Kadipaten Wurungga dengan Desa Jungkun. Tapi, ada jalan membelah hutan kecil itu yang menghubungkan ke kota kadipaten.

“Rasanya kita tidak mungkin bisa tinggal diam begitu saja, Kakang,” ujar Pandan Wangi, setelah berdiri dan berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh...?!” Gordan jadi tersentak kaget mendengar kata-kata gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.

Bukan hanya Rangga yang berpaling, tapi juga Pandan Wangi. Sementara, Gordan bergegas bangkit berdiri dari duduknya. Dan kakinya melangkah beberapa tindak, lalu berdiri tepat di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Gordan memang tidak tahu, siapa sebenarnya kedua anak muda yang telah menyelamatkan nyawanya dari mati kelaparan dan kedinginan di balik batu yang berada di bibir jurang.

Dia memang tidak mungkin lagi bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup, kalau tidak ditolong pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Terlebih lagi, tenaganya memang sudah tidak ada lagi. Bahkan dirinya dalam keadaan terluka akibat mendapat penyiksaan yang cukup berat dari para pengikut Pangeran Iblis.

“Tidak...! Kalian tidak boleh ke sana. Kalian, akan sia-sia, dan hanya menyerahkan nyawa saja kalau sampai ke sana,” cegah Gordan.

Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi yang juga tengah menatapnya. Kemudian, bibir Pendekar Rajawali Sakti bergerak membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Ditepuknya pundak Gordan, masih dengan bibir tersenyum.

“Kau tidak perlu mencemaskan kami berdua, Gordan...,” kata Rangga, terputus suaranya.

“Kau tahu, siapa kami berdua, Gordan...?” ujar Pandan Wangi bernada bertanya.

Gordan hanya diam saja memandangi kedua pendekar muda itu. Sejak kemarin, mereka berdua ini memang belum dikenalnya betul. Walaupun sudah memperkenalkan nama masing-masing, tapi yang sesungguhnya Gordan memang tidak tahu. Dan tanpa disadari kepalanya bergerak menggeleng.

“Kami pendekar-pendekar muda dari Karang Setra. Dan kalau ada persoalan seperti ini, sudah barang tentu tidak bisa tinggal diam begitu saja. Memang, sudah menjadi tugas para pendekar untuk membasmi keangkaramurkaan,” kata Pandan Wangi.

“Pendekar dari Karang Setra...?” desis Gordan seperti tidak percaya nada suaranya.

“Benar! Kami memang berasal dari sana,” kata Pandan Wangi lagi.

“Apakah..., apakah kalian yang dijuluki Sepasang Pendekar Karang Setra...?”

Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja, tapi disertai senyum lembut. Memang, julukan itu sudah pernah didengarnya dari orang-orang kalangan rimba persilatan. Kedua pendekar itu memang selalu mengatakan berasal dari Karang Setra. Sedangkan mereka selalu pergi mengembara berdua, menunaikan tugas kependekaran. Hingga, orang-orang dari kalangan rimba persilatan selalu menjuluki mereka Sepasang Pendekar Karang Setra.

“Dan kau..., kau pasti Pendekar Rajawali Sakti,” tebak Gordan lagi, seraya menatap Rangga dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. “Kau..., si Kipas Maut..?” ujar Gordan lagi, berpindah menatap Pandan Wangi.

“Tidak salah lagi, Gordan,” sahut Pandan Wangi, tanpa sedikit pun ada nada menyombongkan diri. Sengaja gadis itu mengatakan hal yang sebenarnya, agar Gordan tidak lagi mencegah dan merasa cemas kalau mereka ingin ke Kadipaten Wurungga.

“Oh...,” Gordan mendesah panjang, seraya menghembuskan nafasnya.

Tiba-tiba saja, pemuda itu jatuh berlutut. Lalu dipeluknya kedua kaki Rangga erat-erat. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak kaget. Demikian pula Pandan Wangi yang terkejut melihat sikap Gordan seperti itu.

“Bangunlah, Gordan. Tidak pantas kalau sikapmu begitu padaku,” kata Rangga seraya menarik tubuh pemuda itu hingga kembali berdiri.

“Maafkan aku.... Maafkan aku yang buta dan tidak mengenal kalian berdua para pendekar digdaya...,” ujar Gordan, agak terbata suaranya.

“Ah, sudahlah.... Kami juga manusia biasa sepertimu,” kata Rangga merendah.

“Sungguh, aku tidak tahu kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Oh..., sungguh bodoh aku yang tidak mengenali pendekar digdaya seperti kalian berdua.” Gordan membungkukkan tubuhnya, menjura memberi hormat pada kedua pendekar muda dari Karang Setra yang sudah dikenal sebagai Sepasang Pendekar Karang Setra.

Sikap hormat yang diberikan Gordan, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi merasa rikuh juga. Tapi, mereka sudah tidak bisa lagi menghilangkan rasa hormat pemuda itu. Maka kini terlihat rasa penyesalan di dalam sinar mata Pandan Wangi, karena mengatakan diri mereka berdua yang sesungguhnya. Tapi, apa boleh buat? Semua sudah telanjur, dan kata-kata yang sudah terucapkan tidak mungkin bisa ditarik kembali. Ibarat ludah yang sudah keluar, tidak mungkin dijilat lagi.

“Kalian sungguh-sungguh ingin pergi ke kota?” tanya Gordan, seakan ingin menegaskan.

“Benar, Gordan. Kami tidak mungkin bisa diam diri begitu saja setelah mendengar penuturanmu,” Pandan Wangi yang menyahuti, sebelum Rangga bisa membuka suara.

“Oh! Kalau kalian yang datang, aku yakin Pangeran iblis pasti bisa ditumpas,” kata Gordan mantap.

“Semua tergantung dari Hyang Widhi, Gordan. Jika sang Hyang Widhi menghendaki, kami tentu bisa menghentikannya,” kata Rangga merendah lagi.

“Nama kalian berdua sudah seringkali kudengar. Dan...,” Gordan tidak melanjutkan.

“Dan apa, Gordan?” Pandan Wangi meminta meneruskan.

“Terus terang, sebenarnya aku berusaha kabur dari mereka juga, untuk pergi ke Karang Setra. Dan aku ingin meminta bantuan para pendekar Karang Setra. Kudengar, Karang Setra memiliki pendekar-pendekar tangguh dan digdaya. Bahkan rajanya juga seorang yang sangat digdaya,” kata Gordan melanjutkan.

Rangga hanya tersenyum saja. Sudah barang tentu Gordan tidak tahu kalau sekarang ini sedang berhadapan dengan Raja Karang Setra. Dan Pandan Wangi juga hanya tersenyum saja. Matanya langsung melirik Pendekar Rajawali Sakti. Memang, tidak banyak orang yang tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah juga Raja Karang Setra. Dan kebanyakan orang hanya men-genal kalau pemuda itu hanya seorang pendekar yang berasal dari Karang Setra, yang terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

“Pendekar tangguh bisa didapatkan di mana saja, Gordan. Tidak harus di Karang Setra,” kata Rangga masih merendahkan diri.

“Tapi yang kudengar, Karang Setra memiliki begitu banyak pendekar tangguh dan digdaya. Seperti kalian ini. Begitu banyak orang yang membicarakan ketangguhan kalian berdua. Bahkan begitu banyak orang dari kalangan persilatan yang harus berpikir seribu kali jika ingin menantang kalian bertarung. Terutama sekali kau, Pendekar Rajawali Sakti. Kesaktian yang kau miliki memang tidak ada duanya di jagat raya ini,” lagi-lagi Gordan memuji.

“Ah, sudahlah. Tidak akan ada habisnya kalau terus membicarakan hal itu,” kata Rangga tidak ingin melanjutkan.

“Sudah terlalu siang, Kakang. Apa sebaiknya kita berangkat saja sekarang...? Dan sebelum malam tiba kurasa kita sudah bisa sampai di kota kadipaten,” kata Pandan Wangi mengusulkan.

“Baiklah,” sahut Rangga menyetujui.

"Tapi...”

Pendekar Rajawali Sakti menatap Gordan. Di sini hanya ada dua ekor kuda. Sedangkan mereka semua ada tiga orang. Rasanya, tidak mungkin kalau kedua pendekar muda itu meninggalkan Gordan seorang diri saja.

“Kau bersamaku, Gordan. Di Desa Jungkun nanti, aku akan membelikanmu kuda,” kata Rangga

“Oh, terima kasih.... Aku senang sekali bisa berkuda bersamamu, Pendekar Rajawali Sakti,” sambung Gordan, gembira.

“Ayolah. Jangan membuang-buang waktu lagi,” ajak Rangga.

Tak berapa lama kemudian, mereka sudah berkuda meninggalkan kaki lereng Gunung Jungkun itu. Dan jelas sekali kalau tujuan mereka ke Desa Jungkun yang terletak tidak jauh lagi dari tepian jurang itu. Rangga menunggang kudanya yang dikenal berna-ma Kuda Dewa Bayu. Di belakangnya duduk Gordan. Dipeluknya erat-erat pinggang Rangga. Hatinya agak ngeri juga dengan kecepatan lari kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan Pandan Wangi menunggang kuda putih miliknya. Begitu cepatnya kuda itu berlari, hingga seakan-akan keempat kakinya tidak lagi menepak tanah. Debu begitu tebal mengepul tinggi ke angkasa, diterjang kaki-kaki kuda. Sedangkan Pandan Wangi sudah mulai tertinggal sekitar lima batang tombak jauhnya di belakang. Gadis itu memang sulit untuk bisa menyamai kecepatan lari Kuda Dewa Bayu dengan kuda putihnya yang hanya seekor kuda biasa. Jelas saja, karena kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti adalah kuda pemberian dewa yang langsung diturunkan ke bumi dari kahyangan.

“Kakang, tunggu...!” teriak Pandan Wangi, begitu merasakan semakin jauh saja tertinggal.

Rangga berpaling ke belakang sebentar, kemudian memperlambat lari kudanya. Sehingga, dengan cepat Pandan Wangi bisa menyamai kuda hitam itu lagi. Dan kudanya terus dipacu cepat di samping Kuda Dewa Bayu. Kali ini, Rangga mengendalikan lari kudanya, agar Pandan Wangi tidak tertinggal lagi. Kini mereka tiba di Desa Jungkun, namun hanya singgah sebentar. Di desa ini, mereka mendapatkan seekor kuda yang bagus dan tegap untuk Gordan. Demikian pula pakaian yang bersih untuk mengganti baju Gordan yang sudah koyak bernoda darah. Memang masih ada luka-luka di tubuhnya, tapi sudah tidak lagi mengeluarkan darah. Dan hanya luka-luka kering saja yang tinggal menunggu kesembuhan.

Mereka terus melanjutkan perjalanan di atas kuda masing-masing, membelah hutan kecil yang menjadi pembatas antara Desa Jungkun dengan Kota Kadipaten Wurungga. Dan ternyata Gordan pandai sekali menunggang kuda. Hingga, dia tidak perlu takut tertinggal. Dan hanya Rangga saja yang bisa mengendalikan kecepatan lari kudanya, agar tidak meninggalkan yang lainnya.

Sementara matahari terus merayap ke arah barat, sesuai perjalanan waktu. Ketiga anak muda itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan tanah di dalam hutan kecil ini. Debu terus mengepul membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Gerbang perbatasan Kota Kadipaten Wurungga sudah terlihat Rangga memperlambat lari kudanya, diikuti Pandan Wangi dan Gordan. Tampak gerbang perbatasan yang terbuat dari batu itu dijaga enam orang berpakaian seragam prajurit kadipaten. Mereka masing-masing menggenggam sebatang tombak yang panjangnya dua kali dari tubuh mereka.

“Berhenti...!”
“Hooop...!”

Ketiga anak muda itu langsung menghentikan langkah kaki kudanya, begitu salah seorang prajurit kadi-paten penjaga gerbang memintanya berhenti. Lalu prajurit yang berteriak keras tadi menghampiri Rangga segera melompat turun dari punggung kudanya, diikuti Pandan Wangi. Sementara, Gordan masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Sebuah caping bambu yang cukup besar, memang cukup untuk melindungi wajahnya agar tidak dikenali di Kota Kadipaten Wurungga ini.

“Siapa kalian?! Dan, mau apa datang ke Kota Kadipaten Wurungga ini?” tanya prajurit yang masih berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.

Sikapnya begitu angkuh. Bahkan sedikit membusungkan dadanya. Tapi sorot matanya justru tidak berpindah dari wajah cantik Pandan Wangi yang berdiri tidak jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, lima orang prajurit lain mulai melangkah menghampiri. Mereka menyeringai begitu melihat wajah Pandan Wangi yang begitu cantik.

“Kami bertiga datang dari jauh. Dan hanya ingin lewat saja di kota kadipaten ini,” sahut Rangga memberi tahu

“Boleh kami lewat..?”

“Hm...,’ prajurit itu menggumam. Kakinya lalu melangkah menghampiri Pandan Wangi. Diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, seperti sedang menilai suatu barang yang sangat indah. Dan perlahan tangannya menjulur hendak menyentuh wajah si Kipas Maut itu. Tapi begitu jari tangannya hampir menyentuh pipi yang putih dan halus itu, mendadak saja....

“Hih!”
Plak!
“Aduhhh...!”

Prajurit itu kontan terpekik kaget, dan langsung menarik tangannya yang tiba-tiba saja terasa panas bagai terbakar. Cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah. Wajahnya langsung memerah, menatap tajam Pandan Wangi.

“Kurang ajar...! Hih
Bet!

Cepat sekali prajurit itu mengebutkan tombaknya, menyodok langsung ke arah lambung Pandan Wangi. Tapi hanya sedikit saja gadis ini mengegoskan tubuhnya, tombak yang cukup panjang itu lewat di samping tubuhnya. Dan tanpa dapat dilihat dengan mata biasa, si Kipas Maut itu sudah cepat menghentakkan kaki kirinya.

“Yeaaah...!”
Diegkh!
“Akh...!”

Kembali prajurit muda itu terpekik, dan langsung terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Tendangan Pandan Wangi yang begitu keras, tepat mendarat di dadanya. Akibatnya, prajurit itu hanya bisa menggelepar sedikit begitu jatuh di tanah, lalu mengejang kaku. Dia tewas seketika itu juga dengan tulang-tulang dada remuk, terkena tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tadi.

Sementara itu lima orang prajurit lain jadi terkejut setengah mati, melihat temannya tewas seketika, hanya sekali mendapat tendangan saja. Dan seperti ada yang memberi perintah, mereka langsung saja berlompatan cepat menerjang ke arah Pandan Wangi. Tapi belum juga melakukan serangan, mendadak saja....

“Hup! Hiyaaa...!”

Gordan yang sejak tadi duduk saja di punggung kudanya, langsung cepat melompat. Dan seketika pukulannya terlontar begitu cepat menghajar kelima prajurit itu. Begitu cepat gerakan-gerakannya, hingga membuat lima orang prajurit itu tidak dapat lagi mengetahuinya.

Dan tahu-tahu, mereka sudah berpentalan sambil menjerit keras melengking tinggi. Hanya dalam waktu sekejapan mata saja, Gordan sudah membuat lima orang prajurit itu terkapar tanpa dapat bangun-bangun lagi. Mereka seketika tewas dengan dada remuk, akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Gordan tadi.

“Seharusnya kalian tidak perlu membunuh mereka...,” desah Rangga menyesalkan.

“Maaf, Kakang. Mereka yang memulai,” Pandan Wangi membela diri.

“Gordan! Kenapa kau begitu tega membunuh mereka?” Rangga menatap Gordan yang sudah membuka caping bambunya.

“Mereka bukan para prajurit, Kakang,” sahut Gordan, yang kini sudah menyebut kakang pada Rangga, mengikuti Pandan Wangi. Dan memang, Rangga sendiri yang menghendakinya.

“Hm, lalu siapa mereka?”

“Iblis pengikut Pangeran Iblis,” sahut Gordan lagi.

“Hhh..., sudahlah. Ayo kita teruskan, sebelum ada orang lain yang melihat,” ajak Rangga tidak ingin memperpanjang lagi.

Mereka kembali berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing, dan terus memacu cepat meninggalkan gerbang perbatasan itu. Kini mereka lang-sung menuju Kota Kadipaten Wurungga. Dan saat itu, matahari sudah hampir tenggelam di balik belahan bumi bagian barat.

********************

EMPAT

Kota Kadipaten Wurungga memang sangat indah di waktu malam. Hampir di setiap sudut kota itu bermandikan cahaya lampu pelita yang berwarna-warni. Tapi, suasananya memang terasa tidak nyaman. Di mana-mana selalu terlihat prajurit bersenjata tombak dan pedang tengah berjaga-jaga. Seakan-akan, kota itu sedang menghadapi perang saja.

Rangga memilih sebuah rumah penginapan yang cukup besar dan apik di kota itu, tidak jauh dari bangunan kadipatenan yang dijaga puluhan prajurit berusia muda. Dari jendela kamar penginapannya, bisa terlihat langsung pintu gerbang masuk bagian depan kadipatenan. Ada sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit tengah berjaga-jaga di sana yang menyandang senjata lengkap.

“Kelihatannya penjagaan sangat ketat, Kakang. Seperti sedang menghadapi perang saja....”

Rangga berpaling, lalu tersenyum melihat Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Gadis itu juga rupanya memperhatikan penjagaan di sekitar bangunan tempat tinggal Adipati Wurungga ini. Dan di dalam hati, Rangga memang membenarkan ucapan Pandan Wangi. Rasanya, cukup sulit juga untuk bisa menembusnya.

“Kalau kalian ingin masuk ke dalam, aku tahu jalan rahasia yang teraman.”

Kedua pendekar dari Karang Setra itu agak terkejut juga, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Mereka cepat berbalik. Dan kening mereka langsung berkerut begitu melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun, tahu-tahu sudah berada di dalam kamar penginapan ini. Laki-laki itu mengenakan baju warna biru muda yang sangat halus. Dan pasti terbuat dari bahan sutera yang sangat mahal harganya.

Pada bagian dadanya terdapat sulaman benang emas bergambar bunga-bunga. Walaupun sudah berusia lebih dari separuh baya, tapi wajahnya yang bersih masih terlihat tampan. Rambutnya yang masih hitam pun tertata rapi, tergelung ke atas. Dari penampilannya, Rangga bisa menebak kalau laki-laki yang tahu-tahu sudah ada di dalam kamar penginapan ini pasti seorang pembesar kadipaten.

“Maaf kalau kedatanganku mengejutkan kalian,” ucap laki-laki separuh baya itu seraya membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi penghormatan.

Rangga segera membalas salam penghormatan itu. dengan membungkukkan tubuhnya juga. Pandan Wangi juga mengikuti sikap Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian Rangga mempersilakan tamunya ini duduk dengan sikap ramah, walaupun dari sorot matanya masih memancarkan rasa curiga.

“Maaf, siapakah Paman ini...? Rasanya kami belum pernah mengenal,” ucap Rangga, lembut dan penuh rasa hormat.

“Memang kita belum saling mengenal. Tapi terus terang saja, aku sudah mengenalmu, Rangga,” sahut laki-laki tua itu kalem.

“Oh...?!” Rangga kembali terkejut.

“Namaku Arya Sempana,” laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu memperkenalkan diri.

Rangga mengangguk sedikit, menerima perkenalan itu. Sementara, Pandan Wangi tetap berdiri saja membelakangi jendela. Dan di dalam kamar penginapan ini memang hanya ada dua buah kursi yang mengapit sebuah meja kayu, di samping sebuah ranjang berukuran besar. Namun, tidak ada perabotan lainnya di dalam kamar itu.

“Jangan heran, kenapa aku bisa tahu namamu, Rangga. Juga kedatangan kalian berdua di kadipaten ini,” lanjut Arya Sempana.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam sedikit saja.

“Gordan yang memberitahukan tentang kalian padaku.”

“Gordan...?!” Kembali Rangga terkejut. Sungguh tidak di sangka kalau Gordan sudah menceritakan kedatangannya pada orang lain, tanpa diketahui sama sekali. Tapi tidak ada waktu lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bertanya-tanya. Dia hanya diam saja dengan kepala dipenuhi segudang pertanyaan yang sulit dijawab saat ini.

“Gordan bukan saja keponakanku. Tapi, juga putra Gusti Adipati Utayasena,” jelas Arya Sempana.

“Ohhh...,” Rangga hanya bisa mendesah panjang saja.

“Dia sudah bercerita banyak tentang kalian berdua. Terus terang, ku ucapkan terima kasih karena kalian telah menyelamatkan nyawanya. Kalau tidak ada kalian berdua, entah apa yang terjadi terhadap Gordan. Mungkin saja, sekarang ini aku hanya bisa menerima kabar tentang nasibnya, tanpa dapat lagi bertemu orangnya,” lanjut Arya Sempana.

Kini Pendekar Rajawali Sakti baru tahu, ternyata Gordan putra adipati. Pantas saja dia tidak mau berjalan bersama-sama, setelah memasuki kota kadipaten ini. Pemuda itu lalu meminta untuk berpisah. Dan sekarang pun Rangga tidak tahu, di mana Gordan berada.

“Maaf, Paman. Boleh aku bertanya sedikit..,” pinta Rangga menyelak.

“Silakan,” sahut Arya Sempana ramah.

“Di mana Gordan sekarang berada?” tanya Rangga langsung.

“Keselamatannya sangat terancam kalau keberadaannya di Kadipaten Wurungga ini diketahui, Rangga. Dia langsung pergi setelah menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Juga tentang kalian berdua,” sahut Arya Sempana.

“Paman tahu, ke mana perginya?” selak Pandan Wangi bertanya.

“Dia tidak mau mengatakannya, walaupun sudah kudesak. Tapi memang, itu lebih baik untuk menjaga keselamatan dirinya,” sahut Arya Sempana lagi.

Rangga dan Pandan Wangi terdiam seraya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Sementara, Arya Sempana juga terdiam. Hanya dipandanginya saja kedua pendekar muda itu bergantian. Sikapnya masih terlihat sopan.

“Kalau boleh kutahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi di Kadipaten Wurungga ini, Paman?” tanya Rangga setelah cukup lama membisu.

“Sulit untuk menjelaskannya, Rangga. Kadipaten Wurungga ini benar-benar telah menjadi neraka. Di sini, sudah tidak ada lagi saling percaya. Masing-masing saling curiga. Bahkan pembunuhan terjadi di mana-mana. Sulit sekali untuk mengendalikan keadaan kacau ini. Bahkan dalam satu keluarga pun sulit menemui orang yang bisa dipercaya. Tidak ada lagi tempat aman dan damai di kadipaten ini.”

“Kenapa bisa begitu, Paman?” tanya Pandan Wangi, jadi ingin tahu lebih banyak lagi.

“Semua ini terjadi karena ulah Pangeran Iblis,” sahut Arya Sempana, agak gusar nadanya.

Sementara, Rangga hanya diam saja sambil mendengarkan semua penuturan laki-laki tua berbaju sutera halus yang sangat indah itu. Dicobanya untuk membandingkan antara cerita yang didengarnya dari Gordan, dengan cerita yang dituturkan Arya Sempana. Di saat mereka semua tengah terdiam, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita, disertai makian dan sumpah serapah.

Pendekar Rajawali Sakti bergegas bangkit berdiri, dan melangkah ke jendela. Sementara, Pandan Wangi juga cepat memutar tubuhnya. Sedangkan Arya Sempana segera menghampiri jendela kamar penginapan yang sejak tadi terbuka lebar itu.

Tampak di luar sana terlihat seorang gadis muda tengah meronta-ronta diseret empat orang berpakaian prajurit. Kedua tangan gadis itu terikat tambang yang dipegangi empat orang prajurit berusia muda. Banyak orang di jalan itu, tapi tak seorang pun yang berusaha menolongnya. Dan baru saja Rangga hendak bergerak melompat keluar dari jendela, Arya Sempana sudah lebih cepat mencekal pergelangan tangannya.

“Jangan...!” cegah Arya Sempana.

“Tapi, Paman....”

“Biarkan saja. Jangan ikut campur dulu urusan mereka. Biarkan gadis itu dibawa. Kau akan celaka nantinya bila menolongnya,” kata Arya Sempana memperingatkan.

Rangga jadi terdiam dengan kening berkerut, dan kelopak mata agak menyipit. Sungguh sulit dimengerti sikap Arya yang mencegahnya menolong gadis muda itu dari tangan-tangan kasar para prajurit. Gadis itu diseret dengan tambang yang mengikat kedua tangannya. Dia jatuh bangun sambil menjerit-jerit dan memaki-maki.

Namun tidak ada seorang pun yang mau menolongnya. Bahkan Arya Sempana sendiri mencegah Rangga yang hendak menolong. Dan inilah yang membuat Rangga jadi semakin tidak mengerti tentang keadaan di Kadipaten Wurungga ini. Apa yang terjadi benar-benar membuat Pendekar Rajawali Sakti bingung tidak mengerti.

Sementara, gadis itu sudah dibawa masuk ke dalam lingkungan kadipaten yang dijaga ketat puluhan prajurit bersenjata lengkap. Dan suara teriakannya pun lenyap, setelah melewati pintu gerbang masuk ke kadipatenan itu. Perlahan Rangga berbalik, dan pandangan matanya langsung menembus bola mata Arya Sempana. Sedangkan laki-laki separuh baya itu hanya menghembuskan napas panjang yang terasa berat sekali.

“Kelak kau akan mengerti sikapku tadi, Rangga,” ujar Arya Sempana perlahan.

Laki-laki tua itu membalikkan tubuhnya, dan melangkah mendekati kursi dari rotan. Sambil menghembuskan napas panjang, tubuhnya dihempaskan di kursi. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri membelakangi jendela, memandang ke wajah Arya Sempana yang tampak terselimut kabut tebal.

“Akan diapakan gadis itu, Paman?” tanya Pandan Wangi. Terdengar agak dalam nada suara si Kipas Maut Sorot matanya terlihat begitu dalam, tidak berkedip menatap mata Arya Sempana.

“Untuk pemuas nafsu pangeran,” sahut Arya Sempana pelan.

“Maksudmu...?” Pandan Wangi jadi bergidik juga mendengar penjelasan Arya Sempana barusan.

Sungguh tidak disangka kalau prajurit-prajurit Kadipaten Wurungga bisa berbuat seperti itu. Mereka mengambil paksa gadis-gadis untuk dipersembahkan pada Pangeran Iblis sebagai pemuas nafsu. Maka seketika darah si Kipas Maut itu jadi bergolak mendidih.

“Apa lagi yang dilakukan iblis itu selain memperkosa gadis-gadis?” tanya Pandan Wangi lagi.

Jelas sekali, kali ini nada suara Pandan Wangi terdengar begitu geram. Seakan-akan, dirinya sendirilah yang terkoyak saat itu. Sementara, Rangga hanya memandangi saja gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini. Dia tahu betul watak Pandan Wangi. Bila mendengar ada orang yang menginjak-injak martabat kaumnya, darahnya langsung bergolak mendidih. Tapi, inilah yang dikhawatirkan Pendekar Rajawali Sakti.

Pandan Wangi akan bertindak lebih beringas lagi, jika memang benar Pangeran Iblis menumpahkan nafsunya pada gadis-gadis secara paksa. Maka tidak ada seorang pun yang bisa membendung amarah si Kipas Maut itu, kalau sampai ada martabat kaumnya yang terinjak-injak. Bahkan Rangga sendiri agak kewalahan juga bila menahan luapan amarah gadis itu.

“Sudah terlalu banyak keangkaramurkaan yang ditimbulkannya di kadipaten ini. Entah ilmu apa yang dipakai, sehingga banyak orang berhasil dipengaruhi untuk menjadi pengikutnya. Termasuk, adikku sendiri yang juga pamannya Gordan. Dia juga terpengaruh Pangeran Iblis, hingga tega hendak memenggal leher keponakannya sendiri,” kembali Arya Sempana menjelaskan keadaan di Kadipaten Wurungga ini.

“Hhh! Aku jadi penasaran. Seperti apa sih, tampang Pangeran Iblis itu...?” desis Pandan Wangi agak mendengus.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Kedatangan Arya Sempana siang tadi, tentu saja membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi semakin penasaran. Mereka ingin tahu, seperti apa Pangeran Iblis yang kini menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga ini. Banyak sekali yang diceritakan Arya Sempana tentang Pangeran Iblis. Termasuk, segala tindak perbuatannya yang sangat tercela itu.

Dan kini membuat kedua pendekar dari Karang Setra itu semakin geram. Sampai jauh malam, Arya Sempana berada di kamar penginapan yang disewa Rangga. Dan tepat tengah malam, laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu baru meninggalkan kamar penginapan.

Sementara, Pandan Wangi belum juga beranjak ke kamarnya sendiri. Gadis itu masih saja tetap duduk di kursi yang dipindahkan ke dekat jendela. Sedangkan Rangga hanya berdiri saja memandang ke luar, mengamati sekitar bagian depan bangunan kadipatenan yang dijaga ketat sekali. Bahkan malam ini, penjagaan semakin bertambah ketat saja.

“Kau akan menyelidiki malam ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi, seraya berpaling menatap wajah Pandan Wangi.

“Ya! Aku ingin tahu, apa yang dilakukannya di dalam sana,” sahut Rangga, agak mendesah nada suaranya.

“Aku ikut, Kakang,” pinta Pandan Wangi.

Rangga menoleh, menatap tajam bola mata gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Sedangkan yang ditatap, malah membalas dengan sinar mata yang tidak kalah tajam. Jelas sekali dari sorot matanya, kalau Pandan Wangi begitu ingin ikut menyelidiki Pangeran Iblis malam ini.

“Kau tunggu aku saja di sini dulu, Pandan. Kita belum tahu keadaannya. Nanti kalau aku sudah tahu seluk-beluk kadipatenan ini, baru kau ikut,” tolak Rangga secara halus.

“Tapi, Kakang....”

“Dengar, Pandan.... Harus ada orang yang mengawasi dari sini. Kamar ini sangat cocok untuk mengawasi ke sana,” potong Rangga.

“Hhh...!” Pandan Wangi hanya menarik napas dalam-dalam.

Sedikit gadis itu mengangkat bahunya. Dia tahu, kalau Rangga sudah bilang tidak, selamanya tidak. Memang sulit untuk bisa merubah pendirian Pendekar Rajawali Sakti. Maka terpaksa Pandan Wangi harus mengalah.

“Aku pergi dulu, Pandan,” pamit Rangga.

“Paman Arya Sempana sudah menungguku di sana.”

Pandan Wangi menjulurkan kepalanya sedikit Tampak Arya Sempana berlindung di balik sebatang pohon beringin yang sangat besar, tidak jauh dari tembok samping pagar kadipatenan.

“Hati-hati, Kakang...”

“Hup!” Belum lagi hilang suara Pandan Wangi, Rangga sudah melesat begitu cepat keluar melalui jendela kamar penginapan ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga gerakannya bagai angin saja. Dan dalam sekejapan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Pandan Wangi bergegas menggeser kursinya, semakin dekat ke jendela. Bangunan istana kadipaten itu harus terus diawasi.

Saat itu, Rangga sudah berada di samping Arya Sempana. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti sampai di sana. Bahkan Pandan Wangi sendiri belum juga duduk di kursinya. Entah kenapa, gadis itu jadi tersenyum melihat Rangga sudah bersama Arya Sempana. Entah apa yang mereka percakapkan di sana. Dan rasanya terlalu jauh bagi Pandan Wangi untuk bisa mencuri dengar percakapan kedua laki-laki itu.

“Huh! Kalau saja aku bisa menguasai aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’ seperti Kakang Rangga, akan kusadap pembicaraan mereka. Sayang..., Kakang Rangga tidak mau mengajarkannya padaku,” keluh Pandan Wangi.

********************

*LIMA

Saat itu, Rangga dan Arya Sempana sudah berada di bagian belakang tembok istana Kadipaten Wurungga yang tingginya sekitar dua batang tombak. Hanya sebentar saja Rangga mengamati keadaan sekitarnya, kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali sudah melompat naik. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara.

Kemudian tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak bibir tembok yang tebal itu. Rangga menjulurkan kepalanya sedikit ke bagian dalam. Tidak ada seorang penjaga pun terlihat di bagian belakang ini. Ternyata pada bagian dalam dinding tembok pagar ini adalah sebuah taman yang sangat indah. Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke belakang. Tampak Arya Sempana masih tetap menunggu di bawah sambil mendongak ke atas, memandang padanya.

“Hup!” Arya Sempana langsung saja melompat naik, begitu Rangga memberi tanda dengan tangannya. Ternyata, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu cukup tinggi juga. Hanya sekali lesatan dan beberapa kali putaran tubuh, kakinya berhasil menjejak tepat di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau tidak salah, Paman...? Bukankah ini taman kaputren...,” tanya Rangga.

“Memang. Tapi hanya melalui jalan inilah yang teraman, Rangga. Tidak ada jalan lain lagi. Kau lihat sendiri. Tidak ada seorang penjaga pun di sana. Taman kaputren memang terlarang bagi orang luar. Khusus untuk keluarga adipati saja,” sahut Arya Sempana menjelaskan keadaan dalam lingkungan kadipatenan ini.

Sebentar Rangga mengamati keadaan sekitarnya. Memang, tidak terlihat seorang penjaga pun berkeliaran di dalam taman ini. Dan keadaannya juga cukup gelap. Sehingga, mereka tentu dengan mudah bisa masuk ke sana. Tapi Rangga tidak mau bertindak gegabah. Walaupun keadaan memungkinkan, tetap saja semuanya dipelajari secermat mungkin.

“Ayo, Rangga. Jangan buang-buang waktu,” ajak Arya Sempana.

“Tunggu...!” cegah Rangga cepat, seraya mencekal pergelangan tangan Arya Sempana. Laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu tidak jadi melompat turun. Rangga segera melepaskan cekalan tangannya. Dan pada saat itu, terlihat sesosok tubuh mengendap-endap di antara gerumbul tanaman bunga.

“Rupanya bukan hanya kita berdua yang ada di sini, Paman,” bisik Rangga perlahan. Begitu pelannya, sampai hampir tidak terdengar di telinga Arya Sempana. Dan laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu hanya menganggukkan kepala saja sedikit.

Dia juga melihat sosok tubuh berpakaian serba hitam tengah mengendap-endap di antara gerumbul semak pohon bunga. Tampak jelas kalau sosok tubuh itu sedang mendekati pintu masuk ke dalam taman ini. Dia berhenti sebentar. Lalu, tubuhnya berlindung di balik sebatang pohon beringin yang cukup besar, tidak jauh dari pintu yang tertutup rapat Dari bentuk tubuhnya yang tinggi tegap, jelas sekali kalau sosok tubuh itu seorang laki-laki.

Sebilah pedang berukuran panjang, tersampir di pinggangnya yang cukup ramping. Tampak pandangannya beredar ke sekeliling, seakan-akan tengah mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian tatapan matanya tertuju lurus ke arah pintu masuk ke dalam taman yang tetap tertutup rapat. Sementara dari atas tembok benteng, Rangga dan Arya Sempana terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun juga. Memang cukup sulit untuk bisa melihat wajah orang itu. Apalagi, malam ini langit tertutup awan hitam cukup tebal. Sehingga, sinar bulan tidak bisa memancarkan cahayanya sampai ke bumi.

“Kau tunggu dulu di sini, Paman. Aku ingin tahu, siapa orang itu. Juga, apa maksudnya berada di taman kaputren ini,” ujar Rangga.

Belum lagi Arya Sempana bisa membuka suaranya, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat cepat bagai kilat. Gerakannya juga sangat ringan, seperti kapas. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah berumput tebal dan terawat rapi ini.

“Hup...!” Kembali Rangga melesat ringan dengan kecepatan luar biasa sekali. Dan tahu-tahu dia sudah berada dekat di belakang orang berpakaian serba hitam yang ketat ini.

“Kisanak....”

“Heh...?!” Orang itu tampak terkejut sekali, begitu mendengar teguran dari belakangnya. Bagaikan kilat, tubuhnya berputar sambil mengibaskan tangan kirinya. Seketika itu juga, dari telapak tangan kirinya yang terbuka melesat deras secercah cahaya kilat keperakan.

“Haiiit!” Untung saja Rangga cepat mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan orang berpakaian serba hitam ini. Dan bagaikan kilat, kedua kakinya bergerak ke depan, sambil menghentakkan tangan kanannya ke arah dada orang berpakaian serba hitam ini.

“Hap!” Tapi orang berpakaian serba hitam itu malah menerima serangan balasan Rangga dengan hentakan tangannya pula. Hingga....

Plak!
“Hup!”
“Hap...!”

Mereka sama-sama berlompatan ke belakang, sejauh lima langkah. Untung saja, Rangga tadi tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Sehingga, orang berpakaian serba hitam itu hanya terhuyung sedikit sambil memegangi sebelah tangannya yang beradu dengan tangan Rangga tadi. Tapi orang berpakaian serba hitam itu sudah cepat bersiap hendak melakukan serangan. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang. Bahkan hampir saja tercabut, kalau Rangga tidak segera mencegahnya.

“Tunggu, Kisanak...!”

Kelopak mata Rangga jadi menyipit, melihat seluruh kepala dan wajah orang itu terbungkus kain hitam. Hanya bagian kedua bola matanya saja yang terlihat. Dan tampak jelas sekali dari sinar bola matanya, kalau orang berpakaian serba hitam itu terkejut melihat Pendekar Rajawali Sakti yang ada di depannya.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja orang berpakaian serba hitam itu melesat cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh, tung....”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk mencegah. Begitu cepat orang berpakaian serba hitam itu melesat. Sehingga dalam sekejapan mata saja dia sudah lenyap, setelah melewati tembok pagar yang cukup tinggi di bagian belakang istana kadipatenan ini.

“Hm.... Siapa dia? Lalu kenapa mesti lari...?” gumam Rangga bertanya pada diri sendiri. Saat itu terlihat Arya Sempana melompat turun dari atas tembok pagar. Dan langsung dihampirinya Rangga yang berdiri mematung di bawah pohon beringin, menatap lurus ke arah kepergian orang berpakaian serba hitam tadi.

“Kau kenali siapa dia, Rangga?” tanya Arya Sempana langsung.

“Tidak,” sahut Rangga pelan.

“Hm....”

“Dia memakai topeng kain,” Rangga menjelaskan, mendengar gumaman yang bernada tidak puas. Beberapa saat mereka terdiam.

“Ayo, Rangga. Kita terus saja,” ajak Arya Sempana.

“Ayolah....”

********************

Arya Sempana memang hafal betul seluk-beluk bangunan istana kadipatenan ini. Mereka melewati tempat-tempat yang tidak ada penjaganya, sehingga dengan mudah bisa sampai di bagian samping sebuah kamar yang kelihatannya cukup terang di dalam. Jendela kamar itu terlihat sedikit terbuka. Mereka mengendap-endap, merapatkan punggungnya mendekati jendela kamar itu.

“Itu kamar Gusti Adipati, Rangga. Tapi sekarang ditempati Pangeran Iblis,” jelas Arya Sempana. Rangga hanya diam saja.

Kini mereka berhenti setelah dekat dengan jendela kamar yang sedikit terbuka. Cahaya pelita dari dalam menerobos ke luar. Namun sesaat kemudian, kening kedua laki-laki itu jadi berkerut seraya saling melemparkan pandang.

“Iblis...!” desis Arya Sempana dengan wajah memerah seketika. Jelas sekali terdengar kalau di dalam kamar itu seseorang tengah memaksa melampiaskan nafsu binatangnya pada seorang wanita. Erangan dan rintihan lirih terdengar jelas menggiris hati, disertai dengusan napas berat dan memburu.

Tampak wajah Rangga jadi memerah. Dan nafasnya pun terdengar memburu. Kedua tangannya juga sudah terkepal erat. Sementara, di dalam kamar terdengar suara rintihan dan tangisan terisak dari seorang wanita. Dan tak berapa lama kemudian, terdengar tawa seorang laki-laki terkekeh.

“Pengawal...!” Terdengar suara keras dari dalam kamar.

“Seret perempuan ini keluar. Aku tidak sudi lagi melihat wajahnya. Kau mengerti maksudku...?”

“Mengerti, Gusti Pangeran.”

“Buang dia ke dalam jurang sekarang juga.”

“Baik, Gusti Pangeran.”

Sesaat, tidak lagi terdengar suara dari dalam kamar itu. Dan terlihat sepasang tangan menjulur ke luar meraih daun jendela, lalu menutupnya rapat-rapat. Sementara, Rangga dan Arya Sempana lebih merapatkan tubuh ke dinding.

“Iblis...!” desis Arya Sempana berang. Rangga melirik sedikit pada laki-laki berusia lebih dari separuh baya ini.

“Apakah dia Pangeran Iblis, Paman?” tanya Rangga. Suaranya terdengar sangat pelan, dan hampir saja tidak terdengar.

“Tidak ada lagi iblis cabul keparat selain dia, Rangga. Huh! Aku belum puas kalau belum bisa memenggal kepalanya,” sahut Arya Sempana mendengus berang.

“Nanti bisa dilakukan, Paman. Yang penting sekarang, kita harus selamatkan dulu Gusti Adipati Utayasena dari kurungan,” kata Rangga berusaha meredakan amarah laki-laki itu. “Kau tahu, di mana tempatnya kan, Paman...?”

“Ikuti aku,” ajak Arya Sempana.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera bergerak menyusuri bagian belakang dinding tembok bangunan istana kadipatenan ini. Rangga sengaja berjalan di belakang, mengikuti Arya Sempana. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, menjaga kalau-kalau ada prajurit penjaga lewat. Beberapa jendela kamar dilewati. Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu yang terbuat dari jeruji besi berwarna hitam pekat. Sebentar Arya Sempana mengamati keadaan di balik pintu berjeruji itu.

“Hanya ada dua orang penjaga, Rangga. Tepat di depan pintu masuk ke dalam kamar tahanan,” jelas Arya Sempana.

“Kau bisa bereskan mereka, Paman?”

“Anak kecil pun bisa, Rangga.”

Rangga hanya tersenyum saja. Memang jelas kalau tingkat kepandaian yang dimiliki Arya Sempana tentu jauh lebih tinggi daripada para prajurit di Kadipaten Wurungga ini.

“Kau tunggu saja dulu di sini, Rangga. Aku masih bisa bebas keluar masuk di dalam istana kadipaten ini. Selama ini, aku berpura-pura mematuhi perintah Pangeran Iblis,” kata Arya Sempana.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Sementara, Arya Sempana mendekati pintu berjeruji besi itu. Dia berdiri tegak di depan pintu dengan sikap dibuat angkuh sekali, begitu melihat dua orang prajurit penjaga bergegas menghampiri.

“Gusti..., ada perlu apa malam-malam datang ke sini?” tanya salah seorang prajurit.

“Bukakan pintu!” perintah Arya Sempana tegas.

“Tapi....”

“Buka kataku, cepat..!”

Kedua prajurit itu tampak bimbang. Mereka saling berpandangan sejenak, kemudian salah seorang membuka pintu berjeruji besi itu. Arya Sempana melangkah masuk dengan ayunan kaki begitu tenang. Dan ketika berada di antara dua orang prajurit yang masih berusia muda, mendadak saja....

“Hih! Yeaaah...!”
Bet! Wuk!
“Akh!” “Hegkh...!”

Tidak ada lagi suara yang terdengar. Begitu cepat Arya Sempana mengibaskan goloknya. Akibatnya, dua orang prajurit penjaga itu langsung terkapar tewas dengan darah berhamburan dari dadanya yang terbelah. Arya Sempana segera memanggil Rangga. Kemu-dian, disingkirkannya tubuh dua orang penjaga itu, dan disembunyikan di balik lekukan dinding batu.

“Ayo, Rangga. Cepat kita bebaskan Gusti Adipati,” ajak Arya Sempana.

Tanpa berbicara lagi, mereka bergegas menyusuri lorong yang tidak begitu panjang, tapi sangat gelap. Hanya ada beberapa buah obor terpancang di dinding, sehingga tidak memberikan cahaya yang cukup untuk menerangi lorong ini. Mereka lalu berhenti tepat di de-pan sebuah pintu yang terbuat dari besi baja. Dan tampaknya hanya ada sedikit lubang kotak pada ba-gian tengah atas pintu itu.

“Oh...?!”

“Ada apa, Paman...?”

Arya Sempana tidak bisa menjawab. Wajahnya kelihatan pucat sekali. Malah keringat juga sudah mengucur deras membasahi wajahnya yang jadi seperti mayat itu. Rangga jadi heran tidak mengerti. Bergegas disingkirkannya laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti mengintip ke dalam dari lubang di pintu.

“Oh, tidak...,” desis Rangga hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya di balik pintu besi. Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur beberapa tindak. Sementara, Arya Sempana berdiri menyandarkan punggungnya di dinding samping pintu. Wajahnya masih kelihatan pucat pasi. Saat itu, Rangga sudah mengepalkan kedua tangannya di samping pinggang. Dan....

“Hup...! Yeaaah...!”
Bet!

Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga menghentakkan kedua tangannya. Dan kedua telapak tangannya yang terbuka begitu menghentak ke depan tadi, langsung menyentuh daun pintu besi ini. Maka seketika itu juga, pintu yang terbuat dari besi baja tebal itu jebol.

Brak!
“Hup!”

Rangga cepat-cepat menerobos masuk ke dalam, di antara debu-debu yang menghalangi pandangannya sesaat. Kemudian kakinya bergegas melangkah menghampiri sesosok tubuh gemuk yang tergantung di tengah-tengah ruangan berukuran tidak begitu besar ini. Seluruh dinding ruangan terbuat dari batu, dan tidak ada jendela satu pun.

“Paman, bantu aku. Cepat..!” seru Rangga.

Arya Sempana bergegas masuk. Tanpa diminta dua kali, dibantunya Rangga menurunkan sosok tubuh laki-laki tua bertubuh gemuk yang tergantung dengan rantai besi. Tidak terlalu sulit untuk menurunkannya. Tapi tubuh yang gemuk itu memang berat. Bahkan, Arya Sempana sendiri hampir-hampir terjatuh saat menahannya. Dan mereka lalu membaringkan tubuh yang sudah tidak bernyawa itu di lantai batu yang dingin dan kotor berdebu ini.

“Gusti..., kenapa kau lakukan ini...?” keluh Arya Sempana tidak bisa menahan kesedihan, melihat adipatinya sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan gantung diri.

“Sudahlah, Paman. Tidak perlu disesali. Mungkin Gusti Adipati tidak kuat lagi menahan penderitaan. Sebaiknya, kita bawa jasadnya dan dikebumikan sebagaimana layaknya,” hibur Rangga, mencoba menenangkan perasaan Arya Sempana.

“Oh....” Rangga ingin mengangkat tubuh adipati itu, tapi Arya Sempana sudah lebih dulu mencegahnya. Dan laki-laki tua itu sendiri yang memondongnya, walaupun tubuhnya lebih kecil. Tapi dengan pengerahan tenaga dalam, tubuh yang gemuk itu bagaikan segumpal kapas saja berada di dalam pondongannya. Mereka segera keluar dari dalam kamar tahanan ini, tanpa membuang-buang waktu lagi.

Rangga sengaja berjalan paling depan, sambil mengawasi kalau-kalau ada penjaga yang lewat. Mereka langsung saja menuju bagian belakang istana kadipaten ini, dan terus menuju taman kaputren yang berada di bagian halaman belakang. Tidak ada seorang penjaga pun dijumpai. Rupanya, Pangeran Iblis mengkhususkan para penjaganya di depan, sehingga mengabaikan bagian belakang bangunan besar yang dikelilingi pagar tembok bagal benteng ini. Tanpa mendapatkan halangan apa-apa, mereka tiba di taman kaputren, dan langsung keluar dengan melompati pagar tembok yang tingginya sekitar dua batang tombak.

“Biar kugantikan, Paman,” pinta Rangga, setelah berada di luar.

Arya Sempana memandangi Pendekar Rajawali Sakti sejenak, kemudian menyerahkan tubuh Adipati Utayasena yang sudah tidak bernyawa. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Pendekar Rajawali Sakti langsung berlari cepat menuju rumah penginapan.

Sementara, Arya Sempana mengikuti dari arah belakang. Dia juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, tapi tetap saja tidak bisa menyamai kecepatan lari Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja, mereka sudah tiba di depan jendela kamar rumah penginapan. Pandan Wangi yang sejak tadi menunggu, jadi terkejut melihat kedatangan Rangga dan Arya Sempana. Bahkan, Pendekar Rajawali Sakti tengah membawa seorang laki-laki bertubuh gemuk dalam pondongannya. Segera dibukanya jendela kamar penginapan itu lebar-lebar. Lalu dibiarkannya Rangga melompat masuk ke dalam. Sedangkan Arya Sempana mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi setelah Rangga membaringkan tubuh adipati itu di atas pembaringan.

“Adipati Utayasena,” sahut Rangga.

“Adipati..? Kenapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.

Rangga tidak bisa menjawab. Malah tubuhnya dihenyakkan di kursi sambil menghembuskan napas panjang. Terasa begitu berat hembusan nafasnya. Sementara, Arya Sempana berdiri saja membelakangi jendela sambil memandangi tubuh Adipati Utayasena yang terbujur kaku tak bernyawa lagi. Terlihat jelas sekali pada lehernya, guratan merah bekas rantai yang menggantungnya di dalam kamar tahanan.

“Terlalu berat penderitaan yang harus ditanggungnya. Mungkin Gusti Adipati sudah tidak kuat lagi. Gusti Adipati bunuh diri di dalam kamar tahanannya, “ jelas Arya Sempana dengan nada suara sendu.

“Oh...,” Pandan Wangi hanya bisa mendesah saja.

Mereka semua jadi terdiam, tidak bicara lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Sementara, Arya Sempana sudah duduk di tepi pembaringan. Pandangan matanya tidak beralih sedikit pun dari wa-jah Adipati Wurungga. Kelihatan sekali kalau hatinya begitu sedih atas kematian penguasa kadipaten yang begitu mengenaskan ini. Gantung diri di saat seluruh rakyatnya membutuhkan seorang pemimpin yang bisa mengusir pengaruh jahat yang disebarkan Pangeran Iblis.

“Aku tidak tahu lagi, bagaimana nasib kadipaten ini tanpa pemimpin. Semua rakyat belum tahu kalau adipatinya...,” Arya Sempana tidak melanjutkan kata-katanya.

Memang sulit sekali bagi laki-laki tua itu untuk mengungkapkan perasaan hatinya dengan kata-kata. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Mereka juga tidak bisa lagi membuka suara. Mereka tahu, apa yang bakal terjadi bila seluruh rakyat tahu kalau adipatinya tewas gantung diri dalam kamar tahanan. Maka sudah barang tentu, tidak ada seorang pun yang sudi mempunyai pemimpin yang tidak dapat menanggung penderitaan.

Mereka semua membutuhkan seorang pemimpin yang kuat dan mampu menghadapi segala macam rintangan dan tantangan. Bahkan harus mampu mengusir pengacau seperti Pangeran Iblis. Kematian adipati yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat memalukan ini, sudah barang tentu tidak mungkin disebarluaskan di seluruh wilayah Kadipaten Wurungga. Karena akibatnya, martabat keluarga adipati akan hancur.

“Paman, apa masih ada keluarga adipati yang berada di luar kadipatenan?” tanya Rangga membuka suara, setelah cukup lama membisu.

“Hanya Gordan yang ada. Sedangkan seluruh keluarganya sudah tewas di tangan Pangeran Iblis. Tapi aku tidak tahu lagi, di mana Gordan sekarang berada,” sahut Arya Sempana.

“Apa sebaiknya kita kebumikan saja dulu, Kakang...,” usul Pandan Wangi.

“Bagaimana, Paman?” Rangga malah melontarkan pertanyaan pada Arya Sempana.

“Aku akan menyimpannya dulu di kuil. Aku tahu, kuil yang belum terjamah Pangeran Iblis,” sahut Arya Sempana.

“Setelah itu, aku akan membuat perhitungan terhadap Pangeran Iblis.”

“Kami berdua pasti bersamamu, Paman,” ujar Pandan Wangi.

“Terima kasih,” ucap Arya Sempana, terharu.

********************

ENAM

Rangga terpaksa membiarkan Arya Sempana membawa jasad Adipati Utayasena malam ini juga. Sedangkan laki-laki tua itu tidak mau ditemani. Padahal, Rangga sudah menyediakan diri untuk mengawalnya. Maka dengan perasaan berat, Pendekar Rajawali Sakti mengantarkan, walaupun hanya sampai di perbatasan kota. Sedangkan Pandan Wangi tetap menunggu di dalam kamar penginapan.

Setelah mengantarkan Arya Sempana sampai di perbatasan kota, Rangga tidak langsung ke rumah penginapannya. Sengaja diambilnya jalan memutar melalui tanah perkebunan rakyat kadipaten ini. Tidak ada seorang pun yang dijumpainya, hingga tiba di bagian belakang istana kadipatenan. Keadaan di sekitar istana itu masih tetap kelihatan sunyi. Tak ada seorang pun yang terlihat.

Sinar mata Pendekar Rajawali Sakti begitu tajam, mengamati keadaan sekitarnya. Sebentar kepalanya menengadah ke atas, menatap langit yang kelihatan begitu hitam, tertutup awan tebal. Angin pun bertiup cukup kencang, menebarkan udara dingin yang menggigilkan tubuh. Tapi, udara yang begitu dingin sama sekali tidak dirasakan Pendekar Rajawali Sakti.

Perlahan kakinya terayun mendekati dinding pagar belakang yang terbuat dari batu setinggi dua batang tombak lebih itu. Namun begitu berada dekat dengan dinding tembok batu ini, tiba-tiba saja....

Srak!

“Heh...?!” Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba di sekelilingnya bermunculan orang-orang berpakaian seragam prajurit. Mereka muncul dari balik pepohonan dan semak belukar yang banyak tubuh di sekitar bagian belakang bangunan istana kadipatenan ini. Dan sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung. Tidak ada lagi celah baginya untuk bisa meloloskan diri, ketika sudah terkepung oleh tidak kurang dari lima puluh orang berseragam prajurit kadipaten bersenjatakan tombak dan pedang terhunus.

“Ha ha ha...!”

“Hm....” Rangga hanya menggumam kecil saja, ketika tiba-tiba saja terdengar tawa yang begitu keras menggelegar.

Kepalanya mendongak sedikit, maka, tampaklah di bibir atas tembok pagar batu ini sudah berdiri seorang pemuda berwajah dingin, dan kelihatan pucat seperti mayat. Pakaiannya putih bersih dan agak ketat, dengan ikat pinggang dari kain berwarna kuning keemasan. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya yang cukup ramping. Rambutnya yang hitam lebat, terikat agak tergelung ke atas. Sementara bagian sampingnya dibiarkan meriap dipermainkan angin. Dia berdiri congkak sekali sambil berkacak pinggang.

Sedikit Rangga menggeser kakinya, merenggangkan jarak dengan dinding tembok pagar batu ini. Matanya terus menatap tajam pada pemuda berbaju putih yang wajahnya pucat seperti mayat. Dan pemuda itu juga membalasnya tidak kalah tajam. Matanya memancarkan cahaya kebengisan, seperti harimau yang tengah kelaparan melihat seekor domba gemuk. Rangga menaksir kalau usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, sebaya dengan dirinya.

“Tikus busuk..! Apa yang kau lakukan di sini, heh?!” lantang sekali nada suara pemuda berwajah pucat seperti mayat itu.

“Aku sedang jalan-jalan mencari udara segar,” sahut Rangga kalem. Namun, nada suaranya terdengar agak ditekan.

“Kau bawa pedang. Aku tidak percaya kalau kau hanya berjalan-jalan saja mencari angin,” dengus pemuda itu ketus. “Katakan yang benar, apa yang kau lakukan di tengah malam begini...?”

“Sudah kukatakan, aku....”
“Keparat..! Hih!”
Wusss!
“Heh...?! Hup!”

Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja tangan pemuda bermuka pucat itu menghentak ke arahnya. Dan dari telapak tangan kanannya yang terbuka, melesat deras secercah cahaya kemerahan bagai api ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga cepat melenting ke udara menghindari serangan lawan, cahaya merah bagai api itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit pun juga. Dan cahaya itu langsung menghantam tanah tepat di belakangnya. Maka seketika satu ledakan keras pun terdengar menggelegar, begitu cahaya merah menghantam tanah.

“Bagus...! Sudah kuduga, kau pasti punya maksud tertentu berada tengah malam di sini,” dengus pemuda bermuka pucat itu dingin.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan saja.

“Heh...! Kau tahu siapa aku, hah...?! Aku Gagak Gumilang yang menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga ini. Dan kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa izin. Jadi, harus mendapat hukuman yang setimpal!”

“O.... Rupanya kau yang bernama Pangeran Iblis itu...,” desis Rangga, terdengar sinis sekali nada suaranya.

“Nah, sekarang kau sudah tahu siapa aku. Cepat berlutut, dan sembah aku...!” perintah Gagak Gumilang lantang menggelegar.

“Hanya satu yang kusembah. Dan yang pasti, bukan manusia iblis sepertimu, Pangeran,” tegas Rangga.

“Keparat..! Kau harus mampus...!” geram Gagak Gumilang berang, melihat sikap Rangga yang jelas-jelas menantangnya. Wajahnya yang sudah pucat seperti mayat, semakin terlihat pucat. Dan sorot matanya begitu tajam memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar habis seluruh tubuh Rangga. Terdengar suara gerahamnya bergemeletuk menahan geram. Perlahan tangan kanannya bergerak, dengan jari telunjuk menuding lurus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Bunuh tikus keparat itu...!”
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
“Hup!”

Belum lagi hilang teriakan perintah Pangeran Iblis, pemuda-pemuda berpakaian seragam prajurit kadipaten yang memang sudah mengepung, langsung saja berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan kecepatan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat tinggi ke udara. Dan belum juga tubuhnya bisa diputar, mendadak saja....

Wusss...!
“Ikh! Hap...!”

Cepat-cepat Rangga melenting dan berjumpalitan di udara, begitu tiba-tiba saja Pangeran Iblis menyerangnya dengan pukulan jarak jauh yang memancarkan cahaya merah bagai api itu. Kilatan cahaya merah itu lewat sedikit saja di dalam putaran tubuh Rangga. Lalu dengan cepat sekali tubuhnya meluruk turun. Dan sebelum terdengar ledakan keras menggelegar dari sebatang pohon yang hancur terhantam cahaya merah itu, kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti sudah menjejak tanah.

“Hiyaaat..!”

Langsung saja Rangga berlompatan sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun yang sangat cepat dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Walaupun jurusnya dikerahkan hanya tingkat pertama, tapi mengandung pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Dan gerakannya begitu cepat, sehingga sulit untuk diikuti pandangan mata biasa.

“Menyingkir kalian, kalau tidak mau mati sia-sia...!” seru Rangga lantang menggelegar.

“Yeaaah...!”

Namun, tak ada yang menggubris peringatan Rangga. Maka....

Buk! “Akh...!”

Salah seorang prajurit yang berada paling dekat, seketika terpental begitu terkena pukulan yang dilepaskan Rangga. Begitu kerasnya, sehingga prajurit berusia muda itu langsung tewas, setelah tubuhnya menghantam tanah. Tapi, prajurit-prajurit lain sudah cepat merangseknya tanpa kenal ampun.

Terpaksa Rangga harus berjumpalitan menghindari setiap serangan. Dan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti selalu dapat membalas dengan melepaskan pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam sempurna. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi sudah sejak tadi terdengar saling susul, disusul tubuh-tubuh tak bernyawa yang ambruk bergelimpangan. Satu persatu para prajurit itu terpental, dan jatuh keras di tanah tanpa nyawa.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa…!”

Agaknya Rangga tidak mau lagi memperlambat pertarungan yang tidak diinginkannya. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan sambil melepaskan beberapa kali pukulan keras dan beruntun. Maka jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar, disusul ambruknya tubuh-tubuh yang tidak bernyawa lagi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari separuh jumlah prajurit yang bergelimpangan.

“Munduuur...!”

Prajurit-prajurit berusia muda itu langsung berlompatan mundur, begitu terdengar teriakan keras menggelegar bernada memerintah. Dan belum lagi suara yang keras menggelegar itu menghilang dari pendengaran, dari atas dinding tembok pagar batu ini melesat sebuah bayangan putih. Dan tahu-tahu, di depan Rangga sudah berdiri Pangeran Iblis. Begitu cepat dan sangat ringan gerakannya, sehingga Rangga sendiri hampir tidak mendengar kedatangannya.

“Kau jelas bukan orang sembarangan, Kisanak. Katakan, siapa namamu?! Dan, apa tujuanmu datang ke sini malam-malam?” terdengar dalam sekali nada suara Pangeran Iblis.

"Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini memang sengaja untuk bertemu denganmu, Pangeran Iblis. Kau tentu sudah tahu, apa maksud kedatanganku malam-malam begini,” sahut Rangga kalem, namun bernada tegas sekali.

“Ha ha ha...!” Gagak Gumilang tertawa terbahak-bahak. Suara tawa laki-laki berjuluk Pangeran Iblis itu begitu menggelegar terdengar. Jelas sekali kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi tingkatannya. Bahkan daun-daun pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar bagian luar tembok benteng istana kadipatenan, langsung berguguran. Demikian pula prajurit-prajurit yang ada di sekitar tempat itu, yang juga langsung menutup telinga.

“Kau akan mampus di sini, Kutu busuk!” bentak Gagak Gumilang geram mendengar tantangan Rangga yang terbuka tadi.

“Lihat saja nanti. Kau atau aku yang akan mengisi lubang kubur,” dengus Rangga, menanggapi dengan sikap dingin.

“Phuih! Bersiaplah...!”

Pangeran Iblis langsung saja menyilangkan kedua tangannya di depan dada, bersiap-siap membuka serangan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih kelihatan berdiri tegak dengan tenang. Tubuhnya belum bergerak sedikit pun. Bahkan kedua kakinya bagaikan tertanam kuat di atas permukaan tanah yang sedikit berumput ini.

Beberapa saat lamanya mereka saling berpandangan dengan sinar mata yang sangat tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Saat itu, Pangeran Iblis sudah menggeser kakinya ke kanan perlahan-lahan menyusuri tanah. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya bergerak. Namun belum juga ada yang bergerak melakukan serangan, tiba-tiba saja....

“Hiyaaat..!”
“Heh...?!”
“Hah! Hup...!”

Bukan hanya Gagak Gumilang yang tersentak, begitu tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hitam melesat begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya. Bahkan Rangga juga jadi kaget setengah mati. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur sejauh tiga langkah. Dan pada saat yang bersamaan, Pangeran Iblis membanting tubuhnya ke tanah. Lalu tubuhnya bergulingan beberapa kali, tepat di saat terlihat sebuah kilatan cahaya keperakan yang begitu cepat menyambar ke arah kepalanya tadi.

“Hup!”

Dengan gerakan yang sangat manis dan ringan, Pangeran Iblis melenting. Tubuhnya berputaran sejenak, lalu kembali berdiri dengan kedua kakinya yang kokoh di atas permukaan tanah. Namun belum juga bisa menarik napas, kembali terlihat sosok bayangan hitam berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya. Bahkan gerakannya disertai kilatan cahaya keperakan yang berkelebat begitu cepat, hingga arahnya sulit di-ikuti pandangan mata biasa.

“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”

Sedikit sekali Pangeran Iblis mengegoskan kepala, hingga kilatan cahaya keperakan yang ternyata dari sebilah pedang itu lewat di depan wajahnya. Dan pada saat yang bersamaan, tangan kirinya menghentak ke depan, melepaskan satu pukulan lurus yang begitu cepat dan disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

“Haiiit..!”

Namun sosok tubuh berpakaian serba hitam itu lebih cepat lagi melenting ke atas. Dan tahu-tahu, tubuhnya sudah meluruk deras, sambil mengebutkan pedang beberapa kali ke arah kepala Pangeran Iblis.

“Setan! Phuih...!”

Gagak Gumilang jadi geram setengah mati. Terpaksa tubuhnya harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu gencar bagaikan air hujan yang ditumpahkan dari langit. Beberapa kali ujung pedang bercahaya keperakan itu hampir menebas kepalanya, namun masih bisa dihindari. Walaupun, dengan hati geram dan terus menyumpah serapah.

“Hiyaaat..!”

Begitu mendapatkan satu kesempatan yang sangat sedikit Pangeran Iblis tidak menyia-nyiakannya. Secepat kilat tubuhnya melenting ke belakang, dan langsung melesat tinggi ke atas. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya berkelebat dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Sret! Wuk!

Begitu cepat gerakan tangan Pangeran Iblis, sehingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, di dalam genggaman tangannya sudah tergenggam sebilah pedang yang memancarkan cahaya merah bagai kobaran api. Pemuda berwajah pucat seperti mayat itu langsung mengebutkan pedangnya kearah sosok berpakaian serba hitam yang tiba-tiba menyerangnya.

“Yeaaah...!”
Bet!
“Hih!”
Wuk!
Trang...!

Kilatan bunga api seketika terlihat memijar ke segala arah, begitu dua pedang berada di udara. Tampak mereka sama-sama melompat ke belakang sambil berputaran di udara beberapa kali. Dan hampir bersamaan, mereka menjejak di tanah. Namun....

“Ha ha ha...!”

Suara tawa Gagak Gumilang yang selama ini disebut Pangeran Iblis seketika terdengar meledak keras, begitu melihat pedang di tangan orang berpakaian serba hitam sudah terpenggal, tinggal gagangnya saja. Entah ke mana mata pedang orang berbaju serba hitam itu.

“Tikus-tikus busuk...! Kalian datang ke sini hanya mencari mampus saja! Huh...!” dengus Gagak Gumilang dingin.

Bet!

Indah sekali gerakan tangan Pangeran Iblis saat mengebutkan pedangnya hingga tersilang di depan dada. Dan perlahan-lahan kakinya bergegas ke depan. Sorot matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan kain hitam pula. Hanya bagian matanya saja yang terlihat.

Dan pada saat itu, terlihat puluhan orang berlari-lari menghampiri tempat ini. Pangeran Iblis tersenyum setelah tahu kalau yang datang adalah prajurit-prajurit yang berpihak kepadanya. Tampak berlari paling depan seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun, sebaya dengan pemuda berwajah pucat seperti mayat itu.

“Gusti! Biarkan mereka aku yang bereskan,” pinta pemuda itu setelah dekat dengan Pangeran Ibis.

“Hm..., Barada. Kau habisi saja orang tidak tahu diri itu!” dengus Gagak Gumilang sambil menunjuk ke arah orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam pula.

“Baik, Gusti Pangeran,” sahut pemuda yang ternyata memang Barada.

“Hup...!”

Setelah membungkuk memberi hormat, Barada langsung saja melompat mendekati orang berpakaian serba hitam yang kini sudah tidak memiliki senjata lagi. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga hampir tidak terdengar suara saat kakinya mendarat tepat lima langkah lagi di depan orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui siapa sebenarnya.

“Kau lawanku, Orang Hitam!” dengus Barada dibuat dingin nada suaranya.

Srat!

Langsung saja pemuda itu mencabut pedangnya yang berukuran cukup panjang, dan menyilangkannya di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menembus langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam di depannya. Dan perlahan-lahan, kedua kakinya bergerak menyilang ke samping, sambil tetap menyilangkan pedangnya. Tapi, kini pedangnya sudah berada tepat di depan ujung hidungnya.

“Yeaaat..!”
“Yeaaah...!”

TUJUH

Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi Barada langsung memberikan serangan-serangan yang begitu cepat dengan permainan pedang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Sementara orang berpakaian serba hitam itu terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan yang datang beruntun itu. Dan memang, kelihatannya Barada tidak sudi memberi kesempatan lawannya untuk membalas serangan.

Dia terus saja mencecar menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang gerakannya sangat cepat dan berbahaya sekali. Sedikit saja kelengahan, bisa mengakibatkan kematian bagi lawannya. Tapi gerakan-gerakan tubuh orang berpakaian serba hitam itu memang tidak bisa dikatakan ringan lagi. Begitu cepat, hingga sangat sulit bagi Barada untuk bisa mendesaknya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, pertarungan sudah berjalan sepuluh jurus.

Tapi sedikit, pun belum ada tanda-tanda kalau Barada bisa mengalahkan lawan. Bahkan untuk mendesak saja, masih mengalami kesulitan. Dan ini tentu saja membuat pemuda itu jadi bertambah berang setengah mati.

“Setan keparat! Kubunuh kau. Hiyaaat..!”

Barada benar-benar geram setengah mati, melihat lawannya begitu tangguh. Padahal, lawannya tidak menggunakan senjata apa-apa. Sedangkan dia sendiri memegang pedang. Tapi sudah lebih dari sepuluh jurus, belum juga bisa dirobohkannya. Mendesak saja, terasa sulit sekali. Gerakan-gerakan orang berpakaian serba hitam itu memang cepat luar biasa, sehingga sulit bagi Barada untuk bisa memasukkan serangan.

“Cukup untuk bermain-main, Barada! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, orang berpakaian serba hitam itu melesat tinggi ke udara, tepat di saat Barada menusukkan pedangnya ke depan dada lagi. Dan lesatannya ternyata membuat Barada jadi kebingungan. Namun belum juga bisa berbuat sesuatu, mendadak....

“Yeaaah...!”

“Oh...?!” Barada hanya bisa terlongong. Dan saat itu juga....

Prak! “Aaa...!”

Satu hantaman yang sangat keras mendarat tepat di atas kepala Barada. Akibatnya, pemuda itu menjerit melengking tinggi. Tampak kepalanya pecah dengan darah mengucur deras. Hanya sebentar saja Barada masih mampu berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk ke tanah tak bernyawa lagi. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuhnya. Pemuda itu telah tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sementara orang berpakaian serba hitam yang belum bisa dikenali wajahnya, sudah menjejak kembali di tanah. Perlahan tubuhnya berputar dan kembali berhadapan dengan Gagak Gumilang yang selama ini dijuluki Pangeran Iblis.

Phuih!”

Sambil menyemburkan ludahnya, Gagak Gumilang melangkah perlahan-lahan menghampiri orang berpakaian serba hitam yang seluruh wajah dan kepalanya masih ditutupi kain hitam. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus langsung ke bola mata orang berpakaian serba hitam itu.

Sementara, Rangga yang tidak mendapat kesempatan bertarung, hanya diam saja memperhatikan. Tapi sesekali pandangannya beredar ke sekeliling, menjaga kalau-kalau para pemuda yang berpakaian seragam prajurit kadipaten berbuat curang. Dan tampaknya para prajurit tidak ada yang bertindak, tanpa menunggu perintah dari Pangeran Iblis. Mereka hanya diam saja, tapi tetap membentuk lingkaran mengepung rapat tempat ini.

Cukup banyak juga jumlahnya. Dan kalau mereka dikerahkan untuk menyerang, sudah barang tentu akan sulit dihadapi. Tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti, jumlah seperti itu tidaklah menjadi persoalan. Dengan hanya mengerahkan aji ‘Bayu Bajra’, mereka bisa dihalau dengan mudah. Hanya saja, Rangga tidak akan ingin menggunakannya. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin bangunan istana kadipaten yang megah itu hancur terkena ajian yang sangat dahsyat. Sebuah aji kesaktian yang bisa menimbulkan bencana angin topan sangat dahsyat.

Sementara, Gagak Gumilang sudah berada sekitar lima langkah lagi di depan orang berpakaian serba hitam ini. Pedangnya yang memancarkan cahaya merah membara bagai api, masih tergenggam menjulur lurus di samping tubuhnya. Dan perlahan-lahan pedangnya diangkat lurus-lurus ke depan, hingga ujungnya tertuju langsung ke dada orang berpakaian serba hitam di depannya.

“Kau harus mampus, Keparat! Sudah terlalu banyak kerugian yang kuderita...!” desis Gagak Gumilang dingin menggetarkan.

Tapi orang berpakaian serba hitam itu hanya menggumam kecil saja. Sedikit kakinya bergeser ke kiri. Tapi Gagak Gumilang kembali mengarahkan ujung pedang tepat ke dada.

“Bersiaplah, Setan Keparat!” desis Gagak Gumilang masih tetap terdengar dingin sekali nada suaranya.

“Hm....”
“Hiyaaa...!”
“Hup! Yeaaah...!”

Kembali pertarungan berlangsung. Dan kali ini, Gagak Gumilang yang dikenal berjuluk Pangeran Iblis melakukan serangan-serangan dengan jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat. Pedangnya berkelebatan begitu cepat, hingga bentuknya lenyap tak terlihat lagi. Dan yang terlihat hanya kilatan cahaya merah saja yang berkelebatan di sekitar tubuh orang berpakaian serba hitam itu.

Pada saat pertarungan sudah berjalan beberapa jurus, Rangga memalingkan mukanya sedikit ke kanan. Dan saat itu, Pandan Wangi tampak tengah berdiri di atas tembok pagar batu berupa benteng yang mengelilingi bangunan istana kadipaten. Gadis itu berdiri tegak mengawasi jalannya pertarungan. Entah sudah berapa lama gadis yang berjuluk si Kipas maut itu berada di sana. Sementara di sebelah kanannya, berdiri Arya Sempana.

Di lain tempat pertarungan antara Pangeran Iblis melawan orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui siapa sebenarnya terus berjalan semakin sengit saja. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar bagaikan hendak meruntuhkan langit. Dan malam pun terus berjalan terasa lambat. Udara dingin yang bertiup agak kencang sama sekali tidak dirasakan lagi, tertimpa suasana yang begitu panas membakar dada.

“Hiyaaat..!”

Tiba-tiba saja Gagak Gumilang memutar tubuhnya ke bawah, begitu berada di udara. Dan bagaikan kilat, pedangnya disabetkan tepat mengarah ke kaki lawan. Tapi dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, orang berpakaian serba hitam itu melesat ke atas. Maka sabetan pedang yang memancarkan cahaya merah bagai api itu masih bisa dihindarinya. Dan pada saat yang bersamaan, mendadak saja Pangeran Iblis cepat memutar tubuhnya kembali. Lalu bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri. Begitu cepat serangan susulannya sehingga orang berbaju serba hitam ini jadi tersentak kaget setengah mati.

“Hap!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi orang berbaju serba hitam itu untuk menghindar. Maka cepat-cepat kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sehingga, pukulan tangan kiri Gagak Gumilang hanya menghantam keras pergelangan tangannya.

Prak! “Akh...!”

Tampak orang berpakaian serba hitam itu terpental sejauh enam langkah ke belakang, sambil mengeluarkan pekikan agak tertahan. Meskipun kakinya masih bisa menjejak manis, tapi tak urung tubuhnya terhuyung-huyung juga ke belakang beberapa langkah.

“Ukh...!”

Terdengar keluhan yang pendek. Tampak orang berpakaian serba hitam itu memegangi pergelangan tangan kirinya. Jelas sekali kalau tulang pergelangan tangan kirinya remuk akibat menahan pukulan Pangeran Iblis tadi.

“Mampus kau sekarang! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Gagak Gumilang melesat cepat sambil membabatkan pedang ke arah kepala lawannya. Tapi begitu mata pedang yang memancarkan cahaya merah hampir membelah kepala orang berpakaian serba hitam, mendadak saja terlihat satu bayangan putih berkelebat begitu cepat. Langsung disambarnya tubuh orang berpakaian serba hitam itu sambil melontarkan sebuah benda seperti batu kerikil ke arah Pangeran Iblis.

“Aih...!” Gagak Gumilang jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya melenting dan berputaran dua kali ke belakang. Kedua bola matanya jadi terbelalak, begitu melihat benda yang berhasil ditangkapnya tadi hanya sebuah kerikil kecil.

“Setan...!”

Sementara itu, orang berpakaian serba hitam yang diselamatkan dari ancaman ke matian, tahu-tahu sudah berada di atas tembok benteng bersama Pandan Wangi dan Arya Sempana. Tampak Rangga berdiri di samping orang berpakaian serba hitam itu. Rupanya Pendekar Rajawali Sakti yang menyelamatkan kepala orang berpakaian serba hitam itu dari tebasan pedang Pangeran Iblis.

“Setan keparat..! Turun kalian semua...!” teriak Gagak Gumilang lantang menggelegar.

Pangeran Iblis kelihatan geram sekali atas tindakan Rangga yang menyelamatkan lawannya. Sambil mengacungkan pedang ke arah para pendekar itu, dia berteriak keras menggelegar. Dan....

“Yaaah...!”
Wuk!
“Awaaas...!”

Begitu Gagak Gumilang menghentakkan pedangnya, seketika itu juga dari ujungnya memancar dua bola api yang langsung meluncur deras ke arah mereka yang berada di atas bibir tembok tebing. Namun dengan gerakan yang sangat indah dan cepat mereka berlompatan turun menghindar. Dan seketika itu juga, terdengar satu ledakan dahsyat menggelegar. Tampak pagar tembok yang tebal itu hancur berkeping-keping terlanda bola api yang memancar keluar dari ujung pedang Pangeran Iblis.

“Hiyaaa...!” Gagak Gumilang rupanya sudah benar-benar marah tak tertahankan lagi. Begitu kaki Rangga menjejak tanah, kembali tangan kanan Pangeran Iblis menghen-tak ke depan, setelah memindahkan pedang ke tangan kiri. Dan dari telapak tangannya yang terkembang lebar, meluncur secercah cahaya merah ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Hiyaaa...!”

Hanya dengan satu lesatan yang ringan sekali, Rangga berhasil menghindari serangan Gagak Gumilang. Lalu kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar, ketika dinding pagar tembok batu terkena hajaran cahaya merah dari telapak tangan Pangeran Iblis.

“Serang mereka...!” seru Gagak Gumilang lantang menggelegar.

“Hiyaaa...!” “Yeaaa...!”

Seketika itu juga, para prajurit yang memang sejak tadi sudah siap menunggu perintah, langsung berlompatan menyerang. Pandan Wangi, Arya Sempana, dan orang berpakaian serba hitam segera berlompatan dengan senjata masing-masing. Sementara, senjata pedang orang berpakaian serba hitam itu dipungutnya dari seorang prajurit yang tergeletak tewas tidak jauh dari kakinya.

Dengan pedang itu, dia kembali mengamuk menghajar para prajurit yang menyerangnya. Malam yang seharusnya hening, kembali dipecahkan oleh teriakan-teriakan keras menggelegar, disertai raungan dan jerit melengking mengiringi kematian. Saat itu juga, angin yang bertiup cukup kencang malam ini menyebarkan aroma anyir darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa.

Sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi prajurit kadipaten itu yang ambruk tanpa nyawa. Sementara, Rangga masih tetap menghadapi Gagak Gumilang yang selama ini dikenal sebagai Pangeran Iblis yang ditakuti seluruh rakyat Kadipaten Wurungga. Mereka masih berdiri berhadapan, dan belum melakukan pertarungan.

“Setan...!”

Gagak Gumilang jadi berang setengah mati, ketika melihat para prajuritnya tidak ada yang bisa mendesak lawan-lawannya. Padahal, lawan hanya tiga orang saja. Tapi setiap gerakan tangan dan tubuh mereka selalu menimbulkan jatuh korban di pihak prajurit.

“Kau harus mengganti semua nyawa para prajuritku, Setan Keparat..!” geram Gagak Gumilang, sambil menudingkan ujung pedang ke arah dada Rangga.

“Nyawa orang sepertimu tidak ada harganya sama sekali. Bahkan kau tidak lagi pantas hidup di dunia ini, Pangeran Iblis,” desis Rangga dingin menggetarkan.

“Phuih! Kau harus mampus di tanganku, Rangga! “Lihat saja....” “Phuih! Hiyaaat..!”

Sambil menyemburkan ludah dan berteriak keras menggelegar, Pangeran Iblis melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya yang memancarkan cahaya merah bagai api, berkelebat begitu cepat di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi putih ini.

Tapi hanya menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindarinya. Bahkan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti mematahkan serangan Pangeran Iblis, sebelum sampai di tujuannya. Dan ini tentu saja membuat Pangeran Iblis jadi semakin geram. Maka jurus- jurusnya semakin diperhebat ke tingkatan yang sangat tinggi.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Bet! Wuk!

“Haiiit..!”

Beberapa kali Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan Pangeran Ib-lis yang begitu gencar dan tidak ada hentinya. Dan semakin lama, serangan-serangan yang dilancarkan semakin bertambah dahsyat. Rangga cepat menyadari kalau tidak akan mungkin bisa terus bertahan bila hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'

“Hup! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras, Rangga melenting ke atas, tepat di saat Gagak Gumilang membabatkan pedang ke arah kaki. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, tubuhnya meluruk deras. Dan pada saat yang sama, kedua kakinya berputaran cepat sekali. Dari gerakannya itu, bisa diketahui kalau Rangga mengerahkan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.

Jurus itu sangat cepat dan dahsyat, sehingga Pangeran Iblis jadi terhenyak kaget sesaat. Namun cepat-cepat pedangnya diputar ke atas kepala, hingga Rangga harus segera pula menarik serangannya kembali. Dan sebelum Pangeran Iblis bisa menurunkan pedangnya lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat memutar tubuhnya. Lalu bagaikan kilat, dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat pertama, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

“Hiyaaa...!” Wuk! “Heh...?!”

Pangeran Iblis jadi tersentak kaget setengah mati, melihat serangan yang begitu cepat dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

“Uts...!” Sambil mengegoskan tubuh sedikit ke kanan, cepat-cepat Pangeran Iblis membabatkan pedang dengan gerakan melintang ke arah depan tubuhnya. Dia memang berusaha melindungi diri dari incaran pukulan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.

Wuk! “Hap!”

Cepat-cepat Rangga menarik pulang pukulannya, lalu melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sementara, Gagak Gumilang juga melompat tiga langkah ke belakang. Kini, mereka berdiri berhadapan sambil mengatur pernapasan. Sementara, pertarungan di tempat lain masih terus berlangsung. Hanya saja sudah jelas bisa dipastikan, kalau prajurit-prajurit kadipaten tidak mampu lagi menghadapi tiga orang yang berkepandaian sangat tinggi. Namun, ternyata mereka tidak juga merasa gentar. Bahkan terus saja merangsek maju, walaupun su-dah lebih dari separuhnya yang tewas.

“Hhh...!” Pangeran Iblis mendengus sambil menghembuskan napas panjang, begitu mengetahui kekuatan prajuritnya semakin berkurang saja. Sedangkan dia sendiri, begitu sulit menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Dan sudah beberapa jurus pertarungan berlangsung, pemuda berbaju rompi putih itu belum juga bisa didesaknya.

“Huh! Biarkan mereka semua mampus! Sebaiknya, aku pergi saja dari sini. Aku harus mencari kekuatan baru. Huh...! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Rangga...!” dengus Gagak Gumilang dalam hati. Pangeran Iblis itu memang sudah merasa tidak akan mungkin bisa bertahan lebih lama lagi. Apalagi menghadapi Pendekar Rajawali Sakti seorang diri. Sedangkan kekuatan yang ada sekarang, sudah cukup terkuras menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.

“Awas...!” tiba-tiba saja Gagak Gumilang berseru lantang. Dan seketika itu juga, tangan kanannya dikebutkan cepat beberapa kali. Saat itu, terlihat beberapa bola api meluncur deras ke arah Rangga.

“Hup! Hiyaaa...!” Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus melenting ke atas, dan berjumpalitan beberapa kali menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pangeran Iblis. Dan pada saat Rangga sibuk menghadapi lontaran bola-bola api itu, cepat sekali Gagak Gumilang melesat meninggalkan tempat ini.

“Hei...! Jangan lari kau...!” seru Rangga terkejut.

Tapi Gagak Gumilang sudah begitu cepat melesat pergi. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tertelan gelapnya malam.

“Hup! Hiyaaat..!” Rangga tidak sudi membuang-buang waktu lagi. Dengan cepat tubuhnya melesat mengejar, begitu bisa menghindari bola api yang terakhir menyerangnya. Dan pada saat yang bersamaan, orang berpakaian serba hitam itu melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah melesat pergi mengejar Pangeran Iblis.

“Hup! Hiyaaat..!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera melenting ke udara sambil cepat membabatkan pedang beberapa kali. Maka lima orang lawannya seketika menjerit melengking terbabat pedang. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, orang berbaju serba hitam itu terus melesat berlari cepat mengejar Pendekar Rajawali Sakti.

“Pangeran Iblis itu pergi, Paman...!” Rupanya Pandan Wangi juga melihat kepergian Pangeran Iblis yang dikejar Rangga dan orang berpakaian serba hitam tadi.

“Apa...?!” seni Arya Sempana kurang jelas mendengar.

“Pangeran Iblis kabur...!” Pandan Wangi mengulangi dengan suara dikeraskan.

“Keparat..! Ayo kita kejar!” balas Arya Sempana.

“Hiyaaat..!”

Tanpa menghiraukan para prajurit yang menjadi lawannya, Arya Sempana langsung saja melesat pergi, begitu Pandan Wangi juga melesat cepat meninggalkan lawan-lawannya. Sementara prajurit-prajurit yang jumlahnya tinggal sedikit itu jadi terlongong bengong. Mereka tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan, begitu melihat lawan-lawannya lari dengan kecepatan bagai kilat. Hingga dalam waktu sekejap mata saja, mereka sudah lenyap dari pandangan.

Sementara itu, Rangga yang mengejar Pangeran Iblis terus berlari dengan kecepatan penuh, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya, sehingga kedua kakinya bagaikan tidak menjejak tanah lagi. Dan di dalam kegelapan malam itu, hanya bayangan tubuhnya saja yang terlihat berkelebatan begitu cepat menuju utara.

“Hup! Hiyaaat..!”

Rangga mengempos seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya. Dan saat itu juga, tubuhnya melesat tinggi ke angkasa. Lalu dengan ringan sekali, ujung jari kakinya menjejak puncak pohon yang tertinggi.

“Hup!”

Sambil terus mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lain. Memang hanya dengan jalan inilah gerakannya bisa lebih cepat lagi, tanpa khawatir menabrak pohon yang semakin rapat saja tumbuh, setelah berada di luar perbatasan kota.

“Hup! Yeaaah...!”

DELAPAN

Begitu melihat bayangan putih berkelebat di antara pepohonan, bagaikan seekor burung rajawali Rangga melesat turun ke bawah dengan kecepatan luar biasa sekali. Gerakannya begitu indah dan ringan, sehingga langsung saja berlari cepat begitu kakinya menyentuh tanah.

“Hiyaaa...!”

Sambil mengempos tenaganya, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat, meluncur bagaikan sebatang anak panah lepas dari busur. Begitu cepatnya, hingga pemuda berbaju rompi putih itu melesat melewati kepala Pangeran Iblis yang masih saja berlari dengan kecepatan tinggi.

“Heh...?!”

Gagak Gumilang yang lebih dikenal berjuluk Pangeran Iblis jadi tersentak setengah mati, begitu merasakan adanya hembusan angin panas melewati bagian atas kepalanya. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, kembali dikejutkan oleh munculnya Pendekar Rajawali Sakti. Dan tahu-tahu, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

“Jangan harap bisa lari dariku, Pangeran Iblis! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!” terasa dingin sekali nada suara Rangga.

“Phuih...!”

Pangeran Iblis hanya menyemburkan ludahnya saja, menanggapi kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kakinya bergeser ke kanan, dan segera mencabut kembali pedangnya yang tadi sudah tersimpan dalam warangka yang tergantung di pinggang. Pedang bercahaya merah bagai memancarkan api itu bergerak-gerak perlahan, melintang di depan dada.

Sementara Rangga tetap berdiri tegak, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan setiap gerak yang dilakukan Pangeran Iblis.

“Kau hanya bermimpi bisa mengalahkan aku, Rangga,” desis Gagak Gumilang dingin.

Rangga hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Sorot matanya masih tetap memancar dendam, memperhatikan setiap gerak yang dilakukan Pangeran Iblis. Perlahan-lahan namun pasti, Gagak Gumilang sudah semakin dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan pedangnya sudah terulur lurus ke depan. Mulutnya sedikit menyeringai, bagai hendak meruntuhkan nyali pemuda berbaju rompi putih ini.

“Mampus kau sekarang, Tikus Keparat! Yeaaah...!”

Bet!

Cepat sekali Gagak Gumilang mengebutkan pedang ke arah dada. Namun hanya sedikit mengegoskan tubuhnya, Rangga berhasil menghindari tebasan pedang yang memancarkan cahaya merah dan berhawa panas itu.

“Yeaaah...!”

Gagak Gumilang terus menyerang dengan kebutan pedang yang begitu cepat dan sangat dahsyat! Mau tak mau, Rangga terpaksa menarik diri ke belakang sambil meliuk, menghindari setiap serangan yang sangat cepat luar biasa itu.

“Hap...!”

Sambil melenting berputar, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke belakang sejauh satu batang tombak. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedangnya.

“Hap!”
Sret!
Cring...!
“Heh...?!”

Gagak Gumilang jadi terbeliak, begitu melihat Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangka. Sungguh dahsyat pamor pedang itu. Seluruh mata pedangnya bersinar biru terang, sangat menyilaukan mata. Sehingga, keadaan dalam hutan di pinggiran Kota Kadipaten Wurungga itu jadi terang benderang, seperti siang hari.

Wuk! Wuk...!

Rangga mengayun-ayunkan pedangnya di depan dada, sehingga menimbulkan suara bagaikan angin topan yang menderu sangat dahsyat. Dan lagi, siapa saja yang mendengar, akan membuat jantung bergetar. Bahkan Gagak Gumilang sendiri jadi melangkah mundur beberapa tindak. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat pandangannya jadi terhalang. Bahkan matanya pun mulai terasa pedih.

“Phuih...!”

“Majulah, Pangeran Iblis. Kau akan merasakan kehebatan pedangku ini,” tantang Rangga, langsung.

Begitu datar dan dingin nada suara Pendekar Rajawali Sakti, membuat hati Pangeran Iblis jadi agak bergetar juga mendengarnya. Namun pemuda berwajah pucat seperti mayat itu memang bukan orang semba-rangan. Walaupun disadari akan menghadapi sebuah senjata pusaka yang berpamor sangat dahsyat dengan cepat kegentarannya bisa diusir. Bahkan sorot matanya semakin terlihat tajam. Wajahnya yang pucat pasi seperti tak pernah teralirkan darah, jadi kelihatan semakin meregang kaku.

“Phuih!”

Gagak Gumilang kembali menyemburkan ludahnya. Kemudian....

“Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pangeran Iblis melompat seraya mengangkat pedang tinggi- tinggi ke atas kepala. Dan begitu cepat sekali pedang kebanggaannya dibabatkan ke atas kepala Rangga.

“Hiyaaa...!”

Aneh, Pendekar Rajawali Sakti tidak menggeser kakinya sedikit pun juga. Padahal, pedang Pangeran Iblis sudah hampir membelah kepalanya! Untung pada saat yang tepat, pedangnya cepat sekali dikebutkan secara menyilang di atas kepalanya sendiri. Betapa terkejutnya Gagak Gumilang melihat tindakan Rangga. Apalagi, pedangnya tidak sempat lagi ditarik pulang. Sehingga....

Trang! “Ikh...!”

Gagak Gumilang terpekik kecil agak tertahan, begitu pedangnya beradu dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Saat itu juga, tubuhnya terpental balik ke belakang dan berputaran beberapa kali di udara. Tapi Pangeran Iblis cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, seraya menjejakkan kakinya kembali di tanah.

“Eh...?!”

Namun sesaat kemudian, kedua kelopak mata Pangeran Iblis jadi terbeliak lebar. Sulit dipercayai, kalau pedang yang selalu dibanggakan kini tinggi sepotong! Jelas pedang itu terpenggal buntung saat berbenturan dengan pedang milik Pendekar Rajawali Sakti tadi.

“Keparat! Hiyaaat..!”

Amarah Gagak Gumilang sudah tidak tertahankan lagi. Walaupun pedangnya tinggal sepotong lagi, laki-laki berjuluk Pangeran Iblis itu langsung saja melompat menyerang. Dan pada saat itu, Rangga cepat mengerahkan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu indah, seakan-akan sedang menari. Pedangnya meliuk-liuk bagaikan seekor naga, mengimbangi gerakan-gerakan pedang Pangeran Iblis yang tinggal sepotong.

“Ukh...!”

Namun baru saja pertarungan itu berlangsung beberapa jurus, Pangeran Iblis sudah mengeluh. Entah kenapa, kepalanya jadi terasa pening sekali. Dan pandangan matanya juga jadi berkunang-kunang. Perhatiannya langsung terpecah, hingga sulit sekali untuk mengerahkan jurus-jurusnya dengan sempurna. Akibatnya, serangan-serangannya jadi berantakan tidak teratur.

Sementara, Rangga hanya berlompatan saja sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang dilancarkan Pangeran Iblis. Tapi dari gerakannya, justru sebenarnya bukan menghindar, melainkan mengikuti arah serangan pemuda berwajah pucat itu.

“Setan keparat! Phuih...!”

Beberapa kali Gagak Gumilang memaki dan menyemburkan ludahnya. Tapi semakin berusaha keras mengerahkan jurus-jurusnya, semakin sulit saja dirinya dikendalikan. Bahkan perhatiannya pun semakin terasa terpecah.

“Setan...! Hiyaaat..!”

Gagak Gumilang melenting tinggi-tinggi ke udara, lalu cepat sekali menukik turun sambil memutar pedangnya yang tinggal sepenggal.

“Hap!”

Namun, lagi-lagi Rangga tidak berpindah sedikit pun juga. Pendekar Rajawali Sakti hanya menarik pedangnya ke atas kepala, sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat terakhir.

“Yeaaah...!” Trang! “Akh...!”

Kembali dua pedang beradu keras di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat itu juga, terdengar pekikan keras agak tertahan. Tampak Pangeran Iblis terpental cukup jauh ke belakang. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung sedikit, begitu kakinya menjejak tanah.

“Setan keparat! Phuih...!”

Semakin bertambah geram saja Pangeran Iblis melihat pedangnya terpenggal sampai ke pangkal batang pegangan. Kini, tidak mungkin lagi senjata kebanggaannya bisa digunakan. Sambil mendengus menyemburkan ludah, Pangeran Iblis membuang senjata yang tinggal gagangnya.

“Hap...!”

Pangeran Iblis cepat bersiap kembali melakukan pertarungan, walaupun kini hanya tinggal mengandalkan tangan kosong saja. Namun melihat lawannya tidak lagi memegang senjata, Rangga pun segera memasukkan kembali Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sehingga, keadaan di tempat pertarungan itu kembali terselimut kegelapan. Memang, pantang bagi Pendekar Rajawali Sakti menggunakan senjata, setelah melihat lawannya tidak menggunakan senjata lagi.

“Hm.... Rupanya dia akan mengerahkan ilmu kesak-tian. Baik..., aku akan melayaninya dengan aji ‘Cakra Buana Sukma’,” gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti segera merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Dan perlahan-lahan, tubuhnya ditarik hingga miring ke kanan. Kemudian tubuhnya bergerak ke kiri, lalu berputar ke depan hingga tegak kembali. Perlahan kemudian, kakinya direntangkan lebar-lebar, hingga kedua lututnya tertekuk membentuk sudut runcing. Sementara, Pangeran Iblis juga sudah bersiap hendak menyerang dengan pengerahan ilmu kesaktian andalan.

“Tahan serangan aji pamungkasku, Rangga...!” desis Gagak Gumilang, dingin menggetarkan.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit. Saat itu, pada kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang masih merapat di depan dada sudah terlihat secercah cahaya biru yang menggumpal, seakan-akan hendak meledak ke luar. Sementara, Gagak Gumilang sudah mulai menggeser kakinya ke depan beberapa langkah. Gerakannya tampak begitu halus dan ringan. Dan pada saat jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi dari Pencakar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja kedua tangannya dihentakkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa.

“Hiyaaa...!” Dan pada saat yang bersamaan.... “Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Yeaaa....!”

Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya memancar ca-haya biru terang berkilau yang meluruk deras ke arah Pangeran Iblis. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, dari kedua telapak tangan Gagak Gumilang yang sudah berwarna merah belum memancarkan cahaya merahnya! Cahaya biru yang keluar dari telapak tangan Rangga, cepat sekali menggulung seluruh tubuh Gagak Gumilang. Akibatnya, Pangeran Iblis itu jadi tersentak kaget setengah mati.

“Hih! Yeaaah...!”

Gagak Gumilang cepat-cepat menghentakkan kedua tangannya ke samping, tapi kembali tersentak kaget setengah mati. Ternyata aji pamungkas yang dibang-gakannya seakan tidak berarti sama sekali. Laki-laki berwajah pucat itu benar-benar tidak dapat lagi mengerahkan satu aji kesaktian pun, dengan tubuh terselubung cahaya biru berkilauan menyilaukan mata ini.

“Ukh! Apa ini...?!” Pangeran Iblis semakin terperanjat, begitu merasakan adanya satu tarikan yang begitu kuat menguras tenaganya. Pangeran Iblis berusaha menahan menggunakan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tapi sungguh di luar dugaan, semakin kuat berusaha melawan, semakin besar pula kekuatannya terbuang keluar. Hingga akhirnya, kekuatan yang terus tersedot keluar tidak bisa dikendalikan lagi. Pada saat pertarungan aji kesaktian itu berlangsung, terlihat orang berpakaian serba hitam muncul. Kemudian disusul Pandan Wangi, lalu Arya Sempana yang mengikuti dari belakang.

“Jangan didekati...!” seru Pandan Wangi langsung mencegah, begitu melihat orang berpakaian serba hitam melangkah hendak menghampiri Gagak Gumilang.

Orang berpakaian serba hitam itu menghentikan ayunan langkahnya. Dan kepalanya cepat berpaling, menatap Pandan Wangi yang berdiri tidak jauh di belakangnya, didampingi Arya Sempana.

“Kenapa kau mencegahku, Pandan?” tanya orang berpakaian serba hitam itu.

“Heh...?! Kau mengenal namaku...?” Pandan Wangi jadi terkejut, mendengar orang berpakaian serba hitam yang belum diketahui wajahnya sudah mengenal namanya.

“Kenapa aku tidak boleh mendekatinya, Pandan?” orang berpakaian serba hitam itu tidak mempedulikan keterkejutan Pandan Wangi.

“Kau akan celaka sendiri. Kakang Rangga tengah mengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya,” jelas Pandan Wangi singkat.

Walaupun hatinya masih merasa heran pada orang berpakaian serba hitam itu. Saat itu, tampak Rangga sudah mulai menggerak-kan kakinya. Perlahan-lahan, dihampirinya Pangeran Iblis. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar dua langkah lagi....

“Hap...!

Cepat sekali kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti terangkat ke atas kepala. Dan begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Raja-wali Sakti lenyap, seketika tubuh Gagak Gumilang jatuh telentang di atas tanah berumput tebal ini.

“Ah...! Bunuh aku, Keparat..! Bunuh aku...!” bentak Gagak Gumilang putus asa.

Memang Pangeran Iblis merasa tidak ada lagi gunanya hidup dalam keadaan seluruh tubuh lumpuh, akibat terkena aji ‘Cakra Buana Sukma’ tadi. Sedikit pun tubuhnya tidak bisa lagi digerakkan. Tak terkecuali jari-jari tangannya!

Saat itu, Pandan Wangi, Arya Sempana, dan orang berpakaian serba hitam sudah datang menghampiri. Pandan Wangi langsung saja memeluk lengan kanan Rangga dengan sikap manja dan penuh kasih.

“Dia sudah tidak lagi berbahaya, Paman. Kau bisa mengadili dan memberinya hukuman yang setimpal atas segala perbuatannya,” kata Rangga, sebelum ada yang sempat membuka suara.

“Terima kasih, Rangga. Tapi hukuman yang pantas untuknya nanti, tergantung keputusan rakyat,” sahut Arya Sempana gembira.

Dan pada saat itu, orang berpakaian serba hitam yang berdiri tepat di sebelah kanan Arya Sempana, membuka selubung kain hitam yang menyelubungi kepalanya sendiri.

“Gordan...!” Bukan hanya Pandan Wangi saja yang terpekik kaget, tapi juga Rangga dan Arya Sempana. Ternyata orang berpakaian serba hitam ini Gordan, pemuda yang hampir mati kedinginan dan kelaparan kalau saja tidak ditolong Rangga keluar dari perangkap batu yang ada di tepi jurang.

“Sebaiknya kita segera bawa saja iblis keparat ini ke kota, Paman. Biar rakyat yang menentukan hukumannya,” kata Gordan tegas.

“Baiklah. Tapi aku akan mengambil kuda dulu,” sahut Arya Sempana. Tanpa meminta persetujuan lagi, laki-laki tua itu bergegas pergi meninggalkan tempat ini. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah duduk berdampingan di atas sebatang pohon yang tumbang. Sedangkan Gordan menjaga Pangeran Iblis yang sudah tidak ber-daya sama sekali. Seluruh tubuhnya lumpuh, akibat terkena serangan aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti tadi...!

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: PENGHUNI LEMBAH NERAKA