Siluman Muka Kodok - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

SILUMAN MUKA KODOK


SATU
HARI masih terlalu pagi. Matahari juga belum menampakkan diri. Hanya bias cahayanya saja yang mencuat di balik puncak gunung sebelah timur. Namun begitu, suasana alam sudah diramaikan oleh kicauan burung yang mencari makan, setelah semalaman harus menahan lapar. Di kaki Gunung Lanjaran, terlihat serombongan orang berkuda menyusuri jalan setapak.

Dari pakaian dan umbul-umbul yang dibawa oleh seorang penunggang kuda paling depan, sudah bisa dipastikan kalau mereka adalah sepasukan prajurit sebuah kerajaan. Sebuah lambang yang tertera pada umbul-umbul, memperjelas kalau mereka dari Kerajaan Ringgading, yang terletak di daerah Selatan. Entah apa tujuan mereka sehingga terlihat berada di kaki Gunung Lanjaran yang berada di daerah Utara ini.

"Hooop...!" Tiba-tiba saja, seorang prajurit yang berkuda paling depan mengangkat tinggi-tinggi ke atas kepala, bendera umbul-umbul yang dibawanya sambil berteriak keras. Suaranya sampai terdengar ke barisan paling belakang. Maka seketika itu juga, rombongan berkuda itu berhenti bergerak. Tampak seorang penunggang kuda berpakaian patih, memacu cepat kudanya dari bagian tengah menuju ke depan. Kemudian prajurit pembawa lambang kerajaan, memberi hormat begitu patih itu sudah berada dekat di sebelah kanannya.

"Ada apa, Prajurit?" tanya patih itu dengan suara besar dan berwibawa.

"Ampun, Gusti Patih Gandaraka. Sekilas tadi, hamba melihat sebuah bayangan berkelebat memotong jalan di depan," sahut prajurit itu dengan sikap hormat. "Di mana?" tanya Patih Gandaraka sambil mengarahkan pandangannya ke depan.

"Se...." Belum juga prajurit yang masih muda itu bisa meneruskan jawabannya, tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya. Begitu cepatnya melesat, sehingga prajurit pembawa lambang kerajaan itu tidak sempat lagi menghindari. Dan....

Crab! "Aaa...!"

"Siaga...!" teriak Patih Gandaraka dengan suara keras menggelegar.

Sret! Cring!

Semua prajurit langsung mencabut senjata masing-masing. Sementara seorang prajurit pembawa umbul-umbul lambang kerajaan, sudah menggeletak tewas di samping kudanya. Sebatang anak panah tampak menembus lehernya. Darah mengucur deras dari lubang di leher yang tertembus anak panah.

Sementara, Patih Gandaraka sudah melompat turun dari punggung kudanya, diikuti sekitar dua puluh orang prajurit berpangkat punggawa. Dan mereka semua sudah menghunus pedang masing-masing. Seketika keadaan menjadi sunyi sekali, seperti berada di tengah-tengah hutan lebat dan tidak berpenghuni. Hanya desir angin saja yang terdengar, mempermainkan dedaunan yang saling bergesekan.

Patih Gandaraka segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedikit pun tak terlihat tanda-tanda ada orang bersembunyi di balik lebatnya pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di kaki Gunung Lanjaran ini. Namun mendadak saja....

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!" Srak!

Dari balik pepohonan dan Semak belukar seketika bermunculan orang-orang berpakaian seragam serba hitam, dengan kepala terselubung kain hitam pula. Hanya bagian mata dan mulut saja yang terlihat, karena adanya dua lubang di bagian mata dan satu lubang pada bagian mulut. Begitu cepat kejadian itu. Sehingga dalam waktu sebentar saja, prajurit-prajurit Kerajaan Ringgading sudah terkepung oleh sekitar seratus orang berpakaian serba hitam itu. Bahkan para pengepung sudah menggenggam pedang terhunus yang berkilatan di depan dada.

Saat itu, Patih Gandaraka menarik kakinya ke belakang, mendekati para prajuritnya yang sejak tadi sudah bersiaga penuh. Pandangan mata patih itu tertuju lurus pada seseorang yang juga berbaju hitam gelap dan ketat, walaupun sedikit berbeda dari yang lain. Pada bagian tengah dadanya, terdapat sebuah sulaman benang emas, bergambar sebuah lingkaran dan gambar bintang di bagian tengahnya.

Senjatanya juga bukan pedang seperti yang lain, tapi sebatang tongkat berwarna putih keperakan sepanjang lengan yang tergenggam di tangan kanannya. Pada kedua ujung tongkat itu berbentuk bintang bersegi lima yang ujung-ujungnya sangat runcing.

Patih Gandaraka menduga kalau orang itu adalah pemimpinnya. Ini bisa dilihat dari senjata dan pakaiannya yang berbeda dengan yang lain. Kini orang itu melangkah beberapa tindak, mendekati Patih Gandaraka yang berdiri di depan para prajuritnya.

"Kau pemimpinnya...?" terdengar sangat berat suara orang bertongkat putih keperakan yang kedua ujungnya berbentuk bintang bersegi lima itu, seraya menunjuk Patih Gandaraka dengan satu ujung tongkatnya.

"Benar," sahut Patih Gandaraka, tegas. "Aku Patih Gandaraka dari Kerajaan Ringgading. Dan kau sendiri, apakah juga pemimpin mereka semua?"

"Tidak salah. Akulah pemimpin mereka. Tapi, masih ada pemimpin yang lebih tinggi lagi. Dan aku selalu dipanggil dengan julukan si Tongkat Bintang Perak."

"Hm.... Julukan yang bagus," gumam Patih Gandaraka, memuji tulus.

"Patih Gandaraka! Kau jauh-jauh datang ke wilayah Utara ini bersama sepasukan prajurit?" tanya si Tongkat Bintang Perak, masih dengan suara besar dan menggetarkan.

"Maaf! Kami mendapat tugas penting dan sangat rahasia dari junjungan kami yang bernama Gusti Prabu Gading Anom. Jadi, tujuan kami semua datang ke wilayah Utara ini tidak bisa dijelaskan. Dan perlu kau ketahui, kami hanya lewat saja di kaki gunung ini. Sebenarnya, bukan di sini tujuan kami," sahut Patih Gandaraka, mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Kau tahu, Patih?! Di sekitar Gunung Lanjaran ini tidak ada yang lebih berkuasa, selain junjungan kami. Maka tidak ada seorang pun yang boleh lewat begitu saja di sini, kecuali membayar upeti kepada kami.. Kau mengerti maksudku, Patih,..?" lantang sekali suara si Tongkat Bintang Perak.

"Hm.,.," Patih Gandaraka menggumam perlahan. Kening patih itu jadi berkerut. Sedangkan kelopak matanya menyipit, menatap dengan sinar cukup tajam ke bola mata orang di depannya yang mengaku sebagai pemimpin orang-orang berseragam hitam itu. Walaupun dari suaranya sudah jelas laki-laki, tapi wajahnya memang sulit dikenali. Hanya kedua mata dan mulutnya saja yang terlihat, karena seluruh wajahnya tertutup kain hitam.

Patih Gandaraka bisa memahami arti kata-kata orang berbaju serba hitam yang mengaku berjuluk si Tongkat Bintang Perak. Dan tentu saja, permintaan itu tidak bisa dianggap main-main. Apalagi, kemunculan mereka begitu tiba-tiba. Bahkan sudah, menewaskan satu orang prajurit. Patih Gandaraka menjentikkan ujung jarinya sedikit. Maka para prajurit yang berada di belakangnya, sudah bisa mengerti artinya. Mereka langsung saja bersiaga, siap menunggu perintah.

"He he he...! Rupanya kau lebih sayang harta, Patih. Bagus...! Pertahankan milikmu kalau mampu," ujar si Tongkat Bintang Perak diiringi tawanya yang terkekeh.

Patih Gandaraka hanya diam saja. Perlahan pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang dicabut. Tatapan matanya tertuju lurus, seakan-akan hendak menembus kain hitam yang menutupi wajah si Tongkat Bintang Perak.

"Seraaang...!" Tiba-tiba si Tongkat Bintang Perak berteriak lantang menggelegar. Begitu keras teriakannya, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan seketika itu juga....

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"

"Hadang mereka...!" seru Patih Gandaraka memberi perintah.

"Yeaaah...!" "Hiyaaat..!"

Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Begitu mendapat perintah, orang-orang berseragam hitam itu langsung saja berlompatan menyerang. Begitu juga para prajurit Kerajaan Ringgading, yang segera menyambut serangan. Sedikit pun tak tersirat kegentaran di mata para prajurit. Dengan tangkas sekali, serangan yang begitu gencar segera disambut.

Tapi, rupanya orang-orang berpakaian serba hitam itu tidak bisa dianggap sembarangan. Mereka tampaknya sudah berpengalaman dalam menghadapi pertempuran seperti ini. Hingga dalam waktu yang tidak begitu lama, para prajurit yang memang kalah dalam hal jumlahnya, sudah terdesak. Pertarungan baru berjalan beberapa saat saja, tapi sudah separuh lebih para prajurit yang tewas.

Dan hal ini membuat Patih Gandaraka jadi gusar. Terlebih lagi saat melihat orang-orang berbaju serba hitam itu bertarung seperti orang kesetanan saja. Sedikit pun tak tersirat rasa takut. Bahkan mereka terus saja merangsek maju. Kegentaran mulai terlihat pada sinar mata para prajurit. Sementara, orang-orang berbaju serba hitam itu semakin kelihatan ganas saja. Jerit dari pekikan melengking tinggi semakin sering terdengar. Sementara, tubuh-tubuh bersimbah darah terus berjatuhan. Bau anyir darah semakin terasa mengusik lubang hidung.

"Berhenti...!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Bentakan yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu membuat pertarungan jadi terhenti seketika. Sementara, orang-orang berbaju serba hitam segera berlompatan mundur, walaupun masih mengepung para prajurit Kerajaan Ringgading.

Tampak Patih Gandaraka berdiri berhadapan dengan si Tongkat Bintang Perak dengan jarak cukup dekat. Tapi, secara bersamaan mereka cepat-cepat berlompatan mundur, begitu tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat begitu cepat bagai kilat. Setelah ditunggu-tunggu beberapa saat, tapi tak ada seorang pun yang kelihatan muncul.

Semua orang yang tadi bertarung, jadi kelihatan bingung. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Tadi, bentakan itu jelas sekali terdengar. Begitu keras menggelegar, dan mengejutkan. Buktinya, mampu membuat pertarungan jadi terhenti seketika. Dan di saat mereka tengah kebingungan, tiba-tiba saja....

"Khraaagkh...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"

Tepat ketika terdengar teriakan serak yang begitu keras, terlihat sebuah bayangan di angkasa, melewati tempat pertarungan itu. Secara bersamaan, mereka mengangkat kepala memandang ke atas. Maka saat itulah terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan, tengah terbang melayang memutari tempat dua kekuatan yang saling berhadapan tadi.

"Kalian yang dari Kerajaan Ringgading, cepat menyingkir dari sana...!"

Tiba-tiba kembali terdengar suara yang begitu keras menggelegar, mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Bahkan sampai menggema, seperti datang dari segala arah. Dan tentu saja, hal itu membuat semua orang yang berada di bawahnya jadi terkejut setengah mati. Sampai-sampai tak ada seorang pun yang bergerak. Mereka semua diam mematung, dengan kepala terdongak ke atas memandangi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang masih tetap berputaran di udara.

"Cepat kalian menyingkir...!"

Kembali terdengar bentakan keras menggelegar. Dan kali ini, jelas sekali kalau suara itu dari atas. Sepertinya, yang berbicara burung rajawali raksasa itu. Namun cukup jelas terlihat kalau paruh burung itu tidak bergerak sedikit pun.

"Menyingkir, cepaaat...!" seru Patih Gandaraka dengan suara lantang dan menggelegar. Mendengar perintah yang begitu menggelegar dari pemimpinnya, maka seketika itu juga para prajurit Kerajaan Ringgading segera bergerak menjauhi tempat itu.

Sedangkan orang-orang berpakaian serba hitam yang dipimpin si Tongkat Bintang Perak masih terlongong bengong, memandangi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan di atas sana. Dan begitu para prajurit Kerajaan Ringgading sudah cukup jauh, tiba-tiba saja burung rajawali putih raksasa itu meluruk deras ke bawah sambil mengeluarkan suara serak dan menyakitkan gendang telinga.

"Khraaagkh...!" Begitu cepatnya burung raksasa itu menukik, sehingga membuat orang-orang berpakaian serba hitam hanya terlongong bengong, tanpa bertindak sesuatu. Dan belum juga ada yang sempat menyadari, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul. Kemudian, terlihat puluhan orang berpakaian serba hitam itu berpentalan ke angkasa, lalu keras sekali jatuh menghantam tanah.

Hanya dalam waktu beberapa saat saja, sudah lebih dari tiga puluh orang bergelimpangan dengan nyawa melayang. Burung rajawali raksasa putih keperakan itu kembali melambung tinggi ke angkasa. Dan bagaikan kilat, kembali meluruk deras sambil berkaokan. Suaranya begitu keras, menyakitkan gendang telinga.

"Khraaagkh...!"

"Cepat berlindung...!" teriak si Tongkat Bintang Perak sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa..!" "Yeaaah...!"

Beberapa orang memang masih sempat berlompatan menghindari serangan burung rajawali raksasa itu. Tapi, tidak sedikit yang terlambat. Mereka berpentalan ke angkasa sambil menjerit keras menyayat, lalu berjatuhan tanpa nyawa lagi.

"Gila...! Burung apa itu...?!" desis si Tongkat Bintang Perak.

"Khragkh...!"

"Heh...?! Hup...!" Si Tongkat Bintang Perak jadi terperanjat setengah mati, begitu tiba-tiba burung rajawali raksasa berbulu putih itu meluruk deras menyerangnya. Maka cepat-cepat dia melompat ke samping. Tubuhnya langsung dibanting ke tanah, lalu bergelimpangan beberapa kali menghindari serangan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

"Hup!" Bergegas si Tongkat Bintang Perak melompat bangkit berdiri begitu berhasil menghindari serangan yang sangat mengerikan itu. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah kembali meluruk ke arahnya dengan kecepatan tinggi sekali.

"Haiit..!" Cepat-cepat si Tongkat Bintang Perak melompat ke kanan, menghindari terjangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, sayap burung rajawali raksasa itu bergerak mengepak begitu cepat tanpa dapat dihindari oleh si Tongkat Bintang Perak. Apalagi, saat itu sedang berada di atas tanah. Maka....

Plak! "Akh...!" Begitu kerasnya sambaran sayap burung raksasa itu, sehingga membuat tubuh si Tongkat Bintang Perak terpental deras sekali. Dan luncuran tubuhnya baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu besar, hingga hancur berkeping-keping. Si Tongkat Bintang Perak menggeliat sambil merintih lirih di antara kepingan pecahan batu yang terlanda tubuhnya tadi. Tampak darah kental menggumpal, memenuhi mulutnya.

"Phuih...!" Si Tongkat Bintang Perak menyemburkan darah yang memenuhi mulutnya, lalu mencoba bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurna, tiba-tiba saja burung rajawali raksasa itu sudah kembali mengebutkan sayapnya yang sangat besar dan kokoh. Dan hal ini membuat si Tongkat Bintang Perak jadi terlongong tanpa dapat berbuat apa-apa. Dan...

Plak! "Aaakh...!"

Kembali si Tongkat Bintang Perak menjerit keras melengking tinggi, begitu sayap burung rajawali raksasa itu kembali menghantam telak tubuhnya dengan keras sekali. Bagaikan batu yang dilontarkan oleh ketapel, tubuh si Tongkat Bintang Perak kembali melayang deras. Bahkan langsung menghantam beberapa batang pohon hingga hancur berkeping-keping. Lalu, dia jatuh keras sekali ke tanah, sehingga tubuhnya menggeliat sambil merintih lirih merasakan sakit yang amat sangat. Darah semakin banyak mengalir dari mulutnya.

Hebatnya, si Tongkat Bintang Perak masih juga berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurna, mendadak saja paruh burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang setajam pedang sudah menyambar kedua kaki laki-laki berpakaian serba hitam itu. Begitu cepat sambarannya, sehingga si Tongkat Bintang Perak tidak sempat lagi menghindarinya.

Krasss! "Aaakh...!"

Si Tongkat Bintang Perak menjerit keras begitu kakinya tersambar paruh burung rajawali raksasa itu. Seketika, laki-laki berpakaian serba hitam itu jatuh kembali bergelimpangan. Tampak dari kaki kanannya darah deras sekali berhamburan keluar. Si Tongkat Bintang Perak merintih kesakitan sambil memegangi kakinya yang ternyata sudah hampir buntung. Rasanya, tidak mungkin dia bisa bangkit berdiri lagi dengan sebelah kaki yang sudah hampir buntung.

"Setan keparat! Kubunuh kau, Burung Keparat...!" geram si Tongkat Bintang Perak sambil meringis menahan sakit yang amat sangat pada kaki kanannya.

"Khraaagkh...!"

Sedangkan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak dan sangat keras menyakitkan gendang telinga. Burung rajawali raksasa itu terus berputaran di angkasa, mengelilingi hutan di kaki Gunung Lanjaran ini.

"Khraaagkh...!"

Sementara, si Tongkat Bintang Perak berusaha bangkit berdiri, walaupun kelihatannya memang sulit sekali. Sambil mendengus berat, ditotoknya jalan darahnya beberapa kali di sekitar luka yang menganga lebar pada kakinya. Dan seketika itu juga, darah berhenti mengalir keluar. Dengan bantuan tongkatnya, si Tongkat Bintang Perak kembali berusaha susah payah untuk berdiri. Dan akhirnya, dia mampu juga berdiri. Namun berdirinya tidak bisa kembali tegak, dan harus ditopang tongkatnya.

"Phuih...!" Sambil menyemburkan ludahnya dengan kesal, si Tongkat Bintang Perak langsung mengempos tubuhnya disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi begitu melompat, tiba-tiba saja jatuh terguling ke tanah. Mulutnya memekik keras, begitu tubuhnya menghantam tanah dengan keras sekali, dan bergelimpangan beberapa kali.

"Setan keparat...!" makinya semakin berang. Sementara itu, orang-orang berbaju serba hitam yang melihat pemimpinnya sudah kehilangan kekuatan dan tenaga lagi, bergegas berlarian kabur. Tidak dihiraukan lagi si Tongkat Bintang Perak yang berteriak-teriak memerintahkan mereka untuk kembali.

Seorang pun tak ada yang mau mendengarkan perintahnya, sehingga membuat si Tongkat Bintang Perak jadi memaki-maki dan menyumpah serapah sendiri. Laki-laki berpakaian hitam itu masih mencoba bangkit berdiri lagi, tapi tenaganya memang sudah lenyap. Entah kenapa, setelah kakinya tersambar paruh burung rajawali raksasa itu, seketika tenaganya jadi lenyap. Dan tenaga dalamnya benar-benar tidak bisa lagi dikerahkan. Bahkan untuk bisa berdiri lagi saja, terasa sangat sulit.

"Huh...!"

DUA

Si Tongkat Bintang Perak terus memaki-maki dan menyumpah serapah. Sementara, tidak seorang pun lagi anak buahnya yang masih tertinggal. Sedangkan Patih Gandaraka sudah melangkah menghampiri diikuti para prajuritnya yang kini tinggal separuhnya. Patih Kerajaan Ringgading itu baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari si Tongkat Bintang Perak. Sementara, para prajuritnya langsung mengepung rapat. Dengan senjata terhunus, mereka siap mencabik tubuh orang berbaju serba hitam yang kepalanya tertutup kain hitam itu.

"Phuih...!" si Tongkat Bintang Perak mendengus berat, sambil menyemburkan ludahnya dari lubang kain pada bagian mulutnya.

"Aku ingin tahu seperti apa wajahmu, Tongkat Bintang Perak," desis Patih Gandaraka, agak dingin nada suaranya. Bret! Cepat sekali Patih Gandaraka merenggut kain yang menyelubungi kepala si Tongkat Bintang Perak. Dan begitu kain hitam terlepas, terlihatlah seraut wajah berusia separuh baya, namun masih kelihatan gagah dan cukup tampan. Tapi di balik kegagahannya, tersembunyi sorot mata dan garis-garis kebengisan serta kekejaman.

"Setan! Phuih...!" si Tongkat Bintang Perak memaki sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit.

"Hm.... Kau sekarang tidak punya daya lagi, Kisanak. Apa yang akan kau lakukan sekarang...?" masih terdengar dingin sekali nada suara Patih Gandaraka.

"Bunuhlah aku...!" bentak si Tongkat Bintang Perak, geram.

"Terlalu enak kalau langsung membunuhmu, Tongkat Bintang Perak. Aku ingin tahu lebih dulu, kenapa kau dan orang-orangmu ingin meminta upeti pada kami? Padahal, kami tidak membawa apa-apa selain senjata, perbekalan, dan pakaian yang melekat di badan. Siapa yang memerintahkanmu?" tanya Patih Gandaraka.

"Kau tidak bisa mendapat jawaban dariku, Patih Keparat!" geram si Tongkat Bintang Perak dengan bola mata mendelik lebar. "Tapi, kau akan mendapat balasan dari gerombolan Tongkat Putih!" Wajah si Tongkat Bintang Perak yang kaku, semakin terlihat bengis. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan dendam dan kebencian yang amat sangat pada Patih Gandaraka.

Namun memang, dia tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Bahkan untuk menggerakkan tangannya saja sudah terasa sangat sulit. Si Tongkat Bintang Perak hanya bisa mendengus dan memaki dalam hati. Seluruh tenaganya benar-benar tidak ada lagi, setelah beberapa kali terkena hantaman dan kebutan sayap burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang tiba-tiba saja muncul dan langsung ganas menyerangnya.

Sementara di angkasa burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan masih terlihat melayang-layang memutari hutan kecil di kaki Gunung Lanjaran ini. Sepertinya burung itu belum mau meninggalkan hutan ini, sebelum para prajurit Kerajaan Ringgading benar-benar merasa aman.

"Hih!" Sret!

Tiba-tiba saja si Tongkat Bintang Perak mengangkat tongkat yang ujungnya berbentuk bintang dengan sisa tenaganya. Dan sebelum ada yang bisa menyadari, mendadak saja ujung tongkatnya yang berbentuk bintang dihunjamkan ke dadanya sendiri.

Jleb!
"Akh...!"

"Heh...?!" Begitu cepat tindakan yang dilakukan si Tongkat Bintang Perak, sehingga Patih Gandaraka tidak sempat lagi mencegah. Seketika tongkat berujung bintang berwarna putih keperakan itu langsung menghunjam begitu dalam ke dada si Tongkat Bintang Perak.

Hanya sebentar saja laki-laki separuh baya itu menggeliat meregang nyawa sambil memegangi bagian tengah tongkatnya yang menghunjam dalam di dadanya, kemudian sudah menegang kaku disertai erangan lirih. Lalu, tubuhnya diam tak bergerak-gerak lagi.

Sementara, Patih Gandaraka hanya bisa memandangi tanpa mampu berbuat apa pun lagi untuk menyelamatkan nyawa si Tongkat Bintang Perak.

"Edan...!" dengus Patih Gandaraka mendesis. Memang sulit dipahami tindakan yang dilakukan si Tongkat Bintang Perak. Nyawanya sendiri rela dihabisi daripada harus menjadi tawanan musuhnya. Suatu tindakan yang dilandasi keberanian besar. Sangat sulit menemukan orang yang rela menghabisi nyawanya sendiri. Dan itu merupakan satu pilihan yang sangat sulit!

"Huuuh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Patih Gandaraka menghempaskan tubuhnya yang langsung jatuh terduduk lemas di samping mayat si Tongkat Bintang Perak.

Sementara, sisa prajuritnya hanya bisa diam saja memandangi tanpa mampu berbuat sesuatu pun. Untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka suara. Dan tanpa disadari, Patih Gandaraka mendongakkan kepalanya. Dan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang telah membantunya mengalahkan orang-orang berbaju serba hitam juga masih terlihat.

"Kematiannya tidak perlu disesali, Patih. Sebaiknya bawalah sisa prajuritmu pergi dari tempat itu secepatnya. Kau akan mendapat kesulitan yang lebih besar lagi kalau tidak segera meninggalkan tempat itu," tiba-tiba saja terdengar suara menggema yang sangat keras.

Jelas sekali kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna, sehingga bagaikan datang dari segala penjuru mata angin. Sangat sulit diketahui, dari mana asal suara itu. Dan ini tentu saja membuat Patih Gandaraka jadi tersentak kaget setengah mati. Bahkan semua prajuritnya juga terkejut.

"Hup!" Bergegas Patih Gandaraka melompat bangkit berdiri. Dia berkacak pinggang sambil menengadahkan kepalanya. Saat itu, di angkasa terlihat burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang telah membantunya tadi sedikit terbang berputar. Dan Patih Gandaraka sempat melihat kalau di atas punggung burung raksasa itu ada seseorang. Walaupun hanya terlihat sekilas, tapi dia sempat terperanjat juga. Tidak disangka kalau rajawali raksasa itu ditunggangi seseorang yang sama sekali tidak jelas, baik bentuk tubuh maupun rupanya. Dan belum juga Patih Gandaraka bisa memastikan, burung raksasa itu sudah melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.

"Hm.... Siapapun dia, pasti bermaksud baik padaku. Baiklah, kata-katanya akan kuturuti," gumam Patih Gandaraka di dalam hati.

Sebentar laki-laki itu masih menengadahkan kepalanya. Kini burung raksasa yang telah membuatnya begitu tercengang sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Kemudian, para prajuritnya diperintahkan untuk segera melanjutkan perjalanan. Sebentar kemudian, para prajurit Kerajaan Ringgading itu sudah kembali bergerak meninggalkan kaki Gunung Lanjaran ini.

********************

Sementara itu, tidak jauh di sebelah Selatan Gunung Lanjaran, terlihat seorang gadis cantik berbaju biru muda tengah duduk menyendiri di atas sebongkah batu besar yang menghadap ke sebuah lembah yang sangat indah. Dan saat itu, matahari sudah agak condong ke arah Barat. Gadis itu memandangi mentari yang terus bergerak turun ke tempat peraduannya. Begitu indah terlihat. Terlebih lagi, saat ini angin bertiup lembut. Sehingga indahnya suasana senja ini makin bertambah saja.

Gadis cantik berbaju ketat warna biru yang tampaknya bukan orang sembarangan itu sedikit memutar tubuhnya ke kanan. Saat itu dirasakan adanya hembusan angin lain. Dan memang, dia bukan gadis sembarangan. Dan ini bisa dilihat dari sebilah pedang bergagang kepala seekor naga hitam yang bertengger di punggungnya. Sedangkan di bagian perutnya, terselip sebuah kipas tertutup, yang berwarna putih keperakan. Pada bagian ujung-ujung kipas itu berbentuk seperti mata anak panah yang kecil sekali ukurannya.

Dilihat dari pakaian dan senjata yang disandang, tentu tidak akan ragu-ragu lagi mengenalinya. Dan sepak terjangnya memang sudah terkenal di kalangan rimba persilatan. Dialah yang dikenal berjuluk si Kipas Maut, walaupun nama sebenarnya Pandan Wangi.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Pandan Wangi bangkit berdiri begitu melihat ada seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan mendarat tidak jauh di sebelah kanannya.

Dan dari punggung binatang raksasa itu melompat turun seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi warna putih. Tampak juga sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung rajawali menyembul di balik, punggungnya. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu bergegas menghampiri gadis cantik yang sudah berdiri menunggu sambil berkacak pinggang. Tampak jelas kalau Pandan Wangi memasang wajah kaku, dengan sorot mata begitu tajam. Seakan-akan sorotannya hendak menembus langsung bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih yang selama ini dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

"Ke mana saja kau, Kakang? Kenapa begitu lama...?" Pandan Wangi langsung menodongnya dengan pertanyaan beruntun.

"Sabar, Pandan...," ucap Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di atas batu yang tadi diduduki si Kipas Maut.

Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri berkacak pinggang sambil memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata cukup tajam. Sementara yang dipandangi kelihatan tenang, sambil mengatur jalan nafasnya yang terdengar sedikit memburu.

"Ada suatu peristiwa di perjalanan tadi," kata Rangga lagi, tanpa menghiraukan kekesalan si Kipas Maut itu. Memang, gadis cantik itu terpaksa harus menunggu hampir setengah harian di tempat yang sangat sunyi ini.

"Peristiwa apa?" tanya Pandan Wangi lagi, masih terdengar kaku.

"Peristiwa yang tidak bisa dikatakan kecil. Dan terpaksa Rajawali Putih kuminta untuk mengatasinya," sahut Rangga, masih terdengar kalem suaranya.

"Ceritakan saja yang jelas, Kakang," pinta Pandan Wangi.

"Waktu sedang menuju ke sini, aku melihat sebuah pertarungan. Dan kedua kelompok yang bertarung itu kukenali betul. Aku juga tidak perlu berpikir panjang untuk berpihak pada salah satu kelompok itu. Lalu, Rajawali Putih kuperintahkan untuk menghentikan pertarungan. Semula, aku tidak ingin sampai Rajawali Putih bertindak keras. Tapi, ternyata kekerasan harus dilakukan juga," Rangga memulai menceritakan peristiwa yang dialaminya dalam perjalanan menuju ke lembah ini.

"Lalu...?" Pandan Wangi meminta meneruskan.

"Rajawali Putih memang berhasil mengusir salah satu kelompok itu. Bahkan berhasil melukai pemimpinnya. Tapi sungguh tidak kusangka kalau Rajawali Putih membuat pemimpin satu kelompok itu sampai tidak berdaya sama sekali. Bahkan jadi putus asa, dan membunuh dirinya sendiri...," semakin terdengar pelan suara Rangga pada kalimat terakhir.

"Kelompok mana yang kau usir? Dan, mana yang kau bela, Kakang?" tanya Pandan Wangi jadi ingin tahu.

"Kalau kukatakan, kau pasti tidak akan percaya, Pandan," sahut Rangga kalem.

"Katakan, Kakang. Siapa saja mereka...?" desak Pandan Wangi semakin penasaran ingin tahu.

Rangga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Rajawali Putih yang mendekam tidak jauh jaraknya. Perlahan, tubuhnya diputar berbalik, setelah dekat dengan Rajawali Putih. Burung raksasa itu segera menyodorkan kepalanya. Rangga langsung menyambut dan memeluknya dengan hangat. Lembut sekali bola mata burung raksasa itu dikecupnya.

Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan rasa penasaran. Terutama, karena pertanyaannya tadi belum juga dijawab Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa saja mereka, Kakang...?" Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya yang belum juga terjawab tadi. Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya, menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang masih saja memeluk kepala burung tunggangannya, sekaligus gurunya dalam ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan.

Rangga kemudian melepaskan pelukannya. Sedikit diberikannya senyum tipis pada gadis cantik berbaju biru yang kini sudah dekat di depannya.

"Para prajurit dari Kerajaan Ringgading," sahut Rangga seperti tidak peduli rasa keingintahuan Pandan Wangi.

"Lalu..., kelompok yang satunya lagi?" desak Pandan Wangi, belum puas atas jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan.

"Orang-orang Walet Hitam," sahut Rangga masih dengan nada yang sama.

"Maksudmu.... Perguruan Walet Hitam, Kakang...?" sentak Pandan Wangi, kelihatan terkejut sekali.

Rangga hanya tersenyum dan mengangguk sedikit. Sedangkan Pandan Wangi menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Beberapa saat mereka jadi terdiam.

Sementara, Rangga sudah melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap saja berdiri dengan pandangan lurus ke depan, seakan-akan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

"Ayo, Pandan. Jangan membuang waktu. Kita harus segera sampai sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," ajak Rangga.

Pandan Wangi mengangkat kepalanya, menatap Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada di atas punggung Rajawali Putih. Sedangkan Rangga terus memandangi dengan bibir masih menyunggingkan senyuman tipis. Entah apa arti dari senyumannya. Sementara, Pandan Wangi masih saja berdiri memandanginya dengan sinar mata sulit diartikan. Tapi, tampaknya Rangga sudah bisa menebak pancaran cahaya bola mata si Kipas Maut itu.

"Ayolah, Pandan. Tidak ada waktu memikirkan orang-orang Walet Hitam. Kita harus segera berangkat sebelum terlambat," desak Rangga, mulai tidak sabar.

Pandan Wangi masih saja berdiri mematung memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Beberapa saat kemudian, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah melesat ke atas, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf tinggi. Begitu ringan gerakannya, sehingga sebentar saja sudah berada di punggung Rajawali Putih, tepat didepan Rangga.

"Ayo, Rajawali, Kita ke Utara!" seru Rangga sambil menepuk leher Rajawali Putih.

"Khraaagkh...!"

Pandan Wangi mencengkeram erat bulu-bulu leher Rajawali Putih. Meskipun sudah beberapa kali menunggang burung rajawali raksasa ini, tapi kengerian masih juga menyelinap di hatinya.

Sedangkan Rangga tampak tenang, duduk di belakangnya. Begitu cepatnya Rajawali Putih melesat, sehingga sebentar saja sudah di atas sekitar Gunung Lanjaran. Telunjuk tangan kanan Rangga menuding ke salah satu arah, maka Rajawali Putih mengikutinya.

Sementara Pandan Wangi mengarahkan pandangannya juga ke arah yang ditunjuk Rangga hanya dengan ekor matanya. Dia benar-benar belum berani menatap ke bawah secara langsung dari ketinggian seperti ini.

Sementara, Rajawali Putih terus meluncur cepat bagai kilat membelah awan.

"Kau lihat di kaki gunung sana, Pandan," kata Rangga sambil menunjuk ke kaki Gunung Lanjaran.

"Yang mana...?" tanya Pandan Wangi seraya mengerahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti.

"Itu...! Di tepi aliran sungai," sahut Rangga.

Pandan Wangi tidak menjawab. Gadis itu memang melihat ada puluhan orang tengah menyusuri tepian sungai di kaki Gunung Lanjaran yang berkelok-kelok bagaikan ular. Walaupun dari ketinggian seperti ini, tapi masih jelas terlihat kalau orang-orang yang bergerak cepat menyusuri sungai itu adalah para prajurit Kerajaan Ringgading. Dan mereka semua tampaknya menunggang kuda, sehingga bisa bergerak lebih cepat. Dari angkasa ini jelas terlihat, kalau kuda mereka dipacu cepat, seakan-akan tengah memburu sesuatu.

"Mau ke mana mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi dengan kening berkerut. Kelopak matanya juga jadi menyipit, memandangi para prajurit yang bergerak begitu cepat dengan menunggang kuda.

"Lihat saja, nanti, Pandan. Kalau mereka menyeberangi jembatan di hulu sana, pasti menuju Karang Setra," sahut Rangga sambil menunjuk sebuah jembatan kayu yang ada di hulu sungai.

"Ke Karang Setra...? Mau apa mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi semakin tidak mengerti.

Tapi, pertanyaan si Kipas Maut itu tidak sempat menjawab. Dan dugaan Rangga ternyata tepat Rombongan prajurit Kerajaan Ringgading itu benar-benar menuju ke arah jembatan di hulu sungai, dan menyeberanginya tanpa mengurangi kecepatan lari kuda sedikit pun juga.

Sementara dari angkasa, Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan. Sementara, rombongan prajurit itu terus bergerak cepat. Dan dugaan Rangga semakin menguat saja. Mereka memang benar-benar menuju Kerajaan Karang Setra, tanah kelahiran Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lama lagi, para prajurit yang dipimpin Patih Gandaraka itu akan melewati pintu gerbang perbatasan kerajaan.

"Mereka berhenti, Kakang...," desis Pandan Wangi, hampir tidak terdengar. Suaranya seperti termakan deru angin yang begitu keras di angkasa ini.

"Hm...!" tapi Rangga hanya menggumam kecil saja.

Para prajurit Kerajaan Ringgading memang berhenti, tidak jauh dari gerbang perbatasan Kerajaan Karang Setra yang dijaga sekitar dua puluh orang prajurit dan dua orang tamtama. Namun, mereka masih berada di luar wilayah Kerajaan Karang Setra. Tampak para prajurit itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, lalu berbaris rapi di samping kuda binatang tunggangannya. Sementara paling depan, terlihat Patih Gandaraka memegangi tali kekang kudanya. Dia berdiri tegak, memandang ke arah gerbang perbatasan yang dijaga sekitar dua puluh orang prajurit dan dua orang tamtama.

Sementara para prajurit Karang Setra yang sudah melihat rombongan prajurit dari kerajaan lain itu, sudah langsung berdiri berjajar dengan sikap menghadang. Senjata pun sudah siap-siap untuk keluar dari tempatnya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi yang berada di angkasa, terus saja memperhatikan dengan dada berdebar cukup keras.

"Mereka mendirikan tenda, Kakang," kata Pandan Wangi memberi tahu. Padahal, dia sendiri tahu, Rangga juga terus memperhatikan.

"Hm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam saja perlahan.

Para prajurit Kerajaan Ringgading memang kelihatan sibuk mendirikan tenda. Dan saat ini, senja memang sudah jatuh turun menyelimuti sebagian permukaan bumi. Sedangkan para prajurit Karang Setra terus mengawasi dari dalam wilayah kerajaannya. Seorang pun tidak ada prajurit penjaga gerbang perbatasan ini yang menghampiri. Memang, mereka tidak boleh sampai ke luar wilayah kerajaannya. Sehingga, mereka hanya bisa memperhatikan sambil bersiaga penuh dari jarak yang tidak begitu jauh lagi.

"Sebaiknya kau turun, Kakang. Tanyakan pada mereka, apa tujuannya datang ke Karang Setra," saran Pandan Wangi.

"Lihat saja nanti," sahut Rangga kalem.

Pandan Wangi tidak bicara lagi. Dan memang, sulit baginya untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Tapi gadis itu tahu kalau Rangga tengah memikirkan sarannya tadi, walau sedikit pun tidak diperlihatkannya.

Sementara Rajawali Putih terus melayang berputar-putar, tepat di atas rombongan prajurit Kerajaan Ringgading yang sudah membuat tenda, tidak jauh dari perbatasan Kerajaan Karang Setra. Tampak jelas kalau Patih Gandaraka berdiri tegak, sambil menengadahkan kepala ke atas. Sepertinya, kehadiran burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah diketahuinya. Walaupun, dia tidak tahu kalau di punggung burung rajawali itu ada Rangga dan Pandan Wangi yang juga tengah memperhatikannya sejak tadi.

********************

TIGA

Sementara itu di istana, Danupaksi mendapat kepercayaan dari Rangga Pati Permadi, Raja Karang Setra, untuk mewakili pemerintahannya. Dan dia sudah mendapatkan laporan tentang adanya satu pasukan berjumlah cukup besar dari Kerajaan Ringgading yang kini membuat kubu tidak jauh dari perbatasan. Salah seorang prajurit penjaga perbatasan sudah melaporkannya, walaupun belum mengetahui pasti tujuan kedatangan mereka ke Kerajaan Karang Setra ini.

"Kau harus cepat bisa mengambil keputusan, Kakang. Hanya kaulah yang bisa bertindak selama Kakang Rangga tidak ada," ujar Cempaka, yang selalu mendampingi.

"Ini keputusan yang sangat sulit, Cempaka. Belum pernah Karang Setra kedatangan satu pasukan prajurit dari kerajaan lain. Sementara kita belum tahu, apa tujuan mereka datang ke sini," sahut Danupaksi sambil bangkit dari kursinya.

Perlahan kaki pemuda itu terayun mendekati jendela. Lalu, Danupaksi berdiri mematung di depan jendela yang terbuka lebar, memandang jauh ke depan. Sedangkan Cempaka masih tetap duduk diam di kursinya sambil memandangi pemuda bertubuh tegap dan berotot itu. Beberapa saat lamanya Danupaksi terdiam mematung di situ, memandang lurus ke luar. Kemudian, perlahan tubuhnya berputar berbalik, sambil menghembuskan napas yang sangat panjang.

"Sebaiknya, kirim saja utusan untuk menanyakan maksud tujuan mereka datang ke sini, Kakang...?" kembali Cempaka membuka suara.

"Maksudmu?" Danupaksi meminta Cempaka memperjelas sarannya.

"Ya.... Kita kirim satu atau dua orang punggawa ke sana, untuk menanyakan tujuan mereka membuat kubu di perbatasan tanpa meminta izin terlebih dahulu," kata Cempaka, menjelaskan usulnya tadi.

"Mereka berkemah di luar perbatasan, Cempaka. Dan kita tidak bisa sembarangan menegurnya. Apalagi, menanyakan maksud membuat kubu di sana. Selama mereka tidak mengganggu kehidupan rakyat Karang Setra, kita tidak bisa bertindak apa-apa. Kecuali, kalau mereka memang membuat perkemahan di dalam wilayah kerajaan ini. Atau paling tidak, tepat di perbatasan," tegas sekali Danupaksi menolak saran adik tirinya ini.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Cempaka ingin tahu.

"Untuk sementara, tidak ada salahnya kalau mendiamkan saja dulu. Tapi, kita juga jangan sampai lengah. Mereka tetap harus diawasi sambil berjaga-jaga. Mungkin saja mereka melakukan sesuatu yang bisa merugikan," sahut Danupaksi kalem, tapi nada suaranya terdengar tegas sekali.

"Hhh! Ucapan dan tindakanmu sekarang sudah sangat mirip Kakang Rangga...," dengus Cempaka sambil menghembuskan napas panjang.

Danupaksi hanya tersenyum saja. Memang, pemuda itu selalu meniru semua yang diucapkan dan dilakukan kakak tirinya yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti, sekaligus Raja Kerajaan Karang Setra. Baginya, Rangga merupakan seorang tokoh yang patut dicontoh. Baik ucapan, jalan pikiran, maupun segala tindakannya. Tidak heran kalau para pembesar Kerajaan Karang Setra, sedikit pun tidak melihat adanya perbedaan dalam kepemimpinan antara Rangga dengan Danupaksi. Hanya saja, Danupaksi tidak bisa seenaknya pergi mengembara seperti yang dilakukan kakak tirinya.

Saat itu, terlihat Ki Lintuk, Rakatala, dan Paman Wirapati masuk ke dalam ruangan Balai Sema Agung yang sangat besar dan megah, yang langsung disambut Danupaksi dan Cempaka. Mereka kemudian duduk di kursi masing-masing, dan menghadap Danupaksi yang duduk di kursi singgasana. Dan memang, kalau Rangga tidak ada di istana maka yang menduduki kursi singgasana adalah Danupaksi. Tapi kalau Danupaksi tidak ada, Cempakalah yang harus menggantikannya. Dan semua itu sudah menjadi keputusan yang ditetapkan Rangga saat dinobatkan menjadi Raja Karang Setra.

"Paman semua tentu sudah tahu, kenapa kuminta untuk berkumpul di Balai Sema Agung ini...," kata Danupaksi langsung saja membuka suara.

"Kami sudah mendengar semuanya, Gusti Danupaksi," sahut Ki Lintuk sambil memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Kalau begitu, aku tidak perlu lagi menjelaskan. Dan memang, semuanya belum jelas benar. Pasukan prajurit itu sudah membuat kubu pertahanan tidak jauh dari perbatasan. Tapi, sampai sekarang ini kita semua belum tahu maksud dan tujuan kedatangan mereka ke sini," kata Danupaksi lagi.

"Rasanya, tidak ada tujuan lain kalau sebuah kerajaan mengirimkan sepasukan prajurit berjumlah besar ke kerajaan lain, Gusti Danupaksi," selak Paman Wirapati yang di Karang Setra ini menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

"Benar, Gusti Danupaksi. Jelas sekali maksud kedatangan mereka tidak baik. Hamba sendiri sempat melihat ke sana. Mereka bukan hanya berjumlah cukup besar, tapi juga memiliki persenjataan lengkap, seperti hendak berperang," sambung Panglima Rakatala seorang panglima di Kerajaan Karang Setra.

Sedangkan Ki Lintuk yang merupakan penasihat tertinggi, hanya diam saja mendengarkan.

"Mereka berjumlah cukup banyak, Gusti Danupaksi Persenjataan mereka pun lengkap, seperti hendak berperang," jelas Panglima Rakatala.

Danupaksi dan Cempaka tampak berpikir keras. Dia tengah memikirkan pendapat-pendapat dari para panglima dan tetua Karang Setra tanpa membuka suara sedikit pun juga. Tapi kerut-kerut di keningnya terlihat semakin dalam saja, pertanda tengah berpikir keras. Danupaksi dan Cempaka mengarahkan pandangan pada orang tua yang selalu mengenakan jubah panjang dan longgar, berwarna putih bersih dari bahan sutera halus. Sedangkan yang dipandangi masih saja diam dengan kepala tertunduk, merayapi lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal yang sangat halus dan indah.

"Ki Lintuk...?" tanya Danupaksi melihat Ki Lintuk sejak tadi hanya diam saja.

"Ampun, Gusti Danupaksi. Sekarang ini hamba belum bisa mengemukakan pendapat apa pun juga. Rasanya, masih terlalu dini untuk menyimpulkan maksud kedatangan mereka," sahut Ki Lintuk seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Jadi, bagaimana menurutmu yang terbaik, Ki?" tanya Danupaksi tetap mendesak meminta pendapat laki-laki tua penasihat istana itu.

Namun, Ki Lintuk tidak langsung memberi jawaban. Dia kembali terdiam, dengan kepala tepekur merayapi ujung-ujung jari kakinya. Sementara, Panglima Rakatala dan Wirapati hanya diam saja memandangi. Cempaka juga mengarahkan pandangan ke wajah laki-laki tua yang sudah begitu banyak keriputnya itu.

Cukup lama juga Ki Lintuk berdiam diri membisu, kemudian perlahan mengangkat kepalanya sambil menghembuskan napas panjang. Pandangan orang tua itu langsung bertemu sorot mata Danupaksi yang sejak tadi tidak berkedip memandanginya. Kemudian tatapannya beralih pada Cempaka, Wirapati, dan Panglima Rakatala. Semuanya masih memandanginya, menunggu jawaban dari pertanyaan yang diberikan Danupaksi tadi. Beberapa saat kemudian, Ki Lintuk kembali menatap adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Jika Gusti Danupaksi tetap ingin tahu maksud kedatangan para prajurit itu, sebaiknya menunggu barang satu atau dua hari lagi. Mungkin mereka akan mengirimkan utusannya ke sini," usul Ki Lintuk. Suaranya jelas terdengar hati-hati.

"Kenapa harus begitu, Ki?" selak Panglima Rakatala, meminta penjelasan.

"Hanya untuk menjaga kewibawaan saja, Adi Rakatala," sahut Ki Lintuk kalem.

"Kewibawaan...? Bukankah kewibawaan sebuah kerajaan diukur oleh kecepatan bertindak, bersikap tegas, dan penuh perhitungan dari pemimpinnya? Dan lagi, tidak ada salahnya kalau kita yang lebih dulu mengirimkan utusan dan menanyakan maksud kedatangan mereka ke sini yang membawa sepasukan prajurit berjumlah cukup besar begitu," kata Panglima Rakatala, mengemukakan pendapatnya.

"Justru hal itu bisa menimbulkan prasangka buruk, Adi Rakatala. Bukan hanya mereka saja yang bisa menyangka kalau kita selalu saja mencurigai orang yang datang ke kerajaan ini. Dan itu bisa memperburuk citra Karang Setra yang sudah terkenal akan kecintaannya pada perdamaian," tegas sekali Ki Lintuk membantah pendapat yang dikemukakan Panglima Rakatala.

"Tapi, Ki..."

"Sebentar...," selak Danupaksi memutuskan ucapan Panglima Rakatala.

Semua mata langsung beralih, menatap adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di singgasana. Sementara yang dipandangi bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa tindak ke depan.

"Aku kira, ada benarnya juga kata-kata Ki Lintuk. Kita memang tidak perlu bertindak gegabah. Memang, sebaiknya tunggu dulu barang satu atau dua hari. Atau paling tidak, sampai ada utusan dari mereka datang ke sini," kata Danupaksi mengambil keputusan.

"Bukankah itu berarti kita memberi kesempatan mereka untuk mempersiapkan kekuatan dan menyelidiki kekuatan kita, Gusti Danupaksi...?" sambut Wirapati.

"Jangan langsung menuduh kalau mereka hendak mengadakan penyerangan, Adi Wirapati," selak Ki Lintuk.

"Maaf, Ki. Maksudku bukan begitu," ujar Wirapati.

"Lalu...?" tanya Ki Lintuk meminta penjelasan.

"Aku hanya menjaga dari segala kemungkinan yang terburuk, Ki," sahut Wirapati.

"Itu boleh saja. Tapi tidak ada salahnya kalau kita sedikit bersabar, menunggu sampai ada utusan dari mereka yang datang ke sini," sergah Ki Lintuk.

"Kalau seandainya tidak ada utusan?" tanya Panglima Rakatala.

"Hanya dua hari batasnya. Dan kalau memang tidak ada juga, tunggu satu hari lagi," sahut Ki Lintuk. "Kalau ternyata juga tidak ada utusan yang datang?" selak Cempaka.

"Terpaksa, harus dikirim satu atau dua orang utusan untuk menanyakan tujuan mereka datang dan membuat perkemahan dekat perbatasan," sahut Ki Lintuk tegas.

"Aku rasa, itu hanya membuang-buang waktu saja, Ki," selak Panglima Rakatala tidak setuju.

"Kita harus tunjukkan kewibawaan dan kesabaran pada mereka. Aku yakin, kalau kita bisa bersikap sabar, mereka juga akan berpikir seribu kail. Itu kalau kedatangan mereka ke sini benar-benar bermaksud menyerang dan menjajah negeri ini," sahut Ki Lintuk tegas.

"Kau benar, Ki," ujar Danupaksi langsung setuju. "Aku rasa, Kakang Rangga juga pasti akan mengambil sikap seperti itu."

"Hhh.... Sayang, Kakang Rangga tidak ada di sini. Kalau ada, pasti tidak akan membuat kita semua jadi pusing begini," desah Cempaka.

"Semua bisa diatasi kalau mau bersikap sabar dan sedikit menahan diri, Nini Cempaka," sambut Ki Lintuk.

Tidak ada lagi yang membuka suara. Mereka semua terdiam dengan pikiran masing-masing berkecamuk dalam kepala. Dan memang, tidak ada seorang pun yang bisa membantah kata-kata yang dilontarkan Ki Lintuk. Dan seandainya Rangga sendiri pun, pasti akan bertanya lebih dulu pada orang tua ini tentang tindakan yang akan diambil.

Dan biasanya pula, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi membantah setiap kali Ki Lintuk mengemukakan pendapatnya. Bahkan semua pembesar Kerajaan Karang Setra ini tidak ada yang bisa membantah semua kata-kata Ki Lintuk, yang dianggap begitu bijaksana dalam mengemukakan pendapat dan jalan pikiran. Mereka juga menyadari kalau apa yang dikatakan Ki Lintuk adalah demi kejayaan, keutuhan, dan kewibawaan Kerajaan Karang Setra.

Pada saat mereka semua tengah terdiam, seorang prajurit penjaga gerbang istana memasuki ruang Balai Sema Agung yang berukuran sangat besar dan megah. Semua mata langsung mengarahkan pandan-gan pada prajurit yang masih muda itu. Dia segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Kedua telapak tangannya tampak merapat di depan hidung, lalu duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal dan sangat halus buatannya.

"Ada apa, Prajurit?" tanya Wirapati, Panglima Tertinggi Kerajaan Karang Setra.

"Ampun, Gusti. Hamba datang menghadap untuk memberi laporan," sahut prajurit muda itu sambil memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Katakan saja," selak Danupaksi meminta.

"Di depan, ada dua orang utusan hendak ber-temu Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Mereka dua orang punggawa dari Kerajaan Ringgading, ingin memberi tahu kalau yang lain sudah ada di luar perbatasan. Kedatangan mereka hanya dipimpin seorang patih, tanpa ada seorang pun panglima perang," sahut prajurit muda itu, menjelaskan panjang lebar.

Semua yang ada di ruangan Balai Sema Agung saling melemparkan pandang. Sementara, Danupaksi memutar tubuhnya berbalik dan kembali duduk di singgasana. Sedangkan prajurit muda itu merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, memberikan sembah setelah Danupaksi duduk di singgasana.

"Perintahkan mereka masuk," perintah Danupaksi, dengan nada dibuat tegas.

"Hamba, Gusti," sahut prajurit muda itu seraya memberi sembah.

EMPAT

Danupaksi memandangi dua orang punggawa Kerajaan Ringgading yang datang ke Balai Sema Agung. Mereka diantar prajurit penjaga gerbang istana yang tadi melaporkan kedatangan kedua punggawa itu. Kedua punggawa itu masih berusia muda, dan mungkin sebaya dengan Danupaksi. Bukan saja Danupaksi yang mengamati, tapi juga Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Wirapati, dan Cempaka. Mereka terus memandangi kedua punggawa berusia muda yang duduk tepat di tengah-tengah, menghadap Danupaksi yang tetap duduk di singgasana.

"Silakan, jika ada yang ingin disampaikan," ujar Danupaksi, mempersilakan. Tangannya dijulurkan ke depan, dengan telapak menghadap ke atas. Ramah sekali sikapnya, tidak jauh berbeda dengan Rangga yang sebenarnya Raja Karang Setra.

"Terus terang, sebenarnya kami datang hendak menghadap Gusti Prabu Rangga. Tapi...," salah seorang punggawa mulai membuka suara, tapi kemudian memutuskan ucapannya.

"Aku memang bukan Gusti Prabu Rangga. Aku hanya adiknya yang diberi kekuasaan penuh untuk mewakili, selama Gusti Prabu bepergian," kata Danupaksi memberi tahu.

Kedua punggawa itu saling melemparkan pandangan, kemudian sama-sama memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Sedangkan Danupaksi hanya mengangkat tangan kanannya sedikit saja.

"Maafkan kami, Gusti. Terpaksa kami tidak bisa mengatakan apa pun juga. Kami hanya menjalankan perintah, dan harus langsung bertemu Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Sekali lagi, kami mohon maaf," ucap punggawa itu lagi seraya memberi sembah hormat

"Maaf, Punggawa...," selak Wirapati. "Gusti Prabu Rangga atau Gusti Danupaksi sama saja. Jika tidak ada Gusti Prabu Rangga di istana ini, maka Gusti Danupaksi lah yang menduduki singgasana. Dan itu kepercayaan langsung dari Gusti Prabu Rangga. Jadi kalau ada sesuatu, Gusti Danupaksi lah yang menanganinya langsung, selama Gusti Prabu Rangga tidak berada di istana ini."

"Tapi, kami tetap tidak bisa menyampaikannya. Maafkan, kami terpaksa harus kembali dan menunggu sampai Gusti Prabu Rangga ada di istana," kata punggawa muda itu lagi, masih bersikap hormat.

Setelah berkata begitu, kedua punggawa Kerajaan Ringgading memberi sembah. Kemudian, mereka bangkit berdiri, dan kembali memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Setelah memberi salam penghormatan, mereka memutar tubuhnya dan melangkah keluar dan ruangan Balai Sema Agung.

"Tidak ada seorang pun yang mencegah kepergian kedua punggawa itu. Bahkan Danupaksi sendiri hanya diam saja memandangi. Sementara, Cempaka sudah bangkit berdiri dan hendak mengejar kedua punggawa itu. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah, Danupaksi sudah keburu mencegahnya.

"Biarkan mereka pergi, Cempaka."

"Tapi, Kakang.... Sikap mereka sudah menghina dan merendahkanmu," selak Cempaka, terdengar agak berang.

"Benar, Gusti Danupaksi. Jelas sekali kalau kedua punggawa itu tidak memandang sebelah mata pun juga. Mereka telah menghina Gusti Danupaksi. Kita harus menyerang mereka untuk membalas penghinaan ini!" sambut Wirapati sambil bangkit berdiri dari kursinya.

********************

Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak lagi berada di angkasa bersama Rajawali Putih. Sepasang pendekar muda digdaya itu kini sudah tidak jauh lagi dari perbatasan. Mereka bisa melihat jelas tenda-tenda berwarna putih yang berdiri tidak jauh di luar perbatasan Kerajaan Karang Setra. Sebuah bendera berukuran besar berlambang Kerajaan Ringgading berada di tengah-tengah tenda yang berdiri membentuk lingkaran itu.

Sementara itu di dalam perbatasan, terlihat para prajurit sudah bersiaga penuh, bagaikan hendak menghadapi perang besar saja. Mereka semua sudah menyandang senjata lengkap. Bahkan sudah membuat benteng-benteng pertahanan di sekitar perbatasan. Tampak Wirapati yang merupakan Panglima Perang Tertinggi Kerajaan Karang Setra, begitu gagah duduk di atas punggung kuda dengan pakaian perangnya.

"Kenapa jadi begini, Kakang...?" desis Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri. Rangga hanya diam saja seperti tidak mendengar. "Pasti ada kesalahpahaman," kata Pandan Wangi lagi.

Nada suaranya terdengar agak menggumam. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti masih saja diam. Malah pandangan matanya sedikit pun tidak berkedip ke arah dua kekuatan yang sudah sama-sama siaga penuh. Mereka seperti sudah siap-siap, tinggal menunggu perintah saja dari masing-masing pemimpinnya

"Kita harus segera mencegah sebelum terjadi peperangan, Kakang. Lihat saja! Masing-masing sudah siap akan perang," kata Pandan Wangi lagi sambil menunjuk ke arah dua kekuatan yang sudah sama-sama siap-siap, bagai hendak berperang.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak di atas puncak sebuah bukit yang tidak begitu tinggi, tidak jauh dari gerbang perbatasan Kerajaan Karang Setra. Dari atas puncak bukit ini, memang bisa jelas memandang ke perbatasan itu. Tapi, tidak mungkin bagi mereka yang berada di perbatasan itu untuk bisa melihat sampai ke puncak bukit yang begitu lebat ditumbuhi pepohonan.

Melihat Rangga hanya diam saja dengan mata tidak berkedip, Pandan Wangi jadi tidak sabar. Dan baru saja kakinya hendak terayun menuruni bukit ini, tapi cepat sekali Rangga sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa, si Kipas Maut itu tidak jadi menuruni bukit ini. Kepalanya berpaling, langsung menatap tajam bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

"Jangan bertindak gegabah, Pandan," kata Rangga, agak mendesis suaranya.

"Tapi...," suara Pandan Wangi terputus.

"Percayalah, tidak akan terjadi sesuatu. Seperti katamu tadi, mereka pasti hanya salah paham saja," bujuk Rangga.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Dan pandangan matanya kembali terarah pada tenda-tenda putih yang membentuk lingkaran, tidak jauh dari perbatasan Kerajaan Karang Setra. Kemudian tatapannya beralih pada prajurit Karang Setra yang masih di dalam wilayahnya. Kini, terlihat Panglima Wirapati sudah berada tepat di tengah-tengah gerbang perbatasan. Berpakaian panglima perang seperti itu, Panglima Wirapati kelihatan sangat gagah. Apalagi saat ini menunggang kuda putih yang tinggi dan tegap berotot.

"Kau harus bertindak cepat, Kakang. Sepertinya Paman Wirapati sudah siap menyerang," ujar Pandan Wangi. Jelas sekali kalau nada suara si Kipas Maut terdengar mengandung kekhawatiran, saat melihat Panglima Wirapati sudah berada di tengah-tengah gerbang perbatasan.

Sedangkan puluhan prajurit bersenjata lengkap sudah berbaris rapi di belakangnya. Se-mentara di sepanjang tembok perbatasan, pasukan panah pun sudah siap melepaskan anak panah di busurnya. Mereka semua benar-benar sudah siap, dan tinggal menunggu perintah saja. Tapi lain halnya para prajurit Kerajaan Ringgading. Tampaknya mereka tidak gentar sedikit pun melihat kekuatan prajurit-prajurit Karang Setra. Walaupun mereka juga sudah siap dengan senjata masing-masing, tapi sedikit pun tidak kelihatan kalau benar-benar ingin berperang.

"Siaaap...!" Tiba-tiba saja Panglima Wirapati berteriak lantang menggelegar, seraya mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Teriakannya langsung disambut teriakan gegap-gempita seluruh prajurit yang berada di belakangnya. Mereka juga mengangkat tangan kanannya ke atas, sambil mengacungkan senjata masing-masing yang beraneka ragam bentuknya. Namun belum juga Panglima Wirapati memberikan perintah selanjutnya, mendadak saja....

"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"

Begitu terdengar siulan nyaring melengking, seketika itu juga terdengar suara serak dan keras, bagai hendak membelah bukit. Begitu kerasnya, sehingga bumi jadi bergetar bagaikan diguncang gempa. Dan saat itu juga, dari angkasa terlihat seekor burung rajawali berbulu putih keperakan meluncur turun dengan kecepatan bagai kilat.

"Hah...?!" Panglima Wirapati jadi terbeliak setengah mati begitu melihat burung rajawali raksasa tiba-tiba saja muncul.

Burung itu melayang dekat di atas pucuk pepohonan. Sayapnya yang lebar terus mengepak, membuat sekitar perbatasan Kerajaan Karang Setra bagaikan dilanda badai. Angin akibat kepakannya memang sangat dahsyat. Hanya sebentar saja, sudah banyak pepohonan yang tumbang. Debu dan daun-daun kering berhamburan terhembus angin kepakan sayap burung rajawali raksasa itu.

Dan kemunculan burung itu membuat seluruh prajurit Karang Setra jadi terperanjat setengah mati. Bahkan para prajurit Kerajaan Ringgading juga terlongong bengong. Walaupun pernah melihat burung rajawali raksasa itu sebelumnya, tapi tetap saja kemunculannya membuat mereka tercengang setengah mati.

"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"

Begitu terdengar siulan yang panjang melengking, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung melesat tinggi ke angkasa. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi, tertelan awan tebal bergulung-gulung di langit. Dan semua prajurit yang ada di sekitar perbatasan itu masih terlongong bengong, memandang ke angkasa. Padahal, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah tidak terlihat lagi.

********************

Sementara itu dari atas bukit, Pandan Wangi menyaksikan semua kejadian yang cepat tadi dengan mata tidak berkedip. Sungguh tidak disangka kalau Rangga akan bertindak begitu cepat mencegah Panglima Wirapati menyerang para prajurit Kerajaan Ringgading. Dan memang, kemunculan Rajawali Putih tadi, telah membuat panglima itu jadi terlongong seperti orang kebanyakan minum arak. Sehingga bagai tidak menyadari kalau dirinya berpakaian panglima perang.

"Kau tetap di sini, Pandan. Jangan perlihatkan diri dulu," kata Rangga sambil menepuk pundak si Kipas Maut

"Eh...?! Kau akan ke mana...?" tanya Pandan Wangi tersentak kaget.

Tapi baru saja pertanyaan Pandan Wangi selesai diucapkan, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan Pandan Wangi, walaupun sudah seringkali melihat kehebatan Pendekar Rajawali Sakti, masih juga berdecak kagum terhadap kepandaian pendekar yang juga kekasihnya itu.

Meskipun kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah, tapi bila dibandingkan dengan Rangga, rasanya masih terlalu jauh untuk bisa menyamai. Pandan Wangi tidak bisa lagi berlama-lama mengagumi Pendekar Rajawali Sakti, karena pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki kuda dari arah belakang. Dan begitu tubuhnya berbalik, tahu-tahu di puncak bukit ini Rangga sudah kembali, duduk di punggung seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah.

Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu mendengus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepala, begitu Rangga menarik tali kekangnya agar berhenti tepat di depan Pandan Wangi. Sementara, gadis itu masih berdiri mematung, memandangi Rangga seperti tidak percaya. Karena baru beberapa saat saja Pendekar Rajawali Sakti pergi, dan kini sudah kembali lagi bersama Dewa Bayu.

Kuda itu memang bukan kuda sembarangan, tapi merupakan pemberian dewa dari kahyangan pada Adipati Arya Permadi, ayah kandung Pendekar Rajawali Sakti. Binatang itu juga tidak bisa ditandingi kuda-kuda manapun di seluruh jagat raya ini. Kecepatan larinya melebihi kilat. Jadi tidak heran kalau Rangga bisa memanggil Dewa Bayu dari Istana Karang Setra ke puncak bukit ini dalam waktu singkat sekali. Tapi, hal itu tetap saja membuat Pandan Wangi tercengang kagum, walaupun sudah seringkali melihat kehebatan Pendekar Rajawali Sakti dan Kuda Dewa Bayu ini.

"Kau jangan ke mana-mana, Pandan. Tunggu saja di sini," ujar Rangga tanpa turun dari punggung kudanya.

"Lalu, kau sendiri mau ke mana?" tanya Pandan Wangi.

"Aku akan menemui Patih Gandaraka," sahut Rangga.

Kening Pandan Wangi jadi berkerut. Sedangkan kelopak matanya terlihat menyipit, memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang masih saja duduk di punggung Dewa Bayu. Sungguh sejak tadi belum disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti kini sudah berganti pakaian. Pakaiannya tidak lagi biasanya seperti setiap kali mengembara, tapi kini layaknya seorang raja.

Keterpanaan Pandan Wangi pun semakin mendalam. Rangga kelihatan sangat tampan mengenakan pakaian seperti itu. Dia yakin, pasti tidak akan ada seorang pun yang bisa mengenalinya lagi sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Benar-benar lain dari yang selama ini dikenalnya. Tapi pedang yang tersampir di punggung pemuda itulah yang membuat Pandan Wangi langsung bisa mengenalinya. Karena, tidak ada satu pun pedang di jagat raya ini yang menyamai Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

"Aku pergi dulu, Pandan," pamit Rangga.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sedangkan Rangga sudah memutar kudanya berbalik, dan langsung cepat menggebahnya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu berlari bagaikan kilat, seakan-akan keempat kakinya yang kokoh tidak menyentuh tanah. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap tidak terlihat lagi, meninggalkan debu yang membumbung ke angkasa.

"Hm.... Apa yang akan dilakukannya nanti...?" gumam Pandan Wangi bertanya sendiri dalam hati.

********************

Saat itu, Rangga terus memacu cepat kudanya menuruni lereng bukit. Sengaja diambilnya jalan memutar, sehingga sampai pada bagian belakang perkemahan para prajurit Kerajaan Ringgading. Pendekar Rajawali Sakti baru menghentikan lari kudanya, setelah benar-benar dekat dengan perkemahan prajurit dari Kerajaan Ringgading itu.

"Hup!" Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Rangga melompat turun setelah kuda hitamnya berhenti. Tepat begitu kakinya menjejak tanah, dua orang prajurit melihatnya. Dan mereka langsung menghampiri dengan senjata tombak tergenggam erat di tangan kanan. Rangga hanya berdiri saja sambil memegangi tali kekang kudanya. Ditunggunya sampai kedua prajurit itu dekat.

"Hm...." Kening Rangga berkerut melihat kedua prajurit itu langsung menghunuskan tombaknya. Bahkan ujung mata tombak itu hampir menempel di dada Rangga yang bidang dan tegap berotot. Namun belum juga prajurit-prajurit itu membuka suara, dari dalam salah satu tenda keluar Patih Gandaraka. Laki-laki berusia separuh baya itu tampak terkejut begitu melihat Rangga dihadang dua orang prajuritnya dengan ujung mata tombak hampir menempel di dada.

"Mundur kalian...!" bentak Patih Gandaraka.

Mendengar bentakan pemimpinnya, kedua prajurit itu segera bergerak mundur beberapa langkah. Mereka langsung menggeser ke samping, dan membungkuk begitu Patih Gandaraka melewati. Patih Kerajaan Ringgading itu langsung membungkukkan tubuhnya sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, begitu tiba di depan Rangga. Kemudian laki-laki setengah baya itu merendahkan dirinya dan berlutut dengan tangan masih merapat di depan dada. Melihat pemimpinnya bersikap begitu hormat pada pemuda ini, kedua prajurit itu jadi terlongong bengong. Cepat-cepat mereka menekuk kaki, dan berlutut mengikuti sikap Patih Gandaraka.

"Maafkan atas kelancangan penyambutan kedua prajurit hamba, Gusti Prabu. Mereka memang belum mengenal Gusti Prabu sebenarnya," ucap Patih Gandaraka, penuh rasa hormat.

"Bangunlah, Paman Patih," sambut Rangga sambil memberi senyum.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," ucap Patih Gandaraka lagi, seraya memberi sembah. Perlahan kemudian patih itu bangkit berdiri.

Sementara kedua prajurit yang tadi menodongkan tombak ke dada Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berlutut dengan kepala tertunduk. Mereka seperti menyesal atas sikapnya tadi, karena memang belum mengenal pemuda tampan yang datang bersama kuda hitamnya ini.

"Kalian juga, Prajurit. Bangunlah...," pinta Rangga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut kedua prajurit itu berbarengan, sambil memberi sembah. Kemudian, mereka bangkit berdiri dan kembali merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Tombak yang tadi tergenggam di tangan, dibiarkan tergeletak di atas tanah. Rangga mengayunkan kakinya. Dipungutnya kedua tombak itu, lalu diberikannya pada kedua prajurit ini.

"Kalian tidak perlu meninggalkan senjata," kata Rangga.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," sahut kedua prajurit itu sambil menerima tombaknya kembali, kemudian memberikan sembah lagi.

"Kalian kembali ke tempat tugas," perintah Patih Gandaraka.

"Hamba, Gusti Patih." Kedua prajurit itu segera berlalu, setelah memberi penghormatan pada Pendekar Rajawali Sakti dan Patih Gandaraka.

Setelah kedua prajurit itu kembali ke tempat tugasnya, Patih Gandaraka mengajak Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam tendanya. Tanpa menolak sedikit pun juga, diikutinya ayunan kaki Patih Gandaraka. Sementara Dewa Bayu telah ditambatkan pada sebatang pohon yang tumbang.

"Maafkan atas kedatangan kami yang seperti ini, Gusti Prabu," ucap Patih Gandaraka, setelah berada dalam tendanya yang dijaga empat orang prajurit bersenjatakan tombak dan pedang di pinggang.

Rangga dan Patih Gandaraka duduk bersila, beralaskan permadani tebal dan halus. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja menerima permintaan maaf Patih Kerajaan Ringgading ini.

"Kau datang bersama sepasukan prajurit, sepertinya hendak menjarah negeri orang saja. Pasti ada alasannya, kenapa sampai membawa begitu banyak prajurit, Paman Patih," kata Rangga dengan nada suara lembut dan berwibawa.

"Perjalanan yang harus ditempuh sangat panjang dan penuh rintangan, Gusti Prabu...."

"Jangan panggil seperti itu, Paman," selak Rangga memutuskan ucapan Patih Gandaraka.

"Tapi..."

"Aku memang sengaja mengenakan pakaian seperti ini agar prajuritmu mudah mengenali. Tapi, nyatanya sama saja. Maaf, nanti aku akan mengganti pakaian," kata Rangga.

"Dan, sebaiknya kau panggil saja aku Rangga. Jangan Gusti Prabu."

"Baiklah. Aku akan memanggilmu Dimas Rangga," sahut Patih Gandaraka.

"Itu lebih baik, Paman," sambut Rangga diiringi senyum lebar.

Patih Gandaraka memang tidak bisa menolak. Apalagi, dia sudah tahu pula watak Raja Karang Setra, yang juga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Nah, sekarang katakan. Apa alasanmu keluar dari wilayah Kerajaan Ringgading dengan membawa prajurit berjumlah besar seperti ini," pinta Rangga.

"Terpaksa, Dimas," sahut Patih Gandaraka.

"Terpaksa...?!" kening Rangga berkerut dalam. Dipandanginya kedua bola mata laki-laki separuh baya yang duduk bersila di depannya. Seakan, dia ingin mencari jawaban pasti dan sepasang bola mata redup dan memerah itu. Tapi, memang sulit. Dan Rangga tidak menemukan apa pun di sana, kecuali sorot mata yang redup tanpa cahaya, seperti kehilangan gairah hidup lagi. Dan itu tentu saja membuat berbagai macam dugaan berkecamuk dalam benak Pendekar Rajawali Sakti.

"Ceritakan yang jelas, Paman," pinta Rangga lagi

"Baiklah...," desah Patih Gandaraka.

LIMA

"Sebenarnya, aku tidak ingin mengganggu para sahabat Kerajaan Ringgading. Tapi semua ini terpaksa kulakukan. Sudah beberapa kerajaan kudatangi, tapi tak ada satu pun yang sanggup. Dan sekarang, tinggal satu harapanku. Kalau ini juga tidak berhasil, entah apa lagi yang akan kulakukan," suara Patih Gandaraka terdengar pelahan sekali. Bahkan terasa agak tersendat, seperti menanggung sebuah beban yang teramat berat untuk disandangnya.

"Sebenarnya, apa yang terjadi di sana, Paman? Sampai-sampai harus meninggalkan kerajaan begini jauh..," tanya Rangga ingin tahu.

Di dalam benaknya, Pendekar Rajawali Sakti sudah menduga, pasti telah terjadi sesuatu di Kerajaan Ringgading. Mustahil Patih Gandaraka meninggalkan kerajaan itu bersama sejumlah besar prajurit, kalau tidak terjadi apa-apa. Terlebih lagi, setelah mendengar penuturan yang baru sedikit tadi. Rangga sudah bisa menebak, dan teramat yakin kalau telah terjadi sesuatu yang sangat besar di Kerajaan Ringgading.

"Kau memang harus tahu, Dimas Rangga. Karena, tinggal kaulah satu-satunya harapanku," kata Patih Gandaraka, seraya mengangkat kepalanya. Langsung ditatapnya bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila di hadapannya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.

"Malapetaka besar telah terjadi di Kerajaan Ringgading. Seseorang berwajah buruk, persis seekor kodok, telah menguasai singgasana. Dia sangat kejam. Bahkan setiap hari harus memakan daging manusia. Minumnya juga darah manusia yang masih segar...," Patih Gandaraka mulai menceritakan keadaan di Kerajaan Ringgading.

Sementara Rangga hanya diam saja, mendengarkan penuh perhatian. Terlihat jelas sekali kalau keningnya berkerut semakin dalam. Dugaannya memang tepat sejak tadi. Telah terjadi sesuatu yang sangat besar di Kerajaan Ringgading. Tapi, sungguh tidak disangka kalau bencana itu benar-benar besar. Tidak ada lagi bencana yang terbesar bagi sebuah kerajaan, selain runtuhnya singgasana. Terlebih lagi, kalau singgasana sampai diduduki orang lain yang tidak berhak.

"Semula, Gusti Prabu Gading Anom masih bisa bertahan, dengan memberi tawanan-tawanan untuk menjadi santapan Siluman Muka Kodok. Tapi setelah tidak ada lagi tawanan yang bisa dikorbankan, terpaksa rakyat harus jadi korban. Dan ini membuat Gusti Prabu Gading Anom tidak bisa bertahan lagi," sambung Patih Gandaraka.

Dan Rangga masih tetap diam mendengarkan kelanjutannya.

"Gusti Prabu Gading Anom benar-benar sudah tidak tahan lagi. Hingga akhirnya, beliau pergi dari istana dengan membawa satu pasukan prajurit dan dua puluh pengawal pribadi. Seluruh keluarganya ikut dalam pelarian itu. Beruntung, Siluman Muka Kodok tidak mengejar. Lalu, Gusti Prabu memerintahkan hamba untuk mencari bantuan. Maka hamba terpaksa membawa seluruh prajurit yang tersisa, karena Siluman Muka Kodok tidak lagi memilih-milih orang untuk santapannya. Sudah banyak prajurit yang menjadi korban kebiadabannya, sambung Patih Gandaraka lagi.

"Di mana Gusti Prabu Gading Anom sekarang berada?" tanya Rangga ingin tahu.

"Di Pertapaan Sangkalima," sahut Patih Gandaraka.

"Hm...," Rangga menggumam panjang. Pendekar Rajawali Sakti tahu, pertapaan itu masih termasuk wilayah Kerajaan Ringgading. Dan di sana memang aman bila untuk tempat persembunyian sementara. Tapi, bukannya tidak mustahil kalau Siluman Muka Kodok bisa juga mengetahui dan mendatanginya ke sana.

"Maaf, Paman. Bukankah Ringgading memiliki jago-jago persilatan yang tangguh dan berilmu tinggi. Apakah mereka tidak sanggup menandingi Siluman Muka Kodok. Sampai-sampai Gusti Prabu harus mengungsi. Dan kau sendiri pun harus pergi jauh, hanya untuk meminta bantuan," kata Rangga bernada hati-hati, agar tidak menyinggung perasaan patih ini.

"Sudah berulang kali jago silat Ringgading mencoba melawan. Tapi, tidak satu pun yang berhasil. Bahkan mereka menjadi korban kebuasannya. Siluman Muka Kodok sangat sakti dan sukar sekali ditandingi, Dimas Rangga. Tubuhnya juga tidak mempan senjata tajam apa pun bentuknya. Benar-benar kebal dia. Bahkan juga memiliki ilmu suara yang sangat dahsyat. Sebuah bukit batu bisa diruntuhkannya hanya dengan suaranya saja" sahut Patih Gandaraka menjelaskan, tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun juga.

"Begitu tangguhkah...?" desis Rangga.

"Bukan hanya jago-jago silat Ringgading yang sudah mencoba, tapi juga dari rimba persilatan. Dan ternyata mereka hanya mengantarkan nyawa saja menantang Siluman Muka Kodok," lanjut Patih Gandaraka.

"Hm..., gumam Rangga lagi. Sementara, Patih Gandaraka tidak berbicara lagi. Dia terdiam dengan sorot mata tertuju lurus ke wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya, dia sedang menunggu kesanggupan pemuda itu untuk mengusir Siluman Muka Kodok dari Kerajaan Ringgading. Bahkan kalau perlu, melenyapkan untuk selama-lamanya.

"Berapa kekuatannya?" tanya Rangga, setelah cukup lama terdiam.

"Maksud, Dimas...?" Patih Gandaraka meminta penjelasan.

"Orang-orang yang berada di belakangnya."

"Dia hanya seorang diri saja, Dimas"

"Seorang diri...?"

"Benar. Hanya seorang diri."

"Dan sampai saat ini belum ada seorang pun yang bisa mengenyahkannya...?" Jelas sekali kalau nada suara Rangga seperti tidak percaya. Hanya seorang diri ternyata orang yang berjuluk Siluman Muka Kodok bisa menaklukkan sebuah kerajaan yang bisa dikatakan cukup besar. Kalau memang benar demikian, tentulah orang itu tidak bisa lagi diukur tingkat kepandaiannya. Meskipun sulit dipercaya, tapi Rangga yakin kalau Patih Gandaraka berkata yang sesungguhnya. Dia tahu betul, patih itu tidak pernah berkata dusta. Terlebih lagi dalam menghadapi persoalan yang begini besar.

"Hm, dia datang dari mana?" tanya Rangga lagi.

Patih Gandaraka menggelengkan kepala beberapa kali sambil menghembuskan napas panjang-panjang. Sedangkan Rangga juga menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Dari gelengan kepala Patih Gandaraka, bisa diketahui kalau tidak ada seorang pun yang mengetahui asal-usul Siluman Muka Kodok.

"Sudah berapa lama hal ini berlangsung?" tanya Rangga lagi, setelah cukup lama terdiam. "Entahlah, Dimas. Mungkin sudah lebih dari tiga purnama. Aku tidak bisa mengingatnya lagi dengan pasti," sahut Patih Gandaraka

"Berapa orang korbannya setiap hari?"

"Dua atau tiga orang. Bahkan bisa sampai lima orang lebih, kalau sedang marah.

"Hm...," kembali Rangga menggumam.

Dan keadaan pun kembali sunyi senyap. Tidak ada lagi yang membuka suara. Masing-masing tengah disibuki oleh pikirannya. Tapi dari sorot mata Patih Gandaraka, jelas sekali kalau kesediaan Pendekar Rajawali Sakti sangat diharapkan untuk mengusir Siluman Muka Kodok dari Kerajaan Ringgading selama-lamanya. Rangga sendiri masih tetap diam membisu dengan kening berkerut cukup dalam. Entah apa yang ada dalam benaknya.

"Baiklah, Paman. Aku akan secepatnya datang ke sana. Mudah-mudahan saja singgasana Gusti Prabu Gading Anom bisa kurebut kembali," kata Rangga menyanggupi, setelah terdiam membisu cukup lama.

"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Dimas," ucap Patih Gandaraka, langsung berbinar bola matanya.

Rangga hanya tersenyum saja sedikit.

********************

Rangga berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput yang cukup luas, di tengah-tengah hutan yang rapat oleh pepohonan. Sementara tidak jauh di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti, berdiri Pandan Wangi. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu hanya memandangi saja. Sementara, Rangga terus berdiri te-gak dengan kepala menengadah memandang langit.

"Suiiit...!"

Siulan yang bernada aneh dan sangat panjang melengking tinggi, terdengar menyakitkan telinga. Pandan Wangi sampai tersentak kaget, dan cepat-cepat menutup telinga dengan telapak tangan. Dia tahu, Rangga sedang memanggil Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan dari burung rajawali itu juga semua ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan diperolehnya.

"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum begitu telinganya mendengar suara yang serak, meskipun masih terdengar kecil dan jauh sekali. Dan senyum yang menghiasi bibirnya semakin lebar saat terlihat sebuah titik berkilat keperakan tengah melayang bagai kilat di angkasa. Dan semakin lama, titik keperakan itu semakin terlihat jelas bentuknya.

"Khraaagkh...!"

Rangga melambaikan tangannya, setelah Rajawali Putih sudah terlihat jelas dan dekat. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung mendarat sekitar dua batang tombak di depan Rangga. Meskipun bertubuh besar, tapi gerakannya sangat ringan. Sedikit pun tak ada getaran saat cakar-cakar Rajawali Putih menyentuh tanah. Kepakan sayapnya yang lebar, membuat beberapa pohon tumbang seketika terkena hempasan anginnya yang luar biasa keras.

"Khrrr...!"

"Maaf, aku terpaksa mengganggu istirahatmu lagi, Rajawali," ucap Rangga seraya melangkah mendekati.

"Khrrrkh...!" Rajawali Putih hanya mengkirik kecil.

"Kita tidak punya banyak waktu, Rajawali. Secepatnya harus sampai di Ringgading," kata Rangga begitu dekat dengan burung rajawali raksasa itu.

"Khrkh...!"

"Hup!" Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga hanya sekali genjotan saja, sudah meluncur naik dan hinggap di punggung Rajawali Putih. Langsung ditatapnya Pandan Wangi yang masih saja berdiri mematung di tempat semula. Walaupun sudah seringkali berjumpa, bahkan sudah beberapa kali menunggangi, tapi tetap saja Pandan Wangi mempunyai suatu perasaan yang sulit diartikan pada burung rajawali raksasa ini. Dan gadis itu juga selalu merasa takut kalau harus menungganginya. Belum pernah hatinya merasa tenang kalau sudah mengangkasa bersama Rangga dan Rajawali Putih.

"Ayo, Pandan. Kau ingin ikut tidak..,?" ajak Rangga.

Pandan Wangi masih saja diam, dan seperti ragu-ragu untuk mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dalam hatinya, sedikit pun tidak terbetik kerelaan kalau Rangga berjalan sendiri menghadapi maut di Kerajaan Ringgading. Rangga memang sudah menceritakan semua hasil pembicaraannya dengan Patih Gandaraka. Pandan Wangi sendiri sempat terperanjat mendengarnya, dan hampir-hampir tidak percaya.

Perlahan Pandan Wangi mengayunkan kakinya menghampiri Rangga yang sudah berada di punggung Rajawali Putih. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu kembali menghentikan ayunan kakinya, setelah jaraknya tinggal sekitar satu tombak lagi dari Rajawali Putih.

"Cepat, Pandan. Kita tidak punya banyak waktu," desak Rangga mulai tidak sabar.

"Hup!" Beberapa saat Pandan Wangi masih terdiam mematung, kemudian melompat ringan. Lalu tubuhnya hinggap di punggung Rajawali Putih, tepat di depan Rangga. Gadis itu langsung duduk dan mencengkeram bulu punggung Rajawali Putih yang besar dan tebal ini.

"Ayo, Rajawali. Gunakan kecepatan penuh, karena kita harus segera sampai di Ringgading," ajak Rangga.

"Khraaagkh...!"
Wusss!

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Tepat di saat matahari sudah condong ke Barat, Rangga dan Pandan Wangi yang menunggang Rajawali Putih sudah sampai di angkasa Kerajaan Ringgading. Dari ketinggian di atas awan seperti ini, masih terlalu sulit untuk bisa melihat jelas. Hanya atap-atap bangunan dan pepohonan saja yang bisa terlihat. Itu pun kelihatannya kecil-kecil sekali.

"Kau terbang terlalu tinggi, Rajawali. Lebih dekat lagi...!" seru Rangga, meminta.

"Khragkh...!" Rajawali Putih segera merendahkan jarak terbangnya, sehingga Rangga bisa melihat jelas keadaan Kotaraja Kerajaan Ringgading. Sesaat, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Kota yang sangat besar itu kelihatan sangat sunyi, seperti tidak berpenghuni. Tidak seorang pun juga yang terlihat, kecuali anjing-anjing liar dan binatang-binatang yang berkeliaran di jalan-jalan kota ini.

"Turun di sana, Rajawali!" teriak Rangga sambil menunjuk sebuah padang rumput yang ada di sebelah Timur Kotaraja Kerajaan Ringgading.

"Khraaagkh...!"

Sungguh cepat Rajawali Putih melesat. Hingga dalam sekejap saja sudah mendarat lunak di pinggir padang rumput yang tidak jauh dengan perbatasan kotaraja sebelah Timur. Rangga langsung melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Pandan Wangi juga bergegas mengikuti, turun dari punggung burung rajawali raksasa ini.

"Kau boleh pergi, Rajawali. Tapi jangan terlalu jauh," ujar Rangga sambil menepuk kaki burung rajawali raksasa tunggangannya.

"Khrrrkh...!"

"Hm.... Jangan terlalu mencemaskan aku, Rajawali," ujar Rangga seakan-akan bisa mengerti kekhawatiran yang ditunjukkan Rajawali Putih melalui suaranya yang mengkirik lirih.

Kepala burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu bergerak menggeleng perlahan beberapa kali. Sementara, Rangga memperhatikan dengan kening berkerut. Pandan Wangi juga memperhatikan tingkah Rajawali Putih, tapi terlalu sulit baginya untuk bisa mengerti. Dan memang, hanya Rangga saja yang bisa mengerti.

"Baiklah, Rajawali. Kau boleh mengawasi dari angkasa. Tapi jangan bertindak apa pun sebelum kuminta," kata Rangga akhirnya.

"Khrrr...!"
"Pergilah...."
"Khraaagkh...!"

Hanya sekali saja mengepakkan sayapnya, Ra-jawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa. Sementara, Rangga langsung mengajak Pandan Wangi memasuki Kotaraja Kerajaan Ringgading. Tidak ada seorang prajurit pun yang menjaga pintu gerbang sebelah Timur ini. Namun begitu, Rangga meminta Pandan Wangi untuk selalu berhati-hati. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepalanya ke atas, maka tampak Rajawali Putih masih di atas awan. Memang kelihatan kecil sekali, bahkan terkadang menghilang tertutup awan.

"Sepertinya kau tidak senang Rajawali terus mengikutimu, Kakang," kata Pandan Wangi.

"Jangan berkata begitu, Pandan. Dia bisa mendengar semua yang kau katakan," sahut Rangga sambil mendongakkan kepala ke atas.

"Khraaagkh...!" Dari angkasa terdengar suara serak yang sangat nyaring melengking tinggi.

"Apa kubilang, dia bisa mendengar," kata Rangga.

Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya saja, lalu terus mengayunkan kakinya mengikuti langkah Rangga dari sebelah kanan. Sementara, mereka sudah memasuki Kotaraja Kerajaan Ringgading. Memang sangat sunyi keadaannya. Tidak satu pun manusia yang dijumpai sejak melewati gerbang masuk ke kota ini. Bahkan tidak satu rumah pun di sepanjang jalan ini yang membuka pintu atau jendela. Benar-benar seperti sebuah kota mati yang tidak lagi berpenghuni.

"Sepi sekali..." desah Pandan Wangi pelan sekali. Hampir tidak terdengar suaranya.

Sedangkan Rangga hanya diam saja, seolah-olah tidak mendengar ucapan Pandan Wangi tadi. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti menggunakan ilmu kesaktian aji Pembeda Gerak dan Suara, sebuah ilmu yang bisa menajamkan pendengaran. Bahkan bisa memilah-milah suara yang diinginkan untuk didengar jelas.

Tanpa disadari, sejak tadi Pandan Wangi terus memperhatikan. Gadis itu tahu, Pendekar Rajawali Sakti sedang mengerahkan aji Pembeda Gerak dan Suara.

"Ada yang kau dapatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Hm..." Rangga hanya menjawab dengan gumaman kecil saja. Tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Pandan Wangi juga langsung berhenti melangkah di samping kanan pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tampak Rangga memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. Dan....

"Hap!" Begitu cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya. Dan tahu-tahu, dalam genggaman tangan pemuda itu sudah ada sebatang tongkat berukuran cukup panjang berwarna putih bagai terbuat dari perak. Sedikit kakinya bergeser ke belakang. Sementara, Pandan Wangi langsung memegang senjata kipas mautnya, walaupun belum tercabut dari balik ikat pinggangnya.

"Hati-hati, Pandan. Tampaknya kedatangan kita sudah diketahui," kata Rangga memperingatkan.

"Hm," Pandan Wangi hanya menggumam saja.

Suasana terasa begitu sunyi dan mencekam. Sedikit pun tak terdengar suara yang mencurigakan, kecuali desir angin saja yang mengusik telinga. Sementara, perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya ke depan. Sorot matanya begitu tajam memandangi sekitarnya. Sedangkan Pandan Wangi tetap diam di tempat dengan sikap penuh kewaspadaan.

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"

"Hup!" Rangga cepat melompat ke belakang mendekati Pandan Wangi, begitu tiba-tiba dari balik dinding rumah dan atap bermunculan orang-orang. Mereka langsung saja mengepung kedua pendekar muda dari Karang Setra itu di tengah-tengah jalan. Sebentar saja sudah tidak ada lagi celah bagi Rangga dan Pandan Wangi untuk bisa meloloskan diri. Sekelilingnya sudah terkepung tidak kurang dari tiga puluh orang yang semuanya menggenggam sebatang tongkat berwarna putih.

"Selamat datang di wilayah kami, Kisanak dan Nisanak!"

Rangga dan Pandan Wangi langsung berpaling, dan mendongak ke atas begitu mendengar sambutan keras dan menggelegar menyakitkan telinga. Tampak di atas atap sebuah rumah berdiri seorang laki-laki tua berjubah panjang dan longgar berwarna putih bersih. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang juga berwarna putih, persis dengan tongkat para pengepung dua orang pendekar muda dari Karang Setra ini.

"Mengapa kalian menghadang perjalanan kami?" tanya Rangga dengan suara lantang.

"Seorang anak buahku yang lolos mengatakan kalau si Tongkat Bintang Perak lumpuh. Dan itu gara-gara seekor rajawali raksasa berbulu putih. Aku yakin, burung sialan itu milikmu. Karena dari ciri-cirimu, aku tahu kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan hanya seorang pendekar yang memiliki rajawali seperti itu, yaitu kau sendiri!" dengus laki-laki tua berjubah putih itu.

"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Rangga, pura-pura tidak mengerti.

"Kau tidak berhak bertanya, Bocah!" bentak orang tua itu kasar. "Hup!" Sungguh ringan gerakan orang tua itu saat melompat turun dari atas atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat sekitar satu batang tombak lagi di depan Rangga. Gerakannya sangat cepat, indah, dan ringan, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi. Tentu kepandaiannya juga sangat tinggi, jika melihat dari caranya mengerahkan ilmu meringankan tubuh tadi.

"Dan sekarang, aku menuntut balas atas kematian muridku!" dengus orang tua berjubah putih itu, ketus.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit "Lihat sekelilingmu, Pendekar Rajawali Sakti. Semua muridku tidak akan segan-segan mencincangmu!"

ENAM

Bukan hanya Rangga saja yang terkejut. Bahkan Pandan Wangi juga jadi tersentak setengah mati begitu mendengar ancaman orang tua berjubah putih ini.

"Kau harus membayar mahal nyawa muridku, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya menyerah saja, sebelum murid-muridku kuperintahkan mencincangmu!" terasa dingin sekali nada suara orang tua berjubah putih itu.

"Tunggu dulu...!" sentak Rangga begitu orang tua berjubah putih itu sudah mengangkat tangan kanannya yang menggenggam tongkat.

"Ada apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti?"

"Kaukah yang bernama Ki Sadewa, Ketua Gerombolan Tongkat Putih...?" tanya Rangga ingin memastikan.

"Benar! Aku memang Ki Sadewa, Ketua Gerombolan Tongkat Putih. Dan mereka adalah murid-muridku yang sudah terlatih baik untuk mencincang orang-orang macam kau...!" tegas Ki Sadewa.

"Sebentar, Ki. Kau salah paham. Justru muridmulah yang hendak merampok rombongan dari Kerajaan Ringgading," Rangga mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Hm.... Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Pendekar Rajawali Sakti?" Dan belum juga Rangga menjelaskan, tiba-tiba saja....

"Ghrrrogkh...!"

"Heh...?! Apa itu...?!" sentak Pandan Wangi terkejut.

Bukan hanya Pandan Wangi saja yang tersentak kaget. Rangga, Ki Sadewa, dan murid-muridnya juga jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggorok yang sangat keras. Saat itu juga, terlihat wajah Ki Sadewa jadi berubah menegang. Bahkan semua muridnya kelihatan gelisah.

"Bersembunyi kalian semua. Cepaaat...!" seru Ki Sadewa lantang menggelegar kepada murid-muridnya.

Belum juga hilang perintah Ketua Gerombolan Tongkat Putih itu, semua muridnya langsung berlarian mencari tempat persembunyian. Bahkan saat itu juga, rumah-rumah yang semula pintunya tertutup rapat langsung terbuka, memberi kesempatan masuk pada murid-murid Ki Sadewa. Sebentar saja, sudah tidak terlihat lagi murid-murid Gerombolan Tongkat Putih itu. Dan di tengah jalan ini tinggal Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Sadewa saja. Sementara, perlahan-lahan Ki Sadewa menarik kakinya ke tepi jalan, lalu....

"Hup!"

"Heh...?!" Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Ki Sadewa melesat cepat. Dan belum juga Pendekar Ra-jawali Sakti bisa mencegah, bayangan tubuh Ketua Gerombolan Tongkat Putih itu sudah tidak terlihat lagi. Kini, tinggal kedua pendekar muda dari Karang Setra saja yang masih berada di tengah-tengah jalan. Sementara, sekelilingnya begitu sunyi. Tak seorang pun yang terlihat lagi di luar rumah. Sedangkan semua pintu dan jendela rumah yang ada di sepanjang kiri dan kanan jalan ini tidak ada yang terbuka.

"Ada apa dengan mereka, Kakang...?" tanya Pandan Wangi, agak menggumam suaranya. Seperti bertanya pada diri sendiri. Namun Rangga tidak menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Dia sendiri tidak mengerti melihat Ki Sadewa dan murid-muridnya. Mereka langsung pergi bersembunyi begitu mendengar suara menggorok tadi. Sedangkan suara itu hanya sekali saja terdengar. Dan kini sudah menghilang entah ke mana. Entah dari mana suara itu datang. Belum juga Rangga dan Pandan Wangi bisa mengerti, mendadak....

"Aaa...!"

"Heh...?! Hup...!" Rangga langsung melesat cepat bagai kilat, begitu terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi. Sementara, Pandan Wangi masih terpaku sesaat, lalu bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Langsung dikerahkannya ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.

"Oh...?!" Rangga jadi tersedak begitu melihat sebuah kepala manusia tergeletak di depan sebuah rumah. Darah berceceran di mana-mana. Tidak jauh dari kepala itu, tergeletak sebuah kaki yang masih mengucurkan darah segar. Belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu, Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Gadis itu juga terkejut setengah mati melihat kepala buntung dan sebuah kaki tergeletak di halaman sebuah rumah kecil.

"Ghrooogkh...!"

"Heh...?!" Tepat ketika terdengar suara menggorok serak, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat keluar dari dalam rumah melalui atap. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga hanya sekilas saja Rangga bisa melihat. Dan bayangan itu kini sudah lenyap dalam sekejap mata saja.

"Kau tunggu di sini, Pandan," kata Rangga.

"Kau mau...?"

"Hup!" Belum juga Pandan Wangi selesai bertanya, Rangga sudah melesat begitu cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai kesempurnaan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.

Sementara, Pandan Wangi hanya bisa diam terpaku tanpa dapat berbuat sesuatu. Belum juga Pandan Wangi bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba saja murid-murid Gerombolan Tongkat Putih sudah bermunculan. Bahkan ada beberapa orang di atas atap yang mengarahkan panah terpasang di busur ke arah si Kipas Maut ini. Pandan Wangi jadi kelabakan sendiri. Sementara, Rangga pergi entah ke mana. Pendekar Rajawali Sakti tadi mengejar bayangan yang berkelebat cepat, keluar dari dalam rumah ini. Perlahan Pandan Wangi memutar tubuhnya, dan langsung menatap tajam Ki Sadewa yang melangkah perlahan-lahan menghampiri.

"Mau apa kalian,..?!" sentak Pandan Wangi.

"Aku terpaksa harus menahanmu, Nisanak," sahut Ki Sadewa.

"Heh...?! Apa salahku?!"

Tapi pertanyaan Pandan Wangi tidak ada yang menjawab. Ki Sadewa sudah menjentikkan ujung jari tangannya. Maka saat itu juga empat orang muridnya berlompatan maju sambil memutar-mutar tambang. Namun belum juga keempat murid Gerombolan Tongkat Putih menyerang, mendadak...

"Khraaagkh...!" Wusss!

"Eh?! Apa itu...?!" sentak Ki Sadewa terkejut.

Bukan hanya Ki Sadewa saja yang terkejut Pandan Wangi juga terperanjat setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau Rajawali Putih yang memang sejak tadi mengawasi dari angkasa bisa melihat keadaannya yang tidak menguntungkan ini. Dan begitu cepat burung rajawali itu menukik turun, lalu menyambar si Kipas Maut dengan sepasang cakarnya yang kuat, sebelum Ki Sadewa dan murid-muridnya bisa berbuat sesuatu. Bagaikan kilat, Rajawali Putih membawa terbang Pandan Wangi dalam cengkeramannya.

Dalam sekejapan mata saja, burung rajawali itu sudah kembali melambung tinggi ke angkasa. Sementara, Pandan Wangi langsung memejamkan matanya, tidak sanggup melihat ke bawah dalam keadaan tubuh menghadap ke bumi seperti ini.

"Rajawali, turunkan, aku...!" teriak Pandan Wangi.

"Khragkh...!" Rajawali Putih kembali meluruk deras dengan kecepatan bagai kilat. Sehingga membuat jantung Pandan Wangi seakan hendak copot rasanya. Gadis itu benar-benar tidak kuasa membuka matanya. Dan matanya baru dibuka saat kakinya terasa menyentuh tanah. Saat Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya, Pandan Wangi langsung jatuh terguling. Cepat-cepat gadis itu melompat bangkit berdiri. Sementara Rajawali Putih sudah mendekam di depannya.

"Kau tidak perlu berbuat begitu, Rajawali. Aku bisa mengatasi mereka!" dengus Pandan Wangi sambil mengibaskan kotoran tanah yang melekat di bajunya.

"Khrrr...!"

"Sudah! Aku tidak mengerti apa yang kau katakan," sentak Pandan Wangi kesal.

Gadis cantik itu langsung mengedarkan pandangan berkeliling. Saat itu, keningnya jadi berkerut. Ternyata Rajawali Putih membawanya ke tempat yang belum dikenalnya sama sekali. Sebuah tempat sangat indah, bagaikan berada di dalam sebuah taman istana. Pandan Wangi tidak tahu, di mana kini berada. Yang jelas, dia seperti merasa tidak lagi berada di dalam wilayah Kerajaan Ringgading. Sebentar kemudian gadis itu sudah menatap Rajawali Putih yang masih mendekam dengan kepala agak tertunduk ke bawah.

"Di mana ini, Rajawali?" tanya Pandan Wangi.

Namun Rajawali Putih tidak menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Bahkan tiba-tiba saja sudah mengepakkan sayapnya, dan langsung melesat ke angkasa.

"Hei, tunggu...!" seru Pandan Wangi terkejut. Tapi Rajawali Putih sudah melambung tinggi, dan terus melesat cepat bagai kilat meninggalkan gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Sebentar saja, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah tidak terlihat lagi.

"Edan...! Apa maksudnya meninggalkan aku di sini...?" dengus Pandan Wangi menggerutu sendiri. "Huh!" Pandan Wangi tidak sempat lagi memikirkan sikap Rajawali Putih yang membuat kesal hatinya. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Kelopak matanya jadi menyipit begitu melihat sebuah bangunan kecil dari batu berbentuk puri, terletak di sudut dari taman ini.

"Hm..." Baru saja Pandan Wangi mengayunkan kakinya beberapa langkah hendak mendekati puri kecil itu, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan orang-orang berseragam prajurit Kerajaan Ringgading. Mereka langsung berlompatan, dan mengepungnya.

Sret!

Pandan Wangi langsung mencabut kipas mautnya, dan membukanya di depan dada. Sementara, lebih dari tiga puluh orang berpakaian seragam prajurit Kerajaan Ringgading sudah rapat mengepungnya dengan senjata tombak dan pedang terhunus.

Saat itu, dari dalam puri muncul seorang laki-laki berusia separuh baya, didampingi empat orang laki-laki tua. Semuanya mengenakan jubah warna kuning gading, dengan kepala gundul. Mereka langsung menghampiri Pandan Wangi yang sudah siap dengan kipas maut terkembang di depan dada.

"Kaukah Pandan Wangi yang berjuluk si Kipas Maut..?" tanya laki-laki separuh baya berpakaian indah merah muda dari bahan sutera halus, begitu dekat dengan gadis yang berjuluk si Kipas Maut.

"Benar," sahut Pandan Wangi singkat.

"Aku Prabu Gading Anom...."

"Oh..." Pandan Wangi baru menyadari kalau kini berada di dalam lingkungan Pertapaan Sangkalima. Cepat-cepat kipas mautnya ditutup lagi, dan langsung berlutut seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, begitu tahu kalau laki-laki separuh baya yang berada di depannya adalah Prabu Gading Anom. Dan belum lama gadis itu berlutut memberi sembah, Prabu Gading Anom sudah menyentuh pundaknya. Segera dibawanya si Kipas Maut itu berdiri lagi.

"Maafkan atas sambutan yang tidak enak ini, Nini Pandan," ucap Prabu Gading Anom.

"Ah...," Pandan Wangi hanya bisa mendesah saja. Pandan Wangi memang tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Sungguh tidak diketahuinya kalau Rajawali Putih membawanya ke Pertapaan Sangkalima. Dari Rangga, gadis itu tahu kalau Prabu Gading Anom sementara bersembunyi di pertapaan ini, selama Siluman Muka Kodok masih menguasai istananya.

"Kau datang tidak bersama Prabu Rangga, Nini Pandan?" tanya Prabu Gading Anom.

"Ada sedikit peristiwa yang membuat kami terpisah," sahut Pandan Wangi. Tanpa diminta lagi, si Kipas Maut menceritakan semua yang terjadi begitu dia dan Rangga sampai di Kotaraja Kerajaan Ringgading. Sementara, Prabu Gading Anom terangguk-angguk mendengarkan semua kejadian yang dialami sahabat-sahabatnya.

Bahkan Pandan Wangi juga menceritakan tentang kedatangan Patih Gandaraka dan prajurit-prajuritnya ke Karang Setra. Tapi, sekarang ini mereka semua sudah diterima baik. Bahkan tidak lagi harus berkemah di luar perbatasan. Atas perintah Rangga, Danupaksi mengatur tempat beristirahat untuk Patih Gandaraka dan para prajuritnya, sampai Siluman Muka Kodok terusir dari Istana Kerajaan Ringgading.

"Aku gembira mendengar Patih Gandaraka dan prajurit-prajuritku sudah aman di Karang Setra. Ah..., sulit sekali mengucapkan terima kasih pada Prabu Rangga," ucap Prabu Gading Anom.

"Demi persahabatan, aku dan Kakang Rangga sudah bertekad mengusir Siluman Muka Kodok. Bahkan kalau perlu, melenyapkan untuk selama-lamanya," tegas Pandan Wangi.

"Aku percaya kau dan Prabu Rangga pasti mampu mengalahkannya. Yaaah..., memang tidak ada lagi yang bisa kuharapkan selain kalian berdua. Kalian bukan saja orang utama di Karang Setra, tapi juga pendekar-pendekar muda yang tangguh dari digdaya. Rasanya, tidak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktian Prabu Rangga sekarang ini," puji Prabu Gading Anom.

"Ah...! Gusti Prabu terlalu berlebihan," desah Pandan Wangi, langsung memerah wajahnya, mendapat pujian tulus seperti itu.

"Aku tidak berlebihan. Tapi, ini memang kenyataan, Nini."

Pandan Wangi hanya bisa tersenyum saja. Sementara dia sendiri merasa bukanlah apa-apa bila saja tidak bersama-sama Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kepandaian yang dimiliki Pandan Wangi juga tidak bisa dikatakan rendah. Terlebih lagi, kalau sudah bertarung mengeluarkan Pedang Naga Geni. Kehadirannya bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Tidak sedikit tokoh persilatan yang mengaguminya. Dan memang, semua orang mengakui kalau Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut merupakan pasangan yang sangat pas. Mereka sama-sama masih muda, dan berkepandaian sangat tinggi.

Sementara Prabu Gading Anom mengajak si Kipas Maut berjalan-jalan di sekitar taman Pertapaan Sangkalima ini. Dan ajakan itu tidak bisa ditolak Pandan Wangi. Dia berjalan di samping kanan laki-laki separuh baya yang masih kelihatan gagah ini. Sementara, empat orang pertapa yang tadi menyertai Prabu Gading Anom keluar, sudah masuk lagi ke dalam puri. Bahkan para prajurit yang tadi sempat mengepung Pandan Wangi pun sudah tidak terlihat lagi. Kini di dalam taman itu hanya ada Pandan Wangi dan Prabu Gading Anom saja.

"Sunyi sekali di sini...," desah Pandan Wangi agak menggumam.

"Memang. Aku sengaja membuatnya sunyi agar Siluman Muka Kodok tidak curiga," sahut Prabu Gading Anom. "Aku juga tidak ingin ada perubahan yang menyolok di sini. Tempat ini sengaja kupertahankan seperti apa adanya."

"Berapa lama lagi Gusti Prabu akan tinggal di sini?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Secepatnya aku pergi dari sini, setelah Prabu Rangga bisa mengusir Siluman Muka Kodok dari istanaku," sahut Prabu Gading Anom.

"Rasanya Ringgading memiliki prajurit tangguh. Juga banyak jago silat tangguh berada di sini. Tapi, kenapa sampai tidak bisa menandingi Siluman Muka Kodok..?"

"Sudah berulangkali dicoba, tapi memang Siluman Muka Kodok sangat tangguh. Bukan hanya kepandaiannya saja yang sangat tinggi, tapi juga kebal terhadap segala jenis senjata. Dia juga sangat ganas. Setiap hari, selalu mengambil korban untuk disantap."

"Hanya iblis neraka yang bisa berbuat begitu," desis Pandan Wangi, gusar.

"Dia memang iblis, Nini Pandan. Entah datang dari mana, tahu-tahu sudah ada di istana. Bahkan membantai puluhan prajurit. Akibatnya juga, aku kehilangan banyak panglima dan jago silat istana. Dia hanya seorang diri, tapi kekuatannya melebihi seribu prajurit," kata Prabu Gading Anom.

"Hebat..." desis Pandan Wangi memuji dengan tulus. Tapi di balik pujiannya yang tulus, terselip rasa khawatir dalam hatinya. Gadis cantik ini takut kalau-kalau Rangga tidak sanggup menghadapinya seorang diri. Dari semua yang diceritakan Prabu Gading Anom tentang Siluman Muka Kodok, sudah bisa dinilai kalau kepandaiannya sangat tinggi. Bahkan Pandan Wangi juga sudah bisa mengukur kalau dirinya sendiri tidak akan sanggup menandingi. Tapi, apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu menandingi kesaktian yang dimiliki Siluman Muka Kodok...?

Kekhawatiran semakin dalam menyelimuti hari si Kipas Maut itu. Dia tahu, Rangga tadi meninggalkannya karena mengejar bayangan yang berkelebat cepat, keluar dari dalam rumah rakyat Ringgading. Dan dari cerita Prabu Gading Anom, Pandan Wangi sudah bisa menebak kalau bayangan yang dikejar Rangga pastilah Siluman Muka Kodok. Juga kepala dan kaki yang ada di luar rumah itu, pastilah salah satu korbannya. Mengingat itu, Pandan Wangi semakin diliputi kecemasan akan nasib Pendekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, hatinya begitu cemas. Dan ini tidak pernah dirasakan sebelumnya.

"Dewata Yang Agung..., lindungi Kakang Rangga dari bencana," desah Pandan Wangi dalam hati.

********************

TUJUH

Sementara itu Rangga sudah tiba di depan gerbang Istana Kerajaan Ringgading. Sekilas masih sempat terlihat kalau bayangan hitam yang dikejarnya menghilang setelah masuk ke dalam istana yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh ini. Pendekar Rajawali Sakti hendak melanjutkan pengejarannya, dan langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Diamatinya keadaan sekitar. Terasa sangat sunyi. Tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi, bagaikan berada di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas tak bertepi. Hanya desir angin saja yang terdengar, menggesek dedaunan.

"Patih Gandaraka mengatakan, Siluman Muka Kodok hanya seorang diri, Hm.... Bagaimanapun juga aku harus hati-hati. Mungkin banyak jebakan di sekitar istana ini," gumam Rangga berbicara sendiri.

Kembali Rangga merayapi keadaan sekitarnya. Sedikit pun tidak tampak adanya tanda-tanda jebakan di sekitar istana ini. Perlahan kakinya terayun beberapa tindak, mendekati pintu gerbang yang tertutup rapat. Pendekar Rajawali Sakti menggumam perlahan. Dan rasanya tidak mudah menjebol pintu gerbang yang terbuat dari besi baja ini. Kalaupun bisa, pasti akan menimbulkan keributan. Dan Siluman Muka Kodok dengan mudah bisa mengetahui kehadirannya.

"Aku harus melompati tembok ini," gumam Rangga dalam hati. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati ketinggian tembok batu yang mengelilingi bangunan istana ini. Beberapa saat kemudian...

"Hup!" Bagaikan kapas, Rangga melesat tinggi ke udara. Begitu indah dan ringan gerakannya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu manis sekali hinggap di bibir atas tembok.

"Ups...!" Cepat Rangga memalingkan mukanya sambil menutup hidung, begitu bau busuk langsung menyergap lubang hidungnya. Sungguh tidak sedap pemandangan di dalam lingkungan benteng istana ini. Tulang-tulang tengkorak manusia berserakan di mana-mana. Bahkan tidak sedikit mayat yang sudah membusuk bergelimpangan.

Siluman Muka Kodok benar-benar membuat keadaan Istana Ringgading menjadi tempat pembantaian manusia. Entah berapa ratus orang sudah menjadi korbannya. Luasnya halaman istana, dipenuhi tulang-tulang tengkorak dan mayat-mayat yang sudah membusuk menyebarkan bau tidak sedap.

"Hup!" Bau busuk yang sangat menusuk, membuat perut Rangga jadi bergolak mual hendak muntah. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti kembali melompat turun, namun jadi agak limbung begitu kakinya menjejak tanah. Bau busuk dari mayat-mayat yang berserakan di sekitar istana ini, membuat kepalanya jadi pening.

"Phuuuh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga menarik kakinya ke belakang menjauhi istana. ini. Sulit dipercaya dengan apa yang baru saja disaksikannya. Begitu banyak tulang tengkorak berserakan di ha-laman depan istana.

"Hhh! Tidak mungkin aku masuk ke sana. Bisa-bisa aku mati karena bau busuk...!" dengus Rangga dalam hati. "Hm..., apa akalku sekarang...?"

Rangga terus memutar otaknya, mencari jalan agar bisa mengusir Siluman Muka Kodok dari Istana Ringgading. Untuk masuk ke dalam, memang tidak mungkin lagi. Dia yakin, bukan hanya di halaman saja banyak tulang tengkorak dan mayat-mayat membusuk berserakan. Di dalam bangunan istana itu pasti juga sudah penuh mayat-mayat membusuk.

"Aku harus bisa memancingnya keluar. Hm, tapi bagaimana caranya...?"

kembali Rangga menggumam bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pikiran Pendekar Rajawali Sakti benar-benar terasa buntu saat ini. Tidak tahu lagi, bagaimana caranya bisa bertemu Siluman Muka Kodok. Tanpa disadari, kepalanya mendongak ke atas. Dan begitu melihat Rajawali Putih melayang memutari bangunan istana ini, bibirnya jadi menyunggingkan senyum.

"Suiiit...!" Rangga memanggil Rajawali Putih dengan siulannya.

"Khraaagkh...!" Rajawali Putih langsung meluruk turun dengan kecepatan bagai kilat. Sebentar saja burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah mendarat, tidak jauh di depan Rangga.

"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat naik ke punggung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

"Rajawali! Aku ingin kau bisa memancing Siluman Muka Kodok keluar dari istana," pinta Rangga.

"Khragkh..." Wusss!

Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung melesat naik ke angkasa. Hanya sekali saja sayapnya dikepakkan, sudah melambung sangat tinggi sekali. Dari atas, Rangga bisa melihat jelas keadaan dalam lingkungan benteng Istana Ringgading, tanpa khawatir terserang bau busuk dari mayat-mayat yang berserakan di dalam sana.

Memang benar dugaannya. Hampir di setiap pelosok sudah penuh oleh tulang-tulang tengkorak dan mayat-mayat yang sudah membusuk. Sepertinya, tidak ada lagi tempat kosong. Istana ini bagaikan sebuah kuburan terbuka, penuh terisi mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Tapi, sedikit pun tak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Walaupun sudah bersama Rajawali Putih di angkasa, tapi Rangga belum juga bisa mendapatkan cara untuk memancing Siluman Muka Kodok keluar. Dan hanya diamatinya saja setiap sudut dari Istana Ringgading ini. Sementara, Rajawali Putih terus berputar-putar mengelilingi istana ini.

"Ke bagian belakang, Rajawali.!" pinta Rangga dengan suara dikeraskan, karena angin di angkasa ini begitu kencang.

"Khraaagkh...!" Rangga menajamkan matanya begitu Rajawali Putih sudah sampai ke bagian belakang Istana Ringgading. Tapi, tidak ada yang bisa didapatkan juga di bagian belakang istana ini. Dan baru saja ingin memerintahkan Rajawali Putih ke bagian depan lagi, mendadak saja....

Slap!
"Awas...!"
"Khraaagkh...!"
"Hup...!"

Cepat sekali Rangga melesat sambil mengibaskan tangannya, begitu melihat secercah cahaya kuning kemerahan melesat cepat bagai kilat ke arahnya. Sementara, Rajawali Putih langsung mengepakkan sayapnya berusaha menghindari terjangan cahaya kuning kemerahan itu. Cahaya kuning kemerahan itu lewat di antara Rajawali Putih dan Rangga yang berputaran di udara sambil mengembangkan kedua tangan ke samping, bagai sepasang sayap burung.

"Khraaagkh...!"

Rangga terus meluncur ke bawah sambil berputaran karena berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Melihat hal ini, Rajawali Putih cepat sekali meluruk ke arah pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu. Namun belum juga sampai, mendadak saja kembali terlihat secercah cahaya kuning kemerahan meluruk deras ke arahnya.

"Khraaakgh...!" Rajawali Putih langsung menarik dirinya, menghindari terjangan cahaya kuning kemerahan itu. Sementara, Rangga terus meluruk deras ke bawah dengan tubuh berputaran. Meskipun sudah mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega, tapi tetap saja Pendekar Rajawali Sakti meluncur cepat ke bawah.

"Khraaakgh...!" Melihat Rangga sudah tidak bisa lagi menguasai keseimbangan dirinya, Rajawali Putih kembali meluruk cepat hendak menyambarnya. Dan pada saat itu, cahaya kuning kemerahan kembali terlihat melesat ke arah burung rajawali raksasa itu. Namun pada saat yang bersamaan, Rajawali Putih sudah dekat dengan Rangga.

"Awas, Rajawali...!" seru Rangga memperingatkan.

"Khrakgh,..!"

Tapi, Rajawali Putih tampaknya tidak mempedulikan peringatan Rangga, dan terus meluruk deras ke arahnya. Sehingga tanpa dapat dihindari lagi, cahaya kuning kemerahan itu tepat menghantam tubuhnya.

"Khreeeaaagkh..."

"Oh, tidaak...!" Rangga menjerit sekuat-kuatnya begitu Rajawali Putih terhantam cahaya kuning kemerahan yang melesat begitu cepat bagai kilat. Rajawali Putih menjerit keras sambil menggelepar di udara. Namun tanpa diduga sama sekali, burung raksasa berbulu putih keperakan itu masih bisa meluncur deras. Langsung disambarnya tubuh Rangga dengan cakarnya yang kuat dan kokoh.

"Khraaakgh...!"

Begitu berhasil menyambar tubuh Rangga yang melayang di udara, secepat kilat Rajawali Putih melesat naik ke angkasa. Dan pada saat itu, kembali secercah cahaya kuning kemerahan meluncur cepat bagai kilat ke arah burung rajawali raksasa itu.

"Hiyaaa...!"
Sret!
Cring!

Rangga tidak ingin cahaya kuning kemerahan itu menghantam tubuh Rajawali Putih lagi. Dengan cepat sekali, pedang pusakanya dicabut, dan langsung dikibaskan untuk menangkis cahaya kuning kemerahan itu.

Trang!
Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar seketika terdengar disertai percikan api yang menyebar ke segala arah, begitu pedang di tangan Rangga beradu dengan cahaya kuning kemerahan yang keluar dari dalam Istana Ringgading ini. Tampak Rajawali Putih jadi oleng terbangnya. Namun cepat sekali bisa menguasai keseimbangan dirinya. Dan dengan kecepatan bagai kilat, dia meluncur deras sambil membawa Rangga pada cakarnya, menjauhi bangunan istana yang sudah tidak terawat dan dipenuhi tulang tengkorak serta mayat-mayat membusuk itu.

********************

"Hup...!" Rangga langsung memutar tubuhnya begitu Rajawali Putih melepaskan cengkeraman cakarnya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah yang berumput cukup tebal ini. Sementara itu, Rajawali Putih langsung jatuh tergeletak di tanah. Tampak dari paruhnya mengeluarkan darah kental agak kehitaman.

"Rajawali...." Rangga bergegas menghampiri burung tunggangannya. Tampak jelas kalau Rajawali Putih terluka dalam yang cukup parah, akibat terkena serangan sinar kuning kemerahan tadi. Dan pada bagian dada, kelihatan menghitam seperti terbakar. Rangga cepat-cepat memberi totokan beberapa kali di sekitar bulatan hitam di dada Rajawali Putih.

"Apa yang kau rasakan rajawali?" tanya Rangga dengan nada dipenuhi kecemasan.

"Khrrrkh...!"

Rajawali Putih hanya mengkirik lirih. Kepalanya menggeletak di tanah. Sedangkan sinar matanya kelihatan begitu redup. Darah masih terlihat memenuhi paruhnya, walaupun tidak mengalir lagi seperti tadi.

"Bertahanlah, Rajawali. Aku akan mencoba menyembuhkan luka dalammu," ujar Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung duduk bersila di depan Rajawali Putih. Kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Perlahan kedua kelopak matanya mulai terpejam. Sementara, Rajawali Putih masih tetap menggeletak dengan kepala terkulai lemas di tanah. Kedua sayapnya terkembang lemas. Burung raksasa itu benar-benar bagai tidak memiliki kekuatan lagi, akibat luka dalam yang diderita.

"Hap!" Begitu kedua kelopak matanya terbuka, Rangga langsung menempelkan kedua telapak tangan, tepat di dada Rajawali Putih. Tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari tangan pemuda itu. Rajawali Putih mengkirik lirih sambil menggeliat. Darah kembali mengucur dari paruhnya yang terbuka. Sementara, Rangga terus menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh burung rak-sasa ini.

"Hhh!" Begitu besarnya hawa murni yang harus disalurkan, membuat seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti basah bersimbah keringat. Tampak jelas kalau tubuhnya mulai menggeletar. Kerut-kerut di keningnya semakin terlihat banyak, dan kelopak matanya pun mulai menyipit. Sementara, asap yang mengepul dari sela-sela jari tangannya semakin terlihat menebal. Namun, Rangga seperti tidak peduli. Meskipun harus mengerahkan seluruh kemampuannya, dia terus menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh Rajawali Putih.

"Khraaagkh...!"

Tiba-tiba saja Rajawali Putih mengangkat kepalanya, dan seketika itu juga melesat sambil mengeluarkan suara sangat keras. Dan pada saat itu juga, tampak Rangga terpental sejauh dua batang tombak disertai pekikan keras yang melengking.

"Aaakh...!"

Sebatang pohon yang sangat besar seketika hancur berkeping-keping terlanda punggung Pendekar Rajawali Sakti. Tampak Rangga jatuh bergulingan beberapa kali, namun cepat duduk bersila. Beberapa kali kedua tangannya digerakkan di depan dada. Lalu sambil menahan napas, kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada.

Sementara, Rajawali Putih kembali mendarat di tanah. Burung raksasa berbulu putih keperakan itu memuntahkan darah kental dari paruhnya. Dia mendekam memandangi Rangga yang tengah bersemadi untuk mengembalikan tenaganya, setelah terkuras akibat pengerahan hawa murni yang begitu besar ke dalam tubuh Rajawali Putih.

"Ugkh....! Hoeeekh...."

Rangga memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dan saat itu juga, dia jatuh terkulai. Keringat semakin banyak membanjiri tubuhnya. Namun sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti kembali bangkit dengan napas tersengal memburu. Sedangkan Rajawali Putih segera menyorongkan kepalanya.

"Khrrr...! "

"Aku tidak apa-apa, Rajawali," ujar Rangga seraya tersenyum. "Bagaimana denganmu?" Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepala sambil mengkirik perlahan. Senyuman di bibir Rangga semakin terlihat lebar. Dia tahu, Rajawali Putih sudah sembuh dari luka dalamnya, meskipun hampir mengorbankan dirinya tadi. Untung saja Rajawali Putih tadi cepat melesat, sehingga penyaluran hawa murni yang berlebihan bisa dihentikan. Kalau tidak..., mungkin saat ini Rangga sendiri sudah tergeletak tak bernyawa lagi.

"Uh..." Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga bangkit berdiri. Seluruh tubuhnya terasa lemas sekali. Dia benar-benar telah begitu banyak kehilangan tenaga. Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang membanjiri leher.

Sementara, Rajawali Putih terus mendekam memandangi pemuda itu. Di paruhnya yang besar, masih terlihat sisa-sisa darah melekat.

"Aku akan bersemadi dulu, Rajawali," kata Rangga sambil melangkah, mendekati sebongkah batu besar yang bagian atasnya datar.

"Khrrr...!"

Rangga naik ke atas batu itu, kemudian duduk bersila dan mengambil sikap bersemadi. Kedua telapak tangannya diletakkan di atas lututnya yang tertekuk. Perlahan kemudian pernafasannya mulai diatur. Lalu, kelopak matanya mulai terpejam. Sedangkan Rajawali Putih tetap mendekam menunggui. Jelas terlihat kalau kelopak mata burung raksasa itu juga terpejam. Sepertinya, Rajawali Putih juga melakukan semadi seperti yang sedang dilakukan pemuda yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.

********************

Semalaman penuh, Rangga dan Rajawali Putih bersemadi untuk memulihkan kekuatan tubuh. Dan di saat matahari menampakkan diri di ufuk Timur, mereka baru bangun dari semadi. Rangga segera melompat turun dari atas batu tempat bersemadi, dan menghampiri Rajawali Putih yang sudah berdiri di atas kedua kakinya yang besar dan sangat kokoh.

"Kau kelihatan segar sekali pagi ini, Rajawali," kata Rangga diiringi senyuman tebar.

"Khragkh...!"

Rajawali Putih menyambutnya dengan cerah. Kepalanya diangguk-anggukkan sambil mengepakkan sayapnya yang lebar. Rangga menepuk leher burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu, kemudian memeluknya dengan hangat. Pagi ini, mereka memang sudah benar-benar pulih seperti semula. Wa-laupun semalaman harus bersemadi, tapi sedikit pun tidak terlihat adanya kelelahan di wajah mereka berdua.

"Kakang... "

"Heh...?!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya. Cepat-cepat tubuhnya berbalik. Tampak Pandan Wangi berlari-lari kecil menghampiri. Sedangkan Rangga melangkah beberapa tindak ke depan. Pandan Wangi baru berhenti setelah dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Nafasnya terlihat terengah-engah, dan keringat membanjiri lehernya yang jenjang dan putih. Seakan-akan, gadis cantik yang dijuluki si Kipas Maut itu baru saja berlari jauh sekali.

"Aku cari ke mana-mana, tidak tahunya ada di sini," ujar Pandan Wangi setelah bisa mengatur jalan pernafasannya.

"Semalaman aku ada di sini," sahut Rangga.

"Kakang..., aku sudah bertemu Prabu Gading Anom," kata Pandan Wangi langsung memberi tahu.

"Oh, ya...? Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga.

"Sehat Prabu Gading Anom juga menitipkan salam untukmu. Dia mengharapkan sekali kau bisa mengusir Siluman Muka Kodok dari istana," jelas Pandan Wangi.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang, dan terasa sangat berat. Pandangannya langsung tertuju ke depan, ke arah Istana Ringgading. Kemarin, Pendekar Rajawali Sakti sudah mencoba menyusup masuk ke istana itu. Tapi yang didapat, hampir saja dirinya dan Rajawali Putih terbunuh, Sedangkan keadaan di sekitar istana sekarang ini..., rasanya Rangga tidak akan sanggup mengatakan keadaan di dalam istana itu. Mayat-mayat yang sudah membusuk dan menyebarkan bau yang tidak sedap, membuat perut Pendekar Rajawali Sakti jadi bergolak hendak muntah. Rasanya tidak ada seorang pun yang akan sanggup menghalau bau busuk dan mayat-mayat yang berserakan memenuhi semua bagian istana.

"Aku dapat pesan dan Prabu Gading Anom, kau ditunggu di depan istana," kata Pandan Wangi memberi tahu.

"Heh...?! Mau apa Prabu Gading Anom ke sana...?" tanya Rangga tersentak kaget.

"Mau menyerang Siluman Muka Kodok," sahut Pandan Wangi kalem.

"Huh! Dia bukan manusia sembarangan, Pandan" dengus Rangga.

"Tapi sebelum matahari terbit tadi, Prabu Gading Anom sudah berangkat dari Pertapaan Sangkalima bersama para prajuritnya. Dan sekarang ini pasti sudah sampai di istana, Kakang," jelas Pandan Wangi lagi. "Katanya, dia sudah terlalu banyak mengor-bankan orang tak berdosa pada Siluman Muka Kodok. Dan dia tak mau lagi mengorbankan orang sepertimu, yang sudah begitu baik padanya. Maaf, Kakang. Aku tidak bisa mencegah."

Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Sementara, Pandan Wangi masih tetap berdiri diam memandangi. Dan Rangga juga memandangi gadis itu dengan sinar mata sangat dalam.

"Ayo cepat, Pandan. Aku tidak punya waktu lagi untuk membujukmu," kata Rangga, meminta Pandan Wangi cepat-cepat naik ke punggung Rajawali Putih. Sebentar, Pandan Wangi masih kelihatan ragu-ragu.

"Ayo cepat, Pandan...," desak Rangga tidak sabar.

"Baik. Hup...!" Dengan memantapkan hati, Pandan Wangi melompat naik ke punggung burung raksasa berbulu putih keperakan ini dan langsung duduk di depan Rangga. Rajawali Putih segera melesat ke angkasa begitu Rangga menepuk lehernya tiga kali. Seketika Pandan Wangi cepat-cepat memejamkan mata, dan saat itu juga jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Namun, Rajawali Putih terus melesat dengan kecepatan sangat tinggi.

"Ke istana, Rajawali...!" pinta Rangga.

"Khraaagkh...!"

********************

DELAPAN

Dari angkasa, terlihat jelas sekali kalau prajurit-prajurit Ringgading tengah menggempur seseorang yang berbaju hitam ketat. Namun, tampaknya orang itu tidak gentar sama sekali. Bahkan gerakan-gerakannya cepat sekali, sehingga bisa memporak-porandakan gempuran prajurit-prajurit itu. Jerit dan pekik melengking tinggi terdengar saling sambut, disertai berjatuhannya para prajurit Ringgading.

Sementara, di luar ajang pertarungan yang tidak seimbang itu, terlihat Prabu Gading Anom seperti gelisah melihat prajurit-prajuritnya tidak mampu menghadapi orang berpakaian serba hitam. Malah semakin banyak pula prajurit Ringgading yang ambruk tak bernyawa lagi, dengan luka menganga mengeluarkan darah di tubuh.

"Cepat turun, Rajawali!" perintah Rangga.

"Khraaagkh...!"

Bagaikan kilat, Rajawali Putih menukik turun. Tujuannya langsung ke tengah-tengah ajang pertarungan.

"Menyingkir kalian semua...!" seru Rangga sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Teriakan Rangga yang begitu keras menggelegar bagai guntur, membuat prajurit-prajurit Ringgading jadi tersentak kaget. Dan seketika itu juga, mereka berlompatan mundur begitu melihat seekor burung rajawali raksasa menukik sangat cepat bagai kilat. Dan di saat Rajawali Putih hampir mencapai tanah, cepat sekali Rangga melompat turun.

"Hup! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Pandan Wangi juga langsung melompat turun. Sementara, Rajawali Putih kembali melambung tinggi ke angkasa. Beberapa kali pendekar-pendekar muda dari Karang Setra itu berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat tepat sekitar tiga batang tombak di depan laki-laki berbaju serba hitam.

"Ohh...?!" Pandan Wangi langsung tersedak begitu melihat wajah orang itu. Bukan wajah manusia yang terlihat, tapi wajah yang sangat mirip dengan kodok. Bahkan seluruh kulit tubuhnya juga tidak jauh berbeda dengan binatang yang hidup di dua alam itu. Benar-benar mengerikan! Kedua bola matanya yang merah, langsung menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri agak ke depan dari Pandan Wangi.

"Menjauhlah, Pandan," pinta Rangga dengan suara ditekan agak dalam.

"Hati-hati, Kakang. Kelihatannya dia sangat ganas," kata Pandan Wangi memperingatkan.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit. Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kaki ke depan perlahan-lahan, namun mantap.

Sementara, Pandan Wangi bergerak menyingkir mendekati Prabu Gading Anom. Raja Ringgading itu kini sudah turun dari punggung kudanya, begitu melihat Rangga dan Pandan Wangi datang bersama seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan.

Kini jarak antara Rangga dan Siluman Muka Kodok tinggal sekitar satu batang tombak lagi. Sedikit Rangga memalingkan muka, karena tidak tahan dengan bau busuk yang menyebar dari dengusan napas Siluman Muka Kodok itu. Setiap hembusan nafasnya memperdengarkan suara menggorok seperti seekor katak.

"Ghrogkh! Siapa kau, Anak Muda?" terdengar sangat berat suara Siluman Muka Kodok. Bahkan hampir tidak jelas kata-katanya di telinga.

"Aku Rangga, yang akan mengusirmu dari Ringgading," sahut Rangga tegas.

"Ghrogkh! Ghrooogkh...! Sia-sia saja, Anak Muda. Kau hanya datang mengantarkan nyawa seperti yang lain."

"Lihat saja nanti. Kau atau aku yang akan lebih dulu menghuni lubang kubur."

"Ghrooogkh...!" Siluman Muka Kodok seperti marah mendengar tantangan terbuka dari Pendekar Rajawali Sakti. Kedua bola matanya yang merah, semakin terlihat membara, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Perlahan tubuhnya yang berkulit hitam dan kasar penuh benjolan itu bergerak membungkuk. Namun, sorot matanya masih tetap tajam menatap Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrooogkh...!" Diiringi suara menggorok keras, bagaikan kilat Siluman Muka Kodok melompat sambil menjulurkan kedua tangannya ke depan. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Rangga jadi terhenyak sesaat

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara, sehingga terjangan Siluman Muka Kodok hanya lewat di bawah kakinya. Tapi tanpa diduga sama sekali, dengan kecepatan tinggi, Siluman Muka Kodok berbalik dan langsung melesat ke udara. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Ups...!" Rangga sempat juga terhenyak kaget. Dan manis sekali tubuhnya meliuk menghindari serangan Siluman Muka Kodok yang sangat cepat luar biasa.

"Hiyaaa...!"

Begitu pukulan Siluman Muka Kodok lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Rangga meliukkan tubuhnya ke samping. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek dari jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.

"Ghrogkh...!" Namun, Siluman Muka Kodok memang sangat luar biasa kecepatan geraknya. Hanya sedikit saja meliukkan tubuhnya, serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti berhasil dihindarinya.

"Hap...!" Saat serangannya tidak mencapai sasaran, Rangga cepat-cepat meluruk ke bawah. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah. Tepat pada saat itu, Siluman Muka Kodok sudah mendarat juga dengan indah sekali.

"Ghrogkh...!" Belum juga Rangga bisa melakukan sesuatu, Siluman Muka Kodok sudah kembali melesat dengan kecepatan sangat tinggi. Kedua tangannya terjulur ke depan dengan jari-jari terkembang kaku, siap menerkam Pendekar Rajawali Sakti

"Hap! Yeaaah...!"

Sedikit Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan begitu terkaman Siluman Muka Kodok berhasil dihindari, cepat sekali tangan kirinya dikibaskan. Langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah perut, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Kali ini serangan Pendekar Rajawali Sakti memang sangat cepat luar biasa. Akibatnya, Siluman Muka Kodok tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, saat itu tubuhnya tengah doyong ke depan dan seluruh perhatiannya tertumpah pada serangan yang gagal.

Begkh!
"Ghraaagkh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga benar-benar tidak lagi membuang-buang kesempatan. Begitu tubuh Siluman Muka Kodok terbungkuk akibat sodokan tangan kiri yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi pada perut, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat sekali serangan yang dilakukan Rangga kali ini, sehingga....

Diegkh!
"Aaargkh...!"

Siluman Muka Kodok meraung keras menggelegar begitu wajahnya yang buruk terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang keras sekali. Akibatnya, dia jadi terdongak ke atas dan terhuyung ke belakang. Dan pada saat itu juga, Rangga cepat sekali melepaskan satu pukulan keras menggeledek dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir. Begitu sempurna jurus mautnya, sehingga kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti jadi berwarna merah bagai sebatang besi terbakar di dalam tungku.

"Hiyaaa...!"
Plak!
"Aaargkh...!"

Untuk kedua kalinya, Siluman Muka Kodok meraung keras menggelegar. Pukulan yang dilepaskan Rangga dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkatan terakhir, tepat menghantam dada. Dan akibatnya, laki-laki berwajah seperti seekor katak itu terpental jauh ke belakang. Beberapa batang pohon hancur seketika, begitu terlanda tubuhnya yang terus meluncur deras bagai anak panah terlepas dari busur.

"Hiyaaat..!"

Belum juga tubuh Siluman Muka Kodok berhenti, Rangga sudah melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat sempurna. Tapi tanpa diduga sama sekali, begitu Rangga melepaskan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, mendadak saja Siluman Muka Kodok memutar tubuhnya. Padahal saat itu tubuhnya masih melayang deras di atas permukaan tanah.

"Ghrogkh!"
"Ups...! Yeaaah...!"

Hampir saja sodokan kaki Siluman Muka Kodok mendarat di dada, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat melenting dan berputaran di udara, menghindari sodokan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.

"Hap!" Manis sekali Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah.

Sementara, Siluman Muka Kodok sudah lebih dulu mendarat indah dan ringan sekali, walaupun tadi beberapa kali mendapatkan serangan-serangan telak dari Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali tubuhnya terkena pukulan dahsyat dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir, tapi sedikit pun tidak berpengaruh apa-apa. Dan ini membuat Rangga jadi berkerut keningnya. Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya kalau pukulan dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir tidak berpengaruh sama sekali terhadap lawan.

Padahal, biasanya tidak ada seorang lawan pun yang sanggup bertahan jika sudah terkena pukulan dahsyat itu. Atau paling tidak, lawan akan menderita luka dalam yang sangat parah. Tapi, Siluman Muka Kodok kini masih terlihat berdiri tegak dengan tegar sekali. Bahkan bekas-bekas pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tadi juga sama sekali tidak terlihat.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan.

Cring!

"Heh...?!" Rangga sempat terkejut ketika Siluman Muka Kodok mengeluarkan senjatanya yang tadi sama sekali tidak terlihat. Senjata itu bagaikan keluar dari dalam perutnya saja. Sebuah senjata tongkat berukuran pendek, tapi pada kedua ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan.

Bet! Bet!

Begitu Siluman Muka Kodok mengebutkan tongkatnya beberapa kali, dari kedua ujungnya yang bulat terlihat mengeluarkan cahaya kuning kemerahan. Sesaat Rangga jadi terkesiap. Dia tahu, cahaya itulah yang sempat melukai Rajawali Putih. Itu terjadi saat dia dan Rajawali Putih tengah mengamati keadaan Istana Ringgading dari angkasa.

"Ghrooogkh...!" Bet!

Sambil mengeluarkan suara menggorok yang sangat keras, Siluman Muka Kodok melompat cepat bagai kilat. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Cahaya kuning kemerahan yang memancar dari ujung tongkat berbentuk bulat sebesar kepalan tangan orang dewasa itu jadi berubah memanjang, bagaikan sepasang mata pedang kembar yang memancarkan cahaya kuning kemerahan.

"Haiiit...!"

Cepat-cepat Rangga menundukkan kepalanya, menghindari serangan senjata aneh Siluman Muka Kodok. Lalu bergegas dia melompat ke belakang sejauh beberapa langkah.

Tapi, Siluman Muka Kodok tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk mengatur perlawanan. Begitu serangan pertamanya dapat digagalkan, dengan cepat sekali kembali dilakukan serangan-serangan beruntun dan sangat cepat.

Akibatnya Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan-serangan yang datang beruntun dan sangat cepat luar biasa.

Wuk!
"Hup! Hiyaaat...!"

Tepat di saat tongkat Siluman Muka Kodok berkelebat mengarah ke kaki, cepat sekali Rangga melenting ke udara. Dan tubuhnya berputaran dua kali, sebelum kakinya kembali menjejak tanah. Saat itu juga, tangan kanannya sudah memegang gagang Pedang Rajawali Sakti yang masih tersimpan dalam warangkanya di punggung.

"Ghrokh...!"
Bet!
"Hiyaaa...!"
Sret!
Wuk!

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusakanya, tepat begitu Siluman Muka Kodok membabatkan tongkatnya dengan kecepatan tinggi sekali. Rangga langsung saja mengebutkan pedangnya, menangkis serangan tongkat yang ujungnya memancarkan cahaya kuning kemerahan. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga benturan dua senjata yang sangat dahsyat tidak dapat dielakkan lagi. Dan....

Trang!
Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar seketika terjadi, begitu dua senjata berpamor dahsyat beradu. Tampak Rangga dan Siluman Muka Kodok sama-sama terpental ke belakang, sejauh satu batang tombak.

"Hep!" Rangga langsung menyilangkan pedang di depan dada, begitu kakinya menjejak tanah dengan manis sekali. Cahaya biru menyilaukan mata yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti bagaikan hendak menutupi seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu, Siluman Muka Kodok sudah memutar-mutar tongkatnya sambil mendengus-dengus berat. Suaranya terdengar menggorok, bagai orang tengah tidur mendengkur.

"Haaap...!" Rangga segera menggosok mata pedang dengan telapak tangan kirinya. Saat itu juga, aji 'Cakra Buana Sukma' dikerahkan. Sebuah ilmu kedigdayaan yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya sampai saat ini. Tampak cahaya biru yang memancar dari pedang itu langsung menggumpal membentuk bulatan di ujungnya, begitu telapak tangan kiri berada di pangkal pedang.

"Ghraaaugkh...!"

"Aji Cakra Buana Sukma. Hiyaaa...!"

Secara bersamaan mereka melompat ke depan sambil mengerahkan ilmu kedigdayaan yang sangat dahsyat. Tampak Rangga mengayunkan pedangnya, tepat di saat Siluman Muka Kodok juga mengayunkan tongkatnya ke depan. Saat itu juga dua sinar yang saling berlawanan meluruk deras sekali, hingga bertemu di tengah-tengah. Dan....

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar dan sangat dahsyat kembali terjadi. Saat itu, terlihat Siluman Muka Kodok terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Bahkan sampai jatuh terguling beberapa kali sambil mengeluarkan raungan keras dan menyakitkan telinga.

Sementara itu, Rangga hanya terdorong dua langkah saja, lalu kakinya kembali menjejak tanah dengan manis sekali. Pedangnya juga langsung disilangkan di depan dada.

"Ghraaaugkh...!" Sambil menggerung keras, Siluman Muka Kodok kembali melompat bangkit. Dan saat itu, cahaya kuning kemerahan tidak lagi terlihat memancar dari ujung-ujung tongkatnya yang berbentuk bulat sebesar kepalan tangan. Terlihat dari sudut bibirnya mengalirkan darah kental berwarna kehitaman. Sorot matanya begitu tajam tertuju langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya, sinar mata itu memancarkan dendam yang sangat mendalam.

"Ghrogkh! Kau akan menyesal, Anak Muda!" terasa sangat dingin dan berat suara Siluman Muka Kodok.

Sedangkan Rangga hanya menghembuskan napas saja.

"Tunggu pembalasanku, Anak Muda! Ghrogkh...!" Selesai berkata demikian, tiba-tiba saja Silu-man Muka Kodok berputar cepat sekali. Dan saat itu juga, seluruh tubuhnya terselubung asap yang sangat tebal. Saat asap itu menghilang tertiup angin, tahu-tahu Siluman Muka Kodok sudah lenyap tak berbekas sama sekali.

Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi terkejut. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti berlari menghampiri, tapi Siluman Muka Kodok benar-benar sudah menghilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun juga.

"Ke mana dia, Kakang...?" Tahu-tahu Pandan Wangi sudah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga berpaling sedikit. Sebentar dipandangnya gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu, kemudian beralih pada Prabu Gading Anom yang juga sudah berada di dekatnya.

"Dia sudah pergi," sahut Rangga.

"Apakah dia akan kembali lagi?" tanya Prabu Gading Anom.

"Aku tidak tahu," sahut Rangga seraya mengangkat pundaknya. "Tapi tampaknya dia sangat dendam padaku."

"Itu sangat berbahaya, Prabu Rangga," sambut Prabu Gading Anom.

Rangga hanya diam saja. Dipandanginya tanah tempat Siluman Muka Kodok menghilang, setelah seluruh tubuhnya terselubung asap tebal tadi. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti berdiri mematung, dengan bibir terkatup rapat dan mata menatap lurus tak berkedip ke tanah yang masih sedikit mengepulkan asap.

Sementara, Prabu Gading Anom sudah memerintahkan prajurit-prajuritnya masuk ke dalam istana. Tapi begitu pintu gerbang terbuka, prajurit-prajurit itu langsung berlompatan mundur. Bau busuk seketika menyergap hidung, membuat perut mereka bergolak hendak muntah. Prabu Gading Anom cepat-cepat memerintahkan menutup pintu gerbang kembali.

"Gila! Apa yang dilakukannya di istanaku...?" desis Prabu Gading Anom.

Sementara Rangga hanya memandangi Raja Ringgading. Dan sebenarnya, dia sudah ingin memberi tahu. Tapi rupanya, Prabu Gading Anom sudah keburu memerintahkan prajuritnya membuka pintu gerbang masuk ke istana. Dan kini, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Pandan Wangi.

"Ayo kita pergi," ajak Rangga.

"Tapi..." Pandan Wangi ingin menolak, tapi Rangga sudah mencekal pergelangan tangannya. Dan sebelum bisa berbuat sesuatu, Rangga sudah melesat begitu cepat sambil menyeret Pandan Wangi. Sehingga, membuat si Kipas Maut itu terpaksa harus mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Sementara, Prabu Gading Anom masih mengumpat dan memaki-maki, melihat istananya kini sudah penuh tengkorak dan mayat-mayat yang menyebarkan bau busuk. Benar-benar tidak disadari kalau Rangga dan Pandan Wangi sudah meninggalkannya.

Ke manakah Rangga dan Pandan Wangi pergi? Bagaimana dengan ancaman Siluman Muka Kodok, yang akan mengadakan pembalasan pada Pendekar Rajawali Sakti? Tentunya dia tidak main-main dengan ancaman tersebut!

Nah, para pembaca yang ingin tahu kisah pembalasannya, silakan ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Tujuh Mata Dewa

S E L E S A I

Siluman Muka Kodok

Pendekar Rajawali Sakti

SILUMAN MUKA KODOK


SATU
HARI masih terlalu pagi. Matahari juga belum menampakkan diri. Hanya bias cahayanya saja yang mencuat di balik puncak gunung sebelah timur. Namun begitu, suasana alam sudah diramaikan oleh kicauan burung yang mencari makan, setelah semalaman harus menahan lapar. Di kaki Gunung Lanjaran, terlihat serombongan orang berkuda menyusuri jalan setapak.

Dari pakaian dan umbul-umbul yang dibawa oleh seorang penunggang kuda paling depan, sudah bisa dipastikan kalau mereka adalah sepasukan prajurit sebuah kerajaan. Sebuah lambang yang tertera pada umbul-umbul, memperjelas kalau mereka dari Kerajaan Ringgading, yang terletak di daerah Selatan. Entah apa tujuan mereka sehingga terlihat berada di kaki Gunung Lanjaran yang berada di daerah Utara ini.

"Hooop...!" Tiba-tiba saja, seorang prajurit yang berkuda paling depan mengangkat tinggi-tinggi ke atas kepala, bendera umbul-umbul yang dibawanya sambil berteriak keras. Suaranya sampai terdengar ke barisan paling belakang. Maka seketika itu juga, rombongan berkuda itu berhenti bergerak. Tampak seorang penunggang kuda berpakaian patih, memacu cepat kudanya dari bagian tengah menuju ke depan. Kemudian prajurit pembawa lambang kerajaan, memberi hormat begitu patih itu sudah berada dekat di sebelah kanannya.

"Ada apa, Prajurit?" tanya patih itu dengan suara besar dan berwibawa.

"Ampun, Gusti Patih Gandaraka. Sekilas tadi, hamba melihat sebuah bayangan berkelebat memotong jalan di depan," sahut prajurit itu dengan sikap hormat. "Di mana?" tanya Patih Gandaraka sambil mengarahkan pandangannya ke depan.

"Se...." Belum juga prajurit yang masih muda itu bisa meneruskan jawabannya, tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya. Begitu cepatnya melesat, sehingga prajurit pembawa lambang kerajaan itu tidak sempat lagi menghindari. Dan....

Crab! "Aaa...!"

"Siaga...!" teriak Patih Gandaraka dengan suara keras menggelegar.

Sret! Cring!

Semua prajurit langsung mencabut senjata masing-masing. Sementara seorang prajurit pembawa umbul-umbul lambang kerajaan, sudah menggeletak tewas di samping kudanya. Sebatang anak panah tampak menembus lehernya. Darah mengucur deras dari lubang di leher yang tertembus anak panah.

Sementara, Patih Gandaraka sudah melompat turun dari punggung kudanya, diikuti sekitar dua puluh orang prajurit berpangkat punggawa. Dan mereka semua sudah menghunus pedang masing-masing. Seketika keadaan menjadi sunyi sekali, seperti berada di tengah-tengah hutan lebat dan tidak berpenghuni. Hanya desir angin saja yang terdengar, mempermainkan dedaunan yang saling bergesekan.

Patih Gandaraka segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedikit pun tak terlihat tanda-tanda ada orang bersembunyi di balik lebatnya pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di kaki Gunung Lanjaran ini. Namun mendadak saja....

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!" Srak!

Dari balik pepohonan dan Semak belukar seketika bermunculan orang-orang berpakaian seragam serba hitam, dengan kepala terselubung kain hitam pula. Hanya bagian mata dan mulut saja yang terlihat, karena adanya dua lubang di bagian mata dan satu lubang pada bagian mulut. Begitu cepat kejadian itu. Sehingga dalam waktu sebentar saja, prajurit-prajurit Kerajaan Ringgading sudah terkepung oleh sekitar seratus orang berpakaian serba hitam itu. Bahkan para pengepung sudah menggenggam pedang terhunus yang berkilatan di depan dada.

Saat itu, Patih Gandaraka menarik kakinya ke belakang, mendekati para prajuritnya yang sejak tadi sudah bersiaga penuh. Pandangan mata patih itu tertuju lurus pada seseorang yang juga berbaju hitam gelap dan ketat, walaupun sedikit berbeda dari yang lain. Pada bagian tengah dadanya, terdapat sebuah sulaman benang emas, bergambar sebuah lingkaran dan gambar bintang di bagian tengahnya.

Senjatanya juga bukan pedang seperti yang lain, tapi sebatang tongkat berwarna putih keperakan sepanjang lengan yang tergenggam di tangan kanannya. Pada kedua ujung tongkat itu berbentuk bintang bersegi lima yang ujung-ujungnya sangat runcing.

Patih Gandaraka menduga kalau orang itu adalah pemimpinnya. Ini bisa dilihat dari senjata dan pakaiannya yang berbeda dengan yang lain. Kini orang itu melangkah beberapa tindak, mendekati Patih Gandaraka yang berdiri di depan para prajuritnya.

"Kau pemimpinnya...?" terdengar sangat berat suara orang bertongkat putih keperakan yang kedua ujungnya berbentuk bintang bersegi lima itu, seraya menunjuk Patih Gandaraka dengan satu ujung tongkatnya.

"Benar," sahut Patih Gandaraka, tegas. "Aku Patih Gandaraka dari Kerajaan Ringgading. Dan kau sendiri, apakah juga pemimpin mereka semua?"

"Tidak salah. Akulah pemimpin mereka. Tapi, masih ada pemimpin yang lebih tinggi lagi. Dan aku selalu dipanggil dengan julukan si Tongkat Bintang Perak."

"Hm.... Julukan yang bagus," gumam Patih Gandaraka, memuji tulus.

"Patih Gandaraka! Kau jauh-jauh datang ke wilayah Utara ini bersama sepasukan prajurit?" tanya si Tongkat Bintang Perak, masih dengan suara besar dan menggetarkan.

"Maaf! Kami mendapat tugas penting dan sangat rahasia dari junjungan kami yang bernama Gusti Prabu Gading Anom. Jadi, tujuan kami semua datang ke wilayah Utara ini tidak bisa dijelaskan. Dan perlu kau ketahui, kami hanya lewat saja di kaki gunung ini. Sebenarnya, bukan di sini tujuan kami," sahut Patih Gandaraka, mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Kau tahu, Patih?! Di sekitar Gunung Lanjaran ini tidak ada yang lebih berkuasa, selain junjungan kami. Maka tidak ada seorang pun yang boleh lewat begitu saja di sini, kecuali membayar upeti kepada kami.. Kau mengerti maksudku, Patih,..?" lantang sekali suara si Tongkat Bintang Perak.

"Hm.,.," Patih Gandaraka menggumam perlahan. Kening patih itu jadi berkerut. Sedangkan kelopak matanya menyipit, menatap dengan sinar cukup tajam ke bola mata orang di depannya yang mengaku sebagai pemimpin orang-orang berseragam hitam itu. Walaupun dari suaranya sudah jelas laki-laki, tapi wajahnya memang sulit dikenali. Hanya kedua mata dan mulutnya saja yang terlihat, karena seluruh wajahnya tertutup kain hitam.

Patih Gandaraka bisa memahami arti kata-kata orang berbaju serba hitam yang mengaku berjuluk si Tongkat Bintang Perak. Dan tentu saja, permintaan itu tidak bisa dianggap main-main. Apalagi, kemunculan mereka begitu tiba-tiba. Bahkan sudah, menewaskan satu orang prajurit. Patih Gandaraka menjentikkan ujung jarinya sedikit. Maka para prajurit yang berada di belakangnya, sudah bisa mengerti artinya. Mereka langsung saja bersiaga, siap menunggu perintah.

"He he he...! Rupanya kau lebih sayang harta, Patih. Bagus...! Pertahankan milikmu kalau mampu," ujar si Tongkat Bintang Perak diiringi tawanya yang terkekeh.

Patih Gandaraka hanya diam saja. Perlahan pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang dicabut. Tatapan matanya tertuju lurus, seakan-akan hendak menembus kain hitam yang menutupi wajah si Tongkat Bintang Perak.

"Seraaang...!" Tiba-tiba si Tongkat Bintang Perak berteriak lantang menggelegar. Begitu keras teriakannya, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan seketika itu juga....

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"

"Hadang mereka...!" seru Patih Gandaraka memberi perintah.

"Yeaaah...!" "Hiyaaat..!"

Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Begitu mendapat perintah, orang-orang berseragam hitam itu langsung saja berlompatan menyerang. Begitu juga para prajurit Kerajaan Ringgading, yang segera menyambut serangan. Sedikit pun tak tersirat kegentaran di mata para prajurit. Dengan tangkas sekali, serangan yang begitu gencar segera disambut.

Tapi, rupanya orang-orang berpakaian serba hitam itu tidak bisa dianggap sembarangan. Mereka tampaknya sudah berpengalaman dalam menghadapi pertempuran seperti ini. Hingga dalam waktu yang tidak begitu lama, para prajurit yang memang kalah dalam hal jumlahnya, sudah terdesak. Pertarungan baru berjalan beberapa saat saja, tapi sudah separuh lebih para prajurit yang tewas.

Dan hal ini membuat Patih Gandaraka jadi gusar. Terlebih lagi saat melihat orang-orang berbaju serba hitam itu bertarung seperti orang kesetanan saja. Sedikit pun tak tersirat rasa takut. Bahkan mereka terus saja merangsek maju. Kegentaran mulai terlihat pada sinar mata para prajurit. Sementara, orang-orang berbaju serba hitam itu semakin kelihatan ganas saja. Jerit dari pekikan melengking tinggi semakin sering terdengar. Sementara, tubuh-tubuh bersimbah darah terus berjatuhan. Bau anyir darah semakin terasa mengusik lubang hidung.

"Berhenti...!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Bentakan yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu membuat pertarungan jadi terhenti seketika. Sementara, orang-orang berbaju serba hitam segera berlompatan mundur, walaupun masih mengepung para prajurit Kerajaan Ringgading.

Tampak Patih Gandaraka berdiri berhadapan dengan si Tongkat Bintang Perak dengan jarak cukup dekat. Tapi, secara bersamaan mereka cepat-cepat berlompatan mundur, begitu tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat begitu cepat bagai kilat. Setelah ditunggu-tunggu beberapa saat, tapi tak ada seorang pun yang kelihatan muncul.

Semua orang yang tadi bertarung, jadi kelihatan bingung. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Tadi, bentakan itu jelas sekali terdengar. Begitu keras menggelegar, dan mengejutkan. Buktinya, mampu membuat pertarungan jadi terhenti seketika. Dan di saat mereka tengah kebingungan, tiba-tiba saja....

"Khraaagkh...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"

Tepat ketika terdengar teriakan serak yang begitu keras, terlihat sebuah bayangan di angkasa, melewati tempat pertarungan itu. Secara bersamaan, mereka mengangkat kepala memandang ke atas. Maka saat itulah terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan, tengah terbang melayang memutari tempat dua kekuatan yang saling berhadapan tadi.

"Kalian yang dari Kerajaan Ringgading, cepat menyingkir dari sana...!"

Tiba-tiba kembali terdengar suara yang begitu keras menggelegar, mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Bahkan sampai menggema, seperti datang dari segala arah. Dan tentu saja, hal itu membuat semua orang yang berada di bawahnya jadi terkejut setengah mati. Sampai-sampai tak ada seorang pun yang bergerak. Mereka semua diam mematung, dengan kepala terdongak ke atas memandangi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang masih tetap berputaran di udara.

"Cepat kalian menyingkir...!"

Kembali terdengar bentakan keras menggelegar. Dan kali ini, jelas sekali kalau suara itu dari atas. Sepertinya, yang berbicara burung rajawali raksasa itu. Namun cukup jelas terlihat kalau paruh burung itu tidak bergerak sedikit pun.

"Menyingkir, cepaaat...!" seru Patih Gandaraka dengan suara lantang dan menggelegar. Mendengar perintah yang begitu menggelegar dari pemimpinnya, maka seketika itu juga para prajurit Kerajaan Ringgading segera bergerak menjauhi tempat itu.

Sedangkan orang-orang berpakaian serba hitam yang dipimpin si Tongkat Bintang Perak masih terlongong bengong, memandangi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan di atas sana. Dan begitu para prajurit Kerajaan Ringgading sudah cukup jauh, tiba-tiba saja burung rajawali putih raksasa itu meluruk deras ke bawah sambil mengeluarkan suara serak dan menyakitkan gendang telinga.

"Khraaagkh...!" Begitu cepatnya burung raksasa itu menukik, sehingga membuat orang-orang berpakaian serba hitam hanya terlongong bengong, tanpa bertindak sesuatu. Dan belum juga ada yang sempat menyadari, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul. Kemudian, terlihat puluhan orang berpakaian serba hitam itu berpentalan ke angkasa, lalu keras sekali jatuh menghantam tanah.

Hanya dalam waktu beberapa saat saja, sudah lebih dari tiga puluh orang bergelimpangan dengan nyawa melayang. Burung rajawali raksasa putih keperakan itu kembali melambung tinggi ke angkasa. Dan bagaikan kilat, kembali meluruk deras sambil berkaokan. Suaranya begitu keras, menyakitkan gendang telinga.

"Khraaagkh...!"

"Cepat berlindung...!" teriak si Tongkat Bintang Perak sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa..!" "Yeaaah...!"

Beberapa orang memang masih sempat berlompatan menghindari serangan burung rajawali raksasa itu. Tapi, tidak sedikit yang terlambat. Mereka berpentalan ke angkasa sambil menjerit keras menyayat, lalu berjatuhan tanpa nyawa lagi.

"Gila...! Burung apa itu...?!" desis si Tongkat Bintang Perak.

"Khragkh...!"

"Heh...?! Hup...!" Si Tongkat Bintang Perak jadi terperanjat setengah mati, begitu tiba-tiba burung rajawali raksasa berbulu putih itu meluruk deras menyerangnya. Maka cepat-cepat dia melompat ke samping. Tubuhnya langsung dibanting ke tanah, lalu bergelimpangan beberapa kali menghindari serangan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

"Hup!" Bergegas si Tongkat Bintang Perak melompat bangkit berdiri begitu berhasil menghindari serangan yang sangat mengerikan itu. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah kembali meluruk ke arahnya dengan kecepatan tinggi sekali.

"Haiit..!" Cepat-cepat si Tongkat Bintang Perak melompat ke kanan, menghindari terjangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, sayap burung rajawali raksasa itu bergerak mengepak begitu cepat tanpa dapat dihindari oleh si Tongkat Bintang Perak. Apalagi, saat itu sedang berada di atas tanah. Maka....

Plak! "Akh...!" Begitu kerasnya sambaran sayap burung raksasa itu, sehingga membuat tubuh si Tongkat Bintang Perak terpental deras sekali. Dan luncuran tubuhnya baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu besar, hingga hancur berkeping-keping. Si Tongkat Bintang Perak menggeliat sambil merintih lirih di antara kepingan pecahan batu yang terlanda tubuhnya tadi. Tampak darah kental menggumpal, memenuhi mulutnya.

"Phuih...!" Si Tongkat Bintang Perak menyemburkan darah yang memenuhi mulutnya, lalu mencoba bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurna, tiba-tiba saja burung rajawali raksasa itu sudah kembali mengebutkan sayapnya yang sangat besar dan kokoh. Dan hal ini membuat si Tongkat Bintang Perak jadi terlongong tanpa dapat berbuat apa-apa. Dan...

Plak! "Aaakh...!"

Kembali si Tongkat Bintang Perak menjerit keras melengking tinggi, begitu sayap burung rajawali raksasa itu kembali menghantam telak tubuhnya dengan keras sekali. Bagaikan batu yang dilontarkan oleh ketapel, tubuh si Tongkat Bintang Perak kembali melayang deras. Bahkan langsung menghantam beberapa batang pohon hingga hancur berkeping-keping. Lalu, dia jatuh keras sekali ke tanah, sehingga tubuhnya menggeliat sambil merintih lirih merasakan sakit yang amat sangat. Darah semakin banyak mengalir dari mulutnya.

Hebatnya, si Tongkat Bintang Perak masih juga berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurna, mendadak saja paruh burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang setajam pedang sudah menyambar kedua kaki laki-laki berpakaian serba hitam itu. Begitu cepat sambarannya, sehingga si Tongkat Bintang Perak tidak sempat lagi menghindarinya.

Krasss! "Aaakh...!"

Si Tongkat Bintang Perak menjerit keras begitu kakinya tersambar paruh burung rajawali raksasa itu. Seketika, laki-laki berpakaian serba hitam itu jatuh kembali bergelimpangan. Tampak dari kaki kanannya darah deras sekali berhamburan keluar. Si Tongkat Bintang Perak merintih kesakitan sambil memegangi kakinya yang ternyata sudah hampir buntung. Rasanya, tidak mungkin dia bisa bangkit berdiri lagi dengan sebelah kaki yang sudah hampir buntung.

"Setan keparat! Kubunuh kau, Burung Keparat...!" geram si Tongkat Bintang Perak sambil meringis menahan sakit yang amat sangat pada kaki kanannya.

"Khraaagkh...!"

Sedangkan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung tinggi ke angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak dan sangat keras menyakitkan gendang telinga. Burung rajawali raksasa itu terus berputaran di angkasa, mengelilingi hutan di kaki Gunung Lanjaran ini.

"Khraaagkh...!"

Sementara, si Tongkat Bintang Perak berusaha bangkit berdiri, walaupun kelihatannya memang sulit sekali. Sambil mendengus berat, ditotoknya jalan darahnya beberapa kali di sekitar luka yang menganga lebar pada kakinya. Dan seketika itu juga, darah berhenti mengalir keluar. Dengan bantuan tongkatnya, si Tongkat Bintang Perak kembali berusaha susah payah untuk berdiri. Dan akhirnya, dia mampu juga berdiri. Namun berdirinya tidak bisa kembali tegak, dan harus ditopang tongkatnya.

"Phuih...!" Sambil menyemburkan ludahnya dengan kesal, si Tongkat Bintang Perak langsung mengempos tubuhnya disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi begitu melompat, tiba-tiba saja jatuh terguling ke tanah. Mulutnya memekik keras, begitu tubuhnya menghantam tanah dengan keras sekali, dan bergelimpangan beberapa kali.

"Setan keparat...!" makinya semakin berang. Sementara itu, orang-orang berbaju serba hitam yang melihat pemimpinnya sudah kehilangan kekuatan dan tenaga lagi, bergegas berlarian kabur. Tidak dihiraukan lagi si Tongkat Bintang Perak yang berteriak-teriak memerintahkan mereka untuk kembali.

Seorang pun tak ada yang mau mendengarkan perintahnya, sehingga membuat si Tongkat Bintang Perak jadi memaki-maki dan menyumpah serapah sendiri. Laki-laki berpakaian hitam itu masih mencoba bangkit berdiri lagi, tapi tenaganya memang sudah lenyap. Entah kenapa, setelah kakinya tersambar paruh burung rajawali raksasa itu, seketika tenaganya jadi lenyap. Dan tenaga dalamnya benar-benar tidak bisa lagi dikerahkan. Bahkan untuk bisa berdiri lagi saja, terasa sangat sulit.

"Huh...!"

DUA

Si Tongkat Bintang Perak terus memaki-maki dan menyumpah serapah. Sementara, tidak seorang pun lagi anak buahnya yang masih tertinggal. Sedangkan Patih Gandaraka sudah melangkah menghampiri diikuti para prajuritnya yang kini tinggal separuhnya. Patih Kerajaan Ringgading itu baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari si Tongkat Bintang Perak. Sementara, para prajuritnya langsung mengepung rapat. Dengan senjata terhunus, mereka siap mencabik tubuh orang berbaju serba hitam yang kepalanya tertutup kain hitam itu.

"Phuih...!" si Tongkat Bintang Perak mendengus berat, sambil menyemburkan ludahnya dari lubang kain pada bagian mulutnya.

"Aku ingin tahu seperti apa wajahmu, Tongkat Bintang Perak," desis Patih Gandaraka, agak dingin nada suaranya. Bret! Cepat sekali Patih Gandaraka merenggut kain yang menyelubungi kepala si Tongkat Bintang Perak. Dan begitu kain hitam terlepas, terlihatlah seraut wajah berusia separuh baya, namun masih kelihatan gagah dan cukup tampan. Tapi di balik kegagahannya, tersembunyi sorot mata dan garis-garis kebengisan serta kekejaman.

"Setan! Phuih...!" si Tongkat Bintang Perak memaki sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit.

"Hm.... Kau sekarang tidak punya daya lagi, Kisanak. Apa yang akan kau lakukan sekarang...?" masih terdengar dingin sekali nada suara Patih Gandaraka.

"Bunuhlah aku...!" bentak si Tongkat Bintang Perak, geram.

"Terlalu enak kalau langsung membunuhmu, Tongkat Bintang Perak. Aku ingin tahu lebih dulu, kenapa kau dan orang-orangmu ingin meminta upeti pada kami? Padahal, kami tidak membawa apa-apa selain senjata, perbekalan, dan pakaian yang melekat di badan. Siapa yang memerintahkanmu?" tanya Patih Gandaraka.

"Kau tidak bisa mendapat jawaban dariku, Patih Keparat!" geram si Tongkat Bintang Perak dengan bola mata mendelik lebar. "Tapi, kau akan mendapat balasan dari gerombolan Tongkat Putih!" Wajah si Tongkat Bintang Perak yang kaku, semakin terlihat bengis. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan dendam dan kebencian yang amat sangat pada Patih Gandaraka.

Namun memang, dia tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Bahkan untuk menggerakkan tangannya saja sudah terasa sangat sulit. Si Tongkat Bintang Perak hanya bisa mendengus dan memaki dalam hati. Seluruh tenaganya benar-benar tidak ada lagi, setelah beberapa kali terkena hantaman dan kebutan sayap burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang tiba-tiba saja muncul dan langsung ganas menyerangnya.

Sementara di angkasa burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan masih terlihat melayang-layang memutari hutan kecil di kaki Gunung Lanjaran ini. Sepertinya burung itu belum mau meninggalkan hutan ini, sebelum para prajurit Kerajaan Ringgading benar-benar merasa aman.

"Hih!" Sret!

Tiba-tiba saja si Tongkat Bintang Perak mengangkat tongkat yang ujungnya berbentuk bintang dengan sisa tenaganya. Dan sebelum ada yang bisa menyadari, mendadak saja ujung tongkatnya yang berbentuk bintang dihunjamkan ke dadanya sendiri.

Jleb!
"Akh...!"

"Heh...?!" Begitu cepat tindakan yang dilakukan si Tongkat Bintang Perak, sehingga Patih Gandaraka tidak sempat lagi mencegah. Seketika tongkat berujung bintang berwarna putih keperakan itu langsung menghunjam begitu dalam ke dada si Tongkat Bintang Perak.

Hanya sebentar saja laki-laki separuh baya itu menggeliat meregang nyawa sambil memegangi bagian tengah tongkatnya yang menghunjam dalam di dadanya, kemudian sudah menegang kaku disertai erangan lirih. Lalu, tubuhnya diam tak bergerak-gerak lagi.

Sementara, Patih Gandaraka hanya bisa memandangi tanpa mampu berbuat apa pun lagi untuk menyelamatkan nyawa si Tongkat Bintang Perak.

"Edan...!" dengus Patih Gandaraka mendesis. Memang sulit dipahami tindakan yang dilakukan si Tongkat Bintang Perak. Nyawanya sendiri rela dihabisi daripada harus menjadi tawanan musuhnya. Suatu tindakan yang dilandasi keberanian besar. Sangat sulit menemukan orang yang rela menghabisi nyawanya sendiri. Dan itu merupakan satu pilihan yang sangat sulit!

"Huuuh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Patih Gandaraka menghempaskan tubuhnya yang langsung jatuh terduduk lemas di samping mayat si Tongkat Bintang Perak.

Sementara, sisa prajuritnya hanya bisa diam saja memandangi tanpa mampu berbuat sesuatu pun. Untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka suara. Dan tanpa disadari, Patih Gandaraka mendongakkan kepalanya. Dan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang telah membantunya mengalahkan orang-orang berbaju serba hitam juga masih terlihat.

"Kematiannya tidak perlu disesali, Patih. Sebaiknya bawalah sisa prajuritmu pergi dari tempat itu secepatnya. Kau akan mendapat kesulitan yang lebih besar lagi kalau tidak segera meninggalkan tempat itu," tiba-tiba saja terdengar suara menggema yang sangat keras.

Jelas sekali kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna, sehingga bagaikan datang dari segala penjuru mata angin. Sangat sulit diketahui, dari mana asal suara itu. Dan ini tentu saja membuat Patih Gandaraka jadi tersentak kaget setengah mati. Bahkan semua prajuritnya juga terkejut.

"Hup!" Bergegas Patih Gandaraka melompat bangkit berdiri. Dia berkacak pinggang sambil menengadahkan kepalanya. Saat itu, di angkasa terlihat burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang telah membantunya tadi sedikit terbang berputar. Dan Patih Gandaraka sempat melihat kalau di atas punggung burung raksasa itu ada seseorang. Walaupun hanya terlihat sekilas, tapi dia sempat terperanjat juga. Tidak disangka kalau rajawali raksasa itu ditunggangi seseorang yang sama sekali tidak jelas, baik bentuk tubuh maupun rupanya. Dan belum juga Patih Gandaraka bisa memastikan, burung raksasa itu sudah melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.

"Hm.... Siapapun dia, pasti bermaksud baik padaku. Baiklah, kata-katanya akan kuturuti," gumam Patih Gandaraka di dalam hati.

Sebentar laki-laki itu masih menengadahkan kepalanya. Kini burung raksasa yang telah membuatnya begitu tercengang sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Kemudian, para prajuritnya diperintahkan untuk segera melanjutkan perjalanan. Sebentar kemudian, para prajurit Kerajaan Ringgading itu sudah kembali bergerak meninggalkan kaki Gunung Lanjaran ini.

********************

Sementara itu, tidak jauh di sebelah Selatan Gunung Lanjaran, terlihat seorang gadis cantik berbaju biru muda tengah duduk menyendiri di atas sebongkah batu besar yang menghadap ke sebuah lembah yang sangat indah. Dan saat itu, matahari sudah agak condong ke arah Barat. Gadis itu memandangi mentari yang terus bergerak turun ke tempat peraduannya. Begitu indah terlihat. Terlebih lagi, saat ini angin bertiup lembut. Sehingga indahnya suasana senja ini makin bertambah saja.

Gadis cantik berbaju ketat warna biru yang tampaknya bukan orang sembarangan itu sedikit memutar tubuhnya ke kanan. Saat itu dirasakan adanya hembusan angin lain. Dan memang, dia bukan gadis sembarangan. Dan ini bisa dilihat dari sebilah pedang bergagang kepala seekor naga hitam yang bertengger di punggungnya. Sedangkan di bagian perutnya, terselip sebuah kipas tertutup, yang berwarna putih keperakan. Pada bagian ujung-ujung kipas itu berbentuk seperti mata anak panah yang kecil sekali ukurannya.

Dilihat dari pakaian dan senjata yang disandang, tentu tidak akan ragu-ragu lagi mengenalinya. Dan sepak terjangnya memang sudah terkenal di kalangan rimba persilatan. Dialah yang dikenal berjuluk si Kipas Maut, walaupun nama sebenarnya Pandan Wangi.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Pandan Wangi bangkit berdiri begitu melihat ada seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan mendarat tidak jauh di sebelah kanannya.

Dan dari punggung binatang raksasa itu melompat turun seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi warna putih. Tampak juga sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung rajawali menyembul di balik, punggungnya. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu bergegas menghampiri gadis cantik yang sudah berdiri menunggu sambil berkacak pinggang. Tampak jelas kalau Pandan Wangi memasang wajah kaku, dengan sorot mata begitu tajam. Seakan-akan sorotannya hendak menembus langsung bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih yang selama ini dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

"Ke mana saja kau, Kakang? Kenapa begitu lama...?" Pandan Wangi langsung menodongnya dengan pertanyaan beruntun.

"Sabar, Pandan...," ucap Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di atas batu yang tadi diduduki si Kipas Maut.

Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri berkacak pinggang sambil memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata cukup tajam. Sementara yang dipandangi kelihatan tenang, sambil mengatur jalan nafasnya yang terdengar sedikit memburu.

"Ada suatu peristiwa di perjalanan tadi," kata Rangga lagi, tanpa menghiraukan kekesalan si Kipas Maut itu. Memang, gadis cantik itu terpaksa harus menunggu hampir setengah harian di tempat yang sangat sunyi ini.

"Peristiwa apa?" tanya Pandan Wangi lagi, masih terdengar kaku.

"Peristiwa yang tidak bisa dikatakan kecil. Dan terpaksa Rajawali Putih kuminta untuk mengatasinya," sahut Rangga, masih terdengar kalem suaranya.

"Ceritakan saja yang jelas, Kakang," pinta Pandan Wangi.

"Waktu sedang menuju ke sini, aku melihat sebuah pertarungan. Dan kedua kelompok yang bertarung itu kukenali betul. Aku juga tidak perlu berpikir panjang untuk berpihak pada salah satu kelompok itu. Lalu, Rajawali Putih kuperintahkan untuk menghentikan pertarungan. Semula, aku tidak ingin sampai Rajawali Putih bertindak keras. Tapi, ternyata kekerasan harus dilakukan juga," Rangga memulai menceritakan peristiwa yang dialaminya dalam perjalanan menuju ke lembah ini.

"Lalu...?" Pandan Wangi meminta meneruskan.

"Rajawali Putih memang berhasil mengusir salah satu kelompok itu. Bahkan berhasil melukai pemimpinnya. Tapi sungguh tidak kusangka kalau Rajawali Putih membuat pemimpin satu kelompok itu sampai tidak berdaya sama sekali. Bahkan jadi putus asa, dan membunuh dirinya sendiri...," semakin terdengar pelan suara Rangga pada kalimat terakhir.

"Kelompok mana yang kau usir? Dan, mana yang kau bela, Kakang?" tanya Pandan Wangi jadi ingin tahu.

"Kalau kukatakan, kau pasti tidak akan percaya, Pandan," sahut Rangga kalem.

"Katakan, Kakang. Siapa saja mereka...?" desak Pandan Wangi semakin penasaran ingin tahu.

Rangga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Rajawali Putih yang mendekam tidak jauh jaraknya. Perlahan, tubuhnya diputar berbalik, setelah dekat dengan Rajawali Putih. Burung raksasa itu segera menyodorkan kepalanya. Rangga langsung menyambut dan memeluknya dengan hangat. Lembut sekali bola mata burung raksasa itu dikecupnya.

Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan rasa penasaran. Terutama, karena pertanyaannya tadi belum juga dijawab Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa saja mereka, Kakang...?" Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya yang belum juga terjawab tadi. Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya, menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang masih saja memeluk kepala burung tunggangannya, sekaligus gurunya dalam ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan.

Rangga kemudian melepaskan pelukannya. Sedikit diberikannya senyum tipis pada gadis cantik berbaju biru yang kini sudah dekat di depannya.

"Para prajurit dari Kerajaan Ringgading," sahut Rangga seperti tidak peduli rasa keingintahuan Pandan Wangi.

"Lalu..., kelompok yang satunya lagi?" desak Pandan Wangi, belum puas atas jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan.

"Orang-orang Walet Hitam," sahut Rangga masih dengan nada yang sama.

"Maksudmu.... Perguruan Walet Hitam, Kakang...?" sentak Pandan Wangi, kelihatan terkejut sekali.

Rangga hanya tersenyum dan mengangguk sedikit. Sedangkan Pandan Wangi menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Beberapa saat mereka jadi terdiam.

Sementara, Rangga sudah melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap saja berdiri dengan pandangan lurus ke depan, seakan-akan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

"Ayo, Pandan. Jangan membuang waktu. Kita harus segera sampai sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," ajak Rangga.

Pandan Wangi mengangkat kepalanya, menatap Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada di atas punggung Rajawali Putih. Sedangkan Rangga terus memandangi dengan bibir masih menyunggingkan senyuman tipis. Entah apa arti dari senyumannya. Sementara, Pandan Wangi masih saja berdiri memandanginya dengan sinar mata sulit diartikan. Tapi, tampaknya Rangga sudah bisa menebak pancaran cahaya bola mata si Kipas Maut itu.

"Ayolah, Pandan. Tidak ada waktu memikirkan orang-orang Walet Hitam. Kita harus segera berangkat sebelum terlambat," desak Rangga, mulai tidak sabar.

Pandan Wangi masih saja berdiri mematung memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Beberapa saat kemudian, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah melesat ke atas, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf tinggi. Begitu ringan gerakannya, sehingga sebentar saja sudah berada di punggung Rajawali Putih, tepat didepan Rangga.

"Ayo, Rajawali, Kita ke Utara!" seru Rangga sambil menepuk leher Rajawali Putih.

"Khraaagkh...!"

Pandan Wangi mencengkeram erat bulu-bulu leher Rajawali Putih. Meskipun sudah beberapa kali menunggang burung rajawali raksasa ini, tapi kengerian masih juga menyelinap di hatinya.

Sedangkan Rangga tampak tenang, duduk di belakangnya. Begitu cepatnya Rajawali Putih melesat, sehingga sebentar saja sudah di atas sekitar Gunung Lanjaran. Telunjuk tangan kanan Rangga menuding ke salah satu arah, maka Rajawali Putih mengikutinya.

Sementara Pandan Wangi mengarahkan pandangannya juga ke arah yang ditunjuk Rangga hanya dengan ekor matanya. Dia benar-benar belum berani menatap ke bawah secara langsung dari ketinggian seperti ini.

Sementara, Rajawali Putih terus meluncur cepat bagai kilat membelah awan.

"Kau lihat di kaki gunung sana, Pandan," kata Rangga sambil menunjuk ke kaki Gunung Lanjaran.

"Yang mana...?" tanya Pandan Wangi seraya mengerahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti.

"Itu...! Di tepi aliran sungai," sahut Rangga.

Pandan Wangi tidak menjawab. Gadis itu memang melihat ada puluhan orang tengah menyusuri tepian sungai di kaki Gunung Lanjaran yang berkelok-kelok bagaikan ular. Walaupun dari ketinggian seperti ini, tapi masih jelas terlihat kalau orang-orang yang bergerak cepat menyusuri sungai itu adalah para prajurit Kerajaan Ringgading. Dan mereka semua tampaknya menunggang kuda, sehingga bisa bergerak lebih cepat. Dari angkasa ini jelas terlihat, kalau kuda mereka dipacu cepat, seakan-akan tengah memburu sesuatu.

"Mau ke mana mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi dengan kening berkerut. Kelopak matanya juga jadi menyipit, memandangi para prajurit yang bergerak begitu cepat dengan menunggang kuda.

"Lihat saja, nanti, Pandan. Kalau mereka menyeberangi jembatan di hulu sana, pasti menuju Karang Setra," sahut Rangga sambil menunjuk sebuah jembatan kayu yang ada di hulu sungai.

"Ke Karang Setra...? Mau apa mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi semakin tidak mengerti.

Tapi, pertanyaan si Kipas Maut itu tidak sempat menjawab. Dan dugaan Rangga ternyata tepat Rombongan prajurit Kerajaan Ringgading itu benar-benar menuju ke arah jembatan di hulu sungai, dan menyeberanginya tanpa mengurangi kecepatan lari kuda sedikit pun juga.

Sementara dari angkasa, Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan. Sementara, rombongan prajurit itu terus bergerak cepat. Dan dugaan Rangga semakin menguat saja. Mereka memang benar-benar menuju Kerajaan Karang Setra, tanah kelahiran Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lama lagi, para prajurit yang dipimpin Patih Gandaraka itu akan melewati pintu gerbang perbatasan kerajaan.

"Mereka berhenti, Kakang...," desis Pandan Wangi, hampir tidak terdengar. Suaranya seperti termakan deru angin yang begitu keras di angkasa ini.

"Hm...!" tapi Rangga hanya menggumam kecil saja.

Para prajurit Kerajaan Ringgading memang berhenti, tidak jauh dari gerbang perbatasan Kerajaan Karang Setra yang dijaga sekitar dua puluh orang prajurit dan dua orang tamtama. Namun, mereka masih berada di luar wilayah Kerajaan Karang Setra. Tampak para prajurit itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, lalu berbaris rapi di samping kuda binatang tunggangannya. Sementara paling depan, terlihat Patih Gandaraka memegangi tali kekang kudanya. Dia berdiri tegak, memandang ke arah gerbang perbatasan yang dijaga sekitar dua puluh orang prajurit dan dua orang tamtama.

Sementara para prajurit Karang Setra yang sudah melihat rombongan prajurit dari kerajaan lain itu, sudah langsung berdiri berjajar dengan sikap menghadang. Senjata pun sudah siap-siap untuk keluar dari tempatnya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi yang berada di angkasa, terus saja memperhatikan dengan dada berdebar cukup keras.

"Mereka mendirikan tenda, Kakang," kata Pandan Wangi memberi tahu. Padahal, dia sendiri tahu, Rangga juga terus memperhatikan.

"Hm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam saja perlahan.

Para prajurit Kerajaan Ringgading memang kelihatan sibuk mendirikan tenda. Dan saat ini, senja memang sudah jatuh turun menyelimuti sebagian permukaan bumi. Sedangkan para prajurit Karang Setra terus mengawasi dari dalam wilayah kerajaannya. Seorang pun tidak ada prajurit penjaga gerbang perbatasan ini yang menghampiri. Memang, mereka tidak boleh sampai ke luar wilayah kerajaannya. Sehingga, mereka hanya bisa memperhatikan sambil bersiaga penuh dari jarak yang tidak begitu jauh lagi.

"Sebaiknya kau turun, Kakang. Tanyakan pada mereka, apa tujuannya datang ke Karang Setra," saran Pandan Wangi.

"Lihat saja nanti," sahut Rangga kalem.

Pandan Wangi tidak bicara lagi. Dan memang, sulit baginya untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Tapi gadis itu tahu kalau Rangga tengah memikirkan sarannya tadi, walau sedikit pun tidak diperlihatkannya.

Sementara Rajawali Putih terus melayang berputar-putar, tepat di atas rombongan prajurit Kerajaan Ringgading yang sudah membuat tenda, tidak jauh dari perbatasan Kerajaan Karang Setra. Tampak jelas kalau Patih Gandaraka berdiri tegak, sambil menengadahkan kepala ke atas. Sepertinya, kehadiran burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah diketahuinya. Walaupun, dia tidak tahu kalau di punggung burung rajawali itu ada Rangga dan Pandan Wangi yang juga tengah memperhatikannya sejak tadi.

********************

TIGA

Sementara itu di istana, Danupaksi mendapat kepercayaan dari Rangga Pati Permadi, Raja Karang Setra, untuk mewakili pemerintahannya. Dan dia sudah mendapatkan laporan tentang adanya satu pasukan berjumlah cukup besar dari Kerajaan Ringgading yang kini membuat kubu tidak jauh dari perbatasan. Salah seorang prajurit penjaga perbatasan sudah melaporkannya, walaupun belum mengetahui pasti tujuan kedatangan mereka ke Kerajaan Karang Setra ini.

"Kau harus cepat bisa mengambil keputusan, Kakang. Hanya kaulah yang bisa bertindak selama Kakang Rangga tidak ada," ujar Cempaka, yang selalu mendampingi.

"Ini keputusan yang sangat sulit, Cempaka. Belum pernah Karang Setra kedatangan satu pasukan prajurit dari kerajaan lain. Sementara kita belum tahu, apa tujuan mereka datang ke sini," sahut Danupaksi sambil bangkit dari kursinya.

Perlahan kaki pemuda itu terayun mendekati jendela. Lalu, Danupaksi berdiri mematung di depan jendela yang terbuka lebar, memandang jauh ke depan. Sedangkan Cempaka masih tetap duduk diam di kursinya sambil memandangi pemuda bertubuh tegap dan berotot itu. Beberapa saat lamanya Danupaksi terdiam mematung di situ, memandang lurus ke luar. Kemudian, perlahan tubuhnya berputar berbalik, sambil menghembuskan napas yang sangat panjang.

"Sebaiknya, kirim saja utusan untuk menanyakan maksud tujuan mereka datang ke sini, Kakang...?" kembali Cempaka membuka suara.

"Maksudmu?" Danupaksi meminta Cempaka memperjelas sarannya.

"Ya.... Kita kirim satu atau dua orang punggawa ke sana, untuk menanyakan tujuan mereka membuat kubu di perbatasan tanpa meminta izin terlebih dahulu," kata Cempaka, menjelaskan usulnya tadi.

"Mereka berkemah di luar perbatasan, Cempaka. Dan kita tidak bisa sembarangan menegurnya. Apalagi, menanyakan maksud membuat kubu di sana. Selama mereka tidak mengganggu kehidupan rakyat Karang Setra, kita tidak bisa bertindak apa-apa. Kecuali, kalau mereka memang membuat perkemahan di dalam wilayah kerajaan ini. Atau paling tidak, tepat di perbatasan," tegas sekali Danupaksi menolak saran adik tirinya ini.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Cempaka ingin tahu.

"Untuk sementara, tidak ada salahnya kalau mendiamkan saja dulu. Tapi, kita juga jangan sampai lengah. Mereka tetap harus diawasi sambil berjaga-jaga. Mungkin saja mereka melakukan sesuatu yang bisa merugikan," sahut Danupaksi kalem, tapi nada suaranya terdengar tegas sekali.

"Hhh! Ucapan dan tindakanmu sekarang sudah sangat mirip Kakang Rangga...," dengus Cempaka sambil menghembuskan napas panjang.

Danupaksi hanya tersenyum saja. Memang, pemuda itu selalu meniru semua yang diucapkan dan dilakukan kakak tirinya yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti, sekaligus Raja Kerajaan Karang Setra. Baginya, Rangga merupakan seorang tokoh yang patut dicontoh. Baik ucapan, jalan pikiran, maupun segala tindakannya. Tidak heran kalau para pembesar Kerajaan Karang Setra, sedikit pun tidak melihat adanya perbedaan dalam kepemimpinan antara Rangga dengan Danupaksi. Hanya saja, Danupaksi tidak bisa seenaknya pergi mengembara seperti yang dilakukan kakak tirinya.

Saat itu, terlihat Ki Lintuk, Rakatala, dan Paman Wirapati masuk ke dalam ruangan Balai Sema Agung yang sangat besar dan megah, yang langsung disambut Danupaksi dan Cempaka. Mereka kemudian duduk di kursi masing-masing, dan menghadap Danupaksi yang duduk di kursi singgasana. Dan memang, kalau Rangga tidak ada di istana maka yang menduduki kursi singgasana adalah Danupaksi. Tapi kalau Danupaksi tidak ada, Cempakalah yang harus menggantikannya. Dan semua itu sudah menjadi keputusan yang ditetapkan Rangga saat dinobatkan menjadi Raja Karang Setra.

"Paman semua tentu sudah tahu, kenapa kuminta untuk berkumpul di Balai Sema Agung ini...," kata Danupaksi langsung saja membuka suara.

"Kami sudah mendengar semuanya, Gusti Danupaksi," sahut Ki Lintuk sambil memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Kalau begitu, aku tidak perlu lagi menjelaskan. Dan memang, semuanya belum jelas benar. Pasukan prajurit itu sudah membuat kubu pertahanan tidak jauh dari perbatasan. Tapi, sampai sekarang ini kita semua belum tahu maksud dan tujuan kedatangan mereka ke sini," kata Danupaksi lagi.

"Rasanya, tidak ada tujuan lain kalau sebuah kerajaan mengirimkan sepasukan prajurit berjumlah besar ke kerajaan lain, Gusti Danupaksi," selak Paman Wirapati yang di Karang Setra ini menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

"Benar, Gusti Danupaksi. Jelas sekali maksud kedatangan mereka tidak baik. Hamba sendiri sempat melihat ke sana. Mereka bukan hanya berjumlah cukup besar, tapi juga memiliki persenjataan lengkap, seperti hendak berperang," sambung Panglima Rakatala seorang panglima di Kerajaan Karang Setra.

Sedangkan Ki Lintuk yang merupakan penasihat tertinggi, hanya diam saja mendengarkan.

"Mereka berjumlah cukup banyak, Gusti Danupaksi Persenjataan mereka pun lengkap, seperti hendak berperang," jelas Panglima Rakatala.

Danupaksi dan Cempaka tampak berpikir keras. Dia tengah memikirkan pendapat-pendapat dari para panglima dan tetua Karang Setra tanpa membuka suara sedikit pun juga. Tapi kerut-kerut di keningnya terlihat semakin dalam saja, pertanda tengah berpikir keras. Danupaksi dan Cempaka mengarahkan pandangan pada orang tua yang selalu mengenakan jubah panjang dan longgar, berwarna putih bersih dari bahan sutera halus. Sedangkan yang dipandangi masih saja diam dengan kepala tertunduk, merayapi lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal yang sangat halus dan indah.

"Ki Lintuk...?" tanya Danupaksi melihat Ki Lintuk sejak tadi hanya diam saja.

"Ampun, Gusti Danupaksi. Sekarang ini hamba belum bisa mengemukakan pendapat apa pun juga. Rasanya, masih terlalu dini untuk menyimpulkan maksud kedatangan mereka," sahut Ki Lintuk seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Jadi, bagaimana menurutmu yang terbaik, Ki?" tanya Danupaksi tetap mendesak meminta pendapat laki-laki tua penasihat istana itu.

Namun, Ki Lintuk tidak langsung memberi jawaban. Dia kembali terdiam, dengan kepala tepekur merayapi ujung-ujung jari kakinya. Sementara, Panglima Rakatala dan Wirapati hanya diam saja memandangi. Cempaka juga mengarahkan pandangan ke wajah laki-laki tua yang sudah begitu banyak keriputnya itu.

Cukup lama juga Ki Lintuk berdiam diri membisu, kemudian perlahan mengangkat kepalanya sambil menghembuskan napas panjang. Pandangan orang tua itu langsung bertemu sorot mata Danupaksi yang sejak tadi tidak berkedip memandanginya. Kemudian tatapannya beralih pada Cempaka, Wirapati, dan Panglima Rakatala. Semuanya masih memandanginya, menunggu jawaban dari pertanyaan yang diberikan Danupaksi tadi. Beberapa saat kemudian, Ki Lintuk kembali menatap adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Jika Gusti Danupaksi tetap ingin tahu maksud kedatangan para prajurit itu, sebaiknya menunggu barang satu atau dua hari lagi. Mungkin mereka akan mengirimkan utusannya ke sini," usul Ki Lintuk. Suaranya jelas terdengar hati-hati.

"Kenapa harus begitu, Ki?" selak Panglima Rakatala, meminta penjelasan.

"Hanya untuk menjaga kewibawaan saja, Adi Rakatala," sahut Ki Lintuk kalem.

"Kewibawaan...? Bukankah kewibawaan sebuah kerajaan diukur oleh kecepatan bertindak, bersikap tegas, dan penuh perhitungan dari pemimpinnya? Dan lagi, tidak ada salahnya kalau kita yang lebih dulu mengirimkan utusan dan menanyakan maksud kedatangan mereka ke sini yang membawa sepasukan prajurit berjumlah cukup besar begitu," kata Panglima Rakatala, mengemukakan pendapatnya.

"Justru hal itu bisa menimbulkan prasangka buruk, Adi Rakatala. Bukan hanya mereka saja yang bisa menyangka kalau kita selalu saja mencurigai orang yang datang ke kerajaan ini. Dan itu bisa memperburuk citra Karang Setra yang sudah terkenal akan kecintaannya pada perdamaian," tegas sekali Ki Lintuk membantah pendapat yang dikemukakan Panglima Rakatala.

"Tapi, Ki..."

"Sebentar...," selak Danupaksi memutuskan ucapan Panglima Rakatala.

Semua mata langsung beralih, menatap adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di singgasana. Sementara yang dipandangi bangkit berdiri, lalu melangkah beberapa tindak ke depan.

"Aku kira, ada benarnya juga kata-kata Ki Lintuk. Kita memang tidak perlu bertindak gegabah. Memang, sebaiknya tunggu dulu barang satu atau dua hari. Atau paling tidak, sampai ada utusan dari mereka datang ke sini," kata Danupaksi mengambil keputusan.

"Bukankah itu berarti kita memberi kesempatan mereka untuk mempersiapkan kekuatan dan menyelidiki kekuatan kita, Gusti Danupaksi...?" sambut Wirapati.

"Jangan langsung menuduh kalau mereka hendak mengadakan penyerangan, Adi Wirapati," selak Ki Lintuk.

"Maaf, Ki. Maksudku bukan begitu," ujar Wirapati.

"Lalu...?" tanya Ki Lintuk meminta penjelasan.

"Aku hanya menjaga dari segala kemungkinan yang terburuk, Ki," sahut Wirapati.

"Itu boleh saja. Tapi tidak ada salahnya kalau kita sedikit bersabar, menunggu sampai ada utusan dari mereka yang datang ke sini," sergah Ki Lintuk.

"Kalau seandainya tidak ada utusan?" tanya Panglima Rakatala.

"Hanya dua hari batasnya. Dan kalau memang tidak ada juga, tunggu satu hari lagi," sahut Ki Lintuk. "Kalau ternyata juga tidak ada utusan yang datang?" selak Cempaka.

"Terpaksa, harus dikirim satu atau dua orang utusan untuk menanyakan tujuan mereka datang dan membuat perkemahan dekat perbatasan," sahut Ki Lintuk tegas.

"Aku rasa, itu hanya membuang-buang waktu saja, Ki," selak Panglima Rakatala tidak setuju.

"Kita harus tunjukkan kewibawaan dan kesabaran pada mereka. Aku yakin, kalau kita bisa bersikap sabar, mereka juga akan berpikir seribu kail. Itu kalau kedatangan mereka ke sini benar-benar bermaksud menyerang dan menjajah negeri ini," sahut Ki Lintuk tegas.

"Kau benar, Ki," ujar Danupaksi langsung setuju. "Aku rasa, Kakang Rangga juga pasti akan mengambil sikap seperti itu."

"Hhh.... Sayang, Kakang Rangga tidak ada di sini. Kalau ada, pasti tidak akan membuat kita semua jadi pusing begini," desah Cempaka.

"Semua bisa diatasi kalau mau bersikap sabar dan sedikit menahan diri, Nini Cempaka," sambut Ki Lintuk.

Tidak ada lagi yang membuka suara. Mereka semua terdiam dengan pikiran masing-masing berkecamuk dalam kepala. Dan memang, tidak ada seorang pun yang bisa membantah kata-kata yang dilontarkan Ki Lintuk. Dan seandainya Rangga sendiri pun, pasti akan bertanya lebih dulu pada orang tua ini tentang tindakan yang akan diambil.

Dan biasanya pula, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi membantah setiap kali Ki Lintuk mengemukakan pendapatnya. Bahkan semua pembesar Kerajaan Karang Setra ini tidak ada yang bisa membantah semua kata-kata Ki Lintuk, yang dianggap begitu bijaksana dalam mengemukakan pendapat dan jalan pikiran. Mereka juga menyadari kalau apa yang dikatakan Ki Lintuk adalah demi kejayaan, keutuhan, dan kewibawaan Kerajaan Karang Setra.

Pada saat mereka semua tengah terdiam, seorang prajurit penjaga gerbang istana memasuki ruang Balai Sema Agung yang berukuran sangat besar dan megah. Semua mata langsung mengarahkan pandan-gan pada prajurit yang masih muda itu. Dia segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Kedua telapak tangannya tampak merapat di depan hidung, lalu duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal dan sangat halus buatannya.

"Ada apa, Prajurit?" tanya Wirapati, Panglima Tertinggi Kerajaan Karang Setra.

"Ampun, Gusti. Hamba datang menghadap untuk memberi laporan," sahut prajurit muda itu sambil memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Katakan saja," selak Danupaksi meminta.

"Di depan, ada dua orang utusan hendak ber-temu Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Mereka dua orang punggawa dari Kerajaan Ringgading, ingin memberi tahu kalau yang lain sudah ada di luar perbatasan. Kedatangan mereka hanya dipimpin seorang patih, tanpa ada seorang pun panglima perang," sahut prajurit muda itu, menjelaskan panjang lebar.

Semua yang ada di ruangan Balai Sema Agung saling melemparkan pandang. Sementara, Danupaksi memutar tubuhnya berbalik dan kembali duduk di singgasana. Sedangkan prajurit muda itu merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, memberikan sembah setelah Danupaksi duduk di singgasana.

"Perintahkan mereka masuk," perintah Danupaksi, dengan nada dibuat tegas.

"Hamba, Gusti," sahut prajurit muda itu seraya memberi sembah.

EMPAT

Danupaksi memandangi dua orang punggawa Kerajaan Ringgading yang datang ke Balai Sema Agung. Mereka diantar prajurit penjaga gerbang istana yang tadi melaporkan kedatangan kedua punggawa itu. Kedua punggawa itu masih berusia muda, dan mungkin sebaya dengan Danupaksi. Bukan saja Danupaksi yang mengamati, tapi juga Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Wirapati, dan Cempaka. Mereka terus memandangi kedua punggawa berusia muda yang duduk tepat di tengah-tengah, menghadap Danupaksi yang tetap duduk di singgasana.

"Silakan, jika ada yang ingin disampaikan," ujar Danupaksi, mempersilakan. Tangannya dijulurkan ke depan, dengan telapak menghadap ke atas. Ramah sekali sikapnya, tidak jauh berbeda dengan Rangga yang sebenarnya Raja Karang Setra.

"Terus terang, sebenarnya kami datang hendak menghadap Gusti Prabu Rangga. Tapi...," salah seorang punggawa mulai membuka suara, tapi kemudian memutuskan ucapannya.

"Aku memang bukan Gusti Prabu Rangga. Aku hanya adiknya yang diberi kekuasaan penuh untuk mewakili, selama Gusti Prabu bepergian," kata Danupaksi memberi tahu.

Kedua punggawa itu saling melemparkan pandangan, kemudian sama-sama memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Sedangkan Danupaksi hanya mengangkat tangan kanannya sedikit saja.

"Maafkan kami, Gusti. Terpaksa kami tidak bisa mengatakan apa pun juga. Kami hanya menjalankan perintah, dan harus langsung bertemu Gusti Prabu Rangga Pati Permadi. Sekali lagi, kami mohon maaf," ucap punggawa itu lagi seraya memberi sembah hormat

"Maaf, Punggawa...," selak Wirapati. "Gusti Prabu Rangga atau Gusti Danupaksi sama saja. Jika tidak ada Gusti Prabu Rangga di istana ini, maka Gusti Danupaksi lah yang menduduki singgasana. Dan itu kepercayaan langsung dari Gusti Prabu Rangga. Jadi kalau ada sesuatu, Gusti Danupaksi lah yang menanganinya langsung, selama Gusti Prabu Rangga tidak berada di istana ini."

"Tapi, kami tetap tidak bisa menyampaikannya. Maafkan, kami terpaksa harus kembali dan menunggu sampai Gusti Prabu Rangga ada di istana," kata punggawa muda itu lagi, masih bersikap hormat.

Setelah berkata begitu, kedua punggawa Kerajaan Ringgading memberi sembah. Kemudian, mereka bangkit berdiri, dan kembali memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Setelah memberi salam penghormatan, mereka memutar tubuhnya dan melangkah keluar dan ruangan Balai Sema Agung.

"Tidak ada seorang pun yang mencegah kepergian kedua punggawa itu. Bahkan Danupaksi sendiri hanya diam saja memandangi. Sementara, Cempaka sudah bangkit berdiri dan hendak mengejar kedua punggawa itu. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah, Danupaksi sudah keburu mencegahnya.

"Biarkan mereka pergi, Cempaka."

"Tapi, Kakang.... Sikap mereka sudah menghina dan merendahkanmu," selak Cempaka, terdengar agak berang.

"Benar, Gusti Danupaksi. Jelas sekali kalau kedua punggawa itu tidak memandang sebelah mata pun juga. Mereka telah menghina Gusti Danupaksi. Kita harus menyerang mereka untuk membalas penghinaan ini!" sambut Wirapati sambil bangkit berdiri dari kursinya.

********************

Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak lagi berada di angkasa bersama Rajawali Putih. Sepasang pendekar muda digdaya itu kini sudah tidak jauh lagi dari perbatasan. Mereka bisa melihat jelas tenda-tenda berwarna putih yang berdiri tidak jauh di luar perbatasan Kerajaan Karang Setra. Sebuah bendera berukuran besar berlambang Kerajaan Ringgading berada di tengah-tengah tenda yang berdiri membentuk lingkaran itu.

Sementara itu di dalam perbatasan, terlihat para prajurit sudah bersiaga penuh, bagaikan hendak menghadapi perang besar saja. Mereka semua sudah menyandang senjata lengkap. Bahkan sudah membuat benteng-benteng pertahanan di sekitar perbatasan. Tampak Wirapati yang merupakan Panglima Perang Tertinggi Kerajaan Karang Setra, begitu gagah duduk di atas punggung kuda dengan pakaian perangnya.

"Kenapa jadi begini, Kakang...?" desis Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri. Rangga hanya diam saja seperti tidak mendengar. "Pasti ada kesalahpahaman," kata Pandan Wangi lagi.

Nada suaranya terdengar agak menggumam. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti masih saja diam. Malah pandangan matanya sedikit pun tidak berkedip ke arah dua kekuatan yang sudah sama-sama siaga penuh. Mereka seperti sudah siap-siap, tinggal menunggu perintah saja dari masing-masing pemimpinnya

"Kita harus segera mencegah sebelum terjadi peperangan, Kakang. Lihat saja! Masing-masing sudah siap akan perang," kata Pandan Wangi lagi sambil menunjuk ke arah dua kekuatan yang sudah sama-sama siap-siap, bagai hendak berperang.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak di atas puncak sebuah bukit yang tidak begitu tinggi, tidak jauh dari gerbang perbatasan Kerajaan Karang Setra. Dari atas puncak bukit ini, memang bisa jelas memandang ke perbatasan itu. Tapi, tidak mungkin bagi mereka yang berada di perbatasan itu untuk bisa melihat sampai ke puncak bukit yang begitu lebat ditumbuhi pepohonan.

Melihat Rangga hanya diam saja dengan mata tidak berkedip, Pandan Wangi jadi tidak sabar. Dan baru saja kakinya hendak terayun menuruni bukit ini, tapi cepat sekali Rangga sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa, si Kipas Maut itu tidak jadi menuruni bukit ini. Kepalanya berpaling, langsung menatap tajam bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

"Jangan bertindak gegabah, Pandan," kata Rangga, agak mendesis suaranya.

"Tapi...," suara Pandan Wangi terputus.

"Percayalah, tidak akan terjadi sesuatu. Seperti katamu tadi, mereka pasti hanya salah paham saja," bujuk Rangga.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Dan pandangan matanya kembali terarah pada tenda-tenda putih yang membentuk lingkaran, tidak jauh dari perbatasan Kerajaan Karang Setra. Kemudian tatapannya beralih pada prajurit Karang Setra yang masih di dalam wilayahnya. Kini, terlihat Panglima Wirapati sudah berada tepat di tengah-tengah gerbang perbatasan. Berpakaian panglima perang seperti itu, Panglima Wirapati kelihatan sangat gagah. Apalagi saat ini menunggang kuda putih yang tinggi dan tegap berotot.

"Kau harus bertindak cepat, Kakang. Sepertinya Paman Wirapati sudah siap menyerang," ujar Pandan Wangi. Jelas sekali kalau nada suara si Kipas Maut terdengar mengandung kekhawatiran, saat melihat Panglima Wirapati sudah berada di tengah-tengah gerbang perbatasan.

Sedangkan puluhan prajurit bersenjata lengkap sudah berbaris rapi di belakangnya. Se-mentara di sepanjang tembok perbatasan, pasukan panah pun sudah siap melepaskan anak panah di busurnya. Mereka semua benar-benar sudah siap, dan tinggal menunggu perintah saja. Tapi lain halnya para prajurit Kerajaan Ringgading. Tampaknya mereka tidak gentar sedikit pun melihat kekuatan prajurit-prajurit Karang Setra. Walaupun mereka juga sudah siap dengan senjata masing-masing, tapi sedikit pun tidak kelihatan kalau benar-benar ingin berperang.

"Siaaap...!" Tiba-tiba saja Panglima Wirapati berteriak lantang menggelegar, seraya mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Teriakannya langsung disambut teriakan gegap-gempita seluruh prajurit yang berada di belakangnya. Mereka juga mengangkat tangan kanannya ke atas, sambil mengacungkan senjata masing-masing yang beraneka ragam bentuknya. Namun belum juga Panglima Wirapati memberikan perintah selanjutnya, mendadak saja....

"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"

Begitu terdengar siulan nyaring melengking, seketika itu juga terdengar suara serak dan keras, bagai hendak membelah bukit. Begitu kerasnya, sehingga bumi jadi bergetar bagaikan diguncang gempa. Dan saat itu juga, dari angkasa terlihat seekor burung rajawali berbulu putih keperakan meluncur turun dengan kecepatan bagai kilat.

"Hah...?!" Panglima Wirapati jadi terbeliak setengah mati begitu melihat burung rajawali raksasa tiba-tiba saja muncul.

Burung itu melayang dekat di atas pucuk pepohonan. Sayapnya yang lebar terus mengepak, membuat sekitar perbatasan Kerajaan Karang Setra bagaikan dilanda badai. Angin akibat kepakannya memang sangat dahsyat. Hanya sebentar saja, sudah banyak pepohonan yang tumbang. Debu dan daun-daun kering berhamburan terhembus angin kepakan sayap burung rajawali raksasa itu.

Dan kemunculan burung itu membuat seluruh prajurit Karang Setra jadi terperanjat setengah mati. Bahkan para prajurit Kerajaan Ringgading juga terlongong bengong. Walaupun pernah melihat burung rajawali raksasa itu sebelumnya, tapi tetap saja kemunculannya membuat mereka tercengang setengah mati.

"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"

Begitu terdengar siulan yang panjang melengking, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung melesat tinggi ke angkasa. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi, tertelan awan tebal bergulung-gulung di langit. Dan semua prajurit yang ada di sekitar perbatasan itu masih terlongong bengong, memandang ke angkasa. Padahal, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah tidak terlihat lagi.

********************

Sementara itu dari atas bukit, Pandan Wangi menyaksikan semua kejadian yang cepat tadi dengan mata tidak berkedip. Sungguh tidak disangka kalau Rangga akan bertindak begitu cepat mencegah Panglima Wirapati menyerang para prajurit Kerajaan Ringgading. Dan memang, kemunculan Rajawali Putih tadi, telah membuat panglima itu jadi terlongong seperti orang kebanyakan minum arak. Sehingga bagai tidak menyadari kalau dirinya berpakaian panglima perang.

"Kau tetap di sini, Pandan. Jangan perlihatkan diri dulu," kata Rangga sambil menepuk pundak si Kipas Maut

"Eh...?! Kau akan ke mana...?" tanya Pandan Wangi tersentak kaget.

Tapi baru saja pertanyaan Pandan Wangi selesai diucapkan, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan Pandan Wangi, walaupun sudah seringkali melihat kehebatan Pendekar Rajawali Sakti, masih juga berdecak kagum terhadap kepandaian pendekar yang juga kekasihnya itu.

Meskipun kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah, tapi bila dibandingkan dengan Rangga, rasanya masih terlalu jauh untuk bisa menyamai. Pandan Wangi tidak bisa lagi berlama-lama mengagumi Pendekar Rajawali Sakti, karena pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki kuda dari arah belakang. Dan begitu tubuhnya berbalik, tahu-tahu di puncak bukit ini Rangga sudah kembali, duduk di punggung seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah.

Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu mendengus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepala, begitu Rangga menarik tali kekangnya agar berhenti tepat di depan Pandan Wangi. Sementara, gadis itu masih berdiri mematung, memandangi Rangga seperti tidak percaya. Karena baru beberapa saat saja Pendekar Rajawali Sakti pergi, dan kini sudah kembali lagi bersama Dewa Bayu.

Kuda itu memang bukan kuda sembarangan, tapi merupakan pemberian dewa dari kahyangan pada Adipati Arya Permadi, ayah kandung Pendekar Rajawali Sakti. Binatang itu juga tidak bisa ditandingi kuda-kuda manapun di seluruh jagat raya ini. Kecepatan larinya melebihi kilat. Jadi tidak heran kalau Rangga bisa memanggil Dewa Bayu dari Istana Karang Setra ke puncak bukit ini dalam waktu singkat sekali. Tapi, hal itu tetap saja membuat Pandan Wangi tercengang kagum, walaupun sudah seringkali melihat kehebatan Pendekar Rajawali Sakti dan Kuda Dewa Bayu ini.

"Kau jangan ke mana-mana, Pandan. Tunggu saja di sini," ujar Rangga tanpa turun dari punggung kudanya.

"Lalu, kau sendiri mau ke mana?" tanya Pandan Wangi.

"Aku akan menemui Patih Gandaraka," sahut Rangga.

Kening Pandan Wangi jadi berkerut. Sedangkan kelopak matanya terlihat menyipit, memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang masih saja duduk di punggung Dewa Bayu. Sungguh sejak tadi belum disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti kini sudah berganti pakaian. Pakaiannya tidak lagi biasanya seperti setiap kali mengembara, tapi kini layaknya seorang raja.

Keterpanaan Pandan Wangi pun semakin mendalam. Rangga kelihatan sangat tampan mengenakan pakaian seperti itu. Dia yakin, pasti tidak akan ada seorang pun yang bisa mengenalinya lagi sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Benar-benar lain dari yang selama ini dikenalnya. Tapi pedang yang tersampir di punggung pemuda itulah yang membuat Pandan Wangi langsung bisa mengenalinya. Karena, tidak ada satu pun pedang di jagat raya ini yang menyamai Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

"Aku pergi dulu, Pandan," pamit Rangga.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sedangkan Rangga sudah memutar kudanya berbalik, dan langsung cepat menggebahnya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu berlari bagaikan kilat, seakan-akan keempat kakinya yang kokoh tidak menyentuh tanah. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap tidak terlihat lagi, meninggalkan debu yang membumbung ke angkasa.

"Hm.... Apa yang akan dilakukannya nanti...?" gumam Pandan Wangi bertanya sendiri dalam hati.

********************

Saat itu, Rangga terus memacu cepat kudanya menuruni lereng bukit. Sengaja diambilnya jalan memutar, sehingga sampai pada bagian belakang perkemahan para prajurit Kerajaan Ringgading. Pendekar Rajawali Sakti baru menghentikan lari kudanya, setelah benar-benar dekat dengan perkemahan prajurit dari Kerajaan Ringgading itu.

"Hup!" Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Rangga melompat turun setelah kuda hitamnya berhenti. Tepat begitu kakinya menjejak tanah, dua orang prajurit melihatnya. Dan mereka langsung menghampiri dengan senjata tombak tergenggam erat di tangan kanan. Rangga hanya berdiri saja sambil memegangi tali kekang kudanya. Ditunggunya sampai kedua prajurit itu dekat.

"Hm...." Kening Rangga berkerut melihat kedua prajurit itu langsung menghunuskan tombaknya. Bahkan ujung mata tombak itu hampir menempel di dada Rangga yang bidang dan tegap berotot. Namun belum juga prajurit-prajurit itu membuka suara, dari dalam salah satu tenda keluar Patih Gandaraka. Laki-laki berusia separuh baya itu tampak terkejut begitu melihat Rangga dihadang dua orang prajuritnya dengan ujung mata tombak hampir menempel di dada.

"Mundur kalian...!" bentak Patih Gandaraka.

Mendengar bentakan pemimpinnya, kedua prajurit itu segera bergerak mundur beberapa langkah. Mereka langsung menggeser ke samping, dan membungkuk begitu Patih Gandaraka melewati. Patih Kerajaan Ringgading itu langsung membungkukkan tubuhnya sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, begitu tiba di depan Rangga. Kemudian laki-laki setengah baya itu merendahkan dirinya dan berlutut dengan tangan masih merapat di depan dada. Melihat pemimpinnya bersikap begitu hormat pada pemuda ini, kedua prajurit itu jadi terlongong bengong. Cepat-cepat mereka menekuk kaki, dan berlutut mengikuti sikap Patih Gandaraka.

"Maafkan atas kelancangan penyambutan kedua prajurit hamba, Gusti Prabu. Mereka memang belum mengenal Gusti Prabu sebenarnya," ucap Patih Gandaraka, penuh rasa hormat.

"Bangunlah, Paman Patih," sambut Rangga sambil memberi senyum.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," ucap Patih Gandaraka lagi, seraya memberi sembah. Perlahan kemudian patih itu bangkit berdiri.

Sementara kedua prajurit yang tadi menodongkan tombak ke dada Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berlutut dengan kepala tertunduk. Mereka seperti menyesal atas sikapnya tadi, karena memang belum mengenal pemuda tampan yang datang bersama kuda hitamnya ini.

"Kalian juga, Prajurit. Bangunlah...," pinta Rangga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut kedua prajurit itu berbarengan, sambil memberi sembah. Kemudian, mereka bangkit berdiri dan kembali merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Tombak yang tadi tergenggam di tangan, dibiarkan tergeletak di atas tanah. Rangga mengayunkan kakinya. Dipungutnya kedua tombak itu, lalu diberikannya pada kedua prajurit ini.

"Kalian tidak perlu meninggalkan senjata," kata Rangga.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," sahut kedua prajurit itu sambil menerima tombaknya kembali, kemudian memberikan sembah lagi.

"Kalian kembali ke tempat tugas," perintah Patih Gandaraka.

"Hamba, Gusti Patih." Kedua prajurit itu segera berlalu, setelah memberi penghormatan pada Pendekar Rajawali Sakti dan Patih Gandaraka.

Setelah kedua prajurit itu kembali ke tempat tugasnya, Patih Gandaraka mengajak Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam tendanya. Tanpa menolak sedikit pun juga, diikutinya ayunan kaki Patih Gandaraka. Sementara Dewa Bayu telah ditambatkan pada sebatang pohon yang tumbang.

"Maafkan atas kedatangan kami yang seperti ini, Gusti Prabu," ucap Patih Gandaraka, setelah berada dalam tendanya yang dijaga empat orang prajurit bersenjatakan tombak dan pedang di pinggang.

Rangga dan Patih Gandaraka duduk bersila, beralaskan permadani tebal dan halus. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja menerima permintaan maaf Patih Kerajaan Ringgading ini.

"Kau datang bersama sepasukan prajurit, sepertinya hendak menjarah negeri orang saja. Pasti ada alasannya, kenapa sampai membawa begitu banyak prajurit, Paman Patih," kata Rangga dengan nada suara lembut dan berwibawa.

"Perjalanan yang harus ditempuh sangat panjang dan penuh rintangan, Gusti Prabu...."

"Jangan panggil seperti itu, Paman," selak Rangga memutuskan ucapan Patih Gandaraka.

"Tapi..."

"Aku memang sengaja mengenakan pakaian seperti ini agar prajuritmu mudah mengenali. Tapi, nyatanya sama saja. Maaf, nanti aku akan mengganti pakaian," kata Rangga.

"Dan, sebaiknya kau panggil saja aku Rangga. Jangan Gusti Prabu."

"Baiklah. Aku akan memanggilmu Dimas Rangga," sahut Patih Gandaraka.

"Itu lebih baik, Paman," sambut Rangga diiringi senyum lebar.

Patih Gandaraka memang tidak bisa menolak. Apalagi, dia sudah tahu pula watak Raja Karang Setra, yang juga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Nah, sekarang katakan. Apa alasanmu keluar dari wilayah Kerajaan Ringgading dengan membawa prajurit berjumlah besar seperti ini," pinta Rangga.

"Terpaksa, Dimas," sahut Patih Gandaraka.

"Terpaksa...?!" kening Rangga berkerut dalam. Dipandanginya kedua bola mata laki-laki separuh baya yang duduk bersila di depannya. Seakan, dia ingin mencari jawaban pasti dan sepasang bola mata redup dan memerah itu. Tapi, memang sulit. Dan Rangga tidak menemukan apa pun di sana, kecuali sorot mata yang redup tanpa cahaya, seperti kehilangan gairah hidup lagi. Dan itu tentu saja membuat berbagai macam dugaan berkecamuk dalam benak Pendekar Rajawali Sakti.

"Ceritakan yang jelas, Paman," pinta Rangga lagi

"Baiklah...," desah Patih Gandaraka.

LIMA

"Sebenarnya, aku tidak ingin mengganggu para sahabat Kerajaan Ringgading. Tapi semua ini terpaksa kulakukan. Sudah beberapa kerajaan kudatangi, tapi tak ada satu pun yang sanggup. Dan sekarang, tinggal satu harapanku. Kalau ini juga tidak berhasil, entah apa lagi yang akan kulakukan," suara Patih Gandaraka terdengar pelahan sekali. Bahkan terasa agak tersendat, seperti menanggung sebuah beban yang teramat berat untuk disandangnya.

"Sebenarnya, apa yang terjadi di sana, Paman? Sampai-sampai harus meninggalkan kerajaan begini jauh..," tanya Rangga ingin tahu.

Di dalam benaknya, Pendekar Rajawali Sakti sudah menduga, pasti telah terjadi sesuatu di Kerajaan Ringgading. Mustahil Patih Gandaraka meninggalkan kerajaan itu bersama sejumlah besar prajurit, kalau tidak terjadi apa-apa. Terlebih lagi, setelah mendengar penuturan yang baru sedikit tadi. Rangga sudah bisa menebak, dan teramat yakin kalau telah terjadi sesuatu yang sangat besar di Kerajaan Ringgading.

"Kau memang harus tahu, Dimas Rangga. Karena, tinggal kaulah satu-satunya harapanku," kata Patih Gandaraka, seraya mengangkat kepalanya. Langsung ditatapnya bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila di hadapannya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.

"Malapetaka besar telah terjadi di Kerajaan Ringgading. Seseorang berwajah buruk, persis seekor kodok, telah menguasai singgasana. Dia sangat kejam. Bahkan setiap hari harus memakan daging manusia. Minumnya juga darah manusia yang masih segar...," Patih Gandaraka mulai menceritakan keadaan di Kerajaan Ringgading.

Sementara Rangga hanya diam saja, mendengarkan penuh perhatian. Terlihat jelas sekali kalau keningnya berkerut semakin dalam. Dugaannya memang tepat sejak tadi. Telah terjadi sesuatu yang sangat besar di Kerajaan Ringgading. Tapi, sungguh tidak disangka kalau bencana itu benar-benar besar. Tidak ada lagi bencana yang terbesar bagi sebuah kerajaan, selain runtuhnya singgasana. Terlebih lagi, kalau singgasana sampai diduduki orang lain yang tidak berhak.

"Semula, Gusti Prabu Gading Anom masih bisa bertahan, dengan memberi tawanan-tawanan untuk menjadi santapan Siluman Muka Kodok. Tapi setelah tidak ada lagi tawanan yang bisa dikorbankan, terpaksa rakyat harus jadi korban. Dan ini membuat Gusti Prabu Gading Anom tidak bisa bertahan lagi," sambung Patih Gandaraka.

Dan Rangga masih tetap diam mendengarkan kelanjutannya.

"Gusti Prabu Gading Anom benar-benar sudah tidak tahan lagi. Hingga akhirnya, beliau pergi dari istana dengan membawa satu pasukan prajurit dan dua puluh pengawal pribadi. Seluruh keluarganya ikut dalam pelarian itu. Beruntung, Siluman Muka Kodok tidak mengejar. Lalu, Gusti Prabu memerintahkan hamba untuk mencari bantuan. Maka hamba terpaksa membawa seluruh prajurit yang tersisa, karena Siluman Muka Kodok tidak lagi memilih-milih orang untuk santapannya. Sudah banyak prajurit yang menjadi korban kebiadabannya, sambung Patih Gandaraka lagi.

"Di mana Gusti Prabu Gading Anom sekarang berada?" tanya Rangga ingin tahu.

"Di Pertapaan Sangkalima," sahut Patih Gandaraka.

"Hm...," Rangga menggumam panjang. Pendekar Rajawali Sakti tahu, pertapaan itu masih termasuk wilayah Kerajaan Ringgading. Dan di sana memang aman bila untuk tempat persembunyian sementara. Tapi, bukannya tidak mustahil kalau Siluman Muka Kodok bisa juga mengetahui dan mendatanginya ke sana.

"Maaf, Paman. Bukankah Ringgading memiliki jago-jago persilatan yang tangguh dan berilmu tinggi. Apakah mereka tidak sanggup menandingi Siluman Muka Kodok. Sampai-sampai Gusti Prabu harus mengungsi. Dan kau sendiri pun harus pergi jauh, hanya untuk meminta bantuan," kata Rangga bernada hati-hati, agar tidak menyinggung perasaan patih ini.

"Sudah berulang kali jago silat Ringgading mencoba melawan. Tapi, tidak satu pun yang berhasil. Bahkan mereka menjadi korban kebuasannya. Siluman Muka Kodok sangat sakti dan sukar sekali ditandingi, Dimas Rangga. Tubuhnya juga tidak mempan senjata tajam apa pun bentuknya. Benar-benar kebal dia. Bahkan juga memiliki ilmu suara yang sangat dahsyat. Sebuah bukit batu bisa diruntuhkannya hanya dengan suaranya saja" sahut Patih Gandaraka menjelaskan, tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun juga.

"Begitu tangguhkah...?" desis Rangga.

"Bukan hanya jago-jago silat Ringgading yang sudah mencoba, tapi juga dari rimba persilatan. Dan ternyata mereka hanya mengantarkan nyawa saja menantang Siluman Muka Kodok," lanjut Patih Gandaraka.

"Hm..., gumam Rangga lagi. Sementara, Patih Gandaraka tidak berbicara lagi. Dia terdiam dengan sorot mata tertuju lurus ke wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya, dia sedang menunggu kesanggupan pemuda itu untuk mengusir Siluman Muka Kodok dari Kerajaan Ringgading. Bahkan kalau perlu, melenyapkan untuk selama-lamanya.

"Berapa kekuatannya?" tanya Rangga, setelah cukup lama terdiam.

"Maksud, Dimas...?" Patih Gandaraka meminta penjelasan.

"Orang-orang yang berada di belakangnya."

"Dia hanya seorang diri saja, Dimas"

"Seorang diri...?"

"Benar. Hanya seorang diri."

"Dan sampai saat ini belum ada seorang pun yang bisa mengenyahkannya...?" Jelas sekali kalau nada suara Rangga seperti tidak percaya. Hanya seorang diri ternyata orang yang berjuluk Siluman Muka Kodok bisa menaklukkan sebuah kerajaan yang bisa dikatakan cukup besar. Kalau memang benar demikian, tentulah orang itu tidak bisa lagi diukur tingkat kepandaiannya. Meskipun sulit dipercaya, tapi Rangga yakin kalau Patih Gandaraka berkata yang sesungguhnya. Dia tahu betul, patih itu tidak pernah berkata dusta. Terlebih lagi dalam menghadapi persoalan yang begini besar.

"Hm, dia datang dari mana?" tanya Rangga lagi.

Patih Gandaraka menggelengkan kepala beberapa kali sambil menghembuskan napas panjang-panjang. Sedangkan Rangga juga menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Dari gelengan kepala Patih Gandaraka, bisa diketahui kalau tidak ada seorang pun yang mengetahui asal-usul Siluman Muka Kodok.

"Sudah berapa lama hal ini berlangsung?" tanya Rangga lagi, setelah cukup lama terdiam. "Entahlah, Dimas. Mungkin sudah lebih dari tiga purnama. Aku tidak bisa mengingatnya lagi dengan pasti," sahut Patih Gandaraka

"Berapa orang korbannya setiap hari?"

"Dua atau tiga orang. Bahkan bisa sampai lima orang lebih, kalau sedang marah.

"Hm...," kembali Rangga menggumam.

Dan keadaan pun kembali sunyi senyap. Tidak ada lagi yang membuka suara. Masing-masing tengah disibuki oleh pikirannya. Tapi dari sorot mata Patih Gandaraka, jelas sekali kalau kesediaan Pendekar Rajawali Sakti sangat diharapkan untuk mengusir Siluman Muka Kodok dari Kerajaan Ringgading selama-lamanya. Rangga sendiri masih tetap diam membisu dengan kening berkerut cukup dalam. Entah apa yang ada dalam benaknya.

"Baiklah, Paman. Aku akan secepatnya datang ke sana. Mudah-mudahan saja singgasana Gusti Prabu Gading Anom bisa kurebut kembali," kata Rangga menyanggupi, setelah terdiam membisu cukup lama.

"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Dimas," ucap Patih Gandaraka, langsung berbinar bola matanya.

Rangga hanya tersenyum saja sedikit.

********************

Rangga berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput yang cukup luas, di tengah-tengah hutan yang rapat oleh pepohonan. Sementara tidak jauh di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti, berdiri Pandan Wangi. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu hanya memandangi saja. Sementara, Rangga terus berdiri te-gak dengan kepala menengadah memandang langit.

"Suiiit...!"

Siulan yang bernada aneh dan sangat panjang melengking tinggi, terdengar menyakitkan telinga. Pandan Wangi sampai tersentak kaget, dan cepat-cepat menutup telinga dengan telapak tangan. Dia tahu, Rangga sedang memanggil Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan dari burung rajawali itu juga semua ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan diperolehnya.

"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum begitu telinganya mendengar suara yang serak, meskipun masih terdengar kecil dan jauh sekali. Dan senyum yang menghiasi bibirnya semakin lebar saat terlihat sebuah titik berkilat keperakan tengah melayang bagai kilat di angkasa. Dan semakin lama, titik keperakan itu semakin terlihat jelas bentuknya.

"Khraaagkh...!"

Rangga melambaikan tangannya, setelah Rajawali Putih sudah terlihat jelas dan dekat. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung mendarat sekitar dua batang tombak di depan Rangga. Meskipun bertubuh besar, tapi gerakannya sangat ringan. Sedikit pun tak ada getaran saat cakar-cakar Rajawali Putih menyentuh tanah. Kepakan sayapnya yang lebar, membuat beberapa pohon tumbang seketika terkena hempasan anginnya yang luar biasa keras.

"Khrrr...!"

"Maaf, aku terpaksa mengganggu istirahatmu lagi, Rajawali," ucap Rangga seraya melangkah mendekati.

"Khrrrkh...!" Rajawali Putih hanya mengkirik kecil.

"Kita tidak punya banyak waktu, Rajawali. Secepatnya harus sampai di Ringgading," kata Rangga begitu dekat dengan burung rajawali raksasa itu.

"Khrkh...!"

"Hup!" Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga hanya sekali genjotan saja, sudah meluncur naik dan hinggap di punggung Rajawali Putih. Langsung ditatapnya Pandan Wangi yang masih saja berdiri mematung di tempat semula. Walaupun sudah seringkali berjumpa, bahkan sudah beberapa kali menunggangi, tapi tetap saja Pandan Wangi mempunyai suatu perasaan yang sulit diartikan pada burung rajawali raksasa ini. Dan gadis itu juga selalu merasa takut kalau harus menungganginya. Belum pernah hatinya merasa tenang kalau sudah mengangkasa bersama Rangga dan Rajawali Putih.

"Ayo, Pandan. Kau ingin ikut tidak..,?" ajak Rangga.

Pandan Wangi masih saja diam, dan seperti ragu-ragu untuk mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dalam hatinya, sedikit pun tidak terbetik kerelaan kalau Rangga berjalan sendiri menghadapi maut di Kerajaan Ringgading. Rangga memang sudah menceritakan semua hasil pembicaraannya dengan Patih Gandaraka. Pandan Wangi sendiri sempat terperanjat mendengarnya, dan hampir-hampir tidak percaya.

Perlahan Pandan Wangi mengayunkan kakinya menghampiri Rangga yang sudah berada di punggung Rajawali Putih. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu kembali menghentikan ayunan kakinya, setelah jaraknya tinggal sekitar satu tombak lagi dari Rajawali Putih.

"Cepat, Pandan. Kita tidak punya banyak waktu," desak Rangga mulai tidak sabar.

"Hup!" Beberapa saat Pandan Wangi masih terdiam mematung, kemudian melompat ringan. Lalu tubuhnya hinggap di punggung Rajawali Putih, tepat di depan Rangga. Gadis itu langsung duduk dan mencengkeram bulu punggung Rajawali Putih yang besar dan tebal ini.

"Ayo, Rajawali. Gunakan kecepatan penuh, karena kita harus segera sampai di Ringgading," ajak Rangga.

"Khraaagkh...!"
Wusss!

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Tepat di saat matahari sudah condong ke Barat, Rangga dan Pandan Wangi yang menunggang Rajawali Putih sudah sampai di angkasa Kerajaan Ringgading. Dari ketinggian di atas awan seperti ini, masih terlalu sulit untuk bisa melihat jelas. Hanya atap-atap bangunan dan pepohonan saja yang bisa terlihat. Itu pun kelihatannya kecil-kecil sekali.

"Kau terbang terlalu tinggi, Rajawali. Lebih dekat lagi...!" seru Rangga, meminta.

"Khragkh...!" Rajawali Putih segera merendahkan jarak terbangnya, sehingga Rangga bisa melihat jelas keadaan Kotaraja Kerajaan Ringgading. Sesaat, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Kota yang sangat besar itu kelihatan sangat sunyi, seperti tidak berpenghuni. Tidak seorang pun juga yang terlihat, kecuali anjing-anjing liar dan binatang-binatang yang berkeliaran di jalan-jalan kota ini.

"Turun di sana, Rajawali!" teriak Rangga sambil menunjuk sebuah padang rumput yang ada di sebelah Timur Kotaraja Kerajaan Ringgading.

"Khraaagkh...!"

Sungguh cepat Rajawali Putih melesat. Hingga dalam sekejap saja sudah mendarat lunak di pinggir padang rumput yang tidak jauh dengan perbatasan kotaraja sebelah Timur. Rangga langsung melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Pandan Wangi juga bergegas mengikuti, turun dari punggung burung rajawali raksasa ini.

"Kau boleh pergi, Rajawali. Tapi jangan terlalu jauh," ujar Rangga sambil menepuk kaki burung rajawali raksasa tunggangannya.

"Khrrrkh...!"

"Hm.... Jangan terlalu mencemaskan aku, Rajawali," ujar Rangga seakan-akan bisa mengerti kekhawatiran yang ditunjukkan Rajawali Putih melalui suaranya yang mengkirik lirih.

Kepala burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu bergerak menggeleng perlahan beberapa kali. Sementara, Rangga memperhatikan dengan kening berkerut. Pandan Wangi juga memperhatikan tingkah Rajawali Putih, tapi terlalu sulit baginya untuk bisa mengerti. Dan memang, hanya Rangga saja yang bisa mengerti.

"Baiklah, Rajawali. Kau boleh mengawasi dari angkasa. Tapi jangan bertindak apa pun sebelum kuminta," kata Rangga akhirnya.

"Khrrr...!"
"Pergilah...."
"Khraaagkh...!"

Hanya sekali saja mengepakkan sayapnya, Ra-jawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa. Sementara, Rangga langsung mengajak Pandan Wangi memasuki Kotaraja Kerajaan Ringgading. Tidak ada seorang prajurit pun yang menjaga pintu gerbang sebelah Timur ini. Namun begitu, Rangga meminta Pandan Wangi untuk selalu berhati-hati. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepalanya ke atas, maka tampak Rajawali Putih masih di atas awan. Memang kelihatan kecil sekali, bahkan terkadang menghilang tertutup awan.

"Sepertinya kau tidak senang Rajawali terus mengikutimu, Kakang," kata Pandan Wangi.

"Jangan berkata begitu, Pandan. Dia bisa mendengar semua yang kau katakan," sahut Rangga sambil mendongakkan kepala ke atas.

"Khraaagkh...!" Dari angkasa terdengar suara serak yang sangat nyaring melengking tinggi.

"Apa kubilang, dia bisa mendengar," kata Rangga.

Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya saja, lalu terus mengayunkan kakinya mengikuti langkah Rangga dari sebelah kanan. Sementara, mereka sudah memasuki Kotaraja Kerajaan Ringgading. Memang sangat sunyi keadaannya. Tidak satu pun manusia yang dijumpai sejak melewati gerbang masuk ke kota ini. Bahkan tidak satu rumah pun di sepanjang jalan ini yang membuka pintu atau jendela. Benar-benar seperti sebuah kota mati yang tidak lagi berpenghuni.

"Sepi sekali..." desah Pandan Wangi pelan sekali. Hampir tidak terdengar suaranya.

Sedangkan Rangga hanya diam saja, seolah-olah tidak mendengar ucapan Pandan Wangi tadi. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti menggunakan ilmu kesaktian aji Pembeda Gerak dan Suara, sebuah ilmu yang bisa menajamkan pendengaran. Bahkan bisa memilah-milah suara yang diinginkan untuk didengar jelas.

Tanpa disadari, sejak tadi Pandan Wangi terus memperhatikan. Gadis itu tahu, Pendekar Rajawali Sakti sedang mengerahkan aji Pembeda Gerak dan Suara.

"Ada yang kau dapatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Hm..." Rangga hanya menjawab dengan gumaman kecil saja. Tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Pandan Wangi juga langsung berhenti melangkah di samping kanan pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tampak Rangga memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. Dan....

"Hap!" Begitu cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya. Dan tahu-tahu, dalam genggaman tangan pemuda itu sudah ada sebatang tongkat berukuran cukup panjang berwarna putih bagai terbuat dari perak. Sedikit kakinya bergeser ke belakang. Sementara, Pandan Wangi langsung memegang senjata kipas mautnya, walaupun belum tercabut dari balik ikat pinggangnya.

"Hati-hati, Pandan. Tampaknya kedatangan kita sudah diketahui," kata Rangga memperingatkan.

"Hm," Pandan Wangi hanya menggumam saja.

Suasana terasa begitu sunyi dan mencekam. Sedikit pun tak terdengar suara yang mencurigakan, kecuali desir angin saja yang mengusik telinga. Sementara, perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya ke depan. Sorot matanya begitu tajam memandangi sekitarnya. Sedangkan Pandan Wangi tetap diam di tempat dengan sikap penuh kewaspadaan.

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"

"Hup!" Rangga cepat melompat ke belakang mendekati Pandan Wangi, begitu tiba-tiba dari balik dinding rumah dan atap bermunculan orang-orang. Mereka langsung saja mengepung kedua pendekar muda dari Karang Setra itu di tengah-tengah jalan. Sebentar saja sudah tidak ada lagi celah bagi Rangga dan Pandan Wangi untuk bisa meloloskan diri. Sekelilingnya sudah terkepung tidak kurang dari tiga puluh orang yang semuanya menggenggam sebatang tongkat berwarna putih.

"Selamat datang di wilayah kami, Kisanak dan Nisanak!"

Rangga dan Pandan Wangi langsung berpaling, dan mendongak ke atas begitu mendengar sambutan keras dan menggelegar menyakitkan telinga. Tampak di atas atap sebuah rumah berdiri seorang laki-laki tua berjubah panjang dan longgar berwarna putih bersih. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang juga berwarna putih, persis dengan tongkat para pengepung dua orang pendekar muda dari Karang Setra ini.

"Mengapa kalian menghadang perjalanan kami?" tanya Rangga dengan suara lantang.

"Seorang anak buahku yang lolos mengatakan kalau si Tongkat Bintang Perak lumpuh. Dan itu gara-gara seekor rajawali raksasa berbulu putih. Aku yakin, burung sialan itu milikmu. Karena dari ciri-cirimu, aku tahu kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan hanya seorang pendekar yang memiliki rajawali seperti itu, yaitu kau sendiri!" dengus laki-laki tua berjubah putih itu.

"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Rangga, pura-pura tidak mengerti.

"Kau tidak berhak bertanya, Bocah!" bentak orang tua itu kasar. "Hup!" Sungguh ringan gerakan orang tua itu saat melompat turun dari atas atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat sekitar satu batang tombak lagi di depan Rangga. Gerakannya sangat cepat, indah, dan ringan, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi. Tentu kepandaiannya juga sangat tinggi, jika melihat dari caranya mengerahkan ilmu meringankan tubuh tadi.

"Dan sekarang, aku menuntut balas atas kematian muridku!" dengus orang tua berjubah putih itu, ketus.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit "Lihat sekelilingmu, Pendekar Rajawali Sakti. Semua muridku tidak akan segan-segan mencincangmu!"

ENAM

Bukan hanya Rangga saja yang terkejut. Bahkan Pandan Wangi juga jadi tersentak setengah mati begitu mendengar ancaman orang tua berjubah putih ini.

"Kau harus membayar mahal nyawa muridku, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya menyerah saja, sebelum murid-muridku kuperintahkan mencincangmu!" terasa dingin sekali nada suara orang tua berjubah putih itu.

"Tunggu dulu...!" sentak Rangga begitu orang tua berjubah putih itu sudah mengangkat tangan kanannya yang menggenggam tongkat.

"Ada apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti?"

"Kaukah yang bernama Ki Sadewa, Ketua Gerombolan Tongkat Putih...?" tanya Rangga ingin memastikan.

"Benar! Aku memang Ki Sadewa, Ketua Gerombolan Tongkat Putih. Dan mereka adalah murid-muridku yang sudah terlatih baik untuk mencincang orang-orang macam kau...!" tegas Ki Sadewa.

"Sebentar, Ki. Kau salah paham. Justru muridmulah yang hendak merampok rombongan dari Kerajaan Ringgading," Rangga mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Hm.... Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Pendekar Rajawali Sakti?" Dan belum juga Rangga menjelaskan, tiba-tiba saja....

"Ghrrrogkh...!"

"Heh...?! Apa itu...?!" sentak Pandan Wangi terkejut.

Bukan hanya Pandan Wangi saja yang tersentak kaget. Rangga, Ki Sadewa, dan murid-muridnya juga jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggorok yang sangat keras. Saat itu juga, terlihat wajah Ki Sadewa jadi berubah menegang. Bahkan semua muridnya kelihatan gelisah.

"Bersembunyi kalian semua. Cepaaat...!" seru Ki Sadewa lantang menggelegar kepada murid-muridnya.

Belum juga hilang perintah Ketua Gerombolan Tongkat Putih itu, semua muridnya langsung berlarian mencari tempat persembunyian. Bahkan saat itu juga, rumah-rumah yang semula pintunya tertutup rapat langsung terbuka, memberi kesempatan masuk pada murid-murid Ki Sadewa. Sebentar saja, sudah tidak terlihat lagi murid-murid Gerombolan Tongkat Putih itu. Dan di tengah jalan ini tinggal Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Sadewa saja. Sementara, perlahan-lahan Ki Sadewa menarik kakinya ke tepi jalan, lalu....

"Hup!"

"Heh...?!" Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Ki Sadewa melesat cepat. Dan belum juga Pendekar Ra-jawali Sakti bisa mencegah, bayangan tubuh Ketua Gerombolan Tongkat Putih itu sudah tidak terlihat lagi. Kini, tinggal kedua pendekar muda dari Karang Setra saja yang masih berada di tengah-tengah jalan. Sementara, sekelilingnya begitu sunyi. Tak seorang pun yang terlihat lagi di luar rumah. Sedangkan semua pintu dan jendela rumah yang ada di sepanjang kiri dan kanan jalan ini tidak ada yang terbuka.

"Ada apa dengan mereka, Kakang...?" tanya Pandan Wangi, agak menggumam suaranya. Seperti bertanya pada diri sendiri. Namun Rangga tidak menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Dia sendiri tidak mengerti melihat Ki Sadewa dan murid-muridnya. Mereka langsung pergi bersembunyi begitu mendengar suara menggorok tadi. Sedangkan suara itu hanya sekali saja terdengar. Dan kini sudah menghilang entah ke mana. Entah dari mana suara itu datang. Belum juga Rangga dan Pandan Wangi bisa mengerti, mendadak....

"Aaa...!"

"Heh...?! Hup...!" Rangga langsung melesat cepat bagai kilat, begitu terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi. Sementara, Pandan Wangi masih terpaku sesaat, lalu bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Langsung dikerahkannya ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.

"Oh...?!" Rangga jadi tersedak begitu melihat sebuah kepala manusia tergeletak di depan sebuah rumah. Darah berceceran di mana-mana. Tidak jauh dari kepala itu, tergeletak sebuah kaki yang masih mengucurkan darah segar. Belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu, Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Gadis itu juga terkejut setengah mati melihat kepala buntung dan sebuah kaki tergeletak di halaman sebuah rumah kecil.

"Ghrooogkh...!"

"Heh...?!" Tepat ketika terdengar suara menggorok serak, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat keluar dari dalam rumah melalui atap. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga hanya sekilas saja Rangga bisa melihat. Dan bayangan itu kini sudah lenyap dalam sekejap mata saja.

"Kau tunggu di sini, Pandan," kata Rangga.

"Kau mau...?"

"Hup!" Belum juga Pandan Wangi selesai bertanya, Rangga sudah melesat begitu cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai kesempurnaan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.

Sementara, Pandan Wangi hanya bisa diam terpaku tanpa dapat berbuat sesuatu. Belum juga Pandan Wangi bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba saja murid-murid Gerombolan Tongkat Putih sudah bermunculan. Bahkan ada beberapa orang di atas atap yang mengarahkan panah terpasang di busur ke arah si Kipas Maut ini. Pandan Wangi jadi kelabakan sendiri. Sementara, Rangga pergi entah ke mana. Pendekar Rajawali Sakti tadi mengejar bayangan yang berkelebat cepat, keluar dari dalam rumah ini. Perlahan Pandan Wangi memutar tubuhnya, dan langsung menatap tajam Ki Sadewa yang melangkah perlahan-lahan menghampiri.

"Mau apa kalian,..?!" sentak Pandan Wangi.

"Aku terpaksa harus menahanmu, Nisanak," sahut Ki Sadewa.

"Heh...?! Apa salahku?!"

Tapi pertanyaan Pandan Wangi tidak ada yang menjawab. Ki Sadewa sudah menjentikkan ujung jari tangannya. Maka saat itu juga empat orang muridnya berlompatan maju sambil memutar-mutar tambang. Namun belum juga keempat murid Gerombolan Tongkat Putih menyerang, mendadak...

"Khraaagkh...!" Wusss!

"Eh?! Apa itu...?!" sentak Ki Sadewa terkejut.

Bukan hanya Ki Sadewa saja yang terkejut Pandan Wangi juga terperanjat setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau Rajawali Putih yang memang sejak tadi mengawasi dari angkasa bisa melihat keadaannya yang tidak menguntungkan ini. Dan begitu cepat burung rajawali itu menukik turun, lalu menyambar si Kipas Maut dengan sepasang cakarnya yang kuat, sebelum Ki Sadewa dan murid-muridnya bisa berbuat sesuatu. Bagaikan kilat, Rajawali Putih membawa terbang Pandan Wangi dalam cengkeramannya.

Dalam sekejapan mata saja, burung rajawali itu sudah kembali melambung tinggi ke angkasa. Sementara, Pandan Wangi langsung memejamkan matanya, tidak sanggup melihat ke bawah dalam keadaan tubuh menghadap ke bumi seperti ini.

"Rajawali, turunkan, aku...!" teriak Pandan Wangi.

"Khragkh...!" Rajawali Putih kembali meluruk deras dengan kecepatan bagai kilat. Sehingga membuat jantung Pandan Wangi seakan hendak copot rasanya. Gadis itu benar-benar tidak kuasa membuka matanya. Dan matanya baru dibuka saat kakinya terasa menyentuh tanah. Saat Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya, Pandan Wangi langsung jatuh terguling. Cepat-cepat gadis itu melompat bangkit berdiri. Sementara Rajawali Putih sudah mendekam di depannya.

"Kau tidak perlu berbuat begitu, Rajawali. Aku bisa mengatasi mereka!" dengus Pandan Wangi sambil mengibaskan kotoran tanah yang melekat di bajunya.

"Khrrr...!"

"Sudah! Aku tidak mengerti apa yang kau katakan," sentak Pandan Wangi kesal.

Gadis cantik itu langsung mengedarkan pandangan berkeliling. Saat itu, keningnya jadi berkerut. Ternyata Rajawali Putih membawanya ke tempat yang belum dikenalnya sama sekali. Sebuah tempat sangat indah, bagaikan berada di dalam sebuah taman istana. Pandan Wangi tidak tahu, di mana kini berada. Yang jelas, dia seperti merasa tidak lagi berada di dalam wilayah Kerajaan Ringgading. Sebentar kemudian gadis itu sudah menatap Rajawali Putih yang masih mendekam dengan kepala agak tertunduk ke bawah.

"Di mana ini, Rajawali?" tanya Pandan Wangi.

Namun Rajawali Putih tidak menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Bahkan tiba-tiba saja sudah mengepakkan sayapnya, dan langsung melesat ke angkasa.

"Hei, tunggu...!" seru Pandan Wangi terkejut. Tapi Rajawali Putih sudah melambung tinggi, dan terus melesat cepat bagai kilat meninggalkan gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Sebentar saja, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah tidak terlihat lagi.

"Edan...! Apa maksudnya meninggalkan aku di sini...?" dengus Pandan Wangi menggerutu sendiri. "Huh!" Pandan Wangi tidak sempat lagi memikirkan sikap Rajawali Putih yang membuat kesal hatinya. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Kelopak matanya jadi menyipit begitu melihat sebuah bangunan kecil dari batu berbentuk puri, terletak di sudut dari taman ini.

"Hm..." Baru saja Pandan Wangi mengayunkan kakinya beberapa langkah hendak mendekati puri kecil itu, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan orang-orang berseragam prajurit Kerajaan Ringgading. Mereka langsung berlompatan, dan mengepungnya.

Sret!

Pandan Wangi langsung mencabut kipas mautnya, dan membukanya di depan dada. Sementara, lebih dari tiga puluh orang berpakaian seragam prajurit Kerajaan Ringgading sudah rapat mengepungnya dengan senjata tombak dan pedang terhunus.

Saat itu, dari dalam puri muncul seorang laki-laki berusia separuh baya, didampingi empat orang laki-laki tua. Semuanya mengenakan jubah warna kuning gading, dengan kepala gundul. Mereka langsung menghampiri Pandan Wangi yang sudah siap dengan kipas maut terkembang di depan dada.

"Kaukah Pandan Wangi yang berjuluk si Kipas Maut..?" tanya laki-laki separuh baya berpakaian indah merah muda dari bahan sutera halus, begitu dekat dengan gadis yang berjuluk si Kipas Maut.

"Benar," sahut Pandan Wangi singkat.

"Aku Prabu Gading Anom...."

"Oh..." Pandan Wangi baru menyadari kalau kini berada di dalam lingkungan Pertapaan Sangkalima. Cepat-cepat kipas mautnya ditutup lagi, dan langsung berlutut seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, begitu tahu kalau laki-laki separuh baya yang berada di depannya adalah Prabu Gading Anom. Dan belum lama gadis itu berlutut memberi sembah, Prabu Gading Anom sudah menyentuh pundaknya. Segera dibawanya si Kipas Maut itu berdiri lagi.

"Maafkan atas sambutan yang tidak enak ini, Nini Pandan," ucap Prabu Gading Anom.

"Ah...," Pandan Wangi hanya bisa mendesah saja. Pandan Wangi memang tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Sungguh tidak diketahuinya kalau Rajawali Putih membawanya ke Pertapaan Sangkalima. Dari Rangga, gadis itu tahu kalau Prabu Gading Anom sementara bersembunyi di pertapaan ini, selama Siluman Muka Kodok masih menguasai istananya.

"Kau datang tidak bersama Prabu Rangga, Nini Pandan?" tanya Prabu Gading Anom.

"Ada sedikit peristiwa yang membuat kami terpisah," sahut Pandan Wangi. Tanpa diminta lagi, si Kipas Maut menceritakan semua yang terjadi begitu dia dan Rangga sampai di Kotaraja Kerajaan Ringgading. Sementara, Prabu Gading Anom terangguk-angguk mendengarkan semua kejadian yang dialami sahabat-sahabatnya.

Bahkan Pandan Wangi juga menceritakan tentang kedatangan Patih Gandaraka dan prajurit-prajuritnya ke Karang Setra. Tapi, sekarang ini mereka semua sudah diterima baik. Bahkan tidak lagi harus berkemah di luar perbatasan. Atas perintah Rangga, Danupaksi mengatur tempat beristirahat untuk Patih Gandaraka dan para prajuritnya, sampai Siluman Muka Kodok terusir dari Istana Kerajaan Ringgading.

"Aku gembira mendengar Patih Gandaraka dan prajurit-prajuritku sudah aman di Karang Setra. Ah..., sulit sekali mengucapkan terima kasih pada Prabu Rangga," ucap Prabu Gading Anom.

"Demi persahabatan, aku dan Kakang Rangga sudah bertekad mengusir Siluman Muka Kodok. Bahkan kalau perlu, melenyapkan untuk selama-lamanya," tegas Pandan Wangi.

"Aku percaya kau dan Prabu Rangga pasti mampu mengalahkannya. Yaaah..., memang tidak ada lagi yang bisa kuharapkan selain kalian berdua. Kalian bukan saja orang utama di Karang Setra, tapi juga pendekar-pendekar muda yang tangguh dari digdaya. Rasanya, tidak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktian Prabu Rangga sekarang ini," puji Prabu Gading Anom.

"Ah...! Gusti Prabu terlalu berlebihan," desah Pandan Wangi, langsung memerah wajahnya, mendapat pujian tulus seperti itu.

"Aku tidak berlebihan. Tapi, ini memang kenyataan, Nini."

Pandan Wangi hanya bisa tersenyum saja. Sementara dia sendiri merasa bukanlah apa-apa bila saja tidak bersama-sama Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kepandaian yang dimiliki Pandan Wangi juga tidak bisa dikatakan rendah. Terlebih lagi, kalau sudah bertarung mengeluarkan Pedang Naga Geni. Kehadirannya bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Tidak sedikit tokoh persilatan yang mengaguminya. Dan memang, semua orang mengakui kalau Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut merupakan pasangan yang sangat pas. Mereka sama-sama masih muda, dan berkepandaian sangat tinggi.

Sementara Prabu Gading Anom mengajak si Kipas Maut berjalan-jalan di sekitar taman Pertapaan Sangkalima ini. Dan ajakan itu tidak bisa ditolak Pandan Wangi. Dia berjalan di samping kanan laki-laki separuh baya yang masih kelihatan gagah ini. Sementara, empat orang pertapa yang tadi menyertai Prabu Gading Anom keluar, sudah masuk lagi ke dalam puri. Bahkan para prajurit yang tadi sempat mengepung Pandan Wangi pun sudah tidak terlihat lagi. Kini di dalam taman itu hanya ada Pandan Wangi dan Prabu Gading Anom saja.

"Sunyi sekali di sini...," desah Pandan Wangi agak menggumam.

"Memang. Aku sengaja membuatnya sunyi agar Siluman Muka Kodok tidak curiga," sahut Prabu Gading Anom. "Aku juga tidak ingin ada perubahan yang menyolok di sini. Tempat ini sengaja kupertahankan seperti apa adanya."

"Berapa lama lagi Gusti Prabu akan tinggal di sini?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Secepatnya aku pergi dari sini, setelah Prabu Rangga bisa mengusir Siluman Muka Kodok dari istanaku," sahut Prabu Gading Anom.

"Rasanya Ringgading memiliki prajurit tangguh. Juga banyak jago silat tangguh berada di sini. Tapi, kenapa sampai tidak bisa menandingi Siluman Muka Kodok..?"

"Sudah berulangkali dicoba, tapi memang Siluman Muka Kodok sangat tangguh. Bukan hanya kepandaiannya saja yang sangat tinggi, tapi juga kebal terhadap segala jenis senjata. Dia juga sangat ganas. Setiap hari, selalu mengambil korban untuk disantap."

"Hanya iblis neraka yang bisa berbuat begitu," desis Pandan Wangi, gusar.

"Dia memang iblis, Nini Pandan. Entah datang dari mana, tahu-tahu sudah ada di istana. Bahkan membantai puluhan prajurit. Akibatnya juga, aku kehilangan banyak panglima dan jago silat istana. Dia hanya seorang diri, tapi kekuatannya melebihi seribu prajurit," kata Prabu Gading Anom.

"Hebat..." desis Pandan Wangi memuji dengan tulus. Tapi di balik pujiannya yang tulus, terselip rasa khawatir dalam hatinya. Gadis cantik ini takut kalau-kalau Rangga tidak sanggup menghadapinya seorang diri. Dari semua yang diceritakan Prabu Gading Anom tentang Siluman Muka Kodok, sudah bisa dinilai kalau kepandaiannya sangat tinggi. Bahkan Pandan Wangi juga sudah bisa mengukur kalau dirinya sendiri tidak akan sanggup menandingi. Tapi, apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu menandingi kesaktian yang dimiliki Siluman Muka Kodok...?

Kekhawatiran semakin dalam menyelimuti hari si Kipas Maut itu. Dia tahu, Rangga tadi meninggalkannya karena mengejar bayangan yang berkelebat cepat, keluar dari dalam rumah rakyat Ringgading. Dan dari cerita Prabu Gading Anom, Pandan Wangi sudah bisa menebak kalau bayangan yang dikejar Rangga pastilah Siluman Muka Kodok. Juga kepala dan kaki yang ada di luar rumah itu, pastilah salah satu korbannya. Mengingat itu, Pandan Wangi semakin diliputi kecemasan akan nasib Pendekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, hatinya begitu cemas. Dan ini tidak pernah dirasakan sebelumnya.

"Dewata Yang Agung..., lindungi Kakang Rangga dari bencana," desah Pandan Wangi dalam hati.

********************

TUJUH

Sementara itu Rangga sudah tiba di depan gerbang Istana Kerajaan Ringgading. Sekilas masih sempat terlihat kalau bayangan hitam yang dikejarnya menghilang setelah masuk ke dalam istana yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh ini. Pendekar Rajawali Sakti hendak melanjutkan pengejarannya, dan langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Diamatinya keadaan sekitar. Terasa sangat sunyi. Tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi, bagaikan berada di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas tak bertepi. Hanya desir angin saja yang terdengar, menggesek dedaunan.

"Patih Gandaraka mengatakan, Siluman Muka Kodok hanya seorang diri, Hm.... Bagaimanapun juga aku harus hati-hati. Mungkin banyak jebakan di sekitar istana ini," gumam Rangga berbicara sendiri.

Kembali Rangga merayapi keadaan sekitarnya. Sedikit pun tidak tampak adanya tanda-tanda jebakan di sekitar istana ini. Perlahan kakinya terayun beberapa tindak, mendekati pintu gerbang yang tertutup rapat. Pendekar Rajawali Sakti menggumam perlahan. Dan rasanya tidak mudah menjebol pintu gerbang yang terbuat dari besi baja ini. Kalaupun bisa, pasti akan menimbulkan keributan. Dan Siluman Muka Kodok dengan mudah bisa mengetahui kehadirannya.

"Aku harus melompati tembok ini," gumam Rangga dalam hati. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati ketinggian tembok batu yang mengelilingi bangunan istana ini. Beberapa saat kemudian...

"Hup!" Bagaikan kapas, Rangga melesat tinggi ke udara. Begitu indah dan ringan gerakannya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu manis sekali hinggap di bibir atas tembok.

"Ups...!" Cepat Rangga memalingkan mukanya sambil menutup hidung, begitu bau busuk langsung menyergap lubang hidungnya. Sungguh tidak sedap pemandangan di dalam lingkungan benteng istana ini. Tulang-tulang tengkorak manusia berserakan di mana-mana. Bahkan tidak sedikit mayat yang sudah membusuk bergelimpangan.

Siluman Muka Kodok benar-benar membuat keadaan Istana Ringgading menjadi tempat pembantaian manusia. Entah berapa ratus orang sudah menjadi korbannya. Luasnya halaman istana, dipenuhi tulang-tulang tengkorak dan mayat-mayat yang sudah membusuk menyebarkan bau tidak sedap.

"Hup!" Bau busuk yang sangat menusuk, membuat perut Rangga jadi bergolak mual hendak muntah. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti kembali melompat turun, namun jadi agak limbung begitu kakinya menjejak tanah. Bau busuk dari mayat-mayat yang berserakan di sekitar istana ini, membuat kepalanya jadi pening.

"Phuuuh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga menarik kakinya ke belakang menjauhi istana. ini. Sulit dipercaya dengan apa yang baru saja disaksikannya. Begitu banyak tulang tengkorak berserakan di ha-laman depan istana.

"Hhh! Tidak mungkin aku masuk ke sana. Bisa-bisa aku mati karena bau busuk...!" dengus Rangga dalam hati. "Hm..., apa akalku sekarang...?"

Rangga terus memutar otaknya, mencari jalan agar bisa mengusir Siluman Muka Kodok dari Istana Ringgading. Untuk masuk ke dalam, memang tidak mungkin lagi. Dia yakin, bukan hanya di halaman saja banyak tulang tengkorak dan mayat-mayat membusuk berserakan. Di dalam bangunan istana itu pasti juga sudah penuh mayat-mayat membusuk.

"Aku harus bisa memancingnya keluar. Hm, tapi bagaimana caranya...?"

kembali Rangga menggumam bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pikiran Pendekar Rajawali Sakti benar-benar terasa buntu saat ini. Tidak tahu lagi, bagaimana caranya bisa bertemu Siluman Muka Kodok. Tanpa disadari, kepalanya mendongak ke atas. Dan begitu melihat Rajawali Putih melayang memutari bangunan istana ini, bibirnya jadi menyunggingkan senyum.

"Suiiit...!" Rangga memanggil Rajawali Putih dengan siulannya.

"Khraaagkh...!" Rajawali Putih langsung meluruk turun dengan kecepatan bagai kilat. Sebentar saja burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah mendarat, tidak jauh di depan Rangga.

"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat naik ke punggung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

"Rajawali! Aku ingin kau bisa memancing Siluman Muka Kodok keluar dari istana," pinta Rangga.

"Khragkh..." Wusss!

Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung melesat naik ke angkasa. Hanya sekali saja sayapnya dikepakkan, sudah melambung sangat tinggi sekali. Dari atas, Rangga bisa melihat jelas keadaan dalam lingkungan benteng Istana Ringgading, tanpa khawatir terserang bau busuk dari mayat-mayat yang berserakan di dalam sana.

Memang benar dugaannya. Hampir di setiap pelosok sudah penuh oleh tulang-tulang tengkorak dan mayat-mayat yang sudah membusuk. Sepertinya, tidak ada lagi tempat kosong. Istana ini bagaikan sebuah kuburan terbuka, penuh terisi mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Tapi, sedikit pun tak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Walaupun sudah bersama Rajawali Putih di angkasa, tapi Rangga belum juga bisa mendapatkan cara untuk memancing Siluman Muka Kodok keluar. Dan hanya diamatinya saja setiap sudut dari Istana Ringgading ini. Sementara, Rajawali Putih terus berputar-putar mengelilingi istana ini.

"Ke bagian belakang, Rajawali.!" pinta Rangga dengan suara dikeraskan, karena angin di angkasa ini begitu kencang.

"Khraaagkh...!" Rangga menajamkan matanya begitu Rajawali Putih sudah sampai ke bagian belakang Istana Ringgading. Tapi, tidak ada yang bisa didapatkan juga di bagian belakang istana ini. Dan baru saja ingin memerintahkan Rajawali Putih ke bagian depan lagi, mendadak saja....

Slap!
"Awas...!"
"Khraaagkh...!"
"Hup...!"

Cepat sekali Rangga melesat sambil mengibaskan tangannya, begitu melihat secercah cahaya kuning kemerahan melesat cepat bagai kilat ke arahnya. Sementara, Rajawali Putih langsung mengepakkan sayapnya berusaha menghindari terjangan cahaya kuning kemerahan itu. Cahaya kuning kemerahan itu lewat di antara Rajawali Putih dan Rangga yang berputaran di udara sambil mengembangkan kedua tangan ke samping, bagai sepasang sayap burung.

"Khraaagkh...!"

Rangga terus meluncur ke bawah sambil berputaran karena berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Melihat hal ini, Rajawali Putih cepat sekali meluruk ke arah pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu. Namun belum juga sampai, mendadak saja kembali terlihat secercah cahaya kuning kemerahan meluruk deras ke arahnya.

"Khraaakgh...!" Rajawali Putih langsung menarik dirinya, menghindari terjangan cahaya kuning kemerahan itu. Sementara, Rangga terus meluruk deras ke bawah dengan tubuh berputaran. Meskipun sudah mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega, tapi tetap saja Pendekar Rajawali Sakti meluncur cepat ke bawah.

"Khraaakgh...!" Melihat Rangga sudah tidak bisa lagi menguasai keseimbangan dirinya, Rajawali Putih kembali meluruk cepat hendak menyambarnya. Dan pada saat itu, cahaya kuning kemerahan kembali terlihat melesat ke arah burung rajawali raksasa itu. Namun pada saat yang bersamaan, Rajawali Putih sudah dekat dengan Rangga.

"Awas, Rajawali...!" seru Rangga memperingatkan.

"Khrakgh,..!"

Tapi, Rajawali Putih tampaknya tidak mempedulikan peringatan Rangga, dan terus meluruk deras ke arahnya. Sehingga tanpa dapat dihindari lagi, cahaya kuning kemerahan itu tepat menghantam tubuhnya.

"Khreeeaaagkh..."

"Oh, tidaak...!" Rangga menjerit sekuat-kuatnya begitu Rajawali Putih terhantam cahaya kuning kemerahan yang melesat begitu cepat bagai kilat. Rajawali Putih menjerit keras sambil menggelepar di udara. Namun tanpa diduga sama sekali, burung raksasa berbulu putih keperakan itu masih bisa meluncur deras. Langsung disambarnya tubuh Rangga dengan cakarnya yang kuat dan kokoh.

"Khraaakgh...!"

Begitu berhasil menyambar tubuh Rangga yang melayang di udara, secepat kilat Rajawali Putih melesat naik ke angkasa. Dan pada saat itu, kembali secercah cahaya kuning kemerahan meluncur cepat bagai kilat ke arah burung rajawali raksasa itu.

"Hiyaaa...!"
Sret!
Cring!

Rangga tidak ingin cahaya kuning kemerahan itu menghantam tubuh Rajawali Putih lagi. Dengan cepat sekali, pedang pusakanya dicabut, dan langsung dikibaskan untuk menangkis cahaya kuning kemerahan itu.

Trang!
Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar seketika terdengar disertai percikan api yang menyebar ke segala arah, begitu pedang di tangan Rangga beradu dengan cahaya kuning kemerahan yang keluar dari dalam Istana Ringgading ini. Tampak Rajawali Putih jadi oleng terbangnya. Namun cepat sekali bisa menguasai keseimbangan dirinya. Dan dengan kecepatan bagai kilat, dia meluncur deras sambil membawa Rangga pada cakarnya, menjauhi bangunan istana yang sudah tidak terawat dan dipenuhi tulang tengkorak serta mayat-mayat membusuk itu.

********************

"Hup...!" Rangga langsung memutar tubuhnya begitu Rajawali Putih melepaskan cengkeraman cakarnya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah yang berumput cukup tebal ini. Sementara itu, Rajawali Putih langsung jatuh tergeletak di tanah. Tampak dari paruhnya mengeluarkan darah kental agak kehitaman.

"Rajawali...." Rangga bergegas menghampiri burung tunggangannya. Tampak jelas kalau Rajawali Putih terluka dalam yang cukup parah, akibat terkena serangan sinar kuning kemerahan tadi. Dan pada bagian dada, kelihatan menghitam seperti terbakar. Rangga cepat-cepat memberi totokan beberapa kali di sekitar bulatan hitam di dada Rajawali Putih.

"Apa yang kau rasakan rajawali?" tanya Rangga dengan nada dipenuhi kecemasan.

"Khrrrkh...!"

Rajawali Putih hanya mengkirik lirih. Kepalanya menggeletak di tanah. Sedangkan sinar matanya kelihatan begitu redup. Darah masih terlihat memenuhi paruhnya, walaupun tidak mengalir lagi seperti tadi.

"Bertahanlah, Rajawali. Aku akan mencoba menyembuhkan luka dalammu," ujar Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung duduk bersila di depan Rajawali Putih. Kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Perlahan kedua kelopak matanya mulai terpejam. Sementara, Rajawali Putih masih tetap menggeletak dengan kepala terkulai lemas di tanah. Kedua sayapnya terkembang lemas. Burung raksasa itu benar-benar bagai tidak memiliki kekuatan lagi, akibat luka dalam yang diderita.

"Hap!" Begitu kedua kelopak matanya terbuka, Rangga langsung menempelkan kedua telapak tangan, tepat di dada Rajawali Putih. Tampak asap tipis mengepul dari sela-sela jari tangan pemuda itu. Rajawali Putih mengkirik lirih sambil menggeliat. Darah kembali mengucur dari paruhnya yang terbuka. Sementara, Rangga terus menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh burung rak-sasa ini.

"Hhh!" Begitu besarnya hawa murni yang harus disalurkan, membuat seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti basah bersimbah keringat. Tampak jelas kalau tubuhnya mulai menggeletar. Kerut-kerut di keningnya semakin terlihat banyak, dan kelopak matanya pun mulai menyipit. Sementara, asap yang mengepul dari sela-sela jari tangannya semakin terlihat menebal. Namun, Rangga seperti tidak peduli. Meskipun harus mengerahkan seluruh kemampuannya, dia terus menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh Rajawali Putih.

"Khraaagkh...!"

Tiba-tiba saja Rajawali Putih mengangkat kepalanya, dan seketika itu juga melesat sambil mengeluarkan suara sangat keras. Dan pada saat itu juga, tampak Rangga terpental sejauh dua batang tombak disertai pekikan keras yang melengking.

"Aaakh...!"

Sebatang pohon yang sangat besar seketika hancur berkeping-keping terlanda punggung Pendekar Rajawali Sakti. Tampak Rangga jatuh bergulingan beberapa kali, namun cepat duduk bersila. Beberapa kali kedua tangannya digerakkan di depan dada. Lalu sambil menahan napas, kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada.

Sementara, Rajawali Putih kembali mendarat di tanah. Burung raksasa berbulu putih keperakan itu memuntahkan darah kental dari paruhnya. Dia mendekam memandangi Rangga yang tengah bersemadi untuk mengembalikan tenaganya, setelah terkuras akibat pengerahan hawa murni yang begitu besar ke dalam tubuh Rajawali Putih.

"Ugkh....! Hoeeekh...."

Rangga memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dan saat itu juga, dia jatuh terkulai. Keringat semakin banyak membanjiri tubuhnya. Namun sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti kembali bangkit dengan napas tersengal memburu. Sedangkan Rajawali Putih segera menyorongkan kepalanya.

"Khrrr...! "

"Aku tidak apa-apa, Rajawali," ujar Rangga seraya tersenyum. "Bagaimana denganmu?" Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepala sambil mengkirik perlahan. Senyuman di bibir Rangga semakin terlihat lebar. Dia tahu, Rajawali Putih sudah sembuh dari luka dalamnya, meskipun hampir mengorbankan dirinya tadi. Untung saja Rajawali Putih tadi cepat melesat, sehingga penyaluran hawa murni yang berlebihan bisa dihentikan. Kalau tidak..., mungkin saat ini Rangga sendiri sudah tergeletak tak bernyawa lagi.

"Uh..." Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga bangkit berdiri. Seluruh tubuhnya terasa lemas sekali. Dia benar-benar telah begitu banyak kehilangan tenaga. Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang membanjiri leher.

Sementara, Rajawali Putih terus mendekam memandangi pemuda itu. Di paruhnya yang besar, masih terlihat sisa-sisa darah melekat.

"Aku akan bersemadi dulu, Rajawali," kata Rangga sambil melangkah, mendekati sebongkah batu besar yang bagian atasnya datar.

"Khrrr...!"

Rangga naik ke atas batu itu, kemudian duduk bersila dan mengambil sikap bersemadi. Kedua telapak tangannya diletakkan di atas lututnya yang tertekuk. Perlahan kemudian pernafasannya mulai diatur. Lalu, kelopak matanya mulai terpejam. Sedangkan Rajawali Putih tetap mendekam menunggui. Jelas terlihat kalau kelopak mata burung raksasa itu juga terpejam. Sepertinya, Rajawali Putih juga melakukan semadi seperti yang sedang dilakukan pemuda yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.

********************

Semalaman penuh, Rangga dan Rajawali Putih bersemadi untuk memulihkan kekuatan tubuh. Dan di saat matahari menampakkan diri di ufuk Timur, mereka baru bangun dari semadi. Rangga segera melompat turun dari atas batu tempat bersemadi, dan menghampiri Rajawali Putih yang sudah berdiri di atas kedua kakinya yang besar dan sangat kokoh.

"Kau kelihatan segar sekali pagi ini, Rajawali," kata Rangga diiringi senyuman tebar.

"Khragkh...!"

Rajawali Putih menyambutnya dengan cerah. Kepalanya diangguk-anggukkan sambil mengepakkan sayapnya yang lebar. Rangga menepuk leher burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu, kemudian memeluknya dengan hangat. Pagi ini, mereka memang sudah benar-benar pulih seperti semula. Wa-laupun semalaman harus bersemadi, tapi sedikit pun tidak terlihat adanya kelelahan di wajah mereka berdua.

"Kakang... "

"Heh...?!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya. Cepat-cepat tubuhnya berbalik. Tampak Pandan Wangi berlari-lari kecil menghampiri. Sedangkan Rangga melangkah beberapa tindak ke depan. Pandan Wangi baru berhenti setelah dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Nafasnya terlihat terengah-engah, dan keringat membanjiri lehernya yang jenjang dan putih. Seakan-akan, gadis cantik yang dijuluki si Kipas Maut itu baru saja berlari jauh sekali.

"Aku cari ke mana-mana, tidak tahunya ada di sini," ujar Pandan Wangi setelah bisa mengatur jalan pernafasannya.

"Semalaman aku ada di sini," sahut Rangga.

"Kakang..., aku sudah bertemu Prabu Gading Anom," kata Pandan Wangi langsung memberi tahu.

"Oh, ya...? Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga.

"Sehat Prabu Gading Anom juga menitipkan salam untukmu. Dia mengharapkan sekali kau bisa mengusir Siluman Muka Kodok dari istana," jelas Pandan Wangi.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang, dan terasa sangat berat. Pandangannya langsung tertuju ke depan, ke arah Istana Ringgading. Kemarin, Pendekar Rajawali Sakti sudah mencoba menyusup masuk ke istana itu. Tapi yang didapat, hampir saja dirinya dan Rajawali Putih terbunuh, Sedangkan keadaan di sekitar istana sekarang ini..., rasanya Rangga tidak akan sanggup mengatakan keadaan di dalam istana itu. Mayat-mayat yang sudah membusuk dan menyebarkan bau yang tidak sedap, membuat perut Pendekar Rajawali Sakti jadi bergolak hendak muntah. Rasanya tidak ada seorang pun yang akan sanggup menghalau bau busuk dan mayat-mayat yang berserakan memenuhi semua bagian istana.

"Aku dapat pesan dan Prabu Gading Anom, kau ditunggu di depan istana," kata Pandan Wangi memberi tahu.

"Heh...?! Mau apa Prabu Gading Anom ke sana...?" tanya Rangga tersentak kaget.

"Mau menyerang Siluman Muka Kodok," sahut Pandan Wangi kalem.

"Huh! Dia bukan manusia sembarangan, Pandan" dengus Rangga.

"Tapi sebelum matahari terbit tadi, Prabu Gading Anom sudah berangkat dari Pertapaan Sangkalima bersama para prajuritnya. Dan sekarang ini pasti sudah sampai di istana, Kakang," jelas Pandan Wangi lagi. "Katanya, dia sudah terlalu banyak mengor-bankan orang tak berdosa pada Siluman Muka Kodok. Dan dia tak mau lagi mengorbankan orang sepertimu, yang sudah begitu baik padanya. Maaf, Kakang. Aku tidak bisa mencegah."

Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Sementara, Pandan Wangi masih tetap berdiri diam memandangi. Dan Rangga juga memandangi gadis itu dengan sinar mata sangat dalam.

"Ayo cepat, Pandan. Aku tidak punya waktu lagi untuk membujukmu," kata Rangga, meminta Pandan Wangi cepat-cepat naik ke punggung Rajawali Putih. Sebentar, Pandan Wangi masih kelihatan ragu-ragu.

"Ayo cepat, Pandan...," desak Rangga tidak sabar.

"Baik. Hup...!" Dengan memantapkan hati, Pandan Wangi melompat naik ke punggung burung raksasa berbulu putih keperakan ini dan langsung duduk di depan Rangga. Rajawali Putih segera melesat ke angkasa begitu Rangga menepuk lehernya tiga kali. Seketika Pandan Wangi cepat-cepat memejamkan mata, dan saat itu juga jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Namun, Rajawali Putih terus melesat dengan kecepatan sangat tinggi.

"Ke istana, Rajawali...!" pinta Rangga.

"Khraaagkh...!"

********************

DELAPAN

Dari angkasa, terlihat jelas sekali kalau prajurit-prajurit Ringgading tengah menggempur seseorang yang berbaju hitam ketat. Namun, tampaknya orang itu tidak gentar sama sekali. Bahkan gerakan-gerakannya cepat sekali, sehingga bisa memporak-porandakan gempuran prajurit-prajurit itu. Jerit dan pekik melengking tinggi terdengar saling sambut, disertai berjatuhannya para prajurit Ringgading.

Sementara, di luar ajang pertarungan yang tidak seimbang itu, terlihat Prabu Gading Anom seperti gelisah melihat prajurit-prajuritnya tidak mampu menghadapi orang berpakaian serba hitam. Malah semakin banyak pula prajurit Ringgading yang ambruk tak bernyawa lagi, dengan luka menganga mengeluarkan darah di tubuh.

"Cepat turun, Rajawali!" perintah Rangga.

"Khraaagkh...!"

Bagaikan kilat, Rajawali Putih menukik turun. Tujuannya langsung ke tengah-tengah ajang pertarungan.

"Menyingkir kalian semua...!" seru Rangga sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Teriakan Rangga yang begitu keras menggelegar bagai guntur, membuat prajurit-prajurit Ringgading jadi tersentak kaget. Dan seketika itu juga, mereka berlompatan mundur begitu melihat seekor burung rajawali raksasa menukik sangat cepat bagai kilat. Dan di saat Rajawali Putih hampir mencapai tanah, cepat sekali Rangga melompat turun.

"Hup! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Pandan Wangi juga langsung melompat turun. Sementara, Rajawali Putih kembali melambung tinggi ke angkasa. Beberapa kali pendekar-pendekar muda dari Karang Setra itu berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat tepat sekitar tiga batang tombak di depan laki-laki berbaju serba hitam.

"Ohh...?!" Pandan Wangi langsung tersedak begitu melihat wajah orang itu. Bukan wajah manusia yang terlihat, tapi wajah yang sangat mirip dengan kodok. Bahkan seluruh kulit tubuhnya juga tidak jauh berbeda dengan binatang yang hidup di dua alam itu. Benar-benar mengerikan! Kedua bola matanya yang merah, langsung menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri agak ke depan dari Pandan Wangi.

"Menjauhlah, Pandan," pinta Rangga dengan suara ditekan agak dalam.

"Hati-hati, Kakang. Kelihatannya dia sangat ganas," kata Pandan Wangi memperingatkan.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit. Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kaki ke depan perlahan-lahan, namun mantap.

Sementara, Pandan Wangi bergerak menyingkir mendekati Prabu Gading Anom. Raja Ringgading itu kini sudah turun dari punggung kudanya, begitu melihat Rangga dan Pandan Wangi datang bersama seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan.

Kini jarak antara Rangga dan Siluman Muka Kodok tinggal sekitar satu batang tombak lagi. Sedikit Rangga memalingkan muka, karena tidak tahan dengan bau busuk yang menyebar dari dengusan napas Siluman Muka Kodok itu. Setiap hembusan nafasnya memperdengarkan suara menggorok seperti seekor katak.

"Ghrogkh! Siapa kau, Anak Muda?" terdengar sangat berat suara Siluman Muka Kodok. Bahkan hampir tidak jelas kata-katanya di telinga.

"Aku Rangga, yang akan mengusirmu dari Ringgading," sahut Rangga tegas.

"Ghrogkh! Ghrooogkh...! Sia-sia saja, Anak Muda. Kau hanya datang mengantarkan nyawa seperti yang lain."

"Lihat saja nanti. Kau atau aku yang akan lebih dulu menghuni lubang kubur."

"Ghrooogkh...!" Siluman Muka Kodok seperti marah mendengar tantangan terbuka dari Pendekar Rajawali Sakti. Kedua bola matanya yang merah, semakin terlihat membara, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Perlahan tubuhnya yang berkulit hitam dan kasar penuh benjolan itu bergerak membungkuk. Namun, sorot matanya masih tetap tajam menatap Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrooogkh...!" Diiringi suara menggorok keras, bagaikan kilat Siluman Muka Kodok melompat sambil menjulurkan kedua tangannya ke depan. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Rangga jadi terhenyak sesaat

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara, sehingga terjangan Siluman Muka Kodok hanya lewat di bawah kakinya. Tapi tanpa diduga sama sekali, dengan kecepatan tinggi, Siluman Muka Kodok berbalik dan langsung melesat ke udara. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Ups...!" Rangga sempat juga terhenyak kaget. Dan manis sekali tubuhnya meliuk menghindari serangan Siluman Muka Kodok yang sangat cepat luar biasa.

"Hiyaaa...!"

Begitu pukulan Siluman Muka Kodok lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Rangga meliukkan tubuhnya ke samping. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek dari jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.

"Ghrogkh...!" Namun, Siluman Muka Kodok memang sangat luar biasa kecepatan geraknya. Hanya sedikit saja meliukkan tubuhnya, serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti berhasil dihindarinya.

"Hap...!" Saat serangannya tidak mencapai sasaran, Rangga cepat-cepat meluruk ke bawah. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah. Tepat pada saat itu, Siluman Muka Kodok sudah mendarat juga dengan indah sekali.

"Ghrogkh...!" Belum juga Rangga bisa melakukan sesuatu, Siluman Muka Kodok sudah kembali melesat dengan kecepatan sangat tinggi. Kedua tangannya terjulur ke depan dengan jari-jari terkembang kaku, siap menerkam Pendekar Rajawali Sakti

"Hap! Yeaaah...!"

Sedikit Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan begitu terkaman Siluman Muka Kodok berhasil dihindari, cepat sekali tangan kirinya dikibaskan. Langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah perut, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Kali ini serangan Pendekar Rajawali Sakti memang sangat cepat luar biasa. Akibatnya, Siluman Muka Kodok tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, saat itu tubuhnya tengah doyong ke depan dan seluruh perhatiannya tertumpah pada serangan yang gagal.

Begkh!
"Ghraaagkh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga benar-benar tidak lagi membuang-buang kesempatan. Begitu tubuh Siluman Muka Kodok terbungkuk akibat sodokan tangan kiri yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi pada perut, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat sekali serangan yang dilakukan Rangga kali ini, sehingga....

Diegkh!
"Aaargkh...!"

Siluman Muka Kodok meraung keras menggelegar begitu wajahnya yang buruk terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang keras sekali. Akibatnya, dia jadi terdongak ke atas dan terhuyung ke belakang. Dan pada saat itu juga, Rangga cepat sekali melepaskan satu pukulan keras menggeledek dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir. Begitu sempurna jurus mautnya, sehingga kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti jadi berwarna merah bagai sebatang besi terbakar di dalam tungku.

"Hiyaaa...!"
Plak!
"Aaargkh...!"

Untuk kedua kalinya, Siluman Muka Kodok meraung keras menggelegar. Pukulan yang dilepaskan Rangga dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkatan terakhir, tepat menghantam dada. Dan akibatnya, laki-laki berwajah seperti seekor katak itu terpental jauh ke belakang. Beberapa batang pohon hancur seketika, begitu terlanda tubuhnya yang terus meluncur deras bagai anak panah terlepas dari busur.

"Hiyaaat..!"

Belum juga tubuh Siluman Muka Kodok berhenti, Rangga sudah melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat sempurna. Tapi tanpa diduga sama sekali, begitu Rangga melepaskan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, mendadak saja Siluman Muka Kodok memutar tubuhnya. Padahal saat itu tubuhnya masih melayang deras di atas permukaan tanah.

"Ghrogkh!"
"Ups...! Yeaaah...!"

Hampir saja sodokan kaki Siluman Muka Kodok mendarat di dada, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat melenting dan berputaran di udara, menghindari sodokan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.

"Hap!" Manis sekali Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah.

Sementara, Siluman Muka Kodok sudah lebih dulu mendarat indah dan ringan sekali, walaupun tadi beberapa kali mendapatkan serangan-serangan telak dari Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali tubuhnya terkena pukulan dahsyat dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir, tapi sedikit pun tidak berpengaruh apa-apa. Dan ini membuat Rangga jadi berkerut keningnya. Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya kalau pukulan dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir tidak berpengaruh sama sekali terhadap lawan.

Padahal, biasanya tidak ada seorang lawan pun yang sanggup bertahan jika sudah terkena pukulan dahsyat itu. Atau paling tidak, lawan akan menderita luka dalam yang sangat parah. Tapi, Siluman Muka Kodok kini masih terlihat berdiri tegak dengan tegar sekali. Bahkan bekas-bekas pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tadi juga sama sekali tidak terlihat.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan.

Cring!

"Heh...?!" Rangga sempat terkejut ketika Siluman Muka Kodok mengeluarkan senjatanya yang tadi sama sekali tidak terlihat. Senjata itu bagaikan keluar dari dalam perutnya saja. Sebuah senjata tongkat berukuran pendek, tapi pada kedua ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan.

Bet! Bet!

Begitu Siluman Muka Kodok mengebutkan tongkatnya beberapa kali, dari kedua ujungnya yang bulat terlihat mengeluarkan cahaya kuning kemerahan. Sesaat Rangga jadi terkesiap. Dia tahu, cahaya itulah yang sempat melukai Rajawali Putih. Itu terjadi saat dia dan Rajawali Putih tengah mengamati keadaan Istana Ringgading dari angkasa.

"Ghrooogkh...!" Bet!

Sambil mengeluarkan suara menggorok yang sangat keras, Siluman Muka Kodok melompat cepat bagai kilat. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Cahaya kuning kemerahan yang memancar dari ujung tongkat berbentuk bulat sebesar kepalan tangan orang dewasa itu jadi berubah memanjang, bagaikan sepasang mata pedang kembar yang memancarkan cahaya kuning kemerahan.

"Haiiit...!"

Cepat-cepat Rangga menundukkan kepalanya, menghindari serangan senjata aneh Siluman Muka Kodok. Lalu bergegas dia melompat ke belakang sejauh beberapa langkah.

Tapi, Siluman Muka Kodok tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk mengatur perlawanan. Begitu serangan pertamanya dapat digagalkan, dengan cepat sekali kembali dilakukan serangan-serangan beruntun dan sangat cepat.

Akibatnya Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan-serangan yang datang beruntun dan sangat cepat luar biasa.

Wuk!
"Hup! Hiyaaat...!"

Tepat di saat tongkat Siluman Muka Kodok berkelebat mengarah ke kaki, cepat sekali Rangga melenting ke udara. Dan tubuhnya berputaran dua kali, sebelum kakinya kembali menjejak tanah. Saat itu juga, tangan kanannya sudah memegang gagang Pedang Rajawali Sakti yang masih tersimpan dalam warangkanya di punggung.

"Ghrokh...!"
Bet!
"Hiyaaa...!"
Sret!
Wuk!

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusakanya, tepat begitu Siluman Muka Kodok membabatkan tongkatnya dengan kecepatan tinggi sekali. Rangga langsung saja mengebutkan pedangnya, menangkis serangan tongkat yang ujungnya memancarkan cahaya kuning kemerahan. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga benturan dua senjata yang sangat dahsyat tidak dapat dielakkan lagi. Dan....

Trang!
Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar seketika terjadi, begitu dua senjata berpamor dahsyat beradu. Tampak Rangga dan Siluman Muka Kodok sama-sama terpental ke belakang, sejauh satu batang tombak.

"Hep!" Rangga langsung menyilangkan pedang di depan dada, begitu kakinya menjejak tanah dengan manis sekali. Cahaya biru menyilaukan mata yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti bagaikan hendak menutupi seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu, Siluman Muka Kodok sudah memutar-mutar tongkatnya sambil mendengus-dengus berat. Suaranya terdengar menggorok, bagai orang tengah tidur mendengkur.

"Haaap...!" Rangga segera menggosok mata pedang dengan telapak tangan kirinya. Saat itu juga, aji 'Cakra Buana Sukma' dikerahkan. Sebuah ilmu kedigdayaan yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya sampai saat ini. Tampak cahaya biru yang memancar dari pedang itu langsung menggumpal membentuk bulatan di ujungnya, begitu telapak tangan kiri berada di pangkal pedang.

"Ghraaaugkh...!"

"Aji Cakra Buana Sukma. Hiyaaa...!"

Secara bersamaan mereka melompat ke depan sambil mengerahkan ilmu kedigdayaan yang sangat dahsyat. Tampak Rangga mengayunkan pedangnya, tepat di saat Siluman Muka Kodok juga mengayunkan tongkatnya ke depan. Saat itu juga dua sinar yang saling berlawanan meluruk deras sekali, hingga bertemu di tengah-tengah. Dan....

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar dan sangat dahsyat kembali terjadi. Saat itu, terlihat Siluman Muka Kodok terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Bahkan sampai jatuh terguling beberapa kali sambil mengeluarkan raungan keras dan menyakitkan telinga.

Sementara itu, Rangga hanya terdorong dua langkah saja, lalu kakinya kembali menjejak tanah dengan manis sekali. Pedangnya juga langsung disilangkan di depan dada.

"Ghraaaugkh...!" Sambil menggerung keras, Siluman Muka Kodok kembali melompat bangkit. Dan saat itu, cahaya kuning kemerahan tidak lagi terlihat memancar dari ujung-ujung tongkatnya yang berbentuk bulat sebesar kepalan tangan. Terlihat dari sudut bibirnya mengalirkan darah kental berwarna kehitaman. Sorot matanya begitu tajam tertuju langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya, sinar mata itu memancarkan dendam yang sangat mendalam.

"Ghrogkh! Kau akan menyesal, Anak Muda!" terasa sangat dingin dan berat suara Siluman Muka Kodok.

Sedangkan Rangga hanya menghembuskan napas saja.

"Tunggu pembalasanku, Anak Muda! Ghrogkh...!" Selesai berkata demikian, tiba-tiba saja Silu-man Muka Kodok berputar cepat sekali. Dan saat itu juga, seluruh tubuhnya terselubung asap yang sangat tebal. Saat asap itu menghilang tertiup angin, tahu-tahu Siluman Muka Kodok sudah lenyap tak berbekas sama sekali.

Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi terkejut. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti berlari menghampiri, tapi Siluman Muka Kodok benar-benar sudah menghilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun juga.

"Ke mana dia, Kakang...?" Tahu-tahu Pandan Wangi sudah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga berpaling sedikit. Sebentar dipandangnya gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu, kemudian beralih pada Prabu Gading Anom yang juga sudah berada di dekatnya.

"Dia sudah pergi," sahut Rangga.

"Apakah dia akan kembali lagi?" tanya Prabu Gading Anom.

"Aku tidak tahu," sahut Rangga seraya mengangkat pundaknya. "Tapi tampaknya dia sangat dendam padaku."

"Itu sangat berbahaya, Prabu Rangga," sambut Prabu Gading Anom.

Rangga hanya diam saja. Dipandanginya tanah tempat Siluman Muka Kodok menghilang, setelah seluruh tubuhnya terselubung asap tebal tadi. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti berdiri mematung, dengan bibir terkatup rapat dan mata menatap lurus tak berkedip ke tanah yang masih sedikit mengepulkan asap.

Sementara, Prabu Gading Anom sudah memerintahkan prajurit-prajuritnya masuk ke dalam istana. Tapi begitu pintu gerbang terbuka, prajurit-prajurit itu langsung berlompatan mundur. Bau busuk seketika menyergap hidung, membuat perut mereka bergolak hendak muntah. Prabu Gading Anom cepat-cepat memerintahkan menutup pintu gerbang kembali.

"Gila! Apa yang dilakukannya di istanaku...?" desis Prabu Gading Anom.

Sementara Rangga hanya memandangi Raja Ringgading. Dan sebenarnya, dia sudah ingin memberi tahu. Tapi rupanya, Prabu Gading Anom sudah keburu memerintahkan prajuritnya membuka pintu gerbang masuk ke istana. Dan kini, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Pandan Wangi.

"Ayo kita pergi," ajak Rangga.

"Tapi..." Pandan Wangi ingin menolak, tapi Rangga sudah mencekal pergelangan tangannya. Dan sebelum bisa berbuat sesuatu, Rangga sudah melesat begitu cepat sambil menyeret Pandan Wangi. Sehingga, membuat si Kipas Maut itu terpaksa harus mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Sementara, Prabu Gading Anom masih mengumpat dan memaki-maki, melihat istananya kini sudah penuh tengkorak dan mayat-mayat yang menyebarkan bau busuk. Benar-benar tidak disadari kalau Rangga dan Pandan Wangi sudah meninggalkannya.

Ke manakah Rangga dan Pandan Wangi pergi? Bagaimana dengan ancaman Siluman Muka Kodok, yang akan mengadakan pembalasan pada Pendekar Rajawali Sakti? Tentunya dia tidak main-main dengan ancaman tersebut!

Nah, para pembaca yang ingin tahu kisah pembalasannya, silakan ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Tujuh Mata Dewa

S E L E S A I