Pendekar Remaja Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 12

SIAPAKAH gadis muda yang lihai sekali ini? Dan apakah perlunya seorang gadis pendekar bangsa Han sampai di tempat itu? Ia lalu menceritakan keadaan gadis itu kepada tiga orang kawannya yang juga amat tertarik hatinya.

Seorang di antara ketiga iblis itu, yaitu Lak Mou Couwsu, adalah seorang yang sangat malas dan paling doyan tidur. Sampai matahari naik tinggi, belum juga dia bangun dan masih mendengkur di bawah pohon di dalam hutan itu.

Bouw Hun Ti sudah kehabisan kesabarannya, karena dia ingin sekali mencari gadis yang lihai malam tadi. Akan tetapi ketika dia hendak membangunkan Lak Mou Couwsu, hampir saja dia menjadi korban kaki kakek aneh ini.

Begitu dia memegang lengan Lak Mou Couwsu dengan maksud hendak rnenggugahnya, tiba-tiba saja kaki kanan orang tua aneh itu bergerak cepat sekali menendang ke arah dadanya! Baiknya pada waktu itu tangannya sudah disambar oleh Thian-he Ta-it Siansu yang segera membetotnya ke belakang sehingga tendangan itu tidak mengenai sasaran. Bouw Hun Ti terkejut sekali dan ketika dia memandang ke arah orang yang masih tidur mendengkur, dia mendapat kenyataan bahwa kakek gemuk itu masih tidur nyenyak!

“Bouw-enghiong, jangan kau bertindak sembarangan!” Kakek kate botak itu menegurnya. “Sungguh pun dia ini amat pemalas dan doyan tidur, akan tetapi sekali-kali tidak boleh dibangunkan, karena sebelum tidur dia tentu telah memasang dan membuat semua urat di tubuhnya bersiaga. Siapa saja yang menyentuhnya, otomatis tentu akan diserangnya, biar pun dia masih dalam keadaan tidur!”

Bouw Hun Ti menjulurkan lidahnya. Selama hidup baru kali ini dia mendengar keanehan dan kelihaian seperti itu. Oleh karena itu, ia menahan kesabarannya dan menanti sampai matahari naik tinggi barulah orang tua itu sadar dari pulasnya. Mereka lalu berangkat dan di tengah jalan bertemulah mereka dengan Goat Lan!

Tiga iblis tua itu memandang kepada Goat Lan sambil tertawa-tawa dan Hailun Thai-lek Sam-kui bertanya, “Nona muda, kau siapakah dan siapa pula Suhu-mu sehingga kau mampu mengalahkan dia?” Ia menunjuk kepada Bouw Hun Ti.

Goat Lan menjura dan berkata dengan suara halus, “Orang tua, burung-burung di udara bertemu di angkasa tak pernah saling bertanya dan mengurus persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Kita orang-orang perantau sebaiknya dapat mencontoh burung-burung itu.”

Memang Goat Lan tak ingin orang mengetahui keadaannya dan tak menghendaki orang mengetahui akan maksudnya mencari obat untuk putera kaisar. Siapa tahu orang ini juga termasuk mereka yang hendak menghalangi usaha mendiang suhu-nya.

Mendengar jawaban ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan dia lalu memandang kepada kawan-kawannya yang juga tertawa geli. Hanya Bouw Hun Ti seorang diri yang memandang kepada Goat Lan dengan pandang mata menyatakan kekagumannya dan juga penasaran. Setelah melihat Goat Lan di siang hari, ia makin tertarik akan kecantikan nona ini dan makin penasaranlah hatinya mengapa ia sampai kalah oleh seorang nona yang demikian muda.

“Ha-ha-ha, Nona yang baik!” kata Thian-he Te-it Siansu, “kau tidak saja berkepandaian lumayan akan tetapi juga mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang cukup. Hutan yang seliar ini berani kau masuki. Sungguh pun aku orang tua tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, akan tetapi ketahuilah bahwa baru bisa bertemu dengan kami tiga orang-orang tua saja sudah merupakan hal yang langka dan luar biasa bagimu. Kami adalah Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang tua dari Hailun yang bodoh! Dan sahabat baik kami ini,” ia menudingkan telunjuknya ke arah Bouw Hun Ti, “adalah seorang yang cukup ternama juga. Namanya Bouw Hun Ti dan kepandaiannya cukup lihai! Nah, setelah kami memperkenalkan nama, masihkah kau menganggap bahwa kau terlampau tinggi untuk memperkenalkan diri kepada kami?”

Goat Lan terkejut sekali mendengar nama ketiga orang tua ini karena dia pun pernah mendengar dari dua orang suhu-nya bahwa Hailun Thai-lek Sam-kui adalah tokoh-tokoh persitatan yang pandai dan ditakuti orang. Akan tetapi, mendengar nama Bouw Hun Ti membuat dia lebih tercengang lagi dan kemarahan membuat mukanya menjadi merah padam. Inikah si jahat yahg pernah menculik Lili dan membunuh Yousuf?

“Sam-wi Locianpwe,” katanya kepada kakek kate itu sambil menjura memberi hormat, “sesungguhnya merupakan kehormatan besar bagi teecu (murid) yang muda dan bodoh telah dapat bertemu muka dengan Sam-wi Locianpwe. Teecu bernama Kwee Goat Lan.”

Terbuka lebar mata ketiga orang kakek itu. “Ha, ternyata kau sudah pernah mendengar nama kami? Bagus, kalau begitu, tentu kau murid seorang pandai.”

Akan tetapi Goat Lan tidak mempedulikan ucapan ini, sebaliknya dia cepat memandang dengan penuh kebencian kepada Bouw Hun Ti dan berkata,

“Orang she Bouw, apa bila aku tahu bahwa siluman yang malam tadi mengintai rumah kakek petani adalah jahanam yang bernama Bouw Hun Ti, tentu aku tidak akan mau melepaskanmu secara begitu saja! Bouw Hun Ti, bersiaplah kau untuk menebus semua dosa-dosamu dan mampus di tanganku!” Sambil berkata demikian, Goat Lan mencabut keluar sepasang bambu runcingnya dan siap hendak menyerang Bouw Hun Ti.

“Ehh, Nona manis, sudah miringkah otakmu? Mengapa kau tiba-tiba menjadi marah dan begitu membenciku?” Bouw Hun Ti lebih merasa heran dari pada marah mendengar makian itu karena sesungguhnya ucapan gadis ini tidak pernah disangkanya.

“Dahulu kau pernah menculik Lili puteri Pendekar Bodoh, juga secara kejam kau sudah membunuh Kakek Yousuf! Kalau sekarang aku memberitahumu bahwa aku adalah puteri dari Kwee An, apakah otakmu yang tumpul masih juga tidak tahu mengapa aku hendak membunuhmu?” Sambil berkata demikian secepat kilat tubuhnya berkelebat maju dan ia mengirim serangan maut ke arah tubuh Bouw Hun Ti.

Orang she Bouw ini menjadi terkejut sekali ketika dia mendengar bahwa nona ini adalah puteri dari Kwee An dan lebih-lebih kagetnya saat ia melihat serangan yang menimbulkan angin dingin mengerikan itu. Ia cepat melompat mundur ke belakang, akan tetapi kedua ujung bambu runcing di tangan Goat Lan tidak mau melepaskannya dan terus mengejar hebat.

Terpaksa Bouw Hun Ti mencabut keluar goloknya, kemudian dia melakukan perlawanan sekuatnya. Akan tetapi, begitu goloknya bertemu dengan bambu runcing gadis itu, dia merasa tangannya tergetar dan secara aneh sepasang bambu runcing itu menggunting goloknya dan diputar sedemikian rupa sehingga goloknya kena dirampas!

Bouw Hun Ti berteriak kaget dan cepat dia melompat ke belakang tiga orang kakek yang memandang kagum.

“Sam-wi Lo-enghiong! Dia ini adalah keponakan Pendekar Bodoh dan seorang di antara musuh-musuhmu yang sombong itu!”

Thian-he Te-it Siansu melompat ke depan sambil menggerakkan payungnya. Senjata istimewa ini mengeluarkan angin sambaran yang kuat sekali sehingga Goat Lan cepat miringkan tubuh dan menyabetkan bambu runcingnya. Ia maklum bahwa kakek ini tinggi sekali ilmu silatnya, maka ia lalu berkata,

“Locianpwe, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan pribadi orang lain!”

“Ha-ha-ha, Nona yang gagah perkasa! Kami bertiga sengaja datang turun gunung karena dimintai bantuan oleh sahabat Bouw Hun Ti. Kulihat kau memainkan Ilmu Silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu, sungguh mengagumkan! Biarlah kita main-main sebentar dan berilah kesempatan kepadaku untuk merasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!”

Sambil berkata begitu, payungnya segera meluncur ke depan dan ternyata bahwa ujung payung yang tumpul itu digunakan untuk menotok jalan darah lawan! Gerakannya cepat serta mengandung tenaga besar, sedangkan setiap kali payung itu ditarik kembali, maka cabang-cabangnya berkembang merupakan perisai (tameng) yang kuat untuk menjaga diri!

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), jangan borong sendiri, biarkan siauwte (Adik) merasai kelihaian Nona ini!” seru Lak Mou Couwcu yang segera memutar rantai bajanya.

Memang ketiga orang kakek ini paling suka bertempur. Di dalam dunia persilatan tingkat tinggi, hanya ada dua rombongan orang aneh yang paling doyan bertempur. Rombongan pertama adalah Hek Pek Mo-ko (Dua Saudara Setan Hitam dan Putih) yang amat ditakuti orang karena tiap kali kedua orang saudara ini turun tangan dalam pertempuran, pasti mereka membunuh orang. Keduanya merupakan manusia buas yang haus darah.

Berkelahi dan membunuh orang merupakan ‘hobby’ (kesukaan) mereka, tanpa peduli siapakah orang yang dibunuhnya itu dan apa alasannya! Pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Hek Mo-ko menjadi guru dari Kwee An dan betapa kedua orang Iblis Hitam dan Putih ini kemudian tewas karena bertempur sendiri.

Rombongan ke dua yang paling doyan berkelahi adalah Hailun Thai-lek Sam-kui ini. Juga bagi mereka ini, pertempuran merupakan kebiasaan dan kesukaan, sungguh pun sifat mereka berbeda dengan Hek Pek Mo-ko. Ketiga orang kakek ini senang berkelahi dan mencoba kepandaian orang lain, hanya untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai kepandaian yang lebih unggul! Mereka tidak biasa membunuh lawan yang sudah mereka kalahkan, cukup asal mempermainkan mereka saja dan memaksa supaya lawan-lawan mereka itu mengaku kalah!

Dalam setiap pertempuran, ketiganya selalu maju bersama-sama, bukan dengan maksud mengeroyok karena sifat mereka curang, melainkan tiada seorang pun di antara mereka yang mau mengalah dan yang mau tinggal diam sebab ketiganya haus akan kemenangan dan ingin mempunyai saham dalam kemenangan itu!

Demikianlah, pada waktu Thian-he Te-it Siansu menyerang Goat Lan, Lam Mou Couwsu si kakek gemuk bertopi pendeta Buddha itu lalu maju pula ikut menyerang, dan Si Tinggi Kurus pun lalu melompat maju sambil memutar tongkatnya!

Tentu saja Goat Lan merasa mendongkol sekali melihat betapa Hailun Thai-lek Sam-kui yang terkenal memiliki kepandaian tinggi itu mengeroyoknya. Hal ini ia anggap amat tidak tahu malu dan curang. Lenyaplah semua penghormatannya terhadap ketiga orang kakek ini.

“Bagus, tidak tahunya kalian hanyalah tua-tua bangka tidak tahu malu!” teriaknya sambil memutar sepasang bambu runcingnya dengan cepat sekali sehingga sepasang senjata ini berubah menjadi dua sinar kuning yang bergulung-gulung!

Melihat betapa tiga orang kakek sakti itu mengeroyok Goat Lan, Bouw Hun Ti diam-diam tersenyum girang. Dari serangan tadi, dia telah maklum akan kelihaian gadis puteri Kwee An ini, maka kalau tidak dilenyapkan sekarang, mau tunggu kapan lagi? Ia lalu melompat maju dengan golok di tangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan goloknya terlempar lagi dari pegangan!

Jika tadi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan telah melemparkan goloknya yang diambilnya kembali, kini goloknya terlempar lebih jauh lagi. Dia menjadi sangat terkejut karena tahu bahwa yang tadi menangkis goloknya dan membuat senjatanya terlempar itu adalah rantai baja di tangan Lak Mou Couwsu!

“Minggirlah dan jangan mengganggu kami bila kami sedang bermain-main dengan Nona ini!” Lak Mou Couwsu berkata. “Gangguanmu itu sama artinya dengan penghinaan!”

Bukan main heran dan kagetnya hati Bouw Hun Ti menyaksikan watak yang aneh ini. Terpaksa dia mengambil kembali goloknya dan berdiri menonton saja, sama sekali tidak berani coba-coba lagi untuk membantu.

Sementara itu, Goat Lan merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat ketiga orang kakek ini benar-benar tinggi dan lihai. Kalau saja mereka maju seorang demi seorang, agaknya dia masih akan sanggup melawannya. Akan tetapi dikeroyok tiga oleh tiga orang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, sebentar saja dia sudah terdesak dan sinar senjatanya makin mengecil, tanda bahwa gerakannya amat terkurung dan tidak leluasa.

Ia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya saja untuk mengelak dan menangkis setiap serangan yang datang. Yang membuat dia terheran dan mendongkol adalah kenyataan bahwa tiga orang kakek ini tidak bermaksud mencelakakannya. Tiap kali senjata mereka sudah mendekat tubuhnya, maka senjata itu tiba-tiba ditarik kembali dan terdengar suara kakek-kakek itu tertawa mengejek! Goat Lan merasa dirinya dipermainkan, maka dia lalu menahan napas mengumpulkan semangat untuk mengadakan perlawanan yang hebat.

Tiba-tiba dengan seruan keras, ujung rantai baja di tangan Lak Mau Couwsu menangkap dan membelit kedua bambu runcingnya dan pada saat itu pula dari kiri menyambarlah ujung payung milik Thian-he Te-it Siansu hendak menotok nadi tangannya, ditambah lagi dengan totokan dari kanan oleh ujung tongkat Bouw Ki si tinggi kurus yang mengarah nadi tangan kanannya!

Untuk menyelamatkan kedua tangannya, maka terpaksa Goat Lan melepaskan sepasang bambu runcingnya. Terdengar gelak terbahak dari ketiga orang kakek itu,

“Aduh, sungguh lihai Ilmu Silat Bambu Kuning dari Hok Peng Taisu!” kata Si Kakek Kate.

“Hayo, lekas mengakulah bahwa kau kalah terhadap kami!” seru Lak Mou Couwsu sambil melemparkan sepasang bambu runcing itu ke atas tanah.

“Akuilah bahwa kami Hailun Thailek Sam-kui lebih menang dan lebih lihai dari pada Hok Peng Taisu yang terkenal!” juga Bouw Ki mendesak.

Akan tetapi, Goat Lan adalah puteri dari suami isteri pendekar besar gagah berani, juga murid dari guru-guru besar yang sakti. Mana dia mau mengaku kalah begitu saja? Sambil menggertak gigi, dia lalu mainkan serangan dari Ilmu Silat Im-yang Sin-na, yaitu ilmu silat dari suhu-nya Ciu-sin-mo Im-yang Giok-cu tokoh Kun-lun-san yang terkenal itu!

Thian-he Te-it Siansu cepat-cepat menyambut serangan ini dengan gembira, dan setelah bertempur sepuluh jurus, ia berkata dengan gembira,

“Aduh! Bukankah ini Im-yang Sin-na dari Kun-lun-pai? He, Nona kau tentunya murid dari Im-yang Ciok-cu, tosu pemabukan itu, bukan?”

“Memang Im-yang Giok-cu adalah Suhu-ku!” jawab Goat Lan dan dia lalu memperhebat serangannya.

“Bagus!” Lak Mou Couwsu dan Bouw Ki berseru keras. “Hari ini benar-benar kita sangat beruntung! Setelah mencoba kepandaian dari Hok Peng Taisu dan berhasil mengalahkan dia, sekarang kita mendapat kesempatan untuk mengalahkan Im-yang Giok-cu sute-nya! Ha-ha-ha!” Mereka kemudian maju menyerbu lagi dan kembali Goat Lan yang bertangan kosong dikeroyok tiga oleh Thai-lek Sam-kui yang bersenjata aneh!

Memang guru Goat Lan yang bernama Im-yang Giok-cu adalah sute (adik seperguruan) dari Hok Peng Taisu. Ilmu Silat Im-yang Sin-na yang dimainkan oleh Goat Lan adalah ilmu silat yang memang khusus dipergunakan untuk menghadapi lawan yang bersenjata.

Kalau saja yang mengeroyok Goat Lan adalah orang lain yang tingkat kepandaiannya seperti Bouw Hun Ti saja, besar kemungkinan dia akan dapat merampas senjata-senjata para pengeroyoknya. Akan tetapi, yang ia hadapi sekarang adalah Thai-lek Sam-kui, tiga tokoh persilatan yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya, maka biar pun senjata-senjata mereka hanya senjata aneh yang sederhana saja, namun sukarlah baginya untuk dapat merampas senjata mereka! Kembali ia terkurung dan terdesak hebat!

Pada suatu saat, dengan sangat tepatnya, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu telah menotok pundak kanan Goat Lan di bagian jalan darah Kim-seng-hiat! Kalau orang lain yang tertotok, betapa pun lihainya, tentu tubuh atas bagian kanan akan menjadi kaku dan tak berdaya lagi.

Akan tetapi tidak percuma Goat Lan menjadi murid tersayang Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, tokoh yang sangat terkenal karena kepandaiannya dalam hal pengobatan. Dari suhu-nya ini, Goat Lan telah banyak mempelajari ilmu kepandaian untuk mengobati segala macam luka dan penderitaan tubuh, juga tentang totokan berbagai pukulan yang berbahaya.

Begitu merasa pundaknya kaku akibat totokan yang lihai itu, tiba-tiba tubuhnya melompat ke atas mengandalkan tenaga kedua kaki, berjungkir balik di udara sambil mengeluarkan seruan keras dari dalam dada, “Hu! Hu! Hu!”

Kemudian setelah tubuhnya tiba di atas tanah, ia sengaja menjatuhkan tubuhnya dengan pundak kanan di bawah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan ketika ia melompat kembali, ternyata bahwa totokan pada jalan darah Kim-seng-hiat di pundak kanannya itu sudah sembuh kembali!

Melihat perbuatan gadis ini, tiga orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak. Thian-he Te-it Siansu kemudian maju selangkah dan berkata dengan suara menyatakan keheranannya.

“Hai! Bukankah yang kau perlihatkan tadi adalah Ilmu Menolak Tiam Hwat dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?”

“Dia adalah Suhu-ku juga!” jawab Goat Lan dengan singkat dan marah karena dia masih merasa mendongkol sekali.

“Hebat!” kakek kate itu memuji. “Kau menjadi orang muda yang benar-benar beruntung. Mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu, Im-yang Giok-cu, dan Sin Kong Tianglo! Nona, kalau kau tidak memberi tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi setelah kami tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, kami takkan dapat melepaskan kau sebelum kau menyerahkan Thian-te Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit)! Bukankah sesudah meninggal dunia gurumu itu lalu meninggalkan kitab obatnya kepadamu?”

Goat Lan terkejut sekali. Benar seperti telah dikatakan oleh gurunya, Im-yang Giok-cu, bahwa banyak sekali orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab rahasia yang amat berharga itu. Dan kini tiga orang iblis tua ini telah dapat menduganya, celaka! Mengingat akan kelihaian ketiga orang tua ini, tanpa banyak cakap lagi Goat Lan lantas melompat pergi sambil mengerahkan tenaga dan kepandaiannya melarikan diri!

“He, Nona! Kau tidak boleh pergi sebelum menyerahkan kitab itu kepada kami.!” Ketiga orang kakek itu mengejarnya dengan gerakan mereka yang juga amat cepatnya.

Goat Lan telah mempunyai ginkang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk dapat berlari secepat kijang melompat. Sebentar saja dia telah berlari jauh meninggalkan hutan itu dan ketika ia tiba di lembah sungai yang bercadas dan penuh batu karang, para pengejarnya baru dapat menyusulnya!

“Nona, kau harus mengalah terhadap kami orang-orang tua!” berseru Lam Mou Couwsu yang segera menggerakkan rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan bagaikan seekor ular menyerang!

Goat Lan menggunakan ginkang-nya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek, “Kalian ini tua bangka-tua bangka yang betul-betul jahat dan curang! Tak malukah kalian mengeroyok seorang gadis muda yang bertangan kosong?”

Pada waktu itu, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu sudah menyerang dengan totokan pada pinggangnya, akan tetapi biar pun tubuh Goat Lan masih berada di udara, gadis ini mampu menggerakkan kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh sehingga totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, begitu tubuhnya turun di atas tanah, ia telah dikurung kembali secara rapat dan hebat oleh desakan-desakan tiga orang kakek lihai itu.

Goat Lan berada dalam keadaan amat terdesak dan berbahaya sekali. Namun, tiba-tiba terdengar seruan orang yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa sakit. Seruan ini dibarengi dengan berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan kuat sekali gerakannya. Sinar pedang berkilau saat orang yang berpakaian merah ini menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali.

“Trang! Trang! Trang!”

Suara ini lantas disusul dengan seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat betapa ujung senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap lagi ketiga orang kakek aneh ini lalu melompat pergi dan melarikan diri dari situ!

Ketika Goat Lan memandang, ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua sekali. Wanita ini berpakaian serba merah, tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya berkilauan dan yang telah dimasukkannya kembali ke sarung pedangnya. Rambut wanita ini sudah putih semua, kulit mukanya penuh keriput menyatakan bahwa usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam dan bening sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis yang elok!

“Siapakah kau yang begitu bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan sungguh pun suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali. Pandang matanya seakan-akan hendak menembus jantung Goat Lan.

Gadis ini cepat menjura dengan penuh hormat, lalu ia menjawab, “Terima kasih banyak, kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku. Aku bernama Kwee Goat Lan, puteri dari Kwee An di Tiang-an.”

Nenek itu memandang tajam. “Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada keperluan apakah?”

Entah kenapa, terhadap nenek ini Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Biar pun sikap nenek ini sangat galak, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang menimbulkan penghormatan dan kepercayaannya. Agaknya sepasang mata yang bening itulah!

“Sesungguhnya, aku sedang menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal dunia, untuk mencari obat ‘to-hio-giok-ko’ yang katanya hanya bisa tumbuh di sekitar lembah sungai ini. Tak tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknya aku mendapat gangguan dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu. Baiknya kau orang tua yang sangat gagah perkasa datang menolongku.”

“Bodoh!” Nenek itu mencela. “Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiam-ku (pedang mustikaku) saja yang menolongmu. Apa bila mereka tidak lari, belum tentu aku sanggup mengalahkan mereka! Kau katakan tadi hendak mencari to-hio-giok-ko? Untuk apakah?”

“Untuk mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.” Dengan terus terang Goat Lan lalu menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan wajah tidak sabar.

“Bodoh! Ini benar-benar bodoh! Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa orang? Gila dan ganjil sekali.”

“Mohon tanya, siapakah sebenarnya Suthai ini?” Goat Lan menyebut ‘suthai’ karena dia mengira bahwa wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.

Untuk beberapa saat nenek itu tidak menjawab. Kemudian ia menggerakkan tangan dan menjawab. “Tidak usah kau pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko, marilah kau ikut padaku!”

Goat Lan menjadi girang sekali dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau mengaku siapa namanya. Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan daun itu, supaya dia dapat menyelesaikan tugasnya dan dapat segera pulang. Nenek itu membawanya ke utara dan kira-kira dua li jauhnya dari situ, mereka memasuki sebuah hutan kecil yang gelap. Senja kala telah menghilang, terganti malam penuh bintang yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar hutan itu.

“Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, apa bila kau mencari obat itu di siang hari, sampai selama hidupmu pun kau tidak akan berhasil.”

Goat Lan tidak mengerti apa maksud ucapan ini, akan tetapi diam-diam dia terus berpikir, siapakah gerangan wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek petani itu? Wanita inikah yang telah mengalahkan tiga puluh orang perampok?

Mereka kemudian pergi ke dekat sungai dan tiba-tiba saja wanita tua itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang besar.

“Kau lihatlah, bukankah buah itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang disebut giok-ko (buah mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka disebut to-hio (daun golok). Nah, kau ambillah buah dan daun itu.”

Bukan main girangnya hati Goat Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang terendah, kemudian mengayun tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Tadinya ia merasa heran sekali melihat buah yang besarnya hanya sekepalan tangan itu nampak berkilauan dari bawah, seakan-akan yang bergantungan pada pohon itu bukanlah buah, melainkan batu-batu giok! Akan tetapi setelah dekat, tahulah ia mengapa buah-buah itu berkilau.

Ternyata bahwa buah-buah itu mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat bening sehingga ketika tertimpa cahaya bintang kemudian berkilau di dalam gelap! Daun-daunnya berwarna hijau, bentuknya seperti golok-golok kecil dan ujungnya runcing.

Cepat dia memetik lima butir buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu dia masukkan ke dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu ia melompat turun di depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.

Goat Lan menjura di depan nenek itu. “Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku, tidak saja kau telah membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga telah menolongku memperoleh obat ini. Hanya sayangnya, Suthai belum juga memberitahukan nama sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku harus selalu mengingat budi ini.”

Mendengar ucapan yang sopan santun dan ramah ini, wajah nenek yang tadinya muram dan galak itu lalu melembut dan senyum membayang di bibirnya.

“Anak baik, kau tadi mengaku bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang sudah lama kukenal namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau menolongmu? Di mana pun juga berada, keturunan orang baik-baik tentu akan mendapat bantuan orang lain. Soal aku dan namaku, tak perlu diingat lagi, anakku. Sekarang lebih baik kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam hutan ini, tidak mungkin kau dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi boleh kau melanjutkan perjalanan.”

Setelah berkata demikian, nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa menengok lagi, seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan mengikuti dia. Suaranya tadi biar pun amat ramah, akan tetapi mengandung pengaruh yang besar. Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti nenek itu.

Mereka sampai di depan sebuah goa di antara batu-batu karang yang tinggi dan dengan tangannya nenek itu mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu ketika memasuki goa yang dari luar nampak besar dan hitam, karena ternyata bahwa di dalam goa itu terdapat sebuah lampu yang bernyala terang dan keadaan kamar itu amat bersih. Di tempat itu hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat dari pada kayu, maka Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

“Jangan kau duduk di situ, itu adalah tempatku bersemedhi. Kau pakailah pembaringan dan tidurlah!” kata nenek tadi.

Tentu saja Goat Lan merasa sungkan sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa merampas tempat tidur nyonya rumah yang hanya satu-satunya itu?

“Tidak, Suthai, biarlah aku yang muda mengaso sambil duduk di sini saja. Suthai tidurlah di pembaringan itu.”

“Anak bandel! Mana ada aturan yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau tidurlah di situ dan kalau membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah lagi!”

Goat Lan menjadi terkejut dan walau pun dia merasa sangat mendongkol menyaksikan kekasaran orang, akan tetapi ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu duduk di atas pembaringan itu, merasa sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.

“Kau tidurlah!” kembali nenek itu memerintah lagi sambil menduduki batu dalam keadaan bersila seperti orang bersemedhi.

Goat Lan memang sudah merasa lelah sekali sehabis bertempur melawan ketiga orang kakek yang lihai itu, maka dia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.

“Kau bilang tadi bahwa kau adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal mereka?” tiba-tiba nenek itu bertanya.

Goat Lan tercengang mendengar pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, dia belum pernah menyebutkan nama ibunya. Akan tetapi dia menjawab juga.

“Betul, Suthai, aku adalah puteri tunggal mereka. Apakah Suthai kenal dengan ayah dan ibuku?”

Akan tetapi nenek itu hanya berkata singkat. “Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”

Karena nenek itu nampak sudah memeramkan sepasang matanya, Goat Lan tidak berani mengganggunya lagi. Dengan heran dia terus menduga-duga siapakah gerakan nenek yang aneh dan yang agaknya telah mengenal ayah-bundanya ini, hingga akhirnya ia tidur nyenyak.

Menjelang fajar, pada waktu sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis tertahan. Ia menjadi heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka mata dan mengerling ke arah nenek itu.

Ternyata bahwa nenek itu tidak duduk bersemedhi lagi seperti yang dilihatnya sebelum ia tidur, akan tetapi sekarang nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja Goat Lan merasa terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak berani bergerak dan hanya memandang nenek itu melalui bulu matanya.

Tiba-tiba nenek itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih rebah telentang dengan mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu menatap wajah Goat Lan, lalu berisik perlahan,

“Kau puteri tunggal Ma Hoa... alangkah cantik dan gagah, ahhh, sayang Siong-ji tidak berada di sini...” Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan mencium jidat Goat Lan yang berkulit halus dan putih.

Ketika nenek itu menciumnya, Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Cilan dan setelah nenek itu melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat Lan membuka sedikit matanya. Di dalam keadaan yang suram itu, ia melihat tubuh nenek itu yang masih langsing dan penuh, rambutnya terlepas dan panjang sekali, sedikit pun tidak nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan hitam dan berombak. Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan keriputnya, hanya kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang cantik sekali!

Bagaikan mendapat cahaya penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam pikiran Goat Lan. Tanpa disadarinya, ia berseru keras, “Ang I Niocu...!”

Nenek itu nampak terkejut dan melompat mundur laksana diserang oleh seekor ular dari bawah. Terdengar dia mengeluarkan seruan tertahan yang aneh sekali, setengah tertawa setengah menangis, kemudian tubuhnya bergerak dan hanya sekali berkelebat, dia telah melompat keluar!

“Ang I Niocu... tunggu...!” Goat Lan berteriak sambil melompat dan mengejar keluar.

Akan tetapi ketika dia tiba di luar goa, ternyata bayangan nenek itu tidak nampak lagi! Goat Lan menarik napas panjang berkali-kali dengan hati kecewa. Dia tentu Ang I Niocu, pikirnya dengan hati berdebar tegang.

Ia telah mendengar dari ibunya tentang pendekar wanita yang hebat ini. Tadinya ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa nenek yang keriputan dan berambut putih itu adalah Ang I Niocu, karena menurut cerita ibunya, Ang I Niocu merupakan seorang wanita yang tercantik di dunia ini. Akan tetapi, ketika kegelapan menyembunyikan uban dan keriput nenek itu, Goat Lan melihat bayangan seorang wanita yang benar-benar cantik, gagah dan mengeluarkan keharuman seperti bunga Cilan, maka timbullah dugaannya bahwa nenek itu tentu Ang I Niocu.

Setelah merasa yakin bahwa nenek itu tidak mau bertemu dengan dia lagi, dan karena obat yang dicarinya telah didapatnya, Goat Lan lalu keluar dari hutan itu dan kembali ke selatan. Selain membawa obat itu ke kota raja, dia hendak pulang dulu untuk mengambil kitab obat yang ditinggalkan suhu-nya, oleh karena kitab itu penting sekali baginya untuk menjadi petunjuk mengobati penyakit putera Kaisar. Dan di dalam perjalanannya pulang inilah ia lewat dusun Tong-sin-bun.

Dia telah melakukan perjalanan cepat sekali sehingga tanpa diketahuinya dia telah dapat meninggalkan Bouw Hun Ti beserta Thai-lek Sam-kui yang melakukan perjalanan sambil melancong. Kebetulan sekali di Tong-sin-bun ini dia melihat Ban Sai Cinjin dan sesudah mengadakan penyelidikan, dia mendengar tentang keadaan orang tua yang mewah itu.

Mendengar tentang kakek yang pernah didengar namanya yang amat terkenal ini, Goat Lan lalu menunda perjalanannya dan mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan kelenteng di dalam hutan. Ia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Ban Sai Cinjin yang berjuluk Huncwe Maut adalah suhu dari Bouw Hun Ti.

Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, malam hari itu Goat Lan dapat menolong nyawa putera Pangeran Ong Tek dan Tan Kauwsu, bahkan bersama Lili yang telah dibebaskan oleh Kam Seng, dia lalu mengadu kepandaian melawan Wi Kong Siansu yang lihai.

Lili merasa kagum dan tertarik mendengar penuturan Goat Lan, terutama sekali tentang pertemuan Goat Lan dengan Ang I Niocu.

“Dan sekarang, kau hendak ke kota raja atau pulang dahulu, Goat Lan?” tanya Lili sambil memandang wajah calon iparnya yang cantik manis.

“Aku harus pulang lebih dulu ke Tiang-an, membuat persiapan mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.”

“Bagus, kalau begitu, marilah kita pergi bersama, karena aku pun hendak mengunjungi orang tuamu.”

Berangkatlah dua orang dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu, langsung menuju ke Tiang-an.

*****

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Untuk menghormat dan menyenangkan hati Hailun Thai-lek Sam-kui, Ban Sai Cinjin lalu mengadakan pesta di gedungnya di dusun Tong-sin-bun. Dalam pesta ini ia mengundang kawan-kawannya yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dan para pembesar serta para hartawan. Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio disuruh mengundang beberapa orang gagah dari kota-kota yang berdekatan.

Banyak orang-orang yang berkepandaian tinggi menghadiri pesta itu, akan tetapi semua termasuk satu golongan dengan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, di antara para tamu ini yang patut dikemukakan hanya seorang dari Shantung yang kebetulan lewat di dusun itu.

Orang ini bernama Lok Cit Sian dan ia adalah seorang ahli silat dari cabang Thai-kek-pai yang tersesat hingga tidak diakui lagi sebagai anak murid Thai-kek-pai. Lok Cit Sian yang bertubuh tinggi kurus seperti pohon bambu ini meski usianya telah mendekati lima puluh tahun, namun dia terkenal sebagai seorang bandot tua yang menjemukan. Kesukaannya inilah agaknya yang membuat dia bersahabat baik dengan Ban Sai Cinjin, cocok seperti yang dikatakan orang bahwa dua orang dapat menjadi sahabat karib apa bila kesukaan mereka sama.

Pesta berlangsung meriah sekali dan pengaruh arak telah mulai tampak pada para tamu. Suara ketawa bergelak makin lama makin riuh dan percakapan yang terdengar, makin lama makin bebas dan tidak dibatasi oleh kesopanan lagi.

Di meja besar yang berada di tengah ruangan pesta, duduklah Ban Sai Cinjing, Wi Kong Siansu, ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui dan Lok Cit Sian. Meja-meja lain dalam ruangan itu sampai ke ruangan luar juga dipenuhi tamu. Semuanya ada belasan meja banyaknya. Meja-meja di ruangan luar diduduki oleh tamu-tamu yang muda, sebagian besar adalah orang-orang muda yang kurang ajar dan tidak sopan, orang-orang muda yang pandainya hanya berjudi, mengganggu wanita dan berkelahi mengandalkan kekayaan orang tua.

Ketika para pemuda itu bersenda gurau membicarakan tentang wanita-wanita, tiba-tiba semua mata memandang ke arah selatan dari mana datang seorang gadis remaja yang amat menarik hati.

Gadis itu masih amat muda, bertubuh ramping menggiurkan dengan pakaian yang amat sederhana. Akan tetapi kesederhanaan pakaiannya yang mencetak tubuhnya ini bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar itu. Wajahnya yang cantik manis tidak dibedaki, akan tetapi kecantikannya yang wajar itu benar-benar mengagumkan dan menggairahkan hati tiap orang laki-laki.

Tentu saja, melihat datangnya gadis ini, para pemuda itu bagai kucing-kucing kelaparan melihat tikus gemuk. Semua mata memandang dengan dipentang lebar seolah-olah bola matanya hendak lompat keluar dari pelupuk mata, bibir mereka tersenyum menyeringai dan mereka sibuk membereskan rambut atau pakaian yang kusut. Banyak yang menelan ludah pada waktu menyaksikan betapa gadis elok itu melenggang dengan pinggang yang lemas, sehingga cocok sekali perumpamaan kuno bahwa pinggang dan tubuh gadis itu demikian lemas dan gayanya demikian indah seperti pohon yang-liu tertiup angin!

Tidak heran apa bila semua pemuda mata keranjang itu tertarik hatinya melihat gadis ini. Gadis ini bukan lain adalah Lilani, dara suku bangsa Haimi yang cantik. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lilani setelah tertolong oleh Lie Siong, lalu diantar oleh pemuda itu menuju ke Tiang-an. Kini mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki dan meninggalkan perahu di tepi sungai.

Sebagai seorang gadis Haimi yang berwatak jujur, dengan terang-terangan Lilani selalu menyatakan dalam segala sikap serta perbuatannya bahwa gadis ini mencinta pemuda penolongnya itu. Akan tetapi, Lie Siong selalu bersikap dingin, biar pun di dalam hatinya kadang kala timbul gelora karena sikap dan kecantikan gadis ini amat menarik hatinya.

Tiap kali mereka bermalam di rumah penginapan, Lilani selalu berkeras ingin bermalam di dalam satu kamar. Tentu saja Lie Siong merasa tidak enak hati sekali, akan tetapi dia menjadi terharu juga ketika mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar jujur dan berhati putih bersih. Setiap kali mereka tinggal sekamar dalam sebuah hotel, gadis itu tanpa banyak cakap lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang hanya sebuah, tidur di pinggir dan miringkan tubuh membelakangi Lie Siong lalu tidur pulas!

Terpaksa Lie Siong tidak mengajukan keberatan lagi, bahkan ia merasa malu kepada diri sendiri karena tadinya dia menyangka bahwa Lilani adalah gadis yang berpikiran kotor. Yang lebih mengharukan hatinya adalah saat dia melihat gadis itu tidur dalam kedinginan lalu selimut yang hanya satu-satunya itu dia selimutkan di atas tubuh gadis itu akan tetapi pada keesokan harinya ketika dia bangun dari tidurnya, ternyata bahwa selimut itu telah pindah tempat dan telah diselimutkan oleh Lilani di atas tubuhnya!

Pernah Lilani mengatakan bahwa kini ia tidak ingin tinggal bersama Kwee-lo-enghiong di Tiang-an.

“Mengapa?” Lie Siong bertanya terheran. “bukankah kau sendiri yang minta supaya aku mengantarmu ke Tiang-an?”

“Tadinya memang hanya Kwee-lo-enghiong satu-satunya orang yang dapat kuharapkan, akan tetapi sekarang aku lebih senang tidak berumah dan selamanya merantau bersama denganmu, Lie Taihiap.”

Ucapan yang sejujurnya ini menusuk perasaan Lie Siong dan membuka matanya bahwa gadis Haimi ini benar-benar mencinta padanya. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berlaku seolah-olah ia tidak mengerti akan pengutaraan rasa hati gadis itu.

Pada hari itu, mereka tiba di dusun Tong-sin-bun dan menyewa sebuah kamar di hotel. Seperti biasa, pelayan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi perasaan Lie Siong karena telah sering kali mereka dianggap suami isteri oleh pelayan hotel. Dan selalu Lilani menyambut anggapan ini dengan wajah berseri dan mulut tersenyum manis.

“Taihiap, marilah kita berjalan-jalan melihat keadaan dusun ini yang sangat ramai,” Lilani mengajak Lie Siong ketika mereka telah duduk mengaso.

“Kau pergilah kalau ingin berjalan-jalan, Lilani. Aku sedang malas dan biar aku menanti kau di sini,” jawab Lie Siong.

Biar pun hatinya kecewa, Lilani pergi juga seorang diri, dengan maksud hendak mencari sesuatu yang enak dan dibelinya untuk Lie Siong! Demikianlah, tanpa disengaja ia lewat rumah gedung Ban Sai Cinjin dan kini, dengan hati mendongkol ia melihat betapa mata beberapa orang muda yang sedang makan minum di ruangan depan itu memandangnya dengan kurang ajar sekali.

“Aduh, Nona manis, hendak pergi ke manakah?” seorang di antara mereka menegur sambil tersenyum-senyum.

Lilani tidak mempedulikannya dan hendak berjalan terus. Akan tetapi orang ke dua lalu menghadang di depannya dan berkata,

“Wahai dewi kahyangan, marilah kau makan minum dengan kami. Bukan begitu kawan-kawan?”

“Akur! Nona ini harus makan minum, menemani kita bergembira,” teriak yang lain.

Sambil tertawa-tawa, pemuda itu lalu mengulur tangan hendak menangkap dan menarik lengan Lilani. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika gadis itu mengelak dan mengirim tamparan ke arah pipinya.

“Plokk!”

Pemuda itu menjerit kesakitan dan terhuyung mundur. Kawan-kawannya menjadi marah dan hendak menangkap Lilani, akan tetapi menghadapi kawanan pemuda liar ini Lilani cukup lihai. Beberapa kali tangannya bergerak dan empat orang pemuda roboh sambil mengaduh-aduh kesakitan.

Ban Sai Cinjin yang duduk makan minum di ruang dalam, mendengar suara ribut-ribut ini, lalu ia berdiri dan bertindak keluar, diikuti oleh Liok Cit Sian. Ada pun Wi Kong Siansu dan ketiga Thailek Sam-kui yang sedang bertanding mengadu kekuatan minum arak, tak mempedulikannya dan terus saja duduk minum dengan gembira.

Ban Sai Cinjin menjadi kaget dan marah sekali melihat seorang gadis muda yang cantik menghajar beberapa orang tamunya. Akan tetapi ketika Lok Cit Sian melihat gadis itu, matanya yang juling berseri-seri dan dia berbisik, “Ban Sai Cinjin sahabat baik, jangan mencelakai burung molek ini, serahkan dia untukku.”

Ban Sai Cinjin tersenyum dan dia lalu bertanya kepada para tamunya apakah yang telah terjadi.

“Kami dengan baik-baik menawarkan dia makan minum, akan tetapi Nona ini sebaliknya lalu mengamuk dan memukul!” Pemuda yang kena ditampar tadi mengadu.

“Hem, hem, galak benar,” kata Ban Sai Cinjin. Dengan mulut menyeringai, ia mengambil tempat masakan, lalu menggunakan sebatang sumpit ia mencokel sepotong daging yang panas mengebul sambil berkata,

“Nona manis, akulah tuan rumahnya dan karena kau sudah datang, silakan kau makan daging ini!”

Biar pun gerakannya mencokel daging dengan sumpit itu perlahan saja, namun daging itu bagaikan disambitkan lalu meluncur dan menyambar ke arah muka Lilani! Gadis itu terkejut sekali ketika merasa betapa sambaran daging itu mendatangkan angin kuat. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya sehingga kalau ia tidak cepat menarik tubuhnya ke belakang, tentu daging panas itu akan mengenai mulutnya!

“Tua bangka kurang ajar!” bentaknya dan semua orang merasa heran mendengar betapa suara gadis ini lain dengan orang Han biasa.

Akan tetapi pada saat itu, sumpit di tangan Ban Sai Cinjin sudah berkali-kali mencokel lagi dan tiga potong daging menyambar ke arah Lilani. Gadis ini berusaha mengelak dan memang benar ia dapat menghindarkan diri dari sambaran daging pertama dan kedua, akan tetapi sambaran daging ke tiga tak dapat dielakkannya lagi.

Dengan tepat sekali daging ini mengenai jalan darahnya di dekat iga kiri dan seketika itu juga Lilani merasa seluruh tubuhnya kesemutan dan dua tangannya tak dapat digerakkan lagi! Dia terkejut sekali dan lebih-lebih terkejutnya pada saat orang tinggi kurus yang tadi berdiri di belakang Ban Sai Cinjin sambil tertawa-tawa, kini melangkah maju dan begitu orang tinggi kurus ini mengulur tangan, dia telah kena dipeluk dan dipondongnya.

“Ha-ha-ha, burung muraiku yang manis. Mari masuk dalam sangkar emas bersamaku!”

Dengan mata terbelalak bagaikan seekor kelinci yang tertangkap oleh serigala, Lilani pun segera memaklumi keadaannya yang sangat berbahaya ini. Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, akan tetapi dia masih dapat mengeluarkan suara.

Ketika dulu dia masih hidup bersama suku bangsanya dan hidup di hutan belukar, ia dan kawan-kawannya memiliki semacam seruan tanda bahaya yang maksudnya untuk minta tolong kepada kawan-kawan. Kini dalam keadaan bahaya dan hatinya takut sekali, maka otomatis dia segera mengeluarkan pekik yang amat nyaring bunyinya.

Pekik ini terdengar seperti siulan panjang yang nyaring bergema, dan terdengar seperti bunyi seekor burung hutan. Semua orang terkejut mendengar bunyi yang aneh ini, akan tetapi Lok Cit Sian sambil tertawa berkata,

“Ha-ha-ha, burungku yang indah benar-benar pandai bersiul!”

Letak rumah penginapan yang ditinggali oleh Lie Siong tidak jauh dari gedung Ban Sai Cinjin. Pada waktu itu, ia sedang duduk memikirkan Lilani dengan pikiran bingung. Harus diakuinya, bahwa setelah melakukan perjalanan bersama Lilani selama sebulan lebih, dia telah merasa biasa dan gembira berada dekat gadis ini. Sikap gadis ini yang ramah dan mencintanya, berkesan dalam-dalam di hatinya sehingga kini timbul keraguan di dalam hatinya apakah dia akan merasa senang apa bila Lilani dia tinggalkan di rumah Kwee An. Apakah dia akan dapat merasa gembira lagi setelah berpisah dari gadis itu?

Tiba-tiba saja dia mendengar siulan panjang dan nyaring. Ia terkejut karena ketika masih melakukan perjalanan dengan perahu, pada suatu malam di tengah hutan, pernah Lilani mengeluarkan siulan seperti itu. Oleh karena perahu mereka berada di dalam hutan dan banyak terdengar suara binatang di waktu malam, saking girangnya Lilani mengeluarkan siulan itu sehingga mengejutkan hati Lie Siong.

Dan kini terdengar siulan seperti itu lagi! Ia teringat bahwa siulan itu berarti minta tolong, demikian Lilani dulu menerangkan siulan itu kepadanya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Lie Siong menyambar pedangnya yang segera diikatkan di pinggang, kemudian dia berlari menuju ke arah datangnya siulan tadi.

Alangkah marahnya ketika dia tiba di depan gedung yang sedang berpesta itu, ia melihat Lilani sedang dipondong oleh seorang kurus tinggi dan diiringi dengan gelak tertawa para tamu yang berada di situ. Dalam kemarahan yang berkobar memuncak, Lie Siong lantas melompat dan menerjang Si Tinggi Kurus itu dengan gerakan yang disebut Raja Kera Merampas Mustika. Tangan kanannya menyerang dengan tusukan kedua jari tangan ke mata Si Tinggi Kurus, sedang tangan kirinya menyambar ke arah tubuh Lilani!

Tak seorang pun menduga datangnya pemuda ini, maka tentu saja Lok Cit Sian menjadi terkejut sekali. Dia sedang bergembira karena telah berhasil mendapatkan seorang dara yang demikian cantiknya, maka akibat nafsu yang memeningkan kepalanya, hampir saja dia tidak dapat menghindarkan matanya dari tusukan dua buah jari tangan Lie Siong.

Baiknya Lok Cit Sian telah memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka dia masih dapat merasakan datangnya bahaya. Cepat dia menjatuhkan diri ke belakang dan ia dapat mengelak dari serangan Lie Siong. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah pemuda itu merenggut tubuh Lilani dari pondongannya.

Dengan gerakan cepat, Lie Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan Ban Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan dibawaya melompat ke pekarangan depan.

Barulah terjadi keributan setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak terduga ini. Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah bukan main. Murid murtad dari Thai-kek-pai ini lalu mencabut pedangnya dan dengan mengeluarkan gerengan bagaikan seekor harimau terluka, dia segera menyerbu ke depan dan menyerang Lie Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang istimewa.

Pedang Lok Cit Sian berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.

“Traang...!”

Dua pedang bertemu, maka berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata bukanlah pedang sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut ketika merasa betapa pedangnya telah menempel pada pedang lawan yang aneh itu, dan pada saat ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan yang berbentuk naga itu telah berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya.

Dia mencoba untuk menarik pedangnya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lie Siong melakukan pukulan dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya. Lok Cit Sian adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih, dia maklum akan kelihaian pukulan ini, maka dia mengerahkan tenaga lweekang-nya, membuka tangan kirinya untuk menyambut pukulan lawan.

“Aduh...!” Lok Cit Sian mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih menempel pada pedang Lie Siong!

Tiba-tiba Lie Siong merasa ada sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat membalikkan tubuh sambil menangkis dengan pedangnya ke belakang.

“Traaang...!”

Lie Siong merasa terkejut sekali saat merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar, sedangkan pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih menempel dan terlibat oleh lidah pedangnya kini telah mencelat jauh. Ternyata bahwa yang menyerangnya tadi adalah seorang kakek gemuk yang berpakaian mewah. Kakek ini telah menyerangnya dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat, dan melihat betapa tenaga serangan itu sanggup menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong bahwa ia menghadapi seorang pandai.

“Bangsat muda, apakah kau buta maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek itu berkata sambil melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.

Akan tetapi, Lie Siong sama sekali tidak gentar menghadapi huncwe-nya itu dan dengan cepat dapat menangkis lantas membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.

Sementara itu setelah dibebaskan oleh Lie Siong, Lilani lalu menyerang pemuda yang tadi mengganggunya. Ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, orang yang tadi ditamparnya tahu-tahu kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga tubuh lawannya berada di belakangnya, gadis itu lalu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu terlempar ke udara!

Pemuda itu menjerit-jerit ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia jatuh di atas genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani turun dan sambil berkaok-kaok minta tolong, ia memegang wuwungan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

Sementara itu ketika Lilani melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang tengah mainkan senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa banyak orang mulai mencabut senjata dan agaknya hendak mengeroyok Lie Siong, lalu berseru,

“Taihiap, mari kita pergi dari sini. Aku takut!”

Lie Siong tidak kenal akan arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang itu, biar pun harus ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh dipandang ringan, ia pantang mundur. Akan tetapi, begitu mendengar suara Lilani yang menyatakan rasa takutnya, teringatlah ia bahwa biar pun ia dapat menjaga diri sendiri, namun apa bila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani, belum tentu ia dapat melindungi gadis itu.

Maka dengan gerakan yang cepat dan indah, dia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak tipu Naga Sakti Bermain-main Dengan Kilat. Pedangnya yang berbentuk naga itu bergerak ke depan, tanduk naga menotok jalan darah maut di leher Ban Sai Cinjin, lidah naga yang panjang menyambar ke arah mata dan tangan kiri Lie Siong bergerak pula melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut.

Ban Sai Cinjin tidak mengenal ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula pedangnya itu, akan tetapi melihat pukulan Pek-in Hoat-sut ini, dia segera teringat akan kepandaian Lili dan Goat Lan. Ia terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang sambil berseru,

“Bangsat rendah, ternyata kau adalah keturunan Pendekar Bodoh!”

Akan tetapi Lie Siong sudah melompat ke dekat Lilani dan menyambar pinggang gadis itu yang ramping lalu berlari pergi sambil berseru, “Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal Pendekar Bodoh!”

Dia memang merasa mendongkol karena ke mana juga dia pergi, dia selalu mendengar nama Pendekar Bodoh disebut orang, sungguh pun kali ini agaknya disebut oleh orang yang memusuhi Pendekar Bodoh.

Ban Sai Cinjin dan Lok Cit Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Wi Kong Siansu yang baru saja keluar. “Tak perlu dikejar lawan yang sudah melarikan diri. Pula, kali ini kawan-kawanmu berada di pihak yang salah, Sute.”

Ban Sai Cinjin merah mukanya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu kembali ke ruangan dalam. Pesta dilanjutkan biar pun suasananya tidak semeriah tadi.

*****

Lie Siong berlari terus memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan mengajak Lilani keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tetap berada di hotel, maka bahaya besar akan mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan di luar goa, ia berhenti dan bertanya kepada Lilani.

“Lilani, bagaimanakah terjadinya keributan itu?”

Lilani segera menceritakan betapa dia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie Siong mendengarkan dengan muka merah sebab hatinya tiba-tiba menjadi panas sekali. Sambil mengertak gigi, ia berkata,

“Kau tunggulah di sini. Aku hendak kembali ke sana dan sebelum dapat menghancurkan kepala Si Tinggi Kurus yang menghinamu, aku belum merasa puas.”

Mendadak Lilani menjadi pucat ketakutan. “Jangan, Taihiap, jangan kau pergi ke sana. Mereka itu orang-orang jahat yang lihai sekali.”

“Aku tidak penakut seperti kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar mereka!” Dia hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan memegang tangannya.

“Taihiap, jangan... jangan kau pergi ke sana...,” suaranya menggigil sehingga Lie Siong menjadi terheran-heran. “Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri, aku takut kalau-kalau kau akan mendapat celaka. Tidak tahukah kau betapa tadi pun aku sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak dikeroyok? Kakek gemuk itu lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang yang lihai dan jahat.”

“Aku tidak takut! Untuk membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”

“Jangan, Taihiap. Kau tidak takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup lebih lama lagi kalau kau sampai menderita celaka di sana?” Gadis itu lalu menangis dan memeluk kedua kaki Lie Siong.

Sungguh mengherankan, melihat keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya berdebar aneh!

“Jangan takut, Lilani. Aku takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka di tanganku!” Sesudah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani, dan segera melompat pergi.


Pendekar Remaja Jilid 12

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 12

SIAPAKAH gadis muda yang lihai sekali ini? Dan apakah perlunya seorang gadis pendekar bangsa Han sampai di tempat itu? Ia lalu menceritakan keadaan gadis itu kepada tiga orang kawannya yang juga amat tertarik hatinya.

Seorang di antara ketiga iblis itu, yaitu Lak Mou Couwsu, adalah seorang yang sangat malas dan paling doyan tidur. Sampai matahari naik tinggi, belum juga dia bangun dan masih mendengkur di bawah pohon di dalam hutan itu.

Bouw Hun Ti sudah kehabisan kesabarannya, karena dia ingin sekali mencari gadis yang lihai malam tadi. Akan tetapi ketika dia hendak membangunkan Lak Mou Couwsu, hampir saja dia menjadi korban kaki kakek aneh ini.

Begitu dia memegang lengan Lak Mou Couwsu dengan maksud hendak rnenggugahnya, tiba-tiba saja kaki kanan orang tua aneh itu bergerak cepat sekali menendang ke arah dadanya! Baiknya pada waktu itu tangannya sudah disambar oleh Thian-he Ta-it Siansu yang segera membetotnya ke belakang sehingga tendangan itu tidak mengenai sasaran. Bouw Hun Ti terkejut sekali dan ketika dia memandang ke arah orang yang masih tidur mendengkur, dia mendapat kenyataan bahwa kakek gemuk itu masih tidur nyenyak!

“Bouw-enghiong, jangan kau bertindak sembarangan!” Kakek kate botak itu menegurnya. “Sungguh pun dia ini amat pemalas dan doyan tidur, akan tetapi sekali-kali tidak boleh dibangunkan, karena sebelum tidur dia tentu telah memasang dan membuat semua urat di tubuhnya bersiaga. Siapa saja yang menyentuhnya, otomatis tentu akan diserangnya, biar pun dia masih dalam keadaan tidur!”

Bouw Hun Ti menjulurkan lidahnya. Selama hidup baru kali ini dia mendengar keanehan dan kelihaian seperti itu. Oleh karena itu, ia menahan kesabarannya dan menanti sampai matahari naik tinggi barulah orang tua itu sadar dari pulasnya. Mereka lalu berangkat dan di tengah jalan bertemulah mereka dengan Goat Lan!

Tiga iblis tua itu memandang kepada Goat Lan sambil tertawa-tawa dan Hailun Thai-lek Sam-kui bertanya, “Nona muda, kau siapakah dan siapa pula Suhu-mu sehingga kau mampu mengalahkan dia?” Ia menunjuk kepada Bouw Hun Ti.

Goat Lan menjura dan berkata dengan suara halus, “Orang tua, burung-burung di udara bertemu di angkasa tak pernah saling bertanya dan mengurus persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Kita orang-orang perantau sebaiknya dapat mencontoh burung-burung itu.”

Memang Goat Lan tak ingin orang mengetahui keadaannya dan tak menghendaki orang mengetahui akan maksudnya mencari obat untuk putera kaisar. Siapa tahu orang ini juga termasuk mereka yang hendak menghalangi usaha mendiang suhu-nya.

Mendengar jawaban ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan dia lalu memandang kepada kawan-kawannya yang juga tertawa geli. Hanya Bouw Hun Ti seorang diri yang memandang kepada Goat Lan dengan pandang mata menyatakan kekagumannya dan juga penasaran. Setelah melihat Goat Lan di siang hari, ia makin tertarik akan kecantikan nona ini dan makin penasaranlah hatinya mengapa ia sampai kalah oleh seorang nona yang demikian muda.

“Ha-ha-ha, Nona yang baik!” kata Thian-he Te-it Siansu, “kau tidak saja berkepandaian lumayan akan tetapi juga mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang cukup. Hutan yang seliar ini berani kau masuki. Sungguh pun aku orang tua tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, akan tetapi ketahuilah bahwa baru bisa bertemu dengan kami tiga orang-orang tua saja sudah merupakan hal yang langka dan luar biasa bagimu. Kami adalah Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang tua dari Hailun yang bodoh! Dan sahabat baik kami ini,” ia menudingkan telunjuknya ke arah Bouw Hun Ti, “adalah seorang yang cukup ternama juga. Namanya Bouw Hun Ti dan kepandaiannya cukup lihai! Nah, setelah kami memperkenalkan nama, masihkah kau menganggap bahwa kau terlampau tinggi untuk memperkenalkan diri kepada kami?”

Goat Lan terkejut sekali mendengar nama ketiga orang tua ini karena dia pun pernah mendengar dari dua orang suhu-nya bahwa Hailun Thai-lek Sam-kui adalah tokoh-tokoh persitatan yang pandai dan ditakuti orang. Akan tetapi, mendengar nama Bouw Hun Ti membuat dia lebih tercengang lagi dan kemarahan membuat mukanya menjadi merah padam. Inikah si jahat yahg pernah menculik Lili dan membunuh Yousuf?

“Sam-wi Locianpwe,” katanya kepada kakek kate itu sambil menjura memberi hormat, “sesungguhnya merupakan kehormatan besar bagi teecu (murid) yang muda dan bodoh telah dapat bertemu muka dengan Sam-wi Locianpwe. Teecu bernama Kwee Goat Lan.”

Terbuka lebar mata ketiga orang kakek itu. “Ha, ternyata kau sudah pernah mendengar nama kami? Bagus, kalau begitu, tentu kau murid seorang pandai.”

Akan tetapi Goat Lan tidak mempedulikan ucapan ini, sebaliknya dia cepat memandang dengan penuh kebencian kepada Bouw Hun Ti dan berkata,

“Orang she Bouw, apa bila aku tahu bahwa siluman yang malam tadi mengintai rumah kakek petani adalah jahanam yang bernama Bouw Hun Ti, tentu aku tidak akan mau melepaskanmu secara begitu saja! Bouw Hun Ti, bersiaplah kau untuk menebus semua dosa-dosamu dan mampus di tanganku!” Sambil berkata demikian, Goat Lan mencabut keluar sepasang bambu runcingnya dan siap hendak menyerang Bouw Hun Ti.

“Ehh, Nona manis, sudah miringkah otakmu? Mengapa kau tiba-tiba menjadi marah dan begitu membenciku?” Bouw Hun Ti lebih merasa heran dari pada marah mendengar makian itu karena sesungguhnya ucapan gadis ini tidak pernah disangkanya.

“Dahulu kau pernah menculik Lili puteri Pendekar Bodoh, juga secara kejam kau sudah membunuh Kakek Yousuf! Kalau sekarang aku memberitahumu bahwa aku adalah puteri dari Kwee An, apakah otakmu yang tumpul masih juga tidak tahu mengapa aku hendak membunuhmu?” Sambil berkata demikian secepat kilat tubuhnya berkelebat maju dan ia mengirim serangan maut ke arah tubuh Bouw Hun Ti.

Orang she Bouw ini menjadi terkejut sekali ketika dia mendengar bahwa nona ini adalah puteri dari Kwee An dan lebih-lebih kagetnya saat ia melihat serangan yang menimbulkan angin dingin mengerikan itu. Ia cepat melompat mundur ke belakang, akan tetapi kedua ujung bambu runcing di tangan Goat Lan tidak mau melepaskannya dan terus mengejar hebat.

Terpaksa Bouw Hun Ti mencabut keluar goloknya, kemudian dia melakukan perlawanan sekuatnya. Akan tetapi, begitu goloknya bertemu dengan bambu runcing gadis itu, dia merasa tangannya tergetar dan secara aneh sepasang bambu runcing itu menggunting goloknya dan diputar sedemikian rupa sehingga goloknya kena dirampas!

Bouw Hun Ti berteriak kaget dan cepat dia melompat ke belakang tiga orang kakek yang memandang kagum.

“Sam-wi Lo-enghiong! Dia ini adalah keponakan Pendekar Bodoh dan seorang di antara musuh-musuhmu yang sombong itu!”

Thian-he Te-it Siansu melompat ke depan sambil menggerakkan payungnya. Senjata istimewa ini mengeluarkan angin sambaran yang kuat sekali sehingga Goat Lan cepat miringkan tubuh dan menyabetkan bambu runcingnya. Ia maklum bahwa kakek ini tinggi sekali ilmu silatnya, maka ia lalu berkata,

“Locianpwe, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan pribadi orang lain!”

“Ha-ha-ha, Nona yang gagah perkasa! Kami bertiga sengaja datang turun gunung karena dimintai bantuan oleh sahabat Bouw Hun Ti. Kulihat kau memainkan Ilmu Silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu, sungguh mengagumkan! Biarlah kita main-main sebentar dan berilah kesempatan kepadaku untuk merasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!”

Sambil berkata begitu, payungnya segera meluncur ke depan dan ternyata bahwa ujung payung yang tumpul itu digunakan untuk menotok jalan darah lawan! Gerakannya cepat serta mengandung tenaga besar, sedangkan setiap kali payung itu ditarik kembali, maka cabang-cabangnya berkembang merupakan perisai (tameng) yang kuat untuk menjaga diri!

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), jangan borong sendiri, biarkan siauwte (Adik) merasai kelihaian Nona ini!” seru Lak Mou Couwcu yang segera memutar rantai bajanya.

Memang ketiga orang kakek ini paling suka bertempur. Di dalam dunia persilatan tingkat tinggi, hanya ada dua rombongan orang aneh yang paling doyan bertempur. Rombongan pertama adalah Hek Pek Mo-ko (Dua Saudara Setan Hitam dan Putih) yang amat ditakuti orang karena tiap kali kedua orang saudara ini turun tangan dalam pertempuran, pasti mereka membunuh orang. Keduanya merupakan manusia buas yang haus darah.

Berkelahi dan membunuh orang merupakan ‘hobby’ (kesukaan) mereka, tanpa peduli siapakah orang yang dibunuhnya itu dan apa alasannya! Pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Hek Mo-ko menjadi guru dari Kwee An dan betapa kedua orang Iblis Hitam dan Putih ini kemudian tewas karena bertempur sendiri.

Rombongan ke dua yang paling doyan berkelahi adalah Hailun Thai-lek Sam-kui ini. Juga bagi mereka ini, pertempuran merupakan kebiasaan dan kesukaan, sungguh pun sifat mereka berbeda dengan Hek Pek Mo-ko. Ketiga orang kakek ini senang berkelahi dan mencoba kepandaian orang lain, hanya untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai kepandaian yang lebih unggul! Mereka tidak biasa membunuh lawan yang sudah mereka kalahkan, cukup asal mempermainkan mereka saja dan memaksa supaya lawan-lawan mereka itu mengaku kalah!

Dalam setiap pertempuran, ketiganya selalu maju bersama-sama, bukan dengan maksud mengeroyok karena sifat mereka curang, melainkan tiada seorang pun di antara mereka yang mau mengalah dan yang mau tinggal diam sebab ketiganya haus akan kemenangan dan ingin mempunyai saham dalam kemenangan itu!

Demikianlah, pada waktu Thian-he Te-it Siansu menyerang Goat Lan, Lam Mou Couwsu si kakek gemuk bertopi pendeta Buddha itu lalu maju pula ikut menyerang, dan Si Tinggi Kurus pun lalu melompat maju sambil memutar tongkatnya!

Tentu saja Goat Lan merasa mendongkol sekali melihat betapa Hailun Thai-lek Sam-kui yang terkenal memiliki kepandaian tinggi itu mengeroyoknya. Hal ini ia anggap amat tidak tahu malu dan curang. Lenyaplah semua penghormatannya terhadap ketiga orang kakek ini.

“Bagus, tidak tahunya kalian hanyalah tua-tua bangka tidak tahu malu!” teriaknya sambil memutar sepasang bambu runcingnya dengan cepat sekali sehingga sepasang senjata ini berubah menjadi dua sinar kuning yang bergulung-gulung!

Melihat betapa tiga orang kakek sakti itu mengeroyok Goat Lan, Bouw Hun Ti diam-diam tersenyum girang. Dari serangan tadi, dia telah maklum akan kelihaian gadis puteri Kwee An ini, maka kalau tidak dilenyapkan sekarang, mau tunggu kapan lagi? Ia lalu melompat maju dengan golok di tangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan goloknya terlempar lagi dari pegangan!

Jika tadi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan telah melemparkan goloknya yang diambilnya kembali, kini goloknya terlempar lebih jauh lagi. Dia menjadi sangat terkejut karena tahu bahwa yang tadi menangkis goloknya dan membuat senjatanya terlempar itu adalah rantai baja di tangan Lak Mou Couwsu!

“Minggirlah dan jangan mengganggu kami bila kami sedang bermain-main dengan Nona ini!” Lak Mou Couwsu berkata. “Gangguanmu itu sama artinya dengan penghinaan!”

Bukan main heran dan kagetnya hati Bouw Hun Ti menyaksikan watak yang aneh ini. Terpaksa dia mengambil kembali goloknya dan berdiri menonton saja, sama sekali tidak berani coba-coba lagi untuk membantu.

Sementara itu, Goat Lan merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat ketiga orang kakek ini benar-benar tinggi dan lihai. Kalau saja mereka maju seorang demi seorang, agaknya dia masih akan sanggup melawannya. Akan tetapi dikeroyok tiga oleh tiga orang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, sebentar saja dia sudah terdesak dan sinar senjatanya makin mengecil, tanda bahwa gerakannya amat terkurung dan tidak leluasa.

Ia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya saja untuk mengelak dan menangkis setiap serangan yang datang. Yang membuat dia terheran dan mendongkol adalah kenyataan bahwa tiga orang kakek ini tidak bermaksud mencelakakannya. Tiap kali senjata mereka sudah mendekat tubuhnya, maka senjata itu tiba-tiba ditarik kembali dan terdengar suara kakek-kakek itu tertawa mengejek! Goat Lan merasa dirinya dipermainkan, maka dia lalu menahan napas mengumpulkan semangat untuk mengadakan perlawanan yang hebat.

Tiba-tiba dengan seruan keras, ujung rantai baja di tangan Lak Mau Couwsu menangkap dan membelit kedua bambu runcingnya dan pada saat itu pula dari kiri menyambarlah ujung payung milik Thian-he Te-it Siansu hendak menotok nadi tangannya, ditambah lagi dengan totokan dari kanan oleh ujung tongkat Bouw Ki si tinggi kurus yang mengarah nadi tangan kanannya!

Untuk menyelamatkan kedua tangannya, maka terpaksa Goat Lan melepaskan sepasang bambu runcingnya. Terdengar gelak terbahak dari ketiga orang kakek itu,

“Aduh, sungguh lihai Ilmu Silat Bambu Kuning dari Hok Peng Taisu!” kata Si Kakek Kate.

“Hayo, lekas mengakulah bahwa kau kalah terhadap kami!” seru Lak Mou Couwsu sambil melemparkan sepasang bambu runcing itu ke atas tanah.

“Akuilah bahwa kami Hailun Thailek Sam-kui lebih menang dan lebih lihai dari pada Hok Peng Taisu yang terkenal!” juga Bouw Ki mendesak.

Akan tetapi, Goat Lan adalah puteri dari suami isteri pendekar besar gagah berani, juga murid dari guru-guru besar yang sakti. Mana dia mau mengaku kalah begitu saja? Sambil menggertak gigi, dia lalu mainkan serangan dari Ilmu Silat Im-yang Sin-na, yaitu ilmu silat dari suhu-nya Ciu-sin-mo Im-yang Giok-cu tokoh Kun-lun-san yang terkenal itu!

Thian-he Te-it Siansu cepat-cepat menyambut serangan ini dengan gembira, dan setelah bertempur sepuluh jurus, ia berkata dengan gembira,

“Aduh! Bukankah ini Im-yang Sin-na dari Kun-lun-pai? He, Nona kau tentunya murid dari Im-yang Ciok-cu, tosu pemabukan itu, bukan?”

“Memang Im-yang Giok-cu adalah Suhu-ku!” jawab Goat Lan dan dia lalu memperhebat serangannya.

“Bagus!” Lak Mou Couwsu dan Bouw Ki berseru keras. “Hari ini benar-benar kita sangat beruntung! Setelah mencoba kepandaian dari Hok Peng Taisu dan berhasil mengalahkan dia, sekarang kita mendapat kesempatan untuk mengalahkan Im-yang Giok-cu sute-nya! Ha-ha-ha!” Mereka kemudian maju menyerbu lagi dan kembali Goat Lan yang bertangan kosong dikeroyok tiga oleh Thai-lek Sam-kui yang bersenjata aneh!

Memang guru Goat Lan yang bernama Im-yang Giok-cu adalah sute (adik seperguruan) dari Hok Peng Taisu. Ilmu Silat Im-yang Sin-na yang dimainkan oleh Goat Lan adalah ilmu silat yang memang khusus dipergunakan untuk menghadapi lawan yang bersenjata.

Kalau saja yang mengeroyok Goat Lan adalah orang lain yang tingkat kepandaiannya seperti Bouw Hun Ti saja, besar kemungkinan dia akan dapat merampas senjata-senjata para pengeroyoknya. Akan tetapi, yang ia hadapi sekarang adalah Thai-lek Sam-kui, tiga tokoh persilatan yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya, maka biar pun senjata-senjata mereka hanya senjata aneh yang sederhana saja, namun sukarlah baginya untuk dapat merampas senjata mereka! Kembali ia terkurung dan terdesak hebat!

Pada suatu saat, dengan sangat tepatnya, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu telah menotok pundak kanan Goat Lan di bagian jalan darah Kim-seng-hiat! Kalau orang lain yang tertotok, betapa pun lihainya, tentu tubuh atas bagian kanan akan menjadi kaku dan tak berdaya lagi.

Akan tetapi tidak percuma Goat Lan menjadi murid tersayang Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, tokoh yang sangat terkenal karena kepandaiannya dalam hal pengobatan. Dari suhu-nya ini, Goat Lan telah banyak mempelajari ilmu kepandaian untuk mengobati segala macam luka dan penderitaan tubuh, juga tentang totokan berbagai pukulan yang berbahaya.

Begitu merasa pundaknya kaku akibat totokan yang lihai itu, tiba-tiba tubuhnya melompat ke atas mengandalkan tenaga kedua kaki, berjungkir balik di udara sambil mengeluarkan seruan keras dari dalam dada, “Hu! Hu! Hu!”

Kemudian setelah tubuhnya tiba di atas tanah, ia sengaja menjatuhkan tubuhnya dengan pundak kanan di bawah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan ketika ia melompat kembali, ternyata bahwa totokan pada jalan darah Kim-seng-hiat di pundak kanannya itu sudah sembuh kembali!

Melihat perbuatan gadis ini, tiga orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak. Thian-he Te-it Siansu kemudian maju selangkah dan berkata dengan suara menyatakan keheranannya.

“Hai! Bukankah yang kau perlihatkan tadi adalah Ilmu Menolak Tiam Hwat dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?”

“Dia adalah Suhu-ku juga!” jawab Goat Lan dengan singkat dan marah karena dia masih merasa mendongkol sekali.

“Hebat!” kakek kate itu memuji. “Kau menjadi orang muda yang benar-benar beruntung. Mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu, Im-yang Giok-cu, dan Sin Kong Tianglo! Nona, kalau kau tidak memberi tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi setelah kami tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, kami takkan dapat melepaskan kau sebelum kau menyerahkan Thian-te Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit)! Bukankah sesudah meninggal dunia gurumu itu lalu meninggalkan kitab obatnya kepadamu?”

Goat Lan terkejut sekali. Benar seperti telah dikatakan oleh gurunya, Im-yang Giok-cu, bahwa banyak sekali orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab rahasia yang amat berharga itu. Dan kini tiga orang iblis tua ini telah dapat menduganya, celaka! Mengingat akan kelihaian ketiga orang tua ini, tanpa banyak cakap lagi Goat Lan lantas melompat pergi sambil mengerahkan tenaga dan kepandaiannya melarikan diri!

“He, Nona! Kau tidak boleh pergi sebelum menyerahkan kitab itu kepada kami.!” Ketiga orang kakek itu mengejarnya dengan gerakan mereka yang juga amat cepatnya.

Goat Lan telah mempunyai ginkang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk dapat berlari secepat kijang melompat. Sebentar saja dia telah berlari jauh meninggalkan hutan itu dan ketika ia tiba di lembah sungai yang bercadas dan penuh batu karang, para pengejarnya baru dapat menyusulnya!

“Nona, kau harus mengalah terhadap kami orang-orang tua!” berseru Lam Mou Couwsu yang segera menggerakkan rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan bagaikan seekor ular menyerang!

Goat Lan menggunakan ginkang-nya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek, “Kalian ini tua bangka-tua bangka yang betul-betul jahat dan curang! Tak malukah kalian mengeroyok seorang gadis muda yang bertangan kosong?”

Pada waktu itu, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu sudah menyerang dengan totokan pada pinggangnya, akan tetapi biar pun tubuh Goat Lan masih berada di udara, gadis ini mampu menggerakkan kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh sehingga totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, begitu tubuhnya turun di atas tanah, ia telah dikurung kembali secara rapat dan hebat oleh desakan-desakan tiga orang kakek lihai itu.

Goat Lan berada dalam keadaan amat terdesak dan berbahaya sekali. Namun, tiba-tiba terdengar seruan orang yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa sakit. Seruan ini dibarengi dengan berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan kuat sekali gerakannya. Sinar pedang berkilau saat orang yang berpakaian merah ini menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali.

“Trang! Trang! Trang!”

Suara ini lantas disusul dengan seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat betapa ujung senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap lagi ketiga orang kakek aneh ini lalu melompat pergi dan melarikan diri dari situ!

Ketika Goat Lan memandang, ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua sekali. Wanita ini berpakaian serba merah, tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya berkilauan dan yang telah dimasukkannya kembali ke sarung pedangnya. Rambut wanita ini sudah putih semua, kulit mukanya penuh keriput menyatakan bahwa usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam dan bening sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis yang elok!

“Siapakah kau yang begitu bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan sungguh pun suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali. Pandang matanya seakan-akan hendak menembus jantung Goat Lan.

Gadis ini cepat menjura dengan penuh hormat, lalu ia menjawab, “Terima kasih banyak, kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku. Aku bernama Kwee Goat Lan, puteri dari Kwee An di Tiang-an.”

Nenek itu memandang tajam. “Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada keperluan apakah?”

Entah kenapa, terhadap nenek ini Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Biar pun sikap nenek ini sangat galak, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang menimbulkan penghormatan dan kepercayaannya. Agaknya sepasang mata yang bening itulah!

“Sesungguhnya, aku sedang menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal dunia, untuk mencari obat ‘to-hio-giok-ko’ yang katanya hanya bisa tumbuh di sekitar lembah sungai ini. Tak tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknya aku mendapat gangguan dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu. Baiknya kau orang tua yang sangat gagah perkasa datang menolongku.”

“Bodoh!” Nenek itu mencela. “Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiam-ku (pedang mustikaku) saja yang menolongmu. Apa bila mereka tidak lari, belum tentu aku sanggup mengalahkan mereka! Kau katakan tadi hendak mencari to-hio-giok-ko? Untuk apakah?”

“Untuk mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.” Dengan terus terang Goat Lan lalu menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan wajah tidak sabar.

“Bodoh! Ini benar-benar bodoh! Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa orang? Gila dan ganjil sekali.”

“Mohon tanya, siapakah sebenarnya Suthai ini?” Goat Lan menyebut ‘suthai’ karena dia mengira bahwa wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.

Untuk beberapa saat nenek itu tidak menjawab. Kemudian ia menggerakkan tangan dan menjawab. “Tidak usah kau pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko, marilah kau ikut padaku!”

Goat Lan menjadi girang sekali dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau mengaku siapa namanya. Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan daun itu, supaya dia dapat menyelesaikan tugasnya dan dapat segera pulang. Nenek itu membawanya ke utara dan kira-kira dua li jauhnya dari situ, mereka memasuki sebuah hutan kecil yang gelap. Senja kala telah menghilang, terganti malam penuh bintang yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar hutan itu.

“Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, apa bila kau mencari obat itu di siang hari, sampai selama hidupmu pun kau tidak akan berhasil.”

Goat Lan tidak mengerti apa maksud ucapan ini, akan tetapi diam-diam dia terus berpikir, siapakah gerangan wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek petani itu? Wanita inikah yang telah mengalahkan tiga puluh orang perampok?

Mereka kemudian pergi ke dekat sungai dan tiba-tiba saja wanita tua itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang besar.

“Kau lihatlah, bukankah buah itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang disebut giok-ko (buah mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka disebut to-hio (daun golok). Nah, kau ambillah buah dan daun itu.”

Bukan main girangnya hati Goat Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang terendah, kemudian mengayun tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Tadinya ia merasa heran sekali melihat buah yang besarnya hanya sekepalan tangan itu nampak berkilauan dari bawah, seakan-akan yang bergantungan pada pohon itu bukanlah buah, melainkan batu-batu giok! Akan tetapi setelah dekat, tahulah ia mengapa buah-buah itu berkilau.

Ternyata bahwa buah-buah itu mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat bening sehingga ketika tertimpa cahaya bintang kemudian berkilau di dalam gelap! Daun-daunnya berwarna hijau, bentuknya seperti golok-golok kecil dan ujungnya runcing.

Cepat dia memetik lima butir buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu dia masukkan ke dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu ia melompat turun di depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.

Goat Lan menjura di depan nenek itu. “Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku, tidak saja kau telah membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga telah menolongku memperoleh obat ini. Hanya sayangnya, Suthai belum juga memberitahukan nama sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku harus selalu mengingat budi ini.”

Mendengar ucapan yang sopan santun dan ramah ini, wajah nenek yang tadinya muram dan galak itu lalu melembut dan senyum membayang di bibirnya.

“Anak baik, kau tadi mengaku bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang sudah lama kukenal namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau menolongmu? Di mana pun juga berada, keturunan orang baik-baik tentu akan mendapat bantuan orang lain. Soal aku dan namaku, tak perlu diingat lagi, anakku. Sekarang lebih baik kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam hutan ini, tidak mungkin kau dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi boleh kau melanjutkan perjalanan.”

Setelah berkata demikian, nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa menengok lagi, seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan mengikuti dia. Suaranya tadi biar pun amat ramah, akan tetapi mengandung pengaruh yang besar. Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti nenek itu.

Mereka sampai di depan sebuah goa di antara batu-batu karang yang tinggi dan dengan tangannya nenek itu mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu ketika memasuki goa yang dari luar nampak besar dan hitam, karena ternyata bahwa di dalam goa itu terdapat sebuah lampu yang bernyala terang dan keadaan kamar itu amat bersih. Di tempat itu hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat dari pada kayu, maka Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

“Jangan kau duduk di situ, itu adalah tempatku bersemedhi. Kau pakailah pembaringan dan tidurlah!” kata nenek tadi.

Tentu saja Goat Lan merasa sungkan sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa merampas tempat tidur nyonya rumah yang hanya satu-satunya itu?

“Tidak, Suthai, biarlah aku yang muda mengaso sambil duduk di sini saja. Suthai tidurlah di pembaringan itu.”

“Anak bandel! Mana ada aturan yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau tidurlah di situ dan kalau membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah lagi!”

Goat Lan menjadi terkejut dan walau pun dia merasa sangat mendongkol menyaksikan kekasaran orang, akan tetapi ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu duduk di atas pembaringan itu, merasa sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.

“Kau tidurlah!” kembali nenek itu memerintah lagi sambil menduduki batu dalam keadaan bersila seperti orang bersemedhi.

Goat Lan memang sudah merasa lelah sekali sehabis bertempur melawan ketiga orang kakek yang lihai itu, maka dia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.

“Kau bilang tadi bahwa kau adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal mereka?” tiba-tiba nenek itu bertanya.

Goat Lan tercengang mendengar pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, dia belum pernah menyebutkan nama ibunya. Akan tetapi dia menjawab juga.

“Betul, Suthai, aku adalah puteri tunggal mereka. Apakah Suthai kenal dengan ayah dan ibuku?”

Akan tetapi nenek itu hanya berkata singkat. “Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”

Karena nenek itu nampak sudah memeramkan sepasang matanya, Goat Lan tidak berani mengganggunya lagi. Dengan heran dia terus menduga-duga siapakah gerakan nenek yang aneh dan yang agaknya telah mengenal ayah-bundanya ini, hingga akhirnya ia tidur nyenyak.

Menjelang fajar, pada waktu sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis tertahan. Ia menjadi heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka mata dan mengerling ke arah nenek itu.

Ternyata bahwa nenek itu tidak duduk bersemedhi lagi seperti yang dilihatnya sebelum ia tidur, akan tetapi sekarang nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja Goat Lan merasa terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak berani bergerak dan hanya memandang nenek itu melalui bulu matanya.

Tiba-tiba nenek itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih rebah telentang dengan mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu menatap wajah Goat Lan, lalu berisik perlahan,

“Kau puteri tunggal Ma Hoa... alangkah cantik dan gagah, ahhh, sayang Siong-ji tidak berada di sini...” Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan mencium jidat Goat Lan yang berkulit halus dan putih.

Ketika nenek itu menciumnya, Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Cilan dan setelah nenek itu melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat Lan membuka sedikit matanya. Di dalam keadaan yang suram itu, ia melihat tubuh nenek itu yang masih langsing dan penuh, rambutnya terlepas dan panjang sekali, sedikit pun tidak nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan hitam dan berombak. Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan keriputnya, hanya kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang cantik sekali!

Bagaikan mendapat cahaya penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam pikiran Goat Lan. Tanpa disadarinya, ia berseru keras, “Ang I Niocu...!”

Nenek itu nampak terkejut dan melompat mundur laksana diserang oleh seekor ular dari bawah. Terdengar dia mengeluarkan seruan tertahan yang aneh sekali, setengah tertawa setengah menangis, kemudian tubuhnya bergerak dan hanya sekali berkelebat, dia telah melompat keluar!

“Ang I Niocu... tunggu...!” Goat Lan berteriak sambil melompat dan mengejar keluar.

Akan tetapi ketika dia tiba di luar goa, ternyata bayangan nenek itu tidak nampak lagi! Goat Lan menarik napas panjang berkali-kali dengan hati kecewa. Dia tentu Ang I Niocu, pikirnya dengan hati berdebar tegang.

Ia telah mendengar dari ibunya tentang pendekar wanita yang hebat ini. Tadinya ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa nenek yang keriputan dan berambut putih itu adalah Ang I Niocu, karena menurut cerita ibunya, Ang I Niocu merupakan seorang wanita yang tercantik di dunia ini. Akan tetapi, ketika kegelapan menyembunyikan uban dan keriput nenek itu, Goat Lan melihat bayangan seorang wanita yang benar-benar cantik, gagah dan mengeluarkan keharuman seperti bunga Cilan, maka timbullah dugaannya bahwa nenek itu tentu Ang I Niocu.

Setelah merasa yakin bahwa nenek itu tidak mau bertemu dengan dia lagi, dan karena obat yang dicarinya telah didapatnya, Goat Lan lalu keluar dari hutan itu dan kembali ke selatan. Selain membawa obat itu ke kota raja, dia hendak pulang dulu untuk mengambil kitab obat yang ditinggalkan suhu-nya, oleh karena kitab itu penting sekali baginya untuk menjadi petunjuk mengobati penyakit putera Kaisar. Dan di dalam perjalanannya pulang inilah ia lewat dusun Tong-sin-bun.

Dia telah melakukan perjalanan cepat sekali sehingga tanpa diketahuinya dia telah dapat meninggalkan Bouw Hun Ti beserta Thai-lek Sam-kui yang melakukan perjalanan sambil melancong. Kebetulan sekali di Tong-sin-bun ini dia melihat Ban Sai Cinjin dan sesudah mengadakan penyelidikan, dia mendengar tentang keadaan orang tua yang mewah itu.

Mendengar tentang kakek yang pernah didengar namanya yang amat terkenal ini, Goat Lan lalu menunda perjalanannya dan mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan kelenteng di dalam hutan. Ia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Ban Sai Cinjin yang berjuluk Huncwe Maut adalah suhu dari Bouw Hun Ti.

Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, malam hari itu Goat Lan dapat menolong nyawa putera Pangeran Ong Tek dan Tan Kauwsu, bahkan bersama Lili yang telah dibebaskan oleh Kam Seng, dia lalu mengadu kepandaian melawan Wi Kong Siansu yang lihai.

Lili merasa kagum dan tertarik mendengar penuturan Goat Lan, terutama sekali tentang pertemuan Goat Lan dengan Ang I Niocu.

“Dan sekarang, kau hendak ke kota raja atau pulang dahulu, Goat Lan?” tanya Lili sambil memandang wajah calon iparnya yang cantik manis.

“Aku harus pulang lebih dulu ke Tiang-an, membuat persiapan mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.”

“Bagus, kalau begitu, marilah kita pergi bersama, karena aku pun hendak mengunjungi orang tuamu.”

Berangkatlah dua orang dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu, langsung menuju ke Tiang-an.

*****

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Untuk menghormat dan menyenangkan hati Hailun Thai-lek Sam-kui, Ban Sai Cinjin lalu mengadakan pesta di gedungnya di dusun Tong-sin-bun. Dalam pesta ini ia mengundang kawan-kawannya yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dan para pembesar serta para hartawan. Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio disuruh mengundang beberapa orang gagah dari kota-kota yang berdekatan.

Banyak orang-orang yang berkepandaian tinggi menghadiri pesta itu, akan tetapi semua termasuk satu golongan dengan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, di antara para tamu ini yang patut dikemukakan hanya seorang dari Shantung yang kebetulan lewat di dusun itu.

Orang ini bernama Lok Cit Sian dan ia adalah seorang ahli silat dari cabang Thai-kek-pai yang tersesat hingga tidak diakui lagi sebagai anak murid Thai-kek-pai. Lok Cit Sian yang bertubuh tinggi kurus seperti pohon bambu ini meski usianya telah mendekati lima puluh tahun, namun dia terkenal sebagai seorang bandot tua yang menjemukan. Kesukaannya inilah agaknya yang membuat dia bersahabat baik dengan Ban Sai Cinjin, cocok seperti yang dikatakan orang bahwa dua orang dapat menjadi sahabat karib apa bila kesukaan mereka sama.

Pesta berlangsung meriah sekali dan pengaruh arak telah mulai tampak pada para tamu. Suara ketawa bergelak makin lama makin riuh dan percakapan yang terdengar, makin lama makin bebas dan tidak dibatasi oleh kesopanan lagi.

Di meja besar yang berada di tengah ruangan pesta, duduklah Ban Sai Cinjing, Wi Kong Siansu, ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui dan Lok Cit Sian. Meja-meja lain dalam ruangan itu sampai ke ruangan luar juga dipenuhi tamu. Semuanya ada belasan meja banyaknya. Meja-meja di ruangan luar diduduki oleh tamu-tamu yang muda, sebagian besar adalah orang-orang muda yang kurang ajar dan tidak sopan, orang-orang muda yang pandainya hanya berjudi, mengganggu wanita dan berkelahi mengandalkan kekayaan orang tua.

Ketika para pemuda itu bersenda gurau membicarakan tentang wanita-wanita, tiba-tiba semua mata memandang ke arah selatan dari mana datang seorang gadis remaja yang amat menarik hati.

Gadis itu masih amat muda, bertubuh ramping menggiurkan dengan pakaian yang amat sederhana. Akan tetapi kesederhanaan pakaiannya yang mencetak tubuhnya ini bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar itu. Wajahnya yang cantik manis tidak dibedaki, akan tetapi kecantikannya yang wajar itu benar-benar mengagumkan dan menggairahkan hati tiap orang laki-laki.

Tentu saja, melihat datangnya gadis ini, para pemuda itu bagai kucing-kucing kelaparan melihat tikus gemuk. Semua mata memandang dengan dipentang lebar seolah-olah bola matanya hendak lompat keluar dari pelupuk mata, bibir mereka tersenyum menyeringai dan mereka sibuk membereskan rambut atau pakaian yang kusut. Banyak yang menelan ludah pada waktu menyaksikan betapa gadis elok itu melenggang dengan pinggang yang lemas, sehingga cocok sekali perumpamaan kuno bahwa pinggang dan tubuh gadis itu demikian lemas dan gayanya demikian indah seperti pohon yang-liu tertiup angin!

Tidak heran apa bila semua pemuda mata keranjang itu tertarik hatinya melihat gadis ini. Gadis ini bukan lain adalah Lilani, dara suku bangsa Haimi yang cantik. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lilani setelah tertolong oleh Lie Siong, lalu diantar oleh pemuda itu menuju ke Tiang-an. Kini mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki dan meninggalkan perahu di tepi sungai.

Sebagai seorang gadis Haimi yang berwatak jujur, dengan terang-terangan Lilani selalu menyatakan dalam segala sikap serta perbuatannya bahwa gadis ini mencinta pemuda penolongnya itu. Akan tetapi, Lie Siong selalu bersikap dingin, biar pun di dalam hatinya kadang kala timbul gelora karena sikap dan kecantikan gadis ini amat menarik hatinya.

Tiap kali mereka bermalam di rumah penginapan, Lilani selalu berkeras ingin bermalam di dalam satu kamar. Tentu saja Lie Siong merasa tidak enak hati sekali, akan tetapi dia menjadi terharu juga ketika mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar jujur dan berhati putih bersih. Setiap kali mereka tinggal sekamar dalam sebuah hotel, gadis itu tanpa banyak cakap lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang hanya sebuah, tidur di pinggir dan miringkan tubuh membelakangi Lie Siong lalu tidur pulas!

Terpaksa Lie Siong tidak mengajukan keberatan lagi, bahkan ia merasa malu kepada diri sendiri karena tadinya dia menyangka bahwa Lilani adalah gadis yang berpikiran kotor. Yang lebih mengharukan hatinya adalah saat dia melihat gadis itu tidur dalam kedinginan lalu selimut yang hanya satu-satunya itu dia selimutkan di atas tubuh gadis itu akan tetapi pada keesokan harinya ketika dia bangun dari tidurnya, ternyata bahwa selimut itu telah pindah tempat dan telah diselimutkan oleh Lilani di atas tubuhnya!

Pernah Lilani mengatakan bahwa kini ia tidak ingin tinggal bersama Kwee-lo-enghiong di Tiang-an.

“Mengapa?” Lie Siong bertanya terheran. “bukankah kau sendiri yang minta supaya aku mengantarmu ke Tiang-an?”

“Tadinya memang hanya Kwee-lo-enghiong satu-satunya orang yang dapat kuharapkan, akan tetapi sekarang aku lebih senang tidak berumah dan selamanya merantau bersama denganmu, Lie Taihiap.”

Ucapan yang sejujurnya ini menusuk perasaan Lie Siong dan membuka matanya bahwa gadis Haimi ini benar-benar mencinta padanya. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berlaku seolah-olah ia tidak mengerti akan pengutaraan rasa hati gadis itu.

Pada hari itu, mereka tiba di dusun Tong-sin-bun dan menyewa sebuah kamar di hotel. Seperti biasa, pelayan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi perasaan Lie Siong karena telah sering kali mereka dianggap suami isteri oleh pelayan hotel. Dan selalu Lilani menyambut anggapan ini dengan wajah berseri dan mulut tersenyum manis.

“Taihiap, marilah kita berjalan-jalan melihat keadaan dusun ini yang sangat ramai,” Lilani mengajak Lie Siong ketika mereka telah duduk mengaso.

“Kau pergilah kalau ingin berjalan-jalan, Lilani. Aku sedang malas dan biar aku menanti kau di sini,” jawab Lie Siong.

Biar pun hatinya kecewa, Lilani pergi juga seorang diri, dengan maksud hendak mencari sesuatu yang enak dan dibelinya untuk Lie Siong! Demikianlah, tanpa disengaja ia lewat rumah gedung Ban Sai Cinjin dan kini, dengan hati mendongkol ia melihat betapa mata beberapa orang muda yang sedang makan minum di ruangan depan itu memandangnya dengan kurang ajar sekali.

“Aduh, Nona manis, hendak pergi ke manakah?” seorang di antara mereka menegur sambil tersenyum-senyum.

Lilani tidak mempedulikannya dan hendak berjalan terus. Akan tetapi orang ke dua lalu menghadang di depannya dan berkata,

“Wahai dewi kahyangan, marilah kau makan minum dengan kami. Bukan begitu kawan-kawan?”

“Akur! Nona ini harus makan minum, menemani kita bergembira,” teriak yang lain.

Sambil tertawa-tawa, pemuda itu lalu mengulur tangan hendak menangkap dan menarik lengan Lilani. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika gadis itu mengelak dan mengirim tamparan ke arah pipinya.

“Plokk!”

Pemuda itu menjerit kesakitan dan terhuyung mundur. Kawan-kawannya menjadi marah dan hendak menangkap Lilani, akan tetapi menghadapi kawanan pemuda liar ini Lilani cukup lihai. Beberapa kali tangannya bergerak dan empat orang pemuda roboh sambil mengaduh-aduh kesakitan.

Ban Sai Cinjin yang duduk makan minum di ruang dalam, mendengar suara ribut-ribut ini, lalu ia berdiri dan bertindak keluar, diikuti oleh Liok Cit Sian. Ada pun Wi Kong Siansu dan ketiga Thailek Sam-kui yang sedang bertanding mengadu kekuatan minum arak, tak mempedulikannya dan terus saja duduk minum dengan gembira.

Ban Sai Cinjin menjadi kaget dan marah sekali melihat seorang gadis muda yang cantik menghajar beberapa orang tamunya. Akan tetapi ketika Lok Cit Sian melihat gadis itu, matanya yang juling berseri-seri dan dia berbisik, “Ban Sai Cinjin sahabat baik, jangan mencelakai burung molek ini, serahkan dia untukku.”

Ban Sai Cinjin tersenyum dan dia lalu bertanya kepada para tamunya apakah yang telah terjadi.

“Kami dengan baik-baik menawarkan dia makan minum, akan tetapi Nona ini sebaliknya lalu mengamuk dan memukul!” Pemuda yang kena ditampar tadi mengadu.

“Hem, hem, galak benar,” kata Ban Sai Cinjin. Dengan mulut menyeringai, ia mengambil tempat masakan, lalu menggunakan sebatang sumpit ia mencokel sepotong daging yang panas mengebul sambil berkata,

“Nona manis, akulah tuan rumahnya dan karena kau sudah datang, silakan kau makan daging ini!”

Biar pun gerakannya mencokel daging dengan sumpit itu perlahan saja, namun daging itu bagaikan disambitkan lalu meluncur dan menyambar ke arah muka Lilani! Gadis itu terkejut sekali ketika merasa betapa sambaran daging itu mendatangkan angin kuat. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya sehingga kalau ia tidak cepat menarik tubuhnya ke belakang, tentu daging panas itu akan mengenai mulutnya!

“Tua bangka kurang ajar!” bentaknya dan semua orang merasa heran mendengar betapa suara gadis ini lain dengan orang Han biasa.

Akan tetapi pada saat itu, sumpit di tangan Ban Sai Cinjin sudah berkali-kali mencokel lagi dan tiga potong daging menyambar ke arah Lilani. Gadis ini berusaha mengelak dan memang benar ia dapat menghindarkan diri dari sambaran daging pertama dan kedua, akan tetapi sambaran daging ke tiga tak dapat dielakkannya lagi.

Dengan tepat sekali daging ini mengenai jalan darahnya di dekat iga kiri dan seketika itu juga Lilani merasa seluruh tubuhnya kesemutan dan dua tangannya tak dapat digerakkan lagi! Dia terkejut sekali dan lebih-lebih terkejutnya pada saat orang tinggi kurus yang tadi berdiri di belakang Ban Sai Cinjin sambil tertawa-tawa, kini melangkah maju dan begitu orang tinggi kurus ini mengulur tangan, dia telah kena dipeluk dan dipondongnya.

“Ha-ha-ha, burung muraiku yang manis. Mari masuk dalam sangkar emas bersamaku!”

Dengan mata terbelalak bagaikan seekor kelinci yang tertangkap oleh serigala, Lilani pun segera memaklumi keadaannya yang sangat berbahaya ini. Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, akan tetapi dia masih dapat mengeluarkan suara.

Ketika dulu dia masih hidup bersama suku bangsanya dan hidup di hutan belukar, ia dan kawan-kawannya memiliki semacam seruan tanda bahaya yang maksudnya untuk minta tolong kepada kawan-kawan. Kini dalam keadaan bahaya dan hatinya takut sekali, maka otomatis dia segera mengeluarkan pekik yang amat nyaring bunyinya.

Pekik ini terdengar seperti siulan panjang yang nyaring bergema, dan terdengar seperti bunyi seekor burung hutan. Semua orang terkejut mendengar bunyi yang aneh ini, akan tetapi Lok Cit Sian sambil tertawa berkata,

“Ha-ha-ha, burungku yang indah benar-benar pandai bersiul!”

Letak rumah penginapan yang ditinggali oleh Lie Siong tidak jauh dari gedung Ban Sai Cinjin. Pada waktu itu, ia sedang duduk memikirkan Lilani dengan pikiran bingung. Harus diakuinya, bahwa setelah melakukan perjalanan bersama Lilani selama sebulan lebih, dia telah merasa biasa dan gembira berada dekat gadis ini. Sikap gadis ini yang ramah dan mencintanya, berkesan dalam-dalam di hatinya sehingga kini timbul keraguan di dalam hatinya apakah dia akan merasa senang apa bila Lilani dia tinggalkan di rumah Kwee An. Apakah dia akan dapat merasa gembira lagi setelah berpisah dari gadis itu?

Tiba-tiba saja dia mendengar siulan panjang dan nyaring. Ia terkejut karena ketika masih melakukan perjalanan dengan perahu, pada suatu malam di tengah hutan, pernah Lilani mengeluarkan siulan seperti itu. Oleh karena perahu mereka berada di dalam hutan dan banyak terdengar suara binatang di waktu malam, saking girangnya Lilani mengeluarkan siulan itu sehingga mengejutkan hati Lie Siong.

Dan kini terdengar siulan seperti itu lagi! Ia teringat bahwa siulan itu berarti minta tolong, demikian Lilani dulu menerangkan siulan itu kepadanya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Lie Siong menyambar pedangnya yang segera diikatkan di pinggang, kemudian dia berlari menuju ke arah datangnya siulan tadi.

Alangkah marahnya ketika dia tiba di depan gedung yang sedang berpesta itu, ia melihat Lilani sedang dipondong oleh seorang kurus tinggi dan diiringi dengan gelak tertawa para tamu yang berada di situ. Dalam kemarahan yang berkobar memuncak, Lie Siong lantas melompat dan menerjang Si Tinggi Kurus itu dengan gerakan yang disebut Raja Kera Merampas Mustika. Tangan kanannya menyerang dengan tusukan kedua jari tangan ke mata Si Tinggi Kurus, sedang tangan kirinya menyambar ke arah tubuh Lilani!

Tak seorang pun menduga datangnya pemuda ini, maka tentu saja Lok Cit Sian menjadi terkejut sekali. Dia sedang bergembira karena telah berhasil mendapatkan seorang dara yang demikian cantiknya, maka akibat nafsu yang memeningkan kepalanya, hampir saja dia tidak dapat menghindarkan matanya dari tusukan dua buah jari tangan Lie Siong.

Baiknya Lok Cit Sian telah memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka dia masih dapat merasakan datangnya bahaya. Cepat dia menjatuhkan diri ke belakang dan ia dapat mengelak dari serangan Lie Siong. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah pemuda itu merenggut tubuh Lilani dari pondongannya.

Dengan gerakan cepat, Lie Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan Ban Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan dibawaya melompat ke pekarangan depan.

Barulah terjadi keributan setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak terduga ini. Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah bukan main. Murid murtad dari Thai-kek-pai ini lalu mencabut pedangnya dan dengan mengeluarkan gerengan bagaikan seekor harimau terluka, dia segera menyerbu ke depan dan menyerang Lie Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang istimewa.

Pedang Lok Cit Sian berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.

“Traang...!”

Dua pedang bertemu, maka berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata bukanlah pedang sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut ketika merasa betapa pedangnya telah menempel pada pedang lawan yang aneh itu, dan pada saat ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan yang berbentuk naga itu telah berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya.

Dia mencoba untuk menarik pedangnya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lie Siong melakukan pukulan dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya. Lok Cit Sian adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih, dia maklum akan kelihaian pukulan ini, maka dia mengerahkan tenaga lweekang-nya, membuka tangan kirinya untuk menyambut pukulan lawan.

“Aduh...!” Lok Cit Sian mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih menempel pada pedang Lie Siong!

Tiba-tiba Lie Siong merasa ada sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat membalikkan tubuh sambil menangkis dengan pedangnya ke belakang.

“Traaang...!”

Lie Siong merasa terkejut sekali saat merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar, sedangkan pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih menempel dan terlibat oleh lidah pedangnya kini telah mencelat jauh. Ternyata bahwa yang menyerangnya tadi adalah seorang kakek gemuk yang berpakaian mewah. Kakek ini telah menyerangnya dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat, dan melihat betapa tenaga serangan itu sanggup menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong bahwa ia menghadapi seorang pandai.

“Bangsat muda, apakah kau buta maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek itu berkata sambil melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.

Akan tetapi, Lie Siong sama sekali tidak gentar menghadapi huncwe-nya itu dan dengan cepat dapat menangkis lantas membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.

Sementara itu setelah dibebaskan oleh Lie Siong, Lilani lalu menyerang pemuda yang tadi mengganggunya. Ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, orang yang tadi ditamparnya tahu-tahu kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga tubuh lawannya berada di belakangnya, gadis itu lalu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu terlempar ke udara!

Pemuda itu menjerit-jerit ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia jatuh di atas genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani turun dan sambil berkaok-kaok minta tolong, ia memegang wuwungan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

Sementara itu ketika Lilani melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang tengah mainkan senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa banyak orang mulai mencabut senjata dan agaknya hendak mengeroyok Lie Siong, lalu berseru,

“Taihiap, mari kita pergi dari sini. Aku takut!”

Lie Siong tidak kenal akan arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang itu, biar pun harus ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh dipandang ringan, ia pantang mundur. Akan tetapi, begitu mendengar suara Lilani yang menyatakan rasa takutnya, teringatlah ia bahwa biar pun ia dapat menjaga diri sendiri, namun apa bila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani, belum tentu ia dapat melindungi gadis itu.

Maka dengan gerakan yang cepat dan indah, dia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak tipu Naga Sakti Bermain-main Dengan Kilat. Pedangnya yang berbentuk naga itu bergerak ke depan, tanduk naga menotok jalan darah maut di leher Ban Sai Cinjin, lidah naga yang panjang menyambar ke arah mata dan tangan kiri Lie Siong bergerak pula melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut.

Ban Sai Cinjin tidak mengenal ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula pedangnya itu, akan tetapi melihat pukulan Pek-in Hoat-sut ini, dia segera teringat akan kepandaian Lili dan Goat Lan. Ia terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang sambil berseru,

“Bangsat rendah, ternyata kau adalah keturunan Pendekar Bodoh!”

Akan tetapi Lie Siong sudah melompat ke dekat Lilani dan menyambar pinggang gadis itu yang ramping lalu berlari pergi sambil berseru, “Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal Pendekar Bodoh!”

Dia memang merasa mendongkol karena ke mana juga dia pergi, dia selalu mendengar nama Pendekar Bodoh disebut orang, sungguh pun kali ini agaknya disebut oleh orang yang memusuhi Pendekar Bodoh.

Ban Sai Cinjin dan Lok Cit Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Wi Kong Siansu yang baru saja keluar. “Tak perlu dikejar lawan yang sudah melarikan diri. Pula, kali ini kawan-kawanmu berada di pihak yang salah, Sute.”

Ban Sai Cinjin merah mukanya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu kembali ke ruangan dalam. Pesta dilanjutkan biar pun suasananya tidak semeriah tadi.

*****

Lie Siong berlari terus memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan mengajak Lilani keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tetap berada di hotel, maka bahaya besar akan mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan di luar goa, ia berhenti dan bertanya kepada Lilani.

“Lilani, bagaimanakah terjadinya keributan itu?”

Lilani segera menceritakan betapa dia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie Siong mendengarkan dengan muka merah sebab hatinya tiba-tiba menjadi panas sekali. Sambil mengertak gigi, ia berkata,

“Kau tunggulah di sini. Aku hendak kembali ke sana dan sebelum dapat menghancurkan kepala Si Tinggi Kurus yang menghinamu, aku belum merasa puas.”

Mendadak Lilani menjadi pucat ketakutan. “Jangan, Taihiap, jangan kau pergi ke sana. Mereka itu orang-orang jahat yang lihai sekali.”

“Aku tidak penakut seperti kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar mereka!” Dia hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan memegang tangannya.

“Taihiap, jangan... jangan kau pergi ke sana...,” suaranya menggigil sehingga Lie Siong menjadi terheran-heran. “Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri, aku takut kalau-kalau kau akan mendapat celaka. Tidak tahukah kau betapa tadi pun aku sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak dikeroyok? Kakek gemuk itu lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang yang lihai dan jahat.”

“Aku tidak takut! Untuk membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”

“Jangan, Taihiap. Kau tidak takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup lebih lama lagi kalau kau sampai menderita celaka di sana?” Gadis itu lalu menangis dan memeluk kedua kaki Lie Siong.

Sungguh mengherankan, melihat keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya berdebar aneh!

“Jangan takut, Lilani. Aku takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka di tanganku!” Sesudah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani, dan segera melompat pergi.