Pendekar Remaja Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 08

KEEMPAT orang ini, yakni Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swie Kiat Siansu terkenal sebagai empat besar dan kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi hingga jarang bertemu tandingan! Hanya sayang sekali bahwa Swie Kiat Siansu telah salah dalam memilih murid.

Dua orang muridnya yang bernama Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu menjadi perwira-perwira Mongol dan berwatak jahat sekali. Dulu Swie Kiat Siansu ini bersama Pok Pok Sianjin pernah mengadakan pibu (adu kepandaian silat) di puncak Hoa-san menghadapi Hok Peng Taisu dan Bu Pun yang diwakili Pendekar Bodoh.

Kini melihat keadaan orang tua ini, diam-diam Cin Hai menghela napas dan teringatlah ia bahwa ia sendiri kelak tak akan terlepas dari pada pengaruh usia tua dan kematian. Akan tetapi, mendengar bahwa kakek ini hendak menyerahkan kipasnya kepada puterinya, ia menjadi girang sekali. Menyerahkan senjata berarti menyerahkan atau menurunkan ilmu silat, dan kipas kakek ini memang merupakan senjatanya yang paling lihai dan yang telah membuat namanya menjadi terkenal sekali.

Tak lama kemudian, Lin Lin datang sambil membawa dua ekor kelinci putih yang gemuk. Ia tertawa manis sekali dan berkata, “Aku sengaja menangkap keduanya supaya pasangan ini tidak terpisah, biar pun sudah berpindah tempat ke dalam perut!”

Swie Kiat Siansu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! Pantas saja kau dan suamimu Pendekar Bodoh ini dapat hidup rukun dan damai, tidak tahunya kau dapat menghargai kesetiaan dan kecintaan! Lekas masak... lekas masak... aku tidak tahan lagi menghadapi cacing-cacing perutku!”

Cin Hai segera membuat api dan setelah kedua kelinci itu disembelih serta dibersihkan, dagingnya kemudian dipanggang. Tidak lama kemudian sudah tercium bau yang sedap dan menimbulkan selera. Swie Kiat Siansu menahan air liurnya ketika tercium bau sedap ini olehnya.

“Aduh, cacing perutku makin menggeliat-geliat. Lekas bawa ke sini!”

Lin Lin tersenyum senang, karena ucapan ini secara tidak langsung menyatakan pujian atas pekerjaannya. Wanita mana pun juga di dunia ini memiliki dua macam kesenangan yang sama, yaitu mendapat pujian tentang kecantikannya atau kelezatan masakannya. Ia lalu membawa daging yang sudah merah dan mengebulkan uap dan aroma kesedapan itu kepada Swie Kiat Siansu.

Kakek tua yang hanya dapat menggerakkan tangan kanannya itu cepat menerima daging itu dan makan dengan amat lahapnya. Cin Hai dan Lin Lin memandang kagum karena biar pun daging itu baru saja keluar dari api dan amat panas, akan tetapi kakek itu dapat memakannya demikian enak dan sekali-kali tidak kelihatan kepanasan!

Tanpa menawarkan kepada Cin Hai dan Lin Lin yang terpaksa memandang saja sambil menelan ludah, kakek itu makan terus dengan enak dan lahap sekali sampai lenyaplah daging dua ekor kelinci itu berpindah ke dalam perutnya!

Swie Kiat Siansu kemudian menggunakan tangan kanannya yang masih penuh dengan minyak untuk mengelus-elus perutnya yang gendut, lalu dia tertawa dan berkata,

“Ahh, yang senang saja kalian sepasang ketinci tinggal di dalam perutku!” ia tertawa lagi, kemudian berkata. “Sayang tidak ada arak...”

“Jangan khawatir, Locianpwe, kebetulan teecu membawa bekal arak,” kata Cin Hai yang cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalannya.

Berserilah wajah kakek itu. “Bagus, bagus! Kau baik sekali! Ahh, benar-benar Thian telah memimpin kalian suami isteri ke tempat ini untuk menyenangkan hatiku di saat terakhir ini dan untuk menerima warisan dariku!”

Dia lalu minum arak itu dan nampak senang sekali. Tiap kali habis menenggak arak, dia menjulurkan lidah dari mulut dan diputarnya lidah itu menghapus kedua bibirnya dengan puas sekali.

Lin Lin juga merasa girang ketika mendengar bahwa kakek itu hendak menurunkan ilmu silat dan kepandaian memainkan senjata kipas itu kepada puterinya, maka ia pun bersiap sedia untuk memasak apa saja yang dibutuhkan kakek ini.

Dua pekan lebih Cin Hai dengan tekun mempelajari ilmu silat tinggi dari Swie Kiat Siansu untuk kemudian dipelajarkan kepada puterinya. Karena Cin Hai telah memiliki dasar ilmu silat tinggi serta mempunyai pengertian dasar dan pokok segala macam ilmu silat, maka setelah memperhatikan dan mempelajari selama dua pekan, dia sudah dapat menerima semua kepandaian itu.

Pada malam yang ke lima belas, setelah memberikan keterangan-keterangan terakhir dan memberikan kipas itu kepada Cin Hai, Swie Kiat Siansu berkata puas, “Nah, kini bebaslah aku dari kipas sial dan butut itu! Ehh, Nyonya muda, tolong kau panggangkan sepasang kelinci lagi untukku!”

“Baik, Locianpwe,” jawab Lin Lin yang selama itu selalu mengurus keperluan Swie Kiat Siansu yang membawa mereka tinggal di sebuah goa di hutan itu.

Sesudah sepasang kelinci didapatkan dan dagingnya dimasak, kembali kakek itu makan dengan enaknya dan menghabiskan persediaan arak milik Cin Hai yang tinggal seguci lagi. Sesudah makan kenyang, dia lalu menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas tanah, berkata, “Besok kalian boleh pergi!” dan sebentar kemudian ia tidur mendengkur!

Cin Hai dan Lin Lin teringat akan Bu Pun Su, guru mereka yang juga memiliki adat yang sangat aneh seperti kakek ini pula. Dengan perlahan mereka lalu keluar dari goa itu dan makan buah-buahan yang dikumpulkan oleh Lin Lin.

“Besok kita disuruh pergi,” kata Cin Hai. “Karena Ang I Niocu tidak ada kabarnya, lebih baik kita kembali mencari anak kita dan mampir di Beng-san menengok putera kita.”

Teringat akan puteri mereka, Sie Hong Li atau Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti, Lin Lin tiba-tiba kembali merasa berduka sekali dan menunda makannya, memandang dengan mata melamun ke tempat jauh. Nampak dua titik air mata perlahan-lahan mengalir turun membasahi pipinya.

“Isteriku, janganlah kau berduka. Percayalah bahwa Thian pasti akan melindungi Lili,” Cin Hai menghibur sambil menepuk-nepuk pundak isterinya. Mendengar hiburan ini, Lin Lin merasa semakin terharu dan sedih sehingga ia lalu menangis terisak sambil menjatuhkan kepalanya di atas pundak suaminya.

Cin Hai membiarkan saja karena untuk melepaskan kedukaan, memang tidak ada yang lebih baik dari pada tangis dan air mata. Karena besok pagi mereka harus pergi, maka sekali lagi Cin Hai menghafalkan dan melatih ilmu silat yang diturunkan oleh Swie Kiat Siansu.

Malam itu mereka berada di luar goa dan melatih ilmu silat dengan amat rajinnya. Dasar suami isteri ini memang gemar sekali akan ilmu silat, maka berlatih semalam penuh di bawah sinar bulan itu merupakan hiburan yang sangat baik bagi kedukaan hati mereka akibat lenyapnya puteri mereka.

Akan tetapi, alangkah kagetnya sepasang suami isteri ini ketika pada keesokan harinya mereka memasuki goa tempat tinggal Swie Kiat Siansu, mereka mendapatkan kakek itu telah menggeletak tak bergerak dan tak bernapas lagi! Ternyata setelah makan kenyang dan tidur, kakek yang usianya sudah seratus lebih dan yang terserang penyakit berat ini telah menghembuskan napas terakhir, hal yang sudah lama dinanti-nantinya!

Dengan penuh penghormatan, Cin Hai dan isterinya lalu mengurus jenazah itu, menggali tanah dan mengubur jenazah itu sebagaimana mestinya. Mereka bersembahyang secara sederhana, menunda keberangkatan mereka sampai pada keesokan harinya lagi untuk memberi penghormatan terakhir. Kalau kiranya manusia mati masih mempunyai roh, dan apa bila rohnya ini pandai melihat dan berpikir, maka roh Swie Kiat Siansu tentu akan merasa berterima kasih sekali melihat sepasang suami isteri ini.

Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Hai dan isterinya meninggalkan tempat itu dan langsung menuju ke selatan. Di sepanjang jalan tiada hentinya mereka berdua mencari keterangan dan menyelidiki tentang Ang I Niocu dan juga tentang Bouw Hun Ti.

Tanpa mendengar sesuatu pun keterangan tentang kedua orang yang dicari-carinya itu, akhirnya mereka sampai di Beng-san dan mendaki gunung itu dengan cepat.

Baru saja mereka berdua tiba di lereng gunung, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring memanggil mereka. “Ayah... lbu...!”

Cin Hai dan Lin Lin cepat menengok dengan wajah berubah, dan alangkah kaget, heran serta girang hati mereka ketika melihat di atas sebuah puncak berdiri Lili bersama Hong Beng dan seorang anak laki-laki lain lagi!

Lin Lin berlari seperti terbang cepatnya ke arah anaknya itu sambil menangis. Cin Hai juga berlari mengejar isterinya, akan tetapi kali ini dia kalah cepat! Kegirangan agaknya sudah membuat nyonya muda itu seakan-akan terbang saja dan ilmu berlari cepatnya mendadak menjadi makin hebat.

Juga Lili dan Hong Beng berlarian turun dari puncak. Sesudah saling berhadapan, Lin Lin lalu menubruk Lili sambil mencium anaknya itu dan menangis tersedu-sedu.

“Lili... Lili... anak nakal... kau selamat, Nak?” dengan megap-megap Lin Lin bertanya.

Lili juga menangis saking girangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian dia menengok kepada ayahnya yang juga sudah datang ke situ lalu tersenyum!

“Ayah dan Ibu tidak marah...?” tanyanya.

“Mengapa marah? Tidak, anakku, tidak!” jawab Cin Hai.

“Mengapa Kongkong tidak ikut datang?” tanya lagi Lili dan mendengar pertanyaan ini, Lin Lin tiba-tiba menangis lagi.

Hong Beng maju mendekati ibunya dan melihat ibunya menangis sedih sekali ini, dia lalu menyentuh pundak ibunya yang masih berlutut memeluk Lili. “Ibu, apakah yang terjadi dengan Kongkong?”

Oleh karena Lin Lin tidak dapat menjawab, Cin Hai kemudian maju dan berkata tenang, “Kongkong-mu sudah ditewaskan oleh orang-orang yang menculik Lili. Karena itu kalian belajarlah baik-baik agar kelak dapat mencari musuh besar ini.”

Lili yang sangat sayang kepada engkong-nya, menjerit keras ketika mendengar berita ini. “Apa...?!” Ia memandang kepada ayahnya dengan mata bernyala. “Engkong di... dibunuh oleh bangsat itu...?”

Ketika Cin Hai menganggukkan kepalanya, Lili merangkul ibunya dan menangis keras. Ada pun Hong Beng yang juga sangat sayang kepada kongkong-nya itu, berdiri dengan muka muram. Pemuda cilik ini mengepal tinju dan membanting-banting kakinya sambil berkata perlahan,

“Jahanam...! Jahanam...!” Akan tetapi ia tidak mengeluarkan air mata.

Diam-diam Cin Hai menjadi bangga melihat ketenangan dan kekuatan hati puteranya ini, maka dia lalu menarik tangan Lili, mendekapnya dan berkata halus,

“Lili, lihat kakakmu itu. Kau tidak boleh berhati lemah dan menangis seperti seorang anak cengeng! Kewajibanmulah untuk kelak membalas sakit hati kongkong-mu.”

Mendengar ucapan ayahnya ini, bangkitlah semangat Lili dan dengan muka masih basah oleh air mata ia berkata, “Ayah, aku bersumpah untuk mencari keparat Bouw Hun Ti dan menghancurkan kepalanya!”

Lin Lin juga sudah dapat menguasai keharuan hatinya dan nyonya muda ini lalu teringat kepada pemuda cilik yang tadi bersama kedua anaknya. Ternyata pemuda itu masih berdiri tidak jauh dari mereka dan hanya berdiam saja sambil memandang dengan mata berduka.

Anak ini adalah Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang menjadi murid Sin-kai Lo Sian atau kini menjadi suheng dari Lili. Melihat betapa Lili dan Hong Beng berjumpa kembali dengan kedua orang tua mereka, hatinya menjadi perih dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri yang sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya.

“Ehh, anak itu siapakah?” tanya Lin Lin kepada Lili.

Baru Lili teringat kepada suheng-nya ini dan dia lalu melambaikan tangan kepadanya.

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”

“Kam Seng, kau kesinilah bertemu dengan ayah bundaku!”

Dengan malu-malu Kam Seng lalu bertindak maju dan memberi hormat sambil menjura kepada Cin Hai dan Lin Lin.

“Dia bernama Thio Kam Seng, murid dari Suhu,” kata Lili.

“Suhu? Siapakah Suhu-mu?” tanya Cin Hai terheran.

Lili lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh Bouw Hun Ti, kemudian tertolong oleh Sin-kai Lo Sian dan dibawa ke atas Gunung Beng-san ini dan kemudian dilatih oleh Mo-kai Nyo Tiang Le, suheng dari Lo Sian atau supek mereka.

Cin Hai dan Lin Lin merasa girang sekali mendengar penuturan ini dan mereka sangat berterima kasih kepada Sin-kai Lo Sian, pengemis sakti yang namanya sudah pernah mereka dengar itu.

“Sekarang di mana dia, penolong dan suhu-mu itu? Kami harus bertemu dengan dia untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lin Lin.

“Dia sudah turun gunung, Ibu. Katanya hendak pergi ke Shaning untuk mencari Ayah dan Ibu, melaporkan keadaanku yang sudah tertolong.”

Pada waktu itu, dari puncak gunung nampak bayangan orang yang cepat sekali berlari mendatangi.

“Nah, itu dia Supek datang!” kata Kam Seng ketika melihat bayangan itu.

Cin Hai dan Lin Lin cepat-cepat menengok. Mereka melihat seorang yang berpakaian sebagai pengemis datang berlari cepat sekali dari atas.

Mo-kai Nyo Tiang Le biar pun sudah sering kali mendengar nama Pendekar Bodoh akan tetapi belum pernah bertemu muka, maka ia tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Dari atas, dia tadi melihat seorang laki-laki dan seorang wanita bercakap-cakap dengan tiga orang anak itu, maka cepat ia menghampiri karena ia berkhawatir kalau-kalau kedua orang itu adalah orang-orang jahat. Pada saat melihat dua orang itu bersikap gagah dan berwajah elok, ia lalu bertanya kepada Lili,

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”

“Supek, mereka ini adalah ayah bundaku!” kata Lili dengan girang dan tersenyum, sama sekali lenyap rasa dukanya yang tadi! Memang watak gadis cilik ini benar-benar sama dengan ibunya.

Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali mendengar pengakuan ini. Dia memandang dengan penuh perhatian kepada Cin Hai yang sementara itu bersama isterinya sudah menjura kepadanya untuk memberi hormat.

“Ahh, jadi kau ini adalah Pendekar Bodoh yang bernama Sie Cin Hai? Maaf, maaf! Aku tak mengenal orang pandai!” Nyo Tiang Le cepat menjura dan membalas penghormatan itu.

“Nyo Loheng (Saudara Tua Nyo) terlalu sungkan!” jawab Cin Hai merendah. “Sebetulnya justru kami berdua yang harus menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan hatimu, terutama sekali kepada adikmu yang sudah menolong jiwa puteri kami. Mudah-mudahan saja budi ini akan terbalas oleh Thian apa bila kami tiada kesempatan untuk membalas semuanya.”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa terbahak-bahak dengan gembira sekali, sehingga Lili dan Kam Seng memandang dengan heran karena jarang mereka menyaksikan supek mereka ini sedemikian gembiranya.

“Pendekar Bodoh, kau seperti anak kecil saja!” kata Pengemis Iblis Mo-kai Nyo Tiang Le setelah tertawa bergelak. “Di antara kita masih perlukah bicara tentang budi? Sekarang Lili telah bertemu dengan kalian, suami isteri pendekar yang kepandaiannya tinggi sekali, maka sudah cukup lama kiranya aku tinggal di tempat ini mengganggu Pok Pok Sianjin! Lili, yang baik-baiklah kau belajar ilmu kepandaian supaya kelak jangan sampai terculik orang lagi. Ha-ha-ha-ha! Kam Seng, kau ikutlah padaku turun gunung!” Setelah berkata demikian, Mo-kai menyambar lengan tangan Kam Seng dan berlari pergi dari situ dengan cepat.

Lili tertegun menyaksikan sikap ini, akan tetapi Cin Hai hanya tersenyum saja kemudian berkata, “Memang orang-orang kang-ouw selalu mempunyai watak yang sangat aneh. Kita harus catat nama Mo-kai Nyo Tiang Le itu sebagai seorang sahabat baik. Marilah kita naik ke puncak untuk menghadap Pok Pok Sianjin!”

Mereka beramai-ramai lalu pergi ke atas puncak dan menghadap Pok Pok Sianjin yang menerima kedatangan mereka dengan girang.

“Pendekar Bodoh, kebetulan sekali kau dan isterimu sudah datang! Apakah kalian telah bertemu dengan Sin-kai Lo Sian?”

Setelah memberi hormat, Cin Hai menjawab, “Belum, Locianpwe.” Ia lalu menceritakan perjalanannya mencari Lili, dan betapa mereka bertemu pula dengan Swie Kiat Siansu yang meninggal dunia karena penyakit dan usia tua.

Pok Pok Sianjin menarik napas panjang. “Ahh, semua kawan-kawan telah meninggalkan aku! Mereka sudah bebas dan senang! Tinggal aku seorang tua bangka yang harus mengalami penderitaan entah berapa tahun lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin tidak lama tinggal di tempat itu, hanya tiga hari, ini pun karena Hong Beng selalu menahan mereka. Akhirnya mereka pun turun gunung bersama Lili, setelah memesan kepada Hong Beng untuk belajar ilmu dari Pok Pok Sianjin dengan giat dan rajin.

Pemuda cilik ini diam-diam merasa sangat kesepian sesudah adik perempuannya turun gunung mengikuti ayah ibunya. Akan tetapi Hong Beng memang seorang pemuda yang pendiam dan selain berwatak tenang, dia juga memiliki kekuatan batin yang cukup tabah. Kesunyiannya ini lalu dia tutup dengan ketekunannya belajar ilmu silat sehingga Pok Pok Sianjin merasa makin gembira menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang berbakat ini.

Demikianlah, apa bila Sie Hong Beng dengan rajin mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, Lili juga menerima latihan ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan ia menerima pula Ilmu Silat Kipas Maut yang diwariskan oleh Swie Kiat Siansu untuknya. Walau pun Lili memiliki watak yang lincah dan tidak dapat tekun belajar, akan tetapi apa bila dia teringat akan kematian kakeknya, dia lalu mengerahkan semangatnya dan mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga ayah bundanya merasa girang juga melihat perubahan ini.

*****

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Seperti telah dikatakan oleh Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari sangat pesatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun terbang berlalu dengan cepatnya sehingga kita sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah tua!

Memang aneh kalau direnungkan. Apa bila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan atau pun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, maka nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat memperhatikan jalannya waktu?

Kita semua tidak merasa dan sungguh pun masa kanak-kanak kadang kala masih suka terbayang di depan mata, peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua. Belasan tahun itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja!

Siapa bilang kalau hidup ini lama? Memang benarlah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau sudah terlambat!


Tak terasa lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili sudah berusia delapan belas tahun dan dia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak gembira dan suka tertawa. Matanya kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan ibunya, Lin Lin, pada waktu muda!

“Kalau aku melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!” kata Cin Hai sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya.

Lin Lin yang biar pun sudah berusia hampir empat puluh tahun tapi masih nampak cantik itu, mengerling sambil cemberut manja.

“Ah, kau ini memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?”

Cin Hai tertawa karena dia sudah maklum sekali bahwa isterinya ini biar pun di mulutnya mengomel akan tetapi di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.

Lin Lin memandang kagum lalu menghela napas. “Betapa pun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah dia kelak menikah?”

“Hal itu tak perlu tergesa-gesa,” jawab suaminya dengan tenang, “ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!”

Lin Lin mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat betapa indahnya gerakan Sian-li San-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang dia mainkan itu!”

Cin Hai memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu kini sedang melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang sangat indah dan cepat, dan gerakan Sian-li San-hwa adalah sebuah di antara tipu-tipu ilmu silat ini. Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia lalu membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

Anak gadisnya ini sungguh mengagumkan sekali, dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah gerangan yang patut menjadi menantunya. Dia merasa puas dengan ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi untuk Lili, dia belum dapat memilih seorang calon menantu yang cukup sesuai dan cocok.

Sementara itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya. Dia segera menengok dan berlari-lari menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja dia lalu duduk di dekat ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan sapu tangannya untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.

“Ibu, sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan padaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri.”

“Tak baik bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,” kata Cin Hai.

Lili merengut. “Ahhh…, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku. Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga sering kali pergi merantau menambah pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!”

Cin Hai memandang dengan muka bersungguh-sungguh. “Lili, dahulu itu lain lagi, karena keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, ayah dan ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan turun tangan dan mengganggumu.”

Lili berdiri dan dengan sikap menantang berkata keras, “Aku tidak takut! Aku bukan puteri ayah dan ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang jahat? Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang kupelajari dengan susah payah tidak akan ada artinya apa bila tidak dipergunakan demi kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah pendekar namanya!”

Cin Hai tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini sering kali menggunakan ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!

“Sudah, bicara dengan kau takkan ada orang yang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Soso-mu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan ke sana.”

Lili makin cemberut. “Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin menggunakan kepandaian yang telah kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku... aku akan minggat!”

Cin Hai melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.

“Hussh, Lili! Jangan kau berkata begitu!”

Lili memandang pada ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata mengingatkan, “Ibu, apakah kau sudah lupa bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu? Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!”

Lin Lin tidak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak berdaya).

“Lili,” kata Cin Hai menolong isterinya, “Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita untuk menyusulku dalam usaha untuk membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah membasmi keluarga ibumu.”

“Apa bedanya? Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam pada keparat Bouw Hun Ti!” Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata, “Ahh, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang. Kalau Beng-ko lain lagi, ia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka hatinya! Ahh, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki saja!”

Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak ini lebih keras kepala dari pada ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain lagi. Hebat, bisik hatinya, anak ini bahkan lebih gagah dan bersemangat dari pada ayahnya!

“Sudahlah, Lili, kau jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!” kata Cin Hai. “Baiklah, kami akan merundingkan hal ini.”

Setelah Lili kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.

“Bagaimana baiknya?” bertanya Lin Lin dengan hati gelisah “Bila dia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak berbahaya?”

“Berbahaya sih tidak,” suaminya menjawab setelah berpikir keras. “Kepandaian Lili sudah lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tak hanya kepandaian silat tinggi saja yang mampu menjaga keselamatan tubuh. Banyak akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya dari pada kepandaian silat lawan.”

“Kalau begitu, kita harus melarangnya pergi!” kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.

Pendekar Bodoh menggelengkan kepalanya. “Melarang pun tidak benar. Anak itu bahkan lebih keras kepala dari pada engkau!”

“Hmm, jadi aku keras kepala, ya? Kenapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?”

Cin Hai tertawa. “Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu. Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini. Kita berdua sudah cukup tua, bukan anak-anak lagi.”

“Kau yang mulai!”

“Sebaiknya begini saja. Mulai kini kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw supaya matanya terbuka terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau dia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita dapat memberi perkenan kepadanya untuk pergi merantau dengan dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, tentu dia tidak akan berani pergi terlalu jauh.”

Karena tidak dapat mencari jalan lain yang lebih baik, terpaksa Lin Lin pun menyatakan persetujuannya. Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Dia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para penjahat).

Sampai hampir dua pekan dia menerima wejangan dan nasehat, memperhatikan semua cerita dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Ia lalu mempelajari pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal mereka, melalui Propinsi Honan kemudian memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-an yang terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.

Lin Lin yang amat sayang pada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi nasehat-nasehat supaya dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang sangat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili.

Gadis itu membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan juga obat-obat untuk menjaga diri. Pedang Liong-coan-kiam pemberian ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya berkembang-kembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari sutera mahal, sepatunya berkembang hingga dia nampak cantik jelita dan gagah sekali. Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.

“Ayah, Ibu, aku berangkat!” katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.

“Hati-hatilah di perjalananmu,” kata Cin Hai.

“Sampaikan salam kami kepada Kwee-pekhu sekeluarga,” pesan Lin Lin.

Kemudian berangkatlah Lili. Dia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis tampak berseri-seri, sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.

Apakah ia akan langsung menuju ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh ayah ibunya? Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasehat orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal pekhu-nya (uwaknya) di Tiang-an. Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sebenarnya adalah untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-an hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan pergi!

Oleh karena inilah maka dia segera membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning! Bukan Tiang-an yang ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin! Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutan, kelenteng milik Ban Sai Cinjin di mana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong Thio Kam Seng!

Dulu ia suka menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu. Akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin meski pun raja iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!

Keadaan Lili yang pakaiannya begitu mewah, cantik jelita, gadis muda yang melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi melihat cara dia naik kuda serta melihat gagang pedangnya yang tergantung pada pinggangnya, membuat orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang perantau yang pandai ilmu silat sehingga tak seorang pun berani mencoba-coba untuk mengganggunya.

Hanya satu kali terjadi gangguan ketika ia masuk ke kota Lok-yang. Di kota ini terdapat seorang jagoan muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-bin-liong (Naga Muka Kuning) bernama Lok Ceng. Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-tong-pai yang berwatak sombong dan berlagak tinggi.

Kebetulan sekali Lok Ceng sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-yang, ketika Lili menghentikan kudanya di depan restoran itu, lalu melompat turun dan memanggil seorang pelayan.

Seorang pelayan berlari menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,

“Kau urus baik-baik kudaku pada waktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya sampai bersih. Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di atas kuda itu dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!”

Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk dengan hormat. “Tentu saja, Siocia. Akan kulakukan pesanmu baik-baik.” Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.

“Kuda yang bagus!” tiba-tiba terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke arah orang yang memuji kudanya.

Orang ini bukan lain adalah Lok Ceng sendiri. Melihat ada seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku hati-hati dan segera membuang pandangan matanya. Tanpa mempedulikan orang itu, Lili terus saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang cepat datang menghampirinya.

Restoran itu besar sekali dan para tamu yang makan di situ tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya. Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira. Ketika Lili memasuki restoran itu, hampir semua mata menengok dan memandang kagum.

Akan tetapi Lili tak mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah menjadi biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap hal ini biasa saja. Ibunya telah menasehatinya untuk bersikap dingin dan jangan mempedulikan hal ini.

“Lili, kau seorang gadis muda yang cantik manis,” kata ibunya memberi nasehat, “banyak sekali gangguan yang akan kau hadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata minyak, selalu tidak dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis cantik. Akan tetapi, apa bila mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan kurang ajar, janganlah kau hiraukan mereka. Asal mereka tak mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan yang kurang ajar, anggap saja mereka itu seperti patung-patung hidup yang tak perlu dilayani.”

Oleh karena itu, maka Lili selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandang dia dengan kagum. Malah orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti padanya, dianggapnya sebagai lalat saja!

Akan tetapi, ketika dia sedang menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan, tiba-tiba telinganya yang amat tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di dalam warung itu. Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan ketika ia mengerling, ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji kudanya, telah memasuki ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat!

Diam-diam Lili merasa heran mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini. Apa lagi ketika ia mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada orang yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali.

Akan tetapi pemuda tinggi besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan tangan, lalu dia tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja di mana Lili sedang makan! Dia lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan cara yang sangat menjemukan. Mulutnya menyeringai bagaikan seekor kuda kelaparan dan terdengarlah dia berkata keras,

“Kudanya besar dan bagus, pemiliknya lebih bagus lagi!”

Semua orang yang duduk di situ maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili juga maklum bahwa pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh karena ucapannya itu masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak mengerti dan melanjutkan makannya.

Melihat betapa gadis manis itu tidak menengok dan tidak mempedulikan pujiannya, Lok Ceng menjadi semakin berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa ha-ha hi-hi ia kemudian menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi gadis itu sambil memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai. Semua orang diam-diam tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan tetapi ada pula yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita itu.

Semenjak tadi Lili menahan sabarnya, karena ia masih selalu ingat akan nasehat ibunya supaya menjauhkan diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu kini duduk dekat di hadapannya, tentu saja dia merasa amat terganggu dan masakan yang tadinya nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.

“Lalat kuning sungguh menjemukan!”

Ia lalu menunda makannya, kemudian dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil mengerahkan tenaga lweekang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air kuah di dalam mangkok itu tiba-tiba saja memercik ke arah Lok Ceng dan tanpa dapat terelakkan lagi mengenai bajunya!

Semua orang terkejut mendengar gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan maklum bahwa dengan sebutan lalat kuning, gadis itu sudah memaki Lok Ceng! Mana ada lalat yang berwarna kuning? Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng!

Akan tetapi, tak ada seorang pun yang tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan membasahi baju Lok Ceng itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka hanya mengira bahwa hal itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak menyangka bahwa gadis cantik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat menggerakkan tenaga lweekang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya.

Oleh karena itu, pemuda ini hanya tersenyum-senyum saja dan biar pun dia tahu bahwa dirinya dimaki ‘lalat kuning’, dia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang gadis yang melawan apa bila diganggunya, dari pada seorang gadis yang bahkan tersenyum-senyum melayani gangguannya.

“Aku ingin sekali menjadi potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan mulut yang manis!” katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar ucapannya ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini.

Mendengar ucapan dan melihat sikap orang muka kuning itu, Lili segera maklum bahwa kegagahan orang itu hanya pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan tahu akan demonstrasi tenaga lweekang yang diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka Kuning ini agaknya tidak tahu akan hal ini, bahkan berani mengeluarkan ucapan yang demikian kurang ajar.

Lili sudah kehabisan kesabarannya. “Lalat kuning, kau lapar dan hendak makan daging? Nah, ini makanlah!”

Secepat kilat tangannya lalu menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan sebelum Si Muka Kuning sempat mengelak, isi mangkok itu sudah menyiram mukanya, bahkan sepotong daging mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa sakit!

Suara tertawa dari para tamu tadi tiba-tiba saja tak terdengar lagi dan sekarang mereka memandang dengan muka pucat. Selama ini belum pernah ada orang berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng sedemikian hebatnya!

Sementara itu, untuk sesaat Lok Ceng merasa kedua matanya amat pedas dan tak dapat dibuka sehingga dia menjadi gelagapan kemudian menggunakan kedua tangannya untuk membersihkan mukanya. Keadaannya sangat lucu dan para penonton menahan suara ketawa mereka karena sungguh pun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti itu berada dalam keadaan begitu lucunya, akan tetapi mereka tak berani memperdengarkan suara ketawa.

Kini kegembiraan Lok Ceng lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi kemerah-merahan karena marah dan berminyak akibat siraman kuah tadi. Matanya yang sudah bebas dari kepedasan kuah kini memandang dengan melotot.

“Gadis liar, apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng?” Ia membentak dan melangkah maju.

“Ehh, ehh, cacing muka kuning!” kata Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga menjadi cacing. “Apakah kau masih belum kenyang?”

Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak dan kini masakan lain yang penuh kecap berwarna merah dan masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka Lok Ceng.

Si Naga Muka Kuning cepat mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah tersiram oleh masakan kecap ini! Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua matanya yang tadi melotot sehingga kecap itu tidak sempat memasuki kedua matanya. Akan tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang hidungnya sehingga dua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap yang membuat dia tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak copot hidungnya!

Kini para tamu di restoran itu terpaksa mendekap mulut masing-masing untuk menahan ketawa, karena melihat Lok Ceng berbangkis-bangkis sambil mencak-mencak, sungguh merupakan pemandangan yang amat lucu dan menggelikan.

Lok Ceng memaki-maki dan kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada pinggangnya dan kini mengamuk hebat. Beberapa kali dia membacok ke kanan kiri dan meja kursi yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih menggerakkan kedua kakinya menendang ke sana ke mari sehingga meja kursi beterbangan ke mana mana.

Para tamu yang tadinya menahan ketawa, kini menjadi ketakutan dan segera mereka menyingkirkan diri ke tempat jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan pagar. Muka mereka menjadi pucat karena sekarang keadaan bukan main-main lagi. Gadis itu pasti akan menjadi korban golok Lok Ceng yang amat tajam.

Akan tetapi, Lili tak mau membuang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong itu. Biar pun Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak menjadi gentar dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah berada di depan si pengamuk itu.

“Gadis liar, kupenggal lehermu!” teriak Lok Ceng.

“Manusia tak tahu diri, kau harus diberi rasa sedikit!” Lili balas membentak.

Dengan gerak tipu Sianli-jip-pek-to (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, dia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia dapat masuk di antara kelebatan golok itu dan langsung menggerakkan tangan kanan ke arah iga lawannya.

“Dukk!” dengan tepat sekali jari tangannya mengirim tiam-hoat (totokan) yang mengenai jalan darah hong-twi-hiat dengan jitu sekali.

Terdengar Lok Ceng memekik keras dan aneh...! Orang muka kuning yang tinggi besar ini tidak dapat bergerak lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih berdiri dengan golok terpegang erat-erat di tangan kanannya.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti kenapa Lok Ceng berdiri kaku seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai kesukaan berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum dan dengan mata berseri-seri dia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang masih terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng, sehingga Lok Ceng sekarang memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir di sepanjang hidungnya!

Semua orang yang merasa lebih heran dari pada lucu itu, tidak dapat tertawa dan masih memandang dengan bengong. Bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok Ceng.

“He, aku mau membayar! Mana pelayan?” teriak Lili.

Barulah pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.

“Nah, ini untuk membayar masakan yang telah kumakan. Dan lebihnya untuk mengganti kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!” Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu.

Pelayan yang mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.

“Ehh, Siocia...,” kata pelayan ini, ”bagaimana dengan Oei-bin-liong? Tubuhnya kaku dan dia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami.”

Lili tertawa geli. “Biarlah, bukankah dia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?”

“Akan tetapi... tentu dia akan marah dan... bagaimana kalau dia mati?”

Lili berkata dengan sungguh-sungguh, “Janganlah kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya. Dalam waktu pendek dia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan pulih kembali.” Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan kota Lok-yang.

*****

Sesudah melakukan perjalanan dengan cepat selama dua pekan, akhirnya sampailah Lili ke tempat yang menjadi tujuan utamanya, yaitu dusun Tong-sin-bun. Dia segera memilih rumah penginapan dan menyewa sebuah kamar. Kudanya dia serahkan kepada pelayan untuk dirawat baik-baik.

Tanpa bertanya pada orang lain, Lili dapat mencari rumah Ban Sai Cinjin dengan mudah, oleh karena di dalam dusun yang tak berapa besar itu, hanya satu-satunya gedung yang besar dan mewah yang menjadi tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Bahkan ketika ia bertanya kepada pelayan, ternyata hotel di mana dia bermalam juga milik dari Ban Sai Cinjin yang kaya raya dan berpengaruh besar.

“Nona datang dari mana dan apakah hendak bertemu dengan Ban Sai Cinjin Loya?”

Lili tersenyum dan maklum bahwa semua pekerja di dalam hotel ini adalah anak buah Ban Sai Cinjin, maka ia hanya menjawab, “Ah, tidak. Aku hanya seorang pelancong yang tertarik melihat keadaan di dusun ini yang amat ramai.”

Pada senja hari itu juga, diam-diam tanpa diketahui oleh seorang pun, Lili mengenakan pakaian yang ringkas, menggantungkan pedangnya di pinggang, lalu keluar dari rumah penginapan itu untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti. Ia menduga bahwa musuh besarnya itu tentu berada di kelenteng yang dahulu pernah dilihatnya dengan Sin-kai Lo Sian, yaitu dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun Tong-sin-bun itu.

Akan tetapi sebelum menuju ke hutan itu, dia sengaja menyelidiki dahulu gedung besar tempat tinggal Ban Sai Cinjin yang nampak sunyi dari luar. Ketika ia hendak melompat ke atas pagar tembok yang tinggi dan yang mengelilingi gedung itu, tiba-tiba saja dia melihat seorang pemuda yang tampan bersama seorang setengah tua sedang berjalan keluar dari gedung itu dengan tindakan cepat.

Lili cepat bersembunyi di tempat gelap dan memandang tajam. Bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat pemuda itu. Tidak salah lagi, pemuda itu tentulah Thio Kam Seng, anak laki-laki yang dulu pernah ditolong oleh suhu-nya, Sin-kai Lo Sian, atau yang boleh juga disebut suheng-nya, karena mereka keduanya pernah menjadi murid Sin-kai Lo Sian.

Lili menjadi girang sekali dan hampir saja ia memanggil pemuda itu. Akan tetapi ia dapat menahan keinginannya ini sebab teringat bahwa pemuda ini baru saja keluar dari gedung Ban Sai Cinjin. Hal ini benar-benar aneh sekali.

Dulu Kam Seng pernah hampir dibunuh oleh seorang murid Ban Sai Cinjin, bagaimana sekarang dia dapat keluar masuk demikian leluasa di gedung Ban Sai Cinjin itu? Hal ini menimbulkan kecurigaannya dan ia tidak memanggil pemuda itu, bahkan lalu diam-diam mengikuti perjalanan Kam Seng dan orang tua itu yang berjalan cepat menuju ke hutan di mana terdapat kelenteng besar kepunyaan Ban Sai Cinjin.

Bagaimanakah Kam Seng dapat berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin dengan enaknya? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar Bodoh dan isterinya naik ke Gunung Beng-san dan bertemu kembali dengan Lili, pemuda ini dibawa pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le.

Sesungguhnya, Thio Kam Seng tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dahulu ketika ditolong oleh Sin-kai Lo Sian, dia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi sebenarnya tidak demikian halnya.

Thio Kam Seng adalah anak tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song Kun. Para pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun merupakan sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena kejahatannya hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Si Pendekar Bodoh Cin Hai.

Pada waktu hal ini terjadi, Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun telah meninggalkan seorang gadis yang selama itu dipeliharanya sebagai isteri tidak sah, dan isterinya ini sudah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun juga terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka dia mempunyai banyak bini peliharaan di mana-mana, baik yang dia dapatkan karena ketampanannya mau pun yang dia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari rumah orang tua gadis itu!

Setelah Song Kun tewas di dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin ibu Kam Seng lalu hidup terlunta-lunta. Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia pun merasa malu, dan hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka dia masih mempertahankan hidupnya.

Beberapa bulan kemudian, dalam keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang bayi laki-laki yang dia beri nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat benci kepada suaminya yang mengambilnya secara paksa, maka ia memberi nama keturunan Thio kepada puteranya ini.

Betapa pun juga, setelah Kam Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam Seng bertanyakan ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa ayahnya telah tewas dalam tangan seorang pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!

Kui Lin lalu hidup berdua dengan puteranya dalam keadaan yang sangat miskin. Mereka terlunta-lunta dan hidup serba kekurangan, sehingga akhirnya Kui Lin jatuh sakit yang membawanya kembali ke alam baka. Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim piatu, hidup merantau terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik.

Ternyata Kam Seng memiliki otak yang sangat cerdik, dan agaknya kecerdikan ayahnya menurun kepadanya. Dia bisa berpura-pura bodoh dan jarang berbicara, padahal segala sesuatu dia perhatikan betul-betul. Cerita ibunya mengenai ayahnya yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan dia tidak dapat melupakan nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya.

Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dia tertolong oleh Sin-kai Lo Sian, diangkat menjadi muridnya dan akhirnya dia diajak pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le Si Pengemis Iblis yang lihai.

“Kita harus mencari suhu-mu,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le. “Sebelum kita bertemu dengan gurumu, kau harus melatih diri baik-baik. Akan kuajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu agar kelak kau tidak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri Pendekar Bodoh sekali pun!”

Diam-diam Kam Seng merasa girang sekali. Telah lama dia menahan-nahan dendamnya ketika ia mengetahui bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh ayahnya, adalah ayah Lili yang menjadi sumoi-nya. Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu ia melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-san.

Saking terharu dan sedihnya karena tak berdaya untuk membalas dendam, dulu dia telah menangis sedih. Tak seorang pun mengetahui apa yang menyebabkan ia menangis. Kini mendengar ucapan Mo-kai Nyo Tiang Le supek-nya, dia menjadi girang sekali dan mulai hari itu dia belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati Mo-kai Nyo Tiang Le.

Bertahun-tahun Kam Seng pergi merantau ikut dengan Mo-kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh propinsi di daerah Tiongkok, akan tetapi mereka tidak bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, bahkan mendengar beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka telah tanyai, tak seorang pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang sudah menghilang untuk bertahun-tahun lamanya.

Terpaksa Mo-kai Nyo Tiang Le mewakili sute-nya mendidik Kam Seng yang sebetulnya menguntungkan pemuda itu, sebab kepandaian Pengemis Iblis ini masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Si Pengemis Sakti. Sembilan tahun lamanya Mo-kai Nyo Tiang Le mengajak Kam Seng merantau, selalu berpindah-pindah dari barat ke timur, dari utara ke selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju dengan cepat sekali.

Ia telah mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat (Ilmu Silat Kitiran Angin) serta ilmu melepas senjata rahasia yang disebut Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan tongkat dari Pengemis Iblis ini pun telah dia warisi dengan baik sekali.

“Supek,” kata Kam Seng pada suatu hari setelah supek-nya itu menyatakan kekesalan hatinya karena belum juga dapat bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, “apakah tidak bisa jadi Suhu terkena celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin? Bagaimana kalau kita pergi mencari Suhu di sana?”

Supek-nya mengangguk-angguk. “Mungkin dugaanmu ini bisa benar juga. Aku pun telah mempunyai dugaan demikian.” Dia menghela napas. “Memang Ban Sai Cinjin jahat dan kejam, akan tetapi ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Jangankan Sute, aku sendiri belum tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui bagaimana dengan nasib Sute. Mari kita berangkat ke dusun Tong-sin-bun.”

Mereka lalu menuju kembali ke barat dan tiba di dusun itu pada waktu malam.

“Supek, biarlah teecu menyelidiki ke kuil itu.”

“Kau berhati-hatilah, Kam Seng. Di sana terdapat banyak orang pandai,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le yang duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di warung arak.

“Jangan kuatir, Supek. Tidak percuma selama ini teecu mempelajari ilmu kepandaian dari Supek.”

Pemuda ini lalu mempergunakan ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Dia melihat kelenteng itu terang sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang sangat mewah dan besar. Melihat keadaan kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain sutera yang halus tergantung dijadikan tirai penutup pintu, Kam Seng menghela napas dan melirik ke arah pakaiannya sendiri.

Semenjak ia pergi ikut dengan supek-nya belum pernah dia berpakaian baik. Pakaiannya tambal-tambalan dan kotor sekali. Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau saja dia mau mengambil pakaian dari para hartawan, akan tetapi supek-nya tentu melarangnya, dan ia pun merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan supek-nya berpakaian kotor penuh tambalan. Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda!

Kam Seng menunggu sampai beberapa lama, akan tetapi oleh karena dia tidak melihat seorang pun keluar dari kelenteng itu, dia kemudian memberanikan diri dan menghampiri kelenteng itu. Dengan ginkang-nya yang sudah terlatih baik, dia lalu melompat ke atas genteng dengan mudahnya. Dari atas genteng ia melihat bahwa penerangan yang paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan amat hati-hati ia lalu menuju ke ruang itu, mengerahkan ginkang-nya supaya genteng yang diinjaknya tidak menerbitkan suara berisik.

Ketika dia mengintai ke bawah, dia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang rambutnya masih nampak hitam, demikian pula jenggotnya.

Kam Seng merasa heran mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu menyebut suheng (kakak seperguruan) pada tosu ini. Sungguh mengherankan sekali bahwa seorang yang usianya lebih tua dari pada Ban Sai Cinjin masih nampak segar dan rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka lebih menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh disebut-sebut.

“Memang Pendekar Bodoh lihai sekali,” dia kemudian mendengar tosu itu berkata sambil menganggukkan kepalanya. “Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi pinto (aku) tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan pengertian tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau dia dilawan dengan ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi pinto telah mempelajari ilmu silat dunia barat yang mempunyai gerakan amat berlainan dan dasarnya pun berbeda sehingga apa bila menghadapi Pendekar Bodoh, belum tentu pinto tak akan dapat merobohkannya!”

“Supek berkata benar,” Bouw Hun Ti tiba-tiba berkata, “bagaimana pun juga, Pendekar Bodoh bukan tak dapat dilawan! Pernah juga teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh masih belum selihai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw yang muncul dalam cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara itu. Kalau kepandaian Suhu saja telah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko sebab berasal dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak mampu menundukkan Pendekar Bodoh!”

Ketika Ban Sai Cinjin menyedot huncwe-nya dan hendak menjawab, tiba-tiba saja tosu itu menengok ke arah genteng di mana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata halus, “Sahabat muda yang mengintai di atas genteng, kau turunlah saja!”

Bukan main kagetnya Kam Seng mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Kalau orang-orang di bawah ini yang begitu lihai ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tak sekali-kali boleh memusuhi mereka. Alangkah baiknya bila mana dia bisa berkawan dengan mereka untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!

Telah berkali-kali supek-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa ilmu kepandaian Pendekar Bodoh amat tinggi, masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pengemis Iblis itu, maka sudah menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar pernyataan ini. Kini mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan tosu yang menjadi suheng kakek ber-huncwe itu demikian tingginya, dia mendapat sebuah pikiran yang baik sekali.

Mendengar ucapan tosu itu, semakin yakinlah dia bahwa tosu itu benar-benar lihai sekali, maka ia lalu menjawab, “Maafkan teecu yang muda telah berlaku lancang!”

Sesudah berkata demikian, dia lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan gerakan In-liong San-hian (Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah dan ilmu lompatnya cukup hebat sehingga tiga orang yang berada di ruangan itu memandang dengan kagum.

Melihat seorang pemuda cakap berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin lalu melangkah maju, dan bertanya, “Orang muda, siapakah kau dan mengapa kau melakukan pengintaian di kelentengku?”

Kam Seng menjura memberi hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia berkata dengan sikap gagah dan suara tenang,

“Tadi teecu mendengar tentang totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena ada permusuhan pribadi antara teecu dengan Pendekar Bodoh, maka hati teecu tertarik sekali dan ingin teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu maklum bahwa teecu bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang mampu mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, maka teecu akan menghambakan diri menjadi murid dan akan menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman di sini. Jika Totiang tidak dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, jangah harapkan akan dapat menangkan Pendekar Bodoh!”

Kata-kata ini membuat Bouw Hun Ti menjadi marah sekali dan dia melompat ke depan, cepat mengirim pukulan keras ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,

“Macammu hendak menantang Supek?”

Pukulan tangan kanan Bouw Hun Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam pukulan itu cukup untuk dapat menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa ilmu kepandaian Bouw Hun Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari Sin-kai Lo Sian, maka dapat diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini.

Akan tetapi, Kam Seng bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia telah mewarisi seluruh kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le sehingga kepandaiannya sekarang mungkin telah lebih tinggi dari pada Sin-kai Lo Sian! Dia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang tidak mungkin ia dapat melawan orang kuat ini, maka ia lalu mempergunakan kecerdikannya.

Dengan lengan kanan, dia mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke depan dengan ilmu silat Soan-hong-jiu (Kepalan Kitiran Angin).

Bouw Hun Ti merasa terkejut sekali sebab sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu pukulan lawan itu mendatangkan angin yang sangat hebat dan berbahaya sehingga terpaksa dia miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Pada saat pukulannya tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke belakang!

“Bagus...!” kata tosu itu yang sesungguhnya merupakan suheng dari Ban Sai Cinjin yang bernama Wi Kong Siansu.

Wi Kong Siansu ini sebagaimana pernah dituturkan pada bagian depan adalah seorang pertapa di Hek-kwi-san dan dijuluki Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa). Oleh karena merasa khawatir menghadapi musuh-musuh yang sangat tangguh, Ban Sai Cinjin menyuruh Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk suheng-nya itu yang ternyata kemudian berhasil dengan baik.

Melihat pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan dia lalu berdiri dari bangkunya.

“Bouw Hun Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya.” Ia lalu melangkah maju untuk menghadapi Kam Seng. “Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau sampai bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?”

Semenjak dulu, Kam Seng tidak pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapa pun juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada di antara orang-orang yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tak merasa ragu-ragu lagi untuk memberi tahukan nama ayahnya, bahkan dia pun merubah pula she-nya yang biasanya Thio itu menjadi Song.

“Teecu bernama Kam Seng, she Song, dulu Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan ayah teecu itu bernama Song Kun.”

Mendengar disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin lalu saling pandang dengan terkejut sekali. “Apa?! Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-ho Sian-kiam?” tanya Wi Kong Siansu dengan heran.

“Entahlah, karena ayah telah tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari ibuku yang sekarang sudah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu ketahui, yaitu bahwa ayah teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!”

“Benar, benar!” Wi Kong Siansu mengangguk-angguk. “Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu, anak muda!”

Kam Seng memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud tertentu. Dia telah maklum sampai di mana tingkat kepandaiannya, apa bila diukur dengan kepandaian supek-nya Nyo Tiang Le. Walau pun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian supek-nya itu, namun dari latihan-latihan dengan supek-nya dia dapat menaksir bahwa supek-nya itu tidak mungkin akan sanggup merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus! Maka ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena kalau hal ini memang dapat terjadi, dia tidak ragu-ragu lagi dengan kepandaian tosu ini dan tidak ragu-ragu pula untuk mengkhianati supek-nya!

Setelah tosu itu melangkah maju menghadapinya, tanpa sheji (sungkan) lagi Kam Seng segera menyerang dengan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat yang paling lihai. Dia hendak mendahului menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk dapat menyerangnya. Kalau saja dia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus, biar pun tidak dapat merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!

Wi Kong Siansu agaknya maklum akan isi pikirannya ini, maka sambil tersenyum kakek yang amat lihai ini tidak mau memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lainnya. Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan sudah dekat dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu, ia lalu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng.

Pendekar Remaja Jilid 08

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 08

KEEMPAT orang ini, yakni Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swie Kiat Siansu terkenal sebagai empat besar dan kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi hingga jarang bertemu tandingan! Hanya sayang sekali bahwa Swie Kiat Siansu telah salah dalam memilih murid.

Dua orang muridnya yang bernama Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu menjadi perwira-perwira Mongol dan berwatak jahat sekali. Dulu Swie Kiat Siansu ini bersama Pok Pok Sianjin pernah mengadakan pibu (adu kepandaian silat) di puncak Hoa-san menghadapi Hok Peng Taisu dan Bu Pun yang diwakili Pendekar Bodoh.

Kini melihat keadaan orang tua ini, diam-diam Cin Hai menghela napas dan teringatlah ia bahwa ia sendiri kelak tak akan terlepas dari pada pengaruh usia tua dan kematian. Akan tetapi, mendengar bahwa kakek ini hendak menyerahkan kipasnya kepada puterinya, ia menjadi girang sekali. Menyerahkan senjata berarti menyerahkan atau menurunkan ilmu silat, dan kipas kakek ini memang merupakan senjatanya yang paling lihai dan yang telah membuat namanya menjadi terkenal sekali.

Tak lama kemudian, Lin Lin datang sambil membawa dua ekor kelinci putih yang gemuk. Ia tertawa manis sekali dan berkata, “Aku sengaja menangkap keduanya supaya pasangan ini tidak terpisah, biar pun sudah berpindah tempat ke dalam perut!”

Swie Kiat Siansu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! Pantas saja kau dan suamimu Pendekar Bodoh ini dapat hidup rukun dan damai, tidak tahunya kau dapat menghargai kesetiaan dan kecintaan! Lekas masak... lekas masak... aku tidak tahan lagi menghadapi cacing-cacing perutku!”

Cin Hai segera membuat api dan setelah kedua kelinci itu disembelih serta dibersihkan, dagingnya kemudian dipanggang. Tidak lama kemudian sudah tercium bau yang sedap dan menimbulkan selera. Swie Kiat Siansu menahan air liurnya ketika tercium bau sedap ini olehnya.

“Aduh, cacing perutku makin menggeliat-geliat. Lekas bawa ke sini!”

Lin Lin tersenyum senang, karena ucapan ini secara tidak langsung menyatakan pujian atas pekerjaannya. Wanita mana pun juga di dunia ini memiliki dua macam kesenangan yang sama, yaitu mendapat pujian tentang kecantikannya atau kelezatan masakannya. Ia lalu membawa daging yang sudah merah dan mengebulkan uap dan aroma kesedapan itu kepada Swie Kiat Siansu.

Kakek tua yang hanya dapat menggerakkan tangan kanannya itu cepat menerima daging itu dan makan dengan amat lahapnya. Cin Hai dan Lin Lin memandang kagum karena biar pun daging itu baru saja keluar dari api dan amat panas, akan tetapi kakek itu dapat memakannya demikian enak dan sekali-kali tidak kelihatan kepanasan!

Tanpa menawarkan kepada Cin Hai dan Lin Lin yang terpaksa memandang saja sambil menelan ludah, kakek itu makan terus dengan enak dan lahap sekali sampai lenyaplah daging dua ekor kelinci itu berpindah ke dalam perutnya!

Swie Kiat Siansu kemudian menggunakan tangan kanannya yang masih penuh dengan minyak untuk mengelus-elus perutnya yang gendut, lalu dia tertawa dan berkata,

“Ahh, yang senang saja kalian sepasang ketinci tinggal di dalam perutku!” ia tertawa lagi, kemudian berkata. “Sayang tidak ada arak...”

“Jangan khawatir, Locianpwe, kebetulan teecu membawa bekal arak,” kata Cin Hai yang cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalannya.

Berserilah wajah kakek itu. “Bagus, bagus! Kau baik sekali! Ahh, benar-benar Thian telah memimpin kalian suami isteri ke tempat ini untuk menyenangkan hatiku di saat terakhir ini dan untuk menerima warisan dariku!”

Dia lalu minum arak itu dan nampak senang sekali. Tiap kali habis menenggak arak, dia menjulurkan lidah dari mulut dan diputarnya lidah itu menghapus kedua bibirnya dengan puas sekali.

Lin Lin juga merasa girang ketika mendengar bahwa kakek itu hendak menurunkan ilmu silat dan kepandaian memainkan senjata kipas itu kepada puterinya, maka ia pun bersiap sedia untuk memasak apa saja yang dibutuhkan kakek ini.

Dua pekan lebih Cin Hai dengan tekun mempelajari ilmu silat tinggi dari Swie Kiat Siansu untuk kemudian dipelajarkan kepada puterinya. Karena Cin Hai telah memiliki dasar ilmu silat tinggi serta mempunyai pengertian dasar dan pokok segala macam ilmu silat, maka setelah memperhatikan dan mempelajari selama dua pekan, dia sudah dapat menerima semua kepandaian itu.

Pada malam yang ke lima belas, setelah memberikan keterangan-keterangan terakhir dan memberikan kipas itu kepada Cin Hai, Swie Kiat Siansu berkata puas, “Nah, kini bebaslah aku dari kipas sial dan butut itu! Ehh, Nyonya muda, tolong kau panggangkan sepasang kelinci lagi untukku!”

“Baik, Locianpwe,” jawab Lin Lin yang selama itu selalu mengurus keperluan Swie Kiat Siansu yang membawa mereka tinggal di sebuah goa di hutan itu.

Sesudah sepasang kelinci didapatkan dan dagingnya dimasak, kembali kakek itu makan dengan enaknya dan menghabiskan persediaan arak milik Cin Hai yang tinggal seguci lagi. Sesudah makan kenyang, dia lalu menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas tanah, berkata, “Besok kalian boleh pergi!” dan sebentar kemudian ia tidur mendengkur!

Cin Hai dan Lin Lin teringat akan Bu Pun Su, guru mereka yang juga memiliki adat yang sangat aneh seperti kakek ini pula. Dengan perlahan mereka lalu keluar dari goa itu dan makan buah-buahan yang dikumpulkan oleh Lin Lin.

“Besok kita disuruh pergi,” kata Cin Hai. “Karena Ang I Niocu tidak ada kabarnya, lebih baik kita kembali mencari anak kita dan mampir di Beng-san menengok putera kita.”

Teringat akan puteri mereka, Sie Hong Li atau Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti, Lin Lin tiba-tiba kembali merasa berduka sekali dan menunda makannya, memandang dengan mata melamun ke tempat jauh. Nampak dua titik air mata perlahan-lahan mengalir turun membasahi pipinya.

“Isteriku, janganlah kau berduka. Percayalah bahwa Thian pasti akan melindungi Lili,” Cin Hai menghibur sambil menepuk-nepuk pundak isterinya. Mendengar hiburan ini, Lin Lin merasa semakin terharu dan sedih sehingga ia lalu menangis terisak sambil menjatuhkan kepalanya di atas pundak suaminya.

Cin Hai membiarkan saja karena untuk melepaskan kedukaan, memang tidak ada yang lebih baik dari pada tangis dan air mata. Karena besok pagi mereka harus pergi, maka sekali lagi Cin Hai menghafalkan dan melatih ilmu silat yang diturunkan oleh Swie Kiat Siansu.

Malam itu mereka berada di luar goa dan melatih ilmu silat dengan amat rajinnya. Dasar suami isteri ini memang gemar sekali akan ilmu silat, maka berlatih semalam penuh di bawah sinar bulan itu merupakan hiburan yang sangat baik bagi kedukaan hati mereka akibat lenyapnya puteri mereka.

Akan tetapi, alangkah kagetnya sepasang suami isteri ini ketika pada keesokan harinya mereka memasuki goa tempat tinggal Swie Kiat Siansu, mereka mendapatkan kakek itu telah menggeletak tak bergerak dan tak bernapas lagi! Ternyata setelah makan kenyang dan tidur, kakek yang usianya sudah seratus lebih dan yang terserang penyakit berat ini telah menghembuskan napas terakhir, hal yang sudah lama dinanti-nantinya!

Dengan penuh penghormatan, Cin Hai dan isterinya lalu mengurus jenazah itu, menggali tanah dan mengubur jenazah itu sebagaimana mestinya. Mereka bersembahyang secara sederhana, menunda keberangkatan mereka sampai pada keesokan harinya lagi untuk memberi penghormatan terakhir. Kalau kiranya manusia mati masih mempunyai roh, dan apa bila rohnya ini pandai melihat dan berpikir, maka roh Swie Kiat Siansu tentu akan merasa berterima kasih sekali melihat sepasang suami isteri ini.

Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Hai dan isterinya meninggalkan tempat itu dan langsung menuju ke selatan. Di sepanjang jalan tiada hentinya mereka berdua mencari keterangan dan menyelidiki tentang Ang I Niocu dan juga tentang Bouw Hun Ti.

Tanpa mendengar sesuatu pun keterangan tentang kedua orang yang dicari-carinya itu, akhirnya mereka sampai di Beng-san dan mendaki gunung itu dengan cepat.

Baru saja mereka berdua tiba di lereng gunung, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring memanggil mereka. “Ayah... lbu...!”

Cin Hai dan Lin Lin cepat menengok dengan wajah berubah, dan alangkah kaget, heran serta girang hati mereka ketika melihat di atas sebuah puncak berdiri Lili bersama Hong Beng dan seorang anak laki-laki lain lagi!

Lin Lin berlari seperti terbang cepatnya ke arah anaknya itu sambil menangis. Cin Hai juga berlari mengejar isterinya, akan tetapi kali ini dia kalah cepat! Kegirangan agaknya sudah membuat nyonya muda itu seakan-akan terbang saja dan ilmu berlari cepatnya mendadak menjadi makin hebat.

Juga Lili dan Hong Beng berlarian turun dari puncak. Sesudah saling berhadapan, Lin Lin lalu menubruk Lili sambil mencium anaknya itu dan menangis tersedu-sedu.

“Lili... Lili... anak nakal... kau selamat, Nak?” dengan megap-megap Lin Lin bertanya.

Lili juga menangis saking girangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian dia menengok kepada ayahnya yang juga sudah datang ke situ lalu tersenyum!

“Ayah dan Ibu tidak marah...?” tanyanya.

“Mengapa marah? Tidak, anakku, tidak!” jawab Cin Hai.

“Mengapa Kongkong tidak ikut datang?” tanya lagi Lili dan mendengar pertanyaan ini, Lin Lin tiba-tiba menangis lagi.

Hong Beng maju mendekati ibunya dan melihat ibunya menangis sedih sekali ini, dia lalu menyentuh pundak ibunya yang masih berlutut memeluk Lili. “Ibu, apakah yang terjadi dengan Kongkong?”

Oleh karena Lin Lin tidak dapat menjawab, Cin Hai kemudian maju dan berkata tenang, “Kongkong-mu sudah ditewaskan oleh orang-orang yang menculik Lili. Karena itu kalian belajarlah baik-baik agar kelak dapat mencari musuh besar ini.”

Lili yang sangat sayang kepada engkong-nya, menjerit keras ketika mendengar berita ini. “Apa...?!” Ia memandang kepada ayahnya dengan mata bernyala. “Engkong di... dibunuh oleh bangsat itu...?”

Ketika Cin Hai menganggukkan kepalanya, Lili merangkul ibunya dan menangis keras. Ada pun Hong Beng yang juga sangat sayang kepada kongkong-nya itu, berdiri dengan muka muram. Pemuda cilik ini mengepal tinju dan membanting-banting kakinya sambil berkata perlahan,

“Jahanam...! Jahanam...!” Akan tetapi ia tidak mengeluarkan air mata.

Diam-diam Cin Hai menjadi bangga melihat ketenangan dan kekuatan hati puteranya ini, maka dia lalu menarik tangan Lili, mendekapnya dan berkata halus,

“Lili, lihat kakakmu itu. Kau tidak boleh berhati lemah dan menangis seperti seorang anak cengeng! Kewajibanmulah untuk kelak membalas sakit hati kongkong-mu.”

Mendengar ucapan ayahnya ini, bangkitlah semangat Lili dan dengan muka masih basah oleh air mata ia berkata, “Ayah, aku bersumpah untuk mencari keparat Bouw Hun Ti dan menghancurkan kepalanya!”

Lin Lin juga sudah dapat menguasai keharuan hatinya dan nyonya muda ini lalu teringat kepada pemuda cilik yang tadi bersama kedua anaknya. Ternyata pemuda itu masih berdiri tidak jauh dari mereka dan hanya berdiam saja sambil memandang dengan mata berduka.

Anak ini adalah Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang menjadi murid Sin-kai Lo Sian atau kini menjadi suheng dari Lili. Melihat betapa Lili dan Hong Beng berjumpa kembali dengan kedua orang tua mereka, hatinya menjadi perih dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri yang sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya.

“Ehh, anak itu siapakah?” tanya Lin Lin kepada Lili.

Baru Lili teringat kepada suheng-nya ini dan dia lalu melambaikan tangan kepadanya.

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”

“Kam Seng, kau kesinilah bertemu dengan ayah bundaku!”

Dengan malu-malu Kam Seng lalu bertindak maju dan memberi hormat sambil menjura kepada Cin Hai dan Lin Lin.

“Dia bernama Thio Kam Seng, murid dari Suhu,” kata Lili.

“Suhu? Siapakah Suhu-mu?” tanya Cin Hai terheran.

Lili lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh Bouw Hun Ti, kemudian tertolong oleh Sin-kai Lo Sian dan dibawa ke atas Gunung Beng-san ini dan kemudian dilatih oleh Mo-kai Nyo Tiang Le, suheng dari Lo Sian atau supek mereka.

Cin Hai dan Lin Lin merasa girang sekali mendengar penuturan ini dan mereka sangat berterima kasih kepada Sin-kai Lo Sian, pengemis sakti yang namanya sudah pernah mereka dengar itu.

“Sekarang di mana dia, penolong dan suhu-mu itu? Kami harus bertemu dengan dia untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lin Lin.

“Dia sudah turun gunung, Ibu. Katanya hendak pergi ke Shaning untuk mencari Ayah dan Ibu, melaporkan keadaanku yang sudah tertolong.”

Pada waktu itu, dari puncak gunung nampak bayangan orang yang cepat sekali berlari mendatangi.

“Nah, itu dia Supek datang!” kata Kam Seng ketika melihat bayangan itu.

Cin Hai dan Lin Lin cepat-cepat menengok. Mereka melihat seorang yang berpakaian sebagai pengemis datang berlari cepat sekali dari atas.

Mo-kai Nyo Tiang Le biar pun sudah sering kali mendengar nama Pendekar Bodoh akan tetapi belum pernah bertemu muka, maka ia tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Dari atas, dia tadi melihat seorang laki-laki dan seorang wanita bercakap-cakap dengan tiga orang anak itu, maka cepat ia menghampiri karena ia berkhawatir kalau-kalau kedua orang itu adalah orang-orang jahat. Pada saat melihat dua orang itu bersikap gagah dan berwajah elok, ia lalu bertanya kepada Lili,

“Lili, siapakah kedua orang gagah ini?”

“Supek, mereka ini adalah ayah bundaku!” kata Lili dengan girang dan tersenyum, sama sekali lenyap rasa dukanya yang tadi! Memang watak gadis cilik ini benar-benar sama dengan ibunya.

Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali mendengar pengakuan ini. Dia memandang dengan penuh perhatian kepada Cin Hai yang sementara itu bersama isterinya sudah menjura kepadanya untuk memberi hormat.

“Ahh, jadi kau ini adalah Pendekar Bodoh yang bernama Sie Cin Hai? Maaf, maaf! Aku tak mengenal orang pandai!” Nyo Tiang Le cepat menjura dan membalas penghormatan itu.

“Nyo Loheng (Saudara Tua Nyo) terlalu sungkan!” jawab Cin Hai merendah. “Sebetulnya justru kami berdua yang harus menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan hatimu, terutama sekali kepada adikmu yang sudah menolong jiwa puteri kami. Mudah-mudahan saja budi ini akan terbalas oleh Thian apa bila kami tiada kesempatan untuk membalas semuanya.”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa terbahak-bahak dengan gembira sekali, sehingga Lili dan Kam Seng memandang dengan heran karena jarang mereka menyaksikan supek mereka ini sedemikian gembiranya.

“Pendekar Bodoh, kau seperti anak kecil saja!” kata Pengemis Iblis Mo-kai Nyo Tiang Le setelah tertawa bergelak. “Di antara kita masih perlukah bicara tentang budi? Sekarang Lili telah bertemu dengan kalian, suami isteri pendekar yang kepandaiannya tinggi sekali, maka sudah cukup lama kiranya aku tinggal di tempat ini mengganggu Pok Pok Sianjin! Lili, yang baik-baiklah kau belajar ilmu kepandaian supaya kelak jangan sampai terculik orang lagi. Ha-ha-ha-ha! Kam Seng, kau ikutlah padaku turun gunung!” Setelah berkata demikian, Mo-kai menyambar lengan tangan Kam Seng dan berlari pergi dari situ dengan cepat.

Lili tertegun menyaksikan sikap ini, akan tetapi Cin Hai hanya tersenyum saja kemudian berkata, “Memang orang-orang kang-ouw selalu mempunyai watak yang sangat aneh. Kita harus catat nama Mo-kai Nyo Tiang Le itu sebagai seorang sahabat baik. Marilah kita naik ke puncak untuk menghadap Pok Pok Sianjin!”

Mereka beramai-ramai lalu pergi ke atas puncak dan menghadap Pok Pok Sianjin yang menerima kedatangan mereka dengan girang.

“Pendekar Bodoh, kebetulan sekali kau dan isterimu sudah datang! Apakah kalian telah bertemu dengan Sin-kai Lo Sian?”

Setelah memberi hormat, Cin Hai menjawab, “Belum, Locianpwe.” Ia lalu menceritakan perjalanannya mencari Lili, dan betapa mereka bertemu pula dengan Swie Kiat Siansu yang meninggal dunia karena penyakit dan usia tua.

Pok Pok Sianjin menarik napas panjang. “Ahh, semua kawan-kawan telah meninggalkan aku! Mereka sudah bebas dan senang! Tinggal aku seorang tua bangka yang harus mengalami penderitaan entah berapa tahun lagi.”

Cin Hai dan Lin Lin tidak lama tinggal di tempat itu, hanya tiga hari, ini pun karena Hong Beng selalu menahan mereka. Akhirnya mereka pun turun gunung bersama Lili, setelah memesan kepada Hong Beng untuk belajar ilmu dari Pok Pok Sianjin dengan giat dan rajin.

Pemuda cilik ini diam-diam merasa sangat kesepian sesudah adik perempuannya turun gunung mengikuti ayah ibunya. Akan tetapi Hong Beng memang seorang pemuda yang pendiam dan selain berwatak tenang, dia juga memiliki kekuatan batin yang cukup tabah. Kesunyiannya ini lalu dia tutup dengan ketekunannya belajar ilmu silat sehingga Pok Pok Sianjin merasa makin gembira menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang berbakat ini.

Demikianlah, apa bila Sie Hong Beng dengan rajin mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, Lili juga menerima latihan ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan ia menerima pula Ilmu Silat Kipas Maut yang diwariskan oleh Swie Kiat Siansu untuknya. Walau pun Lili memiliki watak yang lincah dan tidak dapat tekun belajar, akan tetapi apa bila dia teringat akan kematian kakeknya, dia lalu mengerahkan semangatnya dan mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga ayah bundanya merasa girang juga melihat perubahan ini.

*****

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Seperti telah dikatakan oleh Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari sangat pesatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun terbang berlalu dengan cepatnya sehingga kita sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah tua!

Memang aneh kalau direnungkan. Apa bila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan atau pun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, maka nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat memperhatikan jalannya waktu?

Kita semua tidak merasa dan sungguh pun masa kanak-kanak kadang kala masih suka terbayang di depan mata, peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua. Belasan tahun itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja!

Siapa bilang kalau hidup ini lama? Memang benarlah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau sudah terlambat!


Tak terasa lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili sudah berusia delapan belas tahun dan dia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak gembira dan suka tertawa. Matanya kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan ibunya, Lin Lin, pada waktu muda!

“Kalau aku melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!” kata Cin Hai sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya.

Lin Lin yang biar pun sudah berusia hampir empat puluh tahun tapi masih nampak cantik itu, mengerling sambil cemberut manja.

“Ah, kau ini memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia cantik? Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?”

Cin Hai tertawa karena dia sudah maklum sekali bahwa isterinya ini biar pun di mulutnya mengomel akan tetapi di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.

Lin Lin memandang kagum lalu menghela napas. “Betapa pun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah dia kelak menikah?”

“Hal itu tak perlu tergesa-gesa,” jawab suaminya dengan tenang, “ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!”

Lin Lin mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat betapa indahnya gerakan Sian-li San-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang dia mainkan itu!”

Cin Hai memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu kini sedang melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang sangat indah dan cepat, dan gerakan Sian-li San-hwa adalah sebuah di antara tipu-tipu ilmu silat ini. Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia lalu membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin.

Anak gadisnya ini sungguh mengagumkan sekali, dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah gerangan yang patut menjadi menantunya. Dia merasa puas dengan ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi untuk Lili, dia belum dapat memilih seorang calon menantu yang cukup sesuai dan cocok.

Sementara itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya. Dia segera menengok dan berlari-lari menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja dia lalu duduk di dekat ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan sapu tangannya untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.

“Ibu, sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan padaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri.”

“Tak baik bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri,” kata Cin Hai.

Lili merengut. “Ahhh…, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku. Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga sering kali pergi merantau menambah pengalaman? Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!”

Cin Hai memandang dengan muka bersungguh-sungguh. “Lili, dahulu itu lain lagi, karena keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, ayah dan ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat memusuhi kita. Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan turun tangan dan mengganggumu.”

Lili berdiri dan dengan sikap menantang berkata keras, “Aku tidak takut! Aku bukan puteri ayah dan ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang jahat? Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang kupelajari dengan susah payah tidak akan ada artinya apa bila tidak dipergunakan demi kepentingan orang banyak? Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya menolong orang tertindas, bukanlah pendekar namanya!”

Cin Hai tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini sering kali menggunakan ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!

“Sudah, bicara dengan kau takkan ada orang yang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Soso-mu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan ke sana.”

Lili makin cemberut. “Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin menggunakan kepandaian yang telah kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku... aku akan minggat!”

Cin Hai melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.

“Hussh, Lili! Jangan kau berkata begitu!”

Lili memandang pada ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata mengingatkan, “Ibu, apakah kau sudah lupa bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu? Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!”

Lin Lin tidak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak berdaya).

“Lili,” kata Cin Hai menolong isterinya, “Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita untuk menyusulku dalam usaha untuk membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah membasmi keluarga ibumu.”

“Apa bedanya? Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam pada keparat Bouw Hun Ti!” Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata, “Ahh, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang. Kalau Beng-ko lain lagi, ia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka hatinya! Ahh, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki saja!”

Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak ini lebih keras kepala dari pada ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain lagi. Hebat, bisik hatinya, anak ini bahkan lebih gagah dan bersemangat dari pada ayahnya!

“Sudahlah, Lili, kau jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!” kata Cin Hai. “Baiklah, kami akan merundingkan hal ini.”

Setelah Lili kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.

“Bagaimana baiknya?” bertanya Lin Lin dengan hati gelisah “Bila dia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak berbahaya?”

“Berbahaya sih tidak,” suaminya menjawab setelah berpikir keras. “Kepandaian Lili sudah lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tak hanya kepandaian silat tinggi saja yang mampu menjaga keselamatan tubuh. Banyak akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya dari pada kepandaian silat lawan.”

“Kalau begitu, kita harus melarangnya pergi!” kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.

Pendekar Bodoh menggelengkan kepalanya. “Melarang pun tidak benar. Anak itu bahkan lebih keras kepala dari pada engkau!”

“Hmm, jadi aku keras kepala, ya? Kenapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?”

Cin Hai tertawa. “Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu. Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini. Kita berdua sudah cukup tua, bukan anak-anak lagi.”

“Kau yang mulai!”

“Sebaiknya begini saja. Mulai kini kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw supaya matanya terbuka terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau dia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita dapat memberi perkenan kepadanya untuk pergi merantau dengan dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, tentu dia tidak akan berani pergi terlalu jauh.”

Karena tidak dapat mencari jalan lain yang lebih baik, terpaksa Lin Lin pun menyatakan persetujuannya. Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Dia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para penjahat).

Sampai hampir dua pekan dia menerima wejangan dan nasehat, memperhatikan semua cerita dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Ia lalu mempelajari pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal mereka, melalui Propinsi Honan kemudian memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-an yang terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.

Lin Lin yang amat sayang pada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi nasehat-nasehat supaya dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang sangat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili.

Gadis itu membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan juga obat-obat untuk menjaga diri. Pedang Liong-coan-kiam pemberian ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya berkembang-kembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari sutera mahal, sepatunya berkembang hingga dia nampak cantik jelita dan gagah sekali. Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.

“Ayah, Ibu, aku berangkat!” katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.

“Hati-hatilah di perjalananmu,” kata Cin Hai.

“Sampaikan salam kami kepada Kwee-pekhu sekeluarga,” pesan Lin Lin.

Kemudian berangkatlah Lili. Dia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis tampak berseri-seri, sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.

Apakah ia akan langsung menuju ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh ayah ibunya? Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasehat orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal pekhu-nya (uwaknya) di Tiang-an. Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sebenarnya adalah untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-an hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan pergi!

Oleh karena inilah maka dia segera membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning! Bukan Tiang-an yang ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin! Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutan, kelenteng milik Ban Sai Cinjin di mana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong Thio Kam Seng!

Dulu ia suka menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu. Akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin meski pun raja iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!

Keadaan Lili yang pakaiannya begitu mewah, cantik jelita, gadis muda yang melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi melihat cara dia naik kuda serta melihat gagang pedangnya yang tergantung pada pinggangnya, membuat orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang perantau yang pandai ilmu silat sehingga tak seorang pun berani mencoba-coba untuk mengganggunya.

Hanya satu kali terjadi gangguan ketika ia masuk ke kota Lok-yang. Di kota ini terdapat seorang jagoan muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-bin-liong (Naga Muka Kuning) bernama Lok Ceng. Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-tong-pai yang berwatak sombong dan berlagak tinggi.

Kebetulan sekali Lok Ceng sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-yang, ketika Lili menghentikan kudanya di depan restoran itu, lalu melompat turun dan memanggil seorang pelayan.

Seorang pelayan berlari menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,

“Kau urus baik-baik kudaku pada waktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya sampai bersih. Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di atas kuda itu dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!”

Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk dengan hormat. “Tentu saja, Siocia. Akan kulakukan pesanmu baik-baik.” Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.

“Kuda yang bagus!” tiba-tiba terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke arah orang yang memuji kudanya.

Orang ini bukan lain adalah Lok Ceng sendiri. Melihat ada seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku hati-hati dan segera membuang pandangan matanya. Tanpa mempedulikan orang itu, Lili terus saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang cepat datang menghampirinya.

Restoran itu besar sekali dan para tamu yang makan di situ tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya. Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira. Ketika Lili memasuki restoran itu, hampir semua mata menengok dan memandang kagum.

Akan tetapi Lili tak mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah menjadi biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap hal ini biasa saja. Ibunya telah menasehatinya untuk bersikap dingin dan jangan mempedulikan hal ini.

“Lili, kau seorang gadis muda yang cantik manis,” kata ibunya memberi nasehat, “banyak sekali gangguan yang akan kau hadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata minyak, selalu tidak dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis cantik. Akan tetapi, apa bila mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan kurang ajar, janganlah kau hiraukan mereka. Asal mereka tak mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan yang kurang ajar, anggap saja mereka itu seperti patung-patung hidup yang tak perlu dilayani.”

Oleh karena itu, maka Lili selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandang dia dengan kagum. Malah orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti padanya, dianggapnya sebagai lalat saja!

Akan tetapi, ketika dia sedang menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan, tiba-tiba telinganya yang amat tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di dalam warung itu. Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan ketika ia mengerling, ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji kudanya, telah memasuki ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat!

Diam-diam Lili merasa heran mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini. Apa lagi ketika ia mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada orang yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali.

Akan tetapi pemuda tinggi besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan tangan, lalu dia tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja di mana Lili sedang makan! Dia lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan cara yang sangat menjemukan. Mulutnya menyeringai bagaikan seekor kuda kelaparan dan terdengarlah dia berkata keras,

“Kudanya besar dan bagus, pemiliknya lebih bagus lagi!”

Semua orang yang duduk di situ maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili juga maklum bahwa pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh karena ucapannya itu masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak mengerti dan melanjutkan makannya.

Melihat betapa gadis manis itu tidak menengok dan tidak mempedulikan pujiannya, Lok Ceng menjadi semakin berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa ha-ha hi-hi ia kemudian menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi gadis itu sambil memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai. Semua orang diam-diam tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan tetapi ada pula yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita itu.

Semenjak tadi Lili menahan sabarnya, karena ia masih selalu ingat akan nasehat ibunya supaya menjauhkan diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu kini duduk dekat di hadapannya, tentu saja dia merasa amat terganggu dan masakan yang tadinya nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.

“Lalat kuning sungguh menjemukan!”

Ia lalu menunda makannya, kemudian dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil mengerahkan tenaga lweekang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air kuah di dalam mangkok itu tiba-tiba saja memercik ke arah Lok Ceng dan tanpa dapat terelakkan lagi mengenai bajunya!

Semua orang terkejut mendengar gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan maklum bahwa dengan sebutan lalat kuning, gadis itu sudah memaki Lok Ceng! Mana ada lalat yang berwarna kuning? Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng!

Akan tetapi, tak ada seorang pun yang tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan membasahi baju Lok Ceng itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka hanya mengira bahwa hal itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak menyangka bahwa gadis cantik itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat menggerakkan tenaga lweekang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya.

Oleh karena itu, pemuda ini hanya tersenyum-senyum saja dan biar pun dia tahu bahwa dirinya dimaki ‘lalat kuning’, dia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang gadis yang melawan apa bila diganggunya, dari pada seorang gadis yang bahkan tersenyum-senyum melayani gangguannya.

“Aku ingin sekali menjadi potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan mulut yang manis!” katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar ucapannya ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini.

Mendengar ucapan dan melihat sikap orang muka kuning itu, Lili segera maklum bahwa kegagahan orang itu hanya pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan tahu akan demonstrasi tenaga lweekang yang diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka Kuning ini agaknya tidak tahu akan hal ini, bahkan berani mengeluarkan ucapan yang demikian kurang ajar.

Lili sudah kehabisan kesabarannya. “Lalat kuning, kau lapar dan hendak makan daging? Nah, ini makanlah!”

Secepat kilat tangannya lalu menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan sebelum Si Muka Kuning sempat mengelak, isi mangkok itu sudah menyiram mukanya, bahkan sepotong daging mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa sakit!

Suara tertawa dari para tamu tadi tiba-tiba saja tak terdengar lagi dan sekarang mereka memandang dengan muka pucat. Selama ini belum pernah ada orang berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng sedemikian hebatnya!

Sementara itu, untuk sesaat Lok Ceng merasa kedua matanya amat pedas dan tak dapat dibuka sehingga dia menjadi gelagapan kemudian menggunakan kedua tangannya untuk membersihkan mukanya. Keadaannya sangat lucu dan para penonton menahan suara ketawa mereka karena sungguh pun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti itu berada dalam keadaan begitu lucunya, akan tetapi mereka tak berani memperdengarkan suara ketawa.

Kini kegembiraan Lok Ceng lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi kemerah-merahan karena marah dan berminyak akibat siraman kuah tadi. Matanya yang sudah bebas dari kepedasan kuah kini memandang dengan melotot.

“Gadis liar, apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng?” Ia membentak dan melangkah maju.

“Ehh, ehh, cacing muka kuning!” kata Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga menjadi cacing. “Apakah kau masih belum kenyang?”

Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak dan kini masakan lain yang penuh kecap berwarna merah dan masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka Lok Ceng.

Si Naga Muka Kuning cepat mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah tersiram oleh masakan kecap ini! Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua matanya yang tadi melotot sehingga kecap itu tidak sempat memasuki kedua matanya. Akan tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang hidungnya sehingga dua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap yang membuat dia tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak copot hidungnya!

Kini para tamu di restoran itu terpaksa mendekap mulut masing-masing untuk menahan ketawa, karena melihat Lok Ceng berbangkis-bangkis sambil mencak-mencak, sungguh merupakan pemandangan yang amat lucu dan menggelikan.

Lok Ceng memaki-maki dan kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada pinggangnya dan kini mengamuk hebat. Beberapa kali dia membacok ke kanan kiri dan meja kursi yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih menggerakkan kedua kakinya menendang ke sana ke mari sehingga meja kursi beterbangan ke mana mana.

Para tamu yang tadinya menahan ketawa, kini menjadi ketakutan dan segera mereka menyingkirkan diri ke tempat jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan pagar. Muka mereka menjadi pucat karena sekarang keadaan bukan main-main lagi. Gadis itu pasti akan menjadi korban golok Lok Ceng yang amat tajam.

Akan tetapi, Lili tak mau membuang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong itu. Biar pun Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak menjadi gentar dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah berada di depan si pengamuk itu.

“Gadis liar, kupenggal lehermu!” teriak Lok Ceng.

“Manusia tak tahu diri, kau harus diberi rasa sedikit!” Lili balas membentak.

Dengan gerak tipu Sianli-jip-pek-to (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, dia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia dapat masuk di antara kelebatan golok itu dan langsung menggerakkan tangan kanan ke arah iga lawannya.

“Dukk!” dengan tepat sekali jari tangannya mengirim tiam-hoat (totokan) yang mengenai jalan darah hong-twi-hiat dengan jitu sekali.

Terdengar Lok Ceng memekik keras dan aneh...! Orang muka kuning yang tinggi besar ini tidak dapat bergerak lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih berdiri dengan golok terpegang erat-erat di tangan kanannya.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti kenapa Lok Ceng berdiri kaku seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai kesukaan berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum dan dengan mata berseri-seri dia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang masih terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng, sehingga Lok Ceng sekarang memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir di sepanjang hidungnya!

Semua orang yang merasa lebih heran dari pada lucu itu, tidak dapat tertawa dan masih memandang dengan bengong. Bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok Ceng.

“He, aku mau membayar! Mana pelayan?” teriak Lili.

Barulah pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.

“Nah, ini untuk membayar masakan yang telah kumakan. Dan lebihnya untuk mengganti kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!” Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu.

Pelayan yang mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.

“Ehh, Siocia...,” kata pelayan ini, ”bagaimana dengan Oei-bin-liong? Tubuhnya kaku dan dia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami.”

Lili tertawa geli. “Biarlah, bukankah dia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?”

“Akan tetapi... tentu dia akan marah dan... bagaimana kalau dia mati?”

Lili berkata dengan sungguh-sungguh, “Janganlah kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya. Dalam waktu pendek dia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan pulih kembali.” Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan kota Lok-yang.

*****

Sesudah melakukan perjalanan dengan cepat selama dua pekan, akhirnya sampailah Lili ke tempat yang menjadi tujuan utamanya, yaitu dusun Tong-sin-bun. Dia segera memilih rumah penginapan dan menyewa sebuah kamar. Kudanya dia serahkan kepada pelayan untuk dirawat baik-baik.

Tanpa bertanya pada orang lain, Lili dapat mencari rumah Ban Sai Cinjin dengan mudah, oleh karena di dalam dusun yang tak berapa besar itu, hanya satu-satunya gedung yang besar dan mewah yang menjadi tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Bahkan ketika ia bertanya kepada pelayan, ternyata hotel di mana dia bermalam juga milik dari Ban Sai Cinjin yang kaya raya dan berpengaruh besar.

“Nona datang dari mana dan apakah hendak bertemu dengan Ban Sai Cinjin Loya?”

Lili tersenyum dan maklum bahwa semua pekerja di dalam hotel ini adalah anak buah Ban Sai Cinjin, maka ia hanya menjawab, “Ah, tidak. Aku hanya seorang pelancong yang tertarik melihat keadaan di dusun ini yang amat ramai.”

Pada senja hari itu juga, diam-diam tanpa diketahui oleh seorang pun, Lili mengenakan pakaian yang ringkas, menggantungkan pedangnya di pinggang, lalu keluar dari rumah penginapan itu untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti. Ia menduga bahwa musuh besarnya itu tentu berada di kelenteng yang dahulu pernah dilihatnya dengan Sin-kai Lo Sian, yaitu dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun Tong-sin-bun itu.

Akan tetapi sebelum menuju ke hutan itu, dia sengaja menyelidiki dahulu gedung besar tempat tinggal Ban Sai Cinjin yang nampak sunyi dari luar. Ketika ia hendak melompat ke atas pagar tembok yang tinggi dan yang mengelilingi gedung itu, tiba-tiba saja dia melihat seorang pemuda yang tampan bersama seorang setengah tua sedang berjalan keluar dari gedung itu dengan tindakan cepat.

Lili cepat bersembunyi di tempat gelap dan memandang tajam. Bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat pemuda itu. Tidak salah lagi, pemuda itu tentulah Thio Kam Seng, anak laki-laki yang dulu pernah ditolong oleh suhu-nya, Sin-kai Lo Sian, atau yang boleh juga disebut suheng-nya, karena mereka keduanya pernah menjadi murid Sin-kai Lo Sian.

Lili menjadi girang sekali dan hampir saja ia memanggil pemuda itu. Akan tetapi ia dapat menahan keinginannya ini sebab teringat bahwa pemuda ini baru saja keluar dari gedung Ban Sai Cinjin. Hal ini benar-benar aneh sekali.

Dulu Kam Seng pernah hampir dibunuh oleh seorang murid Ban Sai Cinjin, bagaimana sekarang dia dapat keluar masuk demikian leluasa di gedung Ban Sai Cinjin itu? Hal ini menimbulkan kecurigaannya dan ia tidak memanggil pemuda itu, bahkan lalu diam-diam mengikuti perjalanan Kam Seng dan orang tua itu yang berjalan cepat menuju ke hutan di mana terdapat kelenteng besar kepunyaan Ban Sai Cinjin.

Bagaimanakah Kam Seng dapat berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin dengan enaknya? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar Bodoh dan isterinya naik ke Gunung Beng-san dan bertemu kembali dengan Lili, pemuda ini dibawa pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le.

Sesungguhnya, Thio Kam Seng tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dahulu ketika ditolong oleh Sin-kai Lo Sian, dia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi sebenarnya tidak demikian halnya.

Thio Kam Seng adalah anak tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song Kun. Para pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun merupakan sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena kejahatannya hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Si Pendekar Bodoh Cin Hai.

Pada waktu hal ini terjadi, Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun telah meninggalkan seorang gadis yang selama itu dipeliharanya sebagai isteri tidak sah, dan isterinya ini sudah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun juga terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka dia mempunyai banyak bini peliharaan di mana-mana, baik yang dia dapatkan karena ketampanannya mau pun yang dia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari rumah orang tua gadis itu!

Setelah Song Kun tewas di dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin ibu Kam Seng lalu hidup terlunta-lunta. Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia pun merasa malu, dan hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka dia masih mempertahankan hidupnya.

Beberapa bulan kemudian, dalam keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang bayi laki-laki yang dia beri nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat benci kepada suaminya yang mengambilnya secara paksa, maka ia memberi nama keturunan Thio kepada puteranya ini.

Betapa pun juga, setelah Kam Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam Seng bertanyakan ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa ayahnya telah tewas dalam tangan seorang pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!

Kui Lin lalu hidup berdua dengan puteranya dalam keadaan yang sangat miskin. Mereka terlunta-lunta dan hidup serba kekurangan, sehingga akhirnya Kui Lin jatuh sakit yang membawanya kembali ke alam baka. Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim piatu, hidup merantau terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik.

Ternyata Kam Seng memiliki otak yang sangat cerdik, dan agaknya kecerdikan ayahnya menurun kepadanya. Dia bisa berpura-pura bodoh dan jarang berbicara, padahal segala sesuatu dia perhatikan betul-betul. Cerita ibunya mengenai ayahnya yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan dia tidak dapat melupakan nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya.

Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dia tertolong oleh Sin-kai Lo Sian, diangkat menjadi muridnya dan akhirnya dia diajak pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le Si Pengemis Iblis yang lihai.

“Kita harus mencari suhu-mu,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le. “Sebelum kita bertemu dengan gurumu, kau harus melatih diri baik-baik. Akan kuajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu agar kelak kau tidak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri Pendekar Bodoh sekali pun!”

Diam-diam Kam Seng merasa girang sekali. Telah lama dia menahan-nahan dendamnya ketika ia mengetahui bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh ayahnya, adalah ayah Lili yang menjadi sumoi-nya. Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu ia melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-san.

Saking terharu dan sedihnya karena tak berdaya untuk membalas dendam, dulu dia telah menangis sedih. Tak seorang pun mengetahui apa yang menyebabkan ia menangis. Kini mendengar ucapan Mo-kai Nyo Tiang Le supek-nya, dia menjadi girang sekali dan mulai hari itu dia belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati Mo-kai Nyo Tiang Le.

Bertahun-tahun Kam Seng pergi merantau ikut dengan Mo-kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh propinsi di daerah Tiongkok, akan tetapi mereka tidak bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, bahkan mendengar beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka telah tanyai, tak seorang pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang sudah menghilang untuk bertahun-tahun lamanya.

Terpaksa Mo-kai Nyo Tiang Le mewakili sute-nya mendidik Kam Seng yang sebetulnya menguntungkan pemuda itu, sebab kepandaian Pengemis Iblis ini masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Si Pengemis Sakti. Sembilan tahun lamanya Mo-kai Nyo Tiang Le mengajak Kam Seng merantau, selalu berpindah-pindah dari barat ke timur, dari utara ke selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju dengan cepat sekali.

Ia telah mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat (Ilmu Silat Kitiran Angin) serta ilmu melepas senjata rahasia yang disebut Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan tongkat dari Pengemis Iblis ini pun telah dia warisi dengan baik sekali.

“Supek,” kata Kam Seng pada suatu hari setelah supek-nya itu menyatakan kekesalan hatinya karena belum juga dapat bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, “apakah tidak bisa jadi Suhu terkena celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin? Bagaimana kalau kita pergi mencari Suhu di sana?”

Supek-nya mengangguk-angguk. “Mungkin dugaanmu ini bisa benar juga. Aku pun telah mempunyai dugaan demikian.” Dia menghela napas. “Memang Ban Sai Cinjin jahat dan kejam, akan tetapi ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Jangankan Sute, aku sendiri belum tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui bagaimana dengan nasib Sute. Mari kita berangkat ke dusun Tong-sin-bun.”

Mereka lalu menuju kembali ke barat dan tiba di dusun itu pada waktu malam.

“Supek, biarlah teecu menyelidiki ke kuil itu.”

“Kau berhati-hatilah, Kam Seng. Di sana terdapat banyak orang pandai,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le yang duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di warung arak.

“Jangan kuatir, Supek. Tidak percuma selama ini teecu mempelajari ilmu kepandaian dari Supek.”

Pemuda ini lalu mempergunakan ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Dia melihat kelenteng itu terang sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang sangat mewah dan besar. Melihat keadaan kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain sutera yang halus tergantung dijadikan tirai penutup pintu, Kam Seng menghela napas dan melirik ke arah pakaiannya sendiri.

Semenjak ia pergi ikut dengan supek-nya belum pernah dia berpakaian baik. Pakaiannya tambal-tambalan dan kotor sekali. Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau saja dia mau mengambil pakaian dari para hartawan, akan tetapi supek-nya tentu melarangnya, dan ia pun merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan supek-nya berpakaian kotor penuh tambalan. Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda!

Kam Seng menunggu sampai beberapa lama, akan tetapi oleh karena dia tidak melihat seorang pun keluar dari kelenteng itu, dia kemudian memberanikan diri dan menghampiri kelenteng itu. Dengan ginkang-nya yang sudah terlatih baik, dia lalu melompat ke atas genteng dengan mudahnya. Dari atas genteng ia melihat bahwa penerangan yang paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan amat hati-hati ia lalu menuju ke ruang itu, mengerahkan ginkang-nya supaya genteng yang diinjaknya tidak menerbitkan suara berisik.

Ketika dia mengintai ke bawah, dia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang rambutnya masih nampak hitam, demikian pula jenggotnya.

Kam Seng merasa heran mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu menyebut suheng (kakak seperguruan) pada tosu ini. Sungguh mengherankan sekali bahwa seorang yang usianya lebih tua dari pada Ban Sai Cinjin masih nampak segar dan rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka lebih menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh disebut-sebut.

“Memang Pendekar Bodoh lihai sekali,” dia kemudian mendengar tosu itu berkata sambil menganggukkan kepalanya. “Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi pinto (aku) tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan pengertian tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau dia dilawan dengan ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi pinto telah mempelajari ilmu silat dunia barat yang mempunyai gerakan amat berlainan dan dasarnya pun berbeda sehingga apa bila menghadapi Pendekar Bodoh, belum tentu pinto tak akan dapat merobohkannya!”

“Supek berkata benar,” Bouw Hun Ti tiba-tiba berkata, “bagaimana pun juga, Pendekar Bodoh bukan tak dapat dilawan! Pernah juga teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh masih belum selihai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw yang muncul dalam cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara itu. Kalau kepandaian Suhu saja telah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko sebab berasal dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak mampu menundukkan Pendekar Bodoh!”

Ketika Ban Sai Cinjin menyedot huncwe-nya dan hendak menjawab, tiba-tiba saja tosu itu menengok ke arah genteng di mana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata halus, “Sahabat muda yang mengintai di atas genteng, kau turunlah saja!”

Bukan main kagetnya Kam Seng mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Kalau orang-orang di bawah ini yang begitu lihai ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tak sekali-kali boleh memusuhi mereka. Alangkah baiknya bila mana dia bisa berkawan dengan mereka untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!

Telah berkali-kali supek-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa ilmu kepandaian Pendekar Bodoh amat tinggi, masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pengemis Iblis itu, maka sudah menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar pernyataan ini. Kini mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan tosu yang menjadi suheng kakek ber-huncwe itu demikian tingginya, dia mendapat sebuah pikiran yang baik sekali.

Mendengar ucapan tosu itu, semakin yakinlah dia bahwa tosu itu benar-benar lihai sekali, maka ia lalu menjawab, “Maafkan teecu yang muda telah berlaku lancang!”

Sesudah berkata demikian, dia lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan gerakan In-liong San-hian (Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah dan ilmu lompatnya cukup hebat sehingga tiga orang yang berada di ruangan itu memandang dengan kagum.

Melihat seorang pemuda cakap berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin lalu melangkah maju, dan bertanya, “Orang muda, siapakah kau dan mengapa kau melakukan pengintaian di kelentengku?”

Kam Seng menjura memberi hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia berkata dengan sikap gagah dan suara tenang,

“Tadi teecu mendengar tentang totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena ada permusuhan pribadi antara teecu dengan Pendekar Bodoh, maka hati teecu tertarik sekali dan ingin teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu maklum bahwa teecu bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang mampu mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, maka teecu akan menghambakan diri menjadi murid dan akan menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman di sini. Jika Totiang tidak dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, jangah harapkan akan dapat menangkan Pendekar Bodoh!”

Kata-kata ini membuat Bouw Hun Ti menjadi marah sekali dan dia melompat ke depan, cepat mengirim pukulan keras ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,

“Macammu hendak menantang Supek?”

Pukulan tangan kanan Bouw Hun Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam pukulan itu cukup untuk dapat menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa ilmu kepandaian Bouw Hun Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari Sin-kai Lo Sian, maka dapat diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini.

Akan tetapi, Kam Seng bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia telah mewarisi seluruh kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le sehingga kepandaiannya sekarang mungkin telah lebih tinggi dari pada Sin-kai Lo Sian! Dia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang tidak mungkin ia dapat melawan orang kuat ini, maka ia lalu mempergunakan kecerdikannya.

Dengan lengan kanan, dia mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke depan dengan ilmu silat Soan-hong-jiu (Kepalan Kitiran Angin).

Bouw Hun Ti merasa terkejut sekali sebab sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu pukulan lawan itu mendatangkan angin yang sangat hebat dan berbahaya sehingga terpaksa dia miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Pada saat pukulannya tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke belakang!

“Bagus...!” kata tosu itu yang sesungguhnya merupakan suheng dari Ban Sai Cinjin yang bernama Wi Kong Siansu.

Wi Kong Siansu ini sebagaimana pernah dituturkan pada bagian depan adalah seorang pertapa di Hek-kwi-san dan dijuluki Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa). Oleh karena merasa khawatir menghadapi musuh-musuh yang sangat tangguh, Ban Sai Cinjin menyuruh Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk suheng-nya itu yang ternyata kemudian berhasil dengan baik.

Melihat pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan dia lalu berdiri dari bangkunya.

“Bouw Hun Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya.” Ia lalu melangkah maju untuk menghadapi Kam Seng. “Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau sampai bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?”

Semenjak dulu, Kam Seng tidak pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapa pun juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada di antara orang-orang yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tak merasa ragu-ragu lagi untuk memberi tahukan nama ayahnya, bahkan dia pun merubah pula she-nya yang biasanya Thio itu menjadi Song.

“Teecu bernama Kam Seng, she Song, dulu Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan ayah teecu itu bernama Song Kun.”

Mendengar disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin lalu saling pandang dengan terkejut sekali. “Apa?! Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-ho Sian-kiam?” tanya Wi Kong Siansu dengan heran.

“Entahlah, karena ayah telah tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari ibuku yang sekarang sudah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu ketahui, yaitu bahwa ayah teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!”

“Benar, benar!” Wi Kong Siansu mengangguk-angguk. “Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu, anak muda!”

Kam Seng memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud tertentu. Dia telah maklum sampai di mana tingkat kepandaiannya, apa bila diukur dengan kepandaian supek-nya Nyo Tiang Le. Walau pun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian supek-nya itu, namun dari latihan-latihan dengan supek-nya dia dapat menaksir bahwa supek-nya itu tidak mungkin akan sanggup merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus! Maka ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena kalau hal ini memang dapat terjadi, dia tidak ragu-ragu lagi dengan kepandaian tosu ini dan tidak ragu-ragu pula untuk mengkhianati supek-nya!

Setelah tosu itu melangkah maju menghadapinya, tanpa sheji (sungkan) lagi Kam Seng segera menyerang dengan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat yang paling lihai. Dia hendak mendahului menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk dapat menyerangnya. Kalau saja dia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus, biar pun tidak dapat merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!

Wi Kong Siansu agaknya maklum akan isi pikirannya ini, maka sambil tersenyum kakek yang amat lihai ini tidak mau memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lainnya. Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan sudah dekat dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu, ia lalu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng.