Pendekar Bodoh Jilid 33 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 33

SETELAH menceritakan pengalamannya yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dengan Turki serta kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata,

“Di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tidak mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang jahat itu. Hal ini perlu sekali diselidiki.”

“Memang hal itu aneh sekali,” kata Kwee An. “Hai Kong terkenal jahat serta banyak tipu muslihatnya sehingga maut pun seakan-akan jeri mencabut nyawanya. Dia telah menjadi buta dan terguling ke dalam jurang, akan tetapi kini tiba-tiba saja ia muncul dan sebelah matanya masih bisa digunakan, bahkan dia telah berhasil menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe membantunya, tentu dia mempergunakan akal muslihat yang keji. Marilah kita menyelidiki mereka!”

“Cin Hai tentu tahu akan hal ini sebab ia sedang pergi mencari suhu-nya itu, maka sudah pasti dia akan segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah diambil,” kata Ang I Niocu.

Semua orang setuju dan demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa kemudian keluar dari Lan-couw untuk menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.

Ketika mereka tiba di luar kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.

“Lihat, bukankah itu Sin-kong-ciak?” teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung merak yang indah bulunya itu terbang di atas.

“Betul, marilah kita pergi menyusul ke sana!” Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan adanya burung-burung itu di sana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.

Melihat kegembiraan Ma Hoa, Ang, I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi dia hanya tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari hingga sampai di tempat yang penuh bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke depan goa besar dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah bulunya itu.

Ma Hoa berlari masuk goa dan tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat, “Manusia tidak tahu malu! Kau akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!” Dan tiba-tiba saja melompat seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.

“Lin Lin!” Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu. “Ini aku... Ma Hoa…!”

Akan tetapi Lin Lin yang gilanya kumat kembali itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk digunakan menangkis dan menjaga diri.

Ma Hoa merasa heran, terkejut, dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi karena ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai dan semua gerakannya sangat sulit untuk diduga, maka terpaksa Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis semua serangan Lin Lin!

Kalau saja Ma Hoa belum memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang amat lihai itu, pasti dengan mudah saja dia sudah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin benar-benar luar biasa dan lihai sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya lantas digerakkan secara hebat untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam goa itu terjadilah pertandingan yang amat dahsyat.

Berkali-kali Ma Hoa berseru, “Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu...!”

Tiga ekor burung yang melihat pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tidak tahu harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu seakan-akan bertempur sendiri di udara!

Mendengar ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera berlari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang terus mempertahankan diri dengan sibuknya.

“Enci Im Giok, lekas... lekas tangkap dia, agaknya dia sudah berubah ingatan!” seru Ma Hoa menahan isak.

Ang I Niocu berdiri bagaikan patung dan menjerit, “Lin Lin...!”

Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,

“Enci Im Giok...!”

Pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena dia merasa pening sekali. Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas di dalam pelukannya!

Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tertidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini.

Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan goa itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ. Akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan goa, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.

Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Dia bangun dan ketika melihat bahwa dia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, dia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian dia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.

“Enci Im Giok...”

“Lin Lin, kau kenapakah...?” bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya.

Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang. Pada saat ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.

“Enci Hoa... kau juga datang…?”

“Ehh, ehhh, anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?” tegur Ma Hoa. “Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan begitu hebatnya sehingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?”

Lin Lin memandangnya dengan hati terheran-heran. “Apakah penyakitku itu sudah datang lagi? Ah, celaka...” dan ia lalu menangis sedih.

Ma Hoa beserta Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.

“Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. “Tadi pada waktu Ma Hoa masuk ke dalam goa ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian mendadak kau jatuh pulas! Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu itu karena kami pun sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ahhh, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?”

Lin Lin segera menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian dia terluka dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun serta mendapatkan obat penawar pengaruh racun di dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya ‘penyakit gila’ yang kadang-kadang menyerangnya itu.

Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin Lin, dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat berhasil ditewaskan oleh Cin Hai sehingga sebuah di antara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, sudah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.

“Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.

“Mereka sedang pergi kepada dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang pengaruh obat itu.”

Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu dengan Dara Baju Merah yang dahulu dianggapnya telah tewas itu, walau pun dia sudah mendengar dari Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga dia merasa gembira mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput dari pada bahaya kematian bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.

“Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko, mengapa dia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali kepadanya,” kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.

“Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan goa rahasia yang sudah ditemukan itu,” kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.

Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu sekarang telah mempunyai calon.

“Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, supaya kau dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda.

Sementara itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, dia pun berbisik, “Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu kini terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!” Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan dia menggunakan sapu tangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.

“Terima kasih, Adikku, terima kasih,” jawabnya sederhana.

*****

Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Pada waktu mereka tiba di tempat itu, pondok di mana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, kini hanya terjaga oleh empat orang Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.

Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.

“Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!” baru kali ini Cin Hai melihat suhu-nya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kau sebut daun semut merah itu, benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?”

“Benar, siapa yang meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.

“Apakah setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?”

“Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!” dia menjawab.

“Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?”

“Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau sedang dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Aku lalu menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah sebatang pohon bunga yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu sudah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, dan karena itu pula kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!”

Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak membohong.

“Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah bagai orang gila kemudian tertidur setelah marah-marah?” tanyanya.

Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Memang, memang demikian,” katanya dan sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu akan mengalir pada seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat-urat yang besar, peristiwa itu tidak akan mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada waktu kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!”

Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri, “Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu? Dapat sembuh kembali atau tidak?” tanyanya tak sabar.

“Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula dia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula dia akan terserang hal itu.”

Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.

“Dan di mana perginya Hai Kong dan kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.

“Ke mana lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di goa itu?” Dukun Mahambi berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manusia-manusia semacam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman.”

Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak dia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai kejahatan pula.”

Cin Hai mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke goa di mana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke goa Tun-huang!

Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di goa Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Dia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, karena itu dia dapat menduga bahwa pendeta jahat beserta kawan-kawannya itu tentu berada di dalam goa, sedang mengambil harta pusaka.

Dengan sekali melompat, Bu Pun Su sudah berada di depan goa, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.

“Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih berada di sini!”

Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari goa itu dengan muka merah karena marah.

“Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau sudah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”

“Apa katamu?!” bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.

“Harta Pusaka itu sudah kau curi dan kau bawa pergi, mau berkata apa lagi?” Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dahulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!

Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan berkata,

“Aku masih belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!”

Secepat kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam goa dan tidak lama kemudian ia keluar lagi kemudian berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut tulang, namun akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.

“Kau maksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu adalah jago tua Hok Peng Taisu?” tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.

“Dasar kau yang bodoh,” tegur Bu Pun Su. “Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin! Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang yang serakah dan bodoh!”

“Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya.

Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dahulu. “Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!”

“Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan membunuhmu!” Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat pergi dari situ.

Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tidak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan harta pusaka sekarang telah tercuri orang lain, maka untuk apa mereka harus memusuhi kakek jembel itu?

Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar sudah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu.

Orang ini lalu masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, kemudian mempergunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut:

Harta pusaka di goa rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka!

Tadinya Hai Kong Hosiang bersama kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang menggunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu. Baru sesudah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka segera mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.

Mereka ini tidak tahu bahwa secara diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka mengenai niat mereka mencari Hok Peng Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke goa di mana Lin Lin berada.

*****

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhu-nya itu tiba di goa, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Dia kemudian menceritakan segala pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.

“Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan,” berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. “Pada saat ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, dia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu, Lin Lin?”

Gadis itu sambil menarik napas panjang menggeleng kepala. “Entahlah, aku tidak ingat sama sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi.”

“Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk pada orang!” kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasehat ini.

Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya, “Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu sudah datang. Ingatlah baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!”

Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum bahwa apa bila tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!

Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan mengenai perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang suhu-nya ini akan tetapi dia merasa kecewa juga mengapa suhu-nya itu tidak datang menemuinya.

“Dan satu hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhu-mu supaya dia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang sangat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan, setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Goa Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!”

Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar menggema, “Tiga burung kubawa serta!”

Ketika semua orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.

Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai, “Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana menunggu kalian berdua.”

“Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dahulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul ke sana,” kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya.

Ang I Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan goa itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.

“Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tidak baik kalau selama itu kita hanya menganggur. Lebih baik kita bersemedhi dan membersihkan napas untuk melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”

Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, dia lalu duduk bersila di dalam goa itu, bersemedhi memperkuat tenaga dalamnya.

*****

Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.

Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.

“Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin seban munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apa bila sepekan telah lawat dan dia telah sembuh, dia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini.”

Kemudian, Kwee An segera menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng. Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat.

Mereka berdua pergi ke goa-goa Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di situlah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan goa rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.

Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-penjaga itu, Nelayan Cengeng berkata,

“Mungkin sekali harta pusaka itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?”

Kwee An menjawab, ”Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana apa bila ternyata Bu Pun Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kita?”

“Jangan kuatir, betapa pun juga, aku tetap tidak pernah percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pastilah dia terkena pengaruh jahat. Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapa pun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat betapa harta pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”

“Apa bila kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?” tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.

Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena dia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air mata. “Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu ialah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu sudah sepatutnya pula kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!”

“Yang berhak?” tanya Kwee An dengan heran. “Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya kembali?”

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, “Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!”

Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali dan segera mereka menengok. Ternyata di atas mereka sudah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dengan memegang sebatang tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin dia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.

“Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?” tiba-tiba kakek botak itu bertanya.

Nelayan Cengeng lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!”

Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.

“Nelayan Cengeng, biar pun matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya,” katanya.

Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, dia lalu teringat akan cerita gadis itu tentang suhu-nya yang baru, maka dia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.

“Bagaimana dengan murid kita itu?” tanya Hok Peng Taisu.

“Baik, baik, dan kuhaturkan terima kasih kepadamu yang sudah memberi bimbingan pada dia. Kepandaian yang kau berikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tidak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.

“Ahh, memang kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang mari kita bicara tentang hal penting. Ehh, siapakah anak muda ini?”

“Dia adalah calon suami murid kita.”

Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An mengenai harta itu tadi saja sudah membuat dia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.

“Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku ingin menggunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!”

Nelayan Cengeng memandangnya tajam, “Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?”

“Ha-ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang kau berikan kepada pemuda ini tadi!”

Nelayan Cengeng mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku setuju membantumu.”

Kakek botak itu lalu berkata, “Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Bagaimana, sanggupkah kalian?”

Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An langsung menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu meminta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan mata.

Nelayan Cengeng menarik napas panjang lantas berkata, “Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”

Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah goa itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat sekali laksana seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga sudah tertotok roboh olehnya.

“Bukan main!” seru Kwee An dengan kagum sekali.

Tadi dia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu untuk melawan atau pun melihatnya!

Tidak lama kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari goa dan menuju ke tempat mereka dan sekarang dia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.

“Nah, kalian terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, di antara harta pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah padamu. Nah, aku pergi dulu!” Dan sebelum Kwee An mau pun Nelayan Cengeng dapat membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!

Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya. Saat mereka memeriksa harta pusaka itu, ternyata memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, karena itu Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,

“Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima sebagian dari pada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.”

Yousuf menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata. “Kedudukan Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda menggunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki.”

“Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”

Yousuf lalu menyuruh orang membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka itu.

Demikianlah pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An seperti yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.

“Kalau demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw,” kata Ang I Niocu. “Kita harus menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu dengan baik.”

“Harta ini harus cepat dibagikan dan tidak boleh ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita,” kata Kwee An. “Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi.”

“Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menunggu sampai Lin Lin sembuh?” Ma Hoa berkata ragu-ragu.

“Tak perlu,” jawab Ang I Niocu. “Bukankah Susiok-couw sudah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Goa Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur.”

“Biarlah aku yang menanti mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,” Yousuf menyatakan kesanggupannya.

Semua orang telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, serta Kwee An lalu masing-masing mendapat sekantung.

Setelah berpamit kepada Yousuf serta kawan-kawannya, empat orang pendekar itu pergi meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin.

Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka. Maka timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang sedang menderita sengsara.

*****

Setelah tinggal di dalam goa batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin sudah pulih kembali seperti sedia kala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali.

Hal ini dapat dia rasakan karena kalau biasanya tiap hari dia sering merasakan kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga Cin Hai terpaksa memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, sekarang denyutan kepala itu telah hilang sama sekali! Bahkan ketekunannya berlatih dan semedhi membuat dia dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.

Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di hadapan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya,

“Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau sudah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhu-mu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang sudah menolongmu.”

Lin Lin dan Cin Hai terkejut. “Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?”

Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata, “Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau.”

Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. “Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan sudah memberi berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku masih dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan engkau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai menjadi merah mukanya.

“Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan girang.

Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya. “Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dahulu menyusul Suhu-mu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting.”

Kemudian orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu, dan juga menuturkan bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.

“Sedangkan emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan lebih dahulu ke negeriku supaya dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda.”

Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu memang sangat penting dan memang sudah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara serta bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.

“Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku.”

Sesudah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan mengenai tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Mendengar ini, bukan main marah dan terkejutnya Lin Lin, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.

Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru dan suci-nya dan sambil menangis ia pun bersumpah,

“Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalaskan dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci.”

Setelah berdiam di makam subo dan suci-nya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini sudah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!

Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut dia berkata, “Lin-moi, janganlah kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang dulu telah melepaskan hwesio itu dan tidak membinasakannya sehingga dia masih hidup dan kini mendatangkan mala petaka pula.”

Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.

“Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!”

Melihat senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang sangat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena dia pun tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu melakukan perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya ini, sering kali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan di dalam pandangan mata Cin Hai, apa bila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya dari pada tarian Ang I Niocu sendiri!

Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya dia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.

Memang, bagi siapa saja yang pernah mengalaminya, tentu akan mengaku bahwa tidak ada kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat dari pada berduaan dengan seorang tunangan yang saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau namun tetap saling menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati.

Tetapi, Lin Lin dan Cin Hai adalah orang-orang muda yang sudah sama-sama mendapat gemblengan dan didikan dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka telah menjadi kuat dan batin mereka sudah bersih. Mereka telah menjadi majikan dari pada nafsu sendiri dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya orang-orang lemah iman yang malah dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang menunggangi mereka.


Pendekar Bodoh Jilid 33

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 33

SETELAH menceritakan pengalamannya yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dengan Turki serta kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata,

“Di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tidak mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang jahat itu. Hal ini perlu sekali diselidiki.”

“Memang hal itu aneh sekali,” kata Kwee An. “Hai Kong terkenal jahat serta banyak tipu muslihatnya sehingga maut pun seakan-akan jeri mencabut nyawanya. Dia telah menjadi buta dan terguling ke dalam jurang, akan tetapi kini tiba-tiba saja ia muncul dan sebelah matanya masih bisa digunakan, bahkan dia telah berhasil menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe membantunya, tentu dia mempergunakan akal muslihat yang keji. Marilah kita menyelidiki mereka!”

“Cin Hai tentu tahu akan hal ini sebab ia sedang pergi mencari suhu-nya itu, maka sudah pasti dia akan segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah diambil,” kata Ang I Niocu.

Semua orang setuju dan demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa kemudian keluar dari Lan-couw untuk menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.

Ketika mereka tiba di luar kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.

“Lihat, bukankah itu Sin-kong-ciak?” teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung merak yang indah bulunya itu terbang di atas.

“Betul, marilah kita pergi menyusul ke sana!” Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan adanya burung-burung itu di sana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.

Melihat kegembiraan Ma Hoa, Ang, I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi dia hanya tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari hingga sampai di tempat yang penuh bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke depan goa besar dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah bulunya itu.

Ma Hoa berlari masuk goa dan tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat, “Manusia tidak tahu malu! Kau akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!” Dan tiba-tiba saja melompat seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.

“Lin Lin!” Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu. “Ini aku... Ma Hoa…!”

Akan tetapi Lin Lin yang gilanya kumat kembali itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk digunakan menangkis dan menjaga diri.

Ma Hoa merasa heran, terkejut, dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi karena ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai dan semua gerakannya sangat sulit untuk diduga, maka terpaksa Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis semua serangan Lin Lin!

Kalau saja Ma Hoa belum memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang amat lihai itu, pasti dengan mudah saja dia sudah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin benar-benar luar biasa dan lihai sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya lantas digerakkan secara hebat untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam goa itu terjadilah pertandingan yang amat dahsyat.

Berkali-kali Ma Hoa berseru, “Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu...!”

Tiga ekor burung yang melihat pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tidak tahu harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu seakan-akan bertempur sendiri di udara!

Mendengar ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera berlari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang terus mempertahankan diri dengan sibuknya.

“Enci Im Giok, lekas... lekas tangkap dia, agaknya dia sudah berubah ingatan!” seru Ma Hoa menahan isak.

Ang I Niocu berdiri bagaikan patung dan menjerit, “Lin Lin...!”

Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,

“Enci Im Giok...!”

Pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena dia merasa pening sekali. Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas di dalam pelukannya!

Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tertidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini.

Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan goa itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ. Akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan goa, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.

Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Dia bangun dan ketika melihat bahwa dia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, dia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian dia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.

“Enci Im Giok...”

“Lin Lin, kau kenapakah...?” bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya.

Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang. Pada saat ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.

“Enci Hoa... kau juga datang…?”

“Ehh, ehhh, anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?” tegur Ma Hoa. “Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan begitu hebatnya sehingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?”

Lin Lin memandangnya dengan hati terheran-heran. “Apakah penyakitku itu sudah datang lagi? Ah, celaka...” dan ia lalu menangis sedih.

Ma Hoa beserta Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.

“Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. “Tadi pada waktu Ma Hoa masuk ke dalam goa ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian mendadak kau jatuh pulas! Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu itu karena kami pun sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ahhh, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?”

Lin Lin segera menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian dia terluka dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun serta mendapatkan obat penawar pengaruh racun di dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya ‘penyakit gila’ yang kadang-kadang menyerangnya itu.

Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin Lin, dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat berhasil ditewaskan oleh Cin Hai sehingga sebuah di antara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, sudah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.

“Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.

“Mereka sedang pergi kepada dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang pengaruh obat itu.”

Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu dengan Dara Baju Merah yang dahulu dianggapnya telah tewas itu, walau pun dia sudah mendengar dari Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga dia merasa gembira mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput dari pada bahaya kematian bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.

“Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko, mengapa dia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali kepadanya,” kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.

“Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan goa rahasia yang sudah ditemukan itu,” kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.

Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu sekarang telah mempunyai calon.

“Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, supaya kau dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda.

Sementara itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, dia pun berbisik, “Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu kini terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!” Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan dia menggunakan sapu tangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.

“Terima kasih, Adikku, terima kasih,” jawabnya sederhana.

*****

Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Pada waktu mereka tiba di tempat itu, pondok di mana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, kini hanya terjaga oleh empat orang Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.

Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.

“Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!” baru kali ini Cin Hai melihat suhu-nya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kau sebut daun semut merah itu, benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?”

“Benar, siapa yang meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.

“Apakah setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?”

“Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!” dia menjawab.

“Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?”

“Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau sedang dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Aku lalu menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah sebatang pohon bunga yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu sudah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, dan karena itu pula kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!”

Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak membohong.

“Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah bagai orang gila kemudian tertidur setelah marah-marah?” tanyanya.

Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Memang, memang demikian,” katanya dan sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu akan mengalir pada seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat-urat yang besar, peristiwa itu tidak akan mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada waktu kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!”

Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri, “Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu? Dapat sembuh kembali atau tidak?” tanyanya tak sabar.

“Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula dia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula dia akan terserang hal itu.”

Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.

“Dan di mana perginya Hai Kong dan kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.

“Ke mana lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di goa itu?” Dukun Mahambi berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manusia-manusia semacam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman.”

Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak dia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai kejahatan pula.”

Cin Hai mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke goa di mana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke goa Tun-huang!

Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di goa Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Dia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, karena itu dia dapat menduga bahwa pendeta jahat beserta kawan-kawannya itu tentu berada di dalam goa, sedang mengambil harta pusaka.

Dengan sekali melompat, Bu Pun Su sudah berada di depan goa, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.

“Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih berada di sini!”

Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari goa itu dengan muka merah karena marah.

“Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau sudah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”

“Apa katamu?!” bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.

“Harta Pusaka itu sudah kau curi dan kau bawa pergi, mau berkata apa lagi?” Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dahulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!

Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan berkata,

“Aku masih belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!”

Secepat kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam goa dan tidak lama kemudian ia keluar lagi kemudian berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut tulang, namun akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.

“Kau maksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu adalah jago tua Hok Peng Taisu?” tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.

“Dasar kau yang bodoh,” tegur Bu Pun Su. “Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin! Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang yang serakah dan bodoh!”

“Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya.

Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dahulu. “Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!”

“Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan membunuhmu!” Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat pergi dari situ.

Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tidak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan harta pusaka sekarang telah tercuri orang lain, maka untuk apa mereka harus memusuhi kakek jembel itu?

Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar sudah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu.

Orang ini lalu masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, kemudian mempergunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut:

Harta pusaka di goa rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka!

Tadinya Hai Kong Hosiang bersama kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang menggunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu. Baru sesudah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka segera mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.

Mereka ini tidak tahu bahwa secara diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka mengenai niat mereka mencari Hok Peng Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke goa di mana Lin Lin berada.

*****

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhu-nya itu tiba di goa, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Dia kemudian menceritakan segala pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.

“Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan,” berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. “Pada saat ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, dia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu, Lin Lin?”

Gadis itu sambil menarik napas panjang menggeleng kepala. “Entahlah, aku tidak ingat sama sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi.”

“Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk pada orang!” kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasehat ini.

Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya, “Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu sudah datang. Ingatlah baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!”

Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum bahwa apa bila tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!

Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan mengenai perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang suhu-nya ini akan tetapi dia merasa kecewa juga mengapa suhu-nya itu tidak datang menemuinya.

“Dan satu hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhu-mu supaya dia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang sangat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan, setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Goa Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!”

Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar menggema, “Tiga burung kubawa serta!”

Ketika semua orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.

Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai, “Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana menunggu kalian berdua.”

“Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dahulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul ke sana,” kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya.

Ang I Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan goa itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.

“Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tidak baik kalau selama itu kita hanya menganggur. Lebih baik kita bersemedhi dan membersihkan napas untuk melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”

Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, dia lalu duduk bersila di dalam goa itu, bersemedhi memperkuat tenaga dalamnya.

*****

Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.

Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.

“Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin seban munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apa bila sepekan telah lawat dan dia telah sembuh, dia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini.”

Kemudian, Kwee An segera menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng. Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat.

Mereka berdua pergi ke goa-goa Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di situlah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan goa rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.

Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-penjaga itu, Nelayan Cengeng berkata,

“Mungkin sekali harta pusaka itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?”

Kwee An menjawab, ”Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana apa bila ternyata Bu Pun Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kita?”

“Jangan kuatir, betapa pun juga, aku tetap tidak pernah percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pastilah dia terkena pengaruh jahat. Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapa pun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat betapa harta pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”

“Apa bila kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?” tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.

Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena dia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air mata. “Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu ialah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu sudah sepatutnya pula kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!”

“Yang berhak?” tanya Kwee An dengan heran. “Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya kembali?”

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, “Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!”

Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali dan segera mereka menengok. Ternyata di atas mereka sudah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dengan memegang sebatang tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin dia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.

“Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?” tiba-tiba kakek botak itu bertanya.

Nelayan Cengeng lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!”

Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.

“Nelayan Cengeng, biar pun matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya,” katanya.

Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, dia lalu teringat akan cerita gadis itu tentang suhu-nya yang baru, maka dia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.

“Bagaimana dengan murid kita itu?” tanya Hok Peng Taisu.

“Baik, baik, dan kuhaturkan terima kasih kepadamu yang sudah memberi bimbingan pada dia. Kepandaian yang kau berikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tidak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.

“Ahh, memang kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang mari kita bicara tentang hal penting. Ehh, siapakah anak muda ini?”

“Dia adalah calon suami murid kita.”

Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An mengenai harta itu tadi saja sudah membuat dia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.

“Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku ingin menggunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!”

Nelayan Cengeng memandangnya tajam, “Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?”

“Ha-ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang kau berikan kepada pemuda ini tadi!”

Nelayan Cengeng mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku setuju membantumu.”

Kakek botak itu lalu berkata, “Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Bagaimana, sanggupkah kalian?”

Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An langsung menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu meminta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan mata.

Nelayan Cengeng menarik napas panjang lantas berkata, “Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”

Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah goa itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat sekali laksana seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga sudah tertotok roboh olehnya.

“Bukan main!” seru Kwee An dengan kagum sekali.

Tadi dia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu untuk melawan atau pun melihatnya!

Tidak lama kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari goa dan menuju ke tempat mereka dan sekarang dia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.

“Nah, kalian terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, di antara harta pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah padamu. Nah, aku pergi dulu!” Dan sebelum Kwee An mau pun Nelayan Cengeng dapat membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!

Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya. Saat mereka memeriksa harta pusaka itu, ternyata memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, karena itu Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,

“Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima sebagian dari pada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.”

Yousuf menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata. “Kedudukan Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda menggunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki.”

“Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”

Yousuf lalu menyuruh orang membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka itu.

Demikianlah pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An seperti yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.

“Kalau demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw,” kata Ang I Niocu. “Kita harus menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu dengan baik.”

“Harta ini harus cepat dibagikan dan tidak boleh ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita,” kata Kwee An. “Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi.”

“Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menunggu sampai Lin Lin sembuh?” Ma Hoa berkata ragu-ragu.

“Tak perlu,” jawab Ang I Niocu. “Bukankah Susiok-couw sudah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Goa Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur.”

“Biarlah aku yang menanti mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,” Yousuf menyatakan kesanggupannya.

Semua orang telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, serta Kwee An lalu masing-masing mendapat sekantung.

Setelah berpamit kepada Yousuf serta kawan-kawannya, empat orang pendekar itu pergi meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin.

Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka. Maka timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang sedang menderita sengsara.

*****

Setelah tinggal di dalam goa batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin sudah pulih kembali seperti sedia kala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali.

Hal ini dapat dia rasakan karena kalau biasanya tiap hari dia sering merasakan kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga Cin Hai terpaksa memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, sekarang denyutan kepala itu telah hilang sama sekali! Bahkan ketekunannya berlatih dan semedhi membuat dia dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.

Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di hadapan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya,

“Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau sudah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhu-mu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang sudah menolongmu.”

Lin Lin dan Cin Hai terkejut. “Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?”

Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata, “Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau.”

Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. “Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan sudah memberi berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku masih dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan engkau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai menjadi merah mukanya.

“Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan girang.

Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya. “Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dahulu menyusul Suhu-mu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting.”

Kemudian orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu, dan juga menuturkan bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.

“Sedangkan emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan lebih dahulu ke negeriku supaya dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda.”

Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu memang sangat penting dan memang sudah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara serta bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.

“Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku.”

Sesudah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan mengenai tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Mendengar ini, bukan main marah dan terkejutnya Lin Lin, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.

Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru dan suci-nya dan sambil menangis ia pun bersumpah,

“Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalaskan dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci.”

Setelah berdiam di makam subo dan suci-nya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini sudah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!

Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut dia berkata, “Lin-moi, janganlah kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang dulu telah melepaskan hwesio itu dan tidak membinasakannya sehingga dia masih hidup dan kini mendatangkan mala petaka pula.”

Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.

“Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!”

Melihat senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang sangat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena dia pun tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu melakukan perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya ini, sering kali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan di dalam pandangan mata Cin Hai, apa bila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya dari pada tarian Ang I Niocu sendiri!

Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya dia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.

Memang, bagi siapa saja yang pernah mengalaminya, tentu akan mengaku bahwa tidak ada kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat dari pada berduaan dengan seorang tunangan yang saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau namun tetap saling menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati.

Tetapi, Lin Lin dan Cin Hai adalah orang-orang muda yang sudah sama-sama mendapat gemblengan dan didikan dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka telah menjadi kuat dan batin mereka sudah bersih. Mereka telah menjadi majikan dari pada nafsu sendiri dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya orang-orang lemah iman yang malah dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang menunggangi mereka.