Pedang Halilintar - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

PEDANG HALILINTAR


SATU

“Hiya! Hiyaaa...!”

Pagi yang seharusnya enak dinikmati, seketika jadi riuh oleh teriakan seseorang yang menggebah kudanya dengan kecepatan sangat tinggi bagai dikejar setan. Debu membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat Burung-burung yang tadi berkicauan seketika berhamburan terbang, terkejut oleh derap kaki kuda yang demikian cepat berpacu.

“Hiyaaa! Yeaaah...!”

Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu terus memacu kudanya, melintasi jalan tanah berbatu. Sama sekali tidak dipedulikan binatang-binatang yang berhamburan ketakutan. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan kudanya yang sudah mendengus-dengus kelelahan tidak dipedulikan lagi.

Begitu penunggang kuda itu baru saja menyeberangi sebuah sungai kecil yang dangkal dan penuh kerikil, mendadak saja...

Wusss!
“Heh...?! Hup!”

Cepat sekali pemuda itu melompat dari punggung kudanya yang masih terus berlari kencang, begitu matanya menangkap seleret cahaya keperakan berkelebat begitu cepat menuju ke arahnya. Dan benda bercahaya keperakan itu langsung menyambar leher kuda yang masih berlari. Binatang itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

“Hieeegkh...!”
Bruk!

Keras sekali kuda berbulu coklat tua itu jatuh menghantam tanah berbatu di tepian sungai kecil ini. Hanya sebentar saja binatang itu menggelepar dengan leher terkoyak sangat lebar, hingga hampir membuatnya buntung. Darah langsung mengucur deras sekali, membasahi bebatuan di tepi sungai ini. Sebentar kemudian, kuda itu meregang kaku dan diam tak bernyawa lagi.

Sementara, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tadi berhasil menghindari kilatan cahaya keperakan, sudah menjejakkan kakinya di tanah, agak jauh dari tepi sungai. Kakinya berdiri tegak dengan tangan kanan kini sudah menggenggam sebilah golok berkilatan yang menandakan ketajamannya. Kedua bola matanya terlihat nyalang, memandang tajam ke sekitarnya. Tapi, sedikit pun tak terlihat tanda-tanda ada orang lain di sekitar tepian sungai kecil ini.

“Keparat..!” geram pemuda itu. Wajahnya tampak memerah, melihat kudanya sudah tewas dengan leher terkoyak hampir buntung.

Beberapa saat pemuda itu masih mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tapi, tidak juga terlihat tanda-tanda adanya orang lain di sekitar sini. Angin masih tetap bertiup perlahan, menebarkan dedaunan kering yang jatuh dari dahannya. Sementara, matahari masih tetap bersinar semakin terik di pagi ini. Perlahan pemuda berbaju hijau muda yang agak ketat itu menggeser kedua kakinya ke kanan.

Sedangkan goloknya yang berkilatan tajam, tetap terlintang di depan dada.

“Keluar kau, Pengecut...!” teriak pemuda itu lantang. “Tunjukkan dirimu...!”

Tapi, teriakan pemuda itu tidak mendapat jawaban sedikit pun. Hanya gema suaranya saja yang terdengar. Sementara, kakinya terus digeser perlahan-lahan menghampiri kudanya. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja....

Slap!
“Ups...!”
Bettt!
Tring!
“Ikh...!”

Pemuda itu terpekik kecil. Dan begitu goloknya dikebutkan, terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat cepat bagai kilat hendak menyambar tubuhnya. Cepat dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Tapi, tubuhnya jadi agak limbung begitu kakinya menjejak tanah berbatu di tepi sungai kecil ini.

“Setan...!” geram pemuda itu dengan bibir meringis.

Pemuda itu mengurut tangan kanannya yang menggenggam golok dengan tangan kiri. Rasanya goloknya tadi seperti habis menghantam sebuah gada baja yang amat keras ketika menangkis kilatan cahaya keperakan yang hampir menyambar tubuhnya. Dan saat itu juga, kedua bola matanya terbeliak lebar. Ternyata goloknya terpotong menjadi dua bagian!

Entah ke mana terpentalnya ujung potongan golok itu. Dan belum juga dia bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar dan memekakkan telinga. Tawa sangat keras dan menggema bagaikan datang dari segala penjuru mata angin itu membuat jantung pemuda ini jadi bergetar seketika.

“Ugkh...!”

Sedikit keluhan terdengar. Dan pemuda berwajah cukup tampan itu segera membuang goloknya yang sudah patah. Telinganya terasa sakit sekali saat mendengar tawa keras dan menggelegar ini. Telinganya segera ditutup dengan telapak tangan, tapi suara tawa itu semakin terdengar keras dan menyakitkan sekali.

Keringat mulai menitik di seluruh wajah dan tubuhnya. Perlahan namun pasti, wajah pemuda itu mulai terlihat memucat. Tubuhnya pun mulai menggeletar. Sementara, dari lubang hidungnya terlihat darah mengalir. Kemudian dari sudut bibir, dan dari sela-sela jari tangan yang menutup telinga, darah mengalir semakin banyak.

“Aaakh...!”

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar. Tampak pemuda itu jatuh menggelepar di atas tanah berbatu kerikil di tepi sungai kecil ini. Tubuhnya terus menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit, bagaikan tengah dikerubungi puluhan kala berbisa. Darah tampak semakin banyak mengalir dari hidung, mulut, dan telinganya. Bahkan, juga dari kedua bola matanya!

“Ha ha ha...!”

Sementara, suara tawa itu terus terdengar semakin keras. Bahkan daun-daun pepohonan di sekitar tepi sungai itu pun sudah terlihat berguguran. Dan tawa yang semakin keras itu seakan-akan menghentikan hembusan angin. Sedangkan pemuda berbaju hijau muda agak ketat itu terus menggelepar, dan menjerit-jerit kesakitan. Bahkan dari pori-pori di seluruh tubuhnya, sudah mengeluarkan keringat darah.

“Aaa...!”

Sebuah jeritan sangat panjang dan melengking tinggi, mengakhiri gerakan tubuh pemuda itu yang menggeliat-geliat Dan tubuhnya seketika mengejang, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Kaku. Kedua bola matanya tampak terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga. Namun, darah masih terus mengalir dari lubang hidung, mulut, dan telinganya.

Saat itu juga, suara tawa yang sangat keras dan menggelegar tadi terhenti. Dan keadaan di tepi sungai ini pun jadi sunyi. Sementara, pemuda itu tetap tergeletak dengan tubuh meregang kaku. Sedikit pun tak terlihat adanya gerakan yang menandakan kalau masih hidup. Pemuda itu pasti sudah tewas, akibat terserang suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Cukup lama juga keadaan di tepi sungai itu sunyi senyap, bagai tidak pernah terjadi apa-apa.

Dan kesunyian itu tiba-tiba saja kembali dipecahkan suara derap kaki kuda yang dipacu cepat dari arah seberang sungai. Tak berapa lama kemudian, terlihat tiga penunggang kuda berpacu cepat sekali menyeberangi sungai kecil yang berair dangkal ini.

“Hooop...!”
“Hup!”

Mereka segera menghentikan kudanya. Langsung mereka berlompatan turun begitu dekat dengan pemuda berbaju hijau muda yang tergeletak tak bernyawa lagi, tidak jauh dari kudanya yang juga sudah tewas dengan leher hampir buntung.

“Kakang...!”

Tiba-tiba terdengar salah seorang penunggang kuda. Sebentar kemudian, terlihat seorang gadis bertubuh kecil yang terbungkus baju ketat warna biru tua tengah berlari menghampiri pemuda itu setelah turun dari punggung kudanya. Tapi belum juga mendekat, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar dan berbulu mencekal pergelangan tangannya.

“Jangan mendekat, Lastri!”

“Tapi, Paman...,” sergah gadis yang ternyata bernama Lastri, hendak memberontak.

Namun saat sepasang mata merah menyorot tajam milik laki-laki yang dipanggil paman itu memandanginya, Lastri langsung terdiam. Dan wajahnya langsung berpaling ke arah pemuda yang tergeletak tak bernyawa lagi dengan tubuh meregang kaku. Sementara, dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang mengapit gadis cantik bertubuh kecil bernama Lastri ini, juga memandangi tubuh pemuda berbaju hijau yang tergeletak tak bernyawa.

“Kalian diam saja di sini dulu. Aku akan memeriksa,” ujar salah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang terbungkus baju hitam. Dialah yang tadi mencekal tangan Lastri agar tidak mendekati pemuda yang tergeletak tak bernyawa itu.

Tanpa menunggu jawaban, laki-laki ini langsung saja mengayunkan kakinya mendekati pemuda itu. Namun ayunan kakinya terhenti setelah tinggal selangkah lagi. Sebentar diamatinya mayat itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, kemudian tubuhnya bergerak membungkuk dan berjongkok. Beberapa saat, diperiksanya tubuh mayat pemuda itu, kemudian kepalanya berpaling ke belakang.

“Ke sini kalian...!” seru laki-laki itu memanggil.

Lastri dan seorang laki-laki lainnya yang berbaju merah menyala, bergegas menghampiri, begitu diperbolehkan. Dan gadis itu langsung menghambur memeluk mayat pemuda yang tergeletak berlumuran darah di wajahnya itu. Tangisnya seketika pecah menggerung-gerung. Sementara, dua laki-laki berusia hampir separuh baya yang tadi mendampinginya hanya bisa berdiri memandangi tanpa bisa berkatakata.

Agak lama juga Lastri menangisi mayat pemuda itu. Kemudian air matanya diseka dengan punggung tangan. Lalu, perlahan kepalanya terangkat ke atas, setelah tangisannya benar-benar terhenti. Namun sesekali masih juga terdengar isaknya. Ditatapnya dua orang laki-laki berusia separuh baya yang masih berdiri sekitar tiga langkah lagi di depannya.

“Aku akan membawa Kakang Barada pulang,” tegas Lastri dengan suara tertahan dan terisak.

“Lastri..., ingat pesan ayahmu,” ujar laki-laki berbaju warna merah menyala.

“Aku tidak peduli!” sentak Lastri langsung bangkit berdiri. “Kali ini, Paman tidak bisa menghalangiku lagi. Aku akan membawa pulang Kakang Barada, walaupun sudah jadi mayat!”

Kedua laki-laki berusia hampir separuh baya itu hanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Kemudian, mereka sama-sama menatap gadis cantik bertubuh kecil di depannya. Gadis itu tampak masih terlihat garang, walaupun sesekali masih terdengar isak tangisnya yang tertahan. Seakan-akan dia tidak ingin tangisannya dilihat kedua laki-laki itu lagi. Sekuat tenaga, hatinya berusaha tegar.

“Paman Gorak...,” panggil Lastri, seraya menatap laki-laki yang berbaju warna merah menyala.

Tapi, laki-laki berbaju merah yang ternyata bernama Gorak itu hanya membisu saja. Malah, dibalasnya tatapan itu dengan sinar mata yang sulit diartikan. Lastri langsung berpaling menatap seorang lagi yang berbaju hitam pekat.

“Paman Andaka...”

Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang dipanggil Paman Andaka hanya mengangkat bahu sedikit. Matanya malah melirik Paman Gorak yang berada di sebelah kirinya. Sedangkan yang ditatap, seperti tidak tahu. Malah, dipandanginya mayat Barada yang masih tergeletak kaku tak bernyawa lagi.

“Kurasa, tidak ada salahnya kita membawa Barada, Kakang Gorak,” kata Paman Andaka.

“Aku hanya tidak ingin melanggar amanat,” sahut Paman Gorak terdengar pelan suaranya, seakan ragu-ragu untuk memutuskan.

“Paman berdua tidak perlu ragu dan takut. Biar aku yang bertanggung jawab pada ayah,” selak Lastri.

“Lastri! Aku hanya mengingatkan pesan ayahmu saja. Kita boleh membawa pulang Barada, kalau memang masih hidup. Tapi kalau ditemukan sudah meninggal, ayahmu tidak mengizinkannya membawa pulang,” sanggah Paman Gorak.

“Ayah memang kejam...!” desis Lastri dengan mata merembang berkaca-kaca.

“Sudahlah, Lastri. Relakan saja kepergiannya. Sebaiknya, secepatnya kita tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sini,” bujuk Paman Gorak lagi.

“Tidak, Paman...,” desis Lastri seraya menggeleng. “Aku tetap akan membawa Kakang Barada pulang.”

Tanpa menghiraukan keberatan kedua pamannya, Lastri segera mengangkat tubuh Barada yang sudah kaku. Tapi tubuhnya yang kecil tentu saja mengalami kesulitan, karena tubuh Barada dua kali lebih besar dibanding dengannya.

Melihat kegigihan gadis itu, Paman Andaka jadi tidak tega juga. Segera kakinya melangkah menghampiri. Diangkatnya tubuh Barada, lalu diletakkan di pundaknya. Sebentar ditatapnya Paman Gorak, kemudian berjalan menghampiri kudanya. Mayat Barada diletakkan di punggung kuda yang ditungganginya. Sementara, Lastri sudah naik ke punggung kudanya sendiri. Paman Andaka segera melompat naik ke punggung kudanya. Dan mayat Barada diletakkan tengkurap di depannya. Sementara, Paman Gorak masih tetap berdiri memandangi, tanpa dapat berbuat apa-apa.

Sedikit Paman Gorak mengangkat pundaknya, kemudian melangkah menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan dan indah, dia melompat naik ke punggung kudanya. Dan sebentar kemudian, ketiga orang itu sudah bergerak meninggalkan tempat ini tanpa bicara lagi. Mereka terus menjalankan kudanya perlahan-lahan meninggalkan tepian sungai kecil yang berair dangkal ini.

********************

Di dalam kamarnya yang berukuran luas, Lastri berdiri mematung di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Saat itu, matahari sudah terlihat condong ke barat. Sinarnya yang semula garang terasa begitu terik menyengat kulit, kini terasa begitu lembut. Sejak penguburan Barada, Lastri tidak keluar dari kamarnya ini. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Namun, pandangan matanya terlihat lurus ke depan dan sangat kosong.

Tok, tok, tok...!
“Oh...?!”

Lastri tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Dan baru saja tubuhnya berputar berbalik, pintu kamar itu sudah terbuka. Lalu, muncul seorang laki-laki berusia hampir separuh baya. Dia mengenakan baju warna merah menyala yang agak ketat Dan tanpa dipersilakan lagi, kakinya melangkah masuk ke kamar, dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Sementara, Lastri masih tetap berdiri membelakangi jendela. Laki-laki yang tak Iain Paman Gorak itu langsung duduk di kursi kayu, tidak jauh dari jendela.

“Sejak tadi kau tidak keluar dari kamar, Lastri. Kenapa...?” tegur Paman Gorak dengan suara terdengar dibuat lembut

“Hhh...”

Lastri hanya menghembuskan napasnya saja panjang-panjang. Terasa begitu berat hembusannya. Dan kini, kakinya melangkah agak gontai mendekati pembaringan. Lastri kemudian duduk di tepi pembaringan yang berukuran cukup besar ini. Pandangan matanya kembali tertuju ke luar jendela. Begitu redup sinar matanya, seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup. Sementara, Paman Gorak terus memandangi. Sepertinya, isi hati gadis ini ingin diselaminya.

“Kau masih memikirkan kematian Barada, Lastri..?” tebak Paman Gorak.

Lastri tidak langsung menjawab, tapi malah menatap laki-laki berusia hampir separuh baya yang masih kelihatan cukup tampan. Rasanya, tidak pantas kalau usianya sudah berkepala empat

Sementara itu yang dipandangi malah balas menatap dengan sinar mata yang memancarkan cahaya menyelidik. Hal ini membuat Lastri harus kembali menghembuskan napas panjang. Matanya kini memandang ke luar jendela lagi.

“Kau tahu, Lastri. Bukan hanya aku dan paman-pamanmu saja yang sudah memperingatkan, tapi juga ayahmu. Barada itu sudah diperingatkan dengan keras, tapi tidak pernah mau mendengarkan. Keinginannya yang tidak masuk akal itu memang tak ingin dirubahnya. Jadi, aku rasa tidak ada gunanya menyesali kematiannya, Lastri,” kata Paman Gorak.

“Tapi, Paman...,” suara Lastri terputus.

“Aku tahu, Lastri. Aku juga bisa merasakan apa yang sedang kau rasakan sekarang ini. Tapi, itu bukan alasan untuk terus-menerus memikirkannya. Bahkan sampai mengurung diri dalam kamar ini. Barada memang baik. Aku juga menyayanginya. Bahkan ayahmu juga menyayanginya. Tapi sifatnya keras kepala. Sampai-sampai peringatan kami tidak ada yang masuk ke telinganya. Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri, Lastri. Kau ingat, apa yang diucapkannya... ? “

Lastri terdiam.

“Dia rela tidak diakui lagi di sini, asalkan bisa....”

“Sudah, Paman...!” sentak Lastri memutuskan ucapan pamannya.

“Maaf! Aku hanya ingin mengingatkanmu saja, Lastri,” ucap Paman Gorak.

“Terima kasih. Tapi, kuminta Paman tidak menggangguku dulu. Aku ingin sendiri,” kata Lastri halus.

“Yaaah...!”

Sambil mendesah panjang, Paman Gorak bangkit berdiri. Kemudian, kakinya melangkah keluar dari kamar ini tanpa berkata-kata lagi sedikit pun juga. Sempat juga wajahnya berpaling menatap Lastri yang masih duduk di tepi pembaringan, sebelum menutup pintu kamar kembali. Sementara, Lastri tetap duduk di tepi pembaringan dengan pandangan kosong, tertuju lurus ke luar jendela yang tetap dibiarkan terbuka lebar.

“Kakang Barada.... Mengapa kau tidak mau mematuhi kata-kata ayah...? Mengapa kau malah memilih jalan seperti itu?” desah Lastri menggumam, bertanya-tanya pada diri sendiri.

Memang di dalam hati kecilnya, Lastri sangat menyayangkan sikap Barada. padahal, bibit-bibit cinta sudah mulai tumbuh di hatinya. Dan bukan hanya Paman Gorak saja yang tahu, tapi juga Paman Andaka. Bahkan, ayahnya sendiri juga sudah tahu. Hanya saja, mereka belum ada yang berbicara tentang hubungan itu. Sedangkan Lastri sendiri belum bisa membuka penuh pintu hatinya pada Barada, walaupun sudah sering kali terlihat bersama-sama. Mereka memang sama-sama belum bisa mengungkapkan isi hati masing-masing.

Tapi kini, semuanya sudah terlambat Barada sekarang sudah mengisi lubang kuburnya. Kini Lastri hanya bisa menghembuskan napas panjang-panjang. Perlahan dia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan pembaringannya. Namun, ayunan kakinya langsung terhenti dengan pandangan tertuju lurus ke pintu yang tertutup rapat.

“Uh...!”

Sedikit gadis itu mengeluh, kemudian kembali menghampiri pembaringan. Tubuhnya lalu dihempaskan di sana. Lastri terbaring menelentang dengan kedua tangan terlipat di bawah kepala. Tatapan matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Bayangan-bayangan saat bersama Barada kembali terlintas di pelupuk matanya. Terasa begitu manis. Tapi waktu itu dia tidak tahu, dan belum bisa membedakannya. Dan kini, barulah terasa keindahan dan kemanisannya. Namun cepat-cepat disadari kalau semua itu tidak akan mungkin bisa terulang kembali, karena Barada sudah pergi untuk selama-lamanya.

“Huuuh...!”

Kembali gadis itu mengeluh panjang. Gadis itu bangkit dari pembaringannya, dan terus saja melangkah keluar dari kamar ini. Dibiarkannya pintu tetap terbuka lebar, dan terus berjalan dengan langkah lebar-lebar tanpa arah tujuan pasti.

********************

DUA

Glarrr...! Ledakan keras menggelegar, tiba-tiba saja terdengar begitu dahsyat mengejutkan. Lastri yang saat itu sedang tertidur lelap di pembaringan kamarnya, seketika terjaga. Ledakan itu memang sangat dahsyat menggelegar, sampai menggetarkan seluruh dinding kamarnya. Cepat gadis itu melompat bangkit dari pembaringan.

“Heh...?! Api...,” desis Lastri begitu terlihat semburan cahaya api dari balik jendela kamarnya yang tertutup rapat.

Bergegas gadis bertubuh kecil itu melompat menghampiri jendela, dan langsung dibukanya lebar-lebar. Saat itu terdengar teriakan-teriakan yang bercampur jeritan-jeritan melengking tinggi, serta denting senjata beradu. Kedua bola mata gadis itu jadi terbeliak lebar, begitu melihat bangunan di belakang bangunan rumah yang ditempatinya ini sudah terbakar hampir seluruhnya.

Sementara tidak jauh dari bangunan yang terbakar, terlihat orang-orang tengah bertarung sengit sekali. Lastri tidak tahu, siapa yang bertarung melawan murid-murid ayahnya. Pandangan matanya kemudian menangkap kelebatan bayangan tubuh Paman Gorak dan Paman Andaka. Mereka berlompatan cepat sekali. Tapi, Lastri sama sekali tidak melihat adanya orang yang sedang dikeroyok. Yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya keperakan yang berkelebat begitu cepat

Dan pada saat itu, tiba-tiba saja secercah cahaya kilat keperakan melesat begitu cepat ke arah jendela kamar Lastri yang terbuka lebar.

“Heh...?!”

Kedua bola mata Lastri jadi terbeliak lebar. Dan seketika itu juga, jantungnya terasa seakan jadi berhenti berdetak. Tapi belum juga cahaya kilat keperakan itu mendekat, dia sudah cepat sekali melompat keluar. Dan tepat di saat itu, cahaya kilat keperakan tadi menerobos masuk ke dalam. Dan....

Glarrr!

“Oh...?!”

Ledakan dahsyat yang terdengar menggelegar, membuat gadis itu tersentak kaget setengah mati. Kedua bola matanya jadi semakin lebar terbeliak, melihat kamarnya hancur berantakan. Dan belum juga rasa terkejutnya hilang, kembali hatinya dikejutkan oleh sebuah bayangan yang begitu cepat berkelebat bagai hendak menyambar tubuhnya.

“Hup! Hiyaaat..!”

Cepat sekali Lastri melenting ke belakang, dan berputaran beberapa kali untuk menghindari terjangan bayangan yang berkelebat bagai kilat. Manis sekali kakinya menjejak kembali di tanah. Namun belum juga sempat menyeimbangkan tubuhnya, kembali sebuah bayangan berkelebat begitu cepat ke arahnya. Dan....

Plak!
“Akh...!”

Lastri tidak sempat lagi berkelit Bayangan itu datang begitu cepat, hingga tidak ada kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Tahu-tahu, tubuhnya sudah terpental jauh ke belakang, setelah merasakan seperti ada sesuatu yang keras sekali menghantam.

Brakkk!

Sebuah tembok dari batu seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh kecil gadis itu. Tampak Lastri menggeliat sambil merintih lirih. Dari mulutnya keluar darah yang agak kental. Namun hanya sedikit saja gerakan tubuhnya terlihat, karena sebentar kemudian sudah tak bergerak-gerak lagi.

Saat itu juga, suasana malam jadi sunyi senyap. Tak terdengar lagi suara teriakan-teriakan pertarungan. Juga tidak lagi terdengar jeritan melengking menyayat hati. Di bawah siraman cahaya rembulan, terlihat tubuh-tubuh berlumuran darah bergelimpangan saling tumpang tindih. Entah apa yang terjadi, mereka semua tewas dengan tubuh begitu mengerikan.

Angin yang bertiup cukup kencang malam ini, menyebarkan bau anyir darah menggenang yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan. Sementara, api terlihat semakin berkobar membakar bangunan berukuran besar yang dikelilingi pagar tembok bagai benteng ini. Tak ada seorang pun yang terlihat bergerak hidup. Mereka semua tergeletak tak bergerak-gerak lagi, dengan tubuh bersimbah darah.

Dan pada saat itu, tiba-tiba terlihat sebuah cahaya kilat berkelebat begitu cepat. Namun cahaya itu lalu lenyap dalam sekejap saja, meninggalkan bangunan yang terbakar dan tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah darah.

********************

Pagi ini terasa begitu tenang. Matahari pun bersinar begitu lembut. Cahayanya membias keperakan begitu indah dipandang, menyembul dari balik sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pepohonan. Dan kabut juga masih terlihat menyelimuti sekitar bukit itu. Memang, pemandangan di sekitar bukit ini begitu indah, bagaikan berada di swargaloka. Begitu indahnya, hingga orang-orang yang sering melintasi bukit itu menamakannya Bukit Merak.

Dari arah sebelah timur Bukit Merak, terlihat dua orang menunggang kuda. Yang seorang adalah pemuda tampan berbaju rompi putih. Sekilas gagang pedang berbentuk kepala burung tampak bertengger di punggungnya. Begitu gagahnya, apalagi sambil menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap. Sementara di sebelah kanannya terlihat seorang gadis berparas cantik. Bajunya ketat berwarna biru muda. Begitu ketatnya, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah dipandang. Dia menunggang kuda putih yang cantik dan bersih. Tampak sebuah gagang pedang bergagang kepala naga berwarna hitam bertengger di punggungnya. Sedangkan di balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning keemasan, terselip sebuah kipas putih keperakan yang ujung-ujungnya berbentuk runcing bagai mata anak panah.

Kedua penunggang kuda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu perlahan-lahan menjalankan kudanya. Seakan-akan mereka tengah menikmati keindahan alam di sekitar Bukit Merak ini. Mereka adalah para pendekar muda yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.

“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.

Rangga langsung mengarahkan pandangannya, sejajar dengan jari telunjuk Pandan Wangi yang menjulur lurus ke depan. Tampak dari pucuk-pucuk pepohonan terlihat asap hitam mengepul ke angkasa. Sepertinya telah terjadi kebakaran di dalam hutan Bukit Merak ini. Dan entah kenapa, tanpa disadari kedua pendekar muda yang julukannya sudah kondang itu menghentikan langkah kuda masing-masing. Pandangan mereka tetap tertuju lurus ke depan, menatap asap hitam yang terus mengepul, walaupun tidak begitu banyak.

“Kakang! Bukankah di kaki bukit ini letak Desa Bangkalan...?” kata Pandan Wangi, seakan-akan ingin memastikan dugaannya.

“Hm..., benar,” sahut Rangga, terdengar menggumam suaranya.

“Jangan-jangan..., telah terjadi sesuatu di sana, kakang,” kata Pandan Wangi menduga lagi.

Rangga berpaling sedikit, menatap si Kipas Maut sebentar. Kemudian pandangannya kembali dialihkan ke depan. Memang asap hitam yang mengepul itu seperti berasal dari Desa Bangkalan yang berada di kaki Bukit Merak ini. Dan sejak tadi pun, Rangga sudah menduga kalau telah terjadi sesuatu di sana.

“Ayo kita ke sana, Pandan,” ajak Rangga.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Kedua pendekar muda itu segera menggebah kudanya menuju Desa Bangkalan di kaki Bukit Merak ini. Mereka berpacu cepat, menembus hutan yang tidak begitu lebat di sekitar Bukit Merak ini

Rangga terus memacu cepat kudanya, hingga membuat Pandan Wangi tertinggal di belakang. Memang, tidak mungkin bagi kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut untuk mengimbangi kecepatan lari kuda hitam yang bemama Dewa Bayu. Dan kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu memang bukanlah kuda sembarangan. Tidak ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menyamai kecepatan larinya. Maka tidak heran kalau dalam waktu sebentar saja, Pandan Wangi sudah tertinggal jauh di belakang.

“Hiyaaa! Hiyaaa...!”

Pandan Wangi terus saja menggebah kuda putihnya agar berlari lebih cepat lagi. Tapi karena jalan yang mulai menurun dan penuh pepohonan, kudanya tidak bisa berlari lebih cepat lagi. Sementara, gadis itu semakin sibuk mengendalikan tali kekang kudanya yang berlapis emas ini. Sesekali terdengar ringkikan kuda, jika Pandan Wangi menghentikan tali kekangnya.

“Hiyaaa...!”

Sementara itu, Rangga yang berada jauh di depan sudah sampai di kaki Bukit Merak ini. Dan lari kudanya segera diperlambat begitu sampai di batas sebuah desa yang dikenal sebagai Desa Bangkalan. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan kudanya, lalu melompat turun.

“Hup!”

Begitu indah dan ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompat turun dari punggung kudanya. Dan memang, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah mencapai tingkat sempurna. Hingga, sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah yang sedikit ditumbuhi rumput. Rangga berdiri tegak di depan kudanya. Pandangannya terlihat begitu tajam mengamati sekitarnya yang begitu sunyi. Hingga desir angin yang halus pun terdengar sangat jelas di telinganya.

Dan baru saja kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun, dari arah belakangnya terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat Rangga menghentikan langkah kakinya, dan berpaling ke belakang. Terlihat Pandan Wangi masih memacu kuda putihnya dengan cepat. Sementara, debu yang mengepul ke udara tampak seperti mengikutinya.

“Hooop...!”

Kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut itu meringkik keras, begitu tali kekangnya ditarik ke belakang. Dan begitu kedua kaki depannya hendak terangkat naik, Pandan Wangi sudah lebih cepat melompat turun. Gadis itu langsung saja menjejakkan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Sepi, Kakang...,” desah Pandan Wangi dengan suara terdengar menggumam pelan.

“Desa ini memang selalu sepi, karena letaknya sangat jauh dari kota. Dan lagi sangat terpencil,” sahut Rangga.

“Tapi tidak seperti biasanya, Kakang. Tidak ada seorang pun yang terlihat,” sanggah Pandan Wangi lagi, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit

Dan memang, tidak terlihat seorang pun di desa ini. Rumah-rumah yang berdiri bagai tidak dihuni lagi. Bahkan semua pintu dan jendelanya juga dalam keadaan tertutup rapat Kedua pendekar muda itu sama-sama mengarahkan pandangan ke ujung jalan desa ini. Tampak asap hitam yang terlihat tadi berasal dari dalam sebuah bangunan yang dikelilingi tembok batu bagai sebuah benteng kecil di tengah-tengah desa yang terpencil ini.

“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi tiba-tiba.

Rangga langsung mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi.

“Oh...?!”

Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main, begitu matanya menangkap sepasang kaki menyembul dari dalam parit di sebelah kanan jalan ini. Bergegas dia menghampiri. Kudanya ditinggalkan bersama Pandan Wangi.

“Oh...?!”

Rangga semakin bertambah terkejut, begitu sampai. Di dalam parit itu tampak sesosok tubuh tergeletak berlumuran darah tak bernyawa lagi. Hampir seluruh tubuhnya rusak, seperti terkena sabetan senjata tajam. Saat itu, Pandan Wangi datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Pasti telah terjadi sesuatu di sini, Kakang,” ujar Pandan Wangi.

Rangga hanya diam saja. Dikeluarkannya tubuh yang sudah tak bernyawa itu dari dalam parit diletakkannya di tempat yang agak teduh. Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja, kemudian beralih pada keadaan sekeliling yang masih tetap terlihat begitu sunyi. Rangga menghampiri gadis itu kembali, setelah meletakkan mayat ke tempat yang lebih nyaman. Pandan Wangi hanya melirik sedikit pada pemuda tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Kita memang tidak mengenal satu orang pun di desa ini, Kakang. Tapi kalau terjadi sesuatu, rasanya sulit untuk berpangku tangan saja,” tegas Pandan Wangi lagi, masih terus memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti di sebelahnya.

Tapi, Rangga masih saja diam dengan bibir terkatup rapat. Malah kepalanya terlihat bergerak sedikit ke kiri, lalu agak miring ke kanan. Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan, langsung diam tidak bicara lagi. Padahal, tadi mulutnya sudah dibuka hendak bicara. Namun melihat gerakan-gerakan kecil kepala Pendekar Rajawali Sakti, gadis itu jadi terdiam. Dia tahu, saat ini Rangga tengah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.

Ilmu yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti memang bisa membedakan dan memilah-milah suara. Hingga, dia bisa memilih suara yang diinginkan untuk didengar dengan lebih jelas lagi. Agak lama juga Rangga terdiam mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Kini perlahan kepalanya berpaling menatap Pandan Wangi yang sejak tadi tidak lepas memperhatikannya.

“Ada yang kau dapatkan, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.

“Tidak...,” sahut Rangga seraya menggelengkan kepala sedikit

“Tidak ada suara manusia satu pun juga...?” tanya Pandan Wangi lagi, ingin memastikan.

Rangga menggelengkan kepala saja, menjawab pertanyaan si Kipas Maut

“Jadi...?” suara Pandan Wangi terdengar terputus.

“Aku tidak tahu, Pandan. Tapi aku tidak menemukan satu kehidupan pun di sini. Desa Bangkalan ini seperti sudah ditinggalkan seluruh penduduknya,” ujar Rangga dengan suara pelan dan agak mendesah.

“Aneh.... Kenapa mereka pergi meninggalkan desa ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi, seperti untuk diri sendiri.

Dan Rangga tidak bisa menjawab, kecuali hanya diam membisu. Perlahan kakinya bergerak terayun menyusuri jalan desa yang berdebu ini Pandan Wangi mengikuti, dan menjajarkan ayunan kakinya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan tanpa berbicara lagi. Jadi mata mereka terus mengamati keadaan sekeliling.

Dan ayunan langkah kaki kedua pendekar muda itu terhenti setelah sampai di depan pintu yang terbuat dari kayu jati berukuran sangat besar dan tampak tebal. Mereka mengamati bangunan yang dikelilingi tembok pagar yang cukup tinggi bagai sebuah benteng ini. Sementara asap yang terlihat masih saja mengepul, walaupun tidak setebal tadi.

“Kau di sini saja dulu, Pandan,” ujar Rangga.

“Mau ke mana kau, Kakang?” tanya Pandan Wangi cepat-cepat

“Aku ingin lihat ke dalam sebentar,” sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat ke atas. Gerakannya terlihat sangat ringan bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan dengan manis sekali, kedua kakinya menjejak bagian atas tembok ini Sementara, Pandan Wangi terus memandangi sambil memegangi tali kekang kuda-kuda mereka berdua.

Tapi, hanya sebentar saja Rangga berada di atas pagar tembok ini, karena sebentar kemudian sudah kembali melompat turun. Tanpa menimbulan suara sedikit pun juga, kakinya kembali menjejak tanah, tepat sekitar dua langkah lagi di depan Pandan Wangi.

“Ada apa di dalam sana, Kakang?” Pandan Wangi langsung saja menyambut dengan pertanyaan.

“Bangunan di dalam sudah hancur terbakar. Dan banyak mayat di sana,” sahut Rangga.

“Oh...?! Apa yang terjadi...?” tanya Pandan Wangi agak terkesiap.

“Entahlah, Pandan,” sahut Rangga seraya mengangkat pundak sedikit. “Kau ingin melihat ke dalam?”

“Aku rasa tidak ada salahnya, Kakang. Barangkali saja masih ada orang yang hidup di dalam sana,” sahut Pandan Wangi.

Rangga tersenyum sedikit Kemudian.... “Hup!”

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas, dan tahu-tahu sudah kembali hinggap di atas dinding tembok batu ini. Tapi sebentar kemudian pemuda itu sudah melompat turun ke dalam. Sementara, Pandan Wangi menuntun kudanya mendekati pintu yang sangat besar dari kayu jati tebal ini. Dan begitu dekat, pintu itu bergerak terbuka dengan memperdengarkan suara berderit menggiris hati.

Pandan Wangi terus saja melangkah masuk. Namun ayunan kakinya dihentikan setelah sampai di samping Rangga. Agak terkesiap juga hati gadis itu melihat bangunan di dalam tembok bagian benteng ini sudah hangus terbakar. Bahkan hampir tak tersisa lagi. Sementara di sekitar puing-puing bangunan yang menghitam hangus itu terlihat puluhan mayat bergelimpangan, dengan tubuh berlumuran darah kering.

Bau anyir darah langsung menyeruak, merasuk ke dalam hidung. Pandan Wangi menghampiri salah satu mayat yang tergeletak tidak seberapa jauh darinya. Sebentar diperhatikannya keadaan tubuh orang itu. Beberapa luka seperti terbabat pedang, terlihat di tubuhnya yang berlumuran darah mengering. Gadis itu kembali menghampiri Rangga yang masih saja belum menggerakkan kakinya. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, seakan-akan tengah ada yang dicarinya. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah berada kembali di sebelah kanannya.

“Sepertinya sudah cukup lama ini terjadi, Kakang,” ujara Pandan Wangi menduga. “Darah mereka sudah mengering semua.”

“Apa perkiraanmu, Pandan...?” tanya Rangga, seperti menguji.

“Tempat ini seperti sebuah padepokan, Kakang..,” keluh Pandan Wangi seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Ya, memang ini sebuah padepokan,” sahut Rangga. “Padepokan Merak Sakti. Aku juga kenal ketuanya, Eyang Banaspati.”

“Kalau kau kenal, kenapa tidak kita cari saja di antara mereka, Kakang...?” usul Pandan Wangi.

“Aku tidak yakin Eyang Banaspati berada di antara mereka, Pandan. Dia bukan saja pemimpin padepokan, tapi juga seorang pertapa sakti. Malah ilmu-ilmunya pun sangat sukar dicari tandingannya.”

“Dan mereka semua muridnya, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Aku rasa, iya...,” sahut Rangga terdengar ragu-ragu nada suaranya.

Saat itu, pandangan mata Rangga tertuju ke satu arah. Dan tanpa bicara lagi, kakinya terayun melangkah. Pandan Wangi memperhatikan sebentar, kemudian mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah meninggalkan dua ekor kuda tunggangan mereka berdua. Sementara, Rangga terus berjalan melewati tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak tentu arah di sekitar puing-puing yang sudah menghitam hangus ini.

Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah sampai di dekat seorang gadis yang tergeletak di antara pecahan batu tembok. Tak ada luka sedikit pun di tubuhnya, seperti yang lain. Tapi di mulutnya penuh menggumpal darah yang sudah membeku kering. Rangga berlutut, lalu menyentuhkan ujung jari tangannya ke bagian leher dekat dagu gadis itu. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku merasakan denyut nadinya, Pandan. Tapi sangat lemah...,” ujar Rangga pelan, tanpa berpaling sedikit pun.

“Apa itu berarti dia masih hidup, Kakang?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Entahlah...,” sahut Rangga mendesah panjang.

Pendekar Rajawali Sakti memeriksa beberapa bagian tubuh gadis ini. Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan jari-jari tangan Rangga yang bergerak lincah dan teratur. Tampak beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti memberi totokan pada beberapa bagian tubuh gadis yang kecil mungil ini. Tapi dari raut wajahnya, terlihat jelas kalau usianya sekitar delapan belas tahun.

“Hhh...!”

Terdengar berat sekali tarikan napas Rangga. Dia bangkit berdiri lagi, dan berpaling menatap Pandan Wangi yang tengah memperhatikan gadis muda yang tergeletak di antara pecahan batu bekas tembok ini.

“Bagaimana? Masih bisa ditolong...?” tanya Pandan Wangi tanpa berpaling sedikit pun.

“Aku tidak yakin. Dia telah terkena pukulan bertenaga dalam tinggi, tepat di bagian pusat peredaran darahnya,” jelas Rangga, perlahan sekali suaranya.

“Oh...,” desah Pandan Wangi panjang.

TIGA

Rangga tidak bisa menolak permintaan Pandan Wangi untuk menyembuhkan luka gadis yang ditemui di antara puing-puing reruntuhan bekas Padepokan Merak Sakti. Meskipun tidak yakin akan berhasil, tapi sekuat tenaga diusahakan untuk menyembuhkannya.

Sedangkan Pandan Wangi begitu yakin kalau gadis itu bisa disembuhkan. Buktinya, dia mampu bertahan, walaupun habis terkena pukulan bertenaga dalam sangat tinggi, tepat pada bagian pusat peredaran darahnya. Padahal, biasanya orang sangat sukar untuk bisa bertahan. Kecuali, telah memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi pula. Dan itu pun masih ditambah penguasaan pengendalian hawa murni yang sudah terlatih baik.

Tapi, itu juga sangat sulit untuk bisa mengembalikannya seperti sediakala. Paling tidak, akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam pengerahan tenaga dalam. Dan yang lebih parah lagi, bisa mengakibatkan kelumpuhan. Tapi, Pandan Wangi tetap berharap gadis ini bisa pulih kembali seperti semula. Apa lagi, dia yakin betul kalau Rangga memiliki kesempurnaan dalam pengerahan tenaga dalam dan hawa murninya.

Sementara, Rangga berusaha menyembuhkan gadis yang ditemuinya. Sedangkan Pandan Wangi memeriksa keadaan sekeliling. Diperhatikannya satu persatu mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam lingkungan tembok yang menyerupai benteng ini. Tapi sampai matahari berada di atas kepala, tetap saja tidak ditemukan lagi orang yang masih bisa ditolong. Dan kebanyakan dari mereka menderita luka yang sangat parah, hingga menyebabkan kematian.

Si Kipas Maut itu kini kembali menghampiri Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tampaknya juga sudah menghentikan usahanya dalam menyembuhkan gadis itu dengan pengerahan hawa murni yang dipadu pengerahan tenaga dalam.

“Bagaimana, Kakang? Ada kemajuan...?” tanya Pandan Wangi, seraya duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Kita tunggu saja sampai besok. Kalau belum juga sadar...,” Rangga tidak melanjutkan kata-katanya.

“Tidak ada harapan...?”

Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepala saja, yang kemudian disambut hembusan napas panjang Pandan Wangi.

"Kau sudah memeriksa semuanya, Pandan?” tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

“Sudah,” sahut Pandan Wangi singkat

“Kau temukan Eyang Banaspati?” tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi menggeleng. Walaupun belum pernah mengenalnya, tapi dari ciri yang diberitahukan Rangga, Pandan Wangi tetap mencari. Hanya saja, orang yang dimaksud Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ditemukan. Dan memang, dia tidak melihat adanya seorang laki-laki tua yang seperti disebutkan Rangga padanya.

“Ayo, kita cari tempat yang lebih baik,” ajak Rangga seraya bangkit berdiri.

Pandan Wangi ikut berdiri. Sementara, Rangga mengangkat tubuh gadis yang ditemukan dan meletakkannya secara telungkup di atas punggung kudanya. Sementara, Pandan Wangi sudah menghampiri kudanya. Tapi gadis itu tidak juga menaiki kuda putihnya. Sedangkan Rangga sendiri sudah berjalan sambil menuntun kudanya, kemudian diikuti gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Kini mereka berjalan sejajar berdampingan.

Mereka terus berjalan sambil menuntun kuda masing-masing, keluar dari Padepokan Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Sementara suasana di luar juga masih tetap sunyi seperti tadi, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Tapi kesunyian itu sudah tidak lagi membuat khawatir, karena mereka sudah yakin kalau tidak ada seorang pun yang akan dijumpai lagi.

Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan Padepokan Merak Sakti, mendadak saja terlihat sebuah bayangan berkelebat menyeberang jalan ini, tidak jauh di depannya. Dan kebetulan, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang melihatnya.

“Kau tunggu di sini, Pandan,” ujar Rangga cepat-cepat.
“Heh...?!”
“Hup!”

Belum juga Pandan Wangi bisa mengucapkan sesuatu, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Pandan Wangi mengambil tali kekang kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu tidak berani melanggar pesan Rangga, sehingga tetap berada di tengah-tengah jalan sambil memegangi tali kekang kedua ekor kuda tunggangan mereka.

********************

Sementara itu, Rangga sudah bisa melihat seorang laki-laki berlari menuju hutan di kaki Bukit Merak ini dengan kecepatan tinggi. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja menggenjot tubuhnya. Kini, dia bagaikan terbang saja saat mengejar orang itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah cukup dekat dengan orang itu. Dan....

“Hup...!”

Sungguh sangat ringan dan cepat lompatan Rangga, hingga bisa melewati kepala orang yang dikejarnya. Lalu, begitu manis Pendekar Rajawali Sakti mendarat di depan buruannya.

“Berhenti...!”
“Oh...?!”

Orang itu tampak terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba di depannya menghadang seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih, dengan sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggung. Seketika itu juga, larinya langsung dihentikan.

“Jangan lari, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu,” ujar Rangga.

“Siapa kau? Aku tidak mengenalmu...,” terdengar bergetar suara pemuda itu.

“Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini,” sahut Rangga menjelaskan. “Dan kau siapa?”

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dengan bola matanya yang bersinar tajam, diamatinya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan, dia tengah mencari kebenaran dari jawaban Rangga barusan. Hati-hati sekali sikapnya, ketika kepalanya berpaling ke belakang. Tapi, tidak ada seorang pun yang dilihatnya. Kemudian kembali dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri sekitar satu batang tombak di depan.

“Kau pasti bukan penduduk Desa Bangkalan ini,” tebak pemuda itu lagi.

“Memang. Aku datang dari jauh, dan kebetulan saja lewat di desa ini. Tapi aku merasa heran, karena tidak menemui seorang pun di sini. Baru kau saja yang kutemui, Kisanak,” jelas Rangga, tenang.

“Lalu..., siapa temanmu itu?” tanya pemuda itu lagi.

“Dia teman seperjalananku,” sahut Rangga, langsung teringat Pandan Wangi yang ditinggalkannya bersama seorang gadis yang masih belum sadarkan diri.

“Dan yang terbaring di punggung kuda...?” tanyanya lagi.

Rangga tersenyum mendengar pertanyaan yang beruntun itu. Disadari kalau pemuda itu pasti sudah mengamatinya sejak tadi. Tapi, tampaknya dia tidak tahu kalau gadis yang terbaring pingsan di punggung kuda itu ditemukannya di Padepokan Merak Sakti yang ada di Desa Bangkalan ini.

“Aku tidak tahu namanya. Dia kutemukan dalam keadaan terluka parah di antara mayat-mayat yang ada di dalam Padepokan Merak Sakti,” sahut Rangga baru menjelaskan, setelah melangkah beberapa tindak mendekati pemuda itu.

“Kau.... Kau sudah masuk ke sana...?” Pemuda itu tampak terkejut mendengar penjelasan Rangga barusan.

“Benar, kenapa...?”

“Kau pasti salah seorang dari mereka!”

Kali ini suara pemuda itu terdengar bergetar agak tertahan. Bahkan wajahnya pun jadi memerah, meregang kaku. Kedua bola matanya tampak berkilatan, bersinar tajam menatap langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya. Sedangkan kedua tangannya langsung terkepal, menampakkan urat-urat kejantanannya yang membiru dan menonjol. Sementara, Rangga agak terkejut juga melihat perubahan sikap pemuda itu, setelah menjelaskan tentang gadis yang ditemuinya di dalam Padepokan Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Dan belum sempat Pendekar Rajawali Sakti berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja....

“Kau harus mampus, Iblis Keparat! Hiyaaat..!”

“Heh...?! Tunggu...!”

Tapi, pemuda yang belum menyebutkan namanya itu sudah lebih cepat melompat menyerang. Langsung dilepaskannya pukulan beruntun beberapa kali dengan cepat sekali. Mendapat serangan mendadak ini, membuat Rangga terpaksa harus melompat mundur sambil meliukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gencar pemuda ini.

“Hap!”

Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang memang hanya digunakan untuk menghindar. Dengan jurus ini, tidak mudah bagi lawan untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti, meskipun gerakan-gerakan yang dilakukan seperti tidak beraturan sama sekali. Bahkan seperti orang yang kebanyakan minum arak.

Sampai sejauh ini, serangan-serangan gencar yang dilancarkan pemuda itu tidak juga berhasil mendapatkan sasaran tepat. Semuanya dapat mudah dimentahkan Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan menggunakan satu jurus saja.

“Tunggu dulu, Kisanak. Kenapa kau menyerangku...?”

Rangga berusaha menghentikan serangan-serangan pemuda itu, tapi sama sekali tidak dihiraukan. Bahkan pemuda yang tidak dikenalnya itu semakin gencar melancarkan serangan. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang semakin terasa dahsyat saja.

“Ups..!”

Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan pemuda itu menghantam dada. Untungnya, Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti cepat memberi satu sodokan tangan kiri ke arah perut. Begitu cepat sodokan yang diberikan, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi menghindar. Dan...

Desss!
“Ugkh...!”

Pemuda itu kontan mengeluh pendek. Dan tubuhnya jadi terbungkuk, terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kanannya langsung mendekap perut yang terkena sodokan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Rangga sudah melompat cepat, sukar diikuti pandangan mata biasa. Lalu, dengan cepat pula dilepaskannya satu totokan yang disertai pengerahan tenaga dalam ke tubuh pemuda itu.

Tukkk!
“Akh...!”

Pemuda itu sempat terpekik kecil, lalu tubuhnya langsung ambruk begitu jalan darahnya tertotok. Rangga bergegas menghampiri. Sementara pemuda itu sudah tergeletak tak bertenaga lagi, begitu jalan darahnya tertotok.

“Maaf, aku terpaksa melumpuhkanmu sementara,” ucap Rangga buru-buru.

“Phuih...!” pemuda itu menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sinar matanya menyorot begitu tajam, memancarkan kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti.

Walaupun tahu, tapi Rangga tidak membalas sorot mata penuh kebencian itu. Bahkan diberikannya senyuman yang lembut penuh persahabatan. Sikap lembut Pendekar Rajawali Sakti ini membuat pemuda itu jadi keheranan juga. Terlebih lagi pemuda tampan berbaju rompi putih itu tidak membunuhnya, tapi hanya menotok jalan darahnya saja. Sehingga, seluruh tenaganya lenyap seketika. Dan kini, tubuhnya bagaikan tidak memiliki tulang lagi. Begitu lemas, sampai sulit digerakkan.

“Kenapa kau tidak membunuhku...?!” dengus pemuda itu bertanya.

“Aku bukan pembunuh, Kisanak,” sahut Rangga tetap kalem, tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun juga.

Sementara, pemuda itu terus memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata yang kini berubah memancarkan rasa curiga dan penuh selidik. Tapi, Rangga tetap saja tersenyum.

Saat itu, terdengar suara langkah kaki kuda dan langkah kaki ringan. Rangga berpaling sedikit ke arah datangnya suara yang didengarnya. Kini, tampaklah Pandan Wangi datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda. Dan di atas punggung kuda Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti tampak tertelungkup seorang gadis bertubuh kecil mungil dengan kulit sangat putih dan halus. Sangat pas dengan warna pakaian yang dikenakannya, walaupun pakaiannya tercemar bercak-bercak darah.

Pandan Wangi baru berhenti setelah dekat di belakang Rangga yang berjongkok di samping kanan pemuda yang dikejarnya tadi. Dan sekarang, pemuda itu tergeletak lumpuh tak berdaya sama sekali, setelah mendapat totokan yang cukup kuat dari Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi sambil menatap pemuda yang masih tergeletak tak berdaya di tanah.

Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit “Kau belum memperkenalkan namamu, Kisanak,” ujar Rangga.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku! Yang penting sekarang, kau harus enyah dari sini secepatnya!” kasar sekali nada suara pemuda itu.

“Kau masih terus mencurigaiku, Kisanak. Padahal, aku sudah menjelaskan siapa diriku yang sebenarnya. Aku sama sekali tidak bermaksud jahat padamu. Bahkan merasa heran dengan keadaan di desa ini. Ketahuilah, Kisanak. Aku dan Pandan Wangi selalu berusaha membela yang lemah,” kembali Rangga menjelaskan dengan gamblang.

“Benar, Kisanak. Kalau kau mau memberi tahu peristiwa yang telah terjadi di desa ini, barangkali saja kami bisa membantumu. Syukur kalau bisa memulihkan keadaan seperti sediakala,” selak Pandan Wangi menyambung ucapan Rangga.

“Kalian benar-benar bukan orang jahat..? Bukan salah satu dari mereka?”

Tampaknya pemuda itu masih juga belum percaya. Dan dia masih ingin memastikan kalau kedua orang yang tidak dikenalnya itu memang benar-benar bukan orang jahat. Bahkan bisa membantu memulihkan keadaan di Desa Bangkalan yang terasa begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya.

Cukup lama juga pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian, seakan-akan masih juga diliputi keraguan. Hatinya ingin diyakini, tapi tidak tahu cara yang benar untuk menunjukkannya. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan. Kemudian, terlihat kepala mereka menggeleng perlahan beberapa kali.

“Aku akan membebaskan totokanmu, Kisanak,” ujar Rangga.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung membebaskan totokannya pada pusat aliran jalan darah pemuda itu. Sebentar saja, pemuda yang belum diketahui namanya itu sudah bisa menggeliat. Kemudian, dia bergegas bangkit berdiri. Kakinya lalu ditarik dua langkah ke belakang. Sejenak ditatapnya Rangga, kemudian beralih pada gadis yang masih tertelungkup di punggung kuda hitam Dewa Bayu.

“Hm.... Apakah dia Lastri...?” gumam pemuda itu. Nada suaranya sepreti bertanya pada diri sendiri.

“Aku tidak tahu, Kisanak. Dia kutemukan terluka sangat parah. Bahkan sampai kini belum juga sadarkan diri,” jelas Rangga, tanpa diminta.

Kembali pemuda itu memandang Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kakinya melangkah menghampiri gadis yang masih pingsan, tertelungkup di punggung kuda Dewa Bayu. Memang sulit mengenalinya, karena wajahnya tidak terlihat sedikit pun juga. Kini diangkatnya sedikit kepala gadis itu, hingga wajahnya dapat terlihat cukup jelas. Seketika itu juga, matanya terbeliak sambil terpekik kecil.

“Kenapa kau, Kisanak?” tanya Rangga seraya cepat menghampiri.

“Benar.... Dia Lastri. Putri Eyang Banaspati,” jelas pemuda itu seraya memutar tubuhnya. Kini dia menghadap langsung pada Pendekar Rajawali Sakti. “Di mana kalian menemukannya?”

“Di reruntuhan padepokan Eyang Banaspati,” sahut Rangga.

“Di sana juga banyak mayat,” sambung Pandan Wangi.

Tampak jelas kalau wajah pemuda itu langsung memucat mendengar penjelasan kedua pendekar muda ini. Perlahan kakinya ditarik ke samping, menjauhi Rangga dan kuda hitam Dewa Bayu.

“Kenapa, Kisanak? Kenapa wajahmu jadi pucat begitu...?” tanya Rangga, keheranan.

“Kalian akan mendapat celaka bila menolongnya. Sebaiknya, kalian pergi saja dari sini dan tinggalkan dia...,” terdengar bergetar suara pemuda itu.

“Kisanak! Sejak tadi kau bersikap aneh. Dan kata-katamu juga tidak bisa kumengerti. Kenapa kau berkata begitu? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sini, hingga membuatmu tampak begitu ketakutan?” tanya Rangga meminta penjelasan.

Tapi pemuda itu tidak langsung menjawab. Dipandanginya Rangga beberapa saat, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, pandangannya pun berganti pada gadis bernama Lastri yang masih tertelungkup tidak sadarkan diri di punggung kuda hitam Dewa Bayu. Kembali ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang masih memandanginya, menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Namaku Jalakpati. Aku sebenarnya juga bukan penduduk desa ini. Kedatanganku ke sini justru untuk menuntut ilmu pada Eyang Banaspati yang mengetuai Padepokan Merak Sakti. Tapi, Eyang Banaspati tidak langsung menerimaku dan ingin menguji dulu. Aku diminta menunggu untuk beberapa waktu. Entah untuk berapa lama harus menunggu, maka kuputuskan untuk tetap berada di desa ini sampai Eyang Banaspati bersedia menemuiku lagi. Tapi...,” pemuda yang mengenalkan diri sebagai Jalakpati itu menghentikan kata-katanya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya terdiam saja memandangi. Mereka menunggu kelanjutan cerita pemuda itu.

EMPAT

Lama juga Jalakpati terdiam, tanpa melanjutkan ceritanya tentang Desa Bangkalan yang kini sudah tak berpenghuni lagi. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih sabar menunggu. Sedikit pun kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tidak mengeluarkan suara. Namun pandangan mata mereka tertuju langsung pada Jalakpati, dan berharap agar ceritanya dilanjutkan.

“Aku tidak tahu, sudah berapa hari tinggal di Desa Bangkalan ini. Tapi, Eyang Banaspati belum juga memanggilku. Hingga suatu hari kudengar ada salah seorang muridnya berusaha membangkang. Dan akhirnya, dia tewas ketika mencoba melarikan diri,” sambung Jalakpati setelah cukup lama membisu.

“Dibunuh...?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Entahlah. Tapi yang kudengar, dia tewas secara aneh begitu hampir sampai di Puncak Bukit Merak, Hanya Lastri dan kedua pamannya saja yang menemukan mayatnya, dan membawanya pulang ke padepokan. Tapi berselang satu hari, terjadi musibah besar yang menimpa padepokan itu. Seluruh murid Padepokan Merak Sakti tewas. Bahkan kedua paman Lastri pun ikut tewas juga. Tidak ada yang tahu, siapa yang membantai mereka semua...,” terdengar menggantung suara Jalakpati saat memberi keterangan.

“Lalu, kenapa Desa Bangkalan ini ditinggalkan penduduknya?” selak Pandan Wangi, bertanya.

“Setelah Padepokan Merak Sakti hancur, satu persatu ada saja yang tewas secara mengerikan. Hingga, penduduk memutuskan untuk pergi dari desa ini. Maka tidak sampai setengah hari, desa ini sudah kosong sama sekali. Tinggal aku yang masih tetap bertahan. Dan semua yang terjadi ingin kuselidiki,” sahut Jalakpati.

Sementara itu Rangga hanya diam saja. Keningnya terlihat berkerut, seakan tengah memikirkan sesuatu. Atau barangkali sedang menyimak semua yang telah diceritakan Jalakpati. Memang terasa aneh sekali semua peristiwa yang terjadi di Desa Bangkalan ini. Begitu cepatnya pembunuhan-pembunuhan itu terjadi, hingga mengakibatkan Desa Bangkalan ini ditinggalkan penghuninya hanya dalam waktu kurang dari setengah hari.

Bahkan sebuah padepokan yang sudah terkenal pun ikut hancur dalam waktu sebentar saja. Inilah yang membuat Rangga jadi tidak mengerti. Apalagi, dia tahu betul kalau Eyang Banaspati bukanlah orang sembarangan yang begitu mudah dapat dikalahkan. Demikian pula murid-muridnya yang rata-rata berkepandaian cukup tinggi. Rasanya sulit dipercaya kalau sebuah padepokan yang begitu kuat dan terkenal bisa runtuh hanya dalam waktu sebentar saja.

Saat itu, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Mereka langsung berpaling ke arah suara. Di sana terlihat debu mengepul membubung tinggi ke angkasa. Tak berapa lama kemudian, terlihat beberapa penunggang kuda yang berpacu cepat ke arah mereka.

Penunggang-penunggang kuda itu terus saja memacu cepat kudanya. Seakan-akan tidak melihat ada tiga orang berdiri di tepi jalan. Tanpa berpaling sedikit pun, mereka terus saja melewati Jalakpati dan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Sebentar saja, penunggang-penunggang kuda itu sudah jauh melewati mereka. Debu terus mengepul mengikuti sepanjang jalan yang dilalui penunggang-penunggang kuda itu.

“Siapa mereka...?” tanya Pandan Wangi Nada suaranya terdengar menggumam, seperti bertanya pada diri sendiri.

Tak ada seorang pun yang menjawab. Sementara Rangga dan Jalakpati terus memandangi empat orang penunggang kuda yang sudah jauh, dan tidak terlihat lagi karena tertutup kepulan debu tebal yang tersepak kaki-kaki kuda.

“Kelihatannya mereka hendak ke Bukit Merak...,” ujar Rangga setengah menggumam.

“Benar! Mereka memang hendak ke sana,” sahut Jalakpati, juga terdengar pelan suaranya.

Rangga berpaling menatap pemuda itu. Dan yang dipandangi terus mengarahkan pandangan matanya ke Bukit Merak. Sementara, empat orang penunggang kuda yang melewati mereka sudah tidak terlihat lagi, namun debu masih terlihat mengepul di angkasa. Demikian pula suara kaki kuda yang dipacu cepat, juga sudah tidak terdengar lagi. Jalakpati baru mengalihkan pandangannya setelah debu yang mengepul sudah tidak terlihat lagi. Dan kini, tatapan matanya langsung bertemu sorot mata Rangga yang sejak tadi terus memandangi.

“Sejak Padepokan Merak Sakti hancur, dan Desa Bangkalan ini tidak lagi berpenghuni, sudah ada kira-kira sepuluh orang datang ke Bukit Merak,” jelas Jalakpati, tanpa diminta lagi.

“Mau apa mereka datang ke sana?” tanya Pandan Wangi.

Jalakpati tidak menjawab, dan hanya mengangkat pundaknya saja sedikit. Sementara itu, matahari terus merayap turun ke kaki langit sebelah barat. Kini mereka tidak bicara lagi. Entah apa yang ada di dalam benak kepala merka masing-masing saat ini. Sedangkan Rangga sudah memeriksa salah sebuah rumah, lalu membawa masuk Lastri ke dalam rumah itu. Pandan Wangi mengikuti dari belakang.

Sedangkan Jalakpati mengurus kuda-kuda kedua pendekar muda itu tanpa diminta lagi. Sebentar lagi, malam akan datang. Dan mereka memang membutuhkan tempat untuk bermalam yang kebetulan tidak sulit mendapatkannya. Karena, rumah-rumah di desa ini sudah tidak berpenghuni lagi, sehingga mereka bisa menempatinya untuk sementara sambil menunggu malam.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Sepanjang malam Rangga tidak bisa memejamkan mata sedikit pun, karena tengah berusaha menyembuhkan luka dalam yang diderita Lastri. Tapi gadis itu masih juga belum sadarkan diri. Sementara, Pandan Wangi terus setia menunggu, dan sesekali membantu kalau diminta. Sedangkan Jalakpati tertidur lelap, seakan tidak peduli dengan apa yang dilakukan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.

Hingga pagi datang menjelang, Pendekar Rajawali Sakti masih juga belum bisa memejamkan matanya barang sekejap pun. Sedangkan Pandan Wangi sudah terbaring tidur di samping pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Ranggga terus memperhatikan Lastri yang masih terbaring belum sadarkan diri di depannya.

“Bagaimana...?”
“Oh...?!”

Rangga agak terkejut juga ketika tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kanannya. Cepat mukanya berpaling, dan tersenyum begitu melihat Jalakpati sudah berada dekat di sebelah kanannya. Saat itu, Pandan Wangi menggeliat dan membuka matanya. Gadis itu bangkit, lalu duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Jalakpati tetap berdiri di sebelah lain dari Pendekar Rajawali Sakti. Mereka sama-sama memandang gadis berwajah cukup cantik dan bertubuh kecil mungil yang terbaring tidak sadarkan diri di atas balai-balai bambu beralaskan selembar tikar daun pandan.

“Aliran jalan darahnya sudah mulai seperti biasa kembali. Dan pernapasannya juga sudah tidak terganggu. Tapi matanya belum juga mau terbuka,” kata Rangga memberi tahu. Suaranya terdengar perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.

“Sudah kau periksa lagi, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Sudah,” sahut Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Mungkin ada kesalahan...,” selak Jalakpati.

“Entahlah...,” sahut Rangga mendesah. “Coba kau yang periksa.”

Rangga menggeser duduknya, memberi tempat pada Jalakpati. Pemuda itu kemudian duduk di tempat duduk Rangga tadi. Sebentar dipandanginya Lastri yang masih terbaring diam. Kemudian tangannya bergerak ke atas tubuh gadis itu. Seketika, jari-jari tangannya lincah sekali bergerak memberi pijatan-pijatan ke tubuh Lastri.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja memperhatikan. Sedangkan jari-jari tangan Jalakpati tampak sudah berhenti bergerak di atas perut Lastri. Kening pemuda itu jadi berkerut Kemudian, wajahnya berpaling menatap Rangga sambil menarik kembali tangannya dari perut Lastri yang masih tetap terbaring diam dengan tarikan napas teratur lembut.

“Ada apa?” tanya Rangga.

“Pusat pengerahan hawa murninya tertutup. Dia tidak akan mungkin bisa sadar kalau belum dibuka,” sahut Jalakpati.

“Oh...?!”

Rangga tersentak kaget. Hal itu benar-benar tidak disadari. Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak memeriksa sampai ke sana. Cepat dua ujung jari tangannya ditekan ke perut Lastri. Keningnya jadi berkerut, lalu perlahan menarik kembali jari tangannya. Dipandanginya Jalakpati dan Pandan Wangi bergantian.

“Kenapa, Kakang...?” tanya Pandan Wangi.

“Aku tidak yakin bisa membuka kembali aliran pusat pengerahan hawa murninya. Sudah terlalu lama tersumbat. Dan...,” Rangga tidak meneruskan.

“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi, ingin lebih tahu.

“Orang yang melakukannya memiliki tenaga dalam tingkat sempurna. Aku tidak tahu, apakah pengerahan tenaga dalamku bisa menandinginya,” sahut Rangga lagi, dengan nada suara terdengar agak mengeluh.

“Coba saja, Kakang,” desak Pandan Wangi.

Gadis yang dikenal berjuluk Kipas Maut itu sangat yakin kalau Rangga bisa melakukannya. Dia tahu, tingkat pengerahan tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai tingkat sempurna. Dan dia percaya, Rangga mampu membukanya kembali.

“Terlalu besar akibatnya, Pandan,” ujar Rangga sedikit mendesah.

“Kenapa?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Kalau memang berhasil, dia akan sembuh seperti semula. Tapi kalau tidak..., aku tidak bisa lagi menjamin keselamatannya,” sahut Rangga menjelaskan.

Pandan Wangi terdiam. Langsung disadarinya kesulitan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti saat ini. Memang tidak mudah membuka kembali pusat pengerahan hawa mumi jika sudah tersumbat oleh kekuatan tenaga dalam yang sudah sempurna tingkatannya. Paling tidak harus ada orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam lebih tinggi lagi untuk bisa memulihkannya. Sedangkan saat ini, mereka tidak ada yang tahu, sampai di mana orang itu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menyumbat pusat pengerahan hawa mumi di tubuh Lastri.

Dan mereka juga belum tahu, siapa orang yang telah berbuat seperti ini. Padahal Rangga yang tingkat tenaga dalamnya sudah mencapai titik sempurna saja, masih belum yakin bisa membuka sumbat itu. Sementara, Jalakpati yang menyadari kekuatan tenaga dalamnya, tidak berani lagi mencoba.

Disadari akan bahaya yang mungkin akan dihadapi. Dan tentu saja, mereka tidak ingin Lastri tewas hanya karena cara pengobatan yang tidak berhasil. Saat ini, mereka memerlukan keterangan gadis itu untuk mengetahui latar belakang dari semua peristiwa yang terjadi di Desa Bangkalan dan Padepokan Merak Sakti.

Dan di sisi lain, mereka juga ingin tahu orang yang telah membantai habis murid-murid Padepokan Merak Sakti. Bahkan sampai membuat semua orang di Desa Bangkalan ini meninggalkan desa untuk mencari keselamatan diri. Karena, orang itu ternyata juga membantai tidak sedikit penduduk desa yang sama sekali tidak tahu apa-apa.

“Aku akan coba melepaskan sumbatan itu. Tapi, tolong kalian bantu kalau sudah kuberi tanda,” ujar Rangga.

“Aku siap, Kakang,” sambut Pandan Wangi cepat
“Aku juga,” sambung Jalakpati.
“Cukup...!”

Rangga langsung melepaskan kedua telapak tangannya dari punggung Lastri. Dan tanpa menggerakkan tubuhnya sedikit pun juga, Pendekar Rajawali Sakti menggeser duduknya ke samping. Sementara, Lastri langsung jatuh terkulai begitu telapak tangan Rangga terlepas dari punggungnya. Cepat-cepat Rangga menyangga, lalu membaringkannya perlahan-lahan.

Pandan Wangi dan Jalakpati yang tadi berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti, juga segera menggeser duduknya. Mereka tetap duduk bersila, mengambil sikap bersemadi. Mereka memang harus memulihkan kembali kekuatan tenaga dalamnya, setelah tadi membantu Rangga membuka sumbatan pada aliran penyaluran hawa murni di tubuh Lastri.

Sementara, Rangga kini juga sudah bersemadi, walaupun hanya sebentar saja. Pendekar Rajawali Sakti turun dari balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar daun pandan ini. Dia terus berjalan ke pintu, dan berdiri di sana sambil memandang ke luar. Sedikit kepalanya berpaling, menatap Pandan Wangi dan Jalakpati yang masih bersemadi. Kembali pandangannya diarahkan ke depan, menatap matahari yang saat ini sudah naik cukup tinggi.

“Sudah selesai semadinya...?” tanya Rangga begitu telinganya mendengar suara dari belakang.

“Sudah,” terdengar suara Pandan Wangi yang menyahuti.

“Kemarilah, Pandan,” pinta Rangga tanpa memalingkan wajah sedikit pun juga.

Pandan Wangi turun dari balai-balai bambu, kemudian melangkah menghampiri Rangga yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Dia berhenti melangkah setelah sampai di samping sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Jalakpati juga sudah selesai bersemadi. Tapi, pemuda itu masih tetap duduk di atas balai-balai bambu. Ditunggunya Lastri yang juga belum sadarkan diri.

“Ada apa?” tanya Pandan Wangi.

“Kau lihat di atas Bukit Merak itu...,” sahut Rangga seraya menunjuk ke atas puncak Bukit Merak.

Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke sana. Beberapa saat, ditatapnya puncak Bukit Merak yang masih sedikit terselimuti kabut. Perlahan kemudian kepalanya bergerak berpaling, dan menatap Rangga yang masih memandang ke arah puncak Bukit Merak.

“Apa yang kau lihat di sana?” tanya Rangga seperti menguji.

“Tidak ada apa-apa di sana, kecuali kabut,” sahut Pandan Wangi.

“Kau merasakan sesuatu?” tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja, walaupun Rangga tidak mengalihkan sedikit pun pandangan dari puncak Bukit Merak. Dan sudah pasti Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat gelengan kepala Pandan Wangi. Malah, perhatiannya begitu lekat sekali ke arah puncak Bukit Merak. Pandan Wangi jadi mengerutkan keningnya. Malah kelopak matanya jadi menyipit, melihat Rangga begitu seksama memandang ke arah puncak bukit. Mau tak mau gadis itu harus kembali mengarahkan pandangan ke sana. Tapi, memang tidak ada apa-apa yang bisa dilihat, kecuali kabut yang masih sedikit menyelimuti puncak bukit itu.

“Kau tahu, Pandan Wangi... Sejak kemarin, aku sudah merasakan adanya getaran aneh di hatiku. Dan getaran itu semakin terasa, waktu mencoba mengobati Lastri tadi, dengan bantuanmu dan Jalakpati. Getaran itu terus terasa dan semakin kuat. Aku merasakan getaran itu datang dari sana,” kata Rangga sambil menunjuk puncak Bukit Merak.

“Getaran apa yang kau rasakan, Kakang?” tanya Pandan Wangi jadi tertarik juga.

Gadis itu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan sesuatu di hatinya, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Getaran hati Rangga begitu kuat. Dan biasanya, merupakan suatu pertanda bagi Pendekar Rajawali Sakti. Entah pertanda baik, atau buruk. Tapi yang jelas, apa yang dirasakan hati Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi tidak bisa menganggap remeh.

“Sebuah malapetaka besar akan terjadi tidak lama lagi...,” gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

“Malapetaka apa, Kakang...?” tanya Pandan Wangi agak bergetar.

“Ka....”

Baru saja Rangga hendak membuka suaranya, mendadak saja....

“Khraaagkh...!”
“Oh...?!”

Pandan Wangi jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak menggelegar yang begitu keras. Begitu kerasnya, hingga rumah yang mereka tempati jadi bergetar. Bahkan bumi yang dipijak pun jadi bergetar bagai diguncang gempa. Pandan Wangi langsung mendongakkan kepala ke atas. Dia tahu, tadi itu suara Rajawali Putih, seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan burung raksasa itu juga guru pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

Jeritan Rajawali Putih yang terdengar begitu keras tadi, membuat Jalakpati jadi terlompat turun dari atas balai-balai bambu. Bergegas dihampirinya Rangga dan Pandan Wangi yang berada di ambang pintu. Pemuda itu berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Suara apa itu?” tanya Jalakpati.

Pandan Wangi yang baru saja membuka mulutnya hendak menjawab, jadi langsung terdiam melihat lirikan mata Rangga yang begitu tajam padanya. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti tidak mengizinkannya memberi tahu tentang Rajawali Putih pada sembarang orang. Terlebih lagi, pada orang yang belum begitu dikenal dengan baik.

“Akan kuperiksa. Kalian tunggu saja di sini sampai aku kembali,” ujar Rangga.

“Kakang....”

Pandan Wangi cepat mencekal tangan Rangga yang sudah melangkah tiga tindak, keluar dari rumah ini. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya, dan berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang masih saja memegangi pergelangan tangannya. Periahan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu melepaskan cekalannya pada tangan Rangga.

“Hati-hati...,” hanya itu yang bisa diucapkan Pandan Wangi.

Entah kenapa, mendadak saja Pandan Wangi merasakan hatinya jadi gelisah. Boleh dibilang begitu khawatir pada Pendekar Rajawali Sakti ini. Padahal selama mengenal pemuda itu, belum pernah sedikit pun terselip rasa khawatir. Dia begitu yakin terhadap kemampuan yang dimiliki Rangga. Tapi, kali ini begitu lain. Hatinya benar-benar mencemaskan Pendekar Rajawali Sakti.

“Jagalah Lastri. Tidak lama lagi dia akan siuman,” ujar Rangga seraya menepuk pundak Pandan Wangi.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Pandan Wangi selain menganggukkan kepala. Sementara, Rangga sudah melangkah lebar-lebar, menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon kenanga. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu.

“Hiyaaa...!”

Sekali sentak saja, Dewa Bayu sudah melesat begitu cepat, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang berpacu secepat kilat. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja Dewa Bayu sudah tidak terlihat lagi. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul, membubung tinggi ke angkasa.

********************

LIMA

Rangga terus memacu cepat kudanya, menyusuri lereng Bukit Merak yang penuh ditumbuhi pepohonan. Meskipun tumbuh begitu lebat, tapi pepohonan itu tidak menghalangi Pendekar Rajawali Sakti memacu cepat kudanya. Demikian pula Dewa Bayu yang juga tidak merasa kesulitan untuk berlari cepat, walaupun berada di dalam hutan yang sangat lebat

“Hooop...!”

Rangga baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di sebuah padang rumput kecil, di lereng bukit ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan manis dan indah sekali. Kembali pandangannya beredar, lalu perlahan melangkah. Kudanya ditinggalkan di tepi padang rumput yang ada di lereng Bukit Merak ini.

“Hm...” Rangga menggumam perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah setelah tiba di tengah-tengah padang rumput yang tidak begitu besar di lereng Bukit Merak ini. Perlahan kepalanya bergerak menengadah ke atas. Tak ada yang dapat dilihat di atas sana, kecuali awan saja yang berarak di langit.

“Hm...,” kembali Rangga menggumam kecil. Dan begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak saja....

Wusss!
“Upts...!”

Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke depan. Bahkan tangan kirinya langsung bergerak mengibas cepat sekali begitu matanya melihat sebuah benda berbentuk anak panah meluncur begitu cepat ke arahnya.

Tap!

Sebatang anak panah manis sekali berhasil ditangkap tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar diamatinya anak panah yang sangat sederhana buatannya itu. Hanya dibuat dari batangan kayu biasa, tanpa sedikit pun terlihat keistimewaannya. Dan anak panah itu biasa digunakan untuk berburu di dalam hutan.

Srek!

Pada saat Rangga tengah memperhatikan anak panah dalam genggaman tangan kirinya, mendadak saja telinganya mendengar suara bergemeresik tidak jauh dari sebelah kanan. Dan begitu tubuhnya berputar....

“Hiyaaat..!” “Uts!”

Begitu cepat dan manis Rangga meliuk, ketika tiba-tiba saja diserang oleh seseorang yang muncul dari dalam semak belukar, dengan sebilah pedang berukuran panjang dan lebar.

Wukkk!

Hanya sedikit saja pedang itu lewat di depan dada Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Tapi belum juga ayunan kakinya sempat dihentikan, mendadak saja dari arah lain muncul dua orang bersenjata pedang yang ukuran dan bentuknya sama dengan yang pertama muncul tadi. Tapi, salah seorang dari mereka membawa sekantung anak panah yang tersampir di punggung.

“Haiiit..!”

Rangga cepat merunduk begitu sebatang pedang yang berukuran sangat panjang dan lebar berkelebat begitu cepat dari arah kanan. Dan sabetan pedang itu dapat dihindari Rangga dengan kelitan indah dan ringan sekali.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Hampir bersamaan, ketiga laki-laki yang sudah berusia separuh baya itu bergerak menyerang. Pedang mereka berkelebatan begitu cepat, terarah langsung ke bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Dan begitu pedang-pedang hampir menyambar tubuhnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke angkasa. Dengan demikian, ketiga pedang tidak sampai mengenai sasaran. Sementara setelah Rangga berputaran beberapa kah di udara, langsung saja meluruk turun. Seketika kakinya menjejak tanah dengan indah dan sangat ringan, di luar kepungan tiga orang laki-laki separuh baya yang mengeroyoknya secara bersamaan.

“Tunggu...!” sentak Rangga begitu ketiga orang itu hendak menyerang kembali.

Mereka yang sudah bergerak hendak mendekati Pendekar Rajawali Sakti, langsung berhenti begitu mendengar bentakan yang begitu keras menggelegar. Sementara, Rangga berdiri tegak dengan sikap waspada.

“Siapa kalian?! Kenapa menyerangku tanpa alasan...?” tanya Rangga heran.

Tapi ketiga orang yang semuanya memegang pedang itu tidak menjawab. Bahkan dengan cepat sekali berlompatan mengepung dari tiga jurusan, langsung menyerang dengan babatan pedang secara bergantian.

“Haiiit..!”

Cepat Rangga mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari serangan-serangan yang datang begitu cepat dan beruntun dari tiga jurusan. Tiga batang pedang berkilatan tajam, berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Beberapa kali Rangga meminta ketiga orang itu menghentikan serangannya, tapi sedikit pun tidak dipedulikan. Mereka terus saja menyerang dengan jurus-jurus cepat secara bergantian. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi geram. Namun, Pendekar Rajawali Sakti masih bisa mengendalikan diri. Dan dia tetap berusaha menghindar tanpa memberi serangan balasan sedikit pun juga.

“Ups...!”

Hampir saja babatan pedang salah seorang lawan menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja kepalanya cepat-cepat ditarik ke belakang. Dan belum juga kepalanya bisa ditegakkan kembali, satu serangan susulan dari arah kiri sudah melayang ke arahnya.

“Hup!”

Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Maka cepat-cepat dia melompat ke depan. Dan seketika itu juga, tangan kirinya bergerak cepat. Dan tahu-tahu, mata pedang orang itu sudah terjepit di antara dua ujung jari Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, dengan kecepatan yang sangat luar biasa, Rangga menghentakkan tangan kanannya. Langsung diberikannya satu sodokan yang begitu keras dan cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

“Hih!”
Desss!
“Ugkh...!”

Orang itu kontan mengeluh pendek, dan langsung terhuyung ke belakang. Tapi belum juga keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, Rangga sudah kembali bergerak cepat Sambil berputar, dilayangkannya satu tendangan yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, sehingga orang itu tidak sempat lagi menghindar. Dan....

“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”

Satu jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat, diiringi terpentalnya tubuh orang itu ke belakang sejauh tiga batang tombak. Pedangnya juga terlepas dari genggaman tangan, namun masih berada dalam jepitan dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hih!”

Rangga menjentikkan jari tangan yang menjepit pedang lawan. Maka, seketika pedang itu terpental ke arah pemiliknya. Begitu cepat pedang itu meluncur, hingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Dan...

Crab!
“Aaa...!”

Kembali terdengar satu jeritan panjang yang begitu menyayat dan melengking tinggi. Rupanya, pedang yang dilontarkan Rangga menancap tepat di tengah-tengah dada orang itu. Hanya sebentar saja orang itu mampu menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Sementara, dua orang lagi yang melihat temannya tewas tertikam pedangnya sendiri, jadi terlongong bengong. Seakan-akan mereka tidak percaya dengan apa yang terlihat.

Begitu gencar mereka menyerang, tapi pemuda yang diserang malah bisa membunuh satu orang dari mereka. Kini, perlahan-lahan Rangga memutar tubuhnya berbalik. Kedua tangannya tempat di depan dada dengan sorot mata begitu tajam menatap dua orang yang berdiri berdampingan di depannya.

“Hm…,” gumam Rangga periahan, begitu melihat dua orang itu bergerak menyebar ke samping.

Pedang mereka melintang di depan dada dengan tatapan mata begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kaki-kaki mereka bergerak menggeser ke samping, hingga berada tepat di samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dengan ujung ekor matanya, diamatinya setiap gerak yang dilakukan dua orang yang tidak dikenalnya ini.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”

Hampir bersamaan, kedua orang itu berlompatan menyerang sambil cepat sekali mengebutkan pedangnya. Namun, Rangga kelihatan seperti menunggu saja serangan itu datang. Dan begitu kedua orang itu sudah dekat, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti bergerak berputar dengan kedua tangan terentang ke samping.

“Yeaaah...!”

Saat itu juga, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat gerakannya sehingga sulit diikuti mata biasa. Dan tahu-tahu, kedua orang yang menyerangnya itu menjerit keras. Tubuhnya kontan terpental jauh ke belakang. Tepat di saat Rangga berhenti berputar, kedua orang itu sudah tergeletak di tanah dengan dada terbelah seperti terbabat pedang!

Memang sangat dahsyat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua ujung-ujung jarinya bagaikan mata pedang, yang mampu merobek tubuh lawan hingga tewas seketika itu juga. Dan memang, kedua orang itu tidak mampu bergerak sedikit pun juga. Mereka telah tewas begitu tubuhnya menghantam tanah. Darah tampak mengucur deras dari dadanya yang terbelah, bagai terbabat pedang.

“Huh!”

Rangga menghembuskan napas berat. Dipandanginya tiga tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi. Sebentar kemudian ditatapnya puncak bukit yang masih terselimut kabut. Kemudian, pandangannya beralih ke langit yang membiru, tersaput awan.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Bahkan bayangan tubuhnya langsung tak terlihat lagi.

********************

Kabut yang menyelimuti puncak Bukit Merak memang cukup tebal, walaupun saat ini matahari sudah berada tepat di atas kepala. Sedangkan udara di puncak bukit ini pun terasa dingin sekali, membuat tulang-tulang terasa bagaikan membeku. Namun dengan pengerahan sedikit hawa mumi, udara dingin yang menggigilkan itu tidak dirasakan sama sekali.

Entah sudah berapa lama Rangga berada di puncak Bukit Merak ini, dan sudah berapa kali pandangannya beredar ke sekeliling. Sedikit pun tidak didapatkan adanya tanda-tanda kehidupan di puncak bukit ini. Begitu sunyi suasananya. Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan saja yang terdengar mengusik gendang telinga.

“Aku tidak tahu, apa maksud Rajawali Putih menyuruhku datang ke sini. Tapi aku yakin, pasti ada sesuatu di sini...,” gumam Rangga periahan, bicara pada diri sendiri.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Dan saat ini, pandangan matanya langsung tertumbuk pada semak belukar yang tidak berapa jauh di sebelah kanannya. Kelopak matanya jadi menyipit, begitu melihat sesuatu di balik semak belukar itu. Sesuatu yang tampaknya seperti sebuah mulut gua.

“Hm....”

Perlahan Rangga mengayunkan kakinya, menghampiri semak belukar yang mencurigakan itu. Dan dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Kembali diamatinya semak belukar yang sudah kering itu. Memang tidak salah dugaannya. Semak belukar itu terlihat jelas, sengaja untuk menutupi sebuah mulut gua batu yang tidak begitu besar ukurannya. Tapi, setidaknya cukup untuk dimasuki satu orang dewasa.

Periahan Rangga melangkah, menghampiri kembali. Lalu, tangannya mulai menjulur. Disibakkannya semak belukar yang sudah kering itu. Dan begitu tersibak...

Wusss...!

“Heh...?! Uts!”

Cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan ketika tiba-tiba saja dari balik semak belukar yang sudah tersibak, melesat suatu benda dengan kecepatan luar biasa. Sedikit Rangga berpaling, melihat sebuah benda berbentuk lingkaran yang sisinya bergerigi, tampak menancap pada batang pohon yang tidak jauh di belakangnya.

Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti sempat berpikir....

Slap!
“Hah...?! Haiiit..!”

Cepat pemuda berbaju rompi putih itu melompat sambil berputaran ke belakang, begitu dari balik semak belukar yang sudah tersibak itu melesat secercah cahaya kilat bagai halilintar. Hampir saja benda itu menghantam tubuh pemuda yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan benda bercahaya kilat itu seketika menghantam pohon di belakangnya tadi.

Glarrr!

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar keras menggelegar. Tampak pohon itu hancur berkeping-keping, begitu terhantam cahaya kilat yang melesat keluar dari balik semak yang ternyata sebuah mulut gua.

“Hap!”

Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah, sejauh dua batang tombak dari mulut gua yang kini sudah tidak tertutup semak belukar kering lagi. Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit pada batang pohon yang hancur berkeping-keping akibat tersambar cahaya kilat tadi. Asap juga tampak mengepul dari situ. Kemudian, pandangannya diarahkan ke mulut gua yang masih sedikit tertutup semak belukar kering. Dan memang, belum semua semak belukar itu tersingkir dari sana. Karena, sudah dua kali Rangga mendapatkan serangan yang begitu cepat dan mendadak tadi. Dengan demikian, semak belukar itu tidak sempat lagi dibuka lebih lebar lagi.

Belum juga lama Rangga memperhatikan mulut gua itu, mendadak saja dari mulut gua yang tadi kelihatan menghitam gelap jadi bercahaya. Sinarnya demikian terang, bagai ada puluhan pelita menyala. Dan cahaya terang itu semakin lama semakin menyilaukan mata. Rangga segera menggeser kakinya ke belakang beberapa langkah sambil menghalangi matanya sedikit dengan tangan kanan. Memang, cahaya yang memancar dari dalam gua itu semakin terang dan menyilaukan saja. Dan belum juga Rangga bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja....

Slap!
“Heh...!? Hup!”

Cepat Rangga melenting ke udara, begitu tiba-tiba dari dalam mulut gua itu melesat secercah cahaya kilat ke arahnya. Cahaya kilat itu lewat sedikit di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung meluruk deras. Kemudian, cahaya kilat itu menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping, disertai ledakan dahsyat menggelegar.

Dua kali Rangga berputaran di udara, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Tapi baru saja telapak kakinya menyentuh tanah, dari dalam gua itu kembali meluncur secercah cahaya kilat yang begitu cepat, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa.

“Hattt..!”

Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, maka cahaya kilat berwarna keperakan itu lewat di samping tubuhnya. Saat itu, Rangga merasakan adanya semburan hawa yang sangat panas menyengat kulit, tepat di saat cahaya kilat itu lewat di sampingnya. Cepat-cepat kakinya ditarik ke samping beberapa langkah. Dan pada saat itu, kembali serangan cahaya kilat meluruk begitu cepat ke arahnya.

“Hup! Hiyaaa...!”

Rangga terpaksa harus melenting kembali di udara, dan berputaran cepat sekali. Sambaran-sambaran cahaya kilat yang kali ini berhamburan cepat dan sangat beruntun berhasil dihindari. Bahkan saat kakinya menjejak tanah, dia masih mendapat serangan. Maka cepat-cepat tubuhnya meliuk menghindari sambaran cahaya kilat, dan kembali harus berjumpalitan di udara. Serangan-serangan cahaya kilat keperakan itu datang sangat cepat dan beruntun, membuat Pendekar Rajawali Sakti kerepotan menghindarinya.

“Hap! Yeaaah...!”

Begitu memiliki kesempatan sedikit, cepat-cepat Rangga melenting ke arah sebatang pohon yang masih berdiri tegak. Sebentar kakinya bertengger di atas cabang pohon itu, kemudian kembali melesat begitu cepat menjauhi mulut gua. Dan pada saat kakinya menjejak tanah kembali, serangan cahaya kilat keperakan dari dalam mulut gua itu terhenti seketika. Dan kini, jarak antara mulut gua dengan Pendekar Rajawali Sakti sekitar tiga batang tombak jauhnya.

“Hm.... Apakah ada orang di dalam gua itu...?” Rangga jadi bertanya-tanya pada diri sendiri.

Sementara cahaya terang yang tadi memancar dari dalam mulut gua itu kini sudah tidak terlihat lagi. Sedangkan keadaan mulut gua itu kembali menghitam pekat, hingga sulit sekali untuk bisa melihat sampai ke dalam. Dan Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi mulut gua yang dirasakan sangat aneh. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Tapi, keningnya terlihat berkerut cukup dalam. Bahkan kelopak matanya jadi menyipit, pertanda tengah memikirkan sesuatu.

Lama juga Rangga terdiam membisu memandangi mulut gua yang kini kelihatan begitu tenang. Dan tubuhnya baru bergerak sedikit ke kanan, saat telinganya mendengar derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Suara langkah kaki kuda yang tidak dipacu cepat. Dari pendengarannya yang sangat tajam dan sudah terlatih baik, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menduga kalau yang datang menunggang kuda itu terdiri dari empat orang.

“Hup..!”

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat. Langsung kakinya hinggap di atas sebatang pohon yang sangat tinggi serta rimbun daunnya, hingga sulit sekali dilihat dari bawah. Dan dari ketinggian pohon ini, Rangga bisa melihat empat orang menunggang kuda menuju ke arah gua itu.

“Hm...,” sedikit Rangga menggumam. Pendekar Rajawali Sakti mengenali keempat orang penunggang kuda itu. Mereka memang pernah melewatinya ketika berada di Desa Bangkalan. Saat itu, sama sekali mereka tidak memperdulikannya. Bahkan seperti tidak melihat, dan terus saja memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Dan dugaan Rangga ternyata benar. Mereka memang menuju gua aneh itu. Kini, mereka tampak berhenti setelah sampai di depan gua.

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, empat orang penunggang kuda yang ternyata semuanya laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu, berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Dari gerakannya, sudah bisa dipastikan kalau mereka memiliki kepandaian yang tidak rendah. Dan tak ada seorang pun yang menimbulkan suara, saat menjejak tanah. Sementara, Rangga terus memperhatikan dari atas pohon yang sangat tinggi dan rimbun daunnya.

“Sepi sekali. Apakah tidak ada orang lain yang datang ke sini...?” Terdengar suara bernada bertanya dari salah seorang. Dia mengenakan baju warna merah ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar dan berotot

“Tampaknya sudah ada yang datang, Kakang Randanu,” sahut salah seorang, yang mengenakan baju hijau tua.

“Benar, Kakang Randanu. Lihat saja pohon-pohon itu. Tempat ini seperti baru saja dijadikan ajang pertempuran,” sambung seorang yang berbaju biru.

“Tapi...,” laki-laki berbaju merah yang dipanggil Randanu itu tidak melanjutkan ucapannya.

“Ada apa, Kakang?” tanya salah seorang berbaju kuning.

“Tempat ini memang berantakan sekali. Tapi, aku merasakan adanya keanehan. Tidak terlihat adanya satu mayat pun di sini,” kata Randanu lagi.

Ketiga orang lainnya jadi terdiam dan saling berpandangan satu sama lain. Kemudian, mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekeliling, seakan-akan ada yang tengah dicari. Sementara Rangga langsung memindahkan pernapasannya ke perut, sebelum keempat orang itu bisa mengetahui kehadirannya. Dan terus diperhatikannya gerak-gerik keempat orang itu dari atas pohon.

********************

ENAM

Pada saat empat orang laki-laki yang datang menunggang kuda itu tengah meneliti keadaan sekitar depan gua, tiba-tiba saja terdengar siulan sangat nyaring melengking tinggi. Begitu nyaringnya, sehingga membuat pepohonan menggugurkan daunnya. Maka keempat orang itu segera merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sementara, Rangga langsung menyalurkan hawa murni ke daerah telinganya, sehingga siulan nyaring melengking dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu tidak sempat mengganggu pendengarannya.

Belum lagi hilang siulan yang menyakitkan telinga itu, muncul seorang laki-laki tua berjubah kuning. Di tangan kanannya tampak untaian kalung batu hitam. Kepalanya gundul, tanpa sehelai rambut pun yang tumbuh. Tubuhnya gemuk, dan perutnya membuncit Sehingga, selalu berguncang bila kakinya terayun melangkah. Raut wajahnya seperti bayi yang baru dilahirkan. Sinar matanya jernih, bagai tak memiliki dosa sedikit pun. Siulan itu berhenti setelah orang tua yang berpenampilan seperti pendeta ini berada dekat dengan empat orang yang datang lebih dulu di depan mulut gua aneh itu.

“Rupanya Empat Iblis dari Utara sudah sampai lebih dulu di sini. He he he...,” terdengar ringan sekali suara orang tua berjubah kuning itu, diiringi tawanya yang terkekeh ringan.

“Sungguh tidak disangka. Ternyata seorang pendeta masih juga tertarik pada hal-hal duniawi. Seharusnya kau tinggal saja di pertapaanmu, Pendeta Gondala. Jangan mencampuri urusan dunia lagi,” sambut salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang mengenakan baju merah.

“Kedatanganku bukan untuk tujuan yang sama seperti kalian. Aku hanya ingin menyaksikan tikus-tikus bodoh memperebutkan benda yang tidak ada harganya sama sekali,” sahut laki-laki gemuk yang ternyata bernama Pendeta Gondala, tetap datar nada suaranya.

“Phuih! Lagakmu seperti manusia paling suci saja...!” dengus seorang lagi dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju biru.

“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang suci. Ah, sudahlah.... Kalian mulai saja lebih dulu, sebelum yang lain berdatangan. Aku tidak akan mengganggu, dan hanya menyaksikan saja,” ujar Pendeta Gondala seraya melangkah menghampiri pohon yang cukup besar.

Pendeta Gondala kemudian duduk bersila di bawah pohon itu. Dan sepertinya, sama sekali tidak tahu kalau di atasnya ada Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi terus memperhatikan. Sementara, empat orang yang ternyata berjuluk Empat Iblis dari Utara itu hanya saling berpandangan saja. Mereka seakan-akan tidak percaya kalau laki-laki tua jubah kuning yang dikenal sebagai Pendeta Gondala itu tidak ingin ikut campur.

Tapi memang, tampaknya Pendeta Gondala tidak mempedulikan sikap Empat Iblis dari Utara itu. Dia tetap saja duduk bersila sambil memainkan untaian kalung hitam dengan jari-jari tangan kanannya. Wajahnya yang seperti bayi, semakin terlihat kekanak-kanakan ketika tersenyum.

“Ayo, jangan pedulikan orang tua itu. Kita harus bergerak cepat sebelum ada orang lain lagi yang datang ke sini,” ajak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju merah.

Mereka memang tidak lagi mempedulikan Pendeta Gondala yang terus saja memandangi sambil tersenyum, memainkan untaian kalung batu hitamnya. Sementara, Empat Iblis dari Utara sudah melangkah mendekati mulut gua yang tampak hitam pekat dari luar. Sebentar mereka berhenti, dan saling melemparkan pandangan. Kemudian, mereka kembali melangkah perlahan-lahan mendekati gua itu. Tapi begitu berjarak tinggal sekitar satu batang tombak lagi, mendadak saja....

Slap!
“Awas...!”
“Hup!”
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Empat Iblis dari Utara itu cepat berlompatan, begitu tiba-tiba dari dalam mulut gua itu melesat secercah cahaya kilat keperakan. Dan cahaya kilat keperakan itu hanya lewat di antara empat orang laki-laki yang berlompatan menghindar, berputaran di udara. Dan dengan manis sekali, mereka bersamaan menjejakkan kaki kembali ke tanah, tepat di saat terdengar ledakan dahsyat menggelegar dari cahaya kilat yang menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.

Belum lagi ledakan itu menghilang dari pen-dengaran, kembali terlihat kilatan-kilatan cahaya berhamburan dari dalam gua itu secara beruntun dan sangat cepat bagai kilat Empat Iblis dari Utara jadi terperanjat setengah mati. Seketika mereka langsung berlompatan sambil mencabut senjata dari punggung masing-masing, berupa golok berukuran sangat besar.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”

Kilatan-kilatan cahaya keperakan yang meluncur keluar dari dalam gua terus berhamburan dengan kecepatan luar biasa. Akibatnya, Empat Iblis dari Utara terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Kemudian, salah seorang dari mereka mencoba menangkis kilatan cahaya keperakan itu. Hingga....

Glarrr!
“Akh. .!”

Seketika suara pekikan terdengar, bersamaan terdengarnya ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Tampak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju kuning terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Dan begitu mencoba bangkit berdiri, dari mulutnya menyembur darah kental agak kehitaman. Tampak goloknya yang berukuran besar sudah buntung jadi dua bagian. Entah ke mana potongan golok itu terpental. Begitu telah berdiri, laki-laki berbaju kuning dari Empat Iblis dari Utara itu terlihat terhuyung-huyung.

Dan pada saat itu, terlihat satu kilatan cahaya keperakan meluncur begitu cepat ke arahnya. Begitu cepatnya kilatan cahaya keperakan itu meluncur, sehingga orang berbaju kuning itu tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Blarrr!
“Aaa...!”

Kembali satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat, memecah alam. Tampak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju kuning kembali terpental sejauh dua batang tombak. Kemudian tubuhnya jatuh keras sekali menghantam tanah. Hanya beberapa kali dia bergelimpangan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak jelas kalau dadanya menghitam hangus, akibat terhantam cahaya kilat yang meluncur dari dalam gua itu.

Sementara, tiga orang lainnya tidak sempat lagi memperhatikan saudaranya yang sudah tergeletak tewas dengan dada menghitam hangus. Mereka benar-benar tidak punya kesempatan sedikit pun juga untuk keluar dari serangan cahaya kilat yang meluncur dari dalam gua itu. Cahaya-cahaya kilat keperakan itu terus berhamburan dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan kini terlihat semakin bertambah banyak saja, membuat Empat Iblis dari Utara yang kini tinggal tiga orang jadi kelabakan setengah mati untuk menghindarinya.

Blarrr!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan yang sangat panjang dan melengking tinggi. Tampak salah seorang Empat Iblis dari Utara yang berbaju hijau, terpental jauh ke belakang. Bahkan tubuhnya sampai menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping. Satu kilatan cahaya rupanya telah menghantam dadanya, hingga hangus seperti terbakar. Dan tubuhnya langsung menggeletak diam, tidak bergerak-gerak sedikit pun juga. Nyawanya seketika itu juga terbang melayang.

Dan belum juga lama, kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Kali ini, dua jeritan terdengar sekaligus. Terlihat sisa dari Empat Iblis dari Utara berpental ke belakang, dan jatuh bergulingan dengan keras di tanah. Tepat di saat itu, cahaya kilat yang berhamburan keluar dari dalam gua itu pun berhenti. Sementara, Empat Iblis dari Utara sudah tidak ada lagi yang bisa bergerak sedikit pun juga. Mereka semua sudah tewas dengan dada hangus menghitam, terkena terjangan kilatan cahaya keperakan yang keluar dari dalam gua aneh itu.

Suasana pun kembali sunyi senyap, tidak lagi terdengar jeritan dan teriakan-teriakan serta ledakan-ledakan yang dahsyat menggelegar. Sebentar saja, keadaan di sekitar mulut gua itu sudah hancur tidak sedap lagi dipandang mata. Tidak sedikit pepohonan yang hancur akibat terhantam kilatan-kilatan cahaya keperakan tadi. Bahkan tidak sedikit batu-batuan yang hancur. Tempat ini bagaikan baru saja diserang oleh amukan puluhan gajah. Benar-benar hancur, dalam waktu tidak berapa lama saja.

Sementara Rangga yang berada di atas pohon, terus memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tapi sebentar kemudian, perhatiannya tertumpah pada Pendeta Gondala yang masih tetap duduk bersila di bawah pohon. Bibirnya tampak tidak henti-hentinya menyunggingkan senyuman seperti bayi.

“Kisanak, turunlah.... Pertunjukan sudah berakhir...!”

“Heh...?!”

********************

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar teguran yang sangat mengejutkan. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua bertubuh gemuk dan berkepala botak yang berjubah kuning itu bisa mengetahui keberadaannya di atas pohon ini. Tapi hanya sebentar saja keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti itu, karena sudah melesat turun dengan cepat dan ringan sekali

“Hup!” Rangga pun segera melompat turun dan mendarat tepat di depan Pendeta Gondala.

“Hup!”

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga begitu kakinya menjejak tanah, tidak terdengar suara sedikit pun. Dan Rangga mendarat tepat sekitar enam langkah lagi di depan Pendeta Gondala yang masih tetap duduk bersila dengan bibir terus menyunggingkan senyum.

“Terimalah salam hormatku, Paman Pendeta...,” ucap Rangga dengan nada suara terdengar terputus.

Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuhnya sedikit, sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Melihat sikap hormat pemuda berbaju rompi putih itu, Pendeta Gondala semakin lebar senyumnya. Tapi, dia tetap duduk bersila dengan sikap begitu tenang. Sementara, Rangga masih berdiri dengan sikap menunjukkan penghormatan pada pendeta tua itu.

“Duduklah, Anak Muda,” ujar Pendeta Gondala meminta.

Rangga langsung duduk bersila di depan pendeta itu, setelah memberi hormat sekali lagi. Beberapa saat suasana menjadi sunyi, tak ada yang memulai membuka suara lebih dulu. Dan mereka hanya saling berpandangan saja, seakan tengah menyelidiki isi hati masing-masing.

“Sudah berapa lama kau berada di atas pohon tadi?” tanya Pendeta Gondala.

“Cukup lama juga,” sahut Rangga tenang.

“Berarti kau melihat semua yang terjadi tadi...?” tanya Pendeta Gondala lagi.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja.

“Lalu, untuk apa kau berada di sini, Anak Muda?” Pendeta Gondala ingin tahu lagi.

“Hanya kebetulan lewat saja, Paman Pendeta,” sahut Rangga seenaknya.

“Tidak ada maksud tertentu?”

Kali ini Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya bola mata Pendeta Gondala dengan sinar mata tajam. Entah kenapa, pertanyaan Pendeta Gondala tadi membuat hatinya tidak enak. Jelas sekali kalau pertanyaan itu beranda menyelidik. Sementara Pendeta Gondala hanya tersenyum saja sambil membalas sorotan mata tajam Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya terlihat begitu lembut sekali, bagaikan sepasang mata bayi yang belum tersentuh dosa.

“Maaf atas pertanyaanku tadi, Anak Muda,” ucap Pendeta Gondala cepat menyadari.

Sedangkan Rangga hanya diam saja. Tatapan matanya masih terus tertuju langsung ke bola mata pendeta tua yang duduk bersila di depannya.

“Entah sudah berapa orang yang datang ke sini. Dan mereka hanya mengantarkan nyawanya sia-sia saja. Sejak semula, aku sudah berada di sini. Selalu saja kusaksikan kematian yang sia-sia. Aku berharap, kau datang ke sini memang hanya sekadar singgah saja, Anak Muda. Bukan dengan tujuan yang sama seperti mereka,” kata Pendeta Gondala, memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.

Rangga melirik sedikit pada mayat-mayat yang berserakan di sekitarnya. Kemudian kembali ditatapnya pendeta tua yang masih tetap duduk bersila di depannya. Pendeta Gondala juga tidak bicara lagi. Pandangannya tampak beredar ke sekeliling. Lalu, ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat seperti ada sesuatu yang mengganjal rongga dadanya

“Kau masih muda, Anak Muda. Langkahmu masih teramat panjang. Sebaiknya, jangan ikut-ikutan seperti mereka. Aku hanya memperingatkanmu saja, Anak Muda. Hanya kematian saja yang akan kau temui nanti,” kata Pendeta Gondala lagi.

“Maaf, Paman Pendeta. Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu,” ujar Rangga jadi bingung.

“Kau benar-benar tidak tahu, Anak Muda...?”

Nada suara Pendeta Gondala terdengar seperti tidak percaya. Dan Rangga memang benar-benar tidak tahu, serta tidak mengerti apa yang dibicarakannya sejak tadi.

“Tolong jelaskan, Paman. Aku sama sekali tidak mengerti semua yang kau bicarakan sejak tadi,” pinta Rangga.

“Tapi, kenapa kau sampai berada di tempat ini?” tanya Pendeta Gondala lagi, masih dengan nada suara tidak percaya.

“Aku sendiri tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja aku berada di tempat ini,” sahut Rangga. Nada suaranya dibuat bersungguh-sungguh.

Pendeta Gondala terdiam. Sorot matanya kini terlihat tajam, merayapi seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan, dia ingin mencari kepastian kalau pemuda yang duduk di depannya ini benar-benar tidak tahu. Kembali ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Terdengar gumaman kecil dari pendeta tua itu, seperti tengah mengatakan sesuatu. Tapi suaranya tidak jelas terdengar di telinga.

“Siapa namamu, Anak Muda?” tanya Pendeta Gondala.

Kali ini nada suaranya terdengar begitu dalam, seperti memberi tekanan. Dan sorot matanya masih tetap tajam tertuju ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga,” sahut Rangga menyebutkan namanya.

“Kau seorang pendekar?” tanya Pendeta Gondala lagi.

Rangga hanya mengangkat bahu saja.

“Apa julukanmu?” tanya Pendeta Gondala lagi.

“Apakah itu penting, Paman...?” Rangga malah balik bertanya.

“Bisa juga dikatakan penting, Anak Muda. Karena aku sudah lama menunggu seseorang. Aku hanya samar-samar mengetahui ciri-cirinya. Tapi..,” kata-kata Pendeta Gondala terdengar terputus. “Hm....”

Kembali Pendeta Gondala mengamati Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, seakan-akan ada sesuatu yang tengah diselidiki. Sementara, Rangga jadi merasa jengah, terus-menerus dipandangi seperti itu. Pandangannya lalu dialihkan ke arah lain. Dan tanpa disengaja, tatapan matanya justru tertuju ke arah mulut gua yang menghitam pekat. Dan pada saat itu, terlihat satu kilatan cahaya keperakan yang hanya sekejap. Cahaya bagai kilat itu langsung lenyap, sebelum Rangga bisa menyadari.

“Kau memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan apa yang ada dalam mimpiku, Anak Muda,” ujar Pendeta Gondala memecah kesunyian yang terjadi beberapa saat. “Hm.... Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda...?”

Rangga jadi agak tersentak kaget mendengar tebakan Pendeta Gondala yang begitu tepat. Tapi cepat-cepat keterkejutannya disembunyikan, sebelum Pendeta Gondala bisa mengetahui. Lalu Pendekar Rajawali Sakti kembali bersikap tenang. Namun dalam hatinya, mulai timbul berbagai pertanyaan yang sulit dijawab saat ini. Dan kepalanya hanya mengangguk saja, menjawab pertanyaan pendeta tua itu.

Kembali suasana kembali sunyi, tanpa ada seorang pun yang membuka suara lagi. Namun belum juga Rangga bisa membuka mulutnya, mendadak saja...

“Hih!”
“Heh...?!”

Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba Pendeta Gondala mengebutkan tangan kanannya ke depan. Maka untaian kalung batu hitam yang sejak tadi berada di dalam genggaman tangan kanannya, berkelebat begitu cepat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Cepat sekali Rangga melenting ke belakang dengan keadaan masih duduk bersila. Sehingga, sabetan kalung batu hitam pendeta tua itu tidak sampai mengenai dadanya. Dua kali Rangga berputaran di udara. Dan begitu menyentuh tanah, keadaannya masih tetap duduk bersila. Tapi pada saat itu juga, Pendeta Gondala sudah melesat begitu cepat bagai kilat ke arahnya, sambil menyabetkan untaian kalung hitamnya.

“Yeaaah...!”
Bettt!
"Haiiit..!”

Kali ini Rangga terpaksa harus melompat bangkit berdiri. Cepat tubuhnya meliuk, menghindari serangan Pendeta Gondala yang begitu cepat luar biasa ini.

“Paman, tunggu...! Kenapa kau menyerangku...?!”

“Hiyaaa...!”

Tapi pertanyaan Rangga justru dijawab serangan-serangan yang beruntun dan cepat sekali. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti harus berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari serangan-serangan Pendeta Gondala. Menghadapi serangan seperti itu, Rangga langsung saja mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Begitu sempurnanya Rangga menguasai jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga serangan-serangan yang dilancarkan Pendeta Gondala tidak satu pun yang berhasil mengenai sasaran. Dan ini membuat Pendeta Gondala jadi penasaran, sehingga harus meningkatkan serangan-serangan. Dan kali ini, setiap kebutan kalung batu hitamnya selalu menimbulkan deru angin keras, bagai badai topan.

Kebutan untaian kalung batu hitam itu juga menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat disertai hawa panas menyengat kulit. Dan ini tentu saja membuat Rangga harus meningkatkan kewaspadaannya, walaupun tetap belum melancarkan serangan balasan. Dan itu bukan hanya tidak memiliki kesempatan. Tapi pikirnya, itu karena Pendeta Gondala tengah mengujinya. Hanya saja, serangan-serangan yang dilancarkan begitu dahsyat, dan bisa berakibat sangat parah kalau sampai lengah sedikit saja. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa melakukan sesuatu, mendadak saja....

“Hup!”

Pendeta Gondala menghentikan serangannya dengan melompat ke belakang sejauh beberapa tindak. Sedangkan Rangga yang sudah siap hendak melakukan serangan balasan, jadi menghentikan gerakannya. Terlihat kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, karena benar-benar merasa heran melihat sikap Pendeta Gondala. Tanpa sebab langsung menyerangnya, dan sekarang menghentikan pertarungan dengan tiba-tiba.

Pendeta Gondala mengalungkan untaian batu hitam yang tadi digunakan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melepaskan ikat pinggangnya yang berwarna putih keperakan. Periahan ikat pinggangnya itu direntangkan dengan memegang pada kedua ujungnya. Lalu...

“Hap!”

Wukkk!

Begitu ikat pinggang itu dikebutkan, dari ujungnya seketika memancar percikkan bunga api. Dan mendadak saja, ikat pinggang dari kulit yang tadi begitu lemas, kini berubah menjadi meregang keras dan kaku seperti sebilah pedang.

“Keluarkan senjatamu, Anak Muda,” desis Pendeta Gondala dengan suara terdengar dingin menggetarkan.

“Hm....”

Tapi Rangga hanya menggumam saja perlahan. Kakinya lalu bergeser dua langkah ke kanan. Dan sorot matanya terus tertuju tajam, menatap langsung ke bola mata pendeta tua itu. Sedikit pun tidak dihiraukan permintaan Pendeta Gondala untuk mencabut senjatanya. Bukannya Rangga meremehkan, tapi memang tidak ingin mencabut senjata pusaka Pedang Rajawali Sakti hanya karena permintaan lawannya. Dan memang Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mencabut pedang pusaka kalau tidak terpaksa sekali.

“Kau jangan menyesal kalau mati tanpa mencabut senjata, Anak Muda. Aku sudah memperingatkanmu. Dan itu hanya sekali saja terucap,” tegas Pendeta Gondala, masih dengan suara dingin menggetarkan.

Tapi, Rangga masih tetap saja diam. Dipandanginya pendeta tua itu dengan sorot mata tajam sekali. Sementara, Pendeta Gondala sudah menggeser kakinya ke kiri perlahan-lahan sambil menyilangkan sabuk ikat pinggang yang kini sudah berubah menjadi pedang ke depan dada. Dari ujungnya, tampak mengeluarkan bunga api yang disertai asap berwarna kemerahan.

“Tahan seranganku, Anak Muda! Hiyaaat..!”

Wukkk!
“Haiiit..!”

Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu Pendeta Gondala mengebutkan senjatanya, tepat mengarah ke dada. Maka ujung senjata yang mengeluarkan percikkan bunga api dan asap kemerahan itu, lewat sedikit saja di depan dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”

TUJUH

Pertarungan antara Rangga dan Pendeta Gondala kembali berlangsung sengit. Mereka kali ini langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat. Entah sudah berapa jurus berlangsung, tapi pertarungan tampaknya masih akan terus berlangsung lama. Belum ada tanda-tanda sedikit pun kalau pertarungan itu bakal berhenti.

Dan setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, Pendeta Gondala kembali menghentikan pertarungan. Dia melompat ke belakang sejauh satu setengah batang tombak. Sementara Rangga juga tidak mau meneruskan pertarungan. Dia berdiri tegak, menanti apa yang akan dilakukan pendeta tua itu.

Pendeta Gondala sendiri juga masih tetap berdiri tegak. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata seakan-akan tidak percaya, kalau pemuda yang sangat jauh lebih muda sekali usianya mampu menandinginya sampai puluhan jurus. Bahkan sudah hampir semua kepandaian yang dimilikinya dikerahkan, tapi belum juga mampu mendesak pemuda itu. Malah Rangga juga menghadapinya tanpa mencabut senjata pusaka. Hal ini membuat Pendeta Gondala jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Tapi sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan tengah meyakinkan diri sendiri dengan apa yang sedang dihadapinya.

“Anak muda, katakan sejujurnya. Siapa kau sebenarnya...?!” tanya Pendeta Gondala.

Kali ini nada suaranya terdengar sangat lain. Terasa jelas sekali, seakan-akan tidak yakin akan dirinya.

“Rasanya aku tadi sudah mengenalkan diri padamu, Paman Pendeta. Namaku Rangga. Dan aku hanya seorang pengembara yang kebetulan saja lewat di tempat ini,” sahut Rangga kembali memperkenalkan diri.

“Hm.... Melihat dari cara bertarungmu, kau tentu seorang pendekar yang berilmu sangat tinggi. Dan kau pasti punya julukan. Apa nama julukanmu, Anak Muda...?” tanya Pendeta Gondala lagi

Kali ini Rangga tidak langsung menjawab. Dia memang paling enggan menyebutkan julukannya sendiri. Bukannya tidak senang, tapi tidak ingin menyombongkan diri dengan menyebutkan julukannya yang sudah terkenal dan selalu menjadi buah bibir di kalangan rimba persilatan.

“Anak muda! Jurus-jurus yang kau miliki tadi, sepertinya pernah kulihat Tapi...,” suara Pendeta Gondala langsung terputus. Pendeta Gondala menatap Rangga dengan sinar mata penuh selidik. Perlahan kakinya terayun. Dan senjatanya kini sudah kembali melingkar di pinggang, menjadi ikat pinggang yang kelihatannya tidak memiliki keistimewaan sama sekali. Tapi, ikat pinggang itu tadi sangat dahsyat. Bahkan hampir saja Rangga mencabut pedang pusakanya, kalau saja Pendeta Gondala tadi tidak cepat-cepat menghentikan pertarungan.

“Terus terang saja padaku, Anak Muda. Apakah kau yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti...?” tanya Pendeta Gondala, seakan-akan ingin meyakinkan diri sendiri dengan pertanyaan yang terlontar tadi.

“Kenapa kau terus mendesakku dengan pertanyaan seperti itu, Paman?” Rangga malah balik bertanya.

“Kau akan tahu, kalau sudah menyebutkan julukanmu, Anak Muda,” sahut Pendeta Gondala juga masih bermain rahasia.

“Hm...,” Rangga menggumam sedikit. Pendekar Rajawali Sakti terdiam beberapa saat, dan memandangi pendeta tua itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan ingin ditebaknya, apa maksud dari pendeta tua ini hingga terus-menerus mendesak ingin mengetahui julukannya.

Sedangkan Pendeta Gondala sendiri malah memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam. Dan dari sorot matanya, jelas terlihat kalau tengah menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

Sementara, Rangga masih tetap diam membisu. Sepertinya Pendekar Rajawali Sakti juga merasa keberatan untuk menyebutkan julukannya sendiri. Entah kenapa, dia jadi merasa enggan untuk menyebutkannya.

“Baiklah, Anak Muda. Aku tahu, kau pasti merasa keberatan menyebutkan julukanmu,” kata Pendeta Gondala membuka suara lebih dahulu. “Aku akan mengalah sedikit padamu, Anak Muda.”

Rangga masih tetap membisu, dan terus memandangi pendeta tua itu dengan sinar mata yang sama sekali tidak berubah. Tetap terlihat menyorot tajam, penuh nada menyelidik.

Sementara, Pendeta Gondala mengayunkan kakinya perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Langkahnya baru berhenti, setelah jaraknya tinggai sekitar lima langkah lagi. “Begini, Anak Muda. Sebenarnya aku sedang mencari seseorang yang....”

Belum juga kata-kata Pendeta Gondala selesai, tiba-tiba saja dari mulut gua melesat secercah sinar bagai kilat. Begitu cepat sekali sinar itu meluruk ke arah pendeta tua ini. Dan Rangga yang melihat kelebatan sinar kilat itu langsung saja melesat. Gerakannya cepat luar biasa, hingga sukar diikuti mata biasa.

“Hap...!”
Brukkk!

Rangga langsung jatuh bergulingan, begitu berhasil menyambar tubuh Pendeta Gondala. Dan mereka terus bergulingan di tanah beberapa kali, sementara cahaya-cahaya kilat terus berhamburan mencari sasaran. Akibatnya kedua laki-laki yang baru sekali bertemu itu harus bergulingan di tanah menghindarinya.

“Hup! Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Rangga melesat ke atas sambil menyambar tubuh Pendeta Gondala. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya, jauh dari mulut gua. Dan cahaya-cahaya kilat tadi langsung berhenti melesat dari mulut gua yang aneh itu.

“Phuuuh...!” Rangga menghembuskan napasnya dengan berat. Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya beberapa langkah dari Pendeta Gondala. Tampak bibir pendeta tua itu menyunggingkan senyum. Dan begitu Rangga melihatnya, keningnya langsung berkerut. Dia jadi heran melihat senyum terukir di bibir laki-laki tua berpakaian pendeta itu.

“Kenapa kau tersenyum, Paman?” tanya Rangga jadi ingin tahu.

“Walaupun masih ragu-ragu akan dirimu, tapi aku sudah begitu yakin melihat kemampuanmu, Anak Muda. Kau begitu hebat. Mampu bergerak cepat, tanpa sempat kusadari,” kata Pendeta Gondala.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Paman...,” ujar Rangga meminta penjelasan.

“Rasanya memang tidak bisa lagi diragukan. Sekarang ini, hanya ada satu orang yang bisa bergerak begitu cepat. Hm.... Katakan, agar aku benar-benar merasa yakin, Anak Muda. Siapa julukanmu sebenarnya...?”

Rangga jadi tertegun mendengar pertanyaan itu. Sedangkan semua pertanyaannya belum juga terjawab, tapi Pendeta Gondala sudah memberi pertanyaan lagi yang bernada mendesak. Dan itu membuat Rangga semakin tidak mengerti. Segala gerak-gerik dan semua yang diucapkannya selalu menyimpan teka-teki yang sulit sekali diterka.

“Benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda?” tanya Pendeta Gondala ingin memastikan, melihat Rangga hanya diam saja memandangi.

“Benar,” sahut Rangga akhirnya mengalah juga.

“Hm.... Boleh kulihat pedangmu yang terkenal itu?” pinta Pendeta Gondala.

“Untuk apa...?” tanya Rangga.

“Hanya ingin memastikan saja, Anak Muda,” sahut Pendeta Gondala seraya tersenyum. “Sebab, penampilan luar saja bisa mengelabui mata seseorang. Tapi, sesuatu yang hanya ada satu di dunia ini, tidak bisa membohongi orang. Dan Pedang Pusaka Rajawali Sakti hanya ada satu-satunya di dunia. Jadi, hatiku baru merasa yakin kalau kau sudi memperlihatkan pedang pusaka yang ampuh itu.”

Rangga terdiam dengan kening berkerut beberapa saat. Kata-kata yang diucapkan Pendeta Gondala barusan memang terasa aneh sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti juga tidak ingin mengecewakan orang tua ini. Terlebih lagi, di dalam kepalanya ada dugaan kalau pendeta tua itu tidak bermaksud buruk padanya. Dan pasti, ada sesuatu yang sangat tersembunyi, sehingga begitu gigih ingin mengetahui tentang diri pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini.

Sret!

Perlahan Rangga mencabut pedang pusakanya yang selalu tersimpan dalam warangka di punggung. Dan baru saja tercabut setengah, cahaya biru yang berkilauan menyilaukan mata sudah terlihat membersit keluar. Begitu terangnya, sampai-sampai Pendeta Gondala terlompat ke belakang dua langkah sambil menghalangi kedua matanya dengan tangan kanan.

“Cukup...!” sentak Pendeta Gondala.

Cring!

Rangga kembali memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Padahal, belum seluruhnya tercabut. Kini Pendeta Gondala menurunkan lagi tangan kanannya. Senyum di bibirnya tampak semakin lebar terkembang. Sedangkan Rangga memandangi wajah pendeta tua itu dengan kelopak mata agak menyipit

“Dewata Yang Agung.... Kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti yang selalu datang dalam mimpiku hampir setiap malam. Ternyata, kaulah pemuda yang selama ini kunanti-nantikan...,” desah Pendeta Gondala disertai hembusan napas panjang sekali.

Sementara, Rangga masih tetap diam memandangi. Sinar matanya tampak memancarkan ketidakmengertian. Saat itu, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri. Tangan kanannya segera diulurkan, dan ditepuknya pundak Pendekar Rajawali Sakti dengan sikap penuh persahabatan.

“Ayo, duduk di sana. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Dan ini sangat penting,” kata Pendeta Gondala mengajak, sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang tidak jauh darinya.

Rangga tidak menjawab sedikit pun juga. Sementara, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri pohon itu, lalu duduk di bawahnya. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi. Beberapa saat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, lalu duduk bersila tidak jauh di depan pendeta tua ini.

“Maaf, aku tadi menyerangmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tadi hanya ingin menguji kebenaran dugaanku,” ucap Pendeta Gondala, setelah keadaan kembali menjadi tenang tanpa terselimut ketegangan.

“Katakan saja yang sebenarnya arti semua ini, Paman,” pinta Rangga langsung.

“Aku sedang berada dalam kesulitan, Pendekar Rajawali Sakti....”

“Panggil aku Rangga saja,” selak Rangga meminta.

“Baiklah, Rangga.”

“Katakan, Paman. Apa kesulitanmu?”

“Pusaka dari Persatuan Para Pendeta Selatan telah hilang dicuri orang. Sedangkan saat itu, aku sendiri yang bertugas menjaganya. Dan seluruh anggota meminta agar aku harus mengembalikan pusaka itu, atau harus bunuh diri,” Pendeta Gondala mulai mengutarakan kesulitannya.

“Hm.... Pusaka apa itu, Paman?” tanya Rangga seraya menggumam.

“Sebilah pedang.”

“Hanya sebilah pedang...?”

“Ya! Tapi, itu bukan pedang biasa, Rangga. Namanya, Pedang Halilintar. Pedang itu mempunyai satu kekuatan yang sangat dahsyat. Kau sendiri sudah merasakannya...,” Kata Pendeta Gondala sambil menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Maksud, Paman...?” Rangga masih juga belum mengerti.

“Pedang Halilintar itu kini berada dalam gua bersama pencurinya.”

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.

Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik ke arah gua yang berada sekitar delapan batang tombak di sebelah kirinya. Tampak mulut gua itu masih kelihatan aneh dan mengerikan. Dan memang, sudah beberapa kali serangan-serangan dari lecutan cahaya kilat yang muncul dari dalam gua itu harus dihadapinya.

Namun sama sekali Rangga tidak menyangka kalau lecutan cahaya kilat itu berasal dari sebilah pedang yang bernama Pedang Halilintar, milik Persatuan Para Pendeta Selatan. Dan yang pasti, pedang itu sangat berharga. Sampai-sampai seluruh anggota Persatuan Para Pendeta Selatan menginginkan pedang itu kembali, atau Pendeta Gondala yang bertanggung jawab harus membunuh dirinya sendiri. Hal itu karena kelalaiannya, tidak bisa menjaga Pedang Halilintar dari tangan pencuri.

“Lalu, apa yang kau harapkan dariku, Paman?” tanya Rangga.

“Hanya kau yang bisa mengembalikan pedang itu ke dalam puri, Rangga. Dan itu kuketahui dari mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam setiap tidurku. Mimpi itu terus muncul, sampai kau sekarang datang ke sini,” sahut Pendeta Gondala.

“Paman yakin itu?”

“Ya! Hanya kaulah yang mampu.”

Rangga kembali terdiam. Sedangkan Pendeta Gondala juga tidak bicara lagi. Cukup lama mereka terdiam. Dan tanpa disadari, mereka sama-sama memandang ke arah mulut gua yang kelihatan gelap, sedikit tertutup semak belukar yang sudah luring.

“Siapa pencuri Pedang Halilintar, Paman?” tanya Rangga ingin tahu.

“Jaka Anabrang,” jelas Pendeta Gondala. “Dia bukan orang lain bagi kami para pendeta. Dia adalah murid utama yang selama ini selalu dipercaya.”

“Hm.... Kenapa dia bisa mencuri pedang itu?” tanya Rangga lagi.

“Dia sakit hati.”

“Sakit hati...?”

“Ya! Sakit hati karena kami tidak dapat membela adiknya yang dijatuhi hukuman mati.”

Rangga berpaling menatap Pendeta Gondala.

“Jaka Anabrang meminta kami para pendeta untuk membebaskan adiknya dari hukuman gantung. Namun kami tidak bisa berbuat banyak, karena kesalahannya memang sangat besar. Dia membunuh putra seorang patih, hanya karena perselisihan dalam berjudi. Kau tahu sendiri, Rangga. Tidak ada seorang pun yang bisa membebaskan orang lain dari hukuman karena kesalahan seperti itu. Tapi, Jaka Anabrang tidak peduli, dan tetap menuntut kami para pendeta membebaskan adiknya. Dia minta agar kami bersedia menampungnya, dan memberinya ilmu-ilmu olah kanuragan serta ilmu-llmu kedigdayaan. Tapi, permintaannya kami tolak, dan dia merasa sakit hati,” jelas Pendeta Gondala panjang lebar.

“Hm.... Lalu, dia mencuri Pedang Halilintar...?” suara Rangga terdengar menggumam.

“Benar! Dengan pedang itu, dia sudah berhasil membunuh lima orang anggota kami para pendeta. Bahkan bermaksud menguasai dunia dengan pedang itu. Dan, hanya kau saja yang mampu menghentikannya, Rangga. Karena, kau memiliki pedang pusaka yang bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar.”

Rangga kembali terdiam. Benar benar sulit dimengerti, kenapa Pendeta Gondala begitu yakin kalau dia orang satu-satunya yang bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar. Padahal, Rangga sendiri belum pernah melihat bentuk pedang itu. Tapi melihat yang berkata seorang pendeta, Rangga tidak bisa menolak. Terlebih lagi, Pendeta Gondala sudah terang-terangan meminta bantuannya untuk merebut kembali pedang itu dari tangan Jaka Anabrang.

“Baiklah, Paman. Aku akan mencobanya,” ucap Rangga akhirnya.

“Terima kasih, Rangga. Aku benar-benar mengharapkan kau bisa merebut pedang itu dari tangan Jaka Anabrang. Masalahnya, jika dibiarkan akan semakin banyak orang yang mendengar tentang pedang itu. Dan tentu saja akan semakin banyak pula yang ingin memilikinya. Maka, dunia ini akan semakin kacau, jika semua orang ingin memiliki pedang itu,” sambut Pendeta Gondala gembira, juga khawatir.

Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum. Mungkin karena hal seperti itu sudah terlalu sering dihadapi. Sebuah benda yang memiliki kesaktian dan pamor dahsyat menjadi rebutan orang-orang persilatan. Dan kalau mendengar cerita dari Pendeta Gondala dan juga apa yang telah disaksikannya, rasanya Pedang Halilintar memang tidak bisa dipandang ringan kemampuannya.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Pandangannya terus tertuju ke arah mulut gua yang kelihatan gelap menghitam pekat, seperti tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Tapi gua itu sangat berbahaya untuk didekati. Dan baru saja kaki Rangga terayun dua langkah, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat dari kejauhan. Derap kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Kemudian, terlihat debu dan dedaunan kering beterbangan ke udara. Rangga berpaling menatap ke arah kepulan debu itu. Dan tak lama kemudian, terlihat seorang gadis cantik berbaju biru muda, memacu cepat kudanya menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti berdiri.

“Hooop. .!”

Gadis cantik yang tak lain Pandan Wangi langsung melompat turun dari punggung kuda putihnya, setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah. Dia langsung mendarat tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Rangga. Sementara itu, Pendeta Gondala sudah berdiri. Tapi dia tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya.

“Pandan, kenapa kau ke sini...?” tegur Rangga langsung.

“Aku khawatir padamu, Kakang. Sudah lama kau pergi,” sahut Pandan Wangi.

“Bagaimana Lastri?”

“Dijaga Jalakpati. Kalau sudah sembuh, Jalakpati akan membawanya ke padepokannya yang dulu,” jelas Pandan Wangi, singkat

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Sebentar matanya melirik Pendeta Gondala. “Kau tunggu di sana bersama Paman Pendeta Gondala, Pandan,” ujar Rangga.

Belum juga Pandan Wangi berbicara, Rangga sudah melompat cepat sekali. Dilewatinya atas kepala gadis itu, dan tahu-tahu Rangga sudah berada tidak jauh di depan mulut gua. Pandan Wangi hanya bisa terpaku memandangi. Sementara, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini.

DELAPAN

Slap!
“Ups...!”

Belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu, dari dalam gua sudah melesat cahaya kilat menuju ke arahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke kanan, dan cahaya kilat keperakan itu lewat sedikit di sampingnya. Bergegas Rangga menggeser kakinya ke kiri dua langkah. Lalu tubuhnya kembali cepat merunduk, begitu terlihat cahaya kilat keperakan kembali melesat cepat ke arahnya.

“Hup! Yeaaah...!”

Begitu cahaya kilat itu lewat di atas kepala, cepat Rangga menegakkan tubuhnya. Lalu, kedua tangannya cepat dihentakkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya yang terkembang ke depan keluar cahaya merah bagai api menuju ke mulut gua dengan kecepatan bagai kilat. Bagi Pandan Wangi yang melihat dari jarak yang cukup jauh, sudah tahu kalau saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir dari jarak jauh.

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar dan dahsyat terjadi, begitu cahaya merah bagai api yang keluar dari kedua telapak tangan Rangga menghantam mulut gua. Seketika getaran pun terjadi bagai sebuah gempa.

Tampak gua itu hancur, menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke angkasa. Batu-batu berhamburan, beterbangan ke segala arah. Memang sangat dahsyat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir yang dilepaskan Rangga tadi. Gua itu benar-benar hancur, hingga batu-batuannya bertebaran ke segala arah.

Rangga masih tetap berdiri tegak, menunggu sampai kepulan debu yang menyelimuti mulut gua yang sudah hancur itu menghilang. Sedikit pun tak terlihat adanya bayangan berkelebat keluar dari dalam gua. Saat itu, kening Rangga terlihat berkerut. Kelopak matanya pun menyipit melihat mulut gua masih terlihat menganga, walaupun sudah hancur berkeping-keping.

“Hm...,” Rangga menggumam kecil perlahan.

Wusss!

Pada saat itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu cepat keluar dari dalam gua. Dan bayangan itu langsung meluruk deras ke arah Rangga yang masih berdiri sekitar dua batang tombak di depan gua.

“Haiiiit..!”

Cepat Rangga melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Lalu dengan manis sekali kakinya menjejak tanah. Tapi betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, saat melihat bayangan kuning itu langsung meluruk deras ke arah Pendeta Gondala.

“Awaaas...!”
“Hah...?!”

Namun, Pendeta Gondala hanya bisa terbeliak saja melihat bayangan kuning itu meluruk bagai kilat ke arahnya. Dan belum juga bisa bertindak sesuatu, tiba-tiba saja satu kilatan cahaya keperakan berkelebat begitu cepat menyambar ke arah lehernya. Namun pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi cepat mencabut kipas mautnya. Langsung dikebutkannya ke arah kilatan cahaya kilat keperakan itu, hingga....

Wukkk!
Trang!
“Akh...!”
Pandan...!”

Rangga jadi tersentak kaget, melihat Pandan Wangi terpental sambil mengeluarkan jeritan tertahan. Gadis itu menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang, dan jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Sedangkan kipas mautnya terpental ke udara, lepas dari genggaman.

“Suiiit..!”

Saat itu, tiba-tiba terdengar siulan yang nyaring menyakitkan telinga. Dan tepat di saat Pandan Wangi baru bangkit, muncul dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berotot, disusul seorang wanita tua berjubah kumal. Pada tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang ujungnya berbentuk runcing.

Dua orang laki-laki tegap berotot yang tidak mengenakan baju itu langsung meringkus Pandan Wangi. Sedangkan perempuan tua berjubah kumal sudah menempelkan ujung tongkatnya yang runcing, tepat di tenggorokan si Kipas Maut.

Sementara, Rangga tidak sempat lagi memperhatikan Pandan Wangi, karena perhatiannya tertumpah pada Pendeta Gondala. Pendeta tua itu kini tengah sibuk menghadapi seorang pemuda berbaju kuning yang menggunakan pedang bercahaya keperakan yang mengeluarkan kilat dari ujungnya.

“Apa yang harus kulakukan...?” desis Rangga bertanya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu, mana yang harus didahulukan. Sementara Pandan Wangi tidak berdaya berada dalam cengkeraman teman-teman Jaka Anabrang, sedangkan Pendeta Gondala harus menghadapi Jaka Anabrang yang menggunakan Pedang Halilintar. Dan Rangga tahu, Pendeta Gondala tidak akan mungkin bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar. Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah diliputi kebimbangan, tiba-tiba saja....

Crasss!

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Pendeta Gondala menjerit keras. Dan lebih terkejut lagi, saat pendeta tua itu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah. Rupanya, Jaka Anabrang sudah berhasil membabatkan Pedang Halilintar ke dada pendeta tua itu. Darah langsung mengucur deras dari dada yang sobek terbabat pedang berkilatan itu.

“Mampus kau, Pendeta Tua! Hiyaaat..!”

“Oh...?!” Rangga tersentak kaget begitu melihat Jaka Anabrang melesat cepat bagai kilat, sambil mengayunkan pedangnya ke leher Pendeta Gondala. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat sambil mencabut pedang pusakanya.

“Hiyaaa...!”
Sret... Cring!
Bettt!

Dan secepat itu pula, Rangga membabatkan Pedang Rajawali Sakti ke Pedang Halilintar yang melayang deras mengarah ke leher Pendeta Gondala. Hingga....

Trang!
Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan yang begitu dahsyat menggetarkan jantung, ketika dua pedang yang memiliki pamor dahsyat beradu tidak jauh dari leher Pendeta Gondala.

“Yeaaah...! Hup!”

Sambil melenting ke belakang, Rangga menghentakkan tangan kirinya. Didorongnya tubuh Pendeta Gondala hingga terpental jauh ke belakang. Sementara, Jaka Anabrang juga melesat ke belakang sejauh dua batang tombak. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, dan manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah. Pada saat itu kedua kaki Rangga juga sudah menjejak tanah, setelah melakukan beberapa kali putaran di udara.

“Phuuuih...!”

Jaka Anabrang menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Rangga yang berdiri sekitar empat batang tombak di depan. Periahan kakinya bergeser mendekati. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak dengan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilauan tersilang di depan dada. Sorot matanya juga terlihat tidak kalah tajam.

“Kau hanya bermimpi untuk bisa merebut Pedang Halilintar dari tanganku, Kisanak. Sebaiknya, menyingkir saja, dan bawa pergi gadis ingusanmu itu!” terasa sangat dingin nada suara Jaka Anabrang.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan saja.

Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya sedikit demi sedikit ke kanan. Namun sorot matanya masih tetap terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda yang kini sekitar satu batang tombak lagi jaraknya di depan.

“Serahkan pedang itu, Jaka Anabrang. Kau tidak berhak memilikinya. Pedang itu bukan milikmu!” ujar Rangga. Nada suaranya juga tidak kalah dingin.

“Phuih! Tidak ada seorang pun yang bisa memiliki pedang ini kecuali aku!” dengus Jaka Anabrang sengit.

“Jangan paksa aku bertindak dengan kekerasan, Jaka Anabrang.”

“Ha ha ha...!” Jaka Anabrang malah tertawa terbahak-bahak.

Sedikit pemuda itu melirik Pandan Wangi yang tidak berdaya. Kedua tangan gadis itu tampak dipegangi dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Sementara tenggorokannya terancam oleh ujung tongkat runcing perempuan tua berjubah kumal. “Bawa dia!” perintah Jaka Anabrang lantang.

Tanpa diperintah dua kali, kedua laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot itu langsung melesat cepat membawa Pandan Wangi, diikuti perempuan tua berjubah kumal yang tadi menempelkan ujung tongkatnya ke tenggorokkan si Kipas Maut itu.

“Keparat! Pengecut..!” desis Rangga menggeram berang, melihat tindakan Jaka Anabrang.

“Ha ha ha...!” tapi Jaka Anabrang malah tertawa terbahak-bahak.

Sementara, seluruh wajah Rangga sudah terlihat memerah. Gerahamnya juga menggeretuk, menahan kemarahan yang meluap melihat kelicikan Jaka Anabrang yang menawan Pandan Wangi. Sementara di tempat agak jauh, terlihat Pendeta Gondala terbaring dengan dada sobek mengucurkan darah.

“Kubunuh kau, Jaka Anabrang! Hiyaaat..!”

Rangga benar-benar tidak dapat mengendalikan kemarahannya. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat dan langsung membabatkan Pedang Rajawali Sakti ke leher pemuda berbaju kuning itu.

Bettt!
“Hiyaaat..!”
Trang!

Tapi, Jaka Anabrang malah menyambut serangan itu dengan Pedang Halilintar. Akibatnya dua pedang beradu keras sekali, sampai menimbulkan ledakan dahsyat menggetarkan bumi. Rangga langsung melenting ke udara, dan berputaran dua kali. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

“Haiiit..!”

Jaka Anabrang cepat-cepat melompat ke belakang sambil membabatkan pedang ke atas kepala. Dan pada saat itu juga, Rangga memutar tubuhnya, hingga kepalanya berada di bawah. Dan bagaikan kilat, pedangnya langsung dibabatkan ke arah dada lawan.

“Yeaaah...!”
Bet!
“Ups!”

Jaka Anabrang jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang. Dan dengan cepat pula pedangnya dibabatkan ke depan dada, menangkis sabetan Pedang Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru berkilauan.

Trang!

Kembali dua pedang berpamor sangat dahsyat itu beradu, tanpa dapat dicegah lagi. Dan lagi-lagi, Rangga melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Lalu, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah.

“Huh!”

Rangga mendengus, merasakan tangan kanannya bergetar. Dan memang, setiap kali pedangnya berbenturan dengan Pedang Halilintar di tangan Jaka Anabrang, tangan kanannya selalu terasa bergetar. Cepat disadari kalau Pedang Halilintar memang memiliki kekuatan dahsyat sekali. Dan itu tidak mungkin bisa ditandingi dengan menggunakan jurus-jurus biasa.

“Hap!”

Rangga segera menyiapkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang jarang sekali digunakan jika tidak terpaksa. Dan dalam menghadapi lawan yang sangat tangguh seperti Jaka Anabrang ini, Rangga terpaksa melakukannya. Cahaya biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti tertihat semakin menyilaukan mata.

“Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga melompat dan langsung membabatkan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Tapi....

“Heh...?!”

Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak setengah mati, ketika merasa kan pedangnya hanya membabat angin saja. Dan lebih terkejut lagi, begitu melihat Jaka Anabrang sudah lenyap, tanpa dapat diketahui lagi. Pemuda itu benar-benar menghilang, bagaikan tertelan bumi.

“Setan keparat..!” geram Rangga sambil menghentakkan kakinya, kesal. Dengan sinar mata yang tajam, Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, Jaka Anabrang memang sudah tidak ada lagi. Entah ke mana perginya. Benar-benar tidak diketahui.

“Rangga.”
“Oh...?!”

Rangga bergegas berpaling begitu mendengar suara lirih. Bergegas dihampirinya Pendeta Gondala yang terbaring menelentang dengan darah masih mengucur dari dadanya yang terbelah. Tampak wajah pendeta tua itu sudah kelihatan pucat membiru. Sementara, matanya juga tidak lagi memancarkan cahaya kehidupan. Rangga cepat-cepat mendekatkan telinganya ke bibir Pendeta Gondala yang bergerakgerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.

“Rangga.... Kau harus hati-hati menghadapinya. Dia sudah berhasil menyatukan jiwanya dengan Pedang Halilintar. Apa pun yang terjadi, kau harus bisa memisahkannya dari pedang itu. Sangat berbahaya kalau sampai seluruh jiwa Pedang Halilintar bisa dikuasainya...,” terdengar lirih sekali suara Pendeta Gondala.

“Aku akan berusaha, Paman,” janji Rangga.

“Sayang, aku tidak bisa lagi mendampingimu, Rangga....”

“Paman...!”

“Rangga! Kau pasti ingin tahu, kenapa Padepokan Eyang Banaspati hancur....”

Rangga mengangguk.

“Salah seorang muridnya mencoba merampas Pedang Halilintar. Itu membuat Jaka Anabrang marah. Maka padepokan itu dihancurkannya setelah membunuh muridnya. Bahkan penduduk Bangkalan juga dibantai satu persatu.”

“Lalu, bagaimana dengan Eyang Banaspati sendiri?”

“Dia terluka sangat parah. Dan sekarang berada di puri. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. Rangga.... Kau harus berjuang sendiri. Tidak ada lagi yang membantumu....”

Rangga hanya bisa menarik napas panjang, melihat Pendeta Gondala menghembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Dan kepalanya tertunduk begitu dalam, menatap tubuh Pendeta Gondala yang terbujur tidak bernyawa lagi.

“Aku akan merebut pedang itu dari tangannya, Paman. Aku janji...,” desis Rangga mantap.

Perlahan Rangga menegakkan kepalanya, memandang ke angkasa beberapa saat Kemudian, kakinya menghampiri sebuah kipas baja putih yang tergeletak tidak seberapa jauh dari mayat Pendeta Gondala. Dipungutnya kipas baja putih itu, dan Dipandanginya beberapa saat. Kemudian, kipas maut itu diselipkan ke balik ikat pinggangnya.

“Pandan.... Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini,” desah Rangga menyesalkan kemunculan Pandan Wangi. Dan kini, gadis itu berada di dalam cengkeraman tangan teman-teman Jaka Anabrang.

Kini Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu lagi, bagaimana nasib Pandan Wangi. Ada kepedihan dalam hatinya. Tapi, semua kepedihan itu jadi lenyap, mengingat Jaka Anabrang bisa menahan Pandan Wangi secara licik. Bahkan kegeramannya pun muncul menyelimuti hatinya.

“Kau harus mampus di tanganku, Jaka Anabrang...!” desis Rangga menggeram.

********************

Apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu memenuhi janjinya pada Pendeta Gondala? Dan bagaimana nasib Pandan Wangi di tangan Jaka Anabrang? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya dalam kisah Rajawali Murka

Pedang Halilintar

Pendekar Rajawali Sakti

PEDANG HALILINTAR


SATU

“Hiya! Hiyaaa...!”

Pagi yang seharusnya enak dinikmati, seketika jadi riuh oleh teriakan seseorang yang menggebah kudanya dengan kecepatan sangat tinggi bagai dikejar setan. Debu membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat Burung-burung yang tadi berkicauan seketika berhamburan terbang, terkejut oleh derap kaki kuda yang demikian cepat berpacu.

“Hiyaaa! Yeaaah...!”

Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu terus memacu kudanya, melintasi jalan tanah berbatu. Sama sekali tidak dipedulikan binatang-binatang yang berhamburan ketakutan. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan kudanya yang sudah mendengus-dengus kelelahan tidak dipedulikan lagi.

Begitu penunggang kuda itu baru saja menyeberangi sebuah sungai kecil yang dangkal dan penuh kerikil, mendadak saja...

Wusss!
“Heh...?! Hup!”

Cepat sekali pemuda itu melompat dari punggung kudanya yang masih terus berlari kencang, begitu matanya menangkap seleret cahaya keperakan berkelebat begitu cepat menuju ke arahnya. Dan benda bercahaya keperakan itu langsung menyambar leher kuda yang masih berlari. Binatang itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

“Hieeegkh...!”
Bruk!

Keras sekali kuda berbulu coklat tua itu jatuh menghantam tanah berbatu di tepian sungai kecil ini. Hanya sebentar saja binatang itu menggelepar dengan leher terkoyak sangat lebar, hingga hampir membuatnya buntung. Darah langsung mengucur deras sekali, membasahi bebatuan di tepi sungai ini. Sebentar kemudian, kuda itu meregang kaku dan diam tak bernyawa lagi.

Sementara, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tadi berhasil menghindari kilatan cahaya keperakan, sudah menjejakkan kakinya di tanah, agak jauh dari tepi sungai. Kakinya berdiri tegak dengan tangan kanan kini sudah menggenggam sebilah golok berkilatan yang menandakan ketajamannya. Kedua bola matanya terlihat nyalang, memandang tajam ke sekitarnya. Tapi, sedikit pun tak terlihat tanda-tanda ada orang lain di sekitar tepian sungai kecil ini.

“Keparat..!” geram pemuda itu. Wajahnya tampak memerah, melihat kudanya sudah tewas dengan leher terkoyak hampir buntung.

Beberapa saat pemuda itu masih mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tapi, tidak juga terlihat tanda-tanda adanya orang lain di sekitar sini. Angin masih tetap bertiup perlahan, menebarkan dedaunan kering yang jatuh dari dahannya. Sementara, matahari masih tetap bersinar semakin terik di pagi ini. Perlahan pemuda berbaju hijau muda yang agak ketat itu menggeser kedua kakinya ke kanan.

Sedangkan goloknya yang berkilatan tajam, tetap terlintang di depan dada.

“Keluar kau, Pengecut...!” teriak pemuda itu lantang. “Tunjukkan dirimu...!”

Tapi, teriakan pemuda itu tidak mendapat jawaban sedikit pun. Hanya gema suaranya saja yang terdengar. Sementara, kakinya terus digeser perlahan-lahan menghampiri kudanya. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja....

Slap!
“Ups...!”
Bettt!
Tring!
“Ikh...!”

Pemuda itu terpekik kecil. Dan begitu goloknya dikebutkan, terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat cepat bagai kilat hendak menyambar tubuhnya. Cepat dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Tapi, tubuhnya jadi agak limbung begitu kakinya menjejak tanah berbatu di tepi sungai kecil ini.

“Setan...!” geram pemuda itu dengan bibir meringis.

Pemuda itu mengurut tangan kanannya yang menggenggam golok dengan tangan kiri. Rasanya goloknya tadi seperti habis menghantam sebuah gada baja yang amat keras ketika menangkis kilatan cahaya keperakan yang hampir menyambar tubuhnya. Dan saat itu juga, kedua bola matanya terbeliak lebar. Ternyata goloknya terpotong menjadi dua bagian!

Entah ke mana terpentalnya ujung potongan golok itu. Dan belum juga dia bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar dan memekakkan telinga. Tawa sangat keras dan menggema bagaikan datang dari segala penjuru mata angin itu membuat jantung pemuda ini jadi bergetar seketika.

“Ugkh...!”

Sedikit keluhan terdengar. Dan pemuda berwajah cukup tampan itu segera membuang goloknya yang sudah patah. Telinganya terasa sakit sekali saat mendengar tawa keras dan menggelegar ini. Telinganya segera ditutup dengan telapak tangan, tapi suara tawa itu semakin terdengar keras dan menyakitkan sekali.

Keringat mulai menitik di seluruh wajah dan tubuhnya. Perlahan namun pasti, wajah pemuda itu mulai terlihat memucat. Tubuhnya pun mulai menggeletar. Sementara, dari lubang hidungnya terlihat darah mengalir. Kemudian dari sudut bibir, dan dari sela-sela jari tangan yang menutup telinga, darah mengalir semakin banyak.

“Aaakh...!”

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar. Tampak pemuda itu jatuh menggelepar di atas tanah berbatu kerikil di tepi sungai kecil ini. Tubuhnya terus menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit, bagaikan tengah dikerubungi puluhan kala berbisa. Darah tampak semakin banyak mengalir dari hidung, mulut, dan telinganya. Bahkan, juga dari kedua bola matanya!

“Ha ha ha...!”

Sementara, suara tawa itu terus terdengar semakin keras. Bahkan daun-daun pepohonan di sekitar tepi sungai itu pun sudah terlihat berguguran. Dan tawa yang semakin keras itu seakan-akan menghentikan hembusan angin. Sedangkan pemuda berbaju hijau muda agak ketat itu terus menggelepar, dan menjerit-jerit kesakitan. Bahkan dari pori-pori di seluruh tubuhnya, sudah mengeluarkan keringat darah.

“Aaa...!”

Sebuah jeritan sangat panjang dan melengking tinggi, mengakhiri gerakan tubuh pemuda itu yang menggeliat-geliat Dan tubuhnya seketika mengejang, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Kaku. Kedua bola matanya tampak terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga. Namun, darah masih terus mengalir dari lubang hidung, mulut, dan telinganya.

Saat itu juga, suara tawa yang sangat keras dan menggelegar tadi terhenti. Dan keadaan di tepi sungai ini pun jadi sunyi. Sementara, pemuda itu tetap tergeletak dengan tubuh meregang kaku. Sedikit pun tak terlihat adanya gerakan yang menandakan kalau masih hidup. Pemuda itu pasti sudah tewas, akibat terserang suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Cukup lama juga keadaan di tepi sungai itu sunyi senyap, bagai tidak pernah terjadi apa-apa.

Dan kesunyian itu tiba-tiba saja kembali dipecahkan suara derap kaki kuda yang dipacu cepat dari arah seberang sungai. Tak berapa lama kemudian, terlihat tiga penunggang kuda berpacu cepat sekali menyeberangi sungai kecil yang berair dangkal ini.

“Hooop...!”
“Hup!”

Mereka segera menghentikan kudanya. Langsung mereka berlompatan turun begitu dekat dengan pemuda berbaju hijau muda yang tergeletak tak bernyawa lagi, tidak jauh dari kudanya yang juga sudah tewas dengan leher hampir buntung.

“Kakang...!”

Tiba-tiba terdengar salah seorang penunggang kuda. Sebentar kemudian, terlihat seorang gadis bertubuh kecil yang terbungkus baju ketat warna biru tua tengah berlari menghampiri pemuda itu setelah turun dari punggung kudanya. Tapi belum juga mendekat, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar dan berbulu mencekal pergelangan tangannya.

“Jangan mendekat, Lastri!”

“Tapi, Paman...,” sergah gadis yang ternyata bernama Lastri, hendak memberontak.

Namun saat sepasang mata merah menyorot tajam milik laki-laki yang dipanggil paman itu memandanginya, Lastri langsung terdiam. Dan wajahnya langsung berpaling ke arah pemuda yang tergeletak tak bernyawa lagi dengan tubuh meregang kaku. Sementara, dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang mengapit gadis cantik bertubuh kecil bernama Lastri ini, juga memandangi tubuh pemuda berbaju hijau yang tergeletak tak bernyawa.

“Kalian diam saja di sini dulu. Aku akan memeriksa,” ujar salah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang terbungkus baju hitam. Dialah yang tadi mencekal tangan Lastri agar tidak mendekati pemuda yang tergeletak tak bernyawa itu.

Tanpa menunggu jawaban, laki-laki ini langsung saja mengayunkan kakinya mendekati pemuda itu. Namun ayunan kakinya terhenti setelah tinggal selangkah lagi. Sebentar diamatinya mayat itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, kemudian tubuhnya bergerak membungkuk dan berjongkok. Beberapa saat, diperiksanya tubuh mayat pemuda itu, kemudian kepalanya berpaling ke belakang.

“Ke sini kalian...!” seru laki-laki itu memanggil.

Lastri dan seorang laki-laki lainnya yang berbaju merah menyala, bergegas menghampiri, begitu diperbolehkan. Dan gadis itu langsung menghambur memeluk mayat pemuda yang tergeletak berlumuran darah di wajahnya itu. Tangisnya seketika pecah menggerung-gerung. Sementara, dua laki-laki berusia hampir separuh baya yang tadi mendampinginya hanya bisa berdiri memandangi tanpa bisa berkatakata.

Agak lama juga Lastri menangisi mayat pemuda itu. Kemudian air matanya diseka dengan punggung tangan. Lalu, perlahan kepalanya terangkat ke atas, setelah tangisannya benar-benar terhenti. Namun sesekali masih juga terdengar isaknya. Ditatapnya dua orang laki-laki berusia separuh baya yang masih berdiri sekitar tiga langkah lagi di depannya.

“Aku akan membawa Kakang Barada pulang,” tegas Lastri dengan suara tertahan dan terisak.

“Lastri..., ingat pesan ayahmu,” ujar laki-laki berbaju warna merah menyala.

“Aku tidak peduli!” sentak Lastri langsung bangkit berdiri. “Kali ini, Paman tidak bisa menghalangiku lagi. Aku akan membawa pulang Kakang Barada, walaupun sudah jadi mayat!”

Kedua laki-laki berusia hampir separuh baya itu hanya saling melemparkan pandangan satu sama lain. Kemudian, mereka sama-sama menatap gadis cantik bertubuh kecil di depannya. Gadis itu tampak masih terlihat garang, walaupun sesekali masih terdengar isak tangisnya yang tertahan. Seakan-akan dia tidak ingin tangisannya dilihat kedua laki-laki itu lagi. Sekuat tenaga, hatinya berusaha tegar.

“Paman Gorak...,” panggil Lastri, seraya menatap laki-laki yang berbaju warna merah menyala.

Tapi, laki-laki berbaju merah yang ternyata bernama Gorak itu hanya membisu saja. Malah, dibalasnya tatapan itu dengan sinar mata yang sulit diartikan. Lastri langsung berpaling menatap seorang lagi yang berbaju hitam pekat.

“Paman Andaka...”

Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang dipanggil Paman Andaka hanya mengangkat bahu sedikit. Matanya malah melirik Paman Gorak yang berada di sebelah kirinya. Sedangkan yang ditatap, seperti tidak tahu. Malah, dipandanginya mayat Barada yang masih tergeletak kaku tak bernyawa lagi.

“Kurasa, tidak ada salahnya kita membawa Barada, Kakang Gorak,” kata Paman Andaka.

“Aku hanya tidak ingin melanggar amanat,” sahut Paman Gorak terdengar pelan suaranya, seakan ragu-ragu untuk memutuskan.

“Paman berdua tidak perlu ragu dan takut. Biar aku yang bertanggung jawab pada ayah,” selak Lastri.

“Lastri! Aku hanya mengingatkan pesan ayahmu saja. Kita boleh membawa pulang Barada, kalau memang masih hidup. Tapi kalau ditemukan sudah meninggal, ayahmu tidak mengizinkannya membawa pulang,” sanggah Paman Gorak.

“Ayah memang kejam...!” desis Lastri dengan mata merembang berkaca-kaca.

“Sudahlah, Lastri. Relakan saja kepergiannya. Sebaiknya, secepatnya kita tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sini,” bujuk Paman Gorak lagi.

“Tidak, Paman...,” desis Lastri seraya menggeleng. “Aku tetap akan membawa Kakang Barada pulang.”

Tanpa menghiraukan keberatan kedua pamannya, Lastri segera mengangkat tubuh Barada yang sudah kaku. Tapi tubuhnya yang kecil tentu saja mengalami kesulitan, karena tubuh Barada dua kali lebih besar dibanding dengannya.

Melihat kegigihan gadis itu, Paman Andaka jadi tidak tega juga. Segera kakinya melangkah menghampiri. Diangkatnya tubuh Barada, lalu diletakkan di pundaknya. Sebentar ditatapnya Paman Gorak, kemudian berjalan menghampiri kudanya. Mayat Barada diletakkan di punggung kuda yang ditungganginya. Sementara, Lastri sudah naik ke punggung kudanya sendiri. Paman Andaka segera melompat naik ke punggung kudanya. Dan mayat Barada diletakkan tengkurap di depannya. Sementara, Paman Gorak masih tetap berdiri memandangi, tanpa dapat berbuat apa-apa.

Sedikit Paman Gorak mengangkat pundaknya, kemudian melangkah menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan dan indah, dia melompat naik ke punggung kudanya. Dan sebentar kemudian, ketiga orang itu sudah bergerak meninggalkan tempat ini tanpa bicara lagi. Mereka terus menjalankan kudanya perlahan-lahan meninggalkan tepian sungai kecil yang berair dangkal ini.

********************

Di dalam kamarnya yang berukuran luas, Lastri berdiri mematung di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Saat itu, matahari sudah terlihat condong ke barat. Sinarnya yang semula garang terasa begitu terik menyengat kulit, kini terasa begitu lembut. Sejak penguburan Barada, Lastri tidak keluar dari kamarnya ini. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Namun, pandangan matanya terlihat lurus ke depan dan sangat kosong.

Tok, tok, tok...!
“Oh...?!”

Lastri tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Dan baru saja tubuhnya berputar berbalik, pintu kamar itu sudah terbuka. Lalu, muncul seorang laki-laki berusia hampir separuh baya. Dia mengenakan baju warna merah menyala yang agak ketat Dan tanpa dipersilakan lagi, kakinya melangkah masuk ke kamar, dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Sementara, Lastri masih tetap berdiri membelakangi jendela. Laki-laki yang tak Iain Paman Gorak itu langsung duduk di kursi kayu, tidak jauh dari jendela.

“Sejak tadi kau tidak keluar dari kamar, Lastri. Kenapa...?” tegur Paman Gorak dengan suara terdengar dibuat lembut

“Hhh...”

Lastri hanya menghembuskan napasnya saja panjang-panjang. Terasa begitu berat hembusannya. Dan kini, kakinya melangkah agak gontai mendekati pembaringan. Lastri kemudian duduk di tepi pembaringan yang berukuran cukup besar ini. Pandangan matanya kembali tertuju ke luar jendela. Begitu redup sinar matanya, seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup. Sementara, Paman Gorak terus memandangi. Sepertinya, isi hati gadis ini ingin diselaminya.

“Kau masih memikirkan kematian Barada, Lastri..?” tebak Paman Gorak.

Lastri tidak langsung menjawab, tapi malah menatap laki-laki berusia hampir separuh baya yang masih kelihatan cukup tampan. Rasanya, tidak pantas kalau usianya sudah berkepala empat

Sementara itu yang dipandangi malah balas menatap dengan sinar mata yang memancarkan cahaya menyelidik. Hal ini membuat Lastri harus kembali menghembuskan napas panjang. Matanya kini memandang ke luar jendela lagi.

“Kau tahu, Lastri. Bukan hanya aku dan paman-pamanmu saja yang sudah memperingatkan, tapi juga ayahmu. Barada itu sudah diperingatkan dengan keras, tapi tidak pernah mau mendengarkan. Keinginannya yang tidak masuk akal itu memang tak ingin dirubahnya. Jadi, aku rasa tidak ada gunanya menyesali kematiannya, Lastri,” kata Paman Gorak.

“Tapi, Paman...,” suara Lastri terputus.

“Aku tahu, Lastri. Aku juga bisa merasakan apa yang sedang kau rasakan sekarang ini. Tapi, itu bukan alasan untuk terus-menerus memikirkannya. Bahkan sampai mengurung diri dalam kamar ini. Barada memang baik. Aku juga menyayanginya. Bahkan ayahmu juga menyayanginya. Tapi sifatnya keras kepala. Sampai-sampai peringatan kami tidak ada yang masuk ke telinganya. Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri, Lastri. Kau ingat, apa yang diucapkannya... ? “

Lastri terdiam.

“Dia rela tidak diakui lagi di sini, asalkan bisa....”

“Sudah, Paman...!” sentak Lastri memutuskan ucapan pamannya.

“Maaf! Aku hanya ingin mengingatkanmu saja, Lastri,” ucap Paman Gorak.

“Terima kasih. Tapi, kuminta Paman tidak menggangguku dulu. Aku ingin sendiri,” kata Lastri halus.

“Yaaah...!”

Sambil mendesah panjang, Paman Gorak bangkit berdiri. Kemudian, kakinya melangkah keluar dari kamar ini tanpa berkata-kata lagi sedikit pun juga. Sempat juga wajahnya berpaling menatap Lastri yang masih duduk di tepi pembaringan, sebelum menutup pintu kamar kembali. Sementara, Lastri tetap duduk di tepi pembaringan dengan pandangan kosong, tertuju lurus ke luar jendela yang tetap dibiarkan terbuka lebar.

“Kakang Barada.... Mengapa kau tidak mau mematuhi kata-kata ayah...? Mengapa kau malah memilih jalan seperti itu?” desah Lastri menggumam, bertanya-tanya pada diri sendiri.

Memang di dalam hati kecilnya, Lastri sangat menyayangkan sikap Barada. padahal, bibit-bibit cinta sudah mulai tumbuh di hatinya. Dan bukan hanya Paman Gorak saja yang tahu, tapi juga Paman Andaka. Bahkan, ayahnya sendiri juga sudah tahu. Hanya saja, mereka belum ada yang berbicara tentang hubungan itu. Sedangkan Lastri sendiri belum bisa membuka penuh pintu hatinya pada Barada, walaupun sudah sering kali terlihat bersama-sama. Mereka memang sama-sama belum bisa mengungkapkan isi hati masing-masing.

Tapi kini, semuanya sudah terlambat Barada sekarang sudah mengisi lubang kuburnya. Kini Lastri hanya bisa menghembuskan napas panjang-panjang. Perlahan dia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan pembaringannya. Namun, ayunan kakinya langsung terhenti dengan pandangan tertuju lurus ke pintu yang tertutup rapat.

“Uh...!”

Sedikit gadis itu mengeluh, kemudian kembali menghampiri pembaringan. Tubuhnya lalu dihempaskan di sana. Lastri terbaring menelentang dengan kedua tangan terlipat di bawah kepala. Tatapan matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Bayangan-bayangan saat bersama Barada kembali terlintas di pelupuk matanya. Terasa begitu manis. Tapi waktu itu dia tidak tahu, dan belum bisa membedakannya. Dan kini, barulah terasa keindahan dan kemanisannya. Namun cepat-cepat disadari kalau semua itu tidak akan mungkin bisa terulang kembali, karena Barada sudah pergi untuk selama-lamanya.

“Huuuh...!”

Kembali gadis itu mengeluh panjang. Gadis itu bangkit dari pembaringannya, dan terus saja melangkah keluar dari kamar ini. Dibiarkannya pintu tetap terbuka lebar, dan terus berjalan dengan langkah lebar-lebar tanpa arah tujuan pasti.

********************

DUA

Glarrr...! Ledakan keras menggelegar, tiba-tiba saja terdengar begitu dahsyat mengejutkan. Lastri yang saat itu sedang tertidur lelap di pembaringan kamarnya, seketika terjaga. Ledakan itu memang sangat dahsyat menggelegar, sampai menggetarkan seluruh dinding kamarnya. Cepat gadis itu melompat bangkit dari pembaringan.

“Heh...?! Api...,” desis Lastri begitu terlihat semburan cahaya api dari balik jendela kamarnya yang tertutup rapat.

Bergegas gadis bertubuh kecil itu melompat menghampiri jendela, dan langsung dibukanya lebar-lebar. Saat itu terdengar teriakan-teriakan yang bercampur jeritan-jeritan melengking tinggi, serta denting senjata beradu. Kedua bola mata gadis itu jadi terbeliak lebar, begitu melihat bangunan di belakang bangunan rumah yang ditempatinya ini sudah terbakar hampir seluruhnya.

Sementara tidak jauh dari bangunan yang terbakar, terlihat orang-orang tengah bertarung sengit sekali. Lastri tidak tahu, siapa yang bertarung melawan murid-murid ayahnya. Pandangan matanya kemudian menangkap kelebatan bayangan tubuh Paman Gorak dan Paman Andaka. Mereka berlompatan cepat sekali. Tapi, Lastri sama sekali tidak melihat adanya orang yang sedang dikeroyok. Yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya keperakan yang berkelebat begitu cepat

Dan pada saat itu, tiba-tiba saja secercah cahaya kilat keperakan melesat begitu cepat ke arah jendela kamar Lastri yang terbuka lebar.

“Heh...?!”

Kedua bola mata Lastri jadi terbeliak lebar. Dan seketika itu juga, jantungnya terasa seakan jadi berhenti berdetak. Tapi belum juga cahaya kilat keperakan itu mendekat, dia sudah cepat sekali melompat keluar. Dan tepat di saat itu, cahaya kilat keperakan tadi menerobos masuk ke dalam. Dan....

Glarrr!

“Oh...?!”

Ledakan dahsyat yang terdengar menggelegar, membuat gadis itu tersentak kaget setengah mati. Kedua bola matanya jadi semakin lebar terbeliak, melihat kamarnya hancur berantakan. Dan belum juga rasa terkejutnya hilang, kembali hatinya dikejutkan oleh sebuah bayangan yang begitu cepat berkelebat bagai hendak menyambar tubuhnya.

“Hup! Hiyaaat..!”

Cepat sekali Lastri melenting ke belakang, dan berputaran beberapa kali untuk menghindari terjangan bayangan yang berkelebat bagai kilat. Manis sekali kakinya menjejak kembali di tanah. Namun belum juga sempat menyeimbangkan tubuhnya, kembali sebuah bayangan berkelebat begitu cepat ke arahnya. Dan....

Plak!
“Akh...!”

Lastri tidak sempat lagi berkelit Bayangan itu datang begitu cepat, hingga tidak ada kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Tahu-tahu, tubuhnya sudah terpental jauh ke belakang, setelah merasakan seperti ada sesuatu yang keras sekali menghantam.

Brakkk!

Sebuah tembok dari batu seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh kecil gadis itu. Tampak Lastri menggeliat sambil merintih lirih. Dari mulutnya keluar darah yang agak kental. Namun hanya sedikit saja gerakan tubuhnya terlihat, karena sebentar kemudian sudah tak bergerak-gerak lagi.

Saat itu juga, suasana malam jadi sunyi senyap. Tak terdengar lagi suara teriakan-teriakan pertarungan. Juga tidak lagi terdengar jeritan melengking menyayat hati. Di bawah siraman cahaya rembulan, terlihat tubuh-tubuh berlumuran darah bergelimpangan saling tumpang tindih. Entah apa yang terjadi, mereka semua tewas dengan tubuh begitu mengerikan.

Angin yang bertiup cukup kencang malam ini, menyebarkan bau anyir darah menggenang yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan. Sementara, api terlihat semakin berkobar membakar bangunan berukuran besar yang dikelilingi pagar tembok bagai benteng ini. Tak ada seorang pun yang terlihat bergerak hidup. Mereka semua tergeletak tak bergerak-gerak lagi, dengan tubuh bersimbah darah.

Dan pada saat itu, tiba-tiba terlihat sebuah cahaya kilat berkelebat begitu cepat. Namun cahaya itu lalu lenyap dalam sekejap saja, meninggalkan bangunan yang terbakar dan tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah darah.

********************

Pagi ini terasa begitu tenang. Matahari pun bersinar begitu lembut. Cahayanya membias keperakan begitu indah dipandang, menyembul dari balik sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pepohonan. Dan kabut juga masih terlihat menyelimuti sekitar bukit itu. Memang, pemandangan di sekitar bukit ini begitu indah, bagaikan berada di swargaloka. Begitu indahnya, hingga orang-orang yang sering melintasi bukit itu menamakannya Bukit Merak.

Dari arah sebelah timur Bukit Merak, terlihat dua orang menunggang kuda. Yang seorang adalah pemuda tampan berbaju rompi putih. Sekilas gagang pedang berbentuk kepala burung tampak bertengger di punggungnya. Begitu gagahnya, apalagi sambil menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap. Sementara di sebelah kanannya terlihat seorang gadis berparas cantik. Bajunya ketat berwarna biru muda. Begitu ketatnya, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah dipandang. Dia menunggang kuda putih yang cantik dan bersih. Tampak sebuah gagang pedang bergagang kepala naga berwarna hitam bertengger di punggungnya. Sedangkan di balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning keemasan, terselip sebuah kipas putih keperakan yang ujung-ujungnya berbentuk runcing bagai mata anak panah.

Kedua penunggang kuda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu perlahan-lahan menjalankan kudanya. Seakan-akan mereka tengah menikmati keindahan alam di sekitar Bukit Merak ini. Mereka adalah para pendekar muda yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.

“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.

Rangga langsung mengarahkan pandangannya, sejajar dengan jari telunjuk Pandan Wangi yang menjulur lurus ke depan. Tampak dari pucuk-pucuk pepohonan terlihat asap hitam mengepul ke angkasa. Sepertinya telah terjadi kebakaran di dalam hutan Bukit Merak ini. Dan entah kenapa, tanpa disadari kedua pendekar muda yang julukannya sudah kondang itu menghentikan langkah kuda masing-masing. Pandangan mereka tetap tertuju lurus ke depan, menatap asap hitam yang terus mengepul, walaupun tidak begitu banyak.

“Kakang! Bukankah di kaki bukit ini letak Desa Bangkalan...?” kata Pandan Wangi, seakan-akan ingin memastikan dugaannya.

“Hm..., benar,” sahut Rangga, terdengar menggumam suaranya.

“Jangan-jangan..., telah terjadi sesuatu di sana, kakang,” kata Pandan Wangi menduga lagi.

Rangga berpaling sedikit, menatap si Kipas Maut sebentar. Kemudian pandangannya kembali dialihkan ke depan. Memang asap hitam yang mengepul itu seperti berasal dari Desa Bangkalan yang berada di kaki Bukit Merak ini. Dan sejak tadi pun, Rangga sudah menduga kalau telah terjadi sesuatu di sana.

“Ayo kita ke sana, Pandan,” ajak Rangga.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Kedua pendekar muda itu segera menggebah kudanya menuju Desa Bangkalan di kaki Bukit Merak ini. Mereka berpacu cepat, menembus hutan yang tidak begitu lebat di sekitar Bukit Merak ini

Rangga terus memacu cepat kudanya, hingga membuat Pandan Wangi tertinggal di belakang. Memang, tidak mungkin bagi kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut untuk mengimbangi kecepatan lari kuda hitam yang bemama Dewa Bayu. Dan kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu memang bukanlah kuda sembarangan. Tidak ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menyamai kecepatan larinya. Maka tidak heran kalau dalam waktu sebentar saja, Pandan Wangi sudah tertinggal jauh di belakang.

“Hiyaaa! Hiyaaa...!”

Pandan Wangi terus saja menggebah kuda putihnya agar berlari lebih cepat lagi. Tapi karena jalan yang mulai menurun dan penuh pepohonan, kudanya tidak bisa berlari lebih cepat lagi. Sementara, gadis itu semakin sibuk mengendalikan tali kekang kudanya yang berlapis emas ini. Sesekali terdengar ringkikan kuda, jika Pandan Wangi menghentikan tali kekangnya.

“Hiyaaa...!”

Sementara itu, Rangga yang berada jauh di depan sudah sampai di kaki Bukit Merak ini. Dan lari kudanya segera diperlambat begitu sampai di batas sebuah desa yang dikenal sebagai Desa Bangkalan. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan kudanya, lalu melompat turun.

“Hup!”

Begitu indah dan ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompat turun dari punggung kudanya. Dan memang, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah mencapai tingkat sempurna. Hingga, sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah yang sedikit ditumbuhi rumput. Rangga berdiri tegak di depan kudanya. Pandangannya terlihat begitu tajam mengamati sekitarnya yang begitu sunyi. Hingga desir angin yang halus pun terdengar sangat jelas di telinganya.

Dan baru saja kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun, dari arah belakangnya terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat Rangga menghentikan langkah kakinya, dan berpaling ke belakang. Terlihat Pandan Wangi masih memacu kuda putihnya dengan cepat. Sementara, debu yang mengepul ke udara tampak seperti mengikutinya.

“Hooop...!”

Kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut itu meringkik keras, begitu tali kekangnya ditarik ke belakang. Dan begitu kedua kaki depannya hendak terangkat naik, Pandan Wangi sudah lebih cepat melompat turun. Gadis itu langsung saja menjejakkan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Sepi, Kakang...,” desah Pandan Wangi dengan suara terdengar menggumam pelan.

“Desa ini memang selalu sepi, karena letaknya sangat jauh dari kota. Dan lagi sangat terpencil,” sahut Rangga.

“Tapi tidak seperti biasanya, Kakang. Tidak ada seorang pun yang terlihat,” sanggah Pandan Wangi lagi, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit

Dan memang, tidak terlihat seorang pun di desa ini. Rumah-rumah yang berdiri bagai tidak dihuni lagi. Bahkan semua pintu dan jendelanya juga dalam keadaan tertutup rapat Kedua pendekar muda itu sama-sama mengarahkan pandangan ke ujung jalan desa ini. Tampak asap hitam yang terlihat tadi berasal dari dalam sebuah bangunan yang dikelilingi tembok batu bagai sebuah benteng kecil di tengah-tengah desa yang terpencil ini.

“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi tiba-tiba.

Rangga langsung mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi.

“Oh...?!”

Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main, begitu matanya menangkap sepasang kaki menyembul dari dalam parit di sebelah kanan jalan ini. Bergegas dia menghampiri. Kudanya ditinggalkan bersama Pandan Wangi.

“Oh...?!”

Rangga semakin bertambah terkejut, begitu sampai. Di dalam parit itu tampak sesosok tubuh tergeletak berlumuran darah tak bernyawa lagi. Hampir seluruh tubuhnya rusak, seperti terkena sabetan senjata tajam. Saat itu, Pandan Wangi datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Pasti telah terjadi sesuatu di sini, Kakang,” ujar Pandan Wangi.

Rangga hanya diam saja. Dikeluarkannya tubuh yang sudah tak bernyawa itu dari dalam parit diletakkannya di tempat yang agak teduh. Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja, kemudian beralih pada keadaan sekeliling yang masih tetap terlihat begitu sunyi. Rangga menghampiri gadis itu kembali, setelah meletakkan mayat ke tempat yang lebih nyaman. Pandan Wangi hanya melirik sedikit pada pemuda tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Kita memang tidak mengenal satu orang pun di desa ini, Kakang. Tapi kalau terjadi sesuatu, rasanya sulit untuk berpangku tangan saja,” tegas Pandan Wangi lagi, masih terus memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti di sebelahnya.

Tapi, Rangga masih saja diam dengan bibir terkatup rapat. Malah kepalanya terlihat bergerak sedikit ke kiri, lalu agak miring ke kanan. Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan, langsung diam tidak bicara lagi. Padahal, tadi mulutnya sudah dibuka hendak bicara. Namun melihat gerakan-gerakan kecil kepala Pendekar Rajawali Sakti, gadis itu jadi terdiam. Dia tahu, saat ini Rangga tengah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.

Ilmu yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti memang bisa membedakan dan memilah-milah suara. Hingga, dia bisa memilih suara yang diinginkan untuk didengar dengan lebih jelas lagi. Agak lama juga Rangga terdiam mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Kini perlahan kepalanya berpaling menatap Pandan Wangi yang sejak tadi tidak lepas memperhatikannya.

“Ada yang kau dapatkan, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.

“Tidak...,” sahut Rangga seraya menggelengkan kepala sedikit

“Tidak ada suara manusia satu pun juga...?” tanya Pandan Wangi lagi, ingin memastikan.

Rangga menggelengkan kepala saja, menjawab pertanyaan si Kipas Maut

“Jadi...?” suara Pandan Wangi terdengar terputus.

“Aku tidak tahu, Pandan. Tapi aku tidak menemukan satu kehidupan pun di sini. Desa Bangkalan ini seperti sudah ditinggalkan seluruh penduduknya,” ujar Rangga dengan suara pelan dan agak mendesah.

“Aneh.... Kenapa mereka pergi meninggalkan desa ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi, seperti untuk diri sendiri.

Dan Rangga tidak bisa menjawab, kecuali hanya diam membisu. Perlahan kakinya bergerak terayun menyusuri jalan desa yang berdebu ini Pandan Wangi mengikuti, dan menjajarkan ayunan kakinya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan tanpa berbicara lagi. Jadi mata mereka terus mengamati keadaan sekeliling.

Dan ayunan langkah kaki kedua pendekar muda itu terhenti setelah sampai di depan pintu yang terbuat dari kayu jati berukuran sangat besar dan tampak tebal. Mereka mengamati bangunan yang dikelilingi tembok pagar yang cukup tinggi bagai sebuah benteng ini. Sementara asap yang terlihat masih saja mengepul, walaupun tidak setebal tadi.

“Kau di sini saja dulu, Pandan,” ujar Rangga.

“Mau ke mana kau, Kakang?” tanya Pandan Wangi cepat-cepat

“Aku ingin lihat ke dalam sebentar,” sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat ke atas. Gerakannya terlihat sangat ringan bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan dengan manis sekali, kedua kakinya menjejak bagian atas tembok ini Sementara, Pandan Wangi terus memandangi sambil memegangi tali kekang kuda-kuda mereka berdua.

Tapi, hanya sebentar saja Rangga berada di atas pagar tembok ini, karena sebentar kemudian sudah kembali melompat turun. Tanpa menimbulan suara sedikit pun juga, kakinya kembali menjejak tanah, tepat sekitar dua langkah lagi di depan Pandan Wangi.

“Ada apa di dalam sana, Kakang?” Pandan Wangi langsung saja menyambut dengan pertanyaan.

“Bangunan di dalam sudah hancur terbakar. Dan banyak mayat di sana,” sahut Rangga.

“Oh...?! Apa yang terjadi...?” tanya Pandan Wangi agak terkesiap.

“Entahlah, Pandan,” sahut Rangga seraya mengangkat pundak sedikit. “Kau ingin melihat ke dalam?”

“Aku rasa tidak ada salahnya, Kakang. Barangkali saja masih ada orang yang hidup di dalam sana,” sahut Pandan Wangi.

Rangga tersenyum sedikit Kemudian.... “Hup!”

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas, dan tahu-tahu sudah kembali hinggap di atas dinding tembok batu ini. Tapi sebentar kemudian pemuda itu sudah melompat turun ke dalam. Sementara, Pandan Wangi menuntun kudanya mendekati pintu yang sangat besar dari kayu jati tebal ini. Dan begitu dekat, pintu itu bergerak terbuka dengan memperdengarkan suara berderit menggiris hati.

Pandan Wangi terus saja melangkah masuk. Namun ayunan kakinya dihentikan setelah sampai di samping Rangga. Agak terkesiap juga hati gadis itu melihat bangunan di dalam tembok bagian benteng ini sudah hangus terbakar. Bahkan hampir tak tersisa lagi. Sementara di sekitar puing-puing bangunan yang menghitam hangus itu terlihat puluhan mayat bergelimpangan, dengan tubuh berlumuran darah kering.

Bau anyir darah langsung menyeruak, merasuk ke dalam hidung. Pandan Wangi menghampiri salah satu mayat yang tergeletak tidak seberapa jauh darinya. Sebentar diperhatikannya keadaan tubuh orang itu. Beberapa luka seperti terbabat pedang, terlihat di tubuhnya yang berlumuran darah mengering. Gadis itu kembali menghampiri Rangga yang masih saja belum menggerakkan kakinya. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, seakan-akan tengah ada yang dicarinya. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah berada kembali di sebelah kanannya.

“Sepertinya sudah cukup lama ini terjadi, Kakang,” ujara Pandan Wangi menduga. “Darah mereka sudah mengering semua.”

“Apa perkiraanmu, Pandan...?” tanya Rangga, seperti menguji.

“Tempat ini seperti sebuah padepokan, Kakang..,” keluh Pandan Wangi seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Ya, memang ini sebuah padepokan,” sahut Rangga. “Padepokan Merak Sakti. Aku juga kenal ketuanya, Eyang Banaspati.”

“Kalau kau kenal, kenapa tidak kita cari saja di antara mereka, Kakang...?” usul Pandan Wangi.

“Aku tidak yakin Eyang Banaspati berada di antara mereka, Pandan. Dia bukan saja pemimpin padepokan, tapi juga seorang pertapa sakti. Malah ilmu-ilmunya pun sangat sukar dicari tandingannya.”

“Dan mereka semua muridnya, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Aku rasa, iya...,” sahut Rangga terdengar ragu-ragu nada suaranya.

Saat itu, pandangan mata Rangga tertuju ke satu arah. Dan tanpa bicara lagi, kakinya terayun melangkah. Pandan Wangi memperhatikan sebentar, kemudian mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah meninggalkan dua ekor kuda tunggangan mereka berdua. Sementara, Rangga terus berjalan melewati tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak tentu arah di sekitar puing-puing yang sudah menghitam hangus ini.

Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah sampai di dekat seorang gadis yang tergeletak di antara pecahan batu tembok. Tak ada luka sedikit pun di tubuhnya, seperti yang lain. Tapi di mulutnya penuh menggumpal darah yang sudah membeku kering. Rangga berlutut, lalu menyentuhkan ujung jari tangannya ke bagian leher dekat dagu gadis itu. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku merasakan denyut nadinya, Pandan. Tapi sangat lemah...,” ujar Rangga pelan, tanpa berpaling sedikit pun.

“Apa itu berarti dia masih hidup, Kakang?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Entahlah...,” sahut Rangga mendesah panjang.

Pendekar Rajawali Sakti memeriksa beberapa bagian tubuh gadis ini. Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan jari-jari tangan Rangga yang bergerak lincah dan teratur. Tampak beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti memberi totokan pada beberapa bagian tubuh gadis yang kecil mungil ini. Tapi dari raut wajahnya, terlihat jelas kalau usianya sekitar delapan belas tahun.

“Hhh...!”

Terdengar berat sekali tarikan napas Rangga. Dia bangkit berdiri lagi, dan berpaling menatap Pandan Wangi yang tengah memperhatikan gadis muda yang tergeletak di antara pecahan batu bekas tembok ini.

“Bagaimana? Masih bisa ditolong...?” tanya Pandan Wangi tanpa berpaling sedikit pun.

“Aku tidak yakin. Dia telah terkena pukulan bertenaga dalam tinggi, tepat di bagian pusat peredaran darahnya,” jelas Rangga, perlahan sekali suaranya.

“Oh...,” desah Pandan Wangi panjang.

TIGA

Rangga tidak bisa menolak permintaan Pandan Wangi untuk menyembuhkan luka gadis yang ditemui di antara puing-puing reruntuhan bekas Padepokan Merak Sakti. Meskipun tidak yakin akan berhasil, tapi sekuat tenaga diusahakan untuk menyembuhkannya.

Sedangkan Pandan Wangi begitu yakin kalau gadis itu bisa disembuhkan. Buktinya, dia mampu bertahan, walaupun habis terkena pukulan bertenaga dalam sangat tinggi, tepat pada bagian pusat peredaran darahnya. Padahal, biasanya orang sangat sukar untuk bisa bertahan. Kecuali, telah memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi pula. Dan itu pun masih ditambah penguasaan pengendalian hawa murni yang sudah terlatih baik.

Tapi, itu juga sangat sulit untuk bisa mengembalikannya seperti sediakala. Paling tidak, akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam pengerahan tenaga dalam. Dan yang lebih parah lagi, bisa mengakibatkan kelumpuhan. Tapi, Pandan Wangi tetap berharap gadis ini bisa pulih kembali seperti semula. Apa lagi, dia yakin betul kalau Rangga memiliki kesempurnaan dalam pengerahan tenaga dalam dan hawa murninya.

Sementara, Rangga berusaha menyembuhkan gadis yang ditemuinya. Sedangkan Pandan Wangi memeriksa keadaan sekeliling. Diperhatikannya satu persatu mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam lingkungan tembok yang menyerupai benteng ini. Tapi sampai matahari berada di atas kepala, tetap saja tidak ditemukan lagi orang yang masih bisa ditolong. Dan kebanyakan dari mereka menderita luka yang sangat parah, hingga menyebabkan kematian.

Si Kipas Maut itu kini kembali menghampiri Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tampaknya juga sudah menghentikan usahanya dalam menyembuhkan gadis itu dengan pengerahan hawa murni yang dipadu pengerahan tenaga dalam.

“Bagaimana, Kakang? Ada kemajuan...?” tanya Pandan Wangi, seraya duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Kita tunggu saja sampai besok. Kalau belum juga sadar...,” Rangga tidak melanjutkan kata-katanya.

“Tidak ada harapan...?”

Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepala saja, yang kemudian disambut hembusan napas panjang Pandan Wangi.

"Kau sudah memeriksa semuanya, Pandan?” tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

“Sudah,” sahut Pandan Wangi singkat

“Kau temukan Eyang Banaspati?” tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi menggeleng. Walaupun belum pernah mengenalnya, tapi dari ciri yang diberitahukan Rangga, Pandan Wangi tetap mencari. Hanya saja, orang yang dimaksud Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ditemukan. Dan memang, dia tidak melihat adanya seorang laki-laki tua yang seperti disebutkan Rangga padanya.

“Ayo, kita cari tempat yang lebih baik,” ajak Rangga seraya bangkit berdiri.

Pandan Wangi ikut berdiri. Sementara, Rangga mengangkat tubuh gadis yang ditemukan dan meletakkannya secara telungkup di atas punggung kudanya. Sementara, Pandan Wangi sudah menghampiri kudanya. Tapi gadis itu tidak juga menaiki kuda putihnya. Sedangkan Rangga sendiri sudah berjalan sambil menuntun kudanya, kemudian diikuti gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Kini mereka berjalan sejajar berdampingan.

Mereka terus berjalan sambil menuntun kuda masing-masing, keluar dari Padepokan Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Sementara suasana di luar juga masih tetap sunyi seperti tadi, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Tapi kesunyian itu sudah tidak lagi membuat khawatir, karena mereka sudah yakin kalau tidak ada seorang pun yang akan dijumpai lagi.

Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan Padepokan Merak Sakti, mendadak saja terlihat sebuah bayangan berkelebat menyeberang jalan ini, tidak jauh di depannya. Dan kebetulan, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang melihatnya.

“Kau tunggu di sini, Pandan,” ujar Rangga cepat-cepat.
“Heh...?!”
“Hup!”

Belum juga Pandan Wangi bisa mengucapkan sesuatu, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Pandan Wangi mengambil tali kekang kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu tidak berani melanggar pesan Rangga, sehingga tetap berada di tengah-tengah jalan sambil memegangi tali kekang kedua ekor kuda tunggangan mereka.

********************

Sementara itu, Rangga sudah bisa melihat seorang laki-laki berlari menuju hutan di kaki Bukit Merak ini dengan kecepatan tinggi. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja menggenjot tubuhnya. Kini, dia bagaikan terbang saja saat mengejar orang itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah cukup dekat dengan orang itu. Dan....

“Hup...!”

Sungguh sangat ringan dan cepat lompatan Rangga, hingga bisa melewati kepala orang yang dikejarnya. Lalu, begitu manis Pendekar Rajawali Sakti mendarat di depan buruannya.

“Berhenti...!”
“Oh...?!”

Orang itu tampak terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba di depannya menghadang seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih, dengan sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggung. Seketika itu juga, larinya langsung dihentikan.

“Jangan lari, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu,” ujar Rangga.

“Siapa kau? Aku tidak mengenalmu...,” terdengar bergetar suara pemuda itu.

“Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini,” sahut Rangga menjelaskan. “Dan kau siapa?”

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dengan bola matanya yang bersinar tajam, diamatinya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan, dia tengah mencari kebenaran dari jawaban Rangga barusan. Hati-hati sekali sikapnya, ketika kepalanya berpaling ke belakang. Tapi, tidak ada seorang pun yang dilihatnya. Kemudian kembali dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri sekitar satu batang tombak di depan.

“Kau pasti bukan penduduk Desa Bangkalan ini,” tebak pemuda itu lagi.

“Memang. Aku datang dari jauh, dan kebetulan saja lewat di desa ini. Tapi aku merasa heran, karena tidak menemui seorang pun di sini. Baru kau saja yang kutemui, Kisanak,” jelas Rangga, tenang.

“Lalu..., siapa temanmu itu?” tanya pemuda itu lagi.

“Dia teman seperjalananku,” sahut Rangga, langsung teringat Pandan Wangi yang ditinggalkannya bersama seorang gadis yang masih belum sadarkan diri.

“Dan yang terbaring di punggung kuda...?” tanyanya lagi.

Rangga tersenyum mendengar pertanyaan yang beruntun itu. Disadari kalau pemuda itu pasti sudah mengamatinya sejak tadi. Tapi, tampaknya dia tidak tahu kalau gadis yang terbaring pingsan di punggung kuda itu ditemukannya di Padepokan Merak Sakti yang ada di Desa Bangkalan ini.

“Aku tidak tahu namanya. Dia kutemukan dalam keadaan terluka parah di antara mayat-mayat yang ada di dalam Padepokan Merak Sakti,” sahut Rangga baru menjelaskan, setelah melangkah beberapa tindak mendekati pemuda itu.

“Kau.... Kau sudah masuk ke sana...?” Pemuda itu tampak terkejut mendengar penjelasan Rangga barusan.

“Benar, kenapa...?”

“Kau pasti salah seorang dari mereka!”

Kali ini suara pemuda itu terdengar bergetar agak tertahan. Bahkan wajahnya pun jadi memerah, meregang kaku. Kedua bola matanya tampak berkilatan, bersinar tajam menatap langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya. Sedangkan kedua tangannya langsung terkepal, menampakkan urat-urat kejantanannya yang membiru dan menonjol. Sementara, Rangga agak terkejut juga melihat perubahan sikap pemuda itu, setelah menjelaskan tentang gadis yang ditemuinya di dalam Padepokan Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Dan belum sempat Pendekar Rajawali Sakti berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja....

“Kau harus mampus, Iblis Keparat! Hiyaaat..!”

“Heh...?! Tunggu...!”

Tapi, pemuda yang belum menyebutkan namanya itu sudah lebih cepat melompat menyerang. Langsung dilepaskannya pukulan beruntun beberapa kali dengan cepat sekali. Mendapat serangan mendadak ini, membuat Rangga terpaksa harus melompat mundur sambil meliukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gencar pemuda ini.

“Hap!”

Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang memang hanya digunakan untuk menghindar. Dengan jurus ini, tidak mudah bagi lawan untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti, meskipun gerakan-gerakan yang dilakukan seperti tidak beraturan sama sekali. Bahkan seperti orang yang kebanyakan minum arak.

Sampai sejauh ini, serangan-serangan gencar yang dilancarkan pemuda itu tidak juga berhasil mendapatkan sasaran tepat. Semuanya dapat mudah dimentahkan Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan menggunakan satu jurus saja.

“Tunggu dulu, Kisanak. Kenapa kau menyerangku...?”

Rangga berusaha menghentikan serangan-serangan pemuda itu, tapi sama sekali tidak dihiraukan. Bahkan pemuda yang tidak dikenalnya itu semakin gencar melancarkan serangan. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang semakin terasa dahsyat saja.

“Ups..!”

Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan pemuda itu menghantam dada. Untungnya, Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti cepat memberi satu sodokan tangan kiri ke arah perut. Begitu cepat sodokan yang diberikan, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi menghindar. Dan...

Desss!
“Ugkh...!”

Pemuda itu kontan mengeluh pendek. Dan tubuhnya jadi terbungkuk, terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kanannya langsung mendekap perut yang terkena sodokan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Rangga sudah melompat cepat, sukar diikuti pandangan mata biasa. Lalu, dengan cepat pula dilepaskannya satu totokan yang disertai pengerahan tenaga dalam ke tubuh pemuda itu.

Tukkk!
“Akh...!”

Pemuda itu sempat terpekik kecil, lalu tubuhnya langsung ambruk begitu jalan darahnya tertotok. Rangga bergegas menghampiri. Sementara pemuda itu sudah tergeletak tak bertenaga lagi, begitu jalan darahnya tertotok.

“Maaf, aku terpaksa melumpuhkanmu sementara,” ucap Rangga buru-buru.

“Phuih...!” pemuda itu menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sinar matanya menyorot begitu tajam, memancarkan kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti.

Walaupun tahu, tapi Rangga tidak membalas sorot mata penuh kebencian itu. Bahkan diberikannya senyuman yang lembut penuh persahabatan. Sikap lembut Pendekar Rajawali Sakti ini membuat pemuda itu jadi keheranan juga. Terlebih lagi pemuda tampan berbaju rompi putih itu tidak membunuhnya, tapi hanya menotok jalan darahnya saja. Sehingga, seluruh tenaganya lenyap seketika. Dan kini, tubuhnya bagaikan tidak memiliki tulang lagi. Begitu lemas, sampai sulit digerakkan.

“Kenapa kau tidak membunuhku...?!” dengus pemuda itu bertanya.

“Aku bukan pembunuh, Kisanak,” sahut Rangga tetap kalem, tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun juga.

Sementara, pemuda itu terus memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata yang kini berubah memancarkan rasa curiga dan penuh selidik. Tapi, Rangga tetap saja tersenyum.

Saat itu, terdengar suara langkah kaki kuda dan langkah kaki ringan. Rangga berpaling sedikit ke arah datangnya suara yang didengarnya. Kini, tampaklah Pandan Wangi datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda. Dan di atas punggung kuda Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti tampak tertelungkup seorang gadis bertubuh kecil mungil dengan kulit sangat putih dan halus. Sangat pas dengan warna pakaian yang dikenakannya, walaupun pakaiannya tercemar bercak-bercak darah.

Pandan Wangi baru berhenti setelah dekat di belakang Rangga yang berjongkok di samping kanan pemuda yang dikejarnya tadi. Dan sekarang, pemuda itu tergeletak lumpuh tak berdaya sama sekali, setelah mendapat totokan yang cukup kuat dari Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi sambil menatap pemuda yang masih tergeletak tak berdaya di tanah.

Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit “Kau belum memperkenalkan namamu, Kisanak,” ujar Rangga.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku! Yang penting sekarang, kau harus enyah dari sini secepatnya!” kasar sekali nada suara pemuda itu.

“Kau masih terus mencurigaiku, Kisanak. Padahal, aku sudah menjelaskan siapa diriku yang sebenarnya. Aku sama sekali tidak bermaksud jahat padamu. Bahkan merasa heran dengan keadaan di desa ini. Ketahuilah, Kisanak. Aku dan Pandan Wangi selalu berusaha membela yang lemah,” kembali Rangga menjelaskan dengan gamblang.

“Benar, Kisanak. Kalau kau mau memberi tahu peristiwa yang telah terjadi di desa ini, barangkali saja kami bisa membantumu. Syukur kalau bisa memulihkan keadaan seperti sediakala,” selak Pandan Wangi menyambung ucapan Rangga.

“Kalian benar-benar bukan orang jahat..? Bukan salah satu dari mereka?”

Tampaknya pemuda itu masih juga belum percaya. Dan dia masih ingin memastikan kalau kedua orang yang tidak dikenalnya itu memang benar-benar bukan orang jahat. Bahkan bisa membantu memulihkan keadaan di Desa Bangkalan yang terasa begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya.

Cukup lama juga pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian, seakan-akan masih juga diliputi keraguan. Hatinya ingin diyakini, tapi tidak tahu cara yang benar untuk menunjukkannya. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan. Kemudian, terlihat kepala mereka menggeleng perlahan beberapa kali.

“Aku akan membebaskan totokanmu, Kisanak,” ujar Rangga.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung membebaskan totokannya pada pusat aliran jalan darah pemuda itu. Sebentar saja, pemuda yang belum diketahui namanya itu sudah bisa menggeliat. Kemudian, dia bergegas bangkit berdiri. Kakinya lalu ditarik dua langkah ke belakang. Sejenak ditatapnya Rangga, kemudian beralih pada gadis yang masih tertelungkup di punggung kuda hitam Dewa Bayu.

“Hm.... Apakah dia Lastri...?” gumam pemuda itu. Nada suaranya sepreti bertanya pada diri sendiri.

“Aku tidak tahu, Kisanak. Dia kutemukan terluka sangat parah. Bahkan sampai kini belum juga sadarkan diri,” jelas Rangga, tanpa diminta.

Kembali pemuda itu memandang Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kakinya melangkah menghampiri gadis yang masih pingsan, tertelungkup di punggung kuda Dewa Bayu. Memang sulit mengenalinya, karena wajahnya tidak terlihat sedikit pun juga. Kini diangkatnya sedikit kepala gadis itu, hingga wajahnya dapat terlihat cukup jelas. Seketika itu juga, matanya terbeliak sambil terpekik kecil.

“Kenapa kau, Kisanak?” tanya Rangga seraya cepat menghampiri.

“Benar.... Dia Lastri. Putri Eyang Banaspati,” jelas pemuda itu seraya memutar tubuhnya. Kini dia menghadap langsung pada Pendekar Rajawali Sakti. “Di mana kalian menemukannya?”

“Di reruntuhan padepokan Eyang Banaspati,” sahut Rangga.

“Di sana juga banyak mayat,” sambung Pandan Wangi.

Tampak jelas kalau wajah pemuda itu langsung memucat mendengar penjelasan kedua pendekar muda ini. Perlahan kakinya ditarik ke samping, menjauhi Rangga dan kuda hitam Dewa Bayu.

“Kenapa, Kisanak? Kenapa wajahmu jadi pucat begitu...?” tanya Rangga, keheranan.

“Kalian akan mendapat celaka bila menolongnya. Sebaiknya, kalian pergi saja dari sini dan tinggalkan dia...,” terdengar bergetar suara pemuda itu.

“Kisanak! Sejak tadi kau bersikap aneh. Dan kata-katamu juga tidak bisa kumengerti. Kenapa kau berkata begitu? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sini, hingga membuatmu tampak begitu ketakutan?” tanya Rangga meminta penjelasan.

Tapi pemuda itu tidak langsung menjawab. Dipandanginya Rangga beberapa saat, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini, pandangannya pun berganti pada gadis bernama Lastri yang masih tertelungkup tidak sadarkan diri di punggung kuda hitam Dewa Bayu. Kembali ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang masih memandanginya, menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Namaku Jalakpati. Aku sebenarnya juga bukan penduduk desa ini. Kedatanganku ke sini justru untuk menuntut ilmu pada Eyang Banaspati yang mengetuai Padepokan Merak Sakti. Tapi, Eyang Banaspati tidak langsung menerimaku dan ingin menguji dulu. Aku diminta menunggu untuk beberapa waktu. Entah untuk berapa lama harus menunggu, maka kuputuskan untuk tetap berada di desa ini sampai Eyang Banaspati bersedia menemuiku lagi. Tapi...,” pemuda yang mengenalkan diri sebagai Jalakpati itu menghentikan kata-katanya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya terdiam saja memandangi. Mereka menunggu kelanjutan cerita pemuda itu.

EMPAT

Lama juga Jalakpati terdiam, tanpa melanjutkan ceritanya tentang Desa Bangkalan yang kini sudah tak berpenghuni lagi. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih sabar menunggu. Sedikit pun kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tidak mengeluarkan suara. Namun pandangan mata mereka tertuju langsung pada Jalakpati, dan berharap agar ceritanya dilanjutkan.

“Aku tidak tahu, sudah berapa hari tinggal di Desa Bangkalan ini. Tapi, Eyang Banaspati belum juga memanggilku. Hingga suatu hari kudengar ada salah seorang muridnya berusaha membangkang. Dan akhirnya, dia tewas ketika mencoba melarikan diri,” sambung Jalakpati setelah cukup lama membisu.

“Dibunuh...?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Entahlah. Tapi yang kudengar, dia tewas secara aneh begitu hampir sampai di Puncak Bukit Merak, Hanya Lastri dan kedua pamannya saja yang menemukan mayatnya, dan membawanya pulang ke padepokan. Tapi berselang satu hari, terjadi musibah besar yang menimpa padepokan itu. Seluruh murid Padepokan Merak Sakti tewas. Bahkan kedua paman Lastri pun ikut tewas juga. Tidak ada yang tahu, siapa yang membantai mereka semua...,” terdengar menggantung suara Jalakpati saat memberi keterangan.

“Lalu, kenapa Desa Bangkalan ini ditinggalkan penduduknya?” selak Pandan Wangi, bertanya.

“Setelah Padepokan Merak Sakti hancur, satu persatu ada saja yang tewas secara mengerikan. Hingga, penduduk memutuskan untuk pergi dari desa ini. Maka tidak sampai setengah hari, desa ini sudah kosong sama sekali. Tinggal aku yang masih tetap bertahan. Dan semua yang terjadi ingin kuselidiki,” sahut Jalakpati.

Sementara itu Rangga hanya diam saja. Keningnya terlihat berkerut, seakan tengah memikirkan sesuatu. Atau barangkali sedang menyimak semua yang telah diceritakan Jalakpati. Memang terasa aneh sekali semua peristiwa yang terjadi di Desa Bangkalan ini. Begitu cepatnya pembunuhan-pembunuhan itu terjadi, hingga mengakibatkan Desa Bangkalan ini ditinggalkan penghuninya hanya dalam waktu kurang dari setengah hari.

Bahkan sebuah padepokan yang sudah terkenal pun ikut hancur dalam waktu sebentar saja. Inilah yang membuat Rangga jadi tidak mengerti. Apalagi, dia tahu betul kalau Eyang Banaspati bukanlah orang sembarangan yang begitu mudah dapat dikalahkan. Demikian pula murid-muridnya yang rata-rata berkepandaian cukup tinggi. Rasanya sulit dipercaya kalau sebuah padepokan yang begitu kuat dan terkenal bisa runtuh hanya dalam waktu sebentar saja.

Saat itu, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Mereka langsung berpaling ke arah suara. Di sana terlihat debu mengepul membubung tinggi ke angkasa. Tak berapa lama kemudian, terlihat beberapa penunggang kuda yang berpacu cepat ke arah mereka.

Penunggang-penunggang kuda itu terus saja memacu cepat kudanya. Seakan-akan tidak melihat ada tiga orang berdiri di tepi jalan. Tanpa berpaling sedikit pun, mereka terus saja melewati Jalakpati dan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Sebentar saja, penunggang-penunggang kuda itu sudah jauh melewati mereka. Debu terus mengepul mengikuti sepanjang jalan yang dilalui penunggang-penunggang kuda itu.

“Siapa mereka...?” tanya Pandan Wangi Nada suaranya terdengar menggumam, seperti bertanya pada diri sendiri.

Tak ada seorang pun yang menjawab. Sementara Rangga dan Jalakpati terus memandangi empat orang penunggang kuda yang sudah jauh, dan tidak terlihat lagi karena tertutup kepulan debu tebal yang tersepak kaki-kaki kuda.

“Kelihatannya mereka hendak ke Bukit Merak...,” ujar Rangga setengah menggumam.

“Benar! Mereka memang hendak ke sana,” sahut Jalakpati, juga terdengar pelan suaranya.

Rangga berpaling menatap pemuda itu. Dan yang dipandangi terus mengarahkan pandangan matanya ke Bukit Merak. Sementara, empat orang penunggang kuda yang melewati mereka sudah tidak terlihat lagi, namun debu masih terlihat mengepul di angkasa. Demikian pula suara kaki kuda yang dipacu cepat, juga sudah tidak terdengar lagi. Jalakpati baru mengalihkan pandangannya setelah debu yang mengepul sudah tidak terlihat lagi. Dan kini, tatapan matanya langsung bertemu sorot mata Rangga yang sejak tadi terus memandangi.

“Sejak Padepokan Merak Sakti hancur, dan Desa Bangkalan ini tidak lagi berpenghuni, sudah ada kira-kira sepuluh orang datang ke Bukit Merak,” jelas Jalakpati, tanpa diminta lagi.

“Mau apa mereka datang ke sana?” tanya Pandan Wangi.

Jalakpati tidak menjawab, dan hanya mengangkat pundaknya saja sedikit. Sementara itu, matahari terus merayap turun ke kaki langit sebelah barat. Kini mereka tidak bicara lagi. Entah apa yang ada di dalam benak kepala merka masing-masing saat ini. Sedangkan Rangga sudah memeriksa salah sebuah rumah, lalu membawa masuk Lastri ke dalam rumah itu. Pandan Wangi mengikuti dari belakang.

Sedangkan Jalakpati mengurus kuda-kuda kedua pendekar muda itu tanpa diminta lagi. Sebentar lagi, malam akan datang. Dan mereka memang membutuhkan tempat untuk bermalam yang kebetulan tidak sulit mendapatkannya. Karena, rumah-rumah di desa ini sudah tidak berpenghuni lagi, sehingga mereka bisa menempatinya untuk sementara sambil menunggu malam.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Sepanjang malam Rangga tidak bisa memejamkan mata sedikit pun, karena tengah berusaha menyembuhkan luka dalam yang diderita Lastri. Tapi gadis itu masih juga belum sadarkan diri. Sementara, Pandan Wangi terus setia menunggu, dan sesekali membantu kalau diminta. Sedangkan Jalakpati tertidur lelap, seakan tidak peduli dengan apa yang dilakukan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.

Hingga pagi datang menjelang, Pendekar Rajawali Sakti masih juga belum bisa memejamkan matanya barang sekejap pun. Sedangkan Pandan Wangi sudah terbaring tidur di samping pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Ranggga terus memperhatikan Lastri yang masih terbaring belum sadarkan diri di depannya.

“Bagaimana...?”
“Oh...?!”

Rangga agak terkejut juga ketika tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kanannya. Cepat mukanya berpaling, dan tersenyum begitu melihat Jalakpati sudah berada dekat di sebelah kanannya. Saat itu, Pandan Wangi menggeliat dan membuka matanya. Gadis itu bangkit, lalu duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Jalakpati tetap berdiri di sebelah lain dari Pendekar Rajawali Sakti. Mereka sama-sama memandang gadis berwajah cukup cantik dan bertubuh kecil mungil yang terbaring tidak sadarkan diri di atas balai-balai bambu beralaskan selembar tikar daun pandan.

“Aliran jalan darahnya sudah mulai seperti biasa kembali. Dan pernapasannya juga sudah tidak terganggu. Tapi matanya belum juga mau terbuka,” kata Rangga memberi tahu. Suaranya terdengar perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.

“Sudah kau periksa lagi, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Sudah,” sahut Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Mungkin ada kesalahan...,” selak Jalakpati.

“Entahlah...,” sahut Rangga mendesah. “Coba kau yang periksa.”

Rangga menggeser duduknya, memberi tempat pada Jalakpati. Pemuda itu kemudian duduk di tempat duduk Rangga tadi. Sebentar dipandanginya Lastri yang masih terbaring diam. Kemudian tangannya bergerak ke atas tubuh gadis itu. Seketika, jari-jari tangannya lincah sekali bergerak memberi pijatan-pijatan ke tubuh Lastri.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja memperhatikan. Sedangkan jari-jari tangan Jalakpati tampak sudah berhenti bergerak di atas perut Lastri. Kening pemuda itu jadi berkerut Kemudian, wajahnya berpaling menatap Rangga sambil menarik kembali tangannya dari perut Lastri yang masih tetap terbaring diam dengan tarikan napas teratur lembut.

“Ada apa?” tanya Rangga.

“Pusat pengerahan hawa murninya tertutup. Dia tidak akan mungkin bisa sadar kalau belum dibuka,” sahut Jalakpati.

“Oh...?!”

Rangga tersentak kaget. Hal itu benar-benar tidak disadari. Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak memeriksa sampai ke sana. Cepat dua ujung jari tangannya ditekan ke perut Lastri. Keningnya jadi berkerut, lalu perlahan menarik kembali jari tangannya. Dipandanginya Jalakpati dan Pandan Wangi bergantian.

“Kenapa, Kakang...?” tanya Pandan Wangi.

“Aku tidak yakin bisa membuka kembali aliran pusat pengerahan hawa murninya. Sudah terlalu lama tersumbat. Dan...,” Rangga tidak meneruskan.

“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi, ingin lebih tahu.

“Orang yang melakukannya memiliki tenaga dalam tingkat sempurna. Aku tidak tahu, apakah pengerahan tenaga dalamku bisa menandinginya,” sahut Rangga lagi, dengan nada suara terdengar agak mengeluh.

“Coba saja, Kakang,” desak Pandan Wangi.

Gadis yang dikenal berjuluk Kipas Maut itu sangat yakin kalau Rangga bisa melakukannya. Dia tahu, tingkat pengerahan tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai tingkat sempurna. Dan dia percaya, Rangga mampu membukanya kembali.

“Terlalu besar akibatnya, Pandan,” ujar Rangga sedikit mendesah.

“Kenapa?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Kalau memang berhasil, dia akan sembuh seperti semula. Tapi kalau tidak..., aku tidak bisa lagi menjamin keselamatannya,” sahut Rangga menjelaskan.

Pandan Wangi terdiam. Langsung disadarinya kesulitan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti saat ini. Memang tidak mudah membuka kembali pusat pengerahan hawa mumi jika sudah tersumbat oleh kekuatan tenaga dalam yang sudah sempurna tingkatannya. Paling tidak harus ada orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam lebih tinggi lagi untuk bisa memulihkannya. Sedangkan saat ini, mereka tidak ada yang tahu, sampai di mana orang itu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menyumbat pusat pengerahan hawa mumi di tubuh Lastri.

Dan mereka juga belum tahu, siapa orang yang telah berbuat seperti ini. Padahal Rangga yang tingkat tenaga dalamnya sudah mencapai titik sempurna saja, masih belum yakin bisa membuka sumbat itu. Sementara, Jalakpati yang menyadari kekuatan tenaga dalamnya, tidak berani lagi mencoba.

Disadari akan bahaya yang mungkin akan dihadapi. Dan tentu saja, mereka tidak ingin Lastri tewas hanya karena cara pengobatan yang tidak berhasil. Saat ini, mereka memerlukan keterangan gadis itu untuk mengetahui latar belakang dari semua peristiwa yang terjadi di Desa Bangkalan dan Padepokan Merak Sakti.

Dan di sisi lain, mereka juga ingin tahu orang yang telah membantai habis murid-murid Padepokan Merak Sakti. Bahkan sampai membuat semua orang di Desa Bangkalan ini meninggalkan desa untuk mencari keselamatan diri. Karena, orang itu ternyata juga membantai tidak sedikit penduduk desa yang sama sekali tidak tahu apa-apa.

“Aku akan coba melepaskan sumbatan itu. Tapi, tolong kalian bantu kalau sudah kuberi tanda,” ujar Rangga.

“Aku siap, Kakang,” sambut Pandan Wangi cepat
“Aku juga,” sambung Jalakpati.
“Cukup...!”

Rangga langsung melepaskan kedua telapak tangannya dari punggung Lastri. Dan tanpa menggerakkan tubuhnya sedikit pun juga, Pendekar Rajawali Sakti menggeser duduknya ke samping. Sementara, Lastri langsung jatuh terkulai begitu telapak tangan Rangga terlepas dari punggungnya. Cepat-cepat Rangga menyangga, lalu membaringkannya perlahan-lahan.

Pandan Wangi dan Jalakpati yang tadi berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti, juga segera menggeser duduknya. Mereka tetap duduk bersila, mengambil sikap bersemadi. Mereka memang harus memulihkan kembali kekuatan tenaga dalamnya, setelah tadi membantu Rangga membuka sumbatan pada aliran penyaluran hawa murni di tubuh Lastri.

Sementara, Rangga kini juga sudah bersemadi, walaupun hanya sebentar saja. Pendekar Rajawali Sakti turun dari balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar daun pandan ini. Dia terus berjalan ke pintu, dan berdiri di sana sambil memandang ke luar. Sedikit kepalanya berpaling, menatap Pandan Wangi dan Jalakpati yang masih bersemadi. Kembali pandangannya diarahkan ke depan, menatap matahari yang saat ini sudah naik cukup tinggi.

“Sudah selesai semadinya...?” tanya Rangga begitu telinganya mendengar suara dari belakang.

“Sudah,” terdengar suara Pandan Wangi yang menyahuti.

“Kemarilah, Pandan,” pinta Rangga tanpa memalingkan wajah sedikit pun juga.

Pandan Wangi turun dari balai-balai bambu, kemudian melangkah menghampiri Rangga yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Dia berhenti melangkah setelah sampai di samping sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Jalakpati juga sudah selesai bersemadi. Tapi, pemuda itu masih tetap duduk di atas balai-balai bambu. Ditunggunya Lastri yang juga belum sadarkan diri.

“Ada apa?” tanya Pandan Wangi.

“Kau lihat di atas Bukit Merak itu...,” sahut Rangga seraya menunjuk ke atas puncak Bukit Merak.

Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke sana. Beberapa saat, ditatapnya puncak Bukit Merak yang masih sedikit terselimuti kabut. Perlahan kemudian kepalanya bergerak berpaling, dan menatap Rangga yang masih memandang ke arah puncak Bukit Merak.

“Apa yang kau lihat di sana?” tanya Rangga seperti menguji.

“Tidak ada apa-apa di sana, kecuali kabut,” sahut Pandan Wangi.

“Kau merasakan sesuatu?” tanya Rangga lagi.

Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja, walaupun Rangga tidak mengalihkan sedikit pun pandangan dari puncak Bukit Merak. Dan sudah pasti Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat gelengan kepala Pandan Wangi. Malah, perhatiannya begitu lekat sekali ke arah puncak Bukit Merak. Pandan Wangi jadi mengerutkan keningnya. Malah kelopak matanya jadi menyipit, melihat Rangga begitu seksama memandang ke arah puncak bukit. Mau tak mau gadis itu harus kembali mengarahkan pandangan ke sana. Tapi, memang tidak ada apa-apa yang bisa dilihat, kecuali kabut yang masih sedikit menyelimuti puncak bukit itu.

“Kau tahu, Pandan Wangi... Sejak kemarin, aku sudah merasakan adanya getaran aneh di hatiku. Dan getaran itu semakin terasa, waktu mencoba mengobati Lastri tadi, dengan bantuanmu dan Jalakpati. Getaran itu terus terasa dan semakin kuat. Aku merasakan getaran itu datang dari sana,” kata Rangga sambil menunjuk puncak Bukit Merak.

“Getaran apa yang kau rasakan, Kakang?” tanya Pandan Wangi jadi tertarik juga.

Gadis itu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan sesuatu di hatinya, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Getaran hati Rangga begitu kuat. Dan biasanya, merupakan suatu pertanda bagi Pendekar Rajawali Sakti. Entah pertanda baik, atau buruk. Tapi yang jelas, apa yang dirasakan hati Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi tidak bisa menganggap remeh.

“Sebuah malapetaka besar akan terjadi tidak lama lagi...,” gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

“Malapetaka apa, Kakang...?” tanya Pandan Wangi agak bergetar.

“Ka....”

Baru saja Rangga hendak membuka suaranya, mendadak saja....

“Khraaagkh...!”
“Oh...?!”

Pandan Wangi jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak menggelegar yang begitu keras. Begitu kerasnya, hingga rumah yang mereka tempati jadi bergetar. Bahkan bumi yang dipijak pun jadi bergetar bagai diguncang gempa. Pandan Wangi langsung mendongakkan kepala ke atas. Dia tahu, tadi itu suara Rajawali Putih, seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan burung raksasa itu juga guru pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

Jeritan Rajawali Putih yang terdengar begitu keras tadi, membuat Jalakpati jadi terlompat turun dari atas balai-balai bambu. Bergegas dihampirinya Rangga dan Pandan Wangi yang berada di ambang pintu. Pemuda itu berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Suara apa itu?” tanya Jalakpati.

Pandan Wangi yang baru saja membuka mulutnya hendak menjawab, jadi langsung terdiam melihat lirikan mata Rangga yang begitu tajam padanya. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti tidak mengizinkannya memberi tahu tentang Rajawali Putih pada sembarang orang. Terlebih lagi, pada orang yang belum begitu dikenal dengan baik.

“Akan kuperiksa. Kalian tunggu saja di sini sampai aku kembali,” ujar Rangga.

“Kakang....”

Pandan Wangi cepat mencekal tangan Rangga yang sudah melangkah tiga tindak, keluar dari rumah ini. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya, dan berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang masih saja memegangi pergelangan tangannya. Periahan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu melepaskan cekalannya pada tangan Rangga.

“Hati-hati...,” hanya itu yang bisa diucapkan Pandan Wangi.

Entah kenapa, mendadak saja Pandan Wangi merasakan hatinya jadi gelisah. Boleh dibilang begitu khawatir pada Pendekar Rajawali Sakti ini. Padahal selama mengenal pemuda itu, belum pernah sedikit pun terselip rasa khawatir. Dia begitu yakin terhadap kemampuan yang dimiliki Rangga. Tapi, kali ini begitu lain. Hatinya benar-benar mencemaskan Pendekar Rajawali Sakti.

“Jagalah Lastri. Tidak lama lagi dia akan siuman,” ujar Rangga seraya menepuk pundak Pandan Wangi.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Pandan Wangi selain menganggukkan kepala. Sementara, Rangga sudah melangkah lebar-lebar, menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon kenanga. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu.

“Hiyaaa...!”

Sekali sentak saja, Dewa Bayu sudah melesat begitu cepat, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang berpacu secepat kilat. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja Dewa Bayu sudah tidak terlihat lagi. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul, membubung tinggi ke angkasa.

********************

LIMA

Rangga terus memacu cepat kudanya, menyusuri lereng Bukit Merak yang penuh ditumbuhi pepohonan. Meskipun tumbuh begitu lebat, tapi pepohonan itu tidak menghalangi Pendekar Rajawali Sakti memacu cepat kudanya. Demikian pula Dewa Bayu yang juga tidak merasa kesulitan untuk berlari cepat, walaupun berada di dalam hutan yang sangat lebat

“Hooop...!”

Rangga baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di sebuah padang rumput kecil, di lereng bukit ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan manis dan indah sekali. Kembali pandangannya beredar, lalu perlahan melangkah. Kudanya ditinggalkan di tepi padang rumput yang ada di lereng Bukit Merak ini.

“Hm...” Rangga menggumam perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah setelah tiba di tengah-tengah padang rumput yang tidak begitu besar di lereng Bukit Merak ini. Perlahan kepalanya bergerak menengadah ke atas. Tak ada yang dapat dilihat di atas sana, kecuali awan saja yang berarak di langit.

“Hm...,” kembali Rangga menggumam kecil. Dan begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak saja....

Wusss!
“Upts...!”

Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke depan. Bahkan tangan kirinya langsung bergerak mengibas cepat sekali begitu matanya melihat sebuah benda berbentuk anak panah meluncur begitu cepat ke arahnya.

Tap!

Sebatang anak panah manis sekali berhasil ditangkap tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar diamatinya anak panah yang sangat sederhana buatannya itu. Hanya dibuat dari batangan kayu biasa, tanpa sedikit pun terlihat keistimewaannya. Dan anak panah itu biasa digunakan untuk berburu di dalam hutan.

Srek!

Pada saat Rangga tengah memperhatikan anak panah dalam genggaman tangan kirinya, mendadak saja telinganya mendengar suara bergemeresik tidak jauh dari sebelah kanan. Dan begitu tubuhnya berputar....

“Hiyaaat..!” “Uts!”

Begitu cepat dan manis Rangga meliuk, ketika tiba-tiba saja diserang oleh seseorang yang muncul dari dalam semak belukar, dengan sebilah pedang berukuran panjang dan lebar.

Wukkk!

Hanya sedikit saja pedang itu lewat di depan dada Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Tapi belum juga ayunan kakinya sempat dihentikan, mendadak saja dari arah lain muncul dua orang bersenjata pedang yang ukuran dan bentuknya sama dengan yang pertama muncul tadi. Tapi, salah seorang dari mereka membawa sekantung anak panah yang tersampir di punggung.

“Haiiit..!”

Rangga cepat merunduk begitu sebatang pedang yang berukuran sangat panjang dan lebar berkelebat begitu cepat dari arah kanan. Dan sabetan pedang itu dapat dihindari Rangga dengan kelitan indah dan ringan sekali.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Hampir bersamaan, ketiga laki-laki yang sudah berusia separuh baya itu bergerak menyerang. Pedang mereka berkelebatan begitu cepat, terarah langsung ke bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Dan begitu pedang-pedang hampir menyambar tubuhnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke angkasa. Dengan demikian, ketiga pedang tidak sampai mengenai sasaran. Sementara setelah Rangga berputaran beberapa kah di udara, langsung saja meluruk turun. Seketika kakinya menjejak tanah dengan indah dan sangat ringan, di luar kepungan tiga orang laki-laki separuh baya yang mengeroyoknya secara bersamaan.

“Tunggu...!” sentak Rangga begitu ketiga orang itu hendak menyerang kembali.

Mereka yang sudah bergerak hendak mendekati Pendekar Rajawali Sakti, langsung berhenti begitu mendengar bentakan yang begitu keras menggelegar. Sementara, Rangga berdiri tegak dengan sikap waspada.

“Siapa kalian?! Kenapa menyerangku tanpa alasan...?” tanya Rangga heran.

Tapi ketiga orang yang semuanya memegang pedang itu tidak menjawab. Bahkan dengan cepat sekali berlompatan mengepung dari tiga jurusan, langsung menyerang dengan babatan pedang secara bergantian.

“Haiiit..!”

Cepat Rangga mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari serangan-serangan yang datang begitu cepat dan beruntun dari tiga jurusan. Tiga batang pedang berkilatan tajam, berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Beberapa kali Rangga meminta ketiga orang itu menghentikan serangannya, tapi sedikit pun tidak dipedulikan. Mereka terus saja menyerang dengan jurus-jurus cepat secara bergantian. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi geram. Namun, Pendekar Rajawali Sakti masih bisa mengendalikan diri. Dan dia tetap berusaha menghindar tanpa memberi serangan balasan sedikit pun juga.

“Ups...!”

Hampir saja babatan pedang salah seorang lawan menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja kepalanya cepat-cepat ditarik ke belakang. Dan belum juga kepalanya bisa ditegakkan kembali, satu serangan susulan dari arah kiri sudah melayang ke arahnya.

“Hup!”

Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Maka cepat-cepat dia melompat ke depan. Dan seketika itu juga, tangan kirinya bergerak cepat. Dan tahu-tahu, mata pedang orang itu sudah terjepit di antara dua ujung jari Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, dengan kecepatan yang sangat luar biasa, Rangga menghentakkan tangan kanannya. Langsung diberikannya satu sodokan yang begitu keras dan cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

“Hih!”
Desss!
“Ugkh...!”

Orang itu kontan mengeluh pendek, dan langsung terhuyung ke belakang. Tapi belum juga keseimbangan tubuhnya bisa dikuasai, Rangga sudah kembali bergerak cepat Sambil berputar, dilayangkannya satu tendangan yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangannya, sehingga orang itu tidak sempat lagi menghindar. Dan....

“Yeaaah...!”
Begkh!
“Akh...!”

Satu jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat, diiringi terpentalnya tubuh orang itu ke belakang sejauh tiga batang tombak. Pedangnya juga terlepas dari genggaman tangan, namun masih berada dalam jepitan dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hih!”

Rangga menjentikkan jari tangan yang menjepit pedang lawan. Maka, seketika pedang itu terpental ke arah pemiliknya. Begitu cepat pedang itu meluncur, hingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Dan...

Crab!
“Aaa...!”

Kembali terdengar satu jeritan panjang yang begitu menyayat dan melengking tinggi. Rupanya, pedang yang dilontarkan Rangga menancap tepat di tengah-tengah dada orang itu. Hanya sebentar saja orang itu mampu menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Sementara, dua orang lagi yang melihat temannya tewas tertikam pedangnya sendiri, jadi terlongong bengong. Seakan-akan mereka tidak percaya dengan apa yang terlihat.

Begitu gencar mereka menyerang, tapi pemuda yang diserang malah bisa membunuh satu orang dari mereka. Kini, perlahan-lahan Rangga memutar tubuhnya berbalik. Kedua tangannya tempat di depan dada dengan sorot mata begitu tajam menatap dua orang yang berdiri berdampingan di depannya.

“Hm…,” gumam Rangga periahan, begitu melihat dua orang itu bergerak menyebar ke samping.

Pedang mereka melintang di depan dada dengan tatapan mata begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kaki-kaki mereka bergerak menggeser ke samping, hingga berada tepat di samping kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dengan ujung ekor matanya, diamatinya setiap gerak yang dilakukan dua orang yang tidak dikenalnya ini.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”

Hampir bersamaan, kedua orang itu berlompatan menyerang sambil cepat sekali mengebutkan pedangnya. Namun, Rangga kelihatan seperti menunggu saja serangan itu datang. Dan begitu kedua orang itu sudah dekat, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti bergerak berputar dengan kedua tangan terentang ke samping.

“Yeaaah...!”

Saat itu juga, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat gerakannya sehingga sulit diikuti mata biasa. Dan tahu-tahu, kedua orang yang menyerangnya itu menjerit keras. Tubuhnya kontan terpental jauh ke belakang. Tepat di saat Rangga berhenti berputar, kedua orang itu sudah tergeletak di tanah dengan dada terbelah seperti terbabat pedang!

Memang sangat dahsyat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua ujung-ujung jarinya bagaikan mata pedang, yang mampu merobek tubuh lawan hingga tewas seketika itu juga. Dan memang, kedua orang itu tidak mampu bergerak sedikit pun juga. Mereka telah tewas begitu tubuhnya menghantam tanah. Darah tampak mengucur deras dari dadanya yang terbelah, bagai terbabat pedang.

“Huh!”

Rangga menghembuskan napas berat. Dipandanginya tiga tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi. Sebentar kemudian ditatapnya puncak bukit yang masih terselimut kabut. Kemudian, pandangannya beralih ke langit yang membiru, tersaput awan.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Bahkan bayangan tubuhnya langsung tak terlihat lagi.

********************

Kabut yang menyelimuti puncak Bukit Merak memang cukup tebal, walaupun saat ini matahari sudah berada tepat di atas kepala. Sedangkan udara di puncak bukit ini pun terasa dingin sekali, membuat tulang-tulang terasa bagaikan membeku. Namun dengan pengerahan sedikit hawa mumi, udara dingin yang menggigilkan itu tidak dirasakan sama sekali.

Entah sudah berapa lama Rangga berada di puncak Bukit Merak ini, dan sudah berapa kali pandangannya beredar ke sekeliling. Sedikit pun tidak didapatkan adanya tanda-tanda kehidupan di puncak bukit ini. Begitu sunyi suasananya. Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan saja yang terdengar mengusik gendang telinga.

“Aku tidak tahu, apa maksud Rajawali Putih menyuruhku datang ke sini. Tapi aku yakin, pasti ada sesuatu di sini...,” gumam Rangga periahan, bicara pada diri sendiri.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Dan saat ini, pandangan matanya langsung tertumbuk pada semak belukar yang tidak berapa jauh di sebelah kanannya. Kelopak matanya jadi menyipit, begitu melihat sesuatu di balik semak belukar itu. Sesuatu yang tampaknya seperti sebuah mulut gua.

“Hm....”

Perlahan Rangga mengayunkan kakinya, menghampiri semak belukar yang mencurigakan itu. Dan dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Kembali diamatinya semak belukar yang sudah kering itu. Memang tidak salah dugaannya. Semak belukar itu terlihat jelas, sengaja untuk menutupi sebuah mulut gua batu yang tidak begitu besar ukurannya. Tapi, setidaknya cukup untuk dimasuki satu orang dewasa.

Periahan Rangga melangkah, menghampiri kembali. Lalu, tangannya mulai menjulur. Disibakkannya semak belukar yang sudah kering itu. Dan begitu tersibak...

Wusss...!

“Heh...?! Uts!”

Cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan ketika tiba-tiba saja dari balik semak belukar yang sudah tersibak, melesat suatu benda dengan kecepatan luar biasa. Sedikit Rangga berpaling, melihat sebuah benda berbentuk lingkaran yang sisinya bergerigi, tampak menancap pada batang pohon yang tidak jauh di belakangnya.

Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti sempat berpikir....

Slap!
“Hah...?! Haiiit..!”

Cepat pemuda berbaju rompi putih itu melompat sambil berputaran ke belakang, begitu dari balik semak belukar yang sudah tersibak itu melesat secercah cahaya kilat bagai halilintar. Hampir saja benda itu menghantam tubuh pemuda yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan benda bercahaya kilat itu seketika menghantam pohon di belakangnya tadi.

Glarrr!

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar keras menggelegar. Tampak pohon itu hancur berkeping-keping, begitu terhantam cahaya kilat yang melesat keluar dari balik semak yang ternyata sebuah mulut gua.

“Hap!”

Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali di tanah, sejauh dua batang tombak dari mulut gua yang kini sudah tidak tertutup semak belukar kering lagi. Pendekar Rajawali Sakti melirik sedikit pada batang pohon yang hancur berkeping-keping akibat tersambar cahaya kilat tadi. Asap juga tampak mengepul dari situ. Kemudian, pandangannya diarahkan ke mulut gua yang masih sedikit tertutup semak belukar kering. Dan memang, belum semua semak belukar itu tersingkir dari sana. Karena, sudah dua kali Rangga mendapatkan serangan yang begitu cepat dan mendadak tadi. Dengan demikian, semak belukar itu tidak sempat lagi dibuka lebih lebar lagi.

Belum juga lama Rangga memperhatikan mulut gua itu, mendadak saja dari mulut gua yang tadi kelihatan menghitam gelap jadi bercahaya. Sinarnya demikian terang, bagai ada puluhan pelita menyala. Dan cahaya terang itu semakin lama semakin menyilaukan mata. Rangga segera menggeser kakinya ke belakang beberapa langkah sambil menghalangi matanya sedikit dengan tangan kanan. Memang, cahaya yang memancar dari dalam gua itu semakin terang dan menyilaukan saja. Dan belum juga Rangga bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja....

Slap!
“Heh...!? Hup!”

Cepat Rangga melenting ke udara, begitu tiba-tiba dari dalam mulut gua itu melesat secercah cahaya kilat ke arahnya. Cahaya kilat itu lewat sedikit di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung meluruk deras. Kemudian, cahaya kilat itu menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping, disertai ledakan dahsyat menggelegar.

Dua kali Rangga berputaran di udara, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Tapi baru saja telapak kakinya menyentuh tanah, dari dalam gua itu kembali meluncur secercah cahaya kilat yang begitu cepat, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa.

“Hattt..!”

Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, maka cahaya kilat berwarna keperakan itu lewat di samping tubuhnya. Saat itu, Rangga merasakan adanya semburan hawa yang sangat panas menyengat kulit, tepat di saat cahaya kilat itu lewat di sampingnya. Cepat-cepat kakinya ditarik ke samping beberapa langkah. Dan pada saat itu, kembali serangan cahaya kilat meluruk begitu cepat ke arahnya.

“Hup! Hiyaaa...!”

Rangga terpaksa harus melenting kembali di udara, dan berputaran cepat sekali. Sambaran-sambaran cahaya kilat yang kali ini berhamburan cepat dan sangat beruntun berhasil dihindari. Bahkan saat kakinya menjejak tanah, dia masih mendapat serangan. Maka cepat-cepat tubuhnya meliuk menghindari sambaran cahaya kilat, dan kembali harus berjumpalitan di udara. Serangan-serangan cahaya kilat keperakan itu datang sangat cepat dan beruntun, membuat Pendekar Rajawali Sakti kerepotan menghindarinya.

“Hap! Yeaaah...!”

Begitu memiliki kesempatan sedikit, cepat-cepat Rangga melenting ke arah sebatang pohon yang masih berdiri tegak. Sebentar kakinya bertengger di atas cabang pohon itu, kemudian kembali melesat begitu cepat menjauhi mulut gua. Dan pada saat kakinya menjejak tanah kembali, serangan cahaya kilat keperakan dari dalam mulut gua itu terhenti seketika. Dan kini, jarak antara mulut gua dengan Pendekar Rajawali Sakti sekitar tiga batang tombak jauhnya.

“Hm.... Apakah ada orang di dalam gua itu...?” Rangga jadi bertanya-tanya pada diri sendiri.

Sementara cahaya terang yang tadi memancar dari dalam mulut gua itu kini sudah tidak terlihat lagi. Sedangkan keadaan mulut gua itu kembali menghitam pekat, hingga sulit sekali untuk bisa melihat sampai ke dalam. Dan Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi mulut gua yang dirasakan sangat aneh. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Tapi, keningnya terlihat berkerut cukup dalam. Bahkan kelopak matanya jadi menyipit, pertanda tengah memikirkan sesuatu.

Lama juga Rangga terdiam membisu memandangi mulut gua yang kini kelihatan begitu tenang. Dan tubuhnya baru bergerak sedikit ke kanan, saat telinganya mendengar derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya. Suara langkah kaki kuda yang tidak dipacu cepat. Dari pendengarannya yang sangat tajam dan sudah terlatih baik, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menduga kalau yang datang menunggang kuda itu terdiri dari empat orang.

“Hup..!”

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat. Langsung kakinya hinggap di atas sebatang pohon yang sangat tinggi serta rimbun daunnya, hingga sulit sekali dilihat dari bawah. Dan dari ketinggian pohon ini, Rangga bisa melihat empat orang menunggang kuda menuju ke arah gua itu.

“Hm...,” sedikit Rangga menggumam. Pendekar Rajawali Sakti mengenali keempat orang penunggang kuda itu. Mereka memang pernah melewatinya ketika berada di Desa Bangkalan. Saat itu, sama sekali mereka tidak memperdulikannya. Bahkan seperti tidak melihat, dan terus saja memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Dan dugaan Rangga ternyata benar. Mereka memang menuju gua aneh itu. Kini, mereka tampak berhenti setelah sampai di depan gua.

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, empat orang penunggang kuda yang ternyata semuanya laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu, berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Dari gerakannya, sudah bisa dipastikan kalau mereka memiliki kepandaian yang tidak rendah. Dan tak ada seorang pun yang menimbulkan suara, saat menjejak tanah. Sementara, Rangga terus memperhatikan dari atas pohon yang sangat tinggi dan rimbun daunnya.

“Sepi sekali. Apakah tidak ada orang lain yang datang ke sini...?” Terdengar suara bernada bertanya dari salah seorang. Dia mengenakan baju warna merah ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar dan berotot

“Tampaknya sudah ada yang datang, Kakang Randanu,” sahut salah seorang, yang mengenakan baju hijau tua.

“Benar, Kakang Randanu. Lihat saja pohon-pohon itu. Tempat ini seperti baru saja dijadikan ajang pertempuran,” sambung seorang yang berbaju biru.

“Tapi...,” laki-laki berbaju merah yang dipanggil Randanu itu tidak melanjutkan ucapannya.

“Ada apa, Kakang?” tanya salah seorang berbaju kuning.

“Tempat ini memang berantakan sekali. Tapi, aku merasakan adanya keanehan. Tidak terlihat adanya satu mayat pun di sini,” kata Randanu lagi.

Ketiga orang lainnya jadi terdiam dan saling berpandangan satu sama lain. Kemudian, mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekeliling, seakan-akan ada yang tengah dicari. Sementara Rangga langsung memindahkan pernapasannya ke perut, sebelum keempat orang itu bisa mengetahui kehadirannya. Dan terus diperhatikannya gerak-gerik keempat orang itu dari atas pohon.

********************

ENAM

Pada saat empat orang laki-laki yang datang menunggang kuda itu tengah meneliti keadaan sekitar depan gua, tiba-tiba saja terdengar siulan sangat nyaring melengking tinggi. Begitu nyaringnya, sehingga membuat pepohonan menggugurkan daunnya. Maka keempat orang itu segera merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sementara, Rangga langsung menyalurkan hawa murni ke daerah telinganya, sehingga siulan nyaring melengking dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu tidak sempat mengganggu pendengarannya.

Belum lagi hilang siulan yang menyakitkan telinga itu, muncul seorang laki-laki tua berjubah kuning. Di tangan kanannya tampak untaian kalung batu hitam. Kepalanya gundul, tanpa sehelai rambut pun yang tumbuh. Tubuhnya gemuk, dan perutnya membuncit Sehingga, selalu berguncang bila kakinya terayun melangkah. Raut wajahnya seperti bayi yang baru dilahirkan. Sinar matanya jernih, bagai tak memiliki dosa sedikit pun. Siulan itu berhenti setelah orang tua yang berpenampilan seperti pendeta ini berada dekat dengan empat orang yang datang lebih dulu di depan mulut gua aneh itu.

“Rupanya Empat Iblis dari Utara sudah sampai lebih dulu di sini. He he he...,” terdengar ringan sekali suara orang tua berjubah kuning itu, diiringi tawanya yang terkekeh ringan.

“Sungguh tidak disangka. Ternyata seorang pendeta masih juga tertarik pada hal-hal duniawi. Seharusnya kau tinggal saja di pertapaanmu, Pendeta Gondala. Jangan mencampuri urusan dunia lagi,” sambut salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang mengenakan baju merah.

“Kedatanganku bukan untuk tujuan yang sama seperti kalian. Aku hanya ingin menyaksikan tikus-tikus bodoh memperebutkan benda yang tidak ada harganya sama sekali,” sahut laki-laki gemuk yang ternyata bernama Pendeta Gondala, tetap datar nada suaranya.

“Phuih! Lagakmu seperti manusia paling suci saja...!” dengus seorang lagi dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju biru.

“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang suci. Ah, sudahlah.... Kalian mulai saja lebih dulu, sebelum yang lain berdatangan. Aku tidak akan mengganggu, dan hanya menyaksikan saja,” ujar Pendeta Gondala seraya melangkah menghampiri pohon yang cukup besar.

Pendeta Gondala kemudian duduk bersila di bawah pohon itu. Dan sepertinya, sama sekali tidak tahu kalau di atasnya ada Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi terus memperhatikan. Sementara, empat orang yang ternyata berjuluk Empat Iblis dari Utara itu hanya saling berpandangan saja. Mereka seakan-akan tidak percaya kalau laki-laki tua jubah kuning yang dikenal sebagai Pendeta Gondala itu tidak ingin ikut campur.

Tapi memang, tampaknya Pendeta Gondala tidak mempedulikan sikap Empat Iblis dari Utara itu. Dia tetap saja duduk bersila sambil memainkan untaian kalung hitam dengan jari-jari tangan kanannya. Wajahnya yang seperti bayi, semakin terlihat kekanak-kanakan ketika tersenyum.

“Ayo, jangan pedulikan orang tua itu. Kita harus bergerak cepat sebelum ada orang lain lagi yang datang ke sini,” ajak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju merah.

Mereka memang tidak lagi mempedulikan Pendeta Gondala yang terus saja memandangi sambil tersenyum, memainkan untaian kalung batu hitamnya. Sementara, Empat Iblis dari Utara sudah melangkah mendekati mulut gua yang tampak hitam pekat dari luar. Sebentar mereka berhenti, dan saling melemparkan pandangan. Kemudian, mereka kembali melangkah perlahan-lahan mendekati gua itu. Tapi begitu berjarak tinggal sekitar satu batang tombak lagi, mendadak saja....

Slap!
“Awas...!”
“Hup!”
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Empat Iblis dari Utara itu cepat berlompatan, begitu tiba-tiba dari dalam mulut gua itu melesat secercah cahaya kilat keperakan. Dan cahaya kilat keperakan itu hanya lewat di antara empat orang laki-laki yang berlompatan menghindar, berputaran di udara. Dan dengan manis sekali, mereka bersamaan menjejakkan kaki kembali ke tanah, tepat di saat terdengar ledakan dahsyat menggelegar dari cahaya kilat yang menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.

Belum lagi ledakan itu menghilang dari pen-dengaran, kembali terlihat kilatan-kilatan cahaya berhamburan dari dalam gua itu secara beruntun dan sangat cepat bagai kilat Empat Iblis dari Utara jadi terperanjat setengah mati. Seketika mereka langsung berlompatan sambil mencabut senjata dari punggung masing-masing, berupa golok berukuran sangat besar.

“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”

Kilatan-kilatan cahaya keperakan yang meluncur keluar dari dalam gua terus berhamburan dengan kecepatan luar biasa. Akibatnya, Empat Iblis dari Utara terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Kemudian, salah seorang dari mereka mencoba menangkis kilatan cahaya keperakan itu. Hingga....

Glarrr!
“Akh. .!”

Seketika suara pekikan terdengar, bersamaan terdengarnya ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Tampak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju kuning terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Dan begitu mencoba bangkit berdiri, dari mulutnya menyembur darah kental agak kehitaman. Tampak goloknya yang berukuran besar sudah buntung jadi dua bagian. Entah ke mana potongan golok itu terpental. Begitu telah berdiri, laki-laki berbaju kuning dari Empat Iblis dari Utara itu terlihat terhuyung-huyung.

Dan pada saat itu, terlihat satu kilatan cahaya keperakan meluncur begitu cepat ke arahnya. Begitu cepatnya kilatan cahaya keperakan itu meluncur, sehingga orang berbaju kuning itu tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Blarrr!
“Aaa...!”

Kembali satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat, memecah alam. Tampak salah seorang dari Empat Iblis dari Utara yang berbaju kuning kembali terpental sejauh dua batang tombak. Kemudian tubuhnya jatuh keras sekali menghantam tanah. Hanya beberapa kali dia bergelimpangan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak jelas kalau dadanya menghitam hangus, akibat terhantam cahaya kilat yang meluncur dari dalam gua itu.

Sementara, tiga orang lainnya tidak sempat lagi memperhatikan saudaranya yang sudah tergeletak tewas dengan dada menghitam hangus. Mereka benar-benar tidak punya kesempatan sedikit pun juga untuk keluar dari serangan cahaya kilat yang meluncur dari dalam gua itu. Cahaya-cahaya kilat keperakan itu terus berhamburan dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan kini terlihat semakin bertambah banyak saja, membuat Empat Iblis dari Utara yang kini tinggal tiga orang jadi kelabakan setengah mati untuk menghindarinya.

Blarrr!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan yang sangat panjang dan melengking tinggi. Tampak salah seorang Empat Iblis dari Utara yang berbaju hijau, terpental jauh ke belakang. Bahkan tubuhnya sampai menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping. Satu kilatan cahaya rupanya telah menghantam dadanya, hingga hangus seperti terbakar. Dan tubuhnya langsung menggeletak diam, tidak bergerak-gerak sedikit pun juga. Nyawanya seketika itu juga terbang melayang.

Dan belum juga lama, kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Kali ini, dua jeritan terdengar sekaligus. Terlihat sisa dari Empat Iblis dari Utara berpental ke belakang, dan jatuh bergulingan dengan keras di tanah. Tepat di saat itu, cahaya kilat yang berhamburan keluar dari dalam gua itu pun berhenti. Sementara, Empat Iblis dari Utara sudah tidak ada lagi yang bisa bergerak sedikit pun juga. Mereka semua sudah tewas dengan dada hangus menghitam, terkena terjangan kilatan cahaya keperakan yang keluar dari dalam gua aneh itu.

Suasana pun kembali sunyi senyap, tidak lagi terdengar jeritan dan teriakan-teriakan serta ledakan-ledakan yang dahsyat menggelegar. Sebentar saja, keadaan di sekitar mulut gua itu sudah hancur tidak sedap lagi dipandang mata. Tidak sedikit pepohonan yang hancur akibat terhantam kilatan-kilatan cahaya keperakan tadi. Bahkan tidak sedikit batu-batuan yang hancur. Tempat ini bagaikan baru saja diserang oleh amukan puluhan gajah. Benar-benar hancur, dalam waktu tidak berapa lama saja.

Sementara Rangga yang berada di atas pohon, terus memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tapi sebentar kemudian, perhatiannya tertumpah pada Pendeta Gondala yang masih tetap duduk bersila di bawah pohon. Bibirnya tampak tidak henti-hentinya menyunggingkan senyuman seperti bayi.

“Kisanak, turunlah.... Pertunjukan sudah berakhir...!”

“Heh...?!”

********************

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar teguran yang sangat mengejutkan. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki tua bertubuh gemuk dan berkepala botak yang berjubah kuning itu bisa mengetahui keberadaannya di atas pohon ini. Tapi hanya sebentar saja keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti itu, karena sudah melesat turun dengan cepat dan ringan sekali

“Hup!” Rangga pun segera melompat turun dan mendarat tepat di depan Pendeta Gondala.

“Hup!”

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga begitu kakinya menjejak tanah, tidak terdengar suara sedikit pun. Dan Rangga mendarat tepat sekitar enam langkah lagi di depan Pendeta Gondala yang masih tetap duduk bersila dengan bibir terus menyunggingkan senyum.

“Terimalah salam hormatku, Paman Pendeta...,” ucap Rangga dengan nada suara terdengar terputus.

Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuhnya sedikit, sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Melihat sikap hormat pemuda berbaju rompi putih itu, Pendeta Gondala semakin lebar senyumnya. Tapi, dia tetap duduk bersila dengan sikap begitu tenang. Sementara, Rangga masih berdiri dengan sikap menunjukkan penghormatan pada pendeta tua itu.

“Duduklah, Anak Muda,” ujar Pendeta Gondala meminta.

Rangga langsung duduk bersila di depan pendeta itu, setelah memberi hormat sekali lagi. Beberapa saat suasana menjadi sunyi, tak ada yang memulai membuka suara lebih dulu. Dan mereka hanya saling berpandangan saja, seakan tengah menyelidiki isi hati masing-masing.

“Sudah berapa lama kau berada di atas pohon tadi?” tanya Pendeta Gondala.

“Cukup lama juga,” sahut Rangga tenang.

“Berarti kau melihat semua yang terjadi tadi...?” tanya Pendeta Gondala lagi.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja.

“Lalu, untuk apa kau berada di sini, Anak Muda?” Pendeta Gondala ingin tahu lagi.

“Hanya kebetulan lewat saja, Paman Pendeta,” sahut Rangga seenaknya.

“Tidak ada maksud tertentu?”

Kali ini Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya bola mata Pendeta Gondala dengan sinar mata tajam. Entah kenapa, pertanyaan Pendeta Gondala tadi membuat hatinya tidak enak. Jelas sekali kalau pertanyaan itu beranda menyelidik. Sementara Pendeta Gondala hanya tersenyum saja sambil membalas sorotan mata tajam Pendekar Rajawali Sakti. Sinar matanya terlihat begitu lembut sekali, bagaikan sepasang mata bayi yang belum tersentuh dosa.

“Maaf atas pertanyaanku tadi, Anak Muda,” ucap Pendeta Gondala cepat menyadari.

Sedangkan Rangga hanya diam saja. Tatapan matanya masih terus tertuju langsung ke bola mata pendeta tua yang duduk bersila di depannya.

“Entah sudah berapa orang yang datang ke sini. Dan mereka hanya mengantarkan nyawanya sia-sia saja. Sejak semula, aku sudah berada di sini. Selalu saja kusaksikan kematian yang sia-sia. Aku berharap, kau datang ke sini memang hanya sekadar singgah saja, Anak Muda. Bukan dengan tujuan yang sama seperti mereka,” kata Pendeta Gondala, memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.

Rangga melirik sedikit pada mayat-mayat yang berserakan di sekitarnya. Kemudian kembali ditatapnya pendeta tua yang masih tetap duduk bersila di depannya. Pendeta Gondala juga tidak bicara lagi. Pandangannya tampak beredar ke sekeliling. Lalu, ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat seperti ada sesuatu yang mengganjal rongga dadanya

“Kau masih muda, Anak Muda. Langkahmu masih teramat panjang. Sebaiknya, jangan ikut-ikutan seperti mereka. Aku hanya memperingatkanmu saja, Anak Muda. Hanya kematian saja yang akan kau temui nanti,” kata Pendeta Gondala lagi.

“Maaf, Paman Pendeta. Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu,” ujar Rangga jadi bingung.

“Kau benar-benar tidak tahu, Anak Muda...?”

Nada suara Pendeta Gondala terdengar seperti tidak percaya. Dan Rangga memang benar-benar tidak tahu, serta tidak mengerti apa yang dibicarakannya sejak tadi.

“Tolong jelaskan, Paman. Aku sama sekali tidak mengerti semua yang kau bicarakan sejak tadi,” pinta Rangga.

“Tapi, kenapa kau sampai berada di tempat ini?” tanya Pendeta Gondala lagi, masih dengan nada suara tidak percaya.

“Aku sendiri tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja aku berada di tempat ini,” sahut Rangga. Nada suaranya dibuat bersungguh-sungguh.

Pendeta Gondala terdiam. Sorot matanya kini terlihat tajam, merayapi seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan, dia ingin mencari kepastian kalau pemuda yang duduk di depannya ini benar-benar tidak tahu. Kembali ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Terdengar gumaman kecil dari pendeta tua itu, seperti tengah mengatakan sesuatu. Tapi suaranya tidak jelas terdengar di telinga.

“Siapa namamu, Anak Muda?” tanya Pendeta Gondala.

Kali ini nada suaranya terdengar begitu dalam, seperti memberi tekanan. Dan sorot matanya masih tetap tajam tertuju ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga,” sahut Rangga menyebutkan namanya.

“Kau seorang pendekar?” tanya Pendeta Gondala lagi.

Rangga hanya mengangkat bahu saja.

“Apa julukanmu?” tanya Pendeta Gondala lagi.

“Apakah itu penting, Paman...?” Rangga malah balik bertanya.

“Bisa juga dikatakan penting, Anak Muda. Karena aku sudah lama menunggu seseorang. Aku hanya samar-samar mengetahui ciri-cirinya. Tapi..,” kata-kata Pendeta Gondala terdengar terputus. “Hm....”

Kembali Pendeta Gondala mengamati Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, seakan-akan ada sesuatu yang tengah diselidiki. Sementara, Rangga jadi merasa jengah, terus-menerus dipandangi seperti itu. Pandangannya lalu dialihkan ke arah lain. Dan tanpa disengaja, tatapan matanya justru tertuju ke arah mulut gua yang menghitam pekat. Dan pada saat itu, terlihat satu kilatan cahaya keperakan yang hanya sekejap. Cahaya bagai kilat itu langsung lenyap, sebelum Rangga bisa menyadari.

“Kau memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan apa yang ada dalam mimpiku, Anak Muda,” ujar Pendeta Gondala memecah kesunyian yang terjadi beberapa saat. “Hm.... Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda...?”

Rangga jadi agak tersentak kaget mendengar tebakan Pendeta Gondala yang begitu tepat. Tapi cepat-cepat keterkejutannya disembunyikan, sebelum Pendeta Gondala bisa mengetahui. Lalu Pendekar Rajawali Sakti kembali bersikap tenang. Namun dalam hatinya, mulai timbul berbagai pertanyaan yang sulit dijawab saat ini. Dan kepalanya hanya mengangguk saja, menjawab pertanyaan pendeta tua itu.

Kembali suasana kembali sunyi, tanpa ada seorang pun yang membuka suara lagi. Namun belum juga Rangga bisa membuka mulutnya, mendadak saja...

“Hih!”
“Heh...?!”

Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba Pendeta Gondala mengebutkan tangan kanannya ke depan. Maka untaian kalung batu hitam yang sejak tadi berada di dalam genggaman tangan kanannya, berkelebat begitu cepat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Cepat sekali Rangga melenting ke belakang dengan keadaan masih duduk bersila. Sehingga, sabetan kalung batu hitam pendeta tua itu tidak sampai mengenai dadanya. Dua kali Rangga berputaran di udara. Dan begitu menyentuh tanah, keadaannya masih tetap duduk bersila. Tapi pada saat itu juga, Pendeta Gondala sudah melesat begitu cepat bagai kilat ke arahnya, sambil menyabetkan untaian kalung hitamnya.

“Yeaaah...!”
Bettt!
"Haiiit..!”

Kali ini Rangga terpaksa harus melompat bangkit berdiri. Cepat tubuhnya meliuk, menghindari serangan Pendeta Gondala yang begitu cepat luar biasa ini.

“Paman, tunggu...! Kenapa kau menyerangku...?!”

“Hiyaaa...!”

Tapi pertanyaan Rangga justru dijawab serangan-serangan yang beruntun dan cepat sekali. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti harus berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari serangan-serangan Pendeta Gondala. Menghadapi serangan seperti itu, Rangga langsung saja mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Begitu sempurnanya Rangga menguasai jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga serangan-serangan yang dilancarkan Pendeta Gondala tidak satu pun yang berhasil mengenai sasaran. Dan ini membuat Pendeta Gondala jadi penasaran, sehingga harus meningkatkan serangan-serangan. Dan kali ini, setiap kebutan kalung batu hitamnya selalu menimbulkan deru angin keras, bagai badai topan.

Kebutan untaian kalung batu hitam itu juga menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat disertai hawa panas menyengat kulit. Dan ini tentu saja membuat Rangga harus meningkatkan kewaspadaannya, walaupun tetap belum melancarkan serangan balasan. Dan itu bukan hanya tidak memiliki kesempatan. Tapi pikirnya, itu karena Pendeta Gondala tengah mengujinya. Hanya saja, serangan-serangan yang dilancarkan begitu dahsyat, dan bisa berakibat sangat parah kalau sampai lengah sedikit saja. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa melakukan sesuatu, mendadak saja....

“Hup!”

Pendeta Gondala menghentikan serangannya dengan melompat ke belakang sejauh beberapa tindak. Sedangkan Rangga yang sudah siap hendak melakukan serangan balasan, jadi menghentikan gerakannya. Terlihat kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, karena benar-benar merasa heran melihat sikap Pendeta Gondala. Tanpa sebab langsung menyerangnya, dan sekarang menghentikan pertarungan dengan tiba-tiba.

Pendeta Gondala mengalungkan untaian batu hitam yang tadi digunakan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melepaskan ikat pinggangnya yang berwarna putih keperakan. Periahan ikat pinggangnya itu direntangkan dengan memegang pada kedua ujungnya. Lalu...

“Hap!”

Wukkk!

Begitu ikat pinggang itu dikebutkan, dari ujungnya seketika memancar percikkan bunga api. Dan mendadak saja, ikat pinggang dari kulit yang tadi begitu lemas, kini berubah menjadi meregang keras dan kaku seperti sebilah pedang.

“Keluarkan senjatamu, Anak Muda,” desis Pendeta Gondala dengan suara terdengar dingin menggetarkan.

“Hm....”

Tapi Rangga hanya menggumam saja perlahan. Kakinya lalu bergeser dua langkah ke kanan. Dan sorot matanya terus tertuju tajam, menatap langsung ke bola mata pendeta tua itu. Sedikit pun tidak dihiraukan permintaan Pendeta Gondala untuk mencabut senjatanya. Bukannya Rangga meremehkan, tapi memang tidak ingin mencabut senjata pusaka Pedang Rajawali Sakti hanya karena permintaan lawannya. Dan memang Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mencabut pedang pusaka kalau tidak terpaksa sekali.

“Kau jangan menyesal kalau mati tanpa mencabut senjata, Anak Muda. Aku sudah memperingatkanmu. Dan itu hanya sekali saja terucap,” tegas Pendeta Gondala, masih dengan suara dingin menggetarkan.

Tapi, Rangga masih tetap saja diam. Dipandanginya pendeta tua itu dengan sorot mata tajam sekali. Sementara, Pendeta Gondala sudah menggeser kakinya ke kiri perlahan-lahan sambil menyilangkan sabuk ikat pinggang yang kini sudah berubah menjadi pedang ke depan dada. Dari ujungnya, tampak mengeluarkan bunga api yang disertai asap berwarna kemerahan.

“Tahan seranganku, Anak Muda! Hiyaaat..!”

Wukkk!
“Haiiit..!”

Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu Pendeta Gondala mengebutkan senjatanya, tepat mengarah ke dada. Maka ujung senjata yang mengeluarkan percikkan bunga api dan asap kemerahan itu, lewat sedikit saja di depan dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”

TUJUH

Pertarungan antara Rangga dan Pendeta Gondala kembali berlangsung sengit. Mereka kali ini langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat. Entah sudah berapa jurus berlangsung, tapi pertarungan tampaknya masih akan terus berlangsung lama. Belum ada tanda-tanda sedikit pun kalau pertarungan itu bakal berhenti.

Dan setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, Pendeta Gondala kembali menghentikan pertarungan. Dia melompat ke belakang sejauh satu setengah batang tombak. Sementara Rangga juga tidak mau meneruskan pertarungan. Dia berdiri tegak, menanti apa yang akan dilakukan pendeta tua itu.

Pendeta Gondala sendiri juga masih tetap berdiri tegak. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata seakan-akan tidak percaya, kalau pemuda yang sangat jauh lebih muda sekali usianya mampu menandinginya sampai puluhan jurus. Bahkan sudah hampir semua kepandaian yang dimilikinya dikerahkan, tapi belum juga mampu mendesak pemuda itu. Malah Rangga juga menghadapinya tanpa mencabut senjata pusaka. Hal ini membuat Pendeta Gondala jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Tapi sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan tengah meyakinkan diri sendiri dengan apa yang sedang dihadapinya.

“Anak muda, katakan sejujurnya. Siapa kau sebenarnya...?!” tanya Pendeta Gondala.

Kali ini nada suaranya terdengar sangat lain. Terasa jelas sekali, seakan-akan tidak yakin akan dirinya.

“Rasanya aku tadi sudah mengenalkan diri padamu, Paman Pendeta. Namaku Rangga. Dan aku hanya seorang pengembara yang kebetulan saja lewat di tempat ini,” sahut Rangga kembali memperkenalkan diri.

“Hm.... Melihat dari cara bertarungmu, kau tentu seorang pendekar yang berilmu sangat tinggi. Dan kau pasti punya julukan. Apa nama julukanmu, Anak Muda...?” tanya Pendeta Gondala lagi

Kali ini Rangga tidak langsung menjawab. Dia memang paling enggan menyebutkan julukannya sendiri. Bukannya tidak senang, tapi tidak ingin menyombongkan diri dengan menyebutkan julukannya yang sudah terkenal dan selalu menjadi buah bibir di kalangan rimba persilatan.

“Anak muda! Jurus-jurus yang kau miliki tadi, sepertinya pernah kulihat Tapi...,” suara Pendeta Gondala langsung terputus. Pendeta Gondala menatap Rangga dengan sinar mata penuh selidik. Perlahan kakinya terayun. Dan senjatanya kini sudah kembali melingkar di pinggang, menjadi ikat pinggang yang kelihatannya tidak memiliki keistimewaan sama sekali. Tapi, ikat pinggang itu tadi sangat dahsyat. Bahkan hampir saja Rangga mencabut pedang pusakanya, kalau saja Pendeta Gondala tadi tidak cepat-cepat menghentikan pertarungan.

“Terus terang saja padaku, Anak Muda. Apakah kau yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti...?” tanya Pendeta Gondala, seakan-akan ingin meyakinkan diri sendiri dengan pertanyaan yang terlontar tadi.

“Kenapa kau terus mendesakku dengan pertanyaan seperti itu, Paman?” Rangga malah balik bertanya.

“Kau akan tahu, kalau sudah menyebutkan julukanmu, Anak Muda,” sahut Pendeta Gondala juga masih bermain rahasia.

“Hm...,” Rangga menggumam sedikit. Pendekar Rajawali Sakti terdiam beberapa saat, dan memandangi pendeta tua itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan ingin ditebaknya, apa maksud dari pendeta tua ini hingga terus-menerus mendesak ingin mengetahui julukannya.

Sedangkan Pendeta Gondala sendiri malah memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam. Dan dari sorot matanya, jelas terlihat kalau tengah menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.

Sementara, Rangga masih tetap diam membisu. Sepertinya Pendekar Rajawali Sakti juga merasa keberatan untuk menyebutkan julukannya sendiri. Entah kenapa, dia jadi merasa enggan untuk menyebutkannya.

“Baiklah, Anak Muda. Aku tahu, kau pasti merasa keberatan menyebutkan julukanmu,” kata Pendeta Gondala membuka suara lebih dahulu. “Aku akan mengalah sedikit padamu, Anak Muda.”

Rangga masih tetap membisu, dan terus memandangi pendeta tua itu dengan sinar mata yang sama sekali tidak berubah. Tetap terlihat menyorot tajam, penuh nada menyelidik.

Sementara, Pendeta Gondala mengayunkan kakinya perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Langkahnya baru berhenti, setelah jaraknya tinggai sekitar lima langkah lagi. “Begini, Anak Muda. Sebenarnya aku sedang mencari seseorang yang....”

Belum juga kata-kata Pendeta Gondala selesai, tiba-tiba saja dari mulut gua melesat secercah sinar bagai kilat. Begitu cepat sekali sinar itu meluruk ke arah pendeta tua ini. Dan Rangga yang melihat kelebatan sinar kilat itu langsung saja melesat. Gerakannya cepat luar biasa, hingga sukar diikuti mata biasa.

“Hap...!”
Brukkk!

Rangga langsung jatuh bergulingan, begitu berhasil menyambar tubuh Pendeta Gondala. Dan mereka terus bergulingan di tanah beberapa kali, sementara cahaya-cahaya kilat terus berhamburan mencari sasaran. Akibatnya kedua laki-laki yang baru sekali bertemu itu harus bergulingan di tanah menghindarinya.

“Hup! Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Rangga melesat ke atas sambil menyambar tubuh Pendeta Gondala. Dan beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya, jauh dari mulut gua. Dan cahaya-cahaya kilat tadi langsung berhenti melesat dari mulut gua yang aneh itu.

“Phuuuh...!” Rangga menghembuskan napasnya dengan berat. Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya beberapa langkah dari Pendeta Gondala. Tampak bibir pendeta tua itu menyunggingkan senyum. Dan begitu Rangga melihatnya, keningnya langsung berkerut. Dia jadi heran melihat senyum terukir di bibir laki-laki tua berpakaian pendeta itu.

“Kenapa kau tersenyum, Paman?” tanya Rangga jadi ingin tahu.

“Walaupun masih ragu-ragu akan dirimu, tapi aku sudah begitu yakin melihat kemampuanmu, Anak Muda. Kau begitu hebat. Mampu bergerak cepat, tanpa sempat kusadari,” kata Pendeta Gondala.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Paman...,” ujar Rangga meminta penjelasan.

“Rasanya memang tidak bisa lagi diragukan. Sekarang ini, hanya ada satu orang yang bisa bergerak begitu cepat. Hm.... Katakan, agar aku benar-benar merasa yakin, Anak Muda. Siapa julukanmu sebenarnya...?”

Rangga jadi tertegun mendengar pertanyaan itu. Sedangkan semua pertanyaannya belum juga terjawab, tapi Pendeta Gondala sudah memberi pertanyaan lagi yang bernada mendesak. Dan itu membuat Rangga semakin tidak mengerti. Segala gerak-gerik dan semua yang diucapkannya selalu menyimpan teka-teki yang sulit sekali diterka.

“Benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda?” tanya Pendeta Gondala ingin memastikan, melihat Rangga hanya diam saja memandangi.

“Benar,” sahut Rangga akhirnya mengalah juga.

“Hm.... Boleh kulihat pedangmu yang terkenal itu?” pinta Pendeta Gondala.

“Untuk apa...?” tanya Rangga.

“Hanya ingin memastikan saja, Anak Muda,” sahut Pendeta Gondala seraya tersenyum. “Sebab, penampilan luar saja bisa mengelabui mata seseorang. Tapi, sesuatu yang hanya ada satu di dunia ini, tidak bisa membohongi orang. Dan Pedang Pusaka Rajawali Sakti hanya ada satu-satunya di dunia. Jadi, hatiku baru merasa yakin kalau kau sudi memperlihatkan pedang pusaka yang ampuh itu.”

Rangga terdiam dengan kening berkerut beberapa saat. Kata-kata yang diucapkan Pendeta Gondala barusan memang terasa aneh sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti juga tidak ingin mengecewakan orang tua ini. Terlebih lagi, di dalam kepalanya ada dugaan kalau pendeta tua itu tidak bermaksud buruk padanya. Dan pasti, ada sesuatu yang sangat tersembunyi, sehingga begitu gigih ingin mengetahui tentang diri pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini.

Sret!

Perlahan Rangga mencabut pedang pusakanya yang selalu tersimpan dalam warangka di punggung. Dan baru saja tercabut setengah, cahaya biru yang berkilauan menyilaukan mata sudah terlihat membersit keluar. Begitu terangnya, sampai-sampai Pendeta Gondala terlompat ke belakang dua langkah sambil menghalangi kedua matanya dengan tangan kanan.

“Cukup...!” sentak Pendeta Gondala.

Cring!

Rangga kembali memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Padahal, belum seluruhnya tercabut. Kini Pendeta Gondala menurunkan lagi tangan kanannya. Senyum di bibirnya tampak semakin lebar terkembang. Sedangkan Rangga memandangi wajah pendeta tua itu dengan kelopak mata agak menyipit

“Dewata Yang Agung.... Kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti yang selalu datang dalam mimpiku hampir setiap malam. Ternyata, kaulah pemuda yang selama ini kunanti-nantikan...,” desah Pendeta Gondala disertai hembusan napas panjang sekali.

Sementara, Rangga masih tetap diam memandangi. Sinar matanya tampak memancarkan ketidakmengertian. Saat itu, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri. Tangan kanannya segera diulurkan, dan ditepuknya pundak Pendekar Rajawali Sakti dengan sikap penuh persahabatan.

“Ayo, duduk di sana. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Dan ini sangat penting,” kata Pendeta Gondala mengajak, sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang tidak jauh darinya.

Rangga tidak menjawab sedikit pun juga. Sementara, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri pohon itu, lalu duduk di bawahnya. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi. Beberapa saat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, lalu duduk bersila tidak jauh di depan pendeta tua ini.

“Maaf, aku tadi menyerangmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tadi hanya ingin menguji kebenaran dugaanku,” ucap Pendeta Gondala, setelah keadaan kembali menjadi tenang tanpa terselimut ketegangan.

“Katakan saja yang sebenarnya arti semua ini, Paman,” pinta Rangga langsung.

“Aku sedang berada dalam kesulitan, Pendekar Rajawali Sakti....”

“Panggil aku Rangga saja,” selak Rangga meminta.

“Baiklah, Rangga.”

“Katakan, Paman. Apa kesulitanmu?”

“Pusaka dari Persatuan Para Pendeta Selatan telah hilang dicuri orang. Sedangkan saat itu, aku sendiri yang bertugas menjaganya. Dan seluruh anggota meminta agar aku harus mengembalikan pusaka itu, atau harus bunuh diri,” Pendeta Gondala mulai mengutarakan kesulitannya.

“Hm.... Pusaka apa itu, Paman?” tanya Rangga seraya menggumam.

“Sebilah pedang.”

“Hanya sebilah pedang...?”

“Ya! Tapi, itu bukan pedang biasa, Rangga. Namanya, Pedang Halilintar. Pedang itu mempunyai satu kekuatan yang sangat dahsyat. Kau sendiri sudah merasakannya...,” Kata Pendeta Gondala sambil menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Maksud, Paman...?” Rangga masih juga belum mengerti.

“Pedang Halilintar itu kini berada dalam gua bersama pencurinya.”

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan.

Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik ke arah gua yang berada sekitar delapan batang tombak di sebelah kirinya. Tampak mulut gua itu masih kelihatan aneh dan mengerikan. Dan memang, sudah beberapa kali serangan-serangan dari lecutan cahaya kilat yang muncul dari dalam gua itu harus dihadapinya.

Namun sama sekali Rangga tidak menyangka kalau lecutan cahaya kilat itu berasal dari sebilah pedang yang bernama Pedang Halilintar, milik Persatuan Para Pendeta Selatan. Dan yang pasti, pedang itu sangat berharga. Sampai-sampai seluruh anggota Persatuan Para Pendeta Selatan menginginkan pedang itu kembali, atau Pendeta Gondala yang bertanggung jawab harus membunuh dirinya sendiri. Hal itu karena kelalaiannya, tidak bisa menjaga Pedang Halilintar dari tangan pencuri.

“Lalu, apa yang kau harapkan dariku, Paman?” tanya Rangga.

“Hanya kau yang bisa mengembalikan pedang itu ke dalam puri, Rangga. Dan itu kuketahui dari mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam setiap tidurku. Mimpi itu terus muncul, sampai kau sekarang datang ke sini,” sahut Pendeta Gondala.

“Paman yakin itu?”

“Ya! Hanya kaulah yang mampu.”

Rangga kembali terdiam. Sedangkan Pendeta Gondala juga tidak bicara lagi. Cukup lama mereka terdiam. Dan tanpa disadari, mereka sama-sama memandang ke arah mulut gua yang kelihatan gelap, sedikit tertutup semak belukar yang sudah luring.

“Siapa pencuri Pedang Halilintar, Paman?” tanya Rangga ingin tahu.

“Jaka Anabrang,” jelas Pendeta Gondala. “Dia bukan orang lain bagi kami para pendeta. Dia adalah murid utama yang selama ini selalu dipercaya.”

“Hm.... Kenapa dia bisa mencuri pedang itu?” tanya Rangga lagi.

“Dia sakit hati.”

“Sakit hati...?”

“Ya! Sakit hati karena kami tidak dapat membela adiknya yang dijatuhi hukuman mati.”

Rangga berpaling menatap Pendeta Gondala.

“Jaka Anabrang meminta kami para pendeta untuk membebaskan adiknya dari hukuman gantung. Namun kami tidak bisa berbuat banyak, karena kesalahannya memang sangat besar. Dia membunuh putra seorang patih, hanya karena perselisihan dalam berjudi. Kau tahu sendiri, Rangga. Tidak ada seorang pun yang bisa membebaskan orang lain dari hukuman karena kesalahan seperti itu. Tapi, Jaka Anabrang tidak peduli, dan tetap menuntut kami para pendeta membebaskan adiknya. Dia minta agar kami bersedia menampungnya, dan memberinya ilmu-ilmu olah kanuragan serta ilmu-llmu kedigdayaan. Tapi, permintaannya kami tolak, dan dia merasa sakit hati,” jelas Pendeta Gondala panjang lebar.

“Hm.... Lalu, dia mencuri Pedang Halilintar...?” suara Rangga terdengar menggumam.

“Benar! Dengan pedang itu, dia sudah berhasil membunuh lima orang anggota kami para pendeta. Bahkan bermaksud menguasai dunia dengan pedang itu. Dan, hanya kau saja yang mampu menghentikannya, Rangga. Karena, kau memiliki pedang pusaka yang bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar.”

Rangga kembali terdiam. Benar benar sulit dimengerti, kenapa Pendeta Gondala begitu yakin kalau dia orang satu-satunya yang bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar. Padahal, Rangga sendiri belum pernah melihat bentuk pedang itu. Tapi melihat yang berkata seorang pendeta, Rangga tidak bisa menolak. Terlebih lagi, Pendeta Gondala sudah terang-terangan meminta bantuannya untuk merebut kembali pedang itu dari tangan Jaka Anabrang.

“Baiklah, Paman. Aku akan mencobanya,” ucap Rangga akhirnya.

“Terima kasih, Rangga. Aku benar-benar mengharapkan kau bisa merebut pedang itu dari tangan Jaka Anabrang. Masalahnya, jika dibiarkan akan semakin banyak orang yang mendengar tentang pedang itu. Dan tentu saja akan semakin banyak pula yang ingin memilikinya. Maka, dunia ini akan semakin kacau, jika semua orang ingin memiliki pedang itu,” sambut Pendeta Gondala gembira, juga khawatir.

Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum. Mungkin karena hal seperti itu sudah terlalu sering dihadapi. Sebuah benda yang memiliki kesaktian dan pamor dahsyat menjadi rebutan orang-orang persilatan. Dan kalau mendengar cerita dari Pendeta Gondala dan juga apa yang telah disaksikannya, rasanya Pedang Halilintar memang tidak bisa dipandang ringan kemampuannya.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Pandangannya terus tertuju ke arah mulut gua yang kelihatan gelap menghitam pekat, seperti tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Tapi gua itu sangat berbahaya untuk didekati. Dan baru saja kaki Rangga terayun dua langkah, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat dari kejauhan. Derap kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Kemudian, terlihat debu dan dedaunan kering beterbangan ke udara. Rangga berpaling menatap ke arah kepulan debu itu. Dan tak lama kemudian, terlihat seorang gadis cantik berbaju biru muda, memacu cepat kudanya menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti berdiri.

“Hooop. .!”

Gadis cantik yang tak lain Pandan Wangi langsung melompat turun dari punggung kuda putihnya, setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah. Dia langsung mendarat tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Rangga. Sementara itu, Pendeta Gondala sudah berdiri. Tapi dia tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya.

“Pandan, kenapa kau ke sini...?” tegur Rangga langsung.

“Aku khawatir padamu, Kakang. Sudah lama kau pergi,” sahut Pandan Wangi.

“Bagaimana Lastri?”

“Dijaga Jalakpati. Kalau sudah sembuh, Jalakpati akan membawanya ke padepokannya yang dulu,” jelas Pandan Wangi, singkat

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Sebentar matanya melirik Pendeta Gondala. “Kau tunggu di sana bersama Paman Pendeta Gondala, Pandan,” ujar Rangga.

Belum juga Pandan Wangi berbicara, Rangga sudah melompat cepat sekali. Dilewatinya atas kepala gadis itu, dan tahu-tahu Rangga sudah berada tidak jauh di depan mulut gua. Pandan Wangi hanya bisa terpaku memandangi. Sementara, Pendeta Gondala sudah melangkah menghampiri gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini.

DELAPAN

Slap!
“Ups...!”

Belum juga Rangga bisa berbuat sesuatu, dari dalam gua sudah melesat cahaya kilat menuju ke arahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke kanan, dan cahaya kilat keperakan itu lewat sedikit di sampingnya. Bergegas Rangga menggeser kakinya ke kiri dua langkah. Lalu tubuhnya kembali cepat merunduk, begitu terlihat cahaya kilat keperakan kembali melesat cepat ke arahnya.

“Hup! Yeaaah...!”

Begitu cahaya kilat itu lewat di atas kepala, cepat Rangga menegakkan tubuhnya. Lalu, kedua tangannya cepat dihentakkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya yang terkembang ke depan keluar cahaya merah bagai api menuju ke mulut gua dengan kecepatan bagai kilat. Bagi Pandan Wangi yang melihat dari jarak yang cukup jauh, sudah tahu kalau saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir dari jarak jauh.

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar dan dahsyat terjadi, begitu cahaya merah bagai api yang keluar dari kedua telapak tangan Rangga menghantam mulut gua. Seketika getaran pun terjadi bagai sebuah gempa.

Tampak gua itu hancur, menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke angkasa. Batu-batu berhamburan, beterbangan ke segala arah. Memang sangat dahsyat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir yang dilepaskan Rangga tadi. Gua itu benar-benar hancur, hingga batu-batuannya bertebaran ke segala arah.

Rangga masih tetap berdiri tegak, menunggu sampai kepulan debu yang menyelimuti mulut gua yang sudah hancur itu menghilang. Sedikit pun tak terlihat adanya bayangan berkelebat keluar dari dalam gua. Saat itu, kening Rangga terlihat berkerut. Kelopak matanya pun menyipit melihat mulut gua masih terlihat menganga, walaupun sudah hancur berkeping-keping.

“Hm...,” Rangga menggumam kecil perlahan.

Wusss!

Pada saat itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu cepat keluar dari dalam gua. Dan bayangan itu langsung meluruk deras ke arah Rangga yang masih berdiri sekitar dua batang tombak di depan gua.

“Haiiiit..!”

Cepat Rangga melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Lalu dengan manis sekali kakinya menjejak tanah. Tapi betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, saat melihat bayangan kuning itu langsung meluruk deras ke arah Pendeta Gondala.

“Awaaas...!”
“Hah...?!”

Namun, Pendeta Gondala hanya bisa terbeliak saja melihat bayangan kuning itu meluruk bagai kilat ke arahnya. Dan belum juga bisa bertindak sesuatu, tiba-tiba saja satu kilatan cahaya keperakan berkelebat begitu cepat menyambar ke arah lehernya. Namun pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi cepat mencabut kipas mautnya. Langsung dikebutkannya ke arah kilatan cahaya kilat keperakan itu, hingga....

Wukkk!
Trang!
“Akh...!”
Pandan...!”

Rangga jadi tersentak kaget, melihat Pandan Wangi terpental sambil mengeluarkan jeritan tertahan. Gadis itu menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang, dan jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Sedangkan kipas mautnya terpental ke udara, lepas dari genggaman.

“Suiiit..!”

Saat itu, tiba-tiba terdengar siulan yang nyaring menyakitkan telinga. Dan tepat di saat Pandan Wangi baru bangkit, muncul dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berotot, disusul seorang wanita tua berjubah kumal. Pada tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang ujungnya berbentuk runcing.

Dua orang laki-laki tegap berotot yang tidak mengenakan baju itu langsung meringkus Pandan Wangi. Sedangkan perempuan tua berjubah kumal sudah menempelkan ujung tongkatnya yang runcing, tepat di tenggorokan si Kipas Maut.

Sementara, Rangga tidak sempat lagi memperhatikan Pandan Wangi, karena perhatiannya tertumpah pada Pendeta Gondala. Pendeta tua itu kini tengah sibuk menghadapi seorang pemuda berbaju kuning yang menggunakan pedang bercahaya keperakan yang mengeluarkan kilat dari ujungnya.

“Apa yang harus kulakukan...?” desis Rangga bertanya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu, mana yang harus didahulukan. Sementara Pandan Wangi tidak berdaya berada dalam cengkeraman teman-teman Jaka Anabrang, sedangkan Pendeta Gondala harus menghadapi Jaka Anabrang yang menggunakan Pedang Halilintar. Dan Rangga tahu, Pendeta Gondala tidak akan mungkin bisa menandingi kesaktian Pedang Halilintar. Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah diliputi kebimbangan, tiba-tiba saja....

Crasss!

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Pendeta Gondala menjerit keras. Dan lebih terkejut lagi, saat pendeta tua itu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah. Rupanya, Jaka Anabrang sudah berhasil membabatkan Pedang Halilintar ke dada pendeta tua itu. Darah langsung mengucur deras dari dada yang sobek terbabat pedang berkilatan itu.

“Mampus kau, Pendeta Tua! Hiyaaat..!”

“Oh...?!” Rangga tersentak kaget begitu melihat Jaka Anabrang melesat cepat bagai kilat, sambil mengayunkan pedangnya ke leher Pendeta Gondala. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat sambil mencabut pedang pusakanya.

“Hiyaaa...!”
Sret... Cring!
Bettt!

Dan secepat itu pula, Rangga membabatkan Pedang Rajawali Sakti ke Pedang Halilintar yang melayang deras mengarah ke leher Pendeta Gondala. Hingga....

Trang!
Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan yang begitu dahsyat menggetarkan jantung, ketika dua pedang yang memiliki pamor dahsyat beradu tidak jauh dari leher Pendeta Gondala.

“Yeaaah...! Hup!”

Sambil melenting ke belakang, Rangga menghentakkan tangan kirinya. Didorongnya tubuh Pendeta Gondala hingga terpental jauh ke belakang. Sementara, Jaka Anabrang juga melesat ke belakang sejauh dua batang tombak. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, dan manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah. Pada saat itu kedua kaki Rangga juga sudah menjejak tanah, setelah melakukan beberapa kali putaran di udara.

“Phuuuih...!”

Jaka Anabrang menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Rangga yang berdiri sekitar empat batang tombak di depan. Periahan kakinya bergeser mendekati. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak dengan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilauan tersilang di depan dada. Sorot matanya juga terlihat tidak kalah tajam.

“Kau hanya bermimpi untuk bisa merebut Pedang Halilintar dari tanganku, Kisanak. Sebaiknya, menyingkir saja, dan bawa pergi gadis ingusanmu itu!” terasa sangat dingin nada suara Jaka Anabrang.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam perlahan saja.

Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya sedikit demi sedikit ke kanan. Namun sorot matanya masih tetap terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda yang kini sekitar satu batang tombak lagi jaraknya di depan.

“Serahkan pedang itu, Jaka Anabrang. Kau tidak berhak memilikinya. Pedang itu bukan milikmu!” ujar Rangga. Nada suaranya juga tidak kalah dingin.

“Phuih! Tidak ada seorang pun yang bisa memiliki pedang ini kecuali aku!” dengus Jaka Anabrang sengit.

“Jangan paksa aku bertindak dengan kekerasan, Jaka Anabrang.”

“Ha ha ha...!” Jaka Anabrang malah tertawa terbahak-bahak.

Sedikit pemuda itu melirik Pandan Wangi yang tidak berdaya. Kedua tangan gadis itu tampak dipegangi dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Sementara tenggorokannya terancam oleh ujung tongkat runcing perempuan tua berjubah kumal. “Bawa dia!” perintah Jaka Anabrang lantang.

Tanpa diperintah dua kali, kedua laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot itu langsung melesat cepat membawa Pandan Wangi, diikuti perempuan tua berjubah kumal yang tadi menempelkan ujung tongkatnya ke tenggorokkan si Kipas Maut itu.

“Keparat! Pengecut..!” desis Rangga menggeram berang, melihat tindakan Jaka Anabrang.

“Ha ha ha...!” tapi Jaka Anabrang malah tertawa terbahak-bahak.

Sementara, seluruh wajah Rangga sudah terlihat memerah. Gerahamnya juga menggeretuk, menahan kemarahan yang meluap melihat kelicikan Jaka Anabrang yang menawan Pandan Wangi. Sementara di tempat agak jauh, terlihat Pendeta Gondala terbaring dengan dada sobek mengucurkan darah.

“Kubunuh kau, Jaka Anabrang! Hiyaaat..!”

Rangga benar-benar tidak dapat mengendalikan kemarahannya. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat dan langsung membabatkan Pedang Rajawali Sakti ke leher pemuda berbaju kuning itu.

Bettt!
“Hiyaaat..!”
Trang!

Tapi, Jaka Anabrang malah menyambut serangan itu dengan Pedang Halilintar. Akibatnya dua pedang beradu keras sekali, sampai menimbulkan ledakan dahsyat menggetarkan bumi. Rangga langsung melenting ke udara, dan berputaran dua kali. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

“Haiiit..!”

Jaka Anabrang cepat-cepat melompat ke belakang sambil membabatkan pedang ke atas kepala. Dan pada saat itu juga, Rangga memutar tubuhnya, hingga kepalanya berada di bawah. Dan bagaikan kilat, pedangnya langsung dibabatkan ke arah dada lawan.

“Yeaaah...!”
Bet!
“Ups!”

Jaka Anabrang jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang. Dan dengan cepat pula pedangnya dibabatkan ke depan dada, menangkis sabetan Pedang Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru berkilauan.

Trang!

Kembali dua pedang berpamor sangat dahsyat itu beradu, tanpa dapat dicegah lagi. Dan lagi-lagi, Rangga melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Lalu, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah.

“Huh!”

Rangga mendengus, merasakan tangan kanannya bergetar. Dan memang, setiap kali pedangnya berbenturan dengan Pedang Halilintar di tangan Jaka Anabrang, tangan kanannya selalu terasa bergetar. Cepat disadari kalau Pedang Halilintar memang memiliki kekuatan dahsyat sekali. Dan itu tidak mungkin bisa ditandingi dengan menggunakan jurus-jurus biasa.

“Hap!”

Rangga segera menyiapkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang jarang sekali digunakan jika tidak terpaksa. Dan dalam menghadapi lawan yang sangat tangguh seperti Jaka Anabrang ini, Rangga terpaksa melakukannya. Cahaya biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti tertihat semakin menyilaukan mata.

“Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga melompat dan langsung membabatkan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Tapi....

“Heh...?!”

Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak setengah mati, ketika merasa kan pedangnya hanya membabat angin saja. Dan lebih terkejut lagi, begitu melihat Jaka Anabrang sudah lenyap, tanpa dapat diketahui lagi. Pemuda itu benar-benar menghilang, bagaikan tertelan bumi.

“Setan keparat..!” geram Rangga sambil menghentakkan kakinya, kesal. Dengan sinar mata yang tajam, Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, Jaka Anabrang memang sudah tidak ada lagi. Entah ke mana perginya. Benar-benar tidak diketahui.

“Rangga.”
“Oh...?!”

Rangga bergegas berpaling begitu mendengar suara lirih. Bergegas dihampirinya Pendeta Gondala yang terbaring menelentang dengan darah masih mengucur dari dadanya yang terbelah. Tampak wajah pendeta tua itu sudah kelihatan pucat membiru. Sementara, matanya juga tidak lagi memancarkan cahaya kehidupan. Rangga cepat-cepat mendekatkan telinganya ke bibir Pendeta Gondala yang bergerakgerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.

“Rangga.... Kau harus hati-hati menghadapinya. Dia sudah berhasil menyatukan jiwanya dengan Pedang Halilintar. Apa pun yang terjadi, kau harus bisa memisahkannya dari pedang itu. Sangat berbahaya kalau sampai seluruh jiwa Pedang Halilintar bisa dikuasainya...,” terdengar lirih sekali suara Pendeta Gondala.

“Aku akan berusaha, Paman,” janji Rangga.

“Sayang, aku tidak bisa lagi mendampingimu, Rangga....”

“Paman...!”

“Rangga! Kau pasti ingin tahu, kenapa Padepokan Eyang Banaspati hancur....”

Rangga mengangguk.

“Salah seorang muridnya mencoba merampas Pedang Halilintar. Itu membuat Jaka Anabrang marah. Maka padepokan itu dihancurkannya setelah membunuh muridnya. Bahkan penduduk Bangkalan juga dibantai satu persatu.”

“Lalu, bagaimana dengan Eyang Banaspati sendiri?”

“Dia terluka sangat parah. Dan sekarang berada di puri. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. Rangga.... Kau harus berjuang sendiri. Tidak ada lagi yang membantumu....”

Rangga hanya bisa menarik napas panjang, melihat Pendeta Gondala menghembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Dan kepalanya tertunduk begitu dalam, menatap tubuh Pendeta Gondala yang terbujur tidak bernyawa lagi.

“Aku akan merebut pedang itu dari tangannya, Paman. Aku janji...,” desis Rangga mantap.

Perlahan Rangga menegakkan kepalanya, memandang ke angkasa beberapa saat Kemudian, kakinya menghampiri sebuah kipas baja putih yang tergeletak tidak seberapa jauh dari mayat Pendeta Gondala. Dipungutnya kipas baja putih itu, dan Dipandanginya beberapa saat. Kemudian, kipas maut itu diselipkan ke balik ikat pinggangnya.

“Pandan.... Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini,” desah Rangga menyesalkan kemunculan Pandan Wangi. Dan kini, gadis itu berada di dalam cengkeraman tangan teman-teman Jaka Anabrang.

Kini Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu lagi, bagaimana nasib Pandan Wangi. Ada kepedihan dalam hatinya. Tapi, semua kepedihan itu jadi lenyap, mengingat Jaka Anabrang bisa menahan Pandan Wangi secara licik. Bahkan kegeramannya pun muncul menyelimuti hatinya.

“Kau harus mampus di tanganku, Jaka Anabrang...!” desis Rangga menggeram.

********************

Apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu memenuhi janjinya pada Pendeta Gondala? Dan bagaimana nasib Pandan Wangi di tangan Jaka Anabrang? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya dalam kisah Rajawali Murka