Pendekar Bodoh Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 14

CIN HAI yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu melihat bahwa dirinya diserang oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha hi-hi saja, dan biar pun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum. Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan betul-betul hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu.

Sekarang burung rajawali itu dengan cepatnya menyambar turun dari atas. Ang I Niocu yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawan-kawannya, “Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!”

Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat menghantam sekerasnya dengan tangan kanannya! Namun kembali ia tertegun oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu!

Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga biar pun burung itu menangkis dengan sayap, tetapi tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh berhamburan menimpa ke arah perahu seperti hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu sehingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran burung itu.

Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental serta kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata, “Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”

Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun. Kini dia bukan menyerang kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya dia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.

Burung ini adalah sejenis Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala burung. Ketika dia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya.

Ang I Niocu bukanlah sembarang gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan seruan keras, sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar dengan pedangnya.

Kembali burung Kim-tiauw itu secara aneh mampu mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali dia menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara Ang I Niocu di atas perahu dengan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas.

Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir saja dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu menjadi semakin marah dan penasaran saja. Biar pun Ang I Niocu belum berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu sudah rontok ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tak mendapat kesempatan untuk menyerang gadis perkasa itu.

Sebenarnya, apa bila dia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kim-tiauw itu. Akan tetapi kini dia berada di atas perahu yang bergerak-gerak sehingga membuat gerakannya tidak leluasa sekali.

Sesudah berkali-kali serangannya gagal, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat serta mengeluarkan bunyi seperti orang mengeluh panjang, ia kemudian terbang pergi dengan cepat sekali hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.

Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut. Hatinya tidak puas sekali karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu berkata sambil menghela napas panjang, “Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”

“Ehh, mengapa kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?” kata Ang I Niocu sambil memandang heran.

“Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini terkenal sebagai burung pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita sudah bertemu dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali, apa lagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”

Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu lantas berkata, “Burung jahat itu mana bisa membawa kebahagiaan?”

Biar pun Cin Hai tidak setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya, hanya berkata memuji, “Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”

“Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja di angkasa!” kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah hal yang menyenangkan hatinya!

“Dan raja angkasa itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!” kata Cin Hai.

Semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa. Dia hanya mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!

Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki empat orang yang sedang mencari Pulau Emas itu, pulau yang aneh dan mengandung rahasia dan yang pada waktu itu menjadi sebab terjadinya hal-hal yang hebat karena ada tiga bangsa sedang berusaha merampas pulau itu.

*****

Pada waktu itu, Kerajaan Turki yang telah mendengar tentang adanya Pulau Emas di laut timur Negara Tiongkok sudah mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di antaranya Yousuf yang cerdik dan yang menjadi orang pertama mendapatkan pulau itu. Di samping menyebar mata-mata, Kerajaan Turki lalu mengirim pula sejumlah besar tentaranya untuk menyerbu ke daerah ini.

Mereka tak berani melalui daratan Tiongkok, oleh karena maklum bahwa apa bila mereka melalui daratan pedalaman Tiongkok mereka pasti akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang memungkinkan gagalnya usaha mereka, oleh karena selain memiliki daerah luas yang berbahaya, Tiongkok juga mempunyai banyak orang pandai yang tentu akan melawan tentara Turki yang menjelajah negaranya.

Oleh karena ini, barisan Turki itu mengambil jalan memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang perbatasan Negara Tiongkok dan masuk di daerah Mongol. Mereka ini pun tidak tinggal diam dan melawan barisan asing yang memasuki tanahnya. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu bangsa Mongol masih belum kuat dan hidupnya berkelompok-kelompok ini, dengan mudah dapat dihalau oleh barisan Turki yang kuat.

Barisan Turki ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bahkan di dalam barisan ini terdapat seorang pemimpin aneh yang merupakan seorang pendeta bertubuh besar sekali seperti seorang raksasa akan tetapi agak pendek. Pendeta ini berkepala botak, berjenggot hitam dan kaku bagaikan kawat dan yang menyongot ke sana ke mari tidak terawat.

Tubuhnya yang gemuk besar itu mengenakan pakaian yang amat aneh pula, oleh karena pakaian ini terbuat dari banyak macam kain kembang yang ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan pakaiannya, pendeta ini lebih pantas disebut seorang pengemis jembel!

Pendeta ini lihai dan sakti sekali dan ia adalah jago nomor satu di seluruh Kerajaan Turki. Namanya di Turki terkenal sebagai Balutin, sedangkan pendeta yang sudah sering kali merantau di pedalaman Tiongkok ini disebut dalam bahasa Tiongkok sebagai Pouw Lojin. Oleh karena sering masuk di daerah Tiongkok, maka Balutin pandai bicara dalam bahasa Tionghoa.

Dengan adanya pendeta ini, maka ekspedisi Turki ini tidak mengalami banyak rintangan, oleh karena setiap penghalang yang kuat selalu hancur kalau saja berhadapan dengan Balutin yang lihai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, Balutin juga mahir dalam ilmu sihir, dan lweekang serta khikang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Gerakan tentara Turki ini membuat bangsa Mongol merasa gelisah sekali. Mereka ini pun akhirnya bisa juga mencari tahu akan rahasia Kerajaan Turki dan dapat pula mengetahui bahwa bangsa Turki ini hendak mencari sebuah Pulau Emas di Laut Tiongkok.

Karena itu, bangsa Mongol lalu menguasakan kepada Pangeran Vayami yang cerdik dan mempunyai kepandaian tinggi untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini pulalah sebabnya maka Hai Kong Hosiang diutus oleh kaisar untuk mengundang Pangeran Vayami datang ke istana kaisar.

Setelah Vayami bertemu dengan kaisar, secara cerdik sekali Vayami lalu menghasut dan memberi tahu bahwa tentara Turki bermaksud mengurung ibu kota Tiongkok dan merebut sebuah pulau di Laut Tiongkok yang mengandung banyak emas! Dengan cerdik sekali Pangeran Vayami menghasut dan hendak mengadu dombakan tentara Turki dan tentara Tiongkok, sedangkan diam-diam pangeran yang cerdik dan licin ini telah menyiapkan kaki tangannya untuk secara mendadak menyerbu pulau itu. Ia memakai siasat ‘Membiarkan Dua Ekor Anjing Berebut Tulang’ dan kemudian diam-diam membawa tulang itu berlari sementara kedua anjing itu masih bergumul!

Akan tetapi, Kaisar Tiongkok pun bukan orang bodoh, dan seandainya dia sendiri bodoh, akan tetapi para penasehatnya adalah orang-orang cendekiawan yang berpemandangan luas. Memang kaisar sudah masuk dalam perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara dekat tapal batas negeri Tiongkok, di mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara Turki itu berkumpul.

Barian besar ini dikepalai oleh Beng Kong Hosiang beserta beberapa orang perwira yang tertinggi kepandaiannya. Bahkan kepala bayangkari, yaitu seorang perwira kekasih kaisar yang amat tinggi kepandaiannya dan bernama Lui Siok In, mendapat tugas khusus untuk memimpin barisan itu bersama-sama Beng Kong Hosiang dan lain-lain perwira.

Sementara itu, kaisar memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk tetap menemani Pangeran Vayami dengan alasan melindungi keselamatan tamu agung itu dalam perjalanan kembali ke negerinya. Akan tetapi sebetulnya kaisar ini bukan ingin menjaga keselamatan orang, namun bahkan hendak mengawasi dan mengikuti gerak-geriknya, dan membatasi segala usaha kecurangan yang mungkin akan dilakukan oleh Pangeran Vayami yang cerdik itu. Oleh karena ini, Hai Kong Hosiang mendapat tugas istimewa dan hwesio ini pun lantas mengajak supek-nya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai sekali itu.

Pangeran Vayami lalu keluar dari istana bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, dan pangeran ini langsung menuju ke utara pula dan memberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang tentang adanya Pulau Emas itu.

Walau pun Hai Kong Hosiang seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan ingin sekali mendapatkan gunung emas itu, maka ia pun segera menyetujui ajakan Pangeran Vayami untuk menyaksikan pulau itu dari dekat dan apa bila mungkin mendarat di pulau itu. Hal ini menurut Hai Kong Hosiang tak ada salahnya, oleh karena tugasnya yang didapat dari kaisar hanya mengawasi dan menjaga agar pangeran ini jangan melakukan sesuatu yang akan merugikan. Pendeknya, kaisar mencurigai Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bertugas mengawasinya.

Ketika tentara Turki yang dipimpin dan dilindungi oleh Balutin itu tiba di tepi pantai laut, mereka berhenti dan memasang kemah. Sementara itu, bagian perlengkapan lalu sibuk membuat perahu-perahu untuk keperluan menyeberang. Biar pun mereka telah lebih dulu menyiapkan segala keperluan untuk membuat perahu-perahu ini, akan tetapi oleh karena jumlah tentara yang hendak diseberangkan ini tak kurang dari seribu orang, maka proses pembuatan perahu itu makan waktu berhari-hari.

Dan pada saat mereka sedang sibuk membuat persiapan untuk menyeberang, datanglah tentara Kerajaan Tiongkok yang dipimpin oleh Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan para perwira lainnya! Tentara Tiongkok lebih banyak jumlahnya, dan karena mereka datang di waktu hari sudah menjadi gelap, maka tentara Tiongkok di bawah pimpinan Lui Siok In yang pandai ini lalu diam-diam mengurung perkemahan tentara Turki. Kemudian, tentara Tiongkok yang telah mengurung ini serentak memasang obor sehingga keadaan menjadi terang sekali bagaikan siang hari!

Tentu saja tentara Turki menjadi panik ketika tiba-tiba melihat ribuan obor menyala yang mengelilingi tempat mereka. Namun, dengan senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat dan gemuk, Balutin berhasil menyuruh anak buahnya berlaku tenang. Mereka diperintahkan untuk memasang serta memegang obor pula, kemudian dia lalu berdiri di depan barisannya menanti kedatangan musuh.

Dengan tindakan gagah, pedang di pinggang dan bulu sayap garuda menghias topinya, tanda bahwa ia adalah seorang perwira Sayap Garuda tingkat tertinggi, Lui Siok In diikuti oleh perwira-perwira lain dan Beng Kong Hosiang, maju menghampiri Balutin dan berkata dengan suara lantang,

“Hai, tentara Turki! Kalian telah melanggar wilayah kami dan karena sekarang kamu telah dikurung dan tak berdaya lagi, maka lebih baik kamu menyerah saja agar supaya menjadi orang-orang tawanan yang akan kami perlakukan dengan baik-baik!”

Di bawah penerangan obor di sekeliling mereka yang dipegang oleh tentara kedua belah fihak, Balutin kelihatan seperti seorang raksasa pendek. Pendeta Turki ini lalu melangkah maju dan sambil tertawa ia menuding ke arah Lui Siok In dan berkata,

“Hai, Perwira muda! Siapakah yang menjadi pemimpin besar barisanmu ini? Suruhlah dia sendiri maju, dan jangan majukan segala perwira hijau untuk bicara dengan aku!”

Mendengar bahwa dirinya disebut ‘perwira hijau’ oleh pengemis jembel yang amat gemuk ini, tentu saja Lui Siok In menjadi marah.

“Bangsat jembel, siapakah kamu?”

Balutin tertawa bergelak sambil memegangi perutnya. “Kau mau tahu aku siapa? Akulah pemimpin besar barisan Turki! Akulah Balutin atau bisa juga kau sebut Pouw Lojin! Anak muda, panggillah keluar pemimpin besarmu agar dapat bicara dengan aku!”

Lui Siok In terkejut mendengar bahwa yang berdiri di depannya seperti seorang pengemis jembel ini adalah Balutin sendiri, tokoh yang amat terkenal sejak tentara Turki menyerbu melalui Mongol. Nama Balutin ini pernah disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika memberi perintah kepadanya untuk memimpin barisan, karena kaisar pun sudah mendengar dari Pangeran Vayami yang sangat memuji-muji Balutin sebagai orang gagah dan pemimpin besar.

Lui Siok In tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan kejeriannya, maka sambil tertawa ia pun berkata,

“Aha, pemimpin besar tentara Turki yang bernama Balutin dan yang disohorkan sangat gagah perkasa itu tak tahunya hanya seorang pengemis jembel yang terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah, Jembel gemuk, akulah pemimpin barisan ini dan namaku adalah Lui Siok In. Lebih baik kau menyerah saja agar kau dapat diberi makan enak dan tidak usah mampus di ujung senjata!”

Balutin memandang dengan rasa heran dan hampir tidak percaya bahwa panglima besar tentara Tiongkok hanyalah seorang perwira muda ini. Ia lalu berkata menghina,

“Agaknya Tiongkok telah kehabisan orang gagah maka terpaksa memajukan kau sebagai panglima. Mari, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!'

Sambil berkata demikian, Balutin menengok ke arah pohon yang tumbuh di dekat sana. Daun-daun pohon itu bergantungan di atasnya dan dia kemudian menggerakkan kedua tangannya menampar ke arah daun-daun pohon itu.

Angin besar keluar dari kedua lengannya yang dipenuhi tenaga khikang itu dan beberapa helai daun di pohon itu lantas rontok dan melayang ke bawah! Balutin masih menggerak-gerakkan kedua tangannya dan daun-daun pohon yang melayang ke bawah itu kelihatan bergerak-gerak di udara akan tetapi tak dapat melayang turun, seakan-akan tertahan oleh tiupan dari bawah dan kini bermain-main di udara bagaikan hidup!

Lui Siok In merasa terkejut sekali dan ia mengerti bahwa Balutin sedang mempergunakan kepandaian khikang yang disebut Mempermainkan Daun Rontok! Ia juga maklum bahwa daun-daun ini biar pun ringan, akan tetapi dapat digerakkan dengan tenaga khikang dan dapat dipakai menyerang lawan seperti senjata-senjata rahasia hebat! Di Tiongkok juga terdapat ilmu ini yang dipelajari sambil menggunakan tenaga khikang dan angin gerakan tangan dapat diarahkan kepada daun-daun itu sehingga daun-daun itu dapat digerakkan ke mana saja menurut kehendak orang.

Benar saja sebagaimana dugaan Lui Siok In. Tiba-tiba saja Balutin lalu membuat gerakan dengan kedua telapak tangannya dan daun-daun itu dari atas langsung menyambar turun hendak menyerang tubuh Lui Siok In. Perwira muda ini bukan orang sembarangan dan ia juga memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia tidak lihai, mana ia bisa diterima menjadi kepala pengawal pribadi kaisar.

Dia kemudian berseru keras dan membuat gerakan pula dengan jari-jari tangannya yang ditelentangkan. Dari kedua telapak tangannya ini keluarlah tenaga khikang yang hebat pula dan aneh. Daun-daun yang tadinya meluncur dari atas kini melayang naik kembali, dan kemudian terapung-apung di tengah udara.

Pertempuran dahsyat dan adu tenaga khikang ini berlangsung lama serta menegangkan sehingga semua tentara yang memegang obor dan menyaksikan pertandingan hebat ini menahan napas. Kedua panglima itu berhadapan dengan mata saling memandang dan dua tangan bergerak-gerak serta diulur ke depan seakan-akan dua orang pengemis yang sedang minta sedekah, sedangkan daun-daun itu terus melayang-layang di tengah udara, sebentar menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.

Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa Lui Siok In kalah tinggi kepandaiannya dan tenaga khikang-nya masih kalah setingkat oleh Balutin yang lihai itu. Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan tenaga, dan perlahan tapi tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai gemetar, sedangkan pada mukanya yang pucat itu mengucur peluh membasahi jidat dan pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di udara itu mulai mendesak turun dan semakin mendekati kepala Lui Sok In.

Perwira she Lui itu maklum bahwa apa bila adu khikang ini diteruskan, keadaannya akan berbahaya sekali. Maka secepat kilat dia lantas membuat gerakan Ikan Gabus Melompat Tinggi, menjatuhkan diri ke belakang sambil membuat gerakan berjungkir balik, lalu cepat menjatuhkan diri pula sambil bergulingan di atas tanah.

Dia memang harus menggunakan gerakan ini, karena kalau tidak dia akan terpukul oleh tenaga khikang yang telah menekan dan mendesaknya. Dengan cara bergulingan itu dia memulihkan aliran darahnya kembali dan membebaskan dia dari serangan daun-daun itu yang lalu meluncur dan jatuh ke atas tanah.

Balutin tertawa bekakakan sambil bertolak pinggang. “Ha-ha-ha-ha! Hanya begitu sajakah kepandaianmu, Perwira muda? Dan tadi kau berani bersombong hendak menawan aku? Ha-ha-ha!”

“Balutin jembel busuk, jangan sombong!” teriak Lui Siok In dengan marah sekali dan dia lalu mencabut pedang dan menyerang Balutin dengan hebat.

Balutin hanya tertawa dan dia memberi tanda ke belakang sambil mengelak ke samping. Salah seorang pembantunya segera melompat dan melemparkan sebatang tongkat yang panjang dan besar kepada Balutin. Setelah Balutin menerima senjatanya ini ternyata oleh Lui Siok In bahwa senjata itu adalah sebatang tongkat yang nampaknya berat sekali dan entah terbuat dari apa, karena kekuning-kuningan dan berkilau bagaikan emas.

Maka keduanya kemudian bertanding hebat sekali dan para tentara yang tadinya hanya bersorak sorai saja menyaksikan pertandingan ini, lalu bergerak maju semakin mendekat! Perwira-perwira kedua belah fihak sudah melompat maju dan pertandingan semakin seru hingga akhirnya kedua barisan maju saling gempur menimbulkan suara hiruk-pikuk!

Ujung pedang, golok dan lain-lain senjata berkelebat dan berkilauan di bawah sinar obor, dan lantas terdengar pekik jerit kemenangan tercampur keluh kesakitan. Darah mengucur keluar bersama peluh kemudian membasahi tanah yang terpaksa harus menerima segala kengerian yang dilakukan oleh manusia-manusia tu!

Balutin benar-benar tangguh sekali. Baru bertempur beberapa puluh jurus saja Lui Siok In maklum bahwa ia tak akan dapat mengalahkan pendeta gemuk ini, maka ia lalu berteriak memberi perintah sehingga beberapa orang perwira maju mengeroyok. Juga Beng Kong Hosiang tidak ketinggalan mengeroyok Balutin.

Kepandaian Beng Kong Hosiang setingkat dengan kepandaian Lui-ciangkun, maka tentu saja Balutin mulai terdesak ketika dia pun turut menyerbu bersama perwira-perwira lain. Akan tetapi, dua orang perwira Turki maju dengan ilmu silat mereka yang aneh dan cepat sehingga kembali pihak Balutin dan kawan-kawannya yang mendesak hebat!

Beng Kong Hosiang yang melihat betapa pihaknya terdesak hebat, menjadi marah sekali. Ia lalu memutar-mutar senjatanya yang istimewa, yaitu pacul yang bergagang bengkok itu dan menyerang Balutin dengan sepenuh tenaga. Memang sejak tadi yang diperhatikan oleh Balutin hanya Beng Kong Hosiang yang kini menyerangnya dengan ganas, maka dia pun cepat menangkis dan kedua orang ini bertempur seru sekali.

Pada suatu saat, ketika Beng Kong Hosiang menyerampang kaki Balutin dengan senjata paculnya, Balutin lalu menangkis sekuat tenaga hingga terdengar bunyi keras sekali dan gagang pacul Beng Kong Hosiang telah patah! Akan tetapi, tongkat di tangan Balutin juga terlepas dari pegangan. Demikian hebat dan keras benturan tenaga itu!

Melihat betapa senjatanya telah patah, Beng Kong Hosiang lantas berseru keras dan dia menyambitkan sisa senjatanya ke arah Balutin yang mengelak cepat. Gagang pacul yang disambitkan itu meluncur cepat bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya dan dengan jitu menancap di dada seorang Turki yang bertempur di belakang Balutin!

Beng Kong Hosiang masih marah dan bagaikan seekor banteng terluka, ia lalu menubruk maju ke arah Balutin dengan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda! Tangan kirinya mencengkeram ke arah dada dan tangan kanannya ke arah leher lawan!

Serangan ini hebat sekali. Balutin berseru keras, menundukkan kepala untuk menghindari serangan leher dan serangan tangan pada dadanya ia tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi, gerakan Beng Kong Hosiang cepat dan ganas sekali sehingga ketika lengan kiri Balutin menangkis, maka tangan kirinya itu berhasil pula mencengkeram lengan tangan Balutin yang menangkis! Balutin berseru kesakitan dan tangan kanannya lalu memukul ke dada lawan.

“Bukkk!”

Terdengar suara keras ketika pukulan tangan ini dengan tepat menghantam dada Beng Kong Hosiang. Pukulan ini keras sekali datangnya hingga dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar dan tubuh hwesio itu langsung terpental ke belakang dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Akan tetapi, cengkeraman tangannya pada lengan kiri Balutin masih belum terlepas sehingga tubuh Balutin terbawa maju.

Balutin cepat sekali menggunakan dua jarinya mengetuk sambungan siku lawannya yang telah mati itu. Ketika kena totokan ini, urat lengan Beng Kong Hosiang yang telah kaku itu menjadi mengendur dan pegangan atau cengkeramannya terlepas hingga tubuhnya lalu menggelinding ke bawah.

Balutin lalu memandang ke arah lengan kirinya yang sudah menjadi matang biru karena cengkeraman lawan tadi! Dia menggeleng-geleng kepala dan kagum akan ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka pada lengan kirinya tidak berbahaya, maka dia lalu mengambil senjatanya lagi dan kembali mengamuk hebat. Banyak perwira roboh di bawah pukulan tongkatnya.

Sementara itu, tentara Tiongkok yang kurang terlatih oleh karena kaisar dan para perwira selama ini hanya ingat bersenang-senang saja, tak kuat pula menghadapi tentara musuh. Apa lagi mereka baru habis melakukan perjalanan sehingga keadaan mereka masih lelah sekali, sedangkan pihak musuh sudah berhari-hari beristirahat di sana, maka meski pun jumlah mereka lebih besar, namun korban yang jatuh di pihak mereka juga lebih banyak.

Melihat kerugian yang diderita oleh pihaknya dan melihat pula kelihaian Balutin, Lui Siok In segera memberi perintah mundur, sedangkan dia sendiri pun lalu melompat mundur. Tentara Tiongkok menarik diri dan mundur. Beberapa orang perwira segera diutus untuk mencari bala bantuan!

Tentara Turki sengaja tidak mau mengejar oleh karena mereka mempunyai tugas yang lebih penting, yakni menyelesaikan pembuatan perahu untuk dipakai menyeberang dan mengurus korban-korban yang roboh di pihak mereka. Mereka hanya berjaga-jaga saja kalau-kalau pihak musuh datang menyerbu lagi.

Akan tetapi, oleh karena bala bantuan yang diharapkan masih jauh dan belum tentu akan dapat segera datang, maka pihak Turki mendapat kesempatan pula untuk menyelesaikan pembuatan perahu dan mereka lalu beramai-ramai menurunkan perahu-perahu itu ke air dan mulai berlayar! Beberapa orang kawan Yousuf yang dahulu bersama-sama pergi dan mendapatkan Pulau Emas itu, menjadi penunjuk jalan.

Ketika bala bantuan yang diharapkan datang dari daerah yang jauh letaknya dari tempat itu, pihak tentara kerajaan pun langsung mempergunakan perahu-perahu untuk mengejar sehingga terjadilah pengejaran ramai di atas laut. Akan tetapi perahu-perahu Tiongkok ini terlambat dua hari sehingga telah tertinggal jauh.

*****

Dengan mempergunakan sebuah perahu besar dan mewah, Pangeran Vayami, pangeran bangsa Mongol yang menjadi pemimpin Agama Sakya Buddha itu berlayar ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Di atas perahu besar ini juga sudah disediakan dua buah perahu-perahu kecil untuk keperluan khusus dan perahu ini berlayar cepat ke tengah samudera.

Ketika terjadi pertempuran pada malam hari itu, Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bisa melihat dari atas perahu mereka. Akan tetapi mereka hanya melihat obor menerangi seluruh pantai dan mendengar suara teriakan mereka yang berperang. Secara diam-diam Pangeran Vayami bersorak girang di dalam hatinya oleh karena tipu dayanya berhasil baik. DIa sudah memberi perintah kepada anak buahnya, yaitu pendeta-pendeta Sakya Buddha untuk dengan diam-diam menuju ke Pulau Emas yang diperebutkan itu.

Tipu daya Pangeran Vayami amat jahat dan licin. Ia memerintahkan para pengikutnya itu untuk mengangkut harta benda berupa emas yang berada di pulau itu. Sesudah berhasil mencari dan mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu diharuskan membakar sebuah telaga yang mengandung minyak bakar agar pulau itu terbakar habis!

Sebetulnya, pada saat mendengar akan adanya Pulau Emas itu, Pangeran Vayami sudah pernah pergi menyelidiki dan dia mendapat kenyataan bahwa pada malam hari pulau itu mengeluarkan cahaya berkilauan dan terang sekali, seakan-akan sekujur gunung di pulau itu terbuat dari pada emas yang bersinar gemilang.

Akan tetapi, ketika ia mendarat di pulau itu, ia tidak bisa mendapatkan di mana adanya emas yang bercahaya pada waktu malam itu, bahkan yang didapatkannya hanya sebuah telaga kecil yang airnya berkilauan dan berwarna kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan, ia mengambil sebotol air dan ketika pada malam harinya dia membuat penerangan, hampir saja tangannya terbakar. Tangan yang masih basah terkena benda cair itu tercium api, lalu bernyala hebat!

Ia tidak tahu bahwa pulau itu mengandung minyak tanah dan hanya menduga benda cair di telaga itu adalah air mukjijat yang mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di dalam botol itu yang segera berkobar dan terbakar dengan sangat mudahnya. Oleh karena inilah, dia menggunakan tipu daya untuk membakar telaga itu apa bila emas sudah didapatkan oleh kaki tangannya, agar semua orang yang berada di pulau itu dan hendak mencari emas, termakan habis oleh api yang membakar pulau dan anak buahnya dapat melarikan emas itu dengan aman!

Tentu saja tipu dayanya ini tidak diberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, oleh karena ia pun maklum bahwa kedua orang tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga dirinya, dan ia dapat menduga pula bahwa kaisar telah mencurigainya!

Pangeran Vayami sengaja memutar-mutar perahunya dan tidak mau membawa Hai Kong Hosiang menuju ke pulau itu untuk memberikan kesempatan kepada para anak buahnya. Demikianlah, perahunya hanya berputaran melewati pulau-pulau yang sangat banyak itu.

Ketika rombongan perahu Turki menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami merasa kuatir sekali. Anak buahnya belum kelihatan kembali dan sekarang perahu-perahu Turki sudah menyeberang ke pulau itu! Hatinya menjadi gelisah sekali, terutama ketika melihat betapa rombongan perahu tentara kerajaan mengejar pula.

Celaka, pikirnya, pulau itu tentunya akan penuh dengan tentara kedua pihak dan mungkin sekali akan terjadi perang hebat di pulau itu. Lalu bagaimana anak buahnya akan dapat bekerja dengan baik?

Ia ingin sekali pergi ke pulau itu untuk memimpin sendiri pekerjaan anak buahnya, akan tetapi ia tidak berdaya oleh karena selalu ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Tiba-tiba Pangeran Vayami yang cerdik ini mendapatkan akal baik.

Pada saat itu, Hai Kong Hosiang juga sedang berdiri di kepala perahu dan melihat betapa perahu-perahu Turki telah mendahului berlayar dan kemudian dikejar oleh perahu-perahu tentara kerajaan. Hwesio ini memandang dengan penuh rasa khawatir. Ia dapat menduga bahwa peperangan semalam tentu dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak demikian tentu musuh tak akan dapat menyeberang!

”Hai Kong Bengyu…,” Pangeran Vayami berkata. ”Apakah kau dapat menduga apa yang menjadikan kegelisahan hatiku?”

Hai Kong Hosiang sebenarnya dapat menduga bahwa Pangeran Mongol ini tentu menjadi gelisah dan kuatir melihat pergerakan barisan Turki itu, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan menggelengkan kepala.

“Hai Kong Bengyu, tidakkah kau melihat betapa barisan Turki sudah mempergunakan perahu-perahu dan menyeberang ke pulau-pulau? Ini berarti bahwa barisan kerajaanmu itu telah kalah perang! Dan apakah kau tega melihat hal itu terjadi begitu saja? Kurasa di pihak barisan Turki terdapat orang-orang pandai, maka memang sebaiknya kau bersama supek-mu tinggal saja di sini.”

Di samping mencela, Pangeran Vayami juga sengaja membakar panas hati pendeta itu. Akan tetapi Hai Kong Hosiang hanya diam saja, seolah-olah tidak mengerti akan maksud sindiran Pangeran Vayami.

”Untung sekali kau berada di sini, Hai Kong Bengyu, kalau kau ikut menyerbu tentu kau berada dalam bahaya. Aku mendengar bahwa panglima Turki yang bernama Balutin atau Pouw Lojin itu sangat sakti dan lihai hingga kurasa tidak ada orang Han (Tionghoa) yang mampu mengalahkannya!”

Hai Kong Hosiang tak dapat menahan sabarnya lagi dan dia memandang kepada Vayami dengan mata mendelik. Akan tetapi Vayami sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan berlaku seakan-akan tidak melihat kemarahan Hai Kong Hosiang, dan ia lalu menambah omongannya seperti berikut,

“Sungguh celaka! Aku mendengar bahwa seheng-mu yang bernama Beng Kong Hosiang juga ikut dalam barisan kerajaan! Jangan-jangan Seheng-mu terkena celaka, oleh karena aku merasa ragu-ragu apakah dia sanggup menghadapi Balutin yang sakti itu?”

“Vayami! Kau sungguh-sungguh memandang rendah kekuatan kami! Kau kira aku takut kepada segala macam orang seperti Balutin itu? Baik! Aku dan Suhu-ku akan menyusul dan menghancurkan mereka itu, anjing-anjing bangsa asing yang kurang ajar!” Di dalam makian ini, otomatis Vayami terkena dimaki juga, karena bukankah ia pun di hadapan Hai Kong Hosiang merupakan orang asing pula?

Hai Kong Hosiang segera memberi tahu kepada supek-nya yang gagu itu, dan Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk menyatakan setuju untuk menggempur barisan Turki itu. Hai Kong Hosiang kemudian menurunkan sebuah dari pada perahu kecil yang berada di situ, kemudian ia menghampiri Vayami dan berkata,

“Pangeran Vayami, aku dan Supek akan pergi dulu, dan kau...” Setelah berkata demikian, secepat kilat Hai Kong Hosiang mengulurkan tangan menotok.

Vayami terkejut sekali, akan tetapi terlambat, oleh karena jari tangan Hai Kong Hosiang sudah menotok jalan darahnya dengan tepat hingga pangeran itu roboh terduduk dengan tubuh lemas dan tak mampu bergerak lagi.

“Maaf, Pangeran Vayami. Aku terpaksa melakukan ini untuk menjaga agar kau tidak bisa sembarangan bergerak.” Hai Kong Hosiang lalu tertawa bergelak-gelak dengan girangnya dan Vayami terpaksa tak dapat berdaya sesuatu dan hanya memandang keberangkatan dua orang itu dengan hati gemas dan mendongkol sekali.

Sambil tertawa-tawa puas melihat hasil kecerdikannya, Hai Kong Hosiang serta Kam Ki Sianjin lalu mendayung perahu kecilnya menuju ke arah pulau di mana kedua barisan itu menuju. Di atas pulau itu telah terjadi kembali pertempuran hebat antara barisan kerajaan yang telah mendapat bala bantuan dengan pasukan Turki.

Akan tetapi, kembali Balutin mengamuk sehingga puluhan prajurit kerajaan tewas dalam tangannya. Banyak perwira mengeroyoknya, akan tetapi tak ada seorang pun yang dapat menandingi kelihaian pendeta gemuk ini.

Ketika sampai di tempat pertempuran, Hai Kong Hosiang mendengar mengenai kematian suheng-nya di tangan Balutin, maka bukan kepalang marahnya. Sambil mencabut keluar tongkat ularnya, ia melompat dan menerjang Balutin sambil berteriak,

“Balutin bangsat besar! Akulah lawanmu!” Ia lalu menyerang dengan hebat sekali.

Balutin terkejut melihat sepak terjang pendeta ini dan melawan dengan hati-hati. Mereka berdua ternyata merupakan tandingan yang sangat setimpal dan seimbang, baik dalam kepandaian mau pun dalam kehebatan tenaga mereka.

Tak seorang perwira dari kedua pihak berani maju mendekat oleh karena beberapa orang perwira yang mencoba untuk membantu kawan, ternyata baru beberapa gebrakan saja telah roboh dan tewas oleh amukan kedua orang yang sedang bertempur sengit ini.

Keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian serta tenaganya. Ada pun Kiam Ki Sianjin yang telah tua itu hanya memandang dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan penuh perhatian dan siap menolong apa bila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

Perahu besar Vayami yang ditinggal seorang diri terapung-apung di atas laut, terdampar ombak dan kebetulan sekali mendekati pulau itu. Mendadak kelihatan perahu kecil yang cepat sekali majunya dan perahu ini bukan lain adalah perahu yang ditumpangi oleh Cin Hai, Ang I Niocu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.

Melihat perahu besar yang sedang terombang-ambing seakan-akan tidak ada orang yang mengemudikannya itu, Cin Hai dan Ang I Niocu segera melompat ke atas perahu itu dan meninggalkan tosu serta hwesio itu di dalam perahu kecil.

Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Vayami duduk tak bergerak bagaikan patung batu. Juga Vayami sangat terkejut melihat kedua orang ini, akan tetapi dia hanya dapat duduk tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Cin Hai maklum bahwa pangeran ini berada di bawah pengaruh totokan, maka dia lalu mengulurkan tangan memulihkan totokan yang mempengaruhi tubuh Pangeran Vayami.

Pangeran Vayami cepat berdiri menjura dengan hormat sekali kepada Cin Hai dan Ang I Niocu.

“Terima kasih, Taihiap. Syukurlah engkau datang menolong, kalau tidak entah bagaimana dengan nasibku yang buruk ini.” Sambil berkata demikian, dia mengerling kepada Ang I Niocu dengan bibir tersenyum, akan tetapi hatinya berdebar khawatir dan takut!

Cin Hai dan Ang I Niocu merasa amat sebal dan benci melihat pangeran ini, akan tetapi mereka berdua tertarik untuk mengetahui apakah yang sedang dilakukan oleh pangeran aneh dan licin ini di atas perahu di dekat Pulau Emas itu.

“Bagaimana kau bisa berada di sini seorang diri dan mengapa dalam keadaan tertotok orang? Siapakah yang melakukan itu dan apa pula maksudmu berada di sini?” tanya Cin Hai tanpa memakai banyak peradatan lagi.

Pangeran Vayami menghela napas dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang indah model bangsawan Han itu. “Dasar Hai Kong Hosiang yang jahat dan berhati palsu!”

Cin Hai girang sekali mendengar nama itu disebut-sebut. “Eh, apakah bangsat Hai Kong Hosiang berada di sini? Katakanlah di mana dia!”

Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum bahwa di antara Hai Kong dengan anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar sekali sehingga pemuda ini selalu berusaha membunuhnya, dan dia teringat pula bahwa dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa Hai Kong Hosiang adalah musuh besarnya. Maka ia segera mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba lagi demi keuntungan dirinya sendiri.

“Sebagaimana kau ketahui, Hai Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar. Akan tetapi hwesio itu mendengar bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut ini, lalu timbul hati jahatnya dan bersama Supek-nya yang gila dan gagu itu, dia memaksa aku mengantarkan mereka berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di sini dan mengetahui tempat itu, dia lantas menotokku dan mencuri perahu kecilku, kemudian bersama dengan Supek-nya dia lalu menuju ke sana!”

Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba saja Ang I Niocu dan Cin Hai teringat kepada si tosu dan si hwesio yang tidak kelihatan lagi, dan ketika mereka memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak maju dan telah jauh meninggalkan tempat itu!

”Hai...!” Ang I Niocu berteriak marah ”Kembalilah kalian!”

Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya melambaikan tangan saja, si hwesio tetap tertawa dan si tosu tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu besar Vayami itu untuk mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya dan berkata mencegah,

“Lihiap, jangan mengejar. Mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka ikut dibakar hidup-hidup!”

Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut, cepat memandang kepada pangeran yang tersenyum-senyum girang itu dengan heran. Pada waktu itu, hari telah mulai gelap dan angin bertiup kencang.

“Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan tadi?” tanya Cin Hai dan Ang I Niocu yang tidak jadi mengejar kedua pendeta itu oleh karena dia pun tidak mempunyai urusan dengan mereka. Tadi ia hendak mengejar hanya karena merasa marah saja dan kini dua orang pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi pula.

Vayami tersenyum dan berkata, “Sebelum aku menceritakan kepada kalian, lebih dahulu bantulah aku memasang layar ini sebab aku hendak menunjukkan sebuah pemandangan indah kepada kalian!”

Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan sebentar saja perahu besar itu bergerak laju ke kanan. Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu, telah memutar perahunya mengelilingi Pulau Kim-san-to. Dan sesudah melakukan pelayaran lebih dari dua jam, kini perahu itu berada di belakang pulau.

“Nah, kalian lihat itu!” kata Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.

Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan mereka berdua menjadi amat tercengang melihat pemandangan yang mereka lihat di depan mereka. Di atas Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit yang menjulang tinggi dan berujung runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu nampak bercahaya dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang berkilauan! Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih kuning kemerah-merahan bagaikan emas murni, dan di bawah bukit membentang pohon-pohon yang gelap dan hitam.

Ang I Niocu berdiri di pinggir perahu dengan penuh takjub sehingga untuk beberapa lama gadis itu berdiri tak bergerak laksana patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan heran dan kagetnya, segera minta keterangan dari Vayami!

“Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua! Tentu kau juga sudah melihat bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan telah saling gempur dan kini pun sedang bertempur mati-matian di atas pulau itu untuk memperebutkan Bukit Emas itu. Semua orang yang berjumlah ribuan itu, mereka berebut mati-matian untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka sudah berada di tepi neraka. Ha-ha! Juga Hai Kong yang jahat itu sebentar lagi takkan dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun akan mati terpanggang api, di pulau itu, ha-ha-ha!”

Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Dia lalu membentak, “Pangeran Vayami! Kau jelaskanlah semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?”

Sesudah berusaha keras untuk menekan kegirangan dan kegelian hatinya yang hendak tertawa saja, Vayami lalu berkata lagi,

“Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami orang-orang Mongol tidaklah segoblok orang-orang Turki atau orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara untuk memperebutkan pulau ini. Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api dan semua emas akan berada di tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan Pangeran Vayami!”

Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha yang muda dan tampan ini. Ia melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi tetap saja mukanya masih jelas bahwa dia adalah orang Mongol.

Cin Hai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa perahunya ke tempat itu oleh karena memang ia telah berjanji kepada anak buahnya untuk menanti dengan perahu besar di tempat itu untuk menerima mereka setelah selesai mengerjakan tugas mereka.

Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianli lihai sekali, maka sesudah melihat munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat menarik kedua orang ini untuk menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan dua orang gagah ini kepada Hai Kong Hosiang apa bila hwesio itu muncul untuk mengganggunya.

Oleh karena ia menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak memiliki hubungan sesuatu dengan Turki mau pun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia segera melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan kecerdikannya.

“Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta di pulau itu, dan oleh karena mereka sedang bertempur mati-matian, mereka sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mencari emas itu yang belum dapat diketahui secara pasti di mana tempatnya. Dan diam-diam aku telah menyuruh anak buahku yang tiga puluh enam orang banyaknya untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum tentara-tentara kedua pihak itu tiba dan telah memerintahkan apa bila mereka telah dapat mengangkut harta itu, mereka segera harus membakar sebuah danau di pulau itu yang airnya dapat terbakar seperti minyak domba! Bahkan aku memerintahkan supaya seluruh hutan di situ dibakar semua sampai habis, baru mereka mengangkat kaki dan mengangkut semua emas itu ke sini!”

Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai yang teringat kepada Lin Lin tiba-tiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan Ang I Niocu. Juga Ang I Niocu teringat bahwa Lin Lin diduga pergi ke pulau itu, maka cepat bertanya,

“Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu dilakukan?”

Vayami memandang dengan muka berseri. “Malam ini, tepat tengah malam, jadi tak lama lagi!” katanya sambil memandang ke arah pulau.

Diam-diam pangeran ini juga merasa sangat khawatir oleh karena orang-orangnya yang sedang ditunggu-tunggu belum kelihatan muncul seorang pun.

Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut. “Vayami, tahukah kau di mana adanya seorang Turki yang bernama Yousuf?” tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar dengan orang Turki ini dan nama ini dia dengar dari dua orang nelayan yang menceritakan pengalaman mereka dulu.

Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini. Dia pernah bertemu dengan Yousuf dan tahu akan kelihaian orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu pertama dari Kim-san-to.

“Kau mencari setan itu? Ha-ha-ha-ha! Tentu dia juga berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf itu pun berada di atas pulau dan sebentar lagi ia pun akan musnah!”

“Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama dia?” tanya pula Cin Hai dengan suara gemetar.

“Kawan-kawannya?” kata Vayami yang mengira bahwa ‘kawan-kawan’ yang dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah orang-orang Turki lainnya. “Ha-ha-ha-ha! Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang mampus di pulau itu.”

“Bangsat besar!” Tiba-tiba Cin Hai memaki dan ketika tangannya menampar, pipi Vayami kena ditampar hingga giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas papan perahu.

Pangeran ini mengeluh dan merintih-rintih sambil mengusap-usap pipinya yang menjadi matang biru dan memandang kepada Cin Hai dengan heran.

“Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul Lin Lin!”

“Jangan, Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau berminyak itu bisa meledak'!' kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.

“Lin Lin berada di sana, karena itu bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi menolongnya?” tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu kecil dan hendak melemparnya ke air untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.

Akan tetapi, pada saat itu pula dia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi oleh banyak perahu-perahu kecil dan mendadak dari perahu-perahu kecil itu berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang berjubah merah. Kiranya orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakya Buddha yang memiliki ilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan senjata di tangan. Jumlah mereka banyak sekali sehingga terpaksa Cin Hai melompat mundur ke dekat Ang I Niocu, bersiap sedia menghadapi keroyokan.

Ketika melihat bahwa tiba-tiba anak buahnya muncul, Pangeran Vayami menjadi girang sekali dan ia lalu timbul pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu dia telah memaksa Ang I Niocu untuk menjadi isterinya. Kini melihat datangnya semua anak buahnya yang dia percaya akan dapat menundukkan kedua anak muda itu dengan keroyokan, lalu ia memerintah,

“Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut! Tetapi jangan ganggu gadis itu dan tawan dia.”

Bagaikan serombongan anjing pemburu yang terlatih dan mendengar perintah tuannya, tiga puluh enam orang pendeta Sakya Buddha itu lalu menyerbu dengan mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang masing-masing dan melakukan perlawanan dengan gagah.

Semua pendeta itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu dan Cin Hai menjadi bingung juga.

Akan tetapi kedua orang muda ini memiliki ilmu kepandaian sempurna, terutama Cin Hai. Maka, baru beberapa jurus saja mereka bertempur, dua orang pengeroyok sudah dapat dirobohkan.

Meski pun demikian, kesetiaan anak buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka tidak mundur, malah makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang lihai, biar pun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan segan-segan buat mentaatinya asal perintah itu keluar dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh kepercayaan penuh bahwa kesetiaan mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh oleh pemimpin agama itu.

Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua pengeroyok ini bukanlah hal yang terlalu sulit bagi mereka berdua, akan tetapi hati mereka tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang yang hanya menjalankan perintah. Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin yang berada di pulau itu!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga bayangan orang meloncat ke atas perahu dan langsung mengamuk dengan hebatnya disertai suara tertawa menyeramkan! Pada saat Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa girang sekali akan tetapi berbareng juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat datang bersama kedua iblis ini?

Ketika melihat Pek Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat semua pendeta Sakya Buddha, Cin Hai lalu melompat ke pinggir perahu dengan maksud hendak segera menyusul Lin Lin.

Akan tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali oleh karena dalam kekalutan itu, Ang I Niocu sudah mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di atas perahu kemudian mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya bersinar-sinar itu!

“Niocu, tunggu!” teriak Cin Hai.

Akan tetapi Ang I Niocu melambaikan tangan padanya sambil menjawab, “Jangan, Hai-ji. Biar aku saja yang menyusul, jangan kita berdua terancam bahaya bersama. Kau tunggu saja, aku pasti akan membawa Lin Lin kepadamu!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu mendayung makin cepat!

Cin Hai bingung sekali dan ia cepat melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa semua pendeta Sakya Buddha tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini sudah dipukul hancur dan tenggelam oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas!

Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di situ makin gelap sehingga sukar mencari perahu kecil yang dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia mengambil keputusan bendak berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau sampai Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia sendiri harus enak-enak menunggu!

Sementara itu, di dalam kegembiraan mereka mengamuk serta membasmi para pendeta Sakya Buddha itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang melihat mereka, tak mengerti maksud mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok oleh banyak lawan sehingga tidak mendapat kesempatan bertanya lagi.

Amukan Hek Mo-ko serta Pek Mo-ko hebat sekali, bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama sekali Pek Mo-ko yang masih menderita duka akibat kematian puterinya, kini mengamuk dan merupakan seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko mau pun Pek Mo-ko tak memiliki alasan untuk memusuhi pendeta-pendeta baju merah ini. Mereka bertempur hanya atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu dikeroyok!

Kedua iblis ini memang suka sekali bertempur, dan asalkan mereka bisa bertempur serta membunuh banyak orang, tidak peduli lagi apa alasannya, mereka sudah cukup merasa senang dan puas! Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang ini disebut Iblis Putih dan Iblis Hitam!

Sedangkan Kwee An yang juga tak mengerti sebab-sebab pertempuran, hanya bertindak untuk menolong kedua orang kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, dia menjadi menyesal akan tetapi tidak berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan pembunuhan besar-besaran.

Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam orang pendeta Sakya Buddha ini berikut Pangeran Vayami terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko! Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu menendangi mayat-mayat itu ke dalam laut.

Pangeran Vayami yang bernasib malang itu sampai tidak mengetahui bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak buahnya untuk mencari emas itu! Kalau saja ia tahu bahwa anak buahnya tidak mendapatkan emas sepotong pun, jika dia masih hidup pun tentu dia akan jatuh binasa karena kecewa dan menyesal!

Anak buahnya ternyata tak berhasil mendapatkan sedikit pun emas di pulau itu, biar pun sudah berhari-hari mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas sepotong kecil pun! Akan tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan ketika melihat peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan barisan dari kaisar, mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di atas bukit itu! Danau itu kini mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi hal ini masih belum diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang.



Pendekar Bodoh Jilid 14

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 14

CIN HAI yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu melihat bahwa dirinya diserang oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha hi-hi saja, dan biar pun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum. Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan betul-betul hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu.

Sekarang burung rajawali itu dengan cepatnya menyambar turun dari atas. Ang I Niocu yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawan-kawannya, “Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!”

Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat menghantam sekerasnya dengan tangan kanannya! Namun kembali ia tertegun oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu!

Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga biar pun burung itu menangkis dengan sayap, tetapi tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh berhamburan menimpa ke arah perahu seperti hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu sehingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran burung itu.

Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental serta kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata, “Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”

Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun. Kini dia bukan menyerang kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya dia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.

Burung ini adalah sejenis Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala burung. Ketika dia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya.

Ang I Niocu bukanlah sembarang gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan seruan keras, sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar dengan pedangnya.

Kembali burung Kim-tiauw itu secara aneh mampu mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali dia menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara Ang I Niocu di atas perahu dengan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas.

Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir saja dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu menjadi semakin marah dan penasaran saja. Biar pun Ang I Niocu belum berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu sudah rontok ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tak mendapat kesempatan untuk menyerang gadis perkasa itu.

Sebenarnya, apa bila dia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kim-tiauw itu. Akan tetapi kini dia berada di atas perahu yang bergerak-gerak sehingga membuat gerakannya tidak leluasa sekali.

Sesudah berkali-kali serangannya gagal, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat serta mengeluarkan bunyi seperti orang mengeluh panjang, ia kemudian terbang pergi dengan cepat sekali hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.

Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut. Hatinya tidak puas sekali karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu berkata sambil menghela napas panjang, “Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”

“Ehh, mengapa kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?” kata Ang I Niocu sambil memandang heran.

“Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini terkenal sebagai burung pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita sudah bertemu dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali, apa lagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”

Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu lantas berkata, “Burung jahat itu mana bisa membawa kebahagiaan?”

Biar pun Cin Hai tidak setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya, hanya berkata memuji, “Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”

“Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja di angkasa!” kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah hal yang menyenangkan hatinya!

“Dan raja angkasa itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!” kata Cin Hai.

Semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa. Dia hanya mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!

Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki empat orang yang sedang mencari Pulau Emas itu, pulau yang aneh dan mengandung rahasia dan yang pada waktu itu menjadi sebab terjadinya hal-hal yang hebat karena ada tiga bangsa sedang berusaha merampas pulau itu.

*****

Pada waktu itu, Kerajaan Turki yang telah mendengar tentang adanya Pulau Emas di laut timur Negara Tiongkok sudah mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di antaranya Yousuf yang cerdik dan yang menjadi orang pertama mendapatkan pulau itu. Di samping menyebar mata-mata, Kerajaan Turki lalu mengirim pula sejumlah besar tentaranya untuk menyerbu ke daerah ini.

Mereka tak berani melalui daratan Tiongkok, oleh karena maklum bahwa apa bila mereka melalui daratan pedalaman Tiongkok mereka pasti akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang memungkinkan gagalnya usaha mereka, oleh karena selain memiliki daerah luas yang berbahaya, Tiongkok juga mempunyai banyak orang pandai yang tentu akan melawan tentara Turki yang menjelajah negaranya.

Oleh karena ini, barisan Turki itu mengambil jalan memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang perbatasan Negara Tiongkok dan masuk di daerah Mongol. Mereka ini pun tidak tinggal diam dan melawan barisan asing yang memasuki tanahnya. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu bangsa Mongol masih belum kuat dan hidupnya berkelompok-kelompok ini, dengan mudah dapat dihalau oleh barisan Turki yang kuat.

Barisan Turki ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bahkan di dalam barisan ini terdapat seorang pemimpin aneh yang merupakan seorang pendeta bertubuh besar sekali seperti seorang raksasa akan tetapi agak pendek. Pendeta ini berkepala botak, berjenggot hitam dan kaku bagaikan kawat dan yang menyongot ke sana ke mari tidak terawat.

Tubuhnya yang gemuk besar itu mengenakan pakaian yang amat aneh pula, oleh karena pakaian ini terbuat dari banyak macam kain kembang yang ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan pakaiannya, pendeta ini lebih pantas disebut seorang pengemis jembel!

Pendeta ini lihai dan sakti sekali dan ia adalah jago nomor satu di seluruh Kerajaan Turki. Namanya di Turki terkenal sebagai Balutin, sedangkan pendeta yang sudah sering kali merantau di pedalaman Tiongkok ini disebut dalam bahasa Tiongkok sebagai Pouw Lojin. Oleh karena sering masuk di daerah Tiongkok, maka Balutin pandai bicara dalam bahasa Tionghoa.

Dengan adanya pendeta ini, maka ekspedisi Turki ini tidak mengalami banyak rintangan, oleh karena setiap penghalang yang kuat selalu hancur kalau saja berhadapan dengan Balutin yang lihai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, Balutin juga mahir dalam ilmu sihir, dan lweekang serta khikang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Gerakan tentara Turki ini membuat bangsa Mongol merasa gelisah sekali. Mereka ini pun akhirnya bisa juga mencari tahu akan rahasia Kerajaan Turki dan dapat pula mengetahui bahwa bangsa Turki ini hendak mencari sebuah Pulau Emas di Laut Tiongkok.

Karena itu, bangsa Mongol lalu menguasakan kepada Pangeran Vayami yang cerdik dan mempunyai kepandaian tinggi untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini pulalah sebabnya maka Hai Kong Hosiang diutus oleh kaisar untuk mengundang Pangeran Vayami datang ke istana kaisar.

Setelah Vayami bertemu dengan kaisar, secara cerdik sekali Vayami lalu menghasut dan memberi tahu bahwa tentara Turki bermaksud mengurung ibu kota Tiongkok dan merebut sebuah pulau di Laut Tiongkok yang mengandung banyak emas! Dengan cerdik sekali Pangeran Vayami menghasut dan hendak mengadu dombakan tentara Turki dan tentara Tiongkok, sedangkan diam-diam pangeran yang cerdik dan licin ini telah menyiapkan kaki tangannya untuk secara mendadak menyerbu pulau itu. Ia memakai siasat ‘Membiarkan Dua Ekor Anjing Berebut Tulang’ dan kemudian diam-diam membawa tulang itu berlari sementara kedua anjing itu masih bergumul!

Akan tetapi, Kaisar Tiongkok pun bukan orang bodoh, dan seandainya dia sendiri bodoh, akan tetapi para penasehatnya adalah orang-orang cendekiawan yang berpemandangan luas. Memang kaisar sudah masuk dalam perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara dekat tapal batas negeri Tiongkok, di mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara Turki itu berkumpul.

Barian besar ini dikepalai oleh Beng Kong Hosiang beserta beberapa orang perwira yang tertinggi kepandaiannya. Bahkan kepala bayangkari, yaitu seorang perwira kekasih kaisar yang amat tinggi kepandaiannya dan bernama Lui Siok In, mendapat tugas khusus untuk memimpin barisan itu bersama-sama Beng Kong Hosiang dan lain-lain perwira.

Sementara itu, kaisar memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk tetap menemani Pangeran Vayami dengan alasan melindungi keselamatan tamu agung itu dalam perjalanan kembali ke negerinya. Akan tetapi sebetulnya kaisar ini bukan ingin menjaga keselamatan orang, namun bahkan hendak mengawasi dan mengikuti gerak-geriknya, dan membatasi segala usaha kecurangan yang mungkin akan dilakukan oleh Pangeran Vayami yang cerdik itu. Oleh karena ini, Hai Kong Hosiang mendapat tugas istimewa dan hwesio ini pun lantas mengajak supek-nya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai sekali itu.

Pangeran Vayami lalu keluar dari istana bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, dan pangeran ini langsung menuju ke utara pula dan memberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang tentang adanya Pulau Emas itu.

Walau pun Hai Kong Hosiang seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan ingin sekali mendapatkan gunung emas itu, maka ia pun segera menyetujui ajakan Pangeran Vayami untuk menyaksikan pulau itu dari dekat dan apa bila mungkin mendarat di pulau itu. Hal ini menurut Hai Kong Hosiang tak ada salahnya, oleh karena tugasnya yang didapat dari kaisar hanya mengawasi dan menjaga agar pangeran ini jangan melakukan sesuatu yang akan merugikan. Pendeknya, kaisar mencurigai Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bertugas mengawasinya.

Ketika tentara Turki yang dipimpin dan dilindungi oleh Balutin itu tiba di tepi pantai laut, mereka berhenti dan memasang kemah. Sementara itu, bagian perlengkapan lalu sibuk membuat perahu-perahu untuk keperluan menyeberang. Biar pun mereka telah lebih dulu menyiapkan segala keperluan untuk membuat perahu-perahu ini, akan tetapi oleh karena jumlah tentara yang hendak diseberangkan ini tak kurang dari seribu orang, maka proses pembuatan perahu itu makan waktu berhari-hari.

Dan pada saat mereka sedang sibuk membuat persiapan untuk menyeberang, datanglah tentara Kerajaan Tiongkok yang dipimpin oleh Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan para perwira lainnya! Tentara Tiongkok lebih banyak jumlahnya, dan karena mereka datang di waktu hari sudah menjadi gelap, maka tentara Tiongkok di bawah pimpinan Lui Siok In yang pandai ini lalu diam-diam mengurung perkemahan tentara Turki. Kemudian, tentara Tiongkok yang telah mengurung ini serentak memasang obor sehingga keadaan menjadi terang sekali bagaikan siang hari!

Tentu saja tentara Turki menjadi panik ketika tiba-tiba melihat ribuan obor menyala yang mengelilingi tempat mereka. Namun, dengan senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat dan gemuk, Balutin berhasil menyuruh anak buahnya berlaku tenang. Mereka diperintahkan untuk memasang serta memegang obor pula, kemudian dia lalu berdiri di depan barisannya menanti kedatangan musuh.

Dengan tindakan gagah, pedang di pinggang dan bulu sayap garuda menghias topinya, tanda bahwa ia adalah seorang perwira Sayap Garuda tingkat tertinggi, Lui Siok In diikuti oleh perwira-perwira lain dan Beng Kong Hosiang, maju menghampiri Balutin dan berkata dengan suara lantang,

“Hai, tentara Turki! Kalian telah melanggar wilayah kami dan karena sekarang kamu telah dikurung dan tak berdaya lagi, maka lebih baik kamu menyerah saja agar supaya menjadi orang-orang tawanan yang akan kami perlakukan dengan baik-baik!”

Di bawah penerangan obor di sekeliling mereka yang dipegang oleh tentara kedua belah fihak, Balutin kelihatan seperti seorang raksasa pendek. Pendeta Turki ini lalu melangkah maju dan sambil tertawa ia menuding ke arah Lui Siok In dan berkata,

“Hai, Perwira muda! Siapakah yang menjadi pemimpin besar barisanmu ini? Suruhlah dia sendiri maju, dan jangan majukan segala perwira hijau untuk bicara dengan aku!”

Mendengar bahwa dirinya disebut ‘perwira hijau’ oleh pengemis jembel yang amat gemuk ini, tentu saja Lui Siok In menjadi marah.

“Bangsat jembel, siapakah kamu?”

Balutin tertawa bergelak sambil memegangi perutnya. “Kau mau tahu aku siapa? Akulah pemimpin besar barisan Turki! Akulah Balutin atau bisa juga kau sebut Pouw Lojin! Anak muda, panggillah keluar pemimpin besarmu agar dapat bicara dengan aku!”

Lui Siok In terkejut mendengar bahwa yang berdiri di depannya seperti seorang pengemis jembel ini adalah Balutin sendiri, tokoh yang amat terkenal sejak tentara Turki menyerbu melalui Mongol. Nama Balutin ini pernah disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika memberi perintah kepadanya untuk memimpin barisan, karena kaisar pun sudah mendengar dari Pangeran Vayami yang sangat memuji-muji Balutin sebagai orang gagah dan pemimpin besar.

Lui Siok In tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan kejeriannya, maka sambil tertawa ia pun berkata,

“Aha, pemimpin besar tentara Turki yang bernama Balutin dan yang disohorkan sangat gagah perkasa itu tak tahunya hanya seorang pengemis jembel yang terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah, Jembel gemuk, akulah pemimpin barisan ini dan namaku adalah Lui Siok In. Lebih baik kau menyerah saja agar kau dapat diberi makan enak dan tidak usah mampus di ujung senjata!”

Balutin memandang dengan rasa heran dan hampir tidak percaya bahwa panglima besar tentara Tiongkok hanyalah seorang perwira muda ini. Ia lalu berkata menghina,

“Agaknya Tiongkok telah kehabisan orang gagah maka terpaksa memajukan kau sebagai panglima. Mari, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!'

Sambil berkata demikian, Balutin menengok ke arah pohon yang tumbuh di dekat sana. Daun-daun pohon itu bergantungan di atasnya dan dia kemudian menggerakkan kedua tangannya menampar ke arah daun-daun pohon itu.

Angin besar keluar dari kedua lengannya yang dipenuhi tenaga khikang itu dan beberapa helai daun di pohon itu lantas rontok dan melayang ke bawah! Balutin masih menggerak-gerakkan kedua tangannya dan daun-daun pohon yang melayang ke bawah itu kelihatan bergerak-gerak di udara akan tetapi tak dapat melayang turun, seakan-akan tertahan oleh tiupan dari bawah dan kini bermain-main di udara bagaikan hidup!

Lui Siok In merasa terkejut sekali dan ia mengerti bahwa Balutin sedang mempergunakan kepandaian khikang yang disebut Mempermainkan Daun Rontok! Ia juga maklum bahwa daun-daun ini biar pun ringan, akan tetapi dapat digerakkan dengan tenaga khikang dan dapat dipakai menyerang lawan seperti senjata-senjata rahasia hebat! Di Tiongkok juga terdapat ilmu ini yang dipelajari sambil menggunakan tenaga khikang dan angin gerakan tangan dapat diarahkan kepada daun-daun itu sehingga daun-daun itu dapat digerakkan ke mana saja menurut kehendak orang.

Benar saja sebagaimana dugaan Lui Siok In. Tiba-tiba saja Balutin lalu membuat gerakan dengan kedua telapak tangannya dan daun-daun itu dari atas langsung menyambar turun hendak menyerang tubuh Lui Siok In. Perwira muda ini bukan orang sembarangan dan ia juga memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia tidak lihai, mana ia bisa diterima menjadi kepala pengawal pribadi kaisar.

Dia kemudian berseru keras dan membuat gerakan pula dengan jari-jari tangannya yang ditelentangkan. Dari kedua telapak tangannya ini keluarlah tenaga khikang yang hebat pula dan aneh. Daun-daun yang tadinya meluncur dari atas kini melayang naik kembali, dan kemudian terapung-apung di tengah udara.

Pertempuran dahsyat dan adu tenaga khikang ini berlangsung lama serta menegangkan sehingga semua tentara yang memegang obor dan menyaksikan pertandingan hebat ini menahan napas. Kedua panglima itu berhadapan dengan mata saling memandang dan dua tangan bergerak-gerak serta diulur ke depan seakan-akan dua orang pengemis yang sedang minta sedekah, sedangkan daun-daun itu terus melayang-layang di tengah udara, sebentar menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.

Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa Lui Siok In kalah tinggi kepandaiannya dan tenaga khikang-nya masih kalah setingkat oleh Balutin yang lihai itu. Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan tenaga, dan perlahan tapi tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai gemetar, sedangkan pada mukanya yang pucat itu mengucur peluh membasahi jidat dan pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di udara itu mulai mendesak turun dan semakin mendekati kepala Lui Sok In.

Perwira she Lui itu maklum bahwa apa bila adu khikang ini diteruskan, keadaannya akan berbahaya sekali. Maka secepat kilat dia lantas membuat gerakan Ikan Gabus Melompat Tinggi, menjatuhkan diri ke belakang sambil membuat gerakan berjungkir balik, lalu cepat menjatuhkan diri pula sambil bergulingan di atas tanah.

Dia memang harus menggunakan gerakan ini, karena kalau tidak dia akan terpukul oleh tenaga khikang yang telah menekan dan mendesaknya. Dengan cara bergulingan itu dia memulihkan aliran darahnya kembali dan membebaskan dia dari serangan daun-daun itu yang lalu meluncur dan jatuh ke atas tanah.

Balutin tertawa bekakakan sambil bertolak pinggang. “Ha-ha-ha-ha! Hanya begitu sajakah kepandaianmu, Perwira muda? Dan tadi kau berani bersombong hendak menawan aku? Ha-ha-ha!”

“Balutin jembel busuk, jangan sombong!” teriak Lui Siok In dengan marah sekali dan dia lalu mencabut pedang dan menyerang Balutin dengan hebat.

Balutin hanya tertawa dan dia memberi tanda ke belakang sambil mengelak ke samping. Salah seorang pembantunya segera melompat dan melemparkan sebatang tongkat yang panjang dan besar kepada Balutin. Setelah Balutin menerima senjatanya ini ternyata oleh Lui Siok In bahwa senjata itu adalah sebatang tongkat yang nampaknya berat sekali dan entah terbuat dari apa, karena kekuning-kuningan dan berkilau bagaikan emas.

Maka keduanya kemudian bertanding hebat sekali dan para tentara yang tadinya hanya bersorak sorai saja menyaksikan pertandingan ini, lalu bergerak maju semakin mendekat! Perwira-perwira kedua belah fihak sudah melompat maju dan pertandingan semakin seru hingga akhirnya kedua barisan maju saling gempur menimbulkan suara hiruk-pikuk!

Ujung pedang, golok dan lain-lain senjata berkelebat dan berkilauan di bawah sinar obor, dan lantas terdengar pekik jerit kemenangan tercampur keluh kesakitan. Darah mengucur keluar bersama peluh kemudian membasahi tanah yang terpaksa harus menerima segala kengerian yang dilakukan oleh manusia-manusia tu!

Balutin benar-benar tangguh sekali. Baru bertempur beberapa puluh jurus saja Lui Siok In maklum bahwa ia tak akan dapat mengalahkan pendeta gemuk ini, maka ia lalu berteriak memberi perintah sehingga beberapa orang perwira maju mengeroyok. Juga Beng Kong Hosiang tidak ketinggalan mengeroyok Balutin.

Kepandaian Beng Kong Hosiang setingkat dengan kepandaian Lui-ciangkun, maka tentu saja Balutin mulai terdesak ketika dia pun turut menyerbu bersama perwira-perwira lain. Akan tetapi, dua orang perwira Turki maju dengan ilmu silat mereka yang aneh dan cepat sehingga kembali pihak Balutin dan kawan-kawannya yang mendesak hebat!

Beng Kong Hosiang yang melihat betapa pihaknya terdesak hebat, menjadi marah sekali. Ia lalu memutar-mutar senjatanya yang istimewa, yaitu pacul yang bergagang bengkok itu dan menyerang Balutin dengan sepenuh tenaga. Memang sejak tadi yang diperhatikan oleh Balutin hanya Beng Kong Hosiang yang kini menyerangnya dengan ganas, maka dia pun cepat menangkis dan kedua orang ini bertempur seru sekali.

Pada suatu saat, ketika Beng Kong Hosiang menyerampang kaki Balutin dengan senjata paculnya, Balutin lalu menangkis sekuat tenaga hingga terdengar bunyi keras sekali dan gagang pacul Beng Kong Hosiang telah patah! Akan tetapi, tongkat di tangan Balutin juga terlepas dari pegangan. Demikian hebat dan keras benturan tenaga itu!

Melihat betapa senjatanya telah patah, Beng Kong Hosiang lantas berseru keras dan dia menyambitkan sisa senjatanya ke arah Balutin yang mengelak cepat. Gagang pacul yang disambitkan itu meluncur cepat bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya dan dengan jitu menancap di dada seorang Turki yang bertempur di belakang Balutin!

Beng Kong Hosiang masih marah dan bagaikan seekor banteng terluka, ia lalu menubruk maju ke arah Balutin dengan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda! Tangan kirinya mencengkeram ke arah dada dan tangan kanannya ke arah leher lawan!

Serangan ini hebat sekali. Balutin berseru keras, menundukkan kepala untuk menghindari serangan leher dan serangan tangan pada dadanya ia tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi, gerakan Beng Kong Hosiang cepat dan ganas sekali sehingga ketika lengan kiri Balutin menangkis, maka tangan kirinya itu berhasil pula mencengkeram lengan tangan Balutin yang menangkis! Balutin berseru kesakitan dan tangan kanannya lalu memukul ke dada lawan.

“Bukkk!”

Terdengar suara keras ketika pukulan tangan ini dengan tepat menghantam dada Beng Kong Hosiang. Pukulan ini keras sekali datangnya hingga dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar dan tubuh hwesio itu langsung terpental ke belakang dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Akan tetapi, cengkeraman tangannya pada lengan kiri Balutin masih belum terlepas sehingga tubuh Balutin terbawa maju.

Balutin cepat sekali menggunakan dua jarinya mengetuk sambungan siku lawannya yang telah mati itu. Ketika kena totokan ini, urat lengan Beng Kong Hosiang yang telah kaku itu menjadi mengendur dan pegangan atau cengkeramannya terlepas hingga tubuhnya lalu menggelinding ke bawah.

Balutin lalu memandang ke arah lengan kirinya yang sudah menjadi matang biru karena cengkeraman lawan tadi! Dia menggeleng-geleng kepala dan kagum akan ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka pada lengan kirinya tidak berbahaya, maka dia lalu mengambil senjatanya lagi dan kembali mengamuk hebat. Banyak perwira roboh di bawah pukulan tongkatnya.

Sementara itu, tentara Tiongkok yang kurang terlatih oleh karena kaisar dan para perwira selama ini hanya ingat bersenang-senang saja, tak kuat pula menghadapi tentara musuh. Apa lagi mereka baru habis melakukan perjalanan sehingga keadaan mereka masih lelah sekali, sedangkan pihak musuh sudah berhari-hari beristirahat di sana, maka meski pun jumlah mereka lebih besar, namun korban yang jatuh di pihak mereka juga lebih banyak.

Melihat kerugian yang diderita oleh pihaknya dan melihat pula kelihaian Balutin, Lui Siok In segera memberi perintah mundur, sedangkan dia sendiri pun lalu melompat mundur. Tentara Tiongkok menarik diri dan mundur. Beberapa orang perwira segera diutus untuk mencari bala bantuan!

Tentara Turki sengaja tidak mau mengejar oleh karena mereka mempunyai tugas yang lebih penting, yakni menyelesaikan pembuatan perahu untuk dipakai menyeberang dan mengurus korban-korban yang roboh di pihak mereka. Mereka hanya berjaga-jaga saja kalau-kalau pihak musuh datang menyerbu lagi.

Akan tetapi, oleh karena bala bantuan yang diharapkan masih jauh dan belum tentu akan dapat segera datang, maka pihak Turki mendapat kesempatan pula untuk menyelesaikan pembuatan perahu dan mereka lalu beramai-ramai menurunkan perahu-perahu itu ke air dan mulai berlayar! Beberapa orang kawan Yousuf yang dahulu bersama-sama pergi dan mendapatkan Pulau Emas itu, menjadi penunjuk jalan.

Ketika bala bantuan yang diharapkan datang dari daerah yang jauh letaknya dari tempat itu, pihak tentara kerajaan pun langsung mempergunakan perahu-perahu untuk mengejar sehingga terjadilah pengejaran ramai di atas laut. Akan tetapi perahu-perahu Tiongkok ini terlambat dua hari sehingga telah tertinggal jauh.

*****

Dengan mempergunakan sebuah perahu besar dan mewah, Pangeran Vayami, pangeran bangsa Mongol yang menjadi pemimpin Agama Sakya Buddha itu berlayar ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Di atas perahu besar ini juga sudah disediakan dua buah perahu-perahu kecil untuk keperluan khusus dan perahu ini berlayar cepat ke tengah samudera.

Ketika terjadi pertempuran pada malam hari itu, Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bisa melihat dari atas perahu mereka. Akan tetapi mereka hanya melihat obor menerangi seluruh pantai dan mendengar suara teriakan mereka yang berperang. Secara diam-diam Pangeran Vayami bersorak girang di dalam hatinya oleh karena tipu dayanya berhasil baik. DIa sudah memberi perintah kepada anak buahnya, yaitu pendeta-pendeta Sakya Buddha untuk dengan diam-diam menuju ke Pulau Emas yang diperebutkan itu.

Tipu daya Pangeran Vayami amat jahat dan licin. Ia memerintahkan para pengikutnya itu untuk mengangkut harta benda berupa emas yang berada di pulau itu. Sesudah berhasil mencari dan mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu diharuskan membakar sebuah telaga yang mengandung minyak bakar agar pulau itu terbakar habis!

Sebetulnya, pada saat mendengar akan adanya Pulau Emas itu, Pangeran Vayami sudah pernah pergi menyelidiki dan dia mendapat kenyataan bahwa pada malam hari pulau itu mengeluarkan cahaya berkilauan dan terang sekali, seakan-akan sekujur gunung di pulau itu terbuat dari pada emas yang bersinar gemilang.

Akan tetapi, ketika ia mendarat di pulau itu, ia tidak bisa mendapatkan di mana adanya emas yang bercahaya pada waktu malam itu, bahkan yang didapatkannya hanya sebuah telaga kecil yang airnya berkilauan dan berwarna kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan, ia mengambil sebotol air dan ketika pada malam harinya dia membuat penerangan, hampir saja tangannya terbakar. Tangan yang masih basah terkena benda cair itu tercium api, lalu bernyala hebat!

Ia tidak tahu bahwa pulau itu mengandung minyak tanah dan hanya menduga benda cair di telaga itu adalah air mukjijat yang mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di dalam botol itu yang segera berkobar dan terbakar dengan sangat mudahnya. Oleh karena inilah, dia menggunakan tipu daya untuk membakar telaga itu apa bila emas sudah didapatkan oleh kaki tangannya, agar semua orang yang berada di pulau itu dan hendak mencari emas, termakan habis oleh api yang membakar pulau dan anak buahnya dapat melarikan emas itu dengan aman!

Tentu saja tipu dayanya ini tidak diberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, oleh karena ia pun maklum bahwa kedua orang tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga dirinya, dan ia dapat menduga pula bahwa kaisar telah mencurigainya!

Pangeran Vayami sengaja memutar-mutar perahunya dan tidak mau membawa Hai Kong Hosiang menuju ke pulau itu untuk memberikan kesempatan kepada para anak buahnya. Demikianlah, perahunya hanya berputaran melewati pulau-pulau yang sangat banyak itu.

Ketika rombongan perahu Turki menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami merasa kuatir sekali. Anak buahnya belum kelihatan kembali dan sekarang perahu-perahu Turki sudah menyeberang ke pulau itu! Hatinya menjadi gelisah sekali, terutama ketika melihat betapa rombongan perahu tentara kerajaan mengejar pula.

Celaka, pikirnya, pulau itu tentunya akan penuh dengan tentara kedua pihak dan mungkin sekali akan terjadi perang hebat di pulau itu. Lalu bagaimana anak buahnya akan dapat bekerja dengan baik?

Ia ingin sekali pergi ke pulau itu untuk memimpin sendiri pekerjaan anak buahnya, akan tetapi ia tidak berdaya oleh karena selalu ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Tiba-tiba Pangeran Vayami yang cerdik ini mendapatkan akal baik.

Pada saat itu, Hai Kong Hosiang juga sedang berdiri di kepala perahu dan melihat betapa perahu-perahu Turki telah mendahului berlayar dan kemudian dikejar oleh perahu-perahu tentara kerajaan. Hwesio ini memandang dengan penuh rasa khawatir. Ia dapat menduga bahwa peperangan semalam tentu dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak demikian tentu musuh tak akan dapat menyeberang!

”Hai Kong Bengyu…,” Pangeran Vayami berkata. ”Apakah kau dapat menduga apa yang menjadikan kegelisahan hatiku?”

Hai Kong Hosiang sebenarnya dapat menduga bahwa Pangeran Mongol ini tentu menjadi gelisah dan kuatir melihat pergerakan barisan Turki itu, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan menggelengkan kepala.

“Hai Kong Bengyu, tidakkah kau melihat betapa barisan Turki sudah mempergunakan perahu-perahu dan menyeberang ke pulau-pulau? Ini berarti bahwa barisan kerajaanmu itu telah kalah perang! Dan apakah kau tega melihat hal itu terjadi begitu saja? Kurasa di pihak barisan Turki terdapat orang-orang pandai, maka memang sebaiknya kau bersama supek-mu tinggal saja di sini.”

Di samping mencela, Pangeran Vayami juga sengaja membakar panas hati pendeta itu. Akan tetapi Hai Kong Hosiang hanya diam saja, seolah-olah tidak mengerti akan maksud sindiran Pangeran Vayami.

”Untung sekali kau berada di sini, Hai Kong Bengyu, kalau kau ikut menyerbu tentu kau berada dalam bahaya. Aku mendengar bahwa panglima Turki yang bernama Balutin atau Pouw Lojin itu sangat sakti dan lihai hingga kurasa tidak ada orang Han (Tionghoa) yang mampu mengalahkannya!”

Hai Kong Hosiang tak dapat menahan sabarnya lagi dan dia memandang kepada Vayami dengan mata mendelik. Akan tetapi Vayami sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan berlaku seakan-akan tidak melihat kemarahan Hai Kong Hosiang, dan ia lalu menambah omongannya seperti berikut,

“Sungguh celaka! Aku mendengar bahwa seheng-mu yang bernama Beng Kong Hosiang juga ikut dalam barisan kerajaan! Jangan-jangan Seheng-mu terkena celaka, oleh karena aku merasa ragu-ragu apakah dia sanggup menghadapi Balutin yang sakti itu?”

“Vayami! Kau sungguh-sungguh memandang rendah kekuatan kami! Kau kira aku takut kepada segala macam orang seperti Balutin itu? Baik! Aku dan Suhu-ku akan menyusul dan menghancurkan mereka itu, anjing-anjing bangsa asing yang kurang ajar!” Di dalam makian ini, otomatis Vayami terkena dimaki juga, karena bukankah ia pun di hadapan Hai Kong Hosiang merupakan orang asing pula?

Hai Kong Hosiang segera memberi tahu kepada supek-nya yang gagu itu, dan Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk menyatakan setuju untuk menggempur barisan Turki itu. Hai Kong Hosiang kemudian menurunkan sebuah dari pada perahu kecil yang berada di situ, kemudian ia menghampiri Vayami dan berkata,

“Pangeran Vayami, aku dan Supek akan pergi dulu, dan kau...” Setelah berkata demikian, secepat kilat Hai Kong Hosiang mengulurkan tangan menotok.

Vayami terkejut sekali, akan tetapi terlambat, oleh karena jari tangan Hai Kong Hosiang sudah menotok jalan darahnya dengan tepat hingga pangeran itu roboh terduduk dengan tubuh lemas dan tak mampu bergerak lagi.

“Maaf, Pangeran Vayami. Aku terpaksa melakukan ini untuk menjaga agar kau tidak bisa sembarangan bergerak.” Hai Kong Hosiang lalu tertawa bergelak-gelak dengan girangnya dan Vayami terpaksa tak dapat berdaya sesuatu dan hanya memandang keberangkatan dua orang itu dengan hati gemas dan mendongkol sekali.

Sambil tertawa-tawa puas melihat hasil kecerdikannya, Hai Kong Hosiang serta Kam Ki Sianjin lalu mendayung perahu kecilnya menuju ke arah pulau di mana kedua barisan itu menuju. Di atas pulau itu telah terjadi kembali pertempuran hebat antara barisan kerajaan yang telah mendapat bala bantuan dengan pasukan Turki.

Akan tetapi, kembali Balutin mengamuk sehingga puluhan prajurit kerajaan tewas dalam tangannya. Banyak perwira mengeroyoknya, akan tetapi tak ada seorang pun yang dapat menandingi kelihaian pendeta gemuk ini.

Ketika sampai di tempat pertempuran, Hai Kong Hosiang mendengar mengenai kematian suheng-nya di tangan Balutin, maka bukan kepalang marahnya. Sambil mencabut keluar tongkat ularnya, ia melompat dan menerjang Balutin sambil berteriak,

“Balutin bangsat besar! Akulah lawanmu!” Ia lalu menyerang dengan hebat sekali.

Balutin terkejut melihat sepak terjang pendeta ini dan melawan dengan hati-hati. Mereka berdua ternyata merupakan tandingan yang sangat setimpal dan seimbang, baik dalam kepandaian mau pun dalam kehebatan tenaga mereka.

Tak seorang perwira dari kedua pihak berani maju mendekat oleh karena beberapa orang perwira yang mencoba untuk membantu kawan, ternyata baru beberapa gebrakan saja telah roboh dan tewas oleh amukan kedua orang yang sedang bertempur sengit ini.

Keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian serta tenaganya. Ada pun Kiam Ki Sianjin yang telah tua itu hanya memandang dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan penuh perhatian dan siap menolong apa bila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

Perahu besar Vayami yang ditinggal seorang diri terapung-apung di atas laut, terdampar ombak dan kebetulan sekali mendekati pulau itu. Mendadak kelihatan perahu kecil yang cepat sekali majunya dan perahu ini bukan lain adalah perahu yang ditumpangi oleh Cin Hai, Ang I Niocu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.

Melihat perahu besar yang sedang terombang-ambing seakan-akan tidak ada orang yang mengemudikannya itu, Cin Hai dan Ang I Niocu segera melompat ke atas perahu itu dan meninggalkan tosu serta hwesio itu di dalam perahu kecil.

Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Vayami duduk tak bergerak bagaikan patung batu. Juga Vayami sangat terkejut melihat kedua orang ini, akan tetapi dia hanya dapat duduk tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Cin Hai maklum bahwa pangeran ini berada di bawah pengaruh totokan, maka dia lalu mengulurkan tangan memulihkan totokan yang mempengaruhi tubuh Pangeran Vayami.

Pangeran Vayami cepat berdiri menjura dengan hormat sekali kepada Cin Hai dan Ang I Niocu.

“Terima kasih, Taihiap. Syukurlah engkau datang menolong, kalau tidak entah bagaimana dengan nasibku yang buruk ini.” Sambil berkata demikian, dia mengerling kepada Ang I Niocu dengan bibir tersenyum, akan tetapi hatinya berdebar khawatir dan takut!

Cin Hai dan Ang I Niocu merasa amat sebal dan benci melihat pangeran ini, akan tetapi mereka berdua tertarik untuk mengetahui apakah yang sedang dilakukan oleh pangeran aneh dan licin ini di atas perahu di dekat Pulau Emas itu.

“Bagaimana kau bisa berada di sini seorang diri dan mengapa dalam keadaan tertotok orang? Siapakah yang melakukan itu dan apa pula maksudmu berada di sini?” tanya Cin Hai tanpa memakai banyak peradatan lagi.

Pangeran Vayami menghela napas dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang indah model bangsawan Han itu. “Dasar Hai Kong Hosiang yang jahat dan berhati palsu!”

Cin Hai girang sekali mendengar nama itu disebut-sebut. “Eh, apakah bangsat Hai Kong Hosiang berada di sini? Katakanlah di mana dia!”

Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum bahwa di antara Hai Kong dengan anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar sekali sehingga pemuda ini selalu berusaha membunuhnya, dan dia teringat pula bahwa dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa Hai Kong Hosiang adalah musuh besarnya. Maka ia segera mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba lagi demi keuntungan dirinya sendiri.

“Sebagaimana kau ketahui, Hai Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar. Akan tetapi hwesio itu mendengar bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut ini, lalu timbul hati jahatnya dan bersama Supek-nya yang gila dan gagu itu, dia memaksa aku mengantarkan mereka berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di sini dan mengetahui tempat itu, dia lantas menotokku dan mencuri perahu kecilku, kemudian bersama dengan Supek-nya dia lalu menuju ke sana!”

Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba saja Ang I Niocu dan Cin Hai teringat kepada si tosu dan si hwesio yang tidak kelihatan lagi, dan ketika mereka memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak maju dan telah jauh meninggalkan tempat itu!

”Hai...!” Ang I Niocu berteriak marah ”Kembalilah kalian!”

Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya melambaikan tangan saja, si hwesio tetap tertawa dan si tosu tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu besar Vayami itu untuk mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya dan berkata mencegah,

“Lihiap, jangan mengejar. Mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka ikut dibakar hidup-hidup!”

Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut, cepat memandang kepada pangeran yang tersenyum-senyum girang itu dengan heran. Pada waktu itu, hari telah mulai gelap dan angin bertiup kencang.

“Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan tadi?” tanya Cin Hai dan Ang I Niocu yang tidak jadi mengejar kedua pendeta itu oleh karena dia pun tidak mempunyai urusan dengan mereka. Tadi ia hendak mengejar hanya karena merasa marah saja dan kini dua orang pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi pula.

Vayami tersenyum dan berkata, “Sebelum aku menceritakan kepada kalian, lebih dahulu bantulah aku memasang layar ini sebab aku hendak menunjukkan sebuah pemandangan indah kepada kalian!”

Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan sebentar saja perahu besar itu bergerak laju ke kanan. Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu, telah memutar perahunya mengelilingi Pulau Kim-san-to. Dan sesudah melakukan pelayaran lebih dari dua jam, kini perahu itu berada di belakang pulau.

“Nah, kalian lihat itu!” kata Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.

Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan mereka berdua menjadi amat tercengang melihat pemandangan yang mereka lihat di depan mereka. Di atas Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit yang menjulang tinggi dan berujung runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu nampak bercahaya dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang berkilauan! Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih kuning kemerah-merahan bagaikan emas murni, dan di bawah bukit membentang pohon-pohon yang gelap dan hitam.

Ang I Niocu berdiri di pinggir perahu dengan penuh takjub sehingga untuk beberapa lama gadis itu berdiri tak bergerak laksana patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan heran dan kagetnya, segera minta keterangan dari Vayami!

“Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua! Tentu kau juga sudah melihat bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan telah saling gempur dan kini pun sedang bertempur mati-matian di atas pulau itu untuk memperebutkan Bukit Emas itu. Semua orang yang berjumlah ribuan itu, mereka berebut mati-matian untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka sudah berada di tepi neraka. Ha-ha! Juga Hai Kong yang jahat itu sebentar lagi takkan dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun akan mati terpanggang api, di pulau itu, ha-ha-ha!”

Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Dia lalu membentak, “Pangeran Vayami! Kau jelaskanlah semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?”

Sesudah berusaha keras untuk menekan kegirangan dan kegelian hatinya yang hendak tertawa saja, Vayami lalu berkata lagi,

“Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami orang-orang Mongol tidaklah segoblok orang-orang Turki atau orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara untuk memperebutkan pulau ini. Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api dan semua emas akan berada di tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan Pangeran Vayami!”

Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha yang muda dan tampan ini. Ia melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi tetap saja mukanya masih jelas bahwa dia adalah orang Mongol.

Cin Hai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa perahunya ke tempat itu oleh karena memang ia telah berjanji kepada anak buahnya untuk menanti dengan perahu besar di tempat itu untuk menerima mereka setelah selesai mengerjakan tugas mereka.

Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianli lihai sekali, maka sesudah melihat munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat menarik kedua orang ini untuk menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan dua orang gagah ini kepada Hai Kong Hosiang apa bila hwesio itu muncul untuk mengganggunya.

Oleh karena ia menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak memiliki hubungan sesuatu dengan Turki mau pun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia segera melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan kecerdikannya.

“Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta di pulau itu, dan oleh karena mereka sedang bertempur mati-matian, mereka sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mencari emas itu yang belum dapat diketahui secara pasti di mana tempatnya. Dan diam-diam aku telah menyuruh anak buahku yang tiga puluh enam orang banyaknya untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum tentara-tentara kedua pihak itu tiba dan telah memerintahkan apa bila mereka telah dapat mengangkut harta itu, mereka segera harus membakar sebuah danau di pulau itu yang airnya dapat terbakar seperti minyak domba! Bahkan aku memerintahkan supaya seluruh hutan di situ dibakar semua sampai habis, baru mereka mengangkat kaki dan mengangkut semua emas itu ke sini!”

Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai yang teringat kepada Lin Lin tiba-tiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan Ang I Niocu. Juga Ang I Niocu teringat bahwa Lin Lin diduga pergi ke pulau itu, maka cepat bertanya,

“Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu dilakukan?”

Vayami memandang dengan muka berseri. “Malam ini, tepat tengah malam, jadi tak lama lagi!” katanya sambil memandang ke arah pulau.

Diam-diam pangeran ini juga merasa sangat khawatir oleh karena orang-orangnya yang sedang ditunggu-tunggu belum kelihatan muncul seorang pun.

Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut. “Vayami, tahukah kau di mana adanya seorang Turki yang bernama Yousuf?” tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar dengan orang Turki ini dan nama ini dia dengar dari dua orang nelayan yang menceritakan pengalaman mereka dulu.

Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini. Dia pernah bertemu dengan Yousuf dan tahu akan kelihaian orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu pertama dari Kim-san-to.

“Kau mencari setan itu? Ha-ha-ha-ha! Tentu dia juga berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf itu pun berada di atas pulau dan sebentar lagi ia pun akan musnah!”

“Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama dia?” tanya pula Cin Hai dengan suara gemetar.

“Kawan-kawannya?” kata Vayami yang mengira bahwa ‘kawan-kawan’ yang dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah orang-orang Turki lainnya. “Ha-ha-ha-ha! Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang mampus di pulau itu.”

“Bangsat besar!” Tiba-tiba Cin Hai memaki dan ketika tangannya menampar, pipi Vayami kena ditampar hingga giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas papan perahu.

Pangeran ini mengeluh dan merintih-rintih sambil mengusap-usap pipinya yang menjadi matang biru dan memandang kepada Cin Hai dengan heran.

“Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul Lin Lin!”

“Jangan, Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau berminyak itu bisa meledak'!' kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.

“Lin Lin berada di sana, karena itu bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi menolongnya?” tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu kecil dan hendak melemparnya ke air untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.

Akan tetapi, pada saat itu pula dia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi oleh banyak perahu-perahu kecil dan mendadak dari perahu-perahu kecil itu berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang berjubah merah. Kiranya orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakya Buddha yang memiliki ilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan senjata di tangan. Jumlah mereka banyak sekali sehingga terpaksa Cin Hai melompat mundur ke dekat Ang I Niocu, bersiap sedia menghadapi keroyokan.

Ketika melihat bahwa tiba-tiba anak buahnya muncul, Pangeran Vayami menjadi girang sekali dan ia lalu timbul pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu dia telah memaksa Ang I Niocu untuk menjadi isterinya. Kini melihat datangnya semua anak buahnya yang dia percaya akan dapat menundukkan kedua anak muda itu dengan keroyokan, lalu ia memerintah,

“Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut! Tetapi jangan ganggu gadis itu dan tawan dia.”

Bagaikan serombongan anjing pemburu yang terlatih dan mendengar perintah tuannya, tiga puluh enam orang pendeta Sakya Buddha itu lalu menyerbu dengan mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang masing-masing dan melakukan perlawanan dengan gagah.

Semua pendeta itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu dan Cin Hai menjadi bingung juga.

Akan tetapi kedua orang muda ini memiliki ilmu kepandaian sempurna, terutama Cin Hai. Maka, baru beberapa jurus saja mereka bertempur, dua orang pengeroyok sudah dapat dirobohkan.

Meski pun demikian, kesetiaan anak buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka tidak mundur, malah makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang lihai, biar pun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan segan-segan buat mentaatinya asal perintah itu keluar dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh kepercayaan penuh bahwa kesetiaan mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh oleh pemimpin agama itu.

Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua pengeroyok ini bukanlah hal yang terlalu sulit bagi mereka berdua, akan tetapi hati mereka tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang yang hanya menjalankan perintah. Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin yang berada di pulau itu!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga bayangan orang meloncat ke atas perahu dan langsung mengamuk dengan hebatnya disertai suara tertawa menyeramkan! Pada saat Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa girang sekali akan tetapi berbareng juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat datang bersama kedua iblis ini?

Ketika melihat Pek Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat semua pendeta Sakya Buddha, Cin Hai lalu melompat ke pinggir perahu dengan maksud hendak segera menyusul Lin Lin.

Akan tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali oleh karena dalam kekalutan itu, Ang I Niocu sudah mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di atas perahu kemudian mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya bersinar-sinar itu!

“Niocu, tunggu!” teriak Cin Hai.

Akan tetapi Ang I Niocu melambaikan tangan padanya sambil menjawab, “Jangan, Hai-ji. Biar aku saja yang menyusul, jangan kita berdua terancam bahaya bersama. Kau tunggu saja, aku pasti akan membawa Lin Lin kepadamu!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu mendayung makin cepat!

Cin Hai bingung sekali dan ia cepat melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa semua pendeta Sakya Buddha tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini sudah dipukul hancur dan tenggelam oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas!

Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di situ makin gelap sehingga sukar mencari perahu kecil yang dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia mengambil keputusan bendak berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau sampai Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia sendiri harus enak-enak menunggu!

Sementara itu, di dalam kegembiraan mereka mengamuk serta membasmi para pendeta Sakya Buddha itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang melihat mereka, tak mengerti maksud mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok oleh banyak lawan sehingga tidak mendapat kesempatan bertanya lagi.

Amukan Hek Mo-ko serta Pek Mo-ko hebat sekali, bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama sekali Pek Mo-ko yang masih menderita duka akibat kematian puterinya, kini mengamuk dan merupakan seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko mau pun Pek Mo-ko tak memiliki alasan untuk memusuhi pendeta-pendeta baju merah ini. Mereka bertempur hanya atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu dikeroyok!

Kedua iblis ini memang suka sekali bertempur, dan asalkan mereka bisa bertempur serta membunuh banyak orang, tidak peduli lagi apa alasannya, mereka sudah cukup merasa senang dan puas! Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang ini disebut Iblis Putih dan Iblis Hitam!

Sedangkan Kwee An yang juga tak mengerti sebab-sebab pertempuran, hanya bertindak untuk menolong kedua orang kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, dia menjadi menyesal akan tetapi tidak berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan pembunuhan besar-besaran.

Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam orang pendeta Sakya Buddha ini berikut Pangeran Vayami terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko! Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu menendangi mayat-mayat itu ke dalam laut.

Pangeran Vayami yang bernasib malang itu sampai tidak mengetahui bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak buahnya untuk mencari emas itu! Kalau saja ia tahu bahwa anak buahnya tidak mendapatkan emas sepotong pun, jika dia masih hidup pun tentu dia akan jatuh binasa karena kecewa dan menyesal!

Anak buahnya ternyata tak berhasil mendapatkan sedikit pun emas di pulau itu, biar pun sudah berhari-hari mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas sepotong kecil pun! Akan tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan ketika melihat peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan barisan dari kaisar, mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di atas bukit itu! Danau itu kini mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi hal ini masih belum diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang.