Pendekar Bodoh Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 04

ANAK ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, sebab setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala. Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.

“Kau bukan seorang hwesio, kenapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.

“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio kecil, tapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”

Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”

Dan benar saja, setelah mendapat perawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia lalu memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.

Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambut, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekali, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!

Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai sudah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia kelihatan seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu semakin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang antara ibu dan anak atau kakak beradik.

Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu. “Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”

Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang sasterawan. Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona itu.

“Ehh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?” tanyanya.

“Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suci-ku?”

“Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”

Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci-ku memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”

Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu tak akan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja tidak mau bertanya.

Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata, “Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”

Tanpa menjawab Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian sudah tidak tampak lagi di situ. Yang menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan.

Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik serta gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.

“Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.

“Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”

Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut ‘taihiap’ (tuan pendekar) terhadap Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.

“Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”

Pelayan itu masuk ke dalam dan tidak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberi tahukan bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam. Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian depannya dipakai sebagai toko itu.

Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar dari pada bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang lelaki setengah tua yang kurus dan mempunyai jenggot tipis kecil panjang dan sepasang kumis kecil panjang pula berjuntai ke bawah. Seorang anak laki-laki sebaya Cin Hai turut pula menyambut.

Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini.

Akan tetapi, dengan senyum manis di bibir Ang I Niocu segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.

“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.

“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.

“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” berkata Ang I Niocu lagi.

Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung pada pinggang kirinya. Kemudian tiba-tiba dia tersenyum dan pada waktu ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.

“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.”

Ang I Niocu yang tadi hanya menunduk saja kini mengangkat muka memandang. Kedua matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata, “Ahh, tidak tahunya aku yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”

Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia pun berkata, “Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”

Melihat sikap orang yang biar pun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.

Namun walau pun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, Ang I Niocu tetap tersenyum ketika berkata, “Kang-taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”

“Ahh, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”

Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu lalu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang amat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!

“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu segera mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.

Namun ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata, “Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”

Tapi Ang I Niocu menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. “Kang Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!”

Tiba-tiba saja muka Kang Bok Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada Adikku?”

Ang I Niocu memandang heran. “Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”

Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kanglam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Suci-mu?”

Sekarang mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan, “Harap kau tidak salah paham. Kedatanganku ini justru ingin minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suci-ku.”

Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali. “Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!”

Ia sendiri menenggak habis secawan arak, lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata, ”He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau…, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau memasuki rumahku?”

Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di hadapan Cin Hai tertawa perlahan, kemudian mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari minum arakmu!”

Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi dia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!

“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras.

Lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat dari pada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.

“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir.

Dia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang masih menempel di atas itu. Sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya dia pun berseru, “Kang-taihiap, kau terimalah kembali arakmu!”

Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga lweekang ini terjadi secara diam-diam tetapi tak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian!

Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.

“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu.

Sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga lweekang yang hebat menarik itu! Kini mendengar suara Ang I Niocu, dia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.

“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku sudah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!”

Tiba-tiba terasa ada sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar mendekat dan dia mengulurkan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau saja sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan hancur berikut dagingnya!

Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Ang I Niocu berkata, “Orang she Kang, jangan banyak tingkah!”

Tiba-tiba lengan tangannya yang hendak dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakan Pek-ho Tok-hi (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu.

Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan dia meringis kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah di lengannya sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!

Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.

Ang I Niocu menghela napas panjang. “Ini semua gara-gara Suci yang terlalu gegabah. Memang telah sering kali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci-ku!”

Gadis itu kemudian mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada waktu mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

“Niocu, tunggu sebentar!”

Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.

“Ahh, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.

“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.

“Niocu, kau maafkan banyak-banyak Kakakku itu. Dia tidak tahu kelihaianmu sampai di mana, maka hendak mencoba,” Kang Ek Sian berkata dengan suara halus sehingga Cin Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.

“Tidak apa, Kang-twako. Sebetulnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, sebab aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya kenapa kau sampai bentrok dengan dia?”

Kang Ek Sian menghela napas. “Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, suci-mu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia lalu menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”

Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan rasa kasihan. “Ahh, Suci-ku memang terlalu angkuh dan sembrono.”

“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”

Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”

“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.

“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?”

Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh.

“Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?”

Akan tetapi Ang I Niocu tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata, “Hai-ji, marilah kita pergi.”

Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.

“Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikan dirinya dan bahkan mengajak Cin Hai berbicara gembira, Kang Ek Sia merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur dan mencinta.

Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus. Tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang.

Biar pun dia tidak tahu akan duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun dia dapat menduga bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan mereka.

Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tak selayaknya seorang lelaki selemah itu. Karena itu sambil berjalan dia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari buku.

Lima macam rupa indah membuat mata buta,
Lima macam suara merdu membuat telinga tuli,
Tetapi seorang laki-laki sejati,
memiliki keteguhan iman dan kekuatan hati,
untuk menentang godaan lima anggota tubuhnya!


Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi dia tidak memperhatikan anak muda yang hubungannya dengan Ang I Niocu tampak begitu erat dan mesra, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan memandang dengan penuh perhatian.

Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi sudah mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,

“Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Tapi sayang... sayang... !” Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan kisah ini adalah sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.

Mendengar ini, karena sebagai sasterawan tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, sekali lagi Kang Ek Sian merasa betapa mukanya panas seolah-olah mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insyaflah dia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar dia bersikap lemah sekali dan memalukan benar!

Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras, “Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau jauh lebih gagah dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”

Kini Ang I Niocu tiba-tiba saja memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara agak gemetar karena terharu, “Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!”

Gadis ini lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat sehingga Cin Hai terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat supaya jangan tertinggal di belakang.

“Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?”

“Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”

Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah berlari dua puluh li lebih!

Memang tadi mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yang masih tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga-duga olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.

“Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki yang gagah dan baik.”

“Kalau begitu... mengapa kau... sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan berani.

Wajah Ang I Niocu memerah. “Ahh, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!” Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.

“Dengarlah, Hai-ji. Kini telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku padamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya.”

Maka dengan singkat Ang I Niocu menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang dahulu sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya.

Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat.

Sejak kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan dia menjadi setengah gila! Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya.

Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula. Hal ini disetujui oleh ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun dari pada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik sehingga sejak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi dari pada kepandaian Kim Lian.

Setelah dewasa, Im Giok bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau sasterawan muda itu dari serangan para perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci. Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya!

Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri.

Pada saat itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang sangat hebat. Tidak tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yakni sedari dia berusia empat tahun sampai tujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan rasa kesedihan amat hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan menderita sakit jantung!

Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu ternyata berdasarkan kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri! Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu.

Tetapi kemudian ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya sehingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!

“Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang kenapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta di dalam hatiku sudah terbawa mati oleh sasterawan itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”

Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika teringat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatang kara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.

“Niocu, nasibmu buruk sekali. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa memiliki nasib seburuk itu...,” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra.

Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu. “Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk...”

Untuk beberapa lama keduanya diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh, apa lagi lemah!”

Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Tiba-tiba wajah manis yang tadinya muram itu bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.

“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ahh, sungguh baik apa bila hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau.”

“Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana dulu kau bisa mengenalnya?”

“Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena dia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-tong-pai. Empat tahun yang lalu, pada waktu orang-orang gagah mengadakan pertemuan di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan berkenalan. Dia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,”

“Niocu, kiranya sudah cukup kita berbicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak menggembirakan. Tempat ini sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?”

“Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas karena gerakanmu masih amat kaku,” jawab Ang I Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.

Cin Hai telah beberapa lama menerima latihan Ngo-lian-hwa Kiam-hoat atau Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu pedang ini merupakan pecahan dari Sian-li Kiam-hoat yang digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.

Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang serombongan orang lewat di jalan itu. Karena mereka sedang asyik berlatih, baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka.

Rombongan itu terdiri dari sembilan orang yang berpakaian seragam. Melihat di pinggir jalan ada seorang wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari pedang, mereka ini berhenti dan menonton.

Tiba-tiba seorang dari mereka tertawa bergelak, “Eh, ehh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?”

Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!

Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”

Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Dia tidak tahu siapakah mereka itu, karena biar pun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang sudah seperti kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di atasnya.

Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang keadaan mereka. Tapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.

Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu sudah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengannya yang dipentang lebar-lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang menjemukan sekali.

“Ahh, Nona manis, mengapa terburu-buru hendak pergi? Bukankah kau memang hendak mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”

Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup serta pelupuk mata gemetar sedikit sehingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan rasa marahnya.

Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah dia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.

Pada saat itu, seorang di antara delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu, yaitu yang masih muda, berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.

“Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami bayar!”

Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi wajah seorang demi seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barang kali di antara mereka itu ada yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu tersenyum.

Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah kakek-kakek tertawa gembira melihat senyum yang sangat manis dan menggiurkan hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.

“Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?” mendadak terdengar suara Ang I Niocu, suara yang sangat merdu bagaikan berlagu.

Namun bagi pendengaran Cin Hai suara itu mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu biasanya hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biar pun masih tetap halus dan merdu, terdengar sangat dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti terjadi hal-hal hebat.

“Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!” sembilan orang itu berkata dengan suara riuh.

“Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku.”

“Apa syaratnya?”

“Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah sambil berlutut untuk menghormati kami berdua, baru aku mau menari.”

Tentu saja kesembilan pengawal raja ini merasa heran dan marah. Terang sekali bahwa gadis ini hendak mempermainkan mereka dan bahkan telah berani menghina mereka.

“Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan pahlawan-pahlawan istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan segera menari untuk kami!” bentak laki-laki tinggi kurus tadi.

“Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin Hai.

“Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.

Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang kepada Cin Hai dengan alis berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang dari pada marah, karena mana mungkin ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang anggota Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring.

Akan tetapi pengawal muda itu tidak dapat menahan marahnya lagi. Meski gila mau pun waras, pemuda kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus. Maka ia segera melangkah maju kemudian mengayunkan tangan kanan memukul kepala Cin Hai sambil membentak, “Bangsat kecil, mampuslah kau!”

Pukulan ini adalah gerakan Siok-lui Kik-ting atau Petir Menyambar Kepala dan dilakukan dengan tenaga mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apa lagi hanya kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul!

Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin Hai melejit ke samping sambil tertawa mengejek dan berkata, “Hei, bangsat besar, percuma saja kau hidup karena hidungmu terlalu besar!”

Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh Cin Hai dan mendengar sindiran anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tanpa terasa pula ia mempergunakan tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak ini.

“Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang besar, jangan panggil aku Harimau Kepala Besi lagi!”

Dan Tiat-thou-houw atau Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu To-cu-kim-ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.

“Anjing besar! Aku tak akan menyebut kau Harimau Kepala Besi melainkan Anjing Hidung Panjang!” Cin Hai mengejek lagi.

Anak ini kemudian mengeluarkan kepandaiannya Ngo-lian-hwa Kun-hoat yang baru saja dipelajari beberapa bulan dari Ang I Niocu! Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya sudah mempunyai kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian Bidadari.

Kemudian dia balas menyerang, namun karena Ilmu Silat Lima Kembang Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia terpaksa mengeluarkan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang dia pelajari dari catatannya pada waktu masih mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-lojin!

Biar pun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dalam pertempuran, tapi karena selama ini ia telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak terduga-duga. Sebab itu Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat perubahan ini.

Tadi pada waktu mengelit serangan-serangannya, Cin Hai bergerak lemah lembut seperti sedang menari. Kini dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan tangannya menumbuk dada lawan!

Tiat-thou-houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya tidak menduga bahwa anak muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih lweekang yang cukup lumayan oleh Ang I Niocu, karena itu ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat pukulannya tidak kurang dari seratus kati!

Melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai bisa menggulingkan lawannya, delapan orang pengawal lainnya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan pada saat mereka mencabut senjata masing-masing dari sarungnya!

“Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan itu membentak marah.

“Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah aku layani kaleng-kaleng kosong ini!” tiba-tiba Ang I Niocu loncat menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju mengancam.

Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya, lalu berkata keras kepada para pengawal itu, “He, bangsat-bangsat besar. Kalian tadi hendak melihat tarian indah? Nah, sekarang kau lihatlah!” Ia lalu meniup sulingnya dengan perlahan-lahan, maka bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan pedangnya!

Untuk sejenak delapan orang pengawal istana itu memandang tercengang kepada gadis itu dengan kagum, karena tarian Dara Baju Merah itu benar-benar indah. Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang tinggi kurus lantas berseru, “Serbuuu…!”

Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai lalu mempercepat tiupannya dan sebentar saja kalang kabutlah delapan orang anggota Sayap Garuda itu. Mereka sudah kehilangan lawan karena tubuh Ang I Niocu tidak tampak lagi, tertutup oleh sinar pedangnya, hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari!

Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kini mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah seorang pendekar pedang yang sama sekali tak bisa dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu mengerahkan tenaga serta kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!

Sambil meniup sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I Niocu. Kini benar-benar ia dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sian-li Kiam-hoat yang benar jarang terlihat dan tak mungkin dicari keduanya!

Dahulu ketika menghadapi Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh kepandaiannya. Namun kini, menghadapi delapan orang jagoan istana, anggota-anggota Sayap Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar biasa!

Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggota Sayap Garuda itu sendiri terkejut dan terheran karena selamanya mereka belum pernah menghadapi lawan yang sehebat serta selihai ini! Mereka merasa menyesal mengapa tadi telah berlaku jail dan sembrono hingga kini terpaksa harus menelan pel pahit! Akan tetapi, tidak ada jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan tenaga dan mengepung makin rapat.

Sesudah pertempuran berlangsung lima puluh jurus lebih, Ang I Niocu baru menurunkan tangan besi dan sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar kemudian terdengar teriakan-teriakan mengaduh yang diikuti dengan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari pegangan tangan!

Dalam beberapa jurus saja Ang I Niocu berhasil merobohkan delapan orang lawannya, masing-masing mendapat hadiah guratan pedang di lengan tangan, pundak, muka dan paha, hingga biar pun mereka mandi darah dan roboh di tanah, tak seorang pun di antara mereka yang menderita luka berat sehingga membahayakan keselamatan jiwa mereka!

“Puaskah kalian melihat tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan pedang ke sarungnya dan tersenyum manis.

Pemimpin rombongan Sayap Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak lantas bertanya dengan suara parau, “Lihiap ini siapakah...?”

Tetapi Ang I Niocu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang Cin Hai yang menyimpan sulingnya, “Kalian belum tahu siapakah pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ahhh…, sungguh percuma hidup di dunia mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum sindir Cin Hai lalu menyanyikan syair Ang I Niocu.

Berkawan sebatang pedang dan suling,
Menjelajah ribuan li tanah dan air,
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan hati!


Memang Cin Hai sudah menggubah sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair ini dan menambahkan kata ‘suling’ di belakang ‘pedang’. Sehabis menyanyikan syair itu, Cin Hai memandang wajah mereka. Tetapi ternyata bahwa para anggota Sayap Garuda itu masih saja belum mengerti siapa adanya nona gagah perkasa yang demikian lihai ilmu silatnya itu.

Karena mendongkol melihat kebodohan mereka, Cin Hai lalu membentak, “Orang-orang macam kalian ini mana pantas mengenal dia?!”

Sementara itu, Ang I Niocu bertaka, “Hai-ji mari kita pergi”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Kawanan Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah dan saling tolong. Untung bagi mereka bahwa kekalahan hebat ini tidak terlihat oleh orang lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali dan andai kata kelihatan oleh orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!

Tiba-tiba pemimpin mereka berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya, “Ah, siapa lagi kalau bukan dia!”

Kawan-kawannya memandang heran dan dia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu nona tadi Ang I Niocu! Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau bukan Ang I Niocu?”

“Akan tetapi ia masih begitu muda dan cantik, paling banyak berusia delapan belas tahun. Sedangkan Ang I Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun yang lalu!”

Kawan-kawannya menganggap ucapan ini ada betulnya juga, maka mereka hanya saling pandang dengan heran dan menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat kepala untuk membalut luka masing-masing.

Sementara itu, Ang I Niocu segera mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu Berlari Cepat) untuk menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin Hai menanyakan maksud tujuannya pergi ke gunung itu, Ang I Niocu lalu menjawab sambil tersenyum,

“Di puncak Pek-tiauw-san itu terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya bertelur sekali dalam setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan aku perlu sekali mendapatkan satu atau dua butir telur rajawali putih.”

“Mencari telur mengapa begitu jauh, Niocu? Untuk apakah?”

Ang I Niocu tertawa kecil. “Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat telur rajawali putih?”

Benar-benar Cin Hai tidak mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh sehingga sekali lagi Ang I Niocu tertawa. “Di antara segala macam akar terdapat akar jin-som yang mengandung obat mujizat, dan di antara segala macam telur terdapat telur rajawali putih yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”

Cin Hai pernah melihat dan tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk anak orok itu, maka ia heran mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih manjur dari pada jin-som.

“Benarkah itu, Niocu? Apakah telur itu dapat menguatkan tubuh seperti jin-som?”

“Tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah orang menjadi tua. Makan sebutir saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”

“Begitukah? Hebat sekali. Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai dua tahun!”

Ang I Niocu tertawa merdu. “Kecil katamu? Anak tolol, telur burung itu besarnya melebihi kepalamu!”

Cin Hai melebarkan matanya dan wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I Niocu makin geli melihatnya.

Demikianlah, sambil berlari cepat mereka bercakap-cakap dengan gembira hingga waktu lewat tak terasa oleh mereka berdua.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

Gunung Pek-tiauw-san menjulang tinggi menembus awan. Pada kaki dan lereng gunung penuh dengan rimba raya yang kaya akan pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu ada yang demikian besar ukurannya hingga untuk mengelilingi sebatang saja, orang harus berjalan sedikitnya empat puluh langkah!

Pohon sebesar ini mungkin umurnya sudah ada seribu tahun. Tinggi besar, kokoh kuat, seakan-akan raksasa berdiri sambil bertolak pinggang memandangi segala yang berada di bawahnya!

Berbeda dengan keadaan kaki dan lereng gunung yang dipenuhi tetumbuhan, di puncak tidak ditumbuhi pohon, sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi dan meruncing ke atas. Bahkan ada batu karang yang tingginya sampai puluhan kaki seakan-akan ingin menyaingi pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sebelah bawah.

Tempat inilah yang dipilih oleh burung rajawali untuk bertelur. Pada puncak batu karang yang tinggi, burung raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara anaknya. Di seluruh daratan Tiongkok, hanya pada puncak Pek-tiauw-san ini saja terdapat burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena jumlah burung itu hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya, apa lagi tempat di mana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan sangat sukar sekali didaki orang.

Jangankan orang biasa yang tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai yang sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga, masih menderita kesukaran ketika Ang I Niocu membawanya naik ke atas. Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini benar merupakan ujian baginya, bahkan merupakan latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.

Seandainya ia diharuskan mendaki sendiri, belum tentu ia dapat mencapai puncak, sebab setelah melewati rimba terakhir, jalan menjadi demikian sulit, penuh dengan jurang-jurang yang curam, melalui batu-batu karang yang tinggi dengan permukaan tajam hingga dapat menembus sepatu!

Akan tetapi Ang I Niocu nampak tenang dan enak saja. Gerakannya tetap sangat gesit dan ringan sehingga sekali lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju Merah ini. Pada saat melalui tempat-tempat yang berbahaya dan sukar Cin Hai tidak ragu-ragu lagi untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di waktu harus meloncati jurang yang curam dan lebar, gadis itu tidak sungkan-sungkan untuk memondong dan membawanya melompat ke seberang jurang!

Betapa pun juga, setelah setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru mereka sampai di puncak, memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus awan yang merupakan gumpalan-gumpalan halimun tipis.

“Aku tidak melihat ada sarang burung di puncak batu karang itu!” Cin Hai berkata sambil terengah-engah kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

“Apa kau kira mudah saja mendapatkan sarangnya? Di antara seluruh batu-batu karang yang ratusan banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima buah sarang saja!”

Cin Hai menghela napas. Seluruh tubuhnya telah payah dan penat-penat, dan agaknya ia tak akan kuat harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu untuk mencapai sarang rajawali. Melihat keadaan Cin Hai, Ang I Niocu juga ikut duduk mengaso.

“Biarlah kita beristirahat lebih dulu melepaskan penat,” katanya sambil menghibur Cin Hai dengan senyumnya yang membesarkan hati. Pada saat itu terdengar suara yang keras dan dahsyat menggetarkan anak telinga!

”Seekor Pek-tiauw (Rajawali Putih)!” Ang I Niocu berkata perlahan seolah-olah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Cin Hai dengan pandangan matanya. “Dia sedang marah, entah mengapa?”

Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke arah suara tadi. Cin Hai terpaksa mengikutinya dari belakang, biar pun sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu, apa lagi burungnya. Tentu besar dan liar!

Makin dekat, makin keras pula pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan sayapnya mengebut-ngebut membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi serta angin bertiup dari arah itu! Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu terus maju, kemudian mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan terkejutlah dia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya menyambar-nyambar serta menerjang seorang kakek di depannya!

Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga, oleh karena kejadian yang dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa dipakai oleh petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Akan tetapi kakek itu mengenakan sebuah rompi yang terbuat dari bulu merak yang masih baru!

Pada waktu itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang menyerang dengan kedua cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja serta paruhnya yang besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini dibantu pula oleh dua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan tenaga sedikitnya seribu kati!

Akan tetapi kakek itu tidak jeri, bahkan terdengar dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu dia pun mengembangkan kedua lengan tangannya yang dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga seakan-akan ia telah siap untuk bermain cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan kepada burung itu bahwa kakinya tak lebih buruk dari pada kaki burung rajawali putih!

“Ha-ha-ha, majulah, tolol, majulah!” kakek itu mengejek burung itu.

Tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek jembel yang telah dia angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang lalu!

Pada saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap kanannya. Akan tetapi dengan ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan sayap hingga sayap burung yang besar itu menghantam batu karang di belakang Bu Pun Su!

Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul hancur sehingga batu-batu kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu, maka dapat dibayangkan betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.

Namun Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Dia menghadapi burung raksasa itu dengan tenang, bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu dia berdiri di tempat yang sempit sekali.

Di depan kakinya terbuka jurang yang amat curam, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang besar. Kalau ia sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua macam, kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki dalamnya!

Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba saja Ang I Niocu memegang lengannya dan menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.

“Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!” Ang I Niocu berkata dengan wajah pucat!

“Ehh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?”

“Anak tolol! Bukankah dia adalah Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau akan dibawanya dan berpisah dariku, lupakah kau?”

Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia segera ikut berlari turun dari puncak itu, ada pun hatinya makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus berpisah darinya!

Sambil bergandeng tangan mereka berdua berlari-lari dengan cepat seperti dikejar setan. Akan tetapi karena Cin Hai sudah lemah sekali serta sepatunya sudah banyak berlubang sehingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam, perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.

Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya sudah menarik napas lega karena menduga bahwa Bu Pun Su tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun orang tua itu sedang sibuk menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, mendadak mereka mendengar pukulan sayap burung di atas. Pada waktu mereka memandang ke atas, tiba-tiba wajah mereka menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang biasanya agak kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan!

Seekor Pek-tiauw terbang di atas mereka, yakni burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun Su. Dan di atas punggung burung itu tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil menggunakan tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan leher, kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut arah yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Sekarang Bu Pun Su membetot-betot ekornya dan membekuk lehernya ke arah bawah sehingga burung rajawali putih yang besar itu dapat menangkap maksudnya bahwa ia harus turun!

Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su membentak burung itu yang segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai itu!

Ang I Niocu segera menjatuhkan diri dan berlutut di depan Bu Pun Su sambil menyebut, “Susiok-couw!”

Juga Cin Hai tidak dapat berbuat lain kecuali ikut berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat mukanya!

“Hm, hemm! Kau mencari telur Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.

“Benar, Susiok-couw, harap maafkan kalau teecu mengganggu Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan hormat.

“Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya lagi, “Kau bawa-bawa anak ini untuk apa? Apa ia muridmu?”

Ang I Niocu tidak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka dia menggelengkan kepala menyangkal.

Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya. “Kalau bukan murid mengapa dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?”

Terpaksa Cin Hai mengangguk karena dia memang tidak bisa membohong.

“Kiang Im Giok! Kau berani berbohong terhadap Susiok-couw-mu?” Bu Pun Su menegur tetapi tidak marah karena mulutnya tersenyum.

“Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,” jawab Ang I Niocu.

“Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebisaanmu maka kau berani mengajar silat kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama baik cabang persilatan! Apakah kau tahu benar bahwa orang yang kau beri pelajaran silat itu orang baik-baik? Bagaimana kalau kelak dia akan mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”

“Maafkan teecu, Susiok-couw,” kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala.

“Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima murid, sedangkan aku tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai murid. Pernah aku menerima seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu sudah pergi minggat entah ke mana?”

Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu memarahi Ang I Niocu, dia menjadi tidak senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya yang kini sudah tidak gundul lagi. Ternyata kakek tua itu sudah lupa dan pangling.

“Sekarang kau pergilah, Im Giok, dan kau wakili aku pergi ke Kun-lun-pai. Di sana sedang timbul pertikaian hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dengan Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau pergilah ke sana dan atas namaku kau coba damaikan mereka itu demi persatuan para hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!”

Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-couw-nya itu. Tetapi dengan bingung ia melirik ke arah Cin Hai.

Bu Pun Su yang bermata tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak, “Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biarlah kini dia menggunakan kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”

Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai dengan wajah pucat dia hanya berkata, “Sampai bertemu kembali!”

Lalu gadis itu melompat jauh sehingga sebentar saja dia hanya merupakan setitik warna merah yang kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak-gelak dan ketika Cin Hai mengangkat muka memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!

Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas serta sedih. Hatinya terasa hancur dan pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia hidup seorang diri, sebatang kara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa mengetahui apa yang harus ia perbuat!

Cin Hai tak dapat menahan sedihnya lagi dan dia menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu! Dia menangis bukan karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan oleh Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di atas dunia ini!

Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis, akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia pun menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya terasa lapar sekali.

Biasanya, saat dia masih merantau bersama-sama dengan Ang I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan mereka berdua ialah gadis itu. Pandai sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik dengan jalan membeli, mencari buah-buahan, berburu, mau pun kadang-kadang memasak sendiri!

Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah belukar. Apa daya? Kembali air matanya turun membasahi kedua pipinya. Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam sebuah kitab kuno, yaitu kata-kata Ci Kui yang menasihati puteranya ketika sedang bersedih.

'Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan, simpan air matamu dan gantilah dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan (Pahlawan) sejati!'

Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya sendiri. Ia lalu menggunakan lengan bajunya menghapus kering segala sisa air mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di dalam hutan itu.

Akhirnya dapat juga dia menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Dia lalu makan buah itu dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa, maka dia berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.

Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan hawa dalam tubuhnya yang dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya dia sudah sering berlatih khikang sehingga dia tidak sangat menderita kedinginan.

Yang sangat dia derita adalah kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur berdua di atas pohon, gadis itu tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan suling hingga ia tak pernah merasa sunyi.

Bahkan dulu ketika khikang-nya belum begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan mantelnya lalu diselimutkan kepadanya, dan ketika mantel itu masih belum mampu mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lantas memegang tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin.

Ahh, alangkah baik dan mulia hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai seakan-akan menemukan seorang kawan dan guru, bahkan juga seorang ibu dan ayah yang sangat mengasihinya! Kini gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai kapan dapat bersua kembali!

Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh dengan Ang I Niocu. Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisikannya, “Niocu... Niocu...,” ia menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang menekan dadanya.

Pada keesokan harinya, dia mulai merantau seorang diri dengan hati tertekan dan pikiran bingung. Karena tak tahu bagaimana harus mendapatkan makan untuk mengisi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta makanan dari orang kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu kali lebih baik menjadi seorang pengemis dari pada jadi seorang pencuri, tidak ada lain jalan lagi.

Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai semakin buruk. Pakaiannya kotor dan compang-camping. Dahulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling lama tiga hari sekali dia tentu disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali bertemu dengan anak sungai, dia diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh Ang I Niocu. Akan tetapi sekarang, dia menjadi sangat malas untuk mencuci pakaian atau mandi sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor penuh debu!

Bahkan kudis yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman pisau dan mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh amat mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, sekarang berubah menjadi penuh penderitaan dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang cantik dan memiliki kepandaian tinggi itu!

Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. Dia sudah berubah menjadi seorang pengemis muda. Tubuhnya begitu kurus hingga tulang-tulangnya tampak di balik kulitnya yang kotor. Rambutnya yang tumbuh kembali tidak teratur dan awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang kurus tampak muram, tapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu.

Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat dia masak dan terbukalah kini mata hatinya akan kesengsaraan hidup miskin. Karena hidup menderita, maka kini dia dapat merasakan pula penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.

Biar pun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan apa bila perutnya sudah lapar benar dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan. Kadang-kadang sampai dua hari dia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan lapar.

Juga ia tidak sembarangan mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak merasa sedap kalau untuk semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak dia tukar dengan bantuan tenaganya kepada pemberinya itu. Terlebih dahulu dia akan melakukan suatu pekerjaan untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis muda yang istimewa.

Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya. Kota ini cukup ramai dan hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih. Penduduknya peramah dan perdagangan di sana kelihatan ramai dan hidup karena tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur. Rupanya anak sungai yang mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain air sungai dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata mengandung banyak ikan.

Pada saat ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin Hai tertarik dengan sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa bangunan itu adalah sebuah bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw.

Papan nama itu terbuat dari pada sepotong papan. Tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang sekali papan nama itu agaknya tidak terawat sehingga tampak kotor dan bahkan memasangnya juga miring. Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan pada papan nama itu dan menyayangkan kenapa tulisan seindah itu dituliskan pada papan yang kotor dan dipasangnya miring pula.

Tanpa dapat menahan perasaan hatinya, dia kemudian mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan sambil berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah kotor. Dia menggosok-gosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang sekali.

Tiba-tiba saja timbul sebuah pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia telah terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang dapat dikerjakan, dan karena tak mempunyai kewajiban apa pun yang harus dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini dia merasakan kesenangan. Ahh, dia harus bekerja!

Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah dipandang, dia lalu menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti tadi. Segera dia turun dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang papan nama itu dengan gembira. Ia melihat hasil dari pada pekerjaannya tadi dan tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi tampak buruk dan kotor, sekarang bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri gembira, tidak seperti tadi yang kotor dan muram!

Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan mudah saja terbuka. Dia masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Pada sudut kiri tampak sebuah rak tempat menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan.

Cin Hai senang sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu kotor sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba saja dia melihat benda yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.

Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang lelaki setengah tua yang masuk dari luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi guru silat yang mengajar di bukoan itu.

Guru silat ini baru pulang dari bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian compang-camping tengah menyapu pelataran bukoan-nya dengan asyik sekali. Tadi pun ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia pun mengerti bahwa yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.

“He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.

“Tidak... tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan… dan sudah sepatutnya dibersihkan.”

Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar jawaban Cin Hai, dia dapat menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya, “He, anak muda. Apakah kau mau bekerja di sini?”

Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri. “Suka sekali, suka sekali!”

Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya ialah pekerjaan, maka sekarang begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja ia merasa senang.

“Kau tak berumah dan sebatang kara?” kembali guru silat itu bertanya.

Dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada masa itu memang banyak sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai, orang-orang yang hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup sebatang kara.

Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.

“Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerja saja di sini, juga melayani segala keperluan murid-murid bukoan.”

“Baik, baik Loya,” jawab Cin Hai dengan gembira sekali.

Pada saat itu dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa dan tidak lama kemudian dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat belas tahun. Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi. Anak-anak muda itu menyebut ‘suhu’ dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.

Louw-kauwsu segera memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata bahwa orang yang gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya adalah mewakili Louw-kauwsu mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu adalah para murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat. Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang di situ.

Terhadap seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja tidak ada di antara mereka yang menaruh perhatian dan anak-anak murid itu segera memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja ingin memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!

Terhadap seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh perhatian dan anak-anak murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!

Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biar pun bertubuh gemuk pendek, tetapi berwajah tampan juga. Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari Bu-tong-pai, satu cabang dengan Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak Ting Sun takabur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,

“Ehh, siapa namamu?”

“Nama saya Cin Hai,” jawab Cin Hai.

“Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,” kata Louw Sun Bi tertawa. Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke dalam.

“Ehh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku Suhu!”

“Harus menyebut bagaimana?” tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap orang.

“Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti?!”

Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat gemuk pendek itu, tetapi mulutnya menjawab, “Baik, Siauwya.”

Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih. Sementara itu, Ting Sun melatih murid-muridnya. Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba Louw Sun Bi keluar dan memanggilnya. Cin Hai cepat-cepat menghadap. Guru silat itu diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun.

Gadis itu bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena dia adalah Louw Bin Nio, anak tunggal Louw Sun Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti ayahnya.

“Kau tentu belum makan,” kata guru silat itu dengan suara ramah, “kau makanlah dahulu dan gantilah pakaianmu itu, setelah kau bersihkan tubuhmu.”

Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil berlutut. Ia merasa terharu karena baru sekarang ada orang yang mau memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang belakang dan memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.

Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah menderita lapar dan dingin lagi, dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan bersemangat. Akan tetapi, di samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya.

Entah kenapa, Ting Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan sering kali menghinanya. Pernah pada suatu senja dia berdiri melihat latihan silat, tiba-tiba Ting Sun memanggilnya.

“Kalian lihatlah baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan darah), kedua jari telunjuk dan tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi contoh dengan dua jari tangan. “Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian lihat bagian leher ini!”

Dia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja berdiri bagaikan patung.

“Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian ini!” Sambil berkata demikian, jari tangannya benar-benar menotok leher Cin Hai.

Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekang-nya untuk melawan totokan, tetapi cepat berpikir bahwa kalau dia melakukan hal ini tentu akan terbukalah rahasianya. Maka dia segera mengendorkan semua uratnya dan tidak melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, dia merasa leher itu sakit dan tubuhnya menjadi lemas hingga dia roboh tanpa daya!

“Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa puas dan bangga.

Sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai yang sudah lemas. Dia dapat melihat dan mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya terasa sakit sekali hingga dia tidak berani menggerakkan leher itu.

Sementara itu, tanpa pedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya. Dalam keadaan menyedihkan itu Cin Hai harus menderita sampai dua jam lebih, barulah pelan-pelan jalan darahnya terbuka dan darahnya kembali mengalir hingga ia dapat cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, dia pura-pura masih lemah dan sakit sehingga berdiri sambil terhuyung-huyung.

“Nah, nah, kalian lihat. Sesudah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka dia akan roboh dengan lemas dan selamanya tak akan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu telah dibebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tapi hal ini akan kalian pelajari kelak bila mana sudah sempurna gerakan tangan kalian.”

Semua murid memandang kagum, sementara dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan tempat itu, sambil di dalam hatinya dia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak demikian baik hati padaku, hmm... akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan hati mendongkol sekali.

Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, dia tak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauhnya beda perangai gadis ini dengan ayahnya.

Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!

Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.

“Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.

Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya.

Cin Hai berdiri di tepi sambil menonton gadis itu bersilat pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji dengan suara kagum.

Bin Nio duduk di atas sebuah bangku. “Ahh, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kau bersihkan sepatu ini!”

Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.

“Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri majikannya ini.

“Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tapi cobalah kau lihat Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran darinya!”

Cin Hai merasa heran. “Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?” tanyanya.

“Ahh, Ayah tidak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Untungnya ada Ting-kawsu yang mengajarku pada waktu malam. Sayang, sekarang sudah tidak diijinkan lagi oleh Ayah!” Gadis itu tampak kecewa sekali dan Cin Hai yang telah selesai membersihkan sepatunya lalu mundur.

Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan. “Ehh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”

Cin Hai menjawab perlahan, “Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”

“Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”

“Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi kenapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?”

“Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!” Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai.

Cin Hai pura-pura ketakutan kemudian berkata, “Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”

Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar dia berlaku hati-hati untuk menyampaikan surat rahasia itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat pelayan. Malam itu dia tidak dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.



Pendekar Bodoh Jilid 04

Pendekar Bodoh

Karya Kho Ping Hoo

JILID 04

ANAK ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, sebab setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala. Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.

“Kau bukan seorang hwesio, kenapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.

“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio kecil, tapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”

Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”

Dan benar saja, setelah mendapat perawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia lalu memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.

Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambut, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekali, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!

Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai sudah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia kelihatan seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu semakin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang antara ibu dan anak atau kakak beradik.

Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu. “Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”

Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang sasterawan. Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona itu.

“Ehh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?” tanyanya.

“Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suci-ku?”

“Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”

Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci-ku memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”

Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu tak akan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja tidak mau bertanya.

Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata, “Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”

Tanpa menjawab Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian sudah tidak tampak lagi di situ. Yang menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan.

Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik serta gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.

“Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.

“Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”

Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut ‘taihiap’ (tuan pendekar) terhadap Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.

“Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”

Pelayan itu masuk ke dalam dan tidak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberi tahukan bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam. Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian depannya dipakai sebagai toko itu.

Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar dari pada bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang lelaki setengah tua yang kurus dan mempunyai jenggot tipis kecil panjang dan sepasang kumis kecil panjang pula berjuntai ke bawah. Seorang anak laki-laki sebaya Cin Hai turut pula menyambut.

Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini.

Akan tetapi, dengan senyum manis di bibir Ang I Niocu segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.

“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.

“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.

“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” berkata Ang I Niocu lagi.

Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung pada pinggang kirinya. Kemudian tiba-tiba dia tersenyum dan pada waktu ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.

“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.”

Ang I Niocu yang tadi hanya menunduk saja kini mengangkat muka memandang. Kedua matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata, “Ahh, tidak tahunya aku yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”

Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia pun berkata, “Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”

Melihat sikap orang yang biar pun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.

Namun walau pun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, Ang I Niocu tetap tersenyum ketika berkata, “Kang-taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”

“Ahh, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”

Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu lalu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang amat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!

“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu segera mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.

Namun ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata, “Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”

Tapi Ang I Niocu menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. “Kang Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!”

Tiba-tiba saja muka Kang Bok Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada Adikku?”

Ang I Niocu memandang heran. “Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”

Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kanglam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Suci-mu?”

Sekarang mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan, “Harap kau tidak salah paham. Kedatanganku ini justru ingin minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suci-ku.”

Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali. “Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!”

Ia sendiri menenggak habis secawan arak, lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata, ”He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau…, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau memasuki rumahku?”

Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di hadapan Cin Hai tertawa perlahan, kemudian mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari minum arakmu!”

Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi dia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!

“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras.

Lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat dari pada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.

“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir.

Dia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang masih menempel di atas itu. Sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya dia pun berseru, “Kang-taihiap, kau terimalah kembali arakmu!”

Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga lweekang ini terjadi secara diam-diam tetapi tak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian!

Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.

“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu.

Sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga lweekang yang hebat menarik itu! Kini mendengar suara Ang I Niocu, dia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.

“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku sudah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!”

Tiba-tiba terasa ada sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar mendekat dan dia mengulurkan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau saja sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan hancur berikut dagingnya!

Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Ang I Niocu berkata, “Orang she Kang, jangan banyak tingkah!”

Tiba-tiba lengan tangannya yang hendak dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakan Pek-ho Tok-hi (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu.

Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan dia meringis kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah di lengannya sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!

Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.

Ang I Niocu menghela napas panjang. “Ini semua gara-gara Suci yang terlalu gegabah. Memang telah sering kali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci-ku!”

Gadis itu kemudian mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada waktu mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

“Niocu, tunggu sebentar!”

Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.

“Ahh, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.

“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.

“Niocu, kau maafkan banyak-banyak Kakakku itu. Dia tidak tahu kelihaianmu sampai di mana, maka hendak mencoba,” Kang Ek Sian berkata dengan suara halus sehingga Cin Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.

“Tidak apa, Kang-twako. Sebetulnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, sebab aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya kenapa kau sampai bentrok dengan dia?”

Kang Ek Sian menghela napas. “Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, suci-mu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia lalu menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”

Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan rasa kasihan. “Ahh, Suci-ku memang terlalu angkuh dan sembrono.”

“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”

Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”

“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.

“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?”

Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh.

“Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?”

Akan tetapi Ang I Niocu tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata, “Hai-ji, marilah kita pergi.”

Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.

“Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikan dirinya dan bahkan mengajak Cin Hai berbicara gembira, Kang Ek Sia merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur dan mencinta.

Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus. Tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang.

Biar pun dia tidak tahu akan duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun dia dapat menduga bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan mereka.

Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tak selayaknya seorang lelaki selemah itu. Karena itu sambil berjalan dia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari buku.

Lima macam rupa indah membuat mata buta,
Lima macam suara merdu membuat telinga tuli,
Tetapi seorang laki-laki sejati,
memiliki keteguhan iman dan kekuatan hati,
untuk menentang godaan lima anggota tubuhnya!


Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi dia tidak memperhatikan anak muda yang hubungannya dengan Ang I Niocu tampak begitu erat dan mesra, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan memandang dengan penuh perhatian.

Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi sudah mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,

“Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Tapi sayang... sayang... !” Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan kisah ini adalah sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.

Mendengar ini, karena sebagai sasterawan tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, sekali lagi Kang Ek Sian merasa betapa mukanya panas seolah-olah mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insyaflah dia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar dia bersikap lemah sekali dan memalukan benar!

Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras, “Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau jauh lebih gagah dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”

Kini Ang I Niocu tiba-tiba saja memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara agak gemetar karena terharu, “Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!”

Gadis ini lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat sehingga Cin Hai terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat supaya jangan tertinggal di belakang.

“Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?”

“Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”

Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah berlari dua puluh li lebih!

Memang tadi mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yang masih tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga-duga olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.

“Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki yang gagah dan baik.”

“Kalau begitu... mengapa kau... sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan berani.

Wajah Ang I Niocu memerah. “Ahh, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!” Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.

“Dengarlah, Hai-ji. Kini telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku padamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya.”

Maka dengan singkat Ang I Niocu menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang dahulu sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya.

Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat.

Sejak kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan dia menjadi setengah gila! Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya.

Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula. Hal ini disetujui oleh ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun dari pada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik sehingga sejak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi dari pada kepandaian Kim Lian.

Setelah dewasa, Im Giok bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau sasterawan muda itu dari serangan para perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci. Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya!

Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri.

Pada saat itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang sangat hebat. Tidak tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yakni sedari dia berusia empat tahun sampai tujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan rasa kesedihan amat hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan menderita sakit jantung!

Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu ternyata berdasarkan kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri! Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu.

Tetapi kemudian ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya sehingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!

“Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang kenapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta di dalam hatiku sudah terbawa mati oleh sasterawan itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”

Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika teringat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatang kara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.

“Niocu, nasibmu buruk sekali. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa memiliki nasib seburuk itu...,” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra.

Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu. “Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk...”

Untuk beberapa lama keduanya diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh, apa lagi lemah!”

Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Tiba-tiba wajah manis yang tadinya muram itu bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.

“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ahh, sungguh baik apa bila hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau.”

“Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana dulu kau bisa mengenalnya?”

“Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena dia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-tong-pai. Empat tahun yang lalu, pada waktu orang-orang gagah mengadakan pertemuan di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan berkenalan. Dia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,”

“Niocu, kiranya sudah cukup kita berbicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak menggembirakan. Tempat ini sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?”

“Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas karena gerakanmu masih amat kaku,” jawab Ang I Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.

Cin Hai telah beberapa lama menerima latihan Ngo-lian-hwa Kiam-hoat atau Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu pedang ini merupakan pecahan dari Sian-li Kiam-hoat yang digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.

Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang serombongan orang lewat di jalan itu. Karena mereka sedang asyik berlatih, baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka.

Rombongan itu terdiri dari sembilan orang yang berpakaian seragam. Melihat di pinggir jalan ada seorang wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari pedang, mereka ini berhenti dan menonton.

Tiba-tiba seorang dari mereka tertawa bergelak, “Eh, ehh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?”

Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!

Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”

Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Dia tidak tahu siapakah mereka itu, karena biar pun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang sudah seperti kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di atasnya.

Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang keadaan mereka. Tapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.

Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu sudah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengannya yang dipentang lebar-lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang menjemukan sekali.

“Ahh, Nona manis, mengapa terburu-buru hendak pergi? Bukankah kau memang hendak mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”

Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup serta pelupuk mata gemetar sedikit sehingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan rasa marahnya.

Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah dia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.

Pada saat itu, seorang di antara delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu, yaitu yang masih muda, berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.

“Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami bayar!”

Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi wajah seorang demi seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barang kali di antara mereka itu ada yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu tersenyum.

Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah kakek-kakek tertawa gembira melihat senyum yang sangat manis dan menggiurkan hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.

“Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?” mendadak terdengar suara Ang I Niocu, suara yang sangat merdu bagaikan berlagu.

Namun bagi pendengaran Cin Hai suara itu mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu biasanya hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biar pun masih tetap halus dan merdu, terdengar sangat dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti terjadi hal-hal hebat.

“Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!” sembilan orang itu berkata dengan suara riuh.

“Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku.”

“Apa syaratnya?”

“Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah sambil berlutut untuk menghormati kami berdua, baru aku mau menari.”

Tentu saja kesembilan pengawal raja ini merasa heran dan marah. Terang sekali bahwa gadis ini hendak mempermainkan mereka dan bahkan telah berani menghina mereka.

“Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan pahlawan-pahlawan istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan segera menari untuk kami!” bentak laki-laki tinggi kurus tadi.

“Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin Hai.

“Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.

Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang kepada Cin Hai dengan alis berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang dari pada marah, karena mana mungkin ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang anggota Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring.

Akan tetapi pengawal muda itu tidak dapat menahan marahnya lagi. Meski gila mau pun waras, pemuda kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus. Maka ia segera melangkah maju kemudian mengayunkan tangan kanan memukul kepala Cin Hai sambil membentak, “Bangsat kecil, mampuslah kau!”

Pukulan ini adalah gerakan Siok-lui Kik-ting atau Petir Menyambar Kepala dan dilakukan dengan tenaga mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apa lagi hanya kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul!

Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin Hai melejit ke samping sambil tertawa mengejek dan berkata, “Hei, bangsat besar, percuma saja kau hidup karena hidungmu terlalu besar!”

Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh Cin Hai dan mendengar sindiran anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tanpa terasa pula ia mempergunakan tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak ini.

“Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang besar, jangan panggil aku Harimau Kepala Besi lagi!”

Dan Tiat-thou-houw atau Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu To-cu-kim-ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.

“Anjing besar! Aku tak akan menyebut kau Harimau Kepala Besi melainkan Anjing Hidung Panjang!” Cin Hai mengejek lagi.

Anak ini kemudian mengeluarkan kepandaiannya Ngo-lian-hwa Kun-hoat yang baru saja dipelajari beberapa bulan dari Ang I Niocu! Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya sudah mempunyai kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian Bidadari.

Kemudian dia balas menyerang, namun karena Ilmu Silat Lima Kembang Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia terpaksa mengeluarkan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang dia pelajari dari catatannya pada waktu masih mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-lojin!

Biar pun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dalam pertempuran, tapi karena selama ini ia telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak terduga-duga. Sebab itu Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat perubahan ini.

Tadi pada waktu mengelit serangan-serangannya, Cin Hai bergerak lemah lembut seperti sedang menari. Kini dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan tangannya menumbuk dada lawan!

Tiat-thou-houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya tidak menduga bahwa anak muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih lweekang yang cukup lumayan oleh Ang I Niocu, karena itu ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat pukulannya tidak kurang dari seratus kati!

Melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai bisa menggulingkan lawannya, delapan orang pengawal lainnya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan pada saat mereka mencabut senjata masing-masing dari sarungnya!

“Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan itu membentak marah.

“Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah aku layani kaleng-kaleng kosong ini!” tiba-tiba Ang I Niocu loncat menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju mengancam.

Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya, lalu berkata keras kepada para pengawal itu, “He, bangsat-bangsat besar. Kalian tadi hendak melihat tarian indah? Nah, sekarang kau lihatlah!” Ia lalu meniup sulingnya dengan perlahan-lahan, maka bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan pedangnya!

Untuk sejenak delapan orang pengawal istana itu memandang tercengang kepada gadis itu dengan kagum, karena tarian Dara Baju Merah itu benar-benar indah. Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang tinggi kurus lantas berseru, “Serbuuu…!”

Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai lalu mempercepat tiupannya dan sebentar saja kalang kabutlah delapan orang anggota Sayap Garuda itu. Mereka sudah kehilangan lawan karena tubuh Ang I Niocu tidak tampak lagi, tertutup oleh sinar pedangnya, hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari!

Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kini mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah seorang pendekar pedang yang sama sekali tak bisa dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu mengerahkan tenaga serta kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!

Sambil meniup sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I Niocu. Kini benar-benar ia dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sian-li Kiam-hoat yang benar jarang terlihat dan tak mungkin dicari keduanya!

Dahulu ketika menghadapi Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh kepandaiannya. Namun kini, menghadapi delapan orang jagoan istana, anggota-anggota Sayap Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar biasa!

Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggota Sayap Garuda itu sendiri terkejut dan terheran karena selamanya mereka belum pernah menghadapi lawan yang sehebat serta selihai ini! Mereka merasa menyesal mengapa tadi telah berlaku jail dan sembrono hingga kini terpaksa harus menelan pel pahit! Akan tetapi, tidak ada jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan tenaga dan mengepung makin rapat.

Sesudah pertempuran berlangsung lima puluh jurus lebih, Ang I Niocu baru menurunkan tangan besi dan sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar kemudian terdengar teriakan-teriakan mengaduh yang diikuti dengan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari pegangan tangan!

Dalam beberapa jurus saja Ang I Niocu berhasil merobohkan delapan orang lawannya, masing-masing mendapat hadiah guratan pedang di lengan tangan, pundak, muka dan paha, hingga biar pun mereka mandi darah dan roboh di tanah, tak seorang pun di antara mereka yang menderita luka berat sehingga membahayakan keselamatan jiwa mereka!

“Puaskah kalian melihat tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan pedang ke sarungnya dan tersenyum manis.

Pemimpin rombongan Sayap Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak lantas bertanya dengan suara parau, “Lihiap ini siapakah...?”

Tetapi Ang I Niocu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang Cin Hai yang menyimpan sulingnya, “Kalian belum tahu siapakah pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ahhh…, sungguh percuma hidup di dunia mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum sindir Cin Hai lalu menyanyikan syair Ang I Niocu.

Berkawan sebatang pedang dan suling,
Menjelajah ribuan li tanah dan air,
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan hati!


Memang Cin Hai sudah menggubah sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair ini dan menambahkan kata ‘suling’ di belakang ‘pedang’. Sehabis menyanyikan syair itu, Cin Hai memandang wajah mereka. Tetapi ternyata bahwa para anggota Sayap Garuda itu masih saja belum mengerti siapa adanya nona gagah perkasa yang demikian lihai ilmu silatnya itu.

Karena mendongkol melihat kebodohan mereka, Cin Hai lalu membentak, “Orang-orang macam kalian ini mana pantas mengenal dia?!”

Sementara itu, Ang I Niocu bertaka, “Hai-ji mari kita pergi”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Kawanan Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah dan saling tolong. Untung bagi mereka bahwa kekalahan hebat ini tidak terlihat oleh orang lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali dan andai kata kelihatan oleh orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!

Tiba-tiba pemimpin mereka berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya, “Ah, siapa lagi kalau bukan dia!”

Kawan-kawannya memandang heran dan dia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu nona tadi Ang I Niocu! Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau bukan Ang I Niocu?”

“Akan tetapi ia masih begitu muda dan cantik, paling banyak berusia delapan belas tahun. Sedangkan Ang I Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun yang lalu!”

Kawan-kawannya menganggap ucapan ini ada betulnya juga, maka mereka hanya saling pandang dengan heran dan menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat kepala untuk membalut luka masing-masing.

Sementara itu, Ang I Niocu segera mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu Berlari Cepat) untuk menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin Hai menanyakan maksud tujuannya pergi ke gunung itu, Ang I Niocu lalu menjawab sambil tersenyum,

“Di puncak Pek-tiauw-san itu terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya bertelur sekali dalam setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan aku perlu sekali mendapatkan satu atau dua butir telur rajawali putih.”

“Mencari telur mengapa begitu jauh, Niocu? Untuk apakah?”

Ang I Niocu tertawa kecil. “Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat telur rajawali putih?”

Benar-benar Cin Hai tidak mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh sehingga sekali lagi Ang I Niocu tertawa. “Di antara segala macam akar terdapat akar jin-som yang mengandung obat mujizat, dan di antara segala macam telur terdapat telur rajawali putih yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”

Cin Hai pernah melihat dan tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk anak orok itu, maka ia heran mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih manjur dari pada jin-som.

“Benarkah itu, Niocu? Apakah telur itu dapat menguatkan tubuh seperti jin-som?”

“Tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah orang menjadi tua. Makan sebutir saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”

“Begitukah? Hebat sekali. Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai dua tahun!”

Ang I Niocu tertawa merdu. “Kecil katamu? Anak tolol, telur burung itu besarnya melebihi kepalamu!”

Cin Hai melebarkan matanya dan wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I Niocu makin geli melihatnya.

Demikianlah, sambil berlari cepat mereka bercakap-cakap dengan gembira hingga waktu lewat tak terasa oleh mereka berdua.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

Gunung Pek-tiauw-san menjulang tinggi menembus awan. Pada kaki dan lereng gunung penuh dengan rimba raya yang kaya akan pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu ada yang demikian besar ukurannya hingga untuk mengelilingi sebatang saja, orang harus berjalan sedikitnya empat puluh langkah!

Pohon sebesar ini mungkin umurnya sudah ada seribu tahun. Tinggi besar, kokoh kuat, seakan-akan raksasa berdiri sambil bertolak pinggang memandangi segala yang berada di bawahnya!

Berbeda dengan keadaan kaki dan lereng gunung yang dipenuhi tetumbuhan, di puncak tidak ditumbuhi pohon, sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi dan meruncing ke atas. Bahkan ada batu karang yang tingginya sampai puluhan kaki seakan-akan ingin menyaingi pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sebelah bawah.

Tempat inilah yang dipilih oleh burung rajawali untuk bertelur. Pada puncak batu karang yang tinggi, burung raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara anaknya. Di seluruh daratan Tiongkok, hanya pada puncak Pek-tiauw-san ini saja terdapat burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena jumlah burung itu hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya, apa lagi tempat di mana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan sangat sukar sekali didaki orang.

Jangankan orang biasa yang tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai yang sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga, masih menderita kesukaran ketika Ang I Niocu membawanya naik ke atas. Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini benar merupakan ujian baginya, bahkan merupakan latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.

Seandainya ia diharuskan mendaki sendiri, belum tentu ia dapat mencapai puncak, sebab setelah melewati rimba terakhir, jalan menjadi demikian sulit, penuh dengan jurang-jurang yang curam, melalui batu-batu karang yang tinggi dengan permukaan tajam hingga dapat menembus sepatu!

Akan tetapi Ang I Niocu nampak tenang dan enak saja. Gerakannya tetap sangat gesit dan ringan sehingga sekali lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju Merah ini. Pada saat melalui tempat-tempat yang berbahaya dan sukar Cin Hai tidak ragu-ragu lagi untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di waktu harus meloncati jurang yang curam dan lebar, gadis itu tidak sungkan-sungkan untuk memondong dan membawanya melompat ke seberang jurang!

Betapa pun juga, setelah setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru mereka sampai di puncak, memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus awan yang merupakan gumpalan-gumpalan halimun tipis.

“Aku tidak melihat ada sarang burung di puncak batu karang itu!” Cin Hai berkata sambil terengah-engah kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.

“Apa kau kira mudah saja mendapatkan sarangnya? Di antara seluruh batu-batu karang yang ratusan banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima buah sarang saja!”

Cin Hai menghela napas. Seluruh tubuhnya telah payah dan penat-penat, dan agaknya ia tak akan kuat harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu untuk mencapai sarang rajawali. Melihat keadaan Cin Hai, Ang I Niocu juga ikut duduk mengaso.

“Biarlah kita beristirahat lebih dulu melepaskan penat,” katanya sambil menghibur Cin Hai dengan senyumnya yang membesarkan hati. Pada saat itu terdengar suara yang keras dan dahsyat menggetarkan anak telinga!

”Seekor Pek-tiauw (Rajawali Putih)!” Ang I Niocu berkata perlahan seolah-olah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Cin Hai dengan pandangan matanya. “Dia sedang marah, entah mengapa?”

Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke arah suara tadi. Cin Hai terpaksa mengikutinya dari belakang, biar pun sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu, apa lagi burungnya. Tentu besar dan liar!

Makin dekat, makin keras pula pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan sayapnya mengebut-ngebut membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi serta angin bertiup dari arah itu! Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu terus maju, kemudian mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan terkejutlah dia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya menyambar-nyambar serta menerjang seorang kakek di depannya!

Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga, oleh karena kejadian yang dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa dipakai oleh petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Akan tetapi kakek itu mengenakan sebuah rompi yang terbuat dari bulu merak yang masih baru!

Pada waktu itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang menyerang dengan kedua cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja serta paruhnya yang besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini dibantu pula oleh dua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan tenaga sedikitnya seribu kati!

Akan tetapi kakek itu tidak jeri, bahkan terdengar dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu dia pun mengembangkan kedua lengan tangannya yang dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga seakan-akan ia telah siap untuk bermain cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan kepada burung itu bahwa kakinya tak lebih buruk dari pada kaki burung rajawali putih!

“Ha-ha-ha, majulah, tolol, majulah!” kakek itu mengejek burung itu.

Tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek jembel yang telah dia angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang lalu!

Pada saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap kanannya. Akan tetapi dengan ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan sayap hingga sayap burung yang besar itu menghantam batu karang di belakang Bu Pun Su!

Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul hancur sehingga batu-batu kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu, maka dapat dibayangkan betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.

Namun Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Dia menghadapi burung raksasa itu dengan tenang, bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu dia berdiri di tempat yang sempit sekali.

Di depan kakinya terbuka jurang yang amat curam, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang besar. Kalau ia sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua macam, kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki dalamnya!

Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba saja Ang I Niocu memegang lengannya dan menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.

“Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!” Ang I Niocu berkata dengan wajah pucat!

“Ehh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?”

“Anak tolol! Bukankah dia adalah Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau akan dibawanya dan berpisah dariku, lupakah kau?”

Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia segera ikut berlari turun dari puncak itu, ada pun hatinya makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus berpisah darinya!

Sambil bergandeng tangan mereka berdua berlari-lari dengan cepat seperti dikejar setan. Akan tetapi karena Cin Hai sudah lemah sekali serta sepatunya sudah banyak berlubang sehingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam, perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.

Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya sudah menarik napas lega karena menduga bahwa Bu Pun Su tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun orang tua itu sedang sibuk menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, mendadak mereka mendengar pukulan sayap burung di atas. Pada waktu mereka memandang ke atas, tiba-tiba wajah mereka menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang biasanya agak kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan!

Seekor Pek-tiauw terbang di atas mereka, yakni burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun Su. Dan di atas punggung burung itu tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil menggunakan tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan leher, kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut arah yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Sekarang Bu Pun Su membetot-betot ekornya dan membekuk lehernya ke arah bawah sehingga burung rajawali putih yang besar itu dapat menangkap maksudnya bahwa ia harus turun!

Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su membentak burung itu yang segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai itu!

Ang I Niocu segera menjatuhkan diri dan berlutut di depan Bu Pun Su sambil menyebut, “Susiok-couw!”

Juga Cin Hai tidak dapat berbuat lain kecuali ikut berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat mukanya!

“Hm, hemm! Kau mencari telur Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.

“Benar, Susiok-couw, harap maafkan kalau teecu mengganggu Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan hormat.

“Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya lagi, “Kau bawa-bawa anak ini untuk apa? Apa ia muridmu?”

Ang I Niocu tidak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka dia menggelengkan kepala menyangkal.

Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya. “Kalau bukan murid mengapa dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?”

Terpaksa Cin Hai mengangguk karena dia memang tidak bisa membohong.

“Kiang Im Giok! Kau berani berbohong terhadap Susiok-couw-mu?” Bu Pun Su menegur tetapi tidak marah karena mulutnya tersenyum.

“Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,” jawab Ang I Niocu.

“Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebisaanmu maka kau berani mengajar silat kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama baik cabang persilatan! Apakah kau tahu benar bahwa orang yang kau beri pelajaran silat itu orang baik-baik? Bagaimana kalau kelak dia akan mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”

“Maafkan teecu, Susiok-couw,” kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala.

“Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima murid, sedangkan aku tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai murid. Pernah aku menerima seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu sudah pergi minggat entah ke mana?”

Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu memarahi Ang I Niocu, dia menjadi tidak senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya yang kini sudah tidak gundul lagi. Ternyata kakek tua itu sudah lupa dan pangling.

“Sekarang kau pergilah, Im Giok, dan kau wakili aku pergi ke Kun-lun-pai. Di sana sedang timbul pertikaian hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dengan Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau pergilah ke sana dan atas namaku kau coba damaikan mereka itu demi persatuan para hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!”

Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-couw-nya itu. Tetapi dengan bingung ia melirik ke arah Cin Hai.

Bu Pun Su yang bermata tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak, “Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biarlah kini dia menggunakan kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”

Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai dengan wajah pucat dia hanya berkata, “Sampai bertemu kembali!”

Lalu gadis itu melompat jauh sehingga sebentar saja dia hanya merupakan setitik warna merah yang kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak-gelak dan ketika Cin Hai mengangkat muka memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!

Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas serta sedih. Hatinya terasa hancur dan pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia hidup seorang diri, sebatang kara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa mengetahui apa yang harus ia perbuat!

Cin Hai tak dapat menahan sedihnya lagi dan dia menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu! Dia menangis bukan karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan oleh Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di atas dunia ini!

Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis, akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia pun menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya terasa lapar sekali.

Biasanya, saat dia masih merantau bersama-sama dengan Ang I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan mereka berdua ialah gadis itu. Pandai sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik dengan jalan membeli, mencari buah-buahan, berburu, mau pun kadang-kadang memasak sendiri!

Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah belukar. Apa daya? Kembali air matanya turun membasahi kedua pipinya. Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam sebuah kitab kuno, yaitu kata-kata Ci Kui yang menasihati puteranya ketika sedang bersedih.

'Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan, simpan air matamu dan gantilah dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan (Pahlawan) sejati!'

Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya sendiri. Ia lalu menggunakan lengan bajunya menghapus kering segala sisa air mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di dalam hutan itu.

Akhirnya dapat juga dia menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Dia lalu makan buah itu dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa, maka dia berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.

Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan hawa dalam tubuhnya yang dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya dia sudah sering berlatih khikang sehingga dia tidak sangat menderita kedinginan.

Yang sangat dia derita adalah kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur berdua di atas pohon, gadis itu tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan suling hingga ia tak pernah merasa sunyi.

Bahkan dulu ketika khikang-nya belum begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan mantelnya lalu diselimutkan kepadanya, dan ketika mantel itu masih belum mampu mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lantas memegang tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin.

Ahh, alangkah baik dan mulia hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai seakan-akan menemukan seorang kawan dan guru, bahkan juga seorang ibu dan ayah yang sangat mengasihinya! Kini gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai kapan dapat bersua kembali!

Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh dengan Ang I Niocu. Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisikannya, “Niocu... Niocu...,” ia menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang menekan dadanya.

Pada keesokan harinya, dia mulai merantau seorang diri dengan hati tertekan dan pikiran bingung. Karena tak tahu bagaimana harus mendapatkan makan untuk mengisi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta makanan dari orang kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu kali lebih baik menjadi seorang pengemis dari pada jadi seorang pencuri, tidak ada lain jalan lagi.

Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai semakin buruk. Pakaiannya kotor dan compang-camping. Dahulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling lama tiga hari sekali dia tentu disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali bertemu dengan anak sungai, dia diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh Ang I Niocu. Akan tetapi sekarang, dia menjadi sangat malas untuk mencuci pakaian atau mandi sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor penuh debu!

Bahkan kudis yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman pisau dan mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh amat mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, sekarang berubah menjadi penuh penderitaan dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang cantik dan memiliki kepandaian tinggi itu!

Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. Dia sudah berubah menjadi seorang pengemis muda. Tubuhnya begitu kurus hingga tulang-tulangnya tampak di balik kulitnya yang kotor. Rambutnya yang tumbuh kembali tidak teratur dan awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang kurus tampak muram, tapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu.

Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat dia masak dan terbukalah kini mata hatinya akan kesengsaraan hidup miskin. Karena hidup menderita, maka kini dia dapat merasakan pula penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.

Biar pun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan apa bila perutnya sudah lapar benar dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan. Kadang-kadang sampai dua hari dia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan lapar.

Juga ia tidak sembarangan mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak merasa sedap kalau untuk semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak dia tukar dengan bantuan tenaganya kepada pemberinya itu. Terlebih dahulu dia akan melakukan suatu pekerjaan untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis muda yang istimewa.

Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya. Kota ini cukup ramai dan hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih. Penduduknya peramah dan perdagangan di sana kelihatan ramai dan hidup karena tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur. Rupanya anak sungai yang mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain air sungai dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata mengandung banyak ikan.

Pada saat ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin Hai tertarik dengan sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa bangunan itu adalah sebuah bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw.

Papan nama itu terbuat dari pada sepotong papan. Tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang sekali papan nama itu agaknya tidak terawat sehingga tampak kotor dan bahkan memasangnya juga miring. Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan pada papan nama itu dan menyayangkan kenapa tulisan seindah itu dituliskan pada papan yang kotor dan dipasangnya miring pula.

Tanpa dapat menahan perasaan hatinya, dia kemudian mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan sambil berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah kotor. Dia menggosok-gosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang sekali.

Tiba-tiba saja timbul sebuah pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia telah terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang dapat dikerjakan, dan karena tak mempunyai kewajiban apa pun yang harus dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini dia merasakan kesenangan. Ahh, dia harus bekerja!

Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah dipandang, dia lalu menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti tadi. Segera dia turun dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang papan nama itu dengan gembira. Ia melihat hasil dari pada pekerjaannya tadi dan tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi tampak buruk dan kotor, sekarang bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri gembira, tidak seperti tadi yang kotor dan muram!

Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan mudah saja terbuka. Dia masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Pada sudut kiri tampak sebuah rak tempat menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan.

Cin Hai senang sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu kotor sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba saja dia melihat benda yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.

Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang lelaki setengah tua yang masuk dari luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi guru silat yang mengajar di bukoan itu.

Guru silat ini baru pulang dari bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian compang-camping tengah menyapu pelataran bukoan-nya dengan asyik sekali. Tadi pun ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia pun mengerti bahwa yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.

“He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.

“Tidak... tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan… dan sudah sepatutnya dibersihkan.”

Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar jawaban Cin Hai, dia dapat menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya, “He, anak muda. Apakah kau mau bekerja di sini?”

Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri. “Suka sekali, suka sekali!”

Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya ialah pekerjaan, maka sekarang begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja ia merasa senang.

“Kau tak berumah dan sebatang kara?” kembali guru silat itu bertanya.

Dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada masa itu memang banyak sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai, orang-orang yang hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup sebatang kara.

Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.

“Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerja saja di sini, juga melayani segala keperluan murid-murid bukoan.”

“Baik, baik Loya,” jawab Cin Hai dengan gembira sekali.

Pada saat itu dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa dan tidak lama kemudian dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat belas tahun. Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi. Anak-anak muda itu menyebut ‘suhu’ dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.

Louw-kauwsu segera memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata bahwa orang yang gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya adalah mewakili Louw-kauwsu mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu adalah para murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat. Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang di situ.

Terhadap seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja tidak ada di antara mereka yang menaruh perhatian dan anak-anak murid itu segera memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja ingin memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!

Terhadap seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh perhatian dan anak-anak murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!

Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biar pun bertubuh gemuk pendek, tetapi berwajah tampan juga. Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari Bu-tong-pai, satu cabang dengan Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak Ting Sun takabur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,

“Ehh, siapa namamu?”

“Nama saya Cin Hai,” jawab Cin Hai.

“Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,” kata Louw Sun Bi tertawa. Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke dalam.

“Ehh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku Suhu!”

“Harus menyebut bagaimana?” tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap orang.

“Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti?!”

Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat gemuk pendek itu, tetapi mulutnya menjawab, “Baik, Siauwya.”

Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih. Sementara itu, Ting Sun melatih murid-muridnya. Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba Louw Sun Bi keluar dan memanggilnya. Cin Hai cepat-cepat menghadap. Guru silat itu diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun.

Gadis itu bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena dia adalah Louw Bin Nio, anak tunggal Louw Sun Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti ayahnya.

“Kau tentu belum makan,” kata guru silat itu dengan suara ramah, “kau makanlah dahulu dan gantilah pakaianmu itu, setelah kau bersihkan tubuhmu.”

Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil berlutut. Ia merasa terharu karena baru sekarang ada orang yang mau memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang belakang dan memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.

Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah menderita lapar dan dingin lagi, dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan bersemangat. Akan tetapi, di samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya.

Entah kenapa, Ting Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan sering kali menghinanya. Pernah pada suatu senja dia berdiri melihat latihan silat, tiba-tiba Ting Sun memanggilnya.

“Kalian lihatlah baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan darah), kedua jari telunjuk dan tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi contoh dengan dua jari tangan. “Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian lihat bagian leher ini!”

Dia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja berdiri bagaikan patung.

“Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian ini!” Sambil berkata demikian, jari tangannya benar-benar menotok leher Cin Hai.

Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekang-nya untuk melawan totokan, tetapi cepat berpikir bahwa kalau dia melakukan hal ini tentu akan terbukalah rahasianya. Maka dia segera mengendorkan semua uratnya dan tidak melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, dia merasa leher itu sakit dan tubuhnya menjadi lemas hingga dia roboh tanpa daya!

“Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa puas dan bangga.

Sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai yang sudah lemas. Dia dapat melihat dan mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya terasa sakit sekali hingga dia tidak berani menggerakkan leher itu.

Sementara itu, tanpa pedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya. Dalam keadaan menyedihkan itu Cin Hai harus menderita sampai dua jam lebih, barulah pelan-pelan jalan darahnya terbuka dan darahnya kembali mengalir hingga ia dapat cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, dia pura-pura masih lemah dan sakit sehingga berdiri sambil terhuyung-huyung.

“Nah, nah, kalian lihat. Sesudah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka dia akan roboh dengan lemas dan selamanya tak akan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu telah dibebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tapi hal ini akan kalian pelajari kelak bila mana sudah sempurna gerakan tangan kalian.”

Semua murid memandang kagum, sementara dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan tempat itu, sambil di dalam hatinya dia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak demikian baik hati padaku, hmm... akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan hati mendongkol sekali.

Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, dia tak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauhnya beda perangai gadis ini dengan ayahnya.

Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!

Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.

“Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.

Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya.

Cin Hai berdiri di tepi sambil menonton gadis itu bersilat pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji dengan suara kagum.

Bin Nio duduk di atas sebuah bangku. “Ahh, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kau bersihkan sepatu ini!”

Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.

“Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri majikannya ini.

“Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tapi cobalah kau lihat Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran darinya!”

Cin Hai merasa heran. “Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?” tanyanya.

“Ahh, Ayah tidak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Untungnya ada Ting-kawsu yang mengajarku pada waktu malam. Sayang, sekarang sudah tidak diijinkan lagi oleh Ayah!” Gadis itu tampak kecewa sekali dan Cin Hai yang telah selesai membersihkan sepatunya lalu mundur.

Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan. “Ehh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”

Cin Hai menjawab perlahan, “Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”

“Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”

“Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi kenapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?”

“Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!” Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai.

Cin Hai pura-pura ketakutan kemudian berkata, “Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”

Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar dia berlaku hati-hati untuk menyampaikan surat rahasia itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat pelayan. Malam itu dia tidak dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.