Mustika Kuburan Tua - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

MUSTIKA KUBURAN TUA

SATU
MALAM ini udara begitu dingin. Angin bertiup kencang membawa gumpalan kabut tebal. Langit tampak kelam tertutup awan hitam, membuat suasana terasa begitu mencekam. Keadaan malam seperti ini, membuat seluruh penduduk Desa Batu Ceper tak ada yang keluar dari rumahnya. Begitu sunyi, bagai sebuah desa mati tak berpenghuni.

Namun di dalam kegelapan yang dingin ini, tampak sesosok tubuh berjalan tergopoh-gopoh melintasi pinggiran desa. Sesekali wajahnya menoleh ke belakang, seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti. Wajahnya sukar dikenali karena ditutupi kerudung hitam yang kelihatannya sudah lusuh. Dia berjalan di antara bayang-bayang pepohonan yang tumbuh berjajar di sepanjang tepi jalan tanah berdebu.

Sosok tubuh itu berhenti sebentar setelah sampai di perempatan jalan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, kemudian kakinya kembali melangkah mengikuti jalan setapak yang membelok ke kanan. Jalan itu kecil dan berbelok-belok, juga menanjak. Namun, orang itu terus melangkah perlahan dengan kepala tertunduk. Dia kembali berhenti begitu tiba di tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan yang sedang berbunga. Angin yang berhembus kencang, menyebarkan bau harum bunga kamboja yang putih bagai kapas.

Di antara pohon-pohon kamboja itu terdapat gundukan-gundukan tanah berbatu nisan. Ternyata, tempat ini sebuah kuburan. Orang berkerudung kain lusuh itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian tatapan matanya terpaku pada sebuah makam di bawah sebatang pohon beringin tua yang besar dan berdaun lebat.

“Hm... Sepi. Saat yang tepat untukku malam ini,” gumam orang itu, pelan.

Perlahan-lahan kakinya terayun mendekati makam di bawah pohon beringin itu. Dari balik kerudung kainnya, tampak sorot mata yang tajam tak berkedip menatapi gundukan tanah yang dilingkari bebatuan berlumut. Begitu dekat dengan makam tua itu, kerudungnya dibuka. Tampaklah seraut wajah yang rusak, penuh benjolan.

Rambutnya yang panjang, meriap kusut tak teratur. Pipi kanannya terkelupas, sehingga menampakkan barisan gigi yang menghitam tak beraturan letaknya. Maka, paras wajahnya pun semakin bertambah mengerikan. Beberapa saat dia berdiri mematung di dekat makam tua di bawah pohon beringin ini.

“Malam ini aku harus berhasil. Harus...!” orang itu mendesis dingin. Setelah mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, perlahan kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke di atas kepala. Lalu, dengan tiba-tiba....

“Yeaah...!” Cepat sekali tangannya dihentakkan ke arah kuburan tua di depannya. Seketika secercah cahaya kilat meluncur keluar dari kedua telapak tangannya. Begitu cahaya kilat menghantam kuburan tua itu, terdengar ledakan dahsyat menggelegar.

Glarrr...!

Orang itu melenting ke belakang, melakukan putaran beberapa kali sebelum mendarat manis di tanah berumput tebal dan basah oleh embun. Ledakan tadi membuat kuburan tua itu terbongkar. Tanah dan bebatuan berhamburan ke udara, membuat jamur raksasa yang cepat menghilang tertiup angin.

“Hik hik hik...!” orang itu tertawa terkikik. Baru saja kakinya terayun hendak mendekat, mendadak saja dari dalam kuburan itu berkelebat sebuah bayangan hitam yang langsung meluruk ke arah orang itu.

“Uts!” Untung saja tubuhnya dimiringkan ke kanan, sehingga terjangan bayangan hitam itu lewat di samping tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya ditarik kembali agar tegak, bayangan hitam itu sudah lebih cepat berbalik. Bahkan kini kembali meluruk deras menyerangnya.

“Ups! Yeaaah...!” Orang berwajah buruk itu cepat melentingkan tubuh ke udara, dan secepat kilat pula melontarkan satu pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Pukulan yang dilepaskan tepat mengenai bayangan hitam itu. Namun orang berwajah buruk itu jadi terkejut setengah mati, karena merasa seperti memukul segumpal kapas. Pukulannya berbalik arah, sehingga dia terpaksa melenting ke udara dan melakukan putaran beberapa kali. Ringan sekali kakinya mendarat di tanah.

Pada saat itu, bayangan hitam tadi sudah berbalik dan siap hendak menyerang lagi. Tapi, mendadak saja niatnya diurungkan. Wajahnya yang hitam, membuatnya sukar dikenali. Pakaiannya juga compang-camping dan berlumur lumpur. Beberapa bagian kulit tubuh-nya mengelupas. Sosok tubuh ini seakan-akan tidak berbeda jauh dengan orang berkerudung hitam itu.

“Kau rupanya, Nyai Kunti...,” desis manusia aneh yang muncul dari dalam kubur itu.

Suaranya terdengar dingin dan datar tanpa tekanan sama sekali. Sorot matanya yang merah, begitu tajam menusuk. Seakan-akan ingin menembus dinding hati orang di depannya yang dikenali bernama Nyai Kunti.

“Apa maksudmu merusak tempat peristirahatanku?” tanya manusia aneh itu, masih dingin dan datar nada suaranya.

“Aku membutuhkan Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga,” sahut Nyai Kunti, tegas.

“Untuk apa batu mustika itu bagimu?” tanya orang yang dipanggil Eyang Duraga lagi.

Manusia aneh itu kelihatan agak terkejut mendengar jawaban Nyai Kunti. Namun rasa keterkejutannya cepat dihilangkan, dengan menatap wanita berwajah buruk itu semakin tajam. Sedangkan Nyai Kunti tidak menjawab. Bibirnya terkatup rapat, namun sorot matanya tidak kalah tajam dibanding Eyang Duraga.

Sama sekali hatinya tidak merasa ngeri melihat raut wajah Eyang Duraga yang berlumpur dan hampir tidak memiliki daging lagi. Apalagi bau busuk yang tersebar dari tubuh laki-laki itu. Sama sekali tidak dihiraukan! Seluruh tubuh Eyang Duraga memang sudah membusuk, karena sudah terkubur puluhan tahun. Ulat-ulat kecil dan cacing-cacing tanah merubung hampir di seluruh tubuhnya yang membusuk dan mengelupas.

“Sebaiknya lupakan saja benda itu, Nyai Kunti. Benda itu hanya akan membawa malapetaka saja. Tidak ada manfaatnya sama sekali,” ujar Eyang Duraga.

“Kau pikir aku bisa terpengaruh oleh ucapanmu, Eyang Duraga?” sinis kata-kata Nyai Kunti.

“Aku tidak mempengaruhimu. Kau hanya kujelaskan kalau Mustika Batu Hijau tidak ada artinya bagimu. Hanya akan membawa bencana saja. Bukan hanya buat dirimu, tapi bagi seluruh dunia. Terutama dunia persilatan. Aku rasa, kau sudah tahu, kenapa tubuhku sampai terbaring di sini selama puluhan tahun. Aku tidak ingin kau bernasib sama denganku, Nyai Kunti,” bujuk Eyang Duraga.

“Tidak perlu menasihatiku, Eyang Duraga!” dengus Nyai Kunti dingin. “Berikan mustika itu, atau kau ingin merasakan mati dua kali...!”

“Rupanya iblis sudah begitu dalam merasuk dalam hatimu,” desah Eyang Duraga perlahan.

“Serahkan mustika itu padaku, Eyang...!” bentak Nyai Kunti berang.

“Sayang sekali! Benda itu tidak dapat kuberikan padamu, selama hatimu masih terbalut nafsu iblis,” ujar Eyang Duraga kalem.

“Keparat...! Jangan paksa aku menggunakan kekerasan, Eyang Duraga!”

“Kau sudah melakukannya, Nyai Kunti! Dan sudah kutegaskan, mustika itu tidak ada gunanya bagimu. Hanya akan menimbulkan bencana saja bagi dunia ini.”

“Setan keparat..!”

Sret! Cring...!

Cepat sekali Nyai Kunti menggerakkan tangan kanannya. Dan tahu-tahu, sebilah pedang berkilatan sudah tergenggam di tangannya. Pedang itu tersilang di depan dada. Pada bagian ujungnya berwarna merah bagai bernoda darah. Eyang Duraga melangkah mundur dua tindak. Kedua bola matanya terbeliak lebar melihat senjata di tangan wanita berwajah buruk itu, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Kau gentar melihat pedangku ini, Eyang Duraga...?” desis Nyai Kunti mengejek.

“Dari mana kau dapatkan pusaka itu?” tanya Eyang Duraga, agak bergetar suaranya.

“Rupanya kau masih mengenali juga senjata ini. Bagus.... Pedang inilah yang membuat dirimu harus terbaring di dalam kubur. Dan dengan pedang ini pula dirimu akan terbaring kembali di dalam kuburmu, Eyang Duraga,” ancam Nyai Kunti, semakin sinis nada suaranya.

“Kau pasti merampas pedang itu dari pemiliknya,” dengus Eyang Duraga.

“Ha ha ha...!” Nyai Kunti hanya tertawa terbahak-bahak.

Bet! Bet!

Wanita bermuka buruk itu mengebutkan pedang di tangannya dua kali. Seketika terlihat kilatan cahaya membias saat pedang itu bergerak cepat di depan dada Nyai Kunti. Tampak Eyang Duraga terkesiap melihat kilatan cahaya dari pedang itu. Kakinya langsung bergeser dua langkah ke belakang.

“Kau pasti ingin tahu, bagaimana aku memperoleh pedang ini, bukan...?” ujar Nyai Kunti. Dingin dan sinis nada suaranya.

Eyang Duraga diam saja. Namun sorot matanya masih tetap tajam mengamati setiap gerak perempuan bermuka buruk ini. Hatinya selalu terkesiap jika Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Setiap kali pedang itu bergerak, selalu menimbulkan kilatan cahaya yang menyilaukan mata. Walaupun hanya sekejapan saja, namun sudah membuat darah Eyang Duraga mendesir.

“Pendekar Pedang Kilat memang tangguh, dan sulit dicari tandingannya. Tapi dia terlalu bodoh dan mudah diperdaya. Sehingga, mudah sekali aku membuatnya tidak berdaya,” ujar Nyai Kunti kalem.

“Kau meracuninya...?” tebak Eyang Duraga langsung.

“Ha ha ha...!” lagi-lagi Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.

“Kau benar-benar iblis, Nyai Kunti! Kau wanita berhati iblis...!” desis Eyang Duraga geram.

“Ha ha ha....! Kenapa kau marah, Eyang Duraga? Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena orang yang mengalahkanmu sekarang telah mati.”

“Kami bertarung secara jujur dan jantan. Aku tidak mendendam, bahkan bangga bisa kalah oleh seorang pendekar ternama dan berkepandaian lebih tinggi. Tidak seperti kau...! Licik! Pengecut..!” geram Eyang Duraga.

“Ha ha ha...!”

Wuk...!

“Uts!”

Belum lagi lenyap suara tawanya, mendadak Nyai Kunti melompat menerjang Eyang Duraga sambil mengebutkan pedang. Namun cepat sekali gerakan Eyang Duraga menghindar. Dengan hanya memiringkan tubuh sedikit saja, tusukan pedang wanita berwajah buruk itu berhasil dielakkan. Eyang Duraga cepat menggeser kaki ke samping beberapa langkah. Karena angin tusukan pedang itu terasa panas sekali. Bahkan tubuhnya sempat menggeletar. Disadari, sedikit saja terkena pedang itu akan berakibat parah.

“Hiyaaat..!” Nyai Kunti kembali menyerang. Pedangnya disabetkan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Eyang Duraga yang paling peka dan mematikan. Beberapa kali ujung pedang itu hampir menyentuh tubuh Eyang Duraga. Namun laki-laki bertubuh busuk yang sudah terkubur puluhan tahun itu, masih mampu menghindari. Bahkan beberapa kali sempat melakukan serangan balasan.

Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Mereka bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat. Begitu cepatnya jurus-jurus yang dimainkan, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebatan saling sambar dan ditingkahi kilatan cahaya dari pedang Nyai Kunti.

“Cukup, Nyai Kunti...!” seru Eyang Duraga tiba-tiba, seraya melompat mundur, keluar dari ajang pertempuran. Manis sekali gerakan Eyang Duraga. Kemudian kakinya mendarat tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Mereka kini berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar tiga batang tombak. Eyang Duraga meng-edarkan pandangan ke sekeliling sejenak. Sekitar tempat ini begitu berantakan bagai terlanda badai. Pohon-pohon bertumbangan. Bahkan beberapa kuburan terbongkar menganga. Tampak di sekitar mereka tulang-tulang tengkorak manusia berserakan. Eyang Duraga mendesis geram melihat kuburan ini jadi berantakan tidak karuan. Kembali ditatapnya Nyai Kunti dengan tajam.

“Kau hancurkan tempat suci ini, Nyai Kunti,” desis Eyang Duraga bergumam pelan.

“Semua ini tidak akan terjadi bila kau bersedia menyerahkan mustika itu,” dengus Nyai Kunti, dingin.

“Kau tidak akan memperolehnya, Nyai Kunti.”

“Hhh! Lihat saja...!” Wuk!

Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Dari ujung pedang itu meluncur secercah cahaya kilat dengan deras sekali. Eyang Duraga tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara, melakukan putaran dua kali. Maka kini dia berhasil menghindari kilat yang meluncur dari ujung pedang wanita bermuka buruk itu. Dan baru saja Eyang Duraga menjejakkan kakinya di tanah, cepat sekali Nyai Kunti menyerang sambil membabatkan pedang ke arah leher. Hampir saja ujung pedang wanita berwajah buruk itu membabat leher, kalau saja Eyang Duraga tidak cepat menarik kepala ke belakang.

“Yeaaah...!” Begitu serangannya tidak membawa hasil, Nyai Kunti cepat menyerang kembali. Kaki kanannya bergerak cepat mengarah ke pinggang lawan. Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu tak dapat lagi dihindari.

Beg!

“Akh...!” Eyang Duraga menjerit agak tertahan. Laki-laki yang tubuhnya sudah membusuk itu terhuyung-huyung ke samping.

Dan belum juga keseimbangan tubuhnya dapat dikendalikan, mendadak saja Nyai Kunti kembali menyerang dahsyat. Pedangnya berkelebat cepat mengincar dada Eyang Duraga.

Bet!

“Uts!” Cepat Eyang Duraga menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya masih kalah cepat. Karena, dia juga harus menahan tubuhnya agar tetap seimbang, berpijak pada kedua kakinya. Tak pelak lagi, ujung pedang Nyai Kunti merobek kulit dada laki-laki tua bertubuh busuk itu.

“Akh...!” Eyang Duraga memekik keras agak tertahan.

Kembali Eyang Duraga terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya. Aneh.... Tubuh yang sudah membusuk itu masih juga mengeluarkan darah! Meskipun, darah itu berwarna hitam dan berbau tidak sedap. Nyai Kunti cepat melompat mundur, karena tidak tahan mencium bau yang begitu tajam menusuk hidungnya. Rasanya, seluruh isi perutnya bagai bergolak hendak keluar.

Sementara Eyang Duraga semakin limbung. Darah terus mengalir keluar dari dadanya yang tergores ujung pedang Nyai Kunti. Tangannya menunjuk wanita itu. Bibirnya bergetar, namun sedikit pun tak ada suara yang keluar. Sinar matanya mendadak saja meredup nanar. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung dan limbung bagai pohon tua yang hampir roboh tertiup angin.

“Ke..., keparat kau..., Kunti...,” desis Eyang Duraga terpatah-patah suaranya.

“Ha ha ha...!” Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.

Bruk!

Belum sempat Eyang Duraga mengeluarkan kata-kata lagi, tubuhnya sudah ambruk ke tanah. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Suara tawa Nyai Kunti semakin keras terbahak-bahak. Pedangnya segera dimasukkan kembali ke dalam warangka yang tersembunyi di balik jubahnya yang panjang.

Sebentar tubuh Eyang Duraga yang tergeletak tak berkutik lagi diamati. Seakan-akan ingin dipastikan kalau laki-laki tua yang sebenarnya sudah mati puluhan tahun itu benar-benar tidak akan bangkit lagi. Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu memeriksa seluruh tubuh Eyang Duraga. Dia jadi mendengus kesal, karena apa yang dicarinya tidak didapati pada diri laki-laki tua yang tubuhnya mengelupas membusuk itu.

“Huh!” Sambil mendengus kesal, Nyai Kunti menendang tubuh Eyang Duraga. Sebentar dirayapi sekitarnya.

Tampak semburat cahaya jingga mulai membayang di ufuk Timur. Sejak tadi ayam jantan memang sudah terdengar berkokok. Malah burung-burung pun sudah ramai berkicau. Saat ini pagi memang sudah datang menjelang, dan sebentar lagi matahari akan datang menerangi belahan bumi ini.

Pandangan mata Nyai Kunti terpaku pada bekas kuburan tua yang terbongkar di bawah pohon beringin besar. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri kuburan tua itu. Dia berdiri tepat di dekat lubang kuburan yang menganga lebar.

“Setan...!” dengus Nyai Kunti geram. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian di dalam kuburan itu, kecuali tanah berlumpur yang berbau tidak sedap. Nyai Kunti kembali mengalihkan perhatian pada mayat Eyang Duraga.

Sementara keadaan di sekitarnya mulai tersiram cahaya matahari pagi. Nyai Kunti kembali menghampiri mayat Eyang Duraga. Diperhatikannya sosok tubuh yang sudah membusuk itu.

“Kau tidak akan dapat memperoleh mustika itu, Nyai Kunti....”

“Heh...?!” Nyai Kunti tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara berat dan agak serak. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat dua langkah ke belakang. Suara itu jelas sekali datangnya dari mayat Eyang Duraga. Tatapan mata Nyai Kunti begitu tajam tertuju pada sosok mayat yang sudah membusuk, tergolek tidak jauh di depannya.

“Kau bisa membunuhku, Nyai Kunti. Tapi jangan harap dapat membunuh arwahku. Kau tidak akan memiliki mustika itu, dan jangan harap dapat memperolehnya. Mustika itu sudah kuberikan pada orang yang pantas memilikinya,” suara Eyang Duraga kembali terdengar.

“Keparat kau, Eyang Duraga...!” dengus Nyai Kunti menggeram marah.

“Hih...!” Dengan kemarahan meluap, Nyai Kunti menendang mayat Eyang Duraga hingga masuk kembali ke dalam lubang kuburnya. Seketika terjadi satu keajaiban. Kuburan yang terbongkar menganga, mendadak saja bergerak menutup begitu mayat Eyang Duraga masuk ke dalamnya. Nyai Kunti melompat tiga tindak ke belakang.

“Ha ha ha...!” terdengar tawa keras yang menggelegar. “Aku tahu, siapa orang yang kau maksud, Eyang Duraga. Huh! Kau pikir aku bodoh, bisa ditipu begitu saja!” dengus Nyai Kunti.

Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat pergi dari situ. Dalam sekejap mata saja, bayangan wanita tua itu sudah lenyap bagai tertelan bumi. Sementara suara tawa menggelegar masih terus terdengar mengiringi kepergian wanita berwajah buruk bagai mayat hidup. Dan kini suasana di kuburan tua itu pun kembali sunyi, bagaikan tak pernah terjadi sesuatu.

Sementara Nyai Kunti sudah jauh meninggalkan kuburan tua itu. Dia terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, sehingga seakan-akan kakinya tidak menjejak tanah. Wanita berpakaian longgar serba hitam itu terus berlari menerobos Rimba Tengkorak.

“Aku tahu, di mana kau berada. Huh! Mustika Batu Hijau itu harus berada di tanganku!”

********************

DUA

Siang itu udara di sekitar Kotaraja Karang Setra terasa sejuk. Angin bertiup sepoi-sepoi membawa kesejukan bagai di pegunungan. Langit tampak cerah dan jernih, tanpa awan sedikit pun menggantung menghalangi cahaya matahari. Keadaan alam yang indah ini tidak disia-siakan sepasang anak manusia yang berada di taman belakang Istana Karang Setra.

Sebuah taman indah yang ditata apik dan sedap dipandang mata. Bunga-bunga tampak segar, bermekaran menyebarkan keharuman yang menggelitik kuping hidung. Burung-burung tampak riang bernyanyi di atas dahan. Sepasang burung merpati putih, tampak isyik memadu kasih di sebatang dahan pohon yang cukup rendah. Sepasang manusia di dekatnya memandangi, seakan-akan iri melihat kemesraan dua merpati itu.

“Terkadang, aku suka berpikir. Alangkah senangnya jadi burung. Begitu bebas, penuh kasih sayang, tanpa memiliki beban tanggung jawab dan tuntutan besar...,” pemuda berwajah tampan menggumam perlahan, seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.

“Kau menyesal diciptakan jadi manusia, Kakang?” lembut sekali nada suara gadis cantik di sampingnya.

Pemuda tampan berbaju putih tanpa lengan itu berpaling. Seketika bibirnya tersenyum memandang gadis cantik berbaju biru di sampingnya. Sedangkan gadis itu membalas dengan senyum manis sekali. Mereka jadi melupakan sepasang merpati putih yang masih asyik bermesraan. Seakan-akan merpati itu juga tidak peduli dengan dua anak manusia di dekatnya.

“Aku justru bangga karena diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna di mayapada ini, Pandan,” ujar pemuda berbaju rompi putih itu.

“Tapi, kenapa kau berkata seperti tadi? Kau seperti iri melihat kebebasan merpati itu,” tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan.

Gadis itu memang Pandan Wangi sedangkan pemuda yang berdiri di sampingnya, tak lain adalah Rangga. Dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Saat ini mereka memang berada di Istana Karang Setra, tanah kelahiran pemuda berbaju rompi putih itu.

“Sifat manusia yang paling utama adalah iri, Pandan. Walaupun hanya sedikit, setiap manusia pasti memilikinya. Entah terhadap sesama manusia, atau terhadap hewan maupun alam lingkungannya. Aku iri pada sepasang merpati itu. Karena, mereka bisa bebas bermesraan, tanpa harus takut pada segala macam peraturan dan tetek bengek lainnya,” ujar Rangga mencoba berfilsafat.

“Kenapa harus iri...? Apa kau merasa dilarang bermesraan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Entahlah...,” desah Rangga, perlahan.

Pandan Wangi tersenyum. Arah pembicaraan itu sudah bisa ditangkapnya. Gadis itu tahu kalau Rangga sebenarnya ingin mengungkapkan isi hatinya. Memang disadari, mereka sudah cukup lama berhubungan. Dan mereka juga sudah saling memahami akan diri dan watak masing-masing. Tapi ada suatu jarak yang sangat besar, yang membatasi mereka. Dan rasanya, sukar sekali menyatukan jarak itu. Mereka sama-sama menyadari, terlalu sulit untuk bisa bersatu dalam satu ikatan suci. Jurang pemisah yang membentang di antara mereka begitu besar dan dalam. Dan semua itu sudah sama-sama disadari.

“Kakang, kau percaya terhadap takdir...?” tanya Pandan Wangi, setelah cukup lama terdiam.

“Takdir...? Tentu saja aku percaya, Pandan. Kenapa kau tanyakan itu?” Rangga balik bertanya.

“Aku percaya penuh pada takdir. Dan semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi suratan takdir yang tidak bisa dielakkan lagi. Termasuk juga jalan hidup kita. Kau menyesali perjalanan hidup kita, Kakang...?” pelan dan tenang sekali suara Pandan Wangi.

“Aku tidak percaya kita akan selamanya begini, Pandan. Satu saat nanti, semua ini pasti akan berakhir,” tegas Rangga, langsung dapat memahami maksud kata-kata Pandan Wangi.

“Seandainya aku bukan keturunan bangsawan atau brahmana?” tanya Pandan Wangi.

“Paling tidak, kau keturunan seorang ksatria, Pandan.”

“Jika tidak...?”

“Ah! Sudahlah...,” elak Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin lagi membicarakan persoalan ini.

Sampai saat ini, pemuda itu masih tetap mencari keterangan asal-usul Pandan Wangi yang sebenarnya. Memang sulit, karena orang-orang yang mengenal Pandan Wangi sejak kecil sudah tidak ada. Dan lagi orang tua gadis ini masih samar-samar. Belum ada satu kepastian mengenai asal-usulnya, meskipun ada beberapa keterangan kalau Pandan Wangi sebenarnya keturunan seorang pendekar besar.

Tapi ada juga yang bilang, kalau gadis itu keturunan seorang pertapa yang masuk dalam golongan brahmana. Dan sebenarnya, Rangga selalu mengelak dan tidak ingin membicarakan masalah ini. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menyetujui segala macam penggolongan.

Dia tidak ingin peduli dengan segala macam penggolongan dan derajat seseorang. Tapi adat warisan leluhur sudah meng-gariskan demikian, sehingga tidak bisa ditentangnya. Rangga menyadari kalau dirinya keturunan bangsawan berdarah biru. Dan sebagai keturunan bangsawan, dia tidak bisa sembarangan mencari pendamping hidup. Terlebih lagi di Karang Setra ini, dia seorang raja yang tentu tidak sedikit peraturan harus ditaati, termasuk dalam hal pendamping hidup.

“Aku akan ke pesanggrahan. Kau mau ikut, Pandan?” Rangga membelokkan arah pembicaraan.

“Cempaka ikut?” tanya Pandan Wangi.

“Kalau Cempaka mau,” sahut Rangga.

“Kapan berangkat?”

“Sekarang.”

“Akan kupanggil Cempaka dulu, Kakang.”

Tanpa meminta persetujuan lagi, Pandan Wangi bergegas melangkah meninggalkan taman ini. Rangga memandangi sampai gadis itu lenyap dari pandangan. Perlahan kemudian, kakinya baru diayunkan meninggalkan taman ini. Matanya sempat melirik pada sepasang merpati yang masih bercengkerama di atas dahan. Entah kenapa, dia jadi tersenyum melihat kemesraan merpati itu.
********************

Pendekar Rajawali Sakti
Tiga penunggang kuda keluar dari pintu gerbang benteng Istana Karang Setra. Ketiga penunggang kuda itu adalah Rangga, Pandan Wangi, dan Cempaka. Tak seorang prajurit pun yang menyertai mereka. Dalam keadaan pakaian seperti ini, tak seorang pun rakyat Karang Setra yang mengenali mereka.

Tak ada seorang pun dari ketiga pendekar muda itu yang menyadari, kalau kepergian mereka diamati sepasang mata yang tersembunyi di balik kerudung lusuh berwarna hitam. Sepasang bola mata itu tidak berkedip, mengikuti ketiga penunggang kuda yang semakin jauh meninggalkan istana megah ini.

“Hm..., kesempatanku sudah tiba. Tidak terlalu ketat penjagaan di sini,” terdengar gumaman yang halus dan hampir tidak terdengar.

Orang berbaju hitam yang longgar itu melilitkan kerudungnya, hingga menutupi hampir seluruh kepala. Hanya sepasang matanya saja yang masih terlihat menyorot tajam. Keadaan sekitar yang nampak sepi diamatinya. Hanya dua orang prajurit saja yang menjaga pintu gerbang benteng istana.

“Hup...!” Begitu cepat dan ringan sekali orang itu melenting ke udara. Dan tahu-tahu, dia sudah hinggap di atas tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Sebentar diamatinya keadaan di dalam benteng istana ini, kemudian meluruk turun dengan gerakan indah dan ringan. Begitu ringannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah berumput di dalam benteng istana.

“Sepi.... Apakah ini suatu jebakan...?” kembali orang itu bergumam perlahan.

Orang itu menyembunyikan diri di balik gerumbul semak yang banyak tumbuh merapat pada tembok benteng. Sebentar keadaan sekitar diawasinya. Sorot matanya begitu tajam tak berkedip. Merasa suasana aman, dia cepat keluar dari tempat persembunyiannya. Hanya sekali lesat saja, orang itu sudah mencapai pinggir tembok bangunan istana.

Tubuhnya dirapatkan di dinding yang tebal dari batu. Kembali diamatinya keadaan sekitar. Baru saja kakinya bergerak hendak melangkah, mendadak saja terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Cepat tubuhnya diputar ke arah datangnya bentakan keras tadi. Tampak dua orang berseragam prajurit datang menghampiri setengah berlari.

“Huh! Kadal buduk...!” dengus orang itu.

Bet!

Cepat sekali tangan kanannya dikebutkan, sebelum kedua prajurit itu mendekat. Seketika dari balik lengan bajunya yang longgar, meluncur dua buah benda kecil berwarna keperakan. Benda itu meluncur deras bagai kilat tanpa disadari kedua prajurit itu. Sehingga...

Crab!

Bres!

Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Kedua prajurit itu langsung ambruk tak berkutik lagi, begitu dua benda keperakan menghantam dadanya. Cepat orang berbaju hitam lusuh itu melesat ke atas, lalu hinggap di atap. Kemudian tubuhnya kembali melenting labih tinggi lagi, lalu meluruk turun ke bagian belakang istana. Kakinya mendarat tepat di belakang seorang prajurit yang sedang berjaga.

“Hih!”

Begkh!

Hanya sekali pukulan saja, prajurit itu ambruk tak bersuara. Batok kepalanya rengat, sehingga darah mengucur keluar membasahi lantai. Orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar, lalu melompat cepat menuju sebuah pintu yang terbuka lebar. Tubuhnya dirapatkan di dinding dekat pintu. Perlahan-lahan kepalanya dijulurkan untuk melongok ke dalam.

“Kosong.... Di mana dia...?” desisnya perlahan. Sebentar pandangannya beredar ke sekitarnya, kemudian kembali melesat cepat. Gerakannya begitu ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Pertanda tingkat kepandaiannya begitu tinggi. Kembali kakinya mendarat di belakang dua orang prajurit yang menjaga sebuah pintu yang tertutup rapat.

Dieghk! Bek!

Dua orang prajurit itu langsung ambruk terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi pada tengkuknya. Cepat orang berbaju hitam lusuh itu merapatkan punggungnya di dinding dekat pintu. Belum juga melakukan sesuatu, pintu terkuak terbuka. Dari dalam muncul seorang pemuda tampan mengenakan baju putih bersih dari bahan sutra halus dan berhiaskan sulaman benang emas. Dia tampak terkejut begitu melihat dua orang prajurit yang menjaga di depan pintu ini sudah terkapar dengan darah menggenang di belakang kepalanya. Dan belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak saja sebuah pukulan melayang deras ke wajahnya.

“Uts!” Maka cepat-cepat kepalanya ditarik ke belakang, sehingga pukulan itu hanya lewat sedikit di depan wajahnya. Bergegas pemuda itu melompat mundur, masuk kembali ke dalam kamar. Namun sebelum bisa disadari apa yang terjadi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam menerobos masuk, langsung hendak menerjangnya.

“Hup! Yeaaah...!” Pemuda tampan itu cepat melentingkan tubuhnya, ambil berputaran dua kali ke belakang. Maka terjangan bayangan hitam itu pun tidak mengenai sasaran. Manis sekali pemuda itu menjejakkan kaki di lantai. Keningnya langsung berkerut, dan matanya menyipit saat melihat seseorang berbaju hitam kumal dan longgar sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depannya. Seluruh kepalanya terbungkus kain hitam. Hanya sepasang bola matanya saja yang terlihat menyorot tajam.

“Siapa kau...?!” tanya pemuda itu membentak.

“Kau tidak perlu tahu, siapa diriku. Serahkan saja Mustika Batu Hijau dari Kuburan Tua!” sahut orang itu dingin. Dari nada suaranya yang datar, dapat dipastikan kalau orang berbaju hitam itu adalah wanita. Sedangkan dari bentuk tubuhnya, sulit dikenali. Karena, dia mengenakan pakaian longgar dan lusuh sekali. Baju yang dikenakannya, seakan-akan tidak pernah terkena air selama satu tahun. Kotor sekali, dan berbau tidak sedap.

“Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan, Nisanak?!” kata pemuda tampan itu.

“Phuih! Jangan berpura-pura, Danupaksi! Aku tidak punya banyak waktu. Serahkan mustika itu, atau mampus!” semakin dingin suara wanita itu.

“Kau sudah main ancam, Nisanak,” desis pemuda tampan yang ternyata memang Danupaksi.

“Serahkan mustika itu, cepat...!” bentak wanita berbaju hitam itu kasar.

“Aku tidak tahu, apa yang kau inginkan, Nisanak. Tidak ada benda yang kau cari di sini....”

“Setan alas...! Rupanya kau lebih memilih mati! Yeaaah...!”

“Hei, tunggu...!” Namun wanita berbaju hitam itu lebih cepat lagi melakukan serangan. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh dilontarkan ke arah dada Danupaksi.

“Hap!” Cepat Danupaksi memiringkan tubuh, sambil menarik sedikit ke kanan. Maka pukulan yang dilontarkan wanita itu tidak sampai mengenai sasaran. Namun cepat sekali tangannya ditarik kembali, dan cepat mengibaskan ke arah leher. Danupaksi sempat terperangah, namun cepat menarik tubuhnya ke belakang dua tindak. Dan tebasan tangan wanita berbaju hitam itu pun tidak tepat lagi mengenai sasaran.

“Hhh! Rupanya kau memiliki simpanan yang lumayan juga, Danupaksi. Pantas Eyang Duraga lebih memilihmu daripada aku!” dengus wanita itu ketus.

“Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan itu, Nisanak,” ujar Danupaksi.

“Phuih! Rupanya orang-orang Karang Setra senang berdusta. Baik... Aku punya cara tersendiri untuk membuka mulutmu, Danupaksi!”

Setelah berkata demikian, wanita berbaju hitam yang longgar dan lusuh itu kembali melompat menerjang. Namun kali ini Danupaksi sudah siap. Cepat tubuhnya melesat keluar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Wanita itu tampak kecolongan dan hanya terbengong-bengong. Namun itu hanya sebentar saja, karena dia sudah kembali meluncur deras keluar dari kamar ini.

“Mau lari ke mana kau, Bocah Setan?!

Yeaaah...!”

“Pengawal...!” teriak Danupaksi sekuat-kuatnya.

Cepat-cepat pemuda itu membanting dirinya ke tanah. Dia bergulingan beberapa kali, menghindari serangan yang dilakukan wanita tak dikenal itu. Danupaksi cepat melesat bangkit berdiri, dan langsung memiringkan tubuhnya ke kanan untuk menghindari satu pukulan keras menggeledek, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Saat itu Danupaksi melepaskan satu sodokan ke arah lambung. Namun serangan balasan pemuda itu mudah sekali dihindari.

Pada saat itu, sekitar sepuluh orang prajurit berlarian mendatangi. Sementara serangan-serangan yang dilakukan wanita berbaju hitam itu semakin gencar saja. Hal ini tentu saja membuat Danupaksi jadi kelabakan menghindarinya. Sedikit pun pemuda itu tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang. Namun, dia sempat melihat kedatangan sekitar sepuluh orang prajurit.

“Seraaang...!” teriak Danupaksi memberi perintah.

Sepuluh orang prajurit itu langsung berlompatan menyerang wanita berbaju hitam yang seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain hitam lusuh. Kehadiran para prajurit itu membuat ruang gerak Danupaksi jadi sedikit longgar. Cepat pemuda itu melompat mundur beberapa tindak.

“Pengecut...! Hih! Yeaaah...!” dengus wanita itu geram. Seketika itu juga wanita itu cepat berkelebat dengan tubuh berputaran bagai gasing. Saat itu juga, terdengar jerit dan pekikan melengking tinggi yang menyayat. Kemudian disusul ambruknya tiga orang prajurit dengan dada terbelah menyemburkan darah segar. Belum lagi hilang dari pendengaran jeritan tadi, kembali terdengar jeritan panjang melengking. Kini dua orang prajurit kembali terjungkal roboh ber-lumuran darah.

“Keparat..!” desis Danupaksi menggeram.

“Hiyaaat....!”

Sret!

Bagaikan kilat Danupaksi melompat menyerang sambil mencabut pedang yang selalu tergantung di pinggang. Namun baru saja melakukan beberapa gebrakan yang tidak membawa hasil, kembali dua orang prajurit terjungkal roboh bermandikan darah. Gerakan wanita berbaju hitam itu sungguh cepat luar biasa, sehingga membuat Danupaksi dan sisa-sisa prajurit yang ada jadi kebingungan. Begitu cepatnya gerakan wanita itu, seakan-akan berada di mana-mana. Hal ini sangat menyulitkan Danupaksi untuk melakukan serangan, karena juga khawatir serangannya akan memakan para prajuritnya sendiri.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa....!”

Begitu cepatnya wanita itu bergerak, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu sisa prajurit yang ada berpentalan, dan ambruk tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras membasahi lantai yang licin dan berkilat. Kalau saja Danupaksi tidak cepat melompat mundur, nasibnya pasti akan sama dengan sepuluh prajuritnya.

“Percuma saja kau kerahkan semua prajurit yang ada, Danupaksi!” dengus wanita itu dingin. Serangannya juga dihentikan, seraya menatap tajam pemuda tampan di depannya.

“Siapa kau sebenarnya?!” tanya Danupaksi agak membentak.

“Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa aku, Danupaksi,” sahut wanita itu dingin.

“Hm.... Mungkin hari ini belum saatnya. Aku akan kembali lagi nanti mengambil mustika itu.” Setelah berkata demikian, wanita itu cepat melesat pergi.

“Hai.... Tunggu!” seru Danupaksi. Namun wanita berbaju hitam yang tidak kelihatan wajahnya itu sudah cepat menghilang tak berbekas lagi. Tidak mungkin bagi Danupaksi mengejar. Pemuda itu hanya dapat menarik napas dalam-dalam.

Pada saat itu terdengar langkah-langkah orang berlari cepat menuju ke arah ini. Danupaksi berpaling sedikit. Tampak Ki Lintuk, Patih Jaladara, dan sekitar tiga puluh orang berseragam prajurit datang menghampiri.

“Raden..., apa yang terjadi?” tanya Ki Lintuk begitu dekat dengan Danupaksi.

“Panjang ceritanya,” sahut Danupaksi. “Oh, ya.... Di mana Kanda Prabu Rangga?”

“Gusti Prabu sedang ke pesanggrahan bersama Gusti Ayu Cempaka dan Gusti Ayu Pandan Wangi,” Patih Jaladara yang menyahuti.

“Kapan kembali?”

“Sebelum gelap nanti,” sahut Patih Jaladara lagi.

“Baiklah. Paman Patih, tolong bereskan semua ini. Ki Lintuk, kau ikut aku.”

Danupaksi bergegas melangkah meninggalkan tempat itu, diikuti Ki Lintuk. Sedangkan Patih Jaladara memerintahkan para prajurit untuk menyingkirkan mayat sepuluh prajurit naas yang bergelimpangan bersimbah darah. Dan sebagian lagi membereskan tempat yang berantakan akibat pertarungan tadi.

********************

TIGA

Danupaksi memacu cepat kudanya melintasi jalan tanah berdebu. Di belakang Ki Lintuk mengikuti. Kudanya juga cepat dipacu. Debunya, mengepul membumbung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu bagai dikejar setan. Mereka sudah jauh meninggalkan gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra. Dari arah yang dituju, jelas mereka hendak ke pesanggrahan. Mereka terus memacu cepat kudanya, meskipun sudah harus melewati tepi jurang yang cukup dalam dan lebar. Sedangkan debu tidak lagi mengepul, karena jalan yang dilalui sekarang ini berbatu dan banyak ditumbuhi rerumputan.

“Awas...!” teriak Ki Lintuk tiba-tiba. Mendadak saja, dari atas tebing meluncur sebongkah batu yang sangat besar hendak mengancam mereka. Suaranya menggemuruh, membuat hati jadi bergetar. Danupaksi dan Ki Lintuk cepat melenting ke udara, maka batu itu lewat di bawah kaki mereka. Akibatnya, batu itu jadi menghantam kuda yang tak dapat menghindar lagi. Suara ringkik kuda terdengar menyayat, ditingkahi gemuruh batu-batu yang berguguran dari atas tebing.

Dua ekor kuda meluncur masuk ke dalam jurang bersama batu-batu dan pepohonan yang tumbang. Sedangkan Danupaksi dan Ki Lintuk berlompatan menghindari hujan batu, yang seakan-akan runtuh dari langit. Cukup lama juga mereka dihujani bebatuan dari atas tebing. Mereka baru bisa menarik napas lega saat tidak ada lagi batu-batu yang longsor. Danupaksi memandang ke atas tebing. Sementara Danupaksi dan Ki Lintuk berusaha menghindari hujan batu yang cukup berbahaya itu!

“Aneh... Bagaimana batu-batu itu bisa longsor?” gumam Danupaksi seperti bertanya pada diri sendiri.

Belum juga pertanyaan Danupaksi bisa terjawab, mendadak saja terdengar tawa mengikik yang keras dan menggema. Suara tawa itu jelas datang dari atas tebing batu. Sejenak Danupaksi dan Ki Lintuk tercenung, dan saling melemparkan pandang. Sementara suara tawa itu terus terdengar menggelitik bulu kuduk.

“Hati-hati, Gusti,” ujar Ki Lintuk memperingatkan. Suaranya terdengar bergumam, dan pelan sekali Begitu suara tawa mengikik berhenti, disusul meluncurnya sebuah bayangan hitam itu dari atas tebing. Begitu cepatnya bayangan hitam itu bergerak. Sehingga sebelum Danupaksi dan Ki Lintuk sempat menyadari lebih jauh, di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri seseorang berpakaian lusuh serba hitam. Seluruh kepalanya terbalut kain hitam. Hanya kedua matanya saja yang terlihat.

“Kau lagi...,” desis Danupaksi perlahan.

“Mau ke mana kau, Danupaksi...?” tanya orang itu. Suaranya terdengar dingin dan datar, tanpa tekanan sedikit pun.

“Mau ke mana saja, bukan urusanmu!” dengus Danupaksi.

“Hik hik hik...! Selama mustika itu belum diserahkan, kau selalu berurusan denganku, Danupaksi.”

“Berapa kali harus kukatakan padamu. Aku tidak tahu mustika yang kau cari!” geram Danupaksi sengit.

“Orang lain bisa kau kelabui, Danupaksi. Tapi aku tahu, kau memegang Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga. Sebaiknya serahkan saja benda itu padaku. Jangan kau paksa aku bertindak kejam, Danupaksi...!” kali ini nada suara orang berbaju hitam itu bernada mengancam.

“Kau tidak perlu mengancamku, Nisanak!” dengus Danupaksi geram.

“Hik hik hik...! Rupanya kau keras kepala juga. Baik.... Jangan katakan diriku kejam, Danupaksi.”

Bet!

Selesai berkata, orang berbaju hitam yang wajahnya terbalut kain hitam lusuh itu cepat mengebutkan tangannya. Kelihatannya dia bersiap hendak menyerang. Danupaksi segera menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sedangkan Ki Lintuk berpindah menjauhi pemuda tampan itu. Laki-laki tua itu tidak tahu, persoalan apa yang sebenarnya tengah terjadi antara Danupaksi dengan orang berbaju hitam itu.

Meskipun wajahnya sukar dikenali, namun dari nada suara dan bentuk tubuh, sudah dapat dipastikan kalau dia adalah wanita. Untuk beberapa saat, tak ada seorang pun yang membuka suara. Sementara Danupaksi dan wanita berbaju serba hitam itu sudah saling berhadapan, dan telah sama-sama membuka kembangan jurus. Namun, belum juga ada yang menyerang lebih dahulu. Seakan-akan keduanya tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

“Kau masih kuberi kesempatan terakhir, Danupaksi,” ujar wanita itu.

“Kalaupun mustika itu ada padaku, tidak bakalan kuberikan padamu!” dengus Danupaksi.

“Keras kepala...! Rasakan ini, hiyaaat...!”

Sambil berteriak nyaring, wanita berbaju serba hitam itu melompat cepat bagaikan kilat menerjang Danupaksi. Dua pukulan beruntun dilepaskan, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. “Hup...!” Danupaksi cepat memiringkan tubuh ke kanan, lalu menarik kembali ke kiri. Maka dua pukulan yang dilontarkan wanita itu tidak sampai menemui sasaran. Namun sebelum Danupaksi bisa bertindak lebih jauh lagi, mendadak saja wanita berbaju serba hitam itu melepaskan satu tendangan keras menggeledek, sangat cepat luar biasa.

“Yeaaah...!” “Hait...!” Tak ada lagi kesempatan bagi Danupaksi untuk menghindar. Maka tangannya cepat dihentakkan ke bawah, menangkis tendangan wanita berbaju hitam itu. Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi.

Tak!
“Hup!”
“Yeaaah...!”

Mereka saling berlompatan mundur sejauh dua batang tombak. Tampak Danupaksi meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang memerah akibat benturan tenaga dalam tadi. Sedang-kan wanita itu langsung melenting hendak menyerang kembali. Padahal, Danupaksi masih merasakan nyeri pada pergelangan tangannya.

********************

“Hiyaaat...!” Tiba-tiba saja Ki Lintuk melesat cepat memotong arus serangan wanita berbaju serba hitam itu. Cepat sekali laki-laki tua itu melontarkan satu pukulan menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Uts!” Wanita berbaju serba hitam itu tersentak. Cepat tubuhnya diputar ke belakang dua kali, menghindari serangan yang dilakukan Ki Lintuk. Pukulan yang dilepaskan Ki Lintuk memang tak sampai mengenai sasaran, namun berhasil menggagalkan serangan wanita itu pada Danupaksi.

“Keparat...!” dengus wanita berbaju hitam itu geram.

“Tunggu...! bentak Ki Lintuk begitu wanita berbaju serba hitam itu hendak menyerang kembali.

“Huh! Mau apa kau, Orang Tua?!” dengus wanita itu dingin.

“Kau menggunakan jurus 'Kelelawar Hitam'. Siapa kau sebenarnya?” tanya Ki Lintuk.

“Ha ha ha...!” wanita berbaju serba hitam itu tertawa terbahak-bahak. “Kau mengenali jurusku, Orang Tua. Tentu kau tahu siapa diriku.”

“Hm.... Hanya ada satu orang yang menguasai jurus 'Kelelawar Hitam'. Apakah kau Nyai Kunti...?” nada suara Ki Lintuk terdengar agak bergumam.

Wanita berbaju serba hitam itu tidak menjawab, tapi hanya tertawa terbahak-bahak saja. Perlahan tangannya diangkat, untuk melepaskan kain hitam lusuh yang menutupi wajahnya. Bukan hanya Danupaksi yang terlonjak kaget melihat raut wajah wanita itu. Bahkan Ki Lintuk sampai melompat mundur dua langkah ke belakang. Wajah wanita berbaju serba hitam itu demikian buruk, hampir seluruh kulit wajahnya mengelupas. Bahkan daging pipi kanannya hilang, hingga menampakkan tulang pipi yang putih kemerahan. Wajah wanita itu bisa dikatakan lebih mirip mayat hidup daripada manusia.

“Kau masih mengenaliku, Ki Lintuk...?” dingin sekali nada suara wanita itu.

“Siapa kau?” tanya Ki Lintuk dengan kening berkerut agak dalam.

“Aku tidak heran kalau kau tidak dapat lagi mengenaliku, Ki Lintuk. Tapi aku masih tetap mengenalimu. Di antara kita tidak ada satu persoalan pun. Sebaiknya jangan mencampuri persoalanku dengan Danupaksi,” semakin dingin nada suara wanita itu.

“Suaramu mirip Nyai Kunti. Tapi...., kenapa wajahmu jadi rusak seperti itu...?” Ki Lintuk seperti bertanya pada diri sendiri.

“Aku tidak akan begini kalau si Tua Bangka Duraga tidak mengambil Mustika Batu Hijau dari tanganku!” agak tinggi suara wanita berwajah buruk yang tak lain Nyai Kunti.

“Sekarang mustika itu ada pada Danupaksi. Dan aku akan meminta kembali dengan cara apa pun juga!”

“Nyai Kunti, kalau boleh aku...”

“Cukup!” bentak Nyai Kunti cepat, memutuskan ucapan Ki Lintuk. “Kau tidak berurusan denganku, Ki Lintuk. Menyingkirlah dari sini...!”

Ki Lintuk tampak jadi serba salah. Sebentar ditatapnya Nyai Kunti, dan sebentar kemudian beralih pada Danupaksi. Dia mengenai betul, siapa Nyai Kunti yang mempunyai watak sekeras batu karang. Tingkat kepandaian wanita berwajah buruk ini sangat tinggi. Rasanya, tidak sebanding dengan kepandaian Danupaksi. Jadi, Ki Lintuk sudah bisa mengukur, kalau Danupaksi tidak akan mungkin bisa menandingi wanita ini. Malah, dia sendiri belum tentu mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus.

Ki Lintuk langsung berpikir keras agar bisa menghindari bentrokan antara Nyai Kunti dengan Danupaksi. Disadari kalau yang diinginkan Nyai Kunti sulit dibendung lagi. Wanita itu akan menggunakan berbagai macam cara untuk bisa memenuhi segala keinginannya. Bahkan tidak segan-segan membunuh, asalkan keinginannya terlaksana.

“Nyai Kunti, mengapa kau mengira kalau Danupaksi yang memegang Mustika Batu Hijau?” tanya Ki Lintuk.

“Hanya dia yang sering datang ke kuburan tua Eyang Duraga!” sahut Nyai Kunti.

“Kau salah duga, Nyai Kunti. Aku tahu, siapa yang memegang mustika itu.”

“Heh...?! Kau tahu...? Siapa?” Nyai Kunti agak terperanjat.

“Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Ki Lintuk.

“Pendekar Rajawali Sakti...?” gumam Nyai Kunti agak terkejut Nyai Kunti menatap tajam Ki Lintuk, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

Danupaksi yang hendak membuka suara, segera cepat dicegah Ki Lintuk. Terpaksa Danupaksi diam, meskipun tidak mengerti, maksud laki-laki tua ini. Tapi dia percaya kalau Ki Lintuk tidak akan men-celakakan siapa pun. Danupaksi menyadari kalau tidak akan mungkin bisa menandingi perempuan bermuka buruk ini.

“Dia seorang pendekar kelana yang tempat tinggalnya tidak tetap,” jelas Ki Lintuk dengan suara dibuat sungguh-sungguh.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Nyai Kunti.

“Aku melihatnya sendiri, saat dia mendapatkan mustika itu. Karena, aku semula juga bermaksud memiliki mustika itu,” sahut Ki Lintuk.

“Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Ki Lintuk?”

“Kau tahu, siapa aku. Seumur hidupku, aku tidak pernah berdusta.” Nyai Kunti terdiam.

Ditatapnya Ki Lintuk begitu tajam, sekan-akan menyelidiki kebenaran kata-kata laki-laki tua ini. Kemudian, ditatapnya Danupaksi.

“Baiklah. Aku percaya padamu, Ki Lintuk. Tapi kalau kau berdusta, kau berurusan denganku,” ancam Nyai Kunti. “Dan kau Danupaksi.... Kau tidak bisa terlepas dari pengamatanku.”

Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat meninggalkan tempat ini. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Ki Lintuk menarik napas panjang, melonggarkan rongga dadanya yang tadi terasa begitu sesak.

“Aku tidak mengerti, kenapa Kakang Rangga dilibatkan dalam persoalan ini, Ki,” ujar Danupaksi perlahan seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.

“Demi keselamatanmu, Den,” sahut Ki Lintuk.

“Tapi kenapa harus melibatkan Kakang Rangga?”

“Tidak ada yang dapat menandingi kesaktiannya selain Gusti Prabu Rangga. Aku tahu betul, siapa Nyai Kunti. Kepandaiannya sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Aku rasa, hanya Gusti Prabu Rangga yang dapat menandinginya.”

“Aku tidak tahu, siapa dia. Aku juga tidak tahu, benda yang dicarinya, Ki,” ujar Danupaksi seakan-akan mengeluh.

“Aku percaya, Den tidak tahu apa-apa,” Ki Lintuk menyahuti.

“Tapi...” “Tapi kenapa, Ki?” tanya Danupaksi.

“Apa benar kau sering datang ke kuburan tua Eyang Duraga?” tanya Ki Lintuk ragu-ragu.

“Kuburan tua...?” Danupaksi tampak keheranan mendengar pertanyaan Ki Lintuk. “Kuburan tua yang mana, Ki?”

“Kuburan tua di pinggiran Desa Batu Ceper.”

Danupaksi terdiam merenung. Dicobanya untuk mencerna semua kata-kata yang diucapkan Ki Lintuk barusan. Pemuda itu memang tahu, di pinggiran Desa Batu Ceper terdapat sebuah kuburan tua yang letaknya persis di tepi Rimba Tengkorak. Belakangan ini, dia memang sering datang ke sana. Tapi tidak ada maksud apa-apa. Sama sekali Danupaksi tidak tahu kalau di sana terdapat sebuah benda yang kini tampaknya bakal menjadi masalah besar.

“Ya, aku memang sering datang ke sana,” terdengar pelan suara Danupaksi, seperti bicara untuk diri sendiri.

“Mau apa ke sana?” tanya Ki Lintuk, agak terkejut juga mendengar pengakuan pemuda itu.

“Aku hanya senang dengan suasananya yang tenang,” sahut Danupaksi.

“Apa tidak ada peristiwa yang terjadi selama kau di sana, Den?” tanya Ki Lintuk lagi.

Danupaksi tidak segera menjawab.

“Ingat-ingat dulu, Den,” desak Ki Lintuk.

“Waktu itu memang ada satu peristiwa, tapi tidak pernah kupedulikan,” kata Danupaksi.

“Peristiwa apa, Den?”

“Dari kuburan tua muncul sebuah benda bersinar terang. Benda itu lalu melayang-layang di atas kepala ku, Ki. Hanya sebentar saja, lalu sinar itu hilang,” Danupaksi menceritakan dengan singkat

“Kau merasakan sesuatu waktu itu?”

“Entahlah, Ki.... Ah, aku tidak ingin membicarakan lagi.”

Ki Lintuk menghentikan ayunan langkahnya. Di pandanginya Danupaksi dalam-dalam, seakan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sedangkan yang dipandangi hanya tertunduk saja. Ki Lintuk merasa yakin kalau ada sesuatu yang disembunyikan pemuda ini. Hanya saja, sukar untuk bisa diduga. Sedangkan dia tahu kalau Danupaksi sulit diajak terbuka jika mempunyai suatu persoalan seberat apa pun. Danupaksi memang paling tidak ingin melibatkan orang lain ke dalam permasalahannya sendiri.

“Sebaiknya persoalan ini kau bicarakan dengan kakakmu, Den. Aku merasa kemunculan Nyai Kunti akan membawa bencana besar. Aku tahu betul wanita itu,” ujar Ki Lintuk lembut.

“Akan kupikirkan dulu, Ki,” sahut Danupaksi.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan tanpa bicara lagi, dan terpaksa berjalan kaki. Kuda-kuda mereka telah terjerumus ke dalam jurang, ketika Nyai Kunti menjatuhkan batu-batu dari atas tebing di pinggir jurang. Selama perjalanan menuju ke pesanggrahan, tak ada lagi yang bicara. Sementara Ki Lintuk terus berpikir. Kemunculan Nyai Kunti yang menyangka Danupaksi memegang Mustika Batu Hijau, dan pengakuan Danupaksi yang merasa tidak memiliki benda itu, membuat Ki Lintuk harus terus berpikir keras. Dia tidak tahu, siapa di antara mereka yang benar.

Mustika Batu Hijau sudah membuat persoalan baru lagi. Persoalan yang selama puluhan tahun telah tenggelam, sejak Eyang Duraga tewas di tangan Pendekar Pedang Kilat dan dikubur-kan di Desa Batu Ceper. Sejak itu tidak ada lagi orang yang meributkan tentang Mustika Batu Hijau. Tapi sekarang ini.... Nyai Kunti kembali membuka masalah lama yang sudah tenggelam puluhan tahun lamanya.

********************

Matahari sudah hampir tenggelam saat Danupaksi dan Ki Lintuk tiba di pelataran bangunan pesanggrahan yang terbuat dari susunan batu. Bangunan itu bentuknya lebih mirip candi. Suasananya begitu sunyi dan tenang. Hanya desir angin dan kicauan burung yang terdengar. Begitu nyaman dan terasa damai berada di tempat suci ini.

Perlahan-lahan Danupaksi melangkah mendekati bagian pintu yang tidak pernah tertutup. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar pesanggrahan ini. Sementara Ki Lintuk terus mengikuti dari belakang. Mereka berhenti melangkah tepat di depan pintu. Tampak jelas kalau Danupaksi ragu-ragu untuk melangkah masuk ke dalam. Wajahnya kemudian berpaling memandang Ki Lintuk yang berada di sebelah kanan, agak ke belakang.

“Aku merasa ada kejanggalan, Ki,” ujar Danupaksi setengah berbisik.

“Hm..., ya. Tidak seperti biasanya,” sahut Ki Lintuk juga pelan suaranya.

Mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan di sekitar pesanggrahan ini benar-benar sepi. Memang tidak seperti biasanya. Setiap Rangga berada di pesanggrahan ini, paling tidak depan pintu ini ada dua orang prajurit yang menjaga. Dan sekitar pesanggrahan, biasanya terlihat beberapa prajurit yang siap menjaga keamanan. Tapi kali ini, tak seorang pun prajurit yang terlihat.

“Sebaiknya periksa saja ke dalam, Den,” ujar Ki Lintuk memberi saran.

“Baiklah. Aku periksa keadaan di dalam. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di sini,” sahut Danupaksi.

Pemuda itu bergegas melangkah masuk ke pesanggrahan. Sementara Ki Lintuk menunggu di luar. Laki-laki tua itu berjalan mengelilingi bangunan batu berbentuk candi ini. Hatinya juga jadi heran, karena tidak satu pun terlihat prajurit penjaga. Sampai kembali ke depan pintu masuk, sama sekali tidak ditemukan seorang pun. Ki Lintuk baru mau masuk ke dalam ketika Danupaksi keluar dengan langkah tergesa-gesa.

“Ada apa, Den?” tanya Ki Lintuk.

“Aku tidak melihat ada seorang pun di dalam, Ki, sahut Danupaksi.

“Di ruang semadi?” tanya Ki Lintuk lagi.

“Kosong. Bahkan pintunya terbuka.”

“Aneh...,” gumam Ki Lintuk sambil mengerutkan keningnya. Mereka jadi terdiam.

“Ki, kalau tidak ke sini, lalu ke mana mereka...? tanya Danupaksi seperti untuk dirinya sendiri.

“Itulah yang membuatku tidak mengerti, Den. Tidak biasanya Gusti Prabu membelokkan tujuannya. Lagi pula, belum satu hari. Hm.... Ke mana perginya, ya...?” nada suara Ki Lintuk juga terdengar bergumam pelan.

“Ki....”

Belum juga Danupaksi meneruskan kalimatnya, tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Kedua orang di depan pesanggrahan itu langsung mengarahkan pandangan ke arah suara langkah kaki kuda itu. Tampak debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Dan tak berapa lama kemudian, muncul seekor kuda coklat yang berlari kencang membawa sesosok tubuh tertelungkup di punggungnya.

“Hup...!” Danupaksi cepat melompat menghampiri kuda itu. Sigap sekali dia menyambar tali kekang, dan menghentikan kuda coklat itu. Ki Lintuk bergegas menghampiri. Mereka menurunkan sosok tubuh yang tertelungkup di atas punggung kuda, lalu membaringkannya di tanah berumput tebal. Tubuh yang mengenakan seragam prajurit itu tampak sudah tak berdaya. Dari dada dan lehernya mengucurkan darah segar.

“Ohhh...,” prajurit itu membuka matanya sambil merintih lirih.

“Ada apa? Apa yang terjadi...?” tanya Danupaksi langsung.

“Gusti..., di.... Oh!”

Danupaksi dan Ki Lintuk tak dapat berbuat apa-apa lagi. Prajurit itu sudah menghembuskan nafas yang terakhir. Terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Dia hanya menunjuk ke satu arah tanpa mengucapkan sesuatu yang berarti. Sebentar Danupaksi menatap Ki Lintuk, kemudian bangkit berdiri. Pemuda itu menatap ke arah yang ditunjuk prajurit itu.

“Apa maksudnya menunjuk ke arah sana, Ki?” tanya Danupaksi.

“Mungkin meminta kita ke sana, Den,” sahut Ki Lintuk.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Danupaksi langsuing melesat cepat ke arah yang ditunjuk prajurit itu. Ki Lintuk juga cepat melesat pergj, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja bayangan kedua laki-laki itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan suasana di pesanggrahan ini tetap sunyi.

********************

EMPAT

Senja terus merayap semakin jauh. Keremangan mulai menjalar menyelimuti seluruh permukaan bumi Karang Setra. Sementara Danupaksi dan Ki Lintuk terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju arah yang ditunjuk seorang prajurit yang terluka, dan berada di ambang kematian. Mereka sudah cukup jauh meninggalkan pesanggrahan, tapi tak juga menemukan sesuatu.

Namun begitu melewati sebuah sungai kecil yang berair dangkal, mendadak saja Danupaksi menghentikan larinya. Kedua mata orang itu terbeliak lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Ki Lintuk sendiri sampai terbengong dengan mata terbeliak dan mulut terbuka lebar. Untuk beberapa saat lamanya, mereka terpaku memandangi mayat-mayat berseragam prajurit yang bergelimpangan di depannya. Ada sekitar tiga puluh orang prajurit bergelimpangan tak bernyawa lagi.

“Biadab...!” desis Danupaksi menggeram.

“Iblis mana yang melakukan ini...?” desis Ki Lintuk bagai bertanya pada dirinya sendiri.

Tak ada seorang pun dari prajurit itu yang masih hidup. Bau anyir darah menyeruak, menusuk hidung. Beberapa di antaranya ada yang terbujur masuk ke dalam sungai, sehingga airnya jadi berwarna merah. Danupaksi serasa ingin muntah melihat mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Mereka adalah para prajurit yang bertugas menjaga pesanggrahan.

Srek!

Tiba-tiba saja terdengar suara semak tergeser. Danupaksi cepat berpaling menatap gerumbul semak yang bergerak-gerak. Cepat tubuhnya melompat menerobos ke dalam semak itu.

“Cempaka...!” sentak Danupaksi terkejut melihat seorang gadis berbaju merah muda tengah berusaha keluar dari dalam semak.

Bergegas Danupaksi menggotong tubuh gadis itu, dan membawanya keluar. Sedangkan Ki Lintuk cepat-cepat menghampiri. Danupaksi membaringkan Cempaka di bawah pohon yang cukup rindang. Darah tampak mengotori baju dan wajah gadis itu. Dengan tangan agak bergetar, Danupaksi membersihkan darah yang mengotori wajah Cempaka.

“Apa yang terjadi di sini, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Di mana Kakang Rangga dan Pandan Wangi?” Masih banyak pertanyaan yang meluncur bagai hujan dari bibir Danupaksi, tapi Cempaka tak mampu menjawab semua pertanyaan itu.

Napasnya tersengal satu-satu. Bibirnya bergetar, namun tak ada suara sedikit pun yang terucapkan. Danupaksi tampak kebingungan melihat keadaan adik tirinya ini. Sementara Ki Lintuk juga tak dapat berbuat sesuatu.

“Ki! Cepatlah kembali ke istana. Bawa beberapa prajurit dan amankan daerah ini. Bawa juga seorang tabib istana,” perintah Danupaksi.

“Baik, Den,” sahut Ki Lintuk.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Ki Lintuk bergegas melompat naik ke punggung seekor kuda yang ada di tempat ini. Cepat-cepat kuda itu digebah. Bagaikan kesetanan, Ki Lintuk menggebah cepat kuda itu menuju Kotaraja Karang Setra. Sementara Danupaksi menggotong Cempaka, dan membawanya pergi. Kakinya melangkah cepat menuju pesanggrahan.

“Kau harus pulih kembali, Cempaka. Kau harus menceritakan apa yang terjadi di sini,” ujar Danupaksi berbisik pelan.

“Kakang..., berhenti dulu...,” ujar Cempaka, lirih dan agak tersendat suaranya.

“Oh! Kau bisa bicara...?” Danupaksi menghentikan langkahnya. Cempaka diturunkan dari gendongannya, dan diletakkan menyandar pada sebongkah batu yang cukup besar. Cempaka menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Sebentar jalan napasnya diatur agar bisa tenang bicara. Sesekali mulutnya meringis sambil memegangi dadanya.

“Apa yang terjadi, Cempaka?” tanya Danupaksi setelah melihat Cempaka bisa bemapas lebih tenang.

“Jangan kembali ke pesanggrahan, Danupaksi,” ujar Cempaka pelan. Begitu lirih suaranya, hampir tak terdengar.

“Kenapa?” tanya Danupaksi. “Dia.... Dia... Uhk! Dia tangguh sekali, Danupaksi. Dia sudah menguasai pesanggrahan. Oh...!”

“Siapa dia, Cempaka?” tanya Danupaksi.

Pikiran Danupaksi langsung tertuju pada wanita bermuka buruk yang dikenali Ki Lintuk sebagai Nyai Kunti. Wanita yang hampir saja membuatnya mati di pinggir jurang. Wanita bermuka buruk itu mencari sebuah benda yang sama sekali tidak diketahuinya. Tapi, Danupaksi belum bisa menduga lebih jauh. Terlalu singkat jarak waktu antara kejadian di tempat ini dengan semua yang dialaminya. Memang tidak mungkin satu orang berada pada dua tempat dalam waktu yang singkat. Bahkan hampir bersamaan.

“Mengerikan sekali, Danupaksi. Dia seperti mayat yang bangkit dari dalam kubur,” ujar Cempaka agak bergidik.

“Mayat hidup...?” Danupaksi terlongo.

“Mungkinkah...? Ah, tidak! Tidak mungkin...!” Danupaksi menggeleng-gelengkan kepala, membantah semua yang tiba-tiba saja timbul di kepalanya. Dia tidak mau percaya kalau Nyai Kunti bisa membantai begitu banyak prajurit, bahkan melukai Cempaka. Dan herannya, sampai saat ini tidak diketahui, di mana Rangga dan Pandan Wangi berada. Sedangkan pada saat itu, Nyai Kunti tengah bertarung melawan pemuda ini. Tapi, wajah Nyai Kunti.... Memang lebih mirip wajah mayat yang sudah lama terkubur di dalam tanah.

“Kapan semua ini terjadi, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Baru saja.”

“Baru...?”

********************

Danupaksi merasakan bumi seakan-akan berputar terbalik. Peristiwa ini baru saja terjadi. Sedangkan dari tepi jurang ke tempat pesanggrahan, memerlukan waktu setengah hari berjalan kaki. Tapi bagi seorang tokoh persilatan yang berkepandaian sangat tinggi, memang bisa dicapai dalam waktu sebentar saja. Mungkinkah yang melakukan semua ini Nyai Kunti...? Kembali Danupaksi menggeleng-gelengkan kepalanya berulang-ulang. Danupaksi merasa kepalanya seperti mau pecah.

Sukar dipercaya, namun memang inilah kenyataannya. Hanya satu orang saja, namun sudah begitu banyak meminta korban. Seseorang mencari sebuah benda, yang sama sekali tidak diketahui bentuk dan warnanya. Namun Danupaksi masih belum yakin kalau semua ini perbuatan Nyai Kunti. Kembali ditatapnya Cempaka yang kini sudah kelihatan lebih tenang.

“Ceritakan, bagaimana kejadiannya,” pinta Danupaksi.

“Aku, Kakang Rangga, dan Pandan Wangi sampai di pesanggrahan tengah hari. Kakang Rangga langsung masuk ke dalam kamar semadi. Sedangkan aku dan Pandan Wangi melihat-lihat keadaan sekitar pesanggrahan...,” Cempaka memulai menceritakan awal kejadiannya.

“Hm..., teruskan,” pinta Danupaksi melihat Cempaka berhenti bercerita.

“Setelah pergantian regu penjaga, musibah itu datang. Aku tidak tahu, apakah dia pantas disebut manusia atau tidak. Seluruh tubuhnya membusuk. Kulit serta dagingnya mengelupas. Kemunculannya begitu saja dan tiba-tiba sekali. Dia ingin masuk ke dalam pesanggrahan. Aku, Pandan Wangi, dan para prajurit penjaga mencoba mencegah. Seperti memancing, dia malah lari ke seberang sungai. Kami terus mengejar. Di situ, aku, Pandan Wangi, dan prajurit-prajurit penjaga tidak sanggup menghadapinya. Aku tidak tahu, bagaimana kelanjutannya. Satu pukulan keras tiba-tiba bersarang di dada, sehingga membuat aku pingsan,” Cempaka mengakhiri kisahnya.

“Orang itu tidak mengatakan sesuatu, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Dia mencari benda yang disebut Mustika Batu Hijau,” sahut Cempaka.

Danupaksi tercenung mendengar orang yang membantai para prajurit ternyata mencari sebuah mustika dari kuburan tua. Pemuda itu langsung tanggap, kalau yang dicari pasti Mustika Batu hijau. Hanya saja Danupaksi belum dapat memastikan, apakah orang itu Nyai Kunti atau ada orang lain lagi yang serupa wajah dan tubuhnya dengan perempuan itu. Jarak waktu yang terjadi di tempat ini dengan yang dialaminya, terlalu singkat. Dan Danupaksi tidak yakin kalau Nyai Kunti bisa bergerak begitu cepat. Sedangkan waktu pergi, dia begitu yakin kalau wanita itu tidak menuju ke pesanggrahan ini.

“Hm.... Apakah dia Eyang Duraga sendiri...?” gumam Danupaksi, bertanya sendiri dalam hati.

Sementara itu kegelapan mulai merambat menyelimuti sekitarnya. Tak terlihat lagi cahaya matahari di sebelah Barat. Bintang mulai bertebaran di langit kelam. Tampak bulan mengintip dari balik awan, mencoba menerangi mayapada ini dengan sinarnya yang lembut dan redup. Udara di sekitar daerah pesanggrahan ini pun semakin terasa dingin.

Danupaksi mengumpulkan ranting-ranting kering, dan menumpuknya di dekat Cempaka duduk. Kemudian dia membuat api untuk mengusir udara yang terasa semakin dingin menggigilkan. Malam ini mereka terpaksa harus bermalam di alam terbuka seperti ini. Nyala api yang membakar ranting-ranting kering, membuat udara di sekitar tempat itu jadi terasa hangat.

Baru saja Danupaksi menghenyakkan tubuhnya di samping Cempaka, telinganya mendengar suara gemerisik dari arah belakang. Cepat pemuda itu melompat bangkit berdiri seraya memutar tubuhnya. Tampak semak di dekatnya bergerak-gerak. Sementara Cempaka tetap diam, bersikap waspada. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang yang masih tersimpan di dalam warangkanya.

“Siapa itu...?” bentak Danupaksi lantang.

Tak ada jawaban. Dan semak itu juga berhenti bergerak. Danupaksi menajamkan telinganya. Suasana seketika jadi terasa begitu sunyi dan mencekam. Tak terdengar suara sedikit pun, kecuali desir angin saja yang terdengar mengusik telinga. Perlahan-lahan Danupaksi melangkah mendekati semak belukar di depannya. Namun belum juga sampai, mendadak saja...

Srak...!

“Hup! Yeaaah...!

Cepat Danupaksi melentingkan tubuhnya ke belakang ketika tiba-tiba saja dari dalam semak melesat sebuah bayangan hitam yang langsung menerjangnya. Pemuda itu menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah. Namun dengan gerakan manis dan cepat, dia kembali bangkit berdiri.

“Danupaksi, awas...!” seru Cempaka tiba-tiba memperingatkan pemuda itu.

“Hiyaaa...!” Kembali Danupaksi harus melompat ke udara begitu tiba-tiba bayangan hitam itu meluruk deras ke arahnya. Bayangan hitam itu lewat sedikit di bawah kaki pemuda itu. Manis sekali Danupaksi memutar tubuhnya, dan cepat sekali pedangnya dicabut. Langsung punggung bayangan hitam itu dibabatnya.

Bet! Crab!

“He...?!” Danupaksi tersentak kaget. Tubuhnya cepat diputar, lalu mendarat sekitar dua batang tombak dari bayangan hitam itu. Pemuda itu merasakan pedangnya bagai menghantam segumpal kapas yang begitu lunak. Sabetan pedangnya mental berbalik, hampir mengenai dirinya sendiri. Sementara bayangan hitam itu berhenti menyerang, lalu memutar tubuhnya perlahan.

“Oh...?!” Danupaksi terpana begitu melihat di depannya kini telah berdiri sesosok makhluk yang begitu mengerikan! Seluruh tubuh orang itu membusuk dan mengelupas. Wajahnya hampir tidak memiliki daging lagi. Ulat-ulat kecil dan lumpur menjadi satu melekat di tubuhnya. Danupaksi melangkah mundur beberapa tindak sambil menahan napas. Bau busuk begitu meyengat, membuat perutnya terasa bergolak, bagai gunung berapi yang hendak memuntahkan laharnya.

“Dia orangnya, Danupaksi,” ujar Cempaka memberi tahu.

Makhluk aneh mengerikan bagai mayat hidup itu menatap Cempaka. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan kotor berlumpur. Cempaka yang sudah berdiri, jadi bergidik ngeri. Kakinya cepat bergeser mendekati Danupaksi. Pedang sudah terhunus, tergenggam di tangan kanannya. Sementara sosok makhluk aneh mengerikan kembali menatap Danupaksi. Sinar matanya memerah tajam, seakan-akan hendak melumat habis pemuda depannya.

“Siapa kau...?” tanya Danupaksi begitu mendapat kekuatan.

“He he he...,” makhluk aneh itu hanya terkekeh menjawab pertanyaan Danupaksi.

“Kau yang bernama Danupaksi...?” dia malah balik bertanya.

“Heh ..?! Dari mana kau tahu namaku...?” Danupaksi jadi terhenyak kaget.

“He he he.... Kebetulan kita bertemu di sini, Danupaksi. Aku sudah bosan mencarimu ke sana mari. He he he.... Rupanya kemujuran masih mengikutiku.”

“Apa maksudmu mencariku...?” tanya Danupaksi jadi bergidik ngeri.

“Ha ha ha...!” orang itu malah tertawa terbahak-bahak.

Danupaksi menggeser kaki ke belakang dua tindak. Sementara Cempaka ikut melangkah mundur, dan tetap berada di belakang kakak tirinya ini. Belum hilang dari ingatannya, bagaimana makhluk aneh bagai mayat hidup ini membantai para prajurit. Bahkan beberapa kali pedangnya bersarang di tubuh makhluk itu, tapi sedikit pun tidak melukainya. Apalagi sampai merobohkannya. Dan sekarang, Danupaksi harus berhadapan lagi dengannya. Cempaka tidak tahu, apakah kali ini akan selamat jika harus bertarung kembali. Sementara mayat hidup itu terus tertawa tergelak-gelak, membuat telinga Danupaksi dan Cempaka bagai bergidik hendak pecah.

“Seharusnya kau bersyukur karena bisa kupercaya, Danupaksi. Tapi ternyata kau bukan orang yang cocok. Sekarang titipanku akan kuminta kembali,” kata makhluk aneh mengerikan itu. Suaranya, terdengar dingin dan datar, tanpa tekanan sedikit pun.

“Kau..., kau Eyang Duraga...?” tebak Danupaksi langsung.

“Benar! Akulah Eyang Duraga. Aku terpaksa bangkit lagi dari kubur, karena kau tidak pantas menerima mustika yang kuberikan. Sekarang, barang titipanku akan kuminta kembali,” ujar makhluk aneh yang ternyata memang Eyang Duraga.

“Barang titipan...? Aku tidak mengerti maksudmu. Barang apa yang kau titipkan padaku?” Danupaksi jadi kebingungan sendiri.

“Huh! Ternyata kau benar-benar tidak bisa dipercaya, Danupaksi! Aku menyesal telah memberi kepercayaan yang penuh padamu!” dengus Eyang Duraga menggeram.

“Tunggu dulu...! Aku baru kali ini melihatmu. Dan aku tidak tahu, titipan apa yang kau maksudkan.” sergah Danupaksi.

“Kau tidak bisa mengelabuiku, Danupaksi. Kau datang padaku, dan mengatakan kalau kau bisa dipercaya. Maka benda itu kuberikan padamu untuk disimpan dan dirawat. Tapi kenyataannya, kau telantarkan begitu saja. Bahkan sekarang kau mungkir, berdalih segala macam. Aku tidak suka sifat itu, Danupaksi. Kau bukan seorang kesatria yang patut dipercaya!” agak tinggi nada suara Eyang Duraga.

Danupaksi semakin kebingungan. Pemuda ini benar-benar tidak tahu maksud perkataan Eyang Duraga. Sama sekali dia tidak merasa diberi sesuatu untuk dititipkan. Melihat wujud manusia yang sudah terkubur puluhan tahun ini saja, baru kali ini. Jadi mana mungkin kalau sempat bicara, dan sampai meyakinkan segala. Apalagi, Danupaksi tidak tahu benda yang dimaksudkan Eyang Duraga. Namun, dia sudah dapat menduga kalau benda itu pastilah benda yang juga diinginkan Nyai Kunti.

“Aku tidak punya banyak waktu, Danupaksi. Kalau benda itu sampai musnah, aku akan mati selamanya. Kau harus kembalikan benda itu sekarang juga. Aku tidak ingin dia terus berkeliaran dengan Pedang Kilat di tangannya. Bukan hanya membahayakan bagi diriku, tapi juga bagi seluruh rimba persilatan. Aku harus mencegahnya Danupaksi. Hanya mustika itu yang dapat menandingi Pedang Kilat,” jelas Eyang Duraga, agak melunak suaranya.

“Sungguh, aku tidak tahu mustika yang kau maksudkan. Seandainya ada padaku, untuk apa aku memilikinya? Benda itu tidak ada gunanya bagiku,” tegas Danupaksi, tetap kukuh pada pendiriannya.

“Kuperingatkan sekali lagi padamu, Danupaksi. Ini memang kesalahanku, sehingga mudah mempercayaimu begitu saja. Baiklah.... Kau kuberi kesempatan dalam satu atau dua hari ini. Jika mustika itu tidak kau serahkan, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu.”

Setelah berkata seperti itu, Eyang Duraga melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan menghilang begitu saja. Danupaksi menarik napas panjang, seakan-akan hendak melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak. Perlahan tubuhnya dihenyakkan ke tanah. Dipandanginya Cempaka yang sejak tadi diam saja. Gadis itu juga memandangi pemuda ini dengan sinar mata yang sukar diartikan. Untuk beberapa saat, tak ada yang bicara. Sibuk dengan beban pikiran masing-masing.

“Apa yang harus kulakukan sekarang...?” keluh Danupaksi perlahan.

Tentu saja Cempaka tidak dapat menjawab. Gadis itu memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka yang tergantung di pinggang. Dia ikut duduk di depan pemuda ini. Ada rasa iba terselip dihatinya melihat wajah Danupaksi begitu kusut. Dia percaya kalau Danupaksi tidak tahu-menahu semua yang sedang dihadapinya. Tapi untuk membantu pemuda ini, Cempaka tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sedangkan dia sendiri tidak tahu, persoalan yang sebenarnya.

“Apa tidak sebaiknya kita temui dulu kakang Rangga, Danupaksi,” ujar Cempaka memberi saran yang tiba-tiba saja terlintas di benaknya.

“Ke mana harus mencarinya, Cempaka?” tanya Danupaksi lesu.

“Kakang Rangga tidak ada di pesanggrahan.”

“Tidak ada...?! Lalu ke mana?” tanya Cempaka terkejut.

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu Cempaka.”

Cempaka jadi terdiam. Seingatnya, ketika Eyang Duraga muncul, Rangga sudah masuk ke dalam ruang semadi. Dia dan Pandan Wangi serta prajurit mengejar mayat hidup itu. Juga di mana Pandan Wangi sekarang...? Cempaka jadi kebingungan sendiri.

“Kita kembali saja ke istana sekarang, Danupaksi,” ajak Cempaka.

“Kau kuat berjalan jauh, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Aku tidak apa-apa. Hanya luka dalam sedikit,” sahut Cempaka.

“Tapi hari sudah terlalu malam, Cempaka. Besok saja, pagi-pagi sekali kita berangkat”

Cempaka tidak bisa memaksa. Memang tidak baik melakukan perjalanan di malam hari. Apalagi dalam keadaan terluka dalam begini, meskipun tidak begitu parah. Paling tidak Cempaka butuh waktu untuk bersemadi memulihkan tubuhnya. Maka, kini mereka terpaksa harus bermalam di tempat terbuka ini, melawan dinginnya udara malam yang berselimut kabut tebal.

********************

LIMA

Danupaksi dan Cempaka baru saja keluar dari dalam hutan ketika seekor kuda hitam berlari kencang menuju ke arah mereka. Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan ayunan langkah, dan memandang ke arah kuda hitam yang berpacu cepat bagai angin itu. Semakin dekat, semakin jelas kalau kuda hitam itu mem bawa seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi putih, dan pedangnya yang bergagang kepala burung nampak bertengger di punggungnya.

“Kakang Rangga...,” desis Cempaka gembira begitu dapat mengenali penunggang kuda hitam itu.

“Hooop...!” Penunggang kuda hitam yang ternyata memang Rangga, langsung melompat turun begitu kuda hitam tunggangannya berhenti tepat di depan Danupaksi dan Cempaka. Kuda hitam itu melenggang mendekati seonggok rumput hijau yang tumbuh subur di bawah pohon beringin yang sangat besar. Bergegas Rangga menghampiri kedua adik tirinya.

“Cempaka, ke mana saja kau?” Rangga mendahului bertanya.

“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Kakang,” ujar Cempaka.

Rangga melirik Danupaksi. Kening Pendekar Rajawali Sakti sedikit berkerut melihat raut wajah Danupaksi tampak lesu tak bergairah. Sementara Cempaka tahu kalau Rangga sedang memperhatikan Danupaksi. Maka dirinya bergeser ke samping.

“Ada apa, Danupaksi? Kau seperti menghadapi persoalan berat,” tegur Rangga.

“Aku tidak tahu, Kakang. Aku sendiri tidak bisa mengerti,” sahut Danupaksi lesu.

“Ada apa? Ceritakan padaku, Danupaksi,” desak Rangga lembut.

Dia bisa menduga kalau Danupaksi menyembunyikan sesuatu. Danupaksi tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada Cempaka. Sedangkan yang dilirik hanya menundukkan kepala saja. Semalam, Danupaksi sudah menceritakan semuanya pada gadis ini. Dan Cempaka sendiri jadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Dia dan Danupaksi begitu yakin kalau ancaman Eyang Duraga tidak bisa dianggap main-main. Manusia yang bangkit dari kuburnya itu memang tidak dapat dianggap enteng. Tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata. Hal itu sudah dirasakan oleh mereka berdua. Senjata mereka tak ada artinya sama sekali bagi Eyang Duraga.

“Ada apa, Danupaksi...? Cempaka...?” tanya Rangga kembali mendesak.

“Kau saja yang mengatakannya, Cempaka,” Danupaksi melempar pada adik tirinya.

“Kenapa aku...? Kau yang punya persoalan. Ceritakan saja apa adanya, Danupaksi,” elak Cempaka.

“Ada apa ini? Apa yang kalian sembunyikan?” Rangga jadi penasaran.

“Aku tidak tahu, harus memulai dari mana, Kakang. Tiba-tiba saja semuanya terjadi. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka menyangka aku yang menyimpan benda itu,” ujar Danupaksi, bernada mengeluh.

“Benda apa?” tanya Rangga ingin tahu.

“Itulah, Kakang. Aku sendiri tidak tahu, benda apa yang mereka ributkan,” sahut Danupaksi.

“Siapa mereka itu, Danupaksi?” tanya Rangga.

“Nyai Kunti dan Eyang Duraga.”

“Kau jangan main-main, Danupaksi,” desis Rangga tidak percaya dengan jawaban adik tirinya barusan.

“Aku sungguh-sungguh, Kakang. Dua kali aku bentrok dengan Nyai Kunti. Dan semalam, hampir saja bentrok dengan Eyang Duraga. Bahkan Cempaka sendiri terluka dalam olehnya. Ditambah lagi, semua prajurit penjaga pesanggrahan juga tewas di tangan Eyang Duraga,” jelas Danupaksi bersungguh-sungguh.

“Benar begitu, Cempaka?” Rangga masih tidak percaya.

Cempaka hanya mengangguk saja membenarkan semua jawaban Danupaksi. Melihat kedua adiknya tirinya begitu sungguh-sungguh, kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya Danupaksi dan Cempaka bergantian, seolah-olah ingin memastikan kalau mereka tidak main-main. Rangga tahu, siapa kedua orang yang baru saja disebutkan namanya oleh Danupaksi.

Nyai Kunti adalah seorang tokoh kosen rimba persilatan. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, dan sukar dicari tandingannya. Terutama pengetahuannya mengenai segala racun. Sungguh tak ada bandingannya di dunia ini. Semua senjata yang dipergunakan wanita tua berwajah buruk itu mengandung racun yang sangat mematikan. Tapi yang membuat Rangga tidak habis mengerti, adalah tentang Eyang Duraga.

Semua orang tahu kalau Eyang Duraga sudah terkubur puluhan tahun. Dia tewas karena bertarung melawan Pendekar Pedang Kilat. Makamnya ada di pinggiran Desa Batu Ceper. Rasanya memang sukar dipercaya kalau Eyang Duraga yang sudah meninggal puluhan tahun bisa bangkit kembali. Bahkan menemui Danupaksi, serta membunuh puluhan prajurit penjaga pesanggrahan.

“Eyang Duraga datang ke pesanggrahan untuk mencari Kakang Danupaksi. Dia menginginkan kakang Danupaksi agar mengembalikan barang titipannya, Kakang,” jelas Cempaka yang sejak tadi diam saja.

“Dia datang ke pesanggrahan...?” Rangga jadi tercenung.

“Ya! Tidak lama setelah Kakang masuk ke dalam bilik semadi. Aku dan Pandan Wangi serta semua prajurit penjaga pesanggrahan mencoba menghadangnya untuk masuk. Setelah kami bertarung, dia seperti memancing kami. Dia kemudian berlari, lalu aku, Pandan Wangi, dan semua prajurit mengejarnya. Kemudian, kami bertarung kembali. Dan, semua prajurit tewas. Bahkan Pandan Wangi menghilang begitu saja,” jelas Cempaka memberi tahu.

“Aku waktu itu langsung bersemadi, dan tak mendengar ada keributan. Tapi...,” Rangga menghentikan ucapannya. Dia kembali tercenung seperti kebingungan sendiri.

“Tapi kenapa, Kakang?” tanya Cempaka ingin tahu.

“Aneh.... Aku seperti dibangunkan dari semadi. Dan begitu bangun dari semadi, aku tidak melihat ada seorang pun di pesanggrahan. Aku sudah mencari ke mana-mana, bahkan sampai kembali ke istana,” pelan sekali suara Rangga.

Danupaksi dan Cempaka saling berpandangan bingung. Terutama Danupaksi yang sudah memeriksa semua kamar di pesanggrahan. Pantas saja dia tidak menemukan Pendekar Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat, mereka jadi kebingungan dan terdiam membisu. Semua peristiwa yang dialami sungguh luar biasa, dan membuat mereka tidak mengerti.

“Lalu, dimana Pandan Wangi sekarang, Kakang?” tanya Cempaka, teringat Pandan Wangi.

“Ada di istana,” sahut Rangga.

“Aku menemukannya terluka. Dia tergeletak tidak jauh dari perbatasan.”

“Di istana...? Apa Pandan Wangi tidak cerita kalau dia habis bertarung...?” Cempaka jadi terkejut.

Rangga menggeleng. “Keadaannya masih lemah. Belum bisa ditanya”

“Aneh...,” gumam Cempaka. “Apa sebenarnya yang sedang terjadi...?” Pertanyaan Cempaka yang bergumam, tidak ada yang bisa menjawab.

Rangga sendiri jadi kebingungan tidak mengerti. Mereka hanya bisa saling berpandangan, tanpa dapat menemukan jawaban dari semua peristiwa yang dialami. Peristiwa aneh yang baru pertama kali ini terjadi.

“Sebaiknya kalian kembali saja ke istana,” ujar Rangga setelah cukup lama terdiam.

“Kakang mau ke mana?” tanya Danupaksi.

“Aku akan kembali ke pesanggrahan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sana,” sahut Rangga.

Rangga cepat melompat naik ke punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah cepat kudanya menuju pesanggrahan. Sejenak Cempaka dan Danupaksi berpandangan, lalu sama-sama mengangkat pundak. Kini mereka kembali meneruskan perjalanan menuju istana, tanpa berkata-kata lagi.

********************

Sementara Rangga sudah jauh masuk ke dalam hutan. Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Rangga sudah tiba di depan bangunan pesanggrahan yang menyerupai candi. Suasana di situ tampak sunyi lengang. Tak terlihat seorang pun di sekitar tempat suci ini. Bahkan binatang pun tidak terlihat berkeliaran di sekitarnya. Hanya desir angin yang terdengar mengusik gendang telinga.

Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun dari punggung kuda. Kakinya melangkah perlahan-lahan mendekti pintu pesanggrahan yang terbuka. Pandangan matanya tidak berkedip tertuju ke dalam pintu. Dia menduga keras kalau ada sesuatu di dalam pesanggrahan itu, yang belum diketahuinya. Namun perasaannya semakin tajam saja. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi, mendadak saja...

Sing...!

“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat melentingkan tubuhnya ketika sebuah benda bulat pipih berwarna keperakan meluncur deras dari dalam pesanggrahan di depannya. Benda itu lewat di bawah telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menghantam sebatang pohon yang cukup besar.

Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar, begitu benda bulat pipih keperakan menghantam pohon. Sementara Rangga sudah kembali berdiri di tanah, setelah melakukan putaran dua kali. Sedikit matanya melirik ke arah batang pohon yang hangus menghitam.

“Siapa di dalam...? Keluar...!” teriak Rangga lantang.

Teriakan Pendekar Rajawali Sakti itu menggema keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Namun tak ada sahutan sedikit pun dari dalam pesanggrahan. Rangga menanti sebentar, kemudian menggeser kakinya sedikit ke kanan. Pandangan matanya tetap tajam tertuju ke arah pintu pesanggrahan.

“Jika tidak juga keluar, akan kuhancurkan pesanggrahan ini!” ancam Rangga.

“Hik hik hik...!” Bersamaan dengan terdengarnya tawa mengikik, berkelebat sebuah bayangan hitam keluar dari pesanggrahan.

Rangga sempat melangkah mundur dua tindak. Kini di depannya telah berdiri seorang perempuan tua berbaju hitam lusuh yang longgar. Rangga sempat terpana begitu menatap wajah rusak orang di depannya. Orang itu bagaikan mayat hidup yang sudah terkubur puluhan tahun lamanya. Hampir seluruh kulit dan daging di wajahnya mengelupas, sehingga menampakkan tulang wajah yang putih kemerahan.

“Sungguh berani sekali kau hendak menghancurkan sebuah pesanggrahan, Anak Muda,” terasa dingin dan datar sekali suara wanita berwajah buruk itu.

“Siapa kau? Dan apa maksudmu berada di dalam pesanggrahanku?” Rangga malah balik bertanya.

“Pesanggrahanmu...? Hik hik hik...! Kalau begitu kau pasti Pendekar Rajawali Sakti. Raja Karang Setra. Benar begitu...?”

“Hm.... Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang diriku,” gumam Rangga agak terperanjat juga.

“Tidak terlalu sukar mengetahui tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Hampir semua orang di kalangan persilatan mengenalmu.”

“Siapa kau, Nisanak? Apa keperluanmu datang ke pesanggrahanku?!” tanya Rangga lagi, tidak ingin bertele-tele.

“Hik hik hik.... Aku Nyai Kunti. Kedatanganku ke sini ingin meminta kembali Mustika Batu Hijau yang kau ambil dari Danupaksi,” sahut wanita berwajah buruk yang tak lain adalah Nyai Kunti.

“Hm.... Jadi kau yang bernama Nyai Kunti...?” gumam Rangga seakan-akan ingin memastikan.

“Benar. Dan sebaiknya jangan membuat kesulitan denganku, seperti adikmu,” nada suara Nyai Kunti terdengar mengancam.

Rangga menatap wanita berwajah buruk itu dalam-dalam. Hatinya agak tersinggung mendengar kata-kata bernada mengancam itu. Tapi dirinya masih berusaha untuk dapat bersabar. Setelah mengetahui siapa wanita yang ada di depannya ini, rasa keingintahuannya mampu mengalahkan ketersinggungan di hatinya. Meskipun Danupaksi dan Cempaka sudah bercerita banyak, tapi Pendekar Rajawali Sakti masih belum jelas duduk perkara yang sebenarnya. Sebuah persoalan yang sampai-sampai melibatkan Danupaksi dengan seorang tokoh kosen rimba persilatan, seperti Nyai Kunti ini. Terlebih lagi, menyangkut Eyang Duraga yang sudah puluhan tahun terkubur.

“Apa yang kau inginkan dari adikku, Nyai Kunti?” tanya Rangga memancing.

“Kau jangan berpura-pura, Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Nyai Kunti. “Aku memang tidak akan memperoleh apa pun dari adikmu, karena mustika itu kau yang pegang!”

“Mudah sekali kau melemparkan tuduhan, Nyai Kunti,” terasa dingin nada suara Rangga.

“Sudah kuduga, kau pasti akan mengelak. Baik..., mungkin aku harus menggunakan cara lain.” Setelah berkata demikian, Nyai Kunti cepat bersikap hendak melakukan serangan.

“Tunggu...!” sentak Rangga cepat-cepat.

“Aku tidak suka banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau ingin menyerahkan mustika itu, cepat serahkan!” dengus Nyai Kunti.

“Kau tidak akan dapat memperolehnya, Nyai Kunti. Benda itu tidak ada padaku. Juga pada Danupaksi.”

“Keparat...! Kau dan adikmu sama saja...! Kau akan menyesal mempermaikan aku, Anak Muda! Hiyaaat..!” Nyai Kunti tidak dapat lagi menahan kemarahan, sehingga dirinya merasa telah dipermainkan. Bagaikan beruang kelaparan, wanita berwajah buruk itu melompat menyerang Rangga. Dua pukulan dahsyat dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.

“Uts!” Rangga cepat melompat ke samping sambil meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang dilakukan Nyai Kunti. Maka, dua pukulan yang dilepaskan wanita tua bermuka buruk itu meleset dari sasaran. Namun Nyai Kunti tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat luar biasa. Setiap serangan yang dilakukan, mengandung pengerahan tenaga dalam yang luar biasa dahsyatnya.

“Gila...! Pukulannya sungguh luar biasa,” dengus Rangga di dalam hati. Beberapa kali pukulan Nyai Kunti hampir bersarang di tubuh Pendekar Rajawali Sakti, namun masih dapat dihindari dengan manis sekali. Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga, ternyata ia mampu meredam semua serangan yang dilancarkan Nyai Kunti.

Namun setelah melewati beberapa jurus, Rangga jadi kewalahan juga. Cepat-cepat jurusnya dirubah untuk menandingi serangan-serangan perempuan tua bermuka buruk itu. Rangga segera mengerahkan jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' Dengan jurus-jurus itu, dia kini mampu memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

“Uts! Setan...!” dengus Nyai Kunti ketika satu pukulan keras dilancarkan Rangga. Hampir saja pukulan Pendekar Rajawali Sakti meremukkan batok kepala, kalau saja Nyai Kunti tidak cepat merundukkan kepalanya. Secepat itu pula Nyai Kunti melompat mundur beberapa tindak. Namun belum juga melakukan tindakan lebih jauh lagi, Rangga sudah melesat ke udara. Tubuhnya kemudian menukik deras dengan kaki berada di bawah. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat mengincar kepala Nyai Kunti. Saat itu Rangga mengeluarkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

“Hiyaaa...!” “Hait..!” Bukan main terkejutnya Nyai Kunti begitu mendapat serangan cepat luar biasa dari Pendekar Rajawali Sakti. Sangat sedikit sekali waktu untuk bisa menghindar. Maka cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah sambil memiringkan kepala. Beberapa kali dia bergulingan di tanah, kemudian cepat melompat bangkit kembali.

Namun begitu kakinya menjejak tanah, kembali datang serangan dahsyat menggeledek dari Pendekar Rajawali Sakti. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskan Rangga, sebelum Nyai Kunti bisa berdiri dengan tegak. Serangan ini membuat perempuan berwajah buruk itu mendengus geram, dan mengumpat dalam hati.

“Setan belang...! Hup! Yeaaah...!” Terpaksa Nyai Kunti berjumpalitan di udara menghindari pukulan-pukulan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Sama sekali dia tidak mempunyai kesempatan untuk menjejakkan kakinya di tanah. Bahkan beberapa kali pula pukulan Rangga hampir bersarang di tubuhnya. Namun Nyai Kunti masih saja mengelakkannya, meskipun agak kewalahan.

“Hiyaaa...!” Sambil berteriak keras menggelegar, tubuh Nyai Kunti melenting tinggi ke udara. Dua kali dia berputaran di udara. Pada saat yang sama, Rangga juga melesat, membumbung ke angkasa. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah dada Nyai Kunti.

“Hiyaaa...!”

“Yeaaah...!”

Glarrr...! Satu ledakan dahsyat terdengar menggelegar ketika pukulan Rangga beradu dengan pukulan Nyai Kunti. Percikan bunga api memendar ke segala arah, disertai kepulan asap hitam dan kilatan cahaya menyilaukan mata. Tampak kedua orang yang bertarung itu sama-sama terpental balik ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Namun mereka sama-sama cepat bangkit berdiri. Jelas terlihat kalau Rangga agak limbung. Tangan kanannya mendekap dada sebelah kiri. Dan dari sudut bibirnya mengalir darah kental agak kehitaman.

“Phuh...!” Rangga menyemburkan darah yang menggumpal di dalam mulutnya. Matanya menatap tajam Nyai Kunti yang tersenyum-senyum menyeringai. Wanita tua berwajah buruk itu kelihatan tetap segar, tak menderita luka sedikit pun setelah mengadu tenaga dalam tadi.

“Sudah kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada gunanya berkeras kepala. Serahkan saja mustika itu padaku,” ejek Nyai Kunti langsung terkekeh.

“Walaupun benda itu ada padaku, tidak bakal kuserahkan padamu, Nyai Kunti!” dengus Rangga dingin.

“Keras kepala...! Kau akan menyesal telah mempermainkan aku, Bocah!” geram Nyai Kunti.

Sret! Cring...! Nyai Kunti tak dapat lagi menahan kemarahannya. Maka cepat senjatanya dicabut dari balik bajunya yang hitam lusuh dan panjang. Kini di tangan kanannya telah tergenggam sebilah pedang yang berkilatan menyilaukan mata. Wanita berwajah buruk itu menyilangkan pedang di depan dada dengan satu gerakan indah. Rangga sedikit menggeser kakinya ke belakang. Hatinya agak terkejut juga melihat pedang di dalam genggaman tangan wanita tua itu. Sebilah pedang yang hampir mirip dangan Pedang Rajawali Sakti miliknya. Hanya saja, cahaya pedang itu benar-benar berkilat dan menyilaukan mata. Tapi, bukan pamor pedang itu yang membuatnya Rangga terkejut. Melainkan, pedang itu dikenalinya betul.

“Dari mana kau perolah pedang itu, Nyai Kunti?” tanya Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau pedang di tangan Nyai Kunti adalah milik Pendekar Pedang Kilat. Seorang tokoh kosen rimba persilatan yang sangat disegani, baik oleh kaum persilatan golongan hitam maupun putih. Memang sudah lama nama Pendekar Pedang Kilat tidak terdengar lagi. Dia seakan-akan menghilang begitu saja, dan tak pernah lagi muncul di rimba persilatan. Dan sekarang senjatanya yang sangat ditakuti kaum rimba persilatan golongan hitam, berada di tangan Nyai Kunti. Macam-macam pikiran buruk mulai mem-bebani benak pemuda berompi putih itu, namun cepat-cepat dilenyapkan.

“Rupanya kau mengenali senjata ini, Pendekar Rajawali Sakti. Bagus...! Aku masih memberimu kesempatan sebelum pedang ini kugunakan,” ancam Nyai Kunti bernada sinis.

“Aku menghormati senjata itu, Nyai Kunti. Sayang sekali, sekarang berada di tangan yang salah,” sambut Rangga tidak kalah sinisnya.

“Keparat..! Kau kira aku tidak bisa menggunakan pedang ini, heh...?!” geram Nyai Kunti, kembali memuncak amarahnya.

“Aku tidak peduli bagaimana kau memperoleh senjata itu dari Pendekar Pedang Kilat. Rasanya pusaka itu harus kukembalikan pada pemiliknya,” kata Rangga lagi, kali ini lebih tenang nada suaranya.

“Phuih! Kata-katamu semakin menyakitkan saja, Pendekar Rajawali Sakti. Rasakan ketajaman pedang ini. Hiyaaat..!”

Bet!

“Hup!” Rangga cepat melompat ke samping sambil memiringkan tubuh begitu Nyai Kunti membabatkan pedangnya dengan cepat. Ujung pedang itu hanya lewat sedikit saja di samping tubuh Rangga. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang dua langkah, lalu cepat meraih gagang pedangnya yang tersampir di punggung.

Sret! Bet! Tring!

ENAM

Rangga langsung membabatkan pedangnya ke depan dada begitu Nyai Kunti menusukkan Pedang Kilat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Senjata berpamor dahsyat itu beradu keras. Tampak bunga api memercik menyebar ke segala arah. Cepat Rangga melompat mundur sejauh lima langkah ke belakang. Pada saat itu, Nyai Kunti juga melompat mundur dua langkah. Perempuan tua berwajah buruk itu tampak terkejut ketika pedangnya beradu dengan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tangan kanannya bagai terserang ribuan lebah berbisa. Menggeletar dan terasa nyeri sampai ke tulang. Tapi belum lagi lenyap rasa keterkejutannya, mendadak saja dia sudah disibuki oleh serangan Rangga yang bertubi-tubi dan luar biasa.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

“Uts! Setan alas...!” umpat Nyai Kunti seraya berlompatan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

Trang!

Beberapa kali pedang mereka berbenturan keras hingga menimbulkan percikan bunga api. Mereka terus bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat luar biasa. Sementara tempat terjadinya pertarungan sudah berantakan, bagai diamuk badai topan yang dahsyat luar biasa. Jurus demi jurus berlalu cepat, namun pertarungan masih terus berjalan semakin sengit. Dua kilatan cahaya dari dua senjata pedang berpamor dahsyat, berkelebatan saling sambar.

Beberapa kali terlihat percikan bunga api, setiap kali dua senjata pedang dahsyat itu beradu. Suara-suara ledakan pun terdengar saling susul, ditingkahi pekikan-pekikan pertarungan yang tiada hentinya. Semakin lama, pertarungan semakin berjalan cepat. Dan kini tubuh mereka lenyap, tergulung dua sinar berkilatan, berkelebat saling sambar. Rasanya terlalu sukar diikuti pandangan mata biasa. Hingga tiba-tiba....

“Aaakh...!” Satu jeritan keras terdengar melengking.

Tampak satu sosok tubuh terpental keluar dari arena pertarungan. Sosok tubuh tegap berbaju rompi putih itu bergulingan di tanah, lalu akhirnya berhenti setelah menghantam batang pohon yang cukup besar. Namun tubuh berbaju rompi putih itu cepat bangkit kembali. meskipun terhuyung-huyung. Dua kali mulutnya memuntahkan darah kental.

“Hiyaaat...!” Saat itu Nyai Kunti sudah kembali melompat sambil membabatkan pedang ke arah leher Rangga yang masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Namun belum juga mata pedang perempuan tua bermuka buruk itu menyentuh kulit leher Rangga, mendadak saja...

“Khraghk...!”

Bet!

“Heh...?!” Nyai Kunti tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sesuatu yang besar berwarna keperakan. Nyai Kunti terlonjak mundur beberapa tindak. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tubuh Rangga sudah lenyap disambar bayangan keperakan yang bergerak cepat bagai kilat, membumbung tinggi ke angkasa.

“Apa itu...?” desis Nyai Kunti seraya menengadahkan kepala ke atas. Hanya sekilas saja terlihat, namun itu sempat membuatnya tercenung. Nyai Kunti seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan. Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan bergerak cepat menyambar Rangga, di saat Pendekar Rajawali Sakti itu sudah tidak berdaya lagi.

“Oh! Apakah dia itu titisan Dewa Wisnu...?” gumam Nyai Kunti bertanya-tanya sendiri. Meskipun burung rajawali putih raksasa yang menyambar Rangga sudah tidak terlihat lagi, namun Nyai Kunti masih tetap memandang ke atas. Hanya satu titik keperakan yang terlihat di balik awan, dan kemudian lenyap tak terlihat lagi.

Sementara Nyi Kunti masih berdiri mematung di tempat itu bagai tersihir. Puluhan tahun dia menggeluti rimba persilatan namun belum pernah melihat ada seekor burung raksasa begitu besar dan bisa menyambar seorang manusia bertubuh kekar dan tegap, seperti Pendekar Rajawali Sakti. Kejadian ini membuatnya jadi ter-menung beberapa saat lamanya.

“Hm.... Pendekar Rajawali Sakti. Dia benar-benar pendekar yang tangguh. Senjatanya pun sungguh dahsyat luar biasa. Dia masih mampu berdiri meski-pun terkena pukulan 'Tapak Maut'. Tidak ada seorang pun yang bisa menahan pukulan 'Tapak Maut', kecuali memiliki Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga. Hm..., kini aku semakin yakin. Pasti dia memiliki mustika itu...!” gumam Nyai Kunti, bicara pada dirinya sendiri.

Mendapat pikiran demikian, wanita berwajah buruk itu cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju arah rajawali putih raksasa membawa Rangga pergi. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu sekejapan mata saja, bayangan tubuh Nyai Kunti sudah lenyap tak terlihat lagi.

********************

Sementara itu di suatu tempat, tepatnya di sebuah lembah yang sunyi dan jauh dari pemukiman penduduk, Rangga duduk bersila di atas sebongkah batu pipih yang putih berkilat bagai memancarkan cahaya yang menerangi sekitarnya. Tidak seberapa jauh di depannya, mendekam seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila bersikap semadi. Perlahan kemudian, matanya terbuka, lalu menghembuskan napas kuat-kuat. Burung rajawali raksasa mengangkat kepalanya, begitu mendengar gumaman Rangga yang perlahan. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum melihat Rajawali Putih ada di dekatnya.

“Terima kasih, Rajawali Putih. Kau bertindak tepat dan cepat sekali,” ujar Rangga seraya bangun dari tempatnya bersemadi.

“Khrrrk...!” Rajawali Putih hanya mengkirik perlahan.

Rangga menghampiri Rajawali Putih dan kembali duduk bersila di depan burung raksasa itu. Sebentar tubuhnya dibungkukkan memberi hormat. Kembali Rajawali Putih mengkirik lirih. Meskipun hanya seekor burung, namun Rangga sangat menghormatinya. Karena didikan burung rajawali raksasa inilah, dia sekarang menjadi seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya.

Rajawali Putih bangkit berdiri, lalu melangkah perlahan keluar dari dalam gua. Rangga ikut berdiri dan berjalan mengikuti burung raksasa itu. Tanpa bicara sedikit pun, mereka berjalan keluar menuju suatu tempat yang bersih dan terawat apik. Rangga tahu, kalau di Lembah Bangkai ini terdapat sebuah makam. Pusara Pendekar Rajawali yang sudah ter-kubur lebih dari seratus tahun. Dan mereka memang menuju ke sana.

Pendekar Rajawali Sakti langsung berlutut di depan pusara yang bercungkup indah itu. Sedangkan Rajawali Putih kembali mendekam di belakang pemuda berbaju rompi putih ini. Tak ada yang membuka suara sedikit pun juga. Rangga sendiri jadi heran dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa Rajawali Putih membawanya ke pusara ini. Namun belum juga pertanyaan di benak Rangga terjawab, mendadak saja kilat menyambar, membelah angkasa. Suaranya menggelegar menggetarkan jantung.

Pendekar Rajawali Sakti sedikit terlonjak kaget. Langsung disadari kalau datangnya kilat itu suatu tanda kalau Pendekar Rajawali datang, bangkit dari kuburnya. Dugaan Rangga tak meleset sama sekali. Begitu ujung kilat menyambar tepat di tengah-tengah cungkup pusara Pendekar Rajawali, gundukan tanah merah yang dikelilingi batu-batuan itu pun merekah terbelah. Tanah di sekitarnya bergetar bagaikan diguncang gempa. Rangga cepat bersujud menempelkan keningnya di tanah.

Wus...!

Dari dalam kuburan itu keluar asap putih yang tebal dan menggumpal. Tak lama kemudian, asap putih itu memudar tertiup angin. Getaran bumi pun menghilang bersamaan munculnya sesosok tubuh berjubah putih yang berdiri tepat di tengah-tengah kuburan yang terbelah merekah.

“Bangunlah, Anakku,” ujar laki-laki berjubah putih dengan wajah memancarkan sinar itu.

Rangga memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung. Kemudian, dia duduk bersila. Kepalanya tetap tertunduk, seakan tak sanggup membalas pandangan Pendekar Rajawali yang bangkit kembali dari kuburnya.

“Ini bukan yang pertama kali kau menderita kekalahan, Anakku. Dan sebenarnya, kau tidak perlu mengalami kekalahan jika saja bisa memusatkan seluruh perhatian di dalam pertarungan. Aku tahu, pikiranmu masih terpusat pada cerita Danupaksi mengenai benda itu, sehingga kau kurang memusatkan perhatian pada pertarungan,” kata Pendekar Rajawali. Nada suaranya terdengar lembut dan sangat berwibawa sekali.

“Benda...?” Rangga tersentak terkejut. “Kau memang tidak tahu keberadaannya, Anakku. Sama sekali aku tidak menyalahkanmu, karena kau sendiri tidak tahu kalau di dalam tubuh adik tirimu tersimpan Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga,” jelas Pendekar Rajawali.

“Oh! Bagaimana mungkin...?” Rangga benar-benar tidak mengerti.

Pendekar Rajawali tidak menjawab pertanyaan muridnya. Dia hanya tersenyum saja, dan menggelengkan kepala berulang-ulang. Sedangkan Rangga kelihatan seperti orang bodoh, terbengong-bengong bagai orang kehilangan jalan. Dan Pendekar Rajawali tampaknya tidak ingin meneruskan pembicaraannya mengenai Mustika Batu Hijau.

“Apa yang kau rasakan ketika bertarung melawan Nyai Kunti, Anakku?” tanya Pendekar Rajawali.

Rangga tidak langsung menjawab, namun tidak merasa terkejut lagi. Meskipun tanpa menceritakan, Pendekar Rajawali sudah tahu semua yang terjadi pada dirinya. Rangga mencoba mengingat-ingat pertarungannya dengan Nyai Kunti. Memang pada jurus-jurus terakhir, terasa ada kelainan pada dirinya. Tapi dia tidak tahu, kelainan apa. Saat itu Rangga hanya merasakan daya tahan dan kekuatannya menurun.

Bahkan pamor Pedang Pusaka Rajawali Sakti pun seakan-akan tidak berdaya menghadapi kesaktian Pedang Kilat. Rangga juga merasakan seperti tidak dapat mengendalikan pedangnya sendiri, hingga Nyai Kunti berhasil mendaratkan satu pukulan telak di dadanya. Pukulan keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, serta penyaluran aji kesaktian itu membuat Rangga hampir pingsan. Tapi anehnya, dia tidak pingsan. Bahkan masih nampu cepat berdiri meski pun tidak bisa sempurna benar.

“Kau tidak perlu mengatakannya padaku, Rangga. Aku sudah tahu, apa yang kau rasakan dan kau alami dalam pertarunganmu. Itu semua karena pengaruh Pedang Kilat yang digunakan lawanmu,” jelas Pendekar Rajawali mendahului, ketika Rangga hendak mengatakan semua yang dirasakan dan dialaminya.

“Apakah pedang itu akan terus mempengaruhi setiap lawannya, Guru?” tanya Rangga.

“Selama masih ada di tangan wanita itu, Pedang Kilat dapat lebih berbahaya, Anakku. Dan dia akan sukar untuk dilawan, meskipun terkadang Pedang Rajawali dapat menyelamatkan dirimu dari kematian. Kau bisa merasakannya sendiri saat Nyai Kunti berhasil memasukkan pukulan mautnya ke dadamu. Pengaruh pukulan maut itu berhasil ditolak kekuatan Pedang Rajawali, sehingga kau luput dari kematian,” jelas Pendekar Rajawali.

“Itu berarti semua ilmu yang ada padaku tidak ada manfaatnya, Guru?” tebak Rangga.

“Tidak seluruhnya. Tapi sebaiknya kau harus meninggalkan Pedang Rajawali. Karena antara Pedang Rajawali dengan Pedang Kilat sangat bertentangan sifatnya. Dan Rajawali Putih pun tidak dapat lagi membantumu selama Nyai Kunti masih memiliki Pedang Kilat.”

“Oh...,” Rangga mengeluh lesu. Berat rasanya jika harus berpisah dengan Rajawali Putih. Bagi Rangga, Rajawali Putih seperti darah yang mengalir di tubuhnya. Tak dapat dipisahkan lagi. Hanya kematianlah yang dapat memisahkan mereka berdua.

“Guru, apakah itu harus...?” tanya Rangga.

“Jangan kalah sebelum bertarung, Rangga. Kau pasti bisa menandinginya tanpa Pedang Rajawali. Kau harus gunakan jurus-jurus luar yang tidak bisa terpengaruh kekuatan Pedang Kilat.”

“Tapi aku tidak mau berpisah dengan Rajawali Putih, Guru. Lebih baik mati daripada harus berpisah dengannya.”

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum mendengar pernyataan tulus yang keluar dari lubuk hati pemuda ini. Dihampirinya Rangga dan ditepuk-tepuknya pun tidak pemuda itu dengan lembut sekali. Rangga mengangkat kepalanya, menatap wajah gurunya ini.

“Aku bisa merasakan perasaanmu, Rangga. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Hanya kau yang dapat mengatasinya sendiri. Tapi kau harus waspada pada pemilik batu mustika itu,” kata Pendekar Rajawali lembut.

“Eyang Duraga maksud Guru?” tebak Rangga.

“Bukan.”

“Lalu, siapa...?”

“Danupaksi.”

“Danupaksi...?!” Rangga hampir tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Rasanya sukar dimengerti kalau Mustika Batu Hijau kini dimiliki oleh Danupaksi. Sedangkan dia tahu sendiri kalau Danupaksi tidak merasa memiliki benda yang menjadi rebutan itu. Danupaksi sendiri sudah bersumpah kalau tidak tahu menahu tentang mustika itu. Melihatnya saja belum pernah. Tapi gurunya ini mengatakan kalau mustika itu sebenarnya milik Danupaksi. Bagaimana hal itu bisa terjadi...? Seseorang memiliki sesuatu, tapi orang yang bersangkutan tidak tahu apa yang dimilikinya. Bahkan melihat saja belum pernah. Hal ini yang membuat Rangga jadi tidak mengerti.

“Memang terdengarnya begitu aneh. Dan semua ini sebenarnya kesalahan Eyang Duraga. Dia begitu ceroboh, karena memberikan mustika tanpa diketahui orang yang bersangkutan,” jelas Pendekar Rajawali seperti mengetahui kebingungan Rangga.

“Jadi benar, Eyang Duraga memberikan mustika itu pada Danupaksi?” Rangga ingin meyakinkan dirinya.

“Benar. Itu dilakukan Eyang Duraga, karena tidak ingin terus diganggu Nyai Kunti, yang berusaha merebut mustika itu.”

“Untuk apa Nyai Kunti menginginkan mustika itu, Guru? “ tanya Rangga ingin tahu.

“Mustika itu bisa membuat orang jadi kebal terhadap segala jenis senjata dan ilmu kesaktian yang ada di dunia ini. Tapi mustika itu hanya bisa digunakan oleh ilmu-ilmu beraliran hitam. Itu sebabnya, kenapa pada adik tirimu tidak cocok, Rangga. Namun perlu kau ingat. Kian lama mustika itu pasti juga akan mempengaruhi Danupaksi. Jiwanya akan kosong, walaupun sebenarnya tidak cocok! Dan jika benda sampai dapat dikuasai Nyai Kunti, tidak ada seorang pendekar pun yang dapat menandinginya. Terlebih lagi, dia sudah menguasai Pedang Kilat.”

“Apakah hanya pedang itu yang dapat mengalahkan Mustika Batu Hijau?” tanya Rangga lagi.

“Sebenarnya tidak,” sahut Pendekar Rajawali.

“Tapi, mengapa Eyang Duraga dapat dikalahkan Pendekar Pedang Kilat?”

“Waktu itu Eyang Duraga tidak membawa Mustika Batu Hijau. Dan itu merupakan kesalahan besar. Pendekar Pedang Kilat juga melakukan kesalahan. Dia menguburkan mayat Eyang Duraga bersama mustika itu. Ini permintaan Eyang Duraga sebelum meninggal. Dengan mustika itu, roh Eyang Duraga tetap hidup sepanjang zaman. Dia dapat bangkit kembali kapan saja sekehendaknya, kecuali bila Mustika Batu Hijau dimusnahkan.”

“Guru, kalau mustika itu ada pada Danupaksi sebaiknya cepat-cepat dimusnahkan. Bukankah dengan demikian persoalannya jadi selesai...?” usul Rangga.

“Tidak semudah itu, Rangga. Jika kau ingin memusnahkan mustika itu, maka adikmu akan mati. Karena, mustika itu sudah menyatu dengan darah dan nyawanya. Untuk memusnahkannya, harus dikeluarkan lebih dahulu.”

“Lalu, bagaimana cara yang terbaik, Guru?” tanya Rangga, bingung.

“Kau harus membunuh dulu Eyang Duraga dengan Pedang Kilat, seperti yang dilakukan Pendekar Pedang Kilat. Dengan begitu, Mustika Batu Hijau akan keluar sendiri dari dalam tubuh adikmu. Dan sebelum berpindah kembali ke Eyang Duraga, kau harus dapat menguasainya. Musnahkanlah mustika itu. Kalau sampai mustika itu tetap berada di dalam tubuh Danupaksi, maka adik tirimu itu akan menjadi musuh nomor satu. Pengaruh jahat Mustika Batu Hijau begitu kuat. Jika tidak segera dikeluarkan dari tubuhnya, maka aku khawatir dia akan berubah liar.”

“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Guru. Meskipun nyawa taruhannya,” tekad Rangga.

“Aku percaya padamu, Rangga. Aku juga yakin kau mampu memusnahkan mustika itu. Tapi, berhati-hatilah pada Nyai Kunti. Dia akan menggunakan kesempatan apa pun untuk memperoleh mustika itu,” pesan Pendekar Rajawali.

“Akan kurebut Pedang Kilat dari tangannya, Guru. Kemungkinan aku tidak bisa mencegah melenyapkannya.”

“Kemungkinan itu selalu ada, Rangga. Hanya saja pesanku, jangan anggap enteng dia. Nyai Kunti punya seribu cara licik untuk mengalahkan lawan-lawannya. Kau harus berhati-hati menghadapinya,” kembali Pendekar Rajawali berpesan.

“Aku akan ingat pesan Guru,” ujar Rangga seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.

Hanya sebentar saja Rangga menundukkan kepala. Dan begitu kepalanya terangkat kembali, Pendekar Rajawali sudah lenyap dari pandangannya. Dan pusara itu pun kembali tertutup rapat. Rangga kembali memberi hormat dan bersujud mencium tanah. Perlahan pemuda berbaju rompi putih itu bangkit berdiri, dan langsung memandang Rajawali Putih.

“Rajawali akan mengantarkan kau ke pusara Eyang Duraga. Untuk sementara tinggalkan dulu pedangmu,” terdengar suara Pendekar Rajawali.

Tanpa membantah sedikit pun, Rangga melepaskan pedangnya. Diletakkannya Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu di samping pusara gurunya. Kemudian dengan satu gerakan ringan sekali, dia melompat naik ke punggung Rajawali Putih.

“Khraaaghk...!” Sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi meninggalkan Lembah Bangkai bersama Rangga di punggungnya. Pemuda berbaju rompi putih itu terus memandang ke arah lembah. Pandangannya baru dialihkan setelah lembah yang sunyi itu tidak terlihat lagi.

“Khraaaghk...!”

********************

TUJUH

Rangga langsung melompat turun, begitu Rajawali Putih mendarat di tepi Rimba Tengkorak. Seketika burung rajawali raksasa itu langsung melambung tinggi ke angkasa tanpa diminta lagi. Rangga memandanginya sampai burung itu menghilang di balik awan. Ada kesedihan di hatinya melihat Rajawali Putih tidak mau terlalu lama berdekatan dengannya. Tapi Rangga cepat menyadari kalau semua ini demi kebaikan. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar merasa kosong tanpa pedang pusaka bertengger di punggungnya. Perlahan kakinya terayun menuju kuburan Eyai Duraga.

“Kakang...!”

“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja dengar panggilan dari arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya diputar berbalik. Rangga mengerutkan keningnya begitu melihat Pandan Wangi berlari-lari menghampiri.

“Pandan.... Kenapa kau ada di sini...?” tanya Rangga begitu Pandan Wangi dekat.

“Aku mencarimu, Kakang,” sahut Pandan Wangi agak terengah.

“Bagaimana lukamu?”

“Sudah pulih.”

“Kau sendirian?”

Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja. Rangga kembali memutar tubuhnya dan melangkah perlahan. Pandan Wangi mengikuti, mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku mencarimu di pesanggrahan, tidak ada. Ke mana saja kau, Kakang?” Pandan Wangi membuka percakapan kembali.

Rangga tidak menjawab, dan hanya menghela napas saja. Terlalu sukar untuk menjelaskan pada Pandan Wangi. Tapi rupanya Pandan Wangi tidak memerlukan jawaban. Dia memaklumi, kepergian Rangga tentu punya alasan kuat. Dan yang pasti ada hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi belakangan ini.

“Kakang, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” kata Pandan Wangi setelah beberapa saat terdiam.

“Tentang apa?” tanya Rangga tanpa menghentikan ayunan kakinya.

“Danupaksi.”

“Ada apa dengan Danupaksi?” tanya Rangga seraya menghentikan ayunan langkahnya.

“Sikap Danupaksi jadi lain belakangan ini, Kakang. Dia suka menyendiri. Malah terkadang marah-marah tanpa ketahuan sebabnya,” jelas Pandan Wangi.

Rangga jadi tercenung. Dia teringat kata-kata gurunya. Sikap dan tingkah laku seseorang bisa berubah akibat pengaruh Mustika Batu Hijau. Tapi Rangga tidak ingin menduga lebih jauh dulu, dan hanya berharap mustika itu belum berpengaruh banyak pada Danupaksi. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu sangat sukar memusnahkannya.

“Bahkan dua hari lalu, Danupaksi membunuh sepuluh orang prajurit tanpa sebab. Dan sekarang dia pergi entah ke mana. Sudah dua hari ini dicari, tapi tidak juga ketemu. Makanya aku mencarimu, Kakang,” sambung Pandan Wangi.

“Dua hari...?” lagi-lagi Rangga tercenung.

Sungguh tidak disadari kalau sudah lebih dari dua hari berada di Lembah Bangkai. Tanpa disadari, Rangga bersemadi memulihkan keadaan tubuhnya di Lembah Bangkai lebih dari dua hari. Dan selama itu, Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu perkembangan lebih jauh lagi. Rasa khawatirnya semakin mendalam, begitu mendengar penuturan Pandan Wangi tadi. Dikatakan, Danupaksi telah membunuh sepuluh orang prajurit tanpa sebab, dan sekarang pergi tanpa diketahui jejaknya.

Rangga khawatir kalau sikap Danupaksi diakibatkan pengaruh dari Mustika Batu Hijau yang memiliki sifat jahat dan liar. Kalau memang perbuatan Danupaksi dikarenakan pengaruh mustika itu, sudah barang tentu mustika itu benar-benar sudah menyatu di dalam tubuh adik tirinya itu. Dan ini tentu sangat berbahaya, karena Danupaksi akan menjadi musuhnya yang paling berbahaya. Dan yang pasti, semua yang dilakukan Danupaksi tidak disadari.

“Hm.... Kalau mustika itu sudah mempengaruhi jiwanya, pasti Danupaksi bersembunyi di kuburan tua Eyang Duraga,” gumam Rangga dalam hati.

Mendapat pikiran demikian, Rangga bergegas melangkah cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pandan Wangi cepat-cepat mengikuti. Gadis itu juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh sepenuhnya untuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga. Saat berada di belakang begini, Pandan Wangi baru menyadari kalau di punggung Pendekar Rajawali Sakti tidak terdapat pedang yang menjadi andalannya.

“Kakang, tunggu...!” seru Pandan Wangi agak keras.

Rangga memperlambat ayunan langkahnya. Wajahnya berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang terus berusaha memperpendek jarak. Namun akhirnya gadis itu bisa juga berada di samping Rangga. Napasnya terdengar memburu, karena memaksakan kemampuannya agar bisa berjalan sejajar dengan Pendekar Rajawali Sakti.

“Ke mana pedangmu, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Kusimpan. Sementara aku tidak boleh menggunakan pedang itu,” sahut Rangga singkat.

“Kenapa...?” Pandan Wangi jadi keheranan. Belum pernah gadis itu melihat Rangga menanggalkan pedangnya. Tapi sekarang pedang itu tidak terlihat lagi di punggung pemuda berbaju rompi putih ini. Dan kejanggalan ini tentu membuat Pandan Wangi jadi bertanya-tanya.

“Nanti akan kuceritakan, Pandan. Sekarang kita harus cepat ke kuburan tua Eyang Duraga. Aku tidak ingin keadaan Danupaksi semakin bertambah parah, dan benar-benar sukar dikendalikan lagi,” kata Rangga kembali seraya mempercepat ayunan kakinya.

Pandan Wangi ingin bertanya lebih banyak lagi. Malah dia kini sudah sibuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan jaraknya semakin bertambah jauh saja, meskipun sudah mengerahkan seluruh kemampuannya dalam meringankan tubuh.

“Kau di sini saja, Pandan,” ujar Rangga begitu sampai di kuburan tua Eyang Duraga.

Suasana kuburan itu begitu sunyi dan mencekam sekali. Tak terdengar sedikit pun suara. Hanya desir angin saja yang mengusik gendang telinga. Bahkan suara serangga pun tak terdengar sama sekali. Kesunyian ini membuat Rangga dan Pandan Wangi memasang telinga lebih tajam. Sementara Pandan Wangi menunggu, Rangga mendekati kuburan tua Eyang Duraga.

Kuburan itu tampak kotor, ditumbuhi rerumputan liar yang merambat ke sana kemari. Sama sekali tak terlihat ada perawatan di sini. Rangga berhenti melangkah saat jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi. Tatapan matanya begitu tajam tak berkedip, ke arah kuburan tua yang tidak terawat di depannya. Kemudian pandangannya beredar ke sekitarnya sebentar, lalu kembali menatap kuburan tua tak bercungkup itu.

“Hik hik hik...! Kau terlalu berani datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti...!”

“Heh...?!” Rangga terkejut bukan main, ketika terdengar suara dari arah samping kanannya. Dan belum juga hilang keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam. Bagaikan kilat, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya sambaran bayangan hitam itu, sehingga membuat Rangga tak sempat lagi bertindak menghindar.

Bet!

“Akh...!” Rangga terpekik agak tertahan. Pendekar Rajawali Sakti jatuh terguling di tanah, namun cepat melompat bangkit berdiri. Bibirnya meringis merasakan nyeri pada punggungnya yang terkena sambaran bayangan hitam tadi. Dan pada saat itu, Rangga melihat bayangan hitam tadi kembali berkelebat cepat hendak menyerangnya.

“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara, dan melakukan putaran dua kali seraya melontarkan dua pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Namun bayangan hitam itu sungguh cepat gerakannya. Pukulan yang dilepaskan Rangga sama sekali tak mengenai sasaran. Dengan gerakan ringan dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti mendarat kembali di tanah.

“Yeaaah...!” Rangga langsung menghentakkan kedua tangannya, ketika bayangan hitam itu kembali meluruk deras ke arahnya. Tak pelak lagi, satu benturan keras pun terjadi. Seketika ledakan dahsyat terdengar menggelegar memekakkan telinga.

“Hap...!” Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, dan melakukan putaran tiga kali sebelum mendarat manis di tanah. Sementara bayangan hitam itu juga terpental balik ke belakang, dan berhasil mendarat manis sekali. Kini sekitar tiga batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri wanita tua berjubah hitam berwajah buruk bagai sosok mayat hidup.

“Nyai Kunti...,” desis Rangga langsung mengenali penyerangnya.

“Hik hik hik...! Tidak sia-sia aku menunggumu dua hari di sini, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Nyai Kunti seraya tertawa mengikik. “Sudah kuduga, kau pasti tidak akan mampu memegang mustika itu. Kedatanganmu ke sini pasti ingin mengembalikan benda itu.”

“Aku justru ingin memusnahkannya, Nyai Kunti,” kata Rangga dingin.

“Heh...?! Apa...?” Nyai Kunti terkejut setengah mati.

“Ada apa, Nyai Kunti? Kau tidak tuli mendadak, bukan...?” terdengar sinis nada suara Rangga.

“Setan belang...! Sekali lagi kau ucapkan kata-kata itu, kubunuh kau!” geram Nyai Kunti.

“Aku khawatir, justru kau yang akan mendahului.”

“Keparat..! Hiyaaat..!” Nyai Kunti tak dapat lagi menahan kemarahannya, sehingga langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali dilepaskannya pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Namun kali ini Rangga sudah bersiap menghadapi wanita tua bermuka buruk itu.

“Hait..!” Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang dilancarkan Nyai Kunti. Bahkan sebelum perempuan tua bermuka buruk itu bisa menarik pulang serangannya, mendadak saja Rangga memberi satu sodokan cepat ke arah lambung.

“Uts!” Cepat-cepat Nyai Kunti melompat ke belakang, menghindari sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, dia cepat bersiap kembali hendak melakukan serangan. Namun mendadak saja niatnya diurungkan. Wanita tua berjubah hitam itu berdiri tegak berkacak pinggang. Perlahan kemudian, tangan kanannya masuk ke dalam belahan jubahnya. Dan....

Sret!

Kilatan cahaya memendar menyilaukan begitu Nyai Kunti mencabut sebilah pedang yang berpamor sangat dahsyat. Melihat kedahsyatan pedang itu, Rangga melangkah mundur dua tindak. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sebelah mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat agak menyipit.

“Kali ini kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti,” desis Nyai Kunti menggeram.

Bet!

“Yeaaah...!”

“Hait..!”

Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari tusukan pedang Nyai Kunti. Lalu, tubuhnya dirundukkan ke depan. Kemudian diegoskan ke kiri, mengikuti gerakan pedang wanita tua berjubah hitam yang berkelebat di atas kepala. Seketika Rangga cepat melentingkan tubuh ke belakang sambil melepaskan satu tendangan dengan kedua kaki merapat ke arah dada wanita berjubah hitam itu.

“Yeaaah...!”

“Hih!” Tak ada kesempatan menghindar lagi bagi Nyai Kunti Cepat tangan kirinya dikibaskan untuk menangkis tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Plak!

“Uts...!” Nyai Kunti terdorong beberapa langkah ke belakang, begitu tangan kirinya beradu dengan telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti. Wanita tua bermuka buruk itu sedikit limbung, tapi bisa cepat menguasai diri. Sementara Rangga sudah mendarat manis sekali.

“Hm.... Tenagamu jauh lebih hebat, Pendekar Rajawali Sakti,” gumam Nyai Kunti memuji.

“Ucapkan selamat tinggal pada dunia, Nyai Kunti,” ujar Rangga kalem.

“Phuih! Kau yang akan mampus di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti!” Setelah berkata demikian, Nyai Kunti cepat melesat menyerang Rangga. Pedangnya dikebutkan beberapa kali dengan kecepatan luar biasa. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga mampu mengelakkan setiap serangan yang datang mengincar. Beberapa kali ujung pedang Nyai Kunti hampir membabat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Namun ketika pedang itu nyaris menyentuh tubuhnya, Rangga cepat berkelit menghindar. Hal ini membuat Nyai Kunti semakin geram saja dan hanya bisa mengumpat dalam hati. Maka serangan-serangan yang dilancarkannya semakin dahsyat. Kilatan cahaya pedang di tangan kanannya seakai akan hendak mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun sampai melewati sepuluh jurus, Kunti belum juga dapat mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi sampai menjatuhkannya. Bahkan beberapa kali serangan balik yang dilancarkan Rangga membuat Nyai Kunti jadi kelabakan menghindarinya. Pendekar Rajawali Sakti terus menyerang sambil mengganti-ganti jurusnya yang makin dahsyat saja.

Sementara Pandan Wangi yang menyaksikan pertarungan itu hanya dapat menahan napas saja. Gadis itu khawatir juga, kalau-kalau Rangga terdesak. Apalagi Pendekar Rajawali Sakti tidak menggunakan senjata satu pun juga. Sedangkan lawannya memegang senjata pedang yang memiliki pamor dahsyat. Tiba-tiba Pandan Wangi mencabut Pedang Geni yang selalu bertengger di punggung. Kemudian pedang berwarna merah itu dilemparkan, menggunakan sedikit tenaga dalam.

“Kakang, tangkap...!” teriak Pandan Wangi, begitu melihat Rangga membuka jarak.

Swing!

“Hup!”

Rangga cepat melompat menyambut lemparan pedang itu. Namun begitu melompat, Nyai Kunti juga ikut melesat ke udara. Dan secepat itu pula perempuan tua berwajah buruk itu membabatkan pedang ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaat..!”

“Hup! Yeaaah...!” Cepat Rangga memutar tubuhnya dua kali, menghindari tebasan pedang Nyai Kunti. Dan cepat sekali tangannya terulur meraih Pedang Naga Geni yang masih melayang di angkasa. Tap! Bet! Begitu Rangga berhasil menangkap Pedang Naga Geni, langsung dibabatkan ke arah dada Nyai Kunti. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat Nyai Kunti terperangah.

“Heh...?!”

Wut! Trang...!

Nyai Kunti cepat menyilangkan pedang di depan dada. Suatu benturan dua senjata tak dapat dihindarkan lagi. Letupan bunga-bunga api memercik saat kedua senjata itu beradu keras di depan dada Nyai Kunti.

“Hap!” Bergegas Nyai Kunti meluruk turun. Pada saat yang sama, Rangga menukik sambil memutar pedang yang diarahkan ke kepala Nyai Kunti.

“Yeaaah...!”

“Edan! Hih...!” Kembali Nyai Kunti mengumpat geram. Pedangnya cepat dikebutkan ke atas kepala begitu kakinya menjejak tanah. Untuk kedua kalinya, dua senjata ber-pamor dahsyat beradu keras sampai menimbulkan percikan bunga api.

“Mampus kau! Hiyaaa...!” teriak Rangga lantang

Bet!

DELAPAN

Bagaikan kilat, Rangga menebaskan Pedang Naga Geni ke arah leher Nyai Kunti. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Nyai Kunti tak dapat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu dia masih berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan...

Cras!

“Aaakh...!” Nyai Kunti menjerit melengking tinggi.

“Yeaaah...!” Cepat Rangga memindahkan Pedang Naga Geni ke tangan kiri. Lalu dengan tangan kanannya, Pendekar Rajawali Sakti menggedor dada Nyai Kunti disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat mengenai bagian tengah dada perempuan tua berjubah hitam itu.

Bruk!

Nyai Kunti ambruk menghantam tanah dengan keras sekali. Darah muncrat keluar dari lehernya yang tertebas hampir buntung. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi. Rangga menarik napas panjang. Saat itu Pandan Wangi berlari-lari menghampiri. Sebentar Rangga memandangi gadis itu, lalu menyerahkkan Pedang Naga Geni padanya. Pandan Wangi menerima, langsung dimasukkan ke dalam warangka di punggung.

“Terima kasih, kau telah menyelamatkan hidupku,” ucap Rangga perlahan.

“Aku hanya melihat pertarungan tadi tidak seimbang, Kakang,” sahut Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, kemudian menghampiri mayat Nyai Kunti dan mengambil Pedang Kilat dari tangan wanita tua berjubah hitam itu. Sebentar Rangga memandangi pedang itu. Sekilas memang hampir mirip pedangnya sendiri. Hanya bentuk gagangnya saja yang berbeda. Juga, cahayanya sangat jauh berbeda.

“Masih ada satu lagi yang harus kukerjakan...,” gumam Rangga agak mendesis.

“Apa lagi yang akan kau lakukan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Menyempurnakan Eyang Duraga,” sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri kuburan Eyang Duraga. Sedangkan Pedang Kilat tergenggam erat di tangan kanannya. Dia berhenti setelah jaraknya dengan kuburan tua itu tinggal beberapa langkah lagi.

“Maaf. Aku terpaksa harus membunuhmu, Eyang Duraga,” ujar Rangga perlahan. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti mengangkat Pedang Kilat, mendadak saja...

Glarrr...!

“Heh...?!” Rangga terkejut setengah mati. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur ke belakang tiga langkah, tepat ketika kuburan tua itu terbongkar.

Terbongkarnya kuburan itu sampai menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar, menggetarkan jantung. Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja dari dalam kuburan tua yang terbongkar melesat sebuah bayangan hitam yang langsung menyerang.

“Hait...!” Cepat Rangga memiringkan tubuh ke kanan, sehingga terjangan bayangan hitam itu lewat di sampingnya. Rangga cepat memutar tubuhnya sambil menyilangkan Pedang Kilat di depan dada. Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri seorang laki-laki tua dengan tubuh sudah rusak dan membusuk.

“Kau benar-benar ingin mampus, berani mengusik ketenanganku!” bentak laki-laki tua bertubuh rusak membusuk yang tak lain adalah Eyang Duraga.

Bet! Slap..!

Cepat sekali Eyang Duraga mengebutkan tangan kanannya ke depan. Pada saat itu, dari telapak tangan kanannya meluncur secercah cahaya merah bagaikan api yang meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat sekali melentingkan tubuh ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Sinar merah bagaikan api itu lewat sedikit di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali Eyang Duraga melepaskan serangan, namun tak satu pun yang berhasil mengenai Pendekar Rajawali Sakti. Kilatan-kilatan cahaya merah berkelebat, berbaur dengan ledakan-ledakan dahsyat menggelegar. Sementara Rangga berjumpalitan di udara menghindari sinar-sinar merah yang mencecar tiada henti.

“Gila! Kalau begini terus, bisa habis napasku...!” dengus Rangga dalam hati.

“Akan kucoba kehebatan Pedang Kilat ini...”

Tepat ketika secercah cahaya merah meluncur deras ke arahnya, Rangga cepat meluruk turun. Seketika pedangnya dikibaskan ke arah sinar merah itu, sambil mengerahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya.

“Yeaaah...!”

Glarrr!

“Heh...?!” Bukan hanya Rangga saja yang terkejut. Bahkan Eyang Duraga pun tersentak kaget begitu sinar merah yang dilepaskan berbenturan dengan Pedang Kilat yang tergenggam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Ledakan dahsyat langsung membuyarkan cahaya merah itu. Sedangkan Rangga yang cepat menyadari kedahsyatan Pedang Kilat di tangannya, jadi tersenyum gembira. Kini dia tidak perlu lagi susah-susah berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan Eyang Duraga. Sebab, ternyata Pedang Kilat ini mampu meredam serangan-serangan itu dengan baik sekali. Menyadari akan keampuhan pedang ini, semangat Rangga kembali bangkit.

“Hiyaaa...!” Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat mendahului melakukan penyerangan. Secepat kilat pula pedang di tangannya dikibaskan beberapa kali ke arah tubuh Eyang Duraga. Serangan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, membuat Eyang Duraga jadi terpana sesaat.

“Hait..!” Cepat Eyang Duraga meliukkan tubuhnya, menghindari setiap tebasan Pedang Kilat yang mengincar bagian-bagian tubuh yang teramat peka. Beberapa kali ujung pedang itu hampir mengenai tubuhnya. Namun, Eyang Duraga masih dapat menghindar dengan manis sekali.

“Pedang Kilat ini benar-benar membuatku gerah! Huh...!” dengus Eyang Duraga dalam hati. Eyang Duraga semakin kewalahan menghadapi serangan serangan yang dilancarkan Rangga. Hingga akhirnya, dia terpaksa melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Sungguh hampir tidak dipercaya kalau Pedang Kilat di tangan Rangga jadi lebih dahsyat dan berbahaya sekali.

“Pedang Kilat memang bukan lagi tandinganku. Tapi cobalah kau hadapi pemakai Mustika Batu Hijau,” ujar Eyang Duraga. Selesai berkata demikian, Eyang Duraga bersiul nyaring. Seketika itu juga, dari atas sebatang pohon yang sangat tinggi, tepatnya dekat kuburan tua yang terbongkar, meluncur cepat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang pemuda tampan. Bajunya putih ketat, hingga membentuk tubuh yang kekar dan tegap berisi.

“Danupaksi...,” desis Rangga mengenali pemuda itu.

“Maaf, aku terpaksa menghalangimu menyakiti guruku, Kakang Rangga,” ujar Danupaksi dingin.

“Guru...?!”

“Sekarang Eyang Duraga guruku!” Jiwa Danupaksi memang telah terpengaruh Mustika Batu Hijau. Karena mustika itu milik Eyang Duraga maka Danupaksi menganggap guru pada laki-laki bagai mayat hidup itu. Danupaksi langsung menggeser kakinya dan siap hendak menyerang.

Rangga tahu, seandainya Danupaksi sampai menyerangnya, akan berakibat parah bagi pemuda itu sendiri. Karena, tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Rangga. Tapi karena pengaruh Mustika Batu Hijau, hal itu tidak dihiraukan Danupaksi. Bahkan kemungkinan tingkat kepandaian pemuda itu jadi meningkat jauh.

“Pandan, hadapi dia...!” seru Rangga teringat pada Pandan Wangi.

“Baik, Kakang...!” sahut Pandan Wangi segera melompat menghadang Danupaksi.

“Minggir kau, Pandan!” bentak Danupaksi lantang.

“Maaf, aku sudah diperintah untuk menghadangmu,” ujar Pandan Wangi kalem.

“Perempuan keparat...! Yeaaah...!” Danupaksi menggeram dahsyat, lalu cepat melesat sambil melepaskan beberapa pukulan secara beruntun. Namun Pandan Wangi yang sudah siap sejak tadi, manis sekali dapat menghindari setiap serangan yang dilancarkan pemuda itu.

Sementara Rangga kembali memusatkan perhatian pada Eyang Duraga. Penghadangan Pandan Wangi pada Danupaksi, membuat Eyang Duraga jadi geram. Dia juga gelisah, karena Rangga sudah melangkah mendekatinya. Eyang Duraga menyadari, kalau dalam beberapa gebrakan lagi, dirinya pasti kalah oleh pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan benteng yang semula diharapkan, kini tengah sibuk menghadapi gempuran si Kipas Maut

“Apa maksudmu mengambil Danupaksi sebagai sasaran bersemayamnya Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga?” tanya Rangga.

“Huh! Karena ini memang cita-citaku, sebelum aku mampus di tangan Pendekar Pedang Kilat. Itulah sebabnya, aku minta pada pendekar tolol itu agar menguburkan Mutiara Batu Hijau bersama jasadku. Dengan demikian, aku tidak jadi mati walau jasadku tetap terpendam! Ha ha ha.... Lalu, aku menunggu seseorang yang kupikir pantas untuk dititipkan mustika itu, sebelum Nyai Kunti datang mengusikku. Dan ternyata, Danupaksi yang datang ke kuburanku. Dengan demikian, selama Mustika Batu hijau belum musnah, aku masih bisa tetap hidup. Ha ha ha...,” jelas Eyang Duraga, seraya tertawa terbahak-bahak.

Rangga kini baru mengerti, mengapa Eyang Duraga selalu bisa hidup kembali. Ternyata walaupun Pedang Kilat bisa menebas tubuh Eyang Duraga, dan dia tidak memegang Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga akan tetap hidup. Selama, mustika itu belum dimusnahkan. Dan sebenarnya, keabadian hidup di dunialah yang dicari Eyang Duraga. Walaupun dia mengakui telah kalah oleh Pendekar Pedang Kilat dalam pertarungan secara jujur, namun jiwa iblisnya menuntut untuk terus hidup di dunia.

“Akan kusempurnakan kematianmu, Eyang Duraga. Agar kau tenang di alam abadimu,” kata Rangga mencoba memberi pengertian.

“Phuih! Tidak ada seorang pun yang bisa memutuskan hubunganku dengan dunia!” dengus Eyang Duraga.

“Kenapa kau tetap bertahan, Eyang Duraga? Mayapada ini bukan lagi tempat berpijakmu. Kau sudah memiliki dunia lain yang lebih tenang dan abadi.”

“Jangan mengguruiku, Bocah! Jika kau mampu, hadapi aku...!” tantang Eyang Duraga. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Eyang Duraga. Dia harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, meskipun sudah menyadari tidak akan mampu. Terlebih lagi sekarang ini Rangga memegang Pedang Kilat yang paling ditakuti Eyang Duraga.

“Hiyaaat...!” Eyang Duraga benar-benar sudah tidak peduli lagi, dan cepat mendahului menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dua pukulan dahsyat menggeledek dilepaskan laki-laki bagai mayat hidup itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil mengelakkannya.

Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Eyang Duraga berlangsung sengit sekali. Namun kali ini jelas terlihat kalau Eyang Duraga seperti selalu ingin mendahului. Begitu bernafsunya hendak menjatuhkan Rangga, sehingga melalaikan pertahanan diri sendiri. Kelalaian ini tentu saja diketahui Rangga. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti belum mendapat kesempatan yang tepat untuk memanfaatkannya.

Hanya satu yang menjadi tujuan utama Pendekar Rajawali Sakti. Dan tampaknya, tujuannya tidak semudah yang diperkirakan. Dia harus bisa menusukkan Pedang Kilat tepat di jantung Eyang Duraga, dan meninggalkan pedang itu di dadanya. Dengan begitu, Eyang Duraga tidak akan pernah bangkit kembali. Dan yang terpenting, Rangga harus dapat memusnahkan Mustika Batu Hijau yang kini tampaknya telah bersemayam pada diri Danupaksi. Dan Rangga menyadari kalau itu tidak mudah.

Pendekar Rajawali Sakti harus bergerak cepat selagi mustika itu keluar hendak berpindah ke dalam tubuh orang lain lagi. Sedangkan dia tidak tahu, bagaimana benda itu bisa berpindah dari orang yang satu, kepada orang lain lagi.

“Yeaaah...!”

“Uts!” Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan Eyang Duraga bersarang di dada Rangga. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti segera memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan saat itu juga, Rangga meliukkan tubuhnya ke depan. Lalu dengan cepat tubuhnya ditarik ke belakang. Dan...

“Yeaaah...!” Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras. Pedangnya tertuju lurus ke arah dada laki-laki tua yang seharusnya terbujur di dalam kuburnya. Serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat luar biasa, sehingga Eyang Duraga tidak sempat lagi menyadari.

Crab! Bresss!

“Aaa...!” Eyang Duraga menjerit keras melengking tinggi. Pedang Kilat telah menembus dadanya, sampai ke punggung. Rangga cepat melepaskan genggamannya pada gagang pedang itu. Bergegas tubuhnya melompat mundur sejauh lima langkah. Sementara Eyang Duraga terhuyung-huyung limbung sambil memandangi Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dialaminya kini.

“Kau..., kau..., hebat...”

Bruk!

Hanya itu saja yang dapat keluar dari mulut Eyang Duraga. Karena, laki-laki tua bertubuh busuk itu langsung ambruk, tak berkutik lagi. Pada saat itu...

“Aaa...!”

“Heh...?!” Rangga terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat begitu melihat Danupaksi menggelepar-gelepar di tanah sambil menjerit-jerit dan meraung kesakitan. Rangga mendekati Pandan Wangi yang tampak kebingungan.

“Kenapa dia...?” tanya Rangga seperti untuk diri-nya sendiri.

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia begitu. Padahal, aku tidak memukulnya,” sahut Pandan Wangi masih bernada bingung.

Tiba-tiba.... Slap!

“Oh...?!”

“Pinjam pedangmu, Pandan. Yeaaah...!” Sret! Cring!

Bagaikan kilat, Rangga melompat sambil menyambar pedang Pandan Wangi dari dalam warangkanya. Saat itu dari ubun-ubun kepala Danupaksi melesat keluar sebuah benda bulat seperti mata kucing yang memancarkan cahaya hijau terang. Benda itu meluncur ke arah mayat Eyang Duraga. Dengan pikiran untung-untungan, Pendekar Rajawali Sakti berniat menghancurkan benda yang diperkirakan Mustika Batu Hijau.

“Hiyaaa...!”

Bet!

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar terjadi begitu Rangga membabatkan Pedang Naga Geni ke arah benda bersinar hijau itu. Dan tampak Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Pemuda berbaju rompi putih itu jatuh bergulingan di tanah.

“Kakang...! Kau tidak apa-apa...?” seru Pandan Wangi seraya bergegas menghampiri.

“Hhh...! Tidak...,” sahut Rangga mendesah. Rangga bangkit berdiri seraya memandangi cahaya hijau yang memendar, kemudian perlahan-lahan menghilang. Usahanya ternyata berhasil. Pada saat itu terdengar rintihan lirih. Rangga dan Pandan Wangi secara bersamaan berpaling. Tampak Danupaksi tengah bangkit berdiri seraya memegangi kepalanya.

“Oh, apa yang terjadi...?” Danupaksi bertanya kebingungan.

“Tidak apa-apa, Danupaksi. Semuanya sudah selesai,” jelas Pandan Wangi, kasihan melihat Danupaksi sangat kebingungan.

“Suiiit..!” Pendekar Rajawali Sakti bersiul panjang melengking. Nadanya aneh. Dua kali dia bersiul nyaring. Kemudian setelah cukup lama menunggu, terlihat sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik itu kini semakin jelas terlihat bentuknya.

“Khraghk...!”

“Rajawali, ke sini!” seru Rangga seraya melambaikan tangannya. Burung rajawali raksasa cepat meluruk turun, dan mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti.

“Ayo, Pandan. Ikut aku ke Lembah Bangkai,” ajak Rangga sambil meloncat ke punggung Rajawali Putih. “Aku ingin mengambil Pedang Rajawali Sakti.”

Pandan Wangi pun bergegas naik ke punggung burung rajawali raksasa itu.

“Eh, Kakang, tunggu...! Jelaskan padaku, apa yang telah terjadi terhadap diriku...?” bergegas Danupaksi mengejar.

“Kau pulang saja dulu ke istana,” ujar Rangga. “Nanti kujelaskan di sana.” Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang, lalu mengerdipkan sebelah matanya pada Pandan Wangi yang berada di belakangnya, dan gadis itu hanya tersenyum-senyum saja.

Sedangkan Danupaksi terus mendesak, karena benar-benar bingung dan tidak tahu semua yang telah terjadi pada dirinya. Namun Rangga dan Pandan Wangi sudah melambung tinggi di angkasa bersama Rajawali Putih.

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA: JARINGAN HITAM

Mustika Kuburan Tua

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

MUSTIKA KUBURAN TUA

SATU
MALAM ini udara begitu dingin. Angin bertiup kencang membawa gumpalan kabut tebal. Langit tampak kelam tertutup awan hitam, membuat suasana terasa begitu mencekam. Keadaan malam seperti ini, membuat seluruh penduduk Desa Batu Ceper tak ada yang keluar dari rumahnya. Begitu sunyi, bagai sebuah desa mati tak berpenghuni.

Namun di dalam kegelapan yang dingin ini, tampak sesosok tubuh berjalan tergopoh-gopoh melintasi pinggiran desa. Sesekali wajahnya menoleh ke belakang, seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti. Wajahnya sukar dikenali karena ditutupi kerudung hitam yang kelihatannya sudah lusuh. Dia berjalan di antara bayang-bayang pepohonan yang tumbuh berjajar di sepanjang tepi jalan tanah berdebu.

Sosok tubuh itu berhenti sebentar setelah sampai di perempatan jalan. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, kemudian kakinya kembali melangkah mengikuti jalan setapak yang membelok ke kanan. Jalan itu kecil dan berbelok-belok, juga menanjak. Namun, orang itu terus melangkah perlahan dengan kepala tertunduk. Dia kembali berhenti begitu tiba di tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan yang sedang berbunga. Angin yang berhembus kencang, menyebarkan bau harum bunga kamboja yang putih bagai kapas.

Di antara pohon-pohon kamboja itu terdapat gundukan-gundukan tanah berbatu nisan. Ternyata, tempat ini sebuah kuburan. Orang berkerudung kain lusuh itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian tatapan matanya terpaku pada sebuah makam di bawah sebatang pohon beringin tua yang besar dan berdaun lebat.

“Hm... Sepi. Saat yang tepat untukku malam ini,” gumam orang itu, pelan.

Perlahan-lahan kakinya terayun mendekati makam di bawah pohon beringin itu. Dari balik kerudung kainnya, tampak sorot mata yang tajam tak berkedip menatapi gundukan tanah yang dilingkari bebatuan berlumut. Begitu dekat dengan makam tua itu, kerudungnya dibuka. Tampaklah seraut wajah yang rusak, penuh benjolan.

Rambutnya yang panjang, meriap kusut tak teratur. Pipi kanannya terkelupas, sehingga menampakkan barisan gigi yang menghitam tak beraturan letaknya. Maka, paras wajahnya pun semakin bertambah mengerikan. Beberapa saat dia berdiri mematung di dekat makam tua di bawah pohon beringin ini.

“Malam ini aku harus berhasil. Harus...!” orang itu mendesis dingin. Setelah mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, perlahan kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke di atas kepala. Lalu, dengan tiba-tiba....

“Yeaah...!” Cepat sekali tangannya dihentakkan ke arah kuburan tua di depannya. Seketika secercah cahaya kilat meluncur keluar dari kedua telapak tangannya. Begitu cahaya kilat menghantam kuburan tua itu, terdengar ledakan dahsyat menggelegar.

Glarrr...!

Orang itu melenting ke belakang, melakukan putaran beberapa kali sebelum mendarat manis di tanah berumput tebal dan basah oleh embun. Ledakan tadi membuat kuburan tua itu terbongkar. Tanah dan bebatuan berhamburan ke udara, membuat jamur raksasa yang cepat menghilang tertiup angin.

“Hik hik hik...!” orang itu tertawa terkikik. Baru saja kakinya terayun hendak mendekat, mendadak saja dari dalam kuburan itu berkelebat sebuah bayangan hitam yang langsung meluruk ke arah orang itu.

“Uts!” Untung saja tubuhnya dimiringkan ke kanan, sehingga terjangan bayangan hitam itu lewat di samping tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya ditarik kembali agar tegak, bayangan hitam itu sudah lebih cepat berbalik. Bahkan kini kembali meluruk deras menyerangnya.

“Ups! Yeaaah...!” Orang berwajah buruk itu cepat melentingkan tubuh ke udara, dan secepat kilat pula melontarkan satu pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Pukulan yang dilepaskan tepat mengenai bayangan hitam itu. Namun orang berwajah buruk itu jadi terkejut setengah mati, karena merasa seperti memukul segumpal kapas. Pukulannya berbalik arah, sehingga dia terpaksa melenting ke udara dan melakukan putaran beberapa kali. Ringan sekali kakinya mendarat di tanah.

Pada saat itu, bayangan hitam tadi sudah berbalik dan siap hendak menyerang lagi. Tapi, mendadak saja niatnya diurungkan. Wajahnya yang hitam, membuatnya sukar dikenali. Pakaiannya juga compang-camping dan berlumur lumpur. Beberapa bagian kulit tubuh-nya mengelupas. Sosok tubuh ini seakan-akan tidak berbeda jauh dengan orang berkerudung hitam itu.

“Kau rupanya, Nyai Kunti...,” desis manusia aneh yang muncul dari dalam kubur itu.

Suaranya terdengar dingin dan datar tanpa tekanan sama sekali. Sorot matanya yang merah, begitu tajam menusuk. Seakan-akan ingin menembus dinding hati orang di depannya yang dikenali bernama Nyai Kunti.

“Apa maksudmu merusak tempat peristirahatanku?” tanya manusia aneh itu, masih dingin dan datar nada suaranya.

“Aku membutuhkan Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga,” sahut Nyai Kunti, tegas.

“Untuk apa batu mustika itu bagimu?” tanya orang yang dipanggil Eyang Duraga lagi.

Manusia aneh itu kelihatan agak terkejut mendengar jawaban Nyai Kunti. Namun rasa keterkejutannya cepat dihilangkan, dengan menatap wanita berwajah buruk itu semakin tajam. Sedangkan Nyai Kunti tidak menjawab. Bibirnya terkatup rapat, namun sorot matanya tidak kalah tajam dibanding Eyang Duraga.

Sama sekali hatinya tidak merasa ngeri melihat raut wajah Eyang Duraga yang berlumpur dan hampir tidak memiliki daging lagi. Apalagi bau busuk yang tersebar dari tubuh laki-laki itu. Sama sekali tidak dihiraukan! Seluruh tubuh Eyang Duraga memang sudah membusuk, karena sudah terkubur puluhan tahun. Ulat-ulat kecil dan cacing-cacing tanah merubung hampir di seluruh tubuhnya yang membusuk dan mengelupas.

“Sebaiknya lupakan saja benda itu, Nyai Kunti. Benda itu hanya akan membawa malapetaka saja. Tidak ada manfaatnya sama sekali,” ujar Eyang Duraga.

“Kau pikir aku bisa terpengaruh oleh ucapanmu, Eyang Duraga?” sinis kata-kata Nyai Kunti.

“Aku tidak mempengaruhimu. Kau hanya kujelaskan kalau Mustika Batu Hijau tidak ada artinya bagimu. Hanya akan membawa bencana saja. Bukan hanya buat dirimu, tapi bagi seluruh dunia. Terutama dunia persilatan. Aku rasa, kau sudah tahu, kenapa tubuhku sampai terbaring di sini selama puluhan tahun. Aku tidak ingin kau bernasib sama denganku, Nyai Kunti,” bujuk Eyang Duraga.

“Tidak perlu menasihatiku, Eyang Duraga!” dengus Nyai Kunti dingin. “Berikan mustika itu, atau kau ingin merasakan mati dua kali...!”

“Rupanya iblis sudah begitu dalam merasuk dalam hatimu,” desah Eyang Duraga perlahan.

“Serahkan mustika itu padaku, Eyang...!” bentak Nyai Kunti berang.

“Sayang sekali! Benda itu tidak dapat kuberikan padamu, selama hatimu masih terbalut nafsu iblis,” ujar Eyang Duraga kalem.

“Keparat...! Jangan paksa aku menggunakan kekerasan, Eyang Duraga!”

“Kau sudah melakukannya, Nyai Kunti! Dan sudah kutegaskan, mustika itu tidak ada gunanya bagimu. Hanya akan menimbulkan bencana saja bagi dunia ini.”

“Setan keparat..!”

Sret! Cring...!

Cepat sekali Nyai Kunti menggerakkan tangan kanannya. Dan tahu-tahu, sebilah pedang berkilatan sudah tergenggam di tangannya. Pedang itu tersilang di depan dada. Pada bagian ujungnya berwarna merah bagai bernoda darah. Eyang Duraga melangkah mundur dua tindak. Kedua bola matanya terbeliak lebar melihat senjata di tangan wanita berwajah buruk itu, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Kau gentar melihat pedangku ini, Eyang Duraga...?” desis Nyai Kunti mengejek.

“Dari mana kau dapatkan pusaka itu?” tanya Eyang Duraga, agak bergetar suaranya.

“Rupanya kau masih mengenali juga senjata ini. Bagus.... Pedang inilah yang membuat dirimu harus terbaring di dalam kubur. Dan dengan pedang ini pula dirimu akan terbaring kembali di dalam kuburmu, Eyang Duraga,” ancam Nyai Kunti, semakin sinis nada suaranya.

“Kau pasti merampas pedang itu dari pemiliknya,” dengus Eyang Duraga.

“Ha ha ha...!” Nyai Kunti hanya tertawa terbahak-bahak.

Bet! Bet!

Wanita bermuka buruk itu mengebutkan pedang di tangannya dua kali. Seketika terlihat kilatan cahaya membias saat pedang itu bergerak cepat di depan dada Nyai Kunti. Tampak Eyang Duraga terkesiap melihat kilatan cahaya dari pedang itu. Kakinya langsung bergeser dua langkah ke belakang.

“Kau pasti ingin tahu, bagaimana aku memperoleh pedang ini, bukan...?” ujar Nyai Kunti. Dingin dan sinis nada suaranya.

Eyang Duraga diam saja. Namun sorot matanya masih tetap tajam mengamati setiap gerak perempuan bermuka buruk ini. Hatinya selalu terkesiap jika Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Setiap kali pedang itu bergerak, selalu menimbulkan kilatan cahaya yang menyilaukan mata. Walaupun hanya sekejapan saja, namun sudah membuat darah Eyang Duraga mendesir.

“Pendekar Pedang Kilat memang tangguh, dan sulit dicari tandingannya. Tapi dia terlalu bodoh dan mudah diperdaya. Sehingga, mudah sekali aku membuatnya tidak berdaya,” ujar Nyai Kunti kalem.

“Kau meracuninya...?” tebak Eyang Duraga langsung.

“Ha ha ha...!” lagi-lagi Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.

“Kau benar-benar iblis, Nyai Kunti! Kau wanita berhati iblis...!” desis Eyang Duraga geram.

“Ha ha ha....! Kenapa kau marah, Eyang Duraga? Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena orang yang mengalahkanmu sekarang telah mati.”

“Kami bertarung secara jujur dan jantan. Aku tidak mendendam, bahkan bangga bisa kalah oleh seorang pendekar ternama dan berkepandaian lebih tinggi. Tidak seperti kau...! Licik! Pengecut..!” geram Eyang Duraga.

“Ha ha ha...!”

Wuk...!

“Uts!”

Belum lagi lenyap suara tawanya, mendadak Nyai Kunti melompat menerjang Eyang Duraga sambil mengebutkan pedang. Namun cepat sekali gerakan Eyang Duraga menghindar. Dengan hanya memiringkan tubuh sedikit saja, tusukan pedang wanita berwajah buruk itu berhasil dielakkan. Eyang Duraga cepat menggeser kaki ke samping beberapa langkah. Karena angin tusukan pedang itu terasa panas sekali. Bahkan tubuhnya sempat menggeletar. Disadari, sedikit saja terkena pedang itu akan berakibat parah.

“Hiyaaat..!” Nyai Kunti kembali menyerang. Pedangnya disabetkan beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Eyang Duraga yang paling peka dan mematikan. Beberapa kali ujung pedang itu hampir menyentuh tubuh Eyang Duraga. Namun laki-laki bertubuh busuk yang sudah terkubur puluhan tahun itu, masih mampu menghindari. Bahkan beberapa kali sempat melakukan serangan balasan.

Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Mereka bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat. Begitu cepatnya jurus-jurus yang dimainkan, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebatan saling sambar dan ditingkahi kilatan cahaya dari pedang Nyai Kunti.

“Cukup, Nyai Kunti...!” seru Eyang Duraga tiba-tiba, seraya melompat mundur, keluar dari ajang pertempuran. Manis sekali gerakan Eyang Duraga. Kemudian kakinya mendarat tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Mereka kini berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar tiga batang tombak. Eyang Duraga meng-edarkan pandangan ke sekeliling sejenak. Sekitar tempat ini begitu berantakan bagai terlanda badai. Pohon-pohon bertumbangan. Bahkan beberapa kuburan terbongkar menganga. Tampak di sekitar mereka tulang-tulang tengkorak manusia berserakan. Eyang Duraga mendesis geram melihat kuburan ini jadi berantakan tidak karuan. Kembali ditatapnya Nyai Kunti dengan tajam.

“Kau hancurkan tempat suci ini, Nyai Kunti,” desis Eyang Duraga bergumam pelan.

“Semua ini tidak akan terjadi bila kau bersedia menyerahkan mustika itu,” dengus Nyai Kunti, dingin.

“Kau tidak akan memperolehnya, Nyai Kunti.”

“Hhh! Lihat saja...!” Wuk!

Nyai Kunti mengebutkan pedang ke depan. Dari ujung pedang itu meluncur secercah cahaya kilat dengan deras sekali. Eyang Duraga tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara, melakukan putaran dua kali. Maka kini dia berhasil menghindari kilat yang meluncur dari ujung pedang wanita bermuka buruk itu. Dan baru saja Eyang Duraga menjejakkan kakinya di tanah, cepat sekali Nyai Kunti menyerang sambil membabatkan pedang ke arah leher. Hampir saja ujung pedang wanita berwajah buruk itu membabat leher, kalau saja Eyang Duraga tidak cepat menarik kepala ke belakang.

“Yeaaah...!” Begitu serangannya tidak membawa hasil, Nyai Kunti cepat menyerang kembali. Kaki kanannya bergerak cepat mengarah ke pinggang lawan. Tendangan yang cepat dan tidak terduga itu tak dapat lagi dihindari.

Beg!

“Akh...!” Eyang Duraga menjerit agak tertahan. Laki-laki yang tubuhnya sudah membusuk itu terhuyung-huyung ke samping.

Dan belum juga keseimbangan tubuhnya dapat dikendalikan, mendadak saja Nyai Kunti kembali menyerang dahsyat. Pedangnya berkelebat cepat mengincar dada Eyang Duraga.

Bet!

“Uts!” Cepat Eyang Duraga menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya masih kalah cepat. Karena, dia juga harus menahan tubuhnya agar tetap seimbang, berpijak pada kedua kakinya. Tak pelak lagi, ujung pedang Nyai Kunti merobek kulit dada laki-laki tua bertubuh busuk itu.

“Akh...!” Eyang Duraga memekik keras agak tertahan.

Kembali Eyang Duraga terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya. Aneh.... Tubuh yang sudah membusuk itu masih juga mengeluarkan darah! Meskipun, darah itu berwarna hitam dan berbau tidak sedap. Nyai Kunti cepat melompat mundur, karena tidak tahan mencium bau yang begitu tajam menusuk hidungnya. Rasanya, seluruh isi perutnya bagai bergolak hendak keluar.

Sementara Eyang Duraga semakin limbung. Darah terus mengalir keluar dari dadanya yang tergores ujung pedang Nyai Kunti. Tangannya menunjuk wanita itu. Bibirnya bergetar, namun sedikit pun tak ada suara yang keluar. Sinar matanya mendadak saja meredup nanar. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung dan limbung bagai pohon tua yang hampir roboh tertiup angin.

“Ke..., keparat kau..., Kunti...,” desis Eyang Duraga terpatah-patah suaranya.

“Ha ha ha...!” Nyai Kunti tertawa terbahak-bahak.

Bruk!

Belum sempat Eyang Duraga mengeluarkan kata-kata lagi, tubuhnya sudah ambruk ke tanah. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Suara tawa Nyai Kunti semakin keras terbahak-bahak. Pedangnya segera dimasukkan kembali ke dalam warangka yang tersembunyi di balik jubahnya yang panjang.

Sebentar tubuh Eyang Duraga yang tergeletak tak berkutik lagi diamati. Seakan-akan ingin dipastikan kalau laki-laki tua yang sebenarnya sudah mati puluhan tahun itu benar-benar tidak akan bangkit lagi. Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu memeriksa seluruh tubuh Eyang Duraga. Dia jadi mendengus kesal, karena apa yang dicarinya tidak didapati pada diri laki-laki tua yang tubuhnya mengelupas membusuk itu.

“Huh!” Sambil mendengus kesal, Nyai Kunti menendang tubuh Eyang Duraga. Sebentar dirayapi sekitarnya.

Tampak semburat cahaya jingga mulai membayang di ufuk Timur. Sejak tadi ayam jantan memang sudah terdengar berkokok. Malah burung-burung pun sudah ramai berkicau. Saat ini pagi memang sudah datang menjelang, dan sebentar lagi matahari akan datang menerangi belahan bumi ini.

Pandangan mata Nyai Kunti terpaku pada bekas kuburan tua yang terbongkar di bawah pohon beringin besar. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri kuburan tua itu. Dia berdiri tepat di dekat lubang kuburan yang menganga lebar.

“Setan...!” dengus Nyai Kunti geram. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian di dalam kuburan itu, kecuali tanah berlumpur yang berbau tidak sedap. Nyai Kunti kembali mengalihkan perhatian pada mayat Eyang Duraga.

Sementara keadaan di sekitarnya mulai tersiram cahaya matahari pagi. Nyai Kunti kembali menghampiri mayat Eyang Duraga. Diperhatikannya sosok tubuh yang sudah membusuk itu.

“Kau tidak akan dapat memperoleh mustika itu, Nyai Kunti....”

“Heh...?!” Nyai Kunti tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara berat dan agak serak. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat dua langkah ke belakang. Suara itu jelas sekali datangnya dari mayat Eyang Duraga. Tatapan mata Nyai Kunti begitu tajam tertuju pada sosok mayat yang sudah membusuk, tergolek tidak jauh di depannya.

“Kau bisa membunuhku, Nyai Kunti. Tapi jangan harap dapat membunuh arwahku. Kau tidak akan memiliki mustika itu, dan jangan harap dapat memperolehnya. Mustika itu sudah kuberikan pada orang yang pantas memilikinya,” suara Eyang Duraga kembali terdengar.

“Keparat kau, Eyang Duraga...!” dengus Nyai Kunti menggeram marah.

“Hih...!” Dengan kemarahan meluap, Nyai Kunti menendang mayat Eyang Duraga hingga masuk kembali ke dalam lubang kuburnya. Seketika terjadi satu keajaiban. Kuburan yang terbongkar menganga, mendadak saja bergerak menutup begitu mayat Eyang Duraga masuk ke dalamnya. Nyai Kunti melompat tiga tindak ke belakang.

“Ha ha ha...!” terdengar tawa keras yang menggelegar. “Aku tahu, siapa orang yang kau maksud, Eyang Duraga. Huh! Kau pikir aku bodoh, bisa ditipu begitu saja!” dengus Nyai Kunti.

Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat pergi dari situ. Dalam sekejap mata saja, bayangan wanita tua itu sudah lenyap bagai tertelan bumi. Sementara suara tawa menggelegar masih terus terdengar mengiringi kepergian wanita berwajah buruk bagai mayat hidup. Dan kini suasana di kuburan tua itu pun kembali sunyi, bagaikan tak pernah terjadi sesuatu.

Sementara Nyai Kunti sudah jauh meninggalkan kuburan tua itu. Dia terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, sehingga seakan-akan kakinya tidak menjejak tanah. Wanita berpakaian longgar serba hitam itu terus berlari menerobos Rimba Tengkorak.

“Aku tahu, di mana kau berada. Huh! Mustika Batu Hijau itu harus berada di tanganku!”

********************

DUA

Siang itu udara di sekitar Kotaraja Karang Setra terasa sejuk. Angin bertiup sepoi-sepoi membawa kesejukan bagai di pegunungan. Langit tampak cerah dan jernih, tanpa awan sedikit pun menggantung menghalangi cahaya matahari. Keadaan alam yang indah ini tidak disia-siakan sepasang anak manusia yang berada di taman belakang Istana Karang Setra.

Sebuah taman indah yang ditata apik dan sedap dipandang mata. Bunga-bunga tampak segar, bermekaran menyebarkan keharuman yang menggelitik kuping hidung. Burung-burung tampak riang bernyanyi di atas dahan. Sepasang burung merpati putih, tampak isyik memadu kasih di sebatang dahan pohon yang cukup rendah. Sepasang manusia di dekatnya memandangi, seakan-akan iri melihat kemesraan dua merpati itu.

“Terkadang, aku suka berpikir. Alangkah senangnya jadi burung. Begitu bebas, penuh kasih sayang, tanpa memiliki beban tanggung jawab dan tuntutan besar...,” pemuda berwajah tampan menggumam perlahan, seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.

“Kau menyesal diciptakan jadi manusia, Kakang?” lembut sekali nada suara gadis cantik di sampingnya.

Pemuda tampan berbaju putih tanpa lengan itu berpaling. Seketika bibirnya tersenyum memandang gadis cantik berbaju biru di sampingnya. Sedangkan gadis itu membalas dengan senyum manis sekali. Mereka jadi melupakan sepasang merpati putih yang masih asyik bermesraan. Seakan-akan merpati itu juga tidak peduli dengan dua anak manusia di dekatnya.

“Aku justru bangga karena diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna di mayapada ini, Pandan,” ujar pemuda berbaju rompi putih itu.

“Tapi, kenapa kau berkata seperti tadi? Kau seperti iri melihat kebebasan merpati itu,” tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan.

Gadis itu memang Pandan Wangi sedangkan pemuda yang berdiri di sampingnya, tak lain adalah Rangga. Dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Saat ini mereka memang berada di Istana Karang Setra, tanah kelahiran pemuda berbaju rompi putih itu.

“Sifat manusia yang paling utama adalah iri, Pandan. Walaupun hanya sedikit, setiap manusia pasti memilikinya. Entah terhadap sesama manusia, atau terhadap hewan maupun alam lingkungannya. Aku iri pada sepasang merpati itu. Karena, mereka bisa bebas bermesraan, tanpa harus takut pada segala macam peraturan dan tetek bengek lainnya,” ujar Rangga mencoba berfilsafat.

“Kenapa harus iri...? Apa kau merasa dilarang bermesraan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Entahlah...,” desah Rangga, perlahan.

Pandan Wangi tersenyum. Arah pembicaraan itu sudah bisa ditangkapnya. Gadis itu tahu kalau Rangga sebenarnya ingin mengungkapkan isi hatinya. Memang disadari, mereka sudah cukup lama berhubungan. Dan mereka juga sudah saling memahami akan diri dan watak masing-masing. Tapi ada suatu jarak yang sangat besar, yang membatasi mereka. Dan rasanya, sukar sekali menyatukan jarak itu. Mereka sama-sama menyadari, terlalu sulit untuk bisa bersatu dalam satu ikatan suci. Jurang pemisah yang membentang di antara mereka begitu besar dan dalam. Dan semua itu sudah sama-sama disadari.

“Kakang, kau percaya terhadap takdir...?” tanya Pandan Wangi, setelah cukup lama terdiam.

“Takdir...? Tentu saja aku percaya, Pandan. Kenapa kau tanyakan itu?” Rangga balik bertanya.

“Aku percaya penuh pada takdir. Dan semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi suratan takdir yang tidak bisa dielakkan lagi. Termasuk juga jalan hidup kita. Kau menyesali perjalanan hidup kita, Kakang...?” pelan dan tenang sekali suara Pandan Wangi.

“Aku tidak percaya kita akan selamanya begini, Pandan. Satu saat nanti, semua ini pasti akan berakhir,” tegas Rangga, langsung dapat memahami maksud kata-kata Pandan Wangi.

“Seandainya aku bukan keturunan bangsawan atau brahmana?” tanya Pandan Wangi.

“Paling tidak, kau keturunan seorang ksatria, Pandan.”

“Jika tidak...?”

“Ah! Sudahlah...,” elak Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin lagi membicarakan persoalan ini.

Sampai saat ini, pemuda itu masih tetap mencari keterangan asal-usul Pandan Wangi yang sebenarnya. Memang sulit, karena orang-orang yang mengenal Pandan Wangi sejak kecil sudah tidak ada. Dan lagi orang tua gadis ini masih samar-samar. Belum ada satu kepastian mengenai asal-usulnya, meskipun ada beberapa keterangan kalau Pandan Wangi sebenarnya keturunan seorang pendekar besar.

Tapi ada juga yang bilang, kalau gadis itu keturunan seorang pertapa yang masuk dalam golongan brahmana. Dan sebenarnya, Rangga selalu mengelak dan tidak ingin membicarakan masalah ini. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menyetujui segala macam penggolongan.

Dia tidak ingin peduli dengan segala macam penggolongan dan derajat seseorang. Tapi adat warisan leluhur sudah meng-gariskan demikian, sehingga tidak bisa ditentangnya. Rangga menyadari kalau dirinya keturunan bangsawan berdarah biru. Dan sebagai keturunan bangsawan, dia tidak bisa sembarangan mencari pendamping hidup. Terlebih lagi di Karang Setra ini, dia seorang raja yang tentu tidak sedikit peraturan harus ditaati, termasuk dalam hal pendamping hidup.

“Aku akan ke pesanggrahan. Kau mau ikut, Pandan?” Rangga membelokkan arah pembicaraan.

“Cempaka ikut?” tanya Pandan Wangi.

“Kalau Cempaka mau,” sahut Rangga.

“Kapan berangkat?”

“Sekarang.”

“Akan kupanggil Cempaka dulu, Kakang.”

Tanpa meminta persetujuan lagi, Pandan Wangi bergegas melangkah meninggalkan taman ini. Rangga memandangi sampai gadis itu lenyap dari pandangan. Perlahan kemudian, kakinya baru diayunkan meninggalkan taman ini. Matanya sempat melirik pada sepasang merpati yang masih bercengkerama di atas dahan. Entah kenapa, dia jadi tersenyum melihat kemesraan merpati itu.
********************

Pendekar Rajawali Sakti
Tiga penunggang kuda keluar dari pintu gerbang benteng Istana Karang Setra. Ketiga penunggang kuda itu adalah Rangga, Pandan Wangi, dan Cempaka. Tak seorang prajurit pun yang menyertai mereka. Dalam keadaan pakaian seperti ini, tak seorang pun rakyat Karang Setra yang mengenali mereka.

Tak ada seorang pun dari ketiga pendekar muda itu yang menyadari, kalau kepergian mereka diamati sepasang mata yang tersembunyi di balik kerudung lusuh berwarna hitam. Sepasang bola mata itu tidak berkedip, mengikuti ketiga penunggang kuda yang semakin jauh meninggalkan istana megah ini.

“Hm..., kesempatanku sudah tiba. Tidak terlalu ketat penjagaan di sini,” terdengar gumaman yang halus dan hampir tidak terdengar.

Orang berbaju hitam yang longgar itu melilitkan kerudungnya, hingga menutupi hampir seluruh kepala. Hanya sepasang matanya saja yang masih terlihat menyorot tajam. Keadaan sekitar yang nampak sepi diamatinya. Hanya dua orang prajurit saja yang menjaga pintu gerbang benteng istana.

“Hup...!” Begitu cepat dan ringan sekali orang itu melenting ke udara. Dan tahu-tahu, dia sudah hinggap di atas tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Sebentar diamatinya keadaan di dalam benteng istana ini, kemudian meluruk turun dengan gerakan indah dan ringan. Begitu ringannya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah berumput di dalam benteng istana.

“Sepi.... Apakah ini suatu jebakan...?” kembali orang itu bergumam perlahan.

Orang itu menyembunyikan diri di balik gerumbul semak yang banyak tumbuh merapat pada tembok benteng. Sebentar keadaan sekitar diawasinya. Sorot matanya begitu tajam tak berkedip. Merasa suasana aman, dia cepat keluar dari tempat persembunyiannya. Hanya sekali lesat saja, orang itu sudah mencapai pinggir tembok bangunan istana.

Tubuhnya dirapatkan di dinding yang tebal dari batu. Kembali diamatinya keadaan sekitar. Baru saja kakinya bergerak hendak melangkah, mendadak saja terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Cepat tubuhnya diputar ke arah datangnya bentakan keras tadi. Tampak dua orang berseragam prajurit datang menghampiri setengah berlari.

“Huh! Kadal buduk...!” dengus orang itu.

Bet!

Cepat sekali tangan kanannya dikebutkan, sebelum kedua prajurit itu mendekat. Seketika dari balik lengan bajunya yang longgar, meluncur dua buah benda kecil berwarna keperakan. Benda itu meluncur deras bagai kilat tanpa disadari kedua prajurit itu. Sehingga...

Crab!

Bres!

Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Kedua prajurit itu langsung ambruk tak berkutik lagi, begitu dua benda keperakan menghantam dadanya. Cepat orang berbaju hitam lusuh itu melesat ke atas, lalu hinggap di atap. Kemudian tubuhnya kembali melenting labih tinggi lagi, lalu meluruk turun ke bagian belakang istana. Kakinya mendarat tepat di belakang seorang prajurit yang sedang berjaga.

“Hih!”

Begkh!

Hanya sekali pukulan saja, prajurit itu ambruk tak bersuara. Batok kepalanya rengat, sehingga darah mengucur keluar membasahi lantai. Orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar, lalu melompat cepat menuju sebuah pintu yang terbuka lebar. Tubuhnya dirapatkan di dinding dekat pintu. Perlahan-lahan kepalanya dijulurkan untuk melongok ke dalam.

“Kosong.... Di mana dia...?” desisnya perlahan. Sebentar pandangannya beredar ke sekitarnya, kemudian kembali melesat cepat. Gerakannya begitu ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Pertanda tingkat kepandaiannya begitu tinggi. Kembali kakinya mendarat di belakang dua orang prajurit yang menjaga sebuah pintu yang tertutup rapat.

Dieghk! Bek!

Dua orang prajurit itu langsung ambruk terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi pada tengkuknya. Cepat orang berbaju hitam lusuh itu merapatkan punggungnya di dinding dekat pintu. Belum juga melakukan sesuatu, pintu terkuak terbuka. Dari dalam muncul seorang pemuda tampan mengenakan baju putih bersih dari bahan sutra halus dan berhiaskan sulaman benang emas. Dia tampak terkejut begitu melihat dua orang prajurit yang menjaga di depan pintu ini sudah terkapar dengan darah menggenang di belakang kepalanya. Dan belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak saja sebuah pukulan melayang deras ke wajahnya.

“Uts!” Maka cepat-cepat kepalanya ditarik ke belakang, sehingga pukulan itu hanya lewat sedikit di depan wajahnya. Bergegas pemuda itu melompat mundur, masuk kembali ke dalam kamar. Namun sebelum bisa disadari apa yang terjadi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam menerobos masuk, langsung hendak menerjangnya.

“Hup! Yeaaah...!” Pemuda tampan itu cepat melentingkan tubuhnya, ambil berputaran dua kali ke belakang. Maka terjangan bayangan hitam itu pun tidak mengenai sasaran. Manis sekali pemuda itu menjejakkan kaki di lantai. Keningnya langsung berkerut, dan matanya menyipit saat melihat seseorang berbaju hitam kumal dan longgar sudah berdiri sekitar satu batang tombak di depannya. Seluruh kepalanya terbungkus kain hitam. Hanya sepasang bola matanya saja yang terlihat menyorot tajam.

“Siapa kau...?!” tanya pemuda itu membentak.

“Kau tidak perlu tahu, siapa diriku. Serahkan saja Mustika Batu Hijau dari Kuburan Tua!” sahut orang itu dingin. Dari nada suaranya yang datar, dapat dipastikan kalau orang berbaju hitam itu adalah wanita. Sedangkan dari bentuk tubuhnya, sulit dikenali. Karena, dia mengenakan pakaian longgar dan lusuh sekali. Baju yang dikenakannya, seakan-akan tidak pernah terkena air selama satu tahun. Kotor sekali, dan berbau tidak sedap.

“Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan, Nisanak?!” kata pemuda tampan itu.

“Phuih! Jangan berpura-pura, Danupaksi! Aku tidak punya banyak waktu. Serahkan mustika itu, atau mampus!” semakin dingin suara wanita itu.

“Kau sudah main ancam, Nisanak,” desis pemuda tampan yang ternyata memang Danupaksi.

“Serahkan mustika itu, cepat...!” bentak wanita berbaju hitam itu kasar.

“Aku tidak tahu, apa yang kau inginkan, Nisanak. Tidak ada benda yang kau cari di sini....”

“Setan alas...! Rupanya kau lebih memilih mati! Yeaaah...!”

“Hei, tunggu...!” Namun wanita berbaju hitam itu lebih cepat lagi melakukan serangan. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh dilontarkan ke arah dada Danupaksi.

“Hap!” Cepat Danupaksi memiringkan tubuh, sambil menarik sedikit ke kanan. Maka pukulan yang dilontarkan wanita itu tidak sampai mengenai sasaran. Namun cepat sekali tangannya ditarik kembali, dan cepat mengibaskan ke arah leher. Danupaksi sempat terperangah, namun cepat menarik tubuhnya ke belakang dua tindak. Dan tebasan tangan wanita berbaju hitam itu pun tidak tepat lagi mengenai sasaran.

“Hhh! Rupanya kau memiliki simpanan yang lumayan juga, Danupaksi. Pantas Eyang Duraga lebih memilihmu daripada aku!” dengus wanita itu ketus.

“Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan itu, Nisanak,” ujar Danupaksi.

“Phuih! Rupanya orang-orang Karang Setra senang berdusta. Baik... Aku punya cara tersendiri untuk membuka mulutmu, Danupaksi!”

Setelah berkata demikian, wanita berbaju hitam yang longgar dan lusuh itu kembali melompat menerjang. Namun kali ini Danupaksi sudah siap. Cepat tubuhnya melesat keluar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Wanita itu tampak kecolongan dan hanya terbengong-bengong. Namun itu hanya sebentar saja, karena dia sudah kembali meluncur deras keluar dari kamar ini.

“Mau lari ke mana kau, Bocah Setan?!

Yeaaah...!”

“Pengawal...!” teriak Danupaksi sekuat-kuatnya.

Cepat-cepat pemuda itu membanting dirinya ke tanah. Dia bergulingan beberapa kali, menghindari serangan yang dilakukan wanita tak dikenal itu. Danupaksi cepat melesat bangkit berdiri, dan langsung memiringkan tubuhnya ke kanan untuk menghindari satu pukulan keras menggeledek, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Saat itu Danupaksi melepaskan satu sodokan ke arah lambung. Namun serangan balasan pemuda itu mudah sekali dihindari.

Pada saat itu, sekitar sepuluh orang prajurit berlarian mendatangi. Sementara serangan-serangan yang dilakukan wanita berbaju hitam itu semakin gencar saja. Hal ini tentu saja membuat Danupaksi jadi kelabakan menghindarinya. Sedikit pun pemuda itu tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang. Namun, dia sempat melihat kedatangan sekitar sepuluh orang prajurit.

“Seraaang...!” teriak Danupaksi memberi perintah.

Sepuluh orang prajurit itu langsung berlompatan menyerang wanita berbaju hitam yang seluruh kepala dan wajahnya tertutup kain hitam lusuh. Kehadiran para prajurit itu membuat ruang gerak Danupaksi jadi sedikit longgar. Cepat pemuda itu melompat mundur beberapa tindak.

“Pengecut...! Hih! Yeaaah...!” dengus wanita itu geram. Seketika itu juga wanita itu cepat berkelebat dengan tubuh berputaran bagai gasing. Saat itu juga, terdengar jerit dan pekikan melengking tinggi yang menyayat. Kemudian disusul ambruknya tiga orang prajurit dengan dada terbelah menyemburkan darah segar. Belum lagi hilang dari pendengaran jeritan tadi, kembali terdengar jeritan panjang melengking. Kini dua orang prajurit kembali terjungkal roboh ber-lumuran darah.

“Keparat..!” desis Danupaksi menggeram.

“Hiyaaat....!”

Sret!

Bagaikan kilat Danupaksi melompat menyerang sambil mencabut pedang yang selalu tergantung di pinggang. Namun baru saja melakukan beberapa gebrakan yang tidak membawa hasil, kembali dua orang prajurit terjungkal roboh bermandikan darah. Gerakan wanita berbaju hitam itu sungguh cepat luar biasa, sehingga membuat Danupaksi dan sisa-sisa prajurit yang ada jadi kebingungan. Begitu cepatnya gerakan wanita itu, seakan-akan berada di mana-mana. Hal ini sangat menyulitkan Danupaksi untuk melakukan serangan, karena juga khawatir serangannya akan memakan para prajuritnya sendiri.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa....!”

Begitu cepatnya wanita itu bergerak, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu sisa prajurit yang ada berpentalan, dan ambruk tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras membasahi lantai yang licin dan berkilat. Kalau saja Danupaksi tidak cepat melompat mundur, nasibnya pasti akan sama dengan sepuluh prajuritnya.

“Percuma saja kau kerahkan semua prajurit yang ada, Danupaksi!” dengus wanita itu dingin. Serangannya juga dihentikan, seraya menatap tajam pemuda tampan di depannya.

“Siapa kau sebenarnya?!” tanya Danupaksi agak membentak.

“Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa aku, Danupaksi,” sahut wanita itu dingin.

“Hm.... Mungkin hari ini belum saatnya. Aku akan kembali lagi nanti mengambil mustika itu.” Setelah berkata demikian, wanita itu cepat melesat pergi.

“Hai.... Tunggu!” seru Danupaksi. Namun wanita berbaju hitam yang tidak kelihatan wajahnya itu sudah cepat menghilang tak berbekas lagi. Tidak mungkin bagi Danupaksi mengejar. Pemuda itu hanya dapat menarik napas dalam-dalam.

Pada saat itu terdengar langkah-langkah orang berlari cepat menuju ke arah ini. Danupaksi berpaling sedikit. Tampak Ki Lintuk, Patih Jaladara, dan sekitar tiga puluh orang berseragam prajurit datang menghampiri.

“Raden..., apa yang terjadi?” tanya Ki Lintuk begitu dekat dengan Danupaksi.

“Panjang ceritanya,” sahut Danupaksi. “Oh, ya.... Di mana Kanda Prabu Rangga?”

“Gusti Prabu sedang ke pesanggrahan bersama Gusti Ayu Cempaka dan Gusti Ayu Pandan Wangi,” Patih Jaladara yang menyahuti.

“Kapan kembali?”

“Sebelum gelap nanti,” sahut Patih Jaladara lagi.

“Baiklah. Paman Patih, tolong bereskan semua ini. Ki Lintuk, kau ikut aku.”

Danupaksi bergegas melangkah meninggalkan tempat itu, diikuti Ki Lintuk. Sedangkan Patih Jaladara memerintahkan para prajurit untuk menyingkirkan mayat sepuluh prajurit naas yang bergelimpangan bersimbah darah. Dan sebagian lagi membereskan tempat yang berantakan akibat pertarungan tadi.

********************

TIGA

Danupaksi memacu cepat kudanya melintasi jalan tanah berdebu. Di belakang Ki Lintuk mengikuti. Kudanya juga cepat dipacu. Debunya, mengepul membumbung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu bagai dikejar setan. Mereka sudah jauh meninggalkan gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra. Dari arah yang dituju, jelas mereka hendak ke pesanggrahan. Mereka terus memacu cepat kudanya, meskipun sudah harus melewati tepi jurang yang cukup dalam dan lebar. Sedangkan debu tidak lagi mengepul, karena jalan yang dilalui sekarang ini berbatu dan banyak ditumbuhi rerumputan.

“Awas...!” teriak Ki Lintuk tiba-tiba. Mendadak saja, dari atas tebing meluncur sebongkah batu yang sangat besar hendak mengancam mereka. Suaranya menggemuruh, membuat hati jadi bergetar. Danupaksi dan Ki Lintuk cepat melenting ke udara, maka batu itu lewat di bawah kaki mereka. Akibatnya, batu itu jadi menghantam kuda yang tak dapat menghindar lagi. Suara ringkik kuda terdengar menyayat, ditingkahi gemuruh batu-batu yang berguguran dari atas tebing.

Dua ekor kuda meluncur masuk ke dalam jurang bersama batu-batu dan pepohonan yang tumbang. Sedangkan Danupaksi dan Ki Lintuk berlompatan menghindari hujan batu, yang seakan-akan runtuh dari langit. Cukup lama juga mereka dihujani bebatuan dari atas tebing. Mereka baru bisa menarik napas lega saat tidak ada lagi batu-batu yang longsor. Danupaksi memandang ke atas tebing. Sementara Danupaksi dan Ki Lintuk berusaha menghindari hujan batu yang cukup berbahaya itu!

“Aneh... Bagaimana batu-batu itu bisa longsor?” gumam Danupaksi seperti bertanya pada diri sendiri.

Belum juga pertanyaan Danupaksi bisa terjawab, mendadak saja terdengar tawa mengikik yang keras dan menggema. Suara tawa itu jelas datang dari atas tebing batu. Sejenak Danupaksi dan Ki Lintuk tercenung, dan saling melemparkan pandang. Sementara suara tawa itu terus terdengar menggelitik bulu kuduk.

“Hati-hati, Gusti,” ujar Ki Lintuk memperingatkan. Suaranya terdengar bergumam, dan pelan sekali Begitu suara tawa mengikik berhenti, disusul meluncurnya sebuah bayangan hitam itu dari atas tebing. Begitu cepatnya bayangan hitam itu bergerak. Sehingga sebelum Danupaksi dan Ki Lintuk sempat menyadari lebih jauh, di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri seseorang berpakaian lusuh serba hitam. Seluruh kepalanya terbalut kain hitam. Hanya kedua matanya saja yang terlihat.

“Kau lagi...,” desis Danupaksi perlahan.

“Mau ke mana kau, Danupaksi...?” tanya orang itu. Suaranya terdengar dingin dan datar, tanpa tekanan sedikit pun.

“Mau ke mana saja, bukan urusanmu!” dengus Danupaksi.

“Hik hik hik...! Selama mustika itu belum diserahkan, kau selalu berurusan denganku, Danupaksi.”

“Berapa kali harus kukatakan padamu. Aku tidak tahu mustika yang kau cari!” geram Danupaksi sengit.

“Orang lain bisa kau kelabui, Danupaksi. Tapi aku tahu, kau memegang Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga. Sebaiknya serahkan saja benda itu padaku. Jangan kau paksa aku bertindak kejam, Danupaksi...!” kali ini nada suara orang berbaju hitam itu bernada mengancam.

“Kau tidak perlu mengancamku, Nisanak!” dengus Danupaksi geram.

“Hik hik hik...! Rupanya kau keras kepala juga. Baik.... Jangan katakan diriku kejam, Danupaksi.”

Bet!

Selesai berkata, orang berbaju hitam yang wajahnya terbalut kain hitam lusuh itu cepat mengebutkan tangannya. Kelihatannya dia bersiap hendak menyerang. Danupaksi segera menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sedangkan Ki Lintuk berpindah menjauhi pemuda tampan itu. Laki-laki tua itu tidak tahu, persoalan apa yang sebenarnya tengah terjadi antara Danupaksi dengan orang berbaju hitam itu.

Meskipun wajahnya sukar dikenali, namun dari nada suara dan bentuk tubuh, sudah dapat dipastikan kalau dia adalah wanita. Untuk beberapa saat, tak ada seorang pun yang membuka suara. Sementara Danupaksi dan wanita berbaju serba hitam itu sudah saling berhadapan, dan telah sama-sama membuka kembangan jurus. Namun, belum juga ada yang menyerang lebih dahulu. Seakan-akan keduanya tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

“Kau masih kuberi kesempatan terakhir, Danupaksi,” ujar wanita itu.

“Kalaupun mustika itu ada padaku, tidak bakalan kuberikan padamu!” dengus Danupaksi.

“Keras kepala...! Rasakan ini, hiyaaat...!”

Sambil berteriak nyaring, wanita berbaju serba hitam itu melompat cepat bagaikan kilat menerjang Danupaksi. Dua pukulan beruntun dilepaskan, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. “Hup...!” Danupaksi cepat memiringkan tubuh ke kanan, lalu menarik kembali ke kiri. Maka dua pukulan yang dilontarkan wanita itu tidak sampai menemui sasaran. Namun sebelum Danupaksi bisa bertindak lebih jauh lagi, mendadak saja wanita berbaju serba hitam itu melepaskan satu tendangan keras menggeledek, sangat cepat luar biasa.

“Yeaaah...!” “Hait...!” Tak ada lagi kesempatan bagi Danupaksi untuk menghindar. Maka tangannya cepat dihentakkan ke bawah, menangkis tendangan wanita berbaju hitam itu. Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi.

Tak!
“Hup!”
“Yeaaah...!”

Mereka saling berlompatan mundur sejauh dua batang tombak. Tampak Danupaksi meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang memerah akibat benturan tenaga dalam tadi. Sedang-kan wanita itu langsung melenting hendak menyerang kembali. Padahal, Danupaksi masih merasakan nyeri pada pergelangan tangannya.

********************

“Hiyaaat...!” Tiba-tiba saja Ki Lintuk melesat cepat memotong arus serangan wanita berbaju serba hitam itu. Cepat sekali laki-laki tua itu melontarkan satu pukulan menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Uts!” Wanita berbaju serba hitam itu tersentak. Cepat tubuhnya diputar ke belakang dua kali, menghindari serangan yang dilakukan Ki Lintuk. Pukulan yang dilepaskan Ki Lintuk memang tak sampai mengenai sasaran, namun berhasil menggagalkan serangan wanita itu pada Danupaksi.

“Keparat...!” dengus wanita berbaju hitam itu geram.

“Tunggu...! bentak Ki Lintuk begitu wanita berbaju serba hitam itu hendak menyerang kembali.

“Huh! Mau apa kau, Orang Tua?!” dengus wanita itu dingin.

“Kau menggunakan jurus 'Kelelawar Hitam'. Siapa kau sebenarnya?” tanya Ki Lintuk.

“Ha ha ha...!” wanita berbaju serba hitam itu tertawa terbahak-bahak. “Kau mengenali jurusku, Orang Tua. Tentu kau tahu siapa diriku.”

“Hm.... Hanya ada satu orang yang menguasai jurus 'Kelelawar Hitam'. Apakah kau Nyai Kunti...?” nada suara Ki Lintuk terdengar agak bergumam.

Wanita berbaju serba hitam itu tidak menjawab, tapi hanya tertawa terbahak-bahak saja. Perlahan tangannya diangkat, untuk melepaskan kain hitam lusuh yang menutupi wajahnya. Bukan hanya Danupaksi yang terlonjak kaget melihat raut wajah wanita itu. Bahkan Ki Lintuk sampai melompat mundur dua langkah ke belakang. Wajah wanita berbaju serba hitam itu demikian buruk, hampir seluruh kulit wajahnya mengelupas. Bahkan daging pipi kanannya hilang, hingga menampakkan tulang pipi yang putih kemerahan. Wajah wanita itu bisa dikatakan lebih mirip mayat hidup daripada manusia.

“Kau masih mengenaliku, Ki Lintuk...?” dingin sekali nada suara wanita itu.

“Siapa kau?” tanya Ki Lintuk dengan kening berkerut agak dalam.

“Aku tidak heran kalau kau tidak dapat lagi mengenaliku, Ki Lintuk. Tapi aku masih tetap mengenalimu. Di antara kita tidak ada satu persoalan pun. Sebaiknya jangan mencampuri persoalanku dengan Danupaksi,” semakin dingin nada suara wanita itu.

“Suaramu mirip Nyai Kunti. Tapi...., kenapa wajahmu jadi rusak seperti itu...?” Ki Lintuk seperti bertanya pada diri sendiri.

“Aku tidak akan begini kalau si Tua Bangka Duraga tidak mengambil Mustika Batu Hijau dari tanganku!” agak tinggi suara wanita berwajah buruk yang tak lain Nyai Kunti.

“Sekarang mustika itu ada pada Danupaksi. Dan aku akan meminta kembali dengan cara apa pun juga!”

“Nyai Kunti, kalau boleh aku...”

“Cukup!” bentak Nyai Kunti cepat, memutuskan ucapan Ki Lintuk. “Kau tidak berurusan denganku, Ki Lintuk. Menyingkirlah dari sini...!”

Ki Lintuk tampak jadi serba salah. Sebentar ditatapnya Nyai Kunti, dan sebentar kemudian beralih pada Danupaksi. Dia mengenai betul, siapa Nyai Kunti yang mempunyai watak sekeras batu karang. Tingkat kepandaian wanita berwajah buruk ini sangat tinggi. Rasanya, tidak sebanding dengan kepandaian Danupaksi. Jadi, Ki Lintuk sudah bisa mengukur, kalau Danupaksi tidak akan mungkin bisa menandingi wanita ini. Malah, dia sendiri belum tentu mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus.

Ki Lintuk langsung berpikir keras agar bisa menghindari bentrokan antara Nyai Kunti dengan Danupaksi. Disadari kalau yang diinginkan Nyai Kunti sulit dibendung lagi. Wanita itu akan menggunakan berbagai macam cara untuk bisa memenuhi segala keinginannya. Bahkan tidak segan-segan membunuh, asalkan keinginannya terlaksana.

“Nyai Kunti, mengapa kau mengira kalau Danupaksi yang memegang Mustika Batu Hijau?” tanya Ki Lintuk.

“Hanya dia yang sering datang ke kuburan tua Eyang Duraga!” sahut Nyai Kunti.

“Kau salah duga, Nyai Kunti. Aku tahu, siapa yang memegang mustika itu.”

“Heh...?! Kau tahu...? Siapa?” Nyai Kunti agak terperanjat.

“Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Ki Lintuk.

“Pendekar Rajawali Sakti...?” gumam Nyai Kunti agak terkejut Nyai Kunti menatap tajam Ki Lintuk, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

Danupaksi yang hendak membuka suara, segera cepat dicegah Ki Lintuk. Terpaksa Danupaksi diam, meskipun tidak mengerti, maksud laki-laki tua ini. Tapi dia percaya kalau Ki Lintuk tidak akan men-celakakan siapa pun. Danupaksi menyadari kalau tidak akan mungkin bisa menandingi perempuan bermuka buruk ini.

“Dia seorang pendekar kelana yang tempat tinggalnya tidak tetap,” jelas Ki Lintuk dengan suara dibuat sungguh-sungguh.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Nyai Kunti.

“Aku melihatnya sendiri, saat dia mendapatkan mustika itu. Karena, aku semula juga bermaksud memiliki mustika itu,” sahut Ki Lintuk.

“Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Ki Lintuk?”

“Kau tahu, siapa aku. Seumur hidupku, aku tidak pernah berdusta.” Nyai Kunti terdiam.

Ditatapnya Ki Lintuk begitu tajam, sekan-akan menyelidiki kebenaran kata-kata laki-laki tua ini. Kemudian, ditatapnya Danupaksi.

“Baiklah. Aku percaya padamu, Ki Lintuk. Tapi kalau kau berdusta, kau berurusan denganku,” ancam Nyai Kunti. “Dan kau Danupaksi.... Kau tidak bisa terlepas dari pengamatanku.”

Setelah berkata demikian, Nyai Kunti melesat cepat meninggalkan tempat ini. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Ki Lintuk menarik napas panjang, melonggarkan rongga dadanya yang tadi terasa begitu sesak.

“Aku tidak mengerti, kenapa Kakang Rangga dilibatkan dalam persoalan ini, Ki,” ujar Danupaksi perlahan seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.

“Demi keselamatanmu, Den,” sahut Ki Lintuk.

“Tapi kenapa harus melibatkan Kakang Rangga?”

“Tidak ada yang dapat menandingi kesaktiannya selain Gusti Prabu Rangga. Aku tahu betul, siapa Nyai Kunti. Kepandaiannya sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Aku rasa, hanya Gusti Prabu Rangga yang dapat menandinginya.”

“Aku tidak tahu, siapa dia. Aku juga tidak tahu, benda yang dicarinya, Ki,” ujar Danupaksi seakan-akan mengeluh.

“Aku percaya, Den tidak tahu apa-apa,” Ki Lintuk menyahuti.

“Tapi...” “Tapi kenapa, Ki?” tanya Danupaksi.

“Apa benar kau sering datang ke kuburan tua Eyang Duraga?” tanya Ki Lintuk ragu-ragu.

“Kuburan tua...?” Danupaksi tampak keheranan mendengar pertanyaan Ki Lintuk. “Kuburan tua yang mana, Ki?”

“Kuburan tua di pinggiran Desa Batu Ceper.”

Danupaksi terdiam merenung. Dicobanya untuk mencerna semua kata-kata yang diucapkan Ki Lintuk barusan. Pemuda itu memang tahu, di pinggiran Desa Batu Ceper terdapat sebuah kuburan tua yang letaknya persis di tepi Rimba Tengkorak. Belakangan ini, dia memang sering datang ke sana. Tapi tidak ada maksud apa-apa. Sama sekali Danupaksi tidak tahu kalau di sana terdapat sebuah benda yang kini tampaknya bakal menjadi masalah besar.

“Ya, aku memang sering datang ke sana,” terdengar pelan suara Danupaksi, seperti bicara untuk diri sendiri.

“Mau apa ke sana?” tanya Ki Lintuk, agak terkejut juga mendengar pengakuan pemuda itu.

“Aku hanya senang dengan suasananya yang tenang,” sahut Danupaksi.

“Apa tidak ada peristiwa yang terjadi selama kau di sana, Den?” tanya Ki Lintuk lagi.

Danupaksi tidak segera menjawab.

“Ingat-ingat dulu, Den,” desak Ki Lintuk.

“Waktu itu memang ada satu peristiwa, tapi tidak pernah kupedulikan,” kata Danupaksi.

“Peristiwa apa, Den?”

“Dari kuburan tua muncul sebuah benda bersinar terang. Benda itu lalu melayang-layang di atas kepala ku, Ki. Hanya sebentar saja, lalu sinar itu hilang,” Danupaksi menceritakan dengan singkat

“Kau merasakan sesuatu waktu itu?”

“Entahlah, Ki.... Ah, aku tidak ingin membicarakan lagi.”

Ki Lintuk menghentikan ayunan langkahnya. Di pandanginya Danupaksi dalam-dalam, seakan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sedangkan yang dipandangi hanya tertunduk saja. Ki Lintuk merasa yakin kalau ada sesuatu yang disembunyikan pemuda ini. Hanya saja, sukar untuk bisa diduga. Sedangkan dia tahu kalau Danupaksi sulit diajak terbuka jika mempunyai suatu persoalan seberat apa pun. Danupaksi memang paling tidak ingin melibatkan orang lain ke dalam permasalahannya sendiri.

“Sebaiknya persoalan ini kau bicarakan dengan kakakmu, Den. Aku merasa kemunculan Nyai Kunti akan membawa bencana besar. Aku tahu betul wanita itu,” ujar Ki Lintuk lembut.

“Akan kupikirkan dulu, Ki,” sahut Danupaksi.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan tanpa bicara lagi, dan terpaksa berjalan kaki. Kuda-kuda mereka telah terjerumus ke dalam jurang, ketika Nyai Kunti menjatuhkan batu-batu dari atas tebing di pinggir jurang. Selama perjalanan menuju ke pesanggrahan, tak ada lagi yang bicara. Sementara Ki Lintuk terus berpikir. Kemunculan Nyai Kunti yang menyangka Danupaksi memegang Mustika Batu Hijau, dan pengakuan Danupaksi yang merasa tidak memiliki benda itu, membuat Ki Lintuk harus terus berpikir keras. Dia tidak tahu, siapa di antara mereka yang benar.

Mustika Batu Hijau sudah membuat persoalan baru lagi. Persoalan yang selama puluhan tahun telah tenggelam, sejak Eyang Duraga tewas di tangan Pendekar Pedang Kilat dan dikubur-kan di Desa Batu Ceper. Sejak itu tidak ada lagi orang yang meributkan tentang Mustika Batu Hijau. Tapi sekarang ini.... Nyai Kunti kembali membuka masalah lama yang sudah tenggelam puluhan tahun lamanya.

********************

Matahari sudah hampir tenggelam saat Danupaksi dan Ki Lintuk tiba di pelataran bangunan pesanggrahan yang terbuat dari susunan batu. Bangunan itu bentuknya lebih mirip candi. Suasananya begitu sunyi dan tenang. Hanya desir angin dan kicauan burung yang terdengar. Begitu nyaman dan terasa damai berada di tempat suci ini.

Perlahan-lahan Danupaksi melangkah mendekati bagian pintu yang tidak pernah tertutup. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar pesanggrahan ini. Sementara Ki Lintuk terus mengikuti dari belakang. Mereka berhenti melangkah tepat di depan pintu. Tampak jelas kalau Danupaksi ragu-ragu untuk melangkah masuk ke dalam. Wajahnya kemudian berpaling memandang Ki Lintuk yang berada di sebelah kanan, agak ke belakang.

“Aku merasa ada kejanggalan, Ki,” ujar Danupaksi setengah berbisik.

“Hm..., ya. Tidak seperti biasanya,” sahut Ki Lintuk juga pelan suaranya.

Mereka sama-sama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan di sekitar pesanggrahan ini benar-benar sepi. Memang tidak seperti biasanya. Setiap Rangga berada di pesanggrahan ini, paling tidak depan pintu ini ada dua orang prajurit yang menjaga. Dan sekitar pesanggrahan, biasanya terlihat beberapa prajurit yang siap menjaga keamanan. Tapi kali ini, tak seorang pun prajurit yang terlihat.

“Sebaiknya periksa saja ke dalam, Den,” ujar Ki Lintuk memberi saran.

“Baiklah. Aku periksa keadaan di dalam. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di sini,” sahut Danupaksi.

Pemuda itu bergegas melangkah masuk ke pesanggrahan. Sementara Ki Lintuk menunggu di luar. Laki-laki tua itu berjalan mengelilingi bangunan batu berbentuk candi ini. Hatinya juga jadi heran, karena tidak satu pun terlihat prajurit penjaga. Sampai kembali ke depan pintu masuk, sama sekali tidak ditemukan seorang pun. Ki Lintuk baru mau masuk ke dalam ketika Danupaksi keluar dengan langkah tergesa-gesa.

“Ada apa, Den?” tanya Ki Lintuk.

“Aku tidak melihat ada seorang pun di dalam, Ki, sahut Danupaksi.

“Di ruang semadi?” tanya Ki Lintuk lagi.

“Kosong. Bahkan pintunya terbuka.”

“Aneh...,” gumam Ki Lintuk sambil mengerutkan keningnya. Mereka jadi terdiam.

“Ki, kalau tidak ke sini, lalu ke mana mereka...? tanya Danupaksi seperti untuk dirinya sendiri.

“Itulah yang membuatku tidak mengerti, Den. Tidak biasanya Gusti Prabu membelokkan tujuannya. Lagi pula, belum satu hari. Hm.... Ke mana perginya, ya...?” nada suara Ki Lintuk juga terdengar bergumam pelan.

“Ki....”

Belum juga Danupaksi meneruskan kalimatnya, tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Kedua orang di depan pesanggrahan itu langsung mengarahkan pandangan ke arah suara langkah kaki kuda itu. Tampak debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Dan tak berapa lama kemudian, muncul seekor kuda coklat yang berlari kencang membawa sesosok tubuh tertelungkup di punggungnya.

“Hup...!” Danupaksi cepat melompat menghampiri kuda itu. Sigap sekali dia menyambar tali kekang, dan menghentikan kuda coklat itu. Ki Lintuk bergegas menghampiri. Mereka menurunkan sosok tubuh yang tertelungkup di atas punggung kuda, lalu membaringkannya di tanah berumput tebal. Tubuh yang mengenakan seragam prajurit itu tampak sudah tak berdaya. Dari dada dan lehernya mengucurkan darah segar.

“Ohhh...,” prajurit itu membuka matanya sambil merintih lirih.

“Ada apa? Apa yang terjadi...?” tanya Danupaksi langsung.

“Gusti..., di.... Oh!”

Danupaksi dan Ki Lintuk tak dapat berbuat apa-apa lagi. Prajurit itu sudah menghembuskan nafas yang terakhir. Terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Dia hanya menunjuk ke satu arah tanpa mengucapkan sesuatu yang berarti. Sebentar Danupaksi menatap Ki Lintuk, kemudian bangkit berdiri. Pemuda itu menatap ke arah yang ditunjuk prajurit itu.

“Apa maksudnya menunjuk ke arah sana, Ki?” tanya Danupaksi.

“Mungkin meminta kita ke sana, Den,” sahut Ki Lintuk.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Danupaksi langsuing melesat cepat ke arah yang ditunjuk prajurit itu. Ki Lintuk juga cepat melesat pergj, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja bayangan kedua laki-laki itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan suasana di pesanggrahan ini tetap sunyi.

********************

EMPAT

Senja terus merayap semakin jauh. Keremangan mulai menjalar menyelimuti seluruh permukaan bumi Karang Setra. Sementara Danupaksi dan Ki Lintuk terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju arah yang ditunjuk seorang prajurit yang terluka, dan berada di ambang kematian. Mereka sudah cukup jauh meninggalkan pesanggrahan, tapi tak juga menemukan sesuatu.

Namun begitu melewati sebuah sungai kecil yang berair dangkal, mendadak saja Danupaksi menghentikan larinya. Kedua mata orang itu terbeliak lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Ki Lintuk sendiri sampai terbengong dengan mata terbeliak dan mulut terbuka lebar. Untuk beberapa saat lamanya, mereka terpaku memandangi mayat-mayat berseragam prajurit yang bergelimpangan di depannya. Ada sekitar tiga puluh orang prajurit bergelimpangan tak bernyawa lagi.

“Biadab...!” desis Danupaksi menggeram.

“Iblis mana yang melakukan ini...?” desis Ki Lintuk bagai bertanya pada dirinya sendiri.

Tak ada seorang pun dari prajurit itu yang masih hidup. Bau anyir darah menyeruak, menusuk hidung. Beberapa di antaranya ada yang terbujur masuk ke dalam sungai, sehingga airnya jadi berwarna merah. Danupaksi serasa ingin muntah melihat mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Mereka adalah para prajurit yang bertugas menjaga pesanggrahan.

Srek!

Tiba-tiba saja terdengar suara semak tergeser. Danupaksi cepat berpaling menatap gerumbul semak yang bergerak-gerak. Cepat tubuhnya melompat menerobos ke dalam semak itu.

“Cempaka...!” sentak Danupaksi terkejut melihat seorang gadis berbaju merah muda tengah berusaha keluar dari dalam semak.

Bergegas Danupaksi menggotong tubuh gadis itu, dan membawanya keluar. Sedangkan Ki Lintuk cepat-cepat menghampiri. Danupaksi membaringkan Cempaka di bawah pohon yang cukup rindang. Darah tampak mengotori baju dan wajah gadis itu. Dengan tangan agak bergetar, Danupaksi membersihkan darah yang mengotori wajah Cempaka.

“Apa yang terjadi di sini, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Di mana Kakang Rangga dan Pandan Wangi?” Masih banyak pertanyaan yang meluncur bagai hujan dari bibir Danupaksi, tapi Cempaka tak mampu menjawab semua pertanyaan itu.

Napasnya tersengal satu-satu. Bibirnya bergetar, namun tak ada suara sedikit pun yang terucapkan. Danupaksi tampak kebingungan melihat keadaan adik tirinya ini. Sementara Ki Lintuk juga tak dapat berbuat sesuatu.

“Ki! Cepatlah kembali ke istana. Bawa beberapa prajurit dan amankan daerah ini. Bawa juga seorang tabib istana,” perintah Danupaksi.

“Baik, Den,” sahut Ki Lintuk.

Tanpa menunggu perintah dua kali, Ki Lintuk bergegas melompat naik ke punggung seekor kuda yang ada di tempat ini. Cepat-cepat kuda itu digebah. Bagaikan kesetanan, Ki Lintuk menggebah cepat kuda itu menuju Kotaraja Karang Setra. Sementara Danupaksi menggotong Cempaka, dan membawanya pergi. Kakinya melangkah cepat menuju pesanggrahan.

“Kau harus pulih kembali, Cempaka. Kau harus menceritakan apa yang terjadi di sini,” ujar Danupaksi berbisik pelan.

“Kakang..., berhenti dulu...,” ujar Cempaka, lirih dan agak tersendat suaranya.

“Oh! Kau bisa bicara...?” Danupaksi menghentikan langkahnya. Cempaka diturunkan dari gendongannya, dan diletakkan menyandar pada sebongkah batu yang cukup besar. Cempaka menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Sebentar jalan napasnya diatur agar bisa tenang bicara. Sesekali mulutnya meringis sambil memegangi dadanya.

“Apa yang terjadi, Cempaka?” tanya Danupaksi setelah melihat Cempaka bisa bemapas lebih tenang.

“Jangan kembali ke pesanggrahan, Danupaksi,” ujar Cempaka pelan. Begitu lirih suaranya, hampir tak terdengar.

“Kenapa?” tanya Danupaksi. “Dia.... Dia... Uhk! Dia tangguh sekali, Danupaksi. Dia sudah menguasai pesanggrahan. Oh...!”

“Siapa dia, Cempaka?” tanya Danupaksi.

Pikiran Danupaksi langsung tertuju pada wanita bermuka buruk yang dikenali Ki Lintuk sebagai Nyai Kunti. Wanita yang hampir saja membuatnya mati di pinggir jurang. Wanita bermuka buruk itu mencari sebuah benda yang sama sekali tidak diketahuinya. Tapi, Danupaksi belum bisa menduga lebih jauh. Terlalu singkat jarak waktu antara kejadian di tempat ini dengan semua yang dialaminya. Memang tidak mungkin satu orang berada pada dua tempat dalam waktu yang singkat. Bahkan hampir bersamaan.

“Mengerikan sekali, Danupaksi. Dia seperti mayat yang bangkit dari dalam kubur,” ujar Cempaka agak bergidik.

“Mayat hidup...?” Danupaksi terlongo.

“Mungkinkah...? Ah, tidak! Tidak mungkin...!” Danupaksi menggeleng-gelengkan kepala, membantah semua yang tiba-tiba saja timbul di kepalanya. Dia tidak mau percaya kalau Nyai Kunti bisa membantai begitu banyak prajurit, bahkan melukai Cempaka. Dan herannya, sampai saat ini tidak diketahui, di mana Rangga dan Pandan Wangi berada. Sedangkan pada saat itu, Nyai Kunti tengah bertarung melawan pemuda ini. Tapi, wajah Nyai Kunti.... Memang lebih mirip wajah mayat yang sudah lama terkubur di dalam tanah.

“Kapan semua ini terjadi, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Baru saja.”

“Baru...?”

********************

Danupaksi merasakan bumi seakan-akan berputar terbalik. Peristiwa ini baru saja terjadi. Sedangkan dari tepi jurang ke tempat pesanggrahan, memerlukan waktu setengah hari berjalan kaki. Tapi bagi seorang tokoh persilatan yang berkepandaian sangat tinggi, memang bisa dicapai dalam waktu sebentar saja. Mungkinkah yang melakukan semua ini Nyai Kunti...? Kembali Danupaksi menggeleng-gelengkan kepalanya berulang-ulang. Danupaksi merasa kepalanya seperti mau pecah.

Sukar dipercaya, namun memang inilah kenyataannya. Hanya satu orang saja, namun sudah begitu banyak meminta korban. Seseorang mencari sebuah benda, yang sama sekali tidak diketahui bentuk dan warnanya. Namun Danupaksi masih belum yakin kalau semua ini perbuatan Nyai Kunti. Kembali ditatapnya Cempaka yang kini sudah kelihatan lebih tenang.

“Ceritakan, bagaimana kejadiannya,” pinta Danupaksi.

“Aku, Kakang Rangga, dan Pandan Wangi sampai di pesanggrahan tengah hari. Kakang Rangga langsung masuk ke dalam kamar semadi. Sedangkan aku dan Pandan Wangi melihat-lihat keadaan sekitar pesanggrahan...,” Cempaka memulai menceritakan awal kejadiannya.

“Hm..., teruskan,” pinta Danupaksi melihat Cempaka berhenti bercerita.

“Setelah pergantian regu penjaga, musibah itu datang. Aku tidak tahu, apakah dia pantas disebut manusia atau tidak. Seluruh tubuhnya membusuk. Kulit serta dagingnya mengelupas. Kemunculannya begitu saja dan tiba-tiba sekali. Dia ingin masuk ke dalam pesanggrahan. Aku, Pandan Wangi, dan para prajurit penjaga mencoba mencegah. Seperti memancing, dia malah lari ke seberang sungai. Kami terus mengejar. Di situ, aku, Pandan Wangi, dan prajurit-prajurit penjaga tidak sanggup menghadapinya. Aku tidak tahu, bagaimana kelanjutannya. Satu pukulan keras tiba-tiba bersarang di dada, sehingga membuat aku pingsan,” Cempaka mengakhiri kisahnya.

“Orang itu tidak mengatakan sesuatu, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Dia mencari benda yang disebut Mustika Batu Hijau,” sahut Cempaka.

Danupaksi tercenung mendengar orang yang membantai para prajurit ternyata mencari sebuah mustika dari kuburan tua. Pemuda itu langsung tanggap, kalau yang dicari pasti Mustika Batu hijau. Hanya saja Danupaksi belum dapat memastikan, apakah orang itu Nyai Kunti atau ada orang lain lagi yang serupa wajah dan tubuhnya dengan perempuan itu. Jarak waktu yang terjadi di tempat ini dengan yang dialaminya, terlalu singkat. Dan Danupaksi tidak yakin kalau Nyai Kunti bisa bergerak begitu cepat. Sedangkan waktu pergi, dia begitu yakin kalau wanita itu tidak menuju ke pesanggrahan ini.

“Hm.... Apakah dia Eyang Duraga sendiri...?” gumam Danupaksi, bertanya sendiri dalam hati.

Sementara itu kegelapan mulai merambat menyelimuti sekitarnya. Tak terlihat lagi cahaya matahari di sebelah Barat. Bintang mulai bertebaran di langit kelam. Tampak bulan mengintip dari balik awan, mencoba menerangi mayapada ini dengan sinarnya yang lembut dan redup. Udara di sekitar daerah pesanggrahan ini pun semakin terasa dingin.

Danupaksi mengumpulkan ranting-ranting kering, dan menumpuknya di dekat Cempaka duduk. Kemudian dia membuat api untuk mengusir udara yang terasa semakin dingin menggigilkan. Malam ini mereka terpaksa harus bermalam di alam terbuka seperti ini. Nyala api yang membakar ranting-ranting kering, membuat udara di sekitar tempat itu jadi terasa hangat.

Baru saja Danupaksi menghenyakkan tubuhnya di samping Cempaka, telinganya mendengar suara gemerisik dari arah belakang. Cepat pemuda itu melompat bangkit berdiri seraya memutar tubuhnya. Tampak semak di dekatnya bergerak-gerak. Sementara Cempaka tetap diam, bersikap waspada. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang yang masih tersimpan di dalam warangkanya.

“Siapa itu...?” bentak Danupaksi lantang.

Tak ada jawaban. Dan semak itu juga berhenti bergerak. Danupaksi menajamkan telinganya. Suasana seketika jadi terasa begitu sunyi dan mencekam. Tak terdengar suara sedikit pun, kecuali desir angin saja yang terdengar mengusik telinga. Perlahan-lahan Danupaksi melangkah mendekati semak belukar di depannya. Namun belum juga sampai, mendadak saja...

Srak...!

“Hup! Yeaaah...!

Cepat Danupaksi melentingkan tubuhnya ke belakang ketika tiba-tiba saja dari dalam semak melesat sebuah bayangan hitam yang langsung menerjangnya. Pemuda itu menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah. Namun dengan gerakan manis dan cepat, dia kembali bangkit berdiri.

“Danupaksi, awas...!” seru Cempaka tiba-tiba memperingatkan pemuda itu.

“Hiyaaa...!” Kembali Danupaksi harus melompat ke udara begitu tiba-tiba bayangan hitam itu meluruk deras ke arahnya. Bayangan hitam itu lewat sedikit di bawah kaki pemuda itu. Manis sekali Danupaksi memutar tubuhnya, dan cepat sekali pedangnya dicabut. Langsung punggung bayangan hitam itu dibabatnya.

Bet! Crab!

“He...?!” Danupaksi tersentak kaget. Tubuhnya cepat diputar, lalu mendarat sekitar dua batang tombak dari bayangan hitam itu. Pemuda itu merasakan pedangnya bagai menghantam segumpal kapas yang begitu lunak. Sabetan pedangnya mental berbalik, hampir mengenai dirinya sendiri. Sementara bayangan hitam itu berhenti menyerang, lalu memutar tubuhnya perlahan.

“Oh...?!” Danupaksi terpana begitu melihat di depannya kini telah berdiri sesosok makhluk yang begitu mengerikan! Seluruh tubuh orang itu membusuk dan mengelupas. Wajahnya hampir tidak memiliki daging lagi. Ulat-ulat kecil dan lumpur menjadi satu melekat di tubuhnya. Danupaksi melangkah mundur beberapa tindak sambil menahan napas. Bau busuk begitu meyengat, membuat perutnya terasa bergolak, bagai gunung berapi yang hendak memuntahkan laharnya.

“Dia orangnya, Danupaksi,” ujar Cempaka memberi tahu.

Makhluk aneh mengerikan bagai mayat hidup itu menatap Cempaka. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan kotor berlumpur. Cempaka yang sudah berdiri, jadi bergidik ngeri. Kakinya cepat bergeser mendekati Danupaksi. Pedang sudah terhunus, tergenggam di tangan kanannya. Sementara sosok makhluk aneh mengerikan kembali menatap Danupaksi. Sinar matanya memerah tajam, seakan-akan hendak melumat habis pemuda depannya.

“Siapa kau...?” tanya Danupaksi begitu mendapat kekuatan.

“He he he...,” makhluk aneh itu hanya terkekeh menjawab pertanyaan Danupaksi.

“Kau yang bernama Danupaksi...?” dia malah balik bertanya.

“Heh ..?! Dari mana kau tahu namaku...?” Danupaksi jadi terhenyak kaget.

“He he he.... Kebetulan kita bertemu di sini, Danupaksi. Aku sudah bosan mencarimu ke sana mari. He he he.... Rupanya kemujuran masih mengikutiku.”

“Apa maksudmu mencariku...?” tanya Danupaksi jadi bergidik ngeri.

“Ha ha ha...!” orang itu malah tertawa terbahak-bahak.

Danupaksi menggeser kaki ke belakang dua tindak. Sementara Cempaka ikut melangkah mundur, dan tetap berada di belakang kakak tirinya ini. Belum hilang dari ingatannya, bagaimana makhluk aneh bagai mayat hidup ini membantai para prajurit. Bahkan beberapa kali pedangnya bersarang di tubuh makhluk itu, tapi sedikit pun tidak melukainya. Apalagi sampai merobohkannya. Dan sekarang, Danupaksi harus berhadapan lagi dengannya. Cempaka tidak tahu, apakah kali ini akan selamat jika harus bertarung kembali. Sementara mayat hidup itu terus tertawa tergelak-gelak, membuat telinga Danupaksi dan Cempaka bagai bergidik hendak pecah.

“Seharusnya kau bersyukur karena bisa kupercaya, Danupaksi. Tapi ternyata kau bukan orang yang cocok. Sekarang titipanku akan kuminta kembali,” kata makhluk aneh mengerikan itu. Suaranya, terdengar dingin dan datar, tanpa tekanan sedikit pun.

“Kau..., kau Eyang Duraga...?” tebak Danupaksi langsung.

“Benar! Akulah Eyang Duraga. Aku terpaksa bangkit lagi dari kubur, karena kau tidak pantas menerima mustika yang kuberikan. Sekarang, barang titipanku akan kuminta kembali,” ujar makhluk aneh yang ternyata memang Eyang Duraga.

“Barang titipan...? Aku tidak mengerti maksudmu. Barang apa yang kau titipkan padaku?” Danupaksi jadi kebingungan sendiri.

“Huh! Ternyata kau benar-benar tidak bisa dipercaya, Danupaksi! Aku menyesal telah memberi kepercayaan yang penuh padamu!” dengus Eyang Duraga menggeram.

“Tunggu dulu...! Aku baru kali ini melihatmu. Dan aku tidak tahu, titipan apa yang kau maksudkan.” sergah Danupaksi.

“Kau tidak bisa mengelabuiku, Danupaksi. Kau datang padaku, dan mengatakan kalau kau bisa dipercaya. Maka benda itu kuberikan padamu untuk disimpan dan dirawat. Tapi kenyataannya, kau telantarkan begitu saja. Bahkan sekarang kau mungkir, berdalih segala macam. Aku tidak suka sifat itu, Danupaksi. Kau bukan seorang kesatria yang patut dipercaya!” agak tinggi nada suara Eyang Duraga.

Danupaksi semakin kebingungan. Pemuda ini benar-benar tidak tahu maksud perkataan Eyang Duraga. Sama sekali dia tidak merasa diberi sesuatu untuk dititipkan. Melihat wujud manusia yang sudah terkubur puluhan tahun ini saja, baru kali ini. Jadi mana mungkin kalau sempat bicara, dan sampai meyakinkan segala. Apalagi, Danupaksi tidak tahu benda yang dimaksudkan Eyang Duraga. Namun, dia sudah dapat menduga kalau benda itu pastilah benda yang juga diinginkan Nyai Kunti.

“Aku tidak punya banyak waktu, Danupaksi. Kalau benda itu sampai musnah, aku akan mati selamanya. Kau harus kembalikan benda itu sekarang juga. Aku tidak ingin dia terus berkeliaran dengan Pedang Kilat di tangannya. Bukan hanya membahayakan bagi diriku, tapi juga bagi seluruh rimba persilatan. Aku harus mencegahnya Danupaksi. Hanya mustika itu yang dapat menandingi Pedang Kilat,” jelas Eyang Duraga, agak melunak suaranya.

“Sungguh, aku tidak tahu mustika yang kau maksudkan. Seandainya ada padaku, untuk apa aku memilikinya? Benda itu tidak ada gunanya bagiku,” tegas Danupaksi, tetap kukuh pada pendiriannya.

“Kuperingatkan sekali lagi padamu, Danupaksi. Ini memang kesalahanku, sehingga mudah mempercayaimu begitu saja. Baiklah.... Kau kuberi kesempatan dalam satu atau dua hari ini. Jika mustika itu tidak kau serahkan, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu.”

Setelah berkata seperti itu, Eyang Duraga melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga bagaikan menghilang begitu saja. Danupaksi menarik napas panjang, seakan-akan hendak melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak. Perlahan tubuhnya dihenyakkan ke tanah. Dipandanginya Cempaka yang sejak tadi diam saja. Gadis itu juga memandangi pemuda ini dengan sinar mata yang sukar diartikan. Untuk beberapa saat, tak ada yang bicara. Sibuk dengan beban pikiran masing-masing.

“Apa yang harus kulakukan sekarang...?” keluh Danupaksi perlahan.

Tentu saja Cempaka tidak dapat menjawab. Gadis itu memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka yang tergantung di pinggang. Dia ikut duduk di depan pemuda ini. Ada rasa iba terselip dihatinya melihat wajah Danupaksi begitu kusut. Dia percaya kalau Danupaksi tidak tahu-menahu semua yang sedang dihadapinya. Tapi untuk membantu pemuda ini, Cempaka tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sedangkan dia sendiri tidak tahu, persoalan yang sebenarnya.

“Apa tidak sebaiknya kita temui dulu kakang Rangga, Danupaksi,” ujar Cempaka memberi saran yang tiba-tiba saja terlintas di benaknya.

“Ke mana harus mencarinya, Cempaka?” tanya Danupaksi lesu.

“Kakang Rangga tidak ada di pesanggrahan.”

“Tidak ada...?! Lalu ke mana?” tanya Cempaka terkejut.

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu Cempaka.”

Cempaka jadi terdiam. Seingatnya, ketika Eyang Duraga muncul, Rangga sudah masuk ke dalam ruang semadi. Dia dan Pandan Wangi serta prajurit mengejar mayat hidup itu. Juga di mana Pandan Wangi sekarang...? Cempaka jadi kebingungan sendiri.

“Kita kembali saja ke istana sekarang, Danupaksi,” ajak Cempaka.

“Kau kuat berjalan jauh, Cempaka?” tanya Danupaksi.

“Aku tidak apa-apa. Hanya luka dalam sedikit,” sahut Cempaka.

“Tapi hari sudah terlalu malam, Cempaka. Besok saja, pagi-pagi sekali kita berangkat”

Cempaka tidak bisa memaksa. Memang tidak baik melakukan perjalanan di malam hari. Apalagi dalam keadaan terluka dalam begini, meskipun tidak begitu parah. Paling tidak Cempaka butuh waktu untuk bersemadi memulihkan tubuhnya. Maka, kini mereka terpaksa harus bermalam di tempat terbuka ini, melawan dinginnya udara malam yang berselimut kabut tebal.

********************

LIMA

Danupaksi dan Cempaka baru saja keluar dari dalam hutan ketika seekor kuda hitam berlari kencang menuju ke arah mereka. Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan ayunan langkah, dan memandang ke arah kuda hitam yang berpacu cepat bagai angin itu. Semakin dekat, semakin jelas kalau kuda hitam itu mem bawa seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi putih, dan pedangnya yang bergagang kepala burung nampak bertengger di punggungnya.

“Kakang Rangga...,” desis Cempaka gembira begitu dapat mengenali penunggang kuda hitam itu.

“Hooop...!” Penunggang kuda hitam yang ternyata memang Rangga, langsung melompat turun begitu kuda hitam tunggangannya berhenti tepat di depan Danupaksi dan Cempaka. Kuda hitam itu melenggang mendekati seonggok rumput hijau yang tumbuh subur di bawah pohon beringin yang sangat besar. Bergegas Rangga menghampiri kedua adik tirinya.

“Cempaka, ke mana saja kau?” Rangga mendahului bertanya.

“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Kakang,” ujar Cempaka.

Rangga melirik Danupaksi. Kening Pendekar Rajawali Sakti sedikit berkerut melihat raut wajah Danupaksi tampak lesu tak bergairah. Sementara Cempaka tahu kalau Rangga sedang memperhatikan Danupaksi. Maka dirinya bergeser ke samping.

“Ada apa, Danupaksi? Kau seperti menghadapi persoalan berat,” tegur Rangga.

“Aku tidak tahu, Kakang. Aku sendiri tidak bisa mengerti,” sahut Danupaksi lesu.

“Ada apa? Ceritakan padaku, Danupaksi,” desak Rangga lembut.

Dia bisa menduga kalau Danupaksi menyembunyikan sesuatu. Danupaksi tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada Cempaka. Sedangkan yang dilirik hanya menundukkan kepala saja. Semalam, Danupaksi sudah menceritakan semuanya pada gadis ini. Dan Cempaka sendiri jadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Dia dan Danupaksi begitu yakin kalau ancaman Eyang Duraga tidak bisa dianggap main-main. Manusia yang bangkit dari kuburnya itu memang tidak dapat dianggap enteng. Tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata. Hal itu sudah dirasakan oleh mereka berdua. Senjata mereka tak ada artinya sama sekali bagi Eyang Duraga.

“Ada apa, Danupaksi...? Cempaka...?” tanya Rangga kembali mendesak.

“Kau saja yang mengatakannya, Cempaka,” Danupaksi melempar pada adik tirinya.

“Kenapa aku...? Kau yang punya persoalan. Ceritakan saja apa adanya, Danupaksi,” elak Cempaka.

“Ada apa ini? Apa yang kalian sembunyikan?” Rangga jadi penasaran.

“Aku tidak tahu, harus memulai dari mana, Kakang. Tiba-tiba saja semuanya terjadi. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka menyangka aku yang menyimpan benda itu,” ujar Danupaksi, bernada mengeluh.

“Benda apa?” tanya Rangga ingin tahu.

“Itulah, Kakang. Aku sendiri tidak tahu, benda apa yang mereka ributkan,” sahut Danupaksi.

“Siapa mereka itu, Danupaksi?” tanya Rangga.

“Nyai Kunti dan Eyang Duraga.”

“Kau jangan main-main, Danupaksi,” desis Rangga tidak percaya dengan jawaban adik tirinya barusan.

“Aku sungguh-sungguh, Kakang. Dua kali aku bentrok dengan Nyai Kunti. Dan semalam, hampir saja bentrok dengan Eyang Duraga. Bahkan Cempaka sendiri terluka dalam olehnya. Ditambah lagi, semua prajurit penjaga pesanggrahan juga tewas di tangan Eyang Duraga,” jelas Danupaksi bersungguh-sungguh.

“Benar begitu, Cempaka?” Rangga masih tidak percaya.

Cempaka hanya mengangguk saja membenarkan semua jawaban Danupaksi. Melihat kedua adiknya tirinya begitu sungguh-sungguh, kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya Danupaksi dan Cempaka bergantian, seolah-olah ingin memastikan kalau mereka tidak main-main. Rangga tahu, siapa kedua orang yang baru saja disebutkan namanya oleh Danupaksi.

Nyai Kunti adalah seorang tokoh kosen rimba persilatan. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, dan sukar dicari tandingannya. Terutama pengetahuannya mengenai segala racun. Sungguh tak ada bandingannya di dunia ini. Semua senjata yang dipergunakan wanita tua berwajah buruk itu mengandung racun yang sangat mematikan. Tapi yang membuat Rangga tidak habis mengerti, adalah tentang Eyang Duraga.

Semua orang tahu kalau Eyang Duraga sudah terkubur puluhan tahun. Dia tewas karena bertarung melawan Pendekar Pedang Kilat. Makamnya ada di pinggiran Desa Batu Ceper. Rasanya memang sukar dipercaya kalau Eyang Duraga yang sudah meninggal puluhan tahun bisa bangkit kembali. Bahkan menemui Danupaksi, serta membunuh puluhan prajurit penjaga pesanggrahan.

“Eyang Duraga datang ke pesanggrahan untuk mencari Kakang Danupaksi. Dia menginginkan kakang Danupaksi agar mengembalikan barang titipannya, Kakang,” jelas Cempaka yang sejak tadi diam saja.

“Dia datang ke pesanggrahan...?” Rangga jadi tercenung.

“Ya! Tidak lama setelah Kakang masuk ke dalam bilik semadi. Aku dan Pandan Wangi serta semua prajurit penjaga pesanggrahan mencoba menghadangnya untuk masuk. Setelah kami bertarung, dia seperti memancing kami. Dia kemudian berlari, lalu aku, Pandan Wangi, dan semua prajurit mengejarnya. Kemudian, kami bertarung kembali. Dan, semua prajurit tewas. Bahkan Pandan Wangi menghilang begitu saja,” jelas Cempaka memberi tahu.

“Aku waktu itu langsung bersemadi, dan tak mendengar ada keributan. Tapi...,” Rangga menghentikan ucapannya. Dia kembali tercenung seperti kebingungan sendiri.

“Tapi kenapa, Kakang?” tanya Cempaka ingin tahu.

“Aneh.... Aku seperti dibangunkan dari semadi. Dan begitu bangun dari semadi, aku tidak melihat ada seorang pun di pesanggrahan. Aku sudah mencari ke mana-mana, bahkan sampai kembali ke istana,” pelan sekali suara Rangga.

Danupaksi dan Cempaka saling berpandangan bingung. Terutama Danupaksi yang sudah memeriksa semua kamar di pesanggrahan. Pantas saja dia tidak menemukan Pendekar Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat, mereka jadi kebingungan dan terdiam membisu. Semua peristiwa yang dialami sungguh luar biasa, dan membuat mereka tidak mengerti.

“Lalu, dimana Pandan Wangi sekarang, Kakang?” tanya Cempaka, teringat Pandan Wangi.

“Ada di istana,” sahut Rangga.

“Aku menemukannya terluka. Dia tergeletak tidak jauh dari perbatasan.”

“Di istana...? Apa Pandan Wangi tidak cerita kalau dia habis bertarung...?” Cempaka jadi terkejut.

Rangga menggeleng. “Keadaannya masih lemah. Belum bisa ditanya”

“Aneh...,” gumam Cempaka. “Apa sebenarnya yang sedang terjadi...?” Pertanyaan Cempaka yang bergumam, tidak ada yang bisa menjawab.

Rangga sendiri jadi kebingungan tidak mengerti. Mereka hanya bisa saling berpandangan, tanpa dapat menemukan jawaban dari semua peristiwa yang dialami. Peristiwa aneh yang baru pertama kali ini terjadi.

“Sebaiknya kalian kembali saja ke istana,” ujar Rangga setelah cukup lama terdiam.

“Kakang mau ke mana?” tanya Danupaksi.

“Aku akan kembali ke pesanggrahan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sana,” sahut Rangga.

Rangga cepat melompat naik ke punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah cepat kudanya menuju pesanggrahan. Sejenak Cempaka dan Danupaksi berpandangan, lalu sama-sama mengangkat pundak. Kini mereka kembali meneruskan perjalanan menuju istana, tanpa berkata-kata lagi.

********************

Sementara Rangga sudah jauh masuk ke dalam hutan. Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Rangga sudah tiba di depan bangunan pesanggrahan yang menyerupai candi. Suasana di situ tampak sunyi lengang. Tak terlihat seorang pun di sekitar tempat suci ini. Bahkan binatang pun tidak terlihat berkeliaran di sekitarnya. Hanya desir angin yang terdengar mengusik gendang telinga.

Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun dari punggung kuda. Kakinya melangkah perlahan-lahan mendekti pintu pesanggrahan yang terbuka. Pandangan matanya tidak berkedip tertuju ke dalam pintu. Dia menduga keras kalau ada sesuatu di dalam pesanggrahan itu, yang belum diketahuinya. Namun perasaannya semakin tajam saja. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi, mendadak saja...

Sing...!

“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat melentingkan tubuhnya ketika sebuah benda bulat pipih berwarna keperakan meluncur deras dari dalam pesanggrahan di depannya. Benda itu lewat di bawah telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menghantam sebatang pohon yang cukup besar.

Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar, begitu benda bulat pipih keperakan menghantam pohon. Sementara Rangga sudah kembali berdiri di tanah, setelah melakukan putaran dua kali. Sedikit matanya melirik ke arah batang pohon yang hangus menghitam.

“Siapa di dalam...? Keluar...!” teriak Rangga lantang.

Teriakan Pendekar Rajawali Sakti itu menggema keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Namun tak ada sahutan sedikit pun dari dalam pesanggrahan. Rangga menanti sebentar, kemudian menggeser kakinya sedikit ke kanan. Pandangan matanya tetap tajam tertuju ke arah pintu pesanggrahan.

“Jika tidak juga keluar, akan kuhancurkan pesanggrahan ini!” ancam Rangga.

“Hik hik hik...!” Bersamaan dengan terdengarnya tawa mengikik, berkelebat sebuah bayangan hitam keluar dari pesanggrahan.

Rangga sempat melangkah mundur dua tindak. Kini di depannya telah berdiri seorang perempuan tua berbaju hitam lusuh yang longgar. Rangga sempat terpana begitu menatap wajah rusak orang di depannya. Orang itu bagaikan mayat hidup yang sudah terkubur puluhan tahun lamanya. Hampir seluruh kulit dan daging di wajahnya mengelupas, sehingga menampakkan tulang wajah yang putih kemerahan.

“Sungguh berani sekali kau hendak menghancurkan sebuah pesanggrahan, Anak Muda,” terasa dingin dan datar sekali suara wanita berwajah buruk itu.

“Siapa kau? Dan apa maksudmu berada di dalam pesanggrahanku?” Rangga malah balik bertanya.

“Pesanggrahanmu...? Hik hik hik...! Kalau begitu kau pasti Pendekar Rajawali Sakti. Raja Karang Setra. Benar begitu...?”

“Hm.... Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang diriku,” gumam Rangga agak terperanjat juga.

“Tidak terlalu sukar mengetahui tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Hampir semua orang di kalangan persilatan mengenalmu.”

“Siapa kau, Nisanak? Apa keperluanmu datang ke pesanggrahanku?!” tanya Rangga lagi, tidak ingin bertele-tele.

“Hik hik hik.... Aku Nyai Kunti. Kedatanganku ke sini ingin meminta kembali Mustika Batu Hijau yang kau ambil dari Danupaksi,” sahut wanita berwajah buruk yang tak lain adalah Nyai Kunti.

“Hm.... Jadi kau yang bernama Nyai Kunti...?” gumam Rangga seakan-akan ingin memastikan.

“Benar. Dan sebaiknya jangan membuat kesulitan denganku, seperti adikmu,” nada suara Nyai Kunti terdengar mengancam.

Rangga menatap wanita berwajah buruk itu dalam-dalam. Hatinya agak tersinggung mendengar kata-kata bernada mengancam itu. Tapi dirinya masih berusaha untuk dapat bersabar. Setelah mengetahui siapa wanita yang ada di depannya ini, rasa keingintahuannya mampu mengalahkan ketersinggungan di hatinya. Meskipun Danupaksi dan Cempaka sudah bercerita banyak, tapi Pendekar Rajawali Sakti masih belum jelas duduk perkara yang sebenarnya. Sebuah persoalan yang sampai-sampai melibatkan Danupaksi dengan seorang tokoh kosen rimba persilatan, seperti Nyai Kunti ini. Terlebih lagi, menyangkut Eyang Duraga yang sudah puluhan tahun terkubur.

“Apa yang kau inginkan dari adikku, Nyai Kunti?” tanya Rangga memancing.

“Kau jangan berpura-pura, Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Nyai Kunti. “Aku memang tidak akan memperoleh apa pun dari adikmu, karena mustika itu kau yang pegang!”

“Mudah sekali kau melemparkan tuduhan, Nyai Kunti,” terasa dingin nada suara Rangga.

“Sudah kuduga, kau pasti akan mengelak. Baik..., mungkin aku harus menggunakan cara lain.” Setelah berkata demikian, Nyai Kunti cepat bersikap hendak melakukan serangan.

“Tunggu...!” sentak Rangga cepat-cepat.

“Aku tidak suka banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau ingin menyerahkan mustika itu, cepat serahkan!” dengus Nyai Kunti.

“Kau tidak akan dapat memperolehnya, Nyai Kunti. Benda itu tidak ada padaku. Juga pada Danupaksi.”

“Keparat...! Kau dan adikmu sama saja...! Kau akan menyesal mempermaikan aku, Anak Muda! Hiyaaat..!” Nyai Kunti tidak dapat lagi menahan kemarahan, sehingga dirinya merasa telah dipermainkan. Bagaikan beruang kelaparan, wanita berwajah buruk itu melompat menyerang Rangga. Dua pukulan dahsyat dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.

“Uts!” Rangga cepat melompat ke samping sambil meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang dilakukan Nyai Kunti. Maka, dua pukulan yang dilepaskan wanita tua bermuka buruk itu meleset dari sasaran. Namun Nyai Kunti tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat luar biasa. Setiap serangan yang dilakukan, mengandung pengerahan tenaga dalam yang luar biasa dahsyatnya.

“Gila...! Pukulannya sungguh luar biasa,” dengus Rangga di dalam hati. Beberapa kali pukulan Nyai Kunti hampir bersarang di tubuh Pendekar Rajawali Sakti, namun masih dapat dihindari dengan manis sekali. Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga, ternyata ia mampu meredam semua serangan yang dilancarkan Nyai Kunti.

Namun setelah melewati beberapa jurus, Rangga jadi kewalahan juga. Cepat-cepat jurusnya dirubah untuk menandingi serangan-serangan perempuan tua bermuka buruk itu. Rangga segera mengerahkan jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' Dengan jurus-jurus itu, dia kini mampu memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

“Uts! Setan...!” dengus Nyai Kunti ketika satu pukulan keras dilancarkan Rangga. Hampir saja pukulan Pendekar Rajawali Sakti meremukkan batok kepala, kalau saja Nyai Kunti tidak cepat merundukkan kepalanya. Secepat itu pula Nyai Kunti melompat mundur beberapa tindak. Namun belum juga melakukan tindakan lebih jauh lagi, Rangga sudah melesat ke udara. Tubuhnya kemudian menukik deras dengan kaki berada di bawah. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat mengincar kepala Nyai Kunti. Saat itu Rangga mengeluarkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

“Hiyaaa...!” “Hait..!” Bukan main terkejutnya Nyai Kunti begitu mendapat serangan cepat luar biasa dari Pendekar Rajawali Sakti. Sangat sedikit sekali waktu untuk bisa menghindar. Maka cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah sambil memiringkan kepala. Beberapa kali dia bergulingan di tanah, kemudian cepat melompat bangkit kembali.

Namun begitu kakinya menjejak tanah, kembali datang serangan dahsyat menggeledek dari Pendekar Rajawali Sakti. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskan Rangga, sebelum Nyai Kunti bisa berdiri dengan tegak. Serangan ini membuat perempuan berwajah buruk itu mendengus geram, dan mengumpat dalam hati.

“Setan belang...! Hup! Yeaaah...!” Terpaksa Nyai Kunti berjumpalitan di udara menghindari pukulan-pukulan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Sama sekali dia tidak mempunyai kesempatan untuk menjejakkan kakinya di tanah. Bahkan beberapa kali pula pukulan Rangga hampir bersarang di tubuhnya. Namun Nyai Kunti masih saja mengelakkannya, meskipun agak kewalahan.

“Hiyaaa...!” Sambil berteriak keras menggelegar, tubuh Nyai Kunti melenting tinggi ke udara. Dua kali dia berputaran di udara. Pada saat yang sama, Rangga juga melesat, membumbung ke angkasa. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah dada Nyai Kunti.

“Hiyaaa...!”

“Yeaaah...!”

Glarrr...! Satu ledakan dahsyat terdengar menggelegar ketika pukulan Rangga beradu dengan pukulan Nyai Kunti. Percikan bunga api memendar ke segala arah, disertai kepulan asap hitam dan kilatan cahaya menyilaukan mata. Tampak kedua orang yang bertarung itu sama-sama terpental balik ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah. Namun mereka sama-sama cepat bangkit berdiri. Jelas terlihat kalau Rangga agak limbung. Tangan kanannya mendekap dada sebelah kiri. Dan dari sudut bibirnya mengalir darah kental agak kehitaman.

“Phuh...!” Rangga menyemburkan darah yang menggumpal di dalam mulutnya. Matanya menatap tajam Nyai Kunti yang tersenyum-senyum menyeringai. Wanita tua berwajah buruk itu kelihatan tetap segar, tak menderita luka sedikit pun setelah mengadu tenaga dalam tadi.

“Sudah kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada gunanya berkeras kepala. Serahkan saja mustika itu padaku,” ejek Nyai Kunti langsung terkekeh.

“Walaupun benda itu ada padaku, tidak bakal kuserahkan padamu, Nyai Kunti!” dengus Rangga dingin.

“Keras kepala...! Kau akan menyesal telah mempermainkan aku, Bocah!” geram Nyai Kunti.

Sret! Cring...! Nyai Kunti tak dapat lagi menahan kemarahannya. Maka cepat senjatanya dicabut dari balik bajunya yang hitam lusuh dan panjang. Kini di tangan kanannya telah tergenggam sebilah pedang yang berkilatan menyilaukan mata. Wanita berwajah buruk itu menyilangkan pedang di depan dada dengan satu gerakan indah. Rangga sedikit menggeser kakinya ke belakang. Hatinya agak terkejut juga melihat pedang di dalam genggaman tangan wanita tua itu. Sebilah pedang yang hampir mirip dangan Pedang Rajawali Sakti miliknya. Hanya saja, cahaya pedang itu benar-benar berkilat dan menyilaukan mata. Tapi, bukan pamor pedang itu yang membuatnya Rangga terkejut. Melainkan, pedang itu dikenalinya betul.

“Dari mana kau perolah pedang itu, Nyai Kunti?” tanya Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau pedang di tangan Nyai Kunti adalah milik Pendekar Pedang Kilat. Seorang tokoh kosen rimba persilatan yang sangat disegani, baik oleh kaum persilatan golongan hitam maupun putih. Memang sudah lama nama Pendekar Pedang Kilat tidak terdengar lagi. Dia seakan-akan menghilang begitu saja, dan tak pernah lagi muncul di rimba persilatan. Dan sekarang senjatanya yang sangat ditakuti kaum rimba persilatan golongan hitam, berada di tangan Nyai Kunti. Macam-macam pikiran buruk mulai mem-bebani benak pemuda berompi putih itu, namun cepat-cepat dilenyapkan.

“Rupanya kau mengenali senjata ini, Pendekar Rajawali Sakti. Bagus...! Aku masih memberimu kesempatan sebelum pedang ini kugunakan,” ancam Nyai Kunti bernada sinis.

“Aku menghormati senjata itu, Nyai Kunti. Sayang sekali, sekarang berada di tangan yang salah,” sambut Rangga tidak kalah sinisnya.

“Keparat..! Kau kira aku tidak bisa menggunakan pedang ini, heh...?!” geram Nyai Kunti, kembali memuncak amarahnya.

“Aku tidak peduli bagaimana kau memperoleh senjata itu dari Pendekar Pedang Kilat. Rasanya pusaka itu harus kukembalikan pada pemiliknya,” kata Rangga lagi, kali ini lebih tenang nada suaranya.

“Phuih! Kata-katamu semakin menyakitkan saja, Pendekar Rajawali Sakti. Rasakan ketajaman pedang ini. Hiyaaat..!”

Bet!

“Hup!” Rangga cepat melompat ke samping sambil memiringkan tubuh begitu Nyai Kunti membabatkan pedangnya dengan cepat. Ujung pedang itu hanya lewat sedikit saja di samping tubuh Rangga. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang dua langkah, lalu cepat meraih gagang pedangnya yang tersampir di punggung.

Sret! Bet! Tring!

ENAM

Rangga langsung membabatkan pedangnya ke depan dada begitu Nyai Kunti menusukkan Pedang Kilat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Senjata berpamor dahsyat itu beradu keras. Tampak bunga api memercik menyebar ke segala arah. Cepat Rangga melompat mundur sejauh lima langkah ke belakang. Pada saat itu, Nyai Kunti juga melompat mundur dua langkah. Perempuan tua berwajah buruk itu tampak terkejut ketika pedangnya beradu dengan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tangan kanannya bagai terserang ribuan lebah berbisa. Menggeletar dan terasa nyeri sampai ke tulang. Tapi belum lagi lenyap rasa keterkejutannya, mendadak saja dia sudah disibuki oleh serangan Rangga yang bertubi-tubi dan luar biasa.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

“Uts! Setan alas...!” umpat Nyai Kunti seraya berlompatan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.

Trang!

Beberapa kali pedang mereka berbenturan keras hingga menimbulkan percikan bunga api. Mereka terus bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat luar biasa. Sementara tempat terjadinya pertarungan sudah berantakan, bagai diamuk badai topan yang dahsyat luar biasa. Jurus demi jurus berlalu cepat, namun pertarungan masih terus berjalan semakin sengit. Dua kilatan cahaya dari dua senjata pedang berpamor dahsyat, berkelebatan saling sambar.

Beberapa kali terlihat percikan bunga api, setiap kali dua senjata pedang dahsyat itu beradu. Suara-suara ledakan pun terdengar saling susul, ditingkahi pekikan-pekikan pertarungan yang tiada hentinya. Semakin lama, pertarungan semakin berjalan cepat. Dan kini tubuh mereka lenyap, tergulung dua sinar berkilatan, berkelebat saling sambar. Rasanya terlalu sukar diikuti pandangan mata biasa. Hingga tiba-tiba....

“Aaakh...!” Satu jeritan keras terdengar melengking.

Tampak satu sosok tubuh terpental keluar dari arena pertarungan. Sosok tubuh tegap berbaju rompi putih itu bergulingan di tanah, lalu akhirnya berhenti setelah menghantam batang pohon yang cukup besar. Namun tubuh berbaju rompi putih itu cepat bangkit kembali. meskipun terhuyung-huyung. Dua kali mulutnya memuntahkan darah kental.

“Hiyaaat...!” Saat itu Nyai Kunti sudah kembali melompat sambil membabatkan pedang ke arah leher Rangga yang masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Namun belum juga mata pedang perempuan tua bermuka buruk itu menyentuh kulit leher Rangga, mendadak saja...

“Khraghk...!”

Bet!

“Heh...?!” Nyai Kunti tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sesuatu yang besar berwarna keperakan. Nyai Kunti terlonjak mundur beberapa tindak. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tubuh Rangga sudah lenyap disambar bayangan keperakan yang bergerak cepat bagai kilat, membumbung tinggi ke angkasa.

“Apa itu...?” desis Nyai Kunti seraya menengadahkan kepala ke atas. Hanya sekilas saja terlihat, namun itu sempat membuatnya tercenung. Nyai Kunti seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan. Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan bergerak cepat menyambar Rangga, di saat Pendekar Rajawali Sakti itu sudah tidak berdaya lagi.

“Oh! Apakah dia itu titisan Dewa Wisnu...?” gumam Nyai Kunti bertanya-tanya sendiri. Meskipun burung rajawali putih raksasa yang menyambar Rangga sudah tidak terlihat lagi, namun Nyai Kunti masih tetap memandang ke atas. Hanya satu titik keperakan yang terlihat di balik awan, dan kemudian lenyap tak terlihat lagi.

Sementara Nyi Kunti masih berdiri mematung di tempat itu bagai tersihir. Puluhan tahun dia menggeluti rimba persilatan namun belum pernah melihat ada seekor burung raksasa begitu besar dan bisa menyambar seorang manusia bertubuh kekar dan tegap, seperti Pendekar Rajawali Sakti. Kejadian ini membuatnya jadi ter-menung beberapa saat lamanya.

“Hm.... Pendekar Rajawali Sakti. Dia benar-benar pendekar yang tangguh. Senjatanya pun sungguh dahsyat luar biasa. Dia masih mampu berdiri meski-pun terkena pukulan 'Tapak Maut'. Tidak ada seorang pun yang bisa menahan pukulan 'Tapak Maut', kecuali memiliki Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga. Hm..., kini aku semakin yakin. Pasti dia memiliki mustika itu...!” gumam Nyai Kunti, bicara pada dirinya sendiri.

Mendapat pikiran demikian, wanita berwajah buruk itu cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh menuju arah rajawali putih raksasa membawa Rangga pergi. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga dalam waktu sekejapan mata saja, bayangan tubuh Nyai Kunti sudah lenyap tak terlihat lagi.

********************

Sementara itu di suatu tempat, tepatnya di sebuah lembah yang sunyi dan jauh dari pemukiman penduduk, Rangga duduk bersila di atas sebongkah batu pipih yang putih berkilat bagai memancarkan cahaya yang menerangi sekitarnya. Tidak seberapa jauh di depannya, mendekam seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Entah sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila bersikap semadi. Perlahan kemudian, matanya terbuka, lalu menghembuskan napas kuat-kuat. Burung rajawali raksasa mengangkat kepalanya, begitu mendengar gumaman Rangga yang perlahan. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum melihat Rajawali Putih ada di dekatnya.

“Terima kasih, Rajawali Putih. Kau bertindak tepat dan cepat sekali,” ujar Rangga seraya bangun dari tempatnya bersemadi.

“Khrrrk...!” Rajawali Putih hanya mengkirik perlahan.

Rangga menghampiri Rajawali Putih dan kembali duduk bersila di depan burung raksasa itu. Sebentar tubuhnya dibungkukkan memberi hormat. Kembali Rajawali Putih mengkirik lirih. Meskipun hanya seekor burung, namun Rangga sangat menghormatinya. Karena didikan burung rajawali raksasa inilah, dia sekarang menjadi seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya.

Rajawali Putih bangkit berdiri, lalu melangkah perlahan keluar dari dalam gua. Rangga ikut berdiri dan berjalan mengikuti burung raksasa itu. Tanpa bicara sedikit pun, mereka berjalan keluar menuju suatu tempat yang bersih dan terawat apik. Rangga tahu, kalau di Lembah Bangkai ini terdapat sebuah makam. Pusara Pendekar Rajawali yang sudah ter-kubur lebih dari seratus tahun. Dan mereka memang menuju ke sana.

Pendekar Rajawali Sakti langsung berlutut di depan pusara yang bercungkup indah itu. Sedangkan Rajawali Putih kembali mendekam di belakang pemuda berbaju rompi putih ini. Tak ada yang membuka suara sedikit pun juga. Rangga sendiri jadi heran dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa Rajawali Putih membawanya ke pusara ini. Namun belum juga pertanyaan di benak Rangga terjawab, mendadak saja kilat menyambar, membelah angkasa. Suaranya menggelegar menggetarkan jantung.

Pendekar Rajawali Sakti sedikit terlonjak kaget. Langsung disadari kalau datangnya kilat itu suatu tanda kalau Pendekar Rajawali datang, bangkit dari kuburnya. Dugaan Rangga tak meleset sama sekali. Begitu ujung kilat menyambar tepat di tengah-tengah cungkup pusara Pendekar Rajawali, gundukan tanah merah yang dikelilingi batu-batuan itu pun merekah terbelah. Tanah di sekitarnya bergetar bagaikan diguncang gempa. Rangga cepat bersujud menempelkan keningnya di tanah.

Wus...!

Dari dalam kuburan itu keluar asap putih yang tebal dan menggumpal. Tak lama kemudian, asap putih itu memudar tertiup angin. Getaran bumi pun menghilang bersamaan munculnya sesosok tubuh berjubah putih yang berdiri tepat di tengah-tengah kuburan yang terbelah merekah.

“Bangunlah, Anakku,” ujar laki-laki berjubah putih dengan wajah memancarkan sinar itu.

Rangga memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung. Kemudian, dia duduk bersila. Kepalanya tetap tertunduk, seakan tak sanggup membalas pandangan Pendekar Rajawali yang bangkit kembali dari kuburnya.

“Ini bukan yang pertama kali kau menderita kekalahan, Anakku. Dan sebenarnya, kau tidak perlu mengalami kekalahan jika saja bisa memusatkan seluruh perhatian di dalam pertarungan. Aku tahu, pikiranmu masih terpusat pada cerita Danupaksi mengenai benda itu, sehingga kau kurang memusatkan perhatian pada pertarungan,” kata Pendekar Rajawali. Nada suaranya terdengar lembut dan sangat berwibawa sekali.

“Benda...?” Rangga tersentak terkejut. “Kau memang tidak tahu keberadaannya, Anakku. Sama sekali aku tidak menyalahkanmu, karena kau sendiri tidak tahu kalau di dalam tubuh adik tirimu tersimpan Mustika Batu Hijau dari kuburan tua Eyang Duraga,” jelas Pendekar Rajawali.

“Oh! Bagaimana mungkin...?” Rangga benar-benar tidak mengerti.

Pendekar Rajawali tidak menjawab pertanyaan muridnya. Dia hanya tersenyum saja, dan menggelengkan kepala berulang-ulang. Sedangkan Rangga kelihatan seperti orang bodoh, terbengong-bengong bagai orang kehilangan jalan. Dan Pendekar Rajawali tampaknya tidak ingin meneruskan pembicaraannya mengenai Mustika Batu Hijau.

“Apa yang kau rasakan ketika bertarung melawan Nyai Kunti, Anakku?” tanya Pendekar Rajawali.

Rangga tidak langsung menjawab, namun tidak merasa terkejut lagi. Meskipun tanpa menceritakan, Pendekar Rajawali sudah tahu semua yang terjadi pada dirinya. Rangga mencoba mengingat-ingat pertarungannya dengan Nyai Kunti. Memang pada jurus-jurus terakhir, terasa ada kelainan pada dirinya. Tapi dia tidak tahu, kelainan apa. Saat itu Rangga hanya merasakan daya tahan dan kekuatannya menurun.

Bahkan pamor Pedang Pusaka Rajawali Sakti pun seakan-akan tidak berdaya menghadapi kesaktian Pedang Kilat. Rangga juga merasakan seperti tidak dapat mengendalikan pedangnya sendiri, hingga Nyai Kunti berhasil mendaratkan satu pukulan telak di dadanya. Pukulan keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, serta penyaluran aji kesaktian itu membuat Rangga hampir pingsan. Tapi anehnya, dia tidak pingsan. Bahkan masih nampu cepat berdiri meski pun tidak bisa sempurna benar.

“Kau tidak perlu mengatakannya padaku, Rangga. Aku sudah tahu, apa yang kau rasakan dan kau alami dalam pertarunganmu. Itu semua karena pengaruh Pedang Kilat yang digunakan lawanmu,” jelas Pendekar Rajawali mendahului, ketika Rangga hendak mengatakan semua yang dirasakan dan dialaminya.

“Apakah pedang itu akan terus mempengaruhi setiap lawannya, Guru?” tanya Rangga.

“Selama masih ada di tangan wanita itu, Pedang Kilat dapat lebih berbahaya, Anakku. Dan dia akan sukar untuk dilawan, meskipun terkadang Pedang Rajawali dapat menyelamatkan dirimu dari kematian. Kau bisa merasakannya sendiri saat Nyai Kunti berhasil memasukkan pukulan mautnya ke dadamu. Pengaruh pukulan maut itu berhasil ditolak kekuatan Pedang Rajawali, sehingga kau luput dari kematian,” jelas Pendekar Rajawali.

“Itu berarti semua ilmu yang ada padaku tidak ada manfaatnya, Guru?” tebak Rangga.

“Tidak seluruhnya. Tapi sebaiknya kau harus meninggalkan Pedang Rajawali. Karena antara Pedang Rajawali dengan Pedang Kilat sangat bertentangan sifatnya. Dan Rajawali Putih pun tidak dapat lagi membantumu selama Nyai Kunti masih memiliki Pedang Kilat.”

“Oh...,” Rangga mengeluh lesu. Berat rasanya jika harus berpisah dengan Rajawali Putih. Bagi Rangga, Rajawali Putih seperti darah yang mengalir di tubuhnya. Tak dapat dipisahkan lagi. Hanya kematianlah yang dapat memisahkan mereka berdua.

“Guru, apakah itu harus...?” tanya Rangga.

“Jangan kalah sebelum bertarung, Rangga. Kau pasti bisa menandinginya tanpa Pedang Rajawali. Kau harus gunakan jurus-jurus luar yang tidak bisa terpengaruh kekuatan Pedang Kilat.”

“Tapi aku tidak mau berpisah dengan Rajawali Putih, Guru. Lebih baik mati daripada harus berpisah dengannya.”

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum mendengar pernyataan tulus yang keluar dari lubuk hati pemuda ini. Dihampirinya Rangga dan ditepuk-tepuknya pun tidak pemuda itu dengan lembut sekali. Rangga mengangkat kepalanya, menatap wajah gurunya ini.

“Aku bisa merasakan perasaanmu, Rangga. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Hanya kau yang dapat mengatasinya sendiri. Tapi kau harus waspada pada pemilik batu mustika itu,” kata Pendekar Rajawali lembut.

“Eyang Duraga maksud Guru?” tebak Rangga.

“Bukan.”

“Lalu, siapa...?”

“Danupaksi.”

“Danupaksi...?!” Rangga hampir tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Rasanya sukar dimengerti kalau Mustika Batu Hijau kini dimiliki oleh Danupaksi. Sedangkan dia tahu sendiri kalau Danupaksi tidak merasa memiliki benda yang menjadi rebutan itu. Danupaksi sendiri sudah bersumpah kalau tidak tahu menahu tentang mustika itu. Melihatnya saja belum pernah. Tapi gurunya ini mengatakan kalau mustika itu sebenarnya milik Danupaksi. Bagaimana hal itu bisa terjadi...? Seseorang memiliki sesuatu, tapi orang yang bersangkutan tidak tahu apa yang dimilikinya. Bahkan melihat saja belum pernah. Hal ini yang membuat Rangga jadi tidak mengerti.

“Memang terdengarnya begitu aneh. Dan semua ini sebenarnya kesalahan Eyang Duraga. Dia begitu ceroboh, karena memberikan mustika tanpa diketahui orang yang bersangkutan,” jelas Pendekar Rajawali seperti mengetahui kebingungan Rangga.

“Jadi benar, Eyang Duraga memberikan mustika itu pada Danupaksi?” Rangga ingin meyakinkan dirinya.

“Benar. Itu dilakukan Eyang Duraga, karena tidak ingin terus diganggu Nyai Kunti, yang berusaha merebut mustika itu.”

“Untuk apa Nyai Kunti menginginkan mustika itu, Guru? “ tanya Rangga ingin tahu.

“Mustika itu bisa membuat orang jadi kebal terhadap segala jenis senjata dan ilmu kesaktian yang ada di dunia ini. Tapi mustika itu hanya bisa digunakan oleh ilmu-ilmu beraliran hitam. Itu sebabnya, kenapa pada adik tirimu tidak cocok, Rangga. Namun perlu kau ingat. Kian lama mustika itu pasti juga akan mempengaruhi Danupaksi. Jiwanya akan kosong, walaupun sebenarnya tidak cocok! Dan jika benda sampai dapat dikuasai Nyai Kunti, tidak ada seorang pendekar pun yang dapat menandinginya. Terlebih lagi, dia sudah menguasai Pedang Kilat.”

“Apakah hanya pedang itu yang dapat mengalahkan Mustika Batu Hijau?” tanya Rangga lagi.

“Sebenarnya tidak,” sahut Pendekar Rajawali.

“Tapi, mengapa Eyang Duraga dapat dikalahkan Pendekar Pedang Kilat?”

“Waktu itu Eyang Duraga tidak membawa Mustika Batu Hijau. Dan itu merupakan kesalahan besar. Pendekar Pedang Kilat juga melakukan kesalahan. Dia menguburkan mayat Eyang Duraga bersama mustika itu. Ini permintaan Eyang Duraga sebelum meninggal. Dengan mustika itu, roh Eyang Duraga tetap hidup sepanjang zaman. Dia dapat bangkit kembali kapan saja sekehendaknya, kecuali bila Mustika Batu Hijau dimusnahkan.”

“Guru, kalau mustika itu ada pada Danupaksi sebaiknya cepat-cepat dimusnahkan. Bukankah dengan demikian persoalannya jadi selesai...?” usul Rangga.

“Tidak semudah itu, Rangga. Jika kau ingin memusnahkan mustika itu, maka adikmu akan mati. Karena, mustika itu sudah menyatu dengan darah dan nyawanya. Untuk memusnahkannya, harus dikeluarkan lebih dahulu.”

“Lalu, bagaimana cara yang terbaik, Guru?” tanya Rangga, bingung.

“Kau harus membunuh dulu Eyang Duraga dengan Pedang Kilat, seperti yang dilakukan Pendekar Pedang Kilat. Dengan begitu, Mustika Batu Hijau akan keluar sendiri dari dalam tubuh adikmu. Dan sebelum berpindah kembali ke Eyang Duraga, kau harus dapat menguasainya. Musnahkanlah mustika itu. Kalau sampai mustika itu tetap berada di dalam tubuh Danupaksi, maka adik tirimu itu akan menjadi musuh nomor satu. Pengaruh jahat Mustika Batu Hijau begitu kuat. Jika tidak segera dikeluarkan dari tubuhnya, maka aku khawatir dia akan berubah liar.”

“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Guru. Meskipun nyawa taruhannya,” tekad Rangga.

“Aku percaya padamu, Rangga. Aku juga yakin kau mampu memusnahkan mustika itu. Tapi, berhati-hatilah pada Nyai Kunti. Dia akan menggunakan kesempatan apa pun untuk memperoleh mustika itu,” pesan Pendekar Rajawali.

“Akan kurebut Pedang Kilat dari tangannya, Guru. Kemungkinan aku tidak bisa mencegah melenyapkannya.”

“Kemungkinan itu selalu ada, Rangga. Hanya saja pesanku, jangan anggap enteng dia. Nyai Kunti punya seribu cara licik untuk mengalahkan lawan-lawannya. Kau harus berhati-hati menghadapinya,” kembali Pendekar Rajawali berpesan.

“Aku akan ingat pesan Guru,” ujar Rangga seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.

Hanya sebentar saja Rangga menundukkan kepala. Dan begitu kepalanya terangkat kembali, Pendekar Rajawali sudah lenyap dari pandangannya. Dan pusara itu pun kembali tertutup rapat. Rangga kembali memberi hormat dan bersujud mencium tanah. Perlahan pemuda berbaju rompi putih itu bangkit berdiri, dan langsung memandang Rajawali Putih.

“Rajawali akan mengantarkan kau ke pusara Eyang Duraga. Untuk sementara tinggalkan dulu pedangmu,” terdengar suara Pendekar Rajawali.

Tanpa membantah sedikit pun, Rangga melepaskan pedangnya. Diletakkannya Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu di samping pusara gurunya. Kemudian dengan satu gerakan ringan sekali, dia melompat naik ke punggung Rajawali Putih.

“Khraaaghk...!” Sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi meninggalkan Lembah Bangkai bersama Rangga di punggungnya. Pemuda berbaju rompi putih itu terus memandang ke arah lembah. Pandangannya baru dialihkan setelah lembah yang sunyi itu tidak terlihat lagi.

“Khraaaghk...!”

********************

TUJUH

Rangga langsung melompat turun, begitu Rajawali Putih mendarat di tepi Rimba Tengkorak. Seketika burung rajawali raksasa itu langsung melambung tinggi ke angkasa tanpa diminta lagi. Rangga memandanginya sampai burung itu menghilang di balik awan. Ada kesedihan di hatinya melihat Rajawali Putih tidak mau terlalu lama berdekatan dengannya. Tapi Rangga cepat menyadari kalau semua ini demi kebaikan. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar merasa kosong tanpa pedang pusaka bertengger di punggungnya. Perlahan kakinya terayun menuju kuburan Eyai Duraga.

“Kakang...!”

“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja dengar panggilan dari arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya diputar berbalik. Rangga mengerutkan keningnya begitu melihat Pandan Wangi berlari-lari menghampiri.

“Pandan.... Kenapa kau ada di sini...?” tanya Rangga begitu Pandan Wangi dekat.

“Aku mencarimu, Kakang,” sahut Pandan Wangi agak terengah.

“Bagaimana lukamu?”

“Sudah pulih.”

“Kau sendirian?”

Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja. Rangga kembali memutar tubuhnya dan melangkah perlahan. Pandan Wangi mengikuti, mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku mencarimu di pesanggrahan, tidak ada. Ke mana saja kau, Kakang?” Pandan Wangi membuka percakapan kembali.

Rangga tidak menjawab, dan hanya menghela napas saja. Terlalu sukar untuk menjelaskan pada Pandan Wangi. Tapi rupanya Pandan Wangi tidak memerlukan jawaban. Dia memaklumi, kepergian Rangga tentu punya alasan kuat. Dan yang pasti ada hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi belakangan ini.

“Kakang, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” kata Pandan Wangi setelah beberapa saat terdiam.

“Tentang apa?” tanya Rangga tanpa menghentikan ayunan kakinya.

“Danupaksi.”

“Ada apa dengan Danupaksi?” tanya Rangga seraya menghentikan ayunan langkahnya.

“Sikap Danupaksi jadi lain belakangan ini, Kakang. Dia suka menyendiri. Malah terkadang marah-marah tanpa ketahuan sebabnya,” jelas Pandan Wangi.

Rangga jadi tercenung. Dia teringat kata-kata gurunya. Sikap dan tingkah laku seseorang bisa berubah akibat pengaruh Mustika Batu Hijau. Tapi Rangga tidak ingin menduga lebih jauh dulu, dan hanya berharap mustika itu belum berpengaruh banyak pada Danupaksi. Kalau hal itu sampai terjadi, tentu sangat sukar memusnahkannya.

“Bahkan dua hari lalu, Danupaksi membunuh sepuluh orang prajurit tanpa sebab. Dan sekarang dia pergi entah ke mana. Sudah dua hari ini dicari, tapi tidak juga ketemu. Makanya aku mencarimu, Kakang,” sambung Pandan Wangi.

“Dua hari...?” lagi-lagi Rangga tercenung.

Sungguh tidak disadari kalau sudah lebih dari dua hari berada di Lembah Bangkai. Tanpa disadari, Rangga bersemadi memulihkan keadaan tubuhnya di Lembah Bangkai lebih dari dua hari. Dan selama itu, Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu perkembangan lebih jauh lagi. Rasa khawatirnya semakin mendalam, begitu mendengar penuturan Pandan Wangi tadi. Dikatakan, Danupaksi telah membunuh sepuluh orang prajurit tanpa sebab, dan sekarang pergi tanpa diketahui jejaknya.

Rangga khawatir kalau sikap Danupaksi diakibatkan pengaruh dari Mustika Batu Hijau yang memiliki sifat jahat dan liar. Kalau memang perbuatan Danupaksi dikarenakan pengaruh mustika itu, sudah barang tentu mustika itu benar-benar sudah menyatu di dalam tubuh adik tirinya itu. Dan ini tentu sangat berbahaya, karena Danupaksi akan menjadi musuhnya yang paling berbahaya. Dan yang pasti, semua yang dilakukan Danupaksi tidak disadari.

“Hm.... Kalau mustika itu sudah mempengaruhi jiwanya, pasti Danupaksi bersembunyi di kuburan tua Eyang Duraga,” gumam Rangga dalam hati.

Mendapat pikiran demikian, Rangga bergegas melangkah cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pandan Wangi cepat-cepat mengikuti. Gadis itu juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh sepenuhnya untuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga. Saat berada di belakang begini, Pandan Wangi baru menyadari kalau di punggung Pendekar Rajawali Sakti tidak terdapat pedang yang menjadi andalannya.

“Kakang, tunggu...!” seru Pandan Wangi agak keras.

Rangga memperlambat ayunan langkahnya. Wajahnya berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang terus berusaha memperpendek jarak. Namun akhirnya gadis itu bisa juga berada di samping Rangga. Napasnya terdengar memburu, karena memaksakan kemampuannya agar bisa berjalan sejajar dengan Pendekar Rajawali Sakti.

“Ke mana pedangmu, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Kusimpan. Sementara aku tidak boleh menggunakan pedang itu,” sahut Rangga singkat.

“Kenapa...?” Pandan Wangi jadi keheranan. Belum pernah gadis itu melihat Rangga menanggalkan pedangnya. Tapi sekarang pedang itu tidak terlihat lagi di punggung pemuda berbaju rompi putih ini. Dan kejanggalan ini tentu membuat Pandan Wangi jadi bertanya-tanya.

“Nanti akan kuceritakan, Pandan. Sekarang kita harus cepat ke kuburan tua Eyang Duraga. Aku tidak ingin keadaan Danupaksi semakin bertambah parah, dan benar-benar sukar dikendalikan lagi,” kata Rangga kembali seraya mempercepat ayunan kakinya.

Pandan Wangi ingin bertanya lebih banyak lagi. Malah dia kini sudah sibuk mengimbangi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan jaraknya semakin bertambah jauh saja, meskipun sudah mengerahkan seluruh kemampuannya dalam meringankan tubuh.

“Kau di sini saja, Pandan,” ujar Rangga begitu sampai di kuburan tua Eyang Duraga.

Suasana kuburan itu begitu sunyi dan mencekam sekali. Tak terdengar sedikit pun suara. Hanya desir angin saja yang mengusik gendang telinga. Bahkan suara serangga pun tak terdengar sama sekali. Kesunyian ini membuat Rangga dan Pandan Wangi memasang telinga lebih tajam. Sementara Pandan Wangi menunggu, Rangga mendekati kuburan tua Eyang Duraga.

Kuburan itu tampak kotor, ditumbuhi rerumputan liar yang merambat ke sana kemari. Sama sekali tak terlihat ada perawatan di sini. Rangga berhenti melangkah saat jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi. Tatapan matanya begitu tajam tak berkedip, ke arah kuburan tua yang tidak terawat di depannya. Kemudian pandangannya beredar ke sekitarnya sebentar, lalu kembali menatap kuburan tua tak bercungkup itu.

“Hik hik hik...! Kau terlalu berani datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti...!”

“Heh...?!” Rangga terkejut bukan main, ketika terdengar suara dari arah samping kanannya. Dan belum juga hilang keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam. Bagaikan kilat, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya sambaran bayangan hitam itu, sehingga membuat Rangga tak sempat lagi bertindak menghindar.

Bet!

“Akh...!” Rangga terpekik agak tertahan. Pendekar Rajawali Sakti jatuh terguling di tanah, namun cepat melompat bangkit berdiri. Bibirnya meringis merasakan nyeri pada punggungnya yang terkena sambaran bayangan hitam tadi. Dan pada saat itu, Rangga melihat bayangan hitam tadi kembali berkelebat cepat hendak menyerangnya.

“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara, dan melakukan putaran dua kali seraya melontarkan dua pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Namun bayangan hitam itu sungguh cepat gerakannya. Pukulan yang dilepaskan Rangga sama sekali tak mengenai sasaran. Dengan gerakan ringan dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti mendarat kembali di tanah.

“Yeaaah...!” Rangga langsung menghentakkan kedua tangannya, ketika bayangan hitam itu kembali meluruk deras ke arahnya. Tak pelak lagi, satu benturan keras pun terjadi. Seketika ledakan dahsyat terdengar menggelegar memekakkan telinga.

“Hap...!” Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, dan melakukan putaran tiga kali sebelum mendarat manis di tanah. Sementara bayangan hitam itu juga terpental balik ke belakang, dan berhasil mendarat manis sekali. Kini sekitar tiga batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri wanita tua berjubah hitam berwajah buruk bagai sosok mayat hidup.

“Nyai Kunti...,” desis Rangga langsung mengenali penyerangnya.

“Hik hik hik...! Tidak sia-sia aku menunggumu dua hari di sini, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Nyai Kunti seraya tertawa mengikik. “Sudah kuduga, kau pasti tidak akan mampu memegang mustika itu. Kedatanganmu ke sini pasti ingin mengembalikan benda itu.”

“Aku justru ingin memusnahkannya, Nyai Kunti,” kata Rangga dingin.

“Heh...?! Apa...?” Nyai Kunti terkejut setengah mati.

“Ada apa, Nyai Kunti? Kau tidak tuli mendadak, bukan...?” terdengar sinis nada suara Rangga.

“Setan belang...! Sekali lagi kau ucapkan kata-kata itu, kubunuh kau!” geram Nyai Kunti.

“Aku khawatir, justru kau yang akan mendahului.”

“Keparat..! Hiyaaat..!” Nyai Kunti tak dapat lagi menahan kemarahannya, sehingga langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali dilepaskannya pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Namun kali ini Rangga sudah bersiap menghadapi wanita tua bermuka buruk itu.

“Hait..!” Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang dilancarkan Nyai Kunti. Bahkan sebelum perempuan tua bermuka buruk itu bisa menarik pulang serangannya, mendadak saja Rangga memberi satu sodokan cepat ke arah lambung.

“Uts!” Cepat-cepat Nyai Kunti melompat ke belakang, menghindari sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, dia cepat bersiap kembali hendak melakukan serangan. Namun mendadak saja niatnya diurungkan. Wanita tua berjubah hitam itu berdiri tegak berkacak pinggang. Perlahan kemudian, tangan kanannya masuk ke dalam belahan jubahnya. Dan....

Sret!

Kilatan cahaya memendar menyilaukan begitu Nyai Kunti mencabut sebilah pedang yang berpamor sangat dahsyat. Melihat kedahsyatan pedang itu, Rangga melangkah mundur dua tindak. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Sebelah mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat agak menyipit.

“Kali ini kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti,” desis Nyai Kunti menggeram.

Bet!

“Yeaaah...!”

“Hait..!”

Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, menghindari tusukan pedang Nyai Kunti. Lalu, tubuhnya dirundukkan ke depan. Kemudian diegoskan ke kiri, mengikuti gerakan pedang wanita tua berjubah hitam yang berkelebat di atas kepala. Seketika Rangga cepat melentingkan tubuh ke belakang sambil melepaskan satu tendangan dengan kedua kaki merapat ke arah dada wanita berjubah hitam itu.

“Yeaaah...!”

“Hih!” Tak ada kesempatan menghindar lagi bagi Nyai Kunti Cepat tangan kirinya dikibaskan untuk menangkis tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Plak!

“Uts...!” Nyai Kunti terdorong beberapa langkah ke belakang, begitu tangan kirinya beradu dengan telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti. Wanita tua bermuka buruk itu sedikit limbung, tapi bisa cepat menguasai diri. Sementara Rangga sudah mendarat manis sekali.

“Hm.... Tenagamu jauh lebih hebat, Pendekar Rajawali Sakti,” gumam Nyai Kunti memuji.

“Ucapkan selamat tinggal pada dunia, Nyai Kunti,” ujar Rangga kalem.

“Phuih! Kau yang akan mampus di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti!” Setelah berkata demikian, Nyai Kunti cepat melesat menyerang Rangga. Pedangnya dikebutkan beberapa kali dengan kecepatan luar biasa. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga mampu mengelakkan setiap serangan yang datang mengincar. Beberapa kali ujung pedang Nyai Kunti hampir membabat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Namun ketika pedang itu nyaris menyentuh tubuhnya, Rangga cepat berkelit menghindar. Hal ini membuat Nyai Kunti semakin geram saja dan hanya bisa mengumpat dalam hati. Maka serangan-serangan yang dilancarkannya semakin dahsyat. Kilatan cahaya pedang di tangan kanannya seakai akan hendak mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun sampai melewati sepuluh jurus, Kunti belum juga dapat mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi sampai menjatuhkannya. Bahkan beberapa kali serangan balik yang dilancarkan Rangga membuat Nyai Kunti jadi kelabakan menghindarinya. Pendekar Rajawali Sakti terus menyerang sambil mengganti-ganti jurusnya yang makin dahsyat saja.

Sementara Pandan Wangi yang menyaksikan pertarungan itu hanya dapat menahan napas saja. Gadis itu khawatir juga, kalau-kalau Rangga terdesak. Apalagi Pendekar Rajawali Sakti tidak menggunakan senjata satu pun juga. Sedangkan lawannya memegang senjata pedang yang memiliki pamor dahsyat. Tiba-tiba Pandan Wangi mencabut Pedang Geni yang selalu bertengger di punggung. Kemudian pedang berwarna merah itu dilemparkan, menggunakan sedikit tenaga dalam.

“Kakang, tangkap...!” teriak Pandan Wangi, begitu melihat Rangga membuka jarak.

Swing!

“Hup!”

Rangga cepat melompat menyambut lemparan pedang itu. Namun begitu melompat, Nyai Kunti juga ikut melesat ke udara. Dan secepat itu pula perempuan tua berwajah buruk itu membabatkan pedang ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaat..!”

“Hup! Yeaaah...!” Cepat Rangga memutar tubuhnya dua kali, menghindari tebasan pedang Nyai Kunti. Dan cepat sekali tangannya terulur meraih Pedang Naga Geni yang masih melayang di angkasa. Tap! Bet! Begitu Rangga berhasil menangkap Pedang Naga Geni, langsung dibabatkan ke arah dada Nyai Kunti. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat Nyai Kunti terperangah.

“Heh...?!”

Wut! Trang...!

Nyai Kunti cepat menyilangkan pedang di depan dada. Suatu benturan dua senjata tak dapat dihindarkan lagi. Letupan bunga-bunga api memercik saat kedua senjata itu beradu keras di depan dada Nyai Kunti.

“Hap!” Bergegas Nyai Kunti meluruk turun. Pada saat yang sama, Rangga menukik sambil memutar pedang yang diarahkan ke kepala Nyai Kunti.

“Yeaaah...!”

“Edan! Hih...!” Kembali Nyai Kunti mengumpat geram. Pedangnya cepat dikebutkan ke atas kepala begitu kakinya menjejak tanah. Untuk kedua kalinya, dua senjata ber-pamor dahsyat beradu keras sampai menimbulkan percikan bunga api.

“Mampus kau! Hiyaaa...!” teriak Rangga lantang

Bet!

DELAPAN

Bagaikan kilat, Rangga menebaskan Pedang Naga Geni ke arah leher Nyai Kunti. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Nyai Kunti tak dapat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu dia masih berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan...

Cras!

“Aaakh...!” Nyai Kunti menjerit melengking tinggi.

“Yeaaah...!” Cepat Rangga memindahkan Pedang Naga Geni ke tangan kiri. Lalu dengan tangan kanannya, Pendekar Rajawali Sakti menggedor dada Nyai Kunti disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat mengenai bagian tengah dada perempuan tua berjubah hitam itu.

Bruk!

Nyai Kunti ambruk menghantam tanah dengan keras sekali. Darah muncrat keluar dari lehernya yang tertebas hampir buntung. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi. Rangga menarik napas panjang. Saat itu Pandan Wangi berlari-lari menghampiri. Sebentar Rangga memandangi gadis itu, lalu menyerahkkan Pedang Naga Geni padanya. Pandan Wangi menerima, langsung dimasukkan ke dalam warangka di punggung.

“Terima kasih, kau telah menyelamatkan hidupku,” ucap Rangga perlahan.

“Aku hanya melihat pertarungan tadi tidak seimbang, Kakang,” sahut Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, kemudian menghampiri mayat Nyai Kunti dan mengambil Pedang Kilat dari tangan wanita tua berjubah hitam itu. Sebentar Rangga memandangi pedang itu. Sekilas memang hampir mirip pedangnya sendiri. Hanya bentuk gagangnya saja yang berbeda. Juga, cahayanya sangat jauh berbeda.

“Masih ada satu lagi yang harus kukerjakan...,” gumam Rangga agak mendesis.

“Apa lagi yang akan kau lakukan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Menyempurnakan Eyang Duraga,” sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri kuburan Eyang Duraga. Sedangkan Pedang Kilat tergenggam erat di tangan kanannya. Dia berhenti setelah jaraknya dengan kuburan tua itu tinggal beberapa langkah lagi.

“Maaf. Aku terpaksa harus membunuhmu, Eyang Duraga,” ujar Rangga perlahan. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti mengangkat Pedang Kilat, mendadak saja...

Glarrr...!

“Heh...?!” Rangga terkejut setengah mati. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur ke belakang tiga langkah, tepat ketika kuburan tua itu terbongkar.

Terbongkarnya kuburan itu sampai menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar, menggetarkan jantung. Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja dari dalam kuburan tua yang terbongkar melesat sebuah bayangan hitam yang langsung menyerang.

“Hait...!” Cepat Rangga memiringkan tubuh ke kanan, sehingga terjangan bayangan hitam itu lewat di sampingnya. Rangga cepat memutar tubuhnya sambil menyilangkan Pedang Kilat di depan dada. Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti berdiri seorang laki-laki tua dengan tubuh sudah rusak dan membusuk.

“Kau benar-benar ingin mampus, berani mengusik ketenanganku!” bentak laki-laki tua bertubuh rusak membusuk yang tak lain adalah Eyang Duraga.

Bet! Slap..!

Cepat sekali Eyang Duraga mengebutkan tangan kanannya ke depan. Pada saat itu, dari telapak tangan kanannya meluncur secercah cahaya merah bagaikan api yang meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup! Yeaaah...!” Rangga cepat sekali melentingkan tubuh ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Sinar merah bagaikan api itu lewat sedikit di bawah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali Eyang Duraga melepaskan serangan, namun tak satu pun yang berhasil mengenai Pendekar Rajawali Sakti. Kilatan-kilatan cahaya merah berkelebat, berbaur dengan ledakan-ledakan dahsyat menggelegar. Sementara Rangga berjumpalitan di udara menghindari sinar-sinar merah yang mencecar tiada henti.

“Gila! Kalau begini terus, bisa habis napasku...!” dengus Rangga dalam hati.

“Akan kucoba kehebatan Pedang Kilat ini...”

Tepat ketika secercah cahaya merah meluncur deras ke arahnya, Rangga cepat meluruk turun. Seketika pedangnya dikibaskan ke arah sinar merah itu, sambil mengerahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya.

“Yeaaah...!”

Glarrr!

“Heh...?!” Bukan hanya Rangga saja yang terkejut. Bahkan Eyang Duraga pun tersentak kaget begitu sinar merah yang dilepaskan berbenturan dengan Pedang Kilat yang tergenggam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Ledakan dahsyat langsung membuyarkan cahaya merah itu. Sedangkan Rangga yang cepat menyadari kedahsyatan Pedang Kilat di tangannya, jadi tersenyum gembira. Kini dia tidak perlu lagi susah-susah berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan Eyang Duraga. Sebab, ternyata Pedang Kilat ini mampu meredam serangan-serangan itu dengan baik sekali. Menyadari akan keampuhan pedang ini, semangat Rangga kembali bangkit.

“Hiyaaa...!” Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat mendahului melakukan penyerangan. Secepat kilat pula pedang di tangannya dikibaskan beberapa kali ke arah tubuh Eyang Duraga. Serangan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, membuat Eyang Duraga jadi terpana sesaat.

“Hait..!” Cepat Eyang Duraga meliukkan tubuhnya, menghindari setiap tebasan Pedang Kilat yang mengincar bagian-bagian tubuh yang teramat peka. Beberapa kali ujung pedang itu hampir mengenai tubuhnya. Namun, Eyang Duraga masih dapat menghindar dengan manis sekali.

“Pedang Kilat ini benar-benar membuatku gerah! Huh...!” dengus Eyang Duraga dalam hati. Eyang Duraga semakin kewalahan menghadapi serangan serangan yang dilancarkan Rangga. Hingga akhirnya, dia terpaksa melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Sungguh hampir tidak dipercaya kalau Pedang Kilat di tangan Rangga jadi lebih dahsyat dan berbahaya sekali.

“Pedang Kilat memang bukan lagi tandinganku. Tapi cobalah kau hadapi pemakai Mustika Batu Hijau,” ujar Eyang Duraga. Selesai berkata demikian, Eyang Duraga bersiul nyaring. Seketika itu juga, dari atas sebatang pohon yang sangat tinggi, tepatnya dekat kuburan tua yang terbongkar, meluncur cepat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang pemuda tampan. Bajunya putih ketat, hingga membentuk tubuh yang kekar dan tegap berisi.

“Danupaksi...,” desis Rangga mengenali pemuda itu.

“Maaf, aku terpaksa menghalangimu menyakiti guruku, Kakang Rangga,” ujar Danupaksi dingin.

“Guru...?!”

“Sekarang Eyang Duraga guruku!” Jiwa Danupaksi memang telah terpengaruh Mustika Batu Hijau. Karena mustika itu milik Eyang Duraga maka Danupaksi menganggap guru pada laki-laki bagai mayat hidup itu. Danupaksi langsung menggeser kakinya dan siap hendak menyerang.

Rangga tahu, seandainya Danupaksi sampai menyerangnya, akan berakibat parah bagi pemuda itu sendiri. Karena, tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Rangga. Tapi karena pengaruh Mustika Batu Hijau, hal itu tidak dihiraukan Danupaksi. Bahkan kemungkinan tingkat kepandaian pemuda itu jadi meningkat jauh.

“Pandan, hadapi dia...!” seru Rangga teringat pada Pandan Wangi.

“Baik, Kakang...!” sahut Pandan Wangi segera melompat menghadang Danupaksi.

“Minggir kau, Pandan!” bentak Danupaksi lantang.

“Maaf, aku sudah diperintah untuk menghadangmu,” ujar Pandan Wangi kalem.

“Perempuan keparat...! Yeaaah...!” Danupaksi menggeram dahsyat, lalu cepat melesat sambil melepaskan beberapa pukulan secara beruntun. Namun Pandan Wangi yang sudah siap sejak tadi, manis sekali dapat menghindari setiap serangan yang dilancarkan pemuda itu.

Sementara Rangga kembali memusatkan perhatian pada Eyang Duraga. Penghadangan Pandan Wangi pada Danupaksi, membuat Eyang Duraga jadi geram. Dia juga gelisah, karena Rangga sudah melangkah mendekatinya. Eyang Duraga menyadari, kalau dalam beberapa gebrakan lagi, dirinya pasti kalah oleh pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan benteng yang semula diharapkan, kini tengah sibuk menghadapi gempuran si Kipas Maut

“Apa maksudmu mengambil Danupaksi sebagai sasaran bersemayamnya Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga?” tanya Rangga.

“Huh! Karena ini memang cita-citaku, sebelum aku mampus di tangan Pendekar Pedang Kilat. Itulah sebabnya, aku minta pada pendekar tolol itu agar menguburkan Mutiara Batu Hijau bersama jasadku. Dengan demikian, aku tidak jadi mati walau jasadku tetap terpendam! Ha ha ha.... Lalu, aku menunggu seseorang yang kupikir pantas untuk dititipkan mustika itu, sebelum Nyai Kunti datang mengusikku. Dan ternyata, Danupaksi yang datang ke kuburanku. Dengan demikian, selama Mustika Batu hijau belum musnah, aku masih bisa tetap hidup. Ha ha ha...,” jelas Eyang Duraga, seraya tertawa terbahak-bahak.

Rangga kini baru mengerti, mengapa Eyang Duraga selalu bisa hidup kembali. Ternyata walaupun Pedang Kilat bisa menebas tubuh Eyang Duraga, dan dia tidak memegang Mustika Batu Hijau, Eyang Duraga akan tetap hidup. Selama, mustika itu belum dimusnahkan. Dan sebenarnya, keabadian hidup di dunialah yang dicari Eyang Duraga. Walaupun dia mengakui telah kalah oleh Pendekar Pedang Kilat dalam pertarungan secara jujur, namun jiwa iblisnya menuntut untuk terus hidup di dunia.

“Akan kusempurnakan kematianmu, Eyang Duraga. Agar kau tenang di alam abadimu,” kata Rangga mencoba memberi pengertian.

“Phuih! Tidak ada seorang pun yang bisa memutuskan hubunganku dengan dunia!” dengus Eyang Duraga.

“Kenapa kau tetap bertahan, Eyang Duraga? Mayapada ini bukan lagi tempat berpijakmu. Kau sudah memiliki dunia lain yang lebih tenang dan abadi.”

“Jangan mengguruiku, Bocah! Jika kau mampu, hadapi aku...!” tantang Eyang Duraga. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Eyang Duraga. Dia harus menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, meskipun sudah menyadari tidak akan mampu. Terlebih lagi sekarang ini Rangga memegang Pedang Kilat yang paling ditakuti Eyang Duraga.

“Hiyaaat...!” Eyang Duraga benar-benar sudah tidak peduli lagi, dan cepat mendahului menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Dua pukulan dahsyat menggeledek dilepaskan laki-laki bagai mayat hidup itu. Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil mengelakkannya.

Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Eyang Duraga berlangsung sengit sekali. Namun kali ini jelas terlihat kalau Eyang Duraga seperti selalu ingin mendahului. Begitu bernafsunya hendak menjatuhkan Rangga, sehingga melalaikan pertahanan diri sendiri. Kelalaian ini tentu saja diketahui Rangga. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti belum mendapat kesempatan yang tepat untuk memanfaatkannya.

Hanya satu yang menjadi tujuan utama Pendekar Rajawali Sakti. Dan tampaknya, tujuannya tidak semudah yang diperkirakan. Dia harus bisa menusukkan Pedang Kilat tepat di jantung Eyang Duraga, dan meninggalkan pedang itu di dadanya. Dengan begitu, Eyang Duraga tidak akan pernah bangkit kembali. Dan yang terpenting, Rangga harus dapat memusnahkan Mustika Batu Hijau yang kini tampaknya telah bersemayam pada diri Danupaksi. Dan Rangga menyadari kalau itu tidak mudah.

Pendekar Rajawali Sakti harus bergerak cepat selagi mustika itu keluar hendak berpindah ke dalam tubuh orang lain lagi. Sedangkan dia tidak tahu, bagaimana benda itu bisa berpindah dari orang yang satu, kepada orang lain lagi.

“Yeaaah...!”

“Uts!” Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan Eyang Duraga bersarang di dada Rangga. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti segera memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan saat itu juga, Rangga meliukkan tubuhnya ke depan. Lalu dengan cepat tubuhnya ditarik ke belakang. Dan...

“Yeaaah...!” Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras. Pedangnya tertuju lurus ke arah dada laki-laki tua yang seharusnya terbujur di dalam kuburnya. Serangan balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat luar biasa, sehingga Eyang Duraga tidak sempat lagi menyadari.

Crab! Bresss!

“Aaa...!” Eyang Duraga menjerit keras melengking tinggi. Pedang Kilat telah menembus dadanya, sampai ke punggung. Rangga cepat melepaskan genggamannya pada gagang pedang itu. Bergegas tubuhnya melompat mundur sejauh lima langkah. Sementara Eyang Duraga terhuyung-huyung limbung sambil memandangi Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dialaminya kini.

“Kau..., kau..., hebat...”

Bruk!

Hanya itu saja yang dapat keluar dari mulut Eyang Duraga. Karena, laki-laki tua bertubuh busuk itu langsung ambruk, tak berkutik lagi. Pada saat itu...

“Aaa...!”

“Heh...?!” Rangga terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat begitu melihat Danupaksi menggelepar-gelepar di tanah sambil menjerit-jerit dan meraung kesakitan. Rangga mendekati Pandan Wangi yang tampak kebingungan.

“Kenapa dia...?” tanya Rangga seperti untuk diri-nya sendiri.

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia begitu. Padahal, aku tidak memukulnya,” sahut Pandan Wangi masih bernada bingung.

Tiba-tiba.... Slap!

“Oh...?!”

“Pinjam pedangmu, Pandan. Yeaaah...!” Sret! Cring!

Bagaikan kilat, Rangga melompat sambil menyambar pedang Pandan Wangi dari dalam warangkanya. Saat itu dari ubun-ubun kepala Danupaksi melesat keluar sebuah benda bulat seperti mata kucing yang memancarkan cahaya hijau terang. Benda itu meluncur ke arah mayat Eyang Duraga. Dengan pikiran untung-untungan, Pendekar Rajawali Sakti berniat menghancurkan benda yang diperkirakan Mustika Batu Hijau.

“Hiyaaa...!”

Bet!

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar terjadi begitu Rangga membabatkan Pedang Naga Geni ke arah benda bersinar hijau itu. Dan tampak Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Pemuda berbaju rompi putih itu jatuh bergulingan di tanah.

“Kakang...! Kau tidak apa-apa...?” seru Pandan Wangi seraya bergegas menghampiri.

“Hhh...! Tidak...,” sahut Rangga mendesah. Rangga bangkit berdiri seraya memandangi cahaya hijau yang memendar, kemudian perlahan-lahan menghilang. Usahanya ternyata berhasil. Pada saat itu terdengar rintihan lirih. Rangga dan Pandan Wangi secara bersamaan berpaling. Tampak Danupaksi tengah bangkit berdiri seraya memegangi kepalanya.

“Oh, apa yang terjadi...?” Danupaksi bertanya kebingungan.

“Tidak apa-apa, Danupaksi. Semuanya sudah selesai,” jelas Pandan Wangi, kasihan melihat Danupaksi sangat kebingungan.

“Suiiit..!” Pendekar Rajawali Sakti bersiul panjang melengking. Nadanya aneh. Dua kali dia bersiul nyaring. Kemudian setelah cukup lama menunggu, terlihat sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik itu kini semakin jelas terlihat bentuknya.

“Khraghk...!”

“Rajawali, ke sini!” seru Rangga seraya melambaikan tangannya. Burung rajawali raksasa cepat meluruk turun, dan mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti.

“Ayo, Pandan. Ikut aku ke Lembah Bangkai,” ajak Rangga sambil meloncat ke punggung Rajawali Putih. “Aku ingin mengambil Pedang Rajawali Sakti.”

Pandan Wangi pun bergegas naik ke punggung burung rajawali raksasa itu.

“Eh, Kakang, tunggu...! Jelaskan padaku, apa yang telah terjadi terhadap diriku...?” bergegas Danupaksi mengejar.

“Kau pulang saja dulu ke istana,” ujar Rangga. “Nanti kujelaskan di sana.” Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke belakang, lalu mengerdipkan sebelah matanya pada Pandan Wangi yang berada di belakangnya, dan gadis itu hanya tersenyum-senyum saja.

Sedangkan Danupaksi terus mendesak, karena benar-benar bingung dan tidak tahu semua yang telah terjadi pada dirinya. Namun Rangga dan Pandan Wangi sudah melambung tinggi di angkasa bersama Rajawali Putih.

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA: JARINGAN HITAM