Dendam Naga Merah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Dendam Naga Merah

SATU
AWAN hitam bergulung-gulung di langit, menyelimuti Hutan Gading dan sekitarnya. Bahkan gulungan awan hitam itu sampai ke Desa Jatiwangi yang letaknya agak jauh dari hutan itu. Angin pun bertiup begitu kencang.

Daun-daun yang tak mampu menahan gempuran angin yang begitu keras bagai hendak terjadi badai dahsyat, terpaksa berguguran. Langit tampak kelam, membuat matahari tak mampu lagi memancarkan sinarnya ke bumi. Begitu pekatnya, sehingga suasana siang ini terasa bagaikan malam.

Seluruh penduduk Desa Jatiwangi jadi gelisah melihat keadaan alam yang kelihatan hendak murka. Mereka menduga-duga, apa yang bakal terjadi di desa ini. Bahkan semuanya kini berbondong-bondong, dan tumpah ruah di halaman depan rumah kepala desa yang cukup luas. Halaman itu dipadati hingga tak ada lagi tempat yang tersisa.

Sementara awan hitam terus bergerak semakin pekat menyelimuti langit di desa itu. Angin pun bertiup semakin kencang, menyebarkan udara dingin menggigilkan tubuh. Satu dua pohon mulai bertumbangan, tak mampu menahan gempuran angin yang begitu kencang.

Penduduk Desa Jatiwangi yang berkumpul di halaman depan rumah kepala desa yang bernama Ki Rangkuti jadi semakin gelisah saja. Berbagai macam suara dan pendapat pun mulai terdengar terlontar, seakan-akan ingin mengalahkan deru angin yang semakin bertambah dahsyat saja. Mereka tidak tahu, apa yang bakal terjadi. Belum pernah tanda-tanda badai yang begini dahsyat dialami sebelumnya.

Sementara itu di beranda depan, tampak Ki Rangkuti berdiri tegak didampingi anak gadisnya yang bernama Sekar Telasih.

“Tenang kalian semua! Tenang...! Jangan membuat keributan...!" teriak Ki Rangkuti mencoba menenangkan warga desanya.

Seruan Ki Rangkuti yang begitu keras, membuat semua orang yang memadati halaman rumahnya jadi terdiam. Mereka semua mengarahkan pandangan ke arah laki-laki tua kepala desa itu. Sedangkan Ki Rangkuti sendiri merayapi tiap-tiap wajah dengan sinar mata berharap banyak.

Keadaan alam yang tampaknya sedang murka seperti ini, memang membuat semua orang yang ada di Desa Jatiwangi jadi gelisah. Dan mereka menunggu petunjuk dari kepala desanya yang begitu dihormati.

"Sebaiknya kalian semua kembali ke rumah masing-masing. Ini hanya badai biasa saja. Tidak perlu ditakuti...!" seru Ki Rangkuti dengan suara yang begitu lantang dan keras sekali.

Dari gema suara yang hampir mengalahkan deru angin keras, jelas kalau Ki Rangkuti mengeluarkannya disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi semua orang yang memadati halaman rumahnya tidak juga akan beranjak pergi. Mereka tetap diam dengan raut wajah mencerminkan kecemasan yang tiada tara.

"Dengar..! Ini hanya badai biasa. Cepatlah kalian kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini!" ujar Ki Rangkuti lagi. Suaranya masih terdengar keras dan lantang.

Para penduduk Desa Jatiwangi itu belum juga ada yang beranjak pergi. Tapi ketika tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat menggelegar di angkasa, seketika itu juga mereka berlarian sambil menjerit-jerit ketakutan.

Ledakan menggelegar tadi langsung disusul berkelebatnya secercah cahaya kilat. Lidah-lidah kilat itu sempat menyambar beberapa orang, sehingga seketika itu terjungkal roboh tak bangun-bangun lagi. Seluruh tubuh mereka hangus bagai terbakar.

Suasana kalang-kabut semakin melanda seluruh warga Desa Jatiwangi. Sedangkan Ki Rangkuti jadi kebingungan sendiri. Bahkan beberapa penduduk sudah menerobos masuk ke dalam rumahnya. Laki-laki tua berjubah putih itu tidak bisa melarang mereka yang mencari perlindungan. Sedangkan mereka yang rumahnya dekat dengan tempat tinggal kepala desa itu, sudah menghilang di dalam rumahnya masing-masing.

Crasss! Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar disertai sambaran kilat dari angkasa. Sebatang pohon besar yang berdiri di tengah-tengah halaman rumah Ki Rangkuti, seketika hancur berkeping-keping tersambar kilat.

Kekacauan semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman rumah Ki Rangkuti itu berlarian tak tentu arah menyelamatkan diri masing-masing. Desa Jatiwangi benar-benar bagaikan sedang mengalami kiamat.

Sementara itu kilat semakin sering menyambar ke bumi, disertai ledakan dahsyat menggelegar memekakkan telinga. Ki Rangkuti terus berteriak-teriak memerintahkan warganya untuk mencari tempat perlindungan yang aman.

Secercah cahaya kilat kembali berkelebat. Namun, kali ini menyambar langsung ke sebuah rumah yang terletak tidak seberapa jauh dari rumah kepala desa itu. Tak dapat dikatakan lagi Rumah itu hancur seketika, sehingga menimbulkan kobaran api yang menyebar ke segala arah. Bahkan beberapa rumah lainnya terkena percikan bunga api dari sambaran kilat tadi. Lidah api begitu cepat menjilat-jilat apa saja, membuat orang-orang yang memang su-dah bingung semakin kalang-kabut.

"Oh, Dewata Yang Agung.... Dosa apa yang telah kami perbuat, sehingga kau timpakan malapetaka sehebat ini pada kami...," keluh Ki Rangkuti mendesah perlahan.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba saja terdengar tawa keras menggelegar di antara deru angin yang begitu keras dan suara-suara gemuruh guntur yang membelah angkasa. Suara tawa itu semakin membuat semua orang kalang-kabut. Bahkan Ki Rangkuti sampai terlompat keluar dari beranda rumahnya. Kepalanya segera di tengadahkan ke atas.

Pada saat itu, tampak sebuah bentuk seekor ular naga berukuran sangat besar luar biasa. Sisiknya berwarna merah menyala bagai darah. Naga berwarna merah itu melayang-layang di angkasa, di antara gelombang awan hitam yang menyelubungi seluruh Desa Jatiwangi. Bukan hanya Ki Rangkuti yang melihat naga merah itu. Bahkan Sekar Telasih dan semua orang yang berada di situ, melihatnya dengan jelas.

Namun tiba-tiba saja naga merah itu lenyap dari pandangan. Bersamaan dengan itu, awan hitam yang menyelubungi angkasa juga sirna. Dan keadaan pun kembali terang Bahkan angin badai yang semula mengamuk begitu dahsyat, kini berhenti sama sekali.

"Oh..., pertanda malapetaka apa ini...?" keluh Ki Rangkuti bertanya sendiri dalam hati.

Kekacauan yang terjadi, mendadak saja lenyap. Dan keadaan alam yang semula mengamuk begitu dahsyat kini kembali seperti sediakala. Bahkan tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua begitu terpaku pada naga merah yang mengambang, melayang di angkasa tadi. Sementara api terus berkobar menghanguskan beberapa rumah yang tadi tersambar petir.

********************

Ki Rangkuti terduduk lemas di beranda depan rumahnya. Pandangannya begitu nanar merayapi beberapa warga Desa Jatiwangi yang menangis, meratapi rumahnya yang habis terbakar tak bersisa lagi. Sedangkan sebagian penduduk sudah kembali ke rumah masing-masing. Memang, tak ada satu rumah pun yang kelihatan utuh lagi. Badai topan yang begitu dahsyat tadi telah menghancurkan rumah-rumah mereka. Tapi, bukan kehancuran ini yang membuat laki-laki tua berjubah putih itu kelihatan berduka.

"Ayah...."

Ki Rangkuti mengangkat kepalanya sedikit dan berpaling begitu mendengar panggilan lembut dari arah samping kanannya. Tampak seorang gadis cantik yang sejak tadi berdiri tidak jauh darinya, melangkah menghampiri dan duduk di samping kepala desa itu. Ki Rangkuti menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Tangannya meraih tangan Sekar Telasih, dan menggenggamnya hangat-hangat. Sesaat mereka saling berpandangan, dengan sinar mata yang sukar diartikan.

"Naga Merah itu mengingatkan aku pada Nyi Rongkot si Ular Betina...," kata Ki Rangkuti, agak menggumam nada suaranya. Seakan-akan dia bicara pada diri sendiri.

Sedangkan Sekar Telasih hanya diam saja membisu. Dia tahu, apa yang baru saja dikatakan ayahnya ini. Tentu saja peristiwa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Desa Jatiwangi ini tidak bisa terlupakan begitu saja.

Desa Jatiwangi ini memang pernah kedatangan seorang tokoh wanita rimba persilatan yang berkepandaian sangat tinggi. Wanita tua itu bernama Nyi Rongkot, dan lebih dikenal dengan julukan Ular Betina. Kedatangan si Ular Betina ke desa ini bukan saja menimbulkan malapetaka bagi diri Ki Rangkuti. Tapi, juga bagi seluruh penduduk Desa Jatiwangi. Bahkan hampir saja dia tewas dalam peristiwa itu.

Dan tadi.., baru saja muncul seekor naga merah di angkasa yang didahului terjadinya badai topan begitu dahsyat luar biasa. Sehingga, desa ini bagaikan hendak kiamat saja rasanya.

“Tapi, Ayah. Nyi Rongkot sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti...," bantah Sekar Telasih seperti mengingatkan.

"Di dalam kehidupan orang-orang persilatan, terlalu banyak hal yang sukar bisa diterima akal, Sekar. Terlebih lagi, Nyi Rongkot memiliki kepandaian tinggi sekali," balas Ki Rangkuti, masih dengan nada suara perlahan.

"Maksud, Ayah.... Nyi Rongkot masih hidup, dan sekarang muncul lagi hendak membalas dendam?" terka Sekar Telasih.

Gadis itu memang cerdas, dan bisa cepat menerka maksud pembicaraan seseorang. Terlebih lagi terhadap ayahnya, yang sudah diketahui watak maupun kemauannya. Sehingga, isi hati dan pikiran orang tua itu bias cepat diterka.

"Hhh...!" Ki Rangkuti hanya menghembuskan nafasnya saja. Terasa begitu berat sekali tarikan nafasnya. Perlahan Ki Rangkuti bangkit berdiri dan melangkah sampai ke depan beranda rumahnya. Pandangannya kembali tertuju pada para penduduk yang masih sibuk membenahi rumahnya.

Sementara, Sekar Telasih masih tetap duduk di kursi yang terbuat dari bahan rotan itu. Dia kemudian bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri ayahnya. Gadis itu berdiri di samping kanan ayahnya yang masih tetap diam memandangi orang-orang yang sibuk membenahi rumah yang rusak akibat terlanda badai.

"Rasanya sulit dipercaya kalau Nyi Rongkot masih hidup...," gumam Sekar Telasih seperti bicara pada diri sendiri.

“Tapi kenyataannya dia sudah muncul, dan membuat tanda malapetaka tadi," sergah Ki Rangkuti.

"Ayah, apa tidak sebaiknya kita memberitahukan hal ini pada Pendekar Rajawali Sakti...?" usul Sekar Telasih.

"Kau tahu, di mana menghubunginya?" tanya Ki Rangkuti seperti menguji.

Sekar Telasih tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Jangankan menghubungi, mengetahui di mana Pendekar Rajawali Sakti sekarang berada saja tidak mungkin bisa diketahui. Waktu itu kedatangan Pendekar Rajawali Sakti juga secara tiba-tiba dan tidak diketahui. Dan kepergiannya pun tanpa ada seorang pun yang tahu.

Sekar Telasih kini tahu, apa yang sekarang menjadi beban pikiran ayahnya. Rasanya memang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi keganasan Nyi Rongkot si Ular Betina itu. Tingkat kepandaiannya terlalu tinggi bagi mereka. Naga Merah yang terlihat di angkasa tadi, memang merupakan suatu pertanda akan datang malapetaka di Desa Jatiwangi ini.

Tapi tak ada seorang pun yang bisa menebak, malapetaka apa yang akan terjadi nanti. Bukan hanya Sekar Telasih yang tidak bisa menebak. Bahkan Ki Rangkuti sendiri tidak bisa menduga-duga. Tapi mereka sudah yakin, malapetaka itu akan datang dengan cepat, dan tentunya lebih dahsyat dari yang pertama dahulu.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ayah?" tanya Sekar Telasih.

"Rasanya tidak ada waktu lagi untuk melakukan sesuatu," jelas Ki Rangkuti, menggumam.

"Bagaimanapun juga, kita harus berusaha sebelum si Ular Betina itu datang, Ayah," tegas Sekar Telasih memberi dorongan semangat

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Rangkuti ingin tahu.

"Aku akan mengundang beberapa pendekar tangguh sahabat kita, Ayah," jawab Sekar Telasih mantap.

"Kau akan pergi dari sini?" Ki Rangkuti menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak yakin rencana anak gadisnya akan berhasil. Laki-laki tua itu kenal betul watak Nyi Rongkot yang berjuluk si Ular Betina. Sekali saja memberi tanda, maka tidak akan ada seorang pun yang bisa keluar dari desa ini dalam keadaan hidup. Bahkan tak akan ada seorang pun yang bisa masuk ke desa ini.

Dan itu berarti seluruh penduduk Desa Jatiwangi benar-benar tinggal menunggu nasib saja. Namun Ki Rangkuti lebih senang bila menggunakan kata menunggu kematian. Hal ini bisa dikatakannya, karena mengingat watak Nyi Rongkot yang tidak pernah kepalang tanggung jika sudah melakukan tindakan balas dendam.

"Kau tidak akan bisa keluar dari desa ini, Sekar," tegas Ki Rangkuti dengan kepala masih bergerak menggeleng perlahan.

"Aku yakin bisa, Ayah," tekad Sekar Telasih.

"Tidak mungkin.... Itu sangat mustahil."

"Kenapa...?" Sekar Telasih jadi ingin tahu.

"Kau tidak akan mengerti, Sekar. Nyi Rongkot telah memberi tanda kehancuran dan kematian bagi seluruh penduduk Desa Jatiwangi ini. Dan itu berarti tidak akan ada seorang pun yang bisa keluar atau masuk desa ini. Aku kenal betul wataknya. Jadi, aku tidak ingin kau mendapat celaka jika terus memaksakan keinginanmu," Ki Rangkuti mencoba memberi penjelasan.

Sekar Telasih jadi terdiam. Memang semua yang dikatakan ayahnya barusan tidak bisa lagi dibantahnya. Meskipun gadis itu tidak begitu tahu seluruhnya akan watak dan tindakan Ular Betina, tapi paling tidak pernah menghadapi perempuan tua itu. Kekejamannya memang tidak bisa dikatakan lagi.

Bagi si Ular Betina, membunuh merupakan pekerjaan yang paling mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Untung waktu itu penduduk Desa Jatiwangi ditolong Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, pembantaian seluruh penduduk dapat ditekan sekecil mungkin.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan...?" tanya Sekar Telasih setelah berdiam diri cukup lama juga.

"Diam, dan menunggu perkembangan selanjutnya," sahut Ki Rangkuti.

********************

Malam sudah begitu larut. Sementara itu Ki Rangkuti masih juga berada di depan rumahnya yang besar. Rumah yang juga digunakan untuk tempat berlatih ilmu olah kanuragan para pemuda Desa Jatiwangi. Selain sebagai kepala desa, Ki Rangkuti juga dikenal sebagai Ketua Padepokan Jatiwangi. Sebuah padepokan yang didirikan untuk mendidik pemuda-pemuda desa ini agar memiliki kepandaian. Dengan demikian, mereka dapat menjaga keamanan dan ketenteraman desanya.

Saat itu Ki Rangkuti melihat empat orang mendatanginya dari arah depan. Salah seorang yang berjalan paling depan, sudah sangat dikenali. Dialah Sayuti, salah seorang pengajar ilmu olah kanuragan di Padepokan Jatiwangi ini. Keempat orang itu segera menjura memberi hormat begitu sampai di depan Ki Rangkuti yang masih tetap berdiri membelakangi rumahnya.

"Bagaimana? Sudah kau tempatkan mereka di tempat-tempat rawan?" tanya Ki Rangkuti langsung.

"Sudah, Ki. Tinggal sekitar sepuluh orang saja yang tinggal di padepokan," sahut Sayuti.

Kepala Ki Rangkuti terangguk-angguk. Memang hanya itu saja yang bisa dilakukan untuk berjaga-jaga, setelah peristiwa mengejutkan yang membuatnya menduga kalau Nyi Rongkot masih hidup. Memang, dia sendiri tidak yakin akan berhasil baik dengan tindakannya sekarang ini. Tapi untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu, tak ada cara lain yang harus dilakukannya, selain meningkatkan penjagaan keamanan di setiap pelosok Desa Jatiwangi.

"Ki..," ujar Sayuti terputus.

"Ada apa, Sayuti?" desah Ki Rangkuti.

"Apa benar Ular Betina akan datang dan membalas dendam?" tanya Sayuti, terdengar ragu-ragu nada suaranya.

"Aku baru menduga begitu. Tapi tanda yang diberikannya tidak bisa kuabaikan begitu saja. Tidak ada seorang tokoh pun di dunia ini yang mempunyai lambang Naga Merah. Hanya si Ular Betina itu saja yang memilikinya," jelas Ki Rangkuti.

Sayuti terdiam. Dia juga melihat Naga Merah di angkasa ketika terjadi badai yang melanda secara aneh di desa ini siang tadi. Dan memang tidak bisa disalahkan jika Ki Rangkuti memerintahkan seluruh murid Padepokan Jatiwangi untuk melipatgandakan penjagaan di seluruh pelosok desa ini.

"Ki, apa tidak mungkin si Ular Betina itu akan mengambil Nini Sekar Telasih lagi...?" kembali Sayuti membuka suaranya.

"Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan Sekar Telasih dan membunuhku. Bahkan pasti akan membumihanguskan seluruh desa ini. Aku tahu betul wataknya yang kejam dan tidak mengenal ampun itu. Hhh.... Sebaiknya kalian tetap bersiaga, dan jangan lengah sedikit pun juga. Kalau ada sesuatu yang terjadi, kalian harus cepat laporkan padaku," pinta Ki Rangkuti.

"Baik, Ki," sahut Sayuti dan empat orang pendampingnya serempak.

"Kembalilah kalian ke tempat masing-masing," ujar Ki Rangkuti.

Setelah menjura memberi hormat, Sayuti dan ketiga orang temannya yang juga sama-sama pengajar di Padepokan Jatiwangi, segera melangkah pergi meninggalkan orang tua itu seorang diri. Sepeninggal mereka, Ki Rangkuti masih tetap berdiri mematung di depan rumahnya. Beberapa kali terdengar tarikan nafasnya yang begitu berat dan dalam.

"Hik hik hik...!" "Heh...?!"

Ki Rangkuti terkejut setengah mati ketika tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik keras. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Belum juga rasa keterkejutannya hilang, mendadak saja dari atas kepalanya melesat sebuah bayangan merah yang begitu cepat luar biasa. Untung saja Ki Rangkuti cepat merundukkan kepala, sehingga hanya hembusan angin saja yang menerpa rambut putih di kepalanya. Dan begitu tubuhnya ditegakkan kembali, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang berbaju merah menyala yang begitu longgar dan panjang, sehingga menutupi seluruh bagian kakinya.

"Hm...," Ki Rangkuti menggumam perlahan.

DUA

"Siapa kau...?!" tanya Ki Rangkuti. Suaranya terdengar dingin.

"Kau tidak mengenaliku lagi, Rangkuti...?" terdengar serak dan datar sekali suara orang berjubah merah itu.

"Lihat aku baik-baik, Rangkuti. Kau akan tahu siapa aku."

Ki Rangkuti menyipitkan sedikit matanya, mencoba melihat wajah orang berjubah merah di depannya. Jantung Ki Rangkuti seketika seperti berhenti berdetak ketika orang berjubah merah itu menyibakkan rambutnya yang panjang teriap tak teratur. Sehingga, seluruh wajahnya dapat terlihat jelas di bawah siraman cahaya rembulan.

"Nyi Rongkot...," desis Ki Rangkuti hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Hik hik hik...! Kau sekarang tahu siapa aku, Rangkuti...?" semakin dingin nada suara wanita tua berjubah merah yang ternyata memang Nyi Rongkot, atau berjuluk Ular Betina.

Ki Rangkuti masih merayapi wajah tua di depannya. Sungguh tidak disangka kalau si Ular Betina itu masih tetap hidup. Bahkan sekarang tengah berdiri di depannya. Semula hanya diduga-duga saja atas kejadian siang tadi. Tapi kini bukan lagi menduga, melainkan suatu kenyataan yang harus dihadapinya. Nyi Rongkot ternyata masih hidup!

"Bagaimana mungkin kau masih bisa hidup, Nyi Rongkot..?" tanya Ki Rangkuti masih diliputi perasaan herannya.

"Kau tidak perlu tahu, Rangkuti. Hidup dan matiku bukan urusanmu!" sahut Nyi Rongkot, begitu dingin nada suaranya.

"Apa maksudmu datang lagi ke sini...?" tanya Ki Rangkuti mulai dingin kembali suaranya.

"Hik hik hik...! Kenapa mesti kau tanyakan, Rangkuti? Seharusnya kau sudah tahu maksud kedatanganku ke sini. Kau toh, bukan orang bodoh!" sahut Nyi Rongkot bernada menghina.

"Jika ingin mengambil Sekar Telasih dan menghancurkan desa ini, kau tentu juga sudah tahu apa yang akan kulakukan, Nyi Rongkot," tegas Ki Rangkuti.

"Hik hik hik...! Bagus...! Memang itu yang kuharapkan, Rangkuti. Tapi jangan harap aku akan melakukannya begitu saja. Terlalu enak bagimu jika desa ini kuhancurkan sekaligus. Kau sudah membuatku begitu menderita. Dan sekarang, aku akan membuatmu merasakan bagaimana penderitaan itu, Rangkuti," kata Nyi Rongkot bernada mengancam.

"Apa maksudmu...?" sentak Ki Rangkuti, agak bergetar suaranya.

"Hik hik hik...!" Si Ular Betina itu tidak menjawab pertanyaan Ki Rangkuti barusan. Sambil memperdengarkan tawanya yang mengikik mengerikan, Nyi Rongkot melesat pergi cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya. "Tunggulah hari-hari penderitaanmu, Rangkuti! Hik hik hik...!"

"Setan...!" dengus Ki Rangkuti menggeram. Sayang sekali, laki-laki tua itu tidak bisa lagi mengejar. Ilmu meringankan tubuh si Ular Betina itu memang sudah mencapai tingkat sempurna, sehingga bisa melesat begitu cepat bagaikan kilat. Dia seperti lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Ki Rangkuti hanya bisa mendengus dan menggerutu dalam hati. Kemunculan Ular Betina yang begitu tiba-tiba dan mengejutkan barusan, tentu sudah bisa diramalkan maksudnya.

"Hhh...! Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Wanita keparat itu memiliki seribu macam cara untuk membuat orang menderita sepanjang hidup," dengus Ki Rangkuti, bicara pada diri sendiri.

Saat itu terdengar suara langkah-langkah kaki yang terdengar cepat, menghampirinya dari arah belakang. Perlahan laki-laki tua berjubah putih itu memutar tubuhnya berbalik. Tampak Sekar Telasih menghampirinya dengan langkah cepat setengah berlari. Ki Rangkuti menunggu saja sampai gadis itu berada dekat di depannya.

"Ada apa, Ayah? Tadi kudengar ada suara orang lain di sini," tanya Sekar Telasih langsung.

"Perempuan iblis itu benar-benar masih hidup. Baru saja dia muncul di sini," jawab Ki Rangkuti, masih dengan nada suara agak mendengus geram.

"Maksud, Ayah...? Ular Betina...?" agak terbeliak bola mata Sekar Telasih.

Ki Rangkuti hanya menganggukkan kepala saja, kemudian melangkah menuju beranda depan rumahnya. Sekar Telasih bergegas mengikuti dari belakang. Mereka kemudian duduk di sebuah bangku panjang dari rotan di beranda depan rumah yang berukuran sangat besar. Untuk beberapa saat mereka terdiam, tidak saling membuka suara.

Sementara beberapa kali terdengar tarikan napas Ki Rangkuti yang panjang dan berat sekali. Seakan-akan, dia ingin melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak, bagai terhimpit sebongkah batu yang teramat besar dan berat.

“Jadi dia benar-benar masih hidup, Ayah...?" tanya Sekar Telasih ingin memastikan lagi.

"Ya! Dia masih hidup dan ingin melaksanakan maksudnya yang gagal waktu itu," sahut Ki Rangkuti.

"Ohhh...," Sekar Telasih mendesah panjang. Lemas seluruh tubuh Sekar Telasih saat itu juga. Betapa tidak...? Gadis itu tahu, apa yang dimaksudkan ayahnya barusan. Dan dia juga sudah tahu kalau dirinya diakui Nyi Rongkot sebagai anaknya. Sedangkan gadis itu sendiri tidak pernah mengakui kalau Nyi Rongkot adalah ibu yang telah melahirkannya.

Memang tidak ada seorang pun yang sudi mengakui wanita iblis itu sebagai saudara. Apalagi ibu. Padahal, Ki Rangkuti sendiri sudah mengatakan kalau Sekar Telasih memang anak tunggal Nyi Rongkot. Tapi, gadis itu tetap hanya memilih Ki Rangkuti sebagai orang tuanya.

"Bukan hanya kau saja yang diinginkannya, Sekar. Tapi, kematianku juga diinginkannya. Aku akan dibuat menderita terlebih dahulu sebelum pada akhirnya dikirim ke liang kubur," jelas Ki Rangkuti lagi. Masih terdengar perlahan suaranya.

"Kita tidak boleh menyerah begitu saja, Ayah. Kita harus bisa bertahan. Paling tidak, memberikan perlawanan," tegas Sekar.

"Ya! Kita memang akan mempertahankannya. Meskipun, kita sendiri tahu tidak akan ada gunanya," sahut Ki Rangkuti jadi bersemangat melihat kegigihan gadis ini.

"Apa pun yang terjadi, aku tetap anakmu, Ayah. Aku bukan anak perempuan iblis itu!" dengus Sekar Telasih berapi-api.

Ki Rangkuti jadi terharu mendengar kata-kata Sekar Telasih yang begitu bersemangat dan berapi-api. Maka keharuannya tidak bisa lagi tertahankan. Direngkuhnya gadis itu ke dalam pelukannya. Beberapa saat mereka berpelukan, menumpahkan rasa kasih dan cinta yang begitu mendalam. Perlahan Ki Rangkuti melepaskan pelukannya. Ditatapnya bola mata Sekar Telasih dalam-dalam, lalu lembut sekali kening gadis itu diciumnya.

"Sudah malam. Sebaiknya kau tidur," ujar Ki Rangkuti lembut.

"Ayah juga harus istirahat, dan harus menjaga kesehatan badan," kata Sekar Telasih memperlihatkan perhatian dan kasih sayangnya.

Ki Rangkuti tersenyum dan mengangguk. Sekar Telasih bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Sementara Ki Rangkuti masih tetap duduk bersila di bangku beranda depan rumahnya yang sangat luas ini.

"Dewata Yang Agung.... Beri petunjuk padaku untuk menghadapi Ular Betina itu," desah Ki Rangkuti seraya menengadahkan kepala ke atas.

Pendekar Rajawali Sakti
Ki Rangkuti cepat melompat bangkit dari pembaringannya, begitu mendengar ketukan di pintu kamarnya. Sempat disambarnya senjata yang berupa sebilah keris dari atas meja di samping tempat tidur. Hanya sekali lompat saja, laki-laki tua kepala desa itu sudah mencapai pintu, dan segera membukanya. Di depan pintu itu sudah berdiri Sayuti yang didampingi tiga orang temannya, pengajar Padepokan Jatiwangi.

"Ada apa...?" tanya Ki Rangkuti langsung.

"Bagian Selatan desa habis diporakporandakan, Ki. Tak ada seorang penduduk pun yang tersisa," lapor Sayuti.

"Apa...?!" Bukan main terperanjatnya Ki Rangkuti mendengar laporan salah satu orang kepercayaannya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia bergegas keluar. Ayunan langkahnya begitu cepat dan lebar-lebar, membuat Sayuti dan ketiga temannya terpaksa harus menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk mengimbanginya. Di depan pintu rumah, Ki Rangkuti dihadang Sekar Telasih yang tampak sudah siap hendak bepergian.

Sebilah pedang sudah tersandang di pinggangnya. Kali ini gadis itu mengenakan pakaian kependekaran yang begitu ketat dan berwarna merah muda. Celananya sebatas lutut, sehingga memperlihatkan sepasang betis yang begitu indah dan mulus. Ki Rangkuti terpaksa menghentikan langkahnya di depan pintu.

"Aku ikut" pinta Sekar Telasih tegas.

"Jangan Sekar. Kau tidak akan tahan melihatnya," tolak Ki Rangkuti.

"Aku bukan lagi gadis yang dulu, Ayah. Sekar yang dulu sudah mati. Yang ada sekarang ini adalah Sekar Telasih, putri Ketua Padepokan Jatiwangi," lagi-lagi Sekar Telasih berkata tegas.

"Kau belum ada satu tahun mempelajari ilmu olah kanuragan, Sekar. Kau tidak akan tahan melihatnya nanti. Sebaiknya...."

"Aku bisa pergi sendiri!" potong Sekar Telasih cepat. Gadis itu cepat memutar tubuhnya, lalu berlari menghampiri kuda yang sudah siap tidak jauh dari beranda depan rumah itu.

Sejenak Ki Rangkuti jadi kebingungan melihat tekad yang begitu bulat pada diri Sekar Telasih. "Sekar, tunggu...!"

Tapi Sekar Telasih sudah keburu melompat naik ke punggung kudanya. Langsung digebahnya kuda itu hingga melesat cepat Ki Rangkuti tidak bisa berbuat lain lagi. Cepat-cepat dia melompat naik ke punggung kuda, dan segera menggebahnya dengan cepat Sayuti dan ketiga temannya juga segera mengikuti. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Ki Rangkuti masih begitu tangkas mengendalikan binatang tunggangannya. Sebentar saja Sekar Telasih yang berkuda lebih dahulu sudah bisa disusul.

"Sekar...," panggil Ki Rangkuti terputus.

"Ini bukan hanya masalah Ayah saja. Tapi, juga menyangkut diriku. Tidak mungkin aku tinggal diam menunggu begitu saja, Ayah. Aku juga harus ikut terlibat" kata Sekar cepat sebelum Ki Rangkuti melanjutkan ucapannya.

"Tapi dengarlah dulu kata-kataku, Sekar. Yang kita hadapi sekarang ini bukan orang sembarangan. Ilmunya demikian tinggi. Dan aku sendiri belum tentu bisa menghadapinya. Sedangkan kau juga belum lama mempelajari ilmu olah kanuragan. Aku ingin, kau bisa menahan diri. Jangan sampai terpancing oleh siasatnya," bujuk Ki Rangkuti mencoba menasihati gadis itu.

"Aku akan melihat, sampai sejauh mana perbuatan perempuan iblis itu, Ayah," balas Sekar Telasih tetap tegas.

"Biar bagaimanapun, dia tetap...."

"Tidak! Dia bukan ibuku!" sentak Sekar Telasih cepat memutuskan ucapan Ki Rangkuti.

"Tidak ada seorang pun yang sudi punya ibu jahat. Dia bukan ibuku! Tapi iblis...!"

"Sekar...."

"Jangan katakan itu lagi, Ayah," potong Sekar Telasih cepat.

Ki Rangkuti tidak bisa lagi berkata-kata. Sungguh baru kali ini Sekar Telasih kelihatan begitu keras. Tekadnya benar-benar keras, seperti batu karang di lautan yang tak pernah habis meskipun setiap saat selalu digempur gelombang ombak. Memang Sekar Telasih sudah jauh berubah. Dia bukan lagi gadis manja yang tidak mampu melakukan sesuatu.

Sejak empat guru pengajar Padepokan Jatiwangi menggemblengnya dengan berbagai macam ilmu olah kanuragan selama hampir setahun, Sekar Telasih sudah berubah jauh. Bahkan sifat manjanya telah hilang sama sekali. Sekar Telasih telah benar-benar berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

Bukan hanya Sayuti. Bahkan Darmaji, Gagak Aru, dan Walikan mengakui kalau Sekar Telasih memiliki bakat luar biasa dalam mempelajari jurus-jurus ilmu olah kanuragan. Belum ada setahun, Sekar Telasih telah melebihi tingkatannya dari murid-murid yang lebih lama belajar di padepokan itu.

Terlebih lagi, Sekar Telasih mengkhususkan diri memperdalam jurus-jurus permainan pedang. Sehingga, tak ada seorang pun murid Padepokan Jatiwangi yang bisa menandingi kepandaiannya dalam permainan jurus-jurus pedang. Perubahan pada dirinya terjadi setelah Sekar Telasih menyadari betapa pentingnya mempelajari ilmu olah kanuragan untuk membela diri.

Pengalaman pahitnya telah membuka mata hati gadis itu, yang sebelumnya tidak pernah tertarik terhadap ilmu-ilmu kepandaian. Sementara itu enam kuda terus bergerak menuju ke arah Selatan dari Desa Jatiwangi. Ki Rangkuti tidak lagi berusaha membujuk Sekar Telasih untuk kembali ke rumah. Dibiarkan saja gadis itu berkuda di sampingnya.

********************

Sekar Telasih meringis melihat keadaan di bagian Selatan Desa Jatiwangi. Tak ada satu rumah pun yang kelihatan masih berdiri. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Bau anyir darah menyeruak tajam menusuk hidung. Hampir saja gadis itu tidak tahan melihat pemandangan yang begitu mengerikan dan mengenaskan sekali.

Bukan hanya mayat orang dewasa saja yang terlihat bergelimpangan di sepanjang jalan ini. Bahkan mayat anak-anak dan bayi terlihat juga di antara reruntuhan rumah dan mayat-mayat lain yang berserakan tak tentu arah. Asap tipis masih terlihat mengepul di beberapa tempat. Benar-benar suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati.

Sementara Ki Rangkuti yang duduk di punggung kudanya di samping Sekar Telasih, hanya bisa menggeretakkan gerahamnya begitu melihat hasil kekejaman Ular Betina. Perempuan berhati iblis itu benar-benar tidak lagi menyisakan seorang pun untuk hidup.

"Aku akan kembali, Ayah," kata Sekar Telasih tiba-tiba, sambil memutar kudanya. Tanpa menunggu jawaban Ki Rangkuti lagi, gadis itu segera menggebah kudanya meninggalkan bagian Selatan Desa Jatiwangi ini.

"Darmaji, temani putriku," perintah Ki Rangkuti.

"Baik, Ki," sahut Darmaji langsung menggebah kudanya menyusul Sekar Telasih.

"Hiya! Hiyaaa...!"

"Berapa orang kau tempatkan di sini, Sayuti?" tanya Ki Rangkuti seraya merayapi mayat-mayat di sekitarnya.

"Sepuluh orang, Ki," sahut Sayuti yang kini sudah berada di samping laki-laki tua berjubah putih itu.

"Bagaimana keadaan mereka?"

"Tak ada seorang pun yang hidup," sahut Sayuti perlahan.

"Hhh...!" Ki Rangkuti menghembuskan napas berat. Laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu melompat turun dari punggung kudanya.

Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan ikut melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Walikan bergegas mengambil tali kekang kuda Ki Rangkuti sambil menuntun kuda masing-masing, mereka berjalan mengikuti Ki Rangkuti yang berjalan paling depan.

Hampir semua mayat yang berserakan di sepanjang jalan ini diperiksa. Memang tak ada satu pun yang kelihatan masih hidup. Semua tewas dengan luka-luka di tubuh. Darah yang berceceran, terlihat sudah hampir mengering. Itu berarti baru semalam sebagian dari Desa Jatiwangi dihancurkan.

"Sebaiknya kita kembali saja, Ki. Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sini," ujar Sayuti memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.

"Ya.... Memang tak ada yang bisa kita lakukan," desah Ki Rangkuti perlahan.

"Kita tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan keangkaramurkaan Ular Betina."

"Kami semua akan mempertaruhkan nyawa, Ki," tekad Sayuti mewakili teman-temannya.

“Terima kasih atas kesetiaan kalian semua. Tapi aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian. Hhh...," ucap Ki Rangkuti disertai hembusan napas panjang dan terasa berat sekali.

Laki-laki tua itu menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya berbalik, lalu matanya merayapi ketiga guru pengajar di padepokan yang didirikannya hampir setahun yang lalu. Sedangkan yang dipandangi hanya menundukkan kepala saja, seakan-akan mereka tidak sanggup membalas tatapan mata Ketua Padepokan Jatiwangi itu. Beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam, tak ada yang membuka suara sedikit pun. Sementara suasana memang terasa begitu sunyi mencekam.

"Desa Jatiwangi sudah berada di ambang kehancuran. Dan aku tidak ingin lebih banyak lagi melihat mereka yang tak berdosa harus mati sia-sia. Juga kalian bertiga...," ungkap Ki Rangkuti. Suaranya begitu perlahan, bahkan hampir tak terdengar.

Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Mereka terdiam dengan kepala masih tertunduk dalam, menekuri tanah di ujung kakinya. Sebentar Ki Rangkuti menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dadanya yang mendadak saja jadi terasa begitu sesak. Pokoknya, seperti terhimpit sebongkah batu yang sangat besar, sehingga membuat pernafasannya seperti terhambat.

"Apa yang kau inginkan dari kami, Ki?" tanya Sayuti memecah kebisuan kembali.

"Aku ingin kalian membawa semua penduduk desa ini ke tempat yang lebih aman, dan tidak terjangkau si Ular Betina," jelas Ki Rangkuti setelah menghembuskan napas panjang.

"Mustahil.... Itu tidak mungkin, Ki," desah Sayuti.

"Benar, Ki. Ular Betina tidak akan membiarkan seorang pun keluar dari desa ini," sambung Gagak Aru.

"Aku hanya ingin kalian menyelamatkan semua penduduk dari kebiadaban si Ular Betina itu," kata Ki Rangkuti lagi.

"Tapi bagaimana caranya, Ki...?" tanya Walikan yang sejak tadi diam saja.

"Yang pasti, dia tidak seorang diri. Dan Desa Jatiwangi sudah terawasi dari luar. Mereka tak mungkin memberi sedikit celah pada kita untuk keluar dari desa ini. Kalaupun ada, itu pasti hanya jebakan saja untuk membantai habis siapa saja yang mencoba keluar dari desa ini."

"Kalian rupanya sudah begitu paham akan sifat dan watak si Ular Betina," desah Ki Rangkuti.

"Kami tahu betul, Ki," ujar Sayuti.

"Kalau sudah tahu, kalian harus bisa menyelamatkan penduduk desa ini dari kehancuran," tegas Ki Rangkuti lagi.

"Kami akan menghadapinya sekuat tenaga dan kemampuan kami, Ki," tegas Sayuti bertekad.

"Kalian tidak ada artinya bagi si Ular Betina. Dia bisa membunuh kalian semua, semudah membalikkan telapak tangan."

"Kami rela mati untuk itu, Ki," selak Gagak Aru.

"Itulah yang tidak kuinginkan. Aku ingin kalian tetap hidup dan dapat meneruskan Padepokan Jatiwangi yang kita dirikan dengan darah dan keringat. Kalian ingat peristiwa berdirinya Padepokan Jatiwangi, bukan...? Tidak mudah mendirikan sebuah padepokan. Apalagi mempertahankannya. Dan aku ingin kalian tetap mempertahankannya. Jadi, kalian harus tetap hidup walau Desa Jatiwangi jadi lautan api," tegas sekali kata-kata yang diucapkan Ki Rangkuti.

"Kami akan selalu setia padamu, Ki. Juga pada Padepokan Jatiwangi," tegas Sayuti., Gagak Aru, dan Walikan serempak seraya menjura memberi penghormatan.

"Aku tidak meragukan kesetiaan kalian. Dan aku juga tidak meragukan kemampuan kalian membawa keluar seluruh penduduk desa ini," kata Ki Rangkuti lagi.

Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan hanya saling melempar pandangan saja. Mereka tidak bisa lagi berkata lain. Terlebih lagi membantah keinginan kepala desa, dan juga Ketua Padepokan Jatiwangi ini. Mereka tahu, Ki Rangkuti tidak menginginkan ada pembantaian lagi di Desa Jatiwangi ini Tapi keadaan yang dihadapi memang tidak mudah diatasi. Mereka kini benar-benar terjepit.

"Kalian atur saja bagaimana caranya," kata Ki Rangkuti lagi.

Setelah berkata demikian, Ki Rangkuti mengambil tali kekang kudanya dari tangan Walikan. Kemudian, dia melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan begitu ringan dan manis sekali. Tanpa berbicara lagi, laki-laki tua yang selalu mengenakan baju jubah putih panjang itu melompat naik ke punggung kudanya.

"Ayo, kita kembali...," ajak Ki Rangkuti.

Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan bergegas berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah bergerak cepat meninggalkan bagian desa yang sudah rata dibumi-hanguskan itu. Mereka cepat memacu kudanya, meninggalkan debu yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.

"Sayuti...!" panggil Ki Rangkuti.

"Ya, Ki," sahut Sayuti seraya menghampiri, dan mensejajarkan langkah kudanya di samping kuda laki-laki tua berjubah putih itu.

"Jika kau bisa keluar dari desa ini, usahakan temui Pendekar Rajawali Sakti dan Bayangan Malaikat. Atau, pendekar siapa saja yang berkepandaian tinggi. Katakan pada mereka, aku membutuhkan bantuannya," pesan Ki Rangkuti.

"Baik, Ki," sahut Sayuti. "Tapi ada satu pesan yang harus kau ingat, Sayuti. Juga kalian berdua," tambah Ki Rangkuti lagi.

"Apa itu, Ki?" tanya Sayuti. "Jangan katakan hal ini pada Sekar Telasih," kata Ki Rangkuti memberi pesan lagi.

"Kenapa, Ki?" tanya Sayuti ingin tahu

"Kalian harus ingat. Ini persoalan antara aku, Sekar, dan si Ular Betina. Jadi hanya aku dan Sekar saja yang harus menghadapinya. Kecuali, orang-orang yang kusebutkan namanya tadi. Kau paham, Sayuti...?"

"Paham, Ki," sahut Sayuti mantap.

Ki Rangkuti tidak berkata-kata lagi. Dan mereka semua juga tidak ada yang bersuara lagi. Sementara kuda yang ditunggangi terus berpacu cepat membelah jalan tanah berdebu.

********************

TIGA

Sayuti dan tiga orang rekannya mengambil cara untuk mengeluarkan penduduk dari Desa Jatiwangi ini dengan bergelombang. Para penduduk dibagi empat gelombang yang akan dipimpin masing-masing dari mereka berempat. Dan seluruh murid padepokan Jatiwangi juga dibagi menjadi empat bagian.

Setiap bagian akan mengawal satu gelombang penduduk yang harus keluar dari desa ini, sebelum ancaman si Ular Betina benar-benar terlaksana. Malam ini akan berangkat gelombang pertama yang dipimpin Gagak Aru. Ada sekitar tiga puluh orang penduduk, baik tua, muda, dan anak-anak yang dikawal tidak kurang lima belas murid Padepokan Jatiwangi.

Mereka berangkat melalui jalan Utara, mengingat pada bagian Selatan desa sudah dihancurkan hingga tak ada lagi yang tersisa. Tepat tengah malam, mereka berangkat meninggalkan desa secara diam-diam. Dan keberangkatan ini memang sangat dirahasiakan, sehingga penduduk yang belum mendapat giliran pun tidak ada yang tahu.

Hanya Ki Rangkuti dan para pembantunya di padepokan saja yang mengetahui semua rencana ini. Bahkan Sekar Telasih sendiri tidak mengetahui. Dan inilah yang memang diinginkan Ki Rangkuti, agar Sekar Telasih tidak nekat ikut bersama rombongan itu keluar dari Desa Jatiwangi ini. Tapi begitu rombongan penduduk sampai di perbatasan desa sebelah Utara, mendadak saja....

"Berhenti...!"

Bentakan keras yang begitu menggelegar bagai guntur, membuat mereka terkejut setengah mati. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan merah. Tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri sesosok tubuh berjubah merah menyala. Ternyata, seorang perempuan tua berambut meriap panjang yang hampir menutupi wajahnya sudah menghadang mereka. Sebatang tongkat berbentuk seekor ular naga, tergenggam di tangan ka-nannya.

"Ular Betina...," desis Gagak Aru langsung mengenali perempuan tua yang tiba-tiba saja muncul di depannya.

"Mau ke mana kalian, heh...?!" bentak perempuan tua berjubah merah yang dikenal sebagai si Ular Betina.

"Ke mana saja kami pergi, itu bukan urusanmu!" dengus Gagak Aru ketus.

Ular Betina langsung menatap tajam Gagak Aru. Sinar matanya tampak tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki separuh baya ini.

Sedangkan Gagak Aru sudah memberi isyarat pada murid-muridnya untuk bersiaga. Tanpa diperintah dua kali, lima belas murid Padepokan Jatiwangi segera mencabut senjata masing-masing.

"Kalian hanya punya satu pilihan. Kembali ke desa, atau mati di sini!" desis si Ular Betina mengancam.

"Hhh! Kau tidak ada hak melarang kami, Perempuan Iblis!" dengus Gagak Aru, tetap ketus suaranya.

"Keras kepala...!" geram Ular Betina. "Kalian memaksaku bertindak, heh...?!"

Setelah berkata demikian, Ular Betina langsung menghentakkan tongkatnya ke tanah. Dan tiba-tiba saja dari balik rimbunan semak belukar dan pepohonan, berlompatan orang-orang berbaju merah bersenjatakan golok terhunus di tangan kanan. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh orang. Mereka langsung mengurung para penduduk Desa Jatiwangi yang hanya diperkuat Gagak Aru dan lima belas muridnya.

"Bunuh mereka semua...!" perintah si Ular Betina lantang menggelegar.

"Hiyaaa...!"

"Yeaaa...!" Seketika itu juga, dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah berlompatan cepat menyerang para penduduk Desa Jatiwangi yang mencoba keluar dari desa itu. Jerit dan pekikan melengking menyayat hati langsung terdengar saling sambut yang disusul berjatuhannya tubuh-tubuh bersimbah darah.

"Iblis keparat..! Kubunuh kalian semua!" geram Gagak Aru melihat kekejaman orang-orang berbaju serba merah ini.

"Hiyaaat...!" Sret! Bet!

Gagak Aru langsung mencabut pedang, dan secepat kilat mengibaskannya ke arah salah seorang yang berada paling dekat dengannya. Tapi orang berbaju merah itu demikian gesit. Dengan merundukkan tubuh saja, tebasan pedang Gagak Aru yang begitu cepat berhasil dielakkan. Pada saat itu, dua orang lain yang mengenakan baju serba merah berlompatan menyerang Gagak Aru.

Sementara yang lain terus membantai para penduduk Desa Jatiwangi yang sama sekali tidak berdaya. Bahkan lima belas murid Padepokan Jatiwangi sama sekali tidak berdaya menghadapi amukan orang-orang itu. Satu persatu mereka roboh bergelimang darah. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi semakin sering terdengar, diiringi tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan.

Sementara Gagak Aru harus menghadapi tiga orang yang menyerangnya dengan cepat dan bergantian. Hanya dalam beberapa jurus saja, Gagak Aru sudah kelihatan demikian terdesak. Sama sekali tidak dipunyainya kesempatan untuk balas menyerang. Tiga orang lawan terus menerjang tanpa henti secara bergantian dari tiga jurusan. Akibatnya Gagak Aru semakin kelabakan menghadapinya.

"Ha ha ha...!" si Ular Betina tertawa terbahak-bahak menyaksikan orang-orangnya demikian mudah membantai penduduk Desa Jatiwangi tanpa perlawanan berarti.

“Iblis…”! geram Gagak Aru semakin mendidih darahnya mengetahui orang-orang yang harus dijaga keselamatannya terus terbantai tanpa ampun lagi

“Hiyaaa…!” Dengan darah menggelegak dalam dada, Gagak Aru jadi nekat. Bagaikan kilat tubuhnya melenting ke udara, dan langsung meluruk deras ke arah Ular Betina yang tengah terbahak-bahak. Cepat sekali Gagak Aru membabatkan pedangnya ke arah perempuan tua berjubah merah itu.

"Mampus kau, Iblis Laknat! Hiyaaat...!"

Bet!
"Ikh...!
Wuk!

Ular Betina hanya menarik tubuhnya sedikit ke belakang seraya menghentakkan tongkatnya, menyambut kebutan pedang Gagak Aru. Tak dapat dihindari lagi, pedang Gagak Aru beradu keras dengan tongkat berbentuk ular naga itu.

Trang!

"Akh...!" Gagak Aru terpekik keras begitu pedangnya menghantam tongkat berbentuk ular naga itu.

"Hih! Yeaaah...!" Bagaikan kilat, Ular Betina menghentakkan kakinya ke depan. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan perempuan tua berjubah merah itu, sehingga Gagak Aru tidak dapat lagi menghindarinya.

Bek!

"Akh...!" lagi-lagi Gagak Aru memekik keras agak tertahan. Seketika itu juga tubuh Gagak Aru terpental ke belakang sejauh dua batang tombak, begitu dadanya terkena tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi Keras sekali tubuhnya terbanting di tanah. Dan sebelum bisa bangkit berdiri, seorang yang mengenakan baju merah menyala sudah melompat ke arahnya sambil membabatkan golok tajam berkilatan.

"Hiyaaa...!"
Wuk!
Cras!

"Aaa...!" jeritan panjang melengking tinggi terdengar membelah angkasa. Pedang orang berbaju serba merah itu langsung membelah dada Gagak Aru. Seketika itu juga, darah menyembur deras dari dada yang terbelah sangat lebar dan panjang. Dan sebelum Gagak Aru menyadari apa yang terjadi, sebilah golok kembali berkelebat cepat sekali ke arahnya. Dan....

Bres!

"Aaa...!" lagi-lagi Gagak Aru menjerit panjang melengking tinggi. Sebentar laki-laki setengah baya itu mengejang kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Sebilah golok tampak tertanam dalam di dadanya.

Seorang berbaju serba merah menghampiri, dan mencabut goloknya yang terbenam di dada Gagak Aru. Sementara itu, pembantaian terhadap para penduduk Desa Jatiwangi pun sudah berakhir. Tak ada seorang pun yang dibiarkan hidup. Mereka semua tewas bergelimpangan bermandikan darah.

"Ha ha ha....!" si Ular Betina tertawa terbahak-bahak kesenangan, seperti melihat satu pertunjukkan menarik. Bersamaan melesatnya perempuan tua berjubah merah itu, dua puluh orang berpakaian serba merah juga segera berlompatan pergi meninggalkan puluhan mayat yang berserakan saling tumpang tindih.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara dingin ditambah angin yang berhembus agak keras, menebarkan bau amis darah dari tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.

********************

Gagalnya Gagak Aru membawa keluar sebagian penduduk keluar dari Desa Jatiwangi membuat Ki Rangkuti terpaksa harus mengumpulkan para pembantu setianya yang kini tinggal tiga orang. Mereka berkumpul di bangunan Padepokan Jatiwangi yang letaknya tidak jauh dari rumah Ki Rangkuti sendiri. Biasanya, ruangan tertutup itu dijadikan ruangan khusus untuk bersemadi Ki Rangkuti.

"Iblis...!" desis Ki Rangkuti menggeram marah.

"Bagaimana, Ki? Apa rencana ini diteruskan?" tanya Sayuti.

"Tidak...! Aku tidak ingin mereka semua mati terbantai sia-sia," tegas Ki Rangkuti.

"Kalau begitu, biar aku saja yang keluar sendiri, Ki," kata Sayuti lagi menawarkan diri.

Ki Rangkuti menatap Sayuti dalam-dalam. Memang terlalu sulit mengabulkan keinginan pengajar di padepokan Jatiwangi itu. Sedangkan melarang pun, rasanya tidak mungkin dilakukan. Mereka memang sudah semakin terdesak keadaan. Korban sudah cukup banyak berjatuhan. Desa Jatiwangi ini bagai tinggal menunggu datangnya saat-saat kehancuran itu.

Apa yang diduga selama ini memang menjadi kenyataan. Satu rombongan penduduk yang mencoba keluar dari desa ini, dan dipimpin Gagak Aru telah tewas tanpa seorang pun yang dibiarkan hidup. Bahkan Gagak Aru sendiri tewas bersama para penduduk dan lima belas orang muridnya.

"Beri aku kesempatan, Ki. Aku akan hati-hati," pinta Sayuti memohon.

"Kau tahu, apa bahayanya?" tanya Ki Rangkuti.

"Aku tahu, Ki. Aku akan menanggung semua akibatnya," sahut Sayuti mantap.

"Kau orang terbaik yang kumiliki, Sayuti. Aku pasti akan kehilanganmu," ujar Ki Rangkuti agak sendu.

"Masih banyak yang lebih baik dariku, Ki," Sayuti merendah.

Ki Rangkuti terdiam membisu. Memang sulit mengucapkan sesuatu bagi Sayuti, orang yang paling dipercayai dan disukai. Meskipun masih ada dua orang lagi kepercayaannya, tapi Sayuti adalah orang pertama yang menyatakan kesetiaan. Bahkan orang pertama pula yang pernah dipercayainya.

Terasa sulit bagi Ki Rangkuti untuk menerima kenyataan pahit ini. Terlebih lagi, harus kehilangan orang pertama yang begitu setia dan paling dipercaya. Tapi semua memang harus dihadapi. Keadaan yang semakin mendesak, membuatnya harus rela melepaskan Sayuti.

"Kapan kau akan berangkat, Sayuti?" tanya Ki Rangkuti setelah cukup lama terdiam.

"Besok, sebelum matahari terbit," sahut Sayuti mantap.

"Aku hanya bisa berpesan. Jangan tinggalkan pedang pusaka itu. Mudah-mudahan Hyang Widhi selalu melindungimu," ucap Ki Rangkuti.

"Terima kasih, Ki." Sayuti segera menjura menyentuhkan keningnya di lantai, memberi hormat pada orang tua yang sangat disegani ini.

Sayuti jadi teringat saat-saat pertama bertemu Ki Rangkuti yang saat itu belum menjabat sebagai kepala desa. Waktu itu Sayuti masih berusia muda, dan sudah memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi memang wataknya melenceng, sehingga membuatnya terlalu angkuh dan jumawa. Sayuti berbuat apa saja yang disukai. Bahkan akan membunuh siapa saja yang mencoba merintangi.

Waktu itu, dia mencoba menodai putri Kepala Desa Jatiwangi. Tapi sebelum maksudnya terlaksana, Ki Rangkuti yang waktu itu masih gagah dan belum setua ini keburu datang menolong anak gadis kepala desa itu. Kepandaian yang dimiliki Ki Rangkuti memang jauh lebih tinggi daripada Sayuti. Sehingga, mudah sekali Ki Rangkuti menaklukkannya. Kalau bukan Ki Rangkuti pula, mungkin sudah sejak dulu Sayuti terbaring di lubang kubur.

Seluruh penduduk Desa Jatiwangi sudah begitu muak dan marah atas perbuatannya. Namun Ki Rangkuti masih memberi kesempatan pada Sayuti untuk tetap hidup, walau dengan satu syarat. Sayuti harus meninggalkan Desa Jatiwangi, dan tidak boleh datang lagi ke desa ini. Dan ternyata Sayuti malah kembali lagi, namun untuk menyatakan kesetiaannya, tepat ketika Ki Rangkuti melangsungkan pernikahan dengan anak gadis kepala desa yang ditolongnya. Hingga akhirnya, Ki Rangkuti diangkat menjadi kepala desa.

Sedangkan Sayuti terus mendampinginya dengan setia. Segala sifat buruknya benar-benar telah dikubur dalam-dalam. Bahkan seluruh penduduk Desa Jatiwangi yang semula membenci, berubah menjadi mencintainya. Beberapa kali Sayuti memperlihatkan kesetiaannya, dengan mempertaruhkan nyawa untuk mengamankan Desa Jatiwangi dari rongrongan gerombolan pengacau yang datang dari luar. Dan itu membuat namanya semakin disegani. Tapi, Sayuti memang benar-benar sudah berubah. Dia tidak mabuk akan sanjungan. Bahkan semakin merasa rendah diri saja. Hingga akhirnya, Ki Rangkuti mengangkatnya sebagai saudara.

"Sebaiknya kau istirahat sekarang, Sayuti," ujar Ki Rangkuti membuyarkan kenangan Sayuti.

Perlahan laki-laki separuh baya yang selalu mengenakan baju warna merah muda itu, mengangkat kepala. Sebentar ditatapnya Ki Rangkuti, lalu kembali membungkuk. Kemudian dia menjura memberi hormat, lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar meninggalkan ruangan berukuran tidak begitu besar ini. Kini di dalam ruangan itu, tinggal Ki Rangkuti yang masih ditemani dua orang pembantu setianya.

"Walikan...," panggil Ki Rangkuti.

"Iya, Ki," sahut Walikan seraya menjura memberi hormat dalam keadaan tetap duduk bersila.

"Ikutilah Sayuti. Tapi kau harus menjaga jarak, dan jangan sampai Sayuti tahu. Aku ingin kau cepat melaporkan setiap terjadi sesuatu padanya," perintah Ki Rangkuti.

"Aku siap melaksanakannya, Ki," sahut Walikan mantap.

"Pergilah," desah Ki Rangkuti.

"Pamit, Ki," ucap Walikan kembali menjura memberi hormat.

Walikan bergegas bangkit berdiri, lalu sekali lagi memberi penghormatan pada Ki Rangkuti sebelum meninggalkan ruangan itu. Kini tinggal Darmaji saja yang masih duduk bersila di depan laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi yang juga sekaligus ketua padepokan di desa ini. Mereka masih tetap berdiam diri, meskipun Walikan sudah tidak terlihat lagi diruangan berukuran tidak terlalu besar ini.

"Lalu, apa tugasku, Ki...?" tanya Darmaji yang sejak tadi diam saja.

"Kau tetap di sini bersamaku, Darmaji. Cukup banyak tugas yang akan kau emban. Bahkan jauh lebih berat daripada kedua saudaramu," sahut Ki Rangkuti, yang selalu membiasakan semua pembantu setianya untuk saling menganggap saudara.

"Apa tidak sebaiknya aku juga pergi, Ki. Melalui jalan lain yang bertolak belakang dengan Kakang Sayuti," usul Darmaji.

"Tidak. Kau tidak boleh meninggalkan desa ini," tolak Ki Rangkuti tegas.

"Tapi, Ki.„." Belum juga Darmaji melanjutkan ucapannya, tiba-tiba saja Ki Rangkuti mendongakkan kepala ke atas.

Pada saat Ki Rangkuti melesat tinggi menjebol atap ruangan ini, Darmaji sempat mendengar ada hembusan napas orang lain di atas atap bangunan Padepokan Jatiwangi ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Darmaji cepat melompat keluar melalui pintu. Ditabraknya pintu itu hingga hancur berkeping-keping. Sementara tubuh Ki Rangkuti sudah lenyap setelah menjebol atap kamar bangunan Padepokan Jatiwangi ini.

********************

"Siapa kau?! Berhenti...!" seru Ki Rangkuti keras menggelegar.

"Hup...!" Cepat sekali gerakan laki-laki tua berjubah putih itu. Dan hanya sekali lesatan yang manis sekali, laki-laki tua itu bisa melewati kepala seseorang yang mengenakan baju warna hitam pekat yang begitu ketat Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Ki Rangkuti mendarat tepat di depan orang berbaju serba hitam yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat yang sama, Darmaji sudah sampai. Dia langsung berdiri di samping kanan Ki Rangkuti.

"Sekar...," desis Ki Rangkuti begitu bisa melihat wajah orang berbaju hitam yang menyelinap menguping pembicaraannya tadi dengan para pembantu kepercayaannya.

"Ayah jahat...! Ayah tidak cinta lagi pada Sekar...," sentak Sekar Telasih, agak terisak nada suaranya.

Setelah berkata demikian, orang berbaju serba hitam yang ternyata Sekar Telasih cepat berbalik dan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

"Sekar, tunggu...!" seru Ki Rangkuti. Bagaikan kilat, laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu melompat cepat mengejar gadis itu. Hanya tiga kali lompatan saja, Ki Rangkuti sudah berhasil menghadang Sekar Telasih yang berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Memang ilmu yang dimiliki Sekar Telasih belum ada seujung kuku bila dibanding Ki Rangkuti. Sehingga mudah sekali laki-laki tua itu bisa mengejar gadis ini.

"Dengar dulu, Sekar...," Ki Rangkuti mencoba menyabarkan hati anak gadisnya.

"Kenapa Ayah punya rencana diam-diam...? Kenapa Sekar tidak diberi tahu?" agak keras nada suara Sekar. Gadis itu menuntut penjelasan dari ayahnya.

"Bukannya aku melupakanmu, Sekar. Aku hanya merasa belum saatnya memberitahukanmu. Lagi pula, semua rencana ini belum ketahuan hasilnya," Ki Rangkuti mencoba menjelaskan.

"Tapi kenapa harus diam-diam?"

"Maafkan aku, Sekar. Aku tidak bermaksud mengecilkan arti dirimu," ucap Ki Rangkuti bernada menyesal.

Perlahan Ki Rangkuti melangkah mendekati gadis itu, lalu tangannya terulur. Diraihnya kedua tangan Sekar Telasih. Kini tangan gadis itu digenggamnya erat-erat. Sesaat mereka saling bertatapan. Sementara dari tempat yang cukup jauh, Darmaji hanya memperhatikan saja. Dia tidak tahu, apa yang dibicarakan antara anak dan ayah itu.

"Kau ingin berbuat sesuatu yang berarti bagi desa ini, Sekar?" tanya Ki Rangkuti.

Sekar Telasih mengangguk pasti, meskipun di hatinya terselip suatu keheranan atas pertanyaan ayahnya barusan. Di hati gadis itu jadi timbul berbagai pertanyaan yang bernada keheranan. Dia juga tidak yakin kalau laki-laki tua ini bisa berubah keputusannya begitu cepat.

"Apa yang akan kau lakukan untuk desa ini?" tanya Ki Rangkuti lagi.

Sekar Telasih malah tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bahkan jadi kebingungan sendiri, dan tidak tahu harus menjawab pertanyaan yang dilontarkan begitu lembut. Sekar Telasih jadi tertunduk. Tapi, Ki Rangkuti cepat menahan dagu gadis itu dengan ujung jari tangannya. Sehingga, membuat Sekar Telasih terpaksa harus tetap memandang wajah ayahnya ini.

"Aku akan mengirimmu keluar dari desa ini," kata Ki Rangkuti, mantap dan perlahan sekali suaranya.

"Oh...?" Sekar Telasih terkejut mendengarnya.

Sungguh tidak diduga kalau ayahnya akan berkata seperti itu. Malah tadi disangka kalau laki-laki tua yang selalu mengenakan baju jubah putih panjang ini akan marah atas perbuatannya yang mendengarkan secara diam-diam pembicaraan ayahnya tadi. Tapi apa yang didengarnya barusan, sungguh tidak disangka sama sekali sebelumnya.

Dan sebelum Sekar Telasih bisa mengucapkan sesuatu, Ki Rangkuti sudah melambaikan tangannya memanggil Darmaji yang sejak tadi berdiri sambil memperhatikan di kejauhan.

Melihat lambaian tangan Ki Rangkuti, pembantu setia yang satu-satunya berusia muda itu bergegas menghampiri. Dia menjura hormat membungkukkan tubuhnya setelah berada dekat di depan laki-laki tua berjubah putih ini. Ki Rangkuti menepuk pundak Darmaji sambil tersenyum manis sekali.

"Darmaji, kau tadi mengusulkan apa padaku?" tanya Ki Rangkuti.

"Apa, Ki...?" Darmaji malah balik bertanya. Sungguh tidak disangka kalau Ki Rangkuti akan bertanya seperti itu. Padahal usulnya yang langsung ditolak tegas oleh Ki Rangkuti sudah dilupakannya. Tapi sekarang Ki Rangkuti malah menanyakan kembali usulnya tadi.

"Aku ingin dengar lagi usulmu, Darmaji," pinta Ki Rangkuti, terdengar lembut nada suaranya.

"Kau sungguh-sungguh, Ki...?" Darmaji masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Apa aku kelihatan main-main...?"

"Maaf, Ki. Tapi sudah ditolak," kata Darmaji agak tersipu.

"Aku kini menyetujui usulmu itu, Darmaji."

"Oh! Benarkah itu, Ki...?" Darmaji jadi terbeliak.

"Pergilah bersama Sekar, pada saat keberangkatan Sayuti. Tapi, ingat. Seperti usulmu, kau harus pergi ke arah yang berlawanan dengan Sayuti," kata Ki Rangkuti lagi.

Darmaji tidak bisa lagi berkata apa-apa. Segera tubuhnya dibungkukkan, menjura memberi hormat pada laki-laki tua ini. Sedangkan Sekar Telasih sendiri begitu gembira, meskipun kepergiannya harus didampingi salah seorang dari pengajar di Padepokan Jatiwangi.

"Terima kasih, Ayah," ucap Sekar Telasih dengan bola mata berkaca-kaca.

Ki Rangkuti hanya tersenyum saja, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Sekar Telasih dan Darmaji masih tetap berdiri memandangi sampai laki-laki tua kepala desa itu jauh meninggalkannya.

"Aneh.... Kenapa tiba-tiba keputusannya berubah?" gumam Darmaji bertanya pada diri sendiri.

"Ayah memang orang yang bijaksana," desah Sekar Telasih, juga seperti bicara pada diri sendiri.

Sesaat mereka sating berpandangan. Memang rasanya tidak pantas kalau Darmaji yang baru berusia sekitar dua puluh lima tahun itu disebut guru. Tapi, memang itulah kenyataannya. Darmaji adalah satu-satunya murid Ki Rangkuti yang tertua dan paling lama menerima ilmu-ilmu dari laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu. Meskipun di padepokan, Sekar Telasih memanggilnya guru, tapi jika berada di luar padepokan selalu memanggil kakang. Dan ini memang yang diinginkan Darmaji.

Memang, dirinya masih merasa belum pantas disebut guru. Dia sendiri sebenarnya masih perlu banyak belajar mengenai ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Bahkan dirinya merasa belum cukup terjun ke dalam rimba persilatan. Apalagi harus dipanggil guru.

"Sebenarnya apa usul Kakang pada ayah tadi?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.

"Kau tidak dengar?" Darmaji malah balik bertanya.

"Aku tadi keburu ketahuan, jadi tidak sempat mendengar," sahut Sekar Telasih malu-malu.

"Aku hanya mengusulkan untuk keluar dari desa ini, bersamaan waktunya dengan Paman Sayuti. Tapi, melalui jalan lain yang berlawanan," Darmaji menjelaskan usulnya pada Ki Rangkuti tadi di dalam ruangan bangunan Padepokan Jatiwangi.

"Dan ayah menolak?" tanya Sekar Telasih ingin meyakinkan.

Darmaji mengangguk. "Tapi aku heran, kenapa tiba-tiba saja Ki Rangkuti jadi berubah pikiran?" agak menggumam nada suara Darmaji.

"Aku tahu. Ayah pasti berpikir, usul Kakang itu bagus. Bukankah dengan demikian perhatian si Ular Betina jadi terpecah, dan tidak mungkin menghalangi dalam dua tempat sekaligus...?" ujar Sekar Telasih.

"Kau cerdas, Sekar," puji Darmaji.

Sekar Telasih jadi tersipu mendapat pujian pemuda yang juga gurunya dalam ilmu dasar olah kanuragan ini. Mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat itu tanpa bicara lagi. Dalam hati, mereka sama-sama memuji kebijaksanaan yang diberikan Ki Rangkuti, dan semakin menghormatinya. Mereka bertekad untuk bisa keluar dari desa ini, lalu meminta bantuan pada pendekar yang bisa ditemui di mana saja untuk menyelamatkan Desa Jatiwangi yang begitu mereka cintai.

********************

EMPAT

Tepat seperti yang sudah direncanakan. Begitu Sayuti berangkat untuk mencoba keluar dari Desa Jatiwangi ini, Walikan juga berangkat mengikuti kepergian Sayuti secara diam-diam. Pada saat itu juga, Darmaji bersama Sekar Telasih berangkat meninggalkan desa ini. Namun semua itu tidak lepas dari pengamatan Ki Rangkuti dari dalam kamarnya. Laki-laki tua itu memperhatikan, berdiri di depan jendela kamarnya.

Sementara itu Darmaji dan Sekar Telasih terus bergerak ke arah Selatan. Sedangkan Sayuti terus bergerak ke arah Utara. Hal ini memang disengaja, karena untuk mengecoh perhatian si Ular Betina yang selalu mengawasi entah dari mana. Tapi itu juga hanya perkiraan saja. Dan mereka tetap harus waspada, karena apa yang dilakukan si Ular Betina tidak dapat diduga dan diramalkan sebelumnya.

"Kakang Darmaji, bukankah ini jalan yang menuju...?"

"Benar, Sekar," sahut Darmaji sebelum Sekar Telasih menyelesaikan pertanyaannya.

"Kenapa harus lewat sini?" tanya Sekar Telasih.

"Ular Betina sudah mengobrak-abrik dan membumihanguskan bagian Selatan Desa Jatiwangi. Jadi, kurasa tidak mungkin dia menjaga daerah ini, Sekar. Sedangkan Paman Sayuti melalui jalan Utara yang pasti dijaga ketat si Ular Betina. Karena memang jalan Utaralah yang terdekat dengan desa sebelah," Darmaji mencoba menjelaskan.

"Kau menyangka begitu, Kakang...?" agak lain nada suara Sekar Telasih.

"Bagaimana menurutmu, Sekar?"

"Aku memang tidak berpengalaman dalam masalah pertempuran, Kakang. Aku hanya gadis desa yang baru saja mempelajari ilmu olah kanuragan. Tapi menurutku, jalan yang kita lalui justru akan membawa ke mulut buaya," Sekar Telasih mengemukakan pendapatnya.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Sekar," kata Darmaji, meminta penjelasan lagi.

"Kau tahu, Kakang. Nyi Rongkot yang dikenal berjuluk si Ular Betina itu sangat licik. Kau pasti juga tahu, bahwa aku dianggap anaknya. Bahkan ayahku sendiri mengakui kalau aku adalah anak si Ular Betina itu. Dan aku sempat tinggal beberapa hari bersamanya, ketika dia berhasil menculikku. Jadi, aku sedikitnya bisa mengetahui watak-wataknya," jelas Sekar Telasih.

Darmaji mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadari, mereka menghentikan langkah kaki kuda masing-masing, sementara kegelapan masih menyelimuti sekitar Desa Jatiwangi. Dan memang, hari masih begitu pagi. Malah sang mentari juga belum menampakkan diri, meskipun beberapa kali sudah terdengar suara ayam jantan berkokok di kejauhan.

"Aku yakin, si Ular Betina sengaja menghancurkan bagian Selatan ini agar dikira daerah ini bisa dilalui oleh semua orang dengan bebas. Tapi sebenarnya, justru itu hanya jebakan belaka, Kakang Darmaji. Dia pasti lebih memperketat penjagaan di sekitar daerah Selatan ini. Justru, aku merasa yakin kalau Paman Sayuti yang akan berhasil keluar dari Desa Jatiwangi ini," jelas Sekar Telasih lagi.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Sekar?" tanya Darmaji mulai mengerti.

"Kita kembali, Kakang," sahut Sekar Telasih mantap.

"Kembali...?"

"Ya! Saat ini pasti Paman Sayuti sudah berada di luar Desa Jatiwangi. Dan sebaiknya kita kembali saja, Kakang."

"Baiklah. Ayo...."

Tapi baru saja memutar kuda, mendadak saja berlompatan tubuh-tubuh berbaju serba merah yang langsung mengurung mereka berdua. Sebentar saja, sekitar dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah sudah mengepung Sekar Telasih dan Darmaji. Mereka masing-masing menghunus senjata golok yang bentuk dan ukurannya sama persis.

Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan merah yang begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah merah. Tangannya tampak memegang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna merah tua bagai berlumur darah.

"Ular Betina...," desis Darmaji langsung mengenali perempuan tua yang baru muncul itu.

"Hik hik hik.... Kalian hendak pergi ke mana, heh?!" terasa begitu kering suara perempuan tua yang dikenal berjuluk si Ular Betina itu.

"Tidak ke mana-mana. Kami hendak kembali pulang," sahut Sekar Telasih ketus.

"Kau memang cerdik sekali, Sekar Telasih. Pantas saja ibumu begitu gigih ingin mengambilmu kembali dari tangan si tua bangka Rangkuti," kata si Ular Betina, terasa begitu sinis.

"Heh...?! Siapa kau sebenarnya? Apakah kau bukan Nyi Rongkot si Ular Betina...?" sentak Sekar Telasih terkejut mendengar kata-kata perempuan tua berjubah merah itu.

"Ha ha ha...!" perempuan tua berjubah merah itu jadi tertawa terbahak-bahak.

Bukan hanya Sekar Telasih yang terkejut. Tapi Darmaji juga jadi tersentak. Sungguh tidak dimengerti maksud kata-kata yang terlontar dari mulut perempuan tua berjubah merah itu. Seketika itu juga, timbul satu pertanyaan di kepala Darmaji. Apakah perempuan tua ini bukan si Ular Betina? Kalau bukan, lalu siapa perempuan tua ini sebenarnya...? Bukan hanya pakaiannya saja yang sama persis dengan si Ular Betina. Tapi, suara dan wajahnya juga tidak terbuang sedikit pun.

Inilah yang membuat Darmaji dan Sekar Telasih jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sedangkan kata-kata yang tadi meluncur begitu saja dari bibir perempuan tua yang selama ini dikenal bernama Nyi Rongkot si Ular Betina, jelas mengakui kalau dirinya bukanlah si Ular Betina. Melainkan, orang lain yang sama persis dengan si Ular Betina. Lalu, siapa sebenarnya...? Belum juga Darmaji maupun Sekar Telasih melontarkan pertanyaan yang mengganggu kepalanya, tiba-tiba saja perempuan tua berjubah merah itu sudah berteriak lantang memberi perintah.

"Serang...!" Belum juga teriakan perempuan tua itu menghilang dari pendengaran, seketika itu juga dua puluh orang berpakaian serba merah sudah berlompatan cepat menyerang Darmaji dan Sekar Telasih. Padahal dua anak muda itu masih berada di punggung kuda masing-masing.

Sret!

"Hih! Yeaaah...!"

Darmaji langsung mencabut pedangnya, dan secepat itu pula membabatkannya pada seorang penyerang yang dekat dengannya. Cepat sekali pedang keperakan itu berkelebat. Namun sungguh tidak diduga, ternyata orang berbaju serba merah itu bisa berkelit begitu manis. Tubuhnya melenting ke udara, melewati kepala Darmaji yang masih tetap berada di punggung kudanya.

"Heh...?!" Darmaji jadi terkejut setengah mati begitu laki-laki berbaju serba merah itu tiba-tiba melepaskan satu tendangan keras menggeledek selagi berada tepat di atas kepalanya. Tak ada pilihan lain lagi bagi Darmaji. Cepat tubuhnya dijatuhkan dari punggung kuda. Beberapa kali dia bergelimpangan di tanah. Dan begitu melompat bangkit berdiri, satu tebasan golok melayang deras ke arahnya dari samping kanan.

"Ikh...!" Cepat cepat Darmaji menempatkan pedangnya ke samping, menangkis tebasan golok orang berbaju merah lainnya. Dua senjata seketika itu juga beradu keras, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Dan belum lagi Darmaji bisa menarik pulang pedangnya, kembali satu serangan datang dari depan.

"Hup!" Cepat-cepat Darmaji melompat menghindari tebasan golok yang begitu deras berkelebat mengarah ke dadanya. Dua kali pemuda itu berjumpalitan ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tahu-tahu sebuah pukulan lurus telah melayang ke dadanya. Begitu cepat serangan itu datang, sehingga Darmaji tidak sempat lagi menghindar.

Diegkh!

"Akh...!" Darmaji terpekik keras agak tertahan. Darmaji terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terasa begitu sesak akibat terkena satu pukulan keras yang mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Pada saat itu, satu orang berbaju serba merah sudah melompat cepat. Langsung dilepaskannya satu serangan, tanpa menunggu Darmaji siap lebih dahulu.

"Awas, Kakang...!" teriak Sekar Telasih memperingatkan.

"Hiyaaat...!" Sekar Telasih cepat melompat turun dari punggung kudanya. Dan secepat itu pula pedangnya dicabut dan langsung dikibaskan ke arah golok yang berkelebat cepat mengarah ke dada Darmaji.

Trang!

"Aaakh...!" Sekar Telasih terpekik keras begitu pedangnya beradu dengan golok laki-laki berbaju serba merah itu. Tenaga dalam yang dimiliki Sekar Telasih memang masih tingkat dasar. Sehingga, dia tidak bisa lagi menguasai pedangnya yang mencelat ke udara begitu membentur golok laki-laki berbaju merah yang menyerang Darmaji tadi. Sedangkan gadis itu sendiri jadi terhuyung-huyung sambil memegangi tangan kanan-nya yang seketika jadi terasa panas bagai terbakar.

"Sekar, cepat pergi dari sini. Selamatkan dirimu...!" sentak Darmaji.

"Kau...?" "Jangan hiraukan aku! Cepat pergi...!" sentak Darmaji.

Sekar jadi ragu-ragu. Tapi, Darmaji sudah mendorong gadis itu ke belakang ketika dua orang berbaju serba merah sudah kembali menyerang dari arah depan secara bersamaan. Dua bilah golok berkelebat cepat mengarah ke kaki dan kepala Darmaji secara bersamaan.

"Hup! Yeaaah...!" Cepat Darmaji mengibaskan pedangnya ke bawah sambil merundukkan tubuhnya untuk menghindari tebasan golok yang mengarah ke kepala. Pedangnya berhasil menangkis serangan golok yang mengarah ke kaki. Dan tebasan golok yang secara bersamaan menyerang bagian kepalanya juga berhasil dihindari.

Sementara Sekar Telasih masih kelihatan ragu-ragu. Gadis itu sendiri jadi merasa heran, karena tak ada seorang pun yang menyerangnya. Dua puluh orang berbaju serba merah, justru mengeroyok Darmaji dari berbagai jurusan.

"Pengecut..! Kalian bisanya hanya main keroyok!" desis Sekar Telasih geram.

"Hiyaaat...!" Sekar Telasih tidak bisa melihat Darmaji kewalahan dikeroyok dua puluh orang.

Tanpa menghiraukan tingkat kepandaiannya yang masih tergolong rendah, gadis itu cepat melompat dan memberikan beberapa pukulan ke arah orang-orang yang mengeroyok Darmaji. Tapi, tak satu pun dari pukulannya yang mengenai sasaran. Gerakan orang-orang berbaju merah itu memang gesit sekali. Tapi, sama sekali mereka tidak mempedulikan Sekar Telasih. Dan hal ini membuat gadis itu semakin bertambah geram.

"Mundur...!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar.

Seketika itu juga dua puluh orang mengeroyok Darmaji, berlompatan mundur begitu mendengar teriakan keras menggelegar tadi. Darmaji berdiri dengan pedang menyilang di depan dada. Nafasnya terengah-engah, dan keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. Matanya menatap tajam pada perempuan berbaju merah yang melangkah angkuh mendekati.

Sedangkan Sekar Telasih berdiri tegak, bersikap menantang di samping Darmaji. Sarung pedang yang tersampir di pinggangnya sudah kosong. Gadis itu tidak tahu lagi, di mana pedangnya berada setelah mencelat ke udara akibat berbenturan dengan golok salah seorang pengeroyok.

"Pergi dari sini, Sekar. Sebelum pikiranku berubah!" desis perempuan tua berjubah merah itu dingin.

"Enak saja memerintah. Memangnya aku ini apamu, heh...?!" dengus Sekar Telasih ketus.

"Anak keras kepala! hih...!"

Bet!

"Akh...!" Sekar Telasih langsung jatuh tersuruk ketika ujung tongkat perempuan tua itu menghantam dada bagian kanannya. Melihat perbuatan perempuan tua itu, darah Darmaji seketika saja bergolak mendidih.

"Iblis keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

Darmaji tidak peduli lagi kalau lawan yang dihadapinya kali ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi. Dengan cepat sekali pemuda itu melompat. Pedangnya langsung dikebutkan ke arah batang leher perempuan tua berjubah merah itu.

"Hih!"

Wuk!

Tapi hanya sedikit mengegoskan tubuh sambil menghentakkan tongkatnya, serangan Darmaji sama sekali tak berarti. Bahkan pedang pemuda. itu jadi terpental lepas dari pegangan begitu membentur tongkat ular berwarna merah itu. Dan sebelum Darmaji sempat melakukan sesuatu, perempuan tua berjubah merah itu sudah mengebutkan tangan kirinya ke depan. Kecepatannya memang luar biasa. Akibatnya, Darmaji tak sempat lagi menghindar.

Desss!

"Aaakh...!" Darmaji menjerit keras melengking.

Kebutan tangan kiri perempuan tua itu tepat menghajar kening Darmaji. Mau tak. mau, tubuh pemuda itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tampak bulatan merah tergambar di kening Darmaji. Hanya sebentar saja pemuda itu berkelojotan di tanah, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

"Ayo kita pergi," ajak perempuan tua itu pada dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah.

"Gadis itu, Nyi...?" ujar salah seorang sambil menunjuk Sekar Telasih yang tergeletak tak sadarkan diri di tanah.

"Biarkan saja. Sebentar juga sadar. Belum saatnya mengurusi anak keras kepala itu!" dengus perempuan tua berjubah merah itu.

Tak ada seorang pun yang membantah. Mereka bergegas berlompatan pergi begitu perempuan tua berjubah merah itu melesat pergi cepat sekali. Dan suasana pun kembali sunyi. Sekar Telasih menggeletak tak sadarkan diri setelah terkena totokan tongkat ular perempuan tua berjubah merah. Sedangkan Darmaji telah tewas dengan kening terdapat bulatan merah bagai darah membeku.

********************

Sekar Telasih membuka matanya ketika merasa kan kehangatan sinar matahari membakar kulit wajahnya. Dia mencoba menggerinjang bangkit, tapi sebuah tangan telah mencegahnya. Sebentar gadis itu mengerjapkan matanya. Dan begitu kelopak matanya terbuka, langsung jadi terbeliak melihat seraut wajah tampan berada dekat di atasnya. Bibir yang tipis dan agak merah, menyunggingkan senyuman yang begitu manis.

"Jangan bangun dulu. Kesehatan tubuhmu belum pulih benar," kata pemuda itu lembut sekali suaranya.

"Kakang Rangga...," desah Sekar Telasih, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Pemuda berbaju rompi putih itu memang Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia tersenyum begitu manis. Sementara pandangan Sekar Telasih beralih, ketika mendengar langkah kaki halus menghampiri. Keningnya jadi berkerut melihat seorang gadis cantik berbaju biru sudah berdiri di belakang Rangga. Tampak sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga, menyembul dari balik punggungnya. Wajah gadis itu demikian cantik. Kulitnya putih mulus, tanpa cacat sedikit pun.

"Kalian pasti belum saling mengenal. Ini Pandan Wangi...," ujar Rangga memperkenalkan kedua gadis ini.

Sekar Telasih hanya tersenyum saja. Dan gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi, membalas senyuman dengan manis sekali. Di kalangan rimba persilatan, Pandan Wangi lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Karena senjatanya yang berbentuk sebuah kipas, sehingga gadis itu dijuluki si Kipas Maut sebelum menyandang sebuah pedang yang bernama Pedang Naga Geni. Pedang itu juga tidak kalah dahsyatnya dari kipas baja putih yang membuatnya terkenal di kalangan rimba persilatan.

"Aku menemukanmu tengah tergeletak pingsan di tengah jalan. Kebetulan, aku dan Pandan Wangi lewat daerah ini Dan aku memang ingin mengajak Pandan Wangi singgah di Desa Jatiwangi ini," kata Rangga memberi tahu tanpa diminta.

"Oh...," Sekar Telasih hanya mendesah saja. Sesaat mereka terdiam.

"Kau melihat Kakang Darmaji...?" tanya Sekar Telasih.

Rangga mengangguk.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.

"Dia sudah tewas aku sudah menguburkannya," jawab Rangga.

Lagi-lagi Sekar Telasih mendesah lirih. Sebentar matanya dipejamkan. Terbayang kembali peristiwa yang dialaminya bersama Darmaji Memang sudah diduga kalau perempuan tua berhati iblis itu tidak akan membiarkan Darmaji hidup. Tapi, dia tidak tahu kenapa mereka membiarkan dirinya tetap hidup. Bahkan hanya dibuat tidak sadarkan diri saja.

Sekar Telasih kembali membuka kelopak matanya. Perlahan Sekar Telasih beringsut bangkit. Kali ini Rangga tidak mencegah lagi. Gadis itu duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka masih belum ada yang membuka suara. Sedangkan Sekar Telasih memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

"Kulihat di bagian Selatan Desa Jatiwangi ini begitu menyedihkan. Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Sekar?" tanya Rangga ingin tahu.

"Sukar dikatakan, Kakang. Rasanya kiamat sudah dekat bagi desa kami," sahut Sekar Telasih. Suaranya yang mendesah, begitu perlahan.

"Kau pasti tidak akan percaya kalau aku mengatakannya, Kakang. Tapi, itulah kenyataan yang sedang kami hadapi sekarang ini."

"Katakan, apa yang sedang terjadi di sini..?" desak Rangga semakin ingin tahu.

"Perempuan iblis itu muncul lagi...,"

"Siapa?"

"Ular Betina."

"Ular Betina...?!" Rangga terkejut bukan main mendengar nama Ular Betina muncul lagi.

Memang sukar dipercaya. Jelas sekali perempuan berhati iblis itu sudah ditewaskan di Hutan Gading dalam suatu pertarungan yang sengit dan sangat melelahkan. Rasanya, memang mustahil kalau orang yang sudah mati dan terkubur di dalam tanah bisa muncul lagi.

"Siapa itu Ular Betina?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja mendengarkan.

"Dia pernah datang ke desa ini, dan hampir menghancurkan Desa Jatiwangi ini. Aku kemudian berhasil menghentikan keangkaramurkaannya, dan terpaksa menewaskannya. Bahkan bukan aku saja yang mengalami. Tapi, juga banyak orang yang menyaksikan pertarunganku dengan si Ular Betina itu. Dia tewas di Hutan Gading. Sudah lama itu terjadi...," secara singkat Rangga menjelaskan, siapa si Ular Betina itu pada Pandan Wangi.

Meskipun belum jelas benar, tapi Pandan Wangi tidak ingin bertanya lagi. Memang, pada saat peristiwa yang pernah terjadi beberapa waktu di Desa Jatiwangi ini, Pandan Wangi tidak ada bersama Pendekar Rajawali Sakti. Jadi, dia sama sekali tidak tahu.

"Ayo, aku antar kau pulang," kata Rangga seraya bangkit berdiri. "Sekalian, aku juga ingin bertemu ayahmu."

"Ayah pasti senang melihat kau datang, Kakang," kata Sekar Telasih juga bangkit berdiri.

Rangga hanya tersenyum saja. Mereka kemudian melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Pendekar Rajawali Sakti menunggang seekor kuda hitam yang gagah. Namanya adalah Kuda Dewa Bayu. Kuda hitam itu memang bukan kuda sembarangan. Kecepatan larinya tak ada yang menandingi. Bahkan kuda itu sangat cerdik. Dia bisa mengerti setiap kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti.

Tak berapa lama kemudian, mereka sudah ber-pacu meninggalkan tempat itu. Debu langsung mengepul membumbung tinggi ke angkasa, tersepak kaki tiga ekor kuda yang dipacu dengan kecepatan sedang. Me-reka berkuda secara bersisian, sehingga lebar jalan yang ada begitu pas dilalui tiga ekor kuda ini.

"Bagaimana kau bisa masuk ke desa ini, Kakang?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.

"Kenapa kau tanyakan itu, Sekar? Memangnya ada yang melarang orang masuk ke desa ini...?" Rangga malah balik bertanya.

"Perempuan iblis itu melarang siapa saja yang keluar masuk desa ini, Kakang. Sudah ada yang mencoba, tapi mereka semua mati dibantai," jelas Sekar Telasih.

"Mungkin dia tidak sedang menjaga ketika aku masuk ke sini, Sekar. Atau barangkali juga sedang lengah," sahut Rangga seenaknya.

"Syukurlah kalau begitu. Aku senang kau sudah ada di sini," ujar Sekar Telasih.

Lagi-lagi Rangga tersenyum saja. Dan mereka terus di atas kuda yang diperlambat. Sepanjang jalan, Sekar Telasih menceritakan semua yang terjadi di Desa Jatiwangi. Juga diceritakan peristiwa yang dialaminya, sehingga pingsan setelah mendapat satu totokan Ular Betina di bagian kanan dadanya.

Rangga dan Pandan Wangi mendengarkan saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Jalan yang dilalui semakin melebar, kare-na mereka sudah mendekati pusat Desa Jatiwangi yang besar ini.

********************

LIMA

Ki Rangkuti begitu gembira atas kedatangan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut bersama Sekar Telasih. Langsung disambutnya kedatangan pendekar muda dan digdaya yang memang sangat diharapkan kemunculannya pada saat seperti ini. Tapi kegembiraannya juga bercampur kesedihan begitu mendengar Darmaji tewas di tangan perempuan berhati iblis yang dikenal berjuluk si Ular Betina.

Saat ini kepandaian yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sukar dicari tandingannya. Begitu tingginya tingkat kepandaian Rangga, sehingga tidak sedikit tokoh beraliran hitam yang memilih menghindar daripada harus berurusan dengannya.

"Aku benar-benar sudah putus asa menghadapinya, Rangga. Rasanya tidak ada harapan lagi untuk bisa menyelamatkan desa ini dari amukan si Ular Betina itu," keluh Ki Rangkuti. "Tindakannya semakin tak karuan saja. Entah sudah berapa orang penduduk desa ini yang jadi korban. Padahal aku tahu, apa sebenarnya yang diinginkan. Tapi, dia sengaja ingin membuatku mati perlahan-lahan, dan melihat kehancuran desa ini terlebih dahulu. Hhh...! Sungguh menyakitkan, melihat desa yang kubangun dengan susah payah harus hancur begitu saja."

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Ki. Dalam hal ini, aku ikut bertanggung jawab atas keutuhan Desa Jatiwangi," tegas Rangga perlahan.

"Aku percaya padamu, Rangga. Dan kedatanganmu ke sini, pasti karena petunjuk Hyang Widi," kata Ki Rangkuti langsung menaruh harapan pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku berjanji akan menghadapinya dengan segala daya yang kumiliki, Ki," tegas Rangga.

"Terima kasih, Rangga. Hanya kau satu-satunya harapanku untuk menyelamatkan desa ini dari kehancuran," ujar Ki Rangkuti disertai bola matanya yang berkaca-kaca.

Mereka jadi terdiam ketika Walikan yang mendapat tugas mengawasi Sayuti, datang dengan langkah lebar dan tergesa-gesa. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan itu langsung menjura memberi hormat begitu tiba di depan Ki Rangkuti. Dan begitu melihat ada Pendekar Rajawali Sakti, segera tubuhnya membungkuk memberi penghormatan. Rangga membalas dengan membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Bagaimana, Walikan?" tanya Ki Rangkuti.

"Selamat, Ki. Kakang Sayuti sudah jauh meninggalkan desa ini," sahut Walikan, agak tersengal suaranya.

“Tapi, Ki...."

"Ada apa lagi?"

"Pendekar Rajawali Sakti sudah ada di sini. Jadi, apakah kepergian Kakang Sayuti tidak sia-sia...?" tanya Walikan seraya melirik Rangga yang hanya tersenyum-senyum saja.

"Tidak ada yang sia-sia dalam berusaha, Walikan. Tujuan utamanya memang mencari Pendekar Rajawali Sakti. Tapi terlebih dahulu akan menemui Bayangan Malaikat yang tidak seberapa jauh tempat tinggalnya dari sini," jelas Ki Rangkuti. "Juga beberapa pendekar lain yang tidak jauh tempat tinggalnya."

"Apa mungkin bisa keburu, Ki?" tanya Walikan.

"Kalau tidak ada Pendekar Rajawali Sakti di sini, mungkin juga aku akan cemas sepertimu, Walikan. Tapi kini aku sudah benar-benar tenang. Dan tak ada lagi yang perlu dicemaskan," ungkap Ki Rangkuti.

"Kau terlalu merendahkan diri, Ki," selak Rangga merasa pujian Ki Rangkuti terlalu tinggi untuknya.

"Aku berkata yang sebenarnya, Rangga. Kehadiranmu di sini, memang sangat tepat waktunya. Dan itu membuatku, dan semua penduduk Desa Jatiwangi merasa tenteram. Aku yakin, kau pasti bisa menghentikan keberingasan si Ular Betina itu."

"Kita serahkan segalanya pada Hyang Widi, Ki," lagi-lagi Rangga merendah.

"Ayah, boleh aku bicara...?" selak Sekar Telasih yang sejak tadi diam saja.

"Apa yang ingin kau katakan, Sekar?" Tanya Ki Rangkuti.

"Apakah Ayah memang betul-betul kenal Nyi Rongkot..?" tanya Sekar Telasih bernada ragu-ragu.

"Tentu saja," sahut Ki Rangkuti.

"Apa mungkin Nyi Rongkot punya saudara kembar Ayah...?" kembali terdengar keraguan dalam suara Sekar Telasih.

"Apa maksudmu, Sekar?" Ki Rangkuti malah ba-tik bertanya.

“Terus terang, Yah. Aku jadi tidak yakin kalau yang sekarang muncul adalah Nyi Rongkot si Ular Betina," ungkap Sekar Telasih. "Waktu sebelum bertarung tadi, dia sempat mengatakan kalau aku tidak beda jauh dari ibunya. Dari kata-kata itu saja bisa diduga kalau dia bukan si Ular Betina. Bahkan anak buahnya sama sekali tidak menyerangku. Mereka malah mengeroyok Kakang Darmaji. Sedangkan aku hanya dibuat pingsan saja. Aku jadi curiga, kalau dia bukan Nyi Rongkot."

"Hm.... Benar dia berkata seperti itu?" tanya Ki Rangkuti agak menggumam.

"Kalau benar Kakang Darmaji masih hidup, pasti akan berkata sama denganku, Ayah," sahut Sekar Telasih.

"Aneh... Padahal, dia begitu ingin mengambilmu dariku, Sekar. Tapi kenapa sekarang justru berbalik?" Ki Rangkuti seperti bicara sendiri.

Dari penuturan Sekar Telasih, membuat semua orang yang ada di ruangan depan rumah Ki Rangkuti ini jadi terdiam merenung. Bahkan Rangga yang sebelumnya sudah diceritakan oleh Sekar Telasih dalam perjalanan tadi, juga ikut berpikir. Memang kalau mendengar kata-kata yang dituturkan Sekar Telasih barusan, tampaknya wanita tua yang muncul kali ini bukanlah Nyi Rongkot si Ular Betina. Kalau memang demikian, lalu siapa sebenarnya wanita tua yang begitu mirip dengan Nyi Rongkot...?

Pertanyaan seperti itu muncul di benak mereka semua yang ada di ruangan berukuran cukup besar ini. Hanya Pandan Wangi saja yang tetap diam dan tidak mengerti semua pembicaraan ini. Memang, dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Desa Jatiwangi ini. Mereka semua jadi terdiam, dengan berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepala masing-masing.

"Apa sebaiknya kita lihat kuburannya, Ki..?" usul Walikan memecah kesunyian yang terjadi cukup lama ini.

"Untuk apa?" tanya Ki Rangkuti. "Mungkin dari sana bisa diketahui, apakah benar-benar Nyi Rongkot atau bukan," sahut Walikan.

"Kau akan membongkar kuburannya?" tanya Ki Rangkuti lagi. Jelas, dari nada suaranya laki-laki tua itu tidak setuju kalau harus membongkar kuburan. Meskipun, kuburan itu berisi manusia berhati iblis.

"Tidak perlu, Ki. Kita lihat saja. Kalau kuburan itu masih utuh, berarti wanita tua yang muncul kali ini bukan Nyi Rongkot Tapi kalau kuburannya terbongkar, ada kemungkinan memang Nyi Rongkot yang sekarang muncul," jelas Walikan.

"Biar aku yang melihatnya, Ki," selak Rangga.

Dan sebelum ada yang menjawab, Pendekar Rajawali Sakti sudah bangkit berdiri, dan langsung bergegas keluar dari ruangan itu. Ki Rangkuti segera berdiri dan melangkah menyusul Pendekar Rajawali Sakti diikuti yang lainnya. Tapi begitu mereka sampai diluar, Rangga sudah memacu cepat kudanya.

Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu berlari bagaikan angin saja. Dalam waktu sebentar saja, sudah tak terlihat lagi bayangannya. Hanya debu saja yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Rangga menghentikan lari kudanya begitu tiba di tengah-tengah Hutan Gading.

Gerakan tubuhnya begitu indah dan ringan sekali saat melompat turun dari punggung kudanya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti mendarat tepat di dekat gundukan tanah, yang pada satu ujungnya terdapat sebuah batu berlumut hitam. Rerumputan liar hampir menutupi gundukan tanah yang ternyata sebuah ku-buran itu.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan dengan kening berkerut. Dengan teliti sekali Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan setiap jengkal tanah di sekitar kuburan itu. Perlahan kemudian, kepalanya mendongak ke atas. Kembali terdengar gumaman yang perlahan dan lirih sekali. Dan tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat ke udara. Dan kakinya langsung hinggap di atas sebatang pohon yang cukup tinggi dan rimbun.

Sebentar pandangannya beredar, lalu kembali melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Pendekar Rajawali Sakti langsung hinggap di atas punggung kudanya. Sekali hentak saja, kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Sebentar saja Dewa Bayu sudah berada di tepi Hutan Gading. Tapi tiba-tiba saja Rangga menarik tali kekang kudanya. Maka seketika itu juga, Dewa Bayu berhenti berlari seraya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

"Hup!" Ringan sekali gerakan Rangga saat melompat turun dari punggung kuda hitam itu. Kedua matanya menyipit memperhatikan sekitar dua puluh orang berbaju serba merah yang berdiri berjajar menghadang jalannya. Di depan dua puluh orang berbaju serba merah itu, berdiri seorang perempuan tua.

Jubahnya panjang, berwarna merah menyala. Sebatang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna merah, tergenggam di tangan kanannya. Perlahan Rangga melangkah mendekat. Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti, setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi dari orang-orang yang berjajar menghadang jalannya.

"Kau yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" tanya perempuan tua berjubah merah itu. Suaranya kering dan dingin sekali.

"Seharusnya tidak perlu bertanya seperti itu, kalau kau benar-benar si Ular Betina, Nisanak," sahut Rangga tidak kalah dingin.

"Ha ha ha...! Pandanganmu sungguh tajam, Anak Muda," perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak.

"Hm.... Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga.

"Semua orang menyebutku Naga Merah," sahut perempuan tua berjubah merah itu memperkenalkan diri.

"Rupamu memang mirip Nyi Rongkot si Ular Betina, Naga Merah. Pantas semua orang di Desa Jati-wangi menyangka kau adalah Nyi Rongkot," kata Rangga, setengah menggumam suaranya. Seakan-akan bicara pada diri sendiri.

"Aku kagum dengan pandanganmu yang begitu tajam, Anak Muda. Pantas saja semua orang selalu membicarakanmu. Bahkan Nyi Rongkot sendiri bisa kau kalahkan," puji si Naga Merah. Tapi nada suaranya terdengar begitu meremehkan.

"Kau benar-benar bernyali besar berani datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang, ternyata kau ada di sini. Dan itu berarti tujuanku akan tercapai hanya sekali jalan saja."

"Apa yang kau inginkan dari Desa Jatiwangi, Naga Merah?" tanya Rangga ingin tahu.

"Kematian, Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin semua orang di Desa Jatiwangi mati!" sahut Naga Merah, dingin menggetarkan.

"Hm.... Mengapa kau ingin membunuh semua orang di desa ini?" tanya Rangga lagi dengan suara agak tertahan.

"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Pendekar Rajawali Sakti."

"Kau ingin membalas kematian Nyi Rongkot?"

"Tepat!"

"Apa hubunganmu dengannya?"

"Aku adalah saudara kembar Nyi Rongkot yang kau bunuh. Dan semua itu akibat ulah seluruh penduduk Desa Jatiwangi. Aku ingin mereka merasakan pembalasanku!" tegas sekali jawaban si Naga Merah.

"Mereka tidak bersalah. Bahkan tak ada sangkut pautnya dengan kematian saudara kembarmu, Naga Merah. Jadi tidak selayaknya kau mengumbar nafsu dendammu pada mereka," tegas Rangga.

"Kau pikir aku bodoh, Pendekar Rajawali Sakti! Mereka selalu menghalangi saudaraku untuk mengambil anaknya dari si Tua Bangka Rangkuti. Jadi sudah selayaknya mereka menerima ganjaran yang setimpal karena telah mencampuri urusan saudaraku. Dan kau juga, Pendekar Rajawali Sakti.... Kau juga harus menerima pembalasanku!" dingin sekali nada suara si Naga Merah itu.

Wukkk!

Cepat sekali si Naga Merah mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka seketika itu juga, dua puluh orang berbaju serba merah berlompatan dan langsung mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mencabut golok masing-masing, lalu melintangkannya di depan dada.

Sementara Rangga memperhatikan dengan tajam lewat sudut ekor matanya. Dia menggumam perlahan. Dan perhatiannya kembali tertuju pada perempuan tua berjubah merah yang selama ini dianggap sebagai si Ular Betina, tapi ternyata berjuluk Naga Merah. Saudara kembar dari si Ular Betina yang sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau boleh bangga bisa mengalahkan Nyi Rongkot dengan kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi jangan harap bisa menggunakannya padaku...!" desis Naga Merah.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.

"Serang...!" seru Naga Merah lantang.

"Hiyaaa...!" Yeaaah...!"

Seketika itu juga, dua puluh orang murid Naga Merah yang memang sudah mengepung, serentak berlompatan menyerang dengan golok ke arah Rangga. Tapi begitu tiba, mereka bergantian mengebutkan goloknya dari segala penjuru. Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghadapi keroyokan dua puluh orang yang menggunakan senjata golok itu.

"Pusatkan pada kaki...!" seru Naga Merah memberi perintah dengan suara keras menggelegar.

"Heh...?!" Rangga jadi terkejut setengah mati. Karena, baru beberapa gebrakan saja perempuan tua itu sudah bisa mengetahui kelemahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sesaat Pendekar Rajawali Sakti jadi kelabakan, karena dua puluh orang yang menyerangnya memindahkan arah serangan ke kaki. Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan golok yang datang bertubi-tubi itu.

"Edan!" dengus Rangga dalam hati. "Yeah...!"

Begitu mendapat kesempatan, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh ke udara mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangan Rangga merentang lebar ke samping. Sedangkan tubuhnya berputaran beberapa kali di udara. Lalu, dia tiba-tiba saja meluruk deras sambil mengebutkan tangan yang merentang lebar bagai burung rajawali ke arah para pengeroyoknya.

"Mundur...!" seru Naga Merah.

Seketika itu juga, dua puluh orang berbaju merah yang bersenjatakan golok berlompatan mundur dan menyebar begitu mendengar teriakan perintah dari Naga Merah.

Rangga jadi tersentak kaget. Maka serangannya segera dihentikan. Setelah melakukan putaran di udara dua kali, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah. "Edan...!" dengus Rangga lagi.

"Hik hik hik...! Kau kaget aku bisa menanggulangi jurus-jurusmu, Pendekar Rajawali Sakti..?" ejek Naga Merah memanasi.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan. Dalam hati, sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti memang terkejut. Baru dua jurus dikeluarkan, tapi sudah cepat dimentahkan. Bahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang dikeluarkannya tadi, belum sempat mencapai sasaran sama sekali. Jurusnya itu langsung mentah sebelum Rangga sendiri sempat melancarkan serangannya. Semua pengeroyoknya cepat menghindar sebelum Pendekar Rajawali Sakti mendekat. Itu berarti si Naga Merah benar-benar mengetahui cara menghadapi jurus-jurus 'Rajawali Sakti'.

"Sebenarnya, aku tidak mengharapkan bertemu denganmu secepat ini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, memang pertemuan ini tidak bisa dihindari lagi. Dan kau sekarang sudah berhadapan denganku. Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti," ancam si Naga Merah.

"Hm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam perlahan saja. Sementara itu, perempuan tua berjubah merah yang merupakan kembaran Nyi Rongkot, sudah mengangkat tongkatnya yang berbentuk ular berwarna merah darah. Tongkat itu disilangkan di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian pemuda berbaju rompi putih di depannya.

“Tahan seranganku, Anak Muda! Hiyaaat..!" seru Naga Merah keras menggelegar.

"Hup!" Begitu si Naga Merah melompat menyerang, Rangga seketika itu juga melentingkan tubuhnya ke udara. Langsung kedua tangannya dihentakkan ke depan, mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkatan yang terakhir.

Bersamaan dengan itu, si Naga Merah mengebutkan tongkatnya menyilang ke depan. Tak pelak lagi, kedua telapak tangan Rangga membentur bagian tengah tongkat berbentuk ular naga merah itu.

Glarrr...! Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat memecah angkasa. Tampak kedua tokoh tingkat tinggi yang berada di udara itu sama-sama terpental ke belakang. Mereka saling berputaran di udara, lalu hampir bersamaan pula mendarat manis di tanah. Pada saat itu, si Naga Merah sudah cepat mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan dari mulut tongkat berbentuk ular itu, meluncur secercah cahaya merah yang langsung meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!" Bergegas Rangga melentingkan tubuh, berputaran beberapa kali ke udara untuk menghindari serangan yang dilancarkan perempuan tua saudara kembar si Ular Betina itu.

Sinar merah yang melesat keluar dari tongkat ular merah itu menghantam tanah hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar. Tanah yang terhantam sinar merah itu seketika terbongkar, menimbulkan kepulan debu yang membumbung ke angkasa, membentuk sebuah jamur raksasa yang begitu indah namun dahsyat.

"Gila...!" desis Rangga begitu kakinya kembali menjejak tanah.

Memang sungguh dahsyat sekali serangan perempuan tua ini. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika sinar merah itu tadi mengenai tubuh manusia. Jelas, bisa hancur berkeping-keping jadi serpihan dendeng! Sementara itu si Naga Merah sudah bersiap hendak melancarkan serangan kembali. Dan Rangga juga sudah siap menerimanya.

ENAM

"Hiyaaat..!" "Yeaaah...!" Secepat kilat Naga Merah melompat menerjang Rangga yang memang sejak tadi sudah siap menghadapi serangan perempuan tua itu. Dan ketika si Naga Merah mengebutkan tongkatnya ke arah kaki, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas menghindarinya. Tapi tanpa diduga sama sekali, si Naga Merah justru cepat menarik serangan tongkatnya. Dan seketika itu juga tubuhnya melesat ke udara mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang tengah melayang di atas. Bagaikan kilat, perempuan tua berjubah merah itu melepaskan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri.

"Yeaaah...!" "Uts! Hiyaaa...!" Memang tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk berkelit menghindar. Maka cepat-cepat tangan kanannya dikibaskan, menyampok pukulan tangan kiri yang dilancarkan perempuan tua itu.

Trak!

Dua tangan beradu keras di udara. Tampak Rangga cepat melesat berputaran beberapa kali ke belakang. Begitu juga si Naga Merah. Tapi begitu mereka menjejak tanah, Naga Merah sudah kembali melompat memberi serangan yang semakin bertambah dahsyat saja. Sedangkan Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan perempuan tua itu.

Jurus demi jurus pun berlalu cepat tanpa terasa. Mereka saling bertahan dan menyerang secara bergantian. Rangga sendiri mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan tidak jarang mencampur dua jurus sekaligus. Tapi perempuan tua berjubah merah yang mengaku berjuluk Naga Merah ini memang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali.

Serangan-serangan yang dilancarkan Rangga bisa dipatahkan, meskipun harus berjumpalitan dan mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi serangan-serangan yang dilancarkan si Naga Merah juga membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi kelabakan mematahkannya. Entah sudah berapa kali pukulan yang dilepaskan bersarang di tubuh satu sama lain. Tapi pertarungan itu masih terus berlangsung semakin sengit. Gerakan-gerakan yang dilakukan pun semakin cepat. Sehingga kini yang terlihat hanya bayangan-bayangan merah dan putih berkelebatan saling sambar.

Sementara dua puluh orang anak buah si Naga Merah hanya bisa jadi penonton saja. Tidak mungkin mereka ikut dalam pertarungan tingkat tinggi itu. Hingga akhirnya, mereka sama-sama berlompatan ke belakang, dan menghentikan pertarungan yang sudah menghabiskan puluhan jurus. Mereka berdiri tegak saling berhadapan, dengan sorot mata tajam yang sukar diartikan. Tapi di dalam hati, mereka sama-sama mengakui ketangguhan satu sama lain.

Beberapa saat mereka saling menatap tajam, bagai sedang mengukur sisa kepandaian yang dimiliki masing-masing, setelah bertarung puluhan jurus.

"Kuakui kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran jika Nyi Rongkot bisa kau kalahkan," puji Naga Merah, tulus. Namun nada suaranya terdengar begitu dalam sekali.

“Tingkat kepandaianmu juga lebih tinggi dari saudara kembarmu. Meskipun beberapa jurus masih sama persis. Tapi kau lebih matang dan sempurna menggunakannya," Rangga balas memuji.

"Hm.... Baru kali ini aku mendapatkan lawan yang masih muda dan berkepandaian tinggi."

"Hm...."

"Tapi aku tidak menyerah begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin tahu, sampai di mana tingkat dari ilmu kesaktian yang kau miliki," kata Naga Merah lagi. Kali ini suaranya terdengar begitu dingin.

"Kau menginginkan adu kesaktian, Naga Merah?" gumam Rangga.

"Kita tentukan sekarang. Siapa yang lebih unggul di antara kita berdua, Pendekar Rajawali Sakti."

Kening Rangga jadi berkerut, dan langsung ingat saat pertarungannya melawan saudara kembar si Naga Merah ini dalam Hutan Gading. Waktu itu, Pendekar Rajawali Sakti sempat juga dikalahkan Nyi Rongkot. Bahkan hampir mati kalau saja tidak segera ditolong Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang telah membuatnya jadi seorang pendekar tangguh.

Dan sekarang, di depannya berdiri seorang perempuan tua yang wajah dan bentuk tubuhnya begitu mirip dengan Nyi Rongkot si Ular Betina. Dalam pertarungan tadi, Rangga sudah bisa menilai kalau kepandaian yang dimiliki si Naga Merah jauh lebih tinggi dan sempurna daripada saudara kembarnya. Dan bukannya Pendekar Rajawali Sakti gentar, tapi harus lebih waspada. Rangga tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya yang mengakibatkan dirinya hampir tewas.

"Kau pasti sudah tahu ilmu 'Naga Merah', Pendekar Rajawali Sakti," kata Naga Merah, dingin.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja. Rangga sudah tidak terkejut lagi mendengar ilmu 'Naga Merah' yang disebut perempuan tua berjubah merah ini. Karena, memang sudah pernah menghadapinya ketika ilmu itu dikeluarkan Nyi Rongkot Dalam pertarungannya yang pertama, Pendekar Rajawali Sakti memang dapat dikalahkan. Bahkan hampir mati kallau tidak segera ditolong burung rajawali raksasa. Tapi setelah mendapatkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' dan aji 'Cakra Buana Sukma', ilmu itu dapat ditaklukkannya.

“Tapi jangan harap kau bisa melihat ilmu itu lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Karena, aku sudah lebih sempurna lagi daripada Nyi Rongkot. Dan kau akan merasakan ilmu 'Naga Merah' yang lebih sempurna dari yang kau rasakan saat bertarung dengan saudara kembarku," ancam Naga Merah, semakin dingin nada suaranya.

Rangga hanya diam saja. Dia tahu, ilmu 'Naga Merah' yang dimiliki perempuan tua ini pasti lebih sempurna. Memang, perempuan tua inilah yang sebenarnya pemilik ilmu yang sangat dahsyat itu. Dan tentu saja akan lebih dahsyat. Mengingat akan hal itu, Rangga tidak mau lagi menganggap main-main. Dia harus lebih berhati-hati menghadapinya, dan tidak boleh menganggap enteng sedikit pun.

"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Gunakan ilmu yang paling kau andalkan," kata Naga merah memperingatkan. Suaranya teramat dingin menggetarkan.

"Hadapi ilmu 'Naga Merah'ku ini, Pendekar Rajawali Sakti...."

Setelah berkata demikian, perempuan tua berjubah merah yang berjuluk si Naga Merah itu segera melompat ke belakang. Pada saat yang bersamaan, tongkatnya yang berbentuk ular dilemparkan ke depan. Dan begitu tongkat ular berwarna merah itu menyentuh tanah, seketika itu juga mengepul asap tebal berwarna merah yang langsung membumbung tinggi ke angkasa.

Rangga jadi terbeliak begitu tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi seekor naga yang sangat besar ukurannya. Warnanya merah menyala, dan berkilatan. Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh ke belakang, dan melakukan beberapa kali putaran di udara sebelum menjejak tanah dengan manis sekali. Memang dahsyat sekali ilmu 'Naga Merah' yang dikeluarkan perempuan tua itu. Lebih dahsyat dari yang pernah dialami Rangga ketika bertarung melawan Nyi Rongkot yang juga memiliki ilmu 'Naga Merah’.

"Hup...!" Tiba-tiba si Naga Merah melompat ke udara, lalu manis sekali hinggap dan duduk di atas kepala Ular Naga Merah jelmaan tongkatnya.

"Bunuh bocah setan itu, Naga Merah!" perintah perempuan tua berjubah merah itu seraya menuding kepada Pendekar Rajawali Sakti.

Ular Naga Merah itu menggerung dahsyat. Begitu keras suaranya, sehingga bumi jadi bergetar bagai di-guncang gempa. Sedangkan Rangga melangkah mundur beberapa tindak. Perlahan tangan kanannya terangkat, lalu menggenggam gagang pedangnya yang tersampir di punggung.

"Tidak ada jalan lain, Pedang Rajawali Sakti harus kugunakan," desis Rangga perlahan.

Sret!

Seketika cahaya biru berkilau menyemburat terang menyilaukan mata, begitu Pedang Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya. Rangga menggenggam pedang itu erat-erat, dan menyilangkan di depan dada. Pendekar Rajawali Sakti agak terkejut juga melihat si Naga Merah yang tidak terkejut sedikit pun melihat pamor pedangnya. Bahkan perempuan tua itu malah tertawa terbahak-bahak, diikuti dua puluh orang anak buahnya yang berada agak jauh dari tempat itu.

Hal ini membuat Rangga jadi agak kebingungan juga. Belum pernah dia menghadapi lawan yang menertawakannya selagi Pedang Rajawali Sakti tercabut. Biasanya lawan yang dihadapi langsung terkesiap begitu melihat pamor pedang yang begitu dahsyat dan memancarkan sinar biru terang menyilaukan mata. Tapi kali ini lawannya justru menertawakan, seperti tidak menanggapi kehebatan pamor pedang itu.

"Kalian akan menyesal menertawakan Pedang Rajawali Sakti," desis Rangga sedikit berang.

"Tunjukkan kehebatan pedang rongsokanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti!" tantang si Naga Merah ketus.

Bet!

Rangga langsung mengebutkan pedangnya beberapa kali di depan dada, lalu menarik kakinya ke samping hingga terpentang lebar. Tangan kirinya agak menyilang di bawah gagang pedang yang tergenggam tegak lurus ke atas. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin tanggung-tanggung lagi. Langsung dikerahkannya salah satu jurus andalannya, yakni 'Pedang Pemecah Sukma' yang sangat dahsyat.

Jurus ini jarang sekali digunakan jika tidak dalam keadaan terpaksa. Tapi kali ini disadarinya kalau lawan bukanlah orang sem-barangan. Terlebih lagi si Naga Merah sudah mengeluarkan ilmunya yang begitu dahsyat Ilmu 'Naga Merah' yang bisa merubah sebatang tongkat menjadi seekor ular naga raksasa berwarna merah menyala.

"Serang dia, Naga Merah...!" perintah perempuan tua berjubah merah itu lantang menggelegar. Sambil menggerung keras, Ular Naga Merah itu menyambar Rangga dengan juluran kepalanya yang begitu cepat. Pada saat yang bersamaan, si Naga Merah melentingkan tubuhnya ke udara. Mendapat serangan yang begitu cepat Rangga segera melesat ke atas. Sehingga, serangan ular naga raksasa itu tidak sampai mengenai sasaran.

Tapi begitu Rangga berada di udara, si Naga Merah langsung memberi satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Sesaat Rangga terkesiap, lalu cepat-cepat meliukkan tubuhnya menghindari pukulan yang dilepaskan perempuan tua berjubah merah itu. Pada saat yang bersamaan, Rangga mengebutkan pedangnya ke depan.

Wuk!

Tapi tanpa diduga sama sekali, si Naga Merah cepat memutar tubuhnya, sehingga tebasan pedang Rangga hanya mengenai angin kosong belaka. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat memutar tubuhnya beberapa kali, dan manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatur posisi tubuhnya, ular naga raksasa jelmaan tongkat si Naga Merah sudah kembali menyerang cepat dan dahsyat.

Terpaksa Rangga kembali melompat ke udara menghindari serangan ular naga raksasa berwarna merah itu. Dan pada saat Rangga berada diudara, si Naga Merah kembali menyerang cepat. Hal ini membuat Rangga harus berjumpalitan menghindarinya.

"Keparat..!" dengus Rangga geram begitu kembali mendarat di tanah. Pertarungan seperti ini memang bisa menguras banyak tenaga. Dan hal itu cepat disadari Pendekar Rajawali Sakti. Terlebih lagi, jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang digunakan tidak bisa berkembang lebih banyak lagi. Dia terus diserang dari bawah dan atas dalam waktu yang begitu cepat dan hampir bersamaan.

Dan ketika kembali menjejak tanah, ular naga raksasa itu kembali menyerangnya. Tapi kali ini Rangga tidak menghindar. Ditunggunya serangan kepala ular naga raksasa itu mendekat kepadanya. Dan begitu jaraknya berada dalam jangkauan, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna sekali.

"Yeaaah...!"

Bet! Crab!

"Aaargkh...!" Ular naga raksasa berwarna merah itu meraung keras begitu pedang Rangga membabat tepat di bawah kepalanya.

Pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh dan berputaran ke belakang beberapa kali. Lalu, manis sekali dia mendarat sekitar tiga batang tombak jauhnya dari lawan-lawan dahsyatnya ini.

Sementara ular naga raksasa itu menggelepar sambil meraung-raung keras. Beberapa batang pohon yang terlanda tubuhnya seketika itu juga hancur berkeping-keping. Bahkan batu-batuan sebesar kerbau yang banyak terdapat di sekitar tepian Hutan Gading, juga hancur terlanda tubuh ular raksasa itu.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja si Naga Merah menghentakkan tangan kanannya ke arah ular naga merah itu. Dari telapak tangannya langsung memancar sinar merah, dan segera menghantam tubuh ular naga raksasa itu. Tiba-tiba saja, ular raksasa itu lenyap. Dan kini, berubah kembali menjadi sebatang tongkat merah berbentuk ular. Tongkat itu melesat cepat ke arah si Naga Merah. Manis sekali perempuan tua berjubah merah itu menangkap tongkatnya.

"Keparat...!" desis si Naga merah sambil menatap Rangga dengan sinar mata yang begitu tajam.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri tegak dengan pedang menyilang di depan dada. Sorot matanya juga tidak kalah tajam. Mereka berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar dua batang tombak.

Sementara agak jauh di belakang perempuan tua itu, berdiri berjajar dua puluh orang berbaju merah yang semuanya menghunus golok.

"Aku belum kalah, Pendekar Rajawali Sakti. Satu saat nanti, kau akan menyesal...," desis si Naga Merah dingin menggeletar.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.

Sambil mendengus keras, si Naga Merah tiba-tiba saja melesat cepat. Tubuhnya langsung lenyap tertelan lebatnya pepohonan Hutan Gading. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki perempuan tua itu, sehingga dalam sekali lesatan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Pada saat yang bersamaan, dua puluh orang pengikutnya juga segera berlompatan masuk ke dalam hutan.

Trek!

Rangga memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sebenarnya bila Rangga mengeluarkan aji 'Cakra Buana Sukma, ular naga itu pasti hancur. Bahkan pemiliknya pun akan tewas. Tapi Pendekar Rajawali Sakti masih menganggap belum perlu, karena lawan juga belum mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti tak mau dianggap jumawa dengan ilmunya yang dahsyat.

Kini ditatapnya kuda hitam bernama Dewa Bayu yang meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara. Rangga tersenyum melihat kudanya menyambut gembira kemenangannya kali ini. Kuda hitam itu menghampiri, dan menyorongkan kepala ke arah pemuda berbaju rompi putih itu. Rangga menepuk-nepuk leher kuda itu penuh kasih sayang, lalu melompat naik ke punggung kuda hitam itu. Sekali hentak saja, kuda hitam itu sudah melesat cepat menuju Desa Jatiwangi.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Rangga terus menggebah kudanya dengan kecepatan penuh. Sehingga, kuda hitam itu berlari cepat bagaikan angin saja. Keempat kakinya bergerak begitu cepat, seakan-akan tidak menapak tanah. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa di belakang kuda hitam itu. Rangga terus menggebah cepat kudanya. Dan dia memang ingin segera sampai di rumah Ki Rangkuti, Kepala Desa Jatiwangi.

Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, begitu tiba di depan rumah Ki Rangkuti. Bergegas kakinya melangkah memasuki beranda depan rumah yang disangga dua buah pilar berukuran besar. Tapi belum juga tiba di depan pintu, dari dalam sudah keluar Ki Rangkuti yang diikuti Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan Walikan.

"Bagaimana, Rangga...?" Ki Rangkuti langsung menyambut dengan pertanyaan.

"Dia bukan Nyi Rongkot" sahut Rangga.

"Oh! Lalu, siapa dia...?" tanya Ki Rangkuti terkejut, tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Saudara kembarnya," sahut Rangga.

"Saudara kembarnya...?!" lagi-lagi Ki Rangkuti terkejut. Begitu terkejutnya, sampai mulutnya ternganga dan matanya terbuka lebar merayapi wajah Rangga yang bersimbah keringat.

Sedangkan Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan Walikan hanya diam saja memperhatikan orang tua itu yang sedang terlongong kaget mendengar jawaban-jawaban Rangga tadi. Jawaban yang begitu tegas dan singkat, tapi sangat mengejutkan semua yang mendengarnya.

"Aku tadi sudah bertanya padamu, Ki. Apakah Nyi Rongkot punya murid atau mungkin saudara kembar," kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.

"Aku tidak tahu kalau dia punya saudara kembar," sahut Ki Rangkuti, agak perlahan suaranya.

“Tapi kenyataannya, dia sangat mirip Nyi Rongkot. Bahkan kepandaiannya jauh lebih tinggi dari si Ular Betina itu," jelas Rangga, agak dalam nada suaranya.

"Oh...?!" lagi-lagi Ki Rangkuti tersentak kaget.

"Kau bertemu dengannya, Rangga...?"

"Sempat bertarung," sahut Rangga.

Bukan hanya Ki Rangkuti yang terkejut mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti kali ini. Bahkan semua orang yang ada di beranda depan ini jadi terlongong. Mereka memandangi Rangga seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Tapi melihat sorot mata dan raut wajah Pendekar Rajawali Sakti, mereka tahu kalau penjelasan itu tidak main-main. Maka, persoalan yang kini dihadapi juga bukan persoalan biasa. Suatu persoalan yang tidak mudah diselesaikan.

"Dia datang ke sini untuk membalas kematian saudara kembarnya. Dan seluruh penduduk desa ini dianggapnya harus bertanggung jawab. Tapi yang lebih utama lagi, dia akan membalas kematian Nyi Rongkot padamu, Ki. Juga padaku...," jelas Rangga lagi, memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat lamanya tadi.

"Ya! Dia juga mengatakan begitu padaku," desah Ki Rangkuti perlahan.

"Jadi, kau sudah bertemu dengannya, Ki?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja

"Dia datang, dan hanya memberi peringatan saja padaku," sahut Ki Rangkuti, pelan.

"Dia akan memaksaku menyaksikan kehancuran desa ini, sebelum menyelesaikan urusannya denganku. Lalu, dia akan mencari Pendekar Rajawali Sakti yang telah mengalahkan Nyi Rongkot"

"Kalau begitu jelas sudah. Dia memang bukan Nyi Rongkot," desis Sekar Telasih seperti bicara pada diri sendiri.

"Tapi, kenapa aku tidak dibunuhnya...?"

"Karena kau adalah kemenakannya, Sekar," kata Ki Rangkuti.

"Aku tidak pernah punya bibi berhati iblis seperti dia!" dengus Sekar Telasih tidak sudi mengakui.

"Dia tetap tidak akan menyakitimu, Sekar. Tujuannya datang ke sini hanya untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya. Dan kau tidak termasuk dalam perhitungan orang-orang yang harus disingkirkan," selak Rangga.

"Itu tidak adil! Semua pangkal persoalan ini berawal dari diriku. Lalu kenapa justru dia tidak mau berurusan denganku...?" sentak Sekar Telasih jadi berang.

"Huh! Aku tidak akan tinggal diam. Akan kubunuh perempuan iblis itu,..!"

"Kau tidak akan mampu melakukannya, Sekar. Bahkan kalau mau, mungkin sekarang ini kau tidak sempat lagi menghirup udara," kata Rangga tanpa bermaksud mengecilkan arti gadis ini.

"Aku tahu..., aku memang tidak setangguh kalian semua. Tapi kalian harus ingat, awal dari malapetaka ini bersumber dari diriku. Jika saja tidak ada orang gila yang mengakuiku sebagai anaknya, mung-kin hal ini tidak akan pernah terjadi," kata Sekar Telasih masih dengan nada tinggi.

Semua jadi terdiam.

"Kita akan menghadapinya bersama-sama," tegas Sekar Telasih.

********************

TUJUH

Tindakan pembalasan si Naga Merah semakin menjadi-jadi. Beberapa tempat pemukiman penduduk Desa Jatiwangi mulai dihancurkan satu persatu. Desa Jatiwangi ini memang tergolong desa besar. Sementara, penduduk biasanya membangun rumah secara berkelompok. Dan mereka membagi-bagi desa ini sesuai kelompok-kelompok itu bertempat tinggal. Sehingga tidak heran jika ada yang menyebut Desa Jatiwangi Utara, Desa Jatiwangi Selatan, dan banyak lagi sebutan untuk desa ini.

Hal itu memang mempermudah si Naga Merah menghancurkan desa ini sedikit demi sedikit. Janjinya pada Ki Rangkuti telah ditepati. Dia akan membuat kepala desa itu menderita terlebih dahulu sebelum akhirnya dilenyapkan juga dari muka bumi ini. Dan tentu saja cara yang digunakan si Naga Merah membuat Ki Rangkuti benar-benar terpukul.

Sedikit demi sedikit bagian wilayah desanya dihancurkan tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan warga desanya. Bahkan Rangga sendiri yang ada di desa itu jadi kelabakan. Si Naga Merah dan orang-orangnya muncul dan menghilang cepat bagaikan hantu saja. Mereka muncul untuk menghancurkan, dan menghilang cepat begitu selesai. Sehingga, tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti untuk menghentikannya. Mereka selalu muncul tanpa dapat diduga waktu dan tempatnya.

"Sekarang kita benar-benar berada di tengah-tengah neraka, Kakang," desah Pandan Wangi agak bergumam.

Malam itu Rangga dan Pandan Wangi sedang mengelilingi Desa Jatiwangi sambil menunggang kuda. Bukan hanya malam ini saja mereka melakukan perondaan. Bahkan sudah empat malam, sejak sampai di Desa Jatiwangi ini. Tapi, tetap saja mereka kecolongan. Karena selama empat hari ini sudah tiga kali berturut-turut si Naga Merah dan gerombolannya berhasil menghancurkan sebagian Desa Jatiwangi tanpa dapat dicegah lagi.

"Aku tahu, dan aku tidak akan membiarkan hal ini terus berlarut-larut," tegas Rangga juga agak mendesah suaranya.

"Apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya, Kakang? Sedang mereka bergerak begitu cepat seperti hantu, tanpa bisa dicegah sedikit pun juga," kata Pandan Wangi bernada mengeluh.

"Mungkin tidak ada yang bisa dilakukan. Tapi kita harus menyelamatkan penduduk yang tidak bersalah sama sekali," sahut Rangga.

"Maksudmu, mengikuti rencana Ki Rangkuti..?" tanya Pandan Wangi mencoba menebak jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Tepat!" sahut Rangga singkat.

"Sama saja menggiring penduduk untuk bunuh diri, Kakang," dengus Pandan Wangi tidak menduga kalau Rangga punya pikiran seperti itu.

"Tidak, jika dengan maksud berbeda," sahut Rangga kalem.

"Maksud, Kakang...?" Pandan Wangi jadi tidak mengerti.

"Itu hanya sekadar pancingan saja, Pandan. Kita memancing mereka keluar, di samping mengeluarkan penduduk dari desa ini. Kita akan menghadapi mereka, sementara Ki Rangkuti membawa keluar semua penduduk dan desa ini. Dengan begitu, penduduk bisa diselamatkan sambil menghadapi mereka semua, Pandan," Rangga mengutarakan maksud yang terkandung dalam pikirannya.

"Terlalu besar akibatnya, Kakang," desah Pandan Wangi mulai mengerti.

"Segala cara harus dicoba, Pandan. Tapi kita juga harus menekan jatuh korban lebih banyak lagi. Kalau tidak, akan bertambah banyak korban, Pandan. Dan aku tidak mungkin mengawasi seluruh Desa Jatiwangi ini siang dan malam."

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Bisa dimengerti kesulitan yang dihadapi Rangga sekarang ini. Pendekar Rajawali Sakti bukan hanya harus menghadapi keangkaramurkaan si Naga Merah dan para begundalnya, tapi juga harus memikirkan keselamatan penduduk Desa Jatiwangi.

Terutama sekali, mempertahankan desa ini agar tidak hancur oleh keangkaramurkaan si Naga Merah. Memang berat beban yang ditanggung Rangga kali ini. Dan Pandan Wangi bisa mengerti kalau Rangga merasa bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Desa Jatiwangi. Suatu tanggung jawab yang sangat besar dari seorang pendekar.

"Ayo kita kembali, Pandan," ajak Rangga seraya memutar kudanya.

Pandan Wangi mengikuti Pendekar Rajawali Sakti tanpa berkata sedikit pun. Tapi baru saja hendak memacu kuda menuju rumah Ki Rangkuti kembali, mendadak saja mereka dikejutkan suara-suara teriakan panjang melengking tinggi dari arah belakang. Sejenak mereka saling berpandangan, lalu sama-sama memutar kudanya kembali. Kedua pendekar muda itu jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba terlihat semburat terang dari api yang berkobar cukup jauh di depan sana.

"Hiya...!" "Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat menggebah kudanya, diikuti Pandan Wangi. Tapi tentu saja gadis itu tidak bisa menyusul Dewa Bayu yang berlari begitu cepat bagai angin, meskipun kudanya sudah dipaksa berpacu dengan kecepatan tinggi sekali.

Jeritan-jeritan panjang melengking itu semakin jelas terdengar saling susul. Dan udara malam yang dingin jadi terasa panas oleh api yang semakin terlihat besar berkobar. Sementara Rangga yang memacu kudanya seperti kesetanan, lebih dahulu sampai. Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak begitu melihat bagian Timur Desa Jatiwangi ini sudah jadi lautan api. Mayat-mayat bergelimpangan di antara rumah-rumah yang terbakar.

"Hiyaaa...!" Rangga langsung melompat turun dari punggung kuda begitu melihat beberapa orang berbaju serba merah tengah mengamuk membantai penduduk yang hanya bisa berlarian kalang kabut. Dengan beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tempat itu.

Tanpa berkata-kata lagi, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melepaskan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi kepada salah seorang berbaju merah yang berada dekat dengannya. Pukulan Rangga begitu cepat dan keras tidak dapat dihindari lagi, tepat menghantam dada orang berbaju serba merah itu.

"Aaa...!" orang itu menjerit keras. Jeritan yang melengking itu membuat enam orang berbaju merah lain jadi terperanjat. Mereka terbeliak begitu melihat salah seorang temannya terjungkal tewas seketika. Lebih terkejut lagi begitu mengetahui kalau ada Pendekar Rajawali Sakti di sini. Maka mereka bergegas berlompatan hendak melarikan diri.

"Jangan lari kalian, Keparat! Hiyaaat...!" Rangga jadi geram setengah mati melihat enam orang berbaju merah mencoba melarikan diri. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat mengejar enam orang berpakaian serba merah yang dikenalinya sebagai orang-orangnya Naga Merah. Dengan beberapa kali putaran di udara, Pendekar Rajawali Sakti berhasil melewati kepala enam orang berbaju merah itu.

"Berhenti...!" bentak Rangga begitu mendarat di depan enam orang berpakaian serba merah ini.

Keenam orang anak buah si Naga Merah itu jadi terkejut setengah mati melihat Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu sudah berdiri menghadang di depan. Maka mereka langsung mencabut golok masing-masing, dan melintangkannya di depan dada.

"Seraaang..!" seru salah seorang memberi perintah.

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"

Seketika itu juga enam orang berbaju serba merah berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Golok-golok di tangan mereka berkelebat cepat di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.

Tapi Rangga bukanlah pemuda yang mudah ditaklukkan begitu saja. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu cepat dan gesit. Sehingga, tidak mudah bagi enam orang itu untuk mendesak. Apalagi menjatuhkannya. Bahkan ketika Rangga mengebutkan tangannya menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', satu orang seketika menjerit keras, begitu kebutan itu menghantam kepala.

Kembali Rangga mengebutkan cepat tangannya ke arah satu orang lagi. Begitu cepat serangannya sehingga orang berbaju serba merah itu tidak dapat lagi menghindar. Dia terpekik keras, dan tubuhnya terpental ke belakang. Orang berbaju merah itu langsung tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.

"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga berteriak nyaring. Dan seketika itu juga, tangannya menghentak ke depan, mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tepat pada saat itu, dua orang lawannya sudah bergerak menyerang secara bersamaan.

Mereka kontan terkejut setengah mati, dan tak dapat lagi menarik diri menghindari pukulan lurus yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Des! Bek!

"Aaa...!" "Akh...!"

Dua jeritan panjang melengking terdengar saling susul begitu pukulan lurus kedua tangan Rangga menghantam dada dua orang berbaju serba merah. Mereka langsung terpental deras sekali ke belakang, dan terbanting di tanah begitu kerasnya. Pukulan yang dilepaskan Rangga dalam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang dahsyat luar biasa. Dada kedua orang itu remuk, melesak kedalam. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah kental agak kehitaman.

Dalam dua jurus saja, Rangga sudah menjatuhkan empat lawannya begitu cepat. Hal ini membuat dua orang yang masih hidup jadi bergetar hatinya. Mereka jadi ragu-ragu untuk menyerang. Sementara, Rangga sudah memutar tubuhnya menghadap dua orang berbaju merah yang masih tersisa hidup. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata kedua laki-laki berbaju serba merah itu.

"Hanya ada satu pilihan buat kalian. Menyerah, atau mati di sini..!" desis Rangga mengancam.

Kedua laki-laki berbaju merah itu saling melemparkan pandangan. Mereka seperti ragu-ragu, dan tidak yakin akan diri sendiri. Sedangkan Rangga sudah semakin dekat saja, dan baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan dua laki-laki pengikut si Naga Merah itu.

Pada saat itu Pandan Wangi terlihat berkuda, menghampiri sambil menuntun kuda hitam yang tadi ditinggalkan Rangga, Gadis cantik berbaju biru yang dijuluki si Kipas Maut itu segera melompat turun dari punggung kudanya setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya langsung mendarat ringan di samping kanan pemuda berbaju rompi putih ini.

Menyadari keadaan dirinya yang tidak mungkin lagi bertahan, kedua laki-laki berbaju serba merah itu tiba-tiba saja mengambil jalan yang tidak diduga, baik oleh Rangga maupun Pandan Wangi. Mereka menikam diri sendiri dengan golok.

Perbuatan kedua orang ini tentu saja membuat kedua pendekar muda itu jadi tersentak kaget. Tapi, sudah tidak ada waktu lagi untuk mencegah. Dua orang pengikut Naga Merah itu hanya sebentar saja bertahan berdiri. Sedangkan golok mereka sudah terbenam dalam di dada. Darah menyemburat keluar dari dada yang tertembus golok. Sesaat kemudian, mereka jatuh bergelimpang di tanah dan tak bergerak-gerak lagi.

"Edan...!" desis Pandan Wangi.

Sementara di sekitar mereka, api masih terus berkobar besar. Dan penduduk yang belum sempat terbantai, hanya bisa meratapi rumahnya yang habis termakan api. Memang tak ada satu rumah pun yang masih utuh berdiri di bagian Timur Desa Jatiwangi ini. Semua rumah yang berdiri sudah terbakar, sehingga membuat udara malam yang seharusnya dingin jadi terasa begitu hangat. Dan tidak sedikit pula penduduk yang tergeletak tak bernyawa lagi.

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dipacu cepat. Rangga dan Pandan Wangi memutar tubuhnya berbalik. Tampak Ki Rangkuti bersama Sekar Telasih langsung menghampiri kedua pendekar muda itu. Sedangkan yang lainnya membantu penduduk yang kehilangan rumah dan sanak saudaranya. Mereka dikumpulkan di tengah jalan, menjauhi kobaran api yang membakar rumah-rumah mereka.

"Hanya tujuh orang, Ki. Tak ada Naga Merah di sini," jelas Rangga setelah Ki Rangkuti dan Sekar Telasih turun dari kudanya.

"Hhh.... Hanya tujuh orang, tapi sudah membuat kerusuhan begitu besar," desah Ki Rangkuti lirih.

"Sebenarnya berapa jumlah mereka, Kakang?" tanya Sekar Telasih.

"Aku tidak tahu pasti. Mungkin sekitar dua puluh orang," sahut Rangga.

"Jumlah yang cukup besar untuk menghancurkan sebuah desa," desah Pandan Wangi agak menggumam.

"Mereka juga memiliki kepandaian yang rata-rata cukup tinggi," sambung Rangga.

"Apa mungkin kita menghadapinya, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Memang mustahil dengan kekuatan yang ada sekarang. Tapi itu bukan berarti harus diam dan menyerah begitu saja. Harus ada cara untuk menghentikan ulah mereka. Kalau perlu, membasmi mereka dari muka bumi ini," tegas Rangga.

Memang Rangga jadi cepat geram jika melihat kebiadaban yang terjadi di depan matanya. Dan biasanya, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan memberi ampun pada orang-orang semacam Naga Merah ini. Orang macam Naga Merah memang selalu menggunakan cara-cara keji dan kotor, hanya untuk melampiaskan kata hatinya yang terbalut nafsu iblis.

"Kita harus can cara untuk melawan mereka, Rangga," kata Ki Rangkuti.

"Hal itu sudah kupikirkan, Ki. Tapi aku juga memikirkan keselamatan penduduk desa ini. Korban sudah terlalu banyak berjatuhan. Dan aku tidak ingin jatuh korban lebih banyak lagi," tegas Rangga menyambut ucapan Ki Rangkuti barusan.

"Kau punya cara, Rangga?" tanya Ki Rangkuti seperti ingin tahu jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada. Tapi, ini mengandung bahaya yang sangat besar, Ki," sahut Rangga.

"Cara apa pun harus dilaksanakan. Dan pengorbanan sudah barang tentu harus ada, demi tujuan mulia, Rangga," tegas Ki Rangkuti, bisa mengerti perkataan Pendekar Rajawali Sakti tadi.

"Kakang, apa tidak sebaiknya dipikirkan dulu mengenai rencana itu...," selak Pandan Wangi yang tampaknya masih kurang setuju dengan rencana yang dikemukakan Rangga.

"Memang harus dibicarakan dulu, Pandan. Dan aku rasa tidak baik jika hanya kita saja yang mengetahui. Ini harus diketahui, paling tidak oleh sesepuh desa ini," kata Rangga, bisa menangkap nada kurang setuju dari suara Pandan Wangi.

"Besok aku mengumpulkan sesepuh desa ini, dan kita bisa bicarakan cara-cara yang terbaik untuk menanggulangi bencana ini, Rangga," selak Ki Rangkuti.

"Itu lebih baik, Ki," sambut Rangga.

"Sebaiknya, sekarang kita bantu penduduk dulu. Nanti dibicarakan lagi, Rangga," kata Ki Rangkuti lagi.

Mereka kemudian melangkah menghampiri penduduk yang berkumpul di tengah jalan. Hanya tinggal sekitar dua puluh orang saja yang tersisa. Memang tindakan orang-orang Naga Merah begitu cepat dan kejam. Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah membakar habis rumah-rumah di bagian Timur Desa Jatiwangi ini, walau hanya dengan tujuh orang saja. Kalau saja Rangga tidak keburu datang tadi, mungkin tak ada lagi penduduk yang masih bisa bernapas sekarang ini.

********************

Bukan hanya Ki Rangkuti saja. Tapi semua sesepuh Desa Jatiwangi yang siang ini berkumpul di rumah kepala desa itu tidak ada yang mempunyai satu cara pun untuk menghadapi kebrutalan si Naga Merah. Sehingga, begitu Rangga mengemukakan satu cara, mereka langsung menyetujui. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti juga mengemukakan bahaya terberat yang akan dihadapi.

Terlebih lagi jika rencana yang dikemukakannya tidak berjalan mulus. Bukan hanya kegagalan yang akan didapatkan, tapi juga kehancuran Desa Jatiwangi yang memang diinginkan si Naga Merah.

Setelah pertemuan itu selesai, Rangga langsung keluar dari rumah Ki Rangkuti. Wajahnya kelihatan begitu murung. Hatinya begitu terenyuh melihat kepasrahan sesepuh desa yang tidak bisa lagi mengemukakan pendapat untuk menanggulangi malapetaka ini. Sehingga, mereka langsung menyetujui usul yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga menghempaskan diri di bangku samping rumah. Pandangannya begitu kosong, tertuju lurus ke depan. Matanya merayapi sekitarnya yang terasa lengang, bagaikan berada di sebuah desa mati yang tak berpenghuni lagi.

"Kakang...!"

Rangga berpaling ketika mendengar suara lembut dari belakang. Bibirnya berusaha tersenyum saat melihat Sekar Telasih berjalan menghampirinya. Gadis itu langsung duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Rangga juga sempat melihat Pandan Wangi di depan rumah sedang berbincang bersama Ki Rangkuti.

Pandan Wangi juga sempat melirik ke arah Pendekar Rajawali Sakti ini. Tapi, gadis itu bersikap seolah-olah tidak melihatnya. Dan Rangga tahu kalau kekasihnya memang sengaja tidak menghampiri, bahkan malah membelakanginya.

"Kau sedih melihat sikap mereka, Kakang...?" ujar Sekar Telasih seperti mengetahui yang ada dalam hati Pendekar Rajawali Sakti saat ini.

"Entahlah...," desah Rangga perlahan.

"Memang seharusnya mereka tidak perlu bersikap begitu, Kakang. Tapi, kepasrahan mereka tidak bisa disalahkan. Memang tidak ada yang bisa dilakukan selain bersikap pasrah menerima nasib," kata Sekar Telasih juga pelan suaranya.

"Kepasrahan itu yang membuat bebanku terasa semakin berat. Aku seperti dituntut untuk menyelamatkan mereka dari keangkaramurkaan Naga Merah. Hhh...! Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika ayahmu mau berterus terang sejak dulu. Barangkali malapetaka ini bisa dicegah," ujar Rangga masih dengan suara perlahan.

"Bukan hanya ayah saja yang salah, Kakang. Tapi aku juga," sergah Sekar Telasih. "Kalau saja aku mau mengakui Nyi Rongkot sebagai ibuku, barangkali semua ini tidak akan pernah terjadi."

"Ya! Dan kau harus rela menjadi istri si Buto Dungkul," agak mendengus nada suara Rangga.

"Itu yang tidak kuinginkan, Kakang. Aku hanya mengakui Nyi Rongkot adalah ibuku, barangkali masih bisa kuterima. Tapi perjanjiannya dengan si Buto Dungkul itu yang membuatku semakin membencinya."

"Semua sudah berakhir, Sekar. Tak ada gunanya lagi disesalkan. Apalagi mesti mencari kambing hitam segala. Yang harus kita lakukan sekarang, mempersiapkan diri untuk menghadapi si Naga Merah. Hanya itu, Sekar...," tegas Rangga mantap.

“Ya, memang hanya itu yang bisa dilakukan sekarang, Kakang," desah Sekar Telasih.

Mereka kemudian terdiam membisu. Tak ada lagi yang berbicara. Sedangkan Rangga masih memikirkan cara yang terbaik untuk bisa menghadapi si Naga merah, tanpa harus mengorbankan banyak penduduk. Hal ini memang terasa amat sulit. Mengingat, ilmu 'Naga Merah' yang dimiliki perempuan tua itu dahsyat luar biasa. Belum lagi para pengikutnya, yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi.

Sedangkan yang diandalkan hanya dirinya sendiri dan Pandan Wangi. Dan di Desa Jatiwangi ini sendiri, hanya Ki Rangkuti saja yang memiliki kepandaian tinggi. Sedangkan Sekar Telasih dan semua murid Padepokan Jatiwangi hanya memiliki kepandaian rendah dan tak mungkin bisa diandalkan. Keadaan seperti ini yang membuat Rangga harus berpikir keras, mencari cara yang terbaik. Sedangkan pelaksanaan rencana itu akan dilakukan malam nanti.

********************

DELAPAN

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum menampakkan diri, seluruh penduduk Desa Jatiwangi sudah berkumpul di halaman depan rumah Ki Rangkuti. Rangga yang menyaksikan kalau semua penduduk desa sudah berkumpul, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sungguh tidak disangka kalau kepercayaan yang diberikan penduduk Desa Jatiwangi kepadanya begitu besar.

Memang Rangga sudah berpesan pada sesepuh desa agar tidak memaksa penduduk desa untuk ikut dalam permainan ini. Tapi kenyataannya, begitu mendengar yang akan melindungi adalah Pendekar Rajawali Sakti, tak ada lagi keraguan di hati mereka semua. Karena, semua penduduk Desa Jatiwangi memang sudah mengetahui kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ternyata mereka lebih percaya padamu daripada kepala desanya sendiri, Kakang," ujar Pandan Wangi setengah berbisik di dekat telinga Rangga.

"Jangan menyindirku, Pandan," desis Rangga juga berbisik.

“Tapi kenyataannya begitu, bukan...?"

"Aku rasa bukan kepercayaan dasarnya. Tapi, tekanan yang dihadapi, yang menyebabkan mereka memilih menerjang bahaya daripada tetap tinggal di sini. Toh, apa pun yang dipilih, keadaan akan tetap sama saja. Jika Hyang Widi menghendaki, mereka bisa terbebas dari tekanan penderitaan ini, Pandan," elak Rangga, merendah.

Sementara itu Ki Rangkuti memberi beberapa penjelasan pada warga desanya. Kepala desa itu meminta agar tak seorang pun berbuat di luar perintah yang akan diberikan Pendekar Rajawali Sakti nanti. Dan ketika Ki Rangkuti meminta Rangga untuk berbicara, dengan halus Pendekar Rajawali Sakti menolak. Karena tak ada lagi yang dibicarakan, mereka memutuskan segera berangkat meninggalkan desa ini melalui jalan Utara. Rangga dan Ki Rangkuti berkuda paling depan, disusul Sekar Telasih dan Pandan Wangi. Kemudian para sesepuh desa dan seluruh penduduk Desa Jatiwangi mengikuti dari belakang.

Sementara kegelapan masih menyelimuti seluruh desa, meskipun kokok ayam jantan sudah terdengar riuh saling sambut. Kicauan burung pun sudah terdengar, seakan-akan mengiringi keberangkatan mereka yang hendak meninggalkan desa ini. Semburat rona merah mulai terlihat di kaki langit sebelah Timur ketika rombongan yang berjumlah cukup besar itu mulai memasuki wilayah Utara Desa Jatiwangi.

"Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar mengejutkan mereka semua.

Rangga langsung menghentikan langkah kaki kudanya. Tangannya segera diangkat, meminta seluruh penduduk yang mengikutinya untuk berhenti. Suara tawa itu terus terdengar semakin keras. Tapi, tak ada seorang pun penduduk Desa Jatiwangi itu yang bergeming. Mereka begitu patuh pada perintah Rangga.

"Hup...!"

Dengan satu gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Ki Rangkuti, Pandan Wangi, dan Sekar Telasih bergegas melompat turun dari punggung kuda masing-masing mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan murid-murid Pa-depokan Jatiwangi yang dipimpin Walikan, segera bersiap menghadapi segala yang akan terjadi. Golok-golok mereka sudah terhunus tergenggam di tangan kanan.

"Suruh mereka semua menyingkir, Ki," kata Rangga setengah berbisik.

Ki Rangkuti bergegas memerintahkan warga desanya untuk menyingkir menjauhi tempat ini. Tanpa ada yang membantah sedikit pun, mereka bergerak menjauhi tempat itu. Tapi, mereka masih berkumpul di belakang murid-murid Padepokan Jatiwangi. Sementara Rangga, Pandan Wangi, Sekar Telasih, Walikan, dan Ki Rangkuti masih tetap tak beranjak dari tempatnya.

Bersamaan menghilangnya suara tawa yang terdengar keras menggelegar, dari balik semak dan pepohonan bermunculan orang-orang berbaju serba merah yang semuanya menghunus senjata golok berukuran lebih panjang dari golok biasa. Mereka berdiri berjajar, bersikap menantang sekitar dua tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti dan pendampingnya.

"Hosss...!"

Tiba-tiba terdengar suara mendesis yang begitu keras. Tak berapa lama kemudian, muncul seekor ular naga raksasa berwarna merah dari kelebatan pepohonan dibelakang orang-orang berbaju serba merah itu. Tampak di atas kepala ular naga itu berdiri perempuan tua berjubah merah.

Ki Rangkuti, Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan semua penduduk Desa Jatiwangi jadi terkejut setengah mati melihat seekor naga berwarna merah. Besarnya, tidak kalah dari pohon kelapa. Binatang aneh itu muncul bersama perempuan tua yang selama ini menjadi momok bagi mereka semua. Hanya Rangga yang kelihatan begitu tenang, menatap tajam pada si Naga Merah yang berada di atas kepala ular naganya.

"Hancurkan mereka semua...!" seru si Naga Merah lantang.

"Yeaaah...!" "Hiyaaa...!"

Seketika itu juga orang-orang berbaju serba merah berlarian cepat sambil berteriak-teriak mengayunkan golok di atas kepala. Rangga yang memang sudah muak oleh kekejaman mereka, langsung melentingkan tubuhnya. Segera disongsongnya orang-orang berbaju serba merah itu

"Hiyaaa...!" Pandan Wangi juga tidak mau ketinggalan. Sambil berteriak nyaring melengking, si Kipas Maut melompat cepat sambil mencabut kipas baja putihnya yang terkenal membawa hawa maut. Sementara Sekar Telasih dan Walikan yang hendak mengikuti kedua pendekar muda itu, sudah keburu dicegah Ki Rangkuti. Pertarungan pun tak dapat dihindari lagi.

Rangga dan Pandan Wangi mengamuk begitu dahsyat, membuat orang-orang berbaju merah jadi kalang kabut menghadapinya. Pukulan-pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilepaskan Rangga memang dahsyat luar biasa. Tak ada seorang pun dari lawan yang mampu menandingi jurus dahsyat itu. Terlebih lagi, Pandan Wangi dengan kipas mautnya yang memang sukar dicari tandingannya.

Teriakan-teriakan pertarungan seketika bercampur baur dengan pekik dan jerit melengking kematian dari orang-orang berbaju merah. Mereka berpentalan, tak mampu menghadang gempuran kedua pendekar muda digdaya itu. Satu persatu mereka dibuat ambruk tak mampu bangkit lagi. Dan kenyataannya, memang kedua pendekar muda itu tidak memerlukan bantuan untuk menghadapi para pengikut si Naga Merah ini.

Dalam waktu yang tidak berapa lama saja, sudah tak ada seorang pun dari lawan-lawan yang bisa berdiri lagi. Tubuh-tubuh berbaju merah bergelimpangan di tanah tanpa nyawa lagi. Sementara Rangga dan Pandan Wangi berdiri tegak, bersikap menantang si Naga Merah yang berdiri angkuh di atas kepala ular naga raksasanya.

********************

"Kau mundur, Pandan," ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun.

"Tapi, Kakang...," Pandan Wangi kelihatan cemas melihat ular naga raksasa itu.

"Aku sudah pernah menghadapinya, Pandan. Minggirlah," ujar Rangga cepat sebelum Pandan Wangi bisa berkata lagi.

Sebentar Pandan Wangi menatap Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melangkah mundur menjauh. Sementara Rangga melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati si Naga Merah yang masih berdiri angkuh di atas kepala ular naga raksasanya. Sedangkan Ki Rangkuti yang sudah mengetahui akan terjadi pertarungan dahsyat, segera membawa Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan Walikan menyingkir lebih jauh lagi. Bahkan warga desanya diperintahkan agar mencari tempat berlindung yang agak jauh lagi.

"Kita selesaikan urusan ini sekarang, Pendekar Rajawali Sakti," desis si Naga Merah dingin.

"Hm..., silakan," sambut Rangga kalem.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja perempuan tua berjubah merah itu melenting tinggi ke udara. Pada saat yang bersamaan, ular naga raksasa itu bergerak cepat menerkam Rangga yang sejak tadi memang sudah siap. Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui cara penyerangan Naga Merah ini. Dan begitu kepala naga raksasa itu dekat dengan dirinya, cepat sekali tubuhnya melesat ke samping, dan bergulingan beberapa kali di tanah.

"Hup! Yeaaah...!" Rangga cepat melesat bangkit, lalu melenting ke udara sambil mencabut pedangnya yang tersampir di punggung. Cahaya biru berkilau menyilaukan mata seketika menyemburat keluar menerangi sekitarnya, begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.

"Hiyaaa...!" Beberapa kali Rangga berputar di udara, lalu cepat-cepat mengebutkan pedangnya. Dan secepat itu pula, tubuhnya meluruk deras ke bawah dengan ujung pedang tertuju lurus ke tubuh ular naga raksasa itu.

Crab! "Ghraaaugkh...!

Ular naga raksasa itu menggelepar sambil meraung keras menggelegar, begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menghunjam dalam di tubuhnya.

"Hap!" Sambil menjejakkan kakinya ke tubuh ular naga raksasa itu, Rangga kembali melenting ke udara sambil mencabut pedang yang terbenam cukup dalam di tubuh ular naga itu. Beberapa kali Rangga melakukan putaran yang indah di udara, sebelum kakinya menjejak cukup jauh dari ular naga raksasa itu.

Pada saat yang bersamaan, perempuan tua yang berjuluk si Naga Merah meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti sambil memberi satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat...!"

"Uts!"

Hanya sedikit saja Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga pukulan yang dilepaskan si Naga Merah tidak sampai mengenai sasaran.

Bet!

Secepat kilat Rangga mengebutkan pedangnya, memberi serangan balasan. Tapi si Naga Merah sudah lebih cepat lagi melompat mundur menghindari tebasan pedang yang memancarkan sinar biru berkilau itu. Dan sebelum Rangga bisa menarik pedangnya kembali, ular naga raksasa berwarna merah itu sudah kembali menyerang dahsyat sambil menggerung keras bagai halilintar.

"Suiiit...!"

Tiba-tiba saja Rangga bersiul nyaring melengking tinggi begitu kakinya menjejak tanah. Belum lagi siulannya menghilang dari pendengaran, perempuan tua berjubah serba merah sudah kembali memberi serangan cepat dan beruntun. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari pukulan-pukulan yang begitu cepat dan bertenaga dalam sangat tinggi itu.

Memang, keadaan Pendekar Rajawali Sakti sungguh mencemaskan Dia diserang perempuan tua berjubah merah dan ular naga raksasa secara bergantian, beruntun dan cepat sekali. Jurus-jurus yang dikerahkannya seperti tidak punya arti sama sekali. Namun demikian, beberapa kali Rangga berhasil menebaskan pedangnya ke tubuh ular naga raksasa itu.

Tapi, ular itu seperti tidak berpengaruh sama sekali. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat saja, sehingga membuat Rangga tampak kerepotan. Belum lagi harus menghindari serangan-serangan yang dilancarkan si Naga Merah yang tidak kalah dahsyatnya dari ular naga raksasa itu.

Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi pertarungan belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Sedangkan keadaan Rangga semakin kelihatan kedodoran menghadapi dua lawan yang begitu dahsyat serangan-serangannya. Hingga pada satu saat...

"Yeaaah...!"

Cepat sekali si Naga Merah melepaskan satu pu-kulan keras berkekuatan tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya. Rangga yang baru saja menghindari serangan ular naga raksasa, tidak dapat lagi mengelak. Dan....

Desss! "Aaakh...!"

Rangga terpental deras ke belakang ketika pukulan yang dilepaskan si Naga Merah menghantam telak dadanya. Sebongkah batu yang cukup besar seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum pemuda berbaju rompi putih itu bisa bangkit berdiri, ular naga raksasa sudah melesat cepat hendak menerkam. Mulutnya yang begitu besar tampak ternganga lebar, siap mengoyak tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga ular naga raksasa itu sampai, tiba-tiba saja....

"Khraaagkh...!"

Sukar diikuti pandangan mata biasa. Mendadak saja dari angkasa meluncur cepat bagai kilat seekor burung rajawali putih raksasa yang langsung menyerang ular naga merah raksasa itu. Paruh burung rajawali putih itu mendarat tepat di mata ular naga merah, hingga ular raksasa itu meraung keras menggelegar.

"Hup!"

Rangga cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Sementara itu, si Naga Merah jadi terlongong melihat kemunculan burung rajawali raksasa yang langsung menyerang ular naga ciptaannya. Di lain tempat Rang-ga sudah melompat cepat sambil mengebutkan pedang pusakanya ke arah perempuan tua berjubah merah itu.

"Hiyaaat...!"

Bet!

"Ikh...!" Si Naga Merah jadi terkejut setengah mati. Cepat-cepat perempuan tua itu melompat ke belakang menghindari tebasan pedang yang memancarkan sinar biru terang berkilau. Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika kedua tangannya dihentakkan ke depan.

"Yeaaah...!" Secercah cahaya merah tiba-tiba saja meluncur deras keluar dari kedua telapak tangannya.

Sementara Rangga yang mengetahui kalau lawan sudah mengeluarkan ilmu kesaktian, cepat-cepat memiringkan tubuh ke kanan, lalu cepat menarik ke kiri. Dan begitu tubuhnya tegak, mata pedangnya digosok dengan telapak tangan kirinya.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'.... Yeaaaah...!" Seketika itu juga, Rangga menghentakkan pedangnya ke depan, tepat ketika sinar merah yang keluar dari telapak tangan si Naga Merah berada dekat dengannya.

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar tiba-tiba terdengar dahsyat ketika sinar merah menghantam ujung pedang yang kini cahayanya membentuk bulatan sebesar kepala manusia. Dan bulatan cahaya biru itu langsung melesat cepat ke arah si Naga Merah, begitu sinar merahnya menghilang. Begitu cepatnya cahaya biru itu meluncur, sehingga Naga Merah tidak sempat lagi menghindarinya.

"Akh...!"

Seluruh tubuh si Naga Merah begitu cepat terselubung sinar biru yang memancar deras dari mata Pedang Rajawali sakti. Perlahan-lahan Rangga melangkah mendekati, di saat perempuan tua itu menggeliat-geliat sambil menjerit-jerit melengking tinggi terselubung cahaya biru seluruh tubuhnya.

“Yeaaah...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan ke arah leher si Naga merah yang sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi setelah seluruh tubuhnya terselubung cahaya biru. Sehingga....

Cras!
"Aaa...!"
"Hup!"

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang sejauh satu batang tombak. Saat itu juga Pedang Rajawali Sakti dimasukkan ke dalam warangkanya di punggung. Maka, sinar biru langsung lenyap seketika. Sementara itu, tampak si Naga Merah berdiri kaku tak bergeming. Lalu, sesaat kemudian tubuhnya ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung muncrat keluar dari leher yang terpenggal.

"Aaargkh.,.!"

Pada saat yang bersamaan, ular naga merah raksasa menggelepar dahsyat sambil menggerung keras. Akibatnya, bumi bergetar bagai terguncang gempa. Lalu, seluruh tubuh ular raksasa itu mengepulkan asap tebal berwarna merah. Dan begitu asap menghilang, ular raksasa itu pun lenyap. Tampak sebatang tongkat berbentuk ular berwarna merah tergeletak di tanah.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.

Kemenangan Pendekar Rajawali Sakti langsung disambut sorak-sorai yang begitu gegap gempita oleh seluruh penduduk Desa Jatiwangi. Mereka berhamburan, berlarian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka langsung mengangkat Rangga beramai-ramai. Hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti tak dapat lagi menahan keharuannya. Mereka bersorak-sorai menggotong Rangga beramai-ramai, kembali ke Desa Jatiwangi.

Sementara, Pandan Wangi dan Sekar Telasih hanya dapat memandangi dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan di tempat lain, Ki Rangkuti langsung menjatuhkan diri, berlutut mengucapkan syukur karena malapetaka telah berlalu dari desanya. Suasana yang semula begitu mencekam, kini berubah jadi gegap gempita oleh sorak-sorai para penduduk yang meluapkan kegembiraan. Mereka kini telah terbebas dari belenggu ketakutan yang menghantui selama beberapa hari ini.


SELESAI


Dendam Naga Merah

Pendekar Rajawali Sakti

Dendam Naga Merah

SATU
AWAN hitam bergulung-gulung di langit, menyelimuti Hutan Gading dan sekitarnya. Bahkan gulungan awan hitam itu sampai ke Desa Jatiwangi yang letaknya agak jauh dari hutan itu. Angin pun bertiup begitu kencang.

Daun-daun yang tak mampu menahan gempuran angin yang begitu keras bagai hendak terjadi badai dahsyat, terpaksa berguguran. Langit tampak kelam, membuat matahari tak mampu lagi memancarkan sinarnya ke bumi. Begitu pekatnya, sehingga suasana siang ini terasa bagaikan malam.

Seluruh penduduk Desa Jatiwangi jadi gelisah melihat keadaan alam yang kelihatan hendak murka. Mereka menduga-duga, apa yang bakal terjadi di desa ini. Bahkan semuanya kini berbondong-bondong, dan tumpah ruah di halaman depan rumah kepala desa yang cukup luas. Halaman itu dipadati hingga tak ada lagi tempat yang tersisa.

Sementara awan hitam terus bergerak semakin pekat menyelimuti langit di desa itu. Angin pun bertiup semakin kencang, menyebarkan udara dingin menggigilkan tubuh. Satu dua pohon mulai bertumbangan, tak mampu menahan gempuran angin yang begitu kencang.

Penduduk Desa Jatiwangi yang berkumpul di halaman depan rumah kepala desa yang bernama Ki Rangkuti jadi semakin gelisah saja. Berbagai macam suara dan pendapat pun mulai terdengar terlontar, seakan-akan ingin mengalahkan deru angin yang semakin bertambah dahsyat saja. Mereka tidak tahu, apa yang bakal terjadi. Belum pernah tanda-tanda badai yang begini dahsyat dialami sebelumnya.

Sementara itu di beranda depan, tampak Ki Rangkuti berdiri tegak didampingi anak gadisnya yang bernama Sekar Telasih.

“Tenang kalian semua! Tenang...! Jangan membuat keributan...!" teriak Ki Rangkuti mencoba menenangkan warga desanya.

Seruan Ki Rangkuti yang begitu keras, membuat semua orang yang memadati halaman rumahnya jadi terdiam. Mereka semua mengarahkan pandangan ke arah laki-laki tua kepala desa itu. Sedangkan Ki Rangkuti sendiri merayapi tiap-tiap wajah dengan sinar mata berharap banyak.

Keadaan alam yang tampaknya sedang murka seperti ini, memang membuat semua orang yang ada di Desa Jatiwangi jadi gelisah. Dan mereka menunggu petunjuk dari kepala desanya yang begitu dihormati.

"Sebaiknya kalian semua kembali ke rumah masing-masing. Ini hanya badai biasa saja. Tidak perlu ditakuti...!" seru Ki Rangkuti dengan suara yang begitu lantang dan keras sekali.

Dari gema suara yang hampir mengalahkan deru angin keras, jelas kalau Ki Rangkuti mengeluarkannya disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi semua orang yang memadati halaman rumahnya tidak juga akan beranjak pergi. Mereka tetap diam dengan raut wajah mencerminkan kecemasan yang tiada tara.

"Dengar..! Ini hanya badai biasa. Cepatlah kalian kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini!" ujar Ki Rangkuti lagi. Suaranya masih terdengar keras dan lantang.

Para penduduk Desa Jatiwangi itu belum juga ada yang beranjak pergi. Tapi ketika tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat menggelegar di angkasa, seketika itu juga mereka berlarian sambil menjerit-jerit ketakutan.

Ledakan menggelegar tadi langsung disusul berkelebatnya secercah cahaya kilat. Lidah-lidah kilat itu sempat menyambar beberapa orang, sehingga seketika itu terjungkal roboh tak bangun-bangun lagi. Seluruh tubuh mereka hangus bagai terbakar.

Suasana kalang-kabut semakin melanda seluruh warga Desa Jatiwangi. Sedangkan Ki Rangkuti jadi kebingungan sendiri. Bahkan beberapa penduduk sudah menerobos masuk ke dalam rumahnya. Laki-laki tua berjubah putih itu tidak bisa melarang mereka yang mencari perlindungan. Sedangkan mereka yang rumahnya dekat dengan tempat tinggal kepala desa itu, sudah menghilang di dalam rumahnya masing-masing.

Crasss! Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar disertai sambaran kilat dari angkasa. Sebatang pohon besar yang berdiri di tengah-tengah halaman rumah Ki Rangkuti, seketika hancur berkeping-keping tersambar kilat.

Kekacauan semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman rumah Ki Rangkuti itu berlarian tak tentu arah menyelamatkan diri masing-masing. Desa Jatiwangi benar-benar bagaikan sedang mengalami kiamat.

Sementara itu kilat semakin sering menyambar ke bumi, disertai ledakan dahsyat menggelegar memekakkan telinga. Ki Rangkuti terus berteriak-teriak memerintahkan warganya untuk mencari tempat perlindungan yang aman.

Secercah cahaya kilat kembali berkelebat. Namun, kali ini menyambar langsung ke sebuah rumah yang terletak tidak seberapa jauh dari rumah kepala desa itu. Tak dapat dikatakan lagi Rumah itu hancur seketika, sehingga menimbulkan kobaran api yang menyebar ke segala arah. Bahkan beberapa rumah lainnya terkena percikan bunga api dari sambaran kilat tadi. Lidah api begitu cepat menjilat-jilat apa saja, membuat orang-orang yang memang su-dah bingung semakin kalang-kabut.

"Oh, Dewata Yang Agung.... Dosa apa yang telah kami perbuat, sehingga kau timpakan malapetaka sehebat ini pada kami...," keluh Ki Rangkuti mendesah perlahan.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba saja terdengar tawa keras menggelegar di antara deru angin yang begitu keras dan suara-suara gemuruh guntur yang membelah angkasa. Suara tawa itu semakin membuat semua orang kalang-kabut. Bahkan Ki Rangkuti sampai terlompat keluar dari beranda rumahnya. Kepalanya segera di tengadahkan ke atas.

Pada saat itu, tampak sebuah bentuk seekor ular naga berukuran sangat besar luar biasa. Sisiknya berwarna merah menyala bagai darah. Naga berwarna merah itu melayang-layang di angkasa, di antara gelombang awan hitam yang menyelubungi seluruh Desa Jatiwangi. Bukan hanya Ki Rangkuti yang melihat naga merah itu. Bahkan Sekar Telasih dan semua orang yang berada di situ, melihatnya dengan jelas.

Namun tiba-tiba saja naga merah itu lenyap dari pandangan. Bersamaan dengan itu, awan hitam yang menyelubungi angkasa juga sirna. Dan keadaan pun kembali terang Bahkan angin badai yang semula mengamuk begitu dahsyat, kini berhenti sama sekali.

"Oh..., pertanda malapetaka apa ini...?" keluh Ki Rangkuti bertanya sendiri dalam hati.

Kekacauan yang terjadi, mendadak saja lenyap. Dan keadaan alam yang semula mengamuk begitu dahsyat kini kembali seperti sediakala. Bahkan tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua begitu terpaku pada naga merah yang mengambang, melayang di angkasa tadi. Sementara api terus berkobar menghanguskan beberapa rumah yang tadi tersambar petir.

********************

Ki Rangkuti terduduk lemas di beranda depan rumahnya. Pandangannya begitu nanar merayapi beberapa warga Desa Jatiwangi yang menangis, meratapi rumahnya yang habis terbakar tak bersisa lagi. Sedangkan sebagian penduduk sudah kembali ke rumah masing-masing. Memang, tak ada satu rumah pun yang kelihatan utuh lagi. Badai topan yang begitu dahsyat tadi telah menghancurkan rumah-rumah mereka. Tapi, bukan kehancuran ini yang membuat laki-laki tua berjubah putih itu kelihatan berduka.

"Ayah...."

Ki Rangkuti mengangkat kepalanya sedikit dan berpaling begitu mendengar panggilan lembut dari arah samping kanannya. Tampak seorang gadis cantik yang sejak tadi berdiri tidak jauh darinya, melangkah menghampiri dan duduk di samping kepala desa itu. Ki Rangkuti menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Tangannya meraih tangan Sekar Telasih, dan menggenggamnya hangat-hangat. Sesaat mereka saling berpandangan, dengan sinar mata yang sukar diartikan.

"Naga Merah itu mengingatkan aku pada Nyi Rongkot si Ular Betina...," kata Ki Rangkuti, agak menggumam nada suaranya. Seakan-akan dia bicara pada diri sendiri.

Sedangkan Sekar Telasih hanya diam saja membisu. Dia tahu, apa yang baru saja dikatakan ayahnya ini. Tentu saja peristiwa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Desa Jatiwangi ini tidak bisa terlupakan begitu saja.

Desa Jatiwangi ini memang pernah kedatangan seorang tokoh wanita rimba persilatan yang berkepandaian sangat tinggi. Wanita tua itu bernama Nyi Rongkot, dan lebih dikenal dengan julukan Ular Betina. Kedatangan si Ular Betina ke desa ini bukan saja menimbulkan malapetaka bagi diri Ki Rangkuti. Tapi, juga bagi seluruh penduduk Desa Jatiwangi. Bahkan hampir saja dia tewas dalam peristiwa itu.

Dan tadi.., baru saja muncul seekor naga merah di angkasa yang didahului terjadinya badai topan begitu dahsyat luar biasa. Sehingga, desa ini bagaikan hendak kiamat saja rasanya.

“Tapi, Ayah. Nyi Rongkot sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti...," bantah Sekar Telasih seperti mengingatkan.

"Di dalam kehidupan orang-orang persilatan, terlalu banyak hal yang sukar bisa diterima akal, Sekar. Terlebih lagi, Nyi Rongkot memiliki kepandaian tinggi sekali," balas Ki Rangkuti, masih dengan nada suara perlahan.

"Maksud, Ayah.... Nyi Rongkot masih hidup, dan sekarang muncul lagi hendak membalas dendam?" terka Sekar Telasih.

Gadis itu memang cerdas, dan bisa cepat menerka maksud pembicaraan seseorang. Terlebih lagi terhadap ayahnya, yang sudah diketahui watak maupun kemauannya. Sehingga, isi hati dan pikiran orang tua itu bias cepat diterka.

"Hhh...!" Ki Rangkuti hanya menghembuskan nafasnya saja. Terasa begitu berat sekali tarikan nafasnya. Perlahan Ki Rangkuti bangkit berdiri dan melangkah sampai ke depan beranda rumahnya. Pandangannya kembali tertuju pada para penduduk yang masih sibuk membenahi rumahnya.

Sementara, Sekar Telasih masih tetap duduk di kursi yang terbuat dari bahan rotan itu. Dia kemudian bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri ayahnya. Gadis itu berdiri di samping kanan ayahnya yang masih tetap diam memandangi orang-orang yang sibuk membenahi rumah yang rusak akibat terlanda badai.

"Rasanya sulit dipercaya kalau Nyi Rongkot masih hidup...," gumam Sekar Telasih seperti bicara pada diri sendiri.

“Tapi kenyataannya dia sudah muncul, dan membuat tanda malapetaka tadi," sergah Ki Rangkuti.

"Ayah, apa tidak sebaiknya kita memberitahukan hal ini pada Pendekar Rajawali Sakti...?" usul Sekar Telasih.

"Kau tahu, di mana menghubunginya?" tanya Ki Rangkuti seperti menguji.

Sekar Telasih tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Jangankan menghubungi, mengetahui di mana Pendekar Rajawali Sakti sekarang berada saja tidak mungkin bisa diketahui. Waktu itu kedatangan Pendekar Rajawali Sakti juga secara tiba-tiba dan tidak diketahui. Dan kepergiannya pun tanpa ada seorang pun yang tahu.

Sekar Telasih kini tahu, apa yang sekarang menjadi beban pikiran ayahnya. Rasanya memang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi keganasan Nyi Rongkot si Ular Betina itu. Tingkat kepandaiannya terlalu tinggi bagi mereka. Naga Merah yang terlihat di angkasa tadi, memang merupakan suatu pertanda akan datang malapetaka di Desa Jatiwangi ini.

Tapi tak ada seorang pun yang bisa menebak, malapetaka apa yang akan terjadi nanti. Bukan hanya Sekar Telasih yang tidak bisa menebak. Bahkan Ki Rangkuti sendiri tidak bisa menduga-duga. Tapi mereka sudah yakin, malapetaka itu akan datang dengan cepat, dan tentunya lebih dahsyat dari yang pertama dahulu.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ayah?" tanya Sekar Telasih.

"Rasanya tidak ada waktu lagi untuk melakukan sesuatu," jelas Ki Rangkuti, menggumam.

"Bagaimanapun juga, kita harus berusaha sebelum si Ular Betina itu datang, Ayah," tegas Sekar Telasih memberi dorongan semangat

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Rangkuti ingin tahu.

"Aku akan mengundang beberapa pendekar tangguh sahabat kita, Ayah," jawab Sekar Telasih mantap.

"Kau akan pergi dari sini?" Ki Rangkuti menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak yakin rencana anak gadisnya akan berhasil. Laki-laki tua itu kenal betul watak Nyi Rongkot yang berjuluk si Ular Betina. Sekali saja memberi tanda, maka tidak akan ada seorang pun yang bisa keluar dari desa ini dalam keadaan hidup. Bahkan tak akan ada seorang pun yang bisa masuk ke desa ini.

Dan itu berarti seluruh penduduk Desa Jatiwangi benar-benar tinggal menunggu nasib saja. Namun Ki Rangkuti lebih senang bila menggunakan kata menunggu kematian. Hal ini bisa dikatakannya, karena mengingat watak Nyi Rongkot yang tidak pernah kepalang tanggung jika sudah melakukan tindakan balas dendam.

"Kau tidak akan bisa keluar dari desa ini, Sekar," tegas Ki Rangkuti dengan kepala masih bergerak menggeleng perlahan.

"Aku yakin bisa, Ayah," tekad Sekar Telasih.

"Tidak mungkin.... Itu sangat mustahil."

"Kenapa...?" Sekar Telasih jadi ingin tahu.

"Kau tidak akan mengerti, Sekar. Nyi Rongkot telah memberi tanda kehancuran dan kematian bagi seluruh penduduk Desa Jatiwangi ini. Dan itu berarti tidak akan ada seorang pun yang bisa keluar atau masuk desa ini. Aku kenal betul wataknya. Jadi, aku tidak ingin kau mendapat celaka jika terus memaksakan keinginanmu," Ki Rangkuti mencoba memberi penjelasan.

Sekar Telasih jadi terdiam. Memang semua yang dikatakan ayahnya barusan tidak bisa lagi dibantahnya. Meskipun gadis itu tidak begitu tahu seluruhnya akan watak dan tindakan Ular Betina, tapi paling tidak pernah menghadapi perempuan tua itu. Kekejamannya memang tidak bisa dikatakan lagi.

Bagi si Ular Betina, membunuh merupakan pekerjaan yang paling mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Untung waktu itu penduduk Desa Jatiwangi ditolong Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, pembantaian seluruh penduduk dapat ditekan sekecil mungkin.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan...?" tanya Sekar Telasih setelah berdiam diri cukup lama juga.

"Diam, dan menunggu perkembangan selanjutnya," sahut Ki Rangkuti.

********************

Malam sudah begitu larut. Sementara itu Ki Rangkuti masih juga berada di depan rumahnya yang besar. Rumah yang juga digunakan untuk tempat berlatih ilmu olah kanuragan para pemuda Desa Jatiwangi. Selain sebagai kepala desa, Ki Rangkuti juga dikenal sebagai Ketua Padepokan Jatiwangi. Sebuah padepokan yang didirikan untuk mendidik pemuda-pemuda desa ini agar memiliki kepandaian. Dengan demikian, mereka dapat menjaga keamanan dan ketenteraman desanya.

Saat itu Ki Rangkuti melihat empat orang mendatanginya dari arah depan. Salah seorang yang berjalan paling depan, sudah sangat dikenali. Dialah Sayuti, salah seorang pengajar ilmu olah kanuragan di Padepokan Jatiwangi ini. Keempat orang itu segera menjura memberi hormat begitu sampai di depan Ki Rangkuti yang masih tetap berdiri membelakangi rumahnya.

"Bagaimana? Sudah kau tempatkan mereka di tempat-tempat rawan?" tanya Ki Rangkuti langsung.

"Sudah, Ki. Tinggal sekitar sepuluh orang saja yang tinggal di padepokan," sahut Sayuti.

Kepala Ki Rangkuti terangguk-angguk. Memang hanya itu saja yang bisa dilakukan untuk berjaga-jaga, setelah peristiwa mengejutkan yang membuatnya menduga kalau Nyi Rongkot masih hidup. Memang, dia sendiri tidak yakin akan berhasil baik dengan tindakannya sekarang ini. Tapi untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu, tak ada cara lain yang harus dilakukannya, selain meningkatkan penjagaan keamanan di setiap pelosok Desa Jatiwangi.

"Ki..," ujar Sayuti terputus.

"Ada apa, Sayuti?" desah Ki Rangkuti.

"Apa benar Ular Betina akan datang dan membalas dendam?" tanya Sayuti, terdengar ragu-ragu nada suaranya.

"Aku baru menduga begitu. Tapi tanda yang diberikannya tidak bisa kuabaikan begitu saja. Tidak ada seorang tokoh pun di dunia ini yang mempunyai lambang Naga Merah. Hanya si Ular Betina itu saja yang memilikinya," jelas Ki Rangkuti.

Sayuti terdiam. Dia juga melihat Naga Merah di angkasa ketika terjadi badai yang melanda secara aneh di desa ini siang tadi. Dan memang tidak bisa disalahkan jika Ki Rangkuti memerintahkan seluruh murid Padepokan Jatiwangi untuk melipatgandakan penjagaan di seluruh pelosok desa ini.

"Ki, apa tidak mungkin si Ular Betina itu akan mengambil Nini Sekar Telasih lagi...?" kembali Sayuti membuka suaranya.

"Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan Sekar Telasih dan membunuhku. Bahkan pasti akan membumihanguskan seluruh desa ini. Aku tahu betul wataknya yang kejam dan tidak mengenal ampun itu. Hhh.... Sebaiknya kalian tetap bersiaga, dan jangan lengah sedikit pun juga. Kalau ada sesuatu yang terjadi, kalian harus cepat laporkan padaku," pinta Ki Rangkuti.

"Baik, Ki," sahut Sayuti dan empat orang pendampingnya serempak.

"Kembalilah kalian ke tempat masing-masing," ujar Ki Rangkuti.

Setelah menjura memberi hormat, Sayuti dan ketiga orang temannya yang juga sama-sama pengajar di Padepokan Jatiwangi, segera melangkah pergi meninggalkan orang tua itu seorang diri. Sepeninggal mereka, Ki Rangkuti masih tetap berdiri mematung di depan rumahnya. Beberapa kali terdengar tarikan nafasnya yang begitu berat dan dalam.

"Hik hik hik...!" "Heh...?!"

Ki Rangkuti terkejut setengah mati ketika tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik keras. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Belum juga rasa keterkejutannya hilang, mendadak saja dari atas kepalanya melesat sebuah bayangan merah yang begitu cepat luar biasa. Untung saja Ki Rangkuti cepat merundukkan kepala, sehingga hanya hembusan angin saja yang menerpa rambut putih di kepalanya. Dan begitu tubuhnya ditegakkan kembali, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang berbaju merah menyala yang begitu longgar dan panjang, sehingga menutupi seluruh bagian kakinya.

"Hm...," Ki Rangkuti menggumam perlahan.

DUA

"Siapa kau...?!" tanya Ki Rangkuti. Suaranya terdengar dingin.

"Kau tidak mengenaliku lagi, Rangkuti...?" terdengar serak dan datar sekali suara orang berjubah merah itu.

"Lihat aku baik-baik, Rangkuti. Kau akan tahu siapa aku."

Ki Rangkuti menyipitkan sedikit matanya, mencoba melihat wajah orang berjubah merah di depannya. Jantung Ki Rangkuti seketika seperti berhenti berdetak ketika orang berjubah merah itu menyibakkan rambutnya yang panjang teriap tak teratur. Sehingga, seluruh wajahnya dapat terlihat jelas di bawah siraman cahaya rembulan.

"Nyi Rongkot...," desis Ki Rangkuti hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Hik hik hik...! Kau sekarang tahu siapa aku, Rangkuti...?" semakin dingin nada suara wanita tua berjubah merah yang ternyata memang Nyi Rongkot, atau berjuluk Ular Betina.

Ki Rangkuti masih merayapi wajah tua di depannya. Sungguh tidak disangka kalau si Ular Betina itu masih tetap hidup. Bahkan sekarang tengah berdiri di depannya. Semula hanya diduga-duga saja atas kejadian siang tadi. Tapi kini bukan lagi menduga, melainkan suatu kenyataan yang harus dihadapinya. Nyi Rongkot ternyata masih hidup!

"Bagaimana mungkin kau masih bisa hidup, Nyi Rongkot..?" tanya Ki Rangkuti masih diliputi perasaan herannya.

"Kau tidak perlu tahu, Rangkuti. Hidup dan matiku bukan urusanmu!" sahut Nyi Rongkot, begitu dingin nada suaranya.

"Apa maksudmu datang lagi ke sini...?" tanya Ki Rangkuti mulai dingin kembali suaranya.

"Hik hik hik...! Kenapa mesti kau tanyakan, Rangkuti? Seharusnya kau sudah tahu maksud kedatanganku ke sini. Kau toh, bukan orang bodoh!" sahut Nyi Rongkot bernada menghina.

"Jika ingin mengambil Sekar Telasih dan menghancurkan desa ini, kau tentu juga sudah tahu apa yang akan kulakukan, Nyi Rongkot," tegas Ki Rangkuti.

"Hik hik hik...! Bagus...! Memang itu yang kuharapkan, Rangkuti. Tapi jangan harap aku akan melakukannya begitu saja. Terlalu enak bagimu jika desa ini kuhancurkan sekaligus. Kau sudah membuatku begitu menderita. Dan sekarang, aku akan membuatmu merasakan bagaimana penderitaan itu, Rangkuti," kata Nyi Rongkot bernada mengancam.

"Apa maksudmu...?" sentak Ki Rangkuti, agak bergetar suaranya.

"Hik hik hik...!" Si Ular Betina itu tidak menjawab pertanyaan Ki Rangkuti barusan. Sambil memperdengarkan tawanya yang mengikik mengerikan, Nyi Rongkot melesat pergi cepat sekali. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya. "Tunggulah hari-hari penderitaanmu, Rangkuti! Hik hik hik...!"

"Setan...!" dengus Ki Rangkuti menggeram. Sayang sekali, laki-laki tua itu tidak bisa lagi mengejar. Ilmu meringankan tubuh si Ular Betina itu memang sudah mencapai tingkat sempurna, sehingga bisa melesat begitu cepat bagaikan kilat. Dia seperti lenyap begitu saja bagai ditelan bumi. Ki Rangkuti hanya bisa mendengus dan menggerutu dalam hati. Kemunculan Ular Betina yang begitu tiba-tiba dan mengejutkan barusan, tentu sudah bisa diramalkan maksudnya.

"Hhh...! Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Wanita keparat itu memiliki seribu macam cara untuk membuat orang menderita sepanjang hidup," dengus Ki Rangkuti, bicara pada diri sendiri.

Saat itu terdengar suara langkah-langkah kaki yang terdengar cepat, menghampirinya dari arah belakang. Perlahan laki-laki tua berjubah putih itu memutar tubuhnya berbalik. Tampak Sekar Telasih menghampirinya dengan langkah cepat setengah berlari. Ki Rangkuti menunggu saja sampai gadis itu berada dekat di depannya.

"Ada apa, Ayah? Tadi kudengar ada suara orang lain di sini," tanya Sekar Telasih langsung.

"Perempuan iblis itu benar-benar masih hidup. Baru saja dia muncul di sini," jawab Ki Rangkuti, masih dengan nada suara agak mendengus geram.

"Maksud, Ayah...? Ular Betina...?" agak terbeliak bola mata Sekar Telasih.

Ki Rangkuti hanya menganggukkan kepala saja, kemudian melangkah menuju beranda depan rumahnya. Sekar Telasih bergegas mengikuti dari belakang. Mereka kemudian duduk di sebuah bangku panjang dari rotan di beranda depan rumah yang berukuran sangat besar. Untuk beberapa saat mereka terdiam, tidak saling membuka suara.

Sementara beberapa kali terdengar tarikan napas Ki Rangkuti yang panjang dan berat sekali. Seakan-akan, dia ingin melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak, bagai terhimpit sebongkah batu yang teramat besar dan berat.

“Jadi dia benar-benar masih hidup, Ayah...?" tanya Sekar Telasih ingin memastikan lagi.

"Ya! Dia masih hidup dan ingin melaksanakan maksudnya yang gagal waktu itu," sahut Ki Rangkuti.

"Ohhh...," Sekar Telasih mendesah panjang. Lemas seluruh tubuh Sekar Telasih saat itu juga. Betapa tidak...? Gadis itu tahu, apa yang dimaksudkan ayahnya barusan. Dan dia juga sudah tahu kalau dirinya diakui Nyi Rongkot sebagai anaknya. Sedangkan gadis itu sendiri tidak pernah mengakui kalau Nyi Rongkot adalah ibu yang telah melahirkannya.

Memang tidak ada seorang pun yang sudi mengakui wanita iblis itu sebagai saudara. Apalagi ibu. Padahal, Ki Rangkuti sendiri sudah mengatakan kalau Sekar Telasih memang anak tunggal Nyi Rongkot. Tapi, gadis itu tetap hanya memilih Ki Rangkuti sebagai orang tuanya.

"Bukan hanya kau saja yang diinginkannya, Sekar. Tapi, kematianku juga diinginkannya. Aku akan dibuat menderita terlebih dahulu sebelum pada akhirnya dikirim ke liang kubur," jelas Ki Rangkuti lagi. Masih terdengar perlahan suaranya.

"Kita tidak boleh menyerah begitu saja, Ayah. Kita harus bisa bertahan. Paling tidak, memberikan perlawanan," tegas Sekar.

"Ya! Kita memang akan mempertahankannya. Meskipun, kita sendiri tahu tidak akan ada gunanya," sahut Ki Rangkuti jadi bersemangat melihat kegigihan gadis ini.

"Apa pun yang terjadi, aku tetap anakmu, Ayah. Aku bukan anak perempuan iblis itu!" dengus Sekar Telasih berapi-api.

Ki Rangkuti jadi terharu mendengar kata-kata Sekar Telasih yang begitu bersemangat dan berapi-api. Maka keharuannya tidak bisa lagi tertahankan. Direngkuhnya gadis itu ke dalam pelukannya. Beberapa saat mereka berpelukan, menumpahkan rasa kasih dan cinta yang begitu mendalam. Perlahan Ki Rangkuti melepaskan pelukannya. Ditatapnya bola mata Sekar Telasih dalam-dalam, lalu lembut sekali kening gadis itu diciumnya.

"Sudah malam. Sebaiknya kau tidur," ujar Ki Rangkuti lembut.

"Ayah juga harus istirahat, dan harus menjaga kesehatan badan," kata Sekar Telasih memperlihatkan perhatian dan kasih sayangnya.

Ki Rangkuti tersenyum dan mengangguk. Sekar Telasih bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Sementara Ki Rangkuti masih tetap duduk bersila di bangku beranda depan rumahnya yang sangat luas ini.

"Dewata Yang Agung.... Beri petunjuk padaku untuk menghadapi Ular Betina itu," desah Ki Rangkuti seraya menengadahkan kepala ke atas.

Pendekar Rajawali Sakti
Ki Rangkuti cepat melompat bangkit dari pembaringannya, begitu mendengar ketukan di pintu kamarnya. Sempat disambarnya senjata yang berupa sebilah keris dari atas meja di samping tempat tidur. Hanya sekali lompat saja, laki-laki tua kepala desa itu sudah mencapai pintu, dan segera membukanya. Di depan pintu itu sudah berdiri Sayuti yang didampingi tiga orang temannya, pengajar Padepokan Jatiwangi.

"Ada apa...?" tanya Ki Rangkuti langsung.

"Bagian Selatan desa habis diporakporandakan, Ki. Tak ada seorang penduduk pun yang tersisa," lapor Sayuti.

"Apa...?!" Bukan main terperanjatnya Ki Rangkuti mendengar laporan salah satu orang kepercayaannya.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia bergegas keluar. Ayunan langkahnya begitu cepat dan lebar-lebar, membuat Sayuti dan ketiga temannya terpaksa harus menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk mengimbanginya. Di depan pintu rumah, Ki Rangkuti dihadang Sekar Telasih yang tampak sudah siap hendak bepergian.

Sebilah pedang sudah tersandang di pinggangnya. Kali ini gadis itu mengenakan pakaian kependekaran yang begitu ketat dan berwarna merah muda. Celananya sebatas lutut, sehingga memperlihatkan sepasang betis yang begitu indah dan mulus. Ki Rangkuti terpaksa menghentikan langkahnya di depan pintu.

"Aku ikut" pinta Sekar Telasih tegas.

"Jangan Sekar. Kau tidak akan tahan melihatnya," tolak Ki Rangkuti.

"Aku bukan lagi gadis yang dulu, Ayah. Sekar yang dulu sudah mati. Yang ada sekarang ini adalah Sekar Telasih, putri Ketua Padepokan Jatiwangi," lagi-lagi Sekar Telasih berkata tegas.

"Kau belum ada satu tahun mempelajari ilmu olah kanuragan, Sekar. Kau tidak akan tahan melihatnya nanti. Sebaiknya...."

"Aku bisa pergi sendiri!" potong Sekar Telasih cepat. Gadis itu cepat memutar tubuhnya, lalu berlari menghampiri kuda yang sudah siap tidak jauh dari beranda depan rumah itu.

Sejenak Ki Rangkuti jadi kebingungan melihat tekad yang begitu bulat pada diri Sekar Telasih. "Sekar, tunggu...!"

Tapi Sekar Telasih sudah keburu melompat naik ke punggung kudanya. Langsung digebahnya kuda itu hingga melesat cepat Ki Rangkuti tidak bisa berbuat lain lagi. Cepat-cepat dia melompat naik ke punggung kuda, dan segera menggebahnya dengan cepat Sayuti dan ketiga temannya juga segera mengikuti. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi Ki Rangkuti masih begitu tangkas mengendalikan binatang tunggangannya. Sebentar saja Sekar Telasih yang berkuda lebih dahulu sudah bisa disusul.

"Sekar...," panggil Ki Rangkuti terputus.

"Ini bukan hanya masalah Ayah saja. Tapi, juga menyangkut diriku. Tidak mungkin aku tinggal diam menunggu begitu saja, Ayah. Aku juga harus ikut terlibat" kata Sekar cepat sebelum Ki Rangkuti melanjutkan ucapannya.

"Tapi dengarlah dulu kata-kataku, Sekar. Yang kita hadapi sekarang ini bukan orang sembarangan. Ilmunya demikian tinggi. Dan aku sendiri belum tentu bisa menghadapinya. Sedangkan kau juga belum lama mempelajari ilmu olah kanuragan. Aku ingin, kau bisa menahan diri. Jangan sampai terpancing oleh siasatnya," bujuk Ki Rangkuti mencoba menasihati gadis itu.

"Aku akan melihat, sampai sejauh mana perbuatan perempuan iblis itu, Ayah," balas Sekar Telasih tetap tegas.

"Biar bagaimanapun, dia tetap...."

"Tidak! Dia bukan ibuku!" sentak Sekar Telasih cepat memutuskan ucapan Ki Rangkuti.

"Tidak ada seorang pun yang sudi punya ibu jahat. Dia bukan ibuku! Tapi iblis...!"

"Sekar...."

"Jangan katakan itu lagi, Ayah," potong Sekar Telasih cepat.

Ki Rangkuti tidak bisa lagi berkata-kata. Sungguh baru kali ini Sekar Telasih kelihatan begitu keras. Tekadnya benar-benar keras, seperti batu karang di lautan yang tak pernah habis meskipun setiap saat selalu digempur gelombang ombak. Memang Sekar Telasih sudah jauh berubah. Dia bukan lagi gadis manja yang tidak mampu melakukan sesuatu.

Sejak empat guru pengajar Padepokan Jatiwangi menggemblengnya dengan berbagai macam ilmu olah kanuragan selama hampir setahun, Sekar Telasih sudah berubah jauh. Bahkan sifat manjanya telah hilang sama sekali. Sekar Telasih telah benar-benar berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

Bukan hanya Sayuti. Bahkan Darmaji, Gagak Aru, dan Walikan mengakui kalau Sekar Telasih memiliki bakat luar biasa dalam mempelajari jurus-jurus ilmu olah kanuragan. Belum ada setahun, Sekar Telasih telah melebihi tingkatannya dari murid-murid yang lebih lama belajar di padepokan itu.

Terlebih lagi, Sekar Telasih mengkhususkan diri memperdalam jurus-jurus permainan pedang. Sehingga, tak ada seorang pun murid Padepokan Jatiwangi yang bisa menandingi kepandaiannya dalam permainan jurus-jurus pedang. Perubahan pada dirinya terjadi setelah Sekar Telasih menyadari betapa pentingnya mempelajari ilmu olah kanuragan untuk membela diri.

Pengalaman pahitnya telah membuka mata hati gadis itu, yang sebelumnya tidak pernah tertarik terhadap ilmu-ilmu kepandaian. Sementara itu enam kuda terus bergerak menuju ke arah Selatan dari Desa Jatiwangi. Ki Rangkuti tidak lagi berusaha membujuk Sekar Telasih untuk kembali ke rumah. Dibiarkan saja gadis itu berkuda di sampingnya.

********************

Sekar Telasih meringis melihat keadaan di bagian Selatan Desa Jatiwangi. Tak ada satu rumah pun yang kelihatan masih berdiri. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Bau anyir darah menyeruak tajam menusuk hidung. Hampir saja gadis itu tidak tahan melihat pemandangan yang begitu mengerikan dan mengenaskan sekali.

Bukan hanya mayat orang dewasa saja yang terlihat bergelimpangan di sepanjang jalan ini. Bahkan mayat anak-anak dan bayi terlihat juga di antara reruntuhan rumah dan mayat-mayat lain yang berserakan tak tentu arah. Asap tipis masih terlihat mengepul di beberapa tempat. Benar-benar suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati.

Sementara Ki Rangkuti yang duduk di punggung kudanya di samping Sekar Telasih, hanya bisa menggeretakkan gerahamnya begitu melihat hasil kekejaman Ular Betina. Perempuan berhati iblis itu benar-benar tidak lagi menyisakan seorang pun untuk hidup.

"Aku akan kembali, Ayah," kata Sekar Telasih tiba-tiba, sambil memutar kudanya. Tanpa menunggu jawaban Ki Rangkuti lagi, gadis itu segera menggebah kudanya meninggalkan bagian Selatan Desa Jatiwangi ini.

"Darmaji, temani putriku," perintah Ki Rangkuti.

"Baik, Ki," sahut Darmaji langsung menggebah kudanya menyusul Sekar Telasih.

"Hiya! Hiyaaa...!"

"Berapa orang kau tempatkan di sini, Sayuti?" tanya Ki Rangkuti seraya merayapi mayat-mayat di sekitarnya.

"Sepuluh orang, Ki," sahut Sayuti yang kini sudah berada di samping laki-laki tua berjubah putih itu.

"Bagaimana keadaan mereka?"

"Tak ada seorang pun yang hidup," sahut Sayuti perlahan.

"Hhh...!" Ki Rangkuti menghembuskan napas berat. Laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu melompat turun dari punggung kudanya.

Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan ikut melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Walikan bergegas mengambil tali kekang kuda Ki Rangkuti sambil menuntun kuda masing-masing, mereka berjalan mengikuti Ki Rangkuti yang berjalan paling depan.

Hampir semua mayat yang berserakan di sepanjang jalan ini diperiksa. Memang tak ada satu pun yang kelihatan masih hidup. Semua tewas dengan luka-luka di tubuh. Darah yang berceceran, terlihat sudah hampir mengering. Itu berarti baru semalam sebagian dari Desa Jatiwangi dihancurkan.

"Sebaiknya kita kembali saja, Ki. Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sini," ujar Sayuti memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.

"Ya.... Memang tak ada yang bisa kita lakukan," desah Ki Rangkuti perlahan.

"Kita tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan keangkaramurkaan Ular Betina."

"Kami semua akan mempertaruhkan nyawa, Ki," tekad Sayuti mewakili teman-temannya.

“Terima kasih atas kesetiaan kalian semua. Tapi aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian. Hhh...," ucap Ki Rangkuti disertai hembusan napas panjang dan terasa berat sekali.

Laki-laki tua itu menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya berbalik, lalu matanya merayapi ketiga guru pengajar di padepokan yang didirikannya hampir setahun yang lalu. Sedangkan yang dipandangi hanya menundukkan kepala saja, seakan-akan mereka tidak sanggup membalas tatapan mata Ketua Padepokan Jatiwangi itu. Beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam, tak ada yang membuka suara sedikit pun. Sementara suasana memang terasa begitu sunyi mencekam.

"Desa Jatiwangi sudah berada di ambang kehancuran. Dan aku tidak ingin lebih banyak lagi melihat mereka yang tak berdosa harus mati sia-sia. Juga kalian bertiga...," ungkap Ki Rangkuti. Suaranya begitu perlahan, bahkan hampir tak terdengar.

Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Mereka terdiam dengan kepala masih tertunduk dalam, menekuri tanah di ujung kakinya. Sebentar Ki Rangkuti menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dadanya yang mendadak saja jadi terasa begitu sesak. Pokoknya, seperti terhimpit sebongkah batu yang sangat besar, sehingga membuat pernafasannya seperti terhambat.

"Apa yang kau inginkan dari kami, Ki?" tanya Sayuti memecah kebisuan kembali.

"Aku ingin kalian membawa semua penduduk desa ini ke tempat yang lebih aman, dan tidak terjangkau si Ular Betina," jelas Ki Rangkuti setelah menghembuskan napas panjang.

"Mustahil.... Itu tidak mungkin, Ki," desah Sayuti.

"Benar, Ki. Ular Betina tidak akan membiarkan seorang pun keluar dari desa ini," sambung Gagak Aru.

"Aku hanya ingin kalian menyelamatkan semua penduduk dari kebiadaban si Ular Betina itu," kata Ki Rangkuti lagi.

"Tapi bagaimana caranya, Ki...?" tanya Walikan yang sejak tadi diam saja.

"Yang pasti, dia tidak seorang diri. Dan Desa Jatiwangi sudah terawasi dari luar. Mereka tak mungkin memberi sedikit celah pada kita untuk keluar dari desa ini. Kalaupun ada, itu pasti hanya jebakan saja untuk membantai habis siapa saja yang mencoba keluar dari desa ini."

"Kalian rupanya sudah begitu paham akan sifat dan watak si Ular Betina," desah Ki Rangkuti.

"Kami tahu betul, Ki," ujar Sayuti.

"Kalau sudah tahu, kalian harus bisa menyelamatkan penduduk desa ini dari kehancuran," tegas Ki Rangkuti lagi.

"Kami akan menghadapinya sekuat tenaga dan kemampuan kami, Ki," tegas Sayuti bertekad.

"Kalian tidak ada artinya bagi si Ular Betina. Dia bisa membunuh kalian semua, semudah membalikkan telapak tangan."

"Kami rela mati untuk itu, Ki," selak Gagak Aru.

"Itulah yang tidak kuinginkan. Aku ingin kalian tetap hidup dan dapat meneruskan Padepokan Jatiwangi yang kita dirikan dengan darah dan keringat. Kalian ingat peristiwa berdirinya Padepokan Jatiwangi, bukan...? Tidak mudah mendirikan sebuah padepokan. Apalagi mempertahankannya. Dan aku ingin kalian tetap mempertahankannya. Jadi, kalian harus tetap hidup walau Desa Jatiwangi jadi lautan api," tegas sekali kata-kata yang diucapkan Ki Rangkuti.

"Kami akan selalu setia padamu, Ki. Juga pada Padepokan Jatiwangi," tegas Sayuti., Gagak Aru, dan Walikan serempak seraya menjura memberi penghormatan.

"Aku tidak meragukan kesetiaan kalian. Dan aku juga tidak meragukan kemampuan kalian membawa keluar seluruh penduduk desa ini," kata Ki Rangkuti lagi.

Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan hanya saling melempar pandangan saja. Mereka tidak bisa lagi berkata lain. Terlebih lagi membantah keinginan kepala desa, dan juga Ketua Padepokan Jatiwangi ini. Mereka tahu, Ki Rangkuti tidak menginginkan ada pembantaian lagi di Desa Jatiwangi ini Tapi keadaan yang dihadapi memang tidak mudah diatasi. Mereka kini benar-benar terjepit.

"Kalian atur saja bagaimana caranya," kata Ki Rangkuti lagi.

Setelah berkata demikian, Ki Rangkuti mengambil tali kekang kudanya dari tangan Walikan. Kemudian, dia melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan begitu ringan dan manis sekali. Tanpa berbicara lagi, laki-laki tua yang selalu mengenakan baju jubah putih panjang itu melompat naik ke punggung kudanya.

"Ayo, kita kembali...," ajak Ki Rangkuti.

Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan bergegas berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah bergerak cepat meninggalkan bagian desa yang sudah rata dibumi-hanguskan itu. Mereka cepat memacu kudanya, meninggalkan debu yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa.

"Sayuti...!" panggil Ki Rangkuti.

"Ya, Ki," sahut Sayuti seraya menghampiri, dan mensejajarkan langkah kudanya di samping kuda laki-laki tua berjubah putih itu.

"Jika kau bisa keluar dari desa ini, usahakan temui Pendekar Rajawali Sakti dan Bayangan Malaikat. Atau, pendekar siapa saja yang berkepandaian tinggi. Katakan pada mereka, aku membutuhkan bantuannya," pesan Ki Rangkuti.

"Baik, Ki," sahut Sayuti. "Tapi ada satu pesan yang harus kau ingat, Sayuti. Juga kalian berdua," tambah Ki Rangkuti lagi.

"Apa itu, Ki?" tanya Sayuti. "Jangan katakan hal ini pada Sekar Telasih," kata Ki Rangkuti memberi pesan lagi.

"Kenapa, Ki?" tanya Sayuti ingin tahu

"Kalian harus ingat. Ini persoalan antara aku, Sekar, dan si Ular Betina. Jadi hanya aku dan Sekar saja yang harus menghadapinya. Kecuali, orang-orang yang kusebutkan namanya tadi. Kau paham, Sayuti...?"

"Paham, Ki," sahut Sayuti mantap.

Ki Rangkuti tidak berkata-kata lagi. Dan mereka semua juga tidak ada yang bersuara lagi. Sementara kuda yang ditunggangi terus berpacu cepat membelah jalan tanah berdebu.

********************

TIGA

Sayuti dan tiga orang rekannya mengambil cara untuk mengeluarkan penduduk dari Desa Jatiwangi ini dengan bergelombang. Para penduduk dibagi empat gelombang yang akan dipimpin masing-masing dari mereka berempat. Dan seluruh murid padepokan Jatiwangi juga dibagi menjadi empat bagian.

Setiap bagian akan mengawal satu gelombang penduduk yang harus keluar dari desa ini, sebelum ancaman si Ular Betina benar-benar terlaksana. Malam ini akan berangkat gelombang pertama yang dipimpin Gagak Aru. Ada sekitar tiga puluh orang penduduk, baik tua, muda, dan anak-anak yang dikawal tidak kurang lima belas murid Padepokan Jatiwangi.

Mereka berangkat melalui jalan Utara, mengingat pada bagian Selatan desa sudah dihancurkan hingga tak ada lagi yang tersisa. Tepat tengah malam, mereka berangkat meninggalkan desa secara diam-diam. Dan keberangkatan ini memang sangat dirahasiakan, sehingga penduduk yang belum mendapat giliran pun tidak ada yang tahu.

Hanya Ki Rangkuti dan para pembantunya di padepokan saja yang mengetahui semua rencana ini. Bahkan Sekar Telasih sendiri tidak mengetahui. Dan inilah yang memang diinginkan Ki Rangkuti, agar Sekar Telasih tidak nekat ikut bersama rombongan itu keluar dari Desa Jatiwangi ini. Tapi begitu rombongan penduduk sampai di perbatasan desa sebelah Utara, mendadak saja....

"Berhenti...!"

Bentakan keras yang begitu menggelegar bagai guntur, membuat mereka terkejut setengah mati. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan merah. Tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri sesosok tubuh berjubah merah menyala. Ternyata, seorang perempuan tua berambut meriap panjang yang hampir menutupi wajahnya sudah menghadang mereka. Sebatang tongkat berbentuk seekor ular naga, tergenggam di tangan ka-nannya.

"Ular Betina...," desis Gagak Aru langsung mengenali perempuan tua yang tiba-tiba saja muncul di depannya.

"Mau ke mana kalian, heh...?!" bentak perempuan tua berjubah merah yang dikenal sebagai si Ular Betina.

"Ke mana saja kami pergi, itu bukan urusanmu!" dengus Gagak Aru ketus.

Ular Betina langsung menatap tajam Gagak Aru. Sinar matanya tampak tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki separuh baya ini.

Sedangkan Gagak Aru sudah memberi isyarat pada murid-muridnya untuk bersiaga. Tanpa diperintah dua kali, lima belas murid Padepokan Jatiwangi segera mencabut senjata masing-masing.

"Kalian hanya punya satu pilihan. Kembali ke desa, atau mati di sini!" desis si Ular Betina mengancam.

"Hhh! Kau tidak ada hak melarang kami, Perempuan Iblis!" dengus Gagak Aru, tetap ketus suaranya.

"Keras kepala...!" geram Ular Betina. "Kalian memaksaku bertindak, heh...?!"

Setelah berkata demikian, Ular Betina langsung menghentakkan tongkatnya ke tanah. Dan tiba-tiba saja dari balik rimbunan semak belukar dan pepohonan, berlompatan orang-orang berbaju merah bersenjatakan golok terhunus di tangan kanan. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh orang. Mereka langsung mengurung para penduduk Desa Jatiwangi yang hanya diperkuat Gagak Aru dan lima belas muridnya.

"Bunuh mereka semua...!" perintah si Ular Betina lantang menggelegar.

"Hiyaaa...!"

"Yeaaa...!" Seketika itu juga, dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah berlompatan cepat menyerang para penduduk Desa Jatiwangi yang mencoba keluar dari desa itu. Jerit dan pekikan melengking menyayat hati langsung terdengar saling sambut yang disusul berjatuhannya tubuh-tubuh bersimbah darah.

"Iblis keparat..! Kubunuh kalian semua!" geram Gagak Aru melihat kekejaman orang-orang berbaju serba merah ini.

"Hiyaaat...!" Sret! Bet!

Gagak Aru langsung mencabut pedang, dan secepat kilat mengibaskannya ke arah salah seorang yang berada paling dekat dengannya. Tapi orang berbaju merah itu demikian gesit. Dengan merundukkan tubuh saja, tebasan pedang Gagak Aru yang begitu cepat berhasil dielakkan. Pada saat itu, dua orang lain yang mengenakan baju serba merah berlompatan menyerang Gagak Aru.

Sementara yang lain terus membantai para penduduk Desa Jatiwangi yang sama sekali tidak berdaya. Bahkan lima belas murid Padepokan Jatiwangi sama sekali tidak berdaya menghadapi amukan orang-orang itu. Satu persatu mereka roboh bergelimang darah. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi semakin sering terdengar, diiringi tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan.

Sementara Gagak Aru harus menghadapi tiga orang yang menyerangnya dengan cepat dan bergantian. Hanya dalam beberapa jurus saja, Gagak Aru sudah kelihatan demikian terdesak. Sama sekali tidak dipunyainya kesempatan untuk balas menyerang. Tiga orang lawan terus menerjang tanpa henti secara bergantian dari tiga jurusan. Akibatnya Gagak Aru semakin kelabakan menghadapinya.

"Ha ha ha...!" si Ular Betina tertawa terbahak-bahak menyaksikan orang-orangnya demikian mudah membantai penduduk Desa Jatiwangi tanpa perlawanan berarti.

“Iblis…”! geram Gagak Aru semakin mendidih darahnya mengetahui orang-orang yang harus dijaga keselamatannya terus terbantai tanpa ampun lagi

“Hiyaaa…!” Dengan darah menggelegak dalam dada, Gagak Aru jadi nekat. Bagaikan kilat tubuhnya melenting ke udara, dan langsung meluruk deras ke arah Ular Betina yang tengah terbahak-bahak. Cepat sekali Gagak Aru membabatkan pedangnya ke arah perempuan tua berjubah merah itu.

"Mampus kau, Iblis Laknat! Hiyaaat...!"

Bet!
"Ikh...!
Wuk!

Ular Betina hanya menarik tubuhnya sedikit ke belakang seraya menghentakkan tongkatnya, menyambut kebutan pedang Gagak Aru. Tak dapat dihindari lagi, pedang Gagak Aru beradu keras dengan tongkat berbentuk ular naga itu.

Trang!

"Akh...!" Gagak Aru terpekik keras begitu pedangnya menghantam tongkat berbentuk ular naga itu.

"Hih! Yeaaah...!" Bagaikan kilat, Ular Betina menghentakkan kakinya ke depan. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan perempuan tua berjubah merah itu, sehingga Gagak Aru tidak dapat lagi menghindarinya.

Bek!

"Akh...!" lagi-lagi Gagak Aru memekik keras agak tertahan. Seketika itu juga tubuh Gagak Aru terpental ke belakang sejauh dua batang tombak, begitu dadanya terkena tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi Keras sekali tubuhnya terbanting di tanah. Dan sebelum bisa bangkit berdiri, seorang yang mengenakan baju merah menyala sudah melompat ke arahnya sambil membabatkan golok tajam berkilatan.

"Hiyaaa...!"
Wuk!
Cras!

"Aaa...!" jeritan panjang melengking tinggi terdengar membelah angkasa. Pedang orang berbaju serba merah itu langsung membelah dada Gagak Aru. Seketika itu juga, darah menyembur deras dari dada yang terbelah sangat lebar dan panjang. Dan sebelum Gagak Aru menyadari apa yang terjadi, sebilah golok kembali berkelebat cepat sekali ke arahnya. Dan....

Bres!

"Aaa...!" lagi-lagi Gagak Aru menjerit panjang melengking tinggi. Sebentar laki-laki setengah baya itu mengejang kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Sebilah golok tampak tertanam dalam di dadanya.

Seorang berbaju serba merah menghampiri, dan mencabut goloknya yang terbenam di dada Gagak Aru. Sementara itu, pembantaian terhadap para penduduk Desa Jatiwangi pun sudah berakhir. Tak ada seorang pun yang dibiarkan hidup. Mereka semua tewas bergelimpangan bermandikan darah.

"Ha ha ha....!" si Ular Betina tertawa terbahak-bahak kesenangan, seperti melihat satu pertunjukkan menarik. Bersamaan melesatnya perempuan tua berjubah merah itu, dua puluh orang berpakaian serba merah juga segera berlompatan pergi meninggalkan puluhan mayat yang berserakan saling tumpang tindih.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara dingin ditambah angin yang berhembus agak keras, menebarkan bau amis darah dari tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.

********************

Gagalnya Gagak Aru membawa keluar sebagian penduduk keluar dari Desa Jatiwangi membuat Ki Rangkuti terpaksa harus mengumpulkan para pembantu setianya yang kini tinggal tiga orang. Mereka berkumpul di bangunan Padepokan Jatiwangi yang letaknya tidak jauh dari rumah Ki Rangkuti sendiri. Biasanya, ruangan tertutup itu dijadikan ruangan khusus untuk bersemadi Ki Rangkuti.

"Iblis...!" desis Ki Rangkuti menggeram marah.

"Bagaimana, Ki? Apa rencana ini diteruskan?" tanya Sayuti.

"Tidak...! Aku tidak ingin mereka semua mati terbantai sia-sia," tegas Ki Rangkuti.

"Kalau begitu, biar aku saja yang keluar sendiri, Ki," kata Sayuti lagi menawarkan diri.

Ki Rangkuti menatap Sayuti dalam-dalam. Memang terlalu sulit mengabulkan keinginan pengajar di padepokan Jatiwangi itu. Sedangkan melarang pun, rasanya tidak mungkin dilakukan. Mereka memang sudah semakin terdesak keadaan. Korban sudah cukup banyak berjatuhan. Desa Jatiwangi ini bagai tinggal menunggu datangnya saat-saat kehancuran itu.

Apa yang diduga selama ini memang menjadi kenyataan. Satu rombongan penduduk yang mencoba keluar dari desa ini, dan dipimpin Gagak Aru telah tewas tanpa seorang pun yang dibiarkan hidup. Bahkan Gagak Aru sendiri tewas bersama para penduduk dan lima belas orang muridnya.

"Beri aku kesempatan, Ki. Aku akan hati-hati," pinta Sayuti memohon.

"Kau tahu, apa bahayanya?" tanya Ki Rangkuti.

"Aku tahu, Ki. Aku akan menanggung semua akibatnya," sahut Sayuti mantap.

"Kau orang terbaik yang kumiliki, Sayuti. Aku pasti akan kehilanganmu," ujar Ki Rangkuti agak sendu.

"Masih banyak yang lebih baik dariku, Ki," Sayuti merendah.

Ki Rangkuti terdiam membisu. Memang sulit mengucapkan sesuatu bagi Sayuti, orang yang paling dipercayai dan disukai. Meskipun masih ada dua orang lagi kepercayaannya, tapi Sayuti adalah orang pertama yang menyatakan kesetiaan. Bahkan orang pertama pula yang pernah dipercayainya.

Terasa sulit bagi Ki Rangkuti untuk menerima kenyataan pahit ini. Terlebih lagi, harus kehilangan orang pertama yang begitu setia dan paling dipercaya. Tapi semua memang harus dihadapi. Keadaan yang semakin mendesak, membuatnya harus rela melepaskan Sayuti.

"Kapan kau akan berangkat, Sayuti?" tanya Ki Rangkuti setelah cukup lama terdiam.

"Besok, sebelum matahari terbit," sahut Sayuti mantap.

"Aku hanya bisa berpesan. Jangan tinggalkan pedang pusaka itu. Mudah-mudahan Hyang Widhi selalu melindungimu," ucap Ki Rangkuti.

"Terima kasih, Ki." Sayuti segera menjura menyentuhkan keningnya di lantai, memberi hormat pada orang tua yang sangat disegani ini.

Sayuti jadi teringat saat-saat pertama bertemu Ki Rangkuti yang saat itu belum menjabat sebagai kepala desa. Waktu itu Sayuti masih berusia muda, dan sudah memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi memang wataknya melenceng, sehingga membuatnya terlalu angkuh dan jumawa. Sayuti berbuat apa saja yang disukai. Bahkan akan membunuh siapa saja yang mencoba merintangi.

Waktu itu, dia mencoba menodai putri Kepala Desa Jatiwangi. Tapi sebelum maksudnya terlaksana, Ki Rangkuti yang waktu itu masih gagah dan belum setua ini keburu datang menolong anak gadis kepala desa itu. Kepandaian yang dimiliki Ki Rangkuti memang jauh lebih tinggi daripada Sayuti. Sehingga, mudah sekali Ki Rangkuti menaklukkannya. Kalau bukan Ki Rangkuti pula, mungkin sudah sejak dulu Sayuti terbaring di lubang kubur.

Seluruh penduduk Desa Jatiwangi sudah begitu muak dan marah atas perbuatannya. Namun Ki Rangkuti masih memberi kesempatan pada Sayuti untuk tetap hidup, walau dengan satu syarat. Sayuti harus meninggalkan Desa Jatiwangi, dan tidak boleh datang lagi ke desa ini. Dan ternyata Sayuti malah kembali lagi, namun untuk menyatakan kesetiaannya, tepat ketika Ki Rangkuti melangsungkan pernikahan dengan anak gadis kepala desa yang ditolongnya. Hingga akhirnya, Ki Rangkuti diangkat menjadi kepala desa.

Sedangkan Sayuti terus mendampinginya dengan setia. Segala sifat buruknya benar-benar telah dikubur dalam-dalam. Bahkan seluruh penduduk Desa Jatiwangi yang semula membenci, berubah menjadi mencintainya. Beberapa kali Sayuti memperlihatkan kesetiaannya, dengan mempertaruhkan nyawa untuk mengamankan Desa Jatiwangi dari rongrongan gerombolan pengacau yang datang dari luar. Dan itu membuat namanya semakin disegani. Tapi, Sayuti memang benar-benar sudah berubah. Dia tidak mabuk akan sanjungan. Bahkan semakin merasa rendah diri saja. Hingga akhirnya, Ki Rangkuti mengangkatnya sebagai saudara.

"Sebaiknya kau istirahat sekarang, Sayuti," ujar Ki Rangkuti membuyarkan kenangan Sayuti.

Perlahan laki-laki separuh baya yang selalu mengenakan baju warna merah muda itu, mengangkat kepala. Sebentar ditatapnya Ki Rangkuti, lalu kembali membungkuk. Kemudian dia menjura memberi hormat, lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar meninggalkan ruangan berukuran tidak begitu besar ini. Kini di dalam ruangan itu, tinggal Ki Rangkuti yang masih ditemani dua orang pembantu setianya.

"Walikan...," panggil Ki Rangkuti.

"Iya, Ki," sahut Walikan seraya menjura memberi hormat dalam keadaan tetap duduk bersila.

"Ikutilah Sayuti. Tapi kau harus menjaga jarak, dan jangan sampai Sayuti tahu. Aku ingin kau cepat melaporkan setiap terjadi sesuatu padanya," perintah Ki Rangkuti.

"Aku siap melaksanakannya, Ki," sahut Walikan mantap.

"Pergilah," desah Ki Rangkuti.

"Pamit, Ki," ucap Walikan kembali menjura memberi hormat.

Walikan bergegas bangkit berdiri, lalu sekali lagi memberi penghormatan pada Ki Rangkuti sebelum meninggalkan ruangan itu. Kini tinggal Darmaji saja yang masih duduk bersila di depan laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi yang juga sekaligus ketua padepokan di desa ini. Mereka masih tetap berdiam diri, meskipun Walikan sudah tidak terlihat lagi diruangan berukuran tidak terlalu besar ini.

"Lalu, apa tugasku, Ki...?" tanya Darmaji yang sejak tadi diam saja.

"Kau tetap di sini bersamaku, Darmaji. Cukup banyak tugas yang akan kau emban. Bahkan jauh lebih berat daripada kedua saudaramu," sahut Ki Rangkuti, yang selalu membiasakan semua pembantu setianya untuk saling menganggap saudara.

"Apa tidak sebaiknya aku juga pergi, Ki. Melalui jalan lain yang bertolak belakang dengan Kakang Sayuti," usul Darmaji.

"Tidak. Kau tidak boleh meninggalkan desa ini," tolak Ki Rangkuti tegas.

"Tapi, Ki.„." Belum juga Darmaji melanjutkan ucapannya, tiba-tiba saja Ki Rangkuti mendongakkan kepala ke atas.

Pada saat Ki Rangkuti melesat tinggi menjebol atap ruangan ini, Darmaji sempat mendengar ada hembusan napas orang lain di atas atap bangunan Padepokan Jatiwangi ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Darmaji cepat melompat keluar melalui pintu. Ditabraknya pintu itu hingga hancur berkeping-keping. Sementara tubuh Ki Rangkuti sudah lenyap setelah menjebol atap kamar bangunan Padepokan Jatiwangi ini.

********************

"Siapa kau?! Berhenti...!" seru Ki Rangkuti keras menggelegar.

"Hup...!" Cepat sekali gerakan laki-laki tua berjubah putih itu. Dan hanya sekali lesatan yang manis sekali, laki-laki tua itu bisa melewati kepala seseorang yang mengenakan baju warna hitam pekat yang begitu ketat Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Ki Rangkuti mendarat tepat di depan orang berbaju serba hitam yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat yang sama, Darmaji sudah sampai. Dia langsung berdiri di samping kanan Ki Rangkuti.

"Sekar...," desis Ki Rangkuti begitu bisa melihat wajah orang berbaju hitam yang menyelinap menguping pembicaraannya tadi dengan para pembantu kepercayaannya.

"Ayah jahat...! Ayah tidak cinta lagi pada Sekar...," sentak Sekar Telasih, agak terisak nada suaranya.

Setelah berkata demikian, orang berbaju serba hitam yang ternyata Sekar Telasih cepat berbalik dan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

"Sekar, tunggu...!" seru Ki Rangkuti. Bagaikan kilat, laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu melompat cepat mengejar gadis itu. Hanya tiga kali lompatan saja, Ki Rangkuti sudah berhasil menghadang Sekar Telasih yang berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Memang ilmu yang dimiliki Sekar Telasih belum ada seujung kuku bila dibanding Ki Rangkuti. Sehingga mudah sekali laki-laki tua itu bisa mengejar gadis ini.

"Dengar dulu, Sekar...," Ki Rangkuti mencoba menyabarkan hati anak gadisnya.

"Kenapa Ayah punya rencana diam-diam...? Kenapa Sekar tidak diberi tahu?" agak keras nada suara Sekar. Gadis itu menuntut penjelasan dari ayahnya.

"Bukannya aku melupakanmu, Sekar. Aku hanya merasa belum saatnya memberitahukanmu. Lagi pula, semua rencana ini belum ketahuan hasilnya," Ki Rangkuti mencoba menjelaskan.

"Tapi kenapa harus diam-diam?"

"Maafkan aku, Sekar. Aku tidak bermaksud mengecilkan arti dirimu," ucap Ki Rangkuti bernada menyesal.

Perlahan Ki Rangkuti melangkah mendekati gadis itu, lalu tangannya terulur. Diraihnya kedua tangan Sekar Telasih. Kini tangan gadis itu digenggamnya erat-erat. Sesaat mereka saling bertatapan. Sementara dari tempat yang cukup jauh, Darmaji hanya memperhatikan saja. Dia tidak tahu, apa yang dibicarakan antara anak dan ayah itu.

"Kau ingin berbuat sesuatu yang berarti bagi desa ini, Sekar?" tanya Ki Rangkuti.

Sekar Telasih mengangguk pasti, meskipun di hatinya terselip suatu keheranan atas pertanyaan ayahnya barusan. Di hati gadis itu jadi timbul berbagai pertanyaan yang bernada keheranan. Dia juga tidak yakin kalau laki-laki tua ini bisa berubah keputusannya begitu cepat.

"Apa yang akan kau lakukan untuk desa ini?" tanya Ki Rangkuti lagi.

Sekar Telasih malah tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bahkan jadi kebingungan sendiri, dan tidak tahu harus menjawab pertanyaan yang dilontarkan begitu lembut. Sekar Telasih jadi tertunduk. Tapi, Ki Rangkuti cepat menahan dagu gadis itu dengan ujung jari tangannya. Sehingga, membuat Sekar Telasih terpaksa harus tetap memandang wajah ayahnya ini.

"Aku akan mengirimmu keluar dari desa ini," kata Ki Rangkuti, mantap dan perlahan sekali suaranya.

"Oh...?" Sekar Telasih terkejut mendengarnya.

Sungguh tidak diduga kalau ayahnya akan berkata seperti itu. Malah tadi disangka kalau laki-laki tua yang selalu mengenakan baju jubah putih panjang ini akan marah atas perbuatannya yang mendengarkan secara diam-diam pembicaraan ayahnya tadi. Tapi apa yang didengarnya barusan, sungguh tidak disangka sama sekali sebelumnya.

Dan sebelum Sekar Telasih bisa mengucapkan sesuatu, Ki Rangkuti sudah melambaikan tangannya memanggil Darmaji yang sejak tadi berdiri sambil memperhatikan di kejauhan.

Melihat lambaian tangan Ki Rangkuti, pembantu setia yang satu-satunya berusia muda itu bergegas menghampiri. Dia menjura hormat membungkukkan tubuhnya setelah berada dekat di depan laki-laki tua berjubah putih ini. Ki Rangkuti menepuk pundak Darmaji sambil tersenyum manis sekali.

"Darmaji, kau tadi mengusulkan apa padaku?" tanya Ki Rangkuti.

"Apa, Ki...?" Darmaji malah balik bertanya. Sungguh tidak disangka kalau Ki Rangkuti akan bertanya seperti itu. Padahal usulnya yang langsung ditolak tegas oleh Ki Rangkuti sudah dilupakannya. Tapi sekarang Ki Rangkuti malah menanyakan kembali usulnya tadi.

"Aku ingin dengar lagi usulmu, Darmaji," pinta Ki Rangkuti, terdengar lembut nada suaranya.

"Kau sungguh-sungguh, Ki...?" Darmaji masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Apa aku kelihatan main-main...?"

"Maaf, Ki. Tapi sudah ditolak," kata Darmaji agak tersipu.

"Aku kini menyetujui usulmu itu, Darmaji."

"Oh! Benarkah itu, Ki...?" Darmaji jadi terbeliak.

"Pergilah bersama Sekar, pada saat keberangkatan Sayuti. Tapi, ingat. Seperti usulmu, kau harus pergi ke arah yang berlawanan dengan Sayuti," kata Ki Rangkuti lagi.

Darmaji tidak bisa lagi berkata apa-apa. Segera tubuhnya dibungkukkan, menjura memberi hormat pada laki-laki tua ini. Sedangkan Sekar Telasih sendiri begitu gembira, meskipun kepergiannya harus didampingi salah seorang dari pengajar di Padepokan Jatiwangi.

"Terima kasih, Ayah," ucap Sekar Telasih dengan bola mata berkaca-kaca.

Ki Rangkuti hanya tersenyum saja, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Sekar Telasih dan Darmaji masih tetap berdiri memandangi sampai laki-laki tua kepala desa itu jauh meninggalkannya.

"Aneh.... Kenapa tiba-tiba keputusannya berubah?" gumam Darmaji bertanya pada diri sendiri.

"Ayah memang orang yang bijaksana," desah Sekar Telasih, juga seperti bicara pada diri sendiri.

Sesaat mereka sating berpandangan. Memang rasanya tidak pantas kalau Darmaji yang baru berusia sekitar dua puluh lima tahun itu disebut guru. Tapi, memang itulah kenyataannya. Darmaji adalah satu-satunya murid Ki Rangkuti yang tertua dan paling lama menerima ilmu-ilmu dari laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu. Meskipun di padepokan, Sekar Telasih memanggilnya guru, tapi jika berada di luar padepokan selalu memanggil kakang. Dan ini memang yang diinginkan Darmaji.

Memang, dirinya masih merasa belum pantas disebut guru. Dia sendiri sebenarnya masih perlu banyak belajar mengenai ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Bahkan dirinya merasa belum cukup terjun ke dalam rimba persilatan. Apalagi harus dipanggil guru.

"Sebenarnya apa usul Kakang pada ayah tadi?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.

"Kau tidak dengar?" Darmaji malah balik bertanya.

"Aku tadi keburu ketahuan, jadi tidak sempat mendengar," sahut Sekar Telasih malu-malu.

"Aku hanya mengusulkan untuk keluar dari desa ini, bersamaan waktunya dengan Paman Sayuti. Tapi, melalui jalan lain yang berlawanan," Darmaji menjelaskan usulnya pada Ki Rangkuti tadi di dalam ruangan bangunan Padepokan Jatiwangi.

"Dan ayah menolak?" tanya Sekar Telasih ingin meyakinkan.

Darmaji mengangguk. "Tapi aku heran, kenapa tiba-tiba saja Ki Rangkuti jadi berubah pikiran?" agak menggumam nada suara Darmaji.

"Aku tahu. Ayah pasti berpikir, usul Kakang itu bagus. Bukankah dengan demikian perhatian si Ular Betina jadi terpecah, dan tidak mungkin menghalangi dalam dua tempat sekaligus...?" ujar Sekar Telasih.

"Kau cerdas, Sekar," puji Darmaji.

Sekar Telasih jadi tersipu mendapat pujian pemuda yang juga gurunya dalam ilmu dasar olah kanuragan ini. Mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat itu tanpa bicara lagi. Dalam hati, mereka sama-sama memuji kebijaksanaan yang diberikan Ki Rangkuti, dan semakin menghormatinya. Mereka bertekad untuk bisa keluar dari desa ini, lalu meminta bantuan pada pendekar yang bisa ditemui di mana saja untuk menyelamatkan Desa Jatiwangi yang begitu mereka cintai.

********************

EMPAT

Tepat seperti yang sudah direncanakan. Begitu Sayuti berangkat untuk mencoba keluar dari Desa Jatiwangi ini, Walikan juga berangkat mengikuti kepergian Sayuti secara diam-diam. Pada saat itu juga, Darmaji bersama Sekar Telasih berangkat meninggalkan desa ini. Namun semua itu tidak lepas dari pengamatan Ki Rangkuti dari dalam kamarnya. Laki-laki tua itu memperhatikan, berdiri di depan jendela kamarnya.

Sementara itu Darmaji dan Sekar Telasih terus bergerak ke arah Selatan. Sedangkan Sayuti terus bergerak ke arah Utara. Hal ini memang disengaja, karena untuk mengecoh perhatian si Ular Betina yang selalu mengawasi entah dari mana. Tapi itu juga hanya perkiraan saja. Dan mereka tetap harus waspada, karena apa yang dilakukan si Ular Betina tidak dapat diduga dan diramalkan sebelumnya.

"Kakang Darmaji, bukankah ini jalan yang menuju...?"

"Benar, Sekar," sahut Darmaji sebelum Sekar Telasih menyelesaikan pertanyaannya.

"Kenapa harus lewat sini?" tanya Sekar Telasih.

"Ular Betina sudah mengobrak-abrik dan membumihanguskan bagian Selatan Desa Jatiwangi. Jadi, kurasa tidak mungkin dia menjaga daerah ini, Sekar. Sedangkan Paman Sayuti melalui jalan Utara yang pasti dijaga ketat si Ular Betina. Karena memang jalan Utaralah yang terdekat dengan desa sebelah," Darmaji mencoba menjelaskan.

"Kau menyangka begitu, Kakang...?" agak lain nada suara Sekar Telasih.

"Bagaimana menurutmu, Sekar?"

"Aku memang tidak berpengalaman dalam masalah pertempuran, Kakang. Aku hanya gadis desa yang baru saja mempelajari ilmu olah kanuragan. Tapi menurutku, jalan yang kita lalui justru akan membawa ke mulut buaya," Sekar Telasih mengemukakan pendapatnya.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Sekar," kata Darmaji, meminta penjelasan lagi.

"Kau tahu, Kakang. Nyi Rongkot yang dikenal berjuluk si Ular Betina itu sangat licik. Kau pasti juga tahu, bahwa aku dianggap anaknya. Bahkan ayahku sendiri mengakui kalau aku adalah anak si Ular Betina itu. Dan aku sempat tinggal beberapa hari bersamanya, ketika dia berhasil menculikku. Jadi, aku sedikitnya bisa mengetahui watak-wataknya," jelas Sekar Telasih.

Darmaji mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadari, mereka menghentikan langkah kaki kuda masing-masing, sementara kegelapan masih menyelimuti sekitar Desa Jatiwangi. Dan memang, hari masih begitu pagi. Malah sang mentari juga belum menampakkan diri, meskipun beberapa kali sudah terdengar suara ayam jantan berkokok di kejauhan.

"Aku yakin, si Ular Betina sengaja menghancurkan bagian Selatan ini agar dikira daerah ini bisa dilalui oleh semua orang dengan bebas. Tapi sebenarnya, justru itu hanya jebakan belaka, Kakang Darmaji. Dia pasti lebih memperketat penjagaan di sekitar daerah Selatan ini. Justru, aku merasa yakin kalau Paman Sayuti yang akan berhasil keluar dari Desa Jatiwangi ini," jelas Sekar Telasih lagi.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Sekar?" tanya Darmaji mulai mengerti.

"Kita kembali, Kakang," sahut Sekar Telasih mantap.

"Kembali...?"

"Ya! Saat ini pasti Paman Sayuti sudah berada di luar Desa Jatiwangi. Dan sebaiknya kita kembali saja, Kakang."

"Baiklah. Ayo...."

Tapi baru saja memutar kuda, mendadak saja berlompatan tubuh-tubuh berbaju serba merah yang langsung mengurung mereka berdua. Sebentar saja, sekitar dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah sudah mengepung Sekar Telasih dan Darmaji. Mereka masing-masing menghunus senjata golok yang bentuk dan ukurannya sama persis.

Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan merah yang begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah merah. Tangannya tampak memegang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna merah tua bagai berlumur darah.

"Ular Betina...," desis Darmaji langsung mengenali perempuan tua yang baru muncul itu.

"Hik hik hik.... Kalian hendak pergi ke mana, heh?!" terasa begitu kering suara perempuan tua yang dikenal berjuluk si Ular Betina itu.

"Tidak ke mana-mana. Kami hendak kembali pulang," sahut Sekar Telasih ketus.

"Kau memang cerdik sekali, Sekar Telasih. Pantas saja ibumu begitu gigih ingin mengambilmu kembali dari tangan si tua bangka Rangkuti," kata si Ular Betina, terasa begitu sinis.

"Heh...?! Siapa kau sebenarnya? Apakah kau bukan Nyi Rongkot si Ular Betina...?" sentak Sekar Telasih terkejut mendengar kata-kata perempuan tua berjubah merah itu.

"Ha ha ha...!" perempuan tua berjubah merah itu jadi tertawa terbahak-bahak.

Bukan hanya Sekar Telasih yang terkejut. Tapi Darmaji juga jadi tersentak. Sungguh tidak dimengerti maksud kata-kata yang terlontar dari mulut perempuan tua berjubah merah itu. Seketika itu juga, timbul satu pertanyaan di kepala Darmaji. Apakah perempuan tua ini bukan si Ular Betina? Kalau bukan, lalu siapa perempuan tua ini sebenarnya...? Bukan hanya pakaiannya saja yang sama persis dengan si Ular Betina. Tapi, suara dan wajahnya juga tidak terbuang sedikit pun.

Inilah yang membuat Darmaji dan Sekar Telasih jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sedangkan kata-kata yang tadi meluncur begitu saja dari bibir perempuan tua yang selama ini dikenal bernama Nyi Rongkot si Ular Betina, jelas mengakui kalau dirinya bukanlah si Ular Betina. Melainkan, orang lain yang sama persis dengan si Ular Betina. Lalu, siapa sebenarnya...? Belum juga Darmaji maupun Sekar Telasih melontarkan pertanyaan yang mengganggu kepalanya, tiba-tiba saja perempuan tua berjubah merah itu sudah berteriak lantang memberi perintah.

"Serang...!" Belum juga teriakan perempuan tua itu menghilang dari pendengaran, seketika itu juga dua puluh orang berpakaian serba merah sudah berlompatan cepat menyerang Darmaji dan Sekar Telasih. Padahal dua anak muda itu masih berada di punggung kuda masing-masing.

Sret!

"Hih! Yeaaah...!"

Darmaji langsung mencabut pedangnya, dan secepat itu pula membabatkannya pada seorang penyerang yang dekat dengannya. Cepat sekali pedang keperakan itu berkelebat. Namun sungguh tidak diduga, ternyata orang berbaju serba merah itu bisa berkelit begitu manis. Tubuhnya melenting ke udara, melewati kepala Darmaji yang masih tetap berada di punggung kudanya.

"Heh...?!" Darmaji jadi terkejut setengah mati begitu laki-laki berbaju serba merah itu tiba-tiba melepaskan satu tendangan keras menggeledek selagi berada tepat di atas kepalanya. Tak ada pilihan lain lagi bagi Darmaji. Cepat tubuhnya dijatuhkan dari punggung kuda. Beberapa kali dia bergelimpangan di tanah. Dan begitu melompat bangkit berdiri, satu tebasan golok melayang deras ke arahnya dari samping kanan.

"Ikh...!" Cepat cepat Darmaji menempatkan pedangnya ke samping, menangkis tebasan golok orang berbaju merah lainnya. Dua senjata seketika itu juga beradu keras, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Dan belum lagi Darmaji bisa menarik pulang pedangnya, kembali satu serangan datang dari depan.

"Hup!" Cepat-cepat Darmaji melompat menghindari tebasan golok yang begitu deras berkelebat mengarah ke dadanya. Dua kali pemuda itu berjumpalitan ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tahu-tahu sebuah pukulan lurus telah melayang ke dadanya. Begitu cepat serangan itu datang, sehingga Darmaji tidak sempat lagi menghindar.

Diegkh!

"Akh...!" Darmaji terpekik keras agak tertahan. Darmaji terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terasa begitu sesak akibat terkena satu pukulan keras yang mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Pada saat itu, satu orang berbaju serba merah sudah melompat cepat. Langsung dilepaskannya satu serangan, tanpa menunggu Darmaji siap lebih dahulu.

"Awas, Kakang...!" teriak Sekar Telasih memperingatkan.

"Hiyaaat...!" Sekar Telasih cepat melompat turun dari punggung kudanya. Dan secepat itu pula pedangnya dicabut dan langsung dikibaskan ke arah golok yang berkelebat cepat mengarah ke dada Darmaji.

Trang!

"Aaakh...!" Sekar Telasih terpekik keras begitu pedangnya beradu dengan golok laki-laki berbaju serba merah itu. Tenaga dalam yang dimiliki Sekar Telasih memang masih tingkat dasar. Sehingga, dia tidak bisa lagi menguasai pedangnya yang mencelat ke udara begitu membentur golok laki-laki berbaju merah yang menyerang Darmaji tadi. Sedangkan gadis itu sendiri jadi terhuyung-huyung sambil memegangi tangan kanan-nya yang seketika jadi terasa panas bagai terbakar.

"Sekar, cepat pergi dari sini. Selamatkan dirimu...!" sentak Darmaji.

"Kau...?" "Jangan hiraukan aku! Cepat pergi...!" sentak Darmaji.

Sekar jadi ragu-ragu. Tapi, Darmaji sudah mendorong gadis itu ke belakang ketika dua orang berbaju serba merah sudah kembali menyerang dari arah depan secara bersamaan. Dua bilah golok berkelebat cepat mengarah ke kaki dan kepala Darmaji secara bersamaan.

"Hup! Yeaaah...!" Cepat Darmaji mengibaskan pedangnya ke bawah sambil merundukkan tubuhnya untuk menghindari tebasan golok yang mengarah ke kepala. Pedangnya berhasil menangkis serangan golok yang mengarah ke kaki. Dan tebasan golok yang secara bersamaan menyerang bagian kepalanya juga berhasil dihindari.

Sementara Sekar Telasih masih kelihatan ragu-ragu. Gadis itu sendiri jadi merasa heran, karena tak ada seorang pun yang menyerangnya. Dua puluh orang berbaju serba merah, justru mengeroyok Darmaji dari berbagai jurusan.

"Pengecut..! Kalian bisanya hanya main keroyok!" desis Sekar Telasih geram.

"Hiyaaat...!" Sekar Telasih tidak bisa melihat Darmaji kewalahan dikeroyok dua puluh orang.

Tanpa menghiraukan tingkat kepandaiannya yang masih tergolong rendah, gadis itu cepat melompat dan memberikan beberapa pukulan ke arah orang-orang yang mengeroyok Darmaji. Tapi, tak satu pun dari pukulannya yang mengenai sasaran. Gerakan orang-orang berbaju merah itu memang gesit sekali. Tapi, sama sekali mereka tidak mempedulikan Sekar Telasih. Dan hal ini membuat gadis itu semakin bertambah geram.

"Mundur...!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar.

Seketika itu juga dua puluh orang mengeroyok Darmaji, berlompatan mundur begitu mendengar teriakan keras menggelegar tadi. Darmaji berdiri dengan pedang menyilang di depan dada. Nafasnya terengah-engah, dan keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. Matanya menatap tajam pada perempuan berbaju merah yang melangkah angkuh mendekati.

Sedangkan Sekar Telasih berdiri tegak, bersikap menantang di samping Darmaji. Sarung pedang yang tersampir di pinggangnya sudah kosong. Gadis itu tidak tahu lagi, di mana pedangnya berada setelah mencelat ke udara akibat berbenturan dengan golok salah seorang pengeroyok.

"Pergi dari sini, Sekar. Sebelum pikiranku berubah!" desis perempuan tua berjubah merah itu dingin.

"Enak saja memerintah. Memangnya aku ini apamu, heh...?!" dengus Sekar Telasih ketus.

"Anak keras kepala! hih...!"

Bet!

"Akh...!" Sekar Telasih langsung jatuh tersuruk ketika ujung tongkat perempuan tua itu menghantam dada bagian kanannya. Melihat perbuatan perempuan tua itu, darah Darmaji seketika saja bergolak mendidih.

"Iblis keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"

Darmaji tidak peduli lagi kalau lawan yang dihadapinya kali ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi. Dengan cepat sekali pemuda itu melompat. Pedangnya langsung dikebutkan ke arah batang leher perempuan tua berjubah merah itu.

"Hih!"

Wuk!

Tapi hanya sedikit mengegoskan tubuh sambil menghentakkan tongkatnya, serangan Darmaji sama sekali tak berarti. Bahkan pedang pemuda. itu jadi terpental lepas dari pegangan begitu membentur tongkat ular berwarna merah itu. Dan sebelum Darmaji sempat melakukan sesuatu, perempuan tua berjubah merah itu sudah mengebutkan tangan kirinya ke depan. Kecepatannya memang luar biasa. Akibatnya, Darmaji tak sempat lagi menghindar.

Desss!

"Aaakh...!" Darmaji menjerit keras melengking.

Kebutan tangan kiri perempuan tua itu tepat menghajar kening Darmaji. Mau tak. mau, tubuh pemuda itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tampak bulatan merah tergambar di kening Darmaji. Hanya sebentar saja pemuda itu berkelojotan di tanah, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

"Ayo kita pergi," ajak perempuan tua itu pada dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah.

"Gadis itu, Nyi...?" ujar salah seorang sambil menunjuk Sekar Telasih yang tergeletak tak sadarkan diri di tanah.

"Biarkan saja. Sebentar juga sadar. Belum saatnya mengurusi anak keras kepala itu!" dengus perempuan tua berjubah merah itu.

Tak ada seorang pun yang membantah. Mereka bergegas berlompatan pergi begitu perempuan tua berjubah merah itu melesat pergi cepat sekali. Dan suasana pun kembali sunyi. Sekar Telasih menggeletak tak sadarkan diri setelah terkena totokan tongkat ular perempuan tua berjubah merah. Sedangkan Darmaji telah tewas dengan kening terdapat bulatan merah bagai darah membeku.

********************

Sekar Telasih membuka matanya ketika merasa kan kehangatan sinar matahari membakar kulit wajahnya. Dia mencoba menggerinjang bangkit, tapi sebuah tangan telah mencegahnya. Sebentar gadis itu mengerjapkan matanya. Dan begitu kelopak matanya terbuka, langsung jadi terbeliak melihat seraut wajah tampan berada dekat di atasnya. Bibir yang tipis dan agak merah, menyunggingkan senyuman yang begitu manis.

"Jangan bangun dulu. Kesehatan tubuhmu belum pulih benar," kata pemuda itu lembut sekali suaranya.

"Kakang Rangga...," desah Sekar Telasih, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Pemuda berbaju rompi putih itu memang Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia tersenyum begitu manis. Sementara pandangan Sekar Telasih beralih, ketika mendengar langkah kaki halus menghampiri. Keningnya jadi berkerut melihat seorang gadis cantik berbaju biru sudah berdiri di belakang Rangga. Tampak sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga, menyembul dari balik punggungnya. Wajah gadis itu demikian cantik. Kulitnya putih mulus, tanpa cacat sedikit pun.

"Kalian pasti belum saling mengenal. Ini Pandan Wangi...," ujar Rangga memperkenalkan kedua gadis ini.

Sekar Telasih hanya tersenyum saja. Dan gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi, membalas senyuman dengan manis sekali. Di kalangan rimba persilatan, Pandan Wangi lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Karena senjatanya yang berbentuk sebuah kipas, sehingga gadis itu dijuluki si Kipas Maut sebelum menyandang sebuah pedang yang bernama Pedang Naga Geni. Pedang itu juga tidak kalah dahsyatnya dari kipas baja putih yang membuatnya terkenal di kalangan rimba persilatan.

"Aku menemukanmu tengah tergeletak pingsan di tengah jalan. Kebetulan, aku dan Pandan Wangi lewat daerah ini Dan aku memang ingin mengajak Pandan Wangi singgah di Desa Jatiwangi ini," kata Rangga memberi tahu tanpa diminta.

"Oh...," Sekar Telasih hanya mendesah saja. Sesaat mereka terdiam.

"Kau melihat Kakang Darmaji...?" tanya Sekar Telasih.

Rangga mengangguk.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.

"Dia sudah tewas aku sudah menguburkannya," jawab Rangga.

Lagi-lagi Sekar Telasih mendesah lirih. Sebentar matanya dipejamkan. Terbayang kembali peristiwa yang dialaminya bersama Darmaji Memang sudah diduga kalau perempuan tua berhati iblis itu tidak akan membiarkan Darmaji hidup. Tapi, dia tidak tahu kenapa mereka membiarkan dirinya tetap hidup. Bahkan hanya dibuat tidak sadarkan diri saja.

Sekar Telasih kembali membuka kelopak matanya. Perlahan Sekar Telasih beringsut bangkit. Kali ini Rangga tidak mencegah lagi. Gadis itu duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka masih belum ada yang membuka suara. Sedangkan Sekar Telasih memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

"Kulihat di bagian Selatan Desa Jatiwangi ini begitu menyedihkan. Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Sekar?" tanya Rangga ingin tahu.

"Sukar dikatakan, Kakang. Rasanya kiamat sudah dekat bagi desa kami," sahut Sekar Telasih. Suaranya yang mendesah, begitu perlahan.

"Kau pasti tidak akan percaya kalau aku mengatakannya, Kakang. Tapi, itulah kenyataan yang sedang kami hadapi sekarang ini."

"Katakan, apa yang sedang terjadi di sini..?" desak Rangga semakin ingin tahu.

"Perempuan iblis itu muncul lagi...,"

"Siapa?"

"Ular Betina."

"Ular Betina...?!" Rangga terkejut bukan main mendengar nama Ular Betina muncul lagi.

Memang sukar dipercaya. Jelas sekali perempuan berhati iblis itu sudah ditewaskan di Hutan Gading dalam suatu pertarungan yang sengit dan sangat melelahkan. Rasanya, memang mustahil kalau orang yang sudah mati dan terkubur di dalam tanah bisa muncul lagi.

"Siapa itu Ular Betina?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja mendengarkan.

"Dia pernah datang ke desa ini, dan hampir menghancurkan Desa Jatiwangi ini. Aku kemudian berhasil menghentikan keangkaramurkaannya, dan terpaksa menewaskannya. Bahkan bukan aku saja yang mengalami. Tapi, juga banyak orang yang menyaksikan pertarunganku dengan si Ular Betina itu. Dia tewas di Hutan Gading. Sudah lama itu terjadi...," secara singkat Rangga menjelaskan, siapa si Ular Betina itu pada Pandan Wangi.

Meskipun belum jelas benar, tapi Pandan Wangi tidak ingin bertanya lagi. Memang, pada saat peristiwa yang pernah terjadi beberapa waktu di Desa Jatiwangi ini, Pandan Wangi tidak ada bersama Pendekar Rajawali Sakti. Jadi, dia sama sekali tidak tahu.

"Ayo, aku antar kau pulang," kata Rangga seraya bangkit berdiri. "Sekalian, aku juga ingin bertemu ayahmu."

"Ayah pasti senang melihat kau datang, Kakang," kata Sekar Telasih juga bangkit berdiri.

Rangga hanya tersenyum saja. Mereka kemudian melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Pendekar Rajawali Sakti menunggang seekor kuda hitam yang gagah. Namanya adalah Kuda Dewa Bayu. Kuda hitam itu memang bukan kuda sembarangan. Kecepatan larinya tak ada yang menandingi. Bahkan kuda itu sangat cerdik. Dia bisa mengerti setiap kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti.

Tak berapa lama kemudian, mereka sudah ber-pacu meninggalkan tempat itu. Debu langsung mengepul membumbung tinggi ke angkasa, tersepak kaki tiga ekor kuda yang dipacu dengan kecepatan sedang. Me-reka berkuda secara bersisian, sehingga lebar jalan yang ada begitu pas dilalui tiga ekor kuda ini.

"Bagaimana kau bisa masuk ke desa ini, Kakang?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.

"Kenapa kau tanyakan itu, Sekar? Memangnya ada yang melarang orang masuk ke desa ini...?" Rangga malah balik bertanya.

"Perempuan iblis itu melarang siapa saja yang keluar masuk desa ini, Kakang. Sudah ada yang mencoba, tapi mereka semua mati dibantai," jelas Sekar Telasih.

"Mungkin dia tidak sedang menjaga ketika aku masuk ke sini, Sekar. Atau barangkali juga sedang lengah," sahut Rangga seenaknya.

"Syukurlah kalau begitu. Aku senang kau sudah ada di sini," ujar Sekar Telasih.

Lagi-lagi Rangga tersenyum saja. Dan mereka terus di atas kuda yang diperlambat. Sepanjang jalan, Sekar Telasih menceritakan semua yang terjadi di Desa Jatiwangi. Juga diceritakan peristiwa yang dialaminya, sehingga pingsan setelah mendapat satu totokan Ular Betina di bagian kanan dadanya.

Rangga dan Pandan Wangi mendengarkan saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Jalan yang dilalui semakin melebar, kare-na mereka sudah mendekati pusat Desa Jatiwangi yang besar ini.

********************

LIMA

Ki Rangkuti begitu gembira atas kedatangan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut bersama Sekar Telasih. Langsung disambutnya kedatangan pendekar muda dan digdaya yang memang sangat diharapkan kemunculannya pada saat seperti ini. Tapi kegembiraannya juga bercampur kesedihan begitu mendengar Darmaji tewas di tangan perempuan berhati iblis yang dikenal berjuluk si Ular Betina.

Saat ini kepandaian yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sukar dicari tandingannya. Begitu tingginya tingkat kepandaian Rangga, sehingga tidak sedikit tokoh beraliran hitam yang memilih menghindar daripada harus berurusan dengannya.

"Aku benar-benar sudah putus asa menghadapinya, Rangga. Rasanya tidak ada harapan lagi untuk bisa menyelamatkan desa ini dari amukan si Ular Betina itu," keluh Ki Rangkuti. "Tindakannya semakin tak karuan saja. Entah sudah berapa orang penduduk desa ini yang jadi korban. Padahal aku tahu, apa sebenarnya yang diinginkan. Tapi, dia sengaja ingin membuatku mati perlahan-lahan, dan melihat kehancuran desa ini terlebih dahulu. Hhh...! Sungguh menyakitkan, melihat desa yang kubangun dengan susah payah harus hancur begitu saja."

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Ki. Dalam hal ini, aku ikut bertanggung jawab atas keutuhan Desa Jatiwangi," tegas Rangga perlahan.

"Aku percaya padamu, Rangga. Dan kedatanganmu ke sini, pasti karena petunjuk Hyang Widi," kata Ki Rangkuti langsung menaruh harapan pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku berjanji akan menghadapinya dengan segala daya yang kumiliki, Ki," tegas Rangga.

"Terima kasih, Rangga. Hanya kau satu-satunya harapanku untuk menyelamatkan desa ini dari kehancuran," ujar Ki Rangkuti disertai bola matanya yang berkaca-kaca.

Mereka jadi terdiam ketika Walikan yang mendapat tugas mengawasi Sayuti, datang dengan langkah lebar dan tergesa-gesa. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan itu langsung menjura memberi hormat begitu tiba di depan Ki Rangkuti. Dan begitu melihat ada Pendekar Rajawali Sakti, segera tubuhnya membungkuk memberi penghormatan. Rangga membalas dengan membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Bagaimana, Walikan?" tanya Ki Rangkuti.

"Selamat, Ki. Kakang Sayuti sudah jauh meninggalkan desa ini," sahut Walikan, agak tersengal suaranya.

“Tapi, Ki...."

"Ada apa lagi?"

"Pendekar Rajawali Sakti sudah ada di sini. Jadi, apakah kepergian Kakang Sayuti tidak sia-sia...?" tanya Walikan seraya melirik Rangga yang hanya tersenyum-senyum saja.

"Tidak ada yang sia-sia dalam berusaha, Walikan. Tujuan utamanya memang mencari Pendekar Rajawali Sakti. Tapi terlebih dahulu akan menemui Bayangan Malaikat yang tidak seberapa jauh tempat tinggalnya dari sini," jelas Ki Rangkuti. "Juga beberapa pendekar lain yang tidak jauh tempat tinggalnya."

"Apa mungkin bisa keburu, Ki?" tanya Walikan.

"Kalau tidak ada Pendekar Rajawali Sakti di sini, mungkin juga aku akan cemas sepertimu, Walikan. Tapi kini aku sudah benar-benar tenang. Dan tak ada lagi yang perlu dicemaskan," ungkap Ki Rangkuti.

"Kau terlalu merendahkan diri, Ki," selak Rangga merasa pujian Ki Rangkuti terlalu tinggi untuknya.

"Aku berkata yang sebenarnya, Rangga. Kehadiranmu di sini, memang sangat tepat waktunya. Dan itu membuatku, dan semua penduduk Desa Jatiwangi merasa tenteram. Aku yakin, kau pasti bisa menghentikan keberingasan si Ular Betina itu."

"Kita serahkan segalanya pada Hyang Widi, Ki," lagi-lagi Rangga merendah.

"Ayah, boleh aku bicara...?" selak Sekar Telasih yang sejak tadi diam saja.

"Apa yang ingin kau katakan, Sekar?" Tanya Ki Rangkuti.

"Apakah Ayah memang betul-betul kenal Nyi Rongkot..?" tanya Sekar Telasih bernada ragu-ragu.

"Tentu saja," sahut Ki Rangkuti.

"Apa mungkin Nyi Rongkot punya saudara kembar Ayah...?" kembali terdengar keraguan dalam suara Sekar Telasih.

"Apa maksudmu, Sekar?" Ki Rangkuti malah ba-tik bertanya.

“Terus terang, Yah. Aku jadi tidak yakin kalau yang sekarang muncul adalah Nyi Rongkot si Ular Betina," ungkap Sekar Telasih. "Waktu sebelum bertarung tadi, dia sempat mengatakan kalau aku tidak beda jauh dari ibunya. Dari kata-kata itu saja bisa diduga kalau dia bukan si Ular Betina. Bahkan anak buahnya sama sekali tidak menyerangku. Mereka malah mengeroyok Kakang Darmaji. Sedangkan aku hanya dibuat pingsan saja. Aku jadi curiga, kalau dia bukan Nyi Rongkot."

"Hm.... Benar dia berkata seperti itu?" tanya Ki Rangkuti agak menggumam.

"Kalau benar Kakang Darmaji masih hidup, pasti akan berkata sama denganku, Ayah," sahut Sekar Telasih.

"Aneh... Padahal, dia begitu ingin mengambilmu dariku, Sekar. Tapi kenapa sekarang justru berbalik?" Ki Rangkuti seperti bicara sendiri.

Dari penuturan Sekar Telasih, membuat semua orang yang ada di ruangan depan rumah Ki Rangkuti ini jadi terdiam merenung. Bahkan Rangga yang sebelumnya sudah diceritakan oleh Sekar Telasih dalam perjalanan tadi, juga ikut berpikir. Memang kalau mendengar kata-kata yang dituturkan Sekar Telasih barusan, tampaknya wanita tua yang muncul kali ini bukanlah Nyi Rongkot si Ular Betina. Kalau memang demikian, lalu siapa sebenarnya wanita tua yang begitu mirip dengan Nyi Rongkot...?

Pertanyaan seperti itu muncul di benak mereka semua yang ada di ruangan berukuran cukup besar ini. Hanya Pandan Wangi saja yang tetap diam dan tidak mengerti semua pembicaraan ini. Memang, dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Desa Jatiwangi ini. Mereka semua jadi terdiam, dengan berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepala masing-masing.

"Apa sebaiknya kita lihat kuburannya, Ki..?" usul Walikan memecah kesunyian yang terjadi cukup lama ini.

"Untuk apa?" tanya Ki Rangkuti. "Mungkin dari sana bisa diketahui, apakah benar-benar Nyi Rongkot atau bukan," sahut Walikan.

"Kau akan membongkar kuburannya?" tanya Ki Rangkuti lagi. Jelas, dari nada suaranya laki-laki tua itu tidak setuju kalau harus membongkar kuburan. Meskipun, kuburan itu berisi manusia berhati iblis.

"Tidak perlu, Ki. Kita lihat saja. Kalau kuburan itu masih utuh, berarti wanita tua yang muncul kali ini bukan Nyi Rongkot Tapi kalau kuburannya terbongkar, ada kemungkinan memang Nyi Rongkot yang sekarang muncul," jelas Walikan.

"Biar aku yang melihatnya, Ki," selak Rangga.

Dan sebelum ada yang menjawab, Pendekar Rajawali Sakti sudah bangkit berdiri, dan langsung bergegas keluar dari ruangan itu. Ki Rangkuti segera berdiri dan melangkah menyusul Pendekar Rajawali Sakti diikuti yang lainnya. Tapi begitu mereka sampai diluar, Rangga sudah memacu cepat kudanya.

Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu berlari bagaikan angin saja. Dalam waktu sebentar saja, sudah tak terlihat lagi bayangannya. Hanya debu saja yang mengepul membumbung tinggi ke angkasa. Rangga menghentikan lari kudanya begitu tiba di tengah-tengah Hutan Gading.

Gerakan tubuhnya begitu indah dan ringan sekali saat melompat turun dari punggung kudanya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti mendarat tepat di dekat gundukan tanah, yang pada satu ujungnya terdapat sebuah batu berlumut hitam. Rerumputan liar hampir menutupi gundukan tanah yang ternyata sebuah ku-buran itu.

"Hm...," Rangga menggumam perlahan dengan kening berkerut. Dengan teliti sekali Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan setiap jengkal tanah di sekitar kuburan itu. Perlahan kemudian, kepalanya mendongak ke atas. Kembali terdengar gumaman yang perlahan dan lirih sekali. Dan tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat ke udara. Dan kakinya langsung hinggap di atas sebatang pohon yang cukup tinggi dan rimbun.

Sebentar pandangannya beredar, lalu kembali melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Pendekar Rajawali Sakti langsung hinggap di atas punggung kudanya. Sekali hentak saja, kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Sebentar saja Dewa Bayu sudah berada di tepi Hutan Gading. Tapi tiba-tiba saja Rangga menarik tali kekang kudanya. Maka seketika itu juga, Dewa Bayu berhenti berlari seraya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

"Hup!" Ringan sekali gerakan Rangga saat melompat turun dari punggung kuda hitam itu. Kedua matanya menyipit memperhatikan sekitar dua puluh orang berbaju serba merah yang berdiri berjajar menghadang jalannya. Di depan dua puluh orang berbaju serba merah itu, berdiri seorang perempuan tua.

Jubahnya panjang, berwarna merah menyala. Sebatang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna merah, tergenggam di tangan kanannya. Perlahan Rangga melangkah mendekat. Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti, setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi dari orang-orang yang berjajar menghadang jalannya.

"Kau yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?" tanya perempuan tua berjubah merah itu. Suaranya kering dan dingin sekali.

"Seharusnya tidak perlu bertanya seperti itu, kalau kau benar-benar si Ular Betina, Nisanak," sahut Rangga tidak kalah dingin.

"Ha ha ha...! Pandanganmu sungguh tajam, Anak Muda," perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak.

"Hm.... Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga.

"Semua orang menyebutku Naga Merah," sahut perempuan tua berjubah merah itu memperkenalkan diri.

"Rupamu memang mirip Nyi Rongkot si Ular Betina, Naga Merah. Pantas semua orang di Desa Jati-wangi menyangka kau adalah Nyi Rongkot," kata Rangga, setengah menggumam suaranya. Seakan-akan bicara pada diri sendiri.

"Aku kagum dengan pandanganmu yang begitu tajam, Anak Muda. Pantas saja semua orang selalu membicarakanmu. Bahkan Nyi Rongkot sendiri bisa kau kalahkan," puji si Naga Merah. Tapi nada suaranya terdengar begitu meremehkan.

"Kau benar-benar bernyali besar berani datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang, ternyata kau ada di sini. Dan itu berarti tujuanku akan tercapai hanya sekali jalan saja."

"Apa yang kau inginkan dari Desa Jatiwangi, Naga Merah?" tanya Rangga ingin tahu.

"Kematian, Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin semua orang di Desa Jatiwangi mati!" sahut Naga Merah, dingin menggetarkan.

"Hm.... Mengapa kau ingin membunuh semua orang di desa ini?" tanya Rangga lagi dengan suara agak tertahan.

"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Pendekar Rajawali Sakti."

"Kau ingin membalas kematian Nyi Rongkot?"

"Tepat!"

"Apa hubunganmu dengannya?"

"Aku adalah saudara kembar Nyi Rongkot yang kau bunuh. Dan semua itu akibat ulah seluruh penduduk Desa Jatiwangi. Aku ingin mereka merasakan pembalasanku!" tegas sekali jawaban si Naga Merah.

"Mereka tidak bersalah. Bahkan tak ada sangkut pautnya dengan kematian saudara kembarmu, Naga Merah. Jadi tidak selayaknya kau mengumbar nafsu dendammu pada mereka," tegas Rangga.

"Kau pikir aku bodoh, Pendekar Rajawali Sakti! Mereka selalu menghalangi saudaraku untuk mengambil anaknya dari si Tua Bangka Rangkuti. Jadi sudah selayaknya mereka menerima ganjaran yang setimpal karena telah mencampuri urusan saudaraku. Dan kau juga, Pendekar Rajawali Sakti.... Kau juga harus menerima pembalasanku!" dingin sekali nada suara si Naga Merah itu.

Wukkk!

Cepat sekali si Naga Merah mengebutkan tongkatnya ke depan. Maka seketika itu juga, dua puluh orang berbaju serba merah berlompatan dan langsung mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mencabut golok masing-masing, lalu melintangkannya di depan dada.

Sementara Rangga memperhatikan dengan tajam lewat sudut ekor matanya. Dia menggumam perlahan. Dan perhatiannya kembali tertuju pada perempuan tua berjubah merah yang selama ini dianggap sebagai si Ular Betina, tapi ternyata berjuluk Naga Merah. Saudara kembar dari si Ular Betina yang sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau boleh bangga bisa mengalahkan Nyi Rongkot dengan kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi jangan harap bisa menggunakannya padaku...!" desis Naga Merah.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.

"Serang...!" seru Naga Merah lantang.

"Hiyaaa...!" Yeaaah...!"

Seketika itu juga, dua puluh orang murid Naga Merah yang memang sudah mengepung, serentak berlompatan menyerang dengan golok ke arah Rangga. Tapi begitu tiba, mereka bergantian mengebutkan goloknya dari segala penjuru. Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghadapi keroyokan dua puluh orang yang menggunakan senjata golok itu.

"Pusatkan pada kaki...!" seru Naga Merah memberi perintah dengan suara keras menggelegar.

"Heh...?!" Rangga jadi terkejut setengah mati. Karena, baru beberapa gebrakan saja perempuan tua itu sudah bisa mengetahui kelemahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sesaat Pendekar Rajawali Sakti jadi kelabakan, karena dua puluh orang yang menyerangnya memindahkan arah serangan ke kaki. Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan golok yang datang bertubi-tubi itu.

"Edan!" dengus Rangga dalam hati. "Yeah...!"

Begitu mendapat kesempatan, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh ke udara mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangan Rangga merentang lebar ke samping. Sedangkan tubuhnya berputaran beberapa kali di udara. Lalu, dia tiba-tiba saja meluruk deras sambil mengebutkan tangan yang merentang lebar bagai burung rajawali ke arah para pengeroyoknya.

"Mundur...!" seru Naga Merah.

Seketika itu juga, dua puluh orang berbaju merah yang bersenjatakan golok berlompatan mundur dan menyebar begitu mendengar teriakan perintah dari Naga Merah.

Rangga jadi tersentak kaget. Maka serangannya segera dihentikan. Setelah melakukan putaran di udara dua kali, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah. "Edan...!" dengus Rangga lagi.

"Hik hik hik...! Kau kaget aku bisa menanggulangi jurus-jurusmu, Pendekar Rajawali Sakti..?" ejek Naga Merah memanasi.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan. Dalam hati, sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti memang terkejut. Baru dua jurus dikeluarkan, tapi sudah cepat dimentahkan. Bahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang dikeluarkannya tadi, belum sempat mencapai sasaran sama sekali. Jurusnya itu langsung mentah sebelum Rangga sendiri sempat melancarkan serangannya. Semua pengeroyoknya cepat menghindar sebelum Pendekar Rajawali Sakti mendekat. Itu berarti si Naga Merah benar-benar mengetahui cara menghadapi jurus-jurus 'Rajawali Sakti'.

"Sebenarnya, aku tidak mengharapkan bertemu denganmu secepat ini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, memang pertemuan ini tidak bisa dihindari lagi. Dan kau sekarang sudah berhadapan denganku. Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti," ancam si Naga Merah.

"Hm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam perlahan saja. Sementara itu, perempuan tua berjubah merah yang merupakan kembaran Nyi Rongkot, sudah mengangkat tongkatnya yang berbentuk ular berwarna merah darah. Tongkat itu disilangkan di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian pemuda berbaju rompi putih di depannya.

“Tahan seranganku, Anak Muda! Hiyaaat..!" seru Naga Merah keras menggelegar.

"Hup!" Begitu si Naga Merah melompat menyerang, Rangga seketika itu juga melentingkan tubuhnya ke udara. Langsung kedua tangannya dihentakkan ke depan, mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkatan yang terakhir.

Bersamaan dengan itu, si Naga Merah mengebutkan tongkatnya menyilang ke depan. Tak pelak lagi, kedua telapak tangan Rangga membentur bagian tengah tongkat berbentuk ular naga merah itu.

Glarrr...! Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat memecah angkasa. Tampak kedua tokoh tingkat tinggi yang berada di udara itu sama-sama terpental ke belakang. Mereka saling berputaran di udara, lalu hampir bersamaan pula mendarat manis di tanah. Pada saat itu, si Naga Merah sudah cepat mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan dari mulut tongkat berbentuk ular itu, meluncur secercah cahaya merah yang langsung meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!" Bergegas Rangga melentingkan tubuh, berputaran beberapa kali ke udara untuk menghindari serangan yang dilancarkan perempuan tua saudara kembar si Ular Betina itu.

Sinar merah yang melesat keluar dari tongkat ular merah itu menghantam tanah hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar. Tanah yang terhantam sinar merah itu seketika terbongkar, menimbulkan kepulan debu yang membumbung ke angkasa, membentuk sebuah jamur raksasa yang begitu indah namun dahsyat.

"Gila...!" desis Rangga begitu kakinya kembali menjejak tanah.

Memang sungguh dahsyat sekali serangan perempuan tua ini. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika sinar merah itu tadi mengenai tubuh manusia. Jelas, bisa hancur berkeping-keping jadi serpihan dendeng! Sementara itu si Naga Merah sudah bersiap hendak melancarkan serangan kembali. Dan Rangga juga sudah siap menerimanya.

ENAM

"Hiyaaat..!" "Yeaaah...!" Secepat kilat Naga Merah melompat menerjang Rangga yang memang sejak tadi sudah siap menghadapi serangan perempuan tua itu. Dan ketika si Naga Merah mengebutkan tongkatnya ke arah kaki, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas menghindarinya. Tapi tanpa diduga sama sekali, si Naga Merah justru cepat menarik serangan tongkatnya. Dan seketika itu juga tubuhnya melesat ke udara mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang tengah melayang di atas. Bagaikan kilat, perempuan tua berjubah merah itu melepaskan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri.

"Yeaaah...!" "Uts! Hiyaaa...!" Memang tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk berkelit menghindar. Maka cepat-cepat tangan kanannya dikibaskan, menyampok pukulan tangan kiri yang dilancarkan perempuan tua itu.

Trak!

Dua tangan beradu keras di udara. Tampak Rangga cepat melesat berputaran beberapa kali ke belakang. Begitu juga si Naga Merah. Tapi begitu mereka menjejak tanah, Naga Merah sudah kembali melompat memberi serangan yang semakin bertambah dahsyat saja. Sedangkan Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan perempuan tua itu.

Jurus demi jurus pun berlalu cepat tanpa terasa. Mereka saling bertahan dan menyerang secara bergantian. Rangga sendiri mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan tidak jarang mencampur dua jurus sekaligus. Tapi perempuan tua berjubah merah yang mengaku berjuluk Naga Merah ini memang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali.

Serangan-serangan yang dilancarkan Rangga bisa dipatahkan, meskipun harus berjumpalitan dan mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi serangan-serangan yang dilancarkan si Naga Merah juga membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi kelabakan mematahkannya. Entah sudah berapa kali pukulan yang dilepaskan bersarang di tubuh satu sama lain. Tapi pertarungan itu masih terus berlangsung semakin sengit. Gerakan-gerakan yang dilakukan pun semakin cepat. Sehingga kini yang terlihat hanya bayangan-bayangan merah dan putih berkelebatan saling sambar.

Sementara dua puluh orang anak buah si Naga Merah hanya bisa jadi penonton saja. Tidak mungkin mereka ikut dalam pertarungan tingkat tinggi itu. Hingga akhirnya, mereka sama-sama berlompatan ke belakang, dan menghentikan pertarungan yang sudah menghabiskan puluhan jurus. Mereka berdiri tegak saling berhadapan, dengan sorot mata tajam yang sukar diartikan. Tapi di dalam hati, mereka sama-sama mengakui ketangguhan satu sama lain.

Beberapa saat mereka saling menatap tajam, bagai sedang mengukur sisa kepandaian yang dimiliki masing-masing, setelah bertarung puluhan jurus.

"Kuakui kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran jika Nyi Rongkot bisa kau kalahkan," puji Naga Merah, tulus. Namun nada suaranya terdengar begitu dalam sekali.

“Tingkat kepandaianmu juga lebih tinggi dari saudara kembarmu. Meskipun beberapa jurus masih sama persis. Tapi kau lebih matang dan sempurna menggunakannya," Rangga balas memuji.

"Hm.... Baru kali ini aku mendapatkan lawan yang masih muda dan berkepandaian tinggi."

"Hm...."

"Tapi aku tidak menyerah begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin tahu, sampai di mana tingkat dari ilmu kesaktian yang kau miliki," kata Naga Merah lagi. Kali ini suaranya terdengar begitu dingin.

"Kau menginginkan adu kesaktian, Naga Merah?" gumam Rangga.

"Kita tentukan sekarang. Siapa yang lebih unggul di antara kita berdua, Pendekar Rajawali Sakti."

Kening Rangga jadi berkerut, dan langsung ingat saat pertarungannya melawan saudara kembar si Naga Merah ini dalam Hutan Gading. Waktu itu, Pendekar Rajawali Sakti sempat juga dikalahkan Nyi Rongkot. Bahkan hampir mati kalau saja tidak segera ditolong Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang telah membuatnya jadi seorang pendekar tangguh.

Dan sekarang, di depannya berdiri seorang perempuan tua yang wajah dan bentuk tubuhnya begitu mirip dengan Nyi Rongkot si Ular Betina. Dalam pertarungan tadi, Rangga sudah bisa menilai kalau kepandaian yang dimiliki si Naga Merah jauh lebih tinggi dan sempurna daripada saudara kembarnya. Dan bukannya Pendekar Rajawali Sakti gentar, tapi harus lebih waspada. Rangga tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya yang mengakibatkan dirinya hampir tewas.

"Kau pasti sudah tahu ilmu 'Naga Merah', Pendekar Rajawali Sakti," kata Naga Merah, dingin.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja. Rangga sudah tidak terkejut lagi mendengar ilmu 'Naga Merah' yang disebut perempuan tua berjubah merah ini. Karena, memang sudah pernah menghadapinya ketika ilmu itu dikeluarkan Nyi Rongkot Dalam pertarungannya yang pertama, Pendekar Rajawali Sakti memang dapat dikalahkan. Bahkan hampir mati kallau tidak segera ditolong burung rajawali raksasa. Tapi setelah mendapatkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma' dan aji 'Cakra Buana Sukma', ilmu itu dapat ditaklukkannya.

“Tapi jangan harap kau bisa melihat ilmu itu lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Karena, aku sudah lebih sempurna lagi daripada Nyi Rongkot. Dan kau akan merasakan ilmu 'Naga Merah' yang lebih sempurna dari yang kau rasakan saat bertarung dengan saudara kembarku," ancam Naga Merah, semakin dingin nada suaranya.

Rangga hanya diam saja. Dia tahu, ilmu 'Naga Merah' yang dimiliki perempuan tua ini pasti lebih sempurna. Memang, perempuan tua inilah yang sebenarnya pemilik ilmu yang sangat dahsyat itu. Dan tentu saja akan lebih dahsyat. Mengingat akan hal itu, Rangga tidak mau lagi menganggap main-main. Dia harus lebih berhati-hati menghadapinya, dan tidak boleh menganggap enteng sedikit pun.

"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Gunakan ilmu yang paling kau andalkan," kata Naga merah memperingatkan. Suaranya teramat dingin menggetarkan.

"Hadapi ilmu 'Naga Merah'ku ini, Pendekar Rajawali Sakti...."

Setelah berkata demikian, perempuan tua berjubah merah yang berjuluk si Naga Merah itu segera melompat ke belakang. Pada saat yang bersamaan, tongkatnya yang berbentuk ular dilemparkan ke depan. Dan begitu tongkat ular berwarna merah itu menyentuh tanah, seketika itu juga mengepul asap tebal berwarna merah yang langsung membumbung tinggi ke angkasa.

Rangga jadi terbeliak begitu tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi seekor naga yang sangat besar ukurannya. Warnanya merah menyala, dan berkilatan. Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh ke belakang, dan melakukan beberapa kali putaran di udara sebelum menjejak tanah dengan manis sekali. Memang dahsyat sekali ilmu 'Naga Merah' yang dikeluarkan perempuan tua itu. Lebih dahsyat dari yang pernah dialami Rangga ketika bertarung melawan Nyi Rongkot yang juga memiliki ilmu 'Naga Merah’.

"Hup...!" Tiba-tiba si Naga Merah melompat ke udara, lalu manis sekali hinggap dan duduk di atas kepala Ular Naga Merah jelmaan tongkatnya.

"Bunuh bocah setan itu, Naga Merah!" perintah perempuan tua berjubah merah itu seraya menuding kepada Pendekar Rajawali Sakti.

Ular Naga Merah itu menggerung dahsyat. Begitu keras suaranya, sehingga bumi jadi bergetar bagai di-guncang gempa. Sedangkan Rangga melangkah mundur beberapa tindak. Perlahan tangan kanannya terangkat, lalu menggenggam gagang pedangnya yang tersampir di punggung.

"Tidak ada jalan lain, Pedang Rajawali Sakti harus kugunakan," desis Rangga perlahan.

Sret!

Seketika cahaya biru berkilau menyemburat terang menyilaukan mata, begitu Pedang Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya. Rangga menggenggam pedang itu erat-erat, dan menyilangkan di depan dada. Pendekar Rajawali Sakti agak terkejut juga melihat si Naga Merah yang tidak terkejut sedikit pun melihat pamor pedangnya. Bahkan perempuan tua itu malah tertawa terbahak-bahak, diikuti dua puluh orang anak buahnya yang berada agak jauh dari tempat itu.

Hal ini membuat Rangga jadi agak kebingungan juga. Belum pernah dia menghadapi lawan yang menertawakannya selagi Pedang Rajawali Sakti tercabut. Biasanya lawan yang dihadapi langsung terkesiap begitu melihat pamor pedang yang begitu dahsyat dan memancarkan sinar biru terang menyilaukan mata. Tapi kali ini lawannya justru menertawakan, seperti tidak menanggapi kehebatan pamor pedang itu.

"Kalian akan menyesal menertawakan Pedang Rajawali Sakti," desis Rangga sedikit berang.

"Tunjukkan kehebatan pedang rongsokanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti!" tantang si Naga Merah ketus.

Bet!

Rangga langsung mengebutkan pedangnya beberapa kali di depan dada, lalu menarik kakinya ke samping hingga terpentang lebar. Tangan kirinya agak menyilang di bawah gagang pedang yang tergenggam tegak lurus ke atas. Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin tanggung-tanggung lagi. Langsung dikerahkannya salah satu jurus andalannya, yakni 'Pedang Pemecah Sukma' yang sangat dahsyat.

Jurus ini jarang sekali digunakan jika tidak dalam keadaan terpaksa. Tapi kali ini disadarinya kalau lawan bukanlah orang sem-barangan. Terlebih lagi si Naga Merah sudah mengeluarkan ilmunya yang begitu dahsyat Ilmu 'Naga Merah' yang bisa merubah sebatang tongkat menjadi seekor ular naga raksasa berwarna merah menyala.

"Serang dia, Naga Merah...!" perintah perempuan tua berjubah merah itu lantang menggelegar. Sambil menggerung keras, Ular Naga Merah itu menyambar Rangga dengan juluran kepalanya yang begitu cepat. Pada saat yang bersamaan, si Naga Merah melentingkan tubuhnya ke udara. Mendapat serangan yang begitu cepat Rangga segera melesat ke atas. Sehingga, serangan ular naga raksasa itu tidak sampai mengenai sasaran.

Tapi begitu Rangga berada di udara, si Naga Merah langsung memberi satu pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Sesaat Rangga terkesiap, lalu cepat-cepat meliukkan tubuhnya menghindari pukulan yang dilepaskan perempuan tua berjubah merah itu. Pada saat yang bersamaan, Rangga mengebutkan pedangnya ke depan.

Wuk!

Tapi tanpa diduga sama sekali, si Naga Merah cepat memutar tubuhnya, sehingga tebasan pedang Rangga hanya mengenai angin kosong belaka. Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat memutar tubuhnya beberapa kali, dan manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Dan belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatur posisi tubuhnya, ular naga raksasa jelmaan tongkat si Naga Merah sudah kembali menyerang cepat dan dahsyat.

Terpaksa Rangga kembali melompat ke udara menghindari serangan ular naga raksasa berwarna merah itu. Dan pada saat Rangga berada diudara, si Naga Merah kembali menyerang cepat. Hal ini membuat Rangga harus berjumpalitan menghindarinya.

"Keparat..!" dengus Rangga geram begitu kembali mendarat di tanah. Pertarungan seperti ini memang bisa menguras banyak tenaga. Dan hal itu cepat disadari Pendekar Rajawali Sakti. Terlebih lagi, jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang digunakan tidak bisa berkembang lebih banyak lagi. Dia terus diserang dari bawah dan atas dalam waktu yang begitu cepat dan hampir bersamaan.

Dan ketika kembali menjejak tanah, ular naga raksasa itu kembali menyerangnya. Tapi kali ini Rangga tidak menghindar. Ditunggunya serangan kepala ular naga raksasa itu mendekat kepadanya. Dan begitu jaraknya berada dalam jangkauan, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna sekali.

"Yeaaah...!"

Bet! Crab!

"Aaargkh...!" Ular naga raksasa berwarna merah itu meraung keras begitu pedang Rangga membabat tepat di bawah kepalanya.

Pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh dan berputaran ke belakang beberapa kali. Lalu, manis sekali dia mendarat sekitar tiga batang tombak jauhnya dari lawan-lawan dahsyatnya ini.

Sementara ular naga raksasa itu menggelepar sambil meraung-raung keras. Beberapa batang pohon yang terlanda tubuhnya seketika itu juga hancur berkeping-keping. Bahkan batu-batuan sebesar kerbau yang banyak terdapat di sekitar tepian Hutan Gading, juga hancur terlanda tubuh ular raksasa itu.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja si Naga Merah menghentakkan tangan kanannya ke arah ular naga merah itu. Dari telapak tangannya langsung memancar sinar merah, dan segera menghantam tubuh ular naga raksasa itu. Tiba-tiba saja, ular raksasa itu lenyap. Dan kini, berubah kembali menjadi sebatang tongkat merah berbentuk ular. Tongkat itu melesat cepat ke arah si Naga Merah. Manis sekali perempuan tua berjubah merah itu menangkap tongkatnya.

"Keparat...!" desis si Naga merah sambil menatap Rangga dengan sinar mata yang begitu tajam.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri tegak dengan pedang menyilang di depan dada. Sorot matanya juga tidak kalah tajam. Mereka berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar dua batang tombak.

Sementara agak jauh di belakang perempuan tua itu, berdiri berjajar dua puluh orang berbaju merah yang semuanya menghunus golok.

"Aku belum kalah, Pendekar Rajawali Sakti. Satu saat nanti, kau akan menyesal...," desis si Naga Merah dingin menggeletar.

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.

Sambil mendengus keras, si Naga Merah tiba-tiba saja melesat cepat. Tubuhnya langsung lenyap tertelan lebatnya pepohonan Hutan Gading. Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki perempuan tua itu, sehingga dalam sekali lesatan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Pada saat yang bersamaan, dua puluh orang pengikutnya juga segera berlompatan masuk ke dalam hutan.

Trek!

Rangga memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sebenarnya bila Rangga mengeluarkan aji 'Cakra Buana Sukma, ular naga itu pasti hancur. Bahkan pemiliknya pun akan tewas. Tapi Pendekar Rajawali Sakti masih menganggap belum perlu, karena lawan juga belum mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti tak mau dianggap jumawa dengan ilmunya yang dahsyat.

Kini ditatapnya kuda hitam bernama Dewa Bayu yang meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara. Rangga tersenyum melihat kudanya menyambut gembira kemenangannya kali ini. Kuda hitam itu menghampiri, dan menyorongkan kepala ke arah pemuda berbaju rompi putih itu. Rangga menepuk-nepuk leher kuda itu penuh kasih sayang, lalu melompat naik ke punggung kuda hitam itu. Sekali hentak saja, kuda hitam itu sudah melesat cepat menuju Desa Jatiwangi.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Rangga terus menggebah kudanya dengan kecepatan penuh. Sehingga, kuda hitam itu berlari cepat bagaikan angin saja. Keempat kakinya bergerak begitu cepat, seakan-akan tidak menapak tanah. Debu mengepul membumbung tinggi ke angkasa di belakang kuda hitam itu. Rangga terus menggebah cepat kudanya. Dan dia memang ingin segera sampai di rumah Ki Rangkuti, Kepala Desa Jatiwangi.

Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, begitu tiba di depan rumah Ki Rangkuti. Bergegas kakinya melangkah memasuki beranda depan rumah yang disangga dua buah pilar berukuran besar. Tapi belum juga tiba di depan pintu, dari dalam sudah keluar Ki Rangkuti yang diikuti Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan Walikan.

"Bagaimana, Rangga...?" Ki Rangkuti langsung menyambut dengan pertanyaan.

"Dia bukan Nyi Rongkot" sahut Rangga.

"Oh! Lalu, siapa dia...?" tanya Ki Rangkuti terkejut, tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti itu dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Saudara kembarnya," sahut Rangga.

"Saudara kembarnya...?!" lagi-lagi Ki Rangkuti terkejut. Begitu terkejutnya, sampai mulutnya ternganga dan matanya terbuka lebar merayapi wajah Rangga yang bersimbah keringat.

Sedangkan Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan Walikan hanya diam saja memperhatikan orang tua itu yang sedang terlongong kaget mendengar jawaban-jawaban Rangga tadi. Jawaban yang begitu tegas dan singkat, tapi sangat mengejutkan semua yang mendengarnya.

"Aku tadi sudah bertanya padamu, Ki. Apakah Nyi Rongkot punya murid atau mungkin saudara kembar," kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.

"Aku tidak tahu kalau dia punya saudara kembar," sahut Ki Rangkuti, agak perlahan suaranya.

“Tapi kenyataannya, dia sangat mirip Nyi Rongkot. Bahkan kepandaiannya jauh lebih tinggi dari si Ular Betina itu," jelas Rangga, agak dalam nada suaranya.

"Oh...?!" lagi-lagi Ki Rangkuti tersentak kaget.

"Kau bertemu dengannya, Rangga...?"

"Sempat bertarung," sahut Rangga.

Bukan hanya Ki Rangkuti yang terkejut mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti kali ini. Bahkan semua orang yang ada di beranda depan ini jadi terlongong. Mereka memandangi Rangga seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Tapi melihat sorot mata dan raut wajah Pendekar Rajawali Sakti, mereka tahu kalau penjelasan itu tidak main-main. Maka, persoalan yang kini dihadapi juga bukan persoalan biasa. Suatu persoalan yang tidak mudah diselesaikan.

"Dia datang ke sini untuk membalas kematian saudara kembarnya. Dan seluruh penduduk desa ini dianggapnya harus bertanggung jawab. Tapi yang lebih utama lagi, dia akan membalas kematian Nyi Rongkot padamu, Ki. Juga padaku...," jelas Rangga lagi, memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat lamanya tadi.

"Ya! Dia juga mengatakan begitu padaku," desah Ki Rangkuti perlahan.

"Jadi, kau sudah bertemu dengannya, Ki?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja

"Dia datang, dan hanya memberi peringatan saja padaku," sahut Ki Rangkuti, pelan.

"Dia akan memaksaku menyaksikan kehancuran desa ini, sebelum menyelesaikan urusannya denganku. Lalu, dia akan mencari Pendekar Rajawali Sakti yang telah mengalahkan Nyi Rongkot"

"Kalau begitu jelas sudah. Dia memang bukan Nyi Rongkot," desis Sekar Telasih seperti bicara pada diri sendiri.

"Tapi, kenapa aku tidak dibunuhnya...?"

"Karena kau adalah kemenakannya, Sekar," kata Ki Rangkuti.

"Aku tidak pernah punya bibi berhati iblis seperti dia!" dengus Sekar Telasih tidak sudi mengakui.

"Dia tetap tidak akan menyakitimu, Sekar. Tujuannya datang ke sini hanya untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya. Dan kau tidak termasuk dalam perhitungan orang-orang yang harus disingkirkan," selak Rangga.

"Itu tidak adil! Semua pangkal persoalan ini berawal dari diriku. Lalu kenapa justru dia tidak mau berurusan denganku...?" sentak Sekar Telasih jadi berang.

"Huh! Aku tidak akan tinggal diam. Akan kubunuh perempuan iblis itu,..!"

"Kau tidak akan mampu melakukannya, Sekar. Bahkan kalau mau, mungkin sekarang ini kau tidak sempat lagi menghirup udara," kata Rangga tanpa bermaksud mengecilkan arti gadis ini.

"Aku tahu..., aku memang tidak setangguh kalian semua. Tapi kalian harus ingat, awal dari malapetaka ini bersumber dari diriku. Jika saja tidak ada orang gila yang mengakuiku sebagai anaknya, mung-kin hal ini tidak akan pernah terjadi," kata Sekar Telasih masih dengan nada tinggi.

Semua jadi terdiam.

"Kita akan menghadapinya bersama-sama," tegas Sekar Telasih.

********************

TUJUH

Tindakan pembalasan si Naga Merah semakin menjadi-jadi. Beberapa tempat pemukiman penduduk Desa Jatiwangi mulai dihancurkan satu persatu. Desa Jatiwangi ini memang tergolong desa besar. Sementara, penduduk biasanya membangun rumah secara berkelompok. Dan mereka membagi-bagi desa ini sesuai kelompok-kelompok itu bertempat tinggal. Sehingga tidak heran jika ada yang menyebut Desa Jatiwangi Utara, Desa Jatiwangi Selatan, dan banyak lagi sebutan untuk desa ini.

Hal itu memang mempermudah si Naga Merah menghancurkan desa ini sedikit demi sedikit. Janjinya pada Ki Rangkuti telah ditepati. Dia akan membuat kepala desa itu menderita terlebih dahulu sebelum akhirnya dilenyapkan juga dari muka bumi ini. Dan tentu saja cara yang digunakan si Naga Merah membuat Ki Rangkuti benar-benar terpukul.

Sedikit demi sedikit bagian wilayah desanya dihancurkan tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan warga desanya. Bahkan Rangga sendiri yang ada di desa itu jadi kelabakan. Si Naga Merah dan orang-orangnya muncul dan menghilang cepat bagaikan hantu saja. Mereka muncul untuk menghancurkan, dan menghilang cepat begitu selesai. Sehingga, tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti untuk menghentikannya. Mereka selalu muncul tanpa dapat diduga waktu dan tempatnya.

"Sekarang kita benar-benar berada di tengah-tengah neraka, Kakang," desah Pandan Wangi agak bergumam.

Malam itu Rangga dan Pandan Wangi sedang mengelilingi Desa Jatiwangi sambil menunggang kuda. Bukan hanya malam ini saja mereka melakukan perondaan. Bahkan sudah empat malam, sejak sampai di Desa Jatiwangi ini. Tapi, tetap saja mereka kecolongan. Karena selama empat hari ini sudah tiga kali berturut-turut si Naga Merah dan gerombolannya berhasil menghancurkan sebagian Desa Jatiwangi tanpa dapat dicegah lagi.

"Aku tahu, dan aku tidak akan membiarkan hal ini terus berlarut-larut," tegas Rangga juga agak mendesah suaranya.

"Apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya, Kakang? Sedang mereka bergerak begitu cepat seperti hantu, tanpa bisa dicegah sedikit pun juga," kata Pandan Wangi bernada mengeluh.

"Mungkin tidak ada yang bisa dilakukan. Tapi kita harus menyelamatkan penduduk yang tidak bersalah sama sekali," sahut Rangga.

"Maksudmu, mengikuti rencana Ki Rangkuti..?" tanya Pandan Wangi mencoba menebak jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Tepat!" sahut Rangga singkat.

"Sama saja menggiring penduduk untuk bunuh diri, Kakang," dengus Pandan Wangi tidak menduga kalau Rangga punya pikiran seperti itu.

"Tidak, jika dengan maksud berbeda," sahut Rangga kalem.

"Maksud, Kakang...?" Pandan Wangi jadi tidak mengerti.

"Itu hanya sekadar pancingan saja, Pandan. Kita memancing mereka keluar, di samping mengeluarkan penduduk dari desa ini. Kita akan menghadapi mereka, sementara Ki Rangkuti membawa keluar semua penduduk dan desa ini. Dengan begitu, penduduk bisa diselamatkan sambil menghadapi mereka semua, Pandan," Rangga mengutarakan maksud yang terkandung dalam pikirannya.

"Terlalu besar akibatnya, Kakang," desah Pandan Wangi mulai mengerti.

"Segala cara harus dicoba, Pandan. Tapi kita juga harus menekan jatuh korban lebih banyak lagi. Kalau tidak, akan bertambah banyak korban, Pandan. Dan aku tidak mungkin mengawasi seluruh Desa Jatiwangi ini siang dan malam."

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Bisa dimengerti kesulitan yang dihadapi Rangga sekarang ini. Pendekar Rajawali Sakti bukan hanya harus menghadapi keangkaramurkaan si Naga Merah dan para begundalnya, tapi juga harus memikirkan keselamatan penduduk Desa Jatiwangi.

Terutama sekali, mempertahankan desa ini agar tidak hancur oleh keangkaramurkaan si Naga Merah. Memang berat beban yang ditanggung Rangga kali ini. Dan Pandan Wangi bisa mengerti kalau Rangga merasa bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Desa Jatiwangi. Suatu tanggung jawab yang sangat besar dari seorang pendekar.

"Ayo kita kembali, Pandan," ajak Rangga seraya memutar kudanya.

Pandan Wangi mengikuti Pendekar Rajawali Sakti tanpa berkata sedikit pun. Tapi baru saja hendak memacu kuda menuju rumah Ki Rangkuti kembali, mendadak saja mereka dikejutkan suara-suara teriakan panjang melengking tinggi dari arah belakang. Sejenak mereka saling berpandangan, lalu sama-sama memutar kudanya kembali. Kedua pendekar muda itu jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba terlihat semburat terang dari api yang berkobar cukup jauh di depan sana.

"Hiya...!" "Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat menggebah kudanya, diikuti Pandan Wangi. Tapi tentu saja gadis itu tidak bisa menyusul Dewa Bayu yang berlari begitu cepat bagai angin, meskipun kudanya sudah dipaksa berpacu dengan kecepatan tinggi sekali.

Jeritan-jeritan panjang melengking itu semakin jelas terdengar saling susul. Dan udara malam yang dingin jadi terasa panas oleh api yang semakin terlihat besar berkobar. Sementara Rangga yang memacu kudanya seperti kesetanan, lebih dahulu sampai. Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak begitu melihat bagian Timur Desa Jatiwangi ini sudah jadi lautan api. Mayat-mayat bergelimpangan di antara rumah-rumah yang terbakar.

"Hiyaaa...!" Rangga langsung melompat turun dari punggung kuda begitu melihat beberapa orang berbaju serba merah tengah mengamuk membantai penduduk yang hanya bisa berlarian kalang kabut. Dengan beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tempat itu.

Tanpa berkata-kata lagi, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melepaskan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi kepada salah seorang berbaju merah yang berada dekat dengannya. Pukulan Rangga begitu cepat dan keras tidak dapat dihindari lagi, tepat menghantam dada orang berbaju serba merah itu.

"Aaa...!" orang itu menjerit keras. Jeritan yang melengking itu membuat enam orang berbaju merah lain jadi terperanjat. Mereka terbeliak begitu melihat salah seorang temannya terjungkal tewas seketika. Lebih terkejut lagi begitu mengetahui kalau ada Pendekar Rajawali Sakti di sini. Maka mereka bergegas berlompatan hendak melarikan diri.

"Jangan lari kalian, Keparat! Hiyaaat...!" Rangga jadi geram setengah mati melihat enam orang berbaju merah mencoba melarikan diri. Dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat mengejar enam orang berpakaian serba merah yang dikenalinya sebagai orang-orangnya Naga Merah. Dengan beberapa kali putaran di udara, Pendekar Rajawali Sakti berhasil melewati kepala enam orang berbaju merah itu.

"Berhenti...!" bentak Rangga begitu mendarat di depan enam orang berpakaian serba merah ini.

Keenam orang anak buah si Naga Merah itu jadi terkejut setengah mati melihat Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu sudah berdiri menghadang di depan. Maka mereka langsung mencabut golok masing-masing, dan melintangkannya di depan dada.

"Seraaang..!" seru salah seorang memberi perintah.

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"

Seketika itu juga enam orang berbaju serba merah berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Golok-golok di tangan mereka berkelebat cepat di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.

Tapi Rangga bukanlah pemuda yang mudah ditaklukkan begitu saja. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu cepat dan gesit. Sehingga, tidak mudah bagi enam orang itu untuk mendesak. Apalagi menjatuhkannya. Bahkan ketika Rangga mengebutkan tangannya menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', satu orang seketika menjerit keras, begitu kebutan itu menghantam kepala.

Kembali Rangga mengebutkan cepat tangannya ke arah satu orang lagi. Begitu cepat serangannya sehingga orang berbaju serba merah itu tidak dapat lagi menghindar. Dia terpekik keras, dan tubuhnya terpental ke belakang. Orang berbaju merah itu langsung tewas seketika begitu tubuhnya menghantam tanah.

"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga berteriak nyaring. Dan seketika itu juga, tangannya menghentak ke depan, mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tepat pada saat itu, dua orang lawannya sudah bergerak menyerang secara bersamaan.

Mereka kontan terkejut setengah mati, dan tak dapat lagi menarik diri menghindari pukulan lurus yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Des! Bek!

"Aaa...!" "Akh...!"

Dua jeritan panjang melengking terdengar saling susul begitu pukulan lurus kedua tangan Rangga menghantam dada dua orang berbaju serba merah. Mereka langsung terpental deras sekali ke belakang, dan terbanting di tanah begitu kerasnya. Pukulan yang dilepaskan Rangga dalam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang dahsyat luar biasa. Dada kedua orang itu remuk, melesak kedalam. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah kental agak kehitaman.

Dalam dua jurus saja, Rangga sudah menjatuhkan empat lawannya begitu cepat. Hal ini membuat dua orang yang masih hidup jadi bergetar hatinya. Mereka jadi ragu-ragu untuk menyerang. Sementara, Rangga sudah memutar tubuhnya menghadap dua orang berbaju merah yang masih tersisa hidup. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata kedua laki-laki berbaju serba merah itu.

"Hanya ada satu pilihan buat kalian. Menyerah, atau mati di sini..!" desis Rangga mengancam.

Kedua laki-laki berbaju merah itu saling melemparkan pandangan. Mereka seperti ragu-ragu, dan tidak yakin akan diri sendiri. Sedangkan Rangga sudah semakin dekat saja, dan baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan dua laki-laki pengikut si Naga Merah itu.

Pada saat itu Pandan Wangi terlihat berkuda, menghampiri sambil menuntun kuda hitam yang tadi ditinggalkan Rangga, Gadis cantik berbaju biru yang dijuluki si Kipas Maut itu segera melompat turun dari punggung kudanya setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya langsung mendarat ringan di samping kanan pemuda berbaju rompi putih ini.

Menyadari keadaan dirinya yang tidak mungkin lagi bertahan, kedua laki-laki berbaju serba merah itu tiba-tiba saja mengambil jalan yang tidak diduga, baik oleh Rangga maupun Pandan Wangi. Mereka menikam diri sendiri dengan golok.

Perbuatan kedua orang ini tentu saja membuat kedua pendekar muda itu jadi tersentak kaget. Tapi, sudah tidak ada waktu lagi untuk mencegah. Dua orang pengikut Naga Merah itu hanya sebentar saja bertahan berdiri. Sedangkan golok mereka sudah terbenam dalam di dada. Darah menyemburat keluar dari dada yang tertembus golok. Sesaat kemudian, mereka jatuh bergelimpang di tanah dan tak bergerak-gerak lagi.

"Edan...!" desis Pandan Wangi.

Sementara di sekitar mereka, api masih terus berkobar besar. Dan penduduk yang belum sempat terbantai, hanya bisa meratapi rumahnya yang habis termakan api. Memang tak ada satu rumah pun yang masih utuh berdiri di bagian Timur Desa Jatiwangi ini. Semua rumah yang berdiri sudah terbakar, sehingga membuat udara malam yang seharusnya dingin jadi terasa begitu hangat. Dan tidak sedikit pula penduduk yang tergeletak tak bernyawa lagi.

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dipacu cepat. Rangga dan Pandan Wangi memutar tubuhnya berbalik. Tampak Ki Rangkuti bersama Sekar Telasih langsung menghampiri kedua pendekar muda itu. Sedangkan yang lainnya membantu penduduk yang kehilangan rumah dan sanak saudaranya. Mereka dikumpulkan di tengah jalan, menjauhi kobaran api yang membakar rumah-rumah mereka.

"Hanya tujuh orang, Ki. Tak ada Naga Merah di sini," jelas Rangga setelah Ki Rangkuti dan Sekar Telasih turun dari kudanya.

"Hhh.... Hanya tujuh orang, tapi sudah membuat kerusuhan begitu besar," desah Ki Rangkuti lirih.

"Sebenarnya berapa jumlah mereka, Kakang?" tanya Sekar Telasih.

"Aku tidak tahu pasti. Mungkin sekitar dua puluh orang," sahut Rangga.

"Jumlah yang cukup besar untuk menghancurkan sebuah desa," desah Pandan Wangi agak menggumam.

"Mereka juga memiliki kepandaian yang rata-rata cukup tinggi," sambung Rangga.

"Apa mungkin kita menghadapinya, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Memang mustahil dengan kekuatan yang ada sekarang. Tapi itu bukan berarti harus diam dan menyerah begitu saja. Harus ada cara untuk menghentikan ulah mereka. Kalau perlu, membasmi mereka dari muka bumi ini," tegas Rangga.

Memang Rangga jadi cepat geram jika melihat kebiadaban yang terjadi di depan matanya. Dan biasanya, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan memberi ampun pada orang-orang semacam Naga Merah ini. Orang macam Naga Merah memang selalu menggunakan cara-cara keji dan kotor, hanya untuk melampiaskan kata hatinya yang terbalut nafsu iblis.

"Kita harus can cara untuk melawan mereka, Rangga," kata Ki Rangkuti.

"Hal itu sudah kupikirkan, Ki. Tapi aku juga memikirkan keselamatan penduduk desa ini. Korban sudah terlalu banyak berjatuhan. Dan aku tidak ingin jatuh korban lebih banyak lagi," tegas Rangga menyambut ucapan Ki Rangkuti barusan.

"Kau punya cara, Rangga?" tanya Ki Rangkuti seperti ingin tahu jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada. Tapi, ini mengandung bahaya yang sangat besar, Ki," sahut Rangga.

"Cara apa pun harus dilaksanakan. Dan pengorbanan sudah barang tentu harus ada, demi tujuan mulia, Rangga," tegas Ki Rangkuti, bisa mengerti perkataan Pendekar Rajawali Sakti tadi.

"Kakang, apa tidak sebaiknya dipikirkan dulu mengenai rencana itu...," selak Pandan Wangi yang tampaknya masih kurang setuju dengan rencana yang dikemukakan Rangga.

"Memang harus dibicarakan dulu, Pandan. Dan aku rasa tidak baik jika hanya kita saja yang mengetahui. Ini harus diketahui, paling tidak oleh sesepuh desa ini," kata Rangga, bisa menangkap nada kurang setuju dari suara Pandan Wangi.

"Besok aku mengumpulkan sesepuh desa ini, dan kita bisa bicarakan cara-cara yang terbaik untuk menanggulangi bencana ini, Rangga," selak Ki Rangkuti.

"Itu lebih baik, Ki," sambut Rangga.

"Sebaiknya, sekarang kita bantu penduduk dulu. Nanti dibicarakan lagi, Rangga," kata Ki Rangkuti lagi.

Mereka kemudian melangkah menghampiri penduduk yang berkumpul di tengah jalan. Hanya tinggal sekitar dua puluh orang saja yang tersisa. Memang tindakan orang-orang Naga Merah begitu cepat dan kejam. Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah membakar habis rumah-rumah di bagian Timur Desa Jatiwangi ini, walau hanya dengan tujuh orang saja. Kalau saja Rangga tidak keburu datang tadi, mungkin tak ada lagi penduduk yang masih bisa bernapas sekarang ini.

********************

Bukan hanya Ki Rangkuti saja. Tapi semua sesepuh Desa Jatiwangi yang siang ini berkumpul di rumah kepala desa itu tidak ada yang mempunyai satu cara pun untuk menghadapi kebrutalan si Naga Merah. Sehingga, begitu Rangga mengemukakan satu cara, mereka langsung menyetujui. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti juga mengemukakan bahaya terberat yang akan dihadapi.

Terlebih lagi jika rencana yang dikemukakannya tidak berjalan mulus. Bukan hanya kegagalan yang akan didapatkan, tapi juga kehancuran Desa Jatiwangi yang memang diinginkan si Naga Merah.

Setelah pertemuan itu selesai, Rangga langsung keluar dari rumah Ki Rangkuti. Wajahnya kelihatan begitu murung. Hatinya begitu terenyuh melihat kepasrahan sesepuh desa yang tidak bisa lagi mengemukakan pendapat untuk menanggulangi malapetaka ini. Sehingga, mereka langsung menyetujui usul yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga menghempaskan diri di bangku samping rumah. Pandangannya begitu kosong, tertuju lurus ke depan. Matanya merayapi sekitarnya yang terasa lengang, bagaikan berada di sebuah desa mati yang tak berpenghuni lagi.

"Kakang...!"

Rangga berpaling ketika mendengar suara lembut dari belakang. Bibirnya berusaha tersenyum saat melihat Sekar Telasih berjalan menghampirinya. Gadis itu langsung duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Rangga juga sempat melihat Pandan Wangi di depan rumah sedang berbincang bersama Ki Rangkuti.

Pandan Wangi juga sempat melirik ke arah Pendekar Rajawali Sakti ini. Tapi, gadis itu bersikap seolah-olah tidak melihatnya. Dan Rangga tahu kalau kekasihnya memang sengaja tidak menghampiri, bahkan malah membelakanginya.

"Kau sedih melihat sikap mereka, Kakang...?" ujar Sekar Telasih seperti mengetahui yang ada dalam hati Pendekar Rajawali Sakti saat ini.

"Entahlah...," desah Rangga perlahan.

"Memang seharusnya mereka tidak perlu bersikap begitu, Kakang. Tapi, kepasrahan mereka tidak bisa disalahkan. Memang tidak ada yang bisa dilakukan selain bersikap pasrah menerima nasib," kata Sekar Telasih juga pelan suaranya.

"Kepasrahan itu yang membuat bebanku terasa semakin berat. Aku seperti dituntut untuk menyelamatkan mereka dari keangkaramurkaan Naga Merah. Hhh...! Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika ayahmu mau berterus terang sejak dulu. Barangkali malapetaka ini bisa dicegah," ujar Rangga masih dengan suara perlahan.

"Bukan hanya ayah saja yang salah, Kakang. Tapi aku juga," sergah Sekar Telasih. "Kalau saja aku mau mengakui Nyi Rongkot sebagai ibuku, barangkali semua ini tidak akan pernah terjadi."

"Ya! Dan kau harus rela menjadi istri si Buto Dungkul," agak mendengus nada suara Rangga.

"Itu yang tidak kuinginkan, Kakang. Aku hanya mengakui Nyi Rongkot adalah ibuku, barangkali masih bisa kuterima. Tapi perjanjiannya dengan si Buto Dungkul itu yang membuatku semakin membencinya."

"Semua sudah berakhir, Sekar. Tak ada gunanya lagi disesalkan. Apalagi mesti mencari kambing hitam segala. Yang harus kita lakukan sekarang, mempersiapkan diri untuk menghadapi si Naga Merah. Hanya itu, Sekar...," tegas Rangga mantap.

“Ya, memang hanya itu yang bisa dilakukan sekarang, Kakang," desah Sekar Telasih.

Mereka kemudian terdiam membisu. Tak ada lagi yang berbicara. Sedangkan Rangga masih memikirkan cara yang terbaik untuk bisa menghadapi si Naga merah, tanpa harus mengorbankan banyak penduduk. Hal ini memang terasa amat sulit. Mengingat, ilmu 'Naga Merah' yang dimiliki perempuan tua itu dahsyat luar biasa. Belum lagi para pengikutnya, yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi.

Sedangkan yang diandalkan hanya dirinya sendiri dan Pandan Wangi. Dan di Desa Jatiwangi ini sendiri, hanya Ki Rangkuti saja yang memiliki kepandaian tinggi. Sedangkan Sekar Telasih dan semua murid Padepokan Jatiwangi hanya memiliki kepandaian rendah dan tak mungkin bisa diandalkan. Keadaan seperti ini yang membuat Rangga harus berpikir keras, mencari cara yang terbaik. Sedangkan pelaksanaan rencana itu akan dilakukan malam nanti.

********************

DELAPAN

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum menampakkan diri, seluruh penduduk Desa Jatiwangi sudah berkumpul di halaman depan rumah Ki Rangkuti. Rangga yang menyaksikan kalau semua penduduk desa sudah berkumpul, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sungguh tidak disangka kalau kepercayaan yang diberikan penduduk Desa Jatiwangi kepadanya begitu besar.

Memang Rangga sudah berpesan pada sesepuh desa agar tidak memaksa penduduk desa untuk ikut dalam permainan ini. Tapi kenyataannya, begitu mendengar yang akan melindungi adalah Pendekar Rajawali Sakti, tak ada lagi keraguan di hati mereka semua. Karena, semua penduduk Desa Jatiwangi memang sudah mengetahui kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ternyata mereka lebih percaya padamu daripada kepala desanya sendiri, Kakang," ujar Pandan Wangi setengah berbisik di dekat telinga Rangga.

"Jangan menyindirku, Pandan," desis Rangga juga berbisik.

“Tapi kenyataannya begitu, bukan...?"

"Aku rasa bukan kepercayaan dasarnya. Tapi, tekanan yang dihadapi, yang menyebabkan mereka memilih menerjang bahaya daripada tetap tinggal di sini. Toh, apa pun yang dipilih, keadaan akan tetap sama saja. Jika Hyang Widi menghendaki, mereka bisa terbebas dari tekanan penderitaan ini, Pandan," elak Rangga, merendah.

Sementara itu Ki Rangkuti memberi beberapa penjelasan pada warga desanya. Kepala desa itu meminta agar tak seorang pun berbuat di luar perintah yang akan diberikan Pendekar Rajawali Sakti nanti. Dan ketika Ki Rangkuti meminta Rangga untuk berbicara, dengan halus Pendekar Rajawali Sakti menolak. Karena tak ada lagi yang dibicarakan, mereka memutuskan segera berangkat meninggalkan desa ini melalui jalan Utara. Rangga dan Ki Rangkuti berkuda paling depan, disusul Sekar Telasih dan Pandan Wangi. Kemudian para sesepuh desa dan seluruh penduduk Desa Jatiwangi mengikuti dari belakang.

Sementara kegelapan masih menyelimuti seluruh desa, meskipun kokok ayam jantan sudah terdengar riuh saling sambut. Kicauan burung pun sudah terdengar, seakan-akan mengiringi keberangkatan mereka yang hendak meninggalkan desa ini. Semburat rona merah mulai terlihat di kaki langit sebelah Timur ketika rombongan yang berjumlah cukup besar itu mulai memasuki wilayah Utara Desa Jatiwangi.

"Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar mengejutkan mereka semua.

Rangga langsung menghentikan langkah kaki kudanya. Tangannya segera diangkat, meminta seluruh penduduk yang mengikutinya untuk berhenti. Suara tawa itu terus terdengar semakin keras. Tapi, tak ada seorang pun penduduk Desa Jatiwangi itu yang bergeming. Mereka begitu patuh pada perintah Rangga.

"Hup...!"

Dengan satu gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Ki Rangkuti, Pandan Wangi, dan Sekar Telasih bergegas melompat turun dari punggung kuda masing-masing mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan murid-murid Pa-depokan Jatiwangi yang dipimpin Walikan, segera bersiap menghadapi segala yang akan terjadi. Golok-golok mereka sudah terhunus tergenggam di tangan kanan.

"Suruh mereka semua menyingkir, Ki," kata Rangga setengah berbisik.

Ki Rangkuti bergegas memerintahkan warga desanya untuk menyingkir menjauhi tempat ini. Tanpa ada yang membantah sedikit pun, mereka bergerak menjauhi tempat itu. Tapi, mereka masih berkumpul di belakang murid-murid Padepokan Jatiwangi. Sementara Rangga, Pandan Wangi, Sekar Telasih, Walikan, dan Ki Rangkuti masih tetap tak beranjak dari tempatnya.

Bersamaan menghilangnya suara tawa yang terdengar keras menggelegar, dari balik semak dan pepohonan bermunculan orang-orang berbaju serba merah yang semuanya menghunus senjata golok berukuran lebih panjang dari golok biasa. Mereka berdiri berjajar, bersikap menantang sekitar dua tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti dan pendampingnya.

"Hosss...!"

Tiba-tiba terdengar suara mendesis yang begitu keras. Tak berapa lama kemudian, muncul seekor ular naga raksasa berwarna merah dari kelebatan pepohonan dibelakang orang-orang berbaju serba merah itu. Tampak di atas kepala ular naga itu berdiri perempuan tua berjubah merah.

Ki Rangkuti, Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan semua penduduk Desa Jatiwangi jadi terkejut setengah mati melihat seekor naga berwarna merah. Besarnya, tidak kalah dari pohon kelapa. Binatang aneh itu muncul bersama perempuan tua yang selama ini menjadi momok bagi mereka semua. Hanya Rangga yang kelihatan begitu tenang, menatap tajam pada si Naga Merah yang berada di atas kepala ular naganya.

"Hancurkan mereka semua...!" seru si Naga Merah lantang.

"Yeaaah...!" "Hiyaaa...!"

Seketika itu juga orang-orang berbaju serba merah berlarian cepat sambil berteriak-teriak mengayunkan golok di atas kepala. Rangga yang memang sudah muak oleh kekejaman mereka, langsung melentingkan tubuhnya. Segera disongsongnya orang-orang berbaju serba merah itu

"Hiyaaa...!" Pandan Wangi juga tidak mau ketinggalan. Sambil berteriak nyaring melengking, si Kipas Maut melompat cepat sambil mencabut kipas baja putihnya yang terkenal membawa hawa maut. Sementara Sekar Telasih dan Walikan yang hendak mengikuti kedua pendekar muda itu, sudah keburu dicegah Ki Rangkuti. Pertarungan pun tak dapat dihindari lagi.

Rangga dan Pandan Wangi mengamuk begitu dahsyat, membuat orang-orang berbaju merah jadi kalang kabut menghadapinya. Pukulan-pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilepaskan Rangga memang dahsyat luar biasa. Tak ada seorang pun dari lawan yang mampu menandingi jurus dahsyat itu. Terlebih lagi, Pandan Wangi dengan kipas mautnya yang memang sukar dicari tandingannya.

Teriakan-teriakan pertarungan seketika bercampur baur dengan pekik dan jerit melengking kematian dari orang-orang berbaju merah. Mereka berpentalan, tak mampu menghadang gempuran kedua pendekar muda digdaya itu. Satu persatu mereka dibuat ambruk tak mampu bangkit lagi. Dan kenyataannya, memang kedua pendekar muda itu tidak memerlukan bantuan untuk menghadapi para pengikut si Naga Merah ini.

Dalam waktu yang tidak berapa lama saja, sudah tak ada seorang pun dari lawan-lawan yang bisa berdiri lagi. Tubuh-tubuh berbaju merah bergelimpangan di tanah tanpa nyawa lagi. Sementara Rangga dan Pandan Wangi berdiri tegak, bersikap menantang si Naga Merah yang berdiri angkuh di atas kepala ular naga raksasanya.

********************

"Kau mundur, Pandan," ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun.

"Tapi, Kakang...," Pandan Wangi kelihatan cemas melihat ular naga raksasa itu.

"Aku sudah pernah menghadapinya, Pandan. Minggirlah," ujar Rangga cepat sebelum Pandan Wangi bisa berkata lagi.

Sebentar Pandan Wangi menatap Pendekar Rajawali Sakti, kemudian melangkah mundur menjauh. Sementara Rangga melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati si Naga Merah yang masih berdiri angkuh di atas kepala ular naga raksasanya. Sedangkan Ki Rangkuti yang sudah mengetahui akan terjadi pertarungan dahsyat, segera membawa Pandan Wangi, Sekar Telasih, dan Walikan menyingkir lebih jauh lagi. Bahkan warga desanya diperintahkan agar mencari tempat berlindung yang agak jauh lagi.

"Kita selesaikan urusan ini sekarang, Pendekar Rajawali Sakti," desis si Naga Merah dingin.

"Hm..., silakan," sambut Rangga kalem.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja perempuan tua berjubah merah itu melenting tinggi ke udara. Pada saat yang bersamaan, ular naga raksasa itu bergerak cepat menerkam Rangga yang sejak tadi memang sudah siap. Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui cara penyerangan Naga Merah ini. Dan begitu kepala naga raksasa itu dekat dengan dirinya, cepat sekali tubuhnya melesat ke samping, dan bergulingan beberapa kali di tanah.

"Hup! Yeaaah...!" Rangga cepat melesat bangkit, lalu melenting ke udara sambil mencabut pedangnya yang tersampir di punggung. Cahaya biru berkilau menyilaukan mata seketika menyemburat keluar menerangi sekitarnya, begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.

"Hiyaaa...!" Beberapa kali Rangga berputar di udara, lalu cepat-cepat mengebutkan pedangnya. Dan secepat itu pula, tubuhnya meluruk deras ke bawah dengan ujung pedang tertuju lurus ke tubuh ular naga raksasa itu.

Crab! "Ghraaaugkh...!

Ular naga raksasa itu menggelepar sambil meraung keras menggelegar, begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menghunjam dalam di tubuhnya.

"Hap!" Sambil menjejakkan kakinya ke tubuh ular naga raksasa itu, Rangga kembali melenting ke udara sambil mencabut pedang yang terbenam cukup dalam di tubuh ular naga itu. Beberapa kali Rangga melakukan putaran yang indah di udara, sebelum kakinya menjejak cukup jauh dari ular naga raksasa itu.

Pada saat yang bersamaan, perempuan tua yang berjuluk si Naga Merah meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti sambil memberi satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat...!"

"Uts!"

Hanya sedikit saja Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga pukulan yang dilepaskan si Naga Merah tidak sampai mengenai sasaran.

Bet!

Secepat kilat Rangga mengebutkan pedangnya, memberi serangan balasan. Tapi si Naga Merah sudah lebih cepat lagi melompat mundur menghindari tebasan pedang yang memancarkan sinar biru berkilau itu. Dan sebelum Rangga bisa menarik pedangnya kembali, ular naga raksasa berwarna merah itu sudah kembali menyerang dahsyat sambil menggerung keras bagai halilintar.

"Suiiit...!"

Tiba-tiba saja Rangga bersiul nyaring melengking tinggi begitu kakinya menjejak tanah. Belum lagi siulannya menghilang dari pendengaran, perempuan tua berjubah serba merah sudah kembali memberi serangan cepat dan beruntun. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari pukulan-pukulan yang begitu cepat dan bertenaga dalam sangat tinggi itu.

Memang, keadaan Pendekar Rajawali Sakti sungguh mencemaskan Dia diserang perempuan tua berjubah merah dan ular naga raksasa secara bergantian, beruntun dan cepat sekali. Jurus-jurus yang dikerahkannya seperti tidak punya arti sama sekali. Namun demikian, beberapa kali Rangga berhasil menebaskan pedangnya ke tubuh ular naga raksasa itu.

Tapi, ular itu seperti tidak berpengaruh sama sekali. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat saja, sehingga membuat Rangga tampak kerepotan. Belum lagi harus menghindari serangan-serangan yang dilancarkan si Naga Merah yang tidak kalah dahsyatnya dari ular naga raksasa itu.

Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi pertarungan belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Sedangkan keadaan Rangga semakin kelihatan kedodoran menghadapi dua lawan yang begitu dahsyat serangan-serangannya. Hingga pada satu saat...

"Yeaaah...!"

Cepat sekali si Naga Merah melepaskan satu pu-kulan keras berkekuatan tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya. Rangga yang baru saja menghindari serangan ular naga raksasa, tidak dapat lagi mengelak. Dan....

Desss! "Aaakh...!"

Rangga terpental deras ke belakang ketika pukulan yang dilepaskan si Naga Merah menghantam telak dadanya. Sebongkah batu yang cukup besar seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum pemuda berbaju rompi putih itu bisa bangkit berdiri, ular naga raksasa sudah melesat cepat hendak menerkam. Mulutnya yang begitu besar tampak ternganga lebar, siap mengoyak tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga ular naga raksasa itu sampai, tiba-tiba saja....

"Khraaagkh...!"

Sukar diikuti pandangan mata biasa. Mendadak saja dari angkasa meluncur cepat bagai kilat seekor burung rajawali putih raksasa yang langsung menyerang ular naga merah raksasa itu. Paruh burung rajawali putih itu mendarat tepat di mata ular naga merah, hingga ular raksasa itu meraung keras menggelegar.

"Hup!"

Rangga cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Sementara itu, si Naga Merah jadi terlongong melihat kemunculan burung rajawali raksasa yang langsung menyerang ular naga ciptaannya. Di lain tempat Rang-ga sudah melompat cepat sambil mengebutkan pedang pusakanya ke arah perempuan tua berjubah merah itu.

"Hiyaaat...!"

Bet!

"Ikh...!" Si Naga Merah jadi terkejut setengah mati. Cepat-cepat perempuan tua itu melompat ke belakang menghindari tebasan pedang yang memancarkan sinar biru terang berkilau. Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika kedua tangannya dihentakkan ke depan.

"Yeaaah...!" Secercah cahaya merah tiba-tiba saja meluncur deras keluar dari kedua telapak tangannya.

Sementara Rangga yang mengetahui kalau lawan sudah mengeluarkan ilmu kesaktian, cepat-cepat memiringkan tubuh ke kanan, lalu cepat menarik ke kiri. Dan begitu tubuhnya tegak, mata pedangnya digosok dengan telapak tangan kirinya.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'.... Yeaaaah...!" Seketika itu juga, Rangga menghentakkan pedangnya ke depan, tepat ketika sinar merah yang keluar dari telapak tangan si Naga Merah berada dekat dengannya.

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar tiba-tiba terdengar dahsyat ketika sinar merah menghantam ujung pedang yang kini cahayanya membentuk bulatan sebesar kepala manusia. Dan bulatan cahaya biru itu langsung melesat cepat ke arah si Naga Merah, begitu sinar merahnya menghilang. Begitu cepatnya cahaya biru itu meluncur, sehingga Naga Merah tidak sempat lagi menghindarinya.

"Akh...!"

Seluruh tubuh si Naga Merah begitu cepat terselubung sinar biru yang memancar deras dari mata Pedang Rajawali sakti. Perlahan-lahan Rangga melangkah mendekati, di saat perempuan tua itu menggeliat-geliat sambil menjerit-jerit melengking tinggi terselubung cahaya biru seluruh tubuhnya.

“Yeaaah...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan ke arah leher si Naga merah yang sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi setelah seluruh tubuhnya terselubung cahaya biru. Sehingga....

Cras!
"Aaa...!"
"Hup!"

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang sejauh satu batang tombak. Saat itu juga Pedang Rajawali Sakti dimasukkan ke dalam warangkanya di punggung. Maka, sinar biru langsung lenyap seketika. Sementara itu, tampak si Naga Merah berdiri kaku tak bergeming. Lalu, sesaat kemudian tubuhnya ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung muncrat keluar dari leher yang terpenggal.

"Aaargkh.,.!"

Pada saat yang bersamaan, ular naga merah raksasa menggelepar dahsyat sambil menggerung keras. Akibatnya, bumi bergetar bagai terguncang gempa. Lalu, seluruh tubuh ular raksasa itu mengepulkan asap tebal berwarna merah. Dan begitu asap menghilang, ular raksasa itu pun lenyap. Tampak sebatang tongkat berbentuk ular berwarna merah tergeletak di tanah.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.

Kemenangan Pendekar Rajawali Sakti langsung disambut sorak-sorai yang begitu gegap gempita oleh seluruh penduduk Desa Jatiwangi. Mereka berhamburan, berlarian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka langsung mengangkat Rangga beramai-ramai. Hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti tak dapat lagi menahan keharuannya. Mereka bersorak-sorai menggotong Rangga beramai-ramai, kembali ke Desa Jatiwangi.

Sementara, Pandan Wangi dan Sekar Telasih hanya dapat memandangi dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan di tempat lain, Ki Rangkuti langsung menjatuhkan diri, berlutut mengucapkan syukur karena malapetaka telah berlalu dari desanya. Suasana yang semula begitu mencekam, kini berubah jadi gegap gempita oleh sorak-sorai para penduduk yang meluapkan kegembiraan. Mereka kini telah terbebas dari belenggu ketakutan yang menghantui selama beberapa hari ini.


SELESAI