Dara Baju Merah Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ANG I NIOCU

(DARA BAJU MERAH)

Karya Kho Ping Hoo

JILID 17

Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang dia hadapi selama enam bulan ini dan berkali-kali dia menghela napas. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah belahan antara orang-orang gagah supaya tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat pergi ke Go-bi-pai untuk menemui Twi Mo Siansu.

Ia sendiri lalu pergi ke Pulau Pek-le-to untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun hendak pergi menuju Kun-lun-pai. Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, dia menemui kekecewaan luar biasa di Pulau Pek-le-to, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah berhasil membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-to!

Kemudian, dalam marahnya Bu Pun Su menghajar Han Le dan akhirnya mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati sangat mengkal Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san. Akan tetapi, baru saja dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, dia bertemu dengan serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia segera saja mengepung dan menyerangnya!

Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai, jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.

“Tahan...! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?” serunya.

Akan tetapi dia harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.

Para tosu Kun-lun-pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tak mau memberi hati, tak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan serentak. Akan tetapi mereka kecele jika mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja.

Melihat betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya dan bahkan melanjutkan serangan-serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa.

Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung, yang aneh sekali gerakannya dan setiap kali menyambar dan menyambut pedang atau golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patah-patah! Ada pun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi, lambat-lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu melompat mundur!

Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Dua tangan dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat melakukannya!

Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya, Bu Pun Su sama sekali tidak ingin melukai para pengeroyoknya, kalau pun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak berarti saja. Tetapi tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau sebab pedang dan golok mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan atau dibikin terpental entah ke mana.

Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari seorang kakek tua. Kakek ini adalah seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan terlihat seperti seorang tua renta yang sangat lemah.

Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran karena biar pun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap tidak akan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di belakangnya saking cepatnya ia lari.

“Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?” Kakek itu menegur setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-cepat berdiri di pinggiran sambil memberi hormat.

Bu Pun Su tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku, benar-benar lihai sekali matamu.”

“Kau pun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?”

“Ha-ha-ha-ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu. Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suheng-mu Seng Thian Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain.”

“Apa maksudmu?”

“Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang. Ehhh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, bahkan masing-masing menghadiahi sebatang golok atau pedang! Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?”

Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada hujan tiada angin tahu-tahu ia telah diserang begitu hebat oleh begini banyak tosu Kun-lun-pai, tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri. Kalau saja dia tidak pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya?

Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkat di depan kakinya. Para tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata mereka. Melihat ini, diam-diam Bu Pun Su terkejut dan tidak mau main-main lagi, akan tetapi mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai.

“Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto merasa kecewa. Tadi kau menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, bukankan begitu?”

“Benar, Kheng Thian Siansu.”

“Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-lekas mengakui dosa-dosamu?”

Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah.

“Ehh, ehhh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah yang tidak menumpuk dosa? Akan tetapi kalau dosa-dosaku tidak ada sangkut pautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku yang dulu-dulu dihadapanmu? Memangnya siapakah kau ini? Wakil dari Giam-lo-ong?”

“Bu Pun Su, tidak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau sudah membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih berani bilang tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?”

Bu Pun Su memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-to! Akan tetapi bagaimanakah Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh dia? Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapa pun juga, Han Le ikut bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia mengalah dan berlaku sabar.

“Keng Thian Siansu, nanti dulu. Aku bisa memberi penjelasan tentang kematian Cin Giok Sianjin. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu cepatnya? Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?”

“Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa.”

Bu Pun Su menarik napas panjang. Dia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa bekerja cepat.

“Hemm, siluman betina itu tentunya baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?” Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti Iblis Betina.

“Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia berbicara sambil menggoyang-goyangkan tubuh seperti pohon yang-liu tertiup angin musim chun, matanya mengerling-ngerling bagaikan bintang-bintang di langit dan bibirnya tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya penuh?”

Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biar pun agak berlebih-lebihan semua dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh Bu Pun Su!

“Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi? Dan pula, apa perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong? Ditambah lagi kedatanganmu di sini, benar-benar semuanya menimbulkan kecurigaan kami. Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-to. Apakah betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?”

“Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-to terlambat,” jawab Bu Pun Su. Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Keng Thian Siansu.

“Ketika aku mendarat di Pek-le-to, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin beserta dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan orang yang saat itu tinggal di Pulau Pek-le-to itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!”

Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh. “Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-pai?”

“Memang ada yang membantu...,” kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan.

“Siapa...?” Keng Thian Siansu mendesak.

Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu.

“Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku seperti ini saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini? Ahh, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang tidak manis budi...”

Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata, “Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tata susila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!”

Bu Pun Su balas menjura. “Terima kasih!”

Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini, semua tosu Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari cepat yang sedemikian hebatnya.

Keng Thian Siansu berseru, “Kau memang hebat Bu Pun Su.”

Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling berpandangan dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.

Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu Pun Su. Mereka ini yang dua orang merupakan murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-to.

Dia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-to.

“Hemm, kalau begitu sute-mu itu yang menjadi pembunuh!” kata Keng Thian Siansu.

“Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang sudah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku hendak membela sute-ku yang juga berdosa, tetapi harus diingat bahwa sute-ku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh karena pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa. Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat. Apa bila orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang sangat kuat, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le sudah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh ketiga orang itu di Pulau Pek-le-to dalam keadaan tidak sadar seperti di bawah pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum sute-ku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-to. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?”

Kiang Thian Siansu serta anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le tak akan dapat melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman ini pada hakekatnya bahkan lebih berat dari pada hukuman mati.

“Bu Pun Su, kami memang telah mendengar penuturanmu dan kami percaya sepenuhnya kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal dan engkaulah satu-satunya orang yang harus membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Apa bila memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar sudah datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk membuktikan kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!”

Bu Pun Su nampak terkejut. “Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!”

“Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan itu, barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su.”

Bu Pun Su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?”

Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, “Saudara dari Siauw-lim-si berlaku amat sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?”

Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu pun, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat sesosok bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan gerakan yang cepat, akan tetapi walau pun kedua kakinya tidak menimbulkan suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar hebat seolah-olah dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!

Semua orang memandang. Orang yang baru muncul ini adalah seorang hwesio gundul yang badannya tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pula mukanya licin kelimis seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang membuat rupanya menjadi amat buruk adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang murung dan duka. Sebenarnya usianya sudah enam puluh tahun lebih, akan tetapi oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.

Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai, akan tetapi siapakah orang ini? Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini belum pernah mereka kenal.

Kalau yang datang ini adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak mengherankan apa bila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lweekang serta ginkang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah sekali dilihat bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.

“Bu Pun Su,” hwesio itu berkata dengan muka yang tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan menggetarkan anak telinga. “Biar pun kaum Kun-lun-pai telah berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai, kemudian menerima hukuman atas dosa-dosamu!”

Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian Siansu bersama tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali.

Mereka tidak ambil pusing dengan apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan rumah, betul-betul telah melanggar peraturan kang-ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.

Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu terlebih dulu dan tentu telah menggunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan bisa sampai di ruangan lian-bu-thia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama.

Ke dua, hwesio ini sama sekali tak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurang ajaran yang menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio ini hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tak memandang mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan pelanggaran ke tiga.

Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat dia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi dia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata,

“Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit! Akan tetapi kenapa kau ini hwesio yang mengaku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?”

Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, dan tak lama kemudian terdengar suaranya yang keras dan parau, “Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?”

Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek. “Hwesio, kelirunya dugaanmu ini saja telah membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?”

“Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?”

Sesudah berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan terkejutlah Sun Giok Sianjin karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai hampir tidak tertahankan lagi. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menjaga keselamatan bagian halus di dalam telinganya supaya tidak mengalami kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lweekang ini.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su sudah mengerahkan tenaganya sehingga dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya.

“Pernah dahulu Suhu-ku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri sebuah kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah tersebut bisa mempelajari isi kitab itu tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selama hidupnya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam goa di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng begini tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?” tanya Bu Pun Su di akhir penjelasannya.

Juga Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget. “Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tidak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Hwesio keparat itu ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio itu mempunyai sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng beserta sahabat-sahabatnya, dan biar pun tidak dapat dibinasakan, tetapi hwesio itu sudah diberi peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!”

Hwesio itu mukanya tidak berubah, akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.

Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, “Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!”

“Sun Giok Sianjin, awas!” teriak Bu Pun Su.

Tosu ini cepat-cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu sudah menyerang dengan sebuah pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali.

Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin tetapi lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian para murid Keng Thian Siansu. Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main.

Biar pun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lweekang dari Si Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Segera tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok pada punggungnya. Sun Giok Sianjin terkenal sangat lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan kirinya.

Memang tosu ini adalah seorang kidal yaitu seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil mempergunakan tangan kiri dari pada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran jika menghadapi seorang yang memainkan senjata dengan tangan kiri.

Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka hwesio telinga buntung ini. Biar pun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tak memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!

“Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi, barulah menghadapi pinceng!” Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini.

“Hwesio siluman lihat pedang!”

Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar dengan gerak tipu Hek-in Koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan), yang lalu disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu Sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai).

Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.

Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan sesudah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa pukulan ahli lweekang I-kin-keng ini, ia kemudian berseru keras dan tiba-tiba dari samping pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh tenaga lweekang sehingga apa bila hwesio itu berani menangkis, sungguh pun tidak dapat dia menangkan tenaga lweekang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan ketajaman pedangnya paling tidak tentu akan melukai tubuh lawannya!

Akan tetapi hwesio itu benar-benar amat lihai. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi besar itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang telah menyambar lewat, tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong semacam Siok-lui Kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan tetapi bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Benar-benar luar biasa sekali.

Biar pun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapa pun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tidak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lweekang dikerahkan dan…

“Krakk!” pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai!

Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih!

Kong Mo Taisu tertawa bergelak, sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia telah dikalahkan oleh hwesio itu. Ini adalah hal yang benar-benar sangat mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar biasa lihainya.

Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biar pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada murid keponakannya itu, namun apa bila disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat berat.

Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin dia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apa lagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit dia bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.

“Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?”

Kong Mo Taisu memandang tajam. “Engkau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?”

“Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat,” Keng Thian Siansu menyeringai.

“Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi? Kau tak tahu malu, yang sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang, karena takut padanya kau bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama memang pinceng hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan hatiku menebus hinaan pada waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!”

Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai itu, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini hwesio ini berkata benar.

Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada Hok Bin Taisu sendiri. Kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya.

Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang telah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya.

Keng Thian Siansu menjadi mendongkol sekali mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan ingin mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, akan tetapi puncak kepandaiannya, yaitu tentu saja kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu. Kata-kata ini sama halnya dengan menantangnya.

Apa lagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan adalah hinaan potong telinga yang sudah dilakukan oleh mendiang suheng-nya, Seng Thian Siansu.

“Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suheng-ku membuntungi telinga kirimu. Kini kau mau membalas dendam masa lalu? Baiklah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya dulu yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga keledaimu yang sebelah lagi!”

Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan menghina orang. Tapi kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja ingin memanaskan hati dan membuat hwesio itu menjadi marah, karena hanya bila hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan menang.

Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga lweekang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sulit sekali untuk menghimpun hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sinkang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.

Ejekan tentang telinga itu kiranya betul-betul tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras dia mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dijadikan ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam.

“Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suheng-mu!” Hwesio itu membentak sambil dia mengirim serangan.

Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung rantai menghantam lantai hingga debu berhamburan ke atas karena lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.

“Traangg...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat pada tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.

Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw mampu menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat, tenaga lweekang, mau pun ginkang yang semua sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya.

Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja dia tidak memiliki sinkang yang sangat kuat tentu kulit serta daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas bagaikan api membara.

Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, rantai itu tahu-tahu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan ke arah kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.

Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun Kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian.

Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah. Dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu segera mengandalkan kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia sanggup menangkis serangan lawannya yang tentu saja menggunakan sistem setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada pada pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.

Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya. Kini tempat itu sudah terkurung oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan telah siap sedia menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana.

Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa apa bila Ketua Kun-lun-pai sampai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu tak akan dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan selamat. Walau pun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia sanggup menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu.

Mereka pun takkan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang tamu terhormat, tetapi sebagai seorang pencuri yang datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau hwesio itu adalah tamu terhormat dan pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup tak akan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.

Ada pun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu beserta empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang maju, dahulu Seng Thian Siansu juga pasti kalah olehnya.

Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia sudah salah duga. Ternyata, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja dia tak akan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak bisa mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya dia dapat menangkan Keng Thian Siansu, hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!

Aku harus menangkan dengan adu tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, dia tidak mengelak, bahkan dia melibat ujung tongkat itu dengan ujung rantainya sambil mengerahkan lweekang.

“Bukkk!”

Ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa pun. Namun sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapa pun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan kepalan tangan kirinya yang datang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai!

Keng Thian Siansu tadinya sudah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang kekuasaan sebagai ketua partai, maka tentu saja kehilangan tongkat yang terampas oleh lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa.

Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan kanannya, mempergunakan gerak Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat jari-jari kedua tangan itu telah saling cengkeram!

Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lweekang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik, dan sebelah lagi saling cengkeram.

Muka hwesio itu tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dan dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan lweekang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.

Tenaga lweekang dari hwesio itu yang diperoleh dari latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih. Maka, setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan tenaga lweekang, sudah bisa dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lun-pai itu tidak akan tertolong lagi! Pertandingan lweekang biar pun dilakukan tanpa mengeluarkan suara dan tanpa bergerak, namun bahayanya melebihi pertandingan silat.

Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau tetap mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lweekang, orang bertanding dengan mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang ‘tidak kelihatan’ namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Bu Pun Su pasti maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan sungguh pun tongkatnya lenyap, tetapi ia akan selamat nyawanya.

Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia merasa kagum terhadap Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar dari pada nyawanya!

Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan kakek sakti ini tiba-tiba meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lweekang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu.

Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!

“Ayaaaa...!” Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dan melompat ke belakang.

Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tubuh tosu tua ini terhuyung-huyung dan ia cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah menggunakan lweekang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya.

Sekarang Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali.

“Bu Pun Su, kau memang seorang pengecut dan tak tahu malu!” Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi tak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata!

Bu Pun Su tersenyum mengejek, “Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus kemudian digunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!”

“Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri seorang keji yang telah membunuh dua orang cucu muridku dan kini kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap? Apakah itu perbuatan seorang laki-laki?”

Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini. “Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus dilakukan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhan nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa aturan kesopanan pula.”

“Jahanam, kau memaki aku anjing?”

”Siapa memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kau bilang aku sudah membunuh dua orang cucu muridmu?”

“Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu saja ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk upacara menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.”

Bu Pun Su tertawa geli. “Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dahulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya, mana ada setan yang suka?”

Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. “Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!”

Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. “Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Sedangkan aku yang hendak kau bunuh tidak tergesa-gesa, mengapa engkau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?”

“Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam.”

Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan suara ini lapat-lapat mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, yang dijawab oleh auman binatang-binatang buas!

“Kong Mo Taisu, kau kira aku tidak dapat menduga? Ternyata siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki goamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau... ahhh, mana bisa lain? Kau dengan segala senang hati berkenan melaksanakan permintaannya untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?”

Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su itu, seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali.

Setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, Pek Hoa kemudian langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar dia hanya diterima di ruangan depan sekali, tak diperbolehkan masuk. Di situ wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-to.

Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidak percayaannya.

“Apa pun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su dari pada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!” kata Hek Bin Taisu.

Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.

Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke goanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si.

Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari goa dan untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, dia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Meski pun Kong Mo Taisu telah menjadi seorang hwesio dan telah bertapa bertahun-tahun, akan tetapi pada dasarnya ia memiliki kelemahan batin.

Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apa lagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!

Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang akhirnya menimbulkan marahnya.

“Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapa pun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!” Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.

Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lweekang dan ilmu I-kin-keng, karena itu serangan-serangannya tentu berbahaya sekali. Akan tetapi di samping ini, dia pun maklum bahwa ilmu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.

Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudian berkatalah Bu Pun Su,

“Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan hingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si. Kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat hingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan sudah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu sudah sangat memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!”

Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.

Sekali saja kakek ini menggeser kaki, memiringkan tubuh atau menundukkan kepalanya, menekuk lutut atau menggoyang pinggang, maka semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka, dan hanya sejari terpisah dari anggota tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran.

“Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?” Bu Pun Su bicara terus.

Dia cepat menggunakan tenaga Pek-in Hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagai terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.

“Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Oleh karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu birahi didahului dengan penggundulan rambut kepala.”

Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,

“Akan tetapi kau walau pun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!”

Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkatan yang tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, serangan-serangannya sampai dua puluh jurus lebih tak pernah berhasil? Apa lagi Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!

Sekali ini pukulan rantai ke arah kepala amat kuatnya, dilakukan dengan mengerahkan tenaga I-kin-keng sepenuhnya. Biar pun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasakan sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.

“Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat...,” kata kakek sakti ini.

Cepat dia mengulur tangan kanannya menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya. Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su seorang saja yang berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andai kata setingkat saja, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata!

Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil.

Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biar pun kelihatannya gerakannya biasa saja, akan tetapi lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat serta menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah, dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun ujung baja itu sudah digenggamnya.

Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar sangat aneh. Meski pun rantai itu terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkok-bengkok.

Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lweekang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biar pun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja.

Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh kaki tangan, bahkan dengan senjata sekali pun, masih belum begitu menegangkan laksana pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!

Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini telah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia bisa menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.

“Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan lupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, seolah memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.

Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri telah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada padanya. Akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.

Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.

Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras dia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya.

Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.

“Curang...!” Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi karena dia maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.

Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu. Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada. Dia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya.

Diam-diam dia telah menyediakan tenaga pada pundaknya. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu secara nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su segera menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak tangan menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.

Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali.

“Krek… krek…krek…!” terdengar suara dan satu demi satu mata rantai itu hancur!

Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan pada saat mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Dia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram.

“Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.” kata Bu Pun Su menarik napas panjang.

Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Walau pun sepak terjang Kong Mo Taisu sangat jahat dan tidak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga lweekang-nya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti bahwa selamanya dia tak akan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.

Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan serta penjagaan di tapal batas barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat dan memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su juga menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.

Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu kepada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai mengenai kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.

Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan dari Bu Pun Su untuk membantu menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di kuil Siauw-lim-si dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi.

Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan kemudian menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.

Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat sudah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran.

Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan, di samping hendak menanyakan mengenai Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, dia juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar itu.

Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika tiba di Sian-koan dia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian dia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu dan mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.

“Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah...“ Dia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.

Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya karena terharu dan ikut berduka. Sebelum dia menjumpai Im Giok, lebih dahulu kakek ini telah mencari keterangan mengenai terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.

“Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka bumi ini… teecu sudah tidak kuat menanggung dosa...,” gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.

“Kiang Im Giok, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu dan usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkatlah muka dan dada, arahkan pandangan ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?”

Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuat dirinya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di hadapannya dengan mata penuh harap dan tanya.

Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa sangat kasihan. Dia harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.

“Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi seorang yatim piatu dan apa bila dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah terlalu buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati dan hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain.”

Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali, lalu menjawab,

“Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang hendak mengajukan pinangan untuk diri teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa sangka, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu...” Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.

“Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tidak perlu penasaran. Ada pun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab dan akibat, lalu mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita akan terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Semenjak kecil kau dilatih tentang kegagahan, maka kau juga harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, kenapa mesti terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?”

Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Dia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,

“Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk.”

“Banyak sekali yang bisa kau lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu itu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini.”

“Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw.”

Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas yang penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan yang menarik dan dapat melupakan orang dari kedukaannya, mendatangkan perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak.

“Baiklah, Im Giok. Aku pun tengah membutuhkan bantuanmu, karena itu kebetulan sekali kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan di samping membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi suatu hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai terjadi bentrokan dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai merupakan seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan terkenal pula sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sangat sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki mengenai pertentangan antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai.”

Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.

“Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw,“ katanya.

Kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan makam ayahnya, juga di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati serta pikirannya, setelah dia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couw-nya.

“Di mana adanya suci-mu?” tiba-tiba saja Bu Pun Su bertanya sesudah Im Giok selesai bersembahyang.

“Kalau tidak pergi, tentu dia ada di rumah,” jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan suci-nya itu.

“Hemm, aku ingin bertemu dengan dia.”

Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.

Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi sejak dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberi tahu kepada siapa pun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa suci-nya itu sudah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa suci-nya itu pergi jauh dan mungkin sekali tidak akan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.

“Im Giok, di samping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati suci-mu. Jangan sampai kelak dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan mencemarkan nama baik kita. Betapa pun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itu pun adalah anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas seluruh sepak terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.”

Setelah banyak memberi nasehat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Sesudah kakek ini pergi, Ang I Niocu kemudian menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san.

Im Giok memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka dia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, di samping hendak memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.

Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan pakaian putih yang sederhana sekali, sekarang dalam perjalanannya, dia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Kecantikan dan kesegarannya yang dahulu sudah pulih kembali dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.

Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang ada keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing manis dan pipi yang selalu kemerah-merahan tanpa cat, merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan sisa rambut yang panjang itu dibiarkan menggantung di belakang leher.

Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dulu selalu dibelikan ayahnya yang sangat memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu.

Sepasang telinganya yang bagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-anting ini selalu bergerak-gerak, seperti bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.

Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh dengan kemanisan dan keindahan yang tak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu.

Sekarang mata ini sedikit berbeda dengan dahulu. Apa bila dahulu selalu membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan juga kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.

Mungkin dulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya bagai sinar mata kanak-kanak nakal. Akan tetapi sekarang, lebih dulu orang akan berpikir masak-masak sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu.

Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang sangat dahsyat, sesuatu yang berupa ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, tentu akan bisa menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.

Akan tetapi kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana kadang kala waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya.

Baju dalamnya berwarna biru, yang hanya nampak pada bagian leher serta lengan baju. Kemudian bajunya terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, amat lemas sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang amat molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas.

Ikat pinggang inilah yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapa pun menariknya gadis jelita ini, tidak ada orang yang berani sembarangan berlaku kurang ajar oleh karena selain bersikap agung, Ang I Niocu juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.

Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, yaitu kuda bulu putih kesayangannya. Dalam menempuh perjalanan menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya.

Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dahulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.

Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah suci-nya ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu semakin sayang kepada Pek-hong-ma.

Pada suatu hari, ketika dia sampai di sebuah dusun, dia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, karena itu dia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.

Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.

“Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu pergi dan kau masih ada muka untuk merengek-rengek? Benar-benar anjing yang tak mengenal malu!” laki-laki itu memaki dan kakinya menendang sehingga perempuan itu roboh terguling.

Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali. Di antara tangisnya terdengar ia berkata,

“Suamiku, kenapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku? Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminang aku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?”

“Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!”

Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, “Suamiku, mengapa kau begitu keji...?”

“Siapa keji? Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!” Kembali laki-laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling kemudian mengaduh-aduh.

Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.

“Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!”

”Jangan banyak cerewet...”

Kata-kata si suami ini terhenti dan dia berdiri melongo ketika tiba-tiba dia melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa bagaikan bidadari, tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang tiba-tiba itu, dia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!

Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.

“Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?”

Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun dia pun percaya akan tahyul dan menyangka bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,

“Ampunkan hamba... dia itu adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan supaya hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba mempergunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai keturunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba...”

Semenjak tadi pun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek.

Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana jalannya?

“Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?”

“Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?” perempuan itu bertanya heran.

“Walau pun andai kata dia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekali pun?”

“Apa pun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya...,” jawab isteri yang setia ini.

Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah

“Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya? Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau ini harus diberi hajaran. Rasakan ini!”

Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat dan meraba pada bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur deras dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.

“Lihat baik-baik daun telingamu!” kata Ang I Niocu sambil menyimpan pedangnya. “Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!”

Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala tergeletak di atas pangkuannya.



Dara Baju Merah Jilid 17

ANG I NIOCU

(DARA BAJU MERAH)

Karya Kho Ping Hoo

JILID 17

Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang dia hadapi selama enam bulan ini dan berkali-kali dia menghela napas. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah belahan antara orang-orang gagah supaya tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat pergi ke Go-bi-pai untuk menemui Twi Mo Siansu.

Ia sendiri lalu pergi ke Pulau Pek-le-to untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun hendak pergi menuju Kun-lun-pai. Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, dia menemui kekecewaan luar biasa di Pulau Pek-le-to, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah berhasil membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-to!

Kemudian, dalam marahnya Bu Pun Su menghajar Han Le dan akhirnya mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati sangat mengkal Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san. Akan tetapi, baru saja dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, dia bertemu dengan serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia segera saja mengepung dan menyerangnya!

Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai, jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.

“Tahan...! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?” serunya.

Akan tetapi dia harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.

Para tosu Kun-lun-pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tak mau memberi hati, tak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan serentak. Akan tetapi mereka kecele jika mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja.

Melihat betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya dan bahkan melanjutkan serangan-serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa.

Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung, yang aneh sekali gerakannya dan setiap kali menyambar dan menyambut pedang atau golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patah-patah! Ada pun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi, lambat-lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu melompat mundur!

Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Dua tangan dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat melakukannya!

Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya, Bu Pun Su sama sekali tidak ingin melukai para pengeroyoknya, kalau pun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak berarti saja. Tetapi tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau sebab pedang dan golok mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan atau dibikin terpental entah ke mana.

Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari seorang kakek tua. Kakek ini adalah seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan terlihat seperti seorang tua renta yang sangat lemah.

Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran karena biar pun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap tidak akan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di belakangnya saking cepatnya ia lari.

“Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?” Kakek itu menegur setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-cepat berdiri di pinggiran sambil memberi hormat.

Bu Pun Su tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku, benar-benar lihai sekali matamu.”

“Kau pun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?”

“Ha-ha-ha-ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu. Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suheng-mu Seng Thian Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain.”

“Apa maksudmu?”

“Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang. Ehhh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, bahkan masing-masing menghadiahi sebatang golok atau pedang! Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?”

Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada hujan tiada angin tahu-tahu ia telah diserang begitu hebat oleh begini banyak tosu Kun-lun-pai, tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri. Kalau saja dia tidak pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya?

Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkat di depan kakinya. Para tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata mereka. Melihat ini, diam-diam Bu Pun Su terkejut dan tidak mau main-main lagi, akan tetapi mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai.

“Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto merasa kecewa. Tadi kau menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, bukankan begitu?”

“Benar, Kheng Thian Siansu.”

“Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-lekas mengakui dosa-dosamu?”

Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah.

“Ehh, ehhh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah yang tidak menumpuk dosa? Akan tetapi kalau dosa-dosaku tidak ada sangkut pautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku yang dulu-dulu dihadapanmu? Memangnya siapakah kau ini? Wakil dari Giam-lo-ong?”

“Bu Pun Su, tidak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau sudah membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih berani bilang tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?”

Bu Pun Su memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-to! Akan tetapi bagaimanakah Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh dia? Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapa pun juga, Han Le ikut bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia mengalah dan berlaku sabar.

“Keng Thian Siansu, nanti dulu. Aku bisa memberi penjelasan tentang kematian Cin Giok Sianjin. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu cepatnya? Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?”

“Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa.”

Bu Pun Su menarik napas panjang. Dia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa bekerja cepat.

“Hemm, siluman betina itu tentunya baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?” Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti Iblis Betina.

“Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia berbicara sambil menggoyang-goyangkan tubuh seperti pohon yang-liu tertiup angin musim chun, matanya mengerling-ngerling bagaikan bintang-bintang di langit dan bibirnya tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya penuh?”

Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biar pun agak berlebih-lebihan semua dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh Bu Pun Su!

“Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi? Dan pula, apa perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong? Ditambah lagi kedatanganmu di sini, benar-benar semuanya menimbulkan kecurigaan kami. Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-to. Apakah betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?”

“Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-to terlambat,” jawab Bu Pun Su. Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Keng Thian Siansu.

“Ketika aku mendarat di Pek-le-to, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin beserta dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan orang yang saat itu tinggal di Pulau Pek-le-to itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!”

Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh. “Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-pai?”

“Memang ada yang membantu...,” kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan.

“Siapa...?” Keng Thian Siansu mendesak.

Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu.

“Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku seperti ini saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini? Ahh, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang tidak manis budi...”

Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata, “Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tata susila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!”

Bu Pun Su balas menjura. “Terima kasih!”

Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini, semua tosu Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari cepat yang sedemikian hebatnya.

Keng Thian Siansu berseru, “Kau memang hebat Bu Pun Su.”

Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling berpandangan dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.

Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu Pun Su. Mereka ini yang dua orang merupakan murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-to.

Dia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-to.

“Hemm, kalau begitu sute-mu itu yang menjadi pembunuh!” kata Keng Thian Siansu.

“Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang sudah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku hendak membela sute-ku yang juga berdosa, tetapi harus diingat bahwa sute-ku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh karena pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa. Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat. Apa bila orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang sangat kuat, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le sudah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh ketiga orang itu di Pulau Pek-le-to dalam keadaan tidak sadar seperti di bawah pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum sute-ku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-to. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?”

Kiang Thian Siansu serta anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le tak akan dapat melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman ini pada hakekatnya bahkan lebih berat dari pada hukuman mati.

“Bu Pun Su, kami memang telah mendengar penuturanmu dan kami percaya sepenuhnya kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal dan engkaulah satu-satunya orang yang harus membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Apa bila memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar sudah datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk membuktikan kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!”

Bu Pun Su nampak terkejut. “Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!”

“Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan itu, barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su.”

Bu Pun Su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?”

Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, “Saudara dari Siauw-lim-si berlaku amat sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?”

Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu pun, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat sesosok bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan gerakan yang cepat, akan tetapi walau pun kedua kakinya tidak menimbulkan suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar hebat seolah-olah dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!

Semua orang memandang. Orang yang baru muncul ini adalah seorang hwesio gundul yang badannya tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pula mukanya licin kelimis seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang membuat rupanya menjadi amat buruk adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang murung dan duka. Sebenarnya usianya sudah enam puluh tahun lebih, akan tetapi oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.

Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai, akan tetapi siapakah orang ini? Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini belum pernah mereka kenal.

Kalau yang datang ini adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak mengherankan apa bila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lweekang serta ginkang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah sekali dilihat bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.

“Bu Pun Su,” hwesio itu berkata dengan muka yang tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan menggetarkan anak telinga. “Biar pun kaum Kun-lun-pai telah berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai, kemudian menerima hukuman atas dosa-dosamu!”

Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian Siansu bersama tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali.

Mereka tidak ambil pusing dengan apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan rumah, betul-betul telah melanggar peraturan kang-ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.

Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu terlebih dulu dan tentu telah menggunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan bisa sampai di ruangan lian-bu-thia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama.

Ke dua, hwesio ini sama sekali tak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurang ajaran yang menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio ini hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tak memandang mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan pelanggaran ke tiga.

Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat dia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi dia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata,

“Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit! Akan tetapi kenapa kau ini hwesio yang mengaku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?”

Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, dan tak lama kemudian terdengar suaranya yang keras dan parau, “Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?”

Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek. “Hwesio, kelirunya dugaanmu ini saja telah membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?”

“Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?”

Sesudah berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan terkejutlah Sun Giok Sianjin karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai hampir tidak tertahankan lagi. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menjaga keselamatan bagian halus di dalam telinganya supaya tidak mengalami kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lweekang ini.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su sudah mengerahkan tenaganya sehingga dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya.

“Pernah dahulu Suhu-ku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri sebuah kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah tersebut bisa mempelajari isi kitab itu tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selama hidupnya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam goa di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng begini tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?” tanya Bu Pun Su di akhir penjelasannya.

Juga Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget. “Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tidak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Hwesio keparat itu ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio itu mempunyai sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng beserta sahabat-sahabatnya, dan biar pun tidak dapat dibinasakan, tetapi hwesio itu sudah diberi peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!”

Hwesio itu mukanya tidak berubah, akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.

Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, “Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!”

“Sun Giok Sianjin, awas!” teriak Bu Pun Su.

Tosu ini cepat-cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu sudah menyerang dengan sebuah pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali.

Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin tetapi lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian para murid Keng Thian Siansu. Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main.

Biar pun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lweekang dari Si Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Segera tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok pada punggungnya. Sun Giok Sianjin terkenal sangat lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan kirinya.

Memang tosu ini adalah seorang kidal yaitu seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil mempergunakan tangan kiri dari pada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran jika menghadapi seorang yang memainkan senjata dengan tangan kiri.

Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka hwesio telinga buntung ini. Biar pun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tak memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!

“Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi, barulah menghadapi pinceng!” Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini.

“Hwesio siluman lihat pedang!”

Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar dengan gerak tipu Hek-in Koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan), yang lalu disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu Sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai).

Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.

Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan sesudah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa pukulan ahli lweekang I-kin-keng ini, ia kemudian berseru keras dan tiba-tiba dari samping pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh tenaga lweekang sehingga apa bila hwesio itu berani menangkis, sungguh pun tidak dapat dia menangkan tenaga lweekang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan ketajaman pedangnya paling tidak tentu akan melukai tubuh lawannya!

Akan tetapi hwesio itu benar-benar amat lihai. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi besar itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang telah menyambar lewat, tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong semacam Siok-lui Kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan tetapi bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Benar-benar luar biasa sekali.

Biar pun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapa pun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tidak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lweekang dikerahkan dan…

“Krakk!” pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai!

Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih!

Kong Mo Taisu tertawa bergelak, sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia telah dikalahkan oleh hwesio itu. Ini adalah hal yang benar-benar sangat mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar biasa lihainya.

Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biar pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada murid keponakannya itu, namun apa bila disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat berat.

Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin dia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apa lagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit dia bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.

“Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?”

Kong Mo Taisu memandang tajam. “Engkau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?”

“Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat,” Keng Thian Siansu menyeringai.

“Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi? Kau tak tahu malu, yang sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang, karena takut padanya kau bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama memang pinceng hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan hatiku menebus hinaan pada waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!”

Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai itu, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini hwesio ini berkata benar.

Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada Hok Bin Taisu sendiri. Kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya.

Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang telah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya.

Keng Thian Siansu menjadi mendongkol sekali mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan ingin mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, akan tetapi puncak kepandaiannya, yaitu tentu saja kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu. Kata-kata ini sama halnya dengan menantangnya.

Apa lagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan adalah hinaan potong telinga yang sudah dilakukan oleh mendiang suheng-nya, Seng Thian Siansu.

“Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suheng-ku membuntungi telinga kirimu. Kini kau mau membalas dendam masa lalu? Baiklah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya dulu yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga keledaimu yang sebelah lagi!”

Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan menghina orang. Tapi kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja ingin memanaskan hati dan membuat hwesio itu menjadi marah, karena hanya bila hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan menang.

Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga lweekang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sulit sekali untuk menghimpun hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sinkang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.

Ejekan tentang telinga itu kiranya betul-betul tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras dia mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dijadikan ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam.

“Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suheng-mu!” Hwesio itu membentak sambil dia mengirim serangan.

Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung rantai menghantam lantai hingga debu berhamburan ke atas karena lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.

“Traangg...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat pada tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.

Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw mampu menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat, tenaga lweekang, mau pun ginkang yang semua sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya.

Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja dia tidak memiliki sinkang yang sangat kuat tentu kulit serta daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas bagaikan api membara.

Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, rantai itu tahu-tahu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan ke arah kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.

Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun Kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian.

Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah. Dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu segera mengandalkan kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia sanggup menangkis serangan lawannya yang tentu saja menggunakan sistem setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada pada pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.

Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya. Kini tempat itu sudah terkurung oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan telah siap sedia menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana.

Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa apa bila Ketua Kun-lun-pai sampai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu tak akan dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan selamat. Walau pun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia sanggup menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu.

Mereka pun takkan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang tamu terhormat, tetapi sebagai seorang pencuri yang datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau hwesio itu adalah tamu terhormat dan pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup tak akan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.

Ada pun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu beserta empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang maju, dahulu Seng Thian Siansu juga pasti kalah olehnya.

Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia sudah salah duga. Ternyata, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja dia tak akan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak bisa mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya dia dapat menangkan Keng Thian Siansu, hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!

Aku harus menangkan dengan adu tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, dia tidak mengelak, bahkan dia melibat ujung tongkat itu dengan ujung rantainya sambil mengerahkan lweekang.

“Bukkk!”

Ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa pun. Namun sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapa pun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan kepalan tangan kirinya yang datang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai!

Keng Thian Siansu tadinya sudah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang kekuasaan sebagai ketua partai, maka tentu saja kehilangan tongkat yang terampas oleh lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa.

Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan kanannya, mempergunakan gerak Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat jari-jari kedua tangan itu telah saling cengkeram!

Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lweekang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik, dan sebelah lagi saling cengkeram.

Muka hwesio itu tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dan dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan lweekang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.

Tenaga lweekang dari hwesio itu yang diperoleh dari latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih. Maka, setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan tenaga lweekang, sudah bisa dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lun-pai itu tidak akan tertolong lagi! Pertandingan lweekang biar pun dilakukan tanpa mengeluarkan suara dan tanpa bergerak, namun bahayanya melebihi pertandingan silat.

Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau tetap mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lweekang, orang bertanding dengan mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang ‘tidak kelihatan’ namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Bu Pun Su pasti maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan sungguh pun tongkatnya lenyap, tetapi ia akan selamat nyawanya.

Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia merasa kagum terhadap Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar dari pada nyawanya!

Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan kakek sakti ini tiba-tiba meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lweekang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu.

Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!

“Ayaaaa...!” Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dan melompat ke belakang.

Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tubuh tosu tua ini terhuyung-huyung dan ia cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah menggunakan lweekang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya.

Sekarang Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali.

“Bu Pun Su, kau memang seorang pengecut dan tak tahu malu!” Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi tak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata!

Bu Pun Su tersenyum mengejek, “Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus kemudian digunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!”

“Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri seorang keji yang telah membunuh dua orang cucu muridku dan kini kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap? Apakah itu perbuatan seorang laki-laki?”

Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini. “Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus dilakukan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhan nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa aturan kesopanan pula.”

“Jahanam, kau memaki aku anjing?”

”Siapa memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kau bilang aku sudah membunuh dua orang cucu muridmu?”

“Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu saja ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk upacara menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.”

Bu Pun Su tertawa geli. “Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dahulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya, mana ada setan yang suka?”

Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. “Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!”

Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. “Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Sedangkan aku yang hendak kau bunuh tidak tergesa-gesa, mengapa engkau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?”

“Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam.”

Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan suara ini lapat-lapat mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, yang dijawab oleh auman binatang-binatang buas!

“Kong Mo Taisu, kau kira aku tidak dapat menduga? Ternyata siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki goamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau... ahhh, mana bisa lain? Kau dengan segala senang hati berkenan melaksanakan permintaannya untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?”

Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su itu, seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali.

Setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, Pek Hoa kemudian langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar dia hanya diterima di ruangan depan sekali, tak diperbolehkan masuk. Di situ wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-to.

Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidak percayaannya.

“Apa pun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su dari pada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!” kata Hek Bin Taisu.

Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.

Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke goanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si.

Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari goa dan untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, dia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Meski pun Kong Mo Taisu telah menjadi seorang hwesio dan telah bertapa bertahun-tahun, akan tetapi pada dasarnya ia memiliki kelemahan batin.

Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apa lagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!

Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang akhirnya menimbulkan marahnya.

“Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapa pun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!” Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.

Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lweekang dan ilmu I-kin-keng, karena itu serangan-serangannya tentu berbahaya sekali. Akan tetapi di samping ini, dia pun maklum bahwa ilmu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.

Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudian berkatalah Bu Pun Su,

“Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan hingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si. Kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat hingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan sudah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu sudah sangat memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!”

Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.

Sekali saja kakek ini menggeser kaki, memiringkan tubuh atau menundukkan kepalanya, menekuk lutut atau menggoyang pinggang, maka semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka, dan hanya sejari terpisah dari anggota tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran.

“Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?” Bu Pun Su bicara terus.

Dia cepat menggunakan tenaga Pek-in Hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagai terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.

“Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Oleh karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu birahi didahului dengan penggundulan rambut kepala.”

Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,

“Akan tetapi kau walau pun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!”

Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkatan yang tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, serangan-serangannya sampai dua puluh jurus lebih tak pernah berhasil? Apa lagi Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!

Sekali ini pukulan rantai ke arah kepala amat kuatnya, dilakukan dengan mengerahkan tenaga I-kin-keng sepenuhnya. Biar pun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasakan sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.

“Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat...,” kata kakek sakti ini.

Cepat dia mengulur tangan kanannya menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya. Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su seorang saja yang berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andai kata setingkat saja, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata!

Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil.

Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biar pun kelihatannya gerakannya biasa saja, akan tetapi lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat serta menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah, dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun ujung baja itu sudah digenggamnya.

Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar sangat aneh. Meski pun rantai itu terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkok-bengkok.

Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lweekang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biar pun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja.

Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh kaki tangan, bahkan dengan senjata sekali pun, masih belum begitu menegangkan laksana pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!

Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini telah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia bisa menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.

“Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan lupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, seolah memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.

Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri telah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada padanya. Akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.

Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.

Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras dia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya.

Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.

“Curang...!” Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi karena dia maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.

Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu. Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada. Dia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya.

Diam-diam dia telah menyediakan tenaga pada pundaknya. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu secara nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su segera menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak tangan menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.

Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali.

“Krek… krek…krek…!” terdengar suara dan satu demi satu mata rantai itu hancur!

Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan pada saat mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Dia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram.

“Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.” kata Bu Pun Su menarik napas panjang.

Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Walau pun sepak terjang Kong Mo Taisu sangat jahat dan tidak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga lweekang-nya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti bahwa selamanya dia tak akan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.

Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan serta penjagaan di tapal batas barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat dan memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su juga menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.

Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu kepada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai mengenai kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.

Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan dari Bu Pun Su untuk membantu menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di kuil Siauw-lim-si dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi.

Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan kemudian menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.

Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat sudah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran.

Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan, di samping hendak menanyakan mengenai Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, dia juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar itu.

Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika tiba di Sian-koan dia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian dia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu dan mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.

“Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah...“ Dia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.

Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya karena terharu dan ikut berduka. Sebelum dia menjumpai Im Giok, lebih dahulu kakek ini telah mencari keterangan mengenai terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.

“Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka bumi ini… teecu sudah tidak kuat menanggung dosa...,” gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.

“Kiang Im Giok, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu dan usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkatlah muka dan dada, arahkan pandangan ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?”

Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuat dirinya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di hadapannya dengan mata penuh harap dan tanya.

Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa sangat kasihan. Dia harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.

“Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi seorang yatim piatu dan apa bila dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah terlalu buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati dan hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain.”

Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali, lalu menjawab,

“Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang hendak mengajukan pinangan untuk diri teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa sangka, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu...” Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.

“Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tidak perlu penasaran. Ada pun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab dan akibat, lalu mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita akan terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Semenjak kecil kau dilatih tentang kegagahan, maka kau juga harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, kenapa mesti terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?”

Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Dia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,

“Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk.”

“Banyak sekali yang bisa kau lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu itu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini.”

“Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw.”

Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas yang penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan yang menarik dan dapat melupakan orang dari kedukaannya, mendatangkan perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak.

“Baiklah, Im Giok. Aku pun tengah membutuhkan bantuanmu, karena itu kebetulan sekali kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan di samping membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi suatu hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai terjadi bentrokan dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai merupakan seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan terkenal pula sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sangat sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki mengenai pertentangan antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai.”

Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.

“Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw,“ katanya.

Kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan makam ayahnya, juga di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati serta pikirannya, setelah dia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couw-nya.

“Di mana adanya suci-mu?” tiba-tiba saja Bu Pun Su bertanya sesudah Im Giok selesai bersembahyang.

“Kalau tidak pergi, tentu dia ada di rumah,” jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan suci-nya itu.

“Hemm, aku ingin bertemu dengan dia.”

Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.

Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi sejak dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberi tahu kepada siapa pun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa suci-nya itu sudah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa suci-nya itu pergi jauh dan mungkin sekali tidak akan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.

“Im Giok, di samping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati suci-mu. Jangan sampai kelak dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan mencemarkan nama baik kita. Betapa pun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itu pun adalah anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas seluruh sepak terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.”

Setelah banyak memberi nasehat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Sesudah kakek ini pergi, Ang I Niocu kemudian menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san.

Im Giok memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka dia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, di samping hendak memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.

Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan pakaian putih yang sederhana sekali, sekarang dalam perjalanannya, dia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Kecantikan dan kesegarannya yang dahulu sudah pulih kembali dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.

Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang ada keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing manis dan pipi yang selalu kemerah-merahan tanpa cat, merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan sisa rambut yang panjang itu dibiarkan menggantung di belakang leher.

Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dulu selalu dibelikan ayahnya yang sangat memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu.

Sepasang telinganya yang bagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-anting ini selalu bergerak-gerak, seperti bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.

Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh dengan kemanisan dan keindahan yang tak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu.

Sekarang mata ini sedikit berbeda dengan dahulu. Apa bila dahulu selalu membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan juga kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.

Mungkin dulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya bagai sinar mata kanak-kanak nakal. Akan tetapi sekarang, lebih dulu orang akan berpikir masak-masak sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu.

Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang sangat dahsyat, sesuatu yang berupa ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, tentu akan bisa menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.

Akan tetapi kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana kadang kala waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya.

Baju dalamnya berwarna biru, yang hanya nampak pada bagian leher serta lengan baju. Kemudian bajunya terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, amat lemas sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang amat molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas.

Ikat pinggang inilah yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapa pun menariknya gadis jelita ini, tidak ada orang yang berani sembarangan berlaku kurang ajar oleh karena selain bersikap agung, Ang I Niocu juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.

Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, yaitu kuda bulu putih kesayangannya. Dalam menempuh perjalanan menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya.

Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dahulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.

Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah suci-nya ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu semakin sayang kepada Pek-hong-ma.

Pada suatu hari, ketika dia sampai di sebuah dusun, dia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, karena itu dia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.

Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.

“Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu pergi dan kau masih ada muka untuk merengek-rengek? Benar-benar anjing yang tak mengenal malu!” laki-laki itu memaki dan kakinya menendang sehingga perempuan itu roboh terguling.

Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali. Di antara tangisnya terdengar ia berkata,

“Suamiku, kenapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku? Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminang aku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?”

“Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!”

Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, “Suamiku, mengapa kau begitu keji...?”

“Siapa keji? Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!” Kembali laki-laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling kemudian mengaduh-aduh.

Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.

“Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!”

”Jangan banyak cerewet...”

Kata-kata si suami ini terhenti dan dia berdiri melongo ketika tiba-tiba dia melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa bagaikan bidadari, tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang tiba-tiba itu, dia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!

Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.

“Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?”

Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun dia pun percaya akan tahyul dan menyangka bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,

“Ampunkan hamba... dia itu adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan supaya hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba mempergunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai keturunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba...”

Semenjak tadi pun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek.

Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana jalannya?

“Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?”

“Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?” perempuan itu bertanya heran.

“Walau pun andai kata dia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekali pun?”

“Apa pun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya...,” jawab isteri yang setia ini.

Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah

“Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya? Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau ini harus diberi hajaran. Rasakan ini!”

Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat dan meraba pada bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur deras dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.

“Lihat baik-baik daun telingamu!” kata Ang I Niocu sambil menyimpan pedangnya. “Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!”

Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala tergeletak di atas pangkuannya.