Dara Baju Merah Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DARA BAJU MERAH

Karya Kho Ping Hoo

JILID 08

SEMUA orang berlari-lari mendekati tebing sungai untuk melihat. Mereka menjadi sangat kagum dan di sana-sini terdengar seruan memuji. Memang kepandaian Cheng-hai-ong hebat sekali.

Lain orang kalau ingin terapung di air, tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun hanya membuat sebagian tubuh saja yang terapung. Akan tetapi, tidak demikian dengan Cheng-hai-ong. Entah bagaimana, dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat dan aneh, ia dapat membuat tubuhnya terapung dalam keadaan berdiri tegak dan yang tenggelam ke dalam air hanya kaki sebatas lutut saja!

Lutut itu bergerak-gerak terus dan dapat diduga bahwa kedua kaki itulah yang bergerak secara istimewa sehingga tubuhnya dapat tegak pada permukaan air, dan tangan kanan Cheng-hai-ong sudah memegang senjatanya yang luar biasa sekali, yakni rantai dengan tengkorak manusia pada ujungnya! Orang ini tertawa mengejek sambil memandang ke arah Bu Pun Su!

“Bu Pun Su, beranikah kau turun ke sini?” tantangnya dengan nada suara mengejek.

“Kwan Cu, jangan kena terjebak oleh tipu muslihatnya!” Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su, kemudian dengan suara nyaring sambil mengamang-amangkan cambuknya ke arah Cheng-hai-ong, ia membentak keras,

“Cheng-hai-ong, manusia busuk! Kau hendak mempergunakan kecurangan, memancing lawan ke dalam air. Kami bukanlah sebangsa katak yang biasa main di darat dan di air, mana kami sudi melayanimu di air, kau katak bukan tikus pun bukan? Hayo naik ke darat dan kau bisa mencoba rasanya cambukku ini sebelum bangkaimu kulemparkan ke dalam air.”

Bu Pun Su tersenyum. “Air Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan tetapi selama masih ada nelayan, kita takut apakah?” Tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke bawah, ke air sungai yang demikian lebar dan dalam!

Semua orang melongok ke bawah. Kawan-kawan Bu Pun Su sangat khawatir karena mereka belum pernah mendengar bahwa pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan tetapi apa yang mereka lihat di permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar membuat mereka melongo, bahkan pihak Mo-kauw yang menyaksikan pemandangan ini menjadi pucat dan tak berani bernapas. Apakah yang mereka lihat?

Bu Pun Su telah melompat dan tiba di permukaan air seperti di atas tanah keras saja! Pendekar sakti ini berdiri di permukaan air, tidak bergeming, tidak bergerak sama sekali, tersenyum-senyum dan enak saja menghadapi Cheng-hai-ong yang menjadi pucat.

Ini tak mungkin, pikir Cheng-hai-ong. Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan ia tahu bahwa berdiri tanpa bergerak pada permukaan air laksana sehelai daun kering, adalah hal yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Kalau sekiranya ia melihat Bu Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, dia masih percaya karena seorang yang ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi seperti Bu Pun Su, kiranya dapat melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di permukaan air tanpa bergerak?

Kemudian, tiba-tiba Cheng-hai-ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di tempat itu. Ketika ia dan suheng-suheng-nya menanti datangnya Bu Pun Su, ada suara ketawa aneh di permukaan air, dan ia telah menyerang dengan jarum ke arah permukaan air, akan tetapi tidak kelihatan siapa pun juga.

Apakah tidak mungkin ada orang pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu telah membantu Bu Pun Su dan menyangga kedua kakinya?

“Jahanam, jangan main sembunyi, keluarlah kalau kau laki-laki!” seru Cheng-hai-ong dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak sehingga beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di bawah kaki Bu Pun Su!

Bu Pun Su menggerakkan kakinya menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke kiri.

“Kong Hwat, kau lawanlah dia ini, sama-sama setan air!” kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan kakinya, tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.

Terdengar suara ketawa bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su ‘berdiri’ di atas air, muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu langsung ketawa terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali. Akan tetapi kedua matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja tidak ada air sungai yang menetes-netes dari rambutnya, tentu orang akan melihat air matanya bercucuran!

“Dia Nelayan Cengeng!” seru Sui Ceng.

Dia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa Bu Pun Su tadi sebelum melompat ke dalam sungai sudah mengetahui bahwa Nelayan Cengeng berada di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui hal ini?

Ada pun Cheng-hai-ong, pada waktu melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu Pun Su, menjadi marah sekali. Ia cepat menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai lantas menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap lagi ke bawah permukaan air.

Tiba-tiba nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan memaki-maki. Senjatanya bergerak memukul ke bawah, namun tetap saja tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian, dua orang ‘setan air’ itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar sungai terjadi pergumulan hebat.

Bu Pun Su memang datang bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu Cangpo. Dua orang kenalan lama itu lalu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su hendak menghadapi orang-orang Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan suka rela ikut ke tempat itu.

Akan tetapi Kong Hwat tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari sungai, mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggota Mo-kauw mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang.

Sementara itu, orang-orang Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas, menjadi marah sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru keras memberi aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah mereka sehingga kembali terjadi perang tanding yang hebat antara orang-orang Mo-kauw melawan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun.

Ada pun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi, tentu saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le, Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat serta para tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.

Pertandingan berjalan tidak seimbang. Setelah Thian-te Sam-kauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak Mo-kauw kalah jauh, apa lagi jika Bu Pun Su ikut turun tangan membantu kawan-kawannya. Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton, kadang-kadang menengok ke arah sungai.

Pergumulan di dalam sungai antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat. Sayangnya mereka yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini, pertempuran antara dua orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan.

Sebetulnya, kalau bertanding di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan kiranya Kong Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan Cengeng ini memang cerdik. Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh, oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka di darat, melainkan menunggu di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya dan tidak usah takut terhadap siapa pun juga.

Meski pun sekarang ia menghadapi Cheng-hai-ong yang lihai, akan tetapi setelah mereka bertanding di dalam air, ternyata Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu.

Pertempuran di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lweekang tidak begitu ampuh lagi sesudah orang berada di dalam air, apa lagi segala macam senjata rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan kekuatan bertahan napas.

Dalam hal ini pun ternyata Cheng-hai-ong kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Apa bila mereka berdua bertanding kekuatan menahan napas di dalam air agaknya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan tetapi, sesudah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya telah hampir kehabisan napas, diam-diam Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang dalamnya berlubang.

Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini, ujungnya dia masukkan mulut dan ketika Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya itu, pipa alang-alang yang panjang ini timbul di permukaan air. Kemudian, dengan leluasa dia dapat bernapas dan berganti hawa melalui pipa kecil itu!

Dengan akal ini, tidak heran apa bila tidak lama kemudian dia sudah dapat menggempur dada Cheng-hai-ong dengan senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat! Cheng-hai-ong yang napasnya memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh air sungai yang mengalir tenang.

Kong Hwat sendiri cepat-cepat naik dan menyembulkan kepala di atas permukaan air. Ia melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran air, pergi dari tempat itu.

Para anggota Mo-kauw melihat pula tubuh Cheng-hai-ong yang telah menjadi mayat dan hanyut di permukaan air sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka juga semakin kalut. Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.

Tiba-tiba saja terdengar pekik nyaring, “Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan pihakmu!”

Seorang wanita melompat dan memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu Pun Su. Muka pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,

“Semua kawan tahan senjata!”

Bun Sui Ceng dan yang lain-lain merasa heran sekali, namun tetap melompat mundur. Beberapa orang Siauw-lim dan Kun-lun yang masih mendesak lawan, tentu saja tak mau mundur karena selagi mereka menang dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti?

Tiba-tiba saja mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat di hadapan mereka dan tahu-tahu senjata di tangan mereka telah lenyap dirampas orang! Kini terpaksa mereka melompat mundur. Mereka semakin kaget dan heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su sendiri!

“Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu pergilah!” Bu Pun Su berkata dengan suara kaku dan muka pucat.

Semua orang menjadi terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia melangkah maju dan cambuknya lantas berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah Wi Wi Toanio!

Akan tetapi, sekali menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Segera darah mengucur dari kulit yang pecah terkena cambuk!

“Ayaaa...!” Sui Ceng melompat ke belakang dengan kaget sekali. “Kwan Cu, apakah kau sudah gila?”

Sui Ceng memandang ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya mengancam. “Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini...”

“Wi Wi, lekas kau pergilah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih dapat mentaati permintaanmu,” kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.

Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apa lagi suaminya sudah meninggal dan perlu diurus.

Dapat menyelamatkan diri saja sudah lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekali, karena ia maklum bahwa jika pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa dan menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng, kemudian berlari pergi dari situ, diikuti oleh semua orang.

Hek Pek Mo-ko sendiri, dan juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu?

Setelah pihak lawan pergi semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,

“Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, kenapa kau bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk lari?”

“Thian-te Sam-kauwcu sudah tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mo-kauw. Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dengan pihak Mo-kauw memang tidak ada permusuhan sesuatu, kenapa kita harus terlalu mendesak?” kata Bu Pun Su.

Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta Kun-lun-pai juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat dirampas kembali dan pencurinya, yakni Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas. Kenapa harus memperbesar permusuhan dengan golongan Mo-kauw yang sebenarnya hanya diperalat oleh Thian-te Sam-kauwcu?

Maka, setelah mengambil benda pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai lalu meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggota-anggota yang terluka.

Berturut-turut Swie Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di tempat itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio.

Bu Pun Su tersenyum dan memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadang-kadang memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan kadang-kadang menundukkan mukanya.

Memang di antara tiga orang pendekar yang kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat mengharukan dan juga membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit. Setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau terbayang pula.

“Sui Ceng, kau ternyata masih keras hati seperti dulu. Sebenarnya aku mengharapkan untuk melihat kau dan Kun Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!”

“Kwan Cu,” kata Sui Ceng bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi pada bekas tunangannya, yakni The Kun Beng, “kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dulu sudah beku terhadap laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah makhluk yang tak dapat dipercaya dan berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng seperti isi dadamu, kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri.”

Tentu saja Kun Beng merasa terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini tidak terasa lagi olehnya.

“Memang Saudara Kwan Cu seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kau anggap sebagai hukuman atas perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi bila melukai hati Kwan Cu... benar-benar kau telah berdosa!”

Kata-kata ini benar-benar mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya.

Mendengar kata-kata dua orang itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. “Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini, manakah ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji lagi...”

Sui Ceng dan Kun Beng mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.

“Sui Ceng kau tadi bertanya tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio, isteri dari An Kai Seng. Nah, sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu lelaki tunggal yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang aneh tadi.”

Kemudian dia pun menceritakan betapa dia pernah terpikat oleh kecantikan Wi Wi Toanio sehingga melakukan hal yang sangat keji dan rendah memalukan, yakni mengadakan perhubungan dengan isteri orang!

“Nah, sekarang kalian tahu akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk. Lu Kwan Cu sudah mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!”

Setelah berkata demikian, dengan suara ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su berkelebat dan lenyap dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih bergema dari tempat jauh.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

SESUDAH meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai kepada isterinya. Juga ia sudah amat rindu kepada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia berpisah dengan mereka!

Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang sesuatu apa pun. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat, yang membuat kedua matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai.

Kiang Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa isterinya akan terkejut dan girang, dia merencanakan untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh siapa pun. Tahu-tahu dia akan tidur di atas pembaringan dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur di situ!

Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib manusia yang hanya dipegang serta ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri?

Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang kala amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil!

Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, tetapi sebaliknya orang yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata ‘tidak adil’ dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya.

Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak. Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap ‘sengsara’ atau ‘menderita’ dengan hati tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tidak dapat diubah pula oleh siapa pun juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil dan baik.

Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus! Sebaliknya, kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan mereka menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang kemudian akan menghancurkan hidupnya sendiri!


Kiang Liat tidak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi. Dengan mudah Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya.

Sekali melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!

“Ceng Si, kau dan Cia Sun betul-betul keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Kenapa kalian seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau juga tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan ia, sebaliknya kau datang untuk mengganggu dan lagi-lagi minta uang dalam jumlah yang terlalu besar. Dari mana aku bisa mendapat uang sebanyak itu?”

Mendengar kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia pun menahan napas, mendengarkan percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Sejak kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap isterinya?

“Nyonya muda mengapa begitu pelit? Apa bila tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi menikah dengan siucai miskin itu? Pada waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani siucai bekas kekasih nyonya muda itu.”

Kiang Liat tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan tetapi baiknya ia mampu menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan.

Ia masih bersangsi apakah benar-benar isterinya dulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu mencintanya.

Akan tetapi kalau ia teringat betapa semua perhiasan isterinya tidak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan yang diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ahhh, apa artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si tadi?

Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat dia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek, kadang-kadang membentak-bentak, dan ada kalanya ia tertunduk di pinggir jalan menangis tersedu-sedu!

Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila. Terjadi perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak lesu dan kusut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore!

Tukang kuda di belakang gedungnya terkejut setengah mati ketika pagi-pagi sekali dia melihat majikannya menyerbu kandang kuda, dan tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda lantas membalapkan kuda itu keluar dari kandang! Tukang kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian secepatnya berlari-lari ke gedung, minta menghadap nyonya muda!

“Hujin, celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!”

Song Bi Li, isteri Kiang Liat, pucat seketika. “Ehh, pagi-pagi kenapa kau sudah bicara yang bukan-bukan? Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan mulutmu, jangan kau kurang ajar!” kata Bi Li marah.

“Hamba bersumpah tidak berani main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe... pakaiannya kusut, mukanya seperti tak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin...”

Bi Li mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?

“Kiu Pek-pek, coba ajaklah kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!” katanya.

Bi Li lalu masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya sudah banyak berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.

*****

Sesudah memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat mulai dapat mengambil kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya.

Oleh karena itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian dia segera membalapkan kuda itu menuju ke tempat tinggal Cia Sun.

Memang keadaan Cia Sun sekarang sudah makmur. Uang dan perhiasan yang diperas dari Bi Li bukan sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya berlagak seperti seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya!

Pada pagi hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam isterinya, Ceng Si, datang membawa perhiasan dan uang dan seperti biasanya, begitu mendapatkan uang, tentu saja Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya!

Akan tetapi baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda. Dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya.

Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah... barangkali pagi ini baru pulang? Walau pun hatinya berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut kedatangan Kiang Liat.

Dari jauh ia sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,

“Selamat pagi, Kiang-wangwe. Berkat kebaikan Wangwe, kini siauwte telah memperoleh banyak kemajuan.”

Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.

“Jahanam keparat!” serunya.

Sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tak menghiraukan lagi dua orang yang kini saling berhadapan dalam keadaan tegang itu.

“Ampun Wan-gwe. Apa dosaku maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?” Cia Sun berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.

Kalau menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanya-tanya lagi. Akan tetapi dia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,

“Bajingan besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?”

Kalau ia mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar pertanyaan ini.

“Apa...? Hamba... hamba tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin...”

Sebuah tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai menangis, memohon ampun.

“Hayo mengaku terus terang!” Kiang Liat membentak lagi. “Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!”

Cia Sun benar-benar bingung. Saking bingungnya, dalam usahanya membersihkan dan menolong diri, siucai yang bersifat pengecut ini bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li. “Ampun, Kiang-wangwe, sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu… yaa... sesungguhnya adalah Song-siocia yang mendesak siauwte, yang menyatakan cinta, juga memberi surat dan lain-lain. Siauwte sendiri mana berani? Siauwte... siauw...”

Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangannya. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang bisa ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan darah kematiannya.

Pada waktu itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu, dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal orang itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja, semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya.

Song Bi Li yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa yang datang benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun kaget bukan main melihat wajah suaminya yang muram dan kelihatan tua. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang sama sekali tidak mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam gedung dan menuju ke kamar.

Dengan muka pucat, hati berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan Im Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam kamar, tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li segera menekan perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis, lalu maju dan berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,

“Suamiku, kau baru datang? Tentu kau lelah sekali.” Suaranya halus dan manis, ada pun kedua tangannya mulai membuka sepatu suaminya.

Biasanya memang Bi Li amat cinta kepada suaminya dan setiap kali suaminya datang dari tempat jauh, ia lalu membuka sepatu, menyediakan air hangat pencuci kaki dan air teh untuk minum. Ia tidak mengijinkan pelayan melakukan hal ini, tidak puas kalau tidak melayaninya sendiri!

Biasanya Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan kasih sayang yang begitu besar dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika melihat isterinya membungkuk dan meraba sepatunya, tiba-tiba kakinya bergerak dan tubuh Bi Li terlempar ke sudut kamar! Setan cemburu sudah menguasai hatinya, membikin buta matanya dan akhirnya mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.

Bi Li tidak mengeluarkan keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada suaminya dengan mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih menyakitkan hati dari pada rasa sakit yang diderita oleh pundak dan kepalanya ketika ia terbentur di dinding. Dia merayap bangun dan berjalan perlahan menghampiri suaminya, lalu berlutut lagi di sampingnya.

“Suamiku, apakah dosanya isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan nyawa jika memang berdosa...!” katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan dari sepasang matanya menetes dua titik air mata.

Melihat keadaan isterinya itu, melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai-belai itu awut-awutan, muka yang biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat, sepasang mata yang biasanya ia anggap sebagai sepasang batu kemala terindah di dunia ini sekarang memandang kepadanya dengan sayu, Kiang Liat hampir tak kuat menahan lagi. Ingin ia memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun atas perbuatannya tadi, ingin dia menangis bagaikan anak kecil dan menceritakan semua kesusahan hatinya di dada isterinya.

Akan tetapi, bayangan Cia Sun tak pernah meninggalkan ruang matanya, membuat Kiang Liat semakin benci melihat isterinya. Terpaksa dia meramkan matanya dan tidak berani memandang muka Bi Li, lalu berkata perlahan akan tetapi tajam seperti ujung pedang,

“Dosamu? Tanyalah kepada jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah kepada kekasihmu, kau siluman betina!”

Bi Li terkejut sekali, bukan hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya, terutama sekali karena mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.

“Kau... kau membunuhnya...?”

Ucapan ini sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya membunuh orang. Akan tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu dan nafsu marah, dianggap sebagai pernyataan kaget dan duka dari Bi Li bahwa kekasihnya telah dibunuh.

“Kau tangisi kekasihmu yang sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata hanya seorang perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu. Anak itu... anak itu pun barangkali bukan anakku...!”

Bi Li menjerit dan di lain saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia tidak kuat menerima pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata keji yang keluar dari mulut Kiang Liat, suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa raganya.

Ketika Bi Li siuman kembali, ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan mulutnya bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barangkali penderitaan batin Kiang Liat di saat itu tidak kalah hebatnya kalau dibandingkan dengan Bi Li. Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan semua fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.

Kiang Liat menengok, pandang matanya penuh benci dan jemu.

“Apa lagi yang kau tangiskan?”

“Suamiku... kau... kau terlalu kejam...”

Kiang Liat hampir saja menendang tubuh isterinya karena kembali dia salah sangka. Dia mengira bahwa isterinya menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi ia dapat menguasai kemarahannya dan hanya berdiri memandang dengan mata melotot.

“Kau... kejam sekali menuduh aku berbuat yang bukan-bukan... Tak perlu kusangkal lagi, memang betul dahulu sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan surat-menyurat dengan orang she Cia itu. Tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor di dalam hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi nama Thian, demi Langit dan Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya surat-menyurat belaka...”

“Bohong! Kau habiskan uang dan perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun itu, kau gunakan Ceng Si sebagai jembatan, kau kira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?”

“Ampunkan aku, suamiku... memang, aku telah bersalah, tidak memberi tahukan semua itu kepadamu... aku tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut kehilangan cinta kasihmu... akan tetapi sungguh mati aku tidak pernah melakukan hal yang tak patut, hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah...”

“Perempuan rendah!” Kiang Liat berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, pergi meninggalkan Bi Li Yang menangis tersedu-sedu di dalam kamar itu, di atas lantai.

Semenjak hari itu, Kiang Liat tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan anaknya, membawa kuda dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati patah dan pikiran selalu diliputi kedukaan dan kekecewaan. Cinta kasihnya kepada isterinya tak dapat ia lupakan, bahkan semakin jauh ia pergi, makin rindulah ia kepada isterinya dan puterinya.

Beberapa kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan isterinya, untuk kembali hidup berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia seperti dulu lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang sudah mencuci hati serta pikiran seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat pikiran menjadi gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang sebesar-besarnya dapat berubah menjadi kebencian yang sangat dahsyat.

Rasa rindu kepada anak isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa cinta kasihnya dan tak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya ia malah benci kepada diri sendiri dan menganggap diri sendiri terlalu lemah. Karena itu dia lalu merantau makin jauh lagi dari rumahnya, dan selalu melakukan perbuatan seperti yang layak dilakukan oleh seorang pendekar. Karena ini, namanya menjadi makin ternama di dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiu-sian (Dewa Tangan Seribu) makin terkenal.

*****


Waktu berjalan cepat tak terasa dan empat tahun sudah lewat semenjak Kiang Liat pergi meninggalkan rumahnya. Pada suatu hari saat ia sedang duduk seorang diri mengenang nasibnya yang amat buruk, di dalam sebuah kelenteng bobrok di Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan turun dengan derasnya.

Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan matanya betapa dahulu di waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir dengan isterinya, duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun. Alangkah mesra dan bahagianya waktu itu.

Mengingat akan semua kenangan ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im Giok yang tersenyum-senyum dan secara lucu menyebut-nyebut ‘pa-pa’ berkali-kali, air mata mengucur turun dari sepasang mata pendekar itu. Cepat-cepat ia mengusapnya dengan punggung tangan.

Tidak patut bagi seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan. Akan tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak dapat menahan lagi air matanya yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang juga bercucuran dari atas.

Selagi Kiang Liat menumpahkan kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas lutut, ia melihat seorang kakek pengemis sudah berdiri di depannya dengan sikap tenang.

“Suhu...!” Kiang Liat menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.

“Orang bodoh, kau pulanglah, isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau selalu berduka, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!”

Sebelum Kiang Liat sempat bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Kiang Liat maklum bahwa watak suhu-nya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar juga. Ia tak memikirkan lagi tentang suhu-nya, pikirannya penuh dengan berita yang diterimanya.

Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia terkejut bukan main dan seketika itu timbullah rasa marah yang jauh lebih besar dari pada kesedihannya. Tanpa pedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.

Berita mengejutkan yang disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak ditinggal pergi oleh suaminya, Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini tak akan dapat menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni sangkaan suaminya bahwa dia telah berlaku jinah sebelum menjadi isterinya yang benar-benar terasa tak kuat ia menahan.

Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima ejekan dan sindiran dari orang-orang yang tidak suka kepada keluarga Kiang, Bi Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan barang-barang berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan membeli obat dan keperluan lainnya. Keadaannya makin lama makin buruk.

Akan tetapi Bi Li tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri. Siang malam yang menjadi ingatannya hanyalah suaminya, Kiang Liat yang dirindukannya setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang, memohon kepada Yang Maha Esa agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.

Akan tetapi sudah terlampau banyak bukti bahwa harapan manusia tidak selalu cocok, bahkan sebaliknya dengan kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, akan tetapi seorang yang menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!

Wanita yang berusia hampir empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis remaja yang berusia dua puluhan ini datang tanpa diundang, malah tanpa diketahui orang, tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau seorang siluman!

Bi Li segera mengenalnya, maka biar pun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera maju berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.

“Adikku yang manis, kenapa kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya...,” Pek Hoa berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.

Mendengar teguran ini Bi Li tidak dapat tahan lagi, lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputus-putus nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan, menceritakan nasibnya yang amat sengsara, betapa dia dahulu tertipu oleh Cia Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua rahasia sehingga marah-marah, membunuh Cia Sun dan pergi meninggalkannya.

Orang seperti Pek Hoa ini mana tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan tetapi mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.

“Mengapa susah-susah? Lebih baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anakmu. Mana anakmu?”

Sesudah melihat Im Giok yang usianya sudah menjelang enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang dengan mata terbelalak kagum. Seorang anak perempuan yang berpakaian merah, dengan rambut hitam panjang dikuncir menjadi dua yang diikat dengan pita biru tergantung di depan pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah, bergerak-gerak membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan mancung nampak lucu sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat telur dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan.

Pendek kata, wajah seorang bocah perempuan yang sehat dan mungil sekali. Walau pun usianya baru enam tahun, Im Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan mengatakan bahwa bocah ini merupakan calon seorang gadis yang cantik luar biasa.

“Pek Hoa-cici, benar-benar anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!” Bi Li mengulangi kata-kata yang sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.

Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang wanita yang hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tak pernah mengenal kebahagiaan rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, pada waktu melihat Im Giok, tiba-tiba saja ia menjadi terharu.

Apa lagi sesudah mendengar ucapan Bi Li tadi, dia terpaksa mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya air mata. Diam-diam dia berkata kepada diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya!

Kedatangan Pek Hoa Pouwsat menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.

Ada pun Im Giok sendiri, ia amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang jeli, dan dengan berterang ia memuji, “Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?”

Pek Hoa menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan. “Anak yang baik, kelak kau bahkan lebih cantik dari pada aku atau ibumu,” katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok.

Beberapa kali ia meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni mempunyai tubuh sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah lagi dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.

Untuk mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, “Im Giok sukakah kau menjadi muridku?”

Bocah itu melirik ke arah ibunya, lalu ia berkata dengan senyum lucu. “Belajar membaca dan menulis lagi, Bibi? Ahhh, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa kalau mengajarku, karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Aku lebih senang belajar menjahit dan menyulam! Apa lagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku.”

Pek Hoa tertawa. “Kau suka belajar menari?”

Im Giok melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri. “Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat. Bibi, kalau kau mau mengajarku menari, menyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka sekali!”

“Apa kelak kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak senang.

“Apa salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton dari pada menonton. Bibi, mau kau mengajarku?” Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.

Demikianlah, hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar suara anaknya memanggil.

Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah ‘terbang’ ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apa lagi Im Giok berkali-kali memanggil.

“Ibu...! Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”

“Enci Pek Hoa, kau hendak membawa anakku ke mana?” Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung kekejaman luar biasa.

“Ha-ha-ha, Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kau pikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha-ha-ha, mungkin dulu kau selalu membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang barulah kau tahu bahwa kecantikan tidak membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!”

Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!

Sejak tadi, Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik.



Dara Baju Merah Jilid 08

DARA BAJU MERAH

Karya Kho Ping Hoo

JILID 08

SEMUA orang berlari-lari mendekati tebing sungai untuk melihat. Mereka menjadi sangat kagum dan di sana-sini terdengar seruan memuji. Memang kepandaian Cheng-hai-ong hebat sekali.

Lain orang kalau ingin terapung di air, tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun hanya membuat sebagian tubuh saja yang terapung. Akan tetapi, tidak demikian dengan Cheng-hai-ong. Entah bagaimana, dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat dan aneh, ia dapat membuat tubuhnya terapung dalam keadaan berdiri tegak dan yang tenggelam ke dalam air hanya kaki sebatas lutut saja!

Lutut itu bergerak-gerak terus dan dapat diduga bahwa kedua kaki itulah yang bergerak secara istimewa sehingga tubuhnya dapat tegak pada permukaan air, dan tangan kanan Cheng-hai-ong sudah memegang senjatanya yang luar biasa sekali, yakni rantai dengan tengkorak manusia pada ujungnya! Orang ini tertawa mengejek sambil memandang ke arah Bu Pun Su!

“Bu Pun Su, beranikah kau turun ke sini?” tantangnya dengan nada suara mengejek.

“Kwan Cu, jangan kena terjebak oleh tipu muslihatnya!” Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su, kemudian dengan suara nyaring sambil mengamang-amangkan cambuknya ke arah Cheng-hai-ong, ia membentak keras,

“Cheng-hai-ong, manusia busuk! Kau hendak mempergunakan kecurangan, memancing lawan ke dalam air. Kami bukanlah sebangsa katak yang biasa main di darat dan di air, mana kami sudi melayanimu di air, kau katak bukan tikus pun bukan? Hayo naik ke darat dan kau bisa mencoba rasanya cambukku ini sebelum bangkaimu kulemparkan ke dalam air.”

Bu Pun Su tersenyum. “Air Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan tetapi selama masih ada nelayan, kita takut apakah?” Tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke bawah, ke air sungai yang demikian lebar dan dalam!

Semua orang melongok ke bawah. Kawan-kawan Bu Pun Su sangat khawatir karena mereka belum pernah mendengar bahwa pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan tetapi apa yang mereka lihat di permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar membuat mereka melongo, bahkan pihak Mo-kauw yang menyaksikan pemandangan ini menjadi pucat dan tak berani bernapas. Apakah yang mereka lihat?

Bu Pun Su telah melompat dan tiba di permukaan air seperti di atas tanah keras saja! Pendekar sakti ini berdiri di permukaan air, tidak bergeming, tidak bergerak sama sekali, tersenyum-senyum dan enak saja menghadapi Cheng-hai-ong yang menjadi pucat.

Ini tak mungkin, pikir Cheng-hai-ong. Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan ia tahu bahwa berdiri tanpa bergerak pada permukaan air laksana sehelai daun kering, adalah hal yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Kalau sekiranya ia melihat Bu Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, dia masih percaya karena seorang yang ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi seperti Bu Pun Su, kiranya dapat melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di permukaan air tanpa bergerak?

Kemudian, tiba-tiba Cheng-hai-ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di tempat itu. Ketika ia dan suheng-suheng-nya menanti datangnya Bu Pun Su, ada suara ketawa aneh di permukaan air, dan ia telah menyerang dengan jarum ke arah permukaan air, akan tetapi tidak kelihatan siapa pun juga.

Apakah tidak mungkin ada orang pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu telah membantu Bu Pun Su dan menyangga kedua kakinya?

“Jahanam, jangan main sembunyi, keluarlah kalau kau laki-laki!” seru Cheng-hai-ong dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak sehingga beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di bawah kaki Bu Pun Su!

Bu Pun Su menggerakkan kakinya menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke kiri.

“Kong Hwat, kau lawanlah dia ini, sama-sama setan air!” kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan kakinya, tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.

Terdengar suara ketawa bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su ‘berdiri’ di atas air, muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu langsung ketawa terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali. Akan tetapi kedua matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja tidak ada air sungai yang menetes-netes dari rambutnya, tentu orang akan melihat air matanya bercucuran!

“Dia Nelayan Cengeng!” seru Sui Ceng.

Dia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa Bu Pun Su tadi sebelum melompat ke dalam sungai sudah mengetahui bahwa Nelayan Cengeng berada di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui hal ini?

Ada pun Cheng-hai-ong, pada waktu melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu Pun Su, menjadi marah sekali. Ia cepat menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai lantas menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap lagi ke bawah permukaan air.

Tiba-tiba nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan memaki-maki. Senjatanya bergerak memukul ke bawah, namun tetap saja tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian, dua orang ‘setan air’ itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar sungai terjadi pergumulan hebat.

Bu Pun Su memang datang bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu Cangpo. Dua orang kenalan lama itu lalu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su hendak menghadapi orang-orang Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan suka rela ikut ke tempat itu.

Akan tetapi Kong Hwat tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari sungai, mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggota Mo-kauw mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang.

Sementara itu, orang-orang Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas, menjadi marah sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru keras memberi aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah mereka sehingga kembali terjadi perang tanding yang hebat antara orang-orang Mo-kauw melawan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun.

Ada pun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi, tentu saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le, Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat serta para tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.

Pertandingan berjalan tidak seimbang. Setelah Thian-te Sam-kauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak Mo-kauw kalah jauh, apa lagi jika Bu Pun Su ikut turun tangan membantu kawan-kawannya. Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton, kadang-kadang menengok ke arah sungai.

Pergumulan di dalam sungai antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat. Sayangnya mereka yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini, pertempuran antara dua orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan.

Sebetulnya, kalau bertanding di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan kiranya Kong Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan Cengeng ini memang cerdik. Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh, oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka di darat, melainkan menunggu di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya dan tidak usah takut terhadap siapa pun juga.

Meski pun sekarang ia menghadapi Cheng-hai-ong yang lihai, akan tetapi setelah mereka bertanding di dalam air, ternyata Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu.

Pertempuran di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lweekang tidak begitu ampuh lagi sesudah orang berada di dalam air, apa lagi segala macam senjata rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan kekuatan bertahan napas.

Dalam hal ini pun ternyata Cheng-hai-ong kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Apa bila mereka berdua bertanding kekuatan menahan napas di dalam air agaknya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan tetapi, sesudah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya telah hampir kehabisan napas, diam-diam Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang dalamnya berlubang.

Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini, ujungnya dia masukkan mulut dan ketika Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya itu, pipa alang-alang yang panjang ini timbul di permukaan air. Kemudian, dengan leluasa dia dapat bernapas dan berganti hawa melalui pipa kecil itu!

Dengan akal ini, tidak heran apa bila tidak lama kemudian dia sudah dapat menggempur dada Cheng-hai-ong dengan senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat! Cheng-hai-ong yang napasnya memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh air sungai yang mengalir tenang.

Kong Hwat sendiri cepat-cepat naik dan menyembulkan kepala di atas permukaan air. Ia melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran air, pergi dari tempat itu.

Para anggota Mo-kauw melihat pula tubuh Cheng-hai-ong yang telah menjadi mayat dan hanyut di permukaan air sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka juga semakin kalut. Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.

Tiba-tiba saja terdengar pekik nyaring, “Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan pihakmu!”

Seorang wanita melompat dan memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu Pun Su. Muka pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,

“Semua kawan tahan senjata!”

Bun Sui Ceng dan yang lain-lain merasa heran sekali, namun tetap melompat mundur. Beberapa orang Siauw-lim dan Kun-lun yang masih mendesak lawan, tentu saja tak mau mundur karena selagi mereka menang dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti?

Tiba-tiba saja mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat di hadapan mereka dan tahu-tahu senjata di tangan mereka telah lenyap dirampas orang! Kini terpaksa mereka melompat mundur. Mereka semakin kaget dan heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su sendiri!

“Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu pergilah!” Bu Pun Su berkata dengan suara kaku dan muka pucat.

Semua orang menjadi terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia melangkah maju dan cambuknya lantas berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah Wi Wi Toanio!

Akan tetapi, sekali menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Segera darah mengucur dari kulit yang pecah terkena cambuk!

“Ayaaa...!” Sui Ceng melompat ke belakang dengan kaget sekali. “Kwan Cu, apakah kau sudah gila?”

Sui Ceng memandang ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya mengancam. “Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini...”

“Wi Wi, lekas kau pergilah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih dapat mentaati permintaanmu,” kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.

Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apa lagi suaminya sudah meninggal dan perlu diurus.

Dapat menyelamatkan diri saja sudah lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekali, karena ia maklum bahwa jika pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa dan menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng, kemudian berlari pergi dari situ, diikuti oleh semua orang.

Hek Pek Mo-ko sendiri, dan juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu?

Setelah pihak lawan pergi semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,

“Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, kenapa kau bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk lari?”

“Thian-te Sam-kauwcu sudah tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mo-kauw. Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dengan pihak Mo-kauw memang tidak ada permusuhan sesuatu, kenapa kita harus terlalu mendesak?” kata Bu Pun Su.

Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta Kun-lun-pai juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat dirampas kembali dan pencurinya, yakni Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas. Kenapa harus memperbesar permusuhan dengan golongan Mo-kauw yang sebenarnya hanya diperalat oleh Thian-te Sam-kauwcu?

Maka, setelah mengambil benda pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai lalu meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggota-anggota yang terluka.

Berturut-turut Swie Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di tempat itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio.

Bu Pun Su tersenyum dan memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadang-kadang memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan kadang-kadang menundukkan mukanya.

Memang di antara tiga orang pendekar yang kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat mengharukan dan juga membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit. Setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau terbayang pula.

“Sui Ceng, kau ternyata masih keras hati seperti dulu. Sebenarnya aku mengharapkan untuk melihat kau dan Kun Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!”

“Kwan Cu,” kata Sui Ceng bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi pada bekas tunangannya, yakni The Kun Beng, “kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dulu sudah beku terhadap laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah makhluk yang tak dapat dipercaya dan berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng seperti isi dadamu, kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri.”

Tentu saja Kun Beng merasa terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini tidak terasa lagi olehnya.

“Memang Saudara Kwan Cu seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kau anggap sebagai hukuman atas perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi bila melukai hati Kwan Cu... benar-benar kau telah berdosa!”

Kata-kata ini benar-benar mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya.

Mendengar kata-kata dua orang itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. “Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini, manakah ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji lagi...”

Sui Ceng dan Kun Beng mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.

“Sui Ceng kau tadi bertanya tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio, isteri dari An Kai Seng. Nah, sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu lelaki tunggal yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang aneh tadi.”

Kemudian dia pun menceritakan betapa dia pernah terpikat oleh kecantikan Wi Wi Toanio sehingga melakukan hal yang sangat keji dan rendah memalukan, yakni mengadakan perhubungan dengan isteri orang!

“Nah, sekarang kalian tahu akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk. Lu Kwan Cu sudah mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!”

Setelah berkata demikian, dengan suara ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su berkelebat dan lenyap dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih bergema dari tempat jauh.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

SESUDAH meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai kepada isterinya. Juga ia sudah amat rindu kepada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia berpisah dengan mereka!

Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang sesuatu apa pun. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat, yang membuat kedua matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai.

Kiang Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa isterinya akan terkejut dan girang, dia merencanakan untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh siapa pun. Tahu-tahu dia akan tidur di atas pembaringan dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur di situ!

Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib manusia yang hanya dipegang serta ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri?

Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang kala amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil!

Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, tetapi sebaliknya orang yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata ‘tidak adil’ dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya.

Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak. Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap ‘sengsara’ atau ‘menderita’ dengan hati tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tidak dapat diubah pula oleh siapa pun juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil dan baik.

Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus! Sebaliknya, kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan mereka menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang kemudian akan menghancurkan hidupnya sendiri!


Kiang Liat tidak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi. Dengan mudah Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya.

Sekali melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!

“Ceng Si, kau dan Cia Sun betul-betul keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Kenapa kalian seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau juga tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan ia, sebaliknya kau datang untuk mengganggu dan lagi-lagi minta uang dalam jumlah yang terlalu besar. Dari mana aku bisa mendapat uang sebanyak itu?”

Mendengar kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia pun menahan napas, mendengarkan percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Sejak kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap isterinya?

“Nyonya muda mengapa begitu pelit? Apa bila tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi menikah dengan siucai miskin itu? Pada waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani siucai bekas kekasih nyonya muda itu.”

Kiang Liat tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan tetapi baiknya ia mampu menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan.

Ia masih bersangsi apakah benar-benar isterinya dulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu mencintanya.

Akan tetapi kalau ia teringat betapa semua perhiasan isterinya tidak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan yang diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ahhh, apa artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si tadi?

Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat dia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek, kadang-kadang membentak-bentak, dan ada kalanya ia tertunduk di pinggir jalan menangis tersedu-sedu!

Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila. Terjadi perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak lesu dan kusut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore!

Tukang kuda di belakang gedungnya terkejut setengah mati ketika pagi-pagi sekali dia melihat majikannya menyerbu kandang kuda, dan tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda lantas membalapkan kuda itu keluar dari kandang! Tukang kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian secepatnya berlari-lari ke gedung, minta menghadap nyonya muda!

“Hujin, celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!”

Song Bi Li, isteri Kiang Liat, pucat seketika. “Ehh, pagi-pagi kenapa kau sudah bicara yang bukan-bukan? Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan mulutmu, jangan kau kurang ajar!” kata Bi Li marah.

“Hamba bersumpah tidak berani main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe... pakaiannya kusut, mukanya seperti tak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin...”

Bi Li mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?

“Kiu Pek-pek, coba ajaklah kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!” katanya.

Bi Li lalu masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya sudah banyak berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.

*****

Sesudah memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat mulai dapat mengambil kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya.

Oleh karena itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian dia segera membalapkan kuda itu menuju ke tempat tinggal Cia Sun.

Memang keadaan Cia Sun sekarang sudah makmur. Uang dan perhiasan yang diperas dari Bi Li bukan sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya berlagak seperti seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya!

Pada pagi hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam isterinya, Ceng Si, datang membawa perhiasan dan uang dan seperti biasanya, begitu mendapatkan uang, tentu saja Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya!

Akan tetapi baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda. Dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya.

Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah... barangkali pagi ini baru pulang? Walau pun hatinya berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut kedatangan Kiang Liat.

Dari jauh ia sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,

“Selamat pagi, Kiang-wangwe. Berkat kebaikan Wangwe, kini siauwte telah memperoleh banyak kemajuan.”

Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.

“Jahanam keparat!” serunya.

Sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tak menghiraukan lagi dua orang yang kini saling berhadapan dalam keadaan tegang itu.

“Ampun Wan-gwe. Apa dosaku maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?” Cia Sun berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.

Kalau menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanya-tanya lagi. Akan tetapi dia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,

“Bajingan besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?”

Kalau ia mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar pertanyaan ini.

“Apa...? Hamba... hamba tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin...”

Sebuah tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai menangis, memohon ampun.

“Hayo mengaku terus terang!” Kiang Liat membentak lagi. “Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!”

Cia Sun benar-benar bingung. Saking bingungnya, dalam usahanya membersihkan dan menolong diri, siucai yang bersifat pengecut ini bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li. “Ampun, Kiang-wangwe, sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu… yaa... sesungguhnya adalah Song-siocia yang mendesak siauwte, yang menyatakan cinta, juga memberi surat dan lain-lain. Siauwte sendiri mana berani? Siauwte... siauw...”

Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangannya. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang bisa ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan darah kematiannya.

Pada waktu itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu, dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal orang itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja, semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya.

Song Bi Li yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa yang datang benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun kaget bukan main melihat wajah suaminya yang muram dan kelihatan tua. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang sama sekali tidak mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam gedung dan menuju ke kamar.

Dengan muka pucat, hati berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan Im Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam kamar, tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li segera menekan perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis, lalu maju dan berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,

“Suamiku, kau baru datang? Tentu kau lelah sekali.” Suaranya halus dan manis, ada pun kedua tangannya mulai membuka sepatu suaminya.

Biasanya memang Bi Li amat cinta kepada suaminya dan setiap kali suaminya datang dari tempat jauh, ia lalu membuka sepatu, menyediakan air hangat pencuci kaki dan air teh untuk minum. Ia tidak mengijinkan pelayan melakukan hal ini, tidak puas kalau tidak melayaninya sendiri!

Biasanya Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan kasih sayang yang begitu besar dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika melihat isterinya membungkuk dan meraba sepatunya, tiba-tiba kakinya bergerak dan tubuh Bi Li terlempar ke sudut kamar! Setan cemburu sudah menguasai hatinya, membikin buta matanya dan akhirnya mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.

Bi Li tidak mengeluarkan keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada suaminya dengan mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih menyakitkan hati dari pada rasa sakit yang diderita oleh pundak dan kepalanya ketika ia terbentur di dinding. Dia merayap bangun dan berjalan perlahan menghampiri suaminya, lalu berlutut lagi di sampingnya.

“Suamiku, apakah dosanya isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan nyawa jika memang berdosa...!” katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan dari sepasang matanya menetes dua titik air mata.

Melihat keadaan isterinya itu, melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai-belai itu awut-awutan, muka yang biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat, sepasang mata yang biasanya ia anggap sebagai sepasang batu kemala terindah di dunia ini sekarang memandang kepadanya dengan sayu, Kiang Liat hampir tak kuat menahan lagi. Ingin ia memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun atas perbuatannya tadi, ingin dia menangis bagaikan anak kecil dan menceritakan semua kesusahan hatinya di dada isterinya.

Akan tetapi, bayangan Cia Sun tak pernah meninggalkan ruang matanya, membuat Kiang Liat semakin benci melihat isterinya. Terpaksa dia meramkan matanya dan tidak berani memandang muka Bi Li, lalu berkata perlahan akan tetapi tajam seperti ujung pedang,

“Dosamu? Tanyalah kepada jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah kepada kekasihmu, kau siluman betina!”

Bi Li terkejut sekali, bukan hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya, terutama sekali karena mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.

“Kau... kau membunuhnya...?”

Ucapan ini sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya membunuh orang. Akan tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu dan nafsu marah, dianggap sebagai pernyataan kaget dan duka dari Bi Li bahwa kekasihnya telah dibunuh.

“Kau tangisi kekasihmu yang sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata hanya seorang perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu. Anak itu... anak itu pun barangkali bukan anakku...!”

Bi Li menjerit dan di lain saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia tidak kuat menerima pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata keji yang keluar dari mulut Kiang Liat, suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa raganya.

Ketika Bi Li siuman kembali, ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan mulutnya bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barangkali penderitaan batin Kiang Liat di saat itu tidak kalah hebatnya kalau dibandingkan dengan Bi Li. Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan semua fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.

Kiang Liat menengok, pandang matanya penuh benci dan jemu.

“Apa lagi yang kau tangiskan?”

“Suamiku... kau... kau terlalu kejam...”

Kiang Liat hampir saja menendang tubuh isterinya karena kembali dia salah sangka. Dia mengira bahwa isterinya menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi ia dapat menguasai kemarahannya dan hanya berdiri memandang dengan mata melotot.

“Kau... kejam sekali menuduh aku berbuat yang bukan-bukan... Tak perlu kusangkal lagi, memang betul dahulu sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan surat-menyurat dengan orang she Cia itu. Tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor di dalam hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi nama Thian, demi Langit dan Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya surat-menyurat belaka...”

“Bohong! Kau habiskan uang dan perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun itu, kau gunakan Ceng Si sebagai jembatan, kau kira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?”

“Ampunkan aku, suamiku... memang, aku telah bersalah, tidak memberi tahukan semua itu kepadamu... aku tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut kehilangan cinta kasihmu... akan tetapi sungguh mati aku tidak pernah melakukan hal yang tak patut, hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah...”

“Perempuan rendah!” Kiang Liat berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, pergi meninggalkan Bi Li Yang menangis tersedu-sedu di dalam kamar itu, di atas lantai.

Semenjak hari itu, Kiang Liat tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan anaknya, membawa kuda dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati patah dan pikiran selalu diliputi kedukaan dan kekecewaan. Cinta kasihnya kepada isterinya tak dapat ia lupakan, bahkan semakin jauh ia pergi, makin rindulah ia kepada isterinya dan puterinya.

Beberapa kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan isterinya, untuk kembali hidup berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia seperti dulu lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang sudah mencuci hati serta pikiran seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat pikiran menjadi gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang sebesar-besarnya dapat berubah menjadi kebencian yang sangat dahsyat.

Rasa rindu kepada anak isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa cinta kasihnya dan tak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya ia malah benci kepada diri sendiri dan menganggap diri sendiri terlalu lemah. Karena itu dia lalu merantau makin jauh lagi dari rumahnya, dan selalu melakukan perbuatan seperti yang layak dilakukan oleh seorang pendekar. Karena ini, namanya menjadi makin ternama di dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiu-sian (Dewa Tangan Seribu) makin terkenal.

*****


Waktu berjalan cepat tak terasa dan empat tahun sudah lewat semenjak Kiang Liat pergi meninggalkan rumahnya. Pada suatu hari saat ia sedang duduk seorang diri mengenang nasibnya yang amat buruk, di dalam sebuah kelenteng bobrok di Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan turun dengan derasnya.

Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan matanya betapa dahulu di waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir dengan isterinya, duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun. Alangkah mesra dan bahagianya waktu itu.

Mengingat akan semua kenangan ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im Giok yang tersenyum-senyum dan secara lucu menyebut-nyebut ‘pa-pa’ berkali-kali, air mata mengucur turun dari sepasang mata pendekar itu. Cepat-cepat ia mengusapnya dengan punggung tangan.

Tidak patut bagi seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan. Akan tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak dapat menahan lagi air matanya yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang juga bercucuran dari atas.

Selagi Kiang Liat menumpahkan kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas lutut, ia melihat seorang kakek pengemis sudah berdiri di depannya dengan sikap tenang.

“Suhu...!” Kiang Liat menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.

“Orang bodoh, kau pulanglah, isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau selalu berduka, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!”

Sebelum Kiang Liat sempat bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Kiang Liat maklum bahwa watak suhu-nya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar juga. Ia tak memikirkan lagi tentang suhu-nya, pikirannya penuh dengan berita yang diterimanya.

Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia terkejut bukan main dan seketika itu timbullah rasa marah yang jauh lebih besar dari pada kesedihannya. Tanpa pedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.

Berita mengejutkan yang disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak ditinggal pergi oleh suaminya, Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini tak akan dapat menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni sangkaan suaminya bahwa dia telah berlaku jinah sebelum menjadi isterinya yang benar-benar terasa tak kuat ia menahan.

Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima ejekan dan sindiran dari orang-orang yang tidak suka kepada keluarga Kiang, Bi Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan barang-barang berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan membeli obat dan keperluan lainnya. Keadaannya makin lama makin buruk.

Akan tetapi Bi Li tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri. Siang malam yang menjadi ingatannya hanyalah suaminya, Kiang Liat yang dirindukannya setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang, memohon kepada Yang Maha Esa agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.

Akan tetapi sudah terlampau banyak bukti bahwa harapan manusia tidak selalu cocok, bahkan sebaliknya dengan kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, akan tetapi seorang yang menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!

Wanita yang berusia hampir empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis remaja yang berusia dua puluhan ini datang tanpa diundang, malah tanpa diketahui orang, tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau seorang siluman!

Bi Li segera mengenalnya, maka biar pun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera maju berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.

“Adikku yang manis, kenapa kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya...,” Pek Hoa berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.

Mendengar teguran ini Bi Li tidak dapat tahan lagi, lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputus-putus nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan, menceritakan nasibnya yang amat sengsara, betapa dia dahulu tertipu oleh Cia Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua rahasia sehingga marah-marah, membunuh Cia Sun dan pergi meninggalkannya.

Orang seperti Pek Hoa ini mana tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan tetapi mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.

“Mengapa susah-susah? Lebih baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anakmu. Mana anakmu?”

Sesudah melihat Im Giok yang usianya sudah menjelang enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang dengan mata terbelalak kagum. Seorang anak perempuan yang berpakaian merah, dengan rambut hitam panjang dikuncir menjadi dua yang diikat dengan pita biru tergantung di depan pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah, bergerak-gerak membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan mancung nampak lucu sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat telur dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan.

Pendek kata, wajah seorang bocah perempuan yang sehat dan mungil sekali. Walau pun usianya baru enam tahun, Im Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan mengatakan bahwa bocah ini merupakan calon seorang gadis yang cantik luar biasa.

“Pek Hoa-cici, benar-benar anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!” Bi Li mengulangi kata-kata yang sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.

Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang wanita yang hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tak pernah mengenal kebahagiaan rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, pada waktu melihat Im Giok, tiba-tiba saja ia menjadi terharu.

Apa lagi sesudah mendengar ucapan Bi Li tadi, dia terpaksa mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya air mata. Diam-diam dia berkata kepada diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya!

Kedatangan Pek Hoa Pouwsat menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.

Ada pun Im Giok sendiri, ia amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang jeli, dan dengan berterang ia memuji, “Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?”

Pek Hoa menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan. “Anak yang baik, kelak kau bahkan lebih cantik dari pada aku atau ibumu,” katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok.

Beberapa kali ia meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni mempunyai tubuh sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah lagi dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.

Untuk mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, “Im Giok sukakah kau menjadi muridku?”

Bocah itu melirik ke arah ibunya, lalu ia berkata dengan senyum lucu. “Belajar membaca dan menulis lagi, Bibi? Ahhh, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa kalau mengajarku, karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Aku lebih senang belajar menjahit dan menyulam! Apa lagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku.”

Pek Hoa tertawa. “Kau suka belajar menari?”

Im Giok melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri. “Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat. Bibi, kalau kau mau mengajarku menari, menyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka sekali!”

“Apa kelak kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak senang.

“Apa salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton dari pada menonton. Bibi, mau kau mengajarku?” Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.

Demikianlah, hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar suara anaknya memanggil.

Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah ‘terbang’ ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apa lagi Im Giok berkali-kali memanggil.

“Ibu...! Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”

“Enci Pek Hoa, kau hendak membawa anakku ke mana?” Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung kekejaman luar biasa.

“Ha-ha-ha, Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kau pikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha-ha-ha, mungkin dulu kau selalu membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang barulah kau tahu bahwa kecantikan tidak membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!”

Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!

Sejak tadi, Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik.