Rahasia Puri Merah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Rahasia Puri Merah


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

MALAM belum lagi beranjak larut. Angin berhembus kencang menyebarkan titik-titik embun, diiringi kabut tebal yang menyelimuti seluruh Bukit Arang Lawu. Sang dewi malam mengintip dari balik awan hitam pekat. Sinarnya begitu redup, seakan-akan tak kuasa menerangi mayapada ini.

Beberapa kali kilat menyambar, membelah angkasa, memekakkan telinga dan menyilaukan mata. Malam ini alam di sekitar Bukit Arang Lawu seakan-akan murka. Namun keadaan alam yang tak ramah, tidak membuat puluhan orang yang berada di lereng bukit itu menghentikan aksinya. Dua kelompok manusia sedang bertarung mempertaruhkan nyawa.

"Hajar, bunuh, seraaang...!"

Teriakan-teriakan keras membangkitkan semangat menggema memecah keheningan malam, berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu diselingi jeritan-jeritan melengking. Dan semuanya itu diiringi pula oleh tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Titik-titik air hujan pun mulai berjatuhan menambah suramnya suasana malam ini.

Keadaan di sekitar lereng Bukit Arang Lawu menjadi porak-poranda bagaikan diamuk ratusan raksasa. Pohon-pohon besar kecil bertumbangan. Batu-batuan hancur berantakan. Belum lagi mayat-mayat manusia dan kuda saling tumpang tindih tak tentu arah. Bau anyir darah menyebar menusuk hidung. Tapi keadaan itu tidak mengendorkan semangat dua kelompok yang sedang bertarung. Mereka tidak lagi menghiraukan hujan yang semakin deras tumpah dari langit.

"Mundur...!" tiba-tiba satu teriakan keras terdengar menggelegar.

Tampak satu kelompok yang mengenakan seragam bagai prajurit kerajaan bergerak mundur sambil terus bertahan. Sedangkan satu kelompok lagi yang kebanyakan mengenakan pakaian longgar warna merah, terus menyerang.

"Mundur.... Mundur...!"

Kelompok yang mengenakan pakaian seragam prajurit segera berlarian mundur menyelamatkan diri. Sementara hujan semakin deras datangnya, diikuti gelegar suara petir yang menyambar.

"Cukup!" sebuah suara keras tiba-tiba membentak.

Tampak salah seorang yang mengenakan jubah merah longgar, mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas. Tongkat berlekuk bagai ular tergenggam di tangan kanannya. Wajah orang itu tidak terlihat, karena terhalang jubah merah yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.

"Ayo, kembali!" perintahnya.

Orang-orang yang sebagian berjubah merah dan sebagian lagi berpakaian biasa seperti layaknya orang persilatan, melangkah tergesa-gesa meninggalkan lereng Bukit Arang Lawu ini. Mereka menuju ke puncak bukit yang gelap terselimut kabut tebal menghitam.

Sementara itu kelompok lainnya yang semuanya mengenakan seragam bagai prajurit, menuruni lereng bukit. Mereka baru berhenti setelah tiba di suatu dataran yang cukup luas. Pada dataran itu, berdiri beberapa tenda berwarna putih. Satu tenda yang paling besar berdiri di antara tenda-tenda lain yang mengelilinginya.

Orang-orang yang selamat dari pertempuran itu segera masuk ke dalam tenda, berlindung dari curahan hujan yang semakin lebat. Tampak dua orang laki-laki gagah memasuki tenda yang paling besar. Di dalam tenda itu rupanya telah menunggu seorang laki-laki muda mengenakan pakaian indah dengan manik-manik dari emas dan perak murni.

Laki-laki muda itu berkulit kuning langsat. Wajahnya bersih dan tampan bagai tak berdosa. Sinar matanya bening dan lembut, namun memancarkan cahaya kewibawaan seorang pemimpin. Dua orang laki-laki bertubuh tegap yang basah kuyup itu, segera duduk bersila setelah memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya ke depan hidung.

"Hamba menghadap, Gusti Pangeran Kandara Jaya," ucap salah seorang seraya menyembah.

"Aku sudah tahu, Paman Lawawi Girang. Memang tidak mudah memerangi orang-orang yang sudah dirasuki iblis," pelan dan berwibawa suara Pangeran Kandara Jaya.

"Maafkan hamba, Gusti Pangeran," ujar Lawawi Girang.

"Sudahlah, masih ada waktu untuk memulai kembali. Hm..., ya. Bagaimana denganmu, Paman Karpatala? Berapa orang prajuritmu yang gugur?"

"Kepastiannya belum hamba peroleh, Gusti. Tapi hamba perkirakan sekitar lima belas orang. Sedangkan, prajurit yang dipimpin Adi Barong Geti seluruhnya tewas. Adi Barong Geti sendiri terluka parah. Hanya itu yang dapat hamba laporkan sekarang, Gusti Pangeran," kata Karpatala seraya menghaturkan sembah.

"Ahhh...," Pangeran Kandara Jaya mendesah panjang. Pandangannya kosong lurus ke depan.

Sudah tiga malam mereka berada di lereng Bukit Arang Lawu ini. Untuk malam pertama penyerangan ini, mereka menderita kekalahan cukup besar. Hampir lima puluh prajurit tewas. Belum lagi yang terluka parah maupun ringan, sedang sisanya kini dalam keadaan letih. Pangeran Kandara Jaya menarik napas beberapa kali.

Tugas yang diembannya kali ini memang cukup berat Tapi semuanya diterima dengan hati lapang. Dia tahu kalau yang akan dihadapi kali ini bukanlah orang-orang atau prajurit biasa kerajaan lain. Tapi orang-orang yang memiliki kesaktian cukup tinggi. Dan lagi rata-rata mereka mempunyai ilmu olah kanuragan yang tidak rendah. Untuk itulah Pangeran Kandara Jaya perlu membawa dua punggawa yang memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi pula.

"Sebaiknya Paman berdua istirahat. Aku akan meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa," kata Pangeran Kandara Jaya penuh wibawa.

"Hamba mohon diri, Gusti," kata Lawawi Girang seraya beringsut mundur.

"Hm, silakan," Pangeran Kandara Jaya mengangkat tangannya ke depan.

Dua orang punggawa itu keluar dari tenda besar yang ditempati oleh Pangeran Kandara Jaya. Pangeran yang baru berusia dua puluh lima tahun itu tetap duduk bersila di tempatnya, dengan telapak tangan berada di lutut. Kedua matanya terpejam.

Pangeran Kandara Jaya mencoba untuk berhubungan dengan Sang Pencipta, untuk minta petunjuk agar tugas yang berat ini dapat terlaksana seperti yang dikehendaki oleh Ayahanda Prabu Balaraga. Memang, beberapa tugas yang diberikan ayahandanya bisa dijalankan dengan baik dan memuaskan. Tapi tugas yang satu ini.... Pangeran Kandara Jaya merasakan akan mendapat rintangan yang sulit.

Dari beberapa mata-mata yang disebar, dilaporkan kalau gerombolan Puri Merah adalah kelompok manusia iblis yang selalu membuat kacau wilayah Kerajaan Mandaraka. Cara kerja mereka benar-benar bagaikan iblis saja. Datang dan pergi bagai bayangan, tapi selalu meninggalkan kerusuhan dan bencana bagi rakyat.

Kegiatan gerombolan iblis ini sampai menjadi bahan pembicaraan di kalangan istana. Prabu Balaraga pun memerintahkan untuk menumpas gerombolan yang meresahkan rakyat itu.

Itulah sebabnya mengapa Pangeran Kandara Jaya berada di lereng Bukit Arang Lawu ini. Memang menurut telik sandi yang disebar ke pelosok negeri' Gerombolan Puri Merah bersarang di puncak Bukit Arang Lawu.

********************

Pagi-pagi sekali Pangeran Kandara Jaya sudah keluar dari tenda. Dia berjalan pelan-pelan mengelilingi tenda-tenda yang memenuhi sekitar lereng Bukit Arang Lawu. Sisa-sisa air hujan semalam masih menggenang di beberapa tempat Rerumputan di sekitarnya juga belum kering. Kabut masih cukup tebal menyelimuti sekitarnya. Menghalangi sinar matahari yang mengintip dari balik bukit.

Dua orang prajurit bertombak mendampingi sejak pangeran muda itu keluar dari tenda. Pangeran Kandara Jaya berhenti melangkah ketika melihat seorang laki-laki berdiri tegak memandang ke arah puncak bukit yang terselimut kabut tebal.

Di pinggangnya tergantung sebilah pedang dengan gagang dihiasi lima butir batu merah, "Paman Lawawi Girang...," panggil Pangeran Kandara Jaya.

"Oh!" laki-laki yang ternyata memang Lawawi Girang, cepat berbalik dan merapatkan tangannya di depan dada.

"Apa yang kau kerjalan di sini, Paman?" tanya Pangeran Kandara Jaya seraya melangkah mendekati. Dia kembali berhenti setelah jaraknya tinggal tiga sepuluh langkah lagi di depan Lawawi Girang.

"Hamba sedang memikirkan cara untuk mencapai puncak bukit itu, Gusti," sahut Lawawi Girang.

"Sudah kau temukan cara itu?"

"Belum."

"Yaaah, memang sulit mencapai tempat itu," desah Pangeran Kandara Jaya perlahan.

"Tapi hamba berniat akan pergi sendiri ke sana."

"Ah! Terlalu berbahaya, Paman Lawawi Girang. Dengan seratus prajurit pun kita belum mampu mencapai ke puncak! Apalagi hanya kau seorang diri? Tidak, Paman! Jangan tempuh bahaya itu sendiri!"

"Menurut hamba, hanya itu cara satu-satunya yang terbaik. Hamba akan menyelinap untuk menyelidiki kekuatan mereka. Hanya itu, Gusti. Memang tidak mungkin hamba sendirian yang akan membereskan mereka. Tapi kita tidak akan mampu menyelesaikan tugas ini, sementara kita masih buta akan kekuatan mereka," Lawawi Girang mengemukakan alasannya.

"Tapi kau jangan pergi sendirian, Paman," Pangeran Kandara Jaya bisa menerima alasan yang dikemu-kakan punggawanya ini.

"Kalau Gusti Pangeran tidak keberatan, hamba akan mengajak Gusti Adi Kitri Boga."

Pangeran Kandara Jaya tidak segera menjawab. Permintaan Lawawi Girang membuatnya berpikir dua kali. Kitri Boga adalah punggawa muda yang belum berpengalaman dalam pertempuran. Di samping itu, Kitri Boga adalah juga putra kedua Maha Patih Sangga Buana. Rasanya berat untuk mengijinkan Kitri Boga menempuh perjalanan maut itu.

Memang Kitri Boga sudah mendapat restu ayahnya untuk ikut serta dalam tugas berbahaya ini. Tapi Pangeran Kandara Jaya masih meragukan kemampuan pemuda yang baru berusia dua puluh tahun itu. Lagi pula, keselamatan Kitri Boga di tangannya Sedangkan dia sudah berjanji pada Maha Patih Sangga Buana untuk menjaga keselamatan putranya itu.

"Hamba tahu, Gusti tidak akan mengijinkan Gusti Adi Kitri Boga. Tapi hamba yakin kalau putra Maha Patih Sangga Buana itu punya kemampuan yang patut diperhitungkan," kata Lawawi Girang pelan suaranya.

"Paman Patih Sangga Buana memang seorang yang digdaya dan berilmu tinggi. Tapi itu bukan berarti putranya juga seperti ayahnya, Paman. Dia belum pernah memasuki medan pertempuran. Dan sebenarnya pula, aku berat menerimanya dalam tugas ini," sergah Pangeran Kandara Jaya.

"Hamba mengerti, Gusti."

"Apakah tidak ada orang lain yang bisa mendampingimu?" Pangeran Kandara Jaya memberikan pilihan lain.

"Rasanya tidak, Gusti," sahut Lawawi Girang setelah berpikir agak lama.

Pangeran Kandara Jaya terdiam beberapa saat. Hatinya masih terasa berat untuk mengijinkan Kitri Boga ikut serta bersama Lawawi Girang menerobos puncak Bukit Arang Lawu. Sebentar pangeran muda itu memandang puncak bukit yang berselimut kabut, lalu mendesah panjang dan berat. Pandangannya beralih kembali pada Lawawi Girang yang masih menunggu keputusan junjungannya ini.

"Perlu kau ketahui, Paman Lawawi Girang. Aku sudah berjanji pada Paman Maha Patih Sangga Buana untuk menjaga keselamatan Kitri Boga. Itulah sebabnya aku juga tidak mengijinkan ia ikut bertempur semalam. Tapi dia kuberikan tugas lain yang tidak mengundang bahaya besar," kata Pangeran Kandara Jaya pelan namun terdengar tegas penuh kewibawaan.

Lawawi Girang menundukkan kepala. Kelihatannya tengah berpikir keras, tapi entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Namun dari sorot matanya, masih mengharap agar junjungannya ini memberi ijin Kitri Boga untuk ikut serta ke puncak Bukit Arang Lawu.

"Aku akan mengijinkan Kitri Boga ikut bersamamu, asal kau berjanji menjaga keselamatan dengan nyawamu," lanjut Pangeran Kandara Jaya tegas.

"Hamba bersumpah, Gusti," sahut Lawawi Girang berseri-seri.

"Baiklah. Kapan kau akan berangkat?

"Jika Gusti mengijinkan, hamba akan berangkat sekarang juga," sahut Lawawi Girang mantap.

"Ingat, Paman. Kau harus jaga keselamatan Kitri Boga. Dan aku hanya memberimu waktu tiga hari. Lebih dari itu, aku akan ke puncak Bukit Arang Lawu seorang diri!" tegas sekali kata-kata Pangeran Kandara Jaya.

"Hamba akan selalu ingat kata-kata Gusti," sahut Lawawi Girang.

"Pergilah, doaku bersamamu." "Hamba mohon diri, Gusti," pamit Lawawi Girang.

Setelah memberi hormat, Lawawi Girang melangkah menuju ke tenda. Pangeran Kandara Jaya menarik napas panjang. Dia telah mengambil keputusan yang sungguh berat. Keputusan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan hati nuraninya sendiri. Pandangan pangeran muda ini tertuju ke puncak Bukit Arang Lawu. Dia baru menoleh ketika telinganya mendengar langkah-langkah kaki menghampiri.

Tampak Lawawi Girang bersama seorang pemuda tampan berkulit putih berjalan menghampiri Pangeran Kandara Jaya. Pemuda tampan itu menyandang pedang di punggungnya. Bajunya ketat berwarna putih, sehingga memetakan tubuhnya yang kekar dan tegap. Kedua orang itu langsung memberi hormat setelah sampai di depan Pangeran Kandara Jaya.

"Berangkatlah kalian mengemban tugas suci kerajaan. Dalam waktu tiga hari kalian tidak kembali, aku akan menyusul," kata Pangeran Kandara Jaya.

Lawawi Girang dan Kitri Boga kembali men.beri hormat, kemudian segera berlalu. Pangeran Kandara Jaya terus memandangi dua orang itu yang mulai mendaki lereng Bukit Arang Lawu. Dia baru membalikkan tubuhnya setelah punggung Lawawi Girang dan Kitri Boga lenyap dari pandangannya. Sebentar pangeran muda itu menarik napas panjang, kemudian kakinya terayun perlahan-lahan kembali menuju ke tendanya.

"Ah, kenapa hariku jadi tidak enak...?" bisik Pangeran Kandara Jaya dalam hati.

Kepala Pangeran Kandara Jaya menggeleng-geleng, mencoba membuang pikiran-pikiran buruk yang tiba-tiba menghantam benaknya. Belum pernah dirasakan hal seperti ini dalam tugas-tugas sebelumnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya jadi resah ridak menentu. Apakah ini suatu pertanda akan terjadi sesuatu?

Kembali Pangeran Kandara Jaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak ingin memikirkan hal-hal yang membuatnya jadi kecil hari dalam melaksanakan tugas yang dibebankan Prabu Balaraga. Dia harus bisa mengendalikan diri dan berpikiran tenang agar dapat bertindak tepat dengan perhitungan yang matang.

********************

Sementara itu perjalanan yang dilalui Lawawi Girang dan Kitri Boga semakin sulit. Mereka harus melewati jurang dan mendaki dinding batu terjal yang sewaktu-waktu dapat longsor. Belum lagi lebatnya hutan yang menghalangi perjalanan mereka. Namun kedua orang itu tidak menyerah begitu saja. Mereka terus berjalan tanpa mengenal lelah, kini keringat telah membasahi pakaian, meskipun udara di Bukit Arang Lawu sangat dingin dan berselimut kabut.

Perjalanan mereka terhenti ketika di depan membentang jurang yang lebar dan dalam. Begitu dalamnya sehingga dasar jurang itu tidak tampak. Hanya kabut tebal dan kegelapan yang terlihat di dalam jurang itu. Mereka berdiri tegak di bibir jurang. Sedangkan perjalanan yang mereka harus lalui masih panjang.

"Kita tidak mungkin melompati jurang ini, Paman," kata Kitri Boga.

Lawawi Girang hanya mendesah saja. Memang tidak mungkin mereka melompati jurang yang begitu lebar. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki tidak akan sanggup menyeberangi jurang itu hanya dengan sekali lompatan saja. Perlu satu penyangga untuk dapat melentingkan tubuh agar mencapai seberang. Sedangkan di tengah-tengah jurang itu kosong. Tidak ada satu tumbuhan pun yang bisa dijadikan pijakan.

"Kalau mereka bisa menyeberangi jurang ini, tentu ada sarana yang bisa digunakan," kata Kitri Boga setengah bergumam.

"Ah! Benar, benar!" Lawawi Girang tersentak bagai diingatkan "Pasti ada sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk menyeberangi jurang ini."

"Mungkin mereka menggunakan tambang," kata Kitri Boga menduga-duga.

"Mungkin juga," gumam Lawawi Girang.

"Atau sebuah tonggak yang terpancang di tengah-tengah."

"Kalau begitu, kita harus menyusuri bibir jurang ini, Paman."

"Bisa makan waktu lama, Gusti. Sedangkan waktu yang diberikan Gusti Kandara Jaya hanya tiga hari."

"Kita berpencar, dan bertemu lagi di sini," usul Kitri Boga.

"Jangan! Sebaiknya bersama-sama saja," bantah Lawawi Girang.

"Kenapa? Bukankah itu berarti membuang-buang waktu?"

Lawawi Girang tidak menjawab. Tidak mungkin ia membiarkan Kitri Boga seorang diri di daerah yang berbahaya ini. Dia sudah bersumpah untuk menjaga keselamatan pemuda ini dengan nyawanya. Lawawi Girang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Otaknya berputar keras mencari jalan agar bisa menyeberangi jurang ini tanpa meninggalkan Kitri Boga setapak pun.

"Paman...."

"Sebentar, Gusti," potong Lawawi Girang cepat.

Lawawi Girang tiba-tiba melompat ke atas pohon. Tangannya menjambret beberapa sulur yang menjuntai dari pohon-pohon besar di sekitar tepi jurang ini. Dia kembali lagi membawa beberapa sulur yang cukup panjang dan kuat.

"Dengan sulur ini, kita bisa menyeberangi jurang," kata Lawawi Girang.

Kitri Boga mengerutkan keningnya. "Kurasa, dua puluh sulur cukup untuk mencapai seberang," lanjut Lawawi Girang seraya menyambung ujung-ujung sulur.

Kitri Boga hanya memperhatikan saja. Lawawi Girang menyambung lebih dari dua puluh sulur yang panjang-panjang. Sulur-sulur itu memang kelihatan kuat, dan cukup untuk sampai ke seberang sana.

Lawawi Girang mengikatkan satu ujung sulur pada sebatang pohon yang ada di tepi jurang. Kemudian ujung satunya lagi diikatkan pada pergelangan tangan kirinya. Lawawi Girang mengambil sepotong kulit kayu yang cukup besar ukurannya, lalu berdiri tegak di bibir jurang.

"Apa yang akan Paman lakukan?" tanya Kitri Boga.

"Aku akan melompati jurang ini," sahut Lawawi Girang.

"Gila! Jurang ini sangat lebar! Kau tidak akan mampu sampai ke seberang!" sentak Kitri Boga terkejut.

"Memang. Tapi dengan kulit kayu ini, aku bisa sampai ke seberang sana," tenang sekali Lawawi Gi rang menyahut.

"Jangan berbuat nekad, Paman. Bagaimana kalau dua lompatan tidak cukup?"

"Gusti bisa menyentakkan sulur ini kuat-kuat, sehingga aku bisa tertarik kembali ke sini dengan meminjam tenaga sentakan Gusti," sahut Lawawi Girang.

Kitri Boga mulai mengerti jalan pikiran Lawawi Girang. Kemudian diambilnya dua potong kulit kayu. Lawawi Girang memandanginya dengan kening agak berkerut.

"Untuk apa kulit-kulit kayu itu?" tanya Lawawi Girang.

"Untuk berjaga-jaga," jawab Kitri Boga. "Kalau gagal, daripada harus kembali, lebih baik kulemparkan kulit kayu ini ke bawah kakimu. Dan kulit kayu ini bisa kau jadikan tumpuan untuk menambah tenaga dorongan! Bagaimana?"

"Bagus!" puji Lawawi Girang tersenyum.

Sementara Lawawi Girang mengambil ancang-ancang, kemudian melompat tinggi berputaran di udara menyeberangi jurang besar yang menganga lebar. Belum lagi sampai di tengah-tengah, tubuh Lawawi Girang meluncur turun. Cepat-cepat dilepaskan kulit kayu yang ada di tangannya, dan dengan ujung kaki dijejaknya kulit kayu itu. Kembali tubuhnya melenting ke udara, berputaran beberapa kali.

Tepat dugaan Kitri Boga, Lawawi Girang kembali menukik turun sebelum mencapai tepi seberang jurang. Secepat kilat Kitri Boga melemparkan kulit kayu ke arah kaki Lawawi Girang. Dengan tangkas punggawa itu menotok kulit kayu yang berada di bawah kakinya. Kembali tubuhnya melenting ke udara, lalu hinggap tepat di bibir jurang.

Kitri Boga mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi. Kemudian dia melompat, dan berlarian di atas sulur yang sudah terentang dipegangi Lawawi Girang. Indah sekali Kitri Boga berlari di atas sulur yang membentang menyeberangi jurang itu. Pemuda itu lalu melenting indah menjejakkan kakinya di samping Lawawi Girang. Punggawa itu kemudian mengikatkan ujung sulur yang dipegangnya pada pohon. Sungguh dikaguminya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Kitri Boga.

"Ayo kita lanjutkan lagi, Paman," ajak Kitri Boga.

"Mari, Gusti," sahut Lawawi Girang.

"Ke arah mana kita sekarang?" tanya Kitri Boga.

"Puncak bukit ada di sebelah Timur.

Sebaiknya kita ke arah Timur," sahut Lawawi Girang.

"Ayo, sebentar lagi malam. Kita harus mencapai puncak itu sebelum gelap."

"Mustahil, Gusti. Paling tidak, besok pagi baru bisa mencapai puncak itu."

"Kita gunakan ilmu lari cepat, Paman. Aku rasa perjalanan ke arah Timur tidak terlalu sulit lagi."

"Tapi kita harus waspada. Aku yakin mereka memasang jebakan di sekitar puncak bukit ini."

"Baiklah, tapi kita harus cepat!"

"Mari, Gusti."

Dua orang itu segera bergerak menuju ke puncak Bukit Arang Lawu. Lawawi Girang terpaksa mengimbangi Kitri Boga yang menggunakan ilmu lari cepat. Sebenarnya dia tidak setuju, tapi terpaksa harus diikutinya juga. Lawawi Girang selalu berada di samping pemuda ini. Sedikit pun dia tidak mau mendahului atau tertinggal. Keselamatan pemuda ini lebih penting dari nyawanya sendiri.

********************

DUA

Tidak jauh dari Bukit Arang Lawu, tampak serombongan orang berkuda berpacu cepat menuju ke sebuah desa di dekat kaki Bukit Arang Lawu sebelah Barat Tidak kurang dari lima puluh ekor kuda dipacu oleh orang-orang yang mengenakan jubah merah. Suara derap kaki kuda dengan teriakan-teriakan riuh berbaur menjadi satu.

Tampak penduduk desa itu berlarian ketakutan menyelamatkan diri bersama barang-barang yang bisa diselamatkan. Rombongan berkuda itu semakin dekat, dan mulai memasuki desa. Orang-orang berjubah merah yang semuanya memegang senjata terhunus, langsung rnemporak-porandakan seluruh isi desa itu.

Tidak peduli orang tua, perempuan atau anak-anak, semuanya mereka bantai tanpa belas kasihan. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana saling sambut. Ditambah lagi dengan sorak-sorai dan teriakan-teriakan perintah menggelegar.

"Bakar! Habiskan, jangan sampai ada yang tersisa...!"

Beberapa penunggang kuda berjubah merah mulai melempar obor ke atap-atap rumah. Api cepat berkobar besar melahap rumah-rumah penduduk desa yang rata-rata terbuat dari papan dan bilik bambu.

Suasana hiruk pikuk semakin tak terkendalikan lagi. Beberapa penduduk yang bernyali besar, mengadakan perlawanan dengan senjata seadanya. Namun mereka hanya membuang nyawa percuma. Orang-orang berjubah merah itu sangat kejam dan ganas. Siapa saja yang berani mendekat, pasti ambruk bersimbah darah.

Sudah tak terhitung lagi, berapa mayat bergelimpangan berlumuran darah. Dalam waktu singkat saja, puluhan rumah dan ratusan penduduk mati terbunuh. Api semakin besar, merambat ke rumah-rumah lain yang berdekatan. Kerusuhan itu terus berlangsung, seakan tak akan tertanggulangi lagi.

Setelah puas, orang-orang berjubah merah itu kembali memacu kudanya meninggalkan desa yang sudah porak-poranda. Beberapa di antaranya telah membawa paksa wanita-wanita muda. Belum lagi barang-barang berharga yang berhasil mereka rampas dari rumah-rumah penduduk.

Kerusuhan itu begitu cepat berlalu. Suasana di desa kini tenang kembali, walau keadaannya sungguh menyedihkan. Tidak satu rumah pun yang masih utuh. Semuanya rusak berantakan. Bahkan tidak sedikit yang hangus jadi arang. Api masih saja berkobar melahap apa saja yang bisa terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan di setiap tempat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi di desa yang naas itu.

Menjelang senja, keadaan di desa sebelah Barat kaki Bukit Arang Lawu itu masih tetap sunyi sepi. Sementara rumah-rumah yang terbakar tinggal puingpuing mengepulkan asap tipis. Binatang-binatang buas yang mencium anyir darah, mulai keluar hutan. Tidak lama lagi desa yang porak poranda itu akan menjadi tempat pesta binatang琤inatang buas.

Namun sebelum binatang-binatang liar itu menyerbu desa, tampak dua orang berjalan tenang ke arah desa itu. Mereka masih muda. Yang satu laki-laki, dan satunya lagi wanita berparas cantik dengan baju ketat warna biru membentuk tubuh yang indah dan ramping.

Dilihat dari pakaian dan wajahnya, mereka adalah Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi atau Kipas Maut. Kedua pendekar muda itu tetap berjalan tenang menuju ke desa yang sudah berantakan tak berujud lagi. Langkah mereka seketika terhenti saat menyaksikan pemandangan mengenaskan di depannya. Mulut mereka sempat ternganga menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan, dan rumah-rumah terbakar hangus.

"Biadab! Setan mana yang melakukan semua ini?" rutuk Rangga menggeram.

"Kita lihat, Kakang. Barangkali masih ada yang hidup," ajak Pandan Wangi.

Mereka kembali melangkah tergesa-gesa. Rangga beberapa kali mengumpat, menghadapi mayat-mayat bergelimpangan di setiap tempat. Hampir tidak dipercaya akan pemandangan yang disaksikannya ini. Tidak seorang pun yang hidup. Semuanya mati dengan luka yang mengerikan.

"Aku tidak percaya, apabila manusia waras yang melakukan semua ini!" dengus Rangga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak seorang pun yang masih hidup," gumam Pandan Wangi.

"Benar-benar biadab! Keji!"

"Ada banyak tapak kaki kuda, Kakang," kata Pandan Wangi sambil jongkok.

Rangga meneliti jejak-jejak tapak kaki kuda yang berbaur dengan tapak-tapak kaki manusia. Begitu banyak, sehingga sulit untuk ditentukan jumlah kuda yang tapak kakinya membekas di tanah. Kedua pendekar itu mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang tertera jelas. Sepanjang jejak itir, selalu dijumpai mayat yang keadaan tubuhnya terluka.

Rangga mendengus kesal, karena tapak-tapak kaki kuda itu ada di setiap pelosok desa. Bahkan sampai ke pinggiran desa pun, tapak kaki kuda masih terlihat jelas begitu banyak. Tanpa disadari dia terpisah dari Pandan Wangi. Rangga terus menyusuri bekas tapak kaki kuda di tanah, sambil mengamari setiap tubuh yang tergolek Kalau-kalau masih ada yang hidup.

"Kakang...!" tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi memanggil.

"Ada apa, Pandan?" teriak Rangga. "Cepat, ke sini!"

Rangga langsung melompat menuju ke arah suara tadi. Hanya dengan beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping Pandan Wangi. Tampak gadis itu tengah jongkok meneliti tanah.

"Ada apa?" tanya Rangga.

"Jejak kaki kuda itu menuju ke arah hutan," sahut Pandan Wangi sambil berdiri.

Rangga menyusuri pandangannya mengikuti jejak tapak kaki kuda yang terus menuju ke luar desa ini. Jejak-jejak itu memang menuju ke hutan lebat yang membatasi desa. ini dengan Bukit Arang Lawu. Tapi jejak itu banyaknya bukan main. Sulit bagi Rangga untuk menentukan berapa banyak orang berkuda yang telah membumihanguskan desa ini.

Bau anyir darah makin menyengat hidung. Beberapa ekor anjing hutan mulai berdatangan. Suaranya ribut sekali berebutan daging manusia yang bergelimpangan tak terurus. Pandan Wangi segera menggamit tangan Rangga, dan mengajaknya meninggalkan desa itu. Dia tidak tahan melihat tubuh-tubuh bergelimpangan menjadi santapan anjing-anjing liar yang rakus kelaparan. Kedua pendekar muda itu berjalan mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang tertera jelas di tanah dan rerumputan.

Sementara senja terus merayap turun. Matahari hanya mengintip genit di ufuk Barat. Sinarnya yang kemerahan membias lembut menyambut datangnya kabut. Rangga dan Pandan Wangi terus melangkah semakin dalam masuk hutan, menuju lereng Bukit Arang Lawu. Mereka tidak peduli lagi dengan binatang-binatang liar yang tengah berpesta pora menikmati santapan berlimpah ruah.

********************

Awan hitam datang bergulung-gulung menyelimuti mayapada. Angin berhembus kencang mengeluarkan suara menderu-deru, menggoyahkan pepohonan di sekitar lereng Bukit Arang Lawu. Kilat mulai menyambar disertai suara guruh memekakkan telinga. Rangga menghentikan langkahnya ketika merasakan titik-titik air hujan mulai jatuh ke bumi satu-satu.

Kepala Pendekar Rajawali Sakti itu menengadah ke atas. Kilat kembali menyambar, menerangi alam yang gelap gulita dalam sekejap mata saja. Titik-titik air hujan yang jatuh mulai sering menimpa bumi. Rangga mementang matanya menentang kegelapan malam. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian ditariknya tangan Pandan Wangi ketika melihat sebuah goa batu pada saat kilat kembali memercik.

Tepat ketika dua pendekar muda itu masuk ke dalam goa yang kecil dan sempit, hujan deras turun bagai ditumpahkan dari langit. Rangga menarik tangan Pandan Wangi agar lebih dalam masuk goa. Angin yang berhembus kencang membawa masuk air hujan ke dalam goa. Mereka baru berhenti setelah tidak lagi terkena air hujan yang terbawa angin kencang.

"Kau punya pemantik api, Pandan?" tanya Rangga.

"Ada, nih," sahut Pandan Wangi sambil menyerahkan batu pemantik api.

Rangga menerima batu pemantik api itu, kemudian tangannya meraba-raba tanah di sekitarnya. Ditemukannya beberapa ranting kering yang kemudian dikumpulkan jadi satu. Dengan pemantik itu Rangga menyalakan api pada ranting-ranting kering. Goa yang gelap gulita itu kini menjadi terang benderang. Rangga mengumpulkan ranting kering yang rupanya banyak terserak di lantai goa ini. Pandan Wangi sudah duduk memeluk lutut di dekat api. Sesekali ditambahkan ranting ke dalam api.

"Dingin...?" tanya Rangga seraya menempatkan diri di depan Pandan Wangi. Hanya api unggun yang membatasi mereka.

"He-eh," sahut Pandan Wangi sedikit menggigil.

"Bajumu basah, buka saja biar kering," kata Rangga.

"Apa...?!" Pandan Wangi mendelik.

"Maaf, aku lupa kalau kau...," Rangga nyengir.

"Huh! Nggak lucu!" rungut Pandan Wangi.

Tapi di bibirnya terlintas senyum kecil, hampir tidak terlihat.

Rangga menggeser duduknya mendekati gadis itu. Dia menambahkan ranting ke atas api. Percikan bunga api saat melahap ranting menarik perhatian Pandan Wangi. Dia tidak peduli dengan Rangga yang kini telah dekat di sampingnya. Pandan Wangi menggores-goreskan sebatang ranting ke lantai goa yang sedikit lembab.

"Sudah berapa lama ya, kita bersama-sama?" gumam Rangga seolah bertanya pada dirinya sendiri.

"Entahlah, aku tidak pernah menghitung," sahut Pandan Wangi mendesah.

"Kadang-kadang aku suka berpikir...," Rangga tidak meneruskan kata-katanya. Pandangannya lurus menatap wajah cantik di sampingnya.

Pandan Wangi menolehkan kepalanya. Sesaat pandangin mereka bertemu pada satu titik. Gadis itu segera memalingkan pandangannya ke arah lain. Mendadak rasa jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Sungguh mati, baru kali ini dia merasa seperti ini. Entah sudah berapa lama selalu bersama-sama pemuda ini, tapi baru kali ini ada perasaan lain di dalam hatinya. Sesuatu yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Pandan Wangi merasa rikuh dan serba salah dipandangi terus menerus. Duduknya juga jadi gelisah. Belum pernah dirasakan kegelisahan yang mengganggu sedemikian rupa. Sering mereka dalam goa, juga bukan sekali dua kali berada dalam satu kamar penginapan. Namun belum pernah Pandan Wangi punya perasaan seperti sekarang ini.

"Kenapa memandangku terus?" tegur Pandan Wangi agak ketus juga.

"Ah, tidak... tidak apa-apa," sahut Rangga gugup. Buru-buru Rangga membuang segala macam pikiran yang merasuk hatinya.

Pandan Wangi sudah dianggapiya sebagai saudaranya sendiri. Dia sudah berkata dalam hatinya kalau gadis ini adalah adiknya. Bukan siapa-siapa, dan tidak lebih dari adik! Rangga membuang jauh-jauh pikiran aneh dan perasaan asing yang melintas dihati dan benaknya. Dia tidak ingin hanyut dalam perasaan hatinya.

"Aku rasa tempat ini cukup nyaman untuk bermalam," kata Rangga mencoba untuk mengalihkan pembicaran.

"Ya, asal tidak ada binatang menjijikkan saja," sahut Pandan Wangi.

"Kalau ada ular, atau ca...."

"Jangan macam-macam, ah!" sergah Pandan Wangi sambil cemberut. Dia paling jijik dengan binatang-binatang yang baru saja disebutkan Rangga. Meskipun seorang pendekar, tapi nalurinya sebagai wanita tidak hilang begitu saja.

"Ha ha ha...!" Rangga tertawa terbahak-bahak.

Pandan Wangi mendelik, tapi tersenyum juga mendengar suara tawa Rangga. Selama bersama pemuda ini, baru kali ini ia mendengar Rangga tertawa begitu lepas. Suara tawanya sangat merdu di telinga Pandan Wangi. Tidak mudah bagi Rangga untuk tertawa selepas tadi. Kehidupannya selalu dipenuhi dengan kekerasan, sehingga membuatnya sulit tertawa. Dan Pandan Wangi senang mendengar tawa yang sebentar namun begitu lepas tergerai.

"Aaah...! Ngantuk, tidur ah," Pandan Wangi menguap menutupi mulutnya.

"Tidurlah sana. Biar aku yang jaga," kata Rangga.

"Nanti gantian, ya?"

"Iya!"

Pandan Wangi mengambil tempat yang. nyaman, dan merebahkan tubuhnya dengan tangan menekuk menopang kepala. Meskipun sudah merebahkan diri, namun matanya belum juga terpejam. Malah ditatapnya terus pemuda tampan yang masih duduk membelakanginya.

Mungkin saat itu mereka tengah berbicara satu sama lain dalam hati. Entah apa yang tengah dibisikkan di hati mereka. Yang jelas, Rangga maupun Pandan Wangi tidak tenang. Rasa kantuk pun hilang. Beberapa kali mereka saling melirik, tapi tidak pernah bertemu pandang.

Sementara di luar goa, hujan terus turun deras. Seakan-akan hujan tidak akan berhenti sepanjang malam ini. Malam pun terus merayap semakin larut, dan kesunyian makin menyelimuti sekitarnya. Dua manusia di dalam goa tetap berdiam diri, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

********************

Saat itu, di bagian lain lereng Bukit Arang Lawu, Pangeran Kandara Jaya duduk termenung di dalam tenda yang besar dan indah. Sudah dua hari Lawawi Girang dan Kitri Boga belum juga kembali dari penyelidikannya atas gerombolan Puri Merah yang bermarkas di puncak Bukit Arang Lawu.

Pangeran Kandara Jaya semakin gelisah, karena tidak ada kabar sedikit pun tentang Lawawi Girang dan Kitri Boga. Lima orang telik sandi sudah dikirim untuk mencari kabar, dan semuanya kembali dengan membawa laporan yang sama. Nihil.

Lima orang telik sandi yang dikirim itu tidak bisa melanjutkan perjalanan ke puncak, karena dihadang jurang yang lebar dan dalam. Mereka tidak mungkin menyeberangi jurang itu, karena tidak ada jembatan sama sekali. Memang mereka menemui sulur-sulur yang disambung-sambung terikat di pohon, tapi sulur-sulur itu putus di tengah瑃engah.

"Mungkinkah Paman Lawawi Girang dan Adi Kitri Boga terjerumus ke dalam jurang?" gumam Pangeran Kandara Jaya seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Mungkin juga mereka berhasil menyeberangi jurang itu, Gusti," celetuk Karpatala dengan bersila agak ke samping di depan pangeran muda itu.

"Kalau mereka berhasil menyeberang, lalu mengapa sulur itu putus?"

Karpatala tidak dapat menjawab. Memang sulit untuk menjawab pertanyaan Pangeran Kandara Jaya tadi. Satu-satunya alat untuk menyeberangi jurang itu hanya sulur yang disambung-sambung. Tapi kenyataannya sekarang, sulur itu putus di tengah-tengah. Rasanya mustahil jika Lawawi Girang dan Kitri Boga bisa selamat sampai ke seberang. Dan kalau pun sampai, tentu mereka sulit untuk kembali lagi ke sini.

"Kalau sampai besok pagi mereka belum muncul, kuperintahkan agar tenda segera dibongkar dan kembali pulang ke kerajaan," kata Pangeran Kandara Jaya.

"Gusti...!" Karpatala tersentak kaget.

"Tidak ada gunanya menunggu lama di sini, sementara perbekalan menipis. Beberapa kali kita mencoba untuk mencapai puncak, tapi baru sampai lerengnya saja, kita sudah dipukul mundur. Paman Karpatala, aku tidak akan malu mengakui kekalahan pada Ayahanda Prabu. Mereka memang tangguh dan kuat," kata Pangeran Kandara Jaya tegas.

"Ampun. Gusti. Boleh hamba mengajukan permohonan?" Karpatala merapatkan tangannya di depan hidung, memberi hormat.

"Silakan," sahut Pangeran Kandara Jaya.

"Menurut hamba, tempat ini jangan dikosongkan sama sekali. Hamba akan tetap berada di sini bersama beberapa prajurit, menunggu kalau-kalau Kakang Lawawi Girang dan Gusti Kitri Boga kembali," kata Kar-patala penuh hormat.

"Lalu, siapa yang akan memimpin prajurit pulang?"

"Gusti sendiri. Bukankah Gusti Pangeran juga akan kembali pulang?"

"Tidak!"

Karpatala tersentak kaget mendengar jawaban tegas junjungannya. Dia tidak mengerti maksud Pangeran Kandara Jaya, memerintahkan untuk kembali pulang, dan sekarang...

"Aku tidak akan kembali ke istana jika tidak bersama Kitri Boga!" kata Pangeran Kandara Jaya tegas.

"Maksud Gusti?" tanya Karpatala tidak mengerti.

"Kuperintahkan kau memimpin prajurit kembali ke istana besok pagi, dan aku sendiri yang akan ke puncak Bukit Arang Lawu."

"Ah...! Jangan, Gusti. Terlalu berbahaya pergi seorang diri ke sana. Lima ratus prajurit pun belum tentu mampu mencapai puncak, apalagi hanya seorang diri? Jangan, Gusti. Hamba mohon, jangan pergi ke sana seorang diri."

"Sudah kusiapkan surat untuk Ayahanda Prabu, dan kau yang kupercayakan menyerahkan surat ini. Aku tidak ingin surat ini sampai bukan melalui tanganmu sendiri, Paman."

Kandara Jaya menyerahkan surat yang tergulung di dalam longsong perak. Dengan tangan bergetar, Karpatala menerima surat itu. Percuma saja merengek dan mencairkan hati junjungannya ini. Pangeran Kandara Jaya tetap pada pendiriannya. Sekali bilang hitam, untuk selamanya tetap hitam. Itulah watak Pangeran Kandara Jaya.

"Surat itu bercap cincin pusakaku. Di situ tertulis namamu sebagai pengantar, dan hukuman yang akan kau terima bila surat itu diantar bukan lewat tanganmu!" sambung Pangeran Kandara Jaya.

"Hamba laksanakan, Gusti," sahut Karpatala bergetar suaranya.

"Pergilah, dan bersiap-siaplah untuk membongkar tenda besok!"

"Hamba mohon undur diri, Gusti," pamit Karpatala.

"Hm...!"

Karpatala bangkit berdiri, kemudian memberi hormat sebelum keluar dari tenda besar tempat beristirahat Pangeran Kandara Jaya. Sepeninggal punggawa setianya itu, Kandara Jaya tetap duduk di tempatnya. Dia masih memikirkan tentang keselamatan Kitri Boga yang seharusnya jadi tanggung jawabnya. Kembali teringat akan janjinya pada Maha Patih Sangga Buana untuk menjaga keselamatan putranya yang kini tidak tentu nasibnya bersama Lawawi Girang.

Kandara Jaya sangat menyesali keputusannya yang ceroboh, mengijinkan Punggawa Lawawi Girang membawa serta Kitri Boga. Padahal keselamatan Kitri Boga berada di tangannya. Apa pun yang akan terjadi dia harus pergi ke puncak Bukit Arang Lawu itu. Seandainya hanya menemukan mayat Kitri Boga, itu pun sudah cukup baginya. Kandara Jaya tidak begitu berharap Kitri Boga dan Lawawi Girang masih hidup sekarang ini. Dia sadar, betapa berbahayanya mendaki puncak Bukit Arang Lawu.

"Ah, Dewata Yang Agung....," desah Kandara Jaya lirih.

********************

TIGA

Pagi-pagi sekali prajurit Kerajaan Mandaraka berangkat meninggalkan lereng Bukit Arang Lawu. Kepergian mereka dipimpin Punggawa Karpatala dengan diiringi pandangan mata Pangeran Kandara Jaya. Sebenarnya, Karpatala berat meninggalkan Pangeran Kandara Jaya seorang diri di bukit yang penuh bahaya ini. Tapi, kata-kata dan tekad pangeran muda itu sulit untuk dibelokkan lagi.

Prajurit yang jumlahnya sudah berkurang itu berjalan cepat menuruni lereng bukit, kembali ke Kerajaan Mandaraka. Pemuda pewaris tahta kerajaan itu berdiri tegak dengan tangan memegang ujung gagang pedang yang tergantung di pinggang, memandangi kepergian prajuritnya.

"Aku harus segera ke puncak bukit itu," gumam Kandara Jaya perlahan.

Kandara Jaya segera mengayunkan kakinya cepat-cepat mendaki lereng menuju puncak. Pangeran muda itu berjalan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu ringan kakinya bergerak, sehingga seperti tidak menyentuh tanah sama sekali. Kandara Jaya terus melangkah merambah hutan dan tebing batu terjal. Kadang-kadang harus melompati sungai dan jurang kecil yang menghadang.

Langkahnya mendadak terhenti ketika telinganya yang tajam mendengar suara langkah orang lain dari arah samping. Kandara Jaya segera melompat ke atas batu besar, dan berlindung di baliknya. Telinganya bergerak-gerak mendengarkan suara langkah kaki yang makin jelas dan dekat. Suara langkah kaki tanpa disertai dengan pengerahan ilmu meringankan rubuh, tentu saja sangat mudah untuk didengarkan.

Tidak lama kemudian, dari balik lebatnya pepohonan muncul dua orang laki-laki dan perempuan. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar muda itu berjalan santai sambil bercakap-cakap. Tidak ada yang penting dalam percakapan mereka, bahkan tidak jarang diselingi canda dan tawa yang lepas bergerai.

"Pandan...," bisik Rangga tiba-tiba.

"Ada apa?" tanya Pandan Wangi ikut berhenti melangkah.

"Aku merasakan tarikan napas halus di sekitar sini," kata Rangga pelan setelah berbisik.

Pandan Wangi memiringkan kepalanya sedikit. Dicobanya untuk mendengarkan suara tarikan napas halus yang dikatakan Rangga tadi. Tapi, meskipun sudah mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara, tetap saja tidak mendengar suara apa-apa kecuali hembusan angin dan suara detak jantungnya sendiri.

"Kau mendengarnya, Pandan?" tanya Rangga.

"Tidak," sahut Pandan Wangi.

"Hanya satu, tapi kurasa dia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tarikan napasnya begitu halus, hampir aku tidak mendengarnya," gumam Rangga pelan sekali.

"Apa itu bukan tarikan napasmu sendiri, Kakang?" Pandan Wangi tidak yakin, karena tidak mendengar apa-apa.

"Aku bisa membedakan antara diriku, kau, dan orang lain. Hati-hatilah, orang itu sangat tinggi ilmunya."

Rangga melangkah tiga tindak ke depan. Kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan. Ilmu pembeda gerak dan suara yang dimilikinya sudah mencapai tahap kesempurnaan. Baginya, suara sehalus apa pun sangat mudah ditangkapnya. Jadi, tidak heran kalau dia mampu mendengar sesuatu yang tidak dapat didengar orang lain, meskipun juga memiliki ilmu pembeda gerak dan suara.

"Kisanak, aku tidak bermaksud buruk padamu. Dan aku juga tidak mengganggumu jika kau tidak memiliki niat buruk pada kami," kata Rangga. Suaranya terdengar kecil, namun menggema ke segala penjuru. Rangga mengerahkan tenaga dalam yang sempurna sekali.

Tak ada sahutan sedikitpun. Keadaan di sekitar tempat itu tetap sunyi. Hanya desir angin yang menyahuti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Baiklah. Aku tahu di mana kau bersembunyi. Kalau kau tidak ingin menampakkan diri, aku juga tidak akan mengganggu tempat persembunyianmu," kata Rangga lagi.

Rangga menjentikkan jarinya, mengajak Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi mengikuti, dan berjalan di samping Rangga. Kedua pendekar muda itu terus melangkah biasa tanpa menoleh sedikitpun. Namun Rangga tahu kalau orang yang berlindung di balik batu besar itu tengah mengawasinya.

Pangeran Kandara Jaya baru keluar dari persembunyiannya setelah Rangga dan Pandan Wangi tidak terlihat lagi. Dia menatap arah dua pendekar tadi berlalu. Sama sekali tidak dikenalinya dua anak muda yang mungkin sebaya dengannya tadi. Tapi diakui, kalau yang laki-laki sungguh luar biasa ilmunya. Persembunyiannya dapat diketahui meskipun ia sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan pengatur pernapasan dengan sempurna sekali. Kandara Jaya mendesah panjang dan berat Untuk beberapa saat dia masih berdiri.

"Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya, jika orang itu salah seorang kelompok Puri Merah," gumam Kandara Jaya pelan.

"Dugaanmu salah, sobat!"

"Heh!" Kandara Jaya terkejut setengah mati. Begitu kagetnya, sehingga ia terlonjak dan langsung berbalik. Di atas batu tempatnya berlindung tadi, kini sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Kandara Jaya keheranan bukan main. Kehadiran pendekar itu tidak diketahuinya sama sekali. Tangannya bergerak perlahan menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang.

"Hup!"

Rangga melompat turun dan berdiri tegak sejauh satu batang tombak di depan Kandara Jaya. Bibirnya menyunggingkan senyum ramah penuh persahabatan. Kandara Jaya menggeser kakinya ke samping, saat Pandan Wangi muncul dari arah perginya tadi.

"Siapa kalian?" tanya Kandara Jaya.

"Aku Rangga, dan itu adikku, namanya Pandan Wangi. Cantik dan lembut, tapi sedikit nakal dan judes," Rangga memperkenalkan diri.

"Kakang!" Pandan Wangi mendelik.

"Siapakah Kisanak ini?" tanya Rangga tidak mempedulikan Pandan Wangi yang mendelik dengan wajah merah.

"Aku Kandara Jaya," katanya memperkenalkan diri.

"Apakah kau seorang pangeran?" selidik Pandan Wangi yang sudah menghampiri Rangga, dan berdiri di sampingnya.

"Bukan, aku hanya seorang pengembara biasa," sahut Kandara Jaya menyembunyikan identitas yang sebenarnya.

"Hm..., kelihatannya kau seorang putra raja. Atau paling tidak putra bangsawan yang kesasar," gumam Pandan Wangi. Pandangan matanya penuh selidik ke arah pakaian yang dikenakan Kandara Jaya.

Pangeran Kandara Jaya agak terperanjat juga dengan kata-kata Pandan Wangi. Penilaian gadis itu memang tepat. Tapi Kandara Jaya tidak ingin seorang pun tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Lebih-lebih pada orang asing yang belum dikenalnya sama sekali. Kandara Jaya harus selalu waspada pada siapa saja yang ditemui di Bukit Arang Lawu ini.

"Baiklah, aku bisa memaklumi kalau kau enggan menyebutkan siapa dirimu yang sebenarnya. Tapi, boleh kutahu, untuk apa kau berada di sini?" Rangga menyelak pembicaraan Pandan Wangi yang terus tidak percaya pada Kandara Jaya.

"Kalian juga mengapa berada di Bukit Arang Lawu ini?" Kandara Jaya malah balik bertanya.

"Aku sedang mengejar orang-orang berkuda yang membantai habis satu desa kemarin," jawab Rangga terus terang.

"Satu desa...!?" Kandara Jaya terlonjak kaget.

"Benar. Tampaknya kau kaget, mengapa?" selidik Pandan Wangi.

"Oh, tidak. Tidak apa-apa. Aku juga terkejut mendengar satu desa dibantai," sahut Kandara Jaya sedikit gugup.

Kandara Jaya jadi sedikit gelisah mendengar hal itu. Sedangkan sampai pagi tadi dia dan prajuritnya masih berkemah di lereng bukit ini. Rasanya sulit dipercaya kalau gerombolan Puri Merah bisa turun bukit dan membumihanguskan satu desa. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Mereka jalan dari mana? Atau ada kelompok lain? Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benak Kandara Jaya. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab.

Putra Mahkota Kerajaan Mandaraka itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi penuh selidik. Dia masih belum percaya kalau kedua orang muda itu bukan anggota gerombolan Puri Merah. Kandara Jaya memberikan beberapa pertanyaan yang dijawab Rangga dengan terus terang dan jujur. Semua pertanyaan Kandara Jaya menyangkut perihal pembantaian di desa yang telah diceritakan Rangga.

Mendengar jawaban-jawaban yang bernada jujur dan berterus terang, Kandara Jaya jadi bimbang juga. Lebih-lebih lagi melihat penampilan Rangga dan Pandan Wangi yang bersikap sopan dan penuh persahabatan. Gerombolan Puri Merah adalah orang-orang yang kejam dan berpenampilan sadis. Benarkah mereka bukan dari Puri Merah? Pertanyaan itu selalu menggelayut di benak Kandara Jaya.

********************

Pada saat itu Lawawi Girang dan Kitri Boga telah tiba di puncak Bukit Arang Lawu. Mereka hampir tidak percaya melihat puncak bukit bagaikan sebuah benteng dengan tembok-tembok dari batu alam membentuk lingkaran bagai cincin raksasa. Dinding batu alam itu dikelilingi padang rumput yang luas, bagai permadani terhampar. Satu pemandangan indah, tapi memiliki suasana yang mengandung misteri.

"Aku tidak yakin mereka bersarang di sini," kata Kitri Boga setengah bergumam.

"Hm...," Lawawi Girang hanya bergumam. Pandangan matanya terus berkeliling.

"Keadaannya sungguh sepi. Tidak ada tanda-tanda seorang pun pernah ke sini," Kitri Boga bersuara pelan.

"Tapi kita harus waspada. Suasana tenang belum tentu...," Lawawi Girang tidak melanjutkan kata-katanya.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja mereka telah dikepung tidak kurang dari sepuluh orang berjubah merah. Semuanya menghunus sebatang tombak bermata tiga. Dari ujung kepala sampai ujung kaki tertutup jubah merah. Hanya tangan dan sedikit wajah yang terlihat.

Lawawi Girang dan Kitri Boga terkejut bukan main. Kehadiran mereka sulit diketahui, dari mana, dan kapan. Tahu-tahu mereka sudah muncul, bagai muncul begitu saja dari dalam tanah.

Sret!

Lawawi Girang langsung menghunus pedangnya. Kitri Boga juga telah mengeluarkan pedangnya yang tergantung di punggung. Mereka berdiri saling beradu punggung. Sedangkan orang-orang berjubah merah itu, hanya berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun.

"Hati-hati, mereka pasti bukan manusia sembarangan," bisik Lawawi Girang.

"Ya," sahut Kitri Boga.

"Jangan beri. kesempatan. Bunuh, selagi mampu!"

Kitri Boga tidak sempat menyahut, karena tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras. Seketika itu juga sepuluh orang berjubah merah serentak membuat gerakan-gerakan dengan tombak bermata tiganya. Dan bagaikan dikomando saja mereka berlompatan, meluruk ke arah sasaran yang dikepungnya.

Kitri Boga dan Lawawi Girang saling beradu punggung untuk menghadapi orang-orang berjubah merah itu. Lawan-lawannya menyerang sangat cepat dan silih berganti Seperti dikomando saja, mereka berlompatan dan meluruk ke arah sasaran yang dikepungnya dengan sangat teratur!

Pertempuran tidak terhindarkan lagi. Orang-orang berjubah merah itu menyerang sangat cepat dan salingi bergantian. Dan kini mereka berhasil memisahkan, Lawawi Girang dan Kitri Boga, sehingga satu harus melawan lima orang. Lawawi Girang cemas juga karena terpisah dengan Kitri Boga.

"Awas...!" teriak Lawawi Girang ketika melihat salah seorang yang mengeroyok Kitri Boga melemparkan seutas tambang dari balik lengan bajunya yang besar.

Pada saat yang bersamaan Lawawi Girang jadi lengah, maka sebuah tendangan keras pun mendarat telak di dadanya. Lawawi Girang terpental ke belakang. Belum juga sempat mengatur posisi tubuhnya satu tusukan tombak bermata tiga mengarah tubuhnya. Lawawi Girang mengayunkan pedang, menangkis tombak yang mengarah dadanya.

Tring!

Lawawi Girang terkejut, karena pedangnya tersangkut pada ujung tombak yang bercabang tiga itu. Dan pada saat akan melepaskannya, mendadak orang yang memegang tombak itu menyentak dengan kuat.

"Akh!" Lawawi Girang terkejut Pedangnya terlepas.

Pada saat yang bersamaan, salah seorang melompat seraya memutar tombaknya dengan cepat. Lawawi Girang memekik keras ketika tombak menghantam kepalanya. Belum hilang rasa sakit di kepalanya, tiba-tiba ujung mata tombak meluncur deras dari arah depan.

Lawawi Girang tidak bisa mengelak lagi. Ujung tombak bermata tiga itu cepat menghunjam dadanya.

"Aaakh...!"

"Paman...!" teriak Kitri Boga melihat Lawawi Girang ambruk dengan dada koyak.

Kitri Boga lengah, pada saat itu pula satu pukulan telak bersarang di punggungnya. Pemuda itu pun tersuruk jatuh mencium tanah berumput. Belum lagi sempat berdiri, tiga orang berjubah merah melemparkan tambang ke arahnya. Kitri Boga tidak dapat lagi menghindar. Tiga tambang cepat membelit tubuhnya. Pedang perak murni kesayangannya, jatuh di tanah dekat kakinya.

Tiga orang berjubah yang memegangi tambang, secara bersamaan menyentakkan tambang itu. Dan bagai segumpal kapas dalam karung, tubuh Kitri Boga terangkat naik, langsung berdiri. Tiga orang itu berputar cepat mengelilingi Kitri Boga, sehingga tambang semakin rapat membelit tubuhnya. Kitri Boga benar-benar tidak berdaya lagi sekarang.

"Bawa dia! Yang Mulia akan senang menerima hadiah ini!" perintah salah seorang dari mereka yang berjubah merah.

Tiga orang langsung menghampiri dan menggotong tubuh Kitri Boga. Pemuda itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi sia-sia saja. Ikatan yang membelenggu seluruh tubuhnya begitu kuat.

Merasa tidak ada gunanya meronta-ronta, Kitri Boga diam dan pasrah. Matanya mengawasi jalan yang ditempuh gerombolan yang membawanya. Mereka menuju dinding batu yang menyerupai benteng itu.

Kitri Boga membeliak lebar, karena dinding batu yang besar dan kokoh itu bergeser mirip sebuah pintu gerbang. Orang-orang berjubah merah itu terus saja melangkah ke dalam. Dan dinding batu itu kembali bergerak menutup, mengeluarkan suara gemuruh bagai terjadi gempa. Dan suasana di sekitar pertempuran tadi menjadi sepi. Tidak ada yang bisa dilihat lagi, kecuali mayat Lawawi Girang saja yang tergeletak dengan dada koyak bersimbah darah.

********************

Siang itu matahari bersinar terik sekali. Sinarnya panas menyengat, menerobos jari-jari besi pada dinding batu yang berlubang, menghangatkan ruangan kecil. Ruangan itu hanya berisi sebuah dipan kayu yang terletak di pojok. Di atas dipan, Kitri Boga tergeletak tak sadarkan diri. Sinar matahari yang menghangati wajahnya, membuat pemuda itu menggelinjang.

Perlahan-lahan Kitri Boga mengerjap-ngerjapkan matanya. Kepalanya digeleng-gelengkan, berusaha menghilangkan rasa pening yang menyerang kepalanya. Kitri Boga langsung tersentak bangun dan terduduk.

"Oh! Di mana aku?" keluh Kitri Boga lirih.

Kitri Boga berusaha mengingat-ingat kejadian yang dialaminya. Sepasang bola matanya beredar memandangi ruangan yang kecil berdinding batu ini. Hanya ada satu pintu tertutup rapat dan jendela kecil berjeruji besi. Perlahan-lahan Kitri Boga mulai teringat kembali, apa yang telah terjadi pada dirinya.

Ya.... Dia sudah sampai di puncak Bukit Arang Lawu bersama Lawawi Girang. Dan mereka diserang sepuluh orang berjubah merah. Lawawi Girang tewas, dan dia diikat lalu dibawa ke markas mereka.

Sampai di situ Kitri Boga tidak ingat apa-apa lagi. Begitu dibawa masuk, salah seorang yang membawanya memukul bagian belakang kepalanya. Saat itu juga dia pingsan. Dan tahu-tahu sudah berada di kamar kecil bagai penjara ini. Kitri Boga kaget bukan main, karena semua senjatanya sudah lucut dari badan.

"Ah, apakah ini Puri Merah?" Kitri Boga bertanya-tanya dalam hati.

Kitri Boga beranjak turun dari dipan. Kakinya melangkah mendekati jendela kecil satu-satunya di ruangan ini. Lubang jendela itu pas dengan kepalanya. Tampak beberapa orang berpakaian serba merah memegangi tombak bercabang tiga pada ujungnya, tengah berjaga-jaga. Kitri Boga agak menyipit matanya melihat ada semacam kerangkeng besar berisi wanita-wanita muda.

Di sekitarnya terdapat beberapa orang berjubah merah. Tidak jauh dari situ, terdapat beberapa tonggak kayu terpancang. Disebelahnya ada altar batu besar. Kitri Boga tersentak ketika matanya beralih ke arah kiri. Di sana terdapat tumpukan tulang tengkorak manusia menggunung dari dalam lubang besar. Kembali matanya beralih pada kerangkeng berisi wanita-wanita muda, altar, serta beberapa tonggak kayu.

"Tempat apa sebenarnya ini?" tanya Kitri Boga berbisik.

Kitri Boga berbalik, bersandar pada dinding batu di bawah jendela kecil. Benaknya berputar memikirkan semua yang dilihatnya baru saja. Macam-macam pertanyaan berkecamuk di kepalanya, namun tidak satu pun yang terjawab. Matanya beralih memandang pintu ketika terdengar suara rantai dan kunci dibuka. Pintu besi itu perlahan-lahan terkuak mengeluarkan suara gaduh.

Tiga orang berjubah merah melangkah masuk ketika pintu itu terbuka penuh. Dua orang lagi hanya berdiri saja di samping pintu. Tiga orang itu mendekati Kitri Boga, yang dua serentak menempelkan ujung tombak ke tubuh pemuda itu.

"Ikut kami, dan jangan banyak tingkah!" kata orang yang berdiri di depan Kitri Boga.

"Ke mana?" tanya Kitri Boga.

"Jangan banyak tanya, ikut!" bentak orang itu seraya berbalik.

Kitri Boga terpaksa menurut, karena salah seorang mendorongnya dengan tekanan tombak. Kitri Boga mencoba melihat wajah-wajah orang berjubah merah yang menggiringnya, tapi hanya seraut bentuk hitam saja yang tampak. Seluruh kepala tertutup kain merah yang menyaru dengan jubah panjang mengurung seluruh tubuhnya.

Mereka membawa Kitri Boga melalui lorong yang panjang dan berliku. Lorong ini bagai sebuah goa, dengan beberapa obor sebagai penerangan yang menempel di dinding dalam jarak tertentu. Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Beberapa pintu terdapat di samping kiri dan kanan lorong yang dijaga dua orang berjubah merah di tiap pintu. Kitri Boga yakin kalau pintu-pintu itu merupakan pintu kamar tahanan seperti yang tadi di tempatinya.

Tiga orang berjubah merah itu membawa Kitri Boga sampai di luar. Pemuda itu terus digiring ke arah beberapa tonggak kayu yang dilihatnya tadi dari ruang tahanan. Kitri Boga diikat pada salah satu tonggak. Pemuda itu melihat ke arah kerangkeng yang berisi beberapa perempuan muda. Perempuan-perempuan itu memandang lesu tanpa semangat hidup.

"Tunggu! Apa maksudmu membawaku ke sini?" cegah Kitri Boga ketika orang yang menggiringnya akan berlalu.

"Sudah kukatakan, diam! Hih!" Buk!
"Hugh!"

Kitri Boga sedikit merunduk ketika kepalan tangan orang itu masuk ke perutnya. Seketika saja perutnya terasa mual. Matanya jadi berkunang-kunang, dan penglihatannya kabur. Orang-orang berjubah merah itu terus saja berlalu meninggalkannya sendirian terikat pada tiang.

"Uh! Sial," dengus Kitri Boga. "Pasti Kakang Kandara Jaya sudah gelisah menantiku. Mudah-mudahan saja dia benar-benar menyusul ke sini."

Wajah Kitri Boga mulai berkeringat, sinar matahari begitu terik berada tepat di atas kepala. Tapak kakinya mulai terasa panas bagai berada di atas bara api. Di sekitarnya memang terdiri dari hamparan pasir dan batu-batu kerikil, sehingga udara di sekelilingnya begitu panas menyengat. Kitri Boga memejamkan matanya. Dia bersemadi berusaha untuk menyalurkan hawa murni, menahan sengatan matahari yang begitu terik dan panas.

"Heeeh, sampai kapan aku berada di sini...?"

********************

EMPAT

Hari berjalan terasa lambat. Kandara Jaya sudah yakin kalau Rangga dan Pandan Wangi bukan dari gerombolan Puri Merah. Bahkan dia tidak sungkan-sungkan lagi memberikan keterangan mengenai kelompok Puri Merah yang kabarnya bersarang di puncak Bukit Arang Lawu ini. Rangga sendiri menjelaskan kalau dirinya dan Pandan Wangi berada di bukit ini karena mengikuti jejak-jejak tapak kaki kuda.

"Jadi, jejak itu menghilang di tepi jurang?" tanya Kandara Jaya yang masih merahasiakan siapa dirinya yang sebenarnya.

"Benar. Aku berusaha untuk mengikuti jejak itu, tapi entah mengapa jadi kesasar sampai di sini," sahut Rangga.

"Pasti orang-orang Puri Merah yang menghancurkan desa itu," gumam Kandara Jaya.

"Aku tidak tahu pasti siapa yang melakukannya. Yang jelas keadaan desa itu sangat menyedihkan. Semua penduduk tewas, tidak ada seorang pun yang hidup," sambung Pandan Wangi.

"Mereka orang-orang yang kejam. Sudah lama aku berusaha untuk menghancurkannya," kata Kandara Jaya lagi.

Mereka terus berbicara saling tukar pikiran sambil berjalan. Tanpa terasa mereka sudah mencapai tepi jurang yang besar dan dalam. Kandara Jaya memeriksa jurang itu. Dia tertegun mendapati sulur yang bersambung-sambung, dan putus pada tengah-tengahnya. Dia jadi teringat pada Kitri Boga dan Lawawi Girang.

Di sekitar bibir jurang ini terdapat begitu banyak tapak kaki kuda. Begitu jelas tertera pada rerumputan yang basah. Jejak itu hilang dan berhenti di sini! Rasanya mustahil kalau kuda-kuda itu menuruni jurang! yang sangat terjal dan dalam. Hal inilah yang dipikirkan! Rangga.

Diam-diam Pandan Wangi memeriksa sekitar tepi jurang itu, dengan tidak lepas mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang begitu banyak. Gadis itu memeriksa sampai ke sebuah semak-semak yang tinggi dan rapat. Di sini jejak kaki kuda itu juga menghilang terputus. Dengan sebatang kayu, Pandan Wangi menyibakkan semal itu. Matanya membeliak lebar, karena di balik semak terdapat sebuah rongga. Agaknya seperti mulut goa.

"Kakang...!" Pandan Wangi berteriak memanggil.

"Ada apa?" tanya Rangga, langsung melompat menghampiri.

"Ada goa," sahut Pandan Wangi sambil terus menyibakkan semak-semak kering yang sepertinya sengaja untuk menutupi mulut goa ini.

Kandara Jaya juga segera menghampiri dan meneliti keadaan mulut goa yang kini telah tersibak lebar.

"Aku periksa sebentar," kata Rangga seraya melangkahkan kakinya memasuki goa itu.

Rangga berjalan perlahan-lahan dengan sikap waspada. Keadaan dalam goa ini tidak terlalu gelap karena masih ada sedikit cahaya yang masuk. Di dasar goa yang memanjang ini terdapat banyak jejak kaki kuda. Rangga terus berjalan mengikuti lorong goa yang panjang ini. Dan dia tertegun ketika melihat banyak kuda yang berkumpul pada sebuah ruangan luas dan terang.

Ruangan itu atasnya berlubang besar bagai kepundan gunung yang sangat besar. Tidak terdapat seorang pun di sini. Sulit menghitung berapa banyak kuda yang ada dalam ruangan ini. Rangga mengedarkan pandangannya. Semua dinding terbuat dari batu-batu kasar yang dibentuk oleh alam. Kelihatannya, hanya lorong ini satu-satunya yang ada.

Rangga segera kembali menemui Pandan Wangi dan Kandara Jaya yang menunggu di luar. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah cepat, sehingga tidak lama kemudian sudah berada di mulut goa ini.

"Bagaimana?" tanya Kandara Jaya tidak sabar.

"Tidak ada siapa-siapa di dalam. Goa ini buntu," sahut Rangga.

"Buntu...?!" Pandan Wangi sepertinya tidak percaya.

"Ya, buntu. Goa ini tempat menyimpan kuda-kuda."

"Apa...?!" Kandara Jaya terkejut.

"Ada puluhan ekor kuda di dalam sana, tapi tidak ada seorang pun yang terlihat," kembali Rangga menjelaskan.

"Mustahil! Lalu, ke mana orang-orang itu pergi?" gerutu Kandara Jaya.

Rangga tidak menyahut. Matanya menatap lurus ke tanah. Memang yang ada hanyalah tapak-tapak kaki kuda saja. Tapi... Mendadak dia tersentak, dan langsung jongkok. Tangannya meraba-raba rerumputan di sekitarnya. Rangga terus mengikuti jejak-jejak tipis kaki manusia yang berseling dengan jejak-jejak kaki kuda. Memang tipis sekali, sehingga sulit terlihat kalau tidak benar-benar teliti.

Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti sesampainya di tepi jurang yang besar dan dalam itu. Lagi-lagi dia menarik napas panjang dan berat. Semua jejak sepertinya terputus di bibir jurang ini. Pelan-pelan Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri. Pandan Wangi dan Kandara Jaya pun telah berada di sampingnya.

"Kau pernah bentrok dengan mereka?" tanya Rangga tanpa mengalihkan pandangannya ke puncak bukit yang berselimut kabut tebal.

"Pernah, beberapa kali," sahut Kandara Jaya.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Rangga lagi.

"Tingkat kepandaian mereka memang tinggi sekali. Tapi tidak semuanya. Ada juga yang lumayan, bahkan yang rendah pun ada," jelas Kandara Jaya.

"Kira-kira, berapa orang yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi?"

"Aku tidak tahu pasti. Tapi yang mengenakan jubah merah, rasanya yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Jumlah yang pasti aku tidak tahu."

"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas.

Pendekar Rajawali Sakti pandangannya beralih pada Pandan Wangi yang berdiri di samping kirinya. Kemudian pandangannya kembali beralih ke seberang jurang sana.

"Kau bisa melompati jurang ini, Pandan?" tanya Rangga.

"Mungkin," sahut Pandan Wangi ragu-ragu.

"Coba lakukan!"

"Apa...?! Gila! Kau ingin jadikan aku kelinci percobaan, ya?" gerutu Pandan Wangi gusar.

"Aku hanya ingin tahu saja. Dengan cara itu, kita bisa mengukur sampai di mana tingkat kepandaian yang mereka miliki," suara Rangga terdengar tenang.

"Biar aku saja!" sergah Kandara Jaya.

"Jangan!" cegah Rangga.

"Kenapa? Aku atau adikmu kan sama saja!"

"Maaf, bukannya aku tidak percaya dengan kemampuanmu. Tapi sebaiknya biar Pandan Wangi saja yang mencoba lebih dulu."

Pandan Wangi diam saja. Dia tidak ingin berdebat dengan Pendekar Rajawali Sakti ini. Cukup lama ia bersama Rangga, maka dia sudah tahu betul segala sifat dan tindakannya. Memang, kadang-kadang tindakan dan pemikiran Rangga sangat sulit dimengerti. Tapi Pandan Wangi merasa yakin kalau segala yang dikatakan Rangga, tentu sudah pula dipikirkan akibatnya. Pendekar muda itu tidak mungkin membiarkan Pandan Wangi mendapat celaka.

Tanpa banyak bicara lagi, Pandan Wangi segera memekik keras, dan tubuhnya melesat tinggi ke udara. Beberapa kali jungkir balik di udara untuk menambah ayunan lompatan, tapi Pandan Wangi belum juga sampai ke seberang. Tubuh gadis itu merasa meluruk menghunjam ke bawah.

"Hait..!" tiba-tiba saja Rangga menyentakkan tangannya ke arah tubuh Pandan Wangi yang siap dilumat dasar jurang.

Dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu meluncur deras seberkas sinar putih kebiru-biruan menyeberangi jurang. Sedangkan tubuh Pandan Wangi terus meluruk deras bagai tersedot mulut jurang.

"Kakang...!" jerit Pandan Wangi ngeri.

"Hiya...! Hiyaaa...!" Rangga menambah kekuatan dalam usahanya meluncurkan sinar agar mencapai tubuh Pandan Wangi. Tapi ujung sinar putih itu tidak juga mencapai tubuh Pandan Wangi yang terus meluruk semakin dalam ke jurang yang berkabut tebal. Terdengar jeritan menyayat dan menggema dari dalam jurang.

"Pandaaan...!" teriak Rangga keras.

Jeritan Pandan Wangi yang melengking tinggi, menghilang ketika tubuhnya ditelan kabut yang menutupi bagian dalam jurang itu. Rangga berteriak-teriak memanggil Pandan Wangi. Sedangkan tubuh gadis itu sudah lenyap ditelan jurang.

"Oh! Pandan...," rintih Rangga, lalu jatuh lemas berlutut.

"Rangga...," Kandara Jaya memegang pundak Rangga yang berlutut di bibir jurang.

Pelan-pelan kepala Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh menatap Kandara Jaya. Kemudian pandangannya kembali berpaling pada jurang di depannya. Keadaan di dalam jurang tetap gelap dan berkabut. Tidak terdengar lagi suara apa-apa di sana.

"Maafkan aku, Pandan. Aku tidak bermaksud mencelakakan dirimu," rintih Rangga lirih.

"Rangga...," pelan suara Kandara Jaya terdengar.

"Tidak! Dia tidak boleh mati! Aku..., aku mencintainya. Aku mencintai Pandan Wangi. Tidaaak...!" Rangga jadi histeris.

Kandara Jaya bingung akan sikap Rangga yang begitu histeris. Dia tidak mengerti maksud ucapan Rangga. Disangkanya Pandan Wangi benar-benar adik Rangga. Tapi kata-kata yang terucap dari mulut Rangga... Sepertinya Pandan Wangi adalah seorang kekasih yang sangat dicintai.

"Dengarkan aku, Pandan! Dengarkan... Aku mencintaimu, Pandan. Aku mencintaimu...!" keras sekali suara Rangga, hingga menggema ke seluruh penjuru.

"Rangga... tenanglah. Rangga..." Kandara Jaya berusaha menenangkan hari Rangga yang tengah dicambuk rasa penyesalan, karena telah meminta Pandan Wangi untuk melompati jurang ini.

Rangga berdiri tegak. Tampak dua bola matanya berkaca-kaca, menatap lurus ke puncak Bukit Arang Lawu. Perlahan-lahan dia menunduk memandang ke dalam jurang yang gelap tertutup kabut Pendekar Rajawali Sakti itu mendesah panjang merasakan pundaknya ditepuk.

"Aku ikut merasakan apa yang kau rasakan, saat ini," kata Kandara Jaya penuh perhatian.

"Yaaah...," Rangga mendesah panjang. Rasanya tidak ingin mengucapkan apa-apa lagi.

"Kau sudah berusaha menolongnya. Itu bukan kesalahanmu semata, Rangga," kembali Kandara Jaya berusaha menentramkan hari Pendekar Rajawali Sakti itu.

Lama Rangga meratap dan menyesali peristiwa itu... Rangga mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba mendengar suara yang sangat halus. Tampak di seberang jurang sana, berdiri sekitar sepuluh orang berjubah merah dengan tombak berujung tiga. Kandara Jaya juga terkejut saat melihat gerombolan itu yang telah berdiri di seberang jurang.

Yang membuat Rangga sangat terkejut adalah adanya seorang wanita mengenakan baju ketat warna biru tengah dipegangi kedua tangannya oleh dua orang dari gerombolan itu. Rambutnya yang hitam panjang bergelombang, terurai lepas menutupi wajahnya. Potongan tubuh dan baju yang dikenakannya sangat mirip dengan Pandan Wangi.

"Pandan...," desah Rangga lirih. 'Pandan...! Kaukah itu?" teriak Rangga disertai pengerahan tenaga dalam.

"Ha ha ha...!" salah seorang yang berjubah merah tertawa terbahak-bahak.

"Dia akan menjadi persembahan bagi dewa keabadian bangsa kami!" terdengar suara bergema.

Kandara Jaya celingukan mencari sumber suara. Sedangkan Rangga tetap memandang lurus ke seberang jurang. Sepertinya tengah memastikan kalau wanita yang terkulai lemas itu adalah Pandan Wangi.

"Berikan persembahan itu pada Sang Dewa Agung Keabadian!" terdengar lagi suara besar bergema.

"Kakang..., tolooong...!" terdengar suara teriakan seorang wanita.

Bersamaan dengan itu, dua orang yang tengah memegangi wanita itu, melangkah maju beberapa langkah. Kemudian wanita itu dilemparkannya ke dalam jurang yang lebar dan dalam. Suara jeritan melengking terdengar menyayat semakin melemah, bersamaan dengan meluncurnya tubuh wanita itu ditelan perut jurang.

"Pandan...," desah Rangga lirih. Suara wanita itu sangat mirip sekali dengan Pandan Wangi.

"Ha ha ha...!" terdengar suara tawa menggelegar.

"Biadab! Kejam, kubunuh kau!" geram Rangga.

Setelah menggeram beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti itu melenting tinggi ke udara menyeberangi jurang yang sangat lebar dan dalam. Kandara Jaya tidak dapat mencegah lagi. Rangga begitu cepat bergerak dan kini berjumpalitan di udara.

Saat posisi Rangga di tengah-tengah jurang, sepuluh orang berjubah merah itu segera menyentakkan tangannya dengan cepat. Ratusan benda kecil berwarna merah, meluncur deras ke arah Rangga.

"Awas, senjata rahasia...!" teriak Kandara Jaya memperingatkan.

"Hiyaaa...!" Rangga berteriak nyaring melengking. Tubuhnya berputaran cepat di udara, menghindari senjata-senjata rahasia berwarna merah yang menghujani dirinya. Senjata rahasia menyerupai bola-bola kecil, meluruk jatuh ke dalam jurang sebelum sampai ke seberang. Tidak ada satu pun yang berhasil menyentuh tubuh Rangga yang terus melenting mendekati bibir jurang seberang sana.

Kandara Jaya hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Sepuluh orang berjubah merah itu berlompatan bagai terbang menyongsong Rangga sebelum sampai ke tepi jurang, langsung menyerang dengan tombak bermata tiga.

Rangga segera mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dengan jurus ini, dia dapat leluasa bertarung di udara, bagaikan bertarung di permukaan tanah saja. Rangga agak terkejut juga, karena orang-orang berjubah merah itu dapat terbang seperti burung. Gerakan-gerakannya pun begitu cepat dan berbahaya. Pendekar Rajawali Sakti itu agak kewalahan juga menghadapi lawan-lawannya dalam pertarungan di udara, pada permukaan jurang yang siap menelan siapa saja.

"Aku tidak akan mungkin menandingi mereka tanpa senjata," dengus Rangga dalam hati.

Sret!

Cahaya biru berkilau langsung membias saat pedang Rajawali Sakti telah keluar dari warangkanya. Dengan pedang pusaka di tangan, Rangga bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa Sinar biru berkelebat memburu orang-orang berjubah merah. Beberapa kali pedang Rajawali Sakti berbenturan dengan tombak-tombak bermata tiga. Dan ini membuat Rangga jadi tersentak kaget. Sebab, belum pernah ada senjata yang utuh bila berbenturan dengan pedangnya! Tapi tombak di tangan orang-orang berjubah merah itu tidak berubah sedikit pun.

Jurus demi jurus segera berlalu dengan cepat, Rangga merasa semakin sulit bertarung di udara terus menerus. Beberapa kali dia harus meminjam tenaga saat senjatanya beradu, agar tetap berada di udara. Tapi cara itu dapat diketahui dengan cepat Orang-orang berjubah merah itu tidak ada yang membenturkan senjata lagi. Mereka seakan-akan sengaja menghindar, bahkan bertarung dengan menjaga jarak.

"Celaka! Aku bisa masuk jurang kalau begini terus," pikir Rangga.

Beberapa kali dia berusaha untuk keluar dari dalam pertarungan. Tapi usahanya selalu gagal. Orang-orang berjubah merah itu bagaikan telah membaca setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti ini. Bahkan dengan mudah bisa mematahkan serangan Rangga di tengah jalan.

"Suiiit...!" tiba-tiba Rangga bersiul nyaring. Orang-orang berjubah merah yang jumlahnya sepuluh orang itu serentak berlompatan ke tepi jurang, begitu mendengar siulan melengking dari mulut Rangga. Tepat ketika kaki mereka mendarat manis di tepi jurang, di angkasa terlihat satu benda berwarna coklat kehitaman melayang-layang, lalu menukik turun.

"Cepat! Aku sudah tidak kuat!" teriak Rangga ketika melihat burung rajawali raksasa itu.

Aneh! Sepuluh orang berjubah merah langsung melepaskan senjatanya dan berlutut Dengan tangan terentang ke atas, mereka bergerak membungkuk dan kembali tegak, bagaikan tengah menyembah dewa.

"He! Kenapa mereka jadi begitu?" Rangga keheranan tidak mengerti.

********************

Rangga memerintahkan burung rajawali raksasa untuk mendarat di seberang. Sepuluh orang berjubah merah itu terus saja menyembah-nyembah. Manis sekali Rangga melompat turun dari punggung rajawali raksasa itu. Dilangkahkan kakinya mendekati sepuluh orang yang tetap berlutut dengan telapak tangan menyentuh tanah.

"Siapa di antara kalian yang jadi pemimpin?" tanya Rangga.

Satu orang yang berada di tengah-tengah langsung bergerak maju. Sikapnya tetap berlutut dan membungkuk seraya mencium tanah beberapa kali. Hormat sekali.

"Siapa namamu?" tanya Rangga. "Ampunkan hamba. Ampunkan segala dosa-dosa bangsa hamba, Dewa Agung penguasa jagad raya," kata orang itu terus menyembah-nyembah.

"Aku tanya, siapa namamu?" Rangga mengulangi lagi pertanyaannya.

"Nama hamba Natrasoma. Dan mereka adalah para punggawa hamba, Gusti Dewa Agung."

"Hm...."

Rangga memalingkan muka ke arah seberang. Tampak Kandara Jaya masih berdiri mematung keheranan akan kejadian yang sama sekali belum pernah disaksikannya. Sepertinya tengah bermimpi saja saat ini. Sungguh mari, dia tadi nyaris pingsan ketika melihat seekor rajawali raksasa menukik menyambar Rangga. Kandara Jaya terperangah karena burung itu sangat jinak, bahkan mengerti perintah Rangga. Dan yang lebih mengherankan lagi, orang-orang berjubah merah itu langsung menyembah-nyembah. Sepertinya, Rangga dan rajawali raksasa itu adalah dewa sesembahan mereka.

"Rajawali, bawa Kandara Jaya ke sini!" kata Rangga.

"Khraaaghk!"

Maka sayap lebar burung raksasa itu pun terkepaklah. Dia melayang, dan cepat menyambar tubuh Kandara Jaya. Tentu saja pangeran muda itu menjerit-jerit ketakutan. Dia meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman cakar burung raksasa itu. Rangga hanya tersenyum melihat Kandara Jaya ketakutan setengah mati. Wajah pangeran muda itu kelihatan pucat, meski telah berada di samping Rangga.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya menepuk-nepuk kepala burung rajawali raksasa itu, lalu menciumnya lembut.

"Rangga...," Kandara Jaya beringsut ngeri melihat burung rajawali raksasa berada di dekatnya.

"Tidak apa-apa. Dia sahabatku yang terbaik," kata Rangga kalem.

Perhatian Rangga beralih pada sepuluh orang berjubah merah yang tetap berlutut di depannya. Matanya menatap tajam salah seorang yang berada paling depan. Orang yang mengaku bernama Natrasoma.

"Natrasoma, kuminta jawablah dengan jujur. Mengapa kau melakukan pembunuhan dan pengrusakan desa-desa di sekitar kaki bukit Arang Lawu ini?" tanya Rangga.

"Tunggu dulu!" potong Kandara Jaya cepat sebelum Natrasoma menjawab pertanyaan Rangga.

"Ada apa lagi, Kandara Jaya?" tanya Rangga.

"Aku ingin mereka membuka selubung yang menutupi wajahnya," sahut Kandara Jaya.

Kesepuluh orang itu mendongakkan kepala.

Tanpa diminta dua kali, mereka segera membuka selubung yang menutupi kepala dan wajah. Kandara Jaya dan Rangga terperangah begitu melihat wajah mereka yang rusak bagai mayat hidup. Daging dan kulit wajah terkelupas, sehingga menampakkan tulang-tulangnya.

Kandara Jaya bergidik menyaksikan keadaan yang mengerikan itu. Bahkan mereka juga tidak memiliki rambut. Kulit kepala pun terkelupas di beberapa tempat.

"Sudah, sudah! Tutup lagi!" kata Rangga tidak tahan melihat pemandangan yang mengerikan seperti itu.

Bagaimana tidak? Mereka itu lebih mirip mayat hidup! Sulit dimengerti. Dalam keadaan seperti itu, mereka masih mampu bertahan hidup. Pantas, mereka selalu mengenakan jubah panjang yang menutupi seluruh tubuh. Hanya tangan saja yang kelihatan utuh dan tidak cacat.

Dalam benak Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba muncul rencana setelah melihat keadaan sepuluh orang berjubah merah itu. Apa lagi melihat sikap mereka yang begitu ketakutan saat burung rajawali raksasa datang memenuhi panggilannya. Burung rajawali raksasa yang telah mengajarkan dan mendidik Rangga hingga menjadi seorang pendekar pilih tanding sampai saat ini.

********************

********************

Burung rajawali raksasa mengepakkan sayapnya, melambung tinggi ke angkasa. Rangga memandanginya hingga tidak terlihat lagi, lenyap di balik gumpalan mega. Sementara itu Kandara Jaya tetap berdiri di sampingnya. Pikirannya masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab, dan membuatnya masih terheran-heran.

Rangga melangkahkan kakinya mendekati bibir jurang. Dia berdiri tepat di tepi jurang yang menganga lebar. Pandangannya lurus menatap ke bawah yang gelap berselimut tebal. Rasa penyesalan kembali melanda hatinya. Entah bagaimana nasib Pandan Wangi di dalam jurang sana. Agak lama juga Rangga berdiri memandang ke dalam jurang. Sambil melepaskan napas panjang, dibalikkan rubuhnya.

"Natrasoma, ceritakan yang sebenarnya. Kenapa kau lemparkan wanita tadi ke dalam jurang?" tanya Rangga.

"Ampunkan hamba, Gusti Dewa Agung. Hamba terpaksa melakukannya. Seluruh bangsa hamba terancam musnah bila tidak menuruti kehendak Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana," sahut Natrasoma seraya membungkukkan badannya.

"Dewi Sri Tungga Buana? Siapa dia?" desak Kandara Jaya.

"Dewi yang memberi kami hidup abadi dan kedamaian di alam mayapada ini."

"Dengan mengorbankan gadis-gadis?" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gadis-gadis itu pilihan Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana. Mereka akan dijadikan dayang-dayang penghias istana kerajaan para dewa di kahyangan."

"Kenapa harus diceburkan ke dalam jurang ini?" tanya Kandara Jaya masih belum mengerti betul.

"Itulah jalan satu-satunya menuju istana dewa. Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana yang memerintahkan kami untuk menunjukkan jalan bagi gadis-gadis itu."

Kandara Jaya memandang Rangga dengan sinar mata tidak mengerti. Rangga mengayunkan kakinya mendekati Natrasoma yang berdiri paling depan di antara yang lainnya. Mereka berdiri dengan kepala tertunduk. Entah kenapa. Begitu melihat sinar biru terpancar dari pedang Rajawali Sakti, mereka langsung menyangka kalau Dewa Agung mereka datang. Lebih-lebih setelah kemunculan burung rajawali raksasa. Rangga yang menyadari salah pengertian ini, memanfaatkannya dengan baik, meskipun benaknya masih terus bertanya-tanya.

Bagaimana mungkin mereka menganggapnya dewa? Dia adalah manusia biasa. Sama dengan mereka. Tapi Rangga tidak ingin mempersoalkannya. Maka dimanfaatkannya kesempatan ini untuk menyingkap misteri yang terkandung di Bukit Arang Lawu ini.

"Natrasoma di antara rakyatmu ada yang wanita, bukan? Nah! Mengapa harus menculik gadis-gadis dari desa lain? Bahkan membunuh semua penduduknya. Apakah semua yang kau lakukan itu juga kehendak Dewi Sri Tungga Buana?" tanya Rangga mulai memancing.

"Benar, Gusti Dewa Agung," sahut Natrasoma seraya membungkuk.

"Lalu, siapa tadi yang kau ceburkan?" ada sedikit tekanan pada suara Rangga.

"Seorang gadis yang kesasar masuk wilayah kami. Dan Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana menginginkan segera dikorbankan."

"Gadis kesasar?" Rangga mengerutkan keningnya.

"Benar, Gusti Dewa Agung. Rakyatku menemukannya tengah hanyut di sungai. Di tubuhnya terdapat sebilah pedang dan kipas dari ba...."

"Setan! Kau bunuh Pandan Wangi, heh!" geram Rangga memotong kata-kata Natrasoma.

"Ampun, Gusti Dewa Agung. Kami hanya menjalankan perintah Dewi Sri Tungga Buana," suara Natrasoma terdengar bergetar.

Tubuhnya pun menggigil ketakutan. Rangga menjadi geram, dan memuncak kemarahannya. Tapi tiba-tiba saja dia tidak sampai hati ketika orang-orang berjubah merah di depannya menjatuhkan diri dan berlutut.

"Ah, Pandan... mengapa sampai dua kali kau jatuh ke jurang?" desah Rangga bergumam, penuh dengan ketidakmengertian.

"Hamba menerima salah, Gusti Dewa Agung. Kami semua siap menerima hukuman," kata Natrasoma bergetar.

"Bangunlah kalian semua," kata Rangga. Suaranya agung dan berwibawa.

Kandra Jaya sendiri sempat melongo mendengar suara Rangga begitu agung penuh kewibawaan. Hampir seharian saling berbicara dan saling mengenal, tapi baru kali ini Kandara Jaya mendengar suara yang begitu agung meluncur dari bibir Rangga. Kesepuluh orang berjubah merah beranjak bangkit berdiri. Kepala mereka masih tetap menunduk tertutup kain merah berbentuk kerucut.

"Kami semua siap menjalankan perintah dan menerima hukuman, Gusti Dewa Agung," kata Natrasoma. Suaranya masih terdengar bergetar bernada takut.

"Tidak ada gunanya menghukum kalian. Aku tahu kalian tidak bersalah dan ditekan oleh kekuatan iblis yang mengaku sebagai Dewi Sri Tungga Buana," kata Rangga penuh wibawa.

Tidak ada yang membuka suara. Suasana hening untuk beberapa saat. Rangga memandangi sepuluh orang yang berdiri membungkuk di depannya. Dari sinar matanya, terlihat kalau dia tengah berperang dengan batinnya sendiri. Rangga kini dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit dipecahkan.

Di satu pihak, dia sangat mencintai Pandan Wangi yang kini entah bagaimana nasibnya di dalam jurang sana. Rangga tidak bisa membohongi dirinya lagi. Dia benar-benar mencintai gadis itu. Tapi di pihak lain jiwa kependekarannya dituntut untuk menyelesaikan kemelut yang tengah dihadapinya. Dari jawaban dan keterangan yang diberikan Natrasoma, ada kesimpulan kalau orang-orang berjubah merah ini dalam keadaan tertekan suatu kekuatan iblis.

Jiwa kependekaran Rangga mengatakan kalau dia harus menolong orang-orang berjubah merah ini. Orang-orang yang disebut sebagai Kelompok Puri Merah. Rangga meminta mereka untuk membawanya ke puncak Bukit Arang Lawu. Tentu dengan senang hati mereka akan mengantar Rangga yang dianggap sebagai Dewa Agung. Dewa yang menurut kepercayaan mereka adalah raja dari segala dewa yang ada.

********************

"Inilah tempat tinggal kami. Kami namakan Puri Merah," kata Natrasoma.

Rangga memandangi bentuk-bentuk bangunan yang semuanya terbuat dari tumpukan batu. Di tengah-tengah bangunan itu terdapat sebuah puri kecil berwarna merah. Seluruh tempat ini dikelilingi tembok batu yang berbentuk seperti cincin raksasa melingkari puncak Bukit Arang Lawu. Kebanyakan orang yang ada di sini mengenakan jubah merah. Tapi ada juga yang mengenakan pakaian biasa. Rangga dan Kandara Jaya terus melangkah mengikuti Natrasoma menuju puri yang berwarna merah. Natrasoma berhenti di depan puri itu dan berlutut. Satu per satu orang berjubah merah yang ada menghampiri, dan mereka segera berlutut di depan puri merah itu.

Natrasoma kembali berdiri, lalu berbalik menghadap pada Rangga. Badannya membungkuk dengan tangan berada di dada.

"Ijinkan hamba berbicara, Gusti Dewa Agung," kata Natrasoma sopan.

"Silakan," sahut Rangga.

"Terima kasih."

Natrasoma melangkah dua tindak menghampiri Puri Merah lalu naik satu tangga puri itu. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling. Di sekitar Puri Merah itu sudah dipenuhi orang berjubah merah. Sedangkan yang mengenakan pakaian biasa berjaga-jaga dengan senjata terhunus.

"Saudara-saudaraku semua. Hari ini Gusti Dewa Agung berkenan mengunjungi kita semua. Saudara-saudara bisa lihat, siapa yang berdiri di tengah-tengah kita!" suara Natrasoma terdengar lantang dan berwibawa.

Suara-suara gumaman terdengar bagai lebah digebah sarangnya. Semua orang yang memakai jubah merah serentak menjatuhkan diri berlutut Rangga benar-benar tidak mengerti mengapa dirinya dianggap dewa! Dia adalah manusia biasa yang masih doyan makan, dan masih senang hidup di dunia.

"Bagaimana ini?" tanya Rangga pada Kandara Jaya.

"Aku sendiri tidak tahu. Mereka benar-benar menganggapmu dewa," sahut Kandara Jaya berbisik.

"Gila! Aku bukan dewa!" rungut Rangga, tapi pelan.

"Kau lihat Rangga...."

Rangga mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Kandara Jaya. Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut bukan main. Tepat pada bagian puncak puri, terdapat patung burung rajawali raksasa yang ditunggangi seorang laki-laki yang....

"Mustahil!" desah Rangga.

Patung itu hampir mirip dengan dirinya. Bentuk wajah, pakaian, dan pedang di punggung. Pendekar Rajawali Sakti semakin tidak mengerti. Sedangkan orang-orang berjubah merah di sekelilingnya mulai mengalunkan lagu-lagu persembahan yang tidak dimengerti sama sekali.

"Natrasoma!" panggil Rangga.

"Hamba, Gusti," sahut Natrasoma seraya menghampiri.

"Aku ingin bicara denganmu," kata Rangga setengah berbisik.

"Silakan Gusti Dewa Agung masuk ke dalam puri. Itulah tempat suci yang kami sediakan bagi dewa yang berkunjung ke sini."

"Terima kasih," ucap Rangga seraya melangkah menuju ke Puri Merah. "Kau ikut Kandara!"

Kandara Jaya segera mengikuti langkah Rangga yang didampingi Natrasoma. Sementara itu orangorang berjubah merah terus berlutut seraya mengalunkan nyanyian persembahan. Sedangkan orang-orang yang tampaknya dari kalangan rimba persilatan, hanya berdiri berkeliling dengan senjata terhunus.

Rangga, Kandara Jaya, dan Natrasoma menaiki anak-anak tangga Puri Merah. Natrasoma berhenti dan membungkukkan badan ketika tiba pada sebuah pintu yang tidak memiliki penutup. Rangga terus melangkah masuk diikuti Kandara Jaya. Natrasoma mengikuti dari belakang.

"Ck ck ck...," Rangga berdecak kagum melihat keadaan dalam puri yang begitu megah bagaikan berada di istana saja.

Kandara Jaya pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia anak seorang raja, tapi belum pernah meliha tata ruang yang begitu indah. Semua barang dan perabotan terbuat dari bahan emas dan perak murni. Lantainya beralaskan permadani tebal nan lembut, dan bercorak indah. Sekeliling dinding hingga atap, penuh dengan ukiran-ukiran yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi.

Terus terang saja, Rangga belum pernah memasuki tempat seindah ini. Sepertinya tempat yang diperuntukkan bagi para dewa. Seorang raja besar sekalipun, belum tentu memiliki ruangan seindah dan semewah ini. Rangga duduk di sebuah pembaringan beralaskan kain sutra berwarna merah muda yang halus dan lembut. Natrasoma duduk bersimpuh dekat kakinya. Sedangkan Kandara Jaya mengambil tempat di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Aku perhatikan, seperti ada dua kelompok di sini," kata Rangga memulai pembicaraannya.

"Bisa kau jelaskan, Natrasoma?"

"Benar, Gusti Dewa Agung. Orang-orang yang tidak mengenakan jubah merah adalah mereka yang dibawa Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana. Mereka para prajurit kahyangan yang sedang menyamar jadi manusia, seperti halnya Gusti," jawab Natrasoma dengan sikap hormat.

"Hm..., lalu di mana Dewi Sri Tungga Buana?" i tanya Rangga lagi.

"Yang Mulia biasanya datang pada saat bulan purnama, untuk menghadiri upacara persembahan tumbal seorang gadis perawan."

"Oh..., jadi kau culik gadis-gadis hanya untuk dijadikan tumbal?" celetuk Kandara Jaya.

"Benar, Gusti. Semua itu kami lakukan karena terpaksa. Kami tidak ada pilihan lain. Karena, kalau tumbal tidak diserahkan tepat pada waktunya, maka Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana akan memusnahkan kami semua."

"Dengan para prajurit kahyangannya?"

"Benar, Gusti. Prajurit-prajurit kahyangan itu selalu menjaga tempat kami. Yah..., memang nasib kami selalu buruk. Kami adalah orang-orang yang dibuang dan dikucilkan, karena bangsa kami telah dikutuk Dewa Keadilan. Kami telah memilih tempat yang terpencil, jauh dari jangkauan bangsa lain. Tapi rupanya masih ada juga yang tidak suka, seperti halnya Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana. Beliau memang tidak menyukai orang-orang seperti kami. Katanya, kami ini pembawa malapetaka bagi seluruh umat manusia."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menoleh pada Kandara Jaya yang juga tengah memandang kepadanya.

"Baiklah. Kau boleh pergi," kata Rangga.

"Hamba mohon diri, Gusti Dewa Agung," pamit Natrasoma.

"Ya, silakan."

"Tidak mungkin!"

********************

"Aku melihat sendiri, Nini Dewi! Orang yang datang bersama Natrasoma hampir sama dengan patung Dewa Agung mereka!"

"Dewa Agung mereka menunggang seekor rajawali raksasa. Bertahun-tahun telah kupelajari hal itu Aku tidak percaya adanya Dewa Agung!"

"Kalau tidak percaya, silakan Nini Dewi lihat sendiri. Dia ada di puri saat ini."

Wanita muda yang cantik berpakaian ketat serba merah itu berjalan mondar-mandir. Sedangkan laki-laki tua yang berdiri dekat pintu hanya memandangi saja. Wanita muda itulah yang menamakan dirinya Dewi Sri Tungga Buana. Sedangkan laki-laki tua itu bernama Ki Datapola.

"Bawa tawanan kemarin ke sini!" perintah Dewi Sri Tungga Buana.

"Untuk apa, Nini Dewi? Aku rasa kedatangan dua orang yang dianggap Dewa Agung itu, tidak ada hubungannya dengan tawanan kita," bantah Ki Datapola.

"Kurasa, malah sebaliknya, Ki Datapola. Kejadiannya begitu cepat dan berurutan. Sedangkan menurut laporanmu, para prajurit Kerajaan Mandaraka telah meninggalkan lereng bukit. Nah! Bukan tidak mustahil mereka menggunakan siasat baru, karena tidak mampu mengalahkan kekuatan kita!"

"Baiklah, akan kubawa tawanan itu ke sini."

"Secepatnya, Ki Datapola!"

"Baik, Nini Dewi."

Ki Datapola segera beranjak pergi dari ruangan yang seluruhnya berdinding batu. Pada keempat sudutnya terdapat pelita yang menyala besar menerangi seluruh ruangan yang ditata indah dan apik, dengan sentuhan lembut dan halus. Ruangan ini mirip dengan goa, tapi karena ditata sedemikian rupa sehingga kelihatannya bagai berada dalam kamar putri raja.

Sepeninggal Ki Datapola, Dewi Sri Tungga Buana membantingkan tubuhnya di atas pembaringan beralaskan kain sutra halus berwarna biru muda. Tampak sekali kekesalan tersirat di wajahnya yang putih halus nan cantik itu. Bibirnya yang selalu merah, bergerak-gerak bergetar. Hatinya sangat risau setelah mendengar laporan tentang kedatangan Rangga dan Kandara Jaya yang dianggap Dewa Agung oleh orang-orang Puri Merah.

Dewi Sri Tungga Buana memiringkan tubuhnya. Sebelah tangannya ditekuk untuk menopang kepala. Pada saat itu terdengar ketukan pintu di luar. Wanita itu mendongakkan kepalanya sedikit memandang ke arah pintu.

"Masuk!" serunya sedikit keras.

Pintu yang terbuat dari kayu jari tebal, perlahan-lahan terbuka. Tampak Ki Datapola melangkah masuk diiringi dua orang dengan pedang tergantung di pinggang mengiringi Kitri Boga. Kedua tangan anak muda putra Maha Patih Kerajaan Mandaraka itu terikat rantai besi. Kitri Boga didorong keras sehingga jatuh tersuruk. Dia lalu berlutut di depan pembaringan Dewi Sri Tungga Buana.

"Kalian semua keluar," kata Dewi Sri Tungga Buana tenang.

Ki Datapola menjentikkan jarinya, kemudian melangkah keluar diiringi dua orang bertubuh tegap yang mengiringi Kitri Boga tadi. Pintu kembali tertutup rapat. Dewi Sri Tungga Buana memandangi Kitri Boga dengan bola mata berputar. Tergetar juga harinya melihat ketampanan pemuda ini. Dewi Sri Tungga Buana beringsut bangun, dan duduk menjuntai di tepi pembaringan.

Matanya terus menatap wajah Kitri Boga yang juga membalas tatapannya. Hati Kitri Boga pun tergetar melihat kecantikan wanita di depannya. Darah mudanya segera menggelegak ketika melihat bukit putih menyembul bagai hendak keluar dari balik belahan baju yang rendah.

"Siapa namamu?" tanya Dewi Sri Tungga Buana Suaranya terdengar lembut menghanyutkan.

"Kitri Boga," jawab pemuda anak Maha Patih Kerajaan Mandaraka itu.

"Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?"

"Aku ditangkap orang-orang Puri Merah."

"Apa yang kau ketahui tentang Puri Merah?"

"Tidak banyak."

"Lalu, mengapa kau berada di Bukit Arang Lawu?"

"Tentunya kau sudah bisa menjawabnya sendiri, bukan?"

Dewi Sri Tungga Buana tersenyum manis. Dia berdiri dan mendekati pemuda itu. Kakinya terayun pelan dan halus mengelilingi Kitri Boga yang tetap saja duduk berlutut dengan kedua tangan dirantai. Dewi Sri Tungga Buana kembali berdiri di depannya. Jari tangan yang lentik halus, menunjuk ke pergelangan tangan yang terbelenggu rantai.

Sinar merah meluncur dari jari tangan yang menunjuk itu. Kitri Boga terkejut, tapi sinar merah itu telah menyambar rantai. Mata anak muda itu membelalak lebar ketika rantai yang membelenggu tangannya terlepas tanpa melukai kulit tangannya.

"Kau masih muda, tampan, dan gagah. Sayang sekali kalau kau harus mati di sini," kata Dewi Sri Tungga Buana tetap lembut suaranya.

"Katakan terus terang, apa maumu?" tanya Kitri Boga.

"Berdirilah."

Kitri Boga bangkit berdiri. Kini mereka saling berhadapan. Dewi Sri Tungga Buana mendekat, lalu kedua tangannya menjulur ke depan. Kitri Boga jadi gelagapan saat Dewi Sri Tungga Buana melingkarkan tangannya di leher pemuda itu. Belum juga bisa berpikir jauh, Dewi Sri Tungga Buana telah menyumpal mulut Kitri Boga dengan bibirnya.

Seketika itu juga detak jantung Kitri Boga menjadi tidak beraturan kerjanya. Seluruh aliran darahnya mengalir cepat. Pagutan Dewi Sri Tungga Buana begitu hangat dan menghanyutkan, membuat Kitri Boga tidak mampu lagi berpikir jernih. Kesadaran pemuda itu mendadak hilang. Dan kini telah berganti dengan sesuatu yang sulit dipercaya.

Kitri Boga membalas pagutan wanita itu dengan tidak kalah hangatnya. Bahkan kini dipeluknya dengan erat wanita yang menghanyutkan itu. Kitri Boga benar benar lupa kalau dirinya adalah tawanan. Padahal, wanita itu musuhnya yang harus ditumpas. Pemuda itu tidak sadar kalau ciuman Dewi Sri Tungga Buana mengandung kekuatan magis yang dapat membuat lupa akan dirinya sendiri.

"Ah, sabar.... Sabar, Anak Bagus...," desah Dewi Sri Tungga Buana seraya melepaskan diri dari pelukan.

Dewi Sri Tungga Buana melangkah mundur, dan menjatuhkan diri di pembaringan. Kitri Boga yang telah terkena ajian ampuh wanita itu langsung memburu dan menubruk Dewi Sri Tungga Buana.

Wanita itu memekik lirih, dan mendesah halus saat merasakan kehangatan ciuman-ciuman Kitri Boga yang memburu. Satu persatu pakaian yang melekat di tubuh mereka melorot ke lantai yang beralaskan permadani indah. Dewi Sri Tungga Buana menggelinjang sambil merintih lirih di bawah himpitan tubuh tegap Kitri Boga. Tak terdengar lagi kata-kata yang terucapkan. Semua berganti dengan desahan dan rintihan yang membangkitkan gairah.

"Oh, ah...!" Dewi Sri Tungga Buana mengerang.

Keringat mulai membanjiri dua tubuh yang menyatu rapat. Tubuh Dewi Sri Tungga Buana menggeliat-geliat mengikuti irama gerakan tubuh Kitri Boga yang berada di atasnya. Pemuda itu benar-benar lupa akan dirinya sendiri. Seluruh syarafnya telah dirasuki nafsu yang begitu cepat datangnya sehingga tanpa terkendalikan lagi.

"Oookh...!" Dewi Sri Tungga Buana mendesah panjang.

Pada saat itu pula tubuh Kitri Boga mengejang dengan mata membeliak lebar. Ketika persendiannya mulai lemas, tubuh Kitri Boga jatuh menggelimpang di samping Dewi Sri Tungga Buana dengan napas memburu kencang. Perlahan-lahan Kitri Boga memejamkan matanya. Dewi Sri Tungga Buana tersenyum penuh kepuasan. Tangannya menarik kain yang teronggok di bawah kakinya.

Kemudian ditutupi tubuhnya dan tubuh Kitri Boga. Dengan sikap manja, wanita cantik bertubuh menggairahkan itu meletakkan kepalanya di dada Kitri Boga yang bersimbah keringat.

"Kau hebat sekali, anak muda," desah Dewi Sri Tungga Buana berbisik.

********************

ENAM

"Sejak tadi, kau melamun terus. Ada yang dipikirkan?" tegur Rangga seraya duduk di samping Kandara Jaya.

"Yaaah...," desah Kandara Jaya panjang.

"Boleh kutahu?"

"Seharian aku mencari kabar tentang Adi Kitri Boga dan Lawawi Girang...." Kandara Jaya menghentikan ceritanya. Dipandangnya Rangga yang duduk di sampingnya.

"Siapa mereka?" tanya Rangga.

"Mungkin sudah saatnya aku berterus terang padamu," kata Kandara Jaya seraya mendesah panjang.

"Sudah kuduga kalau kau menyembunyikan sesuatu. Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."

"Sebenarnya aku seorang putra mahkota yang ditugaskan untuk menghancurkan kelompok Puri Merah...," Kandara Jaya mulai menceritakan semuanya.

Rangga mendengarkan penuh perhatian. Memang sudah diduga sejak semula kalau Kandara Jaya ini seorang putra raja, atau paling tidak seorang putra bangsawan. Rangga tidak terkejut lagi mendengarnya. Sikapnya biasa-biasa saja. Baginya semua manusia di dunia ini sama, hanya kedudukan dan martabat saja yang membedakannya.

"Beberapa kali prajuritku kalah dalam pertempuran. Atas kemauannya sendiri, Punggawa Lawawi Girang dan Adi Kitri Boga menyelidiki ke puncak Bukit Arang Lawu ini. Aku mengijinkannya dan hanya memberi waktu tiga hari. Tapi telah lewat satu pekan, mereka belum juga ada kabar beritanya," lanjut Kandara Jaya.

"Aku kagum dengan rasa tanggung jawabmu, Kandara Jaya." puji Rangga tulus.

Meskipun telah tahu siapa sesungguhnya Kandara Jaya, tapi tetap saja Rangga memperlakukannya seperti teman.

"Terima kasih," ucap Kandara Jaya.

"Pernahkah kau berpikir, kalau dua utusanmu tidak akan pernah sampai ke sini," Rangga menduga-duga.

"Pernah, yaitu setelah tiba di jurang besar itu," jawab Kandara Jaya mendesah.

Rangga diam tertunduk. Dia jadi teringat dengan Pandan Wangi. Rasa penyesalan kembali membelenggu htrinya. Kalau saja dia tidak meminta Pandan Wangi melompati jurang itu, mungkin sampai sekarang gadis itu masih bersamanya.

"Pandan..., seharusnya kau tahu kalau aku mencintaimu," bisik Rangga dalam hati.

"Rangga...."

"Oh!" Rangga tersentak dari lamunannya.

"Aku juga sedih dengan hilangnya adikmu," kata Kandara Jaya.

"Ah, sudahlah. Itu sudah menjadi resiko seorang pendekar," Rangga berusaha tersenyum. Dia tidak ingin Kandara Jaya mengetahui perasaannya yang sebenarnya. Bibirnya memang tersenyum, tapi hatinya menangis kehilangan Pandan Wangi.

"Kita sama-sama kehilangan. Kau kehilangan seorang adik, dan aku juga kehilangan orang yang seharusnya kulindungi dan kujaga keselamatannya," kata Kandara Jaya lagi.

"Sebaiknya kita lupakan saja persoalan pribadi. Yang penting sekarang, pikirkan cara yang terbaik untuk menghadapi Dewi Sri Tungga Buana," Rangga mencoba menghilangkan segala perasaan yang menyelimuti.

"Benar, aku sendiri punya tugas yang belum kuselesaikan," sambut Kandara Jaya.

"Oh, ya ada yang ingin kukatakan padamu. Tadi aku menemukan mayat laki-laki mengenakan pakaian keprajuritan. Di sampingnya tergeletak pedang perak Dia kutemukan di luar benteng Puri Merah ini," kata Rangga.

"Apakah pedang itu ada batu merah di tangkainya?" tebak Kandara Jaya.

"Benar," sahut Rangga.
"Ada tanda khusus lagi?"

"Aku tidak tahu. Tapi di wajahnya ada guratan seperti bekas luka."

"Paman Lawawi Girang...," desah Kandara Jaya bergumam.

"Dia salah seorang punggawa?"

"Ya, tidak salah lagi. Dia pasti Paman Lawawi Girang!"

"Kau bilang dua orang, bukan?"

"Benar. Berarti mereka telah berhasil mencapai puncak bukit ini. Hm..., di mana Kitri Boga?"

"Ada dua kemungkinan. Pertama dia berhasil melarikan diri, dan yang kedua menjadi tawanan."

"Kalau dia menjadi tawanan, tentu Natrasoma mengatakannya padaku. Tapi katanya, dia tidak menawan laki-laki seorang pun. Memang diakui, kalau banyak tawanan wanita muda yang semuanya masih gadis. Tapi dia sudah berjanji akan membebaskan semuanya kalau kita berhasil mengusir Dewi Sri Tungga Buana bersama pengikutnya."

"Kalau begitu sudah jelas. Kedua orangmu tidak bertemu dengan orang-orang Puri Merah, tapi bertemu dengan orang-orang Dewi Sri Tungga Buana. Aku yakin kalau Kitri Boga menjadi tawanan mereka sekarang."

"Aku harus segera membebaskannya, Rangga!"

"Jangan terlalu gegabah! Kita harus cari jalan yang tepat. Yang akan kita hadapi bukanlah orang-orang berilmu rendah. Kita menghadapi manusia setengah iblis!"

Kandara Jaya terdiam lagi. Memang benar apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Mustahil Dewi Sri Tungga Buana bisa memperdayai orang-orang Puri Merah kalau tidak memiliki kekuatan di atas mereka, yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Rangga dan Kandara Jaya sama-sama terdiam.

Kepala mereka dipenuhi berbagai macam rencana untuk menghadapi gerombolan Dewi Sri Tungga Buana. Mereka memang harus menghadapinya berdua saja, karena orang-orang Puri Merah tidak ada yang bersedia membantu menghadapi salah seorang dewa mereka. Bagaimanapun juga, sulit bagi Rangga dan Kandara Jaya meyakinkan mereka. Jelas kalau Dewi Sri Tungga Buana itu manusia biasa. Bukan dewa! Tapi orang-orang Puri Merah begitu kuat kepercayaannya terhadap dewa yang mereka sembah.

"Aku ada rencana, Rangga!" tiba-tiba Kandara Jaya membuka suara.

"Apa?" tanya Rangga.

"Kau sudah dianggap sebagai Dewa Agung mereka, raja dari segala dewa-dewa yang mereka sembah. Aku yakin kau punya kemampuan untuk mengubah kepercayaan mereka, kalau Dewi Sri Tungga Buana bukanlah dewa!"

"Aku tidak mengerti maksudmu...?"

"Begini..."

********************

Malam telah sejak tadi merayap menyelimuti mayapada. Bulan bersinar hampir penuh merambah kegelapan malam. Langit tampak cerah, tanpa sedikit pun awan menggantung. Hanya kabut tipis yang berarak terbawa angin. Dalam siraman cahaya bulan dan gemerlapnya bintang, tampak Rangga berdiri mematung di tangga puri. Pandangannya lurus menatap patung yang berada di puncak Puri Merah ini.

Dalam hati Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi tanda tanya dengan adanya patung yang wajahnya hampir sama dengan dirinya. Seakan-akan Rangga tengah memandangi dirinya sendiri yang tengah menunggang burung rajawali raksasa. Bibirnya menyunggingkan senyum, dan kepalanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Dia baru sadar kalau patung yang wajahnya hampir sama dengan dirinya itu adalah gurunya yang hidup seratus tahun yang lalu, dan pernah menampakkan dirinya untuk merestui Rangga melanjutkan kependekarannya. Mungkin pada waktu dulu gurunya pernah singgah di sini dan sangat dihormati, sehingga dibuatkan patungnya.

"Hm..., aku tidak melihat orang-orang yang tidak berjubah merah di sini," bisik Rangga dalam hari.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun yang terlihat, selain orang-orang berjubah merah yang berjalan hilir-mudik dengan kesibukannya masing-masing.

"Ke mana mereka...?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.

Pertanyaan itu membuahkan rasa ingin tahu dirinya. Kakinya mulai melangkah menuruni tangga Puri Merah ini. Tatapan matanya tetap beredar ke sekeliling. Beberapa orang berjubah merah yang melihat, langsung berlutut. Risih juga diperlakukan seperti itu.

"Di mana aku bisa menemui Natrasoma?" tanya Rangga pada salah seorang yang berlutut tepat di depannya.

"Tuanku Natrasoma tengah tidak ada di tempat, Gusti Dewa Agung," jawab orang itu. "Ke mana?"

"Menunaikan tugas bersama sembilan pengawal pribadinya."

"Tugas apa?"

"Mencari gadis perawan untuk korban esok malam."

"Lalu, orang-orang yang...."

"Mereka juga pergi, Rangga!"

Rangga menoleh. Ternyata Kandara Jaya yang menjawab sambi! menghampiri dengan langkah lebar.

"Dari mana saja kau?" tanya Rangga.

"Aku membuntuti mereka," sahut Kandara Jaya.

Rangga menarik tangan Kandara Jaya, dan mengajaknya menjauhi orang-orang berjubah merah yang masih berlutut di sekitar mereka. Rangga baru berhenti setelah mendapat tempat yang cukup sepi dan terlindung di balik tembok.

"Aku tahu, kau pasti ingin mendengar hasil pekerjaanku," kata Kandara Jaya langsung menebak.

"Katakan," desak Rangga.

"Mereka menuju ke luar Bukit Arang Lawu sebelah Selatan. Tapi aku terpaksa tidak bisa membuntuti mereka terus. Masalahnya, aku terhadang jurang pemisah yang tidak mungkin kulalui," tutur Kandara Jaya.

"Lalu, bagaimana mereka melintasi jurang itu?" desak Rangga tidak sabar.

"Sepuluh orang berjubah merah membagi tugas. Lima orang menyeberang lebih dulu sambil membawa tambang. Lalu, lima orang lainnya menunggu dengan tambang pada ujungnya. Dengan tambang itu mereka menyeberangi jurang."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang, sepuluh orang berjubah merah itu mampu melayang bagaikan terbang. Tidak sulit bagi mereka menyeberangi jurang lebar itu. Tapi dengan satu tambang terentang. Ini menunjukkan kalau anak buah Dewi Sri Tungga Buana memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

Memang, berjalan di tambang bagi kalangan pendekar tidak lagi aneh. Tapi untuk orang sebanyak itu...? Rangga harus berpikir keras untuk mengukur tingkat kepandaian yang mereka miliki. Padahal jelas kalau mereka hanyalah manusia biasa yang juga memiliki keterbatasan.

"Pasti ada yang mereka inginkan dari Puri Merah ini...," gumam Rangga pelan.

"Aku sudah menduganya begitu, Rangga. Mustahil Dewi Sri Tungga Buana dan anak buahnya menguasai puri ini tanpa tujuan yang pasti," sahut Kandara Jaya membenarkan.

"Kita harus selidiki dan harus menghentikan semuanya!" tekad Rangga.

"Itu sudah pasti, Rangga. Hanya saja kita harus kerja berdua tanpa dapat minta bantuan. Orang-orang Puri Merah tidak ada yang bersedia membantu kita. Mereka tampaknya takut setiap kali kutanya tentang Dewi Sri Tungga Buana," kata Kandara Jaya.

"Ya, aku tahu itu. Mereka seperti mendapat tekanan dan ancaman. Justru itulah yang harus kita ketahui secepatnya, dan jangan sampai berlarut-larut."

"Aku akan selidiki lorong penjara bawah tanah," kata Kandara Jaya lagi.

"Kapan kau kerjakan?"

"Sekarang juga. Dan kau...?"

"Mencari tempat persembunyian Dewi Sri Tungga Buana. Aku yakin tidak jauh dari sini."

"Kalau begitu, kita berpisah di sini. Ingat, Rangga. Rencana yang kuusulkan harus berjalan besok!"

"Beres!"

Rangga menepuk pundak Kandara Jaya sebelum pangeran muda itu berlalu. Kemudian dia sendiri bergerak mengelilingi dinding batu yang menyerupai benteng ini. Setiap langkah, selalu diperhatikannya dengan seksama. Rangga juga memeriksa setiap bangunan batu yang ada. Hal itu dilakukan dengan hati-hati agar tidak seorang pun yang melihat dan mencurigainya.

"Semua tempat ini sudah kuselidiki. Aku harus keluar dari benteng ini," gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat tinggi melewati dinding batu yang mengelilingi Puri Merah itu. Dua kali berputar di udara, kemudian dengan manis sekali kakinya menjejak tanah berumput di luar benteng batu. Sebentar Rangga mengamati sekitarnya yang gelap. Hanya cahaya bulan saja yang menerangi dengan sinarnya yang redup.

Rangga berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengelilingi tembok batu. Sebentar saja dia telah kembali ke tempat semula. Tidak ada penemuan yang berarti di sekitar tembok batu ini. Juga tidak ada seorang penjaga pun yang dijumpainya. Mungkin semua orang yang tidak berjubah merah pergi turun bukit.

Tiba-tiba Rangga tersentak kaget ketika matanya yang tajam melihat sesuatu berkelebat cepat ke arah Utara. Segera saja Pendekar Rajawali Sakti itu mengeropos tubuh untuk mengejarnya. Karena ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tahap kesempurnaan, maka tidak sulit baginya untuk mengejar bayangan itu. Dalam waktu singkat saja, dia telah mampu mendekati sosok bayangan hitam itu.

"Hey!"

Rangga mendadak terkejut ketika tiba-tiba saja bayangan hitam itu berbalik cepat. Tampak beberapa benda bulat kecil berwarna merah meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat Rangga melompat tinggi ke udara, langsung meluruk ke arah bayangan hitam yang belum sempat melarikan diri setelah melemparkan senjata rahasia.

Kelihatannya dia juga terkejut, karena senjata rahasia yang dilontarkan dengan mudah dapat dihindari. Bahkan kini Rangga meluruk ke arahnya. Kembali orang itu melemparkan senjata rahasianya.

"Uts, hiyaaa...!"

Rangga segera mengebutkan tangannya dengan cepat. Kebutan yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna itu, membuat senjata rahasia yang mengarah ke tubuhnya berbalik arah.

"Setan! Hih!" orang itu jumpalitan menghindari senjata rahasianya sendiri yang berbalik menyerangnya.

Saat itu pula Rangga dengan cepat melontarkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dari jarak jauh.

Cahaya merah langsung meluncur dari telapak tangan Rangga. Begitu cepatnya, sehingga orang itu tidak mampu lagi mengelak. Belum hilang rasa terkejutnya dengan senjata rahasia yang berbalik menyerang dirinya, kini ditambah lagi dengan sinar merah yang datang begitu cepat dan mendadak.

"Aaakh...!" orang itu menjerit keras ketika sinar merah yang dilepaskan Rangga menghantam tubuhnya.

"Hiyaaa...!"

Bret!

Rangga segera melompat dan menjambret penutup kepala orang itu.

"Oh!"

Betapa terkejutnya Rangga saat melihat wajah yang tidak memiliki daging sama sekali. Wajah itu berbentuk tengkorak, dengan mata dan hidung bolong. Rangga melompat mundur dua tindak. Dan pada saat itu mendadak...

Wut!

Sebatang tombak panjang bermata tiga meluncur deras, dan menancap telak di dada orang berwajah tengkorak itu. Suara jeritan melengking terdengar, disusul dengan ambruknya tubuh orang itu ke tanah. Rangga kaget bukan main. Selintas dia melihat sebuah bayangan hitam yang lain melesat dengan cepat.

"Gila! Hih!

Rangga segera melompat kencang mengejar bayangan hitam lain yang diduga dialah yang melepaskan tombak tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu merasa penasaran, lalu dikemposnya seluruh kekuatan tenaga dalam untuk mengejar bayangan hitam tadi. Dengan satu lentingan di udara, dia berhasil menyusulnya.

"Mau lari ke mana, kau!" bentak Rangga begitu kakinya menjejak tanah di depan orang berbaju hitam. Persis dengan orang yang pertama tadi.

"Suiiit...!" tiba-tiba saja orang itu bersiul nyaring.

"Gila! Apa ini...?!" dengus Rangga menggeram. Tiba-tiba saja dari balik semak dan pepohonan muncul beberapa orang berpakaian hitam ketat. Seluruh kepala dan wajahnya juga berselubung kain hitam. Rangga menghitung dalam hati. Ada tujuh orang. Semuanya jadi delapan dengan orang yang tadi dicegatnya.

"Bunuh dewa gadungan itu!" terdengar suara memerintah.

"Hiyaaa...!" "Hiyaaa...!"

Tujuh orang yang baru saja bermunculan langsung berlompatan menyerang Rangga tanpa banyak bicara lagi. Semuanya menggenggam tombak bermata tiga. Mau tidak mau Rangga melayaninya, tapi hanya dengan jurus-jurus biasa saja. Hitung-hitung sambil mengukur sampai di mana tingkat kepandaian para pengeroyoknya ini.

Rangga pun tersenyum setelah lewat lima jurus. Langsung saja dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya terpentang lebar ke samping. Kakinya bergerak lincah membuat para pengeroyoknya kebingungan. Pada saat itulah kedua tangan Rangga bekerja sangat cepat. Begitu cepatnya sehingga sulit untuk dilihat.

Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul. Kemudian disusul dengan tersungkurnya satu persatu para pengeroyoknya. Rangga berdiri tegak sekitar satu tombak jaraknya di depan orang yang dicegatnya tadi. Dua bola matanya tajam menatap wajah yang tertutup kain hitam.

"Sekarang giliranmu, muka setan!" dengus Rangga menggeram.

"Phuih! Jangan bangga dulu, dewa gadungan! Mereka memang bukan lawanmu!" tantang orang itu, juga menggeram.

"Suaramu seperti wanita. Buka topengmu! Aku i ingin lihat seperti apa tampangmu!" Rangga sedikit menyipitkan matanya.

"Tidak semudah itu!"

"Baik. Tidak sulit memaksamu membuka kedok."

"Silakan. Tanganku pun telah gatal ingin merobek mulutmu!"

Setelah berkata demikian, orang yang memilki suara wanita itu segera bergerak menyerang dengan jurus-jurus pendek tangan kosong. Rangga melayaninya dengan memusatkan perhatiannya pada gerakan-gerakan lawannya. Beberapa kali tangan Rangga hampir membuka kedok orang itu, tapi dengan gesit sekali orang itu mampu mengelakkan tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Merasa lawannya sangat licin dan lincah, Rangga segera membuka jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sekarang, diarahkanlah tangannya ke wajah lawan. Dengan jurus itu Rangga bisa mendesak lebih hebat lagi.

"Awas kaki...!" teriak Rangga tiba-tiba.

Seketika itu juga dia merunduk seraya mengibaskan tangannya menyambar kaki. Orang itu pun segera melompat cepat disertai tendangan balasan yang juga cepat. Dan pada saat yang tepat, Rangga memutar tubuhnya, langsung melenting ke udara.

"Ih!" orang itu terkejut.
Tapi...
Bret!
"Auh!"

Cepat sekali tangan Rangga menyambar kain penutup kepala lawannya sambil menukik tajam. Rangga menjejakkan kakinya dengan manis di tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu begitu kaget ketika wajah lawannya.

"Kau...?!"

********************

TUJUH

Rangga hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Rasanya seperti mimpi saja. Beberapa kali digosok-gosok matanya, tapi orang yang berada di depannya ini.... Tidak! Dia tidak mimpi! Ini kenyataan yang benar-benar sedang dihadapinya saat ini.

"Kau... Kau Pandan?" masih terdengar ragu-ragu suara Rangga kedengarannya.

"Iya, aku Pandan Wangi. Memangnya siapa?" lembut sekali suara wanita itu.

Rangga mencoba untuk menegaskan kembali penglihatannya dalam keremangan cahaya bulan. Wanita yang berdiri di depannya benar-benar Pandan Wangi. Gadis manis, kenes, dan nakal yang selama ini selalu bersama-sama dengannya. Gadis yang tanpa disadari telah dicintainya.

Benarkah dia Pandan Wangi? Bukankah gadis itu sudah terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam? Rasanya sulit untuk dipercaya kalau Pandan Wangi masih hidup sampai saat ini. Bahkan Rangga sudah menganggapnya mati di dalam jurang sana. Tapi...

"Kenapa bengong?" tegur Pandan Wangi. Bibirnya tersenyum merekah.

"Oh! Aku..., aku...," Rangga tergagap.

"Kau masih hidup?"

"Yang Maha Kuasa belum menginginkan aku mati, Kakang," sahut Pandan Wangi.

"Tapi...."

"Kau heran? Aku memang jatuh ke dalam jurang. Tapi aku berhasil meraih sebatang akar yang menonjol, dan merayap naik ke tepi. Aku tidak menyalahkanmu kalau menganggap aku sudah mati, Kakang. Jurang itu sangat dalam. Bahkan sepertinya tidak mempunyai dasar. Aku sendiri tidak tahu, mengapa masih bisa hidup sampai sekarang," kata Pandan Wangi.

"Lalu, kenapa kau jadi..."

"Ha ha ha...! Ini hanya penyamaranku saja. Aku ingin tahu, ada apa di balik misteri Puri Merah. Maaf, Kakang. Aku terpaksa seolah-olah memusuhimu. Ini kulakukan semata-mata agar mereka tidak curiga padaku."

Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Dia masih belum percaya kalau yang berdiri di depannya benar-benar Pandan Wangi. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan rasa keheranan yang membelenggu. Pandangannya menyapu mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Ada tujuh mayat yang menggeletak dengan tubuh berlumuran darah.

"Orang-orang macam itulah yang seharusnya kita basmi, Kakang. Mereka memang berada di puncak bukit ini, tapi bukan di dalam benteng Puri Merah. Merekalah yang seharusnya menjadi lawanmu, bukan orang-orang Puri Merah," kata Pandan Wangi, seolah-olah bisa membaca jalan pikiran Rangga.

"Apakah mereka anak buah Dewi Sri Tungga Buana?" tanya Rangga menegaskan.

"Ah, rupanya kau sudah tahu juga."

"Ya. Aku sudah menyelidiki keadaan di Puri Merah. Juga permasalahan yang mereka hadapi saat ini."

"Lalu, apa tindakanmu selanjutnya?"

"Aku harus mencari dan menemukan tempat persembunyian Dewi Sri Tungga Buana."

"Kenapa harus susah payah?"

"Apa maksudmu, Pandan?"

"Aku bisa menunjukkan tempatnya."

Lagi-lagi Rangga mengernyitkan alisnya.

"Jangan heran. Selama ini aku telah menyelinap ke sarang mereka, dan menyamar jadi salah seorang anggota mereka. Karena aku memiliki kemampuan di atas mereka, lalu aku dijadikan pemimpin di bawah Dewi Sri Tungga Buana."

"Di mana sarang mereka?" tanya Rangga.

"Ikuti aku!"

Pandan Wangi segera berjalan ke arah Utara. Rangga mengikuti dengan benak masih diliputi berbagai macam pertanyaan. Matanya tetap mengamati setiap gerak langkah Pandan Wangi yang berjalan di depan. Sedikit pun Rangga tidak memperoleh perbedaannya. Hanya yang menjadi pertanyaannya sekarang, Pandan Wangi sekarang tidak menyandang pedang Naga Geni dan Kipas Maut, tapi malah membawa tombak panjang berujung tiga.

Setahu Rangga, Pandan Wangi tidak pernah lepas dari dua senjata mautnya itu. Ke mana pun Pandan Wangi pergi, kedua senjata itu pasti bersamanya. Satu keanehan yang nyata. Dan Rangga belum bisa memperoleh jawabannya sekarang. Pandan Wangi berjalan cepat bagaikan berlari saja. Mau tidak mau Rangga juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mengimbangi langkah Pandan Wangi yang begitu ringan dan cepat.

"Itu sarang mereka!" Pandan Wangi menunjuk sebuah bangunan besar dikelilingi pagar kayu yang tinggi.

Rangga berdiri tegak memandang ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Ada beberapa orang berjaga-jaga di sekitar bangunan itu. Pakaiannya tidak ada yang aneh. Mereka semua mengenakan pakaian biasa seperti orang kalangan rimba persilatan. Semuanya menyandang senjata yang beraneka ragam bentuknya.

"Maaf, aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini," kata Pandan Wangi.

"Tunggu! Kau akan ke mana?" cegah Rangga.

"Aku harus kembali. Aku tidak ingin penyamaranku terbuka sebelum waktunya," sahut Pandan Wangi lagi.

"Ini topengmu!" Rangga menyerahkan kain hitam penutup kepala yang masih dipegangnya sejak tadi.

Pandan Wangi menerimanya dengan bibir tersenyum manis. Kemudian dikenakannya kembali topeng itu. Rangga tidak lagi mencegah saat Pandan Wangi melompat cepat dan berlarian menuju bangunan itu. Pendekar Rajawali Sakti terus mengamati dari jarak yang cukup jauh dan terlindung. Tampak Pandan Wangi berdiri, tegak di depan pintu gerbang yang dijaga ketat deh empat orang bersenjata tombak.

Pintu gerbang terbuka, dan Pandan Wangi melangkah masuk, tubuh gadis itu lenyap saat pintu ditutup kembali. Tinggal empat orang bersenjata tombak yang masih tetap berjaga di depan pintu gerbang.

********************

Rangga baru saja menjejakkan kakinya di dalam benteng Puri Merah ketika Kandara Jaya berlari-lari menghampirinya. Pendekar Rajawali Sakti itu menunggu sampai Kandara Jaya dekat. Napas putra mahkota itu terengah-engah, seolah-olah baru saja berlari jauh melintasi bukit tinggi. Rangga menunggu sampai Kandara Jaya bisa bernapas tenang.

"Ada apa?" tanya Rangga.

"Aku dapat keterangan tentang Kitri Boga," sahut Kandara Jaya.

"Hm, lalu?"

"Kitri Boga memang pernah ditawan di sini, tapi sekarang sudah dipindahkan. Katanya, Dewi Sri Tungga Buana menginginkannya untuk dijadikan pelayan."

"Kau tahu, ke mana dia dibawa?" tanya Rangga lagi.

"Aku tidak tahu. Mereka semua tidak ada yang tahu, di mana tempat tinggal Dewi Sri Tungga Buana. Tapi ada yang mengatakan Kitri Boga dibawa ke Kahyangan."

"Kau percaya?"

"Tidak!"

"Bagus! Setiap keterangan yang tidak masuk akal jangan dipercaya dulu kebenarannya."

"Kau sendiri, bagaimana?"

"Aku baru saja menemukan tempat tinggal Dewi Sri Tungga Buana," sahut Rangga.

"Kau...?" Kandara Jaya tergagap.

"Ya. Dan aku ke sini memang sengaja mencarimu. Kita akan ke sana berdua. Kita bisa menyelamatkan Kitri Boga, dan aku akan menyelamatkan Pandan Wangi."

"Pandan Wangi...? Apakah dia masih hidup?" lagi-lagi Kandara Jaya kaget hingga mulutnya ternganga.

"Aku sendiri belum yakin. Entah hanya karena ilusiku saja, atau ada orang yang mirip dengannya. Atau juga dia memang benar-benar masih hidup. Tapi yang jelas, aku sempat bertemu dengannya. Memang ada yang aneh, dan itu harus kuketahui sebelum tengah malam nanti."

"Lalu, bagaimana dengan rencana kita sebelumnya?" Kandara Jaya ingin minta ketegasan.

"Tetap dilaksanakan. Untuk itulah aku perlu bantuanmu."

"Aku selalu siap membantumu, karena aku juga punya kepentingan sendiri dalam masalah ini," kata Kandara Jaya tegas.

"Malam nanti, kuminta kau buat kekacauan di sini," ucap Rangga setengah berbisik.

"Gila!" sentak Kandara Jaya kaget.

"Dengar dulu, Kandara Jaya. Aku belum selesai!"

"Baik, teruskan."

"Kau buat kekacauan di sini dengan mengenakan pakaian serba hitam, dan topeng hitam pula. Kemudian kau lari melalui tembok bagian Utara, lalu menuju ke arah Utara. Aku menunggumu di sana nanti. Setelah itu aku akan melaksanakan rencana kedua. Mungkin waktunya agak bersamaan. Dan kita bisa bertemu di tengah jalan," kata Rangga memaparkan rencananya.

"Terus terang, aku belum mengerti maksudmu," kata Kandara Jaya kebingungan.

"Begini.... Dengan adanya kekacauan di sini, berarti akan mengalihkan perhatian orang-orang Dewi Sri Tungga Buana ke sini. Dengan demikian, aku bisa leluasa memorak-porandakan markas mereka! Tentu saja sambil menyelamatkan Kitri Boga dan Pandan Wangi, kalau memang benar masih hidup atau ditawan di sana."

"Lalu, rencana kita semula?"

"Tetap berjalan, tapi waktunya dipercepat"

Kandara Jaya masih juga belum mengerti.

"Kerusuhan itu akan membuat Dewi Sri Tungga Buana marah, sehingga akan mempercepat waktu persembahan. Pada saat itulah rencana semula dijalankan, sementara kau dan Kitri Boga telah aman di seberang jurang. Aku yang akan membereskan mereka bersama sahabatku, rajawali raksasa. Memang agak sedikit menyimpang, tapi ini demi keselamatanmu dan Kitri Boga."

"Dengan membiarkanmu menyabung nyawa seorang diri? Tidak! Bagaimanapun juga aku harus ikut!" tolak Kandara Jaya tegas.

"Percayakan semuanya padaku, Kandara Jaya. Aku tidak bermaksud mengecilkan kemampuanmu. Tapi ini demi kelancaran rencana kita semua!"

Kandara Jaya terdiam.

"Orang-orang Puri Merah sudah menganggap kalau aku Dewa Agung mereka. Dan ini akan kugunakan untuk menumbuhkan kepercayaan mereka bahwa Dewi Sri Tungga Buana itu tidak ada! Percayalah. Mereka pasti akan memberontak, dan membantuku memusnahkan orang-orang Dewi Sri Tungga Buana.

"Rasanya sulit bagiku untuk menerimanya, Rangga," gumam Kandara Jaya.

"Tugasmu juga tak kalah penting, Kandara Jaya. Kau sengaja kutaruh di sana, untuk menjaga kemungkinan jika ada yang melarikan diri. Mereka sangat banyak dan tangguh. Kau bisa membawa prajuritmu untuk berjaga-jaga di sekitar jurang."

"Dan itu bukan berarti aku harus menunggu di seberang, kan?"

"Kau boleh menyeberang kembali bersama prajuritmu dan menghadang siapa saja yang berusaha melarikan diri. Mengerti?"

"Ya, aku mulai mengerti sekarang. Hanya saja, siapa yang akan menghubungi kerajaan untuk membawa para prajurit?"

"Kitri Boga, atau kau sendiri!"

"Bagaimana aku bisa menyeberangi jurang?" tanya Kandara Jaya. Dia sadar kalau kemampuannya tidak mungkin bisa menyeberangi jurang yang sangat lebar itu.

"Akan kusiapkan tambang untuk kau seberangi. Aku yakin tambang itu bisa kau lintasi."

"Kalau begitu, baiklah! Aku setuju dengan rencanamu!" sambut Kandara Jaya.

"Nah! Sekarang kita hanya menunggu hari gelap. Sebaiknya, mulai saat ini jangan menampakkan diri di Puri Merah."

"Lalu, kita akan ke mana?"

"Menunggu di luar batas puri."

Setelah berkata demikian, Rangga cepat melompat melewati tembok batu yang tinggi dan kokoh. Kandara Jaya langsung mengikuti tanpa banyak tanya lagi. Dalam sekejap saja, kedua pemuda itu telah berada kembali di luar tembok tanpa diketahui seorang pun. Rangga segera mengajak Kandara Jaya masuk dalam hutan yang sangat lebat untuk menunggu waktu sambil mematangkan rencana yang sudah ada.

Hari terus merayap semakin jauh. Dan senja pun mulai merambat mendekati malam. Kabut tipis mulai datang menyelimuti sekitar puncak Bukit Arang Lawu. Matahari perlahan-lahan tenggelam di balik bukit. Suasana remang-remang mulai melingkupi sekitarnya. Udara dingin pun sudah menggerogoti kulit.

Saat itu Kandara Jaya mulai merangkak mendekati benteng Puri Merah. Orang-orang Dewi Sri Tungga Buana telah kembali menjalankan tugas seperti biasa yakni menjaga di sekeliling tembok batu. Menurut rencana. Kandara Jaya baru melancarkan aksi mengacaukan keadaan benteng Puri Merah jika bulan telah berada di atas kepala.

Kandara Jaya mengamati sekitarnya, mencari celah untuk bisa masuk tanpa diketahui para penjaga yang bersenjata lengkap. Dia agak risih juga mengenakan pakaian serba hitam yang diambil Rangga dari salah seorang anggota Dewi Sri Tungga Buana.

Sementara itu di dalam benteng Puri Merah, sepuluh orang berjubah merah tengah berkumpul di tangga puri yang berada di tengah-tengah lingkaran benteng. Mereka adalah Natrasoma dan teman-temannya.

"Dewa Agung telah pergi. Aku tidak tahu lagi, apakah akan kembali atau tidak," kata Natrasoma. pelan suaranya.

"Apakah Gusti Dewa Agung akan membebaskan kita dari pengaruh dan tekanan Dewi Sri Tungga Buana?" tanya salah seorang.

"Aku tidak tahu pasti. Tapi kelihatannya Dewa Agung tidak menyukai tindakan Dewi Sri Tungga Buana."

"Terus terang, aku sudah muak dengan keadaan ini. Rasanya aku ingin berontak!"

"Kita tidak bisa begitu saja melakukannya. Ingat! Pemimpin Agung Puri Merah masih menjadi tawanan mereka. Dan selama beliau masih di tangan mereka, kita tidak bisa berbuat apa-apa."

"Aku rasa kita mampu mengusir mereka."

"Memang. Tapi keselamatan Pemimpin Agung harus kita pikirkan juga. Ingat! Sudah lebih dua puluh orang yang tewas karena kebodohannya. Aku tidak ingin membuang nyawa percuma tanpa perhitungan yang matang."

"Ya..., seharusnya kau mengatakan hal ini pada Dewa Agung. Aku yakin, Gusti Dewa Agung bersedia membantu kita mengusir mereka."

"Sudah! Dan Dewa Agung berjanji akan menghukum Dewi Sri Tungga Buana."

"Benar itu, Natrasoma?"

"Itu janji Dewa Agung! Kita tinggal menunggu waktu yang tepat!"

Perundingan dan percakapan itu terus berlangsung. Mereka berbicara pelan setengah berbisik. Tapi kadang-kadang berhenti jika salah seorang anak buah Dewi Sri Tungga Buana lewat. Dari nada pembicaraannya, jelas kalau mereka sudah menantikan saat yang tepat untuk bebas dari cengkeraman Dewi Sri Tungga Buana.

Malam terus merayap naik semakin larut. Keadaan dalam benteng Puri Merah mulai berangsur sepi. Sedangkan sepuluh orang berjubah merah, mulai meninggalkan bagian puri. Tapi baru saja mereka melangkah beberapa tindak, mendadak....

"Tolong.... Kebakaran...!"

Terlihat api berkobar besar dari bagian Selatan benteng Puri Merah. Beberapa orang berjubah merah berlarian, berusaha memadamkan api yang semakin besar. Belum lagi mereka bisa memadamkan api itu, tiba-tiba terdengar lagi teriakan-teriakan dari arah Timur. Dan terlihat di sana api telah membakar bangunan yang ada. Suasana malam yang semula tenang, mendadak gaduh oleh teriakan-teriakan dan suara-suara perintah untuk memadamkan api yang semakin besar dan merambat ke bangunan-bangunan lainnya.

Suasana kacau itu semakin bertambah dengan munculnya sesosok tubuh hitam berkelebat cepat menghajar orang-orang Dewi Sri Tungga Buana.' Dalam waktu singkat saja, beberapa rubuh bergelimpangan mandi darah. Gerakan sosok tubuh hitam itu sangat cepat dan tiba-tiba. Setiap kali sosok tubuh hitam itu muncul, tidak kurang dari lima nyawa melayang.

"Natrasoma, lihat!" seru salah seorang berjubah merah yang berdiri dekat Natrasoma.

Natrasoma cepat mengalihkan pandangannya kearah yang ditunjuk. Pada saat itu sosok tubuh hitam tengah berkelebat cepat menghajar lima orang yang bersenjata. Begitu cepat gerakannya, sehingga yang terlihat hanya bayangan saja. Tahu-tahu lima orang sudah tergeletak bersimbah darah di tubuhnya. Cepat sekali sosok tubuh itu hilang, bagai ditelan gelapnya malam.

"Mustahil..., tidak mungkin!" Natrasoma menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau kenal, Natrasoma?"

"Aku tidak percaya! Orang itu berpakaian serba hitam. Mustahil kalau pengawal khusus Dewi Sri Tungga Buana yang melakukan ini semua," gumam Natrasoma tidak percaya.

Tidak ada lagi yang bersuara. Semuanya diam membisu. Sementara itu, api terus berkobar melahap bangunan-bangunan yang berdiri mengelilingi Puri Merah. Sebagian besar orang berjubah merah mengamankan puri. Sebagian lagi berusaha memadamkan api yang terus berkobar ganas.

Kesibukan lain terlihat pada orang-orang yang berpakaian seperti tokoh rimba persilatan. Mereka disibukkan dengan sosok hitam yang muncul secara tiba-tiba dan menghilang pun secara tiba-tiba pula. Sudah tidak terhitung lagi, berapa orang yang bergelimpangan tanpa nyawa. Sosok tubuh hitam itu menghilang setelah membabat mati lima orang lagi. Sementara pada saat itu kobaran api mulai dikuasai.

"Apakah ini janji Dewa Agung...?" Natrasoma bertanya-tanya dalam hari.

Natrasoma mengelilingi bangunan-bangunan yang tinggal puing-puing saja. Asap masih mengepul dari bara api yang menyala. Sesekali api kembali berkobar dari bara api yang tertiup angin. Tapi dengan cepat berhasil dipadamkan. Natrasoma mengangguk-anggukkan kepalanya. Bangunan-bangunan yang terbakar adalah tempat orang-orang Dewi Sri Tungga Buana beristirahat Tidak satu pun tempat tinggal orang-orang Puri Merah yang terkena api.

"Sembah puji bagi Dewa Agung...," desah Natrasoma pelan.

"Apa yang kau gumamkan, Natrasoma?"

"Oh!" Natrasoma terkejut. Seorang berjubah merah tiba-tiba telah berdiri di sampingnya.

"Aku bersyukur dengan kejadian ini," sahut Natrasoma.

"Hm..., kau bersyukur dalam keadaan seperti ini?''

"Ya, coba kau lihat! Bukankah Dewa Agung telah memenuhi janjinya? Dan aku yakin kalau Gusti Dews Agung baru saja memberi peringatan dengan membakar habis bangunan-bangunan tempat peristirahatan mereka."

"Mungkin juga. Tapi mengapa Gusti Dewa Agung tidak membantai habis mereka?"

"Dewa Agung pasti punya kebijaksanaan lain. Aku yakin suatu saat nanti, mereka akan angkat kaki dari tempat yang kita cintai ini."

Tidak ada sahutan sama sekali. Natrasoma menoleh, dan...

"Hey!"

Natrasoma benar-benar kaget setengah mati. Orang yang diajaknya bicara tadi ternyata telah menghilang entah ke mana. Dia celingukan mencari-cari tapi nihil. Di tempat ini begitu banyak orang berjubah merah dengan potongan dan corak yang sama persis. Perbedaannya hanya pada kalung yang dipakai masing-masing orang yang berjubah merah. Dan itu sama sekali tidak diperhatikan oleh Natrasoma.

"Ah, aku yakin. Itu tadi pasti Dewa Agung yang menyamar," gumam Natrasoma. "Untung tadi aku tidak salah bicara...."

********************

DELAPAN

Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna, Rangga berhasil menyelinap masuk ke balik pagar kayu yang mengelilingi bangunan besar di bagian Utara puncak Bukit Arang Lawu. Beberapa orang penjaga tampak berkumpul mengelilingi api unggun. Rangga memutar lewat belakang, tapi seorang penjaga berpakaian serba hitam memergokinya. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu bertindak Tanpa bersuara sedikit pun, tangannya bergerak cepat menghantam dada orang itu. Seketika itu juga orang yang berpakaian serba hitam ambruk dengan dada remuk.

"Hhh, dua orang menjaga pintu," desah Rangga dalam hati.

Tangan Pendekar Rajawali Sakti itu memungut dua batang ranting kecil. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang sempurna, dilemparkannya dua batang ranting itu ke arah dua penjaga pintu belakang. Ranting-ranting itu tepat menancap di leher.

Akibatnya, dua penjaga itu langsung ambruk tanpa merintih lagi. Darah segar segera merembes dari leher yang tertembus ranting. Bagai kijang yang lincah, Rangga melompat ringan mendekati pintu. Pelan-pelan dibukanya pintu itu, lalu melangkah masuk. Sebentar Rangga mengerjap-ngerjapkan matanya, membiasakan diri dalam kegelapan yang menyelubunginya begitu masuk ke dalam.

Pendekar Rajawali Sakti itu mulai melangkah perlahan-lahan dan hati-hati. Rupanya dia masuk ke sebuah lorong sempit dan gelap. Tapi lorong itu tidak panjang. Sebentar saja dia telah berada di ujung lorong.

"Pintu lagi...," gumam Rangga.

Perlahan-lahan sekali Rangga membuka pintu yang terbuat dari kayu jati tebal ini. Suara berderit kecil terdengar saat pintu didorong pelan-pelan. Sinar terang menyilaukan menerobos saat daun pintu terbuka agak lebar. Rangga segera masuk ke kamar itu.

"Ruangan apa ini?" tanya Rangga dalam hati.

Tampak di depan Rangga terdapat ruangan indah dan luas. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah ranjang besar beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Pada salah satu sudut ruangan, terdapat beberapa peti. Salah satu peti tampak terbuka tutupnya. Mata Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit menyipit memperhatikan isi peti itu. Ternyata peti itu berisi bermacam-macam benda dari emas dan perak dengan berbagai bentuk dan ukurannya. Semuanya menumpuk jadi satu.

"Ada orang datang," desah Rangga dalam hati.

Telinga Rangga yang peka dan tajam segera dapat mendengar suara langkah halus mendekat. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati sekeliling kamar itu, kemudian melompat ringan ke atas. Rangga nangkring pada salah satu balok yang melintang menyangga atap kamar.

Tidak lama berselang, pintu kamar itu terbuka. Dan muncullah seorang wanita cantik mengenakan pakaian ketat berwarna merah, serta bersulamkan benang emas. Kulitnya yang putih mulus, sangat kontras dengan pakaian yang dikenakannya. Wanita itu menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepinya.

"Diakah yang bernama Dewi Sri Tungga Buana?" tanya Rangga dalam hati di tempat persembunyiannya.

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, muncul lagi dua orang dengan pedang tersampir di pinggang. Mereka menggiring seorang pemuda tampan. Wajah pemuda itu kelihatan pucat. Keadaannya lemah sekali. Salah seorang yang menggiringnya, mendorong hingga pemuda itu jatuh tersuruk di lantai.

"Maaf, Dewi Sri Tungga Buana," kata salah seorang seraya membungkukkan badan.

"Hm. Ada apa, Sokapitu?"

"Ada berita buruk yang hendak hamba sampaikan."

"Katakan."

"Benteng Puri Merah terbakar, dan beberapa orang kita tewas terbunuh."

"Apa...?!" Dewi Sri Tungga Buana terlonjak kaget.

"Menurut keterangan yang hamba peroleh, yang melakukan semua ini adalah orang berpakaian serba hitam, mirip dengan para pengawal khusus kita."

"Apakah orang-orang Puri Merah memberontak?"

"Sampai saat ini belum."

"Kurang ajar! Kirim tambahan kekuatan dari pengawal khusus. Umumkan, malam ini juga harus diadakan korban persembahan! Aku ingin Pemimpin Agung Puri Merah menjadi korban malam ini juga!"

"Baik, Dewi Sri Tungga Buana."

Dua orang berpakaian hitam itu segeia keluar dari dalam kamar Dewi Sri Tungga Buana memandang tajam pada Kitri Boga yang tetap duduk di lantai. Wanita cantik itu mendekat, lalu menjambak rambut pemuda tampan putra Maha Patih Kerajaan Mandaraka

"Dengar, Kitri Boga. Aku tidak segan-segan membunuhmu jika kau tetap bungkam! Katakan, berapa orang teman-temanmu yang ada di puncak Bukit Arang Lawu ini?" tanya Dewi Sri Tungga Buana disertai ancaman.

Kitri Boga tetap bungkam.

"Aku tahu kau dari Kerajaan Mandaraka. Kau kira mudah menghancurkan Dewi Sri Tungga Buana?! Jangan mimpi, anak muda! Rajamu saja belum tentu mampu menandingi kesaktianku! Kau sendiri telah merasakan, betapa indahnya mengalami kekalahan!"

Tetap saja Kitri Boga membisu.

"Baiklah kalau kau tetap bungkam. Tapi, dengar dulu. Malam ini juga, kau akan mati di dasar jurang seperti wanita tawanan yang menjadi temanmu itu! Dia memang tolol!"

Sementara Rangga di tempat persembunyiannya hanya bisa menahan marah. Dia tahu kalau yang dimaksud Dewi Sri Tungga Buana itu adalah Pandan Wangi.

"Tapi, bukankah Pandan Wangi masih hidup? Bukankah yang menunjukkan sarang Dewi Sri Tungga Buana adalah Pandan Wangi?" Rangga hanya mampu bertanya-tanya dalam hati.

"Seorang temanmu memang beruntung. Dia dianggap dewa oleh manusia-manusia goblok Puri Merah. Tapi itu tidak menjamin bahwa kau dapat bebas dari kematian, juga dewa gadungan itu. Aku tidak pernah mundur meskipun dia benar-benar seorang dewa yang menyamar!" lanjut Dewi Sri Tungga Buana, dingin dan datar suaranya.

Dewi Sri Tungga Buana mencampakkan tubuh Kitri Boga begitu saja dengan kesal. Pada saat yang bersamaan, pintu diketuk dari luar. Wanita cantik itu menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. Kakinya terayun menuju pembaringan, lalu duduk menjuntai.

"Masuk...!" keras suara Dewi Sri Tungga Buana terdengar.

Pintu terbuka perlahan. Seorang laki-laki muda berbaju serba hitam pun segera muncul. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak berujung tiga. Laki-laki muda itu membungkukkan tubuhnya sedikit, lalu melangkah maju satu tindak.

"Ada apa?" tanya Dewi Sri Tungga Buana.

"Kereta telah siap. Apakah Dewi telah siap berangkat sekarang?"

"Tunggu di luar!"

Laki-laki muda itu membungkuk lagi, kemudian berbalik. Tangannya menarik daun pintu seraya melangkah ke luar. Dewi Sri Tungga Buana bangkit, menghampiri Kitri Boga yang tetap terduduk di lantai dengan kepala tertunduk lemas.

"Kau masih kuperlukan malam ini. Dan sebaiknya kau tidur dulu!" kata Dewi Sri Tungga Buana.

Cepat sekali jari-jari tangan yang lentik itu bergerak, sehingga dalam sekejap saja tubuh Kitri Boga terguling roboh ke lantai. Dewi Sri Tungga Buana tersenyum manis, lalu melangkah ke luar.

Sedangkan Rangga yang berada di palang atap, menunggu sampai beberapa saat. Pendekar Rajawali Sakti itu melayang turun setelah tidak lagi terdengar langkah kaki kuda yang semakin jauh menghilang. Suasana sepi menyelimuti keadaan sekitarnya. Samar-samar tadi dia mendengar kalau Dewi Sri Tungga Buana memerintahkan para pengawal khususnya untuk ikut sebagian. Dan tentunya sebagian lagi menjaga tempat ini.

********************

Rangga memeriksa keadaan tubuh Kitri Boga. Jari-jari tangannya bergerak menotok di beberapa tempat. Kitri Boga menggeleng-gelengkan kepalanya. Suara rintihan terdengar lirih keluar dari bibir yang pucat. Rangga membantu pemuda itu berdiri setelah seluruh kekuatan totokan Dewi Sri Tungga Buana hilang.

Pendekar Rajawali Sakti itu membawa Kitri Boga duduk dipembaringan, kemudian diletakkan kedua tangannya di punggung pemuda itu. Rangga mencoba memulihkan kekuatan dan kesadaran Kitri Boga dengan menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh pemuda itu. Pelahan-lahan warna pucat di wajah Kitri Boga berganti memerah ketika hawa murni yang disalurkan Rangga mulai menyusup ke dalam jalan darahnya.

"Ohhh...!" Kitri Boga menggeliat.

Rangga menghentikan penyaluran hawa murni ke dalam tubuh Kitri Boga setelah keadaan tubuh pemuda itu kembali normal. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian berpindah duduk di depan pemuda itu. Kitri Boga tersenyum seakan-akan ingin mengucapkan terima kasih, meskipun belum kenal dengan penolongnya.

"Aku Rangga. Aku datang untuk membebaskanmu. Kandara Jaya telah menunggumu di luar," kata Rangga sambil memandangi wajah pemuda itu.

"Kau pasti yang disangka dewa oleh orang-orang Puri Merah."

"Sebaiknya kita cepat ke luar dari tempat ini. Tidak ada waktu lagi untuk banyak bicara," sergah Rangga.

Kitri Boga segera beranjak bangun. Diikutinya langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti itu yang kembali melewati lorong. Rangga mengamati keadaan di sekitarnya sebelum keluar dari lorong tempat waktu masuk tadi. Tanpa menunggu waktu lagi, dia melesat keluar diikuti Kitri Boga yang benar-benar telah pulih kembali.

"Cepat pergi ke arah Selatan. Kau akan bertemu Kandara Jaya di perjalanan, lalu segeralah menuju ke arah jurang. Kandara Jaya sudah tahu apa yang akan dikerjakannya," kata Rangga memerintah.

"Kau sendiri?" tanya Kitri Boga.

"Aku punya tugas sendiri, cepat! Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan kepadamu. Kandara Jaya yang akan menjelaskannya nanti."

Kitri Boga segera melompat tinggi melewati pagar kayu. Dia langsung menuju ke arah yang ditunjuk Rangga. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti dengan sigap melenting tinggi ke atas atap bangunan besar. Dengan indah sekali, dia melenting lagi turun ke bawah. Lima orang penjaga terkejut, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan kecepatan tinggi, Rangga menghajar mereka hingga roboh tak berkutik lagi.

"Huh! Tempat ini harus dimusnahkan!" dengus Rangga.

Tangan Pendekar Rajawali Sakti itu lalu menyambar obor dan melemparkannya ke atas atap. Seketika itu juga api berkobar melahap atap bangunan besar itu. Rangga segera berlompatan cepat ketika beberapa orang berpakaian hitam berdatangan. Tanpa menunggu lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti menghajar orang-orang berpakaian hitam yang menjaga bangunan ini. Mereka memang bukan lawan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tidak heran kalau dalam waktu singkat dua puluh orang penjaga tewas dengan tubuh remuk.

Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Sementara itu api terus membesar, menghanguskan bangunan yang besar itu. Rangga kembali melompat melewati pagar kayu yang tinggi. Setelah menjejakkan kaki di tanah, dihancurkannya pagar kayu itu dengan mengerahkan pukulan jarak jauh. Suara ledakan menggelegar bersamaan dengan hancurnya benteng kayu.

"Rangga...!"

"Hey!" Rangga terkejut mendengar suara panggilan dari arah belakang.

Kandara Jaya dan Kitri Boga berdiri berdampingan memandang ke arahnya. Rangga melangkah menghampiri dua orang itu. Dia berdiri tegak memandang wajah mereka satu per satu.

"Kenapa kalian tidak pergi?" tanya Rangga.

"Ada yang ingin kusampaikan padamu," sahut Kitri Boga. "Kata Gusti Kandara Jaya, kau punya adik yang tercebur di jurang?" sambungnya.

"Benar! Apakah dia masih hidup? Di mana dia sekarang?"

"Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Tapi aku yakin kalau dia masih hidup," kata Kitri Boga pasti.

"Kau jangan mengada-ada, Kitri Boga!" rungut Rangga tidak percaya. Matanya tajam menatap lurus bola mata pemuda itu.

"Aku mengatakan yang sebenarnya, Rangga. Memang aku melihat ada seorang gadis cantik mengenakan pakaian biru dengan pedang di punggung dan kipas di pinggang. Gadis itu dalam keadaan pingsan. Tapi, sayang, Dewi Sri Tungga Buana memerintahkannya untuk rnenceburkannya ke dalam jurang. Aku tidak tahu apakah Natrasoma dan sembilan orang lainnya melakukan perintah itu."

Rangga masih belum percaya penuh. "Aku berani sumpah! Sejak aku ditawan mereka, dan dipindahkan ke sini. Aku selalu menguping pembicaraan mereka. Aku juga menyelidiki siapa sebenarnya Dewi Sri Tungga Buana. Aku memang dalam penjagaan ketat, tapi aku masih mendengar apa yang dibicarakan mereka."

Rangga diam termenung. Pandangannya langsung tertuju pada Kandara Jaya. Pangeran muda itu membalas dengan pandangan mata yang sukar dilukiskan. Rangga tidak tahu lagi harus bilang apa. Semuanya sudah terjadi. Dia jelas sekali melihat kalau sepuluh orang berjubah merah menceburkan Pandan Wangi ke dalam jurang! Tapi...

"Dewi Sri Tungga Buana sebenarnya putri tunggal dari pemimpin Puri Merah yang terdahulu. Keluarga mereka dibuang karena menentang kebijaksanaan Raja Balaraga," lanjut Kitri Boga.

"Hm, jadi dia mau merebut kembali Puri Merah?" gumam Rangga.

"Benar. Dia juga dendam pada setiap gadis yang selalu mengolok-olok dirinya ketika masih bersama keluarganya yang terbuang dari Puri Merah."

Rangga termenung beberapa saat. Kini sudah jelas persoalannya, kenapa wanita cantik itu sangat benci kepada orang-orang Puri Merah dan juga kepada wanita-wanita yang tak bersalah. Bagaimanapun juga, dia tidak menyukai cara wanita itu melampiaskan dendamnya.

"Kitri Boga, bagaimana Pandan Wangi bisa sampai ke sini?" tanya Rangga.

"Aku tidak tahu persis. Tapi kalau tidak salah dengar, mereka menemukannya terapung di sungai," sahut Kitri Boga.

"Sungai...?"

"Ya! Aku lihat memang pakaiannya basah," sambung Kitri Boga.

"Kitri Boga, terus terang aku masih belum mengerti tentang kehadiran Pandan Wangi yang menunjukkan tempat ini," kata Rangga.

"Jadi..., Dewi Sri Tungga Buana menemuimu?" Kitri Boga sedikit terkejut.

"Bukan dia, tapi...."

"Aku mengerti sekarang," potong Kitri Boga.

"Maksudmu?" Rangga tidak mengerti.

"Dewi Sri Tungga Buana menyamar jadi Pandan Wangi dan dia sengaja menemuimu."

"Untuk apa?" tanya Rangga.

"Untuk memancingmu ke sini, sementara dia ke Puri Merah."

"Kalau begitu...!"

Rangga langsung melompat cepat dan menghilang di kegelapan malam. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang, sehingga Kandara Jaya dan Kitri Boga jadi terbengong琤engong. Meskipun Kandara Jaya sering berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan, tapi dia masih juga takjub melihat gerakan dan ketinggian ilmu Rangga. Sulit baginya mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kandara Jaya! Tetap laksanakan rencana semula!" terdengar suara Rangga bergema.

"Hebat!" puji Kandara Jaya tulus.

Entah di mana Pendekar Rajawali Sakti itu berada, tapi suaranya bisa terdengar begitu jelas. Seakan-akan suara itu sangat dekat sekali. Betapa sempurnanya ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu. Kandara Jaya segera mengajak Kitri Boga untuk melaksanakan semua rencana yang sudah dimatangkan Rangga. Kitri Boga yang sudah diberitahu tentang semua rencana itu segera berlompatan mengikuti pangeran muda itu. Lompatan mereka cepat karena mengerahkan ilmu lari cepat. Dalam waktu sekejap mata, tubuh mereka sudah hilang ditelan kegelapan malam.

Sementara pada waktu yang sama, di dalam benteng Puri Merah sedang terjadi kesibukan mendadak. Dewi Sri Tungga Buana berdiri anggun di tengah-tengah tangga puri yang berwarna merah menyala dengan patung laki-laki muda gagah menunggang burung rajawali raksasa di puncaknya.

Tampak pada altar, seorang laki-laki tua dengan wajah penuh luka dan keriput, telentang di atas altar batu dengan kedua tangan dan kakinya terikat. Empat orang gadis cantik juga terikat di tiang dekat altar batu. Seluruh orang berjubah merah berdiri berjajar memandang sayu pada laki-laki tua berjubah merah yang tak berdaya di atas altar batu persembahan.

"Setiap kata yang kuucapkan tidak akan pernah ditarik kembali! Kalian semua sudah berani memberontak! Aku tidak akan menarik lagi janjiku! Sekali kalian memberontak, maka pemimpin kalian harus jadi korban persembahanku!" lantang suara Dewi Sri Tungga Buana.

Tidak ada satu suara pun terdengar. Semua orang yang ada di sekitar puri itu terdiam dengan kepala tertunduk. Tidak kurang lima puluh orang berpakaian serba hitam berjaga-jaga dengan tombak bermata tiga di tangan. Ditambah lagi dengan orang-orang berjubah merah.

"Laksanakan...!" perintah Dewi Sri Tungga Buana keras dan lantang.

Lima orang berpakaian serba hitam melangkah maju mendekati altar. Semua memegang golok besar berkilat. Satu orang mendekati altar batu, dan empat orang lainnya mendekati gadis-gadis yang terikat di tiang. Tepat ketika mereka telah mengangkat golok, tiba-tiba....

"Khraaagh...!"

Sebuah bayangan hitam dan besar melayang di udara bersamaan dengan terdengarnya suara keras dan nyaring memekakkan telinga. Makin dekat, bayangan hitam itu makin jelas terlihat bentuknya. Seekor burung rajawali raksasa dengan penunggang seorang pemuda tampan. Gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Pada saat yang kritis itu, Rangga muncul dengan burung rajawali raksasa.

"Dewa Agung datang...!"

Orang-orang berjubah merah serentak menjatuhkan diri berlutut. Dewi Sri Tungga Buana dan orang-orangnya terperanjat melihat datangnya seekor burung rajawali raksasa yang ditunggangi seorang laki-laki muda dan tampan. Burung rajawali raksasa itu mendarat tepat di tengah-tengah lingkaran manusia berjubah merah yang berlutut dengan kedua tangan menempel di tanah.

"Hup!"

Rangga melompat bagai kapas ditiup angin. Gerakannya ringan dan indah, tahu-tahu sudah berdiri di altar batu. Dan secepat kilat dicabutnya pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Sinar biru berkilau memancar, dan berkelebat cepat memutuskan tambang yang mengikat Pemimpin Agung Puri Merah. Setelah itu, Rangga membebaskan empat orang gadis yang terikat di tiang.

Begitu cepatnya tindakan Rangga, tahu-tahu ia sudah kembali duduk di punggung rajawali raksasa. Dan pedang pusaka pun juga sudah masuk lagi ke dalam warangkanya. Semua yang ada di situ bagai tersihir, berdiri takjub dengan mata tidak berkedip. Tidak terkecuali Dewi Sri Tungga Buana. Wanita cantik itu bengong bagai tidak percaya dengan yang dilihatnya.

"Petualanganmu sudah berakhir, Dewi Sri Tungga Buana. Dan aku akan menghukum sesuai dengan perbuatanmu yang tercela!" suara Rangga terdengar agung dan berwibawa.

"Tidak! Kau bukan dewa. Kau penyihir!" geram Dewi Sri Tungga Buana.

"Tidak ada waktu untuk berdebat. Aku akan membawamu kembali ke kahyangan. Biar para dewa yang akan memutuskan hukuman untukmu!"

"Adya Bala...! Serang! Bunuh orang gila itu!" perintah Dewi Sri Tungga Buana.

Anak buah Dewi Sri Tungga Buana serentak bergerak hendak menyerbu. Tapi Rangga dengan cepat melontarkan beberapa pukulan jarak jauh jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tahap terakhir. Sepuluh orang langsung terjungkal dengan tubuh hangus terkena pukulan maut itu.

Mereka yang selamat merasa ngeri, lalu menghentikan gerakannya setelah melihat sepuluh orang tergeletak terkena sinar-sinar merah yang meluncur dari telapak tangan Rangga. Mereka menjadi bimbang dan ragu. Sedangkan Dewi Sri Tungga Buana menggeram marah.

"Kalian orang-orang Puri Merah, bangkitlah! Hadapi segala bentuk kejahatan. Hadapi siapa saja yang ingin membelenggu. Wanita itu bukan Dewi Sri Tungga Buana, dan mereka juga bukan para prajurit kahyangan. Mereka adalah manusia biasa yang juga bisa mati!" Rangga membangkitkan semangat orang-orang Puri Merah.

"Kubunuh kalian semua jika berani menentang!" bentak Dewi Sri Tungga Buana melihat orang-orang berjubah merah mulai bangkit berdiri.

"Jangan hiraukan ancamannya! Aku akan melindungi kalian semua!" lantang suara Rangga.

"Setan! Kubunuh kau, tukang sihir busuk!" geram Dewi Sri Tungga Buana.

"Kematianmu sudah tiba, perempuan liar!"

"Mampus kau, setaaan...!" teriak Dewi Sri Tungga Buana seraya menghentakkan tangannya ke depan.

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil berdiri di punggung rajawali raksasa, Rangga langsung mengeluarkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Dari dua telapak tangannya yang terbuka, meluncur sinar biru berkilau menahan sinar keperakan yang memancar dari tangan Dewi Sri Tungga Buana.

"Khraaaghk...!"

Pendekar Rajawali Sakti itu melenting dan menjejakkan kakinya di tanah dengan manis. Tapi sinar biru yang memancar dari tangannya tetap membendung cahaya keperakan yang memancar dari tangan Dewi Sri Tungga Buana.

"Khraaaghk...!"

Burung rajawali raksasa itu mengepakkan sayapnya, lalu menyambar beberapa orang berpakaian serba hitam. Melihat Dewa Agung dan tunggangannya murka, orang-orang berjubah merah serentak bergerak menyerang orang-orang Dewi Sri Tungga Buana. Seketika itu juga pecahlah pertempuran. Denting senjata dan teriakan teriakan membangkitkan semangat bercampur menjadi satu dengan pekikan kemati-an. Malam yang semula hening, berubah hiruk-pikuk oleh suara-suara pertempuran.

Sementara itu Rangga terus melangkah maju perlahan-lahan. Sedangkan Dewi Sri Tungga Buana tampak berkeringat. Wajahnya mulai memerah karena mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menandingi aji 'Cakra Buana Sukma'. Sedikit demi sedikit cahaya keperakan terdesak oleh sinar biru.

"Uhk! Akh...!" Dewi Sri Tungga Buana menggeliat.

Wanita itu merasakan tenaganya semakin terkuras, dan dadanya mulai terasa sesak. Keringat dingin semakin deras mengucur dari pori-pori tubuhnya.

"Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring dan melengking.

Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara, lalu secepat kilat menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke arah dada Dewi Sri Tungga Buana.

"Aaakh...!" jerit melengking terdengar dari mulut Dewi Sri Tungga Buana.

Wanita yang sudah kehabisan tenaga itu tidak mampu lagi menghindar dari hantaman Pendekar Rajawali Sakti. Begitu kerasnya, sehingga dadanya hancur berantakan menyemburkan darah merah kehitaman.

"Lari..., lari..., lari...!"

Melihat pemimpinnya tewas, anak buah Dewi Sri Tungga Buana langsung berlarian berusaha menyelamatkan diri. Tapi orang-orang yang berjubah merah tidak membiarkan begitu saja. Mereka segera mengejar dan membabat mati yang tertangkap.

Rangga hanya memandangi saja dari jarak jauh. Dan tiba-tiba saja di benaknya terbersit misteri tentang keberadaan Pandan Wangi. Benarkah Pandan Wangi masih hidup? Lalu, siapa yang diceburkan ke jurang oleh orang-orang Puri Merah? Benarkah yang dikatakan Kitri Boga kalau dia melihat Pandan Wangi yang akan diceburkan ke jurang? Kalau bukan, siapakah gadis itu?

Untuk mendapatkan jawaban itu, ikuti kisah selanjutnya dalam episode ASMARA MAUT


SELESAI

Rahasia Puri Merah

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Rahasia Puri Merah


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

MALAM belum lagi beranjak larut. Angin berhembus kencang menyebarkan titik-titik embun, diiringi kabut tebal yang menyelimuti seluruh Bukit Arang Lawu. Sang dewi malam mengintip dari balik awan hitam pekat. Sinarnya begitu redup, seakan-akan tak kuasa menerangi mayapada ini.

Beberapa kali kilat menyambar, membelah angkasa, memekakkan telinga dan menyilaukan mata. Malam ini alam di sekitar Bukit Arang Lawu seakan-akan murka. Namun keadaan alam yang tak ramah, tidak membuat puluhan orang yang berada di lereng bukit itu menghentikan aksinya. Dua kelompok manusia sedang bertarung mempertaruhkan nyawa.

"Hajar, bunuh, seraaang...!"

Teriakan-teriakan keras membangkitkan semangat menggema memecah keheningan malam, berbaur menjadi satu dengan denting senjata beradu diselingi jeritan-jeritan melengking. Dan semuanya itu diiringi pula oleh tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Titik-titik air hujan pun mulai berjatuhan menambah suramnya suasana malam ini.

Keadaan di sekitar lereng Bukit Arang Lawu menjadi porak-poranda bagaikan diamuk ratusan raksasa. Pohon-pohon besar kecil bertumbangan. Batu-batuan hancur berantakan. Belum lagi mayat-mayat manusia dan kuda saling tumpang tindih tak tentu arah. Bau anyir darah menyebar menusuk hidung. Tapi keadaan itu tidak mengendorkan semangat dua kelompok yang sedang bertarung. Mereka tidak lagi menghiraukan hujan yang semakin deras tumpah dari langit.

"Mundur...!" tiba-tiba satu teriakan keras terdengar menggelegar.

Tampak satu kelompok yang mengenakan seragam bagai prajurit kerajaan bergerak mundur sambil terus bertahan. Sedangkan satu kelompok lagi yang kebanyakan mengenakan pakaian longgar warna merah, terus menyerang.

"Mundur.... Mundur...!"

Kelompok yang mengenakan pakaian seragam prajurit segera berlarian mundur menyelamatkan diri. Sementara hujan semakin deras datangnya, diikuti gelegar suara petir yang menyambar.

"Cukup!" sebuah suara keras tiba-tiba membentak.

Tampak salah seorang yang mengenakan jubah merah longgar, mengangkat tangan tinggi-tinggi ke atas. Tongkat berlekuk bagai ular tergenggam di tangan kanannya. Wajah orang itu tidak terlihat, karena terhalang jubah merah yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya.

"Ayo, kembali!" perintahnya.

Orang-orang yang sebagian berjubah merah dan sebagian lagi berpakaian biasa seperti layaknya orang persilatan, melangkah tergesa-gesa meninggalkan lereng Bukit Arang Lawu ini. Mereka menuju ke puncak bukit yang gelap terselimut kabut tebal menghitam.

Sementara itu kelompok lainnya yang semuanya mengenakan seragam bagai prajurit, menuruni lereng bukit. Mereka baru berhenti setelah tiba di suatu dataran yang cukup luas. Pada dataran itu, berdiri beberapa tenda berwarna putih. Satu tenda yang paling besar berdiri di antara tenda-tenda lain yang mengelilinginya.

Orang-orang yang selamat dari pertempuran itu segera masuk ke dalam tenda, berlindung dari curahan hujan yang semakin lebat. Tampak dua orang laki-laki gagah memasuki tenda yang paling besar. Di dalam tenda itu rupanya telah menunggu seorang laki-laki muda mengenakan pakaian indah dengan manik-manik dari emas dan perak murni.

Laki-laki muda itu berkulit kuning langsat. Wajahnya bersih dan tampan bagai tak berdosa. Sinar matanya bening dan lembut, namun memancarkan cahaya kewibawaan seorang pemimpin. Dua orang laki-laki bertubuh tegap yang basah kuyup itu, segera duduk bersila setelah memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya ke depan hidung.

"Hamba menghadap, Gusti Pangeran Kandara Jaya," ucap salah seorang seraya menyembah.

"Aku sudah tahu, Paman Lawawi Girang. Memang tidak mudah memerangi orang-orang yang sudah dirasuki iblis," pelan dan berwibawa suara Pangeran Kandara Jaya.

"Maafkan hamba, Gusti Pangeran," ujar Lawawi Girang.

"Sudahlah, masih ada waktu untuk memulai kembali. Hm..., ya. Bagaimana denganmu, Paman Karpatala? Berapa orang prajuritmu yang gugur?"

"Kepastiannya belum hamba peroleh, Gusti. Tapi hamba perkirakan sekitar lima belas orang. Sedangkan, prajurit yang dipimpin Adi Barong Geti seluruhnya tewas. Adi Barong Geti sendiri terluka parah. Hanya itu yang dapat hamba laporkan sekarang, Gusti Pangeran," kata Karpatala seraya menghaturkan sembah.

"Ahhh...," Pangeran Kandara Jaya mendesah panjang. Pandangannya kosong lurus ke depan.

Sudah tiga malam mereka berada di lereng Bukit Arang Lawu ini. Untuk malam pertama penyerangan ini, mereka menderita kekalahan cukup besar. Hampir lima puluh prajurit tewas. Belum lagi yang terluka parah maupun ringan, sedang sisanya kini dalam keadaan letih. Pangeran Kandara Jaya menarik napas beberapa kali.

Tugas yang diembannya kali ini memang cukup berat Tapi semuanya diterima dengan hati lapang. Dia tahu kalau yang akan dihadapi kali ini bukanlah orang-orang atau prajurit biasa kerajaan lain. Tapi orang-orang yang memiliki kesaktian cukup tinggi. Dan lagi rata-rata mereka mempunyai ilmu olah kanuragan yang tidak rendah. Untuk itulah Pangeran Kandara Jaya perlu membawa dua punggawa yang memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi pula.

"Sebaiknya Paman berdua istirahat. Aku akan meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa," kata Pangeran Kandara Jaya penuh wibawa.

"Hamba mohon diri, Gusti," kata Lawawi Girang seraya beringsut mundur.

"Hm, silakan," Pangeran Kandara Jaya mengangkat tangannya ke depan.

Dua orang punggawa itu keluar dari tenda besar yang ditempati oleh Pangeran Kandara Jaya. Pangeran yang baru berusia dua puluh lima tahun itu tetap duduk bersila di tempatnya, dengan telapak tangan berada di lutut. Kedua matanya terpejam.

Pangeran Kandara Jaya mencoba untuk berhubungan dengan Sang Pencipta, untuk minta petunjuk agar tugas yang berat ini dapat terlaksana seperti yang dikehendaki oleh Ayahanda Prabu Balaraga. Memang, beberapa tugas yang diberikan ayahandanya bisa dijalankan dengan baik dan memuaskan. Tapi tugas yang satu ini.... Pangeran Kandara Jaya merasakan akan mendapat rintangan yang sulit.

Dari beberapa mata-mata yang disebar, dilaporkan kalau gerombolan Puri Merah adalah kelompok manusia iblis yang selalu membuat kacau wilayah Kerajaan Mandaraka. Cara kerja mereka benar-benar bagaikan iblis saja. Datang dan pergi bagai bayangan, tapi selalu meninggalkan kerusuhan dan bencana bagi rakyat.

Kegiatan gerombolan iblis ini sampai menjadi bahan pembicaraan di kalangan istana. Prabu Balaraga pun memerintahkan untuk menumpas gerombolan yang meresahkan rakyat itu.

Itulah sebabnya mengapa Pangeran Kandara Jaya berada di lereng Bukit Arang Lawu ini. Memang menurut telik sandi yang disebar ke pelosok negeri' Gerombolan Puri Merah bersarang di puncak Bukit Arang Lawu.

********************

Pagi-pagi sekali Pangeran Kandara Jaya sudah keluar dari tenda. Dia berjalan pelan-pelan mengelilingi tenda-tenda yang memenuhi sekitar lereng Bukit Arang Lawu. Sisa-sisa air hujan semalam masih menggenang di beberapa tempat Rerumputan di sekitarnya juga belum kering. Kabut masih cukup tebal menyelimuti sekitarnya. Menghalangi sinar matahari yang mengintip dari balik bukit.

Dua orang prajurit bertombak mendampingi sejak pangeran muda itu keluar dari tenda. Pangeran Kandara Jaya berhenti melangkah ketika melihat seorang laki-laki berdiri tegak memandang ke arah puncak bukit yang terselimut kabut tebal.

Di pinggangnya tergantung sebilah pedang dengan gagang dihiasi lima butir batu merah, "Paman Lawawi Girang...," panggil Pangeran Kandara Jaya.

"Oh!" laki-laki yang ternyata memang Lawawi Girang, cepat berbalik dan merapatkan tangannya di depan dada.

"Apa yang kau kerjalan di sini, Paman?" tanya Pangeran Kandara Jaya seraya melangkah mendekati. Dia kembali berhenti setelah jaraknya tinggal tiga sepuluh langkah lagi di depan Lawawi Girang.

"Hamba sedang memikirkan cara untuk mencapai puncak bukit itu, Gusti," sahut Lawawi Girang.

"Sudah kau temukan cara itu?"

"Belum."

"Yaaah, memang sulit mencapai tempat itu," desah Pangeran Kandara Jaya perlahan.

"Tapi hamba berniat akan pergi sendiri ke sana."

"Ah! Terlalu berbahaya, Paman Lawawi Girang. Dengan seratus prajurit pun kita belum mampu mencapai ke puncak! Apalagi hanya kau seorang diri? Tidak, Paman! Jangan tempuh bahaya itu sendiri!"

"Menurut hamba, hanya itu cara satu-satunya yang terbaik. Hamba akan menyelinap untuk menyelidiki kekuatan mereka. Hanya itu, Gusti. Memang tidak mungkin hamba sendirian yang akan membereskan mereka. Tapi kita tidak akan mampu menyelesaikan tugas ini, sementara kita masih buta akan kekuatan mereka," Lawawi Girang mengemukakan alasannya.

"Tapi kau jangan pergi sendirian, Paman," Pangeran Kandara Jaya bisa menerima alasan yang dikemu-kakan punggawanya ini.

"Kalau Gusti Pangeran tidak keberatan, hamba akan mengajak Gusti Adi Kitri Boga."

Pangeran Kandara Jaya tidak segera menjawab. Permintaan Lawawi Girang membuatnya berpikir dua kali. Kitri Boga adalah punggawa muda yang belum berpengalaman dalam pertempuran. Di samping itu, Kitri Boga adalah juga putra kedua Maha Patih Sangga Buana. Rasanya berat untuk mengijinkan Kitri Boga menempuh perjalanan maut itu.

Memang Kitri Boga sudah mendapat restu ayahnya untuk ikut serta dalam tugas berbahaya ini. Tapi Pangeran Kandara Jaya masih meragukan kemampuan pemuda yang baru berusia dua puluh tahun itu. Lagi pula, keselamatan Kitri Boga di tangannya Sedangkan dia sudah berjanji pada Maha Patih Sangga Buana untuk menjaga keselamatan putranya itu.

"Hamba tahu, Gusti tidak akan mengijinkan Gusti Adi Kitri Boga. Tapi hamba yakin kalau putra Maha Patih Sangga Buana itu punya kemampuan yang patut diperhitungkan," kata Lawawi Girang pelan suaranya.

"Paman Patih Sangga Buana memang seorang yang digdaya dan berilmu tinggi. Tapi itu bukan berarti putranya juga seperti ayahnya, Paman. Dia belum pernah memasuki medan pertempuran. Dan sebenarnya pula, aku berat menerimanya dalam tugas ini," sergah Pangeran Kandara Jaya.

"Hamba mengerti, Gusti."

"Apakah tidak ada orang lain yang bisa mendampingimu?" Pangeran Kandara Jaya memberikan pilihan lain.

"Rasanya tidak, Gusti," sahut Lawawi Girang setelah berpikir agak lama.

Pangeran Kandara Jaya terdiam beberapa saat. Hatinya masih terasa berat untuk mengijinkan Kitri Boga ikut serta bersama Lawawi Girang menerobos puncak Bukit Arang Lawu. Sebentar pangeran muda itu memandang puncak bukit yang berselimut kabut, lalu mendesah panjang dan berat. Pandangannya beralih kembali pada Lawawi Girang yang masih menunggu keputusan junjungannya ini.

"Perlu kau ketahui, Paman Lawawi Girang. Aku sudah berjanji pada Paman Maha Patih Sangga Buana untuk menjaga keselamatan Kitri Boga. Itulah sebabnya aku juga tidak mengijinkan ia ikut bertempur semalam. Tapi dia kuberikan tugas lain yang tidak mengundang bahaya besar," kata Pangeran Kandara Jaya pelan namun terdengar tegas penuh kewibawaan.

Lawawi Girang menundukkan kepala. Kelihatannya tengah berpikir keras, tapi entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Namun dari sorot matanya, masih mengharap agar junjungannya ini memberi ijin Kitri Boga untuk ikut serta ke puncak Bukit Arang Lawu.

"Aku akan mengijinkan Kitri Boga ikut bersamamu, asal kau berjanji menjaga keselamatan dengan nyawamu," lanjut Pangeran Kandara Jaya tegas.

"Hamba bersumpah, Gusti," sahut Lawawi Girang berseri-seri.

"Baiklah. Kapan kau akan berangkat?

"Jika Gusti mengijinkan, hamba akan berangkat sekarang juga," sahut Lawawi Girang mantap.

"Ingat, Paman. Kau harus jaga keselamatan Kitri Boga. Dan aku hanya memberimu waktu tiga hari. Lebih dari itu, aku akan ke puncak Bukit Arang Lawu seorang diri!" tegas sekali kata-kata Pangeran Kandara Jaya.

"Hamba akan selalu ingat kata-kata Gusti," sahut Lawawi Girang.

"Pergilah, doaku bersamamu." "Hamba mohon diri, Gusti," pamit Lawawi Girang.

Setelah memberi hormat, Lawawi Girang melangkah menuju ke tenda. Pangeran Kandara Jaya menarik napas panjang. Dia telah mengambil keputusan yang sungguh berat. Keputusan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan hati nuraninya sendiri. Pandangan pangeran muda ini tertuju ke puncak Bukit Arang Lawu. Dia baru menoleh ketika telinganya mendengar langkah-langkah kaki menghampiri.

Tampak Lawawi Girang bersama seorang pemuda tampan berkulit putih berjalan menghampiri Pangeran Kandara Jaya. Pemuda tampan itu menyandang pedang di punggungnya. Bajunya ketat berwarna putih, sehingga memetakan tubuhnya yang kekar dan tegap. Kedua orang itu langsung memberi hormat setelah sampai di depan Pangeran Kandara Jaya.

"Berangkatlah kalian mengemban tugas suci kerajaan. Dalam waktu tiga hari kalian tidak kembali, aku akan menyusul," kata Pangeran Kandara Jaya.

Lawawi Girang dan Kitri Boga kembali men.beri hormat, kemudian segera berlalu. Pangeran Kandara Jaya terus memandangi dua orang itu yang mulai mendaki lereng Bukit Arang Lawu. Dia baru membalikkan tubuhnya setelah punggung Lawawi Girang dan Kitri Boga lenyap dari pandangannya. Sebentar pangeran muda itu menarik napas panjang, kemudian kakinya terayun perlahan-lahan kembali menuju ke tendanya.

"Ah, kenapa hariku jadi tidak enak...?" bisik Pangeran Kandara Jaya dalam hati.

Kepala Pangeran Kandara Jaya menggeleng-geleng, mencoba membuang pikiran-pikiran buruk yang tiba-tiba menghantam benaknya. Belum pernah dirasakan hal seperti ini dalam tugas-tugas sebelumnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya jadi resah ridak menentu. Apakah ini suatu pertanda akan terjadi sesuatu?

Kembali Pangeran Kandara Jaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak ingin memikirkan hal-hal yang membuatnya jadi kecil hari dalam melaksanakan tugas yang dibebankan Prabu Balaraga. Dia harus bisa mengendalikan diri dan berpikiran tenang agar dapat bertindak tepat dengan perhitungan yang matang.

********************

Sementara itu perjalanan yang dilalui Lawawi Girang dan Kitri Boga semakin sulit. Mereka harus melewati jurang dan mendaki dinding batu terjal yang sewaktu-waktu dapat longsor. Belum lagi lebatnya hutan yang menghalangi perjalanan mereka. Namun kedua orang itu tidak menyerah begitu saja. Mereka terus berjalan tanpa mengenal lelah, kini keringat telah membasahi pakaian, meskipun udara di Bukit Arang Lawu sangat dingin dan berselimut kabut.

Perjalanan mereka terhenti ketika di depan membentang jurang yang lebar dan dalam. Begitu dalamnya sehingga dasar jurang itu tidak tampak. Hanya kabut tebal dan kegelapan yang terlihat di dalam jurang itu. Mereka berdiri tegak di bibir jurang. Sedangkan perjalanan yang mereka harus lalui masih panjang.

"Kita tidak mungkin melompati jurang ini, Paman," kata Kitri Boga.

Lawawi Girang hanya mendesah saja. Memang tidak mungkin mereka melompati jurang yang begitu lebar. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki tidak akan sanggup menyeberangi jurang itu hanya dengan sekali lompatan saja. Perlu satu penyangga untuk dapat melentingkan tubuh agar mencapai seberang. Sedangkan di tengah-tengah jurang itu kosong. Tidak ada satu tumbuhan pun yang bisa dijadikan pijakan.

"Kalau mereka bisa menyeberangi jurang ini, tentu ada sarana yang bisa digunakan," kata Kitri Boga setengah bergumam.

"Ah! Benar, benar!" Lawawi Girang tersentak bagai diingatkan "Pasti ada sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk menyeberangi jurang ini."

"Mungkin mereka menggunakan tambang," kata Kitri Boga menduga-duga.

"Mungkin juga," gumam Lawawi Girang.

"Atau sebuah tonggak yang terpancang di tengah-tengah."

"Kalau begitu, kita harus menyusuri bibir jurang ini, Paman."

"Bisa makan waktu lama, Gusti. Sedangkan waktu yang diberikan Gusti Kandara Jaya hanya tiga hari."

"Kita berpencar, dan bertemu lagi di sini," usul Kitri Boga.

"Jangan! Sebaiknya bersama-sama saja," bantah Lawawi Girang.

"Kenapa? Bukankah itu berarti membuang-buang waktu?"

Lawawi Girang tidak menjawab. Tidak mungkin ia membiarkan Kitri Boga seorang diri di daerah yang berbahaya ini. Dia sudah bersumpah untuk menjaga keselamatan pemuda ini dengan nyawanya. Lawawi Girang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Otaknya berputar keras mencari jalan agar bisa menyeberangi jurang ini tanpa meninggalkan Kitri Boga setapak pun.

"Paman...."

"Sebentar, Gusti," potong Lawawi Girang cepat.

Lawawi Girang tiba-tiba melompat ke atas pohon. Tangannya menjambret beberapa sulur yang menjuntai dari pohon-pohon besar di sekitar tepi jurang ini. Dia kembali lagi membawa beberapa sulur yang cukup panjang dan kuat.

"Dengan sulur ini, kita bisa menyeberangi jurang," kata Lawawi Girang.

Kitri Boga mengerutkan keningnya. "Kurasa, dua puluh sulur cukup untuk mencapai seberang," lanjut Lawawi Girang seraya menyambung ujung-ujung sulur.

Kitri Boga hanya memperhatikan saja. Lawawi Girang menyambung lebih dari dua puluh sulur yang panjang-panjang. Sulur-sulur itu memang kelihatan kuat, dan cukup untuk sampai ke seberang sana.

Lawawi Girang mengikatkan satu ujung sulur pada sebatang pohon yang ada di tepi jurang. Kemudian ujung satunya lagi diikatkan pada pergelangan tangan kirinya. Lawawi Girang mengambil sepotong kulit kayu yang cukup besar ukurannya, lalu berdiri tegak di bibir jurang.

"Apa yang akan Paman lakukan?" tanya Kitri Boga.

"Aku akan melompati jurang ini," sahut Lawawi Girang.

"Gila! Jurang ini sangat lebar! Kau tidak akan mampu sampai ke seberang!" sentak Kitri Boga terkejut.

"Memang. Tapi dengan kulit kayu ini, aku bisa sampai ke seberang sana," tenang sekali Lawawi Gi rang menyahut.

"Jangan berbuat nekad, Paman. Bagaimana kalau dua lompatan tidak cukup?"

"Gusti bisa menyentakkan sulur ini kuat-kuat, sehingga aku bisa tertarik kembali ke sini dengan meminjam tenaga sentakan Gusti," sahut Lawawi Girang.

Kitri Boga mulai mengerti jalan pikiran Lawawi Girang. Kemudian diambilnya dua potong kulit kayu. Lawawi Girang memandanginya dengan kening agak berkerut.

"Untuk apa kulit-kulit kayu itu?" tanya Lawawi Girang.

"Untuk berjaga-jaga," jawab Kitri Boga. "Kalau gagal, daripada harus kembali, lebih baik kulemparkan kulit kayu ini ke bawah kakimu. Dan kulit kayu ini bisa kau jadikan tumpuan untuk menambah tenaga dorongan! Bagaimana?"

"Bagus!" puji Lawawi Girang tersenyum.

Sementara Lawawi Girang mengambil ancang-ancang, kemudian melompat tinggi berputaran di udara menyeberangi jurang besar yang menganga lebar. Belum lagi sampai di tengah-tengah, tubuh Lawawi Girang meluncur turun. Cepat-cepat dilepaskan kulit kayu yang ada di tangannya, dan dengan ujung kaki dijejaknya kulit kayu itu. Kembali tubuhnya melenting ke udara, berputaran beberapa kali.

Tepat dugaan Kitri Boga, Lawawi Girang kembali menukik turun sebelum mencapai tepi seberang jurang. Secepat kilat Kitri Boga melemparkan kulit kayu ke arah kaki Lawawi Girang. Dengan tangkas punggawa itu menotok kulit kayu yang berada di bawah kakinya. Kembali tubuhnya melenting ke udara, lalu hinggap tepat di bibir jurang.

Kitri Boga mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi. Kemudian dia melompat, dan berlarian di atas sulur yang sudah terentang dipegangi Lawawi Girang. Indah sekali Kitri Boga berlari di atas sulur yang membentang menyeberangi jurang itu. Pemuda itu lalu melenting indah menjejakkan kakinya di samping Lawawi Girang. Punggawa itu kemudian mengikatkan ujung sulur yang dipegangnya pada pohon. Sungguh dikaguminya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Kitri Boga.

"Ayo kita lanjutkan lagi, Paman," ajak Kitri Boga.

"Mari, Gusti," sahut Lawawi Girang.

"Ke arah mana kita sekarang?" tanya Kitri Boga.

"Puncak bukit ada di sebelah Timur.

Sebaiknya kita ke arah Timur," sahut Lawawi Girang.

"Ayo, sebentar lagi malam. Kita harus mencapai puncak itu sebelum gelap."

"Mustahil, Gusti. Paling tidak, besok pagi baru bisa mencapai puncak itu."

"Kita gunakan ilmu lari cepat, Paman. Aku rasa perjalanan ke arah Timur tidak terlalu sulit lagi."

"Tapi kita harus waspada. Aku yakin mereka memasang jebakan di sekitar puncak bukit ini."

"Baiklah, tapi kita harus cepat!"

"Mari, Gusti."

Dua orang itu segera bergerak menuju ke puncak Bukit Arang Lawu. Lawawi Girang terpaksa mengimbangi Kitri Boga yang menggunakan ilmu lari cepat. Sebenarnya dia tidak setuju, tapi terpaksa harus diikutinya juga. Lawawi Girang selalu berada di samping pemuda ini. Sedikit pun dia tidak mau mendahului atau tertinggal. Keselamatan pemuda ini lebih penting dari nyawanya sendiri.

********************

DUA

Tidak jauh dari Bukit Arang Lawu, tampak serombongan orang berkuda berpacu cepat menuju ke sebuah desa di dekat kaki Bukit Arang Lawu sebelah Barat Tidak kurang dari lima puluh ekor kuda dipacu oleh orang-orang yang mengenakan jubah merah. Suara derap kaki kuda dengan teriakan-teriakan riuh berbaur menjadi satu.

Tampak penduduk desa itu berlarian ketakutan menyelamatkan diri bersama barang-barang yang bisa diselamatkan. Rombongan berkuda itu semakin dekat, dan mulai memasuki desa. Orang-orang berjubah merah yang semuanya memegang senjata terhunus, langsung rnemporak-porandakan seluruh isi desa itu.

Tidak peduli orang tua, perempuan atau anak-anak, semuanya mereka bantai tanpa belas kasihan. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana saling sambut. Ditambah lagi dengan sorak-sorai dan teriakan-teriakan perintah menggelegar.

"Bakar! Habiskan, jangan sampai ada yang tersisa...!"

Beberapa penunggang kuda berjubah merah mulai melempar obor ke atap-atap rumah. Api cepat berkobar besar melahap rumah-rumah penduduk desa yang rata-rata terbuat dari papan dan bilik bambu.

Suasana hiruk pikuk semakin tak terkendalikan lagi. Beberapa penduduk yang bernyali besar, mengadakan perlawanan dengan senjata seadanya. Namun mereka hanya membuang nyawa percuma. Orang-orang berjubah merah itu sangat kejam dan ganas. Siapa saja yang berani mendekat, pasti ambruk bersimbah darah.

Sudah tak terhitung lagi, berapa mayat bergelimpangan berlumuran darah. Dalam waktu singkat saja, puluhan rumah dan ratusan penduduk mati terbunuh. Api semakin besar, merambat ke rumah-rumah lain yang berdekatan. Kerusuhan itu terus berlangsung, seakan tak akan tertanggulangi lagi.

Setelah puas, orang-orang berjubah merah itu kembali memacu kudanya meninggalkan desa yang sudah porak-poranda. Beberapa di antaranya telah membawa paksa wanita-wanita muda. Belum lagi barang-barang berharga yang berhasil mereka rampas dari rumah-rumah penduduk.

Kerusuhan itu begitu cepat berlalu. Suasana di desa kini tenang kembali, walau keadaannya sungguh menyedihkan. Tidak satu rumah pun yang masih utuh. Semuanya rusak berantakan. Bahkan tidak sedikit yang hangus jadi arang. Api masih saja berkobar melahap apa saja yang bisa terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan di setiap tempat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi di desa yang naas itu.

Menjelang senja, keadaan di desa sebelah Barat kaki Bukit Arang Lawu itu masih tetap sunyi sepi. Sementara rumah-rumah yang terbakar tinggal puingpuing mengepulkan asap tipis. Binatang-binatang buas yang mencium anyir darah, mulai keluar hutan. Tidak lama lagi desa yang porak poranda itu akan menjadi tempat pesta binatang琤inatang buas.

Namun sebelum binatang-binatang liar itu menyerbu desa, tampak dua orang berjalan tenang ke arah desa itu. Mereka masih muda. Yang satu laki-laki, dan satunya lagi wanita berparas cantik dengan baju ketat warna biru membentuk tubuh yang indah dan ramping.

Dilihat dari pakaian dan wajahnya, mereka adalah Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi atau Kipas Maut. Kedua pendekar muda itu tetap berjalan tenang menuju ke desa yang sudah berantakan tak berujud lagi. Langkah mereka seketika terhenti saat menyaksikan pemandangan mengenaskan di depannya. Mulut mereka sempat ternganga menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan, dan rumah-rumah terbakar hangus.

"Biadab! Setan mana yang melakukan semua ini?" rutuk Rangga menggeram.

"Kita lihat, Kakang. Barangkali masih ada yang hidup," ajak Pandan Wangi.

Mereka kembali melangkah tergesa-gesa. Rangga beberapa kali mengumpat, menghadapi mayat-mayat bergelimpangan di setiap tempat. Hampir tidak dipercaya akan pemandangan yang disaksikannya ini. Tidak seorang pun yang hidup. Semuanya mati dengan luka yang mengerikan.

"Aku tidak percaya, apabila manusia waras yang melakukan semua ini!" dengus Rangga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak seorang pun yang masih hidup," gumam Pandan Wangi.

"Benar-benar biadab! Keji!"

"Ada banyak tapak kaki kuda, Kakang," kata Pandan Wangi sambil jongkok.

Rangga meneliti jejak-jejak tapak kaki kuda yang berbaur dengan tapak-tapak kaki manusia. Begitu banyak, sehingga sulit untuk ditentukan jumlah kuda yang tapak kakinya membekas di tanah. Kedua pendekar itu mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang tertera jelas. Sepanjang jejak itir, selalu dijumpai mayat yang keadaan tubuhnya terluka.

Rangga mendengus kesal, karena tapak-tapak kaki kuda itu ada di setiap pelosok desa. Bahkan sampai ke pinggiran desa pun, tapak kaki kuda masih terlihat jelas begitu banyak. Tanpa disadari dia terpisah dari Pandan Wangi. Rangga terus menyusuri bekas tapak kaki kuda di tanah, sambil mengamari setiap tubuh yang tergolek Kalau-kalau masih ada yang hidup.

"Kakang...!" tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi memanggil.

"Ada apa, Pandan?" teriak Rangga. "Cepat, ke sini!"

Rangga langsung melompat menuju ke arah suara tadi. Hanya dengan beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping Pandan Wangi. Tampak gadis itu tengah jongkok meneliti tanah.

"Ada apa?" tanya Rangga.

"Jejak kaki kuda itu menuju ke arah hutan," sahut Pandan Wangi sambil berdiri.

Rangga menyusuri pandangannya mengikuti jejak tapak kaki kuda yang terus menuju ke luar desa ini. Jejak-jejak itu memang menuju ke hutan lebat yang membatasi desa. ini dengan Bukit Arang Lawu. Tapi jejak itu banyaknya bukan main. Sulit bagi Rangga untuk menentukan berapa banyak orang berkuda yang telah membumihanguskan desa ini.

Bau anyir darah makin menyengat hidung. Beberapa ekor anjing hutan mulai berdatangan. Suaranya ribut sekali berebutan daging manusia yang bergelimpangan tak terurus. Pandan Wangi segera menggamit tangan Rangga, dan mengajaknya meninggalkan desa itu. Dia tidak tahan melihat tubuh-tubuh bergelimpangan menjadi santapan anjing-anjing liar yang rakus kelaparan. Kedua pendekar muda itu berjalan mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang tertera jelas di tanah dan rerumputan.

Sementara senja terus merayap turun. Matahari hanya mengintip genit di ufuk Barat. Sinarnya yang kemerahan membias lembut menyambut datangnya kabut. Rangga dan Pandan Wangi terus melangkah semakin dalam masuk hutan, menuju lereng Bukit Arang Lawu. Mereka tidak peduli lagi dengan binatang-binatang liar yang tengah berpesta pora menikmati santapan berlimpah ruah.

********************

Awan hitam datang bergulung-gulung menyelimuti mayapada. Angin berhembus kencang mengeluarkan suara menderu-deru, menggoyahkan pepohonan di sekitar lereng Bukit Arang Lawu. Kilat mulai menyambar disertai suara guruh memekakkan telinga. Rangga menghentikan langkahnya ketika merasakan titik-titik air hujan mulai jatuh ke bumi satu-satu.

Kepala Pendekar Rajawali Sakti itu menengadah ke atas. Kilat kembali menyambar, menerangi alam yang gelap gulita dalam sekejap mata saja. Titik-titik air hujan yang jatuh mulai sering menimpa bumi. Rangga mementang matanya menentang kegelapan malam. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian ditariknya tangan Pandan Wangi ketika melihat sebuah goa batu pada saat kilat kembali memercik.

Tepat ketika dua pendekar muda itu masuk ke dalam goa yang kecil dan sempit, hujan deras turun bagai ditumpahkan dari langit. Rangga menarik tangan Pandan Wangi agar lebih dalam masuk goa. Angin yang berhembus kencang membawa masuk air hujan ke dalam goa. Mereka baru berhenti setelah tidak lagi terkena air hujan yang terbawa angin kencang.

"Kau punya pemantik api, Pandan?" tanya Rangga.

"Ada, nih," sahut Pandan Wangi sambil menyerahkan batu pemantik api.

Rangga menerima batu pemantik api itu, kemudian tangannya meraba-raba tanah di sekitarnya. Ditemukannya beberapa ranting kering yang kemudian dikumpulkan jadi satu. Dengan pemantik itu Rangga menyalakan api pada ranting-ranting kering. Goa yang gelap gulita itu kini menjadi terang benderang. Rangga mengumpulkan ranting kering yang rupanya banyak terserak di lantai goa ini. Pandan Wangi sudah duduk memeluk lutut di dekat api. Sesekali ditambahkan ranting ke dalam api.

"Dingin...?" tanya Rangga seraya menempatkan diri di depan Pandan Wangi. Hanya api unggun yang membatasi mereka.

"He-eh," sahut Pandan Wangi sedikit menggigil.

"Bajumu basah, buka saja biar kering," kata Rangga.

"Apa...?!" Pandan Wangi mendelik.

"Maaf, aku lupa kalau kau...," Rangga nyengir.

"Huh! Nggak lucu!" rungut Pandan Wangi.

Tapi di bibirnya terlintas senyum kecil, hampir tidak terlihat.

Rangga menggeser duduknya mendekati gadis itu. Dia menambahkan ranting ke atas api. Percikan bunga api saat melahap ranting menarik perhatian Pandan Wangi. Dia tidak peduli dengan Rangga yang kini telah dekat di sampingnya. Pandan Wangi menggores-goreskan sebatang ranting ke lantai goa yang sedikit lembab.

"Sudah berapa lama ya, kita bersama-sama?" gumam Rangga seolah bertanya pada dirinya sendiri.

"Entahlah, aku tidak pernah menghitung," sahut Pandan Wangi mendesah.

"Kadang-kadang aku suka berpikir...," Rangga tidak meneruskan kata-katanya. Pandangannya lurus menatap wajah cantik di sampingnya.

Pandan Wangi menolehkan kepalanya. Sesaat pandangin mereka bertemu pada satu titik. Gadis itu segera memalingkan pandangannya ke arah lain. Mendadak rasa jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Sungguh mati, baru kali ini dia merasa seperti ini. Entah sudah berapa lama selalu bersama-sama pemuda ini, tapi baru kali ini ada perasaan lain di dalam hatinya. Sesuatu yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Pandan Wangi merasa rikuh dan serba salah dipandangi terus menerus. Duduknya juga jadi gelisah. Belum pernah dirasakan kegelisahan yang mengganggu sedemikian rupa. Sering mereka dalam goa, juga bukan sekali dua kali berada dalam satu kamar penginapan. Namun belum pernah Pandan Wangi punya perasaan seperti sekarang ini.

"Kenapa memandangku terus?" tegur Pandan Wangi agak ketus juga.

"Ah, tidak... tidak apa-apa," sahut Rangga gugup. Buru-buru Rangga membuang segala macam pikiran yang merasuk hatinya.

Pandan Wangi sudah dianggapiya sebagai saudaranya sendiri. Dia sudah berkata dalam hatinya kalau gadis ini adalah adiknya. Bukan siapa-siapa, dan tidak lebih dari adik! Rangga membuang jauh-jauh pikiran aneh dan perasaan asing yang melintas dihati dan benaknya. Dia tidak ingin hanyut dalam perasaan hatinya.

"Aku rasa tempat ini cukup nyaman untuk bermalam," kata Rangga mencoba untuk mengalihkan pembicaran.

"Ya, asal tidak ada binatang menjijikkan saja," sahut Pandan Wangi.

"Kalau ada ular, atau ca...."

"Jangan macam-macam, ah!" sergah Pandan Wangi sambil cemberut. Dia paling jijik dengan binatang-binatang yang baru saja disebutkan Rangga. Meskipun seorang pendekar, tapi nalurinya sebagai wanita tidak hilang begitu saja.

"Ha ha ha...!" Rangga tertawa terbahak-bahak.

Pandan Wangi mendelik, tapi tersenyum juga mendengar suara tawa Rangga. Selama bersama pemuda ini, baru kali ini ia mendengar Rangga tertawa begitu lepas. Suara tawanya sangat merdu di telinga Pandan Wangi. Tidak mudah bagi Rangga untuk tertawa selepas tadi. Kehidupannya selalu dipenuhi dengan kekerasan, sehingga membuatnya sulit tertawa. Dan Pandan Wangi senang mendengar tawa yang sebentar namun begitu lepas tergerai.

"Aaah...! Ngantuk, tidur ah," Pandan Wangi menguap menutupi mulutnya.

"Tidurlah sana. Biar aku yang jaga," kata Rangga.

"Nanti gantian, ya?"

"Iya!"

Pandan Wangi mengambil tempat yang. nyaman, dan merebahkan tubuhnya dengan tangan menekuk menopang kepala. Meskipun sudah merebahkan diri, namun matanya belum juga terpejam. Malah ditatapnya terus pemuda tampan yang masih duduk membelakanginya.

Mungkin saat itu mereka tengah berbicara satu sama lain dalam hati. Entah apa yang tengah dibisikkan di hati mereka. Yang jelas, Rangga maupun Pandan Wangi tidak tenang. Rasa kantuk pun hilang. Beberapa kali mereka saling melirik, tapi tidak pernah bertemu pandang.

Sementara di luar goa, hujan terus turun deras. Seakan-akan hujan tidak akan berhenti sepanjang malam ini. Malam pun terus merayap semakin larut, dan kesunyian makin menyelimuti sekitarnya. Dua manusia di dalam goa tetap berdiam diri, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

********************

Saat itu, di bagian lain lereng Bukit Arang Lawu, Pangeran Kandara Jaya duduk termenung di dalam tenda yang besar dan indah. Sudah dua hari Lawawi Girang dan Kitri Boga belum juga kembali dari penyelidikannya atas gerombolan Puri Merah yang bermarkas di puncak Bukit Arang Lawu.

Pangeran Kandara Jaya semakin gelisah, karena tidak ada kabar sedikit pun tentang Lawawi Girang dan Kitri Boga. Lima orang telik sandi sudah dikirim untuk mencari kabar, dan semuanya kembali dengan membawa laporan yang sama. Nihil.

Lima orang telik sandi yang dikirim itu tidak bisa melanjutkan perjalanan ke puncak, karena dihadang jurang yang lebar dan dalam. Mereka tidak mungkin menyeberangi jurang itu, karena tidak ada jembatan sama sekali. Memang mereka menemui sulur-sulur yang disambung-sambung terikat di pohon, tapi sulur-sulur itu putus di tengah瑃engah.

"Mungkinkah Paman Lawawi Girang dan Adi Kitri Boga terjerumus ke dalam jurang?" gumam Pangeran Kandara Jaya seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Mungkin juga mereka berhasil menyeberangi jurang itu, Gusti," celetuk Karpatala dengan bersila agak ke samping di depan pangeran muda itu.

"Kalau mereka berhasil menyeberang, lalu mengapa sulur itu putus?"

Karpatala tidak dapat menjawab. Memang sulit untuk menjawab pertanyaan Pangeran Kandara Jaya tadi. Satu-satunya alat untuk menyeberangi jurang itu hanya sulur yang disambung-sambung. Tapi kenyataannya sekarang, sulur itu putus di tengah-tengah. Rasanya mustahil jika Lawawi Girang dan Kitri Boga bisa selamat sampai ke seberang. Dan kalau pun sampai, tentu mereka sulit untuk kembali lagi ke sini.

"Kalau sampai besok pagi mereka belum muncul, kuperintahkan agar tenda segera dibongkar dan kembali pulang ke kerajaan," kata Pangeran Kandara Jaya.

"Gusti...!" Karpatala tersentak kaget.

"Tidak ada gunanya menunggu lama di sini, sementara perbekalan menipis. Beberapa kali kita mencoba untuk mencapai puncak, tapi baru sampai lerengnya saja, kita sudah dipukul mundur. Paman Karpatala, aku tidak akan malu mengakui kekalahan pada Ayahanda Prabu. Mereka memang tangguh dan kuat," kata Pangeran Kandara Jaya tegas.

"Ampun. Gusti. Boleh hamba mengajukan permohonan?" Karpatala merapatkan tangannya di depan hidung, memberi hormat.

"Silakan," sahut Pangeran Kandara Jaya.

"Menurut hamba, tempat ini jangan dikosongkan sama sekali. Hamba akan tetap berada di sini bersama beberapa prajurit, menunggu kalau-kalau Kakang Lawawi Girang dan Gusti Kitri Boga kembali," kata Kar-patala penuh hormat.

"Lalu, siapa yang akan memimpin prajurit pulang?"

"Gusti sendiri. Bukankah Gusti Pangeran juga akan kembali pulang?"

"Tidak!"

Karpatala tersentak kaget mendengar jawaban tegas junjungannya. Dia tidak mengerti maksud Pangeran Kandara Jaya, memerintahkan untuk kembali pulang, dan sekarang...

"Aku tidak akan kembali ke istana jika tidak bersama Kitri Boga!" kata Pangeran Kandara Jaya tegas.

"Maksud Gusti?" tanya Karpatala tidak mengerti.

"Kuperintahkan kau memimpin prajurit kembali ke istana besok pagi, dan aku sendiri yang akan ke puncak Bukit Arang Lawu."

"Ah...! Jangan, Gusti. Terlalu berbahaya pergi seorang diri ke sana. Lima ratus prajurit pun belum tentu mampu mencapai puncak, apalagi hanya seorang diri? Jangan, Gusti. Hamba mohon, jangan pergi ke sana seorang diri."

"Sudah kusiapkan surat untuk Ayahanda Prabu, dan kau yang kupercayakan menyerahkan surat ini. Aku tidak ingin surat ini sampai bukan melalui tanganmu sendiri, Paman."

Kandara Jaya menyerahkan surat yang tergulung di dalam longsong perak. Dengan tangan bergetar, Karpatala menerima surat itu. Percuma saja merengek dan mencairkan hati junjungannya ini. Pangeran Kandara Jaya tetap pada pendiriannya. Sekali bilang hitam, untuk selamanya tetap hitam. Itulah watak Pangeran Kandara Jaya.

"Surat itu bercap cincin pusakaku. Di situ tertulis namamu sebagai pengantar, dan hukuman yang akan kau terima bila surat itu diantar bukan lewat tanganmu!" sambung Pangeran Kandara Jaya.

"Hamba laksanakan, Gusti," sahut Karpatala bergetar suaranya.

"Pergilah, dan bersiap-siaplah untuk membongkar tenda besok!"

"Hamba mohon undur diri, Gusti," pamit Karpatala.

"Hm...!"

Karpatala bangkit berdiri, kemudian memberi hormat sebelum keluar dari tenda besar tempat beristirahat Pangeran Kandara Jaya. Sepeninggal punggawa setianya itu, Kandara Jaya tetap duduk di tempatnya. Dia masih memikirkan tentang keselamatan Kitri Boga yang seharusnya jadi tanggung jawabnya. Kembali teringat akan janjinya pada Maha Patih Sangga Buana untuk menjaga keselamatan putranya yang kini tidak tentu nasibnya bersama Lawawi Girang.

Kandara Jaya sangat menyesali keputusannya yang ceroboh, mengijinkan Punggawa Lawawi Girang membawa serta Kitri Boga. Padahal keselamatan Kitri Boga berada di tangannya. Apa pun yang akan terjadi dia harus pergi ke puncak Bukit Arang Lawu itu. Seandainya hanya menemukan mayat Kitri Boga, itu pun sudah cukup baginya. Kandara Jaya tidak begitu berharap Kitri Boga dan Lawawi Girang masih hidup sekarang ini. Dia sadar, betapa berbahayanya mendaki puncak Bukit Arang Lawu.

"Ah, Dewata Yang Agung....," desah Kandara Jaya lirih.

********************

TIGA

Pagi-pagi sekali prajurit Kerajaan Mandaraka berangkat meninggalkan lereng Bukit Arang Lawu. Kepergian mereka dipimpin Punggawa Karpatala dengan diiringi pandangan mata Pangeran Kandara Jaya. Sebenarnya, Karpatala berat meninggalkan Pangeran Kandara Jaya seorang diri di bukit yang penuh bahaya ini. Tapi, kata-kata dan tekad pangeran muda itu sulit untuk dibelokkan lagi.

Prajurit yang jumlahnya sudah berkurang itu berjalan cepat menuruni lereng bukit, kembali ke Kerajaan Mandaraka. Pemuda pewaris tahta kerajaan itu berdiri tegak dengan tangan memegang ujung gagang pedang yang tergantung di pinggang, memandangi kepergian prajuritnya.

"Aku harus segera ke puncak bukit itu," gumam Kandara Jaya perlahan.

Kandara Jaya segera mengayunkan kakinya cepat-cepat mendaki lereng menuju puncak. Pangeran muda itu berjalan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu ringan kakinya bergerak, sehingga seperti tidak menyentuh tanah sama sekali. Kandara Jaya terus melangkah merambah hutan dan tebing batu terjal. Kadang-kadang harus melompati sungai dan jurang kecil yang menghadang.

Langkahnya mendadak terhenti ketika telinganya yang tajam mendengar suara langkah orang lain dari arah samping. Kandara Jaya segera melompat ke atas batu besar, dan berlindung di baliknya. Telinganya bergerak-gerak mendengarkan suara langkah kaki yang makin jelas dan dekat. Suara langkah kaki tanpa disertai dengan pengerahan ilmu meringankan rubuh, tentu saja sangat mudah untuk didengarkan.

Tidak lama kemudian, dari balik lebatnya pepohonan muncul dua orang laki-laki dan perempuan. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi. Kedua pendekar muda itu berjalan santai sambil bercakap-cakap. Tidak ada yang penting dalam percakapan mereka, bahkan tidak jarang diselingi canda dan tawa yang lepas bergerai.

"Pandan...," bisik Rangga tiba-tiba.

"Ada apa?" tanya Pandan Wangi ikut berhenti melangkah.

"Aku merasakan tarikan napas halus di sekitar sini," kata Rangga pelan setelah berbisik.

Pandan Wangi memiringkan kepalanya sedikit. Dicobanya untuk mendengarkan suara tarikan napas halus yang dikatakan Rangga tadi. Tapi, meskipun sudah mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara, tetap saja tidak mendengar suara apa-apa kecuali hembusan angin dan suara detak jantungnya sendiri.

"Kau mendengarnya, Pandan?" tanya Rangga.

"Tidak," sahut Pandan Wangi.

"Hanya satu, tapi kurasa dia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tarikan napasnya begitu halus, hampir aku tidak mendengarnya," gumam Rangga pelan sekali.

"Apa itu bukan tarikan napasmu sendiri, Kakang?" Pandan Wangi tidak yakin, karena tidak mendengar apa-apa.

"Aku bisa membedakan antara diriku, kau, dan orang lain. Hati-hatilah, orang itu sangat tinggi ilmunya."

Rangga melangkah tiga tindak ke depan. Kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri perlahan-lahan. Ilmu pembeda gerak dan suara yang dimilikinya sudah mencapai tahap kesempurnaan. Baginya, suara sehalus apa pun sangat mudah ditangkapnya. Jadi, tidak heran kalau dia mampu mendengar sesuatu yang tidak dapat didengar orang lain, meskipun juga memiliki ilmu pembeda gerak dan suara.

"Kisanak, aku tidak bermaksud buruk padamu. Dan aku juga tidak mengganggumu jika kau tidak memiliki niat buruk pada kami," kata Rangga. Suaranya terdengar kecil, namun menggema ke segala penjuru. Rangga mengerahkan tenaga dalam yang sempurna sekali.

Tak ada sahutan sedikitpun. Keadaan di sekitar tempat itu tetap sunyi. Hanya desir angin yang menyahuti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Baiklah. Aku tahu di mana kau bersembunyi. Kalau kau tidak ingin menampakkan diri, aku juga tidak akan mengganggu tempat persembunyianmu," kata Rangga lagi.

Rangga menjentikkan jarinya, mengajak Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi mengikuti, dan berjalan di samping Rangga. Kedua pendekar muda itu terus melangkah biasa tanpa menoleh sedikitpun. Namun Rangga tahu kalau orang yang berlindung di balik batu besar itu tengah mengawasinya.

Pangeran Kandara Jaya baru keluar dari persembunyiannya setelah Rangga dan Pandan Wangi tidak terlihat lagi. Dia menatap arah dua pendekar tadi berlalu. Sama sekali tidak dikenalinya dua anak muda yang mungkin sebaya dengannya tadi. Tapi diakui, kalau yang laki-laki sungguh luar biasa ilmunya. Persembunyiannya dapat diketahui meskipun ia sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan pengatur pernapasan dengan sempurna sekali. Kandara Jaya mendesah panjang dan berat Untuk beberapa saat dia masih berdiri.

"Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya, jika orang itu salah seorang kelompok Puri Merah," gumam Kandara Jaya pelan.

"Dugaanmu salah, sobat!"

"Heh!" Kandara Jaya terkejut setengah mati. Begitu kagetnya, sehingga ia terlonjak dan langsung berbalik. Di atas batu tempatnya berlindung tadi, kini sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Kandara Jaya keheranan bukan main. Kehadiran pendekar itu tidak diketahuinya sama sekali. Tangannya bergerak perlahan menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang.

"Hup!"

Rangga melompat turun dan berdiri tegak sejauh satu batang tombak di depan Kandara Jaya. Bibirnya menyunggingkan senyum ramah penuh persahabatan. Kandara Jaya menggeser kakinya ke samping, saat Pandan Wangi muncul dari arah perginya tadi.

"Siapa kalian?" tanya Kandara Jaya.

"Aku Rangga, dan itu adikku, namanya Pandan Wangi. Cantik dan lembut, tapi sedikit nakal dan judes," Rangga memperkenalkan diri.

"Kakang!" Pandan Wangi mendelik.

"Siapakah Kisanak ini?" tanya Rangga tidak mempedulikan Pandan Wangi yang mendelik dengan wajah merah.

"Aku Kandara Jaya," katanya memperkenalkan diri.

"Apakah kau seorang pangeran?" selidik Pandan Wangi yang sudah menghampiri Rangga, dan berdiri di sampingnya.

"Bukan, aku hanya seorang pengembara biasa," sahut Kandara Jaya menyembunyikan identitas yang sebenarnya.

"Hm..., kelihatannya kau seorang putra raja. Atau paling tidak putra bangsawan yang kesasar," gumam Pandan Wangi. Pandangan matanya penuh selidik ke arah pakaian yang dikenakan Kandara Jaya.

Pangeran Kandara Jaya agak terperanjat juga dengan kata-kata Pandan Wangi. Penilaian gadis itu memang tepat. Tapi Kandara Jaya tidak ingin seorang pun tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Lebih-lebih pada orang asing yang belum dikenalnya sama sekali. Kandara Jaya harus selalu waspada pada siapa saja yang ditemui di Bukit Arang Lawu ini.

"Baiklah, aku bisa memaklumi kalau kau enggan menyebutkan siapa dirimu yang sebenarnya. Tapi, boleh kutahu, untuk apa kau berada di sini?" Rangga menyelak pembicaraan Pandan Wangi yang terus tidak percaya pada Kandara Jaya.

"Kalian juga mengapa berada di Bukit Arang Lawu ini?" Kandara Jaya malah balik bertanya.

"Aku sedang mengejar orang-orang berkuda yang membantai habis satu desa kemarin," jawab Rangga terus terang.

"Satu desa...!?" Kandara Jaya terlonjak kaget.

"Benar. Tampaknya kau kaget, mengapa?" selidik Pandan Wangi.

"Oh, tidak. Tidak apa-apa. Aku juga terkejut mendengar satu desa dibantai," sahut Kandara Jaya sedikit gugup.

Kandara Jaya jadi sedikit gelisah mendengar hal itu. Sedangkan sampai pagi tadi dia dan prajuritnya masih berkemah di lereng bukit ini. Rasanya sulit dipercaya kalau gerombolan Puri Merah bisa turun bukit dan membumihanguskan satu desa. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Mereka jalan dari mana? Atau ada kelompok lain? Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benak Kandara Jaya. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab.

Putra Mahkota Kerajaan Mandaraka itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi penuh selidik. Dia masih belum percaya kalau kedua orang muda itu bukan anggota gerombolan Puri Merah. Kandara Jaya memberikan beberapa pertanyaan yang dijawab Rangga dengan terus terang dan jujur. Semua pertanyaan Kandara Jaya menyangkut perihal pembantaian di desa yang telah diceritakan Rangga.

Mendengar jawaban-jawaban yang bernada jujur dan berterus terang, Kandara Jaya jadi bimbang juga. Lebih-lebih lagi melihat penampilan Rangga dan Pandan Wangi yang bersikap sopan dan penuh persahabatan. Gerombolan Puri Merah adalah orang-orang yang kejam dan berpenampilan sadis. Benarkah mereka bukan dari Puri Merah? Pertanyaan itu selalu menggelayut di benak Kandara Jaya.

********************

Pada saat itu Lawawi Girang dan Kitri Boga telah tiba di puncak Bukit Arang Lawu. Mereka hampir tidak percaya melihat puncak bukit bagaikan sebuah benteng dengan tembok-tembok dari batu alam membentuk lingkaran bagai cincin raksasa. Dinding batu alam itu dikelilingi padang rumput yang luas, bagai permadani terhampar. Satu pemandangan indah, tapi memiliki suasana yang mengandung misteri.

"Aku tidak yakin mereka bersarang di sini," kata Kitri Boga setengah bergumam.

"Hm...," Lawawi Girang hanya bergumam. Pandangan matanya terus berkeliling.

"Keadaannya sungguh sepi. Tidak ada tanda-tanda seorang pun pernah ke sini," Kitri Boga bersuara pelan.

"Tapi kita harus waspada. Suasana tenang belum tentu...," Lawawi Girang tidak melanjutkan kata-katanya.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja mereka telah dikepung tidak kurang dari sepuluh orang berjubah merah. Semuanya menghunus sebatang tombak bermata tiga. Dari ujung kepala sampai ujung kaki tertutup jubah merah. Hanya tangan dan sedikit wajah yang terlihat.

Lawawi Girang dan Kitri Boga terkejut bukan main. Kehadiran mereka sulit diketahui, dari mana, dan kapan. Tahu-tahu mereka sudah muncul, bagai muncul begitu saja dari dalam tanah.

Sret!

Lawawi Girang langsung menghunus pedangnya. Kitri Boga juga telah mengeluarkan pedangnya yang tergantung di punggung. Mereka berdiri saling beradu punggung. Sedangkan orang-orang berjubah merah itu, hanya berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun.

"Hati-hati, mereka pasti bukan manusia sembarangan," bisik Lawawi Girang.

"Ya," sahut Kitri Boga.

"Jangan beri. kesempatan. Bunuh, selagi mampu!"

Kitri Boga tidak sempat menyahut, karena tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras. Seketika itu juga sepuluh orang berjubah merah serentak membuat gerakan-gerakan dengan tombak bermata tiganya. Dan bagaikan dikomando saja mereka berlompatan, meluruk ke arah sasaran yang dikepungnya.

Kitri Boga dan Lawawi Girang saling beradu punggung untuk menghadapi orang-orang berjubah merah itu. Lawan-lawannya menyerang sangat cepat dan silih berganti Seperti dikomando saja, mereka berlompatan dan meluruk ke arah sasaran yang dikepungnya dengan sangat teratur!

Pertempuran tidak terhindarkan lagi. Orang-orang berjubah merah itu menyerang sangat cepat dan salingi bergantian. Dan kini mereka berhasil memisahkan, Lawawi Girang dan Kitri Boga, sehingga satu harus melawan lima orang. Lawawi Girang cemas juga karena terpisah dengan Kitri Boga.

"Awas...!" teriak Lawawi Girang ketika melihat salah seorang yang mengeroyok Kitri Boga melemparkan seutas tambang dari balik lengan bajunya yang besar.

Pada saat yang bersamaan Lawawi Girang jadi lengah, maka sebuah tendangan keras pun mendarat telak di dadanya. Lawawi Girang terpental ke belakang. Belum juga sempat mengatur posisi tubuhnya satu tusukan tombak bermata tiga mengarah tubuhnya. Lawawi Girang mengayunkan pedang, menangkis tombak yang mengarah dadanya.

Tring!

Lawawi Girang terkejut, karena pedangnya tersangkut pada ujung tombak yang bercabang tiga itu. Dan pada saat akan melepaskannya, mendadak orang yang memegang tombak itu menyentak dengan kuat.

"Akh!" Lawawi Girang terkejut Pedangnya terlepas.

Pada saat yang bersamaan, salah seorang melompat seraya memutar tombaknya dengan cepat. Lawawi Girang memekik keras ketika tombak menghantam kepalanya. Belum hilang rasa sakit di kepalanya, tiba-tiba ujung mata tombak meluncur deras dari arah depan.

Lawawi Girang tidak bisa mengelak lagi. Ujung tombak bermata tiga itu cepat menghunjam dadanya.

"Aaakh...!"

"Paman...!" teriak Kitri Boga melihat Lawawi Girang ambruk dengan dada koyak.

Kitri Boga lengah, pada saat itu pula satu pukulan telak bersarang di punggungnya. Pemuda itu pun tersuruk jatuh mencium tanah berumput. Belum lagi sempat berdiri, tiga orang berjubah merah melemparkan tambang ke arahnya. Kitri Boga tidak dapat lagi menghindar. Tiga tambang cepat membelit tubuhnya. Pedang perak murni kesayangannya, jatuh di tanah dekat kakinya.

Tiga orang berjubah yang memegangi tambang, secara bersamaan menyentakkan tambang itu. Dan bagai segumpal kapas dalam karung, tubuh Kitri Boga terangkat naik, langsung berdiri. Tiga orang itu berputar cepat mengelilingi Kitri Boga, sehingga tambang semakin rapat membelit tubuhnya. Kitri Boga benar-benar tidak berdaya lagi sekarang.

"Bawa dia! Yang Mulia akan senang menerima hadiah ini!" perintah salah seorang dari mereka yang berjubah merah.

Tiga orang langsung menghampiri dan menggotong tubuh Kitri Boga. Pemuda itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi sia-sia saja. Ikatan yang membelenggu seluruh tubuhnya begitu kuat.

Merasa tidak ada gunanya meronta-ronta, Kitri Boga diam dan pasrah. Matanya mengawasi jalan yang ditempuh gerombolan yang membawanya. Mereka menuju dinding batu yang menyerupai benteng itu.

Kitri Boga membeliak lebar, karena dinding batu yang besar dan kokoh itu bergeser mirip sebuah pintu gerbang. Orang-orang berjubah merah itu terus saja melangkah ke dalam. Dan dinding batu itu kembali bergerak menutup, mengeluarkan suara gemuruh bagai terjadi gempa. Dan suasana di sekitar pertempuran tadi menjadi sepi. Tidak ada yang bisa dilihat lagi, kecuali mayat Lawawi Girang saja yang tergeletak dengan dada koyak bersimbah darah.

********************

Siang itu matahari bersinar terik sekali. Sinarnya panas menyengat, menerobos jari-jari besi pada dinding batu yang berlubang, menghangatkan ruangan kecil. Ruangan itu hanya berisi sebuah dipan kayu yang terletak di pojok. Di atas dipan, Kitri Boga tergeletak tak sadarkan diri. Sinar matahari yang menghangati wajahnya, membuat pemuda itu menggelinjang.

Perlahan-lahan Kitri Boga mengerjap-ngerjapkan matanya. Kepalanya digeleng-gelengkan, berusaha menghilangkan rasa pening yang menyerang kepalanya. Kitri Boga langsung tersentak bangun dan terduduk.

"Oh! Di mana aku?" keluh Kitri Boga lirih.

Kitri Boga berusaha mengingat-ingat kejadian yang dialaminya. Sepasang bola matanya beredar memandangi ruangan yang kecil berdinding batu ini. Hanya ada satu pintu tertutup rapat dan jendela kecil berjeruji besi. Perlahan-lahan Kitri Boga mulai teringat kembali, apa yang telah terjadi pada dirinya.

Ya.... Dia sudah sampai di puncak Bukit Arang Lawu bersama Lawawi Girang. Dan mereka diserang sepuluh orang berjubah merah. Lawawi Girang tewas, dan dia diikat lalu dibawa ke markas mereka.

Sampai di situ Kitri Boga tidak ingat apa-apa lagi. Begitu dibawa masuk, salah seorang yang membawanya memukul bagian belakang kepalanya. Saat itu juga dia pingsan. Dan tahu-tahu sudah berada di kamar kecil bagai penjara ini. Kitri Boga kaget bukan main, karena semua senjatanya sudah lucut dari badan.

"Ah, apakah ini Puri Merah?" Kitri Boga bertanya-tanya dalam hati.

Kitri Boga beranjak turun dari dipan. Kakinya melangkah mendekati jendela kecil satu-satunya di ruangan ini. Lubang jendela itu pas dengan kepalanya. Tampak beberapa orang berpakaian serba merah memegangi tombak bercabang tiga pada ujungnya, tengah berjaga-jaga. Kitri Boga agak menyipit matanya melihat ada semacam kerangkeng besar berisi wanita-wanita muda.

Di sekitarnya terdapat beberapa orang berjubah merah. Tidak jauh dari situ, terdapat beberapa tonggak kayu terpancang. Disebelahnya ada altar batu besar. Kitri Boga tersentak ketika matanya beralih ke arah kiri. Di sana terdapat tumpukan tulang tengkorak manusia menggunung dari dalam lubang besar. Kembali matanya beralih pada kerangkeng berisi wanita-wanita muda, altar, serta beberapa tonggak kayu.

"Tempat apa sebenarnya ini?" tanya Kitri Boga berbisik.

Kitri Boga berbalik, bersandar pada dinding batu di bawah jendela kecil. Benaknya berputar memikirkan semua yang dilihatnya baru saja. Macam-macam pertanyaan berkecamuk di kepalanya, namun tidak satu pun yang terjawab. Matanya beralih memandang pintu ketika terdengar suara rantai dan kunci dibuka. Pintu besi itu perlahan-lahan terkuak mengeluarkan suara gaduh.

Tiga orang berjubah merah melangkah masuk ketika pintu itu terbuka penuh. Dua orang lagi hanya berdiri saja di samping pintu. Tiga orang itu mendekati Kitri Boga, yang dua serentak menempelkan ujung tombak ke tubuh pemuda itu.

"Ikut kami, dan jangan banyak tingkah!" kata orang yang berdiri di depan Kitri Boga.

"Ke mana?" tanya Kitri Boga.

"Jangan banyak tanya, ikut!" bentak orang itu seraya berbalik.

Kitri Boga terpaksa menurut, karena salah seorang mendorongnya dengan tekanan tombak. Kitri Boga mencoba melihat wajah-wajah orang berjubah merah yang menggiringnya, tapi hanya seraut bentuk hitam saja yang tampak. Seluruh kepala tertutup kain merah yang menyaru dengan jubah panjang mengurung seluruh tubuhnya.

Mereka membawa Kitri Boga melalui lorong yang panjang dan berliku. Lorong ini bagai sebuah goa, dengan beberapa obor sebagai penerangan yang menempel di dinding dalam jarak tertentu. Mereka terus berjalan menyusuri lorong. Beberapa pintu terdapat di samping kiri dan kanan lorong yang dijaga dua orang berjubah merah di tiap pintu. Kitri Boga yakin kalau pintu-pintu itu merupakan pintu kamar tahanan seperti yang tadi di tempatinya.

Tiga orang berjubah merah itu membawa Kitri Boga sampai di luar. Pemuda itu terus digiring ke arah beberapa tonggak kayu yang dilihatnya tadi dari ruang tahanan. Kitri Boga diikat pada salah satu tonggak. Pemuda itu melihat ke arah kerangkeng yang berisi beberapa perempuan muda. Perempuan-perempuan itu memandang lesu tanpa semangat hidup.

"Tunggu! Apa maksudmu membawaku ke sini?" cegah Kitri Boga ketika orang yang menggiringnya akan berlalu.

"Sudah kukatakan, diam! Hih!" Buk!
"Hugh!"

Kitri Boga sedikit merunduk ketika kepalan tangan orang itu masuk ke perutnya. Seketika saja perutnya terasa mual. Matanya jadi berkunang-kunang, dan penglihatannya kabur. Orang-orang berjubah merah itu terus saja berlalu meninggalkannya sendirian terikat pada tiang.

"Uh! Sial," dengus Kitri Boga. "Pasti Kakang Kandara Jaya sudah gelisah menantiku. Mudah-mudahan saja dia benar-benar menyusul ke sini."

Wajah Kitri Boga mulai berkeringat, sinar matahari begitu terik berada tepat di atas kepala. Tapak kakinya mulai terasa panas bagai berada di atas bara api. Di sekitarnya memang terdiri dari hamparan pasir dan batu-batu kerikil, sehingga udara di sekelilingnya begitu panas menyengat. Kitri Boga memejamkan matanya. Dia bersemadi berusaha untuk menyalurkan hawa murni, menahan sengatan matahari yang begitu terik dan panas.

"Heeeh, sampai kapan aku berada di sini...?"

********************

EMPAT

Hari berjalan terasa lambat. Kandara Jaya sudah yakin kalau Rangga dan Pandan Wangi bukan dari gerombolan Puri Merah. Bahkan dia tidak sungkan-sungkan lagi memberikan keterangan mengenai kelompok Puri Merah yang kabarnya bersarang di puncak Bukit Arang Lawu ini. Rangga sendiri menjelaskan kalau dirinya dan Pandan Wangi berada di bukit ini karena mengikuti jejak-jejak tapak kaki kuda.

"Jadi, jejak itu menghilang di tepi jurang?" tanya Kandara Jaya yang masih merahasiakan siapa dirinya yang sebenarnya.

"Benar. Aku berusaha untuk mengikuti jejak itu, tapi entah mengapa jadi kesasar sampai di sini," sahut Rangga.

"Pasti orang-orang Puri Merah yang menghancurkan desa itu," gumam Kandara Jaya.

"Aku tidak tahu pasti siapa yang melakukannya. Yang jelas keadaan desa itu sangat menyedihkan. Semua penduduk tewas, tidak ada seorang pun yang hidup," sambung Pandan Wangi.

"Mereka orang-orang yang kejam. Sudah lama aku berusaha untuk menghancurkannya," kata Kandara Jaya lagi.

Mereka terus berbicara saling tukar pikiran sambil berjalan. Tanpa terasa mereka sudah mencapai tepi jurang yang besar dan dalam. Kandara Jaya memeriksa jurang itu. Dia tertegun mendapati sulur yang bersambung-sambung, dan putus pada tengah-tengahnya. Dia jadi teringat pada Kitri Boga dan Lawawi Girang.

Di sekitar bibir jurang ini terdapat begitu banyak tapak kaki kuda. Begitu jelas tertera pada rerumputan yang basah. Jejak itu hilang dan berhenti di sini! Rasanya mustahil kalau kuda-kuda itu menuruni jurang! yang sangat terjal dan dalam. Hal inilah yang dipikirkan! Rangga.

Diam-diam Pandan Wangi memeriksa sekitar tepi jurang itu, dengan tidak lepas mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang begitu banyak. Gadis itu memeriksa sampai ke sebuah semak-semak yang tinggi dan rapat. Di sini jejak kaki kuda itu juga menghilang terputus. Dengan sebatang kayu, Pandan Wangi menyibakkan semal itu. Matanya membeliak lebar, karena di balik semak terdapat sebuah rongga. Agaknya seperti mulut goa.

"Kakang...!" Pandan Wangi berteriak memanggil.

"Ada apa?" tanya Rangga, langsung melompat menghampiri.

"Ada goa," sahut Pandan Wangi sambil terus menyibakkan semak-semak kering yang sepertinya sengaja untuk menutupi mulut goa ini.

Kandara Jaya juga segera menghampiri dan meneliti keadaan mulut goa yang kini telah tersibak lebar.

"Aku periksa sebentar," kata Rangga seraya melangkahkan kakinya memasuki goa itu.

Rangga berjalan perlahan-lahan dengan sikap waspada. Keadaan dalam goa ini tidak terlalu gelap karena masih ada sedikit cahaya yang masuk. Di dasar goa yang memanjang ini terdapat banyak jejak kaki kuda. Rangga terus berjalan mengikuti lorong goa yang panjang ini. Dan dia tertegun ketika melihat banyak kuda yang berkumpul pada sebuah ruangan luas dan terang.

Ruangan itu atasnya berlubang besar bagai kepundan gunung yang sangat besar. Tidak terdapat seorang pun di sini. Sulit menghitung berapa banyak kuda yang ada dalam ruangan ini. Rangga mengedarkan pandangannya. Semua dinding terbuat dari batu-batu kasar yang dibentuk oleh alam. Kelihatannya, hanya lorong ini satu-satunya yang ada.

Rangga segera kembali menemui Pandan Wangi dan Kandara Jaya yang menunggu di luar. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah cepat, sehingga tidak lama kemudian sudah berada di mulut goa ini.

"Bagaimana?" tanya Kandara Jaya tidak sabar.

"Tidak ada siapa-siapa di dalam. Goa ini buntu," sahut Rangga.

"Buntu...?!" Pandan Wangi sepertinya tidak percaya.

"Ya, buntu. Goa ini tempat menyimpan kuda-kuda."

"Apa...?!" Kandara Jaya terkejut.

"Ada puluhan ekor kuda di dalam sana, tapi tidak ada seorang pun yang terlihat," kembali Rangga menjelaskan.

"Mustahil! Lalu, ke mana orang-orang itu pergi?" gerutu Kandara Jaya.

Rangga tidak menyahut. Matanya menatap lurus ke tanah. Memang yang ada hanyalah tapak-tapak kaki kuda saja. Tapi... Mendadak dia tersentak, dan langsung jongkok. Tangannya meraba-raba rerumputan di sekitarnya. Rangga terus mengikuti jejak-jejak tipis kaki manusia yang berseling dengan jejak-jejak kaki kuda. Memang tipis sekali, sehingga sulit terlihat kalau tidak benar-benar teliti.

Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti sesampainya di tepi jurang yang besar dan dalam itu. Lagi-lagi dia menarik napas panjang dan berat. Semua jejak sepertinya terputus di bibir jurang ini. Pelan-pelan Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri. Pandan Wangi dan Kandara Jaya pun telah berada di sampingnya.

"Kau pernah bentrok dengan mereka?" tanya Rangga tanpa mengalihkan pandangannya ke puncak bukit yang berselimut kabut tebal.

"Pernah, beberapa kali," sahut Kandara Jaya.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Rangga lagi.

"Tingkat kepandaian mereka memang tinggi sekali. Tapi tidak semuanya. Ada juga yang lumayan, bahkan yang rendah pun ada," jelas Kandara Jaya.

"Kira-kira, berapa orang yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi?"

"Aku tidak tahu pasti. Tapi yang mengenakan jubah merah, rasanya yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Jumlah yang pasti aku tidak tahu."

"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas.

Pendekar Rajawali Sakti pandangannya beralih pada Pandan Wangi yang berdiri di samping kirinya. Kemudian pandangannya kembali beralih ke seberang jurang sana.

"Kau bisa melompati jurang ini, Pandan?" tanya Rangga.

"Mungkin," sahut Pandan Wangi ragu-ragu.

"Coba lakukan!"

"Apa...?! Gila! Kau ingin jadikan aku kelinci percobaan, ya?" gerutu Pandan Wangi gusar.

"Aku hanya ingin tahu saja. Dengan cara itu, kita bisa mengukur sampai di mana tingkat kepandaian yang mereka miliki," suara Rangga terdengar tenang.

"Biar aku saja!" sergah Kandara Jaya.

"Jangan!" cegah Rangga.

"Kenapa? Aku atau adikmu kan sama saja!"

"Maaf, bukannya aku tidak percaya dengan kemampuanmu. Tapi sebaiknya biar Pandan Wangi saja yang mencoba lebih dulu."

Pandan Wangi diam saja. Dia tidak ingin berdebat dengan Pendekar Rajawali Sakti ini. Cukup lama ia bersama Rangga, maka dia sudah tahu betul segala sifat dan tindakannya. Memang, kadang-kadang tindakan dan pemikiran Rangga sangat sulit dimengerti. Tapi Pandan Wangi merasa yakin kalau segala yang dikatakan Rangga, tentu sudah pula dipikirkan akibatnya. Pendekar muda itu tidak mungkin membiarkan Pandan Wangi mendapat celaka.

Tanpa banyak bicara lagi, Pandan Wangi segera memekik keras, dan tubuhnya melesat tinggi ke udara. Beberapa kali jungkir balik di udara untuk menambah ayunan lompatan, tapi Pandan Wangi belum juga sampai ke seberang. Tubuh gadis itu merasa meluruk menghunjam ke bawah.

"Hait..!" tiba-tiba saja Rangga menyentakkan tangannya ke arah tubuh Pandan Wangi yang siap dilumat dasar jurang.

Dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu meluncur deras seberkas sinar putih kebiru-biruan menyeberangi jurang. Sedangkan tubuh Pandan Wangi terus meluruk deras bagai tersedot mulut jurang.

"Kakang...!" jerit Pandan Wangi ngeri.

"Hiya...! Hiyaaa...!" Rangga menambah kekuatan dalam usahanya meluncurkan sinar agar mencapai tubuh Pandan Wangi. Tapi ujung sinar putih itu tidak juga mencapai tubuh Pandan Wangi yang terus meluruk semakin dalam ke jurang yang berkabut tebal. Terdengar jeritan menyayat dan menggema dari dalam jurang.

"Pandaaan...!" teriak Rangga keras.

Jeritan Pandan Wangi yang melengking tinggi, menghilang ketika tubuhnya ditelan kabut yang menutupi bagian dalam jurang itu. Rangga berteriak-teriak memanggil Pandan Wangi. Sedangkan tubuh gadis itu sudah lenyap ditelan jurang.

"Oh! Pandan...," rintih Rangga, lalu jatuh lemas berlutut.

"Rangga...," Kandara Jaya memegang pundak Rangga yang berlutut di bibir jurang.

Pelan-pelan kepala Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh menatap Kandara Jaya. Kemudian pandangannya kembali berpaling pada jurang di depannya. Keadaan di dalam jurang tetap gelap dan berkabut. Tidak terdengar lagi suara apa-apa di sana.

"Maafkan aku, Pandan. Aku tidak bermaksud mencelakakan dirimu," rintih Rangga lirih.

"Rangga...," pelan suara Kandara Jaya terdengar.

"Tidak! Dia tidak boleh mati! Aku..., aku mencintainya. Aku mencintai Pandan Wangi. Tidaaak...!" Rangga jadi histeris.

Kandara Jaya bingung akan sikap Rangga yang begitu histeris. Dia tidak mengerti maksud ucapan Rangga. Disangkanya Pandan Wangi benar-benar adik Rangga. Tapi kata-kata yang terucap dari mulut Rangga... Sepertinya Pandan Wangi adalah seorang kekasih yang sangat dicintai.

"Dengarkan aku, Pandan! Dengarkan... Aku mencintaimu, Pandan. Aku mencintaimu...!" keras sekali suara Rangga, hingga menggema ke seluruh penjuru.

"Rangga... tenanglah. Rangga..." Kandara Jaya berusaha menenangkan hari Rangga yang tengah dicambuk rasa penyesalan, karena telah meminta Pandan Wangi untuk melompati jurang ini.

Rangga berdiri tegak. Tampak dua bola matanya berkaca-kaca, menatap lurus ke puncak Bukit Arang Lawu. Perlahan-lahan dia menunduk memandang ke dalam jurang yang gelap tertutup kabut Pendekar Rajawali Sakti itu mendesah panjang merasakan pundaknya ditepuk.

"Aku ikut merasakan apa yang kau rasakan, saat ini," kata Kandara Jaya penuh perhatian.

"Yaaah...," Rangga mendesah panjang. Rasanya tidak ingin mengucapkan apa-apa lagi.

"Kau sudah berusaha menolongnya. Itu bukan kesalahanmu semata, Rangga," kembali Kandara Jaya berusaha menentramkan hari Pendekar Rajawali Sakti itu.

Lama Rangga meratap dan menyesali peristiwa itu... Rangga mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba mendengar suara yang sangat halus. Tampak di seberang jurang sana, berdiri sekitar sepuluh orang berjubah merah dengan tombak berujung tiga. Kandara Jaya juga terkejut saat melihat gerombolan itu yang telah berdiri di seberang jurang.

Yang membuat Rangga sangat terkejut adalah adanya seorang wanita mengenakan baju ketat warna biru tengah dipegangi kedua tangannya oleh dua orang dari gerombolan itu. Rambutnya yang hitam panjang bergelombang, terurai lepas menutupi wajahnya. Potongan tubuh dan baju yang dikenakannya sangat mirip dengan Pandan Wangi.

"Pandan...," desah Rangga lirih. 'Pandan...! Kaukah itu?" teriak Rangga disertai pengerahan tenaga dalam.

"Ha ha ha...!" salah seorang yang berjubah merah tertawa terbahak-bahak.

"Dia akan menjadi persembahan bagi dewa keabadian bangsa kami!" terdengar suara bergema.

Kandara Jaya celingukan mencari sumber suara. Sedangkan Rangga tetap memandang lurus ke seberang jurang. Sepertinya tengah memastikan kalau wanita yang terkulai lemas itu adalah Pandan Wangi.

"Berikan persembahan itu pada Sang Dewa Agung Keabadian!" terdengar lagi suara besar bergema.

"Kakang..., tolooong...!" terdengar suara teriakan seorang wanita.

Bersamaan dengan itu, dua orang yang tengah memegangi wanita itu, melangkah maju beberapa langkah. Kemudian wanita itu dilemparkannya ke dalam jurang yang lebar dan dalam. Suara jeritan melengking terdengar menyayat semakin melemah, bersamaan dengan meluncurnya tubuh wanita itu ditelan perut jurang.

"Pandan...," desah Rangga lirih. Suara wanita itu sangat mirip sekali dengan Pandan Wangi.

"Ha ha ha...!" terdengar suara tawa menggelegar.

"Biadab! Kejam, kubunuh kau!" geram Rangga.

Setelah menggeram beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti itu melenting tinggi ke udara menyeberangi jurang yang sangat lebar dan dalam. Kandara Jaya tidak dapat mencegah lagi. Rangga begitu cepat bergerak dan kini berjumpalitan di udara.

Saat posisi Rangga di tengah-tengah jurang, sepuluh orang berjubah merah itu segera menyentakkan tangannya dengan cepat. Ratusan benda kecil berwarna merah, meluncur deras ke arah Rangga.

"Awas, senjata rahasia...!" teriak Kandara Jaya memperingatkan.

"Hiyaaa...!" Rangga berteriak nyaring melengking. Tubuhnya berputaran cepat di udara, menghindari senjata-senjata rahasia berwarna merah yang menghujani dirinya. Senjata rahasia menyerupai bola-bola kecil, meluruk jatuh ke dalam jurang sebelum sampai ke seberang. Tidak ada satu pun yang berhasil menyentuh tubuh Rangga yang terus melenting mendekati bibir jurang seberang sana.

Kandara Jaya hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Sepuluh orang berjubah merah itu berlompatan bagai terbang menyongsong Rangga sebelum sampai ke tepi jurang, langsung menyerang dengan tombak bermata tiga.

Rangga segera mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dengan jurus ini, dia dapat leluasa bertarung di udara, bagaikan bertarung di permukaan tanah saja. Rangga agak terkejut juga, karena orang-orang berjubah merah itu dapat terbang seperti burung. Gerakan-gerakannya pun begitu cepat dan berbahaya. Pendekar Rajawali Sakti itu agak kewalahan juga menghadapi lawan-lawannya dalam pertarungan di udara, pada permukaan jurang yang siap menelan siapa saja.

"Aku tidak akan mungkin menandingi mereka tanpa senjata," dengus Rangga dalam hati.

Sret!

Cahaya biru berkilau langsung membias saat pedang Rajawali Sakti telah keluar dari warangkanya. Dengan pedang pusaka di tangan, Rangga bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa Sinar biru berkelebat memburu orang-orang berjubah merah. Beberapa kali pedang Rajawali Sakti berbenturan dengan tombak-tombak bermata tiga. Dan ini membuat Rangga jadi tersentak kaget. Sebab, belum pernah ada senjata yang utuh bila berbenturan dengan pedangnya! Tapi tombak di tangan orang-orang berjubah merah itu tidak berubah sedikit pun.

Jurus demi jurus segera berlalu dengan cepat, Rangga merasa semakin sulit bertarung di udara terus menerus. Beberapa kali dia harus meminjam tenaga saat senjatanya beradu, agar tetap berada di udara. Tapi cara itu dapat diketahui dengan cepat Orang-orang berjubah merah itu tidak ada yang membenturkan senjata lagi. Mereka seakan-akan sengaja menghindar, bahkan bertarung dengan menjaga jarak.

"Celaka! Aku bisa masuk jurang kalau begini terus," pikir Rangga.

Beberapa kali dia berusaha untuk keluar dari dalam pertarungan. Tapi usahanya selalu gagal. Orang-orang berjubah merah itu bagaikan telah membaca setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti ini. Bahkan dengan mudah bisa mematahkan serangan Rangga di tengah jalan.

"Suiiit...!" tiba-tiba Rangga bersiul nyaring. Orang-orang berjubah merah yang jumlahnya sepuluh orang itu serentak berlompatan ke tepi jurang, begitu mendengar siulan melengking dari mulut Rangga. Tepat ketika kaki mereka mendarat manis di tepi jurang, di angkasa terlihat satu benda berwarna coklat kehitaman melayang-layang, lalu menukik turun.

"Cepat! Aku sudah tidak kuat!" teriak Rangga ketika melihat burung rajawali raksasa itu.

Aneh! Sepuluh orang berjubah merah langsung melepaskan senjatanya dan berlutut Dengan tangan terentang ke atas, mereka bergerak membungkuk dan kembali tegak, bagaikan tengah menyembah dewa.

"He! Kenapa mereka jadi begitu?" Rangga keheranan tidak mengerti.

********************

Rangga memerintahkan burung rajawali raksasa untuk mendarat di seberang. Sepuluh orang berjubah merah itu terus saja menyembah-nyembah. Manis sekali Rangga melompat turun dari punggung rajawali raksasa itu. Dilangkahkan kakinya mendekati sepuluh orang yang tetap berlutut dengan telapak tangan menyentuh tanah.

"Siapa di antara kalian yang jadi pemimpin?" tanya Rangga.

Satu orang yang berada di tengah-tengah langsung bergerak maju. Sikapnya tetap berlutut dan membungkuk seraya mencium tanah beberapa kali. Hormat sekali.

"Siapa namamu?" tanya Rangga. "Ampunkan hamba. Ampunkan segala dosa-dosa bangsa hamba, Dewa Agung penguasa jagad raya," kata orang itu terus menyembah-nyembah.

"Aku tanya, siapa namamu?" Rangga mengulangi lagi pertanyaannya.

"Nama hamba Natrasoma. Dan mereka adalah para punggawa hamba, Gusti Dewa Agung."

"Hm...."

Rangga memalingkan muka ke arah seberang. Tampak Kandara Jaya masih berdiri mematung keheranan akan kejadian yang sama sekali belum pernah disaksikannya. Sepertinya tengah bermimpi saja saat ini. Sungguh mari, dia tadi nyaris pingsan ketika melihat seekor rajawali raksasa menukik menyambar Rangga. Kandara Jaya terperangah karena burung itu sangat jinak, bahkan mengerti perintah Rangga. Dan yang lebih mengherankan lagi, orang-orang berjubah merah itu langsung menyembah-nyembah. Sepertinya, Rangga dan rajawali raksasa itu adalah dewa sesembahan mereka.

"Rajawali, bawa Kandara Jaya ke sini!" kata Rangga.

"Khraaaghk!"

Maka sayap lebar burung raksasa itu pun terkepaklah. Dia melayang, dan cepat menyambar tubuh Kandara Jaya. Tentu saja pangeran muda itu menjerit-jerit ketakutan. Dia meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman cakar burung raksasa itu. Rangga hanya tersenyum melihat Kandara Jaya ketakutan setengah mati. Wajah pangeran muda itu kelihatan pucat, meski telah berada di samping Rangga.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya menepuk-nepuk kepala burung rajawali raksasa itu, lalu menciumnya lembut.

"Rangga...," Kandara Jaya beringsut ngeri melihat burung rajawali raksasa berada di dekatnya.

"Tidak apa-apa. Dia sahabatku yang terbaik," kata Rangga kalem.

Perhatian Rangga beralih pada sepuluh orang berjubah merah yang tetap berlutut di depannya. Matanya menatap tajam salah seorang yang berada paling depan. Orang yang mengaku bernama Natrasoma.

"Natrasoma, kuminta jawablah dengan jujur. Mengapa kau melakukan pembunuhan dan pengrusakan desa-desa di sekitar kaki bukit Arang Lawu ini?" tanya Rangga.

"Tunggu dulu!" potong Kandara Jaya cepat sebelum Natrasoma menjawab pertanyaan Rangga.

"Ada apa lagi, Kandara Jaya?" tanya Rangga.

"Aku ingin mereka membuka selubung yang menutupi wajahnya," sahut Kandara Jaya.

Kesepuluh orang itu mendongakkan kepala.

Tanpa diminta dua kali, mereka segera membuka selubung yang menutupi kepala dan wajah. Kandara Jaya dan Rangga terperangah begitu melihat wajah mereka yang rusak bagai mayat hidup. Daging dan kulit wajah terkelupas, sehingga menampakkan tulang-tulangnya.

Kandara Jaya bergidik menyaksikan keadaan yang mengerikan itu. Bahkan mereka juga tidak memiliki rambut. Kulit kepala pun terkelupas di beberapa tempat.

"Sudah, sudah! Tutup lagi!" kata Rangga tidak tahan melihat pemandangan yang mengerikan seperti itu.

Bagaimana tidak? Mereka itu lebih mirip mayat hidup! Sulit dimengerti. Dalam keadaan seperti itu, mereka masih mampu bertahan hidup. Pantas, mereka selalu mengenakan jubah panjang yang menutupi seluruh tubuh. Hanya tangan saja yang kelihatan utuh dan tidak cacat.

Dalam benak Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba muncul rencana setelah melihat keadaan sepuluh orang berjubah merah itu. Apa lagi melihat sikap mereka yang begitu ketakutan saat burung rajawali raksasa datang memenuhi panggilannya. Burung rajawali raksasa yang telah mengajarkan dan mendidik Rangga hingga menjadi seorang pendekar pilih tanding sampai saat ini.

********************

********************

Burung rajawali raksasa mengepakkan sayapnya, melambung tinggi ke angkasa. Rangga memandanginya hingga tidak terlihat lagi, lenyap di balik gumpalan mega. Sementara itu Kandara Jaya tetap berdiri di sampingnya. Pikirannya masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab, dan membuatnya masih terheran-heran.

Rangga melangkahkan kakinya mendekati bibir jurang. Dia berdiri tepat di tepi jurang yang menganga lebar. Pandangannya lurus menatap ke bawah yang gelap berselimut tebal. Rasa penyesalan kembali melanda hatinya. Entah bagaimana nasib Pandan Wangi di dalam jurang sana. Agak lama juga Rangga berdiri memandang ke dalam jurang. Sambil melepaskan napas panjang, dibalikkan rubuhnya.

"Natrasoma, ceritakan yang sebenarnya. Kenapa kau lemparkan wanita tadi ke dalam jurang?" tanya Rangga.

"Ampunkan hamba, Gusti Dewa Agung. Hamba terpaksa melakukannya. Seluruh bangsa hamba terancam musnah bila tidak menuruti kehendak Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana," sahut Natrasoma seraya membungkukkan badannya.

"Dewi Sri Tungga Buana? Siapa dia?" desak Kandara Jaya.

"Dewi yang memberi kami hidup abadi dan kedamaian di alam mayapada ini."

"Dengan mengorbankan gadis-gadis?" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gadis-gadis itu pilihan Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana. Mereka akan dijadikan dayang-dayang penghias istana kerajaan para dewa di kahyangan."

"Kenapa harus diceburkan ke dalam jurang ini?" tanya Kandara Jaya masih belum mengerti betul.

"Itulah jalan satu-satunya menuju istana dewa. Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana yang memerintahkan kami untuk menunjukkan jalan bagi gadis-gadis itu."

Kandara Jaya memandang Rangga dengan sinar mata tidak mengerti. Rangga mengayunkan kakinya mendekati Natrasoma yang berdiri paling depan di antara yang lainnya. Mereka berdiri dengan kepala tertunduk. Entah kenapa. Begitu melihat sinar biru terpancar dari pedang Rajawali Sakti, mereka langsung menyangka kalau Dewa Agung mereka datang. Lebih-lebih setelah kemunculan burung rajawali raksasa. Rangga yang menyadari salah pengertian ini, memanfaatkannya dengan baik, meskipun benaknya masih terus bertanya-tanya.

Bagaimana mungkin mereka menganggapnya dewa? Dia adalah manusia biasa. Sama dengan mereka. Tapi Rangga tidak ingin mempersoalkannya. Maka dimanfaatkannya kesempatan ini untuk menyingkap misteri yang terkandung di Bukit Arang Lawu ini.

"Natrasoma di antara rakyatmu ada yang wanita, bukan? Nah! Mengapa harus menculik gadis-gadis dari desa lain? Bahkan membunuh semua penduduknya. Apakah semua yang kau lakukan itu juga kehendak Dewi Sri Tungga Buana?" tanya Rangga mulai memancing.

"Benar, Gusti Dewa Agung," sahut Natrasoma seraya membungkuk.

"Lalu, siapa tadi yang kau ceburkan?" ada sedikit tekanan pada suara Rangga.

"Seorang gadis yang kesasar masuk wilayah kami. Dan Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana menginginkan segera dikorbankan."

"Gadis kesasar?" Rangga mengerutkan keningnya.

"Benar, Gusti Dewa Agung. Rakyatku menemukannya tengah hanyut di sungai. Di tubuhnya terdapat sebilah pedang dan kipas dari ba...."

"Setan! Kau bunuh Pandan Wangi, heh!" geram Rangga memotong kata-kata Natrasoma.

"Ampun, Gusti Dewa Agung. Kami hanya menjalankan perintah Dewi Sri Tungga Buana," suara Natrasoma terdengar bergetar.

Tubuhnya pun menggigil ketakutan. Rangga menjadi geram, dan memuncak kemarahannya. Tapi tiba-tiba saja dia tidak sampai hati ketika orang-orang berjubah merah di depannya menjatuhkan diri dan berlutut.

"Ah, Pandan... mengapa sampai dua kali kau jatuh ke jurang?" desah Rangga bergumam, penuh dengan ketidakmengertian.

"Hamba menerima salah, Gusti Dewa Agung. Kami semua siap menerima hukuman," kata Natrasoma bergetar.

"Bangunlah kalian semua," kata Rangga. Suaranya agung dan berwibawa.

Kandra Jaya sendiri sempat melongo mendengar suara Rangga begitu agung penuh kewibawaan. Hampir seharian saling berbicara dan saling mengenal, tapi baru kali ini Kandara Jaya mendengar suara yang begitu agung meluncur dari bibir Rangga. Kesepuluh orang berjubah merah beranjak bangkit berdiri. Kepala mereka masih tetap menunduk tertutup kain merah berbentuk kerucut.

"Kami semua siap menjalankan perintah dan menerima hukuman, Gusti Dewa Agung," kata Natrasoma. Suaranya masih terdengar bergetar bernada takut.

"Tidak ada gunanya menghukum kalian. Aku tahu kalian tidak bersalah dan ditekan oleh kekuatan iblis yang mengaku sebagai Dewi Sri Tungga Buana," kata Rangga penuh wibawa.

Tidak ada yang membuka suara. Suasana hening untuk beberapa saat. Rangga memandangi sepuluh orang yang berdiri membungkuk di depannya. Dari sinar matanya, terlihat kalau dia tengah berperang dengan batinnya sendiri. Rangga kini dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit dipecahkan.

Di satu pihak, dia sangat mencintai Pandan Wangi yang kini entah bagaimana nasibnya di dalam jurang sana. Rangga tidak bisa membohongi dirinya lagi. Dia benar-benar mencintai gadis itu. Tapi di pihak lain jiwa kependekarannya dituntut untuk menyelesaikan kemelut yang tengah dihadapinya. Dari jawaban dan keterangan yang diberikan Natrasoma, ada kesimpulan kalau orang-orang berjubah merah ini dalam keadaan tertekan suatu kekuatan iblis.

Jiwa kependekaran Rangga mengatakan kalau dia harus menolong orang-orang berjubah merah ini. Orang-orang yang disebut sebagai Kelompok Puri Merah. Rangga meminta mereka untuk membawanya ke puncak Bukit Arang Lawu. Tentu dengan senang hati mereka akan mengantar Rangga yang dianggap sebagai Dewa Agung. Dewa yang menurut kepercayaan mereka adalah raja dari segala dewa yang ada.

********************

"Inilah tempat tinggal kami. Kami namakan Puri Merah," kata Natrasoma.

Rangga memandangi bentuk-bentuk bangunan yang semuanya terbuat dari tumpukan batu. Di tengah-tengah bangunan itu terdapat sebuah puri kecil berwarna merah. Seluruh tempat ini dikelilingi tembok batu yang berbentuk seperti cincin raksasa melingkari puncak Bukit Arang Lawu. Kebanyakan orang yang ada di sini mengenakan jubah merah. Tapi ada juga yang mengenakan pakaian biasa. Rangga dan Kandara Jaya terus melangkah mengikuti Natrasoma menuju puri yang berwarna merah. Natrasoma berhenti di depan puri itu dan berlutut. Satu per satu orang berjubah merah yang ada menghampiri, dan mereka segera berlutut di depan puri merah itu.

Natrasoma kembali berdiri, lalu berbalik menghadap pada Rangga. Badannya membungkuk dengan tangan berada di dada.

"Ijinkan hamba berbicara, Gusti Dewa Agung," kata Natrasoma sopan.

"Silakan," sahut Rangga.

"Terima kasih."

Natrasoma melangkah dua tindak menghampiri Puri Merah lalu naik satu tangga puri itu. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling. Di sekitar Puri Merah itu sudah dipenuhi orang berjubah merah. Sedangkan yang mengenakan pakaian biasa berjaga-jaga dengan senjata terhunus.

"Saudara-saudaraku semua. Hari ini Gusti Dewa Agung berkenan mengunjungi kita semua. Saudara-saudara bisa lihat, siapa yang berdiri di tengah-tengah kita!" suara Natrasoma terdengar lantang dan berwibawa.

Suara-suara gumaman terdengar bagai lebah digebah sarangnya. Semua orang yang memakai jubah merah serentak menjatuhkan diri berlutut Rangga benar-benar tidak mengerti mengapa dirinya dianggap dewa! Dia adalah manusia biasa yang masih doyan makan, dan masih senang hidup di dunia.

"Bagaimana ini?" tanya Rangga pada Kandara Jaya.

"Aku sendiri tidak tahu. Mereka benar-benar menganggapmu dewa," sahut Kandara Jaya berbisik.

"Gila! Aku bukan dewa!" rungut Rangga, tapi pelan.

"Kau lihat Rangga...."

Rangga mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Kandara Jaya. Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut bukan main. Tepat pada bagian puncak puri, terdapat patung burung rajawali raksasa yang ditunggangi seorang laki-laki yang....

"Mustahil!" desah Rangga.

Patung itu hampir mirip dengan dirinya. Bentuk wajah, pakaian, dan pedang di punggung. Pendekar Rajawali Sakti semakin tidak mengerti. Sedangkan orang-orang berjubah merah di sekelilingnya mulai mengalunkan lagu-lagu persembahan yang tidak dimengerti sama sekali.

"Natrasoma!" panggil Rangga.

"Hamba, Gusti," sahut Natrasoma seraya menghampiri.

"Aku ingin bicara denganmu," kata Rangga setengah berbisik.

"Silakan Gusti Dewa Agung masuk ke dalam puri. Itulah tempat suci yang kami sediakan bagi dewa yang berkunjung ke sini."

"Terima kasih," ucap Rangga seraya melangkah menuju ke Puri Merah. "Kau ikut Kandara!"

Kandara Jaya segera mengikuti langkah Rangga yang didampingi Natrasoma. Sementara itu orangorang berjubah merah terus berlutut seraya mengalunkan nyanyian persembahan. Sedangkan orang-orang yang tampaknya dari kalangan rimba persilatan, hanya berdiri berkeliling dengan senjata terhunus.

Rangga, Kandara Jaya, dan Natrasoma menaiki anak-anak tangga Puri Merah. Natrasoma berhenti dan membungkukkan badan ketika tiba pada sebuah pintu yang tidak memiliki penutup. Rangga terus melangkah masuk diikuti Kandara Jaya. Natrasoma mengikuti dari belakang.

"Ck ck ck...," Rangga berdecak kagum melihat keadaan dalam puri yang begitu megah bagaikan berada di istana saja.

Kandara Jaya pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia anak seorang raja, tapi belum pernah meliha tata ruang yang begitu indah. Semua barang dan perabotan terbuat dari bahan emas dan perak murni. Lantainya beralaskan permadani tebal nan lembut, dan bercorak indah. Sekeliling dinding hingga atap, penuh dengan ukiran-ukiran yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi.

Terus terang saja, Rangga belum pernah memasuki tempat seindah ini. Sepertinya tempat yang diperuntukkan bagi para dewa. Seorang raja besar sekalipun, belum tentu memiliki ruangan seindah dan semewah ini. Rangga duduk di sebuah pembaringan beralaskan kain sutra berwarna merah muda yang halus dan lembut. Natrasoma duduk bersimpuh dekat kakinya. Sedangkan Kandara Jaya mengambil tempat di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Aku perhatikan, seperti ada dua kelompok di sini," kata Rangga memulai pembicaraannya.

"Bisa kau jelaskan, Natrasoma?"

"Benar, Gusti Dewa Agung. Orang-orang yang tidak mengenakan jubah merah adalah mereka yang dibawa Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana. Mereka para prajurit kahyangan yang sedang menyamar jadi manusia, seperti halnya Gusti," jawab Natrasoma dengan sikap hormat.

"Hm..., lalu di mana Dewi Sri Tungga Buana?" i tanya Rangga lagi.

"Yang Mulia biasanya datang pada saat bulan purnama, untuk menghadiri upacara persembahan tumbal seorang gadis perawan."

"Oh..., jadi kau culik gadis-gadis hanya untuk dijadikan tumbal?" celetuk Kandara Jaya.

"Benar, Gusti. Semua itu kami lakukan karena terpaksa. Kami tidak ada pilihan lain. Karena, kalau tumbal tidak diserahkan tepat pada waktunya, maka Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana akan memusnahkan kami semua."

"Dengan para prajurit kahyangannya?"

"Benar, Gusti. Prajurit-prajurit kahyangan itu selalu menjaga tempat kami. Yah..., memang nasib kami selalu buruk. Kami adalah orang-orang yang dibuang dan dikucilkan, karena bangsa kami telah dikutuk Dewa Keadilan. Kami telah memilih tempat yang terpencil, jauh dari jangkauan bangsa lain. Tapi rupanya masih ada juga yang tidak suka, seperti halnya Yang Mulia Dewi Sri Tungga Buana. Beliau memang tidak menyukai orang-orang seperti kami. Katanya, kami ini pembawa malapetaka bagi seluruh umat manusia."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menoleh pada Kandara Jaya yang juga tengah memandang kepadanya.

"Baiklah. Kau boleh pergi," kata Rangga.

"Hamba mohon diri, Gusti Dewa Agung," pamit Natrasoma.

"Ya, silakan."

"Tidak mungkin!"

********************

"Aku melihat sendiri, Nini Dewi! Orang yang datang bersama Natrasoma hampir sama dengan patung Dewa Agung mereka!"

"Dewa Agung mereka menunggang seekor rajawali raksasa. Bertahun-tahun telah kupelajari hal itu Aku tidak percaya adanya Dewa Agung!"

"Kalau tidak percaya, silakan Nini Dewi lihat sendiri. Dia ada di puri saat ini."

Wanita muda yang cantik berpakaian ketat serba merah itu berjalan mondar-mandir. Sedangkan laki-laki tua yang berdiri dekat pintu hanya memandangi saja. Wanita muda itulah yang menamakan dirinya Dewi Sri Tungga Buana. Sedangkan laki-laki tua itu bernama Ki Datapola.

"Bawa tawanan kemarin ke sini!" perintah Dewi Sri Tungga Buana.

"Untuk apa, Nini Dewi? Aku rasa kedatangan dua orang yang dianggap Dewa Agung itu, tidak ada hubungannya dengan tawanan kita," bantah Ki Datapola.

"Kurasa, malah sebaliknya, Ki Datapola. Kejadiannya begitu cepat dan berurutan. Sedangkan menurut laporanmu, para prajurit Kerajaan Mandaraka telah meninggalkan lereng bukit. Nah! Bukan tidak mustahil mereka menggunakan siasat baru, karena tidak mampu mengalahkan kekuatan kita!"

"Baiklah, akan kubawa tawanan itu ke sini."

"Secepatnya, Ki Datapola!"

"Baik, Nini Dewi."

Ki Datapola segera beranjak pergi dari ruangan yang seluruhnya berdinding batu. Pada keempat sudutnya terdapat pelita yang menyala besar menerangi seluruh ruangan yang ditata indah dan apik, dengan sentuhan lembut dan halus. Ruangan ini mirip dengan goa, tapi karena ditata sedemikian rupa sehingga kelihatannya bagai berada dalam kamar putri raja.

Sepeninggal Ki Datapola, Dewi Sri Tungga Buana membantingkan tubuhnya di atas pembaringan beralaskan kain sutra halus berwarna biru muda. Tampak sekali kekesalan tersirat di wajahnya yang putih halus nan cantik itu. Bibirnya yang selalu merah, bergerak-gerak bergetar. Hatinya sangat risau setelah mendengar laporan tentang kedatangan Rangga dan Kandara Jaya yang dianggap Dewa Agung oleh orang-orang Puri Merah.

Dewi Sri Tungga Buana memiringkan tubuhnya. Sebelah tangannya ditekuk untuk menopang kepala. Pada saat itu terdengar ketukan pintu di luar. Wanita itu mendongakkan kepalanya sedikit memandang ke arah pintu.

"Masuk!" serunya sedikit keras.

Pintu yang terbuat dari kayu jari tebal, perlahan-lahan terbuka. Tampak Ki Datapola melangkah masuk diiringi dua orang dengan pedang tergantung di pinggang mengiringi Kitri Boga. Kedua tangan anak muda putra Maha Patih Kerajaan Mandaraka itu terikat rantai besi. Kitri Boga didorong keras sehingga jatuh tersuruk. Dia lalu berlutut di depan pembaringan Dewi Sri Tungga Buana.

"Kalian semua keluar," kata Dewi Sri Tungga Buana tenang.

Ki Datapola menjentikkan jarinya, kemudian melangkah keluar diiringi dua orang bertubuh tegap yang mengiringi Kitri Boga tadi. Pintu kembali tertutup rapat. Dewi Sri Tungga Buana memandangi Kitri Boga dengan bola mata berputar. Tergetar juga harinya melihat ketampanan pemuda ini. Dewi Sri Tungga Buana beringsut bangun, dan duduk menjuntai di tepi pembaringan.

Matanya terus menatap wajah Kitri Boga yang juga membalas tatapannya. Hati Kitri Boga pun tergetar melihat kecantikan wanita di depannya. Darah mudanya segera menggelegak ketika melihat bukit putih menyembul bagai hendak keluar dari balik belahan baju yang rendah.

"Siapa namamu?" tanya Dewi Sri Tungga Buana Suaranya terdengar lembut menghanyutkan.

"Kitri Boga," jawab pemuda anak Maha Patih Kerajaan Mandaraka itu.

"Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?"

"Aku ditangkap orang-orang Puri Merah."

"Apa yang kau ketahui tentang Puri Merah?"

"Tidak banyak."

"Lalu, mengapa kau berada di Bukit Arang Lawu?"

"Tentunya kau sudah bisa menjawabnya sendiri, bukan?"

Dewi Sri Tungga Buana tersenyum manis. Dia berdiri dan mendekati pemuda itu. Kakinya terayun pelan dan halus mengelilingi Kitri Boga yang tetap saja duduk berlutut dengan kedua tangan dirantai. Dewi Sri Tungga Buana kembali berdiri di depannya. Jari tangan yang lentik halus, menunjuk ke pergelangan tangan yang terbelenggu rantai.

Sinar merah meluncur dari jari tangan yang menunjuk itu. Kitri Boga terkejut, tapi sinar merah itu telah menyambar rantai. Mata anak muda itu membelalak lebar ketika rantai yang membelenggu tangannya terlepas tanpa melukai kulit tangannya.

"Kau masih muda, tampan, dan gagah. Sayang sekali kalau kau harus mati di sini," kata Dewi Sri Tungga Buana tetap lembut suaranya.

"Katakan terus terang, apa maumu?" tanya Kitri Boga.

"Berdirilah."

Kitri Boga bangkit berdiri. Kini mereka saling berhadapan. Dewi Sri Tungga Buana mendekat, lalu kedua tangannya menjulur ke depan. Kitri Boga jadi gelagapan saat Dewi Sri Tungga Buana melingkarkan tangannya di leher pemuda itu. Belum juga bisa berpikir jauh, Dewi Sri Tungga Buana telah menyumpal mulut Kitri Boga dengan bibirnya.

Seketika itu juga detak jantung Kitri Boga menjadi tidak beraturan kerjanya. Seluruh aliran darahnya mengalir cepat. Pagutan Dewi Sri Tungga Buana begitu hangat dan menghanyutkan, membuat Kitri Boga tidak mampu lagi berpikir jernih. Kesadaran pemuda itu mendadak hilang. Dan kini telah berganti dengan sesuatu yang sulit dipercaya.

Kitri Boga membalas pagutan wanita itu dengan tidak kalah hangatnya. Bahkan kini dipeluknya dengan erat wanita yang menghanyutkan itu. Kitri Boga benar benar lupa kalau dirinya adalah tawanan. Padahal, wanita itu musuhnya yang harus ditumpas. Pemuda itu tidak sadar kalau ciuman Dewi Sri Tungga Buana mengandung kekuatan magis yang dapat membuat lupa akan dirinya sendiri.

"Ah, sabar.... Sabar, Anak Bagus...," desah Dewi Sri Tungga Buana seraya melepaskan diri dari pelukan.

Dewi Sri Tungga Buana melangkah mundur, dan menjatuhkan diri di pembaringan. Kitri Boga yang telah terkena ajian ampuh wanita itu langsung memburu dan menubruk Dewi Sri Tungga Buana.

Wanita itu memekik lirih, dan mendesah halus saat merasakan kehangatan ciuman-ciuman Kitri Boga yang memburu. Satu persatu pakaian yang melekat di tubuh mereka melorot ke lantai yang beralaskan permadani indah. Dewi Sri Tungga Buana menggelinjang sambil merintih lirih di bawah himpitan tubuh tegap Kitri Boga. Tak terdengar lagi kata-kata yang terucapkan. Semua berganti dengan desahan dan rintihan yang membangkitkan gairah.

"Oh, ah...!" Dewi Sri Tungga Buana mengerang.

Keringat mulai membanjiri dua tubuh yang menyatu rapat. Tubuh Dewi Sri Tungga Buana menggeliat-geliat mengikuti irama gerakan tubuh Kitri Boga yang berada di atasnya. Pemuda itu benar-benar lupa akan dirinya sendiri. Seluruh syarafnya telah dirasuki nafsu yang begitu cepat datangnya sehingga tanpa terkendalikan lagi.

"Oookh...!" Dewi Sri Tungga Buana mendesah panjang.

Pada saat itu pula tubuh Kitri Boga mengejang dengan mata membeliak lebar. Ketika persendiannya mulai lemas, tubuh Kitri Boga jatuh menggelimpang di samping Dewi Sri Tungga Buana dengan napas memburu kencang. Perlahan-lahan Kitri Boga memejamkan matanya. Dewi Sri Tungga Buana tersenyum penuh kepuasan. Tangannya menarik kain yang teronggok di bawah kakinya.

Kemudian ditutupi tubuhnya dan tubuh Kitri Boga. Dengan sikap manja, wanita cantik bertubuh menggairahkan itu meletakkan kepalanya di dada Kitri Boga yang bersimbah keringat.

"Kau hebat sekali, anak muda," desah Dewi Sri Tungga Buana berbisik.

********************

ENAM

"Sejak tadi, kau melamun terus. Ada yang dipikirkan?" tegur Rangga seraya duduk di samping Kandara Jaya.

"Yaaah...," desah Kandara Jaya panjang.

"Boleh kutahu?"

"Seharian aku mencari kabar tentang Adi Kitri Boga dan Lawawi Girang...." Kandara Jaya menghentikan ceritanya. Dipandangnya Rangga yang duduk di sampingnya.

"Siapa mereka?" tanya Rangga.

"Mungkin sudah saatnya aku berterus terang padamu," kata Kandara Jaya seraya mendesah panjang.

"Sudah kuduga kalau kau menyembunyikan sesuatu. Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."

"Sebenarnya aku seorang putra mahkota yang ditugaskan untuk menghancurkan kelompok Puri Merah...," Kandara Jaya mulai menceritakan semuanya.

Rangga mendengarkan penuh perhatian. Memang sudah diduga sejak semula kalau Kandara Jaya ini seorang putra raja, atau paling tidak seorang putra bangsawan. Rangga tidak terkejut lagi mendengarnya. Sikapnya biasa-biasa saja. Baginya semua manusia di dunia ini sama, hanya kedudukan dan martabat saja yang membedakannya.

"Beberapa kali prajuritku kalah dalam pertempuran. Atas kemauannya sendiri, Punggawa Lawawi Girang dan Adi Kitri Boga menyelidiki ke puncak Bukit Arang Lawu ini. Aku mengijinkannya dan hanya memberi waktu tiga hari. Tapi telah lewat satu pekan, mereka belum juga ada kabar beritanya," lanjut Kandara Jaya.

"Aku kagum dengan rasa tanggung jawabmu, Kandara Jaya." puji Rangga tulus.

Meskipun telah tahu siapa sesungguhnya Kandara Jaya, tapi tetap saja Rangga memperlakukannya seperti teman.

"Terima kasih," ucap Kandara Jaya.

"Pernahkah kau berpikir, kalau dua utusanmu tidak akan pernah sampai ke sini," Rangga menduga-duga.

"Pernah, yaitu setelah tiba di jurang besar itu," jawab Kandara Jaya mendesah.

Rangga diam tertunduk. Dia jadi teringat dengan Pandan Wangi. Rasa penyesalan kembali membelenggu htrinya. Kalau saja dia tidak meminta Pandan Wangi melompati jurang itu, mungkin sampai sekarang gadis itu masih bersamanya.

"Pandan..., seharusnya kau tahu kalau aku mencintaimu," bisik Rangga dalam hati.

"Rangga...."

"Oh!" Rangga tersentak dari lamunannya.

"Aku juga sedih dengan hilangnya adikmu," kata Kandara Jaya.

"Ah, sudahlah. Itu sudah menjadi resiko seorang pendekar," Rangga berusaha tersenyum. Dia tidak ingin Kandara Jaya mengetahui perasaannya yang sebenarnya. Bibirnya memang tersenyum, tapi hatinya menangis kehilangan Pandan Wangi.

"Kita sama-sama kehilangan. Kau kehilangan seorang adik, dan aku juga kehilangan orang yang seharusnya kulindungi dan kujaga keselamatannya," kata Kandara Jaya lagi.

"Sebaiknya kita lupakan saja persoalan pribadi. Yang penting sekarang, pikirkan cara yang terbaik untuk menghadapi Dewi Sri Tungga Buana," Rangga mencoba menghilangkan segala perasaan yang menyelimuti.

"Benar, aku sendiri punya tugas yang belum kuselesaikan," sambut Kandara Jaya.

"Oh, ya ada yang ingin kukatakan padamu. Tadi aku menemukan mayat laki-laki mengenakan pakaian keprajuritan. Di sampingnya tergeletak pedang perak Dia kutemukan di luar benteng Puri Merah ini," kata Rangga.

"Apakah pedang itu ada batu merah di tangkainya?" tebak Kandara Jaya.

"Benar," sahut Rangga.
"Ada tanda khusus lagi?"

"Aku tidak tahu. Tapi di wajahnya ada guratan seperti bekas luka."

"Paman Lawawi Girang...," desah Kandara Jaya bergumam.

"Dia salah seorang punggawa?"

"Ya, tidak salah lagi. Dia pasti Paman Lawawi Girang!"

"Kau bilang dua orang, bukan?"

"Benar. Berarti mereka telah berhasil mencapai puncak bukit ini. Hm..., di mana Kitri Boga?"

"Ada dua kemungkinan. Pertama dia berhasil melarikan diri, dan yang kedua menjadi tawanan."

"Kalau dia menjadi tawanan, tentu Natrasoma mengatakannya padaku. Tapi katanya, dia tidak menawan laki-laki seorang pun. Memang diakui, kalau banyak tawanan wanita muda yang semuanya masih gadis. Tapi dia sudah berjanji akan membebaskan semuanya kalau kita berhasil mengusir Dewi Sri Tungga Buana bersama pengikutnya."

"Kalau begitu sudah jelas. Kedua orangmu tidak bertemu dengan orang-orang Puri Merah, tapi bertemu dengan orang-orang Dewi Sri Tungga Buana. Aku yakin kalau Kitri Boga menjadi tawanan mereka sekarang."

"Aku harus segera membebaskannya, Rangga!"

"Jangan terlalu gegabah! Kita harus cari jalan yang tepat. Yang akan kita hadapi bukanlah orang-orang berilmu rendah. Kita menghadapi manusia setengah iblis!"

Kandara Jaya terdiam lagi. Memang benar apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Mustahil Dewi Sri Tungga Buana bisa memperdayai orang-orang Puri Merah kalau tidak memiliki kekuatan di atas mereka, yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Rangga dan Kandara Jaya sama-sama terdiam.

Kepala mereka dipenuhi berbagai macam rencana untuk menghadapi gerombolan Dewi Sri Tungga Buana. Mereka memang harus menghadapinya berdua saja, karena orang-orang Puri Merah tidak ada yang bersedia membantu menghadapi salah seorang dewa mereka. Bagaimanapun juga, sulit bagi Rangga dan Kandara Jaya meyakinkan mereka. Jelas kalau Dewi Sri Tungga Buana itu manusia biasa. Bukan dewa! Tapi orang-orang Puri Merah begitu kuat kepercayaannya terhadap dewa yang mereka sembah.

"Aku ada rencana, Rangga!" tiba-tiba Kandara Jaya membuka suara.

"Apa?" tanya Rangga.

"Kau sudah dianggap sebagai Dewa Agung mereka, raja dari segala dewa-dewa yang mereka sembah. Aku yakin kau punya kemampuan untuk mengubah kepercayaan mereka, kalau Dewi Sri Tungga Buana bukanlah dewa!"

"Aku tidak mengerti maksudmu...?"

"Begini..."

********************

Malam telah sejak tadi merayap menyelimuti mayapada. Bulan bersinar hampir penuh merambah kegelapan malam. Langit tampak cerah, tanpa sedikit pun awan menggantung. Hanya kabut tipis yang berarak terbawa angin. Dalam siraman cahaya bulan dan gemerlapnya bintang, tampak Rangga berdiri mematung di tangga puri. Pandangannya lurus menatap patung yang berada di puncak Puri Merah ini.

Dalam hati Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi tanda tanya dengan adanya patung yang wajahnya hampir sama dengan dirinya. Seakan-akan Rangga tengah memandangi dirinya sendiri yang tengah menunggang burung rajawali raksasa. Bibirnya menyunggingkan senyum, dan kepalanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Dia baru sadar kalau patung yang wajahnya hampir sama dengan dirinya itu adalah gurunya yang hidup seratus tahun yang lalu, dan pernah menampakkan dirinya untuk merestui Rangga melanjutkan kependekarannya. Mungkin pada waktu dulu gurunya pernah singgah di sini dan sangat dihormati, sehingga dibuatkan patungnya.

"Hm..., aku tidak melihat orang-orang yang tidak berjubah merah di sini," bisik Rangga dalam hari.

Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun yang terlihat, selain orang-orang berjubah merah yang berjalan hilir-mudik dengan kesibukannya masing-masing.

"Ke mana mereka...?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.

Pertanyaan itu membuahkan rasa ingin tahu dirinya. Kakinya mulai melangkah menuruni tangga Puri Merah ini. Tatapan matanya tetap beredar ke sekeliling. Beberapa orang berjubah merah yang melihat, langsung berlutut. Risih juga diperlakukan seperti itu.

"Di mana aku bisa menemui Natrasoma?" tanya Rangga pada salah seorang yang berlutut tepat di depannya.

"Tuanku Natrasoma tengah tidak ada di tempat, Gusti Dewa Agung," jawab orang itu. "Ke mana?"

"Menunaikan tugas bersama sembilan pengawal pribadinya."

"Tugas apa?"

"Mencari gadis perawan untuk korban esok malam."

"Lalu, orang-orang yang...."

"Mereka juga pergi, Rangga!"

Rangga menoleh. Ternyata Kandara Jaya yang menjawab sambi! menghampiri dengan langkah lebar.

"Dari mana saja kau?" tanya Rangga.

"Aku membuntuti mereka," sahut Kandara Jaya.

Rangga menarik tangan Kandara Jaya, dan mengajaknya menjauhi orang-orang berjubah merah yang masih berlutut di sekitar mereka. Rangga baru berhenti setelah mendapat tempat yang cukup sepi dan terlindung di balik tembok.

"Aku tahu, kau pasti ingin mendengar hasil pekerjaanku," kata Kandara Jaya langsung menebak.

"Katakan," desak Rangga.

"Mereka menuju ke luar Bukit Arang Lawu sebelah Selatan. Tapi aku terpaksa tidak bisa membuntuti mereka terus. Masalahnya, aku terhadang jurang pemisah yang tidak mungkin kulalui," tutur Kandara Jaya.

"Lalu, bagaimana mereka melintasi jurang itu?" desak Rangga tidak sabar.

"Sepuluh orang berjubah merah membagi tugas. Lima orang menyeberang lebih dulu sambil membawa tambang. Lalu, lima orang lainnya menunggu dengan tambang pada ujungnya. Dengan tambang itu mereka menyeberangi jurang."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang, sepuluh orang berjubah merah itu mampu melayang bagaikan terbang. Tidak sulit bagi mereka menyeberangi jurang lebar itu. Tapi dengan satu tambang terentang. Ini menunjukkan kalau anak buah Dewi Sri Tungga Buana memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

Memang, berjalan di tambang bagi kalangan pendekar tidak lagi aneh. Tapi untuk orang sebanyak itu...? Rangga harus berpikir keras untuk mengukur tingkat kepandaian yang mereka miliki. Padahal jelas kalau mereka hanyalah manusia biasa yang juga memiliki keterbatasan.

"Pasti ada yang mereka inginkan dari Puri Merah ini...," gumam Rangga pelan.

"Aku sudah menduganya begitu, Rangga. Mustahil Dewi Sri Tungga Buana dan anak buahnya menguasai puri ini tanpa tujuan yang pasti," sahut Kandara Jaya membenarkan.

"Kita harus selidiki dan harus menghentikan semuanya!" tekad Rangga.

"Itu sudah pasti, Rangga. Hanya saja kita harus kerja berdua tanpa dapat minta bantuan. Orang-orang Puri Merah tidak ada yang bersedia membantu kita. Mereka tampaknya takut setiap kali kutanya tentang Dewi Sri Tungga Buana," kata Kandara Jaya.

"Ya, aku tahu itu. Mereka seperti mendapat tekanan dan ancaman. Justru itulah yang harus kita ketahui secepatnya, dan jangan sampai berlarut-larut."

"Aku akan selidiki lorong penjara bawah tanah," kata Kandara Jaya lagi.

"Kapan kau kerjakan?"

"Sekarang juga. Dan kau...?"

"Mencari tempat persembunyian Dewi Sri Tungga Buana. Aku yakin tidak jauh dari sini."

"Kalau begitu, kita berpisah di sini. Ingat, Rangga. Rencana yang kuusulkan harus berjalan besok!"

"Beres!"

Rangga menepuk pundak Kandara Jaya sebelum pangeran muda itu berlalu. Kemudian dia sendiri bergerak mengelilingi dinding batu yang menyerupai benteng ini. Setiap langkah, selalu diperhatikannya dengan seksama. Rangga juga memeriksa setiap bangunan batu yang ada. Hal itu dilakukan dengan hati-hati agar tidak seorang pun yang melihat dan mencurigainya.

"Semua tempat ini sudah kuselidiki. Aku harus keluar dari benteng ini," gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat tinggi melewati dinding batu yang mengelilingi Puri Merah itu. Dua kali berputar di udara, kemudian dengan manis sekali kakinya menjejak tanah berumput di luar benteng batu. Sebentar Rangga mengamati sekitarnya yang gelap. Hanya cahaya bulan saja yang menerangi dengan sinarnya yang redup.

Rangga berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengelilingi tembok batu. Sebentar saja dia telah kembali ke tempat semula. Tidak ada penemuan yang berarti di sekitar tembok batu ini. Juga tidak ada seorang penjaga pun yang dijumpainya. Mungkin semua orang yang tidak berjubah merah pergi turun bukit.

Tiba-tiba Rangga tersentak kaget ketika matanya yang tajam melihat sesuatu berkelebat cepat ke arah Utara. Segera saja Pendekar Rajawali Sakti itu mengeropos tubuh untuk mengejarnya. Karena ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai tahap kesempurnaan, maka tidak sulit baginya untuk mengejar bayangan itu. Dalam waktu singkat saja, dia telah mampu mendekati sosok bayangan hitam itu.

"Hey!"

Rangga mendadak terkejut ketika tiba-tiba saja bayangan hitam itu berbalik cepat. Tampak beberapa benda bulat kecil berwarna merah meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat Rangga melompat tinggi ke udara, langsung meluruk ke arah bayangan hitam yang belum sempat melarikan diri setelah melemparkan senjata rahasia.

Kelihatannya dia juga terkejut, karena senjata rahasia yang dilontarkan dengan mudah dapat dihindari. Bahkan kini Rangga meluruk ke arahnya. Kembali orang itu melemparkan senjata rahasianya.

"Uts, hiyaaa...!"

Rangga segera mengebutkan tangannya dengan cepat. Kebutan yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna itu, membuat senjata rahasia yang mengarah ke tubuhnya berbalik arah.

"Setan! Hih!" orang itu jumpalitan menghindari senjata rahasianya sendiri yang berbalik menyerangnya.

Saat itu pula Rangga dengan cepat melontarkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dari jarak jauh.

Cahaya merah langsung meluncur dari telapak tangan Rangga. Begitu cepatnya, sehingga orang itu tidak mampu lagi mengelak. Belum hilang rasa terkejutnya dengan senjata rahasia yang berbalik menyerang dirinya, kini ditambah lagi dengan sinar merah yang datang begitu cepat dan mendadak.

"Aaakh...!" orang itu menjerit keras ketika sinar merah yang dilepaskan Rangga menghantam tubuhnya.

"Hiyaaa...!"

Bret!

Rangga segera melompat dan menjambret penutup kepala orang itu.

"Oh!"

Betapa terkejutnya Rangga saat melihat wajah yang tidak memiliki daging sama sekali. Wajah itu berbentuk tengkorak, dengan mata dan hidung bolong. Rangga melompat mundur dua tindak. Dan pada saat itu mendadak...

Wut!

Sebatang tombak panjang bermata tiga meluncur deras, dan menancap telak di dada orang berwajah tengkorak itu. Suara jeritan melengking terdengar, disusul dengan ambruknya tubuh orang itu ke tanah. Rangga kaget bukan main. Selintas dia melihat sebuah bayangan hitam yang lain melesat dengan cepat.

"Gila! Hih!

Rangga segera melompat kencang mengejar bayangan hitam lain yang diduga dialah yang melepaskan tombak tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu merasa penasaran, lalu dikemposnya seluruh kekuatan tenaga dalam untuk mengejar bayangan hitam tadi. Dengan satu lentingan di udara, dia berhasil menyusulnya.

"Mau lari ke mana, kau!" bentak Rangga begitu kakinya menjejak tanah di depan orang berbaju hitam. Persis dengan orang yang pertama tadi.

"Suiiit...!" tiba-tiba saja orang itu bersiul nyaring.

"Gila! Apa ini...?!" dengus Rangga menggeram. Tiba-tiba saja dari balik semak dan pepohonan muncul beberapa orang berpakaian hitam ketat. Seluruh kepala dan wajahnya juga berselubung kain hitam. Rangga menghitung dalam hati. Ada tujuh orang. Semuanya jadi delapan dengan orang yang tadi dicegatnya.

"Bunuh dewa gadungan itu!" terdengar suara memerintah.

"Hiyaaa...!" "Hiyaaa...!"

Tujuh orang yang baru saja bermunculan langsung berlompatan menyerang Rangga tanpa banyak bicara lagi. Semuanya menggenggam tombak bermata tiga. Mau tidak mau Rangga melayaninya, tapi hanya dengan jurus-jurus biasa saja. Hitung-hitung sambil mengukur sampai di mana tingkat kepandaian para pengeroyoknya ini.

Rangga pun tersenyum setelah lewat lima jurus. Langsung saja dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya terpentang lebar ke samping. Kakinya bergerak lincah membuat para pengeroyoknya kebingungan. Pada saat itulah kedua tangan Rangga bekerja sangat cepat. Begitu cepatnya sehingga sulit untuk dilihat.

Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul. Kemudian disusul dengan tersungkurnya satu persatu para pengeroyoknya. Rangga berdiri tegak sekitar satu tombak jaraknya di depan orang yang dicegatnya tadi. Dua bola matanya tajam menatap wajah yang tertutup kain hitam.

"Sekarang giliranmu, muka setan!" dengus Rangga menggeram.

"Phuih! Jangan bangga dulu, dewa gadungan! Mereka memang bukan lawanmu!" tantang orang itu, juga menggeram.

"Suaramu seperti wanita. Buka topengmu! Aku i ingin lihat seperti apa tampangmu!" Rangga sedikit menyipitkan matanya.

"Tidak semudah itu!"

"Baik. Tidak sulit memaksamu membuka kedok."

"Silakan. Tanganku pun telah gatal ingin merobek mulutmu!"

Setelah berkata demikian, orang yang memilki suara wanita itu segera bergerak menyerang dengan jurus-jurus pendek tangan kosong. Rangga melayaninya dengan memusatkan perhatiannya pada gerakan-gerakan lawannya. Beberapa kali tangan Rangga hampir membuka kedok orang itu, tapi dengan gesit sekali orang itu mampu mengelakkan tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Merasa lawannya sangat licin dan lincah, Rangga segera membuka jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sekarang, diarahkanlah tangannya ke wajah lawan. Dengan jurus itu Rangga bisa mendesak lebih hebat lagi.

"Awas kaki...!" teriak Rangga tiba-tiba.

Seketika itu juga dia merunduk seraya mengibaskan tangannya menyambar kaki. Orang itu pun segera melompat cepat disertai tendangan balasan yang juga cepat. Dan pada saat yang tepat, Rangga memutar tubuhnya, langsung melenting ke udara.

"Ih!" orang itu terkejut.
Tapi...
Bret!
"Auh!"

Cepat sekali tangan Rangga menyambar kain penutup kepala lawannya sambil menukik tajam. Rangga menjejakkan kakinya dengan manis di tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu begitu kaget ketika wajah lawannya.

"Kau...?!"

********************

TUJUH

Rangga hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Rasanya seperti mimpi saja. Beberapa kali digosok-gosok matanya, tapi orang yang berada di depannya ini.... Tidak! Dia tidak mimpi! Ini kenyataan yang benar-benar sedang dihadapinya saat ini.

"Kau... Kau Pandan?" masih terdengar ragu-ragu suara Rangga kedengarannya.

"Iya, aku Pandan Wangi. Memangnya siapa?" lembut sekali suara wanita itu.

Rangga mencoba untuk menegaskan kembali penglihatannya dalam keremangan cahaya bulan. Wanita yang berdiri di depannya benar-benar Pandan Wangi. Gadis manis, kenes, dan nakal yang selama ini selalu bersama-sama dengannya. Gadis yang tanpa disadari telah dicintainya.

Benarkah dia Pandan Wangi? Bukankah gadis itu sudah terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam? Rasanya sulit untuk dipercaya kalau Pandan Wangi masih hidup sampai saat ini. Bahkan Rangga sudah menganggapnya mati di dalam jurang sana. Tapi...

"Kenapa bengong?" tegur Pandan Wangi. Bibirnya tersenyum merekah.

"Oh! Aku..., aku...," Rangga tergagap.

"Kau masih hidup?"

"Yang Maha Kuasa belum menginginkan aku mati, Kakang," sahut Pandan Wangi.

"Tapi...."

"Kau heran? Aku memang jatuh ke dalam jurang. Tapi aku berhasil meraih sebatang akar yang menonjol, dan merayap naik ke tepi. Aku tidak menyalahkanmu kalau menganggap aku sudah mati, Kakang. Jurang itu sangat dalam. Bahkan sepertinya tidak mempunyai dasar. Aku sendiri tidak tahu, mengapa masih bisa hidup sampai sekarang," kata Pandan Wangi.

"Lalu, kenapa kau jadi..."

"Ha ha ha...! Ini hanya penyamaranku saja. Aku ingin tahu, ada apa di balik misteri Puri Merah. Maaf, Kakang. Aku terpaksa seolah-olah memusuhimu. Ini kulakukan semata-mata agar mereka tidak curiga padaku."

Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Dia masih belum percaya kalau yang berdiri di depannya benar-benar Pandan Wangi. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan rasa keheranan yang membelenggu. Pandangannya menyapu mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Ada tujuh mayat yang menggeletak dengan tubuh berlumuran darah.

"Orang-orang macam itulah yang seharusnya kita basmi, Kakang. Mereka memang berada di puncak bukit ini, tapi bukan di dalam benteng Puri Merah. Merekalah yang seharusnya menjadi lawanmu, bukan orang-orang Puri Merah," kata Pandan Wangi, seolah-olah bisa membaca jalan pikiran Rangga.

"Apakah mereka anak buah Dewi Sri Tungga Buana?" tanya Rangga menegaskan.

"Ah, rupanya kau sudah tahu juga."

"Ya. Aku sudah menyelidiki keadaan di Puri Merah. Juga permasalahan yang mereka hadapi saat ini."

"Lalu, apa tindakanmu selanjutnya?"

"Aku harus mencari dan menemukan tempat persembunyian Dewi Sri Tungga Buana."

"Kenapa harus susah payah?"

"Apa maksudmu, Pandan?"

"Aku bisa menunjukkan tempatnya."

Lagi-lagi Rangga mengernyitkan alisnya.

"Jangan heran. Selama ini aku telah menyelinap ke sarang mereka, dan menyamar jadi salah seorang anggota mereka. Karena aku memiliki kemampuan di atas mereka, lalu aku dijadikan pemimpin di bawah Dewi Sri Tungga Buana."

"Di mana sarang mereka?" tanya Rangga.

"Ikuti aku!"

Pandan Wangi segera berjalan ke arah Utara. Rangga mengikuti dengan benak masih diliputi berbagai macam pertanyaan. Matanya tetap mengamati setiap gerak langkah Pandan Wangi yang berjalan di depan. Sedikit pun Rangga tidak memperoleh perbedaannya. Hanya yang menjadi pertanyaannya sekarang, Pandan Wangi sekarang tidak menyandang pedang Naga Geni dan Kipas Maut, tapi malah membawa tombak panjang berujung tiga.

Setahu Rangga, Pandan Wangi tidak pernah lepas dari dua senjata mautnya itu. Ke mana pun Pandan Wangi pergi, kedua senjata itu pasti bersamanya. Satu keanehan yang nyata. Dan Rangga belum bisa memperoleh jawabannya sekarang. Pandan Wangi berjalan cepat bagaikan berlari saja. Mau tidak mau Rangga juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mengimbangi langkah Pandan Wangi yang begitu ringan dan cepat.

"Itu sarang mereka!" Pandan Wangi menunjuk sebuah bangunan besar dikelilingi pagar kayu yang tinggi.

Rangga berdiri tegak memandang ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi. Ada beberapa orang berjaga-jaga di sekitar bangunan itu. Pakaiannya tidak ada yang aneh. Mereka semua mengenakan pakaian biasa seperti orang kalangan rimba persilatan. Semuanya menyandang senjata yang beraneka ragam bentuknya.

"Maaf, aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini," kata Pandan Wangi.

"Tunggu! Kau akan ke mana?" cegah Rangga.

"Aku harus kembali. Aku tidak ingin penyamaranku terbuka sebelum waktunya," sahut Pandan Wangi lagi.

"Ini topengmu!" Rangga menyerahkan kain hitam penutup kepala yang masih dipegangnya sejak tadi.

Pandan Wangi menerimanya dengan bibir tersenyum manis. Kemudian dikenakannya kembali topeng itu. Rangga tidak lagi mencegah saat Pandan Wangi melompat cepat dan berlarian menuju bangunan itu. Pendekar Rajawali Sakti terus mengamati dari jarak yang cukup jauh dan terlindung. Tampak Pandan Wangi berdiri, tegak di depan pintu gerbang yang dijaga ketat deh empat orang bersenjata tombak.

Pintu gerbang terbuka, dan Pandan Wangi melangkah masuk, tubuh gadis itu lenyap saat pintu ditutup kembali. Tinggal empat orang bersenjata tombak yang masih tetap berjaga di depan pintu gerbang.

********************

Rangga baru saja menjejakkan kakinya di dalam benteng Puri Merah ketika Kandara Jaya berlari-lari menghampirinya. Pendekar Rajawali Sakti itu menunggu sampai Kandara Jaya dekat. Napas putra mahkota itu terengah-engah, seolah-olah baru saja berlari jauh melintasi bukit tinggi. Rangga menunggu sampai Kandara Jaya bisa bernapas tenang.

"Ada apa?" tanya Rangga.

"Aku dapat keterangan tentang Kitri Boga," sahut Kandara Jaya.

"Hm, lalu?"

"Kitri Boga memang pernah ditawan di sini, tapi sekarang sudah dipindahkan. Katanya, Dewi Sri Tungga Buana menginginkannya untuk dijadikan pelayan."

"Kau tahu, ke mana dia dibawa?" tanya Rangga lagi.

"Aku tidak tahu. Mereka semua tidak ada yang tahu, di mana tempat tinggal Dewi Sri Tungga Buana. Tapi ada yang mengatakan Kitri Boga dibawa ke Kahyangan."

"Kau percaya?"

"Tidak!"

"Bagus! Setiap keterangan yang tidak masuk akal jangan dipercaya dulu kebenarannya."

"Kau sendiri, bagaimana?"

"Aku baru saja menemukan tempat tinggal Dewi Sri Tungga Buana," sahut Rangga.

"Kau...?" Kandara Jaya tergagap.

"Ya. Dan aku ke sini memang sengaja mencarimu. Kita akan ke sana berdua. Kita bisa menyelamatkan Kitri Boga, dan aku akan menyelamatkan Pandan Wangi."

"Pandan Wangi...? Apakah dia masih hidup?" lagi-lagi Kandara Jaya kaget hingga mulutnya ternganga.

"Aku sendiri belum yakin. Entah hanya karena ilusiku saja, atau ada orang yang mirip dengannya. Atau juga dia memang benar-benar masih hidup. Tapi yang jelas, aku sempat bertemu dengannya. Memang ada yang aneh, dan itu harus kuketahui sebelum tengah malam nanti."

"Lalu, bagaimana dengan rencana kita sebelumnya?" Kandara Jaya ingin minta ketegasan.

"Tetap dilaksanakan. Untuk itulah aku perlu bantuanmu."

"Aku selalu siap membantumu, karena aku juga punya kepentingan sendiri dalam masalah ini," kata Kandara Jaya tegas.

"Malam nanti, kuminta kau buat kekacauan di sini," ucap Rangga setengah berbisik.

"Gila!" sentak Kandara Jaya kaget.

"Dengar dulu, Kandara Jaya. Aku belum selesai!"

"Baik, teruskan."

"Kau buat kekacauan di sini dengan mengenakan pakaian serba hitam, dan topeng hitam pula. Kemudian kau lari melalui tembok bagian Utara, lalu menuju ke arah Utara. Aku menunggumu di sana nanti. Setelah itu aku akan melaksanakan rencana kedua. Mungkin waktunya agak bersamaan. Dan kita bisa bertemu di tengah jalan," kata Rangga memaparkan rencananya.

"Terus terang, aku belum mengerti maksudmu," kata Kandara Jaya kebingungan.

"Begini.... Dengan adanya kekacauan di sini, berarti akan mengalihkan perhatian orang-orang Dewi Sri Tungga Buana ke sini. Dengan demikian, aku bisa leluasa memorak-porandakan markas mereka! Tentu saja sambil menyelamatkan Kitri Boga dan Pandan Wangi, kalau memang benar masih hidup atau ditawan di sana."

"Lalu, rencana kita semula?"

"Tetap berjalan, tapi waktunya dipercepat"

Kandara Jaya masih juga belum mengerti.

"Kerusuhan itu akan membuat Dewi Sri Tungga Buana marah, sehingga akan mempercepat waktu persembahan. Pada saat itulah rencana semula dijalankan, sementara kau dan Kitri Boga telah aman di seberang jurang. Aku yang akan membereskan mereka bersama sahabatku, rajawali raksasa. Memang agak sedikit menyimpang, tapi ini demi keselamatanmu dan Kitri Boga."

"Dengan membiarkanmu menyabung nyawa seorang diri? Tidak! Bagaimanapun juga aku harus ikut!" tolak Kandara Jaya tegas.

"Percayakan semuanya padaku, Kandara Jaya. Aku tidak bermaksud mengecilkan kemampuanmu. Tapi ini demi kelancaran rencana kita semua!"

Kandara Jaya terdiam.

"Orang-orang Puri Merah sudah menganggap kalau aku Dewa Agung mereka. Dan ini akan kugunakan untuk menumbuhkan kepercayaan mereka bahwa Dewi Sri Tungga Buana itu tidak ada! Percayalah. Mereka pasti akan memberontak, dan membantuku memusnahkan orang-orang Dewi Sri Tungga Buana.

"Rasanya sulit bagiku untuk menerimanya, Rangga," gumam Kandara Jaya.

"Tugasmu juga tak kalah penting, Kandara Jaya. Kau sengaja kutaruh di sana, untuk menjaga kemungkinan jika ada yang melarikan diri. Mereka sangat banyak dan tangguh. Kau bisa membawa prajuritmu untuk berjaga-jaga di sekitar jurang."

"Dan itu bukan berarti aku harus menunggu di seberang, kan?"

"Kau boleh menyeberang kembali bersama prajuritmu dan menghadang siapa saja yang berusaha melarikan diri. Mengerti?"

"Ya, aku mulai mengerti sekarang. Hanya saja, siapa yang akan menghubungi kerajaan untuk membawa para prajurit?"

"Kitri Boga, atau kau sendiri!"

"Bagaimana aku bisa menyeberangi jurang?" tanya Kandara Jaya. Dia sadar kalau kemampuannya tidak mungkin bisa menyeberangi jurang yang sangat lebar itu.

"Akan kusiapkan tambang untuk kau seberangi. Aku yakin tambang itu bisa kau lintasi."

"Kalau begitu, baiklah! Aku setuju dengan rencanamu!" sambut Kandara Jaya.

"Nah! Sekarang kita hanya menunggu hari gelap. Sebaiknya, mulai saat ini jangan menampakkan diri di Puri Merah."

"Lalu, kita akan ke mana?"

"Menunggu di luar batas puri."

Setelah berkata demikian, Rangga cepat melompat melewati tembok batu yang tinggi dan kokoh. Kandara Jaya langsung mengikuti tanpa banyak tanya lagi. Dalam sekejap saja, kedua pemuda itu telah berada kembali di luar tembok tanpa diketahui seorang pun. Rangga segera mengajak Kandara Jaya masuk dalam hutan yang sangat lebat untuk menunggu waktu sambil mematangkan rencana yang sudah ada.

Hari terus merayap semakin jauh. Dan senja pun mulai merambat mendekati malam. Kabut tipis mulai datang menyelimuti sekitar puncak Bukit Arang Lawu. Matahari perlahan-lahan tenggelam di balik bukit. Suasana remang-remang mulai melingkupi sekitarnya. Udara dingin pun sudah menggerogoti kulit.

Saat itu Kandara Jaya mulai merangkak mendekati benteng Puri Merah. Orang-orang Dewi Sri Tungga Buana telah kembali menjalankan tugas seperti biasa yakni menjaga di sekeliling tembok batu. Menurut rencana. Kandara Jaya baru melancarkan aksi mengacaukan keadaan benteng Puri Merah jika bulan telah berada di atas kepala.

Kandara Jaya mengamati sekitarnya, mencari celah untuk bisa masuk tanpa diketahui para penjaga yang bersenjata lengkap. Dia agak risih juga mengenakan pakaian serba hitam yang diambil Rangga dari salah seorang anggota Dewi Sri Tungga Buana.

Sementara itu di dalam benteng Puri Merah, sepuluh orang berjubah merah tengah berkumpul di tangga puri yang berada di tengah-tengah lingkaran benteng. Mereka adalah Natrasoma dan teman-temannya.

"Dewa Agung telah pergi. Aku tidak tahu lagi, apakah akan kembali atau tidak," kata Natrasoma. pelan suaranya.

"Apakah Gusti Dewa Agung akan membebaskan kita dari pengaruh dan tekanan Dewi Sri Tungga Buana?" tanya salah seorang.

"Aku tidak tahu pasti. Tapi kelihatannya Dewa Agung tidak menyukai tindakan Dewi Sri Tungga Buana."

"Terus terang, aku sudah muak dengan keadaan ini. Rasanya aku ingin berontak!"

"Kita tidak bisa begitu saja melakukannya. Ingat! Pemimpin Agung Puri Merah masih menjadi tawanan mereka. Dan selama beliau masih di tangan mereka, kita tidak bisa berbuat apa-apa."

"Aku rasa kita mampu mengusir mereka."

"Memang. Tapi keselamatan Pemimpin Agung harus kita pikirkan juga. Ingat! Sudah lebih dua puluh orang yang tewas karena kebodohannya. Aku tidak ingin membuang nyawa percuma tanpa perhitungan yang matang."

"Ya..., seharusnya kau mengatakan hal ini pada Dewa Agung. Aku yakin, Gusti Dewa Agung bersedia membantu kita mengusir mereka."

"Sudah! Dan Dewa Agung berjanji akan menghukum Dewi Sri Tungga Buana."

"Benar itu, Natrasoma?"

"Itu janji Dewa Agung! Kita tinggal menunggu waktu yang tepat!"

Perundingan dan percakapan itu terus berlangsung. Mereka berbicara pelan setengah berbisik. Tapi kadang-kadang berhenti jika salah seorang anak buah Dewi Sri Tungga Buana lewat. Dari nada pembicaraannya, jelas kalau mereka sudah menantikan saat yang tepat untuk bebas dari cengkeraman Dewi Sri Tungga Buana.

Malam terus merayap naik semakin larut. Keadaan dalam benteng Puri Merah mulai berangsur sepi. Sedangkan sepuluh orang berjubah merah, mulai meninggalkan bagian puri. Tapi baru saja mereka melangkah beberapa tindak, mendadak....

"Tolong.... Kebakaran...!"

Terlihat api berkobar besar dari bagian Selatan benteng Puri Merah. Beberapa orang berjubah merah berlarian, berusaha memadamkan api yang semakin besar. Belum lagi mereka bisa memadamkan api itu, tiba-tiba terdengar lagi teriakan-teriakan dari arah Timur. Dan terlihat di sana api telah membakar bangunan yang ada. Suasana malam yang semula tenang, mendadak gaduh oleh teriakan-teriakan dan suara-suara perintah untuk memadamkan api yang semakin besar dan merambat ke bangunan-bangunan lainnya.

Suasana kacau itu semakin bertambah dengan munculnya sesosok tubuh hitam berkelebat cepat menghajar orang-orang Dewi Sri Tungga Buana.' Dalam waktu singkat saja, beberapa rubuh bergelimpangan mandi darah. Gerakan sosok tubuh hitam itu sangat cepat dan tiba-tiba. Setiap kali sosok tubuh hitam itu muncul, tidak kurang dari lima nyawa melayang.

"Natrasoma, lihat!" seru salah seorang berjubah merah yang berdiri dekat Natrasoma.

Natrasoma cepat mengalihkan pandangannya kearah yang ditunjuk. Pada saat itu sosok tubuh hitam tengah berkelebat cepat menghajar lima orang yang bersenjata. Begitu cepat gerakannya, sehingga yang terlihat hanya bayangan saja. Tahu-tahu lima orang sudah tergeletak bersimbah darah di tubuhnya. Cepat sekali sosok tubuh itu hilang, bagai ditelan gelapnya malam.

"Mustahil..., tidak mungkin!" Natrasoma menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau kenal, Natrasoma?"

"Aku tidak percaya! Orang itu berpakaian serba hitam. Mustahil kalau pengawal khusus Dewi Sri Tungga Buana yang melakukan ini semua," gumam Natrasoma tidak percaya.

Tidak ada lagi yang bersuara. Semuanya diam membisu. Sementara itu, api terus berkobar melahap bangunan-bangunan yang berdiri mengelilingi Puri Merah. Sebagian besar orang berjubah merah mengamankan puri. Sebagian lagi berusaha memadamkan api yang terus berkobar ganas.

Kesibukan lain terlihat pada orang-orang yang berpakaian seperti tokoh rimba persilatan. Mereka disibukkan dengan sosok hitam yang muncul secara tiba-tiba dan menghilang pun secara tiba-tiba pula. Sudah tidak terhitung lagi, berapa orang yang bergelimpangan tanpa nyawa. Sosok tubuh hitam itu menghilang setelah membabat mati lima orang lagi. Sementara pada saat itu kobaran api mulai dikuasai.

"Apakah ini janji Dewa Agung...?" Natrasoma bertanya-tanya dalam hari.

Natrasoma mengelilingi bangunan-bangunan yang tinggal puing-puing saja. Asap masih mengepul dari bara api yang menyala. Sesekali api kembali berkobar dari bara api yang tertiup angin. Tapi dengan cepat berhasil dipadamkan. Natrasoma mengangguk-anggukkan kepalanya. Bangunan-bangunan yang terbakar adalah tempat orang-orang Dewi Sri Tungga Buana beristirahat Tidak satu pun tempat tinggal orang-orang Puri Merah yang terkena api.

"Sembah puji bagi Dewa Agung...," desah Natrasoma pelan.

"Apa yang kau gumamkan, Natrasoma?"

"Oh!" Natrasoma terkejut. Seorang berjubah merah tiba-tiba telah berdiri di sampingnya.

"Aku bersyukur dengan kejadian ini," sahut Natrasoma.

"Hm..., kau bersyukur dalam keadaan seperti ini?''

"Ya, coba kau lihat! Bukankah Dewa Agung telah memenuhi janjinya? Dan aku yakin kalau Gusti Dews Agung baru saja memberi peringatan dengan membakar habis bangunan-bangunan tempat peristirahatan mereka."

"Mungkin juga. Tapi mengapa Gusti Dewa Agung tidak membantai habis mereka?"

"Dewa Agung pasti punya kebijaksanaan lain. Aku yakin suatu saat nanti, mereka akan angkat kaki dari tempat yang kita cintai ini."

Tidak ada sahutan sama sekali. Natrasoma menoleh, dan...

"Hey!"

Natrasoma benar-benar kaget setengah mati. Orang yang diajaknya bicara tadi ternyata telah menghilang entah ke mana. Dia celingukan mencari-cari tapi nihil. Di tempat ini begitu banyak orang berjubah merah dengan potongan dan corak yang sama persis. Perbedaannya hanya pada kalung yang dipakai masing-masing orang yang berjubah merah. Dan itu sama sekali tidak diperhatikan oleh Natrasoma.

"Ah, aku yakin. Itu tadi pasti Dewa Agung yang menyamar," gumam Natrasoma. "Untung tadi aku tidak salah bicara...."

********************

DELAPAN

Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna, Rangga berhasil menyelinap masuk ke balik pagar kayu yang mengelilingi bangunan besar di bagian Utara puncak Bukit Arang Lawu. Beberapa orang penjaga tampak berkumpul mengelilingi api unggun. Rangga memutar lewat belakang, tapi seorang penjaga berpakaian serba hitam memergokinya. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu bertindak Tanpa bersuara sedikit pun, tangannya bergerak cepat menghantam dada orang itu. Seketika itu juga orang yang berpakaian serba hitam ambruk dengan dada remuk.

"Hhh, dua orang menjaga pintu," desah Rangga dalam hati.

Tangan Pendekar Rajawali Sakti itu memungut dua batang ranting kecil. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang sempurna, dilemparkannya dua batang ranting itu ke arah dua penjaga pintu belakang. Ranting-ranting itu tepat menancap di leher.

Akibatnya, dua penjaga itu langsung ambruk tanpa merintih lagi. Darah segar segera merembes dari leher yang tertembus ranting. Bagai kijang yang lincah, Rangga melompat ringan mendekati pintu. Pelan-pelan dibukanya pintu itu, lalu melangkah masuk. Sebentar Rangga mengerjap-ngerjapkan matanya, membiasakan diri dalam kegelapan yang menyelubunginya begitu masuk ke dalam.

Pendekar Rajawali Sakti itu mulai melangkah perlahan-lahan dan hati-hati. Rupanya dia masuk ke sebuah lorong sempit dan gelap. Tapi lorong itu tidak panjang. Sebentar saja dia telah berada di ujung lorong.

"Pintu lagi...," gumam Rangga.

Perlahan-lahan sekali Rangga membuka pintu yang terbuat dari kayu jati tebal ini. Suara berderit kecil terdengar saat pintu didorong pelan-pelan. Sinar terang menyilaukan menerobos saat daun pintu terbuka agak lebar. Rangga segera masuk ke kamar itu.

"Ruangan apa ini?" tanya Rangga dalam hati.

Tampak di depan Rangga terdapat ruangan indah dan luas. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah ranjang besar beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Pada salah satu sudut ruangan, terdapat beberapa peti. Salah satu peti tampak terbuka tutupnya. Mata Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit menyipit memperhatikan isi peti itu. Ternyata peti itu berisi bermacam-macam benda dari emas dan perak dengan berbagai bentuk dan ukurannya. Semuanya menumpuk jadi satu.

"Ada orang datang," desah Rangga dalam hati.

Telinga Rangga yang peka dan tajam segera dapat mendengar suara langkah halus mendekat. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati sekeliling kamar itu, kemudian melompat ringan ke atas. Rangga nangkring pada salah satu balok yang melintang menyangga atap kamar.

Tidak lama berselang, pintu kamar itu terbuka. Dan muncullah seorang wanita cantik mengenakan pakaian ketat berwarna merah, serta bersulamkan benang emas. Kulitnya yang putih mulus, sangat kontras dengan pakaian yang dikenakannya. Wanita itu menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepinya.

"Diakah yang bernama Dewi Sri Tungga Buana?" tanya Rangga dalam hati di tempat persembunyiannya.

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, muncul lagi dua orang dengan pedang tersampir di pinggang. Mereka menggiring seorang pemuda tampan. Wajah pemuda itu kelihatan pucat. Keadaannya lemah sekali. Salah seorang yang menggiringnya, mendorong hingga pemuda itu jatuh tersuruk di lantai.

"Maaf, Dewi Sri Tungga Buana," kata salah seorang seraya membungkukkan badan.

"Hm. Ada apa, Sokapitu?"

"Ada berita buruk yang hendak hamba sampaikan."

"Katakan."

"Benteng Puri Merah terbakar, dan beberapa orang kita tewas terbunuh."

"Apa...?!" Dewi Sri Tungga Buana terlonjak kaget.

"Menurut keterangan yang hamba peroleh, yang melakukan semua ini adalah orang berpakaian serba hitam, mirip dengan para pengawal khusus kita."

"Apakah orang-orang Puri Merah memberontak?"

"Sampai saat ini belum."

"Kurang ajar! Kirim tambahan kekuatan dari pengawal khusus. Umumkan, malam ini juga harus diadakan korban persembahan! Aku ingin Pemimpin Agung Puri Merah menjadi korban malam ini juga!"

"Baik, Dewi Sri Tungga Buana."

Dua orang berpakaian hitam itu segeia keluar dari dalam kamar Dewi Sri Tungga Buana memandang tajam pada Kitri Boga yang tetap duduk di lantai. Wanita cantik itu mendekat, lalu menjambak rambut pemuda tampan putra Maha Patih Kerajaan Mandaraka

"Dengar, Kitri Boga. Aku tidak segan-segan membunuhmu jika kau tetap bungkam! Katakan, berapa orang teman-temanmu yang ada di puncak Bukit Arang Lawu ini?" tanya Dewi Sri Tungga Buana disertai ancaman.

Kitri Boga tetap bungkam.

"Aku tahu kau dari Kerajaan Mandaraka. Kau kira mudah menghancurkan Dewi Sri Tungga Buana?! Jangan mimpi, anak muda! Rajamu saja belum tentu mampu menandingi kesaktianku! Kau sendiri telah merasakan, betapa indahnya mengalami kekalahan!"

Tetap saja Kitri Boga membisu.

"Baiklah kalau kau tetap bungkam. Tapi, dengar dulu. Malam ini juga, kau akan mati di dasar jurang seperti wanita tawanan yang menjadi temanmu itu! Dia memang tolol!"

Sementara Rangga di tempat persembunyiannya hanya bisa menahan marah. Dia tahu kalau yang dimaksud Dewi Sri Tungga Buana itu adalah Pandan Wangi.

"Tapi, bukankah Pandan Wangi masih hidup? Bukankah yang menunjukkan sarang Dewi Sri Tungga Buana adalah Pandan Wangi?" Rangga hanya mampu bertanya-tanya dalam hati.

"Seorang temanmu memang beruntung. Dia dianggap dewa oleh manusia-manusia goblok Puri Merah. Tapi itu tidak menjamin bahwa kau dapat bebas dari kematian, juga dewa gadungan itu. Aku tidak pernah mundur meskipun dia benar-benar seorang dewa yang menyamar!" lanjut Dewi Sri Tungga Buana, dingin dan datar suaranya.

Dewi Sri Tungga Buana mencampakkan tubuh Kitri Boga begitu saja dengan kesal. Pada saat yang bersamaan, pintu diketuk dari luar. Wanita cantik itu menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. Kakinya terayun menuju pembaringan, lalu duduk menjuntai.

"Masuk...!" keras suara Dewi Sri Tungga Buana terdengar.

Pintu terbuka perlahan. Seorang laki-laki muda berbaju serba hitam pun segera muncul. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak berujung tiga. Laki-laki muda itu membungkukkan tubuhnya sedikit, lalu melangkah maju satu tindak.

"Ada apa?" tanya Dewi Sri Tungga Buana.

"Kereta telah siap. Apakah Dewi telah siap berangkat sekarang?"

"Tunggu di luar!"

Laki-laki muda itu membungkuk lagi, kemudian berbalik. Tangannya menarik daun pintu seraya melangkah ke luar. Dewi Sri Tungga Buana bangkit, menghampiri Kitri Boga yang tetap terduduk di lantai dengan kepala tertunduk lemas.

"Kau masih kuperlukan malam ini. Dan sebaiknya kau tidur dulu!" kata Dewi Sri Tungga Buana.

Cepat sekali jari-jari tangan yang lentik itu bergerak, sehingga dalam sekejap saja tubuh Kitri Boga terguling roboh ke lantai. Dewi Sri Tungga Buana tersenyum manis, lalu melangkah ke luar.

Sedangkan Rangga yang berada di palang atap, menunggu sampai beberapa saat. Pendekar Rajawali Sakti itu melayang turun setelah tidak lagi terdengar langkah kaki kuda yang semakin jauh menghilang. Suasana sepi menyelimuti keadaan sekitarnya. Samar-samar tadi dia mendengar kalau Dewi Sri Tungga Buana memerintahkan para pengawal khususnya untuk ikut sebagian. Dan tentunya sebagian lagi menjaga tempat ini.

********************

Rangga memeriksa keadaan tubuh Kitri Boga. Jari-jari tangannya bergerak menotok di beberapa tempat. Kitri Boga menggeleng-gelengkan kepalanya. Suara rintihan terdengar lirih keluar dari bibir yang pucat. Rangga membantu pemuda itu berdiri setelah seluruh kekuatan totokan Dewi Sri Tungga Buana hilang.

Pendekar Rajawali Sakti itu membawa Kitri Boga duduk dipembaringan, kemudian diletakkan kedua tangannya di punggung pemuda itu. Rangga mencoba memulihkan kekuatan dan kesadaran Kitri Boga dengan menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh pemuda itu. Pelahan-lahan warna pucat di wajah Kitri Boga berganti memerah ketika hawa murni yang disalurkan Rangga mulai menyusup ke dalam jalan darahnya.

"Ohhh...!" Kitri Boga menggeliat.

Rangga menghentikan penyaluran hawa murni ke dalam tubuh Kitri Boga setelah keadaan tubuh pemuda itu kembali normal. Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian berpindah duduk di depan pemuda itu. Kitri Boga tersenyum seakan-akan ingin mengucapkan terima kasih, meskipun belum kenal dengan penolongnya.

"Aku Rangga. Aku datang untuk membebaskanmu. Kandara Jaya telah menunggumu di luar," kata Rangga sambil memandangi wajah pemuda itu.

"Kau pasti yang disangka dewa oleh orang-orang Puri Merah."

"Sebaiknya kita cepat ke luar dari tempat ini. Tidak ada waktu lagi untuk banyak bicara," sergah Rangga.

Kitri Boga segera beranjak bangun. Diikutinya langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti itu yang kembali melewati lorong. Rangga mengamati keadaan di sekitarnya sebelum keluar dari lorong tempat waktu masuk tadi. Tanpa menunggu waktu lagi, dia melesat keluar diikuti Kitri Boga yang benar-benar telah pulih kembali.

"Cepat pergi ke arah Selatan. Kau akan bertemu Kandara Jaya di perjalanan, lalu segeralah menuju ke arah jurang. Kandara Jaya sudah tahu apa yang akan dikerjakannya," kata Rangga memerintah.

"Kau sendiri?" tanya Kitri Boga.

"Aku punya tugas sendiri, cepat! Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan kepadamu. Kandara Jaya yang akan menjelaskannya nanti."

Kitri Boga segera melompat tinggi melewati pagar kayu. Dia langsung menuju ke arah yang ditunjuk Rangga. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti dengan sigap melenting tinggi ke atas atap bangunan besar. Dengan indah sekali, dia melenting lagi turun ke bawah. Lima orang penjaga terkejut, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan kecepatan tinggi, Rangga menghajar mereka hingga roboh tak berkutik lagi.

"Huh! Tempat ini harus dimusnahkan!" dengus Rangga.

Tangan Pendekar Rajawali Sakti itu lalu menyambar obor dan melemparkannya ke atas atap. Seketika itu juga api berkobar melahap atap bangunan besar itu. Rangga segera berlompatan cepat ketika beberapa orang berpakaian hitam berdatangan. Tanpa menunggu lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti menghajar orang-orang berpakaian hitam yang menjaga bangunan ini. Mereka memang bukan lawan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tidak heran kalau dalam waktu singkat dua puluh orang penjaga tewas dengan tubuh remuk.

Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Sementara itu api terus membesar, menghanguskan bangunan yang besar itu. Rangga kembali melompat melewati pagar kayu yang tinggi. Setelah menjejakkan kaki di tanah, dihancurkannya pagar kayu itu dengan mengerahkan pukulan jarak jauh. Suara ledakan menggelegar bersamaan dengan hancurnya benteng kayu.

"Rangga...!"

"Hey!" Rangga terkejut mendengar suara panggilan dari arah belakang.

Kandara Jaya dan Kitri Boga berdiri berdampingan memandang ke arahnya. Rangga melangkah menghampiri dua orang itu. Dia berdiri tegak memandang wajah mereka satu per satu.

"Kenapa kalian tidak pergi?" tanya Rangga.

"Ada yang ingin kusampaikan padamu," sahut Kitri Boga. "Kata Gusti Kandara Jaya, kau punya adik yang tercebur di jurang?" sambungnya.

"Benar! Apakah dia masih hidup? Di mana dia sekarang?"

"Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Tapi aku yakin kalau dia masih hidup," kata Kitri Boga pasti.

"Kau jangan mengada-ada, Kitri Boga!" rungut Rangga tidak percaya. Matanya tajam menatap lurus bola mata pemuda itu.

"Aku mengatakan yang sebenarnya, Rangga. Memang aku melihat ada seorang gadis cantik mengenakan pakaian biru dengan pedang di punggung dan kipas di pinggang. Gadis itu dalam keadaan pingsan. Tapi, sayang, Dewi Sri Tungga Buana memerintahkannya untuk rnenceburkannya ke dalam jurang. Aku tidak tahu apakah Natrasoma dan sembilan orang lainnya melakukan perintah itu."

Rangga masih belum percaya penuh. "Aku berani sumpah! Sejak aku ditawan mereka, dan dipindahkan ke sini. Aku selalu menguping pembicaraan mereka. Aku juga menyelidiki siapa sebenarnya Dewi Sri Tungga Buana. Aku memang dalam penjagaan ketat, tapi aku masih mendengar apa yang dibicarakan mereka."

Rangga diam termenung. Pandangannya langsung tertuju pada Kandara Jaya. Pangeran muda itu membalas dengan pandangan mata yang sukar dilukiskan. Rangga tidak tahu lagi harus bilang apa. Semuanya sudah terjadi. Dia jelas sekali melihat kalau sepuluh orang berjubah merah menceburkan Pandan Wangi ke dalam jurang! Tapi...

"Dewi Sri Tungga Buana sebenarnya putri tunggal dari pemimpin Puri Merah yang terdahulu. Keluarga mereka dibuang karena menentang kebijaksanaan Raja Balaraga," lanjut Kitri Boga.

"Hm, jadi dia mau merebut kembali Puri Merah?" gumam Rangga.

"Benar. Dia juga dendam pada setiap gadis yang selalu mengolok-olok dirinya ketika masih bersama keluarganya yang terbuang dari Puri Merah."

Rangga termenung beberapa saat. Kini sudah jelas persoalannya, kenapa wanita cantik itu sangat benci kepada orang-orang Puri Merah dan juga kepada wanita-wanita yang tak bersalah. Bagaimanapun juga, dia tidak menyukai cara wanita itu melampiaskan dendamnya.

"Kitri Boga, bagaimana Pandan Wangi bisa sampai ke sini?" tanya Rangga.

"Aku tidak tahu persis. Tapi kalau tidak salah dengar, mereka menemukannya terapung di sungai," sahut Kitri Boga.

"Sungai...?"

"Ya! Aku lihat memang pakaiannya basah," sambung Kitri Boga.

"Kitri Boga, terus terang aku masih belum mengerti tentang kehadiran Pandan Wangi yang menunjukkan tempat ini," kata Rangga.

"Jadi..., Dewi Sri Tungga Buana menemuimu?" Kitri Boga sedikit terkejut.

"Bukan dia, tapi...."

"Aku mengerti sekarang," potong Kitri Boga.

"Maksudmu?" Rangga tidak mengerti.

"Dewi Sri Tungga Buana menyamar jadi Pandan Wangi dan dia sengaja menemuimu."

"Untuk apa?" tanya Rangga.

"Untuk memancingmu ke sini, sementara dia ke Puri Merah."

"Kalau begitu...!"

Rangga langsung melompat cepat dan menghilang di kegelapan malam. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang, sehingga Kandara Jaya dan Kitri Boga jadi terbengong琤engong. Meskipun Kandara Jaya sering berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan, tapi dia masih juga takjub melihat gerakan dan ketinggian ilmu Rangga. Sulit baginya mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kandara Jaya! Tetap laksanakan rencana semula!" terdengar suara Rangga bergema.

"Hebat!" puji Kandara Jaya tulus.

Entah di mana Pendekar Rajawali Sakti itu berada, tapi suaranya bisa terdengar begitu jelas. Seakan-akan suara itu sangat dekat sekali. Betapa sempurnanya ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu. Kandara Jaya segera mengajak Kitri Boga untuk melaksanakan semua rencana yang sudah dimatangkan Rangga. Kitri Boga yang sudah diberitahu tentang semua rencana itu segera berlompatan mengikuti pangeran muda itu. Lompatan mereka cepat karena mengerahkan ilmu lari cepat. Dalam waktu sekejap mata, tubuh mereka sudah hilang ditelan kegelapan malam.

Sementara pada waktu yang sama, di dalam benteng Puri Merah sedang terjadi kesibukan mendadak. Dewi Sri Tungga Buana berdiri anggun di tengah-tengah tangga puri yang berwarna merah menyala dengan patung laki-laki muda gagah menunggang burung rajawali raksasa di puncaknya.

Tampak pada altar, seorang laki-laki tua dengan wajah penuh luka dan keriput, telentang di atas altar batu dengan kedua tangan dan kakinya terikat. Empat orang gadis cantik juga terikat di tiang dekat altar batu. Seluruh orang berjubah merah berdiri berjajar memandang sayu pada laki-laki tua berjubah merah yang tak berdaya di atas altar batu persembahan.

"Setiap kata yang kuucapkan tidak akan pernah ditarik kembali! Kalian semua sudah berani memberontak! Aku tidak akan menarik lagi janjiku! Sekali kalian memberontak, maka pemimpin kalian harus jadi korban persembahanku!" lantang suara Dewi Sri Tungga Buana.

Tidak ada satu suara pun terdengar. Semua orang yang ada di sekitar puri itu terdiam dengan kepala tertunduk. Tidak kurang lima puluh orang berpakaian serba hitam berjaga-jaga dengan tombak bermata tiga di tangan. Ditambah lagi dengan orang-orang berjubah merah.

"Laksanakan...!" perintah Dewi Sri Tungga Buana keras dan lantang.

Lima orang berpakaian serba hitam melangkah maju mendekati altar. Semua memegang golok besar berkilat. Satu orang mendekati altar batu, dan empat orang lainnya mendekati gadis-gadis yang terikat di tiang. Tepat ketika mereka telah mengangkat golok, tiba-tiba....

"Khraaagh...!"

Sebuah bayangan hitam dan besar melayang di udara bersamaan dengan terdengarnya suara keras dan nyaring memekakkan telinga. Makin dekat, bayangan hitam itu makin jelas terlihat bentuknya. Seekor burung rajawali raksasa dengan penunggang seorang pemuda tampan. Gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Pada saat yang kritis itu, Rangga muncul dengan burung rajawali raksasa.

"Dewa Agung datang...!"

Orang-orang berjubah merah serentak menjatuhkan diri berlutut. Dewi Sri Tungga Buana dan orang-orangnya terperanjat melihat datangnya seekor burung rajawali raksasa yang ditunggangi seorang laki-laki muda dan tampan. Burung rajawali raksasa itu mendarat tepat di tengah-tengah lingkaran manusia berjubah merah yang berlutut dengan kedua tangan menempel di tanah.

"Hup!"

Rangga melompat bagai kapas ditiup angin. Gerakannya ringan dan indah, tahu-tahu sudah berdiri di altar batu. Dan secepat kilat dicabutnya pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Sinar biru berkilau memancar, dan berkelebat cepat memutuskan tambang yang mengikat Pemimpin Agung Puri Merah. Setelah itu, Rangga membebaskan empat orang gadis yang terikat di tiang.

Begitu cepatnya tindakan Rangga, tahu-tahu ia sudah kembali duduk di punggung rajawali raksasa. Dan pedang pusaka pun juga sudah masuk lagi ke dalam warangkanya. Semua yang ada di situ bagai tersihir, berdiri takjub dengan mata tidak berkedip. Tidak terkecuali Dewi Sri Tungga Buana. Wanita cantik itu bengong bagai tidak percaya dengan yang dilihatnya.

"Petualanganmu sudah berakhir, Dewi Sri Tungga Buana. Dan aku akan menghukum sesuai dengan perbuatanmu yang tercela!" suara Rangga terdengar agung dan berwibawa.

"Tidak! Kau bukan dewa. Kau penyihir!" geram Dewi Sri Tungga Buana.

"Tidak ada waktu untuk berdebat. Aku akan membawamu kembali ke kahyangan. Biar para dewa yang akan memutuskan hukuman untukmu!"

"Adya Bala...! Serang! Bunuh orang gila itu!" perintah Dewi Sri Tungga Buana.

Anak buah Dewi Sri Tungga Buana serentak bergerak hendak menyerbu. Tapi Rangga dengan cepat melontarkan beberapa pukulan jarak jauh jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tahap terakhir. Sepuluh orang langsung terjungkal dengan tubuh hangus terkena pukulan maut itu.

Mereka yang selamat merasa ngeri, lalu menghentikan gerakannya setelah melihat sepuluh orang tergeletak terkena sinar-sinar merah yang meluncur dari telapak tangan Rangga. Mereka menjadi bimbang dan ragu. Sedangkan Dewi Sri Tungga Buana menggeram marah.

"Kalian orang-orang Puri Merah, bangkitlah! Hadapi segala bentuk kejahatan. Hadapi siapa saja yang ingin membelenggu. Wanita itu bukan Dewi Sri Tungga Buana, dan mereka juga bukan para prajurit kahyangan. Mereka adalah manusia biasa yang juga bisa mati!" Rangga membangkitkan semangat orang-orang Puri Merah.

"Kubunuh kalian semua jika berani menentang!" bentak Dewi Sri Tungga Buana melihat orang-orang berjubah merah mulai bangkit berdiri.

"Jangan hiraukan ancamannya! Aku akan melindungi kalian semua!" lantang suara Rangga.

"Setan! Kubunuh kau, tukang sihir busuk!" geram Dewi Sri Tungga Buana.

"Kematianmu sudah tiba, perempuan liar!"

"Mampus kau, setaaan...!" teriak Dewi Sri Tungga Buana seraya menghentakkan tangannya ke depan.

"Hih! Yeaaah...!"

Sambil berdiri di punggung rajawali raksasa, Rangga langsung mengeluarkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Dari dua telapak tangannya yang terbuka, meluncur sinar biru berkilau menahan sinar keperakan yang memancar dari tangan Dewi Sri Tungga Buana.

"Khraaaghk...!"

Pendekar Rajawali Sakti itu melenting dan menjejakkan kakinya di tanah dengan manis. Tapi sinar biru yang memancar dari tangannya tetap membendung cahaya keperakan yang memancar dari tangan Dewi Sri Tungga Buana.

"Khraaaghk...!"

Burung rajawali raksasa itu mengepakkan sayapnya, lalu menyambar beberapa orang berpakaian serba hitam. Melihat Dewa Agung dan tunggangannya murka, orang-orang berjubah merah serentak bergerak menyerang orang-orang Dewi Sri Tungga Buana. Seketika itu juga pecahlah pertempuran. Denting senjata dan teriakan teriakan membangkitkan semangat bercampur menjadi satu dengan pekikan kemati-an. Malam yang semula hening, berubah hiruk-pikuk oleh suara-suara pertempuran.

Sementara itu Rangga terus melangkah maju perlahan-lahan. Sedangkan Dewi Sri Tungga Buana tampak berkeringat. Wajahnya mulai memerah karena mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menandingi aji 'Cakra Buana Sukma'. Sedikit demi sedikit cahaya keperakan terdesak oleh sinar biru.

"Uhk! Akh...!" Dewi Sri Tungga Buana menggeliat.

Wanita itu merasakan tenaganya semakin terkuras, dan dadanya mulai terasa sesak. Keringat dingin semakin deras mengucur dari pori-pori tubuhnya.

"Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring dan melengking.

Seketika itu juga tubuhnya melenting ke udara, lalu secepat kilat menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke arah dada Dewi Sri Tungga Buana.

"Aaakh...!" jerit melengking terdengar dari mulut Dewi Sri Tungga Buana.

Wanita yang sudah kehabisan tenaga itu tidak mampu lagi menghindar dari hantaman Pendekar Rajawali Sakti. Begitu kerasnya, sehingga dadanya hancur berantakan menyemburkan darah merah kehitaman.

"Lari..., lari..., lari...!"

Melihat pemimpinnya tewas, anak buah Dewi Sri Tungga Buana langsung berlarian berusaha menyelamatkan diri. Tapi orang-orang yang berjubah merah tidak membiarkan begitu saja. Mereka segera mengejar dan membabat mati yang tertangkap.

Rangga hanya memandangi saja dari jarak jauh. Dan tiba-tiba saja di benaknya terbersit misteri tentang keberadaan Pandan Wangi. Benarkah Pandan Wangi masih hidup? Lalu, siapa yang diceburkan ke jurang oleh orang-orang Puri Merah? Benarkah yang dikatakan Kitri Boga kalau dia melihat Pandan Wangi yang akan diceburkan ke jurang? Kalau bukan, siapakah gadis itu?

Untuk mendapatkan jawaban itu, ikuti kisah selanjutnya dalam episode ASMARA MAUT


SELESAI