Pertarungan Di Bukit Setan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti
Episode Pertarungan Di Bukit Setan
Karya : Teguh S


Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Rajawali Sakti
SATU
KICAU burung riuh menyambut mentari pagi. Angin bertiup lembut mengusir kabut titik-titik embun bak mutiara berceceran di dedaunan. Pagi yang indah menyegarkan, membuka kehidupan bagi penghuni permukaan bumi. Tapi keindahan pagi ini masih juga dirusak oleh suara teriakan-teriakan melengking dan denting sejata beradu.

Sepertinya suara-suara itu datang dari sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di tepian Hutan Pusaran. Tampak dua orang tengah bertarung mengadu jiwa. Sedangkan tiga orang lainnya berdiri tidak begitu jauh dari pertarungan, nampak serius memperhatikan jalannya pertarungan yang sengit dan cepat.

Tiba-tiba salah seorang yang bertarung, melompat keluar dari arena. Dua kali berputar di udara, lalu dengan manis mendarat di tanah. Keringat membasahi wajah dan pakaiannya. Orang itu memegang sebuah golok besar, persis seperti tukang jagal binatang ternak. Dia berdiri di depan tiga orang yang juga masing-inasing menggenggam golok besar yang nampak berat.

Mereka langsung berlompatan membentuk lingkaran, mengurung seorang wanita muda berpakaian hijau yang ketat. Bentuk tubuhnya indah dan ramping mengimbangi raut wajahnya yang cantik. Wanita itu menggoyang-goyangkan kipasnya yang berkilatan tertimpa sinar matahari. Ujung-ujung kipasnya runcing seperti mala pisau, siap membedah lawan. Senyumnya nampak di bibir yang merah menggairahkan.

"Tadi sudah kubilang, kalian Empat Setan Jagal sebaiknya turun bersama-sama," terdengar lembut suara wanita cantik itu.

"Huh! Jangan pongah dulu, Kipas Maut! Kau belum tentu menang melawan kami!" dengus salah seorang yang mengenakan pakaian hitam.

Empat Setan Jagal bisa dikenali namanya satu persatu dari warna pakaiannya. Yang mengenakan pakaian hitam berjuluk Jagal Hitam. Sedangkan yang biru, merah, dan kuning masing-masing disebut Jagal Biru, Jagal Merah dan Jagal Kuning. Mengapa mereka bisa sampai bentrok dengan Kipas Maut?

"Siapa yang mencari kemenangan? Kalian datang ke sini hanya mengganggu istirahatku. Masih bagus aku tidak langsung membunuh kalian tadi malam!" rungut Kipas Maut.

"Setan! Seharusnya kau yang mampus semalam!" dengus Jagal Biru geram.

"Aku khawatir, kalian tidak akan menikmati sinar matahari lagi besok," suara Kipas Maut terdengar tenang, namun menyakitkan telinga.

"Kurobek mulutmu, iblis!" geram Jagal Kuning.

"Silakan kalau kalian bisa. Tak bakal aku mundur barang setapak pun."

Jagal Hitam membentak keras, lalu dengan cepat melompat sambil mengayunkan goloknya yang besar. Deru angin terdengar bersamaan dengan berkelebatnya golok menyambar tubuh Kipas Maut. Hanya sedikit saja perempuan cantik itu memiringkan tubuhnya, sabetan golok Jagal Hitam lewat tanpa mengenai sasaran. 

Belum sempat Kipas Maut menarik napas lega, datang lagi serangan dari arah samping kanannya. Angin menderu keras bersamaan dengan berkelebatnya sebuah golok mengarah ke kepala.
Kipas Maut merundukkan kepalanya sedikit, dan golok Jagal Kuning lewat di atas kepalanya. Kipas Maut harus berlompatan sambil jumpalitan menghindari serangan Empat Setan Jagal yang datang beruntun bagai air bah. Namun sampai lewat lima jurus, Kipas Maut belum juga mengeluarkan ilmu andalannya.

Tring, Tring!

Dua kali Kipas Maut berhasil menangkis serangan Empat Setan Jagal. Hampir saja golok Jagal Biru dan Jagal Kuning terlepas dari tangan saat membentur kipas baja berwarna keperakan. Namun bibir mereka meringis, merasakan pergelangan tangan menjadi kaku dan kesemutan.

Saat yang bersamaan Jagal Hitam membabatkan goloknya bagai kilat Kipas Maut yang baru saja menangkis serangan dua lawan, terkejut Buru-buru dia melenting, menghindari serangan yang mendadak itu. Jagal Hitam yang serangannya dapat dielakkan, langsung memberi serangan lanjutan yang tidak kalah ganasnya. Terpaksa Kipas Maut mengebutkan kipas bajanya.

Wut, tring! "Akh!"

Kipas Maut terpekik kecil. Langsung dijatuhkan dirinya ke tanah dan bergulingan. Saat kipas bajanya beradu dengan golok Jagal Hitam, tenaga dalamnya tidak dikerahkan dengan penuh. Dia tidak menyangka kalau tenaga dalam Jagal Hitam sangat tangguh dan cukup tinggi.

"Setan!" dengus Kipas Maut Kipas Maut segera bangkit berdiri. Matanya membeliak melihat kipasnya tergeletak di tanah agak jauh. Dia menyesal terlalu menganggap enteng Empat Setan Jagal. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau dalam tiga tahun saja Empat Setan Jagal telah pesat kemajuannya. Lebih-lebih Jagal Hitam. Tenaga dalamnya sekarang jauh lebih tinggi.

"Tamat riwayatmu, pencuri busuk!" geram Jagal Hitam.

Secepat kilat Jagal Hitam menerjang sambil mengebutkan goloknya. Kipas Maut melenting ke belakang menghindari golok yang besarnya melebihi tangannya sendiri. Namun belum juga sempat menginjakkan kakinya di tanah. Jagal Merah sudah membabatkan goloknya ke kaki. Kipas Maut menotok ujung golok dengan jari kakinya, sambil melenting kembali ke udara. 

Keadaan Kipas Maut benar-benar mengkhawatirkan sekali. Serangan-serangan berbahaya datang silih berganti tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk bernapas. Kipas Maut bisa berlompatan menghindari setiap serangan yang mengancam nyawanya.

"Modar...!"

"Akh!"

Kipas Maut cepat melenting keluar dari arena pertarungan. Darah mengucur dari pundak kanan yang tergores ujung golok Jagal Hitam. Sungguh tidak diduga sama sekali ketika dia sedang berkelit menghindari sodokan golok dari Jagal Merah, tiba-tiba saja Jagal Hitam melompat sambil mengibaskan goloknya. Kipas Maut tidak bisa menghindari lagi. Untunglah hanya ujung golok Jagal Hitam saja yang menggores kulit pundak kanannya.

"Bedebah!" Kipas Maut menggeram melihat darah mengucur deras dari pundaknya.

"Jagal Merah, Jagal Biru, Jagal Kuning! Bunuh pencuri laknat itu!" perintah Jagal Hitam.

"Yeaaah...!"

Serentak ketiga orang yang mendengar perintah Itu, melompat seraya mengebutkan goloknya. Jagal Hitam pun langsung melompat menyerang Kipas Maut. Mendapat serangan dari empat penjuru itu, Kipas Maut segera melenting tinggi ke udara. Empat golok melesat dibawah kaki perempuan cantik itu. Serangan Empat Setan Jagal tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu Kipas Maut mendarat di tanah, mereka langsung menyerang dengan ganas.

Lagi-lagi Kipas Maut kewalahan menghadapi serangan yang beruntun bagai gelombang air laut menggempur karang. Saat golok Jagal Kuning mengancam kepalanya, mendadak kaki Jagal Merah melayang ke arah dada. Ditambah lagi tangan kiri Jagal Biru yang melayang cepat dari arah belakang.

Pada saat itu, Kipas Maut benar-benar tidak punya kesempatan lagi untuk mengelak. Mungkin dapat dihindari satu serangan, tapi tiga lainnya tak mungkin dihindari lagi. Dan pada saat genting itulah tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menghajar Empat Setan Jagal. Keempat orang itu berjumpalitan sebelum berhasil menyerang Kipas Maut

"Monyet buntung!" umpat Jagal Hitam geram.

Kini di samping Kipas Maut telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut sebatas bahu. Pemuda berkulit putih itu mengenakan baju rompi warna putih dan sebilah pedang bergagang kepala burung tersembul dari balik punggungnya. Tak salah lagi, pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti.

"Anak muda, jangan campuri urusanku!" bentak Jagal Hitam.

"Hm, aku tidak akan mencampuri urusan kalian kalau kalian bertarung secara jantan," tenang dan pelan suara Rangga. Namun kedengaran sangat berwibawa.

"Phuih! Lagakmu sok pahlawan. Kau tahu, siapa kami?" dengus Jagal Merah.

"Siapa pun kalian, yang jelas kalian adalah orang-orang pengecut yang bisanya hanya main keroyok terhadap wanita!" tetap tenang dan lembut suara Rangga.

"Buka telingamu lebar-lebar, anak muda! Kami Empat Setan Jagal!" bentak Jagal Hitam memperkenalkan diri dengan maksud agar pemuda di samping Kipas Maut ketakutan mendengarnya.

Tapi Rangga malah tersenyum tipis mendengar nama itu. Memang dia telah dengar nama Empat Setan Jagal. Empat orang yang malang-melintang di rimba persilatan dan menguasai daerah yang dinamakan Bukit Setan. Rupa-rupanya orang-orang inilah yang selalu merampas dan membunuh dengan kejam siapa saja yang melintasi Bukit Setan.

"Aku memberimu kesempatan, anak muda. Nah! Menyingkirlah dari sini!" kata Jagal hitam.

"Kalau aku tidak mau?" Rangga jelas-jelas menantang meskipun secara tidak langsung.

"Edan! Kau cari mati rupanya!" umpat Jagal Hitam sengit.

Jagal Hitam langsung memberi isyarat pada yang Iainnya. Serentak Jagal Merah, Jagal Kuning dan Jagal Biru berlompatan mengepung. Golok mereka sudah melintang di depan dada. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya melirik memperhatikan setiap gerakan keempat orang itu yang mengepung dari empat penjuru. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman tipis.

"Serang...!" teriak Jagal Hitam keras. Seketika Empat Setan Jagal berlompatan sambil mengibaskan goloknya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sedikit saja pendekar muda itu menggerakkan tangannya tanpa menggeser kaki, tahu-tahu golok-golok Empat Setan Jagal terpental, lepas dari tangan masing-masing. Rangga menghadapi mereka dengan mengerahkan jurus maut 'Cakar Rajawali'.

Rasa kaget keempat orang itu belum lagi hilang, mendadak Rangga memutar tubuhnya dengan kaki kanan terayun cepat. Buk, buk, buk, buk...!

Empat Setan Jagal langsung terjungkal ke belakang. Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam perut mereka.

"Uhk!" Jagal Hitam merasakan perutnya mual. Susah payah mereka berusaha bangkit berdiri. Belum juga sempat bangun, Pendekar Rajawali Sakti Itu sudah bergerak cepat menjambret punggung baju mereka dan melemparkan jadi satu ke bawah pohon besar yang rindang.

Tubuh-tubuh yang besar dan kekar berjatuhan saling tindih. Mirip empat buah karung beras yang dilemparkan sembarangan ke dalam gudang. Kembali mereka berusaha bangkit, dan gerakan mereka terhenti karena Pendekar Rajawali Sakti sudah menempelkan leher mereka dengan golok masing-masing. Jagal Hitam mengangkat kepalanya. Wajahnya merah padam, merasa malu dan marah karena bisa dikalahkan oleh anak muda hanya dalam satu gebrakan saja.

"Beruntung sekali hari ini aku enggan mencabut nyawa," dingin terdengar suara Rangga.

Jagal Hitam mengkerutkan gerahamnya. Pelan-pelan dia bangun berdiri diikuti yang Iainnya. Rangga melangkah mundur tiga tindak. Dia melemparkan empat golok di tangannya, hingga menancap tepat diujung kaki Empat Setan Jagal.

"Pergi dari sini, cepat!" bentak Rangga keras.

Bergegas Jagal Merah, Jagal Kuning dan Jagal Biru mencabut golok masing-masing. Dengan ogah-ogahan Jagal Hitam juga mencabut goloknya dari tanah. Kedua bola matanya tajam menatap Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh rasa dendam. Sepasang rahangnya terkatup rapat menahan geram. 

Tanpa banyak bicara lagi ke empat orang itu melangkah pergi. Jagal Hitam membalikkan tubuhnya setelah kakinya terayun sekitar sepuluh langkah. Dia berdiri dengan tangan bertolak pinggang. Yang Iainnya juga ikut berhenti di belakang Jagal Hitam.

"Kipas Maut, persoalan kita belum selesai!" teriak Jagal Hitam keras. Selesai berkata, Jagal Hitam cepat berbalik dan berlari kencang diikuti yang Iainnya. Sebentar saja mereka sudah tidak terlihat lagi.

Rangga membalikkan tubuhnya lalu melangkah mendekati Kipas Maut yang baru saja memungut senjata kipasnya. Diselipkan kipas baja sakti itu ke pinggang.

"Kau terluka..."

"Terima kasih!" Kipas Maut memotong cepat sebelum Rangga selesai dengan kalimatnya. Suaranya terdengar ketus dan tampak tidak senang dirinya ditolong.

"Maaf, apakah aku telah menyulitkanmu?" Rangga tidak mengerti dengan sikap gadis ini. Keningnya berkerut pertanda tengah berpikir.

"Banyak!" sahut Kipas Maut ketus.

"Banyak...!?" Rangga terkejut setengah mati. Sungguh mati Pendekar Rajawali Sakti itu tidak mengerti dengan sikap gadis cantik ini. Nyawanya sudah diselamatkan, tapi kelihatan tidak senang. Bahkan katanya malah membuat banyak kesulitan. Kesulitan apa?

"Sebaiknya kau pergi dari sini, atau aku yang pergi " kata Kipas Maut

"Hey...! Tunggu," teriak Rangga, begitu melihat Kipas Maut melangkah pergi.

Kipas Maut terus saja mengayunkan langkahnya. Rangga berlari mengejar dan mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu. Dia masih penasaran dengan sikap Kipas Maut yang dirasakan sangat aneh.

********************

Pendekar Rajawali Sakti jadi makin penasaran saja. Setiap pertanyaan dijawab ketus oleh Kipas Maut. Dalam sekilas tadi, sempat didengar kata-kata Jagal Hitam yang membuat benaknya terus bertanya-tanya. Rasanya tidak mungkin Empat Setan Jagal keluar dari Bukit Setan kalau tidak ada sesuatu yang sangat penring. Lebih-lebih sampai bentrok dengan gadis ini. 

Jagal Hitam menyebut gadis ini sebagai pencuri. Apa yang dicuri? Ada persoalan apa antara Kipas Maut dengan Empat Setan Jagal? Macam-macam pertanyaan berkecamuk dibenak Pendekar Rajawali Sakti. Pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa terjawab, karena Kipas Maut bersikap tidak bersahabat dengannya.

Rangga terus melangkah sejajar dengan gadis cantik ini. Meskipun Kipas Maut menggunakan ilmu meringankan tubuh, tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti bukanlah hal yang sulit. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh di atas Kipas Maut.

"Kenapa kau mengikutiku terus?" tanya Kipas Maut ketus. dihentikan langkahnya dan berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," sahut Rangga.

"Dari tadi kau banyak bertanya, sedangkan aku tidak tahu pertanyaan mana yang harus kujawab," dengus Kipas Maut sinis.

"Siapa namamu sebenarnya?" tanya Rangga.

"Sudah kubilang, namaku Kipas Maut!"

"Itu julukanmu."

"Apa bedanya?"

"Tentu berbeda, aku tidak mungkin bisa menolongmu terus-menerus tanpa mengetahui namamu yang sebenarnya."

"Siapa yang butuh pertolonganmu? Tanpa campur tanganmu pun aku juga bisa menghabisi Empat Setan Jagal!"

"Hm, kau hampir mampus tadi!" Rangga sengit juga jadinya.

"Aku tadi cuma pura-pura, aku tahu kau datang. Aku hanya ingin melihat kehebatanmu saja. Yaaah, ternyata boleh juga."

"Bedegul!" umpat Rangga dalam hati. "Gadis ini benar-benar keras kepala, angkuh, sombong dan sedikit liar."

"Siapa namamu?" tanya Kipas Maut tiba-tiba.

"Rangga," sahut Rangga.

"Julukanmu?"

"Pendekar Rajawali Sakti."

"Julukan yang bagus. Sayang, kau hanya bisa mengalahkan cacing-cacing tanah."

Kata-kata Kipas Maut terdengar mengejek, tapi Rangga hanya menghadapinya dengan senyum. Entah kenapa dia menjadi tertarik dengan sikap gadis di depannya ini. Mendadak saja ingatannya jadi terarah pada Saka Lintang, gadis pertama yang ditemuinya setelah keluar dari Lembah Bangkai.

Dalam beberapa hal, Kipas Maut memiliki persamaan dengan Saka Lintang. Baik sikap maupun kecantikan wajahnya. Rangga sepertinya sedang berhadapan dengan gadis yang pertama kali sempat menggetarkan hatinya, dan tewas di tangannya pula. Hanya saja Rangga belum bisa memastikan Kipas Maut berada dalam golongan mana?

"Apa yang kau lamunkan?" tegur Kipas Maut.

"Oh! Tidak," Rangga jadi tergagap. Seketika bayangan Saka Lintang buyar.

"Kau memikirkan kekasihmu?" tebak gadis itu langsung.

"Tidak!" sahut Rangga cepat-cepat, terkejut juga dia mendengar dugaan itu. Tapi dia sendiri tidak tahu apakah dirinya jatuh cinta pada Saka Lintang.

Kipas Maut tersenyum-senyum kecil. Dia melenggang dan menempatkan diri di bawah pohon. Enak sekali gadis itu duduk bersandar pada sebatang pohon rindang yang melindungi kulitnya dari sengatan matahari. Rangga menghampiri dan duduk depannya. Bola matanya sesekali mencuri pandang ke wajah cantik di depannya. Wajah yang putih kemerahan bagai bocah baru lahir tanpa dosa.

"Kau mau menyebutkan namamu, 'kan?" desak Rangga lagi.

"Rupanya kau senang mendesak juga, ya. Baiklah, namaku Pandan Wangi," sahut Kipas Maut menyebutkan nama aslinya.

"Kau ada masalah dengan Empat Setan Jagal?" tanya Rangga lagi merasa mendapat kesempatan.

"Aku tidak tahu," sahut Pandan Wangi atau Kipas Maut. Pundaknya terangkat sedikit.

"Kenapa bentrok dengan mereka?"

"Iseng."

"Edan!" dengus Rangga dalam hati.

Rangga memperhatikan bahu kanan Pandan Wangi yang berdarah. Tangannya terulur hendak memeriksa, tapi gadis itu menepis. Rangga menarik tangannya yang sudah terulur sedikit. Matanya langsung tertuju ke bola mata gadis itu.

"Kau terluka, sepertinya ada racun yang...."

"Akh!"

Belum juga Rangga selesai bicara, mendadak Pandan Wangi memekik tertahan. Seketika wajahnya memucat. Tubuhnya menggigil seperti demam. Rangga segera mendekat, lalu membaringkannya. Pandan Wangi yang memang sudah merasakan dalam tubuhya mengalir racun akibat luka di bahunya, tidak menolak lagi pertolongan Pendekar Rajawali Sakti untuk kedua kalinya. Rupanya golok Jagal Hitam yang melukai bahu kaanannya mengandung racun yang bekerja lambat, tapi sangat berbahaya dan mematikan.

Jari-jari tangar Rangga bergerak cepat menotok beberapa bagian tubuh Pandan Wangi. Kemudian merobek baju di sekitar luka. Pandan Wangi memekik kaget, tapi tubuhnya terasa lemas sehingga tidak bisa berbuat apa apa lagi. Hanya matanya saja yang membeliak lebar.

Rangga mencabut pisau kecil yang terselip di pinggang Pandan Wangi. Baru saja akan digunakan pisau itu, Pandan Wangi mencegah

. "Jangan, pisau itu beracun!"

Rangga mengernyitkan keningnya. Diciumnya ujung mata pisau kecil itu. Keningnya semakin berkerut begitu mengetahui racun yang ada pada pisau di tangannya, sangat dahsyat dan kuat. Rasanya yang terkena tidak akan bisa tahan dalam setengah hari saja. Rangga meletakkan pisau itu di samping.

"Apa yang akan kau lakukan?" pekik Pandan Wangi ketika Rangga membalikkan tubuhnya.

Begitu Pandan Wangi tidur tengkurap, Rangga langsung membeset bajunya. Lagi-lagi Pandan Wangi memekik tertahan. Kini kulit punggung yang putih mulus terbuka lebar. Rangga menggelengkan kepala membuang pikiran-pikiran kotor yang langsung menyergap benaknya. Agak bergetar kedua tangannya ketika menempelkan telapak tangannya ke punggung yang putih mulus itu.

Rangga segera memusatkan perhatian ke tubuh Pandan Wangi melalui telapak tangannya. Asap tipis mulai mengepul dari sela-sela jari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menempel erat di punggung Pandan Wangi. Agak lama juga Rangga menyalurkan hawa murninya.

"Hoek..., hoek!" dua kali Pandan Wangi memuntahkan darah kental kehitaman.

Dari luka di bahu kanannya juga keluar darah berwarna kehitaman. Rangga terus menyalurkan hawa mumi mencoba mengusir racun yang sudah menyebar ke seluruh jaringan jalan darah di tubuh gadis ini. Sedikit saja terlambat menolong, mungkin Pandan Wangi tinggal nama saja.

"Uh! Hhh...!" Rangga mendesah panjang. Tangan yang menempel di punggung terlepas setelah Pandan Wangi memuntahkan darah kental kehitaman untuk ketiga kalinya. Darah yang keluar dari luka di bahu kanan juga sudah berwarna merah segar.

Rangga duduk dengan wajah bersimbah keringat. Dibalikkan lagi tubuh gadis itu, dan jari-jari tangannya segera bergerak melepaskan totokan di tubuh Pandan Wangi. Rangga masih duduk mengatur napasnya. Tampak sekali kalau dia benar-benar lelah menguras hawa murni untuk mengeluarkan racun itu. 

Tampak gadis ltu menggerak-gerakkan kepalanya sebentar. Kemudian segera bangkit duduk. Mulutnya ternganga saat melihat pakaiannya amburadul tidak karuan. Bagian pundak kanan dan punggungnya sobek. Pandan Wangi buru-buru membenahi sebisa-bisanya.

"Setan! Apa yang telah kau lakukan, heh?" bentak Pandan Wangi sengit.

"Jangan bergerak dulu. Racun di rubuhmu belum semuanya keluar," kata Rangga tidak menanggapi bentakan gadis itu.

"Phuih! Kau sudah berani menyentuh tubuhku. Kau harus mati, Rangga!" dengus Pandan Wangi.

"Duduk saja dulu, bersemadilah sebentar. Tenagamu belum pulih benar," masih tetap tenang dan lembut suara Rangga.

"Kau harus mati, setaaan!" teriak Pandan Wangi.

Pandan Wangi yang bergelar Kipas Maut langsung mencabut kipas saktinya. Kemudian diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas. Namun baru juga menggebrak, mendadak kedua kakinya bergetar dan jatuh ke tanah.

"Oh kakiku...," rintih Pandan Wangi merasakan kedua kakinya mendadak jadi lemas.

"Sudah kubilang, racun dalam tubuhmu belum ke luar semua," kata Rangga sambil membantu Pandan Wangi duduk kembali.

Tangannya mengambil kipas baja sakti yang tergeletak di tanah. Kemudian diselipkan lagi di pinggang pemiliknya. Tentu saja Kipas Maut jadi heran juga dengan sikap Rangga. Baru beberapa saat mereka kenal dan bertemu, tapi sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti menolongnya. Apa sebenarnya yang diinginkan pemuda ini? Apakah dia juga menganggap dirinya telah berhasil mengambil Kitab Naga Sewu, seperti yang Iainnya?

Pandan Wangi jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri terhadap sikap Rangga. Dia jadi tidak mengerti apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti ini. Kalau bermaksud buruk, tentu dengan mudah Rangga bisa membunuhnya. Apalagi dalam keadaan terluka parah begini. Pandan Wangi benar-benar tidak mengerti jadinya. Kepalanya semakin berdenyut memikirkan sikap Pendekar Rajawali Sakti yang tampan ini.

********************

DUA

Pendekar Rajawali Sakti menunggu Pandan Wangi bersemadi untuk memulihkan tenaganya kembali. Begitu selesai, lalu Rangga menyerahkan sebutir pil berwarna putih kekuning-kuningan. Ragu-ragu Pandan Wangi menerima pil itu. Tapi seteleh Rangga meyakinkan kalau pil itu untuk menghilangkan semua racun dalam darah, baru Pandan Wangi menerima dan menelannya.

Pandan Wangi merasakan tubuhnya menjadi segar kembali. Luka di bahu kanannya juga tidak lagi mengeluarkan darah. Dengan dibantu Rangga, Pandan Wangi membebat lukanya dengan sobekan bajunya sendiri.

"Kau telah menolongku dan menyelamatkan nyawaku. Aku tidak bisa berhutang budi pada siapa pun. Katakan, apa yang kau inginkan dariku?" tajam terdengar suara Pandan Wangi.

Rangga menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis. Hatinya benar-benar geli melihat sikap gadis ini yang tetap saja keras kepala. Meskipun nyawanya hampir melayang, masih juga bersikap ketus dan sinis.

"Aku tidak menyalahkanmu seandainya kau menyangka aku sudah berhasil mengambil kitab itu dari tangan Empat Setan Jagal," kata Pandan Wangi.

"Kitab? Aku tidak mengerti maksudmu?" Rangga jadi ingin tahu.

"Kau memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?" sinis suara Pandan Wangi.

"Aku jadi semakin tidak mengerti. Kau bentrok dengan Empat Setan Jagal, katanya tidak ada masalah apa-apa. Sekarang kau bilang mengambil kitab dari mereka. Kitab apa yang telah kau curi? Kenapa kau lakukan itu, Pandan?" tanya Rangga memberondong.

"Jadi.., kau benar-benar tidak tahu?" Pandan Wangi malah jadi bengong. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti ini tidak tahu-menahu dengan kitab yang sekarang sedang dihebohkan dan dicari-cari oleh tokoh-tokoh rimba persilatan.

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu apa yang baru saja dibicarakan Pandan Wangi. Dia menolong gadis ini dari Empat Setan Jagal, karena tidak tega melihat seorang gadis dikeroyok empat orang. Sama sekali dia tidak tahu siapa gadis ini sebelumnya. Apalagi terhadap Empat Setan Jagal. Tapi nama Empat Setan Jagal pernah didengarnya. Dan baru kali inilah Rangga dapat bertemu dengan mereka, bahkan langsung bentrok. Semua yang dilakukannya hanya karena terdorong oleh jiwa kependekarannya saja.

"Aku tidak percaya kau tidak menginginkan kitab Itu," dengus Pandan Wangi.

"Sejak tadi kau sebut-sebut kitab. Kitab apa sih sebenarnya?" kesal juga Rangga jadinya.

"Kitab Naga Sewu!" tiba-tiba terdengar suara keras menyahuti pertanyaan Rangga.

Seketika Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi melompat berdiri. Suara itu terdengar jelas dan keras, menggema ke seluruh penjuru mata angin. Dari suara yang tanpa wujud sudah dapat dipastikan kalau dia tentu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

"Siapa kau? Tunjukkan dirirnu!" teriak Rangga disertai pengerahan tenaga dalam.

Suara Rangga terdengar keras, menyebar ke seluruh arah. Kipas Maut kaget mendengar suara Rangga. Telinganya jadi sakit seketika. Cepat-cepat dikerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan.

"Ha ha ha...!" terdengar tawa menggelegar memekakkan telinga.

Pandan Wangi segera mencabut ilmu pembeda gerak dan pemecah suara. Segera dikerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi suara tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Huh!" Rangga mendengus. Seketika kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mendorong ke samping sambil membalikkan tubuhnya. Seleret sinar biru memancar dari telapak tangannya yang terbuka. Sinar itu cepat menghantam sebongkah batu besar. Suara ledakan keras terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu. Sebuah bayangan hitam berkelebat dari balik batu yang hancur berkeping-keping. Dan kini di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap mengenakan pakaian serba hitam yang ketat. Laki-laki berwajah penuh berewok tebal, dengan mata merah bagai mata elang.

"Iblis Mata Elang...," desis Pandan Wangi.

"Hm...," Rangga hanya tersenyum kecil.

Pendekar Rajawali Sakti sudah mendengar kehebatan Iblis Mata Elang. Otaknya yang cerdas sudah bisa menerka maksud kemunculan tokoh hitam yang sakti ini. Sudah tentu ada hubungannya dengan Kitab Naga Sewu, dan pasti mencari Pandan Wangi.

"Kipas Maut! Serahkan Kitab Naga Sewu padaku!" kata Iblis Mata Elang. Suaranya keras menggelegar bagai guntur.

"Kitab itu tidak ada padaku!" sahut Pandan Wangi ketus.

"Bedebah! Kau jangan coba-coba membodohi aku, Kipas Maut!"

"Terserah, aku berkata yang sebenarnya. Kitab itu masih ada diBukit Setan."

"Semua orang sudah tahu kalau Kitab Naga Sewu sudah hilang dari Bukit Setan. Dan kau yang telah mengambilnya, Kipas Maut. Sekarang serahkan kitab itu padaku."

"Kalau pun ada, tidak mungkin aku berikan padamu."

"Setan alas! Kau pikir aku tidak bisa memaksamu, heh?"

"Kalau kau bisa, silakan!" tantang Pandan Wangi.

"Phuih! Abiyasa saja tidak bisa mengalahkanku, apalagi kau!"

"Jangan sebut-sebut nama guruku!" bentak Pandan Wangi geram.

Wajahnya segera memerah karena gurunya yang sudah lama meninggal, dihina begitu saja.

"Cepat serahkan kitab itu, jangan sampai aku mengirimmu keneraka menyusul gurumu!"

"Tidak!" sentak Pandan Wangi.

"Huh! Rupanya kau sama seperti si tua bangka Abiyasa. Keras kepala!" rungut Iblis Mata Elang geram.

Selesai berucap, Iblis Mata Elang cepat melompat menerjang Kipas Maut. Dia tidak memandang sebelah mata pun pada Pendekar Rajawali Sakti yang berada di samping Kipas Maut. Perhatiannya tertumpah penuh pada gadis cantik yang membuat darahnya mendidih karena menahan geram.

"Hiyaaa...!" Wut!

Pandan Wangi langsung mencabut kipas baja saktinya dan mengebutkannya bagai kilat. Iblis Mata Elang bergegas menarik tangannya menghindari kibasan kipas yang ujung-ujungnya runcing tajam. Dengan cepat dimiringkan tubuhnya, dan kaki kanan melayang deras ke arah dada Kipas Maut. Kipas Maut melangkah mundur setindak dengan cepat, kemudian kipasnya dikebutkan ke arah kaki lawan.

Sungguh luar biasa gerakan Iblis Mata Elang ini. Tanpa menarik kakinya lagi, dia berputar cepat menyampok daerah pinggang. Pandan Wangi terkejut dengan gerakan kaki itu. Buru-buru dibaringkan dirinya ke tanah, dan segera melayangkan tendangan mautnya, membalas serangan dalam posisi masih tergeletak di tanah.

"Uts!" Iblis Mata Elang melompat mundur. Pandan Wangi cepat melompat bangun ketika serangan balasannya gagal. Dia bersiap-siap lagi dengan kipas terbuka di depan dada. Iblis Mata Elang mendengus karena serangannya gagal total. Sungguh tidak disangka serangan geledeknya bisa gagal. Kali ini dia tidak lagi memandang enteng pada Kipas Maut. Matanya sempat melirik Pendekar Rajawali Sakti yang hanya berdiri tenang memperhatikan dari jarak sekitar dua batang tombak.

"Kipas Maut, serahkan saja kitab itu padaku. Malas aku menjatuhkan tangan padamu," kata Iblis Mata Elang sambil melirik Rangga.

"Kau takut, Iblis Mata Elang?" ejek Pandan Wangi.

"He he he..., aku hanya tidak ingin kau mati di depan kekasihmu," Iblis Mata Elang terkekeh.

Pandan Wangi melirik Rangga. Hatinya memaki liabis-habisan melihat Rangga hanya tersenyum-senyum saja.

"Phuih! Kau pikir aku senang jadi kekasihmu? Huh! Belum apa-apa sudah besar kepala!" dengus Pandan Wangi dalam hati.

"Mana kitab itu, Kipas Maut?"

"Sudah kukatakan, Kitab Naga Sewu tidak ada padaku!" dengus Pandan Wangi kesal.

"Keras kepala! Kau benar-benar cari mampus!" dengus Iblis Mata Elang geram.

Cring!

Iblis Mata Elang mengeluarkan senjata berupa rantai panjang berujung tiga mata tombak yang cukup besar ukurannya. Langsung di putar-putar senjata itu di atas kepala. Angin menderu-deru keras bagai hendak terjadi badai topan.

Pandan Wangi menggeser kakinya kesamping, dan bersiap-siap menghadapi lawan yang sudah siap dengan senjata mautnya.

"Yeaaah!"

Iblis Mata Elang menyentakkan rantai bajanya. Seketika ujung rantai berujung tiga batang tombak mendesing, meluncur deras ke arah Kipas Maut. Tiga kepala tombak itu berpisah, masing-masing mengincar kepala, dada dan kaki.

Pandan Wangi segera bersalto ke belakang menghindari terjangan senjata mata tombak berantai itu. Baru saja kakinya menjejak tanah, senjata itu sudah kembali meluruk ke arahnya. Pandan Wangi kembali melenting sambil mengebutkan kipas baja saktinya.

Tring!

Satu ujung mata tombak berantai terpental kena sambar kipas baja. Namun yang Iainnya terus meluncur mengancam jiwa Kipas Maut. Mau tidak mau gadis itu membanting tubuhnya ke tanah. Dan bergulingan menghindari sambaran dua mata tombak berantai. Bergegas gadis itu melenting bangun.

Cring!

Iblis Mata Elang menggentak senjatanya. Seketika itu juga tiga mata rantai bersatu rapat. Sekali lagi disentak dan diputar-putar rantai baja itu. Rantai yang kini ujungnya menyatu, meliuk-liuk bagai ular meluncur deras menyerang Kipas Maut.

Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti yang memperhatikan sejak tadi telah dapat menduga dan mengukur kemampuan Pandan Wangi. Dalam keadaan baru sembuh dari luka, bukannya tidak mustahil gadis ini hanya dapat bertahan dalam lima jurus lagi. Kalau pun gadis itu tidak terluka, untuk mengalahkan Iblis Mata Elang juga sangat sulit.

"Akh!" tiba-tiba Pandan Wangi memekik tertahan.

Ujung rantai yang semula menyatu, tiba-tiba mengembang dan satu mata tombak menghantam kipas di tangan Pandan Wangi hingga terpental. Sedangkan yang satunya lagi membelit tangan gadis itu. Pandan Wangi hanya mampu menangkap satu mata tombak Iainnya yang mengarah ke dada.

"Ha ha ha...!" Iblis Mata Elang tertawa melihat lawannya berkutat mencoba membebaskan tangannya dari belitan rantai.

"Ikh!" Pandan Wangi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya berusaha melepaskan belitan rantai di tongan kanannya.

Jari-jari tangan Iblis Mata Elang bergerak cepat, tiba-tiba saja satu rantai yang terpisah bergerak bagai ular membelit pinggang ramping Pandan Wangi.

"Akh!" Pandan Wangi menjerit keras. Belitan rantai pada tangan dan pinggang Pandan Wangi dirasakan makin kuat saja. Rasa sakit dan nyeri mulai merasuki pinggang dan tangan kanannya. Kalau hal ini terus berlangsung, tulang-tulangnya akan remuk. Pandan Wangi mulai bergetar tubuhnya. Dia menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri sambil terus mengempos tenaga dalamnya. Rasa nyeri makin terasa.

"Hiyaaa!"

Tiba-tiba Rangga memekik keras. Mendadak saja tubuhnya melayang deras dengan tangan mengembang ke samping. Tangan kanannya bergerak cepat mengibas ke arah tangan Iblis Mata Elang. Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang mendadak ini membuat Iblis Mata Elang terkejut.

"Ih!" Buru-buru dilepaskan pegangan pada rantainya. Kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mengenai tempat kosong. Iblis Mata Elang menendang ujung rantai dan menangkapnya dengan cepat sekali. Langsung dibetotnya senjata itu. Belitan pada tubuh Pandan Wangi terlepas saat itu juga.

"Setan!" dengus Iblis Mata Elang geram.

"Dia bukan lawanmu, Iblis Mata Elang," tenang suara Rangga berkata.

"Phuih!"

********************

Pandan Wangi terkulai lemas. Tulang-tulang pinggang dan tangan kanannya seperti terasa remuk. Sedikit-sedikit dia beringsut menggeser tubuhnya menjauh dari jangkauan Iblis Mata Elang. Apa yang dilakukan gadis itu tidak lepas dari perhatian Rangga. Dengan sudut ekor matanya, Pendekar Rajawali Sakti terus memperhatikan Pandan Wangi sampai ke tempat yang dirasa aman.

Rangga mengayunkan kakinya ke depan tiga langkah, kemudian berdiri tegak bertolak pinggang. Sikapnya sengaja menantang Iblis Mata Elang. Ekor matanya kembali melirik Pandan Wangi yang kini sedang memulihkan tenaganya.

"Minggir kau, anak muda. Aku tidak ada urusan denganmu!" bentak Iblis Mata Elang keras.

"Urusanmu dengan Pandan Wangi, juga jadi urusanku," tenang sekali Rangga menyahut.

"Monyet beledek! Kau juga sudah bosan hidup rupanya!"

"Kita lihat, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka."

"Kurang ajar, hiyaaa...!"

Iblis Mata Elang langsung menggentak rantai bajanya. Tiga ujung rantai yang berbentuk seperti mata tombak meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Manis sekali Rangga berkelit menghindari serangan cepat itu. Iblis Mata Elang terus menyerang dengan gesit. Mata rantainya kadang-kadang menyatu cepat, dan kadang-kadang pula berpencar ke tubuh lawan. Yang dihadapi Iblis Mata Elang sekarang, bukanlah Kipas Maut yang tingkat ilmunya jauh di bawahnya. Kini yang dihadapinya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja serangan-serangan maut yang dilancarkannya dapat dielakkan dengan mudah.

Hal ini membuat Iblis Mata Elang makin bernafsu untuk menyudahi pertarungan. Serangan-serangannya makin hebat dan tajam. Dalam waktu sebentar saja sepuluh jurus sudah berlalu. Namun sejauh itu Rangga masih berkelit, dan belum membalas serangan-serangan lawan. Hingga pada saat ujung mata rantai menyatu, meluruk ke arah dada, dengan cepat tangan Pendekar Rajawali Sakti menangkapnya.

"Hih!" Iblis Mata Hang mengerahkan tenaga dalam, dalam usahanya menarik rantainya kembali. Sedikit pun rantai itu tidak bergeming dari genggaman tangan Pendekar Rajawali Sakti. Adu tenaga dalam pun berlangsung. Tiba-tiba Rangga menghentakkan tangannya, lalu melenting ke udara. Secepat kilat dilepaskan rantai baja itu. Tubuh Rangga dengan ringan berlari diatas rantai yang membentang kaku.

"Akh!"

Iblis Mata Elang terkejut ketika tiba-tiba saja kaki Pendekar Rajawali Sakti melayang mengancam kepalanya. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah. Belum juga hilang rasa terkejut Iblis Mata Elang, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun. Kakinya bergerak berputar cepat mengarah lawan, Rangga mengeluarkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Iblis Mata Elang bergulingan menghindari serangan yang cepat bagai kilat itu. Rangga mendarat di tanah, dan kakinya menginjak rantai. Cepat sekali kaki-kakinya bergerak menyusur rantai mendekati Iblis Mata Elang yang sedang melenting bangun.

"Hiya...!" Rangga berteriak nyaring. Dengan gesit didorong tangannya ke depan, dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Iblis Mata Elang untuk berkelit. Terpaksa disambutnya serangan itu dengan mengadu tangan.

Plak!

"Aaahk!" Iblis Mata Elang menjerit keras. Tubuhnya langsung terpental jauh ke belakang. Keras sekali jatuh bergulingan di tanah. Iblis Mata Elang bukanlah tokoh kosong. Buktinya dengan cepat bisa menguasai diri kembali. Bergegas dia mempersiapkan diri menghadapi serangan yang berikutnya.

Tring!

Iblis Mata Elang mengeluarkan dua senjata yang berbentuk trisula. Kakinya bergeak cepat menyusur tanah sambil mengibas-ngibaskan senjata kembarnya. Pertarungan kembali berlangsung sengit dan dalam jarak dekat Dua senjata trisula berkelebatan memancarkan sinar keperakan mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Mendapat serangan yang datang bertubi-tubi dan gencar, Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan jurus 'Seribu Rajawali'. Seketika itu juga dengan gerakan cepat berkelit ke sana kemari dan berlompatan ke segala arah. Tubuh Rangga seperti berjumlah seribu, mengurung Iblis Mata Elang.

"Setan!" umpat Iblis Mata Elang kebingungan. Setiap serangan yang dilancarkan oleh Iblis Mata Elang selalu mengenai tempat yang kosong. Bahkan beberapa kali hampir kena sambaran tangan atau pun kaki Pendekar Rajawali Sakti. Mendadak Iblis Mata Hang mengadu senjatanya sendiri. Seketika itu juga direntangkan kedua tangannya. Lalu tubuhnya berputar dengan cepat bagai baling-baling. Tubuh Iblis Mata Elang lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanya gumpalan warna perak dan hitam jadi satu, berputar cepat seperti gasing.
Rangga jadi mengerutkan keningnya. Sedikit pun dia tidak bisa masuk, bahkan harus hati-hati. Bisa-bisa ujung senjata Iblis Mata Elang merobek tubuhnya. Segera dia melompat keluar dari arena pertarungan.

'"Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusakanya. Lalu tangan kirinya menggosok mata pedang itu dan berhenti tepat di tengah-tengah. Sinar biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti, segera menggumpal dan meluruk ke arah Iblis Mata Elang yang terus berputar seperti gasing.

Cras..., Cras!

Sinar biru berkilau menggulung tubuh yang berlapis sinar keperakan. Dalam sekejap saja sinar keperakan hilang dari pandangan mata. Kini yang nampak hanya sosok tubuh berpakaian hitam terbalut sinar biru berkilau. Iblis Mata Elang menyatukan senjatanya di depan dada.

"Aaakh...!"

Belum sempat Iblis Mata Elang mengeluarkan ajiannya, mendadak tubuhnya bergetar dan menjerit-jerit keras, lalu ambruk ke tanah meregang nyawa bagai ayam disembelih. Dua senjata trisula telah terlepas dari pegangan tangannya. Rangga memasukkan kembali pedang ke dalam warangkanya setelah tubuh Iblis Mata Elang tidak bergerak lagi.

"Hhh..!" Rangga menarik napas panjang. Perlahan-lahan tubuh Iblis Mata Elang berubah jadi gumpalan tepung hitam. Dua senjata trisula yang terkena ilmu 'Cakra Buana Sukma' juga ikut hancur jadi abu.

Rangga menoleh ke arah Pandan Wangi setelah seluruh tubuh Iblis Mata Elang jadi tepung. Pandan Wangi melangkah menghampiri pendekar muda yang tampan itu.

"Kau tidak apa-apa, Pandan Wangi?" tanya Rangga setelah gadis itu berdiri di depannya.

"Tidak," sahut Pandan Wangi menggeleng.

"Masih tetap berkeras menghadapi sendiri?"

Pandan Wangi menatap Rangga sebentar, lalu kepalanya menggeleng pelan. Wajahnya tertunduk, seperti menyesali sikapnya yang tidak bersahabat pada pendekar muda ini.

"Mari kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.

Pandan Wangi tidak menjawab, juga tidak membantah. Diikuti saja langkah Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan ke arah matahari terbenam tanpa membuka suara sedikit pun. Gadis itu sesekali mencuri pandang pada wajah tampan di sampingnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Yang jelas, setiap kali melirik wajah tampan itu, mendadak dadanya jadi berdebar keras.

********************

TIGA

Dalam perjalanan, Pandan Wangi dengan gamblang menceritakan tentang Kitab Naga Sewu yang kini jadi rebutan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sementara Rangga mendengarkannya dengan penuh perhatian. Gadis itu tidak ragu-ragu kalau Pendekar Rajawali Sakti ini berpihak padanya. Tidak ada yang ditutupi mengenai Kitab Naga Sewu.

"Jadi, siapa sebenarnya yang berhak memiliki kitab itu?" tanya Rangga.

"Tidak seorang pun," sahut Pandan Wangi.

"Tidak seorang pun?" Rangga mengernyitkan alisnya. "Apakah pertapa Eyang Sokalima tidak mempunyai murid?"

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya.

"Lantas, kenapa kau terlibat?"

"Aku sendiri tidak tahu. Seminggu yang lalu, aku menolong seorang saudagar yang dirampok di tengah hutan Bukit Setan oleh Empat Setan Jagal. Dan setelah kejadian itu, tersebar kabar kalau Kitab Naga Sewu ada di tanganku. Katanya kucuri dari Bukit Setan."

"Apa kitab itu sebelumnya memang ada di sana?" tanya Rangga lagi.

"Entahlah. Mungkin juga iya! Soalnya Eyang Sokalima menghabiskan sisa hidupnya di puncak bukit itu, sebelum Empat Setan Jagal menempatnya."

"Kau pernah ke puncak Bukit Setan?"

"Pernah, ketika melarikan diri dari kejaran Empat Setan Jagal. Dua hari aku sembunyi di sana."

"Pantas, kau dituduh telah menemukan Kitab Naga Sewu," gumam Rangga.

"Tapi, aku tidak pernah melihat kitab itu!" sangkal Pandan Wangi.

"Aku percaya, tapi sekarang keadaanmu sangat terancam. Kabar tentang Kitab Naga Sewu yang ada di tanganmu sudah tersebar luas. Rasanya sulit untuk mengelak lagi. Mau tidak mau harus kau hadapi semuanya."

"Huh, hanya karena satu kitab saja, jadi saling bunuh!" rungut Pandan Wangi.

"Itulah dunia persilatan. Semua orang seperti sudah gila akan ilmu kesaktian. Tidak peduli nyawa akan melayang, selalu memburu yang lebih tinggi."

"Kau sendiri, apakah tidak tertarik memiliki Kitab Naga Sewu?"

"Aku tidak pernah tertarik dengan sesuatu yang belum pasti kebenarannya."

"Ilmu Naga Sewu sangat dahsyat. Tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya. Kalau kitab itu jatuh ke tangan orang jahat, dunia persilatan pasti akan hancur. Lebih-lebih kalau yang menguasai ilmu itu memiliki Pedang Naga Geni! Dapat dipastikan akan merajai seluruh rimba persilatan."

"Pedang Naga Geni...?"

"lya, pedang sakti milik Eyang Sokalima."

"Siapa orang yang memiliki pedang itu?"

"Aku tidak tahu. Kabarnya pedang itu juga lenyap bersama kitabnya. Makanya tokoh-tokoh rimba persilatan jadi saling bunuh hanya untuk menguasai benda-benda pusaka itu."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sudah mengerti sepenuhnya mengenai Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni yang kini tengah dicari-cari dan diributkan. Sementara langkah mereka terhenti karena di depan telah menghadang sebuah sungai besar, lagi deras. Rangga mengedarkan pandangannya. Tidak ada satu rakit pun ditepi sungai ini.

Mata Pendekar Rajawali Sakti itu menatap lurus ke sebuah perkampungan di seberang sungai yang kelihatannya ramai. Beberapa perahu tertambat di sana. Sungai ini hanya bagian tengahnya saja yang mengalir deras, sedangkan tepiannya kelihatan tenang.

"Sungai apa ini namanya?" tanya Rangga yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.

"Sungai Banyu Biru," sahut Pandan Wangi.

"Desa itu?"

"Desa Banyu Biru. Bukit Setan di belakang desa itu," Pandan Wangi menjelaskan sambil menunjuk ke satu arah.

Rangga menatap sebuah bukit yang melatar belakangi desa Banyu Biru. Sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, namun kelihatan lebat seperti tidak pernah terjamah oleh manusia.

"Sampai kapan di sini terus?" tanya Pandan Wangi kesal melihat Rangga berdiri mematung saja.

"Aku sedang memikirkan rencana untuk mengalihkan perhatian mereka," kata Rangga sambil duduk bersandar di bawah pohon.

"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi tetap berdiri.

"Kau mau terus-menerus jadi buronan? Dikejar ke sana kemari seperti tikus?" Rangga malah balik bertanya.

Pandan Wangi tidak mengerti arah pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dia lalu mendekat dan duduk di depan Rangga. Sinar matanya memancarkan rasa ingin tahu akan rencana di kepala Rangga. Rangga mengemukakan rencana itu. Pandan Wangi mendengarkan dengan penuh perhatian. Wajahnya berseri-seri mendengar rencana pendekar muda dan tampan ini. Entah kenapa, mendadak saja dia jadi mengagumi pemuda yang tidak hanya digdaya, tapi juga memiliki otak yang cerdas.

"Kakang, kau akan ke mana?" tanya Pandan Wangi melihat Rangga beranjak pergi.

"Tunggu saja di sini sampai aku kembali," sahut Rangga sambil memungut kulit kayu yang cukup lebar.

Dilemparkannya kulit kayu itu ke sungai, lalu dengan ringan tubuhnya melayang. Saat mendarat diatas kulit kayu yang terapung, Pendekar Rajawali Sakti Itu meluncur di atas bagai anak panah lepas dari busurnya.

Pandan Wangi memandang hingga terbengong-bengong. Tidak sembarang orang bisa meluncur di atas air hanya dengan menggunakan selembar kulit kayu yang besarnya tidak lebih dari telapak tangan. Suatu pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang sempurna sekali. Pandan Wangi yang sudah percaya penuh pada pendekar muda itu, mencari tempat yang enak dan terlindung untuk menunggu. Dia membaringkan tubuhnya di balik semak-semak yang menutupi seluruh tubuhnya.

"Rangga...," bibirnya menggumamkan nama Pendekar Rajawali Sakti. Gila! Kenapa jadi memikirkan dia? Rungut Pandan Wangi dalam hati. Tapi..., ah! Wajah itu, rasanya sulit untuk dihilangkan dari bayang-bayang mata.

Pandan Wangi gelisah sendiri menunggu kedatangan pendekar muda yang tampan. Pendekar yang tanpa disadari telah merenggut sekeping hatinya. Tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Aku ti.... Uh!

Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang Rangga yang terus-menerus bermain-main dipelupuk matanya. Semakin dicoba melupakan dan mengusir wajah Rangga yang terus menggoda, semakin jelas tergambar di depan matanya. Pandan Wangi tersiksa sendiri. Begitu tersiksanya, sehingga jadi lelah dan tertidur dalam belaian angin yang lembut.

********************

Rangga menikmati keramaian desa di tepi sungai Banyu Biru. Sepertinya tidak pantas kalau disebut desa. Banyak perahu-perahu besar dan kecil, bersandar dan singgah di desa yang ramai ini. Keramaiannya tidak kalah dengan sebuah kota. Rumah-rumah penduduk juga indah dan besar. Tidak terlalu sulit bagi Rangga mencari rumah makan. Di desa Banyu Biru ini banyak tersebar rumah makan dan penginapan. Pasarnya pun cukup ramai. Berbagai barang diperjual-belikan di sini.

Rangga menghampiri seorang laki-laki tua yang menjajakan pakaian. Macam-macam warna dan ukuran pakaian ada di sini. Pakaian laki-laki, perempuan dan anak-anak terhampar. Laki-laki tua pedagang pakaian itu terbungkuk-bungkuk menerima kedatangan Rangga.

"Mau beli pakaian, Den?" penjaja tua itu menawarkan.

"Iya, Pak. Tolong ambilkan pakaian perempuan," sahut Rangga.

"Perempuan?" pedagang tua itu mengerutkan keningnya.

"Iya, kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa. Tapi rasanya kok aneh. Laki-laki beli pakaian perempuan."

"Buat istri saya, Pak."

"Oh..., memangnya istri Aden ada di mana?"

"Di rumah, jaga anak," jawab Rangga asal saja.

Pedagang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kira-kira sebesar apa istri Aden?" tanyanya.

"Hm...," Rangga celingukan. "Nah, itu! Persis seperti perempuan yang pakai baju kuning itu."

Pedagang tua itu mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk Rangga. Kepalanya kembali terangguk-angguk dengan bibir menyunggingkan senyum.

"Pasti istri Aden cantik," pujinya tulus. Betapa tidak? Wanita yang ditunjuk Rangga seorang wanita cantik dengan bentuk tubuh yang indah mempesona.

"Kalau ada, warnanya putih," kata Rangga.

"Ada..., ada."

Pedagang tua itu mengambil seperangkat pakaian yang diinginkan Rangga, kemudian membungkusnya dengan rapi. Rangga menerima dan membayar sesuai dengan harga yang disebutkan pedagang tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Rangga berlalu dari situ. Matanya masih sempat melirik wanita berbaju kuning yang masih duduk di kedai makan yang cukup terbuka.

Rangga mengernyitkan alisnya ketika melihat ikat pinggang wanita itu berwarna kuning emas, dan tampaknya terbuat dari logam yang lunak dan tipis. Tanpa disadari, kakinya terayun ke kedai itu. Rangga duduk agak jauh di depan wanita yang menarik hatinya. Dipesannya seguci arak pada pelayan yang datang menghampiri.

"Tuan kenal dengan wanita itu?" tiba-tiba pelayan berbisik setelah meletakkan seguci arak di meja Rangga.

Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut. Sungguh mati tidak disadarinya kalau pelayan itu sejak tadi memperhatikan dirinya. Rangga malu sendiri ketika kepergok memandangi seorang wanita cantik yang belum dikenalnya sama sekali.

"Dia juga pendatang seperti Tuan," kata pelayan Itu lagi.

"Kau kenal?" tanya Rangga.

"Semua orang di desa Banyu Biru kenal dia," sahut pelayan itu.

Rangga mengernyitkan keningnya.

"Pelayan...!" tiba-tiba wanita berbaju kuning itu berseru.

"Oh! Sebentar. Sebentar, Tuan," kata pelayan itu.

Bergegas dihampirinya wanita cantik yang berpakaian kuning itu. Rangga memperhatikan saja sambil menuang arak dan meminumnya. Pelayan itu mengangguk-angguk dan terbungkuk-bungkuk di depan perempuan itu yang bicara setengah berbisik.

Kening Rangga makin berkerut ketika pelayan tadi datang kembali padanya. Dia terbungkuk-bungkuk di depan Rangga. Sekilas dari sudut ekor matanya, Rangga menangkap kalau wanita itu juga tengah memandang ke arahnya.

"Tuan diminta ke sana," kata pelayan itu menunjuk wanita tadi.

"Aku...?" Rangga seperti tidak percaya.

Wanita itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Rangga membalas dengan anggukan kecil.

"Terima kasih," ucap Rangga sambil bangkit berdiri. Diletakkannya tiga keping uang perak di atas meja.

Pelayan itu membeliak melihat tiga keping uang perak di atas meja. Jelas terlalu banyak untuk membayar satu guci arak. Tiga keping uang perak bisa untuk membayar sepuluh guci arak manis. Rangga tidak mempedulikan pelayan yang bengong seperti kejatuhan bulan, dan terus melangkah menghampiri wanita cantik berbaju kuning.

"Anda memanggilku, Nona?" tanya Rangga sopan.

"Duduklah," sahut wanita itu. Suaranya lembut dan halus.

"Terima kasih."

Rangga duduk di depan wanita cantik itu. Hanya sebuah meja kecil bersegi empat yang membatasi. Wanita itu menuangkan arak ke dalam gelas perak, dan menyodorkan pada Rangga. Bibirnya menyunggingkan senyum manis.

"Maaf, aku tidak biasa minum dengan orang yang belum kukenal," kata Rangga tanpa sedikit pun bermaksud menyinggung.

"Aku Klenting Kuning, dan kau?"

"Rangga."

"Tidak keberatan minum bersamaku, 'kan?"

"Sama sekali tidak."

Rangga meraih gelas perak yang telah terisi arak berbau harum. Hanya sedikit pendekar muda itu meneguk arak harum dan manis. Dia masih belum mengerti dengan sikap Klenting Kuning.

"Kau pendatang di desa Banyu Biru ini?" tanya Klenting Kuning.

"Iya," sahut Rangga singkat.

"Akhir-akhir ini banyak sekali pendatang ke sini," Klenting Kuning bergumam.

Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia baru sadar kalau di sekitar tempat ini memang banyak orang hilir-mudik. Di antara para penduduk, terlihat orang-orang yang kelihatannya pendatang. Dilihat dari cara berpakaiannya serta senjata yang disandang, dapat diketahui kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Jelas kalau desa ini telah dipenuhi oleh tokoh-tokoh rimba persilatan.

"Kau juga ingin ke Bukit Setan itu?" tanya Klenting Kuning.

"Bukit Setan...?!" Rangga sampai ternganga saking terkejutnya.

"Kenapa? Kau tampak terkejut sekali mendengar Bukit Setan."

"Ah, tidak. Aku hanya heran saja, untuk apa mereka datang kesana?"

"Mereka memiliki kepandaian cukup tinggi. Tentu saja tujuannya mencari Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni."

"Kenapa harus ke Bukit Setan?" tanya Rangga. Dia makin tertarik ingin mengetahui lebih banyak lagi.

"Tampaknya kau tidak tahu sama sekali tentang Bukit Setan," gumam Klenting Kuning.

"Aku ke sini hanya kebetulan saja singgah," Rangga menjelaskan.

"Kau seorang pendekar?" tanya Klenting Kuning seolah menyelidik.

"Bukan," sahut Rangga.

"Kenapa membawa pedang?"

"Hanya untuk jaga diri."

Klenting Kuning tersenyum penuh arti dan sulit dilebak. Rangga sendiri masih belum tahu maksud wanita cantik ini mengundangnya minum. Benaknya masih bertanya-tanya. Dia jadi teringat akan Pandan Wangi serta rencananya untuk menolong gadis itu dari incaran tokoh- tokoh rimba persilatan yang gila benda pusaka.

"Kau ingin tahu tentang Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni?" Klenting Kuning menawarkan.

Tentu saja Rangga gembira mendengar tawaran yang memang sedang ditunggu-tunggu. Dia pun mengangguk pasti. Klenting Kuning kembali tersenyum manis.

"Sebaiknya kita tidak bicara di sini," kata Klenting Kuning.

"Kenapa?"

"Ikut aku," Klenting Kuning tidak menyahuti pertanyaan Rangga.

Rangga yang masih penasaran dengan wanita cantik itu, menurut dan bangkit berdiri. Mata Rangga sempat melirik Klenting Kuning yang melempar dua keping uang emas ke atas meja. Bibirnya tersenyum melihat dua keping uang emas itu jatuh tanpa menimbulkan suara dimeja. Kini mereka melangkah ke Iuar kedai.

********************

Rangga memandangi kamar yang ditata indah, seperti layaknya kamar putri bangsawan. Meja, kursi, dan lemari terbuat dari kayu jati berukir indah. Tempat tidur berlapis kain sutra halus merah muda. Lantai beralaskan permadani berbulu tebal dan Iembut. Rasanya Rangga memasuki sebuah kamar peristirahatan bidadari.

Klenting Kuning menghenyakkan tubuhnya yang indah di atas pembaringan. Sikapnya begitu mempesona, seakan sengaja mengundang pendekar muda itu untuk bercumbu. Rangga duduk dikursi, matanya mamandangi tubuh ramping yang tergolek menantang. Hatinya mulai terasa tidak enak berada dalam kamar bersama seorang wanita cantik dengan tubuh yang menggairahkan.

"Katakan, apa yang kau ketahui tentang Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni?" Rangga merasa lidak betah berlama-lama di kamar ini.

"Kenapa harus buru-buru? Kau tidak ingin sedikit bersenang-senang, Rangga?" Iembut merayu suara Klenting Kuning.

Rangga merasa jengah. Dia bangkit berdiri dan berjalan ke pintu.

"Mau ke mana? Pintu itu terkunci," kata Klenting Kuning.

Rangga merasakan dirinya sudah masuk ke dalam perangkap. Di cobanya pintu kamar itu dibuka. Benar, pintu itu telah terkunci. Dengan hati gundah, pendekar muda itu berbalik. Matanya hampir melompat keluar mendapatkan Klenting Kuning kini hampir tidak berpakaian lagi.

Beberapa bagian tubuhnya menyembul menantang. Mendadak dada Rangga terasa sesak, dan napasnya sulit dikendalikan. Klenting Kuning menggerak-gerakkan bibirnya yang merah merekah. Dia beringsut sedikit, membetulkan kain surra merah muda yang menutupi tubuhnya. Dia pun kini turun dari pembaringan, melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Bau harum semerbak tercium saat Klenting Kuning mengayunkan langkahnya.

"Apa yang kau...."

"Ssst...," Klenting Kuning menutup bibir Rangga dengan jari-jari tangannya yang Ientik.

Detak jantung Rangga makin bergemuruh, bagai ombak di pantai menghantam karang. Bau harum semakin menusuk lubang hidungnya. Rangga merasakan kepalanya menjadi berat, dan pandangannya mulai kabur. Klenting Kuning merapatkan tubuhnya. Kedua tangannya melingkar di Ieher pemuda tampan dan gagah itu. Begitu dekat wajah mereka sehingga deru napas Klenting Kuning menerpa hangat di kulit wajah Rangga.

Klenting Kuning mulai menciumi wajah dan leher Rangga. Napasnya mendengus-dengus memburu bagai kuda betina liar. Entah kenapa, Rangga seperti tidak memiliki daya sama sekali. Pikirannya kacau. Bau harum yang menyengat hidung seperti ingin membangkitkan gairah kejantanannya. Laki-laki muda itu kehilangan kesadarannya. Dia menurut saja ketika Klenting Kuning menariknya ke pembaringan.

Mereka duduk di pembaringan. Klenting Kuning menggerak-gerakkan tubuhnya, sehingga kain sutra yang membelit tubuhnya merosot turun. Tampak dua bukit kembar putih menonjol indah. Mata Rangga semakin berkunang-kunang melihat tubuh putih mului menantang di depannya tanpa penutup sama sekali.

"Kraaagh...!" tiba-tiba terdengar suara keras mengaung di telinga Rangga.

"Rajawali Sakti...," desis Rangga seketika.

Begitu terdengar lagi suara berkaok yang nyaring. Rangga langsung melompat dari pembaringan. Tangannya menyambar pakaian dan pedangnya yang sudah terlepas.

"Apa..., apa yang telah kau lakukan?" Rangga seperti baru tersadar dari mimpi.

"Ayolah, sayang. Kenapa bengong di situ?" lembut suara Klenting Kuning merayu.

"Kau...? Oh, tidak!"

Rangga kembali membeliak melihat tubuh indah tergolek dipembaringan tanpa benang sehelai pun menempel di tubuhnya. Bergegas dikenakan kembali pakaiannya, dan disampirkan pedang pusakanya dipunggung. Kesadaran Pendekar Rajawali Sakti berangsur pulih. Suara burung Rajawali Sakti yang merawat dan membimbingnya sejak kecil telah membuka kembali mata dan kesadarannya yang sempat tertutup tadi.

"Rangga...! Kau mau ke mana?" teriak Klentin Kuning melihat Rangga membuka pintu kamar.

"Hih! Rangga mengerahkan tenaga dalam untuk membuka pintu yang terkunci.

"Percuma, Sayang. Pintu itu tidak akan terbuka tanpa seijinku," kata Klenting Kuning.

Rangga membalikkan tubuhnya. Dia langsung memalingkan muka saat melihat tubuh Klenting Kuning yang polos duduk di sisi pembaringan. Mata Pendekar Rajawali Sakti itu berkeliling mencari celah untuk bisa keluar dari kamar yang dipenuhi oleh hawa nafsu birahi.

"Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika tubuhnya mencelat tinggi ke udara. Pendekar muda itu mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu membumbung menerjang atap. Sekali terjang saja atap kamar yang terbuat dari lempengan baja tipis itu jebol, bersamaan dengan melesatnya tubuh Rangga.

"Rangga...!" teriak Klenting Kuning terkejut.

Bergegas wanita cantik itu mengenakan pakaiannya, lalu tubuhnya melenting menembus atap yang telah jebol. Klenting Kuning bertengger di atas atap. Matanya nyalang memandang ke sekelilingnya. Tidak nampak sedikit pun bayangan Pendekar Rajawali Sakti

"Huh, sial!" rungut Klenting Kuning.

Klenting Kuning melentingkan tubuhnya, lalu turun dengan manis mendarat di tanah. Dia berdiri di depan rumah kecil miliknya. Rumah yang dibangun di atas tanah dan ditata indah, bagai sebuah taman surgawi milik dewa-dewi kahyangan. Klenting Kuning mengedarkan pandangannya kembali berkeliling, masih mengharap dapat melihat bayangan pemuda tampam yang telah menarik hatinya.

"Rangga..., kau gagah dan tampan sekali. Ke mana pun kau pergi, aku pasti akan mendapatkanmu, gumam Klenting Kuning.

********************

EMPAT

Rangga berdiri mematung di tepi sungai Banyu Biru, tempat saat dia meninggalkan Pandan Wangi. Sementara hari sudah menjelang senja, matahari hampir tenggelam di ufuk Barat. Sinarnya yang kemerahan membias indah di permukaan sungai, gemerlap bagai bertaburkan mutiara.

Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri pohon rindang. Di bawah pohon inilah Pandan Wangi ditinggalkannya sendirian tadi. Mata Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling. Hatinya mendadak cemas karena Pandan Wangi tidak ada. Rasa sesal mulai membelit relung hatinya, karena telah meninggalkan Pandan Wangi terlalu lama seorang diri di tempat sunyi seperti ini.

"Pandan...!" teriak Rangga keras.

Suara Rangga menggema di antara pohon dan batu-batuan, terbawa angin senja yang tertiup Iembut. Heberapa kali Pendekar Rajawali Sakti itu memanggil nama Pandan Wangi, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Hanya desah angin dan gemericik air sungai yang menyahuti panggilannya.

"Kemana dia, ya?" Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tajam, mendengar suara gemerisik dari balik semak-semak di depannya. Seketika pandangannya tertuju ke arah semak-semak itu. Pelahan kakinya terayun mendekati tempat asal suara tadi. Rangga menyibakkan semak-semak itu. Hatinya jadi kecewa, karena yang didapatinya hanya dua ekor kelinci yang langsung kabur ketakutan. Rangga mendengus, dan mengedarkan pandangannya kembali ke sekelilingnya.

"Pandan...!" panggil Rangga sekali lagi.

Siiing...!

Tiba-tiba terdengar suara mendesing. Rangga melompat berputar di udara. Ketika berkelebat seberkas sinar keemasan mengarah padanya. Sinar itu meluncur deras melewati tubuh Pendekar Rajawali Sakti, dan menancap pada sebatang pohon. Ringan sekali tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu mendarat di tanah. Baru saja kakinya menjejak tanah, kembali secercah sinar keemasan berkelebat cepat.

"Hup!" Rangga kembali melenting ke udara. Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, menghindari desingan sinar-sinar keemasan yang datang secara beruntun bagai hujan. Mata Rangga yang tajam, dapat melihat arah datangnya sinar-sinar keemasan itu. Sambil berputaran di udara, tangannya menangkap dua benda keemasan yang mengancam dirinya. Dengan kecepatan penuh, langsung dua benda itu dilontarkan kembali ke arah pemiliknya. Seketika itu juga berkelebat satu bayangan hijau dari balik sebuah batu besar.

"Pandan...!" seru Pendekar Rajawali Sakti terkejut.

"Ha ha ha...!" Pandan Wangi tertawa gelak begitu kinya mendarat ditanah.

"Tidak lucu!" dengus Rangga langsung melompat menghampiri gadis itu.

"Tidak lucu ya sudah!" rungut Pandan Wangi. wajahnya dipasang cemberut seperti gadis ingusan yang kena marah orang tuanya.

"Cara bercandamu sangat berbahaya, Pandan," Suara Rangga terdengar lunak.

"Tapi, hebat 'kan?"

"Iya, hanya saja kau perlu banyak latihan."

"Wah! Kalau aku mahir, tentu Kakang tadi sudah...," Pandan Wangi tidak meneruskan ucapannya.

"Ah, sudahlah!" dengus Rangga. "Nih! Aku bawakan pakaian buatmu, dan sedikit makanan."

Pandan Wangi menerima bungkusan yang disodorkan Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian dibukanya. Matanya agak membeliak melihat satu stel pakaian berwarna putih. Pakaian seorang pendekar wanita.

"Darimana kau dapatkan ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Beli, disana!" sahut Rangga menunjuk ke arah desa Banyu Biru.

"Kakang dari sana?" Pandan Wangi seperti tidak percaya.

"Iya," sahut Rangga. "Sana, cepat! Ganti pakaianmu, dan kita makan bersama. Kau pasti suka makanan yang kubawa."

Pandan Wangi berlari-lari kecil menuju kebalik batu hitam sebesar dangau. Rangga membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari Desa Banyu Biru. Sesekali matanya melirik ke arah batu hitam, tempat Pandan Wangi tengah mengganti pakaiannya.

Tidak lama kemudian Pandan Wangi keluar lagi, dan telah mengenakan pakaian yang dibelikan Rangga tadi. Pendekar Rajawali Sakti memandang tanpa berkedip. Dia seperti terpana saja melihat Iblis turun dari kahyangan. Pandan Wangi kelihatan cantik sekali mengenakan pakaian pendekar putih berpita merah. Ikat kepala berwarna merah menambah cantik raut wajahnya. Pakaian itu ternyata pas di tubuh Pandan Wangi.

"Ck ck ck...," Rangga berdecak kagum.

"Mengapa memandangku begitu?" rungut Pandan Wangi jengah.

"Kau cantik sekali," puji Rangga tulus.

"Huh!" Pandan Wangi mencibir. Namun dalam hatinya senang sekali mendapat pujian dari pemuda tampan yang telah mencabik-cabik sekeping hatinya.

"Ayo, makan dulu. Kau belum makan dari tadi, 'kan?" ajak Rangga mengalihkan perhatian. Dia sendiri tidak ingin lama-lama terpesona oleh kecantikan Pandan Wangi.

"Apa itu?" tanya Pandan Wangi segera duduk bersila di depan Rangga.

"Ikan bakar, lalap, sambal, tapi nasinya sudah dingin," sahut Rangga seperti penjaja saja.

"Tidak apa-apa, yang penting kenyang."

Rangga tersenyum. Senang juga dia dengan sikap Pandan Wangi yang urakan, dan sedikit liar, tapi menyenangkan untuk diajak berteman. Mereka mulai makan dengan nikmatnya. Rangga banyak bercerita tentang keadaan di Desa Banyu Biru. Dia juga mengatakan tentang rencananya yang sudah dilaksanakan. Kini hanya tinggal menunggu reaksinya saja dari orang-orang yang gila benda-benda pusaka.

"Besok pagi kita ke sana," kata Rangga.

"Ke Desa Banyu Biru?" Pandan Wangi menegaskan.

"Iya, aku ingin tahu sampai di mana mereka terpengaruh ceritaku tentang Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni."

"Kau yakin bisa berhasil?"

"Lihat saja nanti."

********************

Suasaan di Desa Banyu Biru tampak seperti biasa. Kehidupan berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Desa yang menjadi tempat persinggahan perahu-perahu pedagang, dan para pengelana pencari kehidupan maupun tokoh-tokoh rimba persilatan. Kehidupan kembali berlangsung menjelang pagi tiba.

Di sebuah kedai minum, tampak Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut duduk menghadapi meja. Seguci arak dan makanan tersedia hampir memenuhi meja kecil dari kayu jati. Sejak datang pagi-pagi sekali, Pendekar Rajawali Sakti terus memasang mata dan telinga. Dia ingin tahu perkembangan rencana yang sudah dilaksanakannya kemarin siang.

"Tampaknya berita yang kusebar belum diketahui banyak orang," kata Rangga agak berbisik.

"Mungkin masih terlalu pagi," sahut Pandan Wangi.

"Ya, kita tunggu saja," desah Rangga.

"Kau yakin mereka akan tertarik ke Bukit Setan?" tanya Pandan Wangi.

"Mudah-mudahan begitu, asal kau tetap ingat. Jangan sekali-sekali mengaku kalau kau si Kipas Maut. Tetap saja memakai nama Pandan Wangi."

"Lalu, senjataku?"

"Simpan saja dulu. Kau bisa menggunakan senjata Iainnya, 'kan?"

"He-eh."

Percakapan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki bertubuh tinggi kekar masuk ke dalam kedai. Mereka mengenakan pakaian serba hitam. Tampak di punggung masing-masing tersampir sebilah pedang. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga dan Pandan Wangi. Dengan suara kasar, salah seorang memesan makanan dan minuman.

Rangga memperhatikan dari sudut ekor matanya. Lagak dan tingkah kedua orang itu sangat memuakkan. Mereka seperti di rumah sendiri saja. Main perintah dan membentak para pelayan.

"Kau kenal mereka?" tanya Rangga berbisik.

"Ya, aku kenal. Yang pakai kalung rantai namanya Macan Hitam, dan satunya lagi Gagak Hitam. Mereka dikenal dengan julukan Iblis Kembar Hitam," sahut Pandan Wangi menerangkan.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya beralih menatap seorang wanita muda yang cantik duduk sendirian agak ke pojok. Pakaiannya yang ketat berwarna merah menyala membuat lekuk tubuhnya tampak jelas. Dari sikapnya, sudah bisa diduga kalau wanita itu jelas dari kalangan rimba persilatan. Lebih-lebih kalau melihat dua pisau terselip di pinggangnya.

Rupanya bukan hanya Rangga yang memperhatikan wanita cantik itu. Dua orang yang dikenal dengan julukan Iblis Kembar Hitam juga tertarik untuk memandang wanita cantik itu. Gagak Hitam mengerdipkan matanya pada Macan Hitam.

"He he he..., kau tertarik dengan perempuan itu, adik Gagak Hitam?" Macan Hitam terkekeh.

"Aku rasa kau juga tertarik, Kakang," sahut Gagak Hitam.

"Dia memang cantik. He he he... Memang sayang kalau dilewatkan begitu saja."

Macan Hitam berdiri sambil terkekeh. Kakinya melangkah berat menghampiri wanita cantik yang dimaksudkannya itu. Macan Hitam mengangkat kaki ke atas kursi di depan wanita itu. Sementara Rangga yang memperhatikan sejak tadi hanya mencibir. Dia berharap Macan Hitam kena batunya. Sejak tadi dia telah muak melihat tingkahnya yang sok dan urakan. Rangga menjulurkan kepalanya mendekati Pandan Wangi.

"Siapa perempuan itu?" tanya Rangga.

"Yang baju merah?" Pandan Wangi balik bertanya.

"Iya."

"Dia Pisau Terbang."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hatinya memuji kejelian dan pengetahuan Pandan Wangi terhadap tokoh-tokoh rimba persilatan di desa Banyu Biru ini. Pandan Wangi memang lebih dulu malang-melintang di dunia persilatan ketimbang Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran kalau tahu banyak perkembangan dan tokoh-tokoh rimba persilatan saat ini.

Sementara itu Macan Hitam mulai beraksi menggoda wanita cantik berbaju merah menyala yang dijuluki si Pisau Terbang. Kelihatannya Pisau Terbang tidak peduli dengan sikap memuakkan Macan Hitam. Tenang sekali dia menikmati arak manisnya.

"Sendirian saja, Cah Ayu?" suara Macan Hitam dibuat lembut. Namun tetap saja terdengar kasar dan serak.

"Hm...," Pisau Terbang hanya menggumam kecil.

"Boleh aku temani?"

"Silakan, asal, kau mampu mengangkat guci arak ku," sahut si Pisau Terbang kalem.

"He he he...," Macan Hitam terkekeh.

Matanya mengerling pada Gagak Hitam. Dia merasa tantangan itu merupakan satu permainan anak bau kencur. Macan Hitam yakin kalau hanya mengangkat guci arak saja, itu masalah mudah. Tangannya terulur dan mencekal leher guci. Tapi... begitu akan ditarik guci itu, mendadak wajahnya jadipucat. Guci itu tetap pada tempatnya. Tidak sedikit pun bergerak. Macan Hitam mengerahkan tenaga dalam untuk masalah yang kelihatannya ringan.

"Uhk!" Macan Hitam membetot guci yang menjadi berat sekali.

Pisau Terbang tersenyum sinis mengejek. Tangannya terulur dan menyentil tangan Macan Hitam yang menggenggam leher guci. Macan Hitam langsung menarik tangannya. Pisau Terbang dengan enak mengangkat guci arak dan menuang isinya ke dalam gelas parungan.

"Kurasa kau belum pantas duduk denganku, Kisanak," kata Pisau Terbang kalem.

"Huh!" Macan Hitam mendengus kesal.

Melihat kakaknya dipermalukan di depan orang banyak, Gagak Hitam cepat melompat sambil mencabut pedang yang tersampir di punggungnya.

Sret! Gagak Hitam langsung mengibaskan pedangnya ke leher Pisau Terbang. Pedang yang seluruhnya berwarna hitam legam, berkelebat cepat mengincar leher yang putih mulus. Namun hanya dengan menarik kepalanya ke belakang, kibasan pedang itu hanya lewat di depan wajah Pisau Terbang. Pisau Terbang mengangkat tangannya dan menyentil pergelangan tangan Gagak Hitam yang menggenggam pedang.

Gagak Hitam memekik tertahan ketika merasakan pergelangan tangannya nyeri kesemutan. Buru-buru dipindahkan pedangnya ke tangan kiri. Kemudian melompat satu langkah ke belakang.

"Uh! Banyak Ialat kotor di sini," dengus Pisau Terbang.

"Perempuan liar! Buka matamu lebar-lebar, siapa yang ada didepanmu?" bentak Macan Hitam gusar.

"Aku tahu, kalian cuma tikus-rikus busuk yang mengganggu selera minumku," sahut Pisau Terbang dingin.

"Bedebah! Kau harus mampus di tangan Iblis Kembar Hitam!" bentak Gagak Hitam.

"Pantas saja muka kalian jelek."

"Keparat!"

Macan Hitam segera mencabut pedangnya, dan mengibaskannya dengan cepat. Pisau Terbang hanya menarik sedikit dadanya kebelakang. Kibasan pedang Macan Hitam lewat di depan dadanya yang membukit indah. Gagak Hitam langsung menyusul menerjang sambil menusukkan pedangnya. Pisau Terbang seketika melompat dari duduknya! lalu begitu kakinya menjejak meja, dengan cepat berputar seraya melayangkan kaki kanannya. Begitu cepat gerakan Pisau Terbang, sehingga hal itu tidak diduga! sama sekali oleh Iblis Kembar Hitam.

Buk! Buk!

Dua tendangan maut bersarang di dada Macan Hitam dan Gagak Hitam. Mereka terjajar ke belakang dengan mulut meringis. Mendadak saja mereka merasakan dadanya sakit dan sesak. Belum sempat mereka menguasai diri, mendadak Pisau Terbang mencelat sambil merentangkan kedua tangannya.

"Aaakh...!"

Iblis Kembar Hitam berteriak nyaring hampir bersamaan. Kedua tangan Pisau Terbang menjambret dua tubuh tinggi besar, dan melemparkannya keluar dari kedai. Dua tubuh besar melayang deras diluar kedai.

Pisau Terbang melenting kembali, dan tahu-tahu telah duduk kembali di tempatnya semula. Sikapnya sangat tenang seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap dirinya. Sementara itu Iblis Kembar Hitam sudah bangkit lagi. Sambil menggeram, mereka serentak menerjang masuk. Tapi...

"Akh!"

"Akh!"

Hampir bersamaan mereka memekik tertahan. Kemudian tubuh besar itu terjungkal dengan leher tertembus potongan bilah bilik bambu. Sebentar saja Iblis Kembar Hitam berkelojotan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.

Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Ketika Iblis Kembar Hitam menerjang masuk, dengan cepat Pisau Terbang memotes bilik bambu di dekatnya, lalu menjentikkan Jarinya seraya mengerahkan tenaga dalam yang cukup tinggi. Hasilnya memang mengagumkan. Satu ilmu melempar yang sempurna sekali. Cepat dan sulit diikuti oleh mata biasa.

********************

"Kelihatannya tempat ini sudah tidak aman lagi, Kakang," kata Pandan Wangi berbisik.

"Hm...," Rangga hanya bergumam.

"Sebaiknya kita pergi saja dari sini," ajak Pandan Wangi.

"Tunggu dulu, Pandan," cegah Rangga menahan tangan gadis itu.

Pandan Wangi terpaksa mengurungkan niat ingin bangun. Hatinya semakin tidak menentu saja. Bukannya takut menghadapi segala macam kemungkinan, tapi dia tidak ingin menampakkan diri lebih dulu. Masalahnya di desa Banyu Biru ini rata-rata telah mengenal wajahnya, meskipun memakai pakaian dan dandanan yang berbeda. Pandan Wangi merasa dirinya masih cukup bisa dikenali orang.

Dari sudut ekor matanya, Pandan Wangi cepat tahu kalau sejumlah orang di dalam kedai ini telah memperhatikan dirinya. Lebih-lebih seorang kakek tua yang duduk agak jauh darinya. Pandangan kakek tua itu tidak pernah berpaling darinya. Pandan Wangi tahu kalau kakek tua itu yang dijuluki Kakek Tangan Seribu.

Pandan Wangi jadi gelisah sendiri. Dia khawatir samarannya diketahui oleh Kakek Tangan Seribu. Atau mungkin oleh yang lainnya. Kegelisahan Pandan Wangi bisa dirasakan Rangga yang sejak tadi memegangi tangan gadis itu. Punggung tangan gadis itu berkeringat dan terasa dingin.

"Apa yang kau pikirkan, Pandan Wangi?" tanya Rangga.

"Tidak," sahut Pandan Wangi cepat-cepat. Dia tidak ingin Pendekar Rajawali Sakti itu mengetahui kegelisahannya.

"Kau kelihatan gelisah sekali,"

"Tidak, aku tidak apa-apa."

"Hm, kau akan pergi dari sini?" Pandan Wangi tidak menjawab.

"Baiklah. Mungkin kedai ini terlalu panas untukmu.
Pandan Wangi berdiri setelah Rangga bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti itu meletakkan beberapa keping uang perak di atas meja, kemudian menarik tangan Pandan Wangi. Mereka melangkah ke luar dari kedai Pandan Wangi masih sempat melirik Kakek Tangan Seribu yang tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit kepadanya.

Tentu saja gadis itu jadi terkejut. Buru-buru dia melangkah ke luar mendahului Rangga. Pandan Wangi sudah merasa kalau penyamarannya sudah diketahui oleh Kakek Tangan Seribu. Rangga yang merasakan kalau Pandan Wangi gelisah, segera mempercepat langkahnya. Mereka terus berjalan cepat meninggalkan kedai yang dipenuhi orang-orang rimba persilatan.

Sepanjang jalan mereka masih melihat beberapa orang menyandang senjata dengan bermacam-macam bentuk dan ukuran. Pandan Wangi berjalan tanpa mengangkat kepala, sampai mereka tiba di perbatasan Desa Banyu Biru. Mereka baru berhenti setelah sampai di tempat yang sepi dari keramaian.

"Pandan Wangi..," Rangga menepuk pundak gadis itu.

"Oh!" Pandan Wangi terkejut, langsung berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti.

"Di kedai tadi, kau kelihatan gelisah. Ada apa? Ada orang yang mengenalimu?"

"Aku..., eh. Tidak!" Pandan Wangi jadi gugup.

Rangga melepaskan pegangannya pada pundak gadis itu. Dia mundur dua langkah dan duduk di atas batu. Pandan Wangi masih tetap berdiri memandang ke arah Desa Banyu Biru. Pikirannya masih tertuju pada Kakek Tangan Seribu. Sungguh dia tidak menginginkan Kakek Tangan Seribu muncul dalam keadaan begini. Pada saat dirinya dilanda kesulitan besar, karena adanya kabar kosong yang melibatkan dirinya secara langsung.

"Di kedai tadi, kuperhatikan kau selalu memandang seorang kakek tua. Kau kenal dia?" tanya Rangga menebak.

Pandan Wangi terkejut, hingga memalingkan muka dari tatapan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sungguh mati, dan tidak disangka kalau Rangga selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Rasanya di depan pemuda ini dia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan perasaannya. Rangga selalu bisa menebak dengan tepat tanpa harus dijawab.

Lemah sekali kepala Pandan Wangi terangguk. Dalam pandangan Rangga, sikap gadis itu jadi berubah seratus delapan puluh derajat sejak berada dalam kedai minum tadi. Tidak lagi nakal, tidak banyak bicara dan kelihatan lebih banyak berpikir. Sepertinya Rangga tidak lagi melihat Pandan Wangi yang dikenalnya beberapa hari lalu. Pandan Wangi yang berjuluk Kipas Maut yang tingkahnya urakan dan sedikit liar.

"Siapa kakek tua itu?" tanya Rangga.

"Dia Kakek Tangan Seribu," sahut Pandan Wangi.

"Kau ada masalah dengannya?"

"Tidak,"

"Kenapa sikapmu berubah setelah melihat dia?"

"Aku..., aku hanya tidak ingin dia muncul pada saat-saat seperti ini."

"Kenapa?"

Belum sempat Pandan Wangi menjawab, tiba-tiba terdengar siulan yang nyaring dan panjang. Suara siulan itu tanpa nada yang tidak jelas iramanya. Mendadak wajah gadis itu jadi berubah pucat. Rangga langsung berdiri dan melangkah ke samping Pandan Wangi. Suara siulan itu semakin lama semakin terdengar dekat dan jelas. Rangga memandang ke satu arah, asal suara siulan itu. Samar-samar matanya mulai melihat bayang-bayang hitam dan putih bergerak semakin dekat. Bayang-bayang itu kian jelas terlihat. Siapakah yang datang dengan memperdengar-kan suara siulan?

********************

LIMA

Suara siulan berhenti, bersamaan dengan berhentinya langkah kaki seorang kakek berpakaian hitam dan putih. Kakek itulah yang terus-menerus memandangi Pandan Wangi di kedai tadi. Kakek yang berjuluk Kakek Tangan Seribu. Pandan Wangi tertunduk seperti tidak sanggup memandang wajah keriput di depannya.

Kakek Tangan Seribu menatap Pandan Wangi dengan tajam. Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang berdiri di samping gadis itu. Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Bagaimanapun juga dia harus hormat terhadap orang tua, walau pun dia tidak tahu, berada dalam golongan mana orang tua yang dihadapinya kini.

"Pandan Wangi...," suara Kakek Tangan Seribu bergetar saat memanggil Pandan Wangi.

Perlahan-lahan kepala Pandan Wangi terangkat naik. Matanya menatap wajah tua keriput di depannya.

"Anak bengal, selalu saja bikin susah orang tua!" dengus Kakek Tangan Seribu.

"Kek...!" suara Pandan Wangi tercekat ditenggorokan. Pandan Wangi melirik Rangga di sampingnya. Tampak sekali dalam raut wajahnya, kalau Pandan Wangi mengalami kegelisahan yang amat sangat. Rangga yang tidak tahu persoalannya, bergeser agak merenggang dari Pandan Wangi.

"Maaf, apakah kehadiranku mengganggu?" suara Rangga terdengar sopan.

"Hm, siapa kau, anak muda?" tanya Kakek Tangan Seribu.

"Dia teman, Kek," Pandan Wangi buru-buru menyahuti.

"Diam kau, Pandan Wangi!" bentak Kakek Tangan Seribu. "Aku tidak bertanya padamu!"

Pandan Wangi terdiam.

"Namaku Rangga," kata pendekar muda itu mengenalkan diri.

"Kenapa kau bisa bersama-sama cucuku?"

"Hanya kebetulan," sahut Rangga tetap sopan. "Secara kebetulan Pandan Wangi membutuhkan pertolongan."

"Anak nakal! Kau selalu saja bikin susah orang," dengus Kakek Tangan Seribu.

"Tapi, Kek...," Pandan Wangi akan menjelaskan, tapi suaranya nyangkut di tenggorokan.

"Kau lihat! Akibat ulahmu, Desa Banyu Biru jadi penuh setan dan iblis serakah. Kau tahu, apa akibatnya dari ulahmu, heh?!"

Pandan Wangi hanya tertunduk saja. Tidak sedikit pun membuka mulut. Mengangkat muka saja rasanya tidak berani lagi. Kakek Tangan Seribu kelihatan marah sekali padanya. Sampai-sampai wajah tua yang keriput itu kelihatan tegang dan memerah.

"Kalau sudah begini, apa yang akan kau lakukan?" dengus Kakek Tangan Seribu.

"Maaf, Kek," ucap Pandan Wangi lemah.

"Maaf..., maaf!" dengus Kakek Tangan Seribu kesal.

Rangga yang sama sekali tidak mengetahui duduk persoalannya jadi tambah kebingungan. Dia tidak mengerti sama sekali dengan hal yang diributkan Pandan Wangi dengan Kakek Tangan Seribu. Dan kelihatannya Pandan Wangi begitu takut dan patuh sekali pada kakek tua ini. Ada hubungan apa antara mereka berdua?

"Maaf, Kek. Boleh aku tahu, persoalan apa sebenarnya yang sedang terjadi? Dan Kakek ini apanya Pandan Wangi?" tanya Rangga sopan, tanpa sedikit pun bermaksud menyinggung perasaan.

Kakek Tangan Seribu memandang Rangga. "Mungkin pertanyaanku menyinggung perasaanmu. Tapi, bolehkah Kakek memberitahu sedikit," pinta Rangga.

"Sudah berapa lama kau kenal dengan Pandan Wangi?" tanya Kakek Tangan Seribu.

"Baru beberapa hari," jawab Rangga.

"Apa saja yang telah dikatakan bocah bengal ini?"

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Rangga menceritakan pertemuannya dengan Pandan Wangi. Juga mengenai Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni yang kini sedang dicari-cari dan diperebutkan orang-orang kalangan rimba persilatan yang menyangka benda itu sudah berada ditangan Pandan Wangi. Kakek Tangan Seribu menggeretkan rahangnya. Matanya semakin tajam menatap Pandan Wangi yang hanya tertunduk saja. Rangga makin bingung, karena Kakek Tangan Seribu jadi semakin marah saja kelihatannya. Sungguh mati, dia tidak tahu ada apa di balik semua ini. Kemunculan Kakek Tangan Seribu sepertinya membawa persoalan baru sebelum yang lama selesai.

"Pandan..., Pandan. Kapan sikapmu bisa berubah? Kau bukan anak ingusan lagi, Pandan.... Kau sudah besar dan sudah jadi gadis dewasa," Kakek Tangan Seribu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Maafkan Pandan, Kek," lirih dan pelan sekali suara Pandan Wangi.

"Ah, sudahlah! Selalu itu saja yang kau katakan. Maaf.... Maaf!

Besok, lusa, entah kapan lagi kau pasti bikin ulah. Nah, sekarang apa lagi yang akan kau lakukan? Tokoh-tokoh rimba persilatan sudah tumplek di Banyu Biru. Apa kau sanggup menghadapi mereka yang rata-rata berkemampuan di atasmu?"

Pandan Wangi tidak mampu berkata lagi. Dia hanya menunduk saja seperti tikus menunggu nasib di tangan kucing. Kakek Tangan Seribu mendekati Rangga. Tangannya menepuk-nepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawa cucuku," kata Kakek Tangan Seribu. Suaranya terdengar lunak.

"Sama-sama, Kek. itu juga cuma kebetulan saja, kok," sahut Rangga merendah.

"Ketahuilah, anak muda. Pandan Wangi itu cucuku sendiri. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak dia masih kecil. Aku menitipkannya pada Kakang Abiyasa untuk mendidiknya jadi seorang pendekar wanita yang tangguh. Sayang, Kakang Abiyasa terlalu cepat meninggal sebelum menurunkan seluruh ilmunya pada Pandan Wangi. Sejak itu, Pandan Wangi tinggal bersamaku di hulu sungai Banyu Biru. Tapi anak ini memang nakal, selalu saja bikin ulah macam-macam yang mengundang bahaya."

"Lalu, apa hubungannya dengan Kitab Naga Sewu?" tanya Rangga.

"Masalah ini, sebenarnya aku tidak menyalahkan Pandan Wangi sepenuhnya. Memang benar dia telah menolong seseorang dari tangan Empat Setan Jagal. Tapi kepergiannya ke puncak Bukit Setan, itu cuma bualannya saja! Apalagi kalau sampai menyebarkan kabar angin bahwa dia berhasil menemukan Kitab Naga Sewu. Huh! Orang-orang itu saja yang bodoh. Tidak mungkin Pandan Wangi menemukan Kitab Naga Sewu tanpa memiliki Pedang Naga Geni sekaligus. Kedua pusaka itu selalu berdampingan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain."

"Jadi, kitab dan pedang pusaka itu masih tetap berada di puncak Bukit Setan?" tanya Rangga mulai mengerti permasalahannya.

"Mungkin, aku sendiri tidak tahu," sahut Kakek Tangan Seribu. "Kitab dan pedang itu memang pernah ada dan dimiliki oleh seorang pertapa. Mungkin Pandan Wangi sudah menceritakannya padamu."

"Betul"

"Nah, setelah pertapa itu mangkat, kedua benda pusaka itu menghilang entah kemana. Sampai sekarang tidak seorang pun yang tahu. Memang sudah lama para tokoh rimba persilatan mencari dua benda Itu. Tapi, tidak akan sampai begini jadinya kalau saja bocah nakal ini tidak menyebarkan kabar bohong!"

Kakek Tangan Seribu menatap Pandan Wangi tajam.

"Rasanya persoalan ini tidak bisa diselesaikan begitu saja, Kek," kata Rangga agak bergumam.

"Memang benar, mau tidak mau aku harus menghadapi mereka. Tidak mungkin mereka mau mendengar kata-kata saja. Mereka semua sudah percaya kalau Kitab Naga Sewu sekarang berada di tangan Pandan Wangi," Kakek Tangan Seribu seolah mengeluh.

"Kita akan menghadapi bersama-sama, Kek," kata Rangga.

Kakek Tangang Seribu menatap Rangga tidak mengerti.

"Aku sudah menyebar berita kalau kedua benda itu masih ada diBukit Setan. Hal ini kulakukan untuk mengalihkan perhatian mereka terhadap Pandan Wangi. Bahkan aku juga menyebar kabar kalau dibukit itu sekarang sudah dikuasai oleh seorang pendekar yang kini tengah mempelajari kitab itu, dan menguasai Pedang Naga Geni."

"Gila! Bukit Setan itu bisa hancur!" Kakek Tangan Seribu terperanjat kaget.

"Terpaksa, untuk membatalkan niat mereka yang hanya memiliki kepandaian pas-pasan. Yah, mungkin hanya tinggal beberapa orang saja yang masih berniat mencari kitab itu. Sudah kuperhitungkan, mereka yang tetap pada niatnya adalah orang-orang yang berkemampuan cukup tinggi."

"Lalu, bagaimana kalau mereka tidak menemukan pendekar karanganmu itu?"

"Mereka pasti menemukannya, Kek!"

"Mustahil!"

"Pendekar itu adalah aku sendiri."

"Apa...? Edan!"

"Memang rencana gila, tapi semua kemungkinan sudah kuperhitungkan dengan masak."

Kakek Tangan Seribu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Dia tidak bisa lagi berkata apa-apa. Semuanya sudah telanjur dan tidak mungkin bisa ditarik kembali. Dalam hati dikaguminya keberanian anak muda ini yang rela menempuh bahaya tanpa menghiraukan keselamatan dirinya sendiri.

"Aku rasa sebaiknya persiapkan dirimu, anak muda. Mari kerumahku untuk beberapa hari," Kakek Tangan Seribu mengusulkan.

"Terima kasih," ucap Rangga.

"Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja ini sebagai tanda ucapan terima kasihku karena kau telah menyelamatkan nyawa cucuku yang bandel!" lagi-lagi Kakek Tangan Seribu melirik Pandan Wangi.

"Baiklah," desah Rangga setelah menerima kerlingan mata Pandan Wangi.

"Mari kita berangkat sebelum hari gelap."

Tiga hari Rangga tinggal di rumah Kakek Tangan Seribu. Selama itu, ia memantapkan jurus-jurusnya, terutama ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' dan ilmu 'Cakra Buana Sukma'. Juga, dibantunya Pandan Wangi dengan petunjuk-petunjuk, sehingga gadis itu lebih menguasai lagi jurus-jurusnya.

Sementara Kakek Tangan Seribu selalu mengamati keadaan di Desa Banyu Biru. Hari ini, sejak matahari menampakkan diri, Rangga dan Pandan Wangi sudah berlatih sama-sama. Dan sebenarnya Rangga lebih banyak memberikan pemantapan jurus-jurus silat untuk Pandan Wangi. Mereka berlatih hampir setengah harian. Pandan Wangi kelihatan semakin mantap dengan jurus Kipas Mautnya.

"Cukup!" seru Rangga tiba-tiba.

Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mundur dua langkah. Pandan Wangi menutup kipas saktinya, lalu mereka sama-sama menjura, membungkukkan badannya sedikit. Rangga melangkah mendekati sebuah pohon rindang, kemudian duduk bersandar dibawahnya. Pandan Wangi mengikuti dan duduk di samping pemuda tampan itu.

"Kau tidak berlatih dengan pedangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak," sahut Rangga menggeleng.

"Kenapa?"

"Aku tidak ingin menarik perhatian orang. Pedang Rajawali Sakti terlalu berbahaya, dan aku hanya mengeluarkannya jika diperlukan saja," Rangga menjelaskan.

Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk saja. Dia memang sudah melihat kehebatan pedang Rajawali Sakti ketika Rangga bertarung melawan Iblis Mata Elang. Selama malang-melintang di rimba persilatan bersama Eyang Abiyasa, baru kali itu Pandan Wangi melihat pamor sebuah pedang yang sangat dahsyat.

"Pandan, terus-terang aku masih belum mengerti Kenapa kau sebarkan kabar bohong itu?" Rangg seolah bergumam. Matanya menatap lurus ke mata gadis itu.

"Cuma iseng," sahut Pandan Wangi seenaknya.

"Iseng...?" Rangga mengerutkan keningnya.

"Iya, soalnya sudah lama aku tidak pernah bertemu dengan tokoh-tokoh rimba persilatan. Aku hanya ingin mengumpulkan mereka, dan melihat ilmu-ilmu kesaktian mereka saja."

"Gila! Apa sih untungnya?"

"Tidak ada."

"Lalu, kenapa kau lakukan?"

"Kan sudah kubilang, cuma iseng."

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh dia tidak mengerti sikap Pandan Wangi yang edan-edanan ini. Melakukan pekerjaan yang hanya iseng saja, tapi akibatnya sangat fatal. Nyawa dipermainkan seperti tidak ada harganya sama sekali. Rangga memalingkan kepalanya ketika mendengar langkah-langkah kaki mendekat Juga Pandan Wangi, segera dia bangkit berdiri. Tampak Kakek Tangan Seribu berjalan cepat menghampiri mereka. Rangga segera berdiri begitu Kakek Tangan Seribu hampir sampai.

"Keadaan makin kacau. Desa Banyu Biru seperti gelanggang adu kesaktian," kata Kakek Tangan Seribu.

"Hebat...," desah Pandan Wangi.

"Hebat, gundulmu!" dengus Kakek Tangan Seribu. "Mereka saling bunuh, tahu!"

"Itu lebih baik, Kek. Berarti yang akan datang ke Bukit Setan harus berpikir dua kali. Paling-paling yang datang adalah yang merasa dirinya kuat saja," tenang sekali Pandan Wangi berkata.

"Huh! Seharusnya otakmu dikuras biar bersih!" gerutu Kakek Tangan Seribu.

"Wah! Apakah otakku kotor?"

Rangga tersenyum-senyum saja melihat kakek dan cucu saling adu mulut. Sang kakek pemarah, cucunya senang menggoda. Memang seru jadinya jika bertemu. Rangga seperti melihat dua badut tengah beraksi diatas panggung. Kakek Tangan Seribu terus menggerutu. Dia menarik tangan Rangga dan membawanya pergi menjauh. Rangga mengerling pada Pandan Wangi yang tertawa mengikik kesenangan karena dapat menggoda kakeknya. Kakek Tangan Seribu mengajak Rangga ke tepian sungai Banyu Biru, jauh dari tempat Pandan Wangi berdiri dibawah pohon rindang.

"Ada apa, Kek?" tanya Rangga.

"Aku dapat kabar kalau Iblis Wajah Seribu, Pisau Terbang, Iblis Bayangan Merah, Tongkat Baja Hitam, dan beberapa tokoh sakti lainnya sudah mencapai lereng Bukit Setan," kata Kakek Tangan Seribu.

"Hm..., jadi mereka sudah melupakan Kipas Maut," gumam Rangga.

"Mungkin," jawab Kakek Tangan Seribu juga bergumam.

"Kalau begitu, sudah saatnya aku pergi ke puncak Bukit Setan."

"Kau harus hati-hati, Rangga. Mereka semua sangat sakti dan kejam. Terutama sekali, kau harus waspada terhadap Iblis Wajah Seribu. Dia punya ajian yang bisa membuat lawan menjadi lupa dan tunduk padanya. Hm...," Kakek Tangan Seribu memandang wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Sepertinya ada yang tengah dirisaukan.

"Ada apa, Kek? Kelihatannya ada yang dipikirkan?" tanya Rangga.

"Oh, tidak! Aku hanya berpesan padamu, hati-hati saja dengan Iblis Wajah Seribu," sahut Kakek Tangan Seribu.

"Apakah dia lebih tinggi ilmunya daripada yang lain?"

"Tidak, hanya saja dia punya satu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Keistimewaannya itu yang harus kau perhatikan nanti."

Rangga masih belum mengerti, tapi tidak ingin banyak bertanya lagi. Paling tidak kakek tua ini telah memberikan satu peringatan padanya. Dia akan mengingat-ingat terus nama Iblis Wajah Seribu. Nama yang tampaknya sangat dikhawatirkan sekali oleh laki-laki tua ini.

"Sebaiknya kau berangkat nanti setelah Pandan Wangi pergi ke sungai," kata Kakek Tangan Seribu.

"Aku mengerti, Kek," sahut Rangga.

"Terima kasih, mereka bukanlah lawan Pandan Wangi. Anak itu masih mentah, masih perlu waktu banyak untuk terjun langsung dalam rimba persilatan."

Rangga tersenyum tipis. Kakek tua ini kelihatan galak dan pemarah, tapi sangat mencintai cucu satu-satunya itu. Rangga bisa mengerti, dan tidak ingin mengecewakan harapan Kakek Tangan Seribu. Meskipun tidak diucapkan, namun dari nada bicaranya Rangga sudah bisa mengetahui jelas maksudnya.

Sementara itu matahari terus merayap makin tinggi. Sinarnya terik, membias berkilauan di permukaan sungai Banyu Biru, bak intan permata gemerlap bertaburan indah. Rangga duduk di atas batu dengan kaki berendam dalam air sungai setelah Kakek Tangan Seribu pergi meninggalkannya. Pikirannya terus terpusat pada tokoh-tokoh sakti rimba persilatan yang kini sudah mencapai lereng Bukit Setan.

********************

Bulan bersinar penuh di malam ini. Kesunyiannya meliputi sekitar tepian hulu Sungai Banyu Biru. Cahaya pelita kecil meriap dipermainkan angin malam yang dingin. Cahaya yang tidak bisa menerangi seluruh isi pondok Kakek Tangan Seribu. Tapi cukup jelas membayangi sosok tubuh ramping di beranda pondok itu. Pandan Wangi menatap lurus ke depan. Matanya tidak berkedip memandang satu titik putih yang makin lama makin hilang ditelan kegelapan malam. Tampak titik-titik air bening bergulir di pipinya yang halus. Pandan Wangi tidak menyadari kalau sejak tadi Kakek Tangan Seribu sudah berdiri di belakangnya.

"Kakang Rangga...," desah Pandan Wangi pelan dan lirih.

"Pandan...," Kakek Tangan Seribu menyentuh pundak cucunya.

"Oh!" Pandan Wangi terkejut. Buru-buru dihapus air matanya dan berbalik.

"Kau menangis, cucuku?" lembut suara Kakek Tangan Seribu.

Pandan Wangi hanya mendesah berat, lalu mundur dan bersandar pada tiang beranda pondok kecil itu. Matanya kembali menatap ke arah titik putih yang telah hilang dari pandangannya. Lurus tatapan mata gadis itu menembus kegelapan malam.

"Apa yang kau tangisi, Pandan?" tanya Kakek Tangan Seribu tetap lembut suaranya.

Pandan Wangi tidak menjawab. Kakek Tangan Seribu menghela napas panjang. Dia sungguh tidak tahu kalau Pandan Wangi belum tidur. Tadi seharusnya kepergian Pendekar Rajawali Sakti ditahannya barang sejenak. Laki-laki tua itu bisa merasakan apa yang ada dalam hati cucu tunggalnya ini. Memang wajar kalau gadis seusia Pandan Wangi melirik seorang pemuda, apalagi pemuda tampan dan berkepandaian sangat tinggi seperti Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau mencintainya, Pandan?" Kakek Tangan Seribu langsung menebak.

Pandan Wangi terkejut Matanya menatap lurus ke bola mata laki-laki tua di depannya. Sungguh mati, dan tidak disangka kalau kakeknya bisa menebak perasannya dengan tepat. Dia memang tidak bisa menipu hatinya sendiri, kalau rasa cintanya telah tumbuh subur saat pertemuannya yang pertama kali dengan Rangga. Hanya keangkuhan dan naluri seorang wanita saja yang membuatnya mampu bertahan untuk tidak memperlihatkan, apalagi mengungkapkan cinta di depan pemuda itu.

"Kau sudah dewasa, cantik dan punya sedikit bekal dalam hidup. Aku tidak akan melarang. Hal itu memang wajar dan harus terjadi pada semua makhluk hidup. Kau harus bersyukur karena dalam dirimu masih ada api cinta yang bisa tumbuh."

"Aku..., aku tidak mencintainya! Siapa bilang aku jatuh cinta?" Pandan Wangi menyangkal keras.

"Bisa saja bibirmu berkata begitu, tapi hati dan matamu berkata lain. Aku juga pernah muda dan pernah merasakan seperti yang kau alami sekarang."

"Aku tidak mencintainya, Kek. Dia cuma...," Pandan Wangi tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi. Bibirnya memang menyangkal keras, tapi hatinya memang berkata lain.

Kakek Tangan Seribu tersenyum penuh arti. Dia melangkah dan meraih pundak gadis itu. Kemudian membawanya berjalan-jalan dibawah siraman cahaya sang dewi malam. Pandan Wangi mengikuti saja di samping kakeknya. la tidak menggubris ketika tangan laki-laki tua itu merangkul pundaknya. Malah dengan manja gadis itu meletakkan kepalanya di bahu Kakek Tangan Seribu. Mereka berjalan menuju tepian Sungai Banyu Biru.

"Ayah ibumu adalah sepasang pendekar yang sangat tangguh. Pada masanya mereka dikenal sebagai Sepasang Pendekar Banyu Biru. Aku sangat mencintai mereka, terlebih lagi ketika kau lahir, Pandan. Sayang Yang Maha Kuasa lebih cepat meminta sebelum kau sempat mengenali wajah kedua orang tuamu," kata Kakek Tangen Seribu pelan.

Pandan Wangi hanya diam mendengarkan. Sudah sering hal ini diceritakan. Banyu Biru memang tempat kelahiran seluruh keluarganya, termasuk Pandan Wangi. Hanya Kakek Tangan Seribu yang selalu berpetualang, merambah rimba persilatan. Laki-laki tua ini baru menetap di Banyu Biru setelah kematian Eyang Abiyasa, ayah dari ibu Pandan Wangi.

"Sekarang cuma kau satu-satunya keturunanku Pandan. Kurasa wajar jika aku berharap bila kau mendapatkan seorang suami yang dapat melindungi mu dari segala macam keganasan dunia," lanjut Kakek Tangan Seribu.

"Kek...," tiba-tiba Pandan Wangi berhenti melangkah.

Kakek Tangan Seribu juga berhenti melangkah! "Biarkan saja, Pandan," bisik Kakek Tangan Seribu.

Pandan Wangi kembali melangkah mengikuti kakeknya. Telinganya tetap terpasang tajam menangkap langkah-langkah kaki orang lain yang ringan bagai tidak menyentuh tanah, tengah mengikuti mereka. Dan Kakek Tangan Seribu juga sudah mengetahui hal itu. Mereka memang tengah diintai.

"Awas, Pandan...!" tiba-tiba Kakek Tangan Seribu berteriak keras.

"Hiya...!"

********************

ENAM

Jarum-jarum beracun meluncur deras bagai hujan ke arah Kakek Tangan Seribu dan Pandan Wangi. Mereeka berlompatan menghindari serangan gelap itu. Pandan Wangi langsung mencabut kipas saktinya, lalu menyampok jarum-jarum beracun hingga berguguran di tanah. Kakek Tangan Seribu merapatkan kedua telapak 'tangannya didepan dada, kemudian tubuhnya berputaran di udara. Seketika kedua tangannya mendorong ke depan setelah kakinya menjejak tanah.

Seleret sinar merah meluncur dari telapak tangan lelaki Itu. Ledakan keras terdengar bersamaan dengan hancurnya sebatang pohon ara besar. Hampir bersamaan, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah melenting ke udara, lalu meluruk turun dan menjejak tanah. Tampak seorang perempuan tua berdiri sekitar empat depa jauhnya di depan kakek dan cucu itu. Perempuan tua itu mengenakan jubah longgar berwarna merah menyala. Wajahnya penuh keriput. Seluruh giginya hitam saat menyeringai. Matanya merah menatap tajam Pandan Wangi.

"Nenek Jubah Merah...," desis Kakek Tangan Seribu.

"Hik hik hik..., orang lain boleh tertipu ke Bukit Setan. Tapi aku tidak! Bocah manis, serahkan Kitab Naga Sewu, atau kau kukirim ke neraka!" suara Nenek Jubah Merah kecil, tapi melengking tinggi.

"Kitab itu telah direbut Pendekar Rajawali Sakti. Dia sekarang ada di puncak Bukit Setan mencari Pedang Naga Geni," sahut Pandan Wangi dingin.

"Bangsat! Kau akan mempermainkan aku, heh?!" geram Nenek Jubah Merah.

"Kalau tak percaya, ya sudah!"

"Tidak ada yang percaya dengan omonganmu bocah edan!"

"Kalau aku edan, mengapa kau percaya kalau aku menyimpan kitab itu? Sama saja kau juga gila!"

"Kurang ajar! Lancang benar mulutmu! Biar robek mulutmu supaya lebih besar!"

"Silakan kalau kau mampu."

"Modar!"

Nenek Jubah Merah langsung mengebutkan tangannya. Seketika jarum-jarum beracun meluncur deras ke arah Pandan Wangi. Gadis itu mengibaskan kipas saktinya, maka jarum-jarum itu rontok sebelum mencapai sasaran. Melihat jarum-jarum beracunnya dengan mudah dapat dirontokkan, Nenek Jubah Merah langsung menjadi makin geram.

Mendadak tubuhnya melenting ke udara, lalu meluruk ke arah Pandan Wangi, atau Kipas Maut. Memang, dengan kipas baja sakti berada ditangan, Pandan Wangi bagaikan singa betina siap mencabut nyawa. Dengan jurus-jurus pendek dan berbahaya, Nenek Jubah Merah merangsek Pandan Wangi. Pertarungan berlangsung sengit dan cepat. Pandan Wangi yang telah mendapat gemblengan dari Pendekar Rajawa Sakti selama tiga hari, kini makin kelihatan gesit gerakannya. Gadis ini kini menampakkan kemajuan yang amat pesat. Jurus-jurusnya tampak lebih mantap dan berbahaya.

Lima jurus berlalu dengan cepat Dan Nenek Jubah Merah semakin geram karena belum juga dapat menjamah tubuh gadis belia ini. Sungguh tidak diduga kalau Kipas Maut yang masih muda itu mampu menandinginya lebih dari lima jurus. Sementara itu Kakek Tangan Seribu nampak tercengang melihat kemajuan jurus-jurus Kipas Maut yang amat pesat dalam waktu singkat.

Triing!

Pada jurus ke sepuluh, Nenek Jubah Merah tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dikeluarkannya sebilah tongkat pendek yang masing-masing ujungnya runcing. Dengan senjatanya ini iblis itu jadi semakin garang dengan jurus-jurusnya yang berbahaya. Begitu cepat dia bergerak, sehingga yang tampak hanyalah bayangan merah berkelebatan mengurung Pandan Wangi. Beberapa kali dua senjata beradu keras menimbulkan pijaran bunga api.

Memasuki jurus ke lima belas, tampak Pandan Wangi mulai terdesak. Jurus-jurus Nenek Jubah Merah semakin cepat dan beberapa kali hampir menemui sasaran. Pandan Wangi semakin kewalahan menerima serangan-serangan nenek iblis ini. Ketika tongkat Nenek Jubah Merah menusuk ke arah dada, Pandan Wangi mengibaskan kipas mautnya.

Cring!

Pandan Wangi merasakan tangannya bergetar hebat, dan jari-jari tangannya menjadi kaku. Belum sempat melakukan gerakan lain, mendadak kaki Nenek Jubah Merah melayang cepat. Buk! Pandan Wangi mengeluh pendek. Perutnya telak kena sambaran kaki Nenek Jubah Merah. Gadis itu terjajar ke belakang.

"Hiya...!"

Nenek Jubah Merah berteriak nyaring. Secepat kilat ditusukkan tongkatnya ke arah dada Pandan Wangi. Pada saat yang genting itu, mendadak secercah sinar keperakan berkelebat cepat.

Trak!

"Setan!" dengus Nenek Jubah Merah geram. Buru-buru ditarik senjatanya kembali.

"Mundur, Pandan!" bentak Kakek Tangan Seribu yang ternyata telah melontarkan bintang perak untuk menggagalkan serangan Nenek Jubah Merah.

"Kakek...!" Pandan Wangi ingin membantah.

"Mundur, kataku!" bentak Kakek Tangan Seribu.

Pandan Wangi melangkah mundur. Diselipkan kembali kipas mautnya ke balik ikat pinggang. Dari pergelangan sampai ujung jari tangannya masih terasa nyeri dan kaku. Tenaga dalam Nenek Jubah Merah memang jauh lebih tinggi. Tidak heran kalau Pandan Wangi kalah dalam adu tenaga dalam. Masih untung senjatanya tidak terlepas.

Kini dua tokoh saling berhadap-hadapan. Mereka saling pandang dengan tajam, seolah saling mengukur kepandaian masing-masing lewat sorot mata. Kakek Tangan Seribu menggeser kaki kanannya. Sedangkan nenek iblis itu mengimbangi dengan menggerak-gerakkan tongkat pendeknya melintang di depan dada. Suasana tegang menyelimuti tepian hulu Sungai Banyu Biru. Mendadak, hampir bersamaan mereka berteriak nyaring dan melompat saling menerjang.

"Hiya...!"

"Hiya...!"

Kakek Tangan Seribu dan Nenek Jubah Merah sama-sama di udara. Kakek Tangan Seribu menggerakkan kedua tangannya dengan cepat, lalu mendorong kuat-kuat ke depan. Nenek Jubah Merah melintangkan tongkat pendeknya ke depan. Pada satu titik, mereka bertemu di udara. Ledakan keras terjadi memekakkan telinga. Tampak dua tubuh terpental jatuh ke tanah. Kakek Tangan Seribu segera bangkit berdiri setelah bergulingan di tanah berbatu. Sedangkan Nenek Jubah Merah juga sudah berdiri tegak. Tampak di sudut bibir masing-masing merembes darah segar. Rupanya kekuatan ilmu tenaga dalam mereka seimbang.

"Perempuan iblis, terima jurus Tangan Seribu ku!" dengus Kakek Tangan Seribu.

Secepat kilat Kakek Tangan Seribu merangsek dengan jurus 'Tangan Seribu'. Satu jurus tangan kosong yang memiliki kekuatan dahsyat. Pukulan dan kibasan tangannya mengandung hawa dingin membekukan tulang. Jangankan tubuh manusia, batu cadas sekali pun bisa hancur jika terkena pukulannya.

Sementara itu Nenek Jubah Merah melayani dengan jurus 'Bayangan Merah'. Jurus itu tidak kalah dahsyatnya, apalagi di tangan Nenek Jubah Merah tergenggam senjata. Gerakan tangan, kaki, dan tubuhnya sangat cepat, sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan merah saja. Meskipun Kakek Tangan Seribu tidak menggunakan senjata, tapi gerakan tangannya sangat cepat, dan mampu menandingi jurus 'Bayangan Merah'. Seolah-olah tangan kakek tua itu jadi seribu jumlahnya. Berkelebatan mengurung tubuh Nenek Jubah Merah yang bergerak cepat, seakan juga mengurung Kakek Tangan Seribu.

"Lihat kaki!" tiba-tiba Nenek Jubah Merah berseru keras.

"Uts!" Kakek Tangan Seribu langsung melompat begitu tongkat Nenek Jubah Merah menyambar ke arah kaki.

Belum lagi Kakek Tangan Seribu menjejakkan kaki di tanah, secepat kilat tangan kiri Nenek Jubah Merah menyodok ke depan. Kakek Tangan Seribu mengibaskan tangannya melindungi dada dari sodokan yang cepat dan riba-tiba itu.

Trak!

Dua tangan beradu keras. Saat Nenek Jubah Merah menarik tangan kirinya pulang, dengan cepat Kakek Tangan Seribu melayangkan kakinya menyampok ke arah pinggang. Nenek Jubah Merah berkelit mundur satu langkah. Kaki kanan Kakek Tangan Seribu melayang menghantam ruang kosong perut perempuan itu. Pada saat jarak mereka agak merenggang, tiba tiba Nenek Jubah Merah mengibaskan tangannya dengan cepat.

Wut!

Jarum-jarum beracun meluncur deras ke arah Kakek Tangan Seribu. Tentu saja dalam jarak yang demikian dekat dan disertai dengan gerakan yang tidak terduga-duga itu, membuat kakek itu jadi kelabakan. Dia berlompatan di udara, tapi...

"Akh!"

Kakek Tangan Seribu tidak dapat menghindari beberapa jarum beracun. Tiga jarum menancap di pundak kiri, dua di perut, dan satu lagi tepat menancap di kening. Kakek Tangan Seribu jadi limbung.

"Setan...!" geram Kakek Tangan Seribu.

Sebelum tubuhnya ambruk, mendadak dia mengebutkan tangannya dengan cepat. Sinar-sinar keperakan bertebaran, meluncur deras ke arah Nenek Jubah Merah. Kakek Tangan Seribu melontarkan bintang peraknya sambil berlompatan dengan sisa-sisa kekuatannya.

Nenek Jubah Merah pun juga berlompatan mengibaskan tongkat pendek, menyampok bintang-bintang perak yang mencecar tubuhnya bagai hujan. Jarak antara dua tokoh itu makin dekat saja. Sementara bintang perak terus bertebaran mengurung Nenek Jubah Merah dari segala arah.

"Hiya...!" seketika Kakek Tangan Seribu berteriak nyaring.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya meluncur menerjang Nenek Jubah Merah. Tentu saja perempuan tua itu menjadi kaget setengah mati melihat kenekatan lawannya. Tidak ada pilihan lain lagi, kecuali mendorong ujung tongkatnya ke depan. Crab!

Tongkat Nenek Jubah Merah menancap dalam, tepat di jantung Kakek Tangan Seribu. Darah segera muncrat keluar. Namun, sebelum menemui ajal, kakek tua itu sempat melontarkan bintang peraknya beberapa kali. Melihat hal itu, Nenek Jubah Merah yang tongkatnya masih tertanam di dada Kakek Tangan Seribu, menjadi terkejut. Buru-buru dilepaskan genggaman pada tongkatnya, lalu melenting menghindari bintang-bintang perak. Tapi terlambat. Satu bintang perak menancap dalam di bagian paha kiri.

"Akh!" Nenek Jubah Merah memekik tertahan. Begitu tubuh Nenek Jubah Merah meluncur jatuh, dengan cepat Pandan Wangi melenting sambil mengibaskan kipasnya kearah leher Nenek Jubah Merah.

"Akh!" kembali Nenek Jubah Merah memekik. Nenek Jubah Merah memang tidak mungkin lagi mengelak. Tanpa ampun lagi lehernya terbabat ujung kipas Pandan Wangi. Dia jatuh bergulingan dl tanah. Darah mengucur deras dari leher yang koyak lebar. Hanya sebentar perempuan tua berhati iblis itu kelonjotan, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.

"Kakek...!" seru Pandan Wangi. Segera gadis itu berlari menubruk kakeknya yang menggeletak dengan beberapa jarum tertanam ditubuhnya. Tongkat pendek Nenek Jubah Merah masih tertanam dalam di dadanya. Kakek Tangan Seribu diam tak bergerak lagi. Nyawa satu-satunya telah melayang, bersamaan dengan terlontarnya bintang bintang perak dari balik lengan bajunya.

"Kakek...," rintih Pandan Wangi sambil memeluk tubuh kakeknya. Pandan Wangi tak kuasa lagi menahan air mata yang meluncur deras membasahi pipi yang putih kemerahan. Bibir yang merah alami bergetar menyebut-nyebut nama kakeknya. Pandan Wangi membopong tubuh kurus tua yang telah menjadi mayat. Langkahnya lesu meninggalkan tepian Sungai Banyu Biru.

Sambil membopong tubuh kakeknya, Pandan Wangi melangkah pelan menuju pondok yang tidak jauh dari hulu Sungai Banyu Biru. Air matanya terus mengalir bagai anak sungai. Pandan Wangi terus melangkah memasuki rumah kecil itu, kemudian meletakkan tubuh laki-laki tua yang telah menjadi mayat itu di dipan. Sebentar dipandanginya orang yang telah menjadi payung dan tiang utama kehidupannya.

"Maafkan Pandan, Kek," rintihnya lirih. "Pandan janji tidak akan membuat ulah lagi Pandan akan menjadi pendekar pilih tanding, dan memberantas segala macam kejahatan."

Pandan Wangi berlutut di depan mayat kakeknya Kemudian dia berdiri dan melangkah mundur. Matanya basah bersimbah air mata, menatap sayu tubuh kurus yang terbujur di dipan kayu. Pandan Wangi terus melangkah mundur sampai ke luar pondok.

"Selamat jalan, Kek. Hanya aku yang bisa melaksanakan keinginanmu," bisik Pandan Wangi lirih. Tangannya bergetar mengambil obor yang tertanam di depan pondok. Sebentar dia berdiri mematung memandangi ke dalam pondok yang terbuka pintunya. Dengan hati berat, gadis itu melemparkan obor ke atap rumah. Dilaksanakan pesan kakeknya agar membakar pondok ini beserta mayatnya.

Pandan Wangi mundur beberapa langkah ketika api makin besar melahap pondok itu. Bunyi kayu terbakar meletup, menambah kepedihan hati gadis itu. Api terus merambat melahap kayu-kayu pondok. Letupan-letupannya memercikkan bunga-bunga api yang membumbung tinggi ke angkasa.

"Kakek...," rintih Pandan Wangi.

********************

Bukit Setan tampak angker menjulang menantang langit. Seluruh permukaannya ditumbuhi pohon-pohon besar dan kecil yang rapat. Sulit untuk mencapai puncak bukit yang penuh oleh pepohonan dan batu-batuan yang besar, membentuk lembah dan jurang-jurang terjal. Keadaan yang sulit dijamah ini, menjadi tidak mengherankan kalau penduduk Desa Banyu Biru yang berada dekat bukit itu enggan untuk memasukinya.

Sebenarnya bukit ini tidak seseram seperti namanya. Bukit ini tampak begitu indah dan sejuk udaranya Mungkin karena memiliki banyak jurang dan lembah yang dalam serta pepohonan yang rapat, sehingga tampak menyeramkan. Belum lagi batu-batuan yang mudah gugur dan lumpur-lumpur hidup yang siap memangsa apa saja yang masuk ke dalamnya.

Rangga yang sudah mencapai puncak Bukit Setan itu, berdiri mematung memandangi sekitarnya. Tampak di sebelah Timur, Desa Banyu Biru terlihat indah dengan sungainya yang meliuk-liuk melingkari lereng bukit.

"Hm, dimana letak goa yang didiami pertapa itu?" tanya Rangga dalam hari.

Kembali matanya beredar ke sekeliling. Yang tampak hanya pepohonan dan batu-batuan. Sedikit pun tak nampak tanda-tanda kalau di puncak Bukit Setan ini pernah terjadi kehidupan. Bahkan, sepertinya binatang pun enggan hidup di sini. Sejak tadi Rangga tidak menemukan seekor cacing pun di puncak bukit ini. Benar-benar senyap dan mati suasananya.

Ketika Pendekar Rajawali Sakti itu dalam kebingungan, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara mencurigakan dari arah Barat. Rangga segera mengarahkan pandangannya ke sana. Tampak gerumbul semak bergoyang-goyang seperti terlanda sesuatu yang berjalan mendaki puncak bukit ini.

"Hup!"

Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu melenting tinggi ke angkasa. Sedikit kakinya menjejak ranting pohon, lalu melenting lebih tinggi lagi. Sampai pada tempat yang paling tinggi di pohon besar, Rangga duduk mengawasi keadaan di bawahnya. Matanya yang tajam bagai mata elang, langsung melihat empat orang sedang berjalan merambah semak belukar menuju puncak.

Rangga kenal betul terhadap empat orang itu. Mereka adalah Empat Setan Jagal. Golok mereka berkelebatan menebas semak yang menghalangi langkah mereka. Rangga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Seorang tokoh sakti sekali pun, masih cukup sulit untuk mengetahui keberadaannya kalau dia sudah mengerahkan ilmu ini.

Sementara itu Empat Setan Jagal telah mencapai puncak. Mereka berhenti tepat di bawah pohon, tempat Pendekar Rajawali Sakti bertengger di atasnya. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, tidak terlalu sulit menangkap pembicaraan mereka. Lebih-lebih setelah ia mengerahkan ilmu pemecah suara dan pembeda gerak.

"Huh! Gara-gara Kipas Maut, kita yang sulit jadinya," dengus Jagal Merah.

"Iya. Kalau saja tidak ada Pendekar Rajawali Sakti, telah kutebas leher gadis liar itu!" sambung Jagal Biru.

"He he he..., paling-paling kau nikmati dulu tubuhnya," olok Jagal Kuning.

"Bukan aku, tapi kita!" rungut Jagal Biru.

Ketiga jagal itu tertawa gelak, kecuali Jagal Hitam. Dia berdiri tegak menatap ke arah Desa Banyu Biru. Mulutnya terkatup rapat, menampakkan wajah tegang. Tawa ketiga jagal berhenti saat melihat Jagal Hitam tidak berkedip memandang ke arah Desa Banyu Biru Memang, dari tempat itu mereka bisa memandang dengan jelas ke arah desa dan lereng.

"Apa yang kau pikirkan, Jagal Hitam?" tanya Jagal Merah.

"Hm...," Jagal Hitam hanya menggumam tidak jelas.

Jagal Merah mengarahkan pandangannya pula ke sana. Keningnya berkerut begitu melihat titik merah bergerak ke arah yang sama. Wajah mereka langsung menegang melihat titik merah yang kini makin nyata menjadi sebuah bayangan yang bergerak cepat seperti melayang dari puncak pohon yang satu ke puncak pohon yang lain.

"Aku tidak mengerti, mengapa mereka jadi beralih ke Bukit Setan?" Jagal Hitam bergumam seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Pendekar Rajawali Sakti telah menyebar kabar kalau kitab dan pedang pusaka itu ada di sini," jawab Jagal Kuning.

"Gila! Dari mana kau tahu?" dengus Jagal Hitam.

"Semua orang telah tahu. Hampir setiap hari Desa Banyu Biru menjadi ajang pertarungan orang-orang yang mencari benda pusaka itu," sahut Jagal Kuning.

"Phuih! Bukit Setan bakal jadi ajang pertarungan!" dengus Jagal Hitam geram.

"Tempat pembantaian tokoh-tokoh sakti rimba persilatan," sambung Jagal Biru.

"Mau tidak mau, kita harus mempertahankan tempat ini," kata Jagal Merah.

"Mustahil. Kita tidak mungkin bisa menghadapi mereka," sahut Jagal Hitam yang menyadari kalau yang akan dihadapi mereka adalah tokoh-tokoh sakti berkemampuan tinggi.

"Lantas, apa tindakan kita?" tanya Jagal Kuning.

"Biarkan mereka saling bunuh di sini. Aku tidak peduli tempat ini akan banjir darah dan mayat," sahut Jagal Hitam.

Sementara itu bayangan merah yang bergerak cepat mendaki bukit sudah semakin jelas terlihat. Jagal Hitam mengedarkan pandangannya kesekeliling, lalu memberi isyarat agar yang lainnya bersembunyi dibalik sebuah batu besar tidak jauh dari tempat ini. Bergegas mereka berlompatan ke arah yang ditunjuk Jagal Hitam.

Sedangkan Rangga yang menyaksikan sejak tadi di atas pohon, hanya tersenyum tipis. Rencananya sudah kelihatan berjalan. Dia juga sudah melihat bayangan merah semakin mendekati puncak Bukit Setan. Rangga tersenyum ketika mengenali bayangan merah yang ternyata adalah wanita cantik yang ditemuinya di kedai Wanita yang berjuluk Pisau Terbang, dan yang telah membunuh Iblis Kembar Hitam. Rupanya Pisau Terbang tertarik juga dengan kabar tentang adanya Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni di Bukit Setan.

"Sayang, cantik-cantik serakah," gumam Rangga dalam hati.

********************

"Ah, ada empat monyet bersembunyi di sini," gumam Pisau Terbang ketika tiba di puncak Bukil Setan.

Gumaman yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggema ke seluruh puncak bukit ini. Empat Setan Jagal saling Dandang karena gumaman itu jelas-jelas tertuju kepada mereka. Jagal Merah yang sulit mengendalikan emosi, jadi geram mendengar penghinaan itu. Langsung saja dia melompat keluar dari balik batu.

Setan Jagal Iainnya ikut belompatan keluar menyusul Jagal Merah. Mereka berdiri sejajar sekitar tiga tombak jaraknya dari Pisau Terbang. Begitu melihat paras cantik berada di depannya, Jagal Biru jadi terpikat. Jagal Kuning yang memang suka wanita wanita cantik, menelan ludahnya membasahi tenggorokan yang terasa kering mendadak.

"Empat Setan Jagal..., nama kalian sudah terkenal sebagai penguasa Bukit Setan ini. Namun tidak disangka bisa kecolongan oleh gadis ingusan," lagi-lagi Pisau Terbang bergumam. Kata-katanya terdengar Iembut dan merdu, namun sangat menyakitkan telinga.

"Apa maksudmu datang ke sini, Pisau Terbang?" tanya Jagal Hitam kasar.

"Apakah aku harus menjawab?" Pisau Terbang malah balik bertanya.

"Kau pasti mencari Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni," kata Jagal Biru tersenyum sinis.

"Mungkin," sahut Pisau Terbang kalem.

"Sebaiknya urungkan saja niatmu. Sayang kalau wajahmu yang cantik dan kulitmu yang halus menjadi rusak oleh golok kami," kata Jagal Merah. Matanya liar merayapi wajah cantik di depannya.

"Mungkin anak kecil takut melihat golok rongsokan kalian. Apakah mungkin bisa menandingi pisau-pisau terbangku?"

"Setan! Kurobek mulutmu!" geram Jagal Merah tidak dapat lagi menahan emosinya. Selesai berkata demikian, secepat kilat Jagal Merah melompat seraya mengibaskan goloknya. Pisau Terbang hanya memiringkan tubuhnya sedikit, lalu begitu golok Jagal Merah lewat di samping tubuhnya, dengan cepat diayunkan kakinya.

"Uts!" Jagal Merah langsung menarik dirinya ke belakang.

Tendangan menyamping Pisau Terbang luput Jagal Merah kembali mengayunkan goloknya mengarah ke kepala wanita cantik itu. Sabetan golok besar disertai tenaga dalam itu, menimbulkan suara angin menderu. Pisau Terbang menundukkan kepalanya sedikit, lalu tangan kanannya terangkat ke atas.

"Setan!" dengus Jagal Merah cepat menarik tangannya.

Hampir saja tangan kanan Pisau Terbang menotok pergelangan tangan Jagal Merah. Pertarungan terus berlanjut sampai lima jurus, tapi sampai sejauh itu tidak sedikit pun Pisau Terbang menggeser kakinya. Tampaknya dia menganggap enteng lawannya ini. Sedangkan Jagal Merah semakin bernafsu menyerang dengan jurus-jurus mautnya yang cepat dan berbahaya.

"Bantu dia, Jagal Biru," perintah Jagal Hitam yang melihat Jagal Merah sudah kewalahan. Jagal Biru segera melompat membantu Jagal Merah menyerang Pisau Terbang. Mendapat bantuan dari Jagal Biru, semangat Jagal Merah seperti terpompa kembali. Serangan-serangan goloknya semakin cepat dan berbahaya.

"Bagus!" dengus Pisau Terbang. "Kenapa tidak semuanya saja turun?"

"Sombong! Kurobek mulutmu, perempuan setan!" geram Jagal Merah.

"Ah, mulutmu besar sekali. Aku suka kalau kau punya mulut lebih lebar lagi."

"Mampus kau, perempuan setaaan!" teriak Jagal Merah.

Seketika diayunkan goloknya ke arah kepala Pisau Terbang. Sedangkan Jagal Biru mengincar kakinya. Pisau Terbang melenting kebelakang, dan dua serangan sekaligus itu lewat begitu saja tanpa mengenai sasaran. Dengan jari kaki menjejak batang pohon, Pisau Terbang meluruk cepat ke arah Jagal Merah. Jari-jari tangan perempuan cantik itu terkembang bagai cakar elang. Jagal Merah terperanjat sekali, buru-buru dijatuhkan dirinya ketanah. Tapi kaki Pisau Terbang dengan cepat menyampok.

Buk!

"Uhk!" Jagal Merah mengeluh setelah merasakan pinggangnya kena sampok kaki Pisau Terbang. Melihat temannya terguling, Jagal Biru langsung melompat sambil mengibaskan goloknya. Pisau Terbang, yang baru menjejakkan kakinya di tanah, mengebutkan tangan kanannya, maka dua bilah pisau pun meluncur deras ke arah Jagal Biru.

"Aaakh...!" Jagal Biru menjerit melengking. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Pisau Terbang dengan cepat menggunakan senjata tersembunyi. Padahal, dia dalam posisi yang sulit sekali. Dua bilah pisau tertancap dalam di dada Jagal Biru.

Pisau Terbang langsung melenting ke arah Jagal Biru. Tangannya pun segera mencabut pisau di dada laki-laki itu, seraya dengan cepat kakinya menendang. Tubuh Jagal Biru melayang deras ke arah Jagal Hitam dan Jagal Kuning.

"Bangsat...!" geram Jagal Hitam melihat tubuh Jagal Biru jatuh, sudah jadi mayat didepannya.

"Perempuan setan! Kau harus bayar nyawa saudaraku!" geram Jagal Merah yang sudah bangkit lagi.

"Kalian semua akan segera menyusul ke neraka," kata Pisau Terbang dingin.

"Mampus kau, perempuan liar...!"

Jagal Merah makin meluap kemarahannya. Goloknya berkelebatan cepat mengincar tubuh Pisau Terbang. Sedangkan Jagal Hitam dan Jagal Kuning juga sudah melompat merangsek perempuan cantik itu. Pisau Terbang melayaninya dengan kedua tangan menggenggam pisau yang panjangnya hanya satu jengkal.

Tring, tring!

Dua kali Pisau Terbang menangkis serangan golok yang mengurung dirinya dari tiga arah. Sedangkan kakinya melayang deras ke arah dada Jagal Kuning Dan.... Buk!

"Uhk!" Jagal Kuning terjajar ke belakang. Telak sekali kaki Pisau Terbang mendarat di dadanya. Seketika Jagal Kuning merasakan napasnya sesak, dan matanya berkunang-kunang. Belum sempat mengatur napasnya, tangan kiri Pisau Terbang bergerak cepat mengibas.

"Aaakh...!" Jagal Kuning menjerit keras. Pisau di tangan kiri Pisau Terbang begitu cepat meluruk, sehingga Jagal Kuning tidak bisa lagi mengelak. Jagal Kuning langsung ambruk dengan dada tertembus pisau. Dua dari Empat Setan Jagal sudah tewas dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sedangkan yang Iainnya sudah merasa gentar. Gerakan-gerakan mereka tampak tidak teratur lagi. Jurus-jurusnya ngawur, dan hal ini membuat Pisau Terbang jadi makin enak menghadapinya.

"Lepas!" tiba-tiba Pisau Terbang berseru keras.

Cepat sekali tangan kirinya menepak pergelangan tangan Jagal Merah. Golok besar Jagal Merah meluncur, lepas dari genggaman. Belum hilang rasa terkejut nya, mendadak kaki Pisau Terbang sudah melayang menghantam dada. Jagal Merah terhuyung-huyung kebelakang. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah segar. Pisau Terbang langsung memutar tubuhnya, dan tangan kanan yang menggenggam pisau berkelebat cepat mengibas. Pisau di tangan wanita cantik itu meluncur deras ke arah Jagal Hitam.

Tring!

Jagal Hitam menangkis pisau itu, namun tidak bisa lagi mengelak dari serangan kaki Pisau Terbang yang datang hampir bersamaan.

"Uhk!" Jagal Hitam mengeluh, dadanya sesak kena tendangan geledek Pisau Terbang. Saat tubuh Jagal Hitam terhuyung-huyung kebelakang, kembali kaki kanan Pisau Terbang melayang cepat. Jagal Hitam kembali mengaduh keras, karena pergelangan tangan kanannya seperti remuk terhajar kaki wanita itu. Goloknya terlepas, dan Pisau Terbang dengan cepat mencelat menyambar golok itu.

"Hiya...!"

"Aaakh...!" Jagal Hitam menjerit melengking. Pisau Terbang menggunakan golok Jagal Hitam untuk menebas leher pemiliknya sendiri. Kepala Jagal Hitam terguling lepas dari lehernya. Pisau Terbang menghampiri mayat Jagal Kuning dan Jagal Biru. Dicabutnya pisau yang tertancap di tubuh mereka. Kemudian berbalik dan melangkah menghampiri Jagal Merah yang sudah pucat-pasi mukanya.

Wanita cantik bertubuh indah itu bagaikan iblis pencabut nyawa dimata Jagal Merah. Pelan tapi pasti, Pisau Terbang mendekati Jagal Merah yang kelihatannya sudah putus asa. Kedua bola matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seakan-akan mencari celah untuk dapat meloloskan diri.

"Giliranmu sudah tiba, monyet jelek," dengus Pisau Terbang dingin suaranya.

"iblis! Yeaaah...!" Jagal Merah berteriak keras. Sambil mengayun-ayunkan goloknya yang besar, dia lalu menerjang Pisau Terbang. Jagal Merah sudah nekad, meskipun tahu dirinya tidak mungkin bisa menang menghadapi perempuan cantik ini.

Pisau Terbang memiringkan tubuhnya ke kanan dan golok Jagal Merah menyambar angin di samping kiri tubuh Pisau Terbang. Secepat kilat kaki kiri Pisau Terbang tertekuk dan terangkat ke atas.

"Huk!" Jagal Merah melenguh pendek saat lutut Pisau Terbang bersarang tepat di ulu hatinya. Belum lagi bisa berpikir, tangan kiri wanita itu menghajar wajahnya dengan telak. Jagal Merah terdongak, terjajar ke belakang. Pisau Terbang tidak mau membuang-buang waktu dan tenaga percuma. Pisaunya langsung berkelebat cepat merobek mulut Jagal Merah. Dibuktikan ucapannya untuk memperbesar mulut laki-laki ini. Jagal Merah meraung keras sambil memegangi mulutnya yang sobek sampai ke pipi. Darah mengucur deras di sela-sela jarinya.

"Hiya...!"

"Aaa...!" Jagal Merah menjerit melengking. Si Pisau Terbang menghunjam dada Jagal Merah dengan pisaunya. Darah langsung muncrat begitu pisau ditarik ke luar. Wanita cantik itu menendang tubuh Jagal Merah yang sudah bermandikan darah. Tubuh laki-laki tinggi besar itu jatuh bergulingan ditanah. Pisau Terbang membersihkan darah yang melekat di kedua senjatanya dengan baju Jagal Merah, kemudian diselipkan kembali di pinggangnya.

Sementara Rangga yang memperhatikan pertarungan itu dari atas pohon, menggeleng-gelengkan kepalanya. Pisau Terbang memang cantik dan menggairahkan, tapi sangat buas dan ganas. Membunuh lawan tanpa memicingkan mata sedikit pun juga. Darah mulai membasahi puncak Bukit Setan. Entah berapa mayat lagi yang akan jatuh bergelimpangan. Awal pertarungan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan sudah dimulai. Empat Setan Jagal jadi korban pertama di Bukit Setan ini.

********************

Matahari bersinar semakin terik. Satu per satu tokoh-tokoh rimba persilatan berdatangan ke puncak Bukit Setan. Satu per satu pula nyawa melayang sia-sia. Bagi yang bernyali kecil, langsung membatalkan niatnya. Hanya tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi saja yang masih bertahan di puncak Bukit Setan ini.

Udara di sekitar pucak bukit ini sudah dipenuhi bau anyir darah dari mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara Rangga yang sejak semula memperhatikan dari puncak pohon, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia terkejut begitu melihat Pandan Wangi berlari-lari merambah kelebatan Hutan Bukit Setan.

"Pandan Wangi! Mau apa dia ke sini?" kata Rangga dalam hati.

Rangga mengalihkan pandangannya pada Pisau Terbang, Iblis Wajah Seribu, Iblis Bayangan Merah, Tongkat Baja Hitam, serta beberapa tokoh lain yang berkumpul di puncak Bukit Setan ini. Mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang sangat sakti.

"Celaka...!" desah Rangga.

Secepat kilat dia melompat dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Gerakannya ringan bagai kapas tertiup angin. Begitu dekat dengan Pandan Wangi, tubuhnya melenting turun dengan ringannya. Pandan Wangi terkejut, karena tiba-tiba saja didepannya Rangga sudah menghadang.

"Pandan Wangi, kenapa kau ke sini?" tanya Rangga.

"Kakang...," Pandan Wangi langsung menghambur dan memeluk pemuda itu.

Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti itu jadi kaget, Iebih-lebih melihat Pandan Wangi menangis dalam pelukannya. Pelan-pelan Rangga melepaskan pelukan itu, lalu mengajak Pandan Wangi kesebuah pohon yang besar. Pandan Wangi menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya. Rangga menunggu sampai gadis itu tenang.

"Pandan Wangi, kenapa kau ke sini?" tanya Rangga lembut.

"Aku harus mencegah pertumpahan darah ini, Kakang," sahut Pandan Wangi.

"Gila! Mana mungkin? Mereka telah saling bunuh! Bahkan telah banyak korban. Apa kau ingin tubuhmu dicincang mereka?"

"Hidup juga percuma, Kakang," desah Pandan Wangi seperti putus asa.

Rangga terkejut mendengar nada putus asa dalam suara Pandan Wangi. Matanya menatap lurus wajah lesu yang tanpa gairah itu. Mendadak dia jadi teringat Kakek Tangan Seribu. Apakah orang tua itu tahu kalau cucunya datang ke sini?

"Kakek tahu kau ke sini?" tanya Rangga.

Pandan Wangi hanya menatap wajah pemuda itu. Bibirnya bergerak seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak sedikit pun suara yang ke luar.

"Kau harus pulang, Pandan Wangi. Kakek tentu cemas memikirkanmu," kata Rangga lembut.

"Tidak..., Kakek telah tiada," lirih dan tersendat suara Pandan Wangi.

"Apa...!?" Rangga bagaikan disambar petir di siang hari bolong.

Pendekar Rajawali Sakti itu menatap wajah Pandan Wangi, seolah-olah tidak percaya dengan berita yang baru didengarnya. Gadis itu membalas tatapan Rangga dengan mata merah bengkak karena terlalu banyak menangis. Mungkin sejak malam tadi, dia terus-menerus menangis hingga di Bukit Setan ini.

"Kakek bertarung dengan Nenek Jubah Merah. Nenek Jubah Merah tewas! Tapi Kakek juga tewas," cerita Pandan Wangi.

Kemudian dikisahkannya semua peristiwa yang terjadi. Rangga tertunduk lemas setelah mendengarkan semuanya sampai selesai. Memang tidak ada pilihan lain bagi gadis ini. Dia sekarang tidak punya lagi tempat berlindung dan mengadu Kakek satu-satunya yang tersisa dalam keluarga sudah meninggal semalam.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan? Mereka sekarang ada dipuncak Bukit Setan. Mereka tokoh-tokoh sakti yang haus akan ilmu dan benda pusaka. Mereka bukan anak kecil yang bisa percaya begitu saja dengan omongan. Mereka baru percaya kalau sudah menemukan apa yang dicari," kata Rangga pelan suaranya.

"Mereka pasti percaya kalau sudah melihat ini," sahut Pandan Wangi seraya mengeluarkan sebuah kitab dari balik bajunya.

"Kitab Naga Sewu...!" Rangga terkejut melihat kitab itu berada ditangan Pandan Wangi.

Pendekar Rajawali Sakti itu makin terbeliak melihat di pinggang Pandan Wangi telah tergantung sebilah pedang bergagang ular naga. Dia hampir-hampir tidak percaya kalau gadis ini benar-benar memiliki benda-benda yang kini sedang diperebutkan, bahkan telah jatuh banyak korban.

"Jadi...," suara Rangga terputus di kerongkongan.

"Sudah lama aku menyimpan benda-benda pusaka ini. Tidak seorangpun yang tahu, juga Kakek Tangan Seribu," kata Pandan Wangi, sudah tenang suaranya.

"Bagaimana kau bisa mendapatkannya?" tanya Rangga.

"Benda ini sebenarnya kudapatkan sejak Eyang Abiyasa masih hidup. Aku dan Eyang Abiyasa pernah ke puncak Bukit Setan, dan secara tidak sengaja aku melihat seberkas sinar keluar dari sebuah goa. Ternyata sinar itu berasal dari Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni. Kata Eyang Abiyasa, tidak sembarang orang bisa memilikinya. Kalau aku yang mendapatkannya, berarti pertapa itu memang memberikannya padaku. Tentu saja aku gembira mendapatkan sebuah ilmu dan senjata pusaka. Hanya saja aku tidak menyangka kalau akhirnya jadi begini. Sungguh, aku tidak bermaksud menyombongkan diri bisa memiliki dua benda pusaka ini," Pandan Wangi menceritakan dengan lancar.

"Bagaimana orang-orang rimba persilatan bisa tahu kalau kau memiliki benda-benda itu?" tanya Rangga.

"Semua memang salahku, Kakang. Aku bicara keceplosan," jawab Pandan Wangi mengakui.

"Maksudmu?"

"Waktu itu, tanpa sengaja aku memergoki Empat Setan Jagal membegal seorang saudagar dan rombongannya saat melintasi lereng Bukit Setan. Aku mencoba membela, tapi Empat Setan Jagal terlalu tangguh buatku. Untuk mengecilkan nyali mereka, aku mengatakan kalau akulah pewaris tunggal Kitab Naga Sewu. Waktu itu aku seolah-olah ingin mengeluarkan aji 'Naga Sewu'. Memang berhasil, Empat Setan Jagal lari kocar-kacir."

"Dan sejak itu kau dikejar-kejar, 'kan?"

"Iya. Eyang Abiyasa juga tewas akibat membelaku."

"Hhh..., semuanya sudah terjadi. Sekarang apa yang akan kau lakukan dengan benda-benda ini?"

"Entahlah, Kakang. Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa?" desah Pandan Wangi lemah.

"Kau sudah baca kitab itu?" tanya Rangga.

"Sudah, dua kali. Tapi aku tidak mengerti isinya."

Rangga tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri. Mata nya menatap kepuncak Bukit Setan tempat para tokoh rimba persilatan tengah memperebutkan benda-benda yang sudah berada di tangan Pandan Wangi. Sedangkan gadis itu juga sudah berdiri di samping Rangga. Dia juga menatap ke arah yang sama.

"Kau tahu, Pandan. Tidak kurang dari dua puluh tokoh sakti berkumpul disana," kata Rangga. Pandan Wangi diam saja. "Simpan saja kitab itu baik-baik. Jangan kau perlihatkan pada mereka."

"Baik, Kakang," Pandan Wangi menurut. Di memang tidak bisa berbuat lain kecuali mengikuti saja perintah Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga seketika mencegah tangan Pandan Wangi yang akan menyimpan kembali Kitab Naga Sewu ke dalam balik bajunya. Pendekar Rajawali Sakti itu mendadak punya rencana yang harus dilaksanakan. Rencana yang memang sudah disusun, tapi kini dirubahnya sedikit.

"Berikan kitab itu, aku akan menghadapi mereka," kata Rangga. Pandan Wangi menatap Rangga lekat-lekat. "Percayalah padaku, Pandan. Aku akan memberikannya kembali padamu. Kitab itu milikmu, aku tidak berhak memilikinya," Rangga bisa mengerti arti tatapan mata Pandan Wangi. Pandan Wangi masih kelihatan ragu-ragu. "Kitab itu tidak akan berguna sama sekali tanpa Pedang Naga Geni. Lain halnya dengan pedang itu. Kau masih bisa menggunakannya dengan jurus-jurus pedang biasa, meskipun tidak sedahsyat jika menggunakan ilmu 'Naga Sewu'!"

Kata-kata Rangga mengingatkan Pandan Wangi pada ucapan Eyang Abiyasa. Kata-kata itu pernah diucapkan Eyang Abiyasa. Kakek Tangan Seribu pun juga pemah mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya.

"Kau harus janji, Kakang," kata Pandan Wangi.

"Percayalah. Kalau ada sedikit saja niatan di hatiku untuk menguasi kitab ini, aku akan mati di tangan mereka," janji Rangga.

Pandan Wangi tersenyum, lalu menyerahkan kitab itu pada Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya dia memang sudah percaya penuh pada pemuda ini. Hanya karena kitab itu jadi rebutan para tokoh rimba persilatan, sikapnya jadi harus waspada pada siapa saja. Meskipun juga pada orang yang telah mengobarkan api cinta di hatinya.

Rangga menerima buku itu dan menyelipkan di balik bajunya. Kemudian digenggamnya pundak Pandan Wangi, seraya menatap gadis itu lekat-lekat.

"Kau tunggu di sini," kata Rangga.

"Hati-hati, Kakang," balas Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, lalu secepat kilat melenting meninggalkan Pandan Wangi. Dalam sekejap mata saja bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu sudah hilang dari pandangan. Pandan Wangi mendesah panjang. Hatinya sudah mulai tenang kembali. Semakin percaya penuh pada pendekar muda tampan yang telah mencabik-cabik sekeping hatinya. Pendekar yang telah membakar api cintanya.

"Semoga Yang Maha Kuasa melindungimu, Kakang," desah Pandan Wangi.

********************

DELAPAN

"Berhenti...!"

Tiba-tiba terdengar suara keras menggema ke seluruh puncak Bukit Setan. Tongkat Baja Hitam dan Iblis Wajah Seribu yang tengah bertarung, langsung berhenti seketika. Semua orang yang ada menoleh ke arah suara hentakan tadi datang. Tampak Rangga berdiri angker diatas sebuah batu besar. Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melenting turun dan menjejak tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Rangga langsung berdiri di tengah-tengah. Pandangan matanya tajam menatap wajah-wajah yang berdiri dengan sikap bermusuhan.

"Kalian datang ke sini hanya untuk mengantarkan nyawa sia-sia. Percuma kalian saling bunuh, apa yang kalian cari tidak mungkin bisa didapatkan!" suara Rangga terdengar lantang dan tegas.

"Anak muda! Siapa kau? Apa maksudmu berkata begitu?" bentak Tongkat Baja Hitam keras.

"Aku Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Rangga lantang.

Suara-suara menggumam terdengar bagai dengungan ribuan lebah memenuhi puncak Bukit Setan ini. Beberapa di antaranya tampak terkejut setelah tahu kalau yang datang adalah Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang merasa dirinya memiliki kemampuan tinggi, tetap bertahan. Lebih-lebih yang sama sekali belum pernah mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti, memandang Rangga sebelah mata saja.

Rangga melirik Iblis Wajah Seribu. Meskipun kini wajahnya lain, tapi dimata Rangga Iblis Wajah Seribu itu tidak ada bedanya sama sekali. Wanita cantik itulah yang hampir saja menjebaknya untuk berbuat mesum. Sedangkan Iblis Wajah Seribu tersenyum-senyum saja mengenali wajah tampan yang membuatnya sempat kecewa.

"Jika kalian menginginkan Kitab Naga Sewu, ini. Ambil dari tanganku kalau kalian mampu!" Rangga mengeluarkan Kitab Naga Sewu dari balik bajunya. Diangkatnya tinggi-tinggi kitab itu ke atas.

Semua orang yang masih tersisa membelalak lebar melihat kitab yang diperebutkan, berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Memang, mereka rata-rata sudah mendengar kabar kalau kitab pusaka itu sudah dikuasai seorang pendekar. Tapi tidak ada yang menyangka kalau pendekar itu masih muda, gagah, dan tampan.

"He he he..., kau jangan menipuku, bocah. Kitab Naga Sewu tidak akan terpisah dari Pedang Naga Geni," Tongkat Baja Hitam terkekeh.

"Kalau kukeluarkan pedang itu, apa kau akan menyingkir?" tantang Rangga.

"He he he..., aku akan percaya jika telah melihat Pedang Naga Geni. Aku yang tua ini tidak akan memungkiri janji," sahut Tongkat Baja Hitam.

"Baiklah! Siapa yang akan mengikuti jejak suci Paman Tongkat Baja Hitam?" tantang Rangga lagi.

"Bocah! Jangan umbar bacot di sini. Tunjukkan pedang itu, baru aku bersedia menyingkir!" bentak Pisau Terbang.

Hampir semua yang hadir mengeluarkan pernyataan itu. Hanya Iblis Bayangan Merah dan Iblis Wajah Seribu saja yang tidak mau memenuhi permintaan Rangga. Lebih-lebih Iblis Wajah Seribu. Dia masih penasaran karena belum dapat menaklukkan pemuda tampan yang menarik hatinya ini. Apalagi setelah mengetahui pemuda ini memiliki kitab dan pedang pusaka.

"Lihat!" seru Rangga tiba-tiba.

Seketika itu juga, Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Mendadak puncak Bukit Setan terang-benderang karena pamor Pedang Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan. Meskipun dalam keadaan siang hari, sinar biru yang memancar masih tetap menampakkan pamornya yang dahsyat.

Rangga melintangkan pedangnya di depan dada, kemudian dimasukkan Kitab Naga Sewu ke balik baju. Lalu tangan kirinya mengusap mata pedang dari pangkal tangkai sampai ke ujung, lalu balik lagi dan berhenti di tengah-tengah. Rangga sengaja mengeluarkan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' untuk menggetarkan hati orang-orang yang haus ilmu ini.

Sinar biru berkilau mengggumpal jadi satu. Dan ketika Rangga menunjuk sebuah batu besar tempatnya berdiri tadi, sinar biru berkilau itu meluncur deras. Suara ledakan terjadi bersamaan dengan hancurnya batu sebesar rumah setelah terkena sinar biru dari pedang pusaka Rajawali Sakti. Rangga segera memasukkan pedang itu kedalam warangkanya.

"Nah! Siapa yang ingin mencoba?" tantang Rangga.

Sunyi, tidak ada seorang pun yang menjawab tantangan itu. Mereka hanya saling pandang, lalu satu persatu meninggalkan puncak Bukit Setan. Mereka tidak tahu kalau pedang yang dikeluarkan Rangga bukan Pedang Naga Geni, tapi Pedang Rajawali Sakti. Hanya pamornya yang dahsyat saja, sehingga mampu melunturkan niat mereka memiliki pedang dan kitab pusaka itu dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti, aku yang tua ini mohon diri," kata Tongkat Baja Hitam seraya menjura.

"Terima kasih," sahut Rangga membalas menjura pula.

Tongkat Baja Hitam berbalik dan melangkah meninggalkan puncak Bukit Setan. Sebagai tokoh tua, dia harus menepati ucapannya. Pantang baginya menjilat kembali ludah yang sudah keluar. Setelah Tongkat Baja Hitam pergi, Pisau Terbang melangkah mendekati Rangga. Dia berdiri dengan tegak dengan jarak sekitar tiga langkah lagi. Matanya tajam menatap wajah pendekar muda itu.

"Suatu saat, kita bertarung sampai mati," dingin suara Pisau Terbang.

"Aku tunggu," sahut Rangga kalem.

Pisau Terbang berbalik dan melangkah pergi. Kemudian disusul beberapa tokoh lain. Mereka ada yang meninggalkan tempat itu dengan rela, tapi ada pula yang sempat mengeluarkan tantangan seperti Pisau Terbang. Namun semuanya ditanggapi Rangga dengan bibir tersungging senyuman. Mereka adalah tokoh sakti yang selalu hormat akan kata-kata dan janji yang terucapkan.

Padahal kebanyakan dari mereka, adalah tokoh aliran hitam. Sikap mereka dalam rimba persilatan, memang patut diacungi jempol. Kini tinggal Iblis Wajah Seribu dan Iblis Bayangan Merah saja yang belum meninggalkan tempat. Mereka masih berdiri di tempat masing-masing. Rangga memandangi kedua orang itu. Sangat kontras sekali. Yang satu berwajah cantik, sedangkan satunya sudah tua keriput.

********************

"Kau boleh senang karena bisa membodohi mereka, bocah," kata Iblis Bayangan Merah dengan suaranya yang serak.

Rangga mengernyitkan dahinya. Sudah bisa ditebak arah pembicaraan Iblis Bayangan Merah tadi.

"Mata tuaku masih bisa membedakan benda pusaka. Kau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, dan pedangmu bernama Pedang Rajawali Sakti. Bukan Pedang Naga Geni. He he he... Pedang Naga Geni tidak memancarkan sinar biru, juga tidak bergagang kepala burung. Sungguh bodoh mereka! Mau saja ditipu bocah ingusan!"

Dalam hati Rangga mengakui kecerdikan nenek tua keriput ini. Memang, dengan rencananya ia berharap bisa menghalau sebagian besar, bahkan hampir semua orang dari puncak Bukit Setan ini. Sengaja dia memamerkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Tapi rupanya ada juga yang bermata jeli dan tidak mudah percaya begitu saja. Sekarang mau tidak mau Rangga harus berhadapan dengan Iblis Bayangan Merah.

"Keluarkan permainanmu tadi, bocah. Aku ingin tahu apakah ilmumu sanggup menandingi aji 'Tapa Wisa Merah'ku tantang Iblis Bayangan Merah.

"Maaf, aku tidak ingin mengotori tangan dengan darah," sergah Rangga.

"He he he..., kau takut, bocah?" ejek Iblis Bayangan Merah.

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' sangat dahsyat. Dia enggan mengeluarkan kalau tidak karena terpaksa sekali. Bukan menganggap enteng lawannya, tapi pantang baginya menurunkan tangan kejam dengan langsung menggunakan ajian dahsyat.

"Bersiaplah, bocah. Jangan katakan aku kejam, kalau sampai menurunkan tangan maut padamu!' dengus Iblis Bayangan Merah.

"Kalau itu yang kau inginkan, baiklah!" jawab Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung membuka jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Dia tahu kalau lawannya kali ini bukanlah lawan yang enteng. Makanya langsung dibukanya jurus ke empat dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.

Melihat Rangga membuka jurus tangan kosong, Iblis Bayangan Merah juga segara membuka jurus tangan kosong. Dia juga tidak menganggap enteng Pendekar Rajawali Sakti. Sudah didengarnya sepak terjang pendekar muda itu. Iblis Bayangan Merah langsung membuka jurus andalannya. Jurus 'Pukulan Maut'.

"Hiya!"

"Yeaaah!"

Hampir bersamaan mereka berteriak dan melompat saling terjang. Pertarungan jurus tangan kosong pun segera berlangsung sengit. Iblis Bayangan Merah terkejut ketika merasakan angin pukulan Pendekar Rajawali Sakti mengandung hawa panas yang luar biasa. Lebih-lebih saat tangannya beradu dengan Pendekar Rajawali Sakti. Seluruh tangannya terasa panas bagai terbakar, dan nyeri sampai mengilukan tulang.

Baru beberapa gebrakan saja, tampak Pendekar Rajawali Sakti sudah di atas angin. Pukulan-pukulan mautnya yang menyebarkan hawa panas, membuat pertahanan Iblis Bayangan Merah jadi kacau. Jarang sekali didapat kesempatan untuk balas menyerang. Setiap kali kesempatan itu diperoleh, selalu kandas di tengah jalan. Iblis Bayangan Merah sepertinya selalu menghindari benturan tangan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Rasanya dua kali sudah cukup merasakan dahsyatnya, jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Hih!"

Rangga mendorong tangan kirinya dengan tiba-tiba ke arah dada. Iblis Bayangan Merah segera melompat mundur, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu malah melenting sambil mengibaskan tangan kanannya. Tentu saja Iblis Bayangan Merah jadi terkejut setengah mati. Buru-buru dijatuhkan dirinya ke tanah. Namun.... Buk!

Kaki Rangga masih sempat mendarat di perut Iblis Bayangan Merah. Perempuan tua itu mengeluh pendek, dan tubuhnya bergulingan di tanah. Segera dia melenting bangun. Langsung dikerahkan aji 'Tapak Wisa Merah'. Seketika saja seluruh telapak tangannya berubah jadi merah membara. Rangga juga segera merubah jurusnya. Dikeluarkannya jurus 'Seribu Rajawali'.

Iblis Bayangan Merah jadi kelabakan. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu seakan-akan berubah banyak jumlahnya. Iblis Bayangan Merah melepaskan aji 'Tapak Wisa Merah' beberapa kali, tapi begitu menyentuh salah satu tubuh Pendekar Rajawali Sakti, langsung lenyap. Sedangkan yang Iainnya masih banyak mengurung dirinya. Iblis Bayangan Merah menjadi kalang-kabut sendiri. Dilepaskan ajiannya dengan tak tentu arah. Tiba-tiba tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, dan dengan satu pukulan dahsyat, tangannya menghantam kepala Iblis Bayangan Merah.

Prak!

"Aaakh...!" Iblis Bayangan Merah menjerit melengking tinggi. Kepalanya pecah kena hantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa suara apa-apa lagi, tubuh Iblis Bayangan Merah menggelosor di tanah. Darah mengucur deras dari batok kepalanya yang hancur. Rangga berdiri tegak dengan mata menatap perempuan tua yang sudah jadi mayat. Kemudian matanya beralih menatap Iblis Wajah Seribu.

Iblis Wajah Seribu yang menyadari kemampuannya masih satu tingkat di bawah Iblis Bayangan Merah, jadi gentar juga. Dia pernah dikalahkan Iblis Bayangan Merah beberapa waktu yang lalu. Masih untung perempuan tua itu tidak menjatuhkan tangan kejam, sehingga dia masih hidup sampai sekarang.

Rasanya tidak mungkin Iblis Wajah Seribu bisa mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti dalam satu ilmu silat. Apalagi adu ilmu kesaktian. Iblis Wajah Seribu segera merapalkan ajian yang pernah dipakainya, saat hampir menundukkan pendekar ini di atas ranjang. Belum pernah aji 'Pelebur Jiwa' meleset dari sasaran. Tapi untuk sesama wanita, aji 'Pelebur Jiwa' tidak akan berarti apa-apa.

Pengaruh aji Pelebur Jiwa' mulai terasa meskipun tidak berujud sama sekali. Dalam waktu sekejap saja seluruh tubuh Iblis Wajah Seribu memancarkan bau harum semerbak. Wajahnya kelihatan bertambah cantik bercahaya.

"Uh!" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam pandangan Pendekar Rajawali Sakti, wajah dan tubuh Iblis Wajah Seribu atau Klenting Kuning sangat mempesona dan membangkitkan gairah kejantanannya. Rangga berusaha mengusir gejolak gairah yang mendadak menggelegak di dalam dadanya. Sama sekali tidak disadarinya kalau Iblis Wajah Seribu menggunakan aji 'Pelebur Jiwa'. Suatu ajian yang dapat membangkitkan gairah kejantanan laki-laki.

"Marilah, Kakang. Mendekatlah! Biarkan mayat-mayat bergelimpangan. Kita masih punya waktu untuk bercumbu. Nikmati hidup ini dengan segala keindahan," suara Klenting Kuning atau Iblis Wajah Seribu terdengar merdu merayu.

"Ah, kenapa aku jadi begini?" Rangga bergumam dalam hati.

Semakin memandang Klenting Kuning, gairahnya semakin kuat saja menggempur dada. Rangga merasakan kepalanya jadi pening, dan matanya berkunang-kunang. Beberapa kali dia menelan ludah membasahi tenggorokannya yang kering mendadak. Tanpa disadari, kakinya melangkah mendekati Klenting Kuning.

"Ayolah, Kakang...," desah Klenting Kuning.

Rangga terus melangkah semakin dekat. Seluruh jiwanya benar-benar terpengaruh oleh ajian 'Pelebur Jiwa' yang dilepaskan Iblis Wajah Seribu. Ketika tinggal tiga langkah lagi untuk mencapai wanita cantik penuh daya pesona itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.

"Kakang Rangga!"

********************

Rangga menoleh ketika mendengar bentakan keras dari arah samping kanan. Tampak Pandan Wangi berdiri tegak, tidak jauh darinya. Klenting Kuning juga terkejut mendengar bentakan itu yang disertai pengerahan tenaga dalam. Gerahamnya bergemelutuk melihat Pandan Wangi tiba-tiba muncul.

Pandan Wangi menghampiri Rangga dan menarik tangan pemuda itu untuk menjauh dari Klenting Kuning. Rangga seperti orang tolol, tidak bisa berbuat apa-apa. Pengaruh aji 'Pelebur Jiwa' benar-benar telah merusak jiwanya. Sepertinya Rangga tidak tahu siapa dirinya lagi.

"Kakang, dia Iblis Wajah Seribu! Jangan mau dipengaruhi jiwamu! Sadar, Kakang! Dia mempengaruhimu!" kata Pandan Wangi.

Rangga menatap Pandan Wangi sejenak, kemudian matanya beralih menatap Klenting Kuning. Dia tampak kebingungan melihat dua wanita cantik berada di dekatnya. Sementara rasa gairah birahi masih menyelimuti dadanya.

"Kakang..., sadar. Aku Pandan, Kakang...," Pandan Wangi terus mencoba menyadarkan Rangga dari pengaruh aji 'Pelebur Jiwa'.

"Pandan...," desah Rangga.

Tiba-tiba saja Rangga merangkul Pandan Wangi. Tentu saja gadis itu menjadi kelabakan. Pandan Wangi meronta-ronta mencoba melepaskan rangkulan ketat itu. Rontaan Pandan Wangi malah membuat Rangga semakin bergairah. Dia berusaha mencium wajah dan leher gadis itu.

"Kakang..., lepaskan!" pekik Pandan Wangi.

"Pandan, kau cantik sekali," desah Rangga.

"Lepaskan!" Pandan Wangi mendorong tubuh Rangga sekuat-kuatnya.

Rangga terdorong dan jatuh di tanah. Pandan Wangi langsung melompat menjauh. Rangga kembali bangkit berdiri. Matanya sayu menatap Pandan Wangi yang ketakutan melihat sinar mata Rangga yang dipenuhi nafsu birahi. Pandan Wangi berpaling pada Klenting Kuning yang tersenyum penuh kemenangan karena aji 'Pelebur Jiwa'nya berhasil mempengaruhi pendekar muda tampan itu.

"Iblis! Kau apakan Kakangku!" bentak Pandan Wangi geram.

"Hi hi hi..., dia ingin bercinta denganmu, manis," Klenting Kuning tertawa kesenangan.

"Mampus kau, iblis!" geram Pandan Wangi.

Seketika gadis yang berjuluk Kipas Maut itu segera melompat menerjang Klenting Kuning. Terjangan Pandan Wangi dengan mudah dapat dielakkan. Tapi gadis itu dengan cepat mengirimkan serangan yang saling susul. Iblis Wajah Seribu itu berkelit, berlompatan menghindari serangan-serangan Pandan Wangi yang diliputi kemarahan. Rasa cemburunya membuat gadis ini menjadi memuncak amarahnya.

Sret!

Pandan Wangi mengeluarkan kipas baja saktinya. Kembali diserangnya Klenting Kuning dengan senjata andalan di tangan. Serangan-serangan Pandan Wangi semakin cepat dan hebat. Terlihat Klenting Kuning mulai kewalahan dalam beberapa jurus saja. Dalam hal ilmu olah kanuragan, Klenting Kuning atau yang bergelar Iblis Wajah Seribu memang kurang menguasai. Tidak heran ketika memasuki jurus ke sepuluh, posisinya semakin terdesak.

"Jebol!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.

Seketika itu juga, dikibaskan kipasnya ke perut Klenting Kuning. Iblis Wajah Seribu itu menarik perutnya ke belakang. Tapi ujung kipas Pandan Wangi masih bisa merobek baju Klenting Kuning.

"Ih!" Klenting Kuning terkejut dan memekik kecil. Cepat-cepat dia melompat mundur, lalu dengan cepat pula mencabut kalung yang dikenakannya. Dengan kalung di tangan, Klenting Kuning bisa mengimbangi lagi permainan kipas Pandan Wangi. Pertarungan dua wanita cantik itu kembali berlangsung seimbang. Masing-masing mengirimkan serangan-serangan berbahaya. Masing-masing pula bisa menghindar dengan cepat.

Saat Klenting Kuning mengebutkan kalung mutiaranya, Pandan Wangi menangkis sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh. Dua senjata beradu keras. Klenting Kuning cepat melompat mundur. Tangannya seketika bergetar hebat ketika kalung mutiaranya beradu dengan kipas Pandan Wangi. Jelas kalau tenaga dalam Klenting Kuning masih di bawah Pandan Wangi. Menyadari hal ini, Pandan Wangi makin bemafsu untuk menyudahi pertarungan.

"Mampus kau, iblis!" teriak Pandan Wangi sambil melompat mengirimkan serangan.

"Akh!" Klenting Kuning terpekik kaget.

Buru-buru diayunkan kalungnya menangkis kipas yang berkelebat cepat mengancam lehernya. Klenting Kuning kembali terpekik keras begitu senjatanya beradu. Dia tidak bisa lagi menguasai senjatanya. Saat itu juga Pandan Wangi mengatupkan kipasnya sehingga kalung mutiara Klenting Kuning terjepit. Dengan mengerahkan tenaga dalam, Pandan Wangi membetot kalung itu.

"Setan!" dengus Klenting Kuning ketika kalung mutiaranya berhasil dirampas Pandan Wangi.

Pada saat yang hampir bersamaan, kaki Pandan Wangi melayang deras ke arah dada. Klenting Kuning segera menjatuhkan tubuhnya ketanah, tapi Pandan Wangi lebih cepat mengebutkan kipasnya sebelum tubuh Iblis Wajah Seribu itu berhasil mencapai tanah.

Bret!

"Akh!"

Klenting Kuning bergulingan di tanah, lalu buru-buru bangun. Bibirnya yang merah dan selalu menggoda tampak meringis. Kipas Pandan Wangi berhasil merobek bahu kanannya. Klenting Kuning menekap luka di bahu kanannya dengan tangan kiri.

"Tunggu pembalasanku, Pandan Wangi!" ancam Klenting Kuning.

Selesai mengancam, Iblis Wajah Seribu itu langsung melompat kabur. Klenting Kuning dalam sekejap saja telah hilang dari pandangan mata, lenyap di balik lebatnya pepohonan. Pandan Wangi membalikkan tubuhnya, seraya melihat Rangga tengah duduk dengan sikap bersemadi.

"Kakang...," panggil Pandan Wangi seraya melangkah mendekat.

Perlahan-Iahan kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti terbuka. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum saat melihat Pandan Wangi berdiri di depannya. Rangga merogoh ke balik bajunya mengambil Kitab Naga Sewu untuk diserahakan kepada Pandan Wangi.

"Ini milikmu," kata Rangga seraya bangkit.

"Oh! Kakang..., kau sudah sadar?" Pandan Wangi gembira melihat Rangga tidak lagi dipengaruhi oleh aji 'Pelebur Jiwa'.

"Ya. Terima kasih, kau telah menolongku," sahut Rangga.

"Bukan aku, Kakang. Tapi dirimu sendiri," Pandan Wangi mengelak.

Rangga tersenyum sambil tetap menyodorkan Kitab Naga Sewu. Pandan Wangi menerima kitab itu dan menyimpannya di balik baju. Sesaat mereka hanya saling pandang saja. Pelan-pelan Rangga mendekat dan meletakkan tangannya di pundak gadis itu.

"Kau harus menguasai isi kitab itu, Pandan," kata Rangga lembut.

"Tapi...."

Rangga tahu apa yang akan diucapkan Pandan Wangi. "Aku akan membimbingmu sementara," kata Rangga.

"Mengapa sementara?" protes Pandan Wangi.

"Seorang pendekar sejati, tidak selamanya membutuhkan bantuan dan pertolongan. Ingat Pandan. Lebih baik tangan di atas dari pada dibawah. Kau mengerti maksudku, 'kan?"

Pandan Wangi mengangguk.

"Mari kita tinggalkan Bukit Setan," ajak Rangga.

"Kemana?" tanya Pandan Wangi sambil melangkah di samping Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga hanya tersenyum, tanpa memberikan jawaban. Dan jawaban itu dapat pembaca temui dalam kisah Iblis Wajah Seribu

IBLIS WAJAH SERIBU

Pertarungan Di Bukit Setan

Pendekar Rajawali Sakti
Episode Pertarungan Di Bukit Setan
Karya : Teguh S


Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Rajawali Sakti
SATU
KICAU burung riuh menyambut mentari pagi. Angin bertiup lembut mengusir kabut titik-titik embun bak mutiara berceceran di dedaunan. Pagi yang indah menyegarkan, membuka kehidupan bagi penghuni permukaan bumi. Tapi keindahan pagi ini masih juga dirusak oleh suara teriakan-teriakan melengking dan denting sejata beradu.

Sepertinya suara-suara itu datang dari sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di tepian Hutan Pusaran. Tampak dua orang tengah bertarung mengadu jiwa. Sedangkan tiga orang lainnya berdiri tidak begitu jauh dari pertarungan, nampak serius memperhatikan jalannya pertarungan yang sengit dan cepat.

Tiba-tiba salah seorang yang bertarung, melompat keluar dari arena. Dua kali berputar di udara, lalu dengan manis mendarat di tanah. Keringat membasahi wajah dan pakaiannya. Orang itu memegang sebuah golok besar, persis seperti tukang jagal binatang ternak. Dia berdiri di depan tiga orang yang juga masing-inasing menggenggam golok besar yang nampak berat.

Mereka langsung berlompatan membentuk lingkaran, mengurung seorang wanita muda berpakaian hijau yang ketat. Bentuk tubuhnya indah dan ramping mengimbangi raut wajahnya yang cantik. Wanita itu menggoyang-goyangkan kipasnya yang berkilatan tertimpa sinar matahari. Ujung-ujung kipasnya runcing seperti mala pisau, siap membedah lawan. Senyumnya nampak di bibir yang merah menggairahkan.

"Tadi sudah kubilang, kalian Empat Setan Jagal sebaiknya turun bersama-sama," terdengar lembut suara wanita cantik itu.

"Huh! Jangan pongah dulu, Kipas Maut! Kau belum tentu menang melawan kami!" dengus salah seorang yang mengenakan pakaian hitam.

Empat Setan Jagal bisa dikenali namanya satu persatu dari warna pakaiannya. Yang mengenakan pakaian hitam berjuluk Jagal Hitam. Sedangkan yang biru, merah, dan kuning masing-masing disebut Jagal Biru, Jagal Merah dan Jagal Kuning. Mengapa mereka bisa sampai bentrok dengan Kipas Maut?

"Siapa yang mencari kemenangan? Kalian datang ke sini hanya mengganggu istirahatku. Masih bagus aku tidak langsung membunuh kalian tadi malam!" rungut Kipas Maut.

"Setan! Seharusnya kau yang mampus semalam!" dengus Jagal Biru geram.

"Aku khawatir, kalian tidak akan menikmati sinar matahari lagi besok," suara Kipas Maut terdengar tenang, namun menyakitkan telinga.

"Kurobek mulutmu, iblis!" geram Jagal Kuning.

"Silakan kalau kalian bisa. Tak bakal aku mundur barang setapak pun."

Jagal Hitam membentak keras, lalu dengan cepat melompat sambil mengayunkan goloknya yang besar. Deru angin terdengar bersamaan dengan berkelebatnya golok menyambar tubuh Kipas Maut. Hanya sedikit saja perempuan cantik itu memiringkan tubuhnya, sabetan golok Jagal Hitam lewat tanpa mengenai sasaran. 

Belum sempat Kipas Maut menarik napas lega, datang lagi serangan dari arah samping kanannya. Angin menderu keras bersamaan dengan berkelebatnya sebuah golok mengarah ke kepala.
Kipas Maut merundukkan kepalanya sedikit, dan golok Jagal Kuning lewat di atas kepalanya. Kipas Maut harus berlompatan sambil jumpalitan menghindari serangan Empat Setan Jagal yang datang beruntun bagai air bah. Namun sampai lewat lima jurus, Kipas Maut belum juga mengeluarkan ilmu andalannya.

Tring, Tring!

Dua kali Kipas Maut berhasil menangkis serangan Empat Setan Jagal. Hampir saja golok Jagal Biru dan Jagal Kuning terlepas dari tangan saat membentur kipas baja berwarna keperakan. Namun bibir mereka meringis, merasakan pergelangan tangan menjadi kaku dan kesemutan.

Saat yang bersamaan Jagal Hitam membabatkan goloknya bagai kilat Kipas Maut yang baru saja menangkis serangan dua lawan, terkejut Buru-buru dia melenting, menghindari serangan yang mendadak itu. Jagal Hitam yang serangannya dapat dielakkan, langsung memberi serangan lanjutan yang tidak kalah ganasnya. Terpaksa Kipas Maut mengebutkan kipas bajanya.

Wut, tring! "Akh!"

Kipas Maut terpekik kecil. Langsung dijatuhkan dirinya ke tanah dan bergulingan. Saat kipas bajanya beradu dengan golok Jagal Hitam, tenaga dalamnya tidak dikerahkan dengan penuh. Dia tidak menyangka kalau tenaga dalam Jagal Hitam sangat tangguh dan cukup tinggi.

"Setan!" dengus Kipas Maut Kipas Maut segera bangkit berdiri. Matanya membeliak melihat kipasnya tergeletak di tanah agak jauh. Dia menyesal terlalu menganggap enteng Empat Setan Jagal. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau dalam tiga tahun saja Empat Setan Jagal telah pesat kemajuannya. Lebih-lebih Jagal Hitam. Tenaga dalamnya sekarang jauh lebih tinggi.

"Tamat riwayatmu, pencuri busuk!" geram Jagal Hitam.

Secepat kilat Jagal Hitam menerjang sambil mengebutkan goloknya. Kipas Maut melenting ke belakang menghindari golok yang besarnya melebihi tangannya sendiri. Namun belum juga sempat menginjakkan kakinya di tanah. Jagal Merah sudah membabatkan goloknya ke kaki. Kipas Maut menotok ujung golok dengan jari kakinya, sambil melenting kembali ke udara. 

Keadaan Kipas Maut benar-benar mengkhawatirkan sekali. Serangan-serangan berbahaya datang silih berganti tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk bernapas. Kipas Maut bisa berlompatan menghindari setiap serangan yang mengancam nyawanya.

"Modar...!"

"Akh!"

Kipas Maut cepat melenting keluar dari arena pertarungan. Darah mengucur dari pundak kanan yang tergores ujung golok Jagal Hitam. Sungguh tidak diduga sama sekali ketika dia sedang berkelit menghindari sodokan golok dari Jagal Merah, tiba-tiba saja Jagal Hitam melompat sambil mengibaskan goloknya. Kipas Maut tidak bisa menghindari lagi. Untunglah hanya ujung golok Jagal Hitam saja yang menggores kulit pundak kanannya.

"Bedebah!" Kipas Maut menggeram melihat darah mengucur deras dari pundaknya.

"Jagal Merah, Jagal Biru, Jagal Kuning! Bunuh pencuri laknat itu!" perintah Jagal Hitam.

"Yeaaah...!"

Serentak ketiga orang yang mendengar perintah Itu, melompat seraya mengebutkan goloknya. Jagal Hitam pun langsung melompat menyerang Kipas Maut. Mendapat serangan dari empat penjuru itu, Kipas Maut segera melenting tinggi ke udara. Empat golok melesat dibawah kaki perempuan cantik itu. Serangan Empat Setan Jagal tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu Kipas Maut mendarat di tanah, mereka langsung menyerang dengan ganas.

Lagi-lagi Kipas Maut kewalahan menghadapi serangan yang beruntun bagai gelombang air laut menggempur karang. Saat golok Jagal Kuning mengancam kepalanya, mendadak kaki Jagal Merah melayang ke arah dada. Ditambah lagi tangan kiri Jagal Biru yang melayang cepat dari arah belakang.

Pada saat itu, Kipas Maut benar-benar tidak punya kesempatan lagi untuk mengelak. Mungkin dapat dihindari satu serangan, tapi tiga lainnya tak mungkin dihindari lagi. Dan pada saat genting itulah tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menghajar Empat Setan Jagal. Keempat orang itu berjumpalitan sebelum berhasil menyerang Kipas Maut

"Monyet buntung!" umpat Jagal Hitam geram.

Kini di samping Kipas Maut telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut sebatas bahu. Pemuda berkulit putih itu mengenakan baju rompi warna putih dan sebilah pedang bergagang kepala burung tersembul dari balik punggungnya. Tak salah lagi, pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti.

"Anak muda, jangan campuri urusanku!" bentak Jagal Hitam.

"Hm, aku tidak akan mencampuri urusan kalian kalau kalian bertarung secara jantan," tenang dan pelan suara Rangga. Namun kedengaran sangat berwibawa.

"Phuih! Lagakmu sok pahlawan. Kau tahu, siapa kami?" dengus Jagal Merah.

"Siapa pun kalian, yang jelas kalian adalah orang-orang pengecut yang bisanya hanya main keroyok terhadap wanita!" tetap tenang dan lembut suara Rangga.

"Buka telingamu lebar-lebar, anak muda! Kami Empat Setan Jagal!" bentak Jagal Hitam memperkenalkan diri dengan maksud agar pemuda di samping Kipas Maut ketakutan mendengarnya.

Tapi Rangga malah tersenyum tipis mendengar nama itu. Memang dia telah dengar nama Empat Setan Jagal. Empat orang yang malang-melintang di rimba persilatan dan menguasai daerah yang dinamakan Bukit Setan. Rupa-rupanya orang-orang inilah yang selalu merampas dan membunuh dengan kejam siapa saja yang melintasi Bukit Setan.

"Aku memberimu kesempatan, anak muda. Nah! Menyingkirlah dari sini!" kata Jagal hitam.

"Kalau aku tidak mau?" Rangga jelas-jelas menantang meskipun secara tidak langsung.

"Edan! Kau cari mati rupanya!" umpat Jagal Hitam sengit.

Jagal Hitam langsung memberi isyarat pada yang Iainnya. Serentak Jagal Merah, Jagal Kuning dan Jagal Biru berlompatan mengepung. Golok mereka sudah melintang di depan dada. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya melirik memperhatikan setiap gerakan keempat orang itu yang mengepung dari empat penjuru. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman tipis.

"Serang...!" teriak Jagal Hitam keras. Seketika Empat Setan Jagal berlompatan sambil mengibaskan goloknya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sedikit saja pendekar muda itu menggerakkan tangannya tanpa menggeser kaki, tahu-tahu golok-golok Empat Setan Jagal terpental, lepas dari tangan masing-masing. Rangga menghadapi mereka dengan mengerahkan jurus maut 'Cakar Rajawali'.

Rasa kaget keempat orang itu belum lagi hilang, mendadak Rangga memutar tubuhnya dengan kaki kanan terayun cepat. Buk, buk, buk, buk...!

Empat Setan Jagal langsung terjungkal ke belakang. Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam perut mereka.

"Uhk!" Jagal Hitam merasakan perutnya mual. Susah payah mereka berusaha bangkit berdiri. Belum juga sempat bangun, Pendekar Rajawali Sakti Itu sudah bergerak cepat menjambret punggung baju mereka dan melemparkan jadi satu ke bawah pohon besar yang rindang.

Tubuh-tubuh yang besar dan kekar berjatuhan saling tindih. Mirip empat buah karung beras yang dilemparkan sembarangan ke dalam gudang. Kembali mereka berusaha bangkit, dan gerakan mereka terhenti karena Pendekar Rajawali Sakti sudah menempelkan leher mereka dengan golok masing-masing. Jagal Hitam mengangkat kepalanya. Wajahnya merah padam, merasa malu dan marah karena bisa dikalahkan oleh anak muda hanya dalam satu gebrakan saja.

"Beruntung sekali hari ini aku enggan mencabut nyawa," dingin terdengar suara Rangga.

Jagal Hitam mengkerutkan gerahamnya. Pelan-pelan dia bangun berdiri diikuti yang Iainnya. Rangga melangkah mundur tiga tindak. Dia melemparkan empat golok di tangannya, hingga menancap tepat diujung kaki Empat Setan Jagal.

"Pergi dari sini, cepat!" bentak Rangga keras.

Bergegas Jagal Merah, Jagal Kuning dan Jagal Biru mencabut golok masing-masing. Dengan ogah-ogahan Jagal Hitam juga mencabut goloknya dari tanah. Kedua bola matanya tajam menatap Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh rasa dendam. Sepasang rahangnya terkatup rapat menahan geram. 

Tanpa banyak bicara lagi ke empat orang itu melangkah pergi. Jagal Hitam membalikkan tubuhnya setelah kakinya terayun sekitar sepuluh langkah. Dia berdiri dengan tangan bertolak pinggang. Yang Iainnya juga ikut berhenti di belakang Jagal Hitam.

"Kipas Maut, persoalan kita belum selesai!" teriak Jagal Hitam keras. Selesai berkata, Jagal Hitam cepat berbalik dan berlari kencang diikuti yang Iainnya. Sebentar saja mereka sudah tidak terlihat lagi.

Rangga membalikkan tubuhnya lalu melangkah mendekati Kipas Maut yang baru saja memungut senjata kipasnya. Diselipkan kipas baja sakti itu ke pinggang.

"Kau terluka..."

"Terima kasih!" Kipas Maut memotong cepat sebelum Rangga selesai dengan kalimatnya. Suaranya terdengar ketus dan tampak tidak senang dirinya ditolong.

"Maaf, apakah aku telah menyulitkanmu?" Rangga tidak mengerti dengan sikap gadis ini. Keningnya berkerut pertanda tengah berpikir.

"Banyak!" sahut Kipas Maut ketus.

"Banyak...!?" Rangga terkejut setengah mati. Sungguh mati Pendekar Rajawali Sakti itu tidak mengerti dengan sikap gadis cantik ini. Nyawanya sudah diselamatkan, tapi kelihatan tidak senang. Bahkan katanya malah membuat banyak kesulitan. Kesulitan apa?

"Sebaiknya kau pergi dari sini, atau aku yang pergi " kata Kipas Maut

"Hey...! Tunggu," teriak Rangga, begitu melihat Kipas Maut melangkah pergi.

Kipas Maut terus saja mengayunkan langkahnya. Rangga berlari mengejar dan mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu. Dia masih penasaran dengan sikap Kipas Maut yang dirasakan sangat aneh.

********************

Pendekar Rajawali Sakti jadi makin penasaran saja. Setiap pertanyaan dijawab ketus oleh Kipas Maut. Dalam sekilas tadi, sempat didengar kata-kata Jagal Hitam yang membuat benaknya terus bertanya-tanya. Rasanya tidak mungkin Empat Setan Jagal keluar dari Bukit Setan kalau tidak ada sesuatu yang sangat penring. Lebih-lebih sampai bentrok dengan gadis ini. 

Jagal Hitam menyebut gadis ini sebagai pencuri. Apa yang dicuri? Ada persoalan apa antara Kipas Maut dengan Empat Setan Jagal? Macam-macam pertanyaan berkecamuk dibenak Pendekar Rajawali Sakti. Pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa terjawab, karena Kipas Maut bersikap tidak bersahabat dengannya.

Rangga terus melangkah sejajar dengan gadis cantik ini. Meskipun Kipas Maut menggunakan ilmu meringankan tubuh, tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti bukanlah hal yang sulit. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh di atas Kipas Maut.

"Kenapa kau mengikutiku terus?" tanya Kipas Maut ketus. dihentikan langkahnya dan berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," sahut Rangga.

"Dari tadi kau banyak bertanya, sedangkan aku tidak tahu pertanyaan mana yang harus kujawab," dengus Kipas Maut sinis.

"Siapa namamu sebenarnya?" tanya Rangga.

"Sudah kubilang, namaku Kipas Maut!"

"Itu julukanmu."

"Apa bedanya?"

"Tentu berbeda, aku tidak mungkin bisa menolongmu terus-menerus tanpa mengetahui namamu yang sebenarnya."

"Siapa yang butuh pertolonganmu? Tanpa campur tanganmu pun aku juga bisa menghabisi Empat Setan Jagal!"

"Hm, kau hampir mampus tadi!" Rangga sengit juga jadinya.

"Aku tadi cuma pura-pura, aku tahu kau datang. Aku hanya ingin melihat kehebatanmu saja. Yaaah, ternyata boleh juga."

"Bedegul!" umpat Rangga dalam hati. "Gadis ini benar-benar keras kepala, angkuh, sombong dan sedikit liar."

"Siapa namamu?" tanya Kipas Maut tiba-tiba.

"Rangga," sahut Rangga.

"Julukanmu?"

"Pendekar Rajawali Sakti."

"Julukan yang bagus. Sayang, kau hanya bisa mengalahkan cacing-cacing tanah."

Kata-kata Kipas Maut terdengar mengejek, tapi Rangga hanya menghadapinya dengan senyum. Entah kenapa dia menjadi tertarik dengan sikap gadis di depannya ini. Mendadak saja ingatannya jadi terarah pada Saka Lintang, gadis pertama yang ditemuinya setelah keluar dari Lembah Bangkai.

Dalam beberapa hal, Kipas Maut memiliki persamaan dengan Saka Lintang. Baik sikap maupun kecantikan wajahnya. Rangga sepertinya sedang berhadapan dengan gadis yang pertama kali sempat menggetarkan hatinya, dan tewas di tangannya pula. Hanya saja Rangga belum bisa memastikan Kipas Maut berada dalam golongan mana?

"Apa yang kau lamunkan?" tegur Kipas Maut.

"Oh! Tidak," Rangga jadi tergagap. Seketika bayangan Saka Lintang buyar.

"Kau memikirkan kekasihmu?" tebak gadis itu langsung.

"Tidak!" sahut Rangga cepat-cepat, terkejut juga dia mendengar dugaan itu. Tapi dia sendiri tidak tahu apakah dirinya jatuh cinta pada Saka Lintang.

Kipas Maut tersenyum-senyum kecil. Dia melenggang dan menempatkan diri di bawah pohon. Enak sekali gadis itu duduk bersandar pada sebatang pohon rindang yang melindungi kulitnya dari sengatan matahari. Rangga menghampiri dan duduk depannya. Bola matanya sesekali mencuri pandang ke wajah cantik di depannya. Wajah yang putih kemerahan bagai bocah baru lahir tanpa dosa.

"Kau mau menyebutkan namamu, 'kan?" desak Rangga lagi.

"Rupanya kau senang mendesak juga, ya. Baiklah, namaku Pandan Wangi," sahut Kipas Maut menyebutkan nama aslinya.

"Kau ada masalah dengan Empat Setan Jagal?" tanya Rangga lagi merasa mendapat kesempatan.

"Aku tidak tahu," sahut Pandan Wangi atau Kipas Maut. Pundaknya terangkat sedikit.

"Kenapa bentrok dengan mereka?"

"Iseng."

"Edan!" dengus Rangga dalam hati.

Rangga memperhatikan bahu kanan Pandan Wangi yang berdarah. Tangannya terulur hendak memeriksa, tapi gadis itu menepis. Rangga menarik tangannya yang sudah terulur sedikit. Matanya langsung tertuju ke bola mata gadis itu.

"Kau terluka, sepertinya ada racun yang...."

"Akh!"

Belum juga Rangga selesai bicara, mendadak Pandan Wangi memekik tertahan. Seketika wajahnya memucat. Tubuhnya menggigil seperti demam. Rangga segera mendekat, lalu membaringkannya. Pandan Wangi yang memang sudah merasakan dalam tubuhya mengalir racun akibat luka di bahunya, tidak menolak lagi pertolongan Pendekar Rajawali Sakti untuk kedua kalinya. Rupanya golok Jagal Hitam yang melukai bahu kaanannya mengandung racun yang bekerja lambat, tapi sangat berbahaya dan mematikan.

Jari-jari tangar Rangga bergerak cepat menotok beberapa bagian tubuh Pandan Wangi. Kemudian merobek baju di sekitar luka. Pandan Wangi memekik kaget, tapi tubuhnya terasa lemas sehingga tidak bisa berbuat apa apa lagi. Hanya matanya saja yang membeliak lebar.

Rangga mencabut pisau kecil yang terselip di pinggang Pandan Wangi. Baru saja akan digunakan pisau itu, Pandan Wangi mencegah

. "Jangan, pisau itu beracun!"

Rangga mengernyitkan keningnya. Diciumnya ujung mata pisau kecil itu. Keningnya semakin berkerut begitu mengetahui racun yang ada pada pisau di tangannya, sangat dahsyat dan kuat. Rasanya yang terkena tidak akan bisa tahan dalam setengah hari saja. Rangga meletakkan pisau itu di samping.

"Apa yang akan kau lakukan?" pekik Pandan Wangi ketika Rangga membalikkan tubuhnya.

Begitu Pandan Wangi tidur tengkurap, Rangga langsung membeset bajunya. Lagi-lagi Pandan Wangi memekik tertahan. Kini kulit punggung yang putih mulus terbuka lebar. Rangga menggelengkan kepala membuang pikiran-pikiran kotor yang langsung menyergap benaknya. Agak bergetar kedua tangannya ketika menempelkan telapak tangannya ke punggung yang putih mulus itu.

Rangga segera memusatkan perhatian ke tubuh Pandan Wangi melalui telapak tangannya. Asap tipis mulai mengepul dari sela-sela jari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menempel erat di punggung Pandan Wangi. Agak lama juga Rangga menyalurkan hawa murninya.

"Hoek..., hoek!" dua kali Pandan Wangi memuntahkan darah kental kehitaman.

Dari luka di bahu kanannya juga keluar darah berwarna kehitaman. Rangga terus menyalurkan hawa mumi mencoba mengusir racun yang sudah menyebar ke seluruh jaringan jalan darah di tubuh gadis ini. Sedikit saja terlambat menolong, mungkin Pandan Wangi tinggal nama saja.

"Uh! Hhh...!" Rangga mendesah panjang. Tangan yang menempel di punggung terlepas setelah Pandan Wangi memuntahkan darah kental kehitaman untuk ketiga kalinya. Darah yang keluar dari luka di bahu kanan juga sudah berwarna merah segar.

Rangga duduk dengan wajah bersimbah keringat. Dibalikkan lagi tubuh gadis itu, dan jari-jari tangannya segera bergerak melepaskan totokan di tubuh Pandan Wangi. Rangga masih duduk mengatur napasnya. Tampak sekali kalau dia benar-benar lelah menguras hawa murni untuk mengeluarkan racun itu. 

Tampak gadis ltu menggerak-gerakkan kepalanya sebentar. Kemudian segera bangkit duduk. Mulutnya ternganga saat melihat pakaiannya amburadul tidak karuan. Bagian pundak kanan dan punggungnya sobek. Pandan Wangi buru-buru membenahi sebisa-bisanya.

"Setan! Apa yang telah kau lakukan, heh?" bentak Pandan Wangi sengit.

"Jangan bergerak dulu. Racun di rubuhmu belum semuanya keluar," kata Rangga tidak menanggapi bentakan gadis itu.

"Phuih! Kau sudah berani menyentuh tubuhku. Kau harus mati, Rangga!" dengus Pandan Wangi.

"Duduk saja dulu, bersemadilah sebentar. Tenagamu belum pulih benar," masih tetap tenang dan lembut suara Rangga.

"Kau harus mati, setaaan!" teriak Pandan Wangi.

Pandan Wangi yang bergelar Kipas Maut langsung mencabut kipas saktinya. Kemudian diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas. Namun baru juga menggebrak, mendadak kedua kakinya bergetar dan jatuh ke tanah.

"Oh kakiku...," rintih Pandan Wangi merasakan kedua kakinya mendadak jadi lemas.

"Sudah kubilang, racun dalam tubuhmu belum ke luar semua," kata Rangga sambil membantu Pandan Wangi duduk kembali.

Tangannya mengambil kipas baja sakti yang tergeletak di tanah. Kemudian diselipkan lagi di pinggang pemiliknya. Tentu saja Kipas Maut jadi heran juga dengan sikap Rangga. Baru beberapa saat mereka kenal dan bertemu, tapi sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti menolongnya. Apa sebenarnya yang diinginkan pemuda ini? Apakah dia juga menganggap dirinya telah berhasil mengambil Kitab Naga Sewu, seperti yang Iainnya?

Pandan Wangi jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri terhadap sikap Rangga. Dia jadi tidak mengerti apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti ini. Kalau bermaksud buruk, tentu dengan mudah Rangga bisa membunuhnya. Apalagi dalam keadaan terluka parah begini. Pandan Wangi benar-benar tidak mengerti jadinya. Kepalanya semakin berdenyut memikirkan sikap Pendekar Rajawali Sakti yang tampan ini.

********************

DUA

Pendekar Rajawali Sakti menunggu Pandan Wangi bersemadi untuk memulihkan tenaganya kembali. Begitu selesai, lalu Rangga menyerahkan sebutir pil berwarna putih kekuning-kuningan. Ragu-ragu Pandan Wangi menerima pil itu. Tapi seteleh Rangga meyakinkan kalau pil itu untuk menghilangkan semua racun dalam darah, baru Pandan Wangi menerima dan menelannya.

Pandan Wangi merasakan tubuhnya menjadi segar kembali. Luka di bahu kanannya juga tidak lagi mengeluarkan darah. Dengan dibantu Rangga, Pandan Wangi membebat lukanya dengan sobekan bajunya sendiri.

"Kau telah menolongku dan menyelamatkan nyawaku. Aku tidak bisa berhutang budi pada siapa pun. Katakan, apa yang kau inginkan dariku?" tajam terdengar suara Pandan Wangi.

Rangga menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis. Hatinya benar-benar geli melihat sikap gadis ini yang tetap saja keras kepala. Meskipun nyawanya hampir melayang, masih juga bersikap ketus dan sinis.

"Aku tidak menyalahkanmu seandainya kau menyangka aku sudah berhasil mengambil kitab itu dari tangan Empat Setan Jagal," kata Pandan Wangi.

"Kitab? Aku tidak mengerti maksudmu?" Rangga jadi ingin tahu.

"Kau memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?" sinis suara Pandan Wangi.

"Aku jadi semakin tidak mengerti. Kau bentrok dengan Empat Setan Jagal, katanya tidak ada masalah apa-apa. Sekarang kau bilang mengambil kitab dari mereka. Kitab apa yang telah kau curi? Kenapa kau lakukan itu, Pandan?" tanya Rangga memberondong.

"Jadi.., kau benar-benar tidak tahu?" Pandan Wangi malah jadi bengong. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti ini tidak tahu-menahu dengan kitab yang sekarang sedang dihebohkan dan dicari-cari oleh tokoh-tokoh rimba persilatan.

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu apa yang baru saja dibicarakan Pandan Wangi. Dia menolong gadis ini dari Empat Setan Jagal, karena tidak tega melihat seorang gadis dikeroyok empat orang. Sama sekali dia tidak tahu siapa gadis ini sebelumnya. Apalagi terhadap Empat Setan Jagal. Tapi nama Empat Setan Jagal pernah didengarnya. Dan baru kali inilah Rangga dapat bertemu dengan mereka, bahkan langsung bentrok. Semua yang dilakukannya hanya karena terdorong oleh jiwa kependekarannya saja.

"Aku tidak percaya kau tidak menginginkan kitab Itu," dengus Pandan Wangi.

"Sejak tadi kau sebut-sebut kitab. Kitab apa sih sebenarnya?" kesal juga Rangga jadinya.

"Kitab Naga Sewu!" tiba-tiba terdengar suara keras menyahuti pertanyaan Rangga.

Seketika Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi melompat berdiri. Suara itu terdengar jelas dan keras, menggema ke seluruh penjuru mata angin. Dari suara yang tanpa wujud sudah dapat dipastikan kalau dia tentu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

"Siapa kau? Tunjukkan dirirnu!" teriak Rangga disertai pengerahan tenaga dalam.

Suara Rangga terdengar keras, menyebar ke seluruh arah. Kipas Maut kaget mendengar suara Rangga. Telinganya jadi sakit seketika. Cepat-cepat dikerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan.

"Ha ha ha...!" terdengar tawa menggelegar memekakkan telinga.

Pandan Wangi segera mencabut ilmu pembeda gerak dan pemecah suara. Segera dikerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi suara tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Huh!" Rangga mendengus. Seketika kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mendorong ke samping sambil membalikkan tubuhnya. Seleret sinar biru memancar dari telapak tangannya yang terbuka. Sinar itu cepat menghantam sebongkah batu besar. Suara ledakan keras terdengar bersamaan dengan hancurnya batu itu. Sebuah bayangan hitam berkelebat dari balik batu yang hancur berkeping-keping. Dan kini di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap mengenakan pakaian serba hitam yang ketat. Laki-laki berwajah penuh berewok tebal, dengan mata merah bagai mata elang.

"Iblis Mata Elang...," desis Pandan Wangi.

"Hm...," Rangga hanya tersenyum kecil.

Pendekar Rajawali Sakti sudah mendengar kehebatan Iblis Mata Elang. Otaknya yang cerdas sudah bisa menerka maksud kemunculan tokoh hitam yang sakti ini. Sudah tentu ada hubungannya dengan Kitab Naga Sewu, dan pasti mencari Pandan Wangi.

"Kipas Maut! Serahkan Kitab Naga Sewu padaku!" kata Iblis Mata Elang. Suaranya keras menggelegar bagai guntur.

"Kitab itu tidak ada padaku!" sahut Pandan Wangi ketus.

"Bedebah! Kau jangan coba-coba membodohi aku, Kipas Maut!"

"Terserah, aku berkata yang sebenarnya. Kitab itu masih ada diBukit Setan."

"Semua orang sudah tahu kalau Kitab Naga Sewu sudah hilang dari Bukit Setan. Dan kau yang telah mengambilnya, Kipas Maut. Sekarang serahkan kitab itu padaku."

"Kalau pun ada, tidak mungkin aku berikan padamu."

"Setan alas! Kau pikir aku tidak bisa memaksamu, heh?"

"Kalau kau bisa, silakan!" tantang Pandan Wangi.

"Phuih! Abiyasa saja tidak bisa mengalahkanku, apalagi kau!"

"Jangan sebut-sebut nama guruku!" bentak Pandan Wangi geram.

Wajahnya segera memerah karena gurunya yang sudah lama meninggal, dihina begitu saja.

"Cepat serahkan kitab itu, jangan sampai aku mengirimmu keneraka menyusul gurumu!"

"Tidak!" sentak Pandan Wangi.

"Huh! Rupanya kau sama seperti si tua bangka Abiyasa. Keras kepala!" rungut Iblis Mata Elang geram.

Selesai berucap, Iblis Mata Elang cepat melompat menerjang Kipas Maut. Dia tidak memandang sebelah mata pun pada Pendekar Rajawali Sakti yang berada di samping Kipas Maut. Perhatiannya tertumpah penuh pada gadis cantik yang membuat darahnya mendidih karena menahan geram.

"Hiyaaa...!" Wut!

Pandan Wangi langsung mencabut kipas baja saktinya dan mengebutkannya bagai kilat. Iblis Mata Elang bergegas menarik tangannya menghindari kibasan kipas yang ujung-ujungnya runcing tajam. Dengan cepat dimiringkan tubuhnya, dan kaki kanan melayang deras ke arah dada Kipas Maut. Kipas Maut melangkah mundur setindak dengan cepat, kemudian kipasnya dikebutkan ke arah kaki lawan.

Sungguh luar biasa gerakan Iblis Mata Elang ini. Tanpa menarik kakinya lagi, dia berputar cepat menyampok daerah pinggang. Pandan Wangi terkejut dengan gerakan kaki itu. Buru-buru dibaringkan dirinya ke tanah, dan segera melayangkan tendangan mautnya, membalas serangan dalam posisi masih tergeletak di tanah.

"Uts!" Iblis Mata Elang melompat mundur. Pandan Wangi cepat melompat bangun ketika serangan balasannya gagal. Dia bersiap-siap lagi dengan kipas terbuka di depan dada. Iblis Mata Elang mendengus karena serangannya gagal total. Sungguh tidak disangka serangan geledeknya bisa gagal. Kali ini dia tidak lagi memandang enteng pada Kipas Maut. Matanya sempat melirik Pendekar Rajawali Sakti yang hanya berdiri tenang memperhatikan dari jarak sekitar dua batang tombak.

"Kipas Maut, serahkan saja kitab itu padaku. Malas aku menjatuhkan tangan padamu," kata Iblis Mata Elang sambil melirik Rangga.

"Kau takut, Iblis Mata Elang?" ejek Pandan Wangi.

"He he he..., aku hanya tidak ingin kau mati di depan kekasihmu," Iblis Mata Elang terkekeh.

Pandan Wangi melirik Rangga. Hatinya memaki liabis-habisan melihat Rangga hanya tersenyum-senyum saja.

"Phuih! Kau pikir aku senang jadi kekasihmu? Huh! Belum apa-apa sudah besar kepala!" dengus Pandan Wangi dalam hati.

"Mana kitab itu, Kipas Maut?"

"Sudah kukatakan, Kitab Naga Sewu tidak ada padaku!" dengus Pandan Wangi kesal.

"Keras kepala! Kau benar-benar cari mampus!" dengus Iblis Mata Elang geram.

Cring!

Iblis Mata Elang mengeluarkan senjata berupa rantai panjang berujung tiga mata tombak yang cukup besar ukurannya. Langsung di putar-putar senjata itu di atas kepala. Angin menderu-deru keras bagai hendak terjadi badai topan.

Pandan Wangi menggeser kakinya kesamping, dan bersiap-siap menghadapi lawan yang sudah siap dengan senjata mautnya.

"Yeaaah!"

Iblis Mata Elang menyentakkan rantai bajanya. Seketika ujung rantai berujung tiga batang tombak mendesing, meluncur deras ke arah Kipas Maut. Tiga kepala tombak itu berpisah, masing-masing mengincar kepala, dada dan kaki.

Pandan Wangi segera bersalto ke belakang menghindari terjangan senjata mata tombak berantai itu. Baru saja kakinya menjejak tanah, senjata itu sudah kembali meluruk ke arahnya. Pandan Wangi kembali melenting sambil mengebutkan kipas baja saktinya.

Tring!

Satu ujung mata tombak berantai terpental kena sambar kipas baja. Namun yang Iainnya terus meluncur mengancam jiwa Kipas Maut. Mau tidak mau gadis itu membanting tubuhnya ke tanah. Dan bergulingan menghindari sambaran dua mata tombak berantai. Bergegas gadis itu melenting bangun.

Cring!

Iblis Mata Elang menggentak senjatanya. Seketika itu juga tiga mata rantai bersatu rapat. Sekali lagi disentak dan diputar-putar rantai baja itu. Rantai yang kini ujungnya menyatu, meliuk-liuk bagai ular meluncur deras menyerang Kipas Maut.

Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti yang memperhatikan sejak tadi telah dapat menduga dan mengukur kemampuan Pandan Wangi. Dalam keadaan baru sembuh dari luka, bukannya tidak mustahil gadis ini hanya dapat bertahan dalam lima jurus lagi. Kalau pun gadis itu tidak terluka, untuk mengalahkan Iblis Mata Elang juga sangat sulit.

"Akh!" tiba-tiba Pandan Wangi memekik tertahan.

Ujung rantai yang semula menyatu, tiba-tiba mengembang dan satu mata tombak menghantam kipas di tangan Pandan Wangi hingga terpental. Sedangkan yang satunya lagi membelit tangan gadis itu. Pandan Wangi hanya mampu menangkap satu mata tombak Iainnya yang mengarah ke dada.

"Ha ha ha...!" Iblis Mata Elang tertawa melihat lawannya berkutat mencoba membebaskan tangannya dari belitan rantai.

"Ikh!" Pandan Wangi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya berusaha melepaskan belitan rantai di tongan kanannya.

Jari-jari tangan Iblis Mata Elang bergerak cepat, tiba-tiba saja satu rantai yang terpisah bergerak bagai ular membelit pinggang ramping Pandan Wangi.

"Akh!" Pandan Wangi menjerit keras. Belitan rantai pada tangan dan pinggang Pandan Wangi dirasakan makin kuat saja. Rasa sakit dan nyeri mulai merasuki pinggang dan tangan kanannya. Kalau hal ini terus berlangsung, tulang-tulangnya akan remuk. Pandan Wangi mulai bergetar tubuhnya. Dia menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri sambil terus mengempos tenaga dalamnya. Rasa nyeri makin terasa.

"Hiyaaa!"

Tiba-tiba Rangga memekik keras. Mendadak saja tubuhnya melayang deras dengan tangan mengembang ke samping. Tangan kanannya bergerak cepat mengibas ke arah tangan Iblis Mata Elang. Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang mendadak ini membuat Iblis Mata Elang terkejut.

"Ih!" Buru-buru dilepaskan pegangan pada rantainya. Kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu mengenai tempat kosong. Iblis Mata Elang menendang ujung rantai dan menangkapnya dengan cepat sekali. Langsung dibetotnya senjata itu. Belitan pada tubuh Pandan Wangi terlepas saat itu juga.

"Setan!" dengus Iblis Mata Elang geram.

"Dia bukan lawanmu, Iblis Mata Elang," tenang suara Rangga berkata.

"Phuih!"

********************

Pandan Wangi terkulai lemas. Tulang-tulang pinggang dan tangan kanannya seperti terasa remuk. Sedikit-sedikit dia beringsut menggeser tubuhnya menjauh dari jangkauan Iblis Mata Elang. Apa yang dilakukan gadis itu tidak lepas dari perhatian Rangga. Dengan sudut ekor matanya, Pendekar Rajawali Sakti terus memperhatikan Pandan Wangi sampai ke tempat yang dirasa aman.

Rangga mengayunkan kakinya ke depan tiga langkah, kemudian berdiri tegak bertolak pinggang. Sikapnya sengaja menantang Iblis Mata Elang. Ekor matanya kembali melirik Pandan Wangi yang kini sedang memulihkan tenaganya.

"Minggir kau, anak muda. Aku tidak ada urusan denganmu!" bentak Iblis Mata Elang keras.

"Urusanmu dengan Pandan Wangi, juga jadi urusanku," tenang sekali Rangga menyahut.

"Monyet beledek! Kau juga sudah bosan hidup rupanya!"

"Kita lihat, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka."

"Kurang ajar, hiyaaa...!"

Iblis Mata Elang langsung menggentak rantai bajanya. Tiga ujung rantai yang berbentuk seperti mata tombak meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Manis sekali Rangga berkelit menghindari serangan cepat itu. Iblis Mata Elang terus menyerang dengan gesit. Mata rantainya kadang-kadang menyatu cepat, dan kadang-kadang pula berpencar ke tubuh lawan. Yang dihadapi Iblis Mata Elang sekarang, bukanlah Kipas Maut yang tingkat ilmunya jauh di bawahnya. Kini yang dihadapinya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja serangan-serangan maut yang dilancarkannya dapat dielakkan dengan mudah.

Hal ini membuat Iblis Mata Elang makin bernafsu untuk menyudahi pertarungan. Serangan-serangannya makin hebat dan tajam. Dalam waktu sebentar saja sepuluh jurus sudah berlalu. Namun sejauh itu Rangga masih berkelit, dan belum membalas serangan-serangan lawan. Hingga pada saat ujung mata rantai menyatu, meluruk ke arah dada, dengan cepat tangan Pendekar Rajawali Sakti menangkapnya.

"Hih!" Iblis Mata Hang mengerahkan tenaga dalam, dalam usahanya menarik rantainya kembali. Sedikit pun rantai itu tidak bergeming dari genggaman tangan Pendekar Rajawali Sakti. Adu tenaga dalam pun berlangsung. Tiba-tiba Rangga menghentakkan tangannya, lalu melenting ke udara. Secepat kilat dilepaskan rantai baja itu. Tubuh Rangga dengan ringan berlari diatas rantai yang membentang kaku.

"Akh!"

Iblis Mata Elang terkejut ketika tiba-tiba saja kaki Pendekar Rajawali Sakti melayang mengancam kepalanya. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah. Belum juga hilang rasa terkejut Iblis Mata Elang, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun. Kakinya bergerak berputar cepat mengarah lawan, Rangga mengeluarkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Iblis Mata Elang bergulingan menghindari serangan yang cepat bagai kilat itu. Rangga mendarat di tanah, dan kakinya menginjak rantai. Cepat sekali kaki-kakinya bergerak menyusur rantai mendekati Iblis Mata Elang yang sedang melenting bangun.

"Hiya...!" Rangga berteriak nyaring. Dengan gesit didorong tangannya ke depan, dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Iblis Mata Elang untuk berkelit. Terpaksa disambutnya serangan itu dengan mengadu tangan.

Plak!

"Aaahk!" Iblis Mata Elang menjerit keras. Tubuhnya langsung terpental jauh ke belakang. Keras sekali jatuh bergulingan di tanah. Iblis Mata Elang bukanlah tokoh kosong. Buktinya dengan cepat bisa menguasai diri kembali. Bergegas dia mempersiapkan diri menghadapi serangan yang berikutnya.

Tring!

Iblis Mata Elang mengeluarkan dua senjata yang berbentuk trisula. Kakinya bergeak cepat menyusur tanah sambil mengibas-ngibaskan senjata kembarnya. Pertarungan kembali berlangsung sengit dan dalam jarak dekat Dua senjata trisula berkelebatan memancarkan sinar keperakan mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Mendapat serangan yang datang bertubi-tubi dan gencar, Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan jurus 'Seribu Rajawali'. Seketika itu juga dengan gerakan cepat berkelit ke sana kemari dan berlompatan ke segala arah. Tubuh Rangga seperti berjumlah seribu, mengurung Iblis Mata Elang.

"Setan!" umpat Iblis Mata Elang kebingungan. Setiap serangan yang dilancarkan oleh Iblis Mata Elang selalu mengenai tempat yang kosong. Bahkan beberapa kali hampir kena sambaran tangan atau pun kaki Pendekar Rajawali Sakti. Mendadak Iblis Mata Hang mengadu senjatanya sendiri. Seketika itu juga direntangkan kedua tangannya. Lalu tubuhnya berputar dengan cepat bagai baling-baling. Tubuh Iblis Mata Elang lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanya gumpalan warna perak dan hitam jadi satu, berputar cepat seperti gasing.
Rangga jadi mengerutkan keningnya. Sedikit pun dia tidak bisa masuk, bahkan harus hati-hati. Bisa-bisa ujung senjata Iblis Mata Elang merobek tubuhnya. Segera dia melompat keluar dari arena pertarungan.

'"Cakra Buana Sukma'...!" teriak Rangga keras. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusakanya. Lalu tangan kirinya menggosok mata pedang itu dan berhenti tepat di tengah-tengah. Sinar biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti, segera menggumpal dan meluruk ke arah Iblis Mata Elang yang terus berputar seperti gasing.

Cras..., Cras!

Sinar biru berkilau menggulung tubuh yang berlapis sinar keperakan. Dalam sekejap saja sinar keperakan hilang dari pandangan mata. Kini yang nampak hanya sosok tubuh berpakaian hitam terbalut sinar biru berkilau. Iblis Mata Elang menyatukan senjatanya di depan dada.

"Aaakh...!"

Belum sempat Iblis Mata Elang mengeluarkan ajiannya, mendadak tubuhnya bergetar dan menjerit-jerit keras, lalu ambruk ke tanah meregang nyawa bagai ayam disembelih. Dua senjata trisula telah terlepas dari pegangan tangannya. Rangga memasukkan kembali pedang ke dalam warangkanya setelah tubuh Iblis Mata Elang tidak bergerak lagi.

"Hhh..!" Rangga menarik napas panjang. Perlahan-lahan tubuh Iblis Mata Elang berubah jadi gumpalan tepung hitam. Dua senjata trisula yang terkena ilmu 'Cakra Buana Sukma' juga ikut hancur jadi abu.

Rangga menoleh ke arah Pandan Wangi setelah seluruh tubuh Iblis Mata Elang jadi tepung. Pandan Wangi melangkah menghampiri pendekar muda yang tampan itu.

"Kau tidak apa-apa, Pandan Wangi?" tanya Rangga setelah gadis itu berdiri di depannya.

"Tidak," sahut Pandan Wangi menggeleng.

"Masih tetap berkeras menghadapi sendiri?"

Pandan Wangi menatap Rangga sebentar, lalu kepalanya menggeleng pelan. Wajahnya tertunduk, seperti menyesali sikapnya yang tidak bersahabat pada pendekar muda ini.

"Mari kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.

Pandan Wangi tidak menjawab, juga tidak membantah. Diikuti saja langkah Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berjalan ke arah matahari terbenam tanpa membuka suara sedikit pun. Gadis itu sesekali mencuri pandang pada wajah tampan di sampingnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Yang jelas, setiap kali melirik wajah tampan itu, mendadak dadanya jadi berdebar keras.

********************

TIGA

Dalam perjalanan, Pandan Wangi dengan gamblang menceritakan tentang Kitab Naga Sewu yang kini jadi rebutan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sementara Rangga mendengarkannya dengan penuh perhatian. Gadis itu tidak ragu-ragu kalau Pendekar Rajawali Sakti ini berpihak padanya. Tidak ada yang ditutupi mengenai Kitab Naga Sewu.

"Jadi, siapa sebenarnya yang berhak memiliki kitab itu?" tanya Rangga.

"Tidak seorang pun," sahut Pandan Wangi.

"Tidak seorang pun?" Rangga mengernyitkan alisnya. "Apakah pertapa Eyang Sokalima tidak mempunyai murid?"

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya.

"Lantas, kenapa kau terlibat?"

"Aku sendiri tidak tahu. Seminggu yang lalu, aku menolong seorang saudagar yang dirampok di tengah hutan Bukit Setan oleh Empat Setan Jagal. Dan setelah kejadian itu, tersebar kabar kalau Kitab Naga Sewu ada di tanganku. Katanya kucuri dari Bukit Setan."

"Apa kitab itu sebelumnya memang ada di sana?" tanya Rangga lagi.

"Entahlah. Mungkin juga iya! Soalnya Eyang Sokalima menghabiskan sisa hidupnya di puncak bukit itu, sebelum Empat Setan Jagal menempatnya."

"Kau pernah ke puncak Bukit Setan?"

"Pernah, ketika melarikan diri dari kejaran Empat Setan Jagal. Dua hari aku sembunyi di sana."

"Pantas, kau dituduh telah menemukan Kitab Naga Sewu," gumam Rangga.

"Tapi, aku tidak pernah melihat kitab itu!" sangkal Pandan Wangi.

"Aku percaya, tapi sekarang keadaanmu sangat terancam. Kabar tentang Kitab Naga Sewu yang ada di tanganmu sudah tersebar luas. Rasanya sulit untuk mengelak lagi. Mau tidak mau harus kau hadapi semuanya."

"Huh, hanya karena satu kitab saja, jadi saling bunuh!" rungut Pandan Wangi.

"Itulah dunia persilatan. Semua orang seperti sudah gila akan ilmu kesaktian. Tidak peduli nyawa akan melayang, selalu memburu yang lebih tinggi."

"Kau sendiri, apakah tidak tertarik memiliki Kitab Naga Sewu?"

"Aku tidak pernah tertarik dengan sesuatu yang belum pasti kebenarannya."

"Ilmu Naga Sewu sangat dahsyat. Tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya. Kalau kitab itu jatuh ke tangan orang jahat, dunia persilatan pasti akan hancur. Lebih-lebih kalau yang menguasai ilmu itu memiliki Pedang Naga Geni! Dapat dipastikan akan merajai seluruh rimba persilatan."

"Pedang Naga Geni...?"

"lya, pedang sakti milik Eyang Sokalima."

"Siapa orang yang memiliki pedang itu?"

"Aku tidak tahu. Kabarnya pedang itu juga lenyap bersama kitabnya. Makanya tokoh-tokoh rimba persilatan jadi saling bunuh hanya untuk menguasai benda-benda pusaka itu."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sudah mengerti sepenuhnya mengenai Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni yang kini tengah dicari-cari dan diributkan. Sementara langkah mereka terhenti karena di depan telah menghadang sebuah sungai besar, lagi deras. Rangga mengedarkan pandangannya. Tidak ada satu rakit pun ditepi sungai ini.

Mata Pendekar Rajawali Sakti itu menatap lurus ke sebuah perkampungan di seberang sungai yang kelihatannya ramai. Beberapa perahu tertambat di sana. Sungai ini hanya bagian tengahnya saja yang mengalir deras, sedangkan tepiannya kelihatan tenang.

"Sungai apa ini namanya?" tanya Rangga yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.

"Sungai Banyu Biru," sahut Pandan Wangi.

"Desa itu?"

"Desa Banyu Biru. Bukit Setan di belakang desa itu," Pandan Wangi menjelaskan sambil menunjuk ke satu arah.

Rangga menatap sebuah bukit yang melatar belakangi desa Banyu Biru. Sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, namun kelihatan lebat seperti tidak pernah terjamah oleh manusia.

"Sampai kapan di sini terus?" tanya Pandan Wangi kesal melihat Rangga berdiri mematung saja.

"Aku sedang memikirkan rencana untuk mengalihkan perhatian mereka," kata Rangga sambil duduk bersandar di bawah pohon.

"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi tetap berdiri.

"Kau mau terus-menerus jadi buronan? Dikejar ke sana kemari seperti tikus?" Rangga malah balik bertanya.

Pandan Wangi tidak mengerti arah pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dia lalu mendekat dan duduk di depan Rangga. Sinar matanya memancarkan rasa ingin tahu akan rencana di kepala Rangga. Rangga mengemukakan rencana itu. Pandan Wangi mendengarkan dengan penuh perhatian. Wajahnya berseri-seri mendengar rencana pendekar muda dan tampan ini. Entah kenapa, mendadak saja dia jadi mengagumi pemuda yang tidak hanya digdaya, tapi juga memiliki otak yang cerdas.

"Kakang, kau akan ke mana?" tanya Pandan Wangi melihat Rangga beranjak pergi.

"Tunggu saja di sini sampai aku kembali," sahut Rangga sambil memungut kulit kayu yang cukup lebar.

Dilemparkannya kulit kayu itu ke sungai, lalu dengan ringan tubuhnya melayang. Saat mendarat diatas kulit kayu yang terapung, Pendekar Rajawali Sakti Itu meluncur di atas bagai anak panah lepas dari busurnya.

Pandan Wangi memandang hingga terbengong-bengong. Tidak sembarang orang bisa meluncur di atas air hanya dengan menggunakan selembar kulit kayu yang besarnya tidak lebih dari telapak tangan. Suatu pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang sempurna sekali. Pandan Wangi yang sudah percaya penuh pada pendekar muda itu, mencari tempat yang enak dan terlindung untuk menunggu. Dia membaringkan tubuhnya di balik semak-semak yang menutupi seluruh tubuhnya.

"Rangga...," bibirnya menggumamkan nama Pendekar Rajawali Sakti. Gila! Kenapa jadi memikirkan dia? Rungut Pandan Wangi dalam hati. Tapi..., ah! Wajah itu, rasanya sulit untuk dihilangkan dari bayang-bayang mata.

Pandan Wangi gelisah sendiri menunggu kedatangan pendekar muda yang tampan. Pendekar yang tanpa disadari telah merenggut sekeping hatinya. Tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Aku ti.... Uh!

Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang Rangga yang terus-menerus bermain-main dipelupuk matanya. Semakin dicoba melupakan dan mengusir wajah Rangga yang terus menggoda, semakin jelas tergambar di depan matanya. Pandan Wangi tersiksa sendiri. Begitu tersiksanya, sehingga jadi lelah dan tertidur dalam belaian angin yang lembut.

********************

Rangga menikmati keramaian desa di tepi sungai Banyu Biru. Sepertinya tidak pantas kalau disebut desa. Banyak perahu-perahu besar dan kecil, bersandar dan singgah di desa yang ramai ini. Keramaiannya tidak kalah dengan sebuah kota. Rumah-rumah penduduk juga indah dan besar. Tidak terlalu sulit bagi Rangga mencari rumah makan. Di desa Banyu Biru ini banyak tersebar rumah makan dan penginapan. Pasarnya pun cukup ramai. Berbagai barang diperjual-belikan di sini.

Rangga menghampiri seorang laki-laki tua yang menjajakan pakaian. Macam-macam warna dan ukuran pakaian ada di sini. Pakaian laki-laki, perempuan dan anak-anak terhampar. Laki-laki tua pedagang pakaian itu terbungkuk-bungkuk menerima kedatangan Rangga.

"Mau beli pakaian, Den?" penjaja tua itu menawarkan.

"Iya, Pak. Tolong ambilkan pakaian perempuan," sahut Rangga.

"Perempuan?" pedagang tua itu mengerutkan keningnya.

"Iya, kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa. Tapi rasanya kok aneh. Laki-laki beli pakaian perempuan."

"Buat istri saya, Pak."

"Oh..., memangnya istri Aden ada di mana?"

"Di rumah, jaga anak," jawab Rangga asal saja.

Pedagang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kira-kira sebesar apa istri Aden?" tanyanya.

"Hm...," Rangga celingukan. "Nah, itu! Persis seperti perempuan yang pakai baju kuning itu."

Pedagang tua itu mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk Rangga. Kepalanya kembali terangguk-angguk dengan bibir menyunggingkan senyum.

"Pasti istri Aden cantik," pujinya tulus. Betapa tidak? Wanita yang ditunjuk Rangga seorang wanita cantik dengan bentuk tubuh yang indah mempesona.

"Kalau ada, warnanya putih," kata Rangga.

"Ada..., ada."

Pedagang tua itu mengambil seperangkat pakaian yang diinginkan Rangga, kemudian membungkusnya dengan rapi. Rangga menerima dan membayar sesuai dengan harga yang disebutkan pedagang tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Rangga berlalu dari situ. Matanya masih sempat melirik wanita berbaju kuning yang masih duduk di kedai makan yang cukup terbuka.

Rangga mengernyitkan alisnya ketika melihat ikat pinggang wanita itu berwarna kuning emas, dan tampaknya terbuat dari logam yang lunak dan tipis. Tanpa disadari, kakinya terayun ke kedai itu. Rangga duduk agak jauh di depan wanita yang menarik hatinya. Dipesannya seguci arak pada pelayan yang datang menghampiri.

"Tuan kenal dengan wanita itu?" tiba-tiba pelayan berbisik setelah meletakkan seguci arak di meja Rangga.

Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut. Sungguh mati tidak disadarinya kalau pelayan itu sejak tadi memperhatikan dirinya. Rangga malu sendiri ketika kepergok memandangi seorang wanita cantik yang belum dikenalnya sama sekali.

"Dia juga pendatang seperti Tuan," kata pelayan Itu lagi.

"Kau kenal?" tanya Rangga.

"Semua orang di desa Banyu Biru kenal dia," sahut pelayan itu.

Rangga mengernyitkan keningnya.

"Pelayan...!" tiba-tiba wanita berbaju kuning itu berseru.

"Oh! Sebentar. Sebentar, Tuan," kata pelayan itu.

Bergegas dihampirinya wanita cantik yang berpakaian kuning itu. Rangga memperhatikan saja sambil menuang arak dan meminumnya. Pelayan itu mengangguk-angguk dan terbungkuk-bungkuk di depan perempuan itu yang bicara setengah berbisik.

Kening Rangga makin berkerut ketika pelayan tadi datang kembali padanya. Dia terbungkuk-bungkuk di depan Rangga. Sekilas dari sudut ekor matanya, Rangga menangkap kalau wanita itu juga tengah memandang ke arahnya.

"Tuan diminta ke sana," kata pelayan itu menunjuk wanita tadi.

"Aku...?" Rangga seperti tidak percaya.

Wanita itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Rangga membalas dengan anggukan kecil.

"Terima kasih," ucap Rangga sambil bangkit berdiri. Diletakkannya tiga keping uang perak di atas meja.

Pelayan itu membeliak melihat tiga keping uang perak di atas meja. Jelas terlalu banyak untuk membayar satu guci arak. Tiga keping uang perak bisa untuk membayar sepuluh guci arak manis. Rangga tidak mempedulikan pelayan yang bengong seperti kejatuhan bulan, dan terus melangkah menghampiri wanita cantik berbaju kuning.

"Anda memanggilku, Nona?" tanya Rangga sopan.

"Duduklah," sahut wanita itu. Suaranya lembut dan halus.

"Terima kasih."

Rangga duduk di depan wanita cantik itu. Hanya sebuah meja kecil bersegi empat yang membatasi. Wanita itu menuangkan arak ke dalam gelas perak, dan menyodorkan pada Rangga. Bibirnya menyunggingkan senyum manis.

"Maaf, aku tidak biasa minum dengan orang yang belum kukenal," kata Rangga tanpa sedikit pun bermaksud menyinggung.

"Aku Klenting Kuning, dan kau?"

"Rangga."

"Tidak keberatan minum bersamaku, 'kan?"

"Sama sekali tidak."

Rangga meraih gelas perak yang telah terisi arak berbau harum. Hanya sedikit pendekar muda itu meneguk arak harum dan manis. Dia masih belum mengerti dengan sikap Klenting Kuning.

"Kau pendatang di desa Banyu Biru ini?" tanya Klenting Kuning.

"Iya," sahut Rangga singkat.

"Akhir-akhir ini banyak sekali pendatang ke sini," Klenting Kuning bergumam.

Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia baru sadar kalau di sekitar tempat ini memang banyak orang hilir-mudik. Di antara para penduduk, terlihat orang-orang yang kelihatannya pendatang. Dilihat dari cara berpakaiannya serta senjata yang disandang, dapat diketahui kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Jelas kalau desa ini telah dipenuhi oleh tokoh-tokoh rimba persilatan.

"Kau juga ingin ke Bukit Setan itu?" tanya Klenting Kuning.

"Bukit Setan...?!" Rangga sampai ternganga saking terkejutnya.

"Kenapa? Kau tampak terkejut sekali mendengar Bukit Setan."

"Ah, tidak. Aku hanya heran saja, untuk apa mereka datang kesana?"

"Mereka memiliki kepandaian cukup tinggi. Tentu saja tujuannya mencari Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni."

"Kenapa harus ke Bukit Setan?" tanya Rangga. Dia makin tertarik ingin mengetahui lebih banyak lagi.

"Tampaknya kau tidak tahu sama sekali tentang Bukit Setan," gumam Klenting Kuning.

"Aku ke sini hanya kebetulan saja singgah," Rangga menjelaskan.

"Kau seorang pendekar?" tanya Klenting Kuning seolah menyelidik.

"Bukan," sahut Rangga.

"Kenapa membawa pedang?"

"Hanya untuk jaga diri."

Klenting Kuning tersenyum penuh arti dan sulit dilebak. Rangga sendiri masih belum tahu maksud wanita cantik ini mengundangnya minum. Benaknya masih bertanya-tanya. Dia jadi teringat akan Pandan Wangi serta rencananya untuk menolong gadis itu dari incaran tokoh- tokoh rimba persilatan yang gila benda pusaka.

"Kau ingin tahu tentang Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni?" Klenting Kuning menawarkan.

Tentu saja Rangga gembira mendengar tawaran yang memang sedang ditunggu-tunggu. Dia pun mengangguk pasti. Klenting Kuning kembali tersenyum manis.

"Sebaiknya kita tidak bicara di sini," kata Klenting Kuning.

"Kenapa?"

"Ikut aku," Klenting Kuning tidak menyahuti pertanyaan Rangga.

Rangga yang masih penasaran dengan wanita cantik itu, menurut dan bangkit berdiri. Mata Rangga sempat melirik Klenting Kuning yang melempar dua keping uang emas ke atas meja. Bibirnya tersenyum melihat dua keping uang emas itu jatuh tanpa menimbulkan suara dimeja. Kini mereka melangkah ke Iuar kedai.

********************

Rangga memandangi kamar yang ditata indah, seperti layaknya kamar putri bangsawan. Meja, kursi, dan lemari terbuat dari kayu jati berukir indah. Tempat tidur berlapis kain sutra halus merah muda. Lantai beralaskan permadani berbulu tebal dan Iembut. Rasanya Rangga memasuki sebuah kamar peristirahatan bidadari.

Klenting Kuning menghenyakkan tubuhnya yang indah di atas pembaringan. Sikapnya begitu mempesona, seakan sengaja mengundang pendekar muda itu untuk bercumbu. Rangga duduk dikursi, matanya mamandangi tubuh ramping yang tergolek menantang. Hatinya mulai terasa tidak enak berada dalam kamar bersama seorang wanita cantik dengan tubuh yang menggairahkan.

"Katakan, apa yang kau ketahui tentang Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni?" Rangga merasa lidak betah berlama-lama di kamar ini.

"Kenapa harus buru-buru? Kau tidak ingin sedikit bersenang-senang, Rangga?" Iembut merayu suara Klenting Kuning.

Rangga merasa jengah. Dia bangkit berdiri dan berjalan ke pintu.

"Mau ke mana? Pintu itu terkunci," kata Klenting Kuning.

Rangga merasakan dirinya sudah masuk ke dalam perangkap. Di cobanya pintu kamar itu dibuka. Benar, pintu itu telah terkunci. Dengan hati gundah, pendekar muda itu berbalik. Matanya hampir melompat keluar mendapatkan Klenting Kuning kini hampir tidak berpakaian lagi.

Beberapa bagian tubuhnya menyembul menantang. Mendadak dada Rangga terasa sesak, dan napasnya sulit dikendalikan. Klenting Kuning menggerak-gerakkan bibirnya yang merah merekah. Dia beringsut sedikit, membetulkan kain surra merah muda yang menutupi tubuhnya. Dia pun kini turun dari pembaringan, melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Bau harum semerbak tercium saat Klenting Kuning mengayunkan langkahnya.

"Apa yang kau...."

"Ssst...," Klenting Kuning menutup bibir Rangga dengan jari-jari tangannya yang Ientik.

Detak jantung Rangga makin bergemuruh, bagai ombak di pantai menghantam karang. Bau harum semakin menusuk lubang hidungnya. Rangga merasakan kepalanya menjadi berat, dan pandangannya mulai kabur. Klenting Kuning merapatkan tubuhnya. Kedua tangannya melingkar di Ieher pemuda tampan dan gagah itu. Begitu dekat wajah mereka sehingga deru napas Klenting Kuning menerpa hangat di kulit wajah Rangga.

Klenting Kuning mulai menciumi wajah dan leher Rangga. Napasnya mendengus-dengus memburu bagai kuda betina liar. Entah kenapa, Rangga seperti tidak memiliki daya sama sekali. Pikirannya kacau. Bau harum yang menyengat hidung seperti ingin membangkitkan gairah kejantanannya. Laki-laki muda itu kehilangan kesadarannya. Dia menurut saja ketika Klenting Kuning menariknya ke pembaringan.

Mereka duduk di pembaringan. Klenting Kuning menggerak-gerakkan tubuhnya, sehingga kain sutra yang membelit tubuhnya merosot turun. Tampak dua bukit kembar putih menonjol indah. Mata Rangga semakin berkunang-kunang melihat tubuh putih mului menantang di depannya tanpa penutup sama sekali.

"Kraaagh...!" tiba-tiba terdengar suara keras mengaung di telinga Rangga.

"Rajawali Sakti...," desis Rangga seketika.

Begitu terdengar lagi suara berkaok yang nyaring. Rangga langsung melompat dari pembaringan. Tangannya menyambar pakaian dan pedangnya yang sudah terlepas.

"Apa..., apa yang telah kau lakukan?" Rangga seperti baru tersadar dari mimpi.

"Ayolah, sayang. Kenapa bengong di situ?" lembut suara Klenting Kuning merayu.

"Kau...? Oh, tidak!"

Rangga kembali membeliak melihat tubuh indah tergolek dipembaringan tanpa benang sehelai pun menempel di tubuhnya. Bergegas dikenakan kembali pakaiannya, dan disampirkan pedang pusakanya dipunggung. Kesadaran Pendekar Rajawali Sakti berangsur pulih. Suara burung Rajawali Sakti yang merawat dan membimbingnya sejak kecil telah membuka kembali mata dan kesadarannya yang sempat tertutup tadi.

"Rangga...! Kau mau ke mana?" teriak Klentin Kuning melihat Rangga membuka pintu kamar.

"Hih! Rangga mengerahkan tenaga dalam untuk membuka pintu yang terkunci.

"Percuma, Sayang. Pintu itu tidak akan terbuka tanpa seijinku," kata Klenting Kuning.

Rangga membalikkan tubuhnya. Dia langsung memalingkan muka saat melihat tubuh Klenting Kuning yang polos duduk di sisi pembaringan. Mata Pendekar Rajawali Sakti itu berkeliling mencari celah untuk bisa keluar dari kamar yang dipenuhi oleh hawa nafsu birahi.

"Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika tubuhnya mencelat tinggi ke udara. Pendekar muda itu mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu membumbung menerjang atap. Sekali terjang saja atap kamar yang terbuat dari lempengan baja tipis itu jebol, bersamaan dengan melesatnya tubuh Rangga.

"Rangga...!" teriak Klenting Kuning terkejut.

Bergegas wanita cantik itu mengenakan pakaiannya, lalu tubuhnya melenting menembus atap yang telah jebol. Klenting Kuning bertengger di atas atap. Matanya nyalang memandang ke sekelilingnya. Tidak nampak sedikit pun bayangan Pendekar Rajawali Sakti

"Huh, sial!" rungut Klenting Kuning.

Klenting Kuning melentingkan tubuhnya, lalu turun dengan manis mendarat di tanah. Dia berdiri di depan rumah kecil miliknya. Rumah yang dibangun di atas tanah dan ditata indah, bagai sebuah taman surgawi milik dewa-dewi kahyangan. Klenting Kuning mengedarkan pandangannya kembali berkeliling, masih mengharap dapat melihat bayangan pemuda tampam yang telah menarik hatinya.

"Rangga..., kau gagah dan tampan sekali. Ke mana pun kau pergi, aku pasti akan mendapatkanmu, gumam Klenting Kuning.

********************

EMPAT

Rangga berdiri mematung di tepi sungai Banyu Biru, tempat saat dia meninggalkan Pandan Wangi. Sementara hari sudah menjelang senja, matahari hampir tenggelam di ufuk Barat. Sinarnya yang kemerahan membias indah di permukaan sungai, gemerlap bagai bertaburkan mutiara.

Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri pohon rindang. Di bawah pohon inilah Pandan Wangi ditinggalkannya sendirian tadi. Mata Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling. Hatinya mendadak cemas karena Pandan Wangi tidak ada. Rasa sesal mulai membelit relung hatinya, karena telah meninggalkan Pandan Wangi terlalu lama seorang diri di tempat sunyi seperti ini.

"Pandan...!" teriak Rangga keras.

Suara Rangga menggema di antara pohon dan batu-batuan, terbawa angin senja yang tertiup Iembut. Heberapa kali Pendekar Rajawali Sakti itu memanggil nama Pandan Wangi, tapi tidak ada sahutan sama sekali. Hanya desah angin dan gemericik air sungai yang menyahuti panggilannya.

"Kemana dia, ya?" Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tajam, mendengar suara gemerisik dari balik semak-semak di depannya. Seketika pandangannya tertuju ke arah semak-semak itu. Pelahan kakinya terayun mendekati tempat asal suara tadi. Rangga menyibakkan semak-semak itu. Hatinya jadi kecewa, karena yang didapatinya hanya dua ekor kelinci yang langsung kabur ketakutan. Rangga mendengus, dan mengedarkan pandangannya kembali ke sekelilingnya.

"Pandan...!" panggil Rangga sekali lagi.

Siiing...!

Tiba-tiba terdengar suara mendesing. Rangga melompat berputar di udara. Ketika berkelebat seberkas sinar keemasan mengarah padanya. Sinar itu meluncur deras melewati tubuh Pendekar Rajawali Sakti, dan menancap pada sebatang pohon. Ringan sekali tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu mendarat di tanah. Baru saja kakinya menjejak tanah, kembali secercah sinar keemasan berkelebat cepat.

"Hup!" Rangga kembali melenting ke udara. Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, menghindari desingan sinar-sinar keemasan yang datang secara beruntun bagai hujan. Mata Rangga yang tajam, dapat melihat arah datangnya sinar-sinar keemasan itu. Sambil berputaran di udara, tangannya menangkap dua benda keemasan yang mengancam dirinya. Dengan kecepatan penuh, langsung dua benda itu dilontarkan kembali ke arah pemiliknya. Seketika itu juga berkelebat satu bayangan hijau dari balik sebuah batu besar.

"Pandan...!" seru Pendekar Rajawali Sakti terkejut.

"Ha ha ha...!" Pandan Wangi tertawa gelak begitu kinya mendarat ditanah.

"Tidak lucu!" dengus Rangga langsung melompat menghampiri gadis itu.

"Tidak lucu ya sudah!" rungut Pandan Wangi. wajahnya dipasang cemberut seperti gadis ingusan yang kena marah orang tuanya.

"Cara bercandamu sangat berbahaya, Pandan," Suara Rangga terdengar lunak.

"Tapi, hebat 'kan?"

"Iya, hanya saja kau perlu banyak latihan."

"Wah! Kalau aku mahir, tentu Kakang tadi sudah...," Pandan Wangi tidak meneruskan ucapannya.

"Ah, sudahlah!" dengus Rangga. "Nih! Aku bawakan pakaian buatmu, dan sedikit makanan."

Pandan Wangi menerima bungkusan yang disodorkan Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian dibukanya. Matanya agak membeliak melihat satu stel pakaian berwarna putih. Pakaian seorang pendekar wanita.

"Darimana kau dapatkan ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Beli, disana!" sahut Rangga menunjuk ke arah desa Banyu Biru.

"Kakang dari sana?" Pandan Wangi seperti tidak percaya.

"Iya," sahut Rangga. "Sana, cepat! Ganti pakaianmu, dan kita makan bersama. Kau pasti suka makanan yang kubawa."

Pandan Wangi berlari-lari kecil menuju kebalik batu hitam sebesar dangau. Rangga membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari Desa Banyu Biru. Sesekali matanya melirik ke arah batu hitam, tempat Pandan Wangi tengah mengganti pakaiannya.

Tidak lama kemudian Pandan Wangi keluar lagi, dan telah mengenakan pakaian yang dibelikan Rangga tadi. Pendekar Rajawali Sakti memandang tanpa berkedip. Dia seperti terpana saja melihat Iblis turun dari kahyangan. Pandan Wangi kelihatan cantik sekali mengenakan pakaian pendekar putih berpita merah. Ikat kepala berwarna merah menambah cantik raut wajahnya. Pakaian itu ternyata pas di tubuh Pandan Wangi.

"Ck ck ck...," Rangga berdecak kagum.

"Mengapa memandangku begitu?" rungut Pandan Wangi jengah.

"Kau cantik sekali," puji Rangga tulus.

"Huh!" Pandan Wangi mencibir. Namun dalam hatinya senang sekali mendapat pujian dari pemuda tampan yang telah mencabik-cabik sekeping hatinya.

"Ayo, makan dulu. Kau belum makan dari tadi, 'kan?" ajak Rangga mengalihkan perhatian. Dia sendiri tidak ingin lama-lama terpesona oleh kecantikan Pandan Wangi.

"Apa itu?" tanya Pandan Wangi segera duduk bersila di depan Rangga.

"Ikan bakar, lalap, sambal, tapi nasinya sudah dingin," sahut Rangga seperti penjaja saja.

"Tidak apa-apa, yang penting kenyang."

Rangga tersenyum. Senang juga dia dengan sikap Pandan Wangi yang urakan, dan sedikit liar, tapi menyenangkan untuk diajak berteman. Mereka mulai makan dengan nikmatnya. Rangga banyak bercerita tentang keadaan di Desa Banyu Biru. Dia juga mengatakan tentang rencananya yang sudah dilaksanakan. Kini hanya tinggal menunggu reaksinya saja dari orang-orang yang gila benda-benda pusaka.

"Besok pagi kita ke sana," kata Rangga.

"Ke Desa Banyu Biru?" Pandan Wangi menegaskan.

"Iya, aku ingin tahu sampai di mana mereka terpengaruh ceritaku tentang Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni."

"Kau yakin bisa berhasil?"

"Lihat saja nanti."

********************

Suasaan di Desa Banyu Biru tampak seperti biasa. Kehidupan berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Desa yang menjadi tempat persinggahan perahu-perahu pedagang, dan para pengelana pencari kehidupan maupun tokoh-tokoh rimba persilatan. Kehidupan kembali berlangsung menjelang pagi tiba.

Di sebuah kedai minum, tampak Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut duduk menghadapi meja. Seguci arak dan makanan tersedia hampir memenuhi meja kecil dari kayu jati. Sejak datang pagi-pagi sekali, Pendekar Rajawali Sakti terus memasang mata dan telinga. Dia ingin tahu perkembangan rencana yang sudah dilaksanakannya kemarin siang.

"Tampaknya berita yang kusebar belum diketahui banyak orang," kata Rangga agak berbisik.

"Mungkin masih terlalu pagi," sahut Pandan Wangi.

"Ya, kita tunggu saja," desah Rangga.

"Kau yakin mereka akan tertarik ke Bukit Setan?" tanya Pandan Wangi.

"Mudah-mudahan begitu, asal kau tetap ingat. Jangan sekali-sekali mengaku kalau kau si Kipas Maut. Tetap saja memakai nama Pandan Wangi."

"Lalu, senjataku?"

"Simpan saja dulu. Kau bisa menggunakan senjata Iainnya, 'kan?"

"He-eh."

Percakapan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki bertubuh tinggi kekar masuk ke dalam kedai. Mereka mengenakan pakaian serba hitam. Tampak di punggung masing-masing tersampir sebilah pedang. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga dan Pandan Wangi. Dengan suara kasar, salah seorang memesan makanan dan minuman.

Rangga memperhatikan dari sudut ekor matanya. Lagak dan tingkah kedua orang itu sangat memuakkan. Mereka seperti di rumah sendiri saja. Main perintah dan membentak para pelayan.

"Kau kenal mereka?" tanya Rangga berbisik.

"Ya, aku kenal. Yang pakai kalung rantai namanya Macan Hitam, dan satunya lagi Gagak Hitam. Mereka dikenal dengan julukan Iblis Kembar Hitam," sahut Pandan Wangi menerangkan.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya beralih menatap seorang wanita muda yang cantik duduk sendirian agak ke pojok. Pakaiannya yang ketat berwarna merah menyala membuat lekuk tubuhnya tampak jelas. Dari sikapnya, sudah bisa diduga kalau wanita itu jelas dari kalangan rimba persilatan. Lebih-lebih kalau melihat dua pisau terselip di pinggangnya.

Rupanya bukan hanya Rangga yang memperhatikan wanita cantik itu. Dua orang yang dikenal dengan julukan Iblis Kembar Hitam juga tertarik untuk memandang wanita cantik itu. Gagak Hitam mengerdipkan matanya pada Macan Hitam.

"He he he..., kau tertarik dengan perempuan itu, adik Gagak Hitam?" Macan Hitam terkekeh.

"Aku rasa kau juga tertarik, Kakang," sahut Gagak Hitam.

"Dia memang cantik. He he he... Memang sayang kalau dilewatkan begitu saja."

Macan Hitam berdiri sambil terkekeh. Kakinya melangkah berat menghampiri wanita cantik yang dimaksudkannya itu. Macan Hitam mengangkat kaki ke atas kursi di depan wanita itu. Sementara Rangga yang memperhatikan sejak tadi hanya mencibir. Dia berharap Macan Hitam kena batunya. Sejak tadi dia telah muak melihat tingkahnya yang sok dan urakan. Rangga menjulurkan kepalanya mendekati Pandan Wangi.

"Siapa perempuan itu?" tanya Rangga.

"Yang baju merah?" Pandan Wangi balik bertanya.

"Iya."

"Dia Pisau Terbang."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hatinya memuji kejelian dan pengetahuan Pandan Wangi terhadap tokoh-tokoh rimba persilatan di desa Banyu Biru ini. Pandan Wangi memang lebih dulu malang-melintang di dunia persilatan ketimbang Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran kalau tahu banyak perkembangan dan tokoh-tokoh rimba persilatan saat ini.

Sementara itu Macan Hitam mulai beraksi menggoda wanita cantik berbaju merah menyala yang dijuluki si Pisau Terbang. Kelihatannya Pisau Terbang tidak peduli dengan sikap memuakkan Macan Hitam. Tenang sekali dia menikmati arak manisnya.

"Sendirian saja, Cah Ayu?" suara Macan Hitam dibuat lembut. Namun tetap saja terdengar kasar dan serak.

"Hm...," Pisau Terbang hanya menggumam kecil.

"Boleh aku temani?"

"Silakan, asal, kau mampu mengangkat guci arak ku," sahut si Pisau Terbang kalem.

"He he he...," Macan Hitam terkekeh.

Matanya mengerling pada Gagak Hitam. Dia merasa tantangan itu merupakan satu permainan anak bau kencur. Macan Hitam yakin kalau hanya mengangkat guci arak saja, itu masalah mudah. Tangannya terulur dan mencekal leher guci. Tapi... begitu akan ditarik guci itu, mendadak wajahnya jadipucat. Guci itu tetap pada tempatnya. Tidak sedikit pun bergerak. Macan Hitam mengerahkan tenaga dalam untuk masalah yang kelihatannya ringan.

"Uhk!" Macan Hitam membetot guci yang menjadi berat sekali.

Pisau Terbang tersenyum sinis mengejek. Tangannya terulur dan menyentil tangan Macan Hitam yang menggenggam leher guci. Macan Hitam langsung menarik tangannya. Pisau Terbang dengan enak mengangkat guci arak dan menuang isinya ke dalam gelas parungan.

"Kurasa kau belum pantas duduk denganku, Kisanak," kata Pisau Terbang kalem.

"Huh!" Macan Hitam mendengus kesal.

Melihat kakaknya dipermalukan di depan orang banyak, Gagak Hitam cepat melompat sambil mencabut pedang yang tersampir di punggungnya.

Sret! Gagak Hitam langsung mengibaskan pedangnya ke leher Pisau Terbang. Pedang yang seluruhnya berwarna hitam legam, berkelebat cepat mengincar leher yang putih mulus. Namun hanya dengan menarik kepalanya ke belakang, kibasan pedang itu hanya lewat di depan wajah Pisau Terbang. Pisau Terbang mengangkat tangannya dan menyentil pergelangan tangan Gagak Hitam yang menggenggam pedang.

Gagak Hitam memekik tertahan ketika merasakan pergelangan tangannya nyeri kesemutan. Buru-buru dipindahkan pedangnya ke tangan kiri. Kemudian melompat satu langkah ke belakang.

"Uh! Banyak Ialat kotor di sini," dengus Pisau Terbang.

"Perempuan liar! Buka matamu lebar-lebar, siapa yang ada didepanmu?" bentak Macan Hitam gusar.

"Aku tahu, kalian cuma tikus-rikus busuk yang mengganggu selera minumku," sahut Pisau Terbang dingin.

"Bedebah! Kau harus mampus di tangan Iblis Kembar Hitam!" bentak Gagak Hitam.

"Pantas saja muka kalian jelek."

"Keparat!"

Macan Hitam segera mencabut pedangnya, dan mengibaskannya dengan cepat. Pisau Terbang hanya menarik sedikit dadanya kebelakang. Kibasan pedang Macan Hitam lewat di depan dadanya yang membukit indah. Gagak Hitam langsung menyusul menerjang sambil menusukkan pedangnya. Pisau Terbang seketika melompat dari duduknya! lalu begitu kakinya menjejak meja, dengan cepat berputar seraya melayangkan kaki kanannya. Begitu cepat gerakan Pisau Terbang, sehingga hal itu tidak diduga! sama sekali oleh Iblis Kembar Hitam.

Buk! Buk!

Dua tendangan maut bersarang di dada Macan Hitam dan Gagak Hitam. Mereka terjajar ke belakang dengan mulut meringis. Mendadak saja mereka merasakan dadanya sakit dan sesak. Belum sempat mereka menguasai diri, mendadak Pisau Terbang mencelat sambil merentangkan kedua tangannya.

"Aaakh...!"

Iblis Kembar Hitam berteriak nyaring hampir bersamaan. Kedua tangan Pisau Terbang menjambret dua tubuh tinggi besar, dan melemparkannya keluar dari kedai. Dua tubuh besar melayang deras diluar kedai.

Pisau Terbang melenting kembali, dan tahu-tahu telah duduk kembali di tempatnya semula. Sikapnya sangat tenang seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap dirinya. Sementara itu Iblis Kembar Hitam sudah bangkit lagi. Sambil menggeram, mereka serentak menerjang masuk. Tapi...

"Akh!"

"Akh!"

Hampir bersamaan mereka memekik tertahan. Kemudian tubuh besar itu terjungkal dengan leher tertembus potongan bilah bilik bambu. Sebentar saja Iblis Kembar Hitam berkelojotan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.

Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Ketika Iblis Kembar Hitam menerjang masuk, dengan cepat Pisau Terbang memotes bilik bambu di dekatnya, lalu menjentikkan Jarinya seraya mengerahkan tenaga dalam yang cukup tinggi. Hasilnya memang mengagumkan. Satu ilmu melempar yang sempurna sekali. Cepat dan sulit diikuti oleh mata biasa.

********************

"Kelihatannya tempat ini sudah tidak aman lagi, Kakang," kata Pandan Wangi berbisik.

"Hm...," Rangga hanya bergumam.

"Sebaiknya kita pergi saja dari sini," ajak Pandan Wangi.

"Tunggu dulu, Pandan," cegah Rangga menahan tangan gadis itu.

Pandan Wangi terpaksa mengurungkan niat ingin bangun. Hatinya semakin tidak menentu saja. Bukannya takut menghadapi segala macam kemungkinan, tapi dia tidak ingin menampakkan diri lebih dulu. Masalahnya di desa Banyu Biru ini rata-rata telah mengenal wajahnya, meskipun memakai pakaian dan dandanan yang berbeda. Pandan Wangi merasa dirinya masih cukup bisa dikenali orang.

Dari sudut ekor matanya, Pandan Wangi cepat tahu kalau sejumlah orang di dalam kedai ini telah memperhatikan dirinya. Lebih-lebih seorang kakek tua yang duduk agak jauh darinya. Pandangan kakek tua itu tidak pernah berpaling darinya. Pandan Wangi tahu kalau kakek tua itu yang dijuluki Kakek Tangan Seribu.

Pandan Wangi jadi gelisah sendiri. Dia khawatir samarannya diketahui oleh Kakek Tangan Seribu. Atau mungkin oleh yang lainnya. Kegelisahan Pandan Wangi bisa dirasakan Rangga yang sejak tadi memegangi tangan gadis itu. Punggung tangan gadis itu berkeringat dan terasa dingin.

"Apa yang kau pikirkan, Pandan Wangi?" tanya Rangga.

"Tidak," sahut Pandan Wangi cepat-cepat. Dia tidak ingin Pendekar Rajawali Sakti itu mengetahui kegelisahannya.

"Kau kelihatan gelisah sekali,"

"Tidak, aku tidak apa-apa."

"Hm, kau akan pergi dari sini?" Pandan Wangi tidak menjawab.

"Baiklah. Mungkin kedai ini terlalu panas untukmu.
Pandan Wangi berdiri setelah Rangga bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti itu meletakkan beberapa keping uang perak di atas meja, kemudian menarik tangan Pandan Wangi. Mereka melangkah ke luar dari kedai Pandan Wangi masih sempat melirik Kakek Tangan Seribu yang tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit kepadanya.

Tentu saja gadis itu jadi terkejut. Buru-buru dia melangkah ke luar mendahului Rangga. Pandan Wangi sudah merasa kalau penyamarannya sudah diketahui oleh Kakek Tangan Seribu. Rangga yang merasakan kalau Pandan Wangi gelisah, segera mempercepat langkahnya. Mereka terus berjalan cepat meninggalkan kedai yang dipenuhi orang-orang rimba persilatan.

Sepanjang jalan mereka masih melihat beberapa orang menyandang senjata dengan bermacam-macam bentuk dan ukuran. Pandan Wangi berjalan tanpa mengangkat kepala, sampai mereka tiba di perbatasan Desa Banyu Biru. Mereka baru berhenti setelah sampai di tempat yang sepi dari keramaian.

"Pandan Wangi..," Rangga menepuk pundak gadis itu.

"Oh!" Pandan Wangi terkejut, langsung berbalik menghadap Pendekar Rajawali Sakti.

"Di kedai tadi, kau kelihatan gelisah. Ada apa? Ada orang yang mengenalimu?"

"Aku..., eh. Tidak!" Pandan Wangi jadi gugup.

Rangga melepaskan pegangannya pada pundak gadis itu. Dia mundur dua langkah dan duduk di atas batu. Pandan Wangi masih tetap berdiri memandang ke arah Desa Banyu Biru. Pikirannya masih tertuju pada Kakek Tangan Seribu. Sungguh dia tidak menginginkan Kakek Tangan Seribu muncul dalam keadaan begini. Pada saat dirinya dilanda kesulitan besar, karena adanya kabar kosong yang melibatkan dirinya secara langsung.

"Di kedai tadi, kuperhatikan kau selalu memandang seorang kakek tua. Kau kenal dia?" tanya Rangga menebak.

Pandan Wangi terkejut, hingga memalingkan muka dari tatapan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sungguh mati, dan tidak disangka kalau Rangga selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Rasanya di depan pemuda ini dia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan perasaannya. Rangga selalu bisa menebak dengan tepat tanpa harus dijawab.

Lemah sekali kepala Pandan Wangi terangguk. Dalam pandangan Rangga, sikap gadis itu jadi berubah seratus delapan puluh derajat sejak berada dalam kedai minum tadi. Tidak lagi nakal, tidak banyak bicara dan kelihatan lebih banyak berpikir. Sepertinya Rangga tidak lagi melihat Pandan Wangi yang dikenalnya beberapa hari lalu. Pandan Wangi yang berjuluk Kipas Maut yang tingkahnya urakan dan sedikit liar.

"Siapa kakek tua itu?" tanya Rangga.

"Dia Kakek Tangan Seribu," sahut Pandan Wangi.

"Kau ada masalah dengannya?"

"Tidak,"

"Kenapa sikapmu berubah setelah melihat dia?"

"Aku..., aku hanya tidak ingin dia muncul pada saat-saat seperti ini."

"Kenapa?"

Belum sempat Pandan Wangi menjawab, tiba-tiba terdengar siulan yang nyaring dan panjang. Suara siulan itu tanpa nada yang tidak jelas iramanya. Mendadak wajah gadis itu jadi berubah pucat. Rangga langsung berdiri dan melangkah ke samping Pandan Wangi. Suara siulan itu semakin lama semakin terdengar dekat dan jelas. Rangga memandang ke satu arah, asal suara siulan itu. Samar-samar matanya mulai melihat bayang-bayang hitam dan putih bergerak semakin dekat. Bayang-bayang itu kian jelas terlihat. Siapakah yang datang dengan memperdengar-kan suara siulan?

********************

LIMA

Suara siulan berhenti, bersamaan dengan berhentinya langkah kaki seorang kakek berpakaian hitam dan putih. Kakek itulah yang terus-menerus memandangi Pandan Wangi di kedai tadi. Kakek yang berjuluk Kakek Tangan Seribu. Pandan Wangi tertunduk seperti tidak sanggup memandang wajah keriput di depannya.

Kakek Tangan Seribu menatap Pandan Wangi dengan tajam. Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang berdiri di samping gadis itu. Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Bagaimanapun juga dia harus hormat terhadap orang tua, walau pun dia tidak tahu, berada dalam golongan mana orang tua yang dihadapinya kini.

"Pandan Wangi...," suara Kakek Tangan Seribu bergetar saat memanggil Pandan Wangi.

Perlahan-lahan kepala Pandan Wangi terangkat naik. Matanya menatap wajah tua keriput di depannya.

"Anak bengal, selalu saja bikin susah orang tua!" dengus Kakek Tangan Seribu.

"Kek...!" suara Pandan Wangi tercekat ditenggorokan. Pandan Wangi melirik Rangga di sampingnya. Tampak sekali dalam raut wajahnya, kalau Pandan Wangi mengalami kegelisahan yang amat sangat. Rangga yang tidak tahu persoalannya, bergeser agak merenggang dari Pandan Wangi.

"Maaf, apakah kehadiranku mengganggu?" suara Rangga terdengar sopan.

"Hm, siapa kau, anak muda?" tanya Kakek Tangan Seribu.

"Dia teman, Kek," Pandan Wangi buru-buru menyahuti.

"Diam kau, Pandan Wangi!" bentak Kakek Tangan Seribu. "Aku tidak bertanya padamu!"

Pandan Wangi terdiam.

"Namaku Rangga," kata pendekar muda itu mengenalkan diri.

"Kenapa kau bisa bersama-sama cucuku?"

"Hanya kebetulan," sahut Rangga tetap sopan. "Secara kebetulan Pandan Wangi membutuhkan pertolongan."

"Anak nakal! Kau selalu saja bikin susah orang," dengus Kakek Tangan Seribu.

"Tapi, Kek...," Pandan Wangi akan menjelaskan, tapi suaranya nyangkut di tenggorokan.

"Kau lihat! Akibat ulahmu, Desa Banyu Biru jadi penuh setan dan iblis serakah. Kau tahu, apa akibatnya dari ulahmu, heh?!"

Pandan Wangi hanya tertunduk saja. Tidak sedikit pun membuka mulut. Mengangkat muka saja rasanya tidak berani lagi. Kakek Tangan Seribu kelihatan marah sekali padanya. Sampai-sampai wajah tua yang keriput itu kelihatan tegang dan memerah.

"Kalau sudah begini, apa yang akan kau lakukan?" dengus Kakek Tangan Seribu.

"Maaf, Kek," ucap Pandan Wangi lemah.

"Maaf..., maaf!" dengus Kakek Tangan Seribu kesal.

Rangga yang sama sekali tidak mengetahui duduk persoalannya jadi tambah kebingungan. Dia tidak mengerti sama sekali dengan hal yang diributkan Pandan Wangi dengan Kakek Tangan Seribu. Dan kelihatannya Pandan Wangi begitu takut dan patuh sekali pada kakek tua ini. Ada hubungan apa antara mereka berdua?

"Maaf, Kek. Boleh aku tahu, persoalan apa sebenarnya yang sedang terjadi? Dan Kakek ini apanya Pandan Wangi?" tanya Rangga sopan, tanpa sedikit pun bermaksud menyinggung perasaan.

Kakek Tangan Seribu memandang Rangga. "Mungkin pertanyaanku menyinggung perasaanmu. Tapi, bolehkah Kakek memberitahu sedikit," pinta Rangga.

"Sudah berapa lama kau kenal dengan Pandan Wangi?" tanya Kakek Tangan Seribu.

"Baru beberapa hari," jawab Rangga.

"Apa saja yang telah dikatakan bocah bengal ini?"

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Rangga menceritakan pertemuannya dengan Pandan Wangi. Juga mengenai Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni yang kini sedang dicari-cari dan diperebutkan orang-orang kalangan rimba persilatan yang menyangka benda itu sudah berada ditangan Pandan Wangi. Kakek Tangan Seribu menggeretkan rahangnya. Matanya semakin tajam menatap Pandan Wangi yang hanya tertunduk saja. Rangga makin bingung, karena Kakek Tangan Seribu jadi semakin marah saja kelihatannya. Sungguh mati, dia tidak tahu ada apa di balik semua ini. Kemunculan Kakek Tangan Seribu sepertinya membawa persoalan baru sebelum yang lama selesai.

"Pandan..., Pandan. Kapan sikapmu bisa berubah? Kau bukan anak ingusan lagi, Pandan.... Kau sudah besar dan sudah jadi gadis dewasa," Kakek Tangan Seribu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Maafkan Pandan, Kek," lirih dan pelan sekali suara Pandan Wangi.

"Ah, sudahlah! Selalu itu saja yang kau katakan. Maaf.... Maaf!

Besok, lusa, entah kapan lagi kau pasti bikin ulah. Nah, sekarang apa lagi yang akan kau lakukan? Tokoh-tokoh rimba persilatan sudah tumplek di Banyu Biru. Apa kau sanggup menghadapi mereka yang rata-rata berkemampuan di atasmu?"

Pandan Wangi tidak mampu berkata lagi. Dia hanya menunduk saja seperti tikus menunggu nasib di tangan kucing. Kakek Tangan Seribu mendekati Rangga. Tangannya menepuk-nepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawa cucuku," kata Kakek Tangan Seribu. Suaranya terdengar lunak.

"Sama-sama, Kek. itu juga cuma kebetulan saja, kok," sahut Rangga merendah.

"Ketahuilah, anak muda. Pandan Wangi itu cucuku sendiri. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak dia masih kecil. Aku menitipkannya pada Kakang Abiyasa untuk mendidiknya jadi seorang pendekar wanita yang tangguh. Sayang, Kakang Abiyasa terlalu cepat meninggal sebelum menurunkan seluruh ilmunya pada Pandan Wangi. Sejak itu, Pandan Wangi tinggal bersamaku di hulu sungai Banyu Biru. Tapi anak ini memang nakal, selalu saja bikin ulah macam-macam yang mengundang bahaya."

"Lalu, apa hubungannya dengan Kitab Naga Sewu?" tanya Rangga.

"Masalah ini, sebenarnya aku tidak menyalahkan Pandan Wangi sepenuhnya. Memang benar dia telah menolong seseorang dari tangan Empat Setan Jagal. Tapi kepergiannya ke puncak Bukit Setan, itu cuma bualannya saja! Apalagi kalau sampai menyebarkan kabar angin bahwa dia berhasil menemukan Kitab Naga Sewu. Huh! Orang-orang itu saja yang bodoh. Tidak mungkin Pandan Wangi menemukan Kitab Naga Sewu tanpa memiliki Pedang Naga Geni sekaligus. Kedua pusaka itu selalu berdampingan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain."

"Jadi, kitab dan pedang pusaka itu masih tetap berada di puncak Bukit Setan?" tanya Rangga mulai mengerti permasalahannya.

"Mungkin, aku sendiri tidak tahu," sahut Kakek Tangan Seribu. "Kitab dan pedang itu memang pernah ada dan dimiliki oleh seorang pertapa. Mungkin Pandan Wangi sudah menceritakannya padamu."

"Betul"

"Nah, setelah pertapa itu mangkat, kedua benda pusaka itu menghilang entah kemana. Sampai sekarang tidak seorang pun yang tahu. Memang sudah lama para tokoh rimba persilatan mencari dua benda Itu. Tapi, tidak akan sampai begini jadinya kalau saja bocah nakal ini tidak menyebarkan kabar bohong!"

Kakek Tangan Seribu menatap Pandan Wangi tajam.

"Rasanya persoalan ini tidak bisa diselesaikan begitu saja, Kek," kata Rangga agak bergumam.

"Memang benar, mau tidak mau aku harus menghadapi mereka. Tidak mungkin mereka mau mendengar kata-kata saja. Mereka semua sudah percaya kalau Kitab Naga Sewu sekarang berada di tangan Pandan Wangi," Kakek Tangan Seribu seolah mengeluh.

"Kita akan menghadapi bersama-sama, Kek," kata Rangga.

Kakek Tangang Seribu menatap Rangga tidak mengerti.

"Aku sudah menyebar berita kalau kedua benda itu masih ada diBukit Setan. Hal ini kulakukan untuk mengalihkan perhatian mereka terhadap Pandan Wangi. Bahkan aku juga menyebar kabar kalau dibukit itu sekarang sudah dikuasai oleh seorang pendekar yang kini tengah mempelajari kitab itu, dan menguasai Pedang Naga Geni."

"Gila! Bukit Setan itu bisa hancur!" Kakek Tangan Seribu terperanjat kaget.

"Terpaksa, untuk membatalkan niat mereka yang hanya memiliki kepandaian pas-pasan. Yah, mungkin hanya tinggal beberapa orang saja yang masih berniat mencari kitab itu. Sudah kuperhitungkan, mereka yang tetap pada niatnya adalah orang-orang yang berkemampuan cukup tinggi."

"Lalu, bagaimana kalau mereka tidak menemukan pendekar karanganmu itu?"

"Mereka pasti menemukannya, Kek!"

"Mustahil!"

"Pendekar itu adalah aku sendiri."

"Apa...? Edan!"

"Memang rencana gila, tapi semua kemungkinan sudah kuperhitungkan dengan masak."

Kakek Tangan Seribu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Dia tidak bisa lagi berkata apa-apa. Semuanya sudah telanjur dan tidak mungkin bisa ditarik kembali. Dalam hati dikaguminya keberanian anak muda ini yang rela menempuh bahaya tanpa menghiraukan keselamatan dirinya sendiri.

"Aku rasa sebaiknya persiapkan dirimu, anak muda. Mari kerumahku untuk beberapa hari," Kakek Tangan Seribu mengusulkan.

"Terima kasih," ucap Rangga.

"Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja ini sebagai tanda ucapan terima kasihku karena kau telah menyelamatkan nyawa cucuku yang bandel!" lagi-lagi Kakek Tangan Seribu melirik Pandan Wangi.

"Baiklah," desah Rangga setelah menerima kerlingan mata Pandan Wangi.

"Mari kita berangkat sebelum hari gelap."

Tiga hari Rangga tinggal di rumah Kakek Tangan Seribu. Selama itu, ia memantapkan jurus-jurusnya, terutama ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' dan ilmu 'Cakra Buana Sukma'. Juga, dibantunya Pandan Wangi dengan petunjuk-petunjuk, sehingga gadis itu lebih menguasai lagi jurus-jurusnya.

Sementara Kakek Tangan Seribu selalu mengamati keadaan di Desa Banyu Biru. Hari ini, sejak matahari menampakkan diri, Rangga dan Pandan Wangi sudah berlatih sama-sama. Dan sebenarnya Rangga lebih banyak memberikan pemantapan jurus-jurus silat untuk Pandan Wangi. Mereka berlatih hampir setengah harian. Pandan Wangi kelihatan semakin mantap dengan jurus Kipas Mautnya.

"Cukup!" seru Rangga tiba-tiba.

Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mundur dua langkah. Pandan Wangi menutup kipas saktinya, lalu mereka sama-sama menjura, membungkukkan badannya sedikit. Rangga melangkah mendekati sebuah pohon rindang, kemudian duduk bersandar dibawahnya. Pandan Wangi mengikuti dan duduk di samping pemuda tampan itu.

"Kau tidak berlatih dengan pedangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak," sahut Rangga menggeleng.

"Kenapa?"

"Aku tidak ingin menarik perhatian orang. Pedang Rajawali Sakti terlalu berbahaya, dan aku hanya mengeluarkannya jika diperlukan saja," Rangga menjelaskan.

Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk saja. Dia memang sudah melihat kehebatan pedang Rajawali Sakti ketika Rangga bertarung melawan Iblis Mata Elang. Selama malang-melintang di rimba persilatan bersama Eyang Abiyasa, baru kali itu Pandan Wangi melihat pamor sebuah pedang yang sangat dahsyat.

"Pandan, terus-terang aku masih belum mengerti Kenapa kau sebarkan kabar bohong itu?" Rangg seolah bergumam. Matanya menatap lurus ke mata gadis itu.

"Cuma iseng," sahut Pandan Wangi seenaknya.

"Iseng...?" Rangga mengerutkan keningnya.

"Iya, soalnya sudah lama aku tidak pernah bertemu dengan tokoh-tokoh rimba persilatan. Aku hanya ingin mengumpulkan mereka, dan melihat ilmu-ilmu kesaktian mereka saja."

"Gila! Apa sih untungnya?"

"Tidak ada."

"Lalu, kenapa kau lakukan?"

"Kan sudah kubilang, cuma iseng."

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh dia tidak mengerti sikap Pandan Wangi yang edan-edanan ini. Melakukan pekerjaan yang hanya iseng saja, tapi akibatnya sangat fatal. Nyawa dipermainkan seperti tidak ada harganya sama sekali. Rangga memalingkan kepalanya ketika mendengar langkah-langkah kaki mendekat Juga Pandan Wangi, segera dia bangkit berdiri. Tampak Kakek Tangan Seribu berjalan cepat menghampiri mereka. Rangga segera berdiri begitu Kakek Tangan Seribu hampir sampai.

"Keadaan makin kacau. Desa Banyu Biru seperti gelanggang adu kesaktian," kata Kakek Tangan Seribu.

"Hebat...," desah Pandan Wangi.

"Hebat, gundulmu!" dengus Kakek Tangan Seribu. "Mereka saling bunuh, tahu!"

"Itu lebih baik, Kek. Berarti yang akan datang ke Bukit Setan harus berpikir dua kali. Paling-paling yang datang adalah yang merasa dirinya kuat saja," tenang sekali Pandan Wangi berkata.

"Huh! Seharusnya otakmu dikuras biar bersih!" gerutu Kakek Tangan Seribu.

"Wah! Apakah otakku kotor?"

Rangga tersenyum-senyum saja melihat kakek dan cucu saling adu mulut. Sang kakek pemarah, cucunya senang menggoda. Memang seru jadinya jika bertemu. Rangga seperti melihat dua badut tengah beraksi diatas panggung. Kakek Tangan Seribu terus menggerutu. Dia menarik tangan Rangga dan membawanya pergi menjauh. Rangga mengerling pada Pandan Wangi yang tertawa mengikik kesenangan karena dapat menggoda kakeknya. Kakek Tangan Seribu mengajak Rangga ke tepian sungai Banyu Biru, jauh dari tempat Pandan Wangi berdiri dibawah pohon rindang.

"Ada apa, Kek?" tanya Rangga.

"Aku dapat kabar kalau Iblis Wajah Seribu, Pisau Terbang, Iblis Bayangan Merah, Tongkat Baja Hitam, dan beberapa tokoh sakti lainnya sudah mencapai lereng Bukit Setan," kata Kakek Tangan Seribu.

"Hm..., jadi mereka sudah melupakan Kipas Maut," gumam Rangga.

"Mungkin," jawab Kakek Tangan Seribu juga bergumam.

"Kalau begitu, sudah saatnya aku pergi ke puncak Bukit Setan."

"Kau harus hati-hati, Rangga. Mereka semua sangat sakti dan kejam. Terutama sekali, kau harus waspada terhadap Iblis Wajah Seribu. Dia punya ajian yang bisa membuat lawan menjadi lupa dan tunduk padanya. Hm...," Kakek Tangan Seribu memandang wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Sepertinya ada yang tengah dirisaukan.

"Ada apa, Kek? Kelihatannya ada yang dipikirkan?" tanya Rangga.

"Oh, tidak! Aku hanya berpesan padamu, hati-hati saja dengan Iblis Wajah Seribu," sahut Kakek Tangan Seribu.

"Apakah dia lebih tinggi ilmunya daripada yang lain?"

"Tidak, hanya saja dia punya satu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Keistimewaannya itu yang harus kau perhatikan nanti."

Rangga masih belum mengerti, tapi tidak ingin banyak bertanya lagi. Paling tidak kakek tua ini telah memberikan satu peringatan padanya. Dia akan mengingat-ingat terus nama Iblis Wajah Seribu. Nama yang tampaknya sangat dikhawatirkan sekali oleh laki-laki tua ini.

"Sebaiknya kau berangkat nanti setelah Pandan Wangi pergi ke sungai," kata Kakek Tangan Seribu.

"Aku mengerti, Kek," sahut Rangga.

"Terima kasih, mereka bukanlah lawan Pandan Wangi. Anak itu masih mentah, masih perlu waktu banyak untuk terjun langsung dalam rimba persilatan."

Rangga tersenyum tipis. Kakek tua ini kelihatan galak dan pemarah, tapi sangat mencintai cucu satu-satunya itu. Rangga bisa mengerti, dan tidak ingin mengecewakan harapan Kakek Tangan Seribu. Meskipun tidak diucapkan, namun dari nada bicaranya Rangga sudah bisa mengetahui jelas maksudnya.

Sementara itu matahari terus merayap makin tinggi. Sinarnya terik, membias berkilauan di permukaan sungai Banyu Biru, bak intan permata gemerlap bertaburan indah. Rangga duduk di atas batu dengan kaki berendam dalam air sungai setelah Kakek Tangan Seribu pergi meninggalkannya. Pikirannya terus terpusat pada tokoh-tokoh sakti rimba persilatan yang kini sudah mencapai lereng Bukit Setan.

********************

Bulan bersinar penuh di malam ini. Kesunyiannya meliputi sekitar tepian hulu Sungai Banyu Biru. Cahaya pelita kecil meriap dipermainkan angin malam yang dingin. Cahaya yang tidak bisa menerangi seluruh isi pondok Kakek Tangan Seribu. Tapi cukup jelas membayangi sosok tubuh ramping di beranda pondok itu. Pandan Wangi menatap lurus ke depan. Matanya tidak berkedip memandang satu titik putih yang makin lama makin hilang ditelan kegelapan malam. Tampak titik-titik air bening bergulir di pipinya yang halus. Pandan Wangi tidak menyadari kalau sejak tadi Kakek Tangan Seribu sudah berdiri di belakangnya.

"Kakang Rangga...," desah Pandan Wangi pelan dan lirih.

"Pandan...," Kakek Tangan Seribu menyentuh pundak cucunya.

"Oh!" Pandan Wangi terkejut. Buru-buru dihapus air matanya dan berbalik.

"Kau menangis, cucuku?" lembut suara Kakek Tangan Seribu.

Pandan Wangi hanya mendesah berat, lalu mundur dan bersandar pada tiang beranda pondok kecil itu. Matanya kembali menatap ke arah titik putih yang telah hilang dari pandangannya. Lurus tatapan mata gadis itu menembus kegelapan malam.

"Apa yang kau tangisi, Pandan?" tanya Kakek Tangan Seribu tetap lembut suaranya.

Pandan Wangi tidak menjawab. Kakek Tangan Seribu menghela napas panjang. Dia sungguh tidak tahu kalau Pandan Wangi belum tidur. Tadi seharusnya kepergian Pendekar Rajawali Sakti ditahannya barang sejenak. Laki-laki tua itu bisa merasakan apa yang ada dalam hati cucu tunggalnya ini. Memang wajar kalau gadis seusia Pandan Wangi melirik seorang pemuda, apalagi pemuda tampan dan berkepandaian sangat tinggi seperti Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau mencintainya, Pandan?" Kakek Tangan Seribu langsung menebak.

Pandan Wangi terkejut Matanya menatap lurus ke bola mata laki-laki tua di depannya. Sungguh mati, dan tidak disangka kalau kakeknya bisa menebak perasannya dengan tepat. Dia memang tidak bisa menipu hatinya sendiri, kalau rasa cintanya telah tumbuh subur saat pertemuannya yang pertama kali dengan Rangga. Hanya keangkuhan dan naluri seorang wanita saja yang membuatnya mampu bertahan untuk tidak memperlihatkan, apalagi mengungkapkan cinta di depan pemuda itu.

"Kau sudah dewasa, cantik dan punya sedikit bekal dalam hidup. Aku tidak akan melarang. Hal itu memang wajar dan harus terjadi pada semua makhluk hidup. Kau harus bersyukur karena dalam dirimu masih ada api cinta yang bisa tumbuh."

"Aku..., aku tidak mencintainya! Siapa bilang aku jatuh cinta?" Pandan Wangi menyangkal keras.

"Bisa saja bibirmu berkata begitu, tapi hati dan matamu berkata lain. Aku juga pernah muda dan pernah merasakan seperti yang kau alami sekarang."

"Aku tidak mencintainya, Kek. Dia cuma...," Pandan Wangi tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi. Bibirnya memang menyangkal keras, tapi hatinya memang berkata lain.

Kakek Tangan Seribu tersenyum penuh arti. Dia melangkah dan meraih pundak gadis itu. Kemudian membawanya berjalan-jalan dibawah siraman cahaya sang dewi malam. Pandan Wangi mengikuti saja di samping kakeknya. la tidak menggubris ketika tangan laki-laki tua itu merangkul pundaknya. Malah dengan manja gadis itu meletakkan kepalanya di bahu Kakek Tangan Seribu. Mereka berjalan menuju tepian Sungai Banyu Biru.

"Ayah ibumu adalah sepasang pendekar yang sangat tangguh. Pada masanya mereka dikenal sebagai Sepasang Pendekar Banyu Biru. Aku sangat mencintai mereka, terlebih lagi ketika kau lahir, Pandan. Sayang Yang Maha Kuasa lebih cepat meminta sebelum kau sempat mengenali wajah kedua orang tuamu," kata Kakek Tangen Seribu pelan.

Pandan Wangi hanya diam mendengarkan. Sudah sering hal ini diceritakan. Banyu Biru memang tempat kelahiran seluruh keluarganya, termasuk Pandan Wangi. Hanya Kakek Tangan Seribu yang selalu berpetualang, merambah rimba persilatan. Laki-laki tua ini baru menetap di Banyu Biru setelah kematian Eyang Abiyasa, ayah dari ibu Pandan Wangi.

"Sekarang cuma kau satu-satunya keturunanku Pandan. Kurasa wajar jika aku berharap bila kau mendapatkan seorang suami yang dapat melindungi mu dari segala macam keganasan dunia," lanjut Kakek Tangan Seribu.

"Kek...," tiba-tiba Pandan Wangi berhenti melangkah.

Kakek Tangan Seribu juga berhenti melangkah! "Biarkan saja, Pandan," bisik Kakek Tangan Seribu.

Pandan Wangi kembali melangkah mengikuti kakeknya. Telinganya tetap terpasang tajam menangkap langkah-langkah kaki orang lain yang ringan bagai tidak menyentuh tanah, tengah mengikuti mereka. Dan Kakek Tangan Seribu juga sudah mengetahui hal itu. Mereka memang tengah diintai.

"Awas, Pandan...!" tiba-tiba Kakek Tangan Seribu berteriak keras.

"Hiya...!"

********************

ENAM

Jarum-jarum beracun meluncur deras bagai hujan ke arah Kakek Tangan Seribu dan Pandan Wangi. Mereeka berlompatan menghindari serangan gelap itu. Pandan Wangi langsung mencabut kipas saktinya, lalu menyampok jarum-jarum beracun hingga berguguran di tanah. Kakek Tangan Seribu merapatkan kedua telapak 'tangannya didepan dada, kemudian tubuhnya berputaran di udara. Seketika kedua tangannya mendorong ke depan setelah kakinya menjejak tanah.

Seleret sinar merah meluncur dari telapak tangan lelaki Itu. Ledakan keras terdengar bersamaan dengan hancurnya sebatang pohon ara besar. Hampir bersamaan, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan merah melenting ke udara, lalu meluruk turun dan menjejak tanah. Tampak seorang perempuan tua berdiri sekitar empat depa jauhnya di depan kakek dan cucu itu. Perempuan tua itu mengenakan jubah longgar berwarna merah menyala. Wajahnya penuh keriput. Seluruh giginya hitam saat menyeringai. Matanya merah menatap tajam Pandan Wangi.

"Nenek Jubah Merah...," desis Kakek Tangan Seribu.

"Hik hik hik..., orang lain boleh tertipu ke Bukit Setan. Tapi aku tidak! Bocah manis, serahkan Kitab Naga Sewu, atau kau kukirim ke neraka!" suara Nenek Jubah Merah kecil, tapi melengking tinggi.

"Kitab itu telah direbut Pendekar Rajawali Sakti. Dia sekarang ada di puncak Bukit Setan mencari Pedang Naga Geni," sahut Pandan Wangi dingin.

"Bangsat! Kau akan mempermainkan aku, heh?!" geram Nenek Jubah Merah.

"Kalau tak percaya, ya sudah!"

"Tidak ada yang percaya dengan omonganmu bocah edan!"

"Kalau aku edan, mengapa kau percaya kalau aku menyimpan kitab itu? Sama saja kau juga gila!"

"Kurang ajar! Lancang benar mulutmu! Biar robek mulutmu supaya lebih besar!"

"Silakan kalau kau mampu."

"Modar!"

Nenek Jubah Merah langsung mengebutkan tangannya. Seketika jarum-jarum beracun meluncur deras ke arah Pandan Wangi. Gadis itu mengibaskan kipas saktinya, maka jarum-jarum itu rontok sebelum mencapai sasaran. Melihat jarum-jarum beracunnya dengan mudah dapat dirontokkan, Nenek Jubah Merah langsung menjadi makin geram.

Mendadak tubuhnya melenting ke udara, lalu meluruk ke arah Pandan Wangi, atau Kipas Maut. Memang, dengan kipas baja sakti berada ditangan, Pandan Wangi bagaikan singa betina siap mencabut nyawa. Dengan jurus-jurus pendek dan berbahaya, Nenek Jubah Merah merangsek Pandan Wangi. Pertarungan berlangsung sengit dan cepat. Pandan Wangi yang telah mendapat gemblengan dari Pendekar Rajawa Sakti selama tiga hari, kini makin kelihatan gesit gerakannya. Gadis ini kini menampakkan kemajuan yang amat pesat. Jurus-jurusnya tampak lebih mantap dan berbahaya.

Lima jurus berlalu dengan cepat Dan Nenek Jubah Merah semakin geram karena belum juga dapat menjamah tubuh gadis belia ini. Sungguh tidak diduga kalau Kipas Maut yang masih muda itu mampu menandinginya lebih dari lima jurus. Sementara itu Kakek Tangan Seribu nampak tercengang melihat kemajuan jurus-jurus Kipas Maut yang amat pesat dalam waktu singkat.

Triing!

Pada jurus ke sepuluh, Nenek Jubah Merah tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dikeluarkannya sebilah tongkat pendek yang masing-masing ujungnya runcing. Dengan senjatanya ini iblis itu jadi semakin garang dengan jurus-jurusnya yang berbahaya. Begitu cepat dia bergerak, sehingga yang tampak hanyalah bayangan merah berkelebatan mengurung Pandan Wangi. Beberapa kali dua senjata beradu keras menimbulkan pijaran bunga api.

Memasuki jurus ke lima belas, tampak Pandan Wangi mulai terdesak. Jurus-jurus Nenek Jubah Merah semakin cepat dan beberapa kali hampir menemui sasaran. Pandan Wangi semakin kewalahan menerima serangan-serangan nenek iblis ini. Ketika tongkat Nenek Jubah Merah menusuk ke arah dada, Pandan Wangi mengibaskan kipas mautnya.

Cring!

Pandan Wangi merasakan tangannya bergetar hebat, dan jari-jari tangannya menjadi kaku. Belum sempat melakukan gerakan lain, mendadak kaki Nenek Jubah Merah melayang cepat. Buk! Pandan Wangi mengeluh pendek. Perutnya telak kena sambaran kaki Nenek Jubah Merah. Gadis itu terjajar ke belakang.

"Hiya...!"

Nenek Jubah Merah berteriak nyaring. Secepat kilat ditusukkan tongkatnya ke arah dada Pandan Wangi. Pada saat yang genting itu, mendadak secercah sinar keperakan berkelebat cepat.

Trak!

"Setan!" dengus Nenek Jubah Merah geram. Buru-buru ditarik senjatanya kembali.

"Mundur, Pandan!" bentak Kakek Tangan Seribu yang ternyata telah melontarkan bintang perak untuk menggagalkan serangan Nenek Jubah Merah.

"Kakek...!" Pandan Wangi ingin membantah.

"Mundur, kataku!" bentak Kakek Tangan Seribu.

Pandan Wangi melangkah mundur. Diselipkan kembali kipas mautnya ke balik ikat pinggang. Dari pergelangan sampai ujung jari tangannya masih terasa nyeri dan kaku. Tenaga dalam Nenek Jubah Merah memang jauh lebih tinggi. Tidak heran kalau Pandan Wangi kalah dalam adu tenaga dalam. Masih untung senjatanya tidak terlepas.

Kini dua tokoh saling berhadap-hadapan. Mereka saling pandang dengan tajam, seolah saling mengukur kepandaian masing-masing lewat sorot mata. Kakek Tangan Seribu menggeser kaki kanannya. Sedangkan nenek iblis itu mengimbangi dengan menggerak-gerakkan tongkat pendeknya melintang di depan dada. Suasana tegang menyelimuti tepian hulu Sungai Banyu Biru. Mendadak, hampir bersamaan mereka berteriak nyaring dan melompat saling menerjang.

"Hiya...!"

"Hiya...!"

Kakek Tangan Seribu dan Nenek Jubah Merah sama-sama di udara. Kakek Tangan Seribu menggerakkan kedua tangannya dengan cepat, lalu mendorong kuat-kuat ke depan. Nenek Jubah Merah melintangkan tongkat pendeknya ke depan. Pada satu titik, mereka bertemu di udara. Ledakan keras terjadi memekakkan telinga. Tampak dua tubuh terpental jatuh ke tanah. Kakek Tangan Seribu segera bangkit berdiri setelah bergulingan di tanah berbatu. Sedangkan Nenek Jubah Merah juga sudah berdiri tegak. Tampak di sudut bibir masing-masing merembes darah segar. Rupanya kekuatan ilmu tenaga dalam mereka seimbang.

"Perempuan iblis, terima jurus Tangan Seribu ku!" dengus Kakek Tangan Seribu.

Secepat kilat Kakek Tangan Seribu merangsek dengan jurus 'Tangan Seribu'. Satu jurus tangan kosong yang memiliki kekuatan dahsyat. Pukulan dan kibasan tangannya mengandung hawa dingin membekukan tulang. Jangankan tubuh manusia, batu cadas sekali pun bisa hancur jika terkena pukulannya.

Sementara itu Nenek Jubah Merah melayani dengan jurus 'Bayangan Merah'. Jurus itu tidak kalah dahsyatnya, apalagi di tangan Nenek Jubah Merah tergenggam senjata. Gerakan tangan, kaki, dan tubuhnya sangat cepat, sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan merah saja. Meskipun Kakek Tangan Seribu tidak menggunakan senjata, tapi gerakan tangannya sangat cepat, dan mampu menandingi jurus 'Bayangan Merah'. Seolah-olah tangan kakek tua itu jadi seribu jumlahnya. Berkelebatan mengurung tubuh Nenek Jubah Merah yang bergerak cepat, seakan juga mengurung Kakek Tangan Seribu.

"Lihat kaki!" tiba-tiba Nenek Jubah Merah berseru keras.

"Uts!" Kakek Tangan Seribu langsung melompat begitu tongkat Nenek Jubah Merah menyambar ke arah kaki.

Belum lagi Kakek Tangan Seribu menjejakkan kaki di tanah, secepat kilat tangan kiri Nenek Jubah Merah menyodok ke depan. Kakek Tangan Seribu mengibaskan tangannya melindungi dada dari sodokan yang cepat dan riba-tiba itu.

Trak!

Dua tangan beradu keras. Saat Nenek Jubah Merah menarik tangan kirinya pulang, dengan cepat Kakek Tangan Seribu melayangkan kakinya menyampok ke arah pinggang. Nenek Jubah Merah berkelit mundur satu langkah. Kaki kanan Kakek Tangan Seribu melayang menghantam ruang kosong perut perempuan itu. Pada saat jarak mereka agak merenggang, tiba tiba Nenek Jubah Merah mengibaskan tangannya dengan cepat.

Wut!

Jarum-jarum beracun meluncur deras ke arah Kakek Tangan Seribu. Tentu saja dalam jarak yang demikian dekat dan disertai dengan gerakan yang tidak terduga-duga itu, membuat kakek itu jadi kelabakan. Dia berlompatan di udara, tapi...

"Akh!"

Kakek Tangan Seribu tidak dapat menghindari beberapa jarum beracun. Tiga jarum menancap di pundak kiri, dua di perut, dan satu lagi tepat menancap di kening. Kakek Tangan Seribu jadi limbung.

"Setan...!" geram Kakek Tangan Seribu.

Sebelum tubuhnya ambruk, mendadak dia mengebutkan tangannya dengan cepat. Sinar-sinar keperakan bertebaran, meluncur deras ke arah Nenek Jubah Merah. Kakek Tangan Seribu melontarkan bintang peraknya sambil berlompatan dengan sisa-sisa kekuatannya.

Nenek Jubah Merah pun juga berlompatan mengibaskan tongkat pendek, menyampok bintang-bintang perak yang mencecar tubuhnya bagai hujan. Jarak antara dua tokoh itu makin dekat saja. Sementara bintang perak terus bertebaran mengurung Nenek Jubah Merah dari segala arah.

"Hiya...!" seketika Kakek Tangan Seribu berteriak nyaring.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya meluncur menerjang Nenek Jubah Merah. Tentu saja perempuan tua itu menjadi kaget setengah mati melihat kenekatan lawannya. Tidak ada pilihan lain lagi, kecuali mendorong ujung tongkatnya ke depan. Crab!

Tongkat Nenek Jubah Merah menancap dalam, tepat di jantung Kakek Tangan Seribu. Darah segera muncrat keluar. Namun, sebelum menemui ajal, kakek tua itu sempat melontarkan bintang peraknya beberapa kali. Melihat hal itu, Nenek Jubah Merah yang tongkatnya masih tertanam di dada Kakek Tangan Seribu, menjadi terkejut. Buru-buru dilepaskan genggaman pada tongkatnya, lalu melenting menghindari bintang-bintang perak. Tapi terlambat. Satu bintang perak menancap dalam di bagian paha kiri.

"Akh!" Nenek Jubah Merah memekik tertahan. Begitu tubuh Nenek Jubah Merah meluncur jatuh, dengan cepat Pandan Wangi melenting sambil mengibaskan kipasnya kearah leher Nenek Jubah Merah.

"Akh!" kembali Nenek Jubah Merah memekik. Nenek Jubah Merah memang tidak mungkin lagi mengelak. Tanpa ampun lagi lehernya terbabat ujung kipas Pandan Wangi. Dia jatuh bergulingan dl tanah. Darah mengucur deras dari leher yang koyak lebar. Hanya sebentar perempuan tua berhati iblis itu kelonjotan, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.

"Kakek...!" seru Pandan Wangi. Segera gadis itu berlari menubruk kakeknya yang menggeletak dengan beberapa jarum tertanam ditubuhnya. Tongkat pendek Nenek Jubah Merah masih tertanam dalam di dadanya. Kakek Tangan Seribu diam tak bergerak lagi. Nyawa satu-satunya telah melayang, bersamaan dengan terlontarnya bintang bintang perak dari balik lengan bajunya.

"Kakek...," rintih Pandan Wangi sambil memeluk tubuh kakeknya. Pandan Wangi tak kuasa lagi menahan air mata yang meluncur deras membasahi pipi yang putih kemerahan. Bibir yang merah alami bergetar menyebut-nyebut nama kakeknya. Pandan Wangi membopong tubuh kurus tua yang telah menjadi mayat. Langkahnya lesu meninggalkan tepian Sungai Banyu Biru.

Sambil membopong tubuh kakeknya, Pandan Wangi melangkah pelan menuju pondok yang tidak jauh dari hulu Sungai Banyu Biru. Air matanya terus mengalir bagai anak sungai. Pandan Wangi terus melangkah memasuki rumah kecil itu, kemudian meletakkan tubuh laki-laki tua yang telah menjadi mayat itu di dipan. Sebentar dipandanginya orang yang telah menjadi payung dan tiang utama kehidupannya.

"Maafkan Pandan, Kek," rintihnya lirih. "Pandan janji tidak akan membuat ulah lagi Pandan akan menjadi pendekar pilih tanding, dan memberantas segala macam kejahatan."

Pandan Wangi berlutut di depan mayat kakeknya Kemudian dia berdiri dan melangkah mundur. Matanya basah bersimbah air mata, menatap sayu tubuh kurus yang terbujur di dipan kayu. Pandan Wangi terus melangkah mundur sampai ke luar pondok.

"Selamat jalan, Kek. Hanya aku yang bisa melaksanakan keinginanmu," bisik Pandan Wangi lirih. Tangannya bergetar mengambil obor yang tertanam di depan pondok. Sebentar dia berdiri mematung memandangi ke dalam pondok yang terbuka pintunya. Dengan hati berat, gadis itu melemparkan obor ke atap rumah. Dilaksanakan pesan kakeknya agar membakar pondok ini beserta mayatnya.

Pandan Wangi mundur beberapa langkah ketika api makin besar melahap pondok itu. Bunyi kayu terbakar meletup, menambah kepedihan hati gadis itu. Api terus merambat melahap kayu-kayu pondok. Letupan-letupannya memercikkan bunga-bunga api yang membumbung tinggi ke angkasa.

"Kakek...," rintih Pandan Wangi.

********************

Bukit Setan tampak angker menjulang menantang langit. Seluruh permukaannya ditumbuhi pohon-pohon besar dan kecil yang rapat. Sulit untuk mencapai puncak bukit yang penuh oleh pepohonan dan batu-batuan yang besar, membentuk lembah dan jurang-jurang terjal. Keadaan yang sulit dijamah ini, menjadi tidak mengherankan kalau penduduk Desa Banyu Biru yang berada dekat bukit itu enggan untuk memasukinya.

Sebenarnya bukit ini tidak seseram seperti namanya. Bukit ini tampak begitu indah dan sejuk udaranya Mungkin karena memiliki banyak jurang dan lembah yang dalam serta pepohonan yang rapat, sehingga tampak menyeramkan. Belum lagi batu-batuan yang mudah gugur dan lumpur-lumpur hidup yang siap memangsa apa saja yang masuk ke dalamnya.

Rangga yang sudah mencapai puncak Bukit Setan itu, berdiri mematung memandangi sekitarnya. Tampak di sebelah Timur, Desa Banyu Biru terlihat indah dengan sungainya yang meliuk-liuk melingkari lereng bukit.

"Hm, dimana letak goa yang didiami pertapa itu?" tanya Rangga dalam hari.

Kembali matanya beredar ke sekeliling. Yang tampak hanya pepohonan dan batu-batuan. Sedikit pun tak nampak tanda-tanda kalau di puncak Bukit Setan ini pernah terjadi kehidupan. Bahkan, sepertinya binatang pun enggan hidup di sini. Sejak tadi Rangga tidak menemukan seekor cacing pun di puncak bukit ini. Benar-benar senyap dan mati suasananya.

Ketika Pendekar Rajawali Sakti itu dalam kebingungan, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara mencurigakan dari arah Barat. Rangga segera mengarahkan pandangannya ke sana. Tampak gerumbul semak bergoyang-goyang seperti terlanda sesuatu yang berjalan mendaki puncak bukit ini.

"Hup!"

Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu melenting tinggi ke angkasa. Sedikit kakinya menjejak ranting pohon, lalu melenting lebih tinggi lagi. Sampai pada tempat yang paling tinggi di pohon besar, Rangga duduk mengawasi keadaan di bawahnya. Matanya yang tajam bagai mata elang, langsung melihat empat orang sedang berjalan merambah semak belukar menuju puncak.

Rangga kenal betul terhadap empat orang itu. Mereka adalah Empat Setan Jagal. Golok mereka berkelebatan menebas semak yang menghalangi langkah mereka. Rangga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Seorang tokoh sakti sekali pun, masih cukup sulit untuk mengetahui keberadaannya kalau dia sudah mengerahkan ilmu ini.

Sementara itu Empat Setan Jagal telah mencapai puncak. Mereka berhenti tepat di bawah pohon, tempat Pendekar Rajawali Sakti bertengger di atasnya. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, tidak terlalu sulit menangkap pembicaraan mereka. Lebih-lebih setelah ia mengerahkan ilmu pemecah suara dan pembeda gerak.

"Huh! Gara-gara Kipas Maut, kita yang sulit jadinya," dengus Jagal Merah.

"Iya. Kalau saja tidak ada Pendekar Rajawali Sakti, telah kutebas leher gadis liar itu!" sambung Jagal Biru.

"He he he..., paling-paling kau nikmati dulu tubuhnya," olok Jagal Kuning.

"Bukan aku, tapi kita!" rungut Jagal Biru.

Ketiga jagal itu tertawa gelak, kecuali Jagal Hitam. Dia berdiri tegak menatap ke arah Desa Banyu Biru. Mulutnya terkatup rapat, menampakkan wajah tegang. Tawa ketiga jagal berhenti saat melihat Jagal Hitam tidak berkedip memandang ke arah Desa Banyu Biru Memang, dari tempat itu mereka bisa memandang dengan jelas ke arah desa dan lereng.

"Apa yang kau pikirkan, Jagal Hitam?" tanya Jagal Merah.

"Hm...," Jagal Hitam hanya menggumam tidak jelas.

Jagal Merah mengarahkan pandangannya pula ke sana. Keningnya berkerut begitu melihat titik merah bergerak ke arah yang sama. Wajah mereka langsung menegang melihat titik merah yang kini makin nyata menjadi sebuah bayangan yang bergerak cepat seperti melayang dari puncak pohon yang satu ke puncak pohon yang lain.

"Aku tidak mengerti, mengapa mereka jadi beralih ke Bukit Setan?" Jagal Hitam bergumam seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Pendekar Rajawali Sakti telah menyebar kabar kalau kitab dan pedang pusaka itu ada di sini," jawab Jagal Kuning.

"Gila! Dari mana kau tahu?" dengus Jagal Hitam.

"Semua orang telah tahu. Hampir setiap hari Desa Banyu Biru menjadi ajang pertarungan orang-orang yang mencari benda pusaka itu," sahut Jagal Kuning.

"Phuih! Bukit Setan bakal jadi ajang pertarungan!" dengus Jagal Hitam geram.

"Tempat pembantaian tokoh-tokoh sakti rimba persilatan," sambung Jagal Biru.

"Mau tidak mau, kita harus mempertahankan tempat ini," kata Jagal Merah.

"Mustahil. Kita tidak mungkin bisa menghadapi mereka," sahut Jagal Hitam yang menyadari kalau yang akan dihadapi mereka adalah tokoh-tokoh sakti berkemampuan tinggi.

"Lantas, apa tindakan kita?" tanya Jagal Kuning.

"Biarkan mereka saling bunuh di sini. Aku tidak peduli tempat ini akan banjir darah dan mayat," sahut Jagal Hitam.

Sementara itu bayangan merah yang bergerak cepat mendaki bukit sudah semakin jelas terlihat. Jagal Hitam mengedarkan pandangannya kesekeliling, lalu memberi isyarat agar yang lainnya bersembunyi dibalik sebuah batu besar tidak jauh dari tempat ini. Bergegas mereka berlompatan ke arah yang ditunjuk Jagal Hitam.

Sedangkan Rangga yang menyaksikan sejak tadi di atas pohon, hanya tersenyum tipis. Rencananya sudah kelihatan berjalan. Dia juga sudah melihat bayangan merah semakin mendekati puncak Bukit Setan. Rangga tersenyum ketika mengenali bayangan merah yang ternyata adalah wanita cantik yang ditemuinya di kedai Wanita yang berjuluk Pisau Terbang, dan yang telah membunuh Iblis Kembar Hitam. Rupanya Pisau Terbang tertarik juga dengan kabar tentang adanya Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni di Bukit Setan.

"Sayang, cantik-cantik serakah," gumam Rangga dalam hati.

********************

"Ah, ada empat monyet bersembunyi di sini," gumam Pisau Terbang ketika tiba di puncak Bukil Setan.

Gumaman yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggema ke seluruh puncak bukit ini. Empat Setan Jagal saling Dandang karena gumaman itu jelas-jelas tertuju kepada mereka. Jagal Merah yang sulit mengendalikan emosi, jadi geram mendengar penghinaan itu. Langsung saja dia melompat keluar dari balik batu.

Setan Jagal Iainnya ikut belompatan keluar menyusul Jagal Merah. Mereka berdiri sejajar sekitar tiga tombak jaraknya dari Pisau Terbang. Begitu melihat paras cantik berada di depannya, Jagal Biru jadi terpikat. Jagal Kuning yang memang suka wanita wanita cantik, menelan ludahnya membasahi tenggorokan yang terasa kering mendadak.

"Empat Setan Jagal..., nama kalian sudah terkenal sebagai penguasa Bukit Setan ini. Namun tidak disangka bisa kecolongan oleh gadis ingusan," lagi-lagi Pisau Terbang bergumam. Kata-katanya terdengar Iembut dan merdu, namun sangat menyakitkan telinga.

"Apa maksudmu datang ke sini, Pisau Terbang?" tanya Jagal Hitam kasar.

"Apakah aku harus menjawab?" Pisau Terbang malah balik bertanya.

"Kau pasti mencari Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni," kata Jagal Biru tersenyum sinis.

"Mungkin," sahut Pisau Terbang kalem.

"Sebaiknya urungkan saja niatmu. Sayang kalau wajahmu yang cantik dan kulitmu yang halus menjadi rusak oleh golok kami," kata Jagal Merah. Matanya liar merayapi wajah cantik di depannya.

"Mungkin anak kecil takut melihat golok rongsokan kalian. Apakah mungkin bisa menandingi pisau-pisau terbangku?"

"Setan! Kurobek mulutmu!" geram Jagal Merah tidak dapat lagi menahan emosinya. Selesai berkata demikian, secepat kilat Jagal Merah melompat seraya mengibaskan goloknya. Pisau Terbang hanya memiringkan tubuhnya sedikit, lalu begitu golok Jagal Merah lewat di samping tubuhnya, dengan cepat diayunkan kakinya.

"Uts!" Jagal Merah langsung menarik dirinya ke belakang.

Tendangan menyamping Pisau Terbang luput Jagal Merah kembali mengayunkan goloknya mengarah ke kepala wanita cantik itu. Sabetan golok besar disertai tenaga dalam itu, menimbulkan suara angin menderu. Pisau Terbang menundukkan kepalanya sedikit, lalu tangan kanannya terangkat ke atas.

"Setan!" dengus Jagal Merah cepat menarik tangannya.

Hampir saja tangan kanan Pisau Terbang menotok pergelangan tangan Jagal Merah. Pertarungan terus berlanjut sampai lima jurus, tapi sampai sejauh itu tidak sedikit pun Pisau Terbang menggeser kakinya. Tampaknya dia menganggap enteng lawannya ini. Sedangkan Jagal Merah semakin bernafsu menyerang dengan jurus-jurus mautnya yang cepat dan berbahaya.

"Bantu dia, Jagal Biru," perintah Jagal Hitam yang melihat Jagal Merah sudah kewalahan. Jagal Biru segera melompat membantu Jagal Merah menyerang Pisau Terbang. Mendapat bantuan dari Jagal Biru, semangat Jagal Merah seperti terpompa kembali. Serangan-serangan goloknya semakin cepat dan berbahaya.

"Bagus!" dengus Pisau Terbang. "Kenapa tidak semuanya saja turun?"

"Sombong! Kurobek mulutmu, perempuan setan!" geram Jagal Merah.

"Ah, mulutmu besar sekali. Aku suka kalau kau punya mulut lebih lebar lagi."

"Mampus kau, perempuan setaaan!" teriak Jagal Merah.

Seketika diayunkan goloknya ke arah kepala Pisau Terbang. Sedangkan Jagal Biru mengincar kakinya. Pisau Terbang melenting kebelakang, dan dua serangan sekaligus itu lewat begitu saja tanpa mengenai sasaran. Dengan jari kaki menjejak batang pohon, Pisau Terbang meluruk cepat ke arah Jagal Merah. Jari-jari tangan perempuan cantik itu terkembang bagai cakar elang. Jagal Merah terperanjat sekali, buru-buru dijatuhkan dirinya ketanah. Tapi kaki Pisau Terbang dengan cepat menyampok.

Buk!

"Uhk!" Jagal Merah mengeluh setelah merasakan pinggangnya kena sampok kaki Pisau Terbang. Melihat temannya terguling, Jagal Biru langsung melompat sambil mengibaskan goloknya. Pisau Terbang, yang baru menjejakkan kakinya di tanah, mengebutkan tangan kanannya, maka dua bilah pisau pun meluncur deras ke arah Jagal Biru.

"Aaakh...!" Jagal Biru menjerit melengking. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Pisau Terbang dengan cepat menggunakan senjata tersembunyi. Padahal, dia dalam posisi yang sulit sekali. Dua bilah pisau tertancap dalam di dada Jagal Biru.

Pisau Terbang langsung melenting ke arah Jagal Biru. Tangannya pun segera mencabut pisau di dada laki-laki itu, seraya dengan cepat kakinya menendang. Tubuh Jagal Biru melayang deras ke arah Jagal Hitam dan Jagal Kuning.

"Bangsat...!" geram Jagal Hitam melihat tubuh Jagal Biru jatuh, sudah jadi mayat didepannya.

"Perempuan setan! Kau harus bayar nyawa saudaraku!" geram Jagal Merah yang sudah bangkit lagi.

"Kalian semua akan segera menyusul ke neraka," kata Pisau Terbang dingin.

"Mampus kau, perempuan liar...!"

Jagal Merah makin meluap kemarahannya. Goloknya berkelebatan cepat mengincar tubuh Pisau Terbang. Sedangkan Jagal Hitam dan Jagal Kuning juga sudah melompat merangsek perempuan cantik itu. Pisau Terbang melayaninya dengan kedua tangan menggenggam pisau yang panjangnya hanya satu jengkal.

Tring, tring!

Dua kali Pisau Terbang menangkis serangan golok yang mengurung dirinya dari tiga arah. Sedangkan kakinya melayang deras ke arah dada Jagal Kuning Dan.... Buk!

"Uhk!" Jagal Kuning terjajar ke belakang. Telak sekali kaki Pisau Terbang mendarat di dadanya. Seketika Jagal Kuning merasakan napasnya sesak, dan matanya berkunang-kunang. Belum sempat mengatur napasnya, tangan kiri Pisau Terbang bergerak cepat mengibas.

"Aaakh...!" Jagal Kuning menjerit keras. Pisau di tangan kiri Pisau Terbang begitu cepat meluruk, sehingga Jagal Kuning tidak bisa lagi mengelak. Jagal Kuning langsung ambruk dengan dada tertembus pisau. Dua dari Empat Setan Jagal sudah tewas dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sedangkan yang Iainnya sudah merasa gentar. Gerakan-gerakan mereka tampak tidak teratur lagi. Jurus-jurusnya ngawur, dan hal ini membuat Pisau Terbang jadi makin enak menghadapinya.

"Lepas!" tiba-tiba Pisau Terbang berseru keras.

Cepat sekali tangan kirinya menepak pergelangan tangan Jagal Merah. Golok besar Jagal Merah meluncur, lepas dari genggaman. Belum hilang rasa terkejut nya, mendadak kaki Pisau Terbang sudah melayang menghantam dada. Jagal Merah terhuyung-huyung kebelakang. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah segar. Pisau Terbang langsung memutar tubuhnya, dan tangan kanan yang menggenggam pisau berkelebat cepat mengibas. Pisau di tangan wanita cantik itu meluncur deras ke arah Jagal Hitam.

Tring!

Jagal Hitam menangkis pisau itu, namun tidak bisa lagi mengelak dari serangan kaki Pisau Terbang yang datang hampir bersamaan.

"Uhk!" Jagal Hitam mengeluh, dadanya sesak kena tendangan geledek Pisau Terbang. Saat tubuh Jagal Hitam terhuyung-huyung kebelakang, kembali kaki kanan Pisau Terbang melayang cepat. Jagal Hitam kembali mengaduh keras, karena pergelangan tangan kanannya seperti remuk terhajar kaki wanita itu. Goloknya terlepas, dan Pisau Terbang dengan cepat mencelat menyambar golok itu.

"Hiya...!"

"Aaakh...!" Jagal Hitam menjerit melengking. Pisau Terbang menggunakan golok Jagal Hitam untuk menebas leher pemiliknya sendiri. Kepala Jagal Hitam terguling lepas dari lehernya. Pisau Terbang menghampiri mayat Jagal Kuning dan Jagal Biru. Dicabutnya pisau yang tertancap di tubuh mereka. Kemudian berbalik dan melangkah menghampiri Jagal Merah yang sudah pucat-pasi mukanya.

Wanita cantik bertubuh indah itu bagaikan iblis pencabut nyawa dimata Jagal Merah. Pelan tapi pasti, Pisau Terbang mendekati Jagal Merah yang kelihatannya sudah putus asa. Kedua bola matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seakan-akan mencari celah untuk dapat meloloskan diri.

"Giliranmu sudah tiba, monyet jelek," dengus Pisau Terbang dingin suaranya.

"iblis! Yeaaah...!" Jagal Merah berteriak keras. Sambil mengayun-ayunkan goloknya yang besar, dia lalu menerjang Pisau Terbang. Jagal Merah sudah nekad, meskipun tahu dirinya tidak mungkin bisa menang menghadapi perempuan cantik ini.

Pisau Terbang memiringkan tubuhnya ke kanan dan golok Jagal Merah menyambar angin di samping kiri tubuh Pisau Terbang. Secepat kilat kaki kiri Pisau Terbang tertekuk dan terangkat ke atas.

"Huk!" Jagal Merah melenguh pendek saat lutut Pisau Terbang bersarang tepat di ulu hatinya. Belum lagi bisa berpikir, tangan kiri wanita itu menghajar wajahnya dengan telak. Jagal Merah terdongak, terjajar ke belakang. Pisau Terbang tidak mau membuang-buang waktu dan tenaga percuma. Pisaunya langsung berkelebat cepat merobek mulut Jagal Merah. Dibuktikan ucapannya untuk memperbesar mulut laki-laki ini. Jagal Merah meraung keras sambil memegangi mulutnya yang sobek sampai ke pipi. Darah mengucur deras di sela-sela jarinya.

"Hiya...!"

"Aaa...!" Jagal Merah menjerit melengking. Si Pisau Terbang menghunjam dada Jagal Merah dengan pisaunya. Darah langsung muncrat begitu pisau ditarik ke luar. Wanita cantik itu menendang tubuh Jagal Merah yang sudah bermandikan darah. Tubuh laki-laki tinggi besar itu jatuh bergulingan ditanah. Pisau Terbang membersihkan darah yang melekat di kedua senjatanya dengan baju Jagal Merah, kemudian diselipkan kembali di pinggangnya.

Sementara Rangga yang memperhatikan pertarungan itu dari atas pohon, menggeleng-gelengkan kepalanya. Pisau Terbang memang cantik dan menggairahkan, tapi sangat buas dan ganas. Membunuh lawan tanpa memicingkan mata sedikit pun juga. Darah mulai membasahi puncak Bukit Setan. Entah berapa mayat lagi yang akan jatuh bergelimpangan. Awal pertarungan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan sudah dimulai. Empat Setan Jagal jadi korban pertama di Bukit Setan ini.

********************

Matahari bersinar semakin terik. Satu per satu tokoh-tokoh rimba persilatan berdatangan ke puncak Bukit Setan. Satu per satu pula nyawa melayang sia-sia. Bagi yang bernyali kecil, langsung membatalkan niatnya. Hanya tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi saja yang masih bertahan di puncak Bukit Setan ini.

Udara di sekitar pucak bukit ini sudah dipenuhi bau anyir darah dari mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara Rangga yang sejak semula memperhatikan dari puncak pohon, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia terkejut begitu melihat Pandan Wangi berlari-lari merambah kelebatan Hutan Bukit Setan.

"Pandan Wangi! Mau apa dia ke sini?" kata Rangga dalam hati.

Rangga mengalihkan pandangannya pada Pisau Terbang, Iblis Wajah Seribu, Iblis Bayangan Merah, Tongkat Baja Hitam, serta beberapa tokoh lain yang berkumpul di puncak Bukit Setan ini. Mereka adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang sangat sakti.

"Celaka...!" desah Rangga.

Secepat kilat dia melompat dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Gerakannya ringan bagai kapas tertiup angin. Begitu dekat dengan Pandan Wangi, tubuhnya melenting turun dengan ringannya. Pandan Wangi terkejut, karena tiba-tiba saja didepannya Rangga sudah menghadang.

"Pandan Wangi, kenapa kau ke sini?" tanya Rangga.

"Kakang...," Pandan Wangi langsung menghambur dan memeluk pemuda itu.

Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti itu jadi kaget, Iebih-lebih melihat Pandan Wangi menangis dalam pelukannya. Pelan-pelan Rangga melepaskan pelukan itu, lalu mengajak Pandan Wangi kesebuah pohon yang besar. Pandan Wangi menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya. Rangga menunggu sampai gadis itu tenang.

"Pandan Wangi, kenapa kau ke sini?" tanya Rangga lembut.

"Aku harus mencegah pertumpahan darah ini, Kakang," sahut Pandan Wangi.

"Gila! Mana mungkin? Mereka telah saling bunuh! Bahkan telah banyak korban. Apa kau ingin tubuhmu dicincang mereka?"

"Hidup juga percuma, Kakang," desah Pandan Wangi seperti putus asa.

Rangga terkejut mendengar nada putus asa dalam suara Pandan Wangi. Matanya menatap lurus wajah lesu yang tanpa gairah itu. Mendadak dia jadi teringat Kakek Tangan Seribu. Apakah orang tua itu tahu kalau cucunya datang ke sini?

"Kakek tahu kau ke sini?" tanya Rangga.

Pandan Wangi hanya menatap wajah pemuda itu. Bibirnya bergerak seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak sedikit pun suara yang ke luar.

"Kau harus pulang, Pandan Wangi. Kakek tentu cemas memikirkanmu," kata Rangga lembut.

"Tidak..., Kakek telah tiada," lirih dan tersendat suara Pandan Wangi.

"Apa...!?" Rangga bagaikan disambar petir di siang hari bolong.

Pendekar Rajawali Sakti itu menatap wajah Pandan Wangi, seolah-olah tidak percaya dengan berita yang baru didengarnya. Gadis itu membalas tatapan Rangga dengan mata merah bengkak karena terlalu banyak menangis. Mungkin sejak malam tadi, dia terus-menerus menangis hingga di Bukit Setan ini.

"Kakek bertarung dengan Nenek Jubah Merah. Nenek Jubah Merah tewas! Tapi Kakek juga tewas," cerita Pandan Wangi.

Kemudian dikisahkannya semua peristiwa yang terjadi. Rangga tertunduk lemas setelah mendengarkan semuanya sampai selesai. Memang tidak ada pilihan lain bagi gadis ini. Dia sekarang tidak punya lagi tempat berlindung dan mengadu Kakek satu-satunya yang tersisa dalam keluarga sudah meninggal semalam.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan? Mereka sekarang ada dipuncak Bukit Setan. Mereka tokoh-tokoh sakti yang haus akan ilmu dan benda pusaka. Mereka bukan anak kecil yang bisa percaya begitu saja dengan omongan. Mereka baru percaya kalau sudah menemukan apa yang dicari," kata Rangga pelan suaranya.

"Mereka pasti percaya kalau sudah melihat ini," sahut Pandan Wangi seraya mengeluarkan sebuah kitab dari balik bajunya.

"Kitab Naga Sewu...!" Rangga terkejut melihat kitab itu berada ditangan Pandan Wangi.

Pendekar Rajawali Sakti itu makin terbeliak melihat di pinggang Pandan Wangi telah tergantung sebilah pedang bergagang ular naga. Dia hampir-hampir tidak percaya kalau gadis ini benar-benar memiliki benda-benda yang kini sedang diperebutkan, bahkan telah jatuh banyak korban.

"Jadi...," suara Rangga terputus di kerongkongan.

"Sudah lama aku menyimpan benda-benda pusaka ini. Tidak seorangpun yang tahu, juga Kakek Tangan Seribu," kata Pandan Wangi, sudah tenang suaranya.

"Bagaimana kau bisa mendapatkannya?" tanya Rangga.

"Benda ini sebenarnya kudapatkan sejak Eyang Abiyasa masih hidup. Aku dan Eyang Abiyasa pernah ke puncak Bukit Setan, dan secara tidak sengaja aku melihat seberkas sinar keluar dari sebuah goa. Ternyata sinar itu berasal dari Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni. Kata Eyang Abiyasa, tidak sembarang orang bisa memilikinya. Kalau aku yang mendapatkannya, berarti pertapa itu memang memberikannya padaku. Tentu saja aku gembira mendapatkan sebuah ilmu dan senjata pusaka. Hanya saja aku tidak menyangka kalau akhirnya jadi begini. Sungguh, aku tidak bermaksud menyombongkan diri bisa memiliki dua benda pusaka ini," Pandan Wangi menceritakan dengan lancar.

"Bagaimana orang-orang rimba persilatan bisa tahu kalau kau memiliki benda-benda itu?" tanya Rangga.

"Semua memang salahku, Kakang. Aku bicara keceplosan," jawab Pandan Wangi mengakui.

"Maksudmu?"

"Waktu itu, tanpa sengaja aku memergoki Empat Setan Jagal membegal seorang saudagar dan rombongannya saat melintasi lereng Bukit Setan. Aku mencoba membela, tapi Empat Setan Jagal terlalu tangguh buatku. Untuk mengecilkan nyali mereka, aku mengatakan kalau akulah pewaris tunggal Kitab Naga Sewu. Waktu itu aku seolah-olah ingin mengeluarkan aji 'Naga Sewu'. Memang berhasil, Empat Setan Jagal lari kocar-kacir."

"Dan sejak itu kau dikejar-kejar, 'kan?"

"Iya. Eyang Abiyasa juga tewas akibat membelaku."

"Hhh..., semuanya sudah terjadi. Sekarang apa yang akan kau lakukan dengan benda-benda ini?"

"Entahlah, Kakang. Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa?" desah Pandan Wangi lemah.

"Kau sudah baca kitab itu?" tanya Rangga.

"Sudah, dua kali. Tapi aku tidak mengerti isinya."

Rangga tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri. Mata nya menatap kepuncak Bukit Setan tempat para tokoh rimba persilatan tengah memperebutkan benda-benda yang sudah berada di tangan Pandan Wangi. Sedangkan gadis itu juga sudah berdiri di samping Rangga. Dia juga menatap ke arah yang sama.

"Kau tahu, Pandan. Tidak kurang dari dua puluh tokoh sakti berkumpul disana," kata Rangga. Pandan Wangi diam saja. "Simpan saja kitab itu baik-baik. Jangan kau perlihatkan pada mereka."

"Baik, Kakang," Pandan Wangi menurut. Di memang tidak bisa berbuat lain kecuali mengikuti saja perintah Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga seketika mencegah tangan Pandan Wangi yang akan menyimpan kembali Kitab Naga Sewu ke dalam balik bajunya. Pendekar Rajawali Sakti itu mendadak punya rencana yang harus dilaksanakan. Rencana yang memang sudah disusun, tapi kini dirubahnya sedikit.

"Berikan kitab itu, aku akan menghadapi mereka," kata Rangga. Pandan Wangi menatap Rangga lekat-lekat. "Percayalah padaku, Pandan. Aku akan memberikannya kembali padamu. Kitab itu milikmu, aku tidak berhak memilikinya," Rangga bisa mengerti arti tatapan mata Pandan Wangi. Pandan Wangi masih kelihatan ragu-ragu. "Kitab itu tidak akan berguna sama sekali tanpa Pedang Naga Geni. Lain halnya dengan pedang itu. Kau masih bisa menggunakannya dengan jurus-jurus pedang biasa, meskipun tidak sedahsyat jika menggunakan ilmu 'Naga Sewu'!"

Kata-kata Rangga mengingatkan Pandan Wangi pada ucapan Eyang Abiyasa. Kata-kata itu pernah diucapkan Eyang Abiyasa. Kakek Tangan Seribu pun juga pemah mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya.

"Kau harus janji, Kakang," kata Pandan Wangi.

"Percayalah. Kalau ada sedikit saja niatan di hatiku untuk menguasi kitab ini, aku akan mati di tangan mereka," janji Rangga.

Pandan Wangi tersenyum, lalu menyerahkan kitab itu pada Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya dia memang sudah percaya penuh pada pemuda ini. Hanya karena kitab itu jadi rebutan para tokoh rimba persilatan, sikapnya jadi harus waspada pada siapa saja. Meskipun juga pada orang yang telah mengobarkan api cinta di hatinya.

Rangga menerima buku itu dan menyelipkan di balik bajunya. Kemudian digenggamnya pundak Pandan Wangi, seraya menatap gadis itu lekat-lekat.

"Kau tunggu di sini," kata Rangga.

"Hati-hati, Kakang," balas Pandan Wangi.

Rangga tersenyum, lalu secepat kilat melenting meninggalkan Pandan Wangi. Dalam sekejap mata saja bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu sudah hilang dari pandangan. Pandan Wangi mendesah panjang. Hatinya sudah mulai tenang kembali. Semakin percaya penuh pada pendekar muda tampan yang telah mencabik-cabik sekeping hatinya. Pendekar yang telah membakar api cintanya.

"Semoga Yang Maha Kuasa melindungimu, Kakang," desah Pandan Wangi.

********************

DELAPAN

"Berhenti...!"

Tiba-tiba terdengar suara keras menggema ke seluruh puncak Bukit Setan. Tongkat Baja Hitam dan Iblis Wajah Seribu yang tengah bertarung, langsung berhenti seketika. Semua orang yang ada menoleh ke arah suara hentakan tadi datang. Tampak Rangga berdiri angker diatas sebuah batu besar. Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melenting turun dan menjejak tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Rangga langsung berdiri di tengah-tengah. Pandangan matanya tajam menatap wajah-wajah yang berdiri dengan sikap bermusuhan.

"Kalian datang ke sini hanya untuk mengantarkan nyawa sia-sia. Percuma kalian saling bunuh, apa yang kalian cari tidak mungkin bisa didapatkan!" suara Rangga terdengar lantang dan tegas.

"Anak muda! Siapa kau? Apa maksudmu berkata begitu?" bentak Tongkat Baja Hitam keras.

"Aku Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Rangga lantang.

Suara-suara menggumam terdengar bagai dengungan ribuan lebah memenuhi puncak Bukit Setan ini. Beberapa di antaranya tampak terkejut setelah tahu kalau yang datang adalah Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang merasa dirinya memiliki kemampuan tinggi, tetap bertahan. Lebih-lebih yang sama sekali belum pernah mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti, memandang Rangga sebelah mata saja.

Rangga melirik Iblis Wajah Seribu. Meskipun kini wajahnya lain, tapi dimata Rangga Iblis Wajah Seribu itu tidak ada bedanya sama sekali. Wanita cantik itulah yang hampir saja menjebaknya untuk berbuat mesum. Sedangkan Iblis Wajah Seribu tersenyum-senyum saja mengenali wajah tampan yang membuatnya sempat kecewa.

"Jika kalian menginginkan Kitab Naga Sewu, ini. Ambil dari tanganku kalau kalian mampu!" Rangga mengeluarkan Kitab Naga Sewu dari balik bajunya. Diangkatnya tinggi-tinggi kitab itu ke atas.

Semua orang yang masih tersisa membelalak lebar melihat kitab yang diperebutkan, berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Memang, mereka rata-rata sudah mendengar kabar kalau kitab pusaka itu sudah dikuasai seorang pendekar. Tapi tidak ada yang menyangka kalau pendekar itu masih muda, gagah, dan tampan.

"He he he..., kau jangan menipuku, bocah. Kitab Naga Sewu tidak akan terpisah dari Pedang Naga Geni," Tongkat Baja Hitam terkekeh.

"Kalau kukeluarkan pedang itu, apa kau akan menyingkir?" tantang Rangga.

"He he he..., aku akan percaya jika telah melihat Pedang Naga Geni. Aku yang tua ini tidak akan memungkiri janji," sahut Tongkat Baja Hitam.

"Baiklah! Siapa yang akan mengikuti jejak suci Paman Tongkat Baja Hitam?" tantang Rangga lagi.

"Bocah! Jangan umbar bacot di sini. Tunjukkan pedang itu, baru aku bersedia menyingkir!" bentak Pisau Terbang.

Hampir semua yang hadir mengeluarkan pernyataan itu. Hanya Iblis Bayangan Merah dan Iblis Wajah Seribu saja yang tidak mau memenuhi permintaan Rangga. Lebih-lebih Iblis Wajah Seribu. Dia masih penasaran karena belum dapat menaklukkan pemuda tampan yang menarik hatinya ini. Apalagi setelah mengetahui pemuda ini memiliki kitab dan pedang pusaka.

"Lihat!" seru Rangga tiba-tiba.

Seketika itu juga, Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari warangkanya. Mendadak puncak Bukit Setan terang-benderang karena pamor Pedang Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan. Meskipun dalam keadaan siang hari, sinar biru yang memancar masih tetap menampakkan pamornya yang dahsyat.

Rangga melintangkan pedangnya di depan dada, kemudian dimasukkan Kitab Naga Sewu ke balik baju. Lalu tangan kirinya mengusap mata pedang dari pangkal tangkai sampai ke ujung, lalu balik lagi dan berhenti di tengah-tengah. Rangga sengaja mengeluarkan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' untuk menggetarkan hati orang-orang yang haus ilmu ini.

Sinar biru berkilau mengggumpal jadi satu. Dan ketika Rangga menunjuk sebuah batu besar tempatnya berdiri tadi, sinar biru berkilau itu meluncur deras. Suara ledakan terjadi bersamaan dengan hancurnya batu sebesar rumah setelah terkena sinar biru dari pedang pusaka Rajawali Sakti. Rangga segera memasukkan pedang itu kedalam warangkanya.

"Nah! Siapa yang ingin mencoba?" tantang Rangga.

Sunyi, tidak ada seorang pun yang menjawab tantangan itu. Mereka hanya saling pandang, lalu satu persatu meninggalkan puncak Bukit Setan. Mereka tidak tahu kalau pedang yang dikeluarkan Rangga bukan Pedang Naga Geni, tapi Pedang Rajawali Sakti. Hanya pamornya yang dahsyat saja, sehingga mampu melunturkan niat mereka memiliki pedang dan kitab pusaka itu dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti, aku yang tua ini mohon diri," kata Tongkat Baja Hitam seraya menjura.

"Terima kasih," sahut Rangga membalas menjura pula.

Tongkat Baja Hitam berbalik dan melangkah meninggalkan puncak Bukit Setan. Sebagai tokoh tua, dia harus menepati ucapannya. Pantang baginya menjilat kembali ludah yang sudah keluar. Setelah Tongkat Baja Hitam pergi, Pisau Terbang melangkah mendekati Rangga. Dia berdiri dengan tegak dengan jarak sekitar tiga langkah lagi. Matanya tajam menatap wajah pendekar muda itu.

"Suatu saat, kita bertarung sampai mati," dingin suara Pisau Terbang.

"Aku tunggu," sahut Rangga kalem.

Pisau Terbang berbalik dan melangkah pergi. Kemudian disusul beberapa tokoh lain. Mereka ada yang meninggalkan tempat itu dengan rela, tapi ada pula yang sempat mengeluarkan tantangan seperti Pisau Terbang. Namun semuanya ditanggapi Rangga dengan bibir tersungging senyuman. Mereka adalah tokoh sakti yang selalu hormat akan kata-kata dan janji yang terucapkan.

Padahal kebanyakan dari mereka, adalah tokoh aliran hitam. Sikap mereka dalam rimba persilatan, memang patut diacungi jempol. Kini tinggal Iblis Wajah Seribu dan Iblis Bayangan Merah saja yang belum meninggalkan tempat. Mereka masih berdiri di tempat masing-masing. Rangga memandangi kedua orang itu. Sangat kontras sekali. Yang satu berwajah cantik, sedangkan satunya sudah tua keriput.

********************

"Kau boleh senang karena bisa membodohi mereka, bocah," kata Iblis Bayangan Merah dengan suaranya yang serak.

Rangga mengernyitkan dahinya. Sudah bisa ditebak arah pembicaraan Iblis Bayangan Merah tadi.

"Mata tuaku masih bisa membedakan benda pusaka. Kau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, dan pedangmu bernama Pedang Rajawali Sakti. Bukan Pedang Naga Geni. He he he... Pedang Naga Geni tidak memancarkan sinar biru, juga tidak bergagang kepala burung. Sungguh bodoh mereka! Mau saja ditipu bocah ingusan!"

Dalam hati Rangga mengakui kecerdikan nenek tua keriput ini. Memang, dengan rencananya ia berharap bisa menghalau sebagian besar, bahkan hampir semua orang dari puncak Bukit Setan ini. Sengaja dia memamerkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Tapi rupanya ada juga yang bermata jeli dan tidak mudah percaya begitu saja. Sekarang mau tidak mau Rangga harus berhadapan dengan Iblis Bayangan Merah.

"Keluarkan permainanmu tadi, bocah. Aku ingin tahu apakah ilmumu sanggup menandingi aji 'Tapa Wisa Merah'ku tantang Iblis Bayangan Merah.

"Maaf, aku tidak ingin mengotori tangan dengan darah," sergah Rangga.

"He he he..., kau takut, bocah?" ejek Iblis Bayangan Merah.

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' sangat dahsyat. Dia enggan mengeluarkan kalau tidak karena terpaksa sekali. Bukan menganggap enteng lawannya, tapi pantang baginya menurunkan tangan kejam dengan langsung menggunakan ajian dahsyat.

"Bersiaplah, bocah. Jangan katakan aku kejam, kalau sampai menurunkan tangan maut padamu!' dengus Iblis Bayangan Merah.

"Kalau itu yang kau inginkan, baiklah!" jawab Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung membuka jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Dia tahu kalau lawannya kali ini bukanlah lawan yang enteng. Makanya langsung dibukanya jurus ke empat dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.

Melihat Rangga membuka jurus tangan kosong, Iblis Bayangan Merah juga segara membuka jurus tangan kosong. Dia juga tidak menganggap enteng Pendekar Rajawali Sakti. Sudah didengarnya sepak terjang pendekar muda itu. Iblis Bayangan Merah langsung membuka jurus andalannya. Jurus 'Pukulan Maut'.

"Hiya!"

"Yeaaah!"

Hampir bersamaan mereka berteriak dan melompat saling terjang. Pertarungan jurus tangan kosong pun segera berlangsung sengit. Iblis Bayangan Merah terkejut ketika merasakan angin pukulan Pendekar Rajawali Sakti mengandung hawa panas yang luar biasa. Lebih-lebih saat tangannya beradu dengan Pendekar Rajawali Sakti. Seluruh tangannya terasa panas bagai terbakar, dan nyeri sampai mengilukan tulang.

Baru beberapa gebrakan saja, tampak Pendekar Rajawali Sakti sudah di atas angin. Pukulan-pukulan mautnya yang menyebarkan hawa panas, membuat pertahanan Iblis Bayangan Merah jadi kacau. Jarang sekali didapat kesempatan untuk balas menyerang. Setiap kali kesempatan itu diperoleh, selalu kandas di tengah jalan. Iblis Bayangan Merah sepertinya selalu menghindari benturan tangan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Rasanya dua kali sudah cukup merasakan dahsyatnya, jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Hih!"

Rangga mendorong tangan kirinya dengan tiba-tiba ke arah dada. Iblis Bayangan Merah segera melompat mundur, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu malah melenting sambil mengibaskan tangan kanannya. Tentu saja Iblis Bayangan Merah jadi terkejut setengah mati. Buru-buru dijatuhkan dirinya ke tanah. Namun.... Buk!

Kaki Rangga masih sempat mendarat di perut Iblis Bayangan Merah. Perempuan tua itu mengeluh pendek, dan tubuhnya bergulingan di tanah. Segera dia melenting bangun. Langsung dikerahkan aji 'Tapak Wisa Merah'. Seketika saja seluruh telapak tangannya berubah jadi merah membara. Rangga juga segera merubah jurusnya. Dikeluarkannya jurus 'Seribu Rajawali'.

Iblis Bayangan Merah jadi kelabakan. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu seakan-akan berubah banyak jumlahnya. Iblis Bayangan Merah melepaskan aji 'Tapak Wisa Merah' beberapa kali, tapi begitu menyentuh salah satu tubuh Pendekar Rajawali Sakti, langsung lenyap. Sedangkan yang Iainnya masih banyak mengurung dirinya. Iblis Bayangan Merah menjadi kalang-kabut sendiri. Dilepaskan ajiannya dengan tak tentu arah. Tiba-tiba tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, dan dengan satu pukulan dahsyat, tangannya menghantam kepala Iblis Bayangan Merah.

Prak!

"Aaakh...!" Iblis Bayangan Merah menjerit melengking tinggi. Kepalanya pecah kena hantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa suara apa-apa lagi, tubuh Iblis Bayangan Merah menggelosor di tanah. Darah mengucur deras dari batok kepalanya yang hancur. Rangga berdiri tegak dengan mata menatap perempuan tua yang sudah jadi mayat. Kemudian matanya beralih menatap Iblis Wajah Seribu.

Iblis Wajah Seribu yang menyadari kemampuannya masih satu tingkat di bawah Iblis Bayangan Merah, jadi gentar juga. Dia pernah dikalahkan Iblis Bayangan Merah beberapa waktu yang lalu. Masih untung perempuan tua itu tidak menjatuhkan tangan kejam, sehingga dia masih hidup sampai sekarang.

Rasanya tidak mungkin Iblis Wajah Seribu bisa mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti dalam satu ilmu silat. Apalagi adu ilmu kesaktian. Iblis Wajah Seribu segera merapalkan ajian yang pernah dipakainya, saat hampir menundukkan pendekar ini di atas ranjang. Belum pernah aji 'Pelebur Jiwa' meleset dari sasaran. Tapi untuk sesama wanita, aji 'Pelebur Jiwa' tidak akan berarti apa-apa.

Pengaruh aji Pelebur Jiwa' mulai terasa meskipun tidak berujud sama sekali. Dalam waktu sekejap saja seluruh tubuh Iblis Wajah Seribu memancarkan bau harum semerbak. Wajahnya kelihatan bertambah cantik bercahaya.

"Uh!" Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam pandangan Pendekar Rajawali Sakti, wajah dan tubuh Iblis Wajah Seribu atau Klenting Kuning sangat mempesona dan membangkitkan gairah kejantanannya. Rangga berusaha mengusir gejolak gairah yang mendadak menggelegak di dalam dadanya. Sama sekali tidak disadarinya kalau Iblis Wajah Seribu menggunakan aji 'Pelebur Jiwa'. Suatu ajian yang dapat membangkitkan gairah kejantanan laki-laki.

"Marilah, Kakang. Mendekatlah! Biarkan mayat-mayat bergelimpangan. Kita masih punya waktu untuk bercumbu. Nikmati hidup ini dengan segala keindahan," suara Klenting Kuning atau Iblis Wajah Seribu terdengar merdu merayu.

"Ah, kenapa aku jadi begini?" Rangga bergumam dalam hati.

Semakin memandang Klenting Kuning, gairahnya semakin kuat saja menggempur dada. Rangga merasakan kepalanya jadi pening, dan matanya berkunang-kunang. Beberapa kali dia menelan ludah membasahi tenggorokannya yang kering mendadak. Tanpa disadari, kakinya melangkah mendekati Klenting Kuning.

"Ayolah, Kakang...," desah Klenting Kuning.

Rangga terus melangkah semakin dekat. Seluruh jiwanya benar-benar terpengaruh oleh ajian 'Pelebur Jiwa' yang dilepaskan Iblis Wajah Seribu. Ketika tinggal tiga langkah lagi untuk mencapai wanita cantik penuh daya pesona itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.

"Kakang Rangga!"

********************

Rangga menoleh ketika mendengar bentakan keras dari arah samping kanan. Tampak Pandan Wangi berdiri tegak, tidak jauh darinya. Klenting Kuning juga terkejut mendengar bentakan itu yang disertai pengerahan tenaga dalam. Gerahamnya bergemelutuk melihat Pandan Wangi tiba-tiba muncul.

Pandan Wangi menghampiri Rangga dan menarik tangan pemuda itu untuk menjauh dari Klenting Kuning. Rangga seperti orang tolol, tidak bisa berbuat apa-apa. Pengaruh aji 'Pelebur Jiwa' benar-benar telah merusak jiwanya. Sepertinya Rangga tidak tahu siapa dirinya lagi.

"Kakang, dia Iblis Wajah Seribu! Jangan mau dipengaruhi jiwamu! Sadar, Kakang! Dia mempengaruhimu!" kata Pandan Wangi.

Rangga menatap Pandan Wangi sejenak, kemudian matanya beralih menatap Klenting Kuning. Dia tampak kebingungan melihat dua wanita cantik berada di dekatnya. Sementara rasa gairah birahi masih menyelimuti dadanya.

"Kakang..., sadar. Aku Pandan, Kakang...," Pandan Wangi terus mencoba menyadarkan Rangga dari pengaruh aji 'Pelebur Jiwa'.

"Pandan...," desah Rangga.

Tiba-tiba saja Rangga merangkul Pandan Wangi. Tentu saja gadis itu menjadi kelabakan. Pandan Wangi meronta-ronta mencoba melepaskan rangkulan ketat itu. Rontaan Pandan Wangi malah membuat Rangga semakin bergairah. Dia berusaha mencium wajah dan leher gadis itu.

"Kakang..., lepaskan!" pekik Pandan Wangi.

"Pandan, kau cantik sekali," desah Rangga.

"Lepaskan!" Pandan Wangi mendorong tubuh Rangga sekuat-kuatnya.

Rangga terdorong dan jatuh di tanah. Pandan Wangi langsung melompat menjauh. Rangga kembali bangkit berdiri. Matanya sayu menatap Pandan Wangi yang ketakutan melihat sinar mata Rangga yang dipenuhi nafsu birahi. Pandan Wangi berpaling pada Klenting Kuning yang tersenyum penuh kemenangan karena aji 'Pelebur Jiwa'nya berhasil mempengaruhi pendekar muda tampan itu.

"Iblis! Kau apakan Kakangku!" bentak Pandan Wangi geram.

"Hi hi hi..., dia ingin bercinta denganmu, manis," Klenting Kuning tertawa kesenangan.

"Mampus kau, iblis!" geram Pandan Wangi.

Seketika gadis yang berjuluk Kipas Maut itu segera melompat menerjang Klenting Kuning. Terjangan Pandan Wangi dengan mudah dapat dielakkan. Tapi gadis itu dengan cepat mengirimkan serangan yang saling susul. Iblis Wajah Seribu itu berkelit, berlompatan menghindari serangan-serangan Pandan Wangi yang diliputi kemarahan. Rasa cemburunya membuat gadis ini menjadi memuncak amarahnya.

Sret!

Pandan Wangi mengeluarkan kipas baja saktinya. Kembali diserangnya Klenting Kuning dengan senjata andalan di tangan. Serangan-serangan Pandan Wangi semakin cepat dan hebat. Terlihat Klenting Kuning mulai kewalahan dalam beberapa jurus saja. Dalam hal ilmu olah kanuragan, Klenting Kuning atau yang bergelar Iblis Wajah Seribu memang kurang menguasai. Tidak heran ketika memasuki jurus ke sepuluh, posisinya semakin terdesak.

"Jebol!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.

Seketika itu juga, dikibaskan kipasnya ke perut Klenting Kuning. Iblis Wajah Seribu itu menarik perutnya ke belakang. Tapi ujung kipas Pandan Wangi masih bisa merobek baju Klenting Kuning.

"Ih!" Klenting Kuning terkejut dan memekik kecil. Cepat-cepat dia melompat mundur, lalu dengan cepat pula mencabut kalung yang dikenakannya. Dengan kalung di tangan, Klenting Kuning bisa mengimbangi lagi permainan kipas Pandan Wangi. Pertarungan dua wanita cantik itu kembali berlangsung seimbang. Masing-masing mengirimkan serangan-serangan berbahaya. Masing-masing pula bisa menghindar dengan cepat.

Saat Klenting Kuning mengebutkan kalung mutiaranya, Pandan Wangi menangkis sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan penuh. Dua senjata beradu keras. Klenting Kuning cepat melompat mundur. Tangannya seketika bergetar hebat ketika kalung mutiaranya beradu dengan kipas Pandan Wangi. Jelas kalau tenaga dalam Klenting Kuning masih di bawah Pandan Wangi. Menyadari hal ini, Pandan Wangi makin bemafsu untuk menyudahi pertarungan.

"Mampus kau, iblis!" teriak Pandan Wangi sambil melompat mengirimkan serangan.

"Akh!" Klenting Kuning terpekik kaget.

Buru-buru diayunkan kalungnya menangkis kipas yang berkelebat cepat mengancam lehernya. Klenting Kuning kembali terpekik keras begitu senjatanya beradu. Dia tidak bisa lagi menguasai senjatanya. Saat itu juga Pandan Wangi mengatupkan kipasnya sehingga kalung mutiara Klenting Kuning terjepit. Dengan mengerahkan tenaga dalam, Pandan Wangi membetot kalung itu.

"Setan!" dengus Klenting Kuning ketika kalung mutiaranya berhasil dirampas Pandan Wangi.

Pada saat yang hampir bersamaan, kaki Pandan Wangi melayang deras ke arah dada. Klenting Kuning segera menjatuhkan tubuhnya ketanah, tapi Pandan Wangi lebih cepat mengebutkan kipasnya sebelum tubuh Iblis Wajah Seribu itu berhasil mencapai tanah.

Bret!

"Akh!"

Klenting Kuning bergulingan di tanah, lalu buru-buru bangun. Bibirnya yang merah dan selalu menggoda tampak meringis. Kipas Pandan Wangi berhasil merobek bahu kanannya. Klenting Kuning menekap luka di bahu kanannya dengan tangan kiri.

"Tunggu pembalasanku, Pandan Wangi!" ancam Klenting Kuning.

Selesai mengancam, Iblis Wajah Seribu itu langsung melompat kabur. Klenting Kuning dalam sekejap saja telah hilang dari pandangan mata, lenyap di balik lebatnya pepohonan. Pandan Wangi membalikkan tubuhnya, seraya melihat Rangga tengah duduk dengan sikap bersemadi.

"Kakang...," panggil Pandan Wangi seraya melangkah mendekat.

Perlahan-Iahan kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti terbuka. Bibirnya langsung menyunggingkan senyum saat melihat Pandan Wangi berdiri di depannya. Rangga merogoh ke balik bajunya mengambil Kitab Naga Sewu untuk diserahakan kepada Pandan Wangi.

"Ini milikmu," kata Rangga seraya bangkit.

"Oh! Kakang..., kau sudah sadar?" Pandan Wangi gembira melihat Rangga tidak lagi dipengaruhi oleh aji 'Pelebur Jiwa'.

"Ya. Terima kasih, kau telah menolongku," sahut Rangga.

"Bukan aku, Kakang. Tapi dirimu sendiri," Pandan Wangi mengelak.

Rangga tersenyum sambil tetap menyodorkan Kitab Naga Sewu. Pandan Wangi menerima kitab itu dan menyimpannya di balik baju. Sesaat mereka hanya saling pandang saja. Pelan-pelan Rangga mendekat dan meletakkan tangannya di pundak gadis itu.

"Kau harus menguasai isi kitab itu, Pandan," kata Rangga lembut.

"Tapi...."

Rangga tahu apa yang akan diucapkan Pandan Wangi. "Aku akan membimbingmu sementara," kata Rangga.

"Mengapa sementara?" protes Pandan Wangi.

"Seorang pendekar sejati, tidak selamanya membutuhkan bantuan dan pertolongan. Ingat Pandan. Lebih baik tangan di atas dari pada dibawah. Kau mengerti maksudku, 'kan?"

Pandan Wangi mengangguk.

"Mari kita tinggalkan Bukit Setan," ajak Rangga.

"Kemana?" tanya Pandan Wangi sambil melangkah di samping Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga hanya tersenyum, tanpa memberikan jawaban. Dan jawaban itu dapat pembaca temui dalam kisah Iblis Wajah Seribu

IBLIS WAJAH SERIBU