Bangkitnya Pandan Wangi - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Bangkitnya Pandan Wangi


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

"Aaauuu...!"

Terdengar lolongan panjang anjing hutan yang mendirikan bulu kuduk. Di malam yang pekat itu angin bertiup cukup kencang. Awan hitam bergulung-gulung menutupi cahaya bulan udara begitu dingin membekukan tulang. Namun keadaan alam yang nampak tidak ramah itu tak menghalangi seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah putih panjang untuk berjalan tertatih-tatih.

Sebatang tongkat kayu hitam yang berkeluk-keluk, tergenggam erat membantu langkahnya. Sesekali ditengadahkan kepalanya ke atas, memandang gumpalan awan yang semakin hitam menebal. Desahan napasnya begitu panjang dan berat Namun kakinya terus terayun setengah terseret, menapaki tanah berumput.

"Hhh..., mudah-mudahan belum terlambat," terdengar desahan pelan setengah bergumam.

Laki-laki yang usianya kelihatan telah mencapai seratus tahun itu terus berjalan tertatih-tatih menembus kegelapan malam. Dia baru berhenti melangkah setelah tiba di sebuah puncak bukit yang tidak begitu tinggi. Pandangan matanya lurus ke arah suatu tempat yang terdapat cahaya-cahaya lampu berpendar, seakan ingin mengalahkan kegelapan.

Hm..., apakah itu Karang Setra...?" laki-laki tua itu menggumam bertanya pada dirinya sendiri.

"Aaauuu...!"

Kembali terdengar lolongan anjing hutan yang panjang dan menyayat hati. Laki-laki tua itu kembali menengadahkan kepalanya. Kakinya kembali melangkah pelahan-lahan, lalu kepalanya tertunduk mem-perhatikan ujung-ujung kakinya yang bergerak terseret Sebentar kemudian kepalanya mcnoleh ke kanan dan ke kiri. Kedua matanya yang cekung tampak tajam menatap sekelilingnya, tanpa sedikit pun berkedip.

"Aku yakin, di sinilah tempatnya Hhh...! Mimpi itu jelas sekali. Aku yakin itu bukan sekedar mimpi. Aku melihat.... Begitu jelas. Oh, Dewata Yang Agung..., mudah-mudahan aku belum terlambat," desisnya lirih.

Laki-laki tua berjubah putih panjang dan hampir menyentuh tanah itu, kembali berhenti melangkah. Tatapan matanya lurus pada satu tempat di bawah pohon besar dan rindang. Tampak sebuah gundukan tanah yang dikelilingi bcberapa batu.

Pelahan-lahan laki-laki tua itu melangkah mendekati, kemudian berhenti dan berdiri tegak di samping gundukan tanah itu Terdengar tarik. napasnya yang panjang dan berat. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tatapan matanya tajam beredar ke sekeliling.

"Benar! Di sini tempatnya. Aku yakin, itu bukan hanya sekedar mimpi. Hhh..., mudah mudahan masih bisa kuselamatkan," desah laki-laki tua renta itu.

Pelahan-lahan dia menjulurkan ujung tongkatnya ke atas gundukan tanah itu, lalu ditekan hingga masuk hampir setengahnya. Pelahan kemudian, ditariknya kembali tongkat itu. Terdengar lagi tarikan napas panjang, namun kali ini bernada kelegaan pada hembusan napasnya. Sinar matanya tidak lagi redup. Raut wajahnya pun nampak bersinar dan bibimya menyunggingkan senyum

Laki-laki tua itu membuka jubahnya, dan melemparkan begitu saja.'Kini dia hanya memakai baju ketat warna biru tua. Di punggungnya tampak sebuah alat berbentuk sekop yang terikat Laki-laki tua renta itu membuka tali yang mengikat sekop, dan langsung menggali gundukan tanah

Dari caranya menggali, sudah dapat dipastikan kalau laki-laki tua itu bukanlah orang sembarangan. Tenaganya begitu kuat. dan gerakannya cepat luar biasa. Dia terus menggali meskipun titik-titik air hujan mulai jatuh merinai. Semuanya tidak dipedulikan, sampai seluruh tubuhnya hampir tenggelam dalam lubang yang digalinya. Sebentar masih terlihat tanah terlempar ke luar, kemudian tidak teriihat lagi sesuatu yang terlempar dari dalam Iubang itu.

Bahkan dari dalam lubang itu melesat bayangan yang langsung mendarat di tepi lubang. Tampak laki-laki tua itu sudah berdiri tegak memondong sesosok tubuh yang kotor oleh tanah merah berair. Sukar untuk dikenali tubuh dalam pondongan itu. Sebentar laki-laki berusia lanjut itu memandang ke dalam lubang, kemudian membungkuk memungut jubahnya.

"Kau belum mati dan akan hidup kembali, Cucu ku," kata laki-laki tua itu pelan, namun terdengar mantap suaranya. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja laki-laki tua renta itu melesat cepat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah menghilang ditelan kegelapan malam yang sangat pekat. Tepat pada saat itu di angkasa, kilat menyambar terang. Hujan pun turun dengan derasnya, bagai ditumpahkan dari langit.

********************
Sementara itu pada saat yang sama, di sebuah kamar penginapan di luar Kota Kerajaan Karang Setra, seorang pemuda nampak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya yang tampan dan rambutnya yang panjang terurai, nampak seperti kusut. Keringat membasahi se-luruh wajah dan tubuhnya. Dan tiba-tiba saja...

"Tidak..!" Pemuda itu menjerit keras, dan langsung terbangun duduk.

Napas pemuda itu terengah engah. Wajahnya teriihat pucat pasi. Untuk beberapa saat dia hanya ter-duduk dan pandangannya kosong Tangannya menyeka keringat yang membanjiri wajah, kemudian meraih sebilah pedang yang tergeletak di sampingnya. Digeser tubuhnya, lalu duduk menjuntai di tepi pembaringan. Angin malam yang dingin menerobos masuk dari jendela yang terbuka lebar.

Pemuda itu bangkit berdiri dan melangkah ke jendela, kemudian berdiri mematung sambil memandang ke luar. Langit tampak hitam, dan hujan turun bagai ditumpahkan dari langit Begitu derasnya, sehingga menimbulkan suara bergemuruh. Kilat menyambar angkasa, membuat a lam jadi terang untuk sesaat.

"Hhh...! Aku bermimpi...," keluh pemuda itu pelan.

Angin malam yang dingin membawa tumpahan hujan, membuat tubuh pemuda itu menggigil sedikit Ditutupnya jendela kamar sewaan. Seleret cahaya kilat kembali menyambar angkasa. Pemuda itu tidak jadi menurup jendela. Pandangannya lurus menatap ke arah bukit yang melatarbelakangi Kerajaan Karang Setra. Bukit yang nampak hitam dan teriihat angker.

Lama juga pemuda Itu menatap ke arah bukit itu. Setelah menarik napai panl^ng, kemudian ditutupnya jendela kamar sewaannya Dia berbalik dan melangkah kembali mendekati pembaringan, lalu duduk di situ.

"Hampir tiga purnama aku tidak menginjakkan kaki lagi di sini. Hhh Entahlah, kenapa aku kembali lagi ke sini? Mimpi itu" pemuda itu bergumam sendiri. Beberapa kali dHarlknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat

Dia masih duduk termenung sambil memandang kosong ke depan. Keringat kembali menitik membasahi wajahnya. Dengan punggung tangan kiri, diseka keringat itu, lalu kembali ditarik napas panjang, seakan-akan ingin dilonggarkan dadanya. Bisa dirasakan kalau detak jantungnya demikian cepat Bahkan perasaannya jadi tidak menentu. Pemuda itu sendiri tidak tahu, kenapa beberapa hari ini jadi gelisah seperti ini? Sehingga, tanpa disadari dirinya berada kembali di Kerajaan Karang Setra.

Karang Setra adalah satu tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan. Baik kenangan manis maupun pahit Tempat yang tidak akan pemah dilupa kan selama hidupnya. Di sini dia dilahirkan, di sini pula leluhumya terdahulu lahir dan meninggal. Pemuda itu kembali bangkit berdiri dan berjalan mendekati meja yang terletak di samping pintu. Diambilnya kendi dan diteguknya air bening dalam kendi itu.

"Hhh..., aku tak pernah percaya dengan mimpi. Tapi mimpi ini.... Sudah beberapa hari selalu datang, dan selalu sama! Apakah..., ah tidak!" pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berbalik dan kembali menuju ke pembaringannya. Dia duduk kembali di tepi pembaringan itu, dan merebahkan tubuhnya. Tapi pedang di punggungnya membuatnya tidak nyaman. Dilepaskan pedangnya, dan diletakkan di sampingnya. Tapi tangan kirinya masih memegangi gagang pedang berkepala burung itu

Glarrr...!

Guruh menggelegar kencang, membuat pemuda itu terlonjak bangkit berdiri. Seketika cahaya kilat memendar di angkasa, membuat kamar yang hanya diterangi sebuah pelita kecil itu sesaat jadi terang benderang. Dan pada saat itu, mata pemuda itu menangkap adanya kelebatan bayangan di depan jendela.

Bergegas dia melompat ke jendela, dan langsung membukanya lebar-lebar. Tapi bayangan itu sudah tidak teriihat lagi. Hanya angin dingin dan curahan hujan saja yang menyambutnya. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun hanya kegelapan saja yang teriihat. Tidak ada lagi bayangan berkelebat yang dilihatnya sekejap tadi.

Cras!

Kembali seleret cahaya kilat menyambar langit, disusul suara guruh memekakkan telinga. Pada saat itu, mata pemuda itu tertumbuk pada sosok tubuh yang berdiri di bawah pohon yang cukup besar dan berdaun rimbun. Pohon itu terletak di seberang jalan, dan jaraknya cukup jauh dari rumah penginapan ini.

Tapi sosok tubuh Itu terlihat hanya sekejap saja. Begitu kilat kembali menyambar, sosok tubuh itu sudah tidak teriihat lagi Pemuda itu jadi tertegun, lalu berdiri mematung di dipan jendelanya. Perasaannya yang halus, langsung menangkap kalau dirinya tengah diawasi seseorang. Tidak jelas , siapa dan apa maksudnya orang itu mengawasi.

Pagi begitu cerah. Langit bening tanpa awan sedikit pun menggantung di angkasa. Matahari bersinar penuh menghangati seluruh Kerajaan Karang Setra yang semalaman terguyur hujan lebat. Meskipun tanah berlumpur, namun seluruh penduduk Karang Setra tetap melakukan tugasnya masing-masing. Pagi ini kehidupan kembali berjalan setelah semalaman bagaikan mati.

Dari dalam sebuah kamar penginapan, keluar seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang meriap terikat kain berwarna putih, sewarna dengan bajunya yang tanpa lengan. Bagian dada dan perutnya terbuka lebar, menampakkan bentuk otot yang kuat dan tegap. Pemuda itu melangkah ringan, keluar dari rumah penginapan menuju halaman. Ayunan kakinya seperti terlihat pelahan, tapi kecepatannya melebihi orang berlari

Tidak ada seorang pun yang memperhatikan. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tapi, rupanya ada seorang yang selalu memperhatikan dari balik tudung tikar yang besar, sehingga menutupi sebagian wajahnya.

"Aku harus segera sampai ke sana. Perasaanku semakin tidak enak. Aku yakin, mimpi-mimpi itu bukan sekedar mimpi biasa. Jelas itu merupakan petunjuk yang membawaku kembali ke sini," pemuda itu bergumam dalam hati.

Langsung dikerahkan ilmu lari cepat begitu berada di luar pemukiman penduduk Ilmu meringankan tubuhnya memang Hungguh luar biasa, sehingga lari-nya bagaikan terbang saja. Sepasang kakinya seperti tidak menapak tanah, sukar untuk diikuti mata biasa. Begitu cepatnya bettari, sehingga yang nampak hanya sebuah bayangan putih berkelebatan cepat di antara pepohonan.

"Oh, tidak...!" pekik pemuda itu begitu sampai di suatu tempat, pemuda itu mendadak menghentikan larinya.

Kedua bola matanya membeliak lebar dan mulutnya menganga. Wajahnya tampak kosong. Langkah-nya pelahan-lahan mendekati sebuah lubang yang cukup besar dan dalam. Di sekitar lubang itu terdapat tanah basah merah yang sepertinya habis digali. Batu-batuan yang mengelilingi lubang itu masih teriihat

"Oh...," pemuda itu mengeluh lirih, langsung jatuh berlutut di tepi lubang itu

Tampak bahunya berguncang, tapi tidak terdengar sedikit pun suara dari bibimya yang bergeter. Kepala nya menggeleng-geleng beberapa kali. Tangannya memukul-mukul tanah, tapi tidak juga terdengar suara dari bibirnya yang bergetar semakin hebat.

"Bajingan keparat " tiba tiba saja dia berteriak keras.

Sesaat kemudian. tubuhnya jatuh bersujud di tepi lubang itu. Jari-jari tangannya mencakar-cakar tanah di sekitar lubang itu. Sama sekali tidak disadari kalau ada seseorang yang menghampiri pelahan-lahan dari belakang. Orang bertudung lebar dan berbaju merah menyala itu berhenti melangkah setelah jaraknya cukup dekat dengan pemuda itu

"Kakang...," terdengar suara lembut

Pelahan guncangan pada bahunya mulai mereda, kemudian terhenti sama sekai Pelahan-lahan pula kepalanya bergerak terangkat, lalu menoleh ke belakang. Dan begitu melihat ada seseorang di belakangnya, tubuhnya langsung melompat dan berdiri.

"Siapa kau?" bentak pemuda itu kasar. Nampak kedua bola matanya merah dan merembang berkaca kaca. Wajahnya juga menegang bagai menyimpan sesuatu yang hampir tidak tertahankan.

"Kakang Rangga...," lembut sekali suara orang, bertudung besar itu. "Kau tidak lagi mengenali suaraku, Kakang?"

Pemuda itu tertegun sesaat Dipandangi orang bertudung dan berbaju merah menyala itu. Sebilah pedang panjang tergantung di pinggangnya. Dari kulit tangan dan kakinya, dapat diketahui kalau orang itu adalah wanita. Apalagi juga teriihat tonjolan indah pada dadanya. Dan suaranya begitu lembut, namun terdengar agak tertahan.

"Mayang..." delik pemuda itu tidak percaya.

"Aku senang kau masih ingat suaraku, Kakang," ucap wanita itu seraya membuka tudungnya.

Pemuda itu menggeser kakinya ke samping beberapa tindak. Hampir tidak dipercaya apa yang dilihatnya kini. Di balik tudung tikar yang besar, tersembunyi seraut wajah cantik. Namun, matanya teriihat sendu bagai tidak memiliki gairah hidup lagi Wanita itu melemparkan tudungnya begitu saja

"Aku Mayang, Kakang Rangga," ujar wanita itu menyebutkan namanya. "Kau tidak lupa denganku, kan? Aku Mayang...."

"Tidak! Aku tidak akan pernah melupakan manusia yang paling kubenci di dunia ini!" ketus jawaban pemuda yang memang tidak lain adalah Rangga, atau yang terkenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti

Wanita yang ternyata benama Mayang itu menangis terisak. Tapi cepat-cepat dihapus air matanya. Sebentar ditarik napasnya dalam-dalam, seakan menghendaki adanya kekuatan dalam dirinya. Tatapan matanya tetap sendu tanpa gairah kehidupan sedikit pun.

"Hampir tiga purnama aku selalu mencarimu, Kakang. Meskipun aku tidak jauh meninggalkan Karang Setra. Aku yakin, suatu saat kau pasti akan kembali. begitu lama kau kurindukan, untuk menyesali semua kesalahanku. Kakang..., aku tidak kuat menerima hukumanmu ini. Maafkan aku, Kakang. Maafkan aku...," agak tersendat suara Mayang diselingi isaknya yang tertahan. Dia memang selalu berusaha untuk tidak menangis.

"Aku tahu siapa kau. Mayang. Aku memang tidak percaya kau bisa selicik itu tapi semua sudah terjadi. Keinginanmu sudah tercapai Pandan Wangi sudah mati, dan sekarang kuburnya ada yang membongkar! Kau puas sekarang, Mayang dingin kata-kata Rangga.

"Maafkan aku, kakang ," Mayang tidak bisa lagi membendung tangisnya yang meledak seketika itu juga.

"Untuk apa menangis, Air matamu tidak akan dapat mengembalikan Pandan Wangi!" dengus Rangga ketus.

Mayang menyusut air matanya dengan punggung tangan kiri. Sekuat tenaga berusaha untuk tidak menangis, namun isaknya masih juga terdengar tertahan. Kini jelas sudah, tidak ada gunanya merengek dan menangis di depan Pendekar Rajawali Sakti ini. Pemuda yang begitu dicintai sudah terlanjur membencinya setengah mati Dan itu akibat cemburu buta pada Pandan Wangi, sehingga gadis itu tewas di tangan seorang buronan yang paling berbahaya di Karang Setra. (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Darah Pendekar)

Rangga berbalik dan melangkah cepat mening-galkan tempat itu. Digunakannya ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah begitu jauh meninggalkan tempat itu.

"Kakang...!" teriak Mayang keras. Gadis itu langsung berlari mengejar. "Maafkan aku, Kakang...! Maafkan aku...! Aku mencintaimu, Kakang. Sungguh...!"

Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja melangkah, bahkan kini berlari cepat dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf sempurna. Dia benar-benar benci terhadap gadis itu. Terlebih lagi setelah menyaksikan kuburan Pandan Wangi terbongkar. Sia-sia saja bagi Mayang untuk mengejamya. Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu berhenti mengejar dan jatuh berlutut di rerumputan yang basah.

"Oh, Kakang... Sampai kapan pun kau tetap akan kucari. Aku mencintaimu, Kakang. Aku mencintaimu...," rintih Mayang seraya terisak.

********************

Suasana di Istana Karang Setra tidak seperti biasanya. Meskipun Rangga yang merupakan raja di tempat itu telah kembali dari pengembaraannya, tapi tidak mampu mengusir kemendungan yang menyelimuti seluruh Karang Setra. Sudah tiga hari ini Pendekar Rajawali Sakti barada di istananya kembali. Dan selama itu selalu duduk termenung di dalam kaputren.

Seluruh pembesar, panglima, patih, maupun punggawa dan prajurit di kerajaan itu sudah mengetahui permasalahan yang membuat raja mereka selalu murung dan menyendiri. Memang sudah jadi kelaziman bila rajanya diliputi kedukaan, maka seluruh rakyat ikut merasakan pula. Terlebih lagi bila mereka semua mencintai rajanya. Kemurungan dan wajah mendung bukan saja tersirat di lingkungan istana, bahkan sudah menyebar ke seluruh pelosok Kerajaan Karang Setra.

Pagi itu sepasukan prajurit yang dipimpin langsung Panglima Wirasaba memasuki pintu gerbang istana. Panglima itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya, dan berlari-lari memasuki istana yang megah. Tapi belum saja memasuki balariung, langkahnya sudah dicegat Danupaksi, adik tiri Rangga selain Cempaka.

"Salam sejahtera, Gusti Danupaksi," Panglima Wirasaba memberi sembah.

"Bagaimana, Paman Panglima? Sudah dapat petunjuk?" tanya Danupaksi langsung.

"Belum, Gusti. Tapi hamba sudah menyebar puluhan telik sandi dan ratusan prajurit. Mereka hamba perintahkan untuk pencarian tidak terbatas, Gusti," sahut Panglima Wirasaba

Belum lagi Danupaksi melanjutkan pertanyaannya, muncul Cempaka dari dalam ruangan Balai Sema Agung. Gadis itu langsung menghampiri dan berdiri di samping kakak tirinya itu Panglima Wirasaba memberikan sembah dengan merapatkan tangan di depan dada dan tubuh sedikit membungkuk

"Kakang, Kakang Prabu tidak menyentuh makanannya sedikit pun," kata Cempaka sendu.

"Hhh..., sudah dua hari ini Kakang Prabu tidak makan," desah Danupaksi.

"Aku khawatir, Kakang," Cempaka mengemukakan kecemasannya.

"Kita semua khawatir, Cempaka. Kakang Prabu tidak akan kembali seperti semula kalau masalah ini belum terselesaikan Yaaah..., bisa kurasakan apa yang dirasakannya sekarang. Memang tidak mudah menerima kenyataan seperti ini. Dan semua ini kesalahanku! Seharusnya kutempatkan beberapa prajurit untuk menjaga pusara Pandan Wangi," ujar Danupaksi lirih.

"Gusti...," selak Panglima Wirasaba.

"Ada apa, Panglima," Danupaksi menatap laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Dari seorang telik sandi, hamba mendapat laporan bahwa Gusti Ayu Mayang terlihat di sekitar Kadipaten Majalayu. Bahkan kadang-kadang juga terlihat di Desa Pegaringan, dan di Bukit Karungan itu, Gusti," lapor Panglima Wirasaba.

"Mayang...?!" Cempaka menatap Panglima Wirasaba dalam-dalam.

"Benar, Gusti Ayu."

"Bukankah Mayang tidak lagi diperkenankan berada di wilayah Karang Setra ?" Cempaka seperti bertanya pada dirinya sendiri

"Benar, Gusti Ayu tapi dari beberapa penduduk yang melihat, kehadiran Gusti Ayu Mayang bersamaan waktunya dengan kepulangan Gusti Prabu Rangga," ujar Panglima Wirasaba lagi

Cempaka menatap kakak tirinya. Sedangkan yang ditatap hanya diam dengan pandangan menerawang jauh.

"Di mana dia sekarang'''" tanya Danupaksi setelah lama berpikir.

"Menurut laporan terakhir, sekarang ini berada di perbatasan Utara, Gusti," jawab Panglima Wirasaba.

'Paman Panglima! Siapkan kuda untukku, dan beberapa prajurit pilihan," perintah Danupaksi.

"Hamba, Gusti."

Panglima Wirasaba memberi hormat, lalu bergegas melangkah pergi. Danupaksi berbalik, tapi langkahnya terhalang Cempaka. Dan belum lagi gadis itu membuka mulut, dari dalam ruangan Balai Sema Agung muncul Rangga. Kedua kakak beradik tiri itu langsung berbalik dan memberi hormat. Rangga berdiri tegak disertai pandangan mata kosong.

"Telah kudengar semua pembicaraan kalian," kata Rangga datar.

"Ampun, Kakang Prabu," sembah Danupaksi.

"Untuk apa menemui Mayang, Danupaksi?" tanya Rangga.

"Hanya mencari keterangan, Kakang," sahut Danupaksi.

"Kuhargai usaha kalian. Tapi, Ini persoalan pribadiku. Kalian tidak perlu bersusah-payah mengirim telik sandi dan ratusan prajurit," tegas Rangga, tetap datar suaranya.

Danupaksi menatap Cempaka, kemudian memberi sembah. Rangga mengayunkan kakinya keluar dari ruangan depan istana ini, lalu berhenti setelah berada di ujung tangga masuk istana. Danupaksi dan cempaka mengikuti. Beberapa prajurit membungkuk memberi hormat

"Danupaksi, siapkan kudaku," perintah Rangga.

"Kakang...," Danupaksi tampak kebingungan.

"Kau belum tuli, bukan?!"

"Ampun, Kakang Prabu. Hamba segera laksanakan."

Danupaksi bergegas melangkah menghampiri seorang prajurit. Dia berkata sebentar, dan prajurit itu berlari-lari pergi. Danupaksi kembali lagi mendekati kakak tirinya itu. Cempaka masih berada di samping Pendekar Rajawali Sakti itu, yang juga raja di Karang Setra ini.

Tidak berapa lama, prajurit yang diperintah Danupaksi datang membawa seekor kuda hitam. Pada waktu yang bersamaan, Panglima Wirasaba juga datang menuntun kuda yang diminta Danupaksi. Panglima dan prajurit itu membungkuk dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada.

Rangga langsung melompat ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa bayu, dan yang tidak akan pemah berpisah darinya Kuda itu dapat mengetahui, di mana majikannya berada, meskipun terpisah cukup jauh. Dan Rangga juga cukup bersiul untuk memanggil kudanya kalau tengah mengembara.

"Kakang, aku ikut!" seru Cempaka langsung melompat ke punggung kuda yang dibawa Panglima Wirasaba. Padahal kuda Itu semula untuk Danupaksi.

Rangga tidak menjawab, dan segera menggebah kudanya dengan cepat Kuda dewa Bayu meringkik keras, lalu berlari kencang menuju ke pintu gerbang. Cempaka langsung menggebah kudanya menyusul, sedangkan Danupaksi hanya terbengong. Dua ekor kuda menerobos pintu gerbang yang dibuka tergesa-gesa oleh dua orang prajurit penjaga. Sebentar saja kedua kuda itu sudah lenyap dari pandangan.

Rangga terus memacu kudanya dengan cepat; menuju Bukit Karungan. Bukit yang tidak terlalu tinggi dan mudah untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti itu baru menghentikan lari kudanya setelah sampai pada suatu tempat, yang terdapat sebuah lubang besar dan dalam. Rangga melompat turun dan melangkah mendekati lubang itu. Dia berdiri tegak sambil memandang ke dalam lubang. Terlihat sebuah sekop di dalam sana.

Cempaka yang mengikuti, juga bergegas turun dan menghampiri. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Gadis itu tidak sanggup melihat ke dalam liang lahat. Dipalingkan mukanya, dan berjalan mundur beberapa langkah.

"Kakang..." pelan suara Cempaka memanggil. "Hhh...." Rangga menarik napas sambil memba-likkan tubuhnya, lalu berjalan menghampiri Cempaka.

Sebentar Rangga menatap gadis itu, dan kembali berjalan mendekati kudanya. Cempaka buru-buru mengejar, dan menahan Rangga yang akan naik ke punggung kuda hitam itu. Dipegangi tali kekang Kuda Dewa Bayu dekat mulutnya. Rangga tidak jadi naik, tapi malah menatap tajam pada gadis itu.

"Kembalilah, Cempaka. Ini bukan urusanmu, kata Rangga tegas.

"Tidak, Kakang. Bagaimanapun juga aku ikut bersalah atas kejadian ini. Semua ini karena kelalaianku, Kakang Danupaksi, dan semuanya. Kalau saja aku atau Kakang Danupaksi menempatkan beberapa prajurit di sini, pasti pusara Kak Pandan Wangi tidak demikian jadinya," tegas Cempaka.

"Cempaka...."

"Meskipun Kakang melarang ikut, tapi aku tetap akan mencari siapa pencuri mayat Kak Pandan!" sentak Cempaka cepat memotong.

Rangga menarik napas panjang dan dalam. Dia naik ke punggung kudanya sambil terus menatap Cempaka yang masih berdiri memegangi tali kekang Kuda Dewa Bayu pada mulutnya.

"Naiklah ke kudamu, Cempaka," kata Rangga mendesah.

Cempaka tampak gembira, dan bergegas melompat ke atas punggung kudanya Dan kedua orang itu kembali berpacu cepat Tapi baru saja mereka pergi, tiba-tiba Rangga menghentikan lari kudanya, lalu berbalik menghampiri bekas makam itu. Cempaka jadi keheranan, dan hanya mengikuti dari belakang. Rangga kembali turun dari punggung kudanya, kemudian meneliti sekitar liang bekas pusara Pandan Wangi itu.

Cempaka yang masih berada di punggung kudanya segera mengambil tali kekang Kuda Dewa Bayu yang ditinggal begitu saja oleh Rangga. Diikutinya Iangkah Rangga yang berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Pelahan-lahan namun pasti, Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan ke satu arah, dan baru berhenti setelah di depannya menghadang segerumbul semak belukar. Raja Karang Setra itu jongkok, dan tangannya menyibak semak itu.

Perlahan dia berdiri dan menghampiri kudanya yang dituntun Cempaka. Rangga melompat naik, lalu menggebah kudanya agar berjalan pelahan menerobos. Semak itu. Sedangkan Cempaka mengikutinya dari, belakang.

"Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka masih terheran-heran tidak mengerti.

"Banyak jejak kaki di sekitar sini," sahut Rangga.

"Mungkin itu jejak kaki para prajurit, Kakang," duga Cempaka.

Rangga menatap gadis itu seraya menghentikan Iangkah kaki kudanya. Entah kenapa, pikirannya tidak sampai di situ. Sudah hampir empat hari kuburan itu terbongkar, dan yang pasti jejak pencuri mayat Pandan Wangi sudah lenyap. Sedangkan dua malam berturut-turut di sekitar tempat itu selalu diguyur hujan. Mustahil masih terlihat jejak kaki. Dan yang sekarang, memang begitu banyak. Bukan hanya tapak kaki manusia, tapi juga kaki-kaki kuda.

"Kakang, mengapa tidak kita telusuri saja asal-usul Pandan Wangi...?" ragu-ragu Cempaka memberikan usul.

"Jagat Dewa Batara. .!" Rangga tersentak menepuk keningnya sendiri.

Sungguh dirasakan pikirannya selama ini tertutup. Usul Cempaka seperti menggubah dirinya dari bayang-bayang mimpi yang panjang dan melelahkan. Sampai meninggalnya Pandan Wangi, Rangga memang belum tahu persis asal-usul gadis itu. Memang sedikit diketahui, tapi itu pun kurang jelas. Masih terlalu sukar untuk dipahami. Dan selama itu Rangga memang tidak pernah berminat untuk mengetahuinya. Hatinya sudah tertutup oleh cinta yang membara di dadanya.

"Kau benar, Cempaka," ujar Rangga. "Ayo, kita ke Banyu Biru!"

"Banyu Biru...?" tanya Cempaka tidak mengerti. Tapi gadis itu tidak bisa lagi bertanya. Rangga sudah cepat menggebah kudanya. Buru-buru Cempaka menghentakkan tali kekang kudanya agar berpacu cepat menyusul Kuda Dewa Bayu. Tapi meskipun udah digebah agar" lebih cepat, tetap saja kudanya tertinggal. Bahkan jaraknya semakin bertambah jauh saja. Kuda Dewa Bayu berpacu bagaikan terbang di atas tanah.

"Kakang, tunggu. !" teriak Cempaka keras, seraya menghentakkan tali kekang kudanya.

Teriakan Cempaka yang begitu keras, membuat Rangga langsung menghentikan lari kudanya. Tampak Cempaka tertinggal cukup jauh di belakang. Gadis itu menggebah kudanya, dan baru berhenti setelah sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Terlalu kau, Kakang!' dengus Cempaka agak terengah.

"Maaf," ucap Rangga pelahan.

"Bisa mati kudaku kalau begini!" Cempaka memberengut

"Ayolah! Lebih cepat sampai, lebih baik."

"Iya, tapi jangan seperti orang kesetanan begitu. Mana ada yang bisa mengejar Dewa Bayu!" Cempaka masih memberengut.

"Baik, sekarang aku yang mengikutimu," ujar Rangga mengalah.

Mereka kembali memacu kudanya kencang. Dan Rangga memang mengendalikan lari kudanya agar tetap berada di samping kuda Cempaka.

********************

Cukup jauh perjalanan yang harus ditempuh Rangga bersama Cempaka. Dari Karang Setra ke Desa Banyu Biru, memerlukan waktu lima hari perjalanan berkuda. Itu pun kalau tidak mengalami hambatan di jalan. Desa Banyu. Biru bukan termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra, dan terletak jauh di daerah Utara.

Saat itu suasana di Desa Banyu Biru nampak tenang dan tentram. Desa yang tedetak di sepanjang Sungai Banyu Biru itu semakin terlihat ramai saja. Banyak perahu pedagang bersandar di dermaga. Dan sebagian besar, penduduk Desa Banyu Biru mengandalkan hidup dari hasil sungai. Sehingga tidak heran jika setiap hari selalu saja dikunjungi pendatang. D antara orang orang yang turun dari sebuah perahu besar, terlihat seorang gadis berbaju merah menyala, Gadis itu berjalan tenang menyusuri dermaga.

Tidak ada seorang pun yang memperhatikan, meskipun pakaiannya tampak menyolok dengan sebilah pedang tergantung di pinggang. Selembar tudung besar terbuat dari anyaman daun pandan, bertengger di punggungnya. Rambutnya yang panjang terkepang menyamping di dada kanan. Gadis itu melangkah tenang menuju sebuah kedai yang tampak ramai dikunjungi pendatang.

Seorang laki-laki tua pemilik kedai menyambutnya terbungkuk-bungkuk, dan mempersilakan gadis itu duduk di bangku dekat pintu. Hanya sedikit gadis itu bicara, maka nampak pemilik kedai itu terangguk-angguk dan meninggalkannya. Tidak lama berselang dia kembali lagi membawa baki berisi seguci arak dan beberapa makanan. Laki-laki pemilik kedai itu kembali meninggalkannya, dan kini sudah sibuk lagi melayani tamu-tamu lainnya. Gadis itu menuangkan arak dari guci ke gelas bambu, lalu meneguknya hingga tandas.

"Agaknya terlalu keras minumanmu, Cah Ayu...."

Terdengar suara berat dan besar dari arah samping kanan gadis berbaju merah menyala itu. Dan gadis itu hanya melirik saja tampak di situ seorang laki-laki bertubuh besar dengan cambang menghiasi wajahnya. Sebilah golok besar terselip, di pinggangnya. Di sampingnya duduk seorang lagi yang juga berwajah kasar, serta lehernya terkalung seulas cambuk hitam.

"Tampaknya dia menyukaimu, Kakang Waringin," celetuk yang seorang lagi seraya mengedipkan sebelah matanya pada gadis Itu

"He he he.... Cah Ayu itu memang cocok untukku, Adik Watung," sambut laki laki itu terkekeh.

"Hhh! Becokok pasar mau jual lagak!" dengus gadis berbaju merah itu tidak mempedulikan.

"Heh...!" Waringin tersentak, langsung menggerinjang berdiri.

Gumaman gadis itu seperti seekor kala yang menyengat pantatnya. Wajahnya merah padam, dan bibirnya bergerak-gerak. Matanya mendelik lebar menatap gadis itu. Sedangkan yang seorang lagi tetap duduk meskipun wajahnya juga memerah.

"Kakang Waringin, kenapa tidak kita undang saja untuk minum bersama satu meja," ucap Watung kalem.

"Usul yang bagus, Adik Watung."

Waringin mengayunkan kakinya mendekati gadis berbaju merah itu, dan berdiri tegak di depan meja. Sedangkan gadis itu telihat tenang menenggak araknya. Sedikit pun tidak dipedulikan kehadiran orang yang bernama Waringin itu. Sementara orang-orang yang berada di dalam kedai itu mulai muak melihat tingkah laki-laki kekar bercambang bawuk itu. Bahkan beberapa di antaranya sudah meninggalkan kedai.

"Nisanak, pindahlah ke tempatku. Kita minum sama-sama," kata Waringin.

"Terima kasih, aku sudah selesai," sahut gadis itu seraya bangkit berdiri.

Gadis itu meletakkan beberapa keping uang untuk membayar makanan dan minumannya. Tanpa mempedulikan Waringin, dia berbalik dan melangkah pergi. Waringin menggeram gusar, langsung mengambil guci arak yang masih tersisa setengah.

"Arakmu tertinggal, Nisanak! Nih...!"

Waringin melemparkan guci arak itu disertai pengerahan tenaga dalam. Guci itu meluncur deras ke arah si gadis. Tapi cepat sekali gadis itu berbalik, dan menangkap guci arak itu. Sambil tersenyum manis, diteguknya arak di dalam guci itu sampai habis, kemudian diseka mulutnya dengan punggung tangan. "Nih! Kukembalikan, tikus!"

Wut!

Gadis itu melemparkan guci ke arah Waringin. Lemparannya begitu kuat dan meluncur deras sekali. Waringin tersentak sesaat, lalu dengan cepat ditangkapnya guci itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tubuhnya terpental dan terbawa dorongan keras guci arak itu. Waringin menggerung keras. Sebuah meja hancur berantakan terlanda tubuhnya yang besar.

"Perempuan setan!" geram Waringin seraya bangkit berdiri

Slap!

Waringin melemparkan kembali guci di tangannya. Kali ini lemparannya disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Guci itu kini melayang deras. Tetapi, gadis itu hanya mengibaskan tangannya saja menyampok guci itu. Akibatnya benda itu melesat dan mendarat tepat di depan meja Watung, dan membuatnya tersentak kaget. Laki-laki itu kontan melompat berdiri.

"Huh! Tikus-tikus macam kalian memang selalu merusak suasana!" dengus si Gadis dingin.

"Kurobek mulutmu, perempuan keparat!" geram Waringin gusar.

Secepat kilat laki-laki yang bernama Waringin itu melompat sambil mencabut goloknya yang besar. Golok itu dikibaskan ke arah leher, tapi hanya sedikit saja gadis itu mengegoskan kepalanya. Sabetan golok Waringin ternyata hanya menyambar angin kosong.

Dan belum lagi Waringin bisa menarik pulang goloknya, tahu-tahu gadis itu sudah mengibaskan tangan kanannya.

Bug!

"Hughk!" Waringin mengeluh pendek.

Kibasan tangan itu tepat menghantam perut Waringin, dan membuatnya terbungkuk. Dan kembali gadis itu menghantamkan satu pukulan keras ke arah wajah, sehingga Waringin terpekik tertahan. Wajah laki-laki itu terdongak ke atas. Tiba-tiba tubuhnya langsung mencelat ke belakang begitu satu tendangan telak menghantam dadanya. Kembali satu meja hancur terlanda tubuh besar itu

"Setan keparat! Hiyaaa...!"

Watung jadi geram bukan main melihat kakaknya terbanting setelah mendapat hajaran beberapa kali. Adik dari Waringin ini langsung melompat dan mencabut cambuk yang melilit lehernya. Cambuk itu dikebutkan bebeiapa kali ke arah gadis berbaju merah itu. Tapi gadis itu lincah sekali berlompatan menghindarinya. Bahkan pada satu saat, berhasil menangkap ujung cambuk itu Langsung dibetotnya cambuk itu disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

"Ugh!"

Watung berusaha, menahan betotan itu. Tapi, sentakan tenaga dalam gadis itu rupanya lebih kuat, sehingga Watung tidak kuasa menahan lagi. Tubuhnya tertarik deras. Kesempatan baik ini dimanfaatkan gadis itu untuk melayangkan satu tendangan keras menggeledek, tepat menghantam dada Watung.

"Akh...!" Watung memekik keras.

Belum lagi tubuh laki-laki itu mencelat ke belakang, kembali gadis itu menghantamkan pukulannya ke arah wajahnya. Watung menjerit melengking. Tubuhnya pun terlempar jauh, ambruk menindih tubuh kakaknya yang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Hanya sebentar Watung mampu merintih dan menggelinjang, sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

"Huh!" gadis itu mendengus.

Dengan Iangkah tenang gadis itu keluar dari kedai. Beberapa orang yang masih berada didalam kedai hanya memandangi saja, tidak berani mencegah. Mereka baru merubungi Waringin dan Watung yang menggeletak bertindihan tanpa gerakan lagi. Salah seorang memeriksa, lalu cepat berdiri.

"Bagaimana"
"Mati."
"Hah...?!"

********************

Walaupun malam sudah menyelimuti persada, namun seluruh kegiatan di Desa Banyu Biru belum juga berhenti. Lampu besar dan kecil menerangi sekitar desa di tepian sungai itu. Namun tidak demikian halnya dengan sebuah rumah yang terletak agak terpencil letaknya dari rumah-rumah lainnya.

Rumah itu tampak agak gelap. Hanya sebuah lampu pelita kecil saja yang meredup di bagian belakang rumah itu. Tampak seorang laki-laki tua berjubah putih panjang, duduk bersila di sebuah altar batu putih yang licin dan berkilat. Di depannya terdapat sebuah kolam yang berisi air berasap menggolak mendidih. Air yang putih keruh bagai susu, juga ditabur bermacam-macam bunga dan daun daunan.

Laki-laki tua yang berambut dan berjenggot putih itu duduk bersila. Kedua tangannya merapat di depan dada. Dan matanya setengah terpejam, namun mengarah lurus ke kolam di depannya. Tidak ada lagi penerangan, kecuali pelita kecil yang tergantung pada palang kayu melintang di atas kolam itu.

"Bangkitlah, Cucuku. Sudah tiga hari kau berada di situ. Bangkitlah...," desah laki-laki tua itu lirih.

Air di dalam kolam itu terus bergolak mendidih diiringi suara-suara letupan kecil. Golakan di dalam.

"Bangkitlah, Cucuku. Sudah tiga hari kau berada di situ. Bangkitlah...," desah laki-laki tua itu. Bibimya komat-kamit terus. Dan matanya terpejam rapat.

Lalu tubuh perempuan itu pun mengambang naik dan terus naik, hingga berada di atas kolam! kolam itu nampak semakin terasa kuat, dan mulai terdengar gemuruh. Asap di permukaannya menebal. Laki-laki tua itu menggerak-gerakkan tangannya, lalu menjulur ke depan dengan jari-jari terbuka lebar. Bibimya bergerak-gerak komat-kamit. Dan matanya sebentar terpejam. Tubuhnya mulai bergetar, disertai keringatnya yang bercucuran.

"Bangkitlah, Cucuku Sudah waktunya bangun. Terlalu lama kau tertidur dalam penderitaan. Bangkitlah, Cucuku...," desis laki laki tua itu seraya mengatup-kan kembali tangannya di depan dada.

Pelahan-lahan air di dalam kolam berhenti bergolak, dan sebentar kemudian menjadi tenang. Air yang semula keruh itu berubah bening bagai kaca. Asap pun tidak lagi mengepul, lenyap terbawa angin malam. Tampak di dalam kolam, terbaring sesosok tubuh ramping yang hanya terbungkus selembar kain putih bersih

Tubuh itu mengambang naik ke atas permukaan air, lalu terus naik hingga berada di atas kolam. Laki-laki tua itu melompat turun dari batu putih yang didudukinya. Disangga dan dipondongnya tubuh ramping itu. Kakinya terayun melangkah mendekati sebuah pembaringan kayu beralaskan anyaman daun pandan. Dibaringkan tubuh ramping itu, lalu ditutupi dengan selembar kain putih. Sebentar kemudian dilepaskan kain yang basah itu.

"Hm..," laki-laki tua itu bergumam pelahan.

Laki-laki tua yang berusia sekitar seratus tahun itu duduk bersila di samping tubuh yang tetap terbaring dan matanya tetap terpejam. Dirapatkan tangannya di depan dada, lalu pelahan mata laki-laki tua itu terpejam. Mulutnya bergerak-gerak komat-kamit. Tidak lama kemudian kelopak matanya kembali terbuka. Dengan gerakan cepat, jari-jari tangannya menjalar ke seluruh tubuh yang terbaring itu. Dan terakhir ditotoknya bagian dada tubuh yang terbaring itu, tepat pada jantungnya.

"Hhh...!" satu tarikan napas panjang terdengar.

Laki-laki tua itu tetap duduk bersila, tapi kini telapak tangannya bertumpu pada lutut. Tampak matanya tidak berkedip memandang tubuh yang masih terbaring pucat. Tidak ada gerakan sedikit pun, sepertinya lubuh itu sudah mati. Namun sesaat kemudian, wajah pucat itu mulai berubah memerah. Bahkan kini dadanya bergerak gerak pelahan. Laki-laki tua itu tersenyum disertai desahan napas panjang.

"Kau hidup lagi, Cucuku. oh , puji syukur pada-Mu Dewata Yang Agung desah laki-laki tua itu seraya mendongak.

********************

Derit daun pintu terdengar saat terkuak pelahan. Muncul seorang laki-laki tua berjubah putih yang kini berdiri di ambang pintu. Laki laki itu tersenyum melihat di pembaringan tergolek seorang wanita cantik tertutup selembar kain putih. Wanita itu menoleh, lalu juga tersenyum, meskipun pandangan matanya masih teriihat sayu.

Laki-laki tua itu menutup pintu kembali. Kakinya melangkah mendekati pembaringan, lalu duduk di tepinya. Di tangannya tergenggam sebuah gelas bambu yang beruap. Diangkatnya kepala wanita itu untuk diminumkan ramuan di dalam gelas.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya laki-laki tua itu lembut seraya membaringkan kembali kepala wanita itu.

"Mulai membaik, tapi...," lemah sekali suara gadis itu.

"Apa yang kau rasakan?"

"Bahu dan dadaku terasa sakit sekali."

"Itu karena bekas luka. Yah...terlalu dalam luka itu. Tapi untung saja tak sampai menembus jantung."

Gadis itu terdiam. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar yang dipenuhi sarang laba-laba. Pelahan kepalanya berpaling, menatap laki-laki tua yang kini sudah bersila di sampingnya.

"Boleh aku tanya gadis itu terputus.

"Jamus. Panggil saja aku Eyang Jamus," ucap laki-laki tua itu menyebutkan namanya. "Apa yang akan kau tanyakan?"

"Tentang diriku," masih lemah suara gadis itu.

"Hhh...!" Eyang Jamus menarik napas panjang. Pandangannya begitu dalam merayapi wajah cantik yang terbaring di depannya.

Sedangkan gadis itu hanya diam. Dari sorot matanya yang redup dan sayu, terlihat ada sesuatu yang sukar ditebak. Bibirnya masih tampak pucat, dan sedikit terbuka. Dicobanya untuk bergerak, tapi bibirnya langsung meringis merasakan sakit pada dadanya.

"Siapa namamu, Anak Manis?" tanya Eyang Jamus.

"Aku...? Aku.., aku tidak tahu," sahut gadis itu itu kebingungan.

"Sudah kuduga! Kau pasti tidak akan dapat mengingat lagi perihal dirimu. Bahkan apa yang terjadi padamu juga tidak mungkin dapat diketahui lagi. Yaaah..., terlalu lama kau terkubur di alam kematian semu," desah Eyang Jamus

"Kematian semu...? Apa maksud Eyang?" tanya gadis itu tidak mengerti

"Beberapa hari yang lain aku selalu dihantui mimpi yang selalu berulang dan sama persis. Aku melihatmu berada dalam ruangan gelap penuh lumpur sambil merintih dan meminta tolong padaku," Eyang Jamus mulai menceritakan kejadian...

Gadis itu memperhatikan dengan seksama. Dicobanya untuk bisa mencerna dan mengingat apa yang lerjadi pada dirinya, sehingga sekarang terbaring di rumah kecil yang hanya ada satu kamar ini. Tapi pikirannya benar-benar kosong' dia seperti seorang bayi yang baru lahir kembali. Tak satu pun yang dapat diingatnya.

"Semula kuanggap itu hanya mimpi biasa. Tapi karena setiap malam mimpi itu selalu datang, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepadamu. Saat itu kau hanya menyebutkan satu tempat, dan untungnya aku tahu tempat yang kau sebutkan itu. Maka bergegas aku ke sana, dan menemukan kuburanmu," lanjut Eyang Jamus.

"Kuburanku...?!" gadis itu semakin tidak mengerti.

"Benar! Kau sudah terkubur hampir tiga purnama. Ketika kucoba memeriksa, aku benar-benar terkejut. Ternyata kau masih hidup! Itulah sebabnya mengapa kubongkar kuburanmu dan sekarang berada di rumah ku ini. Aku tidak tahu, seandainya sudah lewat tiga pumama mungkin kau benar benar mati."

"Jadi..., apakah aku ini memang sudah mati, Eyang?" tanya gadis Itu.

"Semua orang memang akan menyangka begitu. Itu sebabnya kau dikubur. Tapi sebenarnya jiwamu masih tersimpan dalam ragamu. Kau hanya mati semu, Cucuku," Eyang Jamus berusaha menjelaskan.

"Aku.... Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang."

"Memang sukar untuk dimengerti. Kau sendiri juga tidak mungkin mengetahui masa-masa hidupmu. Kau adalah sosok manusia langka yang sukar dicari pada masa sekarang ini. Sebenarnya aku sendiri hampir tidak percaya kalau di zaman sekarang ini masih ada orang yang bisa mati semu, sebelum mati sesungguhnya."

"Eyang, bisa kau jelaskan siapa aku ini?" pinta gadis itu.

"Sulit! Sebab, belum kutemukan jawaban mengapa kau bisa mati semu dalam jangka waktu yang lama. Biasanya orang yang mati semu, paling lama mampu bertahan tiga sampai tujuh hari. Tapi, kau hampir tiga purnama masih juga belum mati sesungguhnya."

"Kalau begitu, berilah nama padaku, Eyang. Mungkin aku bisa membantumu," pinta gadis itu.

"Nama apa yang kau inginkan?"

"Aku tidak tahu."

Eyang Jamus terdiam beberapa saat. Rupanya juga kesulitan mencari nama untuk gadis yang tidak tahu apa-apa ini. Gadis yang seperti baru saja dilahirkan ke dunia ini. Eyang Jamus beranjak bangkit dari pembaringan, dan melangkah menghampiri sebuah lemari kecil lantas membukanya, Dari dalam lemari itu dikeluarkan seperangkat pakaian biru dan sebilah pedang, kemudian dibawanya pada gadis yang masih terbaring lemah.

"Benda-benda ini kutemukan bersamamu di dalam kubur," kata eyang Jamus

"Semua ini milikku eyang" tanya gadis itu.

"Benar. Semua milikmu. Kau tidak mengenalinya?"

Gadis itu menggeleng perlahan

"Aku kenal pedang ini! dulu pernah diperebutkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Waktu itu aku tidak ingin ikut campur, dan bersikap masa bodoh. Sudah puluhan tahun kutinggalkan dunia persilatan, dan tidak ingin mengotori tanganku lagi dengan darah dan kekerasan. Namun demikian tidak akan dapat kulupakan pedang ini," jelas Eyang Jamus.

"Apakah pedang ini mempunyai nama, Eyang?" tanya gadis itu.

"Benar. Semua senjata pusaka selalu mempunyai nama yang sesuai dengan keampuhan dan kegunaannya."

"Apa namanya?"
"Pedang Naga Geni "
"Pedang Naga Geni"

"Biasanya, pedang ini tidak pernah terlepas dari kitabnya yang bernama Kitab Naga Sewu. Dalam kitab itu berisi jurus-jurus 'Naga Sewu', yang sukar dicari tandingannya bila seseorang benar-benar telah sempurna menguasainya. Tapi sayangnya, tidak kutemukan kitab itu."

"Aku tidak tahu, Eyang."

"Aku bisa mengerti. Sekarang ini kau bagaikan bayi yang baru saja lahir. Masih putih, bersih, dan polos. Saat kau buka matamu untuk pertama kali, maka di situlah kau buka lembaran hidupmu yang baru. Tidak ada lagi kehidupan masa lalumu."

"Eyang..."
"Hm.."

"Boleh aku memakai nama...," ucapan gadis itu terputus.

"Aku mengerti, Cucuku. Dan itu memang tengah kupikirkan. Untuk mengingatkan, kau pantas menyandang nama Putri naga Sewu," potong Eyang Jamus.

"Putri Naga Sewu...," gadis itu menggumamkan nama barunya. Bibirnya tersenyum manis dan tola' matanya bersinar cerah. "Terima kasih, Eyang."

"Ya. Sekarang, istirahatlah. Masih perlu tujuh hari kau berbaring. Dan selama itu aku akan mencoba memulihkan keadaan dirimu seperti sedia kala."

"Terima kasih, Eyang."
"Hm...."

********************

Hari demi hari berlalu cepat. Tidak terasa, sudah cukup lama pula Eyang Jamus merawat gadis yang ditemukannya melalui jalan mimpi aneh, dan sudah terkubur selama hampir tiga purnama. Telah dua pekan gadis yang kini memakai nama Putri Naga Sewu itu tinggal di rumah kecil yang menyendiri di Desa Banyu Biru. Semakin hari, kesehatannya semakin membaik. Dan gadis itu kini sudah mulai menjalani latihan gerakan gerakan ilmu olah kanuragan di bawah bimbingan Eyang Jamus

"Cukup!" seru Eyang Jamus keras.

Putri Naga Sewu menghentikan gerakannya begitu mendengar seruan keras. Keringat bercucuran membasahi wajah dan lehernya yang jenjang. Langkahnya masih nampak segar menghampiri Eyang Jamus yang luduk bersila di beranda belakang rumahnya. Putri Naga Sewu duduk bersila di lanah, di hadapan laki-laki tua berjubah putih itu.

"Semakin hari kemajuanmu semakin pesat, Naga Sewu. Aku tidak tahu, bagaimana caranya jurus-jurus Naga Sewu' dapat kau kuasai begitu sempurna. Bahkan ada beberapa jurus yang sebelumnya pernah kulihat," jelas Eyang Jamus.

"Jurus apa itu, Eyang?" tanya Putri Naga Sewu.

"Sini! Duduklah di sampingku."

Putri Naga Sewu bangkit, dan kembali duduk di samping kanan Eyang Jamus.

"Dari jurus-jurus 'Naga Sewu', terkadang kau selipkan beberapa jurus lain. Dan sepertinya kukenali jurus itu. Tapi aku tidak yakin, Naga Sewu," kata Eyang Jamus.

Putri Naga Sewu hanya diam saja.

"Entah, sudah berapa lama tidak pernah lagi kudengar nama dan kabar beritanya. Terakhir kudengar, ketika terjadi peristiwa di Bukit Setan. Jurus-jurus itu berasal dari jurus 'Kipas Maut' yang dimiliki oleh seorang gadis cucu sahabatku. Tapi gadis itu menghilang entah ke mana. Juga sahabatku, Kakek Tangan Seribu, tewas karena berusaha melindungi cucunya."

"Siapa namanya?" desak Putri Naga Sewu.

"Pandan Wangi. Gadis nakal, keras kepala, dan pembuat onar. Tapi sangat manis, penurut, dan berilmu cukup tinggi. Waktu itu dikabarkan kalau Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni berada di tangannya. Tapi aku tidak percaya. Terlebih lagi, setelah. peristiwa di Bukit Setan. Ternyata kedua benda pusaka itu ada di tangan seorang pendekar muda yang sangat tinggi tingkat kepandaiannya."

"Siapa nama pendekar itu?" tanya Putri Naga Sewu.

"Pendekar Rajawali Sakti. Nama sebenarnya Rangga. Dia seorang raja di Kerajaan Karang Setra, tempat kau terkubur di sana selama hampir tiga purnama. Tepatnya di sebelah Timur Karang Setra, di Bukit Karungan."

"Rangga...," Putri Naga Sewu mendesis. Sekilas dia teringat sesuatu. Tapi hanya sekilas, kemudian tidak tahu lagi.

Putri Naga Sewu mencoba mengulangi lagi ingatan yang melintas sesaat itu, tapi tetap saja tidak mampu. Namun hatinya mendadak jadi bergetar aneh kala mendesiskan nama Rangga. Seperti ada sesuatu yang sukar diungkapkan. Dan Putri Naga Sewu sendiri tidak tahu, mengapa tiba-tiba saja hatinya bergetar tatkala menyebut nama itu

"Naga Sewu...."

"Oh!" Putri Naga Sewu tergugah dari lamunannya.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Eyang Jamus.

"Tidak ada, Eyang," sahut Putri Naga Sewu.

"Hm...," gumam Eyang Jamus tidak jelas. "Naga Sewu, ada yang ingin kukatakan padamu."

"Katakan saja, Eyang. Memang aku perlu pengetahuan banyak sekali. Barangkali saja bisa teringat salah satu dari pengalaman masa laluku. Bukankah itu yang ingin Eyang ketahui?" ujar Putri Naga Sewu cepat.

"Beberapa hari ini perasaanku selalu dirisaukan oleh wajahmu," kata Eyang Jamus.

"Wajahku...?! Ada apa dengan wajahku, Eyang?"

"Entahlah, aku sendiri tidak yakin. Saat ini wajahmu sering kubandingkan dengan wajah Pandan Wangi. Ternyata kau begitu mirip dengan cucu sahabatku itu," ujar Eyang Jamus tidak yakin.

"Benarkah itu?"

"Ya! Meskipun sudah lama sekali tidak pernah lagi bertemu, tapi aku tak akan lupa pada wajah Pandan Wangi. Hhh..., sepertinya kau ini Pandan Wangi."

"Apa tidak mungkin, aku ini Pandan Wangi?" kata Putri Naga Sewu tiba tiba.

Eyang Jamus agak terkesiap, sampai-sampai menatap tajam pada gadis itu. Dan Putri Naga Sewu juga seperti terkesima. Entah mengapa bisa telontar kata-kata yang demikian tandas dan lugas, seperti meluncur begitu saja tanpa dipikir lebih dahulu. Putri Naga Sewu jadi gelagapan dan menunduk.

"Maaf, Eyang. Aku...," suara Putri Naga Sewu tersendat.

"Tidak mengapa, Naga Sewu. Yah..., mungkin saja kau memang Pandan Wangi. Aku sungguh gembira kalau hal itu benar. Hanya saja perlu waktu yang tidak sedikit untuk mengetahui dirimu yang sebenarnya."

"Aku akan berusaha, Eyang. Meskipun cukup senang dengan nama sekarang, tapi harus juga kuketahui diriku yang sebenarnya. Bukankah begitu, Eyang?"

"Benar, kau memang harus mencari keterangan tentang dirimu sesungguhnya, Naga Sewu."

"Eyang bersedia membantuku?"

"Tentu. Siapa pun kau sebenarnya, aku akan senang."

"Terima kasih, Eyang."

********************

Matahari belum lagi penuh memancarkan sinarnya. Tapi di suatu tempat yang cukup jauh dari Desa Banyu Biru, terlihat Putri Naga Sewu tengah melatih jurus-jurusnya. Sungguh tidak disadari kalau sepasang mata tengah mengawasinya sejak tadi. Sepasang mata ang terlindung dan tersembunyi, meskipun jaraknya tidak seberapa jauh.

Trek!

Terdengar sebatang ranting patah terinjak. Putri Naga Sewu kontan menghentikan latihannya. Ditatapnya tajam-tajam sumber suara tadi. Pelahan-lahan kakinya terayun, dan matanya tidak berkedip memandang ke arah semak belukar diantara dua pohon cemara.

"Keluar kau! Hih bentak Putri Naga Sewu keras.

Seketika itu juga dihentakkan tangan kanannya ke depan. Dan dari telapak tangannya tiba-tiba meluncur seleret cahaya merah, yang langsung menembus ke semak belukar dengan cepat. Dan bersamaan terdengarnya ledakan, melesat satu bayangan merah dari dalam semak itu. Dan bayangan itu ternyata seorang gadis cantik berbaju merah dengan tudung besar bertengger di kepalanya.

"Siapa kau?! Kenapa mengintaiku?!" bentak Putri Naga Sewu.

Gadis berbaju merah itu tidak menjawab. Dibukanya tudung itu, dan dilemparkan begitu saja ke samping. Tampaklah seraut wajah cantik, terlihat sendu. Gadis itu melangkah pelahan mendekati, dan baru berdiri setelah berjarak sekitar Uma Iangkah lagi di depan Putri Naga Sewu.

"Pandan,... Aku tidak percaya kalau kau benar-benar Pandan Wangi,' gadis berbaju merah itu merayapi wajah Putri Naga Sewu.

"He! Apa yang kau...?!"

Putri Naga Sewu jadi kebingungan. Apalagi tatkala gadis berbaju merah itu malah melangkah mundur disertai gelengan kepala beberapa kali. Dan tiba-tiba saja dia berbalik, lalu berlari kencang. Putri Naga Sewu jadi tidak mengerti, tapi langsung melompat mengejar. Hanya tiga kali lompatan saja, gadis itu sudah terhadang.

"Tunggu!" sentak Putri Naga Sewu.

Gadis berbaju merah itu menghentikan larinya. "Biarkan aku pergi, Pandan. Aku sudah cukup menderita, dan jangan kau tambah lagi penderitaan pada diriku. Atau, kau ingin membalas kematianmu? Silakan, Pandan. Aku tidak akan melawan jika kau ingin membunuhku," kata gadis berbaju merah itu.

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Siapa kau sebenarnya? Mengapa memanggilku Pandan? Putri Naga Sewu nampak keheranan.

"Kau lupa padaku, Pandan? Aku Mayang. Kau ingat?" gadis berbaju merah itu juga jadi keheranan melihat sikap gadis di depannya yang wajahnya begitu mirip Pandan Wangi. Bahkan bentuk tubuh dan bajunya juga begitu persis.

"Aku tidak kenal denganmu. Hm..., mengapa kau memanggil diriku Pandan? Namaku Putri Naga Sewu. Bukan Pandan," kata Putri Naga Sewu.

"Tidak mungkin! Kau pasti Pandan Wangi. Tapi.... tidak! Mustahil...!" Mayang menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirayapi seluruh tubuh Putri Naga Sewu dalam-dalam, seakan-akan ingin dipastikan penglihatannya.

"Ada apa dengan diriku?" tanya Putri Naga Sewu.

"Tidak mungkin! Kau pasti bukan Pandan Wangi. Mustahil ada orang mati bisa hidup lagi. Tapi...," bernada ragu-ragu suara Mayang

Kedua gadis itu saling bepandangan. Sinar mata nereka menyimpan rasa ke tidak pastian dan kebingungan. Yang satu tidak mengerti maksud kata-kata Mayang, sedangkan Mayang sendiri tidak yakin dengan yang dilihatnya. Sungguh tidak diyakini kalau vang berdiri di depannya ini adalah Pandan Wangi, padahal gadis itu telah tewas sekitar tiga bulan lalu (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah, Darah Pendekar)

Lain halnya yang ada dalam benak Putri Naga Sewu. Kehadiran Mayang membuat dirinya begitu terasa lain. Seperginya ada sesuatu yang terjadi pada ingatannya, tapi masih samar-samar. Memang sukar dipercaya.

Terlebih lagi setelah mendengar kata-kata Mayang yang dirasakannya begitu aneh. Bahkan sama persis dengan yang dikatakan Eyang Jamus. Apakah benar dia sudah mati, dan kini hidup kembali? Memang sukar dipercaya, tapi memang itulah kenyataannya. Putri Naga Sewu memang tidak tahu dirinya yang sebenarnya. Bahkan nama dirinya hasil pemberian dari Eyang Jamus. Apakah benar dia Pandan Wangi seperti yang dikatakan Mayang, yang berarti sama dengan dugaan Eyang Jamus? Semua pertanyaan itu masih bergelayut di dalam pikiran Putri Naga Sewu. Terlalu sukar untuk mempercayai kalau dirinya telah mati tiga bulan yang lalu

"Naga Sewu..! Naga Sewu...!"

Putri Naga Sewu menoleh ketika namanya dipanggil. Mayang juga memalingkan wajahnya ke arah laki-laki tua yang berlari-lari kecil agak terseret. Jubah putihnya yang panjang, melambai-lambai ditiup angin. Sebatang tongkat membantunya untuk melangkah cepat menghampiri kedua gadis cantik yang saling berdiri berhadapan itu.

"Siapa dia, Naga Sewu?" tanya Eyang Jamus begitu tiba di samping Putri Naga Sewu.

"Aku tidak tahu, Eyang. Dia menyebut namanya Mayang," sahut Putri Naga Sewu seraya melirik pada Mayang.

"Benar! Namaku Mayang barangkali kau kakek gadis ini?" serobot Mayang sedikit ramai

"Benar. Namaku Eyang Jamus, kakek dari Putri Naga Sewu."

Mayang memandangi Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu bergantian. Pandangannya begitu dalam, dan banyak mengandung arti yang sukar ditebak. Eyang jamus agak berkerut keningnya melihat pandangan mata gadis itu.

"Ada apa? Apakah ada yang aneh?" tanya Eyang Jamus.

"Tidak apa-apa. Sebaiknya aku pergi saja," kata Mayang seraya berbalik.

Secepat kilat Mayang melompat, dan langsung berlari kencang sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu singkat tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Eyang Jamus memandangi Putri Naga Sewu yang masih menatap ke arah perginya Mayang. Sepertinya ada sesuatu yang tengah dipikirkan gadis itu.

"Ayo kita pulang, Naga Sewu," ajak Eyang Jamus.

Putri Naga Sewu seperti tidak mendengar ajakan Eyang Jamus, dan terus saja menatap ke arah gadis itu pergi. Pandangannya kosong, serta wajahnya tidak menyiratkan perasaan apa pun. Sepertinya gadis itu hanya sesosok tubuh tanpa nyawa. Wajah itu terlihat pucat, meskipun masih ada sedikit tanda kemerahan pada belahan pipinya.

"Naga Sewu...," Eyang Jamus mencolek lengan gadis itu.

"Oh!" Putri Naga Sewu tersentak kaget.

"Sudah siang! Ayo pulang," ajak Eyang Jamus lagi.

Putri Naga Sewu tidak menyahut Tapi dibalikkan juga tubuhnya, lalu dilangkahkan kakinya menuju rumah kecil yang tidak berapa jauh dari tempat ini. Sebentar Eyang Jamus memperhatikan, kemudian melangkah cepat. Disejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.

"Apa yang kau pikirkan, Naga Sewu?" tegur Eyang Jamus.

"Ada Eyang," sahut Putri Naga Sewu mendesah.

"Katakan, apa yang dipikirkan?"
"Kata-kata Mayang, Eyang."
"Apa yang dikatakannya padamu?"

"Seperti yang kau katakan padaku, Eyang. Tentang diriku."

Eyang Jamus termenung, lalu menghentikan langkahnya. Putri Naga Sewu juga berhenti berjalan. Diputar tubuhnya, sehingga menghadap pada laki-laki tua berjubah putih itu.

"Pulanglah dulu, aku akan ke dermaga. Ada sesuatu yang harus kubeli," kata Eyang Jamus seraya menepuk pundak gadis itu.

"Lama?" tanya Putri Naga Sewu.

"Mungkin sore nanti baru kembali."

Putri Naga Sewu mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke bagian belakang rumah kecil yang menyendiri itu. Sementara Eyang Jamus masih berdiri mematung. Dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah kepergian Mayang. Tiba tiba saja tubuhnya melesat bagai kilat. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah tidak teriihat bayangannya.

Sementara itu Putri Naga Sewu sudah sampai di dalam rumah kecil yang hanya memiliki satu ruangan saja. Sebentar dipandangi ruangan itu, dan langsung bertumpu pada sebilah pedang yang tergantung di dinding. Pedang Naga Geni yang menurut Eyang Jamus adalah miliknya ketika dibangkitkan dari kubur. Putri Naga Sewu mengambil pedang itu. Tapi baru saja hendak mencabut, terdengar suara mengejutkan.

Brak!

"Hei...!" Putri Naga Sewu terlonjak kaget.

Tiba-tiba saja pintu rumah itu jebol berantakan. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak muncul seorang perempuan tua bersama dua orang laki-laki muda berwajah kasar. Perempuan tua itu melangkah sambil mengayun-ayunkan tongkatnya. Sedangkan kedua laki laki di belakangnya langsung menghunus golok besar agak melengkung.

"Mana Eyang Jamus?!" tanya perempuan tua berjubah merah itu kasar.

"Tidak ada!" sahut Putri Naga Sewu ketus. Dia memang tidak menyukai kehadiran tiga orang yang datang mendobrak pintu itu.

"Siapa kau?!" tanya perempuan tua itu, masih terdengar kasar suaranya.

Belum sempat Putri Naga Sewu menjawab, salah seorang laki-laki yang berada di belakang perempuan berjubah merah itu membisikkan sesuatu. Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Kedua bola matanya yang cekung, langsung bersinar melihat Putri Naga Sewu. Telebih lagi saat melihat pedang di tangan gadis itu.

"He he he..., pucuk dicinta ulam tiba. Tidak percuma jauh-jauh datang lagi ke sini. He he he..., perempuan tua itu tertawa terkekeh.

Putri Naga Sewu langsung menyadari adanya gelagat tidak baik akan kehadiran perempuan tua bersama pengawalnya itu. Digeser kakinya mundur beberapa Iangkah. Dengan cepat, tubuhnya melenting ke atas, dan menjebol atap hingga melesat keluar. Begitu cepatnya tindakan Putri Naga Sewu, sehingga membuat perempuan tua berjubah merah itu terperanjat.

"Kejar dia! Jangan sampai lolos!" perintah perempuan tua itu.

"Hiya...!"
"Yeaaah...!"

Dua orang laki-laki di belakang perempuan tua itu rentak berlompatan ke luar. Pada saat yang sama, Putri Naga Sewu baru saja menjejakkan kakinya di halaman depan rumah. Dan terpaksa dirinya melesat kembali karena dua orang laki-laki bersenjata golok itu langsung menyerang ke arah kakinya.

"Hait..!"

Putri Naga Sewu berjumpalitan di udara beberapa kali, lalu menukik seraya mencabut pedangnya yang tergenggam di tangan kiri. Secepat kilat dikibaskan pedangnya itu ke arah leher salah seorang penyerangnya. Tebasannya sangat cepat luar biasa dan tidak terduga sama sekali. Sepertinya sukar untuk dihindari lagi

Cras!

"Aaa...!" laki-laki itu menjerit melengking. Tubuhnya limbung sebentar, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah pun menyembur keluar dari leher yang terbabat hampir buntung. Sedang seseorang lagi nampak terkesiap, tapi segera bergegas menyerang ganas.

Putri Naga Sewu menghindari tebasan golok yang begitu cepat mengurung dirinya. Beberapa kali dibenturkan pedangnya pada golok itu. Pedang yang berwarna merah bagai besi terbakar itu berkelebatan cepat, sehingga yang tampak hanya kilatan merah menyambar-nyambar.

Trang! Trang!

Dua kali terjadi benturan senjata. Dan bagaikan kilat, Putri Naga Sewu memutar pedangnya, langsung dibabatkan ke arah perut lawannya. Kibasan yang begitu cepat, tidak mampu mengelakkan lagi. Laki-laki berwajah kasar itu menjerit melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung. Darah langsung merembes deras dari perutnya yang robek. Dan belum la mampu menyadari apa yang terjadi, Putri Naga Sewu sudah melompat seraya mengibaskan pedangnya samping.

"Hiyaaat...!"

"Aaakh...!" orang itu menjerit keras.

Hanya sebentar mampu berdiri tegak, kemudia laki-laki itu ambruk tidak bangkit bangkit lagi. Sesaat tubuhnya masih menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tanpa nyawa lagi. Putri Naga Sewu berdiri tegak. Tatapan matanya tajam menusuk langsung pada perempuan tua berjubah merah yang baru kelu dari dalam rumah kecil dan terpencil itu.

"Tidak kusangka kemajuanmu begitu pesat, Pandan Wangi," ucap perempuan tua berjubah merah itu.

"Hm..., aku bukan Pandan Wangi! Aku Putri Naga sewu!" ujar Putri Naga Sewu ketus.

"Ha ha ha...! Kau bisa saja membodohi si tua bangka pencuri licik itu, bocah! Tapi jangan harap bisa menipu mata tuaku ini! Tidak ada seorang pun yang memiliki Pedang Naga Geni beserta jurus-jurus 'Naga Sewu' selain si bocah edan Pandan Wangi!"

Putri Naga Sewu tertegun mendengar kata-kata perempuan tua itu. Pelahan dimasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya yang masih tergenggam di tangan kiri. Dia tetap berdiri tegak disertai tatapan matanya yang tajam menusuk. Sementara perempuan tua berjubah merah itu melangkah pelahan mendekati, 'dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa batang tombak lagi.

"Siapa kau? Mengapa mencari eyang Jamus?" tanya Putri Naga Sewu masih terdengar ketus nada suaranya.

"He he he... Kau sudah lupa atau berlagak lupa, pandan Wangi?" perempuan tua itu terkekeh tanpa menjawab.

"Jawab saja pertanyaanku, Nenek Tua!" dengus Putri Naga Sewu.

"Hm.... Rupanya kau benar-benar sudah lupa, Pandan Wangi. Dengarkan baik-baik. Aku bernama Nyai Klenting. Datang ke sini, untuk meminta kembali Bunga Abadi yang dicuri Eyang Jamus dari saudaraku si Jari Malaikat. Saat ini dia membutuhkan bunga itu. Kau paham maksudku, Pandan Wangi?" perempuan tua berjubah merah itu tetap saja memanggil! Putri Naga Sewu dengan nama Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu-menahu masalahmu dengan Eyang Jamus. Tapi jelas aku tidak terima kau sebut Eyang Jamus sebagai pencuri. Tidak ada Bunga Abadi di rumah ini!" tegas Putri Naga Sewu. "Dan satu hal lagi. Aku bukan Pandan Wangi, tapi Putri Naga Sewu

"Hm.... Kau bisa saja merubah nama, Pandan Wangi. Tapi wajahmu tidak akan bisa berubah. Apalagi pedang itu berada di tanganmu. Maka jelaslah kalau kau adalah Pandan Wangi. Hhh...! Sebaiknya serah kan saja Bunga Abadi itu padaku. Hm..., tapi aku juga memerlukan pedang itu dan Kitab Naga Sewu."

"Bicaramu makin tidak karuan saja, Nyai Klenting. Aku menghormatimu sebagai orang tua Tapi, kalau kau tidak suka berlaku sopan, maaf saja kalau aku harus bertindak keras!" ancam Putri Naga Sewu.

"He he he. Kau mengancamku, bocah?" Nyai Klenting terkekeh meremehkan. "Jangan bangga dulu bisa menjatuhkan dua tikus busuk Mereka memang tidak berguna!"

"Aku rasa kau juga tidak lebih busuk dari mereka

"Bocah setan!" geram Nyai Klenting memuncak amarahnya. "Rupanya kau tidak bisa lagi diajak bicara heh! Terimalah seranganku! Hiyaaat...!"

Nyai Klenting tidak bisa lagi menahan amarahnya. langsung saja tubuhnya melompat sambil menusuk-kan tongkatnya yang berujung runcing. Putri Naga Sewu melompat mundur. Namun Nyai Klenting menggenjot tubuhnya seraya memutar tongkatya cepat, dan ujungnya tetap mengancam tubuh gadis itu. Terpaksa Putri Naga Sewu mencabut pedangnya kembali.

Trang! Trang!

Dua kali senjata mereka beradu, dan masing-masing melompat mundur. Tapi sesaat kemudian sudah kembali bentrok sengit. Masing-masing berusaha untuk saling menjatuhkan. Pada saat pertarungan itu berlangsung, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat. Bayangan itu langsung meluruk ke dalam kanan pertarungan, dan tiba-tiba saja Nyai Klenting memekik keras. Tubuhnya terpental jauh ke belakang.

"Eyang...," desah Putri Naga Sewu begitu melihat Eyang Jamus tahu-tahu sudah berdiri membelakanginya.

"Mundurlah, Naga Sewu. Perempuan iblis ini bukan tandinganmu," tegas Eyang Jamus

Saat itu Nyai Klenting sudah bisa bangkit berdiri. Dari sudut bibirnya menetes darah segar, yang kemudian disekanya dengan punggung tangan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk lurus ke bola mata Eyang lamus. Pelahan-lahan kakinya bergerak ke samping. Tongkat yang satu ujungnya berbentuk tengkorak kepala kerbau itu tersilang di depan dada, kemudian liputar pelahan-lahan.

"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Klenting!" usir Eyang Jamus tegas.

"Phuih! Kau pikir jauh-jauh aku datang hanya untuk kalah?! Tidak, Jamus. Aku tidak akan kembali tanpa Bunga Abadi itu!" sahut Nyai Klenting dingin.

"Bunga itu tidak ada lagi padaku. Sudah kupakai untuk menyembuhkan gadis ini," kata Eyang Jamus seraya membujuk Putri Naga Sewu.

Nyai Klenting agak tertegun. Tongkatnya berhenti berputar seketika. Ditatapnya gadis yang kini berada di samping kanan Eyang Jamus. Tatapan matanya begitu dalam, seakan akan tidak percaya dengan pendengarannya.

"Dia lebih membutuhkan daripada dirimu, Klenting. Nah, sekarang pergilah! Sia-sia saja kau datan ke sini," ujar Eyang Jamus lagi.

"Huh! Kau pikir aku percaya omonganmu, Jamus, Aku tahu siapa dia. Dan aku juga punya urusan dengannya!" agak keras nada suara Nyai Klenting. Eyang Jamus melirik Putri Naga Sewu di sampingnya.

"Pandan! Serahkan Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni itu padaku! Cepat!" bentak Nyai Klenting keras.

"Perempuan edan! Sudah kukatakan kalau aku bukan Pandan Wangi! Namaku Putri Naga Sewu, hu!" dengus Putri Naga Sewu berang. Tapi di balik keberangan itu, dia berpikir juga. Apakah dirinya benar-benar Pandan Wangi? Sudah dua orang yang menyangka dirinya adalah Pandan Wangi dalam satu hari ini.

"Klenting! Kau datang untuk meminta Bunga Abadi padaku, tapi mengapa sekarang berubah? Sudah kukatakan, bunga itu tidak ada lagi! Sudah kupakai. Dan gadis inilah yang memakainya. Apa keteranganku kurang jelas?" agak kesal juga nada suara Eyang Jamus.

"He he he.... Sekarang tidak kupedulikan lagi Bunga Abadi itu, Jamus. Yang kuinginkan sekarang, pedang dan kitab itu!" sahut Nyai Klenting. "Aku tidak peduli pada si Jari Malaikat yang kini sekarat!"

"Kau benar-benar iblis, Klenting!" desis Eyang Jamus.

Laki-laki tua berjubah putih itu tahu, siapa si Jari Malaikat. Dia adalah saudara laki-laki Nyai Klenting. Dan Eyang Jamus juga tahu, mengapa si Jari Malaikat sekarang tengah sekarat. Itu semua karena kesalahannya sendiri yang mencoba merebut Bunga Abadi dari tangannya. Bunga Abadi itu hanya satu-satunya di dunia, dan berbunga hanya setiap seratus tahun sekali. Untuk mengambilnya juga tidak mudah. Pohonnya pun hanya satu dan berada di atas Puncak Gunung Wijaya. Puncak gunung yang selalu tertutup kabut tebal dan tidak mudah didaki.

Memang sejak Eyang Jamus berhasil memiliki Bunga Abadi itu, banyak tokoh rimba persilatan yang mencoba merampasnya. Salah satunya, si Jari Malaikat Bunga itu memang berguna untuk segala macam pengobatan. Salah satunya, untuk membangkitkan seseorang dari kematian semu, seperti yang dialami gadis yang kini memakai nama" Putri Naga Sewu.

"Pergilah, Klenting. Aku tidak suka lagi mengotori tanganku dengan darah. Bunga itu sudah tidak ada lagi. Dan kalau ingin memilikinya, tunggu saja seratus tahun lagi," jelas Eyang Jamus, mulai lunak nada suaranya.

"Baik, aku pergi sekarang. Tapi urusanku dengan Pandan Wangi belum selesai!" tegas Nyai Klenting yang menyadari tidak akan mampu menandingi Eyang Jamus.

Setelah berkata demikian, Nyai Klenting langsung melompat cepat. Sebentar saja bayangan tubuh perempuan tua itu tidak teriihat lagi. Eyang Jamus menarik napas panjang, lalu melirik dua sosok mayat yang tergeletak bersimbah darah. Tatapannya kini beralih pada gadis di sampingnya. Saat itu Putri Naga Sewu juga menatap ke arahnya.

"Kau yang menewaskan mereka?" tanya Eyang Jamus.

"Eyang, apa benar aku ini Pandan Wangi?" Putri Naga Sewu tak mempedulikan pertanyaan itu, tapi malah balik bertanya.

"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," sahut Eyang Jamus sedikit mendesah.

Putri Naga Sewu terdiam. Tapi jelas terlihat kalau sedang berpikir. Kata-kata Nyai Klenting dan Mayang membuat dirinya semakin tidak tahu dirinya yang sebenarnya.

"Naga Sewu! Terus terang, kuakui kalau wajahmu mirip sekali dengan cucu sahabatku. Dan namanya pun memang Pandan Wangi. Dan aku tahu persis tentang pedang di tanganmu itu. Hhh.... Kalau kau memang benar-benar Pandan Wangi, aku hanya bisa berpesan agar hati-hati. Sebab sampai Sekarang ini masih banyak orang yang menginginkan Pedang Naga Geni dan Kitab Naga Sewu, seperti Nyai Klenting itu," jelas Eyang Jamus pelan.

"Eyang! Kau katakan aku terkubur di Bukit Karungan, sebelah Timur Kerajaan Karang Setra...."

"Benar."

"Kalau memang demikian, aku harus kembali ke sana, Eyang. Di sana, aku harus kembali dikubur selama tiga hari. Maka, hal itu bisa mengembalikan ingatan dari seluruh masa laluku," kata Putri Naga Sewu.

"Heh! Dari mana kau tahu?" Eyang Jamus terperanjat.

"Dari salah satu kitab milikmu. Maaf, aku telah lancang membacanya tanpa ijin lebih dulu padamu, Eyang," ucap Putri Naga Sewu.

"Hhh...!" Eyang Jamus menarik napas panjang.

"Apa isi kitab itu benar, Eyang?" tanya gadis itu lagi.

"Aku tidak tahu pasti. Kitab itu kutemukan di dalam sebuah goa dekat pusara Sepasang Pendekar Banyu Biru. Kitab itu memang miliknya. Hm..., kau sudah membaca semuanya?"

"Sudah."
"Bagaimana menurutmu?"

"Kalau dulu aku memang pernah diberi air susu oleh ibuku sebelum ia meninggal, ada kemungkinan kitab itu benar."

"Terlalu tinggi resikonya, Cucuku."

"Tapi mesti dicoba, Eyang."

"Dengan resiko kematian sesungguhnya?"

"Apa pun resikonya!" tegas jawaban Putri Naga Sewu.

"Sebaiknya selidikilah dulu, siapa dirimu dan kedua orang tuamu."

"Tidak akan bisa, Eyang. Hhh.... Sudah dua orang yang menganggapku Pandan Wangi. Kalau memang benar berarti aku ini putri Sepasang Pendekar Banyu Biru. Di dalam kitab itu juga disebutkan kalau putri tunggal Sepasang Pendekar Banyu Biru pernah meminum air susu ibunya sebelum meninggal.... Sedangkan sang Ibu ternyata memiliki ilmu 'Mati Suri' yang sangat langka. Ilmu itu memang ilmu turunan yang berasal dari nenek Pandan Wangi, dari pihak Ibu. Ilmu itu bisa menghilangkan jiwa dari raga untuk waktu tujuh hari. Dengan ilmu itu pula, seseorang bisa bernapas melalui pusar, atau pori-pori kulit. Sedangkan seorang bayi yang minum air susu ibunya yang memiliki ilmu itu, berarti ilmu itu akan berpindah pada keturunannya. Semua itu kuketahui dari kitab itu, Eyang," ungkap Putri Naga Sewu.

Eyang Jamus menarik napas panjang, dan tidak tahu lagi harus berkata apa. Semua isi kitab sudah dikuasai penuh oleh Putri Naga Sewu. Kitab yang berisi riwayat hidup Sepasang Pendekar Banyu Biru. Juga berisi uraian dari ilmu-ilmunya yang sangat langka dan sukar dicari tandingannya. Eyang Jamus sedikit menyesal, karena tidak menyimpan kitab itu baik-baik. Dan memang sebenarnya kitab itu tidak ada apa-apanya, tapi sudah cukup mempengaruhi jalan pikiran Putri Naga Sewu. Entah mengapa, gadis itu begitu tertarik dan meresapi seluruh isi kitab itu. Bahkan sampai hapal di luar kepala.

"Baiklah kalau Eyang keberatan. Aku tidak akan mengungkit-ungkit lagi masalah ini Biarlah aku menjadi manusia baru dengan nama baru dan kehidupan yang baru pula," ujar Putri Naga Sewu melihat Eyang Jamus diam saja.

"Bukannya keberatan, Cucuku. Tapi berilah aku waktu untuk berpikir," sahut Eyang Jamus.

"Aku tidak keberatan. Eyang. Semua keputusan ada di tanganmu"

"Akan kuberikan Jawaban dalam tiga hari ini," janji Eyang Jamus.

"Terima kasih, Eyang, ucap Putri Naga Sewu, berseri wajahnya.

"Hm...," Eyang Jamus tersenyum.

********************

Hari itu udara begitu cerah. Langit terlihat bening tanpa sedikit pun awan menggantung. Angin bertiup semilir membuat seluruh penghuni alam ini terasa dibuai oleh kenyamanan dan kesejukan. Tapi tidak demikian halnya yang dirasakan Putri Naga Sewu. Gadis itu duduk termenung di tepi sungai yang mengalir membelah Desa Banyu Biru.

Gadis itu memandang sebuah pondok yang tinggal puing-puing saja. Seluruh kayu dan batu di situ sudah hitam bekas terbakar. Putri Naga Sewu seperti teringat sesuatu di tempat ini. Tapi rasanya sukar untuk mengingat lebih jelas. Hanya samar-samar yang dapat di-rasakan. Tapi tempat ini diyakini punya kenangan tersendiri bagi dirinya. Tapi kenangan apa? Dia sendiri tidak jelas mengetahuinya.

"He he he..!"

Gadis itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara terkekeh. Begitu menoleh, tampak Nyai Klenting sudah berdiri tidak jauh darinya. Perempuan tua itu terus terkekeh seraya mengayun-ayunkan tongkatnya. Putri Naga Sewu bangkit berdiri, dan berbalik menghadap perempuan tua berjubah merah itu. Digenggamnya erat-erat pedang di tangan kirinya.

"Orang yang sudah mati tidak perlu diingat lagi, Pandan Wangi," kata Nyai Klenting masih juga menyebut Pandan Wangi pada gadis itu.

"Apa maksudmu berkata begitu, Nyai "Klenting?" ketus nada suara Putri Naga Sewu.

"He he he.... Kini aku sudah tahu, mengapa kau selalu tidak mengakui dirimu sebagai Pandan Wangi. He he he.... Kau selalu ingat dia, Pandan?" Nyai Klenting menunjuk ke kanan.

Putri Naga Sewu menoleh. Tampak seorang gadis berbaju merah menyala berdiri tidak jauh dari gerumbul semak. Gadis yang ternyata adalah Mayang itu melangkah mendekati Nyai Klenting, lalu berdiri di samping kanan wanita tua Itu

"Aku tahu, sebenarnya kau sudah mati. Tapi si tua bangka Jamus Itu menghidupkanmu kembali dengan Bunga Abadi. Bunga yang seharusnya jadi milikku!" ujar Nyai Klenting. "Tapi, biarlah! Aku tidak perlu lagi bunga busuk itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni darimu, Pandan."

"Aku jadi semakin tak mengerti pembicaraanmu, Nyai Klenting," ujar Putri Naga Sewu. Benar-benar sulit dipahami, karena dia sendiri tengah kebingungan tentang dirinya sendiri saat ini.

"Aku tidak butuh pengertianmu, Pandan! Hampir tiga purnama kau terbujur. Karena kau putri dari Sepasang Pendekar Banyu Biru, dan telah minum air susu ibumu, maka kau tidak bisa mati sesungguhnya. Kau hanya mati semu. Dan hanya dengan Bunga Abadi bisa hidup kembali, karena sudah hampir terlewat batas kematianmu yang sesungguhnya. Tapi itu tidak bisa terulang untuk kedua kali, Pandan. Sedikit saja jatuh pingsan, maka kematianmu sudah di ambang pintu. Tubuhmu juga tidak akan kuat. Kulitmu jadi peka. Jika sedikit saja tergores benda tajam, maka kau akan merasakan seperti tertusuk ribuan anak panah! Kemudian tubuhmu lemas, dan siapa saja dengan mudah dapat membunuhmu. Kecuali..., he he he.... Tapi itu tidak akan terjadi, Pandan Karena hari ini juga akan merasakan kematianmu yang sesungguhnya," panjang lebar Nyai Klenting berkata.

Putri Naga Sewu bergidik juga mendengarnya. Hal itu juga diketahuinya dari Eyang Jamus. Dan sekarang, dirinya bisa hidup kembali karena Eyang Jamus yang mengobatinya dengan Bunga Abadi. Bunga yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun.

"Nah! Sekarang bersiaplah untuk mati, Pandan Wangi! Hiyaaa...!"

"Tunggu...!"

Tapi Nyai Klenting sudah melompat menerjangnya dengan kecepatan tinggi. Putri Naga Sewu tidak bisa lagi berbuat banyak, selain menghindari terjangan itu. Bergegas dia melompat ke samping, dan bergulingan di atas batu-batu kerikil di tepi sungai ini. Tapi baru saja bisa bangkit berdiri, Mayang sudah melompat dan membabatkan pedangnya.

"Uts!"

Putri Naga Sewu tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menjatuhkan dirinya dan bergulingan beberapa kali di atas kerikil kembali. Dan dengan cepat tubuhnya melompat bangkit, langsung melesat mundur menja, jarak. Tapi Nyai Klenting dan Mayang tidak lagi memberi kesempatan. Mereka berlompatan menyerang kembali dari dua jurusan.

"Mayang! Mengapa kau menyerangku!" seru Putri Naga Sewu meminta penjelasan.

"Karena kau adalah Pandan Wangi, dan juga sebagai penghalangku untuk memperoleh Rangga!" sahut Mayang seraya melayangkan pedangnya ke arah kepala.

"Uts!"

Putri Naga Sewu merundukkan kepalanya, sehingga tebasan pedang Mayang lewat di atasnya. Tapi sebelum juga Putri Naga Sewu bisa mengangkat kepalanya, Nyai Klenting sudah menusukkan ujung tongkatnya ke arah perut. Buru buru Putri Naga Sewu mengibaskan pedang yang masih berada di dalam sarungnya di tangan kiri.

Trak!

"Ikh...!" Nyai Klenting terperanjat kaget, dan langsung melompat mundur.

Seketika wajah perempuan tua itu jadi memerah. Tangannya mendadak kesemutan ketika tongkatnya beradu dengan pedang di tangan kiri Putri Naga Sewu yang diyakininya sebagai Pandan Wangi itu. Sedangkan saat itu Putri Naga Sewu sudah melompat menghindari kibasan pedang yang meluncur ke arah kaki. Saat berada di udara, kakinya menghentak ke depan, langsung mendarat di dada Mayang.

"Akh!" Mayang memekik tertahan. Gadis berbaju merah itu terhuyung-huyung belakang beberapa Iangkah Putri Naga Sewu bersalto di udara tiga kali, lalu menjejakkan kakinya di tana berkerikil. Jaraknya cukup jauh dari kedua orang yang menyerangnya tadi.

"Dengar! Aku tidak kenal dan tidak pernah punya urusan dengan kalian. Jangan membuatku jadi bertindak keras!" tegas Putri Naga Sewu, lantang suaranya.

"Pandan Wangi! Sebaiknya serahkan saja kitab dan pedang itu Dengan demikian, urusan ini aka selesai," kata Nyai Klenting juga lantang.

"Rakus! Seharusnya kau bersiap-siap, Nyai Klenting. Umurmu tinggal sejengkal lagi!" sinis nada suara gadis itu

"Kadal! Kau memang patut mampus, bocah seta Hiyaaa...!" Nyai Klenting tidak dapat lagi menahan amarahnya, dan lantas melompat sambil berteria keras melengking tinggi.

Pada saat yang sama, Mayang juga melompat dan berputar mengambil arah lain. Kembali Putri Naga Sewu yang diyakini kedua lawannya sebagai Panda Wangi itu harus menghadapi serangan dahsyat dari dua jurusan. Serangan-serangan yang datang bagai air bah itu datang tak henti-hentinya. Tapi sunggu mengherankan, Putri Naga Sewu manis sekali dia mengimbanginya. Bahkan tidak jarang mengirimkan serangan balasan yang sanggup membuat kedua wanita itu kerepotan menghindarinya. Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Bahkan tanpa terasa sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus. Tapi nampaknya Putri Naga Sewu masih sanggup melayani kedua lawannya.

"Awas kaki...!" Tiba-tiba Mayang berseru nyaring.

"Hait...!"

Putri Naga Sewu melompat begitu meiihat kilatan pedang menebas ke arah kaki. Tapi pada saat yang sama, ujung tongkat Nyai Klenling meluruk deras ke arah dadanya. Putri Naga Sewu tidak punya pilihan lain lagi. Diloloskan pedang dan disampoknya tongkat yang runcing itu.

"Hiya...!"
Trang!

Tongkat Nyai Klenting terpental terbabat pedang Naga Geni yang berwarna merah bagai terbakar itu. Namun pada saat yang hampir bersamaan, Mayang melompat ke atas melewati kepala Putri Naga Sewu. Begitu cepat lompatannya sambil melayangkan tendangan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

Putri Naga Sewu tidak bisa lagi menghindar. Tendangan yang keras bertenaga dalam itu langsung mendarat di punggungnya. Sebentar dia memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke depan, tersuruk jatuh mencium batu-batu kerikil yang panas terpanggang matahari.

"Mampus kau, bocah setan! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras, Nyai Klenting melompat dan menghunjamkan ujung tongkatnya ke tubuh Putri Naga Sewu. Tapi tinggal seujung rambut lagi ujung tongkat itu menghunjam tubuh Putri Naga Sewu, mendadak satu bayangan putih berkelebat cepat memotong arus.

Trang!

"Akh!" Nyai Klenting memekik kaget.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu dirasakan dadanya sesak. Bahkan tubuhnya terpental ke belakang beberapa tombak jauhnya. Tapi perempuan tua itu masih juga mampu melompat bangkit berdiri. Dengusannya begitu keras ketika melihat seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih sudah berdiri tegak di samping tubuh Putri Naga Sewu yang masih tengkurap di atas bebatuan.

"Rangga ," desis Mayang terkesiap saat mengenali pemuda berbaju rompi putih itu.

Seketika wajah Mayang jadi pucat pasi. Buru-buru tubuhnya berbalik dan hendak melompat kabur. Tapi belum juga niatnya tersampaikan, satu bayangan lain meluncur deras dan menghadangnya. Mayang terperanjat setengah mati. Apalagi setelah mengenali orang yang tahu-tahu sudah berdiri tegak menghadangnya. Ternyata dia adalah Cempaka, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Cempaka...," suara Mayang terdengar bergetar.

Mayang bergegas melangkah mundur mendekati Nyai Klenting. Mereka berdiri berdampingan. Yang seorang berwajah geram penuh kemarahan, sedangkan yang seorang lagi berwajah agak pucat dan kelihatan serba salah.

"Memuakkan! Mengeroyok orang yang tidak berdaya sama sekali!" dengus Rangga dingin.

"Anak muda! Apa urusanmu di sini?!" bentak Nyai Klenting.

"Apa pula yang kau kerjakan di sini?!" Rangga malah balik bertanya.

"Heh! Aku bertanya padamu, bocah setan!" bentak Nyai Klenting gusar.

"Aku benci menjawab pertanyaan manusia iblis macam dirimu!"

"Keparat! Barangkali kau punya nyawa rangkap, sehingga berani menghinaku!" dengus Nyai Klenting semakin gusar.

"Nyawaku hanya satu, tapi mampu meredam kebiadabanmu, perempuan Iblis!"

"Kadal! Monyet buduk' Mampus kau! Hiyaaa...!"

Nyai Klenting tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya, dan langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti itu. Kebutan tongkatnya sungguh luar biasa dahsyatnya, sehingga menimbulkan deru angin bagai topan. Dan Rangga hanya mengegoskan tubuhnya sedikit, sehingga kebutan tongkat Nyai Klenting tidak mengenai sasaran. Bahkan perempuan tua itu jadi kerepotan juga menghindari pukulan yang dilepaskan secara beruntun oleh Pendekar Rajawali Sakti itu.

Sementara Rangga dan Nyai Klenting bertarung, Cempaka bergerak perlahan mendekati Putri Naga Sewu yang masih tergolek tengkurap di bebatuan kerikil. Namun matanya tidak berkedip memandang Mayang. Cempaka baru berhenti bergeser setelah dekat dengan Putri Naga Sewu. Sedikit pun dia tidak berani berpaling karena tahu kalau Mayang cukup cerdas. Gadis itu bisa memanfaatkan kesempatan yang hanya sedikit saja.

Tapi Cempaka benar benar tidak berdaya, karena tiba-tiba saja Mayang melesat kabur. Cempaka memang tidak mungkin meninggalkan Rangga. Terlebih lagi di situ tergolek seorang gadis yang entah pingsan atau sudah tewas. Cempaka belum juga memeriksa gadis itu, karena pandangannya terpaku untuk menyaksikan pertarungan itu. Ini merupakan kesempatan baginya untuk menyaksikan pertarungan dua tokoh sakti yang ternama dalam rimba persilatan.

Pertarungan terus berlangsung semakin sengit, dan Cempaka memperhatikan tanpa berkedip Dia sampai tak tahu kalau Putri Naga Sewu mulai bergerak. Gadil itu pelahan-lahan bangkit berdiri dan melangkah menjauh. Meskipun langkahnya agak terhuyung, tapi masih mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sedangkan Cempaka sama sekali tidak menyadarinya!

Sementara pertarungan antara Rangga dan Ny Klenting masih berlangsung sengit. Perhatian Cempaka semakin terpusat pada pertarungan itu. Benar-benar tidak disadari kalau gadis yang dikira masih pingsan atau sudah mati itu telah meninggalkannya diam-diam. Dan gadis itu kini berlari kencang, tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.

"Modar...!" tiba-tiba Rangga berseru keras. Dan seketika itu juga tangan kanannya bergerak ce pat mengibas ke depan. Tepat pada saat yang sama, Nyai Klenting juga menghunjamkan tongkatnya ke arah dada. Dan tongkat itu pun bertemu tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti dengan kerasnya. Saat itu Rangga memang tengah mengerahkan Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Akh...!" Nyai Klenting terpekik tertahan. Tubuh perempuan tua Itu mencelat ke samping. dan sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah melompat sambil menghantamkan satu pukulan keras ke arah kepala. Pukulan yang mengandung tenaga dalam sempurna itu tidak dapat dihindari lagi, dan langsung mcnghajar kepala Nyai Klenting.

Prak!

"Aaakh. '" Nyai Klenting menjerit melengking.

Perempuan tua berjubah merah itu ambruk dan menggelepar di tanah. Dari kepala yang pecah, mengalir darah segar Hanya sebentar Nyai Klenting berkelojotan, sebnjutnya diam tidak bergerak lagi. Rangga langsung melompat menghampiri Cempaka.

"Cempaka, mana dia...?" tanya Rangga.

"Di...," suara Cempaka terputus.

Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu jadi celingukan. Sungguh mati tidak disadari kalau gadis yang diduga sudah mati itu telah lenyap dari sisinya. Cempaka memandang Rangga dengan sinar mata penuh permohonan maaf. Rangga menepuk pundak gadis itu penuh rasa pengertian. Memang, Pendeka Rajawali Sakti belum mengenali sosok yang tergolek pingsan tadi.

"Sudahlah, kita tidak tahu siapa dia. Ayo jalan lagi," ujar Rangga lembut penuh pengertian.

"Maaf, Kakang. Aku benar benar terkesima melihat pertarunganmu," ucap Cempaka lirih.

"Ayolah! Lupakan saja," sahut Rangga.

"Ke mana lagi kita pergi, Kakang? Seluruh Desa Banyu Biru rasanya sudah dijelajahi, tapi tidak ada tanda-tanda sama sekali," kata Cempaka mulai biasa kembali.

"Aku tidak tahu," sahut Rangga agak lesu. "Oh ya. Ke mana Mayang melarikan diri?" Rangga jadi ingat Mayang

"Entahlah," desah Cempaka seraya memegang bahunya

Rangga terdiam. Kepalanya tertunduk, dan keningnya berkerut cukup dalam. Cempaka memperhatikan. Dia tahu kalau kakak tirinya ini sedang berpikir keras. Memang agak heran juga, mengapa Mayang ada di Desa Banyu Biru ini. Tapi Cempaka tidak bisa menduga-duga.

"Kakang, apakah kuda kita aman di rumah penginapan itu?" tanya Cempaka mengalihkan perhatian.

"Aku pernah menginap di sana beberapa kali. Pemiliknya sudah kenal padaku," sahut Rangga. Namun keningnya masih juga berkerut.

"Ada yang dipikirkan, Kakang?" Cempaka tidak bisa juga menahan keingintahuannya.

"Ada," sahut Rangga mendrsah.

"Tentang apa?"

"Mayang. Aku heran, untuk apa dia berada di sini? Apakah dia sudah tahu kalau kita memang di sini?" Rangga seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Barangkali juga, Kakang Masalahnya sampai sekarang dia masih tetap mengharapkanmu. Aku yakin kalau dia juga sudah tahu tentang hilangnya Pandan Wangi," Cempaka mengemukakan pendapatnya.

"Dia memang sudah tahu," kata Rangga.

"Bahaya...!" desis Cempaka.

Rangga menatap dalam-dalam gadis itu.

"Bukankah Mayang masih dendam pada Kak Pandan, Kakang? Aku pernah melihatnya sedang menimpuki pusara Kak Pandan dengan batu kerikil. Dia itu seperti sudah gila. Aku jadi menduga kalau dia berusaha mendahuluimu menemukan Kak Pandan, dan mencoba membunuhnya. Atau bahkan mungkin mencincangnya," lagi-lagi Cempaka mengemukakan dugaannya yang selama ini terpendam.

"Apa itu mungkin, Cempaka?" Rangga sedikit terpengaruh juga

"Mungkin saja. Coba lihat saja tadi. Dia sudah berani bergabung dengan orang lain yang berilmu tinggi. Sejak diusir dari Karang Setra, Mayang memang seperti sudah gila, Kakang. Terus terang saja, sebenarnya aku tahu kalau Mayang tidak jauh-jauh meninggalkan Karang Setra. Tapi aku diam saja. Aku juga sering mendapat laporan kalau Mayang selalu membunuhi gadis-gadis yang memakai baju biru. Anggapannya, gadis berbaju biru adalah Pandan Wangi. Dia begitu dendam, tapi juga licik. Segala ucapannya tidak pernah sesuai dengan hatinya."

"Sudah tahu begitu, ke ..." ucapan Rangga terputus tiba tiba. Dia langsung tertegun, seperti mendapat lintasan dalam benaknya

"Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka.

"Sebentar, Cempaka. Kalau tidak salah, gadis itu tadi juga memakai baju biru...," agak ragu-ragu nada suara Rangga.

"Memang benar," sahut Cempaka "Bahkan memegang pedang yang berwarna merah."

"Naga Geni...," desis Rangga cepat.

Tiba-tiba kenangan manis bersama Pandan Wangi terlintas di benak Pendekar Rajawali Sakti.

"Tapi, apakah mungkin?" tanya Rangga dalam hati.

Benak Rangga kini dipenuhi oleh pertanyaan ya membingungkan, sekaligus mendebarkan hatinya. Jangankan Cempaka, Rangga sendiri sukar untuk mempercayai kalau gadis yang telah mereka tolong dari maut adalah Pandan Wangi. Tapi melihat ciri-ciri yang begitu persis, mereka mulai diliputi keragu-raguan lan kebimbangan.

Sayangnya, di antara mereka tidak ada yang sempat melihat wajahnya Tapi ketika melihat pedang itu, Rangga yakln kalau pedang itu adalah Pedang Naga Geni. Tidak ada lagi pedang yang berwama merah bagai besi terbakar selain Pedang Naga Geni milik Pandan Wangi

"Apakah Pandan Wangi masih hidup? Atau ada orang lain yang... Tidak! Tidak mungkin...!" Rangga membantah sendiri pemikirannya. Perasaannya benar-benar bergolak Antara ada dan tiada. Antara rindu dan ketidakpastian.

Pendekar Rajawali Sakti itu yakin benar kalau Pedang Naga Geni terkubur bersama tubuh Pandan Wangi. Sedangkan Kitab Naga Sewu memang sudah dimusnahkan pandan Wangi di Pulau Karang, setelah menguasai seluruh jurus-jurus yang ada di dalam kitab itu. Sayangnya, waktu itu Rangga tidak sekalian mengubur kipas baja yang menjadi ciri khas Pandan Wangi. Kipas itu kini tersimpan dalam ruangan penyimpanan senjata pusaka di Kerajaan Karang Setra. Dan Rangga memang sengaja menyimpannya untuk selalu dapat mengenang gadis yang sangat dicintainya itu.

Sudah setengah harian Rangga berdiri mematung di depan jendela kamar penginapannya. Sedangkan Cempaka sudah sejak tadi keluar. Katanya ingin melihat-lihat suasana di Desa Banyu Biru ini, sambil mencari keterangan. Hampir semua orang yang melintas di depan rumah penginapan ini jadi perharian Rangga, terlebih lagi para gadis yang berbaju biru.

Dan ketika mata Pendekar Rajawali Sakti itu menatap seorang gadis yang berjalan bersama seorang laki-laki tua berjubah putih, seketika aliran darahnya berdesir kuat. Apalagi gadis itu juga membawa pedang. Maka detak jantungnya terasa lebih cepat berdenyut. Rangga menggosok-gosok matanya, setengah tidak percaya dengan yang dilihatnya ini. "Pandan...," desis Rangga.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat keluar dari jendela kamar penginapannya. Langsung dikejarnya dua orang yang dilihatnya. Tapi ke adaan jalan yang penuh orang hilir mudik, membuat langkahnya agak tertahan. Tapi Rangga terus mengerahkan pandangannya pada dua orang yang berjalan cukup jauh darinya.

"Pandan...!" teriak Rangga memanggil. Tepat pada saat itu, sebuah kereta kuda melintas di depannya. Kalau saja Rangga tidak cepat melompat ke tepi, pasti akan terlanggar kereta yang melaju cukup kencang. Padahal jalan ini bisa dikatakan begitu padat. Pandangan Rangga terhalang sesaat. Dan begitu kereta kuda berlalu, dua orang yang dikejarnya sudah tidak terlihat lagi.

Rangga bergegas melangkah cepat, dan baru berhenti setelah tiba di tempat dua orang yang dilihatnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke sekeliling, namun tidak juga menemukan dua orang yang dicari. Dia bersungut-sungut kesal, memaki kereta kuda yang lewat dan menghalangi pandangannya tadi.

Rangga menghampiri seorang penjual buah-buahan di dekatnya. Penjual buah itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ditawarkan buah semangka Yang cukup besar ukurannya, tapi Rangga menolak halus.

"Maaf, Kisanak. Aku ingin bertanya," kata Rangga sopan.

"Boleh saja, Den, tapi beli dulu buahku ini," sahut penjual buah itu.

"Baiklah. Berapa harga semangka itu?" Rangga menyerah

"Berapa saja, Den. Asal tidak rugi."

Rangga mengeluarkan sekeping uang perak, dan menyerahkannya pada penjual semangka itu. Tentu saja laki-laki setengah baya penjual buah itu terbeliak. Sekeping uang perak sudah lebih untuk memborong Semua dagangannya.

"Kisanak, apakah tadi melihat seorang laki-laki tua berjubah putih membawa tongkat bersama seorang gadis berbaju biru lewat di sini?" tanya Rangga langsung tanpa mempedulikan penjual buah yang masih terkesiap itu.

"Oh, eh.... Apa, Den?" penjual buah itu tergagap Rangga mengulangi pertanyaannya dengan sedikit kesal.

"Wah! Banyak yang lewat, Den. Tapi sepertinya Raden menanyakan Eyang Jamus...," agak ragu-ragu juga penjual buah itu menjawab.

"Eyang Jamus? Siapa dia?" tanya Rangga.

"Seorang tabib yang sangat terkenal dan sakti. Segala macam penyakit bisa disembuhkan. Bahkan dia punya ilmu yang aneh-aneh. Kalau dilihat dari ciri-ciri yang Aden sebutkan tadi, tidak ada orang lain yang memakai jubah putih bertongkat hitam selain Eyang Jamus," jelas penjual buah itu.

"Apakah tadi dia lewat sini?" Rangga ingin ketegasan.

"Baru saja, Den. Kalau memang benar Eyang Jamus yang dimaksudkan."

"Bersama seorang gadis berbaju biru?" tanya Rangga lagi.

"Hm...," penjual buah itu berpikir sejenak. " iya, Den. Kabarnya Eyang Jamus memang kedatangan cucunya dari kota. Mungkin juga tadi dia berjalan bersama cucunya.

"Ke mana perginya?"

"Arahnya ke sana...," penjual buah itu menunjuk ke suatu arah. "Pasti dia pulang, Den. Rumahnya terpencil, jauh di sana."

"Kisanak pernah melihat cucunya?" tanya Rangga semakin tertarik.

"Wah belum, Den. Itu juga hanya dengar-dengar saja. Soalnya belum ada yang pernah melihat. Hanya dengar saja, Den."

"Ya, sudah. Terima kasih "

Rangga langsung melangkah pergi.

"Eh, Den...! Buahnya...!"

"Jual saja pada orang lain!"

"Ha...!" penjual buah itu terlongong

Tapi hanya sebentar saja. Sesaat kemudian dia berjingkrak gembira. Tidak disangka-sangka, hari ini mendapat sekeping uang perak. Dengan uang itu usahanya bisa bertambah dua kali lipat! Padahal buah dagangannya saja masih begini banyak. Penjual buah itu tidak peduli dengan dagangannya yang masih banyak. Langsung saja dibenahi dan beranjak pulang penuh kegembiraan.

"Dasar rejeki nomplok! He he he...!" penjual buah itu terkekeh kegirangan sendirian, persis orang gila.

Rangga memandangi rumah kecil yang letaknya terpencil, jauh dari rumah penduduk lainnya. Rumah itu dinaungi pohon beringin yang sangat besar. Memang, cukup teduh dan nyaman. Pelahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya' mendekati rumah itu. Keakeadaannya sangat sepi, seperti tidak ada orang di dalam rumah itu.

"Silakan masuk, Anak Muda. Pintu tidak terkunci."

Rangga tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara tua yang parau dari dalam rumah kecil itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap mengayunkan langkahnya mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sebentar berhenti, kemudian tangannya mendorong pintu dari kayu itu. Suara bergerit terdengar dari engsel yang berkarat tidak pemah tersiram minyak.

Sejenak Rangga memandangi bagian dalam yang tidak begitu luas. Hanya ada sebuah dipan bambu beralaskan tikar daun pandan, dan sebuah altar baru pualam putih dengan kolam kecil yang panjang. Tidak ada lagi perabotan, kecuali sebuah lemari kecil di samping dipan bambu itu.

"Masuklah," kata seorang laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersila di batu pualam putih.

Rangga melangkah masuk, tapi hanya berdiri saja memandang laki-laki tua berjubah putih itu. Dialah yang dilihatnya tadi berjalan bersama seorang gadis yang wajahnya mirip Pandan Wangi.

"Silakan duduk, tapi tidak ada kursi di sini," kata laki-laki tua itu ramah.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya duduk bersila di lantai.

"Ada keperluan apa hingga datang mengunjungiku, Anak Muda?" tanya laki-laki tua itu tetap ramah suaranya

"Hanya ingin bertanya saja, Eyang..."

"Jamus. Panggil saja aku Eyang Jamus."

"Baiklah," desah Rangga.

"Maaf, terpaksa duduk di lantai. Di sini aku tidak pernah membedakan siapa pun. Semua yang datang ke sini kuanggap sama, meskipun seorang raja besar yang sepatutnya diberi tempat layak," kata Eyang Jamus yang sudah tahu siapa sebenarnya pemuda yang datang ke rumahnya ini.

"Tidak mengapa, Eyang," ucap Rangga maklum.

"Nah! Katakan, apa kepeduanmu sehingga sempat datang ke gubukku ini?"

"Maaf, Eyang. Aku hanya ingin bertemu cucumu," kata Rangga langsung.

"Hm...," Eyang Jamus mengerutkan alisnya hingga bertaut hampir menyatu. "Apa tidak salah alamat, Anak Muda? Aku tahu, siapa kau sebenarnya. Kau seorang raja, dan seorang pendekar temama tanpa tanding. Ada apa dengan cucuku? Apakah punya kesalahan padamu?"

"Sama sekali tidak. Aku hanya...," suara Rangga terputus.

"Teruskan," pinta Eyang Jamus.

Tiba-tiba Rangga terkesiap. Pandangan matanya lurus melewati belakang Eyang Jamus. Ternyata di sana telah berdiri seorang gadis berwajah cantik memakai baju biru dengan pedang tersampir di punggung. Sebenarnya gadis Itu biasa saja, tapi wajahnya sempat membuat Rangga tidak berkedip memandangnya.

"Pandan...," desis Rangga tanpa sadar Ingin rasanya Rangga menubruk gadis yang wajahnya mirip Pandan Wangi itu Kalau saja tidak ada Eyang Jamus, mungkin gadis itu langsung dipeluk dan diciuminya. Antara percaya dan tidak, yang jelas Rangga menyaksikan bahwa gadis itu bagaikan Pandan Wangi yang hidup kembali. Maka dengan seketika, jantungnya berdetak keras. Gelora cinta dan rindunya kian bergejolak.

Eyang Jamus segera memutar tubuhnya, dan tersenyum. Lalu diberinya isyarat agar gadis itu mendekat. Laki-laki tua itu kembali memutar tubuhnya dalam keadaan masih tetap duduk bersila. Gadis berbaju biru itu melangkah mendekati Eyang Jamus, kemudian duduk di samping altar pualam putih itu.

"Ini cucuku, Anak Muda," kata Eyang Jamus.

"Oh!" Rangga tersentak, langsung mengalihkan pandangannva dari gadis itu pada Eyang Jamus. Mata Rangga benar-benar tertutup, seperti tak memandang ada laki laki tua di hadapannya.

"Dia bernama Naga Sewu," ujar Eyang Jamus memperkenalkan

"Naga Sewu...?" gumam Rangga. Ingatan Pendekar Rajawali Sakti langsung tertuju pada Kitab Naga Sewu. Dipandanginya gadis itu lagi. Gagang pedang yang menyembul membuat pemuda itu tertegun. Tidak salah lagi! Pedang itu memang benar Pedang Naga Geni. Rangga menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Sungguh mati tidak ditemukan perbedaannya dengan Pandan Wangi. Wajah, bentuk tubuh, dan segala-galanya sangat mirip Pandan Wangi. Mungkinkah Pandan Wangi hidup kembali?

Tapi Rangga tidak percaya kalau Pandan Wangi masih hidup. Jelas kalau si Kipas Maut itu sudah tewas di tangan Purbaya. Pandan Wangi telah tewas di dalam pelukannya. Dan pusaranya selalu ditunggu selama tiga hari tiga malam. Lalu, siapa gadis di depannya ini sebenanya? Dan di mana mayat Pandan Wangi yang hilang? Macam-macam pertanyaan berkecamuk di dalam benak Rangga. Pertanyaan-pertanyaan yang sukar untuk dijawab sekarang ini.

"Anak Muda...," tegur Eyang Jamus.

Lagi-lagi Rangga tergagap kaget. "Eyang, boleh bicara denganmu berdua saja?" pinta Rangga setelah bisa menenangkan dirinya.

"Kenapa? Bukankah tadi ingin bertemu dengan cucuku?"

"Benar, Eyang. Tapi...," Rangga melirik gadis yang masih diam saja di tempatnya.

"Anak Muda. Sebenarnya maksud kedatanganmu ke sini sudah kuketahui," kata Eyang Jamus

Rangga terdiam. Kembali diliriknya gadis itu. Entah kenapa, setiap kali melirik, selalu ada perasaan yang bergejolak di hatinya. Perasaan yang sukar untuk digambarkan, tapi begitu indah jika jadi kenyataan.

"Naga Sewu, bisa kau pergi sebentar?" pinta Eyang Jamus yang bisa merasakan perasaan Pendekar Rajawali Sakti itu

Putri Naga Sewu tidak membantah, lalu beranjak bangkit dan melangkah ke luar. Tapi sempat ju melirik pada Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti! tidak bisa mengartikan lirikan gadis itu yang langsu menghilang di balik pintu. Rangga menggeser duduknya lebih mendekat lagi pada Eyang Jamus. Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti mereka berdua. Sepertinya, masing-masing tengah sibuk berbicara dalam pikirannya.

"Eyang, benarkah dia cucumu dan bernama Naga Sewu?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Bukan," sahut Eyang Jamus singkat

"Bukan...?!" Rangga tersentak. Entah kenapa tiba-tiba saja dirasakan aliran darahnya seperti terba Bahkan jantungnya kembali jadi lebih cepat berdetak.

"Aku sendiri masih belum tahu, siapa dia sebenarnya. Meskipun aku sendiri selalu dihantui dugaa Yaaah.... memang tidak bisa disangkal kalau wajahnya begitu mirip cucu sahabat karibku, si Kakek Tangan Seribu," kata Eyang Jamus terus terang.

"Siapa...?!" Rangga menggerinjang kaget mendengar nama Kakek Tangan Seribu disebut

"Nampaknya kau mengenali nama itu, Anak Muda."

"Aku sempat bertemu dengannya, Eyang. Dan pasti Eyang sudah mendengar peristiwa di Bukit Setan. Aku terlibat langsung di dalamnya. Yaaah..., memang sangat kusesalkan kematiannya," kata Rangga pelan.

"Ya, aku tahu. Justru itu kau sudah kukenal meskipun tidak kau sebutkan namamu, Rangga."

"Maafkan."
"Tidak apa."

"Hm..., Jadi Eyang juga beranggapan kalau dia itu...," kembali suara Rangga terputus. Tapi hatinya terus berkata, dan berharap kalau gadis itu adalah Pandan Wangi.

"Benar. Tapi aku tidak yakin;" sahut Eyang Jamus bisa mengerti. "Naga Sewu adalah nama pemberianku, karena dia tidak bisa lagi mengingat tentang diri dan masa lalunya. Sudah cukup lama dia terkubur..."

"Terkubur...?!" sentak Rangga memutus kata-kata yang Jamus. Hati Rangga makin diliputi perasaan tak menentu. Harapan yang semula tak mungkin, entah bagaimana caranya, harus menjadi mungkin.

"Benar, Rangga. Hampir tiga purnama Naga Sewu terkubur. Aku sendiri tidak tahu, apa sebabnya. sampai terkubur selama itu. Memang ada suatu ilmu yang disebut 'Ilmu Mati Semu'. Seseorang bisa diduga mati, padahal sebenarnya jiwanya masih hidup. Tapi setahuku, paling tahan tiga atau tujuh hari lamanya. Tapi yang terjadi pada diri Naga Sewu sungguh luar biasa! Ketahanannya hampir menyamai ilmu yang dimiliki salah seorang dari Sepasang Pendekar Banyu Biru."

"Bukankah itu orang tua Pandan Wangi...?" potong Rangga.

"Benar. Tapi aku tidak yakin kalau ibu Pandan Wangi menurunkan ilmunya pada anaknya. Karena mereka meninggal saat Pandan Wangi baru saja satu bulan dilahirkan, dan langsung dibawa oleh kakeknya. Entah ke mana, aku sendiri tidak tahu."

"Ya, aku tahu. Kakek Tangan Seribu pernah cerita padaku sebelum tewas dalam pertarungannya melawan Nenek Jubah Merah. Sayang, Kakek Tangan Seribu tidak menceritakannya lebih rinci. Juga tentang kehidupan Eyang Abiyasa yang merawat Pandan Wangi."

"Itulah yang menjadi keraguan dalam diriku, Rangga. Selama ini, kudengar kalau Pandan Wangi dibawa Abiyasa dalam pengembaraannya. Dan dia baru berada di Desa Banyu Biru setelah kakeknya itu meninggal Dalam pertarungan itu, aku sendiri tidak tahu permasalahannya. Belum lama Pandan Wangi tinggal bersama Kakek Tangan Seribu, tapi musibah sudah melanda lagi."

"Hm.... Eyang, apakah 'ilmu Mati Semu' adalah ilmu keturunan?" tanya Rangga

"Memang bisa dijadikan ilmu keturunan, tapi..."

"Kenapa?"

"Ilmu itu bisa diturunkan pada saat masih bayi melalui air susu ibunya. Dan itu pun kalau ibunya sempat menyusui paling sedikit tiga puluh kali. Setelah itu barulah ilmu itu akan menurun. Yaaah..., memang ada kemungkinan bisa semakin hebat pada keturunannya.

"Eyang! Apa tidak mungkin ketika masih bayi Pandan Wangi diberi air susu ibunya?" duga Rangga

"Rasanya mungkin juga, Rangga. Walaupun Pandan Wangi langsung dibawa Abiyasa begitu orang tuanya meninggal, tapi mungkin masih sempat disusui. Memang sewaktu dibawa pergi, tidak ada seorang pun yang tahu. Mereka seperti menghilang begitu saja, hingga Pandan sudah besar baru muncul di desa ini."

Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu terdiam. Rangga menekur memandangi lantai di depannya. Sedangkan Eyang Jamus mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih keperakan. Hampir bersamaan mereka menarik napas panjang, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dada masing masing. Persoalan yang dihadapi memang tidak mudah, karena orang-orang yang mungkin ada sangkut pautnya dengan Pandan Wangi sudah meninggal.

"Eyang, di mana letak kuburan Naga Sewu ketika itu?" tanya Rangga tiba tiba teringat kata-kata yang tadi diucapkan Eyang Jamus.

"Di sebelah Timur Karang Setra. Tepatnya di...."

"Bukit Karungan...!" selak Rangga cepat.

"Benar."

"Tidak salah lagi, Eyang. Dia pasti Pandan Wangi!" entah bagaimana caranya, Rangga berusaha memastikan kalau gadis itu adalah Pandan Wangi. Perasaannya kini meledak-ledak.

"Bagaimana kau bisa memastikan, Rangga?" tanya Eyang Jamus

"Eyang, kedatanganku ke Desa Banyu Biru memang untuk mencari mayat Pandan Wangi yang hilang dari kuburannya. Karena, kudapatkan kuburan itu sudah terbongkar," jelas Rangga singkat

"Memang aku yang membongkar kuburan itu," Eyang Jamus mengakui terus terang.

"Kenapa ?"

"Dengar dulu penjelasanku, Rangga. Hal itu kulakukan dengan berbagai pertimbangan. Aku tidak tahu sama sekali ada pusara di sana. Dan aku juga tidak tahu letak Bukit Karungan, kalau saja tidak ada petunjuk dari mimpi-mimpiku yang aneh. Yaaah.... Seandainya gagal, jenazahnya pasti kukembalikan lagi ke pusaranya semula. Tapi aku berhasil. Hanya saja gadis itu jadi seperti bayi yang baru lahir. Dia tidak tahu siapa dirinya, dan tidak bisa lagi mengingat latar belakang dan masa lalunya. Aku memang sudah menduga sebelumnya, karena ia sudah lama terkubur," jelas Eyang Jamus singkat.

"Ja... jadi, Pandan Wangi hidup lagi?" Rangga seperti tak percaya. Sinar matanya berbinar-bina memancarkan kebahagiaan yang amat sangat.

Eyang Jamus hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Dan Rangga sudah tahu maksudnya. Bahkan hampir saja dia berteriak seperti anak kecil yang menemukan mainannya kembali.

"Lalu, bagaimana untuk mengembalikan dirinya yang sesungguhnya, Eyang?" desak Rangga, seperti tidak sabar.

"Hanya ada satu cara."
"Apa?"
"Dikubur kembali "

Sejak bertemu Pandan Wangi yang kini memakai nama Putri Naga Sewu, hati Rangga yang semula berbunga-bunga, kini jadi sering murung menyendiri. Semula memang diyakini kalau Putri Naga Sewu adalah Pandan Wangi. Tapi gadis itu tetap menyangkal bahwa dirinya bukan Pandan Waingi! Bahkan tidak ingat sama sekali terhadap Rangga Memang benar kata Eyang Jamus Gadis itu bagai bayi yang baru di lahirkan.

Beberapa kali Rangga mencoba untuk mengembalikan ingatan Pandan Wangi, tapi selalu gagal. Gadis itu tetap tidak ingat dirinya yang sebenanya. Malah sekarang lebih suka dipanggil Putri Naga Sewu. Rangga tidak tahu Iagi apa yang harus dilakukan, kini Memang, tidak ada cara lain untuk mengembalikan Pandan Wangi pada keadaan seperti semula, selain yang dikatakan Eyang Jamus. Dikubur kembali sela tiga hari.

Pagi-pagi sekali Rangga dan Cempaka sudah berada dirumah Eyang Jamus. Pendekar Rajawali Sakti sudah memutuskan untuk menyetujui usul Eyang Jamus, meskipun tahu resikonya terlalu tinggi bagi keselamatan Pandan Wangi yang kini masih juga memfl| kai nama Putri Naga Sewu.

"Berangkat sekarang?" tanya Eyang Jamus.

"Baik," sahut Rangga mantap.

"Kuda dan perbekalan sudah kusiapkan," selak Cempaka.

"Bagaimana, Naga Sewu. Sudah siap?" Eyang Jamus menatap Putri Naga Sewu

"Sudah," sahut Putri Naga Sewu mantap.

"Baiklah. Ayo kita berangkat"

Empat orang keluar dari dalam rumah kecil itu. Empat ekor kuda sudah siap menanti di depan pintu. Mereka segera melompat ke punggung kuda masing-masing. Eyang Jamus menggebah kudanya lebih dahulu. Cempaka membarengi di sampingnya. Sengaja ditinggalkan Rangga dan Putri Naga Sewu di belakang. Rangga masih berusaha meyakini gadis itu sebagai Pandan Wangi Kadang kala, di benak Rangga terlintas kalau dirinya tengah berjalan bersama gadis yang dicintainya. Tapi jika teringat bahwa gadis itu lupa terhadap dirinya, hati Rangga seperti terpukul.

Empat orang berkuda itu memacu kudanya tidak terlalu cepat Memang tidak dikejar waktu. Kapan saja bisa dilaksanakan. Rangga mengendalikan Kuda Dewa Bayu di samping Putri Naga Sewu. Sesekali diliriknya gadis itu. Setiap kali pandangannya tertumpu pada wajah cantik di sampingnya, terselip suatu perasaan ganjil. Meskipun yakin kalau gadis itu adalah Pandan Wangi, tapi masih terselip keraguan di hatinya. Keraguan yang didasarkan pada keyakinannya kalau Pandan Wangi sudah tewas tiga bulan yang lalu. Dan sekarang seorang gadis yang begitu serupa segala galanya dengan Pandan Wangi tengah berkuda di sampingnya. Tidak ada sedikit pun perbedaannya.

"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang dan terasa begitu berat.

"Ada apa? Kok menarik napas?" tegur Putri Naga Sewu seraya menoleh menatap pemuda di sampingnya.

"Tidak apa-apa," sahut Rangga disertai desahan panjang.

"Kelihatannya ada yang dipikirkan," ujar Putri Naga Sewu tetap memperhatikan

"Mungkin. Tapi aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan," sahut Rangga terus terang.

"Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan diriku," tebak Putri Naga Sewu.

Rangga terkejut mendengar tebakan yang tepat itu. Secara jujur dirinya memang tengah memikirkan gadis itu. Dia cemas kalau usaha Eyang Jamus mengalami kegagalan. Itu berarti untuk selamanya tidak akan bisa bertemu Pandan Wangi lagi. Menurut Eyang Jamus, pekerjaan ini mengandung resiko nyawa bagi gadis itu. Kegagalan sedikit saja mcngakibatkan kematian yang sebenamya.

Tapi jika berhasil, maka gadis itu akan memiliki satu ilmu yang langka dan tidak ada duanya di dunia ini. ilmu yang bisa mematikan diri dan menghidupkannya kembali sesuka hati. Dan yang pasti, kekuatan ilmu untuk mati semu itu hanya selama tujuh hari. Lebih dari itu akan mati selama-lamanya.

"Boleh kutanya kau sesuatu, Kakang?" ucap Putri Naga Sewu yang sudah membiasakan memanggil Rangga dengan sebutan Kakang. Dan ini memang sudah diminta Rangga sebelumnya.

"Apa yang akan kau tanyakan?" sambut Rangga.

"Kenapa kau begitu yakin kalau aku ini Pandan Wangi?" tanya Putri Naga Sewu.

"Sukar untuk dikatakan, Naga Sewu. Tapi aku tetap yakin kalau kau adalah Pandan Wangi," sahut Rangga hati-hati.

"Apa karena wajahku yang mirip kekasihmu itu?" tebak Putri Naga Sewu.

"Mungkin salah satunya. Tapi dari cerita Eyang Jamus, kau diambil dari dalam kubur. Dan aku tahu betul kalau kuburan itu adalah kuburan Pandan Wangi. Itu sebabnya jauh-jauh mencarimu sampai ke sini."

Putri Naga Sewu diam saja.

"Aku yakin, kau adalah Pandan Wangi. Bukan Putri Naga Sewu," lanjut Rangga. Sepertinya berusaha meyakinkan gadis di sampingnya.

Putri Naga Sewu tetap diam. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Dan Rangga sendiri juga sudah tidak bicara lagi. Sementara mereka semakin jauh meninggalkan Desa Banyu Biru.

Malam sudah jatuh dalam pelukan alam. Gelap menyelimuti seluruh permukaan bumi. Saat ini bulan bersinar penuh, dan langit pun terlihat cerah. Bintang-bintang gemerlap menambah indahnya malam ini. Rangga duduk bersila di depan seonggok api unggun. Di sampingnya duduk Cempaka. Sedangkan Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu berada agak jauh dari tempat itu. Entah apa yang tengah mereka bicarakan.

"Kakang ," bisik Cempaka tiba-tiba.

"Aku sudah tahu, Cempaka. Sebaiknya beritahu Eyang Jamus dan Naga Sewu,'' kata Rangga bisa menangkap bisikan itu.

"Sejak dari Desa Banyu Biru mereka mengikuti, Kakang,'' kata Cempaka setengah berbisik.

"Benar. Aku juga ingin tahu apa maksudnya membuntuti kita," sahut Rangga kalem.

Rangga dan Cempaka menoleh. Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu datang menghampiri. Mereka duduk melingkar mengelilingi api unggun yang tidak begitu besar. Pandangan Eyang Jamus lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa yang mereka inginkan, Rangga?" tanya Eyang Jamus yang rupanya juga sudah mengetahui kedatangan tamu-tamu tidak diundang.

"Entahlah, mungkin...," Rangga melirik Putri Naga Sewu.

"Hm... Rupanya mereka masih juga menginginkan pedang ini," gumam Putri Naga Sewu. Gadis itu juga sudah tahu.

Keempat orang itu tetap duduk diam tanpa bicara-bicara lagi, namun jelas bersikap waspada penuh. Suara-suara Iangkah kaki yang begitu ringan semakin jelas terdengar. Dalam hati, Rangga menghitung tamu-tamu tak diundang itu. Ada sekitar empat atau lima orang. Dan tampaknya bukan orang-orang sembarangan. Suara Iangkah kaki itu demikian halus, dan hampir tidak terdengar. Itu sudah menandakan kalau ilmu yang dimiliki cukup tinggi. Siapa mereka...?

Belum sempat pertanyaan di dalam benak Rangga terjawab, mendadak sebatang tombak panjang meluncur deras ke arah Putri Naga Sewu. Hanya dengan sedikit memiringkan tubuh, tombak itu menancap dalam pada sebatang pohon di samping gadis itu. Sebatang tombak hitam kemerahan dan sebelum lagi keempat orang itu bisa bergerak, mendadak melesat puluhan anak panah.

Keempat tokoh rimba persilatan itu serentak berlompatan menghindari hujan anak panah itu. Meskipun serangan itu hanya sekali, namun puluhan anak panah itu cukup mengancam nyawa mereka. Sekilas, Rangga melihat sebuah bayangan berkelebat dalam semak. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mengejar.

"Hiyaaa...!"

Tepat begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti menembus semak, sebuah bayangan melesat ke atas, lalu hinggap di atas dahan. Dan belum lagi Rangga keluar dari dalam semak, dari segala penjuru bermunculan sekitar enam orang bersenjata golok dan tombak. Tanpa berkata apa apa, mereka berlompatan menyerang Putri Naga Sewu, Eyang Jamus dan Cempaka.

Malam yang semula hening tenang itu, seketika pecah oleh pekik dan teriakan pertempuran, ditingkahi benturan senjata beradu. Rangga cepat-cepat melompat keluar dari dalam semak, dan langsung terjun ke dalam kancah pertempuran itu. Tapi belum juga sempat melayangkan satu pukulan, mendadak sebuah bayangan berkelebat memotong arahnya.

"Hait..!"

Pendekar Rajawali Sakti Itu melentingkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya kini berputar beberapa kali di udara, kemudian mendarat manis di tanah. Tatapan matanya tajam menangkap sesosok tubuh perempuan tua kurus. Tongkat di tangannya, pada ujungnya berbentuk tengkorak bertanduk

"Dewi Tengkorak Hitam...," desis Rangga mengenali perempuan tua itu. Pendekar Rajawali Sakti pernah bertemu orang ini sekali ketika terjadi pertempuran di Bukit Setan. Memang sudah bisa ditebak kemunculan perempuan berhati iblis ini Yang jelas, pasti ingin merebut Pedang Naga Geni yang ada di tangan Putri Naga Sewu.

"He he he ! Kalian tidak akan pernah sampai ke Karang Setra, Dewi Tengkorak Hitam terkekeh. "Pandan Wangi! Serahkan pedang dan kitab pusaka itu!"

Namun Putri Naga Sewu yang merasa dirinya bukan Pandan Wangi, hanya diam saja. Padahal Dewi Tengkorak Hitam menatap tajam padanya.

"Phuih! Kalau aku tahu pedang itu terkubur bersamamu, sudah dari dulu kubongkar!" rungut Dewi Tengkorak Hitam.

"Kotor sekali mulutmu, Nisanak!" geram Rangga.

"Wadya Bala, serang! Bunuh mereka semua...!" seru Dewi Tengkorak Hitam keras.

Seketika itu juga enam orang bersenjata golok dan tombak, serentak berlompatan menyerang. Eyang Jamus melompat mundur memberikan kesempatan pada Putri Naga Sewu dan Cempaka untuk menghadapi enam orang.itu. Sedangkan Dewi Tengkorak Hitam segera merangsek Pendekar Rajawali Sakti. Eyang Jamus sudah dapat mengukur kalau enam orang itu tidak akan mampu menghadapi Cempaka dan Putri Naga Sewu. Seorang saja dari dua gadis itu, belum tentu dapat ditundukkan

Tidak heran kalau sebentar saja sudah terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya salah seorang dari mereka disertai simbahan darah. Belum lagi hilang suara jeritan itu, disusul jeritan lainnya. Melihat dua orang roboh dengan mudah, Cempaka melompat mundur Dibiarkan saja Putri Naga Sewu bertarung sendirian.

Meskipun tidak menghunus Pedang Naga Geni, namun Putri Naga Sewu mampu membuat empat orang lawannya jatuh bangun menghadapinya. Dan sebentar kemudian dua orang lawannya terjengkang, langsung tewas seketika. Putri Naga Sewu berteriak keras, disusul satu lompatan cepat bagai kilat. Dua pukulan dilepaskan secara beruntun. Maka, dua orang lawannya yang tersisa, tidak dapat lagi menghindar.

Bug! Bug!

Dua jeritan melengking terdengar menyayat, kemudian dua tubuh besar itu terjungkal ambruk ke tanah. Kepala mereka pecah dan dada melesak masuk ke dalam. Hanya sebentar bisa bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Putri Naga Sewu berbalik menatap Cempaka yang mengacungkan jempolnya. Kedua gadis itu berdiri berdampingan menyaksikan pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Dewi Tengkorak Hitam.

Mengetahui tinggal sendirian, Dewi Tengkorak Hitam agak gentar juga hatinya. Padahal sudah dikerahkan lebih dari dua puluh jurus, tapi belum sedikit pun dapat mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Kegentaran semakin melanda hati perempuan tua itu.

"Mayang, bantu aku...!" tiba-tiba Dewi Tengkoral Hitam berseru nyaring.

Seruan yang keras itu membuat semua orang yang ada di hutan itu terkejut setengah mati. Lebih-lebih Pendekar Rajawali Sakti, yang sampai melompat mundur menghentikan serangannya.

Cempaka langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat di balik pepohonan. Secepat kilat Cempaka melesat mengejar bayangan tadi. Dan pada saat yang sama, Dewi Tengkorak Hitam memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur. Bagaikan kilat tubuhnya melompat melarikan diri.

"Jangan lari kau! Hiyaaa...!" Gesit sekali Putri Naga Sewu melemparkan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Pedang Naga Geni yang berwama merah itu melesat cepat melebihi anak panah yang terlepas dari busur, dan langsung meluruk ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Begitu cepatnya lemparan Putri Naga Sewu, sehingga..

"Aaa...!"

Pedang Naga Geni menghunjam langsung ke punggung Dewi Tengkorak Hitam, hingga tembus ke dada. Dewi Tengkorak Hitam terjerembab jatuh mencium tanah. Dia berusaha bangkit meskipun dada dan punggungnya terpanggang pedang yang selalu diimpikannya itu. Namun belum juga mampu berdiri, Putri Naga Sewu sudah melompat cepat. Langsung saja tangan gadis itu melayang memberi satu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi.

"Hiyaaa
Prak!
"Aaa...!"

Dewi Tengkorak Hitam langsung tewas seketika dengan kepala hancur berantakan. Putri Naga Sewu menarik lepas pedangnya dari tubuh perempuan itu, kemudian menyarungkan kembali. Sebentar berdiri tegak, kemudian berbalik dan melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Eyang Jamus sudah lebih dahulu sampai di samping pemuda pendekar itu

"Mana Cempaka?" tanya Rangga yang memang tidak sempat melihat kepergian Cempaka, karena terlalu terpusat perhatiannya pada Dewi Tengkorak Hitam.

"Mengejar bayangan itu," sahut Putri Naga Sewu.

"Mayang...?"

Belum terjawab pertanyaan Rangga, tiba-tiba Cempaka muncul. Gadis itu langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Napasnya tersengal, dan wajahnya bersimbah keringat. Rangga memandangi adik tirinya ini

"Tidak ada. Cepat sekali menghilangnya," ujar Cempaka tanpa diminta memberitahu hasil pengejarannya.

"Sudahlah. Malam ini dia pasti tidak akan berani muncul lagi," kata Rangga menjamin.

"Tapi sewaktu-waktu bakal muncul kembali, Kakang. Aku yakin," bantah Cempaka.

"Aku tahu. Tapi yang jelas tidak malam ini. Entah besok atau lusa."

"Huh! Benar-benar sudah gila dia. Tidak mengukur kemampuan diri sendiri!" gerutu Cempaka.

"Sebaiknya kau istirahat saja, Cempaka. Juga kau, Naga Sewu," kata Rangga seraya memandang ke wajah gadis itu Dan setiap kali memandang, darahnya seperti berdesir hangat.

Kedua gadis itu tidak membantah. Mereka mendekati api unggun yang hampir padam. Setelah menambahkan beberapa ranting, kedua gadis itu merebahkan diri beralaskan daun tikar pandan yang dianyam halus. Sedangkan Rangga dan Eyang Jamus duduk tidak jauh di bawah pohon. Mereka duduk bersila saling berhadapan.

"Dia juga pernah datang menemui Naga Sewu. Tapi waktu itu sambil menangis dan meminta maaf. Aku sendiri tidak tahu, apa persoalannya. Dia menyebut Naga Sewu sebagai Pandan Wangi," jelas Eyang Jamus.

"Dan yang pasti Naga Sewu tidak mengakui, bukan?" tebak Rangga pasti.

"Benar."

"Mayang pasti merasa terhina, lalu mendendam. Yaaah..., persoalan lama terulang lagi," gumam Rangga pelan, seolah bicara untuk dirinya sendiri.

"Dendam lama...?"

Tanpa ragu-ragu lagi Rangga menceritakan semua yang pernah terjadi antara Mayang dengan Pandan Wangi, yang tentu saja juga melibatkan dirinya. Eyang Jamus mendengarkan penuh perhatian. Kepala laki-laki tua itu terangguk-angguk tanda mengerti. Sampai Rangga selesai bercerita, Eyang Jamus masih diam sambil terangguk-angguk seperti mengantuk.

"Rangga! Kurasa ini ancaman serius bagi pemulihan Pandan Wangi..., eh, Naga Sewu," ujar Eyang Jamus setengah bergumam.

"Itulah yang menjadi pemikiranku, Eyang," sambut Rangga.

"Yang pasti, Mayang tidak akan membiarkan gadis itu hidup kembali. Hm... Apa tindakanmu, Rangga?"

"Rencana ini tetap berjalan, Eyang. Aku bisa mengerahkan prajurit-prajurit Karang Setra untuk menjaga Bukit Karungan. Yang jelas, aku tidak akan jauh darimu. Percayalah, pekerjaanmu tidak akan mendapat gangguan yang berarti. Tapi entah dalam perjalanan ini. Mungkin juga banyak hambatan," kata Rangga mantap.

"Kau begitu bersemangat sekali, Anak Muda," Eyang Jamus tersenyum penuh arti.

Rangga jadi tersenyum kecut. Sedikit wajahnya bersemu merah. Kata-kata laki-laki tua itu sangat tepat mengenai hatinya yang paling dalam. Sejak mengetahui dan yakin kalau Putri Naga Sewu adalah Pandan Wangi, dia memang begitu bersemangat untuk mengembalikan gadis itu seperti semula. Rasanya, tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.

********************

Perjalanan yang ditempuh Rangga, Eyang Jamus, dan dua gadis Itu memang mengalami banyak hambatan. Dan kebanyakan datangnya dari tokoh rimba persilatan yang masih menginginkan Pedang Naga Geni. Tapi untunglah semua itu mampu teratasi dengan mudah. Hanya satu yang menjadi pemikiran Rangga, yakni tentang Mayang. Gadis itu belum juga jera mengundang tokoh-tokoh berkepandaian tinggi hanya untuk melaksanakan dendamnya pada Pandan Wangi

Pagi-pagi sekali rombongan kecil itu sudah tiba dl; Bukit Karungan. Mereka kini berdiri tepat di pinggir lubang bekas kuburan Pandan Wangi. Lubang itu masih menganga lebar, dan sebuah sekop masih berada di dalamnya. Saat itu Rangga meminta Cempaka kembali ke istana, untuk segera membawa prajurit-prajurit pilihan. Cempaka langsung pergi tanpa banyak tanya lagi. Dia sudah tahu maksud Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kapan dimulai," Eyang?" tanya Rangga.

"Malam nanti," sahut Eyang Jamus.

"Kenapa tidak secepatnya saja?"

"Aku mengeluarkannya malam hari, dan harus dikembalikan malam hari juga. Hm..., lagi pula aku menyiapkan diri lebih dulu."

Rangga tidak bertanya lagi. Dihampirinya Putri Naga Sewu yang sudah duduk di bawah pohon kemuning. Sedangkan Eyang Jamus menggelar tikar pandan, laki duduk bersila di dekat lubang kuburan itu. Disiapkan beberapa peralatan yang dibawanya, lalu dinyalakan pendupaan. Laki-laki tua itu duduk tepekur dengan telapak tangan merapat di depan dada. Kedua matanya terpejam rapat, dan tarikan napasnya halus teratur.

Siang terus merambat semakin tinggi. Matahari bergulir sejalan dengan peredaran waktu. Hangatnya cahaya matahari demikian terasa menyengat. Beberapa kali Rangga mendongakkan kepalanya melihat ke arah jalan, menunggu Cempaka yang pergi ke Istana Karang Setra untuk mengambil beberapa prajurit pilihan. Tapi jalan tembus ke Kota Karang Setra itu tetap sunyi. Rangga tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Sedangkan Putri Naga Sewu tampak tenang saja.

"Kau gelisah sekali, Kakang," tegur Putri Naga Sewu.

"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," desah Rangga pelahan.

Rangga menatap dalam-dalam bola mata gadis di sampingnya, sepertinya sedang mencari sesuatu di dalam mata yang bulat bening itu. Memang tidak ada yang dapat ditemukan. Tatapan mata Putri Naga Sewu begitu bening bagai mata seorang bayi yang baru dilahirkan.

"Kenapa menatapku begitu?" tegur Putri Naga Sewu sedikit jengah juga.

"Naga Sewu, apakah tidak bisa kau batalkan semua ini?" tanya Rangga ragu ragu.

"Maksudmu?" tanya Putri Naga Sewu.

"Naga Sewu, aku tidak peduli siapa namamu. Yang jelas aku yakin kalau kau adalah Pandan Wangi. Itu kuburanmu, dan kau diangkat dari sana oleh Eyang Jamus. Hhh...! Terus terang, aku cemas kalau...." Rangga seperti mengharapkan sesuatu.

"Pendirianku sudah mantap, Kakang," potong Putri Naga Sewu cepat.

"Resikonya terlalu besar, Naga Sewu," Rangga tetap membujuk.

"Apa pun yang akan terjadi, tetap kujalani. Tidak enak menjadi orang lain. Padahal kau dan semua orang mengenaliku, meskipun aku tidak tahu diriku sebenamya. Percayalah! Eyang Jamus pasti berhasil. Dia bisa membangkitkan aku dari kubur, tentu bisa juga menyempurnakan diriku."

"Ya, aku percaya padanya. Tapi...," belum Rangga melanjutkan ucapannya, tiba-tiba di sekitai bermunculan sekitar sepuluh orang bersenjata terhunus.

Rangga cepat melompat sigap mendekati Eyang Jamus yang masih duduk bersila menyatukan raga jiwa pada Sang Pencipta. Putri Naga Sewu juga segera melompat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga mengedarkan pandangannya, menatap sepuluh orang yang bergerak pelahan mendekati.

"Hm...," Rangga menggumam pelan. Saat itu dari atas pohon yang cukup tinggi, meluruk turun seorang gadis berbaju merah menyala. Kemudian disusul seorang laki laki tua dan dua orang perempuan yang hampir sebaya usianya dengan Putri Naga Sewu. Rangga mengenali mereka semua.

Yang berbaju merah, sudah pasti Mayang. Sedangkan yang laki-laki bersenjata cambuk ekor kuda adalah si Iblis Cambuk Neraka. Dan, dua orang wanita muda di samping Mayang adalah si Kembar Bidadari Maut. Mereka sudah jelas tokoh rimba persilatan dari golongan hitam. Memang sudah bisa ditebak maksud kedatangan mereka yang tiba-tiba ini. Sama sekali Pendekar Rajawali sakti itu tidak menghiraukan sepuluh orang yang bersenjata golok. Mereka adalah kroco-kroco yang pasti dibayar Mayang untuk kelancaran niatnya yang buruk pada Putri Naga Sewu.

"Kau benar, Mayang. Dia adalah Pandan Wangi. Dan pedang itu.... He he he..., pedang itulah yang selama ini kucari cari. Tidak percuma mengajakku ke sini, Mayang," kata si Iblis Cambuk Neraka gembira melihat pedang di punggung Putri Naga Sewu.

"Aku hanya menginginkan kepalanya saja, Iblis Cambuk Neraka. Kau boleh memiliki pedang itu, atau apa saja yang kau inginkan," kata Mayang tersenyum sinis pada Putri Naga Sewu.

"Bagaimana dengan janjimu, Mayang?" celetuk salah seorang gadis dari siKembar Bidadari Maut.

"Terserah kalian. Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku muak dengan kesombongannya. Huh!" Mayang mendengus sambil menyemburkan ludahnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. "Bisa kau balas kematian gurumu, si Durjana Pemetik Bunga."

"Bukan guru, tapi kakak seperguruanku," ralat salah seorang lainnya dari si Kembar Bidadari Maut.

Sementara itu Rangga yang mendengar semua percakapan mereka, menjadi geram setengah mati. Rupanya selama ini Mayang tahu semua tentang petualangan dirinya. Maka dimanfaatkanlah orang-orang yang ada hubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Terutama yang menyangkut persoalan dendam dalam dunia persilatan. Benar-benar licik gadis ini. Tidak mampu menghadapi sendiri, maka diperalat orang-orang yang memiliki dendam pribadi pada Pendekar Rajawali Sakti. Atau mereka yang haus senjata pusaka.

Rasa cinta, marah, dan benci, serta dendam dalam hati Mayang, rupanya tidak bisa terkendalikan lagi. Hati gadis itu bagai tertutup rayuan dan bujukan iblis sehingga lupa daratan dan menjadi wanita licik penuh dendam. Sungguh amat disayangkan, seorang gadis yang semula baik, polos, dan berada di jalan yang benar, kini terlibat persoalan dendam yang membuatnya jadi mata gelap. Tidak bisa lagi membedakan yang benar dan yang salah.

"Sebaiknya kalian tidak perlu membuang-buang waktu lagi. Cepat bereskan sebelum para prajurit Karang Setra berdatangan," kata Mayang.

"Keparat..!" geram Rangga dalam hati. Dia benar-benar gusar melihat tingkah Mayang kali ini.

Rangga baru sadar kalau selama ini ternyata Mayang membuntutinya mencari Pandan Wangi. Bahkan selalu bisa mengambil kesempatan untuk melampiaskan dendamnya. Rangga benar-benar tidak bisa lagi menahan amarahnya. Kebenciannya memuncak melihat tingkah Mayang yang sudah dianggapnya kelewat batas.

"Seraaang...!" seru Mayang tiba tiba.

Seruan Mayang yang keras itu membuat sepuluh orang bersenjata golok, berlompatan menyerang seketika. Golok-golok berkilat tertimpa cahaya matahari saling berkelebat mengarah ke bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan Putri Naga Sewu. Sedangkan empat orang lainnya masih berdiri memperhatikan. Terlebih Mayang, yang begitu tertumpah perhatiannya pada Putri Naga Sewu. Gadis yang diyakininya sebagai Pandan Wangi.

Trang! Trang...!
"Hiya! Yeaaah...!"

Pertarungan berlangsung sengit. Putri Naga Sewu sudah mencabut pedangnya yang berwama merah bagai besi terbakar. Dengan Pedang Naga Geni, dirinya bagai sosok malaikat pencabut nyawa. Setiap kibasan pedangnya, satu nyawa melayang. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya mempergunakan jurus-jurus ringan. Itu pun sudah menyebabkan beberapa nyawa melayang.

Meskipun hanya berdua, tapi sepuluh orang itu tidak mampu mendesak lawannya. Bahkan satu persatu mereka terjerembab jatuh, dan nyawa melayang. Tidak berapa lama pertarungan itu berlangsung. Jeritan melengking terakhir masih terdengar dari lawan Putri Naga Sewu. Gadis itu segera melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak melindungi Eyang Jamus.

"Hebat! Tapi jangan berbangga dulu. Terimalah seranganku ini. Hiyaaa...!"

Ctar!

Si Iblis Cambuk Neraka melompat cepat bagai kilat menerjang Putri Naga Sewu. Tapi sebelum cambuknya menyentuh tubuh gadis itu, dengan cepat Rangga melepaskan satu pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna sekali.

"Eh! Uts...!"

Si Iblis Cambuk Neraka terkejut setengah mati. Belum juga pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu sampai, angin pukulannya sudah terasa demikian dahsyat. Akibatnya, laki-laki berkumis tebal itu terpaksa menarik pulang serangannya, kemudian segera melenting ke atas Dan pada saat tubuhnya berada di udara, dengan cepat dikebutkan cambuknya ke arah Putri Naga Sewu kembali.

Ctar!
"Hap!"

Putri Naga Sewu tidak menggeser kakinya sedikit pun. Begitu ujung cambuk yang menyerupai buntut kuda itu berada di atas kepalanya, secepat kilat diangkat tangannya, dan ditangkap cambuk itu. Dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi, Putri Naga Sewu membetot cambuk itu ke bawah.

"Eh...!" si Iblis Cambuk Neraka tersentak kaget.

Belum juga dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, Putri Naga Sewu sudah melesat ke atas. Maka satu tendangan kilat segera dilepaskan ke dada laki-laki berkumis tebal itu. Tendangan yang cepat dan tak terduga sama sekali itu, sukar dihindarkan lagi. Apalagi, saat itu si Iblis Cambuk Neraka sedang menahan betotan Putri Naga Sewu

Bug!

"Akh...!" si Iblis Cambuk Neraka terpekik tertahan.

Seketika itu juga tubuh besar itu meluncur deras ke bawah, dan jatuh bergulingan di tanah. Tampak darah kental mengucur dari mulutnya. Iblis Cambuk Neraka bergegas bangkit, tapi tubuhnya agak limbung. Sebentar digerakkan tangannya di depan dada, lalu dikebut kebutkan cambuknya yang sama persis dengan buntut kuda.

Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, si Iblis Cambuk Neraka berlari kencang menyerang Putri Naga Sewu. Dikebutkan cambuknya kuat-kuat. Cambuk itu pun menegang kaku bagai sebatang tongkat. Bahkan ujung-ujungnya yang bagai.rambut itu menegang kaku.

"Hait..!"

Putri Naga Sewu melompat ke atas menghindari serudukan si Iblis Cambuk Neraka. Dan begitu laki-laki berkumis tebal itu lewat di bawah kakinya, dengan cepat Putri Naga Sewu menghunus pedangnya kembali. Dengan kecepatan kilat, dikibaskan pedang itu ke arah leher, dan...

Cras!

"Aaa...!" si Iblis Cambuk Neraka menjerit melengking tinggi.

Darah langsung muncrat keluar dari leher yang terpenggal buntung. Bersamaan dengan menggelindingnya kepala, tubuh si Iblis Cambuk Neraka juga ambruk sambil memuncratkan darah segar dari leher yang buntung. Putri Naga Sewu menendang tubuh tanpa kepala itu setelah mendarat di tanah.

Pada saat itu, dari kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda. Tampak Cempaka, Danupaksi, dan dua orang panglima serta sekitar lima puluh prajurit Kerajaan Karang Setra memacu kudanya cepat mendaki Lereng Bukit Karungan ini. Seketika wajah Mayang jadi pucat pasi. Bagitu pula dengan si Kembar Bidadari Maut Mereka nampak gelisah karena kini datang para prajurit Karang Setra itu.

"Rangga, persoalan ini belum lagi selesai!" kata salah seorang dari si Kembar' Bidadari Maut lantang.

Setelah berkata demikian, gadis kembar itu Iangsung melesat pergi se belum para prajurit yang dibawa Cempaka tiba. Pada saat yang sama, Mayang juga hendak melompat kabur. Tapi Putri Naga Sewu cepat-cepat menghadangnya. Belum lagi Mayang bisa berbuat sesuatu, rombongan prajurit Karang Setra itu sudah tiba. Mereka langsung berlompatan turun dari kudanya masing-masing, membentuk lingkaran mengurung Mayang.

"Kau menang, Pandan...," kata Mayang ketus.

"Tidak ada kesempatan lagi untuk membalas, Mayang!" dengus Cempaka yang sudah muak akan tingkah Mayang selama ini.

Mayang menatap Cempaka yang berjalan mendekati Putri Naga Sewu. Saat itu, Rangga dan Danupaksi berada tidak jauh di sebelah kanan kedua gadis itu. Entah apa yang dibisikkan Rangga di telinga adik tirinya itu, tapi kepala Danupaksi terangguk-angguk. Kemudian, Danupaksi mendekati dua orang berpakaian panglima, dan juga berbisik. Kedua panglima itu langsung bergerak mengatur penjagaan di sekitar Bukit Karungan ini. Hanya tinggal enam prajurit dan seorang panglima saja yang masih berada di dekat tempat itu.

"Kanda Prabu, hukuman apa yang pantas untuk perempuan setan ini?" tanya Cempaka seraya melirik penuh kebencian pada Mayang.

"Biarkan dia pergi," kata Rangga dingin dan datar.

"Apa...?!" Cempaka terkejut tidak percaya dengan pendengarannya.

Rangga memang muak dan benci terhadap tingkah Mayang. Tapi tidak mungkin untuk bertindak lebih selain membiarkan Mayang pergi. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah murid bibinya yang pernah berjasa mengembalikan Karang Setra pada ahli warisnya. Berdirinya Kerajaan Karang Setra juga tidak terlepas dari jasa Mayang. Hal itu jelas tidak akan pernah dilupakan Rangga. Sukar bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menjatuhkan hukuman berat pada Mayang.

"Kakang...," Danupaksi mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Aku tahu perasaan kalian semua. Tapi, kalian harus ingat jasa-jasanya yang tidak kecil. Meskipun sekarang ini pikirannya sedang kacau, tapi rasanya tidak patut memberikan hukuman padanya. Biarkan dia pergi," kata Rangga penuh kewibawaan.

"Kakang, dia tidak akan kapok. Pasti akan membuat perkara lagi di kemudian hari," kata Cempaka tetap tidak setuju keputusan Rangga.

"Pada dasarya dia baik, Cempaka. Aku yakin suatu saat Mayang akan menyadari kekeliruannya," kata Rangga "Pergilah kau Mayang, sebelum aku berubah pikiran."

Mayang menatap dalam-dalam pemuda yang dicintainya, sekaligus juga dibencinya. Kemudian pandangannya beralih pada Cempaka, Danupaksi, dan berakhir pada Putri Naga Sewu yang wajahnya begitu mirip Pandan Wangi. Pantas memang semua orang yang ada di Bukit Karungan ini begitu yakin kalau gadis itu adalah Pandan Wangi.

"Terima kasih kau biarkan aku pergi. Tapi, pikiranku tidak akan berubah! Aku tidak akan mencelakakanmu atau keturunanmu. Aku mencintaimu. Aku hanya membenci siapa saja yang berusaha mendapatkanmu. Itu janjiku, Kakang. Siapa saja yang mencoba mendekatimu harus mati di tanganku!" tegas nada suara Mayang.

Setelah berkata demikian, Mayang berbalik dan langsung melompat ke punggung salah seekor kuda prajurit. Dengan cepat digebahnya kuda itu. Debu berkepul tersepak kaki kuda yang berlari kericang bagai dikejar setan. Rangga dan kedua adik tirinya serta Putri Naga Sewu memandang kepergian Mayang, sampai bayangannya lenyap bersama kuda tunggangannya.

Saat itu matahari sudah tergulir ke arah Barat. Sinarnya yang terik tidak lagi terasa. Angin berhembus agak kencang. Danupaksi memerintahkan pada empat orang prajurit untuk menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara itu Rangga berdiri tegak tidak jauh dari Eyang Jamus yang masih tenang duduk bersila di pinggir liang lahat bekas milik Pandan Wangi.

Sementara Putri Naga Sewu dan Cempaka mengambil tempat yang teduh di bawah naungan pohon flamboyan. Suasana di sekitar Bukit Karungan menjadi sunyi senyap. Semua orang menunggu Eyang Jamus yang tengah mempersiapkan diri untuk memulihkan kembali Putri Naga Sewu atau Pandan Wangi.

Waktu berjalan terasa begitu lambat Sepertinya lama sekali menanti datangnya malam. Namun, pada akhirnya datang juga. Seluruh permukaan Bukit Karungan kini sudah terselimut kegelapan. Tidak ada yang menyalakan api, karena memang dilarang Eyang Jamus. Laki-laki tua Itu sudah bangun dari semadinya yang cukup panjang. Ditatapnya Putri Naga Sewu, maka gadis itu melangkah menghampirinya didampingi Cempaka.

"Sekarang waktunya, Cucuku," kata Eyang Jamus pelan.

"Kau sudah siap, Pandan?" tanya Rangga sudah menyebut gadis itu dengan nama Pandan Wangi.

Putri Naga Sewu hanya tersenyum manis, kemudian melangkah mendekati lubang itu. Eyang Jamus berkomat kamit sebentar, lalu menyipratkan sepercik air dari dalam guci ke wajah Putri Naga Sewu. Seketika itu juga mata gadis itu terpejam, dan tubuhnya menegang kaku. Tak ada lagi gerakan di dalam dirinya. Eyang Jamus kembali duduk bersila, lalu mengangkat tangannya ke arah Putri Naga Sewu.

Tak ada yang bersuara sedikit pun. Semua orang yang menyaksikan saling menahan napas. Tubuh ramping berbaju biru itu terangkat pelahan, dan rebah mengambang di udara. Pelahan-lahan tubuh Putri Naga Sewu bergerak masuk ke dalam lubang kubura mengikuti gerakan tangan Eyang Jamus.

"Kubur," perintah Eyang Jamus setelah tubuh Putri Naga Sewu terbaring di dalam lubang.

"Eyang...," ada nada cemas pada suara Rangga.

Eyang Jamus menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga jadi serba salah, kemudian memberi isyarat pada empat orang prajurit yang sudah memegang sekop. Empat prajurit itu segera bekerja menguruk lubang itu. Sedikit demi sedikit lubang itu tertimbun tanah merah. Rangga benar-benar tidak sanggup melihatnya lagi. Padahal dia sering melihat orang mati, bahkan mati terbunuh oleh tangannya. Tapi melihat tubuh gadis berbaju biru itu terkubur, benar-benar tidak tahan. Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik dan bergegas melangkah menjauh. Cempaka yang sejak tadi memperhatikan, bergegas menyusul

"Kakang, kau tidak apa-apa?" tegur Cempaka cemas.

"Tidak..., aku tidak apa-apa," sahut Rangga seraya menarik napas panjang. Padahal hatinya begitu cemas. Betapa tidak? Gadis yang dicintainya kini harus dikubur kembali, dengan resiko kematian yang sesungguhnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri tegak memandang ke arah lain. Rasanya memang tidak sanggup melihat Putri Naga Sewu yang diyakininya sebagai Pandan Wangi kembali terkubur dalam liang pusaranya. Sementara itu para prajurit sudah menyelesaikan pekerjannya. Eyang Jamus masih tetap duduk bersila dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Empat prajurit itu menyingkir menjauh setelah diberi isyarat Danupaksi.

"Paman Panglima, atur penjagaan lebih ketat lagi. Aku tidak tahu, berapa lama hal ini berlangsung," perintah Danupaksi.

"Hamba laksanakan, Gusti," sahut panglima itu seraya memberi hormat.

Danupaksi mengangguk, kemudian menarik napas seraya menoleh ke arah Rangga dan Cempaka yang berdiri membelakangi tempat ini. Pemuda itu ikut merasakan apa yang tengah dirisaukan kakak tirinya saat ini. Tapi yang jelas, dia harus bisa mengambil tindakan cepat untuk mengamankan sekitar Bukit Karungan ini.

Sementara itu Rangga duduk bersila di atas sebongkah baru besar. Cempaka berdiri tidak jauh di sampingnya. Gadis itu tidak ingin meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti itu sendirian, karena tahu kalau semua ini akan berlangsung paling tidak tiga hari lamanya. Dan selama itu mereka harus berada di sini menjaga segala kemungkinan.

"Kakang, apa tidak sebaiknya Kakang Danupaksi kembali ke istana?" usul Cempaka.

"Bicara saja pada Danupaksi, Cempaka," kata Rangga. "Aku serahkan semuanya pada kalian berdua."

Cempaka berpaling pada Danupaksi. Pada saat yang sama, Danupaksi memandang ke arah gadis itu. Danupaksi bergegas menghampiri melihat isyarat yang diberikan adik tirinya itu

"Ada apa?" tanya Danupaksi.

"Kakang minta agar kau kembali ke istana. Janga sampai kosong di sana," kata Cempaka.

"Lalu di sini?"

"Biar aku yang tangani. Atur saja pergantian penjagaan setiap pagi dan sore sampai semuanya selesai."

"Baiklah. Tapi setiap hari aku akan menyempatkan diri datang ke sini," kata Danupaksi.

Pemuda itu memberi hormat pada Rangga yang hanya diam saja dengan mata terpejam. Danupaksi bergegas mengambil kudanya. Dituntunnya kuda itu sampai jauh, lalu ditunggangi dan digebahnya cepat-cepat Cempaka menarik napas panjang. Sebentar ditatapnya Rangga yang tetap bersemadi, kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan Rangga. Gadis itu masuk ke dalam tenda yang disiapkan prajurit untuk beristirahat.

Sebenarnya ada tiga tenda yang berdiri. Satu untuk Rangga, satu untuk Cempaka, dan satu lagi untuk Danupaksi. Tapi Danupaksi kini kembali ke istana, sedangkan Rangga sudah bersemadi di atas baru di luar tenda. Sepuluh orang prajurit dan satu panglima terlihat berjaga jaga. Sedangkan empat puluh prajurit dan seorang panglima lain, berada cukup jauh di bagian lereng. Belum lagi sekitar seratus prajurit yang menjaga di sekitar kaki bukit. Penjagaan ini memang sudah diatur oleh Danupaksi untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Tiga hari sudah terlewati tanpa ada kejadian yang berarti. Saat itu malam sudah demikian larut. Dan Rangga sudah berdiri di samping Eyang Jamus yang tetap duduk bersila. Di samping Pendekar Rajawali Sakti itu juga terlihat Cempaka. Hampir lima puluh prajurit terlihat berjaga-jaga di sekeliling tempat itu.

"Bangkitlah, Cucuku. Sudah waktunya kau hidup kembali," kata Eyang Jamus dengan mata terpejam.

Kembali hening, tak ada suara sedikit pun. Mulut Eyang Jamus berkomat-kamit, kemudian menaburkan sepercik air dari dalam cawan ke atas kuburan di depannya. Tiba-tiba dia melompat cepat. Pada saat itu terdengar satu ledakan dahsyat menggelegar. Rangga dan Cempaka terkejut, dan langsung melompat mundur. Tampak kuburan itu terbongkar bagai gunung api meletus. Tanah dan bebatuan beterbangan ke udara disertai ledakan yang menggelegar memekakkan telinga.

Di antara tanah dan bebatuan yang terlontar ke atas, juga terlihat sosok tubuh ramping mengenakan baju biru. Tubuhnya juga terlontar tinggi ke udara. Eyang Jamus sigap sekali melompat, lalu menangkap tubuh ramping itu, kemudian dengan manis mendarat di tanah. Laki-laki tua itu membaringkan tubuh ramping yang bagaikan tidur pulas itu di atas tikar daun pandan. Rangga dan Cempaka bergegas menghampiri.

"Bangun, Cucuku," desis Eyang Jamus seraya memercikkan air dari dalam cawan ke wajah gadis itu. Tidak berapa lama kemudian, dada gadis itu bergerak. Sebentar kemudian kepalanya menggeleng lemah ke kiri dan ke kanan. Pelahan-lahan kelopak matanya terbuka, dan terdengarlah rintihan lirih.

"Pandan...," Rangga berlutut di samping gadis berbaju biru itu. Seperti tak percaya pada penglihatannya.

"Oh..., di mana aku...?" lemah sekali suara gadis itu.

"Pandan..., kau kenal aku?" ujar Rangga, seperti mengharapkan jawaban yang selama ini diimpi-impikannya.

Gadis itu menoleh. Sebentar dikerjapkan matanya beberapa kali. "Kakang...."

"Oh, Pandan.... Kau kembali, Pandan...."

Rangga tidak bisa lagi menahan perasaannya. Langsung saja direngkuhnya tubuh gadis itu, lalu diangkat dan dipeluknya erat-erat Rangga tak lagi mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Perasaannya yang sukar dilukiskan telah menutup matanya. Kembalinya Pandan Wangi ke dunia ini, berarti juga kembalinya perasaan cinta yang selama ini hilang. Mungkin kalau tak malu, rasanya Rangga ingin menangis haru. Rangga benar-benar tak percaya melihat kenyataan bahwa gadis yang dicintai, kini hidup kembali!

Sementara itu Eyang Jamus berdiri seraya menghembuskan napas panjang. Dimakluminya sikap Rangga yang seperti telah menemukan sesuatu yang hilang itu. Laki-laki tua itu kemudian berbalik dan melangkah menjauh. Cempaka mengikutinya dan menghadang laki-laki tua itu.

"Eyang...," agak tercekat suara Cempaka.

"Aku ingin istirahat. Di mana tendaku?" ujar Eyang Jamus.

"Oh..., itu," Cempaka menunjuk salah satu tenda.

Gadis itu lega, karena tadi dikira Eyang Jamus hendak pergi. Sementara itu Rangga membantu gadis berbaju biru itu berdiri. Kelihatan masih lemah, tapi sudah mulai nampak berangsur segar. Cempaka memandang sejenak, lalu menghampirinya.

"Cempaka...," desah gadis Itu

"Oh, Kak Pandan..."

Cempaka menghambur dan kedua gadis itu langsung berpelukan disertai seribu macam perasaan bergelut di hati mereka berdua. Rangga hanya berdiri saja. Matanya agak berkaca-kaca. Rasanya malam inilah untuk pertama kali mengenyam kebahagiaan. Tidak ada lagi kebahagiaan yang dapat dirasakannya selain malam ini. Rangga tidak tahu lagi, apa yang diucapkannya. Mulutnya seperti terkunci oleh perasaan yang sukar diucapkan. Dia hanya berterima kasih pada Hyang Widi yang telah menghidupkan kembali Pandan Wangi dari kematian semu.

Cempaka dan Pandan Wangi melepaskan pelukannya. Mereka masih saling berpandangan. Kemudian sama-sama menoleh menatap Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu melingkarkan tangannya ke pundak kedua gadis itu, lalu memeluknya dengan sejuta rasa bahagia yang berbunga di hatinya.

"Di mana Eyang Jamus?" tanya Rangga tiba-tiba teringat laki-laki tua yang telah begitu berjasa mengembalikan Pandan Wangi dalam kehidupan yang nyata.

"Istirahat di tenda," sampung Cempaka.

Rangga bergegas menuju ke tenda yang ditunjuk Cempaka. Disibakkan kain penutup pintu tenda itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tertegun, karena di dalam tenda itu tidak ada siapa-siapa Rangga mencari di tenda lainnya. Tetap saja yang dicari tidak ada. Tiga tenda semuanya kosong. Cempaka dan Pandan Wangi saling berpandangan, kemudian sama-sama menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka.

"Eyang Jamus. Dia tidak ada," sahut Rangga.

"Oh...! Ke mana perginya?" Cempaka menutup mulutnya.

"Aku tidak tahu. Hhh...! Aku harus mencarinya. Dia pasti kembali ke Desa Banyu Biru," duga Rangga.

"Aku ikut, Kakang," kata Cempaka.

"Tidak! Kau harus kembali ke istana...," Rangga menatap Pandan Wangi.

"Pandan, kau masih perlu banyak beristirahat. Aku berjanji, tak akan lama pergi. Setelah bertemu Eyang Jamus, aku pasti akan kembali bersamamu," jelas Rangga. Jiwa besar Pendekar Rajawali Sakti memang selalu begitu. Hatinya tak akan tentram bila belum mengucapkan terima kasih pada Eyang jamus.

Rangga menepuk bahu kedua gadis itu, kemudian memanggil seorang panglima yang ada di situ. Panglima itu bergegas menghampiri dan membungkuk memberi hormat.

"Panglima, malam ini juga kalian harus kembali ke istana. Jaga mereka. Pertaruhkan keselamatannya dengan nyawamu," perintah Rangga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut panglima itu seraya membungkuk hormat.

"Aku pergi dulu, Pandan, Cempaka," pamit Rangga

"Baik, Kakang," sahut kedua gadis itu hampir bersamaan.

Walaupun dengan hati berat, tapi Rangga tetap melompat ke punggung kudanya. Dan seketika itu juga Kuda Dewa Bayu melesat cepat bagai kilat menerobos kegelapan malam yang pekat. Cempaka mengajak Pandan Wangi pergi. Mereka menunggang kuda dikawal para prajurit dan panglima perang. Mereka kembali ke istana Karang Setra, dan menunggu Rangga pulang membawa Eyang Jamus yang tidak ketahuan perginya.

"Siapa itu Eyang Jamus?" tanya Pandan Wangi yang berkuda pelahan di samping Cempaka.

"Sahabat kakekmu. Katanya, juga sahabat orang tuamu, Kak Pandan. Dialah yang menghidupkan dirimu kembali dari kematian semu," jelas Cempaka singkat. Dia juga melanjutkan ceritanya tentang semua yang telah terjadi dalam upaya menghidupkan kembali Pandan Wangi.

Sedangkan Pandan Wangi yang kini benar-benar sudah pulih kembali, mendengarkan penuh perhatian. Sampai Cempaka selesai bercerita, Pandan Wangi masih diam. Sungguh tidak disangka kalau dirinya pernah mati selama tiga bulan, dan terkubur di dalam liang lahat!

"Kau tidak kenal Eyang Jamus, Pandan?" tanya Cempaka ketika dilihatnya Pandan Wangi hanya diam saja.

"Aku memang belum pernah melihat orangnya. Tapi aku tahu bahwa sebenamya dia bernama si Tabib Aneh Jari Delapan. Kudengar dia memang sahabat keluargaku. Hm..., aku tidak tahu kalau aku telah ditolong olehnya," kata Pandan Wangi.

"Mungkin karena antara kau dan dia terdapat ikatan batin. Bukankah antara keluargamu dan Eyang Jamus bersahabat karib?"

"Ya, mungkin juga," desah Pandan Wangi pelan. "Hhh.... Seandainya sudah pulih benar, pasti aku akan menyusulnya, lalu mengucapkan terima kasih."

"Kakang Rangga pasti berhasil membawanya ke istana. Aku yakin," Cempaka membesarkan hati Pandan Wangi.

"Mudah-mudahan saja."

Kedua gadis itu tidak berbicara lagi. Mereka berkuda pelahan-lahan di belakang panglima. Sedangkan sekitar lima puluh prajurit mengikuti di belakang. Sementara malam terus merayap semakin larut Dan perjalanan itu tampaknya tidak akan mengalami hambatan apa pun.

Sementara, hati Pandan Wangi pun berharap agar Rangga dapat membujuk Eyang Jamus atau si Tabib Aneh Jari Delapan ke Istana Karang Setra. Tapi yang paling diharapkan, dapat bersama-sama kembali dengan pemuda yang dicintainya. Bahkan mungkin bersama-sama mengembara lagi memerangi ke angkara murkaan. Harapan yang tidak berlebihan


SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA HANTU KARANG BOLONG

Bangkitnya Pandan Wangi

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Bangkitnya Pandan Wangi


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

"Aaauuu...!"

Terdengar lolongan panjang anjing hutan yang mendirikan bulu kuduk. Di malam yang pekat itu angin bertiup cukup kencang. Awan hitam bergulung-gulung menutupi cahaya bulan udara begitu dingin membekukan tulang. Namun keadaan alam yang nampak tidak ramah itu tak menghalangi seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah putih panjang untuk berjalan tertatih-tatih.

Sebatang tongkat kayu hitam yang berkeluk-keluk, tergenggam erat membantu langkahnya. Sesekali ditengadahkan kepalanya ke atas, memandang gumpalan awan yang semakin hitam menebal. Desahan napasnya begitu panjang dan berat Namun kakinya terus terayun setengah terseret, menapaki tanah berumput.

"Hhh..., mudah-mudahan belum terlambat," terdengar desahan pelan setengah bergumam.

Laki-laki yang usianya kelihatan telah mencapai seratus tahun itu terus berjalan tertatih-tatih menembus kegelapan malam. Dia baru berhenti melangkah setelah tiba di sebuah puncak bukit yang tidak begitu tinggi. Pandangan matanya lurus ke arah suatu tempat yang terdapat cahaya-cahaya lampu berpendar, seakan ingin mengalahkan kegelapan.

Hm..., apakah itu Karang Setra...?" laki-laki tua itu menggumam bertanya pada dirinya sendiri.

"Aaauuu...!"

Kembali terdengar lolongan anjing hutan yang panjang dan menyayat hati. Laki-laki tua itu kembali menengadahkan kepalanya. Kakinya kembali melangkah pelahan-lahan, lalu kepalanya tertunduk mem-perhatikan ujung-ujung kakinya yang bergerak terseret Sebentar kemudian kepalanya mcnoleh ke kanan dan ke kiri. Kedua matanya yang cekung tampak tajam menatap sekelilingnya, tanpa sedikit pun berkedip.

"Aku yakin, di sinilah tempatnya Hhh...! Mimpi itu jelas sekali. Aku yakin itu bukan sekedar mimpi. Aku melihat.... Begitu jelas. Oh, Dewata Yang Agung..., mudah-mudahan aku belum terlambat," desisnya lirih.

Laki-laki tua berjubah putih panjang dan hampir menyentuh tanah itu, kembali berhenti melangkah. Tatapan matanya lurus pada satu tempat di bawah pohon besar dan rindang. Tampak sebuah gundukan tanah yang dikelilingi bcberapa batu.

Pelahan-lahan laki-laki tua itu melangkah mendekati, kemudian berhenti dan berdiri tegak di samping gundukan tanah itu Terdengar tarik. napasnya yang panjang dan berat. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tatapan matanya tajam beredar ke sekeliling.

"Benar! Di sini tempatnya. Aku yakin, itu bukan hanya sekedar mimpi. Hhh..., mudah mudahan masih bisa kuselamatkan," desah laki-laki tua renta itu.

Pelahan-lahan dia menjulurkan ujung tongkatnya ke atas gundukan tanah itu, lalu ditekan hingga masuk hampir setengahnya. Pelahan kemudian, ditariknya kembali tongkat itu. Terdengar lagi tarikan napas panjang, namun kali ini bernada kelegaan pada hembusan napasnya. Sinar matanya tidak lagi redup. Raut wajahnya pun nampak bersinar dan bibimya menyunggingkan senyum

Laki-laki tua itu membuka jubahnya, dan melemparkan begitu saja.'Kini dia hanya memakai baju ketat warna biru tua. Di punggungnya tampak sebuah alat berbentuk sekop yang terikat Laki-laki tua renta itu membuka tali yang mengikat sekop, dan langsung menggali gundukan tanah

Dari caranya menggali, sudah dapat dipastikan kalau laki-laki tua itu bukanlah orang sembarangan. Tenaganya begitu kuat. dan gerakannya cepat luar biasa. Dia terus menggali meskipun titik-titik air hujan mulai jatuh merinai. Semuanya tidak dipedulikan, sampai seluruh tubuhnya hampir tenggelam dalam lubang yang digalinya. Sebentar masih terlihat tanah terlempar ke luar, kemudian tidak teriihat lagi sesuatu yang terlempar dari dalam Iubang itu.

Bahkan dari dalam lubang itu melesat bayangan yang langsung mendarat di tepi lubang. Tampak laki-laki tua itu sudah berdiri tegak memondong sesosok tubuh yang kotor oleh tanah merah berair. Sukar untuk dikenali tubuh dalam pondongan itu. Sebentar laki-laki berusia lanjut itu memandang ke dalam lubang, kemudian membungkuk memungut jubahnya.

"Kau belum mati dan akan hidup kembali, Cucu ku," kata laki-laki tua itu pelan, namun terdengar mantap suaranya. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja laki-laki tua renta itu melesat cepat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah menghilang ditelan kegelapan malam yang sangat pekat. Tepat pada saat itu di angkasa, kilat menyambar terang. Hujan pun turun dengan derasnya, bagai ditumpahkan dari langit.

********************
Sementara itu pada saat yang sama, di sebuah kamar penginapan di luar Kota Kerajaan Karang Setra, seorang pemuda nampak gelisah dalam tidurnya. Wajahnya yang tampan dan rambutnya yang panjang terurai, nampak seperti kusut. Keringat membasahi se-luruh wajah dan tubuhnya. Dan tiba-tiba saja...

"Tidak..!" Pemuda itu menjerit keras, dan langsung terbangun duduk.

Napas pemuda itu terengah engah. Wajahnya teriihat pucat pasi. Untuk beberapa saat dia hanya ter-duduk dan pandangannya kosong Tangannya menyeka keringat yang membanjiri wajah, kemudian meraih sebilah pedang yang tergeletak di sampingnya. Digeser tubuhnya, lalu duduk menjuntai di tepi pembaringan. Angin malam yang dingin menerobos masuk dari jendela yang terbuka lebar.

Pemuda itu bangkit berdiri dan melangkah ke jendela, kemudian berdiri mematung sambil memandang ke luar. Langit tampak hitam, dan hujan turun bagai ditumpahkan dari langit Begitu derasnya, sehingga menimbulkan suara bergemuruh. Kilat menyambar angkasa, membuat a lam jadi terang untuk sesaat.

"Hhh...! Aku bermimpi...," keluh pemuda itu pelan.

Angin malam yang dingin membawa tumpahan hujan, membuat tubuh pemuda itu menggigil sedikit Ditutupnya jendela kamar sewaan. Seleret cahaya kilat kembali menyambar angkasa. Pemuda itu tidak jadi menurup jendela. Pandangannya lurus menatap ke arah bukit yang melatarbelakangi Kerajaan Karang Setra. Bukit yang nampak hitam dan teriihat angker.

Lama juga pemuda Itu menatap ke arah bukit itu. Setelah menarik napai panl^ng, kemudian ditutupnya jendela kamar sewaannya Dia berbalik dan melangkah kembali mendekati pembaringan, lalu duduk di situ.

"Hampir tiga purnama aku tidak menginjakkan kaki lagi di sini. Hhh Entahlah, kenapa aku kembali lagi ke sini? Mimpi itu" pemuda itu bergumam sendiri. Beberapa kali dHarlknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat

Dia masih duduk termenung sambil memandang kosong ke depan. Keringat kembali menitik membasahi wajahnya. Dengan punggung tangan kiri, diseka keringat itu, lalu kembali ditarik napas panjang, seakan-akan ingin dilonggarkan dadanya. Bisa dirasakan kalau detak jantungnya demikian cepat Bahkan perasaannya jadi tidak menentu. Pemuda itu sendiri tidak tahu, kenapa beberapa hari ini jadi gelisah seperti ini? Sehingga, tanpa disadari dirinya berada kembali di Kerajaan Karang Setra.

Karang Setra adalah satu tempat yang begitu banyak menyimpan kenangan. Baik kenangan manis maupun pahit Tempat yang tidak akan pemah dilupa kan selama hidupnya. Di sini dia dilahirkan, di sini pula leluhumya terdahulu lahir dan meninggal. Pemuda itu kembali bangkit berdiri dan berjalan mendekati meja yang terletak di samping pintu. Diambilnya kendi dan diteguknya air bening dalam kendi itu.

"Hhh..., aku tak pernah percaya dengan mimpi. Tapi mimpi ini.... Sudah beberapa hari selalu datang, dan selalu sama! Apakah..., ah tidak!" pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berbalik dan kembali menuju ke pembaringannya. Dia duduk kembali di tepi pembaringan itu, dan merebahkan tubuhnya. Tapi pedang di punggungnya membuatnya tidak nyaman. Dilepaskan pedangnya, dan diletakkan di sampingnya. Tapi tangan kirinya masih memegangi gagang pedang berkepala burung itu

Glarrr...!

Guruh menggelegar kencang, membuat pemuda itu terlonjak bangkit berdiri. Seketika cahaya kilat memendar di angkasa, membuat kamar yang hanya diterangi sebuah pelita kecil itu sesaat jadi terang benderang. Dan pada saat itu, mata pemuda itu menangkap adanya kelebatan bayangan di depan jendela.

Bergegas dia melompat ke jendela, dan langsung membukanya lebar-lebar. Tapi bayangan itu sudah tidak teriihat lagi. Hanya angin dingin dan curahan hujan saja yang menyambutnya. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun hanya kegelapan saja yang teriihat. Tidak ada lagi bayangan berkelebat yang dilihatnya sekejap tadi.

Cras!

Kembali seleret cahaya kilat menyambar langit, disusul suara guruh memekakkan telinga. Pada saat itu, mata pemuda itu tertumbuk pada sosok tubuh yang berdiri di bawah pohon yang cukup besar dan berdaun rimbun. Pohon itu terletak di seberang jalan, dan jaraknya cukup jauh dari rumah penginapan ini.

Tapi sosok tubuh Itu terlihat hanya sekejap saja. Begitu kilat kembali menyambar, sosok tubuh itu sudah tidak teriihat lagi Pemuda itu jadi tertegun, lalu berdiri mematung di dipan jendelanya. Perasaannya yang halus, langsung menangkap kalau dirinya tengah diawasi seseorang. Tidak jelas , siapa dan apa maksudnya orang itu mengawasi.

Pagi begitu cerah. Langit bening tanpa awan sedikit pun menggantung di angkasa. Matahari bersinar penuh menghangati seluruh Kerajaan Karang Setra yang semalaman terguyur hujan lebat. Meskipun tanah berlumpur, namun seluruh penduduk Karang Setra tetap melakukan tugasnya masing-masing. Pagi ini kehidupan kembali berjalan setelah semalaman bagaikan mati.

Dari dalam sebuah kamar penginapan, keluar seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang meriap terikat kain berwarna putih, sewarna dengan bajunya yang tanpa lengan. Bagian dada dan perutnya terbuka lebar, menampakkan bentuk otot yang kuat dan tegap. Pemuda itu melangkah ringan, keluar dari rumah penginapan menuju halaman. Ayunan kakinya seperti terlihat pelahan, tapi kecepatannya melebihi orang berlari

Tidak ada seorang pun yang memperhatikan. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tapi, rupanya ada seorang yang selalu memperhatikan dari balik tudung tikar yang besar, sehingga menutupi sebagian wajahnya.

"Aku harus segera sampai ke sana. Perasaanku semakin tidak enak. Aku yakin, mimpi-mimpi itu bukan sekedar mimpi biasa. Jelas itu merupakan petunjuk yang membawaku kembali ke sini," pemuda itu bergumam dalam hati.

Langsung dikerahkan ilmu lari cepat begitu berada di luar pemukiman penduduk Ilmu meringankan tubuhnya memang Hungguh luar biasa, sehingga lari-nya bagaikan terbang saja. Sepasang kakinya seperti tidak menapak tanah, sukar untuk diikuti mata biasa. Begitu cepatnya bettari, sehingga yang nampak hanya sebuah bayangan putih berkelebatan cepat di antara pepohonan.

"Oh, tidak...!" pekik pemuda itu begitu sampai di suatu tempat, pemuda itu mendadak menghentikan larinya.

Kedua bola matanya membeliak lebar dan mulutnya menganga. Wajahnya tampak kosong. Langkah-nya pelahan-lahan mendekati sebuah lubang yang cukup besar dan dalam. Di sekitar lubang itu terdapat tanah basah merah yang sepertinya habis digali. Batu-batuan yang mengelilingi lubang itu masih teriihat

"Oh...," pemuda itu mengeluh lirih, langsung jatuh berlutut di tepi lubang itu

Tampak bahunya berguncang, tapi tidak terdengar sedikit pun suara dari bibimya yang bergeter. Kepala nya menggeleng-geleng beberapa kali. Tangannya memukul-mukul tanah, tapi tidak juga terdengar suara dari bibirnya yang bergetar semakin hebat.

"Bajingan keparat " tiba tiba saja dia berteriak keras.

Sesaat kemudian. tubuhnya jatuh bersujud di tepi lubang itu. Jari-jari tangannya mencakar-cakar tanah di sekitar lubang itu. Sama sekali tidak disadari kalau ada seseorang yang menghampiri pelahan-lahan dari belakang. Orang bertudung lebar dan berbaju merah menyala itu berhenti melangkah setelah jaraknya cukup dekat dengan pemuda itu

"Kakang...," terdengar suara lembut

Pelahan guncangan pada bahunya mulai mereda, kemudian terhenti sama sekai Pelahan-lahan pula kepalanya bergerak terangkat, lalu menoleh ke belakang. Dan begitu melihat ada seseorang di belakangnya, tubuhnya langsung melompat dan berdiri.

"Siapa kau?" bentak pemuda itu kasar. Nampak kedua bola matanya merah dan merembang berkaca kaca. Wajahnya juga menegang bagai menyimpan sesuatu yang hampir tidak tertahankan.

"Kakang Rangga...," lembut sekali suara orang, bertudung besar itu. "Kau tidak lagi mengenali suaraku, Kakang?"

Pemuda itu tertegun sesaat Dipandangi orang bertudung dan berbaju merah menyala itu. Sebilah pedang panjang tergantung di pinggangnya. Dari kulit tangan dan kakinya, dapat diketahui kalau orang itu adalah wanita. Apalagi juga teriihat tonjolan indah pada dadanya. Dan suaranya begitu lembut, namun terdengar agak tertahan.

"Mayang..." delik pemuda itu tidak percaya.

"Aku senang kau masih ingat suaraku, Kakang," ucap wanita itu seraya membuka tudungnya.

Pemuda itu menggeser kakinya ke samping beberapa tindak. Hampir tidak dipercaya apa yang dilihatnya kini. Di balik tudung tikar yang besar, tersembunyi seraut wajah cantik. Namun, matanya teriihat sendu bagai tidak memiliki gairah hidup lagi Wanita itu melemparkan tudungnya begitu saja

"Aku Mayang, Kakang Rangga," ujar wanita itu menyebutkan namanya. "Kau tidak lupa denganku, kan? Aku Mayang...."

"Tidak! Aku tidak akan pernah melupakan manusia yang paling kubenci di dunia ini!" ketus jawaban pemuda yang memang tidak lain adalah Rangga, atau yang terkenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti

Wanita yang ternyata benama Mayang itu menangis terisak. Tapi cepat-cepat dihapus air matanya. Sebentar ditarik napasnya dalam-dalam, seakan menghendaki adanya kekuatan dalam dirinya. Tatapan matanya tetap sendu tanpa gairah kehidupan sedikit pun.

"Hampir tiga purnama aku selalu mencarimu, Kakang. Meskipun aku tidak jauh meninggalkan Karang Setra. Aku yakin, suatu saat kau pasti akan kembali. begitu lama kau kurindukan, untuk menyesali semua kesalahanku. Kakang..., aku tidak kuat menerima hukumanmu ini. Maafkan aku, Kakang. Maafkan aku...," agak tersendat suara Mayang diselingi isaknya yang tertahan. Dia memang selalu berusaha untuk tidak menangis.

"Aku tahu siapa kau. Mayang. Aku memang tidak percaya kau bisa selicik itu tapi semua sudah terjadi. Keinginanmu sudah tercapai Pandan Wangi sudah mati, dan sekarang kuburnya ada yang membongkar! Kau puas sekarang, Mayang dingin kata-kata Rangga.

"Maafkan aku, kakang ," Mayang tidak bisa lagi membendung tangisnya yang meledak seketika itu juga.

"Untuk apa menangis, Air matamu tidak akan dapat mengembalikan Pandan Wangi!" dengus Rangga ketus.

Mayang menyusut air matanya dengan punggung tangan kiri. Sekuat tenaga berusaha untuk tidak menangis, namun isaknya masih juga terdengar tertahan. Kini jelas sudah, tidak ada gunanya merengek dan menangis di depan Pendekar Rajawali Sakti ini. Pemuda yang begitu dicintai sudah terlanjur membencinya setengah mati Dan itu akibat cemburu buta pada Pandan Wangi, sehingga gadis itu tewas di tangan seorang buronan yang paling berbahaya di Karang Setra. (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah Darah Pendekar)

Rangga berbalik dan melangkah cepat mening-galkan tempat itu. Digunakannya ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah begitu jauh meninggalkan tempat itu.

"Kakang...!" teriak Mayang keras. Gadis itu langsung berlari mengejar. "Maafkan aku, Kakang...! Maafkan aku...! Aku mencintaimu, Kakang. Sungguh...!"

Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja melangkah, bahkan kini berlari cepat dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf sempurna. Dia benar-benar benci terhadap gadis itu. Terlebih lagi setelah menyaksikan kuburan Pandan Wangi terbongkar. Sia-sia saja bagi Mayang untuk mengejamya. Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu berhenti mengejar dan jatuh berlutut di rerumputan yang basah.

"Oh, Kakang... Sampai kapan pun kau tetap akan kucari. Aku mencintaimu, Kakang. Aku mencintaimu...," rintih Mayang seraya terisak.

********************

Suasana di Istana Karang Setra tidak seperti biasanya. Meskipun Rangga yang merupakan raja di tempat itu telah kembali dari pengembaraannya, tapi tidak mampu mengusir kemendungan yang menyelimuti seluruh Karang Setra. Sudah tiga hari ini Pendekar Rajawali Sakti barada di istananya kembali. Dan selama itu selalu duduk termenung di dalam kaputren.

Seluruh pembesar, panglima, patih, maupun punggawa dan prajurit di kerajaan itu sudah mengetahui permasalahan yang membuat raja mereka selalu murung dan menyendiri. Memang sudah jadi kelaziman bila rajanya diliputi kedukaan, maka seluruh rakyat ikut merasakan pula. Terlebih lagi bila mereka semua mencintai rajanya. Kemurungan dan wajah mendung bukan saja tersirat di lingkungan istana, bahkan sudah menyebar ke seluruh pelosok Kerajaan Karang Setra.

Pagi itu sepasukan prajurit yang dipimpin langsung Panglima Wirasaba memasuki pintu gerbang istana. Panglima itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya, dan berlari-lari memasuki istana yang megah. Tapi belum saja memasuki balariung, langkahnya sudah dicegat Danupaksi, adik tiri Rangga selain Cempaka.

"Salam sejahtera, Gusti Danupaksi," Panglima Wirasaba memberi sembah.

"Bagaimana, Paman Panglima? Sudah dapat petunjuk?" tanya Danupaksi langsung.

"Belum, Gusti. Tapi hamba sudah menyebar puluhan telik sandi dan ratusan prajurit. Mereka hamba perintahkan untuk pencarian tidak terbatas, Gusti," sahut Panglima Wirasaba

Belum lagi Danupaksi melanjutkan pertanyaannya, muncul Cempaka dari dalam ruangan Balai Sema Agung. Gadis itu langsung menghampiri dan berdiri di samping kakak tirinya itu Panglima Wirasaba memberikan sembah dengan merapatkan tangan di depan dada dan tubuh sedikit membungkuk

"Kakang, Kakang Prabu tidak menyentuh makanannya sedikit pun," kata Cempaka sendu.

"Hhh..., sudah dua hari ini Kakang Prabu tidak makan," desah Danupaksi.

"Aku khawatir, Kakang," Cempaka mengemukakan kecemasannya.

"Kita semua khawatir, Cempaka. Kakang Prabu tidak akan kembali seperti semula kalau masalah ini belum terselesaikan Yaaah..., bisa kurasakan apa yang dirasakannya sekarang. Memang tidak mudah menerima kenyataan seperti ini. Dan semua ini kesalahanku! Seharusnya kutempatkan beberapa prajurit untuk menjaga pusara Pandan Wangi," ujar Danupaksi lirih.

"Gusti...," selak Panglima Wirasaba.

"Ada apa, Panglima," Danupaksi menatap laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Dari seorang telik sandi, hamba mendapat laporan bahwa Gusti Ayu Mayang terlihat di sekitar Kadipaten Majalayu. Bahkan kadang-kadang juga terlihat di Desa Pegaringan, dan di Bukit Karungan itu, Gusti," lapor Panglima Wirasaba.

"Mayang...?!" Cempaka menatap Panglima Wirasaba dalam-dalam.

"Benar, Gusti Ayu."

"Bukankah Mayang tidak lagi diperkenankan berada di wilayah Karang Setra ?" Cempaka seperti bertanya pada dirinya sendiri

"Benar, Gusti Ayu tapi dari beberapa penduduk yang melihat, kehadiran Gusti Ayu Mayang bersamaan waktunya dengan kepulangan Gusti Prabu Rangga," ujar Panglima Wirasaba lagi

Cempaka menatap kakak tirinya. Sedangkan yang ditatap hanya diam dengan pandangan menerawang jauh.

"Di mana dia sekarang'''" tanya Danupaksi setelah lama berpikir.

"Menurut laporan terakhir, sekarang ini berada di perbatasan Utara, Gusti," jawab Panglima Wirasaba.

'Paman Panglima! Siapkan kuda untukku, dan beberapa prajurit pilihan," perintah Danupaksi.

"Hamba, Gusti."

Panglima Wirasaba memberi hormat, lalu bergegas melangkah pergi. Danupaksi berbalik, tapi langkahnya terhalang Cempaka. Dan belum lagi gadis itu membuka mulut, dari dalam ruangan Balai Sema Agung muncul Rangga. Kedua kakak beradik tiri itu langsung berbalik dan memberi hormat. Rangga berdiri tegak disertai pandangan mata kosong.

"Telah kudengar semua pembicaraan kalian," kata Rangga datar.

"Ampun, Kakang Prabu," sembah Danupaksi.

"Untuk apa menemui Mayang, Danupaksi?" tanya Rangga.

"Hanya mencari keterangan, Kakang," sahut Danupaksi.

"Kuhargai usaha kalian. Tapi, Ini persoalan pribadiku. Kalian tidak perlu bersusah-payah mengirim telik sandi dan ratusan prajurit," tegas Rangga, tetap datar suaranya.

Danupaksi menatap Cempaka, kemudian memberi sembah. Rangga mengayunkan kakinya keluar dari ruangan depan istana ini, lalu berhenti setelah berada di ujung tangga masuk istana. Danupaksi dan cempaka mengikuti. Beberapa prajurit membungkuk memberi hormat

"Danupaksi, siapkan kudaku," perintah Rangga.

"Kakang...," Danupaksi tampak kebingungan.

"Kau belum tuli, bukan?!"

"Ampun, Kakang Prabu. Hamba segera laksanakan."

Danupaksi bergegas melangkah menghampiri seorang prajurit. Dia berkata sebentar, dan prajurit itu berlari-lari pergi. Danupaksi kembali lagi mendekati kakak tirinya itu. Cempaka masih berada di samping Pendekar Rajawali Sakti itu, yang juga raja di Karang Setra ini.

Tidak berapa lama, prajurit yang diperintah Danupaksi datang membawa seekor kuda hitam. Pada waktu yang bersamaan, Panglima Wirasaba juga datang menuntun kuda yang diminta Danupaksi. Panglima dan prajurit itu membungkuk dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada.

Rangga langsung melompat ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa bayu, dan yang tidak akan pemah berpisah darinya Kuda itu dapat mengetahui, di mana majikannya berada, meskipun terpisah cukup jauh. Dan Rangga juga cukup bersiul untuk memanggil kudanya kalau tengah mengembara.

"Kakang, aku ikut!" seru Cempaka langsung melompat ke punggung kuda yang dibawa Panglima Wirasaba. Padahal kuda Itu semula untuk Danupaksi.

Rangga tidak menjawab, dan segera menggebah kudanya dengan cepat Kuda dewa Bayu meringkik keras, lalu berlari kencang menuju ke pintu gerbang. Cempaka langsung menggebah kudanya menyusul, sedangkan Danupaksi hanya terbengong. Dua ekor kuda menerobos pintu gerbang yang dibuka tergesa-gesa oleh dua orang prajurit penjaga. Sebentar saja kedua kuda itu sudah lenyap dari pandangan.

Rangga terus memacu kudanya dengan cepat; menuju Bukit Karungan. Bukit yang tidak terlalu tinggi dan mudah untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti itu baru menghentikan lari kudanya setelah sampai pada suatu tempat, yang terdapat sebuah lubang besar dan dalam. Rangga melompat turun dan melangkah mendekati lubang itu. Dia berdiri tegak sambil memandang ke dalam lubang. Terlihat sebuah sekop di dalam sana.

Cempaka yang mengikuti, juga bergegas turun dan menghampiri. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Gadis itu tidak sanggup melihat ke dalam liang lahat. Dipalingkan mukanya, dan berjalan mundur beberapa langkah.

"Kakang..." pelan suara Cempaka memanggil. "Hhh...." Rangga menarik napas sambil memba-likkan tubuhnya, lalu berjalan menghampiri Cempaka.

Sebentar Rangga menatap gadis itu, dan kembali berjalan mendekati kudanya. Cempaka buru-buru mengejar, dan menahan Rangga yang akan naik ke punggung kuda hitam itu. Dipegangi tali kekang Kuda Dewa Bayu dekat mulutnya. Rangga tidak jadi naik, tapi malah menatap tajam pada gadis itu.

"Kembalilah, Cempaka. Ini bukan urusanmu, kata Rangga tegas.

"Tidak, Kakang. Bagaimanapun juga aku ikut bersalah atas kejadian ini. Semua ini karena kelalaianku, Kakang Danupaksi, dan semuanya. Kalau saja aku atau Kakang Danupaksi menempatkan beberapa prajurit di sini, pasti pusara Kak Pandan Wangi tidak demikian jadinya," tegas Cempaka.

"Cempaka...."

"Meskipun Kakang melarang ikut, tapi aku tetap akan mencari siapa pencuri mayat Kak Pandan!" sentak Cempaka cepat memotong.

Rangga menarik napas panjang dan dalam. Dia naik ke punggung kudanya sambil terus menatap Cempaka yang masih berdiri memegangi tali kekang Kuda Dewa Bayu pada mulutnya.

"Naiklah ke kudamu, Cempaka," kata Rangga mendesah.

Cempaka tampak gembira, dan bergegas melompat ke atas punggung kudanya Dan kedua orang itu kembali berpacu cepat Tapi baru saja mereka pergi, tiba-tiba Rangga menghentikan lari kudanya, lalu berbalik menghampiri bekas makam itu. Cempaka jadi keheranan, dan hanya mengikuti dari belakang. Rangga kembali turun dari punggung kudanya, kemudian meneliti sekitar liang bekas pusara Pandan Wangi itu.

Cempaka yang masih berada di punggung kudanya segera mengambil tali kekang Kuda Dewa Bayu yang ditinggal begitu saja oleh Rangga. Diikutinya Iangkah Rangga yang berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Pelahan-lahan namun pasti, Pendekar Rajawali Sakti itu berjalan ke satu arah, dan baru berhenti setelah di depannya menghadang segerumbul semak belukar. Raja Karang Setra itu jongkok, dan tangannya menyibak semak itu.

Perlahan dia berdiri dan menghampiri kudanya yang dituntun Cempaka. Rangga melompat naik, lalu menggebah kudanya agar berjalan pelahan menerobos. Semak itu. Sedangkan Cempaka mengikutinya dari, belakang.

"Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka masih terheran-heran tidak mengerti.

"Banyak jejak kaki di sekitar sini," sahut Rangga.

"Mungkin itu jejak kaki para prajurit, Kakang," duga Cempaka.

Rangga menatap gadis itu seraya menghentikan Iangkah kaki kudanya. Entah kenapa, pikirannya tidak sampai di situ. Sudah hampir empat hari kuburan itu terbongkar, dan yang pasti jejak pencuri mayat Pandan Wangi sudah lenyap. Sedangkan dua malam berturut-turut di sekitar tempat itu selalu diguyur hujan. Mustahil masih terlihat jejak kaki. Dan yang sekarang, memang begitu banyak. Bukan hanya tapak kaki manusia, tapi juga kaki-kaki kuda.

"Kakang, mengapa tidak kita telusuri saja asal-usul Pandan Wangi...?" ragu-ragu Cempaka memberikan usul.

"Jagat Dewa Batara. .!" Rangga tersentak menepuk keningnya sendiri.

Sungguh dirasakan pikirannya selama ini tertutup. Usul Cempaka seperti menggubah dirinya dari bayang-bayang mimpi yang panjang dan melelahkan. Sampai meninggalnya Pandan Wangi, Rangga memang belum tahu persis asal-usul gadis itu. Memang sedikit diketahui, tapi itu pun kurang jelas. Masih terlalu sukar untuk dipahami. Dan selama itu Rangga memang tidak pernah berminat untuk mengetahuinya. Hatinya sudah tertutup oleh cinta yang membara di dadanya.

"Kau benar, Cempaka," ujar Rangga. "Ayo, kita ke Banyu Biru!"

"Banyu Biru...?" tanya Cempaka tidak mengerti. Tapi gadis itu tidak bisa lagi bertanya. Rangga sudah cepat menggebah kudanya. Buru-buru Cempaka menghentakkan tali kekang kudanya agar berpacu cepat menyusul Kuda Dewa Bayu. Tapi meskipun udah digebah agar" lebih cepat, tetap saja kudanya tertinggal. Bahkan jaraknya semakin bertambah jauh saja. Kuda Dewa Bayu berpacu bagaikan terbang di atas tanah.

"Kakang, tunggu. !" teriak Cempaka keras, seraya menghentakkan tali kekang kudanya.

Teriakan Cempaka yang begitu keras, membuat Rangga langsung menghentikan lari kudanya. Tampak Cempaka tertinggal cukup jauh di belakang. Gadis itu menggebah kudanya, dan baru berhenti setelah sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Terlalu kau, Kakang!' dengus Cempaka agak terengah.

"Maaf," ucap Rangga pelahan.

"Bisa mati kudaku kalau begini!" Cempaka memberengut

"Ayolah! Lebih cepat sampai, lebih baik."

"Iya, tapi jangan seperti orang kesetanan begitu. Mana ada yang bisa mengejar Dewa Bayu!" Cempaka masih memberengut.

"Baik, sekarang aku yang mengikutimu," ujar Rangga mengalah.

Mereka kembali memacu kudanya kencang. Dan Rangga memang mengendalikan lari kudanya agar tetap berada di samping kuda Cempaka.

********************

Cukup jauh perjalanan yang harus ditempuh Rangga bersama Cempaka. Dari Karang Setra ke Desa Banyu Biru, memerlukan waktu lima hari perjalanan berkuda. Itu pun kalau tidak mengalami hambatan di jalan. Desa Banyu. Biru bukan termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra, dan terletak jauh di daerah Utara.

Saat itu suasana di Desa Banyu Biru nampak tenang dan tentram. Desa yang tedetak di sepanjang Sungai Banyu Biru itu semakin terlihat ramai saja. Banyak perahu pedagang bersandar di dermaga. Dan sebagian besar, penduduk Desa Banyu Biru mengandalkan hidup dari hasil sungai. Sehingga tidak heran jika setiap hari selalu saja dikunjungi pendatang. D antara orang orang yang turun dari sebuah perahu besar, terlihat seorang gadis berbaju merah menyala, Gadis itu berjalan tenang menyusuri dermaga.

Tidak ada seorang pun yang memperhatikan, meskipun pakaiannya tampak menyolok dengan sebilah pedang tergantung di pinggang. Selembar tudung besar terbuat dari anyaman daun pandan, bertengger di punggungnya. Rambutnya yang panjang terkepang menyamping di dada kanan. Gadis itu melangkah tenang menuju sebuah kedai yang tampak ramai dikunjungi pendatang.

Seorang laki-laki tua pemilik kedai menyambutnya terbungkuk-bungkuk, dan mempersilakan gadis itu duduk di bangku dekat pintu. Hanya sedikit gadis itu bicara, maka nampak pemilik kedai itu terangguk-angguk dan meninggalkannya. Tidak lama berselang dia kembali lagi membawa baki berisi seguci arak dan beberapa makanan. Laki-laki pemilik kedai itu kembali meninggalkannya, dan kini sudah sibuk lagi melayani tamu-tamu lainnya. Gadis itu menuangkan arak dari guci ke gelas bambu, lalu meneguknya hingga tandas.

"Agaknya terlalu keras minumanmu, Cah Ayu...."

Terdengar suara berat dan besar dari arah samping kanan gadis berbaju merah menyala itu. Dan gadis itu hanya melirik saja tampak di situ seorang laki-laki bertubuh besar dengan cambang menghiasi wajahnya. Sebilah golok besar terselip, di pinggangnya. Di sampingnya duduk seorang lagi yang juga berwajah kasar, serta lehernya terkalung seulas cambuk hitam.

"Tampaknya dia menyukaimu, Kakang Waringin," celetuk yang seorang lagi seraya mengedipkan sebelah matanya pada gadis Itu

"He he he.... Cah Ayu itu memang cocok untukku, Adik Watung," sambut laki laki itu terkekeh.

"Hhh! Becokok pasar mau jual lagak!" dengus gadis berbaju merah itu tidak mempedulikan.

"Heh...!" Waringin tersentak, langsung menggerinjang berdiri.

Gumaman gadis itu seperti seekor kala yang menyengat pantatnya. Wajahnya merah padam, dan bibirnya bergerak-gerak. Matanya mendelik lebar menatap gadis itu. Sedangkan yang seorang lagi tetap duduk meskipun wajahnya juga memerah.

"Kakang Waringin, kenapa tidak kita undang saja untuk minum bersama satu meja," ucap Watung kalem.

"Usul yang bagus, Adik Watung."

Waringin mengayunkan kakinya mendekati gadis berbaju merah itu, dan berdiri tegak di depan meja. Sedangkan gadis itu telihat tenang menenggak araknya. Sedikit pun tidak dipedulikan kehadiran orang yang bernama Waringin itu. Sementara orang-orang yang berada di dalam kedai itu mulai muak melihat tingkah laki-laki kekar bercambang bawuk itu. Bahkan beberapa di antaranya sudah meninggalkan kedai.

"Nisanak, pindahlah ke tempatku. Kita minum sama-sama," kata Waringin.

"Terima kasih, aku sudah selesai," sahut gadis itu seraya bangkit berdiri.

Gadis itu meletakkan beberapa keping uang untuk membayar makanan dan minumannya. Tanpa mempedulikan Waringin, dia berbalik dan melangkah pergi. Waringin menggeram gusar, langsung mengambil guci arak yang masih tersisa setengah.

"Arakmu tertinggal, Nisanak! Nih...!"

Waringin melemparkan guci arak itu disertai pengerahan tenaga dalam. Guci itu meluncur deras ke arah si gadis. Tapi cepat sekali gadis itu berbalik, dan menangkap guci arak itu. Sambil tersenyum manis, diteguknya arak di dalam guci itu sampai habis, kemudian diseka mulutnya dengan punggung tangan. "Nih! Kukembalikan, tikus!"

Wut!

Gadis itu melemparkan guci ke arah Waringin. Lemparannya begitu kuat dan meluncur deras sekali. Waringin tersentak sesaat, lalu dengan cepat ditangkapnya guci itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tubuhnya terpental dan terbawa dorongan keras guci arak itu. Waringin menggerung keras. Sebuah meja hancur berantakan terlanda tubuhnya yang besar.

"Perempuan setan!" geram Waringin seraya bangkit berdiri

Slap!

Waringin melemparkan kembali guci di tangannya. Kali ini lemparannya disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Guci itu kini melayang deras. Tetapi, gadis itu hanya mengibaskan tangannya saja menyampok guci itu. Akibatnya benda itu melesat dan mendarat tepat di depan meja Watung, dan membuatnya tersentak kaget. Laki-laki itu kontan melompat berdiri.

"Huh! Tikus-tikus macam kalian memang selalu merusak suasana!" dengus si Gadis dingin.

"Kurobek mulutmu, perempuan keparat!" geram Waringin gusar.

Secepat kilat laki-laki yang bernama Waringin itu melompat sambil mencabut goloknya yang besar. Golok itu dikibaskan ke arah leher, tapi hanya sedikit saja gadis itu mengegoskan kepalanya. Sabetan golok Waringin ternyata hanya menyambar angin kosong.

Dan belum lagi Waringin bisa menarik pulang goloknya, tahu-tahu gadis itu sudah mengibaskan tangan kanannya.

Bug!

"Hughk!" Waringin mengeluh pendek.

Kibasan tangan itu tepat menghantam perut Waringin, dan membuatnya terbungkuk. Dan kembali gadis itu menghantamkan satu pukulan keras ke arah wajah, sehingga Waringin terpekik tertahan. Wajah laki-laki itu terdongak ke atas. Tiba-tiba tubuhnya langsung mencelat ke belakang begitu satu tendangan telak menghantam dadanya. Kembali satu meja hancur terlanda tubuh besar itu

"Setan keparat! Hiyaaa...!"

Watung jadi geram bukan main melihat kakaknya terbanting setelah mendapat hajaran beberapa kali. Adik dari Waringin ini langsung melompat dan mencabut cambuk yang melilit lehernya. Cambuk itu dikebutkan bebeiapa kali ke arah gadis berbaju merah itu. Tapi gadis itu lincah sekali berlompatan menghindarinya. Bahkan pada satu saat, berhasil menangkap ujung cambuk itu Langsung dibetotnya cambuk itu disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

"Ugh!"

Watung berusaha, menahan betotan itu. Tapi, sentakan tenaga dalam gadis itu rupanya lebih kuat, sehingga Watung tidak kuasa menahan lagi. Tubuhnya tertarik deras. Kesempatan baik ini dimanfaatkan gadis itu untuk melayangkan satu tendangan keras menggeledek, tepat menghantam dada Watung.

"Akh...!" Watung memekik keras.

Belum lagi tubuh laki-laki itu mencelat ke belakang, kembali gadis itu menghantamkan pukulannya ke arah wajahnya. Watung menjerit melengking. Tubuhnya pun terlempar jauh, ambruk menindih tubuh kakaknya yang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Hanya sebentar Watung mampu merintih dan menggelinjang, sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

"Huh!" gadis itu mendengus.

Dengan Iangkah tenang gadis itu keluar dari kedai. Beberapa orang yang masih berada didalam kedai hanya memandangi saja, tidak berani mencegah. Mereka baru merubungi Waringin dan Watung yang menggeletak bertindihan tanpa gerakan lagi. Salah seorang memeriksa, lalu cepat berdiri.

"Bagaimana"
"Mati."
"Hah...?!"

********************

Walaupun malam sudah menyelimuti persada, namun seluruh kegiatan di Desa Banyu Biru belum juga berhenti. Lampu besar dan kecil menerangi sekitar desa di tepian sungai itu. Namun tidak demikian halnya dengan sebuah rumah yang terletak agak terpencil letaknya dari rumah-rumah lainnya.

Rumah itu tampak agak gelap. Hanya sebuah lampu pelita kecil saja yang meredup di bagian belakang rumah itu. Tampak seorang laki-laki tua berjubah putih panjang, duduk bersila di sebuah altar batu putih yang licin dan berkilat. Di depannya terdapat sebuah kolam yang berisi air berasap menggolak mendidih. Air yang putih keruh bagai susu, juga ditabur bermacam-macam bunga dan daun daunan.

Laki-laki tua yang berambut dan berjenggot putih itu duduk bersila. Kedua tangannya merapat di depan dada. Dan matanya setengah terpejam, namun mengarah lurus ke kolam di depannya. Tidak ada lagi penerangan, kecuali pelita kecil yang tergantung pada palang kayu melintang di atas kolam itu.

"Bangkitlah, Cucuku. Sudah tiga hari kau berada di situ. Bangkitlah...," desah laki-laki tua itu lirih.

Air di dalam kolam itu terus bergolak mendidih diiringi suara-suara letupan kecil. Golakan di dalam.

"Bangkitlah, Cucuku. Sudah tiga hari kau berada di situ. Bangkitlah...," desah laki-laki tua itu. Bibimya komat-kamit terus. Dan matanya terpejam rapat.

Lalu tubuh perempuan itu pun mengambang naik dan terus naik, hingga berada di atas kolam! kolam itu nampak semakin terasa kuat, dan mulai terdengar gemuruh. Asap di permukaannya menebal. Laki-laki tua itu menggerak-gerakkan tangannya, lalu menjulur ke depan dengan jari-jari terbuka lebar. Bibimya bergerak-gerak komat-kamit. Dan matanya sebentar terpejam. Tubuhnya mulai bergetar, disertai keringatnya yang bercucuran.

"Bangkitlah, Cucuku Sudah waktunya bangun. Terlalu lama kau tertidur dalam penderitaan. Bangkitlah, Cucuku...," desis laki laki tua itu seraya mengatup-kan kembali tangannya di depan dada.

Pelahan-lahan air di dalam kolam berhenti bergolak, dan sebentar kemudian menjadi tenang. Air yang semula keruh itu berubah bening bagai kaca. Asap pun tidak lagi mengepul, lenyap terbawa angin malam. Tampak di dalam kolam, terbaring sesosok tubuh ramping yang hanya terbungkus selembar kain putih bersih

Tubuh itu mengambang naik ke atas permukaan air, lalu terus naik hingga berada di atas kolam. Laki-laki tua itu melompat turun dari batu putih yang didudukinya. Disangga dan dipondongnya tubuh ramping itu. Kakinya terayun melangkah mendekati sebuah pembaringan kayu beralaskan anyaman daun pandan. Dibaringkan tubuh ramping itu, lalu ditutupi dengan selembar kain putih. Sebentar kemudian dilepaskan kain yang basah itu.

"Hm..," laki-laki tua itu bergumam pelahan.

Laki-laki tua yang berusia sekitar seratus tahun itu duduk bersila di samping tubuh yang tetap terbaring dan matanya tetap terpejam. Dirapatkan tangannya di depan dada, lalu pelahan mata laki-laki tua itu terpejam. Mulutnya bergerak-gerak komat-kamit. Tidak lama kemudian kelopak matanya kembali terbuka. Dengan gerakan cepat, jari-jari tangannya menjalar ke seluruh tubuh yang terbaring itu. Dan terakhir ditotoknya bagian dada tubuh yang terbaring itu, tepat pada jantungnya.

"Hhh...!" satu tarikan napas panjang terdengar.

Laki-laki tua itu tetap duduk bersila, tapi kini telapak tangannya bertumpu pada lutut. Tampak matanya tidak berkedip memandang tubuh yang masih terbaring pucat. Tidak ada gerakan sedikit pun, sepertinya lubuh itu sudah mati. Namun sesaat kemudian, wajah pucat itu mulai berubah memerah. Bahkan kini dadanya bergerak gerak pelahan. Laki-laki tua itu tersenyum disertai desahan napas panjang.

"Kau hidup lagi, Cucuku. oh , puji syukur pada-Mu Dewata Yang Agung desah laki-laki tua itu seraya mendongak.

********************

Derit daun pintu terdengar saat terkuak pelahan. Muncul seorang laki-laki tua berjubah putih yang kini berdiri di ambang pintu. Laki laki itu tersenyum melihat di pembaringan tergolek seorang wanita cantik tertutup selembar kain putih. Wanita itu menoleh, lalu juga tersenyum, meskipun pandangan matanya masih teriihat sayu.

Laki-laki tua itu menutup pintu kembali. Kakinya melangkah mendekati pembaringan, lalu duduk di tepinya. Di tangannya tergenggam sebuah gelas bambu yang beruap. Diangkatnya kepala wanita itu untuk diminumkan ramuan di dalam gelas.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya laki-laki tua itu lembut seraya membaringkan kembali kepala wanita itu.

"Mulai membaik, tapi...," lemah sekali suara gadis itu.

"Apa yang kau rasakan?"

"Bahu dan dadaku terasa sakit sekali."

"Itu karena bekas luka. Yah...terlalu dalam luka itu. Tapi untung saja tak sampai menembus jantung."

Gadis itu terdiam. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar yang dipenuhi sarang laba-laba. Pelahan kepalanya berpaling, menatap laki-laki tua yang kini sudah bersila di sampingnya.

"Boleh aku tanya gadis itu terputus.

"Jamus. Panggil saja aku Eyang Jamus," ucap laki-laki tua itu menyebutkan namanya. "Apa yang akan kau tanyakan?"

"Tentang diriku," masih lemah suara gadis itu.

"Hhh...!" Eyang Jamus menarik napas panjang. Pandangannya begitu dalam merayapi wajah cantik yang terbaring di depannya.

Sedangkan gadis itu hanya diam. Dari sorot matanya yang redup dan sayu, terlihat ada sesuatu yang sukar ditebak. Bibirnya masih tampak pucat, dan sedikit terbuka. Dicobanya untuk bergerak, tapi bibirnya langsung meringis merasakan sakit pada dadanya.

"Siapa namamu, Anak Manis?" tanya Eyang Jamus.

"Aku...? Aku.., aku tidak tahu," sahut gadis itu itu kebingungan.

"Sudah kuduga! Kau pasti tidak akan dapat mengingat lagi perihal dirimu. Bahkan apa yang terjadi padamu juga tidak mungkin dapat diketahui lagi. Yaaah..., terlalu lama kau terkubur di alam kematian semu," desah Eyang Jamus

"Kematian semu...? Apa maksud Eyang?" tanya gadis itu tidak mengerti

"Beberapa hari yang lain aku selalu dihantui mimpi yang selalu berulang dan sama persis. Aku melihatmu berada dalam ruangan gelap penuh lumpur sambil merintih dan meminta tolong padaku," Eyang Jamus mulai menceritakan kejadian...

Gadis itu memperhatikan dengan seksama. Dicobanya untuk bisa mencerna dan mengingat apa yang lerjadi pada dirinya, sehingga sekarang terbaring di rumah kecil yang hanya ada satu kamar ini. Tapi pikirannya benar-benar kosong' dia seperti seorang bayi yang baru lahir kembali. Tak satu pun yang dapat diingatnya.

"Semula kuanggap itu hanya mimpi biasa. Tapi karena setiap malam mimpi itu selalu datang, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepadamu. Saat itu kau hanya menyebutkan satu tempat, dan untungnya aku tahu tempat yang kau sebutkan itu. Maka bergegas aku ke sana, dan menemukan kuburanmu," lanjut Eyang Jamus.

"Kuburanku...?!" gadis itu semakin tidak mengerti.

"Benar! Kau sudah terkubur hampir tiga purnama. Ketika kucoba memeriksa, aku benar-benar terkejut. Ternyata kau masih hidup! Itulah sebabnya mengapa kubongkar kuburanmu dan sekarang berada di rumah ku ini. Aku tidak tahu, seandainya sudah lewat tiga pumama mungkin kau benar benar mati."

"Jadi..., apakah aku ini memang sudah mati, Eyang?" tanya gadis Itu.

"Semua orang memang akan menyangka begitu. Itu sebabnya kau dikubur. Tapi sebenarnya jiwamu masih tersimpan dalam ragamu. Kau hanya mati semu, Cucuku," Eyang Jamus berusaha menjelaskan.

"Aku.... Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang."

"Memang sukar untuk dimengerti. Kau sendiri juga tidak mungkin mengetahui masa-masa hidupmu. Kau adalah sosok manusia langka yang sukar dicari pada masa sekarang ini. Sebenarnya aku sendiri hampir tidak percaya kalau di zaman sekarang ini masih ada orang yang bisa mati semu, sebelum mati sesungguhnya."

"Eyang, bisa kau jelaskan siapa aku ini?" pinta gadis itu.

"Sulit! Sebab, belum kutemukan jawaban mengapa kau bisa mati semu dalam jangka waktu yang lama. Biasanya orang yang mati semu, paling lama mampu bertahan tiga sampai tujuh hari. Tapi, kau hampir tiga purnama masih juga belum mati sesungguhnya."

"Kalau begitu, berilah nama padaku, Eyang. Mungkin aku bisa membantumu," pinta gadis itu.

"Nama apa yang kau inginkan?"

"Aku tidak tahu."

Eyang Jamus terdiam beberapa saat. Rupanya juga kesulitan mencari nama untuk gadis yang tidak tahu apa-apa ini. Gadis yang seperti baru saja dilahirkan ke dunia ini. Eyang Jamus beranjak bangkit dari pembaringan, dan melangkah menghampiri sebuah lemari kecil lantas membukanya, Dari dalam lemari itu dikeluarkan seperangkat pakaian biru dan sebilah pedang, kemudian dibawanya pada gadis yang masih terbaring lemah.

"Benda-benda ini kutemukan bersamamu di dalam kubur," kata eyang Jamus

"Semua ini milikku eyang" tanya gadis itu.

"Benar. Semua milikmu. Kau tidak mengenalinya?"

Gadis itu menggeleng perlahan

"Aku kenal pedang ini! dulu pernah diperebutkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Waktu itu aku tidak ingin ikut campur, dan bersikap masa bodoh. Sudah puluhan tahun kutinggalkan dunia persilatan, dan tidak ingin mengotori tanganku lagi dengan darah dan kekerasan. Namun demikian tidak akan dapat kulupakan pedang ini," jelas Eyang Jamus.

"Apakah pedang ini mempunyai nama, Eyang?" tanya gadis itu.

"Benar. Semua senjata pusaka selalu mempunyai nama yang sesuai dengan keampuhan dan kegunaannya."

"Apa namanya?"
"Pedang Naga Geni "
"Pedang Naga Geni"

"Biasanya, pedang ini tidak pernah terlepas dari kitabnya yang bernama Kitab Naga Sewu. Dalam kitab itu berisi jurus-jurus 'Naga Sewu', yang sukar dicari tandingannya bila seseorang benar-benar telah sempurna menguasainya. Tapi sayangnya, tidak kutemukan kitab itu."

"Aku tidak tahu, Eyang."

"Aku bisa mengerti. Sekarang ini kau bagaikan bayi yang baru saja lahir. Masih putih, bersih, dan polos. Saat kau buka matamu untuk pertama kali, maka di situlah kau buka lembaran hidupmu yang baru. Tidak ada lagi kehidupan masa lalumu."

"Eyang..."
"Hm.."

"Boleh aku memakai nama...," ucapan gadis itu terputus.

"Aku mengerti, Cucuku. Dan itu memang tengah kupikirkan. Untuk mengingatkan, kau pantas menyandang nama Putri naga Sewu," potong Eyang Jamus.

"Putri Naga Sewu...," gadis itu menggumamkan nama barunya. Bibirnya tersenyum manis dan tola' matanya bersinar cerah. "Terima kasih, Eyang."

"Ya. Sekarang, istirahatlah. Masih perlu tujuh hari kau berbaring. Dan selama itu aku akan mencoba memulihkan keadaan dirimu seperti sedia kala."

"Terima kasih, Eyang."
"Hm...."

********************

Hari demi hari berlalu cepat. Tidak terasa, sudah cukup lama pula Eyang Jamus merawat gadis yang ditemukannya melalui jalan mimpi aneh, dan sudah terkubur selama hampir tiga purnama. Telah dua pekan gadis yang kini memakai nama Putri Naga Sewu itu tinggal di rumah kecil yang menyendiri di Desa Banyu Biru. Semakin hari, kesehatannya semakin membaik. Dan gadis itu kini sudah mulai menjalani latihan gerakan gerakan ilmu olah kanuragan di bawah bimbingan Eyang Jamus

"Cukup!" seru Eyang Jamus keras.

Putri Naga Sewu menghentikan gerakannya begitu mendengar seruan keras. Keringat bercucuran membasahi wajah dan lehernya yang jenjang. Langkahnya masih nampak segar menghampiri Eyang Jamus yang luduk bersila di beranda belakang rumahnya. Putri Naga Sewu duduk bersila di lanah, di hadapan laki-laki tua berjubah putih itu.

"Semakin hari kemajuanmu semakin pesat, Naga Sewu. Aku tidak tahu, bagaimana caranya jurus-jurus Naga Sewu' dapat kau kuasai begitu sempurna. Bahkan ada beberapa jurus yang sebelumnya pernah kulihat," jelas Eyang Jamus.

"Jurus apa itu, Eyang?" tanya Putri Naga Sewu.

"Sini! Duduklah di sampingku."

Putri Naga Sewu bangkit, dan kembali duduk di samping kanan Eyang Jamus.

"Dari jurus-jurus 'Naga Sewu', terkadang kau selipkan beberapa jurus lain. Dan sepertinya kukenali jurus itu. Tapi aku tidak yakin, Naga Sewu," kata Eyang Jamus.

Putri Naga Sewu hanya diam saja.

"Entah, sudah berapa lama tidak pernah lagi kudengar nama dan kabar beritanya. Terakhir kudengar, ketika terjadi peristiwa di Bukit Setan. Jurus-jurus itu berasal dari jurus 'Kipas Maut' yang dimiliki oleh seorang gadis cucu sahabatku. Tapi gadis itu menghilang entah ke mana. Juga sahabatku, Kakek Tangan Seribu, tewas karena berusaha melindungi cucunya."

"Siapa namanya?" desak Putri Naga Sewu.

"Pandan Wangi. Gadis nakal, keras kepala, dan pembuat onar. Tapi sangat manis, penurut, dan berilmu cukup tinggi. Waktu itu dikabarkan kalau Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni berada di tangannya. Tapi aku tidak percaya. Terlebih lagi, setelah. peristiwa di Bukit Setan. Ternyata kedua benda pusaka itu ada di tangan seorang pendekar muda yang sangat tinggi tingkat kepandaiannya."

"Siapa nama pendekar itu?" tanya Putri Naga Sewu.

"Pendekar Rajawali Sakti. Nama sebenarnya Rangga. Dia seorang raja di Kerajaan Karang Setra, tempat kau terkubur di sana selama hampir tiga purnama. Tepatnya di sebelah Timur Karang Setra, di Bukit Karungan."

"Rangga...," Putri Naga Sewu mendesis. Sekilas dia teringat sesuatu. Tapi hanya sekilas, kemudian tidak tahu lagi.

Putri Naga Sewu mencoba mengulangi lagi ingatan yang melintas sesaat itu, tapi tetap saja tidak mampu. Namun hatinya mendadak jadi bergetar aneh kala mendesiskan nama Rangga. Seperti ada sesuatu yang sukar diungkapkan. Dan Putri Naga Sewu sendiri tidak tahu, mengapa tiba-tiba saja hatinya bergetar tatkala menyebut nama itu

"Naga Sewu...."

"Oh!" Putri Naga Sewu tergugah dari lamunannya.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Eyang Jamus.

"Tidak ada, Eyang," sahut Putri Naga Sewu.

"Hm...," gumam Eyang Jamus tidak jelas. "Naga Sewu, ada yang ingin kukatakan padamu."

"Katakan saja, Eyang. Memang aku perlu pengetahuan banyak sekali. Barangkali saja bisa teringat salah satu dari pengalaman masa laluku. Bukankah itu yang ingin Eyang ketahui?" ujar Putri Naga Sewu cepat.

"Beberapa hari ini perasaanku selalu dirisaukan oleh wajahmu," kata Eyang Jamus.

"Wajahku...?! Ada apa dengan wajahku, Eyang?"

"Entahlah, aku sendiri tidak yakin. Saat ini wajahmu sering kubandingkan dengan wajah Pandan Wangi. Ternyata kau begitu mirip dengan cucu sahabatku itu," ujar Eyang Jamus tidak yakin.

"Benarkah itu?"

"Ya! Meskipun sudah lama sekali tidak pernah lagi bertemu, tapi aku tak akan lupa pada wajah Pandan Wangi. Hhh..., sepertinya kau ini Pandan Wangi."

"Apa tidak mungkin, aku ini Pandan Wangi?" kata Putri Naga Sewu tiba tiba.

Eyang Jamus agak terkesiap, sampai-sampai menatap tajam pada gadis itu. Dan Putri Naga Sewu juga seperti terkesima. Entah mengapa bisa telontar kata-kata yang demikian tandas dan lugas, seperti meluncur begitu saja tanpa dipikir lebih dahulu. Putri Naga Sewu jadi gelagapan dan menunduk.

"Maaf, Eyang. Aku...," suara Putri Naga Sewu tersendat.

"Tidak mengapa, Naga Sewu. Yah..., mungkin saja kau memang Pandan Wangi. Aku sungguh gembira kalau hal itu benar. Hanya saja perlu waktu yang tidak sedikit untuk mengetahui dirimu yang sebenarnya."

"Aku akan berusaha, Eyang. Meskipun cukup senang dengan nama sekarang, tapi harus juga kuketahui diriku yang sebenarnya. Bukankah begitu, Eyang?"

"Benar, kau memang harus mencari keterangan tentang dirimu sesungguhnya, Naga Sewu."

"Eyang bersedia membantuku?"

"Tentu. Siapa pun kau sebenarnya, aku akan senang."

"Terima kasih, Eyang."

********************

Matahari belum lagi penuh memancarkan sinarnya. Tapi di suatu tempat yang cukup jauh dari Desa Banyu Biru, terlihat Putri Naga Sewu tengah melatih jurus-jurusnya. Sungguh tidak disadari kalau sepasang mata tengah mengawasinya sejak tadi. Sepasang mata ang terlindung dan tersembunyi, meskipun jaraknya tidak seberapa jauh.

Trek!

Terdengar sebatang ranting patah terinjak. Putri Naga Sewu kontan menghentikan latihannya. Ditatapnya tajam-tajam sumber suara tadi. Pelahan-lahan kakinya terayun, dan matanya tidak berkedip memandang ke arah semak belukar diantara dua pohon cemara.

"Keluar kau! Hih bentak Putri Naga Sewu keras.

Seketika itu juga dihentakkan tangan kanannya ke depan. Dan dari telapak tangannya tiba-tiba meluncur seleret cahaya merah, yang langsung menembus ke semak belukar dengan cepat. Dan bersamaan terdengarnya ledakan, melesat satu bayangan merah dari dalam semak itu. Dan bayangan itu ternyata seorang gadis cantik berbaju merah dengan tudung besar bertengger di kepalanya.

"Siapa kau?! Kenapa mengintaiku?!" bentak Putri Naga Sewu.

Gadis berbaju merah itu tidak menjawab. Dibukanya tudung itu, dan dilemparkan begitu saja ke samping. Tampaklah seraut wajah cantik, terlihat sendu. Gadis itu melangkah pelahan mendekati, dan baru berdiri setelah berjarak sekitar Uma Iangkah lagi di depan Putri Naga Sewu.

"Pandan,... Aku tidak percaya kalau kau benar-benar Pandan Wangi,' gadis berbaju merah itu merayapi wajah Putri Naga Sewu.

"He! Apa yang kau...?!"

Putri Naga Sewu jadi kebingungan. Apalagi tatkala gadis berbaju merah itu malah melangkah mundur disertai gelengan kepala beberapa kali. Dan tiba-tiba saja dia berbalik, lalu berlari kencang. Putri Naga Sewu jadi tidak mengerti, tapi langsung melompat mengejar. Hanya tiga kali lompatan saja, gadis itu sudah terhadang.

"Tunggu!" sentak Putri Naga Sewu.

Gadis berbaju merah itu menghentikan larinya. "Biarkan aku pergi, Pandan. Aku sudah cukup menderita, dan jangan kau tambah lagi penderitaan pada diriku. Atau, kau ingin membalas kematianmu? Silakan, Pandan. Aku tidak akan melawan jika kau ingin membunuhku," kata gadis berbaju merah itu.

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Siapa kau sebenarnya? Mengapa memanggilku Pandan? Putri Naga Sewu nampak keheranan.

"Kau lupa padaku, Pandan? Aku Mayang. Kau ingat?" gadis berbaju merah itu juga jadi keheranan melihat sikap gadis di depannya yang wajahnya begitu mirip Pandan Wangi. Bahkan bentuk tubuh dan bajunya juga begitu persis.

"Aku tidak kenal denganmu. Hm..., mengapa kau memanggil diriku Pandan? Namaku Putri Naga Sewu. Bukan Pandan," kata Putri Naga Sewu.

"Tidak mungkin! Kau pasti Pandan Wangi. Tapi.... tidak! Mustahil...!" Mayang menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirayapi seluruh tubuh Putri Naga Sewu dalam-dalam, seakan-akan ingin dipastikan penglihatannya.

"Ada apa dengan diriku?" tanya Putri Naga Sewu.

"Tidak mungkin! Kau pasti bukan Pandan Wangi. Mustahil ada orang mati bisa hidup lagi. Tapi...," bernada ragu-ragu suara Mayang

Kedua gadis itu saling bepandangan. Sinar mata nereka menyimpan rasa ke tidak pastian dan kebingungan. Yang satu tidak mengerti maksud kata-kata Mayang, sedangkan Mayang sendiri tidak yakin dengan yang dilihatnya. Sungguh tidak diyakini kalau vang berdiri di depannya ini adalah Pandan Wangi, padahal gadis itu telah tewas sekitar tiga bulan lalu (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam kisah, Darah Pendekar)

Lain halnya yang ada dalam benak Putri Naga Sewu. Kehadiran Mayang membuat dirinya begitu terasa lain. Seperginya ada sesuatu yang terjadi pada ingatannya, tapi masih samar-samar. Memang sukar dipercaya.

Terlebih lagi setelah mendengar kata-kata Mayang yang dirasakannya begitu aneh. Bahkan sama persis dengan yang dikatakan Eyang Jamus. Apakah benar dia sudah mati, dan kini hidup kembali? Memang sukar dipercaya, tapi memang itulah kenyataannya. Putri Naga Sewu memang tidak tahu dirinya yang sebenarnya. Bahkan nama dirinya hasil pemberian dari Eyang Jamus. Apakah benar dia Pandan Wangi seperti yang dikatakan Mayang, yang berarti sama dengan dugaan Eyang Jamus? Semua pertanyaan itu masih bergelayut di dalam pikiran Putri Naga Sewu. Terlalu sukar untuk mempercayai kalau dirinya telah mati tiga bulan yang lalu

"Naga Sewu..! Naga Sewu...!"

Putri Naga Sewu menoleh ketika namanya dipanggil. Mayang juga memalingkan wajahnya ke arah laki-laki tua yang berlari-lari kecil agak terseret. Jubah putihnya yang panjang, melambai-lambai ditiup angin. Sebatang tongkat membantunya untuk melangkah cepat menghampiri kedua gadis cantik yang saling berdiri berhadapan itu.

"Siapa dia, Naga Sewu?" tanya Eyang Jamus begitu tiba di samping Putri Naga Sewu.

"Aku tidak tahu, Eyang. Dia menyebut namanya Mayang," sahut Putri Naga Sewu seraya melirik pada Mayang.

"Benar! Namaku Mayang barangkali kau kakek gadis ini?" serobot Mayang sedikit ramai

"Benar. Namaku Eyang Jamus, kakek dari Putri Naga Sewu."

Mayang memandangi Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu bergantian. Pandangannya begitu dalam, dan banyak mengandung arti yang sukar ditebak. Eyang jamus agak berkerut keningnya melihat pandangan mata gadis itu.

"Ada apa? Apakah ada yang aneh?" tanya Eyang Jamus.

"Tidak apa-apa. Sebaiknya aku pergi saja," kata Mayang seraya berbalik.

Secepat kilat Mayang melompat, dan langsung berlari kencang sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu singkat tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Eyang Jamus memandangi Putri Naga Sewu yang masih menatap ke arah perginya Mayang. Sepertinya ada sesuatu yang tengah dipikirkan gadis itu.

"Ayo kita pulang, Naga Sewu," ajak Eyang Jamus.

Putri Naga Sewu seperti tidak mendengar ajakan Eyang Jamus, dan terus saja menatap ke arah gadis itu pergi. Pandangannya kosong, serta wajahnya tidak menyiratkan perasaan apa pun. Sepertinya gadis itu hanya sesosok tubuh tanpa nyawa. Wajah itu terlihat pucat, meskipun masih ada sedikit tanda kemerahan pada belahan pipinya.

"Naga Sewu...," Eyang Jamus mencolek lengan gadis itu.

"Oh!" Putri Naga Sewu tersentak kaget.

"Sudah siang! Ayo pulang," ajak Eyang Jamus lagi.

Putri Naga Sewu tidak menyahut Tapi dibalikkan juga tubuhnya, lalu dilangkahkan kakinya menuju rumah kecil yang tidak berapa jauh dari tempat ini. Sebentar Eyang Jamus memperhatikan, kemudian melangkah cepat. Disejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.

"Apa yang kau pikirkan, Naga Sewu?" tegur Eyang Jamus.

"Ada Eyang," sahut Putri Naga Sewu mendesah.

"Katakan, apa yang dipikirkan?"
"Kata-kata Mayang, Eyang."
"Apa yang dikatakannya padamu?"

"Seperti yang kau katakan padaku, Eyang. Tentang diriku."

Eyang Jamus termenung, lalu menghentikan langkahnya. Putri Naga Sewu juga berhenti berjalan. Diputar tubuhnya, sehingga menghadap pada laki-laki tua berjubah putih itu.

"Pulanglah dulu, aku akan ke dermaga. Ada sesuatu yang harus kubeli," kata Eyang Jamus seraya menepuk pundak gadis itu.

"Lama?" tanya Putri Naga Sewu.

"Mungkin sore nanti baru kembali."

Putri Naga Sewu mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke bagian belakang rumah kecil yang menyendiri itu. Sementara Eyang Jamus masih berdiri mematung. Dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah kepergian Mayang. Tiba tiba saja tubuhnya melesat bagai kilat. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah tidak teriihat bayangannya.

Sementara itu Putri Naga Sewu sudah sampai di dalam rumah kecil yang hanya memiliki satu ruangan saja. Sebentar dipandangi ruangan itu, dan langsung bertumpu pada sebilah pedang yang tergantung di dinding. Pedang Naga Geni yang menurut Eyang Jamus adalah miliknya ketika dibangkitkan dari kubur. Putri Naga Sewu mengambil pedang itu. Tapi baru saja hendak mencabut, terdengar suara mengejutkan.

Brak!

"Hei...!" Putri Naga Sewu terlonjak kaget.

Tiba-tiba saja pintu rumah itu jebol berantakan. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak muncul seorang perempuan tua bersama dua orang laki-laki muda berwajah kasar. Perempuan tua itu melangkah sambil mengayun-ayunkan tongkatnya. Sedangkan kedua laki laki di belakangnya langsung menghunus golok besar agak melengkung.

"Mana Eyang Jamus?!" tanya perempuan tua berjubah merah itu kasar.

"Tidak ada!" sahut Putri Naga Sewu ketus. Dia memang tidak menyukai kehadiran tiga orang yang datang mendobrak pintu itu.

"Siapa kau?!" tanya perempuan tua itu, masih terdengar kasar suaranya.

Belum sempat Putri Naga Sewu menjawab, salah seorang laki-laki yang berada di belakang perempuan berjubah merah itu membisikkan sesuatu. Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Kedua bola matanya yang cekung, langsung bersinar melihat Putri Naga Sewu. Telebih lagi saat melihat pedang di tangan gadis itu.

"He he he..., pucuk dicinta ulam tiba. Tidak percuma jauh-jauh datang lagi ke sini. He he he..., perempuan tua itu tertawa terkekeh.

Putri Naga Sewu langsung menyadari adanya gelagat tidak baik akan kehadiran perempuan tua bersama pengawalnya itu. Digeser kakinya mundur beberapa Iangkah. Dengan cepat, tubuhnya melenting ke atas, dan menjebol atap hingga melesat keluar. Begitu cepatnya tindakan Putri Naga Sewu, sehingga membuat perempuan tua berjubah merah itu terperanjat.

"Kejar dia! Jangan sampai lolos!" perintah perempuan tua itu.

"Hiya...!"
"Yeaaah...!"

Dua orang laki-laki di belakang perempuan tua itu rentak berlompatan ke luar. Pada saat yang sama, Putri Naga Sewu baru saja menjejakkan kakinya di halaman depan rumah. Dan terpaksa dirinya melesat kembali karena dua orang laki-laki bersenjata golok itu langsung menyerang ke arah kakinya.

"Hait..!"

Putri Naga Sewu berjumpalitan di udara beberapa kali, lalu menukik seraya mencabut pedangnya yang tergenggam di tangan kiri. Secepat kilat dikibaskan pedangnya itu ke arah leher salah seorang penyerangnya. Tebasannya sangat cepat luar biasa dan tidak terduga sama sekali. Sepertinya sukar untuk dihindari lagi

Cras!

"Aaa...!" laki-laki itu menjerit melengking. Tubuhnya limbung sebentar, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah pun menyembur keluar dari leher yang terbabat hampir buntung. Sedang seseorang lagi nampak terkesiap, tapi segera bergegas menyerang ganas.

Putri Naga Sewu menghindari tebasan golok yang begitu cepat mengurung dirinya. Beberapa kali dibenturkan pedangnya pada golok itu. Pedang yang berwarna merah bagai besi terbakar itu berkelebatan cepat, sehingga yang tampak hanya kilatan merah menyambar-nyambar.

Trang! Trang!

Dua kali terjadi benturan senjata. Dan bagaikan kilat, Putri Naga Sewu memutar pedangnya, langsung dibabatkan ke arah perut lawannya. Kibasan yang begitu cepat, tidak mampu mengelakkan lagi. Laki-laki berwajah kasar itu menjerit melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung. Darah langsung merembes deras dari perutnya yang robek. Dan belum la mampu menyadari apa yang terjadi, Putri Naga Sewu sudah melompat seraya mengibaskan pedangnya samping.

"Hiyaaat...!"

"Aaakh...!" orang itu menjerit keras.

Hanya sebentar mampu berdiri tegak, kemudia laki-laki itu ambruk tidak bangkit bangkit lagi. Sesaat tubuhnya masih menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tanpa nyawa lagi. Putri Naga Sewu berdiri tegak. Tatapan matanya tajam menusuk langsung pada perempuan tua berjubah merah yang baru kelu dari dalam rumah kecil dan terpencil itu.

"Tidak kusangka kemajuanmu begitu pesat, Pandan Wangi," ucap perempuan tua berjubah merah itu.

"Hm..., aku bukan Pandan Wangi! Aku Putri Naga sewu!" ujar Putri Naga Sewu ketus.

"Ha ha ha...! Kau bisa saja membodohi si tua bangka pencuri licik itu, bocah! Tapi jangan harap bisa menipu mata tuaku ini! Tidak ada seorang pun yang memiliki Pedang Naga Geni beserta jurus-jurus 'Naga Sewu' selain si bocah edan Pandan Wangi!"

Putri Naga Sewu tertegun mendengar kata-kata perempuan tua itu. Pelahan dimasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya yang masih tergenggam di tangan kiri. Dia tetap berdiri tegak disertai tatapan matanya yang tajam menusuk. Sementara perempuan tua berjubah merah itu melangkah pelahan mendekati, 'dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa batang tombak lagi.

"Siapa kau? Mengapa mencari eyang Jamus?" tanya Putri Naga Sewu masih terdengar ketus nada suaranya.

"He he he... Kau sudah lupa atau berlagak lupa, pandan Wangi?" perempuan tua itu terkekeh tanpa menjawab.

"Jawab saja pertanyaanku, Nenek Tua!" dengus Putri Naga Sewu.

"Hm.... Rupanya kau benar-benar sudah lupa, Pandan Wangi. Dengarkan baik-baik. Aku bernama Nyai Klenting. Datang ke sini, untuk meminta kembali Bunga Abadi yang dicuri Eyang Jamus dari saudaraku si Jari Malaikat. Saat ini dia membutuhkan bunga itu. Kau paham maksudku, Pandan Wangi?" perempuan tua berjubah merah itu tetap saja memanggil! Putri Naga Sewu dengan nama Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu-menahu masalahmu dengan Eyang Jamus. Tapi jelas aku tidak terima kau sebut Eyang Jamus sebagai pencuri. Tidak ada Bunga Abadi di rumah ini!" tegas Putri Naga Sewu. "Dan satu hal lagi. Aku bukan Pandan Wangi, tapi Putri Naga Sewu

"Hm.... Kau bisa saja merubah nama, Pandan Wangi. Tapi wajahmu tidak akan bisa berubah. Apalagi pedang itu berada di tanganmu. Maka jelaslah kalau kau adalah Pandan Wangi. Hhh...! Sebaiknya serah kan saja Bunga Abadi itu padaku. Hm..., tapi aku juga memerlukan pedang itu dan Kitab Naga Sewu."

"Bicaramu makin tidak karuan saja, Nyai Klenting. Aku menghormatimu sebagai orang tua Tapi, kalau kau tidak suka berlaku sopan, maaf saja kalau aku harus bertindak keras!" ancam Putri Naga Sewu.

"He he he. Kau mengancamku, bocah?" Nyai Klenting terkekeh meremehkan. "Jangan bangga dulu bisa menjatuhkan dua tikus busuk Mereka memang tidak berguna!"

"Aku rasa kau juga tidak lebih busuk dari mereka

"Bocah setan!" geram Nyai Klenting memuncak amarahnya. "Rupanya kau tidak bisa lagi diajak bicara heh! Terimalah seranganku! Hiyaaat...!"

Nyai Klenting tidak bisa lagi menahan amarahnya. langsung saja tubuhnya melompat sambil menusuk-kan tongkatnya yang berujung runcing. Putri Naga Sewu melompat mundur. Namun Nyai Klenting menggenjot tubuhnya seraya memutar tongkatya cepat, dan ujungnya tetap mengancam tubuh gadis itu. Terpaksa Putri Naga Sewu mencabut pedangnya kembali.

Trang! Trang!

Dua kali senjata mereka beradu, dan masing-masing melompat mundur. Tapi sesaat kemudian sudah kembali bentrok sengit. Masing-masing berusaha untuk saling menjatuhkan. Pada saat pertarungan itu berlangsung, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat. Bayangan itu langsung meluruk ke dalam kanan pertarungan, dan tiba-tiba saja Nyai Klenting memekik keras. Tubuhnya terpental jauh ke belakang.

"Eyang...," desah Putri Naga Sewu begitu melihat Eyang Jamus tahu-tahu sudah berdiri membelakanginya.

"Mundurlah, Naga Sewu. Perempuan iblis ini bukan tandinganmu," tegas Eyang Jamus

Saat itu Nyai Klenting sudah bisa bangkit berdiri. Dari sudut bibirnya menetes darah segar, yang kemudian disekanya dengan punggung tangan. Tatapan matanya begitu tajam menusuk lurus ke bola mata Eyang lamus. Pelahan-lahan kakinya bergerak ke samping. Tongkat yang satu ujungnya berbentuk tengkorak kepala kerbau itu tersilang di depan dada, kemudian liputar pelahan-lahan.

"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Klenting!" usir Eyang Jamus tegas.

"Phuih! Kau pikir jauh-jauh aku datang hanya untuk kalah?! Tidak, Jamus. Aku tidak akan kembali tanpa Bunga Abadi itu!" sahut Nyai Klenting dingin.

"Bunga itu tidak ada lagi padaku. Sudah kupakai untuk menyembuhkan gadis ini," kata Eyang Jamus seraya membujuk Putri Naga Sewu.

Nyai Klenting agak tertegun. Tongkatnya berhenti berputar seketika. Ditatapnya gadis yang kini berada di samping kanan Eyang Jamus. Tatapan matanya begitu dalam, seakan akan tidak percaya dengan pendengarannya.

"Dia lebih membutuhkan daripada dirimu, Klenting. Nah, sekarang pergilah! Sia-sia saja kau datan ke sini," ujar Eyang Jamus lagi.

"Huh! Kau pikir aku percaya omonganmu, Jamus, Aku tahu siapa dia. Dan aku juga punya urusan dengannya!" agak keras nada suara Nyai Klenting. Eyang Jamus melirik Putri Naga Sewu di sampingnya.

"Pandan! Serahkan Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni itu padaku! Cepat!" bentak Nyai Klenting keras.

"Perempuan edan! Sudah kukatakan kalau aku bukan Pandan Wangi! Namaku Putri Naga Sewu, hu!" dengus Putri Naga Sewu berang. Tapi di balik keberangan itu, dia berpikir juga. Apakah dirinya benar-benar Pandan Wangi? Sudah dua orang yang menyangka dirinya adalah Pandan Wangi dalam satu hari ini.

"Klenting! Kau datang untuk meminta Bunga Abadi padaku, tapi mengapa sekarang berubah? Sudah kukatakan, bunga itu tidak ada lagi! Sudah kupakai. Dan gadis inilah yang memakainya. Apa keteranganku kurang jelas?" agak kesal juga nada suara Eyang Jamus.

"He he he.... Sekarang tidak kupedulikan lagi Bunga Abadi itu, Jamus. Yang kuinginkan sekarang, pedang dan kitab itu!" sahut Nyai Klenting. "Aku tidak peduli pada si Jari Malaikat yang kini sekarat!"

"Kau benar-benar iblis, Klenting!" desis Eyang Jamus.

Laki-laki tua berjubah putih itu tahu, siapa si Jari Malaikat. Dia adalah saudara laki-laki Nyai Klenting. Dan Eyang Jamus juga tahu, mengapa si Jari Malaikat sekarang tengah sekarat. Itu semua karena kesalahannya sendiri yang mencoba merebut Bunga Abadi dari tangannya. Bunga Abadi itu hanya satu-satunya di dunia, dan berbunga hanya setiap seratus tahun sekali. Untuk mengambilnya juga tidak mudah. Pohonnya pun hanya satu dan berada di atas Puncak Gunung Wijaya. Puncak gunung yang selalu tertutup kabut tebal dan tidak mudah didaki.

Memang sejak Eyang Jamus berhasil memiliki Bunga Abadi itu, banyak tokoh rimba persilatan yang mencoba merampasnya. Salah satunya, si Jari Malaikat Bunga itu memang berguna untuk segala macam pengobatan. Salah satunya, untuk membangkitkan seseorang dari kematian semu, seperti yang dialami gadis yang kini memakai nama" Putri Naga Sewu.

"Pergilah, Klenting. Aku tidak suka lagi mengotori tanganku dengan darah. Bunga itu sudah tidak ada lagi. Dan kalau ingin memilikinya, tunggu saja seratus tahun lagi," jelas Eyang Jamus, mulai lunak nada suaranya.

"Baik, aku pergi sekarang. Tapi urusanku dengan Pandan Wangi belum selesai!" tegas Nyai Klenting yang menyadari tidak akan mampu menandingi Eyang Jamus.

Setelah berkata demikian, Nyai Klenting langsung melompat cepat. Sebentar saja bayangan tubuh perempuan tua itu tidak teriihat lagi. Eyang Jamus menarik napas panjang, lalu melirik dua sosok mayat yang tergeletak bersimbah darah. Tatapannya kini beralih pada gadis di sampingnya. Saat itu Putri Naga Sewu juga menatap ke arahnya.

"Kau yang menewaskan mereka?" tanya Eyang Jamus.

"Eyang, apa benar aku ini Pandan Wangi?" Putri Naga Sewu tak mempedulikan pertanyaan itu, tapi malah balik bertanya.

"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," sahut Eyang Jamus sedikit mendesah.

Putri Naga Sewu terdiam. Tapi jelas terlihat kalau sedang berpikir. Kata-kata Nyai Klenting dan Mayang membuat dirinya semakin tidak tahu dirinya yang sebenarnya.

"Naga Sewu! Terus terang, kuakui kalau wajahmu mirip sekali dengan cucu sahabatku. Dan namanya pun memang Pandan Wangi. Dan aku tahu persis tentang pedang di tanganmu itu. Hhh.... Kalau kau memang benar-benar Pandan Wangi, aku hanya bisa berpesan agar hati-hati. Sebab sampai Sekarang ini masih banyak orang yang menginginkan Pedang Naga Geni dan Kitab Naga Sewu, seperti Nyai Klenting itu," jelas Eyang Jamus pelan.

"Eyang! Kau katakan aku terkubur di Bukit Karungan, sebelah Timur Kerajaan Karang Setra...."

"Benar."

"Kalau memang demikian, aku harus kembali ke sana, Eyang. Di sana, aku harus kembali dikubur selama tiga hari. Maka, hal itu bisa mengembalikan ingatan dari seluruh masa laluku," kata Putri Naga Sewu.

"Heh! Dari mana kau tahu?" Eyang Jamus terperanjat.

"Dari salah satu kitab milikmu. Maaf, aku telah lancang membacanya tanpa ijin lebih dulu padamu, Eyang," ucap Putri Naga Sewu.

"Hhh...!" Eyang Jamus menarik napas panjang.

"Apa isi kitab itu benar, Eyang?" tanya gadis itu lagi.

"Aku tidak tahu pasti. Kitab itu kutemukan di dalam sebuah goa dekat pusara Sepasang Pendekar Banyu Biru. Kitab itu memang miliknya. Hm..., kau sudah membaca semuanya?"

"Sudah."
"Bagaimana menurutmu?"

"Kalau dulu aku memang pernah diberi air susu oleh ibuku sebelum ia meninggal, ada kemungkinan kitab itu benar."

"Terlalu tinggi resikonya, Cucuku."

"Tapi mesti dicoba, Eyang."

"Dengan resiko kematian sesungguhnya?"

"Apa pun resikonya!" tegas jawaban Putri Naga Sewu.

"Sebaiknya selidikilah dulu, siapa dirimu dan kedua orang tuamu."

"Tidak akan bisa, Eyang. Hhh.... Sudah dua orang yang menganggapku Pandan Wangi. Kalau memang benar berarti aku ini putri Sepasang Pendekar Banyu Biru. Di dalam kitab itu juga disebutkan kalau putri tunggal Sepasang Pendekar Banyu Biru pernah meminum air susu ibunya sebelum meninggal.... Sedangkan sang Ibu ternyata memiliki ilmu 'Mati Suri' yang sangat langka. Ilmu itu memang ilmu turunan yang berasal dari nenek Pandan Wangi, dari pihak Ibu. Ilmu itu bisa menghilangkan jiwa dari raga untuk waktu tujuh hari. Dengan ilmu itu pula, seseorang bisa bernapas melalui pusar, atau pori-pori kulit. Sedangkan seorang bayi yang minum air susu ibunya yang memiliki ilmu itu, berarti ilmu itu akan berpindah pada keturunannya. Semua itu kuketahui dari kitab itu, Eyang," ungkap Putri Naga Sewu.

Eyang Jamus menarik napas panjang, dan tidak tahu lagi harus berkata apa. Semua isi kitab sudah dikuasai penuh oleh Putri Naga Sewu. Kitab yang berisi riwayat hidup Sepasang Pendekar Banyu Biru. Juga berisi uraian dari ilmu-ilmunya yang sangat langka dan sukar dicari tandingannya. Eyang Jamus sedikit menyesal, karena tidak menyimpan kitab itu baik-baik. Dan memang sebenarnya kitab itu tidak ada apa-apanya, tapi sudah cukup mempengaruhi jalan pikiran Putri Naga Sewu. Entah mengapa, gadis itu begitu tertarik dan meresapi seluruh isi kitab itu. Bahkan sampai hapal di luar kepala.

"Baiklah kalau Eyang keberatan. Aku tidak akan mengungkit-ungkit lagi masalah ini Biarlah aku menjadi manusia baru dengan nama baru dan kehidupan yang baru pula," ujar Putri Naga Sewu melihat Eyang Jamus diam saja.

"Bukannya keberatan, Cucuku. Tapi berilah aku waktu untuk berpikir," sahut Eyang Jamus.

"Aku tidak keberatan. Eyang. Semua keputusan ada di tanganmu"

"Akan kuberikan Jawaban dalam tiga hari ini," janji Eyang Jamus.

"Terima kasih, Eyang, ucap Putri Naga Sewu, berseri wajahnya.

"Hm...," Eyang Jamus tersenyum.

********************

Hari itu udara begitu cerah. Langit terlihat bening tanpa sedikit pun awan menggantung. Angin bertiup semilir membuat seluruh penghuni alam ini terasa dibuai oleh kenyamanan dan kesejukan. Tapi tidak demikian halnya yang dirasakan Putri Naga Sewu. Gadis itu duduk termenung di tepi sungai yang mengalir membelah Desa Banyu Biru.

Gadis itu memandang sebuah pondok yang tinggal puing-puing saja. Seluruh kayu dan batu di situ sudah hitam bekas terbakar. Putri Naga Sewu seperti teringat sesuatu di tempat ini. Tapi rasanya sukar untuk mengingat lebih jelas. Hanya samar-samar yang dapat di-rasakan. Tapi tempat ini diyakini punya kenangan tersendiri bagi dirinya. Tapi kenangan apa? Dia sendiri tidak jelas mengetahuinya.

"He he he..!"

Gadis itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara terkekeh. Begitu menoleh, tampak Nyai Klenting sudah berdiri tidak jauh darinya. Perempuan tua itu terus terkekeh seraya mengayun-ayunkan tongkatnya. Putri Naga Sewu bangkit berdiri, dan berbalik menghadap perempuan tua berjubah merah itu. Digenggamnya erat-erat pedang di tangan kirinya.

"Orang yang sudah mati tidak perlu diingat lagi, Pandan Wangi," kata Nyai Klenting masih juga menyebut Pandan Wangi pada gadis itu.

"Apa maksudmu berkata begitu, Nyai "Klenting?" ketus nada suara Putri Naga Sewu.

"He he he.... Kini aku sudah tahu, mengapa kau selalu tidak mengakui dirimu sebagai Pandan Wangi. He he he.... Kau selalu ingat dia, Pandan?" Nyai Klenting menunjuk ke kanan.

Putri Naga Sewu menoleh. Tampak seorang gadis berbaju merah menyala berdiri tidak jauh dari gerumbul semak. Gadis yang ternyata adalah Mayang itu melangkah mendekati Nyai Klenting, lalu berdiri di samping kanan wanita tua Itu

"Aku tahu, sebenarnya kau sudah mati. Tapi si tua bangka Jamus Itu menghidupkanmu kembali dengan Bunga Abadi. Bunga yang seharusnya jadi milikku!" ujar Nyai Klenting. "Tapi, biarlah! Aku tidak perlu lagi bunga busuk itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Kitab Naga Sewu dan Pedang Naga Geni darimu, Pandan."

"Aku jadi semakin tak mengerti pembicaraanmu, Nyai Klenting," ujar Putri Naga Sewu. Benar-benar sulit dipahami, karena dia sendiri tengah kebingungan tentang dirinya sendiri saat ini.

"Aku tidak butuh pengertianmu, Pandan! Hampir tiga purnama kau terbujur. Karena kau putri dari Sepasang Pendekar Banyu Biru, dan telah minum air susu ibumu, maka kau tidak bisa mati sesungguhnya. Kau hanya mati semu. Dan hanya dengan Bunga Abadi bisa hidup kembali, karena sudah hampir terlewat batas kematianmu yang sesungguhnya. Tapi itu tidak bisa terulang untuk kedua kali, Pandan. Sedikit saja jatuh pingsan, maka kematianmu sudah di ambang pintu. Tubuhmu juga tidak akan kuat. Kulitmu jadi peka. Jika sedikit saja tergores benda tajam, maka kau akan merasakan seperti tertusuk ribuan anak panah! Kemudian tubuhmu lemas, dan siapa saja dengan mudah dapat membunuhmu. Kecuali..., he he he.... Tapi itu tidak akan terjadi, Pandan Karena hari ini juga akan merasakan kematianmu yang sesungguhnya," panjang lebar Nyai Klenting berkata.

Putri Naga Sewu bergidik juga mendengarnya. Hal itu juga diketahuinya dari Eyang Jamus. Dan sekarang, dirinya bisa hidup kembali karena Eyang Jamus yang mengobatinya dengan Bunga Abadi. Bunga yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun.

"Nah! Sekarang bersiaplah untuk mati, Pandan Wangi! Hiyaaa...!"

"Tunggu...!"

Tapi Nyai Klenting sudah melompat menerjangnya dengan kecepatan tinggi. Putri Naga Sewu tidak bisa lagi berbuat banyak, selain menghindari terjangan itu. Bergegas dia melompat ke samping, dan bergulingan di atas batu-batu kerikil di tepi sungai ini. Tapi baru saja bisa bangkit berdiri, Mayang sudah melompat dan membabatkan pedangnya.

"Uts!"

Putri Naga Sewu tidak punya pilihan lain lagi, kecuali menjatuhkan dirinya dan bergulingan beberapa kali di atas kerikil kembali. Dan dengan cepat tubuhnya melompat bangkit, langsung melesat mundur menja, jarak. Tapi Nyai Klenting dan Mayang tidak lagi memberi kesempatan. Mereka berlompatan menyerang kembali dari dua jurusan.

"Mayang! Mengapa kau menyerangku!" seru Putri Naga Sewu meminta penjelasan.

"Karena kau adalah Pandan Wangi, dan juga sebagai penghalangku untuk memperoleh Rangga!" sahut Mayang seraya melayangkan pedangnya ke arah kepala.

"Uts!"

Putri Naga Sewu merundukkan kepalanya, sehingga tebasan pedang Mayang lewat di atasnya. Tapi sebelum juga Putri Naga Sewu bisa mengangkat kepalanya, Nyai Klenting sudah menusukkan ujung tongkatnya ke arah perut. Buru buru Putri Naga Sewu mengibaskan pedang yang masih berada di dalam sarungnya di tangan kiri.

Trak!

"Ikh...!" Nyai Klenting terperanjat kaget, dan langsung melompat mundur.

Seketika wajah perempuan tua itu jadi memerah. Tangannya mendadak kesemutan ketika tongkatnya beradu dengan pedang di tangan kiri Putri Naga Sewu yang diyakininya sebagai Pandan Wangi itu. Sedangkan saat itu Putri Naga Sewu sudah melompat menghindari kibasan pedang yang meluncur ke arah kaki. Saat berada di udara, kakinya menghentak ke depan, langsung mendarat di dada Mayang.

"Akh!" Mayang memekik tertahan. Gadis berbaju merah itu terhuyung-huyung belakang beberapa Iangkah Putri Naga Sewu bersalto di udara tiga kali, lalu menjejakkan kakinya di tana berkerikil. Jaraknya cukup jauh dari kedua orang yang menyerangnya tadi.

"Dengar! Aku tidak kenal dan tidak pernah punya urusan dengan kalian. Jangan membuatku jadi bertindak keras!" tegas Putri Naga Sewu, lantang suaranya.

"Pandan Wangi! Sebaiknya serahkan saja kitab dan pedang itu Dengan demikian, urusan ini aka selesai," kata Nyai Klenting juga lantang.

"Rakus! Seharusnya kau bersiap-siap, Nyai Klenting. Umurmu tinggal sejengkal lagi!" sinis nada suara gadis itu

"Kadal! Kau memang patut mampus, bocah seta Hiyaaa...!" Nyai Klenting tidak dapat lagi menahan amarahnya, dan lantas melompat sambil berteria keras melengking tinggi.

Pada saat yang sama, Mayang juga melompat dan berputar mengambil arah lain. Kembali Putri Naga Sewu yang diyakini kedua lawannya sebagai Panda Wangi itu harus menghadapi serangan dahsyat dari dua jurusan. Serangan-serangan yang datang bagai air bah itu datang tak henti-hentinya. Tapi sunggu mengherankan, Putri Naga Sewu manis sekali dia mengimbanginya. Bahkan tidak jarang mengirimkan serangan balasan yang sanggup membuat kedua wanita itu kerepotan menghindarinya. Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Bahkan tanpa terasa sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus. Tapi nampaknya Putri Naga Sewu masih sanggup melayani kedua lawannya.

"Awas kaki...!" Tiba-tiba Mayang berseru nyaring.

"Hait...!"

Putri Naga Sewu melompat begitu meiihat kilatan pedang menebas ke arah kaki. Tapi pada saat yang sama, ujung tongkat Nyai Klenling meluruk deras ke arah dadanya. Putri Naga Sewu tidak punya pilihan lain lagi. Diloloskan pedang dan disampoknya tongkat yang runcing itu.

"Hiya...!"
Trang!

Tongkat Nyai Klenting terpental terbabat pedang Naga Geni yang berwarna merah bagai terbakar itu. Namun pada saat yang hampir bersamaan, Mayang melompat ke atas melewati kepala Putri Naga Sewu. Begitu cepat lompatannya sambil melayangkan tendangan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

Putri Naga Sewu tidak bisa lagi menghindar. Tendangan yang keras bertenaga dalam itu langsung mendarat di punggungnya. Sebentar dia memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke depan, tersuruk jatuh mencium batu-batu kerikil yang panas terpanggang matahari.

"Mampus kau, bocah setan! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras, Nyai Klenting melompat dan menghunjamkan ujung tongkatnya ke tubuh Putri Naga Sewu. Tapi tinggal seujung rambut lagi ujung tongkat itu menghunjam tubuh Putri Naga Sewu, mendadak satu bayangan putih berkelebat cepat memotong arus.

Trang!

"Akh!" Nyai Klenting memekik kaget.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu dirasakan dadanya sesak. Bahkan tubuhnya terpental ke belakang beberapa tombak jauhnya. Tapi perempuan tua itu masih juga mampu melompat bangkit berdiri. Dengusannya begitu keras ketika melihat seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih sudah berdiri tegak di samping tubuh Putri Naga Sewu yang masih tengkurap di atas bebatuan.

"Rangga ," desis Mayang terkesiap saat mengenali pemuda berbaju rompi putih itu.

Seketika wajah Mayang jadi pucat pasi. Buru-buru tubuhnya berbalik dan hendak melompat kabur. Tapi belum juga niatnya tersampaikan, satu bayangan lain meluncur deras dan menghadangnya. Mayang terperanjat setengah mati. Apalagi setelah mengenali orang yang tahu-tahu sudah berdiri tegak menghadangnya. Ternyata dia adalah Cempaka, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Cempaka...," suara Mayang terdengar bergetar.

Mayang bergegas melangkah mundur mendekati Nyai Klenting. Mereka berdiri berdampingan. Yang seorang berwajah geram penuh kemarahan, sedangkan yang seorang lagi berwajah agak pucat dan kelihatan serba salah.

"Memuakkan! Mengeroyok orang yang tidak berdaya sama sekali!" dengus Rangga dingin.

"Anak muda! Apa urusanmu di sini?!" bentak Nyai Klenting.

"Apa pula yang kau kerjakan di sini?!" Rangga malah balik bertanya.

"Heh! Aku bertanya padamu, bocah setan!" bentak Nyai Klenting gusar.

"Aku benci menjawab pertanyaan manusia iblis macam dirimu!"

"Keparat! Barangkali kau punya nyawa rangkap, sehingga berani menghinaku!" dengus Nyai Klenting semakin gusar.

"Nyawaku hanya satu, tapi mampu meredam kebiadabanmu, perempuan Iblis!"

"Kadal! Monyet buduk' Mampus kau! Hiyaaa...!"

Nyai Klenting tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya, dan langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti itu. Kebutan tongkatnya sungguh luar biasa dahsyatnya, sehingga menimbulkan deru angin bagai topan. Dan Rangga hanya mengegoskan tubuhnya sedikit, sehingga kebutan tongkat Nyai Klenting tidak mengenai sasaran. Bahkan perempuan tua itu jadi kerepotan juga menghindari pukulan yang dilepaskan secara beruntun oleh Pendekar Rajawali Sakti itu.

Sementara Rangga dan Nyai Klenting bertarung, Cempaka bergerak perlahan mendekati Putri Naga Sewu yang masih tergolek tengkurap di bebatuan kerikil. Namun matanya tidak berkedip memandang Mayang. Cempaka baru berhenti bergeser setelah dekat dengan Putri Naga Sewu. Sedikit pun dia tidak berani berpaling karena tahu kalau Mayang cukup cerdas. Gadis itu bisa memanfaatkan kesempatan yang hanya sedikit saja.

Tapi Cempaka benar benar tidak berdaya, karena tiba-tiba saja Mayang melesat kabur. Cempaka memang tidak mungkin meninggalkan Rangga. Terlebih lagi di situ tergolek seorang gadis yang entah pingsan atau sudah tewas. Cempaka belum juga memeriksa gadis itu, karena pandangannya terpaku untuk menyaksikan pertarungan itu. Ini merupakan kesempatan baginya untuk menyaksikan pertarungan dua tokoh sakti yang ternama dalam rimba persilatan.

Pertarungan terus berlangsung semakin sengit, dan Cempaka memperhatikan tanpa berkedip Dia sampai tak tahu kalau Putri Naga Sewu mulai bergerak. Gadil itu pelahan-lahan bangkit berdiri dan melangkah menjauh. Meskipun langkahnya agak terhuyung, tapi masih mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sedangkan Cempaka sama sekali tidak menyadarinya!

Sementara pertarungan antara Rangga dan Ny Klenting masih berlangsung sengit. Perhatian Cempaka semakin terpusat pada pertarungan itu. Benar-benar tidak disadari kalau gadis yang dikira masih pingsan atau sudah mati itu telah meninggalkannya diam-diam. Dan gadis itu kini berlari kencang, tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.

"Modar...!" tiba-tiba Rangga berseru keras. Dan seketika itu juga tangan kanannya bergerak ce pat mengibas ke depan. Tepat pada saat yang sama, Nyai Klenting juga menghunjamkan tongkatnya ke arah dada. Dan tongkat itu pun bertemu tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti dengan kerasnya. Saat itu Rangga memang tengah mengerahkan Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Akh...!" Nyai Klenting terpekik tertahan. Tubuh perempuan tua Itu mencelat ke samping. dan sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Rangga sudah melompat sambil menghantamkan satu pukulan keras ke arah kepala. Pukulan yang mengandung tenaga dalam sempurna itu tidak dapat dihindari lagi, dan langsung mcnghajar kepala Nyai Klenting.

Prak!

"Aaakh. '" Nyai Klenting menjerit melengking.

Perempuan tua berjubah merah itu ambruk dan menggelepar di tanah. Dari kepala yang pecah, mengalir darah segar Hanya sebentar Nyai Klenting berkelojotan, sebnjutnya diam tidak bergerak lagi. Rangga langsung melompat menghampiri Cempaka.

"Cempaka, mana dia...?" tanya Rangga.

"Di...," suara Cempaka terputus.

Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu jadi celingukan. Sungguh mati tidak disadari kalau gadis yang diduga sudah mati itu telah lenyap dari sisinya. Cempaka memandang Rangga dengan sinar mata penuh permohonan maaf. Rangga menepuk pundak gadis itu penuh rasa pengertian. Memang, Pendeka Rajawali Sakti belum mengenali sosok yang tergolek pingsan tadi.

"Sudahlah, kita tidak tahu siapa dia. Ayo jalan lagi," ujar Rangga lembut penuh pengertian.

"Maaf, Kakang. Aku benar benar terkesima melihat pertarunganmu," ucap Cempaka lirih.

"Ayolah! Lupakan saja," sahut Rangga.

"Ke mana lagi kita pergi, Kakang? Seluruh Desa Banyu Biru rasanya sudah dijelajahi, tapi tidak ada tanda-tanda sama sekali," kata Cempaka mulai biasa kembali.

"Aku tidak tahu," sahut Rangga agak lesu. "Oh ya. Ke mana Mayang melarikan diri?" Rangga jadi ingat Mayang

"Entahlah," desah Cempaka seraya memegang bahunya

Rangga terdiam. Kepalanya tertunduk, dan keningnya berkerut cukup dalam. Cempaka memperhatikan. Dia tahu kalau kakak tirinya ini sedang berpikir keras. Memang agak heran juga, mengapa Mayang ada di Desa Banyu Biru ini. Tapi Cempaka tidak bisa menduga-duga.

"Kakang, apakah kuda kita aman di rumah penginapan itu?" tanya Cempaka mengalihkan perhatian.

"Aku pernah menginap di sana beberapa kali. Pemiliknya sudah kenal padaku," sahut Rangga. Namun keningnya masih juga berkerut.

"Ada yang dipikirkan, Kakang?" Cempaka tidak bisa juga menahan keingintahuannya.

"Ada," sahut Rangga mendrsah.

"Tentang apa?"

"Mayang. Aku heran, untuk apa dia berada di sini? Apakah dia sudah tahu kalau kita memang di sini?" Rangga seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Barangkali juga, Kakang Masalahnya sampai sekarang dia masih tetap mengharapkanmu. Aku yakin kalau dia juga sudah tahu tentang hilangnya Pandan Wangi," Cempaka mengemukakan pendapatnya.

"Dia memang sudah tahu," kata Rangga.

"Bahaya...!" desis Cempaka.

Rangga menatap dalam-dalam gadis itu.

"Bukankah Mayang masih dendam pada Kak Pandan, Kakang? Aku pernah melihatnya sedang menimpuki pusara Kak Pandan dengan batu kerikil. Dia itu seperti sudah gila. Aku jadi menduga kalau dia berusaha mendahuluimu menemukan Kak Pandan, dan mencoba membunuhnya. Atau bahkan mungkin mencincangnya," lagi-lagi Cempaka mengemukakan dugaannya yang selama ini terpendam.

"Apa itu mungkin, Cempaka?" Rangga sedikit terpengaruh juga

"Mungkin saja. Coba lihat saja tadi. Dia sudah berani bergabung dengan orang lain yang berilmu tinggi. Sejak diusir dari Karang Setra, Mayang memang seperti sudah gila, Kakang. Terus terang saja, sebenarnya aku tahu kalau Mayang tidak jauh-jauh meninggalkan Karang Setra. Tapi aku diam saja. Aku juga sering mendapat laporan kalau Mayang selalu membunuhi gadis-gadis yang memakai baju biru. Anggapannya, gadis berbaju biru adalah Pandan Wangi. Dia begitu dendam, tapi juga licik. Segala ucapannya tidak pernah sesuai dengan hatinya."

"Sudah tahu begitu, ke ..." ucapan Rangga terputus tiba tiba. Dia langsung tertegun, seperti mendapat lintasan dalam benaknya

"Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka.

"Sebentar, Cempaka. Kalau tidak salah, gadis itu tadi juga memakai baju biru...," agak ragu-ragu nada suara Rangga.

"Memang benar," sahut Cempaka "Bahkan memegang pedang yang berwarna merah."

"Naga Geni...," desis Rangga cepat.

Tiba-tiba kenangan manis bersama Pandan Wangi terlintas di benak Pendekar Rajawali Sakti.

"Tapi, apakah mungkin?" tanya Rangga dalam hati.

Benak Rangga kini dipenuhi oleh pertanyaan ya membingungkan, sekaligus mendebarkan hatinya. Jangankan Cempaka, Rangga sendiri sukar untuk mempercayai kalau gadis yang telah mereka tolong dari maut adalah Pandan Wangi. Tapi melihat ciri-ciri yang begitu persis, mereka mulai diliputi keragu-raguan lan kebimbangan.

Sayangnya, di antara mereka tidak ada yang sempat melihat wajahnya Tapi ketika melihat pedang itu, Rangga yakln kalau pedang itu adalah Pedang Naga Geni. Tidak ada lagi pedang yang berwama merah bagai besi terbakar selain Pedang Naga Geni milik Pandan Wangi

"Apakah Pandan Wangi masih hidup? Atau ada orang lain yang... Tidak! Tidak mungkin...!" Rangga membantah sendiri pemikirannya. Perasaannya benar-benar bergolak Antara ada dan tiada. Antara rindu dan ketidakpastian.

Pendekar Rajawali Sakti itu yakin benar kalau Pedang Naga Geni terkubur bersama tubuh Pandan Wangi. Sedangkan Kitab Naga Sewu memang sudah dimusnahkan pandan Wangi di Pulau Karang, setelah menguasai seluruh jurus-jurus yang ada di dalam kitab itu. Sayangnya, waktu itu Rangga tidak sekalian mengubur kipas baja yang menjadi ciri khas Pandan Wangi. Kipas itu kini tersimpan dalam ruangan penyimpanan senjata pusaka di Kerajaan Karang Setra. Dan Rangga memang sengaja menyimpannya untuk selalu dapat mengenang gadis yang sangat dicintainya itu.

Sudah setengah harian Rangga berdiri mematung di depan jendela kamar penginapannya. Sedangkan Cempaka sudah sejak tadi keluar. Katanya ingin melihat-lihat suasana di Desa Banyu Biru ini, sambil mencari keterangan. Hampir semua orang yang melintas di depan rumah penginapan ini jadi perharian Rangga, terlebih lagi para gadis yang berbaju biru.

Dan ketika mata Pendekar Rajawali Sakti itu menatap seorang gadis yang berjalan bersama seorang laki-laki tua berjubah putih, seketika aliran darahnya berdesir kuat. Apalagi gadis itu juga membawa pedang. Maka detak jantungnya terasa lebih cepat berdenyut. Rangga menggosok-gosok matanya, setengah tidak percaya dengan yang dilihatnya ini. "Pandan...," desis Rangga.

Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat keluar dari jendela kamar penginapannya. Langsung dikejarnya dua orang yang dilihatnya. Tapi ke adaan jalan yang penuh orang hilir mudik, membuat langkahnya agak tertahan. Tapi Rangga terus mengerahkan pandangannya pada dua orang yang berjalan cukup jauh darinya.

"Pandan...!" teriak Rangga memanggil. Tepat pada saat itu, sebuah kereta kuda melintas di depannya. Kalau saja Rangga tidak cepat melompat ke tepi, pasti akan terlanggar kereta yang melaju cukup kencang. Padahal jalan ini bisa dikatakan begitu padat. Pandangan Rangga terhalang sesaat. Dan begitu kereta kuda berlalu, dua orang yang dikejarnya sudah tidak terlihat lagi.

Rangga bergegas melangkah cepat, dan baru berhenti setelah tiba di tempat dua orang yang dilihatnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke sekeliling, namun tidak juga menemukan dua orang yang dicari. Dia bersungut-sungut kesal, memaki kereta kuda yang lewat dan menghalangi pandangannya tadi.

Rangga menghampiri seorang penjual buah-buahan di dekatnya. Penjual buah itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ditawarkan buah semangka Yang cukup besar ukurannya, tapi Rangga menolak halus.

"Maaf, Kisanak. Aku ingin bertanya," kata Rangga sopan.

"Boleh saja, Den, tapi beli dulu buahku ini," sahut penjual buah itu.

"Baiklah. Berapa harga semangka itu?" Rangga menyerah

"Berapa saja, Den. Asal tidak rugi."

Rangga mengeluarkan sekeping uang perak, dan menyerahkannya pada penjual semangka itu. Tentu saja laki-laki setengah baya penjual buah itu terbeliak. Sekeping uang perak sudah lebih untuk memborong Semua dagangannya.

"Kisanak, apakah tadi melihat seorang laki-laki tua berjubah putih membawa tongkat bersama seorang gadis berbaju biru lewat di sini?" tanya Rangga langsung tanpa mempedulikan penjual buah yang masih terkesiap itu.

"Oh, eh.... Apa, Den?" penjual buah itu tergagap Rangga mengulangi pertanyaannya dengan sedikit kesal.

"Wah! Banyak yang lewat, Den. Tapi sepertinya Raden menanyakan Eyang Jamus...," agak ragu-ragu juga penjual buah itu menjawab.

"Eyang Jamus? Siapa dia?" tanya Rangga.

"Seorang tabib yang sangat terkenal dan sakti. Segala macam penyakit bisa disembuhkan. Bahkan dia punya ilmu yang aneh-aneh. Kalau dilihat dari ciri-ciri yang Aden sebutkan tadi, tidak ada orang lain yang memakai jubah putih bertongkat hitam selain Eyang Jamus," jelas penjual buah itu.

"Apakah tadi dia lewat sini?" Rangga ingin ketegasan.

"Baru saja, Den. Kalau memang benar Eyang Jamus yang dimaksudkan."

"Bersama seorang gadis berbaju biru?" tanya Rangga lagi.

"Hm...," penjual buah itu berpikir sejenak. " iya, Den. Kabarnya Eyang Jamus memang kedatangan cucunya dari kota. Mungkin juga tadi dia berjalan bersama cucunya.

"Ke mana perginya?"

"Arahnya ke sana...," penjual buah itu menunjuk ke suatu arah. "Pasti dia pulang, Den. Rumahnya terpencil, jauh di sana."

"Kisanak pernah melihat cucunya?" tanya Rangga semakin tertarik.

"Wah belum, Den. Itu juga hanya dengar-dengar saja. Soalnya belum ada yang pernah melihat. Hanya dengar saja, Den."

"Ya, sudah. Terima kasih "

Rangga langsung melangkah pergi.

"Eh, Den...! Buahnya...!"

"Jual saja pada orang lain!"

"Ha...!" penjual buah itu terlongong

Tapi hanya sebentar saja. Sesaat kemudian dia berjingkrak gembira. Tidak disangka-sangka, hari ini mendapat sekeping uang perak. Dengan uang itu usahanya bisa bertambah dua kali lipat! Padahal buah dagangannya saja masih begini banyak. Penjual buah itu tidak peduli dengan dagangannya yang masih banyak. Langsung saja dibenahi dan beranjak pulang penuh kegembiraan.

"Dasar rejeki nomplok! He he he...!" penjual buah itu terkekeh kegirangan sendirian, persis orang gila.

Rangga memandangi rumah kecil yang letaknya terpencil, jauh dari rumah penduduk lainnya. Rumah itu dinaungi pohon beringin yang sangat besar. Memang, cukup teduh dan nyaman. Pelahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya' mendekati rumah itu. Keakeadaannya sangat sepi, seperti tidak ada orang di dalam rumah itu.

"Silakan masuk, Anak Muda. Pintu tidak terkunci."

Rangga tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara tua yang parau dari dalam rumah kecil itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap mengayunkan langkahnya mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sebentar berhenti, kemudian tangannya mendorong pintu dari kayu itu. Suara bergerit terdengar dari engsel yang berkarat tidak pemah tersiram minyak.

Sejenak Rangga memandangi bagian dalam yang tidak begitu luas. Hanya ada sebuah dipan bambu beralaskan tikar daun pandan, dan sebuah altar baru pualam putih dengan kolam kecil yang panjang. Tidak ada lagi perabotan, kecuali sebuah lemari kecil di samping dipan bambu itu.

"Masuklah," kata seorang laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersila di batu pualam putih.

Rangga melangkah masuk, tapi hanya berdiri saja memandang laki-laki tua berjubah putih itu. Dialah yang dilihatnya tadi berjalan bersama seorang gadis yang wajahnya mirip Pandan Wangi.

"Silakan duduk, tapi tidak ada kursi di sini," kata laki-laki tua itu ramah.

"Terima kasih," ucap Rangga seraya duduk bersila di lantai.

"Ada keperluan apa hingga datang mengunjungiku, Anak Muda?" tanya laki-laki tua itu tetap ramah suaranya

"Hanya ingin bertanya saja, Eyang..."

"Jamus. Panggil saja aku Eyang Jamus."

"Baiklah," desah Rangga.

"Maaf, terpaksa duduk di lantai. Di sini aku tidak pernah membedakan siapa pun. Semua yang datang ke sini kuanggap sama, meskipun seorang raja besar yang sepatutnya diberi tempat layak," kata Eyang Jamus yang sudah tahu siapa sebenarnya pemuda yang datang ke rumahnya ini.

"Tidak mengapa, Eyang," ucap Rangga maklum.

"Nah! Katakan, apa kepeduanmu sehingga sempat datang ke gubukku ini?"

"Maaf, Eyang. Aku hanya ingin bertemu cucumu," kata Rangga langsung.

"Hm...," Eyang Jamus mengerutkan alisnya hingga bertaut hampir menyatu. "Apa tidak salah alamat, Anak Muda? Aku tahu, siapa kau sebenarnya. Kau seorang raja, dan seorang pendekar temama tanpa tanding. Ada apa dengan cucuku? Apakah punya kesalahan padamu?"

"Sama sekali tidak. Aku hanya...," suara Rangga terputus.

"Teruskan," pinta Eyang Jamus.

Tiba-tiba Rangga terkesiap. Pandangan matanya lurus melewati belakang Eyang Jamus. Ternyata di sana telah berdiri seorang gadis berwajah cantik memakai baju biru dengan pedang tersampir di punggung. Sebenarnya gadis Itu biasa saja, tapi wajahnya sempat membuat Rangga tidak berkedip memandangnya.

"Pandan...," desis Rangga tanpa sadar Ingin rasanya Rangga menubruk gadis yang wajahnya mirip Pandan Wangi itu Kalau saja tidak ada Eyang Jamus, mungkin gadis itu langsung dipeluk dan diciuminya. Antara percaya dan tidak, yang jelas Rangga menyaksikan bahwa gadis itu bagaikan Pandan Wangi yang hidup kembali. Maka dengan seketika, jantungnya berdetak keras. Gelora cinta dan rindunya kian bergejolak.

Eyang Jamus segera memutar tubuhnya, dan tersenyum. Lalu diberinya isyarat agar gadis itu mendekat. Laki-laki tua itu kembali memutar tubuhnya dalam keadaan masih tetap duduk bersila. Gadis berbaju biru itu melangkah mendekati Eyang Jamus, kemudian duduk di samping altar pualam putih itu.

"Ini cucuku, Anak Muda," kata Eyang Jamus.

"Oh!" Rangga tersentak, langsung mengalihkan pandangannva dari gadis itu pada Eyang Jamus. Mata Rangga benar-benar tertutup, seperti tak memandang ada laki laki tua di hadapannya.

"Dia bernama Naga Sewu," ujar Eyang Jamus memperkenalkan

"Naga Sewu...?" gumam Rangga. Ingatan Pendekar Rajawali Sakti langsung tertuju pada Kitab Naga Sewu. Dipandanginya gadis itu lagi. Gagang pedang yang menyembul membuat pemuda itu tertegun. Tidak salah lagi! Pedang itu memang benar Pedang Naga Geni. Rangga menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Sungguh mati tidak ditemukan perbedaannya dengan Pandan Wangi. Wajah, bentuk tubuh, dan segala-galanya sangat mirip Pandan Wangi. Mungkinkah Pandan Wangi hidup kembali?

Tapi Rangga tidak percaya kalau Pandan Wangi masih hidup. Jelas kalau si Kipas Maut itu sudah tewas di tangan Purbaya. Pandan Wangi telah tewas di dalam pelukannya. Dan pusaranya selalu ditunggu selama tiga hari tiga malam. Lalu, siapa gadis di depannya ini sebenanya? Dan di mana mayat Pandan Wangi yang hilang? Macam-macam pertanyaan berkecamuk di dalam benak Rangga. Pertanyaan-pertanyaan yang sukar untuk dijawab sekarang ini.

"Anak Muda...," tegur Eyang Jamus.

Lagi-lagi Rangga tergagap kaget. "Eyang, boleh bicara denganmu berdua saja?" pinta Rangga setelah bisa menenangkan dirinya.

"Kenapa? Bukankah tadi ingin bertemu dengan cucuku?"

"Benar, Eyang. Tapi...," Rangga melirik gadis yang masih diam saja di tempatnya.

"Anak Muda. Sebenarnya maksud kedatanganmu ke sini sudah kuketahui," kata Eyang Jamus

Rangga terdiam. Kembali diliriknya gadis itu. Entah kenapa, setiap kali melirik, selalu ada perasaan yang bergejolak di hatinya. Perasaan yang sukar untuk digambarkan, tapi begitu indah jika jadi kenyataan.

"Naga Sewu, bisa kau pergi sebentar?" pinta Eyang Jamus yang bisa merasakan perasaan Pendekar Rajawali Sakti itu

Putri Naga Sewu tidak membantah, lalu beranjak bangkit dan melangkah ke luar. Tapi sempat ju melirik pada Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti! tidak bisa mengartikan lirikan gadis itu yang langsu menghilang di balik pintu. Rangga menggeser duduknya lebih mendekat lagi pada Eyang Jamus. Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti mereka berdua. Sepertinya, masing-masing tengah sibuk berbicara dalam pikirannya.

"Eyang, benarkah dia cucumu dan bernama Naga Sewu?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Bukan," sahut Eyang Jamus singkat

"Bukan...?!" Rangga tersentak. Entah kenapa tiba-tiba saja dirasakan aliran darahnya seperti terba Bahkan jantungnya kembali jadi lebih cepat berdetak.

"Aku sendiri masih belum tahu, siapa dia sebenarnya. Meskipun aku sendiri selalu dihantui dugaa Yaaah.... memang tidak bisa disangkal kalau wajahnya begitu mirip cucu sahabat karibku, si Kakek Tangan Seribu," kata Eyang Jamus terus terang.

"Siapa...?!" Rangga menggerinjang kaget mendengar nama Kakek Tangan Seribu disebut

"Nampaknya kau mengenali nama itu, Anak Muda."

"Aku sempat bertemu dengannya, Eyang. Dan pasti Eyang sudah mendengar peristiwa di Bukit Setan. Aku terlibat langsung di dalamnya. Yaaah..., memang sangat kusesalkan kematiannya," kata Rangga pelan.

"Ya, aku tahu. Justru itu kau sudah kukenal meskipun tidak kau sebutkan namamu, Rangga."

"Maafkan."
"Tidak apa."

"Hm..., Jadi Eyang juga beranggapan kalau dia itu...," kembali suara Rangga terputus. Tapi hatinya terus berkata, dan berharap kalau gadis itu adalah Pandan Wangi.

"Benar. Tapi aku tidak yakin;" sahut Eyang Jamus bisa mengerti. "Naga Sewu adalah nama pemberianku, karena dia tidak bisa lagi mengingat tentang diri dan masa lalunya. Sudah cukup lama dia terkubur..."

"Terkubur...?!" sentak Rangga memutus kata-kata yang Jamus. Hati Rangga makin diliputi perasaan tak menentu. Harapan yang semula tak mungkin, entah bagaimana caranya, harus menjadi mungkin.

"Benar, Rangga. Hampir tiga purnama Naga Sewu terkubur. Aku sendiri tidak tahu, apa sebabnya. sampai terkubur selama itu. Memang ada suatu ilmu yang disebut 'Ilmu Mati Semu'. Seseorang bisa diduga mati, padahal sebenarnya jiwanya masih hidup. Tapi setahuku, paling tahan tiga atau tujuh hari lamanya. Tapi yang terjadi pada diri Naga Sewu sungguh luar biasa! Ketahanannya hampir menyamai ilmu yang dimiliki salah seorang dari Sepasang Pendekar Banyu Biru."

"Bukankah itu orang tua Pandan Wangi...?" potong Rangga.

"Benar. Tapi aku tidak yakin kalau ibu Pandan Wangi menurunkan ilmunya pada anaknya. Karena mereka meninggal saat Pandan Wangi baru saja satu bulan dilahirkan, dan langsung dibawa oleh kakeknya. Entah ke mana, aku sendiri tidak tahu."

"Ya, aku tahu. Kakek Tangan Seribu pernah cerita padaku sebelum tewas dalam pertarungannya melawan Nenek Jubah Merah. Sayang, Kakek Tangan Seribu tidak menceritakannya lebih rinci. Juga tentang kehidupan Eyang Abiyasa yang merawat Pandan Wangi."

"Itulah yang menjadi keraguan dalam diriku, Rangga. Selama ini, kudengar kalau Pandan Wangi dibawa Abiyasa dalam pengembaraannya. Dan dia baru berada di Desa Banyu Biru setelah kakeknya itu meninggal Dalam pertarungan itu, aku sendiri tidak tahu permasalahannya. Belum lama Pandan Wangi tinggal bersama Kakek Tangan Seribu, tapi musibah sudah melanda lagi."

"Hm.... Eyang, apakah 'ilmu Mati Semu' adalah ilmu keturunan?" tanya Rangga

"Memang bisa dijadikan ilmu keturunan, tapi..."

"Kenapa?"

"Ilmu itu bisa diturunkan pada saat masih bayi melalui air susu ibunya. Dan itu pun kalau ibunya sempat menyusui paling sedikit tiga puluh kali. Setelah itu barulah ilmu itu akan menurun. Yaaah..., memang ada kemungkinan bisa semakin hebat pada keturunannya.

"Eyang! Apa tidak mungkin ketika masih bayi Pandan Wangi diberi air susu ibunya?" duga Rangga

"Rasanya mungkin juga, Rangga. Walaupun Pandan Wangi langsung dibawa Abiyasa begitu orang tuanya meninggal, tapi mungkin masih sempat disusui. Memang sewaktu dibawa pergi, tidak ada seorang pun yang tahu. Mereka seperti menghilang begitu saja, hingga Pandan sudah besar baru muncul di desa ini."

Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu terdiam. Rangga menekur memandangi lantai di depannya. Sedangkan Eyang Jamus mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih keperakan. Hampir bersamaan mereka menarik napas panjang, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dada masing masing. Persoalan yang dihadapi memang tidak mudah, karena orang-orang yang mungkin ada sangkut pautnya dengan Pandan Wangi sudah meninggal.

"Eyang, di mana letak kuburan Naga Sewu ketika itu?" tanya Rangga tiba tiba teringat kata-kata yang tadi diucapkan Eyang Jamus.

"Di sebelah Timur Karang Setra. Tepatnya di...."

"Bukit Karungan...!" selak Rangga cepat.

"Benar."

"Tidak salah lagi, Eyang. Dia pasti Pandan Wangi!" entah bagaimana caranya, Rangga berusaha memastikan kalau gadis itu adalah Pandan Wangi. Perasaannya kini meledak-ledak.

"Bagaimana kau bisa memastikan, Rangga?" tanya Eyang Jamus

"Eyang, kedatanganku ke Desa Banyu Biru memang untuk mencari mayat Pandan Wangi yang hilang dari kuburannya. Karena, kudapatkan kuburan itu sudah terbongkar," jelas Rangga singkat

"Memang aku yang membongkar kuburan itu," Eyang Jamus mengakui terus terang.

"Kenapa ?"

"Dengar dulu penjelasanku, Rangga. Hal itu kulakukan dengan berbagai pertimbangan. Aku tidak tahu sama sekali ada pusara di sana. Dan aku juga tidak tahu letak Bukit Karungan, kalau saja tidak ada petunjuk dari mimpi-mimpiku yang aneh. Yaaah.... Seandainya gagal, jenazahnya pasti kukembalikan lagi ke pusaranya semula. Tapi aku berhasil. Hanya saja gadis itu jadi seperti bayi yang baru lahir. Dia tidak tahu siapa dirinya, dan tidak bisa lagi mengingat latar belakang dan masa lalunya. Aku memang sudah menduga sebelumnya, karena ia sudah lama terkubur," jelas Eyang Jamus singkat.

"Ja... jadi, Pandan Wangi hidup lagi?" Rangga seperti tak percaya. Sinar matanya berbinar-bina memancarkan kebahagiaan yang amat sangat.

Eyang Jamus hanya menganggukkan kepalanya sedikit. Dan Rangga sudah tahu maksudnya. Bahkan hampir saja dia berteriak seperti anak kecil yang menemukan mainannya kembali.

"Lalu, bagaimana untuk mengembalikan dirinya yang sesungguhnya, Eyang?" desak Rangga, seperti tidak sabar.

"Hanya ada satu cara."
"Apa?"
"Dikubur kembali "

Sejak bertemu Pandan Wangi yang kini memakai nama Putri Naga Sewu, hati Rangga yang semula berbunga-bunga, kini jadi sering murung menyendiri. Semula memang diyakini kalau Putri Naga Sewu adalah Pandan Wangi. Tapi gadis itu tetap menyangkal bahwa dirinya bukan Pandan Waingi! Bahkan tidak ingat sama sekali terhadap Rangga Memang benar kata Eyang Jamus Gadis itu bagai bayi yang baru di lahirkan.

Beberapa kali Rangga mencoba untuk mengembalikan ingatan Pandan Wangi, tapi selalu gagal. Gadis itu tetap tidak ingat dirinya yang sebenanya. Malah sekarang lebih suka dipanggil Putri Naga Sewu. Rangga tidak tahu Iagi apa yang harus dilakukan, kini Memang, tidak ada cara lain untuk mengembalikan Pandan Wangi pada keadaan seperti semula, selain yang dikatakan Eyang Jamus. Dikubur kembali sela tiga hari.

Pagi-pagi sekali Rangga dan Cempaka sudah berada dirumah Eyang Jamus. Pendekar Rajawali Sakti sudah memutuskan untuk menyetujui usul Eyang Jamus, meskipun tahu resikonya terlalu tinggi bagi keselamatan Pandan Wangi yang kini masih juga memfl| kai nama Putri Naga Sewu.

"Berangkat sekarang?" tanya Eyang Jamus.

"Baik," sahut Rangga mantap.

"Kuda dan perbekalan sudah kusiapkan," selak Cempaka.

"Bagaimana, Naga Sewu. Sudah siap?" Eyang Jamus menatap Putri Naga Sewu

"Sudah," sahut Putri Naga Sewu mantap.

"Baiklah. Ayo kita berangkat"

Empat orang keluar dari dalam rumah kecil itu. Empat ekor kuda sudah siap menanti di depan pintu. Mereka segera melompat ke punggung kuda masing-masing. Eyang Jamus menggebah kudanya lebih dahulu. Cempaka membarengi di sampingnya. Sengaja ditinggalkan Rangga dan Putri Naga Sewu di belakang. Rangga masih berusaha meyakini gadis itu sebagai Pandan Wangi Kadang kala, di benak Rangga terlintas kalau dirinya tengah berjalan bersama gadis yang dicintainya. Tapi jika teringat bahwa gadis itu lupa terhadap dirinya, hati Rangga seperti terpukul.

Empat orang berkuda itu memacu kudanya tidak terlalu cepat Memang tidak dikejar waktu. Kapan saja bisa dilaksanakan. Rangga mengendalikan Kuda Dewa Bayu di samping Putri Naga Sewu. Sesekali diliriknya gadis itu. Setiap kali pandangannya tertumpu pada wajah cantik di sampingnya, terselip suatu perasaan ganjil. Meskipun yakin kalau gadis itu adalah Pandan Wangi, tapi masih terselip keraguan di hatinya. Keraguan yang didasarkan pada keyakinannya kalau Pandan Wangi sudah tewas tiga bulan yang lalu. Dan sekarang seorang gadis yang begitu serupa segala galanya dengan Pandan Wangi tengah berkuda di sampingnya. Tidak ada sedikit pun perbedaannya.

"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang dan terasa begitu berat.

"Ada apa? Kok menarik napas?" tegur Putri Naga Sewu seraya menoleh menatap pemuda di sampingnya.

"Tidak apa-apa," sahut Rangga disertai desahan panjang.

"Kelihatannya ada yang dipikirkan," ujar Putri Naga Sewu tetap memperhatikan

"Mungkin. Tapi aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan," sahut Rangga terus terang.

"Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan diriku," tebak Putri Naga Sewu.

Rangga terkejut mendengar tebakan yang tepat itu. Secara jujur dirinya memang tengah memikirkan gadis itu. Dia cemas kalau usaha Eyang Jamus mengalami kegagalan. Itu berarti untuk selamanya tidak akan bisa bertemu Pandan Wangi lagi. Menurut Eyang Jamus, pekerjaan ini mengandung resiko nyawa bagi gadis itu. Kegagalan sedikit saja mcngakibatkan kematian yang sebenamya.

Tapi jika berhasil, maka gadis itu akan memiliki satu ilmu yang langka dan tidak ada duanya di dunia ini. ilmu yang bisa mematikan diri dan menghidupkannya kembali sesuka hati. Dan yang pasti, kekuatan ilmu untuk mati semu itu hanya selama tujuh hari. Lebih dari itu akan mati selama-lamanya.

"Boleh kutanya kau sesuatu, Kakang?" ucap Putri Naga Sewu yang sudah membiasakan memanggil Rangga dengan sebutan Kakang. Dan ini memang sudah diminta Rangga sebelumnya.

"Apa yang akan kau tanyakan?" sambut Rangga.

"Kenapa kau begitu yakin kalau aku ini Pandan Wangi?" tanya Putri Naga Sewu.

"Sukar untuk dikatakan, Naga Sewu. Tapi aku tetap yakin kalau kau adalah Pandan Wangi," sahut Rangga hati-hati.

"Apa karena wajahku yang mirip kekasihmu itu?" tebak Putri Naga Sewu.

"Mungkin salah satunya. Tapi dari cerita Eyang Jamus, kau diambil dari dalam kubur. Dan aku tahu betul kalau kuburan itu adalah kuburan Pandan Wangi. Itu sebabnya jauh-jauh mencarimu sampai ke sini."

Putri Naga Sewu diam saja.

"Aku yakin, kau adalah Pandan Wangi. Bukan Putri Naga Sewu," lanjut Rangga. Sepertinya berusaha meyakinkan gadis di sampingnya.

Putri Naga Sewu tetap diam. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Dan Rangga sendiri juga sudah tidak bicara lagi. Sementara mereka semakin jauh meninggalkan Desa Banyu Biru.

Malam sudah jatuh dalam pelukan alam. Gelap menyelimuti seluruh permukaan bumi. Saat ini bulan bersinar penuh, dan langit pun terlihat cerah. Bintang-bintang gemerlap menambah indahnya malam ini. Rangga duduk bersila di depan seonggok api unggun. Di sampingnya duduk Cempaka. Sedangkan Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu berada agak jauh dari tempat itu. Entah apa yang tengah mereka bicarakan.

"Kakang ," bisik Cempaka tiba-tiba.

"Aku sudah tahu, Cempaka. Sebaiknya beritahu Eyang Jamus dan Naga Sewu,'' kata Rangga bisa menangkap bisikan itu.

"Sejak dari Desa Banyu Biru mereka mengikuti, Kakang,'' kata Cempaka setengah berbisik.

"Benar. Aku juga ingin tahu apa maksudnya membuntuti kita," sahut Rangga kalem.

Rangga dan Cempaka menoleh. Eyang Jamus dan Putri Naga Sewu datang menghampiri. Mereka duduk melingkar mengelilingi api unggun yang tidak begitu besar. Pandangan Eyang Jamus lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa yang mereka inginkan, Rangga?" tanya Eyang Jamus yang rupanya juga sudah mengetahui kedatangan tamu-tamu tidak diundang.

"Entahlah, mungkin...," Rangga melirik Putri Naga Sewu.

"Hm... Rupanya mereka masih juga menginginkan pedang ini," gumam Putri Naga Sewu. Gadis itu juga sudah tahu.

Keempat orang itu tetap duduk diam tanpa bicara-bicara lagi, namun jelas bersikap waspada penuh. Suara-suara Iangkah kaki yang begitu ringan semakin jelas terdengar. Dalam hati, Rangga menghitung tamu-tamu tak diundang itu. Ada sekitar empat atau lima orang. Dan tampaknya bukan orang-orang sembarangan. Suara Iangkah kaki itu demikian halus, dan hampir tidak terdengar. Itu sudah menandakan kalau ilmu yang dimiliki cukup tinggi. Siapa mereka...?

Belum sempat pertanyaan di dalam benak Rangga terjawab, mendadak sebatang tombak panjang meluncur deras ke arah Putri Naga Sewu. Hanya dengan sedikit memiringkan tubuh, tombak itu menancap dalam pada sebatang pohon di samping gadis itu. Sebatang tombak hitam kemerahan dan sebelum lagi keempat orang itu bisa bergerak, mendadak melesat puluhan anak panah.

Keempat tokoh rimba persilatan itu serentak berlompatan menghindari hujan anak panah itu. Meskipun serangan itu hanya sekali, namun puluhan anak panah itu cukup mengancam nyawa mereka. Sekilas, Rangga melihat sebuah bayangan berkelebat dalam semak. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mengejar.

"Hiyaaa...!"

Tepat begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti menembus semak, sebuah bayangan melesat ke atas, lalu hinggap di atas dahan. Dan belum lagi Rangga keluar dari dalam semak, dari segala penjuru bermunculan sekitar enam orang bersenjata golok dan tombak. Tanpa berkata apa apa, mereka berlompatan menyerang Putri Naga Sewu, Eyang Jamus dan Cempaka.

Malam yang semula hening tenang itu, seketika pecah oleh pekik dan teriakan pertempuran, ditingkahi benturan senjata beradu. Rangga cepat-cepat melompat keluar dari dalam semak, dan langsung terjun ke dalam kancah pertempuran itu. Tapi belum juga sempat melayangkan satu pukulan, mendadak sebuah bayangan berkelebat memotong arahnya.

"Hait..!"

Pendekar Rajawali Sakti Itu melentingkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya kini berputar beberapa kali di udara, kemudian mendarat manis di tanah. Tatapan matanya tajam menangkap sesosok tubuh perempuan tua kurus. Tongkat di tangannya, pada ujungnya berbentuk tengkorak bertanduk

"Dewi Tengkorak Hitam...," desis Rangga mengenali perempuan tua itu. Pendekar Rajawali Sakti pernah bertemu orang ini sekali ketika terjadi pertempuran di Bukit Setan. Memang sudah bisa ditebak kemunculan perempuan berhati iblis ini Yang jelas, pasti ingin merebut Pedang Naga Geni yang ada di tangan Putri Naga Sewu.

"He he he ! Kalian tidak akan pernah sampai ke Karang Setra, Dewi Tengkorak Hitam terkekeh. "Pandan Wangi! Serahkan pedang dan kitab pusaka itu!"

Namun Putri Naga Sewu yang merasa dirinya bukan Pandan Wangi, hanya diam saja. Padahal Dewi Tengkorak Hitam menatap tajam padanya.

"Phuih! Kalau aku tahu pedang itu terkubur bersamamu, sudah dari dulu kubongkar!" rungut Dewi Tengkorak Hitam.

"Kotor sekali mulutmu, Nisanak!" geram Rangga.

"Wadya Bala, serang! Bunuh mereka semua...!" seru Dewi Tengkorak Hitam keras.

Seketika itu juga enam orang bersenjata golok dan tombak, serentak berlompatan menyerang. Eyang Jamus melompat mundur memberikan kesempatan pada Putri Naga Sewu dan Cempaka untuk menghadapi enam orang.itu. Sedangkan Dewi Tengkorak Hitam segera merangsek Pendekar Rajawali Sakti. Eyang Jamus sudah dapat mengukur kalau enam orang itu tidak akan mampu menghadapi Cempaka dan Putri Naga Sewu. Seorang saja dari dua gadis itu, belum tentu dapat ditundukkan

Tidak heran kalau sebentar saja sudah terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya salah seorang dari mereka disertai simbahan darah. Belum lagi hilang suara jeritan itu, disusul jeritan lainnya. Melihat dua orang roboh dengan mudah, Cempaka melompat mundur Dibiarkan saja Putri Naga Sewu bertarung sendirian.

Meskipun tidak menghunus Pedang Naga Geni, namun Putri Naga Sewu mampu membuat empat orang lawannya jatuh bangun menghadapinya. Dan sebentar kemudian dua orang lawannya terjengkang, langsung tewas seketika. Putri Naga Sewu berteriak keras, disusul satu lompatan cepat bagai kilat. Dua pukulan dilepaskan secara beruntun. Maka, dua orang lawannya yang tersisa, tidak dapat lagi menghindar.

Bug! Bug!

Dua jeritan melengking terdengar menyayat, kemudian dua tubuh besar itu terjungkal ambruk ke tanah. Kepala mereka pecah dan dada melesak masuk ke dalam. Hanya sebentar bisa bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Putri Naga Sewu berbalik menatap Cempaka yang mengacungkan jempolnya. Kedua gadis itu berdiri berdampingan menyaksikan pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Dewi Tengkorak Hitam.

Mengetahui tinggal sendirian, Dewi Tengkorak Hitam agak gentar juga hatinya. Padahal sudah dikerahkan lebih dari dua puluh jurus, tapi belum sedikit pun dapat mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Kegentaran semakin melanda hati perempuan tua itu.

"Mayang, bantu aku...!" tiba-tiba Dewi Tengkoral Hitam berseru nyaring.

Seruan yang keras itu membuat semua orang yang ada di hutan itu terkejut setengah mati. Lebih-lebih Pendekar Rajawali Sakti, yang sampai melompat mundur menghentikan serangannya.

Cempaka langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat di balik pepohonan. Secepat kilat Cempaka melesat mengejar bayangan tadi. Dan pada saat yang sama, Dewi Tengkorak Hitam memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur. Bagaikan kilat tubuhnya melompat melarikan diri.

"Jangan lari kau! Hiyaaa...!" Gesit sekali Putri Naga Sewu melemparkan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Pedang Naga Geni yang berwama merah itu melesat cepat melebihi anak panah yang terlepas dari busur, dan langsung meluruk ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Begitu cepatnya lemparan Putri Naga Sewu, sehingga..

"Aaa...!"

Pedang Naga Geni menghunjam langsung ke punggung Dewi Tengkorak Hitam, hingga tembus ke dada. Dewi Tengkorak Hitam terjerembab jatuh mencium tanah. Dia berusaha bangkit meskipun dada dan punggungnya terpanggang pedang yang selalu diimpikannya itu. Namun belum juga mampu berdiri, Putri Naga Sewu sudah melompat cepat. Langsung saja tangan gadis itu melayang memberi satu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi.

"Hiyaaa
Prak!
"Aaa...!"

Dewi Tengkorak Hitam langsung tewas seketika dengan kepala hancur berantakan. Putri Naga Sewu menarik lepas pedangnya dari tubuh perempuan itu, kemudian menyarungkan kembali. Sebentar berdiri tegak, kemudian berbalik dan melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Eyang Jamus sudah lebih dahulu sampai di samping pemuda pendekar itu

"Mana Cempaka?" tanya Rangga yang memang tidak sempat melihat kepergian Cempaka, karena terlalu terpusat perhatiannya pada Dewi Tengkorak Hitam.

"Mengejar bayangan itu," sahut Putri Naga Sewu.

"Mayang...?"

Belum terjawab pertanyaan Rangga, tiba-tiba Cempaka muncul. Gadis itu langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Napasnya tersengal, dan wajahnya bersimbah keringat. Rangga memandangi adik tirinya ini

"Tidak ada. Cepat sekali menghilangnya," ujar Cempaka tanpa diminta memberitahu hasil pengejarannya.

"Sudahlah. Malam ini dia pasti tidak akan berani muncul lagi," kata Rangga menjamin.

"Tapi sewaktu-waktu bakal muncul kembali, Kakang. Aku yakin," bantah Cempaka.

"Aku tahu. Tapi yang jelas tidak malam ini. Entah besok atau lusa."

"Huh! Benar-benar sudah gila dia. Tidak mengukur kemampuan diri sendiri!" gerutu Cempaka.

"Sebaiknya kau istirahat saja, Cempaka. Juga kau, Naga Sewu," kata Rangga seraya memandang ke wajah gadis itu Dan setiap kali memandang, darahnya seperti berdesir hangat.

Kedua gadis itu tidak membantah. Mereka mendekati api unggun yang hampir padam. Setelah menambahkan beberapa ranting, kedua gadis itu merebahkan diri beralaskan daun tikar pandan yang dianyam halus. Sedangkan Rangga dan Eyang Jamus duduk tidak jauh di bawah pohon. Mereka duduk bersila saling berhadapan.

"Dia juga pernah datang menemui Naga Sewu. Tapi waktu itu sambil menangis dan meminta maaf. Aku sendiri tidak tahu, apa persoalannya. Dia menyebut Naga Sewu sebagai Pandan Wangi," jelas Eyang Jamus.

"Dan yang pasti Naga Sewu tidak mengakui, bukan?" tebak Rangga pasti.

"Benar."

"Mayang pasti merasa terhina, lalu mendendam. Yaaah..., persoalan lama terulang lagi," gumam Rangga pelan, seolah bicara untuk dirinya sendiri.

"Dendam lama...?"

Tanpa ragu-ragu lagi Rangga menceritakan semua yang pernah terjadi antara Mayang dengan Pandan Wangi, yang tentu saja juga melibatkan dirinya. Eyang Jamus mendengarkan penuh perhatian. Kepala laki-laki tua itu terangguk-angguk tanda mengerti. Sampai Rangga selesai bercerita, Eyang Jamus masih diam sambil terangguk-angguk seperti mengantuk.

"Rangga! Kurasa ini ancaman serius bagi pemulihan Pandan Wangi..., eh, Naga Sewu," ujar Eyang Jamus setengah bergumam.

"Itulah yang menjadi pemikiranku, Eyang," sambut Rangga.

"Yang pasti, Mayang tidak akan membiarkan gadis itu hidup kembali. Hm... Apa tindakanmu, Rangga?"

"Rencana ini tetap berjalan, Eyang. Aku bisa mengerahkan prajurit-prajurit Karang Setra untuk menjaga Bukit Karungan. Yang jelas, aku tidak akan jauh darimu. Percayalah, pekerjaanmu tidak akan mendapat gangguan yang berarti. Tapi entah dalam perjalanan ini. Mungkin juga banyak hambatan," kata Rangga mantap.

"Kau begitu bersemangat sekali, Anak Muda," Eyang Jamus tersenyum penuh arti.

Rangga jadi tersenyum kecut. Sedikit wajahnya bersemu merah. Kata-kata laki-laki tua itu sangat tepat mengenai hatinya yang paling dalam. Sejak mengetahui dan yakin kalau Putri Naga Sewu adalah Pandan Wangi, dia memang begitu bersemangat untuk mengembalikan gadis itu seperti semula. Rasanya, tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.

********************

Perjalanan yang ditempuh Rangga, Eyang Jamus, dan dua gadis Itu memang mengalami banyak hambatan. Dan kebanyakan datangnya dari tokoh rimba persilatan yang masih menginginkan Pedang Naga Geni. Tapi untunglah semua itu mampu teratasi dengan mudah. Hanya satu yang menjadi pemikiran Rangga, yakni tentang Mayang. Gadis itu belum juga jera mengundang tokoh-tokoh berkepandaian tinggi hanya untuk melaksanakan dendamnya pada Pandan Wangi

Pagi-pagi sekali rombongan kecil itu sudah tiba dl; Bukit Karungan. Mereka kini berdiri tepat di pinggir lubang bekas kuburan Pandan Wangi. Lubang itu masih menganga lebar, dan sebuah sekop masih berada di dalamnya. Saat itu Rangga meminta Cempaka kembali ke istana, untuk segera membawa prajurit-prajurit pilihan. Cempaka langsung pergi tanpa banyak tanya lagi. Dia sudah tahu maksud Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kapan dimulai," Eyang?" tanya Rangga.

"Malam nanti," sahut Eyang Jamus.

"Kenapa tidak secepatnya saja?"

"Aku mengeluarkannya malam hari, dan harus dikembalikan malam hari juga. Hm..., lagi pula aku menyiapkan diri lebih dulu."

Rangga tidak bertanya lagi. Dihampirinya Putri Naga Sewu yang sudah duduk di bawah pohon kemuning. Sedangkan Eyang Jamus menggelar tikar pandan, laki duduk bersila di dekat lubang kuburan itu. Disiapkan beberapa peralatan yang dibawanya, lalu dinyalakan pendupaan. Laki-laki tua itu duduk tepekur dengan telapak tangan merapat di depan dada. Kedua matanya terpejam rapat, dan tarikan napasnya halus teratur.

Siang terus merambat semakin tinggi. Matahari bergulir sejalan dengan peredaran waktu. Hangatnya cahaya matahari demikian terasa menyengat. Beberapa kali Rangga mendongakkan kepalanya melihat ke arah jalan, menunggu Cempaka yang pergi ke Istana Karang Setra untuk mengambil beberapa prajurit pilihan. Tapi jalan tembus ke Kota Karang Setra itu tetap sunyi. Rangga tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Sedangkan Putri Naga Sewu tampak tenang saja.

"Kau gelisah sekali, Kakang," tegur Putri Naga Sewu.

"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu," desah Rangga pelahan.

Rangga menatap dalam-dalam bola mata gadis di sampingnya, sepertinya sedang mencari sesuatu di dalam mata yang bulat bening itu. Memang tidak ada yang dapat ditemukan. Tatapan mata Putri Naga Sewu begitu bening bagai mata seorang bayi yang baru dilahirkan.

"Kenapa menatapku begitu?" tegur Putri Naga Sewu sedikit jengah juga.

"Naga Sewu, apakah tidak bisa kau batalkan semua ini?" tanya Rangga ragu ragu.

"Maksudmu?" tanya Putri Naga Sewu.

"Naga Sewu, aku tidak peduli siapa namamu. Yang jelas aku yakin kalau kau adalah Pandan Wangi. Itu kuburanmu, dan kau diangkat dari sana oleh Eyang Jamus. Hhh...! Terus terang, aku cemas kalau...." Rangga seperti mengharapkan sesuatu.

"Pendirianku sudah mantap, Kakang," potong Putri Naga Sewu cepat.

"Resikonya terlalu besar, Naga Sewu," Rangga tetap membujuk.

"Apa pun yang akan terjadi, tetap kujalani. Tidak enak menjadi orang lain. Padahal kau dan semua orang mengenaliku, meskipun aku tidak tahu diriku sebenamya. Percayalah! Eyang Jamus pasti berhasil. Dia bisa membangkitkan aku dari kubur, tentu bisa juga menyempurnakan diriku."

"Ya, aku percaya padanya. Tapi...," belum Rangga melanjutkan ucapannya, tiba-tiba di sekitai bermunculan sekitar sepuluh orang bersenjata terhunus.

Rangga cepat melompat sigap mendekati Eyang Jamus yang masih duduk bersila menyatukan raga jiwa pada Sang Pencipta. Putri Naga Sewu juga segera melompat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga mengedarkan pandangannya, menatap sepuluh orang yang bergerak pelahan mendekati.

"Hm...," Rangga menggumam pelan. Saat itu dari atas pohon yang cukup tinggi, meluruk turun seorang gadis berbaju merah menyala. Kemudian disusul seorang laki laki tua dan dua orang perempuan yang hampir sebaya usianya dengan Putri Naga Sewu. Rangga mengenali mereka semua.

Yang berbaju merah, sudah pasti Mayang. Sedangkan yang laki-laki bersenjata cambuk ekor kuda adalah si Iblis Cambuk Neraka. Dan, dua orang wanita muda di samping Mayang adalah si Kembar Bidadari Maut. Mereka sudah jelas tokoh rimba persilatan dari golongan hitam. Memang sudah bisa ditebak maksud kedatangan mereka yang tiba-tiba ini. Sama sekali Pendekar Rajawali sakti itu tidak menghiraukan sepuluh orang yang bersenjata golok. Mereka adalah kroco-kroco yang pasti dibayar Mayang untuk kelancaran niatnya yang buruk pada Putri Naga Sewu.

"Kau benar, Mayang. Dia adalah Pandan Wangi. Dan pedang itu.... He he he..., pedang itulah yang selama ini kucari cari. Tidak percuma mengajakku ke sini, Mayang," kata si Iblis Cambuk Neraka gembira melihat pedang di punggung Putri Naga Sewu.

"Aku hanya menginginkan kepalanya saja, Iblis Cambuk Neraka. Kau boleh memiliki pedang itu, atau apa saja yang kau inginkan," kata Mayang tersenyum sinis pada Putri Naga Sewu.

"Bagaimana dengan janjimu, Mayang?" celetuk salah seorang gadis dari siKembar Bidadari Maut.

"Terserah kalian. Aku tidak membutuhkannya lagi. Aku muak dengan kesombongannya. Huh!" Mayang mendengus sambil menyemburkan ludahnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti. "Bisa kau balas kematian gurumu, si Durjana Pemetik Bunga."

"Bukan guru, tapi kakak seperguruanku," ralat salah seorang lainnya dari si Kembar Bidadari Maut.

Sementara itu Rangga yang mendengar semua percakapan mereka, menjadi geram setengah mati. Rupanya selama ini Mayang tahu semua tentang petualangan dirinya. Maka dimanfaatkanlah orang-orang yang ada hubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Terutama yang menyangkut persoalan dendam dalam dunia persilatan. Benar-benar licik gadis ini. Tidak mampu menghadapi sendiri, maka diperalat orang-orang yang memiliki dendam pribadi pada Pendekar Rajawali Sakti. Atau mereka yang haus senjata pusaka.

Rasa cinta, marah, dan benci, serta dendam dalam hati Mayang, rupanya tidak bisa terkendalikan lagi. Hati gadis itu bagai tertutup rayuan dan bujukan iblis sehingga lupa daratan dan menjadi wanita licik penuh dendam. Sungguh amat disayangkan, seorang gadis yang semula baik, polos, dan berada di jalan yang benar, kini terlibat persoalan dendam yang membuatnya jadi mata gelap. Tidak bisa lagi membedakan yang benar dan yang salah.

"Sebaiknya kalian tidak perlu membuang-buang waktu lagi. Cepat bereskan sebelum para prajurit Karang Setra berdatangan," kata Mayang.

"Keparat..!" geram Rangga dalam hati. Dia benar-benar gusar melihat tingkah Mayang kali ini.

Rangga baru sadar kalau selama ini ternyata Mayang membuntutinya mencari Pandan Wangi. Bahkan selalu bisa mengambil kesempatan untuk melampiaskan dendamnya. Rangga benar-benar tidak bisa lagi menahan amarahnya. Kebenciannya memuncak melihat tingkah Mayang yang sudah dianggapnya kelewat batas.

"Seraaang...!" seru Mayang tiba tiba.

Seruan Mayang yang keras itu membuat sepuluh orang bersenjata golok, berlompatan menyerang seketika. Golok-golok berkilat tertimpa cahaya matahari saling berkelebat mengarah ke bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan Putri Naga Sewu. Sedangkan empat orang lainnya masih berdiri memperhatikan. Terlebih Mayang, yang begitu tertumpah perhatiannya pada Putri Naga Sewu. Gadis yang diyakininya sebagai Pandan Wangi.

Trang! Trang...!
"Hiya! Yeaaah...!"

Pertarungan berlangsung sengit. Putri Naga Sewu sudah mencabut pedangnya yang berwama merah bagai besi terbakar. Dengan Pedang Naga Geni, dirinya bagai sosok malaikat pencabut nyawa. Setiap kibasan pedangnya, satu nyawa melayang. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya mempergunakan jurus-jurus ringan. Itu pun sudah menyebabkan beberapa nyawa melayang.

Meskipun hanya berdua, tapi sepuluh orang itu tidak mampu mendesak lawannya. Bahkan satu persatu mereka terjerembab jatuh, dan nyawa melayang. Tidak berapa lama pertarungan itu berlangsung. Jeritan melengking terakhir masih terdengar dari lawan Putri Naga Sewu. Gadis itu segera melompat mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak melindungi Eyang Jamus.

"Hebat! Tapi jangan berbangga dulu. Terimalah seranganku ini. Hiyaaa...!"

Ctar!

Si Iblis Cambuk Neraka melompat cepat bagai kilat menerjang Putri Naga Sewu. Tapi sebelum cambuknya menyentuh tubuh gadis itu, dengan cepat Rangga melepaskan satu pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna sekali.

"Eh! Uts...!"

Si Iblis Cambuk Neraka terkejut setengah mati. Belum juga pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu sampai, angin pukulannya sudah terasa demikian dahsyat. Akibatnya, laki-laki berkumis tebal itu terpaksa menarik pulang serangannya, kemudian segera melenting ke atas Dan pada saat tubuhnya berada di udara, dengan cepat dikebutkan cambuknya ke arah Putri Naga Sewu kembali.

Ctar!
"Hap!"

Putri Naga Sewu tidak menggeser kakinya sedikit pun. Begitu ujung cambuk yang menyerupai buntut kuda itu berada di atas kepalanya, secepat kilat diangkat tangannya, dan ditangkap cambuk itu. Dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi, Putri Naga Sewu membetot cambuk itu ke bawah.

"Eh...!" si Iblis Cambuk Neraka tersentak kaget.

Belum juga dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, Putri Naga Sewu sudah melesat ke atas. Maka satu tendangan kilat segera dilepaskan ke dada laki-laki berkumis tebal itu. Tendangan yang cepat dan tak terduga sama sekali itu, sukar dihindarkan lagi. Apalagi, saat itu si Iblis Cambuk Neraka sedang menahan betotan Putri Naga Sewu

Bug!

"Akh...!" si Iblis Cambuk Neraka terpekik tertahan.

Seketika itu juga tubuh besar itu meluncur deras ke bawah, dan jatuh bergulingan di tanah. Tampak darah kental mengucur dari mulutnya. Iblis Cambuk Neraka bergegas bangkit, tapi tubuhnya agak limbung. Sebentar digerakkan tangannya di depan dada, lalu dikebut kebutkan cambuknya yang sama persis dengan buntut kuda.

Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, si Iblis Cambuk Neraka berlari kencang menyerang Putri Naga Sewu. Dikebutkan cambuknya kuat-kuat. Cambuk itu pun menegang kaku bagai sebatang tongkat. Bahkan ujung-ujungnya yang bagai.rambut itu menegang kaku.

"Hait..!"

Putri Naga Sewu melompat ke atas menghindari serudukan si Iblis Cambuk Neraka. Dan begitu laki-laki berkumis tebal itu lewat di bawah kakinya, dengan cepat Putri Naga Sewu menghunus pedangnya kembali. Dengan kecepatan kilat, dikibaskan pedang itu ke arah leher, dan...

Cras!

"Aaa...!" si Iblis Cambuk Neraka menjerit melengking tinggi.

Darah langsung muncrat keluar dari leher yang terpenggal buntung. Bersamaan dengan menggelindingnya kepala, tubuh si Iblis Cambuk Neraka juga ambruk sambil memuncratkan darah segar dari leher yang buntung. Putri Naga Sewu menendang tubuh tanpa kepala itu setelah mendarat di tanah.

Pada saat itu, dari kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda. Tampak Cempaka, Danupaksi, dan dua orang panglima serta sekitar lima puluh prajurit Kerajaan Karang Setra memacu kudanya cepat mendaki Lereng Bukit Karungan ini. Seketika wajah Mayang jadi pucat pasi. Bagitu pula dengan si Kembar Bidadari Maut Mereka nampak gelisah karena kini datang para prajurit Karang Setra itu.

"Rangga, persoalan ini belum lagi selesai!" kata salah seorang dari si Kembar' Bidadari Maut lantang.

Setelah berkata demikian, gadis kembar itu Iangsung melesat pergi se belum para prajurit yang dibawa Cempaka tiba. Pada saat yang sama, Mayang juga hendak melompat kabur. Tapi Putri Naga Sewu cepat-cepat menghadangnya. Belum lagi Mayang bisa berbuat sesuatu, rombongan prajurit Karang Setra itu sudah tiba. Mereka langsung berlompatan turun dari kudanya masing-masing, membentuk lingkaran mengurung Mayang.

"Kau menang, Pandan...," kata Mayang ketus.

"Tidak ada kesempatan lagi untuk membalas, Mayang!" dengus Cempaka yang sudah muak akan tingkah Mayang selama ini.

Mayang menatap Cempaka yang berjalan mendekati Putri Naga Sewu. Saat itu, Rangga dan Danupaksi berada tidak jauh di sebelah kanan kedua gadis itu. Entah apa yang dibisikkan Rangga di telinga adik tirinya itu, tapi kepala Danupaksi terangguk-angguk. Kemudian, Danupaksi mendekati dua orang berpakaian panglima, dan juga berbisik. Kedua panglima itu langsung bergerak mengatur penjagaan di sekitar Bukit Karungan ini. Hanya tinggal enam prajurit dan seorang panglima saja yang masih berada di dekat tempat itu.

"Kanda Prabu, hukuman apa yang pantas untuk perempuan setan ini?" tanya Cempaka seraya melirik penuh kebencian pada Mayang.

"Biarkan dia pergi," kata Rangga dingin dan datar.

"Apa...?!" Cempaka terkejut tidak percaya dengan pendengarannya.

Rangga memang muak dan benci terhadap tingkah Mayang. Tapi tidak mungkin untuk bertindak lebih selain membiarkan Mayang pergi. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah murid bibinya yang pernah berjasa mengembalikan Karang Setra pada ahli warisnya. Berdirinya Kerajaan Karang Setra juga tidak terlepas dari jasa Mayang. Hal itu jelas tidak akan pernah dilupakan Rangga. Sukar bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menjatuhkan hukuman berat pada Mayang.

"Kakang...," Danupaksi mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Aku tahu perasaan kalian semua. Tapi, kalian harus ingat jasa-jasanya yang tidak kecil. Meskipun sekarang ini pikirannya sedang kacau, tapi rasanya tidak patut memberikan hukuman padanya. Biarkan dia pergi," kata Rangga penuh kewibawaan.

"Kakang, dia tidak akan kapok. Pasti akan membuat perkara lagi di kemudian hari," kata Cempaka tetap tidak setuju keputusan Rangga.

"Pada dasarya dia baik, Cempaka. Aku yakin suatu saat Mayang akan menyadari kekeliruannya," kata Rangga "Pergilah kau Mayang, sebelum aku berubah pikiran."

Mayang menatap dalam-dalam pemuda yang dicintainya, sekaligus juga dibencinya. Kemudian pandangannya beralih pada Cempaka, Danupaksi, dan berakhir pada Putri Naga Sewu yang wajahnya begitu mirip Pandan Wangi. Pantas memang semua orang yang ada di Bukit Karungan ini begitu yakin kalau gadis itu adalah Pandan Wangi.

"Terima kasih kau biarkan aku pergi. Tapi, pikiranku tidak akan berubah! Aku tidak akan mencelakakanmu atau keturunanmu. Aku mencintaimu. Aku hanya membenci siapa saja yang berusaha mendapatkanmu. Itu janjiku, Kakang. Siapa saja yang mencoba mendekatimu harus mati di tanganku!" tegas nada suara Mayang.

Setelah berkata demikian, Mayang berbalik dan langsung melompat ke punggung salah seekor kuda prajurit. Dengan cepat digebahnya kuda itu. Debu berkepul tersepak kaki kuda yang berlari kericang bagai dikejar setan. Rangga dan kedua adik tirinya serta Putri Naga Sewu memandang kepergian Mayang, sampai bayangannya lenyap bersama kuda tunggangannya.

Saat itu matahari sudah tergulir ke arah Barat. Sinarnya yang terik tidak lagi terasa. Angin berhembus agak kencang. Danupaksi memerintahkan pada empat orang prajurit untuk menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara itu Rangga berdiri tegak tidak jauh dari Eyang Jamus yang masih tenang duduk bersila di pinggir liang lahat bekas milik Pandan Wangi.

Sementara Putri Naga Sewu dan Cempaka mengambil tempat yang teduh di bawah naungan pohon flamboyan. Suasana di sekitar Bukit Karungan menjadi sunyi senyap. Semua orang menunggu Eyang Jamus yang tengah mempersiapkan diri untuk memulihkan kembali Putri Naga Sewu atau Pandan Wangi.

Waktu berjalan terasa begitu lambat Sepertinya lama sekali menanti datangnya malam. Namun, pada akhirnya datang juga. Seluruh permukaan Bukit Karungan kini sudah terselimut kegelapan. Tidak ada yang menyalakan api, karena memang dilarang Eyang Jamus. Laki-laki tua Itu sudah bangun dari semadinya yang cukup panjang. Ditatapnya Putri Naga Sewu, maka gadis itu melangkah menghampirinya didampingi Cempaka.

"Sekarang waktunya, Cucuku," kata Eyang Jamus pelan.

"Kau sudah siap, Pandan?" tanya Rangga sudah menyebut gadis itu dengan nama Pandan Wangi.

Putri Naga Sewu hanya tersenyum manis, kemudian melangkah mendekati lubang itu. Eyang Jamus berkomat kamit sebentar, lalu menyipratkan sepercik air dari dalam guci ke wajah Putri Naga Sewu. Seketika itu juga mata gadis itu terpejam, dan tubuhnya menegang kaku. Tak ada lagi gerakan di dalam dirinya. Eyang Jamus kembali duduk bersila, lalu mengangkat tangannya ke arah Putri Naga Sewu.

Tak ada yang bersuara sedikit pun. Semua orang yang menyaksikan saling menahan napas. Tubuh ramping berbaju biru itu terangkat pelahan, dan rebah mengambang di udara. Pelahan-lahan tubuh Putri Naga Sewu bergerak masuk ke dalam lubang kubura mengikuti gerakan tangan Eyang Jamus.

"Kubur," perintah Eyang Jamus setelah tubuh Putri Naga Sewu terbaring di dalam lubang.

"Eyang...," ada nada cemas pada suara Rangga.

Eyang Jamus menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga jadi serba salah, kemudian memberi isyarat pada empat orang prajurit yang sudah memegang sekop. Empat prajurit itu segera bekerja menguruk lubang itu. Sedikit demi sedikit lubang itu tertimbun tanah merah. Rangga benar-benar tidak sanggup melihatnya lagi. Padahal dia sering melihat orang mati, bahkan mati terbunuh oleh tangannya. Tapi melihat tubuh gadis berbaju biru itu terkubur, benar-benar tidak tahan. Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik dan bergegas melangkah menjauh. Cempaka yang sejak tadi memperhatikan, bergegas menyusul

"Kakang, kau tidak apa-apa?" tegur Cempaka cemas.

"Tidak..., aku tidak apa-apa," sahut Rangga seraya menarik napas panjang. Padahal hatinya begitu cemas. Betapa tidak? Gadis yang dicintainya kini harus dikubur kembali, dengan resiko kematian yang sesungguhnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri tegak memandang ke arah lain. Rasanya memang tidak sanggup melihat Putri Naga Sewu yang diyakininya sebagai Pandan Wangi kembali terkubur dalam liang pusaranya. Sementara itu para prajurit sudah menyelesaikan pekerjannya. Eyang Jamus masih tetap duduk bersila dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Empat prajurit itu menyingkir menjauh setelah diberi isyarat Danupaksi.

"Paman Panglima, atur penjagaan lebih ketat lagi. Aku tidak tahu, berapa lama hal ini berlangsung," perintah Danupaksi.

"Hamba laksanakan, Gusti," sahut panglima itu seraya memberi hormat.

Danupaksi mengangguk, kemudian menarik napas seraya menoleh ke arah Rangga dan Cempaka yang berdiri membelakangi tempat ini. Pemuda itu ikut merasakan apa yang tengah dirisaukan kakak tirinya saat ini. Tapi yang jelas, dia harus bisa mengambil tindakan cepat untuk mengamankan sekitar Bukit Karungan ini.

Sementara itu Rangga duduk bersila di atas sebongkah baru besar. Cempaka berdiri tidak jauh di sampingnya. Gadis itu tidak ingin meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti itu sendirian, karena tahu kalau semua ini akan berlangsung paling tidak tiga hari lamanya. Dan selama itu mereka harus berada di sini menjaga segala kemungkinan.

"Kakang, apa tidak sebaiknya Kakang Danupaksi kembali ke istana?" usul Cempaka.

"Bicara saja pada Danupaksi, Cempaka," kata Rangga. "Aku serahkan semuanya pada kalian berdua."

Cempaka berpaling pada Danupaksi. Pada saat yang sama, Danupaksi memandang ke arah gadis itu. Danupaksi bergegas menghampiri melihat isyarat yang diberikan adik tirinya itu

"Ada apa?" tanya Danupaksi.

"Kakang minta agar kau kembali ke istana. Janga sampai kosong di sana," kata Cempaka.

"Lalu di sini?"

"Biar aku yang tangani. Atur saja pergantian penjagaan setiap pagi dan sore sampai semuanya selesai."

"Baiklah. Tapi setiap hari aku akan menyempatkan diri datang ke sini," kata Danupaksi.

Pemuda itu memberi hormat pada Rangga yang hanya diam saja dengan mata terpejam. Danupaksi bergegas mengambil kudanya. Dituntunnya kuda itu sampai jauh, lalu ditunggangi dan digebahnya cepat-cepat Cempaka menarik napas panjang. Sebentar ditatapnya Rangga yang tetap bersemadi, kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan Rangga. Gadis itu masuk ke dalam tenda yang disiapkan prajurit untuk beristirahat.

Sebenarnya ada tiga tenda yang berdiri. Satu untuk Rangga, satu untuk Cempaka, dan satu lagi untuk Danupaksi. Tapi Danupaksi kini kembali ke istana, sedangkan Rangga sudah bersemadi di atas baru di luar tenda. Sepuluh orang prajurit dan satu panglima terlihat berjaga jaga. Sedangkan empat puluh prajurit dan seorang panglima lain, berada cukup jauh di bagian lereng. Belum lagi sekitar seratus prajurit yang menjaga di sekitar kaki bukit. Penjagaan ini memang sudah diatur oleh Danupaksi untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Tiga hari sudah terlewati tanpa ada kejadian yang berarti. Saat itu malam sudah demikian larut. Dan Rangga sudah berdiri di samping Eyang Jamus yang tetap duduk bersila. Di samping Pendekar Rajawali Sakti itu juga terlihat Cempaka. Hampir lima puluh prajurit terlihat berjaga-jaga di sekeliling tempat itu.

"Bangkitlah, Cucuku. Sudah waktunya kau hidup kembali," kata Eyang Jamus dengan mata terpejam.

Kembali hening, tak ada suara sedikit pun. Mulut Eyang Jamus berkomat-kamit, kemudian menaburkan sepercik air dari dalam cawan ke atas kuburan di depannya. Tiba-tiba dia melompat cepat. Pada saat itu terdengar satu ledakan dahsyat menggelegar. Rangga dan Cempaka terkejut, dan langsung melompat mundur. Tampak kuburan itu terbongkar bagai gunung api meletus. Tanah dan bebatuan beterbangan ke udara disertai ledakan yang menggelegar memekakkan telinga.

Di antara tanah dan bebatuan yang terlontar ke atas, juga terlihat sosok tubuh ramping mengenakan baju biru. Tubuhnya juga terlontar tinggi ke udara. Eyang Jamus sigap sekali melompat, lalu menangkap tubuh ramping itu, kemudian dengan manis mendarat di tanah. Laki-laki tua itu membaringkan tubuh ramping yang bagaikan tidur pulas itu di atas tikar daun pandan. Rangga dan Cempaka bergegas menghampiri.

"Bangun, Cucuku," desis Eyang Jamus seraya memercikkan air dari dalam cawan ke wajah gadis itu. Tidak berapa lama kemudian, dada gadis itu bergerak. Sebentar kemudian kepalanya menggeleng lemah ke kiri dan ke kanan. Pelahan-lahan kelopak matanya terbuka, dan terdengarlah rintihan lirih.

"Pandan...," Rangga berlutut di samping gadis berbaju biru itu. Seperti tak percaya pada penglihatannya.

"Oh..., di mana aku...?" lemah sekali suara gadis itu.

"Pandan..., kau kenal aku?" ujar Rangga, seperti mengharapkan jawaban yang selama ini diimpi-impikannya.

Gadis itu menoleh. Sebentar dikerjapkan matanya beberapa kali. "Kakang...."

"Oh, Pandan.... Kau kembali, Pandan...."

Rangga tidak bisa lagi menahan perasaannya. Langsung saja direngkuhnya tubuh gadis itu, lalu diangkat dan dipeluknya erat-erat Rangga tak lagi mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Perasaannya yang sukar dilukiskan telah menutup matanya. Kembalinya Pandan Wangi ke dunia ini, berarti juga kembalinya perasaan cinta yang selama ini hilang. Mungkin kalau tak malu, rasanya Rangga ingin menangis haru. Rangga benar-benar tak percaya melihat kenyataan bahwa gadis yang dicintai, kini hidup kembali!

Sementara itu Eyang Jamus berdiri seraya menghembuskan napas panjang. Dimakluminya sikap Rangga yang seperti telah menemukan sesuatu yang hilang itu. Laki-laki tua itu kemudian berbalik dan melangkah menjauh. Cempaka mengikutinya dan menghadang laki-laki tua itu.

"Eyang...," agak tercekat suara Cempaka.

"Aku ingin istirahat. Di mana tendaku?" ujar Eyang Jamus.

"Oh..., itu," Cempaka menunjuk salah satu tenda.

Gadis itu lega, karena tadi dikira Eyang Jamus hendak pergi. Sementara itu Rangga membantu gadis berbaju biru itu berdiri. Kelihatan masih lemah, tapi sudah mulai nampak berangsur segar. Cempaka memandang sejenak, lalu menghampirinya.

"Cempaka...," desah gadis Itu

"Oh, Kak Pandan..."

Cempaka menghambur dan kedua gadis itu langsung berpelukan disertai seribu macam perasaan bergelut di hati mereka berdua. Rangga hanya berdiri saja. Matanya agak berkaca-kaca. Rasanya malam inilah untuk pertama kali mengenyam kebahagiaan. Tidak ada lagi kebahagiaan yang dapat dirasakannya selain malam ini. Rangga tidak tahu lagi, apa yang diucapkannya. Mulutnya seperti terkunci oleh perasaan yang sukar diucapkan. Dia hanya berterima kasih pada Hyang Widi yang telah menghidupkan kembali Pandan Wangi dari kematian semu.

Cempaka dan Pandan Wangi melepaskan pelukannya. Mereka masih saling berpandangan. Kemudian sama-sama menoleh menatap Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu melingkarkan tangannya ke pundak kedua gadis itu, lalu memeluknya dengan sejuta rasa bahagia yang berbunga di hatinya.

"Di mana Eyang Jamus?" tanya Rangga tiba-tiba teringat laki-laki tua yang telah begitu berjasa mengembalikan Pandan Wangi dalam kehidupan yang nyata.

"Istirahat di tenda," sampung Cempaka.

Rangga bergegas menuju ke tenda yang ditunjuk Cempaka. Disibakkan kain penutup pintu tenda itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tertegun, karena di dalam tenda itu tidak ada siapa-siapa Rangga mencari di tenda lainnya. Tetap saja yang dicari tidak ada. Tiga tenda semuanya kosong. Cempaka dan Pandan Wangi saling berpandangan, kemudian sama-sama menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Ada apa, Kakang?" tanya Cempaka.

"Eyang Jamus. Dia tidak ada," sahut Rangga.

"Oh...! Ke mana perginya?" Cempaka menutup mulutnya.

"Aku tidak tahu. Hhh...! Aku harus mencarinya. Dia pasti kembali ke Desa Banyu Biru," duga Rangga.

"Aku ikut, Kakang," kata Cempaka.

"Tidak! Kau harus kembali ke istana...," Rangga menatap Pandan Wangi.

"Pandan, kau masih perlu banyak beristirahat. Aku berjanji, tak akan lama pergi. Setelah bertemu Eyang Jamus, aku pasti akan kembali bersamamu," jelas Rangga. Jiwa besar Pendekar Rajawali Sakti memang selalu begitu. Hatinya tak akan tentram bila belum mengucapkan terima kasih pada Eyang jamus.

Rangga menepuk bahu kedua gadis itu, kemudian memanggil seorang panglima yang ada di situ. Panglima itu bergegas menghampiri dan membungkuk memberi hormat.

"Panglima, malam ini juga kalian harus kembali ke istana. Jaga mereka. Pertaruhkan keselamatannya dengan nyawamu," perintah Rangga.

"Hamba, Gusti Prabu," sahut panglima itu seraya membungkuk hormat.

"Aku pergi dulu, Pandan, Cempaka," pamit Rangga

"Baik, Kakang," sahut kedua gadis itu hampir bersamaan.

Walaupun dengan hati berat, tapi Rangga tetap melompat ke punggung kudanya. Dan seketika itu juga Kuda Dewa Bayu melesat cepat bagai kilat menerobos kegelapan malam yang pekat. Cempaka mengajak Pandan Wangi pergi. Mereka menunggang kuda dikawal para prajurit dan panglima perang. Mereka kembali ke istana Karang Setra, dan menunggu Rangga pulang membawa Eyang Jamus yang tidak ketahuan perginya.

"Siapa itu Eyang Jamus?" tanya Pandan Wangi yang berkuda pelahan di samping Cempaka.

"Sahabat kakekmu. Katanya, juga sahabat orang tuamu, Kak Pandan. Dialah yang menghidupkan dirimu kembali dari kematian semu," jelas Cempaka singkat. Dia juga melanjutkan ceritanya tentang semua yang telah terjadi dalam upaya menghidupkan kembali Pandan Wangi.

Sedangkan Pandan Wangi yang kini benar-benar sudah pulih kembali, mendengarkan penuh perhatian. Sampai Cempaka selesai bercerita, Pandan Wangi masih diam. Sungguh tidak disangka kalau dirinya pernah mati selama tiga bulan, dan terkubur di dalam liang lahat!

"Kau tidak kenal Eyang Jamus, Pandan?" tanya Cempaka ketika dilihatnya Pandan Wangi hanya diam saja.

"Aku memang belum pernah melihat orangnya. Tapi aku tahu bahwa sebenamya dia bernama si Tabib Aneh Jari Delapan. Kudengar dia memang sahabat keluargaku. Hm..., aku tidak tahu kalau aku telah ditolong olehnya," kata Pandan Wangi.

"Mungkin karena antara kau dan dia terdapat ikatan batin. Bukankah antara keluargamu dan Eyang Jamus bersahabat karib?"

"Ya, mungkin juga," desah Pandan Wangi pelan. "Hhh.... Seandainya sudah pulih benar, pasti aku akan menyusulnya, lalu mengucapkan terima kasih."

"Kakang Rangga pasti berhasil membawanya ke istana. Aku yakin," Cempaka membesarkan hati Pandan Wangi.

"Mudah-mudahan saja."

Kedua gadis itu tidak berbicara lagi. Mereka berkuda pelahan-lahan di belakang panglima. Sedangkan sekitar lima puluh prajurit mengikuti di belakang. Sementara malam terus merayap semakin larut Dan perjalanan itu tampaknya tidak akan mengalami hambatan apa pun.

Sementara, hati Pandan Wangi pun berharap agar Rangga dapat membujuk Eyang Jamus atau si Tabib Aneh Jari Delapan ke Istana Karang Setra. Tapi yang paling diharapkan, dapat bersama-sama kembali dengan pemuda yang dicintainya. Bahkan mungkin bersama-sama mengembara lagi memerangi ke angkara murkaan. Harapan yang tidak berlebihan


SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA HANTU KARANG BOLONG