Bagus Sajiwo Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 13

SETELAH agak lama menangis sambil menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu sehingga air matanya terkuras habis, tangis Sulastri mereda. Semua rasa rindu dan kasih sayang ditumpahkan dalam saat-saat yang asyik masyuk itu, ketika keduanya saling rangkul.

"Mas Aji..." akhirnya Sulastri berkata lirih.

"Ada apa, Lastri?" jawab Lindu Aji, lirih pula dan suaranya mengandung kasih sayang yang menggetar.

"Mas Aji, kenapa... kenapa... engkau dahulu menyuruh aku... menikah dengan Kakangmas Jatmika? Kenapa...?"

Lindu Aji mencium rambut yang masih semerbak harum melati itu walaupun kini roncean melatinya sudah tidak ada, semua rontok ketika Sulastri bertanding mati-matian melawan Candra Dewi tadi.

"Pertanyaanmu itu sama dengan pertanyaanku yang selama ini selalu menggoda hatiku, yaitu, kenapa engkau dahulu itu mendesak aku untuk menikah dengan Neneng Salmah, Lastri?" Lindu Aji menjawab pertanyaan dara itu dengan pertanyaan pula.

"Karena aku tahu betul betapa Neneng sangat mencintamu, Mas Aji dan kukira... kusangka bahwa engkau juga mencintanya."

"Hemm, sungguh aneh. Jawabanku juga sama dengan jawabanmu, Lastri. Aku menganjurkan engkau menikah dengan Kakangmas Jatmika karena aku tahu bahwa dia amat mencintamu, dan kukira bahwa engkau, sejak engkau kehilangan ingatan dan berubah menjadi Listyani, engkau sudah melupakan aku dan jatuh cinta kepadanya."

"Jadi, engkau mengalah dan mengorbankan diri?"

"Sama dengan engkau."

"Dan engkau tidak mencinta Neneng Salmah, mas?"

"Aku sayang Neneng seperti adikku sendiri, dan aku sudah mengangkat ia sebagai adikku. Cintaku hanya padamu, Lastri. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang kuinginkan menjadi jodohku."

"Mas Aji...!" Sulastri merangkul pinggang pemuda itu dan merapatkan kembali pipinya ke dada Lindu Aji. "Akupun demikian, betapa sengsara hatiku selama ini, betapa rinduku kepadamu, aku... aku... hanya engkau yang kucinta..."

Lindu Aji merasa demikian bahagia hatinya. "Sulastri!" Dia mengangkat muka gadis itu dengan memegang kedua pipinya lalu dia menciumnya dengan sepenuh perasaan kasihnya. Sulastri pun menyambut dengan penuh kepasrahan dan kecintaan.

"Nah, sekarang ceritakan mengapa engkau tadi berkelahi dengan wanita itu dan siapa ia yang begitu sakti sehingga dapat nyaris membunuhmu?" Lindu Aji menggandeng tangan Sulastri dan diajaknya duduk di atas batu.

Baru saja Sulastri duduk berdampingan dengan Lindu Aji, tiba-tiba ia bangkit berdiri seperti orang terkejut. "Wah, celaka! Aku baru ingat sekarang. Iblis betina itu telah merampas Naga Wilis! Mas Aji, mari kita kejar!"

Lindu Aji memegang tangan gadis itu dan menariknya perlahan, diajaknya duduk kembali. "Tenang, Lastri. Tidak ada gunanya kita mengejarnya sekarang. Ia telah berlari jauh sekali dan kita tidak tahu ke arah mana ia pergi. Sebaiknya kau ceritakan semua. Kalau aku sudah tahu siapa wanita itu, kelak mudah kita mencarinya dan merampas kembali pedangmu."

Mendengar ini, Sulastri menjadi tenang kembali. Ia mengerti bahwa apa yang dikatakan Lindu Aji itu benar. Mereka tidak tahu kemana Candra Dewi melarikan diri, bagaimana mereka dapat mengejar dan menyusulnya? Maka ia lalu duduk kembali.

Kemudian ia mulai bercerita. Ia menceritakan sejak ia berpisah. dengan Lindu Aji. Betapa ia merantau dan akhirnya menjadi ketua perkum-pulan Melati Puspa dan memakai nama baru Ni Melati Puspa.

"Wah, engkau mengubah namamu lagi, Lastri?" tanya Lindu Aji tersenyum.

"Aku tidak ingin diketahui siapa aku sebenarnya, mas. Aku hanya ingin mengasingkan diriku untuk menghibur hati melupakan semua peristiwa yang menyengsarakan hatiku. Akan tetapi aku gagal, mas. Aku... aku tidak bisa melupakanmu!"

"Beberapa kalipun engkau mengubah nama, engkau tetap Lastri bagiku, Lastriku, Sulastri yang kukenal pertama kali di Loano, di tempat tinggal Paman Sumali. Lanjutkan ceritamu, Lastri. Engkau sudah menjadi ketua perkumpulan Melati Puspa, lalu bagaimana engkau sekarang berada di sini dan berkelahi dengan wanita tadi?"

"Aku mulai tidak betah dan bosan tinggal di lereng Gunung Liman dimana markas Perkumpulan Melati Puspa berada. Kutinggalkan pimpinan kepada seorang anggota dan aku lalu turun gunung. Aku bermaksud mencarimu di dusun Gampingan, kampung halamanmu. Akan tetapi dalam perjalanan itu aku mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya disembunyikan di daerah muara Sungai Lorog ini. Maka aku lalu singgah di tempat ini lebih dulu. Tadi, ketika aku berjalan disini, tiba-tiba saja aku diserang wanita gila itu. Aku melawan mati-matian, akan tetapi ternyata ia sakti mandraguna dan setelah bertanding seratus jurus lebih, akhirnya pedangku terampas olehnya dan aku nyaris tewas kalau tidak ada engkau yang tiba-tiba muncul, Mas Aji."

"Siapa nama wanita itu dan mengapa ia menyerangmu?"

"Ia mengaku bernama Candra Dewi, berjuluk Iblis Betina dari Banten. Ia tidak mengatakan mengapa ia menyerang dan hendak membunuhku, padahal aku belum pernah mengenalnya dan sama sekali tidak mempunyai urusan dengannya, apalagi permusuhan. Agaknya ia seorang yang miring otaknya, Mas Aji."

"Candra Dewi? Hemm, rasanya aku pernah mendengar nama itu. Iblis Betina dari Banten? Ya, tidak salah lagi. Engkau masih ingat kepada Nyi Maya Dewi, Lastri?"

"Tentu saja, perempuan hina antek Kumpeni Belanda itu!"

"Aku ingat bahwa Nyi Candra Dewi adalah kakak Nyi Maya Dewi! Aku pernah mendengar namanya. Akan tetapi kabarnya ia tidak pernah keluar dari Banten dan tidak pernah mencampuri urusan perang antara Mataram dan Kumpeni Belanda. Aneh sekali, kenapa sekarang ia muncul dan tanpa sebab hendak membunuhmu dan merampas pedangmu? Apakah ini ada hubungannya dengan Nyi Maya Dewi?" Lindu Aji mengerutkan alisnya, berpikir-pikir.

"Ah, aku ingat sekarang! Mas Aji, Nyi Maya Dewi telah mati dan kukira yang membunuhnya adalah Iblis Betina dari Banten itu juga!"

Lindu Aji tidak terkejut mendengar akan kematian Nyi Maya Dewi. Wanita itu memang tersesat jauh sekali dan tidaklah aneh kalau ia mati dibunuh orang. Akan tetapi dia merasa heran dan tertarik mendengar bahwa yang membunuh Nyi Maya Dewi adalah kakaknya sendiri!

"Dimana hal itu terjadi, Lastri, dan kenapa Nyi Candra Dewi membunuh adiknya sendiri?"

"Aku juga tidak tahu, mas. Mungkin memang iblis betina itu sudah gila. Aku mengetahuinya hanya secara kebetulan saja. Ketika itu, ada seorang pemuda desa berlari-larian memasuki daerah kekuasaan kami. Tentu saja dia kami tangkap dan menurut pengakuannya, dia dikejar-kejar seorang wanita yang seperti gila dan mengamuk. Aku tertarik dan aku pergi ke Bukit Keluwung, tempat yang diceritakan pemuda itu. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Nyi Maya Dewi tinggal di puncak Bukit Keluwung. Setelah tiba di puncak bukit itu, aku melihat puing-puing sebuah rumah dan batu-batu pecah berantakan, pohon-pohon tumbang. Agaknya diamuk wanita gila seperti yang diceritakan pemuda itu. Ketika aku memeriksa lebih teliti, dibelakang rumah itu di dinding bukit, terdapat sebuah gua yang merupakan terowongan. Aku memeriksanya dan terhalang tumpukan batu yang agaknya longsor menutup terowongan itu. Ketika aku keluar lagi, aku menemukan goresan tulisan pada batu di depan gua, bunyinya:Kuburan Maya Dewi dan Bagus Sajiwo. Begitulah ceritanya, Mas Aji. Rasanya aku pernah mendengar nama Bagus Sajiwo, akan tetapi lupa lagi entah dimana. Aku lalu turun gunung memulai perantauanku."

"Bagus Sajiwo? Bagus Sajiwo..., Lastri, apakah engkau tidak ingat? Bagus Sajiwo adalah putera Paman Tejomanik yang kabarnya hilang diculik orang!"

"Ah, benar! Bagus Sajiwo...ya, ya, sekarang aku ingat. Aduh, kasihan sekali Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo. Bertahun-tahun mereka mencari putera mereka yang hilang dan kini, tahu-tahu Bagus Sajiwo telah mati terkubur dalam terowongan Bukit Keluwung."

Lindu Aji menghela napas panjang. "Demikianlah kehidupan manusia di dunia ini, Lastri. Terombang-ambing oleh keadaan yang sering kali berlawanan dengan apa yang kita inginkan. Suka dan duka silih berganti, dan semakin banyak keinginan kita, semakin banyak pula muncul keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan sehingga timbullah duka. Tidak ada sikap yang lebih baik daripada berdaya upaya sekuat tenaga dengan didasari penyerahan terhadap Kekuasaan Gusti Allah sepasrah mungkin dan menyukuri apa saja yang kita terima sebagaimana adanya. Berdaya upaya atau bekerja dengan landasan kepasrahan, percaya sepenuhnya bahwa apa yang terjadi di luar kemampuan kita untuk mengubahnya adalah Kehendak Gusti Allah dan kejadian apapun yang menimpa diri kita seperti yang dikehendakiNya sudah pasti merupakan yang terbaik bagi kita dan sudah seharusnya kita syukuri."

"Semoga aku akan dapat selalu bersikap seperti itu, Mas Aji. Akan tetapi engkau belum menceritakan bagaimana engkau tiba-tiba berada disini. Andaikata aku langsung mencarimu di Gampingan tentu kita malah tidak akan saling bertemu."

"Setelah kita saling berpisah dulu, aku pulang ke Gampingan. Kuceritakan kepada ibuku tentang dirimu dan tentang apa yang terjadi dengan kita, perpisahan di Dermayu. Ibu lalu mengingatkan aku agar mencarimu dan menanyakan kepastian kepadamu siapa sesungguhnya yang kau cinta. Aku lalu pergi ke Dermayu dan dari ibumu aku mendengar tentang engkau, tentang Neneng Salmah dan tentang Kakangmas Jatmika. Baru aku menyadari bahwa engkau tidak menikah dengan Kakangmas Jatmika, bahkan tidak mencintanya. Aku lalu mulai mencarimu. Aku tiba di Loano dan bertanya tentang dirimu kepada Paman Sumali." Lindu Aji lalu bercerita tentang Winarsih yang diculik oleh Ki Singobarong dan bagaimana dia dan Ki Sumali datang ke Nusakambangan dan berhasil menyelamatkan Winarsih.

"Aku mendengar keterangan Paman Sumali tentang engkau yang singgah di Loano dan melanjutkan perjalananmu ke timur, maka aku lalu mencarimu ke timur. Aku juga mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi, dan aku menduga bahwa mungkin engkau juga mendengar dan datang pula ke daerah Sungai Lorog ini, maka aku lalu menuju kesini. Aku melihat ketika Candra Dewi hendak membunuh seorang wanita. Aku tidak mengira bahwa engkau yang hendak dibunuhnya, dan aku juga tidak tahu bahwa pedangmu berada di tangannya. Kalau aku tahu, tentu aku akan berusaha merampasnya tadi."

Sulastri memandang wajah Lindu Aji dan tangan kanannya menangkap tangan kiri pemuda itu. "Mas Aji, kalau saja aku tidak bertemu denganmu, kehilangan Naga Wilis itu tentu akan membuat aku merasa sedih sekali. Akan tetapi, aku telah bertemu denganmu dan lebih membahagiakan lagi, kita telah menyambung kembali cinta kasih di antara kita. Ah, betapa bahagia rasa hatiku, mas. Untuk kebahagiaan ini, jangankan baru kehilangan Pedang Naga Wilis, bahkan kehilangan kedua tanganku pun aku akan rela!"

Lindu Aji menarik tangan Sulastri dan gadis itu jatuh terduduk di atas pangkuannya. Sambil merangkul leher gadis itu, Lindu Aji berkata, "Husshh, ngawur kau! Kalau kedua tanganmu tidak ada, lalu bagaimana engkau akan menanak nasi dan memasak makanan untukku?"

Sulastri memandang heran. "Masak...?"

"Tentu saja. Seorang isteri harus setiap hari masak untuk suaminya, bukan?"

"Ohhh..."

"Engkau mau menjadi isteriku, bukan?"

"Ahh, Mas Aji...!" Mereka kembali berdekapan dan keduanya merasakan suatu kebahagiaan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Setelah beberapa lamanya mereka melepaskan rasa rindu dan menumpahkan kasih sayang dengan bermesraan.

Lindu Aji lalu mengajak Sulastri turun dari atas batu. "Mari kita pulang, nimas."

"Pulang ke mana, kakangmas?"

"Pertama-tama kita pulang ke Gampingan, menemui ibuku dan mohon restunya untuk pernikahan kita, kemudian dari sana kita pulang ke Dermayu mohon restu kepada orang tuamu. Setelah itu, terserah kepada para orang tua tentang dilaksanakannya upacara dan perayaannya. Engkau setuju, bukan?"

Sulastri tersenyum sehingga tampak manis bukan main. "Tentu saja aku setuju, Mas Aji. Akan tetapi setelah engkau tiba disini, apakah engkau tidak ingin ikut mencari Jamur Dwipa Suddhi?"

"Jamur Dwipa Suddhi? Ha-ha, aku sudah menemukan engkau, Lastri. Seribu jamur ajaib tidak ada artinya jika dibandingkan denganmu, ha-ha-ha!"

"Ih! Kalau memuji jangan keterlaluan, mas!" Sulastri berkata sambil tertawa dan mencubit Lindu Aji.

Pemuda itu tertawa dan merangkulnya. Kembali mereka berdekapan dengan mesra. Tidak ada kebahagiaan duniawi yang lebih indah daripada kemesraan antara seorang pria dan seorang wanita yang saling mencinta. Ketika akhirnya mereka menuruni bukit karang itu, Sulastri berseru sambil menudingkan telunjuknya ke bawah. "Lihat, Mas Aji. Lihat disana itu!"

Lindu Aji memandang dan dia mengerutkan alisnya. Tampak beberapa ekor burung gagak beterbangan melayang-layang di atas muara dan dari tempat tinggi itu tampak seperti banyak orang berserakan di atas pantai dekat muara. "Mari kita lihat kesana!"

Dua orang itu lalu menuruni bukit sambil berlari cepat. Sebentar saja mereka telah tiba di tepi muara dan mereka terkejut melihat belasan orang menggeletak di atas tanah dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Mereka tewas secara mengerikan, ada luka bacokan senjata tajam dan ada pula yang retak kepalanya.

"Aku tidak akan heran kalau yang mengamuk disini dan menyebar maut adalah Iblis Betina Banten itu. Nyi Candra Dewi itu memang kejam dan ganas seperti orang gila." kata Sulastri.

"Kita harus mengubur dulu semua mayat ini, Lastri." kata Lindu Aji.

Andaikata ia berada seorang diri disitu, tentu Sulastri tidak akan mau mengurus dan mengubur mayat-mayat yang tidak dikenalnya itu. Akan tetapi ia mengenal kekasihnya itu sebagai seorang yang amat bijaksana dan berbudi luhur, maka ia tidak berani membantah dan bahkan membantu Lindu Aji membuat lubang untuk mengubur mayat-mayat itu.

Mereka menggunakan golok-golok yang berserakan disitu untuk menggali lubang. Setelah mereka dapat menggali lubang yang cukup besar, Aji lalu mengangkat mayat-mayat itu satu demi satu dan memasukkannya ke dalam lubang besar yang mereka gali. Setelah semua mayat dimasukkan lubang, mereka lalu menimbuninya dengan tanah sehingga menjadi gundukan besar.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka selesai mengubur belasan jenazah itu. Setelah mencuci kaki tangan yang berlepotan tanah Lindu Aji dan Sulastri lalu meninggalkan tempat itu dan mulai dengan perjalanan mereka menuju ke dusun Gampingan. Sepasang kekasih ini berjalan bergandeng tangan dan merasa berbahagia sekali dapat melakukan perjalanan bersama, seperti dulu lagi.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Jatmika dan Neneng Salmah melakukan perjalanan meninggalkan Sumedang. Tadinya mereka bermaksud pergi ke timur, ke kampung halaman Lindu Aji di dusun Gampingan untuk mencari pemuda itu. Akan tetapi Neneng Salmah mengajukan usul lain.

"Akang Jatmika, kurasa sebaiknya kalau kita lebih dulu pergi ke Dermayu, ke rumah Paman Subali Siapa tahu Sulastri sekarang sudah pulang."

Jatmika tersenyum, mengangguk dan menuruti keinginan Neneng Salmah yang mulai menarik hatinya. Setelah melakukan perjalanan dengan gadis ini selama beberapa hari saja, ia dibuat kagum oleh kelembutan gadis yang bersusila ini.

Neneng Salmah ternyata bukan hanya ahli seni tari dan seni suara, akan tetapi juga ia mempunyai banyak pengetahuan tentang sastra dan memiliki watak yang lemah lembut, penuh sifat kewanitaan dan keibuan. Juga gadis yang lembut ini pandai bermain sandiwara sehingga dalam penyamarannya sebagai seorang pria, ia pandai sekali membawa diri sehingga penampilannya benar-benar seperti pria tulen! Bahkan ia mampu mengubah suaranya menjadi dalam dan besar seperti suara pria.

Hal ini sebetulnya tidak mengherankan kalau diingat bahwa Neneng Salmah pernah menjadi waranggana selama beberapa tahun, suka mengiringi pertunjukan wayang kulit sehingga i'a mampu menirukan gaya seorang dalang yang pandai bicara dengan bermacam gaya dan suara. Bahkan ketika ia tinggal di rumah Ki Subali yang dalang dan dianggap seperti anak sendiri, ia sering belajar mendalang sehingga ia dapat menirukan suara pria yang berat-berat seperti suara Bima, Gatotkaca, dan lain-lain.

Demikianlah, mereka mengubah arah perjalanan, bukan ke timur, melainkan ke utara, menuju Dermayu (Indramayu). Di sepanjang perjalanan, setiap orang wanita, muda ataupun tua, yang melihat Neneng Salmah, tentu memandang dengan mata bersinar penuh kekaguman.

Jatmika juga seorang pemuda yang cukup tampan, namun dibandingkan ketampanan Neneng Salmah yang menyamar sebagai pria, tentu saja dia kalah jauh. Neneng Salmah juga menggunakan nama pria untuk menyempurnakan penyamarannya. Dia memilih nama Jaka Salman, sebuah nama yang mirip nama mendiang ayahnya, Ki Salmun, dan namanya sendiri.

Pada suatu pagi, mereka tiba di dusun Tomo, di tepi Sungai Cimanuk. Ketika memasuki dusun itu, mereka berdua melihat seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun menjalankan kudanya perlahan, diikuti oleh dua orang laki-laki setengah tua yang juga menunggang kuda. Gadis itu berpakaian mewah dan cara ia duduk di atas punggung kuda menunjukkan bahwa ia sudah ahli dalam kepandaian menunggang kuda. Wajah gadis itu cantik, wajah berbentuk bulat dengan kulit hitam manis. dada dan mulutnya indah menggairahkan, dan cara duduknya di atas punggung kuda dengan tegak membuat gadis hitam manis ini tampak gagah, apalagi ada sebatang keris terselip di pinggangnya.

Adapun dua orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu bertubuh tegap dan kokoh, dan melihat cara mereka menunggang kuda selalu menjaga agar berada di belakang gadis itu, dapat diduga bahwa mereka berdua bertindak sebagai pengantar, pembantu atau juga pengawal. Dua orang ini juga mempunyai keris di pinggang mereka, pakaian mereka ringkas dan serba hitam dengan potongan seperti yang biasa dipakai para jagoan.

Ketika gadis hitam manis itu menoleh ke kiri dan melihat Jatmika dan Jaka Salman, ia menghentikan kudanya. Dua orang pengikutnya juga menahan kuda mereka. Gadis itu memandang ke arah Jaka Salman dengan penuh perhatian, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan bibirnya yang merah basah itu tersenyum simpul. Secara terbuka gadis itu menyatakan kekagumannya lewat pandang mata dan senyumnya. Jelas bahwa ia merasa tertarik dan kagum sekali kepada Jaka Salman, dan Jatmika hanya diliriknya beberapa kali tanpa mengacuhkannya. Setelah beberapa lamanya menatap wajah Jaka Salman, gadis itu membedal kudanya, diikuti dua orang pengikutnya.

"Hemm, lagi-lagi engkau telah menjatuhkan hati seorang gadis, Adi Jaka." kata Jatmika yang membiasakan diri menyebut kawannya Adi Jaka agar jangan sampai di depan orang lain dia keseleo lidah dan menyebut Neneng! "Wah, untung para pengagummu itu wanita, kalau pria, bisa membuat aku menjadi cemburu!" Jatmika berkelakar sambil tertawa.

Tiba-tiba Jaka Salman yang tadinya ikut tersenyum, memandang kepada Jatmika dengan pandang mata penuh selidik. "Akang Jatmika, kenapa cemburu?"

Pertanyaan singkat ini mengingatkan Jatmika dan wajahnya berubah kemerahan. Baru dia menyadari bahwa kata-katanya tadi sama saja dengan pengakuannya bahwa dia tidak ingin Neneng Salmah diperhatikan pria lain atau sama saja dengan pernyataan bahwa dia mencinta gadis ini! Dia menjadi salah tingkah dan tidak mampu menjawab, hanya tersenyum masam.

Jaka Salman tidak mau mendesaknya, bahkan mengalihkan percakapan. "Ah, perutku lapar sekali, mari kita mencari penjual makanan, Akang Jatmika,"

Jatmika menjadi lega dan mereka lalu memasuki dusun itu. Di tengah dusun mereka melihat sebuah warung nasi yang lumayan besarnya. Ada beberapa orang sudah berada dalam warung untuk membeli sarapan pagi.

Ketika Jatmika dan Jaka Salman memasuki warung, mereka melihat ada empat orang laki-laki setengah tua sudah duduk di bangku panjang. Mereka berdua lalu duduk di bangku lain yang berada di seberang lain sehingga mereka berhadapan dengan empat orang itu, terhalang meja warung nasi yang panjang. Wanita setengah tua yang menjadi pemilik warung dan melayani sendiri para tamu dibantu seorang wanita muda, dengan ramah menyapa mereka.

"Andika berdua hendak makan nasi apa?"

"Ada nasi apa saja, bibi?" tanya Jatmika.

"Ada nasi soto, nasi dengan lauk (ikan) goreng, nasi campur..."

"Tolong beri nasi campur dua, dan beberapa ekor lauk goreng."

Pesanan itu segera dihidangkan depan mereka, ditambah dua gelas air teh yang merupakan hidangan khusus gratis. Ketika Jatmika dan Neneng Salmah yang ki-ni bernama Jaka Salman mulai makan, masuklah tiga orang ke dalam warung itu. Semua orang, termasuk Jatmika dan Jaka Salman, memandang penuh perhatian, terutama kepada orang yang berjalan di depan. Seorang gadis berpakaian mewah dan hitam manis!

Jatmika dan Jaka Salman saling lirik ketika mengenal bahwa tiga orang itu adalah para penunggang kuda yang mereka lihat tadi. Karena bangku yang masih kosong hanya bangku panjang yang diduduki Jatmika dan Jaka Salman, gadis hitam manis itu dengan sikap tidak malu-malu seperti para gadis biasa, lalu mengambil tempat duduk di sebelah Jaka Salman!

Dua orang laki-laki setengah tua pengikutnya itu duduk di sebelahnya, akan tetapi menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Sikap mereka hormat sekali kepada gadis hitam manis itu. Akan tetapi gadis itu tidak memesan nasi. Ketika ditawari, ia menggeleng kepala. "Kami hanya ingin mengaso dan minum disini, bibi. Beri saja dua cangkir kopi untuk kedua paman ini, dan segelas teh untukku." Setelah berkata demikian, gadis itu mengambil sebuah pisang goreng dan memakannya, sikapnya terbuka dan sama sekali tidak tampak rikuh seperti pada gadis umumnya.

Ia memberi isyarat kepada dua orang pengikutnya untuk mengambil makanan. Merekapun memilih makanan yang banyak tersedia di atas meja dan makan dengan sikap hormat dan tak pernah mengeluarkan kata-kata.

Ketika Jaka Salman merasa betapa gadis itu duduknya semakin rapat dengannya sehingga bagian kiri pinggulnya bersentuhan dengan bagian kanan pinggul gadis itu, dia menoleh ke kiri. Dia melihat betapa gadis itu juga menoleh dan memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu pandang.

Gadis itu tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih. Semakin manis wajah itu ketika tersenyum. Karena tidak merasa aneh melihat ada gadis tersenyum kepadanya, bahkan dianggapnya itu merupakan tanda persahabatan, Jaka Salman membalas pula dengan senyumannya. Sepasang mata gadis itu bersinar, wajahnya berseri.

"Andika bukan orang sini, ya?" tanya gadis hitam manis itu dengan berani.

Jaka Salman melirik dengan perasaan heran. Bagaimana ada seorang gadis yang jelas bukan gadis dusun, begitu beraninya menyapa seorang laki-laki yang asing? Akan tetapi karena dia merasa bahwa dirinya seorang wanita, maka sapaan gadis itu diterima dengan senyum gembira oleh Jaka Salman yang menganggap hal itu wajar saja.

"Benar, aku orang Sumedang."

"Ah, aku senang sekali bertemu dengan orang Sumedang! Menurut cerita ayahku, dahulu di waktu mudanya diapun pernah tinggal di Sumedang! Perkenalkan, sobat, aku bernama Muntari dan teman-teman dekatku memanggil aku Mumun. Engkaupun boleh memanggil aku Mumun. Siapakan namamu, sobat?" Gadis itu bicara dengan lancar dan ramah sekali.

"Namaku Jaka Salman."

"Ah, nama yang bagus sekali, dan lebih enak kalau sebutan akrabnya Maman. Jadi engkau dan aku adalah Maman dan Mumun, serasi sekali, bukan? Karena kita sudah berkenalan, berarti kitapun sudah menjadi sahabat. Aku akan menyebutmu Kang Maman."

Jaka Salman terseret dalam kegembiraan gadis hitam manis itu. Gadis itu sungguh ramah bukan main dan menyenangkan hatinya. "Dan aku akan menyebutmu Neng Mumun."

"Ah, di antara sahabat baik, tidak usah pakai Neng segala. Sebut saja aku Mumun." Gadis itu tertawa lalu menuding ke arah piring Jaka Salman. "Wah, aku mengganggu makanmu. Silakan melanjutkan sarapanmu, kang Maman!"

Jaka Salman tersenyum dan melanjutkan makannya. Ketika dia melirik ke arah Jatmika, dia melihat pemuda itu sudah menghabiskan nasinya dan tampak berdiam diri sambil mengerutkan alis, kelihatan tak senang. Dia lalu teringat betapa dia tadi bercakap-cakap dengan gadis itu, seolah dia lupa akan kehadiran Jatmika, bahkan gadis itupun sama sekali tidak bertanya tentang pemuda itu.

"Oh ya, Mumun, kenalkan ini sahabatku bernama Jatmika!" Kata Jaka Salman kepada gadis hitam manis itu.

Muntari atau Mumun memandang ke arah Jatmika yang duduk di sebelah kanan Jaka Salman, lalu ia mengangguk dan tersenyum dengan ramah.

Jatmika juga mengangguk, akan tetapi tidak tersenyum. Hanya sejenak Mumun memandang wajah Jatmika karena pandang matanya sudah melekat lagi ke arah wajah Jaka Salman yang sedang makan. Setiap gerak-gerik Jaka Salman, ketika tangannya membawa nasi dan lauk pauknya ke mulut, ketika mulut itu mengunyah, selalu diikuti oleh pandang mata Mumun dengan sinar mata kagum!

Setelah Jaka Salman selesai makan dan minum air tehnya, Mumun sudah bertanya lagi, pertanyaan yang membuat Jatmika mengerutkan alis karena pertanyaan itu sungguh tidak pantas diucapkan seorang gadis terhadap seorang pria yang baru saja dikenalnya.

"Kang Maman, engkau tentu sudah beristeri dan mempunyai anak, ya?"

Jaka Salman tersipu mendengar pertanyaan ini dan dia menahan hatinya yang hendak membuat dia tertawa geli. Dia hanya tersenyum dan menjawab sambil menggeleng kepalanya. "Belum, aku belum berumah tangga."

Mumun tidak menyembunyikan kegembiraannya mendengar jawaban ini. "Kang Maman, aku mengundangmu untuk singgah di rumah kami. Aku ingin memperkenalkan engkau sebagai sahabat baruku yang amat baik kepada ayah ibuku. Marilah, Kang Maman, sebentar saja. Akan kami sambut engkau dengan pesta perjamuan!"

Jatmika sudah lebih dulu selesai makan dan walaupun dia sejak tadi diam saja dan tidak pernah menengok ke arah gadis hitam manis itu, namun dia mendengarkan percakapan antara gadis itu dan Jaka Salman dengan penuh perhatian. Mendengar undangan gadis bernama Muntari itu, dia tidak dapat menahan hatinya lagi. Sejak tadi dia sudah merasa tidak senang melihat sikap dan mendengar ucapan gadis hitam manis yang dianggapnya tidak tahu malu itu.

Muntari atau Mumun itu tanpa malu-malu, di depan orang banyak, secara terang-terangan memperlihatkan bahwa ia tergila-gila kepada Jaka Salman! Maka dia lalu bangkit berdiri dan berkata, suaranya halus, namun tegas.

"Maafkan kami, akan tetapi kami tidak dapat menerima undangan andika itu kami harus melanjutkan perjalanan kami sekarang juga. Terima kasih atas undangan andika itu dan maafkan bahwa kami tidak dapat menerimanya." Jatmika membayar harga makanan lalu berkata kepada Jaka Salman. "Mari, Adi Jaka, kita pergi!"

Jaka Salman bangkit berdiri dan ia merasa kasihan kepada gadis hitam manis itu yang tampak kecewa sekali, maka ia berkata dengan ramah kepadanya. "Maafkan aku, Mumun. Akang Jatmika benar. Kami harus melanjutkan perjalanan kami sekarang juga."

Muntari tidak menjawab, hanya mengerutkan alis dan cemberut. Ia tidak menyembunyikan kekecewaannya dan kemarahannya. Sepasang matanya bersinar penuh kebencian kepada Jatmika ketika Jatmika dan Jaka Salman meninggalkan warung itu.

Tentu saja mereka tidak memperdulikan sikap Muntari dan melanjutkan perjalanan menuju Sungai Cimanuk karena mereka bermaksud hendak melanjutkan perjalanan ke utara menuju Dermayu melalui sungai itu agar tidak terlalu melelahkan.

"Sialan...!" Tiba-tiba Jatmika berkata lirih.

Jaka Salman heran dan menoleh, memandang kawannya yang berjalan di sebelah kanannya. "Ada apa, Akang Jatmika? Apanya yang sialan?"

"Gadis genit itu, tak tahu malu benar!"

"Ah, kau maksudkan si Mumun? Kenapa, akang? Ia amat ramah dan manis, aku tidak melihat sesuatu yang jahat padanya. Kenapa engkau agaknya amat membencinya?"

"Hemm, tanpa malu-malu ia memperlihatkan di depan umum bahwa ia tergila-gila kepadamu!"

"Lho! Kalau begitu, kenapa? Ia suka sekali bersahabat denganku dan itu tidak ada salahnya, bukan?"

"Neneng, lupakah engkau bahwa engkau saat ini menyamar sebagai laki-laki? Kalau Muntari itu tergila-gila kepadamu, berarti ia tergila-gila kepada seorang laki-laki! Hal ini tidak kusalahkan karena engkau memang tampak sebagai seorang pemuda yang tampan sekali. Akan tetapi sikapnya yang demikian tidak tahu malu di depan umum. Ah, memuakkan sekali!"

Baru Neneng Salmah menyadari dan ketika ia mengenang kembali sikap Mumun tadi, iapun melihat betapa tidak pantas apa yang diperlihatkan gadis itu dengan sikap ramahnya terhadap seorang yang dianggapnya pria, padahal mereka baru saja bertemu. Ia mengangguk-angguk. "Engkau benar, akang. Akan tetapi sudahlah, hal itu sudah berlalu, tidak perlu kita mengingat lagi."

Mereka berjalan terus. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Jatmika dan Jaka Salman berhenti dan minggir sambil memutar tubuh. Mereka melihat dua orang penunggang kuda mendatangi dari belakang dengan cepat dan setelah melewati mereka, dua orang penunggang kuda itu menghentikan kuda mereka dan berlompatan turun. Kini Jatmika dan Jaka Salman mengenal mereka.

Dua orang itu bukan lain adalah dua orang laki-laki yang tadi mengikuti Muntari dengan sikap seperti dua orang pengawal gadis itu. Dua orang itu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka dan keduanya menghampiri Jatmika. Tanpa banyak cakap lagi dua orang itu sudah mencabut keris mereka dan segera menyerang Jatmika dengan ganas!

"Heii...! Ada apa ini?" bentak Jatmika dan dia cepat melompat kesamping untuk mengelak dari tusukan dua batang keris itu, yang dilakukan dengan cepat dan kuat. Setelah tusukan mereka luput, dua orang itu mengejar dan menyerang lagi.

"Hei! Apa kalian sudah gila?" teriak Jatmika dan cepat dia menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan itu dengan menepis lengan mereka.

Ketika lengan mereka terkena tepukan tangan Jatmika, dua orang itu merasa lengan mereka nyeri seperti dipukul besi. Mereka terkejut bukan main. Tak mereka sangka pemuda ini adalah seorang yang digdaya. Mereka hanya menerima perintah untuk membunuh pemuda yang ada tahi lalatnya di dagu ini dan menangkap pemuda yang seorang lagi, yang amat tampan itu. Biarpun mereka terkejut dan maklum bahwa yang mereka serang itu bukan makanan empuk, mereka kini menyerang lagi dengan lebih cepat dan mengerahkan seluruh tenaga mereka.

Gerakan dua orang ini cukup tangkas dan jelas bahwa mereka merupakan dua orang jagoan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini mereka berhadapan dengan Jatmika, seorang pemuda gemblengan yang telah mendapat pendidikan kakeknya yang sakti mandraguna, mendiang Ki Tejolangit atau Ki Ageng Pasisiran.

Dengan lincah dan ringan sekali tubuh Jatmika berkelebatan mengelak dari sambaran dua batang keris yang bertubi-tubi dan pada saat kedua orang lawannya itu terhuyung oleh tangkisan tangannya yang ampuh, Jatmika tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Hyaaaatt...!" Kedua tangannya bergerak seperti mendorong dan angin pukulan dahsyat menyambar ke depan. Itulah aji pukulan Margapati (Jalan Maut) yang amat dahsyat.

"Wuuuttt... desss! Desss!" Tubuh dua orang tinggi besar berpakaian hitam itu terpental dan terbanting roboh. Masih untung bagi mereka bahwa Jatmika membatasi tenaganya sehingga mereka tidak sampai tewas, hanya roboh pingsan dengan dada terasa sesak.

"Mari kita lanjutkan perjalanan." kata Jatmika kepada Jaka Salman yang tadi hanya menonton saja.

"Apakah mereka itu mati, akang?"

Jatmika menggeleng kepalanya. "Tidak, tidak mati, hanya pingsan saja."

Jaka Salman semakin kagum. Tadi ia sudah kagum sekali melihat betapa Jatmika merobohkan dua orang penyerang yang menggunakan keris dan tampak gerakan mereka tangkas dan kuat itu hanya dengan tangan kosong saja. Kini ia menjadi semakin kagum karena Jatmika tidak membunuh mereka, hanya memukul pingsan saja. Pemuda ini selain sakti mandraguna, juga berbudi baik dan tidak kejam terhadap orang-orang yang tadi hendak membunuhnya.

Mereka melanjutkan perjalanan sampai tiba di tepi Sungai Cimanuk. Karena pada waktu itu sedang musim hujan, maka air sungai itu penuh. Mereka lalu mencari dusun yang berada di tepi sungai dan membeli sebuah perahu milik nelayan. Memang nelayan itu tadinya tidak ingin menjual perahunya yang merupakan modal mencari nafkah, akan tetapi karena Jaka Salman berani membayar lebih tinggi dari harga umumnya, dia merelakan perahunya dibeli dua orang pemuda itu.

Jatmika dan Jaka Salman lalu melanjutkan perjalanan dengan naik perahu. Mereka masing-masing memegang dayung untuk mengemudikan perahu yang hanyut terbawa aliran air sungai ke arah utara. Ketika perahu mereka tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba muncul tiga buah perahu yang masing-masing ditumpangi tiga orang berpakaian hitam-hitam dan di pinggang mereka terselip golok. Di atas sebuah di antara tiga perahu itu tampak Muntari berdiri dengan sikap gagah. Gadis itu memberi aba-aba dan tiga buah perahu mehghadang perahu yang ditumpangi Jatmika dan Jaka Salman. Jatmika berkata kepada Jaka Salman.

"Awas, gadis liar itu pasti berniat buruk. Kendalikan perahu, aku akan menghadapi mereka!" Setelah berkata demikian, Jatmika berdiri di kepala perahu sedangkan Jaka Salman menggunakan dayungnya mengendalikan perahunya.

Akan tetapi ternyata mereka itu tidak menyerang, melainkan menabrakkan perahu mereka dari depan dan kanan kiri! Mereka pandai mengemudikan perahu dan ujung perahu mereka menabrak perahu yang ditumpangi Jatmika dan Jaka Salman. Tak dapat dihindarkan lagi, perahu itu terguling. Jatmika dan Jaka Salman tercebur ke dalam air!

Di darat boleh jadi Jatmika akan mampu mengalahkan sembilan orang itu. Akan tetapi di air, kepandaiannya terbatas dan dia maklum bahwa dia dalam bahaya kalau harus berkelahi dalam air dikeroyok sembilan orang yang agaknya ahli dalam air itu. Dia melihat Jaka Salman yang tidak pandai berenang gelagapan dan diangkat naik oleh Muntari dibantu beberapa orang.

Jaka Salman duduk lemas dalam perahu gadis hitam manis itu dan Jatmika maklum bahwa gadis tak tahu malu itu memang sengaja hendak menangkap Jaka Salman. Kalau dia hendak mencoba menghalangi, keadaannya tidak mengijinkan. Oleh karena itu, dia lalu berenang ke tepi dan naik ke darat. Dia melihat tiga buah perahu itu mengikuti aliran air sungai menuju hilir, membawa Jaka Salman sebagai tawanan.

Jaka Salman maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, ia tidak berdaya dan juga Jatmika tidak berdaya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa Jatmika tidak mungkin akan diam saja. Pemuda itu pasti mengikuti kemana perahu yang membawanya pergi. Dugaannya memang benar. Jatmika berlari menyelinap diantara pepohonan di tepi sungai, mengikuti perahu yang membawa Jaka Salman.

Cukup lama Jatmika mengikuti perahu itu dengan berlari di tepi sungai. Sementara itu, Jaka Salman pura-pura tidak tahu akan niat Muntari, maka setelah pernapasannya normal kembali dia bertanya kepada gadis itu. "Mumun, apa artinya semua ini? Kenapa engkau menabrak perahuku kemudian menolongku dari air?"

Gadis itu tersenyum kepada Jaka Salman dan menjawab dengan manis dan ramah. "Akang Maman, aku mengundangmu untuk singgah di rumahku, hendak kuperkenalkan kepada orang tuaku. Maafkan caraku yang kasar ini, ya? Habis tadi engkau tidak mau ikut dengan aku, maka terpaksa aku menggunakan cara ini."

Hemm, cara mengundang yang aneh, pikir Jaka Salman. Benar juga pendapat Jatmika. Gadis ini memiliki watak yang aneh dan liar. "Akan tetapi kenapa engkau tidak membawa pula Akang Jatmika dan membiarkan dia hanyut?"

"Huh, untuk apa mengundang dia? Di warung tadi, dialah yang menolak undanganku dan mengajak engkau pergi. Untuk apa aku mengundang orang yang tidak suka kepadaku?"

Jaka Salman diam saja. Percuma saja dia membantah, dan tidak ada gunanya pula kalau ia melawan. Dia tidak akan dapat melakukan apa-apa. Selain mereka berada di atas perahu, juga dia tidak mugkin menang melawan sembilan orang dan gadis itu sendiri tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Dia akan menanti sampai Jatmika muncul menolongnya dan tentang hal ini dia merasa yakin sekali. Keyakinan ini membuat Jaka Salman bersikap tenang-tenang saja.

Akhirnya mereka tiba di sebuah perkampungan kecil di tepi sungai itu dan mereka semua mendayung perahu ke pinggir, lalu berloncatan keluar dan mendarat. Jaka Salman juga dipersilakan keluar dan Muntari mengajak dia ikut ke perkampungan itu. Jaka Salman menurut saja. Dia maklum bahwa kalau dia melakukan perlawanan sekarang, akan percuma saja, bahkan dia akan diperlakukan dengan buruk, tidak seramah dan sebaik sekarang. Maka diapun menurut saja ketika diajak ke sebuah rumah besar yang berada di tepi perkampungan itu, diantara rumah-rumah yang lebih kecil. Dia menduga bahwa tentu rumah besar ini tempat tinggal pimpinan penduduk perkampungan itu.

"Mumun, rumahmukah ini?" dia bertanya kepada Muntari yang berjalan di sampingnya. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.

"Ini rumah ayah ibuku. Ayahku adalah kepala perkumpulan kami dan ini adalah perkampungan kami. Ayah bernama Ki Bangak dan engkau akan kuperkenalkan kepada ayah dan ibuku. Mari, Akang Salman, kita masuk saja."

Ketika bertemu seorang pelayan wanita, Muntari berkata dengan nada suara memerintah. "Cepat carikan seperangkat pakaian yang cocok untuk mengganti pakaian Akang Maman yang basah ini. Cepat dan carikan yang terbaik!"

Pelayan itu segera keluar melaksanakan perintah Muntari dan gadis itu berkata kepada Jaka Salman. "Mari, akang, engkau menunggu sebentar di ruangan tamu ini, sambil menanti datangnya pakaian pengganti untukmu. Aku akan melaporkan tentang kedatanganmu kepada orang tuaku."

Jaka Salman mengangguk gembira. Kalau gadis itu pergi, maka ada harapan baginya untuk melarikan diri. Kalau dia dapat mencapai sungai dan melarikan diri dengan perahu, tentu dia akan bebas!

"Baik, Mumun. Aku akan menanti disini." katanya sambil duduk di atas sebuah bangku yang terdapat dalam ruangan itu.

Muntari lalu meninggalkan ruangan itu. Setelah gadis itu pergi, Jaka Salman cepat menuju ke pintu yang menembus ke ruangan luar. Akan tetapi ketika dia mengintai keluar, hatinya kecut karena dia melihat belasan orang anak buah Muntari menjaga di ruangan luar. Tidak ada jalan keluar baginya. Dia menjadi gemas dan tahu bahwa Muntari sengaja hendak menahannya maka sebelumnya sudah menugaskan banyak orang untuk menjaganya agar dia tidak melarikan diri. Heran, apa maunya gadis itu? Mengapa mengundang orang dengan paksaan seperti ini?

Tak lama kemudian Mumun sudah memasuki ruangan itu sambil membawa seperangkat pakaian pria yang indah. Ia sendiri juga sudah berganti pakaian indah.

"Ini kubawakan pakaian pengganti untukmu, Akang Maman. Pakaianmu basah, sebaiknya kau ganti dengan pakaian kering ini. Engkau bisa masuk angin dan sakit kalau memakai pakaian basah seperti itu."

Jaka Salman menerima pemberian pakaian itu. Memang benar, amat tidak enak memakai pakaian seperti itu, bukan hanya dingin dan melekat, akan tetapi juga ada bahayanya penyamarannya sebagai laki-laki akan ketahuan karena pakaian yang basah melekat dapat mencetak bentuk tubuhnya, terutama di bagian dada.

"Engkau keluarlah sebentar, Mumun. Aku hendak berganti pakaian." katanya kepada gadis itu.

Mumun tersenyum menggoda. "Kenapa, kang? Kenapa aku harus keluar dulu?"

"Hemm, aku tidak biasa berganti pakaian di depan orang lain, apalagi di depan seorang wanita." kata Jaka Salman.

"Hi-hik, engkau malu, kang? Lucu!" kata Muntari sambil keluar dari kamar itu, setibanya di luar ia masih tertawa, suara tawanya terdengar dari dalam.

Jaka Salman menutupkan daun pintu kamar dan memalangnya. Dia memang tidak ingin ada orang melihat dia berganti pakaian karena hal itu akan membuka rahasia penyamarannya. Setelah menutupkan daun pintu dan merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihat atau mengintainya, dia lalu berganti pakaian kering pemberian Muntari itu. Ternyata pakaian itu pas dengannya dan dia tampak lebih tampan karena pakaian itu memang indah.

Baru saja dia selesai berpakaian, daun pintu diketuk dari luar. "Tok-tok-tok, Akang Maman, engkau sudah selesai berganti pakaian? Kalau sudah selesai, bukalah pintunya!" terdengar suara Muntari.

Jaka Salman menaruh pakaian kotor di atas lantai di sudut ruangan itu, lalu membuka daun pintu. Muntari masuk dan ia terbelalak mengamati "pemuda" itu. "Aduh, hebat! Engkau tampak ganteng sekali dalam pakaian itu, Kang Maman!" ia memuji.

Jaka Salman hanya tersenyum.

"Kang Maman mana pakaianmu yang basah?" tanya gadis itu.

"Kutaruh disitu." jawab Jaka Salman sambil menunjuk ke arah pakaiannya yang kotor dan basah di sudut ruangan.

Muntari menghampiri dan mengambil pakaian itu. "Biar kusuruh cuci pelayan." katanya.

"Eh, Mumun, biar aku yang membawanya. Pakaian itu kotor dan basah." Jaka Salman mengulurkan tangan hendak mengambil pakaian itu dari tangan Muntari. Akan tetapi gadis itu mengelak.

"Biarlah aku yang membawa. Kenapa sih? Aku suka membawakan pakaianmu, kang!"

Tentu saja Jaka Salman tidak dapat memaksa. Gadis itu lalu mengajaknya keluar dari kamar itu menuju ke ruangan dalam. Di ruangan ini telah menanti seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, brewok menyeramkan, berpakaian serba hitam dan usianya sekitar empat puluh lima tahun. Di depannya, terhalang meja, duduk seorang wanita berusia sekitar tiga puluh enam tahun, cantik dan berwajah lembut.

"Akang Salman, inilah bapak dan ibuku. Bapak bernama Ki Bangak. Bapak dan ibu, inilah Akang Maman yang kuceritakan tadi, nama lengkapnya Jaka Salman."

Suami isteri itu memandang Jaka Salman dengan penuh perhatian, bahkan mengamatinya dari kepala sampai kaki. Agaknya mereka suka dengan apa yang dilihatnya karena saling pandang, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Anakmas Jaka Salman, duduklah." Ki Bangak mempersilakan dengan sikap kasar namun ramah.

Muntari tanpa malu-malu lagi memegang tangan Jaka Salman dan diajak duduk di atas dua buah kursi berjejer, berhadapan dengan suami isteri itu terhalang meja.

"Terima kasih, paman." kata Jaka Salman dan dia hanya diam saja, ingin mengetahui apa sebetulnya kehendak Muntari dan kedua orang tuanya dengan memaksa dia datang ke rumah mereka.

"Bagaimana pendapat bapak dan ibu?" Muntari bertanya dengan bangga, seolah memamerkan apa yang dibawanya pulang. Setelah berkata demikian, ia memandang. kepada Jaka Salman sambil tersenyum.

Ki Bangak mengangguk-angguk. "Bagus, bagus sekali. Aku setuju Mumun, setuju sekali dengan pilihanmu ini. Bukanlah begitu, nyai?" Dia menoleh kepada isterinya.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk pula. "Akupun cocok sekali! Aku girang dapat mempunyai mantu setampan ini!"

Jaka Salman mengerutkan alisnya. Kini tampak jelas olehnya bahwa Muntari mewarisi kecantikan ibunya akan tetapi kehitaman kulit ayahnya. Ucapan dua orang itu yang membuat dia mengerutkan alis.

"Mumun, kita bertiga sudah cocok, pernikahan kalian besok pagi. Akan kusebarkan undangan hari ini juga. Bagaimana pendapatmu?"

"Wah, aku girang sekali, pak. Memang lebih cepat lebih baik."

Mendengar percakapan mereka, Jaka Salman tidak dapat menahan rasa penasaran yang bergejolak dalam hatinya. Pernikahan? Dia hendak diambil mantu, dinikahkan dengan Muntari? Gila!

"Mumun, apa artinya semua ini? Aku tidak mengerti. Jelaskanlah, apa niat kalian terhadap diriku?"

"Hoa-ha-ha-ha!" Ki Bangak tertawa bergelak. Suara tawanya yang lantang itu menggema di ruangan itu. "Anakmas Jaka Salman, kenapa engkau masih bertanya lagi? Engkau beruntung sekali! Selama ini, puluhan orang pemuda gandrung (jatuh cinta) kepada Mumun, namun tak seorang pun yang cocok dengan selera anak kami. Sekarang ia memilih engkau untuk menjadi jodohnya. Maka bergembiralah, orang muda! Besok pagi pernikahan kalian akan kami langsungkan dan rayakan."

Setelah mengerti dengan jelas niat keluarga yang dianggapnya gila itu, Jaka Salman bangkit dari kursinya dan berseru marah. "Tidak, aku tidak ingin menikah!" Dia melompat dan hendak keluar dari rumah itu untuk selanjutnya melarikan diri.

Akan tetapi terdengar Muntari bertepuk tangan dan muncullah lima orang laki-laki menghadang di depan pintu. "Cegah dia pergi dari sini. Tangkap dia, akan tetapi awas, jangan lukai dia!". perintah gadis itu.

Lima orang itu memandang rendah kepada Jaka Salman. Mereka lalu menerjang maju untuk menangkap pemuda yang hendak melarikan diri itu. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika sergapan mereka itu hanya menangkap angin saja.

Tubuh Jaka Salman dengan gesitnya telah dapat menghindarkan diri dari jangkauan tangan lima orang itu! Dia telah memainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sulastri, yaitu Aji Sunya Hasta (Tangan Kosong) dan selain dapat mengelak dari sambaran tangan lima orang itu, dia bahkan menggerakkan kaki tangannya secara lembut seperti orang menari dan dua orang laki-laki yang hendak menangkapnya terpelanting oleh tamparan tangan dan tendangan kakinya.

"Waduh, dia malah memiliki kedigdayaan pula!" kata Ki Bangak dengan gembira dan dia segera melompat dari kursinya ke arah pemuda itu.

"Bapak, jangan lukai suamiku!" teriak Muntari.

"Ha-ha-ha, masa seorang bapak mertua hendak melukai mantunya?" Ki Bangak tertawa. Pada saat itu dengan penasaran tiga orang laki-laki lain menerjang dan menggunakan tangan mereka untuk menangkap Jaka Salman. Karena ilmu silatnya memang belum matang benar, apalagi menghadapi serangan keroyokan seperti itu, Jaka Salman menggeser kaki dan tubuhnya mundur ke belakang.

Tiba-tiba dari belakangnya, sepasang tangan yang besar panjang dan kokoh kuat, berbulu lagi, telah menangkap kedua pergelangan tangannya. Kedua tangan yang menangkap pergelangan tangannya itu begitu kuat sehingga Jaka Salman merasa lengannya nyeri dan tak mungkin dia dapat melepaskan pegangan kedua tangan Ki Bangak itu.

"Ha-ha-ha, mantuku yang baik! Engkau hendak lari kemana sekarang?"

Jaka Salman maklum tidak mungkin baginya untuk membebaskan diri dari orang-orang ini. Selain keluarga ini mempunyai banyak anak buah, juga ayah Muntari ini jelas seorang yang digdaya dan memiliki tenaga yang kuat sekali. "Baiklah, paman. Aku tidak akan melarikan diri. Lepaskan tanganku."

"Ha-ha-ha, senang sekali melihat mantuku selain tampan juga cukup lumayan ketangkasannya. Ha-ha, pilihanmu memang tepat sekali, Mumun!" Dia melepaskan kedua tangan Jaka Salman yang segera memutar tubuh menghadapi Muntari.

"Mumun aku tidak akan menolak lagi, akan tetapi lebih dulu aku ingin bicara denganmu'malam ini. Berdua saja!"

"Ha-ha-ha, belum juga menikah sudah ingin berduaan? Boleh, akan tetapi malam nanti. Sekarang kita mengobrol dan berpesta keluarga untuk menyambut kedatangan mantuku!" kata Ki Bangak, lalu dengan suara lantang dia memerintahkan pelayan-pelayan untuk mempersiapkan pesta makan keluarga.

Muntari tampak girang bukan main dan setelah Jaka Salman menyatakan tidak akan menolak lagi, kedua pipinya menjadi kemerahan. dan ia tersenyum malu-malu. "Bapak, ibu, harap kalian temani Akang Maman bercakap-cakap. Aku hendak membantu mempersiapkan makanan, lalu mandi dan nanti kita makan bersama."

"Baiklah, anakku. Siapkan makanan yang paling lezat untuk suamimu, agar hatinya senang disini." kata Nyai Bangak.

"Kang Maman aku pergi dulu, ya? Silakan mengobrol dengan bapak ibuku." Muntari berpamit kepada Jaka Salman yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Setelah Muntari pergi ke dapur, Ki Bangak dan isterinya menghujani pertanyaan kepada Jaka Salman. "Anakmas Jaka Salman, dimanakah tempat tinggalmu, siapa orang tuamu, kemana engkau hendak pergi, dan siapa pula pemuda yang menurut Mumun bersamamu ketika engkau diundang kesini oleh anak kami itu?"

Kalimat itu sudah mengandung semua pertanyaan tentang dirinya agar dia menceritakan riwayatnya! Jaka Salman bermaksud membuka rahasia dirinya, akan tetapi yang terpenting untuk mengetahui tentang itu adalah Muntari. Biarlah kedua orang tua Muntari mengetahuinya dari gadis itu, atau lebih baik lagi, hanya Muntari seorang yang mengetahui dan mudah-mudahan gadis itu mau menyimpan rahasianya.

"Paman aku sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi. Mereka sudah meninggal dan aku berasal dari Sumedang..."

"Sumedang?" Ki Bangak memotong dengan wajah gembira dan tangan kirinya yang besar berbulu itu memelintir kumisnya yang sekepal sebelah. "Ha, dulu di waktu aku masih muda, aku pernah tinggal di Sumedang dan aku mempelajari banyak kanuragan di Sumedang! Katakan siapa nama mendiang bapakmu, mungkin aku pernah mengenalnya."

"Mendiang ayahku bernama Ki Salmun. Setelah ayahku meninggal dunia, aku lalu melakukan perjalanan, ditemani sahabatku yang bernama Jatmika, menuju ke Dermayu di mana tinggal seorang pamanku. Aku bermaksud untuk mondok, tinggal di rumah pamanku di Dermayu."

"Wah, kalau begitu kebetulan sekali Anakmas Maman," kata Nyai Bangak. "Engkau tidak perlu menyusahkan pamanmu di Dermayu. Engkau tinggal disini, menjadi suami Mumun dan membantu pekerjaan ayah mertuamu!"

Sebelum Jaka Salman menjawab, Ki Bangak sudah tertawa senang. "Ha-ha-ha, ibu mertuamu berkata benar, Anakmas Jaka Salman. Engkau tinggal dengan isterimu Mumun disini membantu pekerjaanku!"

Kesempatan ini dipergunakan oleh Jaka Salman untuk mengetahui tentang pekerjaan keluarga aneh ini. "Pekerjaan apakah yang dapat kubantu? Apa sih pekerjaan paman?"

"Pekerjaanku? Aku menjadi pemimpin mereka semua. Semua penghuni perkampungan ini adalah anak buahku dan keluarga mereka. Jumlah anak buahku tidak kurang dari seratus orang! Nah, engkau sebagai mantuku dapat membantu aku memimpin mereka."

"Memimpin mereka untuk pekerjaan apakah?"

"Apalagi? Pekerjaan kami selama bertahun-tahun ini adalah mengumpulkan uang pajak atau uang sumbangan dari mereka yang berperahu lewat sungai ini dan dari mereka yang melewati jalan-jalan juga dari para penduduk yang tinggal di wilayah-wilayah Lembah Cimanuk ini."

Jaka Salman terbelalak kaget mendengar keterangan itu. Saking kagetnya, dia berseru, "... menjadi bajak dan perampok!?"

Ki Bangak tertawa. "Ha-ha-ha, kami tidak menyebutnya begitu. Dengan pemberian pajak atau sumbangan itu, kami bahkan melindungi mereka semua dari gangguan orang jahat."

Hemm, sudah jelas bahwa pekerjaan memungut "pajak paksaan" kepada mereka yang lewat dan kepada penduduk dusun merupakan pekerjaan bajak dan perampok, masih tidak diakuinya malah menganggap diri sebagai "pelindung" dari orang-orang yang mereka peras. Celaka, dia terjatuh ke tangan bajak dan perampok. Pantas Muntari berkelakuan seliar itu! Kiranya ia anak kepala perampok yang hidup di lingkungan orang-orang jahat!

"Bagaimana? Engkau senang membantuku, bukan? Engkau akan memiliki seorang isteri yang paling cantik jelita di wilayah ini, engkau akan dihormati semua orang, kaya raya dan hidupmu pasti akan berbahagia sekali, Anakmas Jaka Salman!"

Jaka Salman hanya mengangguk. Dia mau berkata apa? Membantah berarti mencari penyakit. Dia harus bersabar diri sambil menanti munculnya Jatmika yang dia yakin pasti akan datang menolongnya. "Paman, aku merasa lelah dan ingin mengaso, tidur." katanya.

"Ah, tentu saja boleh! Mari, Anakmas Maman, kuantar engkau beristirahat di kamar Mumun saja. Mari!" kata Nyai Bangak dan Jaka Salman lalu bangkit dan mengikuti wanita itu menuju ke sebelah dalam rumah.

Dia dipersilakan memasuki sebuah kamar dan Jaka Salman kagum. Kamar itu luas dan mewah. Pembaringan, meja kursi, almari, semua perabot dalam kamar itu serba indah dan mewah. Sebuah jendela samping terbuka daunnya. Jendela besar yang menembus kesebuah taman sehingga harum bunga beraneka macam memasuki kamar mendatangkan suasana yang semerbak harum dan segar.

"Rebahanlah di pembaringan itu dan mengasolah Anakmas Maman. Nanti kalau waktu mandi dan makan tiba, engkau akan dibangunkan." kata Nyai Bangak sambil tersenyum, lalu ia keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintunya perlahan-lahan.

Jaka Salman lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang lunak dan harum melati itu. Dia memang merasa lelah, kelelahan yang lebih banyak timbul dari hati yang gelisah. Dia perlu beristirahat untuk menenangkan hati, mengumpulkan tenaga karena mungkin malam nanti atau kapan saja, kalau Jatmika muncul menolongnya, dia membutuhkan tenaga untuk membantu Jatmika menghadapi musuh yang demikian banyaknya. Setelah membayangkan Jatmika, hatinya menjadi tenang dan Jaka Salman dapat tertidur pulas.

Ketukan lirih di pintu kamar membangunkan Jaka Salman. Ketika dia memandang keluar jendela, tampak bahwa cuaca sudah mulai remang-remang, pertanda bahwa saat itu hari telah menje-lang senja.

"Tok-tok-tok!" Daun pintu kamar diketuk lirih.

"Siapa di luar?" tanya Jaka Salman sambil bangkit dan turun dari pembaringan.

"Saya pelayan, denmas, diutus oleh Neng Mumun untuk mengantarkan pakaian pengganti kepada Denmas."

Jaka Salman membuka daun pintu dan seorang pelayan wanita setengah tua menyerahkan setumpuk pakaian pengganti. Jaka Salman menerimanya dan pelayan itu berkata lagi.

"Denmas dipersilakan mandi, kamar mandinya di sebelah sana," ia menuding ke arah belakang.

"Terima kasih, Bibi." Kata Jaka Salman. Pelayan itu pergi dan Jaka Salman lalu pergi ke kamar mandi. Setelah dia selesai mandi dan berganti pakaian lalu kembali ke kamar itu, dia melihat Muntari telah duduk di atas pembaringan. Gadis itu berpakaian mewah dan indah, wajahnya cantik berseri dan ia bangkit berdiri ketika Jaka Salman memasuki kamar itu. Melihat gadis itu, Jaka Salman lalu berkata.

"Mumun aku ingin berkata padamu. Penting sekali!"

Akan tetapi Muntari sudah memegang tangannya dan berkata, "Nanti saja, akang. Kita sudah ditunggu bapak dan ibu di ruangan makan. Setelah makan, nanti kita bicara di sini dengan enak dan leluasa. Engkau akan bicara apa saja nanti, akan kulayani, biar semalam suntuk aku bersedia!"

Tanpa menanti jawaban Jaka Salman, Muntari sudah menarik tangan pemuda itu ke ruangan makan. Ketika mereka berdua memasuki ruangan makan dengan bergandeng tangan, atau lebih tepat, Jaka Salman digandeng gadis itu, ternyata Ki Bangak dan Nyai Bangak sudah duduk menghadapi meja makan yang penuh dengan bermacam hidangan yang masih mengepulkan uap. Aroma masakan yang sedap membuat perut Jaka Salman meronta minta diisi!

"Ha-ha-ha, kalian berdua anak-anak nakal! Makan dulu, jangan berpacaran saja. Nanti masih ada waktu dan besok pagi kalian sudah menjadi suami isteri!" Nyai Bangak juga tertawa lebar dengan wajah berseri.

Mereka lalu duduk dan makan bersama. Dengan penuh perhatian Muntari melayani Jaka Salman, mengambilkan lauk yang paling enak. Jaka Salman menerimanya saja. Dia harus makan kenyang agar cukup sehat dan kuat kalau nanti tenaganya diperlukan.

Bagus Sajiwo Jilid 13

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 13

SETELAH agak lama menangis sambil menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu sehingga air matanya terkuras habis, tangis Sulastri mereda. Semua rasa rindu dan kasih sayang ditumpahkan dalam saat-saat yang asyik masyuk itu, ketika keduanya saling rangkul.

"Mas Aji..." akhirnya Sulastri berkata lirih.

"Ada apa, Lastri?" jawab Lindu Aji, lirih pula dan suaranya mengandung kasih sayang yang menggetar.

"Mas Aji, kenapa... kenapa... engkau dahulu menyuruh aku... menikah dengan Kakangmas Jatmika? Kenapa...?"

Lindu Aji mencium rambut yang masih semerbak harum melati itu walaupun kini roncean melatinya sudah tidak ada, semua rontok ketika Sulastri bertanding mati-matian melawan Candra Dewi tadi.

"Pertanyaanmu itu sama dengan pertanyaanku yang selama ini selalu menggoda hatiku, yaitu, kenapa engkau dahulu itu mendesak aku untuk menikah dengan Neneng Salmah, Lastri?" Lindu Aji menjawab pertanyaan dara itu dengan pertanyaan pula.

"Karena aku tahu betul betapa Neneng sangat mencintamu, Mas Aji dan kukira... kusangka bahwa engkau juga mencintanya."

"Hemm, sungguh aneh. Jawabanku juga sama dengan jawabanmu, Lastri. Aku menganjurkan engkau menikah dengan Kakangmas Jatmika karena aku tahu bahwa dia amat mencintamu, dan kukira bahwa engkau, sejak engkau kehilangan ingatan dan berubah menjadi Listyani, engkau sudah melupakan aku dan jatuh cinta kepadanya."

"Jadi, engkau mengalah dan mengorbankan diri?"

"Sama dengan engkau."

"Dan engkau tidak mencinta Neneng Salmah, mas?"

"Aku sayang Neneng seperti adikku sendiri, dan aku sudah mengangkat ia sebagai adikku. Cintaku hanya padamu, Lastri. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang kuinginkan menjadi jodohku."

"Mas Aji...!" Sulastri merangkul pinggang pemuda itu dan merapatkan kembali pipinya ke dada Lindu Aji. "Akupun demikian, betapa sengsara hatiku selama ini, betapa rinduku kepadamu, aku... aku... hanya engkau yang kucinta..."

Lindu Aji merasa demikian bahagia hatinya. "Sulastri!" Dia mengangkat muka gadis itu dengan memegang kedua pipinya lalu dia menciumnya dengan sepenuh perasaan kasihnya. Sulastri pun menyambut dengan penuh kepasrahan dan kecintaan.

"Nah, sekarang ceritakan mengapa engkau tadi berkelahi dengan wanita itu dan siapa ia yang begitu sakti sehingga dapat nyaris membunuhmu?" Lindu Aji menggandeng tangan Sulastri dan diajaknya duduk di atas batu.

Baru saja Sulastri duduk berdampingan dengan Lindu Aji, tiba-tiba ia bangkit berdiri seperti orang terkejut. "Wah, celaka! Aku baru ingat sekarang. Iblis betina itu telah merampas Naga Wilis! Mas Aji, mari kita kejar!"

Lindu Aji memegang tangan gadis itu dan menariknya perlahan, diajaknya duduk kembali. "Tenang, Lastri. Tidak ada gunanya kita mengejarnya sekarang. Ia telah berlari jauh sekali dan kita tidak tahu ke arah mana ia pergi. Sebaiknya kau ceritakan semua. Kalau aku sudah tahu siapa wanita itu, kelak mudah kita mencarinya dan merampas kembali pedangmu."

Mendengar ini, Sulastri menjadi tenang kembali. Ia mengerti bahwa apa yang dikatakan Lindu Aji itu benar. Mereka tidak tahu kemana Candra Dewi melarikan diri, bagaimana mereka dapat mengejar dan menyusulnya? Maka ia lalu duduk kembali.

Kemudian ia mulai bercerita. Ia menceritakan sejak ia berpisah. dengan Lindu Aji. Betapa ia merantau dan akhirnya menjadi ketua perkum-pulan Melati Puspa dan memakai nama baru Ni Melati Puspa.

"Wah, engkau mengubah namamu lagi, Lastri?" tanya Lindu Aji tersenyum.

"Aku tidak ingin diketahui siapa aku sebenarnya, mas. Aku hanya ingin mengasingkan diriku untuk menghibur hati melupakan semua peristiwa yang menyengsarakan hatiku. Akan tetapi aku gagal, mas. Aku... aku tidak bisa melupakanmu!"

"Beberapa kalipun engkau mengubah nama, engkau tetap Lastri bagiku, Lastriku, Sulastri yang kukenal pertama kali di Loano, di tempat tinggal Paman Sumali. Lanjutkan ceritamu, Lastri. Engkau sudah menjadi ketua perkumpulan Melati Puspa, lalu bagaimana engkau sekarang berada di sini dan berkelahi dengan wanita tadi?"

"Aku mulai tidak betah dan bosan tinggal di lereng Gunung Liman dimana markas Perkumpulan Melati Puspa berada. Kutinggalkan pimpinan kepada seorang anggota dan aku lalu turun gunung. Aku bermaksud mencarimu di dusun Gampingan, kampung halamanmu. Akan tetapi dalam perjalanan itu aku mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya disembunyikan di daerah muara Sungai Lorog ini. Maka aku lalu singgah di tempat ini lebih dulu. Tadi, ketika aku berjalan disini, tiba-tiba saja aku diserang wanita gila itu. Aku melawan mati-matian, akan tetapi ternyata ia sakti mandraguna dan setelah bertanding seratus jurus lebih, akhirnya pedangku terampas olehnya dan aku nyaris tewas kalau tidak ada engkau yang tiba-tiba muncul, Mas Aji."

"Siapa nama wanita itu dan mengapa ia menyerangmu?"

"Ia mengaku bernama Candra Dewi, berjuluk Iblis Betina dari Banten. Ia tidak mengatakan mengapa ia menyerang dan hendak membunuhku, padahal aku belum pernah mengenalnya dan sama sekali tidak mempunyai urusan dengannya, apalagi permusuhan. Agaknya ia seorang yang miring otaknya, Mas Aji."

"Candra Dewi? Hemm, rasanya aku pernah mendengar nama itu. Iblis Betina dari Banten? Ya, tidak salah lagi. Engkau masih ingat kepada Nyi Maya Dewi, Lastri?"

"Tentu saja, perempuan hina antek Kumpeni Belanda itu!"

"Aku ingat bahwa Nyi Candra Dewi adalah kakak Nyi Maya Dewi! Aku pernah mendengar namanya. Akan tetapi kabarnya ia tidak pernah keluar dari Banten dan tidak pernah mencampuri urusan perang antara Mataram dan Kumpeni Belanda. Aneh sekali, kenapa sekarang ia muncul dan tanpa sebab hendak membunuhmu dan merampas pedangmu? Apakah ini ada hubungannya dengan Nyi Maya Dewi?" Lindu Aji mengerutkan alisnya, berpikir-pikir.

"Ah, aku ingat sekarang! Mas Aji, Nyi Maya Dewi telah mati dan kukira yang membunuhnya adalah Iblis Betina dari Banten itu juga!"

Lindu Aji tidak terkejut mendengar akan kematian Nyi Maya Dewi. Wanita itu memang tersesat jauh sekali dan tidaklah aneh kalau ia mati dibunuh orang. Akan tetapi dia merasa heran dan tertarik mendengar bahwa yang membunuh Nyi Maya Dewi adalah kakaknya sendiri!

"Dimana hal itu terjadi, Lastri, dan kenapa Nyi Candra Dewi membunuh adiknya sendiri?"

"Aku juga tidak tahu, mas. Mungkin memang iblis betina itu sudah gila. Aku mengetahuinya hanya secara kebetulan saja. Ketika itu, ada seorang pemuda desa berlari-larian memasuki daerah kekuasaan kami. Tentu saja dia kami tangkap dan menurut pengakuannya, dia dikejar-kejar seorang wanita yang seperti gila dan mengamuk. Aku tertarik dan aku pergi ke Bukit Keluwung, tempat yang diceritakan pemuda itu. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Nyi Maya Dewi tinggal di puncak Bukit Keluwung. Setelah tiba di puncak bukit itu, aku melihat puing-puing sebuah rumah dan batu-batu pecah berantakan, pohon-pohon tumbang. Agaknya diamuk wanita gila seperti yang diceritakan pemuda itu. Ketika aku memeriksa lebih teliti, dibelakang rumah itu di dinding bukit, terdapat sebuah gua yang merupakan terowongan. Aku memeriksanya dan terhalang tumpukan batu yang agaknya longsor menutup terowongan itu. Ketika aku keluar lagi, aku menemukan goresan tulisan pada batu di depan gua, bunyinya:Kuburan Maya Dewi dan Bagus Sajiwo. Begitulah ceritanya, Mas Aji. Rasanya aku pernah mendengar nama Bagus Sajiwo, akan tetapi lupa lagi entah dimana. Aku lalu turun gunung memulai perantauanku."

"Bagus Sajiwo? Bagus Sajiwo..., Lastri, apakah engkau tidak ingat? Bagus Sajiwo adalah putera Paman Tejomanik yang kabarnya hilang diculik orang!"

"Ah, benar! Bagus Sajiwo...ya, ya, sekarang aku ingat. Aduh, kasihan sekali Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo. Bertahun-tahun mereka mencari putera mereka yang hilang dan kini, tahu-tahu Bagus Sajiwo telah mati terkubur dalam terowongan Bukit Keluwung."

Lindu Aji menghela napas panjang. "Demikianlah kehidupan manusia di dunia ini, Lastri. Terombang-ambing oleh keadaan yang sering kali berlawanan dengan apa yang kita inginkan. Suka dan duka silih berganti, dan semakin banyak keinginan kita, semakin banyak pula muncul keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan sehingga timbullah duka. Tidak ada sikap yang lebih baik daripada berdaya upaya sekuat tenaga dengan didasari penyerahan terhadap Kekuasaan Gusti Allah sepasrah mungkin dan menyukuri apa saja yang kita terima sebagaimana adanya. Berdaya upaya atau bekerja dengan landasan kepasrahan, percaya sepenuhnya bahwa apa yang terjadi di luar kemampuan kita untuk mengubahnya adalah Kehendak Gusti Allah dan kejadian apapun yang menimpa diri kita seperti yang dikehendakiNya sudah pasti merupakan yang terbaik bagi kita dan sudah seharusnya kita syukuri."

"Semoga aku akan dapat selalu bersikap seperti itu, Mas Aji. Akan tetapi engkau belum menceritakan bagaimana engkau tiba-tiba berada disini. Andaikata aku langsung mencarimu di Gampingan tentu kita malah tidak akan saling bertemu."

"Setelah kita saling berpisah dulu, aku pulang ke Gampingan. Kuceritakan kepada ibuku tentang dirimu dan tentang apa yang terjadi dengan kita, perpisahan di Dermayu. Ibu lalu mengingatkan aku agar mencarimu dan menanyakan kepastian kepadamu siapa sesungguhnya yang kau cinta. Aku lalu pergi ke Dermayu dan dari ibumu aku mendengar tentang engkau, tentang Neneng Salmah dan tentang Kakangmas Jatmika. Baru aku menyadari bahwa engkau tidak menikah dengan Kakangmas Jatmika, bahkan tidak mencintanya. Aku lalu mulai mencarimu. Aku tiba di Loano dan bertanya tentang dirimu kepada Paman Sumali." Lindu Aji lalu bercerita tentang Winarsih yang diculik oleh Ki Singobarong dan bagaimana dia dan Ki Sumali datang ke Nusakambangan dan berhasil menyelamatkan Winarsih.

"Aku mendengar keterangan Paman Sumali tentang engkau yang singgah di Loano dan melanjutkan perjalananmu ke timur, maka aku lalu mencarimu ke timur. Aku juga mendengar tentang Jamur Dwipa Suddhi, dan aku menduga bahwa mungkin engkau juga mendengar dan datang pula ke daerah Sungai Lorog ini, maka aku lalu menuju kesini. Aku melihat ketika Candra Dewi hendak membunuh seorang wanita. Aku tidak mengira bahwa engkau yang hendak dibunuhnya, dan aku juga tidak tahu bahwa pedangmu berada di tangannya. Kalau aku tahu, tentu aku akan berusaha merampasnya tadi."

Sulastri memandang wajah Lindu Aji dan tangan kanannya menangkap tangan kiri pemuda itu. "Mas Aji, kalau saja aku tidak bertemu denganmu, kehilangan Naga Wilis itu tentu akan membuat aku merasa sedih sekali. Akan tetapi, aku telah bertemu denganmu dan lebih membahagiakan lagi, kita telah menyambung kembali cinta kasih di antara kita. Ah, betapa bahagia rasa hatiku, mas. Untuk kebahagiaan ini, jangankan baru kehilangan Pedang Naga Wilis, bahkan kehilangan kedua tanganku pun aku akan rela!"

Lindu Aji menarik tangan Sulastri dan gadis itu jatuh terduduk di atas pangkuannya. Sambil merangkul leher gadis itu, Lindu Aji berkata, "Husshh, ngawur kau! Kalau kedua tanganmu tidak ada, lalu bagaimana engkau akan menanak nasi dan memasak makanan untukku?"

Sulastri memandang heran. "Masak...?"

"Tentu saja. Seorang isteri harus setiap hari masak untuk suaminya, bukan?"

"Ohhh..."

"Engkau mau menjadi isteriku, bukan?"

"Ahh, Mas Aji...!" Mereka kembali berdekapan dan keduanya merasakan suatu kebahagiaan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Setelah beberapa lamanya mereka melepaskan rasa rindu dan menumpahkan kasih sayang dengan bermesraan.

Lindu Aji lalu mengajak Sulastri turun dari atas batu. "Mari kita pulang, nimas."

"Pulang ke mana, kakangmas?"

"Pertama-tama kita pulang ke Gampingan, menemui ibuku dan mohon restunya untuk pernikahan kita, kemudian dari sana kita pulang ke Dermayu mohon restu kepada orang tuamu. Setelah itu, terserah kepada para orang tua tentang dilaksanakannya upacara dan perayaannya. Engkau setuju, bukan?"

Sulastri tersenyum sehingga tampak manis bukan main. "Tentu saja aku setuju, Mas Aji. Akan tetapi setelah engkau tiba disini, apakah engkau tidak ingin ikut mencari Jamur Dwipa Suddhi?"

"Jamur Dwipa Suddhi? Ha-ha, aku sudah menemukan engkau, Lastri. Seribu jamur ajaib tidak ada artinya jika dibandingkan denganmu, ha-ha-ha!"

"Ih! Kalau memuji jangan keterlaluan, mas!" Sulastri berkata sambil tertawa dan mencubit Lindu Aji.

Pemuda itu tertawa dan merangkulnya. Kembali mereka berdekapan dengan mesra. Tidak ada kebahagiaan duniawi yang lebih indah daripada kemesraan antara seorang pria dan seorang wanita yang saling mencinta. Ketika akhirnya mereka menuruni bukit karang itu, Sulastri berseru sambil menudingkan telunjuknya ke bawah. "Lihat, Mas Aji. Lihat disana itu!"

Lindu Aji memandang dan dia mengerutkan alisnya. Tampak beberapa ekor burung gagak beterbangan melayang-layang di atas muara dan dari tempat tinggi itu tampak seperti banyak orang berserakan di atas pantai dekat muara. "Mari kita lihat kesana!"

Dua orang itu lalu menuruni bukit sambil berlari cepat. Sebentar saja mereka telah tiba di tepi muara dan mereka terkejut melihat belasan orang menggeletak di atas tanah dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Mereka tewas secara mengerikan, ada luka bacokan senjata tajam dan ada pula yang retak kepalanya.

"Aku tidak akan heran kalau yang mengamuk disini dan menyebar maut adalah Iblis Betina Banten itu. Nyi Candra Dewi itu memang kejam dan ganas seperti orang gila." kata Sulastri.

"Kita harus mengubur dulu semua mayat ini, Lastri." kata Lindu Aji.

Andaikata ia berada seorang diri disitu, tentu Sulastri tidak akan mau mengurus dan mengubur mayat-mayat yang tidak dikenalnya itu. Akan tetapi ia mengenal kekasihnya itu sebagai seorang yang amat bijaksana dan berbudi luhur, maka ia tidak berani membantah dan bahkan membantu Lindu Aji membuat lubang untuk mengubur mayat-mayat itu.

Mereka menggunakan golok-golok yang berserakan disitu untuk menggali lubang. Setelah mereka dapat menggali lubang yang cukup besar, Aji lalu mengangkat mayat-mayat itu satu demi satu dan memasukkannya ke dalam lubang besar yang mereka gali. Setelah semua mayat dimasukkan lubang, mereka lalu menimbuninya dengan tanah sehingga menjadi gundukan besar.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka selesai mengubur belasan jenazah itu. Setelah mencuci kaki tangan yang berlepotan tanah Lindu Aji dan Sulastri lalu meninggalkan tempat itu dan mulai dengan perjalanan mereka menuju ke dusun Gampingan. Sepasang kekasih ini berjalan bergandeng tangan dan merasa berbahagia sekali dapat melakukan perjalanan bersama, seperti dulu lagi.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Jatmika dan Neneng Salmah melakukan perjalanan meninggalkan Sumedang. Tadinya mereka bermaksud pergi ke timur, ke kampung halaman Lindu Aji di dusun Gampingan untuk mencari pemuda itu. Akan tetapi Neneng Salmah mengajukan usul lain.

"Akang Jatmika, kurasa sebaiknya kalau kita lebih dulu pergi ke Dermayu, ke rumah Paman Subali Siapa tahu Sulastri sekarang sudah pulang."

Jatmika tersenyum, mengangguk dan menuruti keinginan Neneng Salmah yang mulai menarik hatinya. Setelah melakukan perjalanan dengan gadis ini selama beberapa hari saja, ia dibuat kagum oleh kelembutan gadis yang bersusila ini.

Neneng Salmah ternyata bukan hanya ahli seni tari dan seni suara, akan tetapi juga ia mempunyai banyak pengetahuan tentang sastra dan memiliki watak yang lemah lembut, penuh sifat kewanitaan dan keibuan. Juga gadis yang lembut ini pandai bermain sandiwara sehingga dalam penyamarannya sebagai seorang pria, ia pandai sekali membawa diri sehingga penampilannya benar-benar seperti pria tulen! Bahkan ia mampu mengubah suaranya menjadi dalam dan besar seperti suara pria.

Hal ini sebetulnya tidak mengherankan kalau diingat bahwa Neneng Salmah pernah menjadi waranggana selama beberapa tahun, suka mengiringi pertunjukan wayang kulit sehingga i'a mampu menirukan gaya seorang dalang yang pandai bicara dengan bermacam gaya dan suara. Bahkan ketika ia tinggal di rumah Ki Subali yang dalang dan dianggap seperti anak sendiri, ia sering belajar mendalang sehingga ia dapat menirukan suara pria yang berat-berat seperti suara Bima, Gatotkaca, dan lain-lain.

Demikianlah, mereka mengubah arah perjalanan, bukan ke timur, melainkan ke utara, menuju Dermayu (Indramayu). Di sepanjang perjalanan, setiap orang wanita, muda ataupun tua, yang melihat Neneng Salmah, tentu memandang dengan mata bersinar penuh kekaguman.

Jatmika juga seorang pemuda yang cukup tampan, namun dibandingkan ketampanan Neneng Salmah yang menyamar sebagai pria, tentu saja dia kalah jauh. Neneng Salmah juga menggunakan nama pria untuk menyempurnakan penyamarannya. Dia memilih nama Jaka Salman, sebuah nama yang mirip nama mendiang ayahnya, Ki Salmun, dan namanya sendiri.

Pada suatu pagi, mereka tiba di dusun Tomo, di tepi Sungai Cimanuk. Ketika memasuki dusun itu, mereka berdua melihat seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun menjalankan kudanya perlahan, diikuti oleh dua orang laki-laki setengah tua yang juga menunggang kuda. Gadis itu berpakaian mewah dan cara ia duduk di atas punggung kuda menunjukkan bahwa ia sudah ahli dalam kepandaian menunggang kuda. Wajah gadis itu cantik, wajah berbentuk bulat dengan kulit hitam manis. dada dan mulutnya indah menggairahkan, dan cara duduknya di atas punggung kuda dengan tegak membuat gadis hitam manis ini tampak gagah, apalagi ada sebatang keris terselip di pinggangnya.

Adapun dua orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu bertubuh tegap dan kokoh, dan melihat cara mereka menunggang kuda selalu menjaga agar berada di belakang gadis itu, dapat diduga bahwa mereka berdua bertindak sebagai pengantar, pembantu atau juga pengawal. Dua orang ini juga mempunyai keris di pinggang mereka, pakaian mereka ringkas dan serba hitam dengan potongan seperti yang biasa dipakai para jagoan.

Ketika gadis hitam manis itu menoleh ke kiri dan melihat Jatmika dan Jaka Salman, ia menghentikan kudanya. Dua orang pengikutnya juga menahan kuda mereka. Gadis itu memandang ke arah Jaka Salman dengan penuh perhatian, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan bibirnya yang merah basah itu tersenyum simpul. Secara terbuka gadis itu menyatakan kekagumannya lewat pandang mata dan senyumnya. Jelas bahwa ia merasa tertarik dan kagum sekali kepada Jaka Salman, dan Jatmika hanya diliriknya beberapa kali tanpa mengacuhkannya. Setelah beberapa lamanya menatap wajah Jaka Salman, gadis itu membedal kudanya, diikuti dua orang pengikutnya.

"Hemm, lagi-lagi engkau telah menjatuhkan hati seorang gadis, Adi Jaka." kata Jatmika yang membiasakan diri menyebut kawannya Adi Jaka agar jangan sampai di depan orang lain dia keseleo lidah dan menyebut Neneng! "Wah, untung para pengagummu itu wanita, kalau pria, bisa membuat aku menjadi cemburu!" Jatmika berkelakar sambil tertawa.

Tiba-tiba Jaka Salman yang tadinya ikut tersenyum, memandang kepada Jatmika dengan pandang mata penuh selidik. "Akang Jatmika, kenapa cemburu?"

Pertanyaan singkat ini mengingatkan Jatmika dan wajahnya berubah kemerahan. Baru dia menyadari bahwa kata-katanya tadi sama saja dengan pengakuannya bahwa dia tidak ingin Neneng Salmah diperhatikan pria lain atau sama saja dengan pernyataan bahwa dia mencinta gadis ini! Dia menjadi salah tingkah dan tidak mampu menjawab, hanya tersenyum masam.

Jaka Salman tidak mau mendesaknya, bahkan mengalihkan percakapan. "Ah, perutku lapar sekali, mari kita mencari penjual makanan, Akang Jatmika,"

Jatmika menjadi lega dan mereka lalu memasuki dusun itu. Di tengah dusun mereka melihat sebuah warung nasi yang lumayan besarnya. Ada beberapa orang sudah berada dalam warung untuk membeli sarapan pagi.

Ketika Jatmika dan Jaka Salman memasuki warung, mereka melihat ada empat orang laki-laki setengah tua sudah duduk di bangku panjang. Mereka berdua lalu duduk di bangku lain yang berada di seberang lain sehingga mereka berhadapan dengan empat orang itu, terhalang meja warung nasi yang panjang. Wanita setengah tua yang menjadi pemilik warung dan melayani sendiri para tamu dibantu seorang wanita muda, dengan ramah menyapa mereka.

"Andika berdua hendak makan nasi apa?"

"Ada nasi apa saja, bibi?" tanya Jatmika.

"Ada nasi soto, nasi dengan lauk (ikan) goreng, nasi campur..."

"Tolong beri nasi campur dua, dan beberapa ekor lauk goreng."

Pesanan itu segera dihidangkan depan mereka, ditambah dua gelas air teh yang merupakan hidangan khusus gratis. Ketika Jatmika dan Neneng Salmah yang ki-ni bernama Jaka Salman mulai makan, masuklah tiga orang ke dalam warung itu. Semua orang, termasuk Jatmika dan Jaka Salman, memandang penuh perhatian, terutama kepada orang yang berjalan di depan. Seorang gadis berpakaian mewah dan hitam manis!

Jatmika dan Jaka Salman saling lirik ketika mengenal bahwa tiga orang itu adalah para penunggang kuda yang mereka lihat tadi. Karena bangku yang masih kosong hanya bangku panjang yang diduduki Jatmika dan Jaka Salman, gadis hitam manis itu dengan sikap tidak malu-malu seperti para gadis biasa, lalu mengambil tempat duduk di sebelah Jaka Salman!

Dua orang laki-laki setengah tua pengikutnya itu duduk di sebelahnya, akan tetapi menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Sikap mereka hormat sekali kepada gadis hitam manis itu. Akan tetapi gadis itu tidak memesan nasi. Ketika ditawari, ia menggeleng kepala. "Kami hanya ingin mengaso dan minum disini, bibi. Beri saja dua cangkir kopi untuk kedua paman ini, dan segelas teh untukku." Setelah berkata demikian, gadis itu mengambil sebuah pisang goreng dan memakannya, sikapnya terbuka dan sama sekali tidak tampak rikuh seperti pada gadis umumnya.

Ia memberi isyarat kepada dua orang pengikutnya untuk mengambil makanan. Merekapun memilih makanan yang banyak tersedia di atas meja dan makan dengan sikap hormat dan tak pernah mengeluarkan kata-kata.

Ketika Jaka Salman merasa betapa gadis itu duduknya semakin rapat dengannya sehingga bagian kiri pinggulnya bersentuhan dengan bagian kanan pinggul gadis itu, dia menoleh ke kiri. Dia melihat betapa gadis itu juga menoleh dan memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu pandang.

Gadis itu tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih. Semakin manis wajah itu ketika tersenyum. Karena tidak merasa aneh melihat ada gadis tersenyum kepadanya, bahkan dianggapnya itu merupakan tanda persahabatan, Jaka Salman membalas pula dengan senyumannya. Sepasang mata gadis itu bersinar, wajahnya berseri.

"Andika bukan orang sini, ya?" tanya gadis hitam manis itu dengan berani.

Jaka Salman melirik dengan perasaan heran. Bagaimana ada seorang gadis yang jelas bukan gadis dusun, begitu beraninya menyapa seorang laki-laki yang asing? Akan tetapi karena dia merasa bahwa dirinya seorang wanita, maka sapaan gadis itu diterima dengan senyum gembira oleh Jaka Salman yang menganggap hal itu wajar saja.

"Benar, aku orang Sumedang."

"Ah, aku senang sekali bertemu dengan orang Sumedang! Menurut cerita ayahku, dahulu di waktu mudanya diapun pernah tinggal di Sumedang! Perkenalkan, sobat, aku bernama Muntari dan teman-teman dekatku memanggil aku Mumun. Engkaupun boleh memanggil aku Mumun. Siapakan namamu, sobat?" Gadis itu bicara dengan lancar dan ramah sekali.

"Namaku Jaka Salman."

"Ah, nama yang bagus sekali, dan lebih enak kalau sebutan akrabnya Maman. Jadi engkau dan aku adalah Maman dan Mumun, serasi sekali, bukan? Karena kita sudah berkenalan, berarti kitapun sudah menjadi sahabat. Aku akan menyebutmu Kang Maman."

Jaka Salman terseret dalam kegembiraan gadis hitam manis itu. Gadis itu sungguh ramah bukan main dan menyenangkan hatinya. "Dan aku akan menyebutmu Neng Mumun."

"Ah, di antara sahabat baik, tidak usah pakai Neng segala. Sebut saja aku Mumun." Gadis itu tertawa lalu menuding ke arah piring Jaka Salman. "Wah, aku mengganggu makanmu. Silakan melanjutkan sarapanmu, kang Maman!"

Jaka Salman tersenyum dan melanjutkan makannya. Ketika dia melirik ke arah Jatmika, dia melihat pemuda itu sudah menghabiskan nasinya dan tampak berdiam diri sambil mengerutkan alis, kelihatan tak senang. Dia lalu teringat betapa dia tadi bercakap-cakap dengan gadis itu, seolah dia lupa akan kehadiran Jatmika, bahkan gadis itupun sama sekali tidak bertanya tentang pemuda itu.

"Oh ya, Mumun, kenalkan ini sahabatku bernama Jatmika!" Kata Jaka Salman kepada gadis hitam manis itu.

Muntari atau Mumun memandang ke arah Jatmika yang duduk di sebelah kanan Jaka Salman, lalu ia mengangguk dan tersenyum dengan ramah.

Jatmika juga mengangguk, akan tetapi tidak tersenyum. Hanya sejenak Mumun memandang wajah Jatmika karena pandang matanya sudah melekat lagi ke arah wajah Jaka Salman yang sedang makan. Setiap gerak-gerik Jaka Salman, ketika tangannya membawa nasi dan lauk pauknya ke mulut, ketika mulut itu mengunyah, selalu diikuti oleh pandang mata Mumun dengan sinar mata kagum!

Setelah Jaka Salman selesai makan dan minum air tehnya, Mumun sudah bertanya lagi, pertanyaan yang membuat Jatmika mengerutkan alis karena pertanyaan itu sungguh tidak pantas diucapkan seorang gadis terhadap seorang pria yang baru saja dikenalnya.

"Kang Maman, engkau tentu sudah beristeri dan mempunyai anak, ya?"

Jaka Salman tersipu mendengar pertanyaan ini dan dia menahan hatinya yang hendak membuat dia tertawa geli. Dia hanya tersenyum dan menjawab sambil menggeleng kepalanya. "Belum, aku belum berumah tangga."

Mumun tidak menyembunyikan kegembiraannya mendengar jawaban ini. "Kang Maman, aku mengundangmu untuk singgah di rumah kami. Aku ingin memperkenalkan engkau sebagai sahabat baruku yang amat baik kepada ayah ibuku. Marilah, Kang Maman, sebentar saja. Akan kami sambut engkau dengan pesta perjamuan!"

Jatmika sudah lebih dulu selesai makan dan walaupun dia sejak tadi diam saja dan tidak pernah menengok ke arah gadis hitam manis itu, namun dia mendengarkan percakapan antara gadis itu dan Jaka Salman dengan penuh perhatian. Mendengar undangan gadis bernama Muntari itu, dia tidak dapat menahan hatinya lagi. Sejak tadi dia sudah merasa tidak senang melihat sikap dan mendengar ucapan gadis hitam manis yang dianggapnya tidak tahu malu itu.

Muntari atau Mumun itu tanpa malu-malu, di depan orang banyak, secara terang-terangan memperlihatkan bahwa ia tergila-gila kepada Jaka Salman! Maka dia lalu bangkit berdiri dan berkata, suaranya halus, namun tegas.

"Maafkan kami, akan tetapi kami tidak dapat menerima undangan andika itu kami harus melanjutkan perjalanan kami sekarang juga. Terima kasih atas undangan andika itu dan maafkan bahwa kami tidak dapat menerimanya." Jatmika membayar harga makanan lalu berkata kepada Jaka Salman. "Mari, Adi Jaka, kita pergi!"

Jaka Salman bangkit berdiri dan ia merasa kasihan kepada gadis hitam manis itu yang tampak kecewa sekali, maka ia berkata dengan ramah kepadanya. "Maafkan aku, Mumun. Akang Jatmika benar. Kami harus melanjutkan perjalanan kami sekarang juga."

Muntari tidak menjawab, hanya mengerutkan alis dan cemberut. Ia tidak menyembunyikan kekecewaannya dan kemarahannya. Sepasang matanya bersinar penuh kebencian kepada Jatmika ketika Jatmika dan Jaka Salman meninggalkan warung itu.

Tentu saja mereka tidak memperdulikan sikap Muntari dan melanjutkan perjalanan menuju Sungai Cimanuk karena mereka bermaksud hendak melanjutkan perjalanan ke utara menuju Dermayu melalui sungai itu agar tidak terlalu melelahkan.

"Sialan...!" Tiba-tiba Jatmika berkata lirih.

Jaka Salman heran dan menoleh, memandang kawannya yang berjalan di sebelah kanannya. "Ada apa, Akang Jatmika? Apanya yang sialan?"

"Gadis genit itu, tak tahu malu benar!"

"Ah, kau maksudkan si Mumun? Kenapa, akang? Ia amat ramah dan manis, aku tidak melihat sesuatu yang jahat padanya. Kenapa engkau agaknya amat membencinya?"

"Hemm, tanpa malu-malu ia memperlihatkan di depan umum bahwa ia tergila-gila kepadamu!"

"Lho! Kalau begitu, kenapa? Ia suka sekali bersahabat denganku dan itu tidak ada salahnya, bukan?"

"Neneng, lupakah engkau bahwa engkau saat ini menyamar sebagai laki-laki? Kalau Muntari itu tergila-gila kepadamu, berarti ia tergila-gila kepada seorang laki-laki! Hal ini tidak kusalahkan karena engkau memang tampak sebagai seorang pemuda yang tampan sekali. Akan tetapi sikapnya yang demikian tidak tahu malu di depan umum. Ah, memuakkan sekali!"

Baru Neneng Salmah menyadari dan ketika ia mengenang kembali sikap Mumun tadi, iapun melihat betapa tidak pantas apa yang diperlihatkan gadis itu dengan sikap ramahnya terhadap seorang yang dianggapnya pria, padahal mereka baru saja bertemu. Ia mengangguk-angguk. "Engkau benar, akang. Akan tetapi sudahlah, hal itu sudah berlalu, tidak perlu kita mengingat lagi."

Mereka berjalan terus. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Jatmika dan Jaka Salman berhenti dan minggir sambil memutar tubuh. Mereka melihat dua orang penunggang kuda mendatangi dari belakang dengan cepat dan setelah melewati mereka, dua orang penunggang kuda itu menghentikan kuda mereka dan berlompatan turun. Kini Jatmika dan Jaka Salman mengenal mereka.

Dua orang itu bukan lain adalah dua orang laki-laki yang tadi mengikuti Muntari dengan sikap seperti dua orang pengawal gadis itu. Dua orang itu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka dan keduanya menghampiri Jatmika. Tanpa banyak cakap lagi dua orang itu sudah mencabut keris mereka dan segera menyerang Jatmika dengan ganas!

"Heii...! Ada apa ini?" bentak Jatmika dan dia cepat melompat kesamping untuk mengelak dari tusukan dua batang keris itu, yang dilakukan dengan cepat dan kuat. Setelah tusukan mereka luput, dua orang itu mengejar dan menyerang lagi.

"Hei! Apa kalian sudah gila?" teriak Jatmika dan cepat dia menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan itu dengan menepis lengan mereka.

Ketika lengan mereka terkena tepukan tangan Jatmika, dua orang itu merasa lengan mereka nyeri seperti dipukul besi. Mereka terkejut bukan main. Tak mereka sangka pemuda ini adalah seorang yang digdaya. Mereka hanya menerima perintah untuk membunuh pemuda yang ada tahi lalatnya di dagu ini dan menangkap pemuda yang seorang lagi, yang amat tampan itu. Biarpun mereka terkejut dan maklum bahwa yang mereka serang itu bukan makanan empuk, mereka kini menyerang lagi dengan lebih cepat dan mengerahkan seluruh tenaga mereka.

Gerakan dua orang ini cukup tangkas dan jelas bahwa mereka merupakan dua orang jagoan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini mereka berhadapan dengan Jatmika, seorang pemuda gemblengan yang telah mendapat pendidikan kakeknya yang sakti mandraguna, mendiang Ki Tejolangit atau Ki Ageng Pasisiran.

Dengan lincah dan ringan sekali tubuh Jatmika berkelebatan mengelak dari sambaran dua batang keris yang bertubi-tubi dan pada saat kedua orang lawannya itu terhuyung oleh tangkisan tangannya yang ampuh, Jatmika tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Hyaaaatt...!" Kedua tangannya bergerak seperti mendorong dan angin pukulan dahsyat menyambar ke depan. Itulah aji pukulan Margapati (Jalan Maut) yang amat dahsyat.

"Wuuuttt... desss! Desss!" Tubuh dua orang tinggi besar berpakaian hitam itu terpental dan terbanting roboh. Masih untung bagi mereka bahwa Jatmika membatasi tenaganya sehingga mereka tidak sampai tewas, hanya roboh pingsan dengan dada terasa sesak.

"Mari kita lanjutkan perjalanan." kata Jatmika kepada Jaka Salman yang tadi hanya menonton saja.

"Apakah mereka itu mati, akang?"

Jatmika menggeleng kepalanya. "Tidak, tidak mati, hanya pingsan saja."

Jaka Salman semakin kagum. Tadi ia sudah kagum sekali melihat betapa Jatmika merobohkan dua orang penyerang yang menggunakan keris dan tampak gerakan mereka tangkas dan kuat itu hanya dengan tangan kosong saja. Kini ia menjadi semakin kagum karena Jatmika tidak membunuh mereka, hanya memukul pingsan saja. Pemuda ini selain sakti mandraguna, juga berbudi baik dan tidak kejam terhadap orang-orang yang tadi hendak membunuhnya.

Mereka melanjutkan perjalanan sampai tiba di tepi Sungai Cimanuk. Karena pada waktu itu sedang musim hujan, maka air sungai itu penuh. Mereka lalu mencari dusun yang berada di tepi sungai dan membeli sebuah perahu milik nelayan. Memang nelayan itu tadinya tidak ingin menjual perahunya yang merupakan modal mencari nafkah, akan tetapi karena Jaka Salman berani membayar lebih tinggi dari harga umumnya, dia merelakan perahunya dibeli dua orang pemuda itu.

Jatmika dan Jaka Salman lalu melanjutkan perjalanan dengan naik perahu. Mereka masing-masing memegang dayung untuk mengemudikan perahu yang hanyut terbawa aliran air sungai ke arah utara. Ketika perahu mereka tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba muncul tiga buah perahu yang masing-masing ditumpangi tiga orang berpakaian hitam-hitam dan di pinggang mereka terselip golok. Di atas sebuah di antara tiga perahu itu tampak Muntari berdiri dengan sikap gagah. Gadis itu memberi aba-aba dan tiga buah perahu mehghadang perahu yang ditumpangi Jatmika dan Jaka Salman. Jatmika berkata kepada Jaka Salman.

"Awas, gadis liar itu pasti berniat buruk. Kendalikan perahu, aku akan menghadapi mereka!" Setelah berkata demikian, Jatmika berdiri di kepala perahu sedangkan Jaka Salman menggunakan dayungnya mengendalikan perahunya.

Akan tetapi ternyata mereka itu tidak menyerang, melainkan menabrakkan perahu mereka dari depan dan kanan kiri! Mereka pandai mengemudikan perahu dan ujung perahu mereka menabrak perahu yang ditumpangi Jatmika dan Jaka Salman. Tak dapat dihindarkan lagi, perahu itu terguling. Jatmika dan Jaka Salman tercebur ke dalam air!

Di darat boleh jadi Jatmika akan mampu mengalahkan sembilan orang itu. Akan tetapi di air, kepandaiannya terbatas dan dia maklum bahwa dia dalam bahaya kalau harus berkelahi dalam air dikeroyok sembilan orang yang agaknya ahli dalam air itu. Dia melihat Jaka Salman yang tidak pandai berenang gelagapan dan diangkat naik oleh Muntari dibantu beberapa orang.

Jaka Salman duduk lemas dalam perahu gadis hitam manis itu dan Jatmika maklum bahwa gadis tak tahu malu itu memang sengaja hendak menangkap Jaka Salman. Kalau dia hendak mencoba menghalangi, keadaannya tidak mengijinkan. Oleh karena itu, dia lalu berenang ke tepi dan naik ke darat. Dia melihat tiga buah perahu itu mengikuti aliran air sungai menuju hilir, membawa Jaka Salman sebagai tawanan.

Jaka Salman maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, ia tidak berdaya dan juga Jatmika tidak berdaya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa Jatmika tidak mungkin akan diam saja. Pemuda itu pasti mengikuti kemana perahu yang membawanya pergi. Dugaannya memang benar. Jatmika berlari menyelinap diantara pepohonan di tepi sungai, mengikuti perahu yang membawa Jaka Salman.

Cukup lama Jatmika mengikuti perahu itu dengan berlari di tepi sungai. Sementara itu, Jaka Salman pura-pura tidak tahu akan niat Muntari, maka setelah pernapasannya normal kembali dia bertanya kepada gadis itu. "Mumun, apa artinya semua ini? Kenapa engkau menabrak perahuku kemudian menolongku dari air?"

Gadis itu tersenyum kepada Jaka Salman dan menjawab dengan manis dan ramah. "Akang Maman, aku mengundangmu untuk singgah di rumahku, hendak kuperkenalkan kepada orang tuaku. Maafkan caraku yang kasar ini, ya? Habis tadi engkau tidak mau ikut dengan aku, maka terpaksa aku menggunakan cara ini."

Hemm, cara mengundang yang aneh, pikir Jaka Salman. Benar juga pendapat Jatmika. Gadis ini memiliki watak yang aneh dan liar. "Akan tetapi kenapa engkau tidak membawa pula Akang Jatmika dan membiarkan dia hanyut?"

"Huh, untuk apa mengundang dia? Di warung tadi, dialah yang menolak undanganku dan mengajak engkau pergi. Untuk apa aku mengundang orang yang tidak suka kepadaku?"

Jaka Salman diam saja. Percuma saja dia membantah, dan tidak ada gunanya pula kalau ia melawan. Dia tidak akan dapat melakukan apa-apa. Selain mereka berada di atas perahu, juga dia tidak mugkin menang melawan sembilan orang dan gadis itu sendiri tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Dia akan menanti sampai Jatmika muncul menolongnya dan tentang hal ini dia merasa yakin sekali. Keyakinan ini membuat Jaka Salman bersikap tenang-tenang saja.

Akhirnya mereka tiba di sebuah perkampungan kecil di tepi sungai itu dan mereka semua mendayung perahu ke pinggir, lalu berloncatan keluar dan mendarat. Jaka Salman juga dipersilakan keluar dan Muntari mengajak dia ikut ke perkampungan itu. Jaka Salman menurut saja. Dia maklum bahwa kalau dia melakukan perlawanan sekarang, akan percuma saja, bahkan dia akan diperlakukan dengan buruk, tidak seramah dan sebaik sekarang. Maka diapun menurut saja ketika diajak ke sebuah rumah besar yang berada di tepi perkampungan itu, diantara rumah-rumah yang lebih kecil. Dia menduga bahwa tentu rumah besar ini tempat tinggal pimpinan penduduk perkampungan itu.

"Mumun, rumahmukah ini?" dia bertanya kepada Muntari yang berjalan di sampingnya. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.

"Ini rumah ayah ibuku. Ayahku adalah kepala perkumpulan kami dan ini adalah perkampungan kami. Ayah bernama Ki Bangak dan engkau akan kuperkenalkan kepada ayah dan ibuku. Mari, Akang Salman, kita masuk saja."

Ketika bertemu seorang pelayan wanita, Muntari berkata dengan nada suara memerintah. "Cepat carikan seperangkat pakaian yang cocok untuk mengganti pakaian Akang Maman yang basah ini. Cepat dan carikan yang terbaik!"

Pelayan itu segera keluar melaksanakan perintah Muntari dan gadis itu berkata kepada Jaka Salman. "Mari, akang, engkau menunggu sebentar di ruangan tamu ini, sambil menanti datangnya pakaian pengganti untukmu. Aku akan melaporkan tentang kedatanganmu kepada orang tuaku."

Jaka Salman mengangguk gembira. Kalau gadis itu pergi, maka ada harapan baginya untuk melarikan diri. Kalau dia dapat mencapai sungai dan melarikan diri dengan perahu, tentu dia akan bebas!

"Baik, Mumun. Aku akan menanti disini." katanya sambil duduk di atas sebuah bangku yang terdapat dalam ruangan itu.

Muntari lalu meninggalkan ruangan itu. Setelah gadis itu pergi, Jaka Salman cepat menuju ke pintu yang menembus ke ruangan luar. Akan tetapi ketika dia mengintai keluar, hatinya kecut karena dia melihat belasan orang anak buah Muntari menjaga di ruangan luar. Tidak ada jalan keluar baginya. Dia menjadi gemas dan tahu bahwa Muntari sengaja hendak menahannya maka sebelumnya sudah menugaskan banyak orang untuk menjaganya agar dia tidak melarikan diri. Heran, apa maunya gadis itu? Mengapa mengundang orang dengan paksaan seperti ini?

Tak lama kemudian Mumun sudah memasuki ruangan itu sambil membawa seperangkat pakaian pria yang indah. Ia sendiri juga sudah berganti pakaian indah.

"Ini kubawakan pakaian pengganti untukmu, Akang Maman. Pakaianmu basah, sebaiknya kau ganti dengan pakaian kering ini. Engkau bisa masuk angin dan sakit kalau memakai pakaian basah seperti itu."

Jaka Salman menerima pemberian pakaian itu. Memang benar, amat tidak enak memakai pakaian seperti itu, bukan hanya dingin dan melekat, akan tetapi juga ada bahayanya penyamarannya sebagai laki-laki akan ketahuan karena pakaian yang basah melekat dapat mencetak bentuk tubuhnya, terutama di bagian dada.

"Engkau keluarlah sebentar, Mumun. Aku hendak berganti pakaian." katanya kepada gadis itu.

Mumun tersenyum menggoda. "Kenapa, kang? Kenapa aku harus keluar dulu?"

"Hemm, aku tidak biasa berganti pakaian di depan orang lain, apalagi di depan seorang wanita." kata Jaka Salman.

"Hi-hik, engkau malu, kang? Lucu!" kata Muntari sambil keluar dari kamar itu, setibanya di luar ia masih tertawa, suara tawanya terdengar dari dalam.

Jaka Salman menutupkan daun pintu kamar dan memalangnya. Dia memang tidak ingin ada orang melihat dia berganti pakaian karena hal itu akan membuka rahasia penyamarannya. Setelah menutupkan daun pintu dan merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihat atau mengintainya, dia lalu berganti pakaian kering pemberian Muntari itu. Ternyata pakaian itu pas dengannya dan dia tampak lebih tampan karena pakaian itu memang indah.

Baru saja dia selesai berpakaian, daun pintu diketuk dari luar. "Tok-tok-tok, Akang Maman, engkau sudah selesai berganti pakaian? Kalau sudah selesai, bukalah pintunya!" terdengar suara Muntari.

Jaka Salman menaruh pakaian kotor di atas lantai di sudut ruangan itu, lalu membuka daun pintu. Muntari masuk dan ia terbelalak mengamati "pemuda" itu. "Aduh, hebat! Engkau tampak ganteng sekali dalam pakaian itu, Kang Maman!" ia memuji.

Jaka Salman hanya tersenyum.

"Kang Maman mana pakaianmu yang basah?" tanya gadis itu.

"Kutaruh disitu." jawab Jaka Salman sambil menunjuk ke arah pakaiannya yang kotor dan basah di sudut ruangan.

Muntari menghampiri dan mengambil pakaian itu. "Biar kusuruh cuci pelayan." katanya.

"Eh, Mumun, biar aku yang membawanya. Pakaian itu kotor dan basah." Jaka Salman mengulurkan tangan hendak mengambil pakaian itu dari tangan Muntari. Akan tetapi gadis itu mengelak.

"Biarlah aku yang membawa. Kenapa sih? Aku suka membawakan pakaianmu, kang!"

Tentu saja Jaka Salman tidak dapat memaksa. Gadis itu lalu mengajaknya keluar dari kamar itu menuju ke ruangan dalam. Di ruangan ini telah menanti seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, brewok menyeramkan, berpakaian serba hitam dan usianya sekitar empat puluh lima tahun. Di depannya, terhalang meja, duduk seorang wanita berusia sekitar tiga puluh enam tahun, cantik dan berwajah lembut.

"Akang Salman, inilah bapak dan ibuku. Bapak bernama Ki Bangak. Bapak dan ibu, inilah Akang Maman yang kuceritakan tadi, nama lengkapnya Jaka Salman."

Suami isteri itu memandang Jaka Salman dengan penuh perhatian, bahkan mengamatinya dari kepala sampai kaki. Agaknya mereka suka dengan apa yang dilihatnya karena saling pandang, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Anakmas Jaka Salman, duduklah." Ki Bangak mempersilakan dengan sikap kasar namun ramah.

Muntari tanpa malu-malu lagi memegang tangan Jaka Salman dan diajak duduk di atas dua buah kursi berjejer, berhadapan dengan suami isteri itu terhalang meja.

"Terima kasih, paman." kata Jaka Salman dan dia hanya diam saja, ingin mengetahui apa sebetulnya kehendak Muntari dan kedua orang tuanya dengan memaksa dia datang ke rumah mereka.

"Bagaimana pendapat bapak dan ibu?" Muntari bertanya dengan bangga, seolah memamerkan apa yang dibawanya pulang. Setelah berkata demikian, ia memandang. kepada Jaka Salman sambil tersenyum.

Ki Bangak mengangguk-angguk. "Bagus, bagus sekali. Aku setuju Mumun, setuju sekali dengan pilihanmu ini. Bukanlah begitu, nyai?" Dia menoleh kepada isterinya.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk pula. "Akupun cocok sekali! Aku girang dapat mempunyai mantu setampan ini!"

Jaka Salman mengerutkan alisnya. Kini tampak jelas olehnya bahwa Muntari mewarisi kecantikan ibunya akan tetapi kehitaman kulit ayahnya. Ucapan dua orang itu yang membuat dia mengerutkan alis.

"Mumun, kita bertiga sudah cocok, pernikahan kalian besok pagi. Akan kusebarkan undangan hari ini juga. Bagaimana pendapatmu?"

"Wah, aku girang sekali, pak. Memang lebih cepat lebih baik."

Mendengar percakapan mereka, Jaka Salman tidak dapat menahan rasa penasaran yang bergejolak dalam hatinya. Pernikahan? Dia hendak diambil mantu, dinikahkan dengan Muntari? Gila!

"Mumun, apa artinya semua ini? Aku tidak mengerti. Jelaskanlah, apa niat kalian terhadap diriku?"

"Hoa-ha-ha-ha!" Ki Bangak tertawa bergelak. Suara tawanya yang lantang itu menggema di ruangan itu. "Anakmas Jaka Salman, kenapa engkau masih bertanya lagi? Engkau beruntung sekali! Selama ini, puluhan orang pemuda gandrung (jatuh cinta) kepada Mumun, namun tak seorang pun yang cocok dengan selera anak kami. Sekarang ia memilih engkau untuk menjadi jodohnya. Maka bergembiralah, orang muda! Besok pagi pernikahan kalian akan kami langsungkan dan rayakan."

Setelah mengerti dengan jelas niat keluarga yang dianggapnya gila itu, Jaka Salman bangkit dari kursinya dan berseru marah. "Tidak, aku tidak ingin menikah!" Dia melompat dan hendak keluar dari rumah itu untuk selanjutnya melarikan diri.

Akan tetapi terdengar Muntari bertepuk tangan dan muncullah lima orang laki-laki menghadang di depan pintu. "Cegah dia pergi dari sini. Tangkap dia, akan tetapi awas, jangan lukai dia!". perintah gadis itu.

Lima orang itu memandang rendah kepada Jaka Salman. Mereka lalu menerjang maju untuk menangkap pemuda yang hendak melarikan diri itu. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika sergapan mereka itu hanya menangkap angin saja.

Tubuh Jaka Salman dengan gesitnya telah dapat menghindarkan diri dari jangkauan tangan lima orang itu! Dia telah memainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sulastri, yaitu Aji Sunya Hasta (Tangan Kosong) dan selain dapat mengelak dari sambaran tangan lima orang itu, dia bahkan menggerakkan kaki tangannya secara lembut seperti orang menari dan dua orang laki-laki yang hendak menangkapnya terpelanting oleh tamparan tangan dan tendangan kakinya.

"Waduh, dia malah memiliki kedigdayaan pula!" kata Ki Bangak dengan gembira dan dia segera melompat dari kursinya ke arah pemuda itu.

"Bapak, jangan lukai suamiku!" teriak Muntari.

"Ha-ha-ha, masa seorang bapak mertua hendak melukai mantunya?" Ki Bangak tertawa. Pada saat itu dengan penasaran tiga orang laki-laki lain menerjang dan menggunakan tangan mereka untuk menangkap Jaka Salman. Karena ilmu silatnya memang belum matang benar, apalagi menghadapi serangan keroyokan seperti itu, Jaka Salman menggeser kaki dan tubuhnya mundur ke belakang.

Tiba-tiba dari belakangnya, sepasang tangan yang besar panjang dan kokoh kuat, berbulu lagi, telah menangkap kedua pergelangan tangannya. Kedua tangan yang menangkap pergelangan tangannya itu begitu kuat sehingga Jaka Salman merasa lengannya nyeri dan tak mungkin dia dapat melepaskan pegangan kedua tangan Ki Bangak itu.

"Ha-ha-ha, mantuku yang baik! Engkau hendak lari kemana sekarang?"

Jaka Salman maklum tidak mungkin baginya untuk membebaskan diri dari orang-orang ini. Selain keluarga ini mempunyai banyak anak buah, juga ayah Muntari ini jelas seorang yang digdaya dan memiliki tenaga yang kuat sekali. "Baiklah, paman. Aku tidak akan melarikan diri. Lepaskan tanganku."

"Ha-ha-ha, senang sekali melihat mantuku selain tampan juga cukup lumayan ketangkasannya. Ha-ha, pilihanmu memang tepat sekali, Mumun!" Dia melepaskan kedua tangan Jaka Salman yang segera memutar tubuh menghadapi Muntari.

"Mumun aku tidak akan menolak lagi, akan tetapi lebih dulu aku ingin bicara denganmu'malam ini. Berdua saja!"

"Ha-ha-ha, belum juga menikah sudah ingin berduaan? Boleh, akan tetapi malam nanti. Sekarang kita mengobrol dan berpesta keluarga untuk menyambut kedatangan mantuku!" kata Ki Bangak, lalu dengan suara lantang dia memerintahkan pelayan-pelayan untuk mempersiapkan pesta makan keluarga.

Muntari tampak girang bukan main dan setelah Jaka Salman menyatakan tidak akan menolak lagi, kedua pipinya menjadi kemerahan. dan ia tersenyum malu-malu. "Bapak, ibu, harap kalian temani Akang Maman bercakap-cakap. Aku hendak membantu mempersiapkan makanan, lalu mandi dan nanti kita makan bersama."

"Baiklah, anakku. Siapkan makanan yang paling lezat untuk suamimu, agar hatinya senang disini." kata Nyai Bangak.

"Kang Maman aku pergi dulu, ya? Silakan mengobrol dengan bapak ibuku." Muntari berpamit kepada Jaka Salman yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Setelah Muntari pergi ke dapur, Ki Bangak dan isterinya menghujani pertanyaan kepada Jaka Salman. "Anakmas Jaka Salman, dimanakah tempat tinggalmu, siapa orang tuamu, kemana engkau hendak pergi, dan siapa pula pemuda yang menurut Mumun bersamamu ketika engkau diundang kesini oleh anak kami itu?"

Kalimat itu sudah mengandung semua pertanyaan tentang dirinya agar dia menceritakan riwayatnya! Jaka Salman bermaksud membuka rahasia dirinya, akan tetapi yang terpenting untuk mengetahui tentang itu adalah Muntari. Biarlah kedua orang tua Muntari mengetahuinya dari gadis itu, atau lebih baik lagi, hanya Muntari seorang yang mengetahui dan mudah-mudahan gadis itu mau menyimpan rahasianya.

"Paman aku sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi. Mereka sudah meninggal dan aku berasal dari Sumedang..."

"Sumedang?" Ki Bangak memotong dengan wajah gembira dan tangan kirinya yang besar berbulu itu memelintir kumisnya yang sekepal sebelah. "Ha, dulu di waktu aku masih muda, aku pernah tinggal di Sumedang dan aku mempelajari banyak kanuragan di Sumedang! Katakan siapa nama mendiang bapakmu, mungkin aku pernah mengenalnya."

"Mendiang ayahku bernama Ki Salmun. Setelah ayahku meninggal dunia, aku lalu melakukan perjalanan, ditemani sahabatku yang bernama Jatmika, menuju ke Dermayu di mana tinggal seorang pamanku. Aku bermaksud untuk mondok, tinggal di rumah pamanku di Dermayu."

"Wah, kalau begitu kebetulan sekali Anakmas Maman," kata Nyai Bangak. "Engkau tidak perlu menyusahkan pamanmu di Dermayu. Engkau tinggal disini, menjadi suami Mumun dan membantu pekerjaan ayah mertuamu!"

Sebelum Jaka Salman menjawab, Ki Bangak sudah tertawa senang. "Ha-ha-ha, ibu mertuamu berkata benar, Anakmas Jaka Salman. Engkau tinggal dengan isterimu Mumun disini membantu pekerjaanku!"

Kesempatan ini dipergunakan oleh Jaka Salman untuk mengetahui tentang pekerjaan keluarga aneh ini. "Pekerjaan apakah yang dapat kubantu? Apa sih pekerjaan paman?"

"Pekerjaanku? Aku menjadi pemimpin mereka semua. Semua penghuni perkampungan ini adalah anak buahku dan keluarga mereka. Jumlah anak buahku tidak kurang dari seratus orang! Nah, engkau sebagai mantuku dapat membantu aku memimpin mereka."

"Memimpin mereka untuk pekerjaan apakah?"

"Apalagi? Pekerjaan kami selama bertahun-tahun ini adalah mengumpulkan uang pajak atau uang sumbangan dari mereka yang berperahu lewat sungai ini dan dari mereka yang melewati jalan-jalan juga dari para penduduk yang tinggal di wilayah-wilayah Lembah Cimanuk ini."

Jaka Salman terbelalak kaget mendengar keterangan itu. Saking kagetnya, dia berseru, "... menjadi bajak dan perampok!?"

Ki Bangak tertawa. "Ha-ha-ha, kami tidak menyebutnya begitu. Dengan pemberian pajak atau sumbangan itu, kami bahkan melindungi mereka semua dari gangguan orang jahat."

Hemm, sudah jelas bahwa pekerjaan memungut "pajak paksaan" kepada mereka yang lewat dan kepada penduduk dusun merupakan pekerjaan bajak dan perampok, masih tidak diakuinya malah menganggap diri sebagai "pelindung" dari orang-orang yang mereka peras. Celaka, dia terjatuh ke tangan bajak dan perampok. Pantas Muntari berkelakuan seliar itu! Kiranya ia anak kepala perampok yang hidup di lingkungan orang-orang jahat!

"Bagaimana? Engkau senang membantuku, bukan? Engkau akan memiliki seorang isteri yang paling cantik jelita di wilayah ini, engkau akan dihormati semua orang, kaya raya dan hidupmu pasti akan berbahagia sekali, Anakmas Jaka Salman!"

Jaka Salman hanya mengangguk. Dia mau berkata apa? Membantah berarti mencari penyakit. Dia harus bersabar diri sambil menanti munculnya Jatmika yang dia yakin pasti akan datang menolongnya. "Paman, aku merasa lelah dan ingin mengaso, tidur." katanya.

"Ah, tentu saja boleh! Mari, Anakmas Maman, kuantar engkau beristirahat di kamar Mumun saja. Mari!" kata Nyai Bangak dan Jaka Salman lalu bangkit dan mengikuti wanita itu menuju ke sebelah dalam rumah.

Dia dipersilakan memasuki sebuah kamar dan Jaka Salman kagum. Kamar itu luas dan mewah. Pembaringan, meja kursi, almari, semua perabot dalam kamar itu serba indah dan mewah. Sebuah jendela samping terbuka daunnya. Jendela besar yang menembus kesebuah taman sehingga harum bunga beraneka macam memasuki kamar mendatangkan suasana yang semerbak harum dan segar.

"Rebahanlah di pembaringan itu dan mengasolah Anakmas Maman. Nanti kalau waktu mandi dan makan tiba, engkau akan dibangunkan." kata Nyai Bangak sambil tersenyum, lalu ia keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintunya perlahan-lahan.

Jaka Salman lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang lunak dan harum melati itu. Dia memang merasa lelah, kelelahan yang lebih banyak timbul dari hati yang gelisah. Dia perlu beristirahat untuk menenangkan hati, mengumpulkan tenaga karena mungkin malam nanti atau kapan saja, kalau Jatmika muncul menolongnya, dia membutuhkan tenaga untuk membantu Jatmika menghadapi musuh yang demikian banyaknya. Setelah membayangkan Jatmika, hatinya menjadi tenang dan Jaka Salman dapat tertidur pulas.

Ketukan lirih di pintu kamar membangunkan Jaka Salman. Ketika dia memandang keluar jendela, tampak bahwa cuaca sudah mulai remang-remang, pertanda bahwa saat itu hari telah menje-lang senja.

"Tok-tok-tok!" Daun pintu kamar diketuk lirih.

"Siapa di luar?" tanya Jaka Salman sambil bangkit dan turun dari pembaringan.

"Saya pelayan, denmas, diutus oleh Neng Mumun untuk mengantarkan pakaian pengganti kepada Denmas."

Jaka Salman membuka daun pintu dan seorang pelayan wanita setengah tua menyerahkan setumpuk pakaian pengganti. Jaka Salman menerimanya dan pelayan itu berkata lagi.

"Denmas dipersilakan mandi, kamar mandinya di sebelah sana," ia menuding ke arah belakang.

"Terima kasih, Bibi." Kata Jaka Salman. Pelayan itu pergi dan Jaka Salman lalu pergi ke kamar mandi. Setelah dia selesai mandi dan berganti pakaian lalu kembali ke kamar itu, dia melihat Muntari telah duduk di atas pembaringan. Gadis itu berpakaian mewah dan indah, wajahnya cantik berseri dan ia bangkit berdiri ketika Jaka Salman memasuki kamar itu. Melihat gadis itu, Jaka Salman lalu berkata.

"Mumun aku ingin berkata padamu. Penting sekali!"

Akan tetapi Muntari sudah memegang tangannya dan berkata, "Nanti saja, akang. Kita sudah ditunggu bapak dan ibu di ruangan makan. Setelah makan, nanti kita bicara di sini dengan enak dan leluasa. Engkau akan bicara apa saja nanti, akan kulayani, biar semalam suntuk aku bersedia!"

Tanpa menanti jawaban Jaka Salman, Muntari sudah menarik tangan pemuda itu ke ruangan makan. Ketika mereka berdua memasuki ruangan makan dengan bergandeng tangan, atau lebih tepat, Jaka Salman digandeng gadis itu, ternyata Ki Bangak dan Nyai Bangak sudah duduk menghadapi meja makan yang penuh dengan bermacam hidangan yang masih mengepulkan uap. Aroma masakan yang sedap membuat perut Jaka Salman meronta minta diisi!

"Ha-ha-ha, kalian berdua anak-anak nakal! Makan dulu, jangan berpacaran saja. Nanti masih ada waktu dan besok pagi kalian sudah menjadi suami isteri!" Nyai Bangak juga tertawa lebar dengan wajah berseri.

Mereka lalu duduk dan makan bersama. Dengan penuh perhatian Muntari melayani Jaka Salman, mengambilkan lauk yang paling enak. Jaka Salman menerimanya saja. Dia harus makan kenyang agar cukup sehat dan kuat kalau nanti tenaganya diperlukan.