Bagus Sajiwo Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 07

KETIKA Ki Singobarong mendengar dari anak buah disana, bekas anak buah Aki Somad yang merupakan kakak seperguruannya, tentang murid Aki Somad yang kini terkenal sebagai pendekar Loano bernama Ki Sumali, yang pernah menentang bahkan bermusuhan dengan Aki Somad, Ki Singobarong menjadi marah sekali. Maka pada hari itu dia mengajak dua orang pembantunya menyeberang ke daratan dan mengunjungi Loano.

Maka terjadilah pembunuhan dua orang pembantu Ki Sumali, diculiknya isteri Ki Sumali dan dilukainya Ki Sumali oleh Ki Singobarong. Biarpun pulau itu merupakan sarang dan tempat persembunyian yang aman, dan dia mengandalkan kesaktiannya sendiri sehingga layaknya tidak mungkin ada orang berani mengganggunya, namun Ki Singobarong adalah seorang yang cerdik. Setelah menyerang Ki Sumali dan melarikan Winarsih, dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan dan mengintai siang malam agar segera melaporkan kalau ada perahu berani mendekati pulau.

Belasan orang wanita muda dan gadls yang diculik dikumpulkan di pulau itu, dimana dibangun pondok-pondok kayu yang cukup kokoh. Belasan orang gadis yang oleh Ki Singobarong diberikan kepada anak buahnya, menjadi permainan kurang lebih tiga puluh orang anak buahnya bagaikan barang-barang mainan yang tidak berharga dan sewaktu-waktu dapat diganti yang baru. Ki Singobarong sendiri adalah seorang laki-laki mata keranjang yang diperbudak oleh nafsunya sendiri dan dia telah memilih tiga orang wanita muda untuk dirinya sendiri.

Setelah Winarsih dibawa ke rumah Ki Singobarong, wanita ini didorong ke sebuah ruangan di pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Ki Singobarong. Winarsih jatuh terperosok di sudut ruangan besar itu dan ia menangis tersedu-sedu. Ia baru berani mengangkat muka memandang ketika terdengar suara tiga orang wanita menghiburnya.

"Sudahlah, mbakayu, Jangan menangis."

"Ya, menangis air mata darah sekali pun tidak akan menolongmu, mbakayu."

"Bahkan tidak mustahil kalau engkau menangis terus, engkau akan mengalami derita lebih berat, mungkin siksaan atau perlakuan kasar."

Mendengar tiga orang wanita itu menasihatinya seperti itu, ia mengusap air matanya dan menatap mereka. Winarsih tertegun. Mereka adalah tiga orang gadis yang masih muda, berusia antara tujuh belas sampai dua puluh tahun dan dari penampilan mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah gadis-gadis dusun sederhana, namun wajah mereka cukup manis dan bentuk tubuh mereka menarik.

"Siapakah kalian?" tanya Winarsih.

"Kami senasib dengan engkau, mbakayu. Kami juga diculik dan sekarang kami menjadi... isteri Ki Singobarong. Namaku Karsih, mbakayu, dan aku yang pertama disini."

"Ki Singobarong... raksasa hitam itu...'" tanya Winarsih.

"Ssst... jangan begitu, mbakayu. Jangan sampai dia marah... dia baik sekali kalau penurut, akan tetapi kalau dia marah, oh, menakutkan sekali. Namaku Darni, mbakayu." kata orang kedua yang umurnya mungkin baru delapan belas tahun.

"Dan aku Tinah, mbakayu." kata yang termuda, mungkin baru tujuh belas tahun usianya. "Aku baru dua minggu disini, memang lebih baik menerima nasib, mbakayu. Masih baik kalau diperistri Ki Singobarong. Kalau diberikan kepada anak buahnya... Iiiuhh... kita akan dipermainkan orang banyak... mengerikan sekali."

Winarsih memang seorang wanita yang tidak pernah belajar ilmu kunuragan. Akan tetapi ia Isteri seorang pendekar dan memiliki kenekatan besar. Ia bangkit berdiri, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan.

"Tidak! Aku sudah menjadi isteri orang, tidak boleh laki-laki manapun menggangguku." Ia mencubut sebatang patrem (belati kecil) yang tadinya diselipkan di pinggang dan tidak diketahui kedua orang penculiknya. "Kalau ada yang berani mencoba-coba menyentuh badanku, dia hanya akan menyentuh sebuah mayat!"

Melihat Winarsih memegang patrem dan siap dihunjamkan kepada dadanya sendiri, tiga orang wanita muda itu mundur ketakutan. Tekad besar Winarsih ini menolongnya. Bahkan Ki Singobarong sendiri tidak berdaya karena dia tahu bahwa kalau dia menggunakan kekerasan, Winarsih tentu membunuh diri. Dia Juga tidak mau menggunakan ilmu sihirnya seperti yang banyak dia pergunakan untuk menundukkan para wanita yang diculiknya. Hal ini adalah karena dia melihat sesuatu yang amat menarik dalam diri Winarsih, yang berbeda dengan para gadis dusun itu. Dia benar-benar Jatuh hati dan tergila-gila kepada Winarsih, dan menghendaki agar Winarsih suka menyerahkan diri kepadanya secara suka rela.

Karena itu, dia tidak mau mempergunakan sihirnya untuk membuat Winarsih menurut dan memenuhi kehendaknya. Dia hanya menahan Winarsih dalam sebuah kamar yang terjaga dari luar, dan memesan para gadis yang menjadi isteri-isterinya itu untuk melayani Winarsih dan bersikap baik kepadanya. Ki Singobarong sekali ini menginginkan agar Winarsih menjadi isteri yang sah, bukan sekedar menjadi permainan nafsunya seperti wanita-wanita lain yang setiap saat akan mudah dibuang dan dicarikan penggantinya.

Ketika anak buah yang mengintai di tepi laut melihat munculnya sebuah perahu kecil yang ditumpangi dua orang laki-laki, mereka segera melapor kepada Ki Singobarong. Datuk sesat ini cepat pergi dan dia melihat bahwa dua orang dalam perahu itu adalah Ki Sumali dan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

Dia menyeringai melihat keberanian Ki Sumali, berani datang mengunjungi Nusa-kambangan! Hemm, dia mencari mampus, pikirnya. Tidak mungkin dia mau menyerahkan kembali Winarsih yang akan dijadikan isterinya. Ki Singobarong lalu duduk bersila di atas batu dan mulai mengerahkan ilmu sihirnya. Maka datanglah angin dan badai yang melanda perahu yang ditumpangi Ki Sumali dan Lindu Aji itu.

Akan tetapi Ki Singobarong terkejut bukan main ketika serangannya melalui ilmu sihir hitam itu punah dan gagal sama sekali. Dia mencoba untuk mengerahkan segala kemampuannya, namun seperti ada angin semilir lembut membawa kehangatan sinar matahari membuyarkan kabut yang ditimbulkan sihirnya, semua usahanya gagal dan kekuatan sihirnya seperti lumpuh. Dengan penuh geram dia lalu meninggalkan pantai dan cepat mengumpulkan tiga puluh orang anak buahnya. Dia maklum bahwa serangan ilmu sihirnya tadi dapat ditangkis lawan, entah itu Ki Sumali sendiri yang menghalau kekuatan sihirnya ataukah pemuda yang menyertainya di atas perahu.

Dia membagi anak buahnya menjadi dua bagian. Bagian pertama, lima belas orang banyaknya, dia perintahkan untuk mengumpulkan semua tawanan wanita yang jumlahnya hampir dua puluh orang itu di rumahnya yang besar dan lima belas orang itu diperintahkan untuk menjaga agar jangan sampai ada orang yang membebaskan mereka. Adapun yang tujuh belas orang, semua anak buahnya setelah dihitung ada tiga puluh dua orang, diajaknya untuk menyambut kedatangan dua orang itu.

"Hati-hati jangan sembarangan bergerak," pesannya kepada rombongan ke dua yang diajaknya menyambut musuh. "Dua orang musuh yang datang bukan orang sembarangan. Lihat betapa aku akan menghajar dan membunuh mereka. Jangan bantu aku kalau tidak perlu karena itu hanya akan menggangguku saja." kata Ki Singobarong dengan sikap sombong, seolah dia sudah memastikan bahwa dia akan dapat membunuh dua orang musuh dengan mudah.

Ki Sumali dan Lindu Aji akhirnya tiba di dataran di tengah pulau dimana terdapat perkampungan gerombolan itu. Perkampungan terdiri dari pondok-pondok kayu dan ditengah-tengah terdapat pondok terbesar, tempat tinggal Ki Songobarong.

Dengan hati-hati Ki Sumali dan Lindu Aji melangkah maju, menghampiri pintu gerbang perkampungan. Mereka dapat menduga bahwa Ki Singobarong tentu sudah tahu akan kedatangan mereka, buktinya tadi ada serangan badai yang timbul karena pengaruh sihir. Maka mereka berdua kini siap siaga.

Tiba-tiba, terdengar suara brengeng-eng (berdengung-dengung) yang datangnya dari perkampungan itu. Lindu Aji sudah dapat merasakan pengaruh hawa yang tidak sewajarnya, tanda bahwa ada kekuatan sihir yang kuat sedang dikerahkan orang untuk menyerang mereka.

"Paman, harap paman berlindung dibelakangku dan melindungi diri paman sendiri karena ada yang akan menyerang kita dengan ilmu sihir lagi." kata Lindu Aji.

Ki Sumali yang maklum bahwa Ki Singobarong adalah seorang ahli mempergunakan ilmu sihir seperti juga mendiang Aki Somad, gurunya, segera berdiri dibelakang Lindu Aji dalam jarak dua tombak. Aki Somad memang pernah menjadi gurunya akan tetapi kakek itu tidak mengajarkan ilmu sihir yang merupakan aji pamungkasnya, yaitu Aji Gineng Soka Weda. Dia hanya diberi Aji Jerit Bairawa, pekik yang mengandung kekuatan sihir untuk melumpuhkan lawan.

Bunyi berdengung-dengung itu kian kuat dan tak lama kemudian, dari pintu gerbang itu muncullah semacam awan hitam melayang-layang ke arah dua orang pendatang itu. Ki Sumali tidak tahu apa awan itu, namun dia sudah siap siaga, mengerahkan kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan serangan apapun juga yang datang menyerangnya. Dia melihat bahwa Lindu Aji masih berdiri tenang saja dengan pandang mata ditujukan kepada awan hitam yang melayang datang membawa suara berdengung-dengung itu.

Kini Ki Sumali terbelalak. Dia dapat melihat bahwa awan hitam itu ternyata adalah segerombolan lebah yang oleh penduduk dikenal sebagai tawon endhas (tawon berwarna hitam yang besar dan berani menyerang manusia dengan menyambar ke arah kepala. Dia terkejut sekali. Lebah hitam besar ini amat berbahaya. Kabarnya, sekali saja kepala kena dibentur seekor lebah ini, maka bagian kepala itu akan menjadi botak dan tidak dapat ditumbuhi rambut iagi. Pada hal kini yang datang ada ratusan ekor banyaknya.

Saking ngerinya, Ki Sumali ingin mendahului. Dia melangkah maju ke dekat Lindu Aji dan mengerahkan tenaga saktinya lalu keluarlah lengkingan panjang dari kerongkongannya, lengkingan yang mengandung getaran kuat sekali yang ditujukan untuk menyerang segerombolan lebah hitam itu. Gelombang suara lengkingan ini menghantam ke arah gerombolan lebah yang terbang datang.

Gerombolan lebah itu seperti disambar tiupan angin kuat yang terkandung dalam Aji Jerit Bairawa yang dikerahkan Ki Sumali. Akan tetapi hanya sebentar saja gerombolan lebah itu terdorong ke belakang, lalu mereka naik ke atas dan terbang maju lagi dengan kuat dan cepat. Agaknya serangan Aji Jerit Bairawa itu hanya mengejutkan mereka, namun tidak mampu menahan mereka!

Ki Sumali menjadi penasaran. Ternyata ajinya tidak mempan. Dia cepat menggosok kedua telapak tangannya, lalu ditiupnya dan kedua telapak tangannya itu bernyala dan membara. Itulah Tapak Geni (Telapak Api) dan dengan kedua tangannya Ki Sumali mendorong ke arah gerombolan lebah itu. Kembali gerombolan lebah itu terdorong kebelakang sekitar dua meter, namun mereka tidak runtuh dan dengan memperdengarkan suara mendengung nyaring mereka meluncur ke depan lagi, bahkan lebih kuat.

Lindu Aji sejak tadi memperhatikan dan maklumlah dia bahwa gerombolan itu bukanlah lebah biasa, melainkan lebah jadi-jadian, maka kedua aji Ki Sumali tadi tidak mempan, karena memang tingkat dan kepandaian Ki Sumali kalah tinggi dibandingkan kepandaian orang yang mengirim gerombolan lebah jadi-jadian itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil segenggam tanah berpasir, mengerahkan kekuatan batinnya lalu menyambitkan segenggam tanah berpasir itu ke arah segerombolan lebah yang sudah menyambar datang, sudah dekat, dalam jarak antara dua meter dari kepalanya. "Kembali ke asalmu!" bentak Lindu Aji.

"Blarrrrr...!" Tampak sinar berkilat seperti ada halilintar menyambar dan segerombolan lebah hitam itupun runtuh semua ke atas tanah dan berubah menjadi pasir hitam!

Akan tetapi terdengar suara gemuruh dan kini muncullah sebuah benda mencorong dan bernyala-nyala dari pintu gerbang perkampungan itu. Melihat benda yang terbang cepat ke arah mereka itu, Ki Sumali menjadi pucat. Itulah Aji Gineng Soka Weda yang dahsyat! Dia pernah menyaksikan gurunya, mendiang Aki Somad, mendemonstrasikan aji yang luar biasa itu. Maka, dia cepat mundur dan berlindung dibelakang Lindu Aji. Dia 'percaya pemuda itu akan mampu menghadapi aji yang amat menyeramkan itu.

Benda yang mencorong dan bernyala-nyala itu terbang mendekat dan sekarang tampaklah benda itu. Bukan main! Mengerikan sekali karena benda itu berwujud sebuah kepala raksasa yang besar dan kedua matanya mencorong, mulutnya terbuka dan mengeluarkan api yang berkobar menyala-nyala, lidahnya panjang membara mengeluarkan asap, mulutnya terisi taring dan gigi-gigi runcing mengkilap, dari kedua lubang hidungnya menyemburkan asap yang panas.

Dalam jarak kurang lebih tiga meter, mahluk menyeramkan itu tiba-tiba menyemburkan api dari mulutnya, ke arah Lindu Aji. Pemuda ini sudah siap siaga. Dia pun mengenal mahluk jadi-jadian hasil aji Gineng Soka Weda itu. Dia pernah mengenal aji yang dahsyat itu. Dahulu, pernah mendiang Aki Somad menyerangnya dengan aji itu pula dan kini, penyerang yang mempergunakan aji itu agaknya tidak kalah kuatnya dibandingkan mendiang Aki Somad.

Lindu Aji sudah tenggelam ke dalam penyerahan diri lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah. Sikapnya seperti sikap Tirta Bantala (Air dan Tanah) yang semua gerakannya wajar dan tidak disengaja oleh hati akal pikirannya, melainkan dituntun oleh Kekuasaan Tuhan. Penyerahan diri ini memunculkan kekuatan Aji Guruh Bumi yang mengandung tenaga sakti Surya Candra. Tubuhnya merendah ketika kedua kakinya ditekuk depan belakang, lalu kedua tangannya didorongkan ke arah mahluk yang menyemburkan api itu.

"Segala kekuatan datang dari Gusti Allah!" seru Lindu Aji dan begitu kedua tangannya didorongkan, ada hawa lembut keluar menyambul serangan mahluk kepala raksasa yang lebih pantas disebut iblis itu.

"Wuuuttt... blaarrr...!!" Bagaikan disambar halilintar, mahluk itu terpental sampai terputar-putar, kemudian terdengar lolongan seperti lolongan seekor anjing di malam bulan purnama, dan mahluk jadi-jadian itu terbang kembali ke arah perkampungan!

Lindu Aji dan Ki Sumali masih berdiri menanti serangan berikutnya. Mereka maklum bahwa musuh tidak akan berhenti begitu saja. Mereka tidak menanti lama. Tampak kini seorang raksasa hitam melangkah lebar-lebar keluar dari pintu gerbang itu, diikuti oleh tujuh belas orang anak buahnya yang ke semuanya tampak menyeramkan dan bengis. Ki Sumali segera mengenal orang itu dan dia berbisik kepada Lindu Aji, "Raksasa itulah Ki Singobarong." Dia lalu maju dan berdiri di sebelah kiri Lindu Aji dengan sikap tenang karena dia tahu bahwa pemuda yang membantunya ini boleh diandalkan.

Kini Ki Singobarong sudah berdiri di depan mereka, dalam jarak empat tombak. Anak buahnya membentuk pagar setengah lingkaran dibelakang raksasa hitam itu.

"Babo-babo Ki Sumali! Berani engkau datang kesini? Mau apa engkau datang?" tegur Ki Singobarong, agak berkurang keangkuhannya setelah tiga kali ajian sihirnya, badai, gerombolan lebah, dan kepala Banaspati tadi dapat ditolak dan dikalahkan.

Diam-diam walaupun dia bicara kepada Ki Sumali, dia melirik ke arah Lindu Aji dan merasa heran. Pemuda inikah yang telah mampu melawan dan melumpuhkan sihirnya?

"Hemm, Ki Singobarong..."

"Heh, Ki Sumali! Engkau tidak tahu sopan santun pula. Aku ini paman gurumu, tahu?"

"Aku tidak menganggap engkau paman guruku, Ki Singobarong, karena engkau tidak bersikap sebagai paman guru. Aku datang kesini untuk minta kembali isteriku yang kau culik dan untuk membalas kematian dua orang pembantuku yang tidak berdosa!"

"Bojleng-bojleng iblis laknat!" Ki Singobarong memaki dengan marah. "Ki Sumali! Di Loano sana aku masih memberi ampun dan tidak membunuhmu, mengingat bahwa engkau telah menyerahkan isterimu untuk menjadi biniku! Apakah sekarang engkau datang untuk mengantarkan nyawamu?"

"Ki Singobarong! Winarsih adalah isteriku dan tidak pernah kuserahkan kepada siapapun juga, apa lagi kepadamu! Ia adalah isteriku, isteriku yang setia. Karena itu aku harus merampasnya dari tanganmu yang kotor!"

"Hua-ha-ha, isterimu? Ha-ha-ha, bagaimana ia masih menjadi isterimu kalau dia sudah berada dalam pelukanku, tidur dikamarku selama dua malam?"

"Jahanam busuk...!" Ki Sumali hendak menyerang, akan tetapi dia ditahan oleh Lindu Aji. Pemuda ini lalu melangkah maju dan menentang pandang mata Ki Singobarong.

"Ki Singobarong, kulihat engkau seorang yang sakti. Tidak sayangkah semua kesaktian yang kau pelajari dengan susah payah itu sekarang kau pergunakan untuk melakukan kejahatan. Andika telah menyerahkan jiwamu kepada iblis dan ingatlah, semua kekuasaan iblis akan sirna dihadapan Kekuasaan Gusti Allah. Karena itu, sebelum terlambat, bertaubatlah, kembalikan isteri Paman Sumali dan hentikan semua perbuatanmu yang jahat dan angkara murka."

"Bocah lancang kemaki (sombong!) Agaknya engkau yang membuat Ki Sumali berani datang ke Nusakambangan! Heh, bocah kementhus, jangan mati tanpa nama. Katakan siapa kamu dan mengapa kamu mencampuri urusanku dengan Ki Sumali yang masih terhitung murid keponakanku sendiri!"

"Oh, kiranya andika ini adik seperguruan mendiang Aki Somad? Ternyata engkau malah lebih jauh tersesat dibandingkan Aki Somad yang hanya terpikat bujukan Kumpeni Belanda dan menjadi antek mereka. Ketahuilah, Ki Singobarong, aku bernama Lindu Aji dan sudah lama menjadi sahabat Paman Sumali dan isterinya. Aku tidak mencampuri urusan pribadi orang, akan tetapi dimana ada perbuatan jahat dan sewenang-wenang terjadi, disitu aku harus turun tangan dan tugasku memang menentang perbuatan jahat. Dan engkau telah membunuh dua orang pembantu Paman Sumali yang tidak bersalah apa-apa kepadamu, melukai Paman Sumali dan bahkan menculik isteri Paman Sumali. Perbuatanmu itu jahat sekali, Ki Singobarong, maka aku harus menentangmu!"

"Babo-babo, sumbarmu seperti geledek, seolah engkau dapat memindahkan gunung, Lindu Aji!"

"Kalau gunung itu mengancam keselamatan orang-orang, aku akan berusaha sedapat mungkin untuk memindahkannya, Ki Singobarong!"

"Bojleng-bojleng iblis laknat!" Ki Singobarong sudah mengambil ruyung galih asem yang bergantung di pinggangnya. "Engkau sudah bosan hidup! Pecah kepalamu!!" Dia segera menerjang ke depan, mengayun ruyungnya yang besar dan berat itu, menyambarkan senjata itu ke arah kepala Lindu Aji.

Pemuda ini dengan sigapnya mengelak dengan merendahkan tubuh sehingga ruyung itu mengiuk lewat di atas kepalanya. Ki Singobarong menjadi penasaran sekali melihat betapa serangan kilatnya tadi dengan mudah dielakkan lawan, maka kakinya yang panjang besar mencuat ke arah selakangan Lindu Aji.

Tendangan itu merupakan tendagan maut yang berbahaya sekali. Namun, dengan memainkan ilmu silat Wanara Sakti, tubuh Lindu Aji bergerak cekatan sekali sehingga dengan mudah dia dapat mengelak dari tendangan itu.

Ki Singobarong mengamuk dan melakukan serangan bertubi-tubi. Akan tetapi Lindu Aji melayaninya dengan mudah, bahkan dia kini mulai membalas dengan tamparan tangan yang mengandung tenaga sakti Surya Candra yang ampuh. Beberapa kali Ki Singobarong nyaris terkena sambaran tamparan tangannya sehingga raksasa hitam itu mulai berkeringat. Diam-diam dia lalu memberi isarat kepada tujuh belas orang anak buahnya. Mereka itu dengan klewang di tangan lalu menyerbu.

Akan tetapi Ki Sumali yang sudah siap siaga, menyambut mereka dengan amukannya, menggunakan keris Sarpo Langking dan sulingnya. Hebat sekali amukan pendekar Loano ini. Sebentar saja tiga orang anak buah Nusakambangan sudah terkapar, terkena tusukan keris dan hantaman suling. Akan tetapi sisanya, empat belas orang mengepung dan mengeroyok Ki Sumali sehingga pendekar ini menjadi agak kewalahan juga. Akan tetapi karena sepak terjangnya memang tangkas dan berbahaya, setiap tangkisannya membuat penyerangnya terhuyung, maka para pengeroyoknya juga berhati-hati dan agak gentar membuat pengepungan itu tidak berapa ketat.

Sementara itu, Lindu Aji maklum bahwa yang terpenting adalah segera menolong dan membebaskan Winarsih yang tentu berada diperkampungan itu dan untuk dapat segera menolongnya, terlebih dulu dia harus dapat mengalahkan Ki Singobarong. Diapun harus membantu Ki Sumali yang dikeroyok banyak orang itu. Lindu Aji lalu mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan Aji Bayu Sakti. Tubuhnya berkelebatan amat cepatnya seolah berubah menjadi bayang-bayang.

Ki Singobarong terkejut bukan main. Dia mengamuk dan mengobat-abitkan ruyung galih asemnya untuk menyerang, namun bayangan Lindu Aji sukar sekali dijadikan sasaran karena berkelebatan cepat.

"Lepaskan!" tiba-tiba Aji membentak dan tangan kirinya yang dimiringkan, membacok pergelangan tangan kanan Ki Singobarong yang memegang ruyung itu.

"Wuuuttt... desss...!" Tak dapat dipertahankannya lagi, ruyung itu terlepas dari pegangan tangan Ki Singobarong yang merasa betapa lengan kanannya seolah-olah menjadi lumpuh.

Dia cepat melompat kebelakang dan setelah lengan kanannya pulih, dia cepat menggosok kedua telapak tangannya sehingga bernyala dan membara, lalu didorongkannya kedua tangannya ke arab Lindu Aji.

"Aji Tapak Geni....!" Bentaknya dan mengerahkan tenaga sepenuhya karena kini dia yakin akan kedigdayaan lawannya yang masih muda itu.

Aji menyambut dengan kedua tangan didorongkan sambil berseru penuh wibawa, "Aji Guruh Bumi...!" Kekuatan aji ini memang hebat sekali, seolah bumi tergetar oleh gelombang getaran aji pukulan ini ketika menyambut aji pukulan Tapak Geni.

"Wuuuttt... blaarrrr...!" Tubuh Ki Singobarong terlempar lebih dari lima meter ke belakang seperti diterjang halilintar dan tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di atas tanah, dimana dia rebah telentang tak mampu bergerak lagi. Tenaga Tapak Geni yang membalik telah menghantam dirinya sendiri sehingga dia menderita luka dalam yang cukup hebat.

Lindu Aji melompat, mendekatinya dan melihat raksasa itu ternyata jatuh pingsan dan menderita luka dalam. Dia tidak memperdulikan lagi, lalu melompat dan membantu Ki Sumali yang masih repot menghadapi pengeroyokan empat belas orang anak buah Nusakambangan itu.

Masuknya Aji mengubah keadaan. Para anak buah ketakutan melihat pemimpin mereka roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Dan Ki Sumali yang mendapatkan semangat baru dengan masuknya Lindu Aji, mengamuk dan merobohkan dua orang lagi.

Lindu Aji dengan tamparan dan tendangan kakinya, juga merobohkan empat orang. Sisa anak buah Nusakambangan menjadi ketakutan dan mereka lari cerai berai meninggalkan tempat itu, bahkan secepatnya mereka meninggalkan pulau Nusakambangan mencari keselamatan dirinya!

"Mari kita cari Mbakayu Winarsih!" kata Lindu Aji kepada Ki Sumali dan keduanya cepat lari memasuki perkampungan itu.

Suasana dalam perkampungan sepi, tak tampak seorang pun. Mereka memasuki pondok-pondok terdekat, namun semua pondok itu kosong.

"Pondok besar itu tentu tempat kediaman Ki Singobarong. Mari kita kesana!" kata Ki Sumali dan mereka berlari menuju gedung terbesar yang berada di tengah perkampungan.

Baru saja mereka berdua masuk ke pendopo rumah, dari dalam rumah itu keluar belasan orang dan segera lima belas orang anak buah yang ditugaskan menjaga rumah itu mengeroyok mereka. Akan tetapi Aji dan Ki Sumali mengamuk dan sebentar saja delapan orang telah mereka robohkan. Sisanya lari kocar-kacir meninggalkan kampung, menyusul teman-teman yang sudah lari terlebih dulu, menggunakan perahu-perahu menyingkir dari Nusakambangan.

Sementara itu, ketika para anak buah gerombolan berlarian keluar dan menyerang dua orang itu, para wanita yang menjadi tawanan dan merasa diri mereka tidak dijaga dan diawasi lagi, berserabutan keluar dari kamar dimana mereka dikeram menjadi satu. Winarsih juga ikut keluar dan mereka semua berlari keluar. Bukan main besar, lega dan girang hati Winarsih melihat suaminya di dampingi seorang pemuda yang sudah amat dikenalnya, Lindu Aji yang dahulu pernah pula menolongnya, kini mengamuk dikeroyok belasan orang anak buah gerombolan.

Akan tetapi ia terdesak dan ikut dengan para wanita yang jumlahnya semua ada enam belas orang itu, berlari kepelataran dan melihat beberapa orang anak buah gerombolan yang terluka dan merintih-rintih tidak berdaya itu, mereka seperti kesetanan. Mereka berebutan mengambil kelewang-kelewang para penjahat yang berserakan, lalu bagaikan harimau-harimau betina yang ganas mereka membacoki para anak buah gerombolan yang terluka tak berdaya itu.

Winarsih melihat sosok tubuh raksasa hitam menggeletak tak jauh dari situ. Cepat dihampirinya dan ketika melihat Ki Singobarong seperti tertidur, bangkit dendam kemarahan di hati Winarsih. Dicabutnya patrem yang selama ini dipergunakan untuk mengancam bunuh diri sehingga selama dua malam ini ia sama sekali tidak berani tertidur, Lalu dihampiri tubuh Ki Singobarong dan tanpa ragu-ragu lagi ia membungkuk dan menancapkan patremnya ke lambung raksasa itu, tepat di ulu hatinya.

"Clesss....!" Patrem yang runcing tajam itu masuk dengan mudahnya menembus kulit dan jantung Ki Singobarong yang masih pingsan!

Darah mengalir dan Winarsih menjadi ngeri lalu bangkit dan mundur-mundur dengan muka pucat. Patremnya masih menancap sampai kegagangnya di dada Ki Singobarong. Sementara itu, belasan orang wanita muda yang tadinya menjadi permainan para penjahat itu membantai para anak buah gerombolan yang sembilan orang banyaknya itu.

Mereka yang dibantai hanya dapat berteriak-teriak mengaduh dan ketakutan, akan tetapi para wanita itu tidak mengenal ampun. Sakit hati mereka terlalu besar dan mereka baru merasa puas setelah sembilan orang itu roboh mandi darah dengan tubuh terkoyak-koyak dan tewas semua!

Para wanita itu ada yang saling rangkul dan menangis tersedu-sedu, teringat akan nasib mereka ketika masih berada dalam cengkeraman gerombolan penjahat yang memperlakukan mereka sekejam iblis itu. Lima belas orang yang mengeroyok Lindu Aji dan Ki Sumali itupun dihajar habis-habisan sehingga delapan orang sudah roboh dan yang tujuh orang lagi melarikan diri tunggang langgang dan menyusul kawan-kawan mereka yang sudah lebih dulu melarikan diri meninggalkan Nusakambangan.

Lindu Aji dan Ki Sumali tidak melakukan pengejaran dan melihat ada lagi delapan orang musuh menggeletak tidak berdaya karena terluka, para wanita itu sudah mengambil klewang yang berlumuran darah, dengan niat untuk mencacah-cacah lagi tubuh delapan orang itu. Akan tetapi Lindu Aji yang sudah menengok dan ngeri melihat betapa para gerombolan yang terluka tadi kini telah tewas secara mengerikan, cepat menghadang mereka dan berkata dengan suara membentak.

"Berhenti! Kalian tidak boleh membunuhi mereka yang sudah terluka!"

Seorang di antara para wanita itu, yang lebih berani dan usianya sudah sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya hitam manis, lalu berkata kepada Lindu Aji dan Ki Sumali yang berdiri di samping pemuda itu. "Denmas berdua, kami berterima kasih sekali atas pertolongan andika berdua sehingga kami dapat terbebas dari tangan iblis-iblis berwujud manusia itu. Akan tetapi jangan halangi kami membunuh mereka!"

"Hentikan, mbakayu, tidak boleh membunuh orang begitu saja, apa lagi mereka sudah terluka dan tidak dapat melawan." kata Lindu Aji.

"Denmas, kalau andika tahu apa yang mereka lakukan terhadap kami selama ini, mereka itu dibunuh seratus kali juga belum impas!"

Lindu Aji mengangguk. "Kami mengerti, mereka ini memang orang-orang yang jahat dan kejam! Mereka telah menerima hukuman dan terluka. Kalau andika sekalian hendak membunuhnya secara kejam pula, lalu apa bedanya antara mereka dan andika sekalian? Cukuplah andika sekalian membunuhi mereka yang disana itu, jangan ditambah lagi. Mereka ini kita butuhkan untuk mengurus dan menguburkan mayat-mayat itu."

Sementara itu, Ki Sumali melangkah pergi kepekarangan depan dimana dia melihat Winarsih masih berdiri pucat memandang ke arah tubuh Ki Singobarong yang telah dibunuhnya. Ki Sumali juga memandang ke arah tubuh itu dan melihat bahwa Ki Singobarong telah tewas dengan dada tertancap sebatang patrem. Dia segera mengenal senjata itu. Itu adalah patrem milik isterinya.

Dia sendiri yang dulu memberikan patrem itu kepada isterinya untuk dipakai menjaga diri dan sejak itu, Winarsih selalu membawa patrem itu kemana pun ia pergi. Dan kini, patrem itu telah tertanam di dada Ki Singobarong, berarti isterinya tadi yang membunuh Ki Singobarong yang sedang rebah pingsan. Dia menoleh kepada isterinya yang masih berdiri disitu dan kini Winarsih menutupi kedua matanya dengan tangan. Ada air mata menetes keluar dari celah-celah jari tangannya.

"Hemm, kalau ditangisi, mengapa tadi dibunuh?" Ki Sumali berkata lirih, suaranya dingin sekali.

Mendengar suara ini, Winarsih seperti tersentak kaget, kedua tangannya diturunkan dari depan mukanya dan ketika ia melihat Ki Sumali, ia menjerit dan lari menubruk suaminya sambil menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, Ki Sumali menahan dengan kedua tangan memegang pundak Winarsih dan mendorongnya agar jangan mendekat sambil berkata dengan ketus, "jangan sentuh aku dengan tanganmu yang kotor!"

Winarsih terkejut dan juga heran. Dia mengusap air matanya agar dapat memandang wajah suaminya lebih jelas. Ia melihat wajah suaminya itu demikian keruh, muram dan sepasang matanya itu mencorong penuh kemarahan dan kebencian memandang kepadanya!

"Kakangmas..., ada... apakah...? Kenapa sikapmu seperti itu... kenapa engkau memandangku seperti itu...?" Ia tergagap, jantungnya seolah berhenti berdetak saking kaget dan khawatirnya.

"Huh, engkau masih bertanya kenapa? Lihat itu! Patremmu masih menancap di dadanya. Engkau membunuhnya kemudian menangisinya, karena engkau menyesal telah membunuhnya! Diam-diam engkau mencintainya, bukan?"

Sepasang mata yang merah oleh tangis itu terbelalak, wajah itu pucat. "Kakangmas Sumali! Apa yang kau katakan ini? Aku memang telah menancapkan patremku di dadanya, terbawa oleh teman-teman yang mengamuk, dan juga karena benciku terhadap jahanam itu! Dan setelah membunuhnya, aku merasa ngeri atas perbuatanku membunuh orang ... sama sekaii bukan karena aku mencintainya, kakangmas! Bagaimana mungkin engkau menuduh aku mencintanya, mencinta orang yang menyerang kita, yang menculik aku dan melarikan aku ke tempat ini?" Biarpun hatinya terpukul hebat, wanita itu bicara dengan penuh semangat karena merasa penasaran atas tuduhan suaminya bahwa ia mencinta Ki Singobarong!

Akan tetapi bantahan Winarsih itu tidak melunakkan hati Ki Sumali yang sudah bernyala dibakar api cemburu. "Hemm, engkau telah dikeramnya selama dua malam, tidur di kamarnya, menjadi bininya! Tentu engkau mencintainya. Aku tidak menuduh sembarangan. Engkau sudah tidur dengan dia, menyerahkan dirimu kepadanya, bukan? Engkau telah ternoda, telah kotor, tidak pantas lagi mendekatiku, apa lagi menyentuhku!"

"Kakangmas! Dia belum pernah menjamahku! Kalau itu sudah dia lakukan, sekarang tentu aku sudah mati. Aku tidak membiarkan diriku ternoda, tidak membiarkan diriku dicemarkan siapapun!"

Ki Sumali tersenyum mengejek. "Huh, siapa percaya omonganmu? Para wanita itu tadi mengaku bahwa mereka telah diperhina dan dipermainkan. Dan engkau... huh, engkau paling cantik diantara mereka dan Ki Singobarong tergila-gila padamu. Mana mungkin seorang wanita yang telah berada ditangannya selama dua malam menyatakan dirinya masih bersih dan belum ternoda? Ki Singobarong sendiri tadi mengatakan bahwa engkau sudah tidur dikamarnya selama dua malam dan telah menjadi bininya. Sudahlah, penyangkalanmu itu malah semakin memuakkan hatiku!"

"Kakangmas...! Kakangmas Sumali...!" Winarsih tak dapat lagi menahan tangisnya. Ia menangis terisak-isak, akan tetapi laki-laki yang amat dicintanya itu, malah memutar tubuh, membalikkan tubuh membelakanginya.

"Kakangmas Sumali..." Winarsih tampak kebingungan, memandang ke kanan kiri seperti hendak minta bantuan siapa saja, kemudian ia melihat ke arah mayat Ki Singobarong, lalu ia berlari menghampiri mayat itu, dengan keberanian yang muncul dengan tiba-tiba ia mencabut patrem itu dari dada raksasa hitam itu. Ia memegang patrem yang masih berlumur darah itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, dengan ujung mengarah dadanya.

"Kakangmas Sumali..., engkau... engkau tidak lagi percaya padaku... engkau menuduhku... telah ternoda... untuk apa aku hidup tanpa kepercayaan suami lagi ..., selamat tinggal, kakangmas, semoga engkau hidup bahagia... tanpa... aku...!" Sekuat tenaga Winarsih menggerakkan tangannya dan patrem berlumur darah itu meluncur ke arah dadanya!

"Wuuttt... tringgg...!!" Sebuah kerikil meluncur dan menghantam patrem yang sedang meluncur hendak menghunjam dada yang montok itu. Patrem itu melenceng dan terlepas dari pegangan tangan Winarsih, akan tetapi menyerempet pundak kiri merobek kulit pundak yang putih mulus itu sehingga berdarah. Tubuh Winarsih terhuyung kebelakang dan tentu sudah terpelanting jatuh kalau saja Lindu Aji yang tadi menyambit patrem itu dengan kerikil tidak cepat melompat dan menangkapnya.

Winarsih tidak jadi jatuh dan ketika melihat bahwa yang menangkapnya itu Lindu Aji, ia langsung menangis tersedu-sedu dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangan, tidak memperdulikan pundak kirinya yang terluka cukup parah sehingga darah mengalir keluar.

"Biarkan aku mati... ah, biarkan aku mati... untuk apa aku hidup... orang yang paling kucinta... satu-satunya orang yang kucinta... menyangka aku tidak setia... tidak lagi percaya kepadaku... ohhh..." dan saking sedihnya, Winarsih terkulai dan jatuh pingsan!

Lindu Aji yang tadi bercakap-cakap dengan para wanita yang menjadi tawanan gerombolan, terutama dengan tiga orang gadis yang terpilih menjadi isteri Ki Singobarong, sudah mendengar akan kesetiaan Winarsih yang mengancam akan membunuh diri kalau hendak diperkosa sehingga sampai saat itu masih belum terjamah oleh Ki Singobarong, sempat melihat Winarsih hendak bunuh diri.

Karena tidak keburu datang mencegah, maka dia menggunakan kerikil untuk menyambit patrem itu dari tangan Winarsih sehingga nyawa wanita itu dapat terselamatkan walaupun ia mengalami luka di pundak yang mengeluarkan banyak darah. Kini Lindu Aji memandang ke arah Ki Sumali yang masih berdiri membelakangi Winarsih. Mata pemuda itu mencorong penuh kemarahan.

"Paman Sumali...!!" Dia membentak, demikian keras bentakannya sehingga Ki Sumali menjadi terkejut dan cepat memutar tubuh menghadapi Lindu Aji.

Dia melihat Winarsih tergeletak. Hatinya luluh penuh iba dan sayang, namun cemburu membuat dia mengeraskan perasaannya dan bersikap tidak acuh. Dia memandang kepada Lindu Aji dengan mata penuh pertanyaan melihat pemuda itu seperti orang yang marah sekali.

Lindu Aji memang marah bukan main. Ini sudah ke dua kalinya Ki Sumali mencurigai isterinya karena cemburu dan tidak percaya akan kesetiaan isterinya. Dulu, ketika pertama kali bertemu dengan Ki Sumali, dia harus juga membela Winarsih dari kecemburuan Ki Sumali.

Dia pada dua tahun yang lalu, ketika lewat daerah Loano, melihat Winarsih dilarikan perampok. Dia berhasil menolong Winarsih dan mengantarkan wanita itu pulang. Eh, Ki Sumali menerima mereka dengan hati penuh cemburu, menyangka isterinya bercintaan dengan Lindu Aji sehingga terjadi perkelahian. Baru setelah Ki Sumali melihat keris pusaka Nogowelang pemberian Sultan Agung kepada Aji, Ki Sumali memberi hormat karena keris itu merupakan tanda orang kepercayaan Sultan Agung.

Kini keris pusaka itu telah dikembalikan kepada Sultan Agung oleh Aji. Dan sekarang, sekali lagi Ki Sumali mencurigai isterinya tidak setia kepadanya. Maka dia menjadi marah sekali dan merasa kasihan kepada Winarsih, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya.

Setelah Ki Sumali memutar tubuh menghadapinya, Lindu Aji menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Ki Sumali dan terdengar suaranya yang tegas dan ketus penuh wibawa. "Paman Sumali, engkau adalah seorang suami yang paling brengsek yang pernah kulihat! Engkau hanyalah seorang hamba nafsu cemburu yang tidak ketulungan lagi! Engkau melempar fitnah seenak perut sendiri kepada isterimu yang setia. Ini membuktikan bahwa cintamu terhadap isterimu hanyalah cinta nafsu belaka!"

Lindu Aji menggapai kepada tiga orang wanita yang terpilih menjadi isteri Ki Singobarong, yaitu Karsih, Darni dan Tinah. Tiga orang gadis itu datang menghampiri Lindu Aji yang mereka anggap sebagai penolong mereka.

Setelah mereka datang dekat, Aji berkata, "Coba kalian ceritakan yang sebenarnya tentang Winarsih ketika berada dalam tahanan Ki Singobarong. Ceritakan sejujurnya kepada suaminya yang dirasuki setan cemburu ini!"

"Mbakayu Winarsih sama sekali belum tersentuh siapapun juga!" kata Karsih.

"Ia mengancam untuk membunuh diri dengan patremnya kalau dipaksa sehingga dua malam lamanya ia tidak pernah tidur, hanya menjaga diri." kata Darni.

"Semua itu benar, kami menjadi saksinya. Ki Singobarong sendiri tidak dapat memaksanya dan pernah dia berkata kepadaku bahwa dia tidak mau menggunakan kekerasan atau pengaruh sihirnya karena dia ingin mbakayu Winarsih menyerahkan diri dengan suka rela. Ki Singobarong benar-benar jatuh cinta kepadanya dan menginginkan Mbakayu Winarsih menjadi isterinya yang sah." kata Tinah.

"Nah, engkau mendengar sendiri kesaksian mereka, paman. Masihkah engkau tidak percaya akan kesetiaan isterimu yang begitu mencintaimu? Terlalu...!!" kata Lindu Aji dengan nada gemas.

Sementara itu, mendengar kesaksian tiga orang wanita itu, hati Ki Sumali luluh. Kecemburuan dan kemarahannya lenyap. Sebetulnya sejak tadi dia merasa trenyuh melihat tubuh isterinya tergeletak disana dan pundak kirinya berdarah.

"Kalau tidak cepat kulemparkan batu untuk memukul patremnya, tentu sekarang isterimu sudah menjadi mayat dan engkaulah pembunuhnya, paman, engkau pembunuhnya! Engkau yang melukai pundaknya itu!" bentak Aji yang masih dibakar penasaran dan marah.

Ki Sumali menubruk tubuh Winarsih, merangkul dan mengangkat kepala itu, dipangkunya dan didekapnya. "Winarsih... ampunkan aku... mataku telah buta oleh cemburu... Winarsih..." Laki-laki yang terkenal sebagai pendekar Loano itu meneteskan air mata.

Winarsih membuka kedua matanya dan melihat betapa ia berada dalam rangkulan suaminya, ia mengeluh dan merangkul leher suaminya dengan kedua lengannya. "Kakangmas Sumali...!" Suami isteri itu bertangisan dan saling rangkul.

"Paman Sumali, engkau. laki-laki yang tak tahu diri. Mempunyai seorang isteri yang begitu muda, yang sepatutnya menjadi anakmu, begitu mencintamu, begitu setia, engkau malah mencurigainya, engkau tidak percaya kepadanya. Bahkan, andaikata ia diperkosa dengan kekerasan, apakah itu kesalahannya? Engkaulah yang bersalah, karena engkau tidak mampu melindungi isterimu sehingga dilarikan penjahat. Kalau sampai ia diperkosa orang juga karena ia tidak berdaya, bukan ia yang hina, melainkan engkau, paman! Engkau yang hina karena engkau suaminya tidak mampu melindunginya. Akan tetapi engkau selalu tidak percaya karena cemburu. Sudah dua kali aku menghadapi sikapmu yang brengsek ini. Aku malu menjadi sahabatmu, aku muak. Lebih baik aku pergi!"

Setelah memuntahkan semua penguneg-uneg saking penasaran melihat kecemburuan Ki Sumali yang hampir mengakibatkan Winarsih isteri yang setia itu mati membunuh diri, Lindu Aji dengan marah lalu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan tempat itu.

"Adimas Lindu Aji...!!" Winarsih menjerit, meronta lepas dari rangkulan suaminya dan lari menubruk kedua kaki Lindu Aji sambil menangis.

Karena kedua kakinya dirangkul, terpaksa Aji menghentikan langkahnya.

"Adimas Lindu Aji, maafkanlah suamiku. Adimas..., kasihanilah dia, kasihanilah kami, maafkan dia. Dia sama sekali tidak jahat, hanya... hanya... agak lemah... adimas Aji, aku yang mintakan maaf baginya kepadamu."

Lindu Aji menghela napas panjang dan seketika kemarahannya padam. Nafsu tidak akan bertahan lama mengeram dihati pemuda ini. Dirinya sudah terbimbing oleh Kekuasaan Tuhan lahir batin sehingga iblis sendiri tidak akan bertahan lama menguasainya. Dia memegang kedua lengan wanita itu dan mengangkatnya bangun.

"Baiklah, Mbakayu Winarsih. Aku maafkan Paman Sumali dan biarlah ini merupakan pelajaran baginya sehingga dia dapat mengubah wataknya yang pencemburu. Aku sudah melupakan semuanya. nah, Paman Sumali, engkau melihat sendiri betapa besar rasa sayang dan setia dalam hati isterimu ini kepadamu."

Ki Sumali bangkit berdiri. "Maafkan sikapku tadi, anakmas Lindu Aji. Aku memang bersalah... aku memang bersalah... aku memang bersalah..." dia menampari kepalanya sendiri. "Cemburu ini ... dia selalu menggodaku... keparat...!"

Winarsih kini berlari menghampiri suaminya dan memegang kedua tangannya. "Sudahlah, kakangmas. Adimas Lindu Aji tidak marah lagi dan kami sudah memaafkanmu."

Ki Sumali merangkul. "Winarsih, engkau isteriku yang bijaksana dan berbudi mulia. Mari, kurawat dulu luka di pundakmu itu."

Lindu Aji lalu menghampiri delapan orang anggauta gerombolan yang tadi roboh terluka dan kini mereka duduk merawat luka masing-masing dengan sikap ketakutan. Mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah pemuda sakti mandraguna itu, mereka kini sudah mati dengan tubuh tercincang hancur seperti mereka yang tadi dikeroyok para wanita itu.

"Kuperingatkan kalian! Sekali ini kalian masih beruntung tidak kami bunuh. Bertaubatlah dan mulai sekarang, jadilah orang yang baik dan jangan mengganggu orang lain. Untuk makan, kalian dapat mengolah tanah untuk ditanami. Kalau ingin berkeluarga, menikahlah dengan baik-baik. Sekarang kalian harus mengurus mayat-mayat itu, menguburkan mereka sebagaimana mestinya. Kalau lain kali kami masih mendapatkan kalian melakukan kejahatan, kami tidak akan memberi ampun lagi!"

Kemudian, para wanita itu oleh Aji dan Ki Sumali diangkut dengan perahu dan mereka semua meninggalkan Nusa-kambangan.

Ki Sumali semakin tunduk dan hormat kepada Lindu Aji setelah melihat betapa Lindu Aji benar-benar telah melupakan semua peristiwa tadi, sikapnya sama sekali tidak ada bekas-bekas kemarahannya. Kini sikapnya hormat dan ramah seperti biasa. Setelah tiba di rumahnya, Winarsih lalu sibuk membuat hidangan paling meriah yang dapat ia lakukan, dengan menyembelih beberapa ekor ayam peliharaannya, dibantu oleh beberapa orang wanita tetangga yang datang menjenguknya.

Malam nanti keluarga ini akan menjamu para tetangga untuk merayakan kepulangan Winarsih dengan selamat. Sementara itu, Lindu Aji dan Ki Sumali bercakap-cakap di ruangan dalam.

"Anakmas, sungguh kedatanganmu di Loano ini seolah-olah dibimbing Gusti Allah untuk menolong kami. Entah apa jadinya dengan kami kalau andika tidak datang." kata Ki Sumali, terharu karena setiap kali muncul, pemuda ini selalu menolong dia dan isterinya.

Lindu Aji menghela napas dan menatap wajah Pendekar Loano itu. "Paman Sumali, sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi pada diri kita sudah ditentukan Gusti Allah. Tinggal terserah kepada kita bagaimana kita menerima dan menghadapi kenyataan yang terjadi pada diri kita itu. Sebetulnya, kunjunganku ini mengandung sebuah keinginan, yaitu selain menjenguk keadaan paman berdua, juga untuk bertanya apakah diajeng Sulastri ada datang berkunjung kesini selama ini?"

Ki Sumali mengangguk. "Benar, anak-mas Lindu Aji, ia pernah singgah disini, kira-kira setahun yang lalu."

Aji menjadi girang sekali mendengar ini. "Ah, ia pergi kemana, paman? Sekarang ia berada dimana? Aku ingin sekali bertemu dengannya."

"Sayang sekali ia tidak mengatakan hendak pergi ke mana, anakmas. Ia hanya menceritakan bahwa ia meninggalkan Dermayu dan ingin merantau, tanpa mengatakan kemana. Dan ia juga bertanya apakah selama itu andika pernah mampir disini. Ia tinggal hanya dua hari disini lalu pergi, entah kemana."

Lindu Aji menghela napas lagi, akan tetapi sekali ini helaan napas karena kecewa dan bersedih. Kembali dia kehilangan jejak Sulastri. Gadis itu setahun yang lalu berada disini, dan kalau Ki Sumali saja yang merupakan orang terdekat gadis itu tidak tahu kemana ia pergi, siapa lagi di Loano yang akan dapat memberi tahu?

Melihat sikap pemuda itu, Ki Sumali yang sudah banyak pengalaman itu menduga bahwa tentu telah terjadi apa-apa dengan mereka berdua. Sulastri adalah keponakannya sendiri, maka dia memberanikan diri berkata.

"Anakmas Aji, ketika ia berada disini, Sulastri banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang hebat bersama andika, betapa ia sempat terjatuh ke dalam jurang sehingga hilang ingatannya dan namanya diubah menjadi Listyani atau Eulis. Dari sikapnya dan cara ia bercerita, biarpun ia tidak mengaku dengan kata-kata, aku dan isteriku dapat menduga dengan mudah bahwa Sulastri sebetulnya jatuh cinta padamu. Dan... kalau aku tidak salah sangka, agaknya andika juga mencintainya. Andika berdua Sulastri kami kira merupakan pasangan yang cocok dan pantas sekali. Akan tetapi kenapa sekarang andika berdua saling berpisah?"

Sekali lagi Lindu Aji menghela napas panjang. Ki Sumali adalah seorang sahabat baik, juga dia adalah paman dari Sulastri. Tidak ada salahnya berterus terang.

"Sesungguhnya demikian, paman. Akan tetapi, terjadi kesalah-pahaman diantara kami berdua. Tadinya kami mengira bahwa masing-masing dari kami mencinta orang lain, maka kami berdua mengalah dan mundur, membiarkan masing-masing berjodoh dengan orang lain yang dicinta itu. Akan tetapi ternyata kemudian ... ah, betapa bodohnya kami... ternyata perkiraan kami itu keliru. Kami berdua tidak pernah mencinta orang lain. Akan tetapi kami sudah terlanjur saling berpisah, paman. Karena itu, aku sekarang mencarinya untuk membereskan kesalah-pahaman itu dan minta keputusan darinya."

Ki Sumali mengangguk-angguk dan diapun menghela napas karena teringat akan dirinya sendiri. "Sikap. andika berdua itu membuktikan bahwa andika berdua memiliki kasih sayang sejati, anak-mas. Rela mengalah, berkorban demi kebahagiaan orang yang dicinta. Makin tampak sekarang olehku, alangkah buruknya cintaku terhadap Winarsih, penuh cemburu, penuh keakuan, mementingkan diri sendiri..."

"Sudahlah, paman. Setidaknya pengalaman yang sudah lalu dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk mengubah semua sikap dan tindakan kita yang salah."

"Andika benar, anakmas Lindu Aji. Menyesal sekali aku tidak dapat membantu dengan menunjukkan dimana Sulastri kini berada. Akan tetapi kalau sewaktu-waktu ia singgah lagi disini, tentu aku akan menceritakan semua tentang kesalah-pahaman kalian itu."

"Terima kasih, paman." Malam itu Lindu Aji ikut merayakan pesta sukuran yang diadakan Ki Sumali dan Nyi Winarsih, dihadiri para tetangga. Kemudian dia bermalam dalam sebuah kamar yang pernah menjadi tempat Sulastri bermalam ketika singgah di rumah pamannya itu.

Malam itu Aji tidak dapat segera pulas. Dia rebah di atas pembaringan dan termenung. Pemuda ini tidak pernah membiarkan diri larut dalam kesedihan. Dia hanya merasa betapa hatinya dipenuhi perasaan iba. Iba kepada Sulastri, kepada Jatmika dan kepada Neneng Salmah. Betapa cinta kasih mempermainkan mereka, juga dia.

Dia merasa rindu sekali kepada Sulastri, ingin sekali segera dapat berjumpa dengan gadis pujaan hatinya itu. Akan tetapi kemana dia harus mencarinya? Dia berpikir keras, menduga-duga kemana kiranya perginya gadis itu. Sulastri meninggalkan Dermayu, lalu singgah ke Loano. Dermayu ke Loano adalah perjalanan yang menuju ke tenggara, Kalau begitu, besar kemungkinan Sulastri melanjutkan perjalanannya ke timur. Mungkin ke Mataram karena bagaimanapun juga, selama ini Sulastri juga ikut berjuang membantu Mataram. Karena itu, sebelum pulas Lindu Aji mengambil keputusan untuk mencari di daerah timur.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Sudah cukup, Bagus... sudah, aku tidak merasa terlalu dingin lagi..." kata Maya Dewi sambil melepaskan diri dari rangkulan Bagus Sajiwo.

Selama kurang lebih dua minggu ia berlatih di puncak Gunung Wilis yang amat dingin itu untuk mengusir hawa panas beracun dari aji-nya sendiri Tapak Rudira yang membalik dan meracuni atau melukai dirinya sendiri. Dalam usaha mengusir hawa panas beracun ini, ia dibantu oleh Bagus Sajiwo. Ia membuka diri menghimpun inti sari hawa dingin di puncak itu, dibantu Bagus Sajiwo yang mengerahkan tenaga sakti yang dingin.

Karena kedinginan, maka setiap malam di waktu hawa sedang dingin-dinginnya, terpaksa ia berpelukan dengan Bagus Sajiwo. Bukan hanya kehangatan tubuh Bagus Sajiwo yang membantu ia menahan rasa dingin yang hebat itu, melainkan terutama sekali karena dalam rangkulan pemuda remaja itu ia merasa aman damai dan terlindung.

Pagi itu, setelah lewat kurang lebih setengah bulan, Maya Dewi merasa betapa hawa panas beracun dalam dirinya telah hilang. Memang pagi itu hawa di puncak Wilis masih dingin, bahkan teramat dingin bagi orang biasa. Akan tetapi kini Maya Dewi tidak lagi membuka diri menghimpun inti hawa dingin dan mendengar ucapan Maya Dewi, Bagus Sajiwo juga menghentikan pengerahan hawa dingin melalui telapak tangan yang ditempelkan di punggung Maya Dewi. Maka hawa yang dingin itu tidak mengganggu.

"Bagus, kini engkau telah benar-benar terbebas dari pengaruh kedua hawa yang berlawanan, yang melukai dalam tubuhmu, Dewi. Engkau telah sembuh!" kata Bagus Sajiwo dengan girang pula.

Maya Dewi menanggalkan kain-kain yang diselimutkan diluar tubuhnya dan ia bangkit berdiri lalu memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding silat.

"Eh, engkau mau apa? Dewi?" tanya Bagus Sajiwo dengan heran dan khawatir karena dia tahu benar walaupun kini nyawa wanita itu tidak terancam maut dan ia sudah sembuh benar, namun keadaan tubuhnya menjadi amat lemah.

"Aku mau berlatih, Bagus!" katanya dan mulailah wanita itu bergerak dalam jurus-jurus silat.

Gerakannya akan tampak gesit bagi penglihatan orang biasa, akan tetapi Bagus Sajiwo tahu betul bahwa wanita itu sudah kehilangan kelincahannya, jauh menurun dibandingkan ketika bertemu untuk pertama kalinya, ketika Maya Dewi bertanding melawan Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra.

Setelah ia terluka parah kemudian berhasil diselamatkan, tentu saja kelincahannya menurun banyak sekali, walaupun tentu saja ia masih mahir menggerakkan kaki tangannya karena gerakan silat itu sudah mendarah daging pada dirinya. Agaknya Maya Dewi juga merasakan kelambatannya ini. Ia merasa penasaran sekali dan tiba-tiba membentuk jari-jari tangannya seperti cakar dan menyerang dengan kuku-kukunya ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti dan membentak.

"Aji Wisa Sarpa!" Ia mencengkeram ke arah sebongkah batu dan... ia menjerit karena kuku-kukunya patah dan jari-jari tangannya terasa nyeri! Padahal biasanya kalau ia menggunakan aji yang ampuh itu, batu dapat dicengkeram hancur.

Ia masih penasaran. Digosok-gosoknya kedua telapak tangannya, lalu memukul ke depan dengan dorongan kedua telapak tangan sambil berseru nyaring. "Aji Tapak Rudira!" Dihantamnya batu itu, akan tetapi sekali lagi ia menjerit.

Bukan batu itu yang pecah seperti biasa kalau ia latihan aji itu, melainkan telapak tangannya yang terasa nyeri, juga kedua telapak tangannya tidak mengepulkan asap panas, "aduh... aku... aku menjadi seorang yang lemah...!" Wanita itu terkulai dan jatuh bersimpuh lalu... menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil kehilangan mainan yang disayangnya. Ia menutupi muka dengan kedua tangannya dan dari celah-celah jari tangan itu keluar air matanya menetes-netes!

Bagus Sajiwo memandang dengan bengong, terheran-heran akan apa yang dilihatnya. Di waktu menderita kepanasan lalu kedinginan sehebat itupun, Maya Dewi memang mengeluh akan tetapi tidak menangis-tersedu-sedu-seperti itu. Sukar membayangkan wanita yang berwatak sekeras baja itu dapat menangis seperti seorang anak kecil yang cengeng! Timbul rasa iba di dalam hatinya. Akan tetapi dia tidak jadi menyentuh atau mengeluarkan kata hiburan, walaupun tangannya sudah terjulur dan mulutnya sudah terbuka. Tidak, dalam keadaan seperti itu, semua hiburan akan sia-sia, bahkan mungkin semakin memilukan hati Maya Dewi atau membuat ia kesetanan dan marah-marah seperti yang sudah-sudah. Biarkan ia menangis sepuasnya agar semua kekecewaan dan kesedihannya terkuras keluar.

Akan tetapi, dibiarkan saja Maya Dewi terus menangis tiada hentinya, tangisnya mengguguk sampai napasnya tersendat-sendat. Bagus Sajiwo tidak tahan melihatnya dan dia lalu dengan hati-hati dan lembut menyentuh pundak wanita itu. "Dewi, jangan bersedih..."

Seperti ditakuti Bagus Sajiwo, mendengar ucapan itu, tangis Maya Dewi semakin mengguguk. "Tidak...! Aku perempuan lemah, tak berguna... untuk apa hidup tak berdaya seperti ini...? Lebih baik mati...!" Tiba-tiba tangan kanan wanita itu bergerak dan menampar kepalanya sendiri. "Plak!" Dan tubuhnya jatuh terguling.

Bagus Sajiwo terkejut setengah mati dan cepat menubruk untuk memeriksa keadaan Maya Dewi. Dia bernapas lega ketika melihat betapa wanita itu tidak apa-apa, tidak terluka sama sekali. Pada saat itu dia tersenyum sendiri, teringat bahwa tamparan tangan Maya Dewi tadi tentu saja tidak berbahaya, seperti tamparan tangan wanita lemah biasa karena ia telah kehilangan tenaga saktinya. Kalau tenaga saktinya masih ada, tamparan tadi tentu akan menghancurkan isi kepalanya dan nyawanya tak mungkin dapat ditolong lagi.

Kini Bagus Sajiwo duduk di atas batu dekat Maya Dewi. Wanita itu rebah telentang seperti orang tidur. Bagus Sajiwo tahu bahwa ia jatuh pingsan karena tekanan batinnya ditambah tamparan yang hanya menggunakan kekuatan tangan yang sudah lemah itu. Biarlah Maya Dewi dibiarkan seperti itu agar dapat beristirahat. Istirahat badan dan batinnya karena dalam keadaan seperti itu, semua kekecewaan dan kesedihan yang timbul dari pikiran lenyap sehingga batinnya dapat mengaso.

Dia mengamati wajah itu. Wajah yang amat jelita. Rambut yang hitam panjang dan halus itu terurai lepas dari sanggulnya, berjuntai sebagian menutupi leher dan pundaknya. Matanya yang biasanya lebar dengan kedua ujung meruncing ke atas sehingga tampak indah sekali itu ikut terpejam dan dalam keadaan terpejam seperti itu tampak betapa bulu matanya lebat, panjang dan melengkung menggelapkan bawah matanya.

Hidung yang kecil mancung itu bernapas lembut, mulut dengan bibir berbentuk indah namun kini agak pucat itu tertutup. Lehernya panjang dan kulit lehernya putih sekali, putih mulus dan tampak semakin putih kekuningan karena sebagian tertutup rambut yang hitam. Dada yang membusung sehingga kain penutupnya seolah akan pecah itu naik turun perlahan oleh pernapasannya. Makin dipandang, semakin besar rasa iba menyelimuti perasaan hati Bagus Sajiwo. Apa lagi ada dua butir air mata masih berada di atas pipi bawah mata, membuat wajah itu tampak memelas (menimbulkan iba) sekali.

Wanita yang malang, pikirnya, wanita yang menurut pengakuannya, sepanjang hidupnya penuh dengan kekerasan, agaknya benar-benar tak pernah merasakan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Timbul rasa sayang membayangi rasa iba di hati Bagus Sajiwo. Timbul keinginannya untuk membahagiakan wanita ini, untuk menghiburnya dan menuntunnya, walaupun dia lebih muda, ke arah jalan benar, menyadari kesesatannya dan sedapat mungkin mengubah jalan hidupnya, mengenal Gusti Allah dan menjadi alatNya.

Membayangkan kembali betapa tersiksanya Maya Dewi ketika mengusir hawa beracun dalam tubuhnya, selama sebulan lebih, menderita lahir batin, Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Wanita ini bukan hanya menderita jasmaninya, akan tetapi juga rohaninya. Kini ia rebah seperti tidur pulas, dengan wajah pucat agak kurus, wajahnya begitu tenang, begitu damai karena semua pikiran yang menjadi sumber segala konflik batin, sumber segala kesengsaraan, pada saat itu tidak bekerja. Seperti wajah seorang kanak-kanak yang tidak berdosa.

Bagus Sajiwo teringat ketika dia masih tinggal bersama Ki Ageng Mahendra di pegunungan Ijen, dia terkadang berkunjung ke dusun dikaki bukit dan bermain-main dengan anak-anak dusun itu. Dia merasa sayang kepada anak-anak yang tidak berdosa dan masih lugu (jujur) itu dan dengan rasa sayang dia suka membelai dan mengambung (mencium dengan hidung) pipi-pipi yang segar kemerahan itu. Kini, melihat Maya Dewi rebah seperti seorang anak-anak tertidur nyenyak, timbul rasa sayangnya dan seperti ada dorongan dari dalam, dia membungkuk dan mengambung pipi kanan Maya Dewi dengan penuh kasih sayang!

Sama sekali tidak terduga oleh Bagus Sajiwo bahwa pada saat itu juga Maya Dewi sadar dari pingsannya dan tentu saja wanita itu terkejut ketika Bagus Sajiwo mengambung pipinya. Walaupun perbuatan Bagus Sajiwo itu dilakukan dengan lembut, ujung hidungnya hanya menyentuh pipi, namun berbagai perasaan teraduk dalam hati Maya Dewi. Mula-mula ia merasa heran, lalu terharu, bersyukur dan ada rasa senang yang luar biasa, membuat hatinya penuh dan jantungnya berdebar. Belum pernah ia merasakan seperti itu.

Bagus Sajiwo Jilid 07

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 07

KETIKA Ki Singobarong mendengar dari anak buah disana, bekas anak buah Aki Somad yang merupakan kakak seperguruannya, tentang murid Aki Somad yang kini terkenal sebagai pendekar Loano bernama Ki Sumali, yang pernah menentang bahkan bermusuhan dengan Aki Somad, Ki Singobarong menjadi marah sekali. Maka pada hari itu dia mengajak dua orang pembantunya menyeberang ke daratan dan mengunjungi Loano.

Maka terjadilah pembunuhan dua orang pembantu Ki Sumali, diculiknya isteri Ki Sumali dan dilukainya Ki Sumali oleh Ki Singobarong. Biarpun pulau itu merupakan sarang dan tempat persembunyian yang aman, dan dia mengandalkan kesaktiannya sendiri sehingga layaknya tidak mungkin ada orang berani mengganggunya, namun Ki Singobarong adalah seorang yang cerdik. Setelah menyerang Ki Sumali dan melarikan Winarsih, dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan dan mengintai siang malam agar segera melaporkan kalau ada perahu berani mendekati pulau.

Belasan orang wanita muda dan gadls yang diculik dikumpulkan di pulau itu, dimana dibangun pondok-pondok kayu yang cukup kokoh. Belasan orang gadis yang oleh Ki Singobarong diberikan kepada anak buahnya, menjadi permainan kurang lebih tiga puluh orang anak buahnya bagaikan barang-barang mainan yang tidak berharga dan sewaktu-waktu dapat diganti yang baru. Ki Singobarong sendiri adalah seorang laki-laki mata keranjang yang diperbudak oleh nafsunya sendiri dan dia telah memilih tiga orang wanita muda untuk dirinya sendiri.

Setelah Winarsih dibawa ke rumah Ki Singobarong, wanita ini didorong ke sebuah ruangan di pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Ki Singobarong. Winarsih jatuh terperosok di sudut ruangan besar itu dan ia menangis tersedu-sedu. Ia baru berani mengangkat muka memandang ketika terdengar suara tiga orang wanita menghiburnya.

"Sudahlah, mbakayu, Jangan menangis."

"Ya, menangis air mata darah sekali pun tidak akan menolongmu, mbakayu."

"Bahkan tidak mustahil kalau engkau menangis terus, engkau akan mengalami derita lebih berat, mungkin siksaan atau perlakuan kasar."

Mendengar tiga orang wanita itu menasihatinya seperti itu, ia mengusap air matanya dan menatap mereka. Winarsih tertegun. Mereka adalah tiga orang gadis yang masih muda, berusia antara tujuh belas sampai dua puluh tahun dan dari penampilan mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah gadis-gadis dusun sederhana, namun wajah mereka cukup manis dan bentuk tubuh mereka menarik.

"Siapakah kalian?" tanya Winarsih.

"Kami senasib dengan engkau, mbakayu. Kami juga diculik dan sekarang kami menjadi... isteri Ki Singobarong. Namaku Karsih, mbakayu, dan aku yang pertama disini."

"Ki Singobarong... raksasa hitam itu...'" tanya Winarsih.

"Ssst... jangan begitu, mbakayu. Jangan sampai dia marah... dia baik sekali kalau penurut, akan tetapi kalau dia marah, oh, menakutkan sekali. Namaku Darni, mbakayu." kata orang kedua yang umurnya mungkin baru delapan belas tahun.

"Dan aku Tinah, mbakayu." kata yang termuda, mungkin baru tujuh belas tahun usianya. "Aku baru dua minggu disini, memang lebih baik menerima nasib, mbakayu. Masih baik kalau diperistri Ki Singobarong. Kalau diberikan kepada anak buahnya... Iiiuhh... kita akan dipermainkan orang banyak... mengerikan sekali."

Winarsih memang seorang wanita yang tidak pernah belajar ilmu kunuragan. Akan tetapi ia Isteri seorang pendekar dan memiliki kenekatan besar. Ia bangkit berdiri, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan.

"Tidak! Aku sudah menjadi isteri orang, tidak boleh laki-laki manapun menggangguku." Ia mencubut sebatang patrem (belati kecil) yang tadinya diselipkan di pinggang dan tidak diketahui kedua orang penculiknya. "Kalau ada yang berani mencoba-coba menyentuh badanku, dia hanya akan menyentuh sebuah mayat!"

Melihat Winarsih memegang patrem dan siap dihunjamkan kepada dadanya sendiri, tiga orang wanita muda itu mundur ketakutan. Tekad besar Winarsih ini menolongnya. Bahkan Ki Singobarong sendiri tidak berdaya karena dia tahu bahwa kalau dia menggunakan kekerasan, Winarsih tentu membunuh diri. Dia Juga tidak mau menggunakan ilmu sihirnya seperti yang banyak dia pergunakan untuk menundukkan para wanita yang diculiknya. Hal ini adalah karena dia melihat sesuatu yang amat menarik dalam diri Winarsih, yang berbeda dengan para gadis dusun itu. Dia benar-benar Jatuh hati dan tergila-gila kepada Winarsih, dan menghendaki agar Winarsih suka menyerahkan diri kepadanya secara suka rela.

Karena itu, dia tidak mau mempergunakan sihirnya untuk membuat Winarsih menurut dan memenuhi kehendaknya. Dia hanya menahan Winarsih dalam sebuah kamar yang terjaga dari luar, dan memesan para gadis yang menjadi isteri-isterinya itu untuk melayani Winarsih dan bersikap baik kepadanya. Ki Singobarong sekali ini menginginkan agar Winarsih menjadi isteri yang sah, bukan sekedar menjadi permainan nafsunya seperti wanita-wanita lain yang setiap saat akan mudah dibuang dan dicarikan penggantinya.

Ketika anak buah yang mengintai di tepi laut melihat munculnya sebuah perahu kecil yang ditumpangi dua orang laki-laki, mereka segera melapor kepada Ki Singobarong. Datuk sesat ini cepat pergi dan dia melihat bahwa dua orang dalam perahu itu adalah Ki Sumali dan seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

Dia menyeringai melihat keberanian Ki Sumali, berani datang mengunjungi Nusa-kambangan! Hemm, dia mencari mampus, pikirnya. Tidak mungkin dia mau menyerahkan kembali Winarsih yang akan dijadikan isterinya. Ki Singobarong lalu duduk bersila di atas batu dan mulai mengerahkan ilmu sihirnya. Maka datanglah angin dan badai yang melanda perahu yang ditumpangi Ki Sumali dan Lindu Aji itu.

Akan tetapi Ki Singobarong terkejut bukan main ketika serangannya melalui ilmu sihir hitam itu punah dan gagal sama sekali. Dia mencoba untuk mengerahkan segala kemampuannya, namun seperti ada angin semilir lembut membawa kehangatan sinar matahari membuyarkan kabut yang ditimbulkan sihirnya, semua usahanya gagal dan kekuatan sihirnya seperti lumpuh. Dengan penuh geram dia lalu meninggalkan pantai dan cepat mengumpulkan tiga puluh orang anak buahnya. Dia maklum bahwa serangan ilmu sihirnya tadi dapat ditangkis lawan, entah itu Ki Sumali sendiri yang menghalau kekuatan sihirnya ataukah pemuda yang menyertainya di atas perahu.

Dia membagi anak buahnya menjadi dua bagian. Bagian pertama, lima belas orang banyaknya, dia perintahkan untuk mengumpulkan semua tawanan wanita yang jumlahnya hampir dua puluh orang itu di rumahnya yang besar dan lima belas orang itu diperintahkan untuk menjaga agar jangan sampai ada orang yang membebaskan mereka. Adapun yang tujuh belas orang, semua anak buahnya setelah dihitung ada tiga puluh dua orang, diajaknya untuk menyambut kedatangan dua orang itu.

"Hati-hati jangan sembarangan bergerak," pesannya kepada rombongan ke dua yang diajaknya menyambut musuh. "Dua orang musuh yang datang bukan orang sembarangan. Lihat betapa aku akan menghajar dan membunuh mereka. Jangan bantu aku kalau tidak perlu karena itu hanya akan menggangguku saja." kata Ki Singobarong dengan sikap sombong, seolah dia sudah memastikan bahwa dia akan dapat membunuh dua orang musuh dengan mudah.

Ki Sumali dan Lindu Aji akhirnya tiba di dataran di tengah pulau dimana terdapat perkampungan gerombolan itu. Perkampungan terdiri dari pondok-pondok kayu dan ditengah-tengah terdapat pondok terbesar, tempat tinggal Ki Songobarong.

Dengan hati-hati Ki Sumali dan Lindu Aji melangkah maju, menghampiri pintu gerbang perkampungan. Mereka dapat menduga bahwa Ki Singobarong tentu sudah tahu akan kedatangan mereka, buktinya tadi ada serangan badai yang timbul karena pengaruh sihir. Maka mereka berdua kini siap siaga.

Tiba-tiba, terdengar suara brengeng-eng (berdengung-dengung) yang datangnya dari perkampungan itu. Lindu Aji sudah dapat merasakan pengaruh hawa yang tidak sewajarnya, tanda bahwa ada kekuatan sihir yang kuat sedang dikerahkan orang untuk menyerang mereka.

"Paman, harap paman berlindung dibelakangku dan melindungi diri paman sendiri karena ada yang akan menyerang kita dengan ilmu sihir lagi." kata Lindu Aji.

Ki Sumali yang maklum bahwa Ki Singobarong adalah seorang ahli mempergunakan ilmu sihir seperti juga mendiang Aki Somad, gurunya, segera berdiri dibelakang Lindu Aji dalam jarak dua tombak. Aki Somad memang pernah menjadi gurunya akan tetapi kakek itu tidak mengajarkan ilmu sihir yang merupakan aji pamungkasnya, yaitu Aji Gineng Soka Weda. Dia hanya diberi Aji Jerit Bairawa, pekik yang mengandung kekuatan sihir untuk melumpuhkan lawan.

Bunyi berdengung-dengung itu kian kuat dan tak lama kemudian, dari pintu gerbang itu muncullah semacam awan hitam melayang-layang ke arah dua orang pendatang itu. Ki Sumali tidak tahu apa awan itu, namun dia sudah siap siaga, mengerahkan kekuatan batin dan tenaga saktinya untuk melawan serangan apapun juga yang datang menyerangnya. Dia melihat bahwa Lindu Aji masih berdiri tenang saja dengan pandang mata ditujukan kepada awan hitam yang melayang datang membawa suara berdengung-dengung itu.

Kini Ki Sumali terbelalak. Dia dapat melihat bahwa awan hitam itu ternyata adalah segerombolan lebah yang oleh penduduk dikenal sebagai tawon endhas (tawon berwarna hitam yang besar dan berani menyerang manusia dengan menyambar ke arah kepala. Dia terkejut sekali. Lebah hitam besar ini amat berbahaya. Kabarnya, sekali saja kepala kena dibentur seekor lebah ini, maka bagian kepala itu akan menjadi botak dan tidak dapat ditumbuhi rambut iagi. Pada hal kini yang datang ada ratusan ekor banyaknya.

Saking ngerinya, Ki Sumali ingin mendahului. Dia melangkah maju ke dekat Lindu Aji dan mengerahkan tenaga saktinya lalu keluarlah lengkingan panjang dari kerongkongannya, lengkingan yang mengandung getaran kuat sekali yang ditujukan untuk menyerang segerombolan lebah hitam itu. Gelombang suara lengkingan ini menghantam ke arah gerombolan lebah yang terbang datang.

Gerombolan lebah itu seperti disambar tiupan angin kuat yang terkandung dalam Aji Jerit Bairawa yang dikerahkan Ki Sumali. Akan tetapi hanya sebentar saja gerombolan lebah itu terdorong ke belakang, lalu mereka naik ke atas dan terbang maju lagi dengan kuat dan cepat. Agaknya serangan Aji Jerit Bairawa itu hanya mengejutkan mereka, namun tidak mampu menahan mereka!

Ki Sumali menjadi penasaran. Ternyata ajinya tidak mempan. Dia cepat menggosok kedua telapak tangannya, lalu ditiupnya dan kedua telapak tangannya itu bernyala dan membara. Itulah Tapak Geni (Telapak Api) dan dengan kedua tangannya Ki Sumali mendorong ke arah gerombolan lebah itu. Kembali gerombolan lebah itu terdorong kebelakang sekitar dua meter, namun mereka tidak runtuh dan dengan memperdengarkan suara mendengung nyaring mereka meluncur ke depan lagi, bahkan lebih kuat.

Lindu Aji sejak tadi memperhatikan dan maklumlah dia bahwa gerombolan itu bukanlah lebah biasa, melainkan lebah jadi-jadian, maka kedua aji Ki Sumali tadi tidak mempan, karena memang tingkat dan kepandaian Ki Sumali kalah tinggi dibandingkan kepandaian orang yang mengirim gerombolan lebah jadi-jadian itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil segenggam tanah berpasir, mengerahkan kekuatan batinnya lalu menyambitkan segenggam tanah berpasir itu ke arah segerombolan lebah yang sudah menyambar datang, sudah dekat, dalam jarak antara dua meter dari kepalanya. "Kembali ke asalmu!" bentak Lindu Aji.

"Blarrrrr...!" Tampak sinar berkilat seperti ada halilintar menyambar dan segerombolan lebah hitam itupun runtuh semua ke atas tanah dan berubah menjadi pasir hitam!

Akan tetapi terdengar suara gemuruh dan kini muncullah sebuah benda mencorong dan bernyala-nyala dari pintu gerbang perkampungan itu. Melihat benda yang terbang cepat ke arah mereka itu, Ki Sumali menjadi pucat. Itulah Aji Gineng Soka Weda yang dahsyat! Dia pernah menyaksikan gurunya, mendiang Aki Somad, mendemonstrasikan aji yang luar biasa itu. Maka, dia cepat mundur dan berlindung dibelakang Lindu Aji. Dia 'percaya pemuda itu akan mampu menghadapi aji yang amat menyeramkan itu.

Benda yang mencorong dan bernyala-nyala itu terbang mendekat dan sekarang tampaklah benda itu. Bukan main! Mengerikan sekali karena benda itu berwujud sebuah kepala raksasa yang besar dan kedua matanya mencorong, mulutnya terbuka dan mengeluarkan api yang berkobar menyala-nyala, lidahnya panjang membara mengeluarkan asap, mulutnya terisi taring dan gigi-gigi runcing mengkilap, dari kedua lubang hidungnya menyemburkan asap yang panas.

Dalam jarak kurang lebih tiga meter, mahluk menyeramkan itu tiba-tiba menyemburkan api dari mulutnya, ke arah Lindu Aji. Pemuda ini sudah siap siaga. Dia pun mengenal mahluk jadi-jadian hasil aji Gineng Soka Weda itu. Dia pernah mengenal aji yang dahsyat itu. Dahulu, pernah mendiang Aki Somad menyerangnya dengan aji itu pula dan kini, penyerang yang mempergunakan aji itu agaknya tidak kalah kuatnya dibandingkan mendiang Aki Somad.

Lindu Aji sudah tenggelam ke dalam penyerahan diri lahir batin kepada kekuasaan Gusti Allah. Sikapnya seperti sikap Tirta Bantala (Air dan Tanah) yang semua gerakannya wajar dan tidak disengaja oleh hati akal pikirannya, melainkan dituntun oleh Kekuasaan Tuhan. Penyerahan diri ini memunculkan kekuatan Aji Guruh Bumi yang mengandung tenaga sakti Surya Candra. Tubuhnya merendah ketika kedua kakinya ditekuk depan belakang, lalu kedua tangannya didorongkan ke arah mahluk yang menyemburkan api itu.

"Segala kekuatan datang dari Gusti Allah!" seru Lindu Aji dan begitu kedua tangannya didorongkan, ada hawa lembut keluar menyambul serangan mahluk kepala raksasa yang lebih pantas disebut iblis itu.

"Wuuuttt... blaarrr...!!" Bagaikan disambar halilintar, mahluk itu terpental sampai terputar-putar, kemudian terdengar lolongan seperti lolongan seekor anjing di malam bulan purnama, dan mahluk jadi-jadian itu terbang kembali ke arah perkampungan!

Lindu Aji dan Ki Sumali masih berdiri menanti serangan berikutnya. Mereka maklum bahwa musuh tidak akan berhenti begitu saja. Mereka tidak menanti lama. Tampak kini seorang raksasa hitam melangkah lebar-lebar keluar dari pintu gerbang itu, diikuti oleh tujuh belas orang anak buahnya yang ke semuanya tampak menyeramkan dan bengis. Ki Sumali segera mengenal orang itu dan dia berbisik kepada Lindu Aji, "Raksasa itulah Ki Singobarong." Dia lalu maju dan berdiri di sebelah kiri Lindu Aji dengan sikap tenang karena dia tahu bahwa pemuda yang membantunya ini boleh diandalkan.

Kini Ki Singobarong sudah berdiri di depan mereka, dalam jarak empat tombak. Anak buahnya membentuk pagar setengah lingkaran dibelakang raksasa hitam itu.

"Babo-babo Ki Sumali! Berani engkau datang kesini? Mau apa engkau datang?" tegur Ki Singobarong, agak berkurang keangkuhannya setelah tiga kali ajian sihirnya, badai, gerombolan lebah, dan kepala Banaspati tadi dapat ditolak dan dikalahkan.

Diam-diam walaupun dia bicara kepada Ki Sumali, dia melirik ke arah Lindu Aji dan merasa heran. Pemuda inikah yang telah mampu melawan dan melumpuhkan sihirnya?

"Hemm, Ki Singobarong..."

"Heh, Ki Sumali! Engkau tidak tahu sopan santun pula. Aku ini paman gurumu, tahu?"

"Aku tidak menganggap engkau paman guruku, Ki Singobarong, karena engkau tidak bersikap sebagai paman guru. Aku datang kesini untuk minta kembali isteriku yang kau culik dan untuk membalas kematian dua orang pembantuku yang tidak berdosa!"

"Bojleng-bojleng iblis laknat!" Ki Singobarong memaki dengan marah. "Ki Sumali! Di Loano sana aku masih memberi ampun dan tidak membunuhmu, mengingat bahwa engkau telah menyerahkan isterimu untuk menjadi biniku! Apakah sekarang engkau datang untuk mengantarkan nyawamu?"

"Ki Singobarong! Winarsih adalah isteriku dan tidak pernah kuserahkan kepada siapapun juga, apa lagi kepadamu! Ia adalah isteriku, isteriku yang setia. Karena itu aku harus merampasnya dari tanganmu yang kotor!"

"Hua-ha-ha, isterimu? Ha-ha-ha, bagaimana ia masih menjadi isterimu kalau dia sudah berada dalam pelukanku, tidur dikamarku selama dua malam?"

"Jahanam busuk...!" Ki Sumali hendak menyerang, akan tetapi dia ditahan oleh Lindu Aji. Pemuda ini lalu melangkah maju dan menentang pandang mata Ki Singobarong.

"Ki Singobarong, kulihat engkau seorang yang sakti. Tidak sayangkah semua kesaktian yang kau pelajari dengan susah payah itu sekarang kau pergunakan untuk melakukan kejahatan. Andika telah menyerahkan jiwamu kepada iblis dan ingatlah, semua kekuasaan iblis akan sirna dihadapan Kekuasaan Gusti Allah. Karena itu, sebelum terlambat, bertaubatlah, kembalikan isteri Paman Sumali dan hentikan semua perbuatanmu yang jahat dan angkara murka."

"Bocah lancang kemaki (sombong!) Agaknya engkau yang membuat Ki Sumali berani datang ke Nusakambangan! Heh, bocah kementhus, jangan mati tanpa nama. Katakan siapa kamu dan mengapa kamu mencampuri urusanku dengan Ki Sumali yang masih terhitung murid keponakanku sendiri!"

"Oh, kiranya andika ini adik seperguruan mendiang Aki Somad? Ternyata engkau malah lebih jauh tersesat dibandingkan Aki Somad yang hanya terpikat bujukan Kumpeni Belanda dan menjadi antek mereka. Ketahuilah, Ki Singobarong, aku bernama Lindu Aji dan sudah lama menjadi sahabat Paman Sumali dan isterinya. Aku tidak mencampuri urusan pribadi orang, akan tetapi dimana ada perbuatan jahat dan sewenang-wenang terjadi, disitu aku harus turun tangan dan tugasku memang menentang perbuatan jahat. Dan engkau telah membunuh dua orang pembantu Paman Sumali yang tidak bersalah apa-apa kepadamu, melukai Paman Sumali dan bahkan menculik isteri Paman Sumali. Perbuatanmu itu jahat sekali, Ki Singobarong, maka aku harus menentangmu!"

"Babo-babo, sumbarmu seperti geledek, seolah engkau dapat memindahkan gunung, Lindu Aji!"

"Kalau gunung itu mengancam keselamatan orang-orang, aku akan berusaha sedapat mungkin untuk memindahkannya, Ki Singobarong!"

"Bojleng-bojleng iblis laknat!" Ki Singobarong sudah mengambil ruyung galih asem yang bergantung di pinggangnya. "Engkau sudah bosan hidup! Pecah kepalamu!!" Dia segera menerjang ke depan, mengayun ruyungnya yang besar dan berat itu, menyambarkan senjata itu ke arah kepala Lindu Aji.

Pemuda ini dengan sigapnya mengelak dengan merendahkan tubuh sehingga ruyung itu mengiuk lewat di atas kepalanya. Ki Singobarong menjadi penasaran sekali melihat betapa serangan kilatnya tadi dengan mudah dielakkan lawan, maka kakinya yang panjang besar mencuat ke arah selakangan Lindu Aji.

Tendangan itu merupakan tendagan maut yang berbahaya sekali. Namun, dengan memainkan ilmu silat Wanara Sakti, tubuh Lindu Aji bergerak cekatan sekali sehingga dengan mudah dia dapat mengelak dari tendangan itu.

Ki Singobarong mengamuk dan melakukan serangan bertubi-tubi. Akan tetapi Lindu Aji melayaninya dengan mudah, bahkan dia kini mulai membalas dengan tamparan tangan yang mengandung tenaga sakti Surya Candra yang ampuh. Beberapa kali Ki Singobarong nyaris terkena sambaran tamparan tangannya sehingga raksasa hitam itu mulai berkeringat. Diam-diam dia lalu memberi isarat kepada tujuh belas orang anak buahnya. Mereka itu dengan klewang di tangan lalu menyerbu.

Akan tetapi Ki Sumali yang sudah siap siaga, menyambut mereka dengan amukannya, menggunakan keris Sarpo Langking dan sulingnya. Hebat sekali amukan pendekar Loano ini. Sebentar saja tiga orang anak buah Nusakambangan sudah terkapar, terkena tusukan keris dan hantaman suling. Akan tetapi sisanya, empat belas orang mengepung dan mengeroyok Ki Sumali sehingga pendekar ini menjadi agak kewalahan juga. Akan tetapi karena sepak terjangnya memang tangkas dan berbahaya, setiap tangkisannya membuat penyerangnya terhuyung, maka para pengeroyoknya juga berhati-hati dan agak gentar membuat pengepungan itu tidak berapa ketat.

Sementara itu, Lindu Aji maklum bahwa yang terpenting adalah segera menolong dan membebaskan Winarsih yang tentu berada diperkampungan itu dan untuk dapat segera menolongnya, terlebih dulu dia harus dapat mengalahkan Ki Singobarong. Diapun harus membantu Ki Sumali yang dikeroyok banyak orang itu. Lindu Aji lalu mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan Aji Bayu Sakti. Tubuhnya berkelebatan amat cepatnya seolah berubah menjadi bayang-bayang.

Ki Singobarong terkejut bukan main. Dia mengamuk dan mengobat-abitkan ruyung galih asemnya untuk menyerang, namun bayangan Lindu Aji sukar sekali dijadikan sasaran karena berkelebatan cepat.

"Lepaskan!" tiba-tiba Aji membentak dan tangan kirinya yang dimiringkan, membacok pergelangan tangan kanan Ki Singobarong yang memegang ruyung itu.

"Wuuuttt... desss...!" Tak dapat dipertahankannya lagi, ruyung itu terlepas dari pegangan tangan Ki Singobarong yang merasa betapa lengan kanannya seolah-olah menjadi lumpuh.

Dia cepat melompat kebelakang dan setelah lengan kanannya pulih, dia cepat menggosok kedua telapak tangannya sehingga bernyala dan membara, lalu didorongkannya kedua tangannya ke arab Lindu Aji.

"Aji Tapak Geni....!" Bentaknya dan mengerahkan tenaga sepenuhya karena kini dia yakin akan kedigdayaan lawannya yang masih muda itu.

Aji menyambut dengan kedua tangan didorongkan sambil berseru penuh wibawa, "Aji Guruh Bumi...!" Kekuatan aji ini memang hebat sekali, seolah bumi tergetar oleh gelombang getaran aji pukulan ini ketika menyambut aji pukulan Tapak Geni.

"Wuuuttt... blaarrrr...!" Tubuh Ki Singobarong terlempar lebih dari lima meter ke belakang seperti diterjang halilintar dan tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di atas tanah, dimana dia rebah telentang tak mampu bergerak lagi. Tenaga Tapak Geni yang membalik telah menghantam dirinya sendiri sehingga dia menderita luka dalam yang cukup hebat.

Lindu Aji melompat, mendekatinya dan melihat raksasa itu ternyata jatuh pingsan dan menderita luka dalam. Dia tidak memperdulikan lagi, lalu melompat dan membantu Ki Sumali yang masih repot menghadapi pengeroyokan empat belas orang anak buah Nusakambangan itu.

Masuknya Aji mengubah keadaan. Para anak buah ketakutan melihat pemimpin mereka roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Dan Ki Sumali yang mendapatkan semangat baru dengan masuknya Lindu Aji, mengamuk dan merobohkan dua orang lagi.

Lindu Aji dengan tamparan dan tendangan kakinya, juga merobohkan empat orang. Sisa anak buah Nusakambangan menjadi ketakutan dan mereka lari cerai berai meninggalkan tempat itu, bahkan secepatnya mereka meninggalkan pulau Nusakambangan mencari keselamatan dirinya!

"Mari kita cari Mbakayu Winarsih!" kata Lindu Aji kepada Ki Sumali dan keduanya cepat lari memasuki perkampungan itu.

Suasana dalam perkampungan sepi, tak tampak seorang pun. Mereka memasuki pondok-pondok terdekat, namun semua pondok itu kosong.

"Pondok besar itu tentu tempat kediaman Ki Singobarong. Mari kita kesana!" kata Ki Sumali dan mereka berlari menuju gedung terbesar yang berada di tengah perkampungan.

Baru saja mereka berdua masuk ke pendopo rumah, dari dalam rumah itu keluar belasan orang dan segera lima belas orang anak buah yang ditugaskan menjaga rumah itu mengeroyok mereka. Akan tetapi Aji dan Ki Sumali mengamuk dan sebentar saja delapan orang telah mereka robohkan. Sisanya lari kocar-kacir meninggalkan kampung, menyusul teman-teman yang sudah lari terlebih dulu, menggunakan perahu-perahu menyingkir dari Nusakambangan.

Sementara itu, ketika para anak buah gerombolan berlarian keluar dan menyerang dua orang itu, para wanita yang menjadi tawanan dan merasa diri mereka tidak dijaga dan diawasi lagi, berserabutan keluar dari kamar dimana mereka dikeram menjadi satu. Winarsih juga ikut keluar dan mereka semua berlari keluar. Bukan main besar, lega dan girang hati Winarsih melihat suaminya di dampingi seorang pemuda yang sudah amat dikenalnya, Lindu Aji yang dahulu pernah pula menolongnya, kini mengamuk dikeroyok belasan orang anak buah gerombolan.

Akan tetapi ia terdesak dan ikut dengan para wanita yang jumlahnya semua ada enam belas orang itu, berlari kepelataran dan melihat beberapa orang anak buah gerombolan yang terluka dan merintih-rintih tidak berdaya itu, mereka seperti kesetanan. Mereka berebutan mengambil kelewang-kelewang para penjahat yang berserakan, lalu bagaikan harimau-harimau betina yang ganas mereka membacoki para anak buah gerombolan yang terluka tak berdaya itu.

Winarsih melihat sosok tubuh raksasa hitam menggeletak tak jauh dari situ. Cepat dihampirinya dan ketika melihat Ki Singobarong seperti tertidur, bangkit dendam kemarahan di hati Winarsih. Dicabutnya patrem yang selama ini dipergunakan untuk mengancam bunuh diri sehingga selama dua malam ini ia sama sekali tidak berani tertidur, Lalu dihampiri tubuh Ki Singobarong dan tanpa ragu-ragu lagi ia membungkuk dan menancapkan patremnya ke lambung raksasa itu, tepat di ulu hatinya.

"Clesss....!" Patrem yang runcing tajam itu masuk dengan mudahnya menembus kulit dan jantung Ki Singobarong yang masih pingsan!

Darah mengalir dan Winarsih menjadi ngeri lalu bangkit dan mundur-mundur dengan muka pucat. Patremnya masih menancap sampai kegagangnya di dada Ki Singobarong. Sementara itu, belasan orang wanita muda yang tadinya menjadi permainan para penjahat itu membantai para anak buah gerombolan yang sembilan orang banyaknya itu.

Mereka yang dibantai hanya dapat berteriak-teriak mengaduh dan ketakutan, akan tetapi para wanita itu tidak mengenal ampun. Sakit hati mereka terlalu besar dan mereka baru merasa puas setelah sembilan orang itu roboh mandi darah dengan tubuh terkoyak-koyak dan tewas semua!

Para wanita itu ada yang saling rangkul dan menangis tersedu-sedu, teringat akan nasib mereka ketika masih berada dalam cengkeraman gerombolan penjahat yang memperlakukan mereka sekejam iblis itu. Lima belas orang yang mengeroyok Lindu Aji dan Ki Sumali itupun dihajar habis-habisan sehingga delapan orang sudah roboh dan yang tujuh orang lagi melarikan diri tunggang langgang dan menyusul kawan-kawan mereka yang sudah lebih dulu melarikan diri meninggalkan Nusakambangan.

Lindu Aji dan Ki Sumali tidak melakukan pengejaran dan melihat ada lagi delapan orang musuh menggeletak tidak berdaya karena terluka, para wanita itu sudah mengambil klewang yang berlumuran darah, dengan niat untuk mencacah-cacah lagi tubuh delapan orang itu. Akan tetapi Lindu Aji yang sudah menengok dan ngeri melihat betapa para gerombolan yang terluka tadi kini telah tewas secara mengerikan, cepat menghadang mereka dan berkata dengan suara membentak.

"Berhenti! Kalian tidak boleh membunuhi mereka yang sudah terluka!"

Seorang di antara para wanita itu, yang lebih berani dan usianya sudah sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya hitam manis, lalu berkata kepada Lindu Aji dan Ki Sumali yang berdiri di samping pemuda itu. "Denmas berdua, kami berterima kasih sekali atas pertolongan andika berdua sehingga kami dapat terbebas dari tangan iblis-iblis berwujud manusia itu. Akan tetapi jangan halangi kami membunuh mereka!"

"Hentikan, mbakayu, tidak boleh membunuh orang begitu saja, apa lagi mereka sudah terluka dan tidak dapat melawan." kata Lindu Aji.

"Denmas, kalau andika tahu apa yang mereka lakukan terhadap kami selama ini, mereka itu dibunuh seratus kali juga belum impas!"

Lindu Aji mengangguk. "Kami mengerti, mereka ini memang orang-orang yang jahat dan kejam! Mereka telah menerima hukuman dan terluka. Kalau andika sekalian hendak membunuhnya secara kejam pula, lalu apa bedanya antara mereka dan andika sekalian? Cukuplah andika sekalian membunuhi mereka yang disana itu, jangan ditambah lagi. Mereka ini kita butuhkan untuk mengurus dan menguburkan mayat-mayat itu."

Sementara itu, Ki Sumali melangkah pergi kepekarangan depan dimana dia melihat Winarsih masih berdiri pucat memandang ke arah tubuh Ki Singobarong yang telah dibunuhnya. Ki Sumali juga memandang ke arah tubuh itu dan melihat bahwa Ki Singobarong telah tewas dengan dada tertancap sebatang patrem. Dia segera mengenal senjata itu. Itu adalah patrem milik isterinya.

Dia sendiri yang dulu memberikan patrem itu kepada isterinya untuk dipakai menjaga diri dan sejak itu, Winarsih selalu membawa patrem itu kemana pun ia pergi. Dan kini, patrem itu telah tertanam di dada Ki Singobarong, berarti isterinya tadi yang membunuh Ki Singobarong yang sedang rebah pingsan. Dia menoleh kepada isterinya yang masih berdiri disitu dan kini Winarsih menutupi kedua matanya dengan tangan. Ada air mata menetes keluar dari celah-celah jari tangannya.

"Hemm, kalau ditangisi, mengapa tadi dibunuh?" Ki Sumali berkata lirih, suaranya dingin sekali.

Mendengar suara ini, Winarsih seperti tersentak kaget, kedua tangannya diturunkan dari depan mukanya dan ketika ia melihat Ki Sumali, ia menjerit dan lari menubruk suaminya sambil menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, Ki Sumali menahan dengan kedua tangan memegang pundak Winarsih dan mendorongnya agar jangan mendekat sambil berkata dengan ketus, "jangan sentuh aku dengan tanganmu yang kotor!"

Winarsih terkejut dan juga heran. Dia mengusap air matanya agar dapat memandang wajah suaminya lebih jelas. Ia melihat wajah suaminya itu demikian keruh, muram dan sepasang matanya itu mencorong penuh kemarahan dan kebencian memandang kepadanya!

"Kakangmas..., ada... apakah...? Kenapa sikapmu seperti itu... kenapa engkau memandangku seperti itu...?" Ia tergagap, jantungnya seolah berhenti berdetak saking kaget dan khawatirnya.

"Huh, engkau masih bertanya kenapa? Lihat itu! Patremmu masih menancap di dadanya. Engkau membunuhnya kemudian menangisinya, karena engkau menyesal telah membunuhnya! Diam-diam engkau mencintainya, bukan?"

Sepasang mata yang merah oleh tangis itu terbelalak, wajah itu pucat. "Kakangmas Sumali! Apa yang kau katakan ini? Aku memang telah menancapkan patremku di dadanya, terbawa oleh teman-teman yang mengamuk, dan juga karena benciku terhadap jahanam itu! Dan setelah membunuhnya, aku merasa ngeri atas perbuatanku membunuh orang ... sama sekaii bukan karena aku mencintainya, kakangmas! Bagaimana mungkin engkau menuduh aku mencintanya, mencinta orang yang menyerang kita, yang menculik aku dan melarikan aku ke tempat ini?" Biarpun hatinya terpukul hebat, wanita itu bicara dengan penuh semangat karena merasa penasaran atas tuduhan suaminya bahwa ia mencinta Ki Singobarong!

Akan tetapi bantahan Winarsih itu tidak melunakkan hati Ki Sumali yang sudah bernyala dibakar api cemburu. "Hemm, engkau telah dikeramnya selama dua malam, tidur di kamarnya, menjadi bininya! Tentu engkau mencintainya. Aku tidak menuduh sembarangan. Engkau sudah tidur dengan dia, menyerahkan dirimu kepadanya, bukan? Engkau telah ternoda, telah kotor, tidak pantas lagi mendekatiku, apa lagi menyentuhku!"

"Kakangmas! Dia belum pernah menjamahku! Kalau itu sudah dia lakukan, sekarang tentu aku sudah mati. Aku tidak membiarkan diriku ternoda, tidak membiarkan diriku dicemarkan siapapun!"

Ki Sumali tersenyum mengejek. "Huh, siapa percaya omonganmu? Para wanita itu tadi mengaku bahwa mereka telah diperhina dan dipermainkan. Dan engkau... huh, engkau paling cantik diantara mereka dan Ki Singobarong tergila-gila padamu. Mana mungkin seorang wanita yang telah berada ditangannya selama dua malam menyatakan dirinya masih bersih dan belum ternoda? Ki Singobarong sendiri tadi mengatakan bahwa engkau sudah tidur dikamarnya selama dua malam dan telah menjadi bininya. Sudahlah, penyangkalanmu itu malah semakin memuakkan hatiku!"

"Kakangmas...! Kakangmas Sumali...!" Winarsih tak dapat lagi menahan tangisnya. Ia menangis terisak-isak, akan tetapi laki-laki yang amat dicintanya itu, malah memutar tubuh, membalikkan tubuh membelakanginya.

"Kakangmas Sumali..." Winarsih tampak kebingungan, memandang ke kanan kiri seperti hendak minta bantuan siapa saja, kemudian ia melihat ke arah mayat Ki Singobarong, lalu ia berlari menghampiri mayat itu, dengan keberanian yang muncul dengan tiba-tiba ia mencabut patrem itu dari dada raksasa hitam itu. Ia memegang patrem yang masih berlumur darah itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, dengan ujung mengarah dadanya.

"Kakangmas Sumali..., engkau... engkau tidak lagi percaya padaku... engkau menuduhku... telah ternoda... untuk apa aku hidup tanpa kepercayaan suami lagi ..., selamat tinggal, kakangmas, semoga engkau hidup bahagia... tanpa... aku...!" Sekuat tenaga Winarsih menggerakkan tangannya dan patrem berlumur darah itu meluncur ke arah dadanya!

"Wuuttt... tringgg...!!" Sebuah kerikil meluncur dan menghantam patrem yang sedang meluncur hendak menghunjam dada yang montok itu. Patrem itu melenceng dan terlepas dari pegangan tangan Winarsih, akan tetapi menyerempet pundak kiri merobek kulit pundak yang putih mulus itu sehingga berdarah. Tubuh Winarsih terhuyung kebelakang dan tentu sudah terpelanting jatuh kalau saja Lindu Aji yang tadi menyambit patrem itu dengan kerikil tidak cepat melompat dan menangkapnya.

Winarsih tidak jadi jatuh dan ketika melihat bahwa yang menangkapnya itu Lindu Aji, ia langsung menangis tersedu-sedu dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangan, tidak memperdulikan pundak kirinya yang terluka cukup parah sehingga darah mengalir keluar.

"Biarkan aku mati... ah, biarkan aku mati... untuk apa aku hidup... orang yang paling kucinta... satu-satunya orang yang kucinta... menyangka aku tidak setia... tidak lagi percaya kepadaku... ohhh..." dan saking sedihnya, Winarsih terkulai dan jatuh pingsan!

Lindu Aji yang tadi bercakap-cakap dengan para wanita yang menjadi tawanan gerombolan, terutama dengan tiga orang gadis yang terpilih menjadi isteri Ki Singobarong, sudah mendengar akan kesetiaan Winarsih yang mengancam akan membunuh diri kalau hendak diperkosa sehingga sampai saat itu masih belum terjamah oleh Ki Singobarong, sempat melihat Winarsih hendak bunuh diri.

Karena tidak keburu datang mencegah, maka dia menggunakan kerikil untuk menyambit patrem itu dari tangan Winarsih sehingga nyawa wanita itu dapat terselamatkan walaupun ia mengalami luka di pundak yang mengeluarkan banyak darah. Kini Lindu Aji memandang ke arah Ki Sumali yang masih berdiri membelakangi Winarsih. Mata pemuda itu mencorong penuh kemarahan.

"Paman Sumali...!!" Dia membentak, demikian keras bentakannya sehingga Ki Sumali menjadi terkejut dan cepat memutar tubuh menghadapi Lindu Aji.

Dia melihat Winarsih tergeletak. Hatinya luluh penuh iba dan sayang, namun cemburu membuat dia mengeraskan perasaannya dan bersikap tidak acuh. Dia memandang kepada Lindu Aji dengan mata penuh pertanyaan melihat pemuda itu seperti orang yang marah sekali.

Lindu Aji memang marah bukan main. Ini sudah ke dua kalinya Ki Sumali mencurigai isterinya karena cemburu dan tidak percaya akan kesetiaan isterinya. Dulu, ketika pertama kali bertemu dengan Ki Sumali, dia harus juga membela Winarsih dari kecemburuan Ki Sumali.

Dia pada dua tahun yang lalu, ketika lewat daerah Loano, melihat Winarsih dilarikan perampok. Dia berhasil menolong Winarsih dan mengantarkan wanita itu pulang. Eh, Ki Sumali menerima mereka dengan hati penuh cemburu, menyangka isterinya bercintaan dengan Lindu Aji sehingga terjadi perkelahian. Baru setelah Ki Sumali melihat keris pusaka Nogowelang pemberian Sultan Agung kepada Aji, Ki Sumali memberi hormat karena keris itu merupakan tanda orang kepercayaan Sultan Agung.

Kini keris pusaka itu telah dikembalikan kepada Sultan Agung oleh Aji. Dan sekarang, sekali lagi Ki Sumali mencurigai isterinya tidak setia kepadanya. Maka dia menjadi marah sekali dan merasa kasihan kepada Winarsih, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya.

Setelah Ki Sumali memutar tubuh menghadapinya, Lindu Aji menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Ki Sumali dan terdengar suaranya yang tegas dan ketus penuh wibawa. "Paman Sumali, engkau adalah seorang suami yang paling brengsek yang pernah kulihat! Engkau hanyalah seorang hamba nafsu cemburu yang tidak ketulungan lagi! Engkau melempar fitnah seenak perut sendiri kepada isterimu yang setia. Ini membuktikan bahwa cintamu terhadap isterimu hanyalah cinta nafsu belaka!"

Lindu Aji menggapai kepada tiga orang wanita yang terpilih menjadi isteri Ki Singobarong, yaitu Karsih, Darni dan Tinah. Tiga orang gadis itu datang menghampiri Lindu Aji yang mereka anggap sebagai penolong mereka.

Setelah mereka datang dekat, Aji berkata, "Coba kalian ceritakan yang sebenarnya tentang Winarsih ketika berada dalam tahanan Ki Singobarong. Ceritakan sejujurnya kepada suaminya yang dirasuki setan cemburu ini!"

"Mbakayu Winarsih sama sekali belum tersentuh siapapun juga!" kata Karsih.

"Ia mengancam untuk membunuh diri dengan patremnya kalau dipaksa sehingga dua malam lamanya ia tidak pernah tidur, hanya menjaga diri." kata Darni.

"Semua itu benar, kami menjadi saksinya. Ki Singobarong sendiri tidak dapat memaksanya dan pernah dia berkata kepadaku bahwa dia tidak mau menggunakan kekerasan atau pengaruh sihirnya karena dia ingin mbakayu Winarsih menyerahkan diri dengan suka rela. Ki Singobarong benar-benar jatuh cinta kepadanya dan menginginkan Mbakayu Winarsih menjadi isterinya yang sah." kata Tinah.

"Nah, engkau mendengar sendiri kesaksian mereka, paman. Masihkah engkau tidak percaya akan kesetiaan isterimu yang begitu mencintaimu? Terlalu...!!" kata Lindu Aji dengan nada gemas.

Sementara itu, mendengar kesaksian tiga orang wanita itu, hati Ki Sumali luluh. Kecemburuan dan kemarahannya lenyap. Sebetulnya sejak tadi dia merasa trenyuh melihat tubuh isterinya tergeletak disana dan pundak kirinya berdarah.

"Kalau tidak cepat kulemparkan batu untuk memukul patremnya, tentu sekarang isterimu sudah menjadi mayat dan engkaulah pembunuhnya, paman, engkau pembunuhnya! Engkau yang melukai pundaknya itu!" bentak Aji yang masih dibakar penasaran dan marah.

Ki Sumali menubruk tubuh Winarsih, merangkul dan mengangkat kepala itu, dipangkunya dan didekapnya. "Winarsih... ampunkan aku... mataku telah buta oleh cemburu... Winarsih..." Laki-laki yang terkenal sebagai pendekar Loano itu meneteskan air mata.

Winarsih membuka kedua matanya dan melihat betapa ia berada dalam rangkulan suaminya, ia mengeluh dan merangkul leher suaminya dengan kedua lengannya. "Kakangmas Sumali...!" Suami isteri itu bertangisan dan saling rangkul.

"Paman Sumali, engkau. laki-laki yang tak tahu diri. Mempunyai seorang isteri yang begitu muda, yang sepatutnya menjadi anakmu, begitu mencintamu, begitu setia, engkau malah mencurigainya, engkau tidak percaya kepadanya. Bahkan, andaikata ia diperkosa dengan kekerasan, apakah itu kesalahannya? Engkaulah yang bersalah, karena engkau tidak mampu melindungi isterimu sehingga dilarikan penjahat. Kalau sampai ia diperkosa orang juga karena ia tidak berdaya, bukan ia yang hina, melainkan engkau, paman! Engkau yang hina karena engkau suaminya tidak mampu melindunginya. Akan tetapi engkau selalu tidak percaya karena cemburu. Sudah dua kali aku menghadapi sikapmu yang brengsek ini. Aku malu menjadi sahabatmu, aku muak. Lebih baik aku pergi!"

Setelah memuntahkan semua penguneg-uneg saking penasaran melihat kecemburuan Ki Sumali yang hampir mengakibatkan Winarsih isteri yang setia itu mati membunuh diri, Lindu Aji dengan marah lalu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan tempat itu.

"Adimas Lindu Aji...!!" Winarsih menjerit, meronta lepas dari rangkulan suaminya dan lari menubruk kedua kaki Lindu Aji sambil menangis.

Karena kedua kakinya dirangkul, terpaksa Aji menghentikan langkahnya.

"Adimas Lindu Aji, maafkanlah suamiku. Adimas..., kasihanilah dia, kasihanilah kami, maafkan dia. Dia sama sekali tidak jahat, hanya... hanya... agak lemah... adimas Aji, aku yang mintakan maaf baginya kepadamu."

Lindu Aji menghela napas panjang dan seketika kemarahannya padam. Nafsu tidak akan bertahan lama mengeram dihati pemuda ini. Dirinya sudah terbimbing oleh Kekuasaan Tuhan lahir batin sehingga iblis sendiri tidak akan bertahan lama menguasainya. Dia memegang kedua lengan wanita itu dan mengangkatnya bangun.

"Baiklah, Mbakayu Winarsih. Aku maafkan Paman Sumali dan biarlah ini merupakan pelajaran baginya sehingga dia dapat mengubah wataknya yang pencemburu. Aku sudah melupakan semuanya. nah, Paman Sumali, engkau melihat sendiri betapa besar rasa sayang dan setia dalam hati isterimu ini kepadamu."

Ki Sumali bangkit berdiri. "Maafkan sikapku tadi, anakmas Lindu Aji. Aku memang bersalah... aku memang bersalah... aku memang bersalah..." dia menampari kepalanya sendiri. "Cemburu ini ... dia selalu menggodaku... keparat...!"

Winarsih kini berlari menghampiri suaminya dan memegang kedua tangannya. "Sudahlah, kakangmas. Adimas Lindu Aji tidak marah lagi dan kami sudah memaafkanmu."

Ki Sumali merangkul. "Winarsih, engkau isteriku yang bijaksana dan berbudi mulia. Mari, kurawat dulu luka di pundakmu itu."

Lindu Aji lalu menghampiri delapan orang anggauta gerombolan yang tadi roboh terluka dan kini mereka duduk merawat luka masing-masing dengan sikap ketakutan. Mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah pemuda sakti mandraguna itu, mereka kini sudah mati dengan tubuh tercincang hancur seperti mereka yang tadi dikeroyok para wanita itu.

"Kuperingatkan kalian! Sekali ini kalian masih beruntung tidak kami bunuh. Bertaubatlah dan mulai sekarang, jadilah orang yang baik dan jangan mengganggu orang lain. Untuk makan, kalian dapat mengolah tanah untuk ditanami. Kalau ingin berkeluarga, menikahlah dengan baik-baik. Sekarang kalian harus mengurus mayat-mayat itu, menguburkan mereka sebagaimana mestinya. Kalau lain kali kami masih mendapatkan kalian melakukan kejahatan, kami tidak akan memberi ampun lagi!"

Kemudian, para wanita itu oleh Aji dan Ki Sumali diangkut dengan perahu dan mereka semua meninggalkan Nusa-kambangan.

Ki Sumali semakin tunduk dan hormat kepada Lindu Aji setelah melihat betapa Lindu Aji benar-benar telah melupakan semua peristiwa tadi, sikapnya sama sekali tidak ada bekas-bekas kemarahannya. Kini sikapnya hormat dan ramah seperti biasa. Setelah tiba di rumahnya, Winarsih lalu sibuk membuat hidangan paling meriah yang dapat ia lakukan, dengan menyembelih beberapa ekor ayam peliharaannya, dibantu oleh beberapa orang wanita tetangga yang datang menjenguknya.

Malam nanti keluarga ini akan menjamu para tetangga untuk merayakan kepulangan Winarsih dengan selamat. Sementara itu, Lindu Aji dan Ki Sumali bercakap-cakap di ruangan dalam.

"Anakmas, sungguh kedatanganmu di Loano ini seolah-olah dibimbing Gusti Allah untuk menolong kami. Entah apa jadinya dengan kami kalau andika tidak datang." kata Ki Sumali, terharu karena setiap kali muncul, pemuda ini selalu menolong dia dan isterinya.

Lindu Aji menghela napas dan menatap wajah Pendekar Loano itu. "Paman Sumali, sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi pada diri kita sudah ditentukan Gusti Allah. Tinggal terserah kepada kita bagaimana kita menerima dan menghadapi kenyataan yang terjadi pada diri kita itu. Sebetulnya, kunjunganku ini mengandung sebuah keinginan, yaitu selain menjenguk keadaan paman berdua, juga untuk bertanya apakah diajeng Sulastri ada datang berkunjung kesini selama ini?"

Ki Sumali mengangguk. "Benar, anak-mas Lindu Aji, ia pernah singgah disini, kira-kira setahun yang lalu."

Aji menjadi girang sekali mendengar ini. "Ah, ia pergi kemana, paman? Sekarang ia berada dimana? Aku ingin sekali bertemu dengannya."

"Sayang sekali ia tidak mengatakan hendak pergi ke mana, anakmas. Ia hanya menceritakan bahwa ia meninggalkan Dermayu dan ingin merantau, tanpa mengatakan kemana. Dan ia juga bertanya apakah selama itu andika pernah mampir disini. Ia tinggal hanya dua hari disini lalu pergi, entah kemana."

Lindu Aji menghela napas lagi, akan tetapi sekali ini helaan napas karena kecewa dan bersedih. Kembali dia kehilangan jejak Sulastri. Gadis itu setahun yang lalu berada disini, dan kalau Ki Sumali saja yang merupakan orang terdekat gadis itu tidak tahu kemana ia pergi, siapa lagi di Loano yang akan dapat memberi tahu?

Melihat sikap pemuda itu, Ki Sumali yang sudah banyak pengalaman itu menduga bahwa tentu telah terjadi apa-apa dengan mereka berdua. Sulastri adalah keponakannya sendiri, maka dia memberanikan diri berkata.

"Anakmas Aji, ketika ia berada disini, Sulastri banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang hebat bersama andika, betapa ia sempat terjatuh ke dalam jurang sehingga hilang ingatannya dan namanya diubah menjadi Listyani atau Eulis. Dari sikapnya dan cara ia bercerita, biarpun ia tidak mengaku dengan kata-kata, aku dan isteriku dapat menduga dengan mudah bahwa Sulastri sebetulnya jatuh cinta padamu. Dan... kalau aku tidak salah sangka, agaknya andika juga mencintainya. Andika berdua Sulastri kami kira merupakan pasangan yang cocok dan pantas sekali. Akan tetapi kenapa sekarang andika berdua saling berpisah?"

Sekali lagi Lindu Aji menghela napas panjang. Ki Sumali adalah seorang sahabat baik, juga dia adalah paman dari Sulastri. Tidak ada salahnya berterus terang.

"Sesungguhnya demikian, paman. Akan tetapi, terjadi kesalah-pahaman diantara kami berdua. Tadinya kami mengira bahwa masing-masing dari kami mencinta orang lain, maka kami berdua mengalah dan mundur, membiarkan masing-masing berjodoh dengan orang lain yang dicinta itu. Akan tetapi ternyata kemudian ... ah, betapa bodohnya kami... ternyata perkiraan kami itu keliru. Kami berdua tidak pernah mencinta orang lain. Akan tetapi kami sudah terlanjur saling berpisah, paman. Karena itu, aku sekarang mencarinya untuk membereskan kesalah-pahaman itu dan minta keputusan darinya."

Ki Sumali mengangguk-angguk dan diapun menghela napas karena teringat akan dirinya sendiri. "Sikap. andika berdua itu membuktikan bahwa andika berdua memiliki kasih sayang sejati, anak-mas. Rela mengalah, berkorban demi kebahagiaan orang yang dicinta. Makin tampak sekarang olehku, alangkah buruknya cintaku terhadap Winarsih, penuh cemburu, penuh keakuan, mementingkan diri sendiri..."

"Sudahlah, paman. Setidaknya pengalaman yang sudah lalu dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk mengubah semua sikap dan tindakan kita yang salah."

"Andika benar, anakmas Lindu Aji. Menyesal sekali aku tidak dapat membantu dengan menunjukkan dimana Sulastri kini berada. Akan tetapi kalau sewaktu-waktu ia singgah lagi disini, tentu aku akan menceritakan semua tentang kesalah-pahaman kalian itu."

"Terima kasih, paman." Malam itu Lindu Aji ikut merayakan pesta sukuran yang diadakan Ki Sumali dan Nyi Winarsih, dihadiri para tetangga. Kemudian dia bermalam dalam sebuah kamar yang pernah menjadi tempat Sulastri bermalam ketika singgah di rumah pamannya itu.

Malam itu Aji tidak dapat segera pulas. Dia rebah di atas pembaringan dan termenung. Pemuda ini tidak pernah membiarkan diri larut dalam kesedihan. Dia hanya merasa betapa hatinya dipenuhi perasaan iba. Iba kepada Sulastri, kepada Jatmika dan kepada Neneng Salmah. Betapa cinta kasih mempermainkan mereka, juga dia.

Dia merasa rindu sekali kepada Sulastri, ingin sekali segera dapat berjumpa dengan gadis pujaan hatinya itu. Akan tetapi kemana dia harus mencarinya? Dia berpikir keras, menduga-duga kemana kiranya perginya gadis itu. Sulastri meninggalkan Dermayu, lalu singgah ke Loano. Dermayu ke Loano adalah perjalanan yang menuju ke tenggara, Kalau begitu, besar kemungkinan Sulastri melanjutkan perjalanannya ke timur. Mungkin ke Mataram karena bagaimanapun juga, selama ini Sulastri juga ikut berjuang membantu Mataram. Karena itu, sebelum pulas Lindu Aji mengambil keputusan untuk mencari di daerah timur.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

"Sudah cukup, Bagus... sudah, aku tidak merasa terlalu dingin lagi..." kata Maya Dewi sambil melepaskan diri dari rangkulan Bagus Sajiwo.

Selama kurang lebih dua minggu ia berlatih di puncak Gunung Wilis yang amat dingin itu untuk mengusir hawa panas beracun dari aji-nya sendiri Tapak Rudira yang membalik dan meracuni atau melukai dirinya sendiri. Dalam usaha mengusir hawa panas beracun ini, ia dibantu oleh Bagus Sajiwo. Ia membuka diri menghimpun inti sari hawa dingin di puncak itu, dibantu Bagus Sajiwo yang mengerahkan tenaga sakti yang dingin.

Karena kedinginan, maka setiap malam di waktu hawa sedang dingin-dinginnya, terpaksa ia berpelukan dengan Bagus Sajiwo. Bukan hanya kehangatan tubuh Bagus Sajiwo yang membantu ia menahan rasa dingin yang hebat itu, melainkan terutama sekali karena dalam rangkulan pemuda remaja itu ia merasa aman damai dan terlindung.

Pagi itu, setelah lewat kurang lebih setengah bulan, Maya Dewi merasa betapa hawa panas beracun dalam dirinya telah hilang. Memang pagi itu hawa di puncak Wilis masih dingin, bahkan teramat dingin bagi orang biasa. Akan tetapi kini Maya Dewi tidak lagi membuka diri menghimpun inti hawa dingin dan mendengar ucapan Maya Dewi, Bagus Sajiwo juga menghentikan pengerahan hawa dingin melalui telapak tangan yang ditempelkan di punggung Maya Dewi. Maka hawa yang dingin itu tidak mengganggu.

"Bagus, kini engkau telah benar-benar terbebas dari pengaruh kedua hawa yang berlawanan, yang melukai dalam tubuhmu, Dewi. Engkau telah sembuh!" kata Bagus Sajiwo dengan girang pula.

Maya Dewi menanggalkan kain-kain yang diselimutkan diluar tubuhnya dan ia bangkit berdiri lalu memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding silat.

"Eh, engkau mau apa? Dewi?" tanya Bagus Sajiwo dengan heran dan khawatir karena dia tahu benar walaupun kini nyawa wanita itu tidak terancam maut dan ia sudah sembuh benar, namun keadaan tubuhnya menjadi amat lemah.

"Aku mau berlatih, Bagus!" katanya dan mulailah wanita itu bergerak dalam jurus-jurus silat.

Gerakannya akan tampak gesit bagi penglihatan orang biasa, akan tetapi Bagus Sajiwo tahu betul bahwa wanita itu sudah kehilangan kelincahannya, jauh menurun dibandingkan ketika bertemu untuk pertama kalinya, ketika Maya Dewi bertanding melawan Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra.

Setelah ia terluka parah kemudian berhasil diselamatkan, tentu saja kelincahannya menurun banyak sekali, walaupun tentu saja ia masih mahir menggerakkan kaki tangannya karena gerakan silat itu sudah mendarah daging pada dirinya. Agaknya Maya Dewi juga merasakan kelambatannya ini. Ia merasa penasaran sekali dan tiba-tiba membentuk jari-jari tangannya seperti cakar dan menyerang dengan kuku-kukunya ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti dan membentak.

"Aji Wisa Sarpa!" Ia mencengkeram ke arah sebongkah batu dan... ia menjerit karena kuku-kukunya patah dan jari-jari tangannya terasa nyeri! Padahal biasanya kalau ia menggunakan aji yang ampuh itu, batu dapat dicengkeram hancur.

Ia masih penasaran. Digosok-gosoknya kedua telapak tangannya, lalu memukul ke depan dengan dorongan kedua telapak tangan sambil berseru nyaring. "Aji Tapak Rudira!" Dihantamnya batu itu, akan tetapi sekali lagi ia menjerit.

Bukan batu itu yang pecah seperti biasa kalau ia latihan aji itu, melainkan telapak tangannya yang terasa nyeri, juga kedua telapak tangannya tidak mengepulkan asap panas, "aduh... aku... aku menjadi seorang yang lemah...!" Wanita itu terkulai dan jatuh bersimpuh lalu... menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil kehilangan mainan yang disayangnya. Ia menutupi muka dengan kedua tangannya dan dari celah-celah jari tangan itu keluar air matanya menetes-netes!

Bagus Sajiwo memandang dengan bengong, terheran-heran akan apa yang dilihatnya. Di waktu menderita kepanasan lalu kedinginan sehebat itupun, Maya Dewi memang mengeluh akan tetapi tidak menangis-tersedu-sedu-seperti itu. Sukar membayangkan wanita yang berwatak sekeras baja itu dapat menangis seperti seorang anak kecil yang cengeng! Timbul rasa iba di dalam hatinya. Akan tetapi dia tidak jadi menyentuh atau mengeluarkan kata hiburan, walaupun tangannya sudah terjulur dan mulutnya sudah terbuka. Tidak, dalam keadaan seperti itu, semua hiburan akan sia-sia, bahkan mungkin semakin memilukan hati Maya Dewi atau membuat ia kesetanan dan marah-marah seperti yang sudah-sudah. Biarkan ia menangis sepuasnya agar semua kekecewaan dan kesedihannya terkuras keluar.

Akan tetapi, dibiarkan saja Maya Dewi terus menangis tiada hentinya, tangisnya mengguguk sampai napasnya tersendat-sendat. Bagus Sajiwo tidak tahan melihatnya dan dia lalu dengan hati-hati dan lembut menyentuh pundak wanita itu. "Dewi, jangan bersedih..."

Seperti ditakuti Bagus Sajiwo, mendengar ucapan itu, tangis Maya Dewi semakin mengguguk. "Tidak...! Aku perempuan lemah, tak berguna... untuk apa hidup tak berdaya seperti ini...? Lebih baik mati...!" Tiba-tiba tangan kanan wanita itu bergerak dan menampar kepalanya sendiri. "Plak!" Dan tubuhnya jatuh terguling.

Bagus Sajiwo terkejut setengah mati dan cepat menubruk untuk memeriksa keadaan Maya Dewi. Dia bernapas lega ketika melihat betapa wanita itu tidak apa-apa, tidak terluka sama sekali. Pada saat itu dia tersenyum sendiri, teringat bahwa tamparan tangan Maya Dewi tadi tentu saja tidak berbahaya, seperti tamparan tangan wanita lemah biasa karena ia telah kehilangan tenaga saktinya. Kalau tenaga saktinya masih ada, tamparan tadi tentu akan menghancurkan isi kepalanya dan nyawanya tak mungkin dapat ditolong lagi.

Kini Bagus Sajiwo duduk di atas batu dekat Maya Dewi. Wanita itu rebah telentang seperti orang tidur. Bagus Sajiwo tahu bahwa ia jatuh pingsan karena tekanan batinnya ditambah tamparan yang hanya menggunakan kekuatan tangan yang sudah lemah itu. Biarlah Maya Dewi dibiarkan seperti itu agar dapat beristirahat. Istirahat badan dan batinnya karena dalam keadaan seperti itu, semua kekecewaan dan kesedihan yang timbul dari pikiran lenyap sehingga batinnya dapat mengaso.

Dia mengamati wajah itu. Wajah yang amat jelita. Rambut yang hitam panjang dan halus itu terurai lepas dari sanggulnya, berjuntai sebagian menutupi leher dan pundaknya. Matanya yang biasanya lebar dengan kedua ujung meruncing ke atas sehingga tampak indah sekali itu ikut terpejam dan dalam keadaan terpejam seperti itu tampak betapa bulu matanya lebat, panjang dan melengkung menggelapkan bawah matanya.

Hidung yang kecil mancung itu bernapas lembut, mulut dengan bibir berbentuk indah namun kini agak pucat itu tertutup. Lehernya panjang dan kulit lehernya putih sekali, putih mulus dan tampak semakin putih kekuningan karena sebagian tertutup rambut yang hitam. Dada yang membusung sehingga kain penutupnya seolah akan pecah itu naik turun perlahan oleh pernapasannya. Makin dipandang, semakin besar rasa iba menyelimuti perasaan hati Bagus Sajiwo. Apa lagi ada dua butir air mata masih berada di atas pipi bawah mata, membuat wajah itu tampak memelas (menimbulkan iba) sekali.

Wanita yang malang, pikirnya, wanita yang menurut pengakuannya, sepanjang hidupnya penuh dengan kekerasan, agaknya benar-benar tak pernah merasakan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Timbul rasa sayang membayangi rasa iba di hati Bagus Sajiwo. Timbul keinginannya untuk membahagiakan wanita ini, untuk menghiburnya dan menuntunnya, walaupun dia lebih muda, ke arah jalan benar, menyadari kesesatannya dan sedapat mungkin mengubah jalan hidupnya, mengenal Gusti Allah dan menjadi alatNya.

Membayangkan kembali betapa tersiksanya Maya Dewi ketika mengusir hawa beracun dalam tubuhnya, selama sebulan lebih, menderita lahir batin, Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Wanita ini bukan hanya menderita jasmaninya, akan tetapi juga rohaninya. Kini ia rebah seperti tidur pulas, dengan wajah pucat agak kurus, wajahnya begitu tenang, begitu damai karena semua pikiran yang menjadi sumber segala konflik batin, sumber segala kesengsaraan, pada saat itu tidak bekerja. Seperti wajah seorang kanak-kanak yang tidak berdosa.

Bagus Sajiwo teringat ketika dia masih tinggal bersama Ki Ageng Mahendra di pegunungan Ijen, dia terkadang berkunjung ke dusun dikaki bukit dan bermain-main dengan anak-anak dusun itu. Dia merasa sayang kepada anak-anak yang tidak berdosa dan masih lugu (jujur) itu dan dengan rasa sayang dia suka membelai dan mengambung (mencium dengan hidung) pipi-pipi yang segar kemerahan itu. Kini, melihat Maya Dewi rebah seperti seorang anak-anak tertidur nyenyak, timbul rasa sayangnya dan seperti ada dorongan dari dalam, dia membungkuk dan mengambung pipi kanan Maya Dewi dengan penuh kasih sayang!

Sama sekali tidak terduga oleh Bagus Sajiwo bahwa pada saat itu juga Maya Dewi sadar dari pingsannya dan tentu saja wanita itu terkejut ketika Bagus Sajiwo mengambung pipinya. Walaupun perbuatan Bagus Sajiwo itu dilakukan dengan lembut, ujung hidungnya hanya menyentuh pipi, namun berbagai perasaan teraduk dalam hati Maya Dewi. Mula-mula ia merasa heran, lalu terharu, bersyukur dan ada rasa senang yang luar biasa, membuat hatinya penuh dan jantungnya berdebar. Belum pernah ia merasakan seperti itu.