Seruling Gading Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Seruling Gading Jilid 22

SATYABRATA menghentikan ucapan gadis Belanda itu dengan sebuah ciuman yang bernafsu. Akan tetapi, setelah membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam kemesraan itu, Elsye lalu meronta dan melepaskan dirinya.

"Jan, aku tidak mau. Kalau engkau memaksa, aku akan lapor kepada papa!"

Satyabrata tidak berani memaksa. Elsye bukanlah sembarang gadis yang dapat dijadikan pemuas nafsunya seperti para gadis yang pernah menjadi korbannya. Akan tetapi diam-diam dia lalu mengerahkan aji pengasihan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang pernah dipelajarinya dalam sumur tua.

"Elsye, kekasihku !" Dia berbisik.

"Jan... ohh... Jantje...!" Elsye terkulai dalam rangkulan Satyabrata, sepenuhnya terbuai aji pengasihan Mimi-mintuna yang dikerahkan Satyabrata.

Memang pada dasarnya kedua orang muda itu saling mencinta. Sejak remaja mereka sudah bergaul dekat dan cinta dalam hati mereka yang mula-mula merupakan cinta antara saudara, walau hanya saudara angkat, namun setelah menjelang dewasa mereka saling tertarik dan cinta itu menjadi cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi Satyabrata lalu pergi mengembara sampai lima tahun lebih lamanya. Ketika ditinggal pergi Satyabrata, usia Elsye Van Huisen baru tujuh belas tahun. Sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun lebih, sudah dewasa.

Karena itu, perpisahannya dengan Satyabrata membuka kesempatan baginya untuk berkenalan dan saling jatuh cinta dengan seorang pemuda lain, seorang pemuda Belanda yang berpangkat letnan dan menjadi pembantu ayahnya, bernama Piet Meijer. Willem Van Huisen menyetujui pilihan puterinya dan mereka telah ditunangkan. Karena itu Elsye tadinya menolak ketika diajak bercumbu oleh Satyabrata. Akan tetapi setelah pemuda itu mempergunakan Aji Pengasihan Mimi-mintuna yang ampuh, Elsye tak berdaya menolak. Mereka saling berangkulan dan berciuman, dan gadis Belanda itupun mandah saja ketika Satyabrata memondongnya dan hendak membawanya pergi dari taman.

Sepasang mata Maya Dewi mengeluarkan sinar berapi ketika ia melihat semua ini. Dapat dibayangkan betapa marah rasa hatinya melihat Satyabrata bercumbu dengan gadis Belanda itu. Hatinya dibakar cemburu. Bukankah pemuda itu mengaku jatuh cinta kepadanya? Dan diam-diam iapun mulai tertarik dan mencintai Pemuda yang sakti mandraguna dan tampan lembut itu. Akan tetapi sekarang ia melihat Satyabrata berangkulan dan berciuman dengan Elsye! Ia tidak dapat lagi menahan kemarahan dan cemburunya.

Sekali melompat Maya Dewi sudah berdiri menghadang di depan Satyabrata yang berjalan sambil memondong Elsye yang memejamkan kedua matanya sambil lengannya merangkul leher pemuda itu. Melihat bayangan berkelebat dan tiba-tiba Maya Dewi berdiri di depannya dengan sepasang mata mencorong marah itu, Satyabrata menjadi terkejut bukan main. Saking kagetnya dia melepaskan pondongannya sehingga Elsye jatuh bedebuk dan gadis ini menjadi sadar, terbebas dari pengaruh aji pengasihan yang tadi menguasai dirinya.

Sejenak ia menjadi bingung, lalu teringat akan apa yang ia lakukan bersama Satyabrata. Kini melihat Maya Dewi berdiri disitu, Elsye menjadi malu dan iapun bangkit berdiri dan berlari ke gedung Loji Tamu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Maya Dewi kini tinggal berdua dengan Satyabrata di tengah taman itu. Mereka berdiri saling berhadapan dan Satyabrata sudah dengan cepat dapat menguasai hatinya. Dia tersenyum dan dengan wajah yang polos dan bersih seolah tidak pernah melakukan sesuatu yang salah, dia menegur.

"Maya Dewi! Engkau belum tidur? Kebetulan sekali engkau datang, aku pun tidak dapat tidur dan kita dapat bercakap-cakap di sini. Duduklah," kata Satyabrata sambil menunjuk ke arah bangku.

"Akang Satya! Jangan berpura-pura. Apa yang kau lakukan bersama gadis Belanda itu tadi?"

"Ehh...?" Satyabrata mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya membayangkan keheranan seorang yang tidak mempunyai kesalahan apapun. "Apa maksudmu? Apa yang kami lakukan?"

"Ehh...! Masih bertanya lagi? Kalian saling berangkulan, berciuman, dan engkau memondongnya...!"

Tiba-tiba Satyabrata tertawa. "Ha-ha-ha! Engkau cemburu, Maya? Engkau cemburu terhadap adikku sendiri? Ha-ha, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa peluk bagi bangsa Belanda adalah hal yang biasa dilakukan kakak beradik? Engkau tahu, aku berpisah dengan adikku itu selama lima tahun lebih. Setelah sekarang kami bertemu, kami menumpahkan kerinduan kami. Peluk Cium itu adalah tanda cinta kami, Maya, akan tetapi cinta antara kakak dan adiknya. Bagi bangsa Belanda, hal itu adalah biasa dan tidak melanggar kesusilaan karena peluk cium itupun bersih daripada perasaan yang tidak-tidak. Percayalah, Maya, Elsye mencintaku dan aku mencintanya, akan tetapi cintaku terhadap dirinya sungguh berbeda sekali dengan cintaku terhadap dirimu!"

Ucapan penuh semangat menggebu dan terdengar penuh kesungguhan itu menyiram padam api kemarahan dan kecemburuan dihati Maya Dewi yang biarpun sakti namun sama sekali belum berpengalaman dalam soal cinta mencinta. Tentu saja ia sama sekali tidak mengira bahwa alasan yang dikemukakan Satyabrata tadi bohong. Biarpun bangsa Belanda lebih terbuka dalam memperlihatkan kasih sayangnya, namun tentu saja cumbuan seorang kakak terhadap adiknya sama sekali berbeda dengan cumbuan seorang pria terhadap kekasihnya!

Akan tetapi tidak mengerti akan hal itu dan ia percaya kepada Satyabrata sehingga Maya Dewi mulai tersenyum, sinar matanya tidak mencorong lagi seperti tadi, melainkan bening dan lembut. Sebagai pengganti perasaan cemburunya, kini ia merasa iri membayangkan kemesraan yang tadi dilihatnya antara Satyabrata dan Elsye. "Hemm, begitukah? Apa sih bedanya antara cinta saudara dan cinta kekasih itu, akang?" tanyanya ingin tahu.

Melihat perubahan sikap gadis itu, Satyabrata mendekat lalu memegang kedua tangan Maya Dewi. "Kalau engkau ngin merasakannya, bolehkan aku membuktikan kasihku kepadamu, Maya?" Kedua tangannya menggenggam erat tangan gadis itu.

Dengan muka berubah kemerahan dan senyum menantang namun malu-malu, Maya Dewi mengangguk, jantungnya berdebar kencang karena selama hidupnya belurn pernah ia merasa begini dekat dengan seorang pria. Dekat lahir batinnya yang menimbulkan perasaan mesra. Ia pun mengangguk dan menengadahkan mukanya, siap menerima perlakuan mesra seperti yang dilihatnya tadi didapatkan gadis Belanda itu dari Satyabrata.

Satyabrata tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dipeluknya Maya Dewi dengan lembut, lalu diciuminya bibir gadis itu dengan sepenuh perasaan cintanya dengan mesra namun lembut karena dia tidak ingin mengejutkan gadis itu. Pada dasarnya Maya Dewi adalah seorang gadis yang sejak kecil terdidik dan berada dalam lingkungan para hamba nafsu, adalah seorang yang lemah terhadap nafsu-nafsunya sendiri. Oleh karena itu, bagaikan daun kering yang tersentuh api yang dinyalakan Satyabrata, ia segera terbakar dan berkobar diamuk api nafsu berahinya sendiri. Ia terkulai dan terlena oleh kenikmatan yang baru saja dikenalnya.

Namun, gadis yang cerdik ini setelah beberapa saat membiarkan dirinya hanyut meronta dan melepaskan diri dari dekapan. "Hemm... kenapa, Maya? Engkau baru mengenal apa artinya cinta. Marilah, kekasihku, kita pindah ke kamar di Loji, disana kita aman, tidak khawatir terlihat orang lain..." Satyabrata yang sudah merasa menang, menggandeng tangan gadis tu. Akan tetapi Maya Dewi melepaskan tangannya dan menggeleng kepalanya.

"Tidak, belum lagi, akang! Aku masih belum yakin benar akan cintamu. Engkau harus membuktikan itu dengan nyata, baru aku akan percaya dan mau menyerahkan jiwa ragaku kepadamu."

"Membuktikan cintaku? Ah, adindaku yang tersayang, bukti apa lagi yang harus kulakukan untuk meyakinkan hatimu? Katakanlah, semua kehendakmu tentu akan kupenuhi untuk membuktikan cintaku."

Maya Dewi tersenyum dan kini ia yang memegang tangan Satyabrata. "Tenang dan sabarlah, akang. Beri aku waktu unluk memikirkan apa yang harus kaulakukan untuk membuktikan cintamu yang tulus padaku. Sekarang aku ingin tidur. Lihat, tubuhku masih gemetar karena perbuatanmu yang nakal tadi!" Gadis itu melepaskan tangannya dan membalikkan tubuh, lalu berlari pergi ke bangunan loji sambil tertawa kecil.

Satyabrata berdiri tertegun. Kecewa dan kesal memenuhi hatinya. Dia merasa seolah buah segar yang sudah menempel di bibir luput termakan olehnya. Dan itu terjadi dua kali di malam itu. Pertama Elsye yang gagal didapatkannya karena kemunculan Maya Dewi. Kemudian Maya Dewi sendiri, padahal sudah jelas terasa olehnya betapa Maya Dewi membalas belaian dan cumbuannya, yang berarti bahwa gadis itupun membalas cintanya. Kalau dia tadi mempergunakan aji pengasihannya, alangkah akan mudahnya Maya Dewi terjatuh ke dalam dekapannya.

Akan tetapi berbeda dengan terhadap Elsye, dia tidak mau mempergunakan aji pengasihan terhadap Maya Dewi. Dia menginginkan cinta kasih murni gadis itu, ingin gadis itu menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, tanpa paksaan tanpa pengaruh luar. Dia ingin mendapatkan Maya Dewi yang diharapkan menjadi isterinya. Kalau Elsye, gadis Belanda itu tidak mungkin menjadi isterinya karena pertama, Willem Van Huisen tidak mungkin menyetujui puterinya menjadi isteri seorang blasteran, seorang peranakan, seorang Indo, bukan Belanda tulen yang totok.

Kedua, Elsye sudah bertunangan dengan laki-laki lain, seorang pemuda Belanda totok. Ketiga, dia sendiri hanya suka akan kecantikan gadis itu, tidak mencintanya dan tidak mengharapkannya menjadi isterinya. Dia hanya ingin menggauli Elsye sebagai kekasihnya, untuk sementara saja. Dengan hati kecewa Satyabrata kembali kekamarnya. Diam-diam dia merasa heran dan bertanya-tanya, bukti apa yang dikehendaki Maya Dewi nanti untuk membuktikan cintanya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, Satyabrata dan Maya Dewi berpamit kepada Willem Van Huisen yang masih berada di Loji Tamu sebagai tamu kehormatan Pangeran Pekik, untuk memenuhi undangan Senopati Poncosakti yang mengundang mereka untuk bermalam di rumahnya. Ketika berpamit ini, Satyabrata berunding dengan ayah angkatnya, mengatakan bahwa dia hendak pergi ke Madura untuk membantu Madura menghadapi penyerbuan pasukan Mataram. Willem Van Huisen juga berjanji untuk mengatur bantuan kepada Madura melalui kapal perang, juga berjanji akan mengusulkan kepada atasannya di Batavia untuk mengangkat Maya Dewi menjadi mata-mata kumpeni tingkat tinggi yang dipercaya.

Setelah berpamit, di mana Elsye hadir dengan sepasang alis berkerut dan tidak banyak cakap, Satyabrata dan Maya Dewi mengikuti Senopati Poncosakti yang sudah datang menyambut mereka. Mereka lalu mohon diri dari Pangeran Pekik. Rumah tinggal Senopati Poncosakti cukup besar dan mewah walaupun tentu saja tidak sebesar dan semewah istana Sang Adipati. Akan tetapi Senopati Poncosakti menyambut dua orang tamunya itu dengan penuh keramahan dan penghormatan. Dia bahkan mengajak isterinya dan puterinya yang bernama Mintarsih untuk menyambut.

Keramahan keluarga senopati itu membuat Satyabrata dan Maya Dewi merasa lebih senang dan leluasa tinggal di rumah gedung sang senopati. Mintarsih adalah seorang gadis yang ramah dan lincah, juga wajahnya ayu manis. Sebentar saja ia merasa akrab dengan Maya Dewi dan mengajak Maya Dewi tinggal bersama dikamarnya. Satyabrata mendapatkan sebuah kamar di bagian bangunan samping, sebuah kamar yang cukup indah karena kamar itu memang diperuntukkan para tamu yang dihormati.

Maya Dewi juga merasa suka kepada Mintarsih yang kenes dan ramah. Tentu saja kecantikan wajah Mintarsih dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar itu tak luput dari incaran pandang mata Satyabrata! Melihat pandang mata Mintarsih yang menyinarkan kekaguman, senyum yang malu-malu namun ada daya tarik yang menantang itu, timbul gairah Satyabrata dan dia mengambil keputusan untuk mendekati puteri senopati itu. Dia tidak akan melewatkan kesempatan baik itu!

Ketika sore hari itu keluarga senopati menjamu pesta makan, mereka berlima makan di satu meja. Kebetulan Satyabrata duduk tepat berhadapan dengan Mintarsih. Diam-diam ketika pandang mata Mintarsih bertemu dengan pandang matanya, dia mengerahkan aji pengasihannya, diam-diam membaca mantera. Tiba-tiba kedua pipi Mintarsih menjadi kemerahan, matanya redup dan ia menjadi salah tingkah. Akan tetapi Satyabrata tidak melanjutkan ajinya karena maksudnya hanya untuk menarik perhatian gadis itu dan membuatnya tidak lagi mampu melupakannya. Bahkan diam-diam kakinya dijulurkan ke depan dan dia berhasil menyentuh kaki Mintarsih dengan ujung jari kakinya.

Gadis itu tersenyum malu-malu dan menarik kakinya. Akan tetapi Satyabrata merasa yakin bahwa gadis itu tentu tidak akan melupakan semua kejadian kecil ini. Malam itu Mintarsih bercakap-cakap dengan Maya Dewi sambil rebah di atas pembaringan dalam kamar puteri senopati itu. Mintarsih yang ramah dan lincah itu menghujani Maya Dewi dengan pertanyaan. "Benarkah engkau bukan adik dari kakangmas Satyabrata, mbakayu Maya Dewi?" tanya Mintarsih dengan suara penuh keinginan tahu.

"Bukan, sama sekali bukan. Sudah kukatakan itu tadi, untuk apa aku berbohong?" jawab Maya Dewi.

"Lalu bagaimana kalian dapat bertemu dan melakukan perjalanan bersama?"

Sebetulnya Maya Dewi merasa agak tidak senang didesak seperti itu tentang hubungannya dengan Satyabrata, akan tetapi karena sikap Mintarsih demikian ramah dan terbuka, iapun merasa tidak enak kalau tidak menjawab. Maka iapun menwab dengan singkat. "Kami saling bertemu dijalan dan karena mempunyai tujuan sama, yaitu membantu Madura dan Surabaya menentang Mataram, maka kami melakukan perjalanan bersama dan kebetulan bertemu dengan ayahmu."

"O, begitukah? Kalian tampak serasi sekali, mbakyu. Kakangmas Satyabrata demikian ganteng dan engkau begini cantik. Kukira kalau bukan kakak dan adik kalian tentu suami isteri, tunangan atau setidaknya kekasih!" Setelah berkata demikian, Mintarsih memandang wajah Maya Dewi penuh selidik.

Maya Dewi mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya tersenyum. Tentu saja ia tidak mau membuka rahasia hatinya kepada setiap orang. "Ah, kami hanya bersahabat," katanya singkat.

Akan tetapi jawaban ini agaknya amat menggirangkan hati puteri senopati itu. Maya Dewi sama sekali tidak mengira bahwa Mintarsih masih terpengaruh sekali oleh aji pengasihan yang diarahkan kepadanya oleh Satyabrata ketika makan bersama sore tadi dan sentuhan kaki itu pun tak pernah lepas dari kenangannya. Mintarsih memegang lengan Maya Dewi. "Benarkah itu, mbakayu? Ah, girang sekali hatiku. Aku ingin mengenal dia lebih dekat lagi! Mau engkau membantu mbakayu?"

Maya Dewi merasa sebal dan kesal. Ingin ia menghardik, akan tetapi karena ingat bahwa ia seorang tamu, maka ditahannya kemarahannya. Ia tidak menjawab, melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi Mintarsih dan menghadap kedinding sambil berkata lirih. "Ah, aku lelah sekali, ingin tidur sekarang..."

Mintarsih tidak berani mengganggu lagi. Akan tetapi gadis ini gelisah di atas pembaringan, tidak dapat tidur. Ia merasa betapa suara Satyabrata memanggil-manggilnya. Telinganya tidak mendengar suara itu, namun ia merasa sekali tarikan panggilan itu yang membuatnya semakin gelisah. Ia tidak berani turun, takut kalau diketahui Maya Dewi. Ia menanti dengan tidak sabar dan akhirnya ia merasa yakin bahwa Maya Dewi sudah tidur pulas. Pernapasan gadis itu panjang-panjang teratur.

Mintarsih memadamkan lampu, lalu memanggil-manggil nama Maya Dewi. Akan tetapi Maya Dewi benar-benar telah pulas. Kalau disentuh sedikit saja tubuhnya, pasti ia terbangun. Akan tetapi karena hanya dipanggil, ia tidak dapat terjaga dan terus tidur nyenyak. Sementara itu Mintarsih merasa betapa suara panggilan Satyabrata semakin kuat berdengung dalam hatinya, menariknya dan membayangkan kemesraan yang rnembuatnya seperti mabok. Akhirnya Mintarsih tidak kuat bertahan lebih lama lagi dan iapun keluar dari kamarnya. Seperti orang mimpi ia berjalan dengan mata terpejam.

Sesungguhnya itulah pengaruh ilmu santet yang dilakukan Satyabrata semacam ilmu sihir memanggil semangat yang membuat gadis itu berjalan seperti dalam mimpi dan tidak sadar. Mintarsih berjalan perlahan menuju ke sebuah kamar, di bangunan samping, kamar di mana Satyabrata tidur! Biarpun langkah gadis itu hampir tidak menimbulkan suara, namun begitu tiba didepan pintu kamar itu, daun pintu terbuka dari dalam dan Satyabrata sudah berdiri menyambut di ambang pintu sambil tersenyum.

"Kakangmas... aku... datang memenuhi panggilanmu..." Mintarsih berbisik seperti dalam mimpi, lalu melangkah masuk mengikuti Satyabrata yang melangkah mundur ke dalam kamar. Satyabrata mengembangkan kedua lengannya, merangkulnya dan menutup daun pintu kamar itu.

Di antara nafsu-nafsu daya rendah yang amat berbahaya bagi manusia adalah nafsu kemurkaan akan harta benda dan gairah nafsu berahi. Betapa banyakya orang-orang cerdik pandai, orang-orang gagah perkasa, yang jatuh oleh pegaruh kedua macam nafsu ini. Oleh karna itu, setiap orang manusia haruslah berhati-hati sekali menghadapi godaan iblis berupa nafsu materi dan nafsu berahi ini.

Setiap saat iblis menggoda kita, dengan pameran kesenangan dan kenikmatan yang bisa dirasakan melalui harta benda dan pemuasan berahi sehingga kita seringkali lupa bahwa kita diperbudak oleh nafsu dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Tentang Satyabrata kita tidak perlu bicara lagi. Dia adalah seorang pemuda yang sejak kecil sudah terdidik menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia gila kedudukan, gila kekayaan dan mata keranjang, menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sehingga tidak pantang melakukan kejahatan apapun juga untuk mencapai apa yang diinginkannya. Akan tetapi Mintarsih sebetulnya adalah seorang gadis baik-baik.

Sayang ia terlalu centil dan hatinya mudah tertarik dan jatuh melihat pemuda tampan. Penampilan Satyabrata yang pantas disebut seorang ksatria muda yang halus budi, ramah, sopan, dan sakti mandraguna itu telah membuat ia tertarik sekali. Andaikata tidak demikian, andaikata ia tidak terpikat, kiranya tidak akan mudah bagi Satyabrata untuk menyihirnya dengan ilmu pelet atau aji pengasih. Hati yang bersih selalu memiliki daya tolak yang kuat terhadap serangan tenaga sihir yang kotor.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Maya Dewi terbangun dari tidurnya. Ia merasa tubuhnya segar karena tidurnya cukup dan semua kelelahannya lenyap. Ia bangkit duduk dan menggelinjang seperti seekor kucing. Kamar itu cukup terang. Ia menengok dan melihat lampu di meja telah padam, akan tetapi ada seberkas sinar memasuki kamar lewat lubang hawa di atas jendela.

"Kakangmas... kakangmas Satya...."

Maya Dewi cepat memandang ke arah tubuh yang rebah telentang di sampingnya. Tubuh Mintarsih. Maya Dewi mengerutkan alisnya melihat keadaan gadis puteri senopati itu. Pakaian gadis itu awut-awutan, kembennya terlepas dan hanya dilibatkan dan diselipkan sembarangan dipinggangnya. Gelung rambutnya terlepas dan rambut itu terurai di atas bantal. Muka gadis itu pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum dalam tidurnya.

Bagaimana mungkin ini, pikir Maya Dewi. Malam tadi ia melihat sendiri betapa pakaian gadis itu rapi, rambutnya juga digelung rapi, wajahnya dibedaki, bibirnya juga memakai gincu. Akan tetapi kini mukanya pucat tidak ada lagi bekas bedak dan gincu, rambutnya acak-acakan dan pakaiannya awut-awutan! Apa yang terjadi? Kalau gadis itu banyak bergerak diwaktu tidur, sungguh tidak mungkin, karena tentu ia akan tersentuh dan hal ini akan membuat ia terbangun dari tidurnya. Dan gadis ini tadi menyebut nama Satyabrata, dengan suara yang berdesah manja!

Api cemburu membakar hati Maya Dewi. Sekali ini benar-benar marah. Apalagi yang terjadi kepada puteri senopati ini kalau bukan seperti yang ia gambarkan? Malam tadi, ketika ia sedang tidur, pasti gadis ini keluar kamar dan mengadakan pertemuan dengan Satyabrata! Keadaan diri dan pakaiannya menunjukkan hal itu. Dan gadis ini sebelum tidur semalam telah jelas menyatakan kekagumannya kepada Satyabrata, ingin mengenal pemuda itu lebih dekat!

"Mintarsih! Mintarsih...!" Dengan gemas Maya Dewi mengguncang pundak gadis yang sedang tidur nyenyak itu. Mintarsih terbangun dan membuka matanya. Ketika dalam kagetnya ia melihat bahwa yang menggugahnya adalah Maya Dewi, ia berkata setengah sadar, masih digelut rasa kantuk yang berat.

"Aih... saya mimpi... wah, kakangmas Satyabrata amat mencintaku, mbakayu Maya Dewi... amat mencintaku... aah..." gadis itu rebah miring dan segera pulas lagi.

Maya Dewi mengepal tinju. Kini tidak ragu lagi. Satyabrata mengkhianati cintanya! Pemuda itu pasti mengadakan hubungan dengan Mintarsih malam tadi. Entah dengan jalan bagaimana dia dapat membujuk Mintarsih yang agaknya memang sudah jatuh cinta. Tiba-tiba Maya Dewi ingat bahwa Satyabrata adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna. Bukan tidak mungkin pemuda itu mempergunakan aji pameletan atau aji pengasihan yang amat kuat sehingga membuat wanita yang dipeletnya menjadi tergila-gila!

Makin dipikir, makin panas hatinya dan akhirnya ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat turun dari atas pembaringan lalu keluar dari kamar itu. Ternyata sinar yang masuk ke kamar melalui lubang di atas jendela itu adalah sinar lampu penerangan yang digantung di luar kamar. Keadaan dalam gedung masih sunyi sekali. Waktu masih terlalu pagi, fajar belum menyingsing dan orang-orang belum bangun dari tidurnya. Ia langsung menuju ke bangunan samping, kamar Satyabrata. Diketuknyna daun pintu itu, cukup kuat sehingga mengejutkan Satyabrata.

Pemuda itu bangkit duduk dan memandang kearah daun pintu. Baru saja dia menyuruh Mintarsih kembali ke kamarnya karena ayam jantan pertama sudah berkeruyuk, tanda bahwa fajar akan segera menyingsing. Dan dia baru saja tertidur melepaskan lelah ketika pintu itu diketuk orang. Mintarsih datang kembali? Gila! Ini berbahaya, bisa ketahuan orang.

"Siapa?" tanyanya ketika ketukan itu berhenti.

"Aku! Bukalah pintunya!" terdengar suara Maya Dewi.

Satyabrata bernapas lega. Kiranya Maya Dewi yang datang. Mau apa gadis itu datang mengetuk daun pintu kamarnya sepagi itu? Satyabrata menggosok kedua matanya mengusir rasa kantuk yang masih menekan matanya, lalu turun dari pembaringan dan menghampiri daun pintu dan dibukanya. Maya Dewi berdiri diluar pintu dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong marah. Berdebar jantung Satyabrata, merasa tidak enak, teringat akan apa yang terjadi dalam kamarnya semalam. Jangan-jangan gadis ini mengetahuinya! Akan tetapi tidak mungkin. Kalau ia mengetahuinya, tentu sudah didobraknya pintu kamarnya semalam!

"Aeh, Maya, engkau mengejutkan aku! Sepagi ini mengetuk pintu. Ada apakah, nimas?" tanya Satyabrata sambil tersenyum manis.

"Apa yang kau lakukan dengan Mintarrih?" Maya Dewi bertanya dengan sikap menuduh, suaranya ketus.

Diam-diam Satyabrata terkejut. Akan tetapi dia segera dapat menduga bahwa Maya Dewi belum mengetahui akan peristiwa itu, hanya baru curiga saja. Untung tadi dia bersikap hati-hati dan setelah Mintarsih meninggalkan kamarnya, dia membereskan pembaringannya sehingga tidak tampak tanda-tanda hadirnya orang lain di situ. Dia mengerutkan alisnya dan mundur lagi, memasuki kamarnya.

"Sstt...Maya, jangan ribut-ribut. Engkau dapat membuat semua orang terbangun. Sebetulnya ada apakah? Mari kita bicarakan di dalam dan jangan rebut-ribut."

Diperingatkan begitu, Maya Dewi teringat bahwa mereka berada di rumah senopati Poncosakti sebagai tamu, maka ia pun memasuki kamar Satyabrata. Pemuda itu lalu menutupkan daun pintu dan berkata, "Maya, duduklah dan ceritakan apa yang terjadi."

"Tidak perlu duduk!" jawab Maya Dewi sengit. "Dan bukan aku yang harus bercerita, melainkan engkau! Katakan apa yang kau lakukan dengan Mintarsih malam tadi! Hayo mengaku saja bahwa engkau telah mengadakan hubungan gelap dengan Mintarsih. Engkau telah mengkhianati pengakuanmu sendiri bahwa engkau cinta padaku!"

Satyabrata mengembangkan kedua tangannya, membelalakkan kedua mata seperti orang terheran-heran dan kaget. Dia lalu berkata, "Aeh, Maya. Apa, engkau mimpi? Apa artinya semua tuduhan gila ini? Semalam aku tidur, tidak pergi ke mana-mana." Dia menoleh ke arah pembaringan dan Maya Dewi juga memandang ke sana. Beres saja pembaringan itu, tidak acak-acakan. "Bagaimana engkau tega menuduh aku melakukan hubungan dengan puteri paman senopati yang baru saja kita kenal? Ah, Maya Dewi, engkau tahu bahwa hanya engkaulah satu-satunya wanita yang kucinta. Bagaimana aku dapat mengadakan hubungan dengan wanita lain? Aku bersumpah bahwa semalam aku tidak meninggalkan kamar ini dan aku tidur pulas karena merasa lelah."

Maya Dewi menjadi ragu. Pembaringan pemuda itu beres, tidak ada tanda tanda kusut atau tanda-tanda ditiduri berdua. Akan tetapi ia belum percaya sepenuhnya. Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah pikiran yang amat baik menurut penilaiannya. Mintarsih jelas jatuh cinta kepada Satyabrata sehingga hal itu menimbulkan kebencian di dalam hatinya. Ia harus mendapatkan bukti nyata agar yakin akan cinta Satyabrata kepadanya, dan inilah cara yang amat baik untuk membuktikannya!

"Mengapa engkau diam saja, Maya? Apakah engkau masih tidak percaya kepadaku? Aku sanggup membuktikan bahwa hanya engkau satu-satunya wanita yang kucinta. Apa saja permintaanmu akan kulaksanakan untuk membuktikan cintaku seperti yang pernah kukatakan padamu."

Inilah saatnya, pikir Maya Dewi. "Hemm, benarkah itu? Nah, aku mempunyai satu permintaan, kalau engkau tidak sanggup dan tidak mau melaksanakan jangan lagi bicara tentang cinta dengan aku. Sebaliknya kalau engkau mau melaksanakannya sampai berhasil, barulah aku yakin akan cintamu dan aku..." Maya Dewi tersipu.

"Dan, engkau dengan rela mau menyerahkan diri kepadaku, menyerahkan jiwa ragamu kepadaku, Maya?"

Dengan kedua pipi berubah kemerahan Maya Dewi mengangguk. "Kalau begitu katakan sekarang, apa yang harus kulakukan? Biar harus menyeberangi lautan api, akan kulaksanakan." kata Satyabrata penuh semangat.

"Tidak demikian sulitnya, akang. Permintaanku hanya sederhana saja, yaitu kalau benar engkau tidak berhubungan dan tidak mencinta Mintarsih, kalau benar engkau hanya mencinta aku seorang. Nah, kau bunuhlah Mintarsih!"

Mendengar ini, Satyabrata terbelalak dan merasa seolah disambar petir. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Maya Dewi akan mempunyai permintaan segila itu!

"Hemm, engkau terkejut dan tidak sanggup melakukan, bukan? Hal itu karena engkau mencintanya dan pernyataan cintamu kepadaku hanya gombal belaka!"

"Eh, tidak, Maya! Sama sekali bukan begitu. Hanya... bagaimana aku dapat mernbunuhnya? Ia adalah puteri Paman Senopati Poncosakti yang merupakan sekutu kita!"

"Huh, katakan saja engkau sayang kepada Mintarsih. Nah, kalau begitu, kawini Mintarsih dan jangan sekali-kali berani bicara tentang cinta lagi dengan aku!" Maya Dewi marah sekali.

"Ah, baiklah, Maya Dewi. Demi cintaku kepadamu, aku akan melaksanakan permintaanmu itu. Kita tunggu saat terbaik dan untuk itu, terpaksa kita harus tinggal disini lebih lama. Dan engkau harus membantuku. Kita rencanakan siasat agar paman senopati tidak tahu bahwa aku yang melakukan itu."

Maya Dewi tersenyum dan wajahnya berubah cerah gembira. Nafsu telah melenyapkan semua pertimbangan tentang baik buruk, benar salah, sehingga apa yang dilakukannya, dianggapnya benar dan tepat, bahkan adil dan baik! Maya Dewi membenci Mintarsih karena gadis itu berani mencinta Satyabrata, maka dalam anggapannya, puteri senopati itu harus dibunuh dan ini sudah adil dan benar menurut pendapatnya. Juga Satyabrata menganggap rencana pembunuhan itu sudah benar karena hal itu dilakukan untuk meyakinkan Maya Dewi akan cintanya dan selain itu, sebagai akibat dari apa yang telah terjadi semalam antara dia dan Mintarsih, maka tentu akan menimbulkan akibat.

Setidaknya Mintarsih tentu akan terus mengejarnya dan menuntut pertanggungan jawabnya. Maka sudah tepat dan baik sekali kalau gadis itu dibunuh! Setelah mengatur siasat, Satyabrata menghampiri Maya Dewi dan hendak memeluknya. Akan tetapi Maya Dewi menghindar dan berkata, "Jangan tergesa-gesa, akang Satya. Laksanakan dulu permintaanku sebagai bukti cintamu!" Setelah berkata demikian, ia lalu keluar dari dalam kamar pemuda itu.

********************

Mintarsih baru bangun setelah matahari naik tinggi. Setelah bangun, ia bangkit duduk dan termenung. Timbul perasaan gelisah dan sesal dalam hatinya. Ia teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Biarpun hal itu terjadi seperti dalam mimpi yang indah, namun ia tahu dan merasa bahwa semua itu bukan mimpi! Ia telah pergi ke kamar Satyabrata malam tadi, ia telah membiarkan dirinya digauli pemuda itu. Ia telah ternoda! Ia menagis, menutupi muka dengan kedua tangannya.

Mengapa ia melakukan hal sehina itu? Belum menikah telah menyerahkan diri kepada seorang laki-laki yang baru saja dikenalnya? Akan tetapi semua itu telah terjadi! Dan ia mencinta Satyabrata. Juga pemuda itu tentu rnencintanya. Kalau tidak, tentu tidak terjadi hal semalam. Ia harus menghubungi pemuda itu. Ia harus menuntut agar Satyabrata menikahinya! Akan tetapi hal itu harus dilakukan secara diam-diam agar tidak ada seorangpun tahu bahwa ia telah digauli pemuda itu.

Mintarsih lalu mandi dan berdandan. Ia tidak melihat Maya Dewi dalam kamar. Timbul rasa khawatirnya. Jangan-jangan mereka, Maya Dewi dan Satyabrata, telah pergi meninggalkan gedung keluarganya! Celaka kalau begitu. Ia bergegas, berdandan rapi lalu keluar. Hatinya lega. Dilihatnya Satyabrata dan Maya Dewi sedang duduk bercakap-cakap dengan ayah dan ibunya di ruangan tengah.

"Wah, engkau baru bangun, Tarsih!" tegur Senopati Poncosakti kepada puterinya.

"Hemm, sungguh tidak semestinya seorang gadis bangun begini siang!" Isteri senopati itu menegur. Ia adalah seorang wanita yang jauh lebih muda dari suaminya, baru berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ia memang isteri baru sang senopati, atau ibu tiri Mintarsih. Senopati Poncosakti datang ke Surabaya hanya bersama anaknya, Mintarsih, karena isterinya telah meninggal dunia ketika terjadi perang antara Pasuruan dan Mataram.

Setelah menjadi senopati di Kadipaten Surabaya, baru dia menikah lagi dengan Kartinah. Wanita ini cantik dan biarpun lahirnya ia tidak berani bersikap kasar kepada Mintarsih, anak tirinya, namun dalam batinnya tentu saja ia merasa tidak begitu suka, apalagi Mintarsih yang kenes dan lincah itu memang tidak begitu taat kepadanya.

Maya Dewi tertawa dan berkata, "Aku lihat tidurmu nyenyak sekali, maka aku tidak menggugahmu, adik Mintarsih. Mari, duduklah."

Mintarsih duduk dan sejenak ia menatap wajah Satyabrata. Pemuda itupun memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandang matanya. Maya Dewi yang diam-diam memperhatikan Mintarsih, menjadi semakin panas dan benci melihat betapa Mintarsih memandang Satyabrata dengan sinar mata penuh kagum dan mesra.

Senopati Poncosakti merasa gembira sekali ketika mendengar kesanggupan Satyabrata dan Maya Dewi untuk menginap satu malam lagi di gedungnya. Malam tu kembali dia menjamu kedua orang muda itu dengan pesta makan minum. Akhirnya Mintarsih berhasil memperoleh kesempatan untuk bicara berdua dengan Satyabrata. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Satyabrata sudah berbisik, "Malam nanti kutunggu engkau di kamarku. Kita dapat bicara dengan panjang lebar dan leluasa."

Mintarsih merasa girang dan ia mengangguk sambil tersenyum. Memang agak sukar membicarakan rahasia mereka berdua ditempat terbuka, di mana besar bahayanya percakapan mereka didengar orang lain. Kalau di kamar pemuda itu tentu ia dapat bicara secara terbuka mengajukan tuntutan agar pemuda itu meminang dan menikahinya, di samping itu mereka dapat mengulang kemesraan yang mereka nikmati malam tadi.

Malam itu, tidak seperti biasa, hawanya dingin menusuk tulang. Sejak sore Mintarsih sudah menanti datangnya malam dengan jantung berdebar. Ketika makan malam tadi, ia menangkap isyarat pandang mata Satyabrata seolah mengingatkan janji mereka dan tanpa diketahui orang lain ia mengangguk. Mintarsih menanti sampai Maya Dewi tertidur.

Setelah memanggil-manggilnya namun Maya Dewi tidak bangun, yang berarti Maya Dewi telah tidur pulas, Mintarsih turun dari pembaringan, mematikan lampu dan membuka daun pintu kamar, lalu berindap-indap ia menuju kebangunan samping, ke kamar Satyabrata! Jantungnya berdebar tegang, seperti jantung setiap orang yang akan melakukan perbuatan yang tidak benar.

"Tok-tok-tok...!" Ia mengetuk perlahan daun pintu kamar Satyabrata tiga kali. Pintu terbuka dan Satyabrata menarik tangan gadis itu ke dalam kamar dan Mintarsih menurut saja, tersipu malu ketika Satyabrata menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Akan tetapi, seperti telah direncanakan sebelumnya, sekali ini kedua lengan Satyabrata bergerak untuk melakukan pelukan maut itu. Kedua lengan merangkul, akan tetapi jari-jari tangannya mengetuk tengkuk Mintarsih dengan kuatnya sehingga seketika itu juga gadis puteri senopati itu terkulai dalam rangkulan Satyabrata dan pingsan.

Satyabrata memondong tubuh gadis itu keluar dari kamar, menengok ke kanan kiri. Malam itu sunyi dan dingin. Tak tampak sesuatu yang mencurigakan dan Satyabrata membawa tubuh Mintarsih ke dalam taman. Tidak seperti orang yang baru saja melakukan kejahatan, sikap Satyabrata tenang saja. Bulan sepotong yang berada dilangit menjadi saksi bisu ketika dia merebahkan tubuh Mintarsih ke atas sebuah bangku di dekat kolam ikan di tengah taman itu.

Satyabrata lalu menanti sebentar. Seperti yang sudah diatur dan dijanjikan sebelumnya, pada saat itu terdengar suara orang dan muncullah Maya Dewi dan seorang penjaga keamanan yang biasa menjadi perajurit pengawal dan bertugas jaga di depan gedung sang senopati. Perajurit ini bertubuh tinggi besar, usianya sekitar tiga puluh tahun. Dia tadi sedang bertugas jaga seorang diri ketika tiba-tiba Maya Dewi menghampirinya dan mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu yang amat penting untuk diketahui dia sebagai penjaga keamanan.

Sebagai seorang petugas yang bertanggung jawab, perajurit itu tentu saja tertarik dan dia mengikuti tamu yang dihomati itu memasuki taman di belakan gedung. Setelah tiba didalam taman, perajurit itu bertanya, "Ada terjadi apakah den-ajeng?"

"Mari kita lihat di sana, dekat kolam ikan itu!" jawab Maya Dewi.

Ketika mereka tiba dekat kolam, perajurit itu melihat tubuh Mintarsih yang rebah telentang diatas bangku, seperti orang tidur atau mati. "Den-ajeng Mintarsih kenapa ?" Penjaga itu menghampiri dan membungkuk untuk melihat keadaan Mintarsih. Pada saat itu Maya Dewi menggerakkan tangannya menghantam kepala perajurit itu.

"Prakk!" Perajurit itu terjungkal dan roboh, tewas seketika karena kepalanya retak oleh pukulan tangan miring Maya Dewi yang ampuh itu. "Akang Satya, sekarang lakukanlah!" kata Maya Dewi. Satyabrata tidak meragu lagi.

Dia menghampiri mayat perajurit itu, mencabut kerisnya, lalu menghampiri tubuh Mintarsih yang masih rebah pingsan di atas bangku. Sekali dia mengayun, keris itupun menancap didada Mintarsih, menembus jantungnya. Gadis yang dalam keadaan pingsan itu tidak bergerak lagi dan darah muncrat dari dadanya ketika keris dicabut. Satyabrata lalu menaruh gagang keris kedalam genggaman tangan kanan perajurit yang sudah mati.

"Sekarang, cepat bangunkan mereka!" kata Maya Dewi yang merasa girang bahwa Satyabrata benar-benar tega membunuh Mintarsih untuk membuktan cintanya kepadanya!

Satyabrata berlari ke arah gedung dan dia memukul kentungan yang tergantung disudut bangunan. Bunyi kentungan dipukul bertalu itu tentu saja mengejutkan semua orang. Beberapa orang perajurit pengawal yang bertugas jaga di depan gedung datang berlarian dan bertanya kepada Satyabrata apa yang terjadi.

"Pembunuhan, nimas Mintarsih dibunuh orang! Cepat laporkan kepada Paman Senopati Poncosakti! Dan seorang dari kalian lanjutkan pukul kentungan ini!"

Para perajurit pengawal lalu mengikuti Satyabrata berlari memasuki taman. Di dekat kolam mereka melihat Jalu, seorang perajurit rekan mereka telah menggeletak tewas dengan darah mengalir dari telinga, hidung dan mulutnya dan mayatnya masih memegang sebatang keris. Sedangkan di atas bangku menggeletak mayat Mintarsih yang letak pakaiannya tidak karuan, kembennya hampir lepas, kainnya tersingkap sehingga pahanya yang putih mulus tampak, dan bajunya berlepotan darah yang mengalir keluar dari dadanya.

Melihat ini, Satyabrata melirik ke arah Maya Dewi, maklum bahwa gadis itu yang sengaja membuat pakaian Mintarsih seperti itu sehingga siapa saja yang melihatnya akan mudah menduga bahwa gadis itu akan diperkosa orang! Tak lama kemudian muncul Senopati Poncosakti dan isterinya. Kartinah, isteri Poncosakti, menjerit dan menangisi anak tirinya. Maya Dewi maklum bahwa tangis itu terlalu dibuat-buat.

Senopati Poncosakti sendiri berdiri dengan muka merah karena marah sehingga beberapa saat lamanya dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia memandang kepada Satyabrata dan suaranya menggetar penuh kesedihan dan kemarahan ketika dia bertanya. "Anakmas Satyabrata, andika yang memukul kentungan, andika yang mengetahui apa yang terjadi. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan anakku?"

"Maaf, paman. Terpaksa saya mengabarkan peristiwa buruk yang menyedihkan. Tadi ketika tidur, saya dikejutkan suara jeritan. Saya lalu membereskan pakaian dan berlari keluar, memasuki taman dari mana suara jeritan itu terdengar. Setelah tiba di sini, saya melihat Maya Dewi sedang berkelahi melawan laki-laki ini dan masih sempat melihat Maya Dewi merobohkannya dengan sebuah pukulan pada kepalanya dan saya melihat nimas Mintarsih sudah rebah mandi darah dan tewas di atas bangku itu."

Senopati Poncosakti lalu menoleh ke pada Maya Dewi. "Nini Maya Dewi, kalau begitu andika yang datang lebih dulu Apa yang terjadi di sini?"

"Sayapun terkejut mendengar jeritan dan saya segera berlari ke sini. Mungkin karena letak kamar adik Mintarsih dimana saya tinggal lebih dekat, maka saya lebih cepat tiba disini. Juga karena ketika terbangun saya tidak melihat adi Mintarsih, saya merasa khawatir dan berlari secepatnya memasuki taman. Dan disini dengan kaget sekali saya meliha orang ini..." ia menuding ke arah mayat perajurit pengawal itu, "...ia sedang bergulat dengan adik Mintarsih. Tiba-tiba adik Mintarsih terkulai dan darah muncrat dari dadanya. Agaknya dalam pergumulan diatas bangku itu, jahanam itu menggunakan kerisnya untuk mengancam dan keris itu digunakan untuk menusuk dada. Saya marah sekali, akan tetapi jahanam ini melawan dengan keris ditangan, maka saya menggunakan pukulan maut untuk menghantam kepalanya. Pada saat itu, akang Satya datang dan saya minta agar dia melapor dan membangunkan semua orang. Demikianlah, paman senopati, apa yang saya lihat tadi."

Senopati Poncosakti menjadi marah, mengepal tinju dan tiba-tiba dia menghampiri mayat perajurit itu dengan langkah lebar. "Jahanam busuk, keparat tak mengenal budi! Berani kamu hendak memperkosa anakku?" Dan senopati itu lalu mengamuk, menendangi kepala dan tubuh mayat itu berulang-ulang sampai kepala itu menjadi pecah dan remuk!

Untuk menghormati keluarga sang senopati, Satyabrata dan Maya Dewi menginap satu malam lagi di gedung itu. Dan malam itu, Satyabrata menagih janjinya dan Maya Dewi yang kini sudah yakin sepenuhnya akan cinta pemuda itu, dengan senang hati dan suka rela menyerahkan diri kepada Satyabrata! Kalau keluarga Senopati Poncosakti berkabung dan berduka, malam itu Satyabrata dan Maya Dewi berpesta-pora, bersenang-senang dan berenang-renang dalam lautan nafsu berahi mereka, seolah mereka menjadi sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu!

Dan semenjak malam itu, nafsu berahi dalam diri Maya Dewi bagaikan seekor kuda liar yang dilepas dari kendalinya! Nafsunya mengamuk, merajalela dan menguasai diri Maya Dewi sepenuhnya, sehingga sejak saat itu, Maya Dewi telah menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri.

Pada keesokan harinya kedua orang itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Madura dengan berperahu. Mereka langsung pergi menghadap Sang Adipati Pangeran Mas di Arisbaya yang pada saat itu sedang mengadakan perundingan dengan para menteri dan para senopatinya. Tentu saja disana hadir pula dua orang pembantu terpenting dari Arisbaya, yaitu Ki Harya Baka Wulung yang menjadi penasihat, dan puteranya, Raden Dibyasakti yang menjadi senopati muda.

Di situ hadir pula para pembantu yang di datangkan Ki Harya Baka Wulung, di antara mereka terdapat Sang Wiku Menak Koncar datuk Blambangan dan juga Kyai Sidhi Kawasa datuk dari Banten. Mereka sedang merundingkan tentang ancaman balatentara Mataram yang hendak menyerbu Madura. Ketika pengawal melapor bahwa ada seorang pemuda dan seorang gadis mohon menghadap, Adipati Pangeran Mas mengerutkan alisnya dan membentak.

"Apakah engkau tidak tahu bahwa kami sedang mengadakan perundingan yang amat penting? Jangan ganggu kami, hai pengawal bodoh dan katakan kepada mereka untuk menghadap lain kali saja."

"Ampunkan hamba, gusti. Hamba sudah mengatakan hal itu akan tetapi pemuda yang mengaku utusan kumpeni..."

"Cukup! Usir mereka atau engkau yang akan dijatuhi hukuman!" Adipati Arisbaya membentak marah. Hatinya sedang risau oleh ancaman pasukan Mataram yang kabarnya sudah bergerak untuk menyerbu Madura, maka gangguan itu membuatnya marah.

Akan tetapi mendengar laporan itu, Dibyasakti teringat dan dia cepat menyembah dan berkata, "Kanjeng adipati hamba mengenal pemuda itu!"

"Hamba juga mengenalnya!" kata pula Wiku Menak Koncar, lalu bertanya kepada pengawal. "Bukankah dia pemuda tampan yang matanya agak kebiruan?"

Dengan takut-takut pengawal itu berkata, "Benar, dia juga mengatakan bahwa dia mengenal Raden Dibyasakti dan Sang Wiku Menak Koncar."

"Tidak salah lagi. Dialah yang pernah hamba ceritakan kepada paduka, kanjeng. Pemuda utusan kumpeni yang sakti mandraguna. Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan ancaman penyerbuan pasukan Mataram. Karena itu, hamba kira sebaiknya kalau paduka mengijinkan mereka masuk," kata Dibyasakti.

"Hemm, begitukah? Hai, pengawal, siapakah nama dua orang yang hendak menghadap itu?"

"Menurut pengakuan mereka, pemuda itu bernama Satyabrata dan gadis itu bernama Maya Dewi, gusti."

"Maya Dewi?" seru Ki Harya Baka Wulung. "Kanjeng adipati, gadis itu adalah puteri Adi Resi Koloyitmo yang hamba undang dan dia sudah sanggup untuk membantu kita!"

Adipati Pangeran Mas mengangguk-angguk senang. "Kalau begitu, persilakan mereka masuk, pengawal!"

Pengawal itupun merasa lega karena tidak jadi mendapat marah. Dia menyembah lalu mengundurkan diri untuk mengantar Satyabrata dan Maya Dewi datang menghadap. Dua orang muda itu diterima dengan ramah oleh Adipati Pangeran Mas setelah tahu bahwa kedatangan mereka berdua adalah untuk membantu Madura. Satyabrata memberi tahu bahwa Willem Van Huisen sudah siap membantu dengan kapal perangnya, juga dia siap membantu untuk menghadapi para ksatria gagah dan sakti yang akan membantu pasukan Mataram.

Maya Dewi juga menceritaka bahwa ia memang diutus ayahnya untuk membantu Madura dan ayahnya akan menyusul segera ke Madura. Persidangan dilanjutkan dan tak lama kemudian, para adipati lain yang diundang untuk bermusyawarah berdatangan. Mereka adalah para bupati diseluruh Madura yang datang bersama pasukan mereka sehingga tergabunglah pasukan mereka menjadi pasukan besar yang siap menghadapi penyerbuan balatentara Mataram.

Mereka yang berdatangan itu adalah para bupati dari Aribanggi, Bali, Sumenep, Pamekasan, Pekacangan, dan Raden Prasena, keponakan Sang Adipati Pangeran Mas dari Arisbaya yang berusia sembilan belas tahun itu datang memenuhi undangan. Akan tetapi karena Raden Prasena ini memang disingkirkan pamannya dan di Sampang hanya diberi kekuasaan kecil dan hanya mempunyai pasukan kecil, maka pasukan yang dibawanya tidak ada artinya.

Dalam pertemuan itu diadakan perundingan untuk merencanakan cara pertahanan untuk menyambut penyerbuan pasukan Mataram. Mereka semua bertekad untuk mempertahankan Madura. Akan tetapi Raden Prasena yang masih muda itu diam-diam tidak setuju dengan mereka semua. Hal ini adalah karena dia menaruh dendam kepada Adipati Arisbaya yang menyerobot kedudukan adipati di Arisbaya. Sebetulnya, dialah yang berhak menggantikan kedudukan adipati setelah ayahnya, Adipati Teguh Arisbaya wafat. Akan tetapi karena ketika itu dia dianggap terlampau kecil, baru berusia sekitar empat belas tahun, maka kedudukannya diambil alih pamannya yang kini menjadi Adipati Arisbaya dan dia sendiri disingkirkan ke Sampang.

Diam-diam dia mengambil keputusan untuk tidak membantu pamannya melawan Mataram! Para senopati yang gagah perkasa dari daerah-daerah itu dikumpulkan untuk memimpin pasukan gabungan. Di antara mereka terdapat Dibyasakti, Jayengbadra, Jagapati, Rangga Gobag-gabig Mangundaka, Tumenggung Surobayu, Demang Rujak-beling dan para pembantu mereka yang merupakan perwira-perwira yang gagah.

Selain itu, masih ada para datuk yang membantu mereka, yaitu Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa, Satyabrata dan Maya Dewi yang menggantikan ayahnya karena Resi Koloyitmo belum datang. Mereka semua telah siap siaga menanti datangnya pasukan musuh.

********************

Sementara itu Muryani yang ditinggalkan Satyabrata di rumah perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria, setelah lewat beberapa hari saja menjadi gelisah. Apalagi mendengar bahwa pasukan Mataram akan berperang melawan Madura dan Surabaya. Mendiang ayahnya, Ki Ronggo Bangak adalah seorang yang setia kepada Mataram dan selalu bercerita kepada puterinya itu tentang kebijaksanaan Sultan Agung, seorang raja yang agung binathara dan sakti mandraguna, bahkan dinggap sebagai wali, seorang manusia pilihan Gusti Allah.

Hebatnya, menurut cerita ayahnya, Sultan Agung bahkan memperisteri Kanjeng Ratu Kidul, yaitu ratu kerajaan siluman yang menguasai Laut Selatan! Biarpun belum pernah melihat sang prabu yang kabarnya arif bijaksana dan sakti mandraguna itu, ada yang mengabarkan bahwa beliau adalah seorang yang pernah berguru kepada seorang Wali yang amat terkenal dan amat dihormati, baik oleh umat agama baru, Islam maupun oleh umat agama lama Hindu dan Buddha.

Kanjeng Sultan Agung itu pandai menyesuaikan agama Islam dengan dua agama itu yang sudah mendarah daging dalam kehidupan rakyat Jawa. Dengan cara ini, maka rakyat yang menjadi umat agama Hindu dan Buddha melihat persamaan atau ada yang sejalan antara agama Islam dengan agama mereka, dan dengan demikian mereka tidak memusuhi agama baru itu, malah banyak yang mau menerima agama Islam. Bahkan Sultan Agung menulis kitab Sastra Gending yang berisi pelajaran Aliran Tashawwuf yang bercampur dengan pelajaran kitab-kitab Weda yang intinya ajaran Manunggali Kawula Gusti atau yang disebut Kejawen.

Selain keterangan yang didapat dari mendiang ayahnya dahulu, juga guru Muryani, Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali, juga berpihak kepada Mataram. Oleh karena itu, Muryani menjadi tidak betah tinggal diam di Muria dan pada suatu hari iapun berpamit dari gurunya untuk pergi ke Madura membantu pasukan Mataram.

"Muryani, kalau engkau pergi membantu Mataram, hal itu baik sekali aku amat menyetujuinya. Akan tetapi kalau engkau pergi untuk menyusul atau mencari pemuda yang bernama Satyabrata itu dan melakukan perjalanan bersamanya, sungguh hal itu membuat hatiku merasa resah."

Ucapan gurunya ini baru sekali ini terdengar sebagai pernyataan tidak suka pada Satyabrata. Biarpun sejak semula Ageng Branjang merasa tidak suka kepada pemuda itu, namun dia tidak pernah menyatakannya kepada Muryani. Maka, mendengar ada nada yang tidak suka dalam ucapan gurunya itu, Muryani merasa heran.

"Kenapa, bapa guru? Kenapa bapa merasa resah kalau saya melakukan perjalanan bersama kakangmas Satyabrata?"

"Entahlah, Muryani. Ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu yang mendatangkan kecurigaan dalam hatiku. Dia memang tampan, akan tetapi ketampanannya itu aneh, matanya agak kebiruan dan... dan sikapnya terlalu lembut dan sopan santun sehingga seperti dibuat-buat. Selain itu, tentang kesaktiannya. Dia mengaku bahwa dia menemukan kitab-kitab berisi aji-aji kesaktian peninggalan mendiang Sunan Gunung Jati yang selain terkenal sakti, juga terkenal sebagai seorang yang arif bijaksana dan tinggi tingkat rohaninya. Akan tetapi aku dapat melihat sinar sesat dalam pandang mata pemuda itu. Ada lain hal lagi yang mencurigakan hatiku. Mengapa dia mengajak kau nonton perang antara Mataram dan Madura kemudian baru akan memilih pihak mana yang harus dibantu? Kenapa tidak langsung membantu Mataram? Nah itulah yang meresahkan hatiku, Muryani. Karena itu, kalau engkau bertemu dengan dia, berhati-hatilah dan jangan mudah terbujuk rayuan manis."

Muryani menundukkan mukanya karena ia merasa bahwa memang Satyabrata telah merayunya dan bahkan menyatakan cintanya kepadanya. "Baiklah, bapa, akan saya perhatikan nasihat bapa dan saya akan waspada."

Setelah berkemas dan berpamit, berangkatlah Muryani meninggalkan Gunung Muria dan melakukan perjalanan cepat menuju ke timur. Di sepanjang perjalanannya Muryani sudah mendengar akan berita bahwa Mataram sudah siap untuk menyerbu Madura. Di daerah Tuban yang sudah ditundukkan Mataram beberapa tahun yang lalu, ia mendengar bahwa pasukan daerah-daerah pesisir utara juga sudah siap untuk diperbantukan kepada pasukan besar Mataram.

Dari Kadipaten Tuban, Muryani melakukan perjalanan cepat menyusuri pantai utara menuju ke timur. Pada suatu pagi tibalah ia di dusun Pangkah, di mana terdapat muara Kali Solo. Di sinilah Bengawan Solo yang melakukan perjalanan amat panjang itu mengakhiri alirannya dan semua air bengawan itu terjun ke laut yang menjadi tempat asalnya.

Muryani berhenti di tepi muara sungai yang lebar. Ia menjadi bingung, dan memandang ke kanan kiri. Bagaimana ia harus menyeberangi muara sungai yang lebar ini? Tiba-tiba wajahnya berseri gembira, ia melihat sebuah perahu di tengah muara. Perahu itu meluncur dari seberang dan baru saja tiba, maka ia tadi tidak melihatnya. Agaknya sebuah perahu nelayan karena penumpangnya yang dua orang laki-laki itu kini bersiap-siap untuk menebarkan jala.

Melihat mereka, Muryani segera berseru memanggil. "Heiii! Kisanak tukang perahu! Tolong seberangkan aku, berapa upahnya akan kubayar!"

Karena Muryani mengerahkan tenaga saktinya, maka teriakannya itu kuat sekali dan dapat terdengar oleh dua orang itu dengan jelas dan mereka segera memandang ke arah Muryani. Biarpun jarak di antara perahu dan gadis itu tidak dekat, namun mudah kelihatan oleh mereka bahwa yang memanggil adalah seorang wanita muda yang cantik sekali. Mereka saling berbisik, lalu mendayung perahu menghampiri tepi di mana gadis itu berdiri.

Setelah tiba di tepi sungai, mereka mendarat dan seorang dari mereka memegangi tali perahu agar tidak hanyut dibawa air sungai. Muryani memandang dan melihat bahwa dua orang itu adalah laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun. Keduanya bertubuh tinggi besar, yang seorang berwajah penuh brewok dan yang kedua bermuka hitam. Dua muka pria yang sama sekali tidak menarik hatinya. Akan tetapi, karena ia membutuhkan bantuan mereka maka ia tersenyum manis.

"Kisanak, aku ingin menyeberang. Tolong seberangkan aku dengan perahu kalian dan aku akan memberi upah secukupnya:". Kata Muryani kepada si muka brewok yang berdiri didepannya.

Si brewok menoleh dan memandang kepada kawannya, si muka hitam yang memegangi tali perahu, lalu sambil tersenyum lebar menyeringai sehingga tampak deretan gigi yang besar-besar dia bertanya, "Mas ayu, kalau kami mau meyeberangkan, apakah upahnya?" Suaraya dibuat-buat, seperti seorang pemain ketoprak sedang bergaya di atas panggung, jelas sekali dia menirukan gaya Yuyu Kangkang ketika hendak menyeberangkan para gadis keluarga Kleting dan minta upah ciuman!

Muryani juga merasakan hal ini dan diam diam ia merasa gemas, akan tetapi masih ditahannya. Ia tahu dari pandang mata, senyuman dan gerak gerik mereka bahwa dua orang ini bukanlah orang-orang yang berwatak sopan dan baik. Akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menjawab tenang.

"Berapa upah yang kalian minta akan kubayar."

"Benarkah? Wah, kalau begitu kami minta upah ciuman saja, tiga kali untuk kami masing-masing.

Ha-ha-ha! Bagaimana, mas ayu?" Kini kedua orang laki-laki kasar itu tertawa-tawa. Akan tetapi sungguh di luar dugaan mereka. Gadis itu tidak marah atau tersipu malu mendengar tuntutan upah mereka, sebaliknya gadis itu mengangguk dan berkata tenang. "Mari kita berangkat!" dan Muryani segera melangkah memasuki perahu kecil itu!

Tentu saja dua orang laki-laki yang tadinya hanya hendak menggoda secara kurang ajar, menjadi heran dan juga girang. Bagaimana tidak akan girang kalau dijanjikan akan menerima hadiah ciuman tiga kali dari seorang gadis secantik ini. Mereka dapat merasakan kekesenangan seperti yang alami Yuyu Kangkang ketika menyeberangkan para gadis Kleting Abang, Kleting Biru dan Kleting Ungu dalam dongeng "Si Kleting Kuning" itu!

Si muka hitam mendayung perahu itu dan si brewok hanya duduk sambil mengamati wajah dan tubuh indah gadis yang duduk di depannya itu. Membayangkan betapa nanti gadis itu akan menciumnya tiga kali membuat si brewok bergairah sekali dan bangkitlah nafsunya. Dia tidak sabar lagi lalu menggeser duduknya mendekati Muryani.

"Nimas ayu, aku minta bagianku sekarang saja!" katanya dan tiba-tiba dia menangkap lengan kanan Muryani dan hendak menarik dan merangkulnya.

Muryani mengayun tangan kirinya ke arah sisi leher si brewok itu. Demikian cepat gerakan tangannya sehingga si brewok tidak sempat mengelak atau menangkis. "Wuuuttt... kekkk!!" Seketika si brewok menekuk tubuhnya yang tinggi besar berotot itu.

Kedua tangannya memegangi leher yang rasanya patah-patah, panas dan nyeri seperti ditusuki ratusan batang jarum. "Aduhh... aduhhh... tobaat... aduuuhhh�!" Si brewok merintih kesakitan, tubuhnya menggeliat-geliat dan kedua tangannya menekan bagian leher yang terpukul tangan miring Muryani tadi.

Melihat keadaan temannya, si muka hitam yang duduk di belakang Muryani menjadi terkejut dan juga marah. Dia mengangkat dayungnya dan menghantamkan dayung itu ke arah kepala Muryani! "Wuuuttt... plakk... dukkk!!" Tanpa mengubah duduknya, Muryani hanya memutar tubuh atasnya, menyambut dayung itu dengan kedua tangannya dan sekali mengerahkan tenaga ia telah mendorong dayung itu sehingga gagang dayung terdorong dan menghantam ulu hati si muka hitam.

"Hekkkk.... !" Si muka hitam juga melipat tubuhnya, membungkuk dan menggunakan kedua tangan memegang dan menekan ulu hatinya yang terasa nyeri dan sukar dipakai bernapas! Dua orang itu mengaduh-aduh dan menyatakan bertobat. Karena tidak ada yang mendayung lagi, perahu itu hanyut terbawa air dan berputar. Melihat ini, Muryani menggepokkan tangan, menepuk tengkuk si brewok dan menampar punggung simuka hitam sehingga mereka tidak tersiksa rasa nyeri yang hebat lagi, hanya tinggal sedikit rasa nyeri yang dapat mereka tahan.

"Nah, cepat dayung perahu sampai keseberang kalau kalian tidak ingin mampus?" bentak Muryani.

Kini dua orang kasar itu merasa kecelik. Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti. Mereka tidak berani main-main lagi. Mereka lalu menggunakan dua buah dayung untuk mendayung perahu keseberang.

"Maafkan kami den ajeng...?" kata brewok. "Andika tentu seorang puteri pendekar dari Mataram."


Seruling Gading Jilid 22

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Seruling Gading Jilid 22

SATYABRATA menghentikan ucapan gadis Belanda itu dengan sebuah ciuman yang bernafsu. Akan tetapi, setelah membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam kemesraan itu, Elsye lalu meronta dan melepaskan dirinya.

"Jan, aku tidak mau. Kalau engkau memaksa, aku akan lapor kepada papa!"

Satyabrata tidak berani memaksa. Elsye bukanlah sembarang gadis yang dapat dijadikan pemuas nafsunya seperti para gadis yang pernah menjadi korbannya. Akan tetapi diam-diam dia lalu mengerahkan aji pengasihan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang pernah dipelajarinya dalam sumur tua.

"Elsye, kekasihku !" Dia berbisik.

"Jan... ohh... Jantje...!" Elsye terkulai dalam rangkulan Satyabrata, sepenuhnya terbuai aji pengasihan Mimi-mintuna yang dikerahkan Satyabrata.

Memang pada dasarnya kedua orang muda itu saling mencinta. Sejak remaja mereka sudah bergaul dekat dan cinta dalam hati mereka yang mula-mula merupakan cinta antara saudara, walau hanya saudara angkat, namun setelah menjelang dewasa mereka saling tertarik dan cinta itu menjadi cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi Satyabrata lalu pergi mengembara sampai lima tahun lebih lamanya. Ketika ditinggal pergi Satyabrata, usia Elsye Van Huisen baru tujuh belas tahun. Sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun lebih, sudah dewasa.

Karena itu, perpisahannya dengan Satyabrata membuka kesempatan baginya untuk berkenalan dan saling jatuh cinta dengan seorang pemuda lain, seorang pemuda Belanda yang berpangkat letnan dan menjadi pembantu ayahnya, bernama Piet Meijer. Willem Van Huisen menyetujui pilihan puterinya dan mereka telah ditunangkan. Karena itu Elsye tadinya menolak ketika diajak bercumbu oleh Satyabrata. Akan tetapi setelah pemuda itu mempergunakan Aji Pengasihan Mimi-mintuna yang ampuh, Elsye tak berdaya menolak. Mereka saling berangkulan dan berciuman, dan gadis Belanda itupun mandah saja ketika Satyabrata memondongnya dan hendak membawanya pergi dari taman.

Sepasang mata Maya Dewi mengeluarkan sinar berapi ketika ia melihat semua ini. Dapat dibayangkan betapa marah rasa hatinya melihat Satyabrata bercumbu dengan gadis Belanda itu. Hatinya dibakar cemburu. Bukankah pemuda itu mengaku jatuh cinta kepadanya? Dan diam-diam iapun mulai tertarik dan mencintai Pemuda yang sakti mandraguna dan tampan lembut itu. Akan tetapi sekarang ia melihat Satyabrata berangkulan dan berciuman dengan Elsye! Ia tidak dapat lagi menahan kemarahan dan cemburunya.

Sekali melompat Maya Dewi sudah berdiri menghadang di depan Satyabrata yang berjalan sambil memondong Elsye yang memejamkan kedua matanya sambil lengannya merangkul leher pemuda itu. Melihat bayangan berkelebat dan tiba-tiba Maya Dewi berdiri di depannya dengan sepasang mata mencorong marah itu, Satyabrata menjadi terkejut bukan main. Saking kagetnya dia melepaskan pondongannya sehingga Elsye jatuh bedebuk dan gadis ini menjadi sadar, terbebas dari pengaruh aji pengasihan yang tadi menguasai dirinya.

Sejenak ia menjadi bingung, lalu teringat akan apa yang ia lakukan bersama Satyabrata. Kini melihat Maya Dewi berdiri disitu, Elsye menjadi malu dan iapun bangkit berdiri dan berlari ke gedung Loji Tamu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Maya Dewi kini tinggal berdua dengan Satyabrata di tengah taman itu. Mereka berdiri saling berhadapan dan Satyabrata sudah dengan cepat dapat menguasai hatinya. Dia tersenyum dan dengan wajah yang polos dan bersih seolah tidak pernah melakukan sesuatu yang salah, dia menegur.

"Maya Dewi! Engkau belum tidur? Kebetulan sekali engkau datang, aku pun tidak dapat tidur dan kita dapat bercakap-cakap di sini. Duduklah," kata Satyabrata sambil menunjuk ke arah bangku.

"Akang Satya! Jangan berpura-pura. Apa yang kau lakukan bersama gadis Belanda itu tadi?"

"Ehh...?" Satyabrata mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya membayangkan keheranan seorang yang tidak mempunyai kesalahan apapun. "Apa maksudmu? Apa yang kami lakukan?"

"Ehh...! Masih bertanya lagi? Kalian saling berangkulan, berciuman, dan engkau memondongnya...!"

Tiba-tiba Satyabrata tertawa. "Ha-ha-ha! Engkau cemburu, Maya? Engkau cemburu terhadap adikku sendiri? Ha-ha, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa peluk bagi bangsa Belanda adalah hal yang biasa dilakukan kakak beradik? Engkau tahu, aku berpisah dengan adikku itu selama lima tahun lebih. Setelah sekarang kami bertemu, kami menumpahkan kerinduan kami. Peluk Cium itu adalah tanda cinta kami, Maya, akan tetapi cinta antara kakak dan adiknya. Bagi bangsa Belanda, hal itu adalah biasa dan tidak melanggar kesusilaan karena peluk cium itupun bersih daripada perasaan yang tidak-tidak. Percayalah, Maya, Elsye mencintaku dan aku mencintanya, akan tetapi cintaku terhadap dirinya sungguh berbeda sekali dengan cintaku terhadap dirimu!"

Ucapan penuh semangat menggebu dan terdengar penuh kesungguhan itu menyiram padam api kemarahan dan kecemburuan dihati Maya Dewi yang biarpun sakti namun sama sekali belum berpengalaman dalam soal cinta mencinta. Tentu saja ia sama sekali tidak mengira bahwa alasan yang dikemukakan Satyabrata tadi bohong. Biarpun bangsa Belanda lebih terbuka dalam memperlihatkan kasih sayangnya, namun tentu saja cumbuan seorang kakak terhadap adiknya sama sekali berbeda dengan cumbuan seorang pria terhadap kekasihnya!

Akan tetapi tidak mengerti akan hal itu dan ia percaya kepada Satyabrata sehingga Maya Dewi mulai tersenyum, sinar matanya tidak mencorong lagi seperti tadi, melainkan bening dan lembut. Sebagai pengganti perasaan cemburunya, kini ia merasa iri membayangkan kemesraan yang tadi dilihatnya antara Satyabrata dan Elsye. "Hemm, begitukah? Apa sih bedanya antara cinta saudara dan cinta kekasih itu, akang?" tanyanya ingin tahu.

Melihat perubahan sikap gadis itu, Satyabrata mendekat lalu memegang kedua tangan Maya Dewi. "Kalau engkau ngin merasakannya, bolehkan aku membuktikan kasihku kepadamu, Maya?" Kedua tangannya menggenggam erat tangan gadis itu.

Dengan muka berubah kemerahan dan senyum menantang namun malu-malu, Maya Dewi mengangguk, jantungnya berdebar kencang karena selama hidupnya belurn pernah ia merasa begini dekat dengan seorang pria. Dekat lahir batinnya yang menimbulkan perasaan mesra. Ia pun mengangguk dan menengadahkan mukanya, siap menerima perlakuan mesra seperti yang dilihatnya tadi didapatkan gadis Belanda itu dari Satyabrata.

Satyabrata tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dipeluknya Maya Dewi dengan lembut, lalu diciuminya bibir gadis itu dengan sepenuh perasaan cintanya dengan mesra namun lembut karena dia tidak ingin mengejutkan gadis itu. Pada dasarnya Maya Dewi adalah seorang gadis yang sejak kecil terdidik dan berada dalam lingkungan para hamba nafsu, adalah seorang yang lemah terhadap nafsu-nafsunya sendiri. Oleh karena itu, bagaikan daun kering yang tersentuh api yang dinyalakan Satyabrata, ia segera terbakar dan berkobar diamuk api nafsu berahinya sendiri. Ia terkulai dan terlena oleh kenikmatan yang baru saja dikenalnya.

Namun, gadis yang cerdik ini setelah beberapa saat membiarkan dirinya hanyut meronta dan melepaskan diri dari dekapan. "Hemm... kenapa, Maya? Engkau baru mengenal apa artinya cinta. Marilah, kekasihku, kita pindah ke kamar di Loji, disana kita aman, tidak khawatir terlihat orang lain..." Satyabrata yang sudah merasa menang, menggandeng tangan gadis tu. Akan tetapi Maya Dewi melepaskan tangannya dan menggeleng kepalanya.

"Tidak, belum lagi, akang! Aku masih belum yakin benar akan cintamu. Engkau harus membuktikan itu dengan nyata, baru aku akan percaya dan mau menyerahkan jiwa ragaku kepadamu."

"Membuktikan cintaku? Ah, adindaku yang tersayang, bukti apa lagi yang harus kulakukan untuk meyakinkan hatimu? Katakanlah, semua kehendakmu tentu akan kupenuhi untuk membuktikan cintaku."

Maya Dewi tersenyum dan kini ia yang memegang tangan Satyabrata. "Tenang dan sabarlah, akang. Beri aku waktu unluk memikirkan apa yang harus kaulakukan untuk membuktikan cintamu yang tulus padaku. Sekarang aku ingin tidur. Lihat, tubuhku masih gemetar karena perbuatanmu yang nakal tadi!" Gadis itu melepaskan tangannya dan membalikkan tubuh, lalu berlari pergi ke bangunan loji sambil tertawa kecil.

Satyabrata berdiri tertegun. Kecewa dan kesal memenuhi hatinya. Dia merasa seolah buah segar yang sudah menempel di bibir luput termakan olehnya. Dan itu terjadi dua kali di malam itu. Pertama Elsye yang gagal didapatkannya karena kemunculan Maya Dewi. Kemudian Maya Dewi sendiri, padahal sudah jelas terasa olehnya betapa Maya Dewi membalas belaian dan cumbuannya, yang berarti bahwa gadis itupun membalas cintanya. Kalau dia tadi mempergunakan aji pengasihannya, alangkah akan mudahnya Maya Dewi terjatuh ke dalam dekapannya.

Akan tetapi berbeda dengan terhadap Elsye, dia tidak mau mempergunakan aji pengasihan terhadap Maya Dewi. Dia menginginkan cinta kasih murni gadis itu, ingin gadis itu menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, tanpa paksaan tanpa pengaruh luar. Dia ingin mendapatkan Maya Dewi yang diharapkan menjadi isterinya. Kalau Elsye, gadis Belanda itu tidak mungkin menjadi isterinya karena pertama, Willem Van Huisen tidak mungkin menyetujui puterinya menjadi isteri seorang blasteran, seorang peranakan, seorang Indo, bukan Belanda tulen yang totok.

Kedua, Elsye sudah bertunangan dengan laki-laki lain, seorang pemuda Belanda totok. Ketiga, dia sendiri hanya suka akan kecantikan gadis itu, tidak mencintanya dan tidak mengharapkannya menjadi isterinya. Dia hanya ingin menggauli Elsye sebagai kekasihnya, untuk sementara saja. Dengan hati kecewa Satyabrata kembali kekamarnya. Diam-diam dia merasa heran dan bertanya-tanya, bukti apa yang dikehendaki Maya Dewi nanti untuk membuktikan cintanya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, Satyabrata dan Maya Dewi berpamit kepada Willem Van Huisen yang masih berada di Loji Tamu sebagai tamu kehormatan Pangeran Pekik, untuk memenuhi undangan Senopati Poncosakti yang mengundang mereka untuk bermalam di rumahnya. Ketika berpamit ini, Satyabrata berunding dengan ayah angkatnya, mengatakan bahwa dia hendak pergi ke Madura untuk membantu Madura menghadapi penyerbuan pasukan Mataram. Willem Van Huisen juga berjanji untuk mengatur bantuan kepada Madura melalui kapal perang, juga berjanji akan mengusulkan kepada atasannya di Batavia untuk mengangkat Maya Dewi menjadi mata-mata kumpeni tingkat tinggi yang dipercaya.

Setelah berpamit, di mana Elsye hadir dengan sepasang alis berkerut dan tidak banyak cakap, Satyabrata dan Maya Dewi mengikuti Senopati Poncosakti yang sudah datang menyambut mereka. Mereka lalu mohon diri dari Pangeran Pekik. Rumah tinggal Senopati Poncosakti cukup besar dan mewah walaupun tentu saja tidak sebesar dan semewah istana Sang Adipati. Akan tetapi Senopati Poncosakti menyambut dua orang tamunya itu dengan penuh keramahan dan penghormatan. Dia bahkan mengajak isterinya dan puterinya yang bernama Mintarsih untuk menyambut.

Keramahan keluarga senopati itu membuat Satyabrata dan Maya Dewi merasa lebih senang dan leluasa tinggal di rumah gedung sang senopati. Mintarsih adalah seorang gadis yang ramah dan lincah, juga wajahnya ayu manis. Sebentar saja ia merasa akrab dengan Maya Dewi dan mengajak Maya Dewi tinggal bersama dikamarnya. Satyabrata mendapatkan sebuah kamar di bagian bangunan samping, sebuah kamar yang cukup indah karena kamar itu memang diperuntukkan para tamu yang dihormati.

Maya Dewi juga merasa suka kepada Mintarsih yang kenes dan ramah. Tentu saja kecantikan wajah Mintarsih dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar itu tak luput dari incaran pandang mata Satyabrata! Melihat pandang mata Mintarsih yang menyinarkan kekaguman, senyum yang malu-malu namun ada daya tarik yang menantang itu, timbul gairah Satyabrata dan dia mengambil keputusan untuk mendekati puteri senopati itu. Dia tidak akan melewatkan kesempatan baik itu!

Ketika sore hari itu keluarga senopati menjamu pesta makan, mereka berlima makan di satu meja. Kebetulan Satyabrata duduk tepat berhadapan dengan Mintarsih. Diam-diam ketika pandang mata Mintarsih bertemu dengan pandang matanya, dia mengerahkan aji pengasihannya, diam-diam membaca mantera. Tiba-tiba kedua pipi Mintarsih menjadi kemerahan, matanya redup dan ia menjadi salah tingkah. Akan tetapi Satyabrata tidak melanjutkan ajinya karena maksudnya hanya untuk menarik perhatian gadis itu dan membuatnya tidak lagi mampu melupakannya. Bahkan diam-diam kakinya dijulurkan ke depan dan dia berhasil menyentuh kaki Mintarsih dengan ujung jari kakinya.

Gadis itu tersenyum malu-malu dan menarik kakinya. Akan tetapi Satyabrata merasa yakin bahwa gadis itu tentu tidak akan melupakan semua kejadian kecil ini. Malam itu Mintarsih bercakap-cakap dengan Maya Dewi sambil rebah di atas pembaringan dalam kamar puteri senopati itu. Mintarsih yang ramah dan lincah itu menghujani Maya Dewi dengan pertanyaan. "Benarkah engkau bukan adik dari kakangmas Satyabrata, mbakayu Maya Dewi?" tanya Mintarsih dengan suara penuh keinginan tahu.

"Bukan, sama sekali bukan. Sudah kukatakan itu tadi, untuk apa aku berbohong?" jawab Maya Dewi.

"Lalu bagaimana kalian dapat bertemu dan melakukan perjalanan bersama?"

Sebetulnya Maya Dewi merasa agak tidak senang didesak seperti itu tentang hubungannya dengan Satyabrata, akan tetapi karena sikap Mintarsih demikian ramah dan terbuka, iapun merasa tidak enak kalau tidak menjawab. Maka iapun menwab dengan singkat. "Kami saling bertemu dijalan dan karena mempunyai tujuan sama, yaitu membantu Madura dan Surabaya menentang Mataram, maka kami melakukan perjalanan bersama dan kebetulan bertemu dengan ayahmu."

"O, begitukah? Kalian tampak serasi sekali, mbakyu. Kakangmas Satyabrata demikian ganteng dan engkau begini cantik. Kukira kalau bukan kakak dan adik kalian tentu suami isteri, tunangan atau setidaknya kekasih!" Setelah berkata demikian, Mintarsih memandang wajah Maya Dewi penuh selidik.

Maya Dewi mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya tersenyum. Tentu saja ia tidak mau membuka rahasia hatinya kepada setiap orang. "Ah, kami hanya bersahabat," katanya singkat.

Akan tetapi jawaban ini agaknya amat menggirangkan hati puteri senopati itu. Maya Dewi sama sekali tidak mengira bahwa Mintarsih masih terpengaruh sekali oleh aji pengasihan yang diarahkan kepadanya oleh Satyabrata ketika makan bersama sore tadi dan sentuhan kaki itu pun tak pernah lepas dari kenangannya. Mintarsih memegang lengan Maya Dewi. "Benarkah itu, mbakayu? Ah, girang sekali hatiku. Aku ingin mengenal dia lebih dekat lagi! Mau engkau membantu mbakayu?"

Maya Dewi merasa sebal dan kesal. Ingin ia menghardik, akan tetapi karena ingat bahwa ia seorang tamu, maka ditahannya kemarahannya. Ia tidak menjawab, melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi Mintarsih dan menghadap kedinding sambil berkata lirih. "Ah, aku lelah sekali, ingin tidur sekarang..."

Mintarsih tidak berani mengganggu lagi. Akan tetapi gadis ini gelisah di atas pembaringan, tidak dapat tidur. Ia merasa betapa suara Satyabrata memanggil-manggilnya. Telinganya tidak mendengar suara itu, namun ia merasa sekali tarikan panggilan itu yang membuatnya semakin gelisah. Ia tidak berani turun, takut kalau diketahui Maya Dewi. Ia menanti dengan tidak sabar dan akhirnya ia merasa yakin bahwa Maya Dewi sudah tidur pulas. Pernapasan gadis itu panjang-panjang teratur.

Mintarsih memadamkan lampu, lalu memanggil-manggil nama Maya Dewi. Akan tetapi Maya Dewi benar-benar telah pulas. Kalau disentuh sedikit saja tubuhnya, pasti ia terbangun. Akan tetapi karena hanya dipanggil, ia tidak dapat terjaga dan terus tidur nyenyak. Sementara itu Mintarsih merasa betapa suara panggilan Satyabrata semakin kuat berdengung dalam hatinya, menariknya dan membayangkan kemesraan yang rnembuatnya seperti mabok. Akhirnya Mintarsih tidak kuat bertahan lebih lama lagi dan iapun keluar dari kamarnya. Seperti orang mimpi ia berjalan dengan mata terpejam.

Sesungguhnya itulah pengaruh ilmu santet yang dilakukan Satyabrata semacam ilmu sihir memanggil semangat yang membuat gadis itu berjalan seperti dalam mimpi dan tidak sadar. Mintarsih berjalan perlahan menuju ke sebuah kamar, di bangunan samping, kamar di mana Satyabrata tidur! Biarpun langkah gadis itu hampir tidak menimbulkan suara, namun begitu tiba didepan pintu kamar itu, daun pintu terbuka dari dalam dan Satyabrata sudah berdiri menyambut di ambang pintu sambil tersenyum.

"Kakangmas... aku... datang memenuhi panggilanmu..." Mintarsih berbisik seperti dalam mimpi, lalu melangkah masuk mengikuti Satyabrata yang melangkah mundur ke dalam kamar. Satyabrata mengembangkan kedua lengannya, merangkulnya dan menutup daun pintu kamar itu.

Di antara nafsu-nafsu daya rendah yang amat berbahaya bagi manusia adalah nafsu kemurkaan akan harta benda dan gairah nafsu berahi. Betapa banyakya orang-orang cerdik pandai, orang-orang gagah perkasa, yang jatuh oleh pegaruh kedua macam nafsu ini. Oleh karna itu, setiap orang manusia haruslah berhati-hati sekali menghadapi godaan iblis berupa nafsu materi dan nafsu berahi ini.

Setiap saat iblis menggoda kita, dengan pameran kesenangan dan kenikmatan yang bisa dirasakan melalui harta benda dan pemuasan berahi sehingga kita seringkali lupa bahwa kita diperbudak oleh nafsu dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Tentang Satyabrata kita tidak perlu bicara lagi. Dia adalah seorang pemuda yang sejak kecil sudah terdidik menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia gila kedudukan, gila kekayaan dan mata keranjang, menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sehingga tidak pantang melakukan kejahatan apapun juga untuk mencapai apa yang diinginkannya. Akan tetapi Mintarsih sebetulnya adalah seorang gadis baik-baik.

Sayang ia terlalu centil dan hatinya mudah tertarik dan jatuh melihat pemuda tampan. Penampilan Satyabrata yang pantas disebut seorang ksatria muda yang halus budi, ramah, sopan, dan sakti mandraguna itu telah membuat ia tertarik sekali. Andaikata tidak demikian, andaikata ia tidak terpikat, kiranya tidak akan mudah bagi Satyabrata untuk menyihirnya dengan ilmu pelet atau aji pengasih. Hati yang bersih selalu memiliki daya tolak yang kuat terhadap serangan tenaga sihir yang kotor.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Maya Dewi terbangun dari tidurnya. Ia merasa tubuhnya segar karena tidurnya cukup dan semua kelelahannya lenyap. Ia bangkit duduk dan menggelinjang seperti seekor kucing. Kamar itu cukup terang. Ia menengok dan melihat lampu di meja telah padam, akan tetapi ada seberkas sinar memasuki kamar lewat lubang hawa di atas jendela.

"Kakangmas... kakangmas Satya...."

Maya Dewi cepat memandang ke arah tubuh yang rebah telentang di sampingnya. Tubuh Mintarsih. Maya Dewi mengerutkan alisnya melihat keadaan gadis puteri senopati itu. Pakaian gadis itu awut-awutan, kembennya terlepas dan hanya dilibatkan dan diselipkan sembarangan dipinggangnya. Gelung rambutnya terlepas dan rambut itu terurai di atas bantal. Muka gadis itu pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum dalam tidurnya.

Bagaimana mungkin ini, pikir Maya Dewi. Malam tadi ia melihat sendiri betapa pakaian gadis itu rapi, rambutnya juga digelung rapi, wajahnya dibedaki, bibirnya juga memakai gincu. Akan tetapi kini mukanya pucat tidak ada lagi bekas bedak dan gincu, rambutnya acak-acakan dan pakaiannya awut-awutan! Apa yang terjadi? Kalau gadis itu banyak bergerak diwaktu tidur, sungguh tidak mungkin, karena tentu ia akan tersentuh dan hal ini akan membuat ia terbangun dari tidurnya. Dan gadis ini tadi menyebut nama Satyabrata, dengan suara yang berdesah manja!

Api cemburu membakar hati Maya Dewi. Sekali ini benar-benar marah. Apalagi yang terjadi kepada puteri senopati ini kalau bukan seperti yang ia gambarkan? Malam tadi, ketika ia sedang tidur, pasti gadis ini keluar kamar dan mengadakan pertemuan dengan Satyabrata! Keadaan diri dan pakaiannya menunjukkan hal itu. Dan gadis ini sebelum tidur semalam telah jelas menyatakan kekagumannya kepada Satyabrata, ingin mengenal pemuda itu lebih dekat!

"Mintarsih! Mintarsih...!" Dengan gemas Maya Dewi mengguncang pundak gadis yang sedang tidur nyenyak itu. Mintarsih terbangun dan membuka matanya. Ketika dalam kagetnya ia melihat bahwa yang menggugahnya adalah Maya Dewi, ia berkata setengah sadar, masih digelut rasa kantuk yang berat.

"Aih... saya mimpi... wah, kakangmas Satyabrata amat mencintaku, mbakayu Maya Dewi... amat mencintaku... aah..." gadis itu rebah miring dan segera pulas lagi.

Maya Dewi mengepal tinju. Kini tidak ragu lagi. Satyabrata mengkhianati cintanya! Pemuda itu pasti mengadakan hubungan dengan Mintarsih malam tadi. Entah dengan jalan bagaimana dia dapat membujuk Mintarsih yang agaknya memang sudah jatuh cinta. Tiba-tiba Maya Dewi ingat bahwa Satyabrata adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna. Bukan tidak mungkin pemuda itu mempergunakan aji pameletan atau aji pengasihan yang amat kuat sehingga membuat wanita yang dipeletnya menjadi tergila-gila!

Makin dipikir, makin panas hatinya dan akhirnya ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat turun dari atas pembaringan lalu keluar dari kamar itu. Ternyata sinar yang masuk ke kamar melalui lubang di atas jendela itu adalah sinar lampu penerangan yang digantung di luar kamar. Keadaan dalam gedung masih sunyi sekali. Waktu masih terlalu pagi, fajar belum menyingsing dan orang-orang belum bangun dari tidurnya. Ia langsung menuju ke bangunan samping, kamar Satyabrata. Diketuknyna daun pintu itu, cukup kuat sehingga mengejutkan Satyabrata.

Pemuda itu bangkit duduk dan memandang kearah daun pintu. Baru saja dia menyuruh Mintarsih kembali ke kamarnya karena ayam jantan pertama sudah berkeruyuk, tanda bahwa fajar akan segera menyingsing. Dan dia baru saja tertidur melepaskan lelah ketika pintu itu diketuk orang. Mintarsih datang kembali? Gila! Ini berbahaya, bisa ketahuan orang.

"Siapa?" tanyanya ketika ketukan itu berhenti.

"Aku! Bukalah pintunya!" terdengar suara Maya Dewi.

Satyabrata bernapas lega. Kiranya Maya Dewi yang datang. Mau apa gadis itu datang mengetuk daun pintu kamarnya sepagi itu? Satyabrata menggosok kedua matanya mengusir rasa kantuk yang masih menekan matanya, lalu turun dari pembaringan dan menghampiri daun pintu dan dibukanya. Maya Dewi berdiri diluar pintu dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong marah. Berdebar jantung Satyabrata, merasa tidak enak, teringat akan apa yang terjadi dalam kamarnya semalam. Jangan-jangan gadis ini mengetahuinya! Akan tetapi tidak mungkin. Kalau ia mengetahuinya, tentu sudah didobraknya pintu kamarnya semalam!

"Aeh, Maya, engkau mengejutkan aku! Sepagi ini mengetuk pintu. Ada apakah, nimas?" tanya Satyabrata sambil tersenyum manis.

"Apa yang kau lakukan dengan Mintarrih?" Maya Dewi bertanya dengan sikap menuduh, suaranya ketus.

Diam-diam Satyabrata terkejut. Akan tetapi dia segera dapat menduga bahwa Maya Dewi belum mengetahui akan peristiwa itu, hanya baru curiga saja. Untung tadi dia bersikap hati-hati dan setelah Mintarsih meninggalkan kamarnya, dia membereskan pembaringannya sehingga tidak tampak tanda-tanda hadirnya orang lain di situ. Dia mengerutkan alisnya dan mundur lagi, memasuki kamarnya.

"Sstt...Maya, jangan ribut-ribut. Engkau dapat membuat semua orang terbangun. Sebetulnya ada apakah? Mari kita bicarakan di dalam dan jangan rebut-ribut."

Diperingatkan begitu, Maya Dewi teringat bahwa mereka berada di rumah senopati Poncosakti sebagai tamu, maka ia pun memasuki kamar Satyabrata. Pemuda itu lalu menutupkan daun pintu dan berkata, "Maya, duduklah dan ceritakan apa yang terjadi."

"Tidak perlu duduk!" jawab Maya Dewi sengit. "Dan bukan aku yang harus bercerita, melainkan engkau! Katakan apa yang kau lakukan dengan Mintarsih malam tadi! Hayo mengaku saja bahwa engkau telah mengadakan hubungan gelap dengan Mintarsih. Engkau telah mengkhianati pengakuanmu sendiri bahwa engkau cinta padaku!"

Satyabrata mengembangkan kedua tangannya, membelalakkan kedua mata seperti orang terheran-heran dan kaget. Dia lalu berkata, "Aeh, Maya. Apa, engkau mimpi? Apa artinya semua tuduhan gila ini? Semalam aku tidur, tidak pergi ke mana-mana." Dia menoleh ke arah pembaringan dan Maya Dewi juga memandang ke sana. Beres saja pembaringan itu, tidak acak-acakan. "Bagaimana engkau tega menuduh aku melakukan hubungan dengan puteri paman senopati yang baru saja kita kenal? Ah, Maya Dewi, engkau tahu bahwa hanya engkaulah satu-satunya wanita yang kucinta. Bagaimana aku dapat mengadakan hubungan dengan wanita lain? Aku bersumpah bahwa semalam aku tidak meninggalkan kamar ini dan aku tidur pulas karena merasa lelah."

Maya Dewi menjadi ragu. Pembaringan pemuda itu beres, tidak ada tanda tanda kusut atau tanda-tanda ditiduri berdua. Akan tetapi ia belum percaya sepenuhnya. Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah pikiran yang amat baik menurut penilaiannya. Mintarsih jelas jatuh cinta kepada Satyabrata sehingga hal itu menimbulkan kebencian di dalam hatinya. Ia harus mendapatkan bukti nyata agar yakin akan cinta Satyabrata kepadanya, dan inilah cara yang amat baik untuk membuktikannya!

"Mengapa engkau diam saja, Maya? Apakah engkau masih tidak percaya kepadaku? Aku sanggup membuktikan bahwa hanya engkau satu-satunya wanita yang kucinta. Apa saja permintaanmu akan kulaksanakan untuk membuktikan cintaku seperti yang pernah kukatakan padamu."

Inilah saatnya, pikir Maya Dewi. "Hemm, benarkah itu? Nah, aku mempunyai satu permintaan, kalau engkau tidak sanggup dan tidak mau melaksanakan jangan lagi bicara tentang cinta dengan aku. Sebaliknya kalau engkau mau melaksanakannya sampai berhasil, barulah aku yakin akan cintamu dan aku..." Maya Dewi tersipu.

"Dan, engkau dengan rela mau menyerahkan diri kepadaku, menyerahkan jiwa ragamu kepadaku, Maya?"

Dengan kedua pipi berubah kemerahan Maya Dewi mengangguk. "Kalau begitu katakan sekarang, apa yang harus kulakukan? Biar harus menyeberangi lautan api, akan kulaksanakan." kata Satyabrata penuh semangat.

"Tidak demikian sulitnya, akang. Permintaanku hanya sederhana saja, yaitu kalau benar engkau tidak berhubungan dan tidak mencinta Mintarsih, kalau benar engkau hanya mencinta aku seorang. Nah, kau bunuhlah Mintarsih!"

Mendengar ini, Satyabrata terbelalak dan merasa seolah disambar petir. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Maya Dewi akan mempunyai permintaan segila itu!

"Hemm, engkau terkejut dan tidak sanggup melakukan, bukan? Hal itu karena engkau mencintanya dan pernyataan cintamu kepadaku hanya gombal belaka!"

"Eh, tidak, Maya! Sama sekali bukan begitu. Hanya... bagaimana aku dapat mernbunuhnya? Ia adalah puteri Paman Senopati Poncosakti yang merupakan sekutu kita!"

"Huh, katakan saja engkau sayang kepada Mintarsih. Nah, kalau begitu, kawini Mintarsih dan jangan sekali-kali berani bicara tentang cinta lagi dengan aku!" Maya Dewi marah sekali.

"Ah, baiklah, Maya Dewi. Demi cintaku kepadamu, aku akan melaksanakan permintaanmu itu. Kita tunggu saat terbaik dan untuk itu, terpaksa kita harus tinggal disini lebih lama. Dan engkau harus membantuku. Kita rencanakan siasat agar paman senopati tidak tahu bahwa aku yang melakukan itu."

Maya Dewi tersenyum dan wajahnya berubah cerah gembira. Nafsu telah melenyapkan semua pertimbangan tentang baik buruk, benar salah, sehingga apa yang dilakukannya, dianggapnya benar dan tepat, bahkan adil dan baik! Maya Dewi membenci Mintarsih karena gadis itu berani mencinta Satyabrata, maka dalam anggapannya, puteri senopati itu harus dibunuh dan ini sudah adil dan benar menurut pendapatnya. Juga Satyabrata menganggap rencana pembunuhan itu sudah benar karena hal itu dilakukan untuk meyakinkan Maya Dewi akan cintanya dan selain itu, sebagai akibat dari apa yang telah terjadi semalam antara dia dan Mintarsih, maka tentu akan menimbulkan akibat.

Setidaknya Mintarsih tentu akan terus mengejarnya dan menuntut pertanggungan jawabnya. Maka sudah tepat dan baik sekali kalau gadis itu dibunuh! Setelah mengatur siasat, Satyabrata menghampiri Maya Dewi dan hendak memeluknya. Akan tetapi Maya Dewi menghindar dan berkata, "Jangan tergesa-gesa, akang Satya. Laksanakan dulu permintaanku sebagai bukti cintamu!" Setelah berkata demikian, ia lalu keluar dari dalam kamar pemuda itu.

********************

Mintarsih baru bangun setelah matahari naik tinggi. Setelah bangun, ia bangkit duduk dan termenung. Timbul perasaan gelisah dan sesal dalam hatinya. Ia teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Biarpun hal itu terjadi seperti dalam mimpi yang indah, namun ia tahu dan merasa bahwa semua itu bukan mimpi! Ia telah pergi ke kamar Satyabrata malam tadi, ia telah membiarkan dirinya digauli pemuda itu. Ia telah ternoda! Ia menagis, menutupi muka dengan kedua tangannya.

Mengapa ia melakukan hal sehina itu? Belum menikah telah menyerahkan diri kepada seorang laki-laki yang baru saja dikenalnya? Akan tetapi semua itu telah terjadi! Dan ia mencinta Satyabrata. Juga pemuda itu tentu rnencintanya. Kalau tidak, tentu tidak terjadi hal semalam. Ia harus menghubungi pemuda itu. Ia harus menuntut agar Satyabrata menikahinya! Akan tetapi hal itu harus dilakukan secara diam-diam agar tidak ada seorangpun tahu bahwa ia telah digauli pemuda itu.

Mintarsih lalu mandi dan berdandan. Ia tidak melihat Maya Dewi dalam kamar. Timbul rasa khawatirnya. Jangan-jangan mereka, Maya Dewi dan Satyabrata, telah pergi meninggalkan gedung keluarganya! Celaka kalau begitu. Ia bergegas, berdandan rapi lalu keluar. Hatinya lega. Dilihatnya Satyabrata dan Maya Dewi sedang duduk bercakap-cakap dengan ayah dan ibunya di ruangan tengah.

"Wah, engkau baru bangun, Tarsih!" tegur Senopati Poncosakti kepada puterinya.

"Hemm, sungguh tidak semestinya seorang gadis bangun begini siang!" Isteri senopati itu menegur. Ia adalah seorang wanita yang jauh lebih muda dari suaminya, baru berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ia memang isteri baru sang senopati, atau ibu tiri Mintarsih. Senopati Poncosakti datang ke Surabaya hanya bersama anaknya, Mintarsih, karena isterinya telah meninggal dunia ketika terjadi perang antara Pasuruan dan Mataram.

Setelah menjadi senopati di Kadipaten Surabaya, baru dia menikah lagi dengan Kartinah. Wanita ini cantik dan biarpun lahirnya ia tidak berani bersikap kasar kepada Mintarsih, anak tirinya, namun dalam batinnya tentu saja ia merasa tidak begitu suka, apalagi Mintarsih yang kenes dan lincah itu memang tidak begitu taat kepadanya.

Maya Dewi tertawa dan berkata, "Aku lihat tidurmu nyenyak sekali, maka aku tidak menggugahmu, adik Mintarsih. Mari, duduklah."

Mintarsih duduk dan sejenak ia menatap wajah Satyabrata. Pemuda itupun memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandang matanya. Maya Dewi yang diam-diam memperhatikan Mintarsih, menjadi semakin panas dan benci melihat betapa Mintarsih memandang Satyabrata dengan sinar mata penuh kagum dan mesra.

Senopati Poncosakti merasa gembira sekali ketika mendengar kesanggupan Satyabrata dan Maya Dewi untuk menginap satu malam lagi di gedungnya. Malam tu kembali dia menjamu kedua orang muda itu dengan pesta makan minum. Akhirnya Mintarsih berhasil memperoleh kesempatan untuk bicara berdua dengan Satyabrata. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Satyabrata sudah berbisik, "Malam nanti kutunggu engkau di kamarku. Kita dapat bicara dengan panjang lebar dan leluasa."

Mintarsih merasa girang dan ia mengangguk sambil tersenyum. Memang agak sukar membicarakan rahasia mereka berdua ditempat terbuka, di mana besar bahayanya percakapan mereka didengar orang lain. Kalau di kamar pemuda itu tentu ia dapat bicara secara terbuka mengajukan tuntutan agar pemuda itu meminang dan menikahinya, di samping itu mereka dapat mengulang kemesraan yang mereka nikmati malam tadi.

Malam itu, tidak seperti biasa, hawanya dingin menusuk tulang. Sejak sore Mintarsih sudah menanti datangnya malam dengan jantung berdebar. Ketika makan malam tadi, ia menangkap isyarat pandang mata Satyabrata seolah mengingatkan janji mereka dan tanpa diketahui orang lain ia mengangguk. Mintarsih menanti sampai Maya Dewi tertidur.

Setelah memanggil-manggilnya namun Maya Dewi tidak bangun, yang berarti Maya Dewi telah tidur pulas, Mintarsih turun dari pembaringan, mematikan lampu dan membuka daun pintu kamar, lalu berindap-indap ia menuju kebangunan samping, ke kamar Satyabrata! Jantungnya berdebar tegang, seperti jantung setiap orang yang akan melakukan perbuatan yang tidak benar.

"Tok-tok-tok...!" Ia mengetuk perlahan daun pintu kamar Satyabrata tiga kali. Pintu terbuka dan Satyabrata menarik tangan gadis itu ke dalam kamar dan Mintarsih menurut saja, tersipu malu ketika Satyabrata menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Akan tetapi, seperti telah direncanakan sebelumnya, sekali ini kedua lengan Satyabrata bergerak untuk melakukan pelukan maut itu. Kedua lengan merangkul, akan tetapi jari-jari tangannya mengetuk tengkuk Mintarsih dengan kuatnya sehingga seketika itu juga gadis puteri senopati itu terkulai dalam rangkulan Satyabrata dan pingsan.

Satyabrata memondong tubuh gadis itu keluar dari kamar, menengok ke kanan kiri. Malam itu sunyi dan dingin. Tak tampak sesuatu yang mencurigakan dan Satyabrata membawa tubuh Mintarsih ke dalam taman. Tidak seperti orang yang baru saja melakukan kejahatan, sikap Satyabrata tenang saja. Bulan sepotong yang berada dilangit menjadi saksi bisu ketika dia merebahkan tubuh Mintarsih ke atas sebuah bangku di dekat kolam ikan di tengah taman itu.

Satyabrata lalu menanti sebentar. Seperti yang sudah diatur dan dijanjikan sebelumnya, pada saat itu terdengar suara orang dan muncullah Maya Dewi dan seorang penjaga keamanan yang biasa menjadi perajurit pengawal dan bertugas jaga di depan gedung sang senopati. Perajurit ini bertubuh tinggi besar, usianya sekitar tiga puluh tahun. Dia tadi sedang bertugas jaga seorang diri ketika tiba-tiba Maya Dewi menghampirinya dan mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu yang amat penting untuk diketahui dia sebagai penjaga keamanan.

Sebagai seorang petugas yang bertanggung jawab, perajurit itu tentu saja tertarik dan dia mengikuti tamu yang dihomati itu memasuki taman di belakan gedung. Setelah tiba didalam taman, perajurit itu bertanya, "Ada terjadi apakah den-ajeng?"

"Mari kita lihat di sana, dekat kolam ikan itu!" jawab Maya Dewi.

Ketika mereka tiba dekat kolam, perajurit itu melihat tubuh Mintarsih yang rebah telentang diatas bangku, seperti orang tidur atau mati. "Den-ajeng Mintarsih kenapa ?" Penjaga itu menghampiri dan membungkuk untuk melihat keadaan Mintarsih. Pada saat itu Maya Dewi menggerakkan tangannya menghantam kepala perajurit itu.

"Prakk!" Perajurit itu terjungkal dan roboh, tewas seketika karena kepalanya retak oleh pukulan tangan miring Maya Dewi yang ampuh itu. "Akang Satya, sekarang lakukanlah!" kata Maya Dewi. Satyabrata tidak meragu lagi.

Dia menghampiri mayat perajurit itu, mencabut kerisnya, lalu menghampiri tubuh Mintarsih yang masih rebah pingsan di atas bangku. Sekali dia mengayun, keris itupun menancap didada Mintarsih, menembus jantungnya. Gadis yang dalam keadaan pingsan itu tidak bergerak lagi dan darah muncrat dari dadanya ketika keris dicabut. Satyabrata lalu menaruh gagang keris kedalam genggaman tangan kanan perajurit yang sudah mati.

"Sekarang, cepat bangunkan mereka!" kata Maya Dewi yang merasa girang bahwa Satyabrata benar-benar tega membunuh Mintarsih untuk membuktan cintanya kepadanya!

Satyabrata berlari ke arah gedung dan dia memukul kentungan yang tergantung disudut bangunan. Bunyi kentungan dipukul bertalu itu tentu saja mengejutkan semua orang. Beberapa orang perajurit pengawal yang bertugas jaga di depan gedung datang berlarian dan bertanya kepada Satyabrata apa yang terjadi.

"Pembunuhan, nimas Mintarsih dibunuh orang! Cepat laporkan kepada Paman Senopati Poncosakti! Dan seorang dari kalian lanjutkan pukul kentungan ini!"

Para perajurit pengawal lalu mengikuti Satyabrata berlari memasuki taman. Di dekat kolam mereka melihat Jalu, seorang perajurit rekan mereka telah menggeletak tewas dengan darah mengalir dari telinga, hidung dan mulutnya dan mayatnya masih memegang sebatang keris. Sedangkan di atas bangku menggeletak mayat Mintarsih yang letak pakaiannya tidak karuan, kembennya hampir lepas, kainnya tersingkap sehingga pahanya yang putih mulus tampak, dan bajunya berlepotan darah yang mengalir keluar dari dadanya.

Melihat ini, Satyabrata melirik ke arah Maya Dewi, maklum bahwa gadis itu yang sengaja membuat pakaian Mintarsih seperti itu sehingga siapa saja yang melihatnya akan mudah menduga bahwa gadis itu akan diperkosa orang! Tak lama kemudian muncul Senopati Poncosakti dan isterinya. Kartinah, isteri Poncosakti, menjerit dan menangisi anak tirinya. Maya Dewi maklum bahwa tangis itu terlalu dibuat-buat.

Senopati Poncosakti sendiri berdiri dengan muka merah karena marah sehingga beberapa saat lamanya dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia memandang kepada Satyabrata dan suaranya menggetar penuh kesedihan dan kemarahan ketika dia bertanya. "Anakmas Satyabrata, andika yang memukul kentungan, andika yang mengetahui apa yang terjadi. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan anakku?"

"Maaf, paman. Terpaksa saya mengabarkan peristiwa buruk yang menyedihkan. Tadi ketika tidur, saya dikejutkan suara jeritan. Saya lalu membereskan pakaian dan berlari keluar, memasuki taman dari mana suara jeritan itu terdengar. Setelah tiba di sini, saya melihat Maya Dewi sedang berkelahi melawan laki-laki ini dan masih sempat melihat Maya Dewi merobohkannya dengan sebuah pukulan pada kepalanya dan saya melihat nimas Mintarsih sudah rebah mandi darah dan tewas di atas bangku itu."

Senopati Poncosakti lalu menoleh ke pada Maya Dewi. "Nini Maya Dewi, kalau begitu andika yang datang lebih dulu Apa yang terjadi di sini?"

"Sayapun terkejut mendengar jeritan dan saya segera berlari ke sini. Mungkin karena letak kamar adik Mintarsih dimana saya tinggal lebih dekat, maka saya lebih cepat tiba disini. Juga karena ketika terbangun saya tidak melihat adi Mintarsih, saya merasa khawatir dan berlari secepatnya memasuki taman. Dan disini dengan kaget sekali saya meliha orang ini..." ia menuding ke arah mayat perajurit pengawal itu, "...ia sedang bergulat dengan adik Mintarsih. Tiba-tiba adik Mintarsih terkulai dan darah muncrat dari dadanya. Agaknya dalam pergumulan diatas bangku itu, jahanam itu menggunakan kerisnya untuk mengancam dan keris itu digunakan untuk menusuk dada. Saya marah sekali, akan tetapi jahanam ini melawan dengan keris ditangan, maka saya menggunakan pukulan maut untuk menghantam kepalanya. Pada saat itu, akang Satya datang dan saya minta agar dia melapor dan membangunkan semua orang. Demikianlah, paman senopati, apa yang saya lihat tadi."

Senopati Poncosakti menjadi marah, mengepal tinju dan tiba-tiba dia menghampiri mayat perajurit itu dengan langkah lebar. "Jahanam busuk, keparat tak mengenal budi! Berani kamu hendak memperkosa anakku?" Dan senopati itu lalu mengamuk, menendangi kepala dan tubuh mayat itu berulang-ulang sampai kepala itu menjadi pecah dan remuk!

Untuk menghormati keluarga sang senopati, Satyabrata dan Maya Dewi menginap satu malam lagi di gedung itu. Dan malam itu, Satyabrata menagih janjinya dan Maya Dewi yang kini sudah yakin sepenuhnya akan cinta pemuda itu, dengan senang hati dan suka rela menyerahkan diri kepada Satyabrata! Kalau keluarga Senopati Poncosakti berkabung dan berduka, malam itu Satyabrata dan Maya Dewi berpesta-pora, bersenang-senang dan berenang-renang dalam lautan nafsu berahi mereka, seolah mereka menjadi sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu!

Dan semenjak malam itu, nafsu berahi dalam diri Maya Dewi bagaikan seekor kuda liar yang dilepas dari kendalinya! Nafsunya mengamuk, merajalela dan menguasai diri Maya Dewi sepenuhnya, sehingga sejak saat itu, Maya Dewi telah menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri.

Pada keesokan harinya kedua orang itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Madura dengan berperahu. Mereka langsung pergi menghadap Sang Adipati Pangeran Mas di Arisbaya yang pada saat itu sedang mengadakan perundingan dengan para menteri dan para senopatinya. Tentu saja disana hadir pula dua orang pembantu terpenting dari Arisbaya, yaitu Ki Harya Baka Wulung yang menjadi penasihat, dan puteranya, Raden Dibyasakti yang menjadi senopati muda.

Di situ hadir pula para pembantu yang di datangkan Ki Harya Baka Wulung, di antara mereka terdapat Sang Wiku Menak Koncar datuk Blambangan dan juga Kyai Sidhi Kawasa datuk dari Banten. Mereka sedang merundingkan tentang ancaman balatentara Mataram yang hendak menyerbu Madura. Ketika pengawal melapor bahwa ada seorang pemuda dan seorang gadis mohon menghadap, Adipati Pangeran Mas mengerutkan alisnya dan membentak.

"Apakah engkau tidak tahu bahwa kami sedang mengadakan perundingan yang amat penting? Jangan ganggu kami, hai pengawal bodoh dan katakan kepada mereka untuk menghadap lain kali saja."

"Ampunkan hamba, gusti. Hamba sudah mengatakan hal itu akan tetapi pemuda yang mengaku utusan kumpeni..."

"Cukup! Usir mereka atau engkau yang akan dijatuhi hukuman!" Adipati Arisbaya membentak marah. Hatinya sedang risau oleh ancaman pasukan Mataram yang kabarnya sudah bergerak untuk menyerbu Madura, maka gangguan itu membuatnya marah.

Akan tetapi mendengar laporan itu, Dibyasakti teringat dan dia cepat menyembah dan berkata, "Kanjeng adipati hamba mengenal pemuda itu!"

"Hamba juga mengenalnya!" kata pula Wiku Menak Koncar, lalu bertanya kepada pengawal. "Bukankah dia pemuda tampan yang matanya agak kebiruan?"

Dengan takut-takut pengawal itu berkata, "Benar, dia juga mengatakan bahwa dia mengenal Raden Dibyasakti dan Sang Wiku Menak Koncar."

"Tidak salah lagi. Dialah yang pernah hamba ceritakan kepada paduka, kanjeng. Pemuda utusan kumpeni yang sakti mandraguna. Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan ancaman penyerbuan pasukan Mataram. Karena itu, hamba kira sebaiknya kalau paduka mengijinkan mereka masuk," kata Dibyasakti.

"Hemm, begitukah? Hai, pengawal, siapakah nama dua orang yang hendak menghadap itu?"

"Menurut pengakuan mereka, pemuda itu bernama Satyabrata dan gadis itu bernama Maya Dewi, gusti."

"Maya Dewi?" seru Ki Harya Baka Wulung. "Kanjeng adipati, gadis itu adalah puteri Adi Resi Koloyitmo yang hamba undang dan dia sudah sanggup untuk membantu kita!"

Adipati Pangeran Mas mengangguk-angguk senang. "Kalau begitu, persilakan mereka masuk, pengawal!"

Pengawal itupun merasa lega karena tidak jadi mendapat marah. Dia menyembah lalu mengundurkan diri untuk mengantar Satyabrata dan Maya Dewi datang menghadap. Dua orang muda itu diterima dengan ramah oleh Adipati Pangeran Mas setelah tahu bahwa kedatangan mereka berdua adalah untuk membantu Madura. Satyabrata memberi tahu bahwa Willem Van Huisen sudah siap membantu dengan kapal perangnya, juga dia siap membantu untuk menghadapi para ksatria gagah dan sakti yang akan membantu pasukan Mataram.

Maya Dewi juga menceritaka bahwa ia memang diutus ayahnya untuk membantu Madura dan ayahnya akan menyusul segera ke Madura. Persidangan dilanjutkan dan tak lama kemudian, para adipati lain yang diundang untuk bermusyawarah berdatangan. Mereka adalah para bupati diseluruh Madura yang datang bersama pasukan mereka sehingga tergabunglah pasukan mereka menjadi pasukan besar yang siap menghadapi penyerbuan balatentara Mataram.

Mereka yang berdatangan itu adalah para bupati dari Aribanggi, Bali, Sumenep, Pamekasan, Pekacangan, dan Raden Prasena, keponakan Sang Adipati Pangeran Mas dari Arisbaya yang berusia sembilan belas tahun itu datang memenuhi undangan. Akan tetapi karena Raden Prasena ini memang disingkirkan pamannya dan di Sampang hanya diberi kekuasaan kecil dan hanya mempunyai pasukan kecil, maka pasukan yang dibawanya tidak ada artinya.

Dalam pertemuan itu diadakan perundingan untuk merencanakan cara pertahanan untuk menyambut penyerbuan pasukan Mataram. Mereka semua bertekad untuk mempertahankan Madura. Akan tetapi Raden Prasena yang masih muda itu diam-diam tidak setuju dengan mereka semua. Hal ini adalah karena dia menaruh dendam kepada Adipati Arisbaya yang menyerobot kedudukan adipati di Arisbaya. Sebetulnya, dialah yang berhak menggantikan kedudukan adipati setelah ayahnya, Adipati Teguh Arisbaya wafat. Akan tetapi karena ketika itu dia dianggap terlampau kecil, baru berusia sekitar empat belas tahun, maka kedudukannya diambil alih pamannya yang kini menjadi Adipati Arisbaya dan dia sendiri disingkirkan ke Sampang.

Diam-diam dia mengambil keputusan untuk tidak membantu pamannya melawan Mataram! Para senopati yang gagah perkasa dari daerah-daerah itu dikumpulkan untuk memimpin pasukan gabungan. Di antara mereka terdapat Dibyasakti, Jayengbadra, Jagapati, Rangga Gobag-gabig Mangundaka, Tumenggung Surobayu, Demang Rujak-beling dan para pembantu mereka yang merupakan perwira-perwira yang gagah.

Selain itu, masih ada para datuk yang membantu mereka, yaitu Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa, Satyabrata dan Maya Dewi yang menggantikan ayahnya karena Resi Koloyitmo belum datang. Mereka semua telah siap siaga menanti datangnya pasukan musuh.

********************

Sementara itu Muryani yang ditinggalkan Satyabrata di rumah perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria, setelah lewat beberapa hari saja menjadi gelisah. Apalagi mendengar bahwa pasukan Mataram akan berperang melawan Madura dan Surabaya. Mendiang ayahnya, Ki Ronggo Bangak adalah seorang yang setia kepada Mataram dan selalu bercerita kepada puterinya itu tentang kebijaksanaan Sultan Agung, seorang raja yang agung binathara dan sakti mandraguna, bahkan dinggap sebagai wali, seorang manusia pilihan Gusti Allah.

Hebatnya, menurut cerita ayahnya, Sultan Agung bahkan memperisteri Kanjeng Ratu Kidul, yaitu ratu kerajaan siluman yang menguasai Laut Selatan! Biarpun belum pernah melihat sang prabu yang kabarnya arif bijaksana dan sakti mandraguna itu, ada yang mengabarkan bahwa beliau adalah seorang yang pernah berguru kepada seorang Wali yang amat terkenal dan amat dihormati, baik oleh umat agama baru, Islam maupun oleh umat agama lama Hindu dan Buddha.

Kanjeng Sultan Agung itu pandai menyesuaikan agama Islam dengan dua agama itu yang sudah mendarah daging dalam kehidupan rakyat Jawa. Dengan cara ini, maka rakyat yang menjadi umat agama Hindu dan Buddha melihat persamaan atau ada yang sejalan antara agama Islam dengan agama mereka, dan dengan demikian mereka tidak memusuhi agama baru itu, malah banyak yang mau menerima agama Islam. Bahkan Sultan Agung menulis kitab Sastra Gending yang berisi pelajaran Aliran Tashawwuf yang bercampur dengan pelajaran kitab-kitab Weda yang intinya ajaran Manunggali Kawula Gusti atau yang disebut Kejawen.

Selain keterangan yang didapat dari mendiang ayahnya dahulu, juga guru Muryani, Ki Ageng Branjang ketua Bromo Dadali, juga berpihak kepada Mataram. Oleh karena itu, Muryani menjadi tidak betah tinggal diam di Muria dan pada suatu hari iapun berpamit dari gurunya untuk pergi ke Madura membantu pasukan Mataram.

"Muryani, kalau engkau pergi membantu Mataram, hal itu baik sekali aku amat menyetujuinya. Akan tetapi kalau engkau pergi untuk menyusul atau mencari pemuda yang bernama Satyabrata itu dan melakukan perjalanan bersamanya, sungguh hal itu membuat hatiku merasa resah."

Ucapan gurunya ini baru sekali ini terdengar sebagai pernyataan tidak suka pada Satyabrata. Biarpun sejak semula Ageng Branjang merasa tidak suka kepada pemuda itu, namun dia tidak pernah menyatakannya kepada Muryani. Maka, mendengar ada nada yang tidak suka dalam ucapan gurunya itu, Muryani merasa heran.

"Kenapa, bapa guru? Kenapa bapa merasa resah kalau saya melakukan perjalanan bersama kakangmas Satyabrata?"

"Entahlah, Muryani. Ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu yang mendatangkan kecurigaan dalam hatiku. Dia memang tampan, akan tetapi ketampanannya itu aneh, matanya agak kebiruan dan... dan sikapnya terlalu lembut dan sopan santun sehingga seperti dibuat-buat. Selain itu, tentang kesaktiannya. Dia mengaku bahwa dia menemukan kitab-kitab berisi aji-aji kesaktian peninggalan mendiang Sunan Gunung Jati yang selain terkenal sakti, juga terkenal sebagai seorang yang arif bijaksana dan tinggi tingkat rohaninya. Akan tetapi aku dapat melihat sinar sesat dalam pandang mata pemuda itu. Ada lain hal lagi yang mencurigakan hatiku. Mengapa dia mengajak kau nonton perang antara Mataram dan Madura kemudian baru akan memilih pihak mana yang harus dibantu? Kenapa tidak langsung membantu Mataram? Nah itulah yang meresahkan hatiku, Muryani. Karena itu, kalau engkau bertemu dengan dia, berhati-hatilah dan jangan mudah terbujuk rayuan manis."

Muryani menundukkan mukanya karena ia merasa bahwa memang Satyabrata telah merayunya dan bahkan menyatakan cintanya kepadanya. "Baiklah, bapa, akan saya perhatikan nasihat bapa dan saya akan waspada."

Setelah berkemas dan berpamit, berangkatlah Muryani meninggalkan Gunung Muria dan melakukan perjalanan cepat menuju ke timur. Di sepanjang perjalanannya Muryani sudah mendengar akan berita bahwa Mataram sudah siap untuk menyerbu Madura. Di daerah Tuban yang sudah ditundukkan Mataram beberapa tahun yang lalu, ia mendengar bahwa pasukan daerah-daerah pesisir utara juga sudah siap untuk diperbantukan kepada pasukan besar Mataram.

Dari Kadipaten Tuban, Muryani melakukan perjalanan cepat menyusuri pantai utara menuju ke timur. Pada suatu pagi tibalah ia di dusun Pangkah, di mana terdapat muara Kali Solo. Di sinilah Bengawan Solo yang melakukan perjalanan amat panjang itu mengakhiri alirannya dan semua air bengawan itu terjun ke laut yang menjadi tempat asalnya.

Muryani berhenti di tepi muara sungai yang lebar. Ia menjadi bingung, dan memandang ke kanan kiri. Bagaimana ia harus menyeberangi muara sungai yang lebar ini? Tiba-tiba wajahnya berseri gembira, ia melihat sebuah perahu di tengah muara. Perahu itu meluncur dari seberang dan baru saja tiba, maka ia tadi tidak melihatnya. Agaknya sebuah perahu nelayan karena penumpangnya yang dua orang laki-laki itu kini bersiap-siap untuk menebarkan jala.

Melihat mereka, Muryani segera berseru memanggil. "Heiii! Kisanak tukang perahu! Tolong seberangkan aku, berapa upahnya akan kubayar!"

Karena Muryani mengerahkan tenaga saktinya, maka teriakannya itu kuat sekali dan dapat terdengar oleh dua orang itu dengan jelas dan mereka segera memandang ke arah Muryani. Biarpun jarak di antara perahu dan gadis itu tidak dekat, namun mudah kelihatan oleh mereka bahwa yang memanggil adalah seorang wanita muda yang cantik sekali. Mereka saling berbisik, lalu mendayung perahu menghampiri tepi di mana gadis itu berdiri.

Setelah tiba di tepi sungai, mereka mendarat dan seorang dari mereka memegangi tali perahu agar tidak hanyut dibawa air sungai. Muryani memandang dan melihat bahwa dua orang itu adalah laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun. Keduanya bertubuh tinggi besar, yang seorang berwajah penuh brewok dan yang kedua bermuka hitam. Dua muka pria yang sama sekali tidak menarik hatinya. Akan tetapi, karena ia membutuhkan bantuan mereka maka ia tersenyum manis.

"Kisanak, aku ingin menyeberang. Tolong seberangkan aku dengan perahu kalian dan aku akan memberi upah secukupnya:". Kata Muryani kepada si muka brewok yang berdiri didepannya.

Si brewok menoleh dan memandang kepada kawannya, si muka hitam yang memegangi tali perahu, lalu sambil tersenyum lebar menyeringai sehingga tampak deretan gigi yang besar-besar dia bertanya, "Mas ayu, kalau kami mau meyeberangkan, apakah upahnya?" Suaraya dibuat-buat, seperti seorang pemain ketoprak sedang bergaya di atas panggung, jelas sekali dia menirukan gaya Yuyu Kangkang ketika hendak menyeberangkan para gadis keluarga Kleting dan minta upah ciuman!

Muryani juga merasakan hal ini dan diam diam ia merasa gemas, akan tetapi masih ditahannya. Ia tahu dari pandang mata, senyuman dan gerak gerik mereka bahwa dua orang ini bukanlah orang-orang yang berwatak sopan dan baik. Akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menjawab tenang.

"Berapa upah yang kalian minta akan kubayar."

"Benarkah? Wah, kalau begitu kami minta upah ciuman saja, tiga kali untuk kami masing-masing.

Ha-ha-ha! Bagaimana, mas ayu?" Kini kedua orang laki-laki kasar itu tertawa-tawa. Akan tetapi sungguh di luar dugaan mereka. Gadis itu tidak marah atau tersipu malu mendengar tuntutan upah mereka, sebaliknya gadis itu mengangguk dan berkata tenang. "Mari kita berangkat!" dan Muryani segera melangkah memasuki perahu kecil itu!

Tentu saja dua orang laki-laki yang tadinya hanya hendak menggoda secara kurang ajar, menjadi heran dan juga girang. Bagaimana tidak akan girang kalau dijanjikan akan menerima hadiah ciuman tiga kali dari seorang gadis secantik ini. Mereka dapat merasakan kekesenangan seperti yang alami Yuyu Kangkang ketika menyeberangkan para gadis Kleting Abang, Kleting Biru dan Kleting Ungu dalam dongeng "Si Kleting Kuning" itu!

Si muka hitam mendayung perahu itu dan si brewok hanya duduk sambil mengamati wajah dan tubuh indah gadis yang duduk di depannya itu. Membayangkan betapa nanti gadis itu akan menciumnya tiga kali membuat si brewok bergairah sekali dan bangkitlah nafsunya. Dia tidak sabar lagi lalu menggeser duduknya mendekati Muryani.

"Nimas ayu, aku minta bagianku sekarang saja!" katanya dan tiba-tiba dia menangkap lengan kanan Muryani dan hendak menarik dan merangkulnya.

Muryani mengayun tangan kirinya ke arah sisi leher si brewok itu. Demikian cepat gerakan tangannya sehingga si brewok tidak sempat mengelak atau menangkis. "Wuuuttt... kekkk!!" Seketika si brewok menekuk tubuhnya yang tinggi besar berotot itu.

Kedua tangannya memegangi leher yang rasanya patah-patah, panas dan nyeri seperti ditusuki ratusan batang jarum. "Aduhh... aduhhh... tobaat... aduuuhhh�!" Si brewok merintih kesakitan, tubuhnya menggeliat-geliat dan kedua tangannya menekan bagian leher yang terpukul tangan miring Muryani tadi.

Melihat keadaan temannya, si muka hitam yang duduk di belakang Muryani menjadi terkejut dan juga marah. Dia mengangkat dayungnya dan menghantamkan dayung itu ke arah kepala Muryani! "Wuuuttt... plakk... dukkk!!" Tanpa mengubah duduknya, Muryani hanya memutar tubuh atasnya, menyambut dayung itu dengan kedua tangannya dan sekali mengerahkan tenaga ia telah mendorong dayung itu sehingga gagang dayung terdorong dan menghantam ulu hati si muka hitam.

"Hekkkk.... !" Si muka hitam juga melipat tubuhnya, membungkuk dan menggunakan kedua tangan memegang dan menekan ulu hatinya yang terasa nyeri dan sukar dipakai bernapas! Dua orang itu mengaduh-aduh dan menyatakan bertobat. Karena tidak ada yang mendayung lagi, perahu itu hanyut terbawa air dan berputar. Melihat ini, Muryani menggepokkan tangan, menepuk tengkuk si brewok dan menampar punggung simuka hitam sehingga mereka tidak tersiksa rasa nyeri yang hebat lagi, hanya tinggal sedikit rasa nyeri yang dapat mereka tahan.

"Nah, cepat dayung perahu sampai keseberang kalau kalian tidak ingin mampus?" bentak Muryani.

Kini dua orang kasar itu merasa kecelik. Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti. Mereka tidak berani main-main lagi. Mereka lalu menggunakan dua buah dayung untuk mendayung perahu keseberang.

"Maafkan kami den ajeng...?" kata brewok. "Andika tentu seorang puteri pendekar dari Mataram."