Seruling Gading Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Seruling Gading Jilid 03

DALAM keheranan dan kekagumannya, dia menjadi semakin tergila-gila. Inilah wanita yang patut menjadi sisihannya. Bukan saja ayu manis merak ati, akan tetapi juga digdaya, tentu akan makin memperkuat kedudukannya dan mengangkat namanya! Dia menahan rasa nyeri yang mulai menghilang itu dan memaksa diri tersenyum.

"Wah, ternyata andika benar-benar seorang gadis perkasa seperti Srikandi yang digdaya! Kalau begitu, aku tidak akan khawatir lagi untuk bertanding denganmu. Atau kita bermain-main sejenak, diajeng Muryani!"

"Maju dan mulailah, Ki Demang Wiroboyo!" tantang Muryani dan iapun sudah memasang kuda-kuda dengan gerakan Dadali Anglayang (Burung Walet Melayang). Pasangan kuda-kuda itu dilakukan dengan berdiri di atas jari-jari kakinya, berjingkat dengan kedua kaki rapat, tubuh agak membungkuk dan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri seperti sepasang sayap tampak manis, lucu dan juga gagah.

Mulailah para penonton bertepuk tangan karena ucapan Ki Demang Wiroboyo tak membuat mereka dapat menduga bahwa pria itu tidak main-main dan gadis itu benar-benar seorang yang tangguh dan digdaya. Ketika tadi Muryani menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dada lawannya. Parmadi juga mengerutkan alisnya. Kenapa serangan gadis itu hanya menyentuh dada lawan, seperti main-main saja? Akan tetapi melihat Ki Demang Wiroboyo meringis seperti kesakitan dan terhuyung ke belakang, hatinya mulai lega. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki kesaktian dan kini dia memandang penuh perhatian, mengharapkan gadis itu akan memenangkan pertandingan itu.

Maka, melihat banyak orang menyambut pembukaan gerakan silat gadis itu, dia menjadi gembira dan ikut bertepuk tangan. Sentuhan lembut pada pundaknya memuat Parmadi menengok dan melihat bahwa yang menyentuh pundaknya adalah Ki Ronggo Bangak yang mengerutkan alis, dia menghentikan tepukan tangannya. Agaknya gurunya tidak bergembira melihat ulah Muryani di atas panggung arena pertandingan itu.

"Kenapa, paman?" tanyanya kepada gurunya itu. Parmadi menyebut paman kepada gurunya itu, sesuai dengan kehendak Ronggo Bangak sendiri yang tidak bersedia disebut Bapa Guru.

Ronggo Bangak menghela napas pandang dan menjawab lirih, "Aku khawatir kalau Muryani lupa diri, menewaskan Ki Demang Wiroboyo atau membuat dia terluka parah."

Parmadi memandang kepada gurunya dan bibirnya mengembangkan senyum. Kalau orang lain mendengarkan ucapan guruya itu, dia tentu akan merasa heran sekali. Ronggo Bangak tidak mengkhawatirkan puterinya terbunuh atau terluka, sebaliknya malah khawatir kalau anak itu menewaskan atau mencederai lawan! Dia mengenal baik siapa gurunya dan bagaimana watak gurunya. Seorang yang suka akan keindahan, penuh kedamaian, tidak ingin merusak, tidak menyukai kekerasan dan selalu berbaik hati kepada siapa saja!

"Harap paman tenangkan hati. Saya percaya bahwa adi Muryani bukan hanya telah mempelajari aji kanuragan akan tetapi juga telah memiliki watak yang gagah dan adil, lagi bijaksana."

"Mudah-mudahan begitulah, Parmadi." Keduanya memperhatikan ke atas panggung.

Melihat gadis yang menggairahkan hatinya itu telah membuat pasangan pembukaan yang indah, Ki Demang Wiroboyo tidak mau kalah gaya. Dia berdiri dengan kedua kaki menyilang, lutut ditekuk, kepala ditundukkan akan tetapi kedua mata mengerling ke depan, kedua tangan membentuk cakar harimau, tangan kanan dia angkat kedepan muka dan tangan kiri menempel di perut, mulutnya tersenyum.

"Diajeng Muryani, hati-hatilah dan sambut seranganku ini. Haaiiiiittt...!!" tiba-tiba dengan gerakan yang tangkas, kaki kanannya melangkah ke depan, tangan kanannya menyambar dengan cengkeraman ke arah muka Muryani sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah dada gadis iu!

Tentu saja Ki Demang Wiroboyo sudah siap untuk mengubah cengkeraman itu menjadi belaian kalau berhasil tangannya nenyentuh muka dan dada!

"Hyaaaatt...!" terdengar seruan nyaing keluar dari mulut gadis itu dan tubuhnya menggeliat mundur, kedua tangan digerakkan masuk menampar kedua tangan lawan itu.

"Plak! Plak!" tangkisan itu membuat kedua tangan Ki Demang Wiroboyo terasa tergetar dan dia mundur dua langkah degan kaget sambil memasang kuda-kuda lagi, berdiri tegak dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Muryani sudah kembali memasang kuda-kuda seperti pembukaannya tadi.

Kembali penonton bertepuk tangan kaena pertandingan segebrakan ini menunjukkan bahwa Muryani memang bukan wanita lemah dan ia tampak gagah sekali. Pertemuan dua pasang lengan tadi saja sudah membuat Ki Demang Wiroboyo makin tahu bahwa gadis itu memang memiliki tenaga yang kuat. Keduanya maklum bahwa mereka harus berhati-hati dan berusaha sekuat kemampuan mereka kalau ingin keluar sebagai pemenang.

"Eiiitt...!" kini Muryani balas menyerang. Gerakannya cepat bukan main, bagaikan seekor burung walet tubuhnya menerjang ke depan, tangan kirinya menampar dengan jari terbuka ke arah pelipis kanan lawan. Sambaran tangan yang kecil mungil itu mendatangkan angin yang terasa benar oleh Ki Demang Wiroboyo mak diapun cepat menarik tubuh atas ke belakang sambil mengangkat lengan kanan ke atas untuk menangkis. Akan tetapi pada detik berikutnya, Muryani menyusulkan tendangan. Kaki kanan dengan betis mamadi bunting dan berkulit putih mulus tertutup celana hitam sebatas lutut itu mencuat menuju sasarannya, yaitu perut lawan!

"Ehh....!" Ki Demang Wiroboyo terkejut dan cepat tangan kirinya bergerak ke bawah untuk menangkis, karena mengelak tidak akan dapat menghindarkan dirinya dari dari tendangan itu.

"Dukk...!" Lengan itu bertemu kaki dan akibatnya, tubuh Ki Demang Wiroboyo terhuyung ke belakang. Diam-diam pria ini terkejut dan penasaran sekali. Dia tahu bahwa lawannya benar-benar tangguh. Maka, dia segera mengerahkan tenaganya dan menubruk ke depan, menggerakkan kedua tangan untuk menyerang dari kanan kiri dengan gerakan menggunting ke arah kedua pundak gadis itu.

Kalau tadi dia menyerang hanya untuk meraba dan mengelus muka dan dada, kini serangannya benar-benar dimaksudkan untuk mengalahkan lawan. Pukulannya itu cepat dan kuat, tidak lagi ditahannya karena dia maklum bahwa kalau dia tidak bersungguh-sungguh, besar kemungkinan dia yang akan roboh dan kalah.

Menghadapi serangan itu, Muryani bersikap tenang dan gerakan tubuhnya yang amat cepat itu membuat ia dengan mudah mengelak dengan mudah. Ia melompat belakang dan ketika serangan kedua tangan lawan itu luput dan lewat, iapun nerjang maju dan membalas dengan serangan tangan kanan, menghantam dengan telapak tangan ke arah lambung lawan. Demang Wiroboyo kembali menangkis dan kedua orang itu kini saling serang dengan serunya.

Pertandingan berjalan semakin sengit, saling pukul, saling tendang dan membuat para penonton menjadi tegang. Melihat kenyataan betapa Muryani benar-benar dapat melakukan perlawanan dengan baik, kini pasar taruhan menjadi ramai. Nilai Muryani naik pesat dan banyak penonton yang menjagoinya dengan taruhan tinggi!

Parmadi menonton dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran karena dari cara Ki Demang Wiroboyo memukul dan menendang, dia dapat menduga bahwa pria itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Biarpun Parmadi biasa bekerja keras dan memiliki tubuh yang kuat, namun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat. Seperti juga para penonton yang berada di situ, dia merasa heran dan kagum bukan main melihat sepak terjang Muryani. Gadis remaja itu, baru enambelas tahun usianya, belum dewasa benar, mampu menandingi dalam adu kanuragan seorang jagoan yang sudah matang dan terkenal digdaya seperti Ki Demang Wiroboyo?

Hal ini tentu saja merupakan keajaiban bagi mereka. Adapun bagi Ki Demang Wiroboyo sendiri, kalau tadinya dia merasa heran, terkejut dan kagum sehingga hatinya semakin terpikat oleh gadis itu, kini dia merasa penasaran bukan main, juga khawatir. Dia merasa betapa beratnya melawan gadis itu dan yang membuat dia penasaran setengah mati adalah kalau mengingat bahwa lawannya itu hanya seorang gadis remaja.

Padahal, sudah banyak jagoan kawakan yang kalah beradu tebalnya kulit kerasnya tulang olehnya. Bahkan dia pernah mengobrak-abrik gerombolan maling dan kecu (perampok) yang dipimpin Darto Gento di hutan Cemoro Sewu sehingga karena jasanya itu dia diangkat menjadi Demang Pakis. Masa sekarang dia harus kalah oleh seorang gadis remaja? Kekhawatiran Ki Demang Wiroboyo menjadi kenyataan. Saking cepatnya gerakan tangan Muryani, dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kanan Muryani menyambar.

"Plakk!" tangan yang miring itu mengenai leher kiri Ki Demang Wiroboyo. Biarpun hanya sebuah tangan mungil yang menghantam lehernya, namun Ki Demang Wiroboyo mengaduh dan merasa seolah kepalanya disambar petir. Pandang matanya berkunang dan dia terhuyung ke belakang. Muryani menyusulkan tendangan kaki kiri ke arah perut lawan.

"Bukk.... !" Tak dapat dihindarkan lagi tubuh Ki Demang Wiroboyo terlempar ke belakang dan terjatuh ke bawah panggung! Luapan kegembiraan membuat para penduduk itu bertepuk tangan menyambut kemenangan gadis itu sehingga mereka lupa bahwa yang kalah itu adalah demang dusun mereka yang biasanya mereka hormati karena demang itu, bagaimanapun juga, adalah seorang penguasa yang adil dan baik. Akan tetapi, beberapa belas orang laki-laki yang biasa membantu Ki Demang Wiroboyo, segera menolong majikan mereka. Ternyata Ki Demang Wiroboyo tida terluka parah, hanya lehernya terasa nyeri dan kaku dan perutnya terasa mulas. Sebetulnya dia masih beruntung karena Muryani sengaja membatasi tenaganya ketika menampar dan menendang tadi sehingga nyawanya tidak direnggut maut.

Dari atas panggung Muryani menghadap ke arah Ki Demang Wiroboyo yang sudah bangkit berdiri di bawah panggung di mana dia tadi terjatuh. "Ki Demang Wiroboyo, seperti kukatakan tadi, kalau andika kalah andika harus memenuhi permintaanku. Andika sudah kalah dalam lomba balap kuda, kalah pula dalam pertandingan adu kanuragan, disaksikan oleh semua penduduk, andika kalah dua kali. Karena itu, sudah sepatutnya andika mengaku kalah dan mulai saat ini kuminta agar andika tidak lagi mengulang perbuatan yang sudah-sudah, yaitu memaksa wanita untuk menjadi selirmu. Kalau andika tidak memegang janji, berarti andika seorang laki-laki yang tidak jantan dan aku pasti akan turun tangan menentang dan memberi hajaran yang sekeras-kerasnya. Mudah-mudahan kekalahan ini menjadi suatu pelajaran yang baik yang akan menyadarkanmu dari kesalahan."

Ki Demang Wiroboyo hanya mengangguk-angguk dan semua orang yang mendengarkan ucapan gadis itu makin terheran dan terkagum-kagum. Gadis remaja itu tidak hanya sakti mandraguna, namun juga bijak dan dapat memberi wejangan seperti seorang tua saja!

Muryani menuruni anak tangga panggung itu, menghampiri ayahnya dan menggandeng tangan ayahnya. "Mari kita pulang, ayah."

Akan tetapi Ki Ronggo Bangak mengajak puterinya menghampiri Ki Demang Wiroboyo. Setelah berhadapan, Ki Ronggo Bangak lalu berkata dengan ramah, "Anakmas Demang Wiroboyo, kalau anak saya Muryani dianggap bersalah, saya yang memintakan maaf atas semua sikap dan kelakuannya terhadap anakmas tadi."

Ki Demang Wiroboyo yang masih tertegun menghadapi kenyataan pahit bahwa dia kalah oleh Muryani, memandang kepada Ki Ronggo Bangak, lalu kepada Muryani yang tersenyum, dan menggeleng kepala, menghela napas dan berkata, "Tidak ada yang bersalah, paman, tidak ada yang perlu dimaafkan"

Ki Ronggo Bangak merasa lega dan berkata, "Terima kasih, anakmas Demang Wiroboyo." Dia membungkuk memberi hormat lalu menggandeng tangan puterinya dan pergi dari situ, diikuti pandang mata para penduduk yang merasa kagum sekali kepada Muryani.

Semenjak hari itu, kehidupan di dusun Pakis berjalan seperti biasa. Ki Demang Wiroboyo bersikap biasa, mengurus dusun dengan kepimpinannya, sehingga penduduk segera melupakan peristiwa dengan Muryani itu. Karena Ki Demang Wiroboyo dia dan tenang-tenang saja, maka mereka mengira bahwa urusan itu telah selesai dan api itu telah padam. Yang jelas, demang itu kini kehilangan kegarangan terhadap wanita, tidak lagi mengejar-ngejar wanita.

Agaknya memang sudah bertaubat dan mentaati nasihat gadis remaja, Muryani. Akan tetapi benarkah api itu sudah padam seperti dugaan semua penduduk dusun Pakis? Ataukah api itu masih membara dan ngureng (membara di bagian dalam) seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dalam menyala dan berkobar kembali?

********************

Pagi yang cerah dan indah. Sinar matahari pagi yang masih lembut menggugah pohon-pohon cemara dari tidur lelap, menyulap butir-butir embun di ujung-ujung rumput dan daun menjadi mutiara-mutiara yang berkilauan. Mutiara-mutiara di ujung daun-daun cemara itu berjatuhan ketika ranting pohon itu bergerak karena dihinggapi kaki-kaki burung yang beterbangan dengan riang gembira, berkicau ria sebelum menunaikan tugas hariannya, yaitu pergi mencari makan.

Lereng-lereng Gunung Lawu di luar dusun Pakis itu sunyi sekali. Orang-orang yang bepergian ke pasar yang berada di dusun lain, melalui jalan raya, tidak melalui lereng-lereng itu. Akan tetapi, seorang pemuda berjalan seorang diri. Tangan kanannya memegang sebuah sabit dan pundak kirinya memikul dua buah keranjang kosong. Pakaiannya sederhana sekali. Baju tanpa leher berlengan pendek dan celana sebatas lutut. Semua berwarna hitam. Kepalanya dibelit kain ikat kepala dan kedua kakinya telajang.

Pemuda itu adalah Parmadi. Seperti biasa, setelah pagi-pagi sekali tadi dia membersihkan istal kuda di belakang gedung tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo, berangkatlah dia membawa pikulan keranjang rumput dan sebuah arit menuju ke lapangan rumput yang berada agak jauh di luar dusun Pakis, di sebuah puncak bukit. Di sana tumbuh rumput yang segar dan subur, yang tak pernah habis walau dibabatnya setiap hari. Agaknya pagi dibabat sore tumbuh kembali dan sore dibabat pagi tumbuh kembali.

Bukit itu lumayan jauhnya dari dusun Pakis, sejauh perjalanan selama setengah jam. Akan tetapi tiada bosannya Parmadi berjalan melalui lereng-lereng itu setiap pagi karena pemandangan di situ amat indahnya, apalagi di waktu matahari baru muncul. Hawanya sejuk segar dan tentu amat dingin bagi orang yang tidak biasa berada disitu, namun bagi Parmadi yang sudah terbiasa, terasa sejuk segar menyehatkan.

Akan tetapi pagi itu agaknya Parmadi tidak dapat menikmati keindahan dan kesejukan yang biasa dialaminya. Bahkan dia seperti tidak mengacuhkan atau tidak meraskan itu semua. Dia tenggelam dalam lamunannya sendiri. Kedua kakinya bergerak melangkah otomatis ke arah yang menjadi tujuannya tanpa dia perhatikan lagi. Mula-mula dia membayangkan Muryani dan Ki Ronggo Bangak.

Gadis yang luar biasa, selain cantik jelita, pandai, juga ternyata gagah perkasa. Hidup berbahagia di samping ayah tercinta. Dan dia? Dia seorang pemuda, seorang laki-laki, akan tetapi tidak segagah gadis remaja itu. Dia hanya seorang tukang mengurus kuda, tukang menyabit rumput, kedudukan yang paling rendah. Diapun seorang laki-laki yang lemah, seperti bumi dengan langit dibandingkan Muryani. Dan dia juga tidak seberuntung Muryani. Dia sudah tidak beribu bapa, sudah yatim-piatu. Maka terkenanglah dia akan keadaan dirinya.

Dia membayangkan kembali keadaan dirinya. Dahulu, sebagai seorang anak dia hidup berbahagia bersama ayah ibunya di dusun Pancot, di sebuah di antara lereng-lereng Gunung Lawu. Seingatnya, ayahnya adalah seorang petani yang hidup sederhana namun mereka cukup berbahagia. Walaupun mereka hidup miskin dan sederhana, namun mereka tidak pernah kelaparan dan kehidupan di lereng gunung itu tenteram dan penuh kedamaian.

Dia masih ingat, ayahnya pernah bercerita bahwa ayah dan ibunya berasal dari Pasuruan, membawanya pindah ke lereng Lawu ketika dia masih kecil. Ayahnya tidak banyak bercerita tentang kehidupan ketika masih tinggal di Pasuruan. Dan malapetaka itu menimpa keluarga mereka ketika dia berusia sepuluh tahun. Ayahnya ketika itu berusia enam puluh tahun, akan tetapi ibunya masih muda, ketika itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun. Ayahnya pernah memberi pelajaran dasar-dasar ilmu pencak silat kepadanya.

Dia juga ingat bahwa agaknya ayahnya itu bersahabat dengan Ki Demang Wiroboyo dan dia melihat Ki Demang Wiroboyo itu sering berkunjung ke rumah mereka. Ki Demang itu seingatnya amat baik dan ramah kepada mereka, terutama kepada ibunya. Dan pada malam hari itu terjadilah bencana yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Dia hanya mendengar suara ribut-ribut dalam kamar orang tuanya. Dia tidur dalam kamarnya sendiri.

Suara seperti terjadi perkelahian dan beradunya senjata tajam berkerontangan. Dia tidak berani keluar kamar. Kemudian terdengar suara mengerang kesakitan, kemudian sunyi. Setelah agak lama, baru dia berani keluar kamarnya. Kamar orang tuanya gelap, maka dia membawa lampu dari kamarnya dan menuju ke kamar orang tuanya. Dan pintunya terbuka. Dia melangkah masuk dan ayah ibunya sudah menggeletak di lantai kamar itu.

Dia menjerit dan menubruk ibunya. Ibunya sudah tewas. Dia menghampiri ayahnya. Ayahnya juga tewas setelah berkata lirih, "membela Mataram sampai mati " Parmadi menghentikan langkahnya, menurunkan pikulannya dan duduk di atas batu.

Renungannya terlalu mengasyikkan sehingga dia berhenti berjalan dan melanjutkan lamunan dan kenangannya sambil duduk di atas batu itu. Dia tidak mengetahui siapa yang membunuh ayah ibunya dan mengapa mereka dibunuh. Tidak ada tanda-tanda yang akan dapat membuka rahasia itu. Jenazah ayah-ibunya dikubur. Ki Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat ayahnya juga datang melayat. Kemudian, karena dia tidak mempunyai sanak-kadang lain, Ki Demang Wiroboyo mengajaknya ke Pakis dan bekerja kepadanya, sebagai kacung kemudian sebagai perawat kuda sampai sekarang.

Parmadi merasa prihatin sekali. Merasa hidupnya tiada berguna. Ucapan terakhir ayahnya selalu berdengung di telinganya. "Membela Mataram sampai mati!" Apakah maksudnya itu? Apakah ayahnya telah membela Mataram sampai terbunuh orang? Ataukah ayahnya memesan kepadanya agar dia membela Mataram mati-matian? Akan tetapi, kalau dia diharuskan membela Mataram, apa yang dapat dia lakukan?

Dia hanya seorang perawat kuda, penyabit rumput. Dia bodoh, lemah, miskin. Apanya yang dapat dia andalkan untuk membela Mataram? Kalau saja dia memiliki kepandaian seperti halnya Muryani, tentu dia akan dapat melaksanakan pesan terakhir ayahnya itu! Sekarang, kebiasaannya hanyalah seni memahat, membaca menulis, bertembang dan meniup suling. Apa gunanya itu untuk dapat membela Mataram?

Diapun belum pernah melihat Mataram. Apa yang dia ketahui tentang Mataram hanya dari cerita ayahnya. Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai seluruh Nusantara. Menurut ayahnya, yang menjadi raja Mataram adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan berbudi bawa laksana, berjuluk Sang Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman atau juga disebut Sang Prabu Pandito Cokrokusumo, bahkan ada juga sebutan untuknya, yaitu Sayidin Panotogomo Kalifatullah!

Ketika dia mengeluh kepada ayahnya bahwa nama itu terlalu panjang dan susah untuk diingat, ayahnya tertawa dan mengatakan bahwa pada umumnya Raja Mataram yang gelarnya amat panjang itu disebut Sultan Agung. Dia harus mengabdi kepada Sultan Agung dan membela Mataram? Hanya lamunan. Takkan mungkin terjadi. Tidak ada apapun padanya yang dapat diandalkan. Dia hanya penyabit rumput makanan kuda.

Parmadi menghela napas panjang, teringat akan kewajibannya. Dia lalu bangkit berdiri, mengambil aritnya, memikul keranjangnya dan melanjutkan langkah kakinya menuju ke bukit penuh rumput yang sudah dicapai hampir sampai di puncaknya. Hatinya gundah, kecewa kepada diri sendiri. Perasaan ini menimbulkan kemarahan kepada diri sendiri yang dianggapnya tiada berguna. Untuk melampiaskan kemarahannya, ia menyabit rumput penuh semangat. Seolah rumput-rumput itu yang menjadi musuh besarnya!

Sebentar saja dia sudah memenuhi dua keranjangnya dengan rumput hijau segar dan gemuk. Dia tadi bekerja keras sepenuh tenaga sehingga muka dan lehernya basah oleh keringat. Diusapnya keringat dari mukanya dengan bajunya. Setelah dia berhenti menyabit dan berdiri di padang rumput puncak bukit itu, baru terasa olehnya betapa tiupan angin amat menyejukkan.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara yang terbawa angin. Suara yang tidak asing baginya. Suara suling. Jelas itu suara suling. Dia mengenal benar suara tiupan suling. Akan tetapi, lagu yang dimainkan suling itu aneh sekali, luar biasa. Tidak ada di antara tembang-tembang yang dikenalnya seperti itu. Bukan tembang Dandang-gulo, bukan pula tembang Pangkur, atau Kinanti. Juga bukan Asmorodono, Megatruh, Sinom, Pucung atau tembang lain yang dikenalnya.

Suara suling itu mendayu-dayu mengeluarkan tembang yang aneh, mengandung berbagai macam perasaan, terkadang seperti merintih seperti Megatruh, terkadang indah menghanyutkan seperti Asmorodono. Belum pernah dia mendengar suling ditiup orang seperti itu. Mengandung getaran yang mengisap kalbu, membuat Parmadi kadang merasa terharu, kadang merasa seperti dibawa melayang-layang. Dia tertarik sekali dan timbul keinginan kuat untuk bertemu dengan orang yang dapat memainkan suling sehebat itu.

Sambil memikul dua keranjang rumput dia menuruni puncak bukit padang rumput menuju ke timur, ke arah dari mana datangnya suara suling itu. Ternyata suara itu datang dari jarak yang jauh juga. Dia sudah menuruni bukit dan mendaki sebuah bukit lain. Agak meremang bulu tengkuk Parmadi walaupun waktu itu masih pagi. Dia tahu bahwa tempat itu disebut daerah Penggik dan Tamansari yang terkenal daerah angker.

Hanya penduduk daerah Lawu yang sudah biasa dan hapal benar akan keadaan daerah itu yang berani memasuki daerah ini sampai ke daerah Pringgondan karena menurut dongeng rakyat, orang sering kali kala (tersesat) di daerah itu dan tidak bisa mendapatkan jalan keluar. Banyak orang yang sudah menjadi korban mati kedinginan dan kelaparan, juga ketakutan, mayat mereka ditemukan di daerah itu. Akan tetapi Parmadi sudah mengenal daerah itu, maka dia mendaki bukit yang rimbun itu dengan tenang walaupun hatinya agak berdebar karena suara suling itu amat aneh, apalagi terdengar keluar dari daerah yang dikeramatkan oleh penduduk pedusunan di daerah Pegunungan Lawu itu.

Setelah melalui hutan lebat, akhirnya dia tiba di sebuah tempat terbuka dan di tengah-tengah tempat yang ditumbuhi banyak rumput hutan itu terdapat sebuah batu besar. Dia berhenti, melangkah dan memandang ke arah batu itu seperti orang terpesona. Setelah ditemukan orang yang memainkan suling seperti itu di tengah hutan yang terkenal angker itu, timbul keraguan dalam hatinya. Manusiakah orang yang duduk di atas batu besar sambil meniup suling itu?

Anehnya, setelah dia berada dekat, dalam jarak belasan meter, dia mendengar suara suling itu mendayu-dayu seperti tadi, tidaklah nyaring sekali. Akan tetapi bagaimana dapat dia dengar dari puncak bukit lain yang jaraknya cukup jauh? Dia berdiri mematung, masih memikul keranjangnya dan memegang sabitnya, seperti terpesona.

Kakek itu tidak mirip manusia biasa. Manusiakah dia, ataukah sebangsa siluman makhluk halus? Kalau manusia, usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Rambut, alis, jenggot dan kumisnya sudah putih semua, putih mengkilap seperti benang sutera perak. Rambut putih itu panjangnya sepundak. Wajah tua itu masih tampak segar. Matanya bersinar lembut, namun tajam penuh wibawa dan penuh pengertian Pakaian yang menutupi tubuhnya yang sedang agak kurus itupun sederhana sekali.

Hanya merupakan kain putih yang membelit tubuhnya, diikat dengan ikat pinggang putih pula. Suling yang ditiupnya merupakan sebatang seruling putih kuning yang panjangnya kurang lebih setengah meter. Seruling itu mengkilap tertimpa sinar matahari yang mulai naik agak tinggi. Perlahan-lahan suara suling itu berubah lirih dan akhirnya berhenti sama sekali, namun Parmadi seolah-olah masih mendengar gemanya berdengung di telinganya.

Kakek itu kini memandang kepadanya, mulut yang tersembunyi di antara kumis dan jenggot putih itu tersenyum, sepasang mata tua yang bersinar lembut itu berseri. Senyum dan pandang mata kakek itu seolah memiliki daya kekuatan mengundang Parmadi sehingga pemuda ini seperti bukan kehendaknya sendiri, menggerakkan kakinya, perlahan melangkah maju menghampiri.

Setelah berada di depan batu besar yang diduduki kakek itu, Parmadi berhenti dan memandang kakek itu dengan jantung berdebar tegang. Dia mendapat pendidikan cukup dari Ki Ronggo Bangak, maka dia menurunkan pikulan keranjang rumputnya, melepaskan sabitnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan dan bertanya dengan sikap hormat,

"Maafkan pertanyaan saya, eyang. Apakah eyang ini seorang manusia ataukah bukan?"

Kakek itu mengangkat muka ke atas dan diapun tertawa. Suara tawanya halus dan wajar. "Ha-ha-ha, orang muda yang lucu. Dengan dasar bagaimanakah andika bertanya apakah aku manusia atau bukan?"

"Maafkan saya, eyang. Keraguan saya bahwa eyang seorang manusia adalah keadaan eyang yang amat aneh. Pertama, tiupan suling tadi. Selain suaranya dapat mencapai jauh sekali, juga tembang yang eyang mainkan dengan suling tadi terdengar aneh namun luar biasa indahnya. Selain itu, kakek yang sudah begini tua bagaimana dapat mendaki sampai ke sini dan berada seorang diri di hutan yang terkenal angker ini?"

Kakek itu turun dari atas batu. Batu itu cukup tinggi, setinggi pundak Parmadi. Akan tetapi kakek itu melompat turun dengan ringan sekali, seringan daun kering sehingga ketika kedua kakinya hinggap di atas tanah, tidak mengeluarkan suara. Jubahnya berkibar ujungnya ketika dia melompat turun. Ketika dia berdiri di depan Parmadi, pemuda itu mendapat kenyataan bahwa kakek tua renta itu berdirinya masih tegak dan ternyata bentuk tubuhnya cukup tinggi dan kurus.

"Orang muda, aku tidak menjadi heran akan keraguanmu. Akan tetapi yang mengherankan aku adalah sikap dan kata-katamu. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, maukah andika lebih dulu menjawab pertanyaanku?"

"Tentu saja, eyang. Silakan bertanya dan saya akan menjawab sejujurnya dan sekuat kemampuan saya."

"Andika membawa sabit dan memikul dua keranjang rumput. Pakaianmu juga menunjukkan bahwa andika seorang pemuda dusun. Apakah andika penduduk dusun di Pegunungan Lawu ini?"

"Benar sekali, eyang. Saya penduduk dusun Pakis dan bekerja sebagai perawat kuda Ki Demang dari Pakis."

"Siapa namamu, kulup?"

"Nama saya Parmadi, eyang."

"Jagad Dewa Bathara....! Seorang pemuda desa yang miskin sederhana, penyabit rumput perawat kuda, namanya Parmadi dan tindak-tanduknya (pembawaanya) penuh susila seperti Raden Permadi!" Kata kakek itu.

Wajah Parmadi berubah merah mendeIgar pujian itu dan dia cepat ingin mengalihkan perhatian dan percakapan tentang dirinya. "Maaf, eyang. Eyang belum menjawab pertanyaan saya tadi."

"Engkau bertanya bagaimana seorang tua renta seperti aku dapat berada di hutan gunung yang angker ini? Ketahuilah bahwa selama ini aku memang selalu berada di hutan-hutan dan gunung-gunung. Tempat tinggalku adalah di mana kedua kakiku berpijak. Rumahku berlantai tanah berdinding pohon beratap langit. Maka tidak aneh sama sekali kalau hari ini aku berada di hutan gunung ini, Parmadi. Aku manusia biasa seperti juga andika, penuh kekurangan dan mungkin hanya sedikit kelebihan. Aku bukan makhluk halus, bukan kama wurung, bukan iblis atau siluman juga bukan dewa."

"Akan tetapi tembang dalam suara suling eyang tadi...."

Kakek itu tersenyum dan kalau dia tersenyum wajahnya tampak semakin segar. "Heh-heh, kalau tiupan sulingku dikendalikan oleh akal pikiranku, tentu yang andika dengar adalah tembang yang dikenal umum. Akan tetapi tiupan suling tadi keluar dari bimbingan jiwaku yang hanya akan dapat dikenal oleh jiwa, bukan oleh akal pikiran."

Parmadi tertegun, tidak mengerti. Akan tetapi dia merasa tidak sopan kalau harus minta penjelasan. Dari jawaban tadi dia berkesimpulan bahwa kakek ini seorang kelana yang amat aneh dan penuh rahasia. Dapat tiba di tempat itu dan pakaiannya masih putih bersih seperti tidak pernah menyentuh tanah dan tumbuh-tumbuhan. Dia mulai menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kepandaan tinggi, seorang yang sakti mandraguna dan arif bijaksana.

"Eyang telah mengetahui nama saya. Bolehkah saya mengetahui nama eyang yang mulia?" tanya Parmadi hati-hati agar tidak berkesan tidak sopan.

"Tentu saja boleh, kulup. Orang-orang menyebut aku Ki Tejo Wening." Kakek itu lalu duduk di atas sebuah batu yang tidak berapa besar. "Duduklah, Parmadi, aku ingin bercakap-cakap denganmu. Kedatanganmu ke sini terpanggil oleh suara sulingku dapat kuanggap bahwa engkau berjodoh denganku. Nah, ceritakanlah keadaanmu. Siapakah nama ayahmu?"

Parmadi juga duduk di atas batu berhadapan dengan kakek itu. "Ayah saya bernama Brojoketi, eyang."

"Brojoketi? Dari mana ayahmu berasal dan di mana dia sekarang?"

"Ayah berasal dari Pasuruan dan dia telah meninggal dunia di dusun Pancot, tidak jauh dari dusun Pakis. Ketika saya berusia sepuluh tahun saya tinggal di dusun Pancot bersama ayah ibu saya. Akan tetapi pada suatu malam ayah dan ibu saya tewas dalam kamar mereka, dibunuh orang, eyang."

"Ahh, semoga Hyang Widhi mengampuni kita semua!" seru kakek itu. "Siapa pembunuh itu dan mengapa ayah ibu dibunuh?"

Parmadi menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, eyang. Yang saya ingat hanya ketika saya memasuki kamar ayah ibu, ibu telah tewas dan ayah juga tewas setelah meninggalkan kata-kata begini, 'membela Mataram sampai mati'."

"Hemm, ayahmu yang bernama Brojokerti itu tentulah seorang yang setia kepada Kerajaan Mataram. Setelah engkau di tinggal mati kedua orang tuamu, lalu bagaimana?"

"Saya dibawa oleh Ki Demang Wiroboyo ke rumahnya di dusun Pakis dan diberi pekerjaan. Sampai sekarang saya menjadi perawat tujuh ekor kuda milik Ki Demang Wiroboyo, eyang."

"Dan dia yang mengajarimu tentang tata-krama (tata susila)?"

"Bukan, eyang. Selama lima tahun ini saya diberi pelajaran tentang sastra, seni, budi pekerti dan tata susila oleh paman Ronggo Bangak yang tinggal di Pakis. Paman Ronggo Bangak berasal dari Demak, eyang. Eyang, pesan ayah dalam ucapan terakhir itu saya anggap sebagai pesan untuk saya agar saya membela Mataram. Akan tetapi, saya seorang pemuda lemah seperti ini, yang hanya mengerti sedikit tentang sastra dan seni, bagaimana mungkin saya dapat membela Mataram seperti dipesan mendiang ayah saya? Karena itu, eyang, saya mohon, sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang!" Setelah berkata demikian, Parmadi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada kakek itu. Nalurinya mendorongnya untuk berguru kepada kakek aneh ini.

"Parmadi, apakah engkau mengira bahwa untuk berbakti kepada nusa bangsa itu hanya diperlukan jasmani yang kuat dan kanuragan? Siapa saja dapat berbakti kepada nusa dan bangsa yang sama nilainya dengan memanfaatkan segala kemampuan yang dimilikinya. Semua orang dapat berjuang untuk Mataram, dalam bidang dan dengan cara masing-masing. Perjuangan bukan berarti hanya bertempur melawan musuh negara. Mendidik rakyat, memajukan kebudayaan termasuk kesusastraan dan kesenian, juga merupakan perjuangan yang tak kalah besar nilainya."

"Akan tetapi, eyang. Saya mendengar dari penuturan paman Ronggo Bangak bahwa Mataram masih menghadapi berbagai ancaman. Banyak kadipaten memberontak terhadap Mataram. Padahal Mataram ingin menyatukan semua kadipaten untuk menghadapi musuh yang amat berbahaya, yaitu kaum kompeni Belanda. Karena itu, saya pikir Mataram membutuhkan banyak orang yang memiliki kedigdayaan untuk menghadapi semua tantangan itu dan saya ingin sekali menyumbangkan tenaga saya untuk memenuhi pesan terakhir mendiang ayah saya, eyang"

"Jadi engkau bertekad untuk menjadi muridku, Parmadi?"

"Benar, eyang. Saya bersumpah untuk mentaati segala petunjuk dan perintah eyang, dan saya ingin ikut eyang ke manapun eyang pergi, melayani eyang, mengabdikan diri kepada eyang."

"Hemm, agaknya memang Sang Hyang Widhi sudah menghendaki demikian. Akan tetapi aku hanya dapat mengajarkan cara meniup dan memainkan seruling kepadamu, Parmadi."

"Apa saja yang eyang ajarkan, akan saya pelajari dengan taat dan tekun," kata Parmadi dengan girang seolah dia sudah melihat terbukanya sebuah pintu lebar yang akan membawa dia ke dalam kehidupan baru. "Saya akan mengikuti eyang ke manapun eyang mengajak saya pergi."

"Untuk sementara ini, aku akan tinggal di tempat ini, Parmadi. Karena itu, engkau tetaplah bekerja seperti biasa. Setiap hari, kalau ada kesempatan, engkau datanglah ke sini untuk belajar meniup seruling. Kelak, kalau tiba waktunya aku meninggalkan tempat ini, engkau boleh ikut bersamaku."

Biarpun hanya dijanjikan akan diberi pelajaran meniup seruling, kepandaian yang sudah dimilikinya karena diapun mahir sekali memainkan suling, namun hati Parmadi sudah sedemikian gembiranya sehingga berulang kali dia menyembah dan mengucapkan terima kasih.

"Sekarang, kalau engkau masih ada waktu, bantulah aku menebang beberapa pohon bambu untuk kubuat sebuah gubuk tempat berteduh kalau hujan turun."

"Akan tetapi di sini tidak ada pohon bambu, eyang. Yang ada hanya pohon-pohon kayu."

"Baiklah, gubuk kayu juga tidak apa bahkan lebih kokoh."

Parmadi dengan gembira lalu menggunakan sabitnya untuk menebang beberapa batang pohon kayu. Dia membantu kakek itu membangun sebuah gubuk sederhana sekedar untuk tempat berteduh kalau hujan turun. Setelah selesai, haripun sudah menjelang sore dan Parmadi berpamit lalu bergegas pulang ke dusun Pakis. Untung baginya, Ki Demang Wiroboyo sedang pergi keluar dusun sehingga dia tidak mendapat teguran atas keterlambatannya. Segera dia merawat kuda-kuda dalam istal kademangan itu.

Demikianlah, sejak hari itu, Parmadi setiap hari menggunakan kesempatan untuk menghadap gurunya di hutan Penggik. Di sana, sambil duduk di atas batu, Parmadi benar-benar menerima pelajaran meniup dan memainkan seruling! Mula-mula, dia sendiri membawa sebatang suling bambu. Ki Tejo Wening minta dia mainkan tembang-tembang Jawa. Parmadi memainkan hampir semua tembang dengan baik. Ki Tejo Wening mengangguk-angguk setelah muridnya menyelesaikan tiupan sulingnya.

"Semua itu bagus sekali, Parmadi. Akan tetapi, semua tembang yang kau mainkan dengan suling itu dituntun oleh akal pikiran. Aku akan mengajarkan engkau, atau lebih tepat menunjukkan engkau tiupan suling yang tidak dikendalikan oleh akal pikiran, melainkan oleh jiwa."

"Akan tetapi, bagaimana caranya itu eyang?"

"Caranya? Tidak ada caranya. Akan tetapi sang AKU yang menguasaimu haruslah menyingkir lebih dulu. Sang AKU ya mengaku-aku itu sesungguhnya bukan engkau yang sejati. AKU yang ingin ini ingin itu, ingin yang serba enak dan menyenangkan, hanyalah akal pikiran, badan dan nafsu berkumpul menjadi satu. Kalau semua nafsu tersingkir, kalau AKU tidak lagi, maka jiwa akan bangkit, akan tersentuh kekuasaan Hyang Widhi seperti pada mula-mula kehidupan sebelum kekuasaan diambil alih oleh nafsu hati akal pikiran. Nah, tiupan suling yang digerakkan oleh jiwa yang bangkit itulah yang harus kau rasakan, Parmadi."

Parmadi yang sudah banyak membaca kitab-kitab Weda, pemberian Ki Ronggo Bangak, dapat menangkap maksud ucapan gurunya. Dia tahu akan cara orang bersamadhi, mengosongkan pikiran, mengheningkan cipta, berkonsentrasi dan sebagainya. "Apakah yang eyang maksudkan itu dengan cara bersamadhi?"

Kakek itu menggeleng kepalanya. "Bukan, kulup. Bukan samadhi. Bersamadhi memang baik untuk menenangkan pikiran. Akan tetapi bersamadhi tidak meniadakan AKU, karena masih ada AKU yang bersamadhi dan ada AKU yang ingin mencapai sesuatu dengan cara bersamadhi itu."

"Kalau bukan bersamadhi, apakah eyang maksudkan bersembahyang?"

"Juga bukan. Bersembahyang masih menujukan batin kepada Sesuatu dan ada permohonan dari si AKU kepada Sesuatu itu. Bukan, kulup, bukan samadhi dan bukan pula sembahyang."

"Lalu apa dan bagaimana, eyang?"

"Anggap saja sebagai penyerahan. Menyerah kepada Hyang Widhi, berhentinya semua hati akal pikiran, seolah-olah mati di depan kekuasaan Hyang Widhi, penyerahan yang selengkapnya, lahir batin, penyerahan dengan ikhlas dan tawakal, sepenuh iman, tanpa pamrih karena kalau ada pamrih berarti si AKU masih bekerja. Kalau sudah begitu, jiwa akan terbebas dari cengkeraman nafsu badani dan akan bangkit dan bertemu dengan kekuasaan Hyang Widhi, dan memegang kendali sepenuhnya atas raga."

Demikianlah, Parmadi digembleng oleh Ki Tejo Wening, dituntun untuk menyerahkan jiwa raga kepada Sang Hyang Widi sehingga kekuasaan Sang Hyang Widhi mulai bekerja dalam dirinya, membimbing dan memberi kehidupan baru kepada jiwa raganya. Mulailah Parmadi dapat merasakan apa artinya meniup seruling tanpa dikendalikan oleh hati akal pikirannya.

Mula-mula yang keluar dari tiupan sulingnya hanya satu nada saja. Akan tetapi lambat-laun gerak jiwanya menuntun raga menjadi lebih mantap, lebih teratur sehingga dari tiupan serulingnya terdengar melengking yang mulai berirama dan beraneka nada menjalin tembang yang aneh. Dia sendiri menyadari dan mendengar tiupan sulingnya yang terjadi di luar kehendak hati atau pikirannya, tanpa dia tahu apa artinya itu.

Setelah lewat berbulan-bulan, gurunnya memberi penjelasan kepadanya. "Angger Parmadi. Ketahuilah bahwa tiupan seruling bambumu itu dilakukan karena bimbingan jiwa yang mulai hidup dan dalam getaran suara sulingmu itu mengandung kekuatan yang amat dahsyat. Yang jelas saja, semua daya rendah, roh-roh jahat akan runtuh dan melarikan diri mendengar suara tiupan sulingmu yang mengandung getaran yang amat kuat bagi mereka."

Mendengar ini, Parmadi merasa terharu dan berterima kasih dan dia berlatih semakin tekun dibawah petunjuk Ki Tejo Wening.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Semenjak Ki Tejo Wening tinggal di lereng Lawu itu, daerah Penggik dan Tamansari semakin angker bagi seluruh penduduk di daerah pegunungan itu. Dari daerah itu seringkali terdengar suara melengking-lengking, seperti seruling. Akan tetapi suaranya aneh sekali dan tembang yang dimainkan asing bagi semua orang. Karena itu muncul desas-desus bahwa suara itu tentulah para jin dan mahluk halus yang sedang menabuh gamelan!

Tiada seorang pun berani memasuki daerah itu. Biarpun telah berguru kepada Ki Tejo Wening, walaupun hanya berguru meniup suling, namun Parmadi merahasiakan hal itu. Dia maklum bahwa kakek itu tidak ingin kehadirannya diketahui orang banyak, maka diapun tidak pernah bercerita kepada siapapun juga. Bahkan Muryani juga tidak tahu akan rahasia ini.

Sementara itu, sikap Ki Demang Wiroboyo selama hampir setengah tahun ini baik-baik saja. Dia bertugas seperti biasa, mengatur kehidupan rakyat dusun Pakis dan selama itu belum pernah dia mengganggu seorangpun wanita. Agaknya dia sudah bertaubat dan sikapnya terhadap Ki Ronggo Bangak dan Muryani, kalau dia bertemu dengan mereka, juga baik dan ramah seperti biasa. Akan tetapi, tanpa diketahui bahkan tidak disangka oleh siapa pun juga, diam-diam api penasaran dan dendam itu masih membara di dalam hati Ki Demang Wiroboyo.

Dia adalah seorang laki-laki yang dikuasai nafsu birahinya. Biasanya, wanita yang dipilihnya, tak perduli janda atau perawan, pasti akan dapat dimilikinya, baik dengan jalan halus maupun kasar. Untuk urusan lain dia dapat bersikap adil, bahkan mengalah. Akan tetapi untuk urusan yang satu ini, karena sudah terbiasa sejak muda bahwa setiap wanita yang ditaksirnya tentu akan didapatkannya, maka ketika dia bertemu Muryani dan tergila-gila kepada gadis itu, dia bertemu batunya.

Bukan saja dia gagal memilikinya, bahkan dia dibuat malu di depan penduduk Pakis. Dikalahkan dalam lomba balap kuda dan adu kanuragan. Dia merasa dipermalukan dan dia akan tetap penasaran sebelum mendapatkan gadis itu yang harus bertekuk lutut kepadanya dan rnenjadi miliknya!

Demikianlah, diam-diam dia mengutus seorang pembantunya untuk pergi ke Ponorogo dan mengundang Surobajul, seorang warok yang terkenal karena keberanian dan kesaktiannya. Warok Surobajul ini adalah seorang yang mau melakukan apa saja asal diberi imbalan uang banyak. Ki Demang Wiroboyo mengenal watak sahabatnya ini, maka ketika mengundangnya, tidak lupa dia mengirimi hadiah yang berharga.

Warok Surobajul tertawa bergelak dengan pongahnya ketika mendengar dari utusan Ki Demang Wiroboyo bahwa dia dimintai pertolongan untuk menundukkan seorang wanita! Biarpun utusan itu menceritakan betapa digdaya gadis remaja yang telah mengalahkan Ki Demang Wiroboyo itu, Surobajul tidak menjadi gentar. Apalagi hadiah besar menantinya di dusun Pakis.

Melawan seorang jagoanpun dia tidak akan mundur kalau di sana ada imbalan yang besar dan dia tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo adalah seorang kaya dan tahu pula akan kelemahan sahabatnya itu yang tidak akan sayang mengeluarkan harta bendanya untuk mendapatkan seorang wanita yang digandrunginya.

Pada suatu hari muncullah warok Surobajul di rumah Ki Demang Wiroboyo, disambut dengan gembira oleh kepala dusun itu. Untuk menyenangkan hati sahabatnya dia menjamu sahabatnya itu dengan hidangan mewah. Disembelihnya seekor kambing dan beberapa ekor ayam untuk menjamu tamu yang hanya seorang itu. Malam itu mereka berdua berpesta-pora sekenyangnya dan sepuasnya.

Setelah selesai berpesta makan, keduanya duduk bercakap-cakap di ruangan tertutup sebelah dalam gedung Ki Demang Wiroboyo. Mereka duduk berhadapan dan Ki Demang Wiroboyo memandang sahabat yang menjadi tamunya itu dengan mata bersinar gembira dan penuh harapan. Rupa Surobajul menjanjikan keberhasilan niatnya karena wajah dan perawakan warok ini memang mendatangkan kesan seorang yang kokoh kuat dan menyeramkan lawannya.

Anggota tubuh Surobajul ini serba besar, seperti raksasa. Tubuhnya tinggi besar dengan otot melingkar-lingkar seperti tambang di seluruh tubuhnya. Kaki dan tangannya panjang dan besar. Kepalanya juga besar, dengan muka yang kulitnya kemerahan dengan bercak-bercak hitam. Rambut, kumis dan jenggotnya yang pendek seperti kawat hitam, kaku dan keras. Alisnya tebal melindungi seoasang mata yang melotot lebar, sepasang mata yang tampaknya selalu marah dan bersinar keras dan kejam.

Hidungnya juga besar dan mbengol bulat, mulutnya menyeringai dan tampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi. Usia raksasa berkulit hitam ini sekitar empat puluh lima tahun, Pakaiannya serba hitam dan dia berkalung sarung. Celananya terikat kolor (tali ikat pinggang) berwarna kuning sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir menyentuh tanah. Kolor inilah yang menjadi senjatanya yang amat ampuh. Seperti kebanyakan para warok, kolor ini merupakan senjata pusaka bertuah yang sudah diisi tenaga sakti dengan bertapa.

Ki Demang Wiroboyo memandang kepada sahabatnya sambil tersenyum dan dia berkata, "Sungguh aku merasa gembira sekali bahwa andika mau datang berkunjung memenuhi undanganku, kakang Surobajul!"

Surobajul tertawa dan ruangan itu setelah tergetar oleh suara tawanya yang ngakak (terbahak) dan parau. "Ha-ha-ha. Seorang sahabat baik mengundang, kenapa aku tidak akan datang, adi Wiroboyo? Bukankah kita ini sahabat karib dan di antara kita berlaku ucapan; Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, susah sama tanggung, senang sama dinikmati?"

"Andika benar sekali, kakang Surobajul. Jangan khawatir, kalau andika dapat membantuku dalam urusan ini sehingga berhasil bagi kemenanganku, aku tidak akan pelit untuk membagi sebagian hartaku kepada andika."

"Ha-ha-ha, aku percaya dan tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo adalah seorang yang tahu menghargai bantuan orang lain. Nah, katakanlah, kesukaran apa yang sedang andika hadapi dan bantuan apa yang andika harapkan dariku?"

"Apakah utusanku belum menceritakan kepadamu, kakang Surobajul?"

"Hanya sedikit dan tidak jelas. Harap andika jelaskan duduk perkaranya. Siapakah itu perawan remaja bernama Muryani? Betapa anehnya kalau seorang gadis dusun menolak untuk andika ambil sebagai selir. Orang macam apa sih perawan itu?"

Dengan jelas Ki Demang Wiroboyo lalu bercerita tentang Muryani yang membuatnya tergila-gila, namun yang menolak pinangannya, bahkan mengajukan syarat semacam sayembara di mana dia dua kali dikalahkan oleh gadis itu, dalam lomba balap kuda dan pertandingan adu kanuragan.

"Aku merasa dipermalukan sekali, kakang Surobajul. Aku merasa terhina dikalahkan olehnya di depan para warga dusun ini. Aku minta andika membalaskan kekalahanku ini dan juga menawan gadis itu untukku, agar ia dapat kumiliki."

"Hemm, benar-benar andika kalah olehnya? Ketika aku mendengar cerita utusanmu itu, aku sukar untuk dapat percaya. Macam apa sih gadis itu dan berapa usianya?"

"Gadis itu cantik manis merak ati pendeknya ia seperti seorang dewi dari kahyangan, akan tetapi memiliki kedigdayaan seperti Srikandi. Usianya sekitar enam belas tahun, kakang Surobajul."

"Apa? Mustahil! Andika kalah melawan seorang perawan kencur berusia enam belas tahun? Jangan bergurau, adi Wiroboyo."

"Aku tidak bergurau, kakang. Gadis itu benar-benar digdaya sekali. Kiranya hanya andika yang akan mampu mengalahkannya maka aku jauh-jauh mengundang andika untuk membantuku."

"Hemm, apakah ayahnya yang sakti?"

"Tidak, ayahnya bernama Ki Ronggo Bangak, seorang seniman dan pemahat. Akan tetapi tadinya puterinya itu tinggal di daerah Demak dan baru beberapa bulan ini tinggal dengan ayahnya di sini."

"Hemm, baiklah, adi Wiroboyo. Akan tetapi terus terang saja, aku merasa malu kalau ketahuan orang bahwa aku datang untuk bertanding melawan seorang perawan remaja berusia enam belas tahun! Kalau para warok di Ponorogo mendengar akan hal ini, aku pasti akan menjadi bahan ejekan dan cemooh mereka!"

"Jangan khawatir, kakang. Balas dendam ini harus dilakukan dengan siasat karena akupun tidak menghendaki orang-orang mengetahui bahwa untuk mendapatkan Muryani aku mempergunakan tenaga bantuanmu. Sebaiknya diatur begini...." Ki Demang Wiroboyo bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Surobajul dan berbisik-bisik dekat telinganya. Surobajul mendengarkan dan mengangguk-angguk sambil inenyeringai.

Dua orang itu sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi Parmadi mendengarkan percakapan mereka dari luar jendela ruangan itu yang tertutup. Semenjak raksasa hitam itu datang bertamu di kademangan dan melihat sikap dan gerak-gerik tuan rumah dan tamunya, Parmadi sudah merasa curiga dan waspada. Setelah dua orang itu selesai berpesta makan minum lalu memasuki ruangan yang tertutup, Parmadi menyelinap dan mendengarkan percakapan mereka melalui jendela. Karena dia menjadi seorang pembantu sudah lama di kademangan dan sudah dipercaya, maka tak seorang pun mencurigai gerak-geriknya sehingga dia dapat mendengarkan percakapan kedua orang itu dengan leluasa.

Sayang sekali ketika Ki Demang Wiroboyo menceritakan rencana siasatnya kepada Surobajul, dia berbisik-bisik dekat telinga raksasa itu sehingga Parmadi sama sekali tidak dapat mendengarnya. Akan tetapi apa yang telah didengarnya tadi sudah cukup! Dan jelas, raksasa itu akan membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya dari Muryani dan untuk menawan Muryani agar dapat dimiliki Ki Demang!

Karena merasa cukup dan khawatir kalau-kalau pengintaiannya ketahuan, Parmadi lalu menyelinap pergi dan malam itu juga dia bergegas pergi berkunjung ke rumah Ki Ronggo Bangak. Ketika Parmadi mengetuk daun pintu rumah sederhana namun indah karena bangunan itu dan pintu-pintunya dihias ukir-ukiran, yang membuka daun pintu adalah Muryani sendiri. Gadis itu tampak heran memandang wajah pemuda itu yang kelihatan serius.

"Eh, kakang Parmadi. Tidak sari-sarinya datang begini malam! Silakan masuk, kang!"

"Terima kasih, adi Muryani. Di mana paman Ronggo?"

"Ayah ada di dalam. Ada apakah, kakang? Engkau kelihatan mempunyai urusan yang penting sekali."

"Memang penting sekali, Muryani. Ki Demang Wiroboyo mendatangkan seorang jagoan warok, namanya Surobajul. Tadi mereka bicara empat mata dan karena curiga aku mendengarkan. Ternyata Surobajul itu diundang untuk membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya darimu dahulu itu dan... dan... untuk menawanmu agar Ki Demang dapat memilikimu."

"Jahanam keparat!!" Muryani mengepal kedua tinjunya dan membanting-banting kakinya.

"Akan kudatangi malam ini juga dan kuhajar mereka!"

Mendengar ribut-ribut itu, Ki Ronggo Bangak keluar dari dalam. "Ada apakah ribut-ribut ini? Ah, kiranya Parmadi yang datang. Ada apakah ini, Parmadi?"

Sebelum Parmadi menjawab, Muryani mendahului dengan gemas, "Coba ayah pikir! Si jahanam Demang Wiroboyo itu mengundang seorang jagoan warok untuk membalas dendam kepadaku dan untuk menawanku! Gila tidak itu? Ayah, aku akan pergi ke sana dan menghajar mereka malam ini juga!"

"Sabar dulu, Muryani. Benarkah ini, Parmadi?"

"Benar, paman. Saya mendengar sendiri pembicaraan mereka."

"Sudah, aku mau pergi, ayah!" kata Muryani yang cepat lari memasuki kamarnya dan keluar lagi sambil membawa sebatang patrem (keris kecil) bersarung yang diselipkan di pinggangnya.

"Muryani, jangan terburu nafsu. Tenang dulu, nini!" seru ayahnya.

"Tidak, ayah. Sebelum mereka turun tangan, lebih baik kalau aku yang turun tangan lebih dulu!"

"Adi Muryani, harap tenang dulu. Pikirkan dengan matang. Kalau engkau datang menyerbu ke sana, apa alasanmu. Engkau hanya mendengar dari aku, akan tetapi sama sekali tidak ada buktinya. Apa buktinya bahwa mereka akan menyerang dan menawanmu?"

"Akan tetapi, bukankah engkau mendengar sendiri pembicaraan mereka, kakang."

"Benar, akan tetapi itu bukan merupakan bukti. Mereka bisa saja menyangkal dan bahkan berbalik menuduh aku berbohong dan hendak melempar fitnah."

Mendengar pendapat Parmadi ini, Muryani tertegun. Ia dapat melihat kebenaran pendapat itu. Ia menoleh kepada ayahnya dan bertanya lirih, "Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Apa yang dikatakan Parmadi tadi memang benar sekali, Muryani. Mereka mengancammu, akan tetapi karena ancaman itu hanya didengar Parmadi seorang dan tidak ada saksi lain, tentu saja hal itu kurang kuat. Ancaman mereka itu merupakan rencana rahasia yang belum terbukti. Sekarang sebaiknya kalau kita menjaga diri, siap menghadapi ancaman itu. Engkau bersiap dengan kedigdayaanmu, dan aku akan menghadapi mereka dengan nasihat. Kurasa omonganku masih cukup berwibawa terhadap Ki Demang Wiroboyo."

Muryani mengangguk-angguk. "Baiklah, ayah. Aku akan siap siaga, dan kalau demang keparat itu berani datang di sini dan tidak menurut nasihat ayah, aku akan menghadapinya dengan patremku!"

"Kami minta bantuanmu, Parmadi. engkau amat-amatilah gerak-gerik Ki Demang Wiroboyo dan kalau dia hendak melanjutkan niat jahatnya menyerbu ke sini, harap engkau suka memberi tahu kepada kami agar kami dapat menjaga diri," kata Ki Ronggo Bangak kepada pemuda itu.

Parmadi mengangguk dan dia mohon diri lalu meninggalkan rumah itu. Aka tetapi hatinya yang diliputi kekhawatiran membuat dia mengambil langkah lain. Dia tidak langsung kembali ke rumah Ki De mang Wiroboyo, melainkan mendatangi rumah orang-orang muda penduduk Pakis yang menjadi teman-temannya. Kepada mereka dia menceritakan tentang Ki Demang Wiroboyo yang hendak membalas dendam dan menawan Muryani untuk dipaksa menjadi isterinya dengan bantuan seorang warok dari Ponorogo bernama Surobajul.

Para pemuda itu marah mendengar ini dan mereka juga merasa penasaran. Sejak lama para pemuda ini sudah merasa tidak senang karena Ki Demang Wiroboyo merampas banyak gadis yang tadinya menjadi calon isteri mereka. Mereka tidak berani bertindak karena maklum akan kedigdayaan demang itu. Akan tetapi semenjak demang mata keranjang itu dikalahkan Muryani, hati mereka menjadi tabah dan mereka melihat dengan girang bahwa tampaknya Ki Demang Wiroboyo mengubah tabiatnya yang buruk.

Sekarang mendengar bahwa Muryani hendak diganggu, mereka serentak menyatakan hendak membela Muryani! Parmadi lalu.minta kepada mereka untuk diam-diam mengamati rumah Muryani dan membelanya kalau Ki Demang Wiroboyo benar-benar melaksanakan niatnya yang jahat. Para pemuda itu menyanggupi, bahkan berita itu meluas sehingga sebagian besar para pria di dusun itu ikut siap siaga membantu Muryani dan mengeroyok para pengganggunya.

Setelah merasa puas dengan apa yang dia lakukan, Parmadi kembali ke kamarrrya di dekat istal kuda. Akan tetapi, dia selalu waspada, terutama di malam hari karena dia menduga bahwa Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul yang tidak ingin dilihat orang ketika mengganggu Muryani, tentu akan melaksanakan niat jahat mereka pada malam hari. Malam itu tidak terjadi sesuatu. Parmadi melihat bahwa Ki Demang Wiroboyo tidak meninggalkan rumah, demikian pula Surobajul malam itu berdiam saja di dalam kamarnya. Akan tetapi pada keesokan harinya, dua belas orang kaki tangan Ki Demang keluar dusun.

Diam-diam Parmadi memikul keranjang rumputnya dan membayangi mereka. Dia melihat mereka itu menuju ke sebuah hutan di sebelah timur dusun dan mereka membangun sebuah pondok kayu di tempat yang sunyi itu. Setelah melihat ini, Parmadi kembali ke Pakis. Hari itu dia tidak pergi ke hutan Penggik untuk menemui Ki Tejo Wening. Dia harus cepat kembali agar dapat mengamat-amati kedua orang itu, Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul.

Setelah merawat kuda-kudanya dan merasa yakin bahwa siang hari itu dua orang itu pasti tidak akan berani mengganggu Muryani, Parmadi tidur. Dia harus dapat tidur di siang hari karena malamnya dia harus bergadang untuk mengamati mereka. Dia sudah tahu bahwa Ki Demang membangun pondok di hutan itu dan di dapat menduga bahwa kalau Muryani dapat ditawan, agaknya tentu akan dibawa ke pondok itu!

Membayangkan hal ini, di mengepal tinju dengan hati panas. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau mengi ngat bahwa selain Muryani sudah tahu akan adanya bahaya dan sudah siap siaga, juga banyak pria di dusun ini siap pula untuk membantu gadis itu. Pada sore hari itu dia berhasil menyelinap keluar dan menghubungi para pemuda. Dengan girang dia mendapat keterangnn bahwa hampir semua laki-laki Pakis siap membantu Muryani. Dia lalu mengatur dengan mereka bahwa kalau Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya melaksanakan niatnya dan menyerbu ke rumah Muryani, dia akan memberi tanda kentongan titir (bertalu-talu).

Malam hari itu Parmadi sudah bersiap-siap. Dia menyediakan sebuah kentongan bambu dan dia mengintai ke arah ruangan dalam di mana terdapat kamar Ki Demang Wiroboyo dan kamar Surobajul. Karena dua kamar itu terpisah maka dia merasa lebih penting untuk mengamati kamar Ki Demang Wiroboyo. Akan tetapi, sama sekali tidak tampak demang itu keluar rumah. Juga tidak ada gerakan dalam kamar Surobajul. Sampai jauh lewat tengah malam, agaknya kedua orang itu tidak meninggalkan rumah. Berarti bukan malam ini mereka melaksanakan rencana mereka pikir Parmadi. Akan tetapi dia tetap melakukan pengintaian, walaupun sambil melenggut karena kantuk.

Menjelang fajar, hawa amat dinginnya. Pada saat seperti itu, sedang pulas-pulasnya orang tidur. Suasana di dusun Pakis sunyi senyap. Hanya suara serangga dan kutu-kutu malam saja yang terdengar. Bulan sepotong tampak mengambang di angkasa, mendatangkan cahaya remangremang dan mengubah pohon-pohon menjadi bayangan raksasa-raksasa hitam yang menyeramkan.

Parmadi yang melenggut, tiba-tiba membuka matanya dan sadar sepenuhnya. Memang dia tidak meninggalkan kewasdaannya dan sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya. Dia melihat Ki Demang Wiroboyo keluar dari dalam kamarnya, mengenakan pakaian indah seperti orang hendak pergi ke pesta. Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, tidak tahu bahwa Parmadi membayanginya. Pemuda itu membayangi sambil membawa kentongan bambunya. Akan tetapi ketika mengikuti kepergian Ki Demang Wiroboyo, dia merasa heran karena pria itu tidak pergi ke arah tempat tinggal Muryani, melainkan keluar dari dusun.

Ketika melihat bahwa orang yang dibayanginya itu pergi menuju ke hutan dimana dibangun sebuah pondok, Parmadi menghentikan langkahnya. Dia teringat akan Surobajul. Kenapa tidak keluar bersama Ki Demang Wiroboyo? Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan Surobajul yang hendak menyerang dan menawan Muryani!

Membayangkan hal ini, cepat-cepat dia kembali ke kademangan dan dengan berindap-indap dia berhasil mengintai ke dalam kamar yang ditempati Surobajul. Dan betapa kaget rasa hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kamar itu telah kosong. Surobajul tidak berada dalam kamarnya!

Hal ini hanya ada satu kemungkinan. Jagoan itu tentu telah pergi untuk melaksanakan tugas menawan Muryani! Dan agaknya Ki Demang Wiroboyo tidak ikut menyerbu ke rumah Muryani, melainkan menunggu calon korbannya di pondok dalam hutan itu! Ah, betapa bodohnya tadi. Membayangi Ki Demang Wiroboyo dan tidak memperhatikan Surobajul.

Parmadi berlari secepatnya meninggalkan kademangan menuju ke rumah Muryani. Jalan pikiran dan dugaannya tadi memang benar, namun agak terlambat. Sesungguhnya, Surobajul sudah dari tadi, sebelum Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela samping.


Seruling Gading Jilid 03

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Seruling Gading Jilid 03

DALAM keheranan dan kekagumannya, dia menjadi semakin tergila-gila. Inilah wanita yang patut menjadi sisihannya. Bukan saja ayu manis merak ati, akan tetapi juga digdaya, tentu akan makin memperkuat kedudukannya dan mengangkat namanya! Dia menahan rasa nyeri yang mulai menghilang itu dan memaksa diri tersenyum.

"Wah, ternyata andika benar-benar seorang gadis perkasa seperti Srikandi yang digdaya! Kalau begitu, aku tidak akan khawatir lagi untuk bertanding denganmu. Atau kita bermain-main sejenak, diajeng Muryani!"

"Maju dan mulailah, Ki Demang Wiroboyo!" tantang Muryani dan iapun sudah memasang kuda-kuda dengan gerakan Dadali Anglayang (Burung Walet Melayang). Pasangan kuda-kuda itu dilakukan dengan berdiri di atas jari-jari kakinya, berjingkat dengan kedua kaki rapat, tubuh agak membungkuk dan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri seperti sepasang sayap tampak manis, lucu dan juga gagah.

Mulailah para penonton bertepuk tangan karena ucapan Ki Demang Wiroboyo tak membuat mereka dapat menduga bahwa pria itu tidak main-main dan gadis itu benar-benar seorang yang tangguh dan digdaya. Ketika tadi Muryani menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dada lawannya. Parmadi juga mengerutkan alisnya. Kenapa serangan gadis itu hanya menyentuh dada lawan, seperti main-main saja? Akan tetapi melihat Ki Demang Wiroboyo meringis seperti kesakitan dan terhuyung ke belakang, hatinya mulai lega. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki kesaktian dan kini dia memandang penuh perhatian, mengharapkan gadis itu akan memenangkan pertandingan itu.

Maka, melihat banyak orang menyambut pembukaan gerakan silat gadis itu, dia menjadi gembira dan ikut bertepuk tangan. Sentuhan lembut pada pundaknya memuat Parmadi menengok dan melihat bahwa yang menyentuh pundaknya adalah Ki Ronggo Bangak yang mengerutkan alis, dia menghentikan tepukan tangannya. Agaknya gurunya tidak bergembira melihat ulah Muryani di atas panggung arena pertandingan itu.

"Kenapa, paman?" tanyanya kepada gurunya itu. Parmadi menyebut paman kepada gurunya itu, sesuai dengan kehendak Ronggo Bangak sendiri yang tidak bersedia disebut Bapa Guru.

Ronggo Bangak menghela napas pandang dan menjawab lirih, "Aku khawatir kalau Muryani lupa diri, menewaskan Ki Demang Wiroboyo atau membuat dia terluka parah."

Parmadi memandang kepada gurunya dan bibirnya mengembangkan senyum. Kalau orang lain mendengarkan ucapan guruya itu, dia tentu akan merasa heran sekali. Ronggo Bangak tidak mengkhawatirkan puterinya terbunuh atau terluka, sebaliknya malah khawatir kalau anak itu menewaskan atau mencederai lawan! Dia mengenal baik siapa gurunya dan bagaimana watak gurunya. Seorang yang suka akan keindahan, penuh kedamaian, tidak ingin merusak, tidak menyukai kekerasan dan selalu berbaik hati kepada siapa saja!

"Harap paman tenangkan hati. Saya percaya bahwa adi Muryani bukan hanya telah mempelajari aji kanuragan akan tetapi juga telah memiliki watak yang gagah dan adil, lagi bijaksana."

"Mudah-mudahan begitulah, Parmadi." Keduanya memperhatikan ke atas panggung.

Melihat gadis yang menggairahkan hatinya itu telah membuat pasangan pembukaan yang indah, Ki Demang Wiroboyo tidak mau kalah gaya. Dia berdiri dengan kedua kaki menyilang, lutut ditekuk, kepala ditundukkan akan tetapi kedua mata mengerling ke depan, kedua tangan membentuk cakar harimau, tangan kanan dia angkat kedepan muka dan tangan kiri menempel di perut, mulutnya tersenyum.

"Diajeng Muryani, hati-hatilah dan sambut seranganku ini. Haaiiiiittt...!!" tiba-tiba dengan gerakan yang tangkas, kaki kanannya melangkah ke depan, tangan kanannya menyambar dengan cengkeraman ke arah muka Muryani sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah dada gadis iu!

Tentu saja Ki Demang Wiroboyo sudah siap untuk mengubah cengkeraman itu menjadi belaian kalau berhasil tangannya nenyentuh muka dan dada!

"Hyaaaatt...!" terdengar seruan nyaing keluar dari mulut gadis itu dan tubuhnya menggeliat mundur, kedua tangan digerakkan masuk menampar kedua tangan lawan itu.

"Plak! Plak!" tangkisan itu membuat kedua tangan Ki Demang Wiroboyo terasa tergetar dan dia mundur dua langkah degan kaget sambil memasang kuda-kuda lagi, berdiri tegak dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Muryani sudah kembali memasang kuda-kuda seperti pembukaannya tadi.

Kembali penonton bertepuk tangan kaena pertandingan segebrakan ini menunjukkan bahwa Muryani memang bukan wanita lemah dan ia tampak gagah sekali. Pertemuan dua pasang lengan tadi saja sudah membuat Ki Demang Wiroboyo makin tahu bahwa gadis itu memang memiliki tenaga yang kuat. Keduanya maklum bahwa mereka harus berhati-hati dan berusaha sekuat kemampuan mereka kalau ingin keluar sebagai pemenang.

"Eiiitt...!" kini Muryani balas menyerang. Gerakannya cepat bukan main, bagaikan seekor burung walet tubuhnya menerjang ke depan, tangan kirinya menampar dengan jari terbuka ke arah pelipis kanan lawan. Sambaran tangan yang kecil mungil itu mendatangkan angin yang terasa benar oleh Ki Demang Wiroboyo mak diapun cepat menarik tubuh atas ke belakang sambil mengangkat lengan kanan ke atas untuk menangkis. Akan tetapi pada detik berikutnya, Muryani menyusulkan tendangan. Kaki kanan dengan betis mamadi bunting dan berkulit putih mulus tertutup celana hitam sebatas lutut itu mencuat menuju sasarannya, yaitu perut lawan!

"Ehh....!" Ki Demang Wiroboyo terkejut dan cepat tangan kirinya bergerak ke bawah untuk menangkis, karena mengelak tidak akan dapat menghindarkan dirinya dari dari tendangan itu.

"Dukk...!" Lengan itu bertemu kaki dan akibatnya, tubuh Ki Demang Wiroboyo terhuyung ke belakang. Diam-diam pria ini terkejut dan penasaran sekali. Dia tahu bahwa lawannya benar-benar tangguh. Maka, dia segera mengerahkan tenaganya dan menubruk ke depan, menggerakkan kedua tangan untuk menyerang dari kanan kiri dengan gerakan menggunting ke arah kedua pundak gadis itu.

Kalau tadi dia menyerang hanya untuk meraba dan mengelus muka dan dada, kini serangannya benar-benar dimaksudkan untuk mengalahkan lawan. Pukulannya itu cepat dan kuat, tidak lagi ditahannya karena dia maklum bahwa kalau dia tidak bersungguh-sungguh, besar kemungkinan dia yang akan roboh dan kalah.

Menghadapi serangan itu, Muryani bersikap tenang dan gerakan tubuhnya yang amat cepat itu membuat ia dengan mudah mengelak dengan mudah. Ia melompat belakang dan ketika serangan kedua tangan lawan itu luput dan lewat, iapun nerjang maju dan membalas dengan serangan tangan kanan, menghantam dengan telapak tangan ke arah lambung lawan. Demang Wiroboyo kembali menangkis dan kedua orang itu kini saling serang dengan serunya.

Pertandingan berjalan semakin sengit, saling pukul, saling tendang dan membuat para penonton menjadi tegang. Melihat kenyataan betapa Muryani benar-benar dapat melakukan perlawanan dengan baik, kini pasar taruhan menjadi ramai. Nilai Muryani naik pesat dan banyak penonton yang menjagoinya dengan taruhan tinggi!

Parmadi menonton dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran karena dari cara Ki Demang Wiroboyo memukul dan menendang, dia dapat menduga bahwa pria itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Biarpun Parmadi biasa bekerja keras dan memiliki tubuh yang kuat, namun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat. Seperti juga para penonton yang berada di situ, dia merasa heran dan kagum bukan main melihat sepak terjang Muryani. Gadis remaja itu, baru enambelas tahun usianya, belum dewasa benar, mampu menandingi dalam adu kanuragan seorang jagoan yang sudah matang dan terkenal digdaya seperti Ki Demang Wiroboyo?

Hal ini tentu saja merupakan keajaiban bagi mereka. Adapun bagi Ki Demang Wiroboyo sendiri, kalau tadinya dia merasa heran, terkejut dan kagum sehingga hatinya semakin terpikat oleh gadis itu, kini dia merasa penasaran bukan main, juga khawatir. Dia merasa betapa beratnya melawan gadis itu dan yang membuat dia penasaran setengah mati adalah kalau mengingat bahwa lawannya itu hanya seorang gadis remaja.

Padahal, sudah banyak jagoan kawakan yang kalah beradu tebalnya kulit kerasnya tulang olehnya. Bahkan dia pernah mengobrak-abrik gerombolan maling dan kecu (perampok) yang dipimpin Darto Gento di hutan Cemoro Sewu sehingga karena jasanya itu dia diangkat menjadi Demang Pakis. Masa sekarang dia harus kalah oleh seorang gadis remaja? Kekhawatiran Ki Demang Wiroboyo menjadi kenyataan. Saking cepatnya gerakan tangan Muryani, dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kanan Muryani menyambar.

"Plakk!" tangan yang miring itu mengenai leher kiri Ki Demang Wiroboyo. Biarpun hanya sebuah tangan mungil yang menghantam lehernya, namun Ki Demang Wiroboyo mengaduh dan merasa seolah kepalanya disambar petir. Pandang matanya berkunang dan dia terhuyung ke belakang. Muryani menyusulkan tendangan kaki kiri ke arah perut lawan.

"Bukk.... !" Tak dapat dihindarkan lagi tubuh Ki Demang Wiroboyo terlempar ke belakang dan terjatuh ke bawah panggung! Luapan kegembiraan membuat para penduduk itu bertepuk tangan menyambut kemenangan gadis itu sehingga mereka lupa bahwa yang kalah itu adalah demang dusun mereka yang biasanya mereka hormati karena demang itu, bagaimanapun juga, adalah seorang penguasa yang adil dan baik. Akan tetapi, beberapa belas orang laki-laki yang biasa membantu Ki Demang Wiroboyo, segera menolong majikan mereka. Ternyata Ki Demang Wiroboyo tida terluka parah, hanya lehernya terasa nyeri dan kaku dan perutnya terasa mulas. Sebetulnya dia masih beruntung karena Muryani sengaja membatasi tenaganya ketika menampar dan menendang tadi sehingga nyawanya tidak direnggut maut.

Dari atas panggung Muryani menghadap ke arah Ki Demang Wiroboyo yang sudah bangkit berdiri di bawah panggung di mana dia tadi terjatuh. "Ki Demang Wiroboyo, seperti kukatakan tadi, kalau andika kalah andika harus memenuhi permintaanku. Andika sudah kalah dalam lomba balap kuda, kalah pula dalam pertandingan adu kanuragan, disaksikan oleh semua penduduk, andika kalah dua kali. Karena itu, sudah sepatutnya andika mengaku kalah dan mulai saat ini kuminta agar andika tidak lagi mengulang perbuatan yang sudah-sudah, yaitu memaksa wanita untuk menjadi selirmu. Kalau andika tidak memegang janji, berarti andika seorang laki-laki yang tidak jantan dan aku pasti akan turun tangan menentang dan memberi hajaran yang sekeras-kerasnya. Mudah-mudahan kekalahan ini menjadi suatu pelajaran yang baik yang akan menyadarkanmu dari kesalahan."

Ki Demang Wiroboyo hanya mengangguk-angguk dan semua orang yang mendengarkan ucapan gadis itu makin terheran dan terkagum-kagum. Gadis remaja itu tidak hanya sakti mandraguna, namun juga bijak dan dapat memberi wejangan seperti seorang tua saja!

Muryani menuruni anak tangga panggung itu, menghampiri ayahnya dan menggandeng tangan ayahnya. "Mari kita pulang, ayah."

Akan tetapi Ki Ronggo Bangak mengajak puterinya menghampiri Ki Demang Wiroboyo. Setelah berhadapan, Ki Ronggo Bangak lalu berkata dengan ramah, "Anakmas Demang Wiroboyo, kalau anak saya Muryani dianggap bersalah, saya yang memintakan maaf atas semua sikap dan kelakuannya terhadap anakmas tadi."

Ki Demang Wiroboyo yang masih tertegun menghadapi kenyataan pahit bahwa dia kalah oleh Muryani, memandang kepada Ki Ronggo Bangak, lalu kepada Muryani yang tersenyum, dan menggeleng kepala, menghela napas dan berkata, "Tidak ada yang bersalah, paman, tidak ada yang perlu dimaafkan"

Ki Ronggo Bangak merasa lega dan berkata, "Terima kasih, anakmas Demang Wiroboyo." Dia membungkuk memberi hormat lalu menggandeng tangan puterinya dan pergi dari situ, diikuti pandang mata para penduduk yang merasa kagum sekali kepada Muryani.

Semenjak hari itu, kehidupan di dusun Pakis berjalan seperti biasa. Ki Demang Wiroboyo bersikap biasa, mengurus dusun dengan kepimpinannya, sehingga penduduk segera melupakan peristiwa dengan Muryani itu. Karena Ki Demang Wiroboyo dia dan tenang-tenang saja, maka mereka mengira bahwa urusan itu telah selesai dan api itu telah padam. Yang jelas, demang itu kini kehilangan kegarangan terhadap wanita, tidak lagi mengejar-ngejar wanita.

Agaknya memang sudah bertaubat dan mentaati nasihat gadis remaja, Muryani. Akan tetapi benarkah api itu sudah padam seperti dugaan semua penduduk dusun Pakis? Ataukah api itu masih membara dan ngureng (membara di bagian dalam) seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dalam menyala dan berkobar kembali?

********************

Pagi yang cerah dan indah. Sinar matahari pagi yang masih lembut menggugah pohon-pohon cemara dari tidur lelap, menyulap butir-butir embun di ujung-ujung rumput dan daun menjadi mutiara-mutiara yang berkilauan. Mutiara-mutiara di ujung daun-daun cemara itu berjatuhan ketika ranting pohon itu bergerak karena dihinggapi kaki-kaki burung yang beterbangan dengan riang gembira, berkicau ria sebelum menunaikan tugas hariannya, yaitu pergi mencari makan.

Lereng-lereng Gunung Lawu di luar dusun Pakis itu sunyi sekali. Orang-orang yang bepergian ke pasar yang berada di dusun lain, melalui jalan raya, tidak melalui lereng-lereng itu. Akan tetapi, seorang pemuda berjalan seorang diri. Tangan kanannya memegang sebuah sabit dan pundak kirinya memikul dua buah keranjang kosong. Pakaiannya sederhana sekali. Baju tanpa leher berlengan pendek dan celana sebatas lutut. Semua berwarna hitam. Kepalanya dibelit kain ikat kepala dan kedua kakinya telajang.

Pemuda itu adalah Parmadi. Seperti biasa, setelah pagi-pagi sekali tadi dia membersihkan istal kuda di belakang gedung tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo, berangkatlah dia membawa pikulan keranjang rumput dan sebuah arit menuju ke lapangan rumput yang berada agak jauh di luar dusun Pakis, di sebuah puncak bukit. Di sana tumbuh rumput yang segar dan subur, yang tak pernah habis walau dibabatnya setiap hari. Agaknya pagi dibabat sore tumbuh kembali dan sore dibabat pagi tumbuh kembali.

Bukit itu lumayan jauhnya dari dusun Pakis, sejauh perjalanan selama setengah jam. Akan tetapi tiada bosannya Parmadi berjalan melalui lereng-lereng itu setiap pagi karena pemandangan di situ amat indahnya, apalagi di waktu matahari baru muncul. Hawanya sejuk segar dan tentu amat dingin bagi orang yang tidak biasa berada disitu, namun bagi Parmadi yang sudah terbiasa, terasa sejuk segar menyehatkan.

Akan tetapi pagi itu agaknya Parmadi tidak dapat menikmati keindahan dan kesejukan yang biasa dialaminya. Bahkan dia seperti tidak mengacuhkan atau tidak meraskan itu semua. Dia tenggelam dalam lamunannya sendiri. Kedua kakinya bergerak melangkah otomatis ke arah yang menjadi tujuannya tanpa dia perhatikan lagi. Mula-mula dia membayangkan Muryani dan Ki Ronggo Bangak.

Gadis yang luar biasa, selain cantik jelita, pandai, juga ternyata gagah perkasa. Hidup berbahagia di samping ayah tercinta. Dan dia? Dia seorang pemuda, seorang laki-laki, akan tetapi tidak segagah gadis remaja itu. Dia hanya seorang tukang mengurus kuda, tukang menyabit rumput, kedudukan yang paling rendah. Diapun seorang laki-laki yang lemah, seperti bumi dengan langit dibandingkan Muryani. Dan dia juga tidak seberuntung Muryani. Dia sudah tidak beribu bapa, sudah yatim-piatu. Maka terkenanglah dia akan keadaan dirinya.

Dia membayangkan kembali keadaan dirinya. Dahulu, sebagai seorang anak dia hidup berbahagia bersama ayah ibunya di dusun Pancot, di sebuah di antara lereng-lereng Gunung Lawu. Seingatnya, ayahnya adalah seorang petani yang hidup sederhana namun mereka cukup berbahagia. Walaupun mereka hidup miskin dan sederhana, namun mereka tidak pernah kelaparan dan kehidupan di lereng gunung itu tenteram dan penuh kedamaian.

Dia masih ingat, ayahnya pernah bercerita bahwa ayah dan ibunya berasal dari Pasuruan, membawanya pindah ke lereng Lawu ketika dia masih kecil. Ayahnya tidak banyak bercerita tentang kehidupan ketika masih tinggal di Pasuruan. Dan malapetaka itu menimpa keluarga mereka ketika dia berusia sepuluh tahun. Ayahnya ketika itu berusia enam puluh tahun, akan tetapi ibunya masih muda, ketika itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun. Ayahnya pernah memberi pelajaran dasar-dasar ilmu pencak silat kepadanya.

Dia juga ingat bahwa agaknya ayahnya itu bersahabat dengan Ki Demang Wiroboyo dan dia melihat Ki Demang Wiroboyo itu sering berkunjung ke rumah mereka. Ki Demang itu seingatnya amat baik dan ramah kepada mereka, terutama kepada ibunya. Dan pada malam hari itu terjadilah bencana yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Dia hanya mendengar suara ribut-ribut dalam kamar orang tuanya. Dia tidur dalam kamarnya sendiri.

Suara seperti terjadi perkelahian dan beradunya senjata tajam berkerontangan. Dia tidak berani keluar kamar. Kemudian terdengar suara mengerang kesakitan, kemudian sunyi. Setelah agak lama, baru dia berani keluar kamarnya. Kamar orang tuanya gelap, maka dia membawa lampu dari kamarnya dan menuju ke kamar orang tuanya. Dan pintunya terbuka. Dia melangkah masuk dan ayah ibunya sudah menggeletak di lantai kamar itu.

Dia menjerit dan menubruk ibunya. Ibunya sudah tewas. Dia menghampiri ayahnya. Ayahnya juga tewas setelah berkata lirih, "membela Mataram sampai mati " Parmadi menghentikan langkahnya, menurunkan pikulannya dan duduk di atas batu.

Renungannya terlalu mengasyikkan sehingga dia berhenti berjalan dan melanjutkan lamunan dan kenangannya sambil duduk di atas batu itu. Dia tidak mengetahui siapa yang membunuh ayah ibunya dan mengapa mereka dibunuh. Tidak ada tanda-tanda yang akan dapat membuka rahasia itu. Jenazah ayah-ibunya dikubur. Ki Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat ayahnya juga datang melayat. Kemudian, karena dia tidak mempunyai sanak-kadang lain, Ki Demang Wiroboyo mengajaknya ke Pakis dan bekerja kepadanya, sebagai kacung kemudian sebagai perawat kuda sampai sekarang.

Parmadi merasa prihatin sekali. Merasa hidupnya tiada berguna. Ucapan terakhir ayahnya selalu berdengung di telinganya. "Membela Mataram sampai mati!" Apakah maksudnya itu? Apakah ayahnya telah membela Mataram sampai terbunuh orang? Ataukah ayahnya memesan kepadanya agar dia membela Mataram mati-matian? Akan tetapi, kalau dia diharuskan membela Mataram, apa yang dapat dia lakukan?

Dia hanya seorang perawat kuda, penyabit rumput. Dia bodoh, lemah, miskin. Apanya yang dapat dia andalkan untuk membela Mataram? Kalau saja dia memiliki kepandaian seperti halnya Muryani, tentu dia akan dapat melaksanakan pesan terakhir ayahnya itu! Sekarang, kebiasaannya hanyalah seni memahat, membaca menulis, bertembang dan meniup suling. Apa gunanya itu untuk dapat membela Mataram?

Diapun belum pernah melihat Mataram. Apa yang dia ketahui tentang Mataram hanya dari cerita ayahnya. Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai seluruh Nusantara. Menurut ayahnya, yang menjadi raja Mataram adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan berbudi bawa laksana, berjuluk Sang Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman atau juga disebut Sang Prabu Pandito Cokrokusumo, bahkan ada juga sebutan untuknya, yaitu Sayidin Panotogomo Kalifatullah!

Ketika dia mengeluh kepada ayahnya bahwa nama itu terlalu panjang dan susah untuk diingat, ayahnya tertawa dan mengatakan bahwa pada umumnya Raja Mataram yang gelarnya amat panjang itu disebut Sultan Agung. Dia harus mengabdi kepada Sultan Agung dan membela Mataram? Hanya lamunan. Takkan mungkin terjadi. Tidak ada apapun padanya yang dapat diandalkan. Dia hanya penyabit rumput makanan kuda.

Parmadi menghela napas panjang, teringat akan kewajibannya. Dia lalu bangkit berdiri, mengambil aritnya, memikul keranjangnya dan melanjutkan langkah kakinya menuju ke bukit penuh rumput yang sudah dicapai hampir sampai di puncaknya. Hatinya gundah, kecewa kepada diri sendiri. Perasaan ini menimbulkan kemarahan kepada diri sendiri yang dianggapnya tiada berguna. Untuk melampiaskan kemarahannya, ia menyabit rumput penuh semangat. Seolah rumput-rumput itu yang menjadi musuh besarnya!

Sebentar saja dia sudah memenuhi dua keranjangnya dengan rumput hijau segar dan gemuk. Dia tadi bekerja keras sepenuh tenaga sehingga muka dan lehernya basah oleh keringat. Diusapnya keringat dari mukanya dengan bajunya. Setelah dia berhenti menyabit dan berdiri di padang rumput puncak bukit itu, baru terasa olehnya betapa tiupan angin amat menyejukkan.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara yang terbawa angin. Suara yang tidak asing baginya. Suara suling. Jelas itu suara suling. Dia mengenal benar suara tiupan suling. Akan tetapi, lagu yang dimainkan suling itu aneh sekali, luar biasa. Tidak ada di antara tembang-tembang yang dikenalnya seperti itu. Bukan tembang Dandang-gulo, bukan pula tembang Pangkur, atau Kinanti. Juga bukan Asmorodono, Megatruh, Sinom, Pucung atau tembang lain yang dikenalnya.

Suara suling itu mendayu-dayu mengeluarkan tembang yang aneh, mengandung berbagai macam perasaan, terkadang seperti merintih seperti Megatruh, terkadang indah menghanyutkan seperti Asmorodono. Belum pernah dia mendengar suling ditiup orang seperti itu. Mengandung getaran yang mengisap kalbu, membuat Parmadi kadang merasa terharu, kadang merasa seperti dibawa melayang-layang. Dia tertarik sekali dan timbul keinginan kuat untuk bertemu dengan orang yang dapat memainkan suling sehebat itu.

Sambil memikul dua keranjang rumput dia menuruni puncak bukit padang rumput menuju ke timur, ke arah dari mana datangnya suara suling itu. Ternyata suara itu datang dari jarak yang jauh juga. Dia sudah menuruni bukit dan mendaki sebuah bukit lain. Agak meremang bulu tengkuk Parmadi walaupun waktu itu masih pagi. Dia tahu bahwa tempat itu disebut daerah Penggik dan Tamansari yang terkenal daerah angker.

Hanya penduduk daerah Lawu yang sudah biasa dan hapal benar akan keadaan daerah itu yang berani memasuki daerah ini sampai ke daerah Pringgondan karena menurut dongeng rakyat, orang sering kali kala (tersesat) di daerah itu dan tidak bisa mendapatkan jalan keluar. Banyak orang yang sudah menjadi korban mati kedinginan dan kelaparan, juga ketakutan, mayat mereka ditemukan di daerah itu. Akan tetapi Parmadi sudah mengenal daerah itu, maka dia mendaki bukit yang rimbun itu dengan tenang walaupun hatinya agak berdebar karena suara suling itu amat aneh, apalagi terdengar keluar dari daerah yang dikeramatkan oleh penduduk pedusunan di daerah Pegunungan Lawu itu.

Setelah melalui hutan lebat, akhirnya dia tiba di sebuah tempat terbuka dan di tengah-tengah tempat yang ditumbuhi banyak rumput hutan itu terdapat sebuah batu besar. Dia berhenti, melangkah dan memandang ke arah batu itu seperti orang terpesona. Setelah ditemukan orang yang memainkan suling seperti itu di tengah hutan yang terkenal angker itu, timbul keraguan dalam hatinya. Manusiakah orang yang duduk di atas batu besar sambil meniup suling itu?

Anehnya, setelah dia berada dekat, dalam jarak belasan meter, dia mendengar suara suling itu mendayu-dayu seperti tadi, tidaklah nyaring sekali. Akan tetapi bagaimana dapat dia dengar dari puncak bukit lain yang jaraknya cukup jauh? Dia berdiri mematung, masih memikul keranjangnya dan memegang sabitnya, seperti terpesona.

Kakek itu tidak mirip manusia biasa. Manusiakah dia, ataukah sebangsa siluman makhluk halus? Kalau manusia, usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Rambut, alis, jenggot dan kumisnya sudah putih semua, putih mengkilap seperti benang sutera perak. Rambut putih itu panjangnya sepundak. Wajah tua itu masih tampak segar. Matanya bersinar lembut, namun tajam penuh wibawa dan penuh pengertian Pakaian yang menutupi tubuhnya yang sedang agak kurus itupun sederhana sekali.

Hanya merupakan kain putih yang membelit tubuhnya, diikat dengan ikat pinggang putih pula. Suling yang ditiupnya merupakan sebatang seruling putih kuning yang panjangnya kurang lebih setengah meter. Seruling itu mengkilap tertimpa sinar matahari yang mulai naik agak tinggi. Perlahan-lahan suara suling itu berubah lirih dan akhirnya berhenti sama sekali, namun Parmadi seolah-olah masih mendengar gemanya berdengung di telinganya.

Kakek itu kini memandang kepadanya, mulut yang tersembunyi di antara kumis dan jenggot putih itu tersenyum, sepasang mata tua yang bersinar lembut itu berseri. Senyum dan pandang mata kakek itu seolah memiliki daya kekuatan mengundang Parmadi sehingga pemuda ini seperti bukan kehendaknya sendiri, menggerakkan kakinya, perlahan melangkah maju menghampiri.

Setelah berada di depan batu besar yang diduduki kakek itu, Parmadi berhenti dan memandang kakek itu dengan jantung berdebar tegang. Dia mendapat pendidikan cukup dari Ki Ronggo Bangak, maka dia menurunkan pikulan keranjang rumputnya, melepaskan sabitnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan dan bertanya dengan sikap hormat,

"Maafkan pertanyaan saya, eyang. Apakah eyang ini seorang manusia ataukah bukan?"

Kakek itu mengangkat muka ke atas dan diapun tertawa. Suara tawanya halus dan wajar. "Ha-ha-ha, orang muda yang lucu. Dengan dasar bagaimanakah andika bertanya apakah aku manusia atau bukan?"

"Maafkan saya, eyang. Keraguan saya bahwa eyang seorang manusia adalah keadaan eyang yang amat aneh. Pertama, tiupan suling tadi. Selain suaranya dapat mencapai jauh sekali, juga tembang yang eyang mainkan dengan suling tadi terdengar aneh namun luar biasa indahnya. Selain itu, kakek yang sudah begini tua bagaimana dapat mendaki sampai ke sini dan berada seorang diri di hutan yang terkenal angker ini?"

Kakek itu turun dari atas batu. Batu itu cukup tinggi, setinggi pundak Parmadi. Akan tetapi kakek itu melompat turun dengan ringan sekali, seringan daun kering sehingga ketika kedua kakinya hinggap di atas tanah, tidak mengeluarkan suara. Jubahnya berkibar ujungnya ketika dia melompat turun. Ketika dia berdiri di depan Parmadi, pemuda itu mendapat kenyataan bahwa kakek tua renta itu berdirinya masih tegak dan ternyata bentuk tubuhnya cukup tinggi dan kurus.

"Orang muda, aku tidak menjadi heran akan keraguanmu. Akan tetapi yang mengherankan aku adalah sikap dan kata-katamu. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu tadi, maukah andika lebih dulu menjawab pertanyaanku?"

"Tentu saja, eyang. Silakan bertanya dan saya akan menjawab sejujurnya dan sekuat kemampuan saya."

"Andika membawa sabit dan memikul dua keranjang rumput. Pakaianmu juga menunjukkan bahwa andika seorang pemuda dusun. Apakah andika penduduk dusun di Pegunungan Lawu ini?"

"Benar sekali, eyang. Saya penduduk dusun Pakis dan bekerja sebagai perawat kuda Ki Demang dari Pakis."

"Siapa namamu, kulup?"

"Nama saya Parmadi, eyang."

"Jagad Dewa Bathara....! Seorang pemuda desa yang miskin sederhana, penyabit rumput perawat kuda, namanya Parmadi dan tindak-tanduknya (pembawaanya) penuh susila seperti Raden Permadi!" Kata kakek itu.

Wajah Parmadi berubah merah mendeIgar pujian itu dan dia cepat ingin mengalihkan perhatian dan percakapan tentang dirinya. "Maaf, eyang. Eyang belum menjawab pertanyaan saya tadi."

"Engkau bertanya bagaimana seorang tua renta seperti aku dapat berada di hutan gunung yang angker ini? Ketahuilah bahwa selama ini aku memang selalu berada di hutan-hutan dan gunung-gunung. Tempat tinggalku adalah di mana kedua kakiku berpijak. Rumahku berlantai tanah berdinding pohon beratap langit. Maka tidak aneh sama sekali kalau hari ini aku berada di hutan gunung ini, Parmadi. Aku manusia biasa seperti juga andika, penuh kekurangan dan mungkin hanya sedikit kelebihan. Aku bukan makhluk halus, bukan kama wurung, bukan iblis atau siluman juga bukan dewa."

"Akan tetapi tembang dalam suara suling eyang tadi...."

Kakek itu tersenyum dan kalau dia tersenyum wajahnya tampak semakin segar. "Heh-heh, kalau tiupan sulingku dikendalikan oleh akal pikiranku, tentu yang andika dengar adalah tembang yang dikenal umum. Akan tetapi tiupan suling tadi keluar dari bimbingan jiwaku yang hanya akan dapat dikenal oleh jiwa, bukan oleh akal pikiran."

Parmadi tertegun, tidak mengerti. Akan tetapi dia merasa tidak sopan kalau harus minta penjelasan. Dari jawaban tadi dia berkesimpulan bahwa kakek ini seorang kelana yang amat aneh dan penuh rahasia. Dapat tiba di tempat itu dan pakaiannya masih putih bersih seperti tidak pernah menyentuh tanah dan tumbuh-tumbuhan. Dia mulai menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kepandaan tinggi, seorang yang sakti mandraguna dan arif bijaksana.

"Eyang telah mengetahui nama saya. Bolehkah saya mengetahui nama eyang yang mulia?" tanya Parmadi hati-hati agar tidak berkesan tidak sopan.

"Tentu saja boleh, kulup. Orang-orang menyebut aku Ki Tejo Wening." Kakek itu lalu duduk di atas sebuah batu yang tidak berapa besar. "Duduklah, Parmadi, aku ingin bercakap-cakap denganmu. Kedatanganmu ke sini terpanggil oleh suara sulingku dapat kuanggap bahwa engkau berjodoh denganku. Nah, ceritakanlah keadaanmu. Siapakah nama ayahmu?"

Parmadi juga duduk di atas batu berhadapan dengan kakek itu. "Ayah saya bernama Brojoketi, eyang."

"Brojoketi? Dari mana ayahmu berasal dan di mana dia sekarang?"

"Ayah berasal dari Pasuruan dan dia telah meninggal dunia di dusun Pancot, tidak jauh dari dusun Pakis. Ketika saya berusia sepuluh tahun saya tinggal di dusun Pancot bersama ayah ibu saya. Akan tetapi pada suatu malam ayah dan ibu saya tewas dalam kamar mereka, dibunuh orang, eyang."

"Ahh, semoga Hyang Widhi mengampuni kita semua!" seru kakek itu. "Siapa pembunuh itu dan mengapa ayah ibu dibunuh?"

Parmadi menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, eyang. Yang saya ingat hanya ketika saya memasuki kamar ayah ibu, ibu telah tewas dan ayah juga tewas setelah meninggalkan kata-kata begini, 'membela Mataram sampai mati'."

"Hemm, ayahmu yang bernama Brojokerti itu tentulah seorang yang setia kepada Kerajaan Mataram. Setelah engkau di tinggal mati kedua orang tuamu, lalu bagaimana?"

"Saya dibawa oleh Ki Demang Wiroboyo ke rumahnya di dusun Pakis dan diberi pekerjaan. Sampai sekarang saya menjadi perawat tujuh ekor kuda milik Ki Demang Wiroboyo, eyang."

"Dan dia yang mengajarimu tentang tata-krama (tata susila)?"

"Bukan, eyang. Selama lima tahun ini saya diberi pelajaran tentang sastra, seni, budi pekerti dan tata susila oleh paman Ronggo Bangak yang tinggal di Pakis. Paman Ronggo Bangak berasal dari Demak, eyang. Eyang, pesan ayah dalam ucapan terakhir itu saya anggap sebagai pesan untuk saya agar saya membela Mataram. Akan tetapi, saya seorang pemuda lemah seperti ini, yang hanya mengerti sedikit tentang sastra dan seni, bagaimana mungkin saya dapat membela Mataram seperti dipesan mendiang ayah saya? Karena itu, eyang, saya mohon, sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang!" Setelah berkata demikian, Parmadi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada kakek itu. Nalurinya mendorongnya untuk berguru kepada kakek aneh ini.

"Parmadi, apakah engkau mengira bahwa untuk berbakti kepada nusa bangsa itu hanya diperlukan jasmani yang kuat dan kanuragan? Siapa saja dapat berbakti kepada nusa dan bangsa yang sama nilainya dengan memanfaatkan segala kemampuan yang dimilikinya. Semua orang dapat berjuang untuk Mataram, dalam bidang dan dengan cara masing-masing. Perjuangan bukan berarti hanya bertempur melawan musuh negara. Mendidik rakyat, memajukan kebudayaan termasuk kesusastraan dan kesenian, juga merupakan perjuangan yang tak kalah besar nilainya."

"Akan tetapi, eyang. Saya mendengar dari penuturan paman Ronggo Bangak bahwa Mataram masih menghadapi berbagai ancaman. Banyak kadipaten memberontak terhadap Mataram. Padahal Mataram ingin menyatukan semua kadipaten untuk menghadapi musuh yang amat berbahaya, yaitu kaum kompeni Belanda. Karena itu, saya pikir Mataram membutuhkan banyak orang yang memiliki kedigdayaan untuk menghadapi semua tantangan itu dan saya ingin sekali menyumbangkan tenaga saya untuk memenuhi pesan terakhir mendiang ayah saya, eyang"

"Jadi engkau bertekad untuk menjadi muridku, Parmadi?"

"Benar, eyang. Saya bersumpah untuk mentaati segala petunjuk dan perintah eyang, dan saya ingin ikut eyang ke manapun eyang pergi, melayani eyang, mengabdikan diri kepada eyang."

"Hemm, agaknya memang Sang Hyang Widhi sudah menghendaki demikian. Akan tetapi aku hanya dapat mengajarkan cara meniup dan memainkan seruling kepadamu, Parmadi."

"Apa saja yang eyang ajarkan, akan saya pelajari dengan taat dan tekun," kata Parmadi dengan girang seolah dia sudah melihat terbukanya sebuah pintu lebar yang akan membawa dia ke dalam kehidupan baru. "Saya akan mengikuti eyang ke manapun eyang mengajak saya pergi."

"Untuk sementara ini, aku akan tinggal di tempat ini, Parmadi. Karena itu, engkau tetaplah bekerja seperti biasa. Setiap hari, kalau ada kesempatan, engkau datanglah ke sini untuk belajar meniup seruling. Kelak, kalau tiba waktunya aku meninggalkan tempat ini, engkau boleh ikut bersamaku."

Biarpun hanya dijanjikan akan diberi pelajaran meniup seruling, kepandaian yang sudah dimilikinya karena diapun mahir sekali memainkan suling, namun hati Parmadi sudah sedemikian gembiranya sehingga berulang kali dia menyembah dan mengucapkan terima kasih.

"Sekarang, kalau engkau masih ada waktu, bantulah aku menebang beberapa pohon bambu untuk kubuat sebuah gubuk tempat berteduh kalau hujan turun."

"Akan tetapi di sini tidak ada pohon bambu, eyang. Yang ada hanya pohon-pohon kayu."

"Baiklah, gubuk kayu juga tidak apa bahkan lebih kokoh."

Parmadi dengan gembira lalu menggunakan sabitnya untuk menebang beberapa batang pohon kayu. Dia membantu kakek itu membangun sebuah gubuk sederhana sekedar untuk tempat berteduh kalau hujan turun. Setelah selesai, haripun sudah menjelang sore dan Parmadi berpamit lalu bergegas pulang ke dusun Pakis. Untung baginya, Ki Demang Wiroboyo sedang pergi keluar dusun sehingga dia tidak mendapat teguran atas keterlambatannya. Segera dia merawat kuda-kuda dalam istal kademangan itu.

Demikianlah, sejak hari itu, Parmadi setiap hari menggunakan kesempatan untuk menghadap gurunya di hutan Penggik. Di sana, sambil duduk di atas batu, Parmadi benar-benar menerima pelajaran meniup dan memainkan seruling! Mula-mula, dia sendiri membawa sebatang suling bambu. Ki Tejo Wening minta dia mainkan tembang-tembang Jawa. Parmadi memainkan hampir semua tembang dengan baik. Ki Tejo Wening mengangguk-angguk setelah muridnya menyelesaikan tiupan sulingnya.

"Semua itu bagus sekali, Parmadi. Akan tetapi, semua tembang yang kau mainkan dengan suling itu dituntun oleh akal pikiran. Aku akan mengajarkan engkau, atau lebih tepat menunjukkan engkau tiupan suling yang tidak dikendalikan oleh akal pikiran, melainkan oleh jiwa."

"Akan tetapi, bagaimana caranya itu eyang?"

"Caranya? Tidak ada caranya. Akan tetapi sang AKU yang menguasaimu haruslah menyingkir lebih dulu. Sang AKU ya mengaku-aku itu sesungguhnya bukan engkau yang sejati. AKU yang ingin ini ingin itu, ingin yang serba enak dan menyenangkan, hanyalah akal pikiran, badan dan nafsu berkumpul menjadi satu. Kalau semua nafsu tersingkir, kalau AKU tidak lagi, maka jiwa akan bangkit, akan tersentuh kekuasaan Hyang Widhi seperti pada mula-mula kehidupan sebelum kekuasaan diambil alih oleh nafsu hati akal pikiran. Nah, tiupan suling yang digerakkan oleh jiwa yang bangkit itulah yang harus kau rasakan, Parmadi."

Parmadi yang sudah banyak membaca kitab-kitab Weda, pemberian Ki Ronggo Bangak, dapat menangkap maksud ucapan gurunya. Dia tahu akan cara orang bersamadhi, mengosongkan pikiran, mengheningkan cipta, berkonsentrasi dan sebagainya. "Apakah yang eyang maksudkan itu dengan cara bersamadhi?"

Kakek itu menggeleng kepalanya. "Bukan, kulup. Bukan samadhi. Bersamadhi memang baik untuk menenangkan pikiran. Akan tetapi bersamadhi tidak meniadakan AKU, karena masih ada AKU yang bersamadhi dan ada AKU yang ingin mencapai sesuatu dengan cara bersamadhi itu."

"Kalau bukan bersamadhi, apakah eyang maksudkan bersembahyang?"

"Juga bukan. Bersembahyang masih menujukan batin kepada Sesuatu dan ada permohonan dari si AKU kepada Sesuatu itu. Bukan, kulup, bukan samadhi dan bukan pula sembahyang."

"Lalu apa dan bagaimana, eyang?"

"Anggap saja sebagai penyerahan. Menyerah kepada Hyang Widhi, berhentinya semua hati akal pikiran, seolah-olah mati di depan kekuasaan Hyang Widhi, penyerahan yang selengkapnya, lahir batin, penyerahan dengan ikhlas dan tawakal, sepenuh iman, tanpa pamrih karena kalau ada pamrih berarti si AKU masih bekerja. Kalau sudah begitu, jiwa akan terbebas dari cengkeraman nafsu badani dan akan bangkit dan bertemu dengan kekuasaan Hyang Widhi, dan memegang kendali sepenuhnya atas raga."

Demikianlah, Parmadi digembleng oleh Ki Tejo Wening, dituntun untuk menyerahkan jiwa raga kepada Sang Hyang Widi sehingga kekuasaan Sang Hyang Widhi mulai bekerja dalam dirinya, membimbing dan memberi kehidupan baru kepada jiwa raganya. Mulailah Parmadi dapat merasakan apa artinya meniup seruling tanpa dikendalikan oleh hati akal pikirannya.

Mula-mula yang keluar dari tiupan sulingnya hanya satu nada saja. Akan tetapi lambat-laun gerak jiwanya menuntun raga menjadi lebih mantap, lebih teratur sehingga dari tiupan serulingnya terdengar melengking yang mulai berirama dan beraneka nada menjalin tembang yang aneh. Dia sendiri menyadari dan mendengar tiupan sulingnya yang terjadi di luar kehendak hati atau pikirannya, tanpa dia tahu apa artinya itu.

Setelah lewat berbulan-bulan, gurunnya memberi penjelasan kepadanya. "Angger Parmadi. Ketahuilah bahwa tiupan seruling bambumu itu dilakukan karena bimbingan jiwa yang mulai hidup dan dalam getaran suara sulingmu itu mengandung kekuatan yang amat dahsyat. Yang jelas saja, semua daya rendah, roh-roh jahat akan runtuh dan melarikan diri mendengar suara tiupan sulingmu yang mengandung getaran yang amat kuat bagi mereka."

Mendengar ini, Parmadi merasa terharu dan berterima kasih dan dia berlatih semakin tekun dibawah petunjuk Ki Tejo Wening.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Semenjak Ki Tejo Wening tinggal di lereng Lawu itu, daerah Penggik dan Tamansari semakin angker bagi seluruh penduduk di daerah pegunungan itu. Dari daerah itu seringkali terdengar suara melengking-lengking, seperti seruling. Akan tetapi suaranya aneh sekali dan tembang yang dimainkan asing bagi semua orang. Karena itu muncul desas-desus bahwa suara itu tentulah para jin dan mahluk halus yang sedang menabuh gamelan!

Tiada seorang pun berani memasuki daerah itu. Biarpun telah berguru kepada Ki Tejo Wening, walaupun hanya berguru meniup suling, namun Parmadi merahasiakan hal itu. Dia maklum bahwa kakek itu tidak ingin kehadirannya diketahui orang banyak, maka diapun tidak pernah bercerita kepada siapapun juga. Bahkan Muryani juga tidak tahu akan rahasia ini.

Sementara itu, sikap Ki Demang Wiroboyo selama hampir setengah tahun ini baik-baik saja. Dia bertugas seperti biasa, mengatur kehidupan rakyat dusun Pakis dan selama itu belum pernah dia mengganggu seorangpun wanita. Agaknya dia sudah bertaubat dan sikapnya terhadap Ki Ronggo Bangak dan Muryani, kalau dia bertemu dengan mereka, juga baik dan ramah seperti biasa. Akan tetapi, tanpa diketahui bahkan tidak disangka oleh siapa pun juga, diam-diam api penasaran dan dendam itu masih membara di dalam hati Ki Demang Wiroboyo.

Dia adalah seorang laki-laki yang dikuasai nafsu birahinya. Biasanya, wanita yang dipilihnya, tak perduli janda atau perawan, pasti akan dapat dimilikinya, baik dengan jalan halus maupun kasar. Untuk urusan lain dia dapat bersikap adil, bahkan mengalah. Akan tetapi untuk urusan yang satu ini, karena sudah terbiasa sejak muda bahwa setiap wanita yang ditaksirnya tentu akan didapatkannya, maka ketika dia bertemu Muryani dan tergila-gila kepada gadis itu, dia bertemu batunya.

Bukan saja dia gagal memilikinya, bahkan dia dibuat malu di depan penduduk Pakis. Dikalahkan dalam lomba balap kuda dan adu kanuragan. Dia merasa dipermalukan dan dia akan tetap penasaran sebelum mendapatkan gadis itu yang harus bertekuk lutut kepadanya dan rnenjadi miliknya!

Demikianlah, diam-diam dia mengutus seorang pembantunya untuk pergi ke Ponorogo dan mengundang Surobajul, seorang warok yang terkenal karena keberanian dan kesaktiannya. Warok Surobajul ini adalah seorang yang mau melakukan apa saja asal diberi imbalan uang banyak. Ki Demang Wiroboyo mengenal watak sahabatnya ini, maka ketika mengundangnya, tidak lupa dia mengirimi hadiah yang berharga.

Warok Surobajul tertawa bergelak dengan pongahnya ketika mendengar dari utusan Ki Demang Wiroboyo bahwa dia dimintai pertolongan untuk menundukkan seorang wanita! Biarpun utusan itu menceritakan betapa digdaya gadis remaja yang telah mengalahkan Ki Demang Wiroboyo itu, Surobajul tidak menjadi gentar. Apalagi hadiah besar menantinya di dusun Pakis.

Melawan seorang jagoanpun dia tidak akan mundur kalau di sana ada imbalan yang besar dan dia tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo adalah seorang kaya dan tahu pula akan kelemahan sahabatnya itu yang tidak akan sayang mengeluarkan harta bendanya untuk mendapatkan seorang wanita yang digandrunginya.

Pada suatu hari muncullah warok Surobajul di rumah Ki Demang Wiroboyo, disambut dengan gembira oleh kepala dusun itu. Untuk menyenangkan hati sahabatnya dia menjamu sahabatnya itu dengan hidangan mewah. Disembelihnya seekor kambing dan beberapa ekor ayam untuk menjamu tamu yang hanya seorang itu. Malam itu mereka berdua berpesta-pora sekenyangnya dan sepuasnya.

Setelah selesai berpesta makan, keduanya duduk bercakap-cakap di ruangan tertutup sebelah dalam gedung Ki Demang Wiroboyo. Mereka duduk berhadapan dan Ki Demang Wiroboyo memandang sahabat yang menjadi tamunya itu dengan mata bersinar gembira dan penuh harapan. Rupa Surobajul menjanjikan keberhasilan niatnya karena wajah dan perawakan warok ini memang mendatangkan kesan seorang yang kokoh kuat dan menyeramkan lawannya.

Anggota tubuh Surobajul ini serba besar, seperti raksasa. Tubuhnya tinggi besar dengan otot melingkar-lingkar seperti tambang di seluruh tubuhnya. Kaki dan tangannya panjang dan besar. Kepalanya juga besar, dengan muka yang kulitnya kemerahan dengan bercak-bercak hitam. Rambut, kumis dan jenggotnya yang pendek seperti kawat hitam, kaku dan keras. Alisnya tebal melindungi seoasang mata yang melotot lebar, sepasang mata yang tampaknya selalu marah dan bersinar keras dan kejam.

Hidungnya juga besar dan mbengol bulat, mulutnya menyeringai dan tampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi. Usia raksasa berkulit hitam ini sekitar empat puluh lima tahun, Pakaiannya serba hitam dan dia berkalung sarung. Celananya terikat kolor (tali ikat pinggang) berwarna kuning sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir menyentuh tanah. Kolor inilah yang menjadi senjatanya yang amat ampuh. Seperti kebanyakan para warok, kolor ini merupakan senjata pusaka bertuah yang sudah diisi tenaga sakti dengan bertapa.

Ki Demang Wiroboyo memandang kepada sahabatnya sambil tersenyum dan dia berkata, "Sungguh aku merasa gembira sekali bahwa andika mau datang berkunjung memenuhi undanganku, kakang Surobajul!"

Surobajul tertawa dan ruangan itu setelah tergetar oleh suara tawanya yang ngakak (terbahak) dan parau. "Ha-ha-ha. Seorang sahabat baik mengundang, kenapa aku tidak akan datang, adi Wiroboyo? Bukankah kita ini sahabat karib dan di antara kita berlaku ucapan; Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, susah sama tanggung, senang sama dinikmati?"

"Andika benar sekali, kakang Surobajul. Jangan khawatir, kalau andika dapat membantuku dalam urusan ini sehingga berhasil bagi kemenanganku, aku tidak akan pelit untuk membagi sebagian hartaku kepada andika."

"Ha-ha-ha, aku percaya dan tahu bahwa Ki Demang Wiroboyo adalah seorang yang tahu menghargai bantuan orang lain. Nah, katakanlah, kesukaran apa yang sedang andika hadapi dan bantuan apa yang andika harapkan dariku?"

"Apakah utusanku belum menceritakan kepadamu, kakang Surobajul?"

"Hanya sedikit dan tidak jelas. Harap andika jelaskan duduk perkaranya. Siapakah itu perawan remaja bernama Muryani? Betapa anehnya kalau seorang gadis dusun menolak untuk andika ambil sebagai selir. Orang macam apa sih perawan itu?"

Dengan jelas Ki Demang Wiroboyo lalu bercerita tentang Muryani yang membuatnya tergila-gila, namun yang menolak pinangannya, bahkan mengajukan syarat semacam sayembara di mana dia dua kali dikalahkan oleh gadis itu, dalam lomba balap kuda dan pertandingan adu kanuragan.

"Aku merasa dipermalukan sekali, kakang Surobajul. Aku merasa terhina dikalahkan olehnya di depan para warga dusun ini. Aku minta andika membalaskan kekalahanku ini dan juga menawan gadis itu untukku, agar ia dapat kumiliki."

"Hemm, benar-benar andika kalah olehnya? Ketika aku mendengar cerita utusanmu itu, aku sukar untuk dapat percaya. Macam apa sih gadis itu dan berapa usianya?"

"Gadis itu cantik manis merak ati pendeknya ia seperti seorang dewi dari kahyangan, akan tetapi memiliki kedigdayaan seperti Srikandi. Usianya sekitar enam belas tahun, kakang Surobajul."

"Apa? Mustahil! Andika kalah melawan seorang perawan kencur berusia enam belas tahun? Jangan bergurau, adi Wiroboyo."

"Aku tidak bergurau, kakang. Gadis itu benar-benar digdaya sekali. Kiranya hanya andika yang akan mampu mengalahkannya maka aku jauh-jauh mengundang andika untuk membantuku."

"Hemm, apakah ayahnya yang sakti?"

"Tidak, ayahnya bernama Ki Ronggo Bangak, seorang seniman dan pemahat. Akan tetapi tadinya puterinya itu tinggal di daerah Demak dan baru beberapa bulan ini tinggal dengan ayahnya di sini."

"Hemm, baiklah, adi Wiroboyo. Akan tetapi terus terang saja, aku merasa malu kalau ketahuan orang bahwa aku datang untuk bertanding melawan seorang perawan remaja berusia enam belas tahun! Kalau para warok di Ponorogo mendengar akan hal ini, aku pasti akan menjadi bahan ejekan dan cemooh mereka!"

"Jangan khawatir, kakang. Balas dendam ini harus dilakukan dengan siasat karena akupun tidak menghendaki orang-orang mengetahui bahwa untuk mendapatkan Muryani aku mempergunakan tenaga bantuanmu. Sebaiknya diatur begini...." Ki Demang Wiroboyo bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Surobajul dan berbisik-bisik dekat telinganya. Surobajul mendengarkan dan mengangguk-angguk sambil inenyeringai.

Dua orang itu sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi Parmadi mendengarkan percakapan mereka dari luar jendela ruangan itu yang tertutup. Semenjak raksasa hitam itu datang bertamu di kademangan dan melihat sikap dan gerak-gerik tuan rumah dan tamunya, Parmadi sudah merasa curiga dan waspada. Setelah dua orang itu selesai berpesta makan minum lalu memasuki ruangan yang tertutup, Parmadi menyelinap dan mendengarkan percakapan mereka melalui jendela. Karena dia menjadi seorang pembantu sudah lama di kademangan dan sudah dipercaya, maka tak seorang pun mencurigai gerak-geriknya sehingga dia dapat mendengarkan percakapan kedua orang itu dengan leluasa.

Sayang sekali ketika Ki Demang Wiroboyo menceritakan rencana siasatnya kepada Surobajul, dia berbisik-bisik dekat telinga raksasa itu sehingga Parmadi sama sekali tidak dapat mendengarnya. Akan tetapi apa yang telah didengarnya tadi sudah cukup! Dan jelas, raksasa itu akan membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya dari Muryani dan untuk menawan Muryani agar dapat dimiliki Ki Demang!

Karena merasa cukup dan khawatir kalau-kalau pengintaiannya ketahuan, Parmadi lalu menyelinap pergi dan malam itu juga dia bergegas pergi berkunjung ke rumah Ki Ronggo Bangak. Ketika Parmadi mengetuk daun pintu rumah sederhana namun indah karena bangunan itu dan pintu-pintunya dihias ukir-ukiran, yang membuka daun pintu adalah Muryani sendiri. Gadis itu tampak heran memandang wajah pemuda itu yang kelihatan serius.

"Eh, kakang Parmadi. Tidak sari-sarinya datang begini malam! Silakan masuk, kang!"

"Terima kasih, adi Muryani. Di mana paman Ronggo?"

"Ayah ada di dalam. Ada apakah, kakang? Engkau kelihatan mempunyai urusan yang penting sekali."

"Memang penting sekali, Muryani. Ki Demang Wiroboyo mendatangkan seorang jagoan warok, namanya Surobajul. Tadi mereka bicara empat mata dan karena curiga aku mendengarkan. Ternyata Surobajul itu diundang untuk membantu Ki Demang Wiroboyo untuk membalaskan kekalahannya darimu dahulu itu dan... dan... untuk menawanmu agar Ki Demang dapat memilikimu."

"Jahanam keparat!!" Muryani mengepal kedua tinjunya dan membanting-banting kakinya.

"Akan kudatangi malam ini juga dan kuhajar mereka!"

Mendengar ribut-ribut itu, Ki Ronggo Bangak keluar dari dalam. "Ada apakah ribut-ribut ini? Ah, kiranya Parmadi yang datang. Ada apakah ini, Parmadi?"

Sebelum Parmadi menjawab, Muryani mendahului dengan gemas, "Coba ayah pikir! Si jahanam Demang Wiroboyo itu mengundang seorang jagoan warok untuk membalas dendam kepadaku dan untuk menawanku! Gila tidak itu? Ayah, aku akan pergi ke sana dan menghajar mereka malam ini juga!"

"Sabar dulu, Muryani. Benarkah ini, Parmadi?"

"Benar, paman. Saya mendengar sendiri pembicaraan mereka."

"Sudah, aku mau pergi, ayah!" kata Muryani yang cepat lari memasuki kamarnya dan keluar lagi sambil membawa sebatang patrem (keris kecil) bersarung yang diselipkan di pinggangnya.

"Muryani, jangan terburu nafsu. Tenang dulu, nini!" seru ayahnya.

"Tidak, ayah. Sebelum mereka turun tangan, lebih baik kalau aku yang turun tangan lebih dulu!"

"Adi Muryani, harap tenang dulu. Pikirkan dengan matang. Kalau engkau datang menyerbu ke sana, apa alasanmu. Engkau hanya mendengar dari aku, akan tetapi sama sekali tidak ada buktinya. Apa buktinya bahwa mereka akan menyerang dan menawanmu?"

"Akan tetapi, bukankah engkau mendengar sendiri pembicaraan mereka, kakang."

"Benar, akan tetapi itu bukan merupakan bukti. Mereka bisa saja menyangkal dan bahkan berbalik menuduh aku berbohong dan hendak melempar fitnah."

Mendengar pendapat Parmadi ini, Muryani tertegun. Ia dapat melihat kebenaran pendapat itu. Ia menoleh kepada ayahnya dan bertanya lirih, "Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Apa yang dikatakan Parmadi tadi memang benar sekali, Muryani. Mereka mengancammu, akan tetapi karena ancaman itu hanya didengar Parmadi seorang dan tidak ada saksi lain, tentu saja hal itu kurang kuat. Ancaman mereka itu merupakan rencana rahasia yang belum terbukti. Sekarang sebaiknya kalau kita menjaga diri, siap menghadapi ancaman itu. Engkau bersiap dengan kedigdayaanmu, dan aku akan menghadapi mereka dengan nasihat. Kurasa omonganku masih cukup berwibawa terhadap Ki Demang Wiroboyo."

Muryani mengangguk-angguk. "Baiklah, ayah. Aku akan siap siaga, dan kalau demang keparat itu berani datang di sini dan tidak menurut nasihat ayah, aku akan menghadapinya dengan patremku!"

"Kami minta bantuanmu, Parmadi. engkau amat-amatilah gerak-gerik Ki Demang Wiroboyo dan kalau dia hendak melanjutkan niat jahatnya menyerbu ke sini, harap engkau suka memberi tahu kepada kami agar kami dapat menjaga diri," kata Ki Ronggo Bangak kepada pemuda itu.

Parmadi mengangguk dan dia mohon diri lalu meninggalkan rumah itu. Aka tetapi hatinya yang diliputi kekhawatiran membuat dia mengambil langkah lain. Dia tidak langsung kembali ke rumah Ki De mang Wiroboyo, melainkan mendatangi rumah orang-orang muda penduduk Pakis yang menjadi teman-temannya. Kepada mereka dia menceritakan tentang Ki Demang Wiroboyo yang hendak membalas dendam dan menawan Muryani untuk dipaksa menjadi isterinya dengan bantuan seorang warok dari Ponorogo bernama Surobajul.

Para pemuda itu marah mendengar ini dan mereka juga merasa penasaran. Sejak lama para pemuda ini sudah merasa tidak senang karena Ki Demang Wiroboyo merampas banyak gadis yang tadinya menjadi calon isteri mereka. Mereka tidak berani bertindak karena maklum akan kedigdayaan demang itu. Akan tetapi semenjak demang mata keranjang itu dikalahkan Muryani, hati mereka menjadi tabah dan mereka melihat dengan girang bahwa tampaknya Ki Demang Wiroboyo mengubah tabiatnya yang buruk.

Sekarang mendengar bahwa Muryani hendak diganggu, mereka serentak menyatakan hendak membela Muryani! Parmadi lalu.minta kepada mereka untuk diam-diam mengamati rumah Muryani dan membelanya kalau Ki Demang Wiroboyo benar-benar melaksanakan niatnya yang jahat. Para pemuda itu menyanggupi, bahkan berita itu meluas sehingga sebagian besar para pria di dusun itu ikut siap siaga membantu Muryani dan mengeroyok para pengganggunya.

Setelah merasa puas dengan apa yang dia lakukan, Parmadi kembali ke kamarrrya di dekat istal kuda. Akan tetapi, dia selalu waspada, terutama di malam hari karena dia menduga bahwa Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul yang tidak ingin dilihat orang ketika mengganggu Muryani, tentu akan melaksanakan niat jahat mereka pada malam hari. Malam itu tidak terjadi sesuatu. Parmadi melihat bahwa Ki Demang Wiroboyo tidak meninggalkan rumah, demikian pula Surobajul malam itu berdiam saja di dalam kamarnya. Akan tetapi pada keesokan harinya, dua belas orang kaki tangan Ki Demang keluar dusun.

Diam-diam Parmadi memikul keranjang rumputnya dan membayangi mereka. Dia melihat mereka itu menuju ke sebuah hutan di sebelah timur dusun dan mereka membangun sebuah pondok kayu di tempat yang sunyi itu. Setelah melihat ini, Parmadi kembali ke Pakis. Hari itu dia tidak pergi ke hutan Penggik untuk menemui Ki Tejo Wening. Dia harus cepat kembali agar dapat mengamat-amati kedua orang itu, Ki Demang Wiroboyo dan Surobajul.

Setelah merawat kuda-kudanya dan merasa yakin bahwa siang hari itu dua orang itu pasti tidak akan berani mengganggu Muryani, Parmadi tidur. Dia harus dapat tidur di siang hari karena malamnya dia harus bergadang untuk mengamati mereka. Dia sudah tahu bahwa Ki Demang membangun pondok di hutan itu dan di dapat menduga bahwa kalau Muryani dapat ditawan, agaknya tentu akan dibawa ke pondok itu!

Membayangkan hal ini, di mengepal tinju dengan hati panas. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau mengi ngat bahwa selain Muryani sudah tahu akan adanya bahaya dan sudah siap siaga, juga banyak pria di dusun ini siap pula untuk membantu gadis itu. Pada sore hari itu dia berhasil menyelinap keluar dan menghubungi para pemuda. Dengan girang dia mendapat keterangnn bahwa hampir semua laki-laki Pakis siap membantu Muryani. Dia lalu mengatur dengan mereka bahwa kalau Ki Demang Wiroboyo dan kaki tangannya melaksanakan niatnya dan menyerbu ke rumah Muryani, dia akan memberi tanda kentongan titir (bertalu-talu).

Malam hari itu Parmadi sudah bersiap-siap. Dia menyediakan sebuah kentongan bambu dan dia mengintai ke arah ruangan dalam di mana terdapat kamar Ki Demang Wiroboyo dan kamar Surobajul. Karena dua kamar itu terpisah maka dia merasa lebih penting untuk mengamati kamar Ki Demang Wiroboyo. Akan tetapi, sama sekali tidak tampak demang itu keluar rumah. Juga tidak ada gerakan dalam kamar Surobajul. Sampai jauh lewat tengah malam, agaknya kedua orang itu tidak meninggalkan rumah. Berarti bukan malam ini mereka melaksanakan rencana mereka pikir Parmadi. Akan tetapi dia tetap melakukan pengintaian, walaupun sambil melenggut karena kantuk.

Menjelang fajar, hawa amat dinginnya. Pada saat seperti itu, sedang pulas-pulasnya orang tidur. Suasana di dusun Pakis sunyi senyap. Hanya suara serangga dan kutu-kutu malam saja yang terdengar. Bulan sepotong tampak mengambang di angkasa, mendatangkan cahaya remangremang dan mengubah pohon-pohon menjadi bayangan raksasa-raksasa hitam yang menyeramkan.

Parmadi yang melenggut, tiba-tiba membuka matanya dan sadar sepenuhnya. Memang dia tidak meninggalkan kewasdaannya dan sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya. Dia melihat Ki Demang Wiroboyo keluar dari dalam kamarnya, mengenakan pakaian indah seperti orang hendak pergi ke pesta. Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, tidak tahu bahwa Parmadi membayanginya. Pemuda itu membayangi sambil membawa kentongan bambunya. Akan tetapi ketika mengikuti kepergian Ki Demang Wiroboyo, dia merasa heran karena pria itu tidak pergi ke arah tempat tinggal Muryani, melainkan keluar dari dusun.

Ketika melihat bahwa orang yang dibayanginya itu pergi menuju ke hutan dimana dibangun sebuah pondok, Parmadi menghentikan langkahnya. Dia teringat akan Surobajul. Kenapa tidak keluar bersama Ki Demang Wiroboyo? Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan Surobajul yang hendak menyerang dan menawan Muryani!

Membayangkan hal ini, cepat-cepat dia kembali ke kademangan dan dengan berindap-indap dia berhasil mengintai ke dalam kamar yang ditempati Surobajul. Dan betapa kaget rasa hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kamar itu telah kosong. Surobajul tidak berada dalam kamarnya!

Hal ini hanya ada satu kemungkinan. Jagoan itu tentu telah pergi untuk melaksanakan tugas menawan Muryani! Dan agaknya Ki Demang Wiroboyo tidak ikut menyerbu ke rumah Muryani, melainkan menunggu calon korbannya di pondok dalam hutan itu! Ah, betapa bodohnya tadi. Membayangi Ki Demang Wiroboyo dan tidak memperhatikan Surobajul.

Parmadi berlari secepatnya meninggalkan kademangan menuju ke rumah Muryani. Jalan pikiran dan dugaannya tadi memang benar, namun agak terlambat. Sesungguhnya, Surobajul sudah dari tadi, sebelum Ki Demang Wiroboyo keluar dari rumahnya, menyelinap keluar dari kamarnya melalui jendela samping.