Perawan Lembah Wilis Jilid 44 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 44

DARA ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Ke mana saja ia mengajukan kudanya, pasti barisan lawan cerai-berai dan korban jatuh bertumpang-tindih dan bertumpuk-tumpuk!

Hal ini banyak sekali pengaruhnya, terhadap lawan dan anak buah sendiri. Pihak lawan menjadi gentar sekali dan pihak anak buah menjadi besar hati. Karena sepak terjang Retna Wilis yang selain mempergunakan kesaktian kedua tangannya juga menggunakan ilmu hitam semacam sihir, maka buyarlah pihak musuh. Setiap siasat dan pasangan barisan diimbangi dengan pasangan lain oleh Patih Adiwijaya dan selalu pasangan barisan lawan buyar oleh amukan Retna Wilis dan para pasukannya.

Pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari. Pihak pasukan Ponorogo terdesak mundur dan biarpun semangat tempur para perajurit masih tinggi, namun para perwira yang menyaksikan betapa pasukan mereka hancur seperti rumput dibabat di bawah amukan Retna Wilis dan anak buahnya, segera memberi aba-aba kepada pasukan-pasukannya untuk mundur.

Retna Wilis berteriak nyaring, meneriakkan aba-aba kepada para barisannya untuk mengejar dan menyerbu terus. Di sepanjang perjalanan menuju ke Kadipaten Ponorogo, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan baru, namun mereka maju terus sehingga tubuh semua perajurit berlumuran darah lawan. Mereka bergerak seperti kemasukan iblis, tertawa-tawa dan bersorak-sorak, apalagi karena sepak-terjang Retna Wilis makin buas dan ganas.

Segenggam pasir di tangan Retna Wilis, sekali disambitkan dapat merobohkan puluhan orang lawan! ltulah Aji Pasirsekti. Masih baik bagi para perajurit Ponorogo bahwa gerakan-gerakan dara perkasa itu dihalangi oleh kedudukannya di atas kuda. Andaikata dia mengamuk tanpa menunggang kuda, tentu akan lebih mengerikan lagi akibatnya.

Retna Wilis yang menyetujui nasehat patihnya, tidak pernah turun dari punggung kudanya. Makin dekat serbuan para perajurit Wilis ke kadipaten, makin kuatlah perlawanan perajurit-perajurit Ponorogo, bahkan kini orang-orang sakti di pihak barisan Ponorogo sudah mulai membantu pula. Begitu orang-orang sakti yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan para warok yang jumlahnya ada lima puluh orang itu menyerbu, barisan Wilis menjadi kacau-balau. Tidak kuat mereka menandingi serbuan orang-orang sakti ini yang mengamuk seperti api menjalar, makin lama makin ganas dan merobohkan banyak korban.

Melihat ini, Patih Adiwijaya memberi aba-aba kepada pasukan yang menghadapi rombongan orang sakti itu untuk mundur dan ia mendekati junjungannya memberi laporan karena maklum bahwa dia sendiri tidak akan kuat menanggulangi amukan orang-orang sakti itu. Satu-satunya orang yang akan dapat menghancurkan mereka hanyalah Sang Ratu Wilis sendiri.

Mendengar laporan patihnya, Retna Wilis mengeluarkan teriakan garang lalu membedal kudanya ke depan, membuka jalan berdarah merobohkan setiap lawan yang menghadangnya sampai ia tiba berdepan dengan rombongan warok yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan Ki Warok Surobledug!

"Ha, kita bertemu lagi untuk yang terakhir kalinya, Surobledug dan engkau Ki Ageng Kelud. Terakhir kali kataku karena sekali ini kalian semua takkan terlepas dari maut di tanganku!" kata Retna Wilis sambil menudingkan cambuk di tangan kirinya. Semenjak mengamuk tadi, Retna Wilis hanya menggunakan cambuk kuda, kedua tangan dan kakinya saja, tidak pernah menyentuh gagang pedangnya.

"Retna Wilis, engkau perempuan berwatak iblis! Kematian hanya berada di tangan Sang Hyang Widdhi, sekali-kali bukan di tangan iblis seperti engkau!" Ki Warok Surobledug membentak.

"Retna Wilis, kejahatanmu melampaui takaran, terpaksa kami turun tangan!" Panembahan Ki Ageng Kelud juga berkata sambil menudingkan tongkatnya.

Retna Wilis tertawa, suara ketawanya dingin mengejek, membuat mereka yang mendengar menjadi mengkirik. Akan tetapi diam-diam Surobledug telah memberi isyarat dan tiba-tiba terdengar suara bersautan dan ratusan anak panah menyambar ke arah tubuh Retna Wilis!

Melihat ini, Retna Wilis cepat memutar cambuknya sehingga anak-anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya runtuh semua. Akan tetapi tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras dan roboh terguling. Retna Wilis kaget dan marah. Kudanya telah menjadi korban anak panah musuh. ia meloncat dari punggung kuda. Akan tetapi karena ia kurang pandai menunggang kuda dan tidak biasa, ia lupa bahwa kakinya masih terkait dan ketika ia meloncat tentu saja tubuhnya terpelanting dan ia terbawa roboh bersama kuda, sebelah kakinya terhimpit tubuh kudanya yang berkelojotan.

Pada saat itu, Patih Adiwijaya meloncat dari atas kudanya langsung menolong sang puteri, menarik tubuh kuda dan membantu Retna Wilis yang hendak disambarnya dari tempat berbahaya itu karena kini banyak anak panah melayang lagi diikuti para warok yang dipimpin Ki Warok Surobledug menerjang dengan senjata mereka.

Adiwijaya berhasil menyambar tubuh Retna Wilis, akan tetapi ia merupakan perisai dan biarpun Retna Wilis yang melihat datangnya anak panah itu cepat menggerakkan tangan memukul anak-anak panah itu dengan hawa sakti, tetap saja ada sebatang anak panah menancap di pundak Adiwijaya!

"Ah, Paman, mengapa engkau menoIongku? Engkau terluka sendiri...." Retna Wilis berkata penuh sesal. Kalau hanya jatuh tertindih tubuh kuda begitu saja, bukan apa-apa baginya dan tidak ditolong sekali pun dia mampu menolong diri sendiri.

Adiwijaya terhuyung dan menggigit bibir ketika Retna Wilis mencabut anak panah itu yang ternyata mengandung racun!

"Cepat mundurlah dan obati lukamu!" kemudian sekali tangannya bergerak ke belakang, ia telah mencabut pedang dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata.

Pedang Sapudenda telah berada di tangannya, dan sekali memekik nyaring tubuh dara perkasa ini sudah mencelat ke depan, disambut oleh rombongan warok. Kini dara itu tidak lagi menunggang kuda, maka gerakannya makin dahsyat mengerikan. Tampak sinar pedangnya seperti kilat menyambar-nyambar di musim hujan dan terdengarlah jerit-jerit kematian dari tujuh orang warok termasuk Ki Surobledug sendiri yang putus batang lehernya disambar pedang Sapudenta!

"Sungguh kejam....!" Ki Ageng Kelud berseru dan menerjang maju dengan gerakannya yang seperti garuda melayang. Serangannya hebat sekali dan kali ini kakek itu menggerakkan sebatang tongkat akar cendana yang menyambar ke arah kepala Retna Wilis. Selain hantaman tongkat di tangan Ki Ageng Kelud ini, masih ada sambaran senjata-senjata pusaka yang berupa kolor ajimat, digerakkan oleh tangan Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang warok sakti lainnya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Retna Wilis kini sudah marah sekali, wajahnya yang cantik jelita berubah beringas, matanya bersinar-sinar seperti memancarkan api, hidungnya berkembang kempis, mulutnya tersenyun dingin penuh ejekan. Melihat datangnya serangan lima orang sakti itu, ia hanya menyambut tongkat Ki Ageng Kelud. Tangan kirinya bergerak menangkap tongkat, tangan kanan yang memegang pedang menusuk dan darah muncrat dari dada kakek itu yang ditembusi pedang Sapudenta sampai ke punggung.

Biarpun sudah tua dan kini pedang pusaka yang luar biasa ampuhnya menembus dadanya, namun Ki Ageng Kelud adalah seorang yang gentur tapa, seorang sakti mandraguna yang sudah dapat mengatasi perasaan nyeri. Ia seperti tidak merasakan nyeri sama sekali, malah tertawa dan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan leher Retna Wilis!

Dara perkasa ini berseru kagum, tidak memperdulikan empat buah senjata kolor yang menghantam tubuhnya, bahkan terus membelit kaki dan pinggangnya, namun ia menyambut cengkeraman Ki Ageng Kelud dengan pukulan tangan kiri, menggunakan Aji Wisalangking. Pukulannya cepat sekali, membuat kedua tangan kakek itu terpental, terus menghantam kepala dan sekali ini Ki Ageng Kelud tidak kuat bertahan, tubuhnya terpental, pedang tercabut dan robohlah tubuh kakek itu dalam keadaan hangus bagian mukanya!

Retna Wilis tadi sengaja menghadapi Ki Ageng Kelud yang ia tahu amat sakti, tidak memperdulikan hantaman empat buah kolor jimat di tangan empat orang warok sakti. Biarpun hanya kolor, akan tetapi bukan kolor sembarangan karena dengan senjata kolor ini, warok-warok sakti itu sanggup untuk sekali pukul menghancurkan batu karang dan menumbangkan pohon jati sebesar orang! Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kolor mereka mengenai tubuh Retna Wilis, dara itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan kolor-kolor itu mengenai tubuhnya sama sekali tidak dirasakannya, seolah-olah hanya empat ekor lalat yang hinggap di tubuh.

Melihat dara itu menusuk dada Ki Ageng Kelud dengan pedang, kemudian memukul hangus kepala kakek itu, empat orang warok itu menjadi marah dan penasaran. Kolor mereka yang tadi memukul tanpa hasil, terus melibat. Dua buah melibat pinggang, dan yang dua buah lagi membelit kedua kaki gadis itu, kemudian mereka mengerahkan seluruh tenaga dan bersama-sama mereka membetot untuk membikin tubuh dara itu terguling. Tenaga Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang kawannya itu amat besar. Tarikan mereka tidak akan kalah oleh tenaga tarikan empat ekor kerbau jantan. Akan tetapi Retna Wilis tetap berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, tangan kanan memegang pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas dan tubuhnya sedikit pun tidak bergeming!

Jangankan baru empat warok sakti, biar ditambah sepuluh kali lipat, belum tentu akan kuat menggeser gadis itu yang mengerahkan Aji Argoselo. Kalau sudah mengerahkan aji seperti itu, tubuh dara itu seolah-olah berubah menjadi gunung batu, kedua kakinya seperti telah berakar di bumi! Empat orang warok itu mendengus-dengus mengerahkan tenaga dan ketika Retna Wilis menggerakkan pedang Sapudenta, pedang itu berubah menjadi sinar berkelebat dan empat buah kepala warok itu mencelat terlepas dari tubuh mereka yang masih menarik-narik kolor!

Retna Wilis meloncat mundur menghindarkan darah yang muncrat-muncrat dan robohlah empat batang tubuh yang sudah tidak berkepala lagi itu. Para warok menjadi marah bukan main, akan tetapi kini Retna Wilis sudah mengamuk dengan pedangnya. Senjata berupa apapun juga dari para pengeroyoknya pasti terbabat putus oleh pedang Sapudenta, dan disusul muncratnya darah dari bagian tubuh yang ikut terbabat dan menjadi buntung. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan mayat para tokoh sakti yang membantu Ponorogo.

Sementara itu, setelah mengobati lukanya di pundak, Adiwijaya terus memimpin tentaranya menghajar pasukan-pasukan musuh. Karena pihak Ponorogo melihat betapa para warok dan orang-orang sakti terbasmi oleh Retna Wilis, hati mereka menjadi gentar sekali. Akhirnya, ketika pasukan Wilis menyerbu kadipaten, sisa pasukan Ponorogo bersama Adipati Diroprakosa melarikan diri menuju ke Panjalu.

Ketika Retna Wilis dan pasukannya memasuki kadipaten, di depan istana kadipaten, Adiwijaya roboh pingsan. Luka di pundaknya memang tidak hebat, akan tetapi karena luka itu terkena racun yang terkandung di ujung anak panah, dan dia tidak beristirahat melainkan memimpin terus barisannya, kini racun mulai bekerja dan dia roboh pingsan.

Retna Wilis cepat memerintahkan beberapa orang perwira untuk menggotong tubuh patihnya itu memasuki kadipaten dan dia sendiri yang merawat luka patihnya yang setia itu. Ketika siuman dan mendapatkan dirinya dirawat sendiri oleh Retna Wilis, Adiwijaya menjadi terharu. Baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa terharu, perawatan Retna Wilis menyentuh hatinya, seolah-olah ia menjadi seorang ayah yang dirawat seorang puterinya.

"Ah, harap Paduka jangan melelahkan diri. Sudah sepatutnya hamba terluka, memang hamba sendiri yang salah dan lancang. Hamba lupa bahwa biarpun jatuh, Paduka tidak akan mungkin dapat celaka di tangan musuh. Hamba kaget dan panik sehingga lancang menolong sehingga hamba sendiri yang terluka. Sudah sepatutnya, memang hamba bodoh sekali.... " katanya, hatinya merasa sungkan juga melihat betapa dara perkasa yang dipuja dan dikaguminya itu mencuci sendiri luka di pundaknya, memberi obat dan membalutnya.

"Eh, Paman Adiwijaya, mengapa sungkan-sungkan? Biarlah kubalut baik-baik lukamu. Engkau terkena racun. Engkau telah menolongku, dan hal itu kuanggap bahwa Paman telah menolong nyawaku, telah melepas budi besar."

"Paduka terlampau sakti, tak mungkin akan dapat dicelakai lawan. Luar biasa sekali. Selama hidupku, belum pernah hamba menyaksikan sepak terjang seorang panglima perang seperti Paduka"

Setelah pasukan Ponorogo melarikan diri, pasukan-pasukan Wilis berpesta-pora dalam melakukan pengejaran. Pengejaran itu hanya sebagai alasan belaka, sesungguhnya mereka itu berpesta-pora melakukan perampokan-perampokan, bukan hanya harta benda yang direnggut, juga kehormatan-kehormatan wanita cantik.

Demikianlah keadaan perang. Yang menang mabuk kemenangan dan memperlakukan yang kalah sesukanya sendiri. Merampok barang, memperkosa wanita, membunuh, menyiksa! Di antara sorak-sorai gembira, sorak kemenangan itu tertutuplah isak tangis dan lengking kematian dari rakyat yang tinggal di sekitar Ponorogo.

********************

"Aduh, Kakangmas.... apa yang harus kulakukan.... Aduh dewata, lebih baik dicabut saja nyawa Endang Patibroto daripada menderita batin seperti ini...." Endang Patibroto mengeluh dan menangis di dalam kereta sehingga Limanwilis yang duduk pula di situ hanya melongo dan menghela napas panjang dengan hati penuh iba. Dia tidak dapat menghibur, maklum betapa hancur hati junjungannya itu.

Ketika akhirnya kereta itu memasuki halaman Kepatihan Panjalu, Endang Patibroto meloncat turun dan lari memasuki kepatihan dengan agak terhuyung. Patih Tejolaksono bersama Ayu Candra dengan kaget sekali menyambut kedatangan Endang Patibroto yang masuk sambil menangis. Lebih-lebih lagi rasa kaget dan cemas hati Patih Tejolaksono ketika Endang Patibroto menubruk kakinya dan menangis,

"Aduh, Kakangmas.... bagaimana dengan anak kita itu.... apakah yang harus kulakukan, Kakangmas....?"

Ayu Candra cepat merangkul pundak madunya. "Dinda Endang.... ada apakah? Apa yang terjadi? Bagaimana Retna Wilis....?"

Ayu Candra sudah pula menangis melihat madunya tersedu-sedu seperti itu. Patih Tejolaksono menghela napas dan menekan batinnya, lalu ia mengangkat bangun tubuh Endang Patibroto sehingga wanita itu bangkit berdiri, lalu kedua tangannya memegang pipi kiri kanan, memaksa wajah yang basah air mata itu bertemu pandang dengannya. Tejolaksono tersenyum, senyum penuh ketenangan dan ia berkata,

"Adinda Endang Patibroto, ke manakah ketenanganmu? Pandanglah aku, apakah dunia sudah begitu sempit sehingga engkau kehilangan akal? Tenanglah dan mari kita duduk di dalam untuk membicarakan persoalan yang menyusahkan hatimu." Tejolaksono merangkul pundak isterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar.

Ayu Candra memegang tangan Endang Ptibroto yang masih terisak dan memandang wajah madunya yang pucat itu dengan hati cemas. Endang Patibroto merasa makin seperti diremas-remas hatinya setelah ia bertemu dengan suami dan madunya. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya pada bantal dan menangis lagi.

Ayu Candra juga menangis dan hendak menubruknya, akan tetapi Tejolaksono memegang pundaknya dan memberi isyarat dengan gelengan kepala agar Ayu Candra membiarkan Endang Patibroto menangis dulu. Hal ini akan melepaskan kerisauan hatinya. Ia mengerutkan kening memandang tubuh Endang Patibroto yang bergoyang-goyang dalam tangisnya.

Bukan watak Endang Patibroto untuk menangis seperti itu. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat dengan Retna Wilis. Benar saja, setelah dibiarkan menangis sejenak, Endang Patibroto akhirnya dapat meredakan gelora hatinya dan ia bangkit duduk menghapus air matanya.

"Maafkan aku, Kakangmas, maafkan Ayunda...."

"Dinda Endang Patibroto, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi?" tanya Tejolaksono sambil memegang tangan kiri isterinya. Ayu Candra memegang tangan kanan madunya.

Pegangan suami dan madunya itu memberi kekuatan kepada Endang Patibroto, mengertilah ia bahwa betapapun keadaannya, kedua orang itu tidak akan membiarkan dia sengsara seorang diri. Maka diceritakanlah semua pengalamannya, bercerita diseling isak tertahan. Mendengar cerita Endang Patibroto, Ayu Candra memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Juga Tejolaksono terkejut sekali, merasa dadanya seperti ditusuk dan ia menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya.

"Duh Jagat Dewa Bathara.... ! Mengapa dia bisa menjadi begitu? Anakku..." dengan wajah pucat Tejolaksono mengeluh. "Urusan ini hebat sekali, harus kita laporkan kepada sang prabu dan kita rundingkan dengan kakangmas Pangeran Darmokusumo. Dan untuk membujuk Retna Wilis, agaknya aku sendiri yang harus menemuinya...."

Endang Patibroto menggeleng kepala dengan sedih. "Agaknya akan sia-sia, Kakangmas. Dia tidak dapat dibujuk, wataknya keras melebihi baja...."

Mendengar ini, Tejolaksono dan Ayu Candra saling pandang. Anak Endang Patibroto, bagaimana tidak sakti mandraguna dan keras hati, demikian bisik hati mereka.

"Dan mempergunakan kekerasan juga percuma. Kesaktiannya mengerikan. Segala aji kesaktian kukeluarkan dan pada waktu itu saya sudah bertekad untuk membunuhnya saja. Akan tetapi tidak ada pukulanku yang dapat merobohkannya, sama sekali aku tidak berdaya melawannya! Dia memiliki kesaktian seperti Nini Bumigarba.... mengerikan!" Tiba-tiba Endang Patibroto mengangkat muka memandang Ayu Candra dan berkata, "Ah, Bagus Seta! Dialah yang akan dapat menundukkannya! Mengapa aku melupakan anak kita itu? Bagus Seta.... di mana dia? Dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan untuk menundukkan Retna Wilis, anak durhaka seperti iblis itu!"

"Husshhhh.... Adinda jangan berkata begitu." Tejolaksono merangkul isterinya. "Betapapun juga, dia anak kita, anak yang kita sayang.... kita harus berusaha menginsyafkannya. Memang Bagus Seta yang agaknya memiliki kesaktian untuk menundukkannya, seperti juga Sang Sakti Bhagawan Ekadenta tentu akan dapat menundukkan Nini Bumigarba."

"Di mana Bagus Seta? Harap panggil dia agar kita dapat merundingkan dan minta nasehat serta pendapatnya," kata Endang Patibroto.

Terdengar suara Ayu Candra, sayu dan sedih karena memang ibu ini pun berduka melihat puteranya lebih pantas menjadi pendeta daripada seorang satria.

"Berhari-hari dia hanya mengeram diri dalam sanggar pamujan, bersamadhi...."

"Sekali ini perlu kita panggil dia," kata Tejolaksono. "Biar aku sendiri yang akan memanggilnya." Patih yang diam-diam merasa prihatin sekali itu lalu melangkah keluar kamar meninggalkan kedua isterinya, menuju ke sanggar pamujan di ujung taman untuk memanggil puteranya yang berhari-hari bersamadhi di tempat itu.

Endang Patibroto teringat akan Limanwilis dan dua orang adiknya, maka bersama Ayu Candra ia segera keluar dan menemui mereka bertiga yang masih menunggu di pendopo, kemudian memerintahkan para abdi untuk memberi tempat istirahat bagi tiga orang tokoh Wilis itu.

Setelah tiba di tempat pemujaan atau tempat samadhi, Tejolaksono melihat pintu pondok tertutup dan dari celah-celah jendela pondok ia melihat puteranya tekun bersamadhi, duduk bersila dan berada dalam keadaan yang hening. Hatinya menjadi tidak tega untuk mengganggu puteranya secara kasar. Dia sendiri sebagai seorang yang ahli dalam samadhi, mengerti betapa tidak enaknya orang yang sedang bersamadhi dibangunkan secara kasar. Maka ia lalu bersila di luar pondok, mengheningkan cipta dan mengarahkan seluruh kehendaknya untuk menghubungi puteranya melalui getaran perasaannya. Tak lama kemudian, terdengarlah suara puteranya, "Saya datang, Kanjeng Rama!"

Tejolaksono bangkit berdiri dan puteranya keluar pula dari tempat samadhi itu, kemudian Tejolaksono menggandeng tangan puteranya sambil berkata, "Bagus Seta, ibumu Endang Patibroto sudah pulang dan ada urusan penting sekali yang ingin dibicarakan dan minta pertimbanganmu."

Bagus Seta mengangguk dan dengan tenang sekali keduanya memasuki istana kepatihan. Ayu Candra dan Endang Patibroto sudah menanti si ruangan dalam di mana mereka mereka berempat dapat bicara tanpa gangguan para abdi yang dilarang memasuki ruangan itu. Endang Patibroto sudah agak tenang dan tidak menangis lagi, sungguhpun jelas tampak kerisauan hatinya membayang di wajahnya yang masih pucat dan matanya yang masih merah kebanyakan menangis. Juga Ayu Candra masih mengerutkan alis dan ada berbekas di wajahnya bahwa dia habis menangis.

"Selamat datang, Kanjeng Ibu!" Bagus Seta menghaturkan sembah kepada ibu tirinya yang diterima oleh Endang Patibroto dengan rangkulan.

"Anakku Bagus Seta, ibumu amat mengharapkan pertolonganmu untuk menyelamatkan adikmu si Retna Wilis."

Patih Tejolaksono dan kedua orang isterinya lalu menceritakan secara bergantian tentang keadaan Retna Wilis yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Bagus Seta. Setelah ia mendengar seluruhnya, pemuda yang amat tenang sikapnya ini mengangguk-angguk dan berkata,

"Patut dikasihani keadaan adikku Retna Wilis yang dicengkeram oleh pengaruh sesat. Akan tetapi, kalau watak adinda Retna Wilis sedemikian keras seperti yang diceritakan Ibunda, agaknya amat tidak baik kalau dipergunakan kekerasan untuk membujuk atau mempengaruhinya. Sedangkan Kanjeng Ibu Endang Patibroto sendiri tidak diturut bujukannya, apalagi orang lain. Adapun digunakannya pasukan Panjalu untuk memukul Kerajaan Wilis, sungguhpun hal ini kelak agaknya tak dapat dihindarkan lagi, namun tentu akan mendatangkan korban amat banyak. Betapapun juga, karena urusan Wilis ini bukan hanya urusan pribadi keluarga kita, melainkan urusan kerajaan, akan terlalu sembrono bagi kita kalau kita menanggulanginya sendiri. Sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama untuk melaporkan hal ini kepada sang prabu untuk dirundingkan bagaimana sebaiknya menghadapi ancaman Kerajaan Wilis. Adapun tentang diri adinda Retna Wilis sendiri, biarlah saya akan berusaha untuk membantunya mendapatkan kesadaran. Sekarang saya mohon diri dari Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berdua, hari ini juga saya akan pergi menemui adinda Retna Wilis."

"Aduh, terima kasih, anakku angger Bagus Seta. Lapang rasa dadaku setelah engkau sanggup untuk menemui Retna Wilis. Kalau engkau yang turun tangan, aku yakin pasti akan berhasil, Anakku!" kata Endang Patibroto dan wajahnya yang tadinya suram itu kini berseri gembira.

Bagus Seta menundukkan mukanya. "Segala keputusan berada sepenuhnya di tangan Sang Hyang Widdhi, Kanjeng Ibu. Manusia hanya wajib berikhtiar, menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Hamba mohon doa restu Paduka bertiga."

"Berangkatlah, Bagus. Aku membekali pangestu!" kata Tejolaksono dengan Pandang mata kagum kepada puteranya.

"Hati-hati di jalan, Anakku!" kata Ayu Candra, agak terharu.

"Bagus Seta, kau tolonglah adikmu Retna Wilis...." berkata Endang Patibroto dengan suara memohon.

Setelah Bagus Seta berangkat, hanya berjalan kaki dan tidak membawa bekal apa-apa, dengan pakaian tetap putih sederhana sungguhpun kini ia dibuatkan pakaian putih dari kain sutera halus oleh ibunya, Tejolaksono lalu menemui Liman Wilis bertiga, kemudian bersama kedua isterinya ia langsung menghadap sang prabu yang segera membuka persidangan untuk membicarakan Kerajaan Wilis yang mengancam keselamatan daerah Panjalu.

Baru saja persidangan dibuka, datang punggawa yang membawa pelaporan bahwa Ponorogo telah diserbu dan telah jatuh ke tangan Kerajaan Wilis! Tak lama kemudian datanglah menghadap Sang Adipati Diroprakosa sendiri yang bercerita dengan air mata bercucuran akan hancurnya Ponorogo dan tewasnya para tokoh Ponorogo dan para pembantu-pembantu sakti di tangan Ratu Wilis yang memiliki kesaktian yang luar biasa.

Mendengar ini, terdengar isak tangis dan Endang Patibroto cepat menyembah sang prabu dan mohon diizinkan mengundurkan diri. Sang prabu yang arif bijaksana maklum akan isi hati Endang Patibroto. Tentu saja wanita ini merasa sungkan dan tidak enak hatinya mendengar betapa puterinya, Ratu Wilis, akan menjadi bahan percakapan, maka sang prabu memberi izin. Endang Patibroto mohon maaf kepada suaminya dan kepada para hadirin lainnya, kemudian meninggalkan persidangan dengan hati remuk. Ia langsung memasuki kepatihan, masuk ke dalam kamarnya dan membanting tubuhnya ke atas pembaringan, merintih-rintih di dalam hatinya, bersambat kepada mendiang ibunya. Tiba-tiba ia bangkit duduk dan memandang dinding dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Aduh, Ibunda.... ampunkan hamba.... ampunkan anakmu yang berdosa...!" Dan ia menutupi muka dengan kedua tangan lalu menangis sedih. Terbayang di depan matanya yang dipejamkan akan semua pengalamannya di waktu dia muda dahulu. Betapa ia pun sudah banyak mendatangkan sakit hati kepada ibunya sendiri. Bukankah sekarang ini dia hanya memetik buah yang dahulu ditanamnya sendiri? Bukankah dahulu ibunya sendiri yang mengandungnya dan melahirkannya, juga mengalami derita batin karena dia, seperti yang ia alami sekarang?

Sementara itu, di dalam persidangan sang prabu dengan bijaksana minta pendapat Tejolaksono tentang Kerajaan Wilis yang jelas hendak melanggar kedaulatan Jenggala dan Panjalu, bahkan telah menyerbu dan merampas Ponorogo yang menjadi daerah Panjalu atau setidaknya menjadi kadipaten yang tunduk kepada Panjalu. Sang prabu yang maklum bahwa Retna Wilis adalah puteri Tejolaksono dan Endang Patibroto, mengharapkan pendapat dari patih mudanya yang menjadi senopati pula, dan yang menjadi ayah dari Retna Wilis yang menggegerkan itu.

"Duh, Gusti Sinuwun sesembahan hamba," Tejolaksono berkata dengan suara tegas tanpa ragu-ragu. "Sungguhpun Ratu Wilis adalah puteri hamba, akan tetapi urusan ini adalan urusan kerajaan, dan biarpun puteri hamba sendiri, kalau mendatangkan kekacauan dan kalau hamba akan diperintah oleh Paduka, hamba akan berangkat dan menggempur Wilis!"

Sang prabu mengangguk-angguk. "Aku percaya akan kesetiaanmu, wahai patihku yang perkasa. Akan tetapi Kerajaan Wilis hanya kerajaan baru yang kecil, dan karena ratunya adalah puterimu, maka sebaiknya dicari jalan lain untuk menghindarkan perang yang akan menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan belaka bagi rakyat. Baru saja rakyat menderita oleh kekacauan Jenggala, maka sebaiknya kalau kita mencoba untuk menghindarkan perang baru. Puteraku, Pangeran Darmokusumo, bagaimana pendapatmu?"

"Kanjeng Rama, perkenankanlah hamba berwawancara dengan yayi Patih Tejolaksono." Putera mahkota itu menyembah.

Sang prabu mengangguk dan Pangeran Darmokusumo lalu menghadapi Tejolaksono, "Yayi Patih Tejolaksono. Usaha apakah yang telah kau lakukan menghadapi urusan Wilis ini?"

"Rakanda Pangeran, isteri hamba Endang Patibroto sudah mengunjungi Retna Wilis dan membujuknya, bahkan ketika puteri kami itu tidak menurut, telah pula menyerangnya, akan tetapi anak itu yang telah menerima pendidikan Nini Bumigarba, amat sakti sehingga Endang Patibroto sendiri tidak mampu mengalahkannya. Kini hamba mengutus Bagus Seta untuk mencoba untuk membujuknya." jawab Tejolaksono.

"Hemm, kalau begitu sebaiknya kita bersabar, menanti hasil yang dicapai Bagus Seta. Sementara itu, penjagaan di tapal batas harus diperkuat, dan hubungan para kadipaten di sebelah barat harus dipererat sehingga setiap perubahan dan setiap gerakan Wilis akan dapat segera kita ketahui." kata sang prabu.

Setelah para tokoh Kerajaan Panjalu diminta pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka juga cocok, persidangan dibubarkan dan Tejolaksono bersama Ayu Candra cepat kembali ke kepatihan untuk menghibur hati Endang Patibroto. Adapun Liman wilis dan dua orang adiknya yang lebih mengenal keadaan di Wilis, ditugaskan untuk pergi menyelidik untuk mengikuti perkembangan dan gerakan-gerakan Kerajaan Wilis.

********************

Kita tinggalkan dulu keadaan di Panjalu yang tetap tenang berkat kebijaksanaan sang prabu yang amat sayang kepada keluarga Tejolaksono, dan mari kita menengok keadaan di Kerajaan Wilis. Biarpun Kerajaan Wilis sudah berhasil mengalahkan Ponorogo, akan tetapi dalam peperangan itu Wilis kehilangan pula banyak perajurit. Ada seperempatnya yang tewas atau terluka parah dalam perang dan untuk menghimpun tenaga baru, Wilis membutuhkan waktu. Ketika Ratu Wilis menyampaikan niatnya untuk menyerbu terus ke Jenggala, hal ini disetujui oleh Adiwijaya.

"Harap Paduka suka bersabar, Gusti Puteri. Selain perajurit kita banyak yang gugur sehingga kekuatan kita berkurang, juga Kerajaan Jenggala tidaklah selemah Ponorogo. Di sana memiliki bala tentara besar, apalagi tentu Kerajaan Panjalu membantunya, juga banyak terdapat orang-orang sakti mandraguna." Adiwijaya cukup cerdik untuk tidak menyebut nama Tejolaksono dan Endang Patibroto untuk tidak melukai hati orang yang disayangnya.

"Selain itu, juga Ponorogo hanya menyerah karena terpaksa. Amat sukar mengharapkan bantuan dari rakyat Ponorogo, maka kita harus menghimpun dan memperbesar jumlah perajurit dari daerah-daerah lain yang sudah kita taklukkan. Perajurit-perajurit baru perlu dilatih. Pendeknya, untuk menggempur Jenggala membutuhkan persiapan yang lebih matang, Gusti."

Retna Wilis yang ingin sekali melihat cita-citanya cepat terkabul, mengerutkan alisnya. "Kalau aku menuruti rencanamu, bukankah hal itu akan makan waktu bertahun-tahun? Terlalu lama, Paman. Kalau perlu, aku sanggup dengan seorang diri menaklukkan kerajaan-kerajaan itu!"

Adiwijaya memandang junjungannya itu penuh kagum. Sepasang matanya bersinar-sinar dan ia membayangkan betapa kalau dara perkasa ini melakukan serbuan seorang diri saja ke Jenggala! Dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin karena mana bisa seorang diri saja, betapapun saktinya, menghadapi bala tentara yang laksaan jumlahnya? Pula, banyak sekali orang sakti di sana! Ia cepat menyembah dan berkata,

"Maafkan hamba, Hamba percaya akan kesaktian dan kesanggupan Paduka, akan tetapi menyerbu seorang diri bukanlah menjadi kebiasaan seorang ratu yang besar. Harap Paduka bersabar, dan kalau Paduka menganggap bahwa menghimpun dan melatih pasukan kuat akan memakan waktu terlalu lama, hamba masih mempunyai jalan lain yang kiranya lebih singkat dan akan lebih menghasilkan."

"Bagus sekali, Paman. Aku percaya akan daya upaya dan kecerdikanmu. Jalan apakah yang kau maksudkan itu? Lekas beritahukan," kata Retna Wilis dengan wajah gembira.

"Paduka tentu maklum bahwa keadaan Jenggala sekarang jauh lebih kuat daripada sebelum sang prabu yang sepuh diganti oleh Pangeran Panji Sigit yang kini telah menjadi raja. Bahkan gusti permaisuri Jenggala adalah bibi Paduka sendiri yang sakti mandraguna. Belum lagi diingat bahwa patihnya yang menjadi benteng Jenggala sekarang adalah Joko Pramono dan isterinya yang perkasa."

Kembali alis yang kecil hitam itu berkerut. "Paman, tidak perlu Paman menyebut nama-nama mereka. Mereka itu benar para paman dan bibiku, akan tetapi kalau mereka tidak suka tunduk kepadaku, aku akan menghadapi mereka sebagai lawan!"

Adiwijaya mengangguk-angguk. "Hamba juga percaya bahwa Paduka akan sanggup mengalahkan lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, bukankah kalau terjadi hal itu, akan amat tidak enak, Gusti? Sebaiknya kalau kita mengadakan persekutuan dengan pihak Sriwijaya dan Cola. Kedua kerajaan itu mempunyai wakil-wakil yang sakti dan yang sudah menyusun barisan yang cukup kuat pula. Kita ajak mereka bersekutu untuk menggempur Jenggala dan kalau hal itu terjadi, tidak perlu Paduka sendiri yang harus menghadapi para paman dan bibi Paduka di Jenggala."

"Ihh, Paman Adiwijaya, omongan apa yang kau keluarkan ini?" Retna Wilis membentak marah dan mengangkat kedua alisnya, matanya terbelalak memandang tajam kepada patihnya. "Aku tidak takut menghadapi kerajaan mana pun juga, mengapa mesti bersekutu? Aku tidak sudi bersekutu apalagi dengan kerajaan-kerajaan asing itu. Bersekutu hanya menunjukkan bahwa kita lemah, dan kemenangan yang dicapai seolah-olah mengandalkan bantuan sekutu-sekutu itu!"

"Maksud hamba tidak demikian, Gusti. Pertama, penyerangan terhadap Jenggala dan Panjalu di mana terdapat keluarga Paduka yang menjadi senopati, amat tidak enak bagi Paduka sendiri, maka sebaiknya meminjam tenaga orang-orang Sakti dari kerajaan asing itu. Ke dua, dan hal ini penting sekali, orang-orang dari Sriwijaya dan Cola itu merupakan ancaman kelak bagi Paduka. Mereka adalah musuh-musuh rakyat dan mereka itu menyusun tenaga secara nyiluman (seperti siluman, bersembunyi dan rahasia) sehingga amat sukar untuk membasmi mereka. Kalau mereka diajak bersekutu, tentu mereka akan tampak dan kelak kalau kita sudah mempergunakan tenaga mereka sehingga berhasil, mudah saja bagi kita untuk membasmi mereka dari permukaan bumi!"

Retna Wilis termenung sampai lama. Ia mempertimbangkan usul pembantunya yang setia ini. Memang ada benarnya. Biarpun ia tidak perduli kalau terpaksa harus melawan para bibi dan pamannya, akan tetapi kalau ia teringat akan bibinya Setyaningsih, ia ragu-ragu juga apakah akan tega menurunkan tangan kepada bibinya itu. Apalagi kalau ia ingat akan ayah bundanya yang berada di Panjalu. Kalau mereka itu maju, dan hal ini tak dapat disangsikan lagi mengingat bahwa ayah bundanya adalah hamba-hamba setia dari Panjalu, biarpun dia tidak takut dan pasti akan menentang mereka kalau ayah bundanya berusaha menghalangi cita-citanya, namun tetap saja ada sedikit perasaan tidak enak di hatinya. Dan para wakil kedua kerajaan asing itu, tentu kelak hanya akan menjadi gangguan yang memusingkan. Usul patihnya amat baik, sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Menggunakan mereka untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu, kemudian setelah berhasil, membasmi mereka sebelum mereka sadar akan muslihat ini.

"Usulmu menarik sekali, Paman. Akan tetapi, benar-benarkah Sriwijaya dan Cola mempunyai tokoh-tokoh yang sakti, yang boleh dipercaya akan dapat kita pergunakan untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu?"

"Banyak sekali tokoh mereka, Gusti. Dan terutama sekali pucuk pimpinan yang sengaja dikirim dari Kerajaan Sriwijaya dan Cola. Hamba mengenal pemimpin utusan Kerajaan Cola yang bernama Sang Wasi Bagaspati. Kakek ini memiliki kesaktian yang amat hebat, Gusti, yang sukar dicari bandingnya pada saat ini...."

"Hemm, aku pernah mendengar dari guruku nama itu. Manusia sombong yang mengaku sebagai penitisan Sang Hyang Shiwa! Lalu, siapa lagi, Paman?"

"Masih banyak tokoh Kerajaan Cola yang menjadi pembantu Sang Wasi Bagaspati, dan yang memiliki aji kesaktian luar biasa. Adapun pemimpin utusan Kerajaan Sriwijaya belum pernah hamba jumpai, akan tetapi kabarnya juga memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri, namanya Sang Biku Janapati."

Retna Wilis mengangguk-angguk. Nama-nama ini pernah ia dengar dari Nini Bumigarba. "Paman, apakah Paman dapat menghubungi mereka?"

"Hamba kira akan dapat mencari tokoh-tokoh Kerajaan Cola, Gusti. Dan melalui mereka kiranya hamba akan dapat menghubungi pula tokoh-tokoh Sriwijaya. Apakah Paduka dapat menyetujui kalau kita bersekutu dengan mereka?"

"Kalau Paman merasa sebaiknya demikian, aku pun dapat menerima. Sekarang Paman pergilah menghubungi mereka dan panggil Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati datang menghadap aku!"

Adiwijaya membelalakkan mata dan wajahnya berubah. Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah. Ia hanya merasa khawatir apakah kedua orang tokoh sakti itu akan sudi datang kalau disuruh menghadap seorang ratu muda belia seolah-olah mereka itu adalah orang-orang taklukan atau orang-orang yang tingkatnya lebih rendah. Ia menyanggupi, kemudian menyembah dan berpamit untuk segera melaksanakan perintah puteri sakti itu, mencari dan menghubungi Wasi Bagaspati dan Biku Janapati.

Adiwijaya maklum atau dapat menduga bahwa tentu tokoh-tokoh besar yang dicarinya itu masih belum meninggalkan daerah Jenggala. Biarpun mereka itu telah gagal dalam usaha mereka menguasai Jenggala dengan jalan halus, namun mereka itu tentu tidak mau sudah begitu saja. Tentu Wasi Bagaspati diam-diam sedang menyusun tenaga untuk melanjutkan usahanya menguasai Jenggala dan agaknya bersembunyi di dalam hutan-hutan, di gunung-gunung yang sunyi.

Mulailah Adiwijaya merantau, seorang diri karena untuk melakukan tugas rahasia ini ia tidak menghendaki rombongan pembantu atau pengawal yang selain dapat mudah membocorkan rahasia, juga akan membuat ia kurang leluasa saja. Ia tahu dari siapa ia harus mencari berita tentang tempat persembunyian tokoh-tokoh dari kerajaan Cola itu. Maka ia lalu masuk keluar hutan dan akhirnya ia bertemu dengan serombongan perampok yang ia kenal sebagai bekas anak buah pasukan Jenggala yang melarikan diri. Ketika ia memasuki sebuah hutan yang lebat pada suatu pagi, tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan semak-semak berloncatan belasan orang yang dikepalai seorang tinggi besar yang berkumis tebal melintang sekepal sebelah.

Adiwijaya mengenal pemimpin perampok itu dan beberapa orang anggauta perampok sebagai bekas anak pasukan yang dahulu menjadi pengawal Pangeran Kukutan, akan tetapi mereka tidak mengenalnya karena memang kini bekas Patih Warutama sudah banyak berubah.

"Heh, kisanak, berhenti dulu! Tanggalkan semua pakaian dan tinggalkan semua bawaanmu sebagai pengganti nyawamu!" Si kumis melintang membentak garang.

Adiwijaya tersenyum, berdiri tegak dan berkata, "Kakang Jodi, apakah engkau tidak lagi mengenal aku? Aku adalah bekas Ki Patih Warutama, orang sendiri, bukan lawan."

Beberapa orang bekas anak buah Jenggala, juga Ki Jodi, memandang dengan mata terbelalak diikuti oleh anak buahnya. "Ha-ha-ha, engkau pandai membadut, Kisanak! Akan tetapi kami tidak mempunyai waktu untuk mendengar ocehanmu. Lekas tanggalkan pakaian atau terpaksa aku akan membunuhmu lebih dulu, baru melucuti pakaianmu!" Kepala perampok itu membentak dengan sikap mengancam.

"Hemm, memang wajahku sudah berubah. Akan tetapi apakah engkau tidak lagi mengenal suara dan bentuk tubuhku? Baiklah, sebelum diberi bukti kalian tentu tidak percaya. Nah, Kakang Jodi, majulah!"

Ki Jodi menjadi marah. Orang ini yang mengaku bekas Patih Jenggala adalah seorang yang tubuhnya tidak membayangkan kekuatan, agaknya sekali pukul saja ia akan mampu membikin remuk kepala itu. Maka ia lalu berteriak keras dan menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah leher dan kepalan tangan kanannya menjotos kepala.

Tentu saja serangan yang hanya berdasarkan tenaga kasar ini dipandang rendah oleh Adiwijaya yang sakti. Tubuhnya hanya miring sedikit, kemudian kedua tangannya bergerak, menyambar pinggang yang besar itu, diangkatnya tubuh Ki Jodi ke atas lalu dibanting ke atas tanah.

"Brukkk.... ngekkk!"

"Aduhhhh.... tohobaattt....!" Ki Jodi terengah-engah dan merintih, tulang punggungnya serasa patah dan ia tidak dapat bangkit. Kawan-kawannya menjadi marah, akan tetapi sebelum mereka bergerak maju, Ki Jodi sambil terengah-engah berkata,

"Mundur kalian semua! Apakah kalian buta? Beliau adalah Gusti Patih Warutama!"

Semua anak buah perampok mundur dan memandang dengan jerih. Adiwijaya menghampiri Ki Jodi, menepuk punggungnya dan menariknya bangun. Ki Jodi menyeringai dan bangkit dengan tubuh bongkok, kedua tangannya menekan pinggang dan pantat yang rasanya nyeri sekali.

"Ampun, Gusti Patih...."

"Tidak mengapa, Kakang Jodi. Aku pun tidak berniat mengganggu kalian, hanya kebetulan saja pertemuan ini karena memang aku sedang mencari teman-teman bekas perajurit Jenggala. Aku ingin bertanya ke mana kiranya aku dapat menemui tokoh-tokoh Cola, Wasi Bagaspati dan para pembantunya."

"Hamba.... hamba tidak tahu, Gusti. Semenjak melarikan diri dari Jenggala, hamba bersama kawan-kawan bersembunyi di hutan ini. Hanya ada hamba mendengar berita bahwa pasukan wanita penyembah Sang Bhatari Durgo bermarkas di lereng gunung Arjuna. Kiranya dari mereka itu Paduka akan dapat mendengar lebih jelas tentang para tokoh yang Paduka cari."

Adiwijaya mengangguk-angguk. "Baik. Aku akan mencari ke sana. Kakang Jodi, engkau kumpulkan kawan-kawan bekas perajurit Jenggala dan bawa mereka sebanyak mungkin pergi ke lereng Wilis. Di sana kalian boleh menghambakan diri menjadi perajurit Wilis."

Ki Jodi membelalakkan matanya. "Kerajaan Wilis? Ahhh, hamba sudah mendengar akan kerajaan baru itu. Hamba takut, Gusti. Jangan-jangan begitu sampai di sana, hamba segerombolan akan dibasmi oleh pasukan Wilis yang terkenal kuat."

Adiwijaya tersenyum bangga. "Jangan khawatir. Katakan bahwa Gusti Patih Adiwijaya yang menyuruh kalian datang. Kalian pasti akan diterima sebagai anggota pasukan. Aku sekarang adalah Ki Patih Adiwijaya, patih dari Kerajaan Wilis yang jaya. Ingat, Ki Patih Adiwijaya, bukan lagi Patih Warutama. Mengerti?"

"Baik, Gusti Patih." Ki Jodi menjawab dan dengan girang ia menerima beberapa potong emas dari Adiwijaya.

Adiwijaya melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari kemudian tibalah ia di lereng gunung Arjuna. Karena hari telah menjelang senja dan ia merasa lelah dan lapar sekali, Adiwijaya berhenti mengaso di bawah sebatang pohon cemara, membuka bungkusan daun jati dan makan nasi bekalnya yang tadi ia beli di dalam dusun di kaki gunung. Baru saja ia habis makan dan minum air yang memancur keluar dari celahan batu sambil mencuci tangan, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang. ia maklum bahwa ada orang sakti datang, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan melanjutkan mencuci tangan, akan tetapi diam-diam ia bersikap waspada.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Wirrrr...." Adiwijaya miringkan kepala, tangan kirinya meraih dan sebatang tusuk konde cepat ia tangkap dari samping dengan jari tangannya. Ia menoleh ke arah datangnya senjata rahasia tusuk konde itu sambil berkata, "Saya Adiwijaya bukanlah musuh, harap Andika sudi keluar dan bicara."

"Ihhhh.... Terdengar seruan tertahan seorang wanita disusul jerit melengking yang agaknya menjadi tanda bahaya, kemudian dari balik semak-semak muncul keluar seorang wanita cantik manis dengan sinar mata genit dan pakaian tipis membayangkan tubuh yang ramping padat, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Sekali pandang Adiwijaya dapat menduga bahwa wanita ini tentulah anak buah Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari Durgo. Cepat ia menjura dengan sikap hormat dan berkata,

"Saya bernama Adiwijaya dan datang dengan niat baik, harap Andika jangan lagi main-main dengan senjata yang bahaya ini. Kurasa tusuk konde ini lebih pantas untuk menghias rambut Andika yang hitam halus itu." Sambil berkata demikian, Adiwijaya menggerakkan tusuk konde di tangannya yang melesat cepat dan menancap di konde (sanggul) rambut wanita itu yang menjadi terkejut sekali.

"Apa niatmu datang ke tempat kami? Apakah Andika sudah bosan hidup?" Wanita itu menatap wajah dan tubuh Adiwijaya dengan penuh selidik, juga merasa sayang kalau pria ini terbunuh. Biarpun sudah setengah tua, pria ini amat menarik, dan membayangkan kejantanan, di samping kedigdayaan yang sudah diperlihatkan tadi ketika menangkap senjata rahasianya dan mengembalikannya dengan cara mengagumkan.

"Saya datang untuk minta menghadap Sang Wasi Bagaspati, atau Ni Dewi Nilamanik. Bukankah Andika ini anak buah Ni Dewi Nilamanik?"

Kembali wanita itu kelihatan kaget dan tercengang. Baik Wasi Bagaspati maupun Ni Dewi Nilamanik berada di tempat itu secara sembunyi dan tempat ini dirahasiakan. Bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Akan tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara halus seorang wanita, "Ki Warutama, mau apa Andika datang ke sini?"

Adiwijaya membalikkan tubuh dan melihat Ni Dewi Nilamanik telah berdiri di situ dengan sikap angkuh. Wanita ini masih cantik menarik penuh daya pikat dan biarpun dahulu sudah beberapa kali wanita ini melayaninya sebagai seorang kekasih, namun kini bersikap angkuh dan dingin. Di tangannya tampak pengebut lalat dari serat merah buntut kuda, kebutan yang mungkin lebih banyak mengebut melayang nyawa manusia daripada nyawa lalat. Kagumlah Adiwijaya. Benar-benar wanita ini selain sakti juga amat awas sehingga begitu bertemu telah mengenalnya.

"Ni Dewi Nilamanik, selamat berjumpa. Sungguh pertemuan ini amat membahagiakan hati saya karena membuktikan betapa perjalanan saya tidak sia-sia dan harapan saya untuk dapat menghadap Sang Wasi Bagaspati terpenuhi."

"Hemm, tidak begitu mudah, Ki Warutama. Kecuali anggota kami, siapa pun juga yang sudah lancang naik ke sini tidak akan dapat turun lagi. Dan Andika bukanlah anggota kami. Apa kehendakmu?"

"Ahh, Ni Dewi. Tentu Andika mengerti bahwa kalau membawa niat buruk, saya tidak akan begitu lancang berani naik ke sini. Saya sekarang telah menjadi Ki Patih Adiwijaya dari Kerajaan Wilis, dan kedatangan saya ini sebagai utusan Kerajaan Wilis untuk menghadap Sang Wasi Bagaspati."

Ni Dewi Nilamanik memandang tajam, menggerak-gerakkan kedua alisnya. Diam-diam ia merasa kaget dan juga kagum. Benar-benar laki-laki ini amat cerdik. Baru saja terguling dari kedudukannya sebagai Patih Jenggala, kini telah muncul lagi sebagai patih Kerajaan Wilis dan mempunyai nama baru lagi, Ki Patih Adiwijaya! Benar-benar seorang laki-laki yang hebat!

"Ikutlah aku, akan tetapi aku tidak mau kau salahkan kalau nanti rakanda Wasi marah-marah dan membunuhmu!" Tanpa menanti jawaban Ni Dewi Nilamanik mengebutkan kebutannya dan membalikkan tubuh, kemudian melesat ke depan, lari cepat mendaki puncak.

Adiwijaya tersenyum dan mengerahkan aji kesaktianya mengejar. Ia melihat betapa di balik semak-semak dan pohon-pohon kini telah berkumpul puluhan orang wanita cantik yang bersenjata lengkap. Tentu anak buah Ni Dewi Nilamanik yang berdatangan karena jerit melengking kawan mereka tadi. Ah, memang hebat anak buah Kerajaan Cola di bawah pimpinan Sang Wasi Bagaspati ini, pikirnya. Kalau Retna Wilis dapat bersekutu dengan mereka, tentu bukanlah hal yang sukar lagi untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala, bahkan Panjalu sekali pun. Hanya seorang tokoh yang amat dikhawatirkan, yaitu Bagus Seta, putera Ki Patih Tejolaksono yang memiliki kesaktian luar biasa itu sehingga Sang Wasi Bagaspati sendiri kabarnya kalah oleh pemuda itu. Diam-diam ia seringkali membandingkan Bagus Seta dan Retna Wilis dan bergidik. Retna Wilis puteri Ki Patih Tejolaksono! Entah bagaimana jadinya kelak kalau kakak beradik satu ayah lain ibu itu bertemu sebagai lawan!

Jalan mendaki puncak itu melalui tempat-tempat rahasia yang sukar dilalui, dan di dekat puncak menuruni sebuah jurang yang amat curam sehingga kalau orang luar takkan mungkin dapat mengira bahwa jurang seperti ini dijadikan markas sementara bagi Wasi Bagaspati dan anak buahnya.

Kiranya di dekat dasar jurang itu terdapat terowongan dan setelah melalui terowongan, mereka berada di dasar jurang lain yang tidak tampak dari atas, dasar yang rata dan amat luas. Di tempat inilah Sang Wasi Bagaspati tinggal bersama Ni Dewi Nilamanik dan anak buahnya yang berjumlah hampir seratus orang wanita. Di situ telah dibangun pondok-pondok bambu yang sederhana namun cukup besar dan biarpun tempatnya sederhana, karena dikelilingi puluhan orang wanita muda dan cantik, bagi seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu berahi merupakan surga dunia.

Pasukan yang menjaga pondok terbesar juga merupakan perajurit-perajurit wanita yang bersenjata lengkap, memegang tombak dan menyarungkan pedang. Mereka nampak cantik dan gagah, akan tetapi mereka semua memiliki pandang mata yang bersinar penuh kegenitan seperti yang terdapat pada pandang mata Ni Dewi Nilamanik.

Adiwijaya memasuki pondok itu di belakang Ni Dewi Nilamanik dan begitu ia berhadapan dengan Sang Wasi Bagaspati yang duduk bersama seorang kakek lain yang memandangnya penuh perhatian, dia merasa bulu tengkuknya meremang. Selalu ia merasa ngeri kalau bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian merah darah, bertubuh tinggi kurus dan mukanya merah mengingatkan dia akan tokoh Raja Alengkapura, yaitu Maharaja Dasamuka dalam cerita Ramayana.

"Heh, Warutama, manusia yang berhati penuh khianat! Inginkah engkau mendapat kehormatan tewas di tanganku maka engkau berani datang ke sini?" Wasi Bagaspati membentak dan Adiwijaya yang berdiri menunduk penuh hormat itu gemetar kedua kakinya.

ia lalu memberi hormat dan duduk bersila di depan kakek itu. "Duhai Sang Wasi yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Mohon ampun akan kebodohan saya, akan tetapi saya tidak merasa telah melakukan khianat," bantah Adiwijaya, menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar. Ia mengingat akan junjungannya, Retna Wilis, dan seketika rasa gentarnya lenyap. Puteri junjungannya itu tidak akan meninggalkannya, tidak akan membiarkannya diganggu, biar oleh seorang sakti seperti kakek ini sekalipun. Dan dalam hal kesaktian, ia merasa yakin bahwa ratunya itu tidak akan kalah oleh kakek ini. Keyakinan ini menimbulkan ketabahan di hatinya, mengusir rasa takut sehingga ia dapat mempergunakan akal budi dan kecerdikannya.

"Heh, Warutama. Andika telah membunuh Suminten dan Pangeran Kukutan, masih mengatakan Andika tidak berkhianat? Andika melarikan diri meninggalkan sekutu, bukankah hal itu membuktikan hatimu yang khianat?"

Adiwijaya sudah menduga akan datangnya tuduhan itu, maka ia sudah siap dengan jawabannya yang keluar dengan suara tenang,

"Duh Sang Wasi yang mulia. Saya tidak berkhianat ketika membunuh Pangeran Kukutan dan menyerahkan Suminten kepada para perajurit yang melarikan diri. Mereka berdualah yang berkhianat, karena bukankah kegagalan di Jenggala terjadi karena kebodohan dan kelancangan mereka berdua? Setelah gagal karena kecerobohan mereka, kedua orang manusia palsu itu melarikan diri. Saya muak melihat mereka, maka saya membunuh Pangeran Kukutan dan menyerahkan Suminten kepada para perajurit yang melarikan diri. Kalau tidak karena kebodohan mereka, tentu saya masih menjadi patih di Jenggala dan usaha Sang Wasi yang dihimpun dan dipupuk secara susah payah tidak akan sirna begitu saja."

Wasi Bagaspati mengelus rambutnya yang putih dan terurai ke pundak. Matanya tidak beringas lagi dan suaranya ketika bicara menunjukkan bahwa kemarahannya reda mendengar alasan Adiwijaya yang kuat.

"Engkau pandai bicara dan mungkin engkau benar. Kami pun tidak lagi membutuhkan mereka. Akan tetapi kami pun sama sekali tidak membutuhkan engkau, Warutama. Apa kehendakmu datang menghadap aku?"

Adiwijaya tersenyum tenang dan sabar. "Tentu saja Sang Wasi tidak membutuhkan saya, dan kedatangan saya ini pun karena teringat akan budi Sang Wasi dan teringat bahwa kita dahulu pernah bekerja sama. Saya menyesal akan kegagalan kita yang disebabkan oleh kebodohan Pangeran Kukutan dan Suminten. Maka sekarang saya hendak memberi jalan kepada Sang Wasi untuk menebus kekalahan yang lalu, bersama menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu."

Terdengar suara menggereng seperti harimau dan tempat itu menjadi tergetar hebat. Adiwijaya terkejut sekali dan memandang kakek ke dua yang duduk di sebelah kiri Sang Wasi Bagaspati, yang mengeluarkan suara menggereng hebat, mengandung daya kekuatan dan wibawa ampuh itu.

"Hhrrrrrggg ........ Manusia yang begini mudah menggerakkan lidah mana dapat dipercaya? Kakang Wasi, biar kuganyang jantungnya!'

Melihat wajah Adiwijaya berubah pucat, Wasi Bagaspati mengangkat tangan mencegah kakek itu sambil berkata,

"Biarkan dia bicara lebih dulu." Kemudian ia menoleh kepada Adiwijaya, "Warutama, kau bicaralah yang benar, kalau tidak, aku akan membiarkan adikku Wasi Bagaskolo mengganyang jantungmu. Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu tadi? Adikku ini benar kalau mengatakan bahwa engkau terlalu mudah menggoyang Iidah hendak menaklukkan Jenggala dan Panjalu."

Hati yang kaget dan gentar dari Adiwijaya berubah girang ketika mendengar bahwa kakek yang hebat dan jelas memiliki kesaktian tinggi itu adalah adik Wasi Bagaspati. Cepat ia berkata,

"Saya tidak berani membohong atau menipu, Sang Wasi. Sekali ini kita pasti akan berhasil menghancurkan Jenggala. Hendaknya Sang Wasi mengetahui lebih dulu bahwa saya sekarang telah menjadi Ki Patih Adiwijaya dari Kerajaan Wilis."

"Hemmm....!" Sungguhpun Wasi Bagaspati hanya mengeluarkan suara menggeram, akan tetapi seperti juga Ni Dewi Nilamanik, ia menjadi kagum akan kecerdikan laki-laki ini. "Aku sudah mendengar akan Kerajaan Wilis yang baru berdiri dan sudah banyak menaklukkan kadipaten. Lalu bagaimana?"

"Saya sengaja datang menghadap sebagai utusan junjungan saya, Sang Ratu Wilis, untuk mengajak Sang Wasi bersama-sama menyerbu Jenggala dan Panjalu."

"Ha-ha-ha-ha! Andika benar-benar seorang yang amat cerdik, Warutama.... eh, siapa nama barumu tadi? Ki Patih Adiwijaya? Akan tetapi kecerdikanmu tidak cukup besar untuk mudah saja membujuk kami, Ki Patih Adiwijaya! Apa artinya sebuah kerajaan kecil seperti Wilis yang baru saja muncul?"

"Harap Sang Wasi tidak memandang rendah Kerajaan Wilis. Kadipaten Ponorogo dalam waktu singkat dan dengan mudah saja dapat kami taklukkan dan kini Kerajaan Wilis telah mempunyai pasukan yang tidak kurang dari dua laksa orang besarnya, semua merupakan pasukan pilihan. Selain itu, junjungan saya, Sang Ratu Wlilis memiliki aji kesaktian yang amat hebat!"

"Hemm, masih belum meyakinkan akan dapat menghadapi Jenggala," kata Wasi Bagaspati yang termenung kalau teringat akan kesaktian Bagus Seta. Dia sengaja mendatangkan adik seperguruannya, Wasi Bagaskolo, dari Kerajaan Cola untuk membantunya karena dari pihak Biku Janapati tidak ada bantuan. Namun dia masih ragu-ragu apakah kedudukannya cukup kuat untuk menyerbu Jenggala. "Siapa nama ratumu dan berapa usianya?"

Dengan bangga lahir batin Adiwijaya menjawab, "Ratu kami bernama Retna Wilis, masih dara remaja, usianya tidak akan lebih dari delapan belas tahun."

"Weh! Bedes monyet keparat!" Wasi Bagaskolo meloncat dari tempat duduknya dan membanting kaki kanannya di atas tanah. Tubuh Adiwijaya sampai hampir mencelat keatas karena tanah itu tergetar hebat. "Bocah perempuan cilik, perawan berusia delapan belas tahun kau pamerkan di sini? Kau hendak menghina kami, ya?"

Adiwijaya mengangkat kedua tangan, digerak-gerakkan sebagai tanda bahwa dia tidak menghina, di dalam hatinya memaki-maki kakek yang amat galak ini. "Sama sekali tidak, Sang Wasi. Hendaknya diingat bahwa Bagus Seta yang amat sakti mandraguna itu pun masih muda remaja. Dan Gusti Ratu Retna Wilis adalah adik seayah Bagus Seta."

"Apa...?? Benarkah itu....?" Wasi Bagaspati bertanya kaget.

"Benar Sang Wasi. Gusti Ratu Wilis adalah puteri Ki Patih Tejolaksono dan Puteri Endang Patibroto, bahkan beliau adalah murid tunggal Nini Bumigarba....!"

"Ooommmm.... Sang Hyang Bathara Shiwa penguasa jagad raya....!!" Wasi Bagaskolo berseru, mukanya berubah dan kini dia tidak berani lagi memandang rendah perawan remaja itu setelah ia mendengar bahwa Ratu Wilis yang masih muda remaja itu adalah murid Nini Bumigarba. Wasi Bagaspati membelalakkan mata dan hatinya tertarik sekali. "Hemm, jadi diakah? Akan tetapi dia adalah puteri Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bagaimana mungkin bekerja sama dengan kami?"

"Biarpun puteri mereka, namun pendirian orang tua dan puteri tidaklah sama." Adiwijaya lalu menceritakan hal-ihwal Retna Wilis, betapa ratu muda itu telah menentang ibunya sendiri dan bertekad untuk menaklukkan Jenggala dan Panjalu....

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 45

Perawan Lembah Wilis Jilid 44

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 44

DARA ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Ke mana saja ia mengajukan kudanya, pasti barisan lawan cerai-berai dan korban jatuh bertumpang-tindih dan bertumpuk-tumpuk!

Hal ini banyak sekali pengaruhnya, terhadap lawan dan anak buah sendiri. Pihak lawan menjadi gentar sekali dan pihak anak buah menjadi besar hati. Karena sepak terjang Retna Wilis yang selain mempergunakan kesaktian kedua tangannya juga menggunakan ilmu hitam semacam sihir, maka buyarlah pihak musuh. Setiap siasat dan pasangan barisan diimbangi dengan pasangan lain oleh Patih Adiwijaya dan selalu pasangan barisan lawan buyar oleh amukan Retna Wilis dan para pasukannya.

Pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari. Pihak pasukan Ponorogo terdesak mundur dan biarpun semangat tempur para perajurit masih tinggi, namun para perwira yang menyaksikan betapa pasukan mereka hancur seperti rumput dibabat di bawah amukan Retna Wilis dan anak buahnya, segera memberi aba-aba kepada pasukan-pasukannya untuk mundur.

Retna Wilis berteriak nyaring, meneriakkan aba-aba kepada para barisannya untuk mengejar dan menyerbu terus. Di sepanjang perjalanan menuju ke Kadipaten Ponorogo, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan baru, namun mereka maju terus sehingga tubuh semua perajurit berlumuran darah lawan. Mereka bergerak seperti kemasukan iblis, tertawa-tawa dan bersorak-sorak, apalagi karena sepak-terjang Retna Wilis makin buas dan ganas.

Segenggam pasir di tangan Retna Wilis, sekali disambitkan dapat merobohkan puluhan orang lawan! ltulah Aji Pasirsekti. Masih baik bagi para perajurit Ponorogo bahwa gerakan-gerakan dara perkasa itu dihalangi oleh kedudukannya di atas kuda. Andaikata dia mengamuk tanpa menunggang kuda, tentu akan lebih mengerikan lagi akibatnya.

Retna Wilis yang menyetujui nasehat patihnya, tidak pernah turun dari punggung kudanya. Makin dekat serbuan para perajurit Wilis ke kadipaten, makin kuatlah perlawanan perajurit-perajurit Ponorogo, bahkan kini orang-orang sakti di pihak barisan Ponorogo sudah mulai membantu pula. Begitu orang-orang sakti yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan para warok yang jumlahnya ada lima puluh orang itu menyerbu, barisan Wilis menjadi kacau-balau. Tidak kuat mereka menandingi serbuan orang-orang sakti ini yang mengamuk seperti api menjalar, makin lama makin ganas dan merobohkan banyak korban.

Melihat ini, Patih Adiwijaya memberi aba-aba kepada pasukan yang menghadapi rombongan orang sakti itu untuk mundur dan ia mendekati junjungannya memberi laporan karena maklum bahwa dia sendiri tidak akan kuat menanggulangi amukan orang-orang sakti itu. Satu-satunya orang yang akan dapat menghancurkan mereka hanyalah Sang Ratu Wilis sendiri.

Mendengar laporan patihnya, Retna Wilis mengeluarkan teriakan garang lalu membedal kudanya ke depan, membuka jalan berdarah merobohkan setiap lawan yang menghadangnya sampai ia tiba berdepan dengan rombongan warok yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan Ki Warok Surobledug!

"Ha, kita bertemu lagi untuk yang terakhir kalinya, Surobledug dan engkau Ki Ageng Kelud. Terakhir kali kataku karena sekali ini kalian semua takkan terlepas dari maut di tanganku!" kata Retna Wilis sambil menudingkan cambuk di tangan kirinya. Semenjak mengamuk tadi, Retna Wilis hanya menggunakan cambuk kuda, kedua tangan dan kakinya saja, tidak pernah menyentuh gagang pedangnya.

"Retna Wilis, engkau perempuan berwatak iblis! Kematian hanya berada di tangan Sang Hyang Widdhi, sekali-kali bukan di tangan iblis seperti engkau!" Ki Warok Surobledug membentak.

"Retna Wilis, kejahatanmu melampaui takaran, terpaksa kami turun tangan!" Panembahan Ki Ageng Kelud juga berkata sambil menudingkan tongkatnya.

Retna Wilis tertawa, suara ketawanya dingin mengejek, membuat mereka yang mendengar menjadi mengkirik. Akan tetapi diam-diam Surobledug telah memberi isyarat dan tiba-tiba terdengar suara bersautan dan ratusan anak panah menyambar ke arah tubuh Retna Wilis!

Melihat ini, Retna Wilis cepat memutar cambuknya sehingga anak-anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya runtuh semua. Akan tetapi tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras dan roboh terguling. Retna Wilis kaget dan marah. Kudanya telah menjadi korban anak panah musuh. ia meloncat dari punggung kuda. Akan tetapi karena ia kurang pandai menunggang kuda dan tidak biasa, ia lupa bahwa kakinya masih terkait dan ketika ia meloncat tentu saja tubuhnya terpelanting dan ia terbawa roboh bersama kuda, sebelah kakinya terhimpit tubuh kudanya yang berkelojotan.

Pada saat itu, Patih Adiwijaya meloncat dari atas kudanya langsung menolong sang puteri, menarik tubuh kuda dan membantu Retna Wilis yang hendak disambarnya dari tempat berbahaya itu karena kini banyak anak panah melayang lagi diikuti para warok yang dipimpin Ki Warok Surobledug menerjang dengan senjata mereka.

Adiwijaya berhasil menyambar tubuh Retna Wilis, akan tetapi ia merupakan perisai dan biarpun Retna Wilis yang melihat datangnya anak panah itu cepat menggerakkan tangan memukul anak-anak panah itu dengan hawa sakti, tetap saja ada sebatang anak panah menancap di pundak Adiwijaya!

"Ah, Paman, mengapa engkau menoIongku? Engkau terluka sendiri...." Retna Wilis berkata penuh sesal. Kalau hanya jatuh tertindih tubuh kuda begitu saja, bukan apa-apa baginya dan tidak ditolong sekali pun dia mampu menolong diri sendiri.

Adiwijaya terhuyung dan menggigit bibir ketika Retna Wilis mencabut anak panah itu yang ternyata mengandung racun!

"Cepat mundurlah dan obati lukamu!" kemudian sekali tangannya bergerak ke belakang, ia telah mencabut pedang dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata.

Pedang Sapudenda telah berada di tangannya, dan sekali memekik nyaring tubuh dara perkasa ini sudah mencelat ke depan, disambut oleh rombongan warok. Kini dara itu tidak lagi menunggang kuda, maka gerakannya makin dahsyat mengerikan. Tampak sinar pedangnya seperti kilat menyambar-nyambar di musim hujan dan terdengarlah jerit-jerit kematian dari tujuh orang warok termasuk Ki Surobledug sendiri yang putus batang lehernya disambar pedang Sapudenta!

"Sungguh kejam....!" Ki Ageng Kelud berseru dan menerjang maju dengan gerakannya yang seperti garuda melayang. Serangannya hebat sekali dan kali ini kakek itu menggerakkan sebatang tongkat akar cendana yang menyambar ke arah kepala Retna Wilis. Selain hantaman tongkat di tangan Ki Ageng Kelud ini, masih ada sambaran senjata-senjata pusaka yang berupa kolor ajimat, digerakkan oleh tangan Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang warok sakti lainnya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Retna Wilis kini sudah marah sekali, wajahnya yang cantik jelita berubah beringas, matanya bersinar-sinar seperti memancarkan api, hidungnya berkembang kempis, mulutnya tersenyun dingin penuh ejekan. Melihat datangnya serangan lima orang sakti itu, ia hanya menyambut tongkat Ki Ageng Kelud. Tangan kirinya bergerak menangkap tongkat, tangan kanan yang memegang pedang menusuk dan darah muncrat dari dada kakek itu yang ditembusi pedang Sapudenta sampai ke punggung.

Biarpun sudah tua dan kini pedang pusaka yang luar biasa ampuhnya menembus dadanya, namun Ki Ageng Kelud adalah seorang yang gentur tapa, seorang sakti mandraguna yang sudah dapat mengatasi perasaan nyeri. Ia seperti tidak merasakan nyeri sama sekali, malah tertawa dan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan leher Retna Wilis!

Dara perkasa ini berseru kagum, tidak memperdulikan empat buah senjata kolor yang menghantam tubuhnya, bahkan terus membelit kaki dan pinggangnya, namun ia menyambut cengkeraman Ki Ageng Kelud dengan pukulan tangan kiri, menggunakan Aji Wisalangking. Pukulannya cepat sekali, membuat kedua tangan kakek itu terpental, terus menghantam kepala dan sekali ini Ki Ageng Kelud tidak kuat bertahan, tubuhnya terpental, pedang tercabut dan robohlah tubuh kakek itu dalam keadaan hangus bagian mukanya!

Retna Wilis tadi sengaja menghadapi Ki Ageng Kelud yang ia tahu amat sakti, tidak memperdulikan hantaman empat buah kolor jimat di tangan empat orang warok sakti. Biarpun hanya kolor, akan tetapi bukan kolor sembarangan karena dengan senjata kolor ini, warok-warok sakti itu sanggup untuk sekali pukul menghancurkan batu karang dan menumbangkan pohon jati sebesar orang! Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kolor mereka mengenai tubuh Retna Wilis, dara itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan kolor-kolor itu mengenai tubuhnya sama sekali tidak dirasakannya, seolah-olah hanya empat ekor lalat yang hinggap di tubuh.

Melihat dara itu menusuk dada Ki Ageng Kelud dengan pedang, kemudian memukul hangus kepala kakek itu, empat orang warok itu menjadi marah dan penasaran. Kolor mereka yang tadi memukul tanpa hasil, terus melibat. Dua buah melibat pinggang, dan yang dua buah lagi membelit kedua kaki gadis itu, kemudian mereka mengerahkan seluruh tenaga dan bersama-sama mereka membetot untuk membikin tubuh dara itu terguling. Tenaga Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang kawannya itu amat besar. Tarikan mereka tidak akan kalah oleh tenaga tarikan empat ekor kerbau jantan. Akan tetapi Retna Wilis tetap berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, tangan kanan memegang pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas dan tubuhnya sedikit pun tidak bergeming!

Jangankan baru empat warok sakti, biar ditambah sepuluh kali lipat, belum tentu akan kuat menggeser gadis itu yang mengerahkan Aji Argoselo. Kalau sudah mengerahkan aji seperti itu, tubuh dara itu seolah-olah berubah menjadi gunung batu, kedua kakinya seperti telah berakar di bumi! Empat orang warok itu mendengus-dengus mengerahkan tenaga dan ketika Retna Wilis menggerakkan pedang Sapudenta, pedang itu berubah menjadi sinar berkelebat dan empat buah kepala warok itu mencelat terlepas dari tubuh mereka yang masih menarik-narik kolor!

Retna Wilis meloncat mundur menghindarkan darah yang muncrat-muncrat dan robohlah empat batang tubuh yang sudah tidak berkepala lagi itu. Para warok menjadi marah bukan main, akan tetapi kini Retna Wilis sudah mengamuk dengan pedangnya. Senjata berupa apapun juga dari para pengeroyoknya pasti terbabat putus oleh pedang Sapudenta, dan disusul muncratnya darah dari bagian tubuh yang ikut terbabat dan menjadi buntung. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan mayat para tokoh sakti yang membantu Ponorogo.

Sementara itu, setelah mengobati lukanya di pundak, Adiwijaya terus memimpin tentaranya menghajar pasukan-pasukan musuh. Karena pihak Ponorogo melihat betapa para warok dan orang-orang sakti terbasmi oleh Retna Wilis, hati mereka menjadi gentar sekali. Akhirnya, ketika pasukan Wilis menyerbu kadipaten, sisa pasukan Ponorogo bersama Adipati Diroprakosa melarikan diri menuju ke Panjalu.

Ketika Retna Wilis dan pasukannya memasuki kadipaten, di depan istana kadipaten, Adiwijaya roboh pingsan. Luka di pundaknya memang tidak hebat, akan tetapi karena luka itu terkena racun yang terkandung di ujung anak panah, dan dia tidak beristirahat melainkan memimpin terus barisannya, kini racun mulai bekerja dan dia roboh pingsan.

Retna Wilis cepat memerintahkan beberapa orang perwira untuk menggotong tubuh patihnya itu memasuki kadipaten dan dia sendiri yang merawat luka patihnya yang setia itu. Ketika siuman dan mendapatkan dirinya dirawat sendiri oleh Retna Wilis, Adiwijaya menjadi terharu. Baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa terharu, perawatan Retna Wilis menyentuh hatinya, seolah-olah ia menjadi seorang ayah yang dirawat seorang puterinya.

"Ah, harap Paduka jangan melelahkan diri. Sudah sepatutnya hamba terluka, memang hamba sendiri yang salah dan lancang. Hamba lupa bahwa biarpun jatuh, Paduka tidak akan mungkin dapat celaka di tangan musuh. Hamba kaget dan panik sehingga lancang menolong sehingga hamba sendiri yang terluka. Sudah sepatutnya, memang hamba bodoh sekali.... " katanya, hatinya merasa sungkan juga melihat betapa dara perkasa yang dipuja dan dikaguminya itu mencuci sendiri luka di pundaknya, memberi obat dan membalutnya.

"Eh, Paman Adiwijaya, mengapa sungkan-sungkan? Biarlah kubalut baik-baik lukamu. Engkau terkena racun. Engkau telah menolongku, dan hal itu kuanggap bahwa Paman telah menolong nyawaku, telah melepas budi besar."

"Paduka terlampau sakti, tak mungkin akan dapat dicelakai lawan. Luar biasa sekali. Selama hidupku, belum pernah hamba menyaksikan sepak terjang seorang panglima perang seperti Paduka"

Setelah pasukan Ponorogo melarikan diri, pasukan-pasukan Wilis berpesta-pora dalam melakukan pengejaran. Pengejaran itu hanya sebagai alasan belaka, sesungguhnya mereka itu berpesta-pora melakukan perampokan-perampokan, bukan hanya harta benda yang direnggut, juga kehormatan-kehormatan wanita cantik.

Demikianlah keadaan perang. Yang menang mabuk kemenangan dan memperlakukan yang kalah sesukanya sendiri. Merampok barang, memperkosa wanita, membunuh, menyiksa! Di antara sorak-sorai gembira, sorak kemenangan itu tertutuplah isak tangis dan lengking kematian dari rakyat yang tinggal di sekitar Ponorogo.

********************

"Aduh, Kakangmas.... apa yang harus kulakukan.... Aduh dewata, lebih baik dicabut saja nyawa Endang Patibroto daripada menderita batin seperti ini...." Endang Patibroto mengeluh dan menangis di dalam kereta sehingga Limanwilis yang duduk pula di situ hanya melongo dan menghela napas panjang dengan hati penuh iba. Dia tidak dapat menghibur, maklum betapa hancur hati junjungannya itu.

Ketika akhirnya kereta itu memasuki halaman Kepatihan Panjalu, Endang Patibroto meloncat turun dan lari memasuki kepatihan dengan agak terhuyung. Patih Tejolaksono bersama Ayu Candra dengan kaget sekali menyambut kedatangan Endang Patibroto yang masuk sambil menangis. Lebih-lebih lagi rasa kaget dan cemas hati Patih Tejolaksono ketika Endang Patibroto menubruk kakinya dan menangis,

"Aduh, Kakangmas.... bagaimana dengan anak kita itu.... apakah yang harus kulakukan, Kakangmas....?"

Ayu Candra cepat merangkul pundak madunya. "Dinda Endang.... ada apakah? Apa yang terjadi? Bagaimana Retna Wilis....?"

Ayu Candra sudah pula menangis melihat madunya tersedu-sedu seperti itu. Patih Tejolaksono menghela napas dan menekan batinnya, lalu ia mengangkat bangun tubuh Endang Patibroto sehingga wanita itu bangkit berdiri, lalu kedua tangannya memegang pipi kiri kanan, memaksa wajah yang basah air mata itu bertemu pandang dengannya. Tejolaksono tersenyum, senyum penuh ketenangan dan ia berkata,

"Adinda Endang Patibroto, ke manakah ketenanganmu? Pandanglah aku, apakah dunia sudah begitu sempit sehingga engkau kehilangan akal? Tenanglah dan mari kita duduk di dalam untuk membicarakan persoalan yang menyusahkan hatimu." Tejolaksono merangkul pundak isterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar.

Ayu Candra memegang tangan Endang Ptibroto yang masih terisak dan memandang wajah madunya yang pucat itu dengan hati cemas. Endang Patibroto merasa makin seperti diremas-remas hatinya setelah ia bertemu dengan suami dan madunya. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya pada bantal dan menangis lagi.

Ayu Candra juga menangis dan hendak menubruknya, akan tetapi Tejolaksono memegang pundaknya dan memberi isyarat dengan gelengan kepala agar Ayu Candra membiarkan Endang Patibroto menangis dulu. Hal ini akan melepaskan kerisauan hatinya. Ia mengerutkan kening memandang tubuh Endang Patibroto yang bergoyang-goyang dalam tangisnya.

Bukan watak Endang Patibroto untuk menangis seperti itu. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat dengan Retna Wilis. Benar saja, setelah dibiarkan menangis sejenak, Endang Patibroto akhirnya dapat meredakan gelora hatinya dan ia bangkit duduk menghapus air matanya.

"Maafkan aku, Kakangmas, maafkan Ayunda...."

"Dinda Endang Patibroto, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi?" tanya Tejolaksono sambil memegang tangan kiri isterinya. Ayu Candra memegang tangan kanan madunya.

Pegangan suami dan madunya itu memberi kekuatan kepada Endang Patibroto, mengertilah ia bahwa betapapun keadaannya, kedua orang itu tidak akan membiarkan dia sengsara seorang diri. Maka diceritakanlah semua pengalamannya, bercerita diseling isak tertahan. Mendengar cerita Endang Patibroto, Ayu Candra memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Juga Tejolaksono terkejut sekali, merasa dadanya seperti ditusuk dan ia menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya.

"Duh Jagat Dewa Bathara.... ! Mengapa dia bisa menjadi begitu? Anakku..." dengan wajah pucat Tejolaksono mengeluh. "Urusan ini hebat sekali, harus kita laporkan kepada sang prabu dan kita rundingkan dengan kakangmas Pangeran Darmokusumo. Dan untuk membujuk Retna Wilis, agaknya aku sendiri yang harus menemuinya...."

Endang Patibroto menggeleng kepala dengan sedih. "Agaknya akan sia-sia, Kakangmas. Dia tidak dapat dibujuk, wataknya keras melebihi baja...."

Mendengar ini, Tejolaksono dan Ayu Candra saling pandang. Anak Endang Patibroto, bagaimana tidak sakti mandraguna dan keras hati, demikian bisik hati mereka.

"Dan mempergunakan kekerasan juga percuma. Kesaktiannya mengerikan. Segala aji kesaktian kukeluarkan dan pada waktu itu saya sudah bertekad untuk membunuhnya saja. Akan tetapi tidak ada pukulanku yang dapat merobohkannya, sama sekali aku tidak berdaya melawannya! Dia memiliki kesaktian seperti Nini Bumigarba.... mengerikan!" Tiba-tiba Endang Patibroto mengangkat muka memandang Ayu Candra dan berkata, "Ah, Bagus Seta! Dialah yang akan dapat menundukkannya! Mengapa aku melupakan anak kita itu? Bagus Seta.... di mana dia? Dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan untuk menundukkan Retna Wilis, anak durhaka seperti iblis itu!"

"Husshhhh.... Adinda jangan berkata begitu." Tejolaksono merangkul isterinya. "Betapapun juga, dia anak kita, anak yang kita sayang.... kita harus berusaha menginsyafkannya. Memang Bagus Seta yang agaknya memiliki kesaktian untuk menundukkannya, seperti juga Sang Sakti Bhagawan Ekadenta tentu akan dapat menundukkan Nini Bumigarba."

"Di mana Bagus Seta? Harap panggil dia agar kita dapat merundingkan dan minta nasehat serta pendapatnya," kata Endang Patibroto.

Terdengar suara Ayu Candra, sayu dan sedih karena memang ibu ini pun berduka melihat puteranya lebih pantas menjadi pendeta daripada seorang satria.

"Berhari-hari dia hanya mengeram diri dalam sanggar pamujan, bersamadhi...."

"Sekali ini perlu kita panggil dia," kata Tejolaksono. "Biar aku sendiri yang akan memanggilnya." Patih yang diam-diam merasa prihatin sekali itu lalu melangkah keluar kamar meninggalkan kedua isterinya, menuju ke sanggar pamujan di ujung taman untuk memanggil puteranya yang berhari-hari bersamadhi di tempat itu.

Endang Patibroto teringat akan Limanwilis dan dua orang adiknya, maka bersama Ayu Candra ia segera keluar dan menemui mereka bertiga yang masih menunggu di pendopo, kemudian memerintahkan para abdi untuk memberi tempat istirahat bagi tiga orang tokoh Wilis itu.

Setelah tiba di tempat pemujaan atau tempat samadhi, Tejolaksono melihat pintu pondok tertutup dan dari celah-celah jendela pondok ia melihat puteranya tekun bersamadhi, duduk bersila dan berada dalam keadaan yang hening. Hatinya menjadi tidak tega untuk mengganggu puteranya secara kasar. Dia sendiri sebagai seorang yang ahli dalam samadhi, mengerti betapa tidak enaknya orang yang sedang bersamadhi dibangunkan secara kasar. Maka ia lalu bersila di luar pondok, mengheningkan cipta dan mengarahkan seluruh kehendaknya untuk menghubungi puteranya melalui getaran perasaannya. Tak lama kemudian, terdengarlah suara puteranya, "Saya datang, Kanjeng Rama!"

Tejolaksono bangkit berdiri dan puteranya keluar pula dari tempat samadhi itu, kemudian Tejolaksono menggandeng tangan puteranya sambil berkata, "Bagus Seta, ibumu Endang Patibroto sudah pulang dan ada urusan penting sekali yang ingin dibicarakan dan minta pertimbanganmu."

Bagus Seta mengangguk dan dengan tenang sekali keduanya memasuki istana kepatihan. Ayu Candra dan Endang Patibroto sudah menanti si ruangan dalam di mana mereka mereka berempat dapat bicara tanpa gangguan para abdi yang dilarang memasuki ruangan itu. Endang Patibroto sudah agak tenang dan tidak menangis lagi, sungguhpun jelas tampak kerisauan hatinya membayang di wajahnya yang masih pucat dan matanya yang masih merah kebanyakan menangis. Juga Ayu Candra masih mengerutkan alis dan ada berbekas di wajahnya bahwa dia habis menangis.

"Selamat datang, Kanjeng Ibu!" Bagus Seta menghaturkan sembah kepada ibu tirinya yang diterima oleh Endang Patibroto dengan rangkulan.

"Anakku Bagus Seta, ibumu amat mengharapkan pertolonganmu untuk menyelamatkan adikmu si Retna Wilis."

Patih Tejolaksono dan kedua orang isterinya lalu menceritakan secara bergantian tentang keadaan Retna Wilis yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Bagus Seta. Setelah ia mendengar seluruhnya, pemuda yang amat tenang sikapnya ini mengangguk-angguk dan berkata,

"Patut dikasihani keadaan adikku Retna Wilis yang dicengkeram oleh pengaruh sesat. Akan tetapi, kalau watak adinda Retna Wilis sedemikian keras seperti yang diceritakan Ibunda, agaknya amat tidak baik kalau dipergunakan kekerasan untuk membujuk atau mempengaruhinya. Sedangkan Kanjeng Ibu Endang Patibroto sendiri tidak diturut bujukannya, apalagi orang lain. Adapun digunakannya pasukan Panjalu untuk memukul Kerajaan Wilis, sungguhpun hal ini kelak agaknya tak dapat dihindarkan lagi, namun tentu akan mendatangkan korban amat banyak. Betapapun juga, karena urusan Wilis ini bukan hanya urusan pribadi keluarga kita, melainkan urusan kerajaan, akan terlalu sembrono bagi kita kalau kita menanggulanginya sendiri. Sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama untuk melaporkan hal ini kepada sang prabu untuk dirundingkan bagaimana sebaiknya menghadapi ancaman Kerajaan Wilis. Adapun tentang diri adinda Retna Wilis sendiri, biarlah saya akan berusaha untuk membantunya mendapatkan kesadaran. Sekarang saya mohon diri dari Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berdua, hari ini juga saya akan pergi menemui adinda Retna Wilis."

"Aduh, terima kasih, anakku angger Bagus Seta. Lapang rasa dadaku setelah engkau sanggup untuk menemui Retna Wilis. Kalau engkau yang turun tangan, aku yakin pasti akan berhasil, Anakku!" kata Endang Patibroto dan wajahnya yang tadinya suram itu kini berseri gembira.

Bagus Seta menundukkan mukanya. "Segala keputusan berada sepenuhnya di tangan Sang Hyang Widdhi, Kanjeng Ibu. Manusia hanya wajib berikhtiar, menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Hamba mohon doa restu Paduka bertiga."

"Berangkatlah, Bagus. Aku membekali pangestu!" kata Tejolaksono dengan Pandang mata kagum kepada puteranya.

"Hati-hati di jalan, Anakku!" kata Ayu Candra, agak terharu.

"Bagus Seta, kau tolonglah adikmu Retna Wilis...." berkata Endang Patibroto dengan suara memohon.

Setelah Bagus Seta berangkat, hanya berjalan kaki dan tidak membawa bekal apa-apa, dengan pakaian tetap putih sederhana sungguhpun kini ia dibuatkan pakaian putih dari kain sutera halus oleh ibunya, Tejolaksono lalu menemui Liman Wilis bertiga, kemudian bersama kedua isterinya ia langsung menghadap sang prabu yang segera membuka persidangan untuk membicarakan Kerajaan Wilis yang mengancam keselamatan daerah Panjalu.

Baru saja persidangan dibuka, datang punggawa yang membawa pelaporan bahwa Ponorogo telah diserbu dan telah jatuh ke tangan Kerajaan Wilis! Tak lama kemudian datanglah menghadap Sang Adipati Diroprakosa sendiri yang bercerita dengan air mata bercucuran akan hancurnya Ponorogo dan tewasnya para tokoh Ponorogo dan para pembantu-pembantu sakti di tangan Ratu Wilis yang memiliki kesaktian yang luar biasa.

Mendengar ini, terdengar isak tangis dan Endang Patibroto cepat menyembah sang prabu dan mohon diizinkan mengundurkan diri. Sang prabu yang arif bijaksana maklum akan isi hati Endang Patibroto. Tentu saja wanita ini merasa sungkan dan tidak enak hatinya mendengar betapa puterinya, Ratu Wilis, akan menjadi bahan percakapan, maka sang prabu memberi izin. Endang Patibroto mohon maaf kepada suaminya dan kepada para hadirin lainnya, kemudian meninggalkan persidangan dengan hati remuk. Ia langsung memasuki kepatihan, masuk ke dalam kamarnya dan membanting tubuhnya ke atas pembaringan, merintih-rintih di dalam hatinya, bersambat kepada mendiang ibunya. Tiba-tiba ia bangkit duduk dan memandang dinding dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Aduh, Ibunda.... ampunkan hamba.... ampunkan anakmu yang berdosa...!" Dan ia menutupi muka dengan kedua tangan lalu menangis sedih. Terbayang di depan matanya yang dipejamkan akan semua pengalamannya di waktu dia muda dahulu. Betapa ia pun sudah banyak mendatangkan sakit hati kepada ibunya sendiri. Bukankah sekarang ini dia hanya memetik buah yang dahulu ditanamnya sendiri? Bukankah dahulu ibunya sendiri yang mengandungnya dan melahirkannya, juga mengalami derita batin karena dia, seperti yang ia alami sekarang?

Sementara itu, di dalam persidangan sang prabu dengan bijaksana minta pendapat Tejolaksono tentang Kerajaan Wilis yang jelas hendak melanggar kedaulatan Jenggala dan Panjalu, bahkan telah menyerbu dan merampas Ponorogo yang menjadi daerah Panjalu atau setidaknya menjadi kadipaten yang tunduk kepada Panjalu. Sang prabu yang maklum bahwa Retna Wilis adalah puteri Tejolaksono dan Endang Patibroto, mengharapkan pendapat dari patih mudanya yang menjadi senopati pula, dan yang menjadi ayah dari Retna Wilis yang menggegerkan itu.

"Duh, Gusti Sinuwun sesembahan hamba," Tejolaksono berkata dengan suara tegas tanpa ragu-ragu. "Sungguhpun Ratu Wilis adalah puteri hamba, akan tetapi urusan ini adalan urusan kerajaan, dan biarpun puteri hamba sendiri, kalau mendatangkan kekacauan dan kalau hamba akan diperintah oleh Paduka, hamba akan berangkat dan menggempur Wilis!"

Sang prabu mengangguk-angguk. "Aku percaya akan kesetiaanmu, wahai patihku yang perkasa. Akan tetapi Kerajaan Wilis hanya kerajaan baru yang kecil, dan karena ratunya adalah puterimu, maka sebaiknya dicari jalan lain untuk menghindarkan perang yang akan menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan belaka bagi rakyat. Baru saja rakyat menderita oleh kekacauan Jenggala, maka sebaiknya kalau kita mencoba untuk menghindarkan perang baru. Puteraku, Pangeran Darmokusumo, bagaimana pendapatmu?"

"Kanjeng Rama, perkenankanlah hamba berwawancara dengan yayi Patih Tejolaksono." Putera mahkota itu menyembah.

Sang prabu mengangguk dan Pangeran Darmokusumo lalu menghadapi Tejolaksono, "Yayi Patih Tejolaksono. Usaha apakah yang telah kau lakukan menghadapi urusan Wilis ini?"

"Rakanda Pangeran, isteri hamba Endang Patibroto sudah mengunjungi Retna Wilis dan membujuknya, bahkan ketika puteri kami itu tidak menurut, telah pula menyerangnya, akan tetapi anak itu yang telah menerima pendidikan Nini Bumigarba, amat sakti sehingga Endang Patibroto sendiri tidak mampu mengalahkannya. Kini hamba mengutus Bagus Seta untuk mencoba untuk membujuknya." jawab Tejolaksono.

"Hemm, kalau begitu sebaiknya kita bersabar, menanti hasil yang dicapai Bagus Seta. Sementara itu, penjagaan di tapal batas harus diperkuat, dan hubungan para kadipaten di sebelah barat harus dipererat sehingga setiap perubahan dan setiap gerakan Wilis akan dapat segera kita ketahui." kata sang prabu.

Setelah para tokoh Kerajaan Panjalu diminta pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka juga cocok, persidangan dibubarkan dan Tejolaksono bersama Ayu Candra cepat kembali ke kepatihan untuk menghibur hati Endang Patibroto. Adapun Liman wilis dan dua orang adiknya yang lebih mengenal keadaan di Wilis, ditugaskan untuk pergi menyelidik untuk mengikuti perkembangan dan gerakan-gerakan Kerajaan Wilis.

********************

Kita tinggalkan dulu keadaan di Panjalu yang tetap tenang berkat kebijaksanaan sang prabu yang amat sayang kepada keluarga Tejolaksono, dan mari kita menengok keadaan di Kerajaan Wilis. Biarpun Kerajaan Wilis sudah berhasil mengalahkan Ponorogo, akan tetapi dalam peperangan itu Wilis kehilangan pula banyak perajurit. Ada seperempatnya yang tewas atau terluka parah dalam perang dan untuk menghimpun tenaga baru, Wilis membutuhkan waktu. Ketika Ratu Wilis menyampaikan niatnya untuk menyerbu terus ke Jenggala, hal ini disetujui oleh Adiwijaya.

"Harap Paduka suka bersabar, Gusti Puteri. Selain perajurit kita banyak yang gugur sehingga kekuatan kita berkurang, juga Kerajaan Jenggala tidaklah selemah Ponorogo. Di sana memiliki bala tentara besar, apalagi tentu Kerajaan Panjalu membantunya, juga banyak terdapat orang-orang sakti mandraguna." Adiwijaya cukup cerdik untuk tidak menyebut nama Tejolaksono dan Endang Patibroto untuk tidak melukai hati orang yang disayangnya.

"Selain itu, juga Ponorogo hanya menyerah karena terpaksa. Amat sukar mengharapkan bantuan dari rakyat Ponorogo, maka kita harus menghimpun dan memperbesar jumlah perajurit dari daerah-daerah lain yang sudah kita taklukkan. Perajurit-perajurit baru perlu dilatih. Pendeknya, untuk menggempur Jenggala membutuhkan persiapan yang lebih matang, Gusti."

Retna Wilis yang ingin sekali melihat cita-citanya cepat terkabul, mengerutkan alisnya. "Kalau aku menuruti rencanamu, bukankah hal itu akan makan waktu bertahun-tahun? Terlalu lama, Paman. Kalau perlu, aku sanggup dengan seorang diri menaklukkan kerajaan-kerajaan itu!"

Adiwijaya memandang junjungannya itu penuh kagum. Sepasang matanya bersinar-sinar dan ia membayangkan betapa kalau dara perkasa ini melakukan serbuan seorang diri saja ke Jenggala! Dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin karena mana bisa seorang diri saja, betapapun saktinya, menghadapi bala tentara yang laksaan jumlahnya? Pula, banyak sekali orang sakti di sana! Ia cepat menyembah dan berkata,

"Maafkan hamba, Hamba percaya akan kesaktian dan kesanggupan Paduka, akan tetapi menyerbu seorang diri bukanlah menjadi kebiasaan seorang ratu yang besar. Harap Paduka bersabar, dan kalau Paduka menganggap bahwa menghimpun dan melatih pasukan kuat akan memakan waktu terlalu lama, hamba masih mempunyai jalan lain yang kiranya lebih singkat dan akan lebih menghasilkan."

"Bagus sekali, Paman. Aku percaya akan daya upaya dan kecerdikanmu. Jalan apakah yang kau maksudkan itu? Lekas beritahukan," kata Retna Wilis dengan wajah gembira.

"Paduka tentu maklum bahwa keadaan Jenggala sekarang jauh lebih kuat daripada sebelum sang prabu yang sepuh diganti oleh Pangeran Panji Sigit yang kini telah menjadi raja. Bahkan gusti permaisuri Jenggala adalah bibi Paduka sendiri yang sakti mandraguna. Belum lagi diingat bahwa patihnya yang menjadi benteng Jenggala sekarang adalah Joko Pramono dan isterinya yang perkasa."

Kembali alis yang kecil hitam itu berkerut. "Paman, tidak perlu Paman menyebut nama-nama mereka. Mereka itu benar para paman dan bibiku, akan tetapi kalau mereka tidak suka tunduk kepadaku, aku akan menghadapi mereka sebagai lawan!"

Adiwijaya mengangguk-angguk. "Hamba juga percaya bahwa Paduka akan sanggup mengalahkan lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, bukankah kalau terjadi hal itu, akan amat tidak enak, Gusti? Sebaiknya kalau kita mengadakan persekutuan dengan pihak Sriwijaya dan Cola. Kedua kerajaan itu mempunyai wakil-wakil yang sakti dan yang sudah menyusun barisan yang cukup kuat pula. Kita ajak mereka bersekutu untuk menggempur Jenggala dan kalau hal itu terjadi, tidak perlu Paduka sendiri yang harus menghadapi para paman dan bibi Paduka di Jenggala."

"Ihh, Paman Adiwijaya, omongan apa yang kau keluarkan ini?" Retna Wilis membentak marah dan mengangkat kedua alisnya, matanya terbelalak memandang tajam kepada patihnya. "Aku tidak takut menghadapi kerajaan mana pun juga, mengapa mesti bersekutu? Aku tidak sudi bersekutu apalagi dengan kerajaan-kerajaan asing itu. Bersekutu hanya menunjukkan bahwa kita lemah, dan kemenangan yang dicapai seolah-olah mengandalkan bantuan sekutu-sekutu itu!"

"Maksud hamba tidak demikian, Gusti. Pertama, penyerangan terhadap Jenggala dan Panjalu di mana terdapat keluarga Paduka yang menjadi senopati, amat tidak enak bagi Paduka sendiri, maka sebaiknya meminjam tenaga orang-orang Sakti dari kerajaan asing itu. Ke dua, dan hal ini penting sekali, orang-orang dari Sriwijaya dan Cola itu merupakan ancaman kelak bagi Paduka. Mereka adalah musuh-musuh rakyat dan mereka itu menyusun tenaga secara nyiluman (seperti siluman, bersembunyi dan rahasia) sehingga amat sukar untuk membasmi mereka. Kalau mereka diajak bersekutu, tentu mereka akan tampak dan kelak kalau kita sudah mempergunakan tenaga mereka sehingga berhasil, mudah saja bagi kita untuk membasmi mereka dari permukaan bumi!"

Retna Wilis termenung sampai lama. Ia mempertimbangkan usul pembantunya yang setia ini. Memang ada benarnya. Biarpun ia tidak perduli kalau terpaksa harus melawan para bibi dan pamannya, akan tetapi kalau ia teringat akan bibinya Setyaningsih, ia ragu-ragu juga apakah akan tega menurunkan tangan kepada bibinya itu. Apalagi kalau ia ingat akan ayah bundanya yang berada di Panjalu. Kalau mereka itu maju, dan hal ini tak dapat disangsikan lagi mengingat bahwa ayah bundanya adalah hamba-hamba setia dari Panjalu, biarpun dia tidak takut dan pasti akan menentang mereka kalau ayah bundanya berusaha menghalangi cita-citanya, namun tetap saja ada sedikit perasaan tidak enak di hatinya. Dan para wakil kedua kerajaan asing itu, tentu kelak hanya akan menjadi gangguan yang memusingkan. Usul patihnya amat baik, sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Menggunakan mereka untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu, kemudian setelah berhasil, membasmi mereka sebelum mereka sadar akan muslihat ini.

"Usulmu menarik sekali, Paman. Akan tetapi, benar-benarkah Sriwijaya dan Cola mempunyai tokoh-tokoh yang sakti, yang boleh dipercaya akan dapat kita pergunakan untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu?"

"Banyak sekali tokoh mereka, Gusti. Dan terutama sekali pucuk pimpinan yang sengaja dikirim dari Kerajaan Sriwijaya dan Cola. Hamba mengenal pemimpin utusan Kerajaan Cola yang bernama Sang Wasi Bagaspati. Kakek ini memiliki kesaktian yang amat hebat, Gusti, yang sukar dicari bandingnya pada saat ini...."

"Hemm, aku pernah mendengar dari guruku nama itu. Manusia sombong yang mengaku sebagai penitisan Sang Hyang Shiwa! Lalu, siapa lagi, Paman?"

"Masih banyak tokoh Kerajaan Cola yang menjadi pembantu Sang Wasi Bagaspati, dan yang memiliki aji kesaktian luar biasa. Adapun pemimpin utusan Kerajaan Sriwijaya belum pernah hamba jumpai, akan tetapi kabarnya juga memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri, namanya Sang Biku Janapati."

Retna Wilis mengangguk-angguk. Nama-nama ini pernah ia dengar dari Nini Bumigarba. "Paman, apakah Paman dapat menghubungi mereka?"

"Hamba kira akan dapat mencari tokoh-tokoh Kerajaan Cola, Gusti. Dan melalui mereka kiranya hamba akan dapat menghubungi pula tokoh-tokoh Sriwijaya. Apakah Paduka dapat menyetujui kalau kita bersekutu dengan mereka?"

"Kalau Paman merasa sebaiknya demikian, aku pun dapat menerima. Sekarang Paman pergilah menghubungi mereka dan panggil Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati datang menghadap aku!"

Adiwijaya membelalakkan mata dan wajahnya berubah. Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah. Ia hanya merasa khawatir apakah kedua orang tokoh sakti itu akan sudi datang kalau disuruh menghadap seorang ratu muda belia seolah-olah mereka itu adalah orang-orang taklukan atau orang-orang yang tingkatnya lebih rendah. Ia menyanggupi, kemudian menyembah dan berpamit untuk segera melaksanakan perintah puteri sakti itu, mencari dan menghubungi Wasi Bagaspati dan Biku Janapati.

Adiwijaya maklum atau dapat menduga bahwa tentu tokoh-tokoh besar yang dicarinya itu masih belum meninggalkan daerah Jenggala. Biarpun mereka itu telah gagal dalam usaha mereka menguasai Jenggala dengan jalan halus, namun mereka itu tentu tidak mau sudah begitu saja. Tentu Wasi Bagaspati diam-diam sedang menyusun tenaga untuk melanjutkan usahanya menguasai Jenggala dan agaknya bersembunyi di dalam hutan-hutan, di gunung-gunung yang sunyi.

Mulailah Adiwijaya merantau, seorang diri karena untuk melakukan tugas rahasia ini ia tidak menghendaki rombongan pembantu atau pengawal yang selain dapat mudah membocorkan rahasia, juga akan membuat ia kurang leluasa saja. Ia tahu dari siapa ia harus mencari berita tentang tempat persembunyian tokoh-tokoh dari kerajaan Cola itu. Maka ia lalu masuk keluar hutan dan akhirnya ia bertemu dengan serombongan perampok yang ia kenal sebagai bekas anak buah pasukan Jenggala yang melarikan diri. Ketika ia memasuki sebuah hutan yang lebat pada suatu pagi, tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan semak-semak berloncatan belasan orang yang dikepalai seorang tinggi besar yang berkumis tebal melintang sekepal sebelah.

Adiwijaya mengenal pemimpin perampok itu dan beberapa orang anggauta perampok sebagai bekas anak pasukan yang dahulu menjadi pengawal Pangeran Kukutan, akan tetapi mereka tidak mengenalnya karena memang kini bekas Patih Warutama sudah banyak berubah.

"Heh, kisanak, berhenti dulu! Tanggalkan semua pakaian dan tinggalkan semua bawaanmu sebagai pengganti nyawamu!" Si kumis melintang membentak garang.

Adiwijaya tersenyum, berdiri tegak dan berkata, "Kakang Jodi, apakah engkau tidak lagi mengenal aku? Aku adalah bekas Ki Patih Warutama, orang sendiri, bukan lawan."

Beberapa orang bekas anak buah Jenggala, juga Ki Jodi, memandang dengan mata terbelalak diikuti oleh anak buahnya. "Ha-ha-ha, engkau pandai membadut, Kisanak! Akan tetapi kami tidak mempunyai waktu untuk mendengar ocehanmu. Lekas tanggalkan pakaian atau terpaksa aku akan membunuhmu lebih dulu, baru melucuti pakaianmu!" Kepala perampok itu membentak dengan sikap mengancam.

"Hemm, memang wajahku sudah berubah. Akan tetapi apakah engkau tidak lagi mengenal suara dan bentuk tubuhku? Baiklah, sebelum diberi bukti kalian tentu tidak percaya. Nah, Kakang Jodi, majulah!"

Ki Jodi menjadi marah. Orang ini yang mengaku bekas Patih Jenggala adalah seorang yang tubuhnya tidak membayangkan kekuatan, agaknya sekali pukul saja ia akan mampu membikin remuk kepala itu. Maka ia lalu berteriak keras dan menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah leher dan kepalan tangan kanannya menjotos kepala.

Tentu saja serangan yang hanya berdasarkan tenaga kasar ini dipandang rendah oleh Adiwijaya yang sakti. Tubuhnya hanya miring sedikit, kemudian kedua tangannya bergerak, menyambar pinggang yang besar itu, diangkatnya tubuh Ki Jodi ke atas lalu dibanting ke atas tanah.

"Brukkk.... ngekkk!"

"Aduhhhh.... tohobaattt....!" Ki Jodi terengah-engah dan merintih, tulang punggungnya serasa patah dan ia tidak dapat bangkit. Kawan-kawannya menjadi marah, akan tetapi sebelum mereka bergerak maju, Ki Jodi sambil terengah-engah berkata,

"Mundur kalian semua! Apakah kalian buta? Beliau adalah Gusti Patih Warutama!"

Semua anak buah perampok mundur dan memandang dengan jerih. Adiwijaya menghampiri Ki Jodi, menepuk punggungnya dan menariknya bangun. Ki Jodi menyeringai dan bangkit dengan tubuh bongkok, kedua tangannya menekan pinggang dan pantat yang rasanya nyeri sekali.

"Ampun, Gusti Patih...."

"Tidak mengapa, Kakang Jodi. Aku pun tidak berniat mengganggu kalian, hanya kebetulan saja pertemuan ini karena memang aku sedang mencari teman-teman bekas perajurit Jenggala. Aku ingin bertanya ke mana kiranya aku dapat menemui tokoh-tokoh Cola, Wasi Bagaspati dan para pembantunya."

"Hamba.... hamba tidak tahu, Gusti. Semenjak melarikan diri dari Jenggala, hamba bersama kawan-kawan bersembunyi di hutan ini. Hanya ada hamba mendengar berita bahwa pasukan wanita penyembah Sang Bhatari Durgo bermarkas di lereng gunung Arjuna. Kiranya dari mereka itu Paduka akan dapat mendengar lebih jelas tentang para tokoh yang Paduka cari."

Adiwijaya mengangguk-angguk. "Baik. Aku akan mencari ke sana. Kakang Jodi, engkau kumpulkan kawan-kawan bekas perajurit Jenggala dan bawa mereka sebanyak mungkin pergi ke lereng Wilis. Di sana kalian boleh menghambakan diri menjadi perajurit Wilis."

Ki Jodi membelalakkan matanya. "Kerajaan Wilis? Ahhh, hamba sudah mendengar akan kerajaan baru itu. Hamba takut, Gusti. Jangan-jangan begitu sampai di sana, hamba segerombolan akan dibasmi oleh pasukan Wilis yang terkenal kuat."

Adiwijaya tersenyum bangga. "Jangan khawatir. Katakan bahwa Gusti Patih Adiwijaya yang menyuruh kalian datang. Kalian pasti akan diterima sebagai anggota pasukan. Aku sekarang adalah Ki Patih Adiwijaya, patih dari Kerajaan Wilis yang jaya. Ingat, Ki Patih Adiwijaya, bukan lagi Patih Warutama. Mengerti?"

"Baik, Gusti Patih." Ki Jodi menjawab dan dengan girang ia menerima beberapa potong emas dari Adiwijaya.

Adiwijaya melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari kemudian tibalah ia di lereng gunung Arjuna. Karena hari telah menjelang senja dan ia merasa lelah dan lapar sekali, Adiwijaya berhenti mengaso di bawah sebatang pohon cemara, membuka bungkusan daun jati dan makan nasi bekalnya yang tadi ia beli di dalam dusun di kaki gunung. Baru saja ia habis makan dan minum air yang memancur keluar dari celahan batu sambil mencuci tangan, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang. ia maklum bahwa ada orang sakti datang, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan melanjutkan mencuci tangan, akan tetapi diam-diam ia bersikap waspada.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Wirrrr...." Adiwijaya miringkan kepala, tangan kirinya meraih dan sebatang tusuk konde cepat ia tangkap dari samping dengan jari tangannya. Ia menoleh ke arah datangnya senjata rahasia tusuk konde itu sambil berkata, "Saya Adiwijaya bukanlah musuh, harap Andika sudi keluar dan bicara."

"Ihhhh.... Terdengar seruan tertahan seorang wanita disusul jerit melengking yang agaknya menjadi tanda bahaya, kemudian dari balik semak-semak muncul keluar seorang wanita cantik manis dengan sinar mata genit dan pakaian tipis membayangkan tubuh yang ramping padat, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Sekali pandang Adiwijaya dapat menduga bahwa wanita ini tentulah anak buah Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari Durgo. Cepat ia menjura dengan sikap hormat dan berkata,

"Saya bernama Adiwijaya dan datang dengan niat baik, harap Andika jangan lagi main-main dengan senjata yang bahaya ini. Kurasa tusuk konde ini lebih pantas untuk menghias rambut Andika yang hitam halus itu." Sambil berkata demikian, Adiwijaya menggerakkan tusuk konde di tangannya yang melesat cepat dan menancap di konde (sanggul) rambut wanita itu yang menjadi terkejut sekali.

"Apa niatmu datang ke tempat kami? Apakah Andika sudah bosan hidup?" Wanita itu menatap wajah dan tubuh Adiwijaya dengan penuh selidik, juga merasa sayang kalau pria ini terbunuh. Biarpun sudah setengah tua, pria ini amat menarik, dan membayangkan kejantanan, di samping kedigdayaan yang sudah diperlihatkan tadi ketika menangkap senjata rahasianya dan mengembalikannya dengan cara mengagumkan.

"Saya datang untuk minta menghadap Sang Wasi Bagaspati, atau Ni Dewi Nilamanik. Bukankah Andika ini anak buah Ni Dewi Nilamanik?"

Kembali wanita itu kelihatan kaget dan tercengang. Baik Wasi Bagaspati maupun Ni Dewi Nilamanik berada di tempat itu secara sembunyi dan tempat ini dirahasiakan. Bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Akan tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara halus seorang wanita, "Ki Warutama, mau apa Andika datang ke sini?"

Adiwijaya membalikkan tubuh dan melihat Ni Dewi Nilamanik telah berdiri di situ dengan sikap angkuh. Wanita ini masih cantik menarik penuh daya pikat dan biarpun dahulu sudah beberapa kali wanita ini melayaninya sebagai seorang kekasih, namun kini bersikap angkuh dan dingin. Di tangannya tampak pengebut lalat dari serat merah buntut kuda, kebutan yang mungkin lebih banyak mengebut melayang nyawa manusia daripada nyawa lalat. Kagumlah Adiwijaya. Benar-benar wanita ini selain sakti juga amat awas sehingga begitu bertemu telah mengenalnya.

"Ni Dewi Nilamanik, selamat berjumpa. Sungguh pertemuan ini amat membahagiakan hati saya karena membuktikan betapa perjalanan saya tidak sia-sia dan harapan saya untuk dapat menghadap Sang Wasi Bagaspati terpenuhi."

"Hemm, tidak begitu mudah, Ki Warutama. Kecuali anggota kami, siapa pun juga yang sudah lancang naik ke sini tidak akan dapat turun lagi. Dan Andika bukanlah anggota kami. Apa kehendakmu?"

"Ahh, Ni Dewi. Tentu Andika mengerti bahwa kalau membawa niat buruk, saya tidak akan begitu lancang berani naik ke sini. Saya sekarang telah menjadi Ki Patih Adiwijaya dari Kerajaan Wilis, dan kedatangan saya ini sebagai utusan Kerajaan Wilis untuk menghadap Sang Wasi Bagaspati."

Ni Dewi Nilamanik memandang tajam, menggerak-gerakkan kedua alisnya. Diam-diam ia merasa kaget dan juga kagum. Benar-benar laki-laki ini amat cerdik. Baru saja terguling dari kedudukannya sebagai Patih Jenggala, kini telah muncul lagi sebagai patih Kerajaan Wilis dan mempunyai nama baru lagi, Ki Patih Adiwijaya! Benar-benar seorang laki-laki yang hebat!

"Ikutlah aku, akan tetapi aku tidak mau kau salahkan kalau nanti rakanda Wasi marah-marah dan membunuhmu!" Tanpa menanti jawaban Ni Dewi Nilamanik mengebutkan kebutannya dan membalikkan tubuh, kemudian melesat ke depan, lari cepat mendaki puncak.

Adiwijaya tersenyum dan mengerahkan aji kesaktianya mengejar. Ia melihat betapa di balik semak-semak dan pohon-pohon kini telah berkumpul puluhan orang wanita cantik yang bersenjata lengkap. Tentu anak buah Ni Dewi Nilamanik yang berdatangan karena jerit melengking kawan mereka tadi. Ah, memang hebat anak buah Kerajaan Cola di bawah pimpinan Sang Wasi Bagaspati ini, pikirnya. Kalau Retna Wilis dapat bersekutu dengan mereka, tentu bukanlah hal yang sukar lagi untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala, bahkan Panjalu sekali pun. Hanya seorang tokoh yang amat dikhawatirkan, yaitu Bagus Seta, putera Ki Patih Tejolaksono yang memiliki kesaktian luar biasa itu sehingga Sang Wasi Bagaspati sendiri kabarnya kalah oleh pemuda itu. Diam-diam ia seringkali membandingkan Bagus Seta dan Retna Wilis dan bergidik. Retna Wilis puteri Ki Patih Tejolaksono! Entah bagaimana jadinya kelak kalau kakak beradik satu ayah lain ibu itu bertemu sebagai lawan!

Jalan mendaki puncak itu melalui tempat-tempat rahasia yang sukar dilalui, dan di dekat puncak menuruni sebuah jurang yang amat curam sehingga kalau orang luar takkan mungkin dapat mengira bahwa jurang seperti ini dijadikan markas sementara bagi Wasi Bagaspati dan anak buahnya.

Kiranya di dekat dasar jurang itu terdapat terowongan dan setelah melalui terowongan, mereka berada di dasar jurang lain yang tidak tampak dari atas, dasar yang rata dan amat luas. Di tempat inilah Sang Wasi Bagaspati tinggal bersama Ni Dewi Nilamanik dan anak buahnya yang berjumlah hampir seratus orang wanita. Di situ telah dibangun pondok-pondok bambu yang sederhana namun cukup besar dan biarpun tempatnya sederhana, karena dikelilingi puluhan orang wanita muda dan cantik, bagi seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu berahi merupakan surga dunia.

Pasukan yang menjaga pondok terbesar juga merupakan perajurit-perajurit wanita yang bersenjata lengkap, memegang tombak dan menyarungkan pedang. Mereka nampak cantik dan gagah, akan tetapi mereka semua memiliki pandang mata yang bersinar penuh kegenitan seperti yang terdapat pada pandang mata Ni Dewi Nilamanik.

Adiwijaya memasuki pondok itu di belakang Ni Dewi Nilamanik dan begitu ia berhadapan dengan Sang Wasi Bagaspati yang duduk bersama seorang kakek lain yang memandangnya penuh perhatian, dia merasa bulu tengkuknya meremang. Selalu ia merasa ngeri kalau bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian merah darah, bertubuh tinggi kurus dan mukanya merah mengingatkan dia akan tokoh Raja Alengkapura, yaitu Maharaja Dasamuka dalam cerita Ramayana.

"Heh, Warutama, manusia yang berhati penuh khianat! Inginkah engkau mendapat kehormatan tewas di tanganku maka engkau berani datang ke sini?" Wasi Bagaspati membentak dan Adiwijaya yang berdiri menunduk penuh hormat itu gemetar kedua kakinya.

ia lalu memberi hormat dan duduk bersila di depan kakek itu. "Duhai Sang Wasi yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Mohon ampun akan kebodohan saya, akan tetapi saya tidak merasa telah melakukan khianat," bantah Adiwijaya, menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar. Ia mengingat akan junjungannya, Retna Wilis, dan seketika rasa gentarnya lenyap. Puteri junjungannya itu tidak akan meninggalkannya, tidak akan membiarkannya diganggu, biar oleh seorang sakti seperti kakek ini sekalipun. Dan dalam hal kesaktian, ia merasa yakin bahwa ratunya itu tidak akan kalah oleh kakek ini. Keyakinan ini menimbulkan ketabahan di hatinya, mengusir rasa takut sehingga ia dapat mempergunakan akal budi dan kecerdikannya.

"Heh, Warutama. Andika telah membunuh Suminten dan Pangeran Kukutan, masih mengatakan Andika tidak berkhianat? Andika melarikan diri meninggalkan sekutu, bukankah hal itu membuktikan hatimu yang khianat?"

Adiwijaya sudah menduga akan datangnya tuduhan itu, maka ia sudah siap dengan jawabannya yang keluar dengan suara tenang,

"Duh Sang Wasi yang mulia. Saya tidak berkhianat ketika membunuh Pangeran Kukutan dan menyerahkan Suminten kepada para perajurit yang melarikan diri. Mereka berdualah yang berkhianat, karena bukankah kegagalan di Jenggala terjadi karena kebodohan dan kelancangan mereka berdua? Setelah gagal karena kecerobohan mereka, kedua orang manusia palsu itu melarikan diri. Saya muak melihat mereka, maka saya membunuh Pangeran Kukutan dan menyerahkan Suminten kepada para perajurit yang melarikan diri. Kalau tidak karena kebodohan mereka, tentu saya masih menjadi patih di Jenggala dan usaha Sang Wasi yang dihimpun dan dipupuk secara susah payah tidak akan sirna begitu saja."

Wasi Bagaspati mengelus rambutnya yang putih dan terurai ke pundak. Matanya tidak beringas lagi dan suaranya ketika bicara menunjukkan bahwa kemarahannya reda mendengar alasan Adiwijaya yang kuat.

"Engkau pandai bicara dan mungkin engkau benar. Kami pun tidak lagi membutuhkan mereka. Akan tetapi kami pun sama sekali tidak membutuhkan engkau, Warutama. Apa kehendakmu datang menghadap aku?"

Adiwijaya tersenyum tenang dan sabar. "Tentu saja Sang Wasi tidak membutuhkan saya, dan kedatangan saya ini pun karena teringat akan budi Sang Wasi dan teringat bahwa kita dahulu pernah bekerja sama. Saya menyesal akan kegagalan kita yang disebabkan oleh kebodohan Pangeran Kukutan dan Suminten. Maka sekarang saya hendak memberi jalan kepada Sang Wasi untuk menebus kekalahan yang lalu, bersama menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu."

Terdengar suara menggereng seperti harimau dan tempat itu menjadi tergetar hebat. Adiwijaya terkejut sekali dan memandang kakek ke dua yang duduk di sebelah kiri Sang Wasi Bagaspati, yang mengeluarkan suara menggereng hebat, mengandung daya kekuatan dan wibawa ampuh itu.

"Hhrrrrrggg ........ Manusia yang begini mudah menggerakkan lidah mana dapat dipercaya? Kakang Wasi, biar kuganyang jantungnya!'

Melihat wajah Adiwijaya berubah pucat, Wasi Bagaspati mengangkat tangan mencegah kakek itu sambil berkata,

"Biarkan dia bicara lebih dulu." Kemudian ia menoleh kepada Adiwijaya, "Warutama, kau bicaralah yang benar, kalau tidak, aku akan membiarkan adikku Wasi Bagaskolo mengganyang jantungmu. Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu tadi? Adikku ini benar kalau mengatakan bahwa engkau terlalu mudah menggoyang Iidah hendak menaklukkan Jenggala dan Panjalu."

Hati yang kaget dan gentar dari Adiwijaya berubah girang ketika mendengar bahwa kakek yang hebat dan jelas memiliki kesaktian tinggi itu adalah adik Wasi Bagaspati. Cepat ia berkata,

"Saya tidak berani membohong atau menipu, Sang Wasi. Sekali ini kita pasti akan berhasil menghancurkan Jenggala. Hendaknya Sang Wasi mengetahui lebih dulu bahwa saya sekarang telah menjadi Ki Patih Adiwijaya dari Kerajaan Wilis."

"Hemmm....!" Sungguhpun Wasi Bagaspati hanya mengeluarkan suara menggeram, akan tetapi seperti juga Ni Dewi Nilamanik, ia menjadi kagum akan kecerdikan laki-laki ini. "Aku sudah mendengar akan Kerajaan Wilis yang baru berdiri dan sudah banyak menaklukkan kadipaten. Lalu bagaimana?"

"Saya sengaja datang menghadap sebagai utusan junjungan saya, Sang Ratu Wilis, untuk mengajak Sang Wasi bersama-sama menyerbu Jenggala dan Panjalu."

"Ha-ha-ha-ha! Andika benar-benar seorang yang amat cerdik, Warutama.... eh, siapa nama barumu tadi? Ki Patih Adiwijaya? Akan tetapi kecerdikanmu tidak cukup besar untuk mudah saja membujuk kami, Ki Patih Adiwijaya! Apa artinya sebuah kerajaan kecil seperti Wilis yang baru saja muncul?"

"Harap Sang Wasi tidak memandang rendah Kerajaan Wilis. Kadipaten Ponorogo dalam waktu singkat dan dengan mudah saja dapat kami taklukkan dan kini Kerajaan Wilis telah mempunyai pasukan yang tidak kurang dari dua laksa orang besarnya, semua merupakan pasukan pilihan. Selain itu, junjungan saya, Sang Ratu Wlilis memiliki aji kesaktian yang amat hebat!"

"Hemm, masih belum meyakinkan akan dapat menghadapi Jenggala," kata Wasi Bagaspati yang termenung kalau teringat akan kesaktian Bagus Seta. Dia sengaja mendatangkan adik seperguruannya, Wasi Bagaskolo, dari Kerajaan Cola untuk membantunya karena dari pihak Biku Janapati tidak ada bantuan. Namun dia masih ragu-ragu apakah kedudukannya cukup kuat untuk menyerbu Jenggala. "Siapa nama ratumu dan berapa usianya?"

Dengan bangga lahir batin Adiwijaya menjawab, "Ratu kami bernama Retna Wilis, masih dara remaja, usianya tidak akan lebih dari delapan belas tahun."

"Weh! Bedes monyet keparat!" Wasi Bagaskolo meloncat dari tempat duduknya dan membanting kaki kanannya di atas tanah. Tubuh Adiwijaya sampai hampir mencelat keatas karena tanah itu tergetar hebat. "Bocah perempuan cilik, perawan berusia delapan belas tahun kau pamerkan di sini? Kau hendak menghina kami, ya?"

Adiwijaya mengangkat kedua tangan, digerak-gerakkan sebagai tanda bahwa dia tidak menghina, di dalam hatinya memaki-maki kakek yang amat galak ini. "Sama sekali tidak, Sang Wasi. Hendaknya diingat bahwa Bagus Seta yang amat sakti mandraguna itu pun masih muda remaja. Dan Gusti Ratu Retna Wilis adalah adik seayah Bagus Seta."

"Apa...?? Benarkah itu....?" Wasi Bagaspati bertanya kaget.

"Benar Sang Wasi. Gusti Ratu Wilis adalah puteri Ki Patih Tejolaksono dan Puteri Endang Patibroto, bahkan beliau adalah murid tunggal Nini Bumigarba....!"

"Ooommmm.... Sang Hyang Bathara Shiwa penguasa jagad raya....!!" Wasi Bagaskolo berseru, mukanya berubah dan kini dia tidak berani lagi memandang rendah perawan remaja itu setelah ia mendengar bahwa Ratu Wilis yang masih muda remaja itu adalah murid Nini Bumigarba. Wasi Bagaspati membelalakkan mata dan hatinya tertarik sekali. "Hemm, jadi diakah? Akan tetapi dia adalah puteri Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bagaimana mungkin bekerja sama dengan kami?"

"Biarpun puteri mereka, namun pendirian orang tua dan puteri tidaklah sama." Adiwijaya lalu menceritakan hal-ihwal Retna Wilis, betapa ratu muda itu telah menentang ibunya sendiri dan bertekad untuk menaklukkan Jenggala dan Panjalu....

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 45