Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 09

Nurseta berjalan santai menuruni bukit. Sudah berhari-hari dia melakukan perjalanan di sepanjang Bukit Seribu, deretan bukit di selatan. Matahari pagi amat cerahnya. Sinarnya yang penuh daya hidup itu menghangatkan kulit. Pagi itu cerah, namun rupanya tidak cukup cerah bagi hati dan pikiran Nurseta yang melangkah seenaknya.

Pemuda ini sedang termenung, mengenang perjalanan hidupnya yang telah lalu. Dia ingat bahwa sejak kecil dia tinggal di Karang Tirta bersama Ayah dan Ibunya. Ayahnya bernama Dharmaguna dan ibunya bernama Endang Sawitrl. Sejak dia berusia sepuluh tahun dia telah ditinggal ayah ibunya yang pergi begitu saja tanpa dia ketahui ke mana.

Dia telah melakukan penyelidikan dan ketika dia dapat bertemu dengan kakeknya, yaitu ayah dari ibunya, Senopati Sindukerta, baru dia ketahui mengapa ayah dan ibunya melarikan diri dan meninggalkannya. Senopati Sindukerta menceritakan segala hal mengenal ayah ibunya. Ibunya, Endang Sawitri, menolak dijodohkan pria lain karena ibunya Itu ketika gadis telah saling mencinta dengan Dharmaguna. Akan tetapi karena Dharmaguna hanya putera seorang pendeta miskin yang bernama Ki Jatimurti, maka Senopati Sindukerta menentangnya.

Sebagai seorang bangsawan tinggi, Senopati Sindukerta tidak setuju puterinya menikah dengan seorang pemuda putera pendeta miskin. Lalu ayah ibunya melarikan diri, dikejar-kejar anak buah Senopati Sindukerta yang menghendaki puterinya kembali. Akan tetapi ayah ibunya dapat meloloskan diri dan kemudian dia dilahirkan dan sejak bayi ikut terbawa lari-lari bersembunyi menjadi buruan Senopati Sindukerta yang kehilangan puterinya dan yang selalu mencari puterinya yang merupakan anak tunggal yang amat dikasihi.

Akhirnya, ayah ibunya menetap di Karang Tirta. Ketika dia berusia sepuluh tahun, ayah ibunya meninggalkannya dan lari karena ada yang melapor kepada Senopati Sindukerta bahwa suami isteri itu berada di Karang Tirta. Dan semenjak mereka jadi pelarian ketika dia berusia sepuluh tabun, sampai sekarang dia berusia hampir dua puluh tiga tahun, selama belasan tahun Itu orang tuanya menghilang dan dia tidak pernah berhasil menemukan mereka.

Dia hanya berhasil bertemu dengan kakek dan neneknya, yaitu Senopati Sindukerta dan isterinya yang menjadi orang tua ibunya. Akan tetapi dia tidak pernah dapat menemukan jejak orang tuanya. Inilah yang mengganjal hatinya. Dia akan selalu merasa penasaran sebelum dapat bertemu dengan orang tuanya. Bahkan ketika dia bertemu Sang Bhagawan Ekadenta dan menerima gemblengan selama tiga bulan, dia pun bertanya kepada kakek sakti mandraguna itu setelah menceritakan tentang orang tuanya. Sang Bhagawan Ekadenta tersenyum dan hanya berkata.

"Segala sesuatu hanya dapat terjadi apabila dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi, Angger. Namun sudah menjadi kewajiban manusia untuk berikhtiar, berusaha sekuat tenaga untuk mencapai apa yang diinginkan."

Hanya itulah nasihat Sang Bhagawan Ekadenta ketika dia menceritakan keinginannya untuk dapat bertemu dengan orang tuanya yang telah meninggalkannya tiga belas tahun yang lalu. Nurseta merasa prihatin sekali. Kalau ayah ibunya masin hidup, di mana tempat tinggal mereka dan mengapa pula mereka itu masih saja menyembunyikan diri setelah hampir dua puluh empat tahun melarikan diri dari Kahuripan? Dan seandainya mereka sudah meninggal pun, dia harus mengetahui di mana kuburnya. Dia harus dapat menemukan orang tuanya. Akan tetapi kemana dia harus mencari mereka? Hatinya mulai merasa penasaran.

Nurseta adalah seorang pemuda gemblengan yang mendapatkan bimbingan mendiang Empu Dewamurti yang bijaksana, kemudian malah mendapat gemblengan pula dari Bhagawan Ekadenta yang sakti mandraguna. Dia telah memiliki batin yang amat kokoh dan dapat menguasai semua nafsu dan perasaannya. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia seorang manusia biasa dan rasanya tidak mungkin bagi seorang manusia untuk dapat sepenuhnya bebas dari perasaan suka duka, puas kecewa, dan sebagainya. Memang lebih kuat dari orang biasa, lebih tenang, namun di lubuk hati Nurseta tetap saja terdapat perasaan silih berganti itu.

Kini Nurseta mempercepat langkahnya. Melihat betapa di situ sunyi, tidak tampak orang lain, dia lalu mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat cepat mendaki bukit lain yang sudah menanti di depannya setelah dia menuruni bukit tadi. Dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya ringan dan dapat berlari cepat seperti terbang sehingga sebentar saja dia tiba di puncak bukit itu.

Setelah tiba di puncak, Nurseta merasa betapa lelah dan lemas tubuhnya. Baru dia teringat bahwa dia semalam melakukan perjalanan tanpa berhenti mengaso sebentar pun. Malam tadi terang bulan dan dia melakukan perjalanan sambil menikmati malam yang indah itu. Sekarang, setelah matahari mulai naik tinggi, dia merasa betapa tubuhnya lelah dan perutnya lapar. Maka, melihat sebatang pohon randu alas di puncak Itu, dia lalu berhenti mengaso dan duduk bersila di bawah pohon yang cukup dapat melindunginya dari sengatan sinar matahari.

Kalau tadi dia tenggelam dalam kenangan masa lalu, kini pikirannya melayang memikirkan kembali pencarian yang sedang dia lakukan terhadap orang tuanya. Hatinya mulai tertekan kepedihan karena dia merasa tidak berdaya. Dia tidak tahu harus mencari ke mana. Tidak ada petunjuk sama sekali ke mana kiranya ayah ibunya berada. Selama ini, sejak berpisah dari Sang Bhagawan Ekadenta yang telah menggemblengnya selama tiga bulan, dia hanya ngawur saja menurutkan hati dan kakinya dalam pencariannya. Mengingat akan keadaan ini, hatinya tertekan dan dalam keadaan prihatin itu, dia lalu duduk bersila dan batinnya mengeluh sedih, memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi.

Entah berapa lama dia duduk tepekur dalam samadhinya itu. Matahari naik semakin tinggi. Hawa mulai panas, namun terdapat angin semilir yang mengurangi hawa panas. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara orang bicara. Suara itu terbawa angin mencapai telinganya, terdengar cukup jelas, suara seorang laki-laki.

"Eyang, mengapa hidup ini penuh penderitaan? Hanya sedikit kesenangan dan lebih banyak kesusahan?"

Jawaban pertanyaan ini agaknya keluar dari mulut seorang yang sudah amat tua, karena gemetar dan agak parau, dalam.

"Angger, putuku bocah bagus! Apakah engkau melihat Eyangmu ini menderita?"

"Saya seringkali merasa heran mengapa Eyang tidak pernah kelihatan susah, ayem-ayem saja biarpun terkadang makan terkadang tidak, hidup miskin dan papa."

Nurseta merasa tertarik sekali dan tak lama kemudian dia sudah duduk bersembunyi di balik batu besar, tak jauh dari dua orang yang suaranya terbawa angin dan terdengar olehnya tadi. Mereka adalah seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan seorang kakek tua renta yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi tentu sudah lebih dari delapan puluh tahun Mereka itu duduk di atas bangku bambu reyot di depan sebuah gubuk reyot pula yang berdiri di lereng bukit itu. Melihat keadaan pakaian dan sikap mereka yang lugu, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dusun yang hidupnya sederhana.

Nurseta semakin tertarik. Orang-orang dari dusun biasanya kalau bicara ceplas-ceplos terbuka, apa yang keluar dari mulut langsung keluar dari hati mereka, tidak munafik seperti orang kota terutama para bangsawan yang berusaha mati-matian untuk menyembunyikan keburukan mereka dan menonjolkan kebaikan. Selalu mementingkan kulit daripada Isi, sehingga orang-orang itu seolah-olah memakai topeng yang elok untuk menyembunyikan semua keburukan dan cacat mereka. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian.!

"Heh-heh!" Kakek itu terkekeh dan tampak mulutnya yang sudah ompong, tak bergigi lagu "Kita hidup berdua di sini. Engkau dan aku berkeadaan sama, tidak ada yang lebih baik dan enak, tidak ada yang lebih buruk dan tidak enak. Akan tetapi engkau merasa dirimu banyak menderita, sedangkan aku tidak. Jelas bahwa bukan keadaan yang membuat seseorang menderita, melainkan cara dia menerima dan menghadapi keadaan itu. Aku ikhlas menerima kenyataan ini, maka aku tidak merasa menderita. Engkau sebaliknya menerima kenyataan hidup ini sebagai penderitaan, maka tentu saja engkau merasa menderita!"

"Akan tetapi, Eyang. Saya melihat bahwa semua orang miskin hidupnya susah dan semua orang kaya hidupnya senang! Bukankah kenyataannya begitu?"

"Itu pun hanya merupakan persangkaan saja, Angger. Kita saling memandang dan saling menilai tanpa mengetahui keadaan masing-masing yang sebenarnya. Aku sudah lama hidup, Cucuku, sudah mengenal banyak orang dan mengalami banyak kenyataan hidup. Aku sudah melihat banyak orang kaya yang hidupnya dipenuhi penderitaan seperti yang engkau rasakan. Mereka selalu khawatir kalau hartanya habis, mereka bosan dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Hidup mereka tidak tenang, merasa terancam karena mereka kaya. Biarpun harta mereka bertumpuk, dapatkah mereka senang kalau tubuh mereka sakit? Atau isteri, atau anak atau keluarga mereka ada yang sakit berat? Aku melihat banyak orang yang menderita batinnya karena harta mereka menjadi rebutan anak-anak mereka. Jadi jelasnya, bukan kaya dan bukan miskin yang membuat orang menderita susah atau senang, melainkan bagaimana dia menerima kenyataan dirinya."

"Akan tetapi, Eyang. Kalau orang karena miskinnya hanya makan singkong setiap hari, itu pun tidak kenyang, apakah itu bukan susah namanya?"

"Diterima dengan susah, tentu saja susah. Akan tetapi kalau diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat diubah lagi, mungkin dapat mendatangkan rasa bersyukur karena masih ada yang dapat dimakan. Menerima suatu keadaan dengan perbandingan yang menimbulkan penilaian sehingga mendatangkan rasa susah adalah suatu kebodohan. Kesusahan tidak akan dapat mengubah keadaan. Kewajiban kita manusia hidup hanya untuk berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki keadaan."

"Eyang, kalau orang hidup kaya raya, setiap hari makan sekenyangnya dengan makanan yang mewah, pakaiannya indah-indah bertumpuk, rumahnya gedung besar dan indah. Apakah itu namanya bukan hidup serba enak, menyenangkan dan bahagia?"

"Memang, alangkah baiknya hidup dalam keadaan serba kecukupan. Akan tetapi, aku masih sangsi apakah mereka yang memiliki segalanya itu pun menikmati segalanya itu, apakah benar semua kemewahan itu mendatangkan kesenangan. Sudah lama aku hidup, mengalami banyak keadaan, pernah serba lebih dan pernah pula serba kurang. Akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa yang dapat menikmati sesuatu adalah orang yang tidak memiliki sesuatu itu, Cucuku. Sebaliknya yang telah memiliki sesuatu itu, sudah tidak lagi dapat menikmatinya, bahkan menjadi bosan."

"Ah, aku tidak percaya, Eyang! Bagaimana mungkin orang tidak dapat menikmati segala kemewahan yang serba enak dan serba nikmat itu dan menjadi bosan!"

"Aku tidak berbohong, Cucuku. Begini contohnya. Siapa yang berkata bahwa makan daging ayam itu lezat? Tentu yang berkata itu mereka yang tidak pernah atau jarang sekali makan daging ayam. Akan tetapi kalau engkau bertanya kepada orang yang setiap hari makan nasi dengan daging ayam, dia akan berkata bahwa dia tidak merasakan lezatnya daging ayam, bahkan telah bosan dan dia mungkin saja ingin makan nasi dengan sayur asem dan tempe! Demikian pula, dengan segala macam kelebihan atau kemewahan yang lain. Yang dapat membayangkan nikmat dan senangnya hanya mereka yang belum memilikinya. Akan tetapi yang telah memilikinya, hanya menikmati untuk sementara waktu saja, kemudian menjadi bosan dan tidak dapat merasakan kenikmatannya lagi. Merasa kurang merupakan penyakit yang sukar disembuhkan. Sekali merasa kurang, walaupun kemudian keadaannya sudah berlebihan dan berlimpah, tetap saja dia akan merasa kurang dan tidak mengenal kepuasan. Sebaliknya, orang yang merasa cukup, bagaimanapun keadaannya akan merasa cukup dan dapat menikmati apa adanya dengan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Yang Maha Kasih."

"Wah, Eyang! Kalau begitu, apakah kita harus menerima saja keadaan miskin seperti sekarang ini? Kalau begitu, sejak lahir sampai mati nanti keadaanku tetap tidak akan berubah, tetap miskin kekurangan sandang pangan papan dan hidup sengsara!" orang muda itu memprotes. Kakek itu tertawa memperlihatkan gusi yang tak bergigi lagi.

"Ha-ha-ha-ha, bukan begitu, Cucuku! Jangan mencampuradukkan antara kebutuhan jiwa dan raga. Kita ini terdiri dari jiwa dan raga. Raga membutuhkan dicukupinya keperluannya sehingga dapat menjadi senang. Jiwa membutuhkan ketenteraman agar menjadi bahagia. Untuk mencukupi kebutuhan raga, kita harus berupaya sekuatnya, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan papan bagi raga kita. Adapun jiwa kita haruslah selalu berdekatan dengan Sang Hyang Widhi, dengan penyerahan, dengan ikhlas menerima apa saja yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi kepada kita, menerima apa adanya sebagai hasil usaha kita dengan puji sukur kepada-Nya. Berserah diri berarti dekat dengan Sang Hyang Widhi dan inilah satu-satunya kenyataan yang dapat mendatangkan ketenteraman dan membuahkan kebahagiaan. Jadi, kita berusaha ya lahir ya batin. Tanpa membanding-bandingkan keadaan dengan siapa pun, tanpa menilai keadaan yang bagaimanapun, selalu bersyukur akan apa yang kita dapatkan, selalu merasa KECUKUPAN. Rasa cukup Ini bukan terletak pada banyaknya harta benda, melainkan terletak dalam hati yang sudah berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Orang seperti inilah yang dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak pernah merasa kekurangan dan selalu memuji syukur kepada Sang Hyang Widhi, maka dia akan merasakan kebahagiaan karena jiwanya tenteram."

"Walah, sulit sekali itu, Eyang! Bagaimana kalau kita sudah bekerja mati-matian, hasilnya tetap saja sedikit sekali dan tidak mencukupi kebutuhan hidup?"

"Hemm, kalau engkau sudah merasa sulit sebelum engkau mulai melakukan, berarti engkau telah gagal sama sekail! Kalau usahamu tidak berhasil, pasti ada yang salah dalam usahamu itu! Jangan hanya mengeluh kepada Hyang Widhi, dan jangan menyalahkan setan! Sudah pasti ada yang salah dalam usahamu itu, carilah kesalahan sendiri itu dan perbaiki. Jangan pula mengendurkan penyerahan dirimu kepada kekuasaanNya, agar semua langkahmu diberi bimbingan olehNya. Dua hal ini, yaitu berusaha sekuat tenaga, dan berserah diri agar mendapatkan bimbingan Sang Hyang Widhi, tidak boleh dipisahkan, kalau engkau ingin mendapatkan hasil baik lahir dan batinmu."

"Bagaimana itu maksudnya, Eyang?"

"Begini, Angger. Kalau engkau berusaha sekuat tenaga mencari uang untuk kebutuhan hidupmu tanpa bimbingan Sang Hyang Widhi, tanpa penyerahan kepada-Nya, maka besar kemungkinan nafsu daya rendah yang akan membimbingmu dan nafsu setan Itu akan menyeretmu melakukan usaha secara sesat. Bimbingan setan dalam usaha mencari uang itu menyeret orang melakukan kejahatan menipu, mencuri, merampok dan sebagai-nya untuk mendapatkan uang sebanyaknya! Sebaliknya kalau engkau hanya berserah diri kepada Sang Hyang Widhi tanpa berusaha sekuat tenaga, juga tidak akan berhasil. Berkah Sang Hyang Wldhi kepada kita sudah berlimpah, namun semua berkah itu harus dipadukan dengan usaha kita yang tekun dan rajin."

"Misalnya bagaimana, Eyang?"

"Lihat, Sang Hyang Wldhi telah melimpahkan berkahnya kepada kita di antara yang teramat banyak itu adalah sinar matahari, hawa Udara, air, tanah, bibit padi dan sebagalnya. Kesemuanya Itu tidak dapat kita bikin. Semua Itu sudah tersedia untuk kita, namun semua berkah Itu tidak akan ada gunanya kalau tidak dipadukan dengan pengolahan usaha tenaga kita. Kita yang harus mencangkul tanah, mengairi, menanam dan merawat. .Baru menghasilkan bahan makanan. Jelas bahwa berkah yang berlimpah dari Sang Hyang Widhi harus dipadukan dengan usaha manusia. Keduanya merupakan dwi-tunggal yang tidak boleh dipisahkan."

"Terima kasih, Eyang. Biarpun semua keterangan Eyang tadi sungguh amat sukar dimengerti dan lebih sukar pula dilakukan, aku akan mencoba untuk menghayati. Sekarang ada satu lagi pertanyaan, harap Eyang suka menjelaskan."

"Apa itu, Angger?"

"Sebetulnya, apa sih tujuan hidup ini?"

Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. Nurseta yang sejak tadi mendengarkan, semakin tertarik. Semua yang dikatakan kakek itu bukan hal asing baginya karena dia dengar dari mendiang Empu Dewamurti gurunya yang pertama. Hanya kakek ini bicara dengan bahasa yang amat sederhana seperti yang biasa dipergunakan penduduk dusun di pegunungan. Kini dia ingin sekali mendengar apa jawaban kakek dusun itu tentang tujuan hidup seperti yang ditanyakan tadi.

Setelah terkekeh-kekeh, kakek itu berkata. "Aeh, Cucuku, pertanyaanmu ini lucu dan aneh. Seluruh yang ada dan yang hidup di dunia ini, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, kita semua ini hidup dan ada di dunia bukan atas kehendak kita sendiri! Kita ini ada karena ada yang mengadakan, kita hidup karena ada yang menghidupkan. Karena sejak semula hidup kita ini bukan atas kemauan kita, melainkan ada yang menghidupkan, maka tentu saja yang mempunyai rencana dan tujuan adalah DIA YANG MENGHIDUPKAN itu! Kalau kita mempunyai tujuan atau cita-cita, maka sudah pasti tujuan kita itu muncul dari keinginan badan kita yang selalu haus akan kesenangan dan kenikmatan. Dan tujuan kita itu pasti bukan tujuan SANG MAHA PENCIPTA itu!"

"Lalu apa tujuan Sang Hyang Widhi dengan menciptakan kita hidup di dunia ini, Eyang?"

"Wah, kita manusia mana mungkin mengetahui apa yang menjadi rencana Sang Hyang Wldhi? Terlalu Jauh, terlalu tinggi terlalu dalam. Akan tetapi kita dapat melihat di sekeliling kita. Semua mahluk, yang hidup maupun yang mati, semua itu berguna bagi pihak lain. Bahkan rambut saja berguna menghidupi hewan-hewan yang memakannya. Sampah pun dapat menyuburkan tanah. Semua itu ada gunanya, semua itu mempunyai sifat untuk mamayu hayunlng bawono (mengusahakan kesejahteraan hidup di dunia). Nah, sekarang kita sendiri sebagai salah satu mahluk hidup. Apakah kita ini berguna bagi orang lain? Apakah hidup kita ini sudah ikut MAMAYU HAYUNING BAWONO? Kurasa itulah kewajiban hidup kita, bukan tujuan hidup, melainkan kewajiban, yaitu MAMAYU HAYUNING BAWONO, berguna bagi orang lain dan bagi lingkungan, melakukan segala kebaikan untuk ikut menyejahterakan kehidupan di muka bumi Ini."

Percakapan itu terhenti dan Nurseta lalu meninggalkan tempat persembunyiannya, pergi dari situ dan merasa pikirannya melayang-layang seperti seekor burung garuda di angkasa. Semua pembicaraan tadi masih terngiang di telinganya, indah dan merdu seperti suara gamelan dari Lokananta (sorga tanpa akhir). Entah bagaimana, percakapan dua orang dusun sederhana tadi menghilangkan semua kesedihan hatinya yang tadi timbul karena dia memikirkan usahanya mencari orang tuanya yang belum juga dapat dia temukan jejaknya.

Tiba-tiba, pikirannya yang kosong, terisi bayangan kampung halamannya, yaitu Dusun Karang Tirta dimana dahulu ayah ibunya meninggalkannya ketika dia berusia sepuluh tahun. Dia pun menujukan langkahnya ke arah Karang Tirta!

Nurseta berdiri termenung di depan rumah tua itu. Semua kenangan masa lalu, ketika dia masih kecil, terbayang dalam ingatannya. Rumah itu masih seperti dulu, walaupun ada perbaikan di sana-sini karena lapuk, diganti anyaman bamboo baru, namun bentuknya masih sama dengan belasan tahun yang lalu. Rumah bekas milik orang tuanya itu dahulu diambil oleh Ki Lurah Suramenggala, katanya untuk membiayai kebutuhan hidup Nurseta selama mondok di rumah Ki Lurah Suramenggala selama enam tahun. Dia bertanya-tanya dalam hatinya apakah rumah itu kini masih dikuasai Ki Suramenggala?

Tiba-tiba pintu depan rumah itu terbuka dan Nurseta cepat menyelinap di balik batang pohon johar yang tumbuh di tepi jalan, di luar rumah itu. Dari dalam rumah itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh satu tahun. Dia mengenal baik orang itu dan tanpa ragu dia muncul dari balik batang pohon johar dan berjalan cepat memasuki halaman rumah yang tak berapa luas itu.

"Paman Tejomoyo!" tegurnya.

Orang tua itu mengangkat muka dan memandang pemuda yang kini telah berdiri di depannya.

"Ohh,.... Anakmas Nurseta....!" Dia berseru sambil tersenyum gembira ketika mengenal pemuda itu.

Dengan kagum dia mengamati pemuda yang sudah amat dikenalnya Itu. Dia mengenal Nurseta sejak dia masih kanak-kanak, mengenal orang tua Nurseta, bahkan menjadi tetangga mereka. Kemudian dia mengikuti perkembangan Nurseta ketika tumbuh dewasa, sejak berusia sepuluh tahun ditinggal orang tua dan hidup sebatang kara, menjadi bujang di rumah Ki Lurah Sura-menggala.

Kemudian dia mendengar tentang Nurseta yang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, bahkan telah berjasa besar terhadap Kahuripan. Dia mengamati pemuda Itu. Tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya agak gelap namun bersih dan halus. Wajahnya tidak terlalu tampan namun juga tidak jelek. Sepasang mata yang tajam lembut dan senyumnya yang ramah penuh pengertian itu membuat wajah pemuda itu menarik dan menimbulkan rasa suka di hati yang memandangnya.

"Paman Tejomoyo, siapakah penghuni rumah Ini sekarang?"

"Aku sendiri yang diserahi menjaga rumah ini, Nurseta. Mari, masuklah, kita bicara di dalam"

Dengan ramah Ki Tejomoyo mempersilakan pemuda Itu masuk. Setelah memasuki ruangan depan, Nurseta melihat betapa prabot dalam ruangan Itu telah bertambah. Tentu Ki Lurah Suramenggala yang menambahnya. Akan tetapi sebuah meja jati yang tebal, dengan dua buah kursi yang dulu menjadi tempat duduk Ayah Ibunya, masih berdiri di pojok ruangan itu. Dia lalu menghampiri dan duduk di atas sebuah dari dua kursi Itu, yaitu di kursi yang kiri, yang dahulu biasa diduduki ibunya. Hatinya terharu. Serasa masih hangat kursi itu bekas diduduki Ibunya! Ki Tejomoyo lalu duduk di kursi kedua, berhadapan dengan Nurseta, terhalang meja jati yang tebal.

"Paman, bagaimana Paman kini dapat tinggal di sini? Apa saja yang telah terjadi di Karang Tirta ini?" tanya Nurseta.

"Wah, banyak sekali yang telah terjadi, Anakmasl Sejak engkau datang ke sini dan menghajar Ki Lurah Suramenggala Itu, telah terjadi banyak hal yang mendatangkan perubahan besar di Karang Tirta."

"Ceritakanlah, Paman. Aku ingin sekali mendengarnya."

"Engkau tentu telah mengetahui bahwa Nyi Lasmi, ibu Puspa Dewi, telah menjadi selir Ki Suramenggala. Puspa Dewi telah pulang ke sini dan dia telah menjadi seorang gadis yang digdaya. Juga putera Ki Suramenggala yang bernama Linggajaya itu telah pulang dan dia pun menjadi seorang pemuda yang sakti. Akan tetapi dua orang muda yang sakti itu tidak lama berada di sini. Mereka pergi lagi dan sampai lama sekali tidak terdengar beritanya tentang mereka. Kemudian, semenjak puteranya pulang dan menjadi seorang pemuda digdaya, Ki Lurah Suramenggala menjadi semakin galak, kejam dan merajalela di dusun ini. Lalu pada suatu hari datang Gusti Patih Narotama."

"Gusti Patih Narotama? Datang ke Karang Tirta?"

"Benar, Anakmas. Dan terjadilah perubahan hebat yang membuat semua penghuni Karang Tirta bergembira. Karena sikap dan ulahnya yang jahat, Gusti Patih Narotama marah dan mencopot Ki Suramenggala dari kedudukannya sebagai lurah. Bahkan Ki Suramenggala yang sudah mati kutu dan takut kepada Gusti Patih Narotama, diusir keluar dari Karang Tirta oleh penduduk. Dia pergi meninggalkan dusun ini bersama keluarganya. Hanya Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan tetap tinggal di sini. Sebagai penggantinya, oleh Gusti Patih Narotama diangkat lurah baru, yaitu Ki Lurah Pujosaputro yang kemudian bersama keluarganya tinggal di rumah kelurahan, menggantikan Ki Suramenggala. Keluarga ini juga menampung Nyi Lasmi yang tinggal mondok di sana."

"Wah, perubahan yang baik sekali itu, Paman! Gusti Patih Narotama telah melakukan kebijaksanaan yang menggembirakan sekali!"

"Memang sesungguhnya begitu, Nurseta. Kami semua hidup tenteram. Semua kekayaan Ki Suramenggala disita dan tanah-tanah yang dulu dirampasnya dari penduduk, dikembalikan kepada pemiliknya dahulu. Rumah orang tuamu ini juga disita dan aku ditugaskan untuk menjaganya sampai engkau datang untuk diserahkan kembali kepadamu."

"Hemm, terima kasih, Paman. Untuk sementara biarlah Paman yang menempati rumah ini. Sekarang aku hendak menghadap Ki Lurah Pujosaputro yang kukenal dengan baik."

"Ah, Anakmas. Telah terjadi malapetaka besar menimpa keluarga Ki Lurah Pujosaputro"

"Eh, apa yang terjadi?"

"Sebaiknya kulanjutkan ceritaku tadi. Setelah Ki Lurah Pujosaputro memimpin dusun ini, kehidupan rakyatnya menjadi tenteram dan sejahtera. Akan tetapi pada suatu hari muncul Linggawijaya Dia mengamuk dan hendak membunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, akan tetapi muncul Puspa Dewi yang menandinginya. Penduduk juga menyerbu hendak mengeroyok Linggajaya sehingga dia melarikan diri."

"Baik sekali kalau begltul" kata Nurseta, ikut merasa lega.

"Akan tetapi lalu terjadilah malapetaka itu. Puspa Dewi pergi ke kota raja, untuk mencari Ayah kandungnya dan muncullah orang-orang jahat suruhan Ki Suramenggala. Mereka itu ganas dan jahat sekali. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya berikut para pelayan di rumah kelurahan itu mereka bunuh, hanya seorang pelayan saja yang lolos dari maut, sedangkan Nyi Lasmi dilarikan!"

"Ahh....! Gerombolan itu suruhan Ki Suramenggala?"

"Benar, Anakmas. Agaknya Ki Suramenggala membalas dendam, menyuruh bunuh lurah baru sekeluarganya dan menculik Nyi Lasmi. Kebetulan pada waktu Itu, Puspa Dewi bersama rombongan Ayah kandungnya beserta Ibu tirinya sekeluarga datang ke Karang Tirta."

"Ayah kandung Puspa Dewi?"

"Benar. Ayahnya adalah Senopati Yudajaya yang datang bersama istrinya yang ke dua dan puterinya, juga Ayah dan Ibu mertuanya. Ayah mertua Senopati Yudajaya itu adalah Tumenggung Jayatanu. Mendengar malapetaka yang menimpa keluarga Lurah Pujosaputro dan tercullknya Nyi Lasmi, Puspa Dewi melakukan pengejaran. Kemudian Adik tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni juga melakukan pengejaran, disusul pula oleh Senopati Yudajaya yang membawa selosin perajurlt pengawal."

"Bagaimana hasilnya? Apakah mereka dapat menyelamatkan Nyi Lasmi?"

"Nyi Lasmi berhasil ditemukan dan diselamatkan. Ia pulang kesini bersama suaminya, yaitu Senopati Yudajaya dan menurut berita yang aku dengar, ternyata Nyi Lasmi diselamatkan oleh Gusti Patih Narotama sendiri. Kemudian, rombongan keluarga Senopati Yudajaya itu, termasuk pula Nyi Lasmi, meninggalkan Karang Tirta dan kembali ke Kahuripan."

"Sukurlah kalau begitu, keluarga Puspa Dewi dapat bersatu kembali dalam keadaan selamat."

"Tapi masih ada sebuah hal yang membuat keluarga itu khawatir, Anak mas Nurseta, yaitu Puteri Senopati Yudajaya yang merupakan Adik tiri Puspa Dewi itu."

"Yang bernama Niken Harni?"

"Ya, mendengar Adik tirinya mengejar gerombolan yang menculik Nyi Lasmi dan belum tampak kembali, Puspa Dewi lalu pergi mencarinya sedangkan semua keluarga bangsawan itu kembali ke Kahuripan."

"Hemm, dan sekarang, siapa pengganti lurah yang tewas itu?"

"Urusan ini akan dilaporkan Tumenggung Jayatanu ke Kahuripan, dan untuk sementara beliau menyarankan agar penduduk mengadakan pilihan sendiri dan mengangkat seorang lurah baru. Kami telah memilih Anakmas Prawiro, keponakan mendiang Ki Pujosaputro yang tadinya membantu pamannya sebagal carik, untuk menjadi lurah sementara sebelum ada keputusan dari Kahuripan."

"Terima kasih atas semua keterangan-mu itu, Paman. Sekarang, aku hendak menyampaikan keperluanku sendiri. Aku datang berkunjung kepadamu untuk minta tolong, Paman. Dulu Paman pernah menceritakan kepadaku tentang orang tuaku dan dari keterangan Paman itu aku sudah berhasil bertemu dengan Kakekku, yaitu Ayah dari Ibuku. Beliau adalah Eyang Senopati Sidukerta di Kahuripan. Akan tetapi Eyang juga sedang mencari-cari Ayah Ibuku itu dan sampai sekarang aku belum berhasil menemukan mereka...."

"Wah. sejak tadi aku sudah ingin menyampaikan hal ini. akan tetapi didahului bicara tentang malapetaka yang terjadi di Karang Tirta sehingga aku hampir lupa menceritakan padamu. Anakmas Nurseta. Kurang lebih sebulan yang lalu sebelum terjadi malapetaka itu, pada suatu senja aku kedatangan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia mengaku bernama Pakem dan datang dari Dusun Singojajar yang berada di kaki Gunung Semeru. Dusun ini termasuk daerah Kadipaten Wura-wuri. Si Pakem ini dating untuk bertanya tentang dirimu, Anakmas Nurseta. Dan dia ternyata diutus oleh Dharmaguna, Ayahmu...."

"Wah, Paman Tejomoyo! Mengapa tidak Andika ceritakan dari tadi?" Nurseta berseru sambil memegang pergelangan tangan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengaduh.

"Aduh, sakit....!"

"Ah, maafkan aku, Paman!" kata Nurseta sambil melepaskan pegangannya. "Saking kaget mendengar kejutan ini aku terlalu kuat memegang lenganmu. Lanjutkan ceritamu, Paman!"

"Tentu saja aku juga girang mendengar bahwa Si Pakem itu utusan Dharmaguna. Aku lalu menceritakan tentang dirimu, semua yang sudah kuketahui dan kudengar tentang dirimu. Aku juga mendengar dari Pakem itu, yang ternyata adalah seorang pembantu setia Ki Dharmaguna yang hidup sebagal petani, bahwa orang tuamu berada dalam keadaan sehat dan selamat."

"Aduh.... terima kasih kepada Sang Hyang Widhi...., ah Paman Tejomoyo, Andika tidak tahu betapa membahagiakan hati mendengar ceritamu ini!"

"Aku tahu, Anakmas! Aku sendiri pun gembira sekali mendengar pengakuan Pakem itu. Akan tetapi agaknya orang tuamu itu masih merasa khawatir dan Pakem itu tidak berani bercerita banyak. Ketika aku bertanya tentang Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, dia mengatakan tidak tahu banyak tentang mereka, hanya mengatakan bahwa Ki Dharmaguna adalah seorang petani yang tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Bahkan dia lalu tergesa-gesa pergi setelah mendengar keterangan tentang dirimu, tidak mau menginap di sini walaupun kubujuk-bujuk."

"Wah, keterangan itu sudah lebih dari, cukup, Paman! Sekarang aku pamit, Paman!"

"Eh? Mengapa tergesa-gesa, Anakmas? Tinggalkan di sini, setidaknya menginaplah di sini. Ini sekarang telah dikembalikan kepadamu. Rumah ini milikmu."

"Lain kali saja, Paman. Terima kasih, aku harus pergi mencari orang tuaku di Singojajar sekarang juga!"

"Akan tetapi, tempat itu termasuk daerah Wura-wuri, Anakmas! Berbahaya sekali!"

Nurseta tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.

"Ayah Ibuku berada di sana juga tidak apa-apa, Paman Tejomoyo. Sekali lagi, aku sungguh merasa amat berterima kasih kepadamu. Paman telah memberi kabar yang teramat penting bagiku dan amat membahagiakan hatiku. Nah, aku pergi, Paman!"

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Nurseta sudah lenyap dari depan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengejar ke depan, akan tetapi sudah tidak melihat lagi bayangan Nurseta. Dia hanya berdiri terlongong dan kagum.

Nurseta memasuki wilayah Kerajaan Wura-wuri setelah melakukan perjalanan cepat dari Karang Tirta. Dia ingin sekali segera tiba di kaki Gunung Semeru, mencari ayah ibunya yang kabarnya tinggal di dusun Singojajar. Dia sudah membayangkan betapa akan bahagianya bertemu dengan ayah dan ibunya. Dia masih dapat membayangkan wajah ayah dan ibunya. Walaupun dua belas tahun lebih telah lewat sejak mereka meninggalkan dia, dia pasti akan mengenal mereka. Mungkin mereka akan tampak lebih tua, akan tetapi dia masih Ingat benar. Ayahnya, Dharmaguna, adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan, berkulit bersih walau agak hitam, dan gerak-gerik serta tutur sapanya lembut halus.

Ibunya, Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik berkulit putih, seingatnya bertubuh ramping padat dan ibunya dahulu pandai menunggang kuda dan pandai pula menggunakan anak panah dan memiliki kegagahan. Ibunya pernah menceritakan betapa di waktu muda ibunya juga pernah mempelajari aji kanuragan. Tentu saja kini dia mengerti. Sebagai puteri seorang senopati, tentu saja ibunya juga sedikit banyak memiliki kegagahan.

Nurseta juga maklum akan bahayanya memasuki wilayah Wura-wuri. Wura-wuri adalah musuh bebuyutan Kahuripan dan beberapa tahun yang lalu pernah mencoba menyerang Kahuripan bersama para sekutunya. Namun penyerangan itu gagal: Karena dia sendiri terlibat dalam pertempuran itu, maka dia tentu dikenal oleh para tokoh Kerajaan atau Kadipaten Wurawuri. Kalau hal lni terjadi, tentu dia akan mengalami kesulitan untuk dapat bertemu dengan ayah ibunya, bahkan bukan itu saja bahayanya, melainkan lebih buruk lagi orang tuanya dapat terseret dan diganggu orang-orang Wura-wuri.

Dengan hati-hati Nurseta melakukan perjalanan menuju Gunung Semeru yang merupakan perbatasan antara Kadipaten Wurawuri dan Kerajaan Kahuripan. Dia memasuki daerah Wurawuri dari selatan maka perjalanan menuju Gunung Semeru masih cukup jauh. Dia selalu waspada. Kalau hanya bertemu penduduk biasa, dia tidak khawatir dikenal orang. Akan tetapi kalau bertemu dengan pasukan atau orang-orang berpakaian bangsawan atau perwira, dia selalu menyelinap agar tidak terlihat.

Pada suatu hari Nurseta keluar dari sebuah dusun dan berjalan di atas jalan umum di samping hutan. Dia merasa kagum juga melihat keadaan Kadipaten Wura-wuri. Keadaan rakyatnya tidaklah sengsara benar, dan orang-orang Wurawuri tampak tampan dan cantik. Dia memang pernah mendengar bahwa penduduk Wura-wuri memiliki wajah yang elok, sebaliknya orang-orang Wengker sebagian besar buruk rupa.

Selagi dia berjalan dengan santai dan waspada, tiba-tiba dia mendengar langkah kaki banyak kuda dari arah belakangnya. Cepat Nurseta menyelinap di balik pohon-pohon besar di tepi jalan dan mengintai untuk melihat siapa mereka yang berkuda itu. Tak iama kemudian dia melihat banyak orang berkuda menjalankan kuda mereka dengan santai. Agaknya mereka sengaja menjalankan kuda mereka perlahan-lahan karena kuda-kuda itu telah mandi keringat, agaknya telah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan sekarang dijalankan perlahan untuk memberi kesempatan istirahat kepada kuda-kuda itu.

Ketika rombongan tiba dekat, Nurseta terkejut. Yang menunggang kuda di depan adalah seorang wanita dan seorang pria. Wanitanya berpakaian gemerlapan mewah sekali, usianya sekitar dua puluh delapan tahun, tubuhnya ramping padat, wajahnya cantik jelita akan tetapi mata dan mulutnya membayangkan kegenitan, kulitnya agak hitam manis. Dia tidak mengenal wanita itu. Akan tetapi tentu saja dia mengenal laki-laki yang menunggang kuda di dekat wanita itu.

Resi Bajrasakti, dia tak salah lagi. Biarpun sudah sekitar enam tahun dia tidak melihat kakek tinggi besar dan mukanya penuh brewok, kulitnya hitam dan wajahnya kasar dan bengis itu, dia tidak dapat melupakannya. Resi Bajrasakti ini yang dulu bersama Nyi Dewi Durgakumala hendak merampas keris pusaka Megatantra dan mereka berdua dikalahkan gurunya, mendiang Empu Dewamurti.

Begitu mengenal Resi Bajrasakti, Nurseta teringat akan pesan Sang Bhagawan Ekadenta, agar dia berhati-hati terhadap Wengker karena permaisuri Wengker yang bernama Dewi Mayangsari diambil murid Nini Bumigarbo. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker, maka wanita cantik yang pakaiannya amat mewah ini mungkin sekali Dewi Mayangsari permaisuri Wengker yang diambil murid Nini Bumigarbo itu!

Di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, sebanyak dua losin orang perajurit. Tidak salah lagi, mereka itu tentu para perajurit Wengker yang mengawal permaisuri Wengker dan Resi Bajrasaktl itu. Akan tetapi mengapa orang-orang penting Kadipaten Wengker memasuki daerah Wura-wuri? Tidak aneh, pikirnya.

Memang dua kadipaten besar itu bersama kadipaten-kadipaten kecil seperti Kerajaan Parang Siluman dan Kerajaan Siluman Laut Kidul mempunyai hubungan dan mereka pernah bekerja sama untuk memusuhi Kerajaan Kahuripan.

Dia tetap bersembunyi sampai rombongan itu lewat. Dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti hendak berkunjung kepada Raja Wura-wuri, entah dengan maksud apa. Diam-diam dia memikirkan apa yang terjadi dengan adik perempuan tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni yang melakukan pengejaran terhadap mereka yang menculik Nyi Lasmi.

Mungkin sekali Niken Harni mengejar ke daerah Wengker karena bukankah para penculik itu orang-orang dari Wengker? Dan tentu saja Puspa Dewi yang mencari adiknya itu pun besar kemungkinan pergi ke Wengker. Apakah kepergian para tokoh Wengker ke Wura-wuri ini ada hubungannya dengan Puspa Dewi dan Niken Harni?

Nurseta melanjutkan perjalanan menuju Gunung. Semeru. Karena yang dia datangi merupakan daerah yang asing baginya, maka perjalanannya tidak dapat cepat. Dia harus bertanya-tanya dalam perjalanan dan untuk bertanya pun dia harus memandang orangnya, karena kalau bertanya kepada orang yang keliru, dapat menimbulkan kecurigaan yang hanya akan mengganggu pencariannya.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu Nurseta yang sedang melakukan perjalanan mencari orang tuanya dan kita tengok keadaan di dusun Singojajar yang berada di kaki Pegunungan Semeru. Singojajar merupakan sebuah dusun yang tanahnya subur sekali sehingga kehidupan penduduk dusun sebagai petani cukup sejahtera, walaupun sederhana namun bagi mereka cukup adil dan makmur. Adil karena di antara mereka tidak ada yang kekurangan dan setiap kali ada yang didesak kebutuhan mendadak, mereka yang kelebihan selalu siap mengulurkan tangan membantu. Dan makmur bagi orang-orang bersahaja itu karena mereka telah dicukupi tiga kebutuhan pokok mereka, yaitu sandang, pangan dan papan.

Di ujung dusun itu terdapat sebuah rumah yang sedang namun terawat baik dan tampak mungil dan kokoh, mempunyai halaman depan yang ditanami bunga-bunga dan pohon-pohon buah. Di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukupi luas. Ini adalah rumah tempat tinggal Ki Dharmaguna bersama isterinya, Endang Sawitri. Ki Dharmaguna adalah seorang pria tampan yang lemah lembut, sikapnya sederhana, ramah dan sabar.

Usianya sekitar empat puluh lima tahun, namun rambutnya sudah bercampur uban karena selama setengah dari usianya dia mengalami banyak penderitaan batin. Isterinya Nyi Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik dan lembut pula, anggun dan gerak-geriknya gesit. Wanita ini berusia sekitar empat puluh tahun. Ia pun mengalami banyak penderitaan batin seperti suaminya sehingga walaupun ia tergolong cantik, namun sinar matanya sayu.

Riwayat suami isteri ini memang menyedihkan. Endang Sawitri adalah puteri tunggal dari Senopati Sindukerta, seorang di antara senopati terkenal dari Kahuripan, dan ia amat disayang orang tuanya. Ketika ia berusia tujuh belas tahun, gadis bangsawan ini saling jatuh cinta dengan Dharmaguna, seorang pemuda putera mendiang Ki Jatimurti, seorang pendeta yang miskin.

Senopati Sindukerta dan isterinya tidak setuju mempunyai mantu seorang pemuda putera pendeta miskin. Mereka mendambakan mantu seorang priyagung (bangsawan tinggi) yang akan membuat puteri mereka hidup terhormat. Akan tetapi, hubungan cinta antara Endang Sawitri dan Dharmaguna sudah sedemikian kuatnya sehingga mereka berdua nekat minggat meninggalkan Kahuripan.

Senopati Sindukerta marah sekali kepada Dharmaguna yang dianggap menculik dan melarikan anak tunggalnya. Dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan pencarian, namun semua usahanya itu sia-sia belaka. Endang Sawitri dan Dharmaguna yang sudah menjadi suami isteri itu melarikan diri dan bersembunyi dengan cara berpindah-pindah tempat.

Setahun kemudian, Endang Sawitri melahirkan seorang anak yang mereka beri nama Nurseta. Bahkan setelah mempunyai seorang anak, mereka tetap berpindah-pindah untuk menghilangkan jejak. Ketika Nurseta berusia tiga tahun, suami isteri ini tinggal di dusun Karang Tirta. Selama tiga tahun, sampai Nurseta berusia enam tahun, mereka hidup tenteram di Karang Tirta, tidak pindah-pindah lagi karena tidak terdapat tanda-tanda bahwa para utusan Senopati Sindukerta mencari mereka sampai ke dusun itu.

Akan tetapi pada suatu hari, mereka mendengar bahwa Ki Lurah Suramenggala, lurah dusun Karang Tirta mengirim utusan ke Kahuripan untuk melaporkan kehadiran mereka kepada Senopati Sindukerta. Tentu saja suami isteri ini terkejut dan ketakutan. Mereka takut akan hukuman, dibunuh pun mereka tidak takut. Yang mereka takuti hanya kalau mereka sampai dipaksa untuk saling berpisah!

Maka, mendengar akan laporan Ki Lurah Suramenggala kepada Senopati Sindukerta, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menjadi ketakutan dan mereka berdua segera melarikan diri dari Karang Tirta. Setelah suami isteri ini merundingkan masak-masak, mereka sengaja meninggalkan anak mereka Nurseta yang telah berusia sepuluh tahun karena mereka tidak ingin anak mereka yang tercinta itu ikut menjadi buronan yang dikejar-kejar.

Mereka meninggalkan Nurseta di Karang Tirta, lalu lari pindah ke lain dusun yang jauh. Karena ketakutan, mereka kembali berpindah-pindah dari dusun ke dusun, dari gunung ke gunung. Akhirnya, lima tahun yang lalu mereka sengaja melarikan diri ke kaki Gunung Semeru yang termasuk tapal batas antara Kahuripan dan Wura-wuri, bahkan masih termasuk wilayah Wura-wuri.

Mereka yakin bahwa para utusan Senopati Sindukerta pasti tidak akan mencari mereka ke dalam wilayah Wura-wuri! Mereka berdua merasa tenteram hidup di dusun Singojajar di kaki Pegunungan Semeru yang menjulang tinggi menembus awan itu. Hanya satu hal yang membuat mereka merasa berduka dan mereka berdua kerap kali menangis kalau teringat akan hal itu. Mereka dapat saling menghibur dan dalam kedukaan yang dipikul bersama itu, cinta kasih antara

suami isteri ini menjadi semakin kokoh. Yang membuat mereka berduka adalah kalau mereka teringat akan Nurseta, putera mereka.

Setelah merasa keadaan mereka kini aman, pada suatu hari, kurang lebih dua bulan yang lalu, Ki Dharmaguna mengutus pembantunya, Pakem, yang biasa membantunya bertani, untuk pergi melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Suami Isteri itu menyuruh Pakem untuk menemui Ki Tejomoyo di Karang Tirta dan minta keterangan kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka Nurseta.

Pada sore hari itu, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri duduk santai di pendopo rumah mereka, berhadapan terhalang meja di mana terdapat minuman air teh dan nyamikan (makanan kecil) keripik pisang yang tadi dihidangkan Nyi Endang Sawitri. Sambil makan nyamikan dan minum air teh, mereka bercakap-cakap. Memang sudah menjadi kebiasaan suami isteri ini, setiap sore setelah berhenti bekerja di sawah ladang, mereka minum teh dengan makanan kecil sambil bercakap-cakap. Akan tetapi sekali ini, wajah mereka tidak tampak tenang seperti biasanya kalau mereka duduk berdua seperti itu. Wajah mereka bahkan tampak tegang dan alis mereka berkerut.

"Kakangmas, mengapa Pakem belum juga pulang?"

"Itulah Diajeng, yang membuat aku tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari ini. Aku sungguh merasa heran mengapa sampai dua bulan Pakem belum juga pulang. Padahal menurut perhitunganku, jarak antara Singojajar ini dan Karang Tirta dapat ditempuh dengan berkuda selama setengah bulan, jadi pulang pergi hanya membutuhkan waktu satu bulan saja. Akan tetapi sampai hari ini, sudah hampir dua bulan dan dia belum juga datang. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk...."

"Kakangmas, bersabarlah jangan membayangkan yang buruk-buruk. Siapa tahu, Pakem mendengar bahwa anak kita itu telah pindah ke tempat lain sehingga pakem pergi mencarinya. Alangkah akan gembira dan bahagianya hati kita kalau Pakem pulang bersama anak kita!"

"Wah, kalau begitu memang bagus sekali, Diajeng. Mudah-mudahan saja perkiraanmu itu benar."

"Wah, kalau aku membayangkan pertemuan kita dengan Nurseta, Kakangmas! Apakah kita akan dapat mengenalnya? Seperti apa dia sekarang? Jantungku berdebar penuh ketegangan kalau aku ingat dan membayangkan pertemuan itu!"

"Dia tentu sudah dewasa sekarang, Diajeng. Ketika kita meninggalkannya, dia berusia sepuluh tahun, dan kurang lebih dua belas tahun telah lewat sejak kita lari dari Karang Tirta."

"Ah, dia sekarang tentu telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun! Telah dewasa. Siapa tahu dia telah mempunyai isteri dan anak, Kakangmas!" Suara wanita itu mengandung getaran keharuan.

"Hemm, kalau begitu engkau akan menjadi Eyang puteri (Nenek) dan aku menjadi Eyang kakung (Kakek)!" kata Ki Dharmaguna, sengaja berkelakar untuk menghibur hati isterinya.

Agak terhibur hati suami isteri itu membayangkan bahwa mereka akan bertemu dengan putera mereka tercinta. Kalau dahulu mereka meninggalkan Nurseta yang berusia enam tahun di Karang Tirta, hal itu mereka lakukan justru karena mereka mencinta putera mereka. Biarpun hati mereka hancur harus meninggalkan anak mereka, namun mereka terpaksa melakukannya karena mereka tidak ingin melihat anak mereka ikut menjadi buronan. Kalau mereka tertangkap, biarlah mereka berdua saja yang menerima hukuman dari Senopati Sindukerta. Anak mereka jangan sampai ikut tertangkap dan dihukum.

Selagi mereka termenung membayangkan peristiwa membahagiakan itu, tiba-tiba terdengar keluhan di halaman rumah. Mereka memandang dan suami isteri itu cepat bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Orang yang ditunggu-tunggu itu datang.

"Pakem....!" Nyi Endang Sawltri berseru. Mereka lalu menuruni pendopo untuk menyambut pembantu mereka itu.

Pakem melangkah menghampiri mereka. Mukanya bengkak-bengkak dan matang biru, langkahnya terhuyung setengah merangkak dengan menyeret kakinya, kedua lengannya tergantung mati.

"Pakem! Engkau mengapa....?" Ki Dharmaguna bertanya, terkejut bukan main.

Setelah tiba di depan suami isteri itu, Pakem berkata dengan napas terengah-engah dan suara terputus-putus.

"....Nurseta.... hidup.... saya... saya ditangkap.... disiksa.... aduhhh....!" Pakem terguling roboh dan ketika suami isteri itu memeriksanya, ternyata pembantu mereka itu tewas.

"Pakem...." Ki Dharmaguna berjongkok memeriksa keadaan tubuh pembantunya dan mendapatkan kenyataan bahwa tubuh itu penuh dengan luka bekas siksaan. Bahkan kedua lengannya agaknya tidak dapat digerakkan karena patah-patah tulangnya! Sementara itu, Nyi Endang Sawitri yang mencium adanya ancaman bahaya, sudah lari memasuki rumah lalu keluar lagi sambil membawa sebatang tombak. Dahulu ia menerima latihan bersilat dengan tombak dari ayahnya yang senopati dan ahli bermain tombak.

Suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang ketika terdengar suara tawa menyeramkan dan dua orang memasuki halaman rumah mereka. Suami isteri itu memandang penuh perhatian. Tadinya mereka mengira bahwa tentu para pesuruh Senopati Sindukerta yang datang untuk menangkap mereka.

Akan tetapi Nyi Endang Sawitri tidak mengenal mereka, Yang seorang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh . brewok, rambutnya gimbal, wajahnya bengis dan kulitnya hitam. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali seperti seorang bangsawan. Usianya sekitar lima puluh lima tahun dan tangannya memegang sebatang cambuk bergagang gading.

Orang kedua seorang laki-laki tampan gagah berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan pakaiannya juga mewah sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Orang ini tersenyum menyeringai dan matanya liar memandang wajah Nyi Endang Sawitri yang masih cantik menarik dengan bentuk tubuh yang ramping padat.

"He-he-he! Apakah Andika yang bernama Dharmaguna dan Endang Sawitri,, Ayah dan Ibu dari Nurseta?" tanya kakek itu dengan suaranya yang besar.

Mendengar kakek itu mengenal mereka dan putera mereka, Ki Dharmaguna menjawab. "Benar sekali. Andika berdua siapakah, Kisanak dan ada keperluan apakah Andika dating berkunjung?"

"Hemm, Dharmaguna! Kalau engkau ingin bertemu dengan Nurseta, ikutlah dengan kami!" kata Kakek itu.

"Dan engkau, Endang Sawitri, juga harus ikut!" kata pula kawannya yang muda, tampan, dan tinggi tegap, sambil tersenyum dan matanya mengamati Endang Sawitri dari kepala sampai ke kaki.

"Katakan dulu siapa kalian dan di mana anak kami Nurseta!" kata Endang Sawitri dengan sikap gagah sambil melintangkan tombaknya.

"Heh-heh-heh, kalian ikut sajalah kalau kalian tidak ingin anak kalian itu kami bunuh seperti pembantumu itu!" Kakek itu menuding ke arah jenazah Pakem yang masih menggeletak diatas tanah.

Wajah Dharmaguna menjadi gelisah mendengar ancaman kepada puteranya itu.

"Diajeng.... mari kita ikut mereka..!"

"Tidak!" Endang Sawitri berkata tegas "Aku tidak percaya kepada kalian berdua! Katakan dulu siapa kalian dan dimana adanya Anak kami!"

"Ha-ha, mau atau tidak mau kalian harus ikut dengan kamil" kata laki-laki yang muda dan dia sudah melangkah maju menghampiri Endang Sawitri sambil berkata kepada temannya yang tinggi besar brewok. "Paman, biarkan aku menangkap wanita Ini dan Andika menangkap yang pria!"

Setelah berkata demikian, laki-laki itu bergerak cepat hendak menubruk dan menelikung Nyi Endang Sawitri. Wanita itu menggerakkan tombaknya, menyambut lawan dengan tusukan tombaknya. Endang Sawitri pernah mempelajari ilmu tombak dari ayahnya, akan tetapi karena selama belasan tahun ia tidak pernah berlatih, maka gerakannya kurang kuat dan kurang cepat.

Padahal, lawannya adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Maka, sambil terkekeh dia miringkan tubuh mengelak. Ketika tombak lewat, dia menangkap tombak itu, menarik dengan sentakan sehingga tubuh Nyi Endang Sawitri terhuyung ke depan. Tombak terampas dan lawan itu sudah merangkul dan memeluk tubuh Nyi Endang Sawitri sehingga wanita itu tidak mampu melepaskan dirinya lagi. la meronta-ronta.

"Keparat Lepaskan aku...., lepaskan .....!" Ia mencoba untuk melepaskan kedua lengannya yang ditelikung dan menyepak-nyepak dengan kakinya. Namun lawan terlampau kuat sehingga ia tidak berdaya sama sekali.

"Lepaskan isteriku!" Ki Dharmaguna membentak dan maju.

Akan tetapi sebuah tendangan kaki laki-laki yang lebih tua membuat tubuhnya terpental jauh. Sebelum dia bangkit lagi, dia pun sudah ditelikung oleh kakek tinggi besar brewok itu. Suami isteri ini ditangkap dan ditarik keluar dari halaman rumah. Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda dating diiringkan dua losin perajurit Wura-wuri. Melihat banyaknya orang yang menangkap mereka, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri maklum bahwa akan percuma saja melakukan perlawanan.

Mereka hendak melihat apa yang selanjutnya yang akan terjadi. Orang-orang itu tadi mengatakan bahwa kalau mereka ikut dengan orang-orang itu, mereka akan dapat bertemu dengan Nurseta. Benarkah itu? Ada rahasia apa di balik paksaan untuk ikut itu? Dan Ikut ke mana? Mereka tidak membantah ketika disuruh memasuki kereta. Kereta lalu bergerak meninggalkan dusun Singojajar. Para penduduk yang keluar menonton berdiri dengan hormat ketika mengenal bahwa pasukan Itu adalah pasukan Wura-wuri.

Apakah yang telah terjadi dengan Pakem, pembantu Ki Dharmaguna yang diutus ke Karang Tirta itu? Ternyata, setelah gagal menundukkan Nyi Lasmi, bahkan kemudian bekas selirnya itu dapat dibebaskan Ki Patih Narotama, Ki Suramenggala yang kini menjadi Tumenggung Wengker masih merasa penasaran sekali. Kebenciannya terhadap Ki Patih Narotama semakin mendalam. Dahulu, pengalamannya di Karang Tirta amat menyakitkan hatinya, karena dia merasa dipermalukan dan dihina, diusir dari dusun itu yang menjadi kampung halamannya.

Maka, setelah orang-orangnya hanya berhasil membantai Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya dan Nyi Lasmi yang telah berada di tangannya itu akhirnya terlepas, dia tetap menyuruh kaki tangannya mengawasi dan memata-matai Karang Tirta. Maka, ketika Pakem yang menunggang kuda tiba di Karang Tirta, dua orang mata-mata dari Wengker itu mengetahuinya. Mereka mengintai dan melihat betapa pendatang asing itu berkunjung ke rumah Ki Tejomoyo.

Mereka menjadi curiga karena Tumenggung Suramenggala sudah menceritakan segala tentang Karang Tirta kepada para anak buahnya Itu. Mereka mengetahui bahwa rumah yang ditempati Ki Tejomoyo itu dahulunya merupakan rumah milik Tumenggung Suramenggala yang telah dirampas oleh penduduk Karang Tirta seperti rumah rumahnya yang lain.

Dua orang mata-mata ini menjadi curiga dan ketika Pakem meninggalkan dusun Karang Tirta, di tengah jalan dia disergap dan ditangkap oleh kedua orang Wengker itu. Pakem yang penduduk dusun itu menjadi ketakutan, apalagi ketika dua orang yang menangkapnya itu membentak sambil mengancam dengan golok yang ditempelkan pada lehernya.

"Engkau orang jahat yang hendak mengacau di Karang Tirta! Hayo mengaku siapa engkau dan dari mana engkau datang!"

Pakem yang dibawa ke sebuah hutan di luar dusun Karang Tirta gemetar ketakutan.

"Ampun, Denmas.... saya bukan penjahat...., saya hanya utusan...."

"Kalau bukan penjahat, cepat katakan siapa engkau, datang dari mana, siapa yang mengutusmu dan urusan apa yang kau lakukan! Awas, kalau engkau berbohong, golok ini akan minum darahmu!"

"Ampun, Denmas.... saya bernama Pakem, tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Saya bekerja pada Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, membantu mereka bertani. Saya diutus suami isteri itu untuk mengunjungi Ki Tejomoyo di dusun Karang Tirta..."

"Untuk urusan apa? Hayo katakan, cepatl" dua orang itu membentak.

"Saya.... saya disuruh bertanya kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka yang bernama Nurseta...."

Dua orang mata-mata itu terkejut. Mereka pernah mendengar nama ini. Nurseta yang kabarnya merupakan seorang pembela Kahuripan dan merupakan musuh besar Adipati Linggawijaya dan Sang Tumenggung Suramenggala.

"Hayo ikut dengan kami!"

"Ampun, Denmas.... saya mau dibawa ke mana? Saya harus pulang dengan cepat...."

"Plakk!" Muka Pakem ditampar sehingga dia terpelanting.

"Jangan banyak cerewet! Ikut saja dengan kami kalau engkau tidak ingin kami sembelih di slnil"

Demikianlah, Pakem lalu dibawa pergi dua orang mata-mata itu dan dihadapkan Tumenggung Suramenggaia. Ketika Tumenggung Suramenggala mendengar laporan anak buahnya, dia cepat melakukan perundingan dengan Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti. Setelah Tumenggung Suramenggala selesai bercerita tentang ayah ibu Nurseta yang tinggal di dusun Singojajar, Adipati Linggawijaya menepuk pahanya.

"Ah, bagus sekali kalau begitu! Kita tangkap orang tua Nurseta dan menggunakan mereka sebagai sandera dan umpan untuk memancing datangnya Nurseta ke sini. Kalau dia berani datang untuk menolong Ayah Ibunya, kita habiskan dia disini Dia merupakan penghalang besar bagi usaha kita untuk menghancurkan Kahuripan!"

"Akan tetapi kita harus berhati-hati, Kakangmas Adipati." kata Dewi Mayangsarl. "Dusun Slngojajar di kaki Gunung Semeru itu termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri. Kebetulan sekali kita sudah mengatur rencana kita. Aku dan Paman Resi Bajrasakti membawa pasukan pengawal berkunjung ke Wurawuri untuk berunding dengan Adipati Wura-wuri sedangkan Paduka pergi ke Kadipaten Parang Siluman dan Kadipaten Siluman Laut Kidul mengajak mereka bersekutu pula. Nah, aku akan menggunakan kesempatan kepergianku ke Wurawuri untuk bersama kadipaten itu menangkap Ayah Ibu Nurseta."

"Heh-heh, itu benar sekail!" kata Resi Bajrasakti. "Dan kita bawa Si Pakem itu untuk menjadi penunjuk jalan di mana tempat tinggal Dharmaguna dan Endang Sawitri itu!"

"Dan aku akan menyebar penyelidik untuk menyelidiki dimana adanya Nyi Lasmi sekarang. Sedapat mungkin tangkap pula Nyi Lasmi untuk memancing datangnya Puspa Dewi." kata Tumenggung Suramenggala.

"Memang sebaiknya begitu dan jangan dilupakan mengirim mata-mata ke Kahuripan untuk melihat gerak-gerik dan keadaan kerajaan itu." kata Adipati Linggawijaya.

Demikianlah, perundingan telah membuahkan rencana pembagian tugas. Adipati Linggawijaya akan mengunjungi Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Parang Siluman. Adapun Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti membawa dua losin orang perajurit pengawal, melakukan perjalanan ke Wura-wuri.

Pakem yang bernasib sial itu mereka bawa, menunggang kuda di tengah-tengah pasukan pengawal sehingga sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk melarikan diri. Kedatangan Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti disambut dengan gembira dan penuh hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala. Mereka berdua disambut dengan pesta makan minum dan yang ikut menyambut adalah Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kaia Teja yang merupakan senopati-senopati tua dan setia dari Wura-wuri, juga Ki Gan-darwo yang merupakan senopati muda yang baru, juga diam-diam menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala. Ketika Dewi Mayangsari menyatakan keinginannya untuk mengajak Wura-wuri bersatu menghadapi Kahuripan, Nyi Dewi Durgakumala mendahului suaminya berkata dengan gembira.

"Wah, tentu saja kami sambut baik uluran tangan kerja sama itu. Memang kami sendiri juga ingin membalas dendam kepada Kahuripan dan kalau kita bersatu padu, tentu Kahuripan akan dapat kita hancurkan."

"Kami akan mempersiapkan semua barisan kami!" kata Adipati Bhismaprabhawa yang memang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan.

"Heh-heh-heh, bagus, bagus! Keadaan kita akan menjadi semakin kuat karena Anakmas Adipati Linggawijaya juga sedang mengadakan hubungan kerja sama dengan Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Kadipaten Parang Siluman." kata Resi Bajrasakti.

"Selain itu, kami masih membawa sebuah urusan yang juga amat penting dalam usaha kita melumpuhkan Kahuripan." kata Dewi Mayangsari.

Ia ialu menceritakan tentang Pakem yang mereka tawan, tentang Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta yang kini tinggal di daerah Wurawuri.

"Andika semua tentu telah mendengar nama Nurseta sebagai seorang sakti mandraguna yang setia membela Kahurip-an." kata Dewi Mayangsari. "Karena itu, kita harus menangkap suami isteri itu, menyandera mereka untuk memaksa Nurseta datang, lalu kita bunuh dia!"

"Wah, kami setuju sekalil" kata Nyi Dewi Durgakumala.

"Penangkapan itu harus segera dilaksanakan sebelum membocor dan mereka melarikan diri!"

Demikianlah, karena tidak ingin perangkapan itu gagal, Resi Bajrasaktl sendiri, dibantu Ki Gandarwo yang mewakili Wura-wuri, memimpin dua losin perajurit Wura-wurl dan Wengker pergi ke dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Rombongan ini membawa Pakem yang sudah terluka parah karena disiksa sebagai penunjuk jalan. Mula-mula Pakem yang melihat niat jahat itu, berkeras tidak mau menunjukkan jalan, akan tetapi dengan kejam Resi Bajrasaktl menyiksanya sehingga keadaannya payah sekali. Kedua tulang lengannya dipatahkan dan dia disiksa sehingga terpaksa dia mau menjadi penunjuk jalan. Setelah tiba di dusun Singojajar, Pakem dilepas dan disuruh jalan lebih dulu. Pakem menguatkan dirinya, berjalan setengah merangkak memasuki halaman rumah Ki Dharmaguna dan seperti telah kita ketahui, seteiah bertemu dengan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, Pakem terkulai roboh dan tewas.

Kini Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri ditawan, dipaksa memasuki kereta dan kereta kini dijalankan keluar dari dusun Singojajar, dikawal dua lusin orang perajurlt, yang terdiri dari selosin perajurlt Wengker yang mengawal Dewi Mayangsari berkunjung ke Wura-wuri, dan selosin perajurit Wurawuri sendiri.

Suami isteri itu duduk bersanding di dalam kereta. Mereka tidak dibeienggu, akan tetapi Ki Gandarwo duduk di depan mereka. Laki-laki muda tampan gagah yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala ini memang seorang yang berwatak mata keranjang dan sombong. Sebagai adik seperguruan Cekel Aksomolo, dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Karena diangkat menjadi senopati di Wura-wuri, dia tinggal di sana dan lebih lagi, dia dipilih Nyi Dewi Durgakumala sebagai kekasih gelapnya. Tentu saja Nyi Durgakumala yang sejak mudanya menjadi seorang wanita berwatak iblis cabul, tidak puas dengan suaminya, Adipati Bhismaprabhawa yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Maka ia mengambil Ki Gandarwo sebagai kekasihnya dan hal ini pun diketahui oleh Adipati Bhismaprabhawa.

Karena sudah mengenal benar siapa permaisuri barunya itu dan bagaimana wataknya, maka Adipati Wura-wuri ini pun tidak mengacuhkannya. Dia memang mengambil Nyi Dewi Durgakumala sebagai permaisurinya bukan hanya karena wanita itu amat cantik melainkan terutama sekali karena dia hendak memanfaatkan kesaktian wanita itu untuk memperkuat Kerajaan Wura-wuri.

Adapun Ki Gandarwo yang baru berusia dua puluh delapan tahun, mau dijadikan kekasih permaisuri yang usianya sudah lima puluhan tahun hanya karena dia menginginkan kedudukan di Wura-wuri. Tentu saja dalam hatinya, Ki Gandarwo tidak merasa puas dan karena wataknya memang mata keranjang, diam-diam dia selalu mencari wanita lain yang muda dan memang para wanita Wura-wuri banyak yang cantik manis.

Kini, duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, timbul gairah berahi Ki Gandarwo. Biarpun Nyi Endang Sawitri juga tidak muda benar, sudah empat puluh tahun usianya, akan tetapi la masih cantik menarik, bahkan dalam pandang mata laki-laki mata keranjang Ini, wanita yang kini duduk dalam kereta berhadapan dengannya, tampak jauh lebih menarik daripada Nyi Dewi Durgakumala yang sudah membosankan hatinya.

Memang demikianlah segala macam kesenangan, apa saja yang didapatkan dengan dasar nafsu, cepat atau lambat berakhir dengan kebosanan. Duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, walaupun wanita itu duduk bersanding dengan suaminya, tidak membuat Ki Gandarwo merasa rikuh (sungkan). Dia tersenyum-senyum dan terkadang, kalau wanita itu memandang kepadanya, dia sengaja mengedipkan sebelah mata sebagai isarat, tanpa memperduiikan bahwa Ki Dharmaguna juga melihatnya!

Nyi Endang Sawitri merasa muak, akan tetapi karena ia maklum bahwa laki-laki kurang ajar di depannya ini amat digdaya dan ia bersama suaminya yang lemah sama sekali tidak akan mampu mengalahkannya, menahan rasa dongkolnya, bahkan ia menutupi perasaannya dan mengalihkan perhatian dengan bertanya.

"Kisanak, apakah maksud kalian mengatakan bahwa kalau kami ikut kalian, kami akan dapat bertemu dengan putera kami Nurseta?"

Mendengar pertanyaan ini, Ki Gandarwo tersenyum.

"Kalian ikut saja dan menaati semua perintah kami dan Nurseta pasti akan datang untuk menemui kalian."

"Tapi.... mengapa pembantu kami, Pakem, kalian bunuh?" Nyi Endang Sawitri bertanya.

"Hemm, dia tadinya keras kepala, tidak mau menunjukkan di mana kalian tinggal. Terpaksa kami siksa agar dia mengaku." jawab Ki Gandarwo, sama sekali tidak merasa malu, bahkan tersenyum bangga menceritakan hal itu. Sambil menahan kemarahannya, dan untuk tetap mengalihkan perhatiannya, Nyi Endang Sawitri bertanya lagi.

"Apakah... apakah kalian ini mengenal anak kami Nurseta?"

"Kenal...., kenal....!" kata Ki Gandarwo, tersenyum mengejek.

"Sahabat kalian?"

"Ya, sahabat baik, ha-ha, sahabat baik sekali!"

"Tapi.... tapi di mana anak kami Nurseta? Apa dia baik-baik saja?"

"Ha-ha, dia baik-baik saja, nanti juga kalian akan bertemu dengan dia!"

"Tapi.... siapakah Andika? Siapakah kalian ini?" tanya Nyi Endang Sawitri sambil mengerutkan alisnya karena Ki Gandarwo membungkuk sehingga wajah laki-laki itu mendekatinya.

"Mau tahu aku siapa? Aku adalah Raden Gandarwo, Senopati Muda dari Kerajaan Wura-wuri! Kalau kalian ingin selamat dan ingin bertemu Nurseta, kalian harus menaati semua perintahku. Nah, perintahku yang pertama, Nyi Endang Sawitri, engkau pindahlah duduk di sini, di sampingku." Sambil berkata demikian, Gandarwo menjulurkan tangan menangkap pergelangan tangan Endang Sawitri dan menariknya dengan sentakan kuat. Tubuh wanita itu tertarik dan ia terjatuh keatas pangkuan Gandarwo.

"Lepaskan aku" Endang Sawitri merenggutkan dirinya, namun Gandarwo merangkulnya.

"Jangan kurang ajar! Lepaskan isteriku " Ki Dharmaguna berkata dan berusaha menarik isterinya lepas dari rangkulan Gandarwo. Akan tetapi kaki Gandarwo menendang ke arah laki-laki yang hendak membela isterinya itu.

"Bukk....!" Ki Dharmaguna terkena tendangan pada dadanya sehingga tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta yang masih berjalan perlahan.

"Kakangmas....!" Endang Sawitri menjerit dan meronta dengan sekuatnya sehingga terlepas dari rangkulan Gandarwo. Ia segera melompat keluar dari dalam kereta, lalu membantu suaminya bangkit berdiri. Dharmaguna tidak terluka parah, hanya lecet-lecet karena terjatuh keluar kereta dan mukanya menyeringai karena perutnya terasa nyeri oleh tendangan tadi.

Kereta dihentikan dan rombongan itu menahan kuda mereka ketika melihat dua orang suami isteri itu keluar dari kereta. Ki Gandarwo marah sekali. Dia yang bertugas menjaga suami isteri itu di daiam kereta, tentu saja merasa malu kepada para perajurit, terutama kepada Resi Bajrasakti, karena suami isteri itu keluar dari kereta seolah dia tidak mampu menahan mereka. Dia pun melompat keluar menghampiri Ki Dharmaguna yang bangkit dibantu isterinya...


BERSAMBUNG KE JILID 10


Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 09

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 09

Nurseta berjalan santai menuruni bukit. Sudah berhari-hari dia melakukan perjalanan di sepanjang Bukit Seribu, deretan bukit di selatan. Matahari pagi amat cerahnya. Sinarnya yang penuh daya hidup itu menghangatkan kulit. Pagi itu cerah, namun rupanya tidak cukup cerah bagi hati dan pikiran Nurseta yang melangkah seenaknya.

Pemuda ini sedang termenung, mengenang perjalanan hidupnya yang telah lalu. Dia ingat bahwa sejak kecil dia tinggal di Karang Tirta bersama Ayah dan Ibunya. Ayahnya bernama Dharmaguna dan ibunya bernama Endang Sawitrl. Sejak dia berusia sepuluh tahun dia telah ditinggal ayah ibunya yang pergi begitu saja tanpa dia ketahui ke mana.

Dia telah melakukan penyelidikan dan ketika dia dapat bertemu dengan kakeknya, yaitu ayah dari ibunya, Senopati Sindukerta, baru dia ketahui mengapa ayah dan ibunya melarikan diri dan meninggalkannya. Senopati Sindukerta menceritakan segala hal mengenal ayah ibunya. Ibunya, Endang Sawitri, menolak dijodohkan pria lain karena ibunya Itu ketika gadis telah saling mencinta dengan Dharmaguna. Akan tetapi karena Dharmaguna hanya putera seorang pendeta miskin yang bernama Ki Jatimurti, maka Senopati Sindukerta menentangnya.

Sebagai seorang bangsawan tinggi, Senopati Sindukerta tidak setuju puterinya menikah dengan seorang pemuda putera pendeta miskin. Lalu ayah ibunya melarikan diri, dikejar-kejar anak buah Senopati Sindukerta yang menghendaki puterinya kembali. Akan tetapi ayah ibunya dapat meloloskan diri dan kemudian dia dilahirkan dan sejak bayi ikut terbawa lari-lari bersembunyi menjadi buruan Senopati Sindukerta yang kehilangan puterinya dan yang selalu mencari puterinya yang merupakan anak tunggal yang amat dikasihi.

Akhirnya, ayah ibunya menetap di Karang Tirta. Ketika dia berusia sepuluh tahun, ayah ibunya meninggalkannya dan lari karena ada yang melapor kepada Senopati Sindukerta bahwa suami isteri itu berada di Karang Tirta. Dan semenjak mereka jadi pelarian ketika dia berusia sepuluh tabun, sampai sekarang dia berusia hampir dua puluh tiga tahun, selama belasan tahun Itu orang tuanya menghilang dan dia tidak pernah berhasil menemukan mereka.

Dia hanya berhasil bertemu dengan kakek dan neneknya, yaitu Senopati Sindukerta dan isterinya yang menjadi orang tua ibunya. Akan tetapi dia tidak pernah dapat menemukan jejak orang tuanya. Inilah yang mengganjal hatinya. Dia akan selalu merasa penasaran sebelum dapat bertemu dengan orang tuanya. Bahkan ketika dia bertemu Sang Bhagawan Ekadenta dan menerima gemblengan selama tiga bulan, dia pun bertanya kepada kakek sakti mandraguna itu setelah menceritakan tentang orang tuanya. Sang Bhagawan Ekadenta tersenyum dan hanya berkata.

"Segala sesuatu hanya dapat terjadi apabila dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi, Angger. Namun sudah menjadi kewajiban manusia untuk berikhtiar, berusaha sekuat tenaga untuk mencapai apa yang diinginkan."

Hanya itulah nasihat Sang Bhagawan Ekadenta ketika dia menceritakan keinginannya untuk dapat bertemu dengan orang tuanya yang telah meninggalkannya tiga belas tahun yang lalu. Nurseta merasa prihatin sekali. Kalau ayah ibunya masin hidup, di mana tempat tinggal mereka dan mengapa pula mereka itu masih saja menyembunyikan diri setelah hampir dua puluh empat tahun melarikan diri dari Kahuripan? Dan seandainya mereka sudah meninggal pun, dia harus mengetahui di mana kuburnya. Dia harus dapat menemukan orang tuanya. Akan tetapi kemana dia harus mencari mereka? Hatinya mulai merasa penasaran.

Nurseta adalah seorang pemuda gemblengan yang mendapatkan bimbingan mendiang Empu Dewamurti yang bijaksana, kemudian malah mendapat gemblengan pula dari Bhagawan Ekadenta yang sakti mandraguna. Dia telah memiliki batin yang amat kokoh dan dapat menguasai semua nafsu dan perasaannya. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia seorang manusia biasa dan rasanya tidak mungkin bagi seorang manusia untuk dapat sepenuhnya bebas dari perasaan suka duka, puas kecewa, dan sebagainya. Memang lebih kuat dari orang biasa, lebih tenang, namun di lubuk hati Nurseta tetap saja terdapat perasaan silih berganti itu.

Kini Nurseta mempercepat langkahnya. Melihat betapa di situ sunyi, tidak tampak orang lain, dia lalu mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat cepat mendaki bukit lain yang sudah menanti di depannya setelah dia menuruni bukit tadi. Dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya ringan dan dapat berlari cepat seperti terbang sehingga sebentar saja dia tiba di puncak bukit itu.

Setelah tiba di puncak, Nurseta merasa betapa lelah dan lemas tubuhnya. Baru dia teringat bahwa dia semalam melakukan perjalanan tanpa berhenti mengaso sebentar pun. Malam tadi terang bulan dan dia melakukan perjalanan sambil menikmati malam yang indah itu. Sekarang, setelah matahari mulai naik tinggi, dia merasa betapa tubuhnya lelah dan perutnya lapar. Maka, melihat sebatang pohon randu alas di puncak Itu, dia lalu berhenti mengaso dan duduk bersila di bawah pohon yang cukup dapat melindunginya dari sengatan sinar matahari.

Kalau tadi dia tenggelam dalam kenangan masa lalu, kini pikirannya melayang memikirkan kembali pencarian yang sedang dia lakukan terhadap orang tuanya. Hatinya mulai tertekan kepedihan karena dia merasa tidak berdaya. Dia tidak tahu harus mencari ke mana. Tidak ada petunjuk sama sekali ke mana kiranya ayah ibunya berada. Selama ini, sejak berpisah dari Sang Bhagawan Ekadenta yang telah menggemblengnya selama tiga bulan, dia hanya ngawur saja menurutkan hati dan kakinya dalam pencariannya. Mengingat akan keadaan ini, hatinya tertekan dan dalam keadaan prihatin itu, dia lalu duduk bersila dan batinnya mengeluh sedih, memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi.

Entah berapa lama dia duduk tepekur dalam samadhinya itu. Matahari naik semakin tinggi. Hawa mulai panas, namun terdapat angin semilir yang mengurangi hawa panas. Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara orang bicara. Suara itu terbawa angin mencapai telinganya, terdengar cukup jelas, suara seorang laki-laki.

"Eyang, mengapa hidup ini penuh penderitaan? Hanya sedikit kesenangan dan lebih banyak kesusahan?"

Jawaban pertanyaan ini agaknya keluar dari mulut seorang yang sudah amat tua, karena gemetar dan agak parau, dalam.

"Angger, putuku bocah bagus! Apakah engkau melihat Eyangmu ini menderita?"

"Saya seringkali merasa heran mengapa Eyang tidak pernah kelihatan susah, ayem-ayem saja biarpun terkadang makan terkadang tidak, hidup miskin dan papa."

Nurseta merasa tertarik sekali dan tak lama kemudian dia sudah duduk bersembunyi di balik batu besar, tak jauh dari dua orang yang suaranya terbawa angin dan terdengar olehnya tadi. Mereka adalah seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan seorang kakek tua renta yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi tentu sudah lebih dari delapan puluh tahun Mereka itu duduk di atas bangku bambu reyot di depan sebuah gubuk reyot pula yang berdiri di lereng bukit itu. Melihat keadaan pakaian dan sikap mereka yang lugu, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dusun yang hidupnya sederhana.

Nurseta semakin tertarik. Orang-orang dari dusun biasanya kalau bicara ceplas-ceplos terbuka, apa yang keluar dari mulut langsung keluar dari hati mereka, tidak munafik seperti orang kota terutama para bangsawan yang berusaha mati-matian untuk menyembunyikan keburukan mereka dan menonjolkan kebaikan. Selalu mementingkan kulit daripada Isi, sehingga orang-orang itu seolah-olah memakai topeng yang elok untuk menyembunyikan semua keburukan dan cacat mereka. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian.!

"Heh-heh!" Kakek itu terkekeh dan tampak mulutnya yang sudah ompong, tak bergigi lagu "Kita hidup berdua di sini. Engkau dan aku berkeadaan sama, tidak ada yang lebih baik dan enak, tidak ada yang lebih buruk dan tidak enak. Akan tetapi engkau merasa dirimu banyak menderita, sedangkan aku tidak. Jelas bahwa bukan keadaan yang membuat seseorang menderita, melainkan cara dia menerima dan menghadapi keadaan itu. Aku ikhlas menerima kenyataan ini, maka aku tidak merasa menderita. Engkau sebaliknya menerima kenyataan hidup ini sebagai penderitaan, maka tentu saja engkau merasa menderita!"

"Akan tetapi, Eyang. Saya melihat bahwa semua orang miskin hidupnya susah dan semua orang kaya hidupnya senang! Bukankah kenyataannya begitu?"

"Itu pun hanya merupakan persangkaan saja, Angger. Kita saling memandang dan saling menilai tanpa mengetahui keadaan masing-masing yang sebenarnya. Aku sudah lama hidup, Cucuku, sudah mengenal banyak orang dan mengalami banyak kenyataan hidup. Aku sudah melihat banyak orang kaya yang hidupnya dipenuhi penderitaan seperti yang engkau rasakan. Mereka selalu khawatir kalau hartanya habis, mereka bosan dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Hidup mereka tidak tenang, merasa terancam karena mereka kaya. Biarpun harta mereka bertumpuk, dapatkah mereka senang kalau tubuh mereka sakit? Atau isteri, atau anak atau keluarga mereka ada yang sakit berat? Aku melihat banyak orang yang menderita batinnya karena harta mereka menjadi rebutan anak-anak mereka. Jadi jelasnya, bukan kaya dan bukan miskin yang membuat orang menderita susah atau senang, melainkan bagaimana dia menerima kenyataan dirinya."

"Akan tetapi, Eyang. Kalau orang karena miskinnya hanya makan singkong setiap hari, itu pun tidak kenyang, apakah itu bukan susah namanya?"

"Diterima dengan susah, tentu saja susah. Akan tetapi kalau diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat diubah lagi, mungkin dapat mendatangkan rasa bersyukur karena masih ada yang dapat dimakan. Menerima suatu keadaan dengan perbandingan yang menimbulkan penilaian sehingga mendatangkan rasa susah adalah suatu kebodohan. Kesusahan tidak akan dapat mengubah keadaan. Kewajiban kita manusia hidup hanya untuk berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki keadaan."

"Eyang, kalau orang hidup kaya raya, setiap hari makan sekenyangnya dengan makanan yang mewah, pakaiannya indah-indah bertumpuk, rumahnya gedung besar dan indah. Apakah itu namanya bukan hidup serba enak, menyenangkan dan bahagia?"

"Memang, alangkah baiknya hidup dalam keadaan serba kecukupan. Akan tetapi, aku masih sangsi apakah mereka yang memiliki segalanya itu pun menikmati segalanya itu, apakah benar semua kemewahan itu mendatangkan kesenangan. Sudah lama aku hidup, mengalami banyak keadaan, pernah serba lebih dan pernah pula serba kurang. Akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa yang dapat menikmati sesuatu adalah orang yang tidak memiliki sesuatu itu, Cucuku. Sebaliknya yang telah memiliki sesuatu itu, sudah tidak lagi dapat menikmatinya, bahkan menjadi bosan."

"Ah, aku tidak percaya, Eyang! Bagaimana mungkin orang tidak dapat menikmati segala kemewahan yang serba enak dan serba nikmat itu dan menjadi bosan!"

"Aku tidak berbohong, Cucuku. Begini contohnya. Siapa yang berkata bahwa makan daging ayam itu lezat? Tentu yang berkata itu mereka yang tidak pernah atau jarang sekali makan daging ayam. Akan tetapi kalau engkau bertanya kepada orang yang setiap hari makan nasi dengan daging ayam, dia akan berkata bahwa dia tidak merasakan lezatnya daging ayam, bahkan telah bosan dan dia mungkin saja ingin makan nasi dengan sayur asem dan tempe! Demikian pula, dengan segala macam kelebihan atau kemewahan yang lain. Yang dapat membayangkan nikmat dan senangnya hanya mereka yang belum memilikinya. Akan tetapi yang telah memilikinya, hanya menikmati untuk sementara waktu saja, kemudian menjadi bosan dan tidak dapat merasakan kenikmatannya lagi. Merasa kurang merupakan penyakit yang sukar disembuhkan. Sekali merasa kurang, walaupun kemudian keadaannya sudah berlebihan dan berlimpah, tetap saja dia akan merasa kurang dan tidak mengenal kepuasan. Sebaliknya, orang yang merasa cukup, bagaimanapun keadaannya akan merasa cukup dan dapat menikmati apa adanya dengan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Yang Maha Kasih."

"Wah, Eyang! Kalau begitu, apakah kita harus menerima saja keadaan miskin seperti sekarang ini? Kalau begitu, sejak lahir sampai mati nanti keadaanku tetap tidak akan berubah, tetap miskin kekurangan sandang pangan papan dan hidup sengsara!" orang muda itu memprotes. Kakek itu tertawa memperlihatkan gusi yang tak bergigi lagi.

"Ha-ha-ha-ha, bukan begitu, Cucuku! Jangan mencampuradukkan antara kebutuhan jiwa dan raga. Kita ini terdiri dari jiwa dan raga. Raga membutuhkan dicukupinya keperluannya sehingga dapat menjadi senang. Jiwa membutuhkan ketenteraman agar menjadi bahagia. Untuk mencukupi kebutuhan raga, kita harus berupaya sekuatnya, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan papan bagi raga kita. Adapun jiwa kita haruslah selalu berdekatan dengan Sang Hyang Widhi, dengan penyerahan, dengan ikhlas menerima apa saja yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi kepada kita, menerima apa adanya sebagai hasil usaha kita dengan puji sukur kepada-Nya. Berserah diri berarti dekat dengan Sang Hyang Widhi dan inilah satu-satunya kenyataan yang dapat mendatangkan ketenteraman dan membuahkan kebahagiaan. Jadi, kita berusaha ya lahir ya batin. Tanpa membanding-bandingkan keadaan dengan siapa pun, tanpa menilai keadaan yang bagaimanapun, selalu bersyukur akan apa yang kita dapatkan, selalu merasa KECUKUPAN. Rasa cukup Ini bukan terletak pada banyaknya harta benda, melainkan terletak dalam hati yang sudah berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Orang seperti inilah yang dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak pernah merasa kekurangan dan selalu memuji syukur kepada Sang Hyang Widhi, maka dia akan merasakan kebahagiaan karena jiwanya tenteram."

"Walah, sulit sekali itu, Eyang! Bagaimana kalau kita sudah bekerja mati-matian, hasilnya tetap saja sedikit sekali dan tidak mencukupi kebutuhan hidup?"

"Hemm, kalau engkau sudah merasa sulit sebelum engkau mulai melakukan, berarti engkau telah gagal sama sekail! Kalau usahamu tidak berhasil, pasti ada yang salah dalam usahamu itu! Jangan hanya mengeluh kepada Hyang Widhi, dan jangan menyalahkan setan! Sudah pasti ada yang salah dalam usahamu itu, carilah kesalahan sendiri itu dan perbaiki. Jangan pula mengendurkan penyerahan dirimu kepada kekuasaanNya, agar semua langkahmu diberi bimbingan olehNya. Dua hal ini, yaitu berusaha sekuat tenaga, dan berserah diri agar mendapatkan bimbingan Sang Hyang Widhi, tidak boleh dipisahkan, kalau engkau ingin mendapatkan hasil baik lahir dan batinmu."

"Bagaimana itu maksudnya, Eyang?"

"Begini, Angger. Kalau engkau berusaha sekuat tenaga mencari uang untuk kebutuhan hidupmu tanpa bimbingan Sang Hyang Widhi, tanpa penyerahan kepada-Nya, maka besar kemungkinan nafsu daya rendah yang akan membimbingmu dan nafsu setan Itu akan menyeretmu melakukan usaha secara sesat. Bimbingan setan dalam usaha mencari uang itu menyeret orang melakukan kejahatan menipu, mencuri, merampok dan sebagai-nya untuk mendapatkan uang sebanyaknya! Sebaliknya kalau engkau hanya berserah diri kepada Sang Hyang Widhi tanpa berusaha sekuat tenaga, juga tidak akan berhasil. Berkah Sang Hyang Wldhi kepada kita sudah berlimpah, namun semua berkah itu harus dipadukan dengan usaha kita yang tekun dan rajin."

"Misalnya bagaimana, Eyang?"

"Lihat, Sang Hyang Wldhi telah melimpahkan berkahnya kepada kita di antara yang teramat banyak itu adalah sinar matahari, hawa Udara, air, tanah, bibit padi dan sebagalnya. Kesemuanya Itu tidak dapat kita bikin. Semua Itu sudah tersedia untuk kita, namun semua berkah Itu tidak akan ada gunanya kalau tidak dipadukan dengan pengolahan usaha tenaga kita. Kita yang harus mencangkul tanah, mengairi, menanam dan merawat. .Baru menghasilkan bahan makanan. Jelas bahwa berkah yang berlimpah dari Sang Hyang Widhi harus dipadukan dengan usaha manusia. Keduanya merupakan dwi-tunggal yang tidak boleh dipisahkan."

"Terima kasih, Eyang. Biarpun semua keterangan Eyang tadi sungguh amat sukar dimengerti dan lebih sukar pula dilakukan, aku akan mencoba untuk menghayati. Sekarang ada satu lagi pertanyaan, harap Eyang suka menjelaskan."

"Apa itu, Angger?"

"Sebetulnya, apa sih tujuan hidup ini?"

Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. Nurseta yang sejak tadi mendengarkan, semakin tertarik. Semua yang dikatakan kakek itu bukan hal asing baginya karena dia dengar dari mendiang Empu Dewamurti gurunya yang pertama. Hanya kakek ini bicara dengan bahasa yang amat sederhana seperti yang biasa dipergunakan penduduk dusun di pegunungan. Kini dia ingin sekali mendengar apa jawaban kakek dusun itu tentang tujuan hidup seperti yang ditanyakan tadi.

Setelah terkekeh-kekeh, kakek itu berkata. "Aeh, Cucuku, pertanyaanmu ini lucu dan aneh. Seluruh yang ada dan yang hidup di dunia ini, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, kita semua ini hidup dan ada di dunia bukan atas kehendak kita sendiri! Kita ini ada karena ada yang mengadakan, kita hidup karena ada yang menghidupkan. Karena sejak semula hidup kita ini bukan atas kemauan kita, melainkan ada yang menghidupkan, maka tentu saja yang mempunyai rencana dan tujuan adalah DIA YANG MENGHIDUPKAN itu! Kalau kita mempunyai tujuan atau cita-cita, maka sudah pasti tujuan kita itu muncul dari keinginan badan kita yang selalu haus akan kesenangan dan kenikmatan. Dan tujuan kita itu pasti bukan tujuan SANG MAHA PENCIPTA itu!"

"Lalu apa tujuan Sang Hyang Widhi dengan menciptakan kita hidup di dunia ini, Eyang?"

"Wah, kita manusia mana mungkin mengetahui apa yang menjadi rencana Sang Hyang Wldhi? Terlalu Jauh, terlalu tinggi terlalu dalam. Akan tetapi kita dapat melihat di sekeliling kita. Semua mahluk, yang hidup maupun yang mati, semua itu berguna bagi pihak lain. Bahkan rambut saja berguna menghidupi hewan-hewan yang memakannya. Sampah pun dapat menyuburkan tanah. Semua itu ada gunanya, semua itu mempunyai sifat untuk mamayu hayunlng bawono (mengusahakan kesejahteraan hidup di dunia). Nah, sekarang kita sendiri sebagai salah satu mahluk hidup. Apakah kita ini berguna bagi orang lain? Apakah hidup kita ini sudah ikut MAMAYU HAYUNING BAWONO? Kurasa itulah kewajiban hidup kita, bukan tujuan hidup, melainkan kewajiban, yaitu MAMAYU HAYUNING BAWONO, berguna bagi orang lain dan bagi lingkungan, melakukan segala kebaikan untuk ikut menyejahterakan kehidupan di muka bumi Ini."

Percakapan itu terhenti dan Nurseta lalu meninggalkan tempat persembunyiannya, pergi dari situ dan merasa pikirannya melayang-layang seperti seekor burung garuda di angkasa. Semua pembicaraan tadi masih terngiang di telinganya, indah dan merdu seperti suara gamelan dari Lokananta (sorga tanpa akhir). Entah bagaimana, percakapan dua orang dusun sederhana tadi menghilangkan semua kesedihan hatinya yang tadi timbul karena dia memikirkan usahanya mencari orang tuanya yang belum juga dapat dia temukan jejaknya.

Tiba-tiba, pikirannya yang kosong, terisi bayangan kampung halamannya, yaitu Dusun Karang Tirta dimana dahulu ayah ibunya meninggalkannya ketika dia berusia sepuluh tahun. Dia pun menujukan langkahnya ke arah Karang Tirta!

Nurseta berdiri termenung di depan rumah tua itu. Semua kenangan masa lalu, ketika dia masih kecil, terbayang dalam ingatannya. Rumah itu masih seperti dulu, walaupun ada perbaikan di sana-sini karena lapuk, diganti anyaman bamboo baru, namun bentuknya masih sama dengan belasan tahun yang lalu. Rumah bekas milik orang tuanya itu dahulu diambil oleh Ki Lurah Suramenggala, katanya untuk membiayai kebutuhan hidup Nurseta selama mondok di rumah Ki Lurah Suramenggala selama enam tahun. Dia bertanya-tanya dalam hatinya apakah rumah itu kini masih dikuasai Ki Suramenggala?

Tiba-tiba pintu depan rumah itu terbuka dan Nurseta cepat menyelinap di balik batang pohon johar yang tumbuh di tepi jalan, di luar rumah itu. Dari dalam rumah itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh satu tahun. Dia mengenal baik orang itu dan tanpa ragu dia muncul dari balik batang pohon johar dan berjalan cepat memasuki halaman rumah yang tak berapa luas itu.

"Paman Tejomoyo!" tegurnya.

Orang tua itu mengangkat muka dan memandang pemuda yang kini telah berdiri di depannya.

"Ohh,.... Anakmas Nurseta....!" Dia berseru sambil tersenyum gembira ketika mengenal pemuda itu.

Dengan kagum dia mengamati pemuda yang sudah amat dikenalnya Itu. Dia mengenal Nurseta sejak dia masih kanak-kanak, mengenal orang tua Nurseta, bahkan menjadi tetangga mereka. Kemudian dia mengikuti perkembangan Nurseta ketika tumbuh dewasa, sejak berusia sepuluh tahun ditinggal orang tua dan hidup sebatang kara, menjadi bujang di rumah Ki Lurah Sura-menggala.

Kemudian dia mendengar tentang Nurseta yang telah menjadi seorang yang sakti mandraguna, bahkan telah berjasa besar terhadap Kahuripan. Dia mengamati pemuda Itu. Tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya agak gelap namun bersih dan halus. Wajahnya tidak terlalu tampan namun juga tidak jelek. Sepasang mata yang tajam lembut dan senyumnya yang ramah penuh pengertian itu membuat wajah pemuda itu menarik dan menimbulkan rasa suka di hati yang memandangnya.

"Paman Tejomoyo, siapakah penghuni rumah Ini sekarang?"

"Aku sendiri yang diserahi menjaga rumah ini, Nurseta. Mari, masuklah, kita bicara di dalam"

Dengan ramah Ki Tejomoyo mempersilakan pemuda Itu masuk. Setelah memasuki ruangan depan, Nurseta melihat betapa prabot dalam ruangan Itu telah bertambah. Tentu Ki Lurah Suramenggala yang menambahnya. Akan tetapi sebuah meja jati yang tebal, dengan dua buah kursi yang dulu menjadi tempat duduk Ayah Ibunya, masih berdiri di pojok ruangan itu. Dia lalu menghampiri dan duduk di atas sebuah dari dua kursi Itu, yaitu di kursi yang kiri, yang dahulu biasa diduduki ibunya. Hatinya terharu. Serasa masih hangat kursi itu bekas diduduki Ibunya! Ki Tejomoyo lalu duduk di kursi kedua, berhadapan dengan Nurseta, terhalang meja jati yang tebal.

"Paman, bagaimana Paman kini dapat tinggal di sini? Apa saja yang telah terjadi di Karang Tirta ini?" tanya Nurseta.

"Wah, banyak sekali yang telah terjadi, Anakmasl Sejak engkau datang ke sini dan menghajar Ki Lurah Suramenggala Itu, telah terjadi banyak hal yang mendatangkan perubahan besar di Karang Tirta."

"Ceritakanlah, Paman. Aku ingin sekali mendengarnya."

"Engkau tentu telah mengetahui bahwa Nyi Lasmi, ibu Puspa Dewi, telah menjadi selir Ki Suramenggala. Puspa Dewi telah pulang ke sini dan dia telah menjadi seorang gadis yang digdaya. Juga putera Ki Suramenggala yang bernama Linggajaya itu telah pulang dan dia pun menjadi seorang pemuda yang sakti. Akan tetapi dua orang muda yang sakti itu tidak lama berada di sini. Mereka pergi lagi dan sampai lama sekali tidak terdengar beritanya tentang mereka. Kemudian, semenjak puteranya pulang dan menjadi seorang pemuda digdaya, Ki Lurah Suramenggala menjadi semakin galak, kejam dan merajalela di dusun ini. Lalu pada suatu hari datang Gusti Patih Narotama."

"Gusti Patih Narotama? Datang ke Karang Tirta?"

"Benar, Anakmas. Dan terjadilah perubahan hebat yang membuat semua penghuni Karang Tirta bergembira. Karena sikap dan ulahnya yang jahat, Gusti Patih Narotama marah dan mencopot Ki Suramenggala dari kedudukannya sebagai lurah. Bahkan Ki Suramenggala yang sudah mati kutu dan takut kepada Gusti Patih Narotama, diusir keluar dari Karang Tirta oleh penduduk. Dia pergi meninggalkan dusun ini bersama keluarganya. Hanya Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan tetap tinggal di sini. Sebagai penggantinya, oleh Gusti Patih Narotama diangkat lurah baru, yaitu Ki Lurah Pujosaputro yang kemudian bersama keluarganya tinggal di rumah kelurahan, menggantikan Ki Suramenggala. Keluarga ini juga menampung Nyi Lasmi yang tinggal mondok di sana."

"Wah, perubahan yang baik sekali itu, Paman! Gusti Patih Narotama telah melakukan kebijaksanaan yang menggembirakan sekali!"

"Memang sesungguhnya begitu, Nurseta. Kami semua hidup tenteram. Semua kekayaan Ki Suramenggala disita dan tanah-tanah yang dulu dirampasnya dari penduduk, dikembalikan kepada pemiliknya dahulu. Rumah orang tuamu ini juga disita dan aku ditugaskan untuk menjaganya sampai engkau datang untuk diserahkan kembali kepadamu."

"Hemm, terima kasih, Paman. Untuk sementara biarlah Paman yang menempati rumah ini. Sekarang aku hendak menghadap Ki Lurah Pujosaputro yang kukenal dengan baik."

"Ah, Anakmas. Telah terjadi malapetaka besar menimpa keluarga Ki Lurah Pujosaputro"

"Eh, apa yang terjadi?"

"Sebaiknya kulanjutkan ceritaku tadi. Setelah Ki Lurah Pujosaputro memimpin dusun ini, kehidupan rakyatnya menjadi tenteram dan sejahtera. Akan tetapi pada suatu hari muncul Linggawijaya Dia mengamuk dan hendak membunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, akan tetapi muncul Puspa Dewi yang menandinginya. Penduduk juga menyerbu hendak mengeroyok Linggajaya sehingga dia melarikan diri."

"Baik sekali kalau begltul" kata Nurseta, ikut merasa lega.

"Akan tetapi lalu terjadilah malapetaka itu. Puspa Dewi pergi ke kota raja, untuk mencari Ayah kandungnya dan muncullah orang-orang jahat suruhan Ki Suramenggala. Mereka itu ganas dan jahat sekali. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya berikut para pelayan di rumah kelurahan itu mereka bunuh, hanya seorang pelayan saja yang lolos dari maut, sedangkan Nyi Lasmi dilarikan!"

"Ahh....! Gerombolan itu suruhan Ki Suramenggala?"

"Benar, Anakmas. Agaknya Ki Suramenggala membalas dendam, menyuruh bunuh lurah baru sekeluarganya dan menculik Nyi Lasmi. Kebetulan pada waktu Itu, Puspa Dewi bersama rombongan Ayah kandungnya beserta Ibu tirinya sekeluarga datang ke Karang Tirta."

"Ayah kandung Puspa Dewi?"

"Benar. Ayahnya adalah Senopati Yudajaya yang datang bersama istrinya yang ke dua dan puterinya, juga Ayah dan Ibu mertuanya. Ayah mertua Senopati Yudajaya itu adalah Tumenggung Jayatanu. Mendengar malapetaka yang menimpa keluarga Lurah Pujosaputro dan tercullknya Nyi Lasmi, Puspa Dewi melakukan pengejaran. Kemudian Adik tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni juga melakukan pengejaran, disusul pula oleh Senopati Yudajaya yang membawa selosin perajurlt pengawal."

"Bagaimana hasilnya? Apakah mereka dapat menyelamatkan Nyi Lasmi?"

"Nyi Lasmi berhasil ditemukan dan diselamatkan. Ia pulang kesini bersama suaminya, yaitu Senopati Yudajaya dan menurut berita yang aku dengar, ternyata Nyi Lasmi diselamatkan oleh Gusti Patih Narotama sendiri. Kemudian, rombongan keluarga Senopati Yudajaya itu, termasuk pula Nyi Lasmi, meninggalkan Karang Tirta dan kembali ke Kahuripan."

"Sukurlah kalau begitu, keluarga Puspa Dewi dapat bersatu kembali dalam keadaan selamat."

"Tapi masih ada sebuah hal yang membuat keluarga itu khawatir, Anak mas Nurseta, yaitu Puteri Senopati Yudajaya yang merupakan Adik tiri Puspa Dewi itu."

"Yang bernama Niken Harni?"

"Ya, mendengar Adik tirinya mengejar gerombolan yang menculik Nyi Lasmi dan belum tampak kembali, Puspa Dewi lalu pergi mencarinya sedangkan semua keluarga bangsawan itu kembali ke Kahuripan."

"Hemm, dan sekarang, siapa pengganti lurah yang tewas itu?"

"Urusan ini akan dilaporkan Tumenggung Jayatanu ke Kahuripan, dan untuk sementara beliau menyarankan agar penduduk mengadakan pilihan sendiri dan mengangkat seorang lurah baru. Kami telah memilih Anakmas Prawiro, keponakan mendiang Ki Pujosaputro yang tadinya membantu pamannya sebagal carik, untuk menjadi lurah sementara sebelum ada keputusan dari Kahuripan."

"Terima kasih atas semua keterangan-mu itu, Paman. Sekarang, aku hendak menyampaikan keperluanku sendiri. Aku datang berkunjung kepadamu untuk minta tolong, Paman. Dulu Paman pernah menceritakan kepadaku tentang orang tuaku dan dari keterangan Paman itu aku sudah berhasil bertemu dengan Kakekku, yaitu Ayah dari Ibuku. Beliau adalah Eyang Senopati Sidukerta di Kahuripan. Akan tetapi Eyang juga sedang mencari-cari Ayah Ibuku itu dan sampai sekarang aku belum berhasil menemukan mereka...."

"Wah. sejak tadi aku sudah ingin menyampaikan hal ini. akan tetapi didahului bicara tentang malapetaka yang terjadi di Karang Tirta sehingga aku hampir lupa menceritakan padamu. Anakmas Nurseta. Kurang lebih sebulan yang lalu sebelum terjadi malapetaka itu, pada suatu senja aku kedatangan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia mengaku bernama Pakem dan datang dari Dusun Singojajar yang berada di kaki Gunung Semeru. Dusun ini termasuk daerah Kadipaten Wura-wuri. Si Pakem ini dating untuk bertanya tentang dirimu, Anakmas Nurseta. Dan dia ternyata diutus oleh Dharmaguna, Ayahmu...."

"Wah, Paman Tejomoyo! Mengapa tidak Andika ceritakan dari tadi?" Nurseta berseru sambil memegang pergelangan tangan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengaduh.

"Aduh, sakit....!"

"Ah, maafkan aku, Paman!" kata Nurseta sambil melepaskan pegangannya. "Saking kaget mendengar kejutan ini aku terlalu kuat memegang lenganmu. Lanjutkan ceritamu, Paman!"

"Tentu saja aku juga girang mendengar bahwa Si Pakem itu utusan Dharmaguna. Aku lalu menceritakan tentang dirimu, semua yang sudah kuketahui dan kudengar tentang dirimu. Aku juga mendengar dari Pakem itu, yang ternyata adalah seorang pembantu setia Ki Dharmaguna yang hidup sebagal petani, bahwa orang tuamu berada dalam keadaan sehat dan selamat."

"Aduh.... terima kasih kepada Sang Hyang Widhi...., ah Paman Tejomoyo, Andika tidak tahu betapa membahagiakan hati mendengar ceritamu ini!"

"Aku tahu, Anakmas! Aku sendiri pun gembira sekali mendengar pengakuan Pakem itu. Akan tetapi agaknya orang tuamu itu masih merasa khawatir dan Pakem itu tidak berani bercerita banyak. Ketika aku bertanya tentang Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, dia mengatakan tidak tahu banyak tentang mereka, hanya mengatakan bahwa Ki Dharmaguna adalah seorang petani yang tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Bahkan dia lalu tergesa-gesa pergi setelah mendengar keterangan tentang dirimu, tidak mau menginap di sini walaupun kubujuk-bujuk."

"Wah, keterangan itu sudah lebih dari, cukup, Paman! Sekarang aku pamit, Paman!"

"Eh? Mengapa tergesa-gesa, Anakmas? Tinggalkan di sini, setidaknya menginaplah di sini. Ini sekarang telah dikembalikan kepadamu. Rumah ini milikmu."

"Lain kali saja, Paman. Terima kasih, aku harus pergi mencari orang tuaku di Singojajar sekarang juga!"

"Akan tetapi, tempat itu termasuk daerah Wura-wuri, Anakmas! Berbahaya sekali!"

Nurseta tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.

"Ayah Ibuku berada di sana juga tidak apa-apa, Paman Tejomoyo. Sekali lagi, aku sungguh merasa amat berterima kasih kepadamu. Paman telah memberi kabar yang teramat penting bagiku dan amat membahagiakan hatiku. Nah, aku pergi, Paman!"

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Nurseta sudah lenyap dari depan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengejar ke depan, akan tetapi sudah tidak melihat lagi bayangan Nurseta. Dia hanya berdiri terlongong dan kagum.

Nurseta memasuki wilayah Kerajaan Wura-wuri setelah melakukan perjalanan cepat dari Karang Tirta. Dia ingin sekali segera tiba di kaki Gunung Semeru, mencari ayah ibunya yang kabarnya tinggal di dusun Singojajar. Dia sudah membayangkan betapa akan bahagianya bertemu dengan ayah dan ibunya. Dia masih dapat membayangkan wajah ayah dan ibunya. Walaupun dua belas tahun lebih telah lewat sejak mereka meninggalkan dia, dia pasti akan mengenal mereka. Mungkin mereka akan tampak lebih tua, akan tetapi dia masih Ingat benar. Ayahnya, Dharmaguna, adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan, berkulit bersih walau agak hitam, dan gerak-gerik serta tutur sapanya lembut halus.

Ibunya, Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik berkulit putih, seingatnya bertubuh ramping padat dan ibunya dahulu pandai menunggang kuda dan pandai pula menggunakan anak panah dan memiliki kegagahan. Ibunya pernah menceritakan betapa di waktu muda ibunya juga pernah mempelajari aji kanuragan. Tentu saja kini dia mengerti. Sebagai puteri seorang senopati, tentu saja ibunya juga sedikit banyak memiliki kegagahan.

Nurseta juga maklum akan bahayanya memasuki wilayah Wura-wuri. Wura-wuri adalah musuh bebuyutan Kahuripan dan beberapa tahun yang lalu pernah mencoba menyerang Kahuripan bersama para sekutunya. Namun penyerangan itu gagal: Karena dia sendiri terlibat dalam pertempuran itu, maka dia tentu dikenal oleh para tokoh Kerajaan atau Kadipaten Wurawuri. Kalau hal lni terjadi, tentu dia akan mengalami kesulitan untuk dapat bertemu dengan ayah ibunya, bahkan bukan itu saja bahayanya, melainkan lebih buruk lagi orang tuanya dapat terseret dan diganggu orang-orang Wura-wuri.

Dengan hati-hati Nurseta melakukan perjalanan menuju Gunung Semeru yang merupakan perbatasan antara Kadipaten Wurawuri dan Kerajaan Kahuripan. Dia memasuki daerah Wurawuri dari selatan maka perjalanan menuju Gunung Semeru masih cukup jauh. Dia selalu waspada. Kalau hanya bertemu penduduk biasa, dia tidak khawatir dikenal orang. Akan tetapi kalau bertemu dengan pasukan atau orang-orang berpakaian bangsawan atau perwira, dia selalu menyelinap agar tidak terlihat.

Pada suatu hari Nurseta keluar dari sebuah dusun dan berjalan di atas jalan umum di samping hutan. Dia merasa kagum juga melihat keadaan Kadipaten Wura-wuri. Keadaan rakyatnya tidaklah sengsara benar, dan orang-orang Wurawuri tampak tampan dan cantik. Dia memang pernah mendengar bahwa penduduk Wura-wuri memiliki wajah yang elok, sebaliknya orang-orang Wengker sebagian besar buruk rupa.

Selagi dia berjalan dengan santai dan waspada, tiba-tiba dia mendengar langkah kaki banyak kuda dari arah belakangnya. Cepat Nurseta menyelinap di balik pohon-pohon besar di tepi jalan dan mengintai untuk melihat siapa mereka yang berkuda itu. Tak iama kemudian dia melihat banyak orang berkuda menjalankan kuda mereka dengan santai. Agaknya mereka sengaja menjalankan kuda mereka perlahan-lahan karena kuda-kuda itu telah mandi keringat, agaknya telah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan sekarang dijalankan perlahan untuk memberi kesempatan istirahat kepada kuda-kuda itu.

Ketika rombongan tiba dekat, Nurseta terkejut. Yang menunggang kuda di depan adalah seorang wanita dan seorang pria. Wanitanya berpakaian gemerlapan mewah sekali, usianya sekitar dua puluh delapan tahun, tubuhnya ramping padat, wajahnya cantik jelita akan tetapi mata dan mulutnya membayangkan kegenitan, kulitnya agak hitam manis. Dia tidak mengenal wanita itu. Akan tetapi tentu saja dia mengenal laki-laki yang menunggang kuda di dekat wanita itu.

Resi Bajrasakti, dia tak salah lagi. Biarpun sudah sekitar enam tahun dia tidak melihat kakek tinggi besar dan mukanya penuh brewok, kulitnya hitam dan wajahnya kasar dan bengis itu, dia tidak dapat melupakannya. Resi Bajrasakti ini yang dulu bersama Nyi Dewi Durgakumala hendak merampas keris pusaka Megatantra dan mereka berdua dikalahkan gurunya, mendiang Empu Dewamurti.

Begitu mengenal Resi Bajrasakti, Nurseta teringat akan pesan Sang Bhagawan Ekadenta, agar dia berhati-hati terhadap Wengker karena permaisuri Wengker yang bernama Dewi Mayangsari diambil murid Nini Bumigarbo. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker, maka wanita cantik yang pakaiannya amat mewah ini mungkin sekali Dewi Mayangsari permaisuri Wengker yang diambil murid Nini Bumigarbo itu!

Di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, sebanyak dua losin orang perajurit. Tidak salah lagi, mereka itu tentu para perajurit Wengker yang mengawal permaisuri Wengker dan Resi Bajrasaktl itu. Akan tetapi mengapa orang-orang penting Kadipaten Wengker memasuki daerah Wura-wuri? Tidak aneh, pikirnya.

Memang dua kadipaten besar itu bersama kadipaten-kadipaten kecil seperti Kerajaan Parang Siluman dan Kerajaan Siluman Laut Kidul mempunyai hubungan dan mereka pernah bekerja sama untuk memusuhi Kerajaan Kahuripan.

Dia tetap bersembunyi sampai rombongan itu lewat. Dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti hendak berkunjung kepada Raja Wura-wuri, entah dengan maksud apa. Diam-diam dia memikirkan apa yang terjadi dengan adik perempuan tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni yang melakukan pengejaran terhadap mereka yang menculik Nyi Lasmi.

Mungkin sekali Niken Harni mengejar ke daerah Wengker karena bukankah para penculik itu orang-orang dari Wengker? Dan tentu saja Puspa Dewi yang mencari adiknya itu pun besar kemungkinan pergi ke Wengker. Apakah kepergian para tokoh Wengker ke Wura-wuri ini ada hubungannya dengan Puspa Dewi dan Niken Harni?

Nurseta melanjutkan perjalanan menuju Gunung. Semeru. Karena yang dia datangi merupakan daerah yang asing baginya, maka perjalanannya tidak dapat cepat. Dia harus bertanya-tanya dalam perjalanan dan untuk bertanya pun dia harus memandang orangnya, karena kalau bertanya kepada orang yang keliru, dapat menimbulkan kecurigaan yang hanya akan mengganggu pencariannya.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu Nurseta yang sedang melakukan perjalanan mencari orang tuanya dan kita tengok keadaan di dusun Singojajar yang berada di kaki Pegunungan Semeru. Singojajar merupakan sebuah dusun yang tanahnya subur sekali sehingga kehidupan penduduk dusun sebagai petani cukup sejahtera, walaupun sederhana namun bagi mereka cukup adil dan makmur. Adil karena di antara mereka tidak ada yang kekurangan dan setiap kali ada yang didesak kebutuhan mendadak, mereka yang kelebihan selalu siap mengulurkan tangan membantu. Dan makmur bagi orang-orang bersahaja itu karena mereka telah dicukupi tiga kebutuhan pokok mereka, yaitu sandang, pangan dan papan.

Di ujung dusun itu terdapat sebuah rumah yang sedang namun terawat baik dan tampak mungil dan kokoh, mempunyai halaman depan yang ditanami bunga-bunga dan pohon-pohon buah. Di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukupi luas. Ini adalah rumah tempat tinggal Ki Dharmaguna bersama isterinya, Endang Sawitri. Ki Dharmaguna adalah seorang pria tampan yang lemah lembut, sikapnya sederhana, ramah dan sabar.

Usianya sekitar empat puluh lima tahun, namun rambutnya sudah bercampur uban karena selama setengah dari usianya dia mengalami banyak penderitaan batin. Isterinya Nyi Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik dan lembut pula, anggun dan gerak-geriknya gesit. Wanita ini berusia sekitar empat puluh tahun. Ia pun mengalami banyak penderitaan batin seperti suaminya sehingga walaupun ia tergolong cantik, namun sinar matanya sayu.

Riwayat suami isteri ini memang menyedihkan. Endang Sawitri adalah puteri tunggal dari Senopati Sindukerta, seorang di antara senopati terkenal dari Kahuripan, dan ia amat disayang orang tuanya. Ketika ia berusia tujuh belas tahun, gadis bangsawan ini saling jatuh cinta dengan Dharmaguna, seorang pemuda putera mendiang Ki Jatimurti, seorang pendeta yang miskin.

Senopati Sindukerta dan isterinya tidak setuju mempunyai mantu seorang pemuda putera pendeta miskin. Mereka mendambakan mantu seorang priyagung (bangsawan tinggi) yang akan membuat puteri mereka hidup terhormat. Akan tetapi, hubungan cinta antara Endang Sawitri dan Dharmaguna sudah sedemikian kuatnya sehingga mereka berdua nekat minggat meninggalkan Kahuripan.

Senopati Sindukerta marah sekali kepada Dharmaguna yang dianggap menculik dan melarikan anak tunggalnya. Dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan pencarian, namun semua usahanya itu sia-sia belaka. Endang Sawitri dan Dharmaguna yang sudah menjadi suami isteri itu melarikan diri dan bersembunyi dengan cara berpindah-pindah tempat.

Setahun kemudian, Endang Sawitri melahirkan seorang anak yang mereka beri nama Nurseta. Bahkan setelah mempunyai seorang anak, mereka tetap berpindah-pindah untuk menghilangkan jejak. Ketika Nurseta berusia tiga tahun, suami isteri ini tinggal di dusun Karang Tirta. Selama tiga tahun, sampai Nurseta berusia enam tahun, mereka hidup tenteram di Karang Tirta, tidak pindah-pindah lagi karena tidak terdapat tanda-tanda bahwa para utusan Senopati Sindukerta mencari mereka sampai ke dusun itu.

Akan tetapi pada suatu hari, mereka mendengar bahwa Ki Lurah Suramenggala, lurah dusun Karang Tirta mengirim utusan ke Kahuripan untuk melaporkan kehadiran mereka kepada Senopati Sindukerta. Tentu saja suami isteri ini terkejut dan ketakutan. Mereka takut akan hukuman, dibunuh pun mereka tidak takut. Yang mereka takuti hanya kalau mereka sampai dipaksa untuk saling berpisah!

Maka, mendengar akan laporan Ki Lurah Suramenggala kepada Senopati Sindukerta, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menjadi ketakutan dan mereka berdua segera melarikan diri dari Karang Tirta. Setelah suami isteri ini merundingkan masak-masak, mereka sengaja meninggalkan anak mereka Nurseta yang telah berusia sepuluh tahun karena mereka tidak ingin anak mereka yang tercinta itu ikut menjadi buronan yang dikejar-kejar.

Mereka meninggalkan Nurseta di Karang Tirta, lalu lari pindah ke lain dusun yang jauh. Karena ketakutan, mereka kembali berpindah-pindah dari dusun ke dusun, dari gunung ke gunung. Akhirnya, lima tahun yang lalu mereka sengaja melarikan diri ke kaki Gunung Semeru yang termasuk tapal batas antara Kahuripan dan Wura-wuri, bahkan masih termasuk wilayah Wura-wuri.

Mereka yakin bahwa para utusan Senopati Sindukerta pasti tidak akan mencari mereka ke dalam wilayah Wura-wuri! Mereka berdua merasa tenteram hidup di dusun Singojajar di kaki Pegunungan Semeru yang menjulang tinggi menembus awan itu. Hanya satu hal yang membuat mereka merasa berduka dan mereka berdua kerap kali menangis kalau teringat akan hal itu. Mereka dapat saling menghibur dan dalam kedukaan yang dipikul bersama itu, cinta kasih antara

suami isteri ini menjadi semakin kokoh. Yang membuat mereka berduka adalah kalau mereka teringat akan Nurseta, putera mereka.

Setelah merasa keadaan mereka kini aman, pada suatu hari, kurang lebih dua bulan yang lalu, Ki Dharmaguna mengutus pembantunya, Pakem, yang biasa membantunya bertani, untuk pergi melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Suami Isteri itu menyuruh Pakem untuk menemui Ki Tejomoyo di Karang Tirta dan minta keterangan kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka Nurseta.

Pada sore hari itu, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri duduk santai di pendopo rumah mereka, berhadapan terhalang meja di mana terdapat minuman air teh dan nyamikan (makanan kecil) keripik pisang yang tadi dihidangkan Nyi Endang Sawitri. Sambil makan nyamikan dan minum air teh, mereka bercakap-cakap. Memang sudah menjadi kebiasaan suami isteri ini, setiap sore setelah berhenti bekerja di sawah ladang, mereka minum teh dengan makanan kecil sambil bercakap-cakap. Akan tetapi sekali ini, wajah mereka tidak tampak tenang seperti biasanya kalau mereka duduk berdua seperti itu. Wajah mereka bahkan tampak tegang dan alis mereka berkerut.

"Kakangmas, mengapa Pakem belum juga pulang?"

"Itulah Diajeng, yang membuat aku tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari ini. Aku sungguh merasa heran mengapa sampai dua bulan Pakem belum juga pulang. Padahal menurut perhitunganku, jarak antara Singojajar ini dan Karang Tirta dapat ditempuh dengan berkuda selama setengah bulan, jadi pulang pergi hanya membutuhkan waktu satu bulan saja. Akan tetapi sampai hari ini, sudah hampir dua bulan dan dia belum juga datang. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk...."

"Kakangmas, bersabarlah jangan membayangkan yang buruk-buruk. Siapa tahu, Pakem mendengar bahwa anak kita itu telah pindah ke tempat lain sehingga pakem pergi mencarinya. Alangkah akan gembira dan bahagianya hati kita kalau Pakem pulang bersama anak kita!"

"Wah, kalau begitu memang bagus sekali, Diajeng. Mudah-mudahan saja perkiraanmu itu benar."

"Wah, kalau aku membayangkan pertemuan kita dengan Nurseta, Kakangmas! Apakah kita akan dapat mengenalnya? Seperti apa dia sekarang? Jantungku berdebar penuh ketegangan kalau aku ingat dan membayangkan pertemuan itu!"

"Dia tentu sudah dewasa sekarang, Diajeng. Ketika kita meninggalkannya, dia berusia sepuluh tahun, dan kurang lebih dua belas tahun telah lewat sejak kita lari dari Karang Tirta."

"Ah, dia sekarang tentu telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun! Telah dewasa. Siapa tahu dia telah mempunyai isteri dan anak, Kakangmas!" Suara wanita itu mengandung getaran keharuan.

"Hemm, kalau begitu engkau akan menjadi Eyang puteri (Nenek) dan aku menjadi Eyang kakung (Kakek)!" kata Ki Dharmaguna, sengaja berkelakar untuk menghibur hati isterinya.

Agak terhibur hati suami isteri itu membayangkan bahwa mereka akan bertemu dengan putera mereka tercinta. Kalau dahulu mereka meninggalkan Nurseta yang berusia enam tahun di Karang Tirta, hal itu mereka lakukan justru karena mereka mencinta putera mereka. Biarpun hati mereka hancur harus meninggalkan anak mereka, namun mereka terpaksa melakukannya karena mereka tidak ingin melihat anak mereka ikut menjadi buronan. Kalau mereka tertangkap, biarlah mereka berdua saja yang menerima hukuman dari Senopati Sindukerta. Anak mereka jangan sampai ikut tertangkap dan dihukum.

Selagi mereka termenung membayangkan peristiwa membahagiakan itu, tiba-tiba terdengar keluhan di halaman rumah. Mereka memandang dan suami isteri itu cepat bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Orang yang ditunggu-tunggu itu datang.

"Pakem....!" Nyi Endang Sawltri berseru. Mereka lalu menuruni pendopo untuk menyambut pembantu mereka itu.

Pakem melangkah menghampiri mereka. Mukanya bengkak-bengkak dan matang biru, langkahnya terhuyung setengah merangkak dengan menyeret kakinya, kedua lengannya tergantung mati.

"Pakem! Engkau mengapa....?" Ki Dharmaguna bertanya, terkejut bukan main.

Setelah tiba di depan suami isteri itu, Pakem berkata dengan napas terengah-engah dan suara terputus-putus.

"....Nurseta.... hidup.... saya... saya ditangkap.... disiksa.... aduhhh....!" Pakem terguling roboh dan ketika suami isteri itu memeriksanya, ternyata pembantu mereka itu tewas.

"Pakem...." Ki Dharmaguna berjongkok memeriksa keadaan tubuh pembantunya dan mendapatkan kenyataan bahwa tubuh itu penuh dengan luka bekas siksaan. Bahkan kedua lengannya agaknya tidak dapat digerakkan karena patah-patah tulangnya! Sementara itu, Nyi Endang Sawitri yang mencium adanya ancaman bahaya, sudah lari memasuki rumah lalu keluar lagi sambil membawa sebatang tombak. Dahulu ia menerima latihan bersilat dengan tombak dari ayahnya yang senopati dan ahli bermain tombak.

Suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang ketika terdengar suara tawa menyeramkan dan dua orang memasuki halaman rumah mereka. Suami isteri itu memandang penuh perhatian. Tadinya mereka mengira bahwa tentu para pesuruh Senopati Sindukerta yang datang untuk menangkap mereka.

Akan tetapi Nyi Endang Sawitri tidak mengenal mereka, Yang seorang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh . brewok, rambutnya gimbal, wajahnya bengis dan kulitnya hitam. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali seperti seorang bangsawan. Usianya sekitar lima puluh lima tahun dan tangannya memegang sebatang cambuk bergagang gading.

Orang kedua seorang laki-laki tampan gagah berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan pakaiannya juga mewah sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Orang ini tersenyum menyeringai dan matanya liar memandang wajah Nyi Endang Sawitri yang masih cantik menarik dengan bentuk tubuh yang ramping padat.

"He-he-he! Apakah Andika yang bernama Dharmaguna dan Endang Sawitri,, Ayah dan Ibu dari Nurseta?" tanya kakek itu dengan suaranya yang besar.

Mendengar kakek itu mengenal mereka dan putera mereka, Ki Dharmaguna menjawab. "Benar sekali. Andika berdua siapakah, Kisanak dan ada keperluan apakah Andika dating berkunjung?"

"Hemm, Dharmaguna! Kalau engkau ingin bertemu dengan Nurseta, ikutlah dengan kami!" kata Kakek itu.

"Dan engkau, Endang Sawitri, juga harus ikut!" kata pula kawannya yang muda, tampan, dan tinggi tegap, sambil tersenyum dan matanya mengamati Endang Sawitri dari kepala sampai ke kaki.

"Katakan dulu siapa kalian dan di mana anak kami Nurseta!" kata Endang Sawitri dengan sikap gagah sambil melintangkan tombaknya.

"Heh-heh-heh, kalian ikut sajalah kalau kalian tidak ingin anak kalian itu kami bunuh seperti pembantumu itu!" Kakek itu menuding ke arah jenazah Pakem yang masih menggeletak diatas tanah.

Wajah Dharmaguna menjadi gelisah mendengar ancaman kepada puteranya itu.

"Diajeng.... mari kita ikut mereka..!"

"Tidak!" Endang Sawitri berkata tegas "Aku tidak percaya kepada kalian berdua! Katakan dulu siapa kalian dan dimana adanya Anak kami!"

"Ha-ha, mau atau tidak mau kalian harus ikut dengan kamil" kata laki-laki yang muda dan dia sudah melangkah maju menghampiri Endang Sawitri sambil berkata kepada temannya yang tinggi besar brewok. "Paman, biarkan aku menangkap wanita Ini dan Andika menangkap yang pria!"

Setelah berkata demikian, laki-laki itu bergerak cepat hendak menubruk dan menelikung Nyi Endang Sawitri. Wanita itu menggerakkan tombaknya, menyambut lawan dengan tusukan tombaknya. Endang Sawitri pernah mempelajari ilmu tombak dari ayahnya, akan tetapi karena selama belasan tahun ia tidak pernah berlatih, maka gerakannya kurang kuat dan kurang cepat.

Padahal, lawannya adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Maka, sambil terkekeh dia miringkan tubuh mengelak. Ketika tombak lewat, dia menangkap tombak itu, menarik dengan sentakan sehingga tubuh Nyi Endang Sawitri terhuyung ke depan. Tombak terampas dan lawan itu sudah merangkul dan memeluk tubuh Nyi Endang Sawitri sehingga wanita itu tidak mampu melepaskan dirinya lagi. la meronta-ronta.

"Keparat Lepaskan aku...., lepaskan .....!" Ia mencoba untuk melepaskan kedua lengannya yang ditelikung dan menyepak-nyepak dengan kakinya. Namun lawan terlampau kuat sehingga ia tidak berdaya sama sekali.

"Lepaskan isteriku!" Ki Dharmaguna membentak dan maju.

Akan tetapi sebuah tendangan kaki laki-laki yang lebih tua membuat tubuhnya terpental jauh. Sebelum dia bangkit lagi, dia pun sudah ditelikung oleh kakek tinggi besar brewok itu. Suami isteri ini ditangkap dan ditarik keluar dari halaman rumah. Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda dating diiringkan dua losin perajurit Wura-wuri. Melihat banyaknya orang yang menangkap mereka, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri maklum bahwa akan percuma saja melakukan perlawanan.

Mereka hendak melihat apa yang selanjutnya yang akan terjadi. Orang-orang itu tadi mengatakan bahwa kalau mereka ikut dengan orang-orang itu, mereka akan dapat bertemu dengan Nurseta. Benarkah itu? Ada rahasia apa di balik paksaan untuk ikut itu? Dan Ikut ke mana? Mereka tidak membantah ketika disuruh memasuki kereta. Kereta lalu bergerak meninggalkan dusun Singojajar. Para penduduk yang keluar menonton berdiri dengan hormat ketika mengenal bahwa pasukan Itu adalah pasukan Wura-wuri.

Apakah yang telah terjadi dengan Pakem, pembantu Ki Dharmaguna yang diutus ke Karang Tirta itu? Ternyata, setelah gagal menundukkan Nyi Lasmi, bahkan kemudian bekas selirnya itu dapat dibebaskan Ki Patih Narotama, Ki Suramenggala yang kini menjadi Tumenggung Wengker masih merasa penasaran sekali. Kebenciannya terhadap Ki Patih Narotama semakin mendalam. Dahulu, pengalamannya di Karang Tirta amat menyakitkan hatinya, karena dia merasa dipermalukan dan dihina, diusir dari dusun itu yang menjadi kampung halamannya.

Maka, setelah orang-orangnya hanya berhasil membantai Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya dan Nyi Lasmi yang telah berada di tangannya itu akhirnya terlepas, dia tetap menyuruh kaki tangannya mengawasi dan memata-matai Karang Tirta. Maka, ketika Pakem yang menunggang kuda tiba di Karang Tirta, dua orang mata-mata dari Wengker itu mengetahuinya. Mereka mengintai dan melihat betapa pendatang asing itu berkunjung ke rumah Ki Tejomoyo.

Mereka menjadi curiga karena Tumenggung Suramenggala sudah menceritakan segala tentang Karang Tirta kepada para anak buahnya Itu. Mereka mengetahui bahwa rumah yang ditempati Ki Tejomoyo itu dahulunya merupakan rumah milik Tumenggung Suramenggala yang telah dirampas oleh penduduk Karang Tirta seperti rumah rumahnya yang lain.

Dua orang mata-mata ini menjadi curiga dan ketika Pakem meninggalkan dusun Karang Tirta, di tengah jalan dia disergap dan ditangkap oleh kedua orang Wengker itu. Pakem yang penduduk dusun itu menjadi ketakutan, apalagi ketika dua orang yang menangkapnya itu membentak sambil mengancam dengan golok yang ditempelkan pada lehernya.

"Engkau orang jahat yang hendak mengacau di Karang Tirta! Hayo mengaku siapa engkau dan dari mana engkau datang!"

Pakem yang dibawa ke sebuah hutan di luar dusun Karang Tirta gemetar ketakutan.

"Ampun, Denmas.... saya bukan penjahat...., saya hanya utusan...."

"Kalau bukan penjahat, cepat katakan siapa engkau, datang dari mana, siapa yang mengutusmu dan urusan apa yang kau lakukan! Awas, kalau engkau berbohong, golok ini akan minum darahmu!"

"Ampun, Denmas.... saya bernama Pakem, tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Saya bekerja pada Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, membantu mereka bertani. Saya diutus suami isteri itu untuk mengunjungi Ki Tejomoyo di dusun Karang Tirta..."

"Untuk urusan apa? Hayo katakan, cepatl" dua orang itu membentak.

"Saya.... saya disuruh bertanya kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka yang bernama Nurseta...."

Dua orang mata-mata itu terkejut. Mereka pernah mendengar nama ini. Nurseta yang kabarnya merupakan seorang pembela Kahuripan dan merupakan musuh besar Adipati Linggawijaya dan Sang Tumenggung Suramenggala.

"Hayo ikut dengan kami!"

"Ampun, Denmas.... saya mau dibawa ke mana? Saya harus pulang dengan cepat...."

"Plakk!" Muka Pakem ditampar sehingga dia terpelanting.

"Jangan banyak cerewet! Ikut saja dengan kami kalau engkau tidak ingin kami sembelih di slnil"

Demikianlah, Pakem lalu dibawa pergi dua orang mata-mata itu dan dihadapkan Tumenggung Suramenggaia. Ketika Tumenggung Suramenggala mendengar laporan anak buahnya, dia cepat melakukan perundingan dengan Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti. Setelah Tumenggung Suramenggala selesai bercerita tentang ayah ibu Nurseta yang tinggal di dusun Singojajar, Adipati Linggawijaya menepuk pahanya.

"Ah, bagus sekali kalau begitu! Kita tangkap orang tua Nurseta dan menggunakan mereka sebagai sandera dan umpan untuk memancing datangnya Nurseta ke sini. Kalau dia berani datang untuk menolong Ayah Ibunya, kita habiskan dia disini Dia merupakan penghalang besar bagi usaha kita untuk menghancurkan Kahuripan!"

"Akan tetapi kita harus berhati-hati, Kakangmas Adipati." kata Dewi Mayangsarl. "Dusun Slngojajar di kaki Gunung Semeru itu termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri. Kebetulan sekali kita sudah mengatur rencana kita. Aku dan Paman Resi Bajrasakti membawa pasukan pengawal berkunjung ke Wurawuri untuk berunding dengan Adipati Wura-wuri sedangkan Paduka pergi ke Kadipaten Parang Siluman dan Kadipaten Siluman Laut Kidul mengajak mereka bersekutu pula. Nah, aku akan menggunakan kesempatan kepergianku ke Wurawuri untuk bersama kadipaten itu menangkap Ayah Ibu Nurseta."

"Heh-heh, itu benar sekail!" kata Resi Bajrasakti. "Dan kita bawa Si Pakem itu untuk menjadi penunjuk jalan di mana tempat tinggal Dharmaguna dan Endang Sawitri itu!"

"Dan aku akan menyebar penyelidik untuk menyelidiki dimana adanya Nyi Lasmi sekarang. Sedapat mungkin tangkap pula Nyi Lasmi untuk memancing datangnya Puspa Dewi." kata Tumenggung Suramenggala.

"Memang sebaiknya begitu dan jangan dilupakan mengirim mata-mata ke Kahuripan untuk melihat gerak-gerik dan keadaan kerajaan itu." kata Adipati Linggawijaya.

Demikianlah, perundingan telah membuahkan rencana pembagian tugas. Adipati Linggawijaya akan mengunjungi Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Parang Siluman. Adapun Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti membawa dua losin orang perajurit pengawal, melakukan perjalanan ke Wura-wuri.

Pakem yang bernasib sial itu mereka bawa, menunggang kuda di tengah-tengah pasukan pengawal sehingga sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk melarikan diri. Kedatangan Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti disambut dengan gembira dan penuh hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala. Mereka berdua disambut dengan pesta makan minum dan yang ikut menyambut adalah Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kaia Teja yang merupakan senopati-senopati tua dan setia dari Wura-wuri, juga Ki Gan-darwo yang merupakan senopati muda yang baru, juga diam-diam menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala. Ketika Dewi Mayangsari menyatakan keinginannya untuk mengajak Wura-wuri bersatu menghadapi Kahuripan, Nyi Dewi Durgakumala mendahului suaminya berkata dengan gembira.

"Wah, tentu saja kami sambut baik uluran tangan kerja sama itu. Memang kami sendiri juga ingin membalas dendam kepada Kahuripan dan kalau kita bersatu padu, tentu Kahuripan akan dapat kita hancurkan."

"Kami akan mempersiapkan semua barisan kami!" kata Adipati Bhismaprabhawa yang memang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan.

"Heh-heh-heh, bagus, bagus! Keadaan kita akan menjadi semakin kuat karena Anakmas Adipati Linggawijaya juga sedang mengadakan hubungan kerja sama dengan Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Kadipaten Parang Siluman." kata Resi Bajrasakti.

"Selain itu, kami masih membawa sebuah urusan yang juga amat penting dalam usaha kita melumpuhkan Kahuripan." kata Dewi Mayangsari.

Ia ialu menceritakan tentang Pakem yang mereka tawan, tentang Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta yang kini tinggal di daerah Wurawuri.

"Andika semua tentu telah mendengar nama Nurseta sebagai seorang sakti mandraguna yang setia membela Kahurip-an." kata Dewi Mayangsari. "Karena itu, kita harus menangkap suami isteri itu, menyandera mereka untuk memaksa Nurseta datang, lalu kita bunuh dia!"

"Wah, kami setuju sekalil" kata Nyi Dewi Durgakumala.

"Penangkapan itu harus segera dilaksanakan sebelum membocor dan mereka melarikan diri!"

Demikianlah, karena tidak ingin perangkapan itu gagal, Resi Bajrasaktl sendiri, dibantu Ki Gandarwo yang mewakili Wura-wuri, memimpin dua losin perajurit Wura-wurl dan Wengker pergi ke dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Rombongan ini membawa Pakem yang sudah terluka parah karena disiksa sebagai penunjuk jalan. Mula-mula Pakem yang melihat niat jahat itu, berkeras tidak mau menunjukkan jalan, akan tetapi dengan kejam Resi Bajrasaktl menyiksanya sehingga keadaannya payah sekali. Kedua tulang lengannya dipatahkan dan dia disiksa sehingga terpaksa dia mau menjadi penunjuk jalan. Setelah tiba di dusun Singojajar, Pakem dilepas dan disuruh jalan lebih dulu. Pakem menguatkan dirinya, berjalan setengah merangkak memasuki halaman rumah Ki Dharmaguna dan seperti telah kita ketahui, seteiah bertemu dengan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, Pakem terkulai roboh dan tewas.

Kini Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri ditawan, dipaksa memasuki kereta dan kereta kini dijalankan keluar dari dusun Singojajar, dikawal dua lusin orang perajurlt, yang terdiri dari selosin perajurlt Wengker yang mengawal Dewi Mayangsari berkunjung ke Wura-wuri, dan selosin perajurit Wurawuri sendiri.

Suami isteri itu duduk bersanding di dalam kereta. Mereka tidak dibeienggu, akan tetapi Ki Gandarwo duduk di depan mereka. Laki-laki muda tampan gagah yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala ini memang seorang yang berwatak mata keranjang dan sombong. Sebagai adik seperguruan Cekel Aksomolo, dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Karena diangkat menjadi senopati di Wura-wuri, dia tinggal di sana dan lebih lagi, dia dipilih Nyi Dewi Durgakumala sebagai kekasih gelapnya. Tentu saja Nyi Durgakumala yang sejak mudanya menjadi seorang wanita berwatak iblis cabul, tidak puas dengan suaminya, Adipati Bhismaprabhawa yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Maka ia mengambil Ki Gandarwo sebagai kekasihnya dan hal ini pun diketahui oleh Adipati Bhismaprabhawa.

Karena sudah mengenal benar siapa permaisuri barunya itu dan bagaimana wataknya, maka Adipati Wura-wuri ini pun tidak mengacuhkannya. Dia memang mengambil Nyi Dewi Durgakumala sebagai permaisurinya bukan hanya karena wanita itu amat cantik melainkan terutama sekali karena dia hendak memanfaatkan kesaktian wanita itu untuk memperkuat Kerajaan Wura-wuri.

Adapun Ki Gandarwo yang baru berusia dua puluh delapan tahun, mau dijadikan kekasih permaisuri yang usianya sudah lima puluhan tahun hanya karena dia menginginkan kedudukan di Wura-wuri. Tentu saja dalam hatinya, Ki Gandarwo tidak merasa puas dan karena wataknya memang mata keranjang, diam-diam dia selalu mencari wanita lain yang muda dan memang para wanita Wura-wuri banyak yang cantik manis.

Kini, duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, timbul gairah berahi Ki Gandarwo. Biarpun Nyi Endang Sawitri juga tidak muda benar, sudah empat puluh tahun usianya, akan tetapi la masih cantik menarik, bahkan dalam pandang mata laki-laki mata keranjang Ini, wanita yang kini duduk dalam kereta berhadapan dengannya, tampak jauh lebih menarik daripada Nyi Dewi Durgakumala yang sudah membosankan hatinya.

Memang demikianlah segala macam kesenangan, apa saja yang didapatkan dengan dasar nafsu, cepat atau lambat berakhir dengan kebosanan. Duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, walaupun wanita itu duduk bersanding dengan suaminya, tidak membuat Ki Gandarwo merasa rikuh (sungkan). Dia tersenyum-senyum dan terkadang, kalau wanita itu memandang kepadanya, dia sengaja mengedipkan sebelah mata sebagai isarat, tanpa memperduiikan bahwa Ki Dharmaguna juga melihatnya!

Nyi Endang Sawitri merasa muak, akan tetapi karena ia maklum bahwa laki-laki kurang ajar di depannya ini amat digdaya dan ia bersama suaminya yang lemah sama sekali tidak akan mampu mengalahkannya, menahan rasa dongkolnya, bahkan ia menutupi perasaannya dan mengalihkan perhatian dengan bertanya.

"Kisanak, apakah maksud kalian mengatakan bahwa kalau kami ikut kalian, kami akan dapat bertemu dengan putera kami Nurseta?"

Mendengar pertanyaan ini, Ki Gandarwo tersenyum.

"Kalian ikut saja dan menaati semua perintah kami dan Nurseta pasti akan datang untuk menemui kalian."

"Tapi.... mengapa pembantu kami, Pakem, kalian bunuh?" Nyi Endang Sawitri bertanya.

"Hemm, dia tadinya keras kepala, tidak mau menunjukkan di mana kalian tinggal. Terpaksa kami siksa agar dia mengaku." jawab Ki Gandarwo, sama sekali tidak merasa malu, bahkan tersenyum bangga menceritakan hal itu. Sambil menahan kemarahannya, dan untuk tetap mengalihkan perhatiannya, Nyi Endang Sawitri bertanya lagi.

"Apakah... apakah kalian ini mengenal anak kami Nurseta?"

"Kenal...., kenal....!" kata Ki Gandarwo, tersenyum mengejek.

"Sahabat kalian?"

"Ya, sahabat baik, ha-ha, sahabat baik sekali!"

"Tapi.... tapi di mana anak kami Nurseta? Apa dia baik-baik saja?"

"Ha-ha, dia baik-baik saja, nanti juga kalian akan bertemu dengan dia!"

"Tapi.... siapakah Andika? Siapakah kalian ini?" tanya Nyi Endang Sawitri sambil mengerutkan alisnya karena Ki Gandarwo membungkuk sehingga wajah laki-laki itu mendekatinya.

"Mau tahu aku siapa? Aku adalah Raden Gandarwo, Senopati Muda dari Kerajaan Wura-wuri! Kalau kalian ingin selamat dan ingin bertemu Nurseta, kalian harus menaati semua perintahku. Nah, perintahku yang pertama, Nyi Endang Sawitri, engkau pindahlah duduk di sini, di sampingku." Sambil berkata demikian, Gandarwo menjulurkan tangan menangkap pergelangan tangan Endang Sawitri dan menariknya dengan sentakan kuat. Tubuh wanita itu tertarik dan ia terjatuh keatas pangkuan Gandarwo.

"Lepaskan aku" Endang Sawitri merenggutkan dirinya, namun Gandarwo merangkulnya.

"Jangan kurang ajar! Lepaskan isteriku " Ki Dharmaguna berkata dan berusaha menarik isterinya lepas dari rangkulan Gandarwo. Akan tetapi kaki Gandarwo menendang ke arah laki-laki yang hendak membela isterinya itu.

"Bukk....!" Ki Dharmaguna terkena tendangan pada dadanya sehingga tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta yang masih berjalan perlahan.

"Kakangmas....!" Endang Sawitri menjerit dan meronta dengan sekuatnya sehingga terlepas dari rangkulan Gandarwo. Ia segera melompat keluar dari dalam kereta, lalu membantu suaminya bangkit berdiri. Dharmaguna tidak terluka parah, hanya lecet-lecet karena terjatuh keluar kereta dan mukanya menyeringai karena perutnya terasa nyeri oleh tendangan tadi.

Kereta dihentikan dan rombongan itu menahan kuda mereka ketika melihat dua orang suami isteri itu keluar dari kereta. Ki Gandarwo marah sekali. Dia yang bertugas menjaga suami isteri itu di daiam kereta, tentu saja merasa malu kepada para perajurit, terutama kepada Resi Bajrasakti, karena suami isteri itu keluar dari kereta seolah dia tidak mampu menahan mereka. Dia pun melompat keluar menghampiri Ki Dharmaguna yang bangkit dibantu isterinya...


BERSAMBUNG KE JILID 10