Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 06

Hwesio itu adalah Ho Kong Hwesio, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang tinggi ilmunya. Dia menolong Kim Lan dan selanjutnya Kim Lan menjadi muridnya. Setelah berusia sembilan belas tahun. Kim Lan tamat belajar. Ia segera pergi ke kota raja Nanking untuk mencari keterangan di mana adanya kakaknya, yaitu The Jiauw Lan yang kini bernama Ki Tejoranu. Ia mendengar bahwa kakaknya telah menjadi buronan karena membunuh Bong Kongcu. Juga ia mendengar akan nasib tunangan kakaknya, yaitu Mei Hwa, yang dipaksa menjadi selir Bangsawan Bong. Ia mendengar betapa tunangan kakaknya itu membunuh diri tak lama setelah dipaksa menjadi selir Bangsawan Bong.

Kim Lan menjadi marah dan pada suatu malam, ia berhasil memasuki gedung keluarga Bangsawan Bong dan membunuh pembesar itu. Kota raja menjadi gempar dan Kim Lan melarikan diri. Ketika ia mendengar bahwa kakaknya melarikan diri ke Nusa Jawa ia lalu menumpang perahu dagang yang berlayar ke selatan dan tiba di Nusa Jawa. Ia merantau dan mencari kakaknya, bertanya-tanya kepada orang-orang Cina yang dijumpainya kalau kalau ada yang bertemu dengan kakaknya. Juga ia pesan kepada mereka bahwa kalau mereka bertemu dengan kakaknya itu, agar diberitahu bahwa ia telah berada di Tanah Jawa dan untuk sementara tinggal di sekitar kaki Gunung Kawi.

"Demikianlah, Lan-ko. Tadi aku melihat Bibi Lasmi ini dibawa dengan paksa oleh gerombolan orang itu, maka aku lalu turun tangan menolongnya. Sungguh membahagiakan sekali melihat engkau muncul, Lan-ko!"

Ki Tejoranu menghela napas panjang. "Terima kasih kepada Thian (Tuhan) bahwa kita berdua dapat bertemu dalam keadaan selamat, Adikku. Siapa mengira bahwa kita berdua telah kehilangan ayah ibu dan kini berada di Tanah Jawa, jauh sekali dari tanah air kita? Kita tidak berani pulang karena pasti ada banyak orang akan membunuh kita, terutama sekali setelah engkau menewaskan Pembesar Bong. Pemerintah tentu menganggap kita berdua orang-orang jahat yang harus dihukum. Semua ini gara-gara keluarga Bong yang jahat itu!"

"Sudahlah, tidak perlu kita sesali nasib. Lan-Ko. Bagaimana pun juga, kita sudah membalas sakit hati kita, engkau sudah membunuh Bong Kongcu, dan aku sudah membunuh Pembesar Bong. Berarti kematian ayah ibu dan kematian Enci Mei Hwa telah terbalas."

Kakak dan adik ini bercakap-cakap melepaskan kerinduan hati mereka dan setelah Nyi Lasmi terbangun dari tidurnya, barulah mereka berdua menghampirinya.

"Bibi Lasmi, bagaimana sekarang keadaan badanmu?" tanya Kim Lan.

Nyi Lasmi kini dapat tersenyum dan ia berkata, "Wah, badanku terasa segar dan kuat kembali, Kim Lan. Terima kasih atas pertolongan kalian kakak beradik yang berbudi baik!"

"Bibi, mari kami antar bibi pulang ke Karang Tirta. Kita harus dapat sampai di sebuah dusun sebelum gelap." kata Ki Tejoranu.

Saat itu sudah menjelang sore dan semua kuda sudah dibawa gerombolan tadi dan ada yang melarikan diri ketika terjadi perkelahian sehingga mereka terpaksa berjalan kaki menuju dusun terdekat di mana mereka dapat melewatkan malam dengan mondok di rumah keluarga petani.

Pada suatu pagi yang cerah, Nyi Lasmi, Ki Tejoranu, dan The Kim Lan berjalan santai menuju ke selatan. Perjalanan sore itu lambat sekali karena selain mereka berjalan kaki, juga Nyi Lasmi adalah seorang wanita lemah. Andaikata Ki Tejoranu melakukan perjalanan berdua dengan Kim Lan, tentu mereka dapat menggunakan kepandaian mereka untuk berlari cepat.

Telah dua malam mereka menginap di dusun-dusun yang mereka lewati dan pagi ini, mereka berjalan dan tiba di jalan umum di luar dusun yang sepi. Di kanan kiri jalan berbatu-batu itu terdapat hamparan tanah persawahan yang kering kerontang karena waktu itu adalah musim kemarau. Tanah yang luas itu retak-retak dan tidak dapat ditanami. Para petani tidak dapat menggarap sawah, menanti datangnya hujan. Daerah itu jauh dari sungai, maka mereka hanya mengharapkan air hujan untuk mengairi tanah persawahan mereka.

Biarpun matahari masih muda, namun panasnya sudah menyengat badan dan memancing keluarnya keringat. Terutama sekali Nyi Lasmi merasa lelah setelah melakukah perjalanan selama dua hari itu, walaupun seringkali mereka terpaksa mengaso karena kelemahan dan kelelahan Nyi Lasmi.

Mereka melangkah santai, tidak bercakap-cakap. Agaknya bahan percakapan mereka telah habis dibicarakan selama dua hari itu. Mereka termenung, agaknya tenggelam ke dalam kenangan mereka masing-masing.

Tiba-tiba Ki Tejoranu dan The Kim Lan memandang jauh ke depan dengan alis berkerut. Mereka berdua dapat mendengar derap kaki banyak kuda walaupun belum dapat melihat mereka karena jalan di depan itu membelok ke kanan dan pandang mata terhalang pepohonan.

"Hati-hati!" kata Ki Tejoranu kepada adiknya dalam bahasa Cina.

"Aku siap!" jawab Kim Lan.

Mereka lalu mengajak Nyi Lasmi berhenti di bawah sebatang pohon trembesi.

"Bibi Lasmi, duduklah di sini. Kita mengaso." kata Kim Lan.

"Apa yang terjadi?" tanya Nyi Lasmi yang dapat melihat ketegangan pada wajah kakak beradik itu.

"Bibi duduk saja di sini. Ada serombongan orang berkuda lewat. Mudah-mudahan bukan orang jahat." kata Ki Tejoranu, lalu dia bersama adiknya berdiri di tepi jalan, di depan Nyi Lasmi untuk melindungi wanita itu.

Rombongan itu muncul di jalan tikungan. Mereka terdiri dari belasan orang dan kakak beradik itu segera mengetahui bahwa mereka adalah musuh ketika melihat bahwa dua orang pimpinan gerombolan yang membawa Nyi Lasmi tadi berada di antara mereka. Namun kakak beradik ini tidak menjadi gentar dan mereka siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Memang, dua orang warok dari Kerajaan Wengker, Ki Wirobento dan Wirobandrek, berada di antara orang-orang itu. Ketika mereka dikalahkan Ki Tejoranu dan Kim Lan, dua orang ini segera pergi ke Kerajaan Wura-wuri yang sudah tidak jauh lagi dan segera menyerahkan surat yang ditulis Adipati Linggawijaya kepada Adipati Wura-wuri, dan menceritakan bahwa Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi, dirampas oleh seorang pemuda dan seorang gadis Cina.

Mendengar ini, Nyi Dewi Durgakumala, permaisuri Wurawuri guru Puspa Dewi itu menjadi marah. Ia ingin sekali dapat menangkap Puspa Dewi, muridnya yang berkhianat terhadap Wura-wuri, akan tetapi maklum betapa sukarnya menangkap gadis perkasa itu. Kalau ibu kandungnya dapat ditangkap, tentu gadis itu akan menyerahkan diri. Maka, Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala segera mengutus Tri Kala yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja, diperkuat lagi dengan Ki Gandarwo yang sakti, membantu rombongan utusan Kerajaan Wengker itu untuk menangkap kembali Nyi Lasmi. Rombongan itu berhenti di depan Ki Tejoranu dan Kim Lan. Ki Wirobento yang tinggi besar itu dengan suara parau menuding ke arah kakak beradik itu.

"Mereka inilah jahanam yang merampas tawanan kami dan yang duduk di bawah pohon itulah Nyi Lasmi yang harus kami antarkan ke Wura-wuri!"

Ki Gandarwo melompat dari atas kuda, diikuti yang lain. Beberapa orang anak buah mereka lalu membawa kuda itu menjauh agar binatang-binatang itu tidak menjadi ketakutan dan kabur. Dengan lagak gagah Ki Gandarwo melangkah maju memandang Ki Tejoranu dan Kim Lan, lalu membentak dengan suara nyaring berwibawa.

"Siapakah kalian berdua yang berani mati merampas Nyi Lasmi yang menjadi tawanan kami?"

Ki Tejoranu memandang orang itu penuh perhatian. Seorang pria muda yang gagah dan tampan, berpakaian mewah, di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan tubuhnya tegap. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun.

"Namaku Tejoranu dan ini adikku bernama The Kim Lan!"

"Hemm, engkau seorang Cina?" Ki Gandarwo bertanya.

"Benar, aku berasal dari Negeri Cina."

"Mengapa kalian orang-orang Cina berani merampas tawanan kami?"

"Kami melihat seorang wanita dipaksa dan di luar kehendaknya dibawa rombongan dari Wengker. Melihat hal yang sewenang-wenang ini, tentu saja kami harus menolongnya. Kalianlah yang merampas kemerdekaan orang."

"Keparat! Kalian mencampuri urusan keluarga orang lain!"

Ki Gandarwo membentak dan belasan orang itu mulai mengepung. Melihat betapa kakak beradik yang menolongnya itu terancam pengeroyokan, Nyi Lasmi bangkit berdiri dan berkata kepada mereka.

"Ki Tejoranu dan Kim Lan, pergilah kalian dari sini dan jangan mencampuri urusan ini. Biarkan mereka menawanku, aku akan menghadapi mereka. Jangan kalian berdua mengorbankan nyawa untukku!"

Mendengar ucapan Nyi Lasmi, Ki Tejoranu dan Kim Lan menjadi semakin bersemangat. Wanita yang lemah itu ternyata memiliki watak yang gagah!

"Jangan khawatir, Bibi Lasmi. Kami akan menghajar orang-orang jahat yang sewenang-wenang ini!" kata Kim Lan.

Ki Gandarwo, senopati muda Wura-wuri itu adalah seorang mata keranjang. Diam-diam dia telah menjadi kekasih gelap Sang Permaisuri Wura-wuri, Nyi Dewi Durgakumala sehingga memiliki kekuasaan besar di Wura-wuri. Kini, melihat Kim Lan, timbul berahinya. Banyak sudah dia mendapatkan wanita-wanita cantik, akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis Cina yang cantik seperti Kim Lan ini. Maka, timbul keinginan hatinya untuk menangkap gadis itu dan dijadikan kekasihnya. Melihat gadis itu bersikap gagah, dia semakin kagum. Dia memberi aba-aba kepada kawan-kawannya.

"Tangkap atau bunuh saja pemuda Cina itu! Gadis ini aku yang tangkap!"

Setelah berkata demikian, Ki Gandarwo lalu menerjang ke arah Kim Lan, kedua lengannya yang kekar itu dikembangkan lalu kedua tangannya menyambar untuk menangkap gadis itu dari kanan kiri. Tentu saja dia memandang ringan Kim Lan karena dia adalah orang terkuat di Wura-wuri, tentu saja di bawah Nyi Dewi Durgakumala yang sakti mandraguna.

"Wuuussss...!"

Ki Gandarwo terkejut karena kalau tadi tampaknya gadis itu tidak akan mampu menghindarkan diri dari kedua tangannya yang menyambar dari kanan kiri, tiba-tiba saja gadis itu melesat bagaikan bayang-bayang dan dia menangkap angin belaka! Melihat bayangan gadis itu berkelebat ke sebelah kirinya, dia menubruk lagi ke kiri. Sekali ini Kim Lan menggunakan kedua tangannya untuk menangkis dari samping.

"Dukkk...!!"

Ki Gandarwo semakin terkejut. Tangkisan itu membuat kedua lengannya terasa tergetar hebat! Kiranya gadis ini benar-benar kuat dan memiliki kedigdayaan! Pantas saja dua orang warok dari Wengker itu dan anak buah mereka tidak mampu mengalahkannya.

"Haaaiiittt...!"

Kini Ki Gandarwo tidak memandang ringan lagi dan dia tahu bahwa kalau dia ingin menang, dia harus menyerang sungguh-sungguh. Mengikuti bentakannya itu, tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Kim Lan dan tangan kanannya menyusul dengan pukulan ke arah perut! Serangan ini hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga yang amat kuat. Kim Lan mengenal serangan maut yang berbahaya, ia mengandalkan kelincahan gerakannya untuk memutar ke kiri mengelak cengkeraman ke arah mukanya dan dari samping tangannya membuat gerakan setengah lingkaran menangkis pukulan ke arah parutnya.

"Plakk!"

Begitu tangan Ki Gandarwo tertangkis, Kim Lan mundur dua langkah lalu kaki kirinya mencuat dengan cepat menendang ke arah perut lawan.

"Plakk...!"

Biarpun Ki Gandarwo sudah mengelak dan miringkan tubuhnya, tetap saja kaki kecil gadis itu menyerempet pinggulnya sehingga dia terhuyung walaupun tidak terluka! Marahlah Ki Gandarwo. Dia mencabut pedangnya dan dua orang anak buah membantunya mengeroyok Kim Lan. Kim Lan mencabut pedangnya dan ia segera memutar pedangnya menyambut serangan tiga orang pengeroyoknya. Biarpun Ki Gandarwo merupakan lawan tangguh dan dua orang yang membantunya juga bukan orang lemah, namun Kim Lan yang memiliki gerakan yang gesit sekali itu dapat mengimbangi serangan mereka dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga terjadilah perkelahian yang seru.

Sementara itu, Tri Kala juga sudah menerjang dan mengeroyok Ki Tejoranu. Melihat tiga orang senopati Wura-wuri ini menerjang dengan senjata mereka, Kala Muka menggunakan keris, Kala Manik menggunakan klewang dan Kala Teja menggunakan ruyung dan gerakan mereka cukup hebat, Ki Tejoranu cepat mencabut sepasang goloknya dan dia pun melawan mati-matian!

Kakak beradik itu masing-masing dikeroyok tiga orang yang tangguh. Pertempuran itu berjalan seru dan ketika dua orang senopati Wengker, yaitu Wirobento dan Wirobandrek melihat betapa sampai puluhan jurus teman-temannya belum juga mampu merobohkan dua orang Itu, mereka segera memnberi isyarat kepada anak buah mereka untuk maju mengeroyok. Lima orang anak buah menerjang Ki Tejoranu dan lima orang lagi mengeroyok Kim Lan sehingga kini dua orang kakak beradik itu masing-masing menghadapi pengeroyokan delapan orang! Tentu saja mereka berdua menjadi kerepotan dan terkepung ketat.

"Kita larikan Nyi Lasmi ke Wurawuri!" kata Wirobento kepada Wirobandrek. Melihat dua orang kakak beradik itu terkepung ketat sehingga tidak mungkin lagi melindungi Nyi Lasmi yang berdiri dengan muka pucat, mengkhawatirkan keselamatan dua orang penolongnya, dua orang senopati Wengker ini segera berloncatan menghampiri dan Nyi Lasmi tidak mampu menghindar ketika Wirobento menangkapnya, memanggul tubuhnya dan melarikan diri dikawal Wirobandrek. Keduanya lalu menunggang kuda dan melarikan Nyi Lasmi, hendak membawanya ke Wura-wuri untuk diserahkan kepada Adipati Wura-wuri seperti diperintahkan Adipati Linggawijaya.

Belum jauh mereka membalapkan kuda meninggalkan tempat pertempuran, tiba-tiba kuda yang mereka tunggangi berhenti, meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas. Dua orang senopati Wengker itu terkejut dan melihat bahwa ada seorang laki-laki gagah berdiri menghadang di tengah jalan. Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya ke depan seolah mendorong dan ada angin menyambar dan itulah agaknya yang membuat dua ekor kuda itu meringkik seperti ketakutan! Dua orang itu terpaksa melompat turun dari atas punggung kuda dan Wirobento membawa Nyi Lasmi turun. Dua ekor kuda itu lalu melarikan diri ketakutan!

Mereka bertiga memandang ke arah pria itu. Seorang pria yang bertubuh tegap gagah, usianya sekitar tiga puluh tiga tahun, berpakaian dari kain yang indah namun bentuknya sederhana, wajahnya yang tampan itu tersenyum penuh pengertian dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh wibawa.

Begitu melihat pria itu, Nyi Lasmi segera menjatuhkan diri berlutut menghadapnya dan berkata, "Gusti Patih Narotama..."

Wirobento dan Wirobandrek juga pernah melihat Patih Kahuripan ini dan mereka merasa terkejut bukan main. Akan tetapi mereka adalah senopati yang tentu saja mengandalkan kesaktian sendiri. Walaupun mereka sudah mendengar akan kesaktian Ki Patih Narotama, mereka belum pernah bertanding melawannya, maka mereka segera melangkah maju dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Ki Patih Narotama. Wirobento menyerang dengan pecutnya yang berujung besi, sedangkan Wirobandrek menyerang dengan sepasang kolor merahnya. Ki Patih Narotama melompat ke belakang sehingga serangan mereka luput.

"Tahan! Siapakah Andika berdua dan siapa pula wanita itu? Mengapa Andika berdua melarikannya?"

"Andika Ki Patih Narotama? Harap jangan mencampuri urusan kami! Ini adalah urusan keluarga Gusti Permaisuri Wura-wuri, dan ingatlah, Ki Patih Narotama. Kehadiranmu di sini sudah merupakan pelanggaran wilayah Wura-wuri!"

"Hemm, siapa pun adanya Andika berdua, dan di mana pun aku berada, kalau aku melihat dua orang laki-laki bertindak kasar memaksa seorang wanita lemah ikut pergi di luar kehendaknya, aku pasti tidak akan tinggal diam dan menentangnya. Bebaskan wanita ini dan pergilah kalian. Aku tidak ingin berurusan dengan kalian!"

"Keparat, Ki Patih Narotama. Dalam suasana tidak ada perang Andika mengacau di sini. Ketahuilah, kami adalah Senopati Wirobento dan Wirobandrek dari Kerajaan Wengker. Kami melaksanakan perintah Kanjeng Adipati Wengker untuk mengantarkan wanita ini ke Wura-wuri dan menyerahkannya kepada Kanjeng Adipati Wura-wuri dan Gusti Permaisuri. Maka, harap Andika mundur dan jangan mencampuri urusan ini!"

Ki Patih Narotama lalu bertanya kepada Nyi Lasmi. "Bibi, Ceritakan, apa yang sesungguhnya terjadi? Jangan takut, aku akan melindungimu."

Nyi Lasmi yang masih berlutut lalu berkata, "Gusti Patih, Paduka mungkin lupa kepada hamba. Hamba adalah Ibu kandung Puspa Dewi yang tinggal di Karang Tirta menumpang di rumah keluarga Ki Lurah Pujosaputro yang dulu paduka angkat menggantikan Suramenggala."

"Ah, benar. Sekarang aku ingat. Jadi Andika penduduk Karang Tirta. Bagaimana dapat dibawa dua orang senopati Wengker ini?"

"Aduh, ketiwasan (celaka), Gusti. Gerombolan jahat dari Wengker, utusan Suramenggala, telah..."

Tiba-tiba Wirobento dan Wirobandrek menggereng dan keduanya sudah menubruk ke arah Nyi Lasmi untuk membunuh wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Ki Patih Narotama berkelebat dan menyambut terjangan dua orang itu.

"Werrr... des! Desss...!!"

Dua orang senopati Wengker itu terpental dan roboh terbanting sampai terguling-guling saking kuatnya tangkisan Ki Patih Narotama yang mengandung angina sekuat badai menerpa mereka! Biarpun tidak terluka karena memang Ki Patih Narotama tidak berniat membunuh mereka, dua orang senopati itu terkejut bukan main dan maklum bahwa mereka sama sekali bukan tandingan ki patih yang sakti mandraguna itu, mereka segera bangkit dan melarikan diri.

Ki Patih Narotama menghampiri Nyi Lasmi. "Bibi, sekarang ceritakan semua apa yang telah terjadi."

"Ampun, Gusti.... hamba mohon sudilah kiranya Paduka menolong dua orang yang membela hamba dan sekarang dikeroyok banyak orang. Hamba khawatir..."

"Hemm, di mana mereka?"

"Di sana, Gusti!" Nyi Lasmi menuding ke arah tempat perkelahian tadi. "Hamba takut terlambat, Gusti. Yang mengeroyok banyak sekali...!"

"Mari kita ke sana!" Ki Patih Narotama memegang lengan Nyi Lasmi dan wanita itu menahan jeritnya ketika merasa betapa tubuhnya terbawa seolah terbang cepatnya. Kedua kakinya tidak menyentuh tanah. Sebentar saja mereka sudah tiba di tempat perkelahian itu dan Ki Patih Narotama melihat betapa seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat kuning menggunakan sepasang golok mengamuk, dikeroyok delapan orang! Dan tak jauh dari situ, tampak seorang gadis Cina dengan gagahnya melawan delapan orang pengeroyok lain. Ki Patih Narotama terkejut mengenal laki-laki itu.

"Ki Tejoranu!" serunya dan Ki Patih yang sakti mandraguna ini lalu melepaskan Nyi Lasmi, kemudian tubuhnya menerjang ke arah pertempuran Kaki tangannya bergerak seperti berubah menjadi banyak saking cepatnya dan para pengeroyok itu kocar-kacir.

Mereka yang terkena tamparan atau tendangan Ki Patih Narotama seperti disambar petir roboh terguling-guling. Akan tetapi Ki Patih Narotama membatasi tenaganya sehingga tidak sampai membunuh mereka.

"Gusti Patih Narotama! Kedatangan Paduka tepat pada waktunya!" kata Ki Tejoranu girang karena tadi dia dan adiknya sudah kewalahan dan terdesak hebat

Mendengar seruan kakaknya, The Kim Lan memperhatikan dan gadis ini terkejut akan tetapi juga kagum bukan main. Walaupun ia sendiri pasti akan menang kalau menghadapi para pengeroyok itu satu lawan satu, akan tetapi dikeroyok delapan, ia tadi juga sudah kewalahan dan lelah sekali. Kini ia melihat sepak terjang pria yang disebut Ki Patih Narotama oleh kakaknya dan ia hampir tidak percaya kalau tidak melihat sendiri.

Ki Patih itu dengan tangan dan kakinya, membuat para pengeroyok itu kocar-kacir dan tidak ada senjata para pengeroyok yang sempat menyentuh tubuhnya. Seolah-olah dari gerakan tangan kakinya itu menyambar hawa yang amat kuat dan yang membuat senjata para pengeroyok itu mental kembali ketika bertemu dengan angin pukulan pria yang sakti mandraguna itu.

Ki Gandarwo yang tadinya sudah mendesak Kim Lan dan sudah membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan dapat meringkus gadis Cina itu dan sudah meneriaki kawan-kawannya agar jangan membunuh melainkan menangkapnya, kini menjadi marah sekali ketika melihat kawan-kawannya kocar-kacir oleh sepak terjang pria yang baru datang dan tidak dikenalnya itu.

Sambil berteriak lantang dia menerjang dan pedangnya menyambar ke arah leher Ki Patih Narotama. Kim Lan sendiri tadi sudah merasakan bertanding melawan senopati Wurawuri ini dan tahu bahwa Ki Gandarwo itu cukup tangguh. Pedangnya berbahaya sekali. Akan tetapi kini, Ki Patih Narotama seolah-olah tidak melihat sambaran pedang itu. Ketika pedang sudah  menyambar dekat lehernya, tiba-tiba tangan kirinya yang terbuka miring dihantamkan menyambut pedang dengan gerakan seperti membacok.

"Trakkk....! Bukk...!"

Pedang itu bertemu dengan tangan Ki Patih Narotama patah menjadi dua potong dan sebuah tendangan mengenai perut Ki Gandarwo yang terpental dan terbanting jatuh bergulingan. Sambil menyeringai Ki Gandarwo bangkit lalu melarikan diri! Tri Kala yang sudah lama menjadi senopati Wura-wuri, tentu saja mengenal kesaktian Ki Patih Narotama.

Mereka sudah merasa gentar akan tetapi mereka masih mengharapkan kedigdayaan Ki Gandarwo untuk melawan Ki Patih Narotama. Akan tetapi melihat betapa dalam segebrakan saja Ki Gandarwo sudah roboh terguling-guling, Tri Kala menjadi semakin ketakutan dan mereka pun cepat melarikan diri menyusul Ki Gandarwo yang sudah lari terlebih dulu. Anak buah mereka pun berlomba menyelamatkan diri. Ki Tejoranu menyembah sambil berdiri menghadapi Ki Patih Narotama.

"Gusti Patih Narotama, kami merasa gembira dan beruntung sekali Paduka datang menolong. Kalau tidak, kami kakak beradik tentu akan tewas di tangan orang-orang Wengker dan Wura-wuri itu."

"Nona ini adikmu?" tanya Ki Patih Narotama sambil memandang kepada The Kim Lan, Gadis itu merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk memberi hormat.

"Benar, Gusti Patih, saya adalah The Kim Lan, adik kandung kakak The Jiauw Lan atau Ki Tejoranu ini." kata Kim Lan dengan sikap hormat dan sepasang matanya yang bening tajam itu menatap wajah Ki Patih Narotama dengan sinar mata penuh kagum.

Ki Patih Narotama mengangguk-angguk. "Aku sudah mendengar tentang dirimu dari Ki Tejoranu setahun yang lalu. Nanti saja kita bicara, Ki Tejoranu, sekarang aku ingin mendengar dulu cerita Bibi Lasmi ini. Bibi, sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi?"

Gusti Patih, malapetaka menimpa keluarga Ki Lurah Pujosaputro di Karang Tirta. Gerombolan penjahat dari Wengker itu datang menyerbu kelurahan Karang Tirta dan dengan kejam mereka membunuh Ki Lurah Pujosaputro dan keluarganya. Kemudian mereka menangkap hamba dan hamba dilarikan ke Kadipaten Wengker."

"Hemm, orang-orang Wengker memang banyak yang jahat. Mengapa orang-orang Wengker membunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, Nyi Lasmi?"

"Tadinya hamba juga tidak tahu, Gusti. Akan tetapi setelah tiba di Kadipaten Wengker, baru saya tahu bahwa gerombolan penjahat itu adalah orang-orang yang disuruh Suramenggala! Suramenggala marah dan membalas dendam, Gusti. Dia menyuruh bunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga dan menculik hamba dan dia sekarang menjadi tumenggung di Wengker dan puteranya, Linggajaya telah menjadi Adipati Linggawijaya di Wengker."

"Jagad Dewa Bathara...! Sudah kuduga sejak dulu bahwa pemuda itu adalah seorang yang berbahaya sekali. Kiranya dia telah berhasil menjadi adipati di Wengker. Lalu bagaimana, Nyi Lasmi?"

"Hamba dihadapkan Suramenggala yang hendak memaksa hamba untuk kembali menjadi selirnya. Akan tetapi hamba menolak. Setelah beberapa hari hamba menolak dan mogok makan, akhirnya hamba dikawal serombongan orang Wengker, hendak diserahkan kepada Adipati Wura-wuri agar dijadikan sandera untuk memaksa Puspa Dewi menyerahkan diri kepada mereka."

"Hemm, licik sekali. Anakmu itu memang telah berbalik membela Kahuripan dan menentang Wura-wuri di mana dia telah dijadikan Sekar Kedaton karena gurunya yang telah menjadi ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala telah menjadi permaisuri di Wura-wuri. Kalau engkau menjadi tawanan di Wura-wuri, bukan tidak mungkin Puspa Dewi akan menyerahkan diri untuk menyelamatkanmu Teruskan ceritamu, Nyi Lasmi."

"Ketika hamba dibawa dengan paksa oleh gerombolan dari Wengker itu, muncul Ki Tejoranu dan Kim Lan ini. Mereka menolong hamba dan membuat gerombolan Wengker melarikan diri. Lalu kakak beradik ini hendak mengantarkan hamba kembali ke Karang Tirta, akan tetapi setelah tiba disini, muncul orang-orang Wengker dan orang-orang Wura-wuri mengeroyok mereka. Hamba ditangkap dan dilarikan Wirobento dan Wirobandrek, senopati Wengker itu dan Paduka membebaskan hamba."

Kembali Narotama mengangguk-angguk. "Setelah aku mendengar semua yang telah terjadi, mari kita semua pergi ke Karang Tirta. Kalian juga, Ki Tejoranu dan Nona Kim Lan, karena aku ingin mendengar bagaimana kalian kakak beradik dapat berkumpul."

Berjalanlah empat orang itu meninggalkan tempat itu menuju ke Karang Tirta. Dalam perjalanan itu, Ki Tejoranu dan Kim Lan secara bergantian menceritakan pengalaman mereka sampai mereka dapat saling bertemu. Setelah mereka selesai bercerita, Ki Patih Narotama berseru gembira.

"Ah, jadi kalian juga baru saja saling berjumpa, yaitu ketika menolong Nyi Lasmi? Sungguh menggembirakan, aku ikut merasa gembira melihat kalian kakak beradik dapat berkumpul kembali."

Hening sejenak dan mereka berjalan terus, tidak terlalu cepat karena di situ terdapat Nyi Lasmi yang lemah. Beberapa kali Kim Lan mengerling ke kanan, ke arah Ki Patih Narotama yang melangkah sambil menundukkan mukanya. Gadis ini merasa kagum bukan main kepada Ki Patih Narotama, bukan hanya karena tadi ia melihat betapa sakti mandraguna ki patih ini, akan tetapi juga melihat wajah dan sikapnya yang demikian agung penuh wibawa, pandang matanya yang lembut penuh pengertian namun mengandung ketajaman yang seolah dapat menjenguk ke dalam hatinya, dan senyumnya yang membuat wajah Ki Patih itu tampak demikian jantan dan gagah.

Belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang pria seperti Ki Patih Narotama ini dan seketika, pada pertemuan pertama tadi, hati gadis ini sudah terkagum-kagum dan timbul perasaan mesra terhadap pria perkasa ini. Ki Patih Narotama berjalan sambil menundukkan mukanya. Dia sendiri tadi beberapa kali bertemu pandang dengan gadis ini dan diam-diam dia terkejut karena dia melihat betapa pandang mata gadis asing ini mengandung kagum dan cinta! Setelah ragu-ragu dan hatinya maju mundur beberapa lamanya, akhirnya Kim Lan memberanikan diri membuka mulut dan berkata dengan suara agak gemetar.

"Gusti Patih Narotama..."

Ki Patih Narotama menoleh ke kiri dan mereka saling bertemu pandang. Sejenak pandang mata bertaut, akan tetapi Kim Lan segera menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Wajah itu menjadi semakin manis ketika la menunduk malu-malu dengan kedua pipinya menjadi kemerahan seperti buah tomat masak.

"Engkau ingin bicara apakah, Nona Kim Lan?" Tanya Narotama dengan sikap sabar ketika dia melihat gadis itu tersipu.!

Kim Lan menghela napas untuk menenangkan hatinya, lalu ia berkata lirih. "Gusti Patih, saya sudah mendengar banyak tentang paduka dari kakak saya. Paduka telah mengobatinya dan menyelamatkan nyawanya ketika kakak saya terluka parah oleh guru sendiri. Kemudian tadi, kalau tidak ada Paduka yang menolong, kami kakak beradik tentu tewas dikeroyok banyak orang. Budi pertolongan Paduka yang menyelamatkan nyawa kami itu, sampai mati pun tidak mungkin dapat saya lupakan, maka saya... saya ingin menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Paduka, Gusti."

Walaupun ucapan gadis itu agak cadel dan gaya bahasanya juga kacau, namun Ki Patih Narotama dapat menangkap maksudnya. Dia pun melihat betapa sinar mata gadis itu menunjukkan bahwa ucapan terima kasih itu bukan basa-basi belaka, melainkan keluar dari hatinya.

Dia tersenyum. "Ah, Nona. Tidak perlu engkau berterima kasih kepadaku. Semua pertolongan datang dari Sang Hyang Widi, hanya melalui alat yang di pilih-Nya. Yang menolong kalian berdua adalah Sang Hyang Widi, kebetulan aku yang dipergunakan oleh-Nya sebagai alat-Nya. Bukankah engkau dan Ki Tejoranu juga dipergunakan oleh-Nya untuk menyelamatkan Nyi Lasmi? Mari kita bersama mengucap puji syukur kepada Sang Hyang Widi Wasa."

Mendengar ini, Kini Lan menjadi semakin kagum dan terharu sekali. Sungguh, belum pernah ia bertemu dengan seorang pria sehebat ini, sakti mandraguna, lembut berwibawa, dan bijaksana pula, "Aduh, Gusti Patih Narotama. Paduka adalah seorang yang mulia sekali." katanya dan suaranya bercampur isak tangis.

Ki Patih Narotama melirik heran melihat gadis itu menangis perlahan, akan tetapi dia diam saja.

Ki Tejoranu yang berada di belakang, berjalan di samping Lasmi, juga memandang ke arah adiknya dan diam-diam kakak ini dapat merasakan isi hati adiknya. Adiknya kagum kepada Ki Patih Narotama! Dia tidak merasa heran karena siapa yang tidak akan kagum kepada pria yang tampan dan gagah perkasa itu? Apalagi wanita! Akan tetapi yang membuat dia mengerutkan alisnya adalah dugaannya bahwa adiknya itu bukan sekedar kagum, melainkan jatuh cinta!

Ki Tejoranu mendengar Nyi Lasmi yang berjalan di sebelah kirinya menghela napas panjang. Dia menoleh dan memandang. Wanita itu pun memandang kepadanya lalu tersenyum dan Nyi Lasmi mengedipkan matanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Kim Lan, lalu kepada Ki Patih Narotama! Ki Tejoranu mengangguk. Nyi Lasmi mengetahui pula akan isi hati Kim Lan. Maklum, wanita itu sudah berusia tiga puluh tujuh tahun dan tentu lebih berpengalaman, apalagi ia seorang wanita, tentu lebih halus perasaannya dan dapat merasakan hati wanita lain.

Ketika memasuki sebuah dusun yang cukup besar, Ki Patih Narotama mengajak tiga orang itu singgah di rumah ki lurah. Dia disambut dengan penuh hormat dan ketika Ki Patih Narotama mengatakan bahwa dia membutuhkan tiga ekor kuda, lurah itu segera menyediakannya. Karena Nyi Lasmi tidak biasa menunggang kuda, maka Narotama hanya minta tiga ekor. Nyi Lasmi lalu berboncengan dengan Kim Lan. Perjalanan mereka lalu dilanjutkan dengan menunggang kuda sehingga selain lebih cepat juga tidak begitu melelahkan. Dusun ini sudah termasuk wilayah Kahuripan.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan hati panas karena amarah, Puspa Dewi berlari secepat terbang menuju ke Kadipaten Wengker. Ia bukan seorang gadis yang bodoh, bukan gadis yang nekat dan hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri. Ia tahu benar betapa besar bahayanya mendatangi Kadipaten Wengker di mana terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna.

Baru Linggajaya yang kini menjadi Adipati Linggawijaya seorang saja sudah merupakan lawan yang amat tangguh baginya, ia sudah mendengar pula bahwa Dewi Mayangsari, isteri mendiang Adipati, Adhamapanuda yang kini menjadi permaisuri Linggawijaya, juga memiliki kesaktian yang tinggi. Belum lagi di sana terdapat Resi Bajrasakti guru Linggawijaya. Baru tiga orang ini saja kalau maju bersama mengeroyoknya, kecil sekali harapannya untuk dapat menang. Apalagi Kadipaten Wengker memiliki pasukan perajurit yang banyak jumlahnya.

Pendeknya, memasuki Kadipaten Wengker amat berbahaya bagi keselamatannya. Ia bukan Puspa Dewi setahun yang lalu sebelum digembleng oleh Maha Resi Satyadharma. Kini ia adalah seorang gadis yang waspada dan tidak menuruti nafsu hati saja. Ia memang harus menolong ibunya, kalau perlu berkorban nyawa. Akan tetapi kalau ia nekat begitu saja menyerbu kadipaten, sebelum bertemu ibunya ia akan dikeroyok dan kalau ia tewas, berarti ibunya tidak akan tertolong!

Kalau terjadi demikian, pengorbanannya tidak ada artinya sama sekali. Ia tidak mau mengambil resiko itu. Ia harus dapat menjaga diri agar ia dapat menolong ibunya. Maka, Puspa Dewi melakukan penyelidikan di luar kota raja Kadipaten Wengker. Di malam hari, dalam gelap, ia menangkap seorang perajurit Wengker, menyeretnya di belakang semak-semak yang gelap lalu memaksanya mengaku di mana adanya Nyi Lasmi.

Karena ketakutan, perajurit itu mengaku bahwa Nyi Lasmi ditahan di rumah Tumengung Suramenggala. Akan tetapi penjagaannya rapat sekali karena Tumenggung Suramenggala takut kalau kalau puteri Nyi Lasmi yang bernama Puspa Dewi akan datang menolong ibunya. Bahkan di situ telah dipasang jebakan-jebakan untuk menjebak Puspa Dewi, demikian perajurit itu membuat pengakuan, sama sekali tidak mengira bahwa yang menangkapnya itu adalah Puspa Dewi sendiri!

Tentu saja Puspa Dewi berlaku hati-hati. Hatinya masih tenang mendengar ibunya dalam keadaan selamat dan ditahan di rumah Tumenggung Suramenggala yang menurut keterangan perajurit itu akan menjadi selir Suramenggala lagi. Setelah mengorek keterangan dari perajurit jaga itu. Puspa Dewi melepaskannya dan tidak mengganggunya karena dia hanya seorang perajurit jaga yang tidak tahu menahu tentang penculikan atas diri ibunya.

Setiap malam ia menangkap seorang perajurit jaga. Pada malam ke tiga, ketika ada penjaga sedang meronda, Puspa Dewi berkelebat dekat dan sekali tampar perajurit jaga itu terpelanting pingsan. Puspa Dewi menyeretnya ke tempat gelap dan setelah orang itu siuman ia menghardik dengan suara yang dibuat besar seperti suara laki-laki.

"Kalau engkau ingin hidup, hayo katakan dengan sebenarnya di mana adanya Nyi Lasmi yang ditawan oleh Tumenggung Suramenggala!"

Perajurit penjaga yang merasa tubuhnya menjadi setengah lumpuh dan kini lehernya merasa ditempeli pedang yang tajam, tentu saja menjadi ketakutan.

"Ampunkan saya..." katanya dengan tubuh menggigil dan suara gemetar. "Nyi Lasmi... tadi siang dibawa pergi... tidak berada di sini lagi"

"Apa? Jangan bohong kau!" Kini Puspa Dewi tidak meniru suara pria karena terkejut, Suaranya terdengar seperti biasa, suara wanita. Pedangnya menempel semakin ketat dan orang itu menjadi semakin ketakutan.

"Ampun... saya tidak berbohong. Saya melihat sendiri... Nyi Lasmi dibawa pergi, dikawal Senopati Wirobento dan Wirobandrek yang memimpin selusin perajurit..."

"Hayo katakan ke mana ia dibawa!"

"Saya... saya hanya mendengar bahwa ia akan diserahkan kepada... Kadipaten Wura-wuri..."

"Ke Wura-wuri...??" Puspa Dewi menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram lengan orang itu sehingga dia berteriak kesakitan. "Katakan yang benar, Jangan bohong! Mengapa ia dibawa ke Wura-wuri!"

"Saya... saya tidak tahu... saya hanya mengetahui dari teman-teman. Ketika siang tadi saya melihat Nyi Lasmi dikawal empat belas orang itu keluar dari kadipaten, saya bertanya dan teman-teman yang bilang bahwa ia akan diserahkan kepada Kadipaten Wura-wuri..."

Puspa Dewi menampar dengan tangan kirinya ke arah leher orang itu yang seketika pingsan. Ia segera meninggalkan tempat itu dan langsung saja ia meninggalkan daerah Wengker dan menuju ke arah Kadipaten Wura-wuri. Ia kini dapat menduga mengapa ibunya akan diserahkan kepada Kadipaten Wura-wuri. Ia dapat membayangkan apa yang akan dilakukan gurunya yang juga ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi permaisuri Wura-wuri.

Gurunya itu tentu akan mempergunakan ibu kandungnya sebagai sandera untuk memaksa ia datang menghadap! Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya kalau ia terpaksa datang menghadap. Gurunya yang telah menganggap ia sebagai anak sendiri itu amat menyayangnya. Hal ini ia ketahui benar. Akan tetapi ia telah mengkhianati Wura-wuri dan tentu saja hal ini membuat gurunya itu marah sekali dan ia tidak akan merasa heran kalau gurunya itu membencinya karena pengkhianatannya ini. la tidak dapat membayangkan mana yang lebih kuat antara rasa sayang dan rasa benci yang terkandung dalam hati Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya.

Seperti juga kalau ia memasuki Wengker, memasuki Wurawuri juga berarti memasuki sarang harimau. Seorang diri saja, tidak mungkin ia dapat melindungi dirinya sendiri, terutama diri ibunya kalau ia berada di kota raja Wura-wuri dan dianggap sebagai musuh dan dimusuhi. Akan tetapi, bagaimana pun juga masih ada harapan, yaitu rasa kasih dalam hati gurunya terhadap dirinya. Mungkin gurunya akan mengajukan dua pilihan, yaitu mengabdi kepada Wura-wuri dengan setia, atau ia dan ibunya akan dibunuh!

Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya karena berbeda dengan di Wengker, di Wura-wuri ia masih mempunyai harapan besar mengingat akan kasih sayang Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya. Dengan cepat Puspa Dewi lalu melanjutkan perjalanannya tanpa ragu lagi menuju ke Wura-wuri. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya. Yang penting, ibu kandungnya harus dapat diselamatkan!

********************


BERSAMBUNG KE JILID 07


Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 06

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 06

Hwesio itu adalah Ho Kong Hwesio, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang tinggi ilmunya. Dia menolong Kim Lan dan selanjutnya Kim Lan menjadi muridnya. Setelah berusia sembilan belas tahun. Kim Lan tamat belajar. Ia segera pergi ke kota raja Nanking untuk mencari keterangan di mana adanya kakaknya, yaitu The Jiauw Lan yang kini bernama Ki Tejoranu. Ia mendengar bahwa kakaknya telah menjadi buronan karena membunuh Bong Kongcu. Juga ia mendengar akan nasib tunangan kakaknya, yaitu Mei Hwa, yang dipaksa menjadi selir Bangsawan Bong. Ia mendengar betapa tunangan kakaknya itu membunuh diri tak lama setelah dipaksa menjadi selir Bangsawan Bong.

Kim Lan menjadi marah dan pada suatu malam, ia berhasil memasuki gedung keluarga Bangsawan Bong dan membunuh pembesar itu. Kota raja menjadi gempar dan Kim Lan melarikan diri. Ketika ia mendengar bahwa kakaknya melarikan diri ke Nusa Jawa ia lalu menumpang perahu dagang yang berlayar ke selatan dan tiba di Nusa Jawa. Ia merantau dan mencari kakaknya, bertanya-tanya kepada orang-orang Cina yang dijumpainya kalau kalau ada yang bertemu dengan kakaknya. Juga ia pesan kepada mereka bahwa kalau mereka bertemu dengan kakaknya itu, agar diberitahu bahwa ia telah berada di Tanah Jawa dan untuk sementara tinggal di sekitar kaki Gunung Kawi.

"Demikianlah, Lan-ko. Tadi aku melihat Bibi Lasmi ini dibawa dengan paksa oleh gerombolan orang itu, maka aku lalu turun tangan menolongnya. Sungguh membahagiakan sekali melihat engkau muncul, Lan-ko!"

Ki Tejoranu menghela napas panjang. "Terima kasih kepada Thian (Tuhan) bahwa kita berdua dapat bertemu dalam keadaan selamat, Adikku. Siapa mengira bahwa kita berdua telah kehilangan ayah ibu dan kini berada di Tanah Jawa, jauh sekali dari tanah air kita? Kita tidak berani pulang karena pasti ada banyak orang akan membunuh kita, terutama sekali setelah engkau menewaskan Pembesar Bong. Pemerintah tentu menganggap kita berdua orang-orang jahat yang harus dihukum. Semua ini gara-gara keluarga Bong yang jahat itu!"

"Sudahlah, tidak perlu kita sesali nasib. Lan-Ko. Bagaimana pun juga, kita sudah membalas sakit hati kita, engkau sudah membunuh Bong Kongcu, dan aku sudah membunuh Pembesar Bong. Berarti kematian ayah ibu dan kematian Enci Mei Hwa telah terbalas."

Kakak dan adik ini bercakap-cakap melepaskan kerinduan hati mereka dan setelah Nyi Lasmi terbangun dari tidurnya, barulah mereka berdua menghampirinya.

"Bibi Lasmi, bagaimana sekarang keadaan badanmu?" tanya Kim Lan.

Nyi Lasmi kini dapat tersenyum dan ia berkata, "Wah, badanku terasa segar dan kuat kembali, Kim Lan. Terima kasih atas pertolongan kalian kakak beradik yang berbudi baik!"

"Bibi, mari kami antar bibi pulang ke Karang Tirta. Kita harus dapat sampai di sebuah dusun sebelum gelap." kata Ki Tejoranu.

Saat itu sudah menjelang sore dan semua kuda sudah dibawa gerombolan tadi dan ada yang melarikan diri ketika terjadi perkelahian sehingga mereka terpaksa berjalan kaki menuju dusun terdekat di mana mereka dapat melewatkan malam dengan mondok di rumah keluarga petani.

Pada suatu pagi yang cerah, Nyi Lasmi, Ki Tejoranu, dan The Kim Lan berjalan santai menuju ke selatan. Perjalanan sore itu lambat sekali karena selain mereka berjalan kaki, juga Nyi Lasmi adalah seorang wanita lemah. Andaikata Ki Tejoranu melakukan perjalanan berdua dengan Kim Lan, tentu mereka dapat menggunakan kepandaian mereka untuk berlari cepat.

Telah dua malam mereka menginap di dusun-dusun yang mereka lewati dan pagi ini, mereka berjalan dan tiba di jalan umum di luar dusun yang sepi. Di kanan kiri jalan berbatu-batu itu terdapat hamparan tanah persawahan yang kering kerontang karena waktu itu adalah musim kemarau. Tanah yang luas itu retak-retak dan tidak dapat ditanami. Para petani tidak dapat menggarap sawah, menanti datangnya hujan. Daerah itu jauh dari sungai, maka mereka hanya mengharapkan air hujan untuk mengairi tanah persawahan mereka.

Biarpun matahari masih muda, namun panasnya sudah menyengat badan dan memancing keluarnya keringat. Terutama sekali Nyi Lasmi merasa lelah setelah melakukah perjalanan selama dua hari itu, walaupun seringkali mereka terpaksa mengaso karena kelemahan dan kelelahan Nyi Lasmi.

Mereka melangkah santai, tidak bercakap-cakap. Agaknya bahan percakapan mereka telah habis dibicarakan selama dua hari itu. Mereka termenung, agaknya tenggelam ke dalam kenangan mereka masing-masing.

Tiba-tiba Ki Tejoranu dan The Kim Lan memandang jauh ke depan dengan alis berkerut. Mereka berdua dapat mendengar derap kaki banyak kuda walaupun belum dapat melihat mereka karena jalan di depan itu membelok ke kanan dan pandang mata terhalang pepohonan.

"Hati-hati!" kata Ki Tejoranu kepada adiknya dalam bahasa Cina.

"Aku siap!" jawab Kim Lan.

Mereka lalu mengajak Nyi Lasmi berhenti di bawah sebatang pohon trembesi.

"Bibi Lasmi, duduklah di sini. Kita mengaso." kata Kim Lan.

"Apa yang terjadi?" tanya Nyi Lasmi yang dapat melihat ketegangan pada wajah kakak beradik itu.

"Bibi duduk saja di sini. Ada serombongan orang berkuda lewat. Mudah-mudahan bukan orang jahat." kata Ki Tejoranu, lalu dia bersama adiknya berdiri di tepi jalan, di depan Nyi Lasmi untuk melindungi wanita itu.

Rombongan itu muncul di jalan tikungan. Mereka terdiri dari belasan orang dan kakak beradik itu segera mengetahui bahwa mereka adalah musuh ketika melihat bahwa dua orang pimpinan gerombolan yang membawa Nyi Lasmi tadi berada di antara mereka. Namun kakak beradik ini tidak menjadi gentar dan mereka siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Memang, dua orang warok dari Kerajaan Wengker, Ki Wirobento dan Wirobandrek, berada di antara orang-orang itu. Ketika mereka dikalahkan Ki Tejoranu dan Kim Lan, dua orang ini segera pergi ke Kerajaan Wura-wuri yang sudah tidak jauh lagi dan segera menyerahkan surat yang ditulis Adipati Linggawijaya kepada Adipati Wura-wuri, dan menceritakan bahwa Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi, dirampas oleh seorang pemuda dan seorang gadis Cina.

Mendengar ini, Nyi Dewi Durgakumala, permaisuri Wurawuri guru Puspa Dewi itu menjadi marah. Ia ingin sekali dapat menangkap Puspa Dewi, muridnya yang berkhianat terhadap Wura-wuri, akan tetapi maklum betapa sukarnya menangkap gadis perkasa itu. Kalau ibu kandungnya dapat ditangkap, tentu gadis itu akan menyerahkan diri. Maka, Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala segera mengutus Tri Kala yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja, diperkuat lagi dengan Ki Gandarwo yang sakti, membantu rombongan utusan Kerajaan Wengker itu untuk menangkap kembali Nyi Lasmi. Rombongan itu berhenti di depan Ki Tejoranu dan Kim Lan. Ki Wirobento yang tinggi besar itu dengan suara parau menuding ke arah kakak beradik itu.

"Mereka inilah jahanam yang merampas tawanan kami dan yang duduk di bawah pohon itulah Nyi Lasmi yang harus kami antarkan ke Wura-wuri!"

Ki Gandarwo melompat dari atas kuda, diikuti yang lain. Beberapa orang anak buah mereka lalu membawa kuda itu menjauh agar binatang-binatang itu tidak menjadi ketakutan dan kabur. Dengan lagak gagah Ki Gandarwo melangkah maju memandang Ki Tejoranu dan Kim Lan, lalu membentak dengan suara nyaring berwibawa.

"Siapakah kalian berdua yang berani mati merampas Nyi Lasmi yang menjadi tawanan kami?"

Ki Tejoranu memandang orang itu penuh perhatian. Seorang pria muda yang gagah dan tampan, berpakaian mewah, di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan tubuhnya tegap. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun.

"Namaku Tejoranu dan ini adikku bernama The Kim Lan!"

"Hemm, engkau seorang Cina?" Ki Gandarwo bertanya.

"Benar, aku berasal dari Negeri Cina."

"Mengapa kalian orang-orang Cina berani merampas tawanan kami?"

"Kami melihat seorang wanita dipaksa dan di luar kehendaknya dibawa rombongan dari Wengker. Melihat hal yang sewenang-wenang ini, tentu saja kami harus menolongnya. Kalianlah yang merampas kemerdekaan orang."

"Keparat! Kalian mencampuri urusan keluarga orang lain!"

Ki Gandarwo membentak dan belasan orang itu mulai mengepung. Melihat betapa kakak beradik yang menolongnya itu terancam pengeroyokan, Nyi Lasmi bangkit berdiri dan berkata kepada mereka.

"Ki Tejoranu dan Kim Lan, pergilah kalian dari sini dan jangan mencampuri urusan ini. Biarkan mereka menawanku, aku akan menghadapi mereka. Jangan kalian berdua mengorbankan nyawa untukku!"

Mendengar ucapan Nyi Lasmi, Ki Tejoranu dan Kim Lan menjadi semakin bersemangat. Wanita yang lemah itu ternyata memiliki watak yang gagah!

"Jangan khawatir, Bibi Lasmi. Kami akan menghajar orang-orang jahat yang sewenang-wenang ini!" kata Kim Lan.

Ki Gandarwo, senopati muda Wura-wuri itu adalah seorang mata keranjang. Diam-diam dia telah menjadi kekasih gelap Sang Permaisuri Wura-wuri, Nyi Dewi Durgakumala sehingga memiliki kekuasaan besar di Wura-wuri. Kini, melihat Kim Lan, timbul berahinya. Banyak sudah dia mendapatkan wanita-wanita cantik, akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis Cina yang cantik seperti Kim Lan ini. Maka, timbul keinginan hatinya untuk menangkap gadis itu dan dijadikan kekasihnya. Melihat gadis itu bersikap gagah, dia semakin kagum. Dia memberi aba-aba kepada kawan-kawannya.

"Tangkap atau bunuh saja pemuda Cina itu! Gadis ini aku yang tangkap!"

Setelah berkata demikian, Ki Gandarwo lalu menerjang ke arah Kim Lan, kedua lengannya yang kekar itu dikembangkan lalu kedua tangannya menyambar untuk menangkap gadis itu dari kanan kiri. Tentu saja dia memandang ringan Kim Lan karena dia adalah orang terkuat di Wura-wuri, tentu saja di bawah Nyi Dewi Durgakumala yang sakti mandraguna.

"Wuuussss...!"

Ki Gandarwo terkejut karena kalau tadi tampaknya gadis itu tidak akan mampu menghindarkan diri dari kedua tangannya yang menyambar dari kanan kiri, tiba-tiba saja gadis itu melesat bagaikan bayang-bayang dan dia menangkap angin belaka! Melihat bayangan gadis itu berkelebat ke sebelah kirinya, dia menubruk lagi ke kiri. Sekali ini Kim Lan menggunakan kedua tangannya untuk menangkis dari samping.

"Dukkk...!!"

Ki Gandarwo semakin terkejut. Tangkisan itu membuat kedua lengannya terasa tergetar hebat! Kiranya gadis ini benar-benar kuat dan memiliki kedigdayaan! Pantas saja dua orang warok dari Wengker itu dan anak buah mereka tidak mampu mengalahkannya.

"Haaaiiittt...!"

Kini Ki Gandarwo tidak memandang ringan lagi dan dia tahu bahwa kalau dia ingin menang, dia harus menyerang sungguh-sungguh. Mengikuti bentakannya itu, tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Kim Lan dan tangan kanannya menyusul dengan pukulan ke arah perut! Serangan ini hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga yang amat kuat. Kim Lan mengenal serangan maut yang berbahaya, ia mengandalkan kelincahan gerakannya untuk memutar ke kiri mengelak cengkeraman ke arah mukanya dan dari samping tangannya membuat gerakan setengah lingkaran menangkis pukulan ke arah parutnya.

"Plakk!"

Begitu tangan Ki Gandarwo tertangkis, Kim Lan mundur dua langkah lalu kaki kirinya mencuat dengan cepat menendang ke arah perut lawan.

"Plakk...!"

Biarpun Ki Gandarwo sudah mengelak dan miringkan tubuhnya, tetap saja kaki kecil gadis itu menyerempet pinggulnya sehingga dia terhuyung walaupun tidak terluka! Marahlah Ki Gandarwo. Dia mencabut pedangnya dan dua orang anak buah membantunya mengeroyok Kim Lan. Kim Lan mencabut pedangnya dan ia segera memutar pedangnya menyambut serangan tiga orang pengeroyoknya. Biarpun Ki Gandarwo merupakan lawan tangguh dan dua orang yang membantunya juga bukan orang lemah, namun Kim Lan yang memiliki gerakan yang gesit sekali itu dapat mengimbangi serangan mereka dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga terjadilah perkelahian yang seru.

Sementara itu, Tri Kala juga sudah menerjang dan mengeroyok Ki Tejoranu. Melihat tiga orang senopati Wura-wuri ini menerjang dengan senjata mereka, Kala Muka menggunakan keris, Kala Manik menggunakan klewang dan Kala Teja menggunakan ruyung dan gerakan mereka cukup hebat, Ki Tejoranu cepat mencabut sepasang goloknya dan dia pun melawan mati-matian!

Kakak beradik itu masing-masing dikeroyok tiga orang yang tangguh. Pertempuran itu berjalan seru dan ketika dua orang senopati Wengker, yaitu Wirobento dan Wirobandrek melihat betapa sampai puluhan jurus teman-temannya belum juga mampu merobohkan dua orang Itu, mereka segera memnberi isyarat kepada anak buah mereka untuk maju mengeroyok. Lima orang anak buah menerjang Ki Tejoranu dan lima orang lagi mengeroyok Kim Lan sehingga kini dua orang kakak beradik itu masing-masing menghadapi pengeroyokan delapan orang! Tentu saja mereka berdua menjadi kerepotan dan terkepung ketat.

"Kita larikan Nyi Lasmi ke Wurawuri!" kata Wirobento kepada Wirobandrek. Melihat dua orang kakak beradik itu terkepung ketat sehingga tidak mungkin lagi melindungi Nyi Lasmi yang berdiri dengan muka pucat, mengkhawatirkan keselamatan dua orang penolongnya, dua orang senopati Wengker ini segera berloncatan menghampiri dan Nyi Lasmi tidak mampu menghindar ketika Wirobento menangkapnya, memanggul tubuhnya dan melarikan diri dikawal Wirobandrek. Keduanya lalu menunggang kuda dan melarikan Nyi Lasmi, hendak membawanya ke Wura-wuri untuk diserahkan kepada Adipati Wura-wuri seperti diperintahkan Adipati Linggawijaya.

Belum jauh mereka membalapkan kuda meninggalkan tempat pertempuran, tiba-tiba kuda yang mereka tunggangi berhenti, meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas. Dua orang senopati Wengker itu terkejut dan melihat bahwa ada seorang laki-laki gagah berdiri menghadang di tengah jalan. Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya ke depan seolah mendorong dan ada angin menyambar dan itulah agaknya yang membuat dua ekor kuda itu meringkik seperti ketakutan! Dua orang itu terpaksa melompat turun dari atas punggung kuda dan Wirobento membawa Nyi Lasmi turun. Dua ekor kuda itu lalu melarikan diri ketakutan!

Mereka bertiga memandang ke arah pria itu. Seorang pria yang bertubuh tegap gagah, usianya sekitar tiga puluh tiga tahun, berpakaian dari kain yang indah namun bentuknya sederhana, wajahnya yang tampan itu tersenyum penuh pengertian dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh wibawa.

Begitu melihat pria itu, Nyi Lasmi segera menjatuhkan diri berlutut menghadapnya dan berkata, "Gusti Patih Narotama..."

Wirobento dan Wirobandrek juga pernah melihat Patih Kahuripan ini dan mereka merasa terkejut bukan main. Akan tetapi mereka adalah senopati yang tentu saja mengandalkan kesaktian sendiri. Walaupun mereka sudah mendengar akan kesaktian Ki Patih Narotama, mereka belum pernah bertanding melawannya, maka mereka segera melangkah maju dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Ki Patih Narotama. Wirobento menyerang dengan pecutnya yang berujung besi, sedangkan Wirobandrek menyerang dengan sepasang kolor merahnya. Ki Patih Narotama melompat ke belakang sehingga serangan mereka luput.

"Tahan! Siapakah Andika berdua dan siapa pula wanita itu? Mengapa Andika berdua melarikannya?"

"Andika Ki Patih Narotama? Harap jangan mencampuri urusan kami! Ini adalah urusan keluarga Gusti Permaisuri Wura-wuri, dan ingatlah, Ki Patih Narotama. Kehadiranmu di sini sudah merupakan pelanggaran wilayah Wura-wuri!"

"Hemm, siapa pun adanya Andika berdua, dan di mana pun aku berada, kalau aku melihat dua orang laki-laki bertindak kasar memaksa seorang wanita lemah ikut pergi di luar kehendaknya, aku pasti tidak akan tinggal diam dan menentangnya. Bebaskan wanita ini dan pergilah kalian. Aku tidak ingin berurusan dengan kalian!"

"Keparat, Ki Patih Narotama. Dalam suasana tidak ada perang Andika mengacau di sini. Ketahuilah, kami adalah Senopati Wirobento dan Wirobandrek dari Kerajaan Wengker. Kami melaksanakan perintah Kanjeng Adipati Wengker untuk mengantarkan wanita ini ke Wura-wuri dan menyerahkannya kepada Kanjeng Adipati Wura-wuri dan Gusti Permaisuri. Maka, harap Andika mundur dan jangan mencampuri urusan ini!"

Ki Patih Narotama lalu bertanya kepada Nyi Lasmi. "Bibi, Ceritakan, apa yang sesungguhnya terjadi? Jangan takut, aku akan melindungimu."

Nyi Lasmi yang masih berlutut lalu berkata, "Gusti Patih, Paduka mungkin lupa kepada hamba. Hamba adalah Ibu kandung Puspa Dewi yang tinggal di Karang Tirta menumpang di rumah keluarga Ki Lurah Pujosaputro yang dulu paduka angkat menggantikan Suramenggala."

"Ah, benar. Sekarang aku ingat. Jadi Andika penduduk Karang Tirta. Bagaimana dapat dibawa dua orang senopati Wengker ini?"

"Aduh, ketiwasan (celaka), Gusti. Gerombolan jahat dari Wengker, utusan Suramenggala, telah..."

Tiba-tiba Wirobento dan Wirobandrek menggereng dan keduanya sudah menubruk ke arah Nyi Lasmi untuk membunuh wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Ki Patih Narotama berkelebat dan menyambut terjangan dua orang itu.

"Werrr... des! Desss...!!"

Dua orang senopati Wengker itu terpental dan roboh terbanting sampai terguling-guling saking kuatnya tangkisan Ki Patih Narotama yang mengandung angina sekuat badai menerpa mereka! Biarpun tidak terluka karena memang Ki Patih Narotama tidak berniat membunuh mereka, dua orang senopati itu terkejut bukan main dan maklum bahwa mereka sama sekali bukan tandingan ki patih yang sakti mandraguna itu, mereka segera bangkit dan melarikan diri.

Ki Patih Narotama menghampiri Nyi Lasmi. "Bibi, sekarang ceritakan semua apa yang telah terjadi."

"Ampun, Gusti.... hamba mohon sudilah kiranya Paduka menolong dua orang yang membela hamba dan sekarang dikeroyok banyak orang. Hamba khawatir..."

"Hemm, di mana mereka?"

"Di sana, Gusti!" Nyi Lasmi menuding ke arah tempat perkelahian tadi. "Hamba takut terlambat, Gusti. Yang mengeroyok banyak sekali...!"

"Mari kita ke sana!" Ki Patih Narotama memegang lengan Nyi Lasmi dan wanita itu menahan jeritnya ketika merasa betapa tubuhnya terbawa seolah terbang cepatnya. Kedua kakinya tidak menyentuh tanah. Sebentar saja mereka sudah tiba di tempat perkelahian itu dan Ki Patih Narotama melihat betapa seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat kuning menggunakan sepasang golok mengamuk, dikeroyok delapan orang! Dan tak jauh dari situ, tampak seorang gadis Cina dengan gagahnya melawan delapan orang pengeroyok lain. Ki Patih Narotama terkejut mengenal laki-laki itu.

"Ki Tejoranu!" serunya dan Ki Patih yang sakti mandraguna ini lalu melepaskan Nyi Lasmi, kemudian tubuhnya menerjang ke arah pertempuran Kaki tangannya bergerak seperti berubah menjadi banyak saking cepatnya dan para pengeroyok itu kocar-kacir.

Mereka yang terkena tamparan atau tendangan Ki Patih Narotama seperti disambar petir roboh terguling-guling. Akan tetapi Ki Patih Narotama membatasi tenaganya sehingga tidak sampai membunuh mereka.

"Gusti Patih Narotama! Kedatangan Paduka tepat pada waktunya!" kata Ki Tejoranu girang karena tadi dia dan adiknya sudah kewalahan dan terdesak hebat

Mendengar seruan kakaknya, The Kim Lan memperhatikan dan gadis ini terkejut akan tetapi juga kagum bukan main. Walaupun ia sendiri pasti akan menang kalau menghadapi para pengeroyok itu satu lawan satu, akan tetapi dikeroyok delapan, ia tadi juga sudah kewalahan dan lelah sekali. Kini ia melihat sepak terjang pria yang disebut Ki Patih Narotama oleh kakaknya dan ia hampir tidak percaya kalau tidak melihat sendiri.

Ki Patih itu dengan tangan dan kakinya, membuat para pengeroyok itu kocar-kacir dan tidak ada senjata para pengeroyok yang sempat menyentuh tubuhnya. Seolah-olah dari gerakan tangan kakinya itu menyambar hawa yang amat kuat dan yang membuat senjata para pengeroyok itu mental kembali ketika bertemu dengan angin pukulan pria yang sakti mandraguna itu.

Ki Gandarwo yang tadinya sudah mendesak Kim Lan dan sudah membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan dapat meringkus gadis Cina itu dan sudah meneriaki kawan-kawannya agar jangan membunuh melainkan menangkapnya, kini menjadi marah sekali ketika melihat kawan-kawannya kocar-kacir oleh sepak terjang pria yang baru datang dan tidak dikenalnya itu.

Sambil berteriak lantang dia menerjang dan pedangnya menyambar ke arah leher Ki Patih Narotama. Kim Lan sendiri tadi sudah merasakan bertanding melawan senopati Wurawuri ini dan tahu bahwa Ki Gandarwo itu cukup tangguh. Pedangnya berbahaya sekali. Akan tetapi kini, Ki Patih Narotama seolah-olah tidak melihat sambaran pedang itu. Ketika pedang sudah  menyambar dekat lehernya, tiba-tiba tangan kirinya yang terbuka miring dihantamkan menyambut pedang dengan gerakan seperti membacok.

"Trakkk....! Bukk...!"

Pedang itu bertemu dengan tangan Ki Patih Narotama patah menjadi dua potong dan sebuah tendangan mengenai perut Ki Gandarwo yang terpental dan terbanting jatuh bergulingan. Sambil menyeringai Ki Gandarwo bangkit lalu melarikan diri! Tri Kala yang sudah lama menjadi senopati Wura-wuri, tentu saja mengenal kesaktian Ki Patih Narotama.

Mereka sudah merasa gentar akan tetapi mereka masih mengharapkan kedigdayaan Ki Gandarwo untuk melawan Ki Patih Narotama. Akan tetapi melihat betapa dalam segebrakan saja Ki Gandarwo sudah roboh terguling-guling, Tri Kala menjadi semakin ketakutan dan mereka pun cepat melarikan diri menyusul Ki Gandarwo yang sudah lari terlebih dulu. Anak buah mereka pun berlomba menyelamatkan diri. Ki Tejoranu menyembah sambil berdiri menghadapi Ki Patih Narotama.

"Gusti Patih Narotama, kami merasa gembira dan beruntung sekali Paduka datang menolong. Kalau tidak, kami kakak beradik tentu akan tewas di tangan orang-orang Wengker dan Wura-wuri itu."

"Nona ini adikmu?" tanya Ki Patih Narotama sambil memandang kepada The Kim Lan, Gadis itu merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk memberi hormat.

"Benar, Gusti Patih, saya adalah The Kim Lan, adik kandung kakak The Jiauw Lan atau Ki Tejoranu ini." kata Kim Lan dengan sikap hormat dan sepasang matanya yang bening tajam itu menatap wajah Ki Patih Narotama dengan sinar mata penuh kagum.

Ki Patih Narotama mengangguk-angguk. "Aku sudah mendengar tentang dirimu dari Ki Tejoranu setahun yang lalu. Nanti saja kita bicara, Ki Tejoranu, sekarang aku ingin mendengar dulu cerita Bibi Lasmi ini. Bibi, sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi?"

Gusti Patih, malapetaka menimpa keluarga Ki Lurah Pujosaputro di Karang Tirta. Gerombolan penjahat dari Wengker itu datang menyerbu kelurahan Karang Tirta dan dengan kejam mereka membunuh Ki Lurah Pujosaputro dan keluarganya. Kemudian mereka menangkap hamba dan hamba dilarikan ke Kadipaten Wengker."

"Hemm, orang-orang Wengker memang banyak yang jahat. Mengapa orang-orang Wengker membunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, Nyi Lasmi?"

"Tadinya hamba juga tidak tahu, Gusti. Akan tetapi setelah tiba di Kadipaten Wengker, baru saya tahu bahwa gerombolan penjahat itu adalah orang-orang yang disuruh Suramenggala! Suramenggala marah dan membalas dendam, Gusti. Dia menyuruh bunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga dan menculik hamba dan dia sekarang menjadi tumenggung di Wengker dan puteranya, Linggajaya telah menjadi Adipati Linggawijaya di Wengker."

"Jagad Dewa Bathara...! Sudah kuduga sejak dulu bahwa pemuda itu adalah seorang yang berbahaya sekali. Kiranya dia telah berhasil menjadi adipati di Wengker. Lalu bagaimana, Nyi Lasmi?"

"Hamba dihadapkan Suramenggala yang hendak memaksa hamba untuk kembali menjadi selirnya. Akan tetapi hamba menolak. Setelah beberapa hari hamba menolak dan mogok makan, akhirnya hamba dikawal serombongan orang Wengker, hendak diserahkan kepada Adipati Wura-wuri agar dijadikan sandera untuk memaksa Puspa Dewi menyerahkan diri kepada mereka."

"Hemm, licik sekali. Anakmu itu memang telah berbalik membela Kahuripan dan menentang Wura-wuri di mana dia telah dijadikan Sekar Kedaton karena gurunya yang telah menjadi ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala telah menjadi permaisuri di Wura-wuri. Kalau engkau menjadi tawanan di Wura-wuri, bukan tidak mungkin Puspa Dewi akan menyerahkan diri untuk menyelamatkanmu Teruskan ceritamu, Nyi Lasmi."

"Ketika hamba dibawa dengan paksa oleh gerombolan dari Wengker itu, muncul Ki Tejoranu dan Kim Lan ini. Mereka menolong hamba dan membuat gerombolan Wengker melarikan diri. Lalu kakak beradik ini hendak mengantarkan hamba kembali ke Karang Tirta, akan tetapi setelah tiba disini, muncul orang-orang Wengker dan orang-orang Wura-wuri mengeroyok mereka. Hamba ditangkap dan dilarikan Wirobento dan Wirobandrek, senopati Wengker itu dan Paduka membebaskan hamba."

Kembali Narotama mengangguk-angguk. "Setelah aku mendengar semua yang telah terjadi, mari kita semua pergi ke Karang Tirta. Kalian juga, Ki Tejoranu dan Nona Kim Lan, karena aku ingin mendengar bagaimana kalian kakak beradik dapat berkumpul."

Berjalanlah empat orang itu meninggalkan tempat itu menuju ke Karang Tirta. Dalam perjalanan itu, Ki Tejoranu dan Kim Lan secara bergantian menceritakan pengalaman mereka sampai mereka dapat saling bertemu. Setelah mereka selesai bercerita, Ki Patih Narotama berseru gembira.

"Ah, jadi kalian juga baru saja saling berjumpa, yaitu ketika menolong Nyi Lasmi? Sungguh menggembirakan, aku ikut merasa gembira melihat kalian kakak beradik dapat berkumpul kembali."

Hening sejenak dan mereka berjalan terus, tidak terlalu cepat karena di situ terdapat Nyi Lasmi yang lemah. Beberapa kali Kim Lan mengerling ke kanan, ke arah Ki Patih Narotama yang melangkah sambil menundukkan mukanya. Gadis ini merasa kagum bukan main kepada Ki Patih Narotama, bukan hanya karena tadi ia melihat betapa sakti mandraguna ki patih ini, akan tetapi juga melihat wajah dan sikapnya yang demikian agung penuh wibawa, pandang matanya yang lembut penuh pengertian namun mengandung ketajaman yang seolah dapat menjenguk ke dalam hatinya, dan senyumnya yang membuat wajah Ki Patih itu tampak demikian jantan dan gagah.

Belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang pria seperti Ki Patih Narotama ini dan seketika, pada pertemuan pertama tadi, hati gadis ini sudah terkagum-kagum dan timbul perasaan mesra terhadap pria perkasa ini. Ki Patih Narotama berjalan sambil menundukkan mukanya. Dia sendiri tadi beberapa kali bertemu pandang dengan gadis ini dan diam-diam dia terkejut karena dia melihat betapa pandang mata gadis asing ini mengandung kagum dan cinta! Setelah ragu-ragu dan hatinya maju mundur beberapa lamanya, akhirnya Kim Lan memberanikan diri membuka mulut dan berkata dengan suara agak gemetar.

"Gusti Patih Narotama..."

Ki Patih Narotama menoleh ke kiri dan mereka saling bertemu pandang. Sejenak pandang mata bertaut, akan tetapi Kim Lan segera menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Wajah itu menjadi semakin manis ketika la menunduk malu-malu dengan kedua pipinya menjadi kemerahan seperti buah tomat masak.

"Engkau ingin bicara apakah, Nona Kim Lan?" Tanya Narotama dengan sikap sabar ketika dia melihat gadis itu tersipu.!

Kim Lan menghela napas untuk menenangkan hatinya, lalu ia berkata lirih. "Gusti Patih, saya sudah mendengar banyak tentang paduka dari kakak saya. Paduka telah mengobatinya dan menyelamatkan nyawanya ketika kakak saya terluka parah oleh guru sendiri. Kemudian tadi, kalau tidak ada Paduka yang menolong, kami kakak beradik tentu tewas dikeroyok banyak orang. Budi pertolongan Paduka yang menyelamatkan nyawa kami itu, sampai mati pun tidak mungkin dapat saya lupakan, maka saya... saya ingin menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Paduka, Gusti."

Walaupun ucapan gadis itu agak cadel dan gaya bahasanya juga kacau, namun Ki Patih Narotama dapat menangkap maksudnya. Dia pun melihat betapa sinar mata gadis itu menunjukkan bahwa ucapan terima kasih itu bukan basa-basi belaka, melainkan keluar dari hatinya.

Dia tersenyum. "Ah, Nona. Tidak perlu engkau berterima kasih kepadaku. Semua pertolongan datang dari Sang Hyang Widi, hanya melalui alat yang di pilih-Nya. Yang menolong kalian berdua adalah Sang Hyang Widi, kebetulan aku yang dipergunakan oleh-Nya sebagai alat-Nya. Bukankah engkau dan Ki Tejoranu juga dipergunakan oleh-Nya untuk menyelamatkan Nyi Lasmi? Mari kita bersama mengucap puji syukur kepada Sang Hyang Widi Wasa."

Mendengar ini, Kini Lan menjadi semakin kagum dan terharu sekali. Sungguh, belum pernah ia bertemu dengan seorang pria sehebat ini, sakti mandraguna, lembut berwibawa, dan bijaksana pula, "Aduh, Gusti Patih Narotama. Paduka adalah seorang yang mulia sekali." katanya dan suaranya bercampur isak tangis.

Ki Patih Narotama melirik heran melihat gadis itu menangis perlahan, akan tetapi dia diam saja.

Ki Tejoranu yang berada di belakang, berjalan di samping Lasmi, juga memandang ke arah adiknya dan diam-diam kakak ini dapat merasakan isi hati adiknya. Adiknya kagum kepada Ki Patih Narotama! Dia tidak merasa heran karena siapa yang tidak akan kagum kepada pria yang tampan dan gagah perkasa itu? Apalagi wanita! Akan tetapi yang membuat dia mengerutkan alisnya adalah dugaannya bahwa adiknya itu bukan sekedar kagum, melainkan jatuh cinta!

Ki Tejoranu mendengar Nyi Lasmi yang berjalan di sebelah kirinya menghela napas panjang. Dia menoleh dan memandang. Wanita itu pun memandang kepadanya lalu tersenyum dan Nyi Lasmi mengedipkan matanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Kim Lan, lalu kepada Ki Patih Narotama! Ki Tejoranu mengangguk. Nyi Lasmi mengetahui pula akan isi hati Kim Lan. Maklum, wanita itu sudah berusia tiga puluh tujuh tahun dan tentu lebih berpengalaman, apalagi ia seorang wanita, tentu lebih halus perasaannya dan dapat merasakan hati wanita lain.

Ketika memasuki sebuah dusun yang cukup besar, Ki Patih Narotama mengajak tiga orang itu singgah di rumah ki lurah. Dia disambut dengan penuh hormat dan ketika Ki Patih Narotama mengatakan bahwa dia membutuhkan tiga ekor kuda, lurah itu segera menyediakannya. Karena Nyi Lasmi tidak biasa menunggang kuda, maka Narotama hanya minta tiga ekor. Nyi Lasmi lalu berboncengan dengan Kim Lan. Perjalanan mereka lalu dilanjutkan dengan menunggang kuda sehingga selain lebih cepat juga tidak begitu melelahkan. Dusun ini sudah termasuk wilayah Kahuripan.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan hati panas karena amarah, Puspa Dewi berlari secepat terbang menuju ke Kadipaten Wengker. Ia bukan seorang gadis yang bodoh, bukan gadis yang nekat dan hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri. Ia tahu benar betapa besar bahayanya mendatangi Kadipaten Wengker di mana terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna.

Baru Linggajaya yang kini menjadi Adipati Linggawijaya seorang saja sudah merupakan lawan yang amat tangguh baginya, ia sudah mendengar pula bahwa Dewi Mayangsari, isteri mendiang Adipati, Adhamapanuda yang kini menjadi permaisuri Linggawijaya, juga memiliki kesaktian yang tinggi. Belum lagi di sana terdapat Resi Bajrasakti guru Linggawijaya. Baru tiga orang ini saja kalau maju bersama mengeroyoknya, kecil sekali harapannya untuk dapat menang. Apalagi Kadipaten Wengker memiliki pasukan perajurit yang banyak jumlahnya.

Pendeknya, memasuki Kadipaten Wengker amat berbahaya bagi keselamatannya. Ia bukan Puspa Dewi setahun yang lalu sebelum digembleng oleh Maha Resi Satyadharma. Kini ia adalah seorang gadis yang waspada dan tidak menuruti nafsu hati saja. Ia memang harus menolong ibunya, kalau perlu berkorban nyawa. Akan tetapi kalau ia nekat begitu saja menyerbu kadipaten, sebelum bertemu ibunya ia akan dikeroyok dan kalau ia tewas, berarti ibunya tidak akan tertolong!

Kalau terjadi demikian, pengorbanannya tidak ada artinya sama sekali. Ia tidak mau mengambil resiko itu. Ia harus dapat menjaga diri agar ia dapat menolong ibunya. Maka, Puspa Dewi melakukan penyelidikan di luar kota raja Kadipaten Wengker. Di malam hari, dalam gelap, ia menangkap seorang perajurit Wengker, menyeretnya di belakang semak-semak yang gelap lalu memaksanya mengaku di mana adanya Nyi Lasmi.

Karena ketakutan, perajurit itu mengaku bahwa Nyi Lasmi ditahan di rumah Tumengung Suramenggala. Akan tetapi penjagaannya rapat sekali karena Tumenggung Suramenggala takut kalau kalau puteri Nyi Lasmi yang bernama Puspa Dewi akan datang menolong ibunya. Bahkan di situ telah dipasang jebakan-jebakan untuk menjebak Puspa Dewi, demikian perajurit itu membuat pengakuan, sama sekali tidak mengira bahwa yang menangkapnya itu adalah Puspa Dewi sendiri!

Tentu saja Puspa Dewi berlaku hati-hati. Hatinya masih tenang mendengar ibunya dalam keadaan selamat dan ditahan di rumah Tumenggung Suramenggala yang menurut keterangan perajurit itu akan menjadi selir Suramenggala lagi. Setelah mengorek keterangan dari perajurit jaga itu. Puspa Dewi melepaskannya dan tidak mengganggunya karena dia hanya seorang perajurit jaga yang tidak tahu menahu tentang penculikan atas diri ibunya.

Setiap malam ia menangkap seorang perajurit jaga. Pada malam ke tiga, ketika ada penjaga sedang meronda, Puspa Dewi berkelebat dekat dan sekali tampar perajurit jaga itu terpelanting pingsan. Puspa Dewi menyeretnya ke tempat gelap dan setelah orang itu siuman ia menghardik dengan suara yang dibuat besar seperti suara laki-laki.

"Kalau engkau ingin hidup, hayo katakan dengan sebenarnya di mana adanya Nyi Lasmi yang ditawan oleh Tumenggung Suramenggala!"

Perajurit penjaga yang merasa tubuhnya menjadi setengah lumpuh dan kini lehernya merasa ditempeli pedang yang tajam, tentu saja menjadi ketakutan.

"Ampunkan saya..." katanya dengan tubuh menggigil dan suara gemetar. "Nyi Lasmi... tadi siang dibawa pergi... tidak berada di sini lagi"

"Apa? Jangan bohong kau!" Kini Puspa Dewi tidak meniru suara pria karena terkejut, Suaranya terdengar seperti biasa, suara wanita. Pedangnya menempel semakin ketat dan orang itu menjadi semakin ketakutan.

"Ampun... saya tidak berbohong. Saya melihat sendiri... Nyi Lasmi dibawa pergi, dikawal Senopati Wirobento dan Wirobandrek yang memimpin selusin perajurit..."

"Hayo katakan ke mana ia dibawa!"

"Saya... saya hanya mendengar bahwa ia akan diserahkan kepada... Kadipaten Wura-wuri..."

"Ke Wura-wuri...??" Puspa Dewi menggunakan tangan kiri untuk mencengkeram lengan orang itu sehingga dia berteriak kesakitan. "Katakan yang benar, Jangan bohong! Mengapa ia dibawa ke Wura-wuri!"

"Saya... saya tidak tahu... saya hanya mengetahui dari teman-teman. Ketika siang tadi saya melihat Nyi Lasmi dikawal empat belas orang itu keluar dari kadipaten, saya bertanya dan teman-teman yang bilang bahwa ia akan diserahkan kepada Kadipaten Wura-wuri..."

Puspa Dewi menampar dengan tangan kirinya ke arah leher orang itu yang seketika pingsan. Ia segera meninggalkan tempat itu dan langsung saja ia meninggalkan daerah Wengker dan menuju ke arah Kadipaten Wura-wuri. Ia kini dapat menduga mengapa ibunya akan diserahkan kepada Kadipaten Wura-wuri. Ia dapat membayangkan apa yang akan dilakukan gurunya yang juga ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi permaisuri Wura-wuri.

Gurunya itu tentu akan mempergunakan ibu kandungnya sebagai sandera untuk memaksa ia datang menghadap! Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya kalau ia terpaksa datang menghadap. Gurunya yang telah menganggap ia sebagai anak sendiri itu amat menyayangnya. Hal ini ia ketahui benar. Akan tetapi ia telah mengkhianati Wura-wuri dan tentu saja hal ini membuat gurunya itu marah sekali dan ia tidak akan merasa heran kalau gurunya itu membencinya karena pengkhianatannya ini. la tidak dapat membayangkan mana yang lebih kuat antara rasa sayang dan rasa benci yang terkandung dalam hati Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya.

Seperti juga kalau ia memasuki Wengker, memasuki Wurawuri juga berarti memasuki sarang harimau. Seorang diri saja, tidak mungkin ia dapat melindungi dirinya sendiri, terutama diri ibunya kalau ia berada di kota raja Wura-wuri dan dianggap sebagai musuh dan dimusuhi. Akan tetapi, bagaimana pun juga masih ada harapan, yaitu rasa kasih dalam hati gurunya terhadap dirinya. Mungkin gurunya akan mengajukan dua pilihan, yaitu mengabdi kepada Wura-wuri dengan setia, atau ia dan ibunya akan dibunuh!

Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya karena berbeda dengan di Wengker, di Wura-wuri ia masih mempunyai harapan besar mengingat akan kasih sayang Nyi Dewi Durgakumala terhadap dirinya. Dengan cepat Puspa Dewi lalu melanjutkan perjalanannya tanpa ragu lagi menuju ke Wura-wuri. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya. Yang penting, ibu kandungnya harus dapat diselamatkan!

********************


BERSAMBUNG KE JILID 07