Pendekar Buta Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 13

Melalui jalan rahasia, Beng San cepat tiba di lereng gunung, di mana dia melihat dari jauh banyak obor menyala dan bahkan terdengar pula suara senjata beradu. Kagetnya bukan kepalang dan cepat dia mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke tempat itu. Diam-diam dia menyesal mengapa dia datang terlambat. Baiknya pertempuran itu baru saja dimulai, buktinya di kedua belah pihak belum jatuh korban. Dia melihat belasan orang muridnya menghadapi serbuan puluhan orang, bahkan masih banyak terdapat kelompok orang-orang yang berjajar di sebelah barat dan sekelompok lagi di sebelah utara.

Matanya menyapu cepat. Ia melihat bahwa kelompok di utara itu adalah orang-orang dari Kong-thong-pai yang dipimpin oleh seorang tosu tua. Ada pun di sebelah barat dengan kaget dia mengenal beberapa orang dari Pek-lian-pai. Hatinya berubah lega. Orang-orang sendiri, pikirnya. Tapi mengapa terjadi pertempuran? Tentu salah paham! Cepat dia berseru keras,

"Saudara-saudara, harap suka menahan senjata dulu!"

Para anak murid Thai-san-pai dengan girang mengenal suara guru mereka. Cepat mereka melompat mundur dan menahan pedang masing-masing, lalu berkumpul dan berdiri di belakang Beng San. Dari pihak lawan terdengar pula tosu Kong-thong-pai menyuruh anak muridnya berhenti, juga di pihak Pek-lian-pai yang dipimpin oleh dua orang tosu pula.

"Bagus! Ketua Thai-san-pai sendiri keluar. Urusan ini harus diselesaikan!" kata seorang tosu tua yang kurus kering, bongkok, dan memegang pedang.

Melihat tosu ini, kembali Beng San terkejut dan cepat-cepat menjura. "Ah, kiranya totiang Seng Tek Cu yang datang berkunjung. Juga kalau tidak keliru sangka, totiang yang lain ini tentulah seorang tokoh Kong-thong-pai yang terhormat. Bahkan aku mengenal beberapa saudara dari Pek-lian-pai di sini. Maaf-maaf... tamu-tamu terhormat datang, aku tidak tahu dan tidak mengadakan penyambutan."

Kemudian Beng San menoleh pada para anak muridnya dan membentak kereng. "Kalian ini bagaimana tidak bisa membedakan siapa kawan siapa lawan? Mengapa berani berlaku kurang ajar terhadap tamu-tamu terhormat? Kau... Ki Han! Jawablah, kau yang memimpin saudara-saudaramu melakukan penjagaan. Bagaimana bisa terjadi hal ini?"

Su Ki Han merupakan murid tertua dari Thai-san-pai, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, seorang gagah yang sudah dipercaya oleh Beng San. Dia cepat berlutut di depan Beng San dan menjawab, "Mana teecu (murid) berani tidak mentaati aturan suhu? Sama sekali murid dan para adik seperguruan tidak berani bersikap kurang hormat terhadap tamu. Akan tetapi orang-orang ini sama sekali tak mau memberi kesempatan kepada kami untuk bicara. Datang-datang mereka menyerang kami dan sudah tentu saja kami terpaksa mempertahankan diri dan mempertahankan nama besar Thai-san-pai. Harap suhu sudi menyelidiki dan kalau teecu dan adik-adik seperguruan salah, kami sanggup menerima hukumannya."

Lega hati Beng San dan dia percaya penuh kepada murid-muridnya ini. Dia lalu menoleh kembali kepada Seng Tek Cu, memandang penuh kekhawatiran dan pertanyaan sambil berkata. "Totiang mendengar sendiri ucapan muridku. Sebetulnya apakah yang terjadi dan mengapa Totiang membawa serta pasukan yang terdiri dari saudara-saudara Pek-lian-pai, malah ada rombongan Kong-thong-pai, lalu datang-datang menyerang murid-muridku?"

Seng Tek Cu, tosu kurus kering bongkok dari Bu-tong-pai ini, mendengar sambil tertawa mengejek.

"Huh, alangkah lucunya kenyataan yang tidak lucu! Pinto dan semua murid Bu-tong-pai, semua orang gagah yang selama hidup menjunjung kegagahan, kebenaran dan keadilan. Semua tokoh dunia kang-ouw memandang tinggi pada ketua Thai-san-pai yang dianggap seorang berilmu yang berjiwa pendekar. Sebulan lewat yang lalu, kalau ada orang bilang bahwa ketua Thai-san-pai seorang pengecut yang tak mengenal pribudi, pasti pinto (aku) akan turun tangan memukul rusak mulut orang yang bilang demikian itu. Sekarang pinto menyaksikan sendiri betapa kabar orang tentang kehebatan ketua Thai-san-pai ternyata bohong belaka!"

Diam-diam Beng San kaget sekali, tetapi dia tidak heran. Jawabnya dengan suara masih tenang, "Totiang, dunia ini memang makin lama semakin kotor oleh perbuatan manusia-manusia yang tidak benar. Banyak kejahatan dilakukan orang, akan tetapi kejahatan yang paling keji adalah fitnah. Dalam urusan ini pun saya rasa ada pihak yang melakukan fitnah terhadap Thai-san-pai, harap Totiang suka berhati-hati menghadapi fitnah dan menyelidiki terlebih dulu dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan."

"Ho-ho-ho, ketua Thai-san-pai! Mata pinto masih belum buta! Tidak hanya pinto melihat dengan kedua mata sendiri, bahkan pinto juga ikut merasai pukulan-pukulan anak murid Thai-san-pai yang gagah perkasa, he-he-he, terlalu gagah sehingga sombong dan galak. Kejadian satu setengah bulan yang lalu di lereng ini bukanlah impian buruk, melainkan kenyataan yang pinto alami sendiri. Maka tak perlu kau berpura-pura tidak tahu. Apakah kau begitu pengecut untuk menyangkal kejadian yang disaksikan oleh puluhan pasang mata? Mayat-mayat masih belum hancur di dalam kuburannya, orang-orang yang terluka masih belum sembuh, semua akibat sepak terjang Thai-san-pai, dan kau masih ada muka untuk menyangkal?"

Berubah wajah Beng San. Inilah hebat! Teringat dia akan keadaan di lereng barat, di mana terdapat mayat dua orang tak dikenal dan bekas-bekas pertempuran besar. "Totiang, dan cu-wi (tuan-tuan sekalian), harap dengarkan keteranganku! Dalam hal ini pasti terjadi salah pengertian yang besar! Memang pada satu setengah bulan yang lalu, aku dan para murid Thai-san-pai melihat bekas pertempuran di lereng barat, kemudian menemukan dua mayat yang tidak kami kenal, dalam keadaan rusak teraniaya. Kami sendiri masih bingung memikirkan siapa adanya dua mayat yang sudah kami kubur itu, tapi..."

"Jahanam! Itulah dua orang murid pinto, Lok-yang Siang-houw Kam-heng-te! Hayo kau ganti nyawa dua orang murid pinto!" tiba-tiba saja tosu tua yang memimpin rombongan Kong-thong-pai berseru sambil mencabut sebatang golok tipis dari pinggangnya.

Tosu ini bukan lain adalah Yang Ki Cu, seorang tosu tokoh Kong-thong-pai yang terkenal dengan ilmu goloknya, seorang bekas pejuang. Golok di tangannya ini istimewa sekali, tipis dan mudah melengkung, akan tetapi jangan dipandang rendah karena golok tipis ini sangat kuat dan tajam sehingga mampu membabat putus senjata lain yang terbuat dari pada baja. Semua anak murid Kong-thong-pai juga mencabut golok mereka dan sikap mereka sudah mengancam sekali.

Beng San makin kaget. Kiranya mayat-mayat itu adalah mayat Lok-yang Siang-houw yang sudah dia kenal nama harumnya. Dia cepat mengangkat tangan mencegah terjadinya pertempuran karena murid-muridnya juga menjadi panas menghadapi fitnah keji terhadap Thai-san-pai ini.

"Ji-wi Totiang dan saudara semua, harap suka bicara lebih dahulu sebelum turun tangan! Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di sini satu setengah bulan yang lalu?"

Sekarang Seng Tek Cu yang bicara, "Ketua Thai-san-pai, sebetulnya tidak perlu diulang lagi karena buktinya sudah cukup kuat. Akan tetapi karena pada waktu itu engkau tidak muncul, biarlah kau sekarang mempertanggung jawabkan perbuatan murid-muridmu yang biadab, dibantu oleh mertuamu si iblis Song-bun-kwi. Dengar! Waktu itu pinto dan Koai Tojin ini, juga beberapa saudara dari Pek-lian-pai, dibantu oleh Lok-yang Siang-houw, mengantar saudara Tan Hok untuk menemuimu dan minta bantuanmu tentang perkara perjuangan yang penting. Akan tetapi, ketika saudara Tan Hok naik ke puncak seorang diri, ia bertemu dengan murid-murid Thai-san-pai yang langsung memaki dan menyerang dia. Siapa tahu Thai-san-pai telah dijadikan kaki tangan kaisar baru sehingga begitu tega mengkhianati perjuangan orang yang tadinya kau akui sebagai kakak angkatmu. Saudara Tan Hok lalu turun dikejar murid-muridmu yang jahat, tentu saja kami lalu menghadapi murid-muridmu, terjadi pertempuran mati-matian dan muncullah mertuamu si iblis laknat itu membuat kami menderita kekalahan. Saudara Tan Hok tewas di tangan Song-bun-kwi, dan kedua saudara Kam juga tewas, di samping banyak saudara Pek-lian-pai yang gugur. Nah, sekarang kau mau bilang apa lagi?"

Kalau ada kilat menyambar dirinya di saat itu, kiranya Beng San tidak akan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Mukanya berubah pucat kehijauan dan dia pun menoleh kepada murid-muridnya. Serentak para muridnya berseru, "Bohong! Fitnah belaka! Bohong semua itu, Suhu. Teecu sekalian tidak pernah bertempur dengan mereka ini!"

Beng San merasa seperti dalam sebuah mimpi buruk sekali. Kakak angkatnya, Tan Hok, tewas di tempatnya ini dalam perjalanan hendak menemuinya? Dan yang membunuh Tan Hok adalah kakek Song-bun-kwi?

"Tak mungkin ini...," dia berkata keras-keras akan tetapi tidak ditujukan kepada siapa pun karena kata-katanya ini adalah suara hatinya yang keluar melalui mulutnya, "...terang tak mungkin murid-muridku malah mengeroyok Tan-twako! Andai kata gak-hu (ayah mertua) Song-bun-kwi membunuh Tan-twako dan Lok-yang Siang-houw, tentu di sana telah terjadi kesalah pahaman di antara mereka."

"Ketua Thai-san-pai! Setelah kau mendengar semuanya, bagaimana tanggung jawabmu? Atau kau akan membela murid-muridmu dan memaksa kami turun tangan menghancurkan Thai-san-pai?"

Suara Seng Tek Cu ini menyadarkan Beng San dari pada lamunannya. Dia mengerutkan kening dan mukanya yang kehijauan sudah pulih kembali karena keyakinannya bahwa murid-muridnya pasti tidak melakukan perbuatan seperti difitnahkan orang itu.

"Totiang dan cu-wi sekalian. Sudah terang bahwa terjadi hal hebat dan curang di sini. Agaknya ada pihak-pihak yang ingin merusakkan nama baikku dan Thai-san-pai. Karena anak muridku bukanlah orang-orang jahat, apa lagi memusuhi Tan-twako yang menjadi kakak angkatku yang kukasihi. Pertanggungan jawab bagaimana yang cu-wi kehendaki?"

"Kau harus menghukum pembunuh-pembunuh itu, kau harus membunuh murid-muridmu yang pada malam hari itu mengeroyok kami, membunuh mereka sekarang juga di depan kami. Kalau kau mau melakukan hal itu, barulah pinto dan saudara-saudara di sini suka menghabiskan perkara ini dan menganggap bahwa kau tetap seorang pendekar besar yang tidak tahu-menahu akan perbuatan keji murid-muridmu di waktu itu," jawab Seng Tek Cu yang diiringi anggukan kepala para anggota Pek-lian-pai.

"Thai-san Ciang-bun-jin, kau harus dapat pula mengantarkan kepala si iblis Song-bun-kwi kepadaku sebagai pembalasan atas kematian dua orang muridku yang tidak berdosa, barulah pinto mau menyudahi perkara ini!" kata pula Yang Ki Cu, tosu tua Kong-thong-pai yang suaranya tinggi melengking.

Beng San tertegun. Betul-betul pertanggungan jawab yang hebat dan gila. Mana mungkin dia menghukum mati murid-muridnya yang sama sekali tidak bersalah, yang dia yakin sama sekali tidak tahu-menahu dengan peristiwa di lereng barat itu? Apa lagi permintaan tosu Kong-thong-pai itu, mana mungkin bisa dia mengantarkan kepala ayah mertuanya, Song-bun-kwi, kepada tosu ini?

"Gila!" bentaknya marah karena merasa tersinggung kehormatan serta kewibawaannya. "Kalian mau menetapkan sendiri syarat-syarat yang tak mungkin! Mana bisa ini dianggap sebagai keputusan orang-orang gagah? Pertanggungan jawab yang kalian ajukan itu gila dan sewenang-wenang, mana bisa dibilang adil?"

"Hemmm, kalau menurut pikiranmu, bagaimana seharusnya pertanggungan jawab itu?" tanya Seng Tek Cu menahan marah.

"Totiang, sebetulnya aku sama sekali tidak tahu-menahu mengenai peristiwa di lereng sebelah barat itu. Akan tetapi karena peristiwa itu terjadi di wilayah Thai-san, apa lagi karena malapetaka itu menimpa diri Tan-twako dan Lok-yang Siang-houw, juga saudara-saudara Pek-lian-pai, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membersihkan nama baik Thai-san-pai, membalaskan penasaran Tan-twako dengan jalan mencari sampai dapat pembunuh-pembunuh yang sebenarnya. Tentang gak-hu Song-bun-kwi, biarlah aku akan mencarinya dan menanyakan hal itu, karena aku masih ragu-ragu apakah benar-benar beliau yang melakukannya."

"Ketua Thai-san-pai! Telingaku sendiri mendengar betapa Tan Hok sicu menyebut-nyebut nama Song-bun-kwi sebelum tewas, dan kedua mataku sendiri melihat iblis tua itu ketika mengamuk. Dan sekarang kau masih hendak menyangkal lagi?!" bentak Seng Tek Cu.

"Pinto juga minta pertanggungan jawab sekarang juga! Kematian murid-murid pinto harus dibalas!" Yang Ki Cu juga berseru marah.

"Ganyang penjahat-penjahat Thai-san-pai! Balaskan saudara-saudara kita!" teriak para anggota Pek-lian-pai yang masih mendendam karena kematian banyak saudara mereka.

Beng San masih bersabar, akan tetapi murid-muridnya yang tidak dapat menahan diri lagi. "Suhu, orang menghina Thai-san-pai semaunya. Kesabaran ada batasnya. Teecu tidak takut melayani mereka!" kata Su Ki Han dengan tangan di gagang pedangnya.

Beng San mengangkat tangannya mencegah. "Nanti dulu, Ki Han. Mereka itu bukanlah musuh, ada orang-orang jahat yang sengaja hendak mengadu domba antara kita dengan mereka..." Akan tetapi Beng San tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Tiba-tiba saja terdengar jerit-jerit mengerikan dan robohlah tiga orang dalam rombongan Pek-lian-pai dibarengi robohnya dua orang dirombongan Kong-thong-pai. Ribut keadaan di situ, apa lagi ketika mereka mendapat kenyataan bahwa kelima orang itu telah tewas dengan leher atau ulu hati tertusuk pisau-pisau kecil yang agaknya sudah disambitkan orang-orang secara menggelap.

"Thai-san-pai curang! Serbu dan ganyang Thai-san-pai!"

Orang-orang di kedua rombongan itu berteriak-teriak dan tanpa menunggu komando lagi orang-orang Kong-thong-pai dan Pek-lian-pai lalu menyerbu ke arah Beng San dengan senjata di tangan!

Akan tetapi dengan gerakan yang cepat laksana burung terbang, ketua Thai-san-pai ini sudah lenyap dari tempatnya berdiri sehingga penyerangan orang-orang itu disambut oleh murid-murid Thai-san-pai yang sudah marah.

Terjadilah pertempuran hebat di antara mereka. Murid-murid Thai-san-pai yang pada saat itu berada di situ hanya ada delapan belas orang, tetapi mereka ini adalah murid-murid yang bertempat tinggal di Thai-san-pai dan mereka sudah berada di situ semenjak Thai-san-pai berdiri empat tahun yang lalu. Oleh karena itu mereka ini rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga permainan pedang mereka pun lihai.

Su Ki Han murid kepala Thai-san-pai menyambut golok tosu Yang Ki Cu, oleh karena dia melihat tosu ini hebat betul permainan goloknya. Murid Thai-san-pai ke dua yang bernama Liok Sui menyambut pedang Seng Tek Cu tosu Bu-tong-pai sedangkan murid ke tiga yang bernama Coa Bu Heng menghadapi Koai Tojin yang amat berbahaya cambuk dan papan caturnya.

Ada pun lima belas orang anak murid Thai-san-pai yang lain menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh sehingga rata-rata setiap orang harus menghadapi empat atau lima orang lawan! Benar-benar keadaan Thai-san-pai terancam sekali karena segera kelihatan betapa pihak mereka terdesak hebat. Tiga orang murid kepala itu pun terdesak oleh tiga orang tosu lihai yang tingkatnya jauh melebihi mereka.

Kenapa Beng San malah melenyapkan diri? Kiranya pendekar ini tadi dengan amat kaget melihat berkelebatnya pisau-pisau terbang yang merobohkan lima orang. Dia pun maklum bahwa hal ini dilakukan oleh orang-orang yang hendak mengadu domba, maka secepat kilat dia melompat kemudian menerobos gerombolan pohon dari mana pisau-pisau itu beterbangan dan hanya terlihat olehnya.

Di bawah sinar bulan purnama dia melihat ada bayangan tiga orang yang bertubuh kecil langsing. Bayangan-bayangan itu gesit sekali dan sedang berlari meninggalkan tempat itu.

"Perlahan dulu...!" dia membentak sambil melompat, mengulur tangan hendak menangkap salah seorang di antara mereka.

Tiba-tiba terdengar suara mengejek. Bayangan itu melejit dan cengkeraman Beng San menangkap angin!

Ketua Thai-san-pai ini terkejut bukan main. Tidak sembarang orang dapat menghindarkan cengkeramannya tadi, maka dari gebrakan ini saja dapat diduga bahwa orang-orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia segera menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menyambar orang ke dua yang datang hendak membantu orang pertama. Orang ke tiga menggerakkan tangan dan angin berciutan ke arahnya.

Beng San terkejut bukan main. Pukulannya tertangkis lengan kecil berkulit halus namun memiliki tenaga lweekang yang hebat. Biar pun dia dapat membuat lawan itu terhuyung karena peraduan lengan itu, dia merasa betapa lengannya sendiri panas, tanda bahwa tenaga lawan ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.

Cengkeramannya pada orang ke dua juga meleset, malah orang itu mengirim tendangan yang aneh gerakannya ke arah bawah pusarnya. Serangan yang singkat tapi mematikan. Dan pada saat itu, orang ke tiga mengirim serangan dengan telunjuk menuding dan yang mengeluarkan angin berciutan ke arah lehernya.

Cepat Beng San menggerakkan tangan kiri berusaha menangkap kaki yang menendang. Dia berhasil menangkapnya, tetapi cepat-cepat melepaskannya kembali ketika tangannya merasa memegang sebuah kaki bersepatu yang kecil, kaki seorang wanita! Sedangkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berciutan itu, dia sampok dengan tangan sambil mengerahkan hawa pukulan Pek-in Hoat-sut. Karena dia tidak mengira akan kehebatan pukulan ini, dia mendiamkan saja ketika pukulan meleset mengenai ujung lengan bajunya.

"Brettt!" Ujung lengan baju itu robek seperti ditusuk pedang!

"Hebat...!" serunya kagum, maklumlah dia bahwa tiga orang ini agaknya tiga wanita yang sakti.

"Siapakah kalian? Kenapa datang-datang memusuhi aku?" Dia berusaha untuk mengenal muka mereka, akan tetapi ternyata muka mereka tertutup sutera hitam, hanya pakaian mereka berwarna merah berkembang.

"Hi-hi-hik!" tiga orang wanita itu hanya tertawa. Tampak gigi-gigi putih mengkilap tertimpa cahaya bulan, disusul berkilatnya tiga batang pedang yang mereka cabut berbareng.

Beng San berseru keras ketika tiga batang pedang itu seperti terbang menyerangnya dari tiga jurusan. Dia mengerti bahwa tiga orang lawan sakti ini tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong, maka dia cepat menggerakkan tangan dan tampaklah sinar menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam dihunus.

Dia harus sanggup merobohkan mereka, atau setidaknya menangkap seorang di antara mereka. Mereka inilah yang tahu akan fitnah yang menimpa Thai-san-pai. Akan tetapi merobohkan tiga orang ini benar-benar tidak mudah. Ilmu pedang mereka amat aneh dan lihai, malah pedang di tangan mereka berani membentur Liong-cu-kiam tanpa rusak.

Beng San penasaran. Diputarnya pedangnya sedemikian rupa dan mulailah dia mainkan Im-yang Sin-kiam. Beberapa kali terdengar ketiga orang wanita itu berteriak kaget dan menjerit. Im-yang-sin kiam benar-benar terlampau sakti bagi mereka.

Tiba-tiba terdengar mereka bersuit aneh dan sinar-sinar putih berkelebatan menyambar dari tubuh mereka ke arah Beng San. Hebat sekali senjata ini dan agaknya ini adalah pisau-pisau kecil yang tadi sudah merobohkan lima orang. Beng San memutar pedang menyampok, terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau itu beterbangan ke kanan kiri.

Akan tetapi ketika dia memandang ke depan, tiga orang wanita itu sudah lenyap ditelan bayangan-bayangan gelap. Dia hendak meloncat dan mengejar, akan tetapi niat itu lantas diurungkan ketika dia mendengar teriakan-teriakan dan senjata beradu dari arah sebelah belakangnya.

Teringatlah dia akan anak-anak murid Thai-san-pai yang tentunya sedang menghadapi serbuan mereka itu, maka hatinya menjadi amat gelisah. Mana mungkin murid-muridnya yang hanya delapan belas orang itu dapat mengatasi bahaya yang mengancam?

Dia tahu pula bahwa tiga orang tosu itu saja takkan bisa dilawan, baik oleh murid kepala Thai-san-pai sekali pun. Jika dia terus mengejar tiga orang wanita aneh tadi, tentu para muridnya akan terancam bahaya maut. Tapi bila membiarkan tiga orang itu lari, dia akan kehilangan bukti akan kebersihan Thai-san-pai. Dia merasa serba salah.

Akhirnya dia mengambil keputusan membantu murid-muridnya yang terancam bahaya. Kalau memang Thai-san-pai bersih, tidak usah takut menghadapi fitnah, pikirnya. Mudah kelak mencari rahasia dan mengejar orang-orang jahat yang menimbulkan fitnah.

Pada waktu dia berlari dan melompat ke tempat pertempuran, hatinya berduka sekali dan perasaannya amat terpukul. Banyak di antara para penyerbu menggeletak tak bernyawa terkena bacokan pedang murid-muridnya, juga beberapa orang muridnya menggeletak tak bernyawa. Yang masih bertempur telah luka-luka hebat pula.

Su Ki Han melawan Yang Ki Cu dengan mati-matian akan tetapi terdesak hebat, pundak kirinya sudah robek berdarah. Coa Bu Heng muridnya ke tiga yang berusia dua puluh lima tahun, murid yang amat berbakat, didesak hebat oleh Koai Tojin dan pakaiannya sudah compang-camping berikut kulit tubuhnya pecah-pecah terhajar cambuk. Liok Sui muridnya yang sebaya dengan Su Ki Han juga sudah payah, darah mengalir dari pahanya yang terluka oleh pedang Seng Tek Gu tosu Bu-tong-pai. Sebentar lagi, tiga orang muridnya ini tentu akan roboh berikut murid-murid yang lain.

"Tahan semua...!" Dia membentak. "Kita terhasut fitnah! Orang-orang yang jahat berada di sini..."

Tetapi pihak penyerbu yang sudah marah dan merasa berada di ambang kemenangan itu sama sekali tidak mau berhenti. Beng San menjadi marah sekali. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar yang menerjang ke sana ke mari.

Terdengar teriakan kaget berturut-turut ketika Koai Tojin terhuyung ke belakang, papan caturnya pecah dua dan cambuknya putus disusul Seng Tek Cu yang pedangnya terputus dan Yang Ki Cu yang goloknya terbang entah ke mana. Mereka berundur dengan muka pucat, memandang orang-orangnya yang kacau balau akibat diterjang gulungan sinar itu. Pedang dan golok beterbangan, orang-orang terlempar karena dorongan atau tendangan.

"Hayo, siapa tidak mau berhenti? Manusia-manusia tolol kalian! Berhenti! Siapa yang tak berhenti akan kurobohkan!" Beng San berteriak sambit menerjang ke sana ke mari.

Sebentar saja orang-orang itu mundur dengan jeri. Bukan main hebatnya sepak terjang Beng San sang ketua Thai-san-pai ini. Sekarang dia tampak berdiri tegak dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan, menghadapi mereka dengan mata berapi-api.

"Siapa masih berkepala batu? Majulah!" tantangnya penuh kemarahan.

Seng Tek Cu melangkah maju dan tersenyum pahit. "Ketua Thai-san-pai, hebat memang kepandaianmu. Kami tak mampu melawanmu. Akan tetapi, jangan kira bahwa kami akan menerima begini saja dan..."

"Tutup mulut! Sudah banyak jatuh korban sia-sia. Kukatakan tadi bahwa kalian kena hasut fitnah dan orang-orang yang mengakibatkan itu berada di sini, merekalah tadi yang secara diam-diam menyerang lima orang-orangmu secara menggelap. Kalian benar-benar bodoh dan tidak mau mendengarkan alasanku!"

Kaget sekali Seng Tek Cu. Mulai dia meragu. Juga Yang Ki Cu yang segera bertanya.

"Mana mereka? Siapa mereka itu? Buktikan!"

"Mereka orang-orang lihai. Tadi hampir saja tertangkap, tapi gagal. Ahh... akibat ketololan kalian banyak jatuh korban..." Beng San sedih bukan main melihat mayat bergelimpangan di sana-sini.

Tiba-tiba Su Ki Han mengeluh, "...Suhu... di sana... apa itu...?"

Suara murid kepala ini membuat tengkuk Beng San meremang. Cepat dia menoleh dan... wajahnya langsung berubah pucat kehijauan pada waktu dia melihat api menyala-nyala di puncak, didahului asap hitam mengebul tinggi.

"Celaka...!" Dia memekik keras dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

Tahu-tahu dia sudah jauh lari ke puncak, diikuti semua murid yang masih dapat berjalan. Sambil terpincang-pincang dan terhuyung-huyung murid-murid yang terluka ikut berlari ke puncak.

Koai Tojin, Seng Tek Cu, beserta Yang Ki Cu ikut pula mengejar, mengikuti para murid Thai-san-pai. Wajah mereka pucat, jantung pun berdebar keras. Murid-murid Thai-san-pai yang rata-rata gugup dan gelisah itu membiarkan mereka bertiga mengikuti ke puncak melalui jalan rahasia.

Orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai berdiri kebingungan, tidak berani turut ke puncak tanpa diperintah. Mereka lalu mulai menolong orang-orang yang terluka, termasuk orang-orang Thai-san-pai.

Banyak jatuh korban. Sembilan orang murid Thai-san-pai tewas, empat luka-luka berat, sisanya ikut naik ke puncak. Pihak Kong-thong-pai termasuk dua orang yang tewas oleh senjata rahasia, menderita kerugian enam orang tewas dan lima luka-luka berat. Pihak Pek-lian-pai tewas tujuh orang yang terkena senjata rahasia, dua belas luka-luka!

Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San lari secepat terbang ke puncak. Ketika tiba di puncak, ngeri hatinya menyaksikan betapa semua pondoknya telah terbakar. Api bagai menjilat-jilat langit dan atap rumah itu sudah menyala seluruhnya.

Tapi hanya sedetik dia memandang ke arah api, matanya kelihatan mencari ke sana ke mari. Akhirnya dia dapat mendengar suara isterinya di sebelah belakang pondok. Cepat dia meloncat ke sana, dilihatnya isterinya dengan pedang di tangan, muka pucat, rambut awut-awutan dan mata terbelalak sedang menjerit-jerit, "Cui Sian...! Cui Sian...!"

Seakan terhenti detak jantung Beng San. Tanpa bertanya lagi dia lalu meloncat ke depan, menerjang dinding pondoknya. Sekali terjang bobollah dinding itu. Tanpa mempedulikan panasnya api dan bahaya keruntuhan atap rumahnya, dia mencari-cari. Dilihatnya empat orang sudah menggeletak tak bernyawa dengan luka pada dada.

Dia mencari terus, tapi tidak melihat bayangan Cui San. Tiba-tiba atap rumah ambruk ke bawah dan hanya dengan kecepatan luar biasa saja Beng San dapat meloncat ke luar rumah. Ketika dia tiba di luar, murid-murid dan tiga orang tosu sudah tiba pula di situ. Mereka memandang bengong ke arah Beng San yang pada saat itu mukanya mengerikan sekali.

Muka pendekar ini hitam, pakaiannya hangus di sana-sini, sepasang matanya menyaingi panasnya api itu sendiri. Isterinya seperti orang tak sadar masih menjerit-jerit memanggil nama Cui Sian.

Seng Tek Cu terharu bukan main. Dia cepat melangkah maju, menjura dalam sekali dan berkata, "Sicu, maafkan pinto... maafkan pinto..."

Beng San tidak peduli, melainkan menghampiri isterinya. Li Cu yang dipegang pundaknya oleh Beng San seperti baru sadar. Matanya tetap terbelalak dan begitu melihat suaminya memegang pundaknya, dia cepat menjerit pergi dan menudingkan pedangnya ke muka suaminya.

"Kau...! Kalau tidak pergi... takkan terjadi begini... kau... kau...!” Dan wanita ini menangis tersedu-sedu sambil berdiri tegak, tidak berusaha mengusap air matanya, hanya menatap wajah Beng San penuh kebencian!

Ucapan ini makin menusuk hati Seng Tek Cu, Koai Tojin, dan juga Yang Ki Gu. Tahulah mereka sekarang bahwa semua ini adalah jebakan musuh yang sengaja mengadu domba dan akhirnya, karena kebodohan mereka, Beng San terpaksa turun puncak dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh para penjahat gelap itu. Memancing harimau ke luar sarang, kemudian selagi Beng San bersitegang dengan mereka, penjahat-penjahat itu langsung mengobrak-abrik sarang!

"Taihiap, maafkan pinto... pinto semua bodoh sekali... pinto semua yang menyebabkan malapetaka ini..." kata pula Seng Tek Cu.

Pedang Beng San berkelebat dan sebuah batu besar di dekat tiga orang tosu itu menjadi bulan-bulanan. Beberapa kali pedang berkelebat dan batu itu berubah seperti tahu yang dicacah-cacah!

"Pergi...! Pergi kalian dari sini...! Demi Tuhan... lekas pergi sebelum kubunuh...!" Telunjuk tangan kiri Beng San menuding ke luar.

Tiga orang tosu itu menunduk, lalu berjalan pergi dengan langkah-langkah gontai.

"Antar mereka ke luar, urus jenazah adik-adikmu," kata Beng San kepada Su Ki Han yang cepat menjalankan perintah suhunya, mendahului tiga orang tosu menjadi penunjuk jalan.

Hati Ki Han gelisah. Murid ini sama sekali tak merasakan lukanya. Murid-murid yang lain tanpa diperintah juga pergi mengikuti twa-suheng mereka, maklum bahwa guru dan ibu guru mereka tak mau diganggu orang lain.

Setelah semua orang pergi, Beng San menengok ke arah isterinya. Jantungnya merasa ditusuk pedang oleh pandangan mata isterinya yang penuh penyesalan, penuh dengan penderitaan dan penuh kebencian. Seakan-akan dari pandang mata Beng San terungkap seribu satu macam pertanyaan dan otomatis Li Cu berkata, suaranya lirih seperti suara orang menangis,

"Mereka datang... lima orang mengeroyokku... yang lain membakar rumah... kulihat Cui Sian dibawa lari..." Tiba-tiba dia menangis menggerung-gerung. "Anakku...! Cui Sian terus berteriak-teriak memanggilku... anakku... Cui Sian... Cui Sian...!"

Beng San makin hancur hatinya, dia melangkah maju, hendak memeluk isterinya. "Li Cu... kenalkah kau siapa mereka? Biar kucari mereka, kurampas kembali anak kita..."

"Jangan sentuh aku!" Pedangnya berkelebat dan hampir saja lengan tangan Beng San terbabat putus kalau dia tidak cepat-cepat menariknya. "Aku tidak kenal mereka. Peduli apa dengan kau! Kau lebih mementingkan Thai-san-pai! Nah, uruslah Thai-san-pai-mu itu. Aku akan pergi mencari anakku!" Setelah berkata demikian, Li Cu berlari pergi menuruni puncak.

"Li Cu...! Tunggu dulu...!"

Beng San melompat melampaui isterinya, menghadangnya. "Kau maafkanlah aku... mari kita bicara baik-baik..."

"Jangan mendekat!" Kembali pedang Li Cu berkelebat. "Kau uruslah Thai-san-pai, jangan pedulikan aku dan anakku. Aku bersumpah... dengarlah Beng San, aku bersumpah takkan sudi melihat mukamu lagi tanpa adanya Cui Sian!"

Pedangnya membabat ke depan dan selagi Beng San meloncat minggir, dia berlari terus meninggalkan suaminya.

Beng San menggigit bibir, menahan suaranya yang hendak menjerit-jerit. Hampir tak kuat ia menahan gelora hatinya yang kalang kabut menghadapi mala petaka hebat ini. Seluruh batinnya diliputi kemarahan luar biasa. Kemudian kakinya menendang. Sebuah batu besar terlempar bergulingan. Pedangnya dikerjakan. Pohon-pohon roboh malang melintang.

Beng San terus menyerbu pondoknya yang masih terbakar. Ditendangnya, dihantamnya, dibabatnya sehingga hiruk-pikuk suara pondok itu roboh. Batu-batu beterbangan, tidak ada sebatang pun pohon utuh, semua dibabat rata dengan tanah!

Ia mengamuk terus, dari kerongkongannya terdengar suara menggereng-gereng, matanya liar dan semalam itu dia membuat puncak yang tadinya indah menjadi tempat yang rusak binasa. Tanam-tanaman bunga ludes, pondok habis, pohon-pohon ambruk, batu-batu pun malang melintang, banyak yang hancur.

Dalam keadaan seperti inilah tiga orang murid kepala mendapatkan gurunya. Beng San masih berdiri seperti patung, pedang di tangan, muka beringas mata liar.

"Suhu...!" tiga orang murid itu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar mereka menangis terisak.

Beng San menoleh, menunduk, matanya dikejap-kejapkan mengusir dua butir air mata yang sejak tadi menggantung tak mau jatuh. Seperti orang baru sadar dari mimpi buruk dia lalu menengok ke kanan kiri, melihat kerusakan yang diakibatkan oleh kemarahannya. Diam-diam dia bersyukur bahwa tidak ada seorang pun manusia di situ malam tadi. Kalau ada, entah apa akan jadinya.

Dia menarik napas panjang, terasa sakit di dada. Tahu bahwa dia terluka oleh hawa amarahnya sendiri! Cepat dia menyalurkan hawa murni ke dada, bernapas panjang-panjang memulihkan tenaga dan kesehatan. Dia insyaf akan kegilaannya. Boleh jadi Li Cu pun tak dapat menahan hantaman nasib seperti ini.

Dia tidak menyalahkan isterinya. Seorang wanita bagaimana pun juga lebih lemah daya tahan batinnya. Apa lagi pernah kehilangan Cui Bi, kini kehilangan Cui San. Amat berat tentu.

Tapi dia seorang laki-laki. Hampir lima puluh tahun hidupnya. Banyak sudah pengalaman. Masa belum juga matang jiwanya oleh gemblengan pengalaman hidup yang pahit getir? Kesadaran tidak boleh tertutup kegelapan nafsu. Dia harus tetap berpendirian. Seorang gagah tak akan mudah goyah imannya. Sekali lagi dia menarik napas panjang.

"Ki Han, siapa saja di antara adikmu yang tewas dan berapa yang terluka?" tanyanya, suaranya sudah biasa kembali. Beng San sudah pulih menjadi ketua Thai-san-pai yang berwibawa.

Sambil menangis Ki Han menyebutkan nama sembilan orang adik seperguruannya yang tewas dan empat orang yang luka-luka. Kembali Beng San menarik napas panjang untuk menyedot hawa murni guna menguatkan batinnya yang kembali terpukul kedukaan.

"Murid-muridku, kuharap kalian suka mengubur jenazah adik-adikmu baik-baik. Kemudian bubarlah kalian, pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang tidak mempunyai rumah boleh saja tinggal di pegunungan ini. Akan tetapi ingat, mulai saat ini Thai-san-pai tidak ada lagi..."

"Suhu...!" Ki Han terisak. "Di mana subo (ibu guru) dan adik Cui Sian?"

"Adikmu diculik orang. Subo-mu pergi mengejar. Aku pun akan turun gunung menyusul mereka. Ingat, Thai-san-pai tidak ada lagi..."

"Suhu...!" Kini terdengar seruan mereka serentak menyatakan keberatan hati.

"Atau... biarlah untuk sementara ini Thai-san-pai dibekukan. Tunggu sampai aku pulang. Kalau aku tidak pulang selamanya, berarti Thai-san-pai tidak akan bangun lagi. Beri tahu kepada semua adikmu yang tidak tinggal di sini. Terserah cara kalian mencari jalan hidup masing-masing. Aku tidak akan mengurus sepak terjang kalian selama kalian juga tidak menggunakan nama Thai-san-pai. Akan tetapi, percayalah akan kemurahan Thian. Kalau Thian menghendaki, aku akan kembali membangun lagi Thai-san-pai yang rusak binasa di hari ini. Nah, selamat tinggal, murid-muridku..." Suara terakhir ini mengandung isak dan semua murid menangis.

Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan suhu mereka berkelebat pergi dan lenyap. Murid-murid itu saling rangkul dan bertangisan. Keadaan pada pagi hari itu menyedihkan sekali. Thai-san-pai yang dibangun selama empat tahun dan tadinya terkenal sebagai partai baru yang kuat dan disegani, dalam semalam runtuh dan hancur binasa….
cerita silat karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu keadaan Thai-san-pai yang rusak binasa dan ketuanya yang rusak pula ketenteraman rumah tangganya. Mari kita menengok keadaan di puncak Min-san. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Tan Kong Bu putera Tan Beng San bersama isterinya, Kui Li Eng dan kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun, setelah menikah lalu pindah ke Min-san di mana dia dibantu oleh isterinya menerima murid-murid yang berbakat dan berusaha mendirikan sebuah perkumpulan baru, yaitu Min-san-pai.

Belum banyak murid yang diterima oleh suami isteri ini karena mereka masih muda, lagi pula mereka tidak mau menerima sembarangan murid. Kalau ada anak yang benar-benar berbakat barulah mereka mau menurunkan ilmu silat sehingga dalam waktu empat tahun, baru mempunyai murid sebanyak dua belas orang saja, terdiri dari anak-anak muda laki perempuan berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun.

Suami isteri ini hidup rukun saling mencinta. Di samping mengajar silat kepada para murid cilik ini mereka hidup sebagai petani, bercocok tanam sayur-sayur dan buah-buahan yang dapat hidup subur di Min-san. Song-bun-kwi juga hidup tenang tenteram di Min-san. Kakek ini sekarang menjadi gemuk dan sehat. Akan tetapi lewat empat tahun, dia mulai mengeluh dan menjadi malas karena kerjanya hanya makan tidur belaka. Berkali-kali dia mengeluh dan menyatakan ketidak puasan dan kebosanan hatinya di depan cucunya dan cucu mantunya.

Pagi hari itu dia nampak marah-marah dan gelisah. Semenjak subuh tadi Kong Bu dan isterinya melihat dengan cemas betapa kakek itu tidak hentinya berlatih silat di kebun belakang. Dan tidak seperti biasanya, terdengar suara keras. Ketika mereka lari menengok, kiranya dua batang pohon besar sudah roboh dipukul dan ditendang kakek itu! Masih saja Song-bun-kwi bersilat. Angin pukulannya mendesir-desir dan dia sama sekali tidak mempedulikan munculnya cucu dan cucu mantunya. Wajahnya cemberut dan matanya sayu.

Kong Bu saling pandang dengan Li Eng. Dia menarik napas panjang, lalu menggandeng tangan isterinya diajak masuk rumah. Dia masgul sekali, duduk bertopang dagu, teringat akan percekcokan dengan kakek itu semalam. Seperti biasa, malam tadi Song-bun-kwi makan bersama Kong Bu dan Li Eng yang juga melayani suami dan kakeknya. Song-bun-kwi sudah berbeda dari pada biasanya, banyak menenggak arak dan selalu minta tambah.

Dan akhirnya, selesai makan Song-bun-kwi menggebrak meja sampai mangkok-mangkok menari-nari di atas meja.

"Kau anak sial! Tidak becus!" dia memaki Kong Bu.

Tidak heran Kong Bu melihat kakeknya seperti itu. Sudah semenjak kecil dia tahu akan keanehan watak kakek ini yang mudah marah dan mudah gembira, kadang-kadang bagi yang tidak tahu tentu disangka gila. Dengan tenang dia tersenyum dan bertanya,

"Apa lagi yang tak menyenangkan hatimu, Kongkong (kakek)? Kesalahan apakah kali ini yang kulakukan?"

"Kesalahan apa? Bocah tolol! Aku ingin punya buyut, kau dengar? Aku ingin punya buyut dan kau tidak becus!"

Mendengar omongan ini seketika wajah Li Eng menjadi merah dan dengan berpura-pura membawa mangkok-mangkok kotor dia cepat-cepat lari ke belakang, namun telinga kakek dan cucu yang lihai itu masih dapat mendengar isaknya tertahan-tahan.

Kong Bu mengerutkan heningnya. Terlalu kakeknya ini. Sudah melewati batas sekarang. Sudah berkali-kali kakeknya ini marah-marah kepadanya, memakinya tidak becus, tidak mampu segala macam, hanya karena dia dan Li Eng sampai sekarang belum juga punya keturunan, belum punya anak!

Kakeknya memang orang aneh, ini dia tahu. Akan tetapi kalau sudah mencelanya tentang tak punya anak di depan Li Eng, tentu saja isterinya merasa tersinggung sekali.

"Kakek, lagi-lagi kau ribut-ribut soal cucu buyut!" tegurnya dengan suara agak kasar. "Soal keturunan adalah soal yang ditentukan oleh Thian. Manusia mana dapat menentukan? Mengapa kakek ribut-ribut saja urusan buyut? Apakah tidak tahu bahwa ucapanmu tadi amat menyakiti hati Li Eng?"

"Aaahh, dasar kau yang tidak becus! Laki-laki goblok kau, sudah menikah empat tahun belum juga punya anak. Uuhhh!" kakek itu mencak-mencak dengan amat berangnya.

Kong Bu tak dapat menahan kesabarannya. Suara kakeknya terlalu keras sehingga biar pun Li Eng berada di belakang, tentu isterinya itu dapat mendengar jelas.

"Kongkong, kau terlalu sekali! Kau ingin punya cucu buyut untuk apa sih?"

"Wah, untuk apa katanya? Tentu saja untuk kuwarisi kepandaian yang kulatih puluhan tahun ini. Untuk apa lagi? Aku tidak akan mati meram sebelum kepandaianku kuwariskan kepada buyutku. Tahu kau?"

Kong Bu tertawa, berusaha mendinginkan hati kakeknya. "Ahh, kalau hanya untuk itu saja, mengapa Kongkong harus susah-susah menanti buyut yang tak tentu kapan datangnya? Bukankah cucu muridmu ada dua belas orang di sini, boleh kau pilih mana yang kau sukai untuk dijadikan murid-muridmu. Bukankah ini baik sekali, Kongkong?"

"Murid-murid tahi kerbau!" Kakek itu makin marah. "Kalau memang mau cari murid, aku bisa cari sendiri. Ahh, sudahlah, dasar kau yang tolol dan tidak becus!"

Demikianlah keributan malam tadi, keributan berdasarkan soal yang itu-itu juga dan yang membuat Song-bun-kwi Kwee Lun murung. Pagi itu sejak subuh dia sudah bersilat dan dengan pukulan saktinya merobohkan pohon besar. Biasanya, sesudah matahari terbit, kakek ini tentu akan masuk ke ruangan depan, berjemur sinar matahari melalui jendela ruangan itu sambil menghadapi minuman hangat yang disediakan oleh Li Eng. Dia akan duduk di bangku panjang dan berbaring, meram melek nikmat seperti seekor singa tua bermalasan.

Akan tetapi pagi itu dia tidak masuk ke ruangan. Sampai matahari naik tinggi, kakek itu tidak nampak pulang. Kong Bu merasa heran dan mencari ke belakang. Tidak ada. Ke depan lalu ke sekeliling tempat itu. Tidak ada. Kakek itu tidak nampak bayangannya lagi. Isterinya ikut mencari dan memanggil-manggil. Namun kakek itu tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kong Bu mendekati isterinya. Mereka saling pandang.

"Dia kumat penyakitnya, dasar berdarah perantauan!" kata Kong Bu.

Li Eng mengerutkan kening, menunduk. "Karena aku..."

Kong Bu kaget, memandang isterinya. Dilihatnya dua titik air mata membasahi pipi Li Eng. Dia merangkulnya. "Hushh, siapa bilang karena kau? Tentang itu, tak perlu kita pikirkan, isteriku. Kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa."

Li Eng memang bukan seorang pemurung. Semenjak gadisnya, dia amat periang, kocak dan jenaka. Sekarang pun hanya sebentar ia digerumuti rasa kecewa dan duka. Di lain saat sambil tersenyum manis dia berkata, "Hemm, dunia kang-ouw tentu bakal geger dan heboh karena munculnya kakek!"

Kong Bu juga tersenyum. "Tentu saja, boleh kita pastikan itu! Kita dengar-dengar saja, tentu terjadi keonaran. Memang kakekku itu tukang mencari geger. Ha-ha-ha!" Mereka tertawa-tawa dan seketika lenyaplah awan mendung yang mengancam sinar kebahagiaan mereka.

Benar dugaan Kong Bu. Kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun memang sudah pergi dari Min-san. Kekesalan hatinya karena belum juga dia dapat menimang seorang buyut yang dinanti-nantikan, membangkitkan rindunya akan dunia ramai, membuat penyakitnya suka merantau kambuh kembali. Seperti telah menjadi wataknya semenjak dahulu, dia selalu pergi tanpa pamit dan pulang tanpa memberi tahukan.

Akan tetapi, tidak seperti dugaan Kong Bu bahwa di dunia ramai kakeknya tentu akan menimbulkan kegemparan, kali ini Song-bun-kwi melakukan perjalanan dengan tenteram, tidak mempunyai nafsu untuk mencari perkara. Hal ini adalah karena hatinya sudah menjadi dingin karena mengingat bahwa tokoh-tokoh setingkat dengannya seperti Siauw-ong-kui, Pak-thian Lo-cu, atau Hek-hwa Kui-bo dan Toat-beng Yok-mo, semua sudah mati. Kalau ada mereka, terutama Siauw-ong-kui, tentu dia akan mencarinya dan diajak berkelahi sampai tiga hari tiga malam!

Hanya tinggal seorang tokoh yang setingkat dengannya, atau setidaknya hampir setingkat dengannya, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, itu tokoh besar dari pantai timur. Karena teringat akan orang tua inilah maka kini Song-bun-kwi melakukan perjalanan ke timur, ke pantai timur untuk mencari Tai-lek-sin. Keperluannya hanya satu, mencari orang tua itu dan kalau sudah berjumpa, hendak diajak berkelahi mengadu ilmu...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 14


Pendekar Buta Jilid 13

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 13

Melalui jalan rahasia, Beng San cepat tiba di lereng gunung, di mana dia melihat dari jauh banyak obor menyala dan bahkan terdengar pula suara senjata beradu. Kagetnya bukan kepalang dan cepat dia mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke tempat itu. Diam-diam dia menyesal mengapa dia datang terlambat. Baiknya pertempuran itu baru saja dimulai, buktinya di kedua belah pihak belum jatuh korban. Dia melihat belasan orang muridnya menghadapi serbuan puluhan orang, bahkan masih banyak terdapat kelompok orang-orang yang berjajar di sebelah barat dan sekelompok lagi di sebelah utara.

Matanya menyapu cepat. Ia melihat bahwa kelompok di utara itu adalah orang-orang dari Kong-thong-pai yang dipimpin oleh seorang tosu tua. Ada pun di sebelah barat dengan kaget dia mengenal beberapa orang dari Pek-lian-pai. Hatinya berubah lega. Orang-orang sendiri, pikirnya. Tapi mengapa terjadi pertempuran? Tentu salah paham! Cepat dia berseru keras,

"Saudara-saudara, harap suka menahan senjata dulu!"

Para anak murid Thai-san-pai dengan girang mengenal suara guru mereka. Cepat mereka melompat mundur dan menahan pedang masing-masing, lalu berkumpul dan berdiri di belakang Beng San. Dari pihak lawan terdengar pula tosu Kong-thong-pai menyuruh anak muridnya berhenti, juga di pihak Pek-lian-pai yang dipimpin oleh dua orang tosu pula.

"Bagus! Ketua Thai-san-pai sendiri keluar. Urusan ini harus diselesaikan!" kata seorang tosu tua yang kurus kering, bongkok, dan memegang pedang.

Melihat tosu ini, kembali Beng San terkejut dan cepat-cepat menjura. "Ah, kiranya totiang Seng Tek Cu yang datang berkunjung. Juga kalau tidak keliru sangka, totiang yang lain ini tentulah seorang tokoh Kong-thong-pai yang terhormat. Bahkan aku mengenal beberapa saudara dari Pek-lian-pai di sini. Maaf-maaf... tamu-tamu terhormat datang, aku tidak tahu dan tidak mengadakan penyambutan."

Kemudian Beng San menoleh pada para anak muridnya dan membentak kereng. "Kalian ini bagaimana tidak bisa membedakan siapa kawan siapa lawan? Mengapa berani berlaku kurang ajar terhadap tamu-tamu terhormat? Kau... Ki Han! Jawablah, kau yang memimpin saudara-saudaramu melakukan penjagaan. Bagaimana bisa terjadi hal ini?"

Su Ki Han merupakan murid tertua dari Thai-san-pai, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, seorang gagah yang sudah dipercaya oleh Beng San. Dia cepat berlutut di depan Beng San dan menjawab, "Mana teecu (murid) berani tidak mentaati aturan suhu? Sama sekali murid dan para adik seperguruan tidak berani bersikap kurang hormat terhadap tamu. Akan tetapi orang-orang ini sama sekali tak mau memberi kesempatan kepada kami untuk bicara. Datang-datang mereka menyerang kami dan sudah tentu saja kami terpaksa mempertahankan diri dan mempertahankan nama besar Thai-san-pai. Harap suhu sudi menyelidiki dan kalau teecu dan adik-adik seperguruan salah, kami sanggup menerima hukumannya."

Lega hati Beng San dan dia percaya penuh kepada murid-muridnya ini. Dia lalu menoleh kembali kepada Seng Tek Cu, memandang penuh kekhawatiran dan pertanyaan sambil berkata. "Totiang mendengar sendiri ucapan muridku. Sebetulnya apakah yang terjadi dan mengapa Totiang membawa serta pasukan yang terdiri dari saudara-saudara Pek-lian-pai, malah ada rombongan Kong-thong-pai, lalu datang-datang menyerang murid-muridku?"

Seng Tek Cu, tosu kurus kering bongkok dari Bu-tong-pai ini, mendengar sambil tertawa mengejek.

"Huh, alangkah lucunya kenyataan yang tidak lucu! Pinto dan semua murid Bu-tong-pai, semua orang gagah yang selama hidup menjunjung kegagahan, kebenaran dan keadilan. Semua tokoh dunia kang-ouw memandang tinggi pada ketua Thai-san-pai yang dianggap seorang berilmu yang berjiwa pendekar. Sebulan lewat yang lalu, kalau ada orang bilang bahwa ketua Thai-san-pai seorang pengecut yang tak mengenal pribudi, pasti pinto (aku) akan turun tangan memukul rusak mulut orang yang bilang demikian itu. Sekarang pinto menyaksikan sendiri betapa kabar orang tentang kehebatan ketua Thai-san-pai ternyata bohong belaka!"

Diam-diam Beng San kaget sekali, tetapi dia tidak heran. Jawabnya dengan suara masih tenang, "Totiang, dunia ini memang makin lama semakin kotor oleh perbuatan manusia-manusia yang tidak benar. Banyak kejahatan dilakukan orang, akan tetapi kejahatan yang paling keji adalah fitnah. Dalam urusan ini pun saya rasa ada pihak yang melakukan fitnah terhadap Thai-san-pai, harap Totiang suka berhati-hati menghadapi fitnah dan menyelidiki terlebih dulu dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan."

"Ho-ho-ho, ketua Thai-san-pai! Mata pinto masih belum buta! Tidak hanya pinto melihat dengan kedua mata sendiri, bahkan pinto juga ikut merasai pukulan-pukulan anak murid Thai-san-pai yang gagah perkasa, he-he-he, terlalu gagah sehingga sombong dan galak. Kejadian satu setengah bulan yang lalu di lereng ini bukanlah impian buruk, melainkan kenyataan yang pinto alami sendiri. Maka tak perlu kau berpura-pura tidak tahu. Apakah kau begitu pengecut untuk menyangkal kejadian yang disaksikan oleh puluhan pasang mata? Mayat-mayat masih belum hancur di dalam kuburannya, orang-orang yang terluka masih belum sembuh, semua akibat sepak terjang Thai-san-pai, dan kau masih ada muka untuk menyangkal?"

Berubah wajah Beng San. Inilah hebat! Teringat dia akan keadaan di lereng barat, di mana terdapat mayat dua orang tak dikenal dan bekas-bekas pertempuran besar. "Totiang, dan cu-wi (tuan-tuan sekalian), harap dengarkan keteranganku! Dalam hal ini pasti terjadi salah pengertian yang besar! Memang pada satu setengah bulan yang lalu, aku dan para murid Thai-san-pai melihat bekas pertempuran di lereng barat, kemudian menemukan dua mayat yang tidak kami kenal, dalam keadaan rusak teraniaya. Kami sendiri masih bingung memikirkan siapa adanya dua mayat yang sudah kami kubur itu, tapi..."

"Jahanam! Itulah dua orang murid pinto, Lok-yang Siang-houw Kam-heng-te! Hayo kau ganti nyawa dua orang murid pinto!" tiba-tiba saja tosu tua yang memimpin rombongan Kong-thong-pai berseru sambil mencabut sebatang golok tipis dari pinggangnya.

Tosu ini bukan lain adalah Yang Ki Cu, seorang tosu tokoh Kong-thong-pai yang terkenal dengan ilmu goloknya, seorang bekas pejuang. Golok di tangannya ini istimewa sekali, tipis dan mudah melengkung, akan tetapi jangan dipandang rendah karena golok tipis ini sangat kuat dan tajam sehingga mampu membabat putus senjata lain yang terbuat dari pada baja. Semua anak murid Kong-thong-pai juga mencabut golok mereka dan sikap mereka sudah mengancam sekali.

Beng San makin kaget. Kiranya mayat-mayat itu adalah mayat Lok-yang Siang-houw yang sudah dia kenal nama harumnya. Dia cepat mengangkat tangan mencegah terjadinya pertempuran karena murid-muridnya juga menjadi panas menghadapi fitnah keji terhadap Thai-san-pai ini.

"Ji-wi Totiang dan saudara semua, harap suka bicara lebih dahulu sebelum turun tangan! Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di sini satu setengah bulan yang lalu?"

Sekarang Seng Tek Cu yang bicara, "Ketua Thai-san-pai, sebetulnya tidak perlu diulang lagi karena buktinya sudah cukup kuat. Akan tetapi karena pada waktu itu engkau tidak muncul, biarlah kau sekarang mempertanggung jawabkan perbuatan murid-muridmu yang biadab, dibantu oleh mertuamu si iblis Song-bun-kwi. Dengar! Waktu itu pinto dan Koai Tojin ini, juga beberapa saudara dari Pek-lian-pai, dibantu oleh Lok-yang Siang-houw, mengantar saudara Tan Hok untuk menemuimu dan minta bantuanmu tentang perkara perjuangan yang penting. Akan tetapi, ketika saudara Tan Hok naik ke puncak seorang diri, ia bertemu dengan murid-murid Thai-san-pai yang langsung memaki dan menyerang dia. Siapa tahu Thai-san-pai telah dijadikan kaki tangan kaisar baru sehingga begitu tega mengkhianati perjuangan orang yang tadinya kau akui sebagai kakak angkatmu. Saudara Tan Hok lalu turun dikejar murid-muridmu yang jahat, tentu saja kami lalu menghadapi murid-muridmu, terjadi pertempuran mati-matian dan muncullah mertuamu si iblis laknat itu membuat kami menderita kekalahan. Saudara Tan Hok tewas di tangan Song-bun-kwi, dan kedua saudara Kam juga tewas, di samping banyak saudara Pek-lian-pai yang gugur. Nah, sekarang kau mau bilang apa lagi?"

Kalau ada kilat menyambar dirinya di saat itu, kiranya Beng San tidak akan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Mukanya berubah pucat kehijauan dan dia pun menoleh kepada murid-muridnya. Serentak para muridnya berseru, "Bohong! Fitnah belaka! Bohong semua itu, Suhu. Teecu sekalian tidak pernah bertempur dengan mereka ini!"

Beng San merasa seperti dalam sebuah mimpi buruk sekali. Kakak angkatnya, Tan Hok, tewas di tempatnya ini dalam perjalanan hendak menemuinya? Dan yang membunuh Tan Hok adalah kakek Song-bun-kwi?

"Tak mungkin ini...," dia berkata keras-keras akan tetapi tidak ditujukan kepada siapa pun karena kata-katanya ini adalah suara hatinya yang keluar melalui mulutnya, "...terang tak mungkin murid-muridku malah mengeroyok Tan-twako! Andai kata gak-hu (ayah mertua) Song-bun-kwi membunuh Tan-twako dan Lok-yang Siang-houw, tentu di sana telah terjadi kesalah pahaman di antara mereka."

"Ketua Thai-san-pai! Setelah kau mendengar semuanya, bagaimana tanggung jawabmu? Atau kau akan membela murid-muridmu dan memaksa kami turun tangan menghancurkan Thai-san-pai?"

Suara Seng Tek Cu ini menyadarkan Beng San dari pada lamunannya. Dia mengerutkan kening dan mukanya yang kehijauan sudah pulih kembali karena keyakinannya bahwa murid-muridnya pasti tidak melakukan perbuatan seperti difitnahkan orang itu.

"Totiang dan cu-wi sekalian. Sudah terang bahwa terjadi hal hebat dan curang di sini. Agaknya ada pihak-pihak yang ingin merusakkan nama baikku dan Thai-san-pai. Karena anak muridku bukanlah orang-orang jahat, apa lagi memusuhi Tan-twako yang menjadi kakak angkatku yang kukasihi. Pertanggungan jawab bagaimana yang cu-wi kehendaki?"

"Kau harus menghukum pembunuh-pembunuh itu, kau harus membunuh murid-muridmu yang pada malam hari itu mengeroyok kami, membunuh mereka sekarang juga di depan kami. Kalau kau mau melakukan hal itu, barulah pinto dan saudara-saudara di sini suka menghabiskan perkara ini dan menganggap bahwa kau tetap seorang pendekar besar yang tidak tahu-menahu akan perbuatan keji murid-muridmu di waktu itu," jawab Seng Tek Cu yang diiringi anggukan kepala para anggota Pek-lian-pai.

"Thai-san Ciang-bun-jin, kau harus dapat pula mengantarkan kepala si iblis Song-bun-kwi kepadaku sebagai pembalasan atas kematian dua orang muridku yang tidak berdosa, barulah pinto mau menyudahi perkara ini!" kata pula Yang Ki Cu, tosu tua Kong-thong-pai yang suaranya tinggi melengking.

Beng San tertegun. Betul-betul pertanggungan jawab yang hebat dan gila. Mana mungkin dia menghukum mati murid-muridnya yang sama sekali tidak bersalah, yang dia yakin sama sekali tidak tahu-menahu dengan peristiwa di lereng barat itu? Apa lagi permintaan tosu Kong-thong-pai itu, mana mungkin bisa dia mengantarkan kepala ayah mertuanya, Song-bun-kwi, kepada tosu ini?

"Gila!" bentaknya marah karena merasa tersinggung kehormatan serta kewibawaannya. "Kalian mau menetapkan sendiri syarat-syarat yang tak mungkin! Mana bisa ini dianggap sebagai keputusan orang-orang gagah? Pertanggungan jawab yang kalian ajukan itu gila dan sewenang-wenang, mana bisa dibilang adil?"

"Hemmm, kalau menurut pikiranmu, bagaimana seharusnya pertanggungan jawab itu?" tanya Seng Tek Cu menahan marah.

"Totiang, sebetulnya aku sama sekali tidak tahu-menahu mengenai peristiwa di lereng sebelah barat itu. Akan tetapi karena peristiwa itu terjadi di wilayah Thai-san, apa lagi karena malapetaka itu menimpa diri Tan-twako dan Lok-yang Siang-houw, juga saudara-saudara Pek-lian-pai, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membersihkan nama baik Thai-san-pai, membalaskan penasaran Tan-twako dengan jalan mencari sampai dapat pembunuh-pembunuh yang sebenarnya. Tentang gak-hu Song-bun-kwi, biarlah aku akan mencarinya dan menanyakan hal itu, karena aku masih ragu-ragu apakah benar-benar beliau yang melakukannya."

"Ketua Thai-san-pai! Telingaku sendiri mendengar betapa Tan Hok sicu menyebut-nyebut nama Song-bun-kwi sebelum tewas, dan kedua mataku sendiri melihat iblis tua itu ketika mengamuk. Dan sekarang kau masih hendak menyangkal lagi?!" bentak Seng Tek Cu.

"Pinto juga minta pertanggungan jawab sekarang juga! Kematian murid-murid pinto harus dibalas!" Yang Ki Cu juga berseru marah.

"Ganyang penjahat-penjahat Thai-san-pai! Balaskan saudara-saudara kita!" teriak para anggota Pek-lian-pai yang masih mendendam karena kematian banyak saudara mereka.

Beng San masih bersabar, akan tetapi murid-muridnya yang tidak dapat menahan diri lagi. "Suhu, orang menghina Thai-san-pai semaunya. Kesabaran ada batasnya. Teecu tidak takut melayani mereka!" kata Su Ki Han dengan tangan di gagang pedangnya.

Beng San mengangkat tangannya mencegah. "Nanti dulu, Ki Han. Mereka itu bukanlah musuh, ada orang-orang jahat yang sengaja hendak mengadu domba antara kita dengan mereka..." Akan tetapi Beng San tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Tiba-tiba saja terdengar jerit-jerit mengerikan dan robohlah tiga orang dalam rombongan Pek-lian-pai dibarengi robohnya dua orang dirombongan Kong-thong-pai. Ribut keadaan di situ, apa lagi ketika mereka mendapat kenyataan bahwa kelima orang itu telah tewas dengan leher atau ulu hati tertusuk pisau-pisau kecil yang agaknya sudah disambitkan orang-orang secara menggelap.

"Thai-san-pai curang! Serbu dan ganyang Thai-san-pai!"

Orang-orang di kedua rombongan itu berteriak-teriak dan tanpa menunggu komando lagi orang-orang Kong-thong-pai dan Pek-lian-pai lalu menyerbu ke arah Beng San dengan senjata di tangan!

Akan tetapi dengan gerakan yang cepat laksana burung terbang, ketua Thai-san-pai ini sudah lenyap dari tempatnya berdiri sehingga penyerangan orang-orang itu disambut oleh murid-murid Thai-san-pai yang sudah marah.

Terjadilah pertempuran hebat di antara mereka. Murid-murid Thai-san-pai yang pada saat itu berada di situ hanya ada delapan belas orang, tetapi mereka ini adalah murid-murid yang bertempat tinggal di Thai-san-pai dan mereka sudah berada di situ semenjak Thai-san-pai berdiri empat tahun yang lalu. Oleh karena itu mereka ini rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga permainan pedang mereka pun lihai.

Su Ki Han murid kepala Thai-san-pai menyambut golok tosu Yang Ki Cu, oleh karena dia melihat tosu ini hebat betul permainan goloknya. Murid Thai-san-pai ke dua yang bernama Liok Sui menyambut pedang Seng Tek Cu tosu Bu-tong-pai sedangkan murid ke tiga yang bernama Coa Bu Heng menghadapi Koai Tojin yang amat berbahaya cambuk dan papan caturnya.

Ada pun lima belas orang anak murid Thai-san-pai yang lain menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh sehingga rata-rata setiap orang harus menghadapi empat atau lima orang lawan! Benar-benar keadaan Thai-san-pai terancam sekali karena segera kelihatan betapa pihak mereka terdesak hebat. Tiga orang murid kepala itu pun terdesak oleh tiga orang tosu lihai yang tingkatnya jauh melebihi mereka.

Kenapa Beng San malah melenyapkan diri? Kiranya pendekar ini tadi dengan amat kaget melihat berkelebatnya pisau-pisau terbang yang merobohkan lima orang. Dia pun maklum bahwa hal ini dilakukan oleh orang-orang yang hendak mengadu domba, maka secepat kilat dia melompat kemudian menerobos gerombolan pohon dari mana pisau-pisau itu beterbangan dan hanya terlihat olehnya.

Di bawah sinar bulan purnama dia melihat ada bayangan tiga orang yang bertubuh kecil langsing. Bayangan-bayangan itu gesit sekali dan sedang berlari meninggalkan tempat itu.

"Perlahan dulu...!" dia membentak sambil melompat, mengulur tangan hendak menangkap salah seorang di antara mereka.

Tiba-tiba terdengar suara mengejek. Bayangan itu melejit dan cengkeraman Beng San menangkap angin!

Ketua Thai-san-pai ini terkejut bukan main. Tidak sembarang orang dapat menghindarkan cengkeramannya tadi, maka dari gebrakan ini saja dapat diduga bahwa orang-orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia segera menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menyambar orang ke dua yang datang hendak membantu orang pertama. Orang ke tiga menggerakkan tangan dan angin berciutan ke arahnya.

Beng San terkejut bukan main. Pukulannya tertangkis lengan kecil berkulit halus namun memiliki tenaga lweekang yang hebat. Biar pun dia dapat membuat lawan itu terhuyung karena peraduan lengan itu, dia merasa betapa lengannya sendiri panas, tanda bahwa tenaga lawan ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.

Cengkeramannya pada orang ke dua juga meleset, malah orang itu mengirim tendangan yang aneh gerakannya ke arah bawah pusarnya. Serangan yang singkat tapi mematikan. Dan pada saat itu, orang ke tiga mengirim serangan dengan telunjuk menuding dan yang mengeluarkan angin berciutan ke arah lehernya.

Cepat Beng San menggerakkan tangan kiri berusaha menangkap kaki yang menendang. Dia berhasil menangkapnya, tetapi cepat-cepat melepaskannya kembali ketika tangannya merasa memegang sebuah kaki bersepatu yang kecil, kaki seorang wanita! Sedangkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berciutan itu, dia sampok dengan tangan sambil mengerahkan hawa pukulan Pek-in Hoat-sut. Karena dia tidak mengira akan kehebatan pukulan ini, dia mendiamkan saja ketika pukulan meleset mengenai ujung lengan bajunya.

"Brettt!" Ujung lengan baju itu robek seperti ditusuk pedang!

"Hebat...!" serunya kagum, maklumlah dia bahwa tiga orang ini agaknya tiga wanita yang sakti.

"Siapakah kalian? Kenapa datang-datang memusuhi aku?" Dia berusaha untuk mengenal muka mereka, akan tetapi ternyata muka mereka tertutup sutera hitam, hanya pakaian mereka berwarna merah berkembang.

"Hi-hi-hik!" tiga orang wanita itu hanya tertawa. Tampak gigi-gigi putih mengkilap tertimpa cahaya bulan, disusul berkilatnya tiga batang pedang yang mereka cabut berbareng.

Beng San berseru keras ketika tiga batang pedang itu seperti terbang menyerangnya dari tiga jurusan. Dia mengerti bahwa tiga orang lawan sakti ini tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong, maka dia cepat menggerakkan tangan dan tampaklah sinar menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam dihunus.

Dia harus sanggup merobohkan mereka, atau setidaknya menangkap seorang di antara mereka. Mereka inilah yang tahu akan fitnah yang menimpa Thai-san-pai. Akan tetapi merobohkan tiga orang ini benar-benar tidak mudah. Ilmu pedang mereka amat aneh dan lihai, malah pedang di tangan mereka berani membentur Liong-cu-kiam tanpa rusak.

Beng San penasaran. Diputarnya pedangnya sedemikian rupa dan mulailah dia mainkan Im-yang Sin-kiam. Beberapa kali terdengar ketiga orang wanita itu berteriak kaget dan menjerit. Im-yang-sin kiam benar-benar terlampau sakti bagi mereka.

Tiba-tiba terdengar mereka bersuit aneh dan sinar-sinar putih berkelebatan menyambar dari tubuh mereka ke arah Beng San. Hebat sekali senjata ini dan agaknya ini adalah pisau-pisau kecil yang tadi sudah merobohkan lima orang. Beng San memutar pedang menyampok, terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau itu beterbangan ke kanan kiri.

Akan tetapi ketika dia memandang ke depan, tiga orang wanita itu sudah lenyap ditelan bayangan-bayangan gelap. Dia hendak meloncat dan mengejar, akan tetapi niat itu lantas diurungkan ketika dia mendengar teriakan-teriakan dan senjata beradu dari arah sebelah belakangnya.

Teringatlah dia akan anak-anak murid Thai-san-pai yang tentunya sedang menghadapi serbuan mereka itu, maka hatinya menjadi amat gelisah. Mana mungkin murid-muridnya yang hanya delapan belas orang itu dapat mengatasi bahaya yang mengancam?

Dia tahu pula bahwa tiga orang tosu itu saja takkan bisa dilawan, baik oleh murid kepala Thai-san-pai sekali pun. Jika dia terus mengejar tiga orang wanita aneh tadi, tentu para muridnya akan terancam bahaya maut. Tapi bila membiarkan tiga orang itu lari, dia akan kehilangan bukti akan kebersihan Thai-san-pai. Dia merasa serba salah.

Akhirnya dia mengambil keputusan membantu murid-muridnya yang terancam bahaya. Kalau memang Thai-san-pai bersih, tidak usah takut menghadapi fitnah, pikirnya. Mudah kelak mencari rahasia dan mengejar orang-orang jahat yang menimbulkan fitnah.

Pada waktu dia berlari dan melompat ke tempat pertempuran, hatinya berduka sekali dan perasaannya amat terpukul. Banyak di antara para penyerbu menggeletak tak bernyawa terkena bacokan pedang murid-muridnya, juga beberapa orang muridnya menggeletak tak bernyawa. Yang masih bertempur telah luka-luka hebat pula.

Su Ki Han melawan Yang Ki Cu dengan mati-matian akan tetapi terdesak hebat, pundak kirinya sudah robek berdarah. Coa Bu Heng muridnya ke tiga yang berusia dua puluh lima tahun, murid yang amat berbakat, didesak hebat oleh Koai Tojin dan pakaiannya sudah compang-camping berikut kulit tubuhnya pecah-pecah terhajar cambuk. Liok Sui muridnya yang sebaya dengan Su Ki Han juga sudah payah, darah mengalir dari pahanya yang terluka oleh pedang Seng Tek Gu tosu Bu-tong-pai. Sebentar lagi, tiga orang muridnya ini tentu akan roboh berikut murid-murid yang lain.

"Tahan semua...!" Dia membentak. "Kita terhasut fitnah! Orang-orang yang jahat berada di sini..."

Tetapi pihak penyerbu yang sudah marah dan merasa berada di ambang kemenangan itu sama sekali tidak mau berhenti. Beng San menjadi marah sekali. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar yang menerjang ke sana ke mari.

Terdengar teriakan kaget berturut-turut ketika Koai Tojin terhuyung ke belakang, papan caturnya pecah dua dan cambuknya putus disusul Seng Tek Cu yang pedangnya terputus dan Yang Ki Cu yang goloknya terbang entah ke mana. Mereka berundur dengan muka pucat, memandang orang-orangnya yang kacau balau akibat diterjang gulungan sinar itu. Pedang dan golok beterbangan, orang-orang terlempar karena dorongan atau tendangan.

"Hayo, siapa tidak mau berhenti? Manusia-manusia tolol kalian! Berhenti! Siapa yang tak berhenti akan kurobohkan!" Beng San berteriak sambit menerjang ke sana ke mari.

Sebentar saja orang-orang itu mundur dengan jeri. Bukan main hebatnya sepak terjang Beng San sang ketua Thai-san-pai ini. Sekarang dia tampak berdiri tegak dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan, menghadapi mereka dengan mata berapi-api.

"Siapa masih berkepala batu? Majulah!" tantangnya penuh kemarahan.

Seng Tek Cu melangkah maju dan tersenyum pahit. "Ketua Thai-san-pai, hebat memang kepandaianmu. Kami tak mampu melawanmu. Akan tetapi, jangan kira bahwa kami akan menerima begini saja dan..."

"Tutup mulut! Sudah banyak jatuh korban sia-sia. Kukatakan tadi bahwa kalian kena hasut fitnah dan orang-orang yang mengakibatkan itu berada di sini, merekalah tadi yang secara diam-diam menyerang lima orang-orangmu secara menggelap. Kalian benar-benar bodoh dan tidak mau mendengarkan alasanku!"

Kaget sekali Seng Tek Cu. Mulai dia meragu. Juga Yang Ki Cu yang segera bertanya.

"Mana mereka? Siapa mereka itu? Buktikan!"

"Mereka orang-orang lihai. Tadi hampir saja tertangkap, tapi gagal. Ahh... akibat ketololan kalian banyak jatuh korban..." Beng San sedih bukan main melihat mayat bergelimpangan di sana-sini.

Tiba-tiba Su Ki Han mengeluh, "...Suhu... di sana... apa itu...?"

Suara murid kepala ini membuat tengkuk Beng San meremang. Cepat dia menoleh dan... wajahnya langsung berubah pucat kehijauan pada waktu dia melihat api menyala-nyala di puncak, didahului asap hitam mengebul tinggi.

"Celaka...!" Dia memekik keras dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

Tahu-tahu dia sudah jauh lari ke puncak, diikuti semua murid yang masih dapat berjalan. Sambil terpincang-pincang dan terhuyung-huyung murid-murid yang terluka ikut berlari ke puncak.

Koai Tojin, Seng Tek Cu, beserta Yang Ki Cu ikut pula mengejar, mengikuti para murid Thai-san-pai. Wajah mereka pucat, jantung pun berdebar keras. Murid-murid Thai-san-pai yang rata-rata gugup dan gelisah itu membiarkan mereka bertiga mengikuti ke puncak melalui jalan rahasia.

Orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai berdiri kebingungan, tidak berani turut ke puncak tanpa diperintah. Mereka lalu mulai menolong orang-orang yang terluka, termasuk orang-orang Thai-san-pai.

Banyak jatuh korban. Sembilan orang murid Thai-san-pai tewas, empat luka-luka berat, sisanya ikut naik ke puncak. Pihak Kong-thong-pai termasuk dua orang yang tewas oleh senjata rahasia, menderita kerugian enam orang tewas dan lima luka-luka berat. Pihak Pek-lian-pai tewas tujuh orang yang terkena senjata rahasia, dua belas luka-luka!

Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San lari secepat terbang ke puncak. Ketika tiba di puncak, ngeri hatinya menyaksikan betapa semua pondoknya telah terbakar. Api bagai menjilat-jilat langit dan atap rumah itu sudah menyala seluruhnya.

Tapi hanya sedetik dia memandang ke arah api, matanya kelihatan mencari ke sana ke mari. Akhirnya dia dapat mendengar suara isterinya di sebelah belakang pondok. Cepat dia meloncat ke sana, dilihatnya isterinya dengan pedang di tangan, muka pucat, rambut awut-awutan dan mata terbelalak sedang menjerit-jerit, "Cui Sian...! Cui Sian...!"

Seakan terhenti detak jantung Beng San. Tanpa bertanya lagi dia lalu meloncat ke depan, menerjang dinding pondoknya. Sekali terjang bobollah dinding itu. Tanpa mempedulikan panasnya api dan bahaya keruntuhan atap rumahnya, dia mencari-cari. Dilihatnya empat orang sudah menggeletak tak bernyawa dengan luka pada dada.

Dia mencari terus, tapi tidak melihat bayangan Cui San. Tiba-tiba atap rumah ambruk ke bawah dan hanya dengan kecepatan luar biasa saja Beng San dapat meloncat ke luar rumah. Ketika dia tiba di luar, murid-murid dan tiga orang tosu sudah tiba pula di situ. Mereka memandang bengong ke arah Beng San yang pada saat itu mukanya mengerikan sekali.

Muka pendekar ini hitam, pakaiannya hangus di sana-sini, sepasang matanya menyaingi panasnya api itu sendiri. Isterinya seperti orang tak sadar masih menjerit-jerit memanggil nama Cui Sian.

Seng Tek Cu terharu bukan main. Dia cepat melangkah maju, menjura dalam sekali dan berkata, "Sicu, maafkan pinto... maafkan pinto..."

Beng San tidak peduli, melainkan menghampiri isterinya. Li Cu yang dipegang pundaknya oleh Beng San seperti baru sadar. Matanya tetap terbelalak dan begitu melihat suaminya memegang pundaknya, dia cepat menjerit pergi dan menudingkan pedangnya ke muka suaminya.

"Kau...! Kalau tidak pergi... takkan terjadi begini... kau... kau...!” Dan wanita ini menangis tersedu-sedu sambil berdiri tegak, tidak berusaha mengusap air matanya, hanya menatap wajah Beng San penuh kebencian!

Ucapan ini makin menusuk hati Seng Tek Cu, Koai Tojin, dan juga Yang Ki Gu. Tahulah mereka sekarang bahwa semua ini adalah jebakan musuh yang sengaja mengadu domba dan akhirnya, karena kebodohan mereka, Beng San terpaksa turun puncak dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh para penjahat gelap itu. Memancing harimau ke luar sarang, kemudian selagi Beng San bersitegang dengan mereka, penjahat-penjahat itu langsung mengobrak-abrik sarang!

"Taihiap, maafkan pinto... pinto semua bodoh sekali... pinto semua yang menyebabkan malapetaka ini..." kata pula Seng Tek Cu.

Pedang Beng San berkelebat dan sebuah batu besar di dekat tiga orang tosu itu menjadi bulan-bulanan. Beberapa kali pedang berkelebat dan batu itu berubah seperti tahu yang dicacah-cacah!

"Pergi...! Pergi kalian dari sini...! Demi Tuhan... lekas pergi sebelum kubunuh...!" Telunjuk tangan kiri Beng San menuding ke luar.

Tiga orang tosu itu menunduk, lalu berjalan pergi dengan langkah-langkah gontai.

"Antar mereka ke luar, urus jenazah adik-adikmu," kata Beng San kepada Su Ki Han yang cepat menjalankan perintah suhunya, mendahului tiga orang tosu menjadi penunjuk jalan.

Hati Ki Han gelisah. Murid ini sama sekali tak merasakan lukanya. Murid-murid yang lain tanpa diperintah juga pergi mengikuti twa-suheng mereka, maklum bahwa guru dan ibu guru mereka tak mau diganggu orang lain.

Setelah semua orang pergi, Beng San menengok ke arah isterinya. Jantungnya merasa ditusuk pedang oleh pandangan mata isterinya yang penuh penyesalan, penuh dengan penderitaan dan penuh kebencian. Seakan-akan dari pandang mata Beng San terungkap seribu satu macam pertanyaan dan otomatis Li Cu berkata, suaranya lirih seperti suara orang menangis,

"Mereka datang... lima orang mengeroyokku... yang lain membakar rumah... kulihat Cui Sian dibawa lari..." Tiba-tiba dia menangis menggerung-gerung. "Anakku...! Cui Sian terus berteriak-teriak memanggilku... anakku... Cui Sian... Cui Sian...!"

Beng San makin hancur hatinya, dia melangkah maju, hendak memeluk isterinya. "Li Cu... kenalkah kau siapa mereka? Biar kucari mereka, kurampas kembali anak kita..."

"Jangan sentuh aku!" Pedangnya berkelebat dan hampir saja lengan tangan Beng San terbabat putus kalau dia tidak cepat-cepat menariknya. "Aku tidak kenal mereka. Peduli apa dengan kau! Kau lebih mementingkan Thai-san-pai! Nah, uruslah Thai-san-pai-mu itu. Aku akan pergi mencari anakku!" Setelah berkata demikian, Li Cu berlari pergi menuruni puncak.

"Li Cu...! Tunggu dulu...!"

Beng San melompat melampaui isterinya, menghadangnya. "Kau maafkanlah aku... mari kita bicara baik-baik..."

"Jangan mendekat!" Kembali pedang Li Cu berkelebat. "Kau uruslah Thai-san-pai, jangan pedulikan aku dan anakku. Aku bersumpah... dengarlah Beng San, aku bersumpah takkan sudi melihat mukamu lagi tanpa adanya Cui Sian!"

Pedangnya membabat ke depan dan selagi Beng San meloncat minggir, dia berlari terus meninggalkan suaminya.

Beng San menggigit bibir, menahan suaranya yang hendak menjerit-jerit. Hampir tak kuat ia menahan gelora hatinya yang kalang kabut menghadapi mala petaka hebat ini. Seluruh batinnya diliputi kemarahan luar biasa. Kemudian kakinya menendang. Sebuah batu besar terlempar bergulingan. Pedangnya dikerjakan. Pohon-pohon roboh malang melintang.

Beng San terus menyerbu pondoknya yang masih terbakar. Ditendangnya, dihantamnya, dibabatnya sehingga hiruk-pikuk suara pondok itu roboh. Batu-batu beterbangan, tidak ada sebatang pun pohon utuh, semua dibabat rata dengan tanah!

Ia mengamuk terus, dari kerongkongannya terdengar suara menggereng-gereng, matanya liar dan semalam itu dia membuat puncak yang tadinya indah menjadi tempat yang rusak binasa. Tanam-tanaman bunga ludes, pondok habis, pohon-pohon ambruk, batu-batu pun malang melintang, banyak yang hancur.

Dalam keadaan seperti inilah tiga orang murid kepala mendapatkan gurunya. Beng San masih berdiri seperti patung, pedang di tangan, muka beringas mata liar.

"Suhu...!" tiga orang murid itu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar mereka menangis terisak.

Beng San menoleh, menunduk, matanya dikejap-kejapkan mengusir dua butir air mata yang sejak tadi menggantung tak mau jatuh. Seperti orang baru sadar dari mimpi buruk dia lalu menengok ke kanan kiri, melihat kerusakan yang diakibatkan oleh kemarahannya. Diam-diam dia bersyukur bahwa tidak ada seorang pun manusia di situ malam tadi. Kalau ada, entah apa akan jadinya.

Dia menarik napas panjang, terasa sakit di dada. Tahu bahwa dia terluka oleh hawa amarahnya sendiri! Cepat dia menyalurkan hawa murni ke dada, bernapas panjang-panjang memulihkan tenaga dan kesehatan. Dia insyaf akan kegilaannya. Boleh jadi Li Cu pun tak dapat menahan hantaman nasib seperti ini.

Dia tidak menyalahkan isterinya. Seorang wanita bagaimana pun juga lebih lemah daya tahan batinnya. Apa lagi pernah kehilangan Cui Bi, kini kehilangan Cui San. Amat berat tentu.

Tapi dia seorang laki-laki. Hampir lima puluh tahun hidupnya. Banyak sudah pengalaman. Masa belum juga matang jiwanya oleh gemblengan pengalaman hidup yang pahit getir? Kesadaran tidak boleh tertutup kegelapan nafsu. Dia harus tetap berpendirian. Seorang gagah tak akan mudah goyah imannya. Sekali lagi dia menarik napas panjang.

"Ki Han, siapa saja di antara adikmu yang tewas dan berapa yang terluka?" tanyanya, suaranya sudah biasa kembali. Beng San sudah pulih menjadi ketua Thai-san-pai yang berwibawa.

Sambil menangis Ki Han menyebutkan nama sembilan orang adik seperguruannya yang tewas dan empat orang yang luka-luka. Kembali Beng San menarik napas panjang untuk menyedot hawa murni guna menguatkan batinnya yang kembali terpukul kedukaan.

"Murid-muridku, kuharap kalian suka mengubur jenazah adik-adikmu baik-baik. Kemudian bubarlah kalian, pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang tidak mempunyai rumah boleh saja tinggal di pegunungan ini. Akan tetapi ingat, mulai saat ini Thai-san-pai tidak ada lagi..."

"Suhu...!" Ki Han terisak. "Di mana subo (ibu guru) dan adik Cui Sian?"

"Adikmu diculik orang. Subo-mu pergi mengejar. Aku pun akan turun gunung menyusul mereka. Ingat, Thai-san-pai tidak ada lagi..."

"Suhu...!" Kini terdengar seruan mereka serentak menyatakan keberatan hati.

"Atau... biarlah untuk sementara ini Thai-san-pai dibekukan. Tunggu sampai aku pulang. Kalau aku tidak pulang selamanya, berarti Thai-san-pai tidak akan bangun lagi. Beri tahu kepada semua adikmu yang tidak tinggal di sini. Terserah cara kalian mencari jalan hidup masing-masing. Aku tidak akan mengurus sepak terjang kalian selama kalian juga tidak menggunakan nama Thai-san-pai. Akan tetapi, percayalah akan kemurahan Thian. Kalau Thian menghendaki, aku akan kembali membangun lagi Thai-san-pai yang rusak binasa di hari ini. Nah, selamat tinggal, murid-muridku..." Suara terakhir ini mengandung isak dan semua murid menangis.

Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan suhu mereka berkelebat pergi dan lenyap. Murid-murid itu saling rangkul dan bertangisan. Keadaan pada pagi hari itu menyedihkan sekali. Thai-san-pai yang dibangun selama empat tahun dan tadinya terkenal sebagai partai baru yang kuat dan disegani, dalam semalam runtuh dan hancur binasa….
cerita silat karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu keadaan Thai-san-pai yang rusak binasa dan ketuanya yang rusak pula ketenteraman rumah tangganya. Mari kita menengok keadaan di puncak Min-san. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Tan Kong Bu putera Tan Beng San bersama isterinya, Kui Li Eng dan kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun, setelah menikah lalu pindah ke Min-san di mana dia dibantu oleh isterinya menerima murid-murid yang berbakat dan berusaha mendirikan sebuah perkumpulan baru, yaitu Min-san-pai.

Belum banyak murid yang diterima oleh suami isteri ini karena mereka masih muda, lagi pula mereka tidak mau menerima sembarangan murid. Kalau ada anak yang benar-benar berbakat barulah mereka mau menurunkan ilmu silat sehingga dalam waktu empat tahun, baru mempunyai murid sebanyak dua belas orang saja, terdiri dari anak-anak muda laki perempuan berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun.

Suami isteri ini hidup rukun saling mencinta. Di samping mengajar silat kepada para murid cilik ini mereka hidup sebagai petani, bercocok tanam sayur-sayur dan buah-buahan yang dapat hidup subur di Min-san. Song-bun-kwi juga hidup tenang tenteram di Min-san. Kakek ini sekarang menjadi gemuk dan sehat. Akan tetapi lewat empat tahun, dia mulai mengeluh dan menjadi malas karena kerjanya hanya makan tidur belaka. Berkali-kali dia mengeluh dan menyatakan ketidak puasan dan kebosanan hatinya di depan cucunya dan cucu mantunya.

Pagi hari itu dia nampak marah-marah dan gelisah. Semenjak subuh tadi Kong Bu dan isterinya melihat dengan cemas betapa kakek itu tidak hentinya berlatih silat di kebun belakang. Dan tidak seperti biasanya, terdengar suara keras. Ketika mereka lari menengok, kiranya dua batang pohon besar sudah roboh dipukul dan ditendang kakek itu! Masih saja Song-bun-kwi bersilat. Angin pukulannya mendesir-desir dan dia sama sekali tidak mempedulikan munculnya cucu dan cucu mantunya. Wajahnya cemberut dan matanya sayu.

Kong Bu saling pandang dengan Li Eng. Dia menarik napas panjang, lalu menggandeng tangan isterinya diajak masuk rumah. Dia masgul sekali, duduk bertopang dagu, teringat akan percekcokan dengan kakek itu semalam. Seperti biasa, malam tadi Song-bun-kwi makan bersama Kong Bu dan Li Eng yang juga melayani suami dan kakeknya. Song-bun-kwi sudah berbeda dari pada biasanya, banyak menenggak arak dan selalu minta tambah.

Dan akhirnya, selesai makan Song-bun-kwi menggebrak meja sampai mangkok-mangkok menari-nari di atas meja.

"Kau anak sial! Tidak becus!" dia memaki Kong Bu.

Tidak heran Kong Bu melihat kakeknya seperti itu. Sudah semenjak kecil dia tahu akan keanehan watak kakek ini yang mudah marah dan mudah gembira, kadang-kadang bagi yang tidak tahu tentu disangka gila. Dengan tenang dia tersenyum dan bertanya,

"Apa lagi yang tak menyenangkan hatimu, Kongkong (kakek)? Kesalahan apakah kali ini yang kulakukan?"

"Kesalahan apa? Bocah tolol! Aku ingin punya buyut, kau dengar? Aku ingin punya buyut dan kau tidak becus!"

Mendengar omongan ini seketika wajah Li Eng menjadi merah dan dengan berpura-pura membawa mangkok-mangkok kotor dia cepat-cepat lari ke belakang, namun telinga kakek dan cucu yang lihai itu masih dapat mendengar isaknya tertahan-tahan.

Kong Bu mengerutkan heningnya. Terlalu kakeknya ini. Sudah melewati batas sekarang. Sudah berkali-kali kakeknya ini marah-marah kepadanya, memakinya tidak becus, tidak mampu segala macam, hanya karena dia dan Li Eng sampai sekarang belum juga punya keturunan, belum punya anak!

Kakeknya memang orang aneh, ini dia tahu. Akan tetapi kalau sudah mencelanya tentang tak punya anak di depan Li Eng, tentu saja isterinya merasa tersinggung sekali.

"Kakek, lagi-lagi kau ribut-ribut soal cucu buyut!" tegurnya dengan suara agak kasar. "Soal keturunan adalah soal yang ditentukan oleh Thian. Manusia mana dapat menentukan? Mengapa kakek ribut-ribut saja urusan buyut? Apakah tidak tahu bahwa ucapanmu tadi amat menyakiti hati Li Eng?"

"Aaahh, dasar kau yang tidak becus! Laki-laki goblok kau, sudah menikah empat tahun belum juga punya anak. Uuhhh!" kakek itu mencak-mencak dengan amat berangnya.

Kong Bu tak dapat menahan kesabarannya. Suara kakeknya terlalu keras sehingga biar pun Li Eng berada di belakang, tentu isterinya itu dapat mendengar jelas.

"Kongkong, kau terlalu sekali! Kau ingin punya cucu buyut untuk apa sih?"

"Wah, untuk apa katanya? Tentu saja untuk kuwarisi kepandaian yang kulatih puluhan tahun ini. Untuk apa lagi? Aku tidak akan mati meram sebelum kepandaianku kuwariskan kepada buyutku. Tahu kau?"

Kong Bu tertawa, berusaha mendinginkan hati kakeknya. "Ahh, kalau hanya untuk itu saja, mengapa Kongkong harus susah-susah menanti buyut yang tak tentu kapan datangnya? Bukankah cucu muridmu ada dua belas orang di sini, boleh kau pilih mana yang kau sukai untuk dijadikan murid-muridmu. Bukankah ini baik sekali, Kongkong?"

"Murid-murid tahi kerbau!" Kakek itu makin marah. "Kalau memang mau cari murid, aku bisa cari sendiri. Ahh, sudahlah, dasar kau yang tolol dan tidak becus!"

Demikianlah keributan malam tadi, keributan berdasarkan soal yang itu-itu juga dan yang membuat Song-bun-kwi Kwee Lun murung. Pagi itu sejak subuh dia sudah bersilat dan dengan pukulan saktinya merobohkan pohon besar. Biasanya, sesudah matahari terbit, kakek ini tentu akan masuk ke ruangan depan, berjemur sinar matahari melalui jendela ruangan itu sambil menghadapi minuman hangat yang disediakan oleh Li Eng. Dia akan duduk di bangku panjang dan berbaring, meram melek nikmat seperti seekor singa tua bermalasan.

Akan tetapi pagi itu dia tidak masuk ke ruangan. Sampai matahari naik tinggi, kakek itu tidak nampak pulang. Kong Bu merasa heran dan mencari ke belakang. Tidak ada. Ke depan lalu ke sekeliling tempat itu. Tidak ada. Kakek itu tidak nampak bayangannya lagi. Isterinya ikut mencari dan memanggil-manggil. Namun kakek itu tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kong Bu mendekati isterinya. Mereka saling pandang.

"Dia kumat penyakitnya, dasar berdarah perantauan!" kata Kong Bu.

Li Eng mengerutkan kening, menunduk. "Karena aku..."

Kong Bu kaget, memandang isterinya. Dilihatnya dua titik air mata membasahi pipi Li Eng. Dia merangkulnya. "Hushh, siapa bilang karena kau? Tentang itu, tak perlu kita pikirkan, isteriku. Kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa."

Li Eng memang bukan seorang pemurung. Semenjak gadisnya, dia amat periang, kocak dan jenaka. Sekarang pun hanya sebentar ia digerumuti rasa kecewa dan duka. Di lain saat sambil tersenyum manis dia berkata, "Hemm, dunia kang-ouw tentu bakal geger dan heboh karena munculnya kakek!"

Kong Bu juga tersenyum. "Tentu saja, boleh kita pastikan itu! Kita dengar-dengar saja, tentu terjadi keonaran. Memang kakekku itu tukang mencari geger. Ha-ha-ha!" Mereka tertawa-tawa dan seketika lenyaplah awan mendung yang mengancam sinar kebahagiaan mereka.

Benar dugaan Kong Bu. Kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun memang sudah pergi dari Min-san. Kekesalan hatinya karena belum juga dia dapat menimang seorang buyut yang dinanti-nantikan, membangkitkan rindunya akan dunia ramai, membuat penyakitnya suka merantau kambuh kembali. Seperti telah menjadi wataknya semenjak dahulu, dia selalu pergi tanpa pamit dan pulang tanpa memberi tahukan.

Akan tetapi, tidak seperti dugaan Kong Bu bahwa di dunia ramai kakeknya tentu akan menimbulkan kegemparan, kali ini Song-bun-kwi melakukan perjalanan dengan tenteram, tidak mempunyai nafsu untuk mencari perkara. Hal ini adalah karena hatinya sudah menjadi dingin karena mengingat bahwa tokoh-tokoh setingkat dengannya seperti Siauw-ong-kui, Pak-thian Lo-cu, atau Hek-hwa Kui-bo dan Toat-beng Yok-mo, semua sudah mati. Kalau ada mereka, terutama Siauw-ong-kui, tentu dia akan mencarinya dan diajak berkelahi sampai tiga hari tiga malam!

Hanya tinggal seorang tokoh yang setingkat dengannya, atau setidaknya hampir setingkat dengannya, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, itu tokoh besar dari pantai timur. Karena teringat akan orang tua inilah maka kini Song-bun-kwi melakukan perjalanan ke timur, ke pantai timur untuk mencari Tai-lek-sin. Keperluannya hanya satu, mencari orang tua itu dan kalau sudah berjumpa, hendak diajak berkelahi mengadu ilmu...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 14