Jaka Lola Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 15

Apa lagi karena telapak tangannya yang memegang pedang terasa perih dan panas. Hampir Cui Sian menangis saking jengkelnya. Pada dasarnya Cui Sian adalah seorang yang berpemandangan luas dan tidak mudah dipengaruhi kemarahan. Akan tetapi karena ia memiliki hati yang keras pula, sekarang ia hampir tak bisa mengendalikan kesabaran. Saking gemasnya, ia lalu mulai mengalihkan serangannya kepada Kun Hong sendiri!

Di lain pihak, diam-diam Kun Hong mulai merasa tidak senang. Gadis ini tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa dia mengalah terus. Tentu saja tak mungkin dia membiarkan isterinya dibunuh! Siapa pun juga orangnya yang akan mengganggu isterinya, akan dia lawan mati-matian. la akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela isterinya yang tercinta.

"Sian-moi, kau tak tahu diri!" bentaknya sambil menangkis agak keras sehingga Cui Sian terhuyung dan terpental sampai beberapa meter jauhnya.

"Memang aku tidak tahu diri!" Dalam kemarahannya Cui Sian berteriak-teriak. "Kakakku dibunuh isterimu, seharusnya aku diam saja dan minta ampun kepada isterimu. Begitu, bukan? Kenapa aku marah-marah dan hendak menuntut balas? Memang aku tidak tahu diri, nah, gunakanlah tongkatmu untuk melawanku dan membunuhku pula!"

Ucapan ini ditutup dengan serangan kilat, serangan dengan jurus yang disebut Pat-sian Lo-hai (Delapan Dewa Kacau Lautan), merupakan sebuah jurus Yang-sin Kiam-hoat dan hebatnya bukan main. Sambaran angin pedang Liong-cu-kiam menjadi panas bagaikan mengandung api dan serangannya menyambar datang dari delapan penjuru angin. Inilah jurus yang paling hebat dari ilmu pedang Cui Sian yang sengaja dipergunakan oleh gadis itu secara nekat untuk menghadapi Pendekar Buta yang jauh lebih lihai dari padanya itu.

Terkejut sekali hati Kun Hong ketika pendengarannya menangkap desir angin serangan jurus yang ampuh ini. la menyesal sekali dan juga makin tak senang hatinya. Jurus ini dikenalnya baik dan dia beranggapan bahwa apa bila orang sudah menggunakan jurus macam Pat-sian Lo-hai ini, berarti orang itu hendak mengadu nyawa dan sudah nekat. Dia mengeluarkan suara melengking keras. Tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah laksana darah.

“Cringg! Cringg!” terdengar bunyi delapan kali dan...

Cui Sian terlempar sampai lebih dari lima meter jauhnya, terbanting ke atas tanah diikuti pedangnya yang melayang ke atas dan menancap di dekatnya! Seketika gadis itu nanar dan bumi di sekelilingnya serasa berputaran!

"Bocah tak tahu diri!" kembali Kun Hong mengomel.

"Sian-ji (anak Sian), engkau benar-benar tidak tahu diri, berani melawan Pendekar Buta. Tentu saja kau kalah...," tiba-tiba terdengar suara halus dan dalam.

"Ayah...!" seru Cui Sian girang dan mengandung isak. “Ayah… kau balaskan kematian... kematian... Kong Bu koko...." Dan gadis ini menangis terisak-isak.

Kakek tua yang secara tiba-tiba berdiri di situ memang bukan lain adalah ayah Cui Sian, Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San Si Raja Pedang, ketua dari Thai-san-pai! Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap, rambutnya sudah banyak yang putih, jenggotnya panjang, sepasang matanya amat tajam berpengaruh, sikapnya tenang berwibawa.

"Tenanglah, Sian-ji, tadi aku sudah mendengar semuanya. Aku tidak percaya Kun Hong membunuh Kong Bu, akan tetapi entah kalau isterinya. Betapa pun juga, kau tidak boleh terburu nafsu, anakku, sebelum ada bukti."

Sementara itu, bukan main kagetnya hati Kun Hong pada saat mendengar suara Raja Pedang tadi, apa lagi ucapan pertama yang keluar dari mulut Raja Pedang tadi sedikit banyak mengandung sindiran terhadap dirinya! Serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Pedang sambil berkata,

"Locianpwe, sekali-kali saya tidak akan berani menghina adik Cui Sian, akan tetapi dia mendesak terus. Kami berdua tidak merasa membunuh Kong Bu, tentu saja tidak dapat mengaku. Kalau betul isteri saya membunuh Kong Bu, biarlah Lo-cianpwe turun tangan membunuh kami, kami takkan melawan. Harap Locianpwe sudi mempertimbangkan dan memeriksa, karena tuduhan itu hanya fitnah belaka.”

"Hemmm, Kun Hong, berdirilah. Kau cukup mengenal watakku yang selamanya tak akan mudah mendengar keterangan sepihak saja. Betapa pun juga, kiranya Cui Sian tak akan sudi melakukan fitnah, akan tetapi aku pun tahu bahwa kau bukanlah orang yang suka menyangkal perbuatan sendiri. Sian-ji, tidak boleh kita menuduh secara buta tuli tentang pembunuhan atas diri Kong Bu sebelum melihat bukti dan melakukan pemeriksaan. Mari antarkan aku ke tempat kau menemukan jenazah kakakmu. Kun Hong, kau dan isterimu ikut agar kita bersama dapat membuktikan sendiri."

"Ayah, yang menemukan jenazah Kong Bu koko adalah aku bersama Swan Bu. Karena marah, aku segera pergi untuk mencari Pendekar Buta dan isterinya, sedangkan Swan Bu masih berada di sana, tentu jenazah itu sudah dikuburnya."

"Biarlah kita melihat ke sana."

Mendengar bahwa Swan Bu berada di tempat pembunuhan itu, Kun Hong dan isterinya segera bangun dan tanpa banyak cakap lagi segera mengikuti Cui Sian dan ayahnya. Hati mereka berempat diliputi pelbagai dugaan dan perasaan tegang, maka di sepanjang jalan mereka berempat tidak banyak bicara. Ada sesuatu yang merenggangkan mereka dan membuat mereka merasa tidak enak dan tidak suka satu kepada lain.

Karena melakukan perjalanan cepat mempergunakan ilmu mereka, akhirnya mereka tiba di dalam hutan kecil di mana Cui Sian menemukan jenazah Kong Bu. Mereka berempat berdiri di depan kuburan baru yang ditandai tiga buah batu besar.

"Di sini tempatnya. Tentu ini kuburannya, dibuat oleh Swan Bu," kata Cui Sian dan air matanya sudah mengucur.

"Mana Swan Bu...? Mana anakku...?" terdengar Hui Kauw berkata perlahan.

"Diamlah, baik sekali dia melakukan penguburan ini. Tentu saja dia telah pergi," kata Kun Hong sambil meraba-raba kuburan.

"Kun Hong, kita sekarang berhadapan dengan kenyataan. Kong Bu sudah terbunuh dan menurut kesaksian Cui Sian, pedang isterimu menancap di dadanya. Akan tetapi hal itu biar pun sudah merupakan bukti bahwa Kong Bu terbunuh oleh pedang isterimu, masih belum meyakinkan. Sekarang kita harus bongkar kuburan ini, biar aku melihat mayat Kong Bu, mungkin aku akan dapat menemukan pemecahan rahasianya."

"Ayah... kasihan Kong Bu koko... baru beberapa hari dikubur, masa harus dibongkar...?"

"Diamlah, Sian-ji. Orang yang sudah mati tidak perlu dikasihani lagi, karena sebenarnya yang masih hidup inilah yang patut dikasihani oleh si mati. Kau bantulah aku!" Setelah berkata demikian, pendekar tua ini lantas menggunakan tangannya membongkar tanah kuburan, dibantu oleh Cui Sian yang bekerja sambil mencucurkan air mata.

Akhirnya terbongkarlah kuburan itu dan tampak mayat yang sudah mulai berbau busuk akan tetapi masih utuh. Utuhkah? Sama sekali tidak karena kedua matanya bolong dan lehernya putus, kepalanya terpisah dari tubuh. Terdengar Cui Sian menjerit dan roboh pingsan dalam pelukan ayahnya. Raja Pedang mengeluarkan suara, gerengan hebat berkali-kali seperti seekor harimau marah.

"Apa yang terjadi? Ada apa...?" Kun Hong bertanya-tanya sambil erat-erat memegang lengan isterinya.

Hui Kauw sendiri berdiri memandang ke arah mayat dengan muka berubah pucat sekali. Jelas bahwa selain dada mayat itu tertusuk pedang dan menyebabkan kematiannya, juga dua matanya sudah dibikin buta orang dan lehernya dipenggal pedang! Saking kagetnya, nyonya ini hanya tertegun, tak dapat menjawab pertanyaan suaminya.

Cui Sian siuman kembali dan menangis tersedu-sedu. "Ahhh, kasihan Kong Bu koko... kenapa begini? Ayah... pada waktu aku menemukannya, kedua matanya tidak rusak dan lehernya tidak putus... ahhh, apakah Swan Bu... dia... dia..."

Tiba-tiba gadis itu melompat sambil mencabut pedangnya, wajahnya beringas ketika dia memandang kepada Pendekar Buta dan isterinya.

"Jelas sekarang! Pendekar Buta yang selama ini dipuji-puji Ayah, ternyata mempunyai seorang isteri berhati iblis dan memiliki anak berwatak siluman! Ayah, ini tentu perbuatan Swan Bu si bocah iblis! Ahh, aku tertipu olehnya. Ia bilang kena fitnah, ditawan musuh bersama Lee Si dan dalam keadaan tertotok berdua Lee Si berada sekamar, terlihat oleh Kong Bu koko yang menjadi marah karena Kong Bu koko menyangka bahwa bocah itu berbuat kurang ajar terhadap Lee Si. Kiranya memang demikianlah. Anak Pendekar Buta tak bisa dipercaya! Pantas saja dia tidak menjadi sakit hati biar pun lengannya dibuntungi oleh gadis liar itu, kiranya memang segolongan!"

Dengan kemarahan yang meluap-luap Cui Sian menceritakan semua itu dengan cepat sehingga sukarlah bagi tiga orang itu mengikutinya. Akan tetapi wajah Hui Kauw menjadi lebih pucat ketika ia berkata sambil terisak,

"Anakku... anakku... Swan Bu... lengannya kenapa...?"

Memang pada saat itu Cui Sian telah seratus prosen menuduh akan kejahatan keluarga Pendekar Buta. Tadinya dia percaya akan kebenaran Swan Bu tentang fitnah itu, namun sekarang, sesudah melihat mayat kakaknya dirusak, dia memiliki pendapat lain. Agaknya memang Swan Bu adalah seorang pemuda berwatak jahat, mempermainkan Lee Si dan merusak mayat Kong Bu.

Tadinya ia percaya karena sikap Lee Si yang seakan-akan membenarkan tentang fitnah, seakan-akan membenarkan bahwa Swan Bu dan ia kena fitnah sehingga Lee Si hampir membunuh Siu Bi. Akan tetapi sekarang Cui Sian mengerti bahwa Lee Si melindungi niat baik Swan Bu, dan... tentu saja nama baik Lee Si sendiri. Hal ini hanya dapat terjadi karena puteri kakaknya itu sudah jatuh cinta kepada Swan Bu yang tampan dan gagah! Sekarang dia mengerti semua dan kemarahannya memuncak.

"Wanita iblis, kau memang keturunan Ching-coa-to yang jahat! Setelah kau membunuh Kong Bu koko dan anakmu merusak mayatnya, kau mau bilang apa lagi? Kau harus menebus dosa!" Gadis itu membentak lalu berteriak nyaring dan tubuhnya melayang ke depan dalam serangannya yang hebat kepada Hui Kauw.

Nyonya ini masih tercengang dan menangis sedih mendengar lengan puteranya buntung, masih bingung sehingga ia tidak dapat mengelak atau menangkis menghadapi serangan Cui Sian yang dahsyat ini.

"Trang... plak...!"

Kembali Kun Hong yang turun tangan menangkis dan Cui Sian terlempar dan roboh. Kini gadis itu tidak dapat segera bangkit karena pundaknya tadi ditampar Kun Hong sehingga tulang pundaknya terlepas dan lengan kanannya menjadi lumpuh, tak dapat digunakan sementara waktu untuk memainkan pedang lagi! Pedang Liong-cu-kiam menggeletak di sampingnya.

Sementara itu, Raja Pedang Tan Beng San yang menyaksikan puteranya telah menjadi mayat yang mulai berbau busuk dan dirusak sedemikian rupa, berdiri laksana patung setelah mengeluarkan teriakan nyaring tadi. la berdiri seperti patung dan baru bergerak setelah Cui Sian terlempar dan roboh.

la melangkah perlahan menghampiri pedang Liong-cu-kiam pendek yang menggeletak di situ. Kemudian, tanpa mempedulikan Cui Sian yang dilihatnya hanya menderita terlepas tulang yang tidak membahayakan nyawanya, kakek sakti ini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kun Hong, sikapnya penuh ancaman, tapi wajahnya tenang, hanya pandang matanya dingin seperti salju.

"Kwa Kun Hong, bagus sekali sikapmu. Kau sekarang membela yang salah, walau pun yang salah itu adalah anak dan isterimu sendiri. Sekarang pilihlah, kau sendiri yang akan menghukum isterimu ataukah aku yang harus turun tangan? Kun Hong... betapa hancur hatiku karena kekecewaan. Entah dosa apa yang kau perbuat dalam kehidupanmu dulu sehingga dalam kehidupan sekarang harus kau tebus dengan nasib yang sangat buruk. Tak patut kau yang memiliki watak mulia, mendapatkan isteri yang curang dan palsu, dan mendapatkan putera yang jahat dan keji. Kun Hong, demi hubungan baik di antara kita, kau hukumlah orang yang bersalah, meski pun orang itu isterimu sendiri, agar aku tidak usah menyentuh isterimu."

Ucapan Raja Pedang Tan Beng San terdengar tenang, tapi penuh dengan penyesalan dan keharuan tercampur duka. Betapa pun juga, terasa amat dingin yang menjadi selimut dari kemarahan besar.

Kun Hong berdiri tegak seperti patung. Kerut-merut di antara kedua matanya yang buta amat dalam, membuat wajahnya yang tampan itu kelihatan tua sekali. Rambut-rambut di pelipisnya seketika berubah menjadi putih. Kiranya saat ini merupakan saat yang paling perih baginya, saat yang paling menusuk di hati, di mana pelbagai perasaan bercampur aduk.

Dia yakin, seyakin-yakinnya, bahwa isterinya tidak membunuh Kong Bu. Dan dia yakin pula bahwa puteranya tidak akan melakukan perbuatan demikian hina, merusak mayat Kong Bu. Dia maklum bahwa semua ini fitnah belaka, dilakukan oleh orang-orang jahat.

Akan tetapi dia pun maklum bahwa Raja Pedang dan Cui Sian yang tengah dipengaruhi duka cita besar menyaksikan mayat Kong Bu yang kini mulai membusuk, menjadi miring pertimbangannya dan gelap pandangannya, tentu sulit diajak berunding, kecuali bila ada fakta-fakta yang mutlak sehingga dapat membuka mata hati mereka.

Selain keyakinan akan kebersihan anak isterinya, ada rasa duka yang membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk jarum berbisa pada waktu dia mendengar bahwa lengan puteranya buntung. Semua perasaan ini ditambah dengan rasa penasaran kenapa Cui Sian begitu mendesak dengan tuduhan-tuduhan membuta, dan mengapa pula Si Raja Pedang yang selama ini dia anggap sebagai seorang yang paling bijaksana di dunia ini tidak sanggup melawan kedukaan hati dan memihak Cui Sian tanpa pikir panjang lagi. Keyakinannya akan kebersihan isterinya, ditambah cinta kasihnya yang mendalam, membuat Kun Hong mengambil keputusan untuk melindungi isterinya dari gangguan siapa pun juga.

Sampai lama dia tidak menjawab ucapan Raja Pedang tadi. Keduanya berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter, sama-sama tegak dan sama-sama tak bergerak. Cui Sian masih duduk bersila menahan sakit dan memulihkan tenaganya yang seakan-akan habis. Tangkisan Pendekar Buta tadi hebat bukan main. Juga Hui Kauw menjatuhkan diri di atas tanah duduk sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan. la amat sedih, marah, dan penasaran, akan tetapi semua itu terkalahkan oleh kepedihan hatinya mendengar lengan anaknya menjadi buntung.

Suasana sunyi sepi, sunyi yang menyeramkan. Udara diracuni bau mayat membusuk. Dua jagoan yang dianggap paling sakti di dunia persilatan, sekarang saling berhadapan dengan perasaan saling bertentangan. Keduanya memiliki ilmu silat tingkat tinggi, yaitu Im-yang Sin-hoat.

Tongkat besi Ang-hong-kiam sudah gemetar di tangan kanan Kun Hong, ada pun kedua tangan Raja Pedang telah memegang sepasang Liong-cu-kiam yang berkilauan. Tadi dia mengambil Liong-cu-kiam pendek dari puterinya dan sekarang tangan kanannya sudah mencabut Liong-cu-kiam panjang. Dengan sepasang Liong-cu Siang-kiam di tangannya, Raja Pedang kini seakan merupakan seekor harimau yang diberi sayap!

"Kwa Kun Hong, sekali lagi, apa bila kau tidak mau menghukum isterimu, aku akan turun tangan sendiri!" kembali suara Raja Pedang itu menggema di antara pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling tempat itu.

"Locianpwe, isteri saya tidak berdosa. Harap Locianpwe jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan sebelum urusan ini jelas benar. Tak mungkin saya membolehkan siapa juga mengganggu isteri saya yang tidak bersalah."

"Hemmm, tidak nyana, bukan hanya matamu yang menjadi buta. Hatimu pun sudah buta terhadap kenyataan dan keadilanmu goyah karena cinta kasih. Hui Kauw, kau terimalah hukumanmu!"

Dua sinar putih berkilau seperti dua bintang terbang menyambar dibarengi suara bercuit panjang dan angin berdesir menyambar. Tubuh Raja Pedang sudah lenyap memanjang seperti dua sutera putih.

"Hyiiiaaaaattt!" Pekik nyaring melengking ini keluar dari mulut Kun Hong.

Tampak sinar merah gemilang menyilaukan mata menggantikan tubuhnya yang lenyap pula digulung sinar pedangnya sendiri. Maklum bahwa Raja Pedang melakukan gerakan maut untuk membunuh isterinya, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga mengeluarkan jurus simpanannya karena hanya dengan jurus inilah dia akan mampu menandingi Raja Pedang.

Hebat sekali pemandangan pada saat itu. Cui Sian dan Hui Kauw lupa akan keadaan diri sendiri, masing-masing terbelalak memandang ke depan. Memang luar biasa dan indah pula. Dua sinar yang amat terang dan panjang berwarna putih seperti perak, melayang di udara dan dari jurusan yang bertentangan meluncur sinar merah yang amat terang pula. Kemudian sinar-sinar itu beradu di udara, mengeluarkan suara keras laksana ledakan, membuat bumi serasa berguncang dan daun-daun pohon rontok berhamburan.

Cui Sian dan Hui Kauw tidak sanggup menahan hawa pukulan sakti itu, masing-masing menggigil tubuhnya dan otomatis mereka bertiarap sambil menutup mata. Ketika mereka membuka mata lagi memandang, ternyata Pendekar Buta dan Raja Pedang telah berdiri lagi di atas tanah, tegak berhadapan dalam jarak tiga meter. Di atas tanah, antara dua pendekar itu, tiga batang pedang menancap di atas tanah, sepasang Liong-cu-kiam dan sebatang Ang-hong-kiam yang sudah keluar dari tongkat yang hancur berkeping-keping!

Ternyata pertemuan sepasang Liong-cu-kiam dengan tongkat berisi Ang-hong-kiam tadi begitu hebatnya sehingga membuat tongkat yang membungkus Ang-hong-kiam hancur, akan tetapi juga membuat tiga batang pedang itu terlepas dari pegangan kedua orang jago sakti dan menancap di atas tanah, amblas hampir sampai ke gagangnya.

"Locianpwe, saya tidak berani melawan Locianpwe, tapi jangan Locianpwe mengganggu isteri saya yang tak berdosa." Terdengar suara Kun Hong memecah kesunyian, suaranya gemetar bercampur isak tertahan.

Si Raja Pedang menarik nafas panjang. "Hebat kau, Kun Hong. Dengan kepandaianmu seperti ini, seharusnya aku si tua bangka takluk. Akan tetapi, jelas isterimu membunuh Kong Bu dan anakmu menghina mayatnya sedemikian rupa. Orang-orang seluruh dunia akan mentertawakan aku sebagai berat sebelah bila tidak memberi hukuman. Kalau kau hendak melindungi isterimu, terserah, itu adalah hakmu, biar pun hal itu mengecewakan hatiku karena berarti kau melindungi orang yang bersalah. Hui Kauw, awas! Terimalah pukulanku!"

Seluruh tubuh Raja Pedang tergetar, terutama kedua tangannya ketika dia mengerahkan tenaga Im Yang. Kemudian dia melangkah maju tiga kali, lantas menggerakkan kedua tangannya mendorong ke arah Hui Kauw yang masih duduk di atas tanah.

"Jangan... Locianpwe...!" Kun Hong melompat dan menghadang di antara isterinya dan Raja Pedang, tentu saja sambil mengerahkan sinkang untuk menahan hantaman hawa pukulan Im Yang yang sedemikian hebatnya itu.

"Werrrrr...!"

Bagai sehelai daun kering tertiup angin, tubuh Kun Hong terlempar oleh hawa pukulan, menabrak isterinya dan keduanya terguling-guling sampai tiga meter lebih.

Kun Hong melompat bangun, wajahnya berubah merah, akan tetapi ia tidak terluka. Ada pun Hui Kauw, biar pun tadi sudah teriindung olehnya dan pukulan itu hampir seluruhnya menimpa dirinya, akan tetapi saking hebatnya hawa pukulan, nyonya ini menjadi sesak dadanya dan wajahnya pucat. Cepat-cepat ia duduk bersila mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh hawa pukulan dahsyat itu.

Kening Raja Pedang berkerut-kerut. Tentu saja dia merasa sangat tidak senang harus melakukan ini, tapi demi keadilan untuk menghukum yang bersalah, dia melangkah maju lagi beberapa tindak sambil berkata, "Menyesal sekali, Kun Hong, namun aku terpaksa harus turun tangan!"

Kembali Raja Pedang menggerakkan kedua tangannya melakukan dorongan dari jarak jauh sambil mengerahkan tenaga Im Yang.

"Locianpwe, jangan terburu nafsu...!" Kun Hong mencegah.

Namun Raja Pedang melanjutkan pukulannya ke arah Hui Kauw. Sekali lagi Kun Hong meloncat, kini ia langsung menghadapi Raja Pedang sehingga dorongan itu sepenuhnya menghantam dadanya. Sekali lagi Pendekar Buta terlempar dan untuk menjaga supaya isterinya jangan diserang lagi, terpaksa dia menabrak dan menyeret Hui Kauw sehingga bergulingan di atas tanah.
cerita silat karya kho ping hoo

Kun Hong bangkit berdiri perlahan-lahan, tapi Hui Kauw tidak dapat bangun, nyonya ini dalam keadaan setengah pingsan! Kun Hong sendiri selain rambutnya kusut, pakaiannya kotor penuh debu, juga dari ujung kiri mulutnya mengalir darah. Dia tidak terluka dalam, namun pengerahan tenaganya tak berhasil menahan pukulan maha dahsyat itu sehingga dia terbanting dan mulutnya berdarah. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah ketika dia melangkah maju menghadapi Raja Pedang.

"Locianpwe, benar kata orang bahwa tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang tanpa cacad. Tiap orang memiliki kelemahan dan kebodohannya sendiri-sendiri. Mungkin saya mempunyai banyak kelemahan dan kebodohan, namun ternyata Locianpwe sendiri pun memiliki cacad ini. Karena sayang putera, karena duka cita, karena rasa sesal dan kecewa, pertimbangan Locianpwe menjadi miring."

"Aku bukan anak kecil, tak perlu kau memberi kuliah, Kun Hong. Kau minggirlah!" bentak Raja Pedang, sedikit banyak merasa penasaran juga karena dua kali pukulannya untuk menghukum Hui Kauw dapat digagalkan oleh Pendekar Buta.

"Aku tidak akan minggir, Locianpwe, dan kalau kau hendak membunuh isteriku, terpaksa aku akan mencegah!" jawab Pendekar Buta.

Dengan hati geram Raja Pedang tersenyum pahit. "Bagus, sudah kuduga akan begini jadinya. Nah, aku akan memukul isterimu lagi, terserah kau hendak berbuat apa!"

Sesudah berkata demikian, Raja Pedang menggerakkan kedua lengannya dan sekali ini terdengar suara berkerotokan pada kedua lengan itu. Kun Hong kaget bukan main sebab maklum bahwa sekali ini pendekar sakti itu menggunakan seluruh tenaganya, tenaga Im dan Yang. Tenaga yang saling bertentangan itu hendak digunakan sekaligus sehingga mengeluarkan bunyi berkerotokan.

Sungguh pun kedua tenaga itu bertentangan, namun kalau dipergunakan bersama, akan menjadi tenaga mukjijat yang sukar dilawan. Isterinya pasti akan binasa oleh pukulan ini, biar hanya terkena sedikit saja.

"Tahan, Locianpwe!" bentak Kun Hong dengan suara keras.

Tubuhnya merendah. Ketika dia menekuk kedua lututnya, kedua lengannya dia luruskan ke depan, kemudian dengan pengerahan sinkang ia pun mendorong ke depan, langsung menyambut hawa pukulan dahsyat dari Raja Pedang.

Luar biasa sekali! Keduanya hanya tampak meluruskan kedua lengan dan mendorong ke depan, jarak di antara mereka masih ada tiga meter. Namun keduanya seperti tertahan, seakan-akan tertumbuk pada sesuatu yang tak tampak namun amat kuatnya. Keduanya menarik kembali kedua lengan, membuat gerakan menyimpang lalu kembali mendorong, hampir berbareng, atau lebih tepat, Raja Pedang yang mendorong dulu karena dia yang menyerang, disusul dorongan lengan Kun Hong yang menyambutnya. Berkali-kali mereka saling dorong dengan pukulan jarak jauh, makin lama jarak di antara mereka semakin dekat.

"Kun Hong, hebat kau... aku atau kau penentuannya...," kata Raja Pedang terengah, namun wajahnya berseri gembira, kegembiraan seorang jagoan besar yang menemukan tanding yang seimbang.

"Terserah, Locianpwe...," kata Kun Hong agak terengah pula, sambil menggeser kedua kaki secara berbareng ke depan.

Kini ketika keduanya mengulurkan lengan, kedua pasang tapak tangan itu saling tempel. Kun Hong terkejut sekali karena kalau tadi tenaga dorongan Raja pedang merupakan tenaga yang keluar sehingga tiap kali dia tangkis maka dua tenaga bertentangan saling menendang, adalah sekarang dua telapak tangan Raja Pedang itu mengandung tenaga menyedot dan menempel!

Terpaksa dia mengerahkan seluruh tenaganya mempertahankan sehingga kedua orang itu kini berdiri setengah berjongkok dengan kedua lengan lurus ke depan, telapak tangan mereka saling tempel dan melekat. Dua tenaga raksasa saling betot dan kadang-kadang saling dorong melalui telapak tangan itu, dan keduanya terkejut karena ternyata tenaga mereka seimbang.

Kun Hong menjadi duka dan bingung sekali pada saat mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang agaknya sudah dihinggapi penyakit yang selalu menular pada ahli-ahli silat, yaitu bila menemui lawan seimbang timbul kegembiraannya dan sebelum ada ketentuan siapa lebih unggul, tak akan merasa puas.

la maklum bahwa Raja Pedang sudah menggabungkan tenaga Im Yang, maka dia pun terpaksa melakukan hal yang sama karena tidak ada kekuatan lain dapat menghadapi tenaga gabungan ini selain juga menggabungkan tenaga Im Yang di tubuhnya.

Namun dia maklum pula bahwa dengan cara mengadu tenaga seperti ini, mereka takkan dapat mundur lagi. Siapa mundur berarti celaka, karena andai kata dapat menghindarkan tenaga serangan lawan, namun tetap akan terpukul oleh tenaga sendiri dan menderita luka yang bisa membawa maut. Pengerahan tenaga gabungan Im Yang seperti ini hanya dapat disurutkan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, tetapi tidak mungkin ‘ditarik’ sekaligus tanpa mendatangkan luka hebat di dalam tubuh sendiri.

Kedua orang jago sakti itu seperti dua buah arca, sama sekali tidak tampak bergerak. Uap putih mengepul dari kedua pasang lengan dan makin lama uap itu makin banyak, terutama kini keluar dan kepala. Ini adalah tanda bahwa pengerahan sinkang mereka sudah memuncak dan keadaan menjadi kritis sekali. Keduanya maklum bahwa seorang di antara mereka pasti akan tewas.

Hui Kauw sudah sadar kembali. Seperti halnya Cui Sian, ia duduk dengan muka pucat. Sebagai orang-orang yang tahu akan ilmu silat tinggi, keduanya maklum apa yang terjadi di depan mata mereka. Baik Cui Sian mau pun Hui Kauw maklum bahwa dua orang itu sedang berada di ambang maut dan mereka maklum pula sepenuhnya bahwa mereka tidak dapat membantu, tidak dapat memisah karena tenaga sinkang mereka jauh lebih rendah. Turun tangan mencampuri ‘pertandingan’ yang aneh ini berarti mengirim nyawa secara sia-sia belaka.

Melihat betapa suaminya setengah berjongkok, dua matanya yang bolong itu terbelalak, kerut-merut di seluruh mukanya yang penuh keringat dan amat pucat, tiba-tiba Hui Kauw tidak dapat lagi menahan hatinya. Suaminya sedang berjuang dengan maut, dan hal itu dilakukan suaminya untuk menolong dan melindungi dirinya. Tak tertahankan lagi nyonya ini menangis tersedu-sedu dan menjatuhkan diri di atas tanah. la menangis seperti anak kecil hatinya penuh iba, penuh kegelisahan, dan penuh kasih sayang kepada suaminya.

Melihat keadaan Hui Kauw ini, Cui Sian tidak mampu pula menahan air matanya yang bercucuran keluar. la pun tahu apa artinya pertandingan ini dan timbullah rasa sesal di dalam hatinya. Bagaimana kalau ayahnya kalah dan tewas? Tentu selama hidupnya dia akan memusuhi Pendekar Buta suami isteri dan anaknya. Sebaliknya bagaimana kalau Pendekar Buta yang tewas dan kemudian ternyata bahwa suami isteri itu tidak berdosa? Cui Sian menjadi bingung dan tangisnya menjadi-jadi.

Keadaan yang amat menyeramkan dan menyedihkan. Di sana menggeletak mayat Kong Bu yang mulai membusuk sehingga mengotori kebersihan hawa udara hutan itu. Dan di sana dua orang jago sakti sedang mati-matian mengadu tenaga dan ilmu secara aneh. Tak jauh dari mereka, dua orang wanita menangis tersedu-sedu! Luar biasa!

Sunyi di hutan itu, kecuali sedu-sedan dua orang wanita dan dari jauh terdengar rintihan burung yang memanggil-manggil pasangannya yang tidak kunjung datang, serta suara bercicit anak monyet di gendongan induknya minta susu.

Beberapa menit kemudian, suara burung dan monyet tiba-tiba terhenti setelah terdengar kelepak sayap burung-burung beterbangan dan teriakan monyet-monyet melarikan diri bersembunyi. Inilah tanda bahwa ada sesuatu yang mengejutkan mereka.

Hanya saja kedua orang wanita itu masih menangis penuh kegelisahan sehingga mereka tidak memperhatikan keadaan sekeliling. Maka betapa kaget hati Cui Sian dan Hui Kauw ketika tiba-tiba muncul banyak sekali orang-orang yang mengurung tempat itu. Sedikitnya ada dua puluh lima orang, dipimpin oleh seorang nenek berpakaian serba merah yang memegang sebatang pedang telanjang.

Nenek ini bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio yang datang sambil tertawa-tawa gembira dan mulutnya tiada hentinya berkata, "Bagus... bagus... sekarang dua ekor binatang ini sudah masuk perangkap, tinggal menyembelih saja, hi-hi-hik!"

Di sebelahnya tampak seorang pendeta bertubuh tinggi bersorban, telinganya memakai anting-anting, kulitnya agak hitam, sedang hidungnya mancung sekali. Itulah dia pendeta Maharsi, pertapa dari barat yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) Ang-hwa Nio-nio. Pendeta barat ini didatangkan oleh Ang-hwa Nio-nio untuk dimintai bantuannya membalas dendam atas kematian kedua orang saudaranya.

Juga tampak Bo Wi Sianjin, tokoh dari Mongol yang bertubuh pendek dan gendut, tokoh sakti yang memiliki Ilmu Pukulan Katak Sakti, dan yang turun dari pegunungan di Mongol untuk mencari Raja Pedang dan membalaskan kematian suhengnya, Ka Chong Hoatsu.

Di samping tokoh-tokoh itu semua, dengan sikap yang tenang sekali dan amat dihormati oleh tokoh-tokoh lainnya, adalah seorang hwesio tinggi besar, usianya tua sekali, kedua matanya selalu meram, mukanya pucat tak berdarah seperti muka mayat dan bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada yang bidang serta berbulu di tengahnya, hwesio yang sangat sakti karena dia ini bukan lain adalah Bhok Hwesio, yaitu tokoh dari Siauw-lim-pai yang murtad!

Munculnya orang-orang ini mendatangkan rasa gelisah bukan main di hati Cui Sian dan Hui Kauw. Raja Pedang dan Pendekar Buta sedang bersitegang, tak dapat dipisah begitu saja, dan orang-orang yang datang ini jelas merupakan tokoh-tokoh ahli silat tinggi yang agaknya tahu pula akan keadaan dua orang itu.

Bagaikan mendengar komando, dua wanita yang telah terluka ini meloncat, menyambar pedang yang menancap di atas tanah. Hui Kauw mencabut Ang-hong-kiam sedangkan Cui Sian mencabut Liong-cu-kiam pendek, lalu keduanya bersiap membela suami dan ayah masing-masing.

Mata tajam terlatih Ang-hwa Nio-nio dan tiga orang temannya tentu saja dapat melihat bahwa nyonya Pendekar Buta itu telah terluka, bahkan puteri Raja Pedang memegang pedang dengan tangan kiri akibat tangan kanannya setengah lumpuh. Nenek berpakaian serba merah ini tertawa sambil berkata mengejek,

"Wah, ternyata betina-betina ini masih galak! Kalian lihat betapa kami akan membunuh dan menyiksa kedua orang musuh besar kami, kemudian datang giliran kalian berdua. Kong Bu sudah mampus, anak Pendekar Buta cucu Raja Pedang sudah rusak nama dan kehormatannya. Hi-hi-hik, alangkah nikmatnya pembalasanku!"

Tiba-tiba Hui Kauw berseru keras, "Kau yang mencuri Kim-seng-kiam!"

"Hi-hi-hik, dan kau bersama suamimu yang buta itu tidak tahu..."

Sekarang Hui Kauw maklum siapa yang melakukan semua fitnah itu. Dengan teriakan nyaring ia lalu menerjang maju, tidak mempedulikan betapa kesehatannya belum pulih. Teriakannya ini disusul oleh bentakan Cui Sian yang sekaligus juga dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi.

Kiranya semua kejadian itu diatur oleh musuh-musuh yang bekerja secara curang untuk membalas dendam kepada ayahnya dan kepada Pendekar Buta. Oleh karena itu, saking marahnya, dia melupakan sambungan tulang pundaknya yang terlepas dan menyerang dengan pedang di tangan kiri.

"Ho-ho-ho, galaknya!" Pendeta Maharsi menggerakkan tangannya yang panjang dan...

Hui Kauw yang lemah akibat terluka itu berseru kaget, tahu-tahu pedangnya telah dapat dirampas dan ia roboh terguling. Kiranya kakek ini telah memperlihatkan kepandaiannya membantu sumoi-nya dengan Pai-san-jiu, merampas pedang sekaligus merobohkan Hui Kauw. Andai kata Hui Kauw tidak sedang terluka dan gelisah memikirkan suaminya, kiranya pendeta barat itu tidak akan begitu mudah mengalahkannya, sungguh pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi.

Ada pun Cui Sian yang menyerang dengan pedang di tangan kiri, dihadapi oleh Ang-hwa Nio-nio yang sudah menghunus Hui-seng-kiam. Ilmu pedang Cui Sian sudah amat tinggi tingkatnya, maka biar pun lengan kanannya tak dapat dipergunakan, dengan tangan kiri dan pedang Liong-cu-kiam di tangan ia masih merupakan lawan yang berat.

Akan tetapi keadaan tubuhnya yang terluka itu tentu saja amat mengganggu gerakannya dan sebentar saja sinar pedang di tangan Ang-hwa Nio-nio telah mengurungnya. Dengan sekuat tenaga Cui Sian terus mempertahankan diri.

“Kok-kok-kok!” mendadak terdengar suara berkokok.

Pada detik itu pula Cui Sian lantas terlempar ke belakang sambil mengeluh, pedangnya terlepas dari tangan. la roboh dan pingsan, terkena pukulan Katak Sakti yang dilontarkan Bo Wi Sianjin yang membantu Ang-hwa Nio-nio.

Sekarang Ang-hwa Nio-nio dengan sikap beringas bagai harimau betina kelaparan, maju menghampiri Pendekar Buta dari belakang, dengan pedang di tangan. Di lain pihak, Bo Wi Sianjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng-nya, yaitu Ka Chong Hoatsu, menghampiri Raja Pedang. Keduanya melihat kesempatan yang sangat baik, selagi dua orang musuh besar itu saling libat dengan tenaga sinkang yang sukar dilepas begitu saja, untuk melakukan balas dendam mereka.

"Tan Beng San, mungkin kau tidak mengenalku. Aku adalah Bo Wi Sianjin dari Mongol, sengaja datang mencarimu untuk membalaskan kematian suheng Ka Chong Hoatsu."

"Tunggu dulu, Sianjin," Ang-hwa Nio-nio berkata sambil tertawa mengejek. "Kita harus bergerak berbareng, biarkan aku bicara dulu kepada musuhku, si buta sombong ini. Heh, Kwa Kun Hong, kau tentu masih ingat akan Ang-hwa Sam-cimoi, bukan? Nah, aku Kui Ciauw. Saat engkau menyusul arwah kedua orang saudaraku telah tiba." Setelah berkata demikian, Ang-hwa Nio-nio memberi isyarat kepada Bo Wi Sianjin untuk turun tangan.

"Curang!" Hui Kauw memaksakan diri meloncat dan menerjang Ang-hwa Nio-nio dengan pukulannya.

Akan tetapi tenaganya sudah lemah sedang bekas pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi tadi masih setengah melumpuhkan kaki tangannya, maka serangannya ini tidak ada artinya bagi Ang-hwa Nio-nio. Dengan mengibaskan tangan kirinya, Ang-hwa Nio-nio berhasil menangkis dan sekaligus menampar, tepat mengenai leher Hui Kauw sehingga nyonya ini terjungkal dan pingsan, tak jauh dari Cui Sian yang masih tak sadarkan diri.

Kembali Ang-hwa Nio-nio memberi isyarat. Betapa pun juga, agaknya dia masih memiliki rasa malu untuk menyerang Kun Hong dari belakang dengan pedangnya, tahu bahwa Pendekar Buta sedang dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Apa lagi Bo Wi Sianjin yang menyerang Raja Pedang juga bertangan kosong. Maka dia menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga memukul ke arah jalan darah pusat di punggung Kun Hong. Juga Bo Wi Sianjin mengerahkan tenaga memukul tai-hui-hiat Raja Pedang.

Pada saat kedua orang ini melakukan serangan curang dari belakang, terdengar Bhok Hwesio tertawa mengejek, bukan seperti orang tertawa biasa melainkan seperti suara seekor kerbau mendengus.

"Desssss...!" Pukulan yang disertai saluran tenaga Iweekang tinggi itu mengenai sasaran.

Terdengar jerit mengerikan dari mulut Ang-hwa Nio-nio dan pekik nyaring dari mulut Bo Wi Sianjin. Kedua orang ini tadi tepat memukul punggung kedua orang sakti yang sedang bertanding itu, akan tetapi akibatnya malah tubuh mereka yang terlempar ke atas dan ke belakang, kemudian terbanting roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Dari telinga, mulut, dan hidung mereka keluar darah merah!

Kun Hong dan Tan Beng San juga terguling-guling ke belakang. Ketika mereka berhasil bangkit berdiri, muka mereka pucat sekali dan nafas mereka terengah-engah, menggigit bibir menahan rasa nyeri. Mereka tadi telah tertolong dengan adanya penyerangan dari belakang.

Sejak orang-orang itu muncul dan mendengarkan ucapan-ucapan mereka, Raja Pedang menjadi kaget dan menyesal bukan main, juga marah bukan main. Demikian pula Kun Hong. Namun mereka tidak mungkin dapat saling membebaskan diri dari libatan-libatan tenaga sinkang mereka yang sudah saling betot dan saling gempur itu. Apa bila secara mendadak mereka merenggut lepas tenaga mereka, tentu mereka akan mengalami luka hebat yang berakibat maut. Keduanya lalu mengikuti gerak-gerik Bo Wi Sianjin dan Ang-hwa Nio-nio.

Bagaimana pun hancur hati mereka mendapat kenyataan betapa Hui Kauw dan Cui Sian jatuh bangun, mereka tetap tidak mampu membantu. Akhirnya mereka memiliki harapan yang sama, yaitu diserang lawan dari belakang. Baiknya dua orang lawan itu menyerang dengan tangan kosong.

Inilah kesempatan bagi mereka. Begitu merasa datangnya pukulan pada punggung, baik Kun Hong mau pun Raja Pedang masing-masing menerima tenaga dorongan lawan dan menggunakan tenaga ini untuk disalurkan ke belakang lewat punggung sekaligus tenaga itu mereka dapat saling gunakan untuk menghantam pukulan lawan dari belakang. Akibat adanya gangguan tenaga luar ini, mereka dapat saling membebaskan diri karena tenaga serangan masing-masing telah disalurkan oleh lawan dan mendapatkan sasaran berupa penyerang-penyerang itu.

Kesaktian macam ini tak dapat dilakukan oleh sembarang orang, dan biar pun Pendekar Buta dan Raja Pedang sendiri, sungguh pun berhasil merobohkan Ang-hwa Nio-nio dan Bo Wi Sianjin yang sakti sampai tewas dengan pukulan mereka sendiri, namun keduanya tidak luput dari luka dalam yang hebat!

Baik Ang-hwa Nio-nio mau pun Bo Wi Sianjin sama sekali tidak menyangka akan hal ini, bahkan Maharsi sendiri pun tak mengerti. Hanya Bhok Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang lihai itu tahu akan hal ini dan sudah menduganya, maka tadi dia mendengus mengejek kepada dua orang penyerang gelap itu.

Pada saat itu, dua puluh orang lebih para pengikut Ang-hwa Nio-nio marah bukan main melihat pemimpin mereka tewas. Dengan senjata pedang dan golok, mereka menerjang maju. Melihat Pendekar Buta serta Raja Pedang sudah terluka hebat, mereka menjadi besar hati dan menyerang kalang-kabut.

Akan tetapi, biar pun gerakan-gerakannya sudah amat lambat dan tenaga mereka sudah terbuang setengahnya lebih, namun menghadapi segala orang kasar ini tentu saja kedua pendekar sakti itu masih jauh lebih kuat. Setiap kali mereka berdua menggerakkan kaki atau tangan, tentu ada pengeroyok yang roboh dengan dada pecah atau kepala remuk.

Dalam kemarahan mereka, Pendekar Buta dan Raja Pedang mengamuk hebat sekali, tidak memberi ampun lagi kepada lawan-lawan mereka. Hal ini adalah tidak sewajarnya. Biasanya kedua orang pendekar sakti itu amat murah hati dan tidak mau sembarangan membunuh lawan. Sebabnya adalah karena mereka menyangka bahwa isteri dan anak mereka sudah tewas terbunuh musuh, maka kedukaan dan kemarahan yang bercampur aduk dengan penyesalan besar serta sakit hati membuat mereka menjadi ganas.

"Losuhu, kau tadi sudah tahu bahwa dua teman kita akan celaka. Mengapa kau hanya mendengus tetapi tidak mencegah mereka?" Sementara itu Maharsi bertanya penasaran kepada Bhok Hwesio, tidak mempedulikan anak buah Ang-hwa Nio-nio yang bagaikan sekelompok laron menyerbu api itu.

"Hemmm, mereka tolol, juga curang. Sudah sepantasnya mampus," jawab Bhok Hwesio.

la seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, biar pun dia tersesat dalam kejahatan, namun dia tetap seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan amat percaya akan kepandaian sendiri. Oleh karena itu Bhok Hwesio memandang rendah orang-orang yang berwatak curang. Semenjak Ang-hwa Nio-nio menggunakan siasat mengadu domba keluarga Raja Pedang dengan keluarga Pendekar Buta, dia sudah memandang rendah Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi seperti biasa, karena bukan urusannya, Bhok Hwesio tidak peduli.

Maharsi luar biasa mendongkol. Akan tetapi karena dia tahu bahwa menghadapi hwesio tinggi besar yang selalu meram ini dia tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk dapat melampiaskan kegemasan hatinya, dia hanya merengut saja dan memandang ke arah dua orang musuhnya. Diam-diam dia kaget dan juga kagum. Jelas bahwa dua orang itu sudah terluka hebat, malah besar kemungkinan takkan dapat hidup lagi. Akan tetapi seperti orang mencabuti rumput mudahnya, dua puluh tiga orang pengeroyoknya itu roboh malang-melintang bertumpang-tindih dan mati semua. Sebentar saja tidak ada lagi seorang pun pengeroyok yang masih hidup!

Raja Pedang melompat ke arah puterinya sedang Pendekar Buta menghampiri isterinya, tangannya meraba-raba untuk mencari-cari. Akhirnya ia menemukan tubuh isterinya dan segera melakukan pemeriksaan seperti yang dilakukan Raja Pedang terhadap puterinya.

"Syukurlah kau selamat, Hui Kauw...," terdengar suara Kun Hong terharu, kemudian dia menoleh ke arah Raja Pedang. "Bagaimana keadaan Cui Sian, Locianpwe?"

"Dia pun selamat, hanya terluka dan pingsan. Kun Hong, kita menghadapi dua orang lawan yang sangat tangguh... entah bagaimana aku akan dapat melawan mereka... aku terluka hebat..."

Raja Pedang tersedak dan cepat dia duduk bersila untuk mengatur nafas dan berusaha mengembalikan tenaganya. Akan tetapi dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa tenaganya lenyap setengahnya lebih dan dadanya terasa amat sakit. Terang bahwa tak mungkin dia dapat bertempur menghadapi lawan berat. Sedangkan dia tahu betul betapa saktinya Bhok Hwesio. Dalam keadaan sehat saja belum tentu dia mampu menandingi hwesio itu, apa lagi dalam keadaan terluka hebat seperti ini.

"Saya... saya pun terluka... Locianpwe..."

Kun Hong juga merasa dadanya sakit sekali, akan tetapi dia segera menghampiri Raja Pedang, lalu menempelkan tangannya pada punggung orang tua itu untuk memeriksa. Hatinya amat kaget mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang benar-benar terluka hebat. Tanpa ragu-ragu lagi dia segera mengerahkan sisa tenaga sinkang-nya untuk disalurkan melalui punggung dan membantu Si Raja Pedang.

Hawa hangat menjalar dari tangan Kun Hong sehingga rasa panas memenuhi dada Raja Pedang. Rasa sakit di sekitar jantungnya mendingan dan dia lalu menolak tangan Kun Hong dengan halus. "Cukup, Kun Hong. Terima kasih... kau sendiri lemah, jangan mengerahkan tenaga lagi. Kun Hong, kau... kau maafkan aku... sungguh-sungguh aku telah terburu nafsu seperti katamu..."

"Sudahlah, Locianpwe. Yang perlu sekarang bagaimana kita harus menghadapi mereka."

Raja Pedang lalu melompat bangun, memaksa diri bersifat gagah ketika dia melempar-lemparkan mayat para pengeroyok yang menghalang di depan kakinya. Dengan langkah tegap dia menghampiri Bhok Hwesio dan Maharsi, kemudian berdiri tegak dan bertanya dengan suara berwibawa. "Bhok Hwesio, sesudah segala kecurangan digunakan oleh pihakmu, sekarang kau mau apa lagi?" Pada ucapan yang sederhana ini terkandung nada menantang dan mengejek.

Mendengar suara menantang dan sikap yang gagah ini sejenak Bhok Hwesio tercengang dan ia membuka matanya untuk menatap penuh perhatian, mengira bahwa Raja Pedang itu telah dapat memulihkan tenaganya maka dapat bersikap segagah itu.

Akan tetapi pandang matanya segera mendapat kenyataan bahwa orang di depannya ini masih terluka hebat dan tenaganya tinggal sedikit lagi. la menghela nafas dan diam-diam merasa kagum sekali.

"Tan Beng San, segala macam urusan kotor yang dilakukan Ang-hwa Nio-nio tidak ada sangkut-pautnya dengan pinceng (aku). Pinceng datang mencarimu untuk membereskan perhitungan lama."

"Bhok Hwesio, dua puluh tahun yang lalu kau tersesat kemudian datang Thian Ki Losuhu yang menjadi suheng-mu dan membawamu kembali ke Siauw-lim-pai. Apakah selama dua puluh tahun ini kau belum juga dapat mengubah kesesatanmu?"

"Tan Beng San, kau sungguh bermulut besar. Karena kau, pinceng menderita puluhan tahun. Tapi sekarang kau telah terluka, sayang sekali. Tidak enak melawan orang sudah terluka parah, akan tetapi tidak bisa pinceng melepaskanmu begitu saja. Raja Pedang, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun sambil mengangguk tiga kali di depanku, baru pinceng mau melepaskanmu dan memberi waktu padamu untuk menyembuhkan lukamu, setelah itu baru kita bertanding melunasi perhitungan lama."

Tiada penghinaan bagi seorang pendekar silat yang lebih hebat dari pada menyuruhnya mengaku kalah dan berlutut minta ampun! Kalah atau menang dalam pertandingan bagi seorang pendekar adalah lumrah...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 16


Jaka Lola Jilid 15

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 15

Apa lagi karena telapak tangannya yang memegang pedang terasa perih dan panas. Hampir Cui Sian menangis saking jengkelnya. Pada dasarnya Cui Sian adalah seorang yang berpemandangan luas dan tidak mudah dipengaruhi kemarahan. Akan tetapi karena ia memiliki hati yang keras pula, sekarang ia hampir tak bisa mengendalikan kesabaran. Saking gemasnya, ia lalu mulai mengalihkan serangannya kepada Kun Hong sendiri!

Di lain pihak, diam-diam Kun Hong mulai merasa tidak senang. Gadis ini tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa dia mengalah terus. Tentu saja tak mungkin dia membiarkan isterinya dibunuh! Siapa pun juga orangnya yang akan mengganggu isterinya, akan dia lawan mati-matian. la akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela isterinya yang tercinta.

"Sian-moi, kau tak tahu diri!" bentaknya sambil menangkis agak keras sehingga Cui Sian terhuyung dan terpental sampai beberapa meter jauhnya.

"Memang aku tidak tahu diri!" Dalam kemarahannya Cui Sian berteriak-teriak. "Kakakku dibunuh isterimu, seharusnya aku diam saja dan minta ampun kepada isterimu. Begitu, bukan? Kenapa aku marah-marah dan hendak menuntut balas? Memang aku tidak tahu diri, nah, gunakanlah tongkatmu untuk melawanku dan membunuhku pula!"

Ucapan ini ditutup dengan serangan kilat, serangan dengan jurus yang disebut Pat-sian Lo-hai (Delapan Dewa Kacau Lautan), merupakan sebuah jurus Yang-sin Kiam-hoat dan hebatnya bukan main. Sambaran angin pedang Liong-cu-kiam menjadi panas bagaikan mengandung api dan serangannya menyambar datang dari delapan penjuru angin. Inilah jurus yang paling hebat dari ilmu pedang Cui Sian yang sengaja dipergunakan oleh gadis itu secara nekat untuk menghadapi Pendekar Buta yang jauh lebih lihai dari padanya itu.

Terkejut sekali hati Kun Hong ketika pendengarannya menangkap desir angin serangan jurus yang ampuh ini. la menyesal sekali dan juga makin tak senang hatinya. Jurus ini dikenalnya baik dan dia beranggapan bahwa apa bila orang sudah menggunakan jurus macam Pat-sian Lo-hai ini, berarti orang itu hendak mengadu nyawa dan sudah nekat. Dia mengeluarkan suara melengking keras. Tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah laksana darah.

“Cringg! Cringg!” terdengar bunyi delapan kali dan...

Cui Sian terlempar sampai lebih dari lima meter jauhnya, terbanting ke atas tanah diikuti pedangnya yang melayang ke atas dan menancap di dekatnya! Seketika gadis itu nanar dan bumi di sekelilingnya serasa berputaran!

"Bocah tak tahu diri!" kembali Kun Hong mengomel.

"Sian-ji (anak Sian), engkau benar-benar tidak tahu diri, berani melawan Pendekar Buta. Tentu saja kau kalah...," tiba-tiba terdengar suara halus dan dalam.

"Ayah...!" seru Cui Sian girang dan mengandung isak. “Ayah… kau balaskan kematian... kematian... Kong Bu koko...." Dan gadis ini menangis terisak-isak.

Kakek tua yang secara tiba-tiba berdiri di situ memang bukan lain adalah ayah Cui Sian, Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San Si Raja Pedang, ketua dari Thai-san-pai! Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap, rambutnya sudah banyak yang putih, jenggotnya panjang, sepasang matanya amat tajam berpengaruh, sikapnya tenang berwibawa.

"Tenanglah, Sian-ji, tadi aku sudah mendengar semuanya. Aku tidak percaya Kun Hong membunuh Kong Bu, akan tetapi entah kalau isterinya. Betapa pun juga, kau tidak boleh terburu nafsu, anakku, sebelum ada bukti."

Sementara itu, bukan main kagetnya hati Kun Hong pada saat mendengar suara Raja Pedang tadi, apa lagi ucapan pertama yang keluar dari mulut Raja Pedang tadi sedikit banyak mengandung sindiran terhadap dirinya! Serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Pedang sambil berkata,

"Locianpwe, sekali-kali saya tidak akan berani menghina adik Cui Sian, akan tetapi dia mendesak terus. Kami berdua tidak merasa membunuh Kong Bu, tentu saja tidak dapat mengaku. Kalau betul isteri saya membunuh Kong Bu, biarlah Lo-cianpwe turun tangan membunuh kami, kami takkan melawan. Harap Locianpwe sudi mempertimbangkan dan memeriksa, karena tuduhan itu hanya fitnah belaka.”

"Hemmm, Kun Hong, berdirilah. Kau cukup mengenal watakku yang selamanya tak akan mudah mendengar keterangan sepihak saja. Betapa pun juga, kiranya Cui Sian tak akan sudi melakukan fitnah, akan tetapi aku pun tahu bahwa kau bukanlah orang yang suka menyangkal perbuatan sendiri. Sian-ji, tidak boleh kita menuduh secara buta tuli tentang pembunuhan atas diri Kong Bu sebelum melihat bukti dan melakukan pemeriksaan. Mari antarkan aku ke tempat kau menemukan jenazah kakakmu. Kun Hong, kau dan isterimu ikut agar kita bersama dapat membuktikan sendiri."

"Ayah, yang menemukan jenazah Kong Bu koko adalah aku bersama Swan Bu. Karena marah, aku segera pergi untuk mencari Pendekar Buta dan isterinya, sedangkan Swan Bu masih berada di sana, tentu jenazah itu sudah dikuburnya."

"Biarlah kita melihat ke sana."

Mendengar bahwa Swan Bu berada di tempat pembunuhan itu, Kun Hong dan isterinya segera bangun dan tanpa banyak cakap lagi segera mengikuti Cui Sian dan ayahnya. Hati mereka berempat diliputi pelbagai dugaan dan perasaan tegang, maka di sepanjang jalan mereka berempat tidak banyak bicara. Ada sesuatu yang merenggangkan mereka dan membuat mereka merasa tidak enak dan tidak suka satu kepada lain.

Karena melakukan perjalanan cepat mempergunakan ilmu mereka, akhirnya mereka tiba di dalam hutan kecil di mana Cui Sian menemukan jenazah Kong Bu. Mereka berempat berdiri di depan kuburan baru yang ditandai tiga buah batu besar.

"Di sini tempatnya. Tentu ini kuburannya, dibuat oleh Swan Bu," kata Cui Sian dan air matanya sudah mengucur.

"Mana Swan Bu...? Mana anakku...?" terdengar Hui Kauw berkata perlahan.

"Diamlah, baik sekali dia melakukan penguburan ini. Tentu saja dia telah pergi," kata Kun Hong sambil meraba-raba kuburan.

"Kun Hong, kita sekarang berhadapan dengan kenyataan. Kong Bu sudah terbunuh dan menurut kesaksian Cui Sian, pedang isterimu menancap di dadanya. Akan tetapi hal itu biar pun sudah merupakan bukti bahwa Kong Bu terbunuh oleh pedang isterimu, masih belum meyakinkan. Sekarang kita harus bongkar kuburan ini, biar aku melihat mayat Kong Bu, mungkin aku akan dapat menemukan pemecahan rahasianya."

"Ayah... kasihan Kong Bu koko... baru beberapa hari dikubur, masa harus dibongkar...?"

"Diamlah, Sian-ji. Orang yang sudah mati tidak perlu dikasihani lagi, karena sebenarnya yang masih hidup inilah yang patut dikasihani oleh si mati. Kau bantulah aku!" Setelah berkata demikian, pendekar tua ini lantas menggunakan tangannya membongkar tanah kuburan, dibantu oleh Cui Sian yang bekerja sambil mencucurkan air mata.

Akhirnya terbongkarlah kuburan itu dan tampak mayat yang sudah mulai berbau busuk akan tetapi masih utuh. Utuhkah? Sama sekali tidak karena kedua matanya bolong dan lehernya putus, kepalanya terpisah dari tubuh. Terdengar Cui Sian menjerit dan roboh pingsan dalam pelukan ayahnya. Raja Pedang mengeluarkan suara, gerengan hebat berkali-kali seperti seekor harimau marah.

"Apa yang terjadi? Ada apa...?" Kun Hong bertanya-tanya sambil erat-erat memegang lengan isterinya.

Hui Kauw sendiri berdiri memandang ke arah mayat dengan muka berubah pucat sekali. Jelas bahwa selain dada mayat itu tertusuk pedang dan menyebabkan kematiannya, juga dua matanya sudah dibikin buta orang dan lehernya dipenggal pedang! Saking kagetnya, nyonya ini hanya tertegun, tak dapat menjawab pertanyaan suaminya.

Cui Sian siuman kembali dan menangis tersedu-sedu. "Ahhh, kasihan Kong Bu koko... kenapa begini? Ayah... pada waktu aku menemukannya, kedua matanya tidak rusak dan lehernya tidak putus... ahhh, apakah Swan Bu... dia... dia..."

Tiba-tiba gadis itu melompat sambil mencabut pedangnya, wajahnya beringas ketika dia memandang kepada Pendekar Buta dan isterinya.

"Jelas sekarang! Pendekar Buta yang selama ini dipuji-puji Ayah, ternyata mempunyai seorang isteri berhati iblis dan memiliki anak berwatak siluman! Ayah, ini tentu perbuatan Swan Bu si bocah iblis! Ahh, aku tertipu olehnya. Ia bilang kena fitnah, ditawan musuh bersama Lee Si dan dalam keadaan tertotok berdua Lee Si berada sekamar, terlihat oleh Kong Bu koko yang menjadi marah karena Kong Bu koko menyangka bahwa bocah itu berbuat kurang ajar terhadap Lee Si. Kiranya memang demikianlah. Anak Pendekar Buta tak bisa dipercaya! Pantas saja dia tidak menjadi sakit hati biar pun lengannya dibuntungi oleh gadis liar itu, kiranya memang segolongan!"

Dengan kemarahan yang meluap-luap Cui Sian menceritakan semua itu dengan cepat sehingga sukarlah bagi tiga orang itu mengikutinya. Akan tetapi wajah Hui Kauw menjadi lebih pucat ketika ia berkata sambil terisak,

"Anakku... anakku... Swan Bu... lengannya kenapa...?"

Memang pada saat itu Cui Sian telah seratus prosen menuduh akan kejahatan keluarga Pendekar Buta. Tadinya dia percaya akan kebenaran Swan Bu tentang fitnah itu, namun sekarang, sesudah melihat mayat kakaknya dirusak, dia memiliki pendapat lain. Agaknya memang Swan Bu adalah seorang pemuda berwatak jahat, mempermainkan Lee Si dan merusak mayat Kong Bu.

Tadinya ia percaya karena sikap Lee Si yang seakan-akan membenarkan tentang fitnah, seakan-akan membenarkan bahwa Swan Bu dan ia kena fitnah sehingga Lee Si hampir membunuh Siu Bi. Akan tetapi sekarang Cui Sian mengerti bahwa Lee Si melindungi niat baik Swan Bu, dan... tentu saja nama baik Lee Si sendiri. Hal ini hanya dapat terjadi karena puteri kakaknya itu sudah jatuh cinta kepada Swan Bu yang tampan dan gagah! Sekarang dia mengerti semua dan kemarahannya memuncak.

"Wanita iblis, kau memang keturunan Ching-coa-to yang jahat! Setelah kau membunuh Kong Bu koko dan anakmu merusak mayatnya, kau mau bilang apa lagi? Kau harus menebus dosa!" Gadis itu membentak lalu berteriak nyaring dan tubuhnya melayang ke depan dalam serangannya yang hebat kepada Hui Kauw.

Nyonya ini masih tercengang dan menangis sedih mendengar lengan puteranya buntung, masih bingung sehingga ia tidak dapat mengelak atau menangkis menghadapi serangan Cui Sian yang dahsyat ini.

"Trang... plak...!"

Kembali Kun Hong yang turun tangan menangkis dan Cui Sian terlempar dan roboh. Kini gadis itu tidak dapat segera bangkit karena pundaknya tadi ditampar Kun Hong sehingga tulang pundaknya terlepas dan lengan kanannya menjadi lumpuh, tak dapat digunakan sementara waktu untuk memainkan pedang lagi! Pedang Liong-cu-kiam menggeletak di sampingnya.

Sementara itu, Raja Pedang Tan Beng San yang menyaksikan puteranya telah menjadi mayat yang mulai berbau busuk dan dirusak sedemikian rupa, berdiri laksana patung setelah mengeluarkan teriakan nyaring tadi. la berdiri seperti patung dan baru bergerak setelah Cui Sian terlempar dan roboh.

la melangkah perlahan menghampiri pedang Liong-cu-kiam pendek yang menggeletak di situ. Kemudian, tanpa mempedulikan Cui Sian yang dilihatnya hanya menderita terlepas tulang yang tidak membahayakan nyawanya, kakek sakti ini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kun Hong, sikapnya penuh ancaman, tapi wajahnya tenang, hanya pandang matanya dingin seperti salju.

"Kwa Kun Hong, bagus sekali sikapmu. Kau sekarang membela yang salah, walau pun yang salah itu adalah anak dan isterimu sendiri. Sekarang pilihlah, kau sendiri yang akan menghukum isterimu ataukah aku yang harus turun tangan? Kun Hong... betapa hancur hatiku karena kekecewaan. Entah dosa apa yang kau perbuat dalam kehidupanmu dulu sehingga dalam kehidupan sekarang harus kau tebus dengan nasib yang sangat buruk. Tak patut kau yang memiliki watak mulia, mendapatkan isteri yang curang dan palsu, dan mendapatkan putera yang jahat dan keji. Kun Hong, demi hubungan baik di antara kita, kau hukumlah orang yang bersalah, meski pun orang itu isterimu sendiri, agar aku tidak usah menyentuh isterimu."

Ucapan Raja Pedang Tan Beng San terdengar tenang, tapi penuh dengan penyesalan dan keharuan tercampur duka. Betapa pun juga, terasa amat dingin yang menjadi selimut dari kemarahan besar.

Kun Hong berdiri tegak seperti patung. Kerut-merut di antara kedua matanya yang buta amat dalam, membuat wajahnya yang tampan itu kelihatan tua sekali. Rambut-rambut di pelipisnya seketika berubah menjadi putih. Kiranya saat ini merupakan saat yang paling perih baginya, saat yang paling menusuk di hati, di mana pelbagai perasaan bercampur aduk.

Dia yakin, seyakin-yakinnya, bahwa isterinya tidak membunuh Kong Bu. Dan dia yakin pula bahwa puteranya tidak akan melakukan perbuatan demikian hina, merusak mayat Kong Bu. Dia maklum bahwa semua ini fitnah belaka, dilakukan oleh orang-orang jahat.

Akan tetapi dia pun maklum bahwa Raja Pedang dan Cui Sian yang tengah dipengaruhi duka cita besar menyaksikan mayat Kong Bu yang kini mulai membusuk, menjadi miring pertimbangannya dan gelap pandangannya, tentu sulit diajak berunding, kecuali bila ada fakta-fakta yang mutlak sehingga dapat membuka mata hati mereka.

Selain keyakinan akan kebersihan anak isterinya, ada rasa duka yang membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk jarum berbisa pada waktu dia mendengar bahwa lengan puteranya buntung. Semua perasaan ini ditambah dengan rasa penasaran kenapa Cui Sian begitu mendesak dengan tuduhan-tuduhan membuta, dan mengapa pula Si Raja Pedang yang selama ini dia anggap sebagai seorang yang paling bijaksana di dunia ini tidak sanggup melawan kedukaan hati dan memihak Cui Sian tanpa pikir panjang lagi. Keyakinannya akan kebersihan isterinya, ditambah cinta kasihnya yang mendalam, membuat Kun Hong mengambil keputusan untuk melindungi isterinya dari gangguan siapa pun juga.

Sampai lama dia tidak menjawab ucapan Raja Pedang tadi. Keduanya berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter, sama-sama tegak dan sama-sama tak bergerak. Cui Sian masih duduk bersila menahan sakit dan memulihkan tenaganya yang seakan-akan habis. Tangkisan Pendekar Buta tadi hebat bukan main. Juga Hui Kauw menjatuhkan diri di atas tanah duduk sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan. la amat sedih, marah, dan penasaran, akan tetapi semua itu terkalahkan oleh kepedihan hatinya mendengar lengan anaknya menjadi buntung.

Suasana sunyi sepi, sunyi yang menyeramkan. Udara diracuni bau mayat membusuk. Dua jagoan yang dianggap paling sakti di dunia persilatan, sekarang saling berhadapan dengan perasaan saling bertentangan. Keduanya memiliki ilmu silat tingkat tinggi, yaitu Im-yang Sin-hoat.

Tongkat besi Ang-hong-kiam sudah gemetar di tangan kanan Kun Hong, ada pun kedua tangan Raja Pedang telah memegang sepasang Liong-cu-kiam yang berkilauan. Tadi dia mengambil Liong-cu-kiam pendek dari puterinya dan sekarang tangan kanannya sudah mencabut Liong-cu-kiam panjang. Dengan sepasang Liong-cu Siang-kiam di tangannya, Raja Pedang kini seakan merupakan seekor harimau yang diberi sayap!

"Kwa Kun Hong, sekali lagi, apa bila kau tidak mau menghukum isterimu, aku akan turun tangan sendiri!" kembali suara Raja Pedang itu menggema di antara pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling tempat itu.

"Locianpwe, isteri saya tidak berdosa. Harap Locianpwe jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan sebelum urusan ini jelas benar. Tak mungkin saya membolehkan siapa juga mengganggu isteri saya yang tidak bersalah."

"Hemmm, tidak nyana, bukan hanya matamu yang menjadi buta. Hatimu pun sudah buta terhadap kenyataan dan keadilanmu goyah karena cinta kasih. Hui Kauw, kau terimalah hukumanmu!"

Dua sinar putih berkilau seperti dua bintang terbang menyambar dibarengi suara bercuit panjang dan angin berdesir menyambar. Tubuh Raja Pedang sudah lenyap memanjang seperti dua sutera putih.

"Hyiiiaaaaattt!" Pekik nyaring melengking ini keluar dari mulut Kun Hong.

Tampak sinar merah gemilang menyilaukan mata menggantikan tubuhnya yang lenyap pula digulung sinar pedangnya sendiri. Maklum bahwa Raja Pedang melakukan gerakan maut untuk membunuh isterinya, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga mengeluarkan jurus simpanannya karena hanya dengan jurus inilah dia akan mampu menandingi Raja Pedang.

Hebat sekali pemandangan pada saat itu. Cui Sian dan Hui Kauw lupa akan keadaan diri sendiri, masing-masing terbelalak memandang ke depan. Memang luar biasa dan indah pula. Dua sinar yang amat terang dan panjang berwarna putih seperti perak, melayang di udara dan dari jurusan yang bertentangan meluncur sinar merah yang amat terang pula. Kemudian sinar-sinar itu beradu di udara, mengeluarkan suara keras laksana ledakan, membuat bumi serasa berguncang dan daun-daun pohon rontok berhamburan.

Cui Sian dan Hui Kauw tidak sanggup menahan hawa pukulan sakti itu, masing-masing menggigil tubuhnya dan otomatis mereka bertiarap sambil menutup mata. Ketika mereka membuka mata lagi memandang, ternyata Pendekar Buta dan Raja Pedang telah berdiri lagi di atas tanah, tegak berhadapan dalam jarak tiga meter. Di atas tanah, antara dua pendekar itu, tiga batang pedang menancap di atas tanah, sepasang Liong-cu-kiam dan sebatang Ang-hong-kiam yang sudah keluar dari tongkat yang hancur berkeping-keping!

Ternyata pertemuan sepasang Liong-cu-kiam dengan tongkat berisi Ang-hong-kiam tadi begitu hebatnya sehingga membuat tongkat yang membungkus Ang-hong-kiam hancur, akan tetapi juga membuat tiga batang pedang itu terlepas dari pegangan kedua orang jago sakti dan menancap di atas tanah, amblas hampir sampai ke gagangnya.

"Locianpwe, saya tidak berani melawan Locianpwe, tapi jangan Locianpwe mengganggu isteri saya yang tak berdosa." Terdengar suara Kun Hong memecah kesunyian, suaranya gemetar bercampur isak tertahan.

Si Raja Pedang menarik nafas panjang. "Hebat kau, Kun Hong. Dengan kepandaianmu seperti ini, seharusnya aku si tua bangka takluk. Akan tetapi, jelas isterimu membunuh Kong Bu dan anakmu menghina mayatnya sedemikian rupa. Orang-orang seluruh dunia akan mentertawakan aku sebagai berat sebelah bila tidak memberi hukuman. Kalau kau hendak melindungi isterimu, terserah, itu adalah hakmu, biar pun hal itu mengecewakan hatiku karena berarti kau melindungi orang yang bersalah. Hui Kauw, awas! Terimalah pukulanku!"

Seluruh tubuh Raja Pedang tergetar, terutama kedua tangannya ketika dia mengerahkan tenaga Im Yang. Kemudian dia melangkah maju tiga kali, lantas menggerakkan kedua tangannya mendorong ke arah Hui Kauw yang masih duduk di atas tanah.

"Jangan... Locianpwe...!" Kun Hong melompat dan menghadang di antara isterinya dan Raja Pedang, tentu saja sambil mengerahkan sinkang untuk menahan hantaman hawa pukulan Im Yang yang sedemikian hebatnya itu.

"Werrrrr...!"

Bagai sehelai daun kering tertiup angin, tubuh Kun Hong terlempar oleh hawa pukulan, menabrak isterinya dan keduanya terguling-guling sampai tiga meter lebih.

Kun Hong melompat bangun, wajahnya berubah merah, akan tetapi ia tidak terluka. Ada pun Hui Kauw, biar pun tadi sudah teriindung olehnya dan pukulan itu hampir seluruhnya menimpa dirinya, akan tetapi saking hebatnya hawa pukulan, nyonya ini menjadi sesak dadanya dan wajahnya pucat. Cepat-cepat ia duduk bersila mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh hawa pukulan dahsyat itu.

Kening Raja Pedang berkerut-kerut. Tentu saja dia merasa sangat tidak senang harus melakukan ini, tapi demi keadilan untuk menghukum yang bersalah, dia melangkah maju lagi beberapa tindak sambil berkata, "Menyesal sekali, Kun Hong, namun aku terpaksa harus turun tangan!"

Kembali Raja Pedang menggerakkan kedua tangannya melakukan dorongan dari jarak jauh sambil mengerahkan tenaga Im Yang.

"Locianpwe, jangan terburu nafsu...!" Kun Hong mencegah.

Namun Raja Pedang melanjutkan pukulannya ke arah Hui Kauw. Sekali lagi Kun Hong meloncat, kini ia langsung menghadapi Raja Pedang sehingga dorongan itu sepenuhnya menghantam dadanya. Sekali lagi Pendekar Buta terlempar dan untuk menjaga supaya isterinya jangan diserang lagi, terpaksa dia menabrak dan menyeret Hui Kauw sehingga bergulingan di atas tanah.
cerita silat karya kho ping hoo

Kun Hong bangkit berdiri perlahan-lahan, tapi Hui Kauw tidak dapat bangun, nyonya ini dalam keadaan setengah pingsan! Kun Hong sendiri selain rambutnya kusut, pakaiannya kotor penuh debu, juga dari ujung kiri mulutnya mengalir darah. Dia tidak terluka dalam, namun pengerahan tenaganya tak berhasil menahan pukulan maha dahsyat itu sehingga dia terbanting dan mulutnya berdarah. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah ketika dia melangkah maju menghadapi Raja Pedang.

"Locianpwe, benar kata orang bahwa tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang tanpa cacad. Tiap orang memiliki kelemahan dan kebodohannya sendiri-sendiri. Mungkin saya mempunyai banyak kelemahan dan kebodohan, namun ternyata Locianpwe sendiri pun memiliki cacad ini. Karena sayang putera, karena duka cita, karena rasa sesal dan kecewa, pertimbangan Locianpwe menjadi miring."

"Aku bukan anak kecil, tak perlu kau memberi kuliah, Kun Hong. Kau minggirlah!" bentak Raja Pedang, sedikit banyak merasa penasaran juga karena dua kali pukulannya untuk menghukum Hui Kauw dapat digagalkan oleh Pendekar Buta.

"Aku tidak akan minggir, Locianpwe, dan kalau kau hendak membunuh isteriku, terpaksa aku akan mencegah!" jawab Pendekar Buta.

Dengan hati geram Raja Pedang tersenyum pahit. "Bagus, sudah kuduga akan begini jadinya. Nah, aku akan memukul isterimu lagi, terserah kau hendak berbuat apa!"

Sesudah berkata demikian, Raja Pedang menggerakkan kedua lengannya dan sekali ini terdengar suara berkerotokan pada kedua lengan itu. Kun Hong kaget bukan main sebab maklum bahwa sekali ini pendekar sakti itu menggunakan seluruh tenaganya, tenaga Im dan Yang. Tenaga yang saling bertentangan itu hendak digunakan sekaligus sehingga mengeluarkan bunyi berkerotokan.

Sungguh pun kedua tenaga itu bertentangan, namun kalau dipergunakan bersama, akan menjadi tenaga mukjijat yang sukar dilawan. Isterinya pasti akan binasa oleh pukulan ini, biar hanya terkena sedikit saja.

"Tahan, Locianpwe!" bentak Kun Hong dengan suara keras.

Tubuhnya merendah. Ketika dia menekuk kedua lututnya, kedua lengannya dia luruskan ke depan, kemudian dengan pengerahan sinkang ia pun mendorong ke depan, langsung menyambut hawa pukulan dahsyat dari Raja Pedang.

Luar biasa sekali! Keduanya hanya tampak meluruskan kedua lengan dan mendorong ke depan, jarak di antara mereka masih ada tiga meter. Namun keduanya seperti tertahan, seakan-akan tertumbuk pada sesuatu yang tak tampak namun amat kuatnya. Keduanya menarik kembali kedua lengan, membuat gerakan menyimpang lalu kembali mendorong, hampir berbareng, atau lebih tepat, Raja Pedang yang mendorong dulu karena dia yang menyerang, disusul dorongan lengan Kun Hong yang menyambutnya. Berkali-kali mereka saling dorong dengan pukulan jarak jauh, makin lama jarak di antara mereka semakin dekat.

"Kun Hong, hebat kau... aku atau kau penentuannya...," kata Raja Pedang terengah, namun wajahnya berseri gembira, kegembiraan seorang jagoan besar yang menemukan tanding yang seimbang.

"Terserah, Locianpwe...," kata Kun Hong agak terengah pula, sambil menggeser kedua kaki secara berbareng ke depan.

Kini ketika keduanya mengulurkan lengan, kedua pasang tapak tangan itu saling tempel. Kun Hong terkejut sekali karena kalau tadi tenaga dorongan Raja pedang merupakan tenaga yang keluar sehingga tiap kali dia tangkis maka dua tenaga bertentangan saling menendang, adalah sekarang dua telapak tangan Raja Pedang itu mengandung tenaga menyedot dan menempel!

Terpaksa dia mengerahkan seluruh tenaganya mempertahankan sehingga kedua orang itu kini berdiri setengah berjongkok dengan kedua lengan lurus ke depan, telapak tangan mereka saling tempel dan melekat. Dua tenaga raksasa saling betot dan kadang-kadang saling dorong melalui telapak tangan itu, dan keduanya terkejut karena ternyata tenaga mereka seimbang.

Kun Hong menjadi duka dan bingung sekali pada saat mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang agaknya sudah dihinggapi penyakit yang selalu menular pada ahli-ahli silat, yaitu bila menemui lawan seimbang timbul kegembiraannya dan sebelum ada ketentuan siapa lebih unggul, tak akan merasa puas.

la maklum bahwa Raja Pedang sudah menggabungkan tenaga Im Yang, maka dia pun terpaksa melakukan hal yang sama karena tidak ada kekuatan lain dapat menghadapi tenaga gabungan ini selain juga menggabungkan tenaga Im Yang di tubuhnya.

Namun dia maklum pula bahwa dengan cara mengadu tenaga seperti ini, mereka takkan dapat mundur lagi. Siapa mundur berarti celaka, karena andai kata dapat menghindarkan tenaga serangan lawan, namun tetap akan terpukul oleh tenaga sendiri dan menderita luka yang bisa membawa maut. Pengerahan tenaga gabungan Im Yang seperti ini hanya dapat disurutkan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, tetapi tidak mungkin ‘ditarik’ sekaligus tanpa mendatangkan luka hebat di dalam tubuh sendiri.

Kedua orang jago sakti itu seperti dua buah arca, sama sekali tidak tampak bergerak. Uap putih mengepul dari kedua pasang lengan dan makin lama uap itu makin banyak, terutama kini keluar dan kepala. Ini adalah tanda bahwa pengerahan sinkang mereka sudah memuncak dan keadaan menjadi kritis sekali. Keduanya maklum bahwa seorang di antara mereka pasti akan tewas.

Hui Kauw sudah sadar kembali. Seperti halnya Cui Sian, ia duduk dengan muka pucat. Sebagai orang-orang yang tahu akan ilmu silat tinggi, keduanya maklum apa yang terjadi di depan mata mereka. Baik Cui Sian mau pun Hui Kauw maklum bahwa dua orang itu sedang berada di ambang maut dan mereka maklum pula sepenuhnya bahwa mereka tidak dapat membantu, tidak dapat memisah karena tenaga sinkang mereka jauh lebih rendah. Turun tangan mencampuri ‘pertandingan’ yang aneh ini berarti mengirim nyawa secara sia-sia belaka.

Melihat betapa suaminya setengah berjongkok, dua matanya yang bolong itu terbelalak, kerut-merut di seluruh mukanya yang penuh keringat dan amat pucat, tiba-tiba Hui Kauw tidak dapat lagi menahan hatinya. Suaminya sedang berjuang dengan maut, dan hal itu dilakukan suaminya untuk menolong dan melindungi dirinya. Tak tertahankan lagi nyonya ini menangis tersedu-sedu dan menjatuhkan diri di atas tanah. la menangis seperti anak kecil hatinya penuh iba, penuh kegelisahan, dan penuh kasih sayang kepada suaminya.

Melihat keadaan Hui Kauw ini, Cui Sian tidak mampu pula menahan air matanya yang bercucuran keluar. la pun tahu apa artinya pertandingan ini dan timbullah rasa sesal di dalam hatinya. Bagaimana kalau ayahnya kalah dan tewas? Tentu selama hidupnya dia akan memusuhi Pendekar Buta suami isteri dan anaknya. Sebaliknya bagaimana kalau Pendekar Buta yang tewas dan kemudian ternyata bahwa suami isteri itu tidak berdosa? Cui Sian menjadi bingung dan tangisnya menjadi-jadi.

Keadaan yang amat menyeramkan dan menyedihkan. Di sana menggeletak mayat Kong Bu yang mulai membusuk sehingga mengotori kebersihan hawa udara hutan itu. Dan di sana dua orang jago sakti sedang mati-matian mengadu tenaga dan ilmu secara aneh. Tak jauh dari mereka, dua orang wanita menangis tersedu-sedu! Luar biasa!

Sunyi di hutan itu, kecuali sedu-sedan dua orang wanita dan dari jauh terdengar rintihan burung yang memanggil-manggil pasangannya yang tidak kunjung datang, serta suara bercicit anak monyet di gendongan induknya minta susu.

Beberapa menit kemudian, suara burung dan monyet tiba-tiba terhenti setelah terdengar kelepak sayap burung-burung beterbangan dan teriakan monyet-monyet melarikan diri bersembunyi. Inilah tanda bahwa ada sesuatu yang mengejutkan mereka.

Hanya saja kedua orang wanita itu masih menangis penuh kegelisahan sehingga mereka tidak memperhatikan keadaan sekeliling. Maka betapa kaget hati Cui Sian dan Hui Kauw ketika tiba-tiba muncul banyak sekali orang-orang yang mengurung tempat itu. Sedikitnya ada dua puluh lima orang, dipimpin oleh seorang nenek berpakaian serba merah yang memegang sebatang pedang telanjang.

Nenek ini bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio yang datang sambil tertawa-tawa gembira dan mulutnya tiada hentinya berkata, "Bagus... bagus... sekarang dua ekor binatang ini sudah masuk perangkap, tinggal menyembelih saja, hi-hi-hik!"

Di sebelahnya tampak seorang pendeta bertubuh tinggi bersorban, telinganya memakai anting-anting, kulitnya agak hitam, sedang hidungnya mancung sekali. Itulah dia pendeta Maharsi, pertapa dari barat yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) Ang-hwa Nio-nio. Pendeta barat ini didatangkan oleh Ang-hwa Nio-nio untuk dimintai bantuannya membalas dendam atas kematian kedua orang saudaranya.

Juga tampak Bo Wi Sianjin, tokoh dari Mongol yang bertubuh pendek dan gendut, tokoh sakti yang memiliki Ilmu Pukulan Katak Sakti, dan yang turun dari pegunungan di Mongol untuk mencari Raja Pedang dan membalaskan kematian suhengnya, Ka Chong Hoatsu.

Di samping tokoh-tokoh itu semua, dengan sikap yang tenang sekali dan amat dihormati oleh tokoh-tokoh lainnya, adalah seorang hwesio tinggi besar, usianya tua sekali, kedua matanya selalu meram, mukanya pucat tak berdarah seperti muka mayat dan bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada yang bidang serta berbulu di tengahnya, hwesio yang sangat sakti karena dia ini bukan lain adalah Bhok Hwesio, yaitu tokoh dari Siauw-lim-pai yang murtad!

Munculnya orang-orang ini mendatangkan rasa gelisah bukan main di hati Cui Sian dan Hui Kauw. Raja Pedang dan Pendekar Buta sedang bersitegang, tak dapat dipisah begitu saja, dan orang-orang yang datang ini jelas merupakan tokoh-tokoh ahli silat tinggi yang agaknya tahu pula akan keadaan dua orang itu.

Bagaikan mendengar komando, dua wanita yang telah terluka ini meloncat, menyambar pedang yang menancap di atas tanah. Hui Kauw mencabut Ang-hong-kiam sedangkan Cui Sian mencabut Liong-cu-kiam pendek, lalu keduanya bersiap membela suami dan ayah masing-masing.

Mata tajam terlatih Ang-hwa Nio-nio dan tiga orang temannya tentu saja dapat melihat bahwa nyonya Pendekar Buta itu telah terluka, bahkan puteri Raja Pedang memegang pedang dengan tangan kiri akibat tangan kanannya setengah lumpuh. Nenek berpakaian serba merah ini tertawa sambil berkata mengejek,

"Wah, ternyata betina-betina ini masih galak! Kalian lihat betapa kami akan membunuh dan menyiksa kedua orang musuh besar kami, kemudian datang giliran kalian berdua. Kong Bu sudah mampus, anak Pendekar Buta cucu Raja Pedang sudah rusak nama dan kehormatannya. Hi-hi-hik, alangkah nikmatnya pembalasanku!"

Tiba-tiba Hui Kauw berseru keras, "Kau yang mencuri Kim-seng-kiam!"

"Hi-hi-hik, dan kau bersama suamimu yang buta itu tidak tahu..."

Sekarang Hui Kauw maklum siapa yang melakukan semua fitnah itu. Dengan teriakan nyaring ia lalu menerjang maju, tidak mempedulikan betapa kesehatannya belum pulih. Teriakannya ini disusul oleh bentakan Cui Sian yang sekaligus juga dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi.

Kiranya semua kejadian itu diatur oleh musuh-musuh yang bekerja secara curang untuk membalas dendam kepada ayahnya dan kepada Pendekar Buta. Oleh karena itu, saking marahnya, dia melupakan sambungan tulang pundaknya yang terlepas dan menyerang dengan pedang di tangan kiri.

"Ho-ho-ho, galaknya!" Pendeta Maharsi menggerakkan tangannya yang panjang dan...

Hui Kauw yang lemah akibat terluka itu berseru kaget, tahu-tahu pedangnya telah dapat dirampas dan ia roboh terguling. Kiranya kakek ini telah memperlihatkan kepandaiannya membantu sumoi-nya dengan Pai-san-jiu, merampas pedang sekaligus merobohkan Hui Kauw. Andai kata Hui Kauw tidak sedang terluka dan gelisah memikirkan suaminya, kiranya pendeta barat itu tidak akan begitu mudah mengalahkannya, sungguh pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi.

Ada pun Cui Sian yang menyerang dengan pedang di tangan kiri, dihadapi oleh Ang-hwa Nio-nio yang sudah menghunus Hui-seng-kiam. Ilmu pedang Cui Sian sudah amat tinggi tingkatnya, maka biar pun lengan kanannya tak dapat dipergunakan, dengan tangan kiri dan pedang Liong-cu-kiam di tangan ia masih merupakan lawan yang berat.

Akan tetapi keadaan tubuhnya yang terluka itu tentu saja amat mengganggu gerakannya dan sebentar saja sinar pedang di tangan Ang-hwa Nio-nio telah mengurungnya. Dengan sekuat tenaga Cui Sian terus mempertahankan diri.

“Kok-kok-kok!” mendadak terdengar suara berkokok.

Pada detik itu pula Cui Sian lantas terlempar ke belakang sambil mengeluh, pedangnya terlepas dari tangan. la roboh dan pingsan, terkena pukulan Katak Sakti yang dilontarkan Bo Wi Sianjin yang membantu Ang-hwa Nio-nio.

Sekarang Ang-hwa Nio-nio dengan sikap beringas bagai harimau betina kelaparan, maju menghampiri Pendekar Buta dari belakang, dengan pedang di tangan. Di lain pihak, Bo Wi Sianjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng-nya, yaitu Ka Chong Hoatsu, menghampiri Raja Pedang. Keduanya melihat kesempatan yang sangat baik, selagi dua orang musuh besar itu saling libat dengan tenaga sinkang yang sukar dilepas begitu saja, untuk melakukan balas dendam mereka.

"Tan Beng San, mungkin kau tidak mengenalku. Aku adalah Bo Wi Sianjin dari Mongol, sengaja datang mencarimu untuk membalaskan kematian suheng Ka Chong Hoatsu."

"Tunggu dulu, Sianjin," Ang-hwa Nio-nio berkata sambil tertawa mengejek. "Kita harus bergerak berbareng, biarkan aku bicara dulu kepada musuhku, si buta sombong ini. Heh, Kwa Kun Hong, kau tentu masih ingat akan Ang-hwa Sam-cimoi, bukan? Nah, aku Kui Ciauw. Saat engkau menyusul arwah kedua orang saudaraku telah tiba." Setelah berkata demikian, Ang-hwa Nio-nio memberi isyarat kepada Bo Wi Sianjin untuk turun tangan.

"Curang!" Hui Kauw memaksakan diri meloncat dan menerjang Ang-hwa Nio-nio dengan pukulannya.

Akan tetapi tenaganya sudah lemah sedang bekas pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi tadi masih setengah melumpuhkan kaki tangannya, maka serangannya ini tidak ada artinya bagi Ang-hwa Nio-nio. Dengan mengibaskan tangan kirinya, Ang-hwa Nio-nio berhasil menangkis dan sekaligus menampar, tepat mengenai leher Hui Kauw sehingga nyonya ini terjungkal dan pingsan, tak jauh dari Cui Sian yang masih tak sadarkan diri.

Kembali Ang-hwa Nio-nio memberi isyarat. Betapa pun juga, agaknya dia masih memiliki rasa malu untuk menyerang Kun Hong dari belakang dengan pedangnya, tahu bahwa Pendekar Buta sedang dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Apa lagi Bo Wi Sianjin yang menyerang Raja Pedang juga bertangan kosong. Maka dia menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga memukul ke arah jalan darah pusat di punggung Kun Hong. Juga Bo Wi Sianjin mengerahkan tenaga memukul tai-hui-hiat Raja Pedang.

Pada saat kedua orang ini melakukan serangan curang dari belakang, terdengar Bhok Hwesio tertawa mengejek, bukan seperti orang tertawa biasa melainkan seperti suara seekor kerbau mendengus.

"Desssss...!" Pukulan yang disertai saluran tenaga Iweekang tinggi itu mengenai sasaran.

Terdengar jerit mengerikan dari mulut Ang-hwa Nio-nio dan pekik nyaring dari mulut Bo Wi Sianjin. Kedua orang ini tadi tepat memukul punggung kedua orang sakti yang sedang bertanding itu, akan tetapi akibatnya malah tubuh mereka yang terlempar ke atas dan ke belakang, kemudian terbanting roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Dari telinga, mulut, dan hidung mereka keluar darah merah!

Kun Hong dan Tan Beng San juga terguling-guling ke belakang. Ketika mereka berhasil bangkit berdiri, muka mereka pucat sekali dan nafas mereka terengah-engah, menggigit bibir menahan rasa nyeri. Mereka tadi telah tertolong dengan adanya penyerangan dari belakang.

Sejak orang-orang itu muncul dan mendengarkan ucapan-ucapan mereka, Raja Pedang menjadi kaget dan menyesal bukan main, juga marah bukan main. Demikian pula Kun Hong. Namun mereka tidak mungkin dapat saling membebaskan diri dari libatan-libatan tenaga sinkang mereka yang sudah saling betot dan saling gempur itu. Apa bila secara mendadak mereka merenggut lepas tenaga mereka, tentu mereka akan mengalami luka hebat yang berakibat maut. Keduanya lalu mengikuti gerak-gerik Bo Wi Sianjin dan Ang-hwa Nio-nio.

Bagaimana pun hancur hati mereka mendapat kenyataan betapa Hui Kauw dan Cui Sian jatuh bangun, mereka tetap tidak mampu membantu. Akhirnya mereka memiliki harapan yang sama, yaitu diserang lawan dari belakang. Baiknya dua orang lawan itu menyerang dengan tangan kosong.

Inilah kesempatan bagi mereka. Begitu merasa datangnya pukulan pada punggung, baik Kun Hong mau pun Raja Pedang masing-masing menerima tenaga dorongan lawan dan menggunakan tenaga ini untuk disalurkan ke belakang lewat punggung sekaligus tenaga itu mereka dapat saling gunakan untuk menghantam pukulan lawan dari belakang. Akibat adanya gangguan tenaga luar ini, mereka dapat saling membebaskan diri karena tenaga serangan masing-masing telah disalurkan oleh lawan dan mendapatkan sasaran berupa penyerang-penyerang itu.

Kesaktian macam ini tak dapat dilakukan oleh sembarang orang, dan biar pun Pendekar Buta dan Raja Pedang sendiri, sungguh pun berhasil merobohkan Ang-hwa Nio-nio dan Bo Wi Sianjin yang sakti sampai tewas dengan pukulan mereka sendiri, namun keduanya tidak luput dari luka dalam yang hebat!

Baik Ang-hwa Nio-nio mau pun Bo Wi Sianjin sama sekali tidak menyangka akan hal ini, bahkan Maharsi sendiri pun tak mengerti. Hanya Bhok Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang lihai itu tahu akan hal ini dan sudah menduganya, maka tadi dia mendengus mengejek kepada dua orang penyerang gelap itu.

Pada saat itu, dua puluh orang lebih para pengikut Ang-hwa Nio-nio marah bukan main melihat pemimpin mereka tewas. Dengan senjata pedang dan golok, mereka menerjang maju. Melihat Pendekar Buta serta Raja Pedang sudah terluka hebat, mereka menjadi besar hati dan menyerang kalang-kabut.

Akan tetapi, biar pun gerakan-gerakannya sudah amat lambat dan tenaga mereka sudah terbuang setengahnya lebih, namun menghadapi segala orang kasar ini tentu saja kedua pendekar sakti itu masih jauh lebih kuat. Setiap kali mereka berdua menggerakkan kaki atau tangan, tentu ada pengeroyok yang roboh dengan dada pecah atau kepala remuk.

Dalam kemarahan mereka, Pendekar Buta dan Raja Pedang mengamuk hebat sekali, tidak memberi ampun lagi kepada lawan-lawan mereka. Hal ini adalah tidak sewajarnya. Biasanya kedua orang pendekar sakti itu amat murah hati dan tidak mau sembarangan membunuh lawan. Sebabnya adalah karena mereka menyangka bahwa isteri dan anak mereka sudah tewas terbunuh musuh, maka kedukaan dan kemarahan yang bercampur aduk dengan penyesalan besar serta sakit hati membuat mereka menjadi ganas.

"Losuhu, kau tadi sudah tahu bahwa dua teman kita akan celaka. Mengapa kau hanya mendengus tetapi tidak mencegah mereka?" Sementara itu Maharsi bertanya penasaran kepada Bhok Hwesio, tidak mempedulikan anak buah Ang-hwa Nio-nio yang bagaikan sekelompok laron menyerbu api itu.

"Hemmm, mereka tolol, juga curang. Sudah sepantasnya mampus," jawab Bhok Hwesio.

la seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, biar pun dia tersesat dalam kejahatan, namun dia tetap seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan amat percaya akan kepandaian sendiri. Oleh karena itu Bhok Hwesio memandang rendah orang-orang yang berwatak curang. Semenjak Ang-hwa Nio-nio menggunakan siasat mengadu domba keluarga Raja Pedang dengan keluarga Pendekar Buta, dia sudah memandang rendah Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi seperti biasa, karena bukan urusannya, Bhok Hwesio tidak peduli.

Maharsi luar biasa mendongkol. Akan tetapi karena dia tahu bahwa menghadapi hwesio tinggi besar yang selalu meram ini dia tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk dapat melampiaskan kegemasan hatinya, dia hanya merengut saja dan memandang ke arah dua orang musuhnya. Diam-diam dia kaget dan juga kagum. Jelas bahwa dua orang itu sudah terluka hebat, malah besar kemungkinan takkan dapat hidup lagi. Akan tetapi seperti orang mencabuti rumput mudahnya, dua puluh tiga orang pengeroyoknya itu roboh malang-melintang bertumpang-tindih dan mati semua. Sebentar saja tidak ada lagi seorang pun pengeroyok yang masih hidup!

Raja Pedang melompat ke arah puterinya sedang Pendekar Buta menghampiri isterinya, tangannya meraba-raba untuk mencari-cari. Akhirnya ia menemukan tubuh isterinya dan segera melakukan pemeriksaan seperti yang dilakukan Raja Pedang terhadap puterinya.

"Syukurlah kau selamat, Hui Kauw...," terdengar suara Kun Hong terharu, kemudian dia menoleh ke arah Raja Pedang. "Bagaimana keadaan Cui Sian, Locianpwe?"

"Dia pun selamat, hanya terluka dan pingsan. Kun Hong, kita menghadapi dua orang lawan yang sangat tangguh... entah bagaimana aku akan dapat melawan mereka... aku terluka hebat..."

Raja Pedang tersedak dan cepat dia duduk bersila untuk mengatur nafas dan berusaha mengembalikan tenaganya. Akan tetapi dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa tenaganya lenyap setengahnya lebih dan dadanya terasa amat sakit. Terang bahwa tak mungkin dia dapat bertempur menghadapi lawan berat. Sedangkan dia tahu betul betapa saktinya Bhok Hwesio. Dalam keadaan sehat saja belum tentu dia mampu menandingi hwesio itu, apa lagi dalam keadaan terluka hebat seperti ini.

"Saya... saya pun terluka... Locianpwe..."

Kun Hong juga merasa dadanya sakit sekali, akan tetapi dia segera menghampiri Raja Pedang, lalu menempelkan tangannya pada punggung orang tua itu untuk memeriksa. Hatinya amat kaget mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang benar-benar terluka hebat. Tanpa ragu-ragu lagi dia segera mengerahkan sisa tenaga sinkang-nya untuk disalurkan melalui punggung dan membantu Si Raja Pedang.

Hawa hangat menjalar dari tangan Kun Hong sehingga rasa panas memenuhi dada Raja Pedang. Rasa sakit di sekitar jantungnya mendingan dan dia lalu menolak tangan Kun Hong dengan halus. "Cukup, Kun Hong. Terima kasih... kau sendiri lemah, jangan mengerahkan tenaga lagi. Kun Hong, kau... kau maafkan aku... sungguh-sungguh aku telah terburu nafsu seperti katamu..."

"Sudahlah, Locianpwe. Yang perlu sekarang bagaimana kita harus menghadapi mereka."

Raja Pedang lalu melompat bangun, memaksa diri bersifat gagah ketika dia melempar-lemparkan mayat para pengeroyok yang menghalang di depan kakinya. Dengan langkah tegap dia menghampiri Bhok Hwesio dan Maharsi, kemudian berdiri tegak dan bertanya dengan suara berwibawa. "Bhok Hwesio, sesudah segala kecurangan digunakan oleh pihakmu, sekarang kau mau apa lagi?" Pada ucapan yang sederhana ini terkandung nada menantang dan mengejek.

Mendengar suara menantang dan sikap yang gagah ini sejenak Bhok Hwesio tercengang dan ia membuka matanya untuk menatap penuh perhatian, mengira bahwa Raja Pedang itu telah dapat memulihkan tenaganya maka dapat bersikap segagah itu.

Akan tetapi pandang matanya segera mendapat kenyataan bahwa orang di depannya ini masih terluka hebat dan tenaganya tinggal sedikit lagi. la menghela nafas dan diam-diam merasa kagum sekali.

"Tan Beng San, segala macam urusan kotor yang dilakukan Ang-hwa Nio-nio tidak ada sangkut-pautnya dengan pinceng (aku). Pinceng datang mencarimu untuk membereskan perhitungan lama."

"Bhok Hwesio, dua puluh tahun yang lalu kau tersesat kemudian datang Thian Ki Losuhu yang menjadi suheng-mu dan membawamu kembali ke Siauw-lim-pai. Apakah selama dua puluh tahun ini kau belum juga dapat mengubah kesesatanmu?"

"Tan Beng San, kau sungguh bermulut besar. Karena kau, pinceng menderita puluhan tahun. Tapi sekarang kau telah terluka, sayang sekali. Tidak enak melawan orang sudah terluka parah, akan tetapi tidak bisa pinceng melepaskanmu begitu saja. Raja Pedang, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun sambil mengangguk tiga kali di depanku, baru pinceng mau melepaskanmu dan memberi waktu padamu untuk menyembuhkan lukamu, setelah itu baru kita bertanding melunasi perhitungan lama."

Tiada penghinaan bagi seorang pendekar silat yang lebih hebat dari pada menyuruhnya mengaku kalah dan berlutut minta ampun! Kalah atau menang dalam pertandingan bagi seorang pendekar adalah lumrah...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 16