Jaka Lola Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 12

Mendengar ejekan Siu Bi, Lee Si benar-benar makin marah. Ranting pohon di tangannya lantas menyambar dan mencambuki muka, leher dan tubuh Siu Bi yang tetap tersenyum-senyum dan memaki-maki. Biar pun dalam keadaan marah, Lee Si masih teringat untuk menahan diri sehingga pukulan-pukulannya dengan ranting pohon itu tidak akan sampai menewaskan Siu Bi.

"Apakah yang dia maksudkan?" kembali terdengar Cui Sian bertanya kepada Yo Wan.

Yo Wan menarik nafas panjang. Hatinya tidak karuan rasanya melihat keadaan Siu Bi demikian itu. Akan tetapi kalau teringat betapa lengan Swan Bu dibuntungi, dia sendiri pun menjadi sakit hati dan marah.

Maka biar pun di lubuk hatinya dia merasa tidak tega melihat Siu Bi dicambuki seperti itu, namun dia tidak mau mencegah Lee Si. la pun maklum akan keadaan perasaan hati Lee Si yang penuh dendam karena merasa pernah dihina dan dipermainkan Ang-hwa-pai, di mana Siu Bi juga menjadi anak buah atau kawan.

"Lee Si bersama Swan Bu pernah tertawan oleh Ang-hwa-pai yang menotok mereka dan menggunakan mereka untuk mengadu domba." Dengan singkat dia lalu menuturkan apa yang dia dengar dari Lee Si dan muka Cui Sian menjadi merah sekali.

"Hemmm, keji sekali. Gadis liar ini memang patut dihajar. Kalau saja aku tidak ingat dia dahulu pernah menolongku, tadi pun aku sudah membunuhnya. Sekarang Lee Si yang memuaskan dendamnya, biarlah."

Mereka berhenti bicara dan kembali memperhatikan Lee Si yang masih memaksa Siu Bi mengakui tipu muslihat keji dari Ang-hwa-pai. Muka dan leher Siu Bi telah penuh dengan jalur-jalur merah bekas sabetan, juga bajunya sudah robek sana-sini dan kulit tubuhnya matang biru.

"Kau masih tak mau mengaku? Keparat, apakah kau benar-benar ingin mampus?" Lee Si membanting ranting pohon yang sudah setengah hancur, lalu menginjak-injak ranting ini.

Sebagai puteri dari ayah bunda yang keras hati, tentu saja Lee Si memiliki dasar watak berangasan dan keras pula, walau pun gemblengan ayah bundanya membuat ia jarang sekali meluapkan kekerasannya dan menutupinya dengan sikap yang tenang, sabar dan halus budi.

Tiba-tiba Siu Bi tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening, sangat mengejutkan dan mengherankan hati Cui Sian serta Yo Wan. Dua orang ini diam-diam harus mengagumi ketabahan gadis liar itu, yang dalam keadaan tertawan dan tersiksa masih dapat tertawa seperti itu, tanda dari hati yang benar-benar tabah dan tidak kenal takut.

"Hi-hi-hik-hik, Lee Si, kau sungguh lucu! Kau tahu bukan aku orangnya yang melakukan segala tipu muslihat curang, akan tetapi kau terus memaksa-maksa aku mengaku. Apa kau kira aku tidak mengerti isi hatimu yang tak tahu malu? Hi-hi-hik, kau marah-marah dan benci kepadaku karena aku membuntungi lengan Swan Bu, betul tidak? Ihhh, tak usah kau pura-pura membelanya, kau bisa dekat dengannya hanya karena diusahakan orang. Tetapi dia cinta padaku, dengarkah kau? Dia cinta padaku, ahhh... dan aku cinta padanya..." Suara ketawa tadi kini terganti isak tertahan.

Wajah Lee Si sebentar pucat sebentar merah. Mendadak dia mencabut pedangnya dan membentak, "Perempuan rendah, perempuan hina, kau memang harus mampus!" lantas pedangnya diangkat dan dibacokkan ke arah leher Siu Bi.

"Tranggg...!"

Lee Si menjerit dan cepat meloncat ke kiri karena pedangnya telah tertangkis dan hampir saja terlepas dari tangannya. la memandang heran kepada Yo Wan dan sempat melihat pemuda itu menyimpan pedang dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, hampir tidak tampak.

"Yo-twako... kenapa kau...?”

"Adik Lee Si, sabarlah. Tidak baik membunuh lawan dengan darah dingin secara begitu, apa lagi dia sudah tertawan dan tadi kau sudah lepaskan amarahmu kepadanya. Siu Bi, kau tutuplah mulutmu, jangan menghina orang."

"Hi-hi-hik, kau Jaka Lola, Yo Wan yang berhati lemah. Alangkah lucunya! Setiap bertemu gadis cantik kau menjadi pelindung, laki-laki macam apa kau? Hayo kau bunuh aku kalau memang jantan!"

Yo Wan menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang kau terjerumus begini dalam, Siu Bi, sungguh sayang...! Aku takkan membunuhmu, kau boleh pergi dan jangan mengganggu kami lagi..." Yo Wan melangkah maju, tangannya meraih hendak membebaskan Siu Bi dari cabang pohon.

"Yo-twako, tahan dulu...!" Tiba-tiba Cui Sian melangkah mendekat. "Apakah kau hendak membebaskannya begitu saja? Itu tidak adil namanya!"

Yo Wan menoleh dan alangkah herannya melihat sinar mata gadis cantik ini luar biasa tajam menentangnya, seolah-olah sinar mata itu mengandung hawa amarah kepadanya. la benar-benar tidak mengerti, dengan pandang matanya dia berusaha menyelidik isi hati Cui Sian dan tiba-tiba wajah Yo Wan berseri.

Mungkinkah ini? Mungkinkah Cui Sian merasa cemburu kepada Siu Bi? Ahh, alangkah sulit dipercaya. Tak mungkin matahari terbit dari barat, tak mungkin puteri Raja Pedang... cemburu dan marah melihat dia membebaskan Siu Bi yang dapat dianggap tanda cinta kasih.

Sepasang pipi halus itu tiba menjadi merah. Cui Sian nampak gugup ketika melanjutkan kata-katanya setelah beradu pandang tadi. "Dia... dia telah membuntungi lengan tangan Swan Bu! Sebaiknya kita serahkan kepada Swan Bu sendiri bagaimana keputusannya terhadap gadis liar itu. Bukankah kau pikir begitu seadilnya, Twako?"

Yo Wan mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya yang hitam. "Betapa pun juga, kalau Sute kehilangan lengannya dalam sebuah pertempuran, aku akan menasehatinya agar jangan dia membalas secara begini. Bukan perbuatan gagah."

Terdengar Swan Bu mengerang dan mereka bertiga segera menghampiri pemuda itu. Girang hati mereka karena kini tubuh Swan Bu tidak begitu panas lagi dan pemuda itu sudah siuman, menyeringai kesakitan ketika menggunakan lengan kiri untuk menunjang tubuhnya.

"Auhhh... hemmm, bibi Cui Sian, dan..." wajahnya menjadi merah sekali. "...dan kau, Lee Si Moi-moi..." la tertegun menatap wajah Yo Wan yang berdiri dan tersenyum kepadanya. Sampai lama mereka berpandangan, kemudian Swan Bu melompat berdiri.

"Kau... kau...?"

Yo Wan mengangguk-angguk dan tersenyum, hatinya terharu. "Sute..."

"Kau Yo Wan... ehh, Yo-suheng!" Dan keduanya berangkulan.

Pada waktu mereka berangkulan itu, Swan Bu langsung melihat ke arah Siu Bi yang tergantung di cabang pohon, yang kebetulan berada di sebelah belakang Yo Wan.

"Ehh... dia... dia kenapa...?" berkata gagap sambil merenggut diri dari rangkulan Yo Wan.

"Aku tadi telah menangkapnya, Swan Bu, dan kami menanti keputusanmu. Setelah dia membuntungi lenganmu dan dia sekarang sudah tertawan, apa yang akan kita lakukan kepadanya?" kata Cui Sian.

Swan Bu melangkah maju tiga tindak seperti gerakan orang linglung, matanya menatap tajam kepada Siu Bi. Tanpa bertanya dia maklum apa yang telah terjadi, melihat muka dan leher gadis itu penuh dengan jalur-jalur merah, rambutnya terlepas dan diikatkan di cabang pohon, pakaiannya robek-robek bekas cambukan.

Hatinya trenyuh, ingin dia lari memeluknya, cinta kasihnya tercurah penuh kepada gadis itu. Akan tetapi dia teringat akan kehadiran Lee Si, Cui Sian, dan juga Yo Wan. Suatu ketidak mungkinan besar bila dia memperlihatkan cinta kasih kepada gadis musuh besar yang baru saja membuntungi lengannya! Tak mungkin!

"Swan Bu," kata Cui Sian melihat sikap pemuda itu seperti orang linglung yang ia kira tentu karena demam, ”katakan, apa yang harus kita lakukan terhadapnya? Lenganmu ia bikin buntung secara bagaimana? Kalau dia berlaku curang, sepatutnya bila ia dihukum dan..."

"Tidak, Bibi, bebaskan dia! Aku terbuntung dalam pertempuran. Bebaskan dia, aku tidak ingin melihatnya lebih lama lagi!"

Yo Wan yang memang mengharapkan Siu Bi dibebaskan, segera bergerak dan dalam waktu beberapa detik saja, rambut itu sudah terlepas dari cabang, dan jalan darah Siu Bi sudah normal kembali.

Siu Bi membiarkan rambutnya terurai, dan berdiri seperti patung, menatap wajah Swan Bu. Air matanya menitik turun berbutir-butir, tapi bibirnya tersenyum, "Swan Bu, selamanya aku akan menantimu..." Setelah berkata demikian, gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak lupa menyambar pedang Cui-beng-kiam yang menggeletak di situ.

"Ahhh...!" Swan Bu mengeluh dan dia tentu akan terguling kalau saja Cui Sian tidak cepat menangkapnya. Ternyata Swan Bu sudah pingsan kembali!

Cui Sian dan Lee Si mengira bahwa keadaan pemuda ini karena demam dan lukanya. Akan tetapi diam-diam Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Dia dapat menduga sedalam-dalamnya. Tidak mungkin seorang gadis seperti Siu Bi dapat mengalahkan Swan Bu dalam sebuah pertempuran, apa lagi membuntungi lengannya. Akan tetapi, Swan Bu sengaja mengaku bahwa lengannya buntung dalam pertempuran! Ini saja sudah membuka rahasia bahwa Swan Bu jatuh cinta kepada Siu Bi.

"Hemmm, seyogyanya gadis liar seperti itu tidak boleh dibebaskan...," Cui Sian berkata sambil menidurkan Swan Bu ke atas tanah.

"Sian-moi, tadi kau dengar sendiri Swan Bu menghendaki demikian dan kurasa sekarang yang terpenting bukan hal itu. Aku dan adik Lee Si sudah naik ke Liong-thouw-san, akan tetapi suhu dan subo ternyata tidak berada di sana, agaknya baru beberapa hari pergi meninggalkan puncak, tidak tahu ke mana mereka itu pergi. Urusan yang menyangkut nama baik adik Lee Si dan sute bukan hal main-main, kurasa kemarahan Tan Kong Bu Lo-enghiong takkan mudah dipadamkan jika tak ada bukti yang membuka rahasia fitnah dan tipu muslihat kaum Ang-hwa-pai. Karena itu, harap Sian-moi suka merawat Swan Bu dan sekarang juga aku akan mengantarkan adik Lee Si ke Kong-goan, hendak kucoba mencari Ang-hwa Nio-nio dan menundukkannya, memaksanya untuk membuka rahasia itu, jika mungkin di depan Tan-loenghiong sendiri, atau setidaknya di depan orang-orang tua kita."

Cui Sian mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang melengkung indah. "Aku tahu watak Kong Bu koko sangat keras. Kata ayah seperti baja. Akan tetapi dia juga tidak dapat disalahkan jika sekarang marah-marah karena apa yang dilihatnya memang merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi seorang gagah."

"Itulah yang amat menggelisahkan hatiku, Bibi." kata Lee Si. "Pada waktu itu aku berada dalam keadaan tertotok, tak dapat bergerak, sudah kucoba memanggil ayah, akan tetapi dia terlalu marah dan musuh yang menjalankan tipu muslihat terlampau pandai. Memang nasibku yang buruk..."

Lee Si menangis dan tak seorang pun tahu bahwa tangisnya ini sebagian besar karena menyaksikan sikap Siu Bi tadi. Terutama sekali karena Swan Bu malah membebaskan dan seakan-akan mengampuni gadis yang telah membuntungi lengannya!

"Sudah, tenanglah, Lee Si. Dengan didampingi twako yang akan mengurus penjernihan persoalan ini, kurasa segalanya akan berhasil baik."

"Sian-moi, kau lebih mengerti mengenai pengobatan dari pada aku, kalau tidak demikian agaknya akulah yang seharusnya merawat sute dan kau menemani adik Lee Si. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti bagaimana harus merawatnya sampai sembuh, kalau salah perawatan bisa berbahaya..."

"Tidak apa, Yo-twako. Sudah sepatutnya aku merawat Swan Bu. Kau berangkatlah."

Yo Wan sebetulnya merasa berat untuk segera berpisah setelah pertemuan yang tidak terduga-duga ini. Akan tetapi tugas lebih penting dari pada perasaan pribadi, maka dia pun lalu berangkatlah bersama Lee Si. Dengan gadis ini di sampingnya, tentu saja perjalanan tak dapat dilakukan secepat bila dia pergi seorang diri. Baiknya Lee Si bukan gadis lemah, dan ilmu lari cepatnya boleh juga sehingga tidaklah akan terlalu lambat.

Tidak demikian dengan Cui Sian. Setelah Swan Bu siuman kembali, ia segera mengajak pemuda ini melakukan perjalanan perlahan dan lambat, mencari sebuah dusun atau kota di mana mereka akan dapat beristirahat dan ia dapat mencarikan ramuan obat untuk pemuda itu.

Swan Bu jarang bicara, kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan Cui Sian. Pemuda ini kelihatan termenung, akan tetapi sama sekali tidak memikirkan lengannya yang buntung. Untuk kedua kalinya, Cui Sian mendengar cerita seperti yang ia dengar dari penuturan Yo Wan, yaitu tentang tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai di kota Kong-goan.

"Kong Bu koko tentu marah sekali. Dia terlalu polos untuk dapat menduga bahwa semua itu hanya fitnah yang sengaja diatur dan direncanakan oleh musuh." Cui Sian menarik nafas panjang.

Mereka bercakap-cakap sambil berjalan perlahan-lahan, keluar dari dalam hutan setelah melakukan perjalanan sepekan lamanya. Selama itu, mereka hanya melalui gunung dan hutan, tidak pernah melihat dusun. Atas kehendak Swan Bu, walau pun lambat, mereka melakukan perjalanan menuju ke Kong-goan menyusul Yo Wan dan Lee Si.

"Itulah yang menggelisahkan hatlku, Sukouw. Paman Kong Bu pasti akan marah sekali, dan mendengar suaranya pada saat itu, aku yakin bahwa dia tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuhku. Kalau sampai aku bertemu dengan dia dan paman Kong Bu bersikeras hendak membunuhku, bagaimana aku berani melawan dia? Aku cukup maklum betapa pedihnya urusan ini baginya... dan aku tidak tahu bagai mana harus mengatasinya."

“Jangan khawatir. Kurasa betul Yo-twako, bahwa jalan satu-satunya hanya memaksa mereka yang melakukan fitnah untuk mengaku di depan Kong Bu koko, dan aku percaya betul Yo-twako akan dapat membereskan hal ini."

Biar pun keadaannya seperti itu, diam-diam Swan Bu tersenyum dan mengerling ke arah wajah gadis di sampingnya itu. "Sukouw, hebat betulkah kepandaian Yo-suheng? Dulu ketika aku masih kecil, dia sudah amat hebat akan tetapi jika aku ingat betapa dulu aku pernah memanahnya, ahhh... dan sekarang dia mati-matian hendak membela namaku, sungguh aku merasa malu!"

"Kau... memanahnya?"

Swan Bu tersenyum masam. "Aku masih kanak-kanak dan sangat manja, kurasa tidak ada orang yang dapat melawanku ketika itu."

la lalu menceritakan kejadian pada waktu dia masih anak-anak dan dengan orang tuanya berada di puncak Hoa-san. Lalu datang ketua Sin-tung Kaipang yang hendak mencari perkara, dan muncullah Yo Wan yang biar pun sudah terpanah pundaknya oleh Swan Bu, namun masih berhasil mengusir semua musuh.

Cui Sian kagum bukan main dan semakin besarlah perasaan mesra terhadap Yo Wan bersemi di hatinya.

"Hebat dia," katanya tanpa menyembunyikan perasaannya, "dan dia sama sekali tidak marah ketika itu! Sekarang pun dia sama sekali tidak menaruh dendam, malah berusaha untuk membersihkan namamu. Swan Bu, aku percaya, seorang gagah seperti dia pasti akan mampu membereskan urusanmu ini."

"Mudah-mudahan, Sukouw. Akan tetapi, apakah paman Kong Bu mau menerima begitu saja, entahlah. Keadaan adik Lee Si ketika itu memang... memang... ahhh, kasihan dia, tentu saja sebagai seorang gadis terhormat ia merasa amat terhina."

Cui Sian termenung, lalu tiba-tiba ia berkata, "Memang sukar menghapus luka itu, baik dari hati Lee Si mau pun dan hati Kong Bu koko, kehormatan mereka tersinggung hebat dan kiranya hanya ada satu jalan untuk menebusnya Swan Bu."

"Jalan apakah itu, Sukouw?"

"Tiada lain, kau menikah dengan Lee Si!"

Wajah pemuda itu seketika menjadi merah sekali, dan dia kaget bukan main.

"Tidak... tidak mungkin..."

Cui Sian sudah berhenti melangkah dan sekarang mereka berdiri berhadapan. Swan Bu menundukkan mukanya.

"Swan Bu, aku tahu bahwa kau mencinta Siu Bi, bukan?" Suaranya amat tajam, seperti juga pandang matanya.

Swan Bu mengangkat muka, tak tahan melihat pandang mata tajam penuh selidik itu dan dia menunduk kembali, hatinya risau. Ingin mulutnya membantah, akan tetapi tak dapat dia mengeluarkan kata-kata karena tahu bahwa apa bila dia memaksa bicara, suaranya akan sumbang dan gemetar, juga akan bohong, tidak sesuai dengan suara hatinya.

"Swan Bu, aku tak akan menyalahkan orang mencinta, sungguh pun harus diakui bahwa cintamu tidak mendapatkan sasaran yang benar kalau kau memilih Siu Bi. Dia seorang gadis liar yang rusak oleh pendidikan keliru, dan dia sudah membuntungi lenganmu!"

Dengan suara datar dan lirih Swan Bu berkata, "Dia hanya memenuhi sumpahnya untuk membalas dendam kakeknya."

Cui San menarik nafas panjang. "Betapa pun juga, dunia kang-ouw akan mentertawakan engkau kalau kau memilih Siu Bi, dan hal ini akan berarti merendahkan derajat orang tuamu. Dengan mengawini Lee Si, tidak saja kekeluargaan akan menjadi semakin erat, juga kau membersihkan nama Kong Bu koko, orang tuamu tentu bangga, orang tua Lee Si bangga, dan segalanya berjalan baik serta semua orang menjadi puas. Swan Bu, seorang satria sanggup mengorbankan apa saja demi untuk kehormatan keluarga dan demi membahagiakan semua orang. Lee Si adalah seorang dara yang cantik jelita, dan kiraku tidak kalah oleh Siu Bi, juga dalam ilmu kepandaian, kurasa tidak kalah jauh. Aku bersedia menjadi perantara karena aku adalah bibi dari Lee Si."

Swan Bu terdesak hebat oleh kata-kata Cui Sian yang memang tepat. "Baiklah hal itu kita bicarakan lagi kelak, Sukouw. Kalau memang tak ada jalan lain, aku tidak merasa terlalu tinggi untuk menjadi suaminya, apa lagi... apa lagi melihat lenganku yang telah buntung. Apakah adik Lee Si tidak jijik melihat seorang yang cacad seperti aku?"

Sebelum Cui Sian sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi. Suara itu terdengar lapat-lapat dari tempat jauh.

"Ada pertempuran di sana!" kata Cui Sian. "Biar kulihat!" la segera melesat dengan cepat sekali, berlari ke arah suara tadi.

Swan Bu yang sudah agak mendingan, berlari mengejar. Akan tetapi karena dia belum berani mengerahkan ginkang, dia berlari biasa dan tertinggal jauh. Suara melengking tadi sudah tak terdengar lagi, maka Swan Bu hanya berlari ke arah menghilangnya bayangan Cui Sian yang memasuki sebuah hutan kecil.

Beberapa menit kemudian, dia tiba di sebuah lapangan rumput dan alangkah kagetnya ketika dia melihat Cui Sian berlutut sambil menangisi tubuh seorang laki-laki yang rebah tak bergerak, sebatang pedang terhujam di dadanya sampai tiga perempat bagian. Jelas bahwa laki-laki itu sudah tewas, terlentang dan mukanya tertutup tubuh Cui Sian yang berguncang-guncang menangis. Hati Swan Bu berdebar tidak karuan, dia mempercepat larinya mendekati.

"Paman Kong Bu...!" Swan Bu berseru keras dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat Cui Sian. "Sukouw, apa yang terjadi...?"

Dengan suara mengandung isak, Cui Sian menjawab, "Aku tidak tahu... tadi aku datang terlambat, dia sudah menggeletak seperti ini... tidak tampak orang lain... ah, koko... tidak dinyana begini nasibmu..."

Tiba-tiba Swan Bu menjerit kemudian melompat bangun. Cui Sian kaget dan cepat-cepat memandang. la melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak lebar dan tangan kanannya menutupi depan mulut, akan tetapi tetap saja mulutnya mengeluarkan kata-kata terputus-putus, "... tak mungkin ini... tak mungkin... pedang... Kim-seng-kiam..."

Cui Sian mengerutkan kening dan memandang ke arah pedang yang menancap di dada kakaknya. Pada gagang pedang itu tampak ukiran sebuah bintang emas, agaknya sebab itulah maka namanya Kim-seng-kiam (Pedang Bintang Emas).

"Swan Bu, kau mengenal pedang itu, pedang siapakah?" tanyanya, suaranya kereng dan sekarang tangisnya sudah terusir pergi, yang ada hanya kepahitan dan rasa penasaran terbungkus kemarahan.

"Kim-seng-kiam... pedang ibuku..., tapi tak mungkin ibu..."

Dagu yang manis runcing itu mengeras, sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar berapi. "Hemm, hemm, apanya tidak mungkin? Kakakku menemui ayah bundamu, minta pertanggungan jawab, salah paham dan bercekcok terus bertanding, kakakku mana bisa menangkan ayah bundamu? Hemmm, hemmm betapa pun juga, aku adiknya hendak mencoba-coba, mereka tentu belum pergi jauh!” Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu berkelebat pergi sambil menghunus pedangnya.

"Sukouw...!" Akan tetapi Cui Sian tidak menjawab.

"Sukouw, tunggu dulu! Tak mungkin ibu..." Akan tetapi kini Cui Sian sudah lenyap dari pandang matanya.

Swan Bu sendiri dengan hati berdebar-debar terpaksa harus mengaku bahwa dia sendiri kini merasa ragu-ragu, apakah benar ibunya tidak mungkin melakukan pembunuhan ini? Ibunya penyabar, akan tetapi jika paman Kong Bu memaki-maki sesuai dengan wataknya yang keras dan kasar, tentu ibunya akan marah pula, mereka bertempur memperebutkan kebenaran anak masing-masing dan... ahhh, mungkin saja berakibat begini.

"Ah, paman Kong Bu, mengapa begini...?" la memeluk tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan menangis saking bingungnya.

Kemudian, sambil menekan kedukaan hati, Swan Bu mengerahkan seluruh tenaganya, sedapatnya dia menggali lubang mempergunakan pedang Kim-seng-kiam yang ia cabut dari dada jenazah pamannya. Kemudian, sesudah bekerja setengah hari dengan susah payah, dia berhasil mengubur jenazah itu yang dia beri tanda tiga buah batu besar di depannya. Dan akhirnya, dengan tubuh lelah dan hati hancur, pemuda ini menyeret kedua kakinya berjalan terhuyung-huyung. Pedang Kim-seng-kiam masih di tangannya….
cerita silat karya kho ping hoo

Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, menuruni Liong-thouw-san dengan hati gelisah. Mereka melakukan perjalanan cepat, akan tetapi karena perjalanan itu amat jauh dan mereka di sepanjang jalan mencari keterangan tentang putera mereka, maka lama juga baru mereka sampai di luar kota Kong-goan. Kota itu kira-kira berada dalam jarak lima puluh li lagi saja, dan karena hari amat panas, maka keduanya beristirahat dalam hutan pohon liu yang indah dan sejuk hawanya. Kun Hong bersandar pada sebatang pohon. Hatinya yang risau oleh urusan puteranya itu dia tekan dengan duduk bersiulian menghilangkan segala macam pikiran keruh.

Hui Kauw tak pernah dapat melupakan puteranya semenjak mereka turun gunung, dan pada saat itu ia pun duduk termenung dalam bayangan pohon. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan memandang ke depan. Dari depan ada orang datang, seorang wanita muda yang jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Hui Kauw tertarik sekali. Ia menahan seruannya ketika melihat gadis itu terguling! Cepat Hui Kauw melompat-lompat ke arah gadis itu dan kembali ia menahan seruannya.

Gadis ini masih muda, lagi cantik jelita. Akan tetapi muka dan lehernya penuh jalur-jalur bekas cambukan, pakaiannya banyak yang robek, juga bekas terkena cambuk. Agaknya gadis ini baru saja mengalami siksaan.

"Kasihan..." Hui Kauw berkata.

Tanpa ragu-ragu dia lalu memondong tubuh itu dan membawanya kembali ke tempat semula. Dia dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang lemah, terbukti dari sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya.

"Siapakah dia?" Kun Hong bertanya.

"Entahlah, seorang wanita muda, tubuhnya penuh luka bekas cambukan, dia pingsan," jawab Hui Kauw.

Tanpa diminta Kun Hong menjulurkan tangan meraba dahi, pundak, dan pergelangan tangan.

"Luka-lukanya tidak ada artinya, hanya luka kulit, akan tetapi dia terserang hawa nafsu kemarahan dan kedukaan sehingga mempengaruhi limpa dan hati, membuat hawa Im dan Yang di dalam tubuh tidak berimbang, hawa Im membanjir. Karena itu, kau bantulah dengan Yang-kang pada punggungnya."

Hui Kauw sebagai isteri Pendekar Buta tentu saja sedikit banyak sudah tahu akan ilmu pengobatan dan sudah biasa dia membantu suaminya. Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menempelkan telapak tangan kanan di punggung gadis itu dan mengerahkan Yang-kang disalurkan ke dalam tubuh si sakit melalui punggungnya. Tepat cara pengobatan ini. Tak sampai seperempat jam, gadis itu sudah siuman kembali dan jalan pernafasannya tidak memburu seperti tadi, malah akhirnya ia membuka kedua matanya, menggerakkan kepala memandang ke kanan kiri.

"Tenang dan kau berbaring saja, Nak. Biar kuobati luka-lukamu," kata Hui Kauw sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk.

Gadis itu meringis kesakitan, akan tetapi membiarkan Hui Kauw mengobatinya.

"Mula-mula memang perih rasanya, akan tetapi sebentar pun akan sembuh," kata Hui Kauw. Memang ucapannya ini betul karena hanya sebentar gadis itu merintih, kemudian kelihatan tenang.

"Terima kasih, cukuplah. Kau baik sekali, Bibi..." Gadis itu bangkit duduk dan pada waktu dia menoleh ke kiri memandang Kun Hong, wajahnya berubah dan dia nampak kaget.

"Siapa dia...?"

Hui Kauw tersenyum. "Jangan khawatir, dia itu hanya suamiku. Kau kenapakah, tubuhmu bekas dicambuki dan kau kelihatan berduka, marah, dan mudah kaget. Siapakah kau?"

Gadis itu menengok ke kanan kiri seakan-akan ada yang dicari dan ditakuti, kemudian ia berkata, "Aku belum tahu siapakah kalian ini, bagaimana aku berani bicara mengenai diriku?"

Kembali Hui Kauw tersenyum, dia sama sekali tidak marah melihat kecurigaan gadis itu. Agaknya gadis ini telah banyak menderita dan menjadi korban kejahatan hingga mudah menaruh curiga terhadap orang lain.

"Jangan khawatir, anak manis. Kami bukanlah orang jahat, dia itu suamiku bernama Kwa Kun Hong dan aku isterinya... he, kenapa kau...?" Hui Kauw terheran-heran melihat gadis itu melompat dan mukanya pucat.

"Aku... aku takut kalau... kalau mereka mengejar..."

"Jangan takut, apa bila ada orang jahat mengganggumu, kami akan membantumu," Kun Hong berkata, suaranya halus, tetapi diam-diam hatinya menduga-duga. "Kau siapakah dan siapa pula mereka yang mengancam keselamatanmu?"

Gadis itu duduk kembali, memandang bergantian kepada Kun Hong dan isterinya. "Aku Ciu Kim Hoa, dan mereka itu musuh-musuhku."

"Siapa mereka dan apakah yang terjadi? Mengapa kau bermusuhan dengan mereka?" tanya Hui Kauw.

Sekarang gadis itu terlihat tenang. la duduk dan menarik nafas beberapa kali, kemudian ia bercerita, suaranya perlahan dan agaknya keraguannya lenyap. "Aku seorang yang yatim piatu, hidup sebatang kara. Keluargaku habis dengan meninggalkan musuh besar, musuh keturunan yang harus kubalas. Aku mencarinya dan bertemu, tapi... tapi... aku tidak dapat benci kepadanya, betapa pun juga... aku harus melaksanakan balas dendam. Baru saja berhasil sebagian, aku lalu dikeroyok... dan ditawan, dicambuki serta disiksa. Akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan lari sampai di sini." Dia menengok lagi ke sana ke mari, tampak ketakutan. "Aku tahu mereka tentu akan mengejarku, dan aku tidak berani pergi seorang diri..."

Hui Kauw mengerutkan kening. Di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan, banyak terjadi pertandingan dan darah mengalir, semuanya hanya karena dendam mendendam yang tiada habisnya.

"Kau perlu menenangkan hati dan memulihkan tenaga, Kim Hoa. Biarlah semalam ini kau bersama kami agar kami dapat mencegah musuh-musuhmu mencelakaimu. Bila sampai besok tidak ada yang mengejarmu, baru kau melanjutkan perjalanan."

"Terima kasih, Bibi. Kau baik sekali."

Gadis itu masih kelihatan gelisah, akan tetapi ia tidak banyak bicara. Hanya menjawab kalau ditanya, itu pun singkat saja. la pun tidak menolak ketika Kun Hong dan Hui Kauw memberi roti kering dan minum kepadanya, dan juga tidak membantah ketika matahari sudah agak menurun, suami isteri itu mengajaknya melanjutkan perjalanan.

Atas pertanyaan, gadis itu menjawab bahwa hendak pergi ke kota raja di mana katanya berdiam seorang pamannya. Karena jalan menuju ke kota raja melewati kota Kong-goan, maka Hui Kauw mengajak gadis itu melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi tentu saja Hui Kauw tak menghendaki gadis ini mengetahui urusan apa yang sedang diselidikinya di Kong-goan. Oleh karena itu, pada sore harinya ia dan suaminya mengajak gadis itu berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah, di luar kota Kong-goan. Jika besok pagi tidak terjadi sesuatu, ia akan menyuruh gadis ini melanjutkan perjalanan sendiri.

Malam itu hawanya amat dingin, jauh berbeda dengan siang tadi. Gubuk atau pondok itu adalah pondok yang didirikan oleh tuan tanah untuk menampung hasil panen tiap tahun, hanya berupa sebuah pondok bambu yang berlantai batang padi kering. Bagi mereka yang lelah, tempat ini amatlah nyaman untuk beristirahat melewatkan malam yang dingin. Batang-batang padi kering itu hangat dan empuk, dinding bambu meski pun reyot dapat menahan sebagian angin yang bertiup dingin.

Kegelisahan hati, kelelahan, ditambah dengan dinginnya hawa membuat Pendekar Buta dan isterinya tidur nyenyak menjelang tengah malam. Orang yang berhati gelisah, atau susah menjadi lelah sekali, dan memang sukar tidur, apa bila tidur sudah menguasainya, dia akan nyenyak sekali dan agaknya dalam ketiduran inilah segala kegelisahan, segala kelelahan, lenyap tanpa bekas.

Suami isteri ini tidur pulas di salah satu sudut pondok bambu. Kun Hong tidur telentang, nafasnya panjang-panjang berat, sedangkan Hui Kauw tidur miring menghadapi tubuh suaminya, nafasnya halus tidak terdengar.

"Bibi...!" Hening tiada jawaban.

"Paman...!" Juga kesunyian mengikuti panggilan ini.

Siu Bi bangkit perlahan. Dia tadi rebah di sudut lain, tanpa pernah meramkan matanya. Setelah duduk, kembali ia memanggil suami isteri itu, menyebut mereka paman dan bibi, malah kali ini suaranya agak dikeraskan. Akan tetapi sia-sia, tidur mereka agaknya amat nyenyak sehingga tidak mendengar panggilannya.

la menahan nafas lalu bangkit berdiri dan mengerahkan seluruh tenaga ke arah matanya untuk memandang. Bulan di luar pondok bersinar cemerlang, cahayanya yang redup dan dingin menerobos di antara celah-celah atap dan dinding yang tak rapat, memberi sedikit penerangan ke dalam pondok. Siu Bi dapat melihat suami isteri itu tidur.

Pendekar Buta telentang, isterinya miring menghadapinya. Jantungnya lantas berdebar keras dan tangan kanannya bergerak meraba gagang pedang. Kesempatan yang amat baik, pikirnya. Kesempatan baik untuk melaksanakan sumpahnya, menuntaskan dendam kakeknya! Sepasang matanya beringas dan nafasnya agak terengah.

Mudah sekali. Hanya datu kali bacok selagi mereka tidur nyenyak dan... lengan mereka akan buntung! Benar-benar suatu hal yang sama sekali tak pernah dia mimpikan bahwa akhirnya dia akan dapat bertemu dengan musuh-musuh ini dalam keadaan sedemikian menguntungkannya. Agaknya arwah kakeknya sendiri yang menuntunnya sehingga dia dapat bertemu dengan mereka, dapat tidur sepondok dan mendapat kesempatan begini baik.

"Singgg…!" Pedang Cui-beng-kiam telah dicabutnya.

Siu Bi kaget sendiri mendengar suara ini. Cepat-cepat dia memandang ke sudut itu dan telinganya mendengarkan. Akan tetapi, suami isteri itu tidak bergerak, juga pernafasan mereka masih biasa, tidak berubah.

Dia berpikir sebentar. Salah, pikirnya dan pedang itu dia masukkan kembali ke sarung pedang. Dia tak bermaksud membunuh mereka, melainkan membuntungi lengan mereka yang kiri.

Akan tetapi dia teringat bahwa biar pun lengan mereka sudah buntung, agaknya kalau mereka sadar, dia tidak mungkin dapat menghadapi mereka yang memiliki kesaktian luar biasa. Membuntungi seorang di antara mereka tentulah menimbulkan pekik dan mereka terbangun, lalu dialah yang akan celaka di tangan mereka. Tidak, bukan begini caranya! Harus lebih dulu membuat mereka tidak berdaya.

Ada sepuluh menit Siu Bi berdiri termangu-mangu, memeras otak mencari keputusan yang tepat. Tubuhnya tadi agak menggigil karena tegang, akan tetapi sekarang ia sudah berhasil menekan perasaannya dan menjadi tenang. la amat memerlukan ketenangan ini, karena apa yang akan ia lakukan adalah soal mati hidup.

la menghadapi suami isteri yang terkenal sebagai orang-orang sakti di dunia persilatan. Nama Pendekar Buta menggegerkan dunia kang-ouw, bahkan orang-orang sakti seperti Ang-hwa Nio-mo dan kawan-kawannya merasa gentar menghadapi Pendekar Buta dan harus menghimpun banyak tenaga sakti untuk menghadapinya. Dan sekarang, sekaligus dia menghadapi suami isteri itu dalam keadaan yang amat menguntungkan!

Siu Bi membiasakan dulu pandang matanya di dalam pondok yang remang-remang itu. Baiknya sinar bulan makin bercahaya, agaknya angkasanya amat cerah, tidak ada awan menghalangi. Perlahan-lahan Siu Bi melangkah menghampiri sudut di mana mereka tidur nyenyak.

Dadanya berdebar lagi, terasa amat panas, sukar baginya untuk bernafas. Punggungnya terasa dingin sekali, akan tetapi sekarang kaki tangannya tak menggigil lagi. la menahan nafas yang disedotnya dalam-dalam, lalu melangkah lagi. Matanya tertuju ke arah Hui Kauw.

Nyonya itu tidurnya miring sehingga memudahkan dirinya untuk menotok jalan darah di punggung yang akan melumpuhkan kaki tangan. Pendekar Buta tidur telentang, lebih sukar untuk membuatnya tidak berdaya dengan sekali totokan. Oleh karena inilah maka Siu Bi mengincar punggung Hui Kauw dan maju makin dekat.

Setelah dekat sekali dan matanya bisa memandang dengan jelas, Siu Bi menahan nafas mengerahkan tenaga dalam. Tangan kanannya bergerak dan dua buah jari tangannya yang kanan menotok punggung Hui Kauw. Dia merasa betapa ujung jari-jarinya dengan tepat menemui jalan darah di bawah kulit yang halus.

Hui Kauw tanpa dapat melawan telah kena ditotok jalan darahnya di punggungnya dan pada detik berikutnya, Siu Bi sudah menotok jalan darah di leher yang membuat nyonya itu menjadi gagu untuk sementara. Hui Kauw mencoba untuk menggerakkan tubuh, tapi sia-sia dan tubuhnya yang miring itu menjadi telentang, matanya terbelalak akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.

Siu Bi yang merasa takut bukan main kalau-kalau Pendekar Buta bangun, cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya menotok kedua jalan darah di pundak kanan kiri, kaget sekali karena ujung jari-jari tangannya bertemu dengan kulit yang amat lunak, lebih lunak dari pada kulit punggung Hui Kauw tadi.

Pendekar Buta mengeluh dan tubuhnya bergerak miring. Melihat ini, cepat-cepat Siu Bi menotok pada punggungnya dan... tubuh Pendekar Buta yang sakti itu kini tidak dapat bergerak lagi kaki tangannya, lumpuh seperti keadaan isterinya! Akan tetapi karena jalan darah pada lehernya tidak tertotok, dia dapat mengeluarkan suara yang terheran-heran,

"Ehh... ehh... apa-apaan ini? Siapa melakukan ini? Hui Kauw, apa yang terjadi...?" Akan tetapi Hui Kauw tidak dapat menjawab karena nyonya ini selain lumpuh kaki tangannya, juga tak dapat mengeluarkan suara!

Saking tegangnya, Siu Bi terengah-engah dan jatuh terduduk. Dalam melakukan totokan-totokan tadi, dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya, ditambah dengan suasana yang menegangkan urat syaraf, maka setelah kini berhasil, ia menjadi terengah-engah, lemas tubuhnya dan... ia menangis terisak-isak.

"Ehh, anak baik, Kim Hoa... apa yang terjadi? Mengapa engkau menangis, dan Bibimu kenapa?" Kun Hong bertanya.

Siu Bi merasa betapa nafasnya sesak dan hawa udara tiba-tiba menjadi panas baginya. Dia melompat berdiri, kedua tangannya menyambar leher baju dua orang yang sudah lumpuh itu dan diseretnya mereka keluar pondok!

"Eh-ehh-ehhh, kaukah ini, Kim Hoa? Apa yang kau lakukan ini?"

Siu Bi menyeret mereka keluar dan melepaskan mereka di depan pondok. Dia sendiri berdiri menengadah, menarik nafas dalam-dalam. Hawa malam yang dingin, angin yang bersilir dan sinar bulan membuat nafasnya menjadi lega. Dia tidak gelisah lagi.

"Pendekar Buta, ketahuilah, aku yang menotokmu dan menotok isterimu." la tersenyum dan tangannya bergerak membebaskan totokan pada jalan darah di leher Hui Kauw.

Nyonya ini terbatuk, mengeluh perlahan lalu berseru, "Bocah, kau siapa? Mengapa kau menyerang kami secara membuta?"

Siu Bi tersenyum lagi. "Dengarlah baik-baik. Namaku Siu Bi dan aku melakukah hal ini karena aku hendak membalaskan dendam kakekku, Hek Lojin. Pendekar Buta, ingatkah kau ketika kau membuntungi lengan kakekku? Nah, kini aku akan memenuhi sumpahku, membalas kalian dengan membuntungi lengan kiri kalian seperti yang dulu kau lakukan terhadap kakek!" Siu Bi mencabut pedangnya.

"Singgg…!"

Lalu ia mendongakkan mukanya ke angkasa berseru perlahan, "Kakek yang baik, kaulah satu-satunya orang di dunia ini yang menyayangiku... sekarang kau sudah tiada lagi... tapi kesayanganmu tidak sia-sia, kakek... lihatlah dari sana betapa saat ini cucumu telah melunasi semua hutang, harap kau beristirahat dengan tenang..."

Setelah berkata demikian dalam keadaan seperti terkena pengaruh gaib atau kemasukan roh jahat yang berkeliaran di malam terang bulan itu, Siu Bi menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah lengan kiri Kun Hong.

"Crakkk!"

Sebuah lengan terbabat putus, darah muncrat-muncrat dan Siu Bi menjerit sambil lompat ke belakang. Di hadapannya, entah dari mana datangnya, sudah berdiri seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya!

"Kakek...!" Siu Bi memekik penuh kengerian, mengira bahwa roh kakeknya yang muncul ini.

Akan tetapi ia melihat betapa lengan kiri yang baru buntung itu masih meneteskan darah segar ada pun di atas tanah tergeletak buntungan tangan. Pendekar Buta dan isterinya masih rebah terlentang. Siu Bi cepat mengalihkan pandang matanya yang terbelalak ke arah orang di depannya, wajahnya pucat sekali.

"Siu Bi... anakku..." Orang itu berkata, biar pun lengannya sudah buntung dan wajahnya pucat serta keringatnya memenuhi muka menahan sakit yang hebat, akan tetapi bibirnya tersenyum. Wajahnya yang setengah tua dan tatapannya dibayangi kedukaan hebat.

"Kau... kau..." Siu Bi berbisik lirih ketika mengenal bahwa orang itu, orang yang datang menangkis pedangnya tadi dengan lengan kirinya sehingga bukan lengan Pendekar Buta yang buntung, melainkan lengannya, adalah The Sun ayah tirinya!

"Aku ayahmu, Siu Bi... lama sekali dan susah payah aku mencarimu..."

"Bukan, kau bukan ayahku! Pergi...!"

The Sun menggeleng kepalanya. "Tidak boleh, Siu Bi, anakku. Kau tak boleh menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk, dosa yang dibuat mendiang kakekmu dan aku..."

"Kau... kau sudah membunuh kakek, kau bukan ayahku... sa... salahmu sendiri... kau menangkis pedangku..."

"Memang sepatutnya lenganku yang buntung, bukan lengan Kun Hong! Biar pun lengan suhu buntung oleh pedang Kun Hong, akan tetapi akulah yang berdosa, dan karenanya sudah sepatutnya aku pula yang mesti menanggung hukumannya. Siu Bi, kau tidak tahu betapa jahatnya kakekmu Hek Lojin, betapa jahatnya pula aku dahulu. Kakekmu dan aku yang dulu menyerbu dan bermaksud membunuh Pendekar Buta, kami bersekutu dengan orang-orang jahat di dunia kang-ouw. Kami haus akan kemuliaan, akan kedudukan dan harta, karena itulah kami memusuhi Pendekar Buta dan Raja Pedang. Akan tetapi kami semua kalah, kakek gurumu juga kalah, baiknya Pendekar Buta masih menaruh kasihan, hanya membuntungi lengan, tidak membunuhnya...! Aku bertemu dengan ibumu, ibumu yang mengandungmu karena dipermainkan majikan-majikannya. Aku membelanya, kami menjadi suami isteri, dan kau... kau anakku juga, Siu Bi. Aku sudah berusaha menebus dosa, mengasingkan diri di Go-bi-san, siapa kira... penebusan dosa yang sia-sia, dirusak kakekmu... dia mendidikmu untuk membalas dendam...,, akhirnya dosaku bertambah, dia tewas di tanganku dan kini, Tuhan menghukum hambaNya, kau sendiri membuntungi lenganku. Ahhh, aku puas... seharusnya beginilah..."

Tiba-tiba Siu Bi menjerit dan menutupi mukanya, menangis terisak-isak. la teringat akan Swan Bu yang sudah dia buntungi lengannya. Pada saat itu suami isteri yang tadinya rebah lumpuh, bersama-sama melompat bangun.

“The Sun, hukum karma tak dapat dielakkan oleh siapa pun juga," kata Kun Hong.

The Sun tercengang dan membalikkan tubuhnya. Ada pun Siu Bi menurunkan tangannya dan memandang bengong.

"Kau... kau... sudah kutotok kalian...," katanya gagap.

Hui Kauw melangkah maju dan…

"Plak! Plak!"

Dua kali kedua pipi Siu Bi ditamparnya, membuat gadis itu terpelanting dan bergulingan beberapa kali. Ketika ia berhasil melompat bangun, kedua pipinya menjadi bengkak.

"Bocah yang dididik menjadi binatang liar dan sangat keji!" kata nyonya ini, senyumnya mengejek. "Kau kira akan dapat membikin lumpuh Pendekar Buta? Kalau dia mau, tadi sudah dengan mudahnya merobohkanmu. Sengaja dia hendak menanti apa yang akan kau lakukan. Pada saat kau membacok tadi, dia telah siap menangkis dan membuatmu roboh. Kiranya The Sun muncul dan mewakilinya dengan berkorban lengan. Dia benar, Tuhan menghukum hamba-Nya!"

Siu Bi kaget, malu, menyesal dan segala macam perasaannya bercampur aduk di dalam dadanya. Kembali ia menjerit lalu ia melarikan diri di malam gelap karena bulan sudah menyembunyikan diri di dalam awan.

"Siu Bi... tunggu...!" The Sun lari mengejar, terhuyung-huyung dan darah berceceran dari lengannya.

Kun Hong memegang tangan isterinya. Memang betul apa yang dikatakan Hui Kauw tadi. Ketika Siu Bi menotoknya, ia kaget akan tetapi dengan sinkang-nya yang luar biasa, dia dapat memunahkan totokan itu dan sengaja dia berpura-pura lumpuh dan diseret keluar menurut saja. Malah ketika Siu Bi mencabut pedang, dia tetap diam saja, hanya siap untuk melakukan serangan balasan merobohkan gadis itu. Pada waktu The Sun muncul, dengan mudahnya dia membebaskan totokan isterinya.

"Hebat...," bisiknya. "Jadi itukah bocah yang dikabarkan mengancam kita? Heran sekali, siapakah sebetulnya yang telah menangkapnya dan menyiksanya...? Anak itu sebetulnya tidak jahat dan syukurlah bahwa The Sun telah dapat menguasai nafsu-nafsunya dan berubah menjadi manusia baik-baik."

"Hemmm, suamiku. Kau selalu mengalah, sabar, dan menilai orang lain dari segi-segi baiknya saja. Gadis demikian kejam dan liar, tidak kenal budi, ditolong malah membalas dengan ancaman membuntungi lengan, kau bilang sebetulnya tidak jahat? Dan The Sun itu, terang dialah gara-gara semua perkara ini, dan kau bilang sudah menjadi manusia baik-baik?"

Hui Kauw sendiri terkenal seorang yang sabar hatinya. Akan tetapi dibandingkan dengan suaminya, kadang kala ia merasa bahwa suaminya itu terlalu lemah dan terlalu sabar...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 13


Jaka Lola Jilid 12

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 12

Mendengar ejekan Siu Bi, Lee Si benar-benar makin marah. Ranting pohon di tangannya lantas menyambar dan mencambuki muka, leher dan tubuh Siu Bi yang tetap tersenyum-senyum dan memaki-maki. Biar pun dalam keadaan marah, Lee Si masih teringat untuk menahan diri sehingga pukulan-pukulannya dengan ranting pohon itu tidak akan sampai menewaskan Siu Bi.

"Apakah yang dia maksudkan?" kembali terdengar Cui Sian bertanya kepada Yo Wan.

Yo Wan menarik nafas panjang. Hatinya tidak karuan rasanya melihat keadaan Siu Bi demikian itu. Akan tetapi kalau teringat betapa lengan Swan Bu dibuntungi, dia sendiri pun menjadi sakit hati dan marah.

Maka biar pun di lubuk hatinya dia merasa tidak tega melihat Siu Bi dicambuki seperti itu, namun dia tidak mau mencegah Lee Si. la pun maklum akan keadaan perasaan hati Lee Si yang penuh dendam karena merasa pernah dihina dan dipermainkan Ang-hwa-pai, di mana Siu Bi juga menjadi anak buah atau kawan.

"Lee Si bersama Swan Bu pernah tertawan oleh Ang-hwa-pai yang menotok mereka dan menggunakan mereka untuk mengadu domba." Dengan singkat dia lalu menuturkan apa yang dia dengar dari Lee Si dan muka Cui Sian menjadi merah sekali.

"Hemmm, keji sekali. Gadis liar ini memang patut dihajar. Kalau saja aku tidak ingat dia dahulu pernah menolongku, tadi pun aku sudah membunuhnya. Sekarang Lee Si yang memuaskan dendamnya, biarlah."

Mereka berhenti bicara dan kembali memperhatikan Lee Si yang masih memaksa Siu Bi mengakui tipu muslihat keji dari Ang-hwa-pai. Muka dan leher Siu Bi telah penuh dengan jalur-jalur merah bekas sabetan, juga bajunya sudah robek sana-sini dan kulit tubuhnya matang biru.

"Kau masih tak mau mengaku? Keparat, apakah kau benar-benar ingin mampus?" Lee Si membanting ranting pohon yang sudah setengah hancur, lalu menginjak-injak ranting ini.

Sebagai puteri dari ayah bunda yang keras hati, tentu saja Lee Si memiliki dasar watak berangasan dan keras pula, walau pun gemblengan ayah bundanya membuat ia jarang sekali meluapkan kekerasannya dan menutupinya dengan sikap yang tenang, sabar dan halus budi.

Tiba-tiba Siu Bi tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening, sangat mengejutkan dan mengherankan hati Cui Sian serta Yo Wan. Dua orang ini diam-diam harus mengagumi ketabahan gadis liar itu, yang dalam keadaan tertawan dan tersiksa masih dapat tertawa seperti itu, tanda dari hati yang benar-benar tabah dan tidak kenal takut.

"Hi-hi-hik-hik, Lee Si, kau sungguh lucu! Kau tahu bukan aku orangnya yang melakukan segala tipu muslihat curang, akan tetapi kau terus memaksa-maksa aku mengaku. Apa kau kira aku tidak mengerti isi hatimu yang tak tahu malu? Hi-hi-hik, kau marah-marah dan benci kepadaku karena aku membuntungi lengan Swan Bu, betul tidak? Ihhh, tak usah kau pura-pura membelanya, kau bisa dekat dengannya hanya karena diusahakan orang. Tetapi dia cinta padaku, dengarkah kau? Dia cinta padaku, ahhh... dan aku cinta padanya..." Suara ketawa tadi kini terganti isak tertahan.

Wajah Lee Si sebentar pucat sebentar merah. Mendadak dia mencabut pedangnya dan membentak, "Perempuan rendah, perempuan hina, kau memang harus mampus!" lantas pedangnya diangkat dan dibacokkan ke arah leher Siu Bi.

"Tranggg...!"

Lee Si menjerit dan cepat meloncat ke kiri karena pedangnya telah tertangkis dan hampir saja terlepas dari tangannya. la memandang heran kepada Yo Wan dan sempat melihat pemuda itu menyimpan pedang dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, hampir tidak tampak.

"Yo-twako... kenapa kau...?”

"Adik Lee Si, sabarlah. Tidak baik membunuh lawan dengan darah dingin secara begitu, apa lagi dia sudah tertawan dan tadi kau sudah lepaskan amarahmu kepadanya. Siu Bi, kau tutuplah mulutmu, jangan menghina orang."

"Hi-hi-hik, kau Jaka Lola, Yo Wan yang berhati lemah. Alangkah lucunya! Setiap bertemu gadis cantik kau menjadi pelindung, laki-laki macam apa kau? Hayo kau bunuh aku kalau memang jantan!"

Yo Wan menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang kau terjerumus begini dalam, Siu Bi, sungguh sayang...! Aku takkan membunuhmu, kau boleh pergi dan jangan mengganggu kami lagi..." Yo Wan melangkah maju, tangannya meraih hendak membebaskan Siu Bi dari cabang pohon.

"Yo-twako, tahan dulu...!" Tiba-tiba Cui Sian melangkah mendekat. "Apakah kau hendak membebaskannya begitu saja? Itu tidak adil namanya!"

Yo Wan menoleh dan alangkah herannya melihat sinar mata gadis cantik ini luar biasa tajam menentangnya, seolah-olah sinar mata itu mengandung hawa amarah kepadanya. la benar-benar tidak mengerti, dengan pandang matanya dia berusaha menyelidik isi hati Cui Sian dan tiba-tiba wajah Yo Wan berseri.

Mungkinkah ini? Mungkinkah Cui Sian merasa cemburu kepada Siu Bi? Ahh, alangkah sulit dipercaya. Tak mungkin matahari terbit dari barat, tak mungkin puteri Raja Pedang... cemburu dan marah melihat dia membebaskan Siu Bi yang dapat dianggap tanda cinta kasih.

Sepasang pipi halus itu tiba menjadi merah. Cui Sian nampak gugup ketika melanjutkan kata-katanya setelah beradu pandang tadi. "Dia... dia telah membuntungi lengan tangan Swan Bu! Sebaiknya kita serahkan kepada Swan Bu sendiri bagaimana keputusannya terhadap gadis liar itu. Bukankah kau pikir begitu seadilnya, Twako?"

Yo Wan mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya yang hitam. "Betapa pun juga, kalau Sute kehilangan lengannya dalam sebuah pertempuran, aku akan menasehatinya agar jangan dia membalas secara begini. Bukan perbuatan gagah."

Terdengar Swan Bu mengerang dan mereka bertiga segera menghampiri pemuda itu. Girang hati mereka karena kini tubuh Swan Bu tidak begitu panas lagi dan pemuda itu sudah siuman, menyeringai kesakitan ketika menggunakan lengan kiri untuk menunjang tubuhnya.

"Auhhh... hemmm, bibi Cui Sian, dan..." wajahnya menjadi merah sekali. "...dan kau, Lee Si Moi-moi..." la tertegun menatap wajah Yo Wan yang berdiri dan tersenyum kepadanya. Sampai lama mereka berpandangan, kemudian Swan Bu melompat berdiri.

"Kau... kau...?"

Yo Wan mengangguk-angguk dan tersenyum, hatinya terharu. "Sute..."

"Kau Yo Wan... ehh, Yo-suheng!" Dan keduanya berangkulan.

Pada waktu mereka berangkulan itu, Swan Bu langsung melihat ke arah Siu Bi yang tergantung di cabang pohon, yang kebetulan berada di sebelah belakang Yo Wan.

"Ehh... dia... dia kenapa...?" berkata gagap sambil merenggut diri dari rangkulan Yo Wan.

"Aku tadi telah menangkapnya, Swan Bu, dan kami menanti keputusanmu. Setelah dia membuntungi lenganmu dan dia sekarang sudah tertawan, apa yang akan kita lakukan kepadanya?" kata Cui Sian.

Swan Bu melangkah maju tiga tindak seperti gerakan orang linglung, matanya menatap tajam kepada Siu Bi. Tanpa bertanya dia maklum apa yang telah terjadi, melihat muka dan leher gadis itu penuh dengan jalur-jalur merah, rambutnya terlepas dan diikatkan di cabang pohon, pakaiannya robek-robek bekas cambukan.

Hatinya trenyuh, ingin dia lari memeluknya, cinta kasihnya tercurah penuh kepada gadis itu. Akan tetapi dia teringat akan kehadiran Lee Si, Cui Sian, dan juga Yo Wan. Suatu ketidak mungkinan besar bila dia memperlihatkan cinta kasih kepada gadis musuh besar yang baru saja membuntungi lengannya! Tak mungkin!

"Swan Bu," kata Cui Sian melihat sikap pemuda itu seperti orang linglung yang ia kira tentu karena demam, ”katakan, apa yang harus kita lakukan terhadapnya? Lenganmu ia bikin buntung secara bagaimana? Kalau dia berlaku curang, sepatutnya bila ia dihukum dan..."

"Tidak, Bibi, bebaskan dia! Aku terbuntung dalam pertempuran. Bebaskan dia, aku tidak ingin melihatnya lebih lama lagi!"

Yo Wan yang memang mengharapkan Siu Bi dibebaskan, segera bergerak dan dalam waktu beberapa detik saja, rambut itu sudah terlepas dari cabang, dan jalan darah Siu Bi sudah normal kembali.

Siu Bi membiarkan rambutnya terurai, dan berdiri seperti patung, menatap wajah Swan Bu. Air matanya menitik turun berbutir-butir, tapi bibirnya tersenyum, "Swan Bu, selamanya aku akan menantimu..." Setelah berkata demikian, gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak lupa menyambar pedang Cui-beng-kiam yang menggeletak di situ.

"Ahhh...!" Swan Bu mengeluh dan dia tentu akan terguling kalau saja Cui Sian tidak cepat menangkapnya. Ternyata Swan Bu sudah pingsan kembali!

Cui Sian dan Lee Si mengira bahwa keadaan pemuda ini karena demam dan lukanya. Akan tetapi diam-diam Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Dia dapat menduga sedalam-dalamnya. Tidak mungkin seorang gadis seperti Siu Bi dapat mengalahkan Swan Bu dalam sebuah pertempuran, apa lagi membuntungi lengannya. Akan tetapi, Swan Bu sengaja mengaku bahwa lengannya buntung dalam pertempuran! Ini saja sudah membuka rahasia bahwa Swan Bu jatuh cinta kepada Siu Bi.

"Hemmm, seyogyanya gadis liar seperti itu tidak boleh dibebaskan...," Cui Sian berkata sambil menidurkan Swan Bu ke atas tanah.

"Sian-moi, tadi kau dengar sendiri Swan Bu menghendaki demikian dan kurasa sekarang yang terpenting bukan hal itu. Aku dan adik Lee Si sudah naik ke Liong-thouw-san, akan tetapi suhu dan subo ternyata tidak berada di sana, agaknya baru beberapa hari pergi meninggalkan puncak, tidak tahu ke mana mereka itu pergi. Urusan yang menyangkut nama baik adik Lee Si dan sute bukan hal main-main, kurasa kemarahan Tan Kong Bu Lo-enghiong takkan mudah dipadamkan jika tak ada bukti yang membuka rahasia fitnah dan tipu muslihat kaum Ang-hwa-pai. Karena itu, harap Sian-moi suka merawat Swan Bu dan sekarang juga aku akan mengantarkan adik Lee Si ke Kong-goan, hendak kucoba mencari Ang-hwa Nio-nio dan menundukkannya, memaksanya untuk membuka rahasia itu, jika mungkin di depan Tan-loenghiong sendiri, atau setidaknya di depan orang-orang tua kita."

Cui Sian mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang melengkung indah. "Aku tahu watak Kong Bu koko sangat keras. Kata ayah seperti baja. Akan tetapi dia juga tidak dapat disalahkan jika sekarang marah-marah karena apa yang dilihatnya memang merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi seorang gagah."

"Itulah yang amat menggelisahkan hatiku, Bibi." kata Lee Si. "Pada waktu itu aku berada dalam keadaan tertotok, tak dapat bergerak, sudah kucoba memanggil ayah, akan tetapi dia terlalu marah dan musuh yang menjalankan tipu muslihat terlampau pandai. Memang nasibku yang buruk..."

Lee Si menangis dan tak seorang pun tahu bahwa tangisnya ini sebagian besar karena menyaksikan sikap Siu Bi tadi. Terutama sekali karena Swan Bu malah membebaskan dan seakan-akan mengampuni gadis yang telah membuntungi lengannya!

"Sudah, tenanglah, Lee Si. Dengan didampingi twako yang akan mengurus penjernihan persoalan ini, kurasa segalanya akan berhasil baik."

"Sian-moi, kau lebih mengerti mengenai pengobatan dari pada aku, kalau tidak demikian agaknya akulah yang seharusnya merawat sute dan kau menemani adik Lee Si. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti bagaimana harus merawatnya sampai sembuh, kalau salah perawatan bisa berbahaya..."

"Tidak apa, Yo-twako. Sudah sepatutnya aku merawat Swan Bu. Kau berangkatlah."

Yo Wan sebetulnya merasa berat untuk segera berpisah setelah pertemuan yang tidak terduga-duga ini. Akan tetapi tugas lebih penting dari pada perasaan pribadi, maka dia pun lalu berangkatlah bersama Lee Si. Dengan gadis ini di sampingnya, tentu saja perjalanan tak dapat dilakukan secepat bila dia pergi seorang diri. Baiknya Lee Si bukan gadis lemah, dan ilmu lari cepatnya boleh juga sehingga tidaklah akan terlalu lambat.

Tidak demikian dengan Cui Sian. Setelah Swan Bu siuman kembali, ia segera mengajak pemuda ini melakukan perjalanan perlahan dan lambat, mencari sebuah dusun atau kota di mana mereka akan dapat beristirahat dan ia dapat mencarikan ramuan obat untuk pemuda itu.

Swan Bu jarang bicara, kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan Cui Sian. Pemuda ini kelihatan termenung, akan tetapi sama sekali tidak memikirkan lengannya yang buntung. Untuk kedua kalinya, Cui Sian mendengar cerita seperti yang ia dengar dari penuturan Yo Wan, yaitu tentang tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai di kota Kong-goan.

"Kong Bu koko tentu marah sekali. Dia terlalu polos untuk dapat menduga bahwa semua itu hanya fitnah yang sengaja diatur dan direncanakan oleh musuh." Cui Sian menarik nafas panjang.

Mereka bercakap-cakap sambil berjalan perlahan-lahan, keluar dari dalam hutan setelah melakukan perjalanan sepekan lamanya. Selama itu, mereka hanya melalui gunung dan hutan, tidak pernah melihat dusun. Atas kehendak Swan Bu, walau pun lambat, mereka melakukan perjalanan menuju ke Kong-goan menyusul Yo Wan dan Lee Si.

"Itulah yang menggelisahkan hatlku, Sukouw. Paman Kong Bu pasti akan marah sekali, dan mendengar suaranya pada saat itu, aku yakin bahwa dia tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuhku. Kalau sampai aku bertemu dengan dia dan paman Kong Bu bersikeras hendak membunuhku, bagaimana aku berani melawan dia? Aku cukup maklum betapa pedihnya urusan ini baginya... dan aku tidak tahu bagai mana harus mengatasinya."

“Jangan khawatir. Kurasa betul Yo-twako, bahwa jalan satu-satunya hanya memaksa mereka yang melakukan fitnah untuk mengaku di depan Kong Bu koko, dan aku percaya betul Yo-twako akan dapat membereskan hal ini."

Biar pun keadaannya seperti itu, diam-diam Swan Bu tersenyum dan mengerling ke arah wajah gadis di sampingnya itu. "Sukouw, hebat betulkah kepandaian Yo-suheng? Dulu ketika aku masih kecil, dia sudah amat hebat akan tetapi jika aku ingat betapa dulu aku pernah memanahnya, ahhh... dan sekarang dia mati-matian hendak membela namaku, sungguh aku merasa malu!"

"Kau... memanahnya?"

Swan Bu tersenyum masam. "Aku masih kanak-kanak dan sangat manja, kurasa tidak ada orang yang dapat melawanku ketika itu."

la lalu menceritakan kejadian pada waktu dia masih anak-anak dan dengan orang tuanya berada di puncak Hoa-san. Lalu datang ketua Sin-tung Kaipang yang hendak mencari perkara, dan muncullah Yo Wan yang biar pun sudah terpanah pundaknya oleh Swan Bu, namun masih berhasil mengusir semua musuh.

Cui Sian kagum bukan main dan semakin besarlah perasaan mesra terhadap Yo Wan bersemi di hatinya.

"Hebat dia," katanya tanpa menyembunyikan perasaannya, "dan dia sama sekali tidak marah ketika itu! Sekarang pun dia sama sekali tidak menaruh dendam, malah berusaha untuk membersihkan namamu. Swan Bu, aku percaya, seorang gagah seperti dia pasti akan mampu membereskan urusanmu ini."

"Mudah-mudahan, Sukouw. Akan tetapi, apakah paman Kong Bu mau menerima begitu saja, entahlah. Keadaan adik Lee Si ketika itu memang... memang... ahhh, kasihan dia, tentu saja sebagai seorang gadis terhormat ia merasa amat terhina."

Cui Sian termenung, lalu tiba-tiba ia berkata, "Memang sukar menghapus luka itu, baik dari hati Lee Si mau pun dan hati Kong Bu koko, kehormatan mereka tersinggung hebat dan kiranya hanya ada satu jalan untuk menebusnya Swan Bu."

"Jalan apakah itu, Sukouw?"

"Tiada lain, kau menikah dengan Lee Si!"

Wajah pemuda itu seketika menjadi merah sekali, dan dia kaget bukan main.

"Tidak... tidak mungkin..."

Cui Sian sudah berhenti melangkah dan sekarang mereka berdiri berhadapan. Swan Bu menundukkan mukanya.

"Swan Bu, aku tahu bahwa kau mencinta Siu Bi, bukan?" Suaranya amat tajam, seperti juga pandang matanya.

Swan Bu mengangkat muka, tak tahan melihat pandang mata tajam penuh selidik itu dan dia menunduk kembali, hatinya risau. Ingin mulutnya membantah, akan tetapi tak dapat dia mengeluarkan kata-kata karena tahu bahwa apa bila dia memaksa bicara, suaranya akan sumbang dan gemetar, juga akan bohong, tidak sesuai dengan suara hatinya.

"Swan Bu, aku tak akan menyalahkan orang mencinta, sungguh pun harus diakui bahwa cintamu tidak mendapatkan sasaran yang benar kalau kau memilih Siu Bi. Dia seorang gadis liar yang rusak oleh pendidikan keliru, dan dia sudah membuntungi lenganmu!"

Dengan suara datar dan lirih Swan Bu berkata, "Dia hanya memenuhi sumpahnya untuk membalas dendam kakeknya."

Cui San menarik nafas panjang. "Betapa pun juga, dunia kang-ouw akan mentertawakan engkau kalau kau memilih Siu Bi, dan hal ini akan berarti merendahkan derajat orang tuamu. Dengan mengawini Lee Si, tidak saja kekeluargaan akan menjadi semakin erat, juga kau membersihkan nama Kong Bu koko, orang tuamu tentu bangga, orang tua Lee Si bangga, dan segalanya berjalan baik serta semua orang menjadi puas. Swan Bu, seorang satria sanggup mengorbankan apa saja demi untuk kehormatan keluarga dan demi membahagiakan semua orang. Lee Si adalah seorang dara yang cantik jelita, dan kiraku tidak kalah oleh Siu Bi, juga dalam ilmu kepandaian, kurasa tidak kalah jauh. Aku bersedia menjadi perantara karena aku adalah bibi dari Lee Si."

Swan Bu terdesak hebat oleh kata-kata Cui Sian yang memang tepat. "Baiklah hal itu kita bicarakan lagi kelak, Sukouw. Kalau memang tak ada jalan lain, aku tidak merasa terlalu tinggi untuk menjadi suaminya, apa lagi... apa lagi melihat lenganku yang telah buntung. Apakah adik Lee Si tidak jijik melihat seorang yang cacad seperti aku?"

Sebelum Cui Sian sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi. Suara itu terdengar lapat-lapat dari tempat jauh.

"Ada pertempuran di sana!" kata Cui Sian. "Biar kulihat!" la segera melesat dengan cepat sekali, berlari ke arah suara tadi.

Swan Bu yang sudah agak mendingan, berlari mengejar. Akan tetapi karena dia belum berani mengerahkan ginkang, dia berlari biasa dan tertinggal jauh. Suara melengking tadi sudah tak terdengar lagi, maka Swan Bu hanya berlari ke arah menghilangnya bayangan Cui Sian yang memasuki sebuah hutan kecil.

Beberapa menit kemudian, dia tiba di sebuah lapangan rumput dan alangkah kagetnya ketika dia melihat Cui Sian berlutut sambil menangisi tubuh seorang laki-laki yang rebah tak bergerak, sebatang pedang terhujam di dadanya sampai tiga perempat bagian. Jelas bahwa laki-laki itu sudah tewas, terlentang dan mukanya tertutup tubuh Cui Sian yang berguncang-guncang menangis. Hati Swan Bu berdebar tidak karuan, dia mempercepat larinya mendekati.

"Paman Kong Bu...!" Swan Bu berseru keras dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat Cui Sian. "Sukouw, apa yang terjadi...?"

Dengan suara mengandung isak, Cui Sian menjawab, "Aku tidak tahu... tadi aku datang terlambat, dia sudah menggeletak seperti ini... tidak tampak orang lain... ah, koko... tidak dinyana begini nasibmu..."

Tiba-tiba Swan Bu menjerit kemudian melompat bangun. Cui Sian kaget dan cepat-cepat memandang. la melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak lebar dan tangan kanannya menutupi depan mulut, akan tetapi tetap saja mulutnya mengeluarkan kata-kata terputus-putus, "... tak mungkin ini... tak mungkin... pedang... Kim-seng-kiam..."

Cui Sian mengerutkan kening dan memandang ke arah pedang yang menancap di dada kakaknya. Pada gagang pedang itu tampak ukiran sebuah bintang emas, agaknya sebab itulah maka namanya Kim-seng-kiam (Pedang Bintang Emas).

"Swan Bu, kau mengenal pedang itu, pedang siapakah?" tanyanya, suaranya kereng dan sekarang tangisnya sudah terusir pergi, yang ada hanya kepahitan dan rasa penasaran terbungkus kemarahan.

"Kim-seng-kiam... pedang ibuku..., tapi tak mungkin ibu..."

Dagu yang manis runcing itu mengeras, sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar berapi. "Hemm, hemm, apanya tidak mungkin? Kakakku menemui ayah bundamu, minta pertanggungan jawab, salah paham dan bercekcok terus bertanding, kakakku mana bisa menangkan ayah bundamu? Hemmm, hemmm betapa pun juga, aku adiknya hendak mencoba-coba, mereka tentu belum pergi jauh!” Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu berkelebat pergi sambil menghunus pedangnya.

"Sukouw...!" Akan tetapi Cui Sian tidak menjawab.

"Sukouw, tunggu dulu! Tak mungkin ibu..." Akan tetapi kini Cui Sian sudah lenyap dari pandang matanya.

Swan Bu sendiri dengan hati berdebar-debar terpaksa harus mengaku bahwa dia sendiri kini merasa ragu-ragu, apakah benar ibunya tidak mungkin melakukan pembunuhan ini? Ibunya penyabar, akan tetapi jika paman Kong Bu memaki-maki sesuai dengan wataknya yang keras dan kasar, tentu ibunya akan marah pula, mereka bertempur memperebutkan kebenaran anak masing-masing dan... ahhh, mungkin saja berakibat begini.

"Ah, paman Kong Bu, mengapa begini...?" la memeluk tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan menangis saking bingungnya.

Kemudian, sambil menekan kedukaan hati, Swan Bu mengerahkan seluruh tenaganya, sedapatnya dia menggali lubang mempergunakan pedang Kim-seng-kiam yang ia cabut dari dada jenazah pamannya. Kemudian, sesudah bekerja setengah hari dengan susah payah, dia berhasil mengubur jenazah itu yang dia beri tanda tiga buah batu besar di depannya. Dan akhirnya, dengan tubuh lelah dan hati hancur, pemuda ini menyeret kedua kakinya berjalan terhuyung-huyung. Pedang Kim-seng-kiam masih di tangannya….
cerita silat karya kho ping hoo

Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, menuruni Liong-thouw-san dengan hati gelisah. Mereka melakukan perjalanan cepat, akan tetapi karena perjalanan itu amat jauh dan mereka di sepanjang jalan mencari keterangan tentang putera mereka, maka lama juga baru mereka sampai di luar kota Kong-goan. Kota itu kira-kira berada dalam jarak lima puluh li lagi saja, dan karena hari amat panas, maka keduanya beristirahat dalam hutan pohon liu yang indah dan sejuk hawanya. Kun Hong bersandar pada sebatang pohon. Hatinya yang risau oleh urusan puteranya itu dia tekan dengan duduk bersiulian menghilangkan segala macam pikiran keruh.

Hui Kauw tak pernah dapat melupakan puteranya semenjak mereka turun gunung, dan pada saat itu ia pun duduk termenung dalam bayangan pohon. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan memandang ke depan. Dari depan ada orang datang, seorang wanita muda yang jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Hui Kauw tertarik sekali. Ia menahan seruannya ketika melihat gadis itu terguling! Cepat Hui Kauw melompat-lompat ke arah gadis itu dan kembali ia menahan seruannya.

Gadis ini masih muda, lagi cantik jelita. Akan tetapi muka dan lehernya penuh jalur-jalur bekas cambukan, pakaiannya banyak yang robek, juga bekas terkena cambuk. Agaknya gadis ini baru saja mengalami siksaan.

"Kasihan..." Hui Kauw berkata.

Tanpa ragu-ragu dia lalu memondong tubuh itu dan membawanya kembali ke tempat semula. Dia dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang lemah, terbukti dari sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya.

"Siapakah dia?" Kun Hong bertanya.

"Entahlah, seorang wanita muda, tubuhnya penuh luka bekas cambukan, dia pingsan," jawab Hui Kauw.

Tanpa diminta Kun Hong menjulurkan tangan meraba dahi, pundak, dan pergelangan tangan.

"Luka-lukanya tidak ada artinya, hanya luka kulit, akan tetapi dia terserang hawa nafsu kemarahan dan kedukaan sehingga mempengaruhi limpa dan hati, membuat hawa Im dan Yang di dalam tubuh tidak berimbang, hawa Im membanjir. Karena itu, kau bantulah dengan Yang-kang pada punggungnya."

Hui Kauw sebagai isteri Pendekar Buta tentu saja sedikit banyak sudah tahu akan ilmu pengobatan dan sudah biasa dia membantu suaminya. Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menempelkan telapak tangan kanan di punggung gadis itu dan mengerahkan Yang-kang disalurkan ke dalam tubuh si sakit melalui punggungnya. Tepat cara pengobatan ini. Tak sampai seperempat jam, gadis itu sudah siuman kembali dan jalan pernafasannya tidak memburu seperti tadi, malah akhirnya ia membuka kedua matanya, menggerakkan kepala memandang ke kanan kiri.

"Tenang dan kau berbaring saja, Nak. Biar kuobati luka-lukamu," kata Hui Kauw sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk.

Gadis itu meringis kesakitan, akan tetapi membiarkan Hui Kauw mengobatinya.

"Mula-mula memang perih rasanya, akan tetapi sebentar pun akan sembuh," kata Hui Kauw. Memang ucapannya ini betul karena hanya sebentar gadis itu merintih, kemudian kelihatan tenang.

"Terima kasih, cukuplah. Kau baik sekali, Bibi..." Gadis itu bangkit duduk dan pada waktu dia menoleh ke kiri memandang Kun Hong, wajahnya berubah dan dia nampak kaget.

"Siapa dia...?"

Hui Kauw tersenyum. "Jangan khawatir, dia itu hanya suamiku. Kau kenapakah, tubuhmu bekas dicambuki dan kau kelihatan berduka, marah, dan mudah kaget. Siapakah kau?"

Gadis itu menengok ke kanan kiri seakan-akan ada yang dicari dan ditakuti, kemudian ia berkata, "Aku belum tahu siapakah kalian ini, bagaimana aku berani bicara mengenai diriku?"

Kembali Hui Kauw tersenyum, dia sama sekali tidak marah melihat kecurigaan gadis itu. Agaknya gadis ini telah banyak menderita dan menjadi korban kejahatan hingga mudah menaruh curiga terhadap orang lain.

"Jangan khawatir, anak manis. Kami bukanlah orang jahat, dia itu suamiku bernama Kwa Kun Hong dan aku isterinya... he, kenapa kau...?" Hui Kauw terheran-heran melihat gadis itu melompat dan mukanya pucat.

"Aku... aku takut kalau... kalau mereka mengejar..."

"Jangan takut, apa bila ada orang jahat mengganggumu, kami akan membantumu," Kun Hong berkata, suaranya halus, tetapi diam-diam hatinya menduga-duga. "Kau siapakah dan siapa pula mereka yang mengancam keselamatanmu?"

Gadis itu duduk kembali, memandang bergantian kepada Kun Hong dan isterinya. "Aku Ciu Kim Hoa, dan mereka itu musuh-musuhku."

"Siapa mereka dan apakah yang terjadi? Mengapa kau bermusuhan dengan mereka?" tanya Hui Kauw.

Sekarang gadis itu terlihat tenang. la duduk dan menarik nafas beberapa kali, kemudian ia bercerita, suaranya perlahan dan agaknya keraguannya lenyap. "Aku seorang yang yatim piatu, hidup sebatang kara. Keluargaku habis dengan meninggalkan musuh besar, musuh keturunan yang harus kubalas. Aku mencarinya dan bertemu, tapi... tapi... aku tidak dapat benci kepadanya, betapa pun juga... aku harus melaksanakan balas dendam. Baru saja berhasil sebagian, aku lalu dikeroyok... dan ditawan, dicambuki serta disiksa. Akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan lari sampai di sini." Dia menengok lagi ke sana ke mari, tampak ketakutan. "Aku tahu mereka tentu akan mengejarku, dan aku tidak berani pergi seorang diri..."

Hui Kauw mengerutkan kening. Di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan, banyak terjadi pertandingan dan darah mengalir, semuanya hanya karena dendam mendendam yang tiada habisnya.

"Kau perlu menenangkan hati dan memulihkan tenaga, Kim Hoa. Biarlah semalam ini kau bersama kami agar kami dapat mencegah musuh-musuhmu mencelakaimu. Bila sampai besok tidak ada yang mengejarmu, baru kau melanjutkan perjalanan."

"Terima kasih, Bibi. Kau baik sekali."

Gadis itu masih kelihatan gelisah, akan tetapi ia tidak banyak bicara. Hanya menjawab kalau ditanya, itu pun singkat saja. la pun tidak menolak ketika Kun Hong dan Hui Kauw memberi roti kering dan minum kepadanya, dan juga tidak membantah ketika matahari sudah agak menurun, suami isteri itu mengajaknya melanjutkan perjalanan.

Atas pertanyaan, gadis itu menjawab bahwa hendak pergi ke kota raja di mana katanya berdiam seorang pamannya. Karena jalan menuju ke kota raja melewati kota Kong-goan, maka Hui Kauw mengajak gadis itu melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi tentu saja Hui Kauw tak menghendaki gadis ini mengetahui urusan apa yang sedang diselidikinya di Kong-goan. Oleh karena itu, pada sore harinya ia dan suaminya mengajak gadis itu berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah, di luar kota Kong-goan. Jika besok pagi tidak terjadi sesuatu, ia akan menyuruh gadis ini melanjutkan perjalanan sendiri.

Malam itu hawanya amat dingin, jauh berbeda dengan siang tadi. Gubuk atau pondok itu adalah pondok yang didirikan oleh tuan tanah untuk menampung hasil panen tiap tahun, hanya berupa sebuah pondok bambu yang berlantai batang padi kering. Bagi mereka yang lelah, tempat ini amatlah nyaman untuk beristirahat melewatkan malam yang dingin. Batang-batang padi kering itu hangat dan empuk, dinding bambu meski pun reyot dapat menahan sebagian angin yang bertiup dingin.

Kegelisahan hati, kelelahan, ditambah dengan dinginnya hawa membuat Pendekar Buta dan isterinya tidur nyenyak menjelang tengah malam. Orang yang berhati gelisah, atau susah menjadi lelah sekali, dan memang sukar tidur, apa bila tidur sudah menguasainya, dia akan nyenyak sekali dan agaknya dalam ketiduran inilah segala kegelisahan, segala kelelahan, lenyap tanpa bekas.

Suami isteri ini tidur pulas di salah satu sudut pondok bambu. Kun Hong tidur telentang, nafasnya panjang-panjang berat, sedangkan Hui Kauw tidur miring menghadapi tubuh suaminya, nafasnya halus tidak terdengar.

"Bibi...!" Hening tiada jawaban.

"Paman...!" Juga kesunyian mengikuti panggilan ini.

Siu Bi bangkit perlahan. Dia tadi rebah di sudut lain, tanpa pernah meramkan matanya. Setelah duduk, kembali ia memanggil suami isteri itu, menyebut mereka paman dan bibi, malah kali ini suaranya agak dikeraskan. Akan tetapi sia-sia, tidur mereka agaknya amat nyenyak sehingga tidak mendengar panggilannya.

la menahan nafas lalu bangkit berdiri dan mengerahkan seluruh tenaga ke arah matanya untuk memandang. Bulan di luar pondok bersinar cemerlang, cahayanya yang redup dan dingin menerobos di antara celah-celah atap dan dinding yang tak rapat, memberi sedikit penerangan ke dalam pondok. Siu Bi dapat melihat suami isteri itu tidur.

Pendekar Buta telentang, isterinya miring menghadapinya. Jantungnya lantas berdebar keras dan tangan kanannya bergerak meraba gagang pedang. Kesempatan yang amat baik, pikirnya. Kesempatan baik untuk melaksanakan sumpahnya, menuntaskan dendam kakeknya! Sepasang matanya beringas dan nafasnya agak terengah.

Mudah sekali. Hanya datu kali bacok selagi mereka tidur nyenyak dan... lengan mereka akan buntung! Benar-benar suatu hal yang sama sekali tak pernah dia mimpikan bahwa akhirnya dia akan dapat bertemu dengan musuh-musuh ini dalam keadaan sedemikian menguntungkannya. Agaknya arwah kakeknya sendiri yang menuntunnya sehingga dia dapat bertemu dengan mereka, dapat tidur sepondok dan mendapat kesempatan begini baik.

"Singgg…!" Pedang Cui-beng-kiam telah dicabutnya.

Siu Bi kaget sendiri mendengar suara ini. Cepat-cepat dia memandang ke sudut itu dan telinganya mendengarkan. Akan tetapi, suami isteri itu tidak bergerak, juga pernafasan mereka masih biasa, tidak berubah.

Dia berpikir sebentar. Salah, pikirnya dan pedang itu dia masukkan kembali ke sarung pedang. Dia tak bermaksud membunuh mereka, melainkan membuntungi lengan mereka yang kiri.

Akan tetapi dia teringat bahwa biar pun lengan mereka sudah buntung, agaknya kalau mereka sadar, dia tidak mungkin dapat menghadapi mereka yang memiliki kesaktian luar biasa. Membuntungi seorang di antara mereka tentulah menimbulkan pekik dan mereka terbangun, lalu dialah yang akan celaka di tangan mereka. Tidak, bukan begini caranya! Harus lebih dulu membuat mereka tidak berdaya.

Ada sepuluh menit Siu Bi berdiri termangu-mangu, memeras otak mencari keputusan yang tepat. Tubuhnya tadi agak menggigil karena tegang, akan tetapi sekarang ia sudah berhasil menekan perasaannya dan menjadi tenang. la amat memerlukan ketenangan ini, karena apa yang akan ia lakukan adalah soal mati hidup.

la menghadapi suami isteri yang terkenal sebagai orang-orang sakti di dunia persilatan. Nama Pendekar Buta menggegerkan dunia kang-ouw, bahkan orang-orang sakti seperti Ang-hwa Nio-mo dan kawan-kawannya merasa gentar menghadapi Pendekar Buta dan harus menghimpun banyak tenaga sakti untuk menghadapinya. Dan sekarang, sekaligus dia menghadapi suami isteri itu dalam keadaan yang amat menguntungkan!

Siu Bi membiasakan dulu pandang matanya di dalam pondok yang remang-remang itu. Baiknya sinar bulan makin bercahaya, agaknya angkasanya amat cerah, tidak ada awan menghalangi. Perlahan-lahan Siu Bi melangkah menghampiri sudut di mana mereka tidur nyenyak.

Dadanya berdebar lagi, terasa amat panas, sukar baginya untuk bernafas. Punggungnya terasa dingin sekali, akan tetapi sekarang kaki tangannya tak menggigil lagi. la menahan nafas yang disedotnya dalam-dalam, lalu melangkah lagi. Matanya tertuju ke arah Hui Kauw.

Nyonya itu tidurnya miring sehingga memudahkan dirinya untuk menotok jalan darah di punggung yang akan melumpuhkan kaki tangan. Pendekar Buta tidur telentang, lebih sukar untuk membuatnya tidak berdaya dengan sekali totokan. Oleh karena inilah maka Siu Bi mengincar punggung Hui Kauw dan maju makin dekat.

Setelah dekat sekali dan matanya bisa memandang dengan jelas, Siu Bi menahan nafas mengerahkan tenaga dalam. Tangan kanannya bergerak dan dua buah jari tangannya yang kanan menotok punggung Hui Kauw. Dia merasa betapa ujung jari-jarinya dengan tepat menemui jalan darah di bawah kulit yang halus.

Hui Kauw tanpa dapat melawan telah kena ditotok jalan darahnya di punggungnya dan pada detik berikutnya, Siu Bi sudah menotok jalan darah di leher yang membuat nyonya itu menjadi gagu untuk sementara. Hui Kauw mencoba untuk menggerakkan tubuh, tapi sia-sia dan tubuhnya yang miring itu menjadi telentang, matanya terbelalak akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.

Siu Bi yang merasa takut bukan main kalau-kalau Pendekar Buta bangun, cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya menotok kedua jalan darah di pundak kanan kiri, kaget sekali karena ujung jari-jari tangannya bertemu dengan kulit yang amat lunak, lebih lunak dari pada kulit punggung Hui Kauw tadi.

Pendekar Buta mengeluh dan tubuhnya bergerak miring. Melihat ini, cepat-cepat Siu Bi menotok pada punggungnya dan... tubuh Pendekar Buta yang sakti itu kini tidak dapat bergerak lagi kaki tangannya, lumpuh seperti keadaan isterinya! Akan tetapi karena jalan darah pada lehernya tidak tertotok, dia dapat mengeluarkan suara yang terheran-heran,

"Ehh... ehh... apa-apaan ini? Siapa melakukan ini? Hui Kauw, apa yang terjadi...?" Akan tetapi Hui Kauw tidak dapat menjawab karena nyonya ini selain lumpuh kaki tangannya, juga tak dapat mengeluarkan suara!

Saking tegangnya, Siu Bi terengah-engah dan jatuh terduduk. Dalam melakukan totokan-totokan tadi, dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya, ditambah dengan suasana yang menegangkan urat syaraf, maka setelah kini berhasil, ia menjadi terengah-engah, lemas tubuhnya dan... ia menangis terisak-isak.

"Ehh, anak baik, Kim Hoa... apa yang terjadi? Mengapa engkau menangis, dan Bibimu kenapa?" Kun Hong bertanya.

Siu Bi merasa betapa nafasnya sesak dan hawa udara tiba-tiba menjadi panas baginya. Dia melompat berdiri, kedua tangannya menyambar leher baju dua orang yang sudah lumpuh itu dan diseretnya mereka keluar pondok!

"Eh-ehh-ehhh, kaukah ini, Kim Hoa? Apa yang kau lakukan ini?"

Siu Bi menyeret mereka keluar dan melepaskan mereka di depan pondok. Dia sendiri berdiri menengadah, menarik nafas dalam-dalam. Hawa malam yang dingin, angin yang bersilir dan sinar bulan membuat nafasnya menjadi lega. Dia tidak gelisah lagi.

"Pendekar Buta, ketahuilah, aku yang menotokmu dan menotok isterimu." la tersenyum dan tangannya bergerak membebaskan totokan pada jalan darah di leher Hui Kauw.

Nyonya ini terbatuk, mengeluh perlahan lalu berseru, "Bocah, kau siapa? Mengapa kau menyerang kami secara membuta?"

Siu Bi tersenyum lagi. "Dengarlah baik-baik. Namaku Siu Bi dan aku melakukah hal ini karena aku hendak membalaskan dendam kakekku, Hek Lojin. Pendekar Buta, ingatkah kau ketika kau membuntungi lengan kakekku? Nah, kini aku akan memenuhi sumpahku, membalas kalian dengan membuntungi lengan kiri kalian seperti yang dulu kau lakukan terhadap kakek!" Siu Bi mencabut pedangnya.

"Singgg…!"

Lalu ia mendongakkan mukanya ke angkasa berseru perlahan, "Kakek yang baik, kaulah satu-satunya orang di dunia ini yang menyayangiku... sekarang kau sudah tiada lagi... tapi kesayanganmu tidak sia-sia, kakek... lihatlah dari sana betapa saat ini cucumu telah melunasi semua hutang, harap kau beristirahat dengan tenang..."

Setelah berkata demikian dalam keadaan seperti terkena pengaruh gaib atau kemasukan roh jahat yang berkeliaran di malam terang bulan itu, Siu Bi menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah lengan kiri Kun Hong.

"Crakkk!"

Sebuah lengan terbabat putus, darah muncrat-muncrat dan Siu Bi menjerit sambil lompat ke belakang. Di hadapannya, entah dari mana datangnya, sudah berdiri seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya!

"Kakek...!" Siu Bi memekik penuh kengerian, mengira bahwa roh kakeknya yang muncul ini.

Akan tetapi ia melihat betapa lengan kiri yang baru buntung itu masih meneteskan darah segar ada pun di atas tanah tergeletak buntungan tangan. Pendekar Buta dan isterinya masih rebah terlentang. Siu Bi cepat mengalihkan pandang matanya yang terbelalak ke arah orang di depannya, wajahnya pucat sekali.

"Siu Bi... anakku..." Orang itu berkata, biar pun lengannya sudah buntung dan wajahnya pucat serta keringatnya memenuhi muka menahan sakit yang hebat, akan tetapi bibirnya tersenyum. Wajahnya yang setengah tua dan tatapannya dibayangi kedukaan hebat.

"Kau... kau..." Siu Bi berbisik lirih ketika mengenal bahwa orang itu, orang yang datang menangkis pedangnya tadi dengan lengan kirinya sehingga bukan lengan Pendekar Buta yang buntung, melainkan lengannya, adalah The Sun ayah tirinya!

"Aku ayahmu, Siu Bi... lama sekali dan susah payah aku mencarimu..."

"Bukan, kau bukan ayahku! Pergi...!"

The Sun menggeleng kepalanya. "Tidak boleh, Siu Bi, anakku. Kau tak boleh menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk, dosa yang dibuat mendiang kakekmu dan aku..."

"Kau... kau sudah membunuh kakek, kau bukan ayahku... sa... salahmu sendiri... kau menangkis pedangku..."

"Memang sepatutnya lenganku yang buntung, bukan lengan Kun Hong! Biar pun lengan suhu buntung oleh pedang Kun Hong, akan tetapi akulah yang berdosa, dan karenanya sudah sepatutnya aku pula yang mesti menanggung hukumannya. Siu Bi, kau tidak tahu betapa jahatnya kakekmu Hek Lojin, betapa jahatnya pula aku dahulu. Kakekmu dan aku yang dulu menyerbu dan bermaksud membunuh Pendekar Buta, kami bersekutu dengan orang-orang jahat di dunia kang-ouw. Kami haus akan kemuliaan, akan kedudukan dan harta, karena itulah kami memusuhi Pendekar Buta dan Raja Pedang. Akan tetapi kami semua kalah, kakek gurumu juga kalah, baiknya Pendekar Buta masih menaruh kasihan, hanya membuntungi lengan, tidak membunuhnya...! Aku bertemu dengan ibumu, ibumu yang mengandungmu karena dipermainkan majikan-majikannya. Aku membelanya, kami menjadi suami isteri, dan kau... kau anakku juga, Siu Bi. Aku sudah berusaha menebus dosa, mengasingkan diri di Go-bi-san, siapa kira... penebusan dosa yang sia-sia, dirusak kakekmu... dia mendidikmu untuk membalas dendam...,, akhirnya dosaku bertambah, dia tewas di tanganku dan kini, Tuhan menghukum hambaNya, kau sendiri membuntungi lenganku. Ahhh, aku puas... seharusnya beginilah..."

Tiba-tiba Siu Bi menjerit dan menutupi mukanya, menangis terisak-isak. la teringat akan Swan Bu yang sudah dia buntungi lengannya. Pada saat itu suami isteri yang tadinya rebah lumpuh, bersama-sama melompat bangun.

“The Sun, hukum karma tak dapat dielakkan oleh siapa pun juga," kata Kun Hong.

The Sun tercengang dan membalikkan tubuhnya. Ada pun Siu Bi menurunkan tangannya dan memandang bengong.

"Kau... kau... sudah kutotok kalian...," katanya gagap.

Hui Kauw melangkah maju dan…

"Plak! Plak!"

Dua kali kedua pipi Siu Bi ditamparnya, membuat gadis itu terpelanting dan bergulingan beberapa kali. Ketika ia berhasil melompat bangun, kedua pipinya menjadi bengkak.

"Bocah yang dididik menjadi binatang liar dan sangat keji!" kata nyonya ini, senyumnya mengejek. "Kau kira akan dapat membikin lumpuh Pendekar Buta? Kalau dia mau, tadi sudah dengan mudahnya merobohkanmu. Sengaja dia hendak menanti apa yang akan kau lakukan. Pada saat kau membacok tadi, dia telah siap menangkis dan membuatmu roboh. Kiranya The Sun muncul dan mewakilinya dengan berkorban lengan. Dia benar, Tuhan menghukum hamba-Nya!"

Siu Bi kaget, malu, menyesal dan segala macam perasaannya bercampur aduk di dalam dadanya. Kembali ia menjerit lalu ia melarikan diri di malam gelap karena bulan sudah menyembunyikan diri di dalam awan.

"Siu Bi... tunggu...!" The Sun lari mengejar, terhuyung-huyung dan darah berceceran dari lengannya.

Kun Hong memegang tangan isterinya. Memang betul apa yang dikatakan Hui Kauw tadi. Ketika Siu Bi menotoknya, ia kaget akan tetapi dengan sinkang-nya yang luar biasa, dia dapat memunahkan totokan itu dan sengaja dia berpura-pura lumpuh dan diseret keluar menurut saja. Malah ketika Siu Bi mencabut pedang, dia tetap diam saja, hanya siap untuk melakukan serangan balasan merobohkan gadis itu. Pada waktu The Sun muncul, dengan mudahnya dia membebaskan totokan isterinya.

"Hebat...," bisiknya. "Jadi itukah bocah yang dikabarkan mengancam kita? Heran sekali, siapakah sebetulnya yang telah menangkapnya dan menyiksanya...? Anak itu sebetulnya tidak jahat dan syukurlah bahwa The Sun telah dapat menguasai nafsu-nafsunya dan berubah menjadi manusia baik-baik."

"Hemmm, suamiku. Kau selalu mengalah, sabar, dan menilai orang lain dari segi-segi baiknya saja. Gadis demikian kejam dan liar, tidak kenal budi, ditolong malah membalas dengan ancaman membuntungi lengan, kau bilang sebetulnya tidak jahat? Dan The Sun itu, terang dialah gara-gara semua perkara ini, dan kau bilang sudah menjadi manusia baik-baik?"

Hui Kauw sendiri terkenal seorang yang sabar hatinya. Akan tetapi dibandingkan dengan suaminya, kadang kala ia merasa bahwa suaminya itu terlalu lemah dan terlalu sabar...


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 13