Jaka Lola Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 03

Melihat sikap seperti ini, Kui Sanjin hanya tersenyum-senyum sabar dan begitu sampai di depan rombongan tamu, dia mengangkat tangan di depan dada sebagai penghormatan. Juga suhengnya, Thian Beng Tosu, mengangkat kedua tangan memberi hormat. Namun Sin-tung Lo-kai sama sekali tidak membalas penghormatan ini, malah langsung bertanya, suaranya kaku,

"Yang manakah ketua Hoa-san-pai?"

Para tosu anak buah Hoa-san-pai amat marah mendengar pertanyaan yang memandang rendah ini, namun rombongan pemimpin Hoa-san-pai itu tersenyum sabar. Hoa-san-pai merupakan sebuah partai besar, patut mempunyai pimpinan yang bijaksana dan memiliki kesabaran tinggi, sikap orang-orang besar. Kui Sanjin melangkah maju dan menjawab,

"Sayalah yang mendapat kehormatan menjadi ketua Hoa-san-pai. Kalau saya tidak keliru sangka, sahabat ini tentu ketua dari Sin-tung Kaipang, bukan?"

Sin-tung Lo-kai tidak segera menjawab, melainkan menatap tuan rumah penuh selidik. Seorang kakek kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya sederhana seperti pertapa, sikapnya lemah-lembut dan tidak kelihatan sesuatu yang aneh pada dirinya. Meski pun demikian Sin-tung Lo-kai tidak berani memandang rendah karena dia sudah mendengar akan kebesaran Hoa-san-pai.

"Bagus! Ketua Hoa-san-pai, pagi ini kami sengaja datang berkunjung dengan maksud ingin minta penjelasan kenapa Hoa-san-pai amat menghina terhadap Sin-tung Kaipang? Apakah kini Hoa-san-pai merasa sebagai perkumpulan yang paling besar sehingga boleh malang-melintang dan melakukan penghinaan sesuka hatinya pada perkumpulan lain?"

Kui Sanjin mengerutkan alisnya, bertukar pandang dengan Thian Beng Tosu, kemudian menjawab, "Sin-tung Kaipangcu, saya harap kau suka bicara yang jelas. Sesungguhnya kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan dengan penghinaan itu. Memang harus kami akui bahwa telah terjadi bentrokan disebabkan salah paham antara beberapa anak muridmu dengan anak murid kami, akan tetapi hal itu telah diselesaikan dan didamaikan, bahkan oleh Suheng-ku ini, Thian Beng Tosu sendiri. Kami anggap urusan kecil antara anak murid yang masih berdarah panas itu telah selesai. Mengapa kau sekarang datang menyatakan bahwa kami sudah melakukan penghinaan? Penghinaan yang mana harap kau jelaskan."

"Hemmm, bagus sekali! Hoa-san-pai kabarnya merupakan perkumpulan yang besar dan berpengaruh, ternyata ketuanya tidak tahu apa yang terjadi di depan matanya sendiri! Pangcu (Ketua), karena hendak memperbaiki hubungan antara perkumpulan kita yang pernah retak oleh perbuatan anak-anak murid kita, kemarin pagi aku sengaja mengutus dua orang anak muridku untuk naik ke Hoa-san-pai dan menyampaikan surat undangan penghormatan dari Sin-tung Kaipang kepadamu."

"Akan tetapi, kami tidak pernah menerimanya, Pangcu," jawab Kui Sanjin.

"Hemmm, tentu saja tidak pernah menerimanya!” Sin-tung Kaipangcu berkata sambil membanting ujung tongkatnya sampai menancap di atas tanah berbatu di depan kakinya. "Di tengah jalan, dua orang utusanku itu diserang oleh tukang kuda Hoa-san-pai, malah dua ekor kuda tunggangan mereka pun dirampas!"

Semua orang menjadi kaget sekali mendengar ini. "Ahh, mana bisa terjadi hal itu?" Kui Sanjin berseru, tidak percaya. Tidak mungkin ada anak muridnya yang berani melakukan perbuatan seperti itu. Merampas kuda? Tidak bisa jadi!

"Hemmm, tentu saja tidak percaya!" Sin-tung Lo-kai mendengus, kemudian melambaikan tangan kepada dua orang anak buahnya. "Ceritakan kepada mereka!" perintahnya.

Dua orang pengemis melangkah maju dan berdiri membungkuk. Salah seorang di antara mereka yang berkumis panjang lalu bercerita, sedangkan temannya yang berambut putih hanya menundukkan muka.

"Kami berdua sedang menunggang kuda mendaki kaki gunung ketika tiba-tiba seorang pemuda melepaskan kuda yang hampir menubruk kami. Karena merasa kaget dan untuk menyelamatkan diri dari tubrukan, terpaksa saya menggerakkan kaki menendang kuda yang menubruk kami itu. Kuda itu mati. Tukang kuda Hoa-san-pai itu marah-marah, biar pun kami sudah berjanji hendak membicarakan hal itu dengan ketua Hoa-san-pai, karena kami adalah utusan dari Sin-tung Kaipang untuk menyampaikan undangan. Akan tetapi orang muda itu tetap tidak mau melepaskan kami, malah segera menyerang kami dan merampas dua ekor kuda tunggangan kami. Maka terpaksa kami kembali turun gunung dan melapor kepada ketua kami."

Setelah berkata demikian, dua orang pengemis ini cepat-cepat mengundurkan diri lagi ke belakang ketua mereka. Mereka merasa amat malu harus bercerita bahwa mereka kalah oleh seorang kacung kuda Hoa-san-pai.

Kui Sanjin tertegun. Cerita ini benar-benar tidak masuk akal. Dua orang pengemis tadi dia lihat memiliki gerakan-gerakan yang tangkas dan kuat, dan sudah bisa membuat mati seekor kuda hanya dengan sekali tendangan saja, cukup membuktikan kepandaiannya. Masa mereka berdua dikalahkan oleh tukang kuda Hoa-san-pai? Padahal tukang kuda Hoa-san-pai yang sudah tua itu telah meninggal dunia, dan selama belum mendapatkan tukang kuda baru, pekerjaan merawat kuda dilakukan oleh seorang tosu, kalau tak salah Can Tosu yang gendut dan yang dia tahu kepandaiannya rendah sekali.

Kui Sanjin menoleh ke belakang, mencari-cari dengan pandang matanya, mencari Can Tojin, ada pun mulutnya berkata, "Kami tidak memiliki kacung kuda yang masih muda..."

Ketua Sin-tung Kaipang mengeluarkan suara ketawa mengejek. Pada saat itu dua orang tosu maju dan berlutut di depan Kui Sanjin. Itulah dua orang tosu yang kemarin bersama Kwa Swan Bu menyerahkan kuda mereka kepada Yo Wan.

"Mohon ampun sebesarnya kepada Suhu," kata seorang di antara mereka, "Sebenarnya teecu berdua yang sudah menerima kacung itu. Kemarin pagi pada waktu teecu berdua mengantar Swan Bu berlatih panah dan sampai di kaki gunung, teecu melihat seorang pemuda yang keadaannya miskin dan seperti kelaparan. Tadinya teecu kira dia adalah tukang kuda baru yang dijanjikan oleh lurah dusun, akan tetapi ternyata bukan dan dia menyatakan suka bekerja membantu kita. Karena teecu kasihan kepadanya, maka teecu lalu menerimanya sebagai tukang kuda, dan teecu baru akan melaporkan hari ini kepada Suhu. Siapa duga bocah itu menimbulkan onar. Mohon ampun sebesarnya, Suhu."

Kui Sanjin terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi sebelum dia bicara, Swan Bu sudah melangkah maju dan dengan suara lantang berkata kepadanya,

"Supek, benar kata kedua muridmu ini. Memang tadinya sudah kucurigai dia." Dia lalu menoleh ke arah kakek pengemis dan berkata, suaranya tetap lantang, "Hai, Pangcu dari Sin-tung Kaipang! Kau dengar sendiri, tukang kuda itu bukanlah anak murid Hoa-san-pai dan ketua kami tidak tahu menahu tentang keributan itu. Namun, kami dapat memberi hajaran kepada pengacau itu, jangan kau merembet-rembet nama Hoa-san-pai ."

"Swan Bu, diam kau...!" Kwa Kun Hong membentak dan seketika Swan Bu diam.

Akan tetapi tiba-tiba bocah ini meloncat ke depan. Tangan kirinya meraih anak panah, dipasangnya pada gendewanya dan menjepretlah tali gendewa sehingga anak panahnya meluncur ke kiri. Semenjak tadi Yo Wan sudah mendengarkan semua pembicaraan itu. Pagi-pagi tadi dia sudah pergi mencari rumput dan ketika dia melihat rombongan pengemis yang tampak marah mendaki naik puncak, hatinya berdebar tidak enak. Sudah tentu ada hubungannya dengan urusan kemarin, pikirnya.

Oleh karena dia merasa bahwa dia yang menjadi biang keladinya, maka dia lalu pergi mengikuti mereka sampai ke puncak. Yo Wan bersembunyi di balik pohon dan mengintai semua perdebatan tadi. Setelah namanya disebut-sebut oleh dua orang tosu dan Swan Bu, dia segera muncul dengan maksud mengakui semuanya dan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Dari balik batang pohon tadi Yo Wan merasa amat terharu dan sedih melihat suhu dan subo-nya. Sekarang, maklum bahwa perbuatannya itu dapat mengakibatkan keributan, dia mengambil keputusan untuk mempertanggung jawabkan sendiri supaya Hoa-san-pai, terutama suhu dan subo-nya jangan sampai terbawa-bawa. Dengan pikiran inilah dia lalu muncul keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan menuju ke tempat pertemuan.

Sama sekali tidak diduganya bahwa Swan Bu yang pertama melihat dan mengenalnya, malah bocah itu sudah pula melepaskan sebatang anak panah kepadanya. Semua tokoh Hoa-san-pai yang tidak mengenal siapa dia, hanya bisa tertegun dan heran, juga kaget melihat Swan Bu memanah orang muda itu, tanpa sempat mencegah lagi.

Yo Wan tentu saja akan dapat mengelak dengan mudah. Namun dia sedang berduka bahwa dalam pertemuan dengan suhu-nya ini dia sudah mendatangkan keributan hebat, apa lagi mengingat bahwa bocah itu adalah putera suhu-nya yang dibangga-banggakan, dia tidak tega untuk mengelak dan mendatangkan malu.

Sambil mengerahkan tenaga sinkang yang dia latih dari Sin-eng-cu dan Bhewakala, dia sengaja menerima anak panah itu dengan pundak kirinya, akan tetapi cepat-cepat dia menutup jalan darah pada bagian ini sehingga anak panah yang menancap satu dim dalamnya itu hanya melukai kulit dan dagingnya saja. Dengan anak panah menancap di pundak, dia berjalan terus menghampiri mereka.

"Swan Bu, kau lancang..!”

Yo Wan mendengar subo-nya berteriak mencela puteranya. Di dalam hatinya Yo Wan bersyukur bahwa subo-nya masih tetap seorang wanita budiman seperti dulu, sehingga dia menjadi semakin tidak tega untuk membiarkan suhu, subo serta putera mereka itu menanggung akibat dari perbuatannya.

Dia berpura-pura tidak melihat pandang mata subo-nya yang diarahkan kepadanya dan seakan-akan subo-nya itu hampir mengenalnya! Dia juga tak peduli akan pandang mata semua orang di sana yang memandangnya dengan tatapan heran dan tercengang. Yo Wan langsung menghampiri Kui Sanjin dan membungkuk sampai dalam sambil berkata,

"Lopek (Paman Tua), memang betul seperti dikatakan oleh kedua Lopek tadi, saya telah menerima pekerjaan sebagai kacung kuda. Di tengah jalan saya bertengkar dengan dua orang pengemis. Akan tetapi hal itu adalah urusan saya sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Hoa-san-pai. Ini hanyalah urusan seorang kacung kuda dengan para pengemis, harap para lopek di sini melegakan hati karena sekarang juga saya akan bereskan urusan ini dengan para pengemis.”

"Dia... dia... A Wan...!" terdengar Kun Hong berseru.

"Yo Wan...!" Hui Kauw juga menahan teriakannya.

Akan tetapi Yo Wan yang terkejut sekali mendengar suhu dan subo-nya sudah berhasil mengenalnya, segera menghampiri rombongan pengemis dan dengan berdiri tegak dia berkata lantang,

"Kakek pengemis, jika benar kau ketua dari Sin-tung Kaipang, sebaiknya kau memeriksa keadaan anak-anak muridmu sendiri sebelum kau menyalahkan orang lain. Urusan anak muridmu dengan aku si kacung kuda sama sekali berada di luar tanggung jawab pihak Hoa-san-pai karena aku belum diterima secara resmi menjadi tukang kuda Hoa-san-pai. Kenapa kalian ini tak tahu malu membikin ribut di Hoa-san-pai? Akulah yang seharusnya bertanggung jawab!"

Sin-tung Lo-kai marah bukan main. Ingin sekali gebuk dia membikin remuk kepala bocah itu, akan tetapi sebagai seorang ketua kaipang yang tersohor, tentu saja dia tidak mau melakukan hal yang akan merendahkan namanya. Maka dia hanya melotot memandang Yo Wan, lalu membentak,

"Bocah setan! Apa kau mengaku telah merampas dua ekor kuda anak muridku?"

Yo Wan menggeleng kepala, tersenyum mengejek. "Siapa yang merampas? Aku sedang menuntun tiga ekor kuda naik puncak, tiba-tiba dua orang pengemis itu membentak dari belakang. Kuda yang kupegang kaget, seekor meloncat dan hampir menubruk pengemis kumis panjang. Ehh, si kumis itu memamerkan kepandaiannya, kuda itu ditendang mati. Tentu saja aku minta ganti dan siapa pun mereka itu, harus mengganti kuda yang mati karena aku bertanggung jawab atas keselamatan kuda-kuda itu."

"Apa kau tidak dengar bahwa mereka itu merupakan utusan Sin-tung Kaipang?" Ketua ini membentak.

"Baik mereka itu utusan dari raja pengemis atau raja neraka sekali pun, karena sudah membunuh kuda yang menjadi tanggung jawabku, mereka harus menggantinya. Ehhh, mereka marah-marah sehingga terpaksa aku membela diri karena mereka menyerangku. Kemudian mereka berdua lari meninggalkan kuda mereka. Apakah yang begini dapat disebut aku merampas kuda?"

"Keparat kau tukang kuda, mulutmu besar dan sombong sekali! Kau sudah menghina murid-muridku, menghina Sin-tung Kaipang, apakah nyawamu rangkap?"

"Kakek pengemis, kau mau menang sendiri. Kau bilang aku yang menghina, tetapi dua orang muridmu itu hendak membunuhku, malahan malam tadi, siapa yang melepas api hendak membakar kandang kalau bukan orang-orangmu? Hemmm, sebetulnya, kau pun harus mempertanggung jawabkan perbuatan anak-anak muridmu."

"Suheng, menghadapi anak anjing yang menggonggong seperti ini, kenapa pakai banyak aturan? Banting saja mampus, habis perkara!" mendadak salah seorang pengemis yang hidungnya bengkok ke kiri, yang memegang toya, berkata marah.

"Pangcu, harap kau bersabar," tiba-tiba Kui Sanjin berkata lembut. "Sesudah pinto (aku) mendengar omongan bocah ini, kiranya harus diselidiki lebih dulu apakah betul dia yang bersalah. Dalam segala hal, tak baik untuk bertindak sembrono, menghukum orang yang tidak bersalah."

Ternyata ketua Hoa-san-pai ini telah dibikin kagum oleh sikap Yo Wan. la maklum bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang bodoh dan sederhana, agaknya tidak pandai ilmu silat karena kalau memang pandai ilmu silat, bagaimana tidak mampu mengelak dari anak panah yang dilepaskan Swan Bu tadi?

Akan tetapi, jelas bahwa pemuda itu memiliki daya tahan yang luar biasa dan memiliki rasa tanggung jawab yang kiranya jarang dimiliki oleh orang-orang yang mengaku dirinya gagah perkasa. Buktinya, dengan anak panah menancap pada pundak, pemuda itu sama sekali tak mengeluh, bahkan juga tidak tampak nyeri, malah menghadapi para pengemis dengan penuh ketabahan serta penuh tanggung jawab, agaknya jelas hendak mencuci nama Hoa-san-pai dari urusan itu.

"Hoa-san-ciangbunjin (ketua Hoa-san)! Apamukah bocah ini? Apa dia adalah anak murid Hoa-san-pai? Ataukah dia ini menjadi tanggung jawab Hoa-san-pai maka engkau hendak membelanya?" bentak Sin-tung Kaipangcu.

"Dia... A Wan...," kembali terdengar suara perlahan Kwa Kun Hong,

"Sstttt..."

Dengan sudut matanya Yo Wan melihat betapa subo-nya menyentuh lengan suaminya. Yo Wan melempar kerling penuh terima kasih kepada Hui Kauw yang memandangnya penuh pengertian.

Memang Hui Kauw amat cerdik dan halus perasaannya. Agaknya nyonya muda ini telah dapat menduga apa yang menjadi maksud hati murid itu, maka dia hendak membantu, memberi kebebasan kepada Yo Wan untuk melanjutkan maksud hatinya, akan tetapi tentu saja nyonya muda ini bersiap sedia untuk membantu muridnya. Dia dapat melihat lebih jelas dari pada apa yang dapat didengar oleh telinga suaminya yang buta.

"Heh, Pangcu dari para pengemis! Kenapa kau selalu mendesak Hoa-san-pai? Agaknya kau merasa jeri untuk menjatuhkan hukuman terhadap diriku, maka kau selalu berpaling dan mencari-cari kesalahan kepada Hoa-san-pai! Huh, tak tahu malu. Kalau kalian para pengemis hendak membalas dendam kepadaku, lekaslah turun tangan. Apa kau kira aku takut menghadapi kematian?"

"Sin-tung Kaipangcu, jangan ladeni omongan seorang bocah nekat!" tiba-tiba Thian Beng Tosu berseru keras. "Hee, bocah tak melihat keadaan, apakah kau sudah menjadi gila? Jangan main-main terhadap Sin-tung Kaipang!"

Akan tetapi dengan tenang Yo Wan memberi hormat sambil membungkuk kepadanya, lalu berkata, "Urusan ini adalah urusan saya sendiri, harap para lopek yang terhormat dari Hoa-san-pai jangan ikut campur. Hee, pengemis kelaparan, masih tidak berani turun tangan terhadap kanak-kanak seperti aku? Memalukan benar!"

Terdengar teriakan marah dan si pengemis hidung bengkok yang memegang toya sudah melompat maju. Dia adalah sute (adik seperguruan) dari ketua pengemis itu, lihai sekali permainan toya besinya dan dia diberi julukan Tiat-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Bertoya Besi). Wataknya lebih keras berangasan dari pada para tokoh Sin-tung Kaipang yang lain. Mendengar ucapan yang menantang-nantang dari Yo Wan, dia tidak mau bersabar lagi.

"Ada hubungan dengan Hoa-san-pai atau tidak, kau bocah setan sekarang juga harus mampus!" bentaknya dan toyanya yang berat itu menyambar cepat, mendatangkan desir angin gemuruh.

Yo Wan sudah bertekad tidak akan membawa-bawa suhu dan subo-nya, sungguh pun tadi dia bersikap seakan-akan hendak membersihkan Hoa-san-pai, padahal sebenarnya dia tidak hendak menyeret suami isteri itu. Maka sekarang menghadapi sambaran toya, dia tidak mau mempergunakan langkah-langkah ajaib yang dia pelajari dari Kun Hong. la siap menerima kematian karena memang hanya kematian saja yang dapat dia harapkan dalam menghadapi orang-orang berilmu tinggi seperti pimpinan Sin-tung Kaipang ini.

Namun dia juga tidak mau mati konyol begitu saja tanpa perlawanan. Melihat datangnya toya, otomatis kaki tangannya bergerak dan dengan amat mudah dia membiarkan toya itu menyambar lewat tanpa dapat menyentuh tubuhnya sedikit pun juga. Karena tanpa disadarinya dia sudah memiliki kesaktian ilmu silat yang mendarah daging, maka sesuai dengan daya tahan dan daya serang yang berganti-ganti diturunkan Sin-eng-cu beserta Bhewakala kepadanya, tentu saja setiap kali menghadapi serangan, begitu mengelak terus saja Yo Wan membalas serangan itu.

Dan bukan hal kebetulan kalau pada saat itu dia menggunakan sebuah jurus dari Ilmu Silat Ngo-sin Hoan-kun (Lima Lingkaran Sakti) yang telah dia pelajari atau lebih tepat dia ‘mainkan’ menurut petunjuk Bhewakala. Hal ini adalah karena jurus serangan toya yang dilakukan oleh Tiat-pang Sin-kai tadi sifatnya hampir sama dengan jurus-jurus serangan Sin-eng-cu, maka otomatis tubuhnya lalu bergerak mainkan jurus ilmu yang diturunkan oleh Bhewakala kepadanya sebagai lawannya.

Ilmu Silat Ngo-sin Hoan-kun adalah ilmu silat ciptaan pendeta Nepal, pertapa di Gunung Himalaya yang sakti itu, gerakannya dahsyat dan aneh. Tiat-pang Sin-kai melihat betapa dua lengan pemuda itu terus berputar membuat lingkaran-lingkaran yang mengaburkan pandangan matanya dan dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Betapa ingin dia memukul dengan toya, akan tetapi ujung toyanya seakan-akan terlibat oleh sebuah di antara lingkaran itu dan tak dapat digerakkan.

Tiba-tiba dia merasa tubuhnya berpusing laksana tenggelam dalam pusingan angin dan sebelum dia tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tubuhnya itu sudah terlempar sambil berputaran dan robohlah dia dengan kepala di bawah kaki di atas. Dia menjadi pening, kepalanya benjol, toyanya terlempar entah ke mana dan sampai lama dia hanya rebah sambil menggerak-gerakkan kepala mengusir kepeningan dengan mata menjadi juling!

"Ahhh...!"

"Hebat...!"

"Aneh...!"

Seruan-seruan ini keluar dari mulut para tokoh Hoa-san-pai. Peristiwa itu sungguh amat mengejutkan. Kui Sanjin dan yang lain-lain memang sudah siap untuk menolong orang muda yang tabah itu kalau pihak Sin-tung Kaipang hendak membunuhnya. Siapa tahu, hanya dalam dua gebrakan saja seorang tokoh Sin-tung Kaipang yang cukup lihai sudah dibikin melayang seperti itu dengan gerakan tangan dan kaki yang luar biasa, ilmu silat yang membentuk lingkaran-lingkaran ajaib. Ilmu apakah yang dipergunakan pemuda ini?

Hanya Hui Kauw dan Kun Hong yang tidak mengeluarkan suara sama sekali. Hui Kauw memandang kagum dan juga heran karena sepanjang pengetahuannya, murid ini hanya baru menerima dasar-dasar ilmu silat dan di saat terakhir hanya ditinggali Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po oleh Kun Hong. Tadi Hui Kauw sengaja memperhatikan gerak kaki anak itu untuk melihat apakah Yo Wan sudah mahir melakukan langkah-langkah itu, karena kalau sudah mahir, tentu anak itu sanggup menyelamatkan diri dengan langkah-langkah ajaib.

Anehnya, langkah yang dipergunakan Yo Wan sama sekali bukan langkah ajaib ajaran Kun Hong, sungguh pun gerak dan langkah yang dilakukan anak itu pun amat aneh dan asing! Ketika Hui Kauw melirik ke arah suaminya, ia melihat suami ini miringkan kepala mengerutkan kening dan bibirnya menggumam, "Hemmm... hemmm...."

Sebetulnya, robohnya Tiat-pang Sin-kai hanya dalam satu jurus ini bukan semata-mata karena kelihaian Yo Wan, melainkan sebagian besar disebabkan kesalahan pengemis itu sendiri. la terlalu memandang rendah bocah itu, dianggapnya hanya sekali pukul dengan toya akan remuk kepalanya.

Oleh karena memandang rendah inilah maka sekali balas saja Yo Wan langsung berhasil merobohkannya. Andai kata pengemis itu lebih hati-hati, biar pun tak mungkin dia dapat mengalahkan Yo Wan yang sudah mewarisi ilmu-ilmu sakti, namun kiranya dia pun tidak akan roboh hanya dalam satu dua jurus saja!

"Bocah setan! Berani kau menghina saudaraku?" Kakek pengemis di sebelah kiri ketua pengemis meloncat ke depan, lantas menghadapi Yo Wan sambil mencabut pedang di pinggangnya. "Hayo keluarkan senjatamu dan kau lawan aku!"

Sikap pengemis ini jauh lebih gagah dari pada Tiat-pang Sin-kai dan memang dia tidak memandang rendah kepada Yo Wan, karena dia menduga bahwa Yo Wan tentu memiliki kepandaian yang tinggi. Memang dia adalah seorang yang cukup berpengalaman dan tidak bersikap sembrono seperti temannya tadi. Pengemis ini menjadi pembantu Sin-tung Lo-kai karena ilmu pedangnya membuat dia jarang menemukan tandingan. Dia bernama Souw Kiu, seorang ahli pedang dan ahli tenaga Iweekang.

Hati Yo Wan tergetar keras. la tidak pernah mengalami pertandingan-pertandingan, yaitu pertandingan yang sungguh-sungguh, sebab pertandingan yang dia saksikan selama tiga tahun di puncak Liong-thouw-san adalah pertandingan ‘teori’.

Saat dia merobohkan dua orang pengemis kemarin dan pengemis bertoya tadi, dia sama sekali tidak mengira bahwa demikian mudah dia mencapai kemenangan. Disangkanya bahwa memang tiga orang pengemis itu hanyalah orang-orang sombong yang tidak ada gunanya. Sekarang, menghadapi Souw Kiu yang tenang, bermata tajam dan memegang pedang dengan sikap yang kokoh serta kuat, mau tak mau dia menjadi gentar pula untuk menghadapinya dengan tangan kosong.

"Tukang kuda, kau pakailah pedangku ini!" Tiba-tiba Swan Bu berseru sambil mencabut pedangnya yang amat indah.

Yo Wan tersenyum. Lenyap sudah rasa sakit di pundaknya oleh anak panah yang masih menancap itu. Sikap Swan Bu ini sekaligus sudah menjatuhkan hatinya dan meluapkan rasa maafnya terhadap putera dari suhu-nya itu. Dia tersenyum lebar sambil menoleh ke arah Swan Bu.

"Tuan Muda, terima kasih. Tidak berani aku merusakkan pedangmu," jawabnya dengan sungguh-sungguh dan jujur.

Yo Wan sama sekali dia tidak tahu bahwa jawabannya ini membuat wajah Hui Kauw dan Kun Hong menjadi merah. Ayah dan ibu ini merasa terpukul dengan jawaban muridnya kepada puteranya yang tadi memperlakukan Yo Wan secara sewenang-wenang.

Yo Wan maklum bahwa untuk menghadapi pedang lawan, maka dia harus menggunakan senjata pula dan dia anggap bahwa senjata terbaik adalah melawan dengan pedang pula. Lupa bahwa pedangnya hanya sebatang pedang kayu saja, dia segera membuka jubah dan mengeluarkan pedang kayunya yang panjangnya hanya tiga puluh sentimeter, terbuat dari kayu cendana yang harum itu.

Meledak suara ketawa dari anak buah Hoa-san-pai dan anak buah pengemis, akan tetapi tokoh-tokohnya sama sekali tidak tertawa, malah memandang dengan wajah tercengang. Gilakah anak ini? Ataukah memang dia begitu sakti sehingga cukup menghadapi lawan ini dengan pedang kayu saja?

"Itukah senjatamu?!" Souw Kiu membentak dengan suara kecewa. "Apakah kau hendak main-main?" Dia seorang tokoh ilmu silat, mana enak hatinya apa bila dihadapi seorang lawan begini muda yang mempergunakan pedang kayu?

"Memang inilah senjataku dan aku tidak main-main, pengemis tua."

"Jangan menyesal nanti dan bilang aku berlaku sewenang-wenang!" kata pula Souw Kiu, masih meragu. Pertandingan ini disaksikan oleh banyak tokoh Hoa-san-pai, sebab itu dia harus memperlihatkan kegagahannya.

"Aku tak akan menyesal. Kalian memang sudah bertekad untuk membunuhku, tentu saja aku pun bertekad untuk mempertahankan nyawaku sedapat mungkin. Aku tidak biasa memegang pedang tulen, biasa bermain-main dengan pedangku ini. Kalau kau memang berkukuh hendak membunuhku, silakan."

"Awas pedang!"

Sesudah mengeluarkan bentakan ini, dengan secepat kilat Souw Kiu menerjang dengan pedangnya. Gerakan pedangnya sangat cepat dan mengeluarkan suara berdesing yang mengerikan.

Namun bagi Yo Wan, gerakan pengemis itu tidaklah terlalu hebat, apa lagi cepat. Kalau dibandingkan dengan jurus-jurus yang dikeluarkan Sin-eng-cu atau Bhewakala, gerakan itu seperti anak kecil main-main belaka!

Dengan tenang dia kemudian memainkan jurus-jurus yang sesuai dengan pedang yang dipegangnya, yaitu Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang diturunkan oleh Sin-eng-cu padanya. Memang pedang kayu itu adalah senjata buatan Sin-eng-cu yang dahulu dia pakai untuk menghadapi cambuk dari Bhewakala. Maka ketika dia bersilat pedang dengan jurus-jurus dari Sin-eng-cu, seketika pedang kayu di tangannya itu berubah menjadi puluhan batang banyaknya dalam pandang mata lawannya!

“Whir-whir-whirrr…!”

Pedang kayu ini menerbitkan bunyi angin dibarengi kilatan sinar yang membingungkan hati Souw Kiu.

Karena maklum bahwa bocah ini benar-benar pandai, Souw Kiu segera mengerahkan seluruh tenaga dalam dan mengeluarkan semua jurus simpanannya untuk mendapatkan kemenangan. Dia sengaja hendak mengadu senjata, karena merasa yakin bahwa sekali pedang kayu itu bertemu dengan pedangnya, tentu pedang kayu itu akan patah dan dia akan mudah merobohkan lawan.

Hui Kauw memandang dengan kagum sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Yo Wan itu benar-benar merupakan ilmu pedang yang selain indah, juga amat luar biasa. Dia sendiri belum tentu dapat mainkan pedang kayu seperti itu. Ketika dia melirik ke arah suaminya, wajah Kun Hong tegang sekali dan bibir Pendekar Buta ini menggumam lirih,

"Ahhh... mana mungkin...?"

Memang, dapat dibayangkan betapa heran hati Kun Hong ketika telinganya menangkap gerakan ilmu silat Yo Wan yang kali ini cara bersilatnya sama sekali berlawanan dengan dua gerakan ketika merobohkan lawan pertama tadi. Tidak demikian saja, bahkan ilmu pedang yang dimainkan ini mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, yaitu ilmu silatnya sendiri! Padahal dia sama sekali belum pernah mengajarkan ilmu itu meski pun hanya sejurus kepada muridnya.

Para tokoh Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Apa lagi ketuanya, Kui Sanjin yang dikenal sebagai seorang ahli pedang Hoa-san Kiam-sut, di samping isterinya yang juga hadir di situ. Mereka semua kini berdiri bengong, kagum bukan main. Siapa orangnya yang tidak kagum kalau melihat betapa kacung kuda itu dengan hanya sebatang pedang kayu dapat menghadapi seorang ahli pedang seperti Souw Kiu? Dan kadang-kadang pedang di tangan pengemis itu dengan hebatnya menggempur pedang kayu, akan tetapi jangan kata pedang kayu itu menjadi patah karenanya, malah tampak jelas betapa lengan dan tangan Souw Kiu yang memegang pedang tergetar hebat.

Ini hanya menjadi bukti bahwa bocah itu mempunyai tenaga sinkang yang ampuh sekali, tenaga yang bukan sewajarnya dimiliki seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun. Diam-diam mereka menduga-duga, murid siapakah gerangan pemuda ini dan apa maksud orang muda yang memiliki kesaktian itu naik ke Hoa-san-pai dan berpura-pura menjadi tukang kuda? Mengandung maksud tersembunyi yang bagaimanakah? Mereka juga merasa gelisah, menduga bahwa tentulah pemuda itu mengandung suatu maksud tertentu.

Yang paling bingung dan kaget setengah mati adalah Souw Kiu sendiri. Pedang kayu di tangan bocah itu bukan main hebatnya. Gerakannya aneh, daya tahannya amat kokoh kuat dan setiap kali beradu dengan pedangnya sendiri, tangannya tergetar hebat. Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia harus mengaku kalah terhadap seorang kacung kuda? Jika dia dikalahkan oleh salah seorang tokoh Hoa-san-pai, masih tidak apa, akan tetapi oleh seorang kacung kuda? Dan masih bocah lagi!

Dua puluh jurus telah lewat dan dalam penasarannya, Souw Kiu tiba-tiba mengeluarkan bentakan nyaring sekali lalu pedangnya melakukan terjangan kilat. Hui Kauw menutup mulutnya dan seluruh urat tubuhnya menegang. Sebagai seorang ahli pedang, dia pun maklum bahwa pengemis itu melakukan serangan nekat, mengajak adu nyawa. Dia sudah siap untuk menyambar dan menolong muridnya, tetapi dia tidak mau tergesa-gesa karena bila keadaan Yo Wan tidak berbahaya lalu dia menolongnya, hal itu akan merendahkan diri sendiri.

Yo Wan sudah mempelajari banyak sekali jurus-jurus ampuh dan ada kalanya Sin-eng-cu mau pun Bhewakala dalam keadaan terdesak pun mengeluarkan jurus-jurus yang nekat. Karena itu, menghadapi serangan ini dia tidak menjadi gugup. Dari pada dia terluka atau terpaksa membunuh orang, lebih baik mengorbankan pedang kayunya, pikirnya cepat. Melihat pedang lawan menyambar dengan babatan kilat, dia cepat menangkis dengan pedang kayunya, tetapi dia sengaja tidak menyalurkan tenaga kepada pedang kayu ini.

"Krakkk!"

Pedang kayu patah menjadi dua, tubuh Souw Kiu terdorong ke depan dan di lain saat dia sudah roboh terguling oleh pukulan tangan kiri Yo Wan yang tepat mengenai pundak kanannya sedangkan pedangnya entah bagaimana sudah berpindah ke tangan pemuda itu!

Souw Kiu bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntahkan darah merah. Ternyata satu kali pukulan Yo Wan itu sudah mendatangkan luka parah di dalam dadanya. Hal ini tidak mengherankan karena Yo Wan menggunakan pukulan Iweekang dari Sin-eng-cu sebagai timpalan permainan pedangnya tadi.

Tanpa dapat ditahan lagi, para tosu Hoa-san-pai bertepuk tangan memuji. Setelah ketua mereka berpaling dan memandang tajam, baru mereka berhenti. Walau pun tokoh-tokoh Hoa-san-pai tidak ada yang terang-terangan memuji dan berpihak, namun wajah mereka yang berseri menjadi tanda bahwa mereka merasa puas melihat rombongan Sin-tung Kaipang yang sombong itu diberi hajaran oleh orang luar yang mengaku sebagai kacung kuda Hoa-san-pai!

Baru seorang pelamar kacung kuda saja sudah begini hebatnya, apa lagi orang-orang Hoa-san-pai sendiri! Meski pun tidak secara langsung, pemuda yang luar biasa itu sudah mengangkat tinggi derajat dan nama Hoa-san-pai dengan sepak terjangnya menghadapi Sin-tung Kaipang ini. Yo Wan sendiri sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk memusuhi Sin-tung Kaipang. Dia tahu bahwa kemarin dia telah membuat onar. Hanya untuk menjaga agar nama suhu serta subo-nya jangan sampai terbawa-bawa, maka dia mempertanggung jawabkannya sendiri. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh tanpa melawan.

Hatinya girang luar biasa setelah berhasil mengalahkan dua orang lawan. Semangatnya timbul dan dia mulai mengerti, mulai terbuka mata hatinya bahwa jika dia mau melawan, belum tentu orang-orang kasar ini mampu membunuhnya!

Sementara itu, Sin-tung Lo-kai sampai menjadi pucat mukanya saking marah. la merasa terhina sekali. Dua orang pembantu yang paling dia andalkan, sudah berturut-turut roboh secara mudah oleh seorang kacung kuda.

"Orang-orang Hoa-san-pai!" bentaknya sambil mengangkat tongkatnya ke depan dada. "Apakah kalian diamkan saja bocah setan ini menghina kami?"

"Urusanmu dengan anak ini tak ada sangkut-pautnya dengan kami, Pangcu," berkata Kui Sanjin dengan suara tenang.

Kakek ketua Hoa-san-pai ini sekarang timbul kepercayaannya terhadap Yo Wan. Pantas saja bocah ini hendak membereskan sendiri, kiranya dia memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebat. Dia masih tidak mengerti kenapa bocah ini suka menutupi dan melindungi Hoa-san-pai, akan tetapi jalan satu-satunya bagi ketua Hoa-san-pai ini untuk membalas budi hanya membiarkan bocah itu melanjutkan maksud hatinya. Inilah sebabnya maka dia sengaja menjawab seperti itu.

"Hemmm, biarlah kubikin mampus dahulu bocah ini, baru kami akan bicara lagi dengan Hoa-san-pai!" Sin-tung Lo-kai berseru marah. "Bocah setan, lekas kau memilih senjata. Aku tidak sudi menyerang lawan tanpa senjata. Kalau kau butuh pedang, orang-orangku bisa memberi pinjam untukmu."

Yo Wan maklum bahwa lawannya ini tentu seorang yang pandai. Kemantapan gerakan tongkat itu saja sudah membayangkan tenaga Iweekang yang amat hebat. la tidak berani memandang ringan, maka dilolosnya cambuk peninggalan pertapa Bhewakala. Cambuk ini hitam warnanya, panjang dan berat, tetapi di tangan Yo Wan terasa ringan dan enak. Maklum, selama tiga tahun dia main-main dengan cambuk ini.

"Ketua Sin-tung Kaipang, sesungguhnya aku tidak suka berkelahi dengan siapa pun juga, aku tak ingin mencari perkara dengan siapa juga. Akan tetapi bila kau masih tetap nekat hendak membunuhku, tentu saja aku akan berusaha menyelamatkan diri," jawab Yo Wan sambil memegang gagang cambuk dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membelai-belai ujung cambuk.

"Tak usah cerewet, lihat tongkatku!" Ketua pengemis itu menggerakkan tongkatnya dan berkelebatlah sinar beraneka warna seperti pelangi menyilaukan mata.

Yo Wan kaget dan bingung seketika karena gerakan tongkat itu hebat serta menyilaukan warnanya. Juga para tokoh Hoa-san-pai menahan nafas. Sekali ini mereka benar-benar khawatir karena tingkat kepandaian Sin-tung Lo-kai benar-benar tidak boleh dipandang ringan. Anak muda remaja ini mana mampu mempertahankan diri?

"Tar-tar-tarrr...!"

Lecutan cambuk bertubi-tubi terdengar nyaring disusul berkelebatnya sinar cambuk yang hitam, bergerak-gerak bagai ular naga hitam bermain di angkasa. Yo Wan telah mainkan ilmu cambuknya Ngo-sin Hoan-kun dan ujung cambuk itu kini melecut-lecut, menyambar-nyambar setelah membentuk lingkaran-lingkaran aneh di udara. Kagetlah semua orang. Hui Kauw melihat betapa suaminya sambil mengerutkan kening telah mengepal tinjunya.

"Bhewakala... siapa lagi... tentu Bhewakala...," terdengar suaminya bersungut-sungut.

Yang paling kaget adalah Sin-tung Lo-kai sendiri. Permainan cambuk lawannya amatlah hebatnya, bagaikan gelombang samudera sedang mengamuk. Lingkaran-lingkaran yang bergelombang lima kali itu benar-benar sangat dahsyat, menyembunyikan ujung cambuk yang kadang-kadang mematuk dan melecut bagai petir menyambar.

Inilah ilmu cambuk yang luar biasa aneh, yang belum pernah disaksikan Sin-tung Lo-kai selama hidupnya. la mengertak gigi, mengerahkan seluruh kepandaian dan mainkan ilmu tongkatnya untuk menahan gelombang dan petir itu. Akan tetapi Yo Wan tidak mau memberi hati kepadanya. Pemuda ini memilih jurus-jurus serangan dari Ngo-sin Hoan-kun sehingga belum lewat tiga puluh jurus, ketua pengemis itu sudah mundur-mundur dan hanya dapat menangkis serta mengelak ke sana ke mari, tidak mampu membalas dan keadaannya repot sekali.

Tiba-tiba pengemis tua itu mengeluarkan bentakan keras dan sinar-sinar hijau langsung menyambar ke arah Yo Wan. Inilah sinar senjata rahasia berupa paku-paku hijau yang beracun, yang tadi disambitkan secara diam-diam, merupakan senjata gelap yang sangat berbahaya.

"Curang...!" Hui Kauw berseru, namun dia tahu bahwa dia sendiri tidak mampu menolong karena senjata-senjata gelap itu dilempar dari jarak yang amat dekat, yaitu selagi kedua orang itu bertanding berhadapan.

Yo Wan adalah seorang pemuda yang belum berpengalaman dalam urusan bertempur. Sungguh pun dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, tetapi dia tidak tahu akan adanya akal-akal busuk dari lawan macam Sin-tung Lo-kai. Akan tetapi dia seorang yang amat cerdik. Melihat berkelebatnya sinar-sinar hijau dan juga mendengar seruan subo-nya, dia cepat menggunakan langkah ajaib. Kini terpaksa dia membuka rahasia dirinya dan memainkan langkah-langkah yang dia pelajari dari suhu-nya karena dia maklum bahwa benda-benda yang menyambarnya itu amat berbahaya.

Dan benar saja, dengan langkah-langkah ajaib yang dia mainkan, tujuh buah benda kecil kehijauan itu meluncur lewat di samping tubuhnya, tak ada sebuah pun mengenai dirinya. Teringat akan bahaya ini, timbul kemarahan Yo Wan. la mencabut anak panah dengan tangan kiri, pecutnya kembali menerjang maju dan kini dibarengi dengan sambitan anak panah.

Sin-tung Lo-kai tadi terkejut bukan main melihat pemuda aneh itu dapat menghindarkan diri dengan gerakan kaki seperti orang mabuk. Selagi dia kecewa dan terkejut, cambuk lawannya menerjang seperti hujan badai. Cepat dia mengangkat tongkat menangkis dan melompat mundur.

Tetapi tiba-tiba dia berteriak keras dan roboh, anak panah itu menancap pada dadanya sebelah kanan! Baiknya anak panah itu tidak terlalu dalam menembus kulit dada, namun cukup membuat ketua Sin-tung Kaipang itu mengerang kesakitan dan tidak bisa bangun kembali. Anak buahnya cepat memberi pertolongan. Tanpa pamit lagi Sin-tung Lo-kai menyuruh anak buahnya memanggulnya turun gunung! Mereka bagaikan serombongan anjing yang disiram air panas, lari tersaruk-saruk sambil tunduk, tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun lagi.

Andai kata mereka memiliki buntut, sudah tentu buntut itu mereka kempit di antara kaki. Kekalahan yang diderita sekali ini benar-benar membuat mereka kuncup dan selamanya mereka takkan berani memusuhi Hoa-san-pai. Baru melawan seorang kacung kuda saja, ketua mereka dirobohkan dengan mudah!

Setelah musuh pergi, Yo Wan tidak dapat menyembunyikan diri lagi. la menghampiri Kwa Kun Hong dan Kwee Hui Kauw, serta merta dia menjatuhkan diri berlutut lalu berkata dengan suara gemetar penuh keharuan.

"Suhu...! Subo...!" la tinggal berlutut, meletakkan mukanya di atas tanah dan meramkan kedua matanya, mulutnya berkata lirih, "...teecu datang menyusul..."

"Wan-ji (anak Wan)! Kenapa baru sekarang kau datang...?" Hui Kauw berkata dan siap merangkul murid itu. Akan tetapi nyonya muda ini menahan kedua tangannya pada saat melihat wajah suaminya. Jelas bahwa suaminya kelihatan marah.

"A Wan, apa maksudmu datang seperti ini?"

Yo Wan tak dapat menjawab dan pada saat itu, para tokoh Hoa-san-pai sudah datang menghampiri. Dengan senyum lebar Kui Sanjin berkata,

"Ahhh, kiranya anak ini murid Kun Hong? Pantas begini lihai! Ha-ha-ha-ha, benar-benar Sin-tung Kaipang tidak tahu diri, dan senang sekali hati pinto mengetahui bahwa anak yang memberi hajaran kepada mereka kiranya adalah orang sendiri! Ha-ha-ha!"

Para tokoh Hoa-san-pai sungguh-sungguh merasa gembira dan bangga. Kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Buta tentu saja sudah mereka ketahui dengan baik, dan meski pun Pendekar Buta terhitung golongan muda di Hoa-san, akan tetapi dialah sebetulnya yang menjadi andalan untuk membikin besar nama Hoa-san-pai. Kelihaian anak muda yang sudah mengusir para tokoh Sin-tung Kaipang ini merupakan bukti akan kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Buta.

Tentu saja mereka tidak mengerti bahwa Pendekar Buta sendiri berpikir lain pada saat itu. Tidak tahu bahwa Kun Hong amat marah kepada Yo Wan, hanya menahan hatinya karena dia tidak ingin memarahi muridnya di depan banyak orang.

"A Wan kau ikut aku...!" kata Kun Hong kepada anak muda itu.

Yo Wan mengerti bahwa suhu-nya marah, sebab itu dengan kepala tunduk dia mengikuti gurunya masuk ke dalam, diikuti pula oleh Kwee Hui Kauw yang menggandeng tangan Swan Bu. Para tokoh Hoa-san-pai yang masih bergembira itu juga mengundurkan diri, membiarkan guru dan murid itu menikmati pertemuan tanpa diganggu.

"Nah, sekarang ceritakan tentang sikapmu yang aneh itu, A Wan. Aku ingin mendengar selengkapnya dan sejujurnya. Mengapa kau datang menyusul kami secara sembunyi dan pura-pura menjadi kacung kuda?" tanya Kun Hong, suaranya perlahan.

Akan tetapi Yo Wan maklum bahwa suhu-nya sedang tak senang hati. Menggigil dia dan cepat-cepat dia berlutut di depan suhu-nya yang duduk di atas sebuah kursi lain, ada pun Swan Bu berdiri memandang dengan matanya yang lebar tajam.

Dengan suara lirih Yo Wan lalu menceritakan pengalamannya sejak suhu dan subo-nya turun gunung meninggalkannya seorang diri. Tentang niatnya menyusul ke Hoa-san-pai tiga tahun yang lalu, dan betapa dia bertemu dengan Sin-eng-cu serta Bhewakala yang sedang bertanding dan keduanya terluka, betapa kemudian dia menolong mereka dan selama tiga tahun menjadi perantara dalam adu ilmu sampai Sin-eng-cu meninggal dunia karena tua dan Bhewakala kembali ke dunia barat.

"Kemudian teecu menyusul ke Hoa-san, Suhu, dan sungguh tidak teecu kehendaki telah terjadi keributan di sini, bahkan teecu-lah yang menjadi biang keladinya. Teecu mengaku salah dan siap menerima hukuman apa pun juga dari Suhu dan Subo."

"Mengapa kemarin kau tidak langsung naik menemui kami, tapi malah bersembunyi dan menyamar sebagai tukang kuda?" suara Kun Hong masih bengis karena hatinya belum puas.

"Teecu merasa ragu-ragu dan takut kalau-kalau Suhu tidak menghendaki kedatangan teecu kebetulan teecu bertemu dengan dua orang tosu dan putera Suhu ini... teecu ditawari pekerjaan tukang kuda, teecu lalu menerimanya, ingin melihat gelagat lebih dulu sebelum teecu berani menghadap Suhu. Celakanya, di tengah jalan seekor di antara tiga kuda yang harus teecu bawa ke puncak dibunuh pengemis itu. Teecu tak ingin berkelahi, hanya minta ganti seekor kuda yang hidup, kiranya mereka marah dan menyerang teecu. Akhirnya mereka lari dan meninggalkan kedua ekor kuda mereka, terpaksa teecu bawa sekalian ke puncak, dan kuda yang mati teecu kubur di pinggir jalan."

"Yang mati itu kudaku! Ayah, suruh murid Ayah ini mencarikan pengganti kudaku, dialah yang bertanggung jawab karena dia yang membawanya,” Swan Bu berseru nyaring.

"Hushhh, diam kau!" Kun Hong membentak puteranya lalu bertanya, "A Wan, setelah kau tahu rombongan Sin-tung Kaipang datang mengapa kau masih pura-pura tidak mengenal kami dan melayani mereka seorang diri mengandalkan ilmu silatmu? Apakah kau hendak pamerkan kepandaian di Hoa-san-pai?"

Yo Wan mengangguk-angguk mencium lantai. “Ahhh tidak... Suhu, sama sekali tidak...,” katanya gagap dan takut. "Mana teecu berani begitu kurang ajar pamerkan kepandaian sedangkan teecu tidak bisa apa-apa? Hanya kebetulan saja teecu bisa menang padahal sama sekali teecu tidak bermaksud demikian. Sesudah melihat bahwa peristiwa kemarin itu menimbulkan keributan hebat, teecu menjadi takut kalau Hoa-san-pai terbawa-bawa, terutama sekali kalau Suhu dan Subo terbawa-bawa oleh gara-gara yang teecu lakukan kemarin. Maka dari itu, teecu sengaja pura-pura tidak ada hubungan dengan Suhu dan Subo, juga dengan Hoa-san-pai. Teecu ingin mempertanggung-jawabkan sendiri, kalau perlu teecu rela mati untuk menebus kesalahan, asal tidak sampai menyeret Hoa-san-pai dan terutama sekali Suhu berdua. Akan tetapi, tentu saja seberapa dapat teecu hendak mempertahankan diri terhadap pengemis-pengemis yang jahat itu."

Kun Hong mengangguk-angguk dan pada sepasang mata Hui Kauw tampak dua butir air mata. Nyonya muda itu menjadi terharu sekali melihat murid yang amat setia itu. Diam-diam dia memperhatikan dan menjadi kagum sekali. Muridnya ini sekarang bukan seorang anak kecil lagi, melainkan sudah menjadi seorang jejaka tanggung yang tampan dan sederhana, pandai merendahkan diri biar pun memiliki kepandaian yang amat tinggi.

"Yo Wan, apakah kehendakmu sekarang?" Kun Hong bertanya, suaranya halus kini.

"Suhu, tidak ada keinginan lain dalam hati teecu semenjak dahulu selain ikut Suhu dan Subo, bekerja untuk Suhu dan mengharapkan belas kasihan berupa pelajaran ilmu silat agar dapat teecu pakai kelak untuk membalas dendam terhadap The Sun."

Kun Hong menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Yo Wan, tidak bisa kau ikut dengan kami di sini..."

"Suhu, biarlah teecu menjadi tukang kuda, menjadi kacung pelayan, teecu akan bekerja apa saja, biarkan teecu melayani Suhu berdua, dan adik... adik Swan Bu, asal teecu boleh berdekatan dengan Suhu berdua...," suara Yo Wan menggetar karena terharu dan khawatir kalau-kalau dia tidak akan diterima oleh suhu-nya.

"Yo Wan, kau bukan kanak-kanak lagi! Kau sudah dewasa, masa selama hidupmu hanya ingin menjadi kacung saja? Tidak, aku tak mau menerimamu di sini, sekarang sudah tiba waktunya kau hidup sendiri, mengejar ilmu dan pengalaman, mengisi hidupmu dengan perbuatan-perbuatan yang berguna bagi orang lain dan bagi dirimu sendiri, kau tak boleh tinggal di sini."

"Suhu, teecu ingin menerima pelajaran ilmu silat dari Suhu..."

"Tidak bisa, Yo Wan. Ilmu silat dariku tidak boleh dicampur aduk. Kau sudah menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan hebat dari susiok-couw-mu dan dari Bhewakala. Hanya belum kau selami inti sarinya dan belum matang saja. Kepandaianmu sudah cukup dan kalau kau menerima pelajaran dariku, salah-salah bisa rusak malah."

"Suhu, teecu bukanlah murid kakek Sin-eng-cu, juga bukan murid Bhewakala locianpwe. Teecu tidak belajar dari mereka. Apa yang teecu ketahui dari mereka boleh teecu buang dan mulai saat ini juga dan teecu akan mulai belajar dari suhu."

Tiba-tiba ada angin pukulan mendesir dari arah belakang menyerang tengkuk Yo Wan, disusul sinar pedang yang menusuk lambungnya. Otomatis Yo Wan membuang diri, lantas bergulingan dan cambuknya berbunyi nyaring ketika bergerak melingkar-lingkar melindungi bagian belakang tubuhnya. Betapa terkejut hatinya pada saat dia melihat bahwa yang menyerangnya tadi ternyata adalah subo-nya sendiri, Kwee Hui Kauw yang kini telah duduk kembali sambil menyarungkan pedangnya.

"Suhu mu bicara benar, Yo Wan. Ilmu silat kedua orang kakek sakti itu sudah mendarah daging padamu, tak mungkin dibuang begitu saja lalu mulai belajar ilmu silat baru. Akan merusak segala-galanya. Kau lihat sendiri tadi, begitu ada bahaya mengancam, otomatis tubuhmu melakukan gerakan sesuai dengan jurus-jurus dari kedua orang kakek itu. Ilmu silatmu sudah cukup tinggi, tak perlu belajar lagi dari kami."

Yo Wan tertegun, lalu menjatuhkan diri berlutut, air matanya bertitik perlahan. "Suhu dan Subo... perkenankan teecu membalas budi Suhu berdua dengan pelayanan, tidak diberi pelajaran silat juga tidak apa, asal teecu dapat melayani Suhu berdua..."

Kun Hong meraba kepala Yo Wan dengan perasaan terharu. Hui Kauw menghapus dua butir air matanya dengan sapu tangan. "Yo Wan, kami mengusirmu bukan karena kami tidak cinta padamu. Sama sekali tidak. Semua peristiwa, baik yang terjadi di Liong-thouw-san mau pun di sini, bukan salahmu. Aku mengusirmu turun gunung sekarang juga bukan dengan maksud tak baik, muridku, namun dengan maksud untuk kebaikanmu sendiri. Kau bukan anak murid Hoa-san-pai, juga tidak bisa dibilang muridku dan kau sudah dewasa. Kau harus mencari kedudukan dan membuat nama baik di dunia."

"Apakah Suhu mengira bahwa teecu sudah boleh pergi mencari The Sun dan membalas sakit hati ibu?"

Kun Hong menghela nafas panjang. "Dendam... balas membalas... tiada habisnya, tidak akan aman dunia ini selamanya. Yo Wan, mengapa kau tidak membalas dendam dengan kasih?"

Yo Wan bingung, tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhu-nya.

"Bagaimana, Suhu? The Sun menyebabkan kematian ibu, sudah seharusnya kalau teecu mencarinya dan balas membunuhnya."

"Ha-ha-ha, anak bodoh. Siapakah The Sun itu yang bisa mendatangkan kematian pada seseorang? la hanya menjadi lantaran, karena memang nyawa ibumu sudah semestinya kembali pada saat itu, sudah dikehendaki oleh Thian Yang Maha Kuasa!"

Yo Wan makin bingung, dia menoleh kepada subo-nya. Nyonya muda itu maklum bahwa suaminya sedang kambuh, yaitu tenggelam dalam lautan filsafat kebatinan, maka ia lalu berkata halus, "Yo Wan ingin mendengar apa yang selanjutnya harus dia lakukan. Bicara tentang filsafat yang tidak dimengerti olehnya, membuang waktu sia-sia saja."

Kun Hong sadar dari lamunannya, keningnya berkerut. "Yo Wan, jangan kau kira bahwa akan mudah saja menghadapi seorang seperti The Sun. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan kepandaian yang kau warisi dari kedua orang kakek itu masih mentah. Coba kau berdiri dan siap menghadapi seranganku, aku akan mengujimu!"

Yo Wan girang karena ini berarti dia akan mendapat petunjuk. Cepat dia bangkit berdiri, dan secepat kilat Kun Hong telah menerjang. Yo Wan melihat gurunya memukul dengan gerakan cepat akan tetapi pukulan itu amat lambat tampaknya. Dia tidak berani berlaku sembrono.

Melihat betapa ilmu pukulan suhu-nya itu serupa benar dengan Liong-thouw-kun yang dia pelajari dari Sin-eng-cu, segera dia mengeluarkan jurus-jurus Ngo-sin Hoan-kun dari Bhewakala. Sampai lima jurus dia dapat mengimbangi gurunya, tapi pada jurus ke enam, suhu-nya melakukan gerakan serangan yang aneh sekali dan tahu-tahu pundak kirinya terdorong. Dorongan perlahan yang cukup hebat, membuat Yo Wan terpelanting.

"Aduhhh..." Yo Wan menahan keluhannya.

Dorongan itu mestinya tidak menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi karena kebetulan yang didorong adalah pundak kiri yang tadi terluka oleh anak panah Swan Bu, terasa perih dan sakit sekali.

"...ehhh, kenapa pundakmu...?" Kun Hong bertanya kaget. Diam-diam dia kagum karena muridnya yang masih mentah ilmunya ini ternyata mampu mempertahankan diri sampai lima jurus!

"...ti... tidak apa-apa, Suhu... dorongan Suhu hebat bukan main, teecu rasa biar sampai seratus tahun teecu belajar, tanpa bimbingan Suhu teecu tetap takkan mampu menjadi seorang ahli..."

"Hushh, goblok jika kau berpikir begitu. Kau hanya kurang matang itulah. Pundak kirimu itu... coba kau mendekat." Yo Wan mendekat dan Kun Hong lalu meraba. "Ehh, terluka senjata? Kapan terjadinya? Dalam pertempuran tadi kau sama sekali tidak terluka, kan?"

"Ayah, luka di pundaknya itu adalah karena terkena anak panahku!" Swan Bu berkata lantang. "Ketika tadi dia muncul, kuanggap dia itu mengacau di Hoa-san, maka kupanah dia, kena pundaknya. Akan tetapi dia memiliki ilmu sihir, Ayah. Panahku terus menancap di pundaknya ketika dia bertempur tadi, bahkan ketika melawan Sin-tung Lo-kai, anak panahku itu dia pergunakan untuk melukai lawannya. Apakah itu bukan ilmu hitam?"

"Swan Bu...! Ahh, bagaimana kau menjadi rusak oleh kemanjaan seperti ini? Setan, kau lancang sekali. Hayo lekas minta maaf kepada Yo Wan koko!"

Swan Bu bersungut-sungut. "Aku tidak merasa salah, mengapa minta maaf?"

"Suhu, sudahlah. Adik Swan Bu masih kecil, dan dia mempunyai watak gagah perkasa. Kalau tidak mengira bahwa teecu seorang jahat dan musuh Hoa-san-pai, kiranya dia tak akan melepaskan anak panah. Dia tidak bersalah, Suhu."

Kun Hong menarik nafas panjang. "Yo Wan, setelah kau menerima semua ilmu itu, tak mungkin lagi kau menjadi muridku. Hanya Thian yang tahu betapa kecewa hatiku, karena mencari murid seperti kau, agaknya selama hidupku takkan dapat kutemukan. Sekarang kau ingat baik-baik pesanku. Turunlah dari sini dan kau carilah Bhewakala. Hanya dialah yang dapat menyempurnakan dan mematangkan ilmu yang ada padamu, karena selain sebagian ilmu itu dari dia datangnya, juga dalam pertandingan selama tiga tahun itu tentu dia dapat menyelami ilmu dari susiok-couw-mu pula. Kau harus mematangkan ilmu yang kau miliki itu di bawah petunjuk Bhewakala. Nah, sesudah kepandaianmu matang, baru kau boleh datang lagi kepadaku untuk bicara tentang The Sun."

Yo Wan merasa berduka sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah. Hui Kauw lalu melangkah maju dan memegang kedua pundaknya. Sepasang mata bening subo-nya itu berair.

"Yo Wan, kau tahu betapa besar kasih sayang kami padamu. Percayalah, semua pesan Suhu-mu adalah demi kebaikan dirimu sendiri. Taati pesannya itu, Yo Wan. Perjalanan mencari pendeta barat itu tentu sukar dan jauh, akan tetapi untuk mencapai sesuatu, makin jauh dan makin sukar akan semakin baik. Terimalah ini untuk bekal di perjalanan." Hui Kauw meloloskan pedang dari pinggangnya, memberikan pedangnya itu kepada Yo Wan, kemudian dia menyerahkan pula sekantung uang emas.

Bukan main terharunya hati Yo Wan. Ingin dia menangis menggerung-gerung oleh kasih sayang yang besar, yang dilimpahkan mereka padanya. Akan tetapi dia maklum bahwa suhu-nya tidak suka akan sikap cengeng semacam ini, maka dia menekan perasaannya, lalu berpamit. Takut kalau-kalau air matanya bercucuran, sesudah mendapat ijin dia lalu melangkah ke luar dengan langkah lebar, lalu berlari secepatnya meninggalkan tempat itu agar tidak ada orang melihat betapa air matanya bercucuran di sepanjang jalan.

Akan tetapi sepasang suami isteri yang sakti itu mengetahui hal ini. Hui Kauw terisak menangis. "Dia anak baik...," katanya.

"Sebaliknya anak kita yang akan rusak bila terus-terusan mendapat kemanjaan yang luar biasa di sini. Hui Kauw, kita harus pergi dari sini, kembali ke Liong thouw-san, sekarang juga."

Bukan main girangnya hati Hui Kauw mendengar ini. Memang inilah yang sudah menjadi idam-idaman hatinya, akan tetapi tadinya Kun Hong menaruh keberatan karena dia ingin membiarkan puteranya hidup bahagia, dekat saudara-saudara di Hoa-san-pai yang amat mencinta anak itu. Siapa tahu, terlalu banyak cinta kasih yang dilimpahkan membuat anak itu tidak pernah dan tidak mau tahu akan kesukaran, membuatnya manja dan selalu ingin dituruti kehendaknya karena semenjak kecil tidak pernah ada yang menolak semua keinginannya….
cerita silat karya kho ping hoo

Perjalanan yang dilakukan Yo Wan sangat sukar dan jauh. la mentaati pesan Kun Hong, juga dia ingat akan pesan Bhewakala bahwa pendeta itu selalu menanti kedatangannya di Anapurna, yaitu sebuah puncak di Pegunungan Himalaya. Perjalanan yang amat jauh dan membutuhkan ketekatan yang bulat serta keuletan yang tahan uji. Baiknya dia membawa bekal sekantung uang emas pemberian Hui Kauw. Kalau tidak, perjalanannya tentu akan lambat karena dia harus berhenti-henti untuk bekerja sekedar mencari pengisi perut. Sekarang dia dapat melakukan perjalanan dengan lancar, terus ke barat, hanya mau berhenti kalau kemalaman di jalan atau kalau sudah amat lelah.

Melakukan perjalanan ke timur atau ke selatan jauh lebih cepat dari pada perjalanan ke barat atau ke utara. Hal ini adalah karena semua sungai mengalir ke selatan atau ke timur, dan pada masa itu, di waktu perjalanan darat amatlah sukarnya, jalan satu-satunya yang paling cepat adalah perjalanan melalui air.

Namun Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Larinya cepat bagaikan kijang dan setiap kali melalui hutan atau gunung yang sukar, dia masih dapat berlari cepat. Juga sebagai seorang pemuda yang berpakaian sederhana, nampak tidak membawa apa-apa, dia selalu terbebas dari gangguan para perampok yang hanya memperhatikan orang-orang yang membawa barang-barang berharga.

Setelah tiba di Pegunungan Himalaya, barulah pemuda itu mengalami kesukaran hebat. Beberapa kali hampir saja dia mendapat celaka ketika perjalanannya sampai di bagian yang tertutup salju. Dinginnya hampir tak tertahankan lagi. Malah pernah ada gunung es longsor, gugur dan kalau dia tidak cepat melompat ke dalam jurang dan berlindung, tentu dia akan terkubur hidup-hidup di dalam salju.

Kurang lebih sudah sebulan dia melalui perjalanan yang amat sukar dan sunyi ini. Hanya kadang-kadang dia berjumpa kelompok pengembara atau singgah di gubuk pertapa. Di tempat seperti ini, uang sudah tidak ada artinya lagi, tak dapat menolong seseorang dari kesengsaraan. Hanya sikap yang baik dapat menolongnya, karena pertolongan datang dari orang-orang yang tidak terbeli oleh harta, melainkan oleh keramahan. Dari para pertapa inilah Yo Wan akhirnya sampai juga di Anapurna, tempat pertapaan Bhewakala. Pendeta itu amat girang melihat kedatangan Yo Wan yang sekarang berlutut di depannya dan menceritakan semua pengalamannya di Hoa-san.

"Ha-ha-ha, Pendekar Buta memang hebat dan dia cukup menghargai orang lain, maka dia menyuruh kau datang ke sini, muridku. Memang dia betul, meski pun ilmu-ilmu yang pernah kau latih dari aku dan Sin-eng-cu telah mendarah daging pada tubuhmu, namun masih mentah karena kau belum mampu menyelami inti sarinya. Nah, mulai hari ini kau belajarlah baik-baik muridku."

Bhewakala tidak hanya menggembleng Yo Wan dalam ilmu silat untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi juga memberi gemblengan-gemblengan ilmu batin kepada Yo Wan. Makin lama pemuda ini semakin betah tinggal di Himalaya, pelajaran kebatinan semakin meresap ke dalam hatinya, dan walau pun dia masih buta huruf karena tidak pernah mempelajarinya, namun kini mata hatinya sudah terbuka dan dapatlah dia meneropong ke dalam penghidupan manusia.

Mengertilah dia kini akan ucapan Kun Hong tentang dendam dan balas-membalas, dan makin lama makin tipislah keinginan hatinya untuk mencari The Sun dan membunuhnya. Telah lenyap pula hasratnya untuk merantau di dunia ramai karena di samping gurunya, di tempat sunyi dan dingin ini, dia sudah menemukan ketenteraman hidup, kebahagiaan sejati manusia yang tidak digoda oleh kehendak nafsu, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari lingkaran karma….

***********

Waktu berjalan pesat bagai anak panah terlepas dari busurnya. Sembilan tahun lamanya Yo Wan berada di Himalaya dan pada suatu hari Bhewakala yang sudah tua itu jatuh sakit. Pendeta ini maklum bahwa waktu hidupnya sudah tiba pada saat terakhir. la tidak ingin muridnya yang terkasih itu menyia-nyiakan hidupnya sebagai pertapa selagi masih begitu muda. Dipanggilnya Yo Wan dan dengan suara lirih dan nafas tinggal satu-satu pendeta ini meninggalkan pesan.

"Yo Wan, saat bagiku untuk meninggalkan dunia sudah hampir tiba. Aku girang dengan peristiwa ini, karena selain berarti kebebasanku, juga kau akan terlepas dari ikatanmu dengan aku. Kini ilmu yang kau miliki telah cukup untuk bekal hidup. Bertahun-tahun kau selalu menolak perintahku untuk turun gunung dan pergi merantau, dengan alasan ingin melayani aku yang sudah tua sebagai pembalas budi. Kau masih terikat oleh budi, tentu tak mudah melepaskan diri dari ikatan dendam. Akan tetapi kau sudah masak sekarang, matang lahir batin. Pesanku terakhir ini harus kau taati, Yo Wan. Apa bila aku meninggal dunia, kau harus membakar jenazahku di pondok ini, bakar semua yang berada di sini. Kemudian kau harus meninggalkan tempat ini, kembali ke timur."

"Tapi... Guru…”

"Tidak ada tapi, kau sebagai seorang anak tidak boleh menjadi anak yang puthauw (tidak berbakti). Di sana terdapat kuburan ayahmu, juga ada kuburan ibumu, siapa yang akan merawatnya? Lagi pula, kau bukan ditakdirkan hidup menjadi pertapa. Kau harus turun gunung, kembali ke dunia ramai, mencari jodoh, mempunyai keturunan seperti manusia-manusia lain. Soal The Sun, terserah kebijaksanaanmu sendiri."

"Ahh, Guru..."

Bhewakala tersenyum lebar, kembali berkata, "Biarkan dirimu menjadi permainan hidup, menjadi permainan kekuasan Tuhan, karena untuk itu kau telah diberi hak hidup disertai kewajiban-kewajibannya. Apa bila kau mengingkari pesanku ini, selamanya kau tak akan dapat tenteram, karena kau tentu tidak akan suka mengecewakan aku."

Yo Wan tidak dapat membantah lagi karena dia maklum bahwa semua yang dikatakan gurunya itu betul belaka. la tidak mungkin mau mengecewakan orang yang sudah begitu baik terhadap dirinya, sungguh pun masa depan di dunia ramai tidak menarik hatinya, bahkan menggelisahkan. Pada malam harinya, Bhewakala menghembuskan nafas terakhir di hadapan Yo Wan. Pemuda yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun lebih itu menyambut kematian ini dengan wajar, tidak menangis, meski pun ada juga penyesalan akibat dari perpisahan dengan orang yang disegani dan dihormati.

la melaksanakan pesan gurunya itu dengan baik-baik, membakar jenazah berikut pondok dan segala benda yang berada di sana. Tiga hari tiga malam dia berkabung di tempat yang sudah menjadi gundul dan kosong itu, kemudian mulailah dia turun gunung. Pagi-pagi dia berangkat ke arah munculnya matahari yang kemerah-merahan. Bergidik dia melihat keindahan ini, sebab dia merasa seakan-akan sedang berjalan menuju ke api neraka yang merah, dahsyat dan akan menelannya…..

**********

Kita tinggalkan dahulu Yo Wan yang sedang turun dari Pegunungan Himalaya, memulai perjalanannya yang amat sunyi dan jauh serta sukar untuk mulai dengan perantauannya, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Siu Bi, gadis lincah dan berhati tabah itu. Seperti sudah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Siu Bi, puteri tunggal The Sun, meninggalkan Go-bi-san dengan hati sakit. Setelah mengetahui bahwa dia bukan puteri The Sun, bukan keturunan keluarga The, simpatinya lalu tertumpah pada mendiang Hek Lojin yang telah terbunuh oleh The Sun. Dia merasa menyesal dan kecewa. Kiranya dia bukan puteri The Sun. Siapakah orang tuanya? Apakah dia bukan anak ibunya pula?

Mengingat ini, menangislah Siu Bi di sepanjang jalan. Dia sangat mencinta ibunya, dan sekarang dia pergi tanpa pamit. Biar pun orang yang selama ini mengaku ayahnya telah mengecewakan hatinya dengan memukul mati Hek Lojin dan dengan kenyataan bahwa orang itu bukan ayahnya yang sejati, namun ibunya tidak pernah melukai hatinya. Ibunya selalu sayang kepadanya sehingga andai kata dia bukan ibunya yang sejati, Siu Bi tetap akan mencintanya.

Betapa pun juga, Siu Bi dapat menguasai perasaannya. Ia melakukan perjalanan dengan tabah. Tujuannya hanyalah satu, yaitu mencari dan membalas dendam kepada Kwa Kun Hong! la akan menantang Pendekar Buta itu sebagai wakil dari Hek Lojin dan berusaha sedapatnya untuk membuntungi sebelah lengan Pendekar Buta itu, juga lengan isterinya dan anak-anaknya. la telah bersumpah di dalam hati kepada kongkong-nya, Hek Lojin. la merasa yakin akan dapat melakukan tugas ini. Sesudah mewarisi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang, ia merasa dirinya cukup kuat dan tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun juga.

Ingat akan hal ini, Siu Bi menjadi bersemangat dan di bawah sebatang pohon besar ia berhenti kemudian berlatih dengan kedua ilmu silat itu. Memang hebat sekali ilmunya ini. Pedangnya hanya sebatang pedang biasa saja, namun berubah menjadi gulungan sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar di antara awan menghitam yang merupakan uap dari pukulan-pukulan Hek-in-kang.

Ketika ia berhenti berlatih satu jam kemudian, di bawah pohon sudah penuh daun-daun pohon yang terbabat putus tangkainya oleh sinar pedangnya dan yang rontok oleh hawa pukulan Hek-in-kang! Siu Bi berdiri tegak, kepalanya tunduk memandangi daun-daun itu dengan hati puas. Pendekar Buta, pikirnya, lenganmu dan lengan-lengan anak isterimu akan putus seperti daun-daun ini!

Sebagai seorang gadis remaja, gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih, Siu Bi melakukan perjalanan yang amat jauh dan sulit. Go-bi-san merupakan pegunungan yang luas sedang jalan menuruni pegunungan ini sama sukarnya dengan jalan pendakiannya. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi Siu Bi tidak menemui kesukaran. Tubuhnya bergerak lincah dan ringan, kadang kala dia harus melompat jurang. Dengan ginkang-nya yang amat tinggi ia dapat melompat bagaikan terbang saja, tubuhnya ringan meluncur di atas jurang, dilihat dari jauh tidak ada ubahnya seorang dewi dari kahyangan yang terbang melayang turun ke dunia.

Pakaiannya yang terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, biru dan kuning itu berkibar-kibar tertiup angin ketika ia melompat. Ronce-ronce pedang yang tergantung di punggungnya menambah kecantikan dan kegagahannya. Berpekan-pekan Siu Bi keluar masuk hutan, naik turun gunung, melalui banyak dusun di kaki gunung dan melalui beberapa kota pegunungan. Setiap kali dia bertemu orang, tentu dia menjadi pusat perhatian. Apa lagi kaum pria, melihat seorang gadis remaja demikian cantik jelitanya, memandang penuh kekaguman.

Namun tiada orang berani mengganggu, karena tidak hanya pedang di punggung Siu Bi yang membuktikan bahwa gadis remaja jelita itu seorang ahli silat. Akan tetapi juga Siu Bi tidak menyembunyikan gerak-geriknya yang lincah dan ringan, sehingga setiap orang tahu bahwa dia adalah seorang pendekar wanita muda yang tak boleh dibuat main-main!

Pada suatu hari tibalah ia di kota Pau-ling di tepi Sungai Huang-ho, setelah melakukan perjalanan sebulan lebih ke selatan. Sebetulnya Pau-ling tidak patut disebut kota, tetapi sebuah dusun yang menghasilkan banyak padi dan gandum. Tanah di lembah Sungai Huang-ho ini amat subur sehingga pertanian banyak maju dan hasilnya berlimpah-limpah. Karena letaknya dekat dengan sungai besar, maka dusun ini makin lama makin ramai dengan perdagangan melalui sungai. Hasil-hasil sawah ladang diangkut melalui sungai dengan perahu-perahu besar.

Ketika Siu Bi lewat di pelabuhan sungai, ia melihat banyak orang mengangkat padi dan gandum berkarung-karung ke atas perahu-perahu besar. Orang-orang ini bekerja dengan wajah muram, tubuh mereka kurus-kurus dan pakaian mereka penuh tambalan. Beberapa orang yang memegang cambuk dan berpakaian sebagai mandor, membentak-bentak dan ada kalanya mengayunkan cambuk ke punggung seorang pengangkut yang kurang cepat kerjanya. Ada lima enam orang mandor yang galak-galak, dan melihat Siu Bi lewat, mereka tertawa-tawa sambil memandang dengan mata kurang ajar. Ada yang bersiul-siul dan menuding-nuding ke arah Siu Bi.

Panas hati Siu Bi. Namun ia menahan sabar, karena ia tidak mau kalau perjalanannya tertunda hanya karena ada beberapa orang laki-laki yang memperlihatkan kekaguman terhadap kecantikannya secara kurang ajar. la mempercepat langkahnya dan sebentar saja ia sudah tiba di luar dusun Pau-ling.

Akan tetapi kembali di luar dusun, di kanan kiri jalan di mana sawah ladang membentang luas, ia disuguhi pemandangan yang amat mencolok mata. Belasan orang laki-laki yang keadaannya miskin dan bertubuh kurus seperti para kuli angkut karung gandum dan padi tadi, tampak sedang menuai gandum di sawah. Tampak pula belasan orang wanita yang juga bekerja.

Mereka bekerja dengan penuh semangat, tapi jelas bukan semangat yang mengandung kegembiraan, melainkan semangat karena ketakutan. Beberapa orang mandor menjaga mereka dengan cambuk di tangan pula. Di sana-sini terdengar cambuk berbunyi ketika melecut punggung, diiringi jerit kesakitan.

Siu Bi berdiri terpaku. Hatinya mulai panas. Akan tetapi kiranya ia tak akan sembarangan mau mencampuri urusan orang bila saja tidak melihat kejadian yang membuat wajahnya yang jelita menjadi kemerahan saking marahnya.

la melihat betapa seorang wanita setengah tua yang tampaknya sakit, roboh terpelanting sesudah menerima cambukan pada punggungnya. Seorang gadis yang usianya sebaya dengan dia menjerit dan menubruk wanita itu, menangisi ibunya yang telah pingsan. Dua orang mandor cepat menghampiri mereka, lalu dengan sekali sambar yang seorang telah mengangkat tubuh gadis itu dan... menciuminya sambil terkekeh-kekeh dan berkata,

"Ha-ha-ha, jangan kau besar kepala setelah terpakai oleh majikan! Lain hari kau tentu akan diberikan kepadaku. Ha-ha-ha…!"

Ada pun mandor kedua dengan marahnya menghajar wanita setengah tua itu dengan cambuk, memaki-maki, "Anjing betina! Siapa suruh kau pura-pura mampus di sini? Hayo berdiri dan bekerja, kalau tidak kucambuki sampai hancur badanmu!"

Siu Bi tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Keparat jahanam, lepaskan mereka!"

Bagaikan seekor burung walet cepat dan ringannya, tubuh Siu Bi sudah melayang dekat orang yang menciumi gadis tadi. Sekali kakinya bergerak menendang terdengar suara berdebuk dan mandor yang galak serta ceriwis itu terlempar sampai empat meter lebih kemudian jatuh terbanting ke dalam lumpur.

“Ngekkk!” terdengar suara lain beberapa detik kemudian.

Ternyata orang kedua yang mencambuki wanita setengah tua itu terlempar pula oleh tendangan Siu Bi, hampir menimpa kawannya yang baru merangkak-rangkak bangun.

Semua pekerja serentak menghentikan pekerjaan mereka, berdiri terpaku. Muka mereka pucat dan hampir saja mereka tidak percaya apa yang mereka lihat tadi. Seperti dalam mimpi saja. Siapakah orangnya berani melawan para mandor? Kiranya hanya seorang gadis yang cantik jelita, seorang gadis remaja.

"Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwa Im) menolong kita...," bisik seorang lelaki tua dan serentak mereka menjatuhkan diri berlutut menghadapi Siu Bi.

Di jaman itu kepercayaan orang-orang, terutama orang-orang dusun, tentang kesaktian Dewi Kwan Im yang sering kali muncul atau menjelma untuk membersihkan kekeruhan dunia dan menolong orang-orang sengsara, masih amat tebal. Dewi Kwan Im terkenal sebagai Dewi Welas Asih, dewi lambang kasih sayang dan penolong yang juga terkenal amat cantik jelita. Kini melihat seorang dara jelita berani melawan dua orang mandor, dan sekali tendang dapat membuat dua orang mandor galak itu terpelanting dan roboh, otomatis mereka menganggap bahwa Dewi Kwan Im yang menolong mereka.

Namun dua orang mandor itu tidak berpendapat demikian. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, yang tahu akan wanita-wanita pandai ilmu silat semacam Siu Bi. Mereka malu dan marah sekali, akan tetapi untuk beberapa menit mereka tidak berdaya karena ketika terbanting tadi, muka mereka mencium lumpur sehingga kini mereka sibuk membersihkan lumpur dari wajah mereka, menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah.

Empat orang kawan mereka sudah datang berlari, diikuti para pekerja yang ingin melihat apa yang sedang terjadi di situ. Pada saat para pekerja melihat teman-temannya berlutut menghadapi Siu Bi dan melihat pula dua orang mandor merangkak dengan muka penuh lumpur seperti monyet, mereka segera mengerti atau dapat menduga duduknya perkara. Tanpa banyak komentar lagi mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Dewi Kwan Im yang menjelma sebagai gadis cantik jelita dan sedang menolong mereka itu!

Empat orang mandor tadinya masih belum menduga apa yang terjadi, akan tetapi dua orang mandor yang merangkak di lumpur itu segera berkaok-kaok, “Tangkap gadis setan itu, berikan padaku nanti!"

Mendengar ini, empat orang mandor lari menghampiri Siu Bi. Seorang di antara mereka yang berkumis tikus membentak, "Bocah, siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?"

"Yang menjadi persoalan adalah apa yang kalian lakukan, bukan apa yang aku lakukan," suara Siu Bi merdu dan nyaring sehingga para pekerja miskin itu makin percaya bahwa dara ini, tentulah penjelmaan Kwan Im Pouwsat!

"Kalian berenam ini manusia ataukah sekumpulan binatang buas, menekan orang-orang miskin ini, mencambuki mereka, menghina wanitanya. Yang barusan kulakukan hanyalah menendang dua orang kawanmu itu sebagai pelajaran. Apa bila ternyata kalian serupa dengan mereka, kalian berempat pun akan kuberi tendangan seorang sekali."

Dapat dibayangkan betapa marahnya empat orang itu. Mereka adalah mandor-mandor jagoan alias para tukang pukul dari Bhong-loya (tuan tua she Bhong) yang menjadi lurah dan orang paling kaya di Pau-ling. Semua sawah ladang adalah milik Bhong-loya, semua perahu besar adalah milik Bhong-loya.

Siapa berani menentang Bhong-loya yang mempunyai pengaruh besar pula di kota raja? Para pembesar dari kota raja merupakan teman-temannya, para buaya darat adalah kaki tangannya, serta para mandor adalah bekas-bekas jagoan dan perampok yang memiliki kepandaian. Sekarang anak perempuan yang masih hijau itu berani memandang rendah mereka?

"Bocah setan, kau harus diseret ke hadapan Bhong-loya dan ditelanjangi, terus dipecut seratus kali sampai kau menjerit-jerit minta ampun, baru tahu rasa!" bentak seorang di antara mereka. Akan tetapi baru saja mulutnya tertutup, tubuhnya sudah terlempar ke dalam lumpur oleh sebuah tendangan kaki kiri Siu Bi!

Gerakan Siu Bi tadi cepat bukan main, tendangannya hanya tampak perlahan saja akan tetapi akibatnya terlihat oleh semua orang. Tubuh si tukang pukul yang tinggi besar itu melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin.

Tiga mandor yang lain dengan marah menerkam maju. Mereka tak menggunakan aturan perkelahian lagi, karena di samping kemarahan mereka, juga mereka merasa kagum dan tergila-gila akan kecantikan serta kejelitaan yang jarang bandingannya di kota Pau-ling. Maka seakan berlomba mereka berusaha meringkus dan memeluk gadis galak itu untuk memuaskan kemarahan dan kegairahan mereka.

"Brukkk!"

Ketiga orang itu mengaduh karena mereka saling tabrak dan saling adu kepala. Dalam kegemasan tadi mereka menubruk berbareng, bagaikan tiga ekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi yang ditubruk hilang, yang menubruk saling beradu kepala.

Siu Bi tidak mau bertindak kepalang tanggung. Dengan gerakan yang cepat sekali kedua kakinya menendang dan di lain saat tiga orang tukang pukul itu juga sudah terpelanting masuk ke dalam lumpur di sawah.

"Lopek, kenapa mereka itu amat kejam terhadap kalian?" tanya Siu Bi kepada seorang petani tua yang berlutut paling dekat di depannya, sama sekali ia tidak peduli lagi pada enam orang mandor yang kini sibuk berusaha membuka mata yang kemasukan lumpur.

"Pouwsat (Dewi) yang mulia... kami adalah petani-petani dusun yang sengsara dan amat miskin... tolonglah kami, karena sekarang sekedar untuk dapat makan kami telah diperas dan ditekan oleh Bhong-loya... mereka itu adalah tukang-tukang pukul Bhong-loya..."

"Tan-lopek, mengapa kau begitu lancang mulut...?" tegur seorang petani di belakangnya yang nampak ketakutan sekali. "Apa kau tidak takut akan akibatnya kalau Pouwsat sudah kembali ke kahyangan?"

Siu Bi menahan senyum, geli hatinya mendengar bahwa ia disebut Pouwsat. Dianggap Kwan Im! Mengapa tidak? Kwan Im Pouwsat merupakan seorang dewi yang penuh kasih kepada manusia. Kata kongkong-nya, dunia kang-ouw banyak orang-orang pandai yang mempunyai nama julukan. Dia telah mewarisi kepandaian tinggi, maka sudah sepatutnya memiliki nama julukan pula. Kwan Im? Nama julukan yang baik sekali.

"Jangan takut. Aku akan membela kalian dan memberi hajaran kepada mereka yang jahat. Apakah mandor-mandor ini jahat terhadap kalian?"

"Jahat?" Petani tua yang disebut Tan-lopek oleh temannya tadi mengulang kata-kata ini, mukanya memperlihatkan bayangan kemarahan yang memuncak. "Mereka itu lebih jahat dari pada Bhong-loya sendiri! Mereka seperti serigala-serigala kelaparan, entah berapa banyak di antara kami yang mereka bunuh, mereka aniaya menjadi manusia-manusia cacad dan selanjutnya hidup sebagai jembel."

Semakin panaslah hati Siu Bi. Orang-orang jahat yang suka menganiaya dan membunuh orang patut dihukum, pikirnya. Ketika ia membalikkan tubuh ke arah enam orang mandor itu, ternyata mereka telah bangkit dari lumpur, berhasil mencuci muka dengan air sawah, lalu sekarang melangkah lebar sambil mencabut pedang. Dengan sikap penuh ancaman mereka menghampiri Siu Bi, pedang di tangan, nafsu membunuh terbayang pada mata mereka yang merah.

"Setan betina. Berani kau main gila dengan para ngohouw (tukang pukul) Bhong-loya? Bersiaplah untuk mampus dengan tubuh tercincang hancur!" teriak si kumis tikus sambil menerjang lebih dulu dengan ayunan pedangnya.

Melihat gerakan mereka, Siu Bi memandang rendah. Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuasaan saja, sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian yang berarti. Oleh karena ini ia merasa tak perlu harus menggunakan pedangnya. Tanpa mencabut pedang, ia menghadapi serangan si kumis tikus.

Dengan ringan ia miringkan tubuh, tangan kirinya menyambar. Pada waktu itu tangan kiri Siu Bi sudah amat terlatih dan penuh terisi hawa Hek-in-kang. Ada bayangan sinar hitam berkelebat ketika tangan kirinya bergerak. Tahu-tahu si kumis tikus berteriak keras dan terpelanting roboh, pedang di tangan kanannya sudah berpindah ke tangan Siu Bi. Cepat laksana kilat menyambar, pedang itu membabat ke bawah dan buntunglah tangan kanan si kumis tikus itu sebatas siku. Orangnya menjerit dan pingsan!

Lima orang kawannya segera menerjang dengan marah. Namun kali ini Siu Bi tidak mau memberi ampun lagi. Pedang rampasan di tangannya berkelebat dan lenyap bentuknya sebagai pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

Terdengar jeritan susul-menyusul dan dalam beberapa jurus saja, lima orang itu sudah kehilangan lengan kanan mereka sebatas siku. Agaknya, teringat akan janjinya kepada kakeknya, Hek Lojin, gadis ini apa bila marah terdorong oleh nafsu membuntungi lengan orang, terutama orang-orang jahat, seperti enam orang mandor ini, dan seperti Pendekar Buta Kwa Kun Hong beserta anak isterinya!

Dengan tenang Siu Bi membalikkan tubuh menghadapi para petani yang masih berlutut dan yang kini semua pucat wajahnya karena ngeri menyaksikan peristiwa pembuntungan enam orang mandor itu. Di dalam hati mereka merasa puas sebab ada ‘Sang Dewi’ yang membalaskan dendam mereka terhadap mandor-mandor yang kejam itu, tetapi mereka juga amat takut akan akibatnya. Alangkah akan marahnya Bhong-loya, pikir mereka.

"Para paman dan bibi, jangan kalian takut. Sekarang mari antarkan aku ke rumah orang she Bhong yang sewenang-wenang itu. Jangan takut, aku akan menanggung semua perkara ini, kalian hanya mengantar dan menonton saja."

Pada mulanya para petani itu ketakutan. Mendatangi rumah Bhong-loya? Sama dengan mencari penyakit, mencari celaka. Akan tetapi petani tua itu bangkit berdiri.

"Mari, Pouwsat, saya antarkan. Biar nanti aku akan dipukul sampai mati, aku sudah puas melihat ada yang berani membela kami dan memberi hajaran kepada manusia-manusia berwatak binatang itu."

Melihat semangat empek tua ini banyak pula yang ikut bangkit, tetapi hanya beberapa belas orang saja dan semua laki-laki. Yang lain-lain tetap berlutut tak berani mengangkat muka. Akan tetapi bukan maksud Siu Bi untuk mengajak banyak orang, karena yang ia kehendaki hanya petunjuk jalan agar ia tidak usah mencari-cari di mana rumah manusia she Bhong itu.

Dengan wajah membayangkan perasaan geram dan nekat, belasan orang laki-laki yang sebagian besar bertelanjang kaki dan berpakaian penuh tambalan itu mengantar Siu Bi menuju ke dalam dusun. Rombongan ini tentu saja menarik perhatian banyak orang, apa lagi ketika mereka mendengar dari para pengiring Siu Bi tentang perbuatan gadis jelita itu membuntungi lengan enam orang mandor di sawah.

Seketika keadaan dusun Pau-ling menjadi gempar, lebih-lebih saat para petani miskin itu menyatakan tanpa keraguan bahwa dara jelita yang sedang mereka iringkan ini adalah penjelmaan Kwan Im Pouwsat! Segera banyak orang ikut mengiringkan walau pun dari jarak agak jauh sebagai penonton, karena mereka tidak ingin menimbulkan kemarahan Bhong-loya, maka tidak menggabungkan diri dengan rombongan petani itu, melainkan sebagai rombongan penonton.

Gedung besar yang menjadi tempat tinggal Bhong-loya memang amat besar dan amat menyolok kalau dibandingkan dengan kemelaratan di sekelilingnya. Bhong-loya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, menjadi lurah di dusun itu sudah bertahun-tahun. Karena korupsi besar-besaran dan penghisapan atas tenaga murah para petani yang dulunya sebagian besar merupakan pengungsi dari banjir besar Sungai Huang-ho, maka dia menjadi kaya-raya.

Betapa pun juga harus diakui bahwa Bhong-loya (tuan tua Bhong) yang sesungguhnya bernama Bhong Ciat itu tidaklah seganas atau sekeji orang-orangnya. Bukan menjadi rahasia lagi bahwasannya anjing-anjing peliharaan penjaga rumah jauh lebih galak dan ganas dari pada majikannya. Para petugas rendahan merupakan serigala-serigala buas yang selalu mengganggu rakyat miskin, tentu saja dengan bersandar kepada kekuasaan dan pengaruh Bhong Ciat.

Ransum untuk para pekerja kasar yang telah ditentukan oleh Bhong Ciat hanya sebagian kecil saja sampai di tangan para pekerja itu. Upah pun demikian pula, dicatut, dipotong, dikurangi banyak tangan-tangan kotor sebelum sisanya yang tidak berapa itu masuk ke kantong para pekerja.

Celakanya, Bhong Ciat sudah terlalu mabuk dengan kesenangan serta kemuliaan, sama sekali tidak memperhatikan keadaan rakyatnya, tidak tahu bahwa orang-orangnya sudah melakukan tekanan yang amat keji. Dikiranya bahwa semua berjalan lancar dan licin, dan dia merasa bahagia di dalam rumah gedungnya, setiap hari menikmati makanan lezat dilayani oleh selir-selir muda dan cantik.

Lebih celaka lagi bagi para penduduk miskin di Pau-ling, lurah Bhong memiliki seorang anak laki-laki, bukan anak sendiri tetapi anak pungut karena Bhong Ciat tidak mempunyai keturunan sendiri, yaitu seorang anak laki-laki yang sudah dewasa bernama Bhong Lam.

Pemuda inilah yang membuat keadaan menjadi makin berat bagi para penduduk karena Bhong Lam merupakan pemuda yang selalu mengumbar nafsu-nafsu buruknya. Tak ada seorang pun wanita yang muda dan cantik di dusun itu yang dapat hidup aman. Tidak peduli anak orang, isteri orang, siapa saja asal gadis itu termasuk keluarga miskin, pasti akan dicengkeramnya.

Untuk maksud-maksud keji ini, Bhong Lam tidak segan-segan menghambur-hamburkan uang ayah angkatnya. Setiap hari dia berpesta-pora, kadang-kadang bila sudah bosan di dusun lalu pergi pesiar ke kota-kota lain diikuti rombongan tukang pukulnya dan di kota inilah dia menghamburkan uang dan main gila.

Bhong Lam tidak hanya ditakuti karena dia putera angkat Bhong-loya, akan tetapi juga karena dia merupakan seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya. Dia pernah belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim perantauan, dan terutama sekali permainan toyanya amat kuat sehingga semua tukang pukul keluarga Bhong tidak seorang pun yang dapat mengalahkannya. Agaknya kepandaiannya inilah yang membuat Bhong Lam makin lama semakin bertingkah, merasa seakan-akan dia sudah menjadi seorang pangeran!

Sebagai keluarga yang paling berkuasa di Pau-ling, tentu saja banyak kaki tangannya. Banyak pula petani-petani miskin yang berbatin rendah sehingga suka menjadi penjilat. Oleh karena itu, peristiwa di sawah tadi sudah pula sampai kabarnya di rumah gedung Bhong Ciat sebelum rombongan yang mengiringkan Siu Bi tiba di situ. Ada saja petani miskin yang lari lebih dulu dan dengan maksud menjilat mencari muka, lalu melaporkan peristiwa di sawah kepada Bhong-loya.

Pada waktu itu, kebetulan sekali Bhong Lam juga berada di rumah. Mendengar tentang peristiwa itu marahlah pemuda ini. Cepat-cepat dia menyambar toyanya dan menyatakan kepada ayah angkatnya bahwa orang tua itu tidak perlu khawatir karena dia sendiri yang akan memberi hajaran kepada ‘dewi palsu’ itu.

Dengan geram Bhong Lam melompat dan lari keluar dari dalam gedung saat mendengar suara ribut-ribut di luar gedung karena rombongan petani itu memang sudah tiba di sana. Kemarahan Bhong Lam memuncak. Akan dia bunuh wanita jahat itu dan semua petani yang mengiringkannya. Tidak seorang pun akan diberi ampun karena hal ini perlu untuk menakuti hati para petani agar tidak memberontak lagi.

"Setan betina, berani kau main gila?!" Bhong Lam melompat keluar sambil menudingkan telunjuknya.

Akan tetapi tiba-tiba dia berdiri terpaku dan biar pun telunjuk kirinya masih menuding dan toyanya dipegang di tangan erat-erat, namun matanya terbelalak mulutnya ternganga. la melongo tanpa dapat mengeluarkan suara, memandang wajah Siu Bi, seperti terpesona dan kehilangan semangat. Sungguh mati dia tidak mengira sama sekali bahwa wanita yang telah membuntungi lengan enam orang mandornya adalah dara secantik bidadari. Pantas saja disebut-sebut sebagai Dewi Kwan Im!

Belum pernah selama hidupnya dia melihat dara secantik ini, kecuali dalam alam mimpi dan dalam gambar. Lebih suka dia rasanya untuk maju berlutut dan menyatakan cinta kasihnya dari pada harus menghadapi dara ini sebagai lawan yang harus dibunuhnya.

Dibunuh? Wah, sayang! Lebih baik ditangkap dan... ah, belum pernah dia mendapatkan seorang dara pendekar. Alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan gadis yang pandai ilmu silat pula seperti dia! Senyum lebar menghias wajahnya yang tampan juga dan kini mulutnya dapat bergerak.

"Nona... eh, kau siapakah dan... eh, kudengar kau bertengkar dengan orang-orang kami? Bila mereka berbuat salah terhadap Nona, jangan khawatir, aku yang akan menegur dan menghukum mereka!"

Jika saja dalam perjalanan ke rumah keluarga Bhong itu Siu Bi tak mendengar penuturan petani tua tentang keadaan Bhong Ciat dan putera angkatnya, Bhong Lam, tentu ia akan tercengang dan heran menyaksikan sikap dan mendengar omongan pemuda ini. Karena ia sudah mendengar bahwa pemuda yang menjadi putera angkat keluarga Bhong, seorang ahli main toya, adalah pemuda yang paling jahat dan yang mata kerajang, maka baginya sikap Bhong Lam ini merupakan sikap ceriwis, bukan sikap ramah tamah. Berkerut aiisnya yang kecil panjang ketika Siu Bi menodongkan pedang rampasannya sambit bertanya, "Kaukah yang bernama Bhong Lam?"

"Aduh mati aku..." Bhong Lam bersambat dalam batinnya mendengar suara yang merdu itu. Baru bertanya dengan nada marah saja sudah begitu merdu, apa lagi kalau suara itu dipergunakan untuk merayunya.

"Hayo jawab!" Siu Bi tak sabar lagl melihat pemuda itu memandangnya tak berkedip.

Bhong Lam sadar dan tersenyum dibuat-buat. "Betul, Nona. Silakan Nona masuk." Pada para petani itu Bhong Lam berseru, "Kalian pergilah, kembali ke sawah. Tak ada urusan apa-apa di sini. Nona ini adalah tamu agung kami, kesalah pahaman di sawah tadi habis sampai di sini saja."

"Siapa sudi mendengar omongan manismu yang beracun?!" Siu Bi membentak. "Kau adalah seorang yang sangat jahat, mengandalkan kedudukan orang tua, mengandalkan harta benda dan kekuasaan untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Manusia macam engkau ini tidak ada harganya diberi hidup lebih lama lagi."

Memang Siu Bi sangat marah dan benci kepada pemuda ini setelah tadi ia mendengar penuturan para petani betapa pemuda ini sudah menghabiskan semua gadis muda dan cantik di dusun itu, juga merampas isteri-isteri orang sehingga banyak timbul hal-hal yang mengerikan, banyak di antara wanita-wanita itu membunuh diri. Sekarang melihat sikap pemuda ini yang ceriwis, matanya yang berminyak itu menatap wajahnya dengan lahap, kemarahannya memuncak.

"Nona, antara kita tidak ada permusuhan. Aku mengundang Nona menjadi tamu..."

"Jahanam perusak wanita! Tidak usah kau berkedok bulu domba karena aku sudah tahu bahwa kau adalah seekor serigala yang busuk dan jahat!"

Bhong Lam adalah seorang pemuda yang selalu dihormati serta ditakuti orang. Selama hidupnya, baru sekali inilah dia dimaki-maki dan dihina. Walau pun dia tergila-gila akan kecantikan Siu Bi, namun darah mudahnya bergolak ketika dia dimaki-maki seperti itu. Mukanya menjadi merah sekali, apa lagi melihat betapa para petani itu masih belum mau pergi, memandang kepadanya dengan mata penuh kebencian.

"Keparat, kau benar-benar lancang mulut, tidak bisa menerima penghormatan orang. Kau kira aku takut kepadamu? Kalau belum dihajar, kau belum tahu rasa, karena itu biarlah aku memaksamu tunduk kepadaku dengan jalan kekerasaan!" Setelah berkata demikian, Bhong Lam menerjang maju sambil memutar toyanya.

Dengan senyum mengejek Siu Bi berkelebat, menghindarkan terjangan toya dan balas menyerang. la mendapat kenyataan bahwa kepandaian pemuda ini memang jauh lebih tinggi dari pada para mandor dan tukang pukul yang tiada gunanya tadi, namun baginya, pemuda ini pun merupakan lawan yang empuk saja.


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 04


Jaka Lola Jilid 03

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

JAKA LOLA JILID 03

Melihat sikap seperti ini, Kui Sanjin hanya tersenyum-senyum sabar dan begitu sampai di depan rombongan tamu, dia mengangkat tangan di depan dada sebagai penghormatan. Juga suhengnya, Thian Beng Tosu, mengangkat kedua tangan memberi hormat. Namun Sin-tung Lo-kai sama sekali tidak membalas penghormatan ini, malah langsung bertanya, suaranya kaku,

"Yang manakah ketua Hoa-san-pai?"

Para tosu anak buah Hoa-san-pai amat marah mendengar pertanyaan yang memandang rendah ini, namun rombongan pemimpin Hoa-san-pai itu tersenyum sabar. Hoa-san-pai merupakan sebuah partai besar, patut mempunyai pimpinan yang bijaksana dan memiliki kesabaran tinggi, sikap orang-orang besar. Kui Sanjin melangkah maju dan menjawab,

"Sayalah yang mendapat kehormatan menjadi ketua Hoa-san-pai. Kalau saya tidak keliru sangka, sahabat ini tentu ketua dari Sin-tung Kaipang, bukan?"

Sin-tung Lo-kai tidak segera menjawab, melainkan menatap tuan rumah penuh selidik. Seorang kakek kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya sederhana seperti pertapa, sikapnya lemah-lembut dan tidak kelihatan sesuatu yang aneh pada dirinya. Meski pun demikian Sin-tung Lo-kai tidak berani memandang rendah karena dia sudah mendengar akan kebesaran Hoa-san-pai.

"Bagus! Ketua Hoa-san-pai, pagi ini kami sengaja datang berkunjung dengan maksud ingin minta penjelasan kenapa Hoa-san-pai amat menghina terhadap Sin-tung Kaipang? Apakah kini Hoa-san-pai merasa sebagai perkumpulan yang paling besar sehingga boleh malang-melintang dan melakukan penghinaan sesuka hatinya pada perkumpulan lain?"

Kui Sanjin mengerutkan alisnya, bertukar pandang dengan Thian Beng Tosu, kemudian menjawab, "Sin-tung Kaipangcu, saya harap kau suka bicara yang jelas. Sesungguhnya kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan dengan penghinaan itu. Memang harus kami akui bahwa telah terjadi bentrokan disebabkan salah paham antara beberapa anak muridmu dengan anak murid kami, akan tetapi hal itu telah diselesaikan dan didamaikan, bahkan oleh Suheng-ku ini, Thian Beng Tosu sendiri. Kami anggap urusan kecil antara anak murid yang masih berdarah panas itu telah selesai. Mengapa kau sekarang datang menyatakan bahwa kami sudah melakukan penghinaan? Penghinaan yang mana harap kau jelaskan."

"Hemmm, bagus sekali! Hoa-san-pai kabarnya merupakan perkumpulan yang besar dan berpengaruh, ternyata ketuanya tidak tahu apa yang terjadi di depan matanya sendiri! Pangcu (Ketua), karena hendak memperbaiki hubungan antara perkumpulan kita yang pernah retak oleh perbuatan anak-anak murid kita, kemarin pagi aku sengaja mengutus dua orang anak muridku untuk naik ke Hoa-san-pai dan menyampaikan surat undangan penghormatan dari Sin-tung Kaipang kepadamu."

"Akan tetapi, kami tidak pernah menerimanya, Pangcu," jawab Kui Sanjin.

"Hemmm, tentu saja tidak pernah menerimanya!” Sin-tung Kaipangcu berkata sambil membanting ujung tongkatnya sampai menancap di atas tanah berbatu di depan kakinya. "Di tengah jalan, dua orang utusanku itu diserang oleh tukang kuda Hoa-san-pai, malah dua ekor kuda tunggangan mereka pun dirampas!"

Semua orang menjadi kaget sekali mendengar ini. "Ahh, mana bisa terjadi hal itu?" Kui Sanjin berseru, tidak percaya. Tidak mungkin ada anak muridnya yang berani melakukan perbuatan seperti itu. Merampas kuda? Tidak bisa jadi!

"Hemmm, tentu saja tidak percaya!" Sin-tung Lo-kai mendengus, kemudian melambaikan tangan kepada dua orang anak buahnya. "Ceritakan kepada mereka!" perintahnya.

Dua orang pengemis melangkah maju dan berdiri membungkuk. Salah seorang di antara mereka yang berkumis panjang lalu bercerita, sedangkan temannya yang berambut putih hanya menundukkan muka.

"Kami berdua sedang menunggang kuda mendaki kaki gunung ketika tiba-tiba seorang pemuda melepaskan kuda yang hampir menubruk kami. Karena merasa kaget dan untuk menyelamatkan diri dari tubrukan, terpaksa saya menggerakkan kaki menendang kuda yang menubruk kami itu. Kuda itu mati. Tukang kuda Hoa-san-pai itu marah-marah, biar pun kami sudah berjanji hendak membicarakan hal itu dengan ketua Hoa-san-pai, karena kami adalah utusan dari Sin-tung Kaipang untuk menyampaikan undangan. Akan tetapi orang muda itu tetap tidak mau melepaskan kami, malah segera menyerang kami dan merampas dua ekor kuda tunggangan kami. Maka terpaksa kami kembali turun gunung dan melapor kepada ketua kami."

Setelah berkata demikian, dua orang pengemis ini cepat-cepat mengundurkan diri lagi ke belakang ketua mereka. Mereka merasa amat malu harus bercerita bahwa mereka kalah oleh seorang kacung kuda Hoa-san-pai.

Kui Sanjin tertegun. Cerita ini benar-benar tidak masuk akal. Dua orang pengemis tadi dia lihat memiliki gerakan-gerakan yang tangkas dan kuat, dan sudah bisa membuat mati seekor kuda hanya dengan sekali tendangan saja, cukup membuktikan kepandaiannya. Masa mereka berdua dikalahkan oleh tukang kuda Hoa-san-pai? Padahal tukang kuda Hoa-san-pai yang sudah tua itu telah meninggal dunia, dan selama belum mendapatkan tukang kuda baru, pekerjaan merawat kuda dilakukan oleh seorang tosu, kalau tak salah Can Tosu yang gendut dan yang dia tahu kepandaiannya rendah sekali.

Kui Sanjin menoleh ke belakang, mencari-cari dengan pandang matanya, mencari Can Tojin, ada pun mulutnya berkata, "Kami tidak memiliki kacung kuda yang masih muda..."

Ketua Sin-tung Kaipang mengeluarkan suara ketawa mengejek. Pada saat itu dua orang tosu maju dan berlutut di depan Kui Sanjin. Itulah dua orang tosu yang kemarin bersama Kwa Swan Bu menyerahkan kuda mereka kepada Yo Wan.

"Mohon ampun sebesarnya kepada Suhu," kata seorang di antara mereka, "Sebenarnya teecu berdua yang sudah menerima kacung itu. Kemarin pagi pada waktu teecu berdua mengantar Swan Bu berlatih panah dan sampai di kaki gunung, teecu melihat seorang pemuda yang keadaannya miskin dan seperti kelaparan. Tadinya teecu kira dia adalah tukang kuda baru yang dijanjikan oleh lurah dusun, akan tetapi ternyata bukan dan dia menyatakan suka bekerja membantu kita. Karena teecu kasihan kepadanya, maka teecu lalu menerimanya sebagai tukang kuda, dan teecu baru akan melaporkan hari ini kepada Suhu. Siapa duga bocah itu menimbulkan onar. Mohon ampun sebesarnya, Suhu."

Kui Sanjin terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi sebelum dia bicara, Swan Bu sudah melangkah maju dan dengan suara lantang berkata kepadanya,

"Supek, benar kata kedua muridmu ini. Memang tadinya sudah kucurigai dia." Dia lalu menoleh ke arah kakek pengemis dan berkata, suaranya tetap lantang, "Hai, Pangcu dari Sin-tung Kaipang! Kau dengar sendiri, tukang kuda itu bukanlah anak murid Hoa-san-pai dan ketua kami tidak tahu menahu tentang keributan itu. Namun, kami dapat memberi hajaran kepada pengacau itu, jangan kau merembet-rembet nama Hoa-san-pai ."

"Swan Bu, diam kau...!" Kwa Kun Hong membentak dan seketika Swan Bu diam.

Akan tetapi tiba-tiba bocah ini meloncat ke depan. Tangan kirinya meraih anak panah, dipasangnya pada gendewanya dan menjepretlah tali gendewa sehingga anak panahnya meluncur ke kiri. Semenjak tadi Yo Wan sudah mendengarkan semua pembicaraan itu. Pagi-pagi tadi dia sudah pergi mencari rumput dan ketika dia melihat rombongan pengemis yang tampak marah mendaki naik puncak, hatinya berdebar tidak enak. Sudah tentu ada hubungannya dengan urusan kemarin, pikirnya.

Oleh karena dia merasa bahwa dia yang menjadi biang keladinya, maka dia lalu pergi mengikuti mereka sampai ke puncak. Yo Wan bersembunyi di balik pohon dan mengintai semua perdebatan tadi. Setelah namanya disebut-sebut oleh dua orang tosu dan Swan Bu, dia segera muncul dengan maksud mengakui semuanya dan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Dari balik batang pohon tadi Yo Wan merasa amat terharu dan sedih melihat suhu dan subo-nya. Sekarang, maklum bahwa perbuatannya itu dapat mengakibatkan keributan, dia mengambil keputusan untuk mempertanggung jawabkan sendiri supaya Hoa-san-pai, terutama suhu dan subo-nya jangan sampai terbawa-bawa. Dengan pikiran inilah dia lalu muncul keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan menuju ke tempat pertemuan.

Sama sekali tidak diduganya bahwa Swan Bu yang pertama melihat dan mengenalnya, malah bocah itu sudah pula melepaskan sebatang anak panah kepadanya. Semua tokoh Hoa-san-pai yang tidak mengenal siapa dia, hanya bisa tertegun dan heran, juga kaget melihat Swan Bu memanah orang muda itu, tanpa sempat mencegah lagi.

Yo Wan tentu saja akan dapat mengelak dengan mudah. Namun dia sedang berduka bahwa dalam pertemuan dengan suhu-nya ini dia sudah mendatangkan keributan hebat, apa lagi mengingat bahwa bocah itu adalah putera suhu-nya yang dibangga-banggakan, dia tidak tega untuk mengelak dan mendatangkan malu.

Sambil mengerahkan tenaga sinkang yang dia latih dari Sin-eng-cu dan Bhewakala, dia sengaja menerima anak panah itu dengan pundak kirinya, akan tetapi cepat-cepat dia menutup jalan darah pada bagian ini sehingga anak panah yang menancap satu dim dalamnya itu hanya melukai kulit dan dagingnya saja. Dengan anak panah menancap di pundak, dia berjalan terus menghampiri mereka.

"Swan Bu, kau lancang..!”

Yo Wan mendengar subo-nya berteriak mencela puteranya. Di dalam hatinya Yo Wan bersyukur bahwa subo-nya masih tetap seorang wanita budiman seperti dulu, sehingga dia menjadi semakin tidak tega untuk membiarkan suhu, subo serta putera mereka itu menanggung akibat dari perbuatannya.

Dia berpura-pura tidak melihat pandang mata subo-nya yang diarahkan kepadanya dan seakan-akan subo-nya itu hampir mengenalnya! Dia juga tak peduli akan pandang mata semua orang di sana yang memandangnya dengan tatapan heran dan tercengang. Yo Wan langsung menghampiri Kui Sanjin dan membungkuk sampai dalam sambil berkata,

"Lopek (Paman Tua), memang betul seperti dikatakan oleh kedua Lopek tadi, saya telah menerima pekerjaan sebagai kacung kuda. Di tengah jalan saya bertengkar dengan dua orang pengemis. Akan tetapi hal itu adalah urusan saya sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Hoa-san-pai. Ini hanyalah urusan seorang kacung kuda dengan para pengemis, harap para lopek di sini melegakan hati karena sekarang juga saya akan bereskan urusan ini dengan para pengemis.”

"Dia... dia... A Wan...!" terdengar Kun Hong berseru.

"Yo Wan...!" Hui Kauw juga menahan teriakannya.

Akan tetapi Yo Wan yang terkejut sekali mendengar suhu dan subo-nya sudah berhasil mengenalnya, segera menghampiri rombongan pengemis dan dengan berdiri tegak dia berkata lantang,

"Kakek pengemis, jika benar kau ketua dari Sin-tung Kaipang, sebaiknya kau memeriksa keadaan anak-anak muridmu sendiri sebelum kau menyalahkan orang lain. Urusan anak muridmu dengan aku si kacung kuda sama sekali berada di luar tanggung jawab pihak Hoa-san-pai karena aku belum diterima secara resmi menjadi tukang kuda Hoa-san-pai. Kenapa kalian ini tak tahu malu membikin ribut di Hoa-san-pai? Akulah yang seharusnya bertanggung jawab!"

Sin-tung Lo-kai marah bukan main. Ingin sekali gebuk dia membikin remuk kepala bocah itu, akan tetapi sebagai seorang ketua kaipang yang tersohor, tentu saja dia tidak mau melakukan hal yang akan merendahkan namanya. Maka dia hanya melotot memandang Yo Wan, lalu membentak,

"Bocah setan! Apa kau mengaku telah merampas dua ekor kuda anak muridku?"

Yo Wan menggeleng kepala, tersenyum mengejek. "Siapa yang merampas? Aku sedang menuntun tiga ekor kuda naik puncak, tiba-tiba dua orang pengemis itu membentak dari belakang. Kuda yang kupegang kaget, seekor meloncat dan hampir menubruk pengemis kumis panjang. Ehh, si kumis itu memamerkan kepandaiannya, kuda itu ditendang mati. Tentu saja aku minta ganti dan siapa pun mereka itu, harus mengganti kuda yang mati karena aku bertanggung jawab atas keselamatan kuda-kuda itu."

"Apa kau tidak dengar bahwa mereka itu merupakan utusan Sin-tung Kaipang?" Ketua ini membentak.

"Baik mereka itu utusan dari raja pengemis atau raja neraka sekali pun, karena sudah membunuh kuda yang menjadi tanggung jawabku, mereka harus menggantinya. Ehhh, mereka marah-marah sehingga terpaksa aku membela diri karena mereka menyerangku. Kemudian mereka berdua lari meninggalkan kuda mereka. Apakah yang begini dapat disebut aku merampas kuda?"

"Keparat kau tukang kuda, mulutmu besar dan sombong sekali! Kau sudah menghina murid-muridku, menghina Sin-tung Kaipang, apakah nyawamu rangkap?"

"Kakek pengemis, kau mau menang sendiri. Kau bilang aku yang menghina, tetapi dua orang muridmu itu hendak membunuhku, malahan malam tadi, siapa yang melepas api hendak membakar kandang kalau bukan orang-orangmu? Hemmm, sebetulnya, kau pun harus mempertanggung jawabkan perbuatan anak-anak muridmu."

"Suheng, menghadapi anak anjing yang menggonggong seperti ini, kenapa pakai banyak aturan? Banting saja mampus, habis perkara!" mendadak salah seorang pengemis yang hidungnya bengkok ke kiri, yang memegang toya, berkata marah.

"Pangcu, harap kau bersabar," tiba-tiba Kui Sanjin berkata lembut. "Sesudah pinto (aku) mendengar omongan bocah ini, kiranya harus diselidiki lebih dulu apakah betul dia yang bersalah. Dalam segala hal, tak baik untuk bertindak sembrono, menghukum orang yang tidak bersalah."

Ternyata ketua Hoa-san-pai ini telah dibikin kagum oleh sikap Yo Wan. la maklum bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang bodoh dan sederhana, agaknya tidak pandai ilmu silat karena kalau memang pandai ilmu silat, bagaimana tidak mampu mengelak dari anak panah yang dilepaskan Swan Bu tadi?

Akan tetapi, jelas bahwa pemuda itu memiliki daya tahan yang luar biasa dan memiliki rasa tanggung jawab yang kiranya jarang dimiliki oleh orang-orang yang mengaku dirinya gagah perkasa. Buktinya, dengan anak panah menancap pada pundak, pemuda itu sama sekali tak mengeluh, bahkan juga tidak tampak nyeri, malah menghadapi para pengemis dengan penuh ketabahan serta penuh tanggung jawab, agaknya jelas hendak mencuci nama Hoa-san-pai dari urusan itu.

"Hoa-san-ciangbunjin (ketua Hoa-san)! Apamukah bocah ini? Apa dia adalah anak murid Hoa-san-pai? Ataukah dia ini menjadi tanggung jawab Hoa-san-pai maka engkau hendak membelanya?" bentak Sin-tung Kaipangcu.

"Dia... A Wan...," kembali terdengar suara perlahan Kwa Kun Hong,

"Sstttt..."

Dengan sudut matanya Yo Wan melihat betapa subo-nya menyentuh lengan suaminya. Yo Wan melempar kerling penuh terima kasih kepada Hui Kauw yang memandangnya penuh pengertian.

Memang Hui Kauw amat cerdik dan halus perasaannya. Agaknya nyonya muda ini telah dapat menduga apa yang menjadi maksud hati murid itu, maka dia hendak membantu, memberi kebebasan kepada Yo Wan untuk melanjutkan maksud hatinya, akan tetapi tentu saja nyonya muda ini bersiap sedia untuk membantu muridnya. Dia dapat melihat lebih jelas dari pada apa yang dapat didengar oleh telinga suaminya yang buta.

"Heh, Pangcu dari para pengemis! Kenapa kau selalu mendesak Hoa-san-pai? Agaknya kau merasa jeri untuk menjatuhkan hukuman terhadap diriku, maka kau selalu berpaling dan mencari-cari kesalahan kepada Hoa-san-pai! Huh, tak tahu malu. Kalau kalian para pengemis hendak membalas dendam kepadaku, lekaslah turun tangan. Apa kau kira aku takut menghadapi kematian?"

"Sin-tung Kaipangcu, jangan ladeni omongan seorang bocah nekat!" tiba-tiba Thian Beng Tosu berseru keras. "Hee, bocah tak melihat keadaan, apakah kau sudah menjadi gila? Jangan main-main terhadap Sin-tung Kaipang!"

Akan tetapi dengan tenang Yo Wan memberi hormat sambil membungkuk kepadanya, lalu berkata, "Urusan ini adalah urusan saya sendiri, harap para lopek yang terhormat dari Hoa-san-pai jangan ikut campur. Hee, pengemis kelaparan, masih tidak berani turun tangan terhadap kanak-kanak seperti aku? Memalukan benar!"

Terdengar teriakan marah dan si pengemis hidung bengkok yang memegang toya sudah melompat maju. Dia adalah sute (adik seperguruan) dari ketua pengemis itu, lihai sekali permainan toya besinya dan dia diberi julukan Tiat-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Bertoya Besi). Wataknya lebih keras berangasan dari pada para tokoh Sin-tung Kaipang yang lain. Mendengar ucapan yang menantang-nantang dari Yo Wan, dia tidak mau bersabar lagi.

"Ada hubungan dengan Hoa-san-pai atau tidak, kau bocah setan sekarang juga harus mampus!" bentaknya dan toyanya yang berat itu menyambar cepat, mendatangkan desir angin gemuruh.

Yo Wan sudah bertekad tidak akan membawa-bawa suhu dan subo-nya, sungguh pun tadi dia bersikap seakan-akan hendak membersihkan Hoa-san-pai, padahal sebenarnya dia tidak hendak menyeret suami isteri itu. Maka sekarang menghadapi sambaran toya, dia tidak mau mempergunakan langkah-langkah ajaib yang dia pelajari dari Kun Hong. la siap menerima kematian karena memang hanya kematian saja yang dapat dia harapkan dalam menghadapi orang-orang berilmu tinggi seperti pimpinan Sin-tung Kaipang ini.

Namun dia juga tidak mau mati konyol begitu saja tanpa perlawanan. Melihat datangnya toya, otomatis kaki tangannya bergerak dan dengan amat mudah dia membiarkan toya itu menyambar lewat tanpa dapat menyentuh tubuhnya sedikit pun juga. Karena tanpa disadarinya dia sudah memiliki kesaktian ilmu silat yang mendarah daging, maka sesuai dengan daya tahan dan daya serang yang berganti-ganti diturunkan Sin-eng-cu beserta Bhewakala kepadanya, tentu saja setiap kali menghadapi serangan, begitu mengelak terus saja Yo Wan membalas serangan itu.

Dan bukan hal kebetulan kalau pada saat itu dia menggunakan sebuah jurus dari Ilmu Silat Ngo-sin Hoan-kun (Lima Lingkaran Sakti) yang telah dia pelajari atau lebih tepat dia ‘mainkan’ menurut petunjuk Bhewakala. Hal ini adalah karena jurus serangan toya yang dilakukan oleh Tiat-pang Sin-kai tadi sifatnya hampir sama dengan jurus-jurus serangan Sin-eng-cu, maka otomatis tubuhnya lalu bergerak mainkan jurus ilmu yang diturunkan oleh Bhewakala kepadanya sebagai lawannya.

Ilmu Silat Ngo-sin Hoan-kun adalah ilmu silat ciptaan pendeta Nepal, pertapa di Gunung Himalaya yang sakti itu, gerakannya dahsyat dan aneh. Tiat-pang Sin-kai melihat betapa dua lengan pemuda itu terus berputar membuat lingkaran-lingkaran yang mengaburkan pandangan matanya dan dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Betapa ingin dia memukul dengan toya, akan tetapi ujung toyanya seakan-akan terlibat oleh sebuah di antara lingkaran itu dan tak dapat digerakkan.

Tiba-tiba dia merasa tubuhnya berpusing laksana tenggelam dalam pusingan angin dan sebelum dia tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tubuhnya itu sudah terlempar sambil berputaran dan robohlah dia dengan kepala di bawah kaki di atas. Dia menjadi pening, kepalanya benjol, toyanya terlempar entah ke mana dan sampai lama dia hanya rebah sambil menggerak-gerakkan kepala mengusir kepeningan dengan mata menjadi juling!

"Ahhh...!"

"Hebat...!"

"Aneh...!"

Seruan-seruan ini keluar dari mulut para tokoh Hoa-san-pai. Peristiwa itu sungguh amat mengejutkan. Kui Sanjin dan yang lain-lain memang sudah siap untuk menolong orang muda yang tabah itu kalau pihak Sin-tung Kaipang hendak membunuhnya. Siapa tahu, hanya dalam dua gebrakan saja seorang tokoh Sin-tung Kaipang yang cukup lihai sudah dibikin melayang seperti itu dengan gerakan tangan dan kaki yang luar biasa, ilmu silat yang membentuk lingkaran-lingkaran ajaib. Ilmu apakah yang dipergunakan pemuda ini?

Hanya Hui Kauw dan Kun Hong yang tidak mengeluarkan suara sama sekali. Hui Kauw memandang kagum dan juga heran karena sepanjang pengetahuannya, murid ini hanya baru menerima dasar-dasar ilmu silat dan di saat terakhir hanya ditinggali Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po oleh Kun Hong. Tadi Hui Kauw sengaja memperhatikan gerak kaki anak itu untuk melihat apakah Yo Wan sudah mahir melakukan langkah-langkah itu, karena kalau sudah mahir, tentu anak itu sanggup menyelamatkan diri dengan langkah-langkah ajaib.

Anehnya, langkah yang dipergunakan Yo Wan sama sekali bukan langkah ajaib ajaran Kun Hong, sungguh pun gerak dan langkah yang dilakukan anak itu pun amat aneh dan asing! Ketika Hui Kauw melirik ke arah suaminya, ia melihat suami ini miringkan kepala mengerutkan kening dan bibirnya menggumam, "Hemmm... hemmm...."

Sebetulnya, robohnya Tiat-pang Sin-kai hanya dalam satu jurus ini bukan semata-mata karena kelihaian Yo Wan, melainkan sebagian besar disebabkan kesalahan pengemis itu sendiri. la terlalu memandang rendah bocah itu, dianggapnya hanya sekali pukul dengan toya akan remuk kepalanya.

Oleh karena memandang rendah inilah maka sekali balas saja Yo Wan langsung berhasil merobohkannya. Andai kata pengemis itu lebih hati-hati, biar pun tak mungkin dia dapat mengalahkan Yo Wan yang sudah mewarisi ilmu-ilmu sakti, namun kiranya dia pun tidak akan roboh hanya dalam satu dua jurus saja!

"Bocah setan! Berani kau menghina saudaraku?" Kakek pengemis di sebelah kiri ketua pengemis meloncat ke depan, lantas menghadapi Yo Wan sambil mencabut pedang di pinggangnya. "Hayo keluarkan senjatamu dan kau lawan aku!"

Sikap pengemis ini jauh lebih gagah dari pada Tiat-pang Sin-kai dan memang dia tidak memandang rendah kepada Yo Wan, karena dia menduga bahwa Yo Wan tentu memiliki kepandaian yang tinggi. Memang dia adalah seorang yang cukup berpengalaman dan tidak bersikap sembrono seperti temannya tadi. Pengemis ini menjadi pembantu Sin-tung Lo-kai karena ilmu pedangnya membuat dia jarang menemukan tandingan. Dia bernama Souw Kiu, seorang ahli pedang dan ahli tenaga Iweekang.

Hati Yo Wan tergetar keras. la tidak pernah mengalami pertandingan-pertandingan, yaitu pertandingan yang sungguh-sungguh, sebab pertandingan yang dia saksikan selama tiga tahun di puncak Liong-thouw-san adalah pertandingan ‘teori’.

Saat dia merobohkan dua orang pengemis kemarin dan pengemis bertoya tadi, dia sama sekali tidak mengira bahwa demikian mudah dia mencapai kemenangan. Disangkanya bahwa memang tiga orang pengemis itu hanyalah orang-orang sombong yang tidak ada gunanya. Sekarang, menghadapi Souw Kiu yang tenang, bermata tajam dan memegang pedang dengan sikap yang kokoh serta kuat, mau tak mau dia menjadi gentar pula untuk menghadapinya dengan tangan kosong.

"Tukang kuda, kau pakailah pedangku ini!" Tiba-tiba Swan Bu berseru sambil mencabut pedangnya yang amat indah.

Yo Wan tersenyum. Lenyap sudah rasa sakit di pundaknya oleh anak panah yang masih menancap itu. Sikap Swan Bu ini sekaligus sudah menjatuhkan hatinya dan meluapkan rasa maafnya terhadap putera dari suhu-nya itu. Dia tersenyum lebar sambil menoleh ke arah Swan Bu.

"Tuan Muda, terima kasih. Tidak berani aku merusakkan pedangmu," jawabnya dengan sungguh-sungguh dan jujur.

Yo Wan sama sekali dia tidak tahu bahwa jawabannya ini membuat wajah Hui Kauw dan Kun Hong menjadi merah. Ayah dan ibu ini merasa terpukul dengan jawaban muridnya kepada puteranya yang tadi memperlakukan Yo Wan secara sewenang-wenang.

Yo Wan maklum bahwa untuk menghadapi pedang lawan, maka dia harus menggunakan senjata pula dan dia anggap bahwa senjata terbaik adalah melawan dengan pedang pula. Lupa bahwa pedangnya hanya sebatang pedang kayu saja, dia segera membuka jubah dan mengeluarkan pedang kayunya yang panjangnya hanya tiga puluh sentimeter, terbuat dari kayu cendana yang harum itu.

Meledak suara ketawa dari anak buah Hoa-san-pai dan anak buah pengemis, akan tetapi tokoh-tokohnya sama sekali tidak tertawa, malah memandang dengan wajah tercengang. Gilakah anak ini? Ataukah memang dia begitu sakti sehingga cukup menghadapi lawan ini dengan pedang kayu saja?

"Itukah senjatamu?!" Souw Kiu membentak dengan suara kecewa. "Apakah kau hendak main-main?" Dia seorang tokoh ilmu silat, mana enak hatinya apa bila dihadapi seorang lawan begini muda yang mempergunakan pedang kayu?

"Memang inilah senjataku dan aku tidak main-main, pengemis tua."

"Jangan menyesal nanti dan bilang aku berlaku sewenang-wenang!" kata pula Souw Kiu, masih meragu. Pertandingan ini disaksikan oleh banyak tokoh Hoa-san-pai, sebab itu dia harus memperlihatkan kegagahannya.

"Aku tak akan menyesal. Kalian memang sudah bertekad untuk membunuhku, tentu saja aku pun bertekad untuk mempertahankan nyawaku sedapat mungkin. Aku tidak biasa memegang pedang tulen, biasa bermain-main dengan pedangku ini. Kalau kau memang berkukuh hendak membunuhku, silakan."

"Awas pedang!"

Sesudah mengeluarkan bentakan ini, dengan secepat kilat Souw Kiu menerjang dengan pedangnya. Gerakan pedangnya sangat cepat dan mengeluarkan suara berdesing yang mengerikan.

Namun bagi Yo Wan, gerakan pengemis itu tidaklah terlalu hebat, apa lagi cepat. Kalau dibandingkan dengan jurus-jurus yang dikeluarkan Sin-eng-cu atau Bhewakala, gerakan itu seperti anak kecil main-main belaka!

Dengan tenang dia kemudian memainkan jurus-jurus yang sesuai dengan pedang yang dipegangnya, yaitu Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang diturunkan oleh Sin-eng-cu padanya. Memang pedang kayu itu adalah senjata buatan Sin-eng-cu yang dahulu dia pakai untuk menghadapi cambuk dari Bhewakala. Maka ketika dia bersilat pedang dengan jurus-jurus dari Sin-eng-cu, seketika pedang kayu di tangannya itu berubah menjadi puluhan batang banyaknya dalam pandang mata lawannya!

“Whir-whir-whirrr…!”

Pedang kayu ini menerbitkan bunyi angin dibarengi kilatan sinar yang membingungkan hati Souw Kiu.

Karena maklum bahwa bocah ini benar-benar pandai, Souw Kiu segera mengerahkan seluruh tenaga dalam dan mengeluarkan semua jurus simpanannya untuk mendapatkan kemenangan. Dia sengaja hendak mengadu senjata, karena merasa yakin bahwa sekali pedang kayu itu bertemu dengan pedangnya, tentu pedang kayu itu akan patah dan dia akan mudah merobohkan lawan.

Hui Kauw memandang dengan kagum sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Yo Wan itu benar-benar merupakan ilmu pedang yang selain indah, juga amat luar biasa. Dia sendiri belum tentu dapat mainkan pedang kayu seperti itu. Ketika dia melirik ke arah suaminya, wajah Kun Hong tegang sekali dan bibir Pendekar Buta ini menggumam lirih,

"Ahhh... mana mungkin...?"

Memang, dapat dibayangkan betapa heran hati Kun Hong ketika telinganya menangkap gerakan ilmu silat Yo Wan yang kali ini cara bersilatnya sama sekali berlawanan dengan dua gerakan ketika merobohkan lawan pertama tadi. Tidak demikian saja, bahkan ilmu pedang yang dimainkan ini mengandung jurus-jurus Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, yaitu ilmu silatnya sendiri! Padahal dia sama sekali belum pernah mengajarkan ilmu itu meski pun hanya sejurus kepada muridnya.

Para tokoh Hoa-san-pai adalah tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Apa lagi ketuanya, Kui Sanjin yang dikenal sebagai seorang ahli pedang Hoa-san Kiam-sut, di samping isterinya yang juga hadir di situ. Mereka semua kini berdiri bengong, kagum bukan main. Siapa orangnya yang tidak kagum kalau melihat betapa kacung kuda itu dengan hanya sebatang pedang kayu dapat menghadapi seorang ahli pedang seperti Souw Kiu? Dan kadang-kadang pedang di tangan pengemis itu dengan hebatnya menggempur pedang kayu, akan tetapi jangan kata pedang kayu itu menjadi patah karenanya, malah tampak jelas betapa lengan dan tangan Souw Kiu yang memegang pedang tergetar hebat.

Ini hanya menjadi bukti bahwa bocah itu mempunyai tenaga sinkang yang ampuh sekali, tenaga yang bukan sewajarnya dimiliki seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun. Diam-diam mereka menduga-duga, murid siapakah gerangan pemuda ini dan apa maksud orang muda yang memiliki kesaktian itu naik ke Hoa-san-pai dan berpura-pura menjadi tukang kuda? Mengandung maksud tersembunyi yang bagaimanakah? Mereka juga merasa gelisah, menduga bahwa tentulah pemuda itu mengandung suatu maksud tertentu.

Yang paling bingung dan kaget setengah mati adalah Souw Kiu sendiri. Pedang kayu di tangan bocah itu bukan main hebatnya. Gerakannya aneh, daya tahannya amat kokoh kuat dan setiap kali beradu dengan pedangnya sendiri, tangannya tergetar hebat. Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia harus mengaku kalah terhadap seorang kacung kuda? Jika dia dikalahkan oleh salah seorang tokoh Hoa-san-pai, masih tidak apa, akan tetapi oleh seorang kacung kuda? Dan masih bocah lagi!

Dua puluh jurus telah lewat dan dalam penasarannya, Souw Kiu tiba-tiba mengeluarkan bentakan nyaring sekali lalu pedangnya melakukan terjangan kilat. Hui Kauw menutup mulutnya dan seluruh urat tubuhnya menegang. Sebagai seorang ahli pedang, dia pun maklum bahwa pengemis itu melakukan serangan nekat, mengajak adu nyawa. Dia sudah siap untuk menyambar dan menolong muridnya, tetapi dia tidak mau tergesa-gesa karena bila keadaan Yo Wan tidak berbahaya lalu dia menolongnya, hal itu akan merendahkan diri sendiri.

Yo Wan sudah mempelajari banyak sekali jurus-jurus ampuh dan ada kalanya Sin-eng-cu mau pun Bhewakala dalam keadaan terdesak pun mengeluarkan jurus-jurus yang nekat. Karena itu, menghadapi serangan ini dia tidak menjadi gugup. Dari pada dia terluka atau terpaksa membunuh orang, lebih baik mengorbankan pedang kayunya, pikirnya cepat. Melihat pedang lawan menyambar dengan babatan kilat, dia cepat menangkis dengan pedang kayunya, tetapi dia sengaja tidak menyalurkan tenaga kepada pedang kayu ini.

"Krakkk!"

Pedang kayu patah menjadi dua, tubuh Souw Kiu terdorong ke depan dan di lain saat dia sudah roboh terguling oleh pukulan tangan kiri Yo Wan yang tepat mengenai pundak kanannya sedangkan pedangnya entah bagaimana sudah berpindah ke tangan pemuda itu!

Souw Kiu bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba dia muntahkan darah merah. Ternyata satu kali pukulan Yo Wan itu sudah mendatangkan luka parah di dalam dadanya. Hal ini tidak mengherankan karena Yo Wan menggunakan pukulan Iweekang dari Sin-eng-cu sebagai timpalan permainan pedangnya tadi.

Tanpa dapat ditahan lagi, para tosu Hoa-san-pai bertepuk tangan memuji. Setelah ketua mereka berpaling dan memandang tajam, baru mereka berhenti. Walau pun tokoh-tokoh Hoa-san-pai tidak ada yang terang-terangan memuji dan berpihak, namun wajah mereka yang berseri menjadi tanda bahwa mereka merasa puas melihat rombongan Sin-tung Kaipang yang sombong itu diberi hajaran oleh orang luar yang mengaku sebagai kacung kuda Hoa-san-pai!

Baru seorang pelamar kacung kuda saja sudah begini hebatnya, apa lagi orang-orang Hoa-san-pai sendiri! Meski pun tidak secara langsung, pemuda yang luar biasa itu sudah mengangkat tinggi derajat dan nama Hoa-san-pai dengan sepak terjangnya menghadapi Sin-tung Kaipang ini. Yo Wan sendiri sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk memusuhi Sin-tung Kaipang. Dia tahu bahwa kemarin dia telah membuat onar. Hanya untuk menjaga agar nama suhu serta subo-nya jangan sampai terbawa-bawa, maka dia mempertanggung jawabkannya sendiri. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh tanpa melawan.

Hatinya girang luar biasa setelah berhasil mengalahkan dua orang lawan. Semangatnya timbul dan dia mulai mengerti, mulai terbuka mata hatinya bahwa jika dia mau melawan, belum tentu orang-orang kasar ini mampu membunuhnya!

Sementara itu, Sin-tung Lo-kai sampai menjadi pucat mukanya saking marah. la merasa terhina sekali. Dua orang pembantu yang paling dia andalkan, sudah berturut-turut roboh secara mudah oleh seorang kacung kuda.

"Orang-orang Hoa-san-pai!" bentaknya sambil mengangkat tongkatnya ke depan dada. "Apakah kalian diamkan saja bocah setan ini menghina kami?"

"Urusanmu dengan anak ini tak ada sangkut-pautnya dengan kami, Pangcu," berkata Kui Sanjin dengan suara tenang.

Kakek ketua Hoa-san-pai ini sekarang timbul kepercayaannya terhadap Yo Wan. Pantas saja bocah ini hendak membereskan sendiri, kiranya dia memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebat. Dia masih tidak mengerti kenapa bocah ini suka menutupi dan melindungi Hoa-san-pai, akan tetapi jalan satu-satunya bagi ketua Hoa-san-pai ini untuk membalas budi hanya membiarkan bocah itu melanjutkan maksud hatinya. Inilah sebabnya maka dia sengaja menjawab seperti itu.

"Hemmm, biarlah kubikin mampus dahulu bocah ini, baru kami akan bicara lagi dengan Hoa-san-pai!" Sin-tung Lo-kai berseru marah. "Bocah setan, lekas kau memilih senjata. Aku tidak sudi menyerang lawan tanpa senjata. Kalau kau butuh pedang, orang-orangku bisa memberi pinjam untukmu."

Yo Wan maklum bahwa lawannya ini tentu seorang yang pandai. Kemantapan gerakan tongkat itu saja sudah membayangkan tenaga Iweekang yang amat hebat. la tidak berani memandang ringan, maka dilolosnya cambuk peninggalan pertapa Bhewakala. Cambuk ini hitam warnanya, panjang dan berat, tetapi di tangan Yo Wan terasa ringan dan enak. Maklum, selama tiga tahun dia main-main dengan cambuk ini.

"Ketua Sin-tung Kaipang, sesungguhnya aku tidak suka berkelahi dengan siapa pun juga, aku tak ingin mencari perkara dengan siapa juga. Akan tetapi bila kau masih tetap nekat hendak membunuhku, tentu saja aku akan berusaha menyelamatkan diri," jawab Yo Wan sambil memegang gagang cambuk dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membelai-belai ujung cambuk.

"Tak usah cerewet, lihat tongkatku!" Ketua pengemis itu menggerakkan tongkatnya dan berkelebatlah sinar beraneka warna seperti pelangi menyilaukan mata.

Yo Wan kaget dan bingung seketika karena gerakan tongkat itu hebat serta menyilaukan warnanya. Juga para tokoh Hoa-san-pai menahan nafas. Sekali ini mereka benar-benar khawatir karena tingkat kepandaian Sin-tung Lo-kai benar-benar tidak boleh dipandang ringan. Anak muda remaja ini mana mampu mempertahankan diri?

"Tar-tar-tarrr...!"

Lecutan cambuk bertubi-tubi terdengar nyaring disusul berkelebatnya sinar cambuk yang hitam, bergerak-gerak bagai ular naga hitam bermain di angkasa. Yo Wan telah mainkan ilmu cambuknya Ngo-sin Hoan-kun dan ujung cambuk itu kini melecut-lecut, menyambar-nyambar setelah membentuk lingkaran-lingkaran aneh di udara. Kagetlah semua orang. Hui Kauw melihat betapa suaminya sambil mengerutkan kening telah mengepal tinjunya.

"Bhewakala... siapa lagi... tentu Bhewakala...," terdengar suaminya bersungut-sungut.

Yang paling kaget adalah Sin-tung Lo-kai sendiri. Permainan cambuk lawannya amatlah hebatnya, bagaikan gelombang samudera sedang mengamuk. Lingkaran-lingkaran yang bergelombang lima kali itu benar-benar sangat dahsyat, menyembunyikan ujung cambuk yang kadang-kadang mematuk dan melecut bagai petir menyambar.

Inilah ilmu cambuk yang luar biasa aneh, yang belum pernah disaksikan Sin-tung Lo-kai selama hidupnya. la mengertak gigi, mengerahkan seluruh kepandaian dan mainkan ilmu tongkatnya untuk menahan gelombang dan petir itu. Akan tetapi Yo Wan tidak mau memberi hati kepadanya. Pemuda ini memilih jurus-jurus serangan dari Ngo-sin Hoan-kun sehingga belum lewat tiga puluh jurus, ketua pengemis itu sudah mundur-mundur dan hanya dapat menangkis serta mengelak ke sana ke mari, tidak mampu membalas dan keadaannya repot sekali.

Tiba-tiba pengemis tua itu mengeluarkan bentakan keras dan sinar-sinar hijau langsung menyambar ke arah Yo Wan. Inilah sinar senjata rahasia berupa paku-paku hijau yang beracun, yang tadi disambitkan secara diam-diam, merupakan senjata gelap yang sangat berbahaya.

"Curang...!" Hui Kauw berseru, namun dia tahu bahwa dia sendiri tidak mampu menolong karena senjata-senjata gelap itu dilempar dari jarak yang amat dekat, yaitu selagi kedua orang itu bertanding berhadapan.

Yo Wan adalah seorang pemuda yang belum berpengalaman dalam urusan bertempur. Sungguh pun dia telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, tetapi dia tidak tahu akan adanya akal-akal busuk dari lawan macam Sin-tung Lo-kai. Akan tetapi dia seorang yang amat cerdik. Melihat berkelebatnya sinar-sinar hijau dan juga mendengar seruan subo-nya, dia cepat menggunakan langkah ajaib. Kini terpaksa dia membuka rahasia dirinya dan memainkan langkah-langkah yang dia pelajari dari suhu-nya karena dia maklum bahwa benda-benda yang menyambarnya itu amat berbahaya.

Dan benar saja, dengan langkah-langkah ajaib yang dia mainkan, tujuh buah benda kecil kehijauan itu meluncur lewat di samping tubuhnya, tak ada sebuah pun mengenai dirinya. Teringat akan bahaya ini, timbul kemarahan Yo Wan. la mencabut anak panah dengan tangan kiri, pecutnya kembali menerjang maju dan kini dibarengi dengan sambitan anak panah.

Sin-tung Lo-kai tadi terkejut bukan main melihat pemuda aneh itu dapat menghindarkan diri dengan gerakan kaki seperti orang mabuk. Selagi dia kecewa dan terkejut, cambuk lawannya menerjang seperti hujan badai. Cepat dia mengangkat tongkat menangkis dan melompat mundur.

Tetapi tiba-tiba dia berteriak keras dan roboh, anak panah itu menancap pada dadanya sebelah kanan! Baiknya anak panah itu tidak terlalu dalam menembus kulit dada, namun cukup membuat ketua Sin-tung Kaipang itu mengerang kesakitan dan tidak bisa bangun kembali. Anak buahnya cepat memberi pertolongan. Tanpa pamit lagi Sin-tung Lo-kai menyuruh anak buahnya memanggulnya turun gunung! Mereka bagaikan serombongan anjing yang disiram air panas, lari tersaruk-saruk sambil tunduk, tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun lagi.

Andai kata mereka memiliki buntut, sudah tentu buntut itu mereka kempit di antara kaki. Kekalahan yang diderita sekali ini benar-benar membuat mereka kuncup dan selamanya mereka takkan berani memusuhi Hoa-san-pai. Baru melawan seorang kacung kuda saja, ketua mereka dirobohkan dengan mudah!

Setelah musuh pergi, Yo Wan tidak dapat menyembunyikan diri lagi. la menghampiri Kwa Kun Hong dan Kwee Hui Kauw, serta merta dia menjatuhkan diri berlutut lalu berkata dengan suara gemetar penuh keharuan.

"Suhu...! Subo...!" la tinggal berlutut, meletakkan mukanya di atas tanah dan meramkan kedua matanya, mulutnya berkata lirih, "...teecu datang menyusul..."

"Wan-ji (anak Wan)! Kenapa baru sekarang kau datang...?" Hui Kauw berkata dan siap merangkul murid itu. Akan tetapi nyonya muda ini menahan kedua tangannya pada saat melihat wajah suaminya. Jelas bahwa suaminya kelihatan marah.

"A Wan, apa maksudmu datang seperti ini?"

Yo Wan tak dapat menjawab dan pada saat itu, para tokoh Hoa-san-pai sudah datang menghampiri. Dengan senyum lebar Kui Sanjin berkata,

"Ahhh, kiranya anak ini murid Kun Hong? Pantas begini lihai! Ha-ha-ha-ha, benar-benar Sin-tung Kaipang tidak tahu diri, dan senang sekali hati pinto mengetahui bahwa anak yang memberi hajaran kepada mereka kiranya adalah orang sendiri! Ha-ha-ha!"

Para tokoh Hoa-san-pai sungguh-sungguh merasa gembira dan bangga. Kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Buta tentu saja sudah mereka ketahui dengan baik, dan meski pun Pendekar Buta terhitung golongan muda di Hoa-san, akan tetapi dialah sebetulnya yang menjadi andalan untuk membikin besar nama Hoa-san-pai. Kelihaian anak muda yang sudah mengusir para tokoh Sin-tung Kaipang ini merupakan bukti akan kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Buta.

Tentu saja mereka tidak mengerti bahwa Pendekar Buta sendiri berpikir lain pada saat itu. Tidak tahu bahwa Kun Hong amat marah kepada Yo Wan, hanya menahan hatinya karena dia tidak ingin memarahi muridnya di depan banyak orang.

"A Wan kau ikut aku...!" kata Kun Hong kepada anak muda itu.

Yo Wan mengerti bahwa suhu-nya marah, sebab itu dengan kepala tunduk dia mengikuti gurunya masuk ke dalam, diikuti pula oleh Kwee Hui Kauw yang menggandeng tangan Swan Bu. Para tokoh Hoa-san-pai yang masih bergembira itu juga mengundurkan diri, membiarkan guru dan murid itu menikmati pertemuan tanpa diganggu.

"Nah, sekarang ceritakan tentang sikapmu yang aneh itu, A Wan. Aku ingin mendengar selengkapnya dan sejujurnya. Mengapa kau datang menyusul kami secara sembunyi dan pura-pura menjadi kacung kuda?" tanya Kun Hong, suaranya perlahan.

Akan tetapi Yo Wan maklum bahwa suhu-nya sedang tak senang hati. Menggigil dia dan cepat-cepat dia berlutut di depan suhu-nya yang duduk di atas sebuah kursi lain, ada pun Swan Bu berdiri memandang dengan matanya yang lebar tajam.

Dengan suara lirih Yo Wan lalu menceritakan pengalamannya sejak suhu dan subo-nya turun gunung meninggalkannya seorang diri. Tentang niatnya menyusul ke Hoa-san-pai tiga tahun yang lalu, dan betapa dia bertemu dengan Sin-eng-cu serta Bhewakala yang sedang bertanding dan keduanya terluka, betapa kemudian dia menolong mereka dan selama tiga tahun menjadi perantara dalam adu ilmu sampai Sin-eng-cu meninggal dunia karena tua dan Bhewakala kembali ke dunia barat.

"Kemudian teecu menyusul ke Hoa-san, Suhu, dan sungguh tidak teecu kehendaki telah terjadi keributan di sini, bahkan teecu-lah yang menjadi biang keladinya. Teecu mengaku salah dan siap menerima hukuman apa pun juga dari Suhu dan Subo."

"Mengapa kemarin kau tidak langsung naik menemui kami, tapi malah bersembunyi dan menyamar sebagai tukang kuda?" suara Kun Hong masih bengis karena hatinya belum puas.

"Teecu merasa ragu-ragu dan takut kalau-kalau Suhu tidak menghendaki kedatangan teecu kebetulan teecu bertemu dengan dua orang tosu dan putera Suhu ini... teecu ditawari pekerjaan tukang kuda, teecu lalu menerimanya, ingin melihat gelagat lebih dulu sebelum teecu berani menghadap Suhu. Celakanya, di tengah jalan seekor di antara tiga kuda yang harus teecu bawa ke puncak dibunuh pengemis itu. Teecu tak ingin berkelahi, hanya minta ganti seekor kuda yang hidup, kiranya mereka marah dan menyerang teecu. Akhirnya mereka lari dan meninggalkan kedua ekor kuda mereka, terpaksa teecu bawa sekalian ke puncak, dan kuda yang mati teecu kubur di pinggir jalan."

"Yang mati itu kudaku! Ayah, suruh murid Ayah ini mencarikan pengganti kudaku, dialah yang bertanggung jawab karena dia yang membawanya,” Swan Bu berseru nyaring.

"Hushhh, diam kau!" Kun Hong membentak puteranya lalu bertanya, "A Wan, setelah kau tahu rombongan Sin-tung Kaipang datang mengapa kau masih pura-pura tidak mengenal kami dan melayani mereka seorang diri mengandalkan ilmu silatmu? Apakah kau hendak pamerkan kepandaian di Hoa-san-pai?"

Yo Wan mengangguk-angguk mencium lantai. “Ahhh tidak... Suhu, sama sekali tidak...,” katanya gagap dan takut. "Mana teecu berani begitu kurang ajar pamerkan kepandaian sedangkan teecu tidak bisa apa-apa? Hanya kebetulan saja teecu bisa menang padahal sama sekali teecu tidak bermaksud demikian. Sesudah melihat bahwa peristiwa kemarin itu menimbulkan keributan hebat, teecu menjadi takut kalau Hoa-san-pai terbawa-bawa, terutama sekali kalau Suhu dan Subo terbawa-bawa oleh gara-gara yang teecu lakukan kemarin. Maka dari itu, teecu sengaja pura-pura tidak ada hubungan dengan Suhu dan Subo, juga dengan Hoa-san-pai. Teecu ingin mempertanggung-jawabkan sendiri, kalau perlu teecu rela mati untuk menebus kesalahan, asal tidak sampai menyeret Hoa-san-pai dan terutama sekali Suhu berdua. Akan tetapi, tentu saja seberapa dapat teecu hendak mempertahankan diri terhadap pengemis-pengemis yang jahat itu."

Kun Hong mengangguk-angguk dan pada sepasang mata Hui Kauw tampak dua butir air mata. Nyonya muda itu menjadi terharu sekali melihat murid yang amat setia itu. Diam-diam dia memperhatikan dan menjadi kagum sekali. Muridnya ini sekarang bukan seorang anak kecil lagi, melainkan sudah menjadi seorang jejaka tanggung yang tampan dan sederhana, pandai merendahkan diri biar pun memiliki kepandaian yang amat tinggi.

"Yo Wan, apakah kehendakmu sekarang?" Kun Hong bertanya, suaranya halus kini.

"Suhu, tidak ada keinginan lain dalam hati teecu semenjak dahulu selain ikut Suhu dan Subo, bekerja untuk Suhu dan mengharapkan belas kasihan berupa pelajaran ilmu silat agar dapat teecu pakai kelak untuk membalas dendam terhadap The Sun."

Kun Hong menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Yo Wan, tidak bisa kau ikut dengan kami di sini..."

"Suhu, biarlah teecu menjadi tukang kuda, menjadi kacung pelayan, teecu akan bekerja apa saja, biarkan teecu melayani Suhu berdua, dan adik... adik Swan Bu, asal teecu boleh berdekatan dengan Suhu berdua...," suara Yo Wan menggetar karena terharu dan khawatir kalau-kalau dia tidak akan diterima oleh suhu-nya.

"Yo Wan, kau bukan kanak-kanak lagi! Kau sudah dewasa, masa selama hidupmu hanya ingin menjadi kacung saja? Tidak, aku tak mau menerimamu di sini, sekarang sudah tiba waktunya kau hidup sendiri, mengejar ilmu dan pengalaman, mengisi hidupmu dengan perbuatan-perbuatan yang berguna bagi orang lain dan bagi dirimu sendiri, kau tak boleh tinggal di sini."

"Suhu, teecu ingin menerima pelajaran ilmu silat dari Suhu..."

"Tidak bisa, Yo Wan. Ilmu silat dariku tidak boleh dicampur aduk. Kau sudah menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan hebat dari susiok-couw-mu dan dari Bhewakala. Hanya belum kau selami inti sarinya dan belum matang saja. Kepandaianmu sudah cukup dan kalau kau menerima pelajaran dariku, salah-salah bisa rusak malah."

"Suhu, teecu bukanlah murid kakek Sin-eng-cu, juga bukan murid Bhewakala locianpwe. Teecu tidak belajar dari mereka. Apa yang teecu ketahui dari mereka boleh teecu buang dan mulai saat ini juga dan teecu akan mulai belajar dari suhu."

Tiba-tiba ada angin pukulan mendesir dari arah belakang menyerang tengkuk Yo Wan, disusul sinar pedang yang menusuk lambungnya. Otomatis Yo Wan membuang diri, lantas bergulingan dan cambuknya berbunyi nyaring ketika bergerak melingkar-lingkar melindungi bagian belakang tubuhnya. Betapa terkejut hatinya pada saat dia melihat bahwa yang menyerangnya tadi ternyata adalah subo-nya sendiri, Kwee Hui Kauw yang kini telah duduk kembali sambil menyarungkan pedangnya.

"Suhu mu bicara benar, Yo Wan. Ilmu silat kedua orang kakek sakti itu sudah mendarah daging padamu, tak mungkin dibuang begitu saja lalu mulai belajar ilmu silat baru. Akan merusak segala-galanya. Kau lihat sendiri tadi, begitu ada bahaya mengancam, otomatis tubuhmu melakukan gerakan sesuai dengan jurus-jurus dari kedua orang kakek itu. Ilmu silatmu sudah cukup tinggi, tak perlu belajar lagi dari kami."

Yo Wan tertegun, lalu menjatuhkan diri berlutut, air matanya bertitik perlahan. "Suhu dan Subo... perkenankan teecu membalas budi Suhu berdua dengan pelayanan, tidak diberi pelajaran silat juga tidak apa, asal teecu dapat melayani Suhu berdua..."

Kun Hong meraba kepala Yo Wan dengan perasaan terharu. Hui Kauw menghapus dua butir air matanya dengan sapu tangan. "Yo Wan, kami mengusirmu bukan karena kami tidak cinta padamu. Sama sekali tidak. Semua peristiwa, baik yang terjadi di Liong-thouw-san mau pun di sini, bukan salahmu. Aku mengusirmu turun gunung sekarang juga bukan dengan maksud tak baik, muridku, namun dengan maksud untuk kebaikanmu sendiri. Kau bukan anak murid Hoa-san-pai, juga tidak bisa dibilang muridku dan kau sudah dewasa. Kau harus mencari kedudukan dan membuat nama baik di dunia."

"Apakah Suhu mengira bahwa teecu sudah boleh pergi mencari The Sun dan membalas sakit hati ibu?"

Kun Hong menghela nafas panjang. "Dendam... balas membalas... tiada habisnya, tidak akan aman dunia ini selamanya. Yo Wan, mengapa kau tidak membalas dendam dengan kasih?"

Yo Wan bingung, tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhu-nya.

"Bagaimana, Suhu? The Sun menyebabkan kematian ibu, sudah seharusnya kalau teecu mencarinya dan balas membunuhnya."

"Ha-ha-ha, anak bodoh. Siapakah The Sun itu yang bisa mendatangkan kematian pada seseorang? la hanya menjadi lantaran, karena memang nyawa ibumu sudah semestinya kembali pada saat itu, sudah dikehendaki oleh Thian Yang Maha Kuasa!"

Yo Wan makin bingung, dia menoleh kepada subo-nya. Nyonya muda itu maklum bahwa suaminya sedang kambuh, yaitu tenggelam dalam lautan filsafat kebatinan, maka ia lalu berkata halus, "Yo Wan ingin mendengar apa yang selanjutnya harus dia lakukan. Bicara tentang filsafat yang tidak dimengerti olehnya, membuang waktu sia-sia saja."

Kun Hong sadar dari lamunannya, keningnya berkerut. "Yo Wan, jangan kau kira bahwa akan mudah saja menghadapi seorang seperti The Sun. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan kepandaian yang kau warisi dari kedua orang kakek itu masih mentah. Coba kau berdiri dan siap menghadapi seranganku, aku akan mengujimu!"

Yo Wan girang karena ini berarti dia akan mendapat petunjuk. Cepat dia bangkit berdiri, dan secepat kilat Kun Hong telah menerjang. Yo Wan melihat gurunya memukul dengan gerakan cepat akan tetapi pukulan itu amat lambat tampaknya. Dia tidak berani berlaku sembrono.

Melihat betapa ilmu pukulan suhu-nya itu serupa benar dengan Liong-thouw-kun yang dia pelajari dari Sin-eng-cu, segera dia mengeluarkan jurus-jurus Ngo-sin Hoan-kun dari Bhewakala. Sampai lima jurus dia dapat mengimbangi gurunya, tapi pada jurus ke enam, suhu-nya melakukan gerakan serangan yang aneh sekali dan tahu-tahu pundak kirinya terdorong. Dorongan perlahan yang cukup hebat, membuat Yo Wan terpelanting.

"Aduhhh..." Yo Wan menahan keluhannya.

Dorongan itu mestinya tidak menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi karena kebetulan yang didorong adalah pundak kiri yang tadi terluka oleh anak panah Swan Bu, terasa perih dan sakit sekali.

"...ehhh, kenapa pundakmu...?" Kun Hong bertanya kaget. Diam-diam dia kagum karena muridnya yang masih mentah ilmunya ini ternyata mampu mempertahankan diri sampai lima jurus!

"...ti... tidak apa-apa, Suhu... dorongan Suhu hebat bukan main, teecu rasa biar sampai seratus tahun teecu belajar, tanpa bimbingan Suhu teecu tetap takkan mampu menjadi seorang ahli..."

"Hushh, goblok jika kau berpikir begitu. Kau hanya kurang matang itulah. Pundak kirimu itu... coba kau mendekat." Yo Wan mendekat dan Kun Hong lalu meraba. "Ehh, terluka senjata? Kapan terjadinya? Dalam pertempuran tadi kau sama sekali tidak terluka, kan?"

"Ayah, luka di pundaknya itu adalah karena terkena anak panahku!" Swan Bu berkata lantang. "Ketika tadi dia muncul, kuanggap dia itu mengacau di Hoa-san, maka kupanah dia, kena pundaknya. Akan tetapi dia memiliki ilmu sihir, Ayah. Panahku terus menancap di pundaknya ketika dia bertempur tadi, bahkan ketika melawan Sin-tung Lo-kai, anak panahku itu dia pergunakan untuk melukai lawannya. Apakah itu bukan ilmu hitam?"

"Swan Bu...! Ahh, bagaimana kau menjadi rusak oleh kemanjaan seperti ini? Setan, kau lancang sekali. Hayo lekas minta maaf kepada Yo Wan koko!"

Swan Bu bersungut-sungut. "Aku tidak merasa salah, mengapa minta maaf?"

"Suhu, sudahlah. Adik Swan Bu masih kecil, dan dia mempunyai watak gagah perkasa. Kalau tidak mengira bahwa teecu seorang jahat dan musuh Hoa-san-pai, kiranya dia tak akan melepaskan anak panah. Dia tidak bersalah, Suhu."

Kun Hong menarik nafas panjang. "Yo Wan, setelah kau menerima semua ilmu itu, tak mungkin lagi kau menjadi muridku. Hanya Thian yang tahu betapa kecewa hatiku, karena mencari murid seperti kau, agaknya selama hidupku takkan dapat kutemukan. Sekarang kau ingat baik-baik pesanku. Turunlah dari sini dan kau carilah Bhewakala. Hanya dialah yang dapat menyempurnakan dan mematangkan ilmu yang ada padamu, karena selain sebagian ilmu itu dari dia datangnya, juga dalam pertandingan selama tiga tahun itu tentu dia dapat menyelami ilmu dari susiok-couw-mu pula. Kau harus mematangkan ilmu yang kau miliki itu di bawah petunjuk Bhewakala. Nah, sesudah kepandaianmu matang, baru kau boleh datang lagi kepadaku untuk bicara tentang The Sun."

Yo Wan merasa berduka sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah. Hui Kauw lalu melangkah maju dan memegang kedua pundaknya. Sepasang mata bening subo-nya itu berair.

"Yo Wan, kau tahu betapa besar kasih sayang kami padamu. Percayalah, semua pesan Suhu-mu adalah demi kebaikan dirimu sendiri. Taati pesannya itu, Yo Wan. Perjalanan mencari pendeta barat itu tentu sukar dan jauh, akan tetapi untuk mencapai sesuatu, makin jauh dan makin sukar akan semakin baik. Terimalah ini untuk bekal di perjalanan." Hui Kauw meloloskan pedang dari pinggangnya, memberikan pedangnya itu kepada Yo Wan, kemudian dia menyerahkan pula sekantung uang emas.

Bukan main terharunya hati Yo Wan. Ingin dia menangis menggerung-gerung oleh kasih sayang yang besar, yang dilimpahkan mereka padanya. Akan tetapi dia maklum bahwa suhu-nya tidak suka akan sikap cengeng semacam ini, maka dia menekan perasaannya, lalu berpamit. Takut kalau-kalau air matanya bercucuran, sesudah mendapat ijin dia lalu melangkah ke luar dengan langkah lebar, lalu berlari secepatnya meninggalkan tempat itu agar tidak ada orang melihat betapa air matanya bercucuran di sepanjang jalan.

Akan tetapi sepasang suami isteri yang sakti itu mengetahui hal ini. Hui Kauw terisak menangis. "Dia anak baik...," katanya.

"Sebaliknya anak kita yang akan rusak bila terus-terusan mendapat kemanjaan yang luar biasa di sini. Hui Kauw, kita harus pergi dari sini, kembali ke Liong thouw-san, sekarang juga."

Bukan main girangnya hati Hui Kauw mendengar ini. Memang inilah yang sudah menjadi idam-idaman hatinya, akan tetapi tadinya Kun Hong menaruh keberatan karena dia ingin membiarkan puteranya hidup bahagia, dekat saudara-saudara di Hoa-san-pai yang amat mencinta anak itu. Siapa tahu, terlalu banyak cinta kasih yang dilimpahkan membuat anak itu tidak pernah dan tidak mau tahu akan kesukaran, membuatnya manja dan selalu ingin dituruti kehendaknya karena semenjak kecil tidak pernah ada yang menolak semua keinginannya….
cerita silat karya kho ping hoo

Perjalanan yang dilakukan Yo Wan sangat sukar dan jauh. la mentaati pesan Kun Hong, juga dia ingat akan pesan Bhewakala bahwa pendeta itu selalu menanti kedatangannya di Anapurna, yaitu sebuah puncak di Pegunungan Himalaya. Perjalanan yang amat jauh dan membutuhkan ketekatan yang bulat serta keuletan yang tahan uji. Baiknya dia membawa bekal sekantung uang emas pemberian Hui Kauw. Kalau tidak, perjalanannya tentu akan lambat karena dia harus berhenti-henti untuk bekerja sekedar mencari pengisi perut. Sekarang dia dapat melakukan perjalanan dengan lancar, terus ke barat, hanya mau berhenti kalau kemalaman di jalan atau kalau sudah amat lelah.

Melakukan perjalanan ke timur atau ke selatan jauh lebih cepat dari pada perjalanan ke barat atau ke utara. Hal ini adalah karena semua sungai mengalir ke selatan atau ke timur, dan pada masa itu, di waktu perjalanan darat amatlah sukarnya, jalan satu-satunya yang paling cepat adalah perjalanan melalui air.

Namun Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Larinya cepat bagaikan kijang dan setiap kali melalui hutan atau gunung yang sukar, dia masih dapat berlari cepat. Juga sebagai seorang pemuda yang berpakaian sederhana, nampak tidak membawa apa-apa, dia selalu terbebas dari gangguan para perampok yang hanya memperhatikan orang-orang yang membawa barang-barang berharga.

Setelah tiba di Pegunungan Himalaya, barulah pemuda itu mengalami kesukaran hebat. Beberapa kali hampir saja dia mendapat celaka ketika perjalanannya sampai di bagian yang tertutup salju. Dinginnya hampir tak tertahankan lagi. Malah pernah ada gunung es longsor, gugur dan kalau dia tidak cepat melompat ke dalam jurang dan berlindung, tentu dia akan terkubur hidup-hidup di dalam salju.

Kurang lebih sudah sebulan dia melalui perjalanan yang amat sukar dan sunyi ini. Hanya kadang-kadang dia berjumpa kelompok pengembara atau singgah di gubuk pertapa. Di tempat seperti ini, uang sudah tidak ada artinya lagi, tak dapat menolong seseorang dari kesengsaraan. Hanya sikap yang baik dapat menolongnya, karena pertolongan datang dari orang-orang yang tidak terbeli oleh harta, melainkan oleh keramahan. Dari para pertapa inilah Yo Wan akhirnya sampai juga di Anapurna, tempat pertapaan Bhewakala. Pendeta itu amat girang melihat kedatangan Yo Wan yang sekarang berlutut di depannya dan menceritakan semua pengalamannya di Hoa-san.

"Ha-ha-ha, Pendekar Buta memang hebat dan dia cukup menghargai orang lain, maka dia menyuruh kau datang ke sini, muridku. Memang dia betul, meski pun ilmu-ilmu yang pernah kau latih dari aku dan Sin-eng-cu telah mendarah daging pada tubuhmu, namun masih mentah karena kau belum mampu menyelami inti sarinya. Nah, mulai hari ini kau belajarlah baik-baik muridku."

Bhewakala tidak hanya menggembleng Yo Wan dalam ilmu silat untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi juga memberi gemblengan-gemblengan ilmu batin kepada Yo Wan. Makin lama pemuda ini semakin betah tinggal di Himalaya, pelajaran kebatinan semakin meresap ke dalam hatinya, dan walau pun dia masih buta huruf karena tidak pernah mempelajarinya, namun kini mata hatinya sudah terbuka dan dapatlah dia meneropong ke dalam penghidupan manusia.

Mengertilah dia kini akan ucapan Kun Hong tentang dendam dan balas-membalas, dan makin lama makin tipislah keinginan hatinya untuk mencari The Sun dan membunuhnya. Telah lenyap pula hasratnya untuk merantau di dunia ramai karena di samping gurunya, di tempat sunyi dan dingin ini, dia sudah menemukan ketenteraman hidup, kebahagiaan sejati manusia yang tidak digoda oleh kehendak nafsu, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari lingkaran karma….

***********

Waktu berjalan pesat bagai anak panah terlepas dari busurnya. Sembilan tahun lamanya Yo Wan berada di Himalaya dan pada suatu hari Bhewakala yang sudah tua itu jatuh sakit. Pendeta ini maklum bahwa waktu hidupnya sudah tiba pada saat terakhir. la tidak ingin muridnya yang terkasih itu menyia-nyiakan hidupnya sebagai pertapa selagi masih begitu muda. Dipanggilnya Yo Wan dan dengan suara lirih dan nafas tinggal satu-satu pendeta ini meninggalkan pesan.

"Yo Wan, saat bagiku untuk meninggalkan dunia sudah hampir tiba. Aku girang dengan peristiwa ini, karena selain berarti kebebasanku, juga kau akan terlepas dari ikatanmu dengan aku. Kini ilmu yang kau miliki telah cukup untuk bekal hidup. Bertahun-tahun kau selalu menolak perintahku untuk turun gunung dan pergi merantau, dengan alasan ingin melayani aku yang sudah tua sebagai pembalas budi. Kau masih terikat oleh budi, tentu tak mudah melepaskan diri dari ikatan dendam. Akan tetapi kau sudah masak sekarang, matang lahir batin. Pesanku terakhir ini harus kau taati, Yo Wan. Apa bila aku meninggal dunia, kau harus membakar jenazahku di pondok ini, bakar semua yang berada di sini. Kemudian kau harus meninggalkan tempat ini, kembali ke timur."

"Tapi... Guru…”

"Tidak ada tapi, kau sebagai seorang anak tidak boleh menjadi anak yang puthauw (tidak berbakti). Di sana terdapat kuburan ayahmu, juga ada kuburan ibumu, siapa yang akan merawatnya? Lagi pula, kau bukan ditakdirkan hidup menjadi pertapa. Kau harus turun gunung, kembali ke dunia ramai, mencari jodoh, mempunyai keturunan seperti manusia-manusia lain. Soal The Sun, terserah kebijaksanaanmu sendiri."

"Ahh, Guru..."

Bhewakala tersenyum lebar, kembali berkata, "Biarkan dirimu menjadi permainan hidup, menjadi permainan kekuasan Tuhan, karena untuk itu kau telah diberi hak hidup disertai kewajiban-kewajibannya. Apa bila kau mengingkari pesanku ini, selamanya kau tak akan dapat tenteram, karena kau tentu tidak akan suka mengecewakan aku."

Yo Wan tidak dapat membantah lagi karena dia maklum bahwa semua yang dikatakan gurunya itu betul belaka. la tidak mungkin mau mengecewakan orang yang sudah begitu baik terhadap dirinya, sungguh pun masa depan di dunia ramai tidak menarik hatinya, bahkan menggelisahkan. Pada malam harinya, Bhewakala menghembuskan nafas terakhir di hadapan Yo Wan. Pemuda yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun lebih itu menyambut kematian ini dengan wajar, tidak menangis, meski pun ada juga penyesalan akibat dari perpisahan dengan orang yang disegani dan dihormati.

la melaksanakan pesan gurunya itu dengan baik-baik, membakar jenazah berikut pondok dan segala benda yang berada di sana. Tiga hari tiga malam dia berkabung di tempat yang sudah menjadi gundul dan kosong itu, kemudian mulailah dia turun gunung. Pagi-pagi dia berangkat ke arah munculnya matahari yang kemerah-merahan. Bergidik dia melihat keindahan ini, sebab dia merasa seakan-akan sedang berjalan menuju ke api neraka yang merah, dahsyat dan akan menelannya…..

**********

Kita tinggalkan dahulu Yo Wan yang sedang turun dari Pegunungan Himalaya, memulai perjalanannya yang amat sunyi dan jauh serta sukar untuk mulai dengan perantauannya, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Siu Bi, gadis lincah dan berhati tabah itu. Seperti sudah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Siu Bi, puteri tunggal The Sun, meninggalkan Go-bi-san dengan hati sakit. Setelah mengetahui bahwa dia bukan puteri The Sun, bukan keturunan keluarga The, simpatinya lalu tertumpah pada mendiang Hek Lojin yang telah terbunuh oleh The Sun. Dia merasa menyesal dan kecewa. Kiranya dia bukan puteri The Sun. Siapakah orang tuanya? Apakah dia bukan anak ibunya pula?

Mengingat ini, menangislah Siu Bi di sepanjang jalan. Dia sangat mencinta ibunya, dan sekarang dia pergi tanpa pamit. Biar pun orang yang selama ini mengaku ayahnya telah mengecewakan hatinya dengan memukul mati Hek Lojin dan dengan kenyataan bahwa orang itu bukan ayahnya yang sejati, namun ibunya tidak pernah melukai hatinya. Ibunya selalu sayang kepadanya sehingga andai kata dia bukan ibunya yang sejati, Siu Bi tetap akan mencintanya.

Betapa pun juga, Siu Bi dapat menguasai perasaannya. Ia melakukan perjalanan dengan tabah. Tujuannya hanyalah satu, yaitu mencari dan membalas dendam kepada Kwa Kun Hong! la akan menantang Pendekar Buta itu sebagai wakil dari Hek Lojin dan berusaha sedapatnya untuk membuntungi sebelah lengan Pendekar Buta itu, juga lengan isterinya dan anak-anaknya. la telah bersumpah di dalam hati kepada kongkong-nya, Hek Lojin. la merasa yakin akan dapat melakukan tugas ini. Sesudah mewarisi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dan Ilmu Pukulan Hek-in-kang, ia merasa dirinya cukup kuat dan tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun juga.

Ingat akan hal ini, Siu Bi menjadi bersemangat dan di bawah sebatang pohon besar ia berhenti kemudian berlatih dengan kedua ilmu silat itu. Memang hebat sekali ilmunya ini. Pedangnya hanya sebatang pedang biasa saja, namun berubah menjadi gulungan sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar di antara awan menghitam yang merupakan uap dari pukulan-pukulan Hek-in-kang.

Ketika ia berhenti berlatih satu jam kemudian, di bawah pohon sudah penuh daun-daun pohon yang terbabat putus tangkainya oleh sinar pedangnya dan yang rontok oleh hawa pukulan Hek-in-kang! Siu Bi berdiri tegak, kepalanya tunduk memandangi daun-daun itu dengan hati puas. Pendekar Buta, pikirnya, lenganmu dan lengan-lengan anak isterimu akan putus seperti daun-daun ini!

Sebagai seorang gadis remaja, gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih, Siu Bi melakukan perjalanan yang amat jauh dan sulit. Go-bi-san merupakan pegunungan yang luas sedang jalan menuruni pegunungan ini sama sukarnya dengan jalan pendakiannya. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi Siu Bi tidak menemui kesukaran. Tubuhnya bergerak lincah dan ringan, kadang kala dia harus melompat jurang. Dengan ginkang-nya yang amat tinggi ia dapat melompat bagaikan terbang saja, tubuhnya ringan meluncur di atas jurang, dilihat dari jauh tidak ada ubahnya seorang dewi dari kahyangan yang terbang melayang turun ke dunia.

Pakaiannya yang terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, biru dan kuning itu berkibar-kibar tertiup angin ketika ia melompat. Ronce-ronce pedang yang tergantung di punggungnya menambah kecantikan dan kegagahannya. Berpekan-pekan Siu Bi keluar masuk hutan, naik turun gunung, melalui banyak dusun di kaki gunung dan melalui beberapa kota pegunungan. Setiap kali dia bertemu orang, tentu dia menjadi pusat perhatian. Apa lagi kaum pria, melihat seorang gadis remaja demikian cantik jelitanya, memandang penuh kekaguman.

Namun tiada orang berani mengganggu, karena tidak hanya pedang di punggung Siu Bi yang membuktikan bahwa gadis remaja jelita itu seorang ahli silat. Akan tetapi juga Siu Bi tidak menyembunyikan gerak-geriknya yang lincah dan ringan, sehingga setiap orang tahu bahwa dia adalah seorang pendekar wanita muda yang tak boleh dibuat main-main!

Pada suatu hari tibalah ia di kota Pau-ling di tepi Sungai Huang-ho, setelah melakukan perjalanan sebulan lebih ke selatan. Sebetulnya Pau-ling tidak patut disebut kota, tetapi sebuah dusun yang menghasilkan banyak padi dan gandum. Tanah di lembah Sungai Huang-ho ini amat subur sehingga pertanian banyak maju dan hasilnya berlimpah-limpah. Karena letaknya dekat dengan sungai besar, maka dusun ini makin lama makin ramai dengan perdagangan melalui sungai. Hasil-hasil sawah ladang diangkut melalui sungai dengan perahu-perahu besar.

Ketika Siu Bi lewat di pelabuhan sungai, ia melihat banyak orang mengangkat padi dan gandum berkarung-karung ke atas perahu-perahu besar. Orang-orang ini bekerja dengan wajah muram, tubuh mereka kurus-kurus dan pakaian mereka penuh tambalan. Beberapa orang yang memegang cambuk dan berpakaian sebagai mandor, membentak-bentak dan ada kalanya mengayunkan cambuk ke punggung seorang pengangkut yang kurang cepat kerjanya. Ada lima enam orang mandor yang galak-galak, dan melihat Siu Bi lewat, mereka tertawa-tawa sambil memandang dengan mata kurang ajar. Ada yang bersiul-siul dan menuding-nuding ke arah Siu Bi.

Panas hati Siu Bi. Namun ia menahan sabar, karena ia tidak mau kalau perjalanannya tertunda hanya karena ada beberapa orang laki-laki yang memperlihatkan kekaguman terhadap kecantikannya secara kurang ajar. la mempercepat langkahnya dan sebentar saja ia sudah tiba di luar dusun Pau-ling.

Akan tetapi kembali di luar dusun, di kanan kiri jalan di mana sawah ladang membentang luas, ia disuguhi pemandangan yang amat mencolok mata. Belasan orang laki-laki yang keadaannya miskin dan bertubuh kurus seperti para kuli angkut karung gandum dan padi tadi, tampak sedang menuai gandum di sawah. Tampak pula belasan orang wanita yang juga bekerja.

Mereka bekerja dengan penuh semangat, tapi jelas bukan semangat yang mengandung kegembiraan, melainkan semangat karena ketakutan. Beberapa orang mandor menjaga mereka dengan cambuk di tangan pula. Di sana-sini terdengar cambuk berbunyi ketika melecut punggung, diiringi jerit kesakitan.

Siu Bi berdiri terpaku. Hatinya mulai panas. Akan tetapi kiranya ia tak akan sembarangan mau mencampuri urusan orang bila saja tidak melihat kejadian yang membuat wajahnya yang jelita menjadi kemerahan saking marahnya.

la melihat betapa seorang wanita setengah tua yang tampaknya sakit, roboh terpelanting sesudah menerima cambukan pada punggungnya. Seorang gadis yang usianya sebaya dengan dia menjerit dan menubruk wanita itu, menangisi ibunya yang telah pingsan. Dua orang mandor cepat menghampiri mereka, lalu dengan sekali sambar yang seorang telah mengangkat tubuh gadis itu dan... menciuminya sambil terkekeh-kekeh dan berkata,

"Ha-ha-ha, jangan kau besar kepala setelah terpakai oleh majikan! Lain hari kau tentu akan diberikan kepadaku. Ha-ha-ha…!"

Ada pun mandor kedua dengan marahnya menghajar wanita setengah tua itu dengan cambuk, memaki-maki, "Anjing betina! Siapa suruh kau pura-pura mampus di sini? Hayo berdiri dan bekerja, kalau tidak kucambuki sampai hancur badanmu!"

Siu Bi tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Keparat jahanam, lepaskan mereka!"

Bagaikan seekor burung walet cepat dan ringannya, tubuh Siu Bi sudah melayang dekat orang yang menciumi gadis tadi. Sekali kakinya bergerak menendang terdengar suara berdebuk dan mandor yang galak serta ceriwis itu terlempar sampai empat meter lebih kemudian jatuh terbanting ke dalam lumpur.

“Ngekkk!” terdengar suara lain beberapa detik kemudian.

Ternyata orang kedua yang mencambuki wanita setengah tua itu terlempar pula oleh tendangan Siu Bi, hampir menimpa kawannya yang baru merangkak-rangkak bangun.

Semua pekerja serentak menghentikan pekerjaan mereka, berdiri terpaku. Muka mereka pucat dan hampir saja mereka tidak percaya apa yang mereka lihat tadi. Seperti dalam mimpi saja. Siapakah orangnya berani melawan para mandor? Kiranya hanya seorang gadis yang cantik jelita, seorang gadis remaja.

"Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwa Im) menolong kita...," bisik seorang lelaki tua dan serentak mereka menjatuhkan diri berlutut menghadapi Siu Bi.

Di jaman itu kepercayaan orang-orang, terutama orang-orang dusun, tentang kesaktian Dewi Kwan Im yang sering kali muncul atau menjelma untuk membersihkan kekeruhan dunia dan menolong orang-orang sengsara, masih amat tebal. Dewi Kwan Im terkenal sebagai Dewi Welas Asih, dewi lambang kasih sayang dan penolong yang juga terkenal amat cantik jelita. Kini melihat seorang dara jelita berani melawan dua orang mandor, dan sekali tendang dapat membuat dua orang mandor galak itu terpelanting dan roboh, otomatis mereka menganggap bahwa Dewi Kwan Im yang menolong mereka.

Namun dua orang mandor itu tidak berpendapat demikian. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, yang tahu akan wanita-wanita pandai ilmu silat semacam Siu Bi. Mereka malu dan marah sekali, akan tetapi untuk beberapa menit mereka tidak berdaya karena ketika terbanting tadi, muka mereka mencium lumpur sehingga kini mereka sibuk membersihkan lumpur dari wajah mereka, menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah.

Empat orang kawan mereka sudah datang berlari, diikuti para pekerja yang ingin melihat apa yang sedang terjadi di situ. Pada saat para pekerja melihat teman-temannya berlutut menghadapi Siu Bi dan melihat pula dua orang mandor merangkak dengan muka penuh lumpur seperti monyet, mereka segera mengerti atau dapat menduga duduknya perkara. Tanpa banyak komentar lagi mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Dewi Kwan Im yang menjelma sebagai gadis cantik jelita dan sedang menolong mereka itu!

Empat orang mandor tadinya masih belum menduga apa yang terjadi, akan tetapi dua orang mandor yang merangkak di lumpur itu segera berkaok-kaok, “Tangkap gadis setan itu, berikan padaku nanti!"

Mendengar ini, empat orang mandor lari menghampiri Siu Bi. Seorang di antara mereka yang berkumis tikus membentak, "Bocah, siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?"

"Yang menjadi persoalan adalah apa yang kalian lakukan, bukan apa yang aku lakukan," suara Siu Bi merdu dan nyaring sehingga para pekerja miskin itu makin percaya bahwa dara ini, tentulah penjelmaan Kwan Im Pouwsat!

"Kalian berenam ini manusia ataukah sekumpulan binatang buas, menekan orang-orang miskin ini, mencambuki mereka, menghina wanitanya. Yang barusan kulakukan hanyalah menendang dua orang kawanmu itu sebagai pelajaran. Apa bila ternyata kalian serupa dengan mereka, kalian berempat pun akan kuberi tendangan seorang sekali."

Dapat dibayangkan betapa marahnya empat orang itu. Mereka adalah mandor-mandor jagoan alias para tukang pukul dari Bhong-loya (tuan tua she Bhong) yang menjadi lurah dan orang paling kaya di Pau-ling. Semua sawah ladang adalah milik Bhong-loya, semua perahu besar adalah milik Bhong-loya.

Siapa berani menentang Bhong-loya yang mempunyai pengaruh besar pula di kota raja? Para pembesar dari kota raja merupakan teman-temannya, para buaya darat adalah kaki tangannya, serta para mandor adalah bekas-bekas jagoan dan perampok yang memiliki kepandaian. Sekarang anak perempuan yang masih hijau itu berani memandang rendah mereka?

"Bocah setan, kau harus diseret ke hadapan Bhong-loya dan ditelanjangi, terus dipecut seratus kali sampai kau menjerit-jerit minta ampun, baru tahu rasa!" bentak seorang di antara mereka. Akan tetapi baru saja mulutnya tertutup, tubuhnya sudah terlempar ke dalam lumpur oleh sebuah tendangan kaki kiri Siu Bi!

Gerakan Siu Bi tadi cepat bukan main, tendangannya hanya tampak perlahan saja akan tetapi akibatnya terlihat oleh semua orang. Tubuh si tukang pukul yang tinggi besar itu melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin.

Tiga mandor yang lain dengan marah menerkam maju. Mereka tak menggunakan aturan perkelahian lagi, karena di samping kemarahan mereka, juga mereka merasa kagum dan tergila-gila akan kecantikan serta kejelitaan yang jarang bandingannya di kota Pau-ling. Maka seakan berlomba mereka berusaha meringkus dan memeluk gadis galak itu untuk memuaskan kemarahan dan kegairahan mereka.

"Brukkk!"

Ketiga orang itu mengaduh karena mereka saling tabrak dan saling adu kepala. Dalam kegemasan tadi mereka menubruk berbareng, bagaikan tiga ekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi yang ditubruk hilang, yang menubruk saling beradu kepala.

Siu Bi tidak mau bertindak kepalang tanggung. Dengan gerakan yang cepat sekali kedua kakinya menendang dan di lain saat tiga orang tukang pukul itu juga sudah terpelanting masuk ke dalam lumpur di sawah.

"Lopek, kenapa mereka itu amat kejam terhadap kalian?" tanya Siu Bi kepada seorang petani tua yang berlutut paling dekat di depannya, sama sekali ia tidak peduli lagi pada enam orang mandor yang kini sibuk berusaha membuka mata yang kemasukan lumpur.

"Pouwsat (Dewi) yang mulia... kami adalah petani-petani dusun yang sengsara dan amat miskin... tolonglah kami, karena sekarang sekedar untuk dapat makan kami telah diperas dan ditekan oleh Bhong-loya... mereka itu adalah tukang-tukang pukul Bhong-loya..."

"Tan-lopek, mengapa kau begitu lancang mulut...?" tegur seorang petani di belakangnya yang nampak ketakutan sekali. "Apa kau tidak takut akan akibatnya kalau Pouwsat sudah kembali ke kahyangan?"

Siu Bi menahan senyum, geli hatinya mendengar bahwa ia disebut Pouwsat. Dianggap Kwan Im! Mengapa tidak? Kwan Im Pouwsat merupakan seorang dewi yang penuh kasih kepada manusia. Kata kongkong-nya, dunia kang-ouw banyak orang-orang pandai yang mempunyai nama julukan. Dia telah mewarisi kepandaian tinggi, maka sudah sepatutnya memiliki nama julukan pula. Kwan Im? Nama julukan yang baik sekali.

"Jangan takut. Aku akan membela kalian dan memberi hajaran kepada mereka yang jahat. Apakah mandor-mandor ini jahat terhadap kalian?"

"Jahat?" Petani tua yang disebut Tan-lopek oleh temannya tadi mengulang kata-kata ini, mukanya memperlihatkan bayangan kemarahan yang memuncak. "Mereka itu lebih jahat dari pada Bhong-loya sendiri! Mereka seperti serigala-serigala kelaparan, entah berapa banyak di antara kami yang mereka bunuh, mereka aniaya menjadi manusia-manusia cacad dan selanjutnya hidup sebagai jembel."

Semakin panaslah hati Siu Bi. Orang-orang jahat yang suka menganiaya dan membunuh orang patut dihukum, pikirnya. Ketika ia membalikkan tubuh ke arah enam orang mandor itu, ternyata mereka telah bangkit dari lumpur, berhasil mencuci muka dengan air sawah, lalu sekarang melangkah lebar sambil mencabut pedang. Dengan sikap penuh ancaman mereka menghampiri Siu Bi, pedang di tangan, nafsu membunuh terbayang pada mata mereka yang merah.

"Setan betina. Berani kau main gila dengan para ngohouw (tukang pukul) Bhong-loya? Bersiaplah untuk mampus dengan tubuh tercincang hancur!" teriak si kumis tikus sambil menerjang lebih dulu dengan ayunan pedangnya.

Melihat gerakan mereka, Siu Bi memandang rendah. Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuasaan saja, sama sekali tidak memiliki ilmu kepandaian yang berarti. Oleh karena ini ia merasa tak perlu harus menggunakan pedangnya. Tanpa mencabut pedang, ia menghadapi serangan si kumis tikus.

Dengan ringan ia miringkan tubuh, tangan kirinya menyambar. Pada waktu itu tangan kiri Siu Bi sudah amat terlatih dan penuh terisi hawa Hek-in-kang. Ada bayangan sinar hitam berkelebat ketika tangan kirinya bergerak. Tahu-tahu si kumis tikus berteriak keras dan terpelanting roboh, pedang di tangan kanannya sudah berpindah ke tangan Siu Bi. Cepat laksana kilat menyambar, pedang itu membabat ke bawah dan buntunglah tangan kanan si kumis tikus itu sebatas siku. Orangnya menjerit dan pingsan!

Lima orang kawannya segera menerjang dengan marah. Namun kali ini Siu Bi tidak mau memberi ampun lagi. Pedang rampasan di tangannya berkelebat dan lenyap bentuknya sebagai pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

Terdengar jeritan susul-menyusul dan dalam beberapa jurus saja, lima orang itu sudah kehilangan lengan kanan mereka sebatas siku. Agaknya, teringat akan janjinya kepada kakeknya, Hek Lojin, gadis ini apa bila marah terdorong oleh nafsu membuntungi lengan orang, terutama orang-orang jahat, seperti enam orang mandor ini, dan seperti Pendekar Buta Kwa Kun Hong beserta anak isterinya!

Dengan tenang Siu Bi membalikkan tubuh menghadapi para petani yang masih berlutut dan yang kini semua pucat wajahnya karena ngeri menyaksikan peristiwa pembuntungan enam orang mandor itu. Di dalam hati mereka merasa puas sebab ada ‘Sang Dewi’ yang membalaskan dendam mereka terhadap mandor-mandor yang kejam itu, tetapi mereka juga amat takut akan akibatnya. Alangkah akan marahnya Bhong-loya, pikir mereka.

"Para paman dan bibi, jangan kalian takut. Sekarang mari antarkan aku ke rumah orang she Bhong yang sewenang-wenang itu. Jangan takut, aku akan menanggung semua perkara ini, kalian hanya mengantar dan menonton saja."

Pada mulanya para petani itu ketakutan. Mendatangi rumah Bhong-loya? Sama dengan mencari penyakit, mencari celaka. Akan tetapi petani tua itu bangkit berdiri.

"Mari, Pouwsat, saya antarkan. Biar nanti aku akan dipukul sampai mati, aku sudah puas melihat ada yang berani membela kami dan memberi hajaran kepada manusia-manusia berwatak binatang itu."

Melihat semangat empek tua ini banyak pula yang ikut bangkit, tetapi hanya beberapa belas orang saja dan semua laki-laki. Yang lain-lain tetap berlutut tak berani mengangkat muka. Akan tetapi bukan maksud Siu Bi untuk mengajak banyak orang, karena yang ia kehendaki hanya petunjuk jalan agar ia tidak usah mencari-cari di mana rumah manusia she Bhong itu.

Dengan wajah membayangkan perasaan geram dan nekat, belasan orang laki-laki yang sebagian besar bertelanjang kaki dan berpakaian penuh tambalan itu mengantar Siu Bi menuju ke dalam dusun. Rombongan ini tentu saja menarik perhatian banyak orang, apa lagi ketika mereka mendengar dari para pengiring Siu Bi tentang perbuatan gadis jelita itu membuntungi lengan enam orang mandor di sawah.

Seketika keadaan dusun Pau-ling menjadi gempar, lebih-lebih saat para petani miskin itu menyatakan tanpa keraguan bahwa dara jelita yang sedang mereka iringkan ini adalah penjelmaan Kwan Im Pouwsat! Segera banyak orang ikut mengiringkan walau pun dari jarak agak jauh sebagai penonton, karena mereka tidak ingin menimbulkan kemarahan Bhong-loya, maka tidak menggabungkan diri dengan rombongan petani itu, melainkan sebagai rombongan penonton.

Gedung besar yang menjadi tempat tinggal Bhong-loya memang amat besar dan amat menyolok kalau dibandingkan dengan kemelaratan di sekelilingnya. Bhong-loya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, menjadi lurah di dusun itu sudah bertahun-tahun. Karena korupsi besar-besaran dan penghisapan atas tenaga murah para petani yang dulunya sebagian besar merupakan pengungsi dari banjir besar Sungai Huang-ho, maka dia menjadi kaya-raya.

Betapa pun juga harus diakui bahwa Bhong-loya (tuan tua Bhong) yang sesungguhnya bernama Bhong Ciat itu tidaklah seganas atau sekeji orang-orangnya. Bukan menjadi rahasia lagi bahwasannya anjing-anjing peliharaan penjaga rumah jauh lebih galak dan ganas dari pada majikannya. Para petugas rendahan merupakan serigala-serigala buas yang selalu mengganggu rakyat miskin, tentu saja dengan bersandar kepada kekuasaan dan pengaruh Bhong Ciat.

Ransum untuk para pekerja kasar yang telah ditentukan oleh Bhong Ciat hanya sebagian kecil saja sampai di tangan para pekerja itu. Upah pun demikian pula, dicatut, dipotong, dikurangi banyak tangan-tangan kotor sebelum sisanya yang tidak berapa itu masuk ke kantong para pekerja.

Celakanya, Bhong Ciat sudah terlalu mabuk dengan kesenangan serta kemuliaan, sama sekali tidak memperhatikan keadaan rakyatnya, tidak tahu bahwa orang-orangnya sudah melakukan tekanan yang amat keji. Dikiranya bahwa semua berjalan lancar dan licin, dan dia merasa bahagia di dalam rumah gedungnya, setiap hari menikmati makanan lezat dilayani oleh selir-selir muda dan cantik.

Lebih celaka lagi bagi para penduduk miskin di Pau-ling, lurah Bhong memiliki seorang anak laki-laki, bukan anak sendiri tetapi anak pungut karena Bhong Ciat tidak mempunyai keturunan sendiri, yaitu seorang anak laki-laki yang sudah dewasa bernama Bhong Lam.

Pemuda inilah yang membuat keadaan menjadi makin berat bagi para penduduk karena Bhong Lam merupakan pemuda yang selalu mengumbar nafsu-nafsu buruknya. Tak ada seorang pun wanita yang muda dan cantik di dusun itu yang dapat hidup aman. Tidak peduli anak orang, isteri orang, siapa saja asal gadis itu termasuk keluarga miskin, pasti akan dicengkeramnya.

Untuk maksud-maksud keji ini, Bhong Lam tidak segan-segan menghambur-hamburkan uang ayah angkatnya. Setiap hari dia berpesta-pora, kadang-kadang bila sudah bosan di dusun lalu pergi pesiar ke kota-kota lain diikuti rombongan tukang pukulnya dan di kota inilah dia menghamburkan uang dan main gila.

Bhong Lam tidak hanya ditakuti karena dia putera angkat Bhong-loya, akan tetapi juga karena dia merupakan seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya. Dia pernah belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim perantauan, dan terutama sekali permainan toyanya amat kuat sehingga semua tukang pukul keluarga Bhong tidak seorang pun yang dapat mengalahkannya. Agaknya kepandaiannya inilah yang membuat Bhong Lam makin lama semakin bertingkah, merasa seakan-akan dia sudah menjadi seorang pangeran!

Sebagai keluarga yang paling berkuasa di Pau-ling, tentu saja banyak kaki tangannya. Banyak pula petani-petani miskin yang berbatin rendah sehingga suka menjadi penjilat. Oleh karena itu, peristiwa di sawah tadi sudah pula sampai kabarnya di rumah gedung Bhong Ciat sebelum rombongan yang mengiringkan Siu Bi tiba di situ. Ada saja petani miskin yang lari lebih dulu dan dengan maksud menjilat mencari muka, lalu melaporkan peristiwa di sawah kepada Bhong-loya.

Pada waktu itu, kebetulan sekali Bhong Lam juga berada di rumah. Mendengar tentang peristiwa itu marahlah pemuda ini. Cepat-cepat dia menyambar toyanya dan menyatakan kepada ayah angkatnya bahwa orang tua itu tidak perlu khawatir karena dia sendiri yang akan memberi hajaran kepada ‘dewi palsu’ itu.

Dengan geram Bhong Lam melompat dan lari keluar dari dalam gedung saat mendengar suara ribut-ribut di luar gedung karena rombongan petani itu memang sudah tiba di sana. Kemarahan Bhong Lam memuncak. Akan dia bunuh wanita jahat itu dan semua petani yang mengiringkannya. Tidak seorang pun akan diberi ampun karena hal ini perlu untuk menakuti hati para petani agar tidak memberontak lagi.

"Setan betina, berani kau main gila?!" Bhong Lam melompat keluar sambil menudingkan telunjuknya.

Akan tetapi tiba-tiba dia berdiri terpaku dan biar pun telunjuk kirinya masih menuding dan toyanya dipegang di tangan erat-erat, namun matanya terbelalak mulutnya ternganga. la melongo tanpa dapat mengeluarkan suara, memandang wajah Siu Bi, seperti terpesona dan kehilangan semangat. Sungguh mati dia tidak mengira sama sekali bahwa wanita yang telah membuntungi lengan enam orang mandornya adalah dara secantik bidadari. Pantas saja disebut-sebut sebagai Dewi Kwan Im!

Belum pernah selama hidupnya dia melihat dara secantik ini, kecuali dalam alam mimpi dan dalam gambar. Lebih suka dia rasanya untuk maju berlutut dan menyatakan cinta kasihnya dari pada harus menghadapi dara ini sebagai lawan yang harus dibunuhnya.

Dibunuh? Wah, sayang! Lebih baik ditangkap dan... ah, belum pernah dia mendapatkan seorang dara pendekar. Alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan gadis yang pandai ilmu silat pula seperti dia! Senyum lebar menghias wajahnya yang tampan juga dan kini mulutnya dapat bergerak.

"Nona... eh, kau siapakah dan... eh, kudengar kau bertengkar dengan orang-orang kami? Bila mereka berbuat salah terhadap Nona, jangan khawatir, aku yang akan menegur dan menghukum mereka!"

Jika saja dalam perjalanan ke rumah keluarga Bhong itu Siu Bi tak mendengar penuturan petani tua tentang keadaan Bhong Ciat dan putera angkatnya, Bhong Lam, tentu ia akan tercengang dan heran menyaksikan sikap dan mendengar omongan pemuda ini. Karena ia sudah mendengar bahwa pemuda yang menjadi putera angkat keluarga Bhong, seorang ahli main toya, adalah pemuda yang paling jahat dan yang mata kerajang, maka baginya sikap Bhong Lam ini merupakan sikap ceriwis, bukan sikap ramah tamah. Berkerut aiisnya yang kecil panjang ketika Siu Bi menodongkan pedang rampasannya sambit bertanya, "Kaukah yang bernama Bhong Lam?"

"Aduh mati aku..." Bhong Lam bersambat dalam batinnya mendengar suara yang merdu itu. Baru bertanya dengan nada marah saja sudah begitu merdu, apa lagi kalau suara itu dipergunakan untuk merayunya.

"Hayo jawab!" Siu Bi tak sabar lagl melihat pemuda itu memandangnya tak berkedip.

Bhong Lam sadar dan tersenyum dibuat-buat. "Betul, Nona. Silakan Nona masuk." Pada para petani itu Bhong Lam berseru, "Kalian pergilah, kembali ke sawah. Tak ada urusan apa-apa di sini. Nona ini adalah tamu agung kami, kesalah pahaman di sawah tadi habis sampai di sini saja."

"Siapa sudi mendengar omongan manismu yang beracun?!" Siu Bi membentak. "Kau adalah seorang yang sangat jahat, mengandalkan kedudukan orang tua, mengandalkan harta benda dan kekuasaan untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Manusia macam engkau ini tidak ada harganya diberi hidup lebih lama lagi."

Memang Siu Bi sangat marah dan benci kepada pemuda ini setelah tadi ia mendengar penuturan para petani betapa pemuda ini sudah menghabiskan semua gadis muda dan cantik di dusun itu, juga merampas isteri-isteri orang sehingga banyak timbul hal-hal yang mengerikan, banyak di antara wanita-wanita itu membunuh diri. Sekarang melihat sikap pemuda ini yang ceriwis, matanya yang berminyak itu menatap wajahnya dengan lahap, kemarahannya memuncak.

"Nona, antara kita tidak ada permusuhan. Aku mengundang Nona menjadi tamu..."

"Jahanam perusak wanita! Tidak usah kau berkedok bulu domba karena aku sudah tahu bahwa kau adalah seekor serigala yang busuk dan jahat!"

Bhong Lam adalah seorang pemuda yang selalu dihormati serta ditakuti orang. Selama hidupnya, baru sekali inilah dia dimaki-maki dan dihina. Walau pun dia tergila-gila akan kecantikan Siu Bi, namun darah mudahnya bergolak ketika dia dimaki-maki seperti itu. Mukanya menjadi merah sekali, apa lagi melihat betapa para petani itu masih belum mau pergi, memandang kepadanya dengan mata penuh kebencian.

"Keparat, kau benar-benar lancang mulut, tidak bisa menerima penghormatan orang. Kau kira aku takut kepadamu? Kalau belum dihajar, kau belum tahu rasa, karena itu biarlah aku memaksamu tunduk kepadaku dengan jalan kekerasaan!" Setelah berkata demikian, Bhong Lam menerjang maju sambil memutar toyanya.

Dengan senyum mengejek Siu Bi berkelebat, menghindarkan terjangan toya dan balas menyerang. la mendapat kenyataan bahwa kepandaian pemuda ini memang jauh lebih tinggi dari pada para mandor dan tukang pukul yang tiada gunanya tadi, namun baginya, pemuda ini pun merupakan lawan yang empuk saja.


BERSAMBUNG KE JAKA LOLA JILID 04