Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO

KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 06

Orang itu adalah Empu Bharada, orang pendeta yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Empu Bharada merupakan seorang sesepuh di Kerajaan Kahuripan. Bahkan selain dia menjadi penasihat Sribaginda, diapun dianggap sebagai gurunya.

Empu Bharada hidup menyendiri, tidak menikah, melakukan apa yang disebut bertapa di tempat ramai. Biarpun dia hidup di dalam sebuah gedung mungil pemberian sang prabu, namun dia hidup menyendiri seperti pertapa. Lebih banyak dia berada di sanggar pamujaan, melakukan puja-puji dan mengagungkan Sang Hyang Widhi Wasa. Hanya sekali-kali dia keluar di ruangan pendopo untuk memberi wejangan kepada para cantrik. Atau terkadang dia muncul pula di dalam masyarakat untuk mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada mereka yang pantas dan perlu ditolong, misalnya mengobati orang sakit, memberi penerangan kepada mereka yang sedang menderita kegelapan batin, dan lain sebagainya.

Dasar pelajaran hidupnya adalah bahwa manusia hidup haruslah menjadi alat atau pembantu Sang Hyang Widhi yang selalu menjaga dan MANGAYU HAYUNING BHAWANA (mengusahakan ketentraman jagad). Caranya adalah mencintai sesama manusia dan membagi segala macam kemampuan untuk saling menolong antara manusia. Gusti Maha Suci atau Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan berkah kepada kita dengan berkelebihan, dengan maksud agar kita membagi kelebihan itu kepada orang yang membutuhkannya.

Kalau kita kelebihan harta, haruslah menolong dan membagi sebagian dari kelebihan harta kita itu untuk mereka yang membutuhkannya. Kalau kita memiliki kelebihan kepintaran, haruslah menolong dan membagi sebagian dari kepintaran kita untuk mereka yang bodoh dan membutuhkan petunjuk agar dapat keluar dari jurang kebodohan. Demikian pula, yang kelebihan tenaga menolong mere ka yang lemah dan selanjutnya. Dengan demikian, kita tidak menyia-nyiakan berkah dari Sang Hyang Widhi yang melimpah ruah itu sehingga Sang Hyang Widhi semakin banyak melimpahkan berkahNya kepada kita sebagai penyalur berkah kepada sesama manusia yang membutuhkannya.

Pada pagi hari itu, Sang Empu Bharada berjalan perlahan-lahan keluar pondoknya yang mungil indah, menuju istana Sang Prabu Erlangga. Sang Empu Bharada berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang. Wajah kurus itu memiliki sepasang mata cekung yang bersinar lembut penuh pengertian, berwibawa namun tidak menakutkan, membuat orang tidak takut melainkan segan dan tunduk kepadanya.

Pakaiannya sederhana dengan sehelai jubah yang lebar dan panjang. Dia dikenal, dihormati dan disegani rakyat karena suka memberi pertolongan. Mereka yang berwatak jahat pun segan, bahkan takut kepadanya karena mereka tahu betapa saktinya sang empu itu. Semua orang yang berjumpa dengannya di sepanjang jalan, cepat memberi hormat dengan ramah yang dibalasnya dengan senyumnya yang penuh pengertian.

Seperti lazimnya, tidaklah mudah bagi seseorang untuk dapat diperkenankan menghadap raja tanpa dipanggil. Namun, ada beberapa kekecualian. Orang-orang yang dihormati raja, yang dianggap sebagai keluarga sendiri yang dihormati, tentu saja dapat berkunjung sewaktu waktu dan diterima oleh raja sebagai tamu pribadi, misalnya Kipatih Narotama. Dia dapat saja sewaktu-waktu datang berkunjung, seperti seorang mengunjungi rumah sahabatnya. Yang mendapatkan perlakuan istimewa ini hanya beberapa orang, di antaranya tentu saja Sang empu Bharada yang dianggap sesepuh dan penasihat Sang Prabu Erlangga.

Kepala pengawal segera menyambut sang empu dan melaporkan kepada Sang Prabu bahwa Empu Bharada datang berkunjung. Pada saat menerima laporan akan kunjungan Sang Empu Bharada itu, Prabu Erlangga masih berada dalam kamarnya bersama selirnya yang baru, yaitu Mandari. Maklum, kedua orang ini sedang mesra-mesranya sebagai sepasang pengatin baru dan Sang Prabu Erlangga seperti mabok kepayang karena merasa betapa selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang isteri yang luar biasa hebat dan memikatnya seperti Mandari. Dia menjadi lengket dan menyayangi Mandari dengan cinta berahi yang berkobar-kobar.

Akan tetapi begitu medengar laporan bahwa Sang Empu Bharada datang berkunjung, cepat-cepat sang prabu membereskan pakaiannya dan siap untuk menyambut kedatangan sang empu. Melihat ini, dengan suara yang khas manja dan merdu merayu bagaikan seorang waranggana yang ahli bertembang Mandari menegur lembut.

"Duhai Kakanda sinuwun, siapakah gerangan Sang Empu Bharada itu sehingga paduka tampak demikian tergesa-gesa hendak menyambutnya?"

Sang Prabu Erlangga tersenyum. "Beliau adalah Sang Empu Bharada, yayi Dewi Mandari. Paman Empu Bharada adalah seorang pendeta yang arif bijaksana dan beliau menjadi penasihat kerajaan, seorang pini sepuh."

Mandari merasa jantungnya berdebar tegang dan perasaan tidak enak menyerubungi hatinya. "Kakanda sinuwun, bolehkah hamba ikut menyambut sang empu agar hamba dapat berkenalan dengannya?"

Sang Prabu Erlangga menggeleng kepala sambil tersenyum menghibur. "Sayang tidak pada saat ini, yayi. Pada kesempatan lain engkau akan kuperkenalkan. Akan tetapi kalau paman empu datang berkunjung pada saat yang bukan pesewakan (persidangan), berarti beliau mempunyai urusan penting sekali yang hendak dibicarakan empat mata denganku. Karena itu, tunggulah di sini, aku akan menjumpainya sebentar, yayi.

Sang prabu lalu merangkul dan mencium selir barunya itu. Mandari cukup pandai untuk menyimpan kekecewaannya dan dengan patuh ia mengangguk. Sang Prabu Erlangga lalu keluar dari kamar dan memasuki ruang tamu di mana Sang Empu Bharada telah duduk menantinya. Empu Bharada segera bangkit berdiri memberi hormat dengan sembah di dada ketika sang prabu muncul.

"Ah, maafkan saya, paman. Apakah paman sudah lama menanti?" tegur sang prabu dengan ramah.

"Baru saja, anak prabu. Hamba yang mohon maaf kalau kunjungan hamba ini mengganggu."

"Ah, sama sekali tidak, paman. Silahkan duduk." Mereka lalu duduk berhadapan.

"Saya yakin bahwa kedatangan paman ini tentu membawa hal yang amat penting. Hal apakah itu, paman?"

"Terlebih dahulu hamba menghaturkan sembah hormat hamba kepada paduka anak prabu dan mohon maaf sebanyaknya. Sesungguhnya, hamba menghadap karena terdorong oleh perasaan tidak enak dan khawatir akan keselamatan kerajaan paduka."

Seketika Prabu Erlangga menjadi serius dan memandang pendeta itu penuh perhatian. "Paman Empu Bharada, apakah yang menyebabkan paman merasa tidak enak dan apa kiranya yang mengancam keselamatan kerajaan kita?"

"Maaf, sinuwun. Hamba tidak dapat menjelaskan apa yang mengancam keselamatan kerajaan ini. Akan tetapi hamba mendapat getaran perasaan bahwa saat ini terdapat mendung tebal menutupi kecerahan matahari di Kahuripan. Ada sesuatu yang tidak benar telah terjadi dan kiranya hanya paduka sendiri yang dapat mengetahui apa yang telah terjadi itu. Hamba hanya dapat menunjukkan adanya ancaman keselamatan itu agar paduka dapat berhati-hati."

Raja Erlangga mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. Dia percaya akan semua ucapan sang empu dan timbul kekhawatiran dalam hatinya.

"Saya tahu bahwa apa yang akan terjadi itu merupakan rahasia bagi manusia dan tak seorangpun boleh membukanya. Akan tetapi, dapatkah paman menceritakan bahaya dalam bentuk apa yang akan menggelapkan suasana di kerajaan kita ini?"

Sang empu memejamkan kedua matanya, tunduk tepekur lalu berkata, suaranya lirih, bergetar, seolah suara itu datang dari jauh. "perang antara manusia.....banjir darah..... api kebencian dan dendam berkobar merajalela..... iblis setan berpesta pora..... para dewa berduka, langit bumi gonjang ganjing..... alam pun menangis karena ulah manusia....." Kakek itu terdiam, lalu menghela napas panjang dan membaca doa puja-puji kepada Sang Hyang Widhi Wasa. "Ommm ..... swastiastu, oommm ....."

Mendengar ini, Sang Prabu Erlangga ikut memuji Sang Hyang Widhi dan setelah itu menurunkan kedua tangannya yang menyembah kepada Sang Maha Kuasa dengan penuh penyerahan diri dan berkata sambil menghela napas panjang.

"Oh Jagad Dewa Bathara, ampunilah kiranya dosa-dosa hamba....." Kemudian dia bertanya kepada Empu Bharada. "Duh paman empu, apakah tidak ada cara untuk menolak ancaman bencana itu?"

"Oh, sinuwun! Kehendak Hyang Widhi terjadilah! Siapa yang mampu mengubahnya? Apa lagi manusia biasa, bahkan para dewa sekalipun tidak akan mampu mengubahnya dan harus menerima kenyataan bahwa apapun yang dikehendaki Hyang Widhi, pasti akan terjadi. Soal baik atau buruk itu hanya pandangan manusia yang menerima kenyataan itu, akan tetapi yang sudah pasti dan kita harus yakin akan hal itu adalah bahwa kehendak Sang Hyang Widhi sudah pasti baik, benar dan sempurna dan seadil adilnya! Tidak ada akibat terjadi tanpa sebab, tidak ada buah tanpa pohon dan baik buruknya buah tergantung dari baik atau buruknya pohon. Orang bijaksana yakin bahwa akibat datang dari sebab maka dia akan mencari sebab pada dirinya sendiri, bukan di luar dirinya. Tidak menyalahkan yang di atas, tidak menyalahkan yang di bawah, melainkan menyalahkan diri sendiri karena di situlah terletak segala sumber yang menjadi sebab timbulnya persoalan sebagai akibatnya."

"Paman Empu Bharada, saya mengerti benar akan hal itu. Berarti, malapetaka mengerikan yang paman rasakan itu akan terjadi karena sebab yang terletak dalam diri saya sendiri. Paman, sudilah paman mengingatkan saya, kesalahan apakah yang telah saya lakukan? Kejahatan apakah yang menyeret saya ke dalam dosa?"

"Anak prabu, akibat dari sebab memang tidak dapat dihindarkan. Namun Hyang Widhi adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Murah dan Maha Pengampun. Satu-satunya sikap, yang terbaik bagi manusia hanyalah bertaubat, taubat yang sejati. Bertaubat sejati bukan berarti penyesalan karena perbuatan itu menimbulkan kesengsaraan. Penyesalan karena memetik buah pahit perbuatan dosa belum tentu membuat orang bertaubat dengan sungguh-sungguh. Itu hanya apa yang disebut kapok lombok saja, bertaubatnya orang makan sambal pedas, kalau kepedasan dan kepanasan mengatakan bertaubat, akan tetapi di lain saat dia sudah makan sambal lagi karena enaknya! Bertaubat yang sejati hanya dapat terjadi kalau orang sadar sepenuhnya akan perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran sehingga dia tidak akan mengulang lagi kesalahannya”.

"Duh kanjeng paman, tunjukkanlah kesalahan apa yang telah saya perbuat?"

"Maafkan hamba, sinuwun. Mencari sampai menemukan kesalahan sendiri haruslah dilakukan oleh dirinya sendiri. Kalau sudah ditemukan, itulah yang dinamakan kesadaran. Kalau ditunjukkan orang lain hanya akan menjadi bahan perbantahan, memperebutkan kebenaran karena nafsu selalu mendorong manusia untuk membenarkan karena diri sendiri. Kebenaran yang diperebutkan bukanlah kebenaran lagi namanya. Karena itu silakan paduka mencari dan menemukan sendiri, gusti."

Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. "Andika benar dan saya yang keliru telah mengajukan pertanyaan bodoh itu, paman. Baiklah, saya akan menelusuri diri sendiri dan semoga Sang Hyang Widhi Wasa akan memberi petunjuk sehingga saya akan dapat menemukan kesalahan saya sendiri."

"Semoga Hyang Widhi selalu melindungi paduka. Hamba mohon pamit, gusti, karena semua yang hendak hamba sampaikan telah paduka terima."

"Silakan, paman dan banyak terima kasih atas semua petunjuk dan peringatan yang telah paman berikan kepada saya. Selamat jalan."

Empu Bharada memberi hormat lalu mengundurkan diri, keluar dari istana, Setelah pertapa itu pergi, Sang Prabu Erlangga sampai lama tetap duduk termenung. Kemudian dia memasuki sanggar pamujan, sebuah ruangan yang khusus untuk berdoa dan samadhi. Di ruangan yang tidak boleh diganggu siapapun juga, Sang Prabu Erlangga bersamadhi, mohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Dalam keadaan yang hening dan kosong itu, perlahan-lahan tampak oleh mata batinnya bayang-bayang yang suram, makin lama semakin jelas dan dia melihat wajah yang cantik jelita, ayu manis merak ati tak ubahnya seorang dewi dari kahyangan, wajah yang tersenyum manis dengan sepasang bibir merah indah merekah, kerlingan sepasang mata yang indah tajam penuh daya pikat. Wajah Mandari, selirnya yang tersayang. Sang Prabu Erlangga seperti tersentak kaget dan dia mengerutkan alisnya. Mandari? Itukah yang menjadi sebabnya Itukah kesalahannya? Mengambil Mandari sebagai selir?

"Tidak, bukan .....!" Dia menggeleng kepalanya, membantah suara hatinya sendiri. "Bukan itu, mustahil kalau mengambil Mandari sebagai selir merupakan kesalahan. Hal itu kulakukan bahkan untuk mengadakan perdamaian dan menjauhkan permusuhan? Bukankah hal ini mendatangkan perdamaian antara Kahuripan dan Parang Siluman?"

Demikianlah pikiran raja itu membuat renungan penalaran sendiri yang tentu saja anggapannya benar, sama sekali dia tidak ingat bahwa pada hakekatnya bukan untuk perdamaian itu dia mengambil Mandari sebagai selir, melainkan karena dia tergila-gila dan terpikat oleh kecantikan dan rayuan Mandari.

Dan begitu membayangkan Mandari, yang tampak hanyalah segi yang menyenangkan saja dan gadis yang menjadi selirnya itu tampak baik sekali, terlalu baik, bahkan nyaris sempurna dalam pandangannya. Makin diingat, hati Sang Prabu Erlangga semakin terpikat dan timbul perasaan rindu kepada selirnya terkasih itu. Bahkan ada perasaan iba bahwa tadi hati atau akal pikirannya pernah meragukan kehadiran wanita jelita itu sebagai sumber malapetaka yang diramalkan Empu Bharada. Maka keluarlah dia dari sanggar pamujan, lalu bergegas menuju ke bagian istana yang menjadi tempat tinggal Mandari. Setibanya di situ, dia tidak melihat Mandari di luar kamar. Seorang abdi yang ditanyanya memberitahukan bahwa sang puteri juwita sejak tadi berada di dalam kamarnya.

Sang Prabu Erlangga cepat membuka daun pintu kamar yang luas dan indah itu dan pertama kali yang menyambutnya adalah keharuman lembut yang amat menyenangkan hidung dan menyejukkan hati. Dia melihat selir terkasih itu rebah melungkup di atas pembaringan dengan posisi yang amat indah menawan. Pakaiannya dari sutera halus itu menempel ketat di tubuhnya, memperlihatkan lekak lengkung tubuh yang menggairahkan, agaknya tersingkap di bagian kaki sehingga tampak betis yang kuning memadi bunting paha yang putih dan halus mulus. Akan tetapi wanita cantik itu membenamkan mukanya pada bantal dan pundaknya bergoyang-goyang sedikit seperti orang sedang menahan isak tangis.

"Adinda Mandari, engkau kenapa!......?"

Sang Prabu Erlangga menegur lembut. Mendengar teguran ini, Mandari mengangkat mukanya memandang dan jelas tampak bahwa ia tengah menangis. Begitu melihat raja yang menjadi suaminya itu, bergegas ia turun dari atas pembaringan, lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki sang prabu sambil menangis.

"Duh gusti sinuwun pujaan hamba mengapa paduka begitu tega kepada hamba .....?"

Sang Prabu Erlangga tertegun, heran lalu tersenyum geli karena menganggap sikap selirnya itu terlalu manja, sikap manja yang bahkan menambah daya tariknya. Dia merangkul dan membangunkan wanita itu, lalu diajaknya duduk berjajar di tepi pembaringan. Dengan sentuhan mesra penuh kasih sayang dihapusnya kedua pipi yang agak basah air mata itu lalu diciuminya kedua pipi yang kemerahan, licin halus dan sedap harum mawar itu.

"Apa maksudmu, yayi? Aku tega kepadamu? Aneh-aneh saja engkau ini. Aku selalu cinta dan sayang padamu, mana mungkin aku tega?"

"Buktinya, sinuwun, paduka tega meninggalkan hamba sejak tadi, meninggalkan hamba kesepian dan menanggung rindu ....."

Sang Prabu Erlangga tertawa dan merangkul kekasihnya. "Ha-ha-ha, diajeng Mandari. Hanya sebentar aku meninggalkanmu karena aku harus menyambut datangnya tamu yang kuhormati, dan engkau mengatakan sudah kesepian dan rindu?"

"Duh sinuwun, kalau paduka tidak berada dekat hamba, hamba merasa seolah kehilangan matahari, gelap gulita kehidupan hamba dan.... dan.... hamba khawatir sekali ....."

"Eh? Khawatir? Apa yang kaukhawatirkan, sayangku, Engkau hidup di sini aman, tidak akan ada yang berani mengganggumu, kecuali orang takut kepadaku juga engkau bukan sembarang wanita yang mudah diganggu orang! Apa lagi yang kau takutkan?"

"Ampunkan hamba, sinuwun....., pertapa itu..... baru satu kali hamba bertemu dengannya akan tetapi..... pandang matanya sungguh membuat hamba meriding (meremang), hamba takut padanya gusti. Karena itu, ketika paduka menerima kunjungan Empu Bharada itu... hamba takut.....!"

"Ah, rasa takutmu tidak beralasan diajeng. Paman Empu Bharada adalah seorang yang bijaksana dan sejak dulu beliau menjadi penasehatku yang setia. Sama sekali tidak ada alasannya untuk ditakuti."

"Ampun, sinuwun. Mungkin paduka benar, hamba hanya takut bayang-bayang sendiri. Akan tetapi agar hati hamba dapat menjadi tenang, sudilah kiranya paduka memberitahu kepada hamba, berita apakah gerangan yang dibawa sang Empu itu kepada paduka."

Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. "Wahai, adinda sayang, agaknya perasaanmu sudah sedemikian pekanya sehingga kerisauan hatiku menembusmu dan membuat engkau menjadi gelisah juga. Akan tetapi apa perlunya aku menceritakan hal yang buruk kepadamu dan yang hanya akan membuat engkau merasa khawatir sehingga akan mengurangi sinar kejelitaan mu?"

"Duh sinuwun pujaan hamba, mengapa paduka berkata demikian? Bukankah hamba ini garwa (isteri) paduka, dan bukankah garwo itu berarti sigaraning nyowo (belahan nyawa) suami dan isteri Itu selalu sehidup semati dengan suaminya, suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung, swargo nunut neroko katut (Ke surga ikut ke neraka terbawa)?"

Mendengar ini, Sang Prabu Erlangga melupakan kerisauan hatinya. "Heh-heh..heh, yayi Mandari! Ucapanmu itu hanya merupakan pendapat umum yang salah kaprah! Memang benar bahwa garwa adalah sigaraning nyowo, selagi hidup suami isteri sudah selayaknya membagi rasa, suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung. Akan tetapi kalau sudah memasuki alam baka, masing-masing mempunyai tangung jawab dan tempat sendiri-sendiri yang sepadan dengan keadaan masing-masing selama hidup didunia. Seorang isteri tidak hanya swarga nunut neroko katut! Betapapun bijaksana sang suami, kalau sang isteri jahat, tidak mungkin ia akan nunut ke surga dengan suaminya. Sebaliknya, betapapun jahatnya sang suami, kalau isterinya baik budi dan bijak, ia pun tidak akan ikut ke neraka bersama sang suami."

Dengan manja Mandari lalu menjatuhkan diri menelungkup dan meletakkan mukanya di atas pangkuan Sang Prabu Erlangga yang menggunakan kedua tangan mengelus-elus rambut kepala selir terkasih itu. Satu di antara daya tarik yang sangat kuat dari wanita ini adalah rambutnya. Rambut itu halus lemas hitam berikal dan panjangnya sampai ke lutut!

Ketika itu, gelungan rambutnya yang sejak tadi memang longgar itu terlepas dan rambutnya terurai seperti selendang dari benang sutera hitam melibat tubuhnya. Indah sekali.

"Kalau paduka tidak berkenan dan tidak percaya kepada hamba, paduka tidak menceritakan kepada hamba juga tidak mengapa, sinuwun. Hamba dapat menerimanya, hamba juga rumangsa (tahu diri) bahwa hamba hanyalah seorang selir....." kata Mandari manja.

Sang Prabu Erlangga merangkulnya. "Tentu saja aku percaya sepenuhnya kepadamu, yayi. Nah, dengarlah berita yang tidak menyenangkan itu. Paman Empu bharada dating memberi peringatan kepadaku bahwa dia merasakan adanya ancaman malapetaka yang akan melanda Mataram, yaitu akan datangnya perang besar, banjir darah dan bunuh membunuh antara manusia."

"Aduh, sinuwun. Bagaimana mungkin pertapa itu dapat menggambarkan keadaan yang akan datang?" tanya Mandari dengan hati terkejut dan cemas.

"Engkau tidak tahu, diajeng. Paman Empu Bharada adalah seorang yang bijaksana dan sidda paningal (sempurna penglihatan batinnya) sehingga dia seolah dapat mengetahui atau merasakan hal-hal yang belum terjadi."

"Sinuwun, kalau begitu, paduka harap tenang dan jangan khawatir. Hambamu ini yang siap untuk membantu, kalau perlu berkorban nyawa, untuk menjaga keselamatan paduka."

"Hemm, aku senang mendengar ucapanmu yang menunjukkan kesetiaanmu Mandari. Akan tetapi aku tidak mengkhawatirkan keselamatan sendiri, yang kuprihatinkan adalah kemelut yang mengorbankan nyawa banyak kawulak itu. Yah, kalau Sang Hyang Widhi sudah menghendaki demikian, apa yang dapat kita lakukan? Menurut Paman Empu Bharada, semua itu merupakan akibat dari pada sebab, akan tetapi aku belum dapat menemukan apa yang menjadi sebab datangnya ancaman marabahaya ini."

"Ah, paduka pujaan hamba, harap jangan berduka. Hamba sanggup untuk membantu paduka mencari apa yang menjadi penyebabnya."

Dengan gaya yang amat menarik dan memikat, Mandari mempergunakan semua kecantikan dan kepandaiannya untuk menghibur hati Sang Prabu Erlangga. Harus diakui bahwa Mandari, seperti juga kakaknya, Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama, biarpun ketika diboyong ke Kahuripan masih gadis dan belum pernah berhubungan dengan pria, namun dalam hal memikat hati pria memiliki bakat dan kepandaian istimewa. Semua ini mereka dapatkan dari lingkungan pergaulan di istana Kerajaan Parang siluman.

Sang Prabu Erlangga yang memang sedang terpesona oleh kecantikan Mandari, segera dapat terhibur dan tenggelam dalam lautan madu asmara dengan buih-buih nafsu berahinya yang memabokkan, lupa akan segala.

Betapapun pandai dan kuatnya seorang manusia, tetap saja dia merupakan mahluk lemah yang terkadang menjadi bodoh dan lemah tak berdaya, ringkih dan menjadi permainan dari nafsunya sendiri. Nafsu yang telah diikut sertakan kepada manusia sejak dia lahir, yang semestinya menjadi peserta dan pelayan manusia agar manusia dapat bertahan hidup dan dapat menikmati kehidupan di dunia ini seringkali berubah menjadi majikan yang menyesatkan.

Kita ditungganginya, dipermainkannya, hati akal pikiran kita dikuasainya sehingga kita menuruti segala kehendaknya, kehendak iblis yang bersenjatakan nafsu, kita ditundukkan dengan pancingan-pancingan kesenangan dan kenikmatan duniawi, dengan umpan pancingan yang serba enak-kepenak.

Oleh karena itulah, seorang yang bijaksana akan selalu eling (ingat) dan waspada, ingat setiap saat kepada Sang Hyang Widhi, mohon kekuatan dan bimbinganNya dan waspada terhadap gejolaknya nafsu daya rendah yang selalu siap menerkam dan menguasai kita.


********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Pemuda itu duduk diam bagaikan arca di atas batu karang besar itu. Batu karang yang cukup tinggi sehingga pecahan air laut bergelombang yang membentur karang itu tidak sampai mencapai pemuda itu. Dia memegang sebatang walesan (tangkai pancing), duduk diam tak bergerak sedikitpun, sepasang matanya menatap tali pancing yang sebagian tenggelam dalam air, yang bergoyang-goyang terbawa air berombak, hampir tak pernah berkedip. Perasaannya berpusat pada jari tangan yang memegang tangkai pancing karena dari situlah dia akan dapat mengetahui apabila umpannya disambar ikan.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap, bentuknya gagah dan kokoh seperti Sang gatot kaca. Kedua lengannya tampak berisi kekuatan dahsyat. Wajahnya yang tertutup sebuah caping lebar itu tampan dan gagah. Matanya lebar dan mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya terhias senyum mengejek yang membayangkan keangkuhan. Pakaiannya terbuat dari kain halus, potongannya seperti bangsawan! kain pengikat kepalanya juga baru, dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang khas, ujungnya berdiri meruncing di bagian belakang. Kain pengikat kepala ini tersembunyi di bawah caping lebar yang dipakainya untuk melindungi wajahnya yang tampan halus dari sengatan panas matahari siang itu.

Sudah berjam-jam dia duduk memancing di atas batu karang itu, namun belum sekalipun juga umpan pancingnya disentuh ikan. Alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya mulai tak sabar. Tangan kirinya meraih ujung batu karang dan sekali dia mengerahkan tenaga, ujung batu karang itu sempal (terpotong patah) Kemudian pandang matanya mencari cari ke atas permukaan air yang bergerak-gerak di bawah batu karang. Pandang mata yang tajam itu dapat menangkap berkelebatnya bayang-bayang dalam air dan tiba-tiba tangan kiri yang memegang potongan batu karang sebesar kepalan itu bergerak cepat. Batu karang itu meluncur ke arah air.

"Syuuuuutt ..... cupp .....!!"

Batu karang itu masuk ke air dan tampak air bergerak keras, memercik-mercik ke atas dan seekor ikan meloncat ke atas permukaan air, lalu mengambang dengan perutnya yang putih di atas. Ikan sebesar paha manusia itu mati dengan kepala pecah! Bukan main hebatnya sambitan batu karang itu, dapat mengenai kepala ikan yang berenang di bawah permukaan air dengan tepat dan sekaligus membuat kepala yang keras itu pecah! Wajah tampan itu tersenyum dan tangan kirinya menepuk caping di kepalanya.

"Tolol kau! Datang ke sini bukan untuk mencari ikan, melainkan untuk berlatih kesabaran!"

Siapakah pemuda yang tangkas ini? Dia adalah Lingga Jaya, pemuda putera kepala dusun Suramenggala dusun Karang Tirta yang lima tahun lalu diculik kemudian menjadi murid Resi Bajrasakti dan dibawa ke Kerajaan Wengker. Selama lima tahun, dia telah digembleng oleh gurunya, kini dia telah menguasai berbagai aji kesaktian yang dahsyat.

Resi Bajrasakti senang dan puas hatinya melihat muridnya ini karena pemuda ini benar-benar berbakat baik sehingga dalam waktu lima tahun saja telah mampu menerima semua ajiannya. Hanya sedikit yang dianggapnya masih kurang pada diri Linggajaya, yaitu kesabaran. Karena itu selama beberapa hari dia menyuruh muridnya itu melatih kesabaran dengan memancing ikan di Laut Kidul.

Sejak pagi tadi Linggajaya melatih kesabaran dan memancing, akan tetapi karena sampai siang belum juga ada ikan menyentuh umpan pada pancingnya, ia menjadi kesal dan membunuh seekor ikan besar dengan sambitan batu karang. Akan tetapi dia mencela diri sendiri dan teringat bahwa pekerjaannya memancing ikan hanya merupakan latihan kesabaran dan ketenangan dan dia merasa bahwa latihannya gagal karena dia merasa kesal dan tidak sabar.

Linggajaya lalu membuang tangkai pancingnya ke laut dan dia segera bangkit dan melompat dari batu karang itu ke batu karang yang lain. Dengan tubuh ringan dia berloncatan sampai akhirnya ia tiba di tepi pantai. Kemudian dia berlari cepat menuju ke utara, ke Kerajaan Wengker. Larinya cepat bukan main sehingga yang tampak hanya bayangannya berkelebat.

Inilah merupakan satu di antara aji kesaktian yang sudah dikuasai Linggajaya. Tubuhnya menjadi ringan dan tenaga yang mendorongnya meluncur ke depan amat kuatnya. Di samping aji kanuragan yang membuat pemuda ini menjadi seorang yang digdaya, dia juga mewarisi ilmu-ilmu sihir yang diajarkan gurunya. Bukan hanya kesaktian yang diperolehnya, namun lingkungan hidup di Kerajaan Wengker yang penuh kemaksiatan itupun mempengaruhi watak Linggajaya.

Pada dasarnya, ketika masih menjadi pemuda putera lurah di Karang Tirta, dia sudah merupakan seorang pemuda yang tinggi hati, manja, mengandalkan kedudukan ayahnya sebagai orang "nomor satu" di dusun Karang Tirta dan suka bertindak sewenang-wenang melindas siapa saja yang berani menentangnya. Setelah menjadi murid Resi Bajrasakti dan hidup di Kerajaan Wengker selama lima tahun, tabiatnya tidak berubah bahkan dipengaruhi lingkungan yang lebih bejat lagi!

Akan tetapi, dia kini berubah menjadi seorang pemuda yang ganteng, pesolek, pandai membawa menutupi watak buruknya dengan penampilan yang menyenangkan. Wataknya yang mata keranjang sejak remaja menjadi lebih matang dan dia terkenal sekali di antara para gadis di kota raja Wengker, baik para puteri di lingkungan istana maupun para gadis yang tinggal di luar istana. Dia terkenal sebagai seorang pemuda perayu yang membuat banyak gadis tergila-gila.

Resi Bajrasakti sendiri adalah seorang yang suka memperdalam ilmu sesatnya dengan cara yang cabul dan kotor, lihat ulah muridnya, dia tidak menegur, tidak marah, bahkan merasa bangga dan sering memuji Linggajaya sebagai seorang pria yang JANTAN seperti Sang Arjuna. Tentu saja pujian gurunya ini membuat Linggajaya menjadi semakin berkepala besar dan semakin nekat. Bukan saja para gadis yang cantik menarik dirayunya, bahkan dia berani merayu isteri orang yang menarik hatinya. Tidak ada wanita yang tidak jatuh oleh rayuannya karena dia menggunakan aji pameletan yang ampuh! Hanya sayang, Linggajaya menganggap para wanita di Kerajaan Wengker kurang menarik, gerak geriknya kasar sehingga jarang ada wanita yang benar-benar menarik perhatiannya.

Di kerajaan tetangga, yaitu Kerajaan parang Siluman yang berada di pantai Laut Kidul, di sanalah tempatnya para Wanita yang cantik jelita dan menarik. Menurut dongeng, daerah itu dahulu menjadi tempat para pangeran dan bangsawan tinggi Mataram bertamasya dan para bangsawan itu banyak yang memadu kasih dengan para wanita daerah itu sehingga keturunan mereka berwajah elok. Prianya ganteng-ganteng, wanitanya cantik-cantik dan berkulit kuning mulus.

Akan tetapi Linggajaya tidak berani bermain gila di daerah Kerajaan Parang siluman yang diperintah oleh Ratu Durgakala yang terkenal cantik jelita. Daerah ini merupakan daerah larangan. Gurunya, Resi Bajrasakti berulang kali memperingatkan agar dia tidak mengganggu para wanita daerah kerajaan kecil itu karena Kerajaan Parang Siluman itu biarpun kecil memiliki banyak orang sakti dan kerajaan itupun menjadi sahabat Kerajaan Wengker dalam menghadapi Mataram atau yang kini disebut Kerajaan Kahuripan.

Pernah pasukan Mataram dahulu menyerang Kerajaan Wengker, namun berkat perlawanan Raja Wengker, yaitu Raja Adhamapanuda, dibantu oleh pasukan Kerajaan Parang Siluman, maka serangan Mataram yang berkali-kali itu gagal. Sampai sekarang masih berlangsung semacam "perang dingin" antara Kahuripan dengan Wengker dan Parang Siluman.

Ketika Linggajaya tiba di perbatasan antara daerah Parang Siluman dan daerah Wengker, di sebuah dusun, matahari telah condong ke barat, bunyi gamelan menarik perhatiannya dan ia pun memasuki dusun itu, selain untuk melihat ada perayaan apa di dusun Sumber itu, juga karena perutnya terasa lapar dan dia ingin mendapatkan makanan.

Setelah tiba di tempat keramaian, ternyata ada pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun Sumber itu. Putera kepala dusun itu sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis dari daerah Parang Siluman. Linggajaya tersenyum girang. Kebetulan sekali, pikirnya tersedia hidangan yang enak untuknya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun memasuki tempat perayaan itu.

Karena seorang pemuda ganteng yang berpakaian seperti seorang bangsawan, maka lurah Sumber yang bernama Kartodikun itu menyambutnya dengan hormat dan Linggajaya malah mendapat tempat terhormat, di jajaran para tamu yang dihormati, dekat tempat duduk kedua mempelai!

Ketika hidangan disuguhkan, Linggajaya makan sampai kenyang dan setelah makan barulah dia memperhatikan sekitarnya. Baru dia melihat dengan hati terguncang betapa ayu manisnya mempelai wanita itu! Kulitnya yang kuning mulus, wajahnya yang manis, segera menarik hatinya. Di daerah Wengker jarang dia melihat gadis secantik itu!

Dia mengerling ke arah mempelai pria. Seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, ciri khas orang-orang Kerajaan Wengker. Sayang sekali, pikirnya, gadis yang begitu ayu manis, bertubuh mulus menggairahkan, akan menjadi isteri seorang laki-laki yang buruk rupa dan kasar!

Dari tempat duduknya, Linggajaya lalu mengerahkan tenaga batinnya melalui pandang mata yang tertuju kepada mempelai wanita yang sejak tadi menundukkan mukanya itu. Sebentar saja mempelai wanita itu terpaksa mengangkat muka karena ada suatu dorongan yang amat kuat memaksanya untuk mengangkat muka dan menoleh ke kanan.

Pandang mata gadis itu bertemu dengan wajah Linggajaya dan seketika gadis itu terpesona. Di antara para tamu, apa lagi dibandingkan pria yang duduk di sampingnya sebagai calon suaminya, maka Linggajaya tampak seperti Arjuna di antara para raksasa! Linggajaya juga memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sejenak. Linggajaya tersenyum kepada mempelai wanita itu. Gadis itupun tersipu, menundukkan mukanya lagi dengan senyum tersungging di bibirnya yang manis.

Kenyataan ini merupakan tanda yang cukup jelas bagi Linggajaya dan dia pun sudah mengambil keputusan untuk menggunakan kesempatan itu dan bersenang-senang malam ini di rumah Ki Lurah Kartodikun! Ketika para tamu bubar, diapun ikut keluar.

Malam itu, rumah ki lurah masih meriah dengan bunyi gamelan. Tamunya tidak banyak karena yang datang hanya yang siang tadi tak sempat datang dari perayaannya siang tadi. Akan tetapi gamelan masih terus dimainkan, mengiringi suara tiga orang pesinden. Banyak orang yang menonton di luar pagar pekarangan. Akan tetapi, sepasang mempelai tidak tampak di luar.

Mereka sudah lelah mengikuti upacara dan pesta sehari tadi dan kini mereka berdua sudah berada di kamar pengantin yang dijaga beberapa orang di luar pintu kamar untuk melindungi mereka dari gangguan. Tampaknya semua aman saja dan semua orang, sambil tersenyum penuh pengertian, saling berbisik dan mengira bahwa sepasang mempelai tentu sedang berasyik masyuk sendiri.

Akan tetapi, tidak ada seorangpun menduga apa lagi mengetahui, bahwa begitu sepasang mempelai tadi memasuk kamar dan memasang palang pada daun pintu dari dalam, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Ketika putera Lurah dusun Sumber itu selesai memasang palang pintu dan hendak menggandeng tangan isterinya menuju ke pembaringan, tiba-tiba dia melihat halimun atau asap putih turun dari atap memasuki kamar itu.

Sarju, mempelai pria yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu adalah seorang pemuda Wengker yang rata-rata memiliki kegagahan dan keberanian. Dia pun tidak asing dengan keanehan yang terjadi sebagai hasil Ilmu sihir, maka tahulah dia bahwa ada sesuatu yang tidak beres memasuki kamarnya. Mungkin sebangsa siluman atau orang yang mempergunakan ilmu setan.

Sementara itu, Sarikem, mempelai wanita yang berusia delapan belas tahun, juga melihat halimun atau asap putih yang turun dari atas itu. Ia menjadi ketakutan dan cepat berlari dan naik ke atas pembaringan, mepet di dinding sambil memandang kearah Sarju yang sudah mencabut kerisnya.

"Setan! Kalau berani, perlihatkan mukamu!" bentak Sarju.

Halimun atau asap putih itu membuyar dan tampaklah seorang pemuda tampan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Sarju, lalu pemuda itu menoleh ke arah Sarikem dan tersenyum. Sarikem melihat dengan mata terbelalak bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda ganteng yang dilihatnya menjadi tamu dalam pesta siang tadi. Pemuda itu adalah Linggajaya yang mempergunakan Aji Panglimunan.

Melihat pemuda ini, Sarju terkejut dan heran karena dia belum pernah melihatnya. Siang tadi dia tidak memperhatikan para tamunya dan tidak melihat Linggajaya.

"Heh! Siapa kamu? Berani mati memasuki kamar tanpa ijin!" bentak Sarju. Suaranya cukup lantang dan hal ini memang dia sengaja untuk menarik perhatian para penjaga di luar kamarnya.

Akan tetapi tanpa dia sadari, Linggajaya telah mengerahkan kekuatan sihirnya sehingga pada saat itu suara Sarju yang dirasakannya lantang itu hanya terdengar lirih saja sehingga tidak mungkin terdengar dari luar kamar.

"Aku adalah Dewa Asmara. Aku lebih berhak atas diri gadis ini daripada engkau!"

Sarju marah sekali dan sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka dia sudah menerjang dengan kerisnya. Dengan pengerahan tenaganya dia menusukkan keris itu ke arah perut Linggajaya. Linggajaya sudah dapat menduga bahwa laki-laki tinggi besar itu hanya mengandalkan tenaga kasar saja dan kerisnya pun bukan pusaka ampuh, maka sambil tersenyum saja membiarkan perutnya ditusuk.

"Singg ....."

Keris itu berdesing dan dengan kuatnya menghujam ke arah perut LinggaJaya. Melihat ini, Sarikem memejamkan matanya karena ngeri membayangkan perut pemuda tampan itu akan mengucurkan darah.

"Tuk-tuk.....!"

Dua kali keris itu menusuk perut, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sarju ketika merasa seolah kerisnya bertemu dengan baja! Dia menjadi penasaran sekali melihat bahwa yang tertusuk robek hanya baju pemuda itu. Maka dia mengerahkan seluruh tenaganya, kini menusuk ke arah dada.

"Wuuuttt ..... krekkk .....!"

Kerisnya patah menjadi dua dan sebelum dia dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Linggajaya menampar ke arah leher Sarju.

"Wuutt ..... plak ......"

Sarju terkulai roboh dan tak dapat bergerak lagi karena tamparan itu membuat dia pingsan Dengan kakinya Linggajaya mendorong tubuh Sarju yang pingsan itu ke kolong pembaringan sehingga tidak tampak. Sarikem yang tadi memejamkan mata  setelah tidak mendengar adanya gerakan lagi, lalu memberanikan diri membuka matanya dengan hati merasa ngeri. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat pemuda ganteng itu berdiri di dekat pembaringan sambil tersenyum kepadanya sedangkan calon suaminya tidak tampak lagi.

Biarpun Sarikem amat kagum dan tertarik kepada pemuda yang ganteng itu, berbeda jauh dari calon suaminya yang hilang, namun karena pemuda itu asing baginya, ia merasa khawatir juga.

Kalau saja ia menjadi hamba manusia. Akan tetapi, kalau sampai nafsu berahi memperhamba manusia, maka seperti nafsu-nafsu lainnya, ia akan menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan jahat dan tidak bersusila. Kalau nafsu berahi memperhambakan manusia maka muncullah perjinaan, pelacuran, bahkan perkosaan!

Linggajaya juga menjadi hamba nafsu berahi sehingga dia melakukan perbuatan yang hina dan keji. Gamelan di ruangan depan rumah Ki Lurah Kartodikun yang semalam suntuk dibunyikan itu akhirnya berhenti setelah fajar menyingsing dan terdengar ayam jantan berkokok menyambut munculnya cahaya lembut yang menandakan bahwa matahari akan segera tersembul di balik bukit.

Sarju yang tadinya rebah pingsan di kolong pembaringan, kini membuka mata dan siuman dari pingsannya, seperti orang baru bangun tidur. Dia merasa bingung karena mendapatkan dirinya rebah di kolong pembaringan. Ketika pandang matanya bertemu dengan keris patah yang menggeletak di sudut kamar, teringatlah dia akan perkelahiannya semalam melawan pemuda asing itu. Dia segera menggulingkan dirinya keluar dari bawah pembaringan lalu bangkit berdiri. Matanya terbelalak dan mukanya merah sekali ketika dia melihat Sarikem tidur pulas berangkulan dengan pemuda yang semalam memasuki kamar itu.

"Jahanam busuk!" bentaknya dan dia melupakan pengalaman semalam betapa dia sama sekali bukan tandingan pemuda yang sakti mandraguna itu. Setelah membentak dengan suara lantang, dia lalu menangkap lengan Linggajaya dan menyeretnya turun dari atas pembaringan!

Sarikem terbangun dari pulasnya oleh gerakan dan suara ini, dan ia membuka matanya, terkejut melihat Sarju menyeret Linggajaya turun dari pembaringan. Ia bangkit duduk dan menjerit karena kaget dan takut.

Linggajaya segera sadar dan dia melihat Sarju sudah mengayun kepalan tangannya untuk memukul mukanya. Linggajaya menggerakkan tangan kanan, miringkan tubuh dan menangkap lengan yang bergerak memukulnya.

Sekali mengerahkan tenaga dan jari-jari tangannya mencengkeram, tulang lengan Sarju menjadi patah-patah. Sarju berteriak mengaduh, akan tetapi kaki Linggajaya menendangnya dan tubuhnya terlempar menabrak pintu kamar. Begitu kuatnya tubuhnya menabrak daun pintu sehingga daun pintu itu jebol dan tubuh Sarju menggelinding keluar.

Empat orang yang bertugas jaga di luar kamar pengantin adalah jagoan-jagoan yang menjadi jagabaya (penjaga keamanan) di dusun Sumber. Tadipun mereka sudah merasa heran mendengar suara Sarju memaki di dalam kamar itu. Kini terdengar suara gedubrakan dan tiba-tiba daun pintu jebol dan tubuh Sarju menggelinding keluar. Tentu saja mereka terkejut sekali.

Mereka cepat melonggokkan kepala ke dalam kamar dan melihat seorang pemuda tampan sedang membereskan pakaian yang tadinya awut-awutan, sedang mempelai wanita mendekam di atas pembaringan sambil menangis ketakutan. Tanpa dikomando lagi empat orang jagoan itu segera berlompatan masuk dalam kamar, mengepung Linggajaya yang membereskan pakaiannya sambil tersenyum dengan sikap tenang sekali.

"Hei, siapakah engkau? Menyerahlah untuk kami tangkap!" bentak seorang diantara mereka yang kumisnya tebal dan panjang melintang.

Linggajaya membereskan kain pengikat kepala sambil tersenyum dan tidak tergesa-gesa, setelah semua pakaiannya beres dan rapi kembali, baru dia berkata "Kalian hendak menangkap aku? Nah tangkaplah kalau kalian bisa!"

Si kumis tebal memerintahkan temannya yang bertubuh gempal pendek, "Suro, tangkap dan belenggu kedua tangannya Kita hadapkan kepada Ki Lurah!"

Suro yang bertubuh pendek gempal dan tampaknya kokoh kuat itu segera maju dan dia sudah membawa segulung tali. Dengan cepat dia menangkap lengan kiri Linggajaya, menelikungnya ke belakang, disatukan dengan lengan kanan lalu mengikat kedua pergelangan tangan pemuda itu dengan kuat. Linggajaya tersenyum geli seolah melihat pertunjukan yang lucu. Setelah kedua lengan itu diikat kuat kuat, si kumis tebal membentak pemuda tampan itu.

"Hayo ikut kami menghadap Ki Lurah!"

Akan tetapi Linggajaya menggerakkan dua tangannya dan tali yang membelenggunya itu putus, kedua lengannya sudah bebas lagi.

"Hemm, kalian anjing-anjing buduk pergilah dan jangan mengganggu aku!" kata Linggajaya.

Empat orang itu terkejut dan marah sekali. Mereka mencabut klewang (golok) yang terselip di pinggang lalu menyerang pemuda itu dari depan, belakang, kanan dan kiri. Akan tetapi Linggajaya dengan gerakan cepat memutar tubuhnya seperti gasing, kedua tangannya bergerak cepat empat kali dan empat orang itu berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali! Linggajaya lalu menghampiri pembaringan, mengelus rambut yang terurai itu dan mencubit dagu Sarikem, lalu berkata, "Manis, aku pergi sekarang."

Sarikem yang kebingungan dan ketakutan, menjerit, "Kakangmas, bawalah aku pergi! Aku ikut.....!"

Akan tetapi Linggajaya sudah melompat ke atas dan menjebol atap yang semalam dia tutup kembali ketika memasuki kamar itu. Mana dia mau perduli kepada Sarikem. Setelah apa yang terjadi semalam nafsunya telah terlampiaskan dan dia tidak mau mengacuhkan lagi gadis itu, tidak mau tahu nasib apa yang akan menimpa dirinya. Tentu saja dia tidak sudi membawa pergi Sarikem yang hanya akan menjadi beban saja baginya Setelah keinginannya tercapai, diapun tidak menginginkan lagi wanita itu!

Dengan mempergunakan kesaktiannya Linggajaya berlari seperti angin cepatnya dan menjelang tengah hari dia sudah sampai di rumah tinggal Resi Bajrasakti yang berupa sebuah gedung yang cukup mewah Resi Bajrasakti merupakan datuk Kerajaan Wengker, menjadi penasihat utama dari Raja Adhamapanuda, yaitu raja Wengker yang berusia empat puluh lima tahun.

Linggajaya disambut oleh empat orang wanita muda yang rata-rata berwajah cantik. Mereka adalah selir-selir Resi Brajasakti dan mereka juga diam-diam mengadakan hubungan gelap dengan Linggajaya, bahkan mereka berempat ini yang menjadi "guru-guru" pemuda itu dalam olah asmara. Tentu saja Resi Bajrasakti tidak mudah dikelabui dan tahu bahwa empat orang selirnya itu bermain gila dengan muridnya. Akan tetapi dasar perangainya sendiri sudah bobrok dia tidak menjadi marah bahkan merasa bangga karena muridnya itu tidak saja mewarisi ilmu-ilmunya, bahkan juga mewarisi wataknya yang mata keranjang dan tidak mau melewatkan wanita cantik begitu saja! Ketika Linggajaya memasuki ruangan dalam, gurunya sedang duduk di situ. Linggajaya cepat memberi hormat kepada gurunya.

"Bapa guru," katanya sebagai salam.

"Hemm, Linggajaya, bagaimana dengan latihanmu? Sudahkah engkau dapat memupuk kesabaranmu? Kesabaran itu penting sekali agar engkau dapat mengendalikan diri, tidak menjadi mata gelap dan lengah karena dipengaruhi perasaan."

"Sudah, bapa. Baru pagi tadi saya berhenti memancing."

"Bagus, sekarang bergantilah pakaian yang pantas. Kita harus menghadap Gusti Adipati."

"Menghadap Gusti Adipati? Ada kepentingan apakah, bapa resi?"

"Ada tugas penting untukmu. Engkau sudah cukup mempelajari semua aji kanuragan dariku. Kepandaian itu harus kau pergunakan untuk mencari kedudukaan dan kemuliaan. Gusti Adipati hendak menyerahkan tugas penting kepadamu. Engkau harus menyanggupinya, dan kalau engkau berhasil dengan tugas mu itu, tentu engkau akan memperoleh kedudukan yang tinggi."

Linggajaya lalu pergi mandi dan berganti pakaian baru. Kemudian bersama gurunya mereka pergi menghadap Adipati Adhamapanuda yang menjadi raja Kerajaan Wengker. Sebagai penasihat raja atau adipati, Resi Bajrasakti dapat masuk sewaktu-waktu ke istana tanpa ada perajurit pengawal yang berani menghalanginya.

Setelah tiba di ruangan depan istana, Resi Bajrasakti memanggil kepala pengawal dan menyuruhnya menghadap dan melaporkan kepada Adipati Adhamapanuda bahwa dia bersama muridnya mohon menghadap. Setelah kepala pengawal pergi ke dalam istana, guru dan murid itu duduk menanti di pendopo itu. Biarpun sudah beberapa kali Linggajaya memasuki istana diajak gurunya, tetap saja kini dia masih mengagumi ruangan istana yang indah dengan prabot ruangan yang serba bagus dan mewah.

Gedung tempat tinggal gurunya yang besar itupun bukan apa-apa dibandingkan dengan istana adipati. Apa lagi rumah orang tuanya di Karang Tirta, walaupun merupakan rumah terbesar dan terindah di dusun itu, namun seolah sebuah gubuk miskin saja dibandingkan istana ini!

Diam-diam timbul keinginan dalam hatinya. Kalau saja dia yang menjadi raja dan memiliki istana ini! Alangkah akan senangnya dan bangganya! Lamunan Linggajaya membuyar ketika kepala pengawal itu muncul dan mengatakan kepada Resi Bajrasakti bahwa sang adipati telah menanti di ruangan samping, di mana sang adipati biasa menerima para pamong praja dan pembantunya.

Ruangan itu luas sekali dan Raja Adhamapanuda sudah duduk di atas kursi kebesarannya dan di depannya telah disediakan kursi untuk Resi Bajrasaki yang menjadi penasihatnya. Setelah memberi hormat, sang resi duduk atas di kursi itu dan Linggajaya duduk bersila menghadap sang adipati atau Raja Wengker itu.

"Ah, kakang resi telah datang bersama muridmu. Siapa nama muridmu ini kakang resi? Aku lupa lagi namanya." kata raja yang bertubuh tinggi besar bermuka brewok dan kedua lengannya berbulu lebat seperti seekor lutung. Suaranya besar parau dan matanya yang lebar itu memandang penuh selidik kepada Linggajaya yang duduk bersila di depannya. Karena gurunya memandang kepadanya, Linggajaya lalu menyembah dan menjawab, "Nama hamba Linggajaya, Gusti."

"Oh ya, sekarang aku ingat. Kakang resi, apakah muridmu ini sudah menguasai semua aji kesaktian yang andika ajarkan kepadanya selama ini?"

"Sudah, Adi Adipati."

"Bagus! Boleh kami mengujinya?"

"Tentu saja, silakan...!"

"Heh, Linggajaya, kami ingin menguji kemampuanmu. Beranikah engkau melawan Limantoko, pengawal pribadi kami?" tanya sang adipati kepada Linggajaya.

Pemuda itu sudah tahu bahwa Limantoko adalah seorang raksasa yang kokoh kuat dan merupakan jagoan istana Wengker. Akan tetapi menurut keterangan gurunya, Limantoko hanyalah seorang kasar yang mengandalkan tenaga kasar saja, jadi bukan merupakan lawan yang terlalu berat baginya. Maka tanpa ragu dia menjawab.

"Hamba sanggup dan berani, gusti adipati."

"Bagus!" kata Adipati Adhamapanuda yang lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Laki-laki ini memang menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar, dua kali tubuh Linggajaya, bahkan lebih tinggi besar dibandingkan tubuh sang adipati dan tubuh Resi Bajrasakti sendiri. Seperti seekor gajah dia menghampiri sang adipati dan memberi hormat dengan sembah.

"Limantoko, kami ingin menguji ketangguhan Linggajaya ini. Lawanlah dia agar kami dapat mengetahui sampai di mana kemampuannya."

"Sendika melaksanakan perintah paduka!" kata Limantoko yang segera bangkit dan menuju ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri dengan kedua kaki terpentang dan tampak kokoh kuat seperi batu karang. Dia menoleh ke arah Linggajaya dan berkata dengan suara lantang, "Marilah, orang muda, kita main-main sebentar."

Linggajaya menyembah kepada sang adipati, lalu bangkit berdiri dan menghampiri raksasa itu.

"Aku telah siap, andika mulailah!"

Limantoko adalah seorang yang benar-benar tangguh karena tenaganya yang besar dan selama ini belum ada orang yang mampu mengimbangi tenaganya. Tentu saja dia gentar menghadapi Resi Bajrasakti karena dia tahu benar bahwa resi itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan tidak dapat dilawan oleh kekuatan tenaganya saja. Tetapi menghadapi orang lain, dia memandang rendah.

Maka, tidak mengherankan kalau diapun memandang rendah kepada Linggajaya, walaupun dia sudah mendengar bahwa pemuda ini murid Resi Bajrasakti selama lima tahun. Dia sendiri melatih diri dengan aji kanuragan sejak muda sampai kini berusia empat puluh tahun. Mana mungkin seorang pemuda yang baru belajar lima tahun saja akan mampu menandinginya?

"Linggajaya jangan membunuhnya," kata Resi Bajrasakti kepada muridnya.

Linggajaya menoleh kepada gurunnya sambil tersenyum. "Baik, bapa."

Pesan Resi Bajrasakti itu membuat Limantoko menjadi merah mukanya dan hatinya merasa panas dan marah. Dia merasa dipandang rendah sekali dengan pesan resi itu kepada muridnya, seolah sudah yakin bahwa pemuda itu pasti akan mengalahkannya! Dengan penuh geram dia mulai menyerang.

"Sambut seranganku!" bentaknya dan tiba-tiba dia membuat gerakan menerkam seperti seekor beruang menangkap kelinci. Kedua lengan yang panjang besar itu bergerak dari kanan kiri dan kedua tangan itu mencengkeram ke arah tubuh Linggajaya, agaknya hendak ditangkapnya tubuh yang baginya kecil itu.

Namun kedua tangannya saling bertemu, mengeluarkan bunyi keras karena tubuh yang hendak ditangkapnya itu tiba-tiba saja lenyap. Dengan ketangkasannya, Linggajaya sudah melompat menghindar kekiri. Demikian cepat gerakannya sehingga raksasa itu tidak melihat dan tahu-tahu kehilangan lawannya.

Akan tetapi sebagai seorang jagoan, Limantoko mendengar gerakan Linggajaya dan cepat dia sudah memutar tubuh ke kanan. Begitu melihat Linggajaya, dia sudah menyerang lagi, kini menggunakan lengannya yang panjang, mengayun tangan kanan untuk menampar ke arah kepala lawan dan tangan kirinya menyusul dengan cengkeraman ke arah pinggang pemuda itu.

Serangan ini cepat dan kuat sekali, tamparan itu seperti palu godam raksasa dan kepala Linggajaya dapat remuk kalau terkena dan cengkeraman itupun tidak kalah dahsyatnya. Namun kembali Linggajaya memperlihatkan kesigapannya. Dia mengelak ke belakang lalu melompat ke kanan.

Setelah serangannya kembali luput, Limantoko menjadi semakin penasaran. Dia menyerang bertubi-tubi, dengan tamparan, pukulan, cengkeraman, bahkan tendangan sehingga angin menderu-deru di ruangan itu. Namun semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong belaka.

Linggajaya memang hendak memamerkan kelincahan tubuhnya di depan sang adipati. Kalau dia mau, hanya dengan elakan-elakannya saja dia akan dapat membuat raksasa itu kehabisan tenaga dan napas karena baginya gerakan manusia gajah itu terlampau lamban. Limantoko menjadi marah, merasa dipermainkan, maka dia berkata, "Orang muda, engkau balaslah kalau mampu!"

Akan tetapi agaknya Linggajaya memang hendak memamerkan kemampuannya kepada Raja Adhamapanuda. Ketika tangan kanan raksasa itu kembali menyambar, mencengkeram ke arah lehernya dia sengaja menangkis dengan tangan kirinya.

"Wuutt ..... tappp .....!"

Lengan kiri Linggajaya dapat dicengkeram, ditangkap oleh tangan raksasa yang besar itu. Linggajaya menggunakan tangan kanan untuk memukul, juga perlahan saja sehingga Limantoko dapat menangkap pula pergelangan tangan kanannya.

Limantoko girang bukan main telah dapat menangkap kedua pergelangan tangan Linggajaya, sama sekali tidak menduga bahwa pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya ditangkap! Kini Limantoko sambil menyeringai gembira mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Linggajaya ke atas, untuk kemudian dibanting walaupun dia tidak akan menggunakan sepenuh tenaganya agar pemuda itu tidak sampai mati.

Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan betapa kedua tangannya tidak kuat mengangkat pemuda itu ke atas! Dia berkali-kali mengerahkan seluruh tenaganya sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh menahan napas, namun tubuh Linggajaya sama sekali tidak dapat diangkatnya. Kedua kaki pemuda itu seolah-olah telah berakar di lantai, bagaikan sebatang pohon yang kuat sekali dan tidak dapat dicabut. Linggajaya sengaja membiarkan dirinya ditangkap hanya untuk memamerkan Aji Selogiri (Batu Gunung) yang membuat tubuhnya seberat batu gunung.

Setelah membiarkan Limantoko berbekah-bekuh beberapa saat lamanya dan raksasa itu mulai menjadi bingung karena, merasa benar-benar tidak kuat mengangkat tubuh yang baginya kecil saja itu. tiba-tiba Linggajaya melepaskan ajiannya dan tubuhnya kini terangkat ke atas Limantoko kembali merasa girang sekali sehingga dia menjadi lengah. Tiba-tiba Linggajaya menggerakkan kedua kakinya menendang ke arah dagu raksasa itu.

"Bresss .....!"

Tubuh Limantoko terjengkang dan pegangannya terlepas.Linggajaya berjungkir balik dan memandang ke arah Limantoko yang jatuh terjengkang sampai terguling-guling!

"Cukup!" kata Adipati Adhamapanuda "Limantoko, bagaimana pendapatmu Apakah Linggajaya ini cukup tangguh?"

Limantoko sudah bangkit dan menyembah. "Sesungguhnya, gusti, pemuda ini tangguh sekali."

Adipati Adhamapanuda tertawa senang "Ha-ha-ha, bagus! Engkau boleh mundur Limantoko."

Limantoko menyembah lalu mengundurkan diri meninggalkan ruangan itu. Resi Bajrasakti tertawa. "Ha-ha-ha, Adi Adipati, sudah hamba katakan berkali-kali bahwa paduka boleh percaya kepada murid hamba ini. Akan tetapi, tugas apakah yang hendak paduka berikan kepada Linggajaya?"

Adipati Adhamapanuda mengangguk angguk lalu berkata dengan suara bernada serius. "Begini, Kakang Resi, dan engkau juga Linggajaya, dengarkan baik baik. Aku mendapat kabar dari Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman bahwa kedua orang puterinya yang cantik jelita itu dipinang oleh Sang Prabu Erlangga dan sekarang bahkan sudah diboyong ke Kahuripan. Lasmini, puterinya yang pertama kini menjadi selir Ki Patih Narotama, sedangkan puterinya yang ke dua Mandari, menjadi selir Sang Prabu Erlangga."

Resi Bajrasakti mengerutkan alisnya yang tebal dan dia menggeleng-geleng kepalanya. "Bukankah dua orang puterinya itu, seperti yang hamba dengar, ikut dan menjadi murid Ki Nagakumala, (kakak ibu) dua orang gadis itu sendiri yang bertapa di Pegunungan Kidul?"

"Benar sekali, kakang resi."

Resi Bajrasakti menepuk pahanya sendiri. "Tak tahu malu! Kenapa orang orang tua itu menyerahkan puteri-puteri mereka kepada Erlangga dan Narotama yang menjadi musuh-musuh besar kita? Apakah kini Parang Siluman sudah hendak bertekuk lutut dan menyerah kepada Kahuripan tanpa berperang?"

"Bukan begitu, kakang resi. Penyerahan dua orang gadis itu malah merupakan siasat yang bagus sekali. Lasmini dan Mandari adalah dua orang gadis cantik jelita yang juga pandai dan telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari uwa dan ibu mereka. Mereka sengaja diberikan karena mereka berdua itu dapat memperoleh kesempatan baik untuk membunuh Erlangga dan Narotama."

"Waahh, itu gagasan yang terlalu muluk! Kita semua mengetahui bahwa Erlangga dan Narotama adalah dua orang yang sakti mandraguna. Hamba kira Ki Nagakumala sendiri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Apa lagi hanya dua orang gadis muridnya!"

"Akan tetapi dua orang gadis itu memiliki kelebihan yang tidak kita milik yaitu kecantikan mereka yang luar biasa. Dengan kecantikan mereka inilah mereka hendak menundukkan Erlangga dan Narotama sehingga mereka mendapatkan kesempatan untuk membunuh raja dan patihnya itu. Menurut surat Ratu Durgamala yang diberikan kepada ku, Mandari telah berkunjung dan puterinya itu menceritakan bahwa ia mulai dapat memikat hati Erlangga sehingga ia menjadi selir terkasih. Dan mereka telah mengatur siasat, kalau membunuh raja dan patihnya yang sakti mandraguna itu tidak berhasil, mereka akan berusaha untuk mengadu domba antara raja dan patihnya itu atau setidaknya akan menimbulkan kekacauan sehingga Kahuripan menjadi lemah. Kalau sudah begitu, Ratu Durgamala minta kepada ku untuk bersama-sama mengerahkan pasukan dan memukul Kahuripan yang sedang kacau dan lemah itu. Bagaimana pendapatmu, kakang resi?"

Kini Resi Bajrasakti mengangguk angguk dan wajahnya berseri. "Bagus, bagus sekali. Tidak hamba kira bahwa Ratu Durgamala yang cantik jelita itu dapat membuat siasat yang demikian hebatnya!"

"Siasat itu diatur oleh Ratu Durgamala, Ki Nagakumala, dan juga Lasmini dan Mandari. Dua orang gadis jelita itu memang hebat, sudah sakti cantik jelita pula sehingga senjata mereka berdua itu lengkap!" kata Adipati Adhamapanuda.

"Hamba kira kita sudah semestinya membantu mereka. Lalu tugas apakah yang akan paduka berikan kepada Linggajaya?"

"Begini, kakang resi dan engkau, Lingajaya. Aku hendak mengirimmu ke kahuripan dan engkau menjadi mata-mata kami. Kalau kami mengirim seorang tokoh Wengker, mungkin akan mudah ketahuan. Akan tetapi engkau adalah orang dari daerah Kahuripan, maka tidak akan ada yang mencurigaimu. Kau hubungilah Lasmini dan Mandari itu dan kau bantu mereka sampai berhasil membunuh raja dan patihnya, atau setidaknya mengadu domba dan membikin kacau. Tugasmu penting sekali, juga berat karena kalau engkau ketahuan, tentu nyawamu terancam. Nah, sanggupkah engkau melaksanakan tugas ini Linggajaya?"

Linggajaya adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ayahnya adalah seorang lurah, seorang pamong praja kerajaan Kahuripan. Biarpun dia tidak memiliki watak setia kepada Kahuripan, namun dia adalah kawula Kahuripan. Kalau dia harus berkorban mengkhianati Kahuripan, dia harus mendapatkan imbalan yang sepadan dan yang amat besar. Maka dia menyembah lalu berkata kepada Adipati Adhamapanuda.

"Ampun, gusti adipati. Tentu saja hamba sanggup melaksanakan tugas berat itu, akan tetapi ada suatu kenyataan yang menjadi penghalang bagi hamba untuk menyanggupinya."

"Hemm, kenyataan yang bagaimana Linggajaya?" Tanya sang adipati sambil mengerutkan alisnya.

"Kenyataannya bahwa hamba ini bukanlah seorang punggawa Kerajaan Wengker, bagaimana hamba dapat melaksanakan tugas yang amat penting dan rahasia ini? Bukankah seyogianya tugas sepenting ini dilakukan oleh seorang punggawa yang berkedudukan tinggi, setidaknya seorang senopati?"

Mendengar ucapan ini, Adipati Adhamapanuda menoleh kepada Resi Bajrasakti dan bertanya, "Bagaimana pendapat andika tentang hal ini, kakang resi?"

Resi Bajrasakti tersenyum. "Hamba sekali-kali bukan membela murid hamba, akan tetapi hamba kira ucapannya itu mengandung kebenaran. Kalau Linggajaya tidak menjadi punggawa berkedudukan dan terpercaya di Kerajaan Wengker, bagaimana kita dapat mengharapkan kesetiaan darinya?"

Adipati Adhamapanuda mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Linggajaya, mulai saat ini kami mengangkat andika menjadi senopati muda dengan julukan Senopati Lingga Wijaya!"

Bukan main girang hati pemuda itu. Akan tetapi dasar dia murka dan juga cerdik, maka dia memberi sembah hormat dan berkata, "Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Akan tetapi karena hamba hendak melaksanakan tugas yang amat penting dan berat, dan mungkin hamba akan menghadapi lawan-lawan yang tanggu, sedangkan hamba tidak memiliki pusaka ampuh, maka hamba akan bersyukur apabila paduka berkenan memberi hamba sebuah pusaka untuk pelindung diri hamba, gusti."

Mendengar ini, Resi Bajrasakti tertawa gembira. "Ha-ha-ha, murid hamba ini orangnya jujur, Adi Adipati. Memang hamba belum memberi pusaka kepadanya, karena kalau hamba berikan pusaka hamba Cambuk Gading, tentu banyak tokoh Kahuripan mengenalnya dan dapat menduga bahwa Linggajaya mempunyai hubungan dengan hamba. Karena itu untuk membesarkan hatinya dan demi tercapainya cita-cita kita, hamba mohon paduka merelakan untuk memberikan Ki Candalamanik kepadanya."

Adipati Adhamapanuda menghela napas panjang. Keris pusaka Ki Candalamanik adalah pusaka keturunan raja-raja Wengker. Akan tetapi untuk menolaknya, dia merasa tidak enak karena pemuda itu memiliki tugas berat.

"Baiklah," katanya sambil mencabut keris bersama warangkanya yang terselip di pinggangnya. "Terimalah Ki Candalamanik ini, kami pinjamkan kepadamu untuk kau pergunakan dalam tugas ini, Senopati Lingga Wijaya."

Linggajaya menerima keris itu dan menyembah sambil menghaturkan terima kasih, lalu menyelipkan keris pusaka itu di ikat pinggangnya. Setelah kembali ke gedung Resi Bajrasakti, Linggajaya berkemas dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pemuda itu meninggalkan kota kerajaan Wengker dan menuju ke dusun Karang Tirta, kembali ke rumah orang tuanya, yaitu Ki Lurah Suramenggala kepala dusun Karang Tirta.

Apa yang diceritakan oleh Adipati Adhamapanuda, raja Wengker itu kepada Linggajaya memang benar. Dia mendapat surat dari Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman tentang siasat yang melakukan kerajaan yang sejak dulu menjadi musuh Mataram dan sekarang memusuhi Kahuripan itu, siasat keji yang dilakukan melalui dua orang puterinya, yaitu Lasmini dan Mandari.

Seperti telah kita ketahui, dengan bujuk rayunya yang amat memikat hati Mandari berhasil membuat Sang Prabu Erlangga menceritakan tentang peringatan Sang Empu Bharada tentang banjir darah yang akan terjadi di Kahuripan dan Sang Prabu Erlangga masih bingung karena tidak tahu apa yang menjadi sebab datangnya ancaman malapetaka itu.

Mandari sendiri kehilangan akal, maka pada suatu hari ia berpamit kepada Sang Prabu Erlangga untuk mengunjungi mbak ayunya, yaitu Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama karena ia merasa rindu. Tentu saja Sang Prabu Erlangga mengijinkannya.

Setelah dua orang kakak beradik itu bertemu, mereka lalu bicara bisik-bisik dalam sebuah kamar tertutup. Ki Patih Narotama juga tentu saja mengijinkan selirnya yang terkasih itu bercengkerama dan melepas kerinduan dengan adiknya sang kini menjadi selir Sang Prabu Erlangga.

"Aduh Mbakayu Lasmini, ketiwasan (celaka) ....." bisik Mandari setelah mereka duduk berdua di atas pembaringan.

"Ehh? Ada apakah, Mandari?" tanya Lasmini khawatir. Kalau adiknya bersikap demikian khawatir, pasti terjadi sesuatu yang amat penting dan hebat.

"Si keparat Empu Bharada itu! Sejak semula, dalam pertemuan pertama matanya sudah memandangku seperti mata kucing, tajam menusuk dan menyelidik. Dan sekarang dia menghadap Sang Prabu Erlangga, memperingatkan sang prabu bahwa akan ada malapetaka menimpa kahuripan, akan ada pertempuran, bunuh membunuh dan banjir darah! Dan Sang Prabu Erlangga menjadi gelisah, mencari apa yang menjadi sebab, kesalahan apa yang dia lakukan sehingga akan timbul malapetaka itu. Bukankah ini gawat sekali?"

"Hemm ....., dan Sang Prabu Erlangga menceritakan semua itu kepadamu Apakah dia amat percaya kepadamu! Mandari?"

"Tentu saja dia amat percaya kepadaku! Engkau tahu, mbakayu Lasmini, Sang Prabu Erlangga amat mengasihi ku. Apa pun permintaanku tentu dituruti. Karena itu, mendengar tentang empu keparat itu, aku menjadi bingung dan gelisah. Aku sengaja minta ijin berkunjung ke sini untuk minta pendapatmu. Kita harus segera bertindak, mbakayu, sebelum empu keparat itu merusak rencana kita."

Lasmini mengangguk. "Memang gawat, Ki Patih Narotama juga sudah terjerat olehku. Dia amat mencintaku. Akan tetapi untuk melangkah selanjutnya dan mencoba membunuhnya, aku tidak berani. Dia sakti mandraguna dan kalau aku gagal membunuhnya, tentu aku akan celaka."

"Akupun tidak berani melakukan pembunuhan terhadap Sang Prabu Erlangga. Dia amat sakti mandraguna. Aku yakin kalau menggunakan jalan kekerasan kita tidak akan berhasil."

"Lalu bagaimana rencanamu?" tanya Lasmini.

"Aku memang mempunyai rencana baik sekali. Akan tetapi aku masih ragu, maka aku datang menemuimu karena siasat ini hanya dapat dilakukan oleh kita berdua." kata Mandari.

"Bagaimana rencana siasatmu itu?"

"Begini, mbakayu. Kita adu domba antara Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Sekarang ada kesempatan baik sekali bagiku. Sang Prabu Erlangga sedang mencari sebab mengapa Kahuripan akan dilanda malapetaka. Nah, aku akan mengatakan bahwa hal ini disebabkan ulah Ki Patih Narotama!"

"Eh? Disebabkan Ki Patih Narotama? Bagaimana ini? Apa maksudmu?" Tanya Lasmini heran.

"Aku akan mengatakan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa sebetulnya dahulu ketika Sang Prabu Erlangga meminang kita, engkau sudah setuju dan bahwa sebetulnya engkau diam-diam mencintai dan mengagumi Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi di tengah perjalanan, Ki Patih Narotama yang berpura-pura mengobatimu, telah menelanjangimu, melihati dan meraba-raba perut dan pusarmu. Akan kukatakan bahwa sampai sekarangpun sebetulnya engkau masih mencinta Sang Prabu Erlangga dan hanya mau menjadi selir Ki Patih Narotama karena terpaksa."

"Hemm, apakah Sang Prabu Erlangga akan percaya?" Tanya Lasmini ragu.

"Kalau aku yang bilang, tanggung dia percaya. Aku akan membujuknya agar dia minta kepada Ki Patih Narotama agar menyerahkan engkau kepadanya. Nah, dia tentu akan tergerak hatinya dan menuruti permintaanku agar engkau diboyong ke istana untuk menjadi selirnya dan berdekatan denganku."

"Akan tetapi, bagaimana kalau Ki Patih Narotama yang setia itu menyerahkan aku kepada Sang Prabu Erlangga dengan suka rela? Bukankah itu berarti bahwa siasat mu itu sia-sia belaka? Apa untungnya? Kau tahu, Ki Patih Narotama adalah seorang laki-laki yang amat menyenangkan dan membahagiakan hatiku. Dia jantan, lembut, pendeknya aku jatuh cinta kepadanya!" Lasmini tersenyum manis dan melanjutkan, "Kalau hasil siasatmu itu hanya memindahkan aku dari tangan Ki Patih Narotama ke tangan Sang Prabu Erlangga, aku tidak mau. Aku sudah terlanjur cinta kepada Ki Patih Narotama!"

"Mbakayu Lasmini! Apa engkau sudah lupa akan tugas kita? Aku sendiri pun sudah menikmati hidup bahagia dengan Sang Prabu Erlangga! Akan tetapi kita tidak boleh melupakan dendam turun-temurun kita terhadap keturunan Mataram, terutama kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!"

"Aku tidak pernah melupakan hal itu, Adi Mandari. Akan tetapi kalau hanya memindahkan aku dari kepatihan ke istana, apa untungnya?"

"Aku belum selesai menceritakan siasatku. Engkau harus membantu. Engkau katakan kepada Ki Patih Narotama bahwa engkau mendengar dariku kalau Sang Prabu Erlangga itu sebetulnya menaksirmu, dan sampai sekarang masih ingin mengambilmu dari tangan Ki Patih Narotama. Pendeknya, bakarlah hatinya agar dia menjadi cemburu. Nah, dengan kecemburuan itu, mungkin dia akan menolak permintaan Sang Prabu Erlangga. Andaikata dia tetap menyerahkanmu maka giliranmu untuk melaporkan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa sesungguhnya Ki Patih Narotama membenci rajanya bahwa kebaikan sikapnya itu hanya pada lahirnya saja, namun di dalam hatinya Ki Patih Narotama penuh iri dan dia akan mengadakan pemberontakan terhadap Sang Prabu Erlangga. Nah, dengan usaha kita berdua ini, mustahil tidak timbul kemarahan dan kebencian dalam hati mereka, saling curiga, saling marah dan membenci sehingga akhirnya terpecah belah."

Lasmini mengangguk-angguk. "Wah, siasatmu ini hebat sekali, adikku. Baiklah, aku akan berusaha agar Ki Patih Narotama marah kepada Sang Prabu Erlangga."

Mandari menghela napas panjang.

"Terus terang saja, usaha kita ini penuh resiko, penuh bahaya. Kita sudah terlanjur mencinta pria yang menjadi suami kita, akan tetapi di samping itu kita berkewajiban untuk mencelakakan mereka atau bahkan membunuh mereka. Akan tetapi, kita tak boleh melupakan bahwa mereka itu sesungguhnya adalah musuh bebuyutan kita!"

"Engkau benar, adikku. Akan tetapi, untuk mencari kesenangan bagi diri kita sendiri, masih ada banyak waktu dan dimana-mana terdapat laki-laki yang tampan dan gagah, yang akan dapat memberi kenikmatan dan kesenangan kepada kita."

"Akan tetapi biarpun kita sudah sepakat untuk mengatur siasat mengadu domba antara raja dan patihnya itu, hatiku masih gelisah memikirkan tentang empu brengsek itu, mbakayu. Dia tetap merupakan ancaman besar bagi kita. Agaknya, entah bagaimana, dia itu sudah dapat mengetahui bahwa kehadiran kita berdua di Kahuripan menyembunyikan niat-niat yang akan merugikan Kahuripan."

"Memang, kita harus bertindak sekarang juga, Mandari. Karena itu, selagi engkau berada di sini, mari kita mengunjungi Ibu Ratu di Parang Siluman. Kita rundingkan tentang Empu Bharada ini dengan Ibu Ratu. Biarlah ia dan Uwa Nagakumala yang mengatur untuk menyingkirkan empu keparat itu. Aku akan minta ijin Ki Patih, dan kita pergi bersama."

Demikianlah, setelah minta ijin kepada Ki Patih Narotama bahwa ia dan adiknya akan pergi berkunjung kepada ibu mereka di Parang Siluman dan Patih Narotama mengijinkannya, Lasmini dan Mandari naik kereta dan berangkat ke Kerajaan Parang Siluman di pantai Laut Kidul. Mereka bertemu dengan Ratu Durgamala yang biarpun usianya sudah empatpuluh tahun akan tetapi masih tampak muda dan cantik jelita, tak ubahnya seperti saudara saja dari kedua orang puterinya itu.

Di sini siasat mereka diatur lebih matang lagi dan karena kebetulan Ki Nagakumala juga berada di situ, maka ibu dan uwa mereka menyanggupi untuk "membereskan" Empu Bharada. Setelah semua siasat diatur rapi, Lasmini dan Mandari kembali ke Kahuripan. Mandari menuju ke istana Raja Erlangga sedangkan Lasmini kembali ke kepatihan.

Ketika Lasmini memasuki gedung kepatihan dan tiba di ruangan dalam, ia melihat suaminya duduk seorang diri sambil membaca Kitab Weda. Lasmini pura-pura tidak melihat dan terus melangkah sambil menundukkan mukanya kearah kamarnya.

Ki Patih Narotama melihat sikap selirnya terkasih ini dan dia menjadi heran. Biasanya Lasmini bersikap penuh hormat, manja dan ramah kepadanya, akan tetapi sekali ini Lasmini seolah olah tidak melihatnya dan memasuki kamar dengan kepala menunduk dan wajahnya yang muram. Maka dia cepat menyimpan kitabnya dan bergegas mengejar ke dalam kamar selirnya, sebuah kamar yang mewah, bersih dan berharum bunga mawar dan melati, bunga kesayangan selirnya. Dia melihat Lasmini duduk di tepi pembaringan dan menundukkan mukanya dengan lesu. Narotama cepat menghampiri selirnya duduk di sisinya dan merangkul leher yang berkulit putih mulus itu. Dicium pelipis Lasmini.

"Yayi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau bermuram durja setelah engkau kembali dari Parang Siluman bersama adikmu yayi Mandari?"

"Duh kakangmas..... bagaimana harus saya katakan? Saya..... saya tidak berani..... saya khawatir akan membuat kakangmas..... bingung dan susah....ahh, sungguh tidak sangka, hidup saya akan menghadapi penderitaan seperti ini....." Lasmini sesenggukan dan ketika Narotama merangkul, ia menyembunyikan mukanya di dada suaminya itu dan air matanya membasahi kulit dada Narotama.

"Tenanglah, yayi Lasmini. Tenangkan hatimu dan katakana saja, apa yang mengganggu pikiranmu itu? Percayalah, aku tidak akan marah, juga tidak akan bingung atau susah. Masih ragukah engkau bahwa aku sungguh mencintamu?"

"Aduh kakangmas..... justru karena itulah, justeru karena saya tahu betapa kakangmas amat mencintaku dan saya juga mencinta kakangmas dengan seluruh jiwa raga, maka hal ini menjadi semakin merisaukan hati saya ....."

Ki Patih Narotama mengangkat muka Lasmini dari dadanya, menciumi muka yang cantik jelita itu dengan penuh kasih sayang lalu berkata lembut, "Hayo ceritakanlah dan jangan membuat hatiku menjadi penasaran, Lasmini."

"Baiklah, kakangmas, akan tetapi sebelumnya saya mohon beribu maaf. Saya mendengar laporan adik saya Mandari..... akan tetapi ia pesan wanti-wanti kepada saya agar saya tidak menceritakannya kepada siapapun juga terutama tidak kepada kakangmas ....."

"Sudahlah, ceritakan saja padaku, kekasihku tersayang!"

"Begini, kakangrnas. Menurut cerita adik saya bahwa..... bahwa Sang Prabu Erlangga sejak dulu..... menaksir diriku dan bahkan sampai sekarangpun masih sering membicarakannya dengan Mandari bahwa beliau..... hendak mengambil saya dari tanganmu, kakangmas..... Ahh, saya..... saya khawatir sekali, kakangmas."

Narotama terkejut dan merasa terpukul hatinya. Dia menatap wajah yang menunduk lesu itu dan bertanya, "Hemmmn benarkah itu, Lasmini?"

"Kakangmas, Mandari adalah adik saya yang sayang dan setia kepada saya, ia tidak akan berani berbohong. Saya percaya sepenuhnya kepadanya. Bagaimana, kakangrnas? Saya..... takut”

Lasmini merangkul Narotama dan menangis lagi. Narotama juga merangkul kekasihnya dan mengelus rambut kepalanya. Dia diam saja dan pikirannya menjadi kacau. Dia memang amat terpikat oleh selirnya ini, terpikat oleh kecantikannya dan terutama oleh sikapnya yang tampaknya begitu mesra dan penuh cinta kepadanya. Mungkinkah dia dapat memisahkan ikatan cintanya dengan Lasmini dan menyerahkannya kepada Sang Prabu Erlangga?

Akan tetapi, dia juga terikat kesetiaannya kepada sang raja. Jangankan baru menyerahkan selir, biarpun menyerahkan nyawanya dia akan rela untuk memenuhi permintaan junjungannya itu. Perasaan hatinya terpecah dua dan berulang-ulang dia menghela napas panjang.

Melihat ini, Lasmini lalu merangkul lagi dan menciumi muka suaminya. "Duh kakangmas, ampunilah saya..... saya telah membuat paduka menjadi gelisah dan berduka ....."

Dengan pengerahan seluruh daya tariknya untuk memikat hati Narotama, Lasmini lalu menghibur dan untuk sementara memang hati Narotama terhibur dan larut dalam kemesraan.

Sementara itu, di istana Sang Prabu Erlangga, Mandari juga segera menjalankan siasatnya. Setelah ia berada berdua dalam kamarnya bersama Sang Prabu Erlangga, dengan muka cemberut ia berkata kepada raja itu.

"Sinuwun, hamba kira sekarang hamba telah menemukan apa yang menjadi sebab sehingga Kahuripan terancam bahaya seperti yang digambarkan oleh Paman Empu Bharada."

Sang Prabu Erlangga tercengang., "Jagad Dewa Bathara! Benarkah itu, yayi? Engkau baru saja pulang dari kepatihan dan dan Parang Siluman, bagaimana bisa mendapatkan sebab yang sedang kucari itu?"

"Justeru di kepatihan hamba menemukan penyebab itu, sinuwun sesembahan hamba."

"Aneh sekali engkau ini, Mandari. Penyebab malapetaka yang diramalkan itu berada di kepatihan? Bagaimana itu? Apa yang kau maksudkan?"

"Begini sesungguhnya, sinuwun. Akan tetapi sebelum hamba menceritakan! hamba mohon beribu ampun apabila cerita hamba ini mendatangkan perasaan tidak senang dalam hati paduka."

Sang Prabu Erlangga tersenyum. "Ceritakanlah dan jangan khawatir, aku tidak akan marah kepadamu kalau engkau menceritakan keadaan yang sebenarnya."

"Begini, sinuwun. Hal ini mengenai diri Mbakayu Lasmini dan Ki Patih Narotama." Mandari berhenti lagi seolah merasa ragu dan takut untuk melanjutkan.

"Eh? Ada apa dengan Lasmini dan Kakang Narotama?"

"Terus terang saja, ketika dahulu paduka meminang Mbakayu Lasmini dan hamba melalui Ki Patih, Mbakayu Lasmini menyambut dengan penuh suka cita dan serta merta menerima pinangan paduka karena memang sejak remaja Mbakayu Lasmini sudah mengagumi dan memuja-muja nama paduka. Mbakayu Lasmini ingin sekali mengabdi dan menghambakan diri kepada paduka. Hal ini ia ceritakan kepada hamba ketika hamba berdua berangkat dengan kereta menuju Kahuripan. Akan tetapi di tengah perjalanan, ketika Mbakayu Lasmini menderita sakit perut, Ki Patih Narotama menggunakan alasan mengobati telah menelanjangi dan meraba perut dan pusar Mbakayu Lasmini ....." Mandari berhenti lagi.

"Hemm, kalau ia memang mengharapkan menjadi selirku, kenapa ia menolakku dan memilih menjadi selir Kakang Patih Narotama?"

"Itulah, sinuwun. Mbakayu Lasmini merasa bahwa ia akan menanggung aib kalau tidak bersuamikan Ki Patih, karena pria itu telah melihat dan meraba perut dan pusarnya. Ketika hamba bertemu dengannya, ia mengaku bahwa sampai sekarang ia masih mencinta, mengagumi dan memuja paduka dan bahwa hidupnya sebagai selir Ki Patih Narotama tidak membahagiakan hatinya. Agaknya dahulu itu Ki Patih Narotama sengaja menelanjanginya dengan pamrih agar kakak hamba itu tidak mau diperisteri paduka karena malu. Ah, sinuwun, hamba mohon tolonglah Mbakayu Lasmini. Biarkanlah menjadi selir paduka dan hidup berbahagia di sini bersama hamba. Hamba yakin bahwa Mbakayu Lasmini akan menambah kebahagiaan paduka, sinuwun."

Sang Prabu Erlangga adalah seorang yang sakti mandraguna dan juga bijaksana, akan tetapi sesuai dengan kenyataan bahwa tidak ada manusia yang sempurna tanpa cacat, diapun hanyalah seorang manusia. Tiada yang sempurna di alam maya pada ini kecuali Sang Hyang Widhi Wasa, Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna...


BERSAMBUNG KE JILID 07


Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 06

CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO

KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 06

Orang itu adalah Empu Bharada, orang pendeta yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Empu Bharada merupakan seorang sesepuh di Kerajaan Kahuripan. Bahkan selain dia menjadi penasihat Sribaginda, diapun dianggap sebagai gurunya.

Empu Bharada hidup menyendiri, tidak menikah, melakukan apa yang disebut bertapa di tempat ramai. Biarpun dia hidup di dalam sebuah gedung mungil pemberian sang prabu, namun dia hidup menyendiri seperti pertapa. Lebih banyak dia berada di sanggar pamujaan, melakukan puja-puji dan mengagungkan Sang Hyang Widhi Wasa. Hanya sekali-kali dia keluar di ruangan pendopo untuk memberi wejangan kepada para cantrik. Atau terkadang dia muncul pula di dalam masyarakat untuk mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada mereka yang pantas dan perlu ditolong, misalnya mengobati orang sakit, memberi penerangan kepada mereka yang sedang menderita kegelapan batin, dan lain sebagainya.

Dasar pelajaran hidupnya adalah bahwa manusia hidup haruslah menjadi alat atau pembantu Sang Hyang Widhi yang selalu menjaga dan MANGAYU HAYUNING BHAWANA (mengusahakan ketentraman jagad). Caranya adalah mencintai sesama manusia dan membagi segala macam kemampuan untuk saling menolong antara manusia. Gusti Maha Suci atau Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan berkah kepada kita dengan berkelebihan, dengan maksud agar kita membagi kelebihan itu kepada orang yang membutuhkannya.

Kalau kita kelebihan harta, haruslah menolong dan membagi sebagian dari kelebihan harta kita itu untuk mereka yang membutuhkannya. Kalau kita memiliki kelebihan kepintaran, haruslah menolong dan membagi sebagian dari kepintaran kita untuk mereka yang bodoh dan membutuhkan petunjuk agar dapat keluar dari jurang kebodohan. Demikian pula, yang kelebihan tenaga menolong mere ka yang lemah dan selanjutnya. Dengan demikian, kita tidak menyia-nyiakan berkah dari Sang Hyang Widhi yang melimpah ruah itu sehingga Sang Hyang Widhi semakin banyak melimpahkan berkahNya kepada kita sebagai penyalur berkah kepada sesama manusia yang membutuhkannya.

Pada pagi hari itu, Sang Empu Bharada berjalan perlahan-lahan keluar pondoknya yang mungil indah, menuju istana Sang Prabu Erlangga. Sang Empu Bharada berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang. Wajah kurus itu memiliki sepasang mata cekung yang bersinar lembut penuh pengertian, berwibawa namun tidak menakutkan, membuat orang tidak takut melainkan segan dan tunduk kepadanya.

Pakaiannya sederhana dengan sehelai jubah yang lebar dan panjang. Dia dikenal, dihormati dan disegani rakyat karena suka memberi pertolongan. Mereka yang berwatak jahat pun segan, bahkan takut kepadanya karena mereka tahu betapa saktinya sang empu itu. Semua orang yang berjumpa dengannya di sepanjang jalan, cepat memberi hormat dengan ramah yang dibalasnya dengan senyumnya yang penuh pengertian.

Seperti lazimnya, tidaklah mudah bagi seseorang untuk dapat diperkenankan menghadap raja tanpa dipanggil. Namun, ada beberapa kekecualian. Orang-orang yang dihormati raja, yang dianggap sebagai keluarga sendiri yang dihormati, tentu saja dapat berkunjung sewaktu waktu dan diterima oleh raja sebagai tamu pribadi, misalnya Kipatih Narotama. Dia dapat saja sewaktu-waktu datang berkunjung, seperti seorang mengunjungi rumah sahabatnya. Yang mendapatkan perlakuan istimewa ini hanya beberapa orang, di antaranya tentu saja Sang empu Bharada yang dianggap sesepuh dan penasihat Sang Prabu Erlangga.

Kepala pengawal segera menyambut sang empu dan melaporkan kepada Sang Prabu bahwa Empu Bharada datang berkunjung. Pada saat menerima laporan akan kunjungan Sang Empu Bharada itu, Prabu Erlangga masih berada dalam kamarnya bersama selirnya yang baru, yaitu Mandari. Maklum, kedua orang ini sedang mesra-mesranya sebagai sepasang pengatin baru dan Sang Prabu Erlangga seperti mabok kepayang karena merasa betapa selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang isteri yang luar biasa hebat dan memikatnya seperti Mandari. Dia menjadi lengket dan menyayangi Mandari dengan cinta berahi yang berkobar-kobar.

Akan tetapi begitu medengar laporan bahwa Sang Empu Bharada datang berkunjung, cepat-cepat sang prabu membereskan pakaiannya dan siap untuk menyambut kedatangan sang empu. Melihat ini, dengan suara yang khas manja dan merdu merayu bagaikan seorang waranggana yang ahli bertembang Mandari menegur lembut.

"Duhai Kakanda sinuwun, siapakah gerangan Sang Empu Bharada itu sehingga paduka tampak demikian tergesa-gesa hendak menyambutnya?"

Sang Prabu Erlangga tersenyum. "Beliau adalah Sang Empu Bharada, yayi Dewi Mandari. Paman Empu Bharada adalah seorang pendeta yang arif bijaksana dan beliau menjadi penasihat kerajaan, seorang pini sepuh."

Mandari merasa jantungnya berdebar tegang dan perasaan tidak enak menyerubungi hatinya. "Kakanda sinuwun, bolehkah hamba ikut menyambut sang empu agar hamba dapat berkenalan dengannya?"

Sang Prabu Erlangga menggeleng kepala sambil tersenyum menghibur. "Sayang tidak pada saat ini, yayi. Pada kesempatan lain engkau akan kuperkenalkan. Akan tetapi kalau paman empu datang berkunjung pada saat yang bukan pesewakan (persidangan), berarti beliau mempunyai urusan penting sekali yang hendak dibicarakan empat mata denganku. Karena itu, tunggulah di sini, aku akan menjumpainya sebentar, yayi.

Sang prabu lalu merangkul dan mencium selir barunya itu. Mandari cukup pandai untuk menyimpan kekecewaannya dan dengan patuh ia mengangguk. Sang Prabu Erlangga lalu keluar dari kamar dan memasuki ruang tamu di mana Sang Empu Bharada telah duduk menantinya. Empu Bharada segera bangkit berdiri memberi hormat dengan sembah di dada ketika sang prabu muncul.

"Ah, maafkan saya, paman. Apakah paman sudah lama menanti?" tegur sang prabu dengan ramah.

"Baru saja, anak prabu. Hamba yang mohon maaf kalau kunjungan hamba ini mengganggu."

"Ah, sama sekali tidak, paman. Silahkan duduk." Mereka lalu duduk berhadapan.

"Saya yakin bahwa kedatangan paman ini tentu membawa hal yang amat penting. Hal apakah itu, paman?"

"Terlebih dahulu hamba menghaturkan sembah hormat hamba kepada paduka anak prabu dan mohon maaf sebanyaknya. Sesungguhnya, hamba menghadap karena terdorong oleh perasaan tidak enak dan khawatir akan keselamatan kerajaan paduka."

Seketika Prabu Erlangga menjadi serius dan memandang pendeta itu penuh perhatian. "Paman Empu Bharada, apakah yang menyebabkan paman merasa tidak enak dan apa kiranya yang mengancam keselamatan kerajaan kita?"

"Maaf, sinuwun. Hamba tidak dapat menjelaskan apa yang mengancam keselamatan kerajaan ini. Akan tetapi hamba mendapat getaran perasaan bahwa saat ini terdapat mendung tebal menutupi kecerahan matahari di Kahuripan. Ada sesuatu yang tidak benar telah terjadi dan kiranya hanya paduka sendiri yang dapat mengetahui apa yang telah terjadi itu. Hamba hanya dapat menunjukkan adanya ancaman keselamatan itu agar paduka dapat berhati-hati."

Raja Erlangga mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. Dia percaya akan semua ucapan sang empu dan timbul kekhawatiran dalam hatinya.

"Saya tahu bahwa apa yang akan terjadi itu merupakan rahasia bagi manusia dan tak seorangpun boleh membukanya. Akan tetapi, dapatkah paman menceritakan bahaya dalam bentuk apa yang akan menggelapkan suasana di kerajaan kita ini?"

Sang empu memejamkan kedua matanya, tunduk tepekur lalu berkata, suaranya lirih, bergetar, seolah suara itu datang dari jauh. "perang antara manusia.....banjir darah..... api kebencian dan dendam berkobar merajalela..... iblis setan berpesta pora..... para dewa berduka, langit bumi gonjang ganjing..... alam pun menangis karena ulah manusia....." Kakek itu terdiam, lalu menghela napas panjang dan membaca doa puja-puji kepada Sang Hyang Widhi Wasa. "Ommm ..... swastiastu, oommm ....."

Mendengar ini, Sang Prabu Erlangga ikut memuji Sang Hyang Widhi dan setelah itu menurunkan kedua tangannya yang menyembah kepada Sang Maha Kuasa dengan penuh penyerahan diri dan berkata sambil menghela napas panjang.

"Oh Jagad Dewa Bathara, ampunilah kiranya dosa-dosa hamba....." Kemudian dia bertanya kepada Empu Bharada. "Duh paman empu, apakah tidak ada cara untuk menolak ancaman bencana itu?"

"Oh, sinuwun! Kehendak Hyang Widhi terjadilah! Siapa yang mampu mengubahnya? Apa lagi manusia biasa, bahkan para dewa sekalipun tidak akan mampu mengubahnya dan harus menerima kenyataan bahwa apapun yang dikehendaki Hyang Widhi, pasti akan terjadi. Soal baik atau buruk itu hanya pandangan manusia yang menerima kenyataan itu, akan tetapi yang sudah pasti dan kita harus yakin akan hal itu adalah bahwa kehendak Sang Hyang Widhi sudah pasti baik, benar dan sempurna dan seadil adilnya! Tidak ada akibat terjadi tanpa sebab, tidak ada buah tanpa pohon dan baik buruknya buah tergantung dari baik atau buruknya pohon. Orang bijaksana yakin bahwa akibat datang dari sebab maka dia akan mencari sebab pada dirinya sendiri, bukan di luar dirinya. Tidak menyalahkan yang di atas, tidak menyalahkan yang di bawah, melainkan menyalahkan diri sendiri karena di situlah terletak segala sumber yang menjadi sebab timbulnya persoalan sebagai akibatnya."

"Paman Empu Bharada, saya mengerti benar akan hal itu. Berarti, malapetaka mengerikan yang paman rasakan itu akan terjadi karena sebab yang terletak dalam diri saya sendiri. Paman, sudilah paman mengingatkan saya, kesalahan apakah yang telah saya lakukan? Kejahatan apakah yang menyeret saya ke dalam dosa?"

"Anak prabu, akibat dari sebab memang tidak dapat dihindarkan. Namun Hyang Widhi adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Murah dan Maha Pengampun. Satu-satunya sikap, yang terbaik bagi manusia hanyalah bertaubat, taubat yang sejati. Bertaubat sejati bukan berarti penyesalan karena perbuatan itu menimbulkan kesengsaraan. Penyesalan karena memetik buah pahit perbuatan dosa belum tentu membuat orang bertaubat dengan sungguh-sungguh. Itu hanya apa yang disebut kapok lombok saja, bertaubatnya orang makan sambal pedas, kalau kepedasan dan kepanasan mengatakan bertaubat, akan tetapi di lain saat dia sudah makan sambal lagi karena enaknya! Bertaubat yang sejati hanya dapat terjadi kalau orang sadar sepenuhnya akan perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran sehingga dia tidak akan mengulang lagi kesalahannya”.

"Duh kanjeng paman, tunjukkanlah kesalahan apa yang telah saya perbuat?"

"Maafkan hamba, sinuwun. Mencari sampai menemukan kesalahan sendiri haruslah dilakukan oleh dirinya sendiri. Kalau sudah ditemukan, itulah yang dinamakan kesadaran. Kalau ditunjukkan orang lain hanya akan menjadi bahan perbantahan, memperebutkan kebenaran karena nafsu selalu mendorong manusia untuk membenarkan karena diri sendiri. Kebenaran yang diperebutkan bukanlah kebenaran lagi namanya. Karena itu silakan paduka mencari dan menemukan sendiri, gusti."

Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. "Andika benar dan saya yang keliru telah mengajukan pertanyaan bodoh itu, paman. Baiklah, saya akan menelusuri diri sendiri dan semoga Sang Hyang Widhi Wasa akan memberi petunjuk sehingga saya akan dapat menemukan kesalahan saya sendiri."

"Semoga Hyang Widhi selalu melindungi paduka. Hamba mohon pamit, gusti, karena semua yang hendak hamba sampaikan telah paduka terima."

"Silakan, paman dan banyak terima kasih atas semua petunjuk dan peringatan yang telah paman berikan kepada saya. Selamat jalan."

Empu Bharada memberi hormat lalu mengundurkan diri, keluar dari istana, Setelah pertapa itu pergi, Sang Prabu Erlangga sampai lama tetap duduk termenung. Kemudian dia memasuki sanggar pamujan, sebuah ruangan yang khusus untuk berdoa dan samadhi. Di ruangan yang tidak boleh diganggu siapapun juga, Sang Prabu Erlangga bersamadhi, mohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Dalam keadaan yang hening dan kosong itu, perlahan-lahan tampak oleh mata batinnya bayang-bayang yang suram, makin lama semakin jelas dan dia melihat wajah yang cantik jelita, ayu manis merak ati tak ubahnya seorang dewi dari kahyangan, wajah yang tersenyum manis dengan sepasang bibir merah indah merekah, kerlingan sepasang mata yang indah tajam penuh daya pikat. Wajah Mandari, selirnya yang tersayang. Sang Prabu Erlangga seperti tersentak kaget dan dia mengerutkan alisnya. Mandari? Itukah yang menjadi sebabnya Itukah kesalahannya? Mengambil Mandari sebagai selir?

"Tidak, bukan .....!" Dia menggeleng kepalanya, membantah suara hatinya sendiri. "Bukan itu, mustahil kalau mengambil Mandari sebagai selir merupakan kesalahan. Hal itu kulakukan bahkan untuk mengadakan perdamaian dan menjauhkan permusuhan? Bukankah hal ini mendatangkan perdamaian antara Kahuripan dan Parang Siluman?"

Demikianlah pikiran raja itu membuat renungan penalaran sendiri yang tentu saja anggapannya benar, sama sekali dia tidak ingat bahwa pada hakekatnya bukan untuk perdamaian itu dia mengambil Mandari sebagai selir, melainkan karena dia tergila-gila dan terpikat oleh kecantikan dan rayuan Mandari.

Dan begitu membayangkan Mandari, yang tampak hanyalah segi yang menyenangkan saja dan gadis yang menjadi selirnya itu tampak baik sekali, terlalu baik, bahkan nyaris sempurna dalam pandangannya. Makin diingat, hati Sang Prabu Erlangga semakin terpikat dan timbul perasaan rindu kepada selirnya terkasih itu. Bahkan ada perasaan iba bahwa tadi hati atau akal pikirannya pernah meragukan kehadiran wanita jelita itu sebagai sumber malapetaka yang diramalkan Empu Bharada. Maka keluarlah dia dari sanggar pamujan, lalu bergegas menuju ke bagian istana yang menjadi tempat tinggal Mandari. Setibanya di situ, dia tidak melihat Mandari di luar kamar. Seorang abdi yang ditanyanya memberitahukan bahwa sang puteri juwita sejak tadi berada di dalam kamarnya.

Sang Prabu Erlangga cepat membuka daun pintu kamar yang luas dan indah itu dan pertama kali yang menyambutnya adalah keharuman lembut yang amat menyenangkan hidung dan menyejukkan hati. Dia melihat selir terkasih itu rebah melungkup di atas pembaringan dengan posisi yang amat indah menawan. Pakaiannya dari sutera halus itu menempel ketat di tubuhnya, memperlihatkan lekak lengkung tubuh yang menggairahkan, agaknya tersingkap di bagian kaki sehingga tampak betis yang kuning memadi bunting paha yang putih dan halus mulus. Akan tetapi wanita cantik itu membenamkan mukanya pada bantal dan pundaknya bergoyang-goyang sedikit seperti orang sedang menahan isak tangis.

"Adinda Mandari, engkau kenapa!......?"

Sang Prabu Erlangga menegur lembut. Mendengar teguran ini, Mandari mengangkat mukanya memandang dan jelas tampak bahwa ia tengah menangis. Begitu melihat raja yang menjadi suaminya itu, bergegas ia turun dari atas pembaringan, lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki sang prabu sambil menangis.

"Duh gusti sinuwun pujaan hamba mengapa paduka begitu tega kepada hamba .....?"

Sang Prabu Erlangga tertegun, heran lalu tersenyum geli karena menganggap sikap selirnya itu terlalu manja, sikap manja yang bahkan menambah daya tariknya. Dia merangkul dan membangunkan wanita itu, lalu diajaknya duduk berjajar di tepi pembaringan. Dengan sentuhan mesra penuh kasih sayang dihapusnya kedua pipi yang agak basah air mata itu lalu diciuminya kedua pipi yang kemerahan, licin halus dan sedap harum mawar itu.

"Apa maksudmu, yayi? Aku tega kepadamu? Aneh-aneh saja engkau ini. Aku selalu cinta dan sayang padamu, mana mungkin aku tega?"

"Buktinya, sinuwun, paduka tega meninggalkan hamba sejak tadi, meninggalkan hamba kesepian dan menanggung rindu ....."

Sang Prabu Erlangga tertawa dan merangkul kekasihnya. "Ha-ha-ha, diajeng Mandari. Hanya sebentar aku meninggalkanmu karena aku harus menyambut datangnya tamu yang kuhormati, dan engkau mengatakan sudah kesepian dan rindu?"

"Duh sinuwun, kalau paduka tidak berada dekat hamba, hamba merasa seolah kehilangan matahari, gelap gulita kehidupan hamba dan.... dan.... hamba khawatir sekali ....."

"Eh? Khawatir? Apa yang kaukhawatirkan, sayangku, Engkau hidup di sini aman, tidak akan ada yang berani mengganggumu, kecuali orang takut kepadaku juga engkau bukan sembarang wanita yang mudah diganggu orang! Apa lagi yang kau takutkan?"

"Ampunkan hamba, sinuwun....., pertapa itu..... baru satu kali hamba bertemu dengannya akan tetapi..... pandang matanya sungguh membuat hamba meriding (meremang), hamba takut padanya gusti. Karena itu, ketika paduka menerima kunjungan Empu Bharada itu... hamba takut.....!"

"Ah, rasa takutmu tidak beralasan diajeng. Paman Empu Bharada adalah seorang yang bijaksana dan sejak dulu beliau menjadi penasehatku yang setia. Sama sekali tidak ada alasannya untuk ditakuti."

"Ampun, sinuwun. Mungkin paduka benar, hamba hanya takut bayang-bayang sendiri. Akan tetapi agar hati hamba dapat menjadi tenang, sudilah kiranya paduka memberitahu kepada hamba, berita apakah gerangan yang dibawa sang Empu itu kepada paduka."

Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. "Wahai, adinda sayang, agaknya perasaanmu sudah sedemikian pekanya sehingga kerisauan hatiku menembusmu dan membuat engkau menjadi gelisah juga. Akan tetapi apa perlunya aku menceritakan hal yang buruk kepadamu dan yang hanya akan membuat engkau merasa khawatir sehingga akan mengurangi sinar kejelitaan mu?"

"Duh sinuwun pujaan hamba, mengapa paduka berkata demikian? Bukankah hamba ini garwa (isteri) paduka, dan bukankah garwo itu berarti sigaraning nyowo (belahan nyawa) suami dan isteri Itu selalu sehidup semati dengan suaminya, suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung, swargo nunut neroko katut (Ke surga ikut ke neraka terbawa)?"

Mendengar ini, Sang Prabu Erlangga melupakan kerisauan hatinya. "Heh-heh..heh, yayi Mandari! Ucapanmu itu hanya merupakan pendapat umum yang salah kaprah! Memang benar bahwa garwa adalah sigaraning nyowo, selagi hidup suami isteri sudah selayaknya membagi rasa, suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung. Akan tetapi kalau sudah memasuki alam baka, masing-masing mempunyai tangung jawab dan tempat sendiri-sendiri yang sepadan dengan keadaan masing-masing selama hidup didunia. Seorang isteri tidak hanya swarga nunut neroko katut! Betapapun bijaksana sang suami, kalau sang isteri jahat, tidak mungkin ia akan nunut ke surga dengan suaminya. Sebaliknya, betapapun jahatnya sang suami, kalau isterinya baik budi dan bijak, ia pun tidak akan ikut ke neraka bersama sang suami."

Dengan manja Mandari lalu menjatuhkan diri menelungkup dan meletakkan mukanya di atas pangkuan Sang Prabu Erlangga yang menggunakan kedua tangan mengelus-elus rambut kepala selir terkasih itu. Satu di antara daya tarik yang sangat kuat dari wanita ini adalah rambutnya. Rambut itu halus lemas hitam berikal dan panjangnya sampai ke lutut!

Ketika itu, gelungan rambutnya yang sejak tadi memang longgar itu terlepas dan rambutnya terurai seperti selendang dari benang sutera hitam melibat tubuhnya. Indah sekali.

"Kalau paduka tidak berkenan dan tidak percaya kepada hamba, paduka tidak menceritakan kepada hamba juga tidak mengapa, sinuwun. Hamba dapat menerimanya, hamba juga rumangsa (tahu diri) bahwa hamba hanyalah seorang selir....." kata Mandari manja.

Sang Prabu Erlangga merangkulnya. "Tentu saja aku percaya sepenuhnya kepadamu, yayi. Nah, dengarlah berita yang tidak menyenangkan itu. Paman Empu bharada dating memberi peringatan kepadaku bahwa dia merasakan adanya ancaman malapetaka yang akan melanda Mataram, yaitu akan datangnya perang besar, banjir darah dan bunuh membunuh antara manusia."

"Aduh, sinuwun. Bagaimana mungkin pertapa itu dapat menggambarkan keadaan yang akan datang?" tanya Mandari dengan hati terkejut dan cemas.

"Engkau tidak tahu, diajeng. Paman Empu Bharada adalah seorang yang bijaksana dan sidda paningal (sempurna penglihatan batinnya) sehingga dia seolah dapat mengetahui atau merasakan hal-hal yang belum terjadi."

"Sinuwun, kalau begitu, paduka harap tenang dan jangan khawatir. Hambamu ini yang siap untuk membantu, kalau perlu berkorban nyawa, untuk menjaga keselamatan paduka."

"Hemm, aku senang mendengar ucapanmu yang menunjukkan kesetiaanmu Mandari. Akan tetapi aku tidak mengkhawatirkan keselamatan sendiri, yang kuprihatinkan adalah kemelut yang mengorbankan nyawa banyak kawulak itu. Yah, kalau Sang Hyang Widhi sudah menghendaki demikian, apa yang dapat kita lakukan? Menurut Paman Empu Bharada, semua itu merupakan akibat dari pada sebab, akan tetapi aku belum dapat menemukan apa yang menjadi sebab datangnya ancaman marabahaya ini."

"Ah, paduka pujaan hamba, harap jangan berduka. Hamba sanggup untuk membantu paduka mencari apa yang menjadi penyebabnya."

Dengan gaya yang amat menarik dan memikat, Mandari mempergunakan semua kecantikan dan kepandaiannya untuk menghibur hati Sang Prabu Erlangga. Harus diakui bahwa Mandari, seperti juga kakaknya, Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama, biarpun ketika diboyong ke Kahuripan masih gadis dan belum pernah berhubungan dengan pria, namun dalam hal memikat hati pria memiliki bakat dan kepandaian istimewa. Semua ini mereka dapatkan dari lingkungan pergaulan di istana Kerajaan Parang siluman.

Sang Prabu Erlangga yang memang sedang terpesona oleh kecantikan Mandari, segera dapat terhibur dan tenggelam dalam lautan madu asmara dengan buih-buih nafsu berahinya yang memabokkan, lupa akan segala.

Betapapun pandai dan kuatnya seorang manusia, tetap saja dia merupakan mahluk lemah yang terkadang menjadi bodoh dan lemah tak berdaya, ringkih dan menjadi permainan dari nafsunya sendiri. Nafsu yang telah diikut sertakan kepada manusia sejak dia lahir, yang semestinya menjadi peserta dan pelayan manusia agar manusia dapat bertahan hidup dan dapat menikmati kehidupan di dunia ini seringkali berubah menjadi majikan yang menyesatkan.

Kita ditungganginya, dipermainkannya, hati akal pikiran kita dikuasainya sehingga kita menuruti segala kehendaknya, kehendak iblis yang bersenjatakan nafsu, kita ditundukkan dengan pancingan-pancingan kesenangan dan kenikmatan duniawi, dengan umpan pancingan yang serba enak-kepenak.

Oleh karena itulah, seorang yang bijaksana akan selalu eling (ingat) dan waspada, ingat setiap saat kepada Sang Hyang Widhi, mohon kekuatan dan bimbinganNya dan waspada terhadap gejolaknya nafsu daya rendah yang selalu siap menerkam dan menguasai kita.


********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Pemuda itu duduk diam bagaikan arca di atas batu karang besar itu. Batu karang yang cukup tinggi sehingga pecahan air laut bergelombang yang membentur karang itu tidak sampai mencapai pemuda itu. Dia memegang sebatang walesan (tangkai pancing), duduk diam tak bergerak sedikitpun, sepasang matanya menatap tali pancing yang sebagian tenggelam dalam air, yang bergoyang-goyang terbawa air berombak, hampir tak pernah berkedip. Perasaannya berpusat pada jari tangan yang memegang tangkai pancing karena dari situlah dia akan dapat mengetahui apabila umpannya disambar ikan.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap, bentuknya gagah dan kokoh seperti Sang gatot kaca. Kedua lengannya tampak berisi kekuatan dahsyat. Wajahnya yang tertutup sebuah caping lebar itu tampan dan gagah. Matanya lebar dan mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya terhias senyum mengejek yang membayangkan keangkuhan. Pakaiannya terbuat dari kain halus, potongannya seperti bangsawan! kain pengikat kepalanya juga baru, dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang khas, ujungnya berdiri meruncing di bagian belakang. Kain pengikat kepala ini tersembunyi di bawah caping lebar yang dipakainya untuk melindungi wajahnya yang tampan halus dari sengatan panas matahari siang itu.

Sudah berjam-jam dia duduk memancing di atas batu karang itu, namun belum sekalipun juga umpan pancingnya disentuh ikan. Alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya mulai tak sabar. Tangan kirinya meraih ujung batu karang dan sekali dia mengerahkan tenaga, ujung batu karang itu sempal (terpotong patah) Kemudian pandang matanya mencari cari ke atas permukaan air yang bergerak-gerak di bawah batu karang. Pandang mata yang tajam itu dapat menangkap berkelebatnya bayang-bayang dalam air dan tiba-tiba tangan kiri yang memegang potongan batu karang sebesar kepalan itu bergerak cepat. Batu karang itu meluncur ke arah air.

"Syuuuuutt ..... cupp .....!!"

Batu karang itu masuk ke air dan tampak air bergerak keras, memercik-mercik ke atas dan seekor ikan meloncat ke atas permukaan air, lalu mengambang dengan perutnya yang putih di atas. Ikan sebesar paha manusia itu mati dengan kepala pecah! Bukan main hebatnya sambitan batu karang itu, dapat mengenai kepala ikan yang berenang di bawah permukaan air dengan tepat dan sekaligus membuat kepala yang keras itu pecah! Wajah tampan itu tersenyum dan tangan kirinya menepuk caping di kepalanya.

"Tolol kau! Datang ke sini bukan untuk mencari ikan, melainkan untuk berlatih kesabaran!"

Siapakah pemuda yang tangkas ini? Dia adalah Lingga Jaya, pemuda putera kepala dusun Suramenggala dusun Karang Tirta yang lima tahun lalu diculik kemudian menjadi murid Resi Bajrasakti dan dibawa ke Kerajaan Wengker. Selama lima tahun, dia telah digembleng oleh gurunya, kini dia telah menguasai berbagai aji kesaktian yang dahsyat.

Resi Bajrasakti senang dan puas hatinya melihat muridnya ini karena pemuda ini benar-benar berbakat baik sehingga dalam waktu lima tahun saja telah mampu menerima semua ajiannya. Hanya sedikit yang dianggapnya masih kurang pada diri Linggajaya, yaitu kesabaran. Karena itu selama beberapa hari dia menyuruh muridnya itu melatih kesabaran dengan memancing ikan di Laut Kidul.

Sejak pagi tadi Linggajaya melatih kesabaran dan memancing, akan tetapi karena sampai siang belum juga ada ikan menyentuh umpan pada pancingnya, ia menjadi kesal dan membunuh seekor ikan besar dengan sambitan batu karang. Akan tetapi dia mencela diri sendiri dan teringat bahwa pekerjaannya memancing ikan hanya merupakan latihan kesabaran dan ketenangan dan dia merasa bahwa latihannya gagal karena dia merasa kesal dan tidak sabar.

Linggajaya lalu membuang tangkai pancingnya ke laut dan dia segera bangkit dan melompat dari batu karang itu ke batu karang yang lain. Dengan tubuh ringan dia berloncatan sampai akhirnya ia tiba di tepi pantai. Kemudian dia berlari cepat menuju ke utara, ke Kerajaan Wengker. Larinya cepat bukan main sehingga yang tampak hanya bayangannya berkelebat.

Inilah merupakan satu di antara aji kesaktian yang sudah dikuasai Linggajaya. Tubuhnya menjadi ringan dan tenaga yang mendorongnya meluncur ke depan amat kuatnya. Di samping aji kanuragan yang membuat pemuda ini menjadi seorang yang digdaya, dia juga mewarisi ilmu-ilmu sihir yang diajarkan gurunya. Bukan hanya kesaktian yang diperolehnya, namun lingkungan hidup di Kerajaan Wengker yang penuh kemaksiatan itupun mempengaruhi watak Linggajaya.

Pada dasarnya, ketika masih menjadi pemuda putera lurah di Karang Tirta, dia sudah merupakan seorang pemuda yang tinggi hati, manja, mengandalkan kedudukan ayahnya sebagai orang "nomor satu" di dusun Karang Tirta dan suka bertindak sewenang-wenang melindas siapa saja yang berani menentangnya. Setelah menjadi murid Resi Bajrasakti dan hidup di Kerajaan Wengker selama lima tahun, tabiatnya tidak berubah bahkan dipengaruhi lingkungan yang lebih bejat lagi!

Akan tetapi, dia kini berubah menjadi seorang pemuda yang ganteng, pesolek, pandai membawa menutupi watak buruknya dengan penampilan yang menyenangkan. Wataknya yang mata keranjang sejak remaja menjadi lebih matang dan dia terkenal sekali di antara para gadis di kota raja Wengker, baik para puteri di lingkungan istana maupun para gadis yang tinggal di luar istana. Dia terkenal sebagai seorang pemuda perayu yang membuat banyak gadis tergila-gila.

Resi Bajrasakti sendiri adalah seorang yang suka memperdalam ilmu sesatnya dengan cara yang cabul dan kotor, lihat ulah muridnya, dia tidak menegur, tidak marah, bahkan merasa bangga dan sering memuji Linggajaya sebagai seorang pria yang JANTAN seperti Sang Arjuna. Tentu saja pujian gurunya ini membuat Linggajaya menjadi semakin berkepala besar dan semakin nekat. Bukan saja para gadis yang cantik menarik dirayunya, bahkan dia berani merayu isteri orang yang menarik hatinya. Tidak ada wanita yang tidak jatuh oleh rayuannya karena dia menggunakan aji pameletan yang ampuh! Hanya sayang, Linggajaya menganggap para wanita di Kerajaan Wengker kurang menarik, gerak geriknya kasar sehingga jarang ada wanita yang benar-benar menarik perhatiannya.

Di kerajaan tetangga, yaitu Kerajaan parang Siluman yang berada di pantai Laut Kidul, di sanalah tempatnya para Wanita yang cantik jelita dan menarik. Menurut dongeng, daerah itu dahulu menjadi tempat para pangeran dan bangsawan tinggi Mataram bertamasya dan para bangsawan itu banyak yang memadu kasih dengan para wanita daerah itu sehingga keturunan mereka berwajah elok. Prianya ganteng-ganteng, wanitanya cantik-cantik dan berkulit kuning mulus.

Akan tetapi Linggajaya tidak berani bermain gila di daerah Kerajaan Parang siluman yang diperintah oleh Ratu Durgakala yang terkenal cantik jelita. Daerah ini merupakan daerah larangan. Gurunya, Resi Bajrasakti berulang kali memperingatkan agar dia tidak mengganggu para wanita daerah kerajaan kecil itu karena Kerajaan Parang Siluman itu biarpun kecil memiliki banyak orang sakti dan kerajaan itupun menjadi sahabat Kerajaan Wengker dalam menghadapi Mataram atau yang kini disebut Kerajaan Kahuripan.

Pernah pasukan Mataram dahulu menyerang Kerajaan Wengker, namun berkat perlawanan Raja Wengker, yaitu Raja Adhamapanuda, dibantu oleh pasukan Kerajaan Parang Siluman, maka serangan Mataram yang berkali-kali itu gagal. Sampai sekarang masih berlangsung semacam "perang dingin" antara Kahuripan dengan Wengker dan Parang Siluman.

Ketika Linggajaya tiba di perbatasan antara daerah Parang Siluman dan daerah Wengker, di sebuah dusun, matahari telah condong ke barat, bunyi gamelan menarik perhatiannya dan ia pun memasuki dusun itu, selain untuk melihat ada perayaan apa di dusun Sumber itu, juga karena perutnya terasa lapar dan dia ingin mendapatkan makanan.

Setelah tiba di tempat keramaian, ternyata ada pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun Sumber itu. Putera kepala dusun itu sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis dari daerah Parang Siluman. Linggajaya tersenyum girang. Kebetulan sekali, pikirnya tersedia hidangan yang enak untuknya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun memasuki tempat perayaan itu.

Karena seorang pemuda ganteng yang berpakaian seperti seorang bangsawan, maka lurah Sumber yang bernama Kartodikun itu menyambutnya dengan hormat dan Linggajaya malah mendapat tempat terhormat, di jajaran para tamu yang dihormati, dekat tempat duduk kedua mempelai!

Ketika hidangan disuguhkan, Linggajaya makan sampai kenyang dan setelah makan barulah dia memperhatikan sekitarnya. Baru dia melihat dengan hati terguncang betapa ayu manisnya mempelai wanita itu! Kulitnya yang kuning mulus, wajahnya yang manis, segera menarik hatinya. Di daerah Wengker jarang dia melihat gadis secantik itu!

Dia mengerling ke arah mempelai pria. Seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, ciri khas orang-orang Kerajaan Wengker. Sayang sekali, pikirnya, gadis yang begitu ayu manis, bertubuh mulus menggairahkan, akan menjadi isteri seorang laki-laki yang buruk rupa dan kasar!

Dari tempat duduknya, Linggajaya lalu mengerahkan tenaga batinnya melalui pandang mata yang tertuju kepada mempelai wanita yang sejak tadi menundukkan mukanya itu. Sebentar saja mempelai wanita itu terpaksa mengangkat muka karena ada suatu dorongan yang amat kuat memaksanya untuk mengangkat muka dan menoleh ke kanan.

Pandang mata gadis itu bertemu dengan wajah Linggajaya dan seketika gadis itu terpesona. Di antara para tamu, apa lagi dibandingkan pria yang duduk di sampingnya sebagai calon suaminya, maka Linggajaya tampak seperti Arjuna di antara para raksasa! Linggajaya juga memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sejenak. Linggajaya tersenyum kepada mempelai wanita itu. Gadis itupun tersipu, menundukkan mukanya lagi dengan senyum tersungging di bibirnya yang manis.

Kenyataan ini merupakan tanda yang cukup jelas bagi Linggajaya dan dia pun sudah mengambil keputusan untuk menggunakan kesempatan itu dan bersenang-senang malam ini di rumah Ki Lurah Kartodikun! Ketika para tamu bubar, diapun ikut keluar.

Malam itu, rumah ki lurah masih meriah dengan bunyi gamelan. Tamunya tidak banyak karena yang datang hanya yang siang tadi tak sempat datang dari perayaannya siang tadi. Akan tetapi gamelan masih terus dimainkan, mengiringi suara tiga orang pesinden. Banyak orang yang menonton di luar pagar pekarangan. Akan tetapi, sepasang mempelai tidak tampak di luar.

Mereka sudah lelah mengikuti upacara dan pesta sehari tadi dan kini mereka berdua sudah berada di kamar pengantin yang dijaga beberapa orang di luar pintu kamar untuk melindungi mereka dari gangguan. Tampaknya semua aman saja dan semua orang, sambil tersenyum penuh pengertian, saling berbisik dan mengira bahwa sepasang mempelai tentu sedang berasyik masyuk sendiri.

Akan tetapi, tidak ada seorangpun menduga apa lagi mengetahui, bahwa begitu sepasang mempelai tadi memasuk kamar dan memasang palang pada daun pintu dari dalam, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Ketika putera Lurah dusun Sumber itu selesai memasang palang pintu dan hendak menggandeng tangan isterinya menuju ke pembaringan, tiba-tiba dia melihat halimun atau asap putih turun dari atap memasuki kamar itu.

Sarju, mempelai pria yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu adalah seorang pemuda Wengker yang rata-rata memiliki kegagahan dan keberanian. Dia pun tidak asing dengan keanehan yang terjadi sebagai hasil Ilmu sihir, maka tahulah dia bahwa ada sesuatu yang tidak beres memasuki kamarnya. Mungkin sebangsa siluman atau orang yang mempergunakan ilmu setan.

Sementara itu, Sarikem, mempelai wanita yang berusia delapan belas tahun, juga melihat halimun atau asap putih yang turun dari atas itu. Ia menjadi ketakutan dan cepat berlari dan naik ke atas pembaringan, mepet di dinding sambil memandang kearah Sarju yang sudah mencabut kerisnya.

"Setan! Kalau berani, perlihatkan mukamu!" bentak Sarju.

Halimun atau asap putih itu membuyar dan tampaklah seorang pemuda tampan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Sarju, lalu pemuda itu menoleh ke arah Sarikem dan tersenyum. Sarikem melihat dengan mata terbelalak bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda ganteng yang dilihatnya menjadi tamu dalam pesta siang tadi. Pemuda itu adalah Linggajaya yang mempergunakan Aji Panglimunan.

Melihat pemuda ini, Sarju terkejut dan heran karena dia belum pernah melihatnya. Siang tadi dia tidak memperhatikan para tamunya dan tidak melihat Linggajaya.

"Heh! Siapa kamu? Berani mati memasuki kamar tanpa ijin!" bentak Sarju. Suaranya cukup lantang dan hal ini memang dia sengaja untuk menarik perhatian para penjaga di luar kamarnya.

Akan tetapi tanpa dia sadari, Linggajaya telah mengerahkan kekuatan sihirnya sehingga pada saat itu suara Sarju yang dirasakannya lantang itu hanya terdengar lirih saja sehingga tidak mungkin terdengar dari luar kamar.

"Aku adalah Dewa Asmara. Aku lebih berhak atas diri gadis ini daripada engkau!"

Sarju marah sekali dan sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka dia sudah menerjang dengan kerisnya. Dengan pengerahan tenaganya dia menusukkan keris itu ke arah perut Linggajaya. Linggajaya sudah dapat menduga bahwa laki-laki tinggi besar itu hanya mengandalkan tenaga kasar saja dan kerisnya pun bukan pusaka ampuh, maka sambil tersenyum saja membiarkan perutnya ditusuk.

"Singg ....."

Keris itu berdesing dan dengan kuatnya menghujam ke arah perut LinggaJaya. Melihat ini, Sarikem memejamkan matanya karena ngeri membayangkan perut pemuda tampan itu akan mengucurkan darah.

"Tuk-tuk.....!"

Dua kali keris itu menusuk perut, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sarju ketika merasa seolah kerisnya bertemu dengan baja! Dia menjadi penasaran sekali melihat bahwa yang tertusuk robek hanya baju pemuda itu. Maka dia mengerahkan seluruh tenaganya, kini menusuk ke arah dada.

"Wuuuttt ..... krekkk .....!"

Kerisnya patah menjadi dua dan sebelum dia dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Linggajaya menampar ke arah leher Sarju.

"Wuutt ..... plak ......"

Sarju terkulai roboh dan tak dapat bergerak lagi karena tamparan itu membuat dia pingsan Dengan kakinya Linggajaya mendorong tubuh Sarju yang pingsan itu ke kolong pembaringan sehingga tidak tampak. Sarikem yang tadi memejamkan mata  setelah tidak mendengar adanya gerakan lagi, lalu memberanikan diri membuka matanya dengan hati merasa ngeri. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat pemuda ganteng itu berdiri di dekat pembaringan sambil tersenyum kepadanya sedangkan calon suaminya tidak tampak lagi.

Biarpun Sarikem amat kagum dan tertarik kepada pemuda yang ganteng itu, berbeda jauh dari calon suaminya yang hilang, namun karena pemuda itu asing baginya, ia merasa khawatir juga.

Kalau saja ia menjadi hamba manusia. Akan tetapi, kalau sampai nafsu berahi memperhamba manusia, maka seperti nafsu-nafsu lainnya, ia akan menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan jahat dan tidak bersusila. Kalau nafsu berahi memperhambakan manusia maka muncullah perjinaan, pelacuran, bahkan perkosaan!

Linggajaya juga menjadi hamba nafsu berahi sehingga dia melakukan perbuatan yang hina dan keji. Gamelan di ruangan depan rumah Ki Lurah Kartodikun yang semalam suntuk dibunyikan itu akhirnya berhenti setelah fajar menyingsing dan terdengar ayam jantan berkokok menyambut munculnya cahaya lembut yang menandakan bahwa matahari akan segera tersembul di balik bukit.

Sarju yang tadinya rebah pingsan di kolong pembaringan, kini membuka mata dan siuman dari pingsannya, seperti orang baru bangun tidur. Dia merasa bingung karena mendapatkan dirinya rebah di kolong pembaringan. Ketika pandang matanya bertemu dengan keris patah yang menggeletak di sudut kamar, teringatlah dia akan perkelahiannya semalam melawan pemuda asing itu. Dia segera menggulingkan dirinya keluar dari bawah pembaringan lalu bangkit berdiri. Matanya terbelalak dan mukanya merah sekali ketika dia melihat Sarikem tidur pulas berangkulan dengan pemuda yang semalam memasuki kamar itu.

"Jahanam busuk!" bentaknya dan dia melupakan pengalaman semalam betapa dia sama sekali bukan tandingan pemuda yang sakti mandraguna itu. Setelah membentak dengan suara lantang, dia lalu menangkap lengan Linggajaya dan menyeretnya turun dari atas pembaringan!

Sarikem terbangun dari pulasnya oleh gerakan dan suara ini, dan ia membuka matanya, terkejut melihat Sarju menyeret Linggajaya turun dari pembaringan. Ia bangkit duduk dan menjerit karena kaget dan takut.

Linggajaya segera sadar dan dia melihat Sarju sudah mengayun kepalan tangannya untuk memukul mukanya. Linggajaya menggerakkan tangan kanan, miringkan tubuh dan menangkap lengan yang bergerak memukulnya.

Sekali mengerahkan tenaga dan jari-jari tangannya mencengkeram, tulang lengan Sarju menjadi patah-patah. Sarju berteriak mengaduh, akan tetapi kaki Linggajaya menendangnya dan tubuhnya terlempar menabrak pintu kamar. Begitu kuatnya tubuhnya menabrak daun pintu sehingga daun pintu itu jebol dan tubuh Sarju menggelinding keluar.

Empat orang yang bertugas jaga di luar kamar pengantin adalah jagoan-jagoan yang menjadi jagabaya (penjaga keamanan) di dusun Sumber. Tadipun mereka sudah merasa heran mendengar suara Sarju memaki di dalam kamar itu. Kini terdengar suara gedubrakan dan tiba-tiba daun pintu jebol dan tubuh Sarju menggelinding keluar. Tentu saja mereka terkejut sekali.

Mereka cepat melonggokkan kepala ke dalam kamar dan melihat seorang pemuda tampan sedang membereskan pakaian yang tadinya awut-awutan, sedang mempelai wanita mendekam di atas pembaringan sambil menangis ketakutan. Tanpa dikomando lagi empat orang jagoan itu segera berlompatan masuk dalam kamar, mengepung Linggajaya yang membereskan pakaiannya sambil tersenyum dengan sikap tenang sekali.

"Hei, siapakah engkau? Menyerahlah untuk kami tangkap!" bentak seorang diantara mereka yang kumisnya tebal dan panjang melintang.

Linggajaya membereskan kain pengikat kepala sambil tersenyum dan tidak tergesa-gesa, setelah semua pakaiannya beres dan rapi kembali, baru dia berkata "Kalian hendak menangkap aku? Nah tangkaplah kalau kalian bisa!"

Si kumis tebal memerintahkan temannya yang bertubuh gempal pendek, "Suro, tangkap dan belenggu kedua tangannya Kita hadapkan kepada Ki Lurah!"

Suro yang bertubuh pendek gempal dan tampaknya kokoh kuat itu segera maju dan dia sudah membawa segulung tali. Dengan cepat dia menangkap lengan kiri Linggajaya, menelikungnya ke belakang, disatukan dengan lengan kanan lalu mengikat kedua pergelangan tangan pemuda itu dengan kuat. Linggajaya tersenyum geli seolah melihat pertunjukan yang lucu. Setelah kedua lengan itu diikat kuat kuat, si kumis tebal membentak pemuda tampan itu.

"Hayo ikut kami menghadap Ki Lurah!"

Akan tetapi Linggajaya menggerakkan dua tangannya dan tali yang membelenggunya itu putus, kedua lengannya sudah bebas lagi.

"Hemm, kalian anjing-anjing buduk pergilah dan jangan mengganggu aku!" kata Linggajaya.

Empat orang itu terkejut dan marah sekali. Mereka mencabut klewang (golok) yang terselip di pinggang lalu menyerang pemuda itu dari depan, belakang, kanan dan kiri. Akan tetapi Linggajaya dengan gerakan cepat memutar tubuhnya seperti gasing, kedua tangannya bergerak cepat empat kali dan empat orang itu berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali! Linggajaya lalu menghampiri pembaringan, mengelus rambut yang terurai itu dan mencubit dagu Sarikem, lalu berkata, "Manis, aku pergi sekarang."

Sarikem yang kebingungan dan ketakutan, menjerit, "Kakangmas, bawalah aku pergi! Aku ikut.....!"

Akan tetapi Linggajaya sudah melompat ke atas dan menjebol atap yang semalam dia tutup kembali ketika memasuki kamar itu. Mana dia mau perduli kepada Sarikem. Setelah apa yang terjadi semalam nafsunya telah terlampiaskan dan dia tidak mau mengacuhkan lagi gadis itu, tidak mau tahu nasib apa yang akan menimpa dirinya. Tentu saja dia tidak sudi membawa pergi Sarikem yang hanya akan menjadi beban saja baginya Setelah keinginannya tercapai, diapun tidak menginginkan lagi wanita itu!

Dengan mempergunakan kesaktiannya Linggajaya berlari seperti angin cepatnya dan menjelang tengah hari dia sudah sampai di rumah tinggal Resi Bajrasakti yang berupa sebuah gedung yang cukup mewah Resi Bajrasakti merupakan datuk Kerajaan Wengker, menjadi penasihat utama dari Raja Adhamapanuda, yaitu raja Wengker yang berusia empat puluh lima tahun.

Linggajaya disambut oleh empat orang wanita muda yang rata-rata berwajah cantik. Mereka adalah selir-selir Resi Brajasakti dan mereka juga diam-diam mengadakan hubungan gelap dengan Linggajaya, bahkan mereka berempat ini yang menjadi "guru-guru" pemuda itu dalam olah asmara. Tentu saja Resi Bajrasakti tidak mudah dikelabui dan tahu bahwa empat orang selirnya itu bermain gila dengan muridnya. Akan tetapi dasar perangainya sendiri sudah bobrok dia tidak menjadi marah bahkan merasa bangga karena muridnya itu tidak saja mewarisi ilmu-ilmunya, bahkan juga mewarisi wataknya yang mata keranjang dan tidak mau melewatkan wanita cantik begitu saja! Ketika Linggajaya memasuki ruangan dalam, gurunya sedang duduk di situ. Linggajaya cepat memberi hormat kepada gurunya.

"Bapa guru," katanya sebagai salam.

"Hemm, Linggajaya, bagaimana dengan latihanmu? Sudahkah engkau dapat memupuk kesabaranmu? Kesabaran itu penting sekali agar engkau dapat mengendalikan diri, tidak menjadi mata gelap dan lengah karena dipengaruhi perasaan."

"Sudah, bapa. Baru pagi tadi saya berhenti memancing."

"Bagus, sekarang bergantilah pakaian yang pantas. Kita harus menghadap Gusti Adipati."

"Menghadap Gusti Adipati? Ada kepentingan apakah, bapa resi?"

"Ada tugas penting untukmu. Engkau sudah cukup mempelajari semua aji kanuragan dariku. Kepandaian itu harus kau pergunakan untuk mencari kedudukaan dan kemuliaan. Gusti Adipati hendak menyerahkan tugas penting kepadamu. Engkau harus menyanggupinya, dan kalau engkau berhasil dengan tugas mu itu, tentu engkau akan memperoleh kedudukan yang tinggi."

Linggajaya lalu pergi mandi dan berganti pakaian baru. Kemudian bersama gurunya mereka pergi menghadap Adipati Adhamapanuda yang menjadi raja Kerajaan Wengker. Sebagai penasihat raja atau adipati, Resi Bajrasakti dapat masuk sewaktu-waktu ke istana tanpa ada perajurit pengawal yang berani menghalanginya.

Setelah tiba di ruangan depan istana, Resi Bajrasakti memanggil kepala pengawal dan menyuruhnya menghadap dan melaporkan kepada Adipati Adhamapanuda bahwa dia bersama muridnya mohon menghadap. Setelah kepala pengawal pergi ke dalam istana, guru dan murid itu duduk menanti di pendopo itu. Biarpun sudah beberapa kali Linggajaya memasuki istana diajak gurunya, tetap saja kini dia masih mengagumi ruangan istana yang indah dengan prabot ruangan yang serba bagus dan mewah.

Gedung tempat tinggal gurunya yang besar itupun bukan apa-apa dibandingkan dengan istana adipati. Apa lagi rumah orang tuanya di Karang Tirta, walaupun merupakan rumah terbesar dan terindah di dusun itu, namun seolah sebuah gubuk miskin saja dibandingkan istana ini!

Diam-diam timbul keinginan dalam hatinya. Kalau saja dia yang menjadi raja dan memiliki istana ini! Alangkah akan senangnya dan bangganya! Lamunan Linggajaya membuyar ketika kepala pengawal itu muncul dan mengatakan kepada Resi Bajrasakti bahwa sang adipati telah menanti di ruangan samping, di mana sang adipati biasa menerima para pamong praja dan pembantunya.

Ruangan itu luas sekali dan Raja Adhamapanuda sudah duduk di atas kursi kebesarannya dan di depannya telah disediakan kursi untuk Resi Bajrasaki yang menjadi penasihatnya. Setelah memberi hormat, sang resi duduk atas di kursi itu dan Linggajaya duduk bersila menghadap sang adipati atau Raja Wengker itu.

"Ah, kakang resi telah datang bersama muridmu. Siapa nama muridmu ini kakang resi? Aku lupa lagi namanya." kata raja yang bertubuh tinggi besar bermuka brewok dan kedua lengannya berbulu lebat seperti seekor lutung. Suaranya besar parau dan matanya yang lebar itu memandang penuh selidik kepada Linggajaya yang duduk bersila di depannya. Karena gurunya memandang kepadanya, Linggajaya lalu menyembah dan menjawab, "Nama hamba Linggajaya, Gusti."

"Oh ya, sekarang aku ingat. Kakang resi, apakah muridmu ini sudah menguasai semua aji kesaktian yang andika ajarkan kepadanya selama ini?"

"Sudah, Adi Adipati."

"Bagus! Boleh kami mengujinya?"

"Tentu saja, silakan...!"

"Heh, Linggajaya, kami ingin menguji kemampuanmu. Beranikah engkau melawan Limantoko, pengawal pribadi kami?" tanya sang adipati kepada Linggajaya.

Pemuda itu sudah tahu bahwa Limantoko adalah seorang raksasa yang kokoh kuat dan merupakan jagoan istana Wengker. Akan tetapi menurut keterangan gurunya, Limantoko hanyalah seorang kasar yang mengandalkan tenaga kasar saja, jadi bukan merupakan lawan yang terlalu berat baginya. Maka tanpa ragu dia menjawab.

"Hamba sanggup dan berani, gusti adipati."

"Bagus!" kata Adipati Adhamapanuda yang lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Laki-laki ini memang menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar, dua kali tubuh Linggajaya, bahkan lebih tinggi besar dibandingkan tubuh sang adipati dan tubuh Resi Bajrasakti sendiri. Seperti seekor gajah dia menghampiri sang adipati dan memberi hormat dengan sembah.

"Limantoko, kami ingin menguji ketangguhan Linggajaya ini. Lawanlah dia agar kami dapat mengetahui sampai di mana kemampuannya."

"Sendika melaksanakan perintah paduka!" kata Limantoko yang segera bangkit dan menuju ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri dengan kedua kaki terpentang dan tampak kokoh kuat seperi batu karang. Dia menoleh ke arah Linggajaya dan berkata dengan suara lantang, "Marilah, orang muda, kita main-main sebentar."

Linggajaya menyembah kepada sang adipati, lalu bangkit berdiri dan menghampiri raksasa itu.

"Aku telah siap, andika mulailah!"

Limantoko adalah seorang yang benar-benar tangguh karena tenaganya yang besar dan selama ini belum ada orang yang mampu mengimbangi tenaganya. Tentu saja dia gentar menghadapi Resi Bajrasakti karena dia tahu benar bahwa resi itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan tidak dapat dilawan oleh kekuatan tenaganya saja. Tetapi menghadapi orang lain, dia memandang rendah.

Maka, tidak mengherankan kalau diapun memandang rendah kepada Linggajaya, walaupun dia sudah mendengar bahwa pemuda ini murid Resi Bajrasakti selama lima tahun. Dia sendiri melatih diri dengan aji kanuragan sejak muda sampai kini berusia empat puluh tahun. Mana mungkin seorang pemuda yang baru belajar lima tahun saja akan mampu menandinginya?

"Linggajaya jangan membunuhnya," kata Resi Bajrasakti kepada muridnya.

Linggajaya menoleh kepada gurunnya sambil tersenyum. "Baik, bapa."

Pesan Resi Bajrasakti itu membuat Limantoko menjadi merah mukanya dan hatinya merasa panas dan marah. Dia merasa dipandang rendah sekali dengan pesan resi itu kepada muridnya, seolah sudah yakin bahwa pemuda itu pasti akan mengalahkannya! Dengan penuh geram dia mulai menyerang.

"Sambut seranganku!" bentaknya dan tiba-tiba dia membuat gerakan menerkam seperti seekor beruang menangkap kelinci. Kedua lengan yang panjang besar itu bergerak dari kanan kiri dan kedua tangan itu mencengkeram ke arah tubuh Linggajaya, agaknya hendak ditangkapnya tubuh yang baginya kecil itu.

Namun kedua tangannya saling bertemu, mengeluarkan bunyi keras karena tubuh yang hendak ditangkapnya itu tiba-tiba saja lenyap. Dengan ketangkasannya, Linggajaya sudah melompat menghindar kekiri. Demikian cepat gerakannya sehingga raksasa itu tidak melihat dan tahu-tahu kehilangan lawannya.

Akan tetapi sebagai seorang jagoan, Limantoko mendengar gerakan Linggajaya dan cepat dia sudah memutar tubuh ke kanan. Begitu melihat Linggajaya, dia sudah menyerang lagi, kini menggunakan lengannya yang panjang, mengayun tangan kanan untuk menampar ke arah kepala lawan dan tangan kirinya menyusul dengan cengkeraman ke arah pinggang pemuda itu.

Serangan ini cepat dan kuat sekali, tamparan itu seperti palu godam raksasa dan kepala Linggajaya dapat remuk kalau terkena dan cengkeraman itupun tidak kalah dahsyatnya. Namun kembali Linggajaya memperlihatkan kesigapannya. Dia mengelak ke belakang lalu melompat ke kanan.

Setelah serangannya kembali luput, Limantoko menjadi semakin penasaran. Dia menyerang bertubi-tubi, dengan tamparan, pukulan, cengkeraman, bahkan tendangan sehingga angin menderu-deru di ruangan itu. Namun semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong belaka.

Linggajaya memang hendak memamerkan kelincahan tubuhnya di depan sang adipati. Kalau dia mau, hanya dengan elakan-elakannya saja dia akan dapat membuat raksasa itu kehabisan tenaga dan napas karena baginya gerakan manusia gajah itu terlampau lamban. Limantoko menjadi marah, merasa dipermainkan, maka dia berkata, "Orang muda, engkau balaslah kalau mampu!"

Akan tetapi agaknya Linggajaya memang hendak memamerkan kemampuannya kepada Raja Adhamapanuda. Ketika tangan kanan raksasa itu kembali menyambar, mencengkeram ke arah lehernya dia sengaja menangkis dengan tangan kirinya.

"Wuutt ..... tappp .....!"

Lengan kiri Linggajaya dapat dicengkeram, ditangkap oleh tangan raksasa yang besar itu. Linggajaya menggunakan tangan kanan untuk memukul, juga perlahan saja sehingga Limantoko dapat menangkap pula pergelangan tangan kanannya.

Limantoko girang bukan main telah dapat menangkap kedua pergelangan tangan Linggajaya, sama sekali tidak menduga bahwa pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya ditangkap! Kini Limantoko sambil menyeringai gembira mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Linggajaya ke atas, untuk kemudian dibanting walaupun dia tidak akan menggunakan sepenuh tenaganya agar pemuda itu tidak sampai mati.

Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan betapa kedua tangannya tidak kuat mengangkat pemuda itu ke atas! Dia berkali-kali mengerahkan seluruh tenaganya sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh menahan napas, namun tubuh Linggajaya sama sekali tidak dapat diangkatnya. Kedua kaki pemuda itu seolah-olah telah berakar di lantai, bagaikan sebatang pohon yang kuat sekali dan tidak dapat dicabut. Linggajaya sengaja membiarkan dirinya ditangkap hanya untuk memamerkan Aji Selogiri (Batu Gunung) yang membuat tubuhnya seberat batu gunung.

Setelah membiarkan Limantoko berbekah-bekuh beberapa saat lamanya dan raksasa itu mulai menjadi bingung karena, merasa benar-benar tidak kuat mengangkat tubuh yang baginya kecil saja itu. tiba-tiba Linggajaya melepaskan ajiannya dan tubuhnya kini terangkat ke atas Limantoko kembali merasa girang sekali sehingga dia menjadi lengah. Tiba-tiba Linggajaya menggerakkan kedua kakinya menendang ke arah dagu raksasa itu.

"Bresss .....!"

Tubuh Limantoko terjengkang dan pegangannya terlepas.Linggajaya berjungkir balik dan memandang ke arah Limantoko yang jatuh terjengkang sampai terguling-guling!

"Cukup!" kata Adipati Adhamapanuda "Limantoko, bagaimana pendapatmu Apakah Linggajaya ini cukup tangguh?"

Limantoko sudah bangkit dan menyembah. "Sesungguhnya, gusti, pemuda ini tangguh sekali."

Adipati Adhamapanuda tertawa senang "Ha-ha-ha, bagus! Engkau boleh mundur Limantoko."

Limantoko menyembah lalu mengundurkan diri meninggalkan ruangan itu. Resi Bajrasakti tertawa. "Ha-ha-ha, Adi Adipati, sudah hamba katakan berkali-kali bahwa paduka boleh percaya kepada murid hamba ini. Akan tetapi, tugas apakah yang hendak paduka berikan kepada Linggajaya?"

Adipati Adhamapanuda mengangguk angguk lalu berkata dengan suara bernada serius. "Begini, Kakang Resi, dan engkau juga Linggajaya, dengarkan baik baik. Aku mendapat kabar dari Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman bahwa kedua orang puterinya yang cantik jelita itu dipinang oleh Sang Prabu Erlangga dan sekarang bahkan sudah diboyong ke Kahuripan. Lasmini, puterinya yang pertama kini menjadi selir Ki Patih Narotama, sedangkan puterinya yang ke dua Mandari, menjadi selir Sang Prabu Erlangga."

Resi Bajrasakti mengerutkan alisnya yang tebal dan dia menggeleng-geleng kepalanya. "Bukankah dua orang puterinya itu, seperti yang hamba dengar, ikut dan menjadi murid Ki Nagakumala, (kakak ibu) dua orang gadis itu sendiri yang bertapa di Pegunungan Kidul?"

"Benar sekali, kakang resi."

Resi Bajrasakti menepuk pahanya sendiri. "Tak tahu malu! Kenapa orang orang tua itu menyerahkan puteri-puteri mereka kepada Erlangga dan Narotama yang menjadi musuh-musuh besar kita? Apakah kini Parang Siluman sudah hendak bertekuk lutut dan menyerah kepada Kahuripan tanpa berperang?"

"Bukan begitu, kakang resi. Penyerahan dua orang gadis itu malah merupakan siasat yang bagus sekali. Lasmini dan Mandari adalah dua orang gadis cantik jelita yang juga pandai dan telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari uwa dan ibu mereka. Mereka sengaja diberikan karena mereka berdua itu dapat memperoleh kesempatan baik untuk membunuh Erlangga dan Narotama."

"Waahh, itu gagasan yang terlalu muluk! Kita semua mengetahui bahwa Erlangga dan Narotama adalah dua orang yang sakti mandraguna. Hamba kira Ki Nagakumala sendiri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Apa lagi hanya dua orang gadis muridnya!"

"Akan tetapi dua orang gadis itu memiliki kelebihan yang tidak kita milik yaitu kecantikan mereka yang luar biasa. Dengan kecantikan mereka inilah mereka hendak menundukkan Erlangga dan Narotama sehingga mereka mendapatkan kesempatan untuk membunuh raja dan patihnya itu. Menurut surat Ratu Durgamala yang diberikan kepada ku, Mandari telah berkunjung dan puterinya itu menceritakan bahwa ia mulai dapat memikat hati Erlangga sehingga ia menjadi selir terkasih. Dan mereka telah mengatur siasat, kalau membunuh raja dan patihnya yang sakti mandraguna itu tidak berhasil, mereka akan berusaha untuk mengadu domba antara raja dan patihnya itu atau setidaknya akan menimbulkan kekacauan sehingga Kahuripan menjadi lemah. Kalau sudah begitu, Ratu Durgamala minta kepada ku untuk bersama-sama mengerahkan pasukan dan memukul Kahuripan yang sedang kacau dan lemah itu. Bagaimana pendapatmu, kakang resi?"

Kini Resi Bajrasakti mengangguk angguk dan wajahnya berseri. "Bagus, bagus sekali. Tidak hamba kira bahwa Ratu Durgamala yang cantik jelita itu dapat membuat siasat yang demikian hebatnya!"

"Siasat itu diatur oleh Ratu Durgamala, Ki Nagakumala, dan juga Lasmini dan Mandari. Dua orang gadis jelita itu memang hebat, sudah sakti cantik jelita pula sehingga senjata mereka berdua itu lengkap!" kata Adipati Adhamapanuda.

"Hamba kira kita sudah semestinya membantu mereka. Lalu tugas apakah yang akan paduka berikan kepada Linggajaya?"

"Begini, kakang resi dan engkau, Lingajaya. Aku hendak mengirimmu ke kahuripan dan engkau menjadi mata-mata kami. Kalau kami mengirim seorang tokoh Wengker, mungkin akan mudah ketahuan. Akan tetapi engkau adalah orang dari daerah Kahuripan, maka tidak akan ada yang mencurigaimu. Kau hubungilah Lasmini dan Mandari itu dan kau bantu mereka sampai berhasil membunuh raja dan patihnya, atau setidaknya mengadu domba dan membikin kacau. Tugasmu penting sekali, juga berat karena kalau engkau ketahuan, tentu nyawamu terancam. Nah, sanggupkah engkau melaksanakan tugas ini Linggajaya?"

Linggajaya adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ayahnya adalah seorang lurah, seorang pamong praja kerajaan Kahuripan. Biarpun dia tidak memiliki watak setia kepada Kahuripan, namun dia adalah kawula Kahuripan. Kalau dia harus berkorban mengkhianati Kahuripan, dia harus mendapatkan imbalan yang sepadan dan yang amat besar. Maka dia menyembah lalu berkata kepada Adipati Adhamapanuda.

"Ampun, gusti adipati. Tentu saja hamba sanggup melaksanakan tugas berat itu, akan tetapi ada suatu kenyataan yang menjadi penghalang bagi hamba untuk menyanggupinya."

"Hemm, kenyataan yang bagaimana Linggajaya?" Tanya sang adipati sambil mengerutkan alisnya.

"Kenyataannya bahwa hamba ini bukanlah seorang punggawa Kerajaan Wengker, bagaimana hamba dapat melaksanakan tugas yang amat penting dan rahasia ini? Bukankah seyogianya tugas sepenting ini dilakukan oleh seorang punggawa yang berkedudukan tinggi, setidaknya seorang senopati?"

Mendengar ucapan ini, Adipati Adhamapanuda menoleh kepada Resi Bajrasakti dan bertanya, "Bagaimana pendapat andika tentang hal ini, kakang resi?"

Resi Bajrasakti tersenyum. "Hamba sekali-kali bukan membela murid hamba, akan tetapi hamba kira ucapannya itu mengandung kebenaran. Kalau Linggajaya tidak menjadi punggawa berkedudukan dan terpercaya di Kerajaan Wengker, bagaimana kita dapat mengharapkan kesetiaan darinya?"

Adipati Adhamapanuda mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Linggajaya, mulai saat ini kami mengangkat andika menjadi senopati muda dengan julukan Senopati Lingga Wijaya!"

Bukan main girang hati pemuda itu. Akan tetapi dasar dia murka dan juga cerdik, maka dia memberi sembah hormat dan berkata, "Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Akan tetapi karena hamba hendak melaksanakan tugas yang amat penting dan berat, dan mungkin hamba akan menghadapi lawan-lawan yang tanggu, sedangkan hamba tidak memiliki pusaka ampuh, maka hamba akan bersyukur apabila paduka berkenan memberi hamba sebuah pusaka untuk pelindung diri hamba, gusti."

Mendengar ini, Resi Bajrasakti tertawa gembira. "Ha-ha-ha, murid hamba ini orangnya jujur, Adi Adipati. Memang hamba belum memberi pusaka kepadanya, karena kalau hamba berikan pusaka hamba Cambuk Gading, tentu banyak tokoh Kahuripan mengenalnya dan dapat menduga bahwa Linggajaya mempunyai hubungan dengan hamba. Karena itu untuk membesarkan hatinya dan demi tercapainya cita-cita kita, hamba mohon paduka merelakan untuk memberikan Ki Candalamanik kepadanya."

Adipati Adhamapanuda menghela napas panjang. Keris pusaka Ki Candalamanik adalah pusaka keturunan raja-raja Wengker. Akan tetapi untuk menolaknya, dia merasa tidak enak karena pemuda itu memiliki tugas berat.

"Baiklah," katanya sambil mencabut keris bersama warangkanya yang terselip di pinggangnya. "Terimalah Ki Candalamanik ini, kami pinjamkan kepadamu untuk kau pergunakan dalam tugas ini, Senopati Lingga Wijaya."

Linggajaya menerima keris itu dan menyembah sambil menghaturkan terima kasih, lalu menyelipkan keris pusaka itu di ikat pinggangnya. Setelah kembali ke gedung Resi Bajrasakti, Linggajaya berkemas dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pemuda itu meninggalkan kota kerajaan Wengker dan menuju ke dusun Karang Tirta, kembali ke rumah orang tuanya, yaitu Ki Lurah Suramenggala kepala dusun Karang Tirta.

Apa yang diceritakan oleh Adipati Adhamapanuda, raja Wengker itu kepada Linggajaya memang benar. Dia mendapat surat dari Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman tentang siasat yang melakukan kerajaan yang sejak dulu menjadi musuh Mataram dan sekarang memusuhi Kahuripan itu, siasat keji yang dilakukan melalui dua orang puterinya, yaitu Lasmini dan Mandari.

Seperti telah kita ketahui, dengan bujuk rayunya yang amat memikat hati Mandari berhasil membuat Sang Prabu Erlangga menceritakan tentang peringatan Sang Empu Bharada tentang banjir darah yang akan terjadi di Kahuripan dan Sang Prabu Erlangga masih bingung karena tidak tahu apa yang menjadi sebab datangnya ancaman malapetaka itu.

Mandari sendiri kehilangan akal, maka pada suatu hari ia berpamit kepada Sang Prabu Erlangga untuk mengunjungi mbak ayunya, yaitu Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama karena ia merasa rindu. Tentu saja Sang Prabu Erlangga mengijinkannya.

Setelah dua orang kakak beradik itu bertemu, mereka lalu bicara bisik-bisik dalam sebuah kamar tertutup. Ki Patih Narotama juga tentu saja mengijinkan selirnya yang terkasih itu bercengkerama dan melepas kerinduan dengan adiknya sang kini menjadi selir Sang Prabu Erlangga.

"Aduh Mbakayu Lasmini, ketiwasan (celaka) ....." bisik Mandari setelah mereka duduk berdua di atas pembaringan.

"Ehh? Ada apakah, Mandari?" tanya Lasmini khawatir. Kalau adiknya bersikap demikian khawatir, pasti terjadi sesuatu yang amat penting dan hebat.

"Si keparat Empu Bharada itu! Sejak semula, dalam pertemuan pertama matanya sudah memandangku seperti mata kucing, tajam menusuk dan menyelidik. Dan sekarang dia menghadap Sang Prabu Erlangga, memperingatkan sang prabu bahwa akan ada malapetaka menimpa kahuripan, akan ada pertempuran, bunuh membunuh dan banjir darah! Dan Sang Prabu Erlangga menjadi gelisah, mencari apa yang menjadi sebab, kesalahan apa yang dia lakukan sehingga akan timbul malapetaka itu. Bukankah ini gawat sekali?"

"Hemm ....., dan Sang Prabu Erlangga menceritakan semua itu kepadamu Apakah dia amat percaya kepadamu! Mandari?"

"Tentu saja dia amat percaya kepadaku! Engkau tahu, mbakayu Lasmini, Sang Prabu Erlangga amat mengasihi ku. Apa pun permintaanku tentu dituruti. Karena itu, mendengar tentang empu keparat itu, aku menjadi bingung dan gelisah. Aku sengaja minta ijin berkunjung ke sini untuk minta pendapatmu. Kita harus segera bertindak, mbakayu, sebelum empu keparat itu merusak rencana kita."

Lasmini mengangguk. "Memang gawat, Ki Patih Narotama juga sudah terjerat olehku. Dia amat mencintaku. Akan tetapi untuk melangkah selanjutnya dan mencoba membunuhnya, aku tidak berani. Dia sakti mandraguna dan kalau aku gagal membunuhnya, tentu aku akan celaka."

"Akupun tidak berani melakukan pembunuhan terhadap Sang Prabu Erlangga. Dia amat sakti mandraguna. Aku yakin kalau menggunakan jalan kekerasan kita tidak akan berhasil."

"Lalu bagaimana rencanamu?" tanya Lasmini.

"Aku memang mempunyai rencana baik sekali. Akan tetapi aku masih ragu, maka aku datang menemuimu karena siasat ini hanya dapat dilakukan oleh kita berdua." kata Mandari.

"Bagaimana rencana siasatmu itu?"

"Begini, mbakayu. Kita adu domba antara Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Sekarang ada kesempatan baik sekali bagiku. Sang Prabu Erlangga sedang mencari sebab mengapa Kahuripan akan dilanda malapetaka. Nah, aku akan mengatakan bahwa hal ini disebabkan ulah Ki Patih Narotama!"

"Eh? Disebabkan Ki Patih Narotama? Bagaimana ini? Apa maksudmu?" Tanya Lasmini heran.

"Aku akan mengatakan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa sebetulnya dahulu ketika Sang Prabu Erlangga meminang kita, engkau sudah setuju dan bahwa sebetulnya engkau diam-diam mencintai dan mengagumi Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi di tengah perjalanan, Ki Patih Narotama yang berpura-pura mengobatimu, telah menelanjangimu, melihati dan meraba-raba perut dan pusarmu. Akan kukatakan bahwa sampai sekarangpun sebetulnya engkau masih mencinta Sang Prabu Erlangga dan hanya mau menjadi selir Ki Patih Narotama karena terpaksa."

"Hemm, apakah Sang Prabu Erlangga akan percaya?" Tanya Lasmini ragu.

"Kalau aku yang bilang, tanggung dia percaya. Aku akan membujuknya agar dia minta kepada Ki Patih Narotama agar menyerahkan engkau kepadanya. Nah, dia tentu akan tergerak hatinya dan menuruti permintaanku agar engkau diboyong ke istana untuk menjadi selirnya dan berdekatan denganku."

"Akan tetapi, bagaimana kalau Ki Patih Narotama yang setia itu menyerahkan aku kepada Sang Prabu Erlangga dengan suka rela? Bukankah itu berarti bahwa siasat mu itu sia-sia belaka? Apa untungnya? Kau tahu, Ki Patih Narotama adalah seorang laki-laki yang amat menyenangkan dan membahagiakan hatiku. Dia jantan, lembut, pendeknya aku jatuh cinta kepadanya!" Lasmini tersenyum manis dan melanjutkan, "Kalau hasil siasatmu itu hanya memindahkan aku dari tangan Ki Patih Narotama ke tangan Sang Prabu Erlangga, aku tidak mau. Aku sudah terlanjur cinta kepada Ki Patih Narotama!"

"Mbakayu Lasmini! Apa engkau sudah lupa akan tugas kita? Aku sendiri pun sudah menikmati hidup bahagia dengan Sang Prabu Erlangga! Akan tetapi kita tidak boleh melupakan dendam turun-temurun kita terhadap keturunan Mataram, terutama kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!"

"Aku tidak pernah melupakan hal itu, Adi Mandari. Akan tetapi kalau hanya memindahkan aku dari kepatihan ke istana, apa untungnya?"

"Aku belum selesai menceritakan siasatku. Engkau harus membantu. Engkau katakan kepada Ki Patih Narotama bahwa engkau mendengar dariku kalau Sang Prabu Erlangga itu sebetulnya menaksirmu, dan sampai sekarang masih ingin mengambilmu dari tangan Ki Patih Narotama. Pendeknya, bakarlah hatinya agar dia menjadi cemburu. Nah, dengan kecemburuan itu, mungkin dia akan menolak permintaan Sang Prabu Erlangga. Andaikata dia tetap menyerahkanmu maka giliranmu untuk melaporkan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa sesungguhnya Ki Patih Narotama membenci rajanya bahwa kebaikan sikapnya itu hanya pada lahirnya saja, namun di dalam hatinya Ki Patih Narotama penuh iri dan dia akan mengadakan pemberontakan terhadap Sang Prabu Erlangga. Nah, dengan usaha kita berdua ini, mustahil tidak timbul kemarahan dan kebencian dalam hati mereka, saling curiga, saling marah dan membenci sehingga akhirnya terpecah belah."

Lasmini mengangguk-angguk. "Wah, siasatmu ini hebat sekali, adikku. Baiklah, aku akan berusaha agar Ki Patih Narotama marah kepada Sang Prabu Erlangga."

Mandari menghela napas panjang.

"Terus terang saja, usaha kita ini penuh resiko, penuh bahaya. Kita sudah terlanjur mencinta pria yang menjadi suami kita, akan tetapi di samping itu kita berkewajiban untuk mencelakakan mereka atau bahkan membunuh mereka. Akan tetapi, kita tak boleh melupakan bahwa mereka itu sesungguhnya adalah musuh bebuyutan kita!"

"Engkau benar, adikku. Akan tetapi, untuk mencari kesenangan bagi diri kita sendiri, masih ada banyak waktu dan dimana-mana terdapat laki-laki yang tampan dan gagah, yang akan dapat memberi kenikmatan dan kesenangan kepada kita."

"Akan tetapi biarpun kita sudah sepakat untuk mengatur siasat mengadu domba antara raja dan patihnya itu, hatiku masih gelisah memikirkan tentang empu brengsek itu, mbakayu. Dia tetap merupakan ancaman besar bagi kita. Agaknya, entah bagaimana, dia itu sudah dapat mengetahui bahwa kehadiran kita berdua di Kahuripan menyembunyikan niat-niat yang akan merugikan Kahuripan."

"Memang, kita harus bertindak sekarang juga, Mandari. Karena itu, selagi engkau berada di sini, mari kita mengunjungi Ibu Ratu di Parang Siluman. Kita rundingkan tentang Empu Bharada ini dengan Ibu Ratu. Biarlah ia dan Uwa Nagakumala yang mengatur untuk menyingkirkan empu keparat itu. Aku akan minta ijin Ki Patih, dan kita pergi bersama."

Demikianlah, setelah minta ijin kepada Ki Patih Narotama bahwa ia dan adiknya akan pergi berkunjung kepada ibu mereka di Parang Siluman dan Patih Narotama mengijinkannya, Lasmini dan Mandari naik kereta dan berangkat ke Kerajaan Parang Siluman di pantai Laut Kidul. Mereka bertemu dengan Ratu Durgamala yang biarpun usianya sudah empatpuluh tahun akan tetapi masih tampak muda dan cantik jelita, tak ubahnya seperti saudara saja dari kedua orang puterinya itu.

Di sini siasat mereka diatur lebih matang lagi dan karena kebetulan Ki Nagakumala juga berada di situ, maka ibu dan uwa mereka menyanggupi untuk "membereskan" Empu Bharada. Setelah semua siasat diatur rapi, Lasmini dan Mandari kembali ke Kahuripan. Mandari menuju ke istana Raja Erlangga sedangkan Lasmini kembali ke kepatihan.

Ketika Lasmini memasuki gedung kepatihan dan tiba di ruangan dalam, ia melihat suaminya duduk seorang diri sambil membaca Kitab Weda. Lasmini pura-pura tidak melihat dan terus melangkah sambil menundukkan mukanya kearah kamarnya.

Ki Patih Narotama melihat sikap selirnya terkasih ini dan dia menjadi heran. Biasanya Lasmini bersikap penuh hormat, manja dan ramah kepadanya, akan tetapi sekali ini Lasmini seolah olah tidak melihatnya dan memasuki kamar dengan kepala menunduk dan wajahnya yang muram. Maka dia cepat menyimpan kitabnya dan bergegas mengejar ke dalam kamar selirnya, sebuah kamar yang mewah, bersih dan berharum bunga mawar dan melati, bunga kesayangan selirnya. Dia melihat Lasmini duduk di tepi pembaringan dan menundukkan mukanya dengan lesu. Narotama cepat menghampiri selirnya duduk di sisinya dan merangkul leher yang berkulit putih mulus itu. Dicium pelipis Lasmini.

"Yayi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau bermuram durja setelah engkau kembali dari Parang Siluman bersama adikmu yayi Mandari?"

"Duh kakangmas..... bagaimana harus saya katakan? Saya..... saya tidak berani..... saya khawatir akan membuat kakangmas..... bingung dan susah....ahh, sungguh tidak sangka, hidup saya akan menghadapi penderitaan seperti ini....." Lasmini sesenggukan dan ketika Narotama merangkul, ia menyembunyikan mukanya di dada suaminya itu dan air matanya membasahi kulit dada Narotama.

"Tenanglah, yayi Lasmini. Tenangkan hatimu dan katakana saja, apa yang mengganggu pikiranmu itu? Percayalah, aku tidak akan marah, juga tidak akan bingung atau susah. Masih ragukah engkau bahwa aku sungguh mencintamu?"

"Aduh kakangmas..... justru karena itulah, justeru karena saya tahu betapa kakangmas amat mencintaku dan saya juga mencinta kakangmas dengan seluruh jiwa raga, maka hal ini menjadi semakin merisaukan hati saya ....."

Ki Patih Narotama mengangkat muka Lasmini dari dadanya, menciumi muka yang cantik jelita itu dengan penuh kasih sayang lalu berkata lembut, "Hayo ceritakanlah dan jangan membuat hatiku menjadi penasaran, Lasmini."

"Baiklah, kakangmas, akan tetapi sebelumnya saya mohon beribu maaf. Saya mendengar laporan adik saya Mandari..... akan tetapi ia pesan wanti-wanti kepada saya agar saya tidak menceritakannya kepada siapapun juga terutama tidak kepada kakangmas ....."

"Sudahlah, ceritakan saja padaku, kekasihku tersayang!"

"Begini, kakangrnas. Menurut cerita adik saya bahwa..... bahwa Sang Prabu Erlangga sejak dulu..... menaksir diriku dan bahkan sampai sekarangpun masih sering membicarakannya dengan Mandari bahwa beliau..... hendak mengambil saya dari tanganmu, kakangmas..... Ahh, saya..... saya khawatir sekali, kakangmas."

Narotama terkejut dan merasa terpukul hatinya. Dia menatap wajah yang menunduk lesu itu dan bertanya, "Hemmmn benarkah itu, Lasmini?"

"Kakangmas, Mandari adalah adik saya yang sayang dan setia kepada saya, ia tidak akan berani berbohong. Saya percaya sepenuhnya kepadanya. Bagaimana, kakangrnas? Saya..... takut”

Lasmini merangkul Narotama dan menangis lagi. Narotama juga merangkul kekasihnya dan mengelus rambut kepalanya. Dia diam saja dan pikirannya menjadi kacau. Dia memang amat terpikat oleh selirnya ini, terpikat oleh kecantikannya dan terutama oleh sikapnya yang tampaknya begitu mesra dan penuh cinta kepadanya. Mungkinkah dia dapat memisahkan ikatan cintanya dengan Lasmini dan menyerahkannya kepada Sang Prabu Erlangga?

Akan tetapi, dia juga terikat kesetiaannya kepada sang raja. Jangankan baru menyerahkan selir, biarpun menyerahkan nyawanya dia akan rela untuk memenuhi permintaan junjungannya itu. Perasaan hatinya terpecah dua dan berulang-ulang dia menghela napas panjang.

Melihat ini, Lasmini lalu merangkul lagi dan menciumi muka suaminya. "Duh kakangmas, ampunilah saya..... saya telah membuat paduka menjadi gelisah dan berduka ....."

Dengan pengerahan seluruh daya tariknya untuk memikat hati Narotama, Lasmini lalu menghibur dan untuk sementara memang hati Narotama terhibur dan larut dalam kemesraan.

Sementara itu, di istana Sang Prabu Erlangga, Mandari juga segera menjalankan siasatnya. Setelah ia berada berdua dalam kamarnya bersama Sang Prabu Erlangga, dengan muka cemberut ia berkata kepada raja itu.

"Sinuwun, hamba kira sekarang hamba telah menemukan apa yang menjadi sebab sehingga Kahuripan terancam bahaya seperti yang digambarkan oleh Paman Empu Bharada."

Sang Prabu Erlangga tercengang., "Jagad Dewa Bathara! Benarkah itu, yayi? Engkau baru saja pulang dari kepatihan dan dan Parang Siluman, bagaimana bisa mendapatkan sebab yang sedang kucari itu?"

"Justeru di kepatihan hamba menemukan penyebab itu, sinuwun sesembahan hamba."

"Aneh sekali engkau ini, Mandari. Penyebab malapetaka yang diramalkan itu berada di kepatihan? Bagaimana itu? Apa yang kau maksudkan?"

"Begini sesungguhnya, sinuwun. Akan tetapi sebelum hamba menceritakan! hamba mohon beribu ampun apabila cerita hamba ini mendatangkan perasaan tidak senang dalam hati paduka."

Sang Prabu Erlangga tersenyum. "Ceritakanlah dan jangan khawatir, aku tidak akan marah kepadamu kalau engkau menceritakan keadaan yang sebenarnya."

"Begini, sinuwun. Hal ini mengenai diri Mbakayu Lasmini dan Ki Patih Narotama." Mandari berhenti lagi seolah merasa ragu dan takut untuk melanjutkan.

"Eh? Ada apa dengan Lasmini dan Kakang Narotama?"

"Terus terang saja, ketika dahulu paduka meminang Mbakayu Lasmini dan hamba melalui Ki Patih, Mbakayu Lasmini menyambut dengan penuh suka cita dan serta merta menerima pinangan paduka karena memang sejak remaja Mbakayu Lasmini sudah mengagumi dan memuja-muja nama paduka. Mbakayu Lasmini ingin sekali mengabdi dan menghambakan diri kepada paduka. Hal ini ia ceritakan kepada hamba ketika hamba berdua berangkat dengan kereta menuju Kahuripan. Akan tetapi di tengah perjalanan, ketika Mbakayu Lasmini menderita sakit perut, Ki Patih Narotama menggunakan alasan mengobati telah menelanjangi dan meraba perut dan pusar Mbakayu Lasmini ....." Mandari berhenti lagi.

"Hemm, kalau ia memang mengharapkan menjadi selirku, kenapa ia menolakku dan memilih menjadi selir Kakang Patih Narotama?"

"Itulah, sinuwun. Mbakayu Lasmini merasa bahwa ia akan menanggung aib kalau tidak bersuamikan Ki Patih, karena pria itu telah melihat dan meraba perut dan pusarnya. Ketika hamba bertemu dengannya, ia mengaku bahwa sampai sekarang ia masih mencinta, mengagumi dan memuja paduka dan bahwa hidupnya sebagai selir Ki Patih Narotama tidak membahagiakan hatinya. Agaknya dahulu itu Ki Patih Narotama sengaja menelanjanginya dengan pamrih agar kakak hamba itu tidak mau diperisteri paduka karena malu. Ah, sinuwun, hamba mohon tolonglah Mbakayu Lasmini. Biarkanlah menjadi selir paduka dan hidup berbahagia di sini bersama hamba. Hamba yakin bahwa Mbakayu Lasmini akan menambah kebahagiaan paduka, sinuwun."

Sang Prabu Erlangga adalah seorang yang sakti mandraguna dan juga bijaksana, akan tetapi sesuai dengan kenyataan bahwa tidak ada manusia yang sempurna tanpa cacat, diapun hanyalah seorang manusia. Tiada yang sempurna di alam maya pada ini kecuali Sang Hyang Widhi Wasa, Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna...


BERSAMBUNG KE JILID 07