Si Tangan Sakti Bagian 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI TANGAN SAKTI BAGIAN 18

SUMUR pertama yang pernah menjadi tempat tahanan kakek Ciu Lam Hok yang berada di tempat itu juga, tidak terlalu jauh dari situ, telah ditutup dengan batu-batu sehingga tidak nampak lagi lubangnya. Sumur ke dua ini lebih besar, juga amat dalam karena kalau dijenguk dari atas, tidak nampak dasarnya, hanya gelap menghitam.

Sebetulnya, tanpa tambang sekali pun Yo Han akan mampu menuruni sumur itu dengan merayap, akan tetapi lebih mudah menggunakan tali. Juga untuk naik kembali, akan jauh lebih mudah kalau ada talinya.

Hampir seratus orang anggota Thian-li-pang sudah berkumpul di tempat itu, mengelilingi sumur tua, wajah mereka tegang. Seorang di antara mereka menyerahkan segulungan tali yang kuat dan panjang kepada Ouw Seng Bu.

"Taihiap, apakah tali ini memenuhi syarat?" tanya Seng Bu sambil memperlihatkan tali itu kepada Yo Han.

Yo Han menerima gulungan tali, kemudian melepas ujungnya ke dalam sumur setelah ujung itu diikatkan kepada sebongkah batu. Ternyata sumur itu dalam sekali dan sampai lama barulah batu di ujung tali tiba pada dasar sumur.

Tali itu memang cukup panjang dan kuat. Setelah batu tiba pada dasar sumur dan tali mengendur, masih ada sisa tiga empat meter. Yo Han lalu melibatkan sisa tali itu pada sebatang pohon dekat sumur, lalu menyerahkan ujungnya kepada Seng Bu.

"Jaga dan pegangi ujung tali ini, aku akan segera turun ke bawah. Kalau aku sudah memberi tanda tarikan tiga kali pada tali, maka kau boleh tarik aku keluar."

"Baik, Yo Taihiap. Harap Taihiap berhati-hati, siapa tahu di bawah sana ada bahaya mengintai," kata Seng Bu.

"Jangan khawatir, aku sudah siap menghadapi apa saja," kata Yo Han.

Setelah berkata demikian, Yo Han menuruni sumur melalui tali yang ujungnya dipegang oleh Seng Bu. Bagaikan seekor monyet saja, dengan cekatan dia menuruni tali itu, waspada memperhatikan ke bawah karena dia maklum bahwa seperti yang dikatakan Ouw Seng Bu tadi, mungkin di bawah sana mengintai bahaya yang bisa mengancam keselamatannya. Sama sekali Yo Han tidak pernah mengira bahwa bahaya mengintai dari atas, bukan dari bawah!

Tadi dia telah menduga bahwa sumur itu menyerong, yaitu ketika dia mengulur tali yang ujungnya digantungi batu. Batu itu tadi menyentuh dinding sumur dan menggelinding ke bawah, tidak lagi tergantung bebas. Itu berarti bahwa sumur itu menyerong, tidak lurus ke bawah. Kini ternyata memang benar.

Tubuhnya menyentuh dinding sumur yang kasar dan dia merayap terus. Dan nampaklah sinar dari samping, yang tidak nampak dari atas karena letaknya yang menyerong itu. Begitu kakinya menyentuh lantai batu, dia pun melihat lima sosok mayat yang sudah tinggal tulang dibungkus pakaian yang robek-robek. Lima orang!

Dia teringat akan keterangan Ouw Seng Bu yang menceritakan bahwa yang dibawa masuk ke dalam sumur oleh bayangan hitam adalah Lauw Kang Hui, Su Kian, Thio Cu, Lauw Kin dan Lu Sek. Lima orang tokoh Thian-li-pang itu benar-benar sudah tewas di dasar sumur! Akan tetapi Yo Han melihat satu keanehan. Kedudukan lima sosok mayat itu bertumpuk, nampaknya seperti dilemparkan dari atas!

Dia menghampiri mayat-mayat itu. Sudah tak dapat dikenal lagi, apa lagi diselidiki sebab kematian mereka. Juga tempat itu hanya remang-remang saja, terlalu gelap untuk dapat memeriksa dengan teliti. Dia harus memeriksa ke dalam sana. Mungkin si pembunuh itu masih berada di dasar sumur yang ternyata dasarnya merupakan terowongan berbatu-batu.

Dia pun melepaskan tali yang tadi masih dipegangnya, lalu berindap-indap memasuki lorong penuh batu-batu besar itu. Kalau benar ada orangnya, mungkin bersembunyi di balik batu besar. Dia sudah siap kalau-kalau ada serangan gelap dari dalam.

Tidak ada penyerangan, tidak ada gerakan apa pun dari dalam. Akan tetapi mendadak terdengar suara bersiutan dari atas. Yo Han terkejut melihat tali yang dipakai turun tadi kini menyambar turun seperti seekor ular yang panjang sekali! Tali itu dilepas dari atas!

Sejenak dia tertegun karena heran dan kaget, akan tetapi cepat dia menarik tali itu karena dalam sekejap mata dia yakin bahwa tali itu akan ada gunanya baginya. Dia masih belum dapat menduga mengapa Ouw Seng Bu melepaskan tali itu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa dari atas yang bergema ke bawah dan dia terkejut. Itulah suara Ouw Seng Bu. Dia tahu bahwa orang yang bisa melepas suara tawa mengandung khikang amat kuat seperti itu tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Suara tawa itu disusul sorak-sorai dan tiba-tiba saja terjadi hujan batu dari atas sumur!

Yo Han melompat lebih dalam lagi dan cepat dia mendorong sebuah batu besar sekali ke depan terowongan sehingga hujan batu itu tidak sampai menggelundung ke dalam terowongan, melainkan tertahan oleh batu besar dan terus bertumpuk menutupi lubang sumur!

Kini mengertilah dia. Ouw Seng Bu dan para anggota Thian-li-pang telah berkhianat dan dia telah tertipu. Ouw Seng Bu berhasil memancingnya memasuki sumur dan sumur itu lalu ditimbuni batu.

Yo Han pada dasarnya adalah seorang yang mempunyai iman yang kokoh kuat kepada Tuhan, karena itu dia tidak menjadi gugup. Mati hidupnya sudah dia serahkan kepada kekuasaan Tuhan. Ia akan berusaha sekuatnya mempertahankan hidupnya, akan tetapi berhasil atau gagalnya dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dia tahu bahwa tidak mungkin dapat keluar melalui sumur yang sudah tertutup banyak batu itu. Dia tidak mati tertimpa batu karena batu besar tadi merupakan pengganjal dan penghalang batu-batu kecil memasuki terowongan.

Dia tidak akan mati tertimbun batu. Juga agaknya dia tidak akan mati kehabisan napas karena masih ada saluran udara segar di situ, mungkin masuk melalui celah-celah batu, seperti juga sinar matahari yang dapat masuk ke situ. Dia tidak akan mati kehausan, karena dinding itu basah dan tidak sukar menampung air dengan membuat lekukan pada dinding basah untuk menampung air. Dia akan mati kelaparan? Mungkin, kalau dia tidak dapat keluar dan kalau di tempat itu tidak terdapat benda yang bisa dimakan.

Yo Han menggulung tali dan duduk di atas gulungan tali supaya tidak basah. Dia duduk bersila dan membiarkan hati serta pikirannya tenang. Dia membutuhkan ketenangan. Dalam menghadapi bahaya, ia harus dapat tenang agar akal pikirannya bisa digunakan sebaik-baiknya, dan di dalam ketenangan itu kepasrahannya kepada kekuasaan Tuhan dapat lebih mendalam.

Sementara itu, di atas sumur, Ouw Seng Bu tertawa gembira ketika bersama para anak buah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, menimbun sumur tua itu dengan batu.

"Ha-ha-ha, Yo Han. Rasakan sekarang engkau, mampus di dalam sumur tua, menjadi setan penasaran! Sin-ciang Taihiap, engkau tidak lagi menjadi penghalang bagiku."

Akan tetapi Ouw Beng Bu segera menghentikan tawanya pada saat dia melihat Cu Kim Giok datang berlari-larian. Gadis itu mendengar sorak-sorai anak buah Thian-li-pang, merasa tertarik dan segera datang ke tempat itu. Ia masih sempat melihat anak buah Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sebuah sumur tua. Hal itu membuat ia merasa heran sekali.

"Ouw-pangcu, apakah yang telah terjadi?" tanya gadis itu heran sambil mendekati Seng Bu.

Seng Bu segera memasang wajah yang serius. "Aihhh, hampir saja aku pun celaka menjadi korban kelihaian Yo Han, Nona. Mari kita bicara di dalam dan akan kuceritakan semua."

Kepada anak buahnya dia memesan agar sumur itu ditutup sampai tidak nampak lagi lubangnya. Kemudian dia mengajak Kim Giok kembali ke bangunan induk yang menjadi pusat perkampungan Thian-li-pang.

Setelah mereka duduk berdua di dalam kamar belakang, Kim Giok dengan hati tegang bertanya, "Ceritakan, Pangcu. Apakah yang telah terjadi dan di mana adanya Sin-ciang Taihiap Yo Han?"

Seng Bu menghela napas dan tiba-tiba dia mengeluh. Wajahnya berubah pusat dan napasnya terengah.

"Aduhhh..." Seng Bu memejamkan matanya dan tangan kirinya menekan ke arah dada kanannya.

Tentu saja Kim Giok terkejut bukan main, cepat bangkit dan menghampiri pemuda itu. "Ouw-pangcu, ada apakah? Engkau... terluka...?"

Sambil menekan dada kanan dengan telapak tangannya, wajah Seng Bu menyeringai kesakitan, napasnya sesak, lalu dia menjawab terengah-engah, "Dia memang... lihai... sekali, dan... jahat kejam. Dia... dia tadi tiba-tiba memukulku, di dekat sumur... dan aku nyaris terjungkal, akan tetapi... aku mampu bertahan, aku terus melawan... dibantu oleh saudara-saudaraku... akhirnya kami berhasil... dia terjatuh ke dalam sumur, akan tetapi aku... aku terkena pukulannya..."

"Ahhh!" Kim Giok terbelalak. "Dan kalian... tadi menimbun sumur itu dengan batu? Dia terkubur hidup-hidup... ?" Gadis itu memandang ngeri.

"Aihh, Nona, engkau tidak tahu... dia amat kejam dan lihai... kalau berhasil lolos...kami semua tentu akan dibunuhnya. Lihat, lihatlah bekas tangannya ini..." Seng Bu merobek baju di dadanya.

Mata yang indah itu semakin terbelalak kaget. Dada Seng Bu, di bagian kanan, terdapat bekas telapak tangan dengan lima jarinya, menghitam!

"Ohhhhh...!" Kim Giok menahan teriakannya.

"Ini... pukulan... mautnya... untung aku sudah berjaga diri..., tapi nyeri bukan main... auhhh...!"

Seng Bu terkulai dan dia tentu akan terjatuh dari kursinya kalau saja Kim Giok tidak cepat-cepat merangkulnya. Melihat Seng Bu pingsan, Kim Giok memondongnya dan merebahkannya di atas lantai. Ia mengurut kedua pundak dan tengkuk pemuda itu, dan tidak beberapa lama kemudian Seng Bu membuka mata kembali.

"Aduhhh...!"

"Bagai mana rasanya, Pangcu?"

"Nona, pukulan itu amat beracun, dan hawa beracun itu harus cepat dibersihkan dengan pengerahan sinkang. Maukah... maukah engkau membantuku, Nona? Aku… aku lemah sekali...!"

"Tentu saja, Pangcu. Bagaimana aku dapat membantumu?"

"Tempelkan kedua telapak tanganmu di punggungku, kemudian kerahkan sinkang agar kekuatan kita dapat bersatu mendorong keluar hawa beracun itu."

"Baik, Pangcu."

Melihat Seng Bu berusaha bangkit duduk dengan susah payah, tanpa ragu Kim Giok membantunya duduk bersila. Ia membantu pula Seng Bu membuka bajunya sehingga punggungnya nampak. Ia pun lalu bersila di belakang pemuda itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung itu dan memejamkan mata, mengerahkan sinkang untuk membantu pemuda itu ‘mengusir’ hawa beracun.

Diam-diam Seng Bu menggunakan tangan kiri mengusap dan menekan dada yang ada tanda telapak tangan menghitam. Perlahan-lahan, tanda menghitam itu pun lenyap. Kim Giok yang kurang pengalaman sama sekali tak menyangka bahwa noda hitam itu dibuat oleh Seng Bu sendiri ketika dia menekan dada kanannya tadi. Dengan kepandaiannya yang aneh, pemuda itu dapat membuat kulit dadanya kehitaman seperti terkena pukulan beracun.

Perlahan-lahan pernapasan Seng Bu menjadi normal kembali dan dia pun memutar tubuhnya, memegang kedua tangan gadis itu dan menatapnya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Kim Giok juga menatapnya dan gadis itu menunduk malu.

"Giok-moi (adik Giok), terima kasih... engkau telah menyelamatkan nyawaku..."

Dengan tersipu Kim Giok menarik kedua tangannya, lalu bangkit berdiri dan memutar tubuh membelakangi pemuda itu agar tidak kelihatan bahwa ia merasa malu sekali.

"Ihhhhh, Pangcu..."

"Kim Giok, setelah apa yang engkau lakukan kepadaku tadi, apakah kita masih harus bersungkan-sungkan? Jangan menyebut pangcu kepadaku, sebutan itu terlampau kaku. Giok-moi, aku merasa engkau bukan seperti seorang sahabat baru, melainkan seperti sudah bertahun-tahun kukenal. Jangan menyebutku pangcu, aku akan merasa bahagia kalau engkau menyebut aku koko (kanda)."

"Bu-koko, engkau terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan tadi hanya sekedar membantu engkau mengusir hawa beracun. Apakah sekarang engkau sudah sembuh, sudah sehat kembali?"

"Lihatlah, Giok-moi. Tidak ada bekasnya lagi. Lihatlah!"

Kim Giok membalikkan tubuhnya dan sekilas memandang ke arah dada yang telanjang itu. Dada yang bersih kulitnya, tak lagi nampak tanda telapak tangan menghitam seperti tadi. Dia merasa lega dan girang, akan tetapi juga malu dan dia tersipu, menundukkan muka tidak mau memandang lagi.

"Bu-ko, pakailah pakaianmu. Engkau membuat aku merasa malu."

Seng Bu tertawa. "Ha-ha-ha, setelah kita menjadi sahabat baik seperti ini, perlukah kita merasa sungkan dan malu, Moi-moi? Entah mengapa, aku sudah tidak merasa malu sama sekali terhadap dirimu, seolah-olah kita telah akrab selama bertahun-tahun." Seng Bu membetulkan bajunya yang robek di bagian dada dan dia nampak senang sekali.

Memang hatinya amat gembira. Yo Han, orang yang paling ditakutinya, telah tiada. Dan sekarang dia bisa melihat tanda-tanda bahwa Cu Kim Giok, gadis yang dicintanya, jelas memperlihatkan tanda-tanda suka kepadanya. Setidaknya, gadis ini tadi sudah sangat mengkhawatirkan keadaannya dan tanpa malu-malu suka membantu mengobati dirinya.

Sekarang mereka duduk berhadapan, hanya terhalang oleh meja kecil. Beberapa kali pandang mata mereka bertemu dan dalam pandangan mata itu saja sudah terpancar perasaan hati masing-masing, meski pun terkandang Kim Giok menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

"Giok-moi, kenapa engkau menunduk dan kelihatan malu-malu?"
"Habis, engkau memandangku seperti itu!"
"Seperti apa?" Seng Bu menggoda.
"Pandang matamu membuat aku merasa canggung dan malu, Bu-ko."

Mendadak Seng Bu memegang kedua tangan gadis itu yang berada di atas meja dan menggenggam tangan itu!

"Giok-moi, apakah aku masih perlu menjelaskan lagi apa artinya pandang mataku itu? Aku memandangmu penuh kasih sayang. Aku cinta padamu, Giok-moi."

Kim Giok menundukkan mukanya yang sekarang menjadi merah sekali. "Bagaimana, Giok-moi? Marahkah engkau akan kelancanganku ini?"

Kim Giok menggelengkan kepala, masih tetap menunduk.

"Lalu, kenapa engkau hanya diam saja? Apakah engkau tidak sudi menerima perasaan cintaku?"

Kini gadis itu mengangkat mukanya yang kemerahan. "Bu-ko, aku pun kagum dan suka padamu. Akan tetapi, kita tidak perlu tergesa-gesa membicarakan perasaan kita itu. Kita baru saja berkenalan dan jika kita telah menjadi sahabat baik, itu sudah menyenangkan sekali, bukan?"

Seng Bu seorang yang cerdik. Ia memang benar-benar mencinta Kim Giok sepenuh hatinya. Dia tidak ingin membuat gadis itu tidak senang atau menjadi rikuh. Dia bahkan rela melakukan apa saja untuk gadis yang dicintanya itu.

"Baiklah, Giok-moi. Maafkan aku. Kita memang telah menjadi sahabat baik, dan biarlah urusan antara kita itu kita bicarakan kelak seperti yang kau kehendaki. Aku hanya ingin agar engkau tahu betul bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang tinggal di dalam hatiku."

Lega rasa hati Kim Giok dan dia menjadi semakin suka kepada pemuda yang penuh pengertian itu.

"Terima kasih atas pengertianmu, Bu-ko. Sekarang mari kita bicara mengenai apa yang terjadi tadi. Aku masih merasa amat heran kenapa Sin-ciang Taihiap hendak membunuh dirimu setelah dia juga membunuhi banyak tokoh Thian-li-pang. Aku pernah mendengar namanya yang dipuji-puji oleh para pendekar dari dua keluarga besar pendekar Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir. Mereka menyatakan bahwa Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar yang budiman dan bijaksana. Akan tetapi kenapa di sini dia menjadi begitu kejam dan jahat?"

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. "Aku tidak heran dan sebaiknya engkau juga tidak perlu mengherankan hal itu, Giok-moi. Kedudukan dan kekuasaan sering membuat orang lupa diri! Dia hendak menguasai Thian-li-pang, hendak menonjolkan diri sendiri dan menguasai dunia lewat Thian-li-pang."

"Akan tetapi, aku mendengar bahwa dia telah diangkat menjadi pemimpin Thian-li-pang, hanya kedudukan ketua lalu dia serahkan kepada mendiang Lauw Pangcu. Kenapa dia malah membunuh Lauw Pangcu dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang, dan sekarang hendak membunuhmu pula? Sungguh aku tidak mengerti."

"Giok-moi, agaknya engkau hanya mengerti ekornya tidak mengerti kepalanya. Memang benar dia menjadi pemimpin besar Thian-li-pang seperti dikehendaki oleh para tokoh tua Thian-li-pang. Namun sikapnya tidak sejalan dengan sikap para pimpinan Thian-li-pang. Dia tidak suka Thian-li-pang menggunakan kekerasan menentang pemerintah penjajah, bahkan dia tidak setuju bersama-sama berjuang mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Bahkan mungkin sekali dia hendak membawa Thian-li-pang supaya menjadi antek penjajah. Itulah sebabnya dia membunuhi para pimpinan Thian-li-pang yang mempunyai pendirian tegas-tegas menentang penjajah. Melihat betapa aku yang diangkat menjadi ketua sedang menghimpun tenaga, bekerja sama dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga dengan kelompok pejuang lain, dia menjadi marah. Dengan berpura-pura hendak menyelidiki kematian para pimpinan Thian-li-pang di dekat sumur tua itu, mendadak dia menyerangku dan hendak membunuhku dan melemparku ke sumur tua seperti yang dia lakukan terhadap para pimpinan yang lain. Untung para dewa masih melindungiku dan sebaliknya dia yang terlempar ke dalam sumur tua itu."

"Aihhh," Cu Kim Giok menghela napas panjang. "Ayah dan ibu juga pernah mengatakan bahwa kedudukan memang suka membuat orang menjadi kejam. Kuharap saja engkau tidak ikut-ikutan mabuk kekuasaan, Bu-ko."

"Tak mungkin, Giok-moi. Apa lagi kalau engkau suka membantuku dan selalu berada di sampingku. Sejak Thian-li-pang berdiri, nenek moyangku adalah pejuang-pejuang yang gigih, yang rela mengorbankan nyawa demi membela nusa bangsa. Aku melanjutkan cita-cita mereka, dan aku akan berjuang semata-mata demi membebaskan rakyat dan tanah air kita dari cengkeraman penjajah Mancu, bukan untuk mencari kedudukan atau harta benda. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?"

"Tentu saja aku percaya padamu, Bu-ko. Kalau tidak percaya, tentu aku tidak akan suka membantumu. Dan selanjutnya, langkah apa yang akan kau ambil?"

"Aku akan mengadakan perundingan dengan para pimpinan puncak Pat-kwa-pai serta Pek-lian-kauw, juga kelompok pejuang yang lainnya. Seperti juga pendirian orang-orang sombong, macam Yo Han, masih banyak tokoh dunia kang-ouw yang mengambil jalan sendiri, membeda-bedakan kelompok dan tak mau bekerja sama untuk menghancurkan penjajah. Cara kerja sendiri-sendiri ini, apa lagi kalau disertai persaingan, menimbulkan pertentangan di antara para pejuang sendiri. Hal ini hanya melemahkan perjuangan dan memperkuat kedudukan pemerintah penjajah. Oleh karena itu, kita haruslah berusaha untuk lebih dulu menundukkan para kelompok dan tokoh dunia persilatan. Kalau seluruh dunia kang-ouw sudah dapat bekerja sama, kukira menggulingkan pemerintah penjajah Mancu bukan merupakan hal yang sukar lagi."

Kim Giok yang sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu sangat tertarik dengan gaya bicara dan sikap Seng Bu. Dia mengangguk-angguk dan merasa kagum karena ia menganggap bahwa pendapat pemuda itu tepat. Sedikit banyak, ayah ibunya juga telah menanamkan perasaan cinta tanah air dan bangsa kepadanya, juga telah menceritakan tentang kekuasaan bangsa Mancu yang menjajah bangsanya.

"Pendapatmu itu tepat sekali dan aku akan membantumu, Bu-koko!" katanya penuh semangat. Tentu saja Seng Bu menjadi girang bukan main.

"Terima kasih, Giok-moi. Dengan adanya engkau di sampingku, bintang dan bulan di langit pun akan dapat kuraih!"

Mereka saling pandang dengan senyum mesra dan ketika mereka mendengar suara gaduh kembalinya anak buah Thian-li-pang, mereka pun keluar dari ruangan itu…..

*********

Atas bantuan yang sungguh-sungguh dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu memperoleh kemajuan pesat dalam menyatuan kekuatan. Siangkoan Kok yang sekarang dia angkat menjadi wakil ketua Thian-li-pang, kemudian mendatangi banyak perkumpulan silat dan perguruan-perguruan silat yang terkenal.

Mula-mula dia membujuk mereka untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang berjuang menentang pemerintah Mancu. Kalau ada yang menolak, Siangkoan Kok mengalahkan dan menundukkan para pimpinannya sehingga akhirnya perkumpulan itu menakluk juga karena takut dibasmi. Tentu saja dengan mudah Siangkoan Kok pun mengajak mereka yang dahulunya memang sudah bersekutu dengan Pao-beng-pai agar kini bekerja sama dengan Thian-li-pang akibat Pao-beng-pai telah dihancurkan pasukan pemerintah.

Hanya ada satu dua perkumpulan saja yang memiliki pimpinan yang terlampau kuat bagi Siangkoan Kok. Untuk menalukkan pimpinan perkumpulan yang lihai ini, Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang turun tangan sendiri dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmunya yang aneh akan tetapi juga dahsyat bukan main.

Thian-li-pang menjadi semakin besar dan berpengaruh. Melihat kemajuan yang dicapai kekasihnya, tentu saja Kim Giok merasa gembira dan kagum sekali. Beberapa kali dia menawarkan diri untuk membujuk kedua orang tuanya agar mau membantu perjuangan Thian-li-pang karena kalau ayah ibunya suka membantu, tentu mereka itu akan dapat menarik perhatian para pendekar lainnya. Akan tetapi, Ouw Seng Bu selalu menolak dengan halus.

"Belum tiba saatnya, Giok-moi. Ayah dan ibumu tentu akan merasa heran dan terkejut melihat hubungan kita yang akrab. Hal itu saja sudah membutuhkan pendekatan yang lembut. Apa lagi jika ditambah dengan bujukan supaya mereka membantu perjuangan. Biarlah, nanti kalau Thian-li-pang sudah kuat benar, aku sendiri yang akan menghadap mereka untuk melamarmu, dan kalau kita sudah menjadi suami isteri, dan orang tuamu menjadi mertuaku, tentu dengan sendirinya mereka akan membantu perjuangan kita."

Kim Giok tak membantah lagi. Sikap Seng Bu terhadap dirinya selalu lembut dan sopan, dan pemuda itu memegang janji, tidak pernah lagi bicara tentang cinta mereka seperti yang pernah dijanjikannya. Hal ini membuat ia menjadi semakin kagum dan suka, dan diam-diam ia pun sudah mengambil keputusan untuk memilih pemuda ini sebagai calon suaminya.

Ouw Seng Bu memang cerdik luar biasa. Dia tahu bahwa latihan ilmu Bu-kek Hoat-keng yang ditemukannya di dalam sumur membuat ia berubah dan merasa aneh. Karena itu, setiap kali berlatih ilmu tersebut, dia selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, apa lagi setelah kini Kim Giok berada di Thian-li-pang.

Juga, dia melarang keras anak buahnya untuk melakukan perbuatan yang akan menjadi celaan orang, dan memerintahkan mereka agar bertindak seperti pejuang-pejuang yang gagah. Hal ini bertujuan untuk menjaga nama baik Thian-li-pang dan untuk menarik hati para pendekar agar mau bergabung dengan mereka.

Untuk biaya perkumpulannya, diam-diam, tanpa kekerasaan yang menyolok, mereka masih menguasai semua tempat pelesir mau pun tempat judi. Juga dengan halus tetapi mengandung ancaman maut, mereka bisa memeras para pedagang untuk setiap bulan menyerahkan uang sumbangan kepada Thian-li-pang!

Ada pula anggota yang tugasnya melakukan pencurian di rumah-rumah para hartawan dan bangsawan, akan tetapi mereka yang bertugas mencuri adalah anggota yang ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan tiap kali melakukan pencurian, mereka selalu menutupi muka dengan kain hitam. Juga, mereka dipesan agar sampai mati pun tidak mengakui bahwa mereka adalah orang Thian-li-pang, yaitu kalau mereka sampai tertangkap ketika melakukan pencurian. Pesan ini harus mereka taati, karena Seng Bu mengancam akan menyiksa dan membunuh seluruh keluarga anggota Thian-li-pang yang tidak mentaati pesan itu.

Demikianlah, dengan hasil yang cukup berlimpah, Seng Bu dapat semakin memperkuat Thian-li-pang menjadi perkumpulan yang cukup mewah, walau pun kini tidak ada lagi anggota yang melakukan kejahatan secara berterang.

Sebenarnya, semenjak kecil Ouw Seng Bu memang digembleng untuk menjadi seorang pendekar dan patriot. Sebelum dia secara kebetulan menemukan ilmu di dalam sumur tua dan mempelajarinya, dia adalah seorang murid Thian-li-pang yang baik dan gagah perkasa. Bahkan mendiang Lauw Kang Hui menaruh harapan besar kepada muridnya ini.

Akan tetapi, sejak dia melatih diri dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng secara keliru, terjadi kelainan pada batinnya, seakan-akan dia mendapat gangguan jiwa. Dia menjadi aneh, ganas, kejam, licik dan haus akan kekuasaan dan kemenangan!

Watak aneh ini memang tidak begitu kelihatan, tidak menonjol apabila dia tidak sedang berlatih ilmu itu, akan tetapi telah menjadi watak kedua yang telah tenggelam di dasar hatinya dan sewaktu-waktu dapat muncul secara tidak terduga, walau pun pada lahirnya dia nampak tetap sebagai seorang pendekar yang gagah dan baik.

Pada suatu hari, Thian-li-pang menerima banyak tamu yang memang diundang, yaitu para pimpinan perkumpulan yang sudah menakluk kepada Thian-li-pang, dan ada pula beberapa orang pimpinan perkumpulan yang belum bekerja sama akan tetapi sengaja diundang dalam kesempatan itu untuk dibujuk dan diajak bekerja sama. Tak kurang dari lima puluh orang tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir, sebagian besar dari mereka yang telah mau bekerja sama dengan Thian-li-pang adalah mereka yang terdiri dari golongan hitam.

Dalam pertemuan yang diadakan bagaikan dalam pesta ini, Cu Kim Giok dipersilakan hadir. Tentu saja ia dianggap sebagai seorang tamu kehormatan dan kursinya berada di sebelah kanan kursi ketua Thian-li-pang.

Ouw Seng Bu nampak tampan dan gagah pada hari itu, dengan pakaian yang baru dan wajahnya berseri menyaksikan betapa semua undangan datang hadir. Ini membuktikan bahwa Thian-li-pang mulai dikenal dan ditaati.

Siangkoan Kok yang juga nampak gagah dan berwibawa, duduk di sebelah kirinya, dan kehadiran tokoh besar ketua Pao-beng-pai ini saja sebagai pembantunya, sebagai wakil ketua, sudah menambah kewibawaan Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang. Kabar tentang kelihaian pemuda ini terdengar luas di dunia kang-ouw.

Setelah semua tamu hadir dan disuguhi arak. Siangkoan Kok yang mewakili ketuanya, bangkit berdiri dan mengucapkan selamat datang dengan mengangkat secawan arak, mengajak semua yang hadir minum. Kemudian dia melanjutkan dengan suara lantang.

"Cuwi (Anda sekalian) tentu sudah mengenal saya. Tentu Cuwi merasa heran mengapa saya sebagai bekas ketua Pao-beng-pai yang sudah gagal dan hancur oleh pasukan pemerintah, sekarang bisa menjadi wakil Thian-li-pang. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa Thian-li-pang merupakan satu perkumpulan yang sehaluan dengan Pao-beng-pai, yaitu perkumpulan para pejuang yang hendak merobohkan pemerintah penjajahan, kemudian membebaskan rakyat dan tanah air dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Oleh karena itu, bagi Cuwi yang belum mengadakan perjanjian kerja sama dengan kami, diharapkan saat ini juga menyatakan kesediaan untuk kerja sama itu, untuk membantu perjuangan kami, demi tanah air dan bangsa."

Sambutan tepuk sorak menyatakan setuju dengan ucapan Siangkoan Kok itu. Dan para pemimpin kelompok yang datang sebagai tamu undangan dan belum bersekutu dengan Thian-li-pang, segera menyatakan kesediaan mereka.

Akan tetapi pada saat itu, para penjaga, yaitu murid-murid Thian-li-pang yang berada di luar ruangan pertemuan, melaporkan dengan suara lantang.

"Rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung!"

Semua orang terkejut dan merasa heran, termasuk Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok. Bu-tong-pai termasuk satu di antara partai-partai persilatan yang tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama, yaitu partai-partai seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai yang menganggap diri mereka sebagai partai ‘bersih’ dan yang tidak mau bergaul dengan kelompok lain yang mereka anggap kotor, hitam atau sesat!

Bahkan dahulu Pao-beng-pai juga tidak berhasil menarik golongan itu sebagai kawan seperjuangan. Dan sekarang, rombongan pemimpin Bu-tong-pai itu datang berkunjung?

Dengan tenang Seng Bu dari Siangkoan Kok bangkit menyambut ketika lima orang tosu itu memasuki ruangan dengan sikap mereka yang tenang dan gagah. Mereka terdiri dari lima orang tosu yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, dipimpin oleh Thian Tocu, tosu yang berusia enam puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat.

Tosu ini adalah seorang ketua kuil yang menjadi cabang perguruan Bu-tong-pai di kota Hun-kiang, kurang lebih lima puluh li dari Bukit Naga. Empat orang tosu lainnya adalah adik-adik seperguruannya. Lima orang tosu ini rata-rata memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang telah tinggi tingkatnya. Jika Thian Tocu membawa sebatang tongkat, empat orang sute-nya membawa pedang di punggung mereka. Pakaian mereka sederhana, dengan jubah tosu yang lebar berwarna biru menyelimuti pakaian yang berwarna kuning muda, dan rambut mereka digelung ke atas. Sikap mereka tenang dan lembut.

Siangkoan Kok mengenal Thian Tocu karena tokoh Bu-tong-pai ini pernah berkunjung ketika Pao-beng-pai mengadakan pesta ulang tahun, maka cepat-cepat dia mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Ahh, kiranya Totiang Thian Tocu dan para Totiang tokoh Bu-tong-pai yang kini datang berkunjung." Ia menoleh kepada Seng Bu, dan berkata, "Pangcu, mereka adalah Thian Tocu Totiang dan para tokoh Bu-tong-pai lainnya. Dan Cuwi Totiang (Bapak Pendeta Sekalian), ini adalah Ouw Pangcu, ketua Thian-li-pang kami."

Ouw Seng Bu yang pandai membawa diri segera memberi hormat dan berkata, "Maaf, karena Cuwi Totiang tidak memberi tahu terlebih dahulu akan kunjungan ini, maka kami terlambat menyambut. Silakan Cuwi mengambil tempat duduk."

Lima orang tosu itu tidak mempedulikan Siangkoan Kok, dan sejak tadi mereka semua mengamati Ouw Seng Bu dengan penuh perhatian. Mereka sudah mendengar banyak berita tentang ketua baru Thian-li-pang yang sepak terjangnya mengejutkan.

Kabarnya, ketua itu masih muda akan tetapi mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan menarik bekas ketua Pao-beng-pai yang terkenal sebagai seorang datuk itu menjadi wakilnya. Juga bahwa kini Thian-li-pang sudah menaklukkan hampir semua kelompok dan kekuatan di dunia kang-ouw.

Melihat bahwa ketua itu memang masih muda, bersikap lembut dan sopan, mereka lalu mengangkat kedua tangan depan dada.

"Siancai..." kata Thian Tocu sambil memandang kagum. "Kiranya Ouw-pangcu, ketua Thian-li-pang masih amat muda, akan tetapi telah membuat nama besar. Terima kasih, kami datang hanya untuk melihat bukti dan mengajukan beberapa pertanyaan, bukan untuk bertamu. Kami bahkan tak tahu bahwa pagi ini Thian-li-pang sedang mengadakan pertemuan dengan banyak tokoh kang-ouw."

Tosu itu memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa yang hadir adalah orang-orang kang-ouw dari daerah itu. Sebagian besar di antara mereka ialah golongan hitam. Bahkan ada pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai hadir pula di situ.

Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah dan ramah kembali. "Kalau begitu kehendak Totiang, silakan."

"Begini Ouw Pangcu. Sejak Sin-ciang Taihiap, yaitu Yo Taihiap yang menjadi pemimpin Thian-li-pang dan kemudian kedudukan ketua diserahkan pada pangcu Lauw Kang Hui, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gagah berani dan bijaksana, bahkan berhubungan dekat dengan para pendekar di dunia persilatan. Akan tetapi, tiba-tiba saja kami mendengar bahwa Thian-li-pang mengalami perubahan. Kabarnya, para pemimpinnya terbunuh dan kedudukan ketua dipegang oleh Ouw Pangcu. Yang lebih mengherankan lagi, menurut desas-desus itu, para pimpinan Thian-li-pang yang lama itu dibunuh oleh Yo Taihiap! Kami semua merasa heran dan sama sekali tidak percaya, hanya karena urusan itu merupakan urusan dalam Thian-li-pang, kami terpaksa berdiam diri. Tetapi, melihat sepak terjang Thian-li-pang akhir-akhir ini, terpaksa pinto dan adik-adik seperguruan memberanikan diri lancang berkunjung untuk mengajukan pertanyaan kepada Pangcu."

"To-yu, kalau hendak bertanya, tanya saja. Mengapa berbelit-belit seperti itu?" Tiba-tiba Siangkoan Kok berseru dengan suara lantang karena kakek ini sudah tidak sabar lagi mendengar ucapan tosu Bu-tong-pai itu.

"Benar, Totiang, tanyalah, kami tidak menyembunyikan sesuatu," kata Seng Bu.

"Ouw Pangcu, kami melihat betapa Thian-li-pang sudah mengubah seluruh sikapnya. Thian-li-pang menaklukkan hampir semua perkumpulan dan kelompok para pejuang, mengadakan hubungan dengan semua pihak tanpa pilih bulu. Thian-li-pang menguasai pula semua tempat hiburan, tempat maksiat, dan Thian-li-pang melakukan pemerasan kepada para hartawan. Padahal, semua ini tidak dilakukan ketika Lauw Pangcu masih menjadi ketua. Kenapa setelah para pimpinan Thian-li-pang tewas secara rahasia, tiba-tiba Ouw Pangcu yang menjadi ketua tanpa pengumuman kepada para kenalan, dan Ouw Pangcu mengadakan perubahan yang berlawanan dengan sikap Thian-li-pang dulu? Kami melihat Thian-li-pang telah menyimpang dari jalan benar, maka kami terus terang saja merasa curiga dengan perubahan ini. Yang lebih mengejutkan kami, adanya desas-desus disebarkan oleh orang-orang Thian-li-pang bahwa beberapa hari yang lalu, Ouw Pangcu telah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han di sini! Nah, itulah penasaran yang mendorong kami datang pada pagi ini, untuk minta penjelasan dari para pimpinan Thian-li-pang!"

Siangkoan Kok bangkit berdiri dengan muka berubah merah dan mata melotot. "Tosu Bu-tong-pai, kalian berani mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?!"

Ouw Seng Bu juga bangkit berdiri dan menyabarkannya. "Sudahlah, Paman. Biarkan aku yang menghadapi mereka."

"Tapi, Pangcu. Mereka ini sungguh tidak tahu aturan!"

"Paman Siangkoan Kok, duduklah dan biarkan aku yang menangani urusan ini!" kata pula Seng Bu.

Nada suaranya mengandung sesuatu yang membuat Siangkoan Kok duduk kembali dengan muka cemberut dan mata masih merah ketika dia memandang ke arah lima orang tosu Bu-tong-pai itu. Untuk mendinginkan hatinya, dia pun menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya.

Kini Ouw Seng Bu menghampiri lima orang tosu itu dan berhadapan dengan mereka, sikapnya masih tenang saja. Cu Kim Giok yang sejak tadi hanya menjadi penonton yang berhati tegang, merasa kagum akan sikap kekasihnya itu. Betapa tenang dan lembutnya pemuda yang menjadi ketua Thian-li-pang itu!

"Ngo-wi Totiang (Bapak Pendeta berlima), kami akan menjawab semua pertanyaan dari Totiang tadi. Tadi Totiang Thian Tocu menyinggung mengenai terbunuhnya suhu Lauw Kang Hui dan beberapa orang pimpinan kami. Memang hal itu benar, dan pembunuhnya adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han. Hal ini bisa kami ketahui dari luka yang terdapat pada mayat korban karena pukulan itu hanya dapat dilakukan oleh Yo Han saja. Mengapa dia melakukan semua pembunuhan itu? Mungkin untuk membalaskan sakit hati gurunya, kakek yang menjadi orang hukuman di sini karena menentang pimpinan. Mungkin juga dia hendak menguasai Thian-li-pang dan memusuhi kami yang berlawanan pendapat dan sikap dengan dia. Tentang perubahan yang terjadi di Thian-li-pang semenjak saya dipilih menjadi ketua, itu memang benar. Kami menganggap bahwa perjuangan bukan monopoli golongan pendekar saja, melainkan menjadi tugas setiap orang warga negara untuk menyelamatkan bangsa dari penjajah Mancu. Kami berkeyakinan bahwa tanpa adanya persatuan dari semua pihak, perjuangan akan gagal. Oleh karena itulah, kami sengaja mengadakan hubungan dengan semua pihak yang menentang pemerintah, dan kami akan menundukkan dan memaksa golongan yang menjadi antek penjajah untuk membantu perjuangan kami. Ada pun penguasaan atas semua tempat pelesiran dan meminta sumbangan dari kaum hartawan, memang hal itu kami lakukan karena dari mana kami akan memperoleh biaya? Kalau tempat-tempat maksiat itu dibiarkan tanpa pengontrolan kami, tentu akan menjadi sarang golongan penjahat. Juga, apa salahnya mengajak para hartawan membantu perjuangan dengan menyumbangkan sedikit harta mereka? Bila kebijaksanaan kami mengenai perjuangan bangsa ini tidak cocok dengan keinginan pihak Bu-tong-pai, maaf, hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Selama ini kami sendiri pun belum pernah mencampuri urusan dapur dan kamar Bu-tong-pai."

"Siancai... keterangan Ouw Pangcu masuk di akal sungguh pun belum meyakinkan kami tentang Sin-ciang Taihiap. Lalu bagaimana dengan berita tentang tewasnya Sin-ciang Taihiap Yo Han di tangan Pangcu? Benarkah itu, ataukah hanya berita isapan jempol belaka?"

Cu Kim Giok mengerutkan alisnya. Sikap tosu itu terlalu sombong, pikirnya, dan terlalu memandang rendah kepada Ouw Seng Bu. Akan tetapi sikap ketua Thian-li-pang itu tetap tenang menghadapi ucapan yang nadanya tidak percaya dan meremehkan itu.

"Totiang, Yo Han memang muncul di sini dan dia berusaha untuk membunuhku. Dia datang dan pura-pura hendak menyelidiki kematian suhu dan yang lain-lain. Akan tetapi ketika berada di bagian belakang perkampungan kami, dia lalu menyerangku dan nyaris membunuhku. Masih untung aku dapat mempertahankan diri dan dengan bantuan para anggota Thian-li-pang, kami berhasil membuat dia jatuh terjungkal ke dalam sumur tua dan tewas, walau pun aku sendiri harus menerima pukulan darinya."

"Siancai...! Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar budiman, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin dia dapat dikalahkan demikian mudahnya? Cerita Pangcu itu sukar untuk diterima begitu saja..."

Sepasang mata Seng Bu mencorong dan suaranya terdengar dingin sekali. "Totiang tak percaya pada keteranganku?"

"Bagaimana kami dapat percaya?" kata Thian Tocu. "Jika kami sudah melihat buktinya, barulah kami dapat percaya."

"Totiang adalah seorang tokoh besar dan pemimpin Bu-tong-pai, bagaimana kini dapat bersikap seperti anak kecil begini?" tiba-tiba saja terdengar suara merdu dan lantang. "Akulah yang menjadi saksi akan kebenaran keterangan Ouw Pangcu. Aku pula yang membantu dia mengobati luka di dadanya yang kena pukulan tangan Sin-ciang Taihiap Yo Han!"

Semua orang memandang. Lima orang tosu Bu-tong-pai kini memperhatikan Kim Giok dengan pandang mata penuh selidik. "Siancai, kalau boleh kami mengetahui, siapakah Nona dan apa hubungan Nona dengan Ouw Pangcu?"

"Totiang, Nona ini adalah Nona Cu Kim Giok, puteri dari majikan Lembah Naga Siluman, pendekar Cu Kun Tek. Dia keturunan keluarga Cu, penghuni Lembah Naga Siluman. Apakah Totiang juga meragukan ucapannya dan tidak percaya?" kata Ouw Seng Bu.

Lima orang tosu itu nampak kaget, akan tetapi Thian Tocu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada gadis itu nampak ragu. Seorang gadis cantik manis bermata indah yang usianya paling banyak baru delapan belas tahun! Kalau benar gadis itu puteri keluarga yang amat terkenal itu, bagaimana dapat berada di Thian-li-pang?

"Maafkan kami, Nona. Kami belum pernah melihat Nona, walau pun kami sudah pernah mendengar akan nama besar keluarga Lembah Naga Siluman. Bagaimana kami dapat yakin bahwa Nona adalah puteri majikan Lembah Naga Siluman?"

"Singgg...!!"

Nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan Kim Giok sudah mencabut pedangnya. "Pendeta yang sombong, lihatlah baik-baik, apakah engkau masih meragukan pedangku ini?" bentak Kim Giok.

Pedang Koai-liong Po-kiam nampak berkilat menyilaukan mata dan ketika dicabut tadi, suara berdesingnya mengandung suara seperti harimau mengaum.

Melihat pedang itu, Thian Tocu amat terkejut dan cepat dia memberi hormat. "Koai-liong Po-kiam! Ahhh, maafkan kami, nona Cu. Setelah Nona maju sebagai saksi, kami tidak meragukan kebenarannya. Akan tetapi, yang membuat kami sulit untuk percaya adalah bagaimana mungkin Sin-ciang Taihiap dapat dikalahkah oleh Ouw Pangcu yang murid mendiang Lauw Pangcu? Padahal, Lauw Pangcu sendiri, gurunya, tidak akan mampu menandingi Sin-ciang Taihiap! Bukankah hal ini amat aneh dan sukar dipercaya?"

"Ngo-wi Totiang," kata Ouw Seng Bu, suaranya terdengar dingin dan pandang matanya mencorong, "Apakah seorang murid harus lebih lemah dibandingkan gurunya? Ingatlah, Totiang, orang muda memiliki kesempatan yang jauh lebih banyak untuk memperoleh kemajuan dari pada gurunya yang sudah tua. Kalau Ngo-wi masih belum percaya akan kemampuanku sehingga aku terpilih menjadi ketua Thian-li-pang dan dapat menandingi Yo Han, silakan Totiang berlima maju dan menguji kemampuanku!"

Mendengar tantangan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai saling pandang. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, dan kini mereka berlima ditantang untuk menghadapi seorang pemuda!

"Ha-ha-ha, aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa lima orang kakek Bu-tong-pai yang sombong ini tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus melawan Ouw Pangcu. Ha-ha-ha!" kata Siangkoan Kok sambil tertawa mengejek dan minum araknya.

Itulah ejekan yang amat merendahkan lima orang tosu itu! Mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi ini bukan sekedar bualan kosong belaka. Siangkoan Kok sudah mengenal lima orang tosu itu dan tahu akan tingkat kepandaian mereka berlima. Dia sendiri pun akan mampu menandingi pengeroyokan lima orang tosu itu, walau pun dia belum dapat memastikan bahwa dia akan berada di pihak pemenang.

Kalau lima orang itu tidak disatukan, hanya sebanding dengan tingkatnya. Maka tidak mungkin mereka berlima mampu bertahan sampai tiga puluh jurus menghadapi pemuda ketua Thian-li-pang yang memiliki ilmu kepandaian aneh namun dahsyat itu.

"Siancai! Thian-li-pang sungguh memandang rendah Bu-tong-pai, dan kami ingin sekali membuktikan apakah ketua baru Thian-li-pang memang seorang sakti yang mampu menewaskan Sin-ciang Taihiap. Ouw Pangcu, kami berlima mohon petunjuk!" berkata demikian, Thian Tocu melintangkan tongkatnya di depan dada, sedangkan empat orang sute-nya juga sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka membuat suatu barisan ngo-heng-tin (barisan lima unsur).

Ouw Seng Bu maklum bahwa dia harus memperlihatkan kepandaiannya. Bukan saja untuk menundukkan dan sekedar memberi hajaran kepada lima orang tosu yang sudah memandang rendah kepadanya itu, melainkan juga untuk mendatangkan kesan kepada mereka yang belum mau bekerja sama atau tunduk kepada Thian-li-pang.

Dia tahu bahwa peristiwa ini tentu akan disebar luaskan oleh mereka yang kini hadir, dan sebentar saja dunia kang-ouw akan mendengar betapa ketua Thian-li-pang sudah mengalahkan lima orang tosu tokoh Bu-tong-pai. Dia lalu maju dan menghadapi kelima orang tosu yang sudah memasang barisan di tengah ruangan itu, di tempat yang cukup luas. Semua tamu menonton dengan hati penuh ketegangan.
Si tangan sakti bagian 18

Melihat Ouw Seng Bu menghadapi lima orang tosu itu dengan tangan kosong, padahal lima orang itu memegang senjata dan mereka membentuk suatu barisan, hati Kim Giok menjadi resah.

"Ouw Pangcu, gunakan pedangku ini!" katanya dan dia pun sudah meloncat ke depan, mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada Seng Bu.

Ouw Seng Bu merasa gembira bukan main. Dengan ilmunya yang ajaib, yaitu Bu-kek Hoat-keng, dia tidak gentar menghadapi pengeroyokan lima orang tosu itu walau pun dia tidak memegang senjata. Akan tetapi, sikap gadis itu yang menyerahkan pedangnya kepadanya, membuktikan bahwa Kim Giok benar-benar sangat sayang kepadanya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Dia pun menerima pedang itu.

"Terima kasih, sebetulnya tanpa pedang pun aku tidak gentar menghadapi lima orang tosu yang tinggi hati ini."

"Ouw Pangcu, sambutlah serangan kami ini!" berkata Thian Tocu sambil menggerakkan tongkatnya menyerang.

Seng Bu langsung menyambut dengan pedang Koai-liong Po-kiam dan terdengar suara mengaung menyeramkan karena dia menggerakkan pedang itu dengan mengerahkan sinkang-nya.

Thian Tocu yang mengenal pedang ampuh, menarik kembali tongkatnya dan meloncat ke samping. Dua orang tosu lain sudah menyerang dari kanan kiri, diikuti dua orang lain lagi yang juga telah siap-siap untuk melakukan serangan sambung menyambung. Thian Tocu sendiri yang sudah menyelinap ke arah belakang lawan juga telah bersiap dengan tongkatnya.

Seng Bu maklum bahwa lima orang tosu itu menjadi berbahaya sebab mereka bergerak mengikuti kedudukan bintang Ngo-heng yang perubahannya otomatis dan kadang amat ganas itu. Seng Bu mengerahkan tenaga Bu-kek Hoat-keng dan memutar pedangnya. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata dan suara mengaung-ngaung itu sungguh menggetakkan hati para pengeroyok.

Karena cara Seng Bu bergerak amatlah aneh, seperti kacau balau akan tetapi semua serangan senjata lawan dapat digagalkan, lima orang tosu itu terseret oleh kekacauan gerakannya sehingga kerapian gerakan barisan Ngo-heng-tin itu juga menjadi retak.

Tiba-tiba Seng Bu mengeluarkan teriakan melengking yang begitu nyaring mengerikan, sehingga bukan saja membuat lima orang lawannya terkejut, juga semua orang yang berada di situ tergetar dan merasa ngeri. Teriakan itu bukan seperti suara manusia, mengandung gaung yang aneh, yang seketika membuat lima orang tosu itu bagaikan kehilangan kesadaran. Lalu terdengarlah suara keras lima kali berturut-turut, dan empat batang pedang beserta sebatang tongkat sudah tersambar dan patah-patah oleh sinar pedang Koai-liong Po-kiam!

Lima orang tosu itu berlompatan mundur. Hati mereka kaget bukan main. Dalam waktu belasan jurus saja, senjata mereka telah patah-patah dan ini berarti bahwa mereka telah kalah. Ucapan Siangkoan Kok tadi terbukti!

"Ha-ha-ha, sekawanan tosu sombong ini sekarang baru menyaksikan tingginya langit!" Siangkoan Kok tertawa bergelak, diikuti pula oleh mereka yang memang sudah tunduk kepada Thian-li-pang.

Seng Bu yang tadinya seperti kesetanan, sekarang sudah tenang kembali. Dia pun lalu menghampiri Kim Giok untuk mengembalikan pedang gadis itu.

Gadis itu masih duduk tercengang. Tadi dia melihat betapa pemuda pujaan itu seperti sudah berubah. Gerakannya demikian aneh, seperti bukan orang bersilat, seperti orang gila atau binatang buas mengamuk. Dan suaranya tadi! Juga matanya mencorong aneh dan mengerikan!

Akan tetapi, sekarang dia sudah kembali menjadi seorang pemuda yang tampan serta lembut seperti biasanya, yang mengembalikan pedangnya dengan senyum yang manis sekali. Ia pun menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pemuda itu.

"Terima kasih, Giok-moi," kata Seng Bu dan dia pun kembali menghadapi lima orang tosu yang masih berdiri tertegun.

"Apakah Totiang berlima kini masih penasaran? Masih tidak percaya bahwa aku sudah mengalahkan Yo Han yang hendak membunuhku dan sekarang ia telah tewas di dalam sumur tua?" tanyanya tersenyum, akan tetapi senyumnya dingin dan pandang matanya mengejek dan merendahkan.

Lima orang tosu itu merasa penasaran sekali. Amat sukar bagi mereka untuk menerima kekalahan dari seorang pemuda, padahal mereka tadi maju bersama.

"Ouw Pangcu, senjata kami rusak karena keampuhan pedang Koai-liong Pokiam, akan tetapi kami belum merasa kalah," kata Thian Tocu.

"Lalu Totiang mau apa?" Seng Bu menantang.

"Kita lanjutkan pertandingan dengan tangan kosong agar kalah menang ditentukan oleh kepandaian, bukan oleh keampuhan senjata."

"Baik, kalau Totiang masih penasaran, silakan!" Seng Bu menantang.

"Ha-ha-ha-ha, dasar tosu-tosu tolol, tidak tahu diri!" Siangkoan Kok mencela dari tempat duduknya. "Semua orang tahu belaka bahwa orang-orang Bu-tong-pai mengandalkan ilmu pedangnya. Kalau menggunakan pedang saja kalah, apa lagi bertangan kosong. Mencari penyakit saja, ha-ha-ha, para tosu tolol yang mencari penyakit!" Bekas ketua Pao-beng-pai ini tertawa-tawa.

Mendengar ejekan Siangkoan Kok, lima orang tosu Bu-tong-pai menjadi marah. Mereka sudah memasang kuda-kuda dan Thian Tocu berseru, "Ouw Pangcu, sambut serangan kami!"

Orang-orang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cu Kim Giok, Siangkoan Kok dan beberapa orang di antara tamu, terkejut melihat cara lima orang tosu itu membuka serangan mereka. Thian Tocu berada di depan, empat orang sute-nya menempelkan telapak tangan di punggungnya. Jelas bahwa mereka berlima itu menyatukan tenaga sakti mereka untuk mengalahkan Seng Bu.

Kim Giok terkejut sekali. Gadis ini maklum betapa kuatnya tenaga lima orang tosu yang dipersatukan itu. Bahkan Siangkoan Kok sendiri mengerutkan kening dan memandang khawatir. Akan tetapi Kim Giok menahan teriakannya yang ingin mencegah kekasihnya menyambut serangan itu karena memang sudah terlambat.

Seng Bu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia juga mendorong kedua telapak tangan ke depan untuk menyambut serangan gabungan itu.

"Desss...!!"

Dua pasang telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, lima orang tosu itu terjengkang roboh!

Ilmu yang dikuasai Seng Bu memang hebat dan aneh. Biar pun dipelajarinya secara ngawur dan tidak menurut aturan, namun tidak kehilangan keampuhannya, bahkan lebih aneh lagi dan mengandung racun yang hebat.

Ilmu Bu-kek Hoat-keng yang asli, biar pun dahsyat akan tetapi dapat dikendalikan, dan memang memiliki daya tolak atau mengembalikan kekuatan lawan yang menyerangnya. Akan tetapi, yang dikuasai Seng Bu sudah berubah, tenaga dahsyat itu tidak dapat dikendalikannya dan mengandung racun hebat. Akan tetapi daya tolaknya masih ampuh sehingga ketika lima orang tosu itu menyerangnya dengan tenaga gabungan yang amat dahsyat, tenaga itu membalik dan memukul diri mereka sendiri!

Peristiwa robohnya lima orang tosu ini sangat mengejutkan semua orang, namun amat mengagumkan dan melegakan hati Kim Giok. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terkejut dan kagum bukan main, membuat dia semakin yakin akan kelihaian ketua Thian-li-pang yang masih muda itu.

Lima orang tosu itu bangkit dengan muka pucat. Yang paling parah adalah Thian Tocu yang muntah darah.

Seng Bu memberi hormat dan berkata, "Totiang berlima sudah merasakan sendiri bukti ketanguhan kami. Sebaiknya kalau Totiang membawa Bu-tong-pai agar bekerja sama dengan kami untuk berjuang bersama, dan kalau pun Bu-tong-pai menolak, kami harap tidak lagi mengganggu kami."

"Maafkan kami yang tidak tahu diri, kami mengaku kalah," kata Thian Tocu dan dibantu empat orang sute-nya, dia pun meninggalkan tempat itu diikuti suara tawa Siangkoan Kok…..

**********

Thian Tocu dengan susah payah menuruni Bukit Naga, dibantu empat orang sute-nya yang juga menderita luka guncangan dalam dada. Mereka terpukul oleh tenaga mereka sendiri yang membalik, akan tetapi yang paling parah adalah Thian Tocu karena dia bukan saja terguncang hebat oleh pukulannya yang membalik, juga dia dilanda hawa beracun yang membuat dadanya sesak dan warna kulit dadanya menghitam! Setelah tiba di kaki bukit, Thian Tocu tidak tahan lagi dan roboh pingsan!

Pada saat empat orang tosu dengan bingung merubung suheng mereka dan berusaha menyadarkannya, mereka mendengar suara seorang wanita yang bertanya, "Totiang sekalian, apakah yang terjadi dan kenapa Totiang itu? Ehh, bukankah kalian tosu-tosu dari Bu-tongpai?"

Empat orang tosu itu menengok. Seorang gadis telah berdiri di situ. Gadis yang masih amat muda, belum dua puluh tahun usianya. Cantik jelita dan gagah sekali sikapnya. Pakaiannya berwarna serba merah.

"Aihh, bukankah dia Thian Tocu Totiang dari Bu-tong-pai?" tanya gadis itu lagi dengan nada suara heran. "Kenapa dia?"

Kini dua di antara empat orang tosu itu teringat bahwa gadis ini pernah satu kali singgah di kuil mereka.

"Kiranya Ang-ho Lihiap (Pendekar Wanita Bangau Merah)!" seorang di antara mereka berseru. "Kami berlima baru turun dari bukit, sehabis berkunjung ke Thian-li-pang dan kami dilukai oleh ketuanya."

"Ahhh?!"

Gadis itu adalah Tan Sian Li, Si Bangau Merah. Tentu saja ia merasa heran bukan main mendengar bahwa ketua Thian-li-pang melukai lima orang tosu Bu-tong-pai. Bukankah Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot gagah perkasa? Bahkan Yo Han menjadi pemimpin besar mereka. Kenapa kini ketuanya memukul orang-orang Bu-tong-pai? Jika ia tidak salah ingat, Yo Han pernah bercerita tentang Thian-li-pang dan ketuanya adalah Lauw Kang Hui, seorang kakek yang gagah perkasa.

Tetapi yang lebih penting adalah menolong tosu yang terluka itu. Bu-tong-pai adalah perkumpulan orang gagah, para muridnya pun banyak yang menjadi pendekar. Bahkan ayahnya amat menghormati Bu-tong-pai, maka sudah sepantasnya kalau ia mencoba menolong para tosu itu.

"Biarkan aku memeriksanya, siapa tahu aku akan dapat mengobati dan menyembuhkan dia," katanya.

Melihat sikap gadis muda itu yang tenang dan tegas, empat orang tosu itu mundur dan membiarkan Sian Li melakukan pemeriksaan. Sian Li berjongkok dekat tubuh Thian Tocu yang masih pingsan, lalu memegang pergelangan tangannya, merasakan denyut nadinya. Ia mengerutkan alisnya. Dari denyut nadi itu ia maklum bahwa keadaan tosu itu cukup gawat dan dia menderita luka dalam yang mengandung hawa beracun!

"Coba ceritakan, apa yang terjadi bagaimana dia sampai terluka dalam seperti ini," katanya.

Empat orang tosu itu lalu menceritakan mengenai perkelahian mereka melawan ketua Thian-li-pang, tentang adu tenaga yang mengakibatkan mereka semua terluka.

Sian Li mengerutkan alisnya. "Hemmm, sungguh aneh. Aku harus memeriksa keadaan tubuhnya. Tolong bukakan bajunya, aku ingin memeriksa dadanya."

Seorang tosu membuka baju yang menutupi dada Thian Tocu dan mereka terkejut melihat dada itu kehitaman. Sian Li meraba dada itu dan mengangguk-angguk.

"Dia telah terkena hawa beracun yang aneh sekali. Bagaimana mungkin seorang ketua Thian-li-pang dapat melakukan pukulan sekeji ini?"

"Pemuda itu memang keji, aneh, seperti iblis!"

"Pemuda? Bukankah ketua Thian-lipang sudah tua?"

"Dia masih muda sekali, Lihiap, paling tua baru dua puluh empat tahun."

"Ahhh? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui dan sudah tua?"

"Bukan. Lauw Kang Hui sudah mati, dan dialah ketua baru yang penuh rahasia."

Sian Li merasa heran sekali. "Biarlah kucoba mengobati suheng kalian ini lebih dahulu," katanya.

Gadis murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini lantas mengeluarkan dua batang jarum emas. Dia mengobati Thian Tocu dengan cara menusuk jarum. Tidak sampai setengah jam ia mengobati tosu tua itu, warna hitam di dada pendeta itu lenyap dan tosu Bu-tong-pai itu siuman. Biar pun masih agak lemah, dia telah mampu bangkit.

"Siancai..., kiranya Si Bangau Merah yang telah mengobatiku. Banyak terima kasih atas pertolonganmu, Tan Lihiap," kata Thian Tocu.

"Totiang, apa sih yang telah terjadi di Thian-li-pang? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui, dan bagaimana sekarang tiba-tiba muncul ketua baru yang masih muda dan memiliki ilmu pukulan keji itu? Aku sendiri hendak naik ke sana dan mencari kalau-kalau Han-koko berada di sana."

"Siapakah Han-koko itu, Lihiap?" tanya Thian Tocu.

"Yang kumaksudkan adalah koko Yo Han, Sin-ciang Taihiap. Bukankah dia merupakan pemimpin besar Thian-li-pang?"

Mendengar ini, Thian Tocu menghela napas panjang dan wajahnya berubah muram.

"Siancai..., suatu keanehan terjadi di atas sana, Lihiap." Dia memandang ke atas bukit. "Karena terjadinya perubahan aneh di Thian-li-pang inilah maka kami berlima datang terkunjung untuk melakukan penyelidikan dan meminta keterangan. Akan tetapi, kami dihadapkan kepada kenyataan pahit, bahkan kami sampai terluka."

Tentu saja, Sian Li tertarik sekali. "Ceritakan, Totiang. Apa sih yang terjadi dengan Thian-li-pang?"

"Pada mulanya kami mendengar berita yang meresahkan hati, bahwa para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Lauw Kang Hui serta beberapa orang pembantunya sudah tewas. Kemudian terdengar berita lainnya bahwa Thian-li-pang mempunyai seorang ketua baru dan sejak itu sepak terjang Thian-li-pang menjadi aneh. Mereka menundukkan hampir semua perkumpulan silat dan tokoh kang-ouw di daerah ini, membujuk atau memaksa mereka untuk bekerja sama. Bahkan dengan golongan sesat, bersekutu pula dengan golongan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Sebetulnya, kami dari Bu-tong-pai tidak ingin mencampuri urusan dalam, sampai adanya sebuah berita yang membuat kami merasa penasaran sekali dan memaksa kami untuk datang berkunjung. Berita itu adalah bahwa para pemimpin Thian-li-pang itu dibunuh oleh Sin-ciang Taihiap Yo Han."

"Ahhhh... tidak mungkin...!!" Sian Li berseru, kaget bukan main.

"Kami juga tidak percaya akan berita itu, Lihiap. Kami mengenal siapa adanya Sin-ciang Taihiap. Apa lagi membunuh para pimpinan Thian-li-pang padahal dia pemimpin besar di sana, bahkan para penjahat pun tiada yang dibunuhnya. Dia menundukkan penjahat dan menasehatinya, membujuknya sehingga banyak penjahat kembali ke jalan benar. Akan tetapi, muncul berita lain lagi yang terlalu aneh, yang mendorong kami melakukan penyelidikan, yaitu bahwa baru beberapa hari ini, Sin-ciang Taihiap dibunuh oleh ketua baru Thian-li-pang!"

"Ahhhhh...!!" Kini Sian Li meloncat berdiri dan mukanya berubah pucat sekali, matanya terbelalak. "Aku... aku tidak percaya!"

"Kami juga tidak percaya akan keterangan yang diberikan ketua baru Thian-li-pang itu sehingga terjadi bentrokan antara kami dan dia. Akan tetapi, dia ternyata amat lihai dan memiliki ilmu pukulan yang amat keji. Kami kalah dan pergi dalam keadaan terluka."

"Kalau begitu, aku harus cepat menyelidiki ke sana. Selamat berpisah, Totiang!" Setelah berkata demikian, nampak berkelebat bayangan merah dan Sian Li sudah lenyap dari depan para tosu itu.

Thian Tocu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

"Sungguh berbahaya sekali, tapi mudah-mudahan Tan Lihiap akan mampu menandingi iblis itu," katanya. Mereka berlima merasa prihatin sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.

Dengan hati diliputi kegelisahan mendengar Yo Han dibunuh ketua baru Thian-li-pang yang kabarnya masih muda itu, Sian Li berloncatan dan mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki Bukit Naga.

"Berhenti!" tiba-tiba terdengar seruan.

Dari balik pohon dan semak belukar, berloncatan sepuluh orang anggota Thian-li-pang dan mereka mengepung Sian Li. Ketika melihat bahwa yang datang tanpa diundang dan mereka kepung itu hanya seorang gadis cantik berpakaian serba merah, sepuluh orang anggota Thian-li-pang itu tertegun lalu mereka tertawa-tawa dan kembali menyarungkan golok mereka.

Mereka tentu saja memandang rendah seorang gadis cantik seperti Sian Li. Akan tetapi, biar pun mereka kagum akan kecantikan Sian Li, mereka tidak berani bersikap kurang ajar. Ketua mereka memiliki hubungan luas dengan dunia kang-ouw dan kalau ternyata gadis ini seorang sahabat ketua mereka, maka kekurang ajaran mereka cukup untuk menjadi alasan mereka dihukum berat oleh ketua mereka.

"Nona, siapakah Nona dan ada keperluan apakah mendaki Bukit Naga? Apakah Nona seorang tamu dari Thian-li-pang?"

Karena merasa amat khawatir akan keselamatan Yo Han yang kabarnya sudah dibunuh oleh ketua Thian-li-pang, Sian Li langsung saja bertanya, "Apakah kalian ini anak buah Thian-li-pang?"

"Benar, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang berkunjung?"

"Siapakah nama ketua Thian-li-pang sekarang?" tanya Sian Li.

Orang-orang itu saling pandang. Mereka masih ragu-ragu karena belum tahu, apakah gadis ini teman ataukah lawan.

“Ouw pangcu kami bernama Ouw Seng Bu," berkata pemimpin mereka, seorang yang bertubuh kurus kering dan mukanya kuning.

"Katakan kepada Ouw-pangcu bahwa aku ingin bertemu. Namaku Tan Sian Li."

Mendengar bahwa gadis cantik ini hendak bertemu dengan ketua mereka, orang-orang Thian-li-pang itu tidak berani bersikap lancang. Si kurus kering berkata, "Mari silakan mengikuti kami, Nona. Kami akan melaporkan kepada ketua kami."

Sian Li mengikuti mereka memasuki perkampungan Thian-li-pang dan berhenti di depan gedung induk yang menjadi tempat tinggal ketua Thian-li-pang. Si kurus kering segera masuk untuk melaporkan kepada Ouw Seng Bu.

Pada saat itu, Ouw Seng Bu sedang bercakap-cakap dengan Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok. Siangkoan Kok sedang melaporkan tentang hasil ia menaklukkan partai-partai persilatan dan perkumpulan besar di dunia kang-ouw untuk bekerja sama mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah.

Cu Kim Giok hanya sebagai pendengar saja. Gadis ini makin kagum kepada Ouw Seng Bu dan sekarang tidak lagi memandang rendah kepada Siangkoan Kok atau para tokoh perkumpulan sesat yang telah bergabung dengan Thian-li-pang. Ia menganggap bahwa dalam perjuangan menentang penjajah, memang semua kekuatan harus dipersatukan, seperti yang dikatakan pemuda yang dicintanya itu.

Ia menyadari sepenuhnya bahwa kadang-kadang kekasihnya itu bertindak kejam, tetapi ia lalu menghibur hatinya yang merasa tidak cocok itu, bahwa memang demikianlah perjuangan. Ia menganggap kekasihnya seorang pejuang sejati, seorang pahlawan dan pendekar. Dan sikap Ouw Seng Bu terhadap dirinya demikian baik, sopan, ramah dan penuh perhatian, penuh kasih sayang!

Daun pintu ruangan itu diketuk orang. Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya.

"Masuk!" katanya lantang.

Si kurus kering membuka daun pintu dan masuk, disambut bentakan Ouw Seng Bu. "Ada urusan apa sampai engkau berani mengganggu kami?"

"Maaf, Pangcu. Kami mengadakan penjagaan di lereng dan bertemu dengan seorang gadis berpakaian merah yang menanyakan Pangcu dan minta bertemu dengan Pangcu. Karena itu, kami mengajaknya datang dan sekarang ia menanti di ruangan depan."

"Siapakah namanya dan apa keperluannya?"

"Ia tidak mengatakan keperluannya, hanya ingin bicara dengan Pangcu dan namanya Tan Sian Li..."

"Ahhh, ia Sian Li...!" seru Cu Kim Giok kaget, heran dan juga girang.

"Si Bangau Merah...!" seru pula Siangkoan Kok.

"Kalian sudah mengenalnya?" tanya Ouw Seng Bu dengan heran. "Siapakah gadis itu, Giok-moi?"

"Bu-koko, Tan Sian Li adalah puterinya Paman Tan Sin Hong," jawab Kim Giok. "Kami pernah saling bertemu dalam pesta ulang tahun Paman Suma Ceng Liong."

"Dialah Si Bangau Merah. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih dan ibunya adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir," kata pula Siangkoan Kok.

"Ahhh...!" Ouw Seng Bu terkejut sekali. "Ada keperluan apa ia datang ke sini? Aku tidak mengenalnya." Lalu kepada si kurus kering dia berkata, "Persilakan Nona Tan Sian Li untuk menunggu di ruangan tamu. Aku segera menemuinya di sana."

Setelah si kurus kering pergi, dia lalu menoleh kepada Kim Giok. "Giok-moi, engkau mengenalnya dengan baik. Apa yang harus kulakukan?"

"Terus terang aku agak khawatir, Koko, karena aku pernah mendengar bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han. Jangan-jangan ia datang untuk..."

Wajah Ouw Seng Bu berubah. "Ahh, kalau begitu kita harus membuat persiapan untuk mengatasinya. Ia merupakan ancaman bagi kita."

"Koko, harap engkau jangan mengganggu Sian Li. Kita harus mencari jalan agar ia tidak memusuhi kita, bahkan membujuknya agar membantu perjuangan kita," kata Kim Giok.

"Engkau benar, Giok-moi. Akan tetapi bagaimana kalau ia tidak mau dan malah hendak membalas dendam karena kematian Yo Han?"

"Kalau begitu, kita habisi gadis itu karena membahayakan kita!" kata Siangkoan Kok.

"Aku tidak setuju!" kata Cu Kim Giok tegas, "Aku tidak rela kalau ia dibunuh! Ia masih kerabat dekat orang tuaku. Tidak mungkin aku membiarkan orang membunuhnya!"

"Giok-moi, apakah engkau membiarkan dia membalas dendam atas kematian Yo Han dan menghancurkan Thian-li-pang kita? Apakah engkau rela kalau dia membunuhku? Kalau kita biarkan ia pergi, dan ia mengajak ayahnya dan semua keluarga menyerang, kita akan celaka. Keluarga Suling Emas dan Gurun Pasir merupakan kerabat dekat dan bagaimana kita dapat menanggulangi mereka yang memiliki banyak orang sakti?"

"Tidak, aku tak ingin ia membunuhmu, akan tetapi juga tak ingin engkau membunuhnya. Kita mencari jalan terbaik. Aku akan membujuknya supaya dia mau melihat kenyataan bahwa Yo Han tewas karena ulahnya sendiri dan agar ia tidak memusuhi kita."

"Andai kata usahamu itu gagal?"

"Kalau begitu, terserah, akan tetapi aku tetap melarang dia dibunuh."

"Baiklah, Giok-moi. Kalau dia berkeras kita tangkap dan tawan saja dia sebagai tamu, agar dia melihat sepak terjang kita dalam perjuangan."

Terdengar ketukan pada daun pintu diikuti suara si kurus kering tadi, "Lapor, Pangcu. Nona Tan sudah menanti di ruangan tamu."

"Baik, kami segera datang. Mari, Giok-moi!"

Siangkoan Kok tidak ikut serta. Kalau dia muncul di depan Si Bangau Merah, tentu akan mengejutkan gadis itu dan bisa mendatangkan kesan buruk pula karena mereka pernah bermusuhan dan bertanding.

Sian Li sudah menjadi tidak sabar akibat menanti terlalu lama, maka ketika mendengar langkah orang dari dalam, dia sudah bangkit berdiri. Dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah seorang pemuda tampan bersama seorang gadis yang dikenalnya sebagai Cu Kim Giok! Akan tetapi, ia takut kalau salah lihat dan mungkin saja gadis itu orang lain yang hanya mirip Cu Kim Giok, maka dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian.

"Sian Li...!" Cu Kim Giok yang berseru sambil menghampiri Si Bangau Merah. "Kiranya engkau!"

"Jadi benar engkau Cu Kim Giok? Kim Giok, bagaimana engkau dapat berada di sini?"

"Panjang ceritanya, Sian Li. Perkenalkan lebih dulu, ia ini adalah Ouw Seng Bu, pangcu dari Thian-li-pang. Silakan duduk!"

Sian Li masih keheranan, akan tetapi ia pun duduk berhadapan dengan mereka setelah membalas penghormatan Ouw Seng Bu kepadanya. Dia melihat pangcu yang masih muda itu bersikap sopan dan hormat sekali.

"Sungguh merupakan kehormatan besar menerima kunjunganmu ini, Nona. Bukankah Nona yang berjuluk Si Bangau Merah? Sudah lama kami mengenal nama besar Nona di dunia kang-ouw," kata Ouw Seng Bu.

"Ouw-pangcu, aku datang ke sini untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Kuharap engkau suka menjawab sejujurnya!"

"Sian Li, Ouw-pangcu adalah seorang pendekar gagah, seorang pahlawan bangsa yang sedang berjuang untuk menentang penjajah Mancu. Sudah tentu dia akan menjawab semua dengan sejujurnya," kata Cu Kim Giok.

"Kim Giok, aku berurusan dengan Ouw-pangcu, harap engkau tidak mencampuri," kata Sian Li.

Dia masih ragu dan heran melihat keakraban antara gadis itu dan ketua Thian-li-pang. Memang dia merasa ingin tahu sekali bagaimana Kim Giok dapat berada di situ, akan tetapi dia mengesampingkan keinginan tahu ini karena dia lebih mementingkan jawaban tentang Thian-li-pang, dan terutama tentang Yo Han seperti yang didengarnya dari para tosu Bu-tong-pai.

"Tanyalah, Nona. Saya akan menjawab sejujurnya," kata Ouw Seng Bu.

Sian Li berpikir, biar pun ia ingin sekali segera mendengar tentang Yo Han, akan tetapi ia ingin mengajukan pertanyaan secara teratur.

"Ouw-pangcu, aku mendengar berita bahwa Thian-li-pang sudah menaklukkan banyak partai persilatan dan memaksa para tokoh kang-ouw untuk mau bekerja sama dengan Thian-li-pang, bahkan Thian-li-pang bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Benarkah itu dan mengapa demikian! Setahuku, Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang gagah perkasa dan selalu menentang partai-partai sesat."

Ouw Seng Bu tersenyum. Sebelum pendekar wanita itu mengajukan pertanyaan, dia sudah dapat mengira apa yang akan dipertanyakan, maka dia pun tentu saja sudah siap dengan jawabannya.

"Itulah pertanyaanmu, Nona? Memang kami akui bahwa Thian-li-pang telah mengubah siasat. Kami yakin benar bahwa tanpa adanya persatuan, pengerahan seluruh tenaga yang ada di tanah air, mustahil akan dapat mengenyahkan penjajah Mancu dari tanah air kita. Karena itulah, maka kami memang membujuk, bahkan kalau perlu memaksa, menyadarkan semua pihak untuk mau bekerja sama dalam satu perjuangan menentang penjajah dan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Karena itu, kami tidak berpantang untuk bersekutu dengan pihak mana pun, termasuk dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang kami anggap sebagai rekan-rekan seperjuangan."

"Aku setuju sekali dengan tindakan itu, Sian Li," kata Kim Giok.

"Begitukah, Kim Giok? Sekarang pertanyaan ke dua. Aku juga mendengar bahwa para pimpinan Thian-li-pang, termasuk pangcu Lauw Kang Hui, sudah tewas dibunuh orang. Benarkah itu, dan kalau benar, apa yang terjadi dan siapa pelakunya?" Dengan jantung berdebar namun wajah tetap tenang, sepasang matanya mencorong mengamati wajah ketua Thian-li-pang itu, Sian Li menanti jawaban.

Ouw Seng Bu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Pertanyaan ini sangat menyedihkan hati saya, akan tetapi selalu saja orang menanyakannya. Memang benar, Nona. Suhu Lauw Kang Hui, juga suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan susiok Thio Cu, mereka semua telah terbunuh. Bagaimana terjadinya, kami semua tidak mengetahui jelas. Yang kami tahu adalah bahwa mereka itu tewas dan dari tanda pukulan pada tubuh mereka, jelaslah bahwa pembunuhnya adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han."

"Tidak mungkin!" Sian Li berteriak. "Sin-ciang Taihiap Yo Han adalah seorang pendekar besar, bahkan dia juga tokoh pimpinan dan kehormatan dari Thian-li-pang. Bagaimana mungkin dia membunuh para tokoh Thian-li-pang sendiri?"

"Kami sendiri memang merasa heran dan berduka, Nona. Dahulunya Sin-ciang Taihiap Yo Han merupakan pujaan kami semua, menjadi tokoh kami. Akan tetapi banyak sekali anggota Thian-li-pang yang menyaksikan kematian para tokoh kami itu dan jelas bahwa mereka pun melihat bekas pukulan pada tubuh mereka, pembunuhnya adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han."

"Hemmm, begitukah? Sekarang pertanyaan terakhir. Aku mendengar bahwa engkau, Ouw Seng Bu, sudah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han. Benarkah hal itu?" berkata demikian, Sian Li bangkit berdiri, matanya mencorong dan suaranya terdengar lantang.

Ouw Seng Bu nampak tegang dan gelisah, lehernya basah oleh peluh. "Nona Tan Sian Li, sungguh hal ini amat menyedihkan. Entah apa yang telah terjadi pada diri Sin-ciang Taihiap karena dia sudah berubah sama sekali. Dia datang dan menyerang saya ketika saya berada di dekat sumur keramat di belakang bukit. Saya terkena pukulannya yang ampuh sehingga hampir saja saya tewas. Akan tetapi, para saudara di Thian-li-pang membela saya dan akhirnya Yo Taihiap tergelincir ke dalam sumur tua itu. Karena kami semua takut kepadanya yang seakan-akan sudah berubah menjadi seorang yang kejam dan hendak membunuhi kami, terpaksa kami gunakan batu-batu untuk menutup sumur itu."

"Tidak...! Bohong...! Aku tidak percaya! Kau kira aku tidak mengenal siapa Yo Han? Dia adalah kakak angkatku, suheng-ku, dan orang yang paling kucinta di dunia ini. Aku amat mengenalnya dan tidak mungkin dia melakukan semua itu. Bohong!"

"Maaf, Sian Li," kata Cu Kim Giok. "Terpaksa sekali ini aku turut mencampuri. Aku yang menanggung bahwa keterangan Ouw pangcu tadi benar semua, sebab aku sendiri yang menjadi saksi. Aku yang mengobati luka yang diderita oleh Ouw-pangcu akibat pukulan Yo Han! Dia terluka parah dan hampir saja tewas, bagaimana engkau mengatakan dia berbohong?"

"Aku tidak mengerti kenapa orang seperti engkau dapat berada di sini dan membela ketua Thian-li-pang yang baru ini, Kim Giok, akan tetapi aku tidak peduli. Siapa pun yang mengatakan bahwa Yo Han melakukan itu semua, aku tetap tidak percaya kalau tidak melihat buktinya. Ouw Seng Bu, bawa aku ke tempat sumur itu, di mana tadi kau katakan Yo Han tergelincir masuk!"

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. "Sungguh, ini merupakan masalah yang selalu membuat kami semua sangat berduka, Nona. Akan tetapi kalau itu yang kau kehendaki, marilah!"

Tanpa banyak cakap lagi, Sian Li mengikuti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok keluar dari ruangan tamu itu dan menuju ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang, melalui sebuah bukit kecil. Dia tidak peduli ketika melihat puluhan orang anggota Thian-li-pang mengikuti mereka dari jarak jauh.

Setelah tiba di sumur yang dimaksudkan, Ouw Seng Bu berhenti dan menunjuk ke arah sumur itu. "Di situlah dia tergelincir masuk, Nona."

Mendengar bahwa kekasihnya tergelincir ke dalam sumur tua itu dan sudah ditimbuni oleh batu-batu, Sian Li merasa jantungnya seperti diremas dan kedua kakinya menjadi limbung ketika dengan terhuyung ia menghampiri sumur itu. Ketika ia tiba di tepi sumur dan melongok ke dalam, ingin rasanya dia menjerit melihat betapa seluruh sumur telah tertutup batu. Memang tidak penuh sekali, akan tetapi dasarnya tidak nampak karena tertutup batu-batuan.

Wajah Sian Li menjadi pucat. Matanya mencorong, akan tetapi basah air mata ketika ia membalikkan tubuh. Ia melihat bahwa Seng Bu masih berdiri tegak dan di belakangnya nampak puluhan orang anak buah Thian-li-pang. Kim Giok berdiri di samping Ouw Seng Bu dan kelihatan bingung dan gelisah.

"Ouw Seng Bu, cepat perintahkan anak buahmu untuk menggali sumur ini, mengangkat semua batu yang telah ditimbunkan ke dalamnya!"

"Aih, Nona, bagaimana mungkin? Sumur ini merupakan sumur keramat bagi kami orang Thian-li-pang..."

“Aku tidak peduli! Batu-batu itu tadinya dilemparkan ke dalam sumur oleh orang-orang Thian-li-pang, maka mereka pulalah yang harus mengangkatnya dari dalam sumur. Aku ingin melihat bukti dari keteranganmu tadi. Aku ingin melihat... mayat... Han-koko. Kalau engkau tak mau menuruti permintaanku, berarti engkau membohongi aku, dan aku akan membunuhmu!"

"Sian Li, kuharap engkau jangan bersikap seperti ini. Percayalah, kami tidak berbohong. Lebih baik kita sekarang mengerahkan tenaga kita untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajah, itu lebih mulia dari pada kita saling bentrok sendiri. Tidak ada yang membohongimu, Sian Li. Agaknya telah terjadi sesuatu sehingga Yo Han menjadi berubah..."

"Tutup mulutmu, Kim Giok! Han-koko selamanya tidak berubah. Dia seorang pendekar dan orang gagah sejati. Sedangkan Ouw Seng Bu ini orang macam apa? Kita tidak mengenal dia dengan baik, siapa tahu semua ini hanya akal busuknya saja. Buktinya, dia telah bersekongkol dengan golongan sesat!"

Pada saat itu terdengar seruan keras dan para anggota Thian-li-pang otomatis membuat gerakan mengepung sumur tua itu sehingga dengan sendirinya Sian Li juga berada di dalam kepungan! Dan dari rombongan itu muncullah Siangkoan Kok bersama dua orang berjubah pendeta yang bukan lain adalah Im Yang Ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw.

Ouw Seng Bu kini melangkah maju dengan sikapnya yang gagah. Dengan suara yang dibuat menyesal dia berkata, "Nona, semua ini adalah kesalahanmu sendiri. Engkau tak percaya kepada kami dan hendak membongkar sumur keramat ini, berarti engkau telah menghina Thian-li-pang. Karena kami sedang menghimpun tenaga untuk perjuangan, maka sikapmu yang bermusuhan ini tentu saja akan membahayakan kami, misalnya engkau melapor kepada pemerintah penjajah. Karena itu, menyerahlah, terpaksa kami akan menawanmu."

"Singgg...!” Nampak sinar emas mencorong dan di tangan gadis berpakaian merah itu telah terdapat sebatang suling berselaput emas yang panjangnya seperti pedang.

"Hemmm, dari sikapmu ini saja sudah menunjukkan dengan jelas bahwa engkau sudah berbohong! Aku yakin bahwa engkau memutar balik kenyataan. Han-koko belum tewas, atau andai kata dia tewas pun tentu engkau sengaja menjebaknya! Aku yakin akan hal itu. Kini engkau hendak menawanku dan menyuruh aku menyerah? Jangan bermimpi! Si Bangau Merah tak mengenal kata menyerah. Sekarang kalian hendak mengandalkan pengeroyokan? Boleh, boleh! Kulihat bekas ketua Pao-beng-pai, Siangkoan Kok, sudah berada pula di sini dan dua orang tosu ini tentu juga merupakan orang-orang sesat!"

"Tangkap gadis sombong ini!" Ouw Seng Bu membentak.

Siangkoan Kok, dua orang tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, segera menggerakkan senjata mereka. Ouw Seng Bu sendiri juga ikut menerjang maju dengan tangan kosong. Para anggota Thian-li-pang mengepung ketat.

Menghadapi para pengeroyok yang mulai menyerangnya, Sian Li memutar sulingnya hingga nampaklah gulungan sinar emas menyambar-nyambar di antara berkelebatnya bayangan merah. Gerakan gadis ini cepat bukan main, juga amat indah. Gulungan sinar emas itu mengandung tenaga kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja, beberapa batang senjata anak buah Thian-li-pang terlepas dari pegangan, bahkan dua orang anggota perkumpulan itu roboh terkena sambaran sinar suling emas.

"Semua mundur, biarkan kami saja yang menghadapinya!" bentak Ouw Seng Bu yang maklum akan kelihaian Si Bangau Merah itu.

Para anggota Thian-li-pang yang memang sudah merasa jeri segera mengendurkan pengepungan. Sekarang yang menghadapi Sian Li hanya tinggal empat orang, yaitu Siangkoan Kok, Im Yang Ji, Kui Thiancu dan Ouw Seng Bu sendiri.

Cu Kim Giok masih belum bergerak. Ia hanya menonton tiga orang sekutunya yang kini mulai menggerakkan senjata masing-masing menyerang gadis berpakaian merah yang memegang suling emas itu. Agaknya, Ouw Seng Bu masih tak percaya kalau tiga orang sekutunya yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw yang sangat tangguh itu tidak akan mampu menundukkan Sian Li.

"Bu-koko, engkau tidak boleh membunuhnya. Aku akan marah sekali kepadamu kalau engkau membunuhnya."

"Giok-moi, dia berbahaya sekali. Kalau sampai lolos, dia tentu akan melapor kepada pemerintah dan jika pasukan besar pemerintah datang menyerbu, kita masih belum siap menghadapi mereka."

"Tangkap saja, tawan saja akan tetapi jangan dibunuh. Aku tidak rela kalau ia dibunuh. Kita adalah pejuang-pejuang, tidak akan membunuhi kaum pendekar, Koko!"

Ouw Seng Bu mengangguk. Dia pun maklum bahwa membunuh Si Bangau Merah akan mendatangkan akibat yang amat berbahaya. Jika sampai Pendekar Sakti Bangau Putih mendengar bahwa puterinya terbunuh oleh Thian-li-pang, dan kemudian pendekar sakti itu mengerahkan kekuatan keluarga Pulau Es beserta Gurun Pasir, bagaimana mungkin Thian-li-pang akan kuat bertahan?

"Paman Siangkoan Kok dan kedua Totiang, tangkap saja Si Bangau Merah ini, jangan dibunuh dan jangan dilukai. Kami hanya ingin menawannya," serunya kepada tiga orang sekutunya.

Mendengar seruan ketua Thian-li-pang itu, tiga orang tokoh yang mengeroyok Sian Li mengubah gerakan mereka. Siangkoan Kok mempergunakan pedangnya hanya untuk menangkis suling emas di tangan gadis itu, sedangkan serangan dilakukan oleh tangan kirinya, dengan cengkeraman, tamparan atau totokan.

Demikian pula dengan dua orang tosu pengeroyok. Im Yang Ji, tokoh dari Pat-kwa-pai memutar pedang hanya untuk mengurung gadis itu dengan sinar pedangnya dan yang menyerang adalah tangan kirinya dengan ilmu totokan yang ampuh dari Pat-kwa-pai, dengan gerakan ilmu silat Pat-kwa-kun.

Juga Kui Thiancu, tokoh Pek-lian-kauw yang menyerang dengan ujung lengan bajunya yang kiri, menotok untuk merobohkan Sian Li, sedangkan pedangnya juga hanya untuk membendung gerakan suling emas yang dahsyat itu.

Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Sian Li masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian tokoh Pat-kwa-pai atau tokoh Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi, bagai mana pun gadis yang usianya belum genap dua puluh tahun itu masih ketinggalan kalau dibandingkan dengan kepandaian Siangkoan Kok, datuk sesat yang mempunyai banyak pengalaman itu.

Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh itu, tentu saja Sian Li merasa berat sekali. Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Dia pasti tidak akan mampu bertahan terlalu lama kalau tiga orang pengeroyoknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi ketika Ouw Seng Bu mencegah mereka agar tidak membunuhnya, maka hal itu membuat Sian Li mampu bertahan lebih baik. Bahkan beberapa kali sambaran sinar sulingnya hampir saja mengenai tubuh lawan.

Pada waktu melihat betapa tiga orang sekutunya yang biasanya dapat diandalkan untuk menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak mau bekerja sama itu sampai sekian lamanya belum juga mampu menundukkan Si Bangau Merah, Ouw Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia melompat ke dalam medan perkelahian itu.

"Bu-koko, jangan bunuh atau lukai Sian Li!" Cu Kim Giok berteriak.

Ouw Seng Bu juga tidak bodoh untuk membunuh seorang tokoh semacam Si Bangau Merah, apa lagi bila Cu Kim Giok yang dicintanya itu melarangnya. Dia sudah meloncat dan mengeluarkan ilmunya yang aneh, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan. Akan tetapi dia menjaga supaya tangannya yang mengandung racun ampuh itu tidak sampai membunuh gadis yang diserangnya.

Ketika ada angin pukulan yang amat dingin datang menerpanya, Sian Li yang memang sudah terdesak, terkejut bukan main. Ia mengenal pukulan ampuh, dan untuk meloncat menghindar, tak ada jalan lagi. Senjata tiga orang pengeroyoknya yang terdahulu sudah menutup semua jalan keluar dengan sinar pedang mereka. Terpaksa dia mengerahkan sinkang dan menyambut pukulan itu.

"Desss...!"

Sian Li terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan Siangkoan Kok untuk melancarkan totokan jari tangannya sehingga tubuh Sian Li yang terhuyung itu nyaris terkena totokan. Gadis yang memiliki ginkang luar biasa ini cepat-cepat memutar sulingnya dan tubuh itu mencelat ke samping. Dalam keadaan yang amat gawat itu ia masih dapat menghindar dari totokan! Akan tetapi, kini empat orang lihai itu sudah mengepungnya.

Pada saat yang amat gawat bagi Sian Li itu muncullah dua orang yang tanpa banyak cakap lagi segera terjun ke dalam perkelahian itu. Mereka itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Pangeran Cia Sun dan Sim Hui Eng, atau tadinya bernama Siangkoan Eng!

Seperti kita ketahui, Pangeran Cia Sun ditawan oleh Sim Hui Eng yang mengira bahwa pangeran itu yang sudah menyebabkan kematian ibunya dan kehancuran Pao-beng-pai. Kemudian pangeran itu membuka rahasia Hui Eng sehingga gadis itu pun mengetahui bahwa ia bukanlah puteri Siangkoan Kok, bukan pula puteri mendiang Lauw Cu Si yang selama ini dianggapnya sebagai ibu kandungnya. Dalam pertemuan itu, mereka bahkan saling menemukan cinta mereka. Akhirnya Cia Sun mengajak Hui Eng untuk menemui orang tua kandungnya yang asli, yaitu pendekar sakti Sim Houw dan Can Bi Lan.

Di dalam perjalanan, mereka mendengar tentang sepak terjang Thian-li-pang yang telah menaklukkan banyak tokoh dan perkumpulan kang-ouw. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan di hati Cia Sun.

Dia sudah menjadi saudara angkat Yo Han. Dia tahu pula bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan pejuang, perkumpulan para pendekar gagah perkasa yang sedang berjuang bagi kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Bahkan saudara angkatnya itu, Si Tangan Sakti Yo Han, menjadi ketua kehormatan perkumpulan itu.

Akan tetapi, apa yang didengarnya sekarang? Perkumpulan itu memaksa para tokoh kang-ouw untuk tunduk, bahkan juga terdengar bahwa para anggota perkumpulan itu tidak segan melakukan kejahatan.

"Aku harus datang ke sana, aku harus menegur kakakku Yo Han!" kata pangeran itu.

Sim Hui Eng siap membantu kekasihnya untuk menegur Yo Han supaya menghentikan sepak terjang Thian-li-pang yang tidak baik itu. Demikianlah, mereka lalu membelokkan perjalanan dan menuju ke Bukit Naga, pusat perkumpulan Thian-li-pang.

Ketika tiba di tempat itu dan melihat Sian Li tengah dikeroyok oleh empat orang, Sim Hui Eng berkata kepada pangeran Cia Sun, "Koko, itu Si Bangau Merah Tan Sian Li yang dikeroyok!"

Cia Sun memandang dan merasa kagum. Gadis berpakaian serba merah itu memang lihai bukan main. Begitu gagah dia memainkan suling emasnya, dan gadis itulah yang dijodohkan dengan dia! Jika saja tidak ada Sim Hui Eng yang dicinta dan mencintanya, tentu akan berubah sikapnya terhadap pilihan orang tuanya itu. Akan tetapi dia mencinta Sim Hui Eng, dan tidak ada seorang bidadari pun yang akan mampu memisahkan dia dan Hui Eng.

"Kalau begitu, kita harus membantunya."

"Benar, kita harus membantunya. Lihatlah, para pengepungnya itu lihai, bahkan bekas ayahku yang jahat itu pun ikut mengeroyoknya."

Dengan kemarahan meluap karena teringat akan perbuatan Siangkoan Kok yang amat jahat, karena terbayang kembali betapa ia dihajar dan hampir dibunuh oleh bekas ketua Pao-beng-pai itu, serta apa yang dilakukan orang yang bertahun-tahun ia anggap ayah kandungnya itu terhadap Tio Sui Lan, muridnya sendiri, membuat ia marah dan ketika ia melompat dan menerjang ke arah Siangkoan Kok, serangannya dahsyat bukan main. Pedang di tangan kanannya dan kebutan di tangan kirinya menyambar dahsyat dengan jarum-jarum maut!

"Ehhh... kau...!??" Siangkoan Kok terkejut bukan main ketika mengenal penyerangnya.

Akan tetapi, Hui Eng tidak memberi dia banyak kesempatan. Gadis itu telah menyerang terus, membuat Siangkoan Kok terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian bekas puterinya ini sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Ada pun Cia Sun sudah memutar pedangnya pula membantu Sian Li sehingga Si Bangau Merah itu kini mendapat keringanan, tidak lagi terdesak seperti tadi.

Sian Li sendiri terkejut dan heran melihat Sim Hui Eng. Ia masih mengenal gadis itu sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah datang mengacau dalam pesta keluarga di rumah pendekar Suma Ceng Liong. Dan kini gadis itu membantunya, bahkan bertanding seru melawan bekas ketua Pao-beng-pai sendiri!

Juga ia tak mengenal siapa pemuda bertubuh tegap bermuka bundar putih dan tampan itu, yang datang membantunya pula. Akan tetapi Si Bangau Merah segera bisa melihat kenyataan bahwa biar pun bantuan mereka berdua itu telah menolongnya dari himpitan para pengeroyoknya, akan tetapi tingkat kepandaian mereka belum cukup tinggi untuk mampu merebut kemenangan dari para pimpinan Thian-li-pang.

"Bu-koko, jangan bunuh mereka! Jangan!" kembali Cu Kini Giok berseru.

Melihat kesempatan setelah ia tidak lagi begitu terhimpit berkat pertolongan kedua orang itu, Sian Li segera memutar sulingnya dan berkata, "Sobat, mari kita pergi!"

Ia memutar sulingnya dengan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan tangan kirinya masih meluncurkan pukulan jarak jauh sehingga dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw terpaksa harus mundur.

Cia Sun maklum bahwa kalau Si Bangau Merah berteriak mengajak mereka pergi, hal itu tentu berarti bahwa pihak musuh terlampau kuat. Maka dia pun berseru, "Eng-moi, kita pergi!"

Tiga orang muda itu berloncatan dengan cepat untuk melarikan diri. Ketika Ouw Seng Bu hendak mengejar, Kim Giok berseru, "Koko, jangan kejar mereka!"

Ouw Seng Bu meragu dan hal ini menguntungkan Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng. Kecuali Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok, tidak ada yang akan mampu menahan mereka pergi. Dan agaknya, oleh karena Ouw Seng Bu ragu-ragu untuk melakukan pengejaran akibat pencegahan Cu Kim Giok, maka Siangkoan Kok juga jeri untuk melakukan pengejaran sendiri. Semua keraguan ini membuat Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng dapat berlari cepat, pergi meninggalkan sarang Thian-li-pang…..


JILID SELANJUTNYA SI TANGAN SAKTI BAGIAN 19


Si Tangan Sakti Bagian 18

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI TANGAN SAKTI BAGIAN 18

SUMUR pertama yang pernah menjadi tempat tahanan kakek Ciu Lam Hok yang berada di tempat itu juga, tidak terlalu jauh dari situ, telah ditutup dengan batu-batu sehingga tidak nampak lagi lubangnya. Sumur ke dua ini lebih besar, juga amat dalam karena kalau dijenguk dari atas, tidak nampak dasarnya, hanya gelap menghitam.

Sebetulnya, tanpa tambang sekali pun Yo Han akan mampu menuruni sumur itu dengan merayap, akan tetapi lebih mudah menggunakan tali. Juga untuk naik kembali, akan jauh lebih mudah kalau ada talinya.

Hampir seratus orang anggota Thian-li-pang sudah berkumpul di tempat itu, mengelilingi sumur tua, wajah mereka tegang. Seorang di antara mereka menyerahkan segulungan tali yang kuat dan panjang kepada Ouw Seng Bu.

"Taihiap, apakah tali ini memenuhi syarat?" tanya Seng Bu sambil memperlihatkan tali itu kepada Yo Han.

Yo Han menerima gulungan tali, kemudian melepas ujungnya ke dalam sumur setelah ujung itu diikatkan kepada sebongkah batu. Ternyata sumur itu dalam sekali dan sampai lama barulah batu di ujung tali tiba pada dasar sumur.

Tali itu memang cukup panjang dan kuat. Setelah batu tiba pada dasar sumur dan tali mengendur, masih ada sisa tiga empat meter. Yo Han lalu melibatkan sisa tali itu pada sebatang pohon dekat sumur, lalu menyerahkan ujungnya kepada Seng Bu.

"Jaga dan pegangi ujung tali ini, aku akan segera turun ke bawah. Kalau aku sudah memberi tanda tarikan tiga kali pada tali, maka kau boleh tarik aku keluar."

"Baik, Yo Taihiap. Harap Taihiap berhati-hati, siapa tahu di bawah sana ada bahaya mengintai," kata Seng Bu.

"Jangan khawatir, aku sudah siap menghadapi apa saja," kata Yo Han.

Setelah berkata demikian, Yo Han menuruni sumur melalui tali yang ujungnya dipegang oleh Seng Bu. Bagaikan seekor monyet saja, dengan cekatan dia menuruni tali itu, waspada memperhatikan ke bawah karena dia maklum bahwa seperti yang dikatakan Ouw Seng Bu tadi, mungkin di bawah sana mengintai bahaya yang bisa mengancam keselamatannya. Sama sekali Yo Han tidak pernah mengira bahwa bahaya mengintai dari atas, bukan dari bawah!

Tadi dia telah menduga bahwa sumur itu menyerong, yaitu ketika dia mengulur tali yang ujungnya digantungi batu. Batu itu tadi menyentuh dinding sumur dan menggelinding ke bawah, tidak lagi tergantung bebas. Itu berarti bahwa sumur itu menyerong, tidak lurus ke bawah. Kini ternyata memang benar.

Tubuhnya menyentuh dinding sumur yang kasar dan dia merayap terus. Dan nampaklah sinar dari samping, yang tidak nampak dari atas karena letaknya yang menyerong itu. Begitu kakinya menyentuh lantai batu, dia pun melihat lima sosok mayat yang sudah tinggal tulang dibungkus pakaian yang robek-robek. Lima orang!

Dia teringat akan keterangan Ouw Seng Bu yang menceritakan bahwa yang dibawa masuk ke dalam sumur oleh bayangan hitam adalah Lauw Kang Hui, Su Kian, Thio Cu, Lauw Kin dan Lu Sek. Lima orang tokoh Thian-li-pang itu benar-benar sudah tewas di dasar sumur! Akan tetapi Yo Han melihat satu keanehan. Kedudukan lima sosok mayat itu bertumpuk, nampaknya seperti dilemparkan dari atas!

Dia menghampiri mayat-mayat itu. Sudah tak dapat dikenal lagi, apa lagi diselidiki sebab kematian mereka. Juga tempat itu hanya remang-remang saja, terlalu gelap untuk dapat memeriksa dengan teliti. Dia harus memeriksa ke dalam sana. Mungkin si pembunuh itu masih berada di dasar sumur yang ternyata dasarnya merupakan terowongan berbatu-batu.

Dia pun melepaskan tali yang tadi masih dipegangnya, lalu berindap-indap memasuki lorong penuh batu-batu besar itu. Kalau benar ada orangnya, mungkin bersembunyi di balik batu besar. Dia sudah siap kalau-kalau ada serangan gelap dari dalam.

Tidak ada penyerangan, tidak ada gerakan apa pun dari dalam. Akan tetapi mendadak terdengar suara bersiutan dari atas. Yo Han terkejut melihat tali yang dipakai turun tadi kini menyambar turun seperti seekor ular yang panjang sekali! Tali itu dilepas dari atas!

Sejenak dia tertegun karena heran dan kaget, akan tetapi cepat dia menarik tali itu karena dalam sekejap mata dia yakin bahwa tali itu akan ada gunanya baginya. Dia masih belum dapat menduga mengapa Ouw Seng Bu melepaskan tali itu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa dari atas yang bergema ke bawah dan dia terkejut. Itulah suara Ouw Seng Bu. Dia tahu bahwa orang yang bisa melepas suara tawa mengandung khikang amat kuat seperti itu tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Suara tawa itu disusul sorak-sorai dan tiba-tiba saja terjadi hujan batu dari atas sumur!

Yo Han melompat lebih dalam lagi dan cepat dia mendorong sebuah batu besar sekali ke depan terowongan sehingga hujan batu itu tidak sampai menggelundung ke dalam terowongan, melainkan tertahan oleh batu besar dan terus bertumpuk menutupi lubang sumur!

Kini mengertilah dia. Ouw Seng Bu dan para anggota Thian-li-pang telah berkhianat dan dia telah tertipu. Ouw Seng Bu berhasil memancingnya memasuki sumur dan sumur itu lalu ditimbuni batu.

Yo Han pada dasarnya adalah seorang yang mempunyai iman yang kokoh kuat kepada Tuhan, karena itu dia tidak menjadi gugup. Mati hidupnya sudah dia serahkan kepada kekuasaan Tuhan. Ia akan berusaha sekuatnya mempertahankan hidupnya, akan tetapi berhasil atau gagalnya dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dia tahu bahwa tidak mungkin dapat keluar melalui sumur yang sudah tertutup banyak batu itu. Dia tidak mati tertimpa batu karena batu besar tadi merupakan pengganjal dan penghalang batu-batu kecil memasuki terowongan.

Dia tidak akan mati tertimbun batu. Juga agaknya dia tidak akan mati kehabisan napas karena masih ada saluran udara segar di situ, mungkin masuk melalui celah-celah batu, seperti juga sinar matahari yang dapat masuk ke situ. Dia tidak akan mati kehausan, karena dinding itu basah dan tidak sukar menampung air dengan membuat lekukan pada dinding basah untuk menampung air. Dia akan mati kelaparan? Mungkin, kalau dia tidak dapat keluar dan kalau di tempat itu tidak terdapat benda yang bisa dimakan.

Yo Han menggulung tali dan duduk di atas gulungan tali supaya tidak basah. Dia duduk bersila dan membiarkan hati serta pikirannya tenang. Dia membutuhkan ketenangan. Dalam menghadapi bahaya, ia harus dapat tenang agar akal pikirannya bisa digunakan sebaik-baiknya, dan di dalam ketenangan itu kepasrahannya kepada kekuasaan Tuhan dapat lebih mendalam.

Sementara itu, di atas sumur, Ouw Seng Bu tertawa gembira ketika bersama para anak buah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, menimbun sumur tua itu dengan batu.

"Ha-ha-ha, Yo Han. Rasakan sekarang engkau, mampus di dalam sumur tua, menjadi setan penasaran! Sin-ciang Taihiap, engkau tidak lagi menjadi penghalang bagiku."

Akan tetapi Ouw Beng Bu segera menghentikan tawanya pada saat dia melihat Cu Kim Giok datang berlari-larian. Gadis itu mendengar sorak-sorai anak buah Thian-li-pang, merasa tertarik dan segera datang ke tempat itu. Ia masih sempat melihat anak buah Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sebuah sumur tua. Hal itu membuat ia merasa heran sekali.

"Ouw-pangcu, apakah yang telah terjadi?" tanya gadis itu heran sambil mendekati Seng Bu.

Seng Bu segera memasang wajah yang serius. "Aihhh, hampir saja aku pun celaka menjadi korban kelihaian Yo Han, Nona. Mari kita bicara di dalam dan akan kuceritakan semua."

Kepada anak buahnya dia memesan agar sumur itu ditutup sampai tidak nampak lagi lubangnya. Kemudian dia mengajak Kim Giok kembali ke bangunan induk yang menjadi pusat perkampungan Thian-li-pang.

Setelah mereka duduk berdua di dalam kamar belakang, Kim Giok dengan hati tegang bertanya, "Ceritakan, Pangcu. Apakah yang telah terjadi dan di mana adanya Sin-ciang Taihiap Yo Han?"

Seng Bu menghela napas dan tiba-tiba dia mengeluh. Wajahnya berubah pusat dan napasnya terengah.

"Aduhhh..." Seng Bu memejamkan matanya dan tangan kirinya menekan ke arah dada kanannya.

Tentu saja Kim Giok terkejut bukan main, cepat bangkit dan menghampiri pemuda itu. "Ouw-pangcu, ada apakah? Engkau... terluka...?"

Sambil menekan dada kanan dengan telapak tangannya, wajah Seng Bu menyeringai kesakitan, napasnya sesak, lalu dia menjawab terengah-engah, "Dia memang... lihai... sekali, dan... jahat kejam. Dia... dia tadi tiba-tiba memukulku, di dekat sumur... dan aku nyaris terjungkal, akan tetapi... aku mampu bertahan, aku terus melawan... dibantu oleh saudara-saudaraku... akhirnya kami berhasil... dia terjatuh ke dalam sumur, akan tetapi aku... aku terkena pukulannya..."

"Ahhh!" Kim Giok terbelalak. "Dan kalian... tadi menimbun sumur itu dengan batu? Dia terkubur hidup-hidup... ?" Gadis itu memandang ngeri.

"Aihh, Nona, engkau tidak tahu... dia amat kejam dan lihai... kalau berhasil lolos...kami semua tentu akan dibunuhnya. Lihat, lihatlah bekas tangannya ini..." Seng Bu merobek baju di dadanya.

Mata yang indah itu semakin terbelalak kaget. Dada Seng Bu, di bagian kanan, terdapat bekas telapak tangan dengan lima jarinya, menghitam!

"Ohhhhh...!" Kim Giok menahan teriakannya.

"Ini... pukulan... mautnya... untung aku sudah berjaga diri..., tapi nyeri bukan main... auhhh...!"

Seng Bu terkulai dan dia tentu akan terjatuh dari kursinya kalau saja Kim Giok tidak cepat-cepat merangkulnya. Melihat Seng Bu pingsan, Kim Giok memondongnya dan merebahkannya di atas lantai. Ia mengurut kedua pundak dan tengkuk pemuda itu, dan tidak beberapa lama kemudian Seng Bu membuka mata kembali.

"Aduhhh...!"

"Bagai mana rasanya, Pangcu?"

"Nona, pukulan itu amat beracun, dan hawa beracun itu harus cepat dibersihkan dengan pengerahan sinkang. Maukah... maukah engkau membantuku, Nona? Aku… aku lemah sekali...!"

"Tentu saja, Pangcu. Bagaimana aku dapat membantumu?"

"Tempelkan kedua telapak tanganmu di punggungku, kemudian kerahkan sinkang agar kekuatan kita dapat bersatu mendorong keluar hawa beracun itu."

"Baik, Pangcu."

Melihat Seng Bu berusaha bangkit duduk dengan susah payah, tanpa ragu Kim Giok membantunya duduk bersila. Ia membantu pula Seng Bu membuka bajunya sehingga punggungnya nampak. Ia pun lalu bersila di belakang pemuda itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung itu dan memejamkan mata, mengerahkan sinkang untuk membantu pemuda itu ‘mengusir’ hawa beracun.

Diam-diam Seng Bu menggunakan tangan kiri mengusap dan menekan dada yang ada tanda telapak tangan menghitam. Perlahan-lahan, tanda menghitam itu pun lenyap. Kim Giok yang kurang pengalaman sama sekali tak menyangka bahwa noda hitam itu dibuat oleh Seng Bu sendiri ketika dia menekan dada kanannya tadi. Dengan kepandaiannya yang aneh, pemuda itu dapat membuat kulit dadanya kehitaman seperti terkena pukulan beracun.

Perlahan-lahan pernapasan Seng Bu menjadi normal kembali dan dia pun memutar tubuhnya, memegang kedua tangan gadis itu dan menatapnya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Kim Giok juga menatapnya dan gadis itu menunduk malu.

"Giok-moi (adik Giok), terima kasih... engkau telah menyelamatkan nyawaku..."

Dengan tersipu Kim Giok menarik kedua tangannya, lalu bangkit berdiri dan memutar tubuh membelakangi pemuda itu agar tidak kelihatan bahwa ia merasa malu sekali.

"Ihhhhh, Pangcu..."

"Kim Giok, setelah apa yang engkau lakukan kepadaku tadi, apakah kita masih harus bersungkan-sungkan? Jangan menyebut pangcu kepadaku, sebutan itu terlampau kaku. Giok-moi, aku merasa engkau bukan seperti seorang sahabat baru, melainkan seperti sudah bertahun-tahun kukenal. Jangan menyebutku pangcu, aku akan merasa bahagia kalau engkau menyebut aku koko (kanda)."

"Bu-koko, engkau terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan tadi hanya sekedar membantu engkau mengusir hawa beracun. Apakah sekarang engkau sudah sembuh, sudah sehat kembali?"

"Lihatlah, Giok-moi. Tidak ada bekasnya lagi. Lihatlah!"

Kim Giok membalikkan tubuhnya dan sekilas memandang ke arah dada yang telanjang itu. Dada yang bersih kulitnya, tak lagi nampak tanda telapak tangan menghitam seperti tadi. Dia merasa lega dan girang, akan tetapi juga malu dan dia tersipu, menundukkan muka tidak mau memandang lagi.

"Bu-ko, pakailah pakaianmu. Engkau membuat aku merasa malu."

Seng Bu tertawa. "Ha-ha-ha, setelah kita menjadi sahabat baik seperti ini, perlukah kita merasa sungkan dan malu, Moi-moi? Entah mengapa, aku sudah tidak merasa malu sama sekali terhadap dirimu, seolah-olah kita telah akrab selama bertahun-tahun." Seng Bu membetulkan bajunya yang robek di bagian dada dan dia nampak senang sekali.

Memang hatinya amat gembira. Yo Han, orang yang paling ditakutinya, telah tiada. Dan sekarang dia bisa melihat tanda-tanda bahwa Cu Kim Giok, gadis yang dicintanya, jelas memperlihatkan tanda-tanda suka kepadanya. Setidaknya, gadis ini tadi sudah sangat mengkhawatirkan keadaannya dan tanpa malu-malu suka membantu mengobati dirinya.

Sekarang mereka duduk berhadapan, hanya terhalang oleh meja kecil. Beberapa kali pandang mata mereka bertemu dan dalam pandangan mata itu saja sudah terpancar perasaan hati masing-masing, meski pun terkandang Kim Giok menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

"Giok-moi, kenapa engkau menunduk dan kelihatan malu-malu?"
"Habis, engkau memandangku seperti itu!"
"Seperti apa?" Seng Bu menggoda.
"Pandang matamu membuat aku merasa canggung dan malu, Bu-ko."

Mendadak Seng Bu memegang kedua tangan gadis itu yang berada di atas meja dan menggenggam tangan itu!

"Giok-moi, apakah aku masih perlu menjelaskan lagi apa artinya pandang mataku itu? Aku memandangmu penuh kasih sayang. Aku cinta padamu, Giok-moi."

Kim Giok menundukkan mukanya yang sekarang menjadi merah sekali. "Bagaimana, Giok-moi? Marahkah engkau akan kelancanganku ini?"

Kim Giok menggelengkan kepala, masih tetap menunduk.

"Lalu, kenapa engkau hanya diam saja? Apakah engkau tidak sudi menerima perasaan cintaku?"

Kini gadis itu mengangkat mukanya yang kemerahan. "Bu-ko, aku pun kagum dan suka padamu. Akan tetapi, kita tidak perlu tergesa-gesa membicarakan perasaan kita itu. Kita baru saja berkenalan dan jika kita telah menjadi sahabat baik, itu sudah menyenangkan sekali, bukan?"

Seng Bu seorang yang cerdik. Ia memang benar-benar mencinta Kim Giok sepenuh hatinya. Dia tidak ingin membuat gadis itu tidak senang atau menjadi rikuh. Dia bahkan rela melakukan apa saja untuk gadis yang dicintanya itu.

"Baiklah, Giok-moi. Maafkan aku. Kita memang telah menjadi sahabat baik, dan biarlah urusan antara kita itu kita bicarakan kelak seperti yang kau kehendaki. Aku hanya ingin agar engkau tahu betul bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang tinggal di dalam hatiku."

Lega rasa hati Kim Giok dan dia menjadi semakin suka kepada pemuda yang penuh pengertian itu.

"Terima kasih atas pengertianmu, Bu-ko. Sekarang mari kita bicara mengenai apa yang terjadi tadi. Aku masih merasa amat heran kenapa Sin-ciang Taihiap hendak membunuh dirimu setelah dia juga membunuhi banyak tokoh Thian-li-pang. Aku pernah mendengar namanya yang dipuji-puji oleh para pendekar dari dua keluarga besar pendekar Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir. Mereka menyatakan bahwa Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar yang budiman dan bijaksana. Akan tetapi kenapa di sini dia menjadi begitu kejam dan jahat?"

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. "Aku tidak heran dan sebaiknya engkau juga tidak perlu mengherankan hal itu, Giok-moi. Kedudukan dan kekuasaan sering membuat orang lupa diri! Dia hendak menguasai Thian-li-pang, hendak menonjolkan diri sendiri dan menguasai dunia lewat Thian-li-pang."

"Akan tetapi, aku mendengar bahwa dia telah diangkat menjadi pemimpin Thian-li-pang, hanya kedudukan ketua lalu dia serahkan kepada mendiang Lauw Pangcu. Kenapa dia malah membunuh Lauw Pangcu dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang, dan sekarang hendak membunuhmu pula? Sungguh aku tidak mengerti."

"Giok-moi, agaknya engkau hanya mengerti ekornya tidak mengerti kepalanya. Memang benar dia menjadi pemimpin besar Thian-li-pang seperti dikehendaki oleh para tokoh tua Thian-li-pang. Namun sikapnya tidak sejalan dengan sikap para pimpinan Thian-li-pang. Dia tidak suka Thian-li-pang menggunakan kekerasan menentang pemerintah penjajah, bahkan dia tidak setuju bersama-sama berjuang mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Bahkan mungkin sekali dia hendak membawa Thian-li-pang supaya menjadi antek penjajah. Itulah sebabnya dia membunuhi para pimpinan Thian-li-pang yang mempunyai pendirian tegas-tegas menentang penjajah. Melihat betapa aku yang diangkat menjadi ketua sedang menghimpun tenaga, bekerja sama dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga dengan kelompok pejuang lain, dia menjadi marah. Dengan berpura-pura hendak menyelidiki kematian para pimpinan Thian-li-pang di dekat sumur tua itu, mendadak dia menyerangku dan hendak membunuhku dan melemparku ke sumur tua seperti yang dia lakukan terhadap para pimpinan yang lain. Untung para dewa masih melindungiku dan sebaliknya dia yang terlempar ke dalam sumur tua itu."

"Aihhh," Cu Kim Giok menghela napas panjang. "Ayah dan ibu juga pernah mengatakan bahwa kedudukan memang suka membuat orang menjadi kejam. Kuharap saja engkau tidak ikut-ikutan mabuk kekuasaan, Bu-ko."

"Tak mungkin, Giok-moi. Apa lagi kalau engkau suka membantuku dan selalu berada di sampingku. Sejak Thian-li-pang berdiri, nenek moyangku adalah pejuang-pejuang yang gigih, yang rela mengorbankan nyawa demi membela nusa bangsa. Aku melanjutkan cita-cita mereka, dan aku akan berjuang semata-mata demi membebaskan rakyat dan tanah air kita dari cengkeraman penjajah Mancu, bukan untuk mencari kedudukan atau harta benda. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?"

"Tentu saja aku percaya padamu, Bu-ko. Kalau tidak percaya, tentu aku tidak akan suka membantumu. Dan selanjutnya, langkah apa yang akan kau ambil?"

"Aku akan mengadakan perundingan dengan para pimpinan puncak Pat-kwa-pai serta Pek-lian-kauw, juga kelompok pejuang yang lainnya. Seperti juga pendirian orang-orang sombong, macam Yo Han, masih banyak tokoh dunia kang-ouw yang mengambil jalan sendiri, membeda-bedakan kelompok dan tak mau bekerja sama untuk menghancurkan penjajah. Cara kerja sendiri-sendiri ini, apa lagi kalau disertai persaingan, menimbulkan pertentangan di antara para pejuang sendiri. Hal ini hanya melemahkan perjuangan dan memperkuat kedudukan pemerintah penjajah. Oleh karena itu, kita haruslah berusaha untuk lebih dulu menundukkan para kelompok dan tokoh dunia persilatan. Kalau seluruh dunia kang-ouw sudah dapat bekerja sama, kukira menggulingkan pemerintah penjajah Mancu bukan merupakan hal yang sukar lagi."

Kim Giok yang sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu sangat tertarik dengan gaya bicara dan sikap Seng Bu. Dia mengangguk-angguk dan merasa kagum karena ia menganggap bahwa pendapat pemuda itu tepat. Sedikit banyak, ayah ibunya juga telah menanamkan perasaan cinta tanah air dan bangsa kepadanya, juga telah menceritakan tentang kekuasaan bangsa Mancu yang menjajah bangsanya.

"Pendapatmu itu tepat sekali dan aku akan membantumu, Bu-koko!" katanya penuh semangat. Tentu saja Seng Bu menjadi girang bukan main.

"Terima kasih, Giok-moi. Dengan adanya engkau di sampingku, bintang dan bulan di langit pun akan dapat kuraih!"

Mereka saling pandang dengan senyum mesra dan ketika mereka mendengar suara gaduh kembalinya anak buah Thian-li-pang, mereka pun keluar dari ruangan itu…..

*********

Atas bantuan yang sungguh-sungguh dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu memperoleh kemajuan pesat dalam menyatuan kekuatan. Siangkoan Kok yang sekarang dia angkat menjadi wakil ketua Thian-li-pang, kemudian mendatangi banyak perkumpulan silat dan perguruan-perguruan silat yang terkenal.

Mula-mula dia membujuk mereka untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang berjuang menentang pemerintah Mancu. Kalau ada yang menolak, Siangkoan Kok mengalahkan dan menundukkan para pimpinannya sehingga akhirnya perkumpulan itu menakluk juga karena takut dibasmi. Tentu saja dengan mudah Siangkoan Kok pun mengajak mereka yang dahulunya memang sudah bersekutu dengan Pao-beng-pai agar kini bekerja sama dengan Thian-li-pang akibat Pao-beng-pai telah dihancurkan pasukan pemerintah.

Hanya ada satu dua perkumpulan saja yang memiliki pimpinan yang terlampau kuat bagi Siangkoan Kok. Untuk menalukkan pimpinan perkumpulan yang lihai ini, Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang turun tangan sendiri dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmunya yang aneh akan tetapi juga dahsyat bukan main.

Thian-li-pang menjadi semakin besar dan berpengaruh. Melihat kemajuan yang dicapai kekasihnya, tentu saja Kim Giok merasa gembira dan kagum sekali. Beberapa kali dia menawarkan diri untuk membujuk kedua orang tuanya agar mau membantu perjuangan Thian-li-pang karena kalau ayah ibunya suka membantu, tentu mereka itu akan dapat menarik perhatian para pendekar lainnya. Akan tetapi, Ouw Seng Bu selalu menolak dengan halus.

"Belum tiba saatnya, Giok-moi. Ayah dan ibumu tentu akan merasa heran dan terkejut melihat hubungan kita yang akrab. Hal itu saja sudah membutuhkan pendekatan yang lembut. Apa lagi jika ditambah dengan bujukan supaya mereka membantu perjuangan. Biarlah, nanti kalau Thian-li-pang sudah kuat benar, aku sendiri yang akan menghadap mereka untuk melamarmu, dan kalau kita sudah menjadi suami isteri, dan orang tuamu menjadi mertuaku, tentu dengan sendirinya mereka akan membantu perjuangan kita."

Kim Giok tak membantah lagi. Sikap Seng Bu terhadap dirinya selalu lembut dan sopan, dan pemuda itu memegang janji, tidak pernah lagi bicara tentang cinta mereka seperti yang pernah dijanjikannya. Hal ini membuat ia menjadi semakin kagum dan suka, dan diam-diam ia pun sudah mengambil keputusan untuk memilih pemuda ini sebagai calon suaminya.

Ouw Seng Bu memang cerdik luar biasa. Dia tahu bahwa latihan ilmu Bu-kek Hoat-keng yang ditemukannya di dalam sumur membuat ia berubah dan merasa aneh. Karena itu, setiap kali berlatih ilmu tersebut, dia selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, apa lagi setelah kini Kim Giok berada di Thian-li-pang.

Juga, dia melarang keras anak buahnya untuk melakukan perbuatan yang akan menjadi celaan orang, dan memerintahkan mereka agar bertindak seperti pejuang-pejuang yang gagah. Hal ini bertujuan untuk menjaga nama baik Thian-li-pang dan untuk menarik hati para pendekar agar mau bergabung dengan mereka.

Untuk biaya perkumpulannya, diam-diam, tanpa kekerasaan yang menyolok, mereka masih menguasai semua tempat pelesir mau pun tempat judi. Juga dengan halus tetapi mengandung ancaman maut, mereka bisa memeras para pedagang untuk setiap bulan menyerahkan uang sumbangan kepada Thian-li-pang!

Ada pula anggota yang tugasnya melakukan pencurian di rumah-rumah para hartawan dan bangsawan, akan tetapi mereka yang bertugas mencuri adalah anggota yang ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan tiap kali melakukan pencurian, mereka selalu menutupi muka dengan kain hitam. Juga, mereka dipesan agar sampai mati pun tidak mengakui bahwa mereka adalah orang Thian-li-pang, yaitu kalau mereka sampai tertangkap ketika melakukan pencurian. Pesan ini harus mereka taati, karena Seng Bu mengancam akan menyiksa dan membunuh seluruh keluarga anggota Thian-li-pang yang tidak mentaati pesan itu.

Demikianlah, dengan hasil yang cukup berlimpah, Seng Bu dapat semakin memperkuat Thian-li-pang menjadi perkumpulan yang cukup mewah, walau pun kini tidak ada lagi anggota yang melakukan kejahatan secara berterang.

Sebenarnya, semenjak kecil Ouw Seng Bu memang digembleng untuk menjadi seorang pendekar dan patriot. Sebelum dia secara kebetulan menemukan ilmu di dalam sumur tua dan mempelajarinya, dia adalah seorang murid Thian-li-pang yang baik dan gagah perkasa. Bahkan mendiang Lauw Kang Hui menaruh harapan besar kepada muridnya ini.

Akan tetapi, sejak dia melatih diri dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng secara keliru, terjadi kelainan pada batinnya, seakan-akan dia mendapat gangguan jiwa. Dia menjadi aneh, ganas, kejam, licik dan haus akan kekuasaan dan kemenangan!

Watak aneh ini memang tidak begitu kelihatan, tidak menonjol apabila dia tidak sedang berlatih ilmu itu, akan tetapi telah menjadi watak kedua yang telah tenggelam di dasar hatinya dan sewaktu-waktu dapat muncul secara tidak terduga, walau pun pada lahirnya dia nampak tetap sebagai seorang pendekar yang gagah dan baik.

Pada suatu hari, Thian-li-pang menerima banyak tamu yang memang diundang, yaitu para pimpinan perkumpulan yang sudah menakluk kepada Thian-li-pang, dan ada pula beberapa orang pimpinan perkumpulan yang belum bekerja sama akan tetapi sengaja diundang dalam kesempatan itu untuk dibujuk dan diajak bekerja sama. Tak kurang dari lima puluh orang tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir, sebagian besar dari mereka yang telah mau bekerja sama dengan Thian-li-pang adalah mereka yang terdiri dari golongan hitam.

Dalam pertemuan yang diadakan bagaikan dalam pesta ini, Cu Kim Giok dipersilakan hadir. Tentu saja ia dianggap sebagai seorang tamu kehormatan dan kursinya berada di sebelah kanan kursi ketua Thian-li-pang.

Ouw Seng Bu nampak tampan dan gagah pada hari itu, dengan pakaian yang baru dan wajahnya berseri menyaksikan betapa semua undangan datang hadir. Ini membuktikan bahwa Thian-li-pang mulai dikenal dan ditaati.

Siangkoan Kok yang juga nampak gagah dan berwibawa, duduk di sebelah kirinya, dan kehadiran tokoh besar ketua Pao-beng-pai ini saja sebagai pembantunya, sebagai wakil ketua, sudah menambah kewibawaan Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang. Kabar tentang kelihaian pemuda ini terdengar luas di dunia kang-ouw.

Setelah semua tamu hadir dan disuguhi arak. Siangkoan Kok yang mewakili ketuanya, bangkit berdiri dan mengucapkan selamat datang dengan mengangkat secawan arak, mengajak semua yang hadir minum. Kemudian dia melanjutkan dengan suara lantang.

"Cuwi (Anda sekalian) tentu sudah mengenal saya. Tentu Cuwi merasa heran mengapa saya sebagai bekas ketua Pao-beng-pai yang sudah gagal dan hancur oleh pasukan pemerintah, sekarang bisa menjadi wakil Thian-li-pang. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa Thian-li-pang merupakan satu perkumpulan yang sehaluan dengan Pao-beng-pai, yaitu perkumpulan para pejuang yang hendak merobohkan pemerintah penjajahan, kemudian membebaskan rakyat dan tanah air dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Oleh karena itu, bagi Cuwi yang belum mengadakan perjanjian kerja sama dengan kami, diharapkan saat ini juga menyatakan kesediaan untuk kerja sama itu, untuk membantu perjuangan kami, demi tanah air dan bangsa."

Sambutan tepuk sorak menyatakan setuju dengan ucapan Siangkoan Kok itu. Dan para pemimpin kelompok yang datang sebagai tamu undangan dan belum bersekutu dengan Thian-li-pang, segera menyatakan kesediaan mereka.

Akan tetapi pada saat itu, para penjaga, yaitu murid-murid Thian-li-pang yang berada di luar ruangan pertemuan, melaporkan dengan suara lantang.

"Rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung!"

Semua orang terkejut dan merasa heran, termasuk Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok. Bu-tong-pai termasuk satu di antara partai-partai persilatan yang tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama, yaitu partai-partai seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai yang menganggap diri mereka sebagai partai ‘bersih’ dan yang tidak mau bergaul dengan kelompok lain yang mereka anggap kotor, hitam atau sesat!

Bahkan dahulu Pao-beng-pai juga tidak berhasil menarik golongan itu sebagai kawan seperjuangan. Dan sekarang, rombongan pemimpin Bu-tong-pai itu datang berkunjung?

Dengan tenang Seng Bu dari Siangkoan Kok bangkit menyambut ketika lima orang tosu itu memasuki ruangan dengan sikap mereka yang tenang dan gagah. Mereka terdiri dari lima orang tosu yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, dipimpin oleh Thian Tocu, tosu yang berusia enam puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat.

Tosu ini adalah seorang ketua kuil yang menjadi cabang perguruan Bu-tong-pai di kota Hun-kiang, kurang lebih lima puluh li dari Bukit Naga. Empat orang tosu lainnya adalah adik-adik seperguruannya. Lima orang tosu ini rata-rata memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang telah tinggi tingkatnya. Jika Thian Tocu membawa sebatang tongkat, empat orang sute-nya membawa pedang di punggung mereka. Pakaian mereka sederhana, dengan jubah tosu yang lebar berwarna biru menyelimuti pakaian yang berwarna kuning muda, dan rambut mereka digelung ke atas. Sikap mereka tenang dan lembut.

Siangkoan Kok mengenal Thian Tocu karena tokoh Bu-tong-pai ini pernah berkunjung ketika Pao-beng-pai mengadakan pesta ulang tahun, maka cepat-cepat dia mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Ahh, kiranya Totiang Thian Tocu dan para Totiang tokoh Bu-tong-pai yang kini datang berkunjung." Ia menoleh kepada Seng Bu, dan berkata, "Pangcu, mereka adalah Thian Tocu Totiang dan para tokoh Bu-tong-pai lainnya. Dan Cuwi Totiang (Bapak Pendeta Sekalian), ini adalah Ouw Pangcu, ketua Thian-li-pang kami."

Ouw Seng Bu yang pandai membawa diri segera memberi hormat dan berkata, "Maaf, karena Cuwi Totiang tidak memberi tahu terlebih dahulu akan kunjungan ini, maka kami terlambat menyambut. Silakan Cuwi mengambil tempat duduk."

Lima orang tosu itu tidak mempedulikan Siangkoan Kok, dan sejak tadi mereka semua mengamati Ouw Seng Bu dengan penuh perhatian. Mereka sudah mendengar banyak berita tentang ketua baru Thian-li-pang yang sepak terjangnya mengejutkan.

Kabarnya, ketua itu masih muda akan tetapi mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan menarik bekas ketua Pao-beng-pai yang terkenal sebagai seorang datuk itu menjadi wakilnya. Juga bahwa kini Thian-li-pang sudah menaklukkan hampir semua kelompok dan kekuatan di dunia kang-ouw.

Melihat bahwa ketua itu memang masih muda, bersikap lembut dan sopan, mereka lalu mengangkat kedua tangan depan dada.

"Siancai..." kata Thian Tocu sambil memandang kagum. "Kiranya Ouw-pangcu, ketua Thian-li-pang masih amat muda, akan tetapi telah membuat nama besar. Terima kasih, kami datang hanya untuk melihat bukti dan mengajukan beberapa pertanyaan, bukan untuk bertamu. Kami bahkan tak tahu bahwa pagi ini Thian-li-pang sedang mengadakan pertemuan dengan banyak tokoh kang-ouw."

Tosu itu memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa yang hadir adalah orang-orang kang-ouw dari daerah itu. Sebagian besar di antara mereka ialah golongan hitam. Bahkan ada pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai hadir pula di situ.

Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah dan ramah kembali. "Kalau begitu kehendak Totiang, silakan."

"Begini Ouw Pangcu. Sejak Sin-ciang Taihiap, yaitu Yo Taihiap yang menjadi pemimpin Thian-li-pang dan kemudian kedudukan ketua diserahkan pada pangcu Lauw Kang Hui, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gagah berani dan bijaksana, bahkan berhubungan dekat dengan para pendekar di dunia persilatan. Akan tetapi, tiba-tiba saja kami mendengar bahwa Thian-li-pang mengalami perubahan. Kabarnya, para pemimpinnya terbunuh dan kedudukan ketua dipegang oleh Ouw Pangcu. Yang lebih mengherankan lagi, menurut desas-desus itu, para pimpinan Thian-li-pang yang lama itu dibunuh oleh Yo Taihiap! Kami semua merasa heran dan sama sekali tidak percaya, hanya karena urusan itu merupakan urusan dalam Thian-li-pang, kami terpaksa berdiam diri. Tetapi, melihat sepak terjang Thian-li-pang akhir-akhir ini, terpaksa pinto dan adik-adik seperguruan memberanikan diri lancang berkunjung untuk mengajukan pertanyaan kepada Pangcu."

"To-yu, kalau hendak bertanya, tanya saja. Mengapa berbelit-belit seperti itu?" Tiba-tiba Siangkoan Kok berseru dengan suara lantang karena kakek ini sudah tidak sabar lagi mendengar ucapan tosu Bu-tong-pai itu.

"Benar, Totiang, tanyalah, kami tidak menyembunyikan sesuatu," kata Seng Bu.

"Ouw Pangcu, kami melihat betapa Thian-li-pang sudah mengubah seluruh sikapnya. Thian-li-pang menaklukkan hampir semua perkumpulan dan kelompok para pejuang, mengadakan hubungan dengan semua pihak tanpa pilih bulu. Thian-li-pang menguasai pula semua tempat hiburan, tempat maksiat, dan Thian-li-pang melakukan pemerasan kepada para hartawan. Padahal, semua ini tidak dilakukan ketika Lauw Pangcu masih menjadi ketua. Kenapa setelah para pimpinan Thian-li-pang tewas secara rahasia, tiba-tiba Ouw Pangcu yang menjadi ketua tanpa pengumuman kepada para kenalan, dan Ouw Pangcu mengadakan perubahan yang berlawanan dengan sikap Thian-li-pang dulu? Kami melihat Thian-li-pang telah menyimpang dari jalan benar, maka kami terus terang saja merasa curiga dengan perubahan ini. Yang lebih mengejutkan kami, adanya desas-desus disebarkan oleh orang-orang Thian-li-pang bahwa beberapa hari yang lalu, Ouw Pangcu telah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han di sini! Nah, itulah penasaran yang mendorong kami datang pada pagi ini, untuk minta penjelasan dari para pimpinan Thian-li-pang!"

Siangkoan Kok bangkit berdiri dengan muka berubah merah dan mata melotot. "Tosu Bu-tong-pai, kalian berani mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?!"

Ouw Seng Bu juga bangkit berdiri dan menyabarkannya. "Sudahlah, Paman. Biarkan aku yang menghadapi mereka."

"Tapi, Pangcu. Mereka ini sungguh tidak tahu aturan!"

"Paman Siangkoan Kok, duduklah dan biarkan aku yang menangani urusan ini!" kata pula Seng Bu.

Nada suaranya mengandung sesuatu yang membuat Siangkoan Kok duduk kembali dengan muka cemberut dan mata masih merah ketika dia memandang ke arah lima orang tosu Bu-tong-pai itu. Untuk mendinginkan hatinya, dia pun menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya.

Kini Ouw Seng Bu menghampiri lima orang tosu itu dan berhadapan dengan mereka, sikapnya masih tenang saja. Cu Kim Giok yang sejak tadi hanya menjadi penonton yang berhati tegang, merasa kagum akan sikap kekasihnya itu. Betapa tenang dan lembutnya pemuda yang menjadi ketua Thian-li-pang itu!

"Ngo-wi Totiang (Bapak Pendeta berlima), kami akan menjawab semua pertanyaan dari Totiang tadi. Tadi Totiang Thian Tocu menyinggung mengenai terbunuhnya suhu Lauw Kang Hui dan beberapa orang pimpinan kami. Memang hal itu benar, dan pembunuhnya adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han. Hal ini bisa kami ketahui dari luka yang terdapat pada mayat korban karena pukulan itu hanya dapat dilakukan oleh Yo Han saja. Mengapa dia melakukan semua pembunuhan itu? Mungkin untuk membalaskan sakit hati gurunya, kakek yang menjadi orang hukuman di sini karena menentang pimpinan. Mungkin juga dia hendak menguasai Thian-li-pang dan memusuhi kami yang berlawanan pendapat dan sikap dengan dia. Tentang perubahan yang terjadi di Thian-li-pang semenjak saya dipilih menjadi ketua, itu memang benar. Kami menganggap bahwa perjuangan bukan monopoli golongan pendekar saja, melainkan menjadi tugas setiap orang warga negara untuk menyelamatkan bangsa dari penjajah Mancu. Kami berkeyakinan bahwa tanpa adanya persatuan dari semua pihak, perjuangan akan gagal. Oleh karena itulah, kami sengaja mengadakan hubungan dengan semua pihak yang menentang pemerintah, dan kami akan menundukkan dan memaksa golongan yang menjadi antek penjajah untuk membantu perjuangan kami. Ada pun penguasaan atas semua tempat pelesiran dan meminta sumbangan dari kaum hartawan, memang hal itu kami lakukan karena dari mana kami akan memperoleh biaya? Kalau tempat-tempat maksiat itu dibiarkan tanpa pengontrolan kami, tentu akan menjadi sarang golongan penjahat. Juga, apa salahnya mengajak para hartawan membantu perjuangan dengan menyumbangkan sedikit harta mereka? Bila kebijaksanaan kami mengenai perjuangan bangsa ini tidak cocok dengan keinginan pihak Bu-tong-pai, maaf, hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Selama ini kami sendiri pun belum pernah mencampuri urusan dapur dan kamar Bu-tong-pai."

"Siancai... keterangan Ouw Pangcu masuk di akal sungguh pun belum meyakinkan kami tentang Sin-ciang Taihiap. Lalu bagaimana dengan berita tentang tewasnya Sin-ciang Taihiap Yo Han di tangan Pangcu? Benarkah itu, ataukah hanya berita isapan jempol belaka?"

Cu Kim Giok mengerutkan alisnya. Sikap tosu itu terlalu sombong, pikirnya, dan terlalu memandang rendah kepada Ouw Seng Bu. Akan tetapi sikap ketua Thian-li-pang itu tetap tenang menghadapi ucapan yang nadanya tidak percaya dan meremehkan itu.

"Totiang, Yo Han memang muncul di sini dan dia berusaha untuk membunuhku. Dia datang dan pura-pura hendak menyelidiki kematian suhu dan yang lain-lain. Akan tetapi ketika berada di bagian belakang perkampungan kami, dia lalu menyerangku dan nyaris membunuhku. Masih untung aku dapat mempertahankan diri dan dengan bantuan para anggota Thian-li-pang, kami berhasil membuat dia jatuh terjungkal ke dalam sumur tua dan tewas, walau pun aku sendiri harus menerima pukulan darinya."

"Siancai...! Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar budiman, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin dia dapat dikalahkan demikian mudahnya? Cerita Pangcu itu sukar untuk diterima begitu saja..."

Sepasang mata Seng Bu mencorong dan suaranya terdengar dingin sekali. "Totiang tak percaya pada keteranganku?"

"Bagaimana kami dapat percaya?" kata Thian Tocu. "Jika kami sudah melihat buktinya, barulah kami dapat percaya."

"Totiang adalah seorang tokoh besar dan pemimpin Bu-tong-pai, bagaimana kini dapat bersikap seperti anak kecil begini?" tiba-tiba saja terdengar suara merdu dan lantang. "Akulah yang menjadi saksi akan kebenaran keterangan Ouw Pangcu. Aku pula yang membantu dia mengobati luka di dadanya yang kena pukulan tangan Sin-ciang Taihiap Yo Han!"

Semua orang memandang. Lima orang tosu Bu-tong-pai kini memperhatikan Kim Giok dengan pandang mata penuh selidik. "Siancai, kalau boleh kami mengetahui, siapakah Nona dan apa hubungan Nona dengan Ouw Pangcu?"

"Totiang, Nona ini adalah Nona Cu Kim Giok, puteri dari majikan Lembah Naga Siluman, pendekar Cu Kun Tek. Dia keturunan keluarga Cu, penghuni Lembah Naga Siluman. Apakah Totiang juga meragukan ucapannya dan tidak percaya?" kata Ouw Seng Bu.

Lima orang tosu itu nampak kaget, akan tetapi Thian Tocu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada gadis itu nampak ragu. Seorang gadis cantik manis bermata indah yang usianya paling banyak baru delapan belas tahun! Kalau benar gadis itu puteri keluarga yang amat terkenal itu, bagaimana dapat berada di Thian-li-pang?

"Maafkan kami, Nona. Kami belum pernah melihat Nona, walau pun kami sudah pernah mendengar akan nama besar keluarga Lembah Naga Siluman. Bagaimana kami dapat yakin bahwa Nona adalah puteri majikan Lembah Naga Siluman?"

"Singgg...!!"

Nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan Kim Giok sudah mencabut pedangnya. "Pendeta yang sombong, lihatlah baik-baik, apakah engkau masih meragukan pedangku ini?" bentak Kim Giok.

Pedang Koai-liong Po-kiam nampak berkilat menyilaukan mata dan ketika dicabut tadi, suara berdesingnya mengandung suara seperti harimau mengaum.

Melihat pedang itu, Thian Tocu amat terkejut dan cepat dia memberi hormat. "Koai-liong Po-kiam! Ahhh, maafkan kami, nona Cu. Setelah Nona maju sebagai saksi, kami tidak meragukan kebenarannya. Akan tetapi, yang membuat kami sulit untuk percaya adalah bagaimana mungkin Sin-ciang Taihiap dapat dikalahkah oleh Ouw Pangcu yang murid mendiang Lauw Pangcu? Padahal, Lauw Pangcu sendiri, gurunya, tidak akan mampu menandingi Sin-ciang Taihiap! Bukankah hal ini amat aneh dan sukar dipercaya?"

"Ngo-wi Totiang," kata Ouw Seng Bu, suaranya terdengar dingin dan pandang matanya mencorong, "Apakah seorang murid harus lebih lemah dibandingkan gurunya? Ingatlah, Totiang, orang muda memiliki kesempatan yang jauh lebih banyak untuk memperoleh kemajuan dari pada gurunya yang sudah tua. Kalau Ngo-wi masih belum percaya akan kemampuanku sehingga aku terpilih menjadi ketua Thian-li-pang dan dapat menandingi Yo Han, silakan Totiang berlima maju dan menguji kemampuanku!"

Mendengar tantangan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai saling pandang. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, dan kini mereka berlima ditantang untuk menghadapi seorang pemuda!

"Ha-ha-ha, aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa lima orang kakek Bu-tong-pai yang sombong ini tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus melawan Ouw Pangcu. Ha-ha-ha!" kata Siangkoan Kok sambil tertawa mengejek dan minum araknya.

Itulah ejekan yang amat merendahkan lima orang tosu itu! Mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi ini bukan sekedar bualan kosong belaka. Siangkoan Kok sudah mengenal lima orang tosu itu dan tahu akan tingkat kepandaian mereka berlima. Dia sendiri pun akan mampu menandingi pengeroyokan lima orang tosu itu, walau pun dia belum dapat memastikan bahwa dia akan berada di pihak pemenang.

Kalau lima orang itu tidak disatukan, hanya sebanding dengan tingkatnya. Maka tidak mungkin mereka berlima mampu bertahan sampai tiga puluh jurus menghadapi pemuda ketua Thian-li-pang yang memiliki ilmu kepandaian aneh namun dahsyat itu.

"Siancai! Thian-li-pang sungguh memandang rendah Bu-tong-pai, dan kami ingin sekali membuktikan apakah ketua baru Thian-li-pang memang seorang sakti yang mampu menewaskan Sin-ciang Taihiap. Ouw Pangcu, kami berlima mohon petunjuk!" berkata demikian, Thian Tocu melintangkan tongkatnya di depan dada, sedangkan empat orang sute-nya juga sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka membuat suatu barisan ngo-heng-tin (barisan lima unsur).

Ouw Seng Bu maklum bahwa dia harus memperlihatkan kepandaiannya. Bukan saja untuk menundukkan dan sekedar memberi hajaran kepada lima orang tosu yang sudah memandang rendah kepadanya itu, melainkan juga untuk mendatangkan kesan kepada mereka yang belum mau bekerja sama atau tunduk kepada Thian-li-pang.

Dia tahu bahwa peristiwa ini tentu akan disebar luaskan oleh mereka yang kini hadir, dan sebentar saja dunia kang-ouw akan mendengar betapa ketua Thian-li-pang sudah mengalahkan lima orang tosu tokoh Bu-tong-pai. Dia lalu maju dan menghadapi kelima orang tosu yang sudah memasang barisan di tengah ruangan itu, di tempat yang cukup luas. Semua tamu menonton dengan hati penuh ketegangan.
Si tangan sakti bagian 18

Melihat Ouw Seng Bu menghadapi lima orang tosu itu dengan tangan kosong, padahal lima orang itu memegang senjata dan mereka membentuk suatu barisan, hati Kim Giok menjadi resah.

"Ouw Pangcu, gunakan pedangku ini!" katanya dan dia pun sudah meloncat ke depan, mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada Seng Bu.

Ouw Seng Bu merasa gembira bukan main. Dengan ilmunya yang ajaib, yaitu Bu-kek Hoat-keng, dia tidak gentar menghadapi pengeroyokan lima orang tosu itu walau pun dia tidak memegang senjata. Akan tetapi, sikap gadis itu yang menyerahkan pedangnya kepadanya, membuktikan bahwa Kim Giok benar-benar sangat sayang kepadanya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Dia pun menerima pedang itu.

"Terima kasih, sebetulnya tanpa pedang pun aku tidak gentar menghadapi lima orang tosu yang tinggi hati ini."

"Ouw Pangcu, sambutlah serangan kami ini!" berkata Thian Tocu sambil menggerakkan tongkatnya menyerang.

Seng Bu langsung menyambut dengan pedang Koai-liong Po-kiam dan terdengar suara mengaung menyeramkan karena dia menggerakkan pedang itu dengan mengerahkan sinkang-nya.

Thian Tocu yang mengenal pedang ampuh, menarik kembali tongkatnya dan meloncat ke samping. Dua orang tosu lain sudah menyerang dari kanan kiri, diikuti dua orang lain lagi yang juga telah siap-siap untuk melakukan serangan sambung menyambung. Thian Tocu sendiri yang sudah menyelinap ke arah belakang lawan juga telah bersiap dengan tongkatnya.

Seng Bu maklum bahwa lima orang tosu itu menjadi berbahaya sebab mereka bergerak mengikuti kedudukan bintang Ngo-heng yang perubahannya otomatis dan kadang amat ganas itu. Seng Bu mengerahkan tenaga Bu-kek Hoat-keng dan memutar pedangnya. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata dan suara mengaung-ngaung itu sungguh menggetakkan hati para pengeroyok.

Karena cara Seng Bu bergerak amatlah aneh, seperti kacau balau akan tetapi semua serangan senjata lawan dapat digagalkan, lima orang tosu itu terseret oleh kekacauan gerakannya sehingga kerapian gerakan barisan Ngo-heng-tin itu juga menjadi retak.

Tiba-tiba Seng Bu mengeluarkan teriakan melengking yang begitu nyaring mengerikan, sehingga bukan saja membuat lima orang lawannya terkejut, juga semua orang yang berada di situ tergetar dan merasa ngeri. Teriakan itu bukan seperti suara manusia, mengandung gaung yang aneh, yang seketika membuat lima orang tosu itu bagaikan kehilangan kesadaran. Lalu terdengarlah suara keras lima kali berturut-turut, dan empat batang pedang beserta sebatang tongkat sudah tersambar dan patah-patah oleh sinar pedang Koai-liong Po-kiam!

Lima orang tosu itu berlompatan mundur. Hati mereka kaget bukan main. Dalam waktu belasan jurus saja, senjata mereka telah patah-patah dan ini berarti bahwa mereka telah kalah. Ucapan Siangkoan Kok tadi terbukti!

"Ha-ha-ha, sekawanan tosu sombong ini sekarang baru menyaksikan tingginya langit!" Siangkoan Kok tertawa bergelak, diikuti pula oleh mereka yang memang sudah tunduk kepada Thian-li-pang.

Seng Bu yang tadinya seperti kesetanan, sekarang sudah tenang kembali. Dia pun lalu menghampiri Kim Giok untuk mengembalikan pedang gadis itu.

Gadis itu masih duduk tercengang. Tadi dia melihat betapa pemuda pujaan itu seperti sudah berubah. Gerakannya demikian aneh, seperti bukan orang bersilat, seperti orang gila atau binatang buas mengamuk. Dan suaranya tadi! Juga matanya mencorong aneh dan mengerikan!

Akan tetapi, sekarang dia sudah kembali menjadi seorang pemuda yang tampan serta lembut seperti biasanya, yang mengembalikan pedangnya dengan senyum yang manis sekali. Ia pun menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pemuda itu.

"Terima kasih, Giok-moi," kata Seng Bu dan dia pun kembali menghadapi lima orang tosu yang masih berdiri tertegun.

"Apakah Totiang berlima kini masih penasaran? Masih tidak percaya bahwa aku sudah mengalahkan Yo Han yang hendak membunuhku dan sekarang ia telah tewas di dalam sumur tua?" tanyanya tersenyum, akan tetapi senyumnya dingin dan pandang matanya mengejek dan merendahkan.

Lima orang tosu itu merasa penasaran sekali. Amat sukar bagi mereka untuk menerima kekalahan dari seorang pemuda, padahal mereka tadi maju bersama.

"Ouw Pangcu, senjata kami rusak karena keampuhan pedang Koai-liong Pokiam, akan tetapi kami belum merasa kalah," kata Thian Tocu.

"Lalu Totiang mau apa?" Seng Bu menantang.

"Kita lanjutkan pertandingan dengan tangan kosong agar kalah menang ditentukan oleh kepandaian, bukan oleh keampuhan senjata."

"Baik, kalau Totiang masih penasaran, silakan!" Seng Bu menantang.

"Ha-ha-ha-ha, dasar tosu-tosu tolol, tidak tahu diri!" Siangkoan Kok mencela dari tempat duduknya. "Semua orang tahu belaka bahwa orang-orang Bu-tong-pai mengandalkan ilmu pedangnya. Kalau menggunakan pedang saja kalah, apa lagi bertangan kosong. Mencari penyakit saja, ha-ha-ha, para tosu tolol yang mencari penyakit!" Bekas ketua Pao-beng-pai ini tertawa-tawa.

Mendengar ejekan Siangkoan Kok, lima orang tosu Bu-tong-pai menjadi marah. Mereka sudah memasang kuda-kuda dan Thian Tocu berseru, "Ouw Pangcu, sambut serangan kami!"

Orang-orang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cu Kim Giok, Siangkoan Kok dan beberapa orang di antara tamu, terkejut melihat cara lima orang tosu itu membuka serangan mereka. Thian Tocu berada di depan, empat orang sute-nya menempelkan telapak tangan di punggungnya. Jelas bahwa mereka berlima itu menyatukan tenaga sakti mereka untuk mengalahkan Seng Bu.

Kim Giok terkejut sekali. Gadis ini maklum betapa kuatnya tenaga lima orang tosu yang dipersatukan itu. Bahkan Siangkoan Kok sendiri mengerutkan kening dan memandang khawatir. Akan tetapi Kim Giok menahan teriakannya yang ingin mencegah kekasihnya menyambut serangan itu karena memang sudah terlambat.

Seng Bu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia juga mendorong kedua telapak tangan ke depan untuk menyambut serangan gabungan itu.

"Desss...!!"

Dua pasang telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, lima orang tosu itu terjengkang roboh!

Ilmu yang dikuasai Seng Bu memang hebat dan aneh. Biar pun dipelajarinya secara ngawur dan tidak menurut aturan, namun tidak kehilangan keampuhannya, bahkan lebih aneh lagi dan mengandung racun yang hebat.

Ilmu Bu-kek Hoat-keng yang asli, biar pun dahsyat akan tetapi dapat dikendalikan, dan memang memiliki daya tolak atau mengembalikan kekuatan lawan yang menyerangnya. Akan tetapi, yang dikuasai Seng Bu sudah berubah, tenaga dahsyat itu tidak dapat dikendalikannya dan mengandung racun hebat. Akan tetapi daya tolaknya masih ampuh sehingga ketika lima orang tosu itu menyerangnya dengan tenaga gabungan yang amat dahsyat, tenaga itu membalik dan memukul diri mereka sendiri!

Peristiwa robohnya lima orang tosu ini sangat mengejutkan semua orang, namun amat mengagumkan dan melegakan hati Kim Giok. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terkejut dan kagum bukan main, membuat dia semakin yakin akan kelihaian ketua Thian-li-pang yang masih muda itu.

Lima orang tosu itu bangkit dengan muka pucat. Yang paling parah adalah Thian Tocu yang muntah darah.

Seng Bu memberi hormat dan berkata, "Totiang berlima sudah merasakan sendiri bukti ketanguhan kami. Sebaiknya kalau Totiang membawa Bu-tong-pai agar bekerja sama dengan kami untuk berjuang bersama, dan kalau pun Bu-tong-pai menolak, kami harap tidak lagi mengganggu kami."

"Maafkan kami yang tidak tahu diri, kami mengaku kalah," kata Thian Tocu dan dibantu empat orang sute-nya, dia pun meninggalkan tempat itu diikuti suara tawa Siangkoan Kok…..

**********

Thian Tocu dengan susah payah menuruni Bukit Naga, dibantu empat orang sute-nya yang juga menderita luka guncangan dalam dada. Mereka terpukul oleh tenaga mereka sendiri yang membalik, akan tetapi yang paling parah adalah Thian Tocu karena dia bukan saja terguncang hebat oleh pukulannya yang membalik, juga dia dilanda hawa beracun yang membuat dadanya sesak dan warna kulit dadanya menghitam! Setelah tiba di kaki bukit, Thian Tocu tidak tahan lagi dan roboh pingsan!

Pada saat empat orang tosu dengan bingung merubung suheng mereka dan berusaha menyadarkannya, mereka mendengar suara seorang wanita yang bertanya, "Totiang sekalian, apakah yang terjadi dan kenapa Totiang itu? Ehh, bukankah kalian tosu-tosu dari Bu-tongpai?"

Empat orang tosu itu menengok. Seorang gadis telah berdiri di situ. Gadis yang masih amat muda, belum dua puluh tahun usianya. Cantik jelita dan gagah sekali sikapnya. Pakaiannya berwarna serba merah.

"Aihh, bukankah dia Thian Tocu Totiang dari Bu-tong-pai?" tanya gadis itu lagi dengan nada suara heran. "Kenapa dia?"

Kini dua di antara empat orang tosu itu teringat bahwa gadis ini pernah satu kali singgah di kuil mereka.

"Kiranya Ang-ho Lihiap (Pendekar Wanita Bangau Merah)!" seorang di antara mereka berseru. "Kami berlima baru turun dari bukit, sehabis berkunjung ke Thian-li-pang dan kami dilukai oleh ketuanya."

"Ahhh?!"

Gadis itu adalah Tan Sian Li, Si Bangau Merah. Tentu saja ia merasa heran bukan main mendengar bahwa ketua Thian-li-pang melukai lima orang tosu Bu-tong-pai. Bukankah Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot gagah perkasa? Bahkan Yo Han menjadi pemimpin besar mereka. Kenapa kini ketuanya memukul orang-orang Bu-tong-pai? Jika ia tidak salah ingat, Yo Han pernah bercerita tentang Thian-li-pang dan ketuanya adalah Lauw Kang Hui, seorang kakek yang gagah perkasa.

Tetapi yang lebih penting adalah menolong tosu yang terluka itu. Bu-tong-pai adalah perkumpulan orang gagah, para muridnya pun banyak yang menjadi pendekar. Bahkan ayahnya amat menghormati Bu-tong-pai, maka sudah sepantasnya kalau ia mencoba menolong para tosu itu.

"Biarkan aku memeriksanya, siapa tahu aku akan dapat mengobati dan menyembuhkan dia," katanya.

Melihat sikap gadis muda itu yang tenang dan tegas, empat orang tosu itu mundur dan membiarkan Sian Li melakukan pemeriksaan. Sian Li berjongkok dekat tubuh Thian Tocu yang masih pingsan, lalu memegang pergelangan tangannya, merasakan denyut nadinya. Ia mengerutkan alisnya. Dari denyut nadi itu ia maklum bahwa keadaan tosu itu cukup gawat dan dia menderita luka dalam yang mengandung hawa beracun!

"Coba ceritakan, apa yang terjadi bagaimana dia sampai terluka dalam seperti ini," katanya.

Empat orang tosu itu lalu menceritakan mengenai perkelahian mereka melawan ketua Thian-li-pang, tentang adu tenaga yang mengakibatkan mereka semua terluka.

Sian Li mengerutkan alisnya. "Hemmm, sungguh aneh. Aku harus memeriksa keadaan tubuhnya. Tolong bukakan bajunya, aku ingin memeriksa dadanya."

Seorang tosu membuka baju yang menutupi dada Thian Tocu dan mereka terkejut melihat dada itu kehitaman. Sian Li meraba dada itu dan mengangguk-angguk.

"Dia telah terkena hawa beracun yang aneh sekali. Bagaimana mungkin seorang ketua Thian-li-pang dapat melakukan pukulan sekeji ini?"

"Pemuda itu memang keji, aneh, seperti iblis!"

"Pemuda? Bukankah ketua Thian-lipang sudah tua?"

"Dia masih muda sekali, Lihiap, paling tua baru dua puluh empat tahun."

"Ahhh? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui dan sudah tua?"

"Bukan. Lauw Kang Hui sudah mati, dan dialah ketua baru yang penuh rahasia."

Sian Li merasa heran sekali. "Biarlah kucoba mengobati suheng kalian ini lebih dahulu," katanya.

Gadis murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini lantas mengeluarkan dua batang jarum emas. Dia mengobati Thian Tocu dengan cara menusuk jarum. Tidak sampai setengah jam ia mengobati tosu tua itu, warna hitam di dada pendeta itu lenyap dan tosu Bu-tong-pai itu siuman. Biar pun masih agak lemah, dia telah mampu bangkit.

"Siancai..., kiranya Si Bangau Merah yang telah mengobatiku. Banyak terima kasih atas pertolonganmu, Tan Lihiap," kata Thian Tocu.

"Totiang, apa sih yang telah terjadi di Thian-li-pang? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui, dan bagaimana sekarang tiba-tiba muncul ketua baru yang masih muda dan memiliki ilmu pukulan keji itu? Aku sendiri hendak naik ke sana dan mencari kalau-kalau Han-koko berada di sana."

"Siapakah Han-koko itu, Lihiap?" tanya Thian Tocu.

"Yang kumaksudkan adalah koko Yo Han, Sin-ciang Taihiap. Bukankah dia merupakan pemimpin besar Thian-li-pang?"

Mendengar ini, Thian Tocu menghela napas panjang dan wajahnya berubah muram.

"Siancai..., suatu keanehan terjadi di atas sana, Lihiap." Dia memandang ke atas bukit. "Karena terjadinya perubahan aneh di Thian-li-pang inilah maka kami berlima datang terkunjung untuk melakukan penyelidikan dan meminta keterangan. Akan tetapi, kami dihadapkan kepada kenyataan pahit, bahkan kami sampai terluka."

Tentu saja, Sian Li tertarik sekali. "Ceritakan, Totiang. Apa sih yang terjadi dengan Thian-li-pang?"

"Pada mulanya kami mendengar berita yang meresahkan hati, bahwa para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Lauw Kang Hui serta beberapa orang pembantunya sudah tewas. Kemudian terdengar berita lainnya bahwa Thian-li-pang mempunyai seorang ketua baru dan sejak itu sepak terjang Thian-li-pang menjadi aneh. Mereka menundukkan hampir semua perkumpulan silat dan tokoh kang-ouw di daerah ini, membujuk atau memaksa mereka untuk bekerja sama. Bahkan dengan golongan sesat, bersekutu pula dengan golongan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Sebetulnya, kami dari Bu-tong-pai tidak ingin mencampuri urusan dalam, sampai adanya sebuah berita yang membuat kami merasa penasaran sekali dan memaksa kami untuk datang berkunjung. Berita itu adalah bahwa para pemimpin Thian-li-pang itu dibunuh oleh Sin-ciang Taihiap Yo Han."

"Ahhhh... tidak mungkin...!!" Sian Li berseru, kaget bukan main.

"Kami juga tidak percaya akan berita itu, Lihiap. Kami mengenal siapa adanya Sin-ciang Taihiap. Apa lagi membunuh para pimpinan Thian-li-pang padahal dia pemimpin besar di sana, bahkan para penjahat pun tiada yang dibunuhnya. Dia menundukkan penjahat dan menasehatinya, membujuknya sehingga banyak penjahat kembali ke jalan benar. Akan tetapi, muncul berita lain lagi yang terlalu aneh, yang mendorong kami melakukan penyelidikan, yaitu bahwa baru beberapa hari ini, Sin-ciang Taihiap dibunuh oleh ketua baru Thian-li-pang!"

"Ahhhhh...!!" Kini Sian Li meloncat berdiri dan mukanya berubah pucat sekali, matanya terbelalak. "Aku... aku tidak percaya!"

"Kami juga tidak percaya akan keterangan yang diberikan ketua baru Thian-li-pang itu sehingga terjadi bentrokan antara kami dan dia. Akan tetapi, dia ternyata amat lihai dan memiliki ilmu pukulan yang amat keji. Kami kalah dan pergi dalam keadaan terluka."

"Kalau begitu, aku harus cepat menyelidiki ke sana. Selamat berpisah, Totiang!" Setelah berkata demikian, nampak berkelebat bayangan merah dan Sian Li sudah lenyap dari depan para tosu itu.

Thian Tocu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

"Sungguh berbahaya sekali, tapi mudah-mudahan Tan Lihiap akan mampu menandingi iblis itu," katanya. Mereka berlima merasa prihatin sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.

Dengan hati diliputi kegelisahan mendengar Yo Han dibunuh ketua baru Thian-li-pang yang kabarnya masih muda itu, Sian Li berloncatan dan mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki Bukit Naga.

"Berhenti!" tiba-tiba terdengar seruan.

Dari balik pohon dan semak belukar, berloncatan sepuluh orang anggota Thian-li-pang dan mereka mengepung Sian Li. Ketika melihat bahwa yang datang tanpa diundang dan mereka kepung itu hanya seorang gadis cantik berpakaian serba merah, sepuluh orang anggota Thian-li-pang itu tertegun lalu mereka tertawa-tawa dan kembali menyarungkan golok mereka.

Mereka tentu saja memandang rendah seorang gadis cantik seperti Sian Li. Akan tetapi, biar pun mereka kagum akan kecantikan Sian Li, mereka tidak berani bersikap kurang ajar. Ketua mereka memiliki hubungan luas dengan dunia kang-ouw dan kalau ternyata gadis ini seorang sahabat ketua mereka, maka kekurang ajaran mereka cukup untuk menjadi alasan mereka dihukum berat oleh ketua mereka.

"Nona, siapakah Nona dan ada keperluan apakah mendaki Bukit Naga? Apakah Nona seorang tamu dari Thian-li-pang?"

Karena merasa amat khawatir akan keselamatan Yo Han yang kabarnya sudah dibunuh oleh ketua Thian-li-pang, Sian Li langsung saja bertanya, "Apakah kalian ini anak buah Thian-li-pang?"

"Benar, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang berkunjung?"

"Siapakah nama ketua Thian-li-pang sekarang?" tanya Sian Li.

Orang-orang itu saling pandang. Mereka masih ragu-ragu karena belum tahu, apakah gadis ini teman ataukah lawan.

“Ouw pangcu kami bernama Ouw Seng Bu," berkata pemimpin mereka, seorang yang bertubuh kurus kering dan mukanya kuning.

"Katakan kepada Ouw-pangcu bahwa aku ingin bertemu. Namaku Tan Sian Li."

Mendengar bahwa gadis cantik ini hendak bertemu dengan ketua mereka, orang-orang Thian-li-pang itu tidak berani bersikap lancang. Si kurus kering berkata, "Mari silakan mengikuti kami, Nona. Kami akan melaporkan kepada ketua kami."

Sian Li mengikuti mereka memasuki perkampungan Thian-li-pang dan berhenti di depan gedung induk yang menjadi tempat tinggal ketua Thian-li-pang. Si kurus kering segera masuk untuk melaporkan kepada Ouw Seng Bu.

Pada saat itu, Ouw Seng Bu sedang bercakap-cakap dengan Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok. Siangkoan Kok sedang melaporkan tentang hasil ia menaklukkan partai-partai persilatan dan perkumpulan besar di dunia kang-ouw untuk bekerja sama mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah.

Cu Kim Giok hanya sebagai pendengar saja. Gadis ini makin kagum kepada Ouw Seng Bu dan sekarang tidak lagi memandang rendah kepada Siangkoan Kok atau para tokoh perkumpulan sesat yang telah bergabung dengan Thian-li-pang. Ia menganggap bahwa dalam perjuangan menentang penjajah, memang semua kekuatan harus dipersatukan, seperti yang dikatakan pemuda yang dicintanya itu.

Ia menyadari sepenuhnya bahwa kadang-kadang kekasihnya itu bertindak kejam, tetapi ia lalu menghibur hatinya yang merasa tidak cocok itu, bahwa memang demikianlah perjuangan. Ia menganggap kekasihnya seorang pejuang sejati, seorang pahlawan dan pendekar. Dan sikap Ouw Seng Bu terhadap dirinya demikian baik, sopan, ramah dan penuh perhatian, penuh kasih sayang!

Daun pintu ruangan itu diketuk orang. Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya.

"Masuk!" katanya lantang.

Si kurus kering membuka daun pintu dan masuk, disambut bentakan Ouw Seng Bu. "Ada urusan apa sampai engkau berani mengganggu kami?"

"Maaf, Pangcu. Kami mengadakan penjagaan di lereng dan bertemu dengan seorang gadis berpakaian merah yang menanyakan Pangcu dan minta bertemu dengan Pangcu. Karena itu, kami mengajaknya datang dan sekarang ia menanti di ruangan depan."

"Siapakah namanya dan apa keperluannya?"

"Ia tidak mengatakan keperluannya, hanya ingin bicara dengan Pangcu dan namanya Tan Sian Li..."

"Ahhh, ia Sian Li...!" seru Cu Kim Giok kaget, heran dan juga girang.

"Si Bangau Merah...!" seru pula Siangkoan Kok.

"Kalian sudah mengenalnya?" tanya Ouw Seng Bu dengan heran. "Siapakah gadis itu, Giok-moi?"

"Bu-koko, Tan Sian Li adalah puterinya Paman Tan Sin Hong," jawab Kim Giok. "Kami pernah saling bertemu dalam pesta ulang tahun Paman Suma Ceng Liong."

"Dialah Si Bangau Merah. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih dan ibunya adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir," kata pula Siangkoan Kok.

"Ahhh...!" Ouw Seng Bu terkejut sekali. "Ada keperluan apa ia datang ke sini? Aku tidak mengenalnya." Lalu kepada si kurus kering dia berkata, "Persilakan Nona Tan Sian Li untuk menunggu di ruangan tamu. Aku segera menemuinya di sana."

Setelah si kurus kering pergi, dia lalu menoleh kepada Kim Giok. "Giok-moi, engkau mengenalnya dengan baik. Apa yang harus kulakukan?"

"Terus terang aku agak khawatir, Koko, karena aku pernah mendengar bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han. Jangan-jangan ia datang untuk..."

Wajah Ouw Seng Bu berubah. "Ahh, kalau begitu kita harus membuat persiapan untuk mengatasinya. Ia merupakan ancaman bagi kita."

"Koko, harap engkau jangan mengganggu Sian Li. Kita harus mencari jalan agar ia tidak memusuhi kita, bahkan membujuknya agar membantu perjuangan kita," kata Kim Giok.

"Engkau benar, Giok-moi. Akan tetapi bagaimana kalau ia tidak mau dan malah hendak membalas dendam karena kematian Yo Han?"

"Kalau begitu, kita habisi gadis itu karena membahayakan kita!" kata Siangkoan Kok.

"Aku tidak setuju!" kata Cu Kim Giok tegas, "Aku tidak rela kalau ia dibunuh! Ia masih kerabat dekat orang tuaku. Tidak mungkin aku membiarkan orang membunuhnya!"

"Giok-moi, apakah engkau membiarkan dia membalas dendam atas kematian Yo Han dan menghancurkan Thian-li-pang kita? Apakah engkau rela kalau dia membunuhku? Kalau kita biarkan ia pergi, dan ia mengajak ayahnya dan semua keluarga menyerang, kita akan celaka. Keluarga Suling Emas dan Gurun Pasir merupakan kerabat dekat dan bagaimana kita dapat menanggulangi mereka yang memiliki banyak orang sakti?"

"Tidak, aku tak ingin ia membunuhmu, akan tetapi juga tak ingin engkau membunuhnya. Kita mencari jalan terbaik. Aku akan membujuknya supaya dia mau melihat kenyataan bahwa Yo Han tewas karena ulahnya sendiri dan agar ia tidak memusuhi kita."

"Andai kata usahamu itu gagal?"

"Kalau begitu, terserah, akan tetapi aku tetap melarang dia dibunuh."

"Baiklah, Giok-moi. Kalau dia berkeras kita tangkap dan tawan saja dia sebagai tamu, agar dia melihat sepak terjang kita dalam perjuangan."

Terdengar ketukan pada daun pintu diikuti suara si kurus kering tadi, "Lapor, Pangcu. Nona Tan sudah menanti di ruangan tamu."

"Baik, kami segera datang. Mari, Giok-moi!"

Siangkoan Kok tidak ikut serta. Kalau dia muncul di depan Si Bangau Merah, tentu akan mengejutkan gadis itu dan bisa mendatangkan kesan buruk pula karena mereka pernah bermusuhan dan bertanding.

Sian Li sudah menjadi tidak sabar akibat menanti terlalu lama, maka ketika mendengar langkah orang dari dalam, dia sudah bangkit berdiri. Dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah seorang pemuda tampan bersama seorang gadis yang dikenalnya sebagai Cu Kim Giok! Akan tetapi, ia takut kalau salah lihat dan mungkin saja gadis itu orang lain yang hanya mirip Cu Kim Giok, maka dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian.

"Sian Li...!" Cu Kim Giok yang berseru sambil menghampiri Si Bangau Merah. "Kiranya engkau!"

"Jadi benar engkau Cu Kim Giok? Kim Giok, bagaimana engkau dapat berada di sini?"

"Panjang ceritanya, Sian Li. Perkenalkan lebih dulu, ia ini adalah Ouw Seng Bu, pangcu dari Thian-li-pang. Silakan duduk!"

Sian Li masih keheranan, akan tetapi ia pun duduk berhadapan dengan mereka setelah membalas penghormatan Ouw Seng Bu kepadanya. Dia melihat pangcu yang masih muda itu bersikap sopan dan hormat sekali.

"Sungguh merupakan kehormatan besar menerima kunjunganmu ini, Nona. Bukankah Nona yang berjuluk Si Bangau Merah? Sudah lama kami mengenal nama besar Nona di dunia kang-ouw," kata Ouw Seng Bu.

"Ouw-pangcu, aku datang ke sini untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Kuharap engkau suka menjawab sejujurnya!"

"Sian Li, Ouw-pangcu adalah seorang pendekar gagah, seorang pahlawan bangsa yang sedang berjuang untuk menentang penjajah Mancu. Sudah tentu dia akan menjawab semua dengan sejujurnya," kata Cu Kim Giok.

"Kim Giok, aku berurusan dengan Ouw-pangcu, harap engkau tidak mencampuri," kata Sian Li.

Dia masih ragu dan heran melihat keakraban antara gadis itu dan ketua Thian-li-pang. Memang dia merasa ingin tahu sekali bagaimana Kim Giok dapat berada di situ, akan tetapi dia mengesampingkan keinginan tahu ini karena dia lebih mementingkan jawaban tentang Thian-li-pang, dan terutama tentang Yo Han seperti yang didengarnya dari para tosu Bu-tong-pai.

"Tanyalah, Nona. Saya akan menjawab sejujurnya," kata Ouw Seng Bu.

Sian Li berpikir, biar pun ia ingin sekali segera mendengar tentang Yo Han, akan tetapi ia ingin mengajukan pertanyaan secara teratur.

"Ouw-pangcu, aku mendengar berita bahwa Thian-li-pang sudah menaklukkan banyak partai persilatan dan memaksa para tokoh kang-ouw untuk mau bekerja sama dengan Thian-li-pang, bahkan Thian-li-pang bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Benarkah itu dan mengapa demikian! Setahuku, Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang gagah perkasa dan selalu menentang partai-partai sesat."

Ouw Seng Bu tersenyum. Sebelum pendekar wanita itu mengajukan pertanyaan, dia sudah dapat mengira apa yang akan dipertanyakan, maka dia pun tentu saja sudah siap dengan jawabannya.

"Itulah pertanyaanmu, Nona? Memang kami akui bahwa Thian-li-pang telah mengubah siasat. Kami yakin benar bahwa tanpa adanya persatuan, pengerahan seluruh tenaga yang ada di tanah air, mustahil akan dapat mengenyahkan penjajah Mancu dari tanah air kita. Karena itulah, maka kami memang membujuk, bahkan kalau perlu memaksa, menyadarkan semua pihak untuk mau bekerja sama dalam satu perjuangan menentang penjajah dan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Karena itu, kami tidak berpantang untuk bersekutu dengan pihak mana pun, termasuk dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang kami anggap sebagai rekan-rekan seperjuangan."

"Aku setuju sekali dengan tindakan itu, Sian Li," kata Kim Giok.

"Begitukah, Kim Giok? Sekarang pertanyaan ke dua. Aku juga mendengar bahwa para pimpinan Thian-li-pang, termasuk pangcu Lauw Kang Hui, sudah tewas dibunuh orang. Benarkah itu, dan kalau benar, apa yang terjadi dan siapa pelakunya?" Dengan jantung berdebar namun wajah tetap tenang, sepasang matanya mencorong mengamati wajah ketua Thian-li-pang itu, Sian Li menanti jawaban.

Ouw Seng Bu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Pertanyaan ini sangat menyedihkan hati saya, akan tetapi selalu saja orang menanyakannya. Memang benar, Nona. Suhu Lauw Kang Hui, juga suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan susiok Thio Cu, mereka semua telah terbunuh. Bagaimana terjadinya, kami semua tidak mengetahui jelas. Yang kami tahu adalah bahwa mereka itu tewas dan dari tanda pukulan pada tubuh mereka, jelaslah bahwa pembunuhnya adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han."

"Tidak mungkin!" Sian Li berteriak. "Sin-ciang Taihiap Yo Han adalah seorang pendekar besar, bahkan dia juga tokoh pimpinan dan kehormatan dari Thian-li-pang. Bagaimana mungkin dia membunuh para tokoh Thian-li-pang sendiri?"

"Kami sendiri memang merasa heran dan berduka, Nona. Dahulunya Sin-ciang Taihiap Yo Han merupakan pujaan kami semua, menjadi tokoh kami. Akan tetapi banyak sekali anggota Thian-li-pang yang menyaksikan kematian para tokoh kami itu dan jelas bahwa mereka pun melihat bekas pukulan pada tubuh mereka, pembunuhnya adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han."

"Hemmm, begitukah? Sekarang pertanyaan terakhir. Aku mendengar bahwa engkau, Ouw Seng Bu, sudah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han. Benarkah hal itu?" berkata demikian, Sian Li bangkit berdiri, matanya mencorong dan suaranya terdengar lantang.

Ouw Seng Bu nampak tegang dan gelisah, lehernya basah oleh peluh. "Nona Tan Sian Li, sungguh hal ini amat menyedihkan. Entah apa yang telah terjadi pada diri Sin-ciang Taihiap karena dia sudah berubah sama sekali. Dia datang dan menyerang saya ketika saya berada di dekat sumur keramat di belakang bukit. Saya terkena pukulannya yang ampuh sehingga hampir saja saya tewas. Akan tetapi, para saudara di Thian-li-pang membela saya dan akhirnya Yo Taihiap tergelincir ke dalam sumur tua itu. Karena kami semua takut kepadanya yang seakan-akan sudah berubah menjadi seorang yang kejam dan hendak membunuhi kami, terpaksa kami gunakan batu-batu untuk menutup sumur itu."

"Tidak...! Bohong...! Aku tidak percaya! Kau kira aku tidak mengenal siapa Yo Han? Dia adalah kakak angkatku, suheng-ku, dan orang yang paling kucinta di dunia ini. Aku amat mengenalnya dan tidak mungkin dia melakukan semua itu. Bohong!"

"Maaf, Sian Li," kata Cu Kim Giok. "Terpaksa sekali ini aku turut mencampuri. Aku yang menanggung bahwa keterangan Ouw pangcu tadi benar semua, sebab aku sendiri yang menjadi saksi. Aku yang mengobati luka yang diderita oleh Ouw-pangcu akibat pukulan Yo Han! Dia terluka parah dan hampir saja tewas, bagaimana engkau mengatakan dia berbohong?"

"Aku tidak mengerti kenapa orang seperti engkau dapat berada di sini dan membela ketua Thian-li-pang yang baru ini, Kim Giok, akan tetapi aku tidak peduli. Siapa pun yang mengatakan bahwa Yo Han melakukan itu semua, aku tetap tidak percaya kalau tidak melihat buktinya. Ouw Seng Bu, bawa aku ke tempat sumur itu, di mana tadi kau katakan Yo Han tergelincir masuk!"

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. "Sungguh, ini merupakan masalah yang selalu membuat kami semua sangat berduka, Nona. Akan tetapi kalau itu yang kau kehendaki, marilah!"

Tanpa banyak cakap lagi, Sian Li mengikuti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok keluar dari ruangan tamu itu dan menuju ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang, melalui sebuah bukit kecil. Dia tidak peduli ketika melihat puluhan orang anggota Thian-li-pang mengikuti mereka dari jarak jauh.

Setelah tiba di sumur yang dimaksudkan, Ouw Seng Bu berhenti dan menunjuk ke arah sumur itu. "Di situlah dia tergelincir masuk, Nona."

Mendengar bahwa kekasihnya tergelincir ke dalam sumur tua itu dan sudah ditimbuni oleh batu-batu, Sian Li merasa jantungnya seperti diremas dan kedua kakinya menjadi limbung ketika dengan terhuyung ia menghampiri sumur itu. Ketika ia tiba di tepi sumur dan melongok ke dalam, ingin rasanya dia menjerit melihat betapa seluruh sumur telah tertutup batu. Memang tidak penuh sekali, akan tetapi dasarnya tidak nampak karena tertutup batu-batuan.

Wajah Sian Li menjadi pucat. Matanya mencorong, akan tetapi basah air mata ketika ia membalikkan tubuh. Ia melihat bahwa Seng Bu masih berdiri tegak dan di belakangnya nampak puluhan orang anak buah Thian-li-pang. Kim Giok berdiri di samping Ouw Seng Bu dan kelihatan bingung dan gelisah.

"Ouw Seng Bu, cepat perintahkan anak buahmu untuk menggali sumur ini, mengangkat semua batu yang telah ditimbunkan ke dalamnya!"

"Aih, Nona, bagaimana mungkin? Sumur ini merupakan sumur keramat bagi kami orang Thian-li-pang..."

“Aku tidak peduli! Batu-batu itu tadinya dilemparkan ke dalam sumur oleh orang-orang Thian-li-pang, maka mereka pulalah yang harus mengangkatnya dari dalam sumur. Aku ingin melihat bukti dari keteranganmu tadi. Aku ingin melihat... mayat... Han-koko. Kalau engkau tak mau menuruti permintaanku, berarti engkau membohongi aku, dan aku akan membunuhmu!"

"Sian Li, kuharap engkau jangan bersikap seperti ini. Percayalah, kami tidak berbohong. Lebih baik kita sekarang mengerahkan tenaga kita untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajah, itu lebih mulia dari pada kita saling bentrok sendiri. Tidak ada yang membohongimu, Sian Li. Agaknya telah terjadi sesuatu sehingga Yo Han menjadi berubah..."

"Tutup mulutmu, Kim Giok! Han-koko selamanya tidak berubah. Dia seorang pendekar dan orang gagah sejati. Sedangkan Ouw Seng Bu ini orang macam apa? Kita tidak mengenal dia dengan baik, siapa tahu semua ini hanya akal busuknya saja. Buktinya, dia telah bersekongkol dengan golongan sesat!"

Pada saat itu terdengar seruan keras dan para anggota Thian-li-pang otomatis membuat gerakan mengepung sumur tua itu sehingga dengan sendirinya Sian Li juga berada di dalam kepungan! Dan dari rombongan itu muncullah Siangkoan Kok bersama dua orang berjubah pendeta yang bukan lain adalah Im Yang Ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw.

Ouw Seng Bu kini melangkah maju dengan sikapnya yang gagah. Dengan suara yang dibuat menyesal dia berkata, "Nona, semua ini adalah kesalahanmu sendiri. Engkau tak percaya kepada kami dan hendak membongkar sumur keramat ini, berarti engkau telah menghina Thian-li-pang. Karena kami sedang menghimpun tenaga untuk perjuangan, maka sikapmu yang bermusuhan ini tentu saja akan membahayakan kami, misalnya engkau melapor kepada pemerintah penjajah. Karena itu, menyerahlah, terpaksa kami akan menawanmu."

"Singgg...!” Nampak sinar emas mencorong dan di tangan gadis berpakaian merah itu telah terdapat sebatang suling berselaput emas yang panjangnya seperti pedang.

"Hemmm, dari sikapmu ini saja sudah menunjukkan dengan jelas bahwa engkau sudah berbohong! Aku yakin bahwa engkau memutar balik kenyataan. Han-koko belum tewas, atau andai kata dia tewas pun tentu engkau sengaja menjebaknya! Aku yakin akan hal itu. Kini engkau hendak menawanku dan menyuruh aku menyerah? Jangan bermimpi! Si Bangau Merah tak mengenal kata menyerah. Sekarang kalian hendak mengandalkan pengeroyokan? Boleh, boleh! Kulihat bekas ketua Pao-beng-pai, Siangkoan Kok, sudah berada pula di sini dan dua orang tosu ini tentu juga merupakan orang-orang sesat!"

"Tangkap gadis sombong ini!" Ouw Seng Bu membentak.

Siangkoan Kok, dua orang tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, segera menggerakkan senjata mereka. Ouw Seng Bu sendiri juga ikut menerjang maju dengan tangan kosong. Para anggota Thian-li-pang mengepung ketat.

Menghadapi para pengeroyok yang mulai menyerangnya, Sian Li memutar sulingnya hingga nampaklah gulungan sinar emas menyambar-nyambar di antara berkelebatnya bayangan merah. Gerakan gadis ini cepat bukan main, juga amat indah. Gulungan sinar emas itu mengandung tenaga kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja, beberapa batang senjata anak buah Thian-li-pang terlepas dari pegangan, bahkan dua orang anggota perkumpulan itu roboh terkena sambaran sinar suling emas.

"Semua mundur, biarkan kami saja yang menghadapinya!" bentak Ouw Seng Bu yang maklum akan kelihaian Si Bangau Merah itu.

Para anggota Thian-li-pang yang memang sudah merasa jeri segera mengendurkan pengepungan. Sekarang yang menghadapi Sian Li hanya tinggal empat orang, yaitu Siangkoan Kok, Im Yang Ji, Kui Thiancu dan Ouw Seng Bu sendiri.

Cu Kim Giok masih belum bergerak. Ia hanya menonton tiga orang sekutunya yang kini mulai menggerakkan senjata masing-masing menyerang gadis berpakaian merah yang memegang suling emas itu. Agaknya, Ouw Seng Bu masih tak percaya kalau tiga orang sekutunya yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw yang sangat tangguh itu tidak akan mampu menundukkan Sian Li.

"Bu-koko, engkau tidak boleh membunuhnya. Aku akan marah sekali kepadamu kalau engkau membunuhnya."

"Giok-moi, dia berbahaya sekali. Kalau sampai lolos, dia tentu akan melapor kepada pemerintah dan jika pasukan besar pemerintah datang menyerbu, kita masih belum siap menghadapi mereka."

"Tangkap saja, tawan saja akan tetapi jangan dibunuh. Aku tidak rela kalau ia dibunuh. Kita adalah pejuang-pejuang, tidak akan membunuhi kaum pendekar, Koko!"

Ouw Seng Bu mengangguk. Dia pun maklum bahwa membunuh Si Bangau Merah akan mendatangkan akibat yang amat berbahaya. Jika sampai Pendekar Sakti Bangau Putih mendengar bahwa puterinya terbunuh oleh Thian-li-pang, dan kemudian pendekar sakti itu mengerahkan kekuatan keluarga Pulau Es beserta Gurun Pasir, bagaimana mungkin Thian-li-pang akan kuat bertahan?

"Paman Siangkoan Kok dan kedua Totiang, tangkap saja Si Bangau Merah ini, jangan dibunuh dan jangan dilukai. Kami hanya ingin menawannya," serunya kepada tiga orang sekutunya.

Mendengar seruan ketua Thian-li-pang itu, tiga orang tokoh yang mengeroyok Sian Li mengubah gerakan mereka. Siangkoan Kok mempergunakan pedangnya hanya untuk menangkis suling emas di tangan gadis itu, sedangkan serangan dilakukan oleh tangan kirinya, dengan cengkeraman, tamparan atau totokan.

Demikian pula dengan dua orang tosu pengeroyok. Im Yang Ji, tokoh dari Pat-kwa-pai memutar pedang hanya untuk mengurung gadis itu dengan sinar pedangnya dan yang menyerang adalah tangan kirinya dengan ilmu totokan yang ampuh dari Pat-kwa-pai, dengan gerakan ilmu silat Pat-kwa-kun.

Juga Kui Thiancu, tokoh Pek-lian-kauw yang menyerang dengan ujung lengan bajunya yang kiri, menotok untuk merobohkan Sian Li, sedangkan pedangnya juga hanya untuk membendung gerakan suling emas yang dahsyat itu.

Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Sian Li masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian tokoh Pat-kwa-pai atau tokoh Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi, bagai mana pun gadis yang usianya belum genap dua puluh tahun itu masih ketinggalan kalau dibandingkan dengan kepandaian Siangkoan Kok, datuk sesat yang mempunyai banyak pengalaman itu.

Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh itu, tentu saja Sian Li merasa berat sekali. Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Dia pasti tidak akan mampu bertahan terlalu lama kalau tiga orang pengeroyoknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi ketika Ouw Seng Bu mencegah mereka agar tidak membunuhnya, maka hal itu membuat Sian Li mampu bertahan lebih baik. Bahkan beberapa kali sambaran sinar sulingnya hampir saja mengenai tubuh lawan.

Pada waktu melihat betapa tiga orang sekutunya yang biasanya dapat diandalkan untuk menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak mau bekerja sama itu sampai sekian lamanya belum juga mampu menundukkan Si Bangau Merah, Ouw Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia melompat ke dalam medan perkelahian itu.

"Bu-koko, jangan bunuh atau lukai Sian Li!" Cu Kim Giok berteriak.

Ouw Seng Bu juga tidak bodoh untuk membunuh seorang tokoh semacam Si Bangau Merah, apa lagi bila Cu Kim Giok yang dicintanya itu melarangnya. Dia sudah meloncat dan mengeluarkan ilmunya yang aneh, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan. Akan tetapi dia menjaga supaya tangannya yang mengandung racun ampuh itu tidak sampai membunuh gadis yang diserangnya.

Ketika ada angin pukulan yang amat dingin datang menerpanya, Sian Li yang memang sudah terdesak, terkejut bukan main. Ia mengenal pukulan ampuh, dan untuk meloncat menghindar, tak ada jalan lagi. Senjata tiga orang pengeroyoknya yang terdahulu sudah menutup semua jalan keluar dengan sinar pedang mereka. Terpaksa dia mengerahkan sinkang dan menyambut pukulan itu.

"Desss...!"

Sian Li terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan Siangkoan Kok untuk melancarkan totokan jari tangannya sehingga tubuh Sian Li yang terhuyung itu nyaris terkena totokan. Gadis yang memiliki ginkang luar biasa ini cepat-cepat memutar sulingnya dan tubuh itu mencelat ke samping. Dalam keadaan yang amat gawat itu ia masih dapat menghindar dari totokan! Akan tetapi, kini empat orang lihai itu sudah mengepungnya.

Pada saat yang amat gawat bagi Sian Li itu muncullah dua orang yang tanpa banyak cakap lagi segera terjun ke dalam perkelahian itu. Mereka itu adalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Pangeran Cia Sun dan Sim Hui Eng, atau tadinya bernama Siangkoan Eng!

Seperti kita ketahui, Pangeran Cia Sun ditawan oleh Sim Hui Eng yang mengira bahwa pangeran itu yang sudah menyebabkan kematian ibunya dan kehancuran Pao-beng-pai. Kemudian pangeran itu membuka rahasia Hui Eng sehingga gadis itu pun mengetahui bahwa ia bukanlah puteri Siangkoan Kok, bukan pula puteri mendiang Lauw Cu Si yang selama ini dianggapnya sebagai ibu kandungnya. Dalam pertemuan itu, mereka bahkan saling menemukan cinta mereka. Akhirnya Cia Sun mengajak Hui Eng untuk menemui orang tua kandungnya yang asli, yaitu pendekar sakti Sim Houw dan Can Bi Lan.

Di dalam perjalanan, mereka mendengar tentang sepak terjang Thian-li-pang yang telah menaklukkan banyak tokoh dan perkumpulan kang-ouw. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan di hati Cia Sun.

Dia sudah menjadi saudara angkat Yo Han. Dia tahu pula bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan pejuang, perkumpulan para pendekar gagah perkasa yang sedang berjuang bagi kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Bahkan saudara angkatnya itu, Si Tangan Sakti Yo Han, menjadi ketua kehormatan perkumpulan itu.

Akan tetapi, apa yang didengarnya sekarang? Perkumpulan itu memaksa para tokoh kang-ouw untuk tunduk, bahkan juga terdengar bahwa para anggota perkumpulan itu tidak segan melakukan kejahatan.

"Aku harus datang ke sana, aku harus menegur kakakku Yo Han!" kata pangeran itu.

Sim Hui Eng siap membantu kekasihnya untuk menegur Yo Han supaya menghentikan sepak terjang Thian-li-pang yang tidak baik itu. Demikianlah, mereka lalu membelokkan perjalanan dan menuju ke Bukit Naga, pusat perkumpulan Thian-li-pang.

Ketika tiba di tempat itu dan melihat Sian Li tengah dikeroyok oleh empat orang, Sim Hui Eng berkata kepada pangeran Cia Sun, "Koko, itu Si Bangau Merah Tan Sian Li yang dikeroyok!"

Cia Sun memandang dan merasa kagum. Gadis berpakaian serba merah itu memang lihai bukan main. Begitu gagah dia memainkan suling emasnya, dan gadis itulah yang dijodohkan dengan dia! Jika saja tidak ada Sim Hui Eng yang dicinta dan mencintanya, tentu akan berubah sikapnya terhadap pilihan orang tuanya itu. Akan tetapi dia mencinta Sim Hui Eng, dan tidak ada seorang bidadari pun yang akan mampu memisahkan dia dan Hui Eng.

"Kalau begitu, kita harus membantunya."

"Benar, kita harus membantunya. Lihatlah, para pengepungnya itu lihai, bahkan bekas ayahku yang jahat itu pun ikut mengeroyoknya."

Dengan kemarahan meluap karena teringat akan perbuatan Siangkoan Kok yang amat jahat, karena terbayang kembali betapa ia dihajar dan hampir dibunuh oleh bekas ketua Pao-beng-pai itu, serta apa yang dilakukan orang yang bertahun-tahun ia anggap ayah kandungnya itu terhadap Tio Sui Lan, muridnya sendiri, membuat ia marah dan ketika ia melompat dan menerjang ke arah Siangkoan Kok, serangannya dahsyat bukan main. Pedang di tangan kanannya dan kebutan di tangan kirinya menyambar dahsyat dengan jarum-jarum maut!

"Ehhh... kau...!??" Siangkoan Kok terkejut bukan main ketika mengenal penyerangnya.

Akan tetapi, Hui Eng tidak memberi dia banyak kesempatan. Gadis itu telah menyerang terus, membuat Siangkoan Kok terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian bekas puterinya ini sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Ada pun Cia Sun sudah memutar pedangnya pula membantu Sian Li sehingga Si Bangau Merah itu kini mendapat keringanan, tidak lagi terdesak seperti tadi.

Sian Li sendiri terkejut dan heran melihat Sim Hui Eng. Ia masih mengenal gadis itu sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah datang mengacau dalam pesta keluarga di rumah pendekar Suma Ceng Liong. Dan kini gadis itu membantunya, bahkan bertanding seru melawan bekas ketua Pao-beng-pai sendiri!

Juga ia tak mengenal siapa pemuda bertubuh tegap bermuka bundar putih dan tampan itu, yang datang membantunya pula. Akan tetapi Si Bangau Merah segera bisa melihat kenyataan bahwa biar pun bantuan mereka berdua itu telah menolongnya dari himpitan para pengeroyoknya, akan tetapi tingkat kepandaian mereka belum cukup tinggi untuk mampu merebut kemenangan dari para pimpinan Thian-li-pang.

"Bu-koko, jangan bunuh mereka! Jangan!" kembali Cu Kini Giok berseru.

Melihat kesempatan setelah ia tidak lagi begitu terhimpit berkat pertolongan kedua orang itu, Sian Li segera memutar sulingnya dan berkata, "Sobat, mari kita pergi!"

Ia memutar sulingnya dengan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan tangan kirinya masih meluncurkan pukulan jarak jauh sehingga dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw terpaksa harus mundur.

Cia Sun maklum bahwa kalau Si Bangau Merah berteriak mengajak mereka pergi, hal itu tentu berarti bahwa pihak musuh terlampau kuat. Maka dia pun berseru, "Eng-moi, kita pergi!"

Tiga orang muda itu berloncatan dengan cepat untuk melarikan diri. Ketika Ouw Seng Bu hendak mengejar, Kim Giok berseru, "Koko, jangan kejar mereka!"

Ouw Seng Bu meragu dan hal ini menguntungkan Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng. Kecuali Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok, tidak ada yang akan mampu menahan mereka pergi. Dan agaknya, oleh karena Ouw Seng Bu ragu-ragu untuk melakukan pengejaran akibat pencegahan Cu Kim Giok, maka Siangkoan Kok juga jeri untuk melakukan pengejaran sendiri. Semua keraguan ini membuat Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng dapat berlari cepat, pergi meninggalkan sarang Thian-li-pang…..


JILID SELANJUTNYA SI TANGAN SAKTI BAGIAN 19