Rajawali Emas Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJAWALI EMAS JILID 26

Biasanya kakeknya hanya mengatakan secara singkat bahwa ayahnya sudah tergila-gila kepada wanita lain sehingga ibunya mati karena duka. Melihat perhatian Kong Bu itu, Cui Bi melanjutkan ceritanya penuh semangat, matanya berapi-api, kedua pipinya merah.

"Kemudian terjadilah mala petaka menimpa. Kwa Hong ternyata sudah mengandung dari hubungan yang berlangsung di luar kesadaran Tan Beng San itu. Malah Kwa Hong yang tak tahu malu itu mengunjungi ibumu di Min-san, dan melahirkan anaknya di sana. Hal itu terjadi ketika kakekmu sedang merantau dan ayahmu, Tan Beng San itu, sedang sibuk pula membantu perjuangan. Setelah Kwa Hong pergi bersama anaknya, ibumu menjadi berduka sekali, maklumlah hati wanita, penuh sakit hati, penuh iri dan cemburu, merasa bahwa cinta kasihnya yang mendalam itu dicemarkan. Dan... saking tak kuasa menahan kesedihan hatinya, ia meninggal dunia setelah melahirkan kau..." Sampai di sini suara Cui Bi terdengar serak. Isaknya dalam dada jelas membayangkan keharuan hatinya.

Kong Bu merasa dadanya sesak, sedu-sedan naik ke kerongkongannya. Akan tetapi dia menguatkan hati, menggigit bibirnya sehingga hanya kedua matanya saja yang nampak menjadi merah, sikapnya menakutkan.

"Kau tahu bagaimana keadaan ayahmu ketika dia mendengar tentang kematian isterinya yang tercinta itu? Dia menjadi... menjadi gila..." kembali suara itu parau dan lirih, dan Cui Bi terpaksa berhenti karena terbatuk-batuk, agaknya menahan keharuan hatinya.

"Gi... gila...?" Kong Bu sempat bertanya di antara sedu-sedan yang kembali naik lagi ke kerongkongannya.

"Ya, gila, atau hilang ingatan. Pada waktu itu... hemm, di antara dia dan... Cia Li Cu..."

“Isterinya yang sekarang?"

"Ya, di antara mereka itu terjalin persahabatan yang amat erat, akan tetapi jangan salah artikan. Tan Beng San tetap tidak dapat mencinta lain orang kecuali isterinya, ini terbukti ketika mendengar kematian isterinya dia lalu lupa segalanya, yang diingat hanya isterinya itu. Melihat hal ini, Cia Li Cu amat terharu. Harus diakui Cia Li Cu mencintanya sepenuh jiwa. Ia hendak menghibur pendekar ini, namun apa yang terjadi? Dalam pandangan Tan Beng San yang sudah hilang ingatan itu, Li Cu terlihat seperti ibumu yang telah meninggal dan seterusnya menganggap bahwa Cia Li Cu adalah Kwee Bi Goat!"

"Ahh..." Kong Bu menahan napas, amat tertarik dia dan keharuan bergumul di hatinya.

"Cia Li Cu, puteri Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan, demi cintanya mengorbankan nama baiknya, malah nekat menantang ayahnya, memelihara Tan Beng San dengan hati hancur karena melihat orang yang dicintanya itu menganggapnya sebagai wanita lain. Adakah pengorbanan lebih besar dari ini? Adakah cinta kasih yang lebih besar dari ini?" Cui Bi nampak bangga.

Kong Bu mulai bingung. Kalau betul begini jalan ceritanya, ahh, ayahnya tidak bersalah, malah patut dikasihani.

"Nah, kau tahu, sampai sekarang pun Cia Li Cu yang kini sudah menjadi isteri sah dari Tan Beng San yang akhirnya mendapatkan kembali ingatannya dan mengawini Cia Li Cu, sama sekali tidak ada hati yang memusuhi mendiang Kwee Bi Goat ibumu, apa lagi kau sebagai putera suaminya yang semenjak kecil dibawa lari oleh kakekmu. Kau dicari-cari oleh ayahmu, tetapi tidak bertemu dan kakekmu hendak mengadu kau dengan ayahmu sendiri."

Kong Bu menundukkan mukanya, mukanya merah sekali dan ia berusaha keras menahan sedu-sedan yang sudah hampir meledak di dadanya.

"Ibu... Ayah...," bisiknya, keadaannya mengharukan sekali.

Pemuda itu teringat betapa ia tidak pernah melihat ibunya yang sudah mati, juga tidak pernah melihat ayahnya yang harus diakui sangat mendatangkan rasa rindu di hatinya. Tapi bujukan-bujukan kakeknya membuat ia membenci ayahnya yang disangkanya telah menyeleweng dan menyakiti hati ibunya. Siapakah yang benar? Cerita kakeknya ataukah cerita orang ini? Siapakah orang ini? Apakah dia tidak berbohong?

Ia cepat mengangkat kepala memandang dan kagetlah dia, pemuda tampan di depannya itu memandang kepadanya dengan mata merah, air mata membanjir di kedua pipinya, dan bibirnya yang gemetar itu dikatupkan menahan isak tangis!

Wajah Kong Bu pucat sekali. Mukanya membayangkan hati yang hancur. Seorang yang bagaimana pun keras hatinya sekali pun tentu akan kasihan melihatnya pada saat itu. Makin deras air mata mengalir sepanjang pipi Cui Bi dan tiba-tiba pemuda tampan ini memegang kedua tangan Kong Bu, bibirnya berbisik perlahan dan menggetar.

"Aduh..., kasihan sekali kau... Koko..."

Kong Bu tersentak kaget dan balas memegang tangan pemuda itu.

"Kau... kau siapakah?" Tentu saja ia heran dan kaget mendengar pemuda itu memanggil dirinya koko (kakak).

Dengan lengan bajunya pemuda tampan itu mengusap air matanya pada kedua pipinya sebelum menjawab, akan tetapi air matanya mengalir terus.

"Aku... aku adalah adik tirimu... aku... aku anak dari ayahmu dan ibuku adalah Cia Li Cu..."

Kong Bu merenggutkan tangannya terlepas, meloncat mundur sambil berdiri dan berseru, suaranya keras sekali, "Bohong! Kau penipu, pembohong! Sudah sering aku mendengar bahwa... Ayah dan Cia Li Cu hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang anak perempuan... bagaimana kau ini...?"

Cui Bi sudah berdiri pula, air matanya masih membasahi kedua pipinya.

"Koko, tidak tahukah kau bahwa aku...?"

Ia menggosok kedua anak telinganya sehingga tampak lubang anak telinga yang tadinya ditutup semacam bedak, dibukanya penutup kepala sehingga terurailah rambutnya yang panjang dan halus berombak.

Muka Kong Bu makin pucat. "Kau... kau seorang gadis...?"

"Koko, tidak dapatkah kau melihat bahwa ilmu pedangku adalah warisan Ayah dan Ibu? Koko, Ayah banyak menderita kalau memikirkan kau, kau amat dirindukan Ayah... juga Ibu, percayalah, Ibu sama sekali tidak menganggap kau sebagai orang lain, demikian pula aku... kau sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri..."

Tak dapat tertahan lagi, air mata yang sejak tadi sudah menekan di kedua mata Kong Bu, kini berlinang jatuh menetes. Pemuda itu menutupkan kedua tangan di depan muka untuk menyembunyikan tangis, namun air mata yang tak banyak itu tetap menetes keluar dari celah-celah jari tangannya, sedangkan sedu-sedan yang ditahan-tahannya membuat dua pundaknya yang bidang itu bergerak-gerak.

"Koko...," suara halus itu dekat sekali karena gadis itu sudah mendekatinya.

Kong Bu menurunkan kedua tangan, melihat wajah yang memandang penuh iba, penuh permohonan agar diakui sebagai saudara, dengan air mata membasahi pipi.

"Moi-moi (adik perempuan)..."

Kong Bu memeluk dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya, kepalanya berdongak dan kedua matanya meram, air matanya bertetesan ke atas rambut Cui Bi.

"Ibu... semoga kau mengampuni anakmu..."

Sampai beberapa lamanya kedua orang muda seayah ini saling peluk dan bertangisan. Akhirnya keduanya mampu menguasai hati masing-masing dan dengan agak malu-malu mereka melepaskan pelukan, kemudian saling pandang.

Setelah keharuan mereda, mereka saling memandang kagum. Perlahan-lahan tersembul senyum di bibir Cui Bi yang ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita itu.

"Koko, alangkah bahagianya hatiku. Ayah dan Ibu setiap hari menangis kalau mengingat kau. Mereka amat kuatir kalau-kalau hatimu sudah diracuni, kuatir kalau-kalau kau akan datang dan mengganggu Ayah Ibu sebagai musuh besar. Syukur bahwa kau ternyata memiliki jiwa ksatria, seperti yang diharapkan ayah karena kata Ayah, ibumu pun seorang yang berbudi halus."

"Aku pun bahagia sekali dapat bertemu dengan kau, Moi-moi. Ah, alangkah bodohku..." ia menghela napas panjang. "Aku memang tahu akan watak Kakek yang keras dan aneh... dan diam-diam aku sudah tidak cocok. Baiknya aku bertemu dengan kau dan insyaf. Ah, kalau tidak... bagaimana mungkin aku dapat menjual lagak memamerkan kebodohanku di depan ibumu, sedangkan terhadap kau saja aku sudah kalah jauh?"

Cui Bi tertawa dan memegang tangan kanan kakaknya. "Iihh, kau memang amat pandai merendah. Siapa bilang kau akan kalah jauh? Hemmm, sedangkan kau belum menerima apa-apa dari Ayah saja, sudah setengah mampus aku melawanmu, apa lagi kalau kau sudah menerima warisan dari ayah, pendeknya aku bukan apa-apa bagimu."

"Moi-moi, kau manis sekali, ahhh, alangkah bangga hatiku mempunyai adik seperti kau!" Kong Bu meraba dagu gadis itu dengan hati penuh kasih sayang.

Cui Bi melengos, manja. "Ahh, bisa saja kau, siapa tidak tahu bahwa aku jelek? Kaulah yang gagah perkasa, benar-benar Ayah akan menari kegirangan kalau nanti melihatmu. Ehhh, Koko, bagaimana kita ini? Kakak beradik tetapi tidak saling mengetahui namanya!" Keduanya berpandangan lalu tertawa bergelak!

Memang, dua orang ini adalah keturunan orang sakti dan aneh, maka watak mereka juga aneh. Lebih-lebih jiwa muda mereka membuat mereka mudah merasa gembira.

"Namaku Kong Bu, Tan Kong Bu. Namamu siapa, adikku yang manis?"

"Aku Cui Bi, Tan Cui Bi."

"Bi-moi, mengapa kau menyamar sebagai seorang pemuda? Ha, hampir saja aku kena terpedaya olehmu. Benar-benar tidak dapat diduga bahwa kau seorang gadis yang manis, pandai benar kau menyamar sebagai seorang pemuda tampan dan ganteng lagi pesolek. Sampai-sampai lubang daun telingamu dapat kau tutupi dengan baik, tidak kentara sama sekali."

Heran sekali, Kong Bu melihat wajah adiknya yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba saja menjadi muram.

"Menyamar sebagai pria sudah biasa kulakukan, Ko-ko, dan dalam hal ini Ayah dan Ibu memberi nasehat-nasehatnya. Memang kalau melakukan perjalanan di dunia kang-ouw, aku lebih leluasa kalau menyamar sebagai seorang laki-laki. Akan tetapi kali ini... ah, tidak apa aku berterus terang, bukankah kau kakakku sendiri? Dan siapa tahu, kau akan dapat membantu aku meringankan penderitaan yang amat membingungkan hatiku ini, Bu-ko."

"Ehh, semuda ini, segembira ini dapat menderita kesusahan? Ada apakah, Bi-moi? Apa yang kau susahkan? Tentu saja aku siap sedia menolongmu."

Gadis ini menarik tangan kakaknya, diajaknya duduk di tempat yang teduh. Lalu menarik napas panjang, kelihatan berduka.

"Kau tidak tahu, Bu-ko. Kali ini aku bukan melakukan perjalanan untuk bersenang-senang seperti biasa, melainkan... aku telah lari dari Thai-san, pergi meninggalkan rumah tanpa pamit!"

"Heee?! Kenapa? Kau dimarahi ayah ibumu?"

"Bukan, bukan mereka yang marah, melainkan akulah yang marah kepada mereka."

"Aaiiih, kenapa kau ini? Tak baik marah-marah kepada orang tua, durhaka kau nanti."

"Panjang ceritanya, Bu-ko. Tapi biar kusingkat saja. Kau tahu, Koko, selama aku berada di Thai-san bersama orang tuaku, entah sudah berapa belas kali, bahkan mungkin puluhan kali selama dua tahun ini, orang tuaku menerima lamaran orang atas diriku."

Gadis yang masih berpakaian pria itu merah sekali wajahnya, akan tetapi Kong Bu justru tertawa tergelak.

"Mengapa kau tertawa-tawa?" tanyanya cemberut.

"Ha-ha-ha, kau gadis cantik jelita dan manis, usiamu juga tentu ada tujuh belas tahun, apa anehnya jika menerima banyak lamaran? Andai kata bukan kakakmu, aku sendiri mau melamar. Ha-ha-ha!"

"Iihh, ceriwis kau!" Wajah itu semakin merah. "Jangan mentertawakan aku, Koko, hatiku benar-benar baru resah, nih!"

"Ya sudahlah, kau teruskan ceritamu."

"Ayah dan Ibu sudah merasa jengkel sekali karena aku selalu menolak keras kalau ada pinangan orang. Akhirnya, Ayah dan Ibu menerima pinangan putera Ketua Kun-lun-pai, katanya puteranya seorang she Bun yang menjadi Ketua Kun-lun-pai dan yang menjadi sahabat baik Ayah. Malah menurut cerita Tan-pek-hu di kota raja yang dahulunya adalah tokoh Pek-lian-pai yang terkenal dalam perjuangan, orang she Bun itu adalah keturunan pendekar besar dari Kun-lun-pai sedangkan isterinya merupakan keturunan dari patriot pemimpin Pek-lian-pai, she Thio."

"Waduh, kiong-hi... kiong-hi (selamat, selamat), adikku...!"

"Selamat hidungmu!" Cui Bi memotong dan melerok, mulutnya cemberut marah. "Orang berkeluh-kesah, berduka dan bingung, kok justru diberi selamat. Bukankah kau ini malah memperolok aku, Koko? Bagus benar ya menjadi kakak orang begini kejam!"

"Lho-lho-lho, nanti dulu, jangan marah-marah tidak karuan. Orang muda she Bun itu dilihat dari keturunannya, baik dari ayah mau pun dari ibunya, benar-benar hebat. Kalau ayah bundamu sudah menerima pinangan itu, bukankah berarti pemuda she Bun itu menjadi calon adik iparku? Tentu saja aku senang sekali mempunyai calon adik ipar keturunan orang-orang ternama dan gagah begitu. Apakah kau tidak senang menjadi... eh, anunya?"

Dengan gemas Cui Bi mengulur tangan dan mencubit lengan kakaknya sampai Kong Bu mengaduh-aduh kesakitan.

"Kau nakal benar, Bu-ko. Benci aku kalau begini. Kau mau menolong adikmu atau tidak?"

"Tentu, tentu... tapi lepaskan dulu cubitanmu, ahh, bisa pecah-pecah kulit lenganku nanti. Teruskanlah ceritamu, aku berjanji tak akan menggodamu lagi."

Kong Bu yang baru sekarang merasakan kenikmatan bergurau dengan seseorang yang mendatangkan rasa sayang, benar-benar gembira sekali, akan tetapi juga kuatir melihat betapa adiknya itu bersungguh-sungguh.

"Tentu saja aku menolak keras. Aku tidak sudi menikah apa lagi dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat. Ayah dan Ibu marah-marah, aku pun marah dan akhirnya aku lari meninggalkan rumah tanpa pamit. Aku bersembunyi di rumah Pek-hu di kota raja. Nah, Bu-ko, sukakah kau menolongku kalau nanti kau bertemu dengan Ayah dan Ibu. Kau bujuklah mereka supaya jangan memaksa aku menikah, supaya pinangan yang sudah diterima itu dibatalkan saja dan katakan bahwa aku masih kecil."

Mau tak mau Kong Bu menahan ketawanya. Senang dan sayang benar ia kepada adiknya yang lucu ini.

"Usiamu berapa sih, Moi-moi."

"Kata Ayah, hanya selisih dua tahun denganmu."

"Nah, kalau begitu sudah tujuh belas tahun. Mana bisa dibilang masih kecil?"

"Kau menggoda lagi. Mau tidak membantuku?"

"Ya, baik... baik... biar kelak aku membujuk orang tuamu."

Cui Bi memegang tangan kakaknya dan ditarik bangun, menari-nari seperti orang yang kegirangan sekali. "Terima kasih, terima kasih... wah, aku percaya bahwa Ayah pasti akan meluluskan permintaanmu, kau seorang anak yang disayang, dan baru saja bertemu. Eh, Bu-ko, kau nakal sekali, ya? Gadis Hoa-san-pai yang cantik manis itu, hemmm, kau telah pura-pura kena ditawan. Hemmm, senang sekali, ya? Hi-hi-hik, kau pembohong besar. Katanya benci perempuan murid Hoa-san-pai, tetapi yang satu ini, aku berani bertaruh potong kepala bebek bahwa kau suka kepadanya!"

Kong Bu merenggut lepas tangannya, melotot. "Gila kau! Jangan main-main, ya? Siapa suka perempuan galak seperti setan itu?"

"Galak-galak tetapi manis, seperti setan tetapi menarik hati, bukan begitu? Ah, Koko, aku tidak boleh kau bohongi, ya? Biarlah aku berjanji, kelak kalau kau benar-benar sudah menolongku sehingga ikatanku dengan pemuda Ku-lun-pai itu dapat dibatalkan, aku akan membalas budimu. Aku akan menjadi perantara, akan kubujuk Ayah agar supaya pergi mengajukan pinangan ke Hoa-san!"

"Hush, jangan ngaco!" Kong Bu mendelik dan membentak-bentak, akan tetapi ia sendiri merasa aneh mengapa jantungnya jadi berdebar begini macam?

"Bimoi, aku heran sekali kenapa kau dapat melihat kedatanganku di kuil dengan... ehm, gadis Hoa-san-pai itu? Kulihat tadi yang berada di kuil itu hanyalah seorang pemuda dari Hoa-san-pai yang bijaksana dan halus budi, seorang pemuda lemah akan tetapi bicaranya menusuk perasaan benar, tepat dan bijaksana. Menurut pengakuannya dia adalah paman dari gadis Hoa-san-pai itu."

"Ahh, kau maksudkan Hong-ko?"

"Ehh, Hong-ko siapa? Kau kenal dia?"

Cui Bi tersenyum. "Seorang kutu buku, tetapi dia itu putera tunggal Ketua Hoa-san-pai, pandai ilmu surat tidak pandai ilmu silat. Memang dia orang yang luar biasa. Tentu saja aku kenal dia, malah berhari-hari aku melakukan perjalanan bersama dia."

"Hee...?"

"Jangan memandang seperti itu. Ihhh, pikiranmu agaknya penuh dengan dugaan yang bukan-bukan dan fitnah-fitnah keji. Sampai sekarang dia menganggap aku sebagai laote (adik laki-laki)." Cui Bi tertawa geli dan Kong Bu juga tertawa.

"Sudahlah, mari kita cepat-cepat pulang ke Thai-san, Bu-ko. Kalau bersamamu aku berani pulang. Akan tetapi karena Ayah hendak merayakan pendirian perkumpulan Thai-san-pai, lebih baik kita melihat-lihat di kaki Gunung Thai-san dulu dan menyelidiki kalau-kalau ada orang jahat hendak datang mengacau. Kau tahu, sudah terlalu banyak Ayah membasmi golongan-golongan jahat sehingga dapat diduga bahwa akan banyak musuh yang datang mengacau dan berusaha menggagalkan pendirian Thai-san-pai. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu Ayah."

Kong Bu hanya mengangguk-angguk. Berangkatlah dua orang kakak beradik ini. Mereka sengaja menguji kepandaian masing-masing dan berlari cepat. Betapa kagum hati mereka karena dalam kemahiran ilmu lari cepat ini mereka berimbang. Cui Bi menang ringan tubuhnya dan menang gesit gerakannya, akan tetapi ia kalah napas melawan kakak tirinya itu…..

**********

"Apa kau bilang, Li Eng? Jadi pemuda gagah tadi punya sakit hati terhadap Hoa-san-pai? Mengapa demikian?" tanya Kun Hong.

'Dia cucunya Song-bun-kwi dan Song-bun-kwi agaknya benci sekali kepada Hoa-san-pai karena... hmmm, apakah kau belum pernah dengar tentang... Enci (Kakak Perempuan) tirimu, Paman Hong?"

"Enci tiri? Mana aku mempunyai Enci tiri? Ayah dan Ibu tak pernah bercerita tentang itu!"

Sebetulnya Li Eng juga tidak berani lancang bercerita, akan tetapi keterangan Kun Hong ini malah membangkitkan keinginan hatinya untuk menyampaikan rahasia itu. Dia sendiri merasa heran mengapa orang tidak menceritakan hal Kwa Hong kepada pamannya ini.

"Paman Hong, dulu sebelum ayahmu menikah dengan ibumu yang menjadi sumoi sendiri dari ayahmu, ayahmu sudah memiliki seorang anak perempuan bernama Kwa Hong. Nah, Bibi Kwa Hong inilah yang menimbulkan permusuhan hebat di mana-mana, karena sepak terjangnya yang... hemmm, malah orang tuaku sendiri pun mendendam sakit hati kepada Bibi Kwa Hong yang betul-betul seperti iblis wanita itu."

"Li Eng, yang betul kau bicara. Kalau memang benar dia itu kakak tiriku, berarti dia itu masih bibimu. Bagaimana kau bisa bicara tentang bibimu sendiri?"

"Ah, ternyata kau tidak tahu apa-apa, Paman Hong. Nah kau dengarlah aku bercerita, tapi jangan tersinggung, ya? Aku hanya menceritakan apa yang kudengar dari Ayah dan Ibu. Ingatkah dahulu ketika kau bercerita kepada aku dan Enci Hui Cu tentang burung rajawali emas dan kami bertanya kepadamu tentang dia, siluman betina? Nah, yang kami maksud dahulu itu bukan lain adalah Kwa Hong, enci-mu itulah!"

"Hemmm, kau benar-benar kurang ajar. Kalau benar aku mempunyai kakak perempuan berarti dia bibimu."

"Memang betul, akan tetapi bibi macam bagaimana? Kau dengarlah!"

Li Eng lalu menceritakan tentang Kwa Hong. Betapa wanita ini karena jebakan musuh, mengadakan hubungan dengan Tan Beng San dan betapa wanita ini lalu berubah seperti Siluman, naik burung rajawali emas dan mengacau ke mana-mana. Bahkan Kwa Hong hampir membunuh ayah bunda Li Eng, mengusirnya dan menduduki Hoa-san-pai sebagai ketua. Ia menceritakan pula kenapa Song-bun-kwi mendendam, yaitu dalam hubungannya dengan puterinya, Kwee Bi Goat yang menjadi nyonya Tan Beng San dan yang akhirnya meninggal dunia karena berduka.

"Dia jahat luar biasa, Paman Hong. Dia seperti iblis betina, naik burung rajawali menyebar maut di mana-mana. Entah bagaimana, menurut Ayah dan Ibu, kepandaiannya hebat sekali sampai-sampai Sucouw Lian Bu Tojin, guru ayahmu, juga tewas di tangannya. Dia telah menyakitkan hati isteri Paman Tan Beng San sehingga tak kuat menahan dan tewas setelah melahirkan... heeiii! Tentu dia orangnya!" Tiba-tiba Li Eng meloncat berdiri dan termenung.

"Dia siapa? Apa maksudmu?" tanya Kun Hong.

Li Eng menepuk-nepuk pahanya.

"Siapa lagi kalau bukan dia?! Pemuda itu, cucu Song-bun-kwi, si keparat itu, siapa lagi kalau bukan putera Kwee Bi Goat, putera Paman Tan Beng San."

"Apa?! Pemuda gagah perkasa tadi putera Paman Tan Beng San yang lahir dari Bibi Kwee Bi Goat itu?"

Kun Hong tertarik sekali akan cerita tadi dan diam-diam ia merasa menyesal bukan main bahwa semua hal yang sekarang menimbulkan permusuhan hebat itu adalah gara-gara kakak perempuannya, Kwa Hong. Tahulah dia sekarang mengapa ayahnya begitu keras kepadanya, melarang dia berlatih ilmu silat. Kiranya di sinilah letak rahasianya. Ayahnya sudah kapok, tidak ingin melihat anaknya rusak lagi karena kepandaian silat! Wajahnya pun menjadi muram.

"Ahh, nasib Ayah yang buruk... ahhh, ingin aku bertemu dengan Enci Kwa Hong, ingin aku nasehatkan padanya agar minta ampun kepada ayah, kepada semua orang yang pernah disakiti hatinya."

"Hemmm, aku sangsi apakah dia akan mau... haiii, di sana ada orang bertempur?"

Li Eng menunjuk ke depan. Ketika Kun Hong memandang, benar saja ia melihat seorang pemuda dengan hebatnya bertempur dikeroyok oleh dua orang lawannya. Cepat-cepat ia mengikuti Li Eng yang sudah lari lebih dulu ke tempat pertempuran itu.

"Enci Hui Cu...!" Di lain saat Li Eng sudah berpelukan dengan Hui Cu.

"Eng-moi...!" Paman Hong...!"

Saking girangnya, Hui Cu menangis dalam rangkulan Li Eng. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa dua orang itu berada dalam keadaan selamat, malah dapat bertemu dengannya di situ. Mereka belum dapat bicara banyak karena perhatian mereka kembaii tertuju kepada pertempuran hebat yang masih berlangsung.

Hebat sekali pemuda itu. Akan tetapi kedua orang pengeroyoknya pun luar biasa, yaitu seorang nenek tua sekali dan seorang wanita tua yang masih berwajah cantik. Siapakah mereka ini? Pemuda itu tak lain adalah Sin Lee, ada pun pengeroyoknya adalah Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li!

"Adik Eng..., lekas, kau bantulah dia..." berkata Hui Cu kepada Li Eng. "Aku... aku sendiri sudah terluka..."

Semenjak tadi Kun Hong bengong karena menyaksikan sesuatu yang membuat dia amat terheran-heran, yaitu gerakan pemuda gagah yang dikeroyok itu. Ilmu silat pemuda itu! Bukankah gerakan kaki itu mirip benar dengan Kim-tiauw-kun? Kaki yang meloncat-loncat itu, kedua lengan yang dikembangkan seperti sayap burung. Ahh, meski pun menyimpang dari aslinya, namun tidak salah lagi, pemuda itu tentu pernah mempelajari Kim-tiauw-kun. Inilah yang membuat dia bengong dan membuat dia lengah, tidak melihat bahwa Hui Cu telah terluka.

Sekarang mendengar ucapan ini, cepat ia memandang dan berseru, "Ahhh, Hui Cu. Kau terluka dengan senjata beracun!"

Cepat ia memegang tangan kiri gadis itu dan menariknya dekat. Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek lengan baju bagian atas dan benar saja, di balik lengan baju yang sudah sedikit robek dan berdarah itu tampak kulit pangkal lengan dekat pundak hitam membengkak!

Li Eng mengeluarkan seruan tertahan, namun ia segera bertanya, "Enci, ia siapakah dan kenapa harus dibantu?"

"Lekas... dua orang itu, Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li. Mereka amat jahat dan lihai. Tolong bantulah dia... dia itu... ehhh, dia penolongku."

Li Eng tak usah diperintah dua kali. Mendengar bahwa pemuda gagah itu adalah penolong Hui Cu, apa lagi sesudah mendengar bahwa nenek buruk rupa saking tuanya itu adalah Hek-hwa Kui-bo dan wanita tua yang cantik itu Kim-thouw Thian-li, Li Eng cepat mencabut pedang dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran sambil berseru,

"Bagus sekali! Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, sudah lama aku mendengar nama kalian yang busuk, lihat, aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai datang untuk menagih semua hutang-hutangmu kepada Hoa-san-pai!"

Memang gadis ini sudah mendengar dari ayah bundanya mengenai kejahatan dua orang tokoh ini, terutama tentang perbuatan Kim-thouw Thian-li yang dulu banyak berbuat jahat terhadap Hoa-san-pai.

Hek-hwa Kui-bo dan muridnya kaget sekali melihat serbuan seorang gadis cantik yang mengaku sebagai murid Hoa-san-pai itu. Tadinya mendengar suara Li Eng, mereka tidak pandang sebelah mata, karena apa sih kepandaian seorang anak murid Hoa-san-pai yang masih begitu muda? Namun begitu pedang di tangan Li Eng berkelebat, mereka menjadi terkejut sekali. Menghadapi pemuda ini saja, walau pun mereka berhasil mendesak dengan keroyokan mereka, akan tetapi tak mudah untuk merobohkannya. Apa lagi sekarang muncul seorang gadis yang demikian ganas ilmu pedangnya.

"Kau bereskan anak iblis ini, biar kubunuh gadis liar ini!" kata Hek-hwa Kui-bo kepada muridnya.

Ia percaya bahwa Kim-thouw Thian-li akan dapat menahan Si Pemuda sedangkan ia akan cepat-cepat membunuh gadis itu sebelum dua orang muda yang lain itu dapat membantu. Akan tetapi, bicara memang mudah. Kepandaian Sin Lee hebat sekali dan sekarang menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang diri saja, segera keadaan berubah hebat. Bila tadi Sin Lee terdesak, hal itu tidaklah amat mengherankan.

Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, setingkat dengan tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi dan lainnya. Lebih-lebih nenek ini mengandalkan ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Im-sin Kiam-hoat. Apa lagi karena nenek ini dibantu oleh muridnya yang hampir sama lihainya, Kim-thouw Thian-li ketua dari Ngo-lian-kauw.

Betapa pun lihainya Sin Lee, dia terdesak hebat juga oleh dua orang pengeroyoknya itu. Kim-touw Thian-li hebat permainan goloknya yang dibantu sehelai selampai merah yang mengandung racun. Gurunya, Hek-hwa Kui-bo juga menggunakan dua buah senjata, yaitu sebatang pedang serta sehelai sapu tangan beraneka warna yang racunnya lebih jahat lagi.

Juga Hek-hwa Kui-bo kecele apa bila tadi ia memandang rendah gadis muda belia yang cantik murid Hoa-san-pai ini. Sejak dahulu Hek-hwa Kui-bo memandang rendah kepada Hoa-san-pai, sama sekali ia tak tahu bahwa di Hoa-san-pai telah terjadi perubahan besar.

Hoa-san-pai sekarang jauh bedanya dengan Hoa-san-pai pada dua puluh tahun yang lalu. Setelah Kui Lok dan isterinya, Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai ini mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai asli dari Lian Ti Tojin, yang sekarang diwarisi pula oleh Kui Li Eng, hebatlah ilmu silat Hoa-san-pai itu.

Baru kini Hek-hwa Kui-bo mendapat kenyataan bahwa sama sekali salah bila memandang rendah golongan lain. Begitu mulai serang menyerang dengan Li Eng, nenek itu kaget dan terpaksa segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang ampuh, Im-sin Kiam-hoat dibantu permainan sapu tangan aneka warna yang mengeluarkan bau yang memuakkan.

Li Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan menjaga diri dari pengaruh racun itu dengan hawa murni. Beberapa kali selama perjalanannya, dia sudah bertemu dengan orang-orang sakti. Hal ini membuat Li Eng berhati-hati kali ini.

Sementara itu, setelah memeriksa sebentar, Kun Hong pun berkata, "Hui Cu, jahat benar orang yang melepas Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Bunga) ini. Jarum yang halus itu masih berada di lenganmu. Kau diamlah, kendurkan semua urat dilengan kananmu!"

Hui Cu memandang pamannya dengan keheranan, akan tetapi mentaati permintaan ini. Kun Hong lalu menggunakan jari telunjuknya menotok beberapa jalan darah di siku serta pundak dan seketika gadis itu merasa lengannya lumpuh!

"Diam saja, sakit sedikit, hendak kuambil keluar jarum itu," kata Kun Hong dan pemuda ini segera memijit-mijit lengan yang luka itu.

Tidak lama kemudian, ujung jarum dari luka itu mulai tersembul. Hui Cu menggigit bibir menahan sakit. Sekali lagi Kun Hong memencet, jarum itu keluar dari luka. Jarum yang amat lembut, sebesar ujung rambut.

"Nah, sekarang sudah tidak berbahaya lagi, tunggu kelak kita akan mencari obat untuk menyembuhkannya sama sekali. Biar kukeluarkan dulu sebagian darah yang teracun."

Ia mengurut lengan itu dari atas ke bawah dan dari luka itu keluarlah darah menghitam. Setelah itu ia membebaskan totokannya.

"Aih, Paman Hong. Tidak kusangka... ternyata kau begini pandai..." Hui Cu berkata, penuh kekaguman.

"Pandai apa? Hanya sedikit ilmu pengobatan yang kuketahui dari membaca kitab-kitabnya Yok-mo. Lihat, Li Eng dan penolongmu itu masih bertempur hebat."

Keduanya lalu memandang ke arah pertempuran. Ternyata Sin Lee kini dapat mendesak Kim-thouw Thian-li dengan hebatnya. Pedang pemuda ini amat kuat dan aneh gerakannya dan sekali lagi Kun Hong tertegun karena ia mengenal ilmu pedang ini yang mengandung inti Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Akan tetapi sifatnya sudah berubah, ganas dan merupakan tangan maut mengintai korban.

"Ahh, ganas... ganas...," katanya penuh kekuatiran.

Ia semakin terheran-heran ketika mengenal bahwa inti sari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dimainkan pemuda itu bercampur dengan ilmu pedang Hoa-san-pai sehingga merupakan ilmu silat kombinasi yang tidak menyerupai Hoa-san Kiam-hoat mau pun Kim-tiauw-kun lagi.

Desakan-desakan Sin Lee terhadap Kim-thouw Thian-li semakin dahsyat. Kini wanita itu benar-benar merasa kewalahan menghadapi serangan-serangan yang banyak memakai gerak-gerak tipu ini. Mulailah ia ketakutan setelah pundaknya tercium oleh ujung pedang lawannya. Hebat serangan Sin Lee. Mula-mula pedangnya menyambar ke arah pusar. Pada waktu Kim-thouw Thian-li menangkis sambil mengebutkan sabuk merah ke arah muka Sin Lee, pemuda ini mengibaskan tangan kiri menangkis dengan hawa pukulannya, melanjutkan dengan tusukan pedang yang diputar-putar di depan muka wanita itu.

Mata Kim-thouw Thian-li menjadi silau dan cepat-cepat menarik pedang untuk menangkis lagi. Siapa kira, serangan ini hanya pancingan belaka supaya ia mengangkat pedangnya karena tahu-tahu pemuda itu mengirim pukulan keras ke arah ulu hati, menggunakan tangan kiri yang diputar-putar lebih dulu.

Kim-thouw Thian-li mengeluarkan jeritan kaget karena hawa pukulan tangan kiri pemuda itu mendatangkan angin dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya menggigil dan lemas. Cepat-cepat wanita itu mengerahkan lweekang-nya sambil membanting tubuh ke kanan untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu, namun ujung pedang Sin Lee sudah menyambar datang memenggal leher!

"Celaka!"

Kim-thouw Thian-li menggerakkan kepalanya menjauh, akan tetapi pundaknya masih saja tercium ujung pedang, bajunya robek berikut kulit pundak dan sedikit dagingnya. Mulailah ia menjadi gentar, apa lagi ketika Sin Lee terus menerus mendesaknya dengan serangan pedang yang gencar diselingi pukulannya yang dahsyat itu. Kun Hong yang menyaksikan pukulan dengan tangan lebih dulu diputar-putar ini, menjadi bingung. Di dalam Kim-tiauw-kun tidak ada pukulan macam itu.

Memang, ilmu pukulan ini merupakan ilmu dari kaum sesat yang hanya dipergunakan oleh golongan hitam. Inilah ilmu pukulan Jing-tok-ciang (Pukulan Racun Hijau) yang Sin Lee warisi dari ibunya dan di lain pihak Kwa Hong ibunya itu dahulu menerimanya dari Koai Atong. Dahsyat bukan main Jing-tok-ciang ini karena baru angin pukulannya saja sudah mengandung hawa luar biasa yang dapat mematikan lawan.

Dengan marah sekali Kim-thouw Thian-li mengebutkan sabuk merahnya sambil berseru nyaring. Debu kemerahan langsung menyambar ke arah Sin Lee. Inilah racun berbahaya yang keluar dari dalam sabuk itu, yang dipergunakan Ketua Ngo-lian-kauw hanya kalau menghadapi lawan yang tangguh. Debu merah ini berbau harum sekali, begitu harumnya sampai dapat merampas ingatan dan semangat orang!

Namun sudah banyak Sin Lee mendengar tentang Ketua Ngo-lian-kauw ini dari ibunya, dan sudah tahu pula ia apa artinya debu merah ini. Ia tidak berani memandang rendah, terdengar dia melengking tinggi dan tubuhnya meloncat ke atas dengan kedua tangan dikembangkan.

Hebatnya, dari udara dia dapat melakukan gerakan menerjang ke depan bawah sambil memutar dari kiri sehingga tidak bertemu dengan awan debu merah. Pedangnya cepat dikerjakan dan tangan kirinya juga diputar-putar, siap melakukan pukulan.

Kim-thouw Thian-li berhasil menangkis tusukan pedang Sin Lee, namun sebuah pukulan Jing-tok-ciang yang tak tersangka-sangka datangnya, mengenai pundak kirinya. Perlahan saja pukulan itu, namun ketika jari-jari tangan pemuda itu menyentuh pundaknya, wanita ini memekik keras dan terhuyung-huyung lalu roboh!

Dengan sekuat tenaga dia menghimpun hawa Im-sin-kang di tubuhnya untuk melawan pukulan yang membuat seluruh isi dadanya terasa membeku. Pada saat itu Sin Lee sudah tidak mau memberi hati lagi, menerjang dengan pedang diputar lalu ditusukkan seperti lagak seekor burung mematuk mangsanya.

"Heee, jangan bunuh orang...!" Kun Hong sudah sampai di situ dan menyelinap di antara sinar pedang Sin Lee.

Hui Cu kaget sekali dan hendak menarik tangan pamannya ketika dia melihat pamannya dengan gerakan tidak karuan dan kacau menubruk Sin Lee. Akan tetapi secara aneh sambarannya meleset dan tubuh Kun Hong terus menyerbu ke depan.

Hui Cu hampir menjerit karena kuatir kalau-kalau pamannya itu yang tidak pandai silat terkena senjata Sin Lee. Akan tetapi ia melihat Sin Lee mencelat mundur sambil berseru.

"Kau…?!"

Kuatir kalau-kalau Sin Lee akan menyerang Kun Hong, Hui Cu segera lari menghampiri dan berkata, "Jangan... dia adalah pamanku."

Sin Lee tertegun. Tadi dia terpaksa harus menarik kembali pedangnya dan meloncat ke belakang karena pemuda aneh itu yang menyelinap masuk sudah memasang dua jari tangannya memapaki tangannya yang memegang pedang sehingga kalau ia meneruskan tusukannya kepada Kim-thouw Thian-li, sudah tentu pergelangan tangannya akan tertotok dan pedangnya akan terlepas.

Heran ia bagaimana paman dari Hui Cu dapat mengenal kelemahan pergerakannya tadi? Dan sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa ‘paman’ ini masih seorang muda sebaya dia!

"Dia... dia pamanmu yang bernama Kun Hong itu?" tanyanya memandang ke arah Kun Hong yang menghampiri Kim-thouw Thian-li yang sudah duduk bersila dan mengerahkan lweekang untuk melawan hawa dingin yang menyerang isi dadanya.

"Ya, maklumlah dia... dia paling anti bunuh membunuh, karena itu maka tadi mencegah kau membunuh Kim-thouw Thian-li..."

"Kau... tidak apa-apa?" tanya Sin Lee memandang penuh perhatian.

"Tidak, Paman Hong sudah mengobatiku, tidak kusangka dia pandai. Saudara Tiauw, kau tolong bantulah adik Li Eng melawan Hek-hwa Kui-bo."

Pada saat itu pertempuran antara Li Eng dan Hek-hwa Kui-bo masih berjalan seru sekali. Akan tetapi, betapa pun lihainya Li Eng, menghadapi tokoh sakti ini dia jadi terdesak juga. Apa lagi pedang nenek itu menyambar-nyambar ganas dengan ilmu pedangnya Im-sin Kiam-sut.

Mendengar permintaan Hui Cu, Sin Lee cepat melompat dan langsung menerjang nenek itu dengan pedangnya.

"Iblis tua, kau mampuslah!"

Pedangnya menyambar-nyambar bagai kilat dan Hek-hwa Kwi-bo terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi itu.

Li Eng diam-diam merasa lega bahwa dia mendapat bantuan seorang yang begini kuat. Diam-diam ia membandingkan pemuda ini dengan cucu Song-bun-kwi. Ada persamaan wajah serta bentuk badan di antara dua orang pemuda ini, hanya cucu Song-bun-kwi itu lebih kekar dan lebih tampan dalam pandangannya. Juga dalam ilmu kepandaian, keduanya sama-sama hebat.

Kun Hong menghampiri Kim-thouw Thian-li yang duduk bersila. Wajah wanita itu muram, mengandung cahaya kehijauan yang aneh. Kun Hong tahu bahwa wanita ini telah terluka berat, luka dalam yang mengandung hawa pukulan beracun. Ia pernah bertemu dengan Ketua Ngo-lian-kauw ini dan ia dapat menduga bahwa orang ini bukanlah orang baik-baik, tetapi hatinya yang penuh welas asih membuat ia berkasihan melihat orang itu terluka dan bermaksud untuk mengobatinya.

"Kauwcu, kau terluka hebat"

Tanpa ragu-ragu ia memegang pergelangan tangan kiri wanita tua itu. Beberapa detik ia memeriksa keadaan orang melalui ketukan jalan darahnya, dan ia kaget sekali.

"Kauwcu, kau telah terkena racun hawa pukulan yang mengandung daya Im-kang. Jangan kerahkan tenaga keluar, jangan pula kau melawan dari dalam. Aku akan berusaha untuk menolongmu." Setelah berkata demikian, Kun Hong menotok ke bagian pundak dan mengurut bagian punggung.

Kim-thouw Thian-li membuka matanya. Dia kaget bukan main melihat bahwa orang yang bicara hendak menolongnya adalah orang Hoa-san-pai yang pernah datang ke tempatnya kemudian dibawa pergi Song-bun-kwi. Orang ini terang pihak musuh, mana ia percaya hendak mengobatinya? Tentu hendak menipunya dan hendak mencelakainya. Ia cepat mengangkat tangan mengirim pukulan keras.

"Eh, jangan kerahkan tenaga, berbahaya!” Kun Hong berseru namun terlambat, tubuhnya mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya!

"Paman Hong... kau... kau tidak apa-apa?" Hui Cu mendekati, melupakan lukanya sendiri.

Dia terheran-heran melihat pamannya ini merangkak bangun, sama sekali tidak terluka, hanya keningnya yang bertumbukan dengan batu pada saat ia terlempar tadi agak benjol setengah telur besarnya.

Pemuda ini menggeleng kepala dan memandang ke arah Kim-thouw Thian-li, lalu menarik napas panjang.

"Kehendak Thian tak dapat diubah... dia seperti membunuh diri..."

Hui Cu tidak mengerti dan menengok ke arah Ketua Ngo-lian-kauw dan... ternyata wanita itu telah rebah telentang dengan wajah kehijauan. Ketika dia mendekati, ternyata bahwa Kim-thouw Thian-li telah tewas! Diam-diam Hui Cu girang sekali, karena ia benci wanita Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat dan yang dahulu sudah banyak membikin susah orang-orang tua di Hoa-san-pai.

Hek-hwa Kui-bo benar-benar hebat sekali. Nenek ini usianya sudah amat tua, mukanya sudah penuh keriput dan matanya cekung seperti mata tengkorak. Dilihat begitu saja, ia merupakan seorang nenek yang sudah mendekati lubang kubur.

Namun dalam pertempuran dia benar-benar bagaikan iblis betina. Tenaga lweekang-nya masih mengatasi kedua orang muda yang mengeroyoknya itu, juga ilmu pedangnya yang berdasarkan ilmu sakti Im-sin Kiam-sut bercampur dengan ratusan macam gerakan ilmu silat yang dimilikinya, membuat dua orang pengeroyoknya itu harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk menekannya. Kali ini nenek ini benar-benar menghadapi lawan berat.

Sin Lee adalah putera Kwa Hong yang telah mewarisi kepandaian ibunya yang luar biasa, kepandaian campuran antara ilmu silat Hoa-san-pai, Ilmu Silat Jing-tok-ciang ditambah lagi ilmu silat yang dipelajari oleh Kwa Hong dari rajawali emas. Ada pun Kui Li Eng mempunyai ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, yang tadinya masih merupakan rahasia bagi Hoa-san-pai sendiri sebelum ayah bundanya bertemu dengan Lian Ti Tojin. Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang asli ini berlipat kali lebih lihai dari ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya.

Perlahan tapi tentu, Hek-hwa Kui-bo mulai terdesak. Dua buah pedang di tangan dua orang muda itu benar-benar membuat dia sebentar-sebentar memekik marah dan heran. Akan tetapi ketika nenek ini melihat bahwa muridnya yang terkasih itu tewas sebagai akibat pukulan pemuda yang sekarang mengeroyoknya, ia menjadi marah sekali dan juga kuatir.

Sambil memekik keras, sabuknya lalu dikebut-kebutkan sehingga mengepullah debu yang bermacam-macam warnanya dan di antara kepulan debu ini berkelebatan sinar-sinar yang menyembunyikan jarum-jarum lembut yang mengandung racun sama hebatnya dengan racun debu beraneka warna itu! Inilah penyerangan hebat luar biasa yang jarang dapat dihindarkan oleh lawan yang bagaimana tangguh pun.

"Awas...!" teriakan ini sekaligus keluar berbareng dari mulut Li Eng dan Sin Lee.

Dan berbareng pula seperti mendengar komando, dua orang muda ini membanting tubuh ke belakang, berjungkir balik dan menggelundung pergi seperti binatang trenggiling turun gunung.

Kiranya keduanya sudah mendengar dari orang tua masing-masing mengenai kelihaian Hek-hwa Kui-bo dan tentang senjata rahasia yang amat ampuh dari nenek iblis ini, yaitu debu beracun yang disebut Ngo-hwa Tok-san (Bubukan Racun Lima Kembang) dan juga jarum-jarum beracun Ngo-hwa Tok-ciam.

Karena inilah maka mereka berdua tidak berani menyambut atau menangkis, melainkan membuang diri dengan cara pengelakan yang paling tepat untuk menghindarkan diri dari serangan debu dan jarum-jarum itu. Biar pun begitu, kedua orang muda ini merasa angin berseliweran di atas punggung mereka, hanya beberapa senti meter saja jauhnya, tanda bahwa jarum-jarum beracun itu hampir saja mengenai tubuh mereka.

Setelah menggelundung jauh, keduanya lalu berloncatan bangun dengan keringat dingin mengucur. Hampir saja mereka menjadi korban. Keduanya segera memutar tubuh untuk menghadapi nenek yang ganas itu, akan tetapi nenek itu sudah tidak kelihatan lagi. Kiranya ketika melihat dua orang pengeroyoknya bergulingan tadi, Hek-hwa Kui-bo yang tahu betul bahwa melanjutkan pertempuran melawan kedua orang muda itu merupakan bahaya sedangkan muridnya telah tewas, cepat melompat kemudian menyambar jenazah Kim-thouw Thian-li dan membawanya lari secepat terbang dari tempat itu.

Kun Hong dan Hui Cu yang melihat ini, hanya dapat memandang saja. Bagi Hui Cu yang maklum akan tingkat kepandaiannya, tidak berani dia menghalangi, ada pun Kun Hong memang tidak mau menghalangi, malah ia bersyukur bahwa jenazah Ketua Ngo-lian-kauw itu ada yang membawa pergi dan mengurusnya. Hui Cu dengan muka gembira memperkenalkan Sin Lee kepada Li Eng dan Kun Hong. Li Eng yang berwatak lincah gembira itu menjura dan berkata,

"Tiauw-enghiong benar-benar gagah perkasa dan lihai sekali, membuat aku kagum sekali. Apa lagi karena Tiauw-enghiong telah menolong Enci Hui Cu dari tangan Song-bun-kwi, benar-benar merupakan budi yang tak akan pernah dilupa oleh... Enci Hui Cu." Setelah berkata demikian ini, dengan sinar mata yang nakal sekali Li Eng mengerling kepada Hui Cu yang menjadi merah dadu warna pipinya.

"Menyesal sekali bahwa dahulu itu aku tidak sempat pula menolongmu dari tangan kakek itu, Nona, karena kakek itu memang lihai sekali. Terpaksa aku hanya dapat mengajak Nona Hui Cu pergi," jawab Sin Lee yang tadi merasa tersindir mengapa dahulu itu yang ditolongnya hanya Hui Cu seorang.

Sementara itu, Kun Hong memandang kepada Sin Lee dengan mata tajam penuh selidik. Ia mengenal ilmu silat pemuda ini. Oleh karena otaknya yang cerdik, dia lalu membuat rangkaian dan dugaan. Gurunya, Bu-beng-cu sudah lama meninggal dunia. Kiranya sampai mati pun guru besar itu tidak pernah menerima murid, buktinya ilmunya ditinggalkan dalam bentuk kitab. Kalau ada orang lain mampu mewarisi Kim-tiauw-kun, tentulah melalui burung rajawali emas itu. Dan Kim-tiauw-kun yang dimainkan oleh pemuda ini kacau-balau dan tercampur dengan ilmu-ilmu silat lain, malah ada pula ilmu silat dari Hoa-san-pai di dalamnya. Satu-satunya orang selain dia, yang ada hubungannya dengan rajawali emas, seperti yang ia dengar dari dua orang murid keponakannya, hanyalah Kwa Hong, kakak perempuannya lain ibu itu. Jadi pemuda ini kiranya tak akan terlalu ngawur kalau ia menduga bahwa pemuda ini tentulah anak dari Kwa Hong.
cerita silat karya kho ping hoo

"Saudara Sin Lee she Tiauw, bukan? Bagus, she yang bagus akan tetapi juga jarang ada. Membikin aku teringat akan burung rajawali raksasa. Ehh, Saudara Tiauw Sin Lee, apa kau pernah melihat seekor burung rajawali emas raksasa yang memakai kalung mutiara?"

Wajah Sin Lee segera berubah. Jantungnya berdebar keras. Tadi ketika diperkenalkan, ia mendengar bahwa orang muda yang halus gerak-gerik serta tutur sapanya ini bernama Kwa Kun Hong, putera Ketua Hoa-san-pai. Ini saja sudah membuat ia berdebar-debar karena Kwa Kun Hong yang berdiri di depannya ini adalah adik ibunya! Adik lain ibu, jadi adik tirinya, berarti Kwa Kun Hong ini adalah paman tirinya sendiri.

Akan tetapi tentu saja dia tidak berani memperkenalkan diri dengan sesungguhnya. Dia adalah anak Kwa Kun Hong dan kepergiannya ke Thai-san mempunyai maksud menyeret Tan Beng San ke hadapan ibunya. Orang-orang muda ini sedang menuju ke Thai-san, agaknya mempunyai hubungan baik dan erat sekali dengan Ketua Thai-san-pai.

Apa bila ia mengaku dan menceritakan maksudnya, sudah tentu akan terjadi hal-hal yang tidak enak sekali. Oleh karena itu ia harus tetap memalsukan shenya. Siapa kira di sini ia bertemu dengan paman tirinya, yang entah dengan cara bagaimana, agaknya mengetahui rahasianya!

Bagaimana paman tirinya ini tahu tentang kim-tiauw pula? Sudah tentu saja ia mengenal rajawali emas yang berkalung mutiara. Siapa tidak mengenal kalau kalung yang berada di leher burung itu adalah dia sendiri yang memasangnya?

Mendengar ini, baik Hui Cu mau pun Li Eng menjadi kaget dan heran, lalu memandang kepada Sin Lee. Terutama sekali Li Eng. Sebagai seorang gadis yang cerdik sekali, ia pun dapat menghubung-hubungkan sesuatu.

"Kalau pernah melihat kim-tiauw berkalung mutiara tentu pernah melihat... dia!" Li Eng memandang tajam.

Mendengar ini Hui Cu mengeluarkan seruan tertahan. Benarkah dugaan Li Eng bahwa pemuda penolongnya dan yang sekaligus perampas hatinya ini ada hubungan dengan... dia yang dimaksudkan tentu Kwa Hong?

Ada pun Sin Lee ketika mendengar ucapan Kun Hong dan kemudian Li Eng, melihat pula pandang mata Hui Cu dan yang lain-lain, berubah air mukanya. Tidak mengakui tentang kim-tiauw bukanlah hal yang sukar baginya, akan tetapi bagaimana ia bisa tidak mengakui tentang ibunya sendiri? Ia menjadi gugup dan gelisah karena merasa rahasianya hampir terbongkar.

"Aku... aku... ah, tidak tahu siapa yang kalian maksudkan... setelah Nona Hui Cu bertemu dengan kalian, biarlah aku pergi!" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan dia sudah melompat jauh sekali.

"Saudara Sin Lee...!" Tak terasa lagi Hui Cu berseru memanggil dan lari mengejar, namun ia segera menahan kakinya dan mukanya berubah merah ketika teringat bahwa sikapnya ini benar-benar telah membuka perasaan hatinya, sedangkan di situ terdapat Kun Hong dan Li Eng!

Dari jauh, lapat-lapat terdengar suara pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu, "Nona Thio Hui Cu, selamat tinggal, kelak kita pasti akan saling bertemu kembali..."

"Enci Hui Cu, jangan kuatir, aku yakin kau akan bertemu lagi dengan dia. Hemm, dia baik sekali kepadamu, Cu-cici." Li Eng lalu tertawa dan Hui Cu menjadi makin merah mukanya.

"Adik Eng, jangan kau main-main!"

"Siapa main-main? Memang dia... ehh, hebat sekali, bukan begitukah pendapatmu?"

"Kau... nakal...!"

Hui Cu maju sambil mengulur tangan hendak mencubit pipi Li Eng yang menggodanya. Li Eng mengelak dan menjerit-jerit.

"Ehh... ehhh, jangan... uhh, kenapa marah-marah? Lihat, tuh dia datang kembali!"

Seketika Hui Cu berhenti dan menengok ke arah perginya pemuda tadi. Ketika dia tidak melihat siapa-siapa, Hui Cu menjadi semakin jengah, maklum bahwa sekali lagi ia digoda oleh adik misan yang nakal itu.

"Sudahlah, jangan bergurau saja. Kita harus bersyukur bahwa akhirnya kita bertiga dapat berkumpul kembali dengan selamat."

Sambil melanjutkan perjalanan, tiga orang muda ini lalu saling menuturkan pengalaman mereka masing-masing…..

**********

Puncak Thai-san yang sangat tinggi menjadi tempat tinggal Raja Pedang Tan Beng San dan isterinya Cia Li Cu. Seperti telah kita ketahui dalam permulaan cerita Rajawali Emas, Tan Beng San setelah mengalami banyak sekali derita hidup, dipermainkan oleh asmara yang membuatnya banyak mengalami pahit getir penghidupan, akhirnya berjodoh dengan Li Cu dan hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan di Thai-san ini.

Tentu saja, sebagai sepasang pendekar yang berjiwa gagah, mereka tidak dapat terus menerus menyembunyikan diri di tempat sunyi ini. Kadang-kadang mereka bersama sama atau Tan Beng San seorang diri, turun gunung untuk menjalankan tugas sebagai seorang pendekar pembasmi kejahatan serta penegak kebenaran dan keadilan, sehingga nama sepasang pendekar itu makin terkenal di seluruh dunia.

Tan Beng San adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, pewaris dari Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat. Ada pun isterinya Li Cu, adalah puteri tunggal Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Dengan keadaan demikian, tentu saja sepasang suami isteri ini mempunyai cita-cita untuk mengembangkan kepandaian mereka, membentuk sebuah partai persilatan di Thai-san yang akan menyebar luaskan ilmu dari mereka dan dijadikan sebagai modal untuk membantu usaha pembasmian kejahatan di dunia ini.

Cita-cita inilah yang membuat mereka akhirnya sepakat untuk mendirikan partai persilatan Thai-san-pai. Mereka lalu memilih orang-orang atau lebih tepat anak-anak yang berbakat, diambil dari dusun-dusun dan dipilih anak-anak yang telantar untuk dididik dan dijadikan murid mereka.

Kebahagiaan hidup mereka terasa meningkat ketika setahun kemudian terlahir seorang anak perempuan yang mereka beri nama Tan Cui Bi. Tentu saja anak kesayangannya ini mendapat gemblengan dari kedua orang tuanya sehingga sesudah berusia tujuh belas tahun, Cui Bi menjadi seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berkepandaian tinggi.

Namun, sebagai anak tunggal, Cui Bi amat manja. Darah ayah bundanya, darah ksatria, mengalir dalam tubuhnya dan semenjak berusia lima belas tahun tanpa dapat ditahan lagi oleh kedua orang tuanya, anak ini kadang-kadang melakukan perantauan seorang diri dan melakukan perbuatan-perbuatan gagah berani yang menggemparkan dunia kang-ouw.

Dalam setiap perjalanan ia selalu berpakaian sebagai laki-laki. Hal ini adalah nasehat dari ayahnya yang maklum bahwa betapa pun tingginya kepandaian puterinya, namun dalam pakaian laki-laki Cui Bi akan dapat melakukan perjalanan lebih leluasa, dari pada sebagai seorang gadis cantik dan muda.

Semestinya Tan Beng San serta isterinya akan merasa sangat bahagia setelah mereka mendapatkan murid-murid yang cukup banyak untuk dapat dijadikan anggota Thai-san-pai yang akan mereka resmikan pendiriannya. Akan tetapi, sebagaimana lajimnya kehidupan manusia di dunia ini, selalu tidak mungkin sempurna, tidak ada kebahagiaan sempurna selama manusia masih hidup, pasti ada saja gangguan.

Hal yang sangat menggelisahkan hati dua orang gagah ini adalah sikap Cui Bi dalam hal perjodohan. Telah banyak sekali datang pinangan-pinangan, baik dari putera orang-orang berpangkat, putera tokoh-tokoh kenamaan di dunia kang-ouw, atau pendekar-pendekar muda yang sepak terjangnya benar-benar mengagumkan. Akan tetapi semua pinangan itu selalu ditolak mentah-mentah oleh Cui Bi, sampai akhirnya datang pinangan dari Ketua Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baik dari Tan Beng San sendiri.

Pembaca kiranya masih ingat kepada Bun Lim Kwi, pendekar Kun-lun-pai yang terjodoh dengan Thio Eng puteri tokoh Pek-lian-pai dan murid Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Setelah Ketua Kun-lun-pai yang sudah tua meninggal dunia, Bun Lim Kwi diangkat menjadi ketua baru dari Kun-lun-pai. Bun-paicu ini mempunyai seorang putera tunggal dan diberi nama Bun Wan.

Bun Wan seorang pemuda yang ganteng dan gagah, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur, ilmu silatnya pun amat tinggi. Ketika dalam perantauan, Tan Beng San dan isterinya pernah singgah di Kun-lun dan pernah melihat Bun Wan ini yang mendatangkan kesan baik dalam hati mereka.

Oleh karena itulah, ketika datang lamaran dari Kun-lun, serta merta Tan Beng San dan isterinya setuju karena dalam pandangan mereka, sudah patut sekali kalau puteri mereka menjadi isteri pemuda Bun Wan itu. Bun Wan tampan dan gagah, keturunan orang-orang gagah, putera Ketua Kun-lun-pai yang besar dan terkenal, mau apa lagi? Sukar kiranya mencari mantu yang melebihi Bun Wan ini.

Maka, setelah bersepakat, suami isteri Thai-san ini menerima pinangan itu, tanpa pernah bertanya lagi kepada Cui Bi karena gadis ini sedang merantau. Bun Lim Kwi yang datang sendiri ke Thai-san menjadi girang dan amat berterima kasih, lalu kembali ke Kun-lun-pai setelah mendapat keterangan dari suami isteri Thai-san bahwa persoalan itu selanjutnya akan ditentukan hari pernikahannya sehabis peresmian pendirian Thai-san-pai.

Akan tetapi alangkah mengkal dan duka hati suami isteri ini ketika Cui Bi datang dan diberi tahu tentang ikatan jodoh ini. Gadis itu marah-marah, bahkan pada malam harinya lari pergi dari Thai-san tanpa memberi tahukan ayah bundanya.

"Hemm, anak itu terlalu manja!" Beng San membanting kaki dan mendongkol sekali. “Kali ini ia mau tidak mau harus menurut kehendak kita! Aku akan menyusul dan mencarinya."

Li Cu memegang tangan suaminya. "Jangan, terburu nafsu. Ingatlah bahwa Cui Bi baru berusia tujuh belas, mungkin perkawinan merupakan hal asing yang menakutkan hatinya. Tidak perlu disusul dan dipaksa, jangan-jangan ia akan semakin keras kepala dan nekat menolak. Tunggulah, aku yakin sekali dia akan pulang menjelang pendirian Thai-san-pai dan perlahan-lahan nanti kita bujuk. Serahkan saja kepadaku untuk membujuknya."

Beng San mengerutkan keningnya. "Ahh, kau selalu memanjakan dia, maka sekarang dia begitu keras kepala, selalu hendak membantah kehendak orang tua."

"Suamiku, bagaimana takkan begitu jadinya kalau Bi-ji itu merasa bahwa dia adalah anak tunggal kesayangan kita? Aku memang bersalah," ia menundukkan mukanya. "Aku terlalu memanjakan dia. Tapi... tapi kiraku kalau adiknya ini sudah terlahir, dia tidak akan begitu manja lagi..." Li Cu meraba perutnya yang sudah mengandung empat bulan lebih itu.

Beng San berubah mukanya. Cepat ia memegang kedua tangan isterinya dan dibawanya ke muka, diciuminya. "Ahh, maafkan aku... Li Cu, kau tahu, aku tidak menyalahkan kau, bukan begitu maksudku... ahh, aku hanya terlalu bingung dan gelisah memikirkan Cui Bi. Kita sudah menerima pinangan dari Kun-lun-pai, bagaimana jika kelak dia tetap berkeras menolaknya?"

Li Cu menarik kedua tangannya, memandang pada suaminya dengan penuh cinta kasih. "Kau selalu baik sekali. Percayalah, aku akan membujuk Bi-ji (Anak Bi)."

Suami isteri ini mengatur persiapan perayaan yang dilakukan oleh para anggota Thai-san-pai. Murid Thai-san-pai jumlahnya ada tiga puluh orang lebih dan mereka ini rata-rata sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Malah mereka yang sudah berumah tangga dan tinggal di luar, sekarang pada datang untuk membantu.

Ramai dan gembira keadaan di puncak Thai-san ini. Selain mengatur hiasan-hiasan, juga pada beberapa tempat dibangun pondok-pondok darurat untuk para tamu yang diduga akan membajiri Thai-san-pai.

Para murid ini telah menerima pelajaran ilmu silat yang cukup tinggi juga, yaitu Ilmu Silat Thai-san Kun-hoat yang diciptakan oleh Tan Beng San dengan jalan menggabung ilmu silatnya dan ilmu silat isterinya yang mengutamakan keindahan, kecepatan dan cara yang praktis untuk merobohkan lawan tanpa membunuh, sesuai dengan jiwa Beng San yang tidak suka membunuh orang.

Telah dituturkan di bagian depan cerita ini bahwa Beng San dan isterinya melanjutkan usaha Cia Hui Gan, yaitu membuat jalan rahasia yang menuju ke puncak tempat tinggal mereka. Hanya mereka berdua, anak mereka, dan para murid saja yang tahu akan jalan rahasia yang amat sulit ini.

Jika dilihat dari jauh, agaknya tak mungkin mendatangi puncak di mana terdapat tempat tinggal mereka atau yang menjadi pusat dari Thai-san-pai, karena puncak itu dikurung jurang-jurang yang amat terjal dan tak mungkin dilalui manusia, kecuali kalau manusia itu dapat terbang seperti burung. Bahkan anak murid yang belum tamat, tidak diberi tahu tentang jalan rahasia ini dan karenanya mereka tak dapat meninggalkan puncak sebelum pelajaran mereka tamat. Karena adanya jalan rahasia inilah maka musuh-musuh besar suami isteri itu, di antaranya Song-bun-kwi, tidak berdaya menyerbu Thai-san-pai.

Jalan rahasia ini setiap saat bisa dirubah-rubah sehingga andai kata ada seorang musuh yang berhasil mendapatkan rahasia pada hari itu, pada lain harinya pengetahuannya itu akan sia-sia belaka karena setelah dirubah, rahasia itu akan jauh berlainan dengan yang sudah-sudah.

Untuk menjaga rahasia gunungnya, Beng San sengaja hendak mengadakan perayaan pendirian Thai-san-pai itu di bawah puncak, sehingga ia tidak usah mendatangkan para tamu ke puncak dan karenanya tidak perlu pula ia membuka rahasia itu.

Para anak murid Thai-san-pai sudah siap siaga di bawah puncak. Sebelum hari ditetapkan tiba, kurang satu minggu anak murid sudah siap menyambut para tamu, mewakili ketua mereka. Beng San sendiri tidak mau turun dari puncak sebelum hari yang ditentukan tiba. Ia dan isterinya sedang menanti datangnya para anak murid yang bertempat tinggal jauh, juga menanti datangnya puteri mereka, Tan Cui Bi.

Para tamu mulai berdatangan dan sibuklah anak murid Thai-san-pai menyambut mereka. Yang mewakili Beng San mengadakan penyambutan dan menyampaikan maaf ketuanya karena sibuk sehingga baru akan muncul pada hari yang sudah ditetapkan, adalah Oei Sun, murid tertua, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia empat puluh tahun.

Macam-macam sikap para tamu saat menerima penyambutan yang hanya dilakukan oleh murid tertua Thai-san-pai ini. Mereka ini kesemuanya amat menghormat dan mengagumi Raja Pedang Tan Beng San, namun apakah artinya murid Thai-san-pai yang baru saja berdiri ini?

Ada yang menerima penyambutan dengan hormat, ada yang berterima kasih dan berdiam diri saja, akan tetapi ada pula yang bersungut-sungut, mereka menganggap bahwa Ketua Thai-san-pai tidak memandang mata kepada mereka. Akan tetapi, karena sungkan kalau mendatangkan keributan, mereka menerima saja dan mendiami tempat masing-masing, yaitu bangunan-bangunan darurat yang sudah disediakan untuk mereka.

Seorang di antara para tamu, Lai Tang yang berjuluk Cakar Naga, seorang guru silat dari kota raja yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan berwatak kasar pongah, ketika mendapat sambutan ini segera berkata sambil berjalan ke arah pondok yang ditunjukkan baginya.

"Hemm, hemm, Thai-san-pai Ciangbunjin (Ketua) sedang sibuk dan tidak ada kesempatan menyambut kedatanganku? Membikin kakiku terasa berat saja menaiki Thai-san."

Semua tamu mendengar ini dan beberapa orang di antaranya lalu berseru kagum ketika melihat betapa jejak kaki guru silat tinggi besar ini tercetak di tanah dan memperlihatkan bekas sedalam sepuluh sentimeter lebih pada tanah yang keras itu!

Demonstrasi yang diperlihatkan Lai Tang itu menunjukkan bahwa tenaga lweekang-nya cukup hebat, agaknya sengaja ia perlihatkan untuk mengejek bahwa seorang anak murid Thai-san-pai yang tidak ada nama itu tak cukup berharga untuk menyambut seorang tamu yang berkepandaian selihai dia!

Terdengar Oei Sun tertawa ramah, lalu berkata, "Maaf, maaf, Lai-kauwsu (Guru Silat Lai), Suhu telah memesan agar menyampaikan maafnya dan memesan supaya siauwte dapat melayani semua tamu dengan hormat. Biarlah siauwte yang meringankan kalau Kauwsu merasa berat kaki."

Setelah berkata demikian, dengan tenang dia berjalan pula melangkah di dekat jejak kaki guru silat itu dan... bekas kaki yang amblas sepuluh senti meter itu segera lenyap karena tanahnya sudah rata kembali!

Semua tamu kembali berseru memuji dan guru silat Lai itu menengok, melihat apa yang dilakukan oleh Oei Sun. Mukanya segera menjadi merah dan ia cepat-cepat membalikkan tubuh dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Oei Sun.

"Panglima yang pandai mempunyai prajurit yang hebat pula! Sahabat, dengan kepandaian seperti yang kau miliki ini, tentu saja aku sudah merasa cukup terhormat bisa mendapat penyambutanmu!"

Sesudah berkata demikian, Lai Tang berjalan menuju ke pondoknya sambil tertawa tulus. Senang hati Oei Sun karena meski pun pongah dan kasar, kiranya guru silat she Lai itu cukup jujur dan terbuka hatinya.

Di kaki puncak itu telah dibuat tanah datar yang amat luas dan di tengah dibangun teratak tinggi, setinggi dua meter dengan bentuk persegi empat berukuran lima meter. Di ujung teratak yang lantainya terbuat dari papan tebal dan tiang-tiangnya di bawah dari balok besar-besar ini dipasangi meja sembahyang.

Teratak tanpa atap inilah yang nanti akan menjadi tempat dilakukannya upacara pendirian Thai-san-pai dan sengaja dibuat dalam bentuk seperti biasa orang membuat panggung lui-tai di mana orang akan dapat bermain silat cukup leluasa. Bukan hal aneh kalau setiap pertemuan di antara para jago-jago silat atau dalam partai-partai persilatan, dibuat teratak semacam ini untuk memberi kesempatan orang bermain silat atau bertanding kepandaian silat.

Banyak juga tamu yang datang, sampai tak kurang dari lima puluh orang yang mendapat tempat istirahat di pondok-pondok darurat di kaki puncak. Namun rombongan-rombongan besar dari partai-partai terkenal seperti dari Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain, adalah partai-partai yang dipimpin oleh orang-orang terkenal.

Mereka adalah orang-orang tahu diri dan tidak suka mendesak-desak, maka sebelum tiba hari yang ditentukan, mereka tidak mau naik ke kaki puncak, tapi berhenti di lereng-lereng dan mencari tempat peristirahatan di dalam hutan-hutan yang pemandangannya indah dan hawanya sejuk. Juga tokoh-tokoh besar perorangan belum ada yang muncul ke kaki puncak karena orang-orang seperti mereka ini pun tentu saja bersikap ‘jual mahal’ dan tidak muncul sebelum Ketua Thai-san-pai keluar dari sarangnya.

Pendeknya, biar pun yang terlihat berkumpul di kaki puncak hanya ada lima puluh orang, namun di lereng-lereng Thai-san telah datang banyak orang yang masih menyembunyikan diri di tempat peristirahatan masing-masing, di dalam hutan-hutan yang banyak terdapat di seluruh permukaan Pegunungan Thai-san itu.

Selama menunggu datangnya hari penentuan itu, mereka yang datang ke Thai-san, baik yang sudah diterima oleh murid kepala mau pun yang masih berdiam menanti di lereng, setiap hari berjalan-jalan menikmati pemandangan alam yang indah bukan main. Mereka yang datang dari gunung-gunung lain lalu membandingkan pemandangan di situ dengan tamasya alam di tempat masing-masing.

Rata-rata mereka memuji akan keindahan Thai-san dan diam-diam menyatakan kagum kepada Raja Pedang Tan Beng San yang pandai memilih tempat untuk dijadikan pusat perkumpulannya. Ada pula yang memuji nasib baik Raja Pedang itu karena telah menjadi mantu Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan yang dahulu merajai daerah pegunungan ini. Namun, banyak pula di antara tamu yang merasa penasaran melihat bahwa tempat upacara dan pertemuan tidak diadakan di puncak, melainkan di kaki puncak.

"Hemmm, Ketua Thai-san-pai sungguh tidak memandang kepada kita!" beberapa orang di antara mereka berkata, "Apakah puncak tempat tinggal mereka itu terlalu bersih sehingga takut dikotori kaki kita?"

Ada pula yang mengomel, "Kabarnya jalan rahasia Thai-san-pai benar-benar amat hebat dan yang paling sukar dipecahkan di antara tempat-tempat rahasia di dunia ini. Aku ingin mendapat kesempatan ini untuk melihatnya. Siapa tahu, Ketua Thai-san-pai begini pelit sehingga tidak mau memperlihatkan puncak. Apakah dia takut kalau kita akan mencuri barang-barang yang berharga?"

Macam-macam pendapat orang, pada pokoknya banyak yang merasa penasaran. Malah perasaan ini mendatangkan bermacam-macam kejadian, bahkan ada pula yang hebat akibatnya. Beberapa kelompok bahkan berusaha untuk mencari sendiri jalan rahasia itu, bermaksud untuk mendaki puncak dan mencari jalannya. Akan tetapi akibatnya, mereka ini berkeliaran di hutan-hutan, sesat tidak karuan dan selama dua hari baru dapat keluar dari hutan-hutan yang sulit dilalui, dengan tubuh lemas dan perut lapar, malah ada yang hampir mati dikeroyok ular atau binatang lain!

Lebih celaka lagi, ada yang pergi seorang diri, diam-diam mempergunakan kepandaian menawan seorang anak murid Thai-san-pai, menyeretnya ke dalam hutan dan memaksa anak murid itu untuk mengaku dan membuka rahasia jalan ke puncak. Orang ini terlalu memandang rendah anak murid Thai-san-pai.

Biar pun murid yang ia lawan itu tidak sanggup melawannya karena kalah tinggi tingkat kepandaiannya, tetapi setiap orang murid Thai-san-pai adalah orang pilihan yang memiliki kesetiaan luar biasa. Murid Thai-san-pai itu tidak mau membuka rahasia pertanyaannya, biar pun ia disiksa oleh Si Penawannya, malah kemudian sampai tewas dan ditinggalkan mayatnya begitu saja di dalam hutan itu.

Si Penawan ternyata gagal mendapatkan rahasia Thai-san-pai dan dengan hati kecut ia meninggalkan tawanannya yang sudah menjadi mayat, takut kalau-kalau akan ketahuan rahasianya. Dengan wajah biasa dan sikap tenang orang ini kembali di antara para tamu. Ributlah para anak murid Thai-san-pai ketika mereka mendapatkan seorang saudaranya tewas di dalam hutan. Namun mereka tidak memperlihatkan kegugupannya.

Oei Sun yang mendengar tentang ini, dengan tenang menyuruh seorang murid melapor kepada suhu-nya serta membawa mayat saudara seperguruannya itu naik ke puncak pula untuk diperiksa oleh ketua mereka. Kejadian ini berlangsung tanpa banyak menimbulkan keributan, namun tentu saja berita ini tersiar luas di antara para tamu sehingga mereka ini diam-diam menjadi tegang karena menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat antara Thai-san-pai dengan orang-orang yang memusuhinya, di antaranya orang-orang yang telah membunuh anak murid Thai-san-pai itu!

Lima hari sebelum bulan pertama, yaitu hari pendirian Thai-san-pai, datanglah Tan Cui Bi bersama Tan Kong Bu ke tempat penyambutan. Para anak buah murid Thai-san-pai tentu saja menyambut kedatangan Cui Bi dengan gembira.

Akan tetapi Oei Sun memandang sumoi-nya (adik perempuan seperguruan) ini dengan mata diliputi kemuraman, lalu menarik tangan sumoi-nya masuk ke dalam pondok. Sambil tertawa Cui Bi memberi tanda kepada Kong Bu untuk turut pula ke dalam. Ketika Oei San melihat ini, keningnya berkerut, akan tetapi Cui Bi berkata,

"Oei-suheng, dia ini bukan orang luar. Dia... hemm, belum waktunya kau mengetahui hal ini. Aku dan Kong Bu-koko ini tidak akan segera naik menemui Ayah Ibu, karena kami berdua hendak menanti datangnya tiga orang murid Hoa-san-pai. Aku sendiri yang harus menyambut mereka dan setelah mereka mendapat pondokan yang baik, barulah aku akan menghadap Ayah Ibu. Eh, Suheng, kenapa kau kelihatan tak senang dan gelisah? Apakah yang terjadi?"

Walau pun Cui Bi merupakan adik seperguruan, namun tentu saja Oei Sun menganggap gadis muda ini seperti atasannya karena gadis ini adalah puteri gurunya dan dia maklum bahwa dalam hal kepandaian, ia tidak ada setengahnya sumoi-nya yang nakal ini.

"Sumoi, aku merasa agak kecewa bahwa kau sama sekali tidak muncul lebih siang untuk membantu keperluan kita. Kau tahu, baru saja kemarin terjadi hal yang menggemaskan."

Lalu murid tertua ini bercerita tentang tewasnya seorang murid Thai-san-pai secara aneh itu.

"Ternyata di antara para tamu terdapat musuh-musuh curang dari Suhu sehingga mereka itu melakukan pembunuhan sebelum Suhu sendiri turun dari puncak. Bukankah ini amat menggemaskan?" berkata Oei Sun sambil membanting-banting kaki. "Thai-san-pai belum diresmikan pendiriannya saja sudah harus menelan penghinaan ini. Hemmm, ingin sekali aku mengetahui siapa yang melakukan perbuatan ini dan ingin aku berhadapan dengan dia!"

Tentu saja Cui Bi juga marah mendengar ini. "Benar-benar jahat dan curang sekali! Kalau memang mau mencari perkara dengan kita, kenapa tidak terang-terangan saja? Hemmm, coba dia berani memperkenalkan diri, tak akan mau sudah aku kalau belum kupenggal batang lehernya. Suheng, sambil menanti datangnya teman-teman dari Hoa-san-pai, aku akan memasang mata. Kurasa, orang yang membunuh itu tentu telah menculik saudara kita itu untuk dipaksa memberi tahu tentang rahasia jalan ke puncak. Apakah di tubuh Suheng itu terdapat tanda luka-luka berat?"

Oei Sun memandang kagum. Memang harus ia akui bahwa sumoi-nya ini biar pun masih muda, akan tetapi memiliki kecerdikan luar biasa. "Kau benar, Sumoi. Memang begitulah agaknya, akan tetapi derita yang dialami oleh Sute itu hebat, seperti ditusuk benda panas, tentu sebelum meninggal dia menderita sekali."

Cui Bi lalu minta disediakan sebuah pondok yang letaknya agak jauh dan tersembunyi karena dia hendak melakukan pengintaian selama menanti kedatangan Kun Hong dan Li Eng. Juga ia mengharapkan kedatangan Hui Cu yang sampai sekarang belum ia ketahui bagaimana nasibnya itu.

Sebentar saja kedukaan akan kematian seorang suheng-nya telah tak berbekas pula. Di dalam pondok ia menggoda kakak tirinya.

"Bu-ko, hatimu tentu berdebar-debar, bukan?"

"Apa maksudmu? Mengapa kita harus menanti di sini? Bukankah lebih baik terus saja ke puncak menemui... Ayah?" Kaku juga pemuda ini menyebut ayah yang selamanya belum pernah ia lihat itu.

"Hishh, benarkah kau begitu terburu-buru? Ataukah kau diam-diam ingin segera melihat kedatangan... dia?"

"Bi-moi, kau selalu menggodaku tentang Nona Kui Li Eng itu. Hmmm, tahukah kau apa yang akan terjadi apa bila aku dan dia bertemu? Kami berdua sudah saling menantang, kalau sekali lagi bertemu akan mengadu pedang!"

Akan tetapi Cui Bi tidak heran malah tertawa manis. "Tentu saja, maksud dia itu hendak menjatuhkan hatimu, bukan pedangmu. Padahal, tanpa usaha itu pun kau sudah jatuh. Bukan begitu?"

Kong Bu benar-benar merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi adik tirinya yang nakal ini. "Sudahlah... sudahlah, Moi-moi. Siapa tidak tahu, bahwa kaulah yang rindu kepada... kutu buku itu?"

Seketika wajah Cui Bi berubah, matanya membelalak. Seakan-akan hal ini merupakan hal yang baru baginya, atau sesuatu yang baru saja teringat olehnya. Hatinya berdebar keras, membuat wajahnya seketika menjadi merah sekali.

Ia seorang gadis yang jujur, tak suka berpura-pura, apa lagi terhadap kakak tirinya yang baginya sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu. Ia menunduk, termenung, tak dapat berkata-kata lagi, seakan-akan lupa bahwa kakak tirinya berada di situ.

Melihat adiknya tiba-tiba menunduk dan termenung itu, Kong Bu kuatir kalau ia membuat adiknya tidak senang. Ia menyentuh pundaknya dan berkata, "Kau kenapa? Aku hanya main-main, jangan marah. Kau tukang menggoda orang, tapi jika digoda sedikit saja, lalu ngambek!"

Akan tetapi ketika adiknya itu mengangkat muka memandangnya, hati Kong Bu tertegun. Adiknya ini tidak ngambek, tidak pula marah, tetapi kelihatan terharu dan bingung!

"Bu-ko, apakah kau pikir betul-betul aku rindu kepadanya?"

"Lho, mengapa urusan begitu kau bertanya kepadaku? Habis, kau sendiri bagaimana?"

"Aku... aku tidak tahu, Bu-ko, aku tak tahu. Hanya terus terang saja, aku memang... ingin sekali melihatnya. Lucunya ia mengira aku seorang laki-laki. Ah, Bu-ko, aku meragu. Apa yang harus kulakukan?"

Kong Bu terharu. Adik tirinya ini benar-benar seorang yang berhati polos, dan terhadap dia tidak mau menyimpan rahasia apa-apa, begitu jujur dan menaruh kepercayaan yang besar sekali. Hal ini membuatnya terharu dan makin mendalam rasa sayangnya kepada adik tiri ini.

“Aku harus membelanya, harus melindunginya. Aku ingin melihat dia berbahagia, adikku sayang ini,” pikirnya.

"Bu-ko, kau lihat orang she Kwa itu orang yang bagaimana?" tanya pula Cui Bi dengan mendadak.

"Hemm, mana aku tahu? Hanya sebentar aku bertemu dengan dia. Dia memang orang aneh, semuda itu kata-katanya mengandung filsafat-filsafat tinggi. Kau kau yang sudah cukup lama melakukan perjalanan bersama dia tentu lebih mengenal sifat-sifatnya. Tetapi dia itu... kutu buku yang lemah, seperti yang kau katakan sendiri. Apakah sifat ini sesuai dengan kau... seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi dan jiwa gagah perkasa?"

Cui Bi menggeleng kepalanya berkali-kali. "Entahlah... entahlah... dia aneh, Koko. Ah, aku bingung..."

Kedatangan dua orang itu tidak menarik perhatian para tamu. Siapa memperhatikan dua orang muda yang bersahaja itu? Hanya dua orang pemuda yang ganteng, tidak ada apa pun yang aneh. Tentu saja tidak ada di antara mereka yang tahu bahwa seorang di antara dua pemuda itu adalah puteri dari Ketua Thai-san-pai dan tidak ada yang tahu pula bahwa pemuda yang seorang lagi adalah cucu yang tergembleng dari Kakek Song-bun-kwi!

Alangkah girangnya hati Cui Bi, dan diam-diam juga hati Kong Bu, ketika pada keesokan harinya tiba tiga orang muda yang bukan lain adalah Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu di kaki puncak itu! Lebih besar lagi kegirangan Cui Bi karena melihat bahwa Hui Cu juga sudah berada dengan pemuda itu dalam keadaan selamat.

Berlari-larian dia menyambut kedatangan tiga orang itu, diikuti oleh Kong Bu yang agak meragu berjalan di belakangnya.

"Adik Cui Bi...!" Kun Hong berseru dan tanpa ragu-ragu lagi dia memegang kedua tangan sahabat ini. "Alangkah girangku melihat kau di sini! Ahh, adik yang nakal, kenapa tempo hari kau pergi begitu saja tanpa pamit? Aku... aku hendak memperkenalkan kau dengan keponakan-keponakanku. Ini dia Li Eng yang sering kali kuceritakan kepadamu, dan ini Hui Cu. Anak-anak, inilah pemuda aneh murid Thai-san-pai yang sering kali kuceritakan kepada kalian. Dia hebat!"

Diam-diam Cui Bi yang mukanya menjadi merah sekali itu bertukar pandang dengan Kong Bu yang juga sudah sampai di situ.

"Ehhh, kau juga di sini? Bersama-sama Bi-laote?" Kun Hong menegur kaget dan heran melihat Kong Bu berada pula di situ dengan sahabatnya itu.

Akan tetapi yang ditegur hanya mengerling kepada Li Eng yang sebaliknya memandang kepadanya dengan mata marah!

Panas rasa dada Li Eng. Tentu saja panas melihat pemuda yang dibencinya itu berada bersama Cui Bi! Hemm, dia tidak sebodoh pamannya. Akan tetapi terpaksa ia menahan panas hatinya itu karena Cui Bi sudah merangkapkan kedua tangan dan memberi hormat kepadanya serta kepada Hui Cu.

"Syukur kalian sudah datang!" Cui Bi berseru gembira. "Aku sudah menyediakan sebuah pondok yang besar untuk kalian. Mari, marilah silakan ke pondok untuk beristirahat sambil bercakap-cakap. Hong-ko kita masih banyak waktu, masih empat hari lagi dari hari yang ditentukan. Kalian bisa beristirahat sambil menikmati keindahan tempat kami."

Cui Bi kemudian menggandeng tangan Kun Hong ke pondok besar yang agak menyendiri letaknya, berdekatan dengan pondok Cui Bi sendiri. Memang untuk sahabat-sahabatnya dari Hoa-san-pai dia sengaja memilih dua pondok berjajar yang agak terpisah jauh dari pondok-pondok para tamu itu.

Pada saat melihat bahwa pondok itu tidak mempunyai kamar-kamar terpisah. Kun Hong menjadi agak bingung. "Ahhh, mengapa pondok ini tanpa kamar? Habis, bagaimana kita bisa bermalam di sini?” Ia memandang kepada dua orang keponakannya.

Li Eng tertawa, lalu berkata, "Mengapa bingung? Aku dan Enci Hui Cu tentu saja tidur sepondok dengan dia! Hayo, Saudara Cui Bi, kita mengobrol di pondok yang satunya."

Tanpa ragu-ragu lagi Li Eng menggandeng tangan Cui Bi, ditariknya memasuki pondok kedua diikuti oleh Hui Cu yang tersenyum-senyum.

Kun Hong melongo, kemudian membentak, "Eng-ji, apa kau gila...?!"

Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat Cui Bi tidak menjadi marah atau malu, malah tertawa-tawa sambil merangkul Li Eng, juga Hui Cu lalu mendekat dan merangkul sehingga tiga orang itu, Cui Bi di tengah-tengah, dirangkul oleh dua gadis keponakannya, memasuki pondok sambil tertawa-tawa!

"Gila...! Mereka gila semua... ataukah aku yang gila...?" Kun Hong berkata seorang diri dengan mata tetap terbelalak.

Diam-diam Kong Bu memperhatikan pemuda Hoa-san-pai itu dan ia menjadi geli hatinya. Pemuda Hoa-san-pai ini benar-benar tidak berpura-pura dan memang tak pernah mengira bahwa Cui Bi adalah seorang wanita. Ia tidak terlalu menyalahkannya karena dia sendiri juga tadinya tertipu oleh adik tirinya yang nakal itu.

Agaknya dua orang gadis Hoa-san-pai itu, oleh karena sama-sama wanita, begitu bertemu sudah dapat mengenal keadaan sesungguhnya dari Cui Bi.

"Saudara Kwa Kun Hong, bukan mereka yang gila, juga kau tidak gila, hanya kau itu telah tertipu. Adik Cui Bi bukanlah seorang pria, melainkan seorang gadis, puteri tunggal Ketua Thai-san-pai."

"Ohhh..." Kun Hong makin melongo, kemudian mukanya tiba-tiba berubah merah sekali.

Dia teringat betapa tadi dalam pertemuan itu dia begitu girang dan memegang kedua tangan ‘pemuda’ itu begitu mesra. Kalau ia tahu ia seorang gadis…!

Kalau tahu mau apa? Ia pernah ditempeleng, pernah dihina dimaki. Tapi, mengapa gadis itu mau melakukan perjalanan bersama dia? Mau membelanya? Ahhh, apa artinya semua ini…?

Kong Bu tertawa dan menepuk-nepuk Kun Hong.

"Tidak usah heran, aku sendiri pun pernah tertipu olehnya. Sudahlah, kau kelihatan lelah sekali, sekarang kau mengasolah. Malam ini aku mempunyai tugas penting, tak usah kau menunggu aku. Nanti akan ada anak murid Thai-san-pai yang mengantarkan hidangan untukmu.”

Sebelum Kun Hong sempat bicara, pemuda itu telah pergi meninggalkannya, keluar dari pondok. Kun Hong tidak berani mencegah karena ia belum mengenal betul pemuda cucu Song-bun-kwi itu.

Otaknya diputar. Banyak hal menimbulkan keheranan dan kebingungannya. Banyak hal hendak dia tanyakan kepada pemuda itu, namun pemuda itu telah meninggalkannya dan betul-betul ia merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh itu.

Benar saja, menjelang malam, seorang anak murid Thai-san-pai yang gagah dengan sikap hormat sekali mengantarkan hidangan sederhana. Anak murid ini pendiam sekali dan penuh hormat sehingga Kun Hong merasa tidak enak bahwa sebagai seorang tamu ia banyak bertanya-tanya, apa lagi mengenai diri puteri Ketua Thai-san-pai.

Ia makan seorang diri, lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu yang berada di dalam pondok. Mengapa Hui Cu atau Li Eng tidak muncul? Apakah mereka juga lelah? Ahh, aku harus mencari mereka.

Tidak enak sekali rasa hatinya. Kalau ia teringat akan pengalamannya dengan Cui Bi yang selama ini disangkanya seorang pria itu, ia merasa amat malu. Bagaimana ia akan berani berhadapan dengan Paman Tan Beng San? Ke mana ia harus menaruh mukanya kalau nanti bertemu dengan Cui Bi?

Malam itu terang bulan, akan tetapi banyak awan hitam di angkasa raya yang sebentar-sebentar menutupi bulan. Kun Kong keluar dari pondoknya. Memang pondok ini agak jauh dari pondok-pondok lain yang penuh tamu. Pondok-pondok lain itu tidak kelihatan dalam kegelapan malam, hanya sinar api penerangan yang berkelap-kelip nampak dari jauh.

Siapa tahu kalau-kalau dua orang keponakannya itu lagi berada di luar pondok mereka, pikirnya. Dia berjalan hati-hati menghampiri pondok yang hanya terpisah beberapa puluh meter itu dari pondoknya. Sunyi sekali di pondok itu, malah api penerangannya juga telah padam. Agaknya tiga orang itu sudah tidur.

Hati-hati sekali Kun Hong menghampiri. Ketika bulan menyinarkan cahayanya menembus awan tipis, hatinya girang melihat bayangan seorang gadis duduk di belakang pondok, di atas sebuah batu besar.

Tak salah lagi, itulah Hui Cu, seorang diri melamun! Hui Cu duduk membelakanginya dan dengan hati-hati tapi cepat Kun Hong menghampirinya.

"Ssttt, Hui Cu, kau belum tidur?" bisiknya menghampiri.

Hui Cu diam saja, seakan-akan tidak mendengarnya.

"Cu-ji (Anak Cu), celaka sekali..." Kun Hong kini mendekat dan berdiri di belakang gadis itu. "Kita harus lekas-lekas pergi meninggalkan tempat ini! Ahhh, celaka, tak mungkin aku dapat menghadap Paman Tan Beng San setelah semua kejadian ini. Tak mungkin dapat aku berhadapan dengan... dia. Ahh, siapa tahu, kiranya ia seorang gadis..."

Terdengar Hui Cu tertawa perlahan, ditahan-tahan, tubuhnya bergerak sedikit akan tetapi mukanya tidak kelihatan jelas karena bulan tertutup awan hitam.

"Hui Cu, kau malah mentertawakan aku? Kau tidak tahu, betapa memalukan dan tak patut kelakuanku terhadap dia. Aku maki dia pemuda pesolek, aku mengatakan dia banci, aku marah dan dia agaknya benci kepadaku, lalu dia menampar pipiku, memaki aku pemuda sombong. Ahh, kau tidak tahu, Hui Cu, aku tidak ada muka untuk bertemu dengannya. Lekas kau beri tahukan Li Eng, bangunkan perlahan-lahan dan kita pergi meninggalkan tempat ini. Kalau kau dan Li Eng tidak mau, terpaksa aku sendiri akan pergi, aku tidak berani bertemu dengan dia dan orang tuanya."

Hui Cu sudah turun dari batu dan berdiri di depannya. Melihat keponakannya ini diam saja, Kun Hong memegang kedua tangannya diguncang-guncang dan ia berkata penuh permintaan, "Hui Cu, jangan anggap hal ini sebagai main-main. Aku benar-benar malu, kenapa kau acuh tak acuh? Lekas masuk ke pondok dan beri tahu Li Eng, malam ini juga aku akan pergi."

Perlahan-lahan awan hitam tertiup angin meninggalkan bulan sehingga perlahan-lahan sinar bulan menerangi tempat itu.

"Hui Cu, mengapa kau diam saja? Mengapa... aihhhh, kau ini siapa... ahhh..." Kun Hong terbelalak dan mulutnya ternganga memandang wajah gadis yang disangkanya Hui Cu itu.

Wajah yang seperti bulan purnama itu sendiri, gilang gemilang dengan sepasang mata bening bersinar-sinar. Hidungnya kecil mancung, di atas sepasang bibir yang setengah tersenyum mengejek, yang manis luar biasa, yang pernah membuat dia kehilangan rasa bencinya… wajah seorang gadis cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, wajah... Cui Bi!

"Aduh, celaka... aduh... aku tolol... ah..." Kun Hong gagap-gugup akan tetapi lupa bahwa sejak tadi ia masih memegangi kedua tangan gadis itu!

"Hong-ko..." suara merdu yang sudah amat dikenalnya, terlalu dikenalnya, suara yang dahulu pun ketika gadis ini dikiranya pria, sering mendatangkan rasa nikmat dan nyaman di hatinya.

"Hong-ko, kenalkah kau padaku?"

"Hemm, ehh, tentu saja, kau... ehh, kau Bi-laote (adik laki-laki Bi)."

Cui Bi tertawa, suara ketawanya perlahan, ditahan-tahan menyatakan bahwa ia merasa geli sekali. "Bi-laote...?" ia mengulang, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri tertimpa cahaya bulan keemasan. Bibirnya tersenyum lebar sehingga nampak gigi putih berkilau sebentar.

"Eh... Oh... bagaimana aku ini...? Kau... Nona Tan..." Kemudian Kun Hong yang hendak mengangkat tangan memberi hormat baru sadar bahwa sejak tadi dia memegangi kedua tangan orang!

"Maaf... maaf sebanyak-banyaknya..." ia cepat melepaskan pegangannya dan menjura sambil membungkuk-bungkuk, "maafkan aku, Nona."

"Hong-ko, apa-apaan kau ini? Mendadak sontak menyebut nona-nonaan segala? Kalau begitu lebih baik kau seterusnya menyebut aku laote (adik laki-laki) saja!" Suara Cui Bi terdengar merajuk dan manja. Juga sikap ini amat dikenal oleh Kun Hong dan suara inilah yang dahulu membuat ia memaki Cui Bi sebagai anak manja, anak pesolek!

"Maaf... habis, bagaimana...?"

"Kau lebih tua dari pada aku. Kalau aku laki-laki, kau memanggil laote, kalau perempuan, masa kau tidak tahu harus memanggil apa? Kau menyebut ayahku paman, bukankah aku ini adik perempuanmu, adik misanmu?"

"Ohh, ya... ya, baiklah Siauw-moi (Adik Perempuan Cilik)."

"Hei, aku sudah berusia tujuh belas kau masih menyebut siauw-moi? Apakah kau anggap aku ini masih bocah?"

"Bi-moi-moi...," Kun Hong membetulkan kesalahannya.

Cui Bi nampak puas, lalu tiba-tiba ia menyambar tangan Kun Hong, dipegangnya seperti tadi Kun Hong memegang tangannya, seperti dahulu sebagai ‘Cui Bi pria’ ia memegang tangan sahabatnya.

"Hong-ko, marahkah kau kepadaku? Aku sudah menipumu."

"Tidak, tidak... kenapa mesti marah? Aku yang tolol."

"Tidak senangkah hatimu mendapat kenyataan bahwa sahabat baikmu itu ternyata adalah seorang wanita?"

"Tentu, senang... senang sekali, ehhh, aku..." Bingung Kun Hong teringat akan semua ucapannya tadi.

"Kau... apa? Kau datang ini hendak ke manakah? Hendak mencari Enci Hui Cu? Atau Li Eng?" Cui Bi melihat kebingungan pemuda itu sengaja menggoda.

"Tidak. Aku... aku tadi hendak... ehh, mencari tempat buang air..."

Mendengar jawaban yang tidak tersangka-sangka ini, Cui Bi menahan gelak tawanya, membuat Kun Hong makin bingung.

"Aiih, perutmu sakit, Hong-ko? Di sana itu, di belakang kelompok pohon kate itu, ada sebatang anak sungai, di sana kau bisa buang air. Hendak ke sanakah?"

"Ahh, tidak... maksudku, ehh, tidak jadi sakit Aku... aduh, Bi-moi, kenapa menggodaku? Bukankah kau sudah mendengar semua tadi? Aku malu, lebih-lebih sekarang aku malu sekali, Moi-moi..."

Cui Bi mempererat genggaman tangannya. "Hong-ko, kenapa malu? Seharusnya akulah yang malu kepadamu, karena aku yang banyak berbuat tak baik terhadapmu."

"Tidak, tidak! Akulah yang bodoh, yang buta, bagaimana aku berani kurang ajar terhadap puteri Paman Tan Beng San?"

"Aku sudah pernah menampar pipimu. Hong-ko, kau sudah berjanji takkan melaporkan hal itu kepada ayahku, tapi aku masih merasa salah kepadamu. Kau boleh menampar aku sekarang sebagai pembalasan."

"Wah, mana bisa? Malah aku akan girang kalau kau mau mengulang tamparanmu itu, untuk semua ucapanku yang kurang patut."

Cui Bi melepaskan pegangannya, berkata lembut, "Hong-ko duduklah."

Kun Hong dengan kikuk duduk di atas batu, gadis itu duduk di depannya. Mereka saling pandang di antara cahaya bulan yang kadang-kadang terang kadang-kadang gelap. Kun Hong merasa seakan-akan kerongkongannya tersumbat, hatinya berdebar tidak karuan dan dia tidak tahu harus berkata apa. Kikuk sekali rasanya sesudah berhadapan dengan sahabat baiknya yang ternyata seorang gadis itu.

"Hong-ko, sore tadi kau menyatakan amat girang bertemu denganku. Apakah sekarang kau juga masih merasa girang?"

"Aku girang sekali."
"Hong-ko, kau... sukakah kau kepadaku?"

Bukan main gadis ini, pikir Kun Hong. Gadis yang jujur dan terbuka hatinya. Pertanyaan itu seperti todongan pedang tajam di depan ulu hatinya.


BERSAMBUNG KE Rajawali Emas Jilid 27


Rajawali Emas Jilid 26

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJAWALI EMAS JILID 26

Biasanya kakeknya hanya mengatakan secara singkat bahwa ayahnya sudah tergila-gila kepada wanita lain sehingga ibunya mati karena duka. Melihat perhatian Kong Bu itu, Cui Bi melanjutkan ceritanya penuh semangat, matanya berapi-api, kedua pipinya merah.

"Kemudian terjadilah mala petaka menimpa. Kwa Hong ternyata sudah mengandung dari hubungan yang berlangsung di luar kesadaran Tan Beng San itu. Malah Kwa Hong yang tak tahu malu itu mengunjungi ibumu di Min-san, dan melahirkan anaknya di sana. Hal itu terjadi ketika kakekmu sedang merantau dan ayahmu, Tan Beng San itu, sedang sibuk pula membantu perjuangan. Setelah Kwa Hong pergi bersama anaknya, ibumu menjadi berduka sekali, maklumlah hati wanita, penuh sakit hati, penuh iri dan cemburu, merasa bahwa cinta kasihnya yang mendalam itu dicemarkan. Dan... saking tak kuasa menahan kesedihan hatinya, ia meninggal dunia setelah melahirkan kau..." Sampai di sini suara Cui Bi terdengar serak. Isaknya dalam dada jelas membayangkan keharuan hatinya.

Kong Bu merasa dadanya sesak, sedu-sedan naik ke kerongkongannya. Akan tetapi dia menguatkan hati, menggigit bibirnya sehingga hanya kedua matanya saja yang nampak menjadi merah, sikapnya menakutkan.

"Kau tahu bagaimana keadaan ayahmu ketika dia mendengar tentang kematian isterinya yang tercinta itu? Dia menjadi... menjadi gila..." kembali suara itu parau dan lirih, dan Cui Bi terpaksa berhenti karena terbatuk-batuk, agaknya menahan keharuan hatinya.

"Gi... gila...?" Kong Bu sempat bertanya di antara sedu-sedan yang kembali naik lagi ke kerongkongannya.

"Ya, gila, atau hilang ingatan. Pada waktu itu... hemm, di antara dia dan... Cia Li Cu..."

“Isterinya yang sekarang?"

"Ya, di antara mereka itu terjalin persahabatan yang amat erat, akan tetapi jangan salah artikan. Tan Beng San tetap tidak dapat mencinta lain orang kecuali isterinya, ini terbukti ketika mendengar kematian isterinya dia lalu lupa segalanya, yang diingat hanya isterinya itu. Melihat hal ini, Cia Li Cu amat terharu. Harus diakui Cia Li Cu mencintanya sepenuh jiwa. Ia hendak menghibur pendekar ini, namun apa yang terjadi? Dalam pandangan Tan Beng San yang sudah hilang ingatan itu, Li Cu terlihat seperti ibumu yang telah meninggal dan seterusnya menganggap bahwa Cia Li Cu adalah Kwee Bi Goat!"

"Ahh..." Kong Bu menahan napas, amat tertarik dia dan keharuan bergumul di hatinya.

"Cia Li Cu, puteri Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan, demi cintanya mengorbankan nama baiknya, malah nekat menantang ayahnya, memelihara Tan Beng San dengan hati hancur karena melihat orang yang dicintanya itu menganggapnya sebagai wanita lain. Adakah pengorbanan lebih besar dari ini? Adakah cinta kasih yang lebih besar dari ini?" Cui Bi nampak bangga.

Kong Bu mulai bingung. Kalau betul begini jalan ceritanya, ahh, ayahnya tidak bersalah, malah patut dikasihani.

"Nah, kau tahu, sampai sekarang pun Cia Li Cu yang kini sudah menjadi isteri sah dari Tan Beng San yang akhirnya mendapatkan kembali ingatannya dan mengawini Cia Li Cu, sama sekali tidak ada hati yang memusuhi mendiang Kwee Bi Goat ibumu, apa lagi kau sebagai putera suaminya yang semenjak kecil dibawa lari oleh kakekmu. Kau dicari-cari oleh ayahmu, tetapi tidak bertemu dan kakekmu hendak mengadu kau dengan ayahmu sendiri."

Kong Bu menundukkan mukanya, mukanya merah sekali dan ia berusaha keras menahan sedu-sedan yang sudah hampir meledak di dadanya.

"Ibu... Ayah...," bisiknya, keadaannya mengharukan sekali.

Pemuda itu teringat betapa ia tidak pernah melihat ibunya yang sudah mati, juga tidak pernah melihat ayahnya yang harus diakui sangat mendatangkan rasa rindu di hatinya. Tapi bujukan-bujukan kakeknya membuat ia membenci ayahnya yang disangkanya telah menyeleweng dan menyakiti hati ibunya. Siapakah yang benar? Cerita kakeknya ataukah cerita orang ini? Siapakah orang ini? Apakah dia tidak berbohong?

Ia cepat mengangkat kepala memandang dan kagetlah dia, pemuda tampan di depannya itu memandang kepadanya dengan mata merah, air mata membanjir di kedua pipinya, dan bibirnya yang gemetar itu dikatupkan menahan isak tangis!

Wajah Kong Bu pucat sekali. Mukanya membayangkan hati yang hancur. Seorang yang bagaimana pun keras hatinya sekali pun tentu akan kasihan melihatnya pada saat itu. Makin deras air mata mengalir sepanjang pipi Cui Bi dan tiba-tiba pemuda tampan ini memegang kedua tangan Kong Bu, bibirnya berbisik perlahan dan menggetar.

"Aduh..., kasihan sekali kau... Koko..."

Kong Bu tersentak kaget dan balas memegang tangan pemuda itu.

"Kau... kau siapakah?" Tentu saja ia heran dan kaget mendengar pemuda itu memanggil dirinya koko (kakak).

Dengan lengan bajunya pemuda tampan itu mengusap air matanya pada kedua pipinya sebelum menjawab, akan tetapi air matanya mengalir terus.

"Aku... aku adalah adik tirimu... aku... aku anak dari ayahmu dan ibuku adalah Cia Li Cu..."

Kong Bu merenggutkan tangannya terlepas, meloncat mundur sambil berdiri dan berseru, suaranya keras sekali, "Bohong! Kau penipu, pembohong! Sudah sering aku mendengar bahwa... Ayah dan Cia Li Cu hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang anak perempuan... bagaimana kau ini...?"

Cui Bi sudah berdiri pula, air matanya masih membasahi kedua pipinya.

"Koko, tidak tahukah kau bahwa aku...?"

Ia menggosok kedua anak telinganya sehingga tampak lubang anak telinga yang tadinya ditutup semacam bedak, dibukanya penutup kepala sehingga terurailah rambutnya yang panjang dan halus berombak.

Muka Kong Bu makin pucat. "Kau... kau seorang gadis...?"

"Koko, tidak dapatkah kau melihat bahwa ilmu pedangku adalah warisan Ayah dan Ibu? Koko, Ayah banyak menderita kalau memikirkan kau, kau amat dirindukan Ayah... juga Ibu, percayalah, Ibu sama sekali tidak menganggap kau sebagai orang lain, demikian pula aku... kau sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri..."

Tak dapat tertahan lagi, air mata yang sejak tadi sudah menekan di kedua mata Kong Bu, kini berlinang jatuh menetes. Pemuda itu menutupkan kedua tangan di depan muka untuk menyembunyikan tangis, namun air mata yang tak banyak itu tetap menetes keluar dari celah-celah jari tangannya, sedangkan sedu-sedan yang ditahan-tahannya membuat dua pundaknya yang bidang itu bergerak-gerak.

"Koko...," suara halus itu dekat sekali karena gadis itu sudah mendekatinya.

Kong Bu menurunkan kedua tangan, melihat wajah yang memandang penuh iba, penuh permohonan agar diakui sebagai saudara, dengan air mata membasahi pipi.

"Moi-moi (adik perempuan)..."

Kong Bu memeluk dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya, kepalanya berdongak dan kedua matanya meram, air matanya bertetesan ke atas rambut Cui Bi.

"Ibu... semoga kau mengampuni anakmu..."

Sampai beberapa lamanya kedua orang muda seayah ini saling peluk dan bertangisan. Akhirnya keduanya mampu menguasai hati masing-masing dan dengan agak malu-malu mereka melepaskan pelukan, kemudian saling pandang.

Setelah keharuan mereda, mereka saling memandang kagum. Perlahan-lahan tersembul senyum di bibir Cui Bi yang ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita itu.

"Koko, alangkah bahagianya hatiku. Ayah dan Ibu setiap hari menangis kalau mengingat kau. Mereka amat kuatir kalau-kalau hatimu sudah diracuni, kuatir kalau-kalau kau akan datang dan mengganggu Ayah Ibu sebagai musuh besar. Syukur bahwa kau ternyata memiliki jiwa ksatria, seperti yang diharapkan ayah karena kata Ayah, ibumu pun seorang yang berbudi halus."

"Aku pun bahagia sekali dapat bertemu dengan kau, Moi-moi. Ah, alangkah bodohku..." ia menghela napas panjang. "Aku memang tahu akan watak Kakek yang keras dan aneh... dan diam-diam aku sudah tidak cocok. Baiknya aku bertemu dengan kau dan insyaf. Ah, kalau tidak... bagaimana mungkin aku dapat menjual lagak memamerkan kebodohanku di depan ibumu, sedangkan terhadap kau saja aku sudah kalah jauh?"

Cui Bi tertawa dan memegang tangan kanan kakaknya. "Iihh, kau memang amat pandai merendah. Siapa bilang kau akan kalah jauh? Hemmm, sedangkan kau belum menerima apa-apa dari Ayah saja, sudah setengah mampus aku melawanmu, apa lagi kalau kau sudah menerima warisan dari ayah, pendeknya aku bukan apa-apa bagimu."

"Moi-moi, kau manis sekali, ahhh, alangkah bangga hatiku mempunyai adik seperti kau!" Kong Bu meraba dagu gadis itu dengan hati penuh kasih sayang.

Cui Bi melengos, manja. "Ahh, bisa saja kau, siapa tidak tahu bahwa aku jelek? Kaulah yang gagah perkasa, benar-benar Ayah akan menari kegirangan kalau nanti melihatmu. Ehhh, Koko, bagaimana kita ini? Kakak beradik tetapi tidak saling mengetahui namanya!" Keduanya berpandangan lalu tertawa bergelak!

Memang, dua orang ini adalah keturunan orang sakti dan aneh, maka watak mereka juga aneh. Lebih-lebih jiwa muda mereka membuat mereka mudah merasa gembira.

"Namaku Kong Bu, Tan Kong Bu. Namamu siapa, adikku yang manis?"

"Aku Cui Bi, Tan Cui Bi."

"Bi-moi, mengapa kau menyamar sebagai seorang pemuda? Ha, hampir saja aku kena terpedaya olehmu. Benar-benar tidak dapat diduga bahwa kau seorang gadis yang manis, pandai benar kau menyamar sebagai seorang pemuda tampan dan ganteng lagi pesolek. Sampai-sampai lubang daun telingamu dapat kau tutupi dengan baik, tidak kentara sama sekali."

Heran sekali, Kong Bu melihat wajah adiknya yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba saja menjadi muram.

"Menyamar sebagai pria sudah biasa kulakukan, Ko-ko, dan dalam hal ini Ayah dan Ibu memberi nasehat-nasehatnya. Memang kalau melakukan perjalanan di dunia kang-ouw, aku lebih leluasa kalau menyamar sebagai seorang laki-laki. Akan tetapi kali ini... ah, tidak apa aku berterus terang, bukankah kau kakakku sendiri? Dan siapa tahu, kau akan dapat membantu aku meringankan penderitaan yang amat membingungkan hatiku ini, Bu-ko."

"Ehh, semuda ini, segembira ini dapat menderita kesusahan? Ada apakah, Bi-moi? Apa yang kau susahkan? Tentu saja aku siap sedia menolongmu."

Gadis ini menarik tangan kakaknya, diajaknya duduk di tempat yang teduh. Lalu menarik napas panjang, kelihatan berduka.

"Kau tidak tahu, Bu-ko. Kali ini aku bukan melakukan perjalanan untuk bersenang-senang seperti biasa, melainkan... aku telah lari dari Thai-san, pergi meninggalkan rumah tanpa pamit!"

"Heee?! Kenapa? Kau dimarahi ayah ibumu?"

"Bukan, bukan mereka yang marah, melainkan akulah yang marah kepada mereka."

"Aaiiih, kenapa kau ini? Tak baik marah-marah kepada orang tua, durhaka kau nanti."

"Panjang ceritanya, Bu-ko. Tapi biar kusingkat saja. Kau tahu, Koko, selama aku berada di Thai-san bersama orang tuaku, entah sudah berapa belas kali, bahkan mungkin puluhan kali selama dua tahun ini, orang tuaku menerima lamaran orang atas diriku."

Gadis yang masih berpakaian pria itu merah sekali wajahnya, akan tetapi Kong Bu justru tertawa tergelak.

"Mengapa kau tertawa-tawa?" tanyanya cemberut.

"Ha-ha-ha, kau gadis cantik jelita dan manis, usiamu juga tentu ada tujuh belas tahun, apa anehnya jika menerima banyak lamaran? Andai kata bukan kakakmu, aku sendiri mau melamar. Ha-ha-ha!"

"Iihh, ceriwis kau!" Wajah itu semakin merah. "Jangan mentertawakan aku, Koko, hatiku benar-benar baru resah, nih!"

"Ya sudahlah, kau teruskan ceritamu."

"Ayah dan Ibu sudah merasa jengkel sekali karena aku selalu menolak keras kalau ada pinangan orang. Akhirnya, Ayah dan Ibu menerima pinangan putera Ketua Kun-lun-pai, katanya puteranya seorang she Bun yang menjadi Ketua Kun-lun-pai dan yang menjadi sahabat baik Ayah. Malah menurut cerita Tan-pek-hu di kota raja yang dahulunya adalah tokoh Pek-lian-pai yang terkenal dalam perjuangan, orang she Bun itu adalah keturunan pendekar besar dari Kun-lun-pai sedangkan isterinya merupakan keturunan dari patriot pemimpin Pek-lian-pai, she Thio."

"Waduh, kiong-hi... kiong-hi (selamat, selamat), adikku...!"

"Selamat hidungmu!" Cui Bi memotong dan melerok, mulutnya cemberut marah. "Orang berkeluh-kesah, berduka dan bingung, kok justru diberi selamat. Bukankah kau ini malah memperolok aku, Koko? Bagus benar ya menjadi kakak orang begini kejam!"

"Lho-lho-lho, nanti dulu, jangan marah-marah tidak karuan. Orang muda she Bun itu dilihat dari keturunannya, baik dari ayah mau pun dari ibunya, benar-benar hebat. Kalau ayah bundamu sudah menerima pinangan itu, bukankah berarti pemuda she Bun itu menjadi calon adik iparku? Tentu saja aku senang sekali mempunyai calon adik ipar keturunan orang-orang ternama dan gagah begitu. Apakah kau tidak senang menjadi... eh, anunya?"

Dengan gemas Cui Bi mengulur tangan dan mencubit lengan kakaknya sampai Kong Bu mengaduh-aduh kesakitan.

"Kau nakal benar, Bu-ko. Benci aku kalau begini. Kau mau menolong adikmu atau tidak?"

"Tentu, tentu... tapi lepaskan dulu cubitanmu, ahh, bisa pecah-pecah kulit lenganku nanti. Teruskanlah ceritamu, aku berjanji tak akan menggodamu lagi."

Kong Bu yang baru sekarang merasakan kenikmatan bergurau dengan seseorang yang mendatangkan rasa sayang, benar-benar gembira sekali, akan tetapi juga kuatir melihat betapa adiknya itu bersungguh-sungguh.

"Tentu saja aku menolak keras. Aku tidak sudi menikah apa lagi dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat. Ayah dan Ibu marah-marah, aku pun marah dan akhirnya aku lari meninggalkan rumah tanpa pamit. Aku bersembunyi di rumah Pek-hu di kota raja. Nah, Bu-ko, sukakah kau menolongku kalau nanti kau bertemu dengan Ayah dan Ibu. Kau bujuklah mereka supaya jangan memaksa aku menikah, supaya pinangan yang sudah diterima itu dibatalkan saja dan katakan bahwa aku masih kecil."

Mau tak mau Kong Bu menahan ketawanya. Senang dan sayang benar ia kepada adiknya yang lucu ini.

"Usiamu berapa sih, Moi-moi."

"Kata Ayah, hanya selisih dua tahun denganmu."

"Nah, kalau begitu sudah tujuh belas tahun. Mana bisa dibilang masih kecil?"

"Kau menggoda lagi. Mau tidak membantuku?"

"Ya, baik... baik... biar kelak aku membujuk orang tuamu."

Cui Bi memegang tangan kakaknya dan ditarik bangun, menari-nari seperti orang yang kegirangan sekali. "Terima kasih, terima kasih... wah, aku percaya bahwa Ayah pasti akan meluluskan permintaanmu, kau seorang anak yang disayang, dan baru saja bertemu. Eh, Bu-ko, kau nakal sekali, ya? Gadis Hoa-san-pai yang cantik manis itu, hemmm, kau telah pura-pura kena ditawan. Hemmm, senang sekali, ya? Hi-hi-hik, kau pembohong besar. Katanya benci perempuan murid Hoa-san-pai, tetapi yang satu ini, aku berani bertaruh potong kepala bebek bahwa kau suka kepadanya!"

Kong Bu merenggut lepas tangannya, melotot. "Gila kau! Jangan main-main, ya? Siapa suka perempuan galak seperti setan itu?"

"Galak-galak tetapi manis, seperti setan tetapi menarik hati, bukan begitu? Ah, Koko, aku tidak boleh kau bohongi, ya? Biarlah aku berjanji, kelak kalau kau benar-benar sudah menolongku sehingga ikatanku dengan pemuda Ku-lun-pai itu dapat dibatalkan, aku akan membalas budimu. Aku akan menjadi perantara, akan kubujuk Ayah agar supaya pergi mengajukan pinangan ke Hoa-san!"

"Hush, jangan ngaco!" Kong Bu mendelik dan membentak-bentak, akan tetapi ia sendiri merasa aneh mengapa jantungnya jadi berdebar begini macam?

"Bimoi, aku heran sekali kenapa kau dapat melihat kedatanganku di kuil dengan... ehm, gadis Hoa-san-pai itu? Kulihat tadi yang berada di kuil itu hanyalah seorang pemuda dari Hoa-san-pai yang bijaksana dan halus budi, seorang pemuda lemah akan tetapi bicaranya menusuk perasaan benar, tepat dan bijaksana. Menurut pengakuannya dia adalah paman dari gadis Hoa-san-pai itu."

"Ahh, kau maksudkan Hong-ko?"

"Ehh, Hong-ko siapa? Kau kenal dia?"

Cui Bi tersenyum. "Seorang kutu buku, tetapi dia itu putera tunggal Ketua Hoa-san-pai, pandai ilmu surat tidak pandai ilmu silat. Memang dia orang yang luar biasa. Tentu saja aku kenal dia, malah berhari-hari aku melakukan perjalanan bersama dia."

"Hee...?"

"Jangan memandang seperti itu. Ihhh, pikiranmu agaknya penuh dengan dugaan yang bukan-bukan dan fitnah-fitnah keji. Sampai sekarang dia menganggap aku sebagai laote (adik laki-laki)." Cui Bi tertawa geli dan Kong Bu juga tertawa.

"Sudahlah, mari kita cepat-cepat pulang ke Thai-san, Bu-ko. Kalau bersamamu aku berani pulang. Akan tetapi karena Ayah hendak merayakan pendirian perkumpulan Thai-san-pai, lebih baik kita melihat-lihat di kaki Gunung Thai-san dulu dan menyelidiki kalau-kalau ada orang jahat hendak datang mengacau. Kau tahu, sudah terlalu banyak Ayah membasmi golongan-golongan jahat sehingga dapat diduga bahwa akan banyak musuh yang datang mengacau dan berusaha menggagalkan pendirian Thai-san-pai. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu Ayah."

Kong Bu hanya mengangguk-angguk. Berangkatlah dua orang kakak beradik ini. Mereka sengaja menguji kepandaian masing-masing dan berlari cepat. Betapa kagum hati mereka karena dalam kemahiran ilmu lari cepat ini mereka berimbang. Cui Bi menang ringan tubuhnya dan menang gesit gerakannya, akan tetapi ia kalah napas melawan kakak tirinya itu…..

**********

"Apa kau bilang, Li Eng? Jadi pemuda gagah tadi punya sakit hati terhadap Hoa-san-pai? Mengapa demikian?" tanya Kun Hong.

'Dia cucunya Song-bun-kwi dan Song-bun-kwi agaknya benci sekali kepada Hoa-san-pai karena... hmmm, apakah kau belum pernah dengar tentang... Enci (Kakak Perempuan) tirimu, Paman Hong?"

"Enci tiri? Mana aku mempunyai Enci tiri? Ayah dan Ibu tak pernah bercerita tentang itu!"

Sebetulnya Li Eng juga tidak berani lancang bercerita, akan tetapi keterangan Kun Hong ini malah membangkitkan keinginan hatinya untuk menyampaikan rahasia itu. Dia sendiri merasa heran mengapa orang tidak menceritakan hal Kwa Hong kepada pamannya ini.

"Paman Hong, dulu sebelum ayahmu menikah dengan ibumu yang menjadi sumoi sendiri dari ayahmu, ayahmu sudah memiliki seorang anak perempuan bernama Kwa Hong. Nah, Bibi Kwa Hong inilah yang menimbulkan permusuhan hebat di mana-mana, karena sepak terjangnya yang... hemmm, malah orang tuaku sendiri pun mendendam sakit hati kepada Bibi Kwa Hong yang betul-betul seperti iblis wanita itu."

"Li Eng, yang betul kau bicara. Kalau memang benar dia itu kakak tiriku, berarti dia itu masih bibimu. Bagaimana kau bisa bicara tentang bibimu sendiri?"

"Ah, ternyata kau tidak tahu apa-apa, Paman Hong. Nah kau dengarlah aku bercerita, tapi jangan tersinggung, ya? Aku hanya menceritakan apa yang kudengar dari Ayah dan Ibu. Ingatkah dahulu ketika kau bercerita kepada aku dan Enci Hui Cu tentang burung rajawali emas dan kami bertanya kepadamu tentang dia, siluman betina? Nah, yang kami maksud dahulu itu bukan lain adalah Kwa Hong, enci-mu itulah!"

"Hemmm, kau benar-benar kurang ajar. Kalau benar aku mempunyai kakak perempuan berarti dia bibimu."

"Memang betul, akan tetapi bibi macam bagaimana? Kau dengarlah!"

Li Eng lalu menceritakan tentang Kwa Hong. Betapa wanita ini karena jebakan musuh, mengadakan hubungan dengan Tan Beng San dan betapa wanita ini lalu berubah seperti Siluman, naik burung rajawali emas dan mengacau ke mana-mana. Bahkan Kwa Hong hampir membunuh ayah bunda Li Eng, mengusirnya dan menduduki Hoa-san-pai sebagai ketua. Ia menceritakan pula kenapa Song-bun-kwi mendendam, yaitu dalam hubungannya dengan puterinya, Kwee Bi Goat yang menjadi nyonya Tan Beng San dan yang akhirnya meninggal dunia karena berduka.

"Dia jahat luar biasa, Paman Hong. Dia seperti iblis betina, naik burung rajawali menyebar maut di mana-mana. Entah bagaimana, menurut Ayah dan Ibu, kepandaiannya hebat sekali sampai-sampai Sucouw Lian Bu Tojin, guru ayahmu, juga tewas di tangannya. Dia telah menyakitkan hati isteri Paman Tan Beng San sehingga tak kuat menahan dan tewas setelah melahirkan... heeiii! Tentu dia orangnya!" Tiba-tiba Li Eng meloncat berdiri dan termenung.

"Dia siapa? Apa maksudmu?" tanya Kun Hong.

Li Eng menepuk-nepuk pahanya.

"Siapa lagi kalau bukan dia?! Pemuda itu, cucu Song-bun-kwi, si keparat itu, siapa lagi kalau bukan putera Kwee Bi Goat, putera Paman Tan Beng San."

"Apa?! Pemuda gagah perkasa tadi putera Paman Tan Beng San yang lahir dari Bibi Kwee Bi Goat itu?"

Kun Hong tertarik sekali akan cerita tadi dan diam-diam ia merasa menyesal bukan main bahwa semua hal yang sekarang menimbulkan permusuhan hebat itu adalah gara-gara kakak perempuannya, Kwa Hong. Tahulah dia sekarang mengapa ayahnya begitu keras kepadanya, melarang dia berlatih ilmu silat. Kiranya di sinilah letak rahasianya. Ayahnya sudah kapok, tidak ingin melihat anaknya rusak lagi karena kepandaian silat! Wajahnya pun menjadi muram.

"Ahh, nasib Ayah yang buruk... ahhh, ingin aku bertemu dengan Enci Kwa Hong, ingin aku nasehatkan padanya agar minta ampun kepada ayah, kepada semua orang yang pernah disakiti hatinya."

"Hemmm, aku sangsi apakah dia akan mau... haiii, di sana ada orang bertempur?"

Li Eng menunjuk ke depan. Ketika Kun Hong memandang, benar saja ia melihat seorang pemuda dengan hebatnya bertempur dikeroyok oleh dua orang lawannya. Cepat-cepat ia mengikuti Li Eng yang sudah lari lebih dulu ke tempat pertempuran itu.

"Enci Hui Cu...!" Di lain saat Li Eng sudah berpelukan dengan Hui Cu.

"Eng-moi...!" Paman Hong...!"

Saking girangnya, Hui Cu menangis dalam rangkulan Li Eng. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa dua orang itu berada dalam keadaan selamat, malah dapat bertemu dengannya di situ. Mereka belum dapat bicara banyak karena perhatian mereka kembaii tertuju kepada pertempuran hebat yang masih berlangsung.

Hebat sekali pemuda itu. Akan tetapi kedua orang pengeroyoknya pun luar biasa, yaitu seorang nenek tua sekali dan seorang wanita tua yang masih berwajah cantik. Siapakah mereka ini? Pemuda itu tak lain adalah Sin Lee, ada pun pengeroyoknya adalah Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li!

"Adik Eng..., lekas, kau bantulah dia..." berkata Hui Cu kepada Li Eng. "Aku... aku sendiri sudah terluka..."

Semenjak tadi Kun Hong bengong karena menyaksikan sesuatu yang membuat dia amat terheran-heran, yaitu gerakan pemuda gagah yang dikeroyok itu. Ilmu silat pemuda itu! Bukankah gerakan kaki itu mirip benar dengan Kim-tiauw-kun? Kaki yang meloncat-loncat itu, kedua lengan yang dikembangkan seperti sayap burung. Ahh, meski pun menyimpang dari aslinya, namun tidak salah lagi, pemuda itu tentu pernah mempelajari Kim-tiauw-kun. Inilah yang membuat dia bengong dan membuat dia lengah, tidak melihat bahwa Hui Cu telah terluka.

Sekarang mendengar ucapan ini, cepat ia memandang dan berseru, "Ahhh, Hui Cu. Kau terluka dengan senjata beracun!"

Cepat ia memegang tangan kiri gadis itu dan menariknya dekat. Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek lengan baju bagian atas dan benar saja, di balik lengan baju yang sudah sedikit robek dan berdarah itu tampak kulit pangkal lengan dekat pundak hitam membengkak!

Li Eng mengeluarkan seruan tertahan, namun ia segera bertanya, "Enci, ia siapakah dan kenapa harus dibantu?"

"Lekas... dua orang itu, Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li. Mereka amat jahat dan lihai. Tolong bantulah dia... dia itu... ehhh, dia penolongku."

Li Eng tak usah diperintah dua kali. Mendengar bahwa pemuda gagah itu adalah penolong Hui Cu, apa lagi sesudah mendengar bahwa nenek buruk rupa saking tuanya itu adalah Hek-hwa Kui-bo dan wanita tua yang cantik itu Kim-thouw Thian-li, Li Eng cepat mencabut pedang dan menyerbu ke dalam kalangan pertempuran sambil berseru,

"Bagus sekali! Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, sudah lama aku mendengar nama kalian yang busuk, lihat, aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai datang untuk menagih semua hutang-hutangmu kepada Hoa-san-pai!"

Memang gadis ini sudah mendengar dari ayah bundanya mengenai kejahatan dua orang tokoh ini, terutama tentang perbuatan Kim-thouw Thian-li yang dulu banyak berbuat jahat terhadap Hoa-san-pai.

Hek-hwa Kui-bo dan muridnya kaget sekali melihat serbuan seorang gadis cantik yang mengaku sebagai murid Hoa-san-pai itu. Tadinya mendengar suara Li Eng, mereka tidak pandang sebelah mata, karena apa sih kepandaian seorang anak murid Hoa-san-pai yang masih begitu muda? Namun begitu pedang di tangan Li Eng berkelebat, mereka menjadi terkejut sekali. Menghadapi pemuda ini saja, walau pun mereka berhasil mendesak dengan keroyokan mereka, akan tetapi tak mudah untuk merobohkannya. Apa lagi sekarang muncul seorang gadis yang demikian ganas ilmu pedangnya.

"Kau bereskan anak iblis ini, biar kubunuh gadis liar ini!" kata Hek-hwa Kui-bo kepada muridnya.

Ia percaya bahwa Kim-thouw Thian-li akan dapat menahan Si Pemuda sedangkan ia akan cepat-cepat membunuh gadis itu sebelum dua orang muda yang lain itu dapat membantu. Akan tetapi, bicara memang mudah. Kepandaian Sin Lee hebat sekali dan sekarang menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang diri saja, segera keadaan berubah hebat. Bila tadi Sin Lee terdesak, hal itu tidaklah amat mengherankan.

Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, setingkat dengan tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi dan lainnya. Lebih-lebih nenek ini mengandalkan ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Im-sin Kiam-hoat. Apa lagi karena nenek ini dibantu oleh muridnya yang hampir sama lihainya, Kim-thouw Thian-li ketua dari Ngo-lian-kauw.

Betapa pun lihainya Sin Lee, dia terdesak hebat juga oleh dua orang pengeroyoknya itu. Kim-touw Thian-li hebat permainan goloknya yang dibantu sehelai selampai merah yang mengandung racun. Gurunya, Hek-hwa Kui-bo juga menggunakan dua buah senjata, yaitu sebatang pedang serta sehelai sapu tangan beraneka warna yang racunnya lebih jahat lagi.

Juga Hek-hwa Kui-bo kecele apa bila tadi ia memandang rendah gadis muda belia yang cantik murid Hoa-san-pai ini. Sejak dahulu Hek-hwa Kui-bo memandang rendah kepada Hoa-san-pai, sama sekali ia tak tahu bahwa di Hoa-san-pai telah terjadi perubahan besar.

Hoa-san-pai sekarang jauh bedanya dengan Hoa-san-pai pada dua puluh tahun yang lalu. Setelah Kui Lok dan isterinya, Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai ini mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai asli dari Lian Ti Tojin, yang sekarang diwarisi pula oleh Kui Li Eng, hebatlah ilmu silat Hoa-san-pai itu.

Baru kini Hek-hwa Kui-bo mendapat kenyataan bahwa sama sekali salah bila memandang rendah golongan lain. Begitu mulai serang menyerang dengan Li Eng, nenek itu kaget dan terpaksa segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang ampuh, Im-sin Kiam-hoat dibantu permainan sapu tangan aneka warna yang mengeluarkan bau yang memuakkan.

Li Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan menjaga diri dari pengaruh racun itu dengan hawa murni. Beberapa kali selama perjalanannya, dia sudah bertemu dengan orang-orang sakti. Hal ini membuat Li Eng berhati-hati kali ini.

Sementara itu, setelah memeriksa sebentar, Kun Hong pun berkata, "Hui Cu, jahat benar orang yang melepas Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Bunga) ini. Jarum yang halus itu masih berada di lenganmu. Kau diamlah, kendurkan semua urat dilengan kananmu!"

Hui Cu memandang pamannya dengan keheranan, akan tetapi mentaati permintaan ini. Kun Hong lalu menggunakan jari telunjuknya menotok beberapa jalan darah di siku serta pundak dan seketika gadis itu merasa lengannya lumpuh!

"Diam saja, sakit sedikit, hendak kuambil keluar jarum itu," kata Kun Hong dan pemuda ini segera memijit-mijit lengan yang luka itu.

Tidak lama kemudian, ujung jarum dari luka itu mulai tersembul. Hui Cu menggigit bibir menahan sakit. Sekali lagi Kun Hong memencet, jarum itu keluar dari luka. Jarum yang amat lembut, sebesar ujung rambut.

"Nah, sekarang sudah tidak berbahaya lagi, tunggu kelak kita akan mencari obat untuk menyembuhkannya sama sekali. Biar kukeluarkan dulu sebagian darah yang teracun."

Ia mengurut lengan itu dari atas ke bawah dan dari luka itu keluarlah darah menghitam. Setelah itu ia membebaskan totokannya.

"Aih, Paman Hong. Tidak kusangka... ternyata kau begini pandai..." Hui Cu berkata, penuh kekaguman.

"Pandai apa? Hanya sedikit ilmu pengobatan yang kuketahui dari membaca kitab-kitabnya Yok-mo. Lihat, Li Eng dan penolongmu itu masih bertempur hebat."

Keduanya lalu memandang ke arah pertempuran. Ternyata Sin Lee kini dapat mendesak Kim-thouw Thian-li dengan hebatnya. Pedang pemuda ini amat kuat dan aneh gerakannya dan sekali lagi Kun Hong tertegun karena ia mengenal ilmu pedang ini yang mengandung inti Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Akan tetapi sifatnya sudah berubah, ganas dan merupakan tangan maut mengintai korban.

"Ahh, ganas... ganas...," katanya penuh kekuatiran.

Ia semakin terheran-heran ketika mengenal bahwa inti sari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dimainkan pemuda itu bercampur dengan ilmu pedang Hoa-san-pai sehingga merupakan ilmu silat kombinasi yang tidak menyerupai Hoa-san Kiam-hoat mau pun Kim-tiauw-kun lagi.

Desakan-desakan Sin Lee terhadap Kim-thouw Thian-li semakin dahsyat. Kini wanita itu benar-benar merasa kewalahan menghadapi serangan-serangan yang banyak memakai gerak-gerak tipu ini. Mulailah ia ketakutan setelah pundaknya tercium oleh ujung pedang lawannya. Hebat serangan Sin Lee. Mula-mula pedangnya menyambar ke arah pusar. Pada waktu Kim-thouw Thian-li menangkis sambil mengebutkan sabuk merah ke arah muka Sin Lee, pemuda ini mengibaskan tangan kiri menangkis dengan hawa pukulannya, melanjutkan dengan tusukan pedang yang diputar-putar di depan muka wanita itu.

Mata Kim-thouw Thian-li menjadi silau dan cepat-cepat menarik pedang untuk menangkis lagi. Siapa kira, serangan ini hanya pancingan belaka supaya ia mengangkat pedangnya karena tahu-tahu pemuda itu mengirim pukulan keras ke arah ulu hati, menggunakan tangan kiri yang diputar-putar lebih dulu.

Kim-thouw Thian-li mengeluarkan jeritan kaget karena hawa pukulan tangan kiri pemuda itu mendatangkan angin dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya menggigil dan lemas. Cepat-cepat wanita itu mengerahkan lweekang-nya sambil membanting tubuh ke kanan untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu, namun ujung pedang Sin Lee sudah menyambar datang memenggal leher!

"Celaka!"

Kim-thouw Thian-li menggerakkan kepalanya menjauh, akan tetapi pundaknya masih saja tercium ujung pedang, bajunya robek berikut kulit pundak dan sedikit dagingnya. Mulailah ia menjadi gentar, apa lagi ketika Sin Lee terus menerus mendesaknya dengan serangan pedang yang gencar diselingi pukulannya yang dahsyat itu. Kun Hong yang menyaksikan pukulan dengan tangan lebih dulu diputar-putar ini, menjadi bingung. Di dalam Kim-tiauw-kun tidak ada pukulan macam itu.

Memang, ilmu pukulan ini merupakan ilmu dari kaum sesat yang hanya dipergunakan oleh golongan hitam. Inilah ilmu pukulan Jing-tok-ciang (Pukulan Racun Hijau) yang Sin Lee warisi dari ibunya dan di lain pihak Kwa Hong ibunya itu dahulu menerimanya dari Koai Atong. Dahsyat bukan main Jing-tok-ciang ini karena baru angin pukulannya saja sudah mengandung hawa luar biasa yang dapat mematikan lawan.

Dengan marah sekali Kim-thouw Thian-li mengebutkan sabuk merahnya sambil berseru nyaring. Debu kemerahan langsung menyambar ke arah Sin Lee. Inilah racun berbahaya yang keluar dari dalam sabuk itu, yang dipergunakan Ketua Ngo-lian-kauw hanya kalau menghadapi lawan yang tangguh. Debu merah ini berbau harum sekali, begitu harumnya sampai dapat merampas ingatan dan semangat orang!

Namun sudah banyak Sin Lee mendengar tentang Ketua Ngo-lian-kauw ini dari ibunya, dan sudah tahu pula ia apa artinya debu merah ini. Ia tidak berani memandang rendah, terdengar dia melengking tinggi dan tubuhnya meloncat ke atas dengan kedua tangan dikembangkan.

Hebatnya, dari udara dia dapat melakukan gerakan menerjang ke depan bawah sambil memutar dari kiri sehingga tidak bertemu dengan awan debu merah. Pedangnya cepat dikerjakan dan tangan kirinya juga diputar-putar, siap melakukan pukulan.

Kim-thouw Thian-li berhasil menangkis tusukan pedang Sin Lee, namun sebuah pukulan Jing-tok-ciang yang tak tersangka-sangka datangnya, mengenai pundak kirinya. Perlahan saja pukulan itu, namun ketika jari-jari tangan pemuda itu menyentuh pundaknya, wanita ini memekik keras dan terhuyung-huyung lalu roboh!

Dengan sekuat tenaga dia menghimpun hawa Im-sin-kang di tubuhnya untuk melawan pukulan yang membuat seluruh isi dadanya terasa membeku. Pada saat itu Sin Lee sudah tidak mau memberi hati lagi, menerjang dengan pedang diputar lalu ditusukkan seperti lagak seekor burung mematuk mangsanya.

"Heee, jangan bunuh orang...!" Kun Hong sudah sampai di situ dan menyelinap di antara sinar pedang Sin Lee.

Hui Cu kaget sekali dan hendak menarik tangan pamannya ketika dia melihat pamannya dengan gerakan tidak karuan dan kacau menubruk Sin Lee. Akan tetapi secara aneh sambarannya meleset dan tubuh Kun Hong terus menyerbu ke depan.

Hui Cu hampir menjerit karena kuatir kalau-kalau pamannya itu yang tidak pandai silat terkena senjata Sin Lee. Akan tetapi ia melihat Sin Lee mencelat mundur sambil berseru.

"Kau…?!"

Kuatir kalau-kalau Sin Lee akan menyerang Kun Hong, Hui Cu segera lari menghampiri dan berkata, "Jangan... dia adalah pamanku."

Sin Lee tertegun. Tadi dia terpaksa harus menarik kembali pedangnya dan meloncat ke belakang karena pemuda aneh itu yang menyelinap masuk sudah memasang dua jari tangannya memapaki tangannya yang memegang pedang sehingga kalau ia meneruskan tusukannya kepada Kim-thouw Thian-li, sudah tentu pergelangan tangannya akan tertotok dan pedangnya akan terlepas.

Heran ia bagaimana paman dari Hui Cu dapat mengenal kelemahan pergerakannya tadi? Dan sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa ‘paman’ ini masih seorang muda sebaya dia!

"Dia... dia pamanmu yang bernama Kun Hong itu?" tanyanya memandang ke arah Kun Hong yang menghampiri Kim-thouw Thian-li yang sudah duduk bersila dan mengerahkan lweekang untuk melawan hawa dingin yang menyerang isi dadanya.

"Ya, maklumlah dia... dia paling anti bunuh membunuh, karena itu maka tadi mencegah kau membunuh Kim-thouw Thian-li..."

"Kau... tidak apa-apa?" tanya Sin Lee memandang penuh perhatian.

"Tidak, Paman Hong sudah mengobatiku, tidak kusangka dia pandai. Saudara Tiauw, kau tolong bantulah adik Li Eng melawan Hek-hwa Kui-bo."

Pada saat itu pertempuran antara Li Eng dan Hek-hwa Kui-bo masih berjalan seru sekali. Akan tetapi, betapa pun lihainya Li Eng, menghadapi tokoh sakti ini dia jadi terdesak juga. Apa lagi pedang nenek itu menyambar-nyambar ganas dengan ilmu pedangnya Im-sin Kiam-sut.

Mendengar permintaan Hui Cu, Sin Lee cepat melompat dan langsung menerjang nenek itu dengan pedangnya.

"Iblis tua, kau mampuslah!"

Pedangnya menyambar-nyambar bagai kilat dan Hek-hwa Kwi-bo terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi itu.

Li Eng diam-diam merasa lega bahwa dia mendapat bantuan seorang yang begini kuat. Diam-diam ia membandingkan pemuda ini dengan cucu Song-bun-kwi. Ada persamaan wajah serta bentuk badan di antara dua orang pemuda ini, hanya cucu Song-bun-kwi itu lebih kekar dan lebih tampan dalam pandangannya. Juga dalam ilmu kepandaian, keduanya sama-sama hebat.

Kun Hong menghampiri Kim-thouw Thian-li yang duduk bersila. Wajah wanita itu muram, mengandung cahaya kehijauan yang aneh. Kun Hong tahu bahwa wanita ini telah terluka berat, luka dalam yang mengandung hawa pukulan beracun. Ia pernah bertemu dengan Ketua Ngo-lian-kauw ini dan ia dapat menduga bahwa orang ini bukanlah orang baik-baik, tetapi hatinya yang penuh welas asih membuat ia berkasihan melihat orang itu terluka dan bermaksud untuk mengobatinya.

"Kauwcu, kau terluka hebat"

Tanpa ragu-ragu ia memegang pergelangan tangan kiri wanita tua itu. Beberapa detik ia memeriksa keadaan orang melalui ketukan jalan darahnya, dan ia kaget sekali.

"Kauwcu, kau telah terkena racun hawa pukulan yang mengandung daya Im-kang. Jangan kerahkan tenaga keluar, jangan pula kau melawan dari dalam. Aku akan berusaha untuk menolongmu." Setelah berkata demikian, Kun Hong menotok ke bagian pundak dan mengurut bagian punggung.

Kim-thouw Thian-li membuka matanya. Dia kaget bukan main melihat bahwa orang yang bicara hendak menolongnya adalah orang Hoa-san-pai yang pernah datang ke tempatnya kemudian dibawa pergi Song-bun-kwi. Orang ini terang pihak musuh, mana ia percaya hendak mengobatinya? Tentu hendak menipunya dan hendak mencelakainya. Ia cepat mengangkat tangan mengirim pukulan keras.

"Eh, jangan kerahkan tenaga, berbahaya!” Kun Hong berseru namun terlambat, tubuhnya mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya!

"Paman Hong... kau... kau tidak apa-apa?" Hui Cu mendekati, melupakan lukanya sendiri.

Dia terheran-heran melihat pamannya ini merangkak bangun, sama sekali tidak terluka, hanya keningnya yang bertumbukan dengan batu pada saat ia terlempar tadi agak benjol setengah telur besarnya.

Pemuda ini menggeleng kepala dan memandang ke arah Kim-thouw Thian-li, lalu menarik napas panjang.

"Kehendak Thian tak dapat diubah... dia seperti membunuh diri..."

Hui Cu tidak mengerti dan menengok ke arah Ketua Ngo-lian-kauw dan... ternyata wanita itu telah rebah telentang dengan wajah kehijauan. Ketika dia mendekati, ternyata bahwa Kim-thouw Thian-li telah tewas! Diam-diam Hui Cu girang sekali, karena ia benci wanita Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat dan yang dahulu sudah banyak membikin susah orang-orang tua di Hoa-san-pai.

Hek-hwa Kui-bo benar-benar hebat sekali. Nenek ini usianya sudah amat tua, mukanya sudah penuh keriput dan matanya cekung seperti mata tengkorak. Dilihat begitu saja, ia merupakan seorang nenek yang sudah mendekati lubang kubur.

Namun dalam pertempuran dia benar-benar bagaikan iblis betina. Tenaga lweekang-nya masih mengatasi kedua orang muda yang mengeroyoknya itu, juga ilmu pedangnya yang berdasarkan ilmu sakti Im-sin Kiam-sut bercampur dengan ratusan macam gerakan ilmu silat yang dimilikinya, membuat dua orang pengeroyoknya itu harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk menekannya. Kali ini nenek ini benar-benar menghadapi lawan berat.

Sin Lee adalah putera Kwa Hong yang telah mewarisi kepandaian ibunya yang luar biasa, kepandaian campuran antara ilmu silat Hoa-san-pai, Ilmu Silat Jing-tok-ciang ditambah lagi ilmu silat yang dipelajari oleh Kwa Hong dari rajawali emas. Ada pun Kui Li Eng mempunyai ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, yang tadinya masih merupakan rahasia bagi Hoa-san-pai sendiri sebelum ayah bundanya bertemu dengan Lian Ti Tojin. Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang asli ini berlipat kali lebih lihai dari ilmu pedang Hoa-san-pai yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya.

Perlahan tapi tentu, Hek-hwa Kui-bo mulai terdesak. Dua buah pedang di tangan dua orang muda itu benar-benar membuat dia sebentar-sebentar memekik marah dan heran. Akan tetapi ketika nenek ini melihat bahwa muridnya yang terkasih itu tewas sebagai akibat pukulan pemuda yang sekarang mengeroyoknya, ia menjadi marah sekali dan juga kuatir.

Sambil memekik keras, sabuknya lalu dikebut-kebutkan sehingga mengepullah debu yang bermacam-macam warnanya dan di antara kepulan debu ini berkelebatan sinar-sinar yang menyembunyikan jarum-jarum lembut yang mengandung racun sama hebatnya dengan racun debu beraneka warna itu! Inilah penyerangan hebat luar biasa yang jarang dapat dihindarkan oleh lawan yang bagaimana tangguh pun.

"Awas...!" teriakan ini sekaligus keluar berbareng dari mulut Li Eng dan Sin Lee.

Dan berbareng pula seperti mendengar komando, dua orang muda ini membanting tubuh ke belakang, berjungkir balik dan menggelundung pergi seperti binatang trenggiling turun gunung.

Kiranya keduanya sudah mendengar dari orang tua masing-masing mengenai kelihaian Hek-hwa Kui-bo dan tentang senjata rahasia yang amat ampuh dari nenek iblis ini, yaitu debu beracun yang disebut Ngo-hwa Tok-san (Bubukan Racun Lima Kembang) dan juga jarum-jarum beracun Ngo-hwa Tok-ciam.

Karena inilah maka mereka berdua tidak berani menyambut atau menangkis, melainkan membuang diri dengan cara pengelakan yang paling tepat untuk menghindarkan diri dari serangan debu dan jarum-jarum itu. Biar pun begitu, kedua orang muda ini merasa angin berseliweran di atas punggung mereka, hanya beberapa senti meter saja jauhnya, tanda bahwa jarum-jarum beracun itu hampir saja mengenai tubuh mereka.

Setelah menggelundung jauh, keduanya lalu berloncatan bangun dengan keringat dingin mengucur. Hampir saja mereka menjadi korban. Keduanya segera memutar tubuh untuk menghadapi nenek yang ganas itu, akan tetapi nenek itu sudah tidak kelihatan lagi. Kiranya ketika melihat dua orang pengeroyoknya bergulingan tadi, Hek-hwa Kui-bo yang tahu betul bahwa melanjutkan pertempuran melawan kedua orang muda itu merupakan bahaya sedangkan muridnya telah tewas, cepat melompat kemudian menyambar jenazah Kim-thouw Thian-li dan membawanya lari secepat terbang dari tempat itu.

Kun Hong dan Hui Cu yang melihat ini, hanya dapat memandang saja. Bagi Hui Cu yang maklum akan tingkat kepandaiannya, tidak berani dia menghalangi, ada pun Kun Hong memang tidak mau menghalangi, malah ia bersyukur bahwa jenazah Ketua Ngo-lian-kauw itu ada yang membawa pergi dan mengurusnya. Hui Cu dengan muka gembira memperkenalkan Sin Lee kepada Li Eng dan Kun Hong. Li Eng yang berwatak lincah gembira itu menjura dan berkata,

"Tiauw-enghiong benar-benar gagah perkasa dan lihai sekali, membuat aku kagum sekali. Apa lagi karena Tiauw-enghiong telah menolong Enci Hui Cu dari tangan Song-bun-kwi, benar-benar merupakan budi yang tak akan pernah dilupa oleh... Enci Hui Cu." Setelah berkata demikian ini, dengan sinar mata yang nakal sekali Li Eng mengerling kepada Hui Cu yang menjadi merah dadu warna pipinya.

"Menyesal sekali bahwa dahulu itu aku tidak sempat pula menolongmu dari tangan kakek itu, Nona, karena kakek itu memang lihai sekali. Terpaksa aku hanya dapat mengajak Nona Hui Cu pergi," jawab Sin Lee yang tadi merasa tersindir mengapa dahulu itu yang ditolongnya hanya Hui Cu seorang.

Sementara itu, Kun Hong memandang kepada Sin Lee dengan mata tajam penuh selidik. Ia mengenal ilmu silat pemuda ini. Oleh karena otaknya yang cerdik, dia lalu membuat rangkaian dan dugaan. Gurunya, Bu-beng-cu sudah lama meninggal dunia. Kiranya sampai mati pun guru besar itu tidak pernah menerima murid, buktinya ilmunya ditinggalkan dalam bentuk kitab. Kalau ada orang lain mampu mewarisi Kim-tiauw-kun, tentulah melalui burung rajawali emas itu. Dan Kim-tiauw-kun yang dimainkan oleh pemuda ini kacau-balau dan tercampur dengan ilmu-ilmu silat lain, malah ada pula ilmu silat dari Hoa-san-pai di dalamnya. Satu-satunya orang selain dia, yang ada hubungannya dengan rajawali emas, seperti yang ia dengar dari dua orang murid keponakannya, hanyalah Kwa Hong, kakak perempuannya lain ibu itu. Jadi pemuda ini kiranya tak akan terlalu ngawur kalau ia menduga bahwa pemuda ini tentulah anak dari Kwa Hong.
cerita silat karya kho ping hoo

"Saudara Sin Lee she Tiauw, bukan? Bagus, she yang bagus akan tetapi juga jarang ada. Membikin aku teringat akan burung rajawali raksasa. Ehh, Saudara Tiauw Sin Lee, apa kau pernah melihat seekor burung rajawali emas raksasa yang memakai kalung mutiara?"

Wajah Sin Lee segera berubah. Jantungnya berdebar keras. Tadi ketika diperkenalkan, ia mendengar bahwa orang muda yang halus gerak-gerik serta tutur sapanya ini bernama Kwa Kun Hong, putera Ketua Hoa-san-pai. Ini saja sudah membuat ia berdebar-debar karena Kwa Kun Hong yang berdiri di depannya ini adalah adik ibunya! Adik lain ibu, jadi adik tirinya, berarti Kwa Kun Hong ini adalah paman tirinya sendiri.

Akan tetapi tentu saja dia tidak berani memperkenalkan diri dengan sesungguhnya. Dia adalah anak Kwa Kun Hong dan kepergiannya ke Thai-san mempunyai maksud menyeret Tan Beng San ke hadapan ibunya. Orang-orang muda ini sedang menuju ke Thai-san, agaknya mempunyai hubungan baik dan erat sekali dengan Ketua Thai-san-pai.

Apa bila ia mengaku dan menceritakan maksudnya, sudah tentu akan terjadi hal-hal yang tidak enak sekali. Oleh karena itu ia harus tetap memalsukan shenya. Siapa kira di sini ia bertemu dengan paman tirinya, yang entah dengan cara bagaimana, agaknya mengetahui rahasianya!

Bagaimana paman tirinya ini tahu tentang kim-tiauw pula? Sudah tentu saja ia mengenal rajawali emas yang berkalung mutiara. Siapa tidak mengenal kalau kalung yang berada di leher burung itu adalah dia sendiri yang memasangnya?

Mendengar ini, baik Hui Cu mau pun Li Eng menjadi kaget dan heran, lalu memandang kepada Sin Lee. Terutama sekali Li Eng. Sebagai seorang gadis yang cerdik sekali, ia pun dapat menghubung-hubungkan sesuatu.

"Kalau pernah melihat kim-tiauw berkalung mutiara tentu pernah melihat... dia!" Li Eng memandang tajam.

Mendengar ini Hui Cu mengeluarkan seruan tertahan. Benarkah dugaan Li Eng bahwa pemuda penolongnya dan yang sekaligus perampas hatinya ini ada hubungan dengan... dia yang dimaksudkan tentu Kwa Hong?

Ada pun Sin Lee ketika mendengar ucapan Kun Hong dan kemudian Li Eng, melihat pula pandang mata Hui Cu dan yang lain-lain, berubah air mukanya. Tidak mengakui tentang kim-tiauw bukanlah hal yang sukar baginya, akan tetapi bagaimana ia bisa tidak mengakui tentang ibunya sendiri? Ia menjadi gugup dan gelisah karena merasa rahasianya hampir terbongkar.

"Aku... aku... ah, tidak tahu siapa yang kalian maksudkan... setelah Nona Hui Cu bertemu dengan kalian, biarlah aku pergi!" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan dia sudah melompat jauh sekali.

"Saudara Sin Lee...!" Tak terasa lagi Hui Cu berseru memanggil dan lari mengejar, namun ia segera menahan kakinya dan mukanya berubah merah ketika teringat bahwa sikapnya ini benar-benar telah membuka perasaan hatinya, sedangkan di situ terdapat Kun Hong dan Li Eng!

Dari jauh, lapat-lapat terdengar suara pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu, "Nona Thio Hui Cu, selamat tinggal, kelak kita pasti akan saling bertemu kembali..."

"Enci Hui Cu, jangan kuatir, aku yakin kau akan bertemu lagi dengan dia. Hemm, dia baik sekali kepadamu, Cu-cici." Li Eng lalu tertawa dan Hui Cu menjadi makin merah mukanya.

"Adik Eng, jangan kau main-main!"

"Siapa main-main? Memang dia... ehh, hebat sekali, bukan begitukah pendapatmu?"

"Kau... nakal...!"

Hui Cu maju sambil mengulur tangan hendak mencubit pipi Li Eng yang menggodanya. Li Eng mengelak dan menjerit-jerit.

"Ehh... ehhh, jangan... uhh, kenapa marah-marah? Lihat, tuh dia datang kembali!"

Seketika Hui Cu berhenti dan menengok ke arah perginya pemuda tadi. Ketika dia tidak melihat siapa-siapa, Hui Cu menjadi semakin jengah, maklum bahwa sekali lagi ia digoda oleh adik misan yang nakal itu.

"Sudahlah, jangan bergurau saja. Kita harus bersyukur bahwa akhirnya kita bertiga dapat berkumpul kembali dengan selamat."

Sambil melanjutkan perjalanan, tiga orang muda ini lalu saling menuturkan pengalaman mereka masing-masing…..

**********

Puncak Thai-san yang sangat tinggi menjadi tempat tinggal Raja Pedang Tan Beng San dan isterinya Cia Li Cu. Seperti telah kita ketahui dalam permulaan cerita Rajawali Emas, Tan Beng San setelah mengalami banyak sekali derita hidup, dipermainkan oleh asmara yang membuatnya banyak mengalami pahit getir penghidupan, akhirnya berjodoh dengan Li Cu dan hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan di Thai-san ini.

Tentu saja, sebagai sepasang pendekar yang berjiwa gagah, mereka tidak dapat terus menerus menyembunyikan diri di tempat sunyi ini. Kadang-kadang mereka bersama sama atau Tan Beng San seorang diri, turun gunung untuk menjalankan tugas sebagai seorang pendekar pembasmi kejahatan serta penegak kebenaran dan keadilan, sehingga nama sepasang pendekar itu makin terkenal di seluruh dunia.

Tan Beng San adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, pewaris dari Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat. Ada pun isterinya Li Cu, adalah puteri tunggal Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Dengan keadaan demikian, tentu saja sepasang suami isteri ini mempunyai cita-cita untuk mengembangkan kepandaian mereka, membentuk sebuah partai persilatan di Thai-san yang akan menyebar luaskan ilmu dari mereka dan dijadikan sebagai modal untuk membantu usaha pembasmian kejahatan di dunia ini.

Cita-cita inilah yang membuat mereka akhirnya sepakat untuk mendirikan partai persilatan Thai-san-pai. Mereka lalu memilih orang-orang atau lebih tepat anak-anak yang berbakat, diambil dari dusun-dusun dan dipilih anak-anak yang telantar untuk dididik dan dijadikan murid mereka.

Kebahagiaan hidup mereka terasa meningkat ketika setahun kemudian terlahir seorang anak perempuan yang mereka beri nama Tan Cui Bi. Tentu saja anak kesayangannya ini mendapat gemblengan dari kedua orang tuanya sehingga sesudah berusia tujuh belas tahun, Cui Bi menjadi seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berkepandaian tinggi.

Namun, sebagai anak tunggal, Cui Bi amat manja. Darah ayah bundanya, darah ksatria, mengalir dalam tubuhnya dan semenjak berusia lima belas tahun tanpa dapat ditahan lagi oleh kedua orang tuanya, anak ini kadang-kadang melakukan perantauan seorang diri dan melakukan perbuatan-perbuatan gagah berani yang menggemparkan dunia kang-ouw.

Dalam setiap perjalanan ia selalu berpakaian sebagai laki-laki. Hal ini adalah nasehat dari ayahnya yang maklum bahwa betapa pun tingginya kepandaian puterinya, namun dalam pakaian laki-laki Cui Bi akan dapat melakukan perjalanan lebih leluasa, dari pada sebagai seorang gadis cantik dan muda.

Semestinya Tan Beng San serta isterinya akan merasa sangat bahagia setelah mereka mendapatkan murid-murid yang cukup banyak untuk dapat dijadikan anggota Thai-san-pai yang akan mereka resmikan pendiriannya. Akan tetapi, sebagaimana lajimnya kehidupan manusia di dunia ini, selalu tidak mungkin sempurna, tidak ada kebahagiaan sempurna selama manusia masih hidup, pasti ada saja gangguan.

Hal yang sangat menggelisahkan hati dua orang gagah ini adalah sikap Cui Bi dalam hal perjodohan. Telah banyak sekali datang pinangan-pinangan, baik dari putera orang-orang berpangkat, putera tokoh-tokoh kenamaan di dunia kang-ouw, atau pendekar-pendekar muda yang sepak terjangnya benar-benar mengagumkan. Akan tetapi semua pinangan itu selalu ditolak mentah-mentah oleh Cui Bi, sampai akhirnya datang pinangan dari Ketua Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baik dari Tan Beng San sendiri.

Pembaca kiranya masih ingat kepada Bun Lim Kwi, pendekar Kun-lun-pai yang terjodoh dengan Thio Eng puteri tokoh Pek-lian-pai dan murid Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Setelah Ketua Kun-lun-pai yang sudah tua meninggal dunia, Bun Lim Kwi diangkat menjadi ketua baru dari Kun-lun-pai. Bun-paicu ini mempunyai seorang putera tunggal dan diberi nama Bun Wan.

Bun Wan seorang pemuda yang ganteng dan gagah, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur, ilmu silatnya pun amat tinggi. Ketika dalam perantauan, Tan Beng San dan isterinya pernah singgah di Kun-lun dan pernah melihat Bun Wan ini yang mendatangkan kesan baik dalam hati mereka.

Oleh karena itulah, ketika datang lamaran dari Kun-lun, serta merta Tan Beng San dan isterinya setuju karena dalam pandangan mereka, sudah patut sekali kalau puteri mereka menjadi isteri pemuda Bun Wan itu. Bun Wan tampan dan gagah, keturunan orang-orang gagah, putera Ketua Kun-lun-pai yang besar dan terkenal, mau apa lagi? Sukar kiranya mencari mantu yang melebihi Bun Wan ini.

Maka, setelah bersepakat, suami isteri Thai-san ini menerima pinangan itu, tanpa pernah bertanya lagi kepada Cui Bi karena gadis ini sedang merantau. Bun Lim Kwi yang datang sendiri ke Thai-san menjadi girang dan amat berterima kasih, lalu kembali ke Kun-lun-pai setelah mendapat keterangan dari suami isteri Thai-san bahwa persoalan itu selanjutnya akan ditentukan hari pernikahannya sehabis peresmian pendirian Thai-san-pai.

Akan tetapi alangkah mengkal dan duka hati suami isteri ini ketika Cui Bi datang dan diberi tahu tentang ikatan jodoh ini. Gadis itu marah-marah, bahkan pada malam harinya lari pergi dari Thai-san tanpa memberi tahukan ayah bundanya.

"Hemm, anak itu terlalu manja!" Beng San membanting kaki dan mendongkol sekali. “Kali ini ia mau tidak mau harus menurut kehendak kita! Aku akan menyusul dan mencarinya."

Li Cu memegang tangan suaminya. "Jangan, terburu nafsu. Ingatlah bahwa Cui Bi baru berusia tujuh belas, mungkin perkawinan merupakan hal asing yang menakutkan hatinya. Tidak perlu disusul dan dipaksa, jangan-jangan ia akan semakin keras kepala dan nekat menolak. Tunggulah, aku yakin sekali dia akan pulang menjelang pendirian Thai-san-pai dan perlahan-lahan nanti kita bujuk. Serahkan saja kepadaku untuk membujuknya."

Beng San mengerutkan keningnya. "Ahh, kau selalu memanjakan dia, maka sekarang dia begitu keras kepala, selalu hendak membantah kehendak orang tua."

"Suamiku, bagaimana takkan begitu jadinya kalau Bi-ji itu merasa bahwa dia adalah anak tunggal kesayangan kita? Aku memang bersalah," ia menundukkan mukanya. "Aku terlalu memanjakan dia. Tapi... tapi kiraku kalau adiknya ini sudah terlahir, dia tidak akan begitu manja lagi..." Li Cu meraba perutnya yang sudah mengandung empat bulan lebih itu.

Beng San berubah mukanya. Cepat ia memegang kedua tangan isterinya dan dibawanya ke muka, diciuminya. "Ahh, maafkan aku... Li Cu, kau tahu, aku tidak menyalahkan kau, bukan begitu maksudku... ahh, aku hanya terlalu bingung dan gelisah memikirkan Cui Bi. Kita sudah menerima pinangan dari Kun-lun-pai, bagaimana jika kelak dia tetap berkeras menolaknya?"

Li Cu menarik kedua tangannya, memandang pada suaminya dengan penuh cinta kasih. "Kau selalu baik sekali. Percayalah, aku akan membujuk Bi-ji (Anak Bi)."

Suami isteri ini mengatur persiapan perayaan yang dilakukan oleh para anggota Thai-san-pai. Murid Thai-san-pai jumlahnya ada tiga puluh orang lebih dan mereka ini rata-rata sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Malah mereka yang sudah berumah tangga dan tinggal di luar, sekarang pada datang untuk membantu.

Ramai dan gembira keadaan di puncak Thai-san ini. Selain mengatur hiasan-hiasan, juga pada beberapa tempat dibangun pondok-pondok darurat untuk para tamu yang diduga akan membajiri Thai-san-pai.

Para murid ini telah menerima pelajaran ilmu silat yang cukup tinggi juga, yaitu Ilmu Silat Thai-san Kun-hoat yang diciptakan oleh Tan Beng San dengan jalan menggabung ilmu silatnya dan ilmu silat isterinya yang mengutamakan keindahan, kecepatan dan cara yang praktis untuk merobohkan lawan tanpa membunuh, sesuai dengan jiwa Beng San yang tidak suka membunuh orang.

Telah dituturkan di bagian depan cerita ini bahwa Beng San dan isterinya melanjutkan usaha Cia Hui Gan, yaitu membuat jalan rahasia yang menuju ke puncak tempat tinggal mereka. Hanya mereka berdua, anak mereka, dan para murid saja yang tahu akan jalan rahasia yang amat sulit ini.

Jika dilihat dari jauh, agaknya tak mungkin mendatangi puncak di mana terdapat tempat tinggal mereka atau yang menjadi pusat dari Thai-san-pai, karena puncak itu dikurung jurang-jurang yang amat terjal dan tak mungkin dilalui manusia, kecuali kalau manusia itu dapat terbang seperti burung. Bahkan anak murid yang belum tamat, tidak diberi tahu tentang jalan rahasia ini dan karenanya mereka tak dapat meninggalkan puncak sebelum pelajaran mereka tamat. Karena adanya jalan rahasia inilah maka musuh-musuh besar suami isteri itu, di antaranya Song-bun-kwi, tidak berdaya menyerbu Thai-san-pai.

Jalan rahasia ini setiap saat bisa dirubah-rubah sehingga andai kata ada seorang musuh yang berhasil mendapatkan rahasia pada hari itu, pada lain harinya pengetahuannya itu akan sia-sia belaka karena setelah dirubah, rahasia itu akan jauh berlainan dengan yang sudah-sudah.

Untuk menjaga rahasia gunungnya, Beng San sengaja hendak mengadakan perayaan pendirian Thai-san-pai itu di bawah puncak, sehingga ia tidak usah mendatangkan para tamu ke puncak dan karenanya tidak perlu pula ia membuka rahasia itu.

Para anak murid Thai-san-pai sudah siap siaga di bawah puncak. Sebelum hari ditetapkan tiba, kurang satu minggu anak murid sudah siap menyambut para tamu, mewakili ketua mereka. Beng San sendiri tidak mau turun dari puncak sebelum hari yang ditentukan tiba. Ia dan isterinya sedang menanti datangnya para anak murid yang bertempat tinggal jauh, juga menanti datangnya puteri mereka, Tan Cui Bi.

Para tamu mulai berdatangan dan sibuklah anak murid Thai-san-pai menyambut mereka. Yang mewakili Beng San mengadakan penyambutan dan menyampaikan maaf ketuanya karena sibuk sehingga baru akan muncul pada hari yang sudah ditetapkan, adalah Oei Sun, murid tertua, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia empat puluh tahun.

Macam-macam sikap para tamu saat menerima penyambutan yang hanya dilakukan oleh murid tertua Thai-san-pai ini. Mereka ini kesemuanya amat menghormat dan mengagumi Raja Pedang Tan Beng San, namun apakah artinya murid Thai-san-pai yang baru saja berdiri ini?

Ada yang menerima penyambutan dengan hormat, ada yang berterima kasih dan berdiam diri saja, akan tetapi ada pula yang bersungut-sungut, mereka menganggap bahwa Ketua Thai-san-pai tidak memandang mata kepada mereka. Akan tetapi, karena sungkan kalau mendatangkan keributan, mereka menerima saja dan mendiami tempat masing-masing, yaitu bangunan-bangunan darurat yang sudah disediakan untuk mereka.

Seorang di antara para tamu, Lai Tang yang berjuluk Cakar Naga, seorang guru silat dari kota raja yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan berwatak kasar pongah, ketika mendapat sambutan ini segera berkata sambil berjalan ke arah pondok yang ditunjukkan baginya.

"Hemm, hemm, Thai-san-pai Ciangbunjin (Ketua) sedang sibuk dan tidak ada kesempatan menyambut kedatanganku? Membikin kakiku terasa berat saja menaiki Thai-san."

Semua tamu mendengar ini dan beberapa orang di antaranya lalu berseru kagum ketika melihat betapa jejak kaki guru silat tinggi besar ini tercetak di tanah dan memperlihatkan bekas sedalam sepuluh sentimeter lebih pada tanah yang keras itu!

Demonstrasi yang diperlihatkan Lai Tang itu menunjukkan bahwa tenaga lweekang-nya cukup hebat, agaknya sengaja ia perlihatkan untuk mengejek bahwa seorang anak murid Thai-san-pai yang tidak ada nama itu tak cukup berharga untuk menyambut seorang tamu yang berkepandaian selihai dia!

Terdengar Oei Sun tertawa ramah, lalu berkata, "Maaf, maaf, Lai-kauwsu (Guru Silat Lai), Suhu telah memesan agar menyampaikan maafnya dan memesan supaya siauwte dapat melayani semua tamu dengan hormat. Biarlah siauwte yang meringankan kalau Kauwsu merasa berat kaki."

Setelah berkata demikian, dengan tenang dia berjalan pula melangkah di dekat jejak kaki guru silat itu dan... bekas kaki yang amblas sepuluh senti meter itu segera lenyap karena tanahnya sudah rata kembali!

Semua tamu kembali berseru memuji dan guru silat Lai itu menengok, melihat apa yang dilakukan oleh Oei Sun. Mukanya segera menjadi merah dan ia cepat-cepat membalikkan tubuh dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Oei Sun.

"Panglima yang pandai mempunyai prajurit yang hebat pula! Sahabat, dengan kepandaian seperti yang kau miliki ini, tentu saja aku sudah merasa cukup terhormat bisa mendapat penyambutanmu!"

Sesudah berkata demikian, Lai Tang berjalan menuju ke pondoknya sambil tertawa tulus. Senang hati Oei Sun karena meski pun pongah dan kasar, kiranya guru silat she Lai itu cukup jujur dan terbuka hatinya.

Di kaki puncak itu telah dibuat tanah datar yang amat luas dan di tengah dibangun teratak tinggi, setinggi dua meter dengan bentuk persegi empat berukuran lima meter. Di ujung teratak yang lantainya terbuat dari papan tebal dan tiang-tiangnya di bawah dari balok besar-besar ini dipasangi meja sembahyang.

Teratak tanpa atap inilah yang nanti akan menjadi tempat dilakukannya upacara pendirian Thai-san-pai dan sengaja dibuat dalam bentuk seperti biasa orang membuat panggung lui-tai di mana orang akan dapat bermain silat cukup leluasa. Bukan hal aneh kalau setiap pertemuan di antara para jago-jago silat atau dalam partai-partai persilatan, dibuat teratak semacam ini untuk memberi kesempatan orang bermain silat atau bertanding kepandaian silat.

Banyak juga tamu yang datang, sampai tak kurang dari lima puluh orang yang mendapat tempat istirahat di pondok-pondok darurat di kaki puncak. Namun rombongan-rombongan besar dari partai-partai terkenal seperti dari Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain, adalah partai-partai yang dipimpin oleh orang-orang terkenal.

Mereka adalah orang-orang tahu diri dan tidak suka mendesak-desak, maka sebelum tiba hari yang ditentukan, mereka tidak mau naik ke kaki puncak, tapi berhenti di lereng-lereng dan mencari tempat peristirahatan di dalam hutan-hutan yang pemandangannya indah dan hawanya sejuk. Juga tokoh-tokoh besar perorangan belum ada yang muncul ke kaki puncak karena orang-orang seperti mereka ini pun tentu saja bersikap ‘jual mahal’ dan tidak muncul sebelum Ketua Thai-san-pai keluar dari sarangnya.

Pendeknya, biar pun yang terlihat berkumpul di kaki puncak hanya ada lima puluh orang, namun di lereng-lereng Thai-san telah datang banyak orang yang masih menyembunyikan diri di tempat peristirahatan masing-masing, di dalam hutan-hutan yang banyak terdapat di seluruh permukaan Pegunungan Thai-san itu.

Selama menunggu datangnya hari penentuan itu, mereka yang datang ke Thai-san, baik yang sudah diterima oleh murid kepala mau pun yang masih berdiam menanti di lereng, setiap hari berjalan-jalan menikmati pemandangan alam yang indah bukan main. Mereka yang datang dari gunung-gunung lain lalu membandingkan pemandangan di situ dengan tamasya alam di tempat masing-masing.

Rata-rata mereka memuji akan keindahan Thai-san dan diam-diam menyatakan kagum kepada Raja Pedang Tan Beng San yang pandai memilih tempat untuk dijadikan pusat perkumpulannya. Ada pula yang memuji nasib baik Raja Pedang itu karena telah menjadi mantu Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan yang dahulu merajai daerah pegunungan ini. Namun, banyak pula di antara tamu yang merasa penasaran melihat bahwa tempat upacara dan pertemuan tidak diadakan di puncak, melainkan di kaki puncak.

"Hemmm, Ketua Thai-san-pai sungguh tidak memandang kepada kita!" beberapa orang di antara mereka berkata, "Apakah puncak tempat tinggal mereka itu terlalu bersih sehingga takut dikotori kaki kita?"

Ada pula yang mengomel, "Kabarnya jalan rahasia Thai-san-pai benar-benar amat hebat dan yang paling sukar dipecahkan di antara tempat-tempat rahasia di dunia ini. Aku ingin mendapat kesempatan ini untuk melihatnya. Siapa tahu, Ketua Thai-san-pai begini pelit sehingga tidak mau memperlihatkan puncak. Apakah dia takut kalau kita akan mencuri barang-barang yang berharga?"

Macam-macam pendapat orang, pada pokoknya banyak yang merasa penasaran. Malah perasaan ini mendatangkan bermacam-macam kejadian, bahkan ada pula yang hebat akibatnya. Beberapa kelompok bahkan berusaha untuk mencari sendiri jalan rahasia itu, bermaksud untuk mendaki puncak dan mencari jalannya. Akan tetapi akibatnya, mereka ini berkeliaran di hutan-hutan, sesat tidak karuan dan selama dua hari baru dapat keluar dari hutan-hutan yang sulit dilalui, dengan tubuh lemas dan perut lapar, malah ada yang hampir mati dikeroyok ular atau binatang lain!

Lebih celaka lagi, ada yang pergi seorang diri, diam-diam mempergunakan kepandaian menawan seorang anak murid Thai-san-pai, menyeretnya ke dalam hutan dan memaksa anak murid itu untuk mengaku dan membuka rahasia jalan ke puncak. Orang ini terlalu memandang rendah anak murid Thai-san-pai.

Biar pun murid yang ia lawan itu tidak sanggup melawannya karena kalah tinggi tingkat kepandaiannya, tetapi setiap orang murid Thai-san-pai adalah orang pilihan yang memiliki kesetiaan luar biasa. Murid Thai-san-pai itu tidak mau membuka rahasia pertanyaannya, biar pun ia disiksa oleh Si Penawannya, malah kemudian sampai tewas dan ditinggalkan mayatnya begitu saja di dalam hutan itu.

Si Penawan ternyata gagal mendapatkan rahasia Thai-san-pai dan dengan hati kecut ia meninggalkan tawanannya yang sudah menjadi mayat, takut kalau-kalau akan ketahuan rahasianya. Dengan wajah biasa dan sikap tenang orang ini kembali di antara para tamu. Ributlah para anak murid Thai-san-pai ketika mereka mendapatkan seorang saudaranya tewas di dalam hutan. Namun mereka tidak memperlihatkan kegugupannya.

Oei Sun yang mendengar tentang ini, dengan tenang menyuruh seorang murid melapor kepada suhu-nya serta membawa mayat saudara seperguruannya itu naik ke puncak pula untuk diperiksa oleh ketua mereka. Kejadian ini berlangsung tanpa banyak menimbulkan keributan, namun tentu saja berita ini tersiar luas di antara para tamu sehingga mereka ini diam-diam menjadi tegang karena menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat antara Thai-san-pai dengan orang-orang yang memusuhinya, di antaranya orang-orang yang telah membunuh anak murid Thai-san-pai itu!

Lima hari sebelum bulan pertama, yaitu hari pendirian Thai-san-pai, datanglah Tan Cui Bi bersama Tan Kong Bu ke tempat penyambutan. Para anak buah murid Thai-san-pai tentu saja menyambut kedatangan Cui Bi dengan gembira.

Akan tetapi Oei Sun memandang sumoi-nya (adik perempuan seperguruan) ini dengan mata diliputi kemuraman, lalu menarik tangan sumoi-nya masuk ke dalam pondok. Sambil tertawa Cui Bi memberi tanda kepada Kong Bu untuk turut pula ke dalam. Ketika Oei San melihat ini, keningnya berkerut, akan tetapi Cui Bi berkata,

"Oei-suheng, dia ini bukan orang luar. Dia... hemm, belum waktunya kau mengetahui hal ini. Aku dan Kong Bu-koko ini tidak akan segera naik menemui Ayah Ibu, karena kami berdua hendak menanti datangnya tiga orang murid Hoa-san-pai. Aku sendiri yang harus menyambut mereka dan setelah mereka mendapat pondokan yang baik, barulah aku akan menghadap Ayah Ibu. Eh, Suheng, kenapa kau kelihatan tak senang dan gelisah? Apakah yang terjadi?"

Walau pun Cui Bi merupakan adik seperguruan, namun tentu saja Oei Sun menganggap gadis muda ini seperti atasannya karena gadis ini adalah puteri gurunya dan dia maklum bahwa dalam hal kepandaian, ia tidak ada setengahnya sumoi-nya yang nakal ini.

"Sumoi, aku merasa agak kecewa bahwa kau sama sekali tidak muncul lebih siang untuk membantu keperluan kita. Kau tahu, baru saja kemarin terjadi hal yang menggemaskan."

Lalu murid tertua ini bercerita tentang tewasnya seorang murid Thai-san-pai secara aneh itu.

"Ternyata di antara para tamu terdapat musuh-musuh curang dari Suhu sehingga mereka itu melakukan pembunuhan sebelum Suhu sendiri turun dari puncak. Bukankah ini amat menggemaskan?" berkata Oei Sun sambil membanting-banting kaki. "Thai-san-pai belum diresmikan pendiriannya saja sudah harus menelan penghinaan ini. Hemmm, ingin sekali aku mengetahui siapa yang melakukan perbuatan ini dan ingin aku berhadapan dengan dia!"

Tentu saja Cui Bi juga marah mendengar ini. "Benar-benar jahat dan curang sekali! Kalau memang mau mencari perkara dengan kita, kenapa tidak terang-terangan saja? Hemmm, coba dia berani memperkenalkan diri, tak akan mau sudah aku kalau belum kupenggal batang lehernya. Suheng, sambil menanti datangnya teman-teman dari Hoa-san-pai, aku akan memasang mata. Kurasa, orang yang membunuh itu tentu telah menculik saudara kita itu untuk dipaksa memberi tahu tentang rahasia jalan ke puncak. Apakah di tubuh Suheng itu terdapat tanda luka-luka berat?"

Oei Sun memandang kagum. Memang harus ia akui bahwa sumoi-nya ini biar pun masih muda, akan tetapi memiliki kecerdikan luar biasa. "Kau benar, Sumoi. Memang begitulah agaknya, akan tetapi derita yang dialami oleh Sute itu hebat, seperti ditusuk benda panas, tentu sebelum meninggal dia menderita sekali."

Cui Bi lalu minta disediakan sebuah pondok yang letaknya agak jauh dan tersembunyi karena dia hendak melakukan pengintaian selama menanti kedatangan Kun Hong dan Li Eng. Juga ia mengharapkan kedatangan Hui Cu yang sampai sekarang belum ia ketahui bagaimana nasibnya itu.

Sebentar saja kedukaan akan kematian seorang suheng-nya telah tak berbekas pula. Di dalam pondok ia menggoda kakak tirinya.

"Bu-ko, hatimu tentu berdebar-debar, bukan?"

"Apa maksudmu? Mengapa kita harus menanti di sini? Bukankah lebih baik terus saja ke puncak menemui... Ayah?" Kaku juga pemuda ini menyebut ayah yang selamanya belum pernah ia lihat itu.

"Hishh, benarkah kau begitu terburu-buru? Ataukah kau diam-diam ingin segera melihat kedatangan... dia?"

"Bi-moi, kau selalu menggodaku tentang Nona Kui Li Eng itu. Hmmm, tahukah kau apa yang akan terjadi apa bila aku dan dia bertemu? Kami berdua sudah saling menantang, kalau sekali lagi bertemu akan mengadu pedang!"

Akan tetapi Cui Bi tidak heran malah tertawa manis. "Tentu saja, maksud dia itu hendak menjatuhkan hatimu, bukan pedangmu. Padahal, tanpa usaha itu pun kau sudah jatuh. Bukan begitu?"

Kong Bu benar-benar merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi adik tirinya yang nakal ini. "Sudahlah... sudahlah, Moi-moi. Siapa tidak tahu, bahwa kaulah yang rindu kepada... kutu buku itu?"

Seketika wajah Cui Bi berubah, matanya membelalak. Seakan-akan hal ini merupakan hal yang baru baginya, atau sesuatu yang baru saja teringat olehnya. Hatinya berdebar keras, membuat wajahnya seketika menjadi merah sekali.

Ia seorang gadis yang jujur, tak suka berpura-pura, apa lagi terhadap kakak tirinya yang baginya sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu. Ia menunduk, termenung, tak dapat berkata-kata lagi, seakan-akan lupa bahwa kakak tirinya berada di situ.

Melihat adiknya tiba-tiba menunduk dan termenung itu, Kong Bu kuatir kalau ia membuat adiknya tidak senang. Ia menyentuh pundaknya dan berkata, "Kau kenapa? Aku hanya main-main, jangan marah. Kau tukang menggoda orang, tapi jika digoda sedikit saja, lalu ngambek!"

Akan tetapi ketika adiknya itu mengangkat muka memandangnya, hati Kong Bu tertegun. Adiknya ini tidak ngambek, tidak pula marah, tetapi kelihatan terharu dan bingung!

"Bu-ko, apakah kau pikir betul-betul aku rindu kepadanya?"

"Lho, mengapa urusan begitu kau bertanya kepadaku? Habis, kau sendiri bagaimana?"

"Aku... aku tidak tahu, Bu-ko, aku tak tahu. Hanya terus terang saja, aku memang... ingin sekali melihatnya. Lucunya ia mengira aku seorang laki-laki. Ah, Bu-ko, aku meragu. Apa yang harus kulakukan?"

Kong Bu terharu. Adik tirinya ini benar-benar seorang yang berhati polos, dan terhadap dia tidak mau menyimpan rahasia apa-apa, begitu jujur dan menaruh kepercayaan yang besar sekali. Hal ini membuatnya terharu dan makin mendalam rasa sayangnya kepada adik tiri ini.

“Aku harus membelanya, harus melindunginya. Aku ingin melihat dia berbahagia, adikku sayang ini,” pikirnya.

"Bu-ko, kau lihat orang she Kwa itu orang yang bagaimana?" tanya pula Cui Bi dengan mendadak.

"Hemm, mana aku tahu? Hanya sebentar aku bertemu dengan dia. Dia memang orang aneh, semuda itu kata-katanya mengandung filsafat-filsafat tinggi. Kau kau yang sudah cukup lama melakukan perjalanan bersama dia tentu lebih mengenal sifat-sifatnya. Tetapi dia itu... kutu buku yang lemah, seperti yang kau katakan sendiri. Apakah sifat ini sesuai dengan kau... seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi dan jiwa gagah perkasa?"

Cui Bi menggeleng kepalanya berkali-kali. "Entahlah... entahlah... dia aneh, Koko. Ah, aku bingung..."

Kedatangan dua orang itu tidak menarik perhatian para tamu. Siapa memperhatikan dua orang muda yang bersahaja itu? Hanya dua orang pemuda yang ganteng, tidak ada apa pun yang aneh. Tentu saja tidak ada di antara mereka yang tahu bahwa seorang di antara dua pemuda itu adalah puteri dari Ketua Thai-san-pai dan tidak ada yang tahu pula bahwa pemuda yang seorang lagi adalah cucu yang tergembleng dari Kakek Song-bun-kwi!

Alangkah girangnya hati Cui Bi, dan diam-diam juga hati Kong Bu, ketika pada keesokan harinya tiba tiga orang muda yang bukan lain adalah Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu di kaki puncak itu! Lebih besar lagi kegirangan Cui Bi karena melihat bahwa Hui Cu juga sudah berada dengan pemuda itu dalam keadaan selamat.

Berlari-larian dia menyambut kedatangan tiga orang itu, diikuti oleh Kong Bu yang agak meragu berjalan di belakangnya.

"Adik Cui Bi...!" Kun Hong berseru dan tanpa ragu-ragu lagi dia memegang kedua tangan sahabat ini. "Alangkah girangku melihat kau di sini! Ahh, adik yang nakal, kenapa tempo hari kau pergi begitu saja tanpa pamit? Aku... aku hendak memperkenalkan kau dengan keponakan-keponakanku. Ini dia Li Eng yang sering kali kuceritakan kepadamu, dan ini Hui Cu. Anak-anak, inilah pemuda aneh murid Thai-san-pai yang sering kali kuceritakan kepada kalian. Dia hebat!"

Diam-diam Cui Bi yang mukanya menjadi merah sekali itu bertukar pandang dengan Kong Bu yang juga sudah sampai di situ.

"Ehhh, kau juga di sini? Bersama-sama Bi-laote?" Kun Hong menegur kaget dan heran melihat Kong Bu berada pula di situ dengan sahabatnya itu.

Akan tetapi yang ditegur hanya mengerling kepada Li Eng yang sebaliknya memandang kepadanya dengan mata marah!

Panas rasa dada Li Eng. Tentu saja panas melihat pemuda yang dibencinya itu berada bersama Cui Bi! Hemm, dia tidak sebodoh pamannya. Akan tetapi terpaksa ia menahan panas hatinya itu karena Cui Bi sudah merangkapkan kedua tangan dan memberi hormat kepadanya serta kepada Hui Cu.

"Syukur kalian sudah datang!" Cui Bi berseru gembira. "Aku sudah menyediakan sebuah pondok yang besar untuk kalian. Mari, marilah silakan ke pondok untuk beristirahat sambil bercakap-cakap. Hong-ko kita masih banyak waktu, masih empat hari lagi dari hari yang ditentukan. Kalian bisa beristirahat sambil menikmati keindahan tempat kami."

Cui Bi kemudian menggandeng tangan Kun Hong ke pondok besar yang agak menyendiri letaknya, berdekatan dengan pondok Cui Bi sendiri. Memang untuk sahabat-sahabatnya dari Hoa-san-pai dia sengaja memilih dua pondok berjajar yang agak terpisah jauh dari pondok-pondok para tamu itu.

Pada saat melihat bahwa pondok itu tidak mempunyai kamar-kamar terpisah. Kun Hong menjadi agak bingung. "Ahhh, mengapa pondok ini tanpa kamar? Habis, bagaimana kita bisa bermalam di sini?” Ia memandang kepada dua orang keponakannya.

Li Eng tertawa, lalu berkata, "Mengapa bingung? Aku dan Enci Hui Cu tentu saja tidur sepondok dengan dia! Hayo, Saudara Cui Bi, kita mengobrol di pondok yang satunya."

Tanpa ragu-ragu lagi Li Eng menggandeng tangan Cui Bi, ditariknya memasuki pondok kedua diikuti oleh Hui Cu yang tersenyum-senyum.

Kun Hong melongo, kemudian membentak, "Eng-ji, apa kau gila...?!"

Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat Cui Bi tidak menjadi marah atau malu, malah tertawa-tawa sambil merangkul Li Eng, juga Hui Cu lalu mendekat dan merangkul sehingga tiga orang itu, Cui Bi di tengah-tengah, dirangkul oleh dua gadis keponakannya, memasuki pondok sambil tertawa-tawa!

"Gila...! Mereka gila semua... ataukah aku yang gila...?" Kun Hong berkata seorang diri dengan mata tetap terbelalak.

Diam-diam Kong Bu memperhatikan pemuda Hoa-san-pai itu dan ia menjadi geli hatinya. Pemuda Hoa-san-pai ini benar-benar tidak berpura-pura dan memang tak pernah mengira bahwa Cui Bi adalah seorang wanita. Ia tidak terlalu menyalahkannya karena dia sendiri juga tadinya tertipu oleh adik tirinya yang nakal itu.

Agaknya dua orang gadis Hoa-san-pai itu, oleh karena sama-sama wanita, begitu bertemu sudah dapat mengenal keadaan sesungguhnya dari Cui Bi.

"Saudara Kwa Kun Hong, bukan mereka yang gila, juga kau tidak gila, hanya kau itu telah tertipu. Adik Cui Bi bukanlah seorang pria, melainkan seorang gadis, puteri tunggal Ketua Thai-san-pai."

"Ohhh..." Kun Hong makin melongo, kemudian mukanya tiba-tiba berubah merah sekali.

Dia teringat betapa tadi dalam pertemuan itu dia begitu girang dan memegang kedua tangan ‘pemuda’ itu begitu mesra. Kalau ia tahu ia seorang gadis…!

Kalau tahu mau apa? Ia pernah ditempeleng, pernah dihina dimaki. Tapi, mengapa gadis itu mau melakukan perjalanan bersama dia? Mau membelanya? Ahhh, apa artinya semua ini…?

Kong Bu tertawa dan menepuk-nepuk Kun Hong.

"Tidak usah heran, aku sendiri pun pernah tertipu olehnya. Sudahlah, kau kelihatan lelah sekali, sekarang kau mengasolah. Malam ini aku mempunyai tugas penting, tak usah kau menunggu aku. Nanti akan ada anak murid Thai-san-pai yang mengantarkan hidangan untukmu.”

Sebelum Kun Hong sempat bicara, pemuda itu telah pergi meninggalkannya, keluar dari pondok. Kun Hong tidak berani mencegah karena ia belum mengenal betul pemuda cucu Song-bun-kwi itu.

Otaknya diputar. Banyak hal menimbulkan keheranan dan kebingungannya. Banyak hal hendak dia tanyakan kepada pemuda itu, namun pemuda itu telah meninggalkannya dan betul-betul ia merasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh itu.

Benar saja, menjelang malam, seorang anak murid Thai-san-pai yang gagah dengan sikap hormat sekali mengantarkan hidangan sederhana. Anak murid ini pendiam sekali dan penuh hormat sehingga Kun Hong merasa tidak enak bahwa sebagai seorang tamu ia banyak bertanya-tanya, apa lagi mengenai diri puteri Ketua Thai-san-pai.

Ia makan seorang diri, lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu yang berada di dalam pondok. Mengapa Hui Cu atau Li Eng tidak muncul? Apakah mereka juga lelah? Ahh, aku harus mencari mereka.

Tidak enak sekali rasa hatinya. Kalau ia teringat akan pengalamannya dengan Cui Bi yang selama ini disangkanya seorang pria itu, ia merasa amat malu. Bagaimana ia akan berani berhadapan dengan Paman Tan Beng San? Ke mana ia harus menaruh mukanya kalau nanti bertemu dengan Cui Bi?

Malam itu terang bulan, akan tetapi banyak awan hitam di angkasa raya yang sebentar-sebentar menutupi bulan. Kun Kong keluar dari pondoknya. Memang pondok ini agak jauh dari pondok-pondok lain yang penuh tamu. Pondok-pondok lain itu tidak kelihatan dalam kegelapan malam, hanya sinar api penerangan yang berkelap-kelip nampak dari jauh.

Siapa tahu kalau-kalau dua orang keponakannya itu lagi berada di luar pondok mereka, pikirnya. Dia berjalan hati-hati menghampiri pondok yang hanya terpisah beberapa puluh meter itu dari pondoknya. Sunyi sekali di pondok itu, malah api penerangannya juga telah padam. Agaknya tiga orang itu sudah tidur.

Hati-hati sekali Kun Hong menghampiri. Ketika bulan menyinarkan cahayanya menembus awan tipis, hatinya girang melihat bayangan seorang gadis duduk di belakang pondok, di atas sebuah batu besar.

Tak salah lagi, itulah Hui Cu, seorang diri melamun! Hui Cu duduk membelakanginya dan dengan hati-hati tapi cepat Kun Hong menghampirinya.

"Ssttt, Hui Cu, kau belum tidur?" bisiknya menghampiri.

Hui Cu diam saja, seakan-akan tidak mendengarnya.

"Cu-ji (Anak Cu), celaka sekali..." Kun Hong kini mendekat dan berdiri di belakang gadis itu. "Kita harus lekas-lekas pergi meninggalkan tempat ini! Ahhh, celaka, tak mungkin aku dapat menghadap Paman Tan Beng San setelah semua kejadian ini. Tak mungkin dapat aku berhadapan dengan... dia. Ahh, siapa tahu, kiranya ia seorang gadis..."

Terdengar Hui Cu tertawa perlahan, ditahan-tahan, tubuhnya bergerak sedikit akan tetapi mukanya tidak kelihatan jelas karena bulan tertutup awan hitam.

"Hui Cu, kau malah mentertawakan aku? Kau tidak tahu, betapa memalukan dan tak patut kelakuanku terhadap dia. Aku maki dia pemuda pesolek, aku mengatakan dia banci, aku marah dan dia agaknya benci kepadaku, lalu dia menampar pipiku, memaki aku pemuda sombong. Ahh, kau tidak tahu, Hui Cu, aku tidak ada muka untuk bertemu dengannya. Lekas kau beri tahukan Li Eng, bangunkan perlahan-lahan dan kita pergi meninggalkan tempat ini. Kalau kau dan Li Eng tidak mau, terpaksa aku sendiri akan pergi, aku tidak berani bertemu dengan dia dan orang tuanya."

Hui Cu sudah turun dari batu dan berdiri di depannya. Melihat keponakannya ini diam saja, Kun Hong memegang kedua tangannya diguncang-guncang dan ia berkata penuh permintaan, "Hui Cu, jangan anggap hal ini sebagai main-main. Aku benar-benar malu, kenapa kau acuh tak acuh? Lekas masuk ke pondok dan beri tahu Li Eng, malam ini juga aku akan pergi."

Perlahan-lahan awan hitam tertiup angin meninggalkan bulan sehingga perlahan-lahan sinar bulan menerangi tempat itu.

"Hui Cu, mengapa kau diam saja? Mengapa... aihhhh, kau ini siapa... ahhh..." Kun Hong terbelalak dan mulutnya ternganga memandang wajah gadis yang disangkanya Hui Cu itu.

Wajah yang seperti bulan purnama itu sendiri, gilang gemilang dengan sepasang mata bening bersinar-sinar. Hidungnya kecil mancung, di atas sepasang bibir yang setengah tersenyum mengejek, yang manis luar biasa, yang pernah membuat dia kehilangan rasa bencinya… wajah seorang gadis cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, wajah... Cui Bi!

"Aduh, celaka... aduh... aku tolol... ah..." Kun Hong gagap-gugup akan tetapi lupa bahwa sejak tadi ia masih memegangi kedua tangan gadis itu!

"Hong-ko..." suara merdu yang sudah amat dikenalnya, terlalu dikenalnya, suara yang dahulu pun ketika gadis ini dikiranya pria, sering mendatangkan rasa nikmat dan nyaman di hatinya.

"Hong-ko, kenalkah kau padaku?"

"Hemm, ehh, tentu saja, kau... ehh, kau Bi-laote (adik laki-laki Bi)."

Cui Bi tertawa, suara ketawanya perlahan, ditahan-tahan menyatakan bahwa ia merasa geli sekali. "Bi-laote...?" ia mengulang, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri tertimpa cahaya bulan keemasan. Bibirnya tersenyum lebar sehingga nampak gigi putih berkilau sebentar.

"Eh... Oh... bagaimana aku ini...? Kau... Nona Tan..." Kemudian Kun Hong yang hendak mengangkat tangan memberi hormat baru sadar bahwa sejak tadi dia memegangi kedua tangan orang!

"Maaf... maaf sebanyak-banyaknya..." ia cepat melepaskan pegangannya dan menjura sambil membungkuk-bungkuk, "maafkan aku, Nona."

"Hong-ko, apa-apaan kau ini? Mendadak sontak menyebut nona-nonaan segala? Kalau begitu lebih baik kau seterusnya menyebut aku laote (adik laki-laki) saja!" Suara Cui Bi terdengar merajuk dan manja. Juga sikap ini amat dikenal oleh Kun Hong dan suara inilah yang dahulu membuat ia memaki Cui Bi sebagai anak manja, anak pesolek!

"Maaf... habis, bagaimana...?"

"Kau lebih tua dari pada aku. Kalau aku laki-laki, kau memanggil laote, kalau perempuan, masa kau tidak tahu harus memanggil apa? Kau menyebut ayahku paman, bukankah aku ini adik perempuanmu, adik misanmu?"

"Ohh, ya... ya, baiklah Siauw-moi (Adik Perempuan Cilik)."

"Hei, aku sudah berusia tujuh belas kau masih menyebut siauw-moi? Apakah kau anggap aku ini masih bocah?"

"Bi-moi-moi...," Kun Hong membetulkan kesalahannya.

Cui Bi nampak puas, lalu tiba-tiba ia menyambar tangan Kun Hong, dipegangnya seperti tadi Kun Hong memegang tangannya, seperti dahulu sebagai ‘Cui Bi pria’ ia memegang tangan sahabatnya.

"Hong-ko, marahkah kau kepadaku? Aku sudah menipumu."

"Tidak, tidak... kenapa mesti marah? Aku yang tolol."

"Tidak senangkah hatimu mendapat kenyataan bahwa sahabat baikmu itu ternyata adalah seorang wanita?"

"Tentu, senang... senang sekali, ehhh, aku..." Bingung Kun Hong teringat akan semua ucapannya tadi.

"Kau... apa? Kau datang ini hendak ke manakah? Hendak mencari Enci Hui Cu? Atau Li Eng?" Cui Bi melihat kebingungan pemuda itu sengaja menggoda.

"Tidak. Aku... aku tadi hendak... ehh, mencari tempat buang air..."

Mendengar jawaban yang tidak tersangka-sangka ini, Cui Bi menahan gelak tawanya, membuat Kun Hong makin bingung.

"Aiih, perutmu sakit, Hong-ko? Di sana itu, di belakang kelompok pohon kate itu, ada sebatang anak sungai, di sana kau bisa buang air. Hendak ke sanakah?"

"Ahh, tidak... maksudku, ehh, tidak jadi sakit Aku... aduh, Bi-moi, kenapa menggodaku? Bukankah kau sudah mendengar semua tadi? Aku malu, lebih-lebih sekarang aku malu sekali, Moi-moi..."

Cui Bi mempererat genggaman tangannya. "Hong-ko, kenapa malu? Seharusnya akulah yang malu kepadamu, karena aku yang banyak berbuat tak baik terhadapmu."

"Tidak, tidak! Akulah yang bodoh, yang buta, bagaimana aku berani kurang ajar terhadap puteri Paman Tan Beng San?"

"Aku sudah pernah menampar pipimu. Hong-ko, kau sudah berjanji takkan melaporkan hal itu kepada ayahku, tapi aku masih merasa salah kepadamu. Kau boleh menampar aku sekarang sebagai pembalasan."

"Wah, mana bisa? Malah aku akan girang kalau kau mau mengulang tamparanmu itu, untuk semua ucapanku yang kurang patut."

Cui Bi melepaskan pegangannya, berkata lembut, "Hong-ko duduklah."

Kun Hong dengan kikuk duduk di atas batu, gadis itu duduk di depannya. Mereka saling pandang di antara cahaya bulan yang kadang-kadang terang kadang-kadang gelap. Kun Hong merasa seakan-akan kerongkongannya tersumbat, hatinya berdebar tidak karuan dan dia tidak tahu harus berkata apa. Kikuk sekali rasanya sesudah berhadapan dengan sahabat baiknya yang ternyata seorang gadis itu.

"Hong-ko, sore tadi kau menyatakan amat girang bertemu denganku. Apakah sekarang kau juga masih merasa girang?"

"Aku girang sekali."
"Hong-ko, kau... sukakah kau kepadaku?"

Bukan main gadis ini, pikir Kun Hong. Gadis yang jujur dan terbuka hatinya. Pertanyaan itu seperti todongan pedang tajam di depan ulu hatinya.


BERSAMBUNG KE Rajawali Emas Jilid 27