Rajawali Emas Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJAWALI EMAS JILID 18

Istana Kembang berada di lingkungan istana yang paling pinggir, termasuk pinggir kota yang sunyi. Di sekitar istana itu penuh hutan-hutan yang ditanami banyak pohon-pohon yang indah, pohon-pohon buah dan pohon-pohon kembang. Sekeliling istana merupakan taman bunga yang besar dan luas, di mana ditanam segala macam bunga. Di sana-sini terdapat empang ikan yang selain menjadi tempat peliharaan ikan-ikan emas yang indah-indah, juga menjadi tempat tumbuhnya bunga teratai yang berwarna-warni.

Kereta berhenti di depan gedung yang tidak begitu besar, akan tetapi bentuknya mungil dan seluruh bagian bangunan ini penuh dengan hasil-hasil seni ukir dan seni lukis. Begitu turun dari kereta, ketiga orang muda yang berasal dari pegunungan ini berdiri ternganga. Istana dan keindahan sekitarnya bagi mereka begitu aneh dan begitu indah yang biasanya hanya dapat mereka bayangkan dalam alam mimpi saja.

Beberapa orang pelayan yang pakaiannya juga seperti pembesar-pembesar cepat-cepat datang menyambut, "Sudah sejak tadi putera mahkota menanti kedatangan Sam-wi yang terhormat. Sam-wi (Tuan Bertiga) dipersilakan langsung menuju ke ruangan istirahat di mana Thaicu sudah menanti," begitulah kata mereka.

Seperti dalam mimpi tiga orang muda itu mengikuti para pelayan menuju ke pintu depan istana. Begitu memasuki pintu ini, tiga orang muda itu tiada habisnya mengagumi segala keindahan yang terdapat di situ. Lukisan-lukisan kuno, ukir-ukiran yang menghiasi ruangan dalam, perabot-perabot yang terbuat dari kayu harum, sutera-sutera yang berkilauan, batu-batu kemala dalam bentuk hiasan-hiasan, permadani halus yang menghias dinding dan lantai. Bukan main!

Li Eng yang biasanya bebas dan tidak mau tunduk itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan kanan Kun Hong. Malah Hui Cu yang biasanya agak pemalu dan juga masih sungkan-sungkan bersikap terlalu intim terhadap pamannya, kini pun tanpa ia sadari lagi menggandeng tangan kiri Kun Hong.

Sungguh sikap tiga orang muda ini seperti tiga ekor kelinci memasuki goa macan! Hanya Kun Hong yang biar pun tampak kagum sekali, masih dapat bersikap tenang, sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti yang terdapat dalam pikiran dua orang dara remaja itu. Di setiap lorong atau ruangan baru, berganti pelayan yang bertugas mengantar mereka.

Istana itu dari luar tampaknya kecil mungil, akan tetapi setelah dimasuki ternyata luas dan ruangan istirahat yang dimaksudkan itu ternyata jauh juga dari pintu depan. Kiranya ruang itu ada di sebelah belakang, merupakan ruangan terbuka dengan atap berbentuk payung besar, tanpa dinding sehingga kelihatannya seperti dikelilingi oleh kembang-kembang. Di empernya terdapat empang ikan yang lebar dan di tengah-tengahnya terdapat air mancur yang keluar dari mulut seekor naga batu. Benar-benar ruangan istirahat ini sangat indah dan berhawa sejuk, tepat menjadi tempat beristirahat menghilangkan lelah.

Seorang lelaki muda duduk menghadapi empang, kelihatannya sedang melamun. Usianya sebaya Kun Hong, wajahnya tampan dan pakaiannya indah sekali, terbuat dari sutera dan berlukiskan burung Hong. Topinya juga aneh dan bersulamkan gambar naga, akan tetapi agaknya pemuda itu sedang kurang gembira sehingga rambut hitamnya yang keluar dari bawah topi didiamkannya saja.

"Yang Mulia, tiga orang tamu yang dinanti-nantikan sudah datang menghadap!" seorang pelayan melapor sambil menjatuhkan diri berlutut.

Pelayan lain sebelum berlutut berbisik kepada Kun Hong bertiga, "Harap Sam-wi berlutut memberi hormat."

Akan tetapi Kun Hong, apa lagi Li Eng juga Hui Cu, tidak mengerti akan bisikan ini, dan hanya memberi hormat seperti biasanya mereka memberi hormat kepada orang lain yang sebaya usianya, yaitu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke dada. Orang muda itu cepat bangkit dari duduknya dan gerakannya cepat sekali sehingga Hui Cu dan Li Eng segera dapat menduga bahwa orang itu tentu mempunyai kepandaian ilmu silat yang lumayan juga.

Setelah berhadapan, ternyata bahwa laki-laki muda itu lebih berwajah gagah dari pada tampan. Terutama sepasang matanya membuat orang tidak berani menentang pandang matanya lama-lama, penuh wibawa dan gerak-geriknya agung. Hal ini mungkin sudah ia biasakan untuk disesuaikan dengan kedudukannya, putera mahkota! Inilah dia Kian Bun Ti, putera mahkota yang sebetulnya adalah cucu dari Kaisar, putera dari mendiang Putera Mahkota atau putera sulung dari Kaisar.

Berdebar keras hati Li Eng dan Hui Cu ketika melihat betapa sepasang mata yang agak lebar itu memandang kepada mereka penuh perhatian, lalu terpancar sinar kagum dari mata itu sebelum mulutnya tersenyum dan suaranya terdengar ramah,

"Ahhh, Taihiap yang menjadi Sin-kai Pangcu (Ketua Perkumpulan pengemis baru) serta kedua Lihiap (Pendekar Wanita)! Girang sekali hatiku karena Sam-wi suka datang untuk bercakap-cakap!"

Ia melangkah maju dan pandang matanya bergantian menelan wajah Li Eng dan Hui Cu. Kemudian dia menoleh kepada pelayan dan berkata dengan suara yang jauh berbeda, yaitu suara memerintah yang berpengaruh dan angker.

"Sediakan arak Sian-ciu (Arak Dewa) dan daging kering, kemudian enyahlah dari sini, beri tahu para cianpwe supaya menunggu dan tidak boleh menghadap sebelum dipanggil!"

Pelayan-pelayan itu sambil merangkak mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang membawa hidangan yang diminta, lalu mengundurkan diri lagi. Pangeran Kian Bun Ti dengan ramah lalu mempersilakan tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di dekat empang. Sikapnya yang ramah serta budi bahasanya yang manis mengusir rasa sungkan dari tiga orang itu. Malah Li Eng dengan cepat menguasai kembali kelincahan dan kebebasannya.

"Aduh, indahnya ikan-ikan ini... Enci Cu, kau lihatlah yang di sudut itu... yang di sana itu... hi-hi-hi, seperti ada jenggotnya!" Ia menarik tangan Hui Cu dan menuding-nuding dengan telunjuknya yang kecil runcing.

Pangeran Kian Bun Ti memandang kagum kepada dua orang gadis itu, terutama kepada Li Eng. Ia mendengar bahwa dua orang gadis itu mempunyai kepandaian ilmu silat yang hebat. Tadi begitu bertemu, ia sudah heran bukan main karena sama sekali di luar dugaannya bahwa dua orang wanita kang-ouw yang menjadi jagoan ternyata adalah dua orang dara remaja yang begini manis cantik jelita dengan bentuk tubuh yang tidak kalah oleh puteri-puteri istana. Apa lagi sekarang, melihat mereka tertawa-tawa senang melihat ikan-ikan dengan sikap bebas dan sewajarnya, jauh bedanya dengan sikap puteri-puteri istana atau selir-selirnya, benar-benar menggugah rasa sayang di hati Pangeran ini.

Akan tetapi diam-diam ia pun meragukan dan sangsi, apakah benar-benar dua orang dara remaja jelita ini memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi? Rasa-rasanya tidak mungkin kalau melihat kehalusan sifat mereka dan usia mereka yang masih amat muda.

Pangeran mahkota ini lalu mengalihkan perhatiannya kepada Kun Hong. Seorang pemuda sederhana yang halus budi dan bersikap sopan, begitu penilaiannya. Akan tetapi ketika Pangeran ini mengajak tamunya bicara tentang ketata negaraan, ia amat kecewa karena ternyata bahwa pemuda aneh yang baru saja dipilih sebagai ketua baru dari perkumpulan Hwa-i Kaipang yang baru itu, ternyata sama sekali buta politik kenegaraan. Kata-katanya penuh mengandung inti dari filsafat dan kebatinan sebagai penuntun manusia ke arah kebajikan.

Hemm, orang muda yang berbakat menjadi pendeta, pikirnya kecewa. Orang seperti ini sama sekali tiada gunanya bagiku, demikian Pangeran Mahkota itu berkata kepada dirinya sendiri. Perhatiannya kemudian diarahkan kembali kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih mengagumi keindahan kembang-kembang, ikan-ikan dan arca serta ukiran indah yang menghias taman.

"Pangcu, apakah kedua orang Lihiap itu benar-benar keponakanmu? Kau masih begini muda, tidak akan jauh selisihnya usiamu dengan mereka, bagaimana bisa menjadi paman mereka?" akhirnya Pangeran itu bertanya kepada Kun Hong.

Pemuda ini sebetulnya merasa kurang enak mendapat sebutan pangcu itu. Akan tetapi karena memang kenyataannya ia telah menerima kedudukan ketua Hwa-i Kaipang, maka ia pun tidak dapat membantah.

Mendengar pertanyaan ini, Kun Hong tersenyum. "Sebenarnya bukan keponakan dalam hubungan keluarga, Pangeran, melainkan dalam hubungan perguruan. Ayah saya adalah supek (uwa guru) dari ayah ibu mereka, oleh karena itulah maka saya terhitung sebagai paman guru mereka."

Pangeran Mahkota itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, Pangcu sebagai putera Ketua Hoa-san-pai dan sebagai paman dari kedua orang lihiap ini, tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali."

Li Eng dan Hui Cu yang kini sudah duduk kembali di dekat Kun Hong, menahan senyum mereka mendengar ucapan ini. Kun Hong sendiri menjadi merah mukanya ketika ia menjawab, "Ah, saya seorang yang bodoh, mana tahu akan ilmu silat? Ayah dan Ibu pun melarang saya untuk belajar ilmu silat semenjak kecil. Berbeda dengan kedua orang keponakanku ini, sedikit-sedikit mereka mengerti ilmu silat, Pangeran."

Pangeran Kian Bun Ti memandang pada dua orang dara itu. Li Eng menentang pandang mata itu dengan sinar mata yang terbuka dan berani, sebaliknya Hui Cu hanya membalas tenang-tenang kemudian menundukkan pandang matanya.

"Alangkah senangnya memiliki kepandaian siiat tinggi seperti Ji-wi Siocia ini dan alangkah akan merasa aman di hati kalau mempunyai teman seperti Ji-wi Lihiap," demikian kata Pangeran itu penuh kekaguman dan sepasang matanya memancarkan cahaya ganjil.

Akan tetapi Li Eng masih terlalu muda dan tidak ada pengalaman sehingga pandang mata seperti ini dianggapnya bukan apa-apa. Hui Cu lebih tajam dan perasa sehingga gadis ini berdebar-debar dan tidak berani lagi menentang pandang mata Pangeran muda itu.

"Ah, Pangeran terlalu memuji!" Li Eng malah berani membantah. "Sedikit ilmu silat seperti yang kami miliki ini apakah artinya dibandingkan dengan keadaan Pangeran? Tinggal di tempat begini indah, terjaga oleh pasukan penjaga yang sangat kuat, setan pun tidak ada yang berani mengganggu!"

"Ha-ha-ha-ha, Nona pintar sekali bicara!" Pangeran itu gelak terbahak. "Kau sama sekali tidak tahu betapa kedudukan seorang pangeran tidaklah seenak yang orang kira. Bahaya selalu mengancam dari kanan kiri, nyawa pun selalu dalam bahaya. Sebab itulah tadi aku mengatakan betapa akan senang dan amannya jika dapat selalu berteman dengan Nona berdua yang pandai ilmu silat dan yang tentu akan dapat menghalau setiap orang jahat yang datang hendak mengambil nyawaku!"

Kun Hong mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia tidak senang mendengar ucapan yang mengandung maksud hati seorang pria terhadap wanita ini. Akan tetapi ia tidak mau sembarangan mengeluarkan ketidak senangannya, apa lagi karena Li Eng dan Hui Cu agaknya sama sekali tidak dapat menangkap maksud sebenarnya yang bersembunyi di balik pujian-pujian Pangeran itu.

Pada saat itu mendadak terdengar bentakan keras, "Hendak kami lihat siapa akan dapat membelamu, Pangeran! Kematianmu sudah di depan mata, siaplah!"

Dan tahu-tahu dua orang laki-laki setengah tua dengan gerakan ringan dan cepat sekali telah datang melayang ke tempat itu, masing-masing tangan mereka memegang sebatang pedang dan langsung mereka itu menerjang Pangeran Kian Bun Ti.

"Celaka...!" Pangeran itu menjadi pucat dan ketakutan.

"Bangsat hina jangan menjual lagak!"

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Li Eng sudah melompat ke depan, diikuti oleh Hui Cu yang juga telah mencabut pedangnya. Terdengar suara nyaring ketika dua pasang pedang itu bertemu di udara dan dua orang laki-kaki itu berteriak kaget sambil melangkah mundur satu tindak.

"Li Eng, Hui Cu, jangan membunuh orang!" Kun Hong dalam kagetnya berteriak kepada dua orang keponakannya itu.

Sementara itu, dua orang itu sudah menerjang maju, sekarang sasaran mereka bukanlah Pangeran Kian Bun Ti yang sudah lari bersembunyi di belakang pilar. Penyerang yang seorang, bertubuh pendek berkepala besar, dilayani oleh Hui Cu karena Li Eng sudah mendahuluinya menerjang orang ke dua yang kurus kering berusia lima puluh tahun lebih.

Li Eng bermata tajam. Begitu melihat gerakan dua orang ini ketika menyerang Pangeran tadi segera dapat tahu bahwa orang ke dua yang kurus kering inilah yang terlihai di antara keduanya. Maka, ia mendahului Hui Cu memapaki orang ini.

Memang tidak salah dugaan Li Eng. Orang kurus kering itu selain lihai dan cepat ilmu pedangnya, juga memiliki tenaga lweekang yang tinggi sehingga pedang di tangannya itu tergetar-getar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat.

Pedangnya berkelebat seperti burung elang menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar putih. Tangan kirinya tak hanya digunakan untuk mengimbangi gerakan pedang di tangan kanan, bahkan kadang-kadang masih membantu serangan pedang dengan melancarkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam yang berhawa panas! Pendeknya, orang ini adalah ahli silat kelas tinggi yang hanya dapat digolongkan dengan tingkat para busu pengawal pribadi kaisar.

Namun kali ini ia ketemu batunya dalam menghadapi Li Eng. Dengan jurus-jurus gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Menyapu Awan) dari Hoa-san-pai gadis ini dapat memapaki gulungan sinar pedang lawannya sehingga gulungan sinar pedang itu menjadi buyar dan kacau. Ada pun pukulan-pukulan lawan dengan tangan kirinya itu dapat ia elakkan dengan mengandalkan kegesitannya.

"Ehh, mengapa gerakan Tian-mo Po-in begini hebat?" tiba-tiba laki-laki itu berseru keras. "Jurus ini adalah jurus Hoa-san Kiam-hoat yang paling hebat, tapi kenapa begini aneh? Ayaaa!" Dia berseru makin kaget ketika pedang gadis itu hampir saja menusuk lehernya kalau ia tidak lekas-lekas membuang diri ke belakang.

Aneh sekali sikap lawan ini, pikir Li Eng. Agaknya orang ini mengenal baik ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi mengapa berkata keras-keras seperti hendak memberi tahukan kepada seseorang? Dengan gemas Li Eng lalu merubah ilmu pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Kembali orang itu berteriak keras sambil memutar-mutar pedang untuk menjaga diri.

"Ehh, Hoa-san Kiam-hoat mengapa begini ganas? Kau campur dengan ilmu pedang dari manakah? Kau murid siapa?"

Panas juga perut Li Eng ketika mendengar betapa orang ini agaknya mengenal baik ilmu pedangnya. Sambil mengirim tusukan bertubi-tubi ia berseru, "Orang macam kau perlu apa bicara tentang ilmu silat Hoa-san-pai? Kalau memang gagah, kau hadapi ini!"

Tiba-tiba sinar hitam berkelebat dari tangan kiri Li Eng. Ternyata dia sudah mengeluarkan sabuk sutera hitamnya dan kini pedang dan sutera hitam itu menyambar-nyambar dahsyat sekali, mengurung lawan itu dari segala penjuru!

Orang itu lagi-lagi mengeluarkan seruan kaget, masih mencoba untuk menyebutkan satu per satu semua jurus yang dimainkan Li Eng. Akan tetapi akhirnya ia tak dapat membuka mulut lagi karena sibuk menghadapi serangan yang membuat dia harus memeras tenaga dan kepandaian untuk melindungi tubuhnya.

Sementara itu, lawan yang menghadapi Hui Cu juga ikut berteriak-teriak, "Bocah ini ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hoat tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu pedang apa ini yang begini indah?"

"Tidak usah banyak mulut, terimalah ini!" Hui Cu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.

Akan tetapi orang itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga sehingga ia mampu menangkis dan membalas. Malah ia masih terus berkata keras-keras, "Eh, mengingatkan aku akan ilmu pedang dari Bu-tek Kiam-ong! He, bocah, kau pernah apa dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan?"

Ketika nama guru ibunya itu disebut, Hui Cu kaget juga. Akan tetapi tanpa menjawab ia menyerang terus bertubi-tubi dengan ilmu pedangnya yang amat indah.

"Hebat... hebat...!" Orang itu lagi-lagi memuji dan terpaksa berlaku lebih hati-hati karena menghadapi dara remaja yang lihai ini ia maklum tak boleh bersikap sembrono.

Ada pun Kun Hong yang bangun berdiri dan menonton dari pojok, maklum bahwa Li Eng dengan mudah akan mampu mengalahkan lawannya, sedangkan kepandaian Hui Cu juga seimbang dengan lawan yang seorang lagi. Tanpa dia sadari, Kun Hong sudah memiliki pengertian mendalam mengenai ilmu silat dan terutama sekali Hoa-san Kiam-hoat yang pernah dibacanya sampai tamat.

Ia juga melihat betapa gerakan-gerakan Li Eng amat berbeda dengan ilmu yang pernah dibacanya, lebih ganas dan juga aneh. Sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Cu adalah Hoa-san Kiam-hoat yang bercampur dengan ilmu pedang yang indah gerakan-gerakannya. Betapa pun juga, melihat gerakan kaki gadis ini ia terheran-heran karena ia merasa pernah mengenal gerakan-gerakan ini.

Tiada hentinya pemuda ini berseru penuh kekuatiran, "Li Eng! Hui Cu! Hati-hati jangan kalian membunuh orang!"

Ia sama sekali tak menguatirkan keselamatan dua orang keponakannya itu karena di luar kesadarannya ia telah dapat mengikuti pertandingan itu dan melakukan penilaian. Akan tetapi ia amat kuatir kalau-kalau kedua orang keponakannya itu melakukan pembunuhan, perbuatan yang amat dibenci-nya.

Pangeran Kian Bun Ti dengan mata berseri-seri memperhatikan dua orang gadis yang amat lihai itu, akan tetapi keningnya berkerut sebentar ketika dia menyaksikan sikap Kun Hong. Pikirnya, "Orang muda itu cerdik luar biasa, aneh dan baik budinya, tentu jujur dan setia. Akan tetapi sayang, hatinya lemah. Mana bisa aku memakai orang seperti ini?"

Biar pun wataknya jenaka dan nakal, namun entah bagaimana, Li Eng amat taat kepada pamannya atau lebih tepat lagi, dia tidak mau membikin marah atau susah kepada Kun Hong. Kalau menurut wataknya, orang yang jahat datang menyerang Pangeran ini patut ia bunuh kedua-duanya.

Akan tetapi mendengar suara Kun Hong dan mengingat akan watak yang amat aneh dari pamannya ini, dia lalu memperhebat permainan sabuk suteranya sedangkan pedangnya hanya dipakainya untuk menangkis atau mengancam saja. Akhirnya lawannya tidak dapat menahan lagi.

“Tar-tar-tar!” terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi.

Orang itu memekik kesakitan, pedangnya terlepas dari tangannya dan ia meloncat tinggi kemudian berjungkir-balik ke belakang. Muka, lengan dan lehernya penuh luka-luka bekas cambukan sabuk sutera sedangkan beberapa bagian bajunya pecah-pecah.

"Si-te, lari!" teriaknya kepada temannya.

Akan tetapi temannya pun amat bingung karena sedang didesak hebat oleh Hui Cu. Biar pun ia mampu mempertahankan diri, namun ia sama sekali tidak dapat mendesak gadis yang ilmu pedangnya indah dan lihai itu.

"Enci Cu, kata Paman tidak boleh dia dibunuh. Biarkan aku membagi hadiah kepadanya!" kata Li Eng sambil tertawa-tawa tanpa mengejar lawannya yang sudah kalah. Sebaliknya sabuk suteranya menyambar dan kini yang dijadikan bulan-bulanan adalah lawan Hui Cu.

"Tar-tar-tar!"

Orang ini pun menjerit dan pedangnya terlepas, muka dan badannya babak-belur dimakan cambuk. Karena Hui Cu tidak menyerangnya lagi dan gadis nakal itu hanya menggunakan sabuk sutera untuk menghajarnya, ia lalu melompat jauh mengikuti temannya yang sudah lari terlebih dulu, meloncat pagar taman dan menghilang.

"Hebat! Bagus sekali...!” Pangeran Kian Bun Ti bertepuk tangan memuji sambil keluar dari belakang pilar, terus menghampiri Li Eng dan Hui Cu yang masih memegang pedang di tangan. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan wajah berseri,

"Nona berdua telah menyelamatkan nyawaku, entah dengan cara apa aku bisa membalas budi kalian!"

Dua orang dara remaja itu hanya tersenyum. Wajah mereka juga berseri girang. Mereka tidak saja telah menolong tuan rumah yang amat ramah, akan tetapi lebih dari itu, telah menolong Pangeran, Pangeran Mahkota lagi!

Akan tetapi Kun Hong mengerutkan keningnya! Perasaannya yang halus dan tajam dapat menangkap nada tersembunyi di dalam kata-kata itu tadi. Segera dia maju dan menjura kepada Pangeran Kian Bun Ti sambil berkata, "Harap Pangeran jangan berkata demikian. Sudah semestinya bila dua orang keponakan saya membela Pangeran dari penyerangan orang-orang jahat tadi. Dua orang keponakan saya tidak menanam budi dan Paduka tidak perlu berterima kasih."

Pangeran Kian Bun Ti menatap pandang mata pemuda ini dan untuk sejenak keduanya berpandangan, seakan-akan hendak menjenguk isi hati masing-masing dan seperti orang ‘mengukur tenaga’. Pangeran itu hendak marah, dadanya sudah panas, akan tetapi dia menekan perasaannya lalu bertepuk tangan tiga kali. Sambil tersenyum ia berkata,

"Kegagahan dua orang Nona ini yang amat hebat, sepatutnya dihormati dengan pesta dan perkenalan dengan para pembantuku."

Selagi tiga orang muda itu terheran-heran dan tidak mengerti, dari pintu dalam tiba-tiba bermunculan beberapa orang, setelah berkumpul semua ternyata mereka berjumlah tujuh orang. Ada yang berpakaian seperti pendeta, ada yang bertubuh gagah tinggi besar, ada pula yang lemah-lembut, akan tetapi semua orang ini segera memberi hormat kepada Pangeran Mahkota dengan cara masing-masing. Melihat bahwa semua membawa senjata di pinggang atau di punggung, dapat diduga bahwa tujuh orang ini tentulah orang-orang yang pandai ilmu silat.

Pangeran Kian Bun Ti memperkenalkan tujuh orang pembantunya itu dan menyebut nama mereka, akan tetapi Kun Hong dan dua orang keponakannya tidak memperhatikan biar pun mereka menjura dengan hormat. Hati dua orang dara itu mulai tidak senang karena pandang mata tujuh orang ini mengandung sikap kurang ajar.

"Ha-ha-ha, kalian lihatlah. Dua orang Nona inilah baru patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik jelita! Pernahkah kalian melihat dua orang dara remaja sehebat ini? Dengan tangkas dan mudahnya mereka berdua berhasil mengusir dua orang jagoan lari tunggang-langgang!"

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan tadi dikenalkan sebagai Souw Ki berjuluk Tiat-jiu Busu (Jagoan Tangan Besi), tersenyum pada waktu dia berkata, "Pilihan Paduka tepat sekali, Pangeran. Hamba menghaturkan selamat!"

"Ha-ha-ha! Benar-benar menggirangkan hati, Pangeran. Dengan adanya dua orang siuli (puteri-puteri istana) segagah ini, pinto dan teman-teman tidak akan begitu kuatir lagi apa bila tidak sedang berada dekat Paduka!"

Orang yang tertawa-tawa ini adalah seorang berpakaian pendeta tosu berambut panjang yang tadi diperkenalkan dengan nama Thian It Tosu. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan mata berkedip-kedip seperti seorang yang mengajak bermain mata.

Bukan main sebalnya hati dua orang dara itu melihat kakek ini beraksi seperti monyet mencium terasi. Sebelum Li Eng dan Hui Cu mengerluarkan suara untuk mengatakan kesebalan hati mereka, tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari pintu yang menembus ke dalam gedung mungil itu berlari-larian keluar lima orang wanita muda yang cantik-cantik.

Wanita-wanita ini masih muda, usianya tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun dan pakaian mereka benar-benar membuat Li Eng dan Hui Cu memandang bengong. Pakaian mereka itu mencolok sekali, terbuat dari sutera halus tipis sehingga samar-samar tampak pakaian dalam mereka yang berwarna-warni. Selain tipis membayang, juga amat ketat menempel pada tubuh mereka.

Mereka ini rata-rata cantik jelita, ditambah dengan hiasan dan riasan pada muka dengan warna penghitam dan pemerah. Lima orang wanita muda ini semua memegang sebatang pedang terhunus yang mengkilap saking tajamnya! Munculnya lima orang wanita cantik berlenggang genit ini langsung membuat tujuh orang tokoh jagoan itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik.

Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti segera menegur, juga sambil tersenyum, "Eh-ehh, kalian ini Lima Macan Cantik datang-datang membawa pedang telanjang mau apakah?"

Seorang yang agaknya tertua di antara mereka berlima, menjawab dengan sikap manja dan genit kepada Pangeran Mahkota itu, "Hamba berlima mendengar bahwa Paduka telah menerima dua orang baru yang dibanggakan berkepandaian tinggi. Karena selama ini kami berlima yang menjadi selir-selir pengawal, maka dengan diterimanya selir pengawal baru, kami ingin sekali mengukur kepandaian mereka." Setelah berkata demikian, dia dan empat orang temannya menoleh serta memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan pandang mata tajam dan marah.

Pangeran Mahkota itu tertawa bergelak, juga tujuh orang pembantunya tertawa. Mereka baru mengerti bahwa Lima Macan Cantik ini ternyata menjadi cemburu dan iri hati setelah mendengar perihal dua orang pendekar wanita tu.

"Ha-ha-ha, meski pun kalian cukup lihai, tak mungkin kalian dapat menangkan dua orang Nona perkasa ini."

Kata-kata ini bagi lima orang wanita itu merupakan ijin, maka cepat mereka bergerak menghadapi Li Eng dan Hui Cu yang berdiri berdampingan dan yang memandang serta mendengar semua ini dengan kening berkerut. Ketika lima orang wanita yang indah-indah pakaiannya itu menghampiri mereka, keduanya juga balas memandang tajam dan penuh selidik. Mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang ini benar-benar cantik dan bergaya lembut tapi angkuh seperti lagak puteri-puteri bangsawan.

Setelah berdiri sejajar di depan dua orang gadis ini dengan pedang melintang di depan dada, yang tertua lantas menudingkan telunjuk tangan kiri kepada mereka berdua sambil membentak, "Dua bocah dari gunung, kalian mengandalkan apa berani memikat perhatian Pangeran? Coba kalian hadapi pedang kami!"

Li Eng dan Hui Cu saling pandang. Gilakah perempuan ini? Siapa yang memikat perhatian Pangeran? Sementara itu, Kun Hong sudah melangkah maju dan menjura ke depan lima orang wanita itu.

"Ngo-wi Toanio (Nyonya Besar Berlima), harap sudi bersabar dan tidak salah duga. Dua orang keponakanku ini sama sekali tidak hendak memikat perhatian siapa-siapa dan kami percaya penuh bahwa Ngo-wi tentu paling cantik dan paling pandai. Dua keponakanku ini tidak berani melawan Ngo-wi..."

Li Eng dan Hui Cu tidak senang sekali mendengar kata-kata paman mereka yang amat merendah ini. Akan tetapi lima orang wanita-wanita itu jelas kelihatan bangga dan juga girang.

Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa mereka berlima bukanlah wanita-wanita yang boleh dipermainkan, wanita yang tertua segera menudingkan ujung pedangnya ke arah Kun Hong sambil membentak,

"Kau ini siucai jembel tidak tahu aturan! Apa kau kira kami berlima ini adalah perempuan-perempuan sembarangan yang boleh diajak bicara oleh segala macam laki-laki seperti kau? Untuk dosamu ini seharusnya kupenggal kepalamu, tapi karena Pangeran terkenal sebagai seorang besar yang budiman dan pengampun, biarlah kupotong telingamu yang kiri agar kau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat main-main!" Setelah berkata demikian, pedang ditangannya berkelebat ke arah telinga kiri Kun Hong.

Pemuda ini di dalam hatinya terkejut sekali akan sikap yang berlebihan dari wanita-wanita ini. Terpaksa dia melangkah mundur terhuyung-huyung menurutkan gerak langkah ajaib. Wanita itu makin penasaran karena sabetannya luput. Cepat ia melangkah maju lagi dan kembali mengayunkan pedangnya ke arah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini tetap saja terhuyung-huyung ke belakang, tetapi sabetan-sabetan pedang itu tak pernah mengenai telinganya.

"Toanio, telinga adalah alat untuk mendengar, mana boleh dipotong?" berkata Kun Hong, suaranya tetap tenang-tenang saja.

Dan inilah yang lucu karena suaranya demikian tenang, akan tetapi ia terhuyung-huyung dan kelihatan gerak-geriknya seperti kebingungan. Memang, bagi yang tidak tahu, gerak langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun memang lebih mirip gerakan orang yang ketakutan atau kebingungan. Maka tertawalah tujuh orang jagoan yang berdiri di situ.

Mendengar suara ketawa ini, wanita itu salah duga, mengira bahwa dialah yang sedang ditertawai, maka naiklah darahnya. Kini pedangnya tak hanya ditujukan untuk memotong telinga Kun Hong, malah digunakan untuk menyerang membabi-buta untuk merobohkan pemuda itu. Kelihatannya makin repotlah Kun Hong, terjengkang-jengkang dan terhuyung-huyung, namun tak pernah tersentuh pedang yang menyambar-nyambar itu.

"Tranggg!"

Wanita itu memekik kaget dan melompat ke belakang, tangannya terasa gemetar dan sakit. Kiranya Hui Cu sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan dan dengan sikap marah.

"Perempuan tak tahu malu! Berani kau menghina pamanku yang tak bersalah apa-apa?"

Wanita itu hanya sebentar saja kaget, lalu ia tersenyum sambil menoleh kepada empat orang temannya. "Adik-adik, lihat baik-baik. Perempuan ini mengakui keparat itu sebagai pamannya, Hi-hi-hi, siapa orangnya dapat dibohongi begitu saja? Orang muda itu usianya tidaklah tua, sebaya dengannya, juga biar pun jembel dan kotor, mukanya tidaklah buruk bagi seorang laki-laki. Hemm… hemm, bocah gunung, bilang saja dia itu kekasihmu, kami akan percaya sepenuhnya, jangan bilang pamanmu."

"Tutup mulutmu yang kotor!" Hui Cu yang memang tak pandai bicara itu memaki, matanya yang bening berkilat bercahaya akan tetapi kedua pipinya merah karena jengah.

"Adik-adik, mari kita beramai menghajar bocah gunung ini!" wanita itu berseru dan berlima mereka siap menerjang Hui Cu dengan pedang mereka. Gerakan mereka cukup kuat dan pasangan kuda-kuda mereka ternyata serupa, tanda bahwa mereka adalah sealiran.

"Bagus, kalian sudah bosan hidup!" Hui Cu menggetarkan pedang di tangannya.

Akan tetapi tiba-tiba di belakangnya Kun Hong membentak, "Hui Cu, tahan! Mundurlah dan simpan pedangmu. Li Eng, kaulah yang maju menghadapi kelima orang nyonya besar ini, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali membunuh orang!"

Hui Cu kecewa, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak pamannya. Dengan mata berkilat ia menarik kembali pedangnya, menyimpannya dan melangkah mundur. Li Eng sambil tersenyum-senyum kini menggantikannya maju. Gadis lincah jenaka ini sudah tahu apa maksud pamannya menyuruh dia menggantikan Hui Cu.

Memang sesungguhnya melihat Hui Cu yang sudah marah sekali itu, Kun Hong menjadi sangat kuatir kalau-kalau Hui Cu salah tangan membunuh orang. Apa lagi dalam sebuah pertempuran yang ramai, sukarlah untuk mengalahkan lawan tanpa membunuh. Berbeda dengan Li Eng yang ia tahu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari Hui Cu. Apa lagi Li Eng memiliki senjata istimewa, yaitu sabuk sutera yang lemas, maka lebih mudahlah bagi Li Eng untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

Anehnya, melihat pertempuran yang akan pecah ini, baik Pangeran Kian Bun Ti mau pun tujuh orang jagoannya sama sekali tidak mencampurinya. Malah mereka berdiri menonton dengan wajah berseri, seakan-akan yang terjadi di depan mereka adalah sebuah adegan sandiwara yang menyenangkan dan menarik.

Hal ini saja menimbulkan kerut di kening Kun Hong dan pemuda ini mengambil keputusan bahwa kalau Li Eng sudah berhasil mengalahkan lima orang wanita galak itu, ia segera akan minta pamit kemudian mengajak dua orang keponakannya meninggalkan tempat ini. Malah harus cepat-cepat meninggalkan kota raja dengan segalanya yang serba aneh.

Li Eng yang dapat menangkap maksud hati pamannya, dengan gerakan tenang sekali lalu meloloskan sabuk suteranya yang hitam panjang dan menggulungnya di tangan kanan. Dengan senyum dikulum dan mata berseri dia memandang kepada lima orang puteri di depannya itu, menatap seorang demi seorang, kemudian berkata dengan suaranya yang nyaring dan mengandung ejekan,

"Eh, lima orang nenek siluman betina, sungguh kau tak tahu diri. Kalau tidak paman kami yang menaruh kasihan, bukankah sekarang kalian berlima sudah rebah menjadi bangkai di bawah pedang enci-ku?"

Li Eng memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa lima orang ini bukanlah lawan Hui Cu, apa lagi lawan dia. Dari gerakan orang pertama ketika menyerang Kun Hong tadi saja tahulah dia bahwa lima orang wanita ini hanya lagaknya saja hebat, pada hakekatnya tidak memiliki kepandaian berarti.

Dimaki sebagai nenek apa lagi siluman betina, karuan saja lima orang selir Pangeran itu menjadi marah bukan main. Tanpa banyak cakap lagi mereka berlima segera menerjang maju sambil menggerakkan pedang menyerang Li Eng.

Li Eng tak mau berlaku sungkan lagi. Kedua tangannya bergerak, sinar hitam berkelebat.

“Tar-tar-tar-tar!” terdengarlah bunyi nyaring berulang kali.
cerita silat karya kho ping hoo

Lima orang pengeroyoknya itu selama hidupnya belum pernah mengalami pertempuran seperti ini. Mereka merasa seakan-akan ada petir menyambar-nyambar di atas kepala dan berturut-turut lima batang pedang melayang jauh terlepas dari pegangan lima orang wanita itu.

Li Eng menggerakkan sabuk suteranya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah mengeluarkan bunyi melecuti muka dan tubuh kelima orang pengeroyoknya.

"Tar-tar-tar-tar-tar!"

Lima orang wanita itu menjerit-jerit, perih dan sakit kulit mereka yang terkena cambukan. Lalu, sambil menutupi muka dengan tangan, mereka lari meninggalkan tempat itu kembali ke dalam. Amat lucu melihat mereka lari sambil dikejar sabuk sutera yang masih sempat mencambuki tubuh belakang mereka, membuat mereka memindahkan tangan dari muka ke tubuh belakang yang sakit semua akibat dihajar cambuk!

"Cukup, Li Eng!" Kun Hong berteriak dan Li Eng menyimpan kembali sabuknya, lalu dia berdiri di dekat pemuda ini.

"Harap Paduka memaafkan keponakanku." Kun Hong menjura. "Dan perkenankan kami bertiga mohon diri, kami hendak melanjutkan perjalanan."

Pangeran Kian Bun Ti menggerak-gerakkan tangan, lalu tertawa, "Ah, Saudara Kun Hong apakah marah karena peristiwa tadi? Mereka berlima hanyalah selir-selirku yang bodoh, yang merasa diri sendiri pintar. Kalau mereka tadi bersikap kurang ajar, biarlah sekarang juga kusuruh masukkan ke dalam penjara."

Mendengar ini terkejutlah Kun Hong. "Ah, tidak... tidak... mereka tidak apa-apa, Pangeran. Tak usah dihukum..."

"Baik, dan untuk menebus kelancangan mereka, biarlah mulai sekarang mereka berlima menjadi pelayan dua orang keponakanmu ini."

Pucatlah muka Kun Hong sedangkan Hui Cu dan Li Eng saling pandang, masih belum mengerti apa sebetulnya maksud hati dan kehendak Pangeran yang tampan dan selalu tersenyum-senyum itu.

Lagi-lagi Kun Hong menjura dan bicara seperti orang yang belum mengerti akan maksud pangeran itu, "Banyak terima kasih atas anugerah Paduka kepada dua orang keponakan saya, juga terima kasih atas penyambutan dan kehormatan besar yang kami bertiga telah terima dari Paduka. Akan tetapi terpaksa kami bertiga mohon diri, Pangeran. Perjalanan kami masih jauh dan harus kami lanjutkan sekarang juga."

"Perjalanan itu boleh dibatalkan atau ditunda!" Suara Pangeran itu sekarang terdengar sungguh-sungguh dan ketus. "Saudara Kun Hong, mulai saat ini aku mengangkat Li Eng sebagai selir pertama dan Hui Cu sebagai selir ke dua dan kedudukan mereka merangkap sebagai selir pengawal pribadiku!"

Baru sekaranglah dua orang dara remaja itu tahu akan maksud hati Pangeran itu. Muka mereka otomatis menjadi merah bagai udang direbus, mata mereka berkilat saking marah dan jengah. Keduanya tanpa terasa telah meraba gagang pedang.

Dengan dahi berkerut-kerut saking gelisah dan bingungnya, Kun Hong pun berulang-ulang menjura kepada Pangeran Mahkota itu, lalu bertanya, "Pangeran, sejak jaman nenek moyang kita dahulu, bangsa kita selalu memegang teguh peraturan dan kesopanan. Dua orang keponakanku ini masih mempunyai orang tua, maka kiranya untuk urusan ini sebaiknya kalau Paduka berurusan dengan ayah bunda mereka seperti lazimnya. Sekarang, karena kami bertiga masih mempunyai tugas yang penting sedangkan perjalanan masih sangat jauh, perkenankanlah kami untuk mengundurkan diri dan keluar dari sini."

"Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong benar-benar mengagumkan, hafal akan segala pelajaran filsafat dan ujar-ujar kuno. Aku sama sekali tidak melanggar peraturan, karena bukankah kau adalah paman dari mereka? Dalam hal ini, seorang paman boleh menjadi wakil dan pengganti orang tua. Oleh karena itulah, di hadapanmu aku mengajukan pinangan untuk menjadikan dua orang nona ini sebagai selir-selirku yang terkasih. Ada pun kau sendiri, sesuai dengan bakat serta kepintaranmu, kuangkat menjadi pembesar yang mengurus perpustakaan istana!"

Tujuh orang jagoan itu mengeluarkan seruan kagum dan mereka segera menjura kepada Kun Hong sambil bersuara saling tunjang, "Kionghi, kionghi (selamat)! Begini muda sudah menerima anugerah pangkat yang tinggi. Juga kionghi kepada dua orang Lihiap ini!"

Akan tetapi Kun Hong cepat mengangkat kedua tangannya dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa ia menolak kesemuanya itu. Juga Li Eng dan Hui Cu sudah hampir tak dapat menahan kemarahan mereka. Mereka merasa terhina sekali oleh sikap Pangeran ini yang begitu mau menang sendiri, mengambil orang sebagai selirnya tanpa bertanya dulu, baik kepada yang bersangkutan mau pun kepada orang tuanya. Apakah dikiranya mereka itu seperti lima orang wanita tadi, dan dianggap sebagai perempuan murahan belaka?

"Terpaksa saya tidak dapat menerima semua itu, Pangeran. Pertama, saya yang muda mana berani mewakili orang tua mereka? Apa lagi dalam soal perjodohan. Sama sekali saya tidak berani! Ke dua, saya merasa amat bodoh dan tidak terpelajar, bagaimana saya berani menerima kedudukan dari Paduka? Tidak, meski pun saya berterima kasih sekali, akan tetapi terpaksa saya menolak dan harapan saya hanya perkenan Paduka agar kami bertiga dapat pergi dari sini."

Merah wajah Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Selama hidup baru kali ini ia menghadapi orang-orang yang tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih setelah dia beri anugerah seperti itu. Wanita mana yang tidak ingin, bahkan saling berebut untuk menjadi selir terkasih dari Pangeran Kian Bun Ti yang terkenal muda, tampan, halus budi, dan calon kaisar? Laki-laki mana yang tidak ingin menjadi pembesar dan kedudukannya diberi sendiri oleh Pangeran Mahkota?

Akan tetapi, pandang matanya tidak buta, pendengarannya tidak tuli. Kali ini benar-benar dua orang dara muda, yang hendak diambil menjadi selirnya itu malah berdiri dengan muka marah sedangkan orang yang hendak diangkatnya menjadi pembesar perpustakaan malah terang-terangan menampik pula! Saking heran, marah dan kecewanya, Pangeran ini hanya berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.

Seorang di antara tujuh jagoan pengawal Pangeran itu melompat maju. Orang ini usianya sudah lewat lima puluh tahun, mukanya merah dan matanya jelas membayangkan bahwa ia adalah seorang yang pemarah dan sombong. Dia inilah yang terkenal dengan julukan Sin-toa-to (Golok Besar Sakti) bernama Liong Ki Nam. Di daerah Selatan namanya sudah amat terkenal dan ilmu goloknya memang hebat, boleh dibilang belum pernah ia menemui tandingan.

Watak orang ini memang paling berangasan dari teman-temannya, maka melihat sikap tiga orang muda dan mendengar jawaban Kun Hong tadi, ia segera memaki,

"Bocah! Kau diberi hati tetapi makin melonjak. Pangeran telah berlaku amat baik hati dan menghormat, kau malah makin besar kepala. Kau berani membantah perintah Pangeran, berarti memberontak! Apakah kau sudah bosan hidup?"

Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti nampak kesal, lalu ia berkata kepada tujuh orang jagoannya, "Harap para busu membereskan ini, aku menanti kabar."

Tanpa menoleh lagi kepada Kun Hong atau kepada dua orang dara remaja itu, Pangeran ini membalikkan tubuh dan dengan langkah yang membayangkan keagungan seorang calon kaisar, Pangeran ini memasuki rumah gedung.

Setelah Pangeran itu pergi, tosu rambut panjang, Thian It Tosu, mendekati Kun Hong dan berkata dengan suara halus, "Orang muda, harap kau pikirkan baik-baik dan janganlah membawa kemauan sendiri yang tidak wajar. Ingatlah, semua orang muda, bahkan yang tua-tua sekali pun, di seluruh negeri akan mengiri bila melihat peruntunganmu yang amat bagus ini. Kau diangkat menjadi pembesar dalam istana dan dua orang keponakanmu ini dapat merebut hati Pangeran Mahkota. Siapa tahu kelak kalau Pangeran sudah menjadi kaisar, dua orang keponakanmu itu akan tetap menjadi kekasih, tentu kau akan diangkat menjadi menteri!"

Kun Hong tersenyum lemah dan menggerakkan kepala. "Tidak bisa, Totiang. Sama sekali aku tidak bermaksud membantah Pangeran, apa lagi memberontak. Akan tetapi sungguh-sungguh aku tidak dapat menerima jabatan itu karena aku memang tidak suka menjadi pembesar. Ada pun tentang persoalan jodoh, kedua orang keponakanku ini mempunyai orang tua-orang tua, bagaimana aku berani melancangi mereka?"

"Eh, bocah goblok. Kau masih berkepala batu?" Sin-toa-to Liong Ki Nam membentak lagi dengan mata melotot. "Tidak usah banyak cerewet, pilih mana. Kau dan dua orang nona ini menurut dan menerima kemuliaan ataukah kalian ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, mungkin dihukum penggal kepala!"

Tentu saja Kun Hong tidak takut mendengar ancaman maut ini. Baginya, di dunia ini tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menimbulkan takut dalam hatinya asalkan ia yakin akan kebenarannya. Dan dalam hal ini ia sama sekali tidak merasa telah melakukan sesuatu kesalahan.

Ia menarik napas panjang dan berkata, "Belum pernah aku mendengar tentang pinangan dan pemberian anugerah yang bersifat paksaan. Baru saja dua orang keponakanku telah menolong pangeran dari bahaya maut akibat penyerangan dua orang jahat, akan tetapi sekarang dua orang keponakanku hendak dipaksa untuk menjadi selir dengan ancaman hukuman penjara kalau tidak mau menurut. Benar-benar di tempat yang mewah ini tidak dikenal lagi kebenaran dan keadilan!"

Tujuh orang jagoan itu tertawa, agaknya geli mendengar ucapan ini. Malah Thian It Tosu lalu berkata, "Orang muda, kau benar-benar seperti katak di dalam tempurung, berlagak pintar akan tetapi bodoh. Kau tidak tahu sampai di mana kekuasaan Pangeran Mahkota. Beliau adalah calon kaisar, tahukah kau? Mana bisa orang jahat sembarangan hendak menyerang dan membunuh beliau? Kau kira kedua keponakanmu tadi sudah menolong Pangeran dari penyerangan orang jahat? Ha-ha-ha! Sebenarnya hanya karena Pangeran yang suka melihat dua orang gadis ini ingin menguji sampai di mana tinggi kepandaian kedua Nona ini."

Tosu itu bertepuk tangan dan dari luar berlari datang dua orang yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tujuh orang jagoan itu...


BERSAMBUNG KE Rajawali Emas Jilid 19


Rajawali Emas Jilid 18

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJAWALI EMAS JILID 18

Istana Kembang berada di lingkungan istana yang paling pinggir, termasuk pinggir kota yang sunyi. Di sekitar istana itu penuh hutan-hutan yang ditanami banyak pohon-pohon yang indah, pohon-pohon buah dan pohon-pohon kembang. Sekeliling istana merupakan taman bunga yang besar dan luas, di mana ditanam segala macam bunga. Di sana-sini terdapat empang ikan yang selain menjadi tempat peliharaan ikan-ikan emas yang indah-indah, juga menjadi tempat tumbuhnya bunga teratai yang berwarna-warni.

Kereta berhenti di depan gedung yang tidak begitu besar, akan tetapi bentuknya mungil dan seluruh bagian bangunan ini penuh dengan hasil-hasil seni ukir dan seni lukis. Begitu turun dari kereta, ketiga orang muda yang berasal dari pegunungan ini berdiri ternganga. Istana dan keindahan sekitarnya bagi mereka begitu aneh dan begitu indah yang biasanya hanya dapat mereka bayangkan dalam alam mimpi saja.

Beberapa orang pelayan yang pakaiannya juga seperti pembesar-pembesar cepat-cepat datang menyambut, "Sudah sejak tadi putera mahkota menanti kedatangan Sam-wi yang terhormat. Sam-wi (Tuan Bertiga) dipersilakan langsung menuju ke ruangan istirahat di mana Thaicu sudah menanti," begitulah kata mereka.

Seperti dalam mimpi tiga orang muda itu mengikuti para pelayan menuju ke pintu depan istana. Begitu memasuki pintu ini, tiga orang muda itu tiada habisnya mengagumi segala keindahan yang terdapat di situ. Lukisan-lukisan kuno, ukir-ukiran yang menghiasi ruangan dalam, perabot-perabot yang terbuat dari kayu harum, sutera-sutera yang berkilauan, batu-batu kemala dalam bentuk hiasan-hiasan, permadani halus yang menghias dinding dan lantai. Bukan main!

Li Eng yang biasanya bebas dan tidak mau tunduk itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari lagi berpegang erat-erat pada lengan kanan Kun Hong. Malah Hui Cu yang biasanya agak pemalu dan juga masih sungkan-sungkan bersikap terlalu intim terhadap pamannya, kini pun tanpa ia sadari lagi menggandeng tangan kiri Kun Hong.

Sungguh sikap tiga orang muda ini seperti tiga ekor kelinci memasuki goa macan! Hanya Kun Hong yang biar pun tampak kagum sekali, masih dapat bersikap tenang, sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti yang terdapat dalam pikiran dua orang dara remaja itu. Di setiap lorong atau ruangan baru, berganti pelayan yang bertugas mengantar mereka.

Istana itu dari luar tampaknya kecil mungil, akan tetapi setelah dimasuki ternyata luas dan ruangan istirahat yang dimaksudkan itu ternyata jauh juga dari pintu depan. Kiranya ruang itu ada di sebelah belakang, merupakan ruangan terbuka dengan atap berbentuk payung besar, tanpa dinding sehingga kelihatannya seperti dikelilingi oleh kembang-kembang. Di empernya terdapat empang ikan yang lebar dan di tengah-tengahnya terdapat air mancur yang keluar dari mulut seekor naga batu. Benar-benar ruangan istirahat ini sangat indah dan berhawa sejuk, tepat menjadi tempat beristirahat menghilangkan lelah.

Seorang lelaki muda duduk menghadapi empang, kelihatannya sedang melamun. Usianya sebaya Kun Hong, wajahnya tampan dan pakaiannya indah sekali, terbuat dari sutera dan berlukiskan burung Hong. Topinya juga aneh dan bersulamkan gambar naga, akan tetapi agaknya pemuda itu sedang kurang gembira sehingga rambut hitamnya yang keluar dari bawah topi didiamkannya saja.

"Yang Mulia, tiga orang tamu yang dinanti-nantikan sudah datang menghadap!" seorang pelayan melapor sambil menjatuhkan diri berlutut.

Pelayan lain sebelum berlutut berbisik kepada Kun Hong bertiga, "Harap Sam-wi berlutut memberi hormat."

Akan tetapi Kun Hong, apa lagi Li Eng juga Hui Cu, tidak mengerti akan bisikan ini, dan hanya memberi hormat seperti biasanya mereka memberi hormat kepada orang lain yang sebaya usianya, yaitu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke dada. Orang muda itu cepat bangkit dari duduknya dan gerakannya cepat sekali sehingga Hui Cu dan Li Eng segera dapat menduga bahwa orang itu tentu mempunyai kepandaian ilmu silat yang lumayan juga.

Setelah berhadapan, ternyata bahwa laki-laki muda itu lebih berwajah gagah dari pada tampan. Terutama sepasang matanya membuat orang tidak berani menentang pandang matanya lama-lama, penuh wibawa dan gerak-geriknya agung. Hal ini mungkin sudah ia biasakan untuk disesuaikan dengan kedudukannya, putera mahkota! Inilah dia Kian Bun Ti, putera mahkota yang sebetulnya adalah cucu dari Kaisar, putera dari mendiang Putera Mahkota atau putera sulung dari Kaisar.

Berdebar keras hati Li Eng dan Hui Cu ketika melihat betapa sepasang mata yang agak lebar itu memandang kepada mereka penuh perhatian, lalu terpancar sinar kagum dari mata itu sebelum mulutnya tersenyum dan suaranya terdengar ramah,

"Ahhh, Taihiap yang menjadi Sin-kai Pangcu (Ketua Perkumpulan pengemis baru) serta kedua Lihiap (Pendekar Wanita)! Girang sekali hatiku karena Sam-wi suka datang untuk bercakap-cakap!"

Ia melangkah maju dan pandang matanya bergantian menelan wajah Li Eng dan Hui Cu. Kemudian dia menoleh kepada pelayan dan berkata dengan suara yang jauh berbeda, yaitu suara memerintah yang berpengaruh dan angker.

"Sediakan arak Sian-ciu (Arak Dewa) dan daging kering, kemudian enyahlah dari sini, beri tahu para cianpwe supaya menunggu dan tidak boleh menghadap sebelum dipanggil!"

Pelayan-pelayan itu sambil merangkak mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang membawa hidangan yang diminta, lalu mengundurkan diri lagi. Pangeran Kian Bun Ti dengan ramah lalu mempersilakan tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di dekat empang. Sikapnya yang ramah serta budi bahasanya yang manis mengusir rasa sungkan dari tiga orang itu. Malah Li Eng dengan cepat menguasai kembali kelincahan dan kebebasannya.

"Aduh, indahnya ikan-ikan ini... Enci Cu, kau lihatlah yang di sudut itu... yang di sana itu... hi-hi-hi, seperti ada jenggotnya!" Ia menarik tangan Hui Cu dan menuding-nuding dengan telunjuknya yang kecil runcing.

Pangeran Kian Bun Ti memandang kagum kepada dua orang gadis itu, terutama kepada Li Eng. Ia mendengar bahwa dua orang gadis itu mempunyai kepandaian ilmu silat yang hebat. Tadi begitu bertemu, ia sudah heran bukan main karena sama sekali di luar dugaannya bahwa dua orang wanita kang-ouw yang menjadi jagoan ternyata adalah dua orang dara remaja yang begini manis cantik jelita dengan bentuk tubuh yang tidak kalah oleh puteri-puteri istana. Apa lagi sekarang, melihat mereka tertawa-tawa senang melihat ikan-ikan dengan sikap bebas dan sewajarnya, jauh bedanya dengan sikap puteri-puteri istana atau selir-selirnya, benar-benar menggugah rasa sayang di hati Pangeran ini.

Akan tetapi diam-diam ia pun meragukan dan sangsi, apakah benar-benar dua orang dara remaja jelita ini memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi? Rasa-rasanya tidak mungkin kalau melihat kehalusan sifat mereka dan usia mereka yang masih amat muda.

Pangeran mahkota ini lalu mengalihkan perhatiannya kepada Kun Hong. Seorang pemuda sederhana yang halus budi dan bersikap sopan, begitu penilaiannya. Akan tetapi ketika Pangeran ini mengajak tamunya bicara tentang ketata negaraan, ia amat kecewa karena ternyata bahwa pemuda aneh yang baru saja dipilih sebagai ketua baru dari perkumpulan Hwa-i Kaipang yang baru itu, ternyata sama sekali buta politik kenegaraan. Kata-katanya penuh mengandung inti dari filsafat dan kebatinan sebagai penuntun manusia ke arah kebajikan.

Hemm, orang muda yang berbakat menjadi pendeta, pikirnya kecewa. Orang seperti ini sama sekali tiada gunanya bagiku, demikian Pangeran Mahkota itu berkata kepada dirinya sendiri. Perhatiannya kemudian diarahkan kembali kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih mengagumi keindahan kembang-kembang, ikan-ikan dan arca serta ukiran indah yang menghias taman.

"Pangcu, apakah kedua orang Lihiap itu benar-benar keponakanmu? Kau masih begini muda, tidak akan jauh selisihnya usiamu dengan mereka, bagaimana bisa menjadi paman mereka?" akhirnya Pangeran itu bertanya kepada Kun Hong.

Pemuda ini sebetulnya merasa kurang enak mendapat sebutan pangcu itu. Akan tetapi karena memang kenyataannya ia telah menerima kedudukan ketua Hwa-i Kaipang, maka ia pun tidak dapat membantah.

Mendengar pertanyaan ini, Kun Hong tersenyum. "Sebenarnya bukan keponakan dalam hubungan keluarga, Pangeran, melainkan dalam hubungan perguruan. Ayah saya adalah supek (uwa guru) dari ayah ibu mereka, oleh karena itulah maka saya terhitung sebagai paman guru mereka."

Pangeran Mahkota itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, Pangcu sebagai putera Ketua Hoa-san-pai dan sebagai paman dari kedua orang lihiap ini, tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali."

Li Eng dan Hui Cu yang kini sudah duduk kembali di dekat Kun Hong, menahan senyum mereka mendengar ucapan ini. Kun Hong sendiri menjadi merah mukanya ketika ia menjawab, "Ah, saya seorang yang bodoh, mana tahu akan ilmu silat? Ayah dan Ibu pun melarang saya untuk belajar ilmu silat semenjak kecil. Berbeda dengan kedua orang keponakanku ini, sedikit-sedikit mereka mengerti ilmu silat, Pangeran."

Pangeran Kian Bun Ti memandang pada dua orang dara itu. Li Eng menentang pandang mata itu dengan sinar mata yang terbuka dan berani, sebaliknya Hui Cu hanya membalas tenang-tenang kemudian menundukkan pandang matanya.

"Alangkah senangnya memiliki kepandaian siiat tinggi seperti Ji-wi Siocia ini dan alangkah akan merasa aman di hati kalau mempunyai teman seperti Ji-wi Lihiap," demikian kata Pangeran itu penuh kekaguman dan sepasang matanya memancarkan cahaya ganjil.

Akan tetapi Li Eng masih terlalu muda dan tidak ada pengalaman sehingga pandang mata seperti ini dianggapnya bukan apa-apa. Hui Cu lebih tajam dan perasa sehingga gadis ini berdebar-debar dan tidak berani lagi menentang pandang mata Pangeran muda itu.

"Ah, Pangeran terlalu memuji!" Li Eng malah berani membantah. "Sedikit ilmu silat seperti yang kami miliki ini apakah artinya dibandingkan dengan keadaan Pangeran? Tinggal di tempat begini indah, terjaga oleh pasukan penjaga yang sangat kuat, setan pun tidak ada yang berani mengganggu!"

"Ha-ha-ha-ha, Nona pintar sekali bicara!" Pangeran itu gelak terbahak. "Kau sama sekali tidak tahu betapa kedudukan seorang pangeran tidaklah seenak yang orang kira. Bahaya selalu mengancam dari kanan kiri, nyawa pun selalu dalam bahaya. Sebab itulah tadi aku mengatakan betapa akan senang dan amannya jika dapat selalu berteman dengan Nona berdua yang pandai ilmu silat dan yang tentu akan dapat menghalau setiap orang jahat yang datang hendak mengambil nyawaku!"

Kun Hong mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia tidak senang mendengar ucapan yang mengandung maksud hati seorang pria terhadap wanita ini. Akan tetapi ia tidak mau sembarangan mengeluarkan ketidak senangannya, apa lagi karena Li Eng dan Hui Cu agaknya sama sekali tidak dapat menangkap maksud sebenarnya yang bersembunyi di balik pujian-pujian Pangeran itu.

Pada saat itu mendadak terdengar bentakan keras, "Hendak kami lihat siapa akan dapat membelamu, Pangeran! Kematianmu sudah di depan mata, siaplah!"

Dan tahu-tahu dua orang laki-laki setengah tua dengan gerakan ringan dan cepat sekali telah datang melayang ke tempat itu, masing-masing tangan mereka memegang sebatang pedang dan langsung mereka itu menerjang Pangeran Kian Bun Ti.

"Celaka...!" Pangeran itu menjadi pucat dan ketakutan.

"Bangsat hina jangan menjual lagak!"

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Li Eng sudah melompat ke depan, diikuti oleh Hui Cu yang juga telah mencabut pedangnya. Terdengar suara nyaring ketika dua pasang pedang itu bertemu di udara dan dua orang laki-kaki itu berteriak kaget sambil melangkah mundur satu tindak.

"Li Eng, Hui Cu, jangan membunuh orang!" Kun Hong dalam kagetnya berteriak kepada dua orang keponakannya itu.

Sementara itu, dua orang itu sudah menerjang maju, sekarang sasaran mereka bukanlah Pangeran Kian Bun Ti yang sudah lari bersembunyi di belakang pilar. Penyerang yang seorang, bertubuh pendek berkepala besar, dilayani oleh Hui Cu karena Li Eng sudah mendahuluinya menerjang orang ke dua yang kurus kering berusia lima puluh tahun lebih.

Li Eng bermata tajam. Begitu melihat gerakan dua orang ini ketika menyerang Pangeran tadi segera dapat tahu bahwa orang ke dua yang kurus kering inilah yang terlihai di antara keduanya. Maka, ia mendahului Hui Cu memapaki orang ini.

Memang tidak salah dugaan Li Eng. Orang kurus kering itu selain lihai dan cepat ilmu pedangnya, juga memiliki tenaga lweekang yang tinggi sehingga pedang di tangannya itu tergetar-getar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat.

Pedangnya berkelebat seperti burung elang menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar putih. Tangan kirinya tak hanya digunakan untuk mengimbangi gerakan pedang di tangan kanan, bahkan kadang-kadang masih membantu serangan pedang dengan melancarkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam yang berhawa panas! Pendeknya, orang ini adalah ahli silat kelas tinggi yang hanya dapat digolongkan dengan tingkat para busu pengawal pribadi kaisar.

Namun kali ini ia ketemu batunya dalam menghadapi Li Eng. Dengan jurus-jurus gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Menyapu Awan) dari Hoa-san-pai gadis ini dapat memapaki gulungan sinar pedang lawannya sehingga gulungan sinar pedang itu menjadi buyar dan kacau. Ada pun pukulan-pukulan lawan dengan tangan kirinya itu dapat ia elakkan dengan mengandalkan kegesitannya.

"Ehh, mengapa gerakan Tian-mo Po-in begini hebat?" tiba-tiba laki-laki itu berseru keras. "Jurus ini adalah jurus Hoa-san Kiam-hoat yang paling hebat, tapi kenapa begini aneh? Ayaaa!" Dia berseru makin kaget ketika pedang gadis itu hampir saja menusuk lehernya kalau ia tidak lekas-lekas membuang diri ke belakang.

Aneh sekali sikap lawan ini, pikir Li Eng. Agaknya orang ini mengenal baik ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi mengapa berkata keras-keras seperti hendak memberi tahukan kepada seseorang? Dengan gemas Li Eng lalu merubah ilmu pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Kembali orang itu berteriak keras sambil memutar-mutar pedang untuk menjaga diri.

"Ehh, Hoa-san Kiam-hoat mengapa begini ganas? Kau campur dengan ilmu pedang dari manakah? Kau murid siapa?"

Panas juga perut Li Eng ketika mendengar betapa orang ini agaknya mengenal baik ilmu pedangnya. Sambil mengirim tusukan bertubi-tubi ia berseru, "Orang macam kau perlu apa bicara tentang ilmu silat Hoa-san-pai? Kalau memang gagah, kau hadapi ini!"

Tiba-tiba sinar hitam berkelebat dari tangan kiri Li Eng. Ternyata dia sudah mengeluarkan sabuk sutera hitamnya dan kini pedang dan sutera hitam itu menyambar-nyambar dahsyat sekali, mengurung lawan itu dari segala penjuru!

Orang itu lagi-lagi mengeluarkan seruan kaget, masih mencoba untuk menyebutkan satu per satu semua jurus yang dimainkan Li Eng. Akan tetapi akhirnya ia tak dapat membuka mulut lagi karena sibuk menghadapi serangan yang membuat dia harus memeras tenaga dan kepandaian untuk melindungi tubuhnya.

Sementara itu, lawan yang menghadapi Hui Cu juga ikut berteriak-teriak, "Bocah ini ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hoat tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu pedang apa ini yang begini indah?"

"Tidak usah banyak mulut, terimalah ini!" Hui Cu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.

Akan tetapi orang itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga sehingga ia mampu menangkis dan membalas. Malah ia masih terus berkata keras-keras, "Eh, mengingatkan aku akan ilmu pedang dari Bu-tek Kiam-ong! He, bocah, kau pernah apa dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan?"

Ketika nama guru ibunya itu disebut, Hui Cu kaget juga. Akan tetapi tanpa menjawab ia menyerang terus bertubi-tubi dengan ilmu pedangnya yang amat indah.

"Hebat... hebat...!" Orang itu lagi-lagi memuji dan terpaksa berlaku lebih hati-hati karena menghadapi dara remaja yang lihai ini ia maklum tak boleh bersikap sembrono.

Ada pun Kun Hong yang bangun berdiri dan menonton dari pojok, maklum bahwa Li Eng dengan mudah akan mampu mengalahkan lawannya, sedangkan kepandaian Hui Cu juga seimbang dengan lawan yang seorang lagi. Tanpa dia sadari, Kun Hong sudah memiliki pengertian mendalam mengenai ilmu silat dan terutama sekali Hoa-san Kiam-hoat yang pernah dibacanya sampai tamat.

Ia juga melihat betapa gerakan-gerakan Li Eng amat berbeda dengan ilmu yang pernah dibacanya, lebih ganas dan juga aneh. Sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Cu adalah Hoa-san Kiam-hoat yang bercampur dengan ilmu pedang yang indah gerakan-gerakannya. Betapa pun juga, melihat gerakan kaki gadis ini ia terheran-heran karena ia merasa pernah mengenal gerakan-gerakan ini.

Tiada hentinya pemuda ini berseru penuh kekuatiran, "Li Eng! Hui Cu! Hati-hati jangan kalian membunuh orang!"

Ia sama sekali tak menguatirkan keselamatan dua orang keponakannya itu karena di luar kesadarannya ia telah dapat mengikuti pertandingan itu dan melakukan penilaian. Akan tetapi ia amat kuatir kalau-kalau kedua orang keponakannya itu melakukan pembunuhan, perbuatan yang amat dibenci-nya.

Pangeran Kian Bun Ti dengan mata berseri-seri memperhatikan dua orang gadis yang amat lihai itu, akan tetapi keningnya berkerut sebentar ketika dia menyaksikan sikap Kun Hong. Pikirnya, "Orang muda itu cerdik luar biasa, aneh dan baik budinya, tentu jujur dan setia. Akan tetapi sayang, hatinya lemah. Mana bisa aku memakai orang seperti ini?"

Biar pun wataknya jenaka dan nakal, namun entah bagaimana, Li Eng amat taat kepada pamannya atau lebih tepat lagi, dia tidak mau membikin marah atau susah kepada Kun Hong. Kalau menurut wataknya, orang yang jahat datang menyerang Pangeran ini patut ia bunuh kedua-duanya.

Akan tetapi mendengar suara Kun Hong dan mengingat akan watak yang amat aneh dari pamannya ini, dia lalu memperhebat permainan sabuk suteranya sedangkan pedangnya hanya dipakainya untuk menangkis atau mengancam saja. Akhirnya lawannya tidak dapat menahan lagi.

“Tar-tar-tar!” terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi.

Orang itu memekik kesakitan, pedangnya terlepas dari tangannya dan ia meloncat tinggi kemudian berjungkir-balik ke belakang. Muka, lengan dan lehernya penuh luka-luka bekas cambukan sabuk sutera sedangkan beberapa bagian bajunya pecah-pecah.

"Si-te, lari!" teriaknya kepada temannya.

Akan tetapi temannya pun amat bingung karena sedang didesak hebat oleh Hui Cu. Biar pun ia mampu mempertahankan diri, namun ia sama sekali tidak dapat mendesak gadis yang ilmu pedangnya indah dan lihai itu.

"Enci Cu, kata Paman tidak boleh dia dibunuh. Biarkan aku membagi hadiah kepadanya!" kata Li Eng sambil tertawa-tawa tanpa mengejar lawannya yang sudah kalah. Sebaliknya sabuk suteranya menyambar dan kini yang dijadikan bulan-bulanan adalah lawan Hui Cu.

"Tar-tar-tar!"

Orang ini pun menjerit dan pedangnya terlepas, muka dan badannya babak-belur dimakan cambuk. Karena Hui Cu tidak menyerangnya lagi dan gadis nakal itu hanya menggunakan sabuk sutera untuk menghajarnya, ia lalu melompat jauh mengikuti temannya yang sudah lari terlebih dulu, meloncat pagar taman dan menghilang.

"Hebat! Bagus sekali...!” Pangeran Kian Bun Ti bertepuk tangan memuji sambil keluar dari belakang pilar, terus menghampiri Li Eng dan Hui Cu yang masih memegang pedang di tangan. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan wajah berseri,

"Nona berdua telah menyelamatkan nyawaku, entah dengan cara apa aku bisa membalas budi kalian!"

Dua orang dara remaja itu hanya tersenyum. Wajah mereka juga berseri girang. Mereka tidak saja telah menolong tuan rumah yang amat ramah, akan tetapi lebih dari itu, telah menolong Pangeran, Pangeran Mahkota lagi!

Akan tetapi Kun Hong mengerutkan keningnya! Perasaannya yang halus dan tajam dapat menangkap nada tersembunyi di dalam kata-kata itu tadi. Segera dia maju dan menjura kepada Pangeran Kian Bun Ti sambil berkata, "Harap Pangeran jangan berkata demikian. Sudah semestinya bila dua orang keponakan saya membela Pangeran dari penyerangan orang-orang jahat tadi. Dua orang keponakan saya tidak menanam budi dan Paduka tidak perlu berterima kasih."

Pangeran Kian Bun Ti menatap pandang mata pemuda ini dan untuk sejenak keduanya berpandangan, seakan-akan hendak menjenguk isi hati masing-masing dan seperti orang ‘mengukur tenaga’. Pangeran itu hendak marah, dadanya sudah panas, akan tetapi dia menekan perasaannya lalu bertepuk tangan tiga kali. Sambil tersenyum ia berkata,

"Kegagahan dua orang Nona ini yang amat hebat, sepatutnya dihormati dengan pesta dan perkenalan dengan para pembantuku."

Selagi tiga orang muda itu terheran-heran dan tidak mengerti, dari pintu dalam tiba-tiba bermunculan beberapa orang, setelah berkumpul semua ternyata mereka berjumlah tujuh orang. Ada yang berpakaian seperti pendeta, ada yang bertubuh gagah tinggi besar, ada pula yang lemah-lembut, akan tetapi semua orang ini segera memberi hormat kepada Pangeran Mahkota dengan cara masing-masing. Melihat bahwa semua membawa senjata di pinggang atau di punggung, dapat diduga bahwa tujuh orang ini tentulah orang-orang yang pandai ilmu silat.

Pangeran Kian Bun Ti memperkenalkan tujuh orang pembantunya itu dan menyebut nama mereka, akan tetapi Kun Hong dan dua orang keponakannya tidak memperhatikan biar pun mereka menjura dengan hormat. Hati dua orang dara itu mulai tidak senang karena pandang mata tujuh orang ini mengandung sikap kurang ajar.

"Ha-ha-ha, kalian lihatlah. Dua orang Nona inilah baru patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik jelita! Pernahkah kalian melihat dua orang dara remaja sehebat ini? Dengan tangkas dan mudahnya mereka berdua berhasil mengusir dua orang jagoan lari tunggang-langgang!"

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan tadi dikenalkan sebagai Souw Ki berjuluk Tiat-jiu Busu (Jagoan Tangan Besi), tersenyum pada waktu dia berkata, "Pilihan Paduka tepat sekali, Pangeran. Hamba menghaturkan selamat!"

"Ha-ha-ha! Benar-benar menggirangkan hati, Pangeran. Dengan adanya dua orang siuli (puteri-puteri istana) segagah ini, pinto dan teman-teman tidak akan begitu kuatir lagi apa bila tidak sedang berada dekat Paduka!"

Orang yang tertawa-tawa ini adalah seorang berpakaian pendeta tosu berambut panjang yang tadi diperkenalkan dengan nama Thian It Tosu. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan mata berkedip-kedip seperti seorang yang mengajak bermain mata.

Bukan main sebalnya hati dua orang dara itu melihat kakek ini beraksi seperti monyet mencium terasi. Sebelum Li Eng dan Hui Cu mengerluarkan suara untuk mengatakan kesebalan hati mereka, tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari pintu yang menembus ke dalam gedung mungil itu berlari-larian keluar lima orang wanita muda yang cantik-cantik.

Wanita-wanita ini masih muda, usianya tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun dan pakaian mereka benar-benar membuat Li Eng dan Hui Cu memandang bengong. Pakaian mereka itu mencolok sekali, terbuat dari sutera halus tipis sehingga samar-samar tampak pakaian dalam mereka yang berwarna-warni. Selain tipis membayang, juga amat ketat menempel pada tubuh mereka.

Mereka ini rata-rata cantik jelita, ditambah dengan hiasan dan riasan pada muka dengan warna penghitam dan pemerah. Lima orang wanita muda ini semua memegang sebatang pedang terhunus yang mengkilap saking tajamnya! Munculnya lima orang wanita cantik berlenggang genit ini langsung membuat tujuh orang tokoh jagoan itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik.

Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti segera menegur, juga sambil tersenyum, "Eh-ehh, kalian ini Lima Macan Cantik datang-datang membawa pedang telanjang mau apakah?"

Seorang yang agaknya tertua di antara mereka berlima, menjawab dengan sikap manja dan genit kepada Pangeran Mahkota itu, "Hamba berlima mendengar bahwa Paduka telah menerima dua orang baru yang dibanggakan berkepandaian tinggi. Karena selama ini kami berlima yang menjadi selir-selir pengawal, maka dengan diterimanya selir pengawal baru, kami ingin sekali mengukur kepandaian mereka." Setelah berkata demikian, dia dan empat orang temannya menoleh serta memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan pandang mata tajam dan marah.

Pangeran Mahkota itu tertawa bergelak, juga tujuh orang pembantunya tertawa. Mereka baru mengerti bahwa Lima Macan Cantik ini ternyata menjadi cemburu dan iri hati setelah mendengar perihal dua orang pendekar wanita tu.

"Ha-ha-ha, meski pun kalian cukup lihai, tak mungkin kalian dapat menangkan dua orang Nona perkasa ini."

Kata-kata ini bagi lima orang wanita itu merupakan ijin, maka cepat mereka bergerak menghadapi Li Eng dan Hui Cu yang berdiri berdampingan dan yang memandang serta mendengar semua ini dengan kening berkerut. Ketika lima orang wanita yang indah-indah pakaiannya itu menghampiri mereka, keduanya juga balas memandang tajam dan penuh selidik. Mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang ini benar-benar cantik dan bergaya lembut tapi angkuh seperti lagak puteri-puteri bangsawan.

Setelah berdiri sejajar di depan dua orang gadis ini dengan pedang melintang di depan dada, yang tertua lantas menudingkan telunjuk tangan kiri kepada mereka berdua sambil membentak, "Dua bocah dari gunung, kalian mengandalkan apa berani memikat perhatian Pangeran? Coba kalian hadapi pedang kami!"

Li Eng dan Hui Cu saling pandang. Gilakah perempuan ini? Siapa yang memikat perhatian Pangeran? Sementara itu, Kun Hong sudah melangkah maju dan menjura ke depan lima orang wanita itu.

"Ngo-wi Toanio (Nyonya Besar Berlima), harap sudi bersabar dan tidak salah duga. Dua orang keponakanku ini sama sekali tidak hendak memikat perhatian siapa-siapa dan kami percaya penuh bahwa Ngo-wi tentu paling cantik dan paling pandai. Dua keponakanku ini tidak berani melawan Ngo-wi..."

Li Eng dan Hui Cu tidak senang sekali mendengar kata-kata paman mereka yang amat merendah ini. Akan tetapi lima orang wanita-wanita itu jelas kelihatan bangga dan juga girang.

Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa mereka berlima bukanlah wanita-wanita yang boleh dipermainkan, wanita yang tertua segera menudingkan ujung pedangnya ke arah Kun Hong sambil membentak,

"Kau ini siucai jembel tidak tahu aturan! Apa kau kira kami berlima ini adalah perempuan-perempuan sembarangan yang boleh diajak bicara oleh segala macam laki-laki seperti kau? Untuk dosamu ini seharusnya kupenggal kepalamu, tapi karena Pangeran terkenal sebagai seorang besar yang budiman dan pengampun, biarlah kupotong telingamu yang kiri agar kau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat main-main!" Setelah berkata demikian, pedang ditangannya berkelebat ke arah telinga kiri Kun Hong.

Pemuda ini di dalam hatinya terkejut sekali akan sikap yang berlebihan dari wanita-wanita ini. Terpaksa dia melangkah mundur terhuyung-huyung menurutkan gerak langkah ajaib. Wanita itu makin penasaran karena sabetannya luput. Cepat ia melangkah maju lagi dan kembali mengayunkan pedangnya ke arah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini tetap saja terhuyung-huyung ke belakang, tetapi sabetan-sabetan pedang itu tak pernah mengenai telinganya.

"Toanio, telinga adalah alat untuk mendengar, mana boleh dipotong?" berkata Kun Hong, suaranya tetap tenang-tenang saja.

Dan inilah yang lucu karena suaranya demikian tenang, akan tetapi ia terhuyung-huyung dan kelihatan gerak-geriknya seperti kebingungan. Memang, bagi yang tidak tahu, gerak langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun memang lebih mirip gerakan orang yang ketakutan atau kebingungan. Maka tertawalah tujuh orang jagoan yang berdiri di situ.

Mendengar suara ketawa ini, wanita itu salah duga, mengira bahwa dialah yang sedang ditertawai, maka naiklah darahnya. Kini pedangnya tak hanya ditujukan untuk memotong telinga Kun Hong, malah digunakan untuk menyerang membabi-buta untuk merobohkan pemuda itu. Kelihatannya makin repotlah Kun Hong, terjengkang-jengkang dan terhuyung-huyung, namun tak pernah tersentuh pedang yang menyambar-nyambar itu.

"Tranggg!"

Wanita itu memekik kaget dan melompat ke belakang, tangannya terasa gemetar dan sakit. Kiranya Hui Cu sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan dan dengan sikap marah.

"Perempuan tak tahu malu! Berani kau menghina pamanku yang tak bersalah apa-apa?"

Wanita itu hanya sebentar saja kaget, lalu ia tersenyum sambil menoleh kepada empat orang temannya. "Adik-adik, lihat baik-baik. Perempuan ini mengakui keparat itu sebagai pamannya, Hi-hi-hi, siapa orangnya dapat dibohongi begitu saja? Orang muda itu usianya tidaklah tua, sebaya dengannya, juga biar pun jembel dan kotor, mukanya tidaklah buruk bagi seorang laki-laki. Hemm… hemm, bocah gunung, bilang saja dia itu kekasihmu, kami akan percaya sepenuhnya, jangan bilang pamanmu."

"Tutup mulutmu yang kotor!" Hui Cu yang memang tak pandai bicara itu memaki, matanya yang bening berkilat bercahaya akan tetapi kedua pipinya merah karena jengah.

"Adik-adik, mari kita beramai menghajar bocah gunung ini!" wanita itu berseru dan berlima mereka siap menerjang Hui Cu dengan pedang mereka. Gerakan mereka cukup kuat dan pasangan kuda-kuda mereka ternyata serupa, tanda bahwa mereka adalah sealiran.

"Bagus, kalian sudah bosan hidup!" Hui Cu menggetarkan pedang di tangannya.

Akan tetapi tiba-tiba di belakangnya Kun Hong membentak, "Hui Cu, tahan! Mundurlah dan simpan pedangmu. Li Eng, kaulah yang maju menghadapi kelima orang nyonya besar ini, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali membunuh orang!"

Hui Cu kecewa, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak pamannya. Dengan mata berkilat ia menarik kembali pedangnya, menyimpannya dan melangkah mundur. Li Eng sambil tersenyum-senyum kini menggantikannya maju. Gadis lincah jenaka ini sudah tahu apa maksud pamannya menyuruh dia menggantikan Hui Cu.

Memang sesungguhnya melihat Hui Cu yang sudah marah sekali itu, Kun Hong menjadi sangat kuatir kalau-kalau Hui Cu salah tangan membunuh orang. Apa lagi dalam sebuah pertempuran yang ramai, sukarlah untuk mengalahkan lawan tanpa membunuh. Berbeda dengan Li Eng yang ia tahu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari Hui Cu. Apa lagi Li Eng memiliki senjata istimewa, yaitu sabuk sutera yang lemas, maka lebih mudahlah bagi Li Eng untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

Anehnya, melihat pertempuran yang akan pecah ini, baik Pangeran Kian Bun Ti mau pun tujuh orang jagoannya sama sekali tidak mencampurinya. Malah mereka berdiri menonton dengan wajah berseri, seakan-akan yang terjadi di depan mereka adalah sebuah adegan sandiwara yang menyenangkan dan menarik.

Hal ini saja menimbulkan kerut di kening Kun Hong dan pemuda ini mengambil keputusan bahwa kalau Li Eng sudah berhasil mengalahkan lima orang wanita galak itu, ia segera akan minta pamit kemudian mengajak dua orang keponakannya meninggalkan tempat ini. Malah harus cepat-cepat meninggalkan kota raja dengan segalanya yang serba aneh.

Li Eng yang dapat menangkap maksud hati pamannya, dengan gerakan tenang sekali lalu meloloskan sabuk suteranya yang hitam panjang dan menggulungnya di tangan kanan. Dengan senyum dikulum dan mata berseri dia memandang kepada lima orang puteri di depannya itu, menatap seorang demi seorang, kemudian berkata dengan suaranya yang nyaring dan mengandung ejekan,

"Eh, lima orang nenek siluman betina, sungguh kau tak tahu diri. Kalau tidak paman kami yang menaruh kasihan, bukankah sekarang kalian berlima sudah rebah menjadi bangkai di bawah pedang enci-ku?"

Li Eng memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa lima orang ini bukanlah lawan Hui Cu, apa lagi lawan dia. Dari gerakan orang pertama ketika menyerang Kun Hong tadi saja tahulah dia bahwa lima orang wanita ini hanya lagaknya saja hebat, pada hakekatnya tidak memiliki kepandaian berarti.

Dimaki sebagai nenek apa lagi siluman betina, karuan saja lima orang selir Pangeran itu menjadi marah bukan main. Tanpa banyak cakap lagi mereka berlima segera menerjang maju sambil menggerakkan pedang menyerang Li Eng.

Li Eng tak mau berlaku sungkan lagi. Kedua tangannya bergerak, sinar hitam berkelebat.

“Tar-tar-tar-tar!” terdengarlah bunyi nyaring berulang kali.
cerita silat karya kho ping hoo

Lima orang pengeroyoknya itu selama hidupnya belum pernah mengalami pertempuran seperti ini. Mereka merasa seakan-akan ada petir menyambar-nyambar di atas kepala dan berturut-turut lima batang pedang melayang jauh terlepas dari pegangan lima orang wanita itu.

Li Eng menggerakkan sabuk suteranya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah mengeluarkan bunyi melecuti muka dan tubuh kelima orang pengeroyoknya.

"Tar-tar-tar-tar-tar!"

Lima orang wanita itu menjerit-jerit, perih dan sakit kulit mereka yang terkena cambukan. Lalu, sambil menutupi muka dengan tangan, mereka lari meninggalkan tempat itu kembali ke dalam. Amat lucu melihat mereka lari sambil dikejar sabuk sutera yang masih sempat mencambuki tubuh belakang mereka, membuat mereka memindahkan tangan dari muka ke tubuh belakang yang sakit semua akibat dihajar cambuk!

"Cukup, Li Eng!" Kun Hong berteriak dan Li Eng menyimpan kembali sabuknya, lalu dia berdiri di dekat pemuda ini.

"Harap Paduka memaafkan keponakanku." Kun Hong menjura. "Dan perkenankan kami bertiga mohon diri, kami hendak melanjutkan perjalanan."

Pangeran Kian Bun Ti menggerak-gerakkan tangan, lalu tertawa, "Ah, Saudara Kun Hong apakah marah karena peristiwa tadi? Mereka berlima hanyalah selir-selirku yang bodoh, yang merasa diri sendiri pintar. Kalau mereka tadi bersikap kurang ajar, biarlah sekarang juga kusuruh masukkan ke dalam penjara."

Mendengar ini terkejutlah Kun Hong. "Ah, tidak... tidak... mereka tidak apa-apa, Pangeran. Tak usah dihukum..."

"Baik, dan untuk menebus kelancangan mereka, biarlah mulai sekarang mereka berlima menjadi pelayan dua orang keponakanmu ini."

Pucatlah muka Kun Hong sedangkan Hui Cu dan Li Eng saling pandang, masih belum mengerti apa sebetulnya maksud hati dan kehendak Pangeran yang tampan dan selalu tersenyum-senyum itu.

Lagi-lagi Kun Hong menjura dan bicara seperti orang yang belum mengerti akan maksud pangeran itu, "Banyak terima kasih atas anugerah Paduka kepada dua orang keponakan saya, juga terima kasih atas penyambutan dan kehormatan besar yang kami bertiga telah terima dari Paduka. Akan tetapi terpaksa kami bertiga mohon diri, Pangeran. Perjalanan kami masih jauh dan harus kami lanjutkan sekarang juga."

"Perjalanan itu boleh dibatalkan atau ditunda!" Suara Pangeran itu sekarang terdengar sungguh-sungguh dan ketus. "Saudara Kun Hong, mulai saat ini aku mengangkat Li Eng sebagai selir pertama dan Hui Cu sebagai selir ke dua dan kedudukan mereka merangkap sebagai selir pengawal pribadiku!"

Baru sekaranglah dua orang dara remaja itu tahu akan maksud hati Pangeran itu. Muka mereka otomatis menjadi merah bagai udang direbus, mata mereka berkilat saking marah dan jengah. Keduanya tanpa terasa telah meraba gagang pedang.

Dengan dahi berkerut-kerut saking gelisah dan bingungnya, Kun Hong pun berulang-ulang menjura kepada Pangeran Mahkota itu, lalu bertanya, "Pangeran, sejak jaman nenek moyang kita dahulu, bangsa kita selalu memegang teguh peraturan dan kesopanan. Dua orang keponakanku ini masih mempunyai orang tua, maka kiranya untuk urusan ini sebaiknya kalau Paduka berurusan dengan ayah bunda mereka seperti lazimnya. Sekarang, karena kami bertiga masih mempunyai tugas yang penting sedangkan perjalanan masih sangat jauh, perkenankanlah kami untuk mengundurkan diri dan keluar dari sini."

"Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong benar-benar mengagumkan, hafal akan segala pelajaran filsafat dan ujar-ujar kuno. Aku sama sekali tidak melanggar peraturan, karena bukankah kau adalah paman dari mereka? Dalam hal ini, seorang paman boleh menjadi wakil dan pengganti orang tua. Oleh karena itulah, di hadapanmu aku mengajukan pinangan untuk menjadikan dua orang nona ini sebagai selir-selirku yang terkasih. Ada pun kau sendiri, sesuai dengan bakat serta kepintaranmu, kuangkat menjadi pembesar yang mengurus perpustakaan istana!"

Tujuh orang jagoan itu mengeluarkan seruan kagum dan mereka segera menjura kepada Kun Hong sambil bersuara saling tunjang, "Kionghi, kionghi (selamat)! Begini muda sudah menerima anugerah pangkat yang tinggi. Juga kionghi kepada dua orang Lihiap ini!"

Akan tetapi Kun Hong cepat mengangkat kedua tangannya dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa ia menolak kesemuanya itu. Juga Li Eng dan Hui Cu sudah hampir tak dapat menahan kemarahan mereka. Mereka merasa terhina sekali oleh sikap Pangeran ini yang begitu mau menang sendiri, mengambil orang sebagai selirnya tanpa bertanya dulu, baik kepada yang bersangkutan mau pun kepada orang tuanya. Apakah dikiranya mereka itu seperti lima orang wanita tadi, dan dianggap sebagai perempuan murahan belaka?

"Terpaksa saya tidak dapat menerima semua itu, Pangeran. Pertama, saya yang muda mana berani mewakili orang tua mereka? Apa lagi dalam soal perjodohan. Sama sekali saya tidak berani! Ke dua, saya merasa amat bodoh dan tidak terpelajar, bagaimana saya berani menerima kedudukan dari Paduka? Tidak, meski pun saya berterima kasih sekali, akan tetapi terpaksa saya menolak dan harapan saya hanya perkenan Paduka agar kami bertiga dapat pergi dari sini."

Merah wajah Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Selama hidup baru kali ini ia menghadapi orang-orang yang tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih setelah dia beri anugerah seperti itu. Wanita mana yang tidak ingin, bahkan saling berebut untuk menjadi selir terkasih dari Pangeran Kian Bun Ti yang terkenal muda, tampan, halus budi, dan calon kaisar? Laki-laki mana yang tidak ingin menjadi pembesar dan kedudukannya diberi sendiri oleh Pangeran Mahkota?

Akan tetapi, pandang matanya tidak buta, pendengarannya tidak tuli. Kali ini benar-benar dua orang dara muda, yang hendak diambil menjadi selirnya itu malah berdiri dengan muka marah sedangkan orang yang hendak diangkatnya menjadi pembesar perpustakaan malah terang-terangan menampik pula! Saking heran, marah dan kecewanya, Pangeran ini hanya berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.

Seorang di antara tujuh jagoan pengawal Pangeran itu melompat maju. Orang ini usianya sudah lewat lima puluh tahun, mukanya merah dan matanya jelas membayangkan bahwa ia adalah seorang yang pemarah dan sombong. Dia inilah yang terkenal dengan julukan Sin-toa-to (Golok Besar Sakti) bernama Liong Ki Nam. Di daerah Selatan namanya sudah amat terkenal dan ilmu goloknya memang hebat, boleh dibilang belum pernah ia menemui tandingan.

Watak orang ini memang paling berangasan dari teman-temannya, maka melihat sikap tiga orang muda dan mendengar jawaban Kun Hong tadi, ia segera memaki,

"Bocah! Kau diberi hati tetapi makin melonjak. Pangeran telah berlaku amat baik hati dan menghormat, kau malah makin besar kepala. Kau berani membantah perintah Pangeran, berarti memberontak! Apakah kau sudah bosan hidup?"

Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti nampak kesal, lalu ia berkata kepada tujuh orang jagoannya, "Harap para busu membereskan ini, aku menanti kabar."

Tanpa menoleh lagi kepada Kun Hong atau kepada dua orang dara remaja itu, Pangeran ini membalikkan tubuh dan dengan langkah yang membayangkan keagungan seorang calon kaisar, Pangeran ini memasuki rumah gedung.

Setelah Pangeran itu pergi, tosu rambut panjang, Thian It Tosu, mendekati Kun Hong dan berkata dengan suara halus, "Orang muda, harap kau pikirkan baik-baik dan janganlah membawa kemauan sendiri yang tidak wajar. Ingatlah, semua orang muda, bahkan yang tua-tua sekali pun, di seluruh negeri akan mengiri bila melihat peruntunganmu yang amat bagus ini. Kau diangkat menjadi pembesar dalam istana dan dua orang keponakanmu ini dapat merebut hati Pangeran Mahkota. Siapa tahu kelak kalau Pangeran sudah menjadi kaisar, dua orang keponakanmu itu akan tetap menjadi kekasih, tentu kau akan diangkat menjadi menteri!"

Kun Hong tersenyum lemah dan menggerakkan kepala. "Tidak bisa, Totiang. Sama sekali aku tidak bermaksud membantah Pangeran, apa lagi memberontak. Akan tetapi sungguh-sungguh aku tidak dapat menerima jabatan itu karena aku memang tidak suka menjadi pembesar. Ada pun tentang persoalan jodoh, kedua orang keponakanku ini mempunyai orang tua-orang tua, bagaimana aku berani melancangi mereka?"

"Eh, bocah goblok. Kau masih berkepala batu?" Sin-toa-to Liong Ki Nam membentak lagi dengan mata melotot. "Tidak usah banyak cerewet, pilih mana. Kau dan dua orang nona ini menurut dan menerima kemuliaan ataukah kalian ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, mungkin dihukum penggal kepala!"

Tentu saja Kun Hong tidak takut mendengar ancaman maut ini. Baginya, di dunia ini tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menimbulkan takut dalam hatinya asalkan ia yakin akan kebenarannya. Dan dalam hal ini ia sama sekali tidak merasa telah melakukan sesuatu kesalahan.

Ia menarik napas panjang dan berkata, "Belum pernah aku mendengar tentang pinangan dan pemberian anugerah yang bersifat paksaan. Baru saja dua orang keponakanku telah menolong pangeran dari bahaya maut akibat penyerangan dua orang jahat, akan tetapi sekarang dua orang keponakanku hendak dipaksa untuk menjadi selir dengan ancaman hukuman penjara kalau tidak mau menurut. Benar-benar di tempat yang mewah ini tidak dikenal lagi kebenaran dan keadilan!"

Tujuh orang jagoan itu tertawa, agaknya geli mendengar ucapan ini. Malah Thian It Tosu lalu berkata, "Orang muda, kau benar-benar seperti katak di dalam tempurung, berlagak pintar akan tetapi bodoh. Kau tidak tahu sampai di mana kekuasaan Pangeran Mahkota. Beliau adalah calon kaisar, tahukah kau? Mana bisa orang jahat sembarangan hendak menyerang dan membunuh beliau? Kau kira kedua keponakanmu tadi sudah menolong Pangeran dari penyerangan orang jahat? Ha-ha-ha! Sebenarnya hanya karena Pangeran yang suka melihat dua orang gadis ini ingin menguji sampai di mana tinggi kepandaian kedua Nona ini."

Tosu itu bertepuk tangan dan dari luar berlari datang dua orang yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tujuh orang jagoan itu...


BERSAMBUNG KE Rajawali Emas Jilid 19