Raja Pedang Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJA PEDANG JILID 20

Di masa itu, perjuangan rakyat yang berupa pemberontakan-pemberontakan di sana-sini terhadap pemerintah penjajah makin lama semakin berkembang luas. Pemerintah Goan yang didirikan oleh bangsa Mongol mulai goyah kedudukannya. Hampir di seluruh daerah pedalaman selalu terjadi perang gerilya yang dilakukan para petani di bawah pimpinan orang-orang gagah.

Pemberontakan-pemberontakan ini bagaikan api yang makin lama semakin besar, makin lama makin menjalar ke dekat kota raja. Oleh karena ini maka keluarga Kerajaan Goan berkhawatir sekali dan tak dapat enak makan nyenyak tidur. Penjagaan di sekitar wilayah kota raja diperketat, mata-mata pun disebar di seluruh kota dan desa. Orang-orang dengan kepandaian tinggi yang dapat ditarik ke pihak pemerintah Mongol dengan pancingan harta benda dan kedudukan tinggi, dikumpulkan di kota raja sebagai pelindung keselamatan keluarga Kerajaan Goan.

Sunyi malam itu di sebuah dusun yang letaknya di pinggiran kota raja sebelah selatan. Malam belum larut benar, belum pukul sembilan. Akan tetapi keadaan sudah amat sunyi dan ketegangan seperti biasanya menyelubungi semua tempat yang berada dekat kota raja. Hal ini tidak mengherankan karena sejak terjadinya pemberontakan-pemberontakan, di sekitar kota raja selalu terjadi hal-hal yang hebat.

Seakan-akan terjadi pertentangan antara petugas-petugas keamanan dan para pejuang yang keduanya secara rahasia melakukan tugasnya masing-masing. Semacam perang rahasia antara para mata-mata pemerintah kontra para mata-mata pejuang. Para pejuang yang berahasia itu sangat gagah berani dan entah sudah berapa banyaknya pembesar Mongol dan perwira yang tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamar masing-masing. Akan tetapi tidak sedikit pula mata-mata pejuang itu tertangkap dan diseret ke depan pengadilan yang cepat memutuskan hukuman mati bagi mereka ini.

Dua bayangan manusia berkelebat cepat sekali di dalam kegelapan malam itu. Dengan ginkang yang tinggi kedua orang ini berlompatan menuju ke sebuah rumah yang tua dan buruk, tapi cukup besar. Kiranya rumah ini adalah sebuah rumah penginapan merangkap warung nasi yang sederhana, sebagai tempat menginap para saudagar dan pelancong yang hendak memasuki kota raja.

Dua bayangan itu memasuki rumah dengan jalan aneh, yaitu melalui belakang dengan melompati pagar tembok. Di luar sebuah jendela mereka berhenti dan mengetuk jendela itu perlahan tiga kali. Dari dalam ada jawaban ketukan dua kali lalu jendela terbuka. Dua orang itu sekali melompat sudah melayang masuk. Kamar itu cukup luas. Di dalamnya sudah duduk tiga orang, yaitu seorang berpakaian tentara berusia empat puluh tahun, seorang laki-laki pengemis yang berpakaian jembel bertubuh kurus dan pucat berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang seorang adalah seorang nenek tua bongkok berambut putih.

Ada pun dua orang yang baru datang ini ternyata adalah dua orang kakek berpakaian seperti petani bercaping topi tani lebar. Yang hebat adalah barang yang dibawa oleh dua orang itu. Ternyata sekarang di bawah penerangan lampu bahwa dua orang kakek petani ini masing-masing menjambak rambut sebuah kepala manusia! Begitu masuk, keduanya tertawa dan melemparkan dua buah kepala orang di atas meja.

Tiga orang itu segera bangkit dan memandang penuh perhatian ke arah dua buah kepala itu. Mereka mengenal dua buah kepala itu sebagai kepala dua orang perwira pemerintah Mongol yang berkuasa di kota tak jauh dari situ.

Segera nenek itu bangkit dan menyambar dua buah kepala tadi, dimasukkan ke dalam keranjang lalu dia berkata, "Lebih dahulu kusingkirkan kepala anjing ini." Setelah berkata demikian dia menyelinap ke belakang dan menghilang.

Tentara dan pengemis itu menjura kepada dua orang petani yang baru datang.

"Tentulah ji-wi (saudara berdua) ini dua saudara Phang dari Hun-lam, bukan?" bertanya pengemis itu.

Dua orang kakek petani itu menjura dan yang tertua menjawab, "Benar, siauwte adalah Phang Khai dan ini adikku Phang Tui. Karena tergesa-gesa, kami tak dapat memilih tanda pengenal yang lebih berharga, harap maafkan."

Nenek yang tadi pergi ke belakang membawa dua buah kepala, kini sudah datang kembali sambil mengomel, "Kepala perwira atau kepala pembesar sama saja, dapat mengurangi jumlah musuh cukup baik. Sayangnya ji-wi terlampau sembrono. Ji-wi adalah tokoh-tokoh terkenal di Hun Lam, mengapa datang ke sini tanpa menyamar?"

Phang Khai tersenyum memandang nenek itu, lalu berkata, "Aku sudah lama mendengar bahwa orang kepercayaan Si-enghiong (pendekar ke empat) adalah seorang wanita muda yang gagah dan lihai. Kau menyamar sebagai nenek, itu bagus sekali, akan tetapi bagai mana seorang nenek dapat memiliki sepasang mata sejeli ini?"

Nenek itu kelihatan terkejut. "Ah, Phang-lohiap benar-benar bermata tajam sekali. Apakah penyamaranku masih kurang sempurna?" Suara nenek itu yang tadi parau dan gemetar bagaikan suara orang tua, sekarang berubah menjadi nyaring dan seperti suara wanita muda.

Phang Khai tertawa. "Ah, tidak, sama sekali tidak, Nona. Hanya aku mau menyatakan bahwa jika menyamar malah lebih berbahaya dan mencurigakan karena tidak sewajarnya. Bentuk dan suara dapat disamar, akan tetapi bagaimana dengan warna dan sinar mata? Sudahlah, andai kata anjing-anjing Mongol itu mengetahui kedatangan kami, apa sih yang kami takuti? Paling-paling kalau tidak bisa membasmi mereka, kita yang akan kehilangan nyawa! Bukankah sudah lama kita menyerahkan nyawa kita yang tak berharga ini kepada tanah air dan bangsa? Ha-ha-ha!"

Tentara itu yang sejak tadi diam saja sekarang mencela, "Ucapan Phang-twako tak dapat kuterima. Memang bagi seorang pejuang, mati hidupnya sudah tak berarti lagi asal demi perjuangan. Akan tetapi Phang-twako harus ingat bahwa tugas kita dalam perjuangan ini agak berbeda dengan tugas pejuang yang bertempur melawan musuh. Kalau kita sedang bertugas di bidang itu, tentu saja aku yang bodoh takkan ragu-ragu buat mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi dalam kedudukan kita sekarang yang bertugas sebagai mata-mata, mengumpulkan keterangan dan dalam hal ini, mengabdi kepada Si-enghiong, tentu saja segala hal harus kita lakukan secara rahasia agar supaya gerakan kita ini jangan sampai terbongkar. Seorang saja tertangkap maka bisa membahayakan seluruh anggota gerakan. Bukankah celaka kalau begini?

Phang Khai dan Phang Tui memandang tajam kepada ‘tentara Mongol’ itu, lalu Phang Tui menjura. "Betul sekali ucapan ini," katanya kagum.

Phang Khai tiba-tiba berkata, "Saudara, maafkan aku!"

Dan tahu-tahu dia telah mengirim serangan, tiga pukulan bertubi menyerang leher, dada dan perut orang berpakaian tentara Mongol itu. Orang itu kaget juga karena dia maklum betapa lihainya petani tua ini. Akan tetapi secepat kilat kedua tangannya diputar dalam lingkaran untuk menangkis, malah dia segera dapat mencengkeram pergelangan tangan kanan Phang Khai sambil berseru, "Phang-twako harap jangan main-main!"

Phang Khai menarik tangannya sambil tertawa bergelak. "Aha! Kiranya Bouw-enghiong yang menyamar sebagai tentara. Aduh, penyamaranmu benar-benar hebat, tentu dapat mengelabui musuh!"

Orang itu pun tertawa. Memang dia adalah Bouw Hin jago Bi-nam yang berjuluk Kang-jiu (Tangan Baja). Kiranya tadi Phang Khai sengaja menyerangnya untuk memancing agar ilmunya Kang-jiauw-ciang (Tangan Cakar Baja) tadi dikeluarkan. Segera Phang Khai bisa mengenal siapa sebetulnya teman seperjuangan yang menyamar sebagai tentara musuh ini.

"Bagus, Phang-twako memang cerdik”, kata Bouw Hin sambil tertawa. "Tapi Phang-twako tentu belum mengenal dia ini.” Ia menuding kepada pengemis tadi. ”Biarlah kuperkenalkan dia kepada ji-wi Phang-twako. Dia ini adalah she Lim."

"Aha, bukankah Lim Seng yang berjuluk Kim-mouw-sai (Singa Bulu Emas) dan Kwi-bun?" kata Phang Tui.

Pengemis itu berdiri dan menjura. “Ji-wi Phang-enghiong benar-benar bermata tajam."

Nona yang menyamar sebagai seorang nenek itu berkata, "Maaf, aku sendiri tidak boleh memperkenalkan diri. Tidak tahu ada urusan penting apakah yang hendak ji-wi sampaikan kepada Si-enghiong?"

"Hemm, urusan ini penting sekali. Kami harus berjumpa sendiri dengan Sienghiong," kata Phang Khai.

‘Nenek’ itu mengerutkan kening, lalu menggeleng kepalanya. "Phang-lopek apakah tidak pernah mendengar dari teman-teman bahwa adalah hal yang amat tidak mungkin orang menemui Si-enghiong? Si-enghiong, seperti juga Sam-enghiong (pendekar ke tiga) adalah tokoh-tokoh rahasia yang tak boleh bertemu teman seperjuangan di kota raja ini, karena hal itu sangat berbahaya. Sekali saja musuh membongkar rahasia pribadi Sam-enghiong dan Si-enghiong, akan rusak binasalah semua usaha kita yang berjuang di bawah tanah di kota raja ini. Segala kepentingan harap Lopek beri tahukan aku saja karena akulah satu-satunya orang yang dapat menghubungi Si-enghiong."

Phang Khai menghela napas. "Aku sudah mendengar akan hal itu, tapi ini adalah urusan yang amat penting." la tampak ragu-ragu.

Melihat keraguan ini, Kang-jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara Mongol itu berkata, nada suaranya tegas, "Siapa pun juga jangan harap dapat bertemu dengan Si-enghiong, malah aku sendiri pun belum pernah bertemu dengannya, apa lagi melihatnya atau mengenal siapa dia. Kalau ada urusan yang menyangkut kepentingan perjuangan, lekas ji-wi Twako memberi tahu kepada Nyonya Liong ini. Kalau berkeras hendak menemui Si-enghiong, lebih baik berita itu kalian bawa pergi lagi saja." Biar pun kata-katanya keras, akan tetapi lucu juga nenek yang nyata-nyata adalah penyamaran seorang nona muda ini disebut sebagai ‘nyonya Liong’.

Phang Khai menjadi merah mukanya. "Maaf kalau tadi aku ragu-ragu. Sesungguhnya ada banyak hal yang akan kusampaikan. Pertama-tama adalah mengenai pertemuan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai di puncak Hoa-san. Kami berdua menghadiri pertemuan itu dan..."

Nyonya Liong tersenyum, aneh kalau tersenyum karena seorang nenek setua itu giginya putih berjajar rapi.

"Phang lopek tidak perlu menceritakan hal ini. Ketahuilah bahwa Si-enghiong sendiri juga hadir dalam pertemuan itu."

Kedua orang saudara Phang ini tertegun dan saling pandang. Mereka adalah dua orang petani yang ketika dalam pertemuan itu mendapat tempat sebagai tamu kehormatan, akan tetapi tidak melihat adanya orang yang patut menjadi Si-enghiong, pemimpin ke empat dari pasukan mata-mata di kota raja. Mungkin dia bersembunyi di antara rombongan para tamu yang tidak penting sehingga sukar dikenal, pikir mereka.

"Ahh, kalau begitu hal itu tak perlu kami kemukakan lagi," kata Phang Khai.

"Sekarang soal ke dua. Aku ingin memberi tahukan mengenai kedudukan teman-teman seperjuangan kita. Saudara-saudara kita Su Souw Hwee beserta Tan Yu Liang sekarang telah mendapat kemajuan dan memperluas gerakan pemberontakan di sepanjang Sungai Huang-ho. Thio Si Cen sudah menyeberang Sungai Hui dan pasukan saudara Tan Hok sudah mendekati kota raja dari pergerakannya di sepanjang Sungai Yang-ce. Akan tetapi, aku mendapat berita bahwa gerakan Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja mendapat pukulan hebat dari bala tentara musuh dan membutuhkan bantuan segera."

Nyonya Liong mengangguk-angguk. "Kami sudah mengetahui sebagian besar beritamu. Gerakan Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja memang sengaja dijadikan umpan agar musuh mengerahkan banyak tenaga ke sebelah sana. Nanti kalau sudah tiba saatnya, pasukan-pasukan kita dari selatan dan timur akan menyerbu."

Phang Khai kagum sekali. "Ahh, sama sekali tidak pernah kusangka bahwa kalian dapat bekerja sesempurna itu. Benar-benar menggembirakan sekali. Akhirnya, harap kau dapat sampaikan kepada Si-enghiong bahwa kedatangan kami berdua ini selain menyampaikan berita dan menerima tugas baru, juga bahwa kami mengambil keputusan untuk mencari tahu tempat tinggal Kwee Sin murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu. Harap saudara-saudara memberi tahu di mana kami dapat menemukannya. Kami percaya bahwa Sam-wi (saudara bertiga) sudah pasti akan dapat memberi petunjuk."

Nyonya Liong tersenyum sambil memandang tajam. "Tentu saja kami tahu di mana murid Kun-lun-pai itu yang sekarang sudah menjadi pembantu pemerintah dan bekerja sama dengan orang-orang Ngo-lian-kauw. Akan tetapi, pada saat seperti sekarang ini, di mana tenaga semua rakyat dibutuhkan untuk perjuangan menghalau penjajah, bagaimana Ji-wi masih ada kesempatan untuk mencampuri segala macam urusan pribadi?

"Keliru... keliru pendapat seperti itu!" Phang Tui yang sejak tadi membiarkan kakaknya bicara mewakili mereka berdua, sekarang berkata dengan sungguh-sungguh.

"Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai bertengkar terus sampai-sampai tidak ada waktu membantu kita. Semua ini gara-gara si Kwee Sin seorang. Kami berdua berpendapat bahwa apa bila kami dapat menangkap Kwee Sin, mati atau hidup dan membawanya ke Hoa-san, tentu pihak Hoa-san mau pun pihak Kun-lun akan menghabisi permusuhan mereka dan apa bila dua golongan itu sudah berdamai lalu suka membantu kita, bukankah pekerjaan ini juga merupakan pekerjaan yang amat berguna bagi perjuangan?"

Nyonya Liong mengangguk-angguk, sedangkan kedua orang temannya juga menyatakan kebenaran ucapan Phang Tui. “Jadi ji-wi berkeras hendak menangkap Kwee Sin terlebih dulu?"

Ketika dua orang kakek petani itu mengangguk, Nyonya Liong lalu berkata, "Baiklah kalau begitu. Tempat tinggal Kwee Sin adalah di gedung ke lima sebelah barat perempatan jembatan Naga, rumah yang di atasnya ada hiasan ukiran naga. Harap jiwi berhati-hati karena selalu dia bersama dengan ketua Ngo-lian-kauw yang berkepandaian tinggi. Ji-wi kerjakan dulu maksud hati ji-wi, setelah itu baru kita mengadakan pertemuan lagi, tiga hari kemudian pada waktu seperti ini dan bertempat di sini pula, dan pada waktu itulah saya akan menyampaikan tugas-tugas baru bagi ji-wi. Nah, selamat berpisah."

Mereka lalu berpisah dan keluar dari rumah secara diam-diam. Hanya nyonya Liong dan Kang-jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara itu keluar secara biasa saja, dari pintu depan tanpa ada yang menaruh curiga. Ketika dua orang saudara Phang itu melompat ke dalam gelap keluar dari tembok yang mengeliingi rumah, mereka melihat bayangan berkelebat di dekat mereka. Mereka kaget, akan tetapi bayangan itu berbisik,

"Selamat sampai bertemu kembali, ji-wi Phang-twako."

Ternyata bayangan itu adalah si pengemis tadi, yaitu Kim-mouw-sai Lim Seng yang cepat meloncat ke kiri dan menghilang di dalam gelap. Dua orang saudara Phang itu merasa sangat kagum karena ginkang dari orang she Lim itu ternyata hebat juga…..

**********

Lima orang rahasia yang berkumpul dan mengadakan pertemuan rahasia di malam hari itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi gerak-gerik mereka telah diintai oleh Beng San. Pemuda ini dalam usahanya untuk mencari Kwee Sin, telah pula sampai di kota raja dan kebetulan sekali bermalam di rumah penginapan sederhana itu.

Malam tadi secara kebetulan dia yang berada di kamarnya mendengar desir angin yang hanya terdengar oleh seorang yang memiliki Iweekang setinggi dia. Dia terkejut dan tahu bahwa ada orang mempergunakan ilmu ginkang bergerak di luar rumah, maka cepat dia keluar dari kamarnya secara diam-diam dan melihat ada dua bayangan berkelebat, yaitu bayangan kedua orang saudara Phang. Demikianlah, secara diam-diam dia mengintai dan mendengar segala percakapan yang dilakukan oleh lima orang itu.

Hatinya kagum bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa lima orang itu adalah pejuang-pejuang, orang-orang gagah seperti Tan Hok yang rela mengorbankan nyawanya demi perjuangan bangsa untuk menghalau penjajah. Akan tetapi, lebih girang lagi hatinya karena tanpa sengaja dia mendapat petunjuk di mana dia bisa mencari Kwee Sin.

Malam berikutnya Beng San sudah mengikuti lagi perjalanan dua orang saudara Phang yang menuju ke rumah gedung Kwee Sin seperti yang telah ditunjuk oleh nyonya Liong pada kemarin malam. la mengenal dua orang ini sebagai tamu terhormat di Hoa-san-pai, maka diam-diam dia tidak mau mengganggu mereka.

"Betapa pun juga, mengajak Kwee Sin datang ke Hoa-san-pai adalah tugasku," pikirnya. "Aku yang sudah berjanji dan akulah yang harus memenuhi janji itu."

Dengan ginkang mereka yang sudah tinggi, dua orang saudara Phang itu dapat memasuki halaman rumah gedung itu dengan mudah. Mereka melompati pagar tembok dan merasa girang karena ternyata rumah gedung ini tidak ada yang menjaga. Di lain saat mereka sudah mengintai ke sebuah kamar di mana duduk seorang laki-laki yang tampan dan gagah, berusia tiga puluh tahun lebih. Wajah yang tampan itu angker dan agung, sedang menulis sesuatu di atas meja.

Tak jauh dari situ duduk pula seorang perempuan cantik berpakaian mewah, memandang kepada lelaki itu sambil tersenyum dan mengebut-ngebut tubuhnya dengan sebuah kipas. Laki-laki itu bukan lain adalah Pek-jiu Kwee Sin, orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, jago muda Kun-lun-pai yang telah mengakibatkan keributan antara Hoa-san dan Kun-lun. Ada pun perempuan cantik yang pesolek dan bersikap genit itu bukan lain adalah Ngo-lian Kauwcu (ketua Ngo-Lian kauw) yang berjuluk Kim-thouw Thian li (Dewi Kepala Emas) dan yang oleh Kwee Sin dikenal dengan nama Coa Kim Li, gadis yang sudah merayu dan merobohkan hatinya.

”Sin-ko (kanda Sin),” Kim-thouw Thian-li berkata dengan suara merdu, "malam ini kau harus menemani aku. Di rumah amat sunyi, jangan kau sibuk dengan pekerjaanmu. Tak usah kau membanting tulang, para pembesar sampai Hong-siang (kaisar) sendiri cukup maklum betapa besarnya jasamu kepada pemerintah."

"Aku banyak pekerjaan, Li-moi (adik Li). Biarlah besok siang kalau aku pulang dari kantor, aku akan mengunjungi rumahmu. Kau adalah seorang ketua perkumpulan besar seperti Ngo-lian-kauw, bagaimana bisa kesepian?" Kwee Sin tertawa dan menunda tulisannya.

"Biar pun ada seribu orang teman, mana bisa dibandingkan dengan kau seorang?" Coa Kim Li berkata genit lalu menarik bangkunya mendekat.

Pintu kamar diketok dari luar. Cepat-cepat Kim-thouw Thian-li menjauhkan bangkunya lagi. Ketika pelayan masuk, Kwee Sin sudah bersikap kereng seperti tadi.

"Kwee-ciangkun, di luar ada Lee-siocia (nona Lee) yang memohon menghadap Ciangkun (Panglima)," pelayan itu memberi laporan dengan sikap hormat dan tanpa mengangkat muka.

"Baik, minta nona Lee masuk ke ruangan ini," jawab Kwee Sin.

Pelayan itu memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan.

"Huh, Sin-ko, awas kau kalau di belakangku kau berani main gila dengan nona muda itu!" tiba-tiba Kim-thouw Thian-li berkata lirih, matanya bersinar penuh cemburu.

Kwee Sin tersenyum pahit. "Kim Li-moi apa-apaan cemburu ini? Kau tahu aku bukan... bukan mata keranjang dan kau tahu pula bahwa Lee-siocia adalah orang yang mendapat kepercayaan semua panglima di kota raja, juga lihai ilmu silatnya. Pertemuanku dengan dia tentu hanya berhubungan dengan pekerjaan, mengapa kau malah menyangka yang bukan-bukan? Dia datang, kau pun di sini. Boleh kau saksikan sendiri apa yang hendak dia sampaikan kepadaku!"

"Huh, biar dia lihai, siapa takut padanya? Dan siapa sudi bertemu dengannya? Melihat mukanya yang muda, jangan-jangan timbul seleraku untuk mencakar mukanya! Aku akan bersembunyi di belakang pintu. Awas kau, sekali saja kau dan dia main gila, kalian akan kubunuh!”

Dengan gerakan cepat sekali tubuhnya berkelebat dan menghilang di balik pintu samping. Kwee Sin menarik napas lega. Wajahnya nampak girang dan tersenyum pada saat pintu depan terbuka dan seorang nona berpakaian kuning berjalan masuk.

"Nona Lee, kau membawa kabar penting apakah?" Kwee Sin menyambut kedatangan nona ini dengan suara nyaring gembira. "Apakah kali ini kau diutus oleh Pangeran Souw? Ataukah Tan-ciangkun yang mengutusmu?"
cerita silat karya kho ping hoo

Nona berpakaian kuning itu sangat dikenal di kalangan atas kota raja. Dia bernama Lee Giok, puteri dari seorang bangsawan di kota raja. Usianya baru sembilan belas tahun. Wajahnya yang cantik itu nampak muram dan seperti diliputi kesedihan, matanya tajam dan gagang pedang menonjol di pinggangnya. Biar pun ia masih muda, namun ia sudah terkenal sebagai seorang yang amat berjasa dalam menindas kaum pemberontak berkat ilmu silatnya yang tinggi dan otaknya yang cemerlang.

Menghadapi pertanyaan Kwee Sin, nona itu menghela napas, memandang kepada Kwee Sin dengan matanya yang tajam, lalu katanya perlahan, "Kwee ciangkun, kalau memang Kim-thouw Thian-li sudah berada di sini, mengapa ia malah bersembunyi dan mengintai? Kuharap Ciangkun suka mempersilakan dia keluar karena kedatanganku ini toh bukan hendak mengadakan pertemuan yang bukan-bukan!"

Tentu saja Kim-thouw Thian-li merasa kaget sekali. Akan tetapi dia pun seorang wanita yang cerdik. Dengan tenang ia muncul dari balik pintu dan tertawa.

"Hebat benar kecerdikan nona Lee! Tadi memang saudara Kwee dan aku sengaja hendak menguji kecerdikanmu yang sudah lama kudengar dibicarakan orang, kiranya benar-benar kau cerdik. Hanya aku yang tolol, tidak ingat bahwa kepergianku dari sini meninggalkan ganda harum. Ehm, benar lihai!"

Diam-diam nona itu, Lee Giok terkejut juga. la dipuji cerdik, namun ketua Ngo-lian-kauw itu dengan sendirinya telah pula membuktikan bahwa otaknya juga tidak kalah cerdiknya. Memang tepat sekali kata-katanya tadi, dia dapat mengetahui bahwa Kim-thouw Thian-li baru saja meninggalkan ruangan itu karena tercium olehnya ganda harum seperti yang biasa ia cium kalau ia bertemu dengan ketua Ngo-lian-kauw itu.

Setiap wanita sudah tentu memiliki kesukaan masing-masing tentang wangi-wangian yang dipakainya dan wangi-wangian yang dipakai oleh Kim-thouw Thian-li mempunyai aroma yang khas.

"Kwee-ciangkun, kedatanganku tak lain hanya untuk menyampaikan peringatan padamu. Ada berita sampai kepadaku bahwa pada waktu ini di kota raja datang dua orang saudara Phang dari Hun-lam yang sengaja mencari Kwee-ciangkun dan hendak memaksa supaya Kwee-ciangkun, mati atau hidup, agar ikut mereka pergi ke Hoa-san."

Berubah wajah Kwee Sin mendengar berita ini. "Nona, apakah kau maksudkan Phang Khai dan Phang Tui Sepasang Naga dari Hun-lam?" katanya setengah berbisik.

Nona itu mengangguk. Wajahnya tampak makin murung, kemudian ia membalikkan tubuh dan berkata, "Tugasku sudah selesai, Ciangkun. Aku tak dapat lama-lama di sini, khawatir kalau-kalau membuat orang lain mendongkol saja."

Tanpa melirik kepada Kim-thouw Thian-li yang disindirnya itu, nona ini segera keluar dari ruangan itu dengan langkah ringan dan cepat sekali.

"Hi-hi-hi, baru mendengar ada dua orang tua bangka dari Hun-lam datang saja, kau sudah kelihatan gelisah," kata Kim-thouw Thian-li.

Li Moi, jangan kau anggap ringan dua orang kakek itu. Nama besar Phang-hengte (kakak beradik Phang) dari Hun-lam sudah lama aku dengar. Aku memang tidak takut, hanya sebab-sebab mengapa mereka hendak menangkapku inilah yang menggelisahkan hati."

"Sin-ko, mengapa kau begini bodoh? Mudah sekali diduga. Mereka tentunya bergabung dengan para pemberontak maka hendak memusuhimu, atau mungkin sekali mereka itu disuruh oleh perempuan she Liem yang tak tahu malu itu untuk...”

"Li-moi, kau berjanji tidak akan menyebut-nyebut namanya!" Tiba-tiba Kwee Sin berkata, jidatnya berkerut tak senang.

"Hi-hi-hi, sudahlah. Hanya dua ekor anjing tua dari Hun-lam itu untuk apa diributkan? Biar saja mereka datang, masih ada aku di sini, mereka bisa berbuat apa terhadap dirimu?"

Phang Khai dan Phang Tui adalah dua orang kakek ternama di Hun-lam. Mendengar mereka dimaki anjing-anjing tua oleh wanita itu, tentu saja mereka tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Serentak mereka meloncat dan menerobos masuk ke dalam ruangan itu.

"Kwee Sin, kami dua saudara Phang dari Hun-lam datang ke sini untuk menjemput kau ke Hoa-san!" kata Phang Khai sambil melirik penuh kemarahan ke arah Kim-thouw Thian-li yang sudah berdiri dengan alis berkerut marah.

Kwee Sin juga berdiri dan menjawab, "Ji-wi Phang-enghiong, dengan maksud apakah ji-wi hendak mengajak siauwte pergi ke sana?"

"Murid Kun-lun-pai yang murtad. Kau yang telah menjadi biang keladi permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu terhadap Hoa-san-pai!" kata Phang Tui tak sabar lagi.

Kwee Sin menghela napas. “Ji-wi Phang-enghiong, urusan itu adalah urusan pribadiku, harap ji-wi sebagai orang luar jangan mencampurinya. Mengingat ji-wi adalah tokoh-tokoh terkemuka dari Hun-lam, maka siauwte persilakan ji-wi pergi dengan baik-baik."

"Setan, siapa takut kepadamu? Kami sudah bersumpah untuk mebawamu ke Hoa-san, hidup atau mati. Tui-te (adik Tui), kau tangkap dia, biar aku menjaga siluman ini!"

Phang Tui maju dan menubruk Kwee Sin dengan Ilmu Kim-na-jiu-hoat. Kedua lengannya bergerak-gerak, yang kanan mencengkeram ke arah pundak kiri sedangkan tangan kirinya menotok jalan darah di leher. Terpaksa Kwee Sin cepat menggeser kaki ke belakang dan memutar lengan untuk menangkis. Tentu saja jago muda Kun-lun-pai ini tidak mau begitu saja membiarkan dirinya ditangkap.

Sambil mengeluarkan suara ketawa mengejek Kim-thonw Thian-li menggerakkan kedua tangannya dan tangan kanannya sudah memegang sebuah golok tipis kecil yang sangat indah bentuk dan gagangnya, sedangkan tangan kirinya sudah meloloskan sehelai sapu tangan merah yang panjang.

Phang Khai maklum bahwa menghadapi wanita ketua Ngo-lian-pai ini tak perlu dia berlaku sungkan lagi. Maka sekali dia menggereng, dia telah melakukan serangan dengan pedang di tangan. Melihat sinar pedang yang menyambarnya dari tiga jurusan, diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget juga dan maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Cepat dia menangkis dengan gojoknya.

"Traaanggg...!"

Phang Khai lantas terdorong mundur satu langkah, sedangkan Kim-thouw Thian-li merasa tangannya tergetar. Bukan main herannya Phang Khai. Seorang wanita yang bertubuh lemah gemulai dan halus itu kenapa bisa memiliki tenaga Yang-kang demikian besarnya? Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga Yang, ehhh, siapa kira sekarang dia menghadapi seorang wanita yang lebih besar tenaganya. la berlaku hati-hati dan mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk mendesak.

Ilmu pedang dari dua orang saudara Phang itu adalah ilmu pedang keturunan warisan nenek moyang mereka. Memang asalnya satu sumber dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, hanya sudah banyak perubahan. Oleh karena itulah maka dalam hal urusan Hoa-san-pai, dua orang kakek ini tidak mau melupakan sumbernya dan ingin membantu Hoa-san-pai.

Seperti juga ilmu pedang Hoa-san-pai, ilmu pedang Phang Khai amat indah dan cepat, hanya bedanya apa bila ilmu pedang Hoa-san-pai mengutamakan tenaga Im, sebaliknya ilmu pedang keluarga Phang ini mengutamakan tenaga Yang.

Ketua Ngo-lian-pai itu, Kim-thouw Thian-yi, adalah murid dari Hek-hwa Kuibo, tentu saja kepandaiannya hebat. Sayangnya, pada tahun-tahun terakhir ini Kim-thouw Thian-li telah hidup dalam kesenangan, selalu menurutkan nafsu untuk mengejar kesenangan duniawi, sehingga dia malas untuk berlatih dan memperkuat tenaga dalamnya.

Sekarang menghadapi seorang tokoh ilmu pedang seperti Phang Khai, biar pun tak akan kalah dalam waktu singkat, juga amat sukar untuk mencapai kemenangan. Pertempuran ini pun berlangsung makin hebat di ruangan itu.

Kwee Sin juga sudah mencabut pedangnya ketika Phang Tui yang merasa penasaran itu menyerangnya dengan pedang juga. Tadinya Phang Tui hendak menangkap Kwee Sin hidup-hidup, maka dia bertangan kosong dan menggunakan ilmu yang amat dia andalkan, yaitu ilmu tangkap Kim-na-jiu. Siapa kira, Kwee Sin selalu mampu membuyarkan ilmu ini dengan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu, semacam ilmu pukulan Kun-lun-pai yang dahsyat sekali. Desakan-desakan ilmu tangkap itu selalu didesak mundur oleh pukulan Pek-lek-jiu, bahkan dia sendiri yang terancam bahaya, maka dia lalu mempergunakan pedang. Kwee Sin juga seorang ahli pedang Kun-lun-pai, maka pertempuran ini pun hebat. Tiba-tiba Kim-thouw Thian-li mengeluarkan suara bersuit panjang sekali.

"Li-moi, kau jangan mencelakai mereka..." Kwee Sin menegur lalu berkata nyaring, "Ji-wi Phang-enghiong, harap sudahi pertempuran ini dan pergilah ji-wi (kalian) dengan aman!"

Akan tetapi dua orang jago kawakan seperti dua saudara Phang itu, sekali bekerja mana mau berhenti setengah jalan? Kini mereka malah mendesak semakin hebat dalam usaha mengalahkan musuh dengan segera dan dapat membawa Kwee Sin dari situ, baik dalam keadaan hidup mau pun sudah mati! Tidak seperti Kwee Sin, mereka tidak tahu apa artinya suitan yang dikeluarkan oleh Kim-thouw Thian-li tadi.

Kiranya suitan itu adalah tanda rahasia bagi ketua Ngo-lian-kauw untuk memanggil anak buahnya. Di mana ketuanya berada di situ pasti berkeliaran banyak para pembantunya yang setia. Maka pada waktu itu, belasan orang tokoh Ngo-lian-kauw memang sudah berkeliaran di sekitar rumah gedung tempat tinggal Kwee Sin, bersiap untuk menghadap sewaktu-waktu ketua mereka memanggil.

Akan tetapi sekali ini, walau pun Kini-thouw Thian-li bersuit sampai tiga empat kali, tidak ada seorang pun anak buahnya yang muncul. la menjadi marah bukan main akan tetapi juga gelisah. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang kakek itu datang dengan banyak teman dan agaknya anak buahnya telah dirobohkan di luar!

Cepat dia mengeluarkan sebuah sapu tangan yang beraneka warna, sapu tangan sutera yang berbau harum sekali. Pada saat itu, pedang Phang Khai sudah menyambar cepat ke arah lehernya. Kim-thouw Thian-li membuang tubuh ke kiri karena tak sempat menangkis lagi sehingga pedang meluncur di atas pundaknya. Tangan kirinya yang mencabut keluar sapu tangan tadi bergerak cepat, serangkum bau yang amat harum menyambar. Phang Khai mencium ganda yang harum luar biasa. Seketika kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang.

"Celaka...!"

Dia berseru dan berusaha mengerahkan lweekang-nya untuk melawan hawa beracun itu. Akan tetapi sia-sia saja. Tubuhnya limbung dan kakek gagah perkasa ini roboh terguling dengan pedang masih di tangan!

Kim-thouw Thian-li tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat dia melompat ke dekat Phang Tui yang masih saling gempur dengan Kwee Sin sambil mengebutkan sapu tangannya. Phang Tui juga tidak dapat menahan, roboh terguling dan pingsan. Kim-thouw Thian-li sudah menggerakkan pedang hendak membacok mati dua orang itu, namun Kwee Sin cepat berseru, "Jangan bunuh mereka!"

Kiranya Kwee Sin tidak terpengaruh oleh racun itu, mengapa? Hal ini tidak aneh. Sudah bertahun-tahun Kwee Sin berhubungan dengan Kim-thouw Thian-li, tentu saja dia sudah banyak pula mengenal senjata-senjata rahasia wanita ini dan juga tahu bagaimana cara menolaknya.

Kim-thouw Thian-li amat marah. "Dua cacing tua ini datang hendak membunuhmu, masa sekarang kau melarangku membunuh mereka?" Pedangnya masih tetap diayun hendak dibacokkan. Pada saat itu dari luar menyambar angin keras. Dua sinar hitam melesat cepat mengenai dua buah lampu di dalam ruangan itu. Seketika penerangan menjadi padam dan keadaan di dalam ruangan itu menjadi gelap gulita.

"Ehh, apa ini...?" Kwee Sin berseru kaget.

"Aduh...!"

Kim-thouw Thian-li mengeluh dan roboh tanpa dapat bergerak lagi. Ternyata hiat-to (jalan darah) di tubuhnya sudah kena ditotok orang dalam kegelapan itu dan ia pun roboh tanpa bergerak lagi.

Kwee Sin merasa tangannya dipegang orang. Cepat dia mengibaskan pegangan itu, tapi mendadak kedua tangannya lemas tak bertenaga lagi. la pun sudah terkena totokan orang yang amat lihai itu, kemudian dia merasa tubuhnya melayang dan berada di atas pundak orang yang memanggulnya.

Biar pun tubuhnya tidak mampu bergerak, pikiran Kwee Sin masih terang dan tahulah dia bahwa dia telah dibawa lari orang, sudah diculik oleh seorang yang berkepandaian tinggi. Berkali-kali orang yang memanggulnya itu meloncat tinggi, melalui genteng rumah orang dan akhirnya melompati tembok kota raja. Orang ini terus lari keluar dari kota raja dengan kecepatan yang mengagumkan.

Ada pun Phang Khai serta Phang Tui yang tadinya roboh pingsan dengan tangan masih mencengkeram gagang pedang masing-masing, merasa ada hawa dingin menyambar ke muka mereka. Phang Khai lebih dulu siuman dari pingsannya. la merasa terheran-heran ketika mendapatkan dirinya telah berada di kebun belakang kelenteng tua di mana dia dan adiknya bersembunyi selama bertugas di kota raja.

Dilihatnya Phang Tui juga menggeletak di rumput. Pedang mereka terletak di situ pula. Cepat Phang Khai menolong adiknya dan mereka berdua tiada habisnya terheran-heran bagaimana mereka yang tadinya roboh oleh hawa beracun Kim-thouw Thian-li sekarang tahu-tahu sudah berada di kebun kelenteng dalam keadaan baik-baik saja.

"Ahh, tentu ada orang menolong kita," kata Phang Khai kagum.

"Twa-ko, jangan-jangan Kwee Sin yang menolong kita! Beberapa kali dia telah mencegah Kim-thouw Thian-li membunuh kita. Kiranya orang muda itu masih memiliki watak setia kawan terhadap orang kang-ouw, tapi kenapa dia terjerumus ke dalam lumpur kehinaan membantu pemerintah dan bersekongkol dengan iblis macam ketua Ngo-lian-kauw itu?"

Phang Khai menggeleng kepala. "Tak mungkin jika Kwee Sin yang menolong kita, malah dalam hal ini terjadi sesuatu yang aneh. Kalau Kwee Sin yang menolong kita, bagaimana dia bisa tahu bahwa kita bermalam di tempat ini? Padahal tempat kita ini adalah rahasia kita sendiri. Selain itu tidakkah kau lihat betapa Kwee Sin sangat takut kepada Kim-thouw Thian-li? Mana bisa dia menolong kita?"

"Memang amat aneh." Phang Tui mengangguk-angguk mengerutkan kening. "Akan tetapi, Twako, yang membikin aku hampir mati penasaran adalah gadis yang bernama nona Lee itu. Kau tentu tahu pula apa yang kumaksud, bukan?"

"Tentu saja. Dia boleh menyamar dengan bentuk bagaimana pun juga, tapi mana bisa dia mengubah matanya? Nona Lee adalah si dia itulah. Hemmm, dia telah mengkhianati kita, memberi tahu kepada Kwee Sin mengenai maksud kita. Orang semacam itu mana bisa dijadikan kepercayaan Si-enghiong? Terang berbahaya sekali. Dengan pengkhianatannya ini jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang pengkhianat, seorang antek Mongol tak bedanya seperti Kwee Sin. Biarlah kau lihat saja sikapku besok lusa malam pada saat kita bertemu dengan mereka."

Tiba-tiba Phang Tui yang tadi termenung menepuk pahanya. "Waah, kenapa aku sampai lupa?"

"Apa maksudmu?" kakaknya bertanya.

"Twako, terang bahwa tadi ada orang pandai menolong kita sehingga dalam keadaan pingsan di ruangan gedung Kwee Sin kita bisa terbebas dari kematian. Siapakah kau kira yang telah menolong kita tadi?"

"Mana aku tahu? Aku pun pingsan seperti kau."

"Twako, sudah lama kita mendengar bahwa dua orang pemimpin pejuang yang bertugas di kota raja, yaitu Ji-enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-enghiong (Pendekar ke empat) memiliki ilmu yang amat tinggi. Apakah bukan mereka yang telah menolong?"

"Ahhh, benar juga kata-katamu ini. Yang menolong kita tentulah orang yang mengerti keadaan dan tugas kita. Siapa pula kalau bukan mereka? Tapi yang manakah di antara kedua enghiong itu? Dan siapa pula sebenarnya mereka ini yang selalu bekerja penuh rahasia?"

Dua orang kakak beradik itu berhadapan dengan sebuah rahasia dan betapa pun mereka memutar otak menduga-duga, tetap mereka tidak dapat memecahkannya.


BERSAMBUNG KE Raja Pedang Jilid 21


Raja Pedang Jilid 20

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

RAJA PEDANG JILID 20

Di masa itu, perjuangan rakyat yang berupa pemberontakan-pemberontakan di sana-sini terhadap pemerintah penjajah makin lama semakin berkembang luas. Pemerintah Goan yang didirikan oleh bangsa Mongol mulai goyah kedudukannya. Hampir di seluruh daerah pedalaman selalu terjadi perang gerilya yang dilakukan para petani di bawah pimpinan orang-orang gagah.

Pemberontakan-pemberontakan ini bagaikan api yang makin lama semakin besar, makin lama makin menjalar ke dekat kota raja. Oleh karena ini maka keluarga Kerajaan Goan berkhawatir sekali dan tak dapat enak makan nyenyak tidur. Penjagaan di sekitar wilayah kota raja diperketat, mata-mata pun disebar di seluruh kota dan desa. Orang-orang dengan kepandaian tinggi yang dapat ditarik ke pihak pemerintah Mongol dengan pancingan harta benda dan kedudukan tinggi, dikumpulkan di kota raja sebagai pelindung keselamatan keluarga Kerajaan Goan.

Sunyi malam itu di sebuah dusun yang letaknya di pinggiran kota raja sebelah selatan. Malam belum larut benar, belum pukul sembilan. Akan tetapi keadaan sudah amat sunyi dan ketegangan seperti biasanya menyelubungi semua tempat yang berada dekat kota raja. Hal ini tidak mengherankan karena sejak terjadinya pemberontakan-pemberontakan, di sekitar kota raja selalu terjadi hal-hal yang hebat.

Seakan-akan terjadi pertentangan antara petugas-petugas keamanan dan para pejuang yang keduanya secara rahasia melakukan tugasnya masing-masing. Semacam perang rahasia antara para mata-mata pemerintah kontra para mata-mata pejuang. Para pejuang yang berahasia itu sangat gagah berani dan entah sudah berapa banyaknya pembesar Mongol dan perwira yang tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamar masing-masing. Akan tetapi tidak sedikit pula mata-mata pejuang itu tertangkap dan diseret ke depan pengadilan yang cepat memutuskan hukuman mati bagi mereka ini.

Dua bayangan manusia berkelebat cepat sekali di dalam kegelapan malam itu. Dengan ginkang yang tinggi kedua orang ini berlompatan menuju ke sebuah rumah yang tua dan buruk, tapi cukup besar. Kiranya rumah ini adalah sebuah rumah penginapan merangkap warung nasi yang sederhana, sebagai tempat menginap para saudagar dan pelancong yang hendak memasuki kota raja.

Dua bayangan itu memasuki rumah dengan jalan aneh, yaitu melalui belakang dengan melompati pagar tembok. Di luar sebuah jendela mereka berhenti dan mengetuk jendela itu perlahan tiga kali. Dari dalam ada jawaban ketukan dua kali lalu jendela terbuka. Dua orang itu sekali melompat sudah melayang masuk. Kamar itu cukup luas. Di dalamnya sudah duduk tiga orang, yaitu seorang berpakaian tentara berusia empat puluh tahun, seorang laki-laki pengemis yang berpakaian jembel bertubuh kurus dan pucat berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang seorang adalah seorang nenek tua bongkok berambut putih.

Ada pun dua orang yang baru datang ini ternyata adalah dua orang kakek berpakaian seperti petani bercaping topi tani lebar. Yang hebat adalah barang yang dibawa oleh dua orang itu. Ternyata sekarang di bawah penerangan lampu bahwa dua orang kakek petani ini masing-masing menjambak rambut sebuah kepala manusia! Begitu masuk, keduanya tertawa dan melemparkan dua buah kepala orang di atas meja.

Tiga orang itu segera bangkit dan memandang penuh perhatian ke arah dua buah kepala itu. Mereka mengenal dua buah kepala itu sebagai kepala dua orang perwira pemerintah Mongol yang berkuasa di kota tak jauh dari situ.

Segera nenek itu bangkit dan menyambar dua buah kepala tadi, dimasukkan ke dalam keranjang lalu dia berkata, "Lebih dahulu kusingkirkan kepala anjing ini." Setelah berkata demikian dia menyelinap ke belakang dan menghilang.

Tentara dan pengemis itu menjura kepada dua orang petani yang baru datang.

"Tentulah ji-wi (saudara berdua) ini dua saudara Phang dari Hun-lam, bukan?" bertanya pengemis itu.

Dua orang kakek petani itu menjura dan yang tertua menjawab, "Benar, siauwte adalah Phang Khai dan ini adikku Phang Tui. Karena tergesa-gesa, kami tak dapat memilih tanda pengenal yang lebih berharga, harap maafkan."

Nenek yang tadi pergi ke belakang membawa dua buah kepala, kini sudah datang kembali sambil mengomel, "Kepala perwira atau kepala pembesar sama saja, dapat mengurangi jumlah musuh cukup baik. Sayangnya ji-wi terlampau sembrono. Ji-wi adalah tokoh-tokoh terkenal di Hun Lam, mengapa datang ke sini tanpa menyamar?"

Phang Khai tersenyum memandang nenek itu, lalu berkata, "Aku sudah lama mendengar bahwa orang kepercayaan Si-enghiong (pendekar ke empat) adalah seorang wanita muda yang gagah dan lihai. Kau menyamar sebagai nenek, itu bagus sekali, akan tetapi bagai mana seorang nenek dapat memiliki sepasang mata sejeli ini?"

Nenek itu kelihatan terkejut. "Ah, Phang-lohiap benar-benar bermata tajam sekali. Apakah penyamaranku masih kurang sempurna?" Suara nenek itu yang tadi parau dan gemetar bagaikan suara orang tua, sekarang berubah menjadi nyaring dan seperti suara wanita muda.

Phang Khai tertawa. "Ah, tidak, sama sekali tidak, Nona. Hanya aku mau menyatakan bahwa jika menyamar malah lebih berbahaya dan mencurigakan karena tidak sewajarnya. Bentuk dan suara dapat disamar, akan tetapi bagaimana dengan warna dan sinar mata? Sudahlah, andai kata anjing-anjing Mongol itu mengetahui kedatangan kami, apa sih yang kami takuti? Paling-paling kalau tidak bisa membasmi mereka, kita yang akan kehilangan nyawa! Bukankah sudah lama kita menyerahkan nyawa kita yang tak berharga ini kepada tanah air dan bangsa? Ha-ha-ha!"

Tentara itu yang sejak tadi diam saja sekarang mencela, "Ucapan Phang-twako tak dapat kuterima. Memang bagi seorang pejuang, mati hidupnya sudah tak berarti lagi asal demi perjuangan. Akan tetapi Phang-twako harus ingat bahwa tugas kita dalam perjuangan ini agak berbeda dengan tugas pejuang yang bertempur melawan musuh. Kalau kita sedang bertugas di bidang itu, tentu saja aku yang bodoh takkan ragu-ragu buat mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi dalam kedudukan kita sekarang yang bertugas sebagai mata-mata, mengumpulkan keterangan dan dalam hal ini, mengabdi kepada Si-enghiong, tentu saja segala hal harus kita lakukan secara rahasia agar supaya gerakan kita ini jangan sampai terbongkar. Seorang saja tertangkap maka bisa membahayakan seluruh anggota gerakan. Bukankah celaka kalau begini?

Phang Khai dan Phang Tui memandang tajam kepada ‘tentara Mongol’ itu, lalu Phang Tui menjura. "Betul sekali ucapan ini," katanya kagum.

Phang Khai tiba-tiba berkata, "Saudara, maafkan aku!"

Dan tahu-tahu dia telah mengirim serangan, tiga pukulan bertubi menyerang leher, dada dan perut orang berpakaian tentara Mongol itu. Orang itu kaget juga karena dia maklum betapa lihainya petani tua ini. Akan tetapi secepat kilat kedua tangannya diputar dalam lingkaran untuk menangkis, malah dia segera dapat mencengkeram pergelangan tangan kanan Phang Khai sambil berseru, "Phang-twako harap jangan main-main!"

Phang Khai menarik tangannya sambil tertawa bergelak. "Aha! Kiranya Bouw-enghiong yang menyamar sebagai tentara. Aduh, penyamaranmu benar-benar hebat, tentu dapat mengelabui musuh!"

Orang itu pun tertawa. Memang dia adalah Bouw Hin jago Bi-nam yang berjuluk Kang-jiu (Tangan Baja). Kiranya tadi Phang Khai sengaja menyerangnya untuk memancing agar ilmunya Kang-jiauw-ciang (Tangan Cakar Baja) tadi dikeluarkan. Segera Phang Khai bisa mengenal siapa sebetulnya teman seperjuangan yang menyamar sebagai tentara musuh ini.

"Bagus, Phang-twako memang cerdik”, kata Bouw Hin sambil tertawa. "Tapi Phang-twako tentu belum mengenal dia ini.” Ia menuding kepada pengemis tadi. ”Biarlah kuperkenalkan dia kepada ji-wi Phang-twako. Dia ini adalah she Lim."

"Aha, bukankah Lim Seng yang berjuluk Kim-mouw-sai (Singa Bulu Emas) dan Kwi-bun?" kata Phang Tui.

Pengemis itu berdiri dan menjura. “Ji-wi Phang-enghiong benar-benar bermata tajam."

Nona yang menyamar sebagai seorang nenek itu berkata, "Maaf, aku sendiri tidak boleh memperkenalkan diri. Tidak tahu ada urusan penting apakah yang hendak ji-wi sampaikan kepada Si-enghiong?"

"Hemm, urusan ini penting sekali. Kami harus berjumpa sendiri dengan Sienghiong," kata Phang Khai.

‘Nenek’ itu mengerutkan kening, lalu menggeleng kepalanya. "Phang-lopek apakah tidak pernah mendengar dari teman-teman bahwa adalah hal yang amat tidak mungkin orang menemui Si-enghiong? Si-enghiong, seperti juga Sam-enghiong (pendekar ke tiga) adalah tokoh-tokoh rahasia yang tak boleh bertemu teman seperjuangan di kota raja ini, karena hal itu sangat berbahaya. Sekali saja musuh membongkar rahasia pribadi Sam-enghiong dan Si-enghiong, akan rusak binasalah semua usaha kita yang berjuang di bawah tanah di kota raja ini. Segala kepentingan harap Lopek beri tahukan aku saja karena akulah satu-satunya orang yang dapat menghubungi Si-enghiong."

Phang Khai menghela napas. "Aku sudah mendengar akan hal itu, tapi ini adalah urusan yang amat penting." la tampak ragu-ragu.

Melihat keraguan ini, Kang-jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara Mongol itu berkata, nada suaranya tegas, "Siapa pun juga jangan harap dapat bertemu dengan Si-enghiong, malah aku sendiri pun belum pernah bertemu dengannya, apa lagi melihatnya atau mengenal siapa dia. Kalau ada urusan yang menyangkut kepentingan perjuangan, lekas ji-wi Twako memberi tahu kepada Nyonya Liong ini. Kalau berkeras hendak menemui Si-enghiong, lebih baik berita itu kalian bawa pergi lagi saja." Biar pun kata-katanya keras, akan tetapi lucu juga nenek yang nyata-nyata adalah penyamaran seorang nona muda ini disebut sebagai ‘nyonya Liong’.

Phang Khai menjadi merah mukanya. "Maaf kalau tadi aku ragu-ragu. Sesungguhnya ada banyak hal yang akan kusampaikan. Pertama-tama adalah mengenai pertemuan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai di puncak Hoa-san. Kami berdua menghadiri pertemuan itu dan..."

Nyonya Liong tersenyum, aneh kalau tersenyum karena seorang nenek setua itu giginya putih berjajar rapi.

"Phang lopek tidak perlu menceritakan hal ini. Ketahuilah bahwa Si-enghiong sendiri juga hadir dalam pertemuan itu."

Kedua orang saudara Phang ini tertegun dan saling pandang. Mereka adalah dua orang petani yang ketika dalam pertemuan itu mendapat tempat sebagai tamu kehormatan, akan tetapi tidak melihat adanya orang yang patut menjadi Si-enghiong, pemimpin ke empat dari pasukan mata-mata di kota raja. Mungkin dia bersembunyi di antara rombongan para tamu yang tidak penting sehingga sukar dikenal, pikir mereka.

"Ahh, kalau begitu hal itu tak perlu kami kemukakan lagi," kata Phang Khai.

"Sekarang soal ke dua. Aku ingin memberi tahukan mengenai kedudukan teman-teman seperjuangan kita. Saudara-saudara kita Su Souw Hwee beserta Tan Yu Liang sekarang telah mendapat kemajuan dan memperluas gerakan pemberontakan di sepanjang Sungai Huang-ho. Thio Si Cen sudah menyeberang Sungai Hui dan pasukan saudara Tan Hok sudah mendekati kota raja dari pergerakannya di sepanjang Sungai Yang-ce. Akan tetapi, aku mendapat berita bahwa gerakan Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja mendapat pukulan hebat dari bala tentara musuh dan membutuhkan bantuan segera."

Nyonya Liong mengangguk-angguk. "Kami sudah mengetahui sebagian besar beritamu. Gerakan Pek-lian-pai di sebelah barat kota raja memang sengaja dijadikan umpan agar musuh mengerahkan banyak tenaga ke sebelah sana. Nanti kalau sudah tiba saatnya, pasukan-pasukan kita dari selatan dan timur akan menyerbu."

Phang Khai kagum sekali. "Ahh, sama sekali tidak pernah kusangka bahwa kalian dapat bekerja sesempurna itu. Benar-benar menggembirakan sekali. Akhirnya, harap kau dapat sampaikan kepada Si-enghiong bahwa kedatangan kami berdua ini selain menyampaikan berita dan menerima tugas baru, juga bahwa kami mengambil keputusan untuk mencari tahu tempat tinggal Kwee Sin murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu. Harap saudara-saudara memberi tahu di mana kami dapat menemukannya. Kami percaya bahwa Sam-wi (saudara bertiga) sudah pasti akan dapat memberi petunjuk."

Nyonya Liong tersenyum sambil memandang tajam. "Tentu saja kami tahu di mana murid Kun-lun-pai itu yang sekarang sudah menjadi pembantu pemerintah dan bekerja sama dengan orang-orang Ngo-lian-kauw. Akan tetapi, pada saat seperti sekarang ini, di mana tenaga semua rakyat dibutuhkan untuk perjuangan menghalau penjajah, bagaimana Ji-wi masih ada kesempatan untuk mencampuri segala macam urusan pribadi?

"Keliru... keliru pendapat seperti itu!" Phang Tui yang sejak tadi membiarkan kakaknya bicara mewakili mereka berdua, sekarang berkata dengan sungguh-sungguh.

"Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai bertengkar terus sampai-sampai tidak ada waktu membantu kita. Semua ini gara-gara si Kwee Sin seorang. Kami berdua berpendapat bahwa apa bila kami dapat menangkap Kwee Sin, mati atau hidup dan membawanya ke Hoa-san, tentu pihak Hoa-san mau pun pihak Kun-lun akan menghabisi permusuhan mereka dan apa bila dua golongan itu sudah berdamai lalu suka membantu kita, bukankah pekerjaan ini juga merupakan pekerjaan yang amat berguna bagi perjuangan?"

Nyonya Liong mengangguk-angguk, sedangkan kedua orang temannya juga menyatakan kebenaran ucapan Phang Tui. “Jadi ji-wi berkeras hendak menangkap Kwee Sin terlebih dulu?"

Ketika dua orang kakek petani itu mengangguk, Nyonya Liong lalu berkata, "Baiklah kalau begitu. Tempat tinggal Kwee Sin adalah di gedung ke lima sebelah barat perempatan jembatan Naga, rumah yang di atasnya ada hiasan ukiran naga. Harap jiwi berhati-hati karena selalu dia bersama dengan ketua Ngo-lian-kauw yang berkepandaian tinggi. Ji-wi kerjakan dulu maksud hati ji-wi, setelah itu baru kita mengadakan pertemuan lagi, tiga hari kemudian pada waktu seperti ini dan bertempat di sini pula, dan pada waktu itulah saya akan menyampaikan tugas-tugas baru bagi ji-wi. Nah, selamat berpisah."

Mereka lalu berpisah dan keluar dari rumah secara diam-diam. Hanya nyonya Liong dan Kang-jiu Bouw Hin yang berpakaian tentara itu keluar secara biasa saja, dari pintu depan tanpa ada yang menaruh curiga. Ketika dua orang saudara Phang itu melompat ke dalam gelap keluar dari tembok yang mengeliingi rumah, mereka melihat bayangan berkelebat di dekat mereka. Mereka kaget, akan tetapi bayangan itu berbisik,

"Selamat sampai bertemu kembali, ji-wi Phang-twako."

Ternyata bayangan itu adalah si pengemis tadi, yaitu Kim-mouw-sai Lim Seng yang cepat meloncat ke kiri dan menghilang di dalam gelap. Dua orang saudara Phang itu merasa sangat kagum karena ginkang dari orang she Lim itu ternyata hebat juga…..

**********

Lima orang rahasia yang berkumpul dan mengadakan pertemuan rahasia di malam hari itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi gerak-gerik mereka telah diintai oleh Beng San. Pemuda ini dalam usahanya untuk mencari Kwee Sin, telah pula sampai di kota raja dan kebetulan sekali bermalam di rumah penginapan sederhana itu.

Malam tadi secara kebetulan dia yang berada di kamarnya mendengar desir angin yang hanya terdengar oleh seorang yang memiliki Iweekang setinggi dia. Dia terkejut dan tahu bahwa ada orang mempergunakan ilmu ginkang bergerak di luar rumah, maka cepat dia keluar dari kamarnya secara diam-diam dan melihat ada dua bayangan berkelebat, yaitu bayangan kedua orang saudara Phang. Demikianlah, secara diam-diam dia mengintai dan mendengar segala percakapan yang dilakukan oleh lima orang itu.

Hatinya kagum bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa lima orang itu adalah pejuang-pejuang, orang-orang gagah seperti Tan Hok yang rela mengorbankan nyawanya demi perjuangan bangsa untuk menghalau penjajah. Akan tetapi, lebih girang lagi hatinya karena tanpa sengaja dia mendapat petunjuk di mana dia bisa mencari Kwee Sin.

Malam berikutnya Beng San sudah mengikuti lagi perjalanan dua orang saudara Phang yang menuju ke rumah gedung Kwee Sin seperti yang telah ditunjuk oleh nyonya Liong pada kemarin malam. la mengenal dua orang ini sebagai tamu terhormat di Hoa-san-pai, maka diam-diam dia tidak mau mengganggu mereka.

"Betapa pun juga, mengajak Kwee Sin datang ke Hoa-san-pai adalah tugasku," pikirnya. "Aku yang sudah berjanji dan akulah yang harus memenuhi janji itu."

Dengan ginkang mereka yang sudah tinggi, dua orang saudara Phang itu dapat memasuki halaman rumah gedung itu dengan mudah. Mereka melompati pagar tembok dan merasa girang karena ternyata rumah gedung ini tidak ada yang menjaga. Di lain saat mereka sudah mengintai ke sebuah kamar di mana duduk seorang laki-laki yang tampan dan gagah, berusia tiga puluh tahun lebih. Wajah yang tampan itu angker dan agung, sedang menulis sesuatu di atas meja.

Tak jauh dari situ duduk pula seorang perempuan cantik berpakaian mewah, memandang kepada lelaki itu sambil tersenyum dan mengebut-ngebut tubuhnya dengan sebuah kipas. Laki-laki itu bukan lain adalah Pek-jiu Kwee Sin, orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, jago muda Kun-lun-pai yang telah mengakibatkan keributan antara Hoa-san dan Kun-lun. Ada pun perempuan cantik yang pesolek dan bersikap genit itu bukan lain adalah Ngo-lian Kauwcu (ketua Ngo-Lian kauw) yang berjuluk Kim-thouw Thian li (Dewi Kepala Emas) dan yang oleh Kwee Sin dikenal dengan nama Coa Kim Li, gadis yang sudah merayu dan merobohkan hatinya.

”Sin-ko (kanda Sin),” Kim-thouw Thian-li berkata dengan suara merdu, "malam ini kau harus menemani aku. Di rumah amat sunyi, jangan kau sibuk dengan pekerjaanmu. Tak usah kau membanting tulang, para pembesar sampai Hong-siang (kaisar) sendiri cukup maklum betapa besarnya jasamu kepada pemerintah."

"Aku banyak pekerjaan, Li-moi (adik Li). Biarlah besok siang kalau aku pulang dari kantor, aku akan mengunjungi rumahmu. Kau adalah seorang ketua perkumpulan besar seperti Ngo-lian-kauw, bagaimana bisa kesepian?" Kwee Sin tertawa dan menunda tulisannya.

"Biar pun ada seribu orang teman, mana bisa dibandingkan dengan kau seorang?" Coa Kim Li berkata genit lalu menarik bangkunya mendekat.

Pintu kamar diketok dari luar. Cepat-cepat Kim-thouw Thian-li menjauhkan bangkunya lagi. Ketika pelayan masuk, Kwee Sin sudah bersikap kereng seperti tadi.

"Kwee-ciangkun, di luar ada Lee-siocia (nona Lee) yang memohon menghadap Ciangkun (Panglima)," pelayan itu memberi laporan dengan sikap hormat dan tanpa mengangkat muka.

"Baik, minta nona Lee masuk ke ruangan ini," jawab Kwee Sin.

Pelayan itu memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan.

"Huh, Sin-ko, awas kau kalau di belakangku kau berani main gila dengan nona muda itu!" tiba-tiba Kim-thouw Thian-li berkata lirih, matanya bersinar penuh cemburu.

Kwee Sin tersenyum pahit. "Kim Li-moi apa-apaan cemburu ini? Kau tahu aku bukan... bukan mata keranjang dan kau tahu pula bahwa Lee-siocia adalah orang yang mendapat kepercayaan semua panglima di kota raja, juga lihai ilmu silatnya. Pertemuanku dengan dia tentu hanya berhubungan dengan pekerjaan, mengapa kau malah menyangka yang bukan-bukan? Dia datang, kau pun di sini. Boleh kau saksikan sendiri apa yang hendak dia sampaikan kepadaku!"

"Huh, biar dia lihai, siapa takut padanya? Dan siapa sudi bertemu dengannya? Melihat mukanya yang muda, jangan-jangan timbul seleraku untuk mencakar mukanya! Aku akan bersembunyi di belakang pintu. Awas kau, sekali saja kau dan dia main gila, kalian akan kubunuh!”

Dengan gerakan cepat sekali tubuhnya berkelebat dan menghilang di balik pintu samping. Kwee Sin menarik napas lega. Wajahnya nampak girang dan tersenyum pada saat pintu depan terbuka dan seorang nona berpakaian kuning berjalan masuk.

"Nona Lee, kau membawa kabar penting apakah?" Kwee Sin menyambut kedatangan nona ini dengan suara nyaring gembira. "Apakah kali ini kau diutus oleh Pangeran Souw? Ataukah Tan-ciangkun yang mengutusmu?"
cerita silat karya kho ping hoo

Nona berpakaian kuning itu sangat dikenal di kalangan atas kota raja. Dia bernama Lee Giok, puteri dari seorang bangsawan di kota raja. Usianya baru sembilan belas tahun. Wajahnya yang cantik itu nampak muram dan seperti diliputi kesedihan, matanya tajam dan gagang pedang menonjol di pinggangnya. Biar pun ia masih muda, namun ia sudah terkenal sebagai seorang yang amat berjasa dalam menindas kaum pemberontak berkat ilmu silatnya yang tinggi dan otaknya yang cemerlang.

Menghadapi pertanyaan Kwee Sin, nona itu menghela napas, memandang kepada Kwee Sin dengan matanya yang tajam, lalu katanya perlahan, "Kwee ciangkun, kalau memang Kim-thouw Thian-li sudah berada di sini, mengapa ia malah bersembunyi dan mengintai? Kuharap Ciangkun suka mempersilakan dia keluar karena kedatanganku ini toh bukan hendak mengadakan pertemuan yang bukan-bukan!"

Tentu saja Kim-thouw Thian-li merasa kaget sekali. Akan tetapi dia pun seorang wanita yang cerdik. Dengan tenang ia muncul dari balik pintu dan tertawa.

"Hebat benar kecerdikan nona Lee! Tadi memang saudara Kwee dan aku sengaja hendak menguji kecerdikanmu yang sudah lama kudengar dibicarakan orang, kiranya benar-benar kau cerdik. Hanya aku yang tolol, tidak ingat bahwa kepergianku dari sini meninggalkan ganda harum. Ehm, benar lihai!"

Diam-diam nona itu, Lee Giok terkejut juga. la dipuji cerdik, namun ketua Ngo-lian-kauw itu dengan sendirinya telah pula membuktikan bahwa otaknya juga tidak kalah cerdiknya. Memang tepat sekali kata-katanya tadi, dia dapat mengetahui bahwa Kim-thouw Thian-li baru saja meninggalkan ruangan itu karena tercium olehnya ganda harum seperti yang biasa ia cium kalau ia bertemu dengan ketua Ngo-lian-kauw itu.

Setiap wanita sudah tentu memiliki kesukaan masing-masing tentang wangi-wangian yang dipakainya dan wangi-wangian yang dipakai oleh Kim-thouw Thian-li mempunyai aroma yang khas.

"Kwee-ciangkun, kedatanganku tak lain hanya untuk menyampaikan peringatan padamu. Ada berita sampai kepadaku bahwa pada waktu ini di kota raja datang dua orang saudara Phang dari Hun-lam yang sengaja mencari Kwee-ciangkun dan hendak memaksa supaya Kwee-ciangkun, mati atau hidup, agar ikut mereka pergi ke Hoa-san."

Berubah wajah Kwee Sin mendengar berita ini. "Nona, apakah kau maksudkan Phang Khai dan Phang Tui Sepasang Naga dari Hun-lam?" katanya setengah berbisik.

Nona itu mengangguk. Wajahnya tampak makin murung, kemudian ia membalikkan tubuh dan berkata, "Tugasku sudah selesai, Ciangkun. Aku tak dapat lama-lama di sini, khawatir kalau-kalau membuat orang lain mendongkol saja."

Tanpa melirik kepada Kim-thouw Thian-li yang disindirnya itu, nona ini segera keluar dari ruangan itu dengan langkah ringan dan cepat sekali.

"Hi-hi-hi, baru mendengar ada dua orang tua bangka dari Hun-lam datang saja, kau sudah kelihatan gelisah," kata Kim-thouw Thian-li.

Li Moi, jangan kau anggap ringan dua orang kakek itu. Nama besar Phang-hengte (kakak beradik Phang) dari Hun-lam sudah lama aku dengar. Aku memang tidak takut, hanya sebab-sebab mengapa mereka hendak menangkapku inilah yang menggelisahkan hati."

"Sin-ko, mengapa kau begini bodoh? Mudah sekali diduga. Mereka tentunya bergabung dengan para pemberontak maka hendak memusuhimu, atau mungkin sekali mereka itu disuruh oleh perempuan she Liem yang tak tahu malu itu untuk...”

"Li-moi, kau berjanji tidak akan menyebut-nyebut namanya!" Tiba-tiba Kwee Sin berkata, jidatnya berkerut tak senang.

"Hi-hi-hi, sudahlah. Hanya dua ekor anjing tua dari Hun-lam itu untuk apa diributkan? Biar saja mereka datang, masih ada aku di sini, mereka bisa berbuat apa terhadap dirimu?"

Phang Khai dan Phang Tui adalah dua orang kakek ternama di Hun-lam. Mendengar mereka dimaki anjing-anjing tua oleh wanita itu, tentu saja mereka tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Serentak mereka meloncat dan menerobos masuk ke dalam ruangan itu.

"Kwee Sin, kami dua saudara Phang dari Hun-lam datang ke sini untuk menjemput kau ke Hoa-san!" kata Phang Khai sambil melirik penuh kemarahan ke arah Kim-thouw Thian-li yang sudah berdiri dengan alis berkerut marah.

Kwee Sin juga berdiri dan menjawab, "Ji-wi Phang-enghiong, dengan maksud apakah ji-wi hendak mengajak siauwte pergi ke sana?"

"Murid Kun-lun-pai yang murtad. Kau yang telah menjadi biang keladi permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Kau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu terhadap Hoa-san-pai!" kata Phang Tui tak sabar lagi.

Kwee Sin menghela napas. “Ji-wi Phang-enghiong, urusan itu adalah urusan pribadiku, harap ji-wi sebagai orang luar jangan mencampurinya. Mengingat ji-wi adalah tokoh-tokoh terkemuka dari Hun-lam, maka siauwte persilakan ji-wi pergi dengan baik-baik."

"Setan, siapa takut kepadamu? Kami sudah bersumpah untuk mebawamu ke Hoa-san, hidup atau mati. Tui-te (adik Tui), kau tangkap dia, biar aku menjaga siluman ini!"

Phang Tui maju dan menubruk Kwee Sin dengan Ilmu Kim-na-jiu-hoat. Kedua lengannya bergerak-gerak, yang kanan mencengkeram ke arah pundak kiri sedangkan tangan kirinya menotok jalan darah di leher. Terpaksa Kwee Sin cepat menggeser kaki ke belakang dan memutar lengan untuk menangkis. Tentu saja jago muda Kun-lun-pai ini tidak mau begitu saja membiarkan dirinya ditangkap.

Sambil mengeluarkan suara ketawa mengejek Kim-thonw Thian-li menggerakkan kedua tangannya dan tangan kanannya sudah memegang sebuah golok tipis kecil yang sangat indah bentuk dan gagangnya, sedangkan tangan kirinya sudah meloloskan sehelai sapu tangan merah yang panjang.

Phang Khai maklum bahwa menghadapi wanita ketua Ngo-lian-pai ini tak perlu dia berlaku sungkan lagi. Maka sekali dia menggereng, dia telah melakukan serangan dengan pedang di tangan. Melihat sinar pedang yang menyambarnya dari tiga jurusan, diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget juga dan maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Cepat dia menangkis dengan gojoknya.

"Traaanggg...!"

Phang Khai lantas terdorong mundur satu langkah, sedangkan Kim-thouw Thian-li merasa tangannya tergetar. Bukan main herannya Phang Khai. Seorang wanita yang bertubuh lemah gemulai dan halus itu kenapa bisa memiliki tenaga Yang-kang demikian besarnya? Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga Yang, ehhh, siapa kira sekarang dia menghadapi seorang wanita yang lebih besar tenaganya. la berlaku hati-hati dan mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk mendesak.

Ilmu pedang dari dua orang saudara Phang itu adalah ilmu pedang keturunan warisan nenek moyang mereka. Memang asalnya satu sumber dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, hanya sudah banyak perubahan. Oleh karena itulah maka dalam hal urusan Hoa-san-pai, dua orang kakek ini tidak mau melupakan sumbernya dan ingin membantu Hoa-san-pai.

Seperti juga ilmu pedang Hoa-san-pai, ilmu pedang Phang Khai amat indah dan cepat, hanya bedanya apa bila ilmu pedang Hoa-san-pai mengutamakan tenaga Im, sebaliknya ilmu pedang keluarga Phang ini mengutamakan tenaga Yang.

Ketua Ngo-lian-pai itu, Kim-thouw Thian-yi, adalah murid dari Hek-hwa Kuibo, tentu saja kepandaiannya hebat. Sayangnya, pada tahun-tahun terakhir ini Kim-thouw Thian-li telah hidup dalam kesenangan, selalu menurutkan nafsu untuk mengejar kesenangan duniawi, sehingga dia malas untuk berlatih dan memperkuat tenaga dalamnya.

Sekarang menghadapi seorang tokoh ilmu pedang seperti Phang Khai, biar pun tak akan kalah dalam waktu singkat, juga amat sukar untuk mencapai kemenangan. Pertempuran ini pun berlangsung makin hebat di ruangan itu.

Kwee Sin juga sudah mencabut pedangnya ketika Phang Tui yang merasa penasaran itu menyerangnya dengan pedang juga. Tadinya Phang Tui hendak menangkap Kwee Sin hidup-hidup, maka dia bertangan kosong dan menggunakan ilmu yang amat dia andalkan, yaitu ilmu tangkap Kim-na-jiu. Siapa kira, Kwee Sin selalu mampu membuyarkan ilmu ini dengan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu, semacam ilmu pukulan Kun-lun-pai yang dahsyat sekali. Desakan-desakan ilmu tangkap itu selalu didesak mundur oleh pukulan Pek-lek-jiu, bahkan dia sendiri yang terancam bahaya, maka dia lalu mempergunakan pedang. Kwee Sin juga seorang ahli pedang Kun-lun-pai, maka pertempuran ini pun hebat. Tiba-tiba Kim-thouw Thian-li mengeluarkan suara bersuit panjang sekali.

"Li-moi, kau jangan mencelakai mereka..." Kwee Sin menegur lalu berkata nyaring, "Ji-wi Phang-enghiong, harap sudahi pertempuran ini dan pergilah ji-wi (kalian) dengan aman!"

Akan tetapi dua orang jago kawakan seperti dua saudara Phang itu, sekali bekerja mana mau berhenti setengah jalan? Kini mereka malah mendesak semakin hebat dalam usaha mengalahkan musuh dengan segera dan dapat membawa Kwee Sin dari situ, baik dalam keadaan hidup mau pun sudah mati! Tidak seperti Kwee Sin, mereka tidak tahu apa artinya suitan yang dikeluarkan oleh Kim-thouw Thian-li tadi.

Kiranya suitan itu adalah tanda rahasia bagi ketua Ngo-lian-kauw untuk memanggil anak buahnya. Di mana ketuanya berada di situ pasti berkeliaran banyak para pembantunya yang setia. Maka pada waktu itu, belasan orang tokoh Ngo-lian-kauw memang sudah berkeliaran di sekitar rumah gedung tempat tinggal Kwee Sin, bersiap untuk menghadap sewaktu-waktu ketua mereka memanggil.

Akan tetapi sekali ini, walau pun Kini-thouw Thian-li bersuit sampai tiga empat kali, tidak ada seorang pun anak buahnya yang muncul. la menjadi marah bukan main akan tetapi juga gelisah. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang kakek itu datang dengan banyak teman dan agaknya anak buahnya telah dirobohkan di luar!

Cepat dia mengeluarkan sebuah sapu tangan yang beraneka warna, sapu tangan sutera yang berbau harum sekali. Pada saat itu, pedang Phang Khai sudah menyambar cepat ke arah lehernya. Kim-thouw Thian-li membuang tubuh ke kiri karena tak sempat menangkis lagi sehingga pedang meluncur di atas pundaknya. Tangan kirinya yang mencabut keluar sapu tangan tadi bergerak cepat, serangkum bau yang amat harum menyambar. Phang Khai mencium ganda yang harum luar biasa. Seketika kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang.

"Celaka...!"

Dia berseru dan berusaha mengerahkan lweekang-nya untuk melawan hawa beracun itu. Akan tetapi sia-sia saja. Tubuhnya limbung dan kakek gagah perkasa ini roboh terguling dengan pedang masih di tangan!

Kim-thouw Thian-li tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat dia melompat ke dekat Phang Tui yang masih saling gempur dengan Kwee Sin sambil mengebutkan sapu tangannya. Phang Tui juga tidak dapat menahan, roboh terguling dan pingsan. Kim-thouw Thian-li sudah menggerakkan pedang hendak membacok mati dua orang itu, namun Kwee Sin cepat berseru, "Jangan bunuh mereka!"

Kiranya Kwee Sin tidak terpengaruh oleh racun itu, mengapa? Hal ini tidak aneh. Sudah bertahun-tahun Kwee Sin berhubungan dengan Kim-thouw Thian-li, tentu saja dia sudah banyak pula mengenal senjata-senjata rahasia wanita ini dan juga tahu bagaimana cara menolaknya.

Kim-thouw Thian-li amat marah. "Dua cacing tua ini datang hendak membunuhmu, masa sekarang kau melarangku membunuh mereka?" Pedangnya masih tetap diayun hendak dibacokkan. Pada saat itu dari luar menyambar angin keras. Dua sinar hitam melesat cepat mengenai dua buah lampu di dalam ruangan itu. Seketika penerangan menjadi padam dan keadaan di dalam ruangan itu menjadi gelap gulita.

"Ehh, apa ini...?" Kwee Sin berseru kaget.

"Aduh...!"

Kim-thouw Thian-li mengeluh dan roboh tanpa dapat bergerak lagi. Ternyata hiat-to (jalan darah) di tubuhnya sudah kena ditotok orang dalam kegelapan itu dan ia pun roboh tanpa bergerak lagi.

Kwee Sin merasa tangannya dipegang orang. Cepat dia mengibaskan pegangan itu, tapi mendadak kedua tangannya lemas tak bertenaga lagi. la pun sudah terkena totokan orang yang amat lihai itu, kemudian dia merasa tubuhnya melayang dan berada di atas pundak orang yang memanggulnya.

Biar pun tubuhnya tidak mampu bergerak, pikiran Kwee Sin masih terang dan tahulah dia bahwa dia telah dibawa lari orang, sudah diculik oleh seorang yang berkepandaian tinggi. Berkali-kali orang yang memanggulnya itu meloncat tinggi, melalui genteng rumah orang dan akhirnya melompati tembok kota raja. Orang ini terus lari keluar dari kota raja dengan kecepatan yang mengagumkan.

Ada pun Phang Khai serta Phang Tui yang tadinya roboh pingsan dengan tangan masih mencengkeram gagang pedang masing-masing, merasa ada hawa dingin menyambar ke muka mereka. Phang Khai lebih dulu siuman dari pingsannya. la merasa terheran-heran ketika mendapatkan dirinya telah berada di kebun belakang kelenteng tua di mana dia dan adiknya bersembunyi selama bertugas di kota raja.

Dilihatnya Phang Tui juga menggeletak di rumput. Pedang mereka terletak di situ pula. Cepat Phang Khai menolong adiknya dan mereka berdua tiada habisnya terheran-heran bagaimana mereka yang tadinya roboh oleh hawa beracun Kim-thouw Thian-li sekarang tahu-tahu sudah berada di kebun kelenteng dalam keadaan baik-baik saja.

"Ahh, tentu ada orang menolong kita," kata Phang Khai kagum.

"Twa-ko, jangan-jangan Kwee Sin yang menolong kita! Beberapa kali dia telah mencegah Kim-thouw Thian-li membunuh kita. Kiranya orang muda itu masih memiliki watak setia kawan terhadap orang kang-ouw, tapi kenapa dia terjerumus ke dalam lumpur kehinaan membantu pemerintah dan bersekongkol dengan iblis macam ketua Ngo-lian-kauw itu?"

Phang Khai menggeleng kepala. "Tak mungkin jika Kwee Sin yang menolong kita, malah dalam hal ini terjadi sesuatu yang aneh. Kalau Kwee Sin yang menolong kita, bagaimana dia bisa tahu bahwa kita bermalam di tempat ini? Padahal tempat kita ini adalah rahasia kita sendiri. Selain itu tidakkah kau lihat betapa Kwee Sin sangat takut kepada Kim-thouw Thian-li? Mana bisa dia menolong kita?"

"Memang amat aneh." Phang Tui mengangguk-angguk mengerutkan kening. "Akan tetapi, Twako, yang membikin aku hampir mati penasaran adalah gadis yang bernama nona Lee itu. Kau tentu tahu pula apa yang kumaksud, bukan?"

"Tentu saja. Dia boleh menyamar dengan bentuk bagaimana pun juga, tapi mana bisa dia mengubah matanya? Nona Lee adalah si dia itulah. Hemmm, dia telah mengkhianati kita, memberi tahu kepada Kwee Sin mengenai maksud kita. Orang semacam itu mana bisa dijadikan kepercayaan Si-enghiong? Terang berbahaya sekali. Dengan pengkhianatannya ini jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang pengkhianat, seorang antek Mongol tak bedanya seperti Kwee Sin. Biarlah kau lihat saja sikapku besok lusa malam pada saat kita bertemu dengan mereka."

Tiba-tiba Phang Tui yang tadi termenung menepuk pahanya. "Waah, kenapa aku sampai lupa?"

"Apa maksudmu?" kakaknya bertanya.

"Twako, terang bahwa tadi ada orang pandai menolong kita sehingga dalam keadaan pingsan di ruangan gedung Kwee Sin kita bisa terbebas dari kematian. Siapakah kau kira yang telah menolong kita tadi?"

"Mana aku tahu? Aku pun pingsan seperti kau."

"Twako, sudah lama kita mendengar bahwa dua orang pemimpin pejuang yang bertugas di kota raja, yaitu Ji-enghiong (Pendekar ke dua) dan Si-enghiong (Pendekar ke empat) memiliki ilmu yang amat tinggi. Apakah bukan mereka yang telah menolong?"

"Ahhh, benar juga kata-katamu ini. Yang menolong kita tentulah orang yang mengerti keadaan dan tugas kita. Siapa pula kalau bukan mereka? Tapi yang manakah di antara kedua enghiong itu? Dan siapa pula sebenarnya mereka ini yang selalu bekerja penuh rahasia?"

Dua orang kakak beradik itu berhadapan dengan sebuah rahasia dan betapa pun mereka memutar otak menduga-duga, tetap mereka tidak dapat memecahkannya.


BERSAMBUNG KE Raja Pedang Jilid 21