Suling Emas Naga Siluman Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 21
CI SIAN merupakan seorang manusia, satu di antara kita yang menjadi bingung oleh perasaan sendiri, oleh karena pikirannya sendiri. Ia hidup selama beberapa bulan di dekat sepasang suami isteri, dan memang semenjak tinggal di situ, antara suami isteri itu nampak kemesraan yang lebih dari pada yang sudah-sudah.

Menyaksikan suami isteri yang hidup saling mencinta, penuh kasih sayang dan kemesraan ini, tentu saja menimbulkan semacam perbandingan dalam hati Ci Sian.

Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!

Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja dia mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es!

Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka itu sekarang menjadi jengkel. Ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?”

Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak, kedua orang pria ini berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian.

Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan asli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung yang sempurna.

Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu mengeluarkan sinar mencorong dan sungguh pun agak merah karena habis menangis, akan tetapi tidak mengurangi kejelitaannya.

Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang kemerahan. Sedangkan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biar pun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah. Pokoknya wuihhh…..

Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian bagaikan hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah? Silumankah....?”

Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja dia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurang ajaran, atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali!

Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati.

Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berubah. Akan berbeda sekali tanggapan kita dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita sendiri
.

“Kalian berdua ini tikus-tikus dari mana berani menghinaku? Apakah kalian sudah bosan hidup?” demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak pinggang.

Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan asli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan sunyi itu, benar-benar terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya.

Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih sangat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut sekaligus juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara remaja demikian keras kata-katanya.

Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute, ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!”

Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya bergerak naik dan matanya menjadi makin mencorong mengeluarkan sinar kilat. “Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, dua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.

“Siancai....!” Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin!

“Plak! Plak!”

Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang. Namun mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.

“Ehhh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan!” kata tosu hidungnya bengkok.

“Tentu saja aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang hidung kerbau!”

Kedua orang itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya. Dengan cara yang cepat dan bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung dengan tangan miring.

“Huh, kerbau busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.

“Desss....!”

Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sutenya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sutenya sekali tangkis saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tandingan nona itu.

“Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sutenya, dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.

Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat dari pada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapa pun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu berhidung bengkok yang memanggul tubuh sute-nya yang pingsan itu.

Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.

Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.

Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu. Karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Sebagian besar para pimpinan Kun-lun-pai adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu.

Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih dari pada manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci, saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri.

Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walau pun jarang di antara mereka yang menjadi prajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun menentang pemberontakan.

Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggap hal itu sebagai urusan besar, maka mereka hanya mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu.

Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan saat mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.

Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sute-nya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai.

Memang para anggota Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tiada pula yang menjadi pembesar atau prajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia.

Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri.

Bangsa Mancu yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka.

Hal inilah yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan ia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu.

Biar pun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sute-nya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin.

Dan selain tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walau pun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.

Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa sute-nya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar tembok.

Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika.

Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sute-nya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan pagar tembok dan dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI.

Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biar pun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, akan tetapi masih tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai?

Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar.

Wajarlah kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marah-marah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapa pun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf.

Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang kuil.

Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali. Kalau tempat tadi amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang.

Mereka semua terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.

Biar pun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam tak mengeluarkan suara, bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam semedhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu.

“Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih.

“Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian.

Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.

“Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk dusun teecu mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ melakukan semedhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.”

Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya.

“Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu….” Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi.

Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sute-nya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah.

Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Namun ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan amat berwibawa itu.

“Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walau pun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya hingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar.” Kakek itu menarik napas panjang. “Ini adalah akibat keadaan, ahhh, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya....“

Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!”

Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup!

Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali!

Dan dia pun lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga pada waktu kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak tenang saja.

Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian pada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”

Wajah Ci Sian berubah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!

Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggotanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”

Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus kepada Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walau pun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran.

“Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!” Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.

“Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.

Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukanlah Ketua Kun-lun-pai....”

“Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan ini pun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.

Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat semedhinya. Untuk urusan apa pun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah padanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin jika Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memang memandang rendah padanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya!

“Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!”

Thian Kong Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....”

“Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”

“Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak mana pun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.”

“Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya.

Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu.

Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walau pun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”

Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng.”

Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suheng-nya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik?

“Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”

“Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.

Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang mengeluarkannya. Ia pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu.

Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk bersila tidak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan.

Biar pun usianya sebaya dengan sute-nya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sute-nya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.

Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walau pun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung ke atas seperti model gelung rambut tosu. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang.

Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam semedhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirik pun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka, tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.

“Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat.

Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian pun merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap hormat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.”

“She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”

Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, “Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!”

“Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi sempat mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?”

Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....”

“Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sute-nya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.

“Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.

Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu.

“Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian.

Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sinkang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring.

“Heiiittt....!” Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!

“Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapa pun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambil tersenyum.

Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?”

“Memang kini pusaka itu berada di tangan suheng-ku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,” jawabnya singkat.

“Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?”

“Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.”

“Ahh, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya.

Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.

“Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.

“Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”

Mendengar ucapan suhu-nya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, mulai bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.”

“Untuk dapat menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.

Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya. Kini mendapat kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, maka tentu saja dia merasa gembira sekali. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.

Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!

Dalam keadaan menderita batin karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu.

Seperti yang terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya dari pada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa mala petaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biar pun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.

Mendengar ucapan suhu-nya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, “Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.

Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.

Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa dia benar ahli waris Suling Emas dia harus memainkan suling itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan.

Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi.

Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menjebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru.

“Lihat serangan!”

Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup.

Han Beng merubah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu. Dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khikang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sinkang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.

“Tringggg....!”

Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum.

Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka.

Akan tetapi, Ci Sian yang berwatak panas itu merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan seruan nyaring. Sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat.

Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.

Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga turut memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini! Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirubah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amatlah kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya.

Han Beng cepat-cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walau pun begitu tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya akan berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat!

Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!” katanya kepada sute-nya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.”

“Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biar pun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....”

“Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sinkang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sinkang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....,“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemukjijatan....”

“Dan lihat, bukankah ilmu sinkang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng pada saat mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sinkang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.”

Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika dia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khikang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suheng-nya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar.

Maka, dia lalu mengerahkan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini melalui pedang kayu yang dipakai untuk menangkis, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena pertahanannya kacau oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.

“Tukkk....!”

Pundaknya terkena totokan dan biar pun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar.

“Tahan....!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian.

Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berubah merah dan ia pun bersungut-sungut.

“Kenapa engkau malah membantu lawan?” Ci Sian menegur sambil menyimpan kembali sulingnya.

“Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.

“Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.

Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.

“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe tentu adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?”

Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suheng-nya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu yang tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?”

“Nama saya Suma Kian Bu....“

“Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan suheng-nya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.

“Beliau adalah ayah kandung saya.”

“Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap. Mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.”

Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya. “Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta maaf kepadamu,” jawabnya.

Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.”

“Ahh, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang.

Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sute-nya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng.

suling emas naga siluman jilid 21


Hanya enam orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan murid-murid lain tidak ada yang diajak masuk. Setelah mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar, Thian Kong Tosu berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.

“Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi.”

“Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, maka kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu disambungnya, “Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk memaafkannya.”

“Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalah pahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalah pahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!”

“Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena merasa malu terhadap Pendekar Siluman Kecil.

Kian Bu tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau barusan bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak.”

“Suma-taihiap, setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini...., menurut berita, Taihiap datang bersama isteri Taihiap....,“ kata pula Thian Kong Tosu.

“Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis.

“Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,” tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi.”

“Urusan apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu.

“Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shan-si datang dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!”

Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa lenyap?!”

“Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayangi dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau lenyap tanpa meninggalkan jejak!”

“Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada sangkutannya dengan dia.

“Tentu saja menjadi geger, walau pun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti berlomba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan sehingga keselamatan Sang Pangeran dikhawatirkan.”

“Ahhh, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es!

Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sute-nya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau pinto tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah Puteri Nirahai yang amat terkenal....”

Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ahhh, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?”

“Taihiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang bahkan telah mendengarnya!”

Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah dikarenakan rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat jahat.

“Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu menyambung. “Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga bisa melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang membongkar rahasianya.”

Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi masih belum cukup membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasehatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana.

“Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang selalu disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan. Kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana.”

Nasehat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak tergerak untuk ikut-ikut, walau pun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan Pangeran ini kelak akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.

“Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu bertanya secara langsung sambil memandang tajam.

Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapa pun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran.”

Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu.”

Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan tetapi harap Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berubah merah.

“Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In.

“Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi.”

Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang Pangeran yang terancam bahaya?”

Kian Bu dan isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnya kalau kita turun tangan melindungi beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu adalah kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?”

Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata, “Tapi.... tapi..... Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung keluarga Kaisar?”

Kian Bu lalu menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu, tetapi ayahku seorang pendekar. Betapa pun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapa pun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkin jika aku harus menentang para patriot.”

“Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal....“

“Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andai kata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sebenarnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.”

“Apakah itu....?” Ci Sian bertanya.

Tiba-tiba saja Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.

“Benarkah, Enci? Ahh, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!”

“Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu....”

“Ahh, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!”

“Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira.

Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah.

“Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baiklah engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kau ingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat.

Saking terharunya, Ci Sian hanya bisa mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil menangis. Betapa pun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus perasaannya kalau dibandingkan pria.

Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan itu. Ia mengemas barang-barangnya dan dia pun segera pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng gunung.

Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena merasa kesepian. Dia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan.

Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini tentunya sangat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa ‘tidak sendirian’.

Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas dari pada ‘sendirian’ itu.

Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani mau pun rohani, sendiri tanpa siapa pun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang merasa takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindar dari yang tidak menyenangkan?

Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian dari pada keheningan itu?

Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan ‘kita’! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi.

Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini bukan apa-apa lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian.

Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan selalu menjauhi ketidak senangan, pikiran inilah yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali!

Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup? Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas dari pada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, semakin besar rasa takut dan semakin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan menimbulkan rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?

Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas dari pada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya!

Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan.

Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang
.

Setelah menumpahkan semua rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian.

Ia memandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata warna yang tak bisa dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk makhluk-makhluk yang aneh, raksasa yang perkasa, binatang buas yang luar biasa.

Senja kala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu nampak indah.

Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi satu kesatuan dari pada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian.

Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan.....

********************

Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main.

Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh keinginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak.

Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak peraturan dan peradatan.

Seperti biasa, biar pun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam.

Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka.

Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu menyambutnya sebagai seorang pemuda yang dermawan. Pemuda ini telah memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, maka para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa. Hal ini menyulitkan para pelindungnya.

Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di sekitar kuil itu.

Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal ‘manjur’, yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar ‘kaul’, yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka telah terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besaran, membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!

Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tiada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, serta didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani mau pun rohani, maka kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan!

Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi. Itulah yang kita jadikan sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah mau pun batiniah. Pikiran kemudian mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya.

Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat kemudian dipujanya sebagai tempat yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi dari pada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi. Kita bukan hanya sekedar memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi.

Dan ‘jika ‘kebetulan’ apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita kemudian membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu
.

Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah mendekati lima puluh tahun, tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam.

Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya, “Apakah Ciong suhu ada di dalam?”

“Dia telah sejak tadi menantimu, Taihiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.”

Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat-cepat menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih.

“Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri. “Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula.”

Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan kemarahannya.

Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan.

Puteri ini membujuk-bujuk suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng.

Para hwesio pengurus Kuil Hok-te-kong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia.

“Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya.”

Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah. Sambil terbongkok-bongkok nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri seolah mencari sesuatu.

Seorang hwesio segera menghampiri dan menegur, “Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak diperkenankan masuk ke dalam....“

“Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu....” Dan nenek itu memaksa masuk terus.

“Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk....”

“Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan marah. Di manakah beliau?”

“Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah....“ Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin.

Mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat pada Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak. “Ada apakah ribut-ribut di situ?”

Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.

“Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu buyutnya.”

Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut, “Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya melahirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu.”

“Amithaba.... kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Beri saja nama Tiong Gi.”

“Terima kasih, terima kasih, Losuhu...,” kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu.

Setelah menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali memandang ke kanan kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam!

Hwesio muda itu cepat menghadang. “Ehh, engkau hendak ke mana, Nek?”

“Mau keluar, ke mana lagi....?” tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan menjenguk ke dalam.

Akan tetapi kali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek itu. Lengan yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali pegangannya.

“Nek, jalan keluar bukan ke sana!”

Hwesio muda itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil, dengan terbongkok-bongkok berjalan ke jalan raya, sedangkan mulutnya berkali-kali membisikkan nama, “Tiong Gi....!”

Akan tetapi ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya menjadi berbeda sama sekali. Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia disambut oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh, “Ahhh, sampai lelah punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di sana, sedang berunding dengan ketua kuil!”

“Dan engkau tidak melihat bayangan Pangeran?” tanya laki-laki tinggi besar itu.

“Tidak ada, akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain, kita harus berusaha memasukinya malam ini.”

Laki-laki tinggi besar itu mengangguk. “Memang kupikir juga begitu. Malam ini akan terjadi keributan di kuil.”

Tak lama kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari rumah itu dan memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek itu tidak nampak lagi. Dan setelah mereka berdua pergi, seorang hwesio datang ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik.

Tentu saja hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan alisnya. Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena nenek itu sudah hilang dan tidak ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.

Peristiwa bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama sekali tidak diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa Pangeran Mahkota pergi seorang diri, banyak yang membayanginya. Banyak pihak hendak mengganggunya, tapi ada pula yang melindunginya sehingga pihak yang hendak mengganggunya masih ragu-ragu. Akan tetapi, seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam kuil bahkan minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang dari orang-orang yang tidak suka kepada kerajaan ayahnya! Bahkan orang-orang Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam kepada ayahnya.

Juga para pelindungnya tiada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid Siauw-lim-pai pula sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran itu berada di tempat yang aman. Padahal, sesungguhnya Pangeran itu seperti seekor anak domba yang memasuki goa serigala!

Malam itu tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru saja pintu itu ditutup, terdengar ketukan pada pintu itu.

Setelah ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu, “Malam ini kami tidak menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang yang penting. Harap suka kembali besok saja!”

Akan tetapi, dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau, “Saudara, pinceng bukanlah tamu hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang mohon ingin bertemu dengan Ciong-losuhu.”

Mendengar ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata hwesio penjaga, mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang berdiri di depan pintu itu adalah dua orang hwesio, yang seorang lagi agak kecil, dia merasa heran. “Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan apakah malam-malam hendak menghadap Ciong-suhu?”

Hwesio yang tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, lalu menjawab dengan suara berbisik, “Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar, mohon perlindungan!”

“Amithaba....!” Mata di balik lubang itu terbelalak, “Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu kepada Suhu!”

Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka. Kedua orang hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh ketua kuil Hok-te-kong itu. “Mari silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia.”

Setelah tiba di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah berkumpul banyak hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik. Ciong-hwesio sendiri juga memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka.

Hwesio tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah sekali, sedangkan hwesio yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya, juga matanya agak juling.

“Kalian berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?” tanya Ciong-hwesio dengan penuh curiga.

“Kami adalah anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh Kaisar lalim. Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini. Mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai pula, maka kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil sini,” kata hwesio yang bertubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.

“Amithaba...., sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Tetapi, di dalam keadaan genting seperti ini kita harus bersikap hati-hati! Coba Ji-wi perlihatkan beberapa jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak ragu-ragu lagi bahwa Ji-wi adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai.”

Hwesio bertubuh kecil itu lalu memandang hwesio tinggi besar muka hitam, “Silakan Suheng.”

“Baik, saya akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!” katanya dan segera hwesio muka hitam ini bersilat.

Ternyata gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar, maka dia nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu girang sekali. Orang ini merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti dan tidak nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan dengan baik.

“Sekarang saya hendak mainkan Lo-han-kun!” kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat bergerak dan bersilat.

Kembali Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan pukulan-pukulannya sudah sangat matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat yang sembarangan saja. Ternyata kedua orang ini adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak dengan kepandaiannya sendiri.

“Bagus! Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami tadi bercuriga dan bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di dalam dan pinceng mengharapkan bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan.”

Hwesio tua itu mengajak kedua orang tamunya masuk ke dalam dan memberi tahukan segala urusannya dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu nampak mengangguk-angguk dan serius sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman seperjuangan, apalagi mengenai urusan yang demikian pentingnya.

“Akan tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak membunuh Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?” tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.

“Amithaba...., memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran terbunuh di sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke dua, Pangeran ini bukan orang jahat, melainkan seorang yang bijaksana sekali, walau pun dia adalah seorang Pangeran Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka pula kesempatan bagi kita untuk turut menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada kaum sesat yang melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran.”

“Untuk apa kita menculik Pangeran penjajah itu?” tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar muka hitam. “Jika untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh Kaisar, kenapa kita tidak membunuh saja dia?”

“Amithaba.... semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam pribadi!” kata hwesio tua itu dengan alis berkerut. “Bukan urusan kita para hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula, kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan permusuhan kepada Siauw-lim-pai, dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan.”

Dua orang hwesio itu mengangguk-angguk. “Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini kami akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat mengganggu Sang Pangeran.”

Malam ini amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, tetapi sebetulnya semua hwesio dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar kamar di mana Pangeran tinggal. Dua orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio bahkan memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang Pangeran itu dengan dalih untuk menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil di mana sudah menanti kuda di belakang kuil. Sedangkan hwesio-hwesio lain hanya membantu Bu-taihiap, kalau-kalau pendekar itu akan kewalahan menghadapi pihak lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok di kota itu.

Anehnya, yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini menemukan kitab syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan penuh perasaan Pangeran muda itu membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan kesunyian malam itu! Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam selalu terdengar suara orang membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring, kini tidak terdengar, dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua orang berhati tegang, dan orang yang menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!

Akan tetapi, kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran. Mereka telah mendapat perintah untuk berjaga tanpa mengeluarkan suara, maka tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani pergi meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai kamar Pangeran yang dijaga ketat itu.

Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh perbuatan mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua bayangan setan saja, mereka itu menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas jaga. Mereka sebagai orang penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas, sedangkan semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.

Melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja Sang Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, orang tinggi besar itu telah menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang tubuhnya kecil terus menyambar kitab syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak!

Pangeran Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu dengan suara yang walau tidak persis sekali, tapi mirip sekali dengan suaranya sendiri, dan malah lebih lantang! Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik, membuat Pangeran itu menjadi semakin terheran-heran.

“Tenanglah, Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk menyelamatkan Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada banyak penjahat-penjahat hendak membunuh Paduka.... Hamba tak dapat bicara banyak, akan tetapi harap Paduka menurut saja. Mengertikan dan percayakah Paduka kepada kami?”

Biar pun terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun Pangeran Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa lagi? Dua orang ini kalau hendak berniat buruk, tentu tak akan banyak bicara lagi dan akan langsung saja membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?

“Bagus,” kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian lirihnya sehingga tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak dengan suara Sang Pangeran dengan lantangnya itu, “Harap Paduka dengar baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan Paduka akan dirias agar berubah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik nanti adalah dia, bukan Paduka. Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua permintaan hamba. Mengertikah?”

Kembali Sang Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio itulah yang terheran-heran, juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya, setelah diberi tahu akan keadaannya, malah tersenyum dan nampak gembira! Dan terjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si Tinggi Besar itu yang membebaskan totokannya, kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab syair kepada Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh ramping itu dengan suara gembira dan lantang!

Dan kini dia melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan.... gundulnya tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita yang hitam halus! Kiranya hwesio bertubuh ramping yang amat pandai meniru suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang wanita yang menyamar!

Pangeran ini merasa semakin heran pada saat wanita itu meraba-raba mukanya dan kembali ada topeng seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang kulitnya putih kemerahan, wajah seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak lagi juling!

Wanita itu mendekatinya sambil berbisik, “Maaf, Pangeran!” dan mulailah wanita itu mendadaninya.

Pangeran Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita itu memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu.

“Sayang....,” kata wanita itu lirih, “Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka juling....”

Tanpa menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong lantas mencoba menjulingkan matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang putih seperti mutiara.

“Lumayan juga,” katanya, “Akan tetapi malam ini tak perlu Paduka menjulingkan mata, hanya kalau perlu saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka.”

Tidak lama kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biar pun dalam keadaan tergesa-gesa itu dia tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio juling tadi!

“Sekarang maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka.”

Dan wanita itu pun menanggalkan jubah hwesionya yang besar dan nampaklah bahwa di bawah jubah itu dia memakai pakaian dalam wanita yang tipis sehingga nampak bentuk tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Pangeran Kian Liong bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi dia pun seorang jujur, maka dia tidak membuang muka melainkan memandang dengan sinar mata memancarkan kekaguman yang jujur tanpa ada kekurang ajaran, membuat wanita itu menjadi merah kedua pipinya. Dengan cepat wanita itu lalu membantu temannya menanggalkan pakaian luar Pangeran itu, dan ia pun memakai pakaian Pangeran itu, juga topinya dan dari saku baju dalamnya dikeluarkanlah sebuah kantong terisi bermacam-macam perabot untuk menyamar.

Di depan cermin yang terdapat di dalam kamar itu, dengan cekatan sekali wanita itu melakukan sesuatu dengan mukanya, rambutnya dan.... ketika ia lalu menghadapi Sang Pangeran, Pangeran Kian Liong hampir berseru saking kagetnya melihat wajahnya pada wanita itu. Begitu serupa! Kini mereka berdua memakaikan jubah hwesio itu pada Sang Pangeran dan kini mereka bertukar sepatu dan lengkaplah sudah pertukaran itu!

“Cepat, ada suara di luar....!” tiba-tiba Pangeran palsu itu berbisik. Temannya, hwesio yang tinggi besar bermuka hitam itu mengangguk.

“Jangan mengeluarkan suara, Pangeran,” kata Si Tinggi Besar dan tiba-tiba dia sudah mengempit tubuh Pangeran yang sudah berubah menjadi hwesio itu, dibawa melayang naik melalui genteng dan di lain saat mereka telah tiba di atas wuwungan, mendekam di balik wuwungan.

Memang terdengar suara orang di bagian depan, dan semua hwesio mendengar suara orang bicara itu, tapi mereka, tanpa adanya perintah, tidak ada yang berani keluar, melainkan menanti dengan hati penuh ketegangan.

“Ehh, ada suara ribut apa di luar?” terdengar suara ‘pangeran’ itu dari dalam kamar.

Semua orang terkejut, tidak ada yang menjawabnya dan tiba-tiba lilin di dalam kamar itu dipadamkan. Mereka semua berlega hati. Agaknya Sang Pangeran merasa lelah dan hendak tidur, pikir mereka.

Suara orang bicara itu datang dari ruangan tengah kuil. Terdengar suara seorang pria tertawa mengejek, suaranya lantang sekali. Itulah suara Bu Seng Kin, atau Bu-taihiap yang memang telah berjaga-jaga dan begitu muncul bayangan lima orang yang berkelebat cepat, dia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya bersama seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara isteri-isterinya yang terlihai. Memang pendekar yang maklum akan kehebatan lima orang Ngo-ok ini, telah mengajak isterinya yang paling dapat diandalkan ini untuk membantunya.

“Ha-ha-ha, sekarang lengkaplah sudah! Kelima orang Ngo-ok sudah berkumpul di sini!” katanya sambil tertawa.

Memang Bu-taihiap ini merupakan musuh lama dari Ngo-ok. Dahulu, saat dia merantau bersama mendiang Sim Loan Ci, yaitu isterinya atau ibu kandung dari Ci Sian, dia pernah bentrok dan dikeroyok oleh tiga orang di antara Ngo-ok, yaitu Twa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Tiga orang pertama dari Ngo-ok itu memang lihai bukan main sehingga dalam pertempuran itu, Sim Loan Ci yang sedang tidak sehat badannya terluka dan terpaksa Bu-taihiap membawa lari isterinya, dikejar-kejar oleh tiga orang dari Ngo-ok itu.

Dan kemudian, baru-baru ini ketika Pangeran Kian Liong hendak dilarikan Su-ok dan Ngo-ok, dua orang terakhir dari Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap mempermainkan mereka berdua yang baru di jumpainya pada saat itu. Memang dahulu, ketika pertama kalinya Bu-taihiap bertanding melawan tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, dua orang terakhir ini tidak ada sehingga baru pertama kali itulah mereka saling bertemu, walau pun tentu saja mereka sudah saling mengenal nama.

“Hemm, kiranya orang she Bu masih hidup dan ikut menjaga di sini! Bagus, dengan demikian kami dapat sekali tepuk....”

“He, orang she Bu mata keranjang, engkau berganti isteri lagi?” Su-ok mengejek, “Ini isteri barumu, ya? Eh, engkau memang pandai pilih perempuan, hemm, cantik juga isteri barumu ini....”

“Tutup mulutmu yang busuk!” wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini tertawa dan menangkis, memandang rendah.

“Duk! Plakk....!“ Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.

“Hi-hi-hik, matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihatlah baik-baik siapa wanita itu! Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?” Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.

Tadinya Su-ok merasa penasaran dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah. Kalau tadi dia sampai kena ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan Cui-beng Sian-li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat mareka tidak jauh.

“Su-ko, mari kubantu engkau menangkap perempuan ini!” kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Gerakannya demikian cepat sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.

“Heh-heh, Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita ini untuk kemudian kau perkosa? Ha-ha-ha!” kata Su-ok.

Mendengar ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok dengan pukulan tangan yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga tangan itu mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja.


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 22


Suling Emas Naga Siluman Jilid 21

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 21
CI SIAN merupakan seorang manusia, satu di antara kita yang menjadi bingung oleh perasaan sendiri, oleh karena pikirannya sendiri. Ia hidup selama beberapa bulan di dekat sepasang suami isteri, dan memang semenjak tinggal di situ, antara suami isteri itu nampak kemesraan yang lebih dari pada yang sudah-sudah.

Menyaksikan suami isteri yang hidup saling mencinta, penuh kasih sayang dan kemesraan ini, tentu saja menimbulkan semacam perbandingan dalam hati Ci Sian.

Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!

Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja dia mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es!

Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka itu sekarang menjadi jengkel. Ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?”

Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak, kedua orang pria ini berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian.

Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan asli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung yang sempurna.

Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu mengeluarkan sinar mencorong dan sungguh pun agak merah karena habis menangis, akan tetapi tidak mengurangi kejelitaannya.

Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang kemerahan. Sedangkan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biar pun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah. Pokoknya wuihhh…..

Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian bagaikan hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah? Silumankah....?”

Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja dia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurang ajaran, atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali!

Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati.

Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berubah. Akan berbeda sekali tanggapan kita dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita sendiri
.

“Kalian berdua ini tikus-tikus dari mana berani menghinaku? Apakah kalian sudah bosan hidup?” demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak pinggang.

Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan asli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan sunyi itu, benar-benar terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya.

Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih sangat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut sekaligus juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara remaja demikian keras kata-katanya.

Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute, ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!”

Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya bergerak naik dan matanya menjadi makin mencorong mengeluarkan sinar kilat. “Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, dua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.

“Siancai....!” Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin!

“Plak! Plak!”

Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang. Namun mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.

“Ehhh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan!” kata tosu hidungnya bengkok.

“Tentu saja aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang hidung kerbau!”

Kedua orang itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya. Dengan cara yang cepat dan bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung dengan tangan miring.

“Huh, kerbau busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.

“Desss....!”

Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sutenya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sutenya sekali tangkis saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tandingan nona itu.

“Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sutenya, dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.

Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat dari pada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapa pun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu berhidung bengkok yang memanggul tubuh sute-nya yang pingsan itu.

Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.

Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.

Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu. Karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Sebagian besar para pimpinan Kun-lun-pai adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu.

Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih dari pada manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci, saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri.

Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walau pun jarang di antara mereka yang menjadi prajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun menentang pemberontakan.

Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggap hal itu sebagai urusan besar, maka mereka hanya mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu.

Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan saat mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.

Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sute-nya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai.

Memang para anggota Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tiada pula yang menjadi pembesar atau prajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia.

Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri.

Bangsa Mancu yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka.

Hal inilah yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan ia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu.

Biar pun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sute-nya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin.

Dan selain tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walau pun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.

Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa sute-nya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar tembok.

Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika.

Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sute-nya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan pagar tembok dan dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI.

Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biar pun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, akan tetapi masih tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai?

Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar.

Wajarlah kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marah-marah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapa pun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf.

Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang kuil.

Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali. Kalau tempat tadi amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang.

Mereka semua terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.

Biar pun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam tak mengeluarkan suara, bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam semedhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu.

“Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih.

“Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian.

Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.

“Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk dusun teecu mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ melakukan semedhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.”

Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya.

“Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu….” Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi.

Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sute-nya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah.

Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Namun ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan amat berwibawa itu.

“Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walau pun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya hingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar.” Kakek itu menarik napas panjang. “Ini adalah akibat keadaan, ahhh, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya....“

Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!”

Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup!

Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali!

Dan dia pun lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga pada waktu kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak tenang saja.

Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian pada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”

Wajah Ci Sian berubah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!

Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggotanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”

Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus kepada Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walau pun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran.

“Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!” Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.

“Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.

Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukanlah Ketua Kun-lun-pai....”

“Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan ini pun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.

Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat semedhinya. Untuk urusan apa pun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah padanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin jika Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memang memandang rendah padanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya!

“Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!”

Thian Kong Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....”

“Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”

“Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak mana pun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.”

“Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya.

Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu.

Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walau pun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”

Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng.”

Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suheng-nya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik?

“Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”

“Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.

Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang mengeluarkannya. Ia pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu.

Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk bersila tidak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan.

Biar pun usianya sebaya dengan sute-nya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sute-nya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.

Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walau pun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung ke atas seperti model gelung rambut tosu. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang.

Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam semedhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirik pun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka, tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.

“Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat.

Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian pun merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap hormat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.”

“She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”

Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, “Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!”

“Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi sempat mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?”

Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....”

“Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sute-nya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.

“Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.

Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu.

“Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian.

Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sinkang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring.

“Heiiittt....!” Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!

“Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapa pun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambil tersenyum.

Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?”

“Memang kini pusaka itu berada di tangan suheng-ku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,” jawabnya singkat.

“Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?”

“Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.”

“Ahh, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya.

Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.

“Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.

“Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”

Mendengar ucapan suhu-nya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, mulai bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.”

“Untuk dapat menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.

Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya. Kini mendapat kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, maka tentu saja dia merasa gembira sekali. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.

Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!

Dalam keadaan menderita batin karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu.

Seperti yang terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya dari pada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa mala petaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biar pun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.

Mendengar ucapan suhu-nya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, “Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.

Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.

Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa dia benar ahli waris Suling Emas dia harus memainkan suling itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan.

Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi.

Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menjebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru.

“Lihat serangan!”

Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup.

Han Beng merubah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu. Dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khikang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sinkang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.

“Tringggg....!”

Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum.

Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka.

Akan tetapi, Ci Sian yang berwatak panas itu merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan seruan nyaring. Sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat.

Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.

Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga turut memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini! Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirubah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amatlah kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya.

Han Beng cepat-cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walau pun begitu tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya akan berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat!

Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!” katanya kepada sute-nya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.”

“Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biar pun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....”

“Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sinkang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sinkang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....,“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemukjijatan....”

“Dan lihat, bukankah ilmu sinkang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng pada saat mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sinkang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.”

Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika dia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khikang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suheng-nya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar.

Maka, dia lalu mengerahkan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini melalui pedang kayu yang dipakai untuk menangkis, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena pertahanannya kacau oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.

“Tukkk....!”

Pundaknya terkena totokan dan biar pun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar.

“Tahan....!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian.

Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berubah merah dan ia pun bersungut-sungut.

“Kenapa engkau malah membantu lawan?” Ci Sian menegur sambil menyimpan kembali sulingnya.

“Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.

“Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.

Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.

“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe tentu adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?”

Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suheng-nya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu yang tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?”

“Nama saya Suma Kian Bu....“

“Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan suheng-nya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.

“Beliau adalah ayah kandung saya.”

“Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap. Mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.”

Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya. “Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta maaf kepadamu,” jawabnya.

Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.”

“Ahh, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang.

Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sute-nya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng.

suling emas naga siluman jilid 21


Hanya enam orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan murid-murid lain tidak ada yang diajak masuk. Setelah mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar, Thian Kong Tosu berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.

“Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi.”

“Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, maka kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu disambungnya, “Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk memaafkannya.”

“Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalah pahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalah pahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!”

“Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena merasa malu terhadap Pendekar Siluman Kecil.

Kian Bu tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau barusan bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak.”

“Suma-taihiap, setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini...., menurut berita, Taihiap datang bersama isteri Taihiap....,“ kata pula Thian Kong Tosu.

“Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis.

“Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,” tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi.”

“Urusan apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu.

“Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shan-si datang dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!”

Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa lenyap?!”

“Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayangi dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau lenyap tanpa meninggalkan jejak!”

“Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada sangkutannya dengan dia.

“Tentu saja menjadi geger, walau pun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti berlomba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan sehingga keselamatan Sang Pangeran dikhawatirkan.”

“Ahhh, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es!

Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sute-nya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau pinto tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah Puteri Nirahai yang amat terkenal....”

Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ahhh, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?”

“Taihiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang bahkan telah mendengarnya!”

Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah dikarenakan rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat jahat.

“Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu menyambung. “Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga bisa melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang membongkar rahasianya.”

Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi masih belum cukup membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasehatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana.

“Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang selalu disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan. Kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana.”

Nasehat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak tergerak untuk ikut-ikut, walau pun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan Pangeran ini kelak akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.

“Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu bertanya secara langsung sambil memandang tajam.

Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapa pun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran.”

Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu.”

Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan tetapi harap Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berubah merah.

“Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In.

“Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi.”

Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang Pangeran yang terancam bahaya?”

Kian Bu dan isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnya kalau kita turun tangan melindungi beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu adalah kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?”

Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata, “Tapi.... tapi..... Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung keluarga Kaisar?”

Kian Bu lalu menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu, tetapi ayahku seorang pendekar. Betapa pun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapa pun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkin jika aku harus menentang para patriot.”

“Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal....“

“Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andai kata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sebenarnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.”

“Apakah itu....?” Ci Sian bertanya.

Tiba-tiba saja Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.

“Benarkah, Enci? Ahh, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!”

“Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu....”

“Ahh, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!”

“Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira.

Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah.

“Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baiklah engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kau ingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat.

Saking terharunya, Ci Sian hanya bisa mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil menangis. Betapa pun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus perasaannya kalau dibandingkan pria.

Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan itu. Ia mengemas barang-barangnya dan dia pun segera pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng gunung.

Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena merasa kesepian. Dia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan.

Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini tentunya sangat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa ‘tidak sendirian’.

Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas dari pada ‘sendirian’ itu.

Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani mau pun rohani, sendiri tanpa siapa pun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang merasa takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindar dari yang tidak menyenangkan?

Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian dari pada keheningan itu?

Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan ‘kita’! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi.

Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini bukan apa-apa lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian.

Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan selalu menjauhi ketidak senangan, pikiran inilah yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali!

Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup? Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas dari pada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, semakin besar rasa takut dan semakin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan menimbulkan rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?

Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas dari pada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya!

Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan.

Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang
.

Setelah menumpahkan semua rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian.

Ia memandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata warna yang tak bisa dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk makhluk-makhluk yang aneh, raksasa yang perkasa, binatang buas yang luar biasa.

Senja kala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu nampak indah.

Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi satu kesatuan dari pada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian.

Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan.....

********************

Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main.

Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh keinginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak.

Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak peraturan dan peradatan.

Seperti biasa, biar pun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam.

Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka.

Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu menyambutnya sebagai seorang pemuda yang dermawan. Pemuda ini telah memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, maka para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa. Hal ini menyulitkan para pelindungnya.

Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di sekitar kuil itu.

Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal ‘manjur’, yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar ‘kaul’, yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka telah terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besaran, membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!

Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tiada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, serta didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani mau pun rohani, maka kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan!

Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi. Itulah yang kita jadikan sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah mau pun batiniah. Pikiran kemudian mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya.

Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat kemudian dipujanya sebagai tempat yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi dari pada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi. Kita bukan hanya sekedar memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi.

Dan ‘jika ‘kebetulan’ apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita kemudian membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu
.

Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah mendekati lima puluh tahun, tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam.

Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya, “Apakah Ciong suhu ada di dalam?”

“Dia telah sejak tadi menantimu, Taihiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.”

Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat-cepat menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih.

“Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri. “Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula.”

Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan kemarahannya.

Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan.

Puteri ini membujuk-bujuk suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng.

Para hwesio pengurus Kuil Hok-te-kong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia.

“Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya.”

Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah. Sambil terbongkok-bongkok nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri seolah mencari sesuatu.

Seorang hwesio segera menghampiri dan menegur, “Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak diperkenankan masuk ke dalam....“

“Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu....” Dan nenek itu memaksa masuk terus.

“Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk....”

“Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan marah. Di manakah beliau?”

“Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah....“ Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin.

Mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat pada Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak. “Ada apakah ribut-ribut di situ?”

Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.

“Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu buyutnya.”

Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut, “Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya melahirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu.”

“Amithaba.... kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Beri saja nama Tiong Gi.”

“Terima kasih, terima kasih, Losuhu...,” kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu.

Setelah menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali memandang ke kanan kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam!

Hwesio muda itu cepat menghadang. “Ehh, engkau hendak ke mana, Nek?”

“Mau keluar, ke mana lagi....?” tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan menjenguk ke dalam.

Akan tetapi kali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek itu. Lengan yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali pegangannya.

“Nek, jalan keluar bukan ke sana!”

Hwesio muda itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil, dengan terbongkok-bongkok berjalan ke jalan raya, sedangkan mulutnya berkali-kali membisikkan nama, “Tiong Gi....!”

Akan tetapi ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya menjadi berbeda sama sekali. Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia disambut oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh, “Ahhh, sampai lelah punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di sana, sedang berunding dengan ketua kuil!”

“Dan engkau tidak melihat bayangan Pangeran?” tanya laki-laki tinggi besar itu.

“Tidak ada, akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain, kita harus berusaha memasukinya malam ini.”

Laki-laki tinggi besar itu mengangguk. “Memang kupikir juga begitu. Malam ini akan terjadi keributan di kuil.”

Tak lama kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari rumah itu dan memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek itu tidak nampak lagi. Dan setelah mereka berdua pergi, seorang hwesio datang ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik.

Tentu saja hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan alisnya. Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena nenek itu sudah hilang dan tidak ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.

Peristiwa bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama sekali tidak diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa Pangeran Mahkota pergi seorang diri, banyak yang membayanginya. Banyak pihak hendak mengganggunya, tapi ada pula yang melindunginya sehingga pihak yang hendak mengganggunya masih ragu-ragu. Akan tetapi, seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam kuil bahkan minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang dari orang-orang yang tidak suka kepada kerajaan ayahnya! Bahkan orang-orang Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam kepada ayahnya.

Juga para pelindungnya tiada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid Siauw-lim-pai pula sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran itu berada di tempat yang aman. Padahal, sesungguhnya Pangeran itu seperti seekor anak domba yang memasuki goa serigala!

Malam itu tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru saja pintu itu ditutup, terdengar ketukan pada pintu itu.

Setelah ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu, “Malam ini kami tidak menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang yang penting. Harap suka kembali besok saja!”

Akan tetapi, dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau, “Saudara, pinceng bukanlah tamu hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang mohon ingin bertemu dengan Ciong-losuhu.”

Mendengar ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata hwesio penjaga, mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang berdiri di depan pintu itu adalah dua orang hwesio, yang seorang lagi agak kecil, dia merasa heran. “Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan apakah malam-malam hendak menghadap Ciong-suhu?”

Hwesio yang tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, lalu menjawab dengan suara berbisik, “Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar, mohon perlindungan!”

“Amithaba....!” Mata di balik lubang itu terbelalak, “Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu kepada Suhu!”

Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka. Kedua orang hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh ketua kuil Hok-te-kong itu. “Mari silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia.”

Setelah tiba di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah berkumpul banyak hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik. Ciong-hwesio sendiri juga memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka.

Hwesio tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah sekali, sedangkan hwesio yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya, juga matanya agak juling.

“Kalian berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?” tanya Ciong-hwesio dengan penuh curiga.

“Kami adalah anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh Kaisar lalim. Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini. Mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai pula, maka kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil sini,” kata hwesio yang bertubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.

“Amithaba...., sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Tetapi, di dalam keadaan genting seperti ini kita harus bersikap hati-hati! Coba Ji-wi perlihatkan beberapa jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak ragu-ragu lagi bahwa Ji-wi adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai.”

Hwesio bertubuh kecil itu lalu memandang hwesio tinggi besar muka hitam, “Silakan Suheng.”

“Baik, saya akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!” katanya dan segera hwesio muka hitam ini bersilat.

Ternyata gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar, maka dia nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu girang sekali. Orang ini merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti dan tidak nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan dengan baik.

“Sekarang saya hendak mainkan Lo-han-kun!” kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat bergerak dan bersilat.

Kembali Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan pukulan-pukulannya sudah sangat matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat yang sembarangan saja. Ternyata kedua orang ini adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak dengan kepandaiannya sendiri.

“Bagus! Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami tadi bercuriga dan bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di dalam dan pinceng mengharapkan bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan.”

Hwesio tua itu mengajak kedua orang tamunya masuk ke dalam dan memberi tahukan segala urusannya dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu nampak mengangguk-angguk dan serius sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman seperjuangan, apalagi mengenai urusan yang demikian pentingnya.

“Akan tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak membunuh Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?” tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.

“Amithaba...., memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran terbunuh di sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke dua, Pangeran ini bukan orang jahat, melainkan seorang yang bijaksana sekali, walau pun dia adalah seorang Pangeran Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka pula kesempatan bagi kita untuk turut menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada kaum sesat yang melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran.”

“Untuk apa kita menculik Pangeran penjajah itu?” tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar muka hitam. “Jika untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh Kaisar, kenapa kita tidak membunuh saja dia?”

“Amithaba.... semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam pribadi!” kata hwesio tua itu dengan alis berkerut. “Bukan urusan kita para hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula, kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan permusuhan kepada Siauw-lim-pai, dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan.”

Dua orang hwesio itu mengangguk-angguk. “Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini kami akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat mengganggu Sang Pangeran.”

Malam ini amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, tetapi sebetulnya semua hwesio dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar kamar di mana Pangeran tinggal. Dua orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio bahkan memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang Pangeran itu dengan dalih untuk menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil di mana sudah menanti kuda di belakang kuil. Sedangkan hwesio-hwesio lain hanya membantu Bu-taihiap, kalau-kalau pendekar itu akan kewalahan menghadapi pihak lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok di kota itu.

Anehnya, yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini menemukan kitab syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan penuh perasaan Pangeran muda itu membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan kesunyian malam itu! Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam selalu terdengar suara orang membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring, kini tidak terdengar, dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua orang berhati tegang, dan orang yang menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!

Akan tetapi, kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran. Mereka telah mendapat perintah untuk berjaga tanpa mengeluarkan suara, maka tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani pergi meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai kamar Pangeran yang dijaga ketat itu.

Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh perbuatan mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua bayangan setan saja, mereka itu menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas jaga. Mereka sebagai orang penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas, sedangkan semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.

Melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja Sang Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, orang tinggi besar itu telah menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang tubuhnya kecil terus menyambar kitab syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak!

Pangeran Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu dengan suara yang walau tidak persis sekali, tapi mirip sekali dengan suaranya sendiri, dan malah lebih lantang! Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik, membuat Pangeran itu menjadi semakin terheran-heran.

“Tenanglah, Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk menyelamatkan Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada banyak penjahat-penjahat hendak membunuh Paduka.... Hamba tak dapat bicara banyak, akan tetapi harap Paduka menurut saja. Mengertikan dan percayakah Paduka kepada kami?”

Biar pun terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun Pangeran Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa lagi? Dua orang ini kalau hendak berniat buruk, tentu tak akan banyak bicara lagi dan akan langsung saja membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?

“Bagus,” kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian lirihnya sehingga tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak dengan suara Sang Pangeran dengan lantangnya itu, “Harap Paduka dengar baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan Paduka akan dirias agar berubah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik nanti adalah dia, bukan Paduka. Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua permintaan hamba. Mengertikah?”

Kembali Sang Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio itulah yang terheran-heran, juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya, setelah diberi tahu akan keadaannya, malah tersenyum dan nampak gembira! Dan terjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si Tinggi Besar itu yang membebaskan totokannya, kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab syair kepada Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh ramping itu dengan suara gembira dan lantang!

Dan kini dia melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan.... gundulnya tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita yang hitam halus! Kiranya hwesio bertubuh ramping yang amat pandai meniru suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang wanita yang menyamar!

Pangeran ini merasa semakin heran pada saat wanita itu meraba-raba mukanya dan kembali ada topeng seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang kulitnya putih kemerahan, wajah seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak lagi juling!

Wanita itu mendekatinya sambil berbisik, “Maaf, Pangeran!” dan mulailah wanita itu mendadaninya.

Pangeran Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita itu memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu.

“Sayang....,” kata wanita itu lirih, “Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka juling....”

Tanpa menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong lantas mencoba menjulingkan matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang putih seperti mutiara.

“Lumayan juga,” katanya, “Akan tetapi malam ini tak perlu Paduka menjulingkan mata, hanya kalau perlu saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka.”

Tidak lama kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biar pun dalam keadaan tergesa-gesa itu dia tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio juling tadi!

“Sekarang maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka.”

Dan wanita itu pun menanggalkan jubah hwesionya yang besar dan nampaklah bahwa di bawah jubah itu dia memakai pakaian dalam wanita yang tipis sehingga nampak bentuk tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Pangeran Kian Liong bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi dia pun seorang jujur, maka dia tidak membuang muka melainkan memandang dengan sinar mata memancarkan kekaguman yang jujur tanpa ada kekurang ajaran, membuat wanita itu menjadi merah kedua pipinya. Dengan cepat wanita itu lalu membantu temannya menanggalkan pakaian luar Pangeran itu, dan ia pun memakai pakaian Pangeran itu, juga topinya dan dari saku baju dalamnya dikeluarkanlah sebuah kantong terisi bermacam-macam perabot untuk menyamar.

Di depan cermin yang terdapat di dalam kamar itu, dengan cekatan sekali wanita itu melakukan sesuatu dengan mukanya, rambutnya dan.... ketika ia lalu menghadapi Sang Pangeran, Pangeran Kian Liong hampir berseru saking kagetnya melihat wajahnya pada wanita itu. Begitu serupa! Kini mereka berdua memakaikan jubah hwesio itu pada Sang Pangeran dan kini mereka bertukar sepatu dan lengkaplah sudah pertukaran itu!

“Cepat, ada suara di luar....!” tiba-tiba Pangeran palsu itu berbisik. Temannya, hwesio yang tinggi besar bermuka hitam itu mengangguk.

“Jangan mengeluarkan suara, Pangeran,” kata Si Tinggi Besar dan tiba-tiba dia sudah mengempit tubuh Pangeran yang sudah berubah menjadi hwesio itu, dibawa melayang naik melalui genteng dan di lain saat mereka telah tiba di atas wuwungan, mendekam di balik wuwungan.

Memang terdengar suara orang di bagian depan, dan semua hwesio mendengar suara orang bicara itu, tapi mereka, tanpa adanya perintah, tidak ada yang berani keluar, melainkan menanti dengan hati penuh ketegangan.

“Ehh, ada suara ribut apa di luar?” terdengar suara ‘pangeran’ itu dari dalam kamar.

Semua orang terkejut, tidak ada yang menjawabnya dan tiba-tiba lilin di dalam kamar itu dipadamkan. Mereka semua berlega hati. Agaknya Sang Pangeran merasa lelah dan hendak tidur, pikir mereka.

Suara orang bicara itu datang dari ruangan tengah kuil. Terdengar suara seorang pria tertawa mengejek, suaranya lantang sekali. Itulah suara Bu Seng Kin, atau Bu-taihiap yang memang telah berjaga-jaga dan begitu muncul bayangan lima orang yang berkelebat cepat, dia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya bersama seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara isteri-isterinya yang terlihai. Memang pendekar yang maklum akan kehebatan lima orang Ngo-ok ini, telah mengajak isterinya yang paling dapat diandalkan ini untuk membantunya.

“Ha-ha-ha, sekarang lengkaplah sudah! Kelima orang Ngo-ok sudah berkumpul di sini!” katanya sambil tertawa.

Memang Bu-taihiap ini merupakan musuh lama dari Ngo-ok. Dahulu, saat dia merantau bersama mendiang Sim Loan Ci, yaitu isterinya atau ibu kandung dari Ci Sian, dia pernah bentrok dan dikeroyok oleh tiga orang di antara Ngo-ok, yaitu Twa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Tiga orang pertama dari Ngo-ok itu memang lihai bukan main sehingga dalam pertempuran itu, Sim Loan Ci yang sedang tidak sehat badannya terluka dan terpaksa Bu-taihiap membawa lari isterinya, dikejar-kejar oleh tiga orang dari Ngo-ok itu.

Dan kemudian, baru-baru ini ketika Pangeran Kian Liong hendak dilarikan Su-ok dan Ngo-ok, dua orang terakhir dari Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap mempermainkan mereka berdua yang baru di jumpainya pada saat itu. Memang dahulu, ketika pertama kalinya Bu-taihiap bertanding melawan tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, dua orang terakhir ini tidak ada sehingga baru pertama kali itulah mereka saling bertemu, walau pun tentu saja mereka sudah saling mengenal nama.

“Hemm, kiranya orang she Bu masih hidup dan ikut menjaga di sini! Bagus, dengan demikian kami dapat sekali tepuk....”

“He, orang she Bu mata keranjang, engkau berganti isteri lagi?” Su-ok mengejek, “Ini isteri barumu, ya? Eh, engkau memang pandai pilih perempuan, hemm, cantik juga isteri barumu ini....”

“Tutup mulutmu yang busuk!” wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini tertawa dan menangkis, memandang rendah.

“Duk! Plakk....!“ Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.

“Hi-hi-hik, matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihatlah baik-baik siapa wanita itu! Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?” Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.

Tadinya Su-ok merasa penasaran dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah. Kalau tadi dia sampai kena ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan Cui-beng Sian-li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat mareka tidak jauh.

“Su-ko, mari kubantu engkau menangkap perempuan ini!” kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Gerakannya demikian cepat sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.

“Heh-heh, Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita ini untuk kemudian kau perkosa? Ha-ha-ha!” kata Su-ok.

Mendengar ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok dengan pukulan tangan yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga tangan itu mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja.


SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 22