Si Bangau Merah Bagian 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI BANGAU MERAH BAGIAN 05

"Moli, siapa dia?"

Ang-I Moli tersenyum. "Aihh, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!”

Wanita ini lalu meloncat ke atas pohon, melepaskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit tubuh anak itu lalu membawanya meloncat turun.

Sementara itu, pada waktu Ang-I Moli sibuk menurunkan Yo Han tadi, Lauw Kang Hui mendengar dari dua orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu adalah seorang anak luar biasa dan Ang-I Moli hendak menghisap darah anak itu untuk memenuhi persyaratan melatih ilmu rahasianya. Lauw Kang Hui merasa tertarik sekali, maka ketika Ang-I Moli sudah menurunkan Yo Han, dia cepat menghampiri.

Kini Yo Han sudah diturunkan dan anak itu berdiri dengan gagah walau pun tubuhnya terasa nyeri semua dan kepalanya masih pening karena terlalu lama digantung terbalik. Lauw Kang Hui melihat sepasang mata yang begitu jernih akan tetapi juga tajam tanpa dibayangi takut sedikit pun.

“Anak baik, siapa namamu?” tanyanya

“Namaku Yo Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berkedudukan tinggi, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, tetapi mengapa melakukan perbuatan yang demikian keji dan pengecut?”

Kembali Lauw Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini! Begitu beraninya. Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.

“Moli, titipkan anak itu kepada kedua suheng-mu. Aku ingin bicara penting denganmu,” kata Lauw Kang Hui.

“Ada urusan apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?” bertanya Moli setelah mereka pergi agak jauh agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain, terutama Yo Han. Biar pun dia wakil Ketua Thian-li-pang, namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.

“Kuharap engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah kau tawan?”

Ang-I Moli tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. “Aih, itu urusan pribadiku, Lauw Pangcu. Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urusan pribadi orang?” Dia tersenyum dan melirik manja.

“Katakan saja terus terang. Bukankah engkau hendak menghisap darahnya untuk dapat memenuhi persyaratan engkau mempelajari sebuah ilmu rahasia?”

Ang-I Moli terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suheng-nya yang berdiri di sana sambil menjaga Yo Han.

“Hemmm, tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya kepadamu!”

“Apa salahnya, Moli? Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang.”

“Benar, Lauw Pangcu.”

“Kalau begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu berikan saja kepadaku!”

Ang-I Moli menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik, lalu dengan alis berkerut ia berkata, “Hemmm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu sama harganya dengan dua belas orang perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu kecil. Aku harus menanti satu dua tahun lagi...”

“Kalau begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan sehat! Dan akan kupilihkan mereka yang telah agak dewasa sehingga engkau tak perlu menanti sampai satu dua tahun lagi. Anak itu bertingkah aneh, tentu akan repot sekali menawannya selama satu dua tahun. Bagaimana?”

Tawaran ini menarik hati Moli. Memang dia sering kali merasa jengkel dengan Yo Han. Setelah melarikan anak ini selama kurang lebih tiga bulan, dia sampai bosan mencoba menjatuhkan anak ini ke dalam pelukannya. Berbagai macam cara sudah dia gunakan. Dengan sihir bantuan dua orang suheng-nya. Dengan ramuan obat dan racun. Dengan totokan. Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya.

Sihir dan racun agaknya tak mempengaruhi anak itu. Juga ancaman, siksaan dan bujuk rayu tidak mempan! Untuk mendapatkan darah anak itu melalui penghisapan darahnya melalui mulut begitu saja, selain ia merasa muak juga daya gunanya banyak berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh anak itu.

“Hemmm, usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang, kuharap engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo Han?”

Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi kedudukan atau tingkatnya di Thian-li-pang?”

“Tentu saja Ouw Pangcu, suheng-mu,” jawab Ang-I Moli tanpa ragu lagi. “Kalau bukan Sang Ketua yang paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi?”

“Bukan dia.”

“Ah, aku tahu. Tentu guru kalian, Locianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan tetapi dia sudah tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?”

“Memang Suhu tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi dari pada suheng dan aku. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu.”

“Wah, kalau begitu aku tidak tahu lagi.”

“Yang paling tinggi tingkatnya di antara kami di Thian-li-pang adalah Supek (Uwa Guru) Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)!”

“Ahhh...? Tapi... bukankah beliau sudah... sudah tidak ada lagi?”

“Tidak ada di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang baru-baru ini memesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang berbakat luar biasa, aku harus membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika aku melihat Yo Han, aku tertarik dan siapa tahu, anak seperti itulah yang dicari Supek.”

“Lauw Pangcu, aku senang sekali dapat membantu Locianpwe Thian-te Tok-ong! Siapa tahu kelak beliau suka membantuku kembali sebagai imbalan jasaku.”

“Hemm, bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?”

“Ilmu rahasia yang akan kulatih merupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku hendak memohon bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong supaya mau membuatkan obat penawarnya.”

“Baik, akan kusampaikan kepada Supek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan suka membantu.”

Tepat seperti yang sudah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh perguruan-perguruan silat besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya bedanya, bukan seluruh mayatnya yang dikirim, namun hanya kepalanya saja! Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara direndam sehingga tidak membusuk, lalu dimasukkan ke dalam guci besar dan ditutup rapat, kemudian dimasukkan dalam peti lalu dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok (kantor pengiriman barang).

Bisa dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu saat menerima kiriman kepala. Petugas piauw-kiok mengaku sesuai dengan pesanan pengirim peti itu. Pengirim peti ke Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim) mengatakan bahwa orang yang mengirim peti itu mengaku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. Petugas pengirim peti untuk Kun-lun-pai mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai, dan petugas pengiriman peti untuk Go-bi-pai mengaku disuruh seorang murid Bu-tong-pai, serta petugas pengiriman peti untuk Bu-tong-pai mengaku disuruh seorang murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja para murid perguruan-perguruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula para ketua masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para pengirim barang itu.

Ketika mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua lalu mengirim murid-murid terpandai untuk memenuhi undangan di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri apakah benar ada tantangan seperti dalam surat yang telah mereka terima. Kini, murid-murid itu kembali hanya tinggal kepala saja dan pada saat mereka melakukan pemeriksaan, jelas bahwa murid-murid itu memang tewas oleh senjata lawan dari perguruan yang mengirim tantangan.

Biar pun sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih belum yakin benar. Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa perguruan yang mengirim tantangan adalah dari golongan bersih, para pendekar yang tidak pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan bersahabat erat. Bagaimana tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan sekarang melakukan pembunuhan terhadap murid yang mereka utus untuk memenuhi undangan di Bukit Naga itu? Bagaimana pun juga, telah terbukti bahwa murid mereka tewas.

Biar pun para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi kemarahan dan sakit hati mereka. Mulailah terjadi bentrokan-bentrokan di antara empat partai persilatan besar itu. Setiap kali terjadi pertemuan, maka murid-murid Kun-lun-pai menyerang murid-murid Go-bi-pai, Go-bi-pai akan menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-lim-pai dan sebaliknya Siauw-lim-pai menyerang Kun-lun-pai.

Terjadi beberapa kali bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka mau pun yang tewas. Dan sesudah terjadi bentrokan-bentrokan itu, mau tidak mau para pimpinan partai masing-masing ikut pula terseret. Dan mulailah terjadi pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu, persis seperti apa yang diinginkan Thian-li-pang yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw…..

*********

Yo Han diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang-I Moli. Sebagai gantinya, wanita iblis itu oleh Lauw Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja seperti yang dia janjikan. Remaja-remaja itu satu demi satu mati kehabisan darah dalam pelukan iblis betina itu.

Yo Han diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Ia diperlakukan dengan baik, bahkan Lauw Kang Hui terus membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot yang hendak membebaskan bangsa dan tanah air dari tangan penjajah Mancu. Namun, semua itu percuma.

Yo Han tidak dapat melupakan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan bagaimana pun juga, dia tetap menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu muslihat dan kejam. Dia sudah banyak membaca tentang para pahlawan yang dengan setulusnya hati berjuang membela tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri.

Akan tetapi, apa yang diperlihatkan orang-orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tak ada hubungannya sama sekali dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah! Bahkan Thian-li-pang telah mengadu domba antara perguruan-perguruan silat besar yang terdiri dari bangsa sendiri! Setiap orang pendekar pasti tidak setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu.

Dan Thian-li-pang juga bersekutu dengan orang-orang seperti Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, ia sendiri sudah membuktikan sendiri betapa jahatnya Ang-I Moli! Oleh karena itu, biar pun dia diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan dibujuk dengan omongan manis, tetap saja dia tidak percaya pada perkumpulan ini.

Di dalam perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak kuat, dengan perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal laksana benteng. Perkampungan di lereng bukit itu luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan tidak kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-li-pang tinggal di situ. Mereka setiap hari latihan silat dan berbaris.

Ketika dia dihadapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw Ban yang berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang kepada Yo Han seperti orang menaksir seekor kuda yang akan dibelinya.

“Namamu Yo Han?” tanya Sang Ketua, suaranya parau dan besar.

Yo Han memandang kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan itu. Dia mengangguk. “Benar, namaku Yo Han.”

“Engkau mau menjadi murid Thian-li-pang?” tanya pula ketua itu.

Yo Han memandangnya dengan sinar mata tajam. Dengan tegas dia menggelengkan kepala, lalu menjawab. “Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat, kejam dan pengecut!”

Ouw Ban membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. “Dan kau bilang anak ini luar biasa?”

Lauw Kang Hui tersenyum. “Suheng, bukankah sikapnya yang luar biasa pemberani ini menunjukkan keluar biasaannya?”

“Huh, kita lihat saja sampai di mana keluar biasaannya. Bocah sombong, cobalah kau sambut ini!”

Mendadak saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main. Saking cepatnya, gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak dan tahu-tahu telapak tangan itu telah mengenai tengkuk Yo Han.

“Plakk!”

Tubuh Yo Han yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu roboh pingsan.

“Suheng! Kau membunuhnya?” tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu berlutut memeriksa anak itu.

“Hemmm, kalau dia mati pun lebih baik dari pada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak macam itu kau katakan luar biasa?” kata Ketua Thian-li-pang.

Lauw Kang Hui mendapat kenyataan bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bangkit lagi berdiri dan memandang kepada kakak seperguruannya.

“Suheng, keluar biasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan dewasa, akan tetapi juga menurut keterangan Ang-I Moli, anak ini kebal terhadap racun dan tidak dapat dipengaruhi sihir.”

“Ha-ha-ha, apakah engkau tidak mengenal orang macam apa adanya Ang-I Moli, Sute? Engkau dikibuli saja! Masa anak semacam ini ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang pilihan. Engkau sungguh bodoh, Sute.”

“Kurasa ia tidak berani mempermainkan aku, Suheng. Bagaimana pun juga, biarlah dia kubawa menghadap Supek, dan biarlah Supek saja yang menentukan apakah anak ini memenuhi syarat ataukah tidak.”

“Sute, agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya? Engkau hendak menyuapnya supaya engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat kepandaianmu akan melampaui aku?”

Lauw Kang Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang kepada wajah suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehh? Kenapa engkau menyangka buruk seperti itu, Suheng? Suheng sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk mencarikan seorang anak yang luar biasa supaya Supek dapat menggemblengnya dan kelak akan makin memperkuat Thian-li-pang.”

“Kalau begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!” Ketua Thian-li-pang itu mengambil sesuatu dari saku jubahnya.

“Suheng, jangan! Ang-tok-ting (Paku Beracun Merah) itu dapat membunuhnya!” berkata Lauw Kang Hui. “Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap sihir saja.”

Lauw Kang Hui maklum bahwa suheng-nya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain yang diterima menjadi murid Thian-te Tok-ong karena suheng-nya itu ingin sekali agar puteranya sendiri yang mewarisi ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan tetapi supek mereka menganggap bahwa Ouw Cun Ki, putera suheng-nya yang berusia lima belas tahun itu tidak cukup berbakat.

Akan tetapi Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah meluncurkan sebatang paku ke arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Sinar merah kecil menyambar sehingga Lauw Kang Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan karena serangan itu tentu akan membunuh Yo Han.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han siuman dari pingsannya dan anak yang tadinya sama sekali tidak bergerak itu bangkit duduk dan gerakan yang tidak disengaja ini membuat sambaran paku tidak mengenai sasaran! Paku itu lewat dekat lehernya dan menancap ke lantai, bahkan amblas ke dalam dan tidak nampak lagi!

“Ehhhh...?” Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran sekali. Tangannya bergerak ke saku jubahnya lagi.

“Suheng, tidak cukupkah itu?” Lauw Kang Hui segera memegang lengan suheng-nya, mencegah suheng-nya menyerang lagi. “Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?”

“Huh, hanya kebetulan saja dia siuman!”

“Sama sekali tidak kebetulan. Nampaknya kebetulan akan tetapi justru yang kebetulan itulah yang luar biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, barulah Suheng boleh lakukan apa saja terhadap dirinya.”

“Sute, aku masih penasaran!” kata Ouw Ban.

“Suheng, jangan!” cegah Lauw Kang Hui.

Suheng dan sute atau ketua dan wakilnya itu bersitegang dan pada saat itu terdengar suara batuk-batuk di belakang mereka. Dua orang itu mengenal suara ini dan cepat mereka membalik, lalu keduanya menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu...! Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar...”

Karena Yo Han sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul. Seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah berwarna kelabu itu digelung ke atas seperti rambut pendeta tosu. Yang menyolok pada wajahnya itu adalah sepasang alisnya yang amat tebal dan panjang. Pandang matanya sayu seperti orang mengantuk.

Mendengar dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!

“Hemm, Ouw Ban dan Lauw Kang Hui,” kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada dua orang muridnya itu silih berganti. “Entah mengapa aku ingin sekali keluar kamar, akan tetapi begitu sampai di sini aku melihat kalian bertengkar dan bersitegang. Heran, kalau Thian-li-pang dipimpin oleh kalian berdua, lalu kalian saling bertengkar, apa akan jadinya dengan perkumpulan kita?” Suara kakek itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung teguran keras.

“Maafkan, Suhu. Teecu berdua bukan bertengkar, hanya teecu ingin menguji kebenaran keterangan sute tentang anak ini.”

“Benar, Suhu. Sebetulnya tadi teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini karena teecu hendak membawanya menghadap Supek, yang sudah memesan kepada teecu untuk mencarikan seorang anak luar biasa.”

“Anak luar biasa...?” Ban-tok Mo-ko, kakek itu, sekarang memandang Yo Han penuh perhatian. “Apanya yang luar biasa pada anak ini?”

“Itulah, Suhu. Teecu juga menganggap bahwa, anak ini tidak ada apa-apanya yang luar biasa. Sekali tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute...”

“Suhu, Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun dan pengaruh sihir,” kata Lauw Kang Hui.

“Ehhh? Benarkah?” kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu mengeluarkan sinar ketika dia mengamati wajah Yo Han.

“Teecu hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, tapi Sute mencegahnya, maka tadi teecu berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu.”

Kakek itu menggerakkan tangan memberi isyarat kepada dua orang muridnya agar tidak bersuara, kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sepasang mata yang biasanya sayu itu kini mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus kepala Yo Han melalui sepasang mata anak itu, kemudian terdengar suaranya menggetar, lirih mendesis, dan jelas sekali.

“Anak baik, siapa namamu?”

Yo Han adalah anak yang sudah mengenal sopan santun. Sudah menjadi kebudayaan sejak jaman dulu untuk menghormati orang yang lebih tua, apa lagi orang setua kakek itu. Oleh karena pertanyaan kakek itu ramah dan halus, ia pun menjawab dengan sikap hormat.

“Nama saya Yo Han, Kek.”

Bagi orang yang sudah biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah menunjukkan bahwa korbannya telah masuk perangkap dan tentu akan mentaati segala perintah. Kakek itu memandang lebih tajam dan suaranya semakin berwibawa ketika dia berkata, dengan nada memerintah walau pun masih ramah dan halus.

“Yo Han, kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah padaku!”

Orang yang terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehendaknya dan kesadarannya sendiri akan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Namun betapa kaget dan herannya hati kakek tokoh besar Thian-lipang itu. Anak itu sama sekali tidak mentaati perintahnya, hanya tetap berdiri dan memandang padanya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih.

“Maafkan, Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan guruku, bukan orang tuaku, bahkan bukan pula kakekku.”

Sekarang barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sute-nya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng kepalanya, tak habis heran. Apa kekuatan sihirnya telah punah dan kini dia telah menjadi lemah? Padahal, selama dia mengundurkan diri dari urusan perkumpulan dan berdiam di kamarnya, dia memperbanyak latihan semedhi sehingga sepatutnya kalau kekuatan sihirnya semakin bertambah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!”

Dua orang murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka dengan patuh. Dan kini kakek itu berseru dengan nada memerintah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, sekarang kalian duduklah di lantai dan menangis!”

Dalam keadaan wajar, walau pun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua orang itu tidak akan mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil ketua Thian-li-pang, tentu mereka tidak mau kalau disuruh menangis seperti anak kecil tanpa sebab, bahkan seperti orang gila saja. Akan tetapi karena mereka sudah dicengkeram pengaruh sihir yang amat kuat, begitu mendengar perintah Ban-tok Mo-ko, mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan keduanya menangis seperti dua orang anak kecil kehilangan barang mainan!

Tentu saja Yo Han yang tidak mengerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek berusia enam puluh dan enam puluh lima tahun sekarang menangis mengguguk seperti anak-anak kecil tanpa sebab, menjadi terheran-heran dan juga penasaran kepada orang yang memerintah kedua orang ketua itu.

“Kek, sungguh tidak pantas sekali apa yang kau lakukan ini! Mengapa engkau menghina murid-murid sendiri seperti ini?” Yo Han berkata dengan nada menegur.

Ban-tok Mo-ko terkejut dan merasa heran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah dua orang muridnya dan berkata dengan suara tenang. “Kalian bangkitlah!”

Dua orang pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur, nampak bingung dan tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Yo Han, katakan mengapa tidak pantas dan menghina?” tanya Ban-tok Mo-ko kepada anak itu.

“Mereka ini adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga murid-muridmu sendiri. Akan tetapi mengapa engkau menyuruh mereka menangis seperti anak-anak kecil? Bukankah itu tidak pantas dan menghina namanya?”

Barulah dua orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka digunakan oleh guru mereka untuk menguji kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh. Namun, tadi jelas bahwa ilmu sihir itu tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok Mo-ko juga menyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran dan kagum bukan main.

“Kang Hui, sebaiknya ajak anak ini menghadap supek-mu. Biar dia yang menentukan!”

Mendengar ini, Lauw Kang Hui merasa gembira sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw Ban tadi, dia mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak yang luar biasa ini kepada supek-nya, yaitu hadiah sebuah ilmu baru. Bukan karena dia ingin mengungguli suheng-nya, melainkan untuk kemajuannya sendiri.

“Mari Yo Han, kita menghadap supek!” katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan menariknya pergi.

Karena tidak berdaya, meski hatinya menolak, namun Yo Han tidak dapat membantah dan dia pun hanya menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Imannya kuat karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya dan Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan harapannya dan ia selalu menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Maka, menghadapi apa pun dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkandung keyakinan akan kekuasaan Tuhan, bahwa bila Tuhan menghendaki dia harus mati sekali pun, tidak ada kekuasaan lain yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia telah pasrah dan menghadapi maut pun dia tidak gentar.

Lauw Kang Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan Thian-li-pang yang ternyata amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit yang penuh dengan jurang dan goa. Di depan salah sebuah goa besar, Lauw Kang Hui berhenti sambil tetap memegang tangan Yo Han. Dia tahu akan keadaan luar biasa anak ini, maka dia tidak berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu akan mampu meloloskan diri.

Setelah tiba di depan goa, Lauw Kang Hui menghadap ke arah goa dan menarik tubuh Yo Han untuk bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena tangannya ditarik ke bawah, maka ia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui walau pun ia tidak bermaksud untuk memberi hormat ke arah goa.

Maka ketika wakil ketua Thian-li-pang itu mengangkat-angkat kedua tangannya di depan dada, dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian ke arah goa. Goa itu lebarnya ada sepuluh meter dan nampak terawat bersih seperti rumah saja. Ada pintu di kanan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka dan nampak menghitam gelap.

“Supek yang mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!” Tetapi suara itu hanya bergema di dalam goa dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun.

Lauw Kang Hui menanti sejenak, maklum bahwa supek-nya memang tidak pernah mau diganggu dan tidak pernah mau berhubungan dengan dunia di luar goa kalau tidak ada keperluan yang teramat penting.

“Supek, teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan kepada teecu!”

Kembali hening sejenak. Mendadak terdengar suara angin dari dalam goa dan tiba-tiba saja tubuh Yo Han tersedot ke arah goa. Anak itu mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi tubuhnya terguling-guling seperti bola saja menggelinding ke arah goa dan lenyap ditelan kegelapan goa.

Tak lama kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa. “Heh-heh-heh, bagus sekali, Kang Hui. Engkau boleh pergi sekarang!”

“Maaf, Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang-I Moli, dan teecu sudah berjanji kepadanya untuk mohon bantuan Supek memberikan obat penawar dari hawa beracun pukulan yang sedang dilatihnya.”

“Heh-heh, Si Iblis Betina Cilik Ang-I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang dia latih itu?”

“Katanya ilmu itu disebut Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa).”

“Wah-wah-wah, keji sekali! Untuk menguasai ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan darah perjaka-perjaka remaja yang sehat!”

“Tadinya anak ini yang akan dia jadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup karena anak ini lebih berharga dari pada dua belas orang remaja biasa.”

“Huh, iblis betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini, berarti aku merasa cocok dengan dia dan boleh kau serahkan obat penawar itu kepadanya. Nah, sekarang pergilah!”

“Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon sedikit petunjuk Supek agar supaya teecu mendapat kemajuan dalam ilmu silat teecu.”

“Heh-heh-heh-heh, engkau orang tamak! Tetapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan kuajarkan sebuah ilmu kepadamu.”

“Terima kasih, Supek. Terima kasih!” kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.

Sementara itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba di dalam goa, masih terduduk di lantai goa di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing kaki.

Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Ia adalah seorang anak yang pernah menjadi murid suami isteri yang sakti, maka biar pun dia tidak pernah berlatih ilmu silat, namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam.

Dia tahu bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari luar goa. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu bahwa orang ini tentu lihai bukan main.

Akan tetapi dia sama sekali tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!

Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah dijinjing pergi memasuki goa itu yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas, seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam goa itu tidak gelap seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga sinar matahari dapat masuk. Juga goa itu menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.

Yo Han dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang membawanya ke dalam goa. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo Han terkejut.

Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun umurnya. Rambutnya putih seperti kapas, tinggal sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus bagaikan kaki tangan anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil tetapi nampak ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!

Mereka saling pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja dibandingkan Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda di bandingkan Ban-tok Mo-ko.

“Heh-heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?” tanya kakek itu, dan suaranya seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah.

Yo Han kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia tadi bicara dengan Ban-tok Mo-ko dan dua orang muridnya, kakek ini dapat mendengarkan!

“Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han,” jawabnya dan dia bersikap hormat karena maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.

“Heh-heh, dan engkau anak luar biasa?” tanya kakek itu pula.

Yo Han merasa kesal. Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Tanpa diminta dia pun menghampiri sebuah dipan dan naik, kemudian duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.

“Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang pula menggangu.”

Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.

“Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dia biasanya cermat dan dia haus akan ilmu baru dariku. Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu.”

Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan dua tangan itu sudah memegang kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh amat aneh. Dia tidak mampu bergerak!

Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat aneh yang membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi lumpuh.

Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari tangannya, pijat sana, pijit sini, mengelus-elus bagian belakang kepala yang menonjol, mengukur dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi. “Ck-ck-ck-ck!”

Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut, kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Yo Han.

Anak itu merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Ia hanya pasrah saja, tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan memang menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan.

Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.

Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya, hawa panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas lantai di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini mendadak mampu bergerak lagi, dan kakek itu berseru dengan penuh takjub.

“Wah-wah-wah, apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang begini! Heiii, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-orang pandai?”

Yo Han cemberut. “Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Tapi apa yang kau lakukan terhadap aku yang muda? Meski pun aku pernah menjadi murid orang pandai, akan tetapi jika Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah belajar silat!”

“Tapi... tapi... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!”

“Aku tidak tahu, Locianpwe. Dan apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan? Kekuatan yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di ALAM MAYAPADA ini? Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?”

“Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa. Engkaulah yang sudah lama kunanti, telah lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi orang yang kelak akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!”

“Locianpwe, aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang dirindukan itu akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu akan muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para orang suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga dan benar.”

Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini seorang bocah, tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa itu yang dirindukan jiwa?”

“Apa yang dirindukan oleh setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan bersatu dengan samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api jika bukan kepada api yang menjadi pusatnya? Demikianlah yang sudah kubaca. Hanya persatuan dengan sumber inilah yang akan membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan yang memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?”

“Kepada Tuhan?” kakek itu memandang heran.

“Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah segala sesuatu datang dari padaNya dan sudah sepatutnya kembali kepadaNya?”

“Wah-wah-wah...! Engkau ini siapa sih?” katanya setengah berkelakar.

Akan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata, “Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Aku ini juga setetes air seperti Locianpwe, yang selalu merindukan samudera!”

“Hahhh?”

Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, tetapi setelah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing sebelum bisa kembali ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya.

Dan lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar kembali ke samudra, ada pula yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu sesudah akhirnya kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka.

“Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai muridku.”

Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi muridmu.”

“Ehh? Hah? Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun akan suka sekali menjadi muridku!”

“Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin dulu mengetahui. Kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah kepadaku?”

“Ha-ha-ha, apa saja yang kau ingin pelajari!”

Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan tidak mengenal takut. Maka dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tak diinginkan anak ini sebelum menjawab agar supaya dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.

“Segala macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe, kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat.”

Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu silatnya dan mendidik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang. Dan sekarang, anak yang dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja kecuali ilmu silat!

“Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?”

“Aku tidak membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak dan hanya mendatangkan permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini.”

“Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu sehat. Bagaimana?”

Yo Han mengamati wajah yang kecil itu. “Tidak akan mengajarkan cara memukul dan menendang orang, apa lagi cara membunuh?”

“Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memangnya kau pikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo? Aku suka padamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin dan pandai menari indah!”

Yo Han tersenyum. “Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu.” Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut. “Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di sini.”

“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!”

Mulai hari itu, Yo Han tinggal di dalam goa bersama gurunya. Ternyata untuk mereka sudah dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong mengajarkan ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Yo Han.

Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga buah unsur, yaitu pertama tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir batin.

Dia mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet, Tarian Ular dan sebagainya. Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat.

Yo Han tekun melatih diri dengan ‘tari-tarian’ itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara teoritis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak ‘tariannya’.

Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam goa itu, pada suatu malam Yo Han dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa, namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin sekali.

Dia segera lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersemedhi, menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?” tanyanya kepada kakek itu yang sudah membuka matanya ketika dia berlutut,

“Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han? Jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima tahun ini kadang terdengar keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang terowongan ini.”

“Tapi... suara apakah itu, Suhu?”

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. “Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri. Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewakili aku menurunkan makanan ke bawah sana. Tiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman, tentu ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur.”

“Tapi, siapa dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?”

“Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kau ketahui, orang itu seperti iblis atau seperti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tidak seorang pun mampu menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andai kata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri. Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?”

Yo Han mengangguk kemudian menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu, dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makanan ke sumur itu.
Si bangau merah bagian 05

Sumur itu kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi sangat dalam. Ketika dia mencoba untuk menjenguk ke dalam, yang nampak hanyalah kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali. Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan ‘locianpwe’ beberapa kali, namun selalu tidak ada jawaban.

Menurut pesan Thian-te Tok-ong, seharusnya dia melemparkan begitu saja bungkusan makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya dengan tali dan mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter tali yang ujungnya mengikat buntalan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti kalau dia lemparkan!

Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika mencoba mengerek bungkusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab! Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!

Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke dasar sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim makanan dengan melemparkannya ke sumur.

Yo Han mulai merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, yaitu mengajarkan ‘tari-tarian’ yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo Han dapat memuaskan selera bacanya yang tidak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat partai-partai besar di dunia persilatan. Akan tetapi, gurunya tak pernah mengajaknya bicara tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara tentang ilmu silat.

**********

Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan marilah kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.

Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suheng-nya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya supaya mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, sering kali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.

Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi.

Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?

Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan menjadi ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya.

Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan.

Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari kedua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil dari pada perbandingan dan penilaian yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, tetapi lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kekecewaan. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.

Sebetulnya, susah dan senang hanyalah akibat dari pada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan. Semua hal yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya.

Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita. Sebaliknya, jika hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita.

Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.

Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan kesusahan telah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, jika kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, dan akan tertimbun kesenangan atau kesusahan lain yang datang silih berganti.

Orang yang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan semuanya pada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang mengatur dan menentukan segalanya.

Hujan? Banjir? Bencana alam? Kehilangan? Keuntungan dan keberhasilan? Sakit dan mati? Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran dan penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, tidak akan pernah lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan
.

Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong serta isterinya, Kao Hong Li, lalu mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar supaya terhibur hatinya.

Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah. Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di salah sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.

Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han!

Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lainnya akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru.

Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita telah digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Jika yang didapatkan itu sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru.

Sejak kanak-kanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walau pun bentuk barang permainan itu yang berbeda.

Permainan kita pada waktu masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, melainkan permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indera. Meski pun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!


Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!

Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu kini tinggal di Pao-teng, berdagang rempah-rempah. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya, Suma Hui, telah berusia lima puluh tiga tahun.

Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko rempah-rempah yang juga membantu rumah tangga.

Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka sudah lama mengurung diri dan tak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tak ada golongan sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal lihai sekali, juga karena Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya.

Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan bagi mereka berdua. Mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat dan segan kepada mereka.

Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui, ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li.

Dulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra.

Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa kemudian menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai!

Namun dasar sudah jodohnya. Hong Li kemudian bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi terputus karena Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan!

Dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apa lagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.

“Sian Li, cucuku yang manis sekali...!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya itu tinggi-tinggi, kemudian mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. “Aduh, engkau makin manis saja, Sian Li. Dan pakaianmu merah! He-he-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”

Kao Cin Liong mengelus rambut kepala Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui. “Bangau Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kongkong!” kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.

Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.

“Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”

Mendadak Sian Li yang berada di pondongan kakeknya berkata, “Kongkong dan Bo-bo (Nenek), Suheng Yo Han nakal, dia pergi bersama seorang bibi iblis!”

Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menagisinya.

“Apa yang terjadi dengan dia?” bertanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.

“Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak Sian Li pesiar.”

Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi kamar Hong Li. Ada pun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.

Sesudah beristirahat dan makan malam, dan sesudah Sian Li tertidur pulas di kamar neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang-I Moli Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!

“Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han sudah pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak dapat mencegahnya karena dia sendiri memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya sendiri.”

“Ahhh, tetapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!”

“Tidak boleh kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang-I Moli supaya iblis betina itu membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han.”

“Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Aku pun tadinya tidak mau mengalah begitu saja dan sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Dia memang lihai, akan tetapi kalau dia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Tetapi betapa pun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu juga sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu.”

Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan amat kagum kepada anak itu. “Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluarga kalian karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?”

Hong Li mengangguk dan menunduk. “Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya sehingga dia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han bila terus dekat dengan dia.”

Sin Hong menarik napas panjang. “Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami sangat sayang kepada Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia.”

“Tetapi... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya jadi terancam...” Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.

“Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tak perlu khawatir,” kata Hong Li sambil memandang suaminya.

Sekarang mereka bertiga semuanya memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.

“Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapa pun janggalnya. Saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran kepada saya, yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Ia amat yakin akan hal ini, maka ia tidak pernah takut menghadapi apa pun, bahkan ancaman maut sekali pun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu menundukkan ular.”

“Aneh sekali!” kata Suma Hui. “Padahal, walau pun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan ular, akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku pun tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li.”

“Itulah keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li. Kami berdua yang mempunyai kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya? Bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang-I Moli untuk membebaskan Sian Li!”

Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimana pun juga, mereka menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang-I Moli. “Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya,” kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang-I Moli entah ke mana.

Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.

Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Pada saat puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali. Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia yang masih demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak!

Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup, apa lagi tanpa anak, dipandang amat hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!

Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tertidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.

“Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.

Kao Cin Liong yang sedang duduk bersemedhi bisa mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-lim-pai yang termasuk tokoh karena tingkat dan kepandaian silatnya sudah cukup tinggi.

Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.

“Tahan...!” seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang terhuyung, menyambar lengannya.

Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.

“Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”

“Mereka... mereka... orang-orang Bu-tong-pai... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah. “Kami sudah mengalah... akan tetapi... seperti pernah kuceritakan... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami...” Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut “Omitohud...!” dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.

Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio, Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!

Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.

“Dia ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!” Dan mereka berdua maju menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat.

Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru, “Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba untuk mengelak.

Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.

“Desss...!”

Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang kuat bukan main. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga.

Sedangkan ia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai yang para pemimpinnya banyak dikenalnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan dua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!

Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Meski pun usianya telah lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena dia maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lantas mengerahkan tenaga Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.

“Aaarghhhh...!”

Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun langsung terjengkang! Akan tetapi pada saat kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sin-liong Hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan tapak tangan mereka ke punggungnya.

“Plakkk! Dukkk!”

Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong Hok-te tadi demikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!

“Aiihhh...!” Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.

“Kongkong...!”

Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja.

Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada.

Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, bila dilakukan berterang, tentu akan dapat diatasinya.

“Haiiittt...!”

Suara Suma Hui melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali. Dia berhasil menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang lihai.

Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sinkang yang dingin.

Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya amat terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka ia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

Pada saat tiga orang tosu yang lainnya hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.

Melihat hal ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria.

Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong, hawa pukulan yang keluar dari tangannya lantas membuat lawannya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.

“Ayah...!” Kao Hong Li yang melihat ayahnya tergeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat menghampiri ayahnya.

Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata, “Hong Li... cepat... kau… bantu... ibumu...”

Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk sekali menghadapi permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biar pun kini dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat, kemudian membantu ibunya. Kini tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.

Walau pun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu!

Bahkan tosu itu sempat berteriak. “Sute, bantu...!”

Teriakannya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan kedua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak pada saat Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun.

Ilmu ini adalah ilmu yang sangat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang pendekar sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sinkang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu.

Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai sekali, ia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja, dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.

Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil, “Ibuuuu...! Ayaahhh...!” Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.

“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”

Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu.

Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.

“Uhhh...!” Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah.

Melihat hal ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu hendak meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.

“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”

“Berhenti, atau kubunuh anakmu!” Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.

Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.

“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.

“Ibuuu...!”

“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?” Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega.

Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada saat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memondong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.

“Ibu...!” Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.

“Aku... berhasil menghajar penculik tadi... tetapi yang lain... membokong dengan curang dari belakang... ahhh... bagaimana... ayahmu...?” Wanita itu terkulai dan tentu segera roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.

“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.

Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya. Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walau pun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.

Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.

“Cepat kalian undang tabib yang paling pandai di kota ini,” berkata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.

Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.

Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alis melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, dan napasnya empas-empis, tinggal satu-satu.

Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!

Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Dia terlampau gagah untuk menangis. Dia berusaha menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan.

Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, lalu dengan lembut dia berkata, “Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biarlah aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”

Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang kurang baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak sangat kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.

“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”

Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Pada waktu Hong Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, “Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”

“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”

“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”

“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”

“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”

Kao Hong Li menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu sempat berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”

“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”

“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”

Sekarang Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. “Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai! Mereka orang-orang jahat!”

“Ssttt, sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan macam itu,” ibunya menghibur.

Dan setelah puterinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.

Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. “Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita mesti cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biar pun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas.”

Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang terluka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong, dan yang satunya pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu, Tan Sin Hong yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.

Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biar pun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sinkang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.

Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar supaya percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.

“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggung jawaban mereka. Perbuatan mereka yang melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”

Tan Sin Hong mengerutkan alisnya. “Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita telah sama mengetahui bahwa akhir-akhir ini memang terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai hingga sering kali terjadi bentrokan di antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan ini memang bukan urusan kita. Kalau kini Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka turut terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”

“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah. Kenapa mereka masih terus menyerang dan tidak mau memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, mengapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”

“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”

Akan tetapi isterinya menggelengkan kepala. “Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang?”

Sin Hong mengangguk-angguk. “Engkau benar. Aku sendiri pun memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dahulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjung ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya.

“Ayah dan Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanya anak itu sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.

“Ssttt, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan engkau bermainlah di luar.”

Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya. Alisnya berkerut, mulutnya cemberut. “Kini Kakek dan Nenek tak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!” Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar.

Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.

Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan kedua orang tua mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sinkang dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Walau pun usaha ini belum bisa menyembuhkan, tapi setidaknya dapat memperkuat hawa murni di dalam tubuh ayah dan ibu mereka serta memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.


SELANJUTNYA SI BANGAU MERAH BAGIAN 06


Si Bangau Merah Bagian 05

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI BANGAU MERAH BAGIAN 05

"Moli, siapa dia?"

Ang-I Moli tersenyum. "Aihh, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!”

Wanita ini lalu meloncat ke atas pohon, melepaskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit tubuh anak itu lalu membawanya meloncat turun.

Sementara itu, pada waktu Ang-I Moli sibuk menurunkan Yo Han tadi, Lauw Kang Hui mendengar dari dua orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu adalah seorang anak luar biasa dan Ang-I Moli hendak menghisap darah anak itu untuk memenuhi persyaratan melatih ilmu rahasianya. Lauw Kang Hui merasa tertarik sekali, maka ketika Ang-I Moli sudah menurunkan Yo Han, dia cepat menghampiri.

Kini Yo Han sudah diturunkan dan anak itu berdiri dengan gagah walau pun tubuhnya terasa nyeri semua dan kepalanya masih pening karena terlalu lama digantung terbalik. Lauw Kang Hui melihat sepasang mata yang begitu jernih akan tetapi juga tajam tanpa dibayangi takut sedikit pun.

“Anak baik, siapa namamu?” tanyanya

“Namaku Yo Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berkedudukan tinggi, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, tetapi mengapa melakukan perbuatan yang demikian keji dan pengecut?”

Kembali Lauw Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini! Begitu beraninya. Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.

“Moli, titipkan anak itu kepada kedua suheng-mu. Aku ingin bicara penting denganmu,” kata Lauw Kang Hui.

“Ada urusan apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?” bertanya Moli setelah mereka pergi agak jauh agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain, terutama Yo Han. Biar pun dia wakil Ketua Thian-li-pang, namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.

“Kuharap engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah kau tawan?”

Ang-I Moli tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. “Aih, itu urusan pribadiku, Lauw Pangcu. Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urusan pribadi orang?” Dia tersenyum dan melirik manja.

“Katakan saja terus terang. Bukankah engkau hendak menghisap darahnya untuk dapat memenuhi persyaratan engkau mempelajari sebuah ilmu rahasia?”

Ang-I Moli terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suheng-nya yang berdiri di sana sambil menjaga Yo Han.

“Hemmm, tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya kepadamu!”

“Apa salahnya, Moli? Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang.”

“Benar, Lauw Pangcu.”

“Kalau begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu berikan saja kepadaku!”

Ang-I Moli menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik, lalu dengan alis berkerut ia berkata, “Hemmm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu sama harganya dengan dua belas orang perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu kecil. Aku harus menanti satu dua tahun lagi...”

“Kalau begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan sehat! Dan akan kupilihkan mereka yang telah agak dewasa sehingga engkau tak perlu menanti sampai satu dua tahun lagi. Anak itu bertingkah aneh, tentu akan repot sekali menawannya selama satu dua tahun. Bagaimana?”

Tawaran ini menarik hati Moli. Memang dia sering kali merasa jengkel dengan Yo Han. Setelah melarikan anak ini selama kurang lebih tiga bulan, dia sampai bosan mencoba menjatuhkan anak ini ke dalam pelukannya. Berbagai macam cara sudah dia gunakan. Dengan sihir bantuan dua orang suheng-nya. Dengan ramuan obat dan racun. Dengan totokan. Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya.

Sihir dan racun agaknya tak mempengaruhi anak itu. Juga ancaman, siksaan dan bujuk rayu tidak mempan! Untuk mendapatkan darah anak itu melalui penghisapan darahnya melalui mulut begitu saja, selain ia merasa muak juga daya gunanya banyak berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh anak itu.

“Hemmm, usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang, kuharap engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo Han?”

Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi kedudukan atau tingkatnya di Thian-li-pang?”

“Tentu saja Ouw Pangcu, suheng-mu,” jawab Ang-I Moli tanpa ragu lagi. “Kalau bukan Sang Ketua yang paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi?”

“Bukan dia.”

“Ah, aku tahu. Tentu guru kalian, Locianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan tetapi dia sudah tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?”

“Memang Suhu tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi dari pada suheng dan aku. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu.”

“Wah, kalau begitu aku tidak tahu lagi.”

“Yang paling tinggi tingkatnya di antara kami di Thian-li-pang adalah Supek (Uwa Guru) Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)!”

“Ahhh...? Tapi... bukankah beliau sudah... sudah tidak ada lagi?”

“Tidak ada di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang baru-baru ini memesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang berbakat luar biasa, aku harus membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika aku melihat Yo Han, aku tertarik dan siapa tahu, anak seperti itulah yang dicari Supek.”

“Lauw Pangcu, aku senang sekali dapat membantu Locianpwe Thian-te Tok-ong! Siapa tahu kelak beliau suka membantuku kembali sebagai imbalan jasaku.”

“Hemm, bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?”

“Ilmu rahasia yang akan kulatih merupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku hendak memohon bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong supaya mau membuatkan obat penawarnya.”

“Baik, akan kusampaikan kepada Supek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan suka membantu.”

Tepat seperti yang sudah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh perguruan-perguruan silat besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya bedanya, bukan seluruh mayatnya yang dikirim, namun hanya kepalanya saja! Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara direndam sehingga tidak membusuk, lalu dimasukkan ke dalam guci besar dan ditutup rapat, kemudian dimasukkan dalam peti lalu dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok (kantor pengiriman barang).

Bisa dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu saat menerima kiriman kepala. Petugas piauw-kiok mengaku sesuai dengan pesanan pengirim peti itu. Pengirim peti ke Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim) mengatakan bahwa orang yang mengirim peti itu mengaku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. Petugas pengirim peti untuk Kun-lun-pai mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai, dan petugas pengiriman peti untuk Go-bi-pai mengaku disuruh seorang murid Bu-tong-pai, serta petugas pengiriman peti untuk Bu-tong-pai mengaku disuruh seorang murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja para murid perguruan-perguruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula para ketua masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para pengirim barang itu.

Ketika mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua lalu mengirim murid-murid terpandai untuk memenuhi undangan di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri apakah benar ada tantangan seperti dalam surat yang telah mereka terima. Kini, murid-murid itu kembali hanya tinggal kepala saja dan pada saat mereka melakukan pemeriksaan, jelas bahwa murid-murid itu memang tewas oleh senjata lawan dari perguruan yang mengirim tantangan.

Biar pun sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih belum yakin benar. Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa perguruan yang mengirim tantangan adalah dari golongan bersih, para pendekar yang tidak pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan bersahabat erat. Bagaimana tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan sekarang melakukan pembunuhan terhadap murid yang mereka utus untuk memenuhi undangan di Bukit Naga itu? Bagaimana pun juga, telah terbukti bahwa murid mereka tewas.

Biar pun para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi kemarahan dan sakit hati mereka. Mulailah terjadi bentrokan-bentrokan di antara empat partai persilatan besar itu. Setiap kali terjadi pertemuan, maka murid-murid Kun-lun-pai menyerang murid-murid Go-bi-pai, Go-bi-pai akan menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-lim-pai dan sebaliknya Siauw-lim-pai menyerang Kun-lun-pai.

Terjadi beberapa kali bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka mau pun yang tewas. Dan sesudah terjadi bentrokan-bentrokan itu, mau tidak mau para pimpinan partai masing-masing ikut pula terseret. Dan mulailah terjadi pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu, persis seperti apa yang diinginkan Thian-li-pang yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw…..

*********

Yo Han diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang-I Moli. Sebagai gantinya, wanita iblis itu oleh Lauw Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja seperti yang dia janjikan. Remaja-remaja itu satu demi satu mati kehabisan darah dalam pelukan iblis betina itu.

Yo Han diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Ia diperlakukan dengan baik, bahkan Lauw Kang Hui terus membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot yang hendak membebaskan bangsa dan tanah air dari tangan penjajah Mancu. Namun, semua itu percuma.

Yo Han tidak dapat melupakan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan bagaimana pun juga, dia tetap menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu muslihat dan kejam. Dia sudah banyak membaca tentang para pahlawan yang dengan setulusnya hati berjuang membela tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri.

Akan tetapi, apa yang diperlihatkan orang-orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tak ada hubungannya sama sekali dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah! Bahkan Thian-li-pang telah mengadu domba antara perguruan-perguruan silat besar yang terdiri dari bangsa sendiri! Setiap orang pendekar pasti tidak setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu.

Dan Thian-li-pang juga bersekutu dengan orang-orang seperti Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, ia sendiri sudah membuktikan sendiri betapa jahatnya Ang-I Moli! Oleh karena itu, biar pun dia diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan dibujuk dengan omongan manis, tetap saja dia tidak percaya pada perkumpulan ini.

Di dalam perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak kuat, dengan perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal laksana benteng. Perkampungan di lereng bukit itu luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan tidak kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-li-pang tinggal di situ. Mereka setiap hari latihan silat dan berbaris.

Ketika dia dihadapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw Ban yang berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang kepada Yo Han seperti orang menaksir seekor kuda yang akan dibelinya.

“Namamu Yo Han?” tanya Sang Ketua, suaranya parau dan besar.

Yo Han memandang kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan itu. Dia mengangguk. “Benar, namaku Yo Han.”

“Engkau mau menjadi murid Thian-li-pang?” tanya pula ketua itu.

Yo Han memandangnya dengan sinar mata tajam. Dengan tegas dia menggelengkan kepala, lalu menjawab. “Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat, kejam dan pengecut!”

Ouw Ban membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. “Dan kau bilang anak ini luar biasa?”

Lauw Kang Hui tersenyum. “Suheng, bukankah sikapnya yang luar biasa pemberani ini menunjukkan keluar biasaannya?”

“Huh, kita lihat saja sampai di mana keluar biasaannya. Bocah sombong, cobalah kau sambut ini!”

Mendadak saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main. Saking cepatnya, gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak dan tahu-tahu telapak tangan itu telah mengenai tengkuk Yo Han.

“Plakk!”

Tubuh Yo Han yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu roboh pingsan.

“Suheng! Kau membunuhnya?” tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu berlutut memeriksa anak itu.

“Hemmm, kalau dia mati pun lebih baik dari pada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak macam itu kau katakan luar biasa?” kata Ketua Thian-li-pang.

Lauw Kang Hui mendapat kenyataan bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bangkit lagi berdiri dan memandang kepada kakak seperguruannya.

“Suheng, keluar biasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan dewasa, akan tetapi juga menurut keterangan Ang-I Moli, anak ini kebal terhadap racun dan tidak dapat dipengaruhi sihir.”

“Ha-ha-ha, apakah engkau tidak mengenal orang macam apa adanya Ang-I Moli, Sute? Engkau dikibuli saja! Masa anak semacam ini ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang pilihan. Engkau sungguh bodoh, Sute.”

“Kurasa ia tidak berani mempermainkan aku, Suheng. Bagaimana pun juga, biarlah dia kubawa menghadap Supek, dan biarlah Supek saja yang menentukan apakah anak ini memenuhi syarat ataukah tidak.”

“Sute, agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya? Engkau hendak menyuapnya supaya engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat kepandaianmu akan melampaui aku?”

Lauw Kang Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang kepada wajah suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehh? Kenapa engkau menyangka buruk seperti itu, Suheng? Suheng sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk mencarikan seorang anak yang luar biasa supaya Supek dapat menggemblengnya dan kelak akan makin memperkuat Thian-li-pang.”

“Kalau begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!” Ketua Thian-li-pang itu mengambil sesuatu dari saku jubahnya.

“Suheng, jangan! Ang-tok-ting (Paku Beracun Merah) itu dapat membunuhnya!” berkata Lauw Kang Hui. “Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap sihir saja.”

Lauw Kang Hui maklum bahwa suheng-nya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain yang diterima menjadi murid Thian-te Tok-ong karena suheng-nya itu ingin sekali agar puteranya sendiri yang mewarisi ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan tetapi supek mereka menganggap bahwa Ouw Cun Ki, putera suheng-nya yang berusia lima belas tahun itu tidak cukup berbakat.

Akan tetapi Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah meluncurkan sebatang paku ke arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Sinar merah kecil menyambar sehingga Lauw Kang Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan karena serangan itu tentu akan membunuh Yo Han.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han siuman dari pingsannya dan anak yang tadinya sama sekali tidak bergerak itu bangkit duduk dan gerakan yang tidak disengaja ini membuat sambaran paku tidak mengenai sasaran! Paku itu lewat dekat lehernya dan menancap ke lantai, bahkan amblas ke dalam dan tidak nampak lagi!

“Ehhhh...?” Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran sekali. Tangannya bergerak ke saku jubahnya lagi.

“Suheng, tidak cukupkah itu?” Lauw Kang Hui segera memegang lengan suheng-nya, mencegah suheng-nya menyerang lagi. “Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?”

“Huh, hanya kebetulan saja dia siuman!”

“Sama sekali tidak kebetulan. Nampaknya kebetulan akan tetapi justru yang kebetulan itulah yang luar biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, barulah Suheng boleh lakukan apa saja terhadap dirinya.”

“Sute, aku masih penasaran!” kata Ouw Ban.

“Suheng, jangan!” cegah Lauw Kang Hui.

Suheng dan sute atau ketua dan wakilnya itu bersitegang dan pada saat itu terdengar suara batuk-batuk di belakang mereka. Dua orang itu mengenal suara ini dan cepat mereka membalik, lalu keduanya menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu...! Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar...”

Karena Yo Han sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul. Seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah berwarna kelabu itu digelung ke atas seperti rambut pendeta tosu. Yang menyolok pada wajahnya itu adalah sepasang alisnya yang amat tebal dan panjang. Pandang matanya sayu seperti orang mengantuk.

Mendengar dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!

“Hemm, Ouw Ban dan Lauw Kang Hui,” kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada dua orang muridnya itu silih berganti. “Entah mengapa aku ingin sekali keluar kamar, akan tetapi begitu sampai di sini aku melihat kalian bertengkar dan bersitegang. Heran, kalau Thian-li-pang dipimpin oleh kalian berdua, lalu kalian saling bertengkar, apa akan jadinya dengan perkumpulan kita?” Suara kakek itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung teguran keras.

“Maafkan, Suhu. Teecu berdua bukan bertengkar, hanya teecu ingin menguji kebenaran keterangan sute tentang anak ini.”

“Benar, Suhu. Sebetulnya tadi teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini karena teecu hendak membawanya menghadap Supek, yang sudah memesan kepada teecu untuk mencarikan seorang anak luar biasa.”

“Anak luar biasa...?” Ban-tok Mo-ko, kakek itu, sekarang memandang Yo Han penuh perhatian. “Apanya yang luar biasa pada anak ini?”

“Itulah, Suhu. Teecu juga menganggap bahwa, anak ini tidak ada apa-apanya yang luar biasa. Sekali tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute...”

“Suhu, Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun dan pengaruh sihir,” kata Lauw Kang Hui.

“Ehhh? Benarkah?” kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu mengeluarkan sinar ketika dia mengamati wajah Yo Han.

“Teecu hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, tapi Sute mencegahnya, maka tadi teecu berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu.”

Kakek itu menggerakkan tangan memberi isyarat kepada dua orang muridnya agar tidak bersuara, kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sepasang mata yang biasanya sayu itu kini mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus kepala Yo Han melalui sepasang mata anak itu, kemudian terdengar suaranya menggetar, lirih mendesis, dan jelas sekali.

“Anak baik, siapa namamu?”

Yo Han adalah anak yang sudah mengenal sopan santun. Sudah menjadi kebudayaan sejak jaman dulu untuk menghormati orang yang lebih tua, apa lagi orang setua kakek itu. Oleh karena pertanyaan kakek itu ramah dan halus, ia pun menjawab dengan sikap hormat.

“Nama saya Yo Han, Kek.”

Bagi orang yang sudah biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah menunjukkan bahwa korbannya telah masuk perangkap dan tentu akan mentaati segala perintah. Kakek itu memandang lebih tajam dan suaranya semakin berwibawa ketika dia berkata, dengan nada memerintah walau pun masih ramah dan halus.

“Yo Han, kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah padaku!”

Orang yang terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehendaknya dan kesadarannya sendiri akan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Namun betapa kaget dan herannya hati kakek tokoh besar Thian-lipang itu. Anak itu sama sekali tidak mentaati perintahnya, hanya tetap berdiri dan memandang padanya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih.

“Maafkan, Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan guruku, bukan orang tuaku, bahkan bukan pula kakekku.”

Sekarang barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sute-nya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng kepalanya, tak habis heran. Apa kekuatan sihirnya telah punah dan kini dia telah menjadi lemah? Padahal, selama dia mengundurkan diri dari urusan perkumpulan dan berdiam di kamarnya, dia memperbanyak latihan semedhi sehingga sepatutnya kalau kekuatan sihirnya semakin bertambah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!”

Dua orang murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka dengan patuh. Dan kini kakek itu berseru dengan nada memerintah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, sekarang kalian duduklah di lantai dan menangis!”

Dalam keadaan wajar, walau pun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua orang itu tidak akan mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil ketua Thian-li-pang, tentu mereka tidak mau kalau disuruh menangis seperti anak kecil tanpa sebab, bahkan seperti orang gila saja. Akan tetapi karena mereka sudah dicengkeram pengaruh sihir yang amat kuat, begitu mendengar perintah Ban-tok Mo-ko, mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan keduanya menangis seperti dua orang anak kecil kehilangan barang mainan!

Tentu saja Yo Han yang tidak mengerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek berusia enam puluh dan enam puluh lima tahun sekarang menangis mengguguk seperti anak-anak kecil tanpa sebab, menjadi terheran-heran dan juga penasaran kepada orang yang memerintah kedua orang ketua itu.

“Kek, sungguh tidak pantas sekali apa yang kau lakukan ini! Mengapa engkau menghina murid-murid sendiri seperti ini?” Yo Han berkata dengan nada menegur.

Ban-tok Mo-ko terkejut dan merasa heran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah dua orang muridnya dan berkata dengan suara tenang. “Kalian bangkitlah!”

Dua orang pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur, nampak bingung dan tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Yo Han, katakan mengapa tidak pantas dan menghina?” tanya Ban-tok Mo-ko kepada anak itu.

“Mereka ini adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga murid-muridmu sendiri. Akan tetapi mengapa engkau menyuruh mereka menangis seperti anak-anak kecil? Bukankah itu tidak pantas dan menghina namanya?”

Barulah dua orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka digunakan oleh guru mereka untuk menguji kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh. Namun, tadi jelas bahwa ilmu sihir itu tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok Mo-ko juga menyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran dan kagum bukan main.

“Kang Hui, sebaiknya ajak anak ini menghadap supek-mu. Biar dia yang menentukan!”

Mendengar ini, Lauw Kang Hui merasa gembira sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw Ban tadi, dia mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak yang luar biasa ini kepada supek-nya, yaitu hadiah sebuah ilmu baru. Bukan karena dia ingin mengungguli suheng-nya, melainkan untuk kemajuannya sendiri.

“Mari Yo Han, kita menghadap supek!” katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan menariknya pergi.

Karena tidak berdaya, meski hatinya menolak, namun Yo Han tidak dapat membantah dan dia pun hanya menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Imannya kuat karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya dan Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan harapannya dan ia selalu menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Maka, menghadapi apa pun dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkandung keyakinan akan kekuasaan Tuhan, bahwa bila Tuhan menghendaki dia harus mati sekali pun, tidak ada kekuasaan lain yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia telah pasrah dan menghadapi maut pun dia tidak gentar.

Lauw Kang Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan Thian-li-pang yang ternyata amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit yang penuh dengan jurang dan goa. Di depan salah sebuah goa besar, Lauw Kang Hui berhenti sambil tetap memegang tangan Yo Han. Dia tahu akan keadaan luar biasa anak ini, maka dia tidak berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu akan mampu meloloskan diri.

Setelah tiba di depan goa, Lauw Kang Hui menghadap ke arah goa dan menarik tubuh Yo Han untuk bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena tangannya ditarik ke bawah, maka ia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui walau pun ia tidak bermaksud untuk memberi hormat ke arah goa.

Maka ketika wakil ketua Thian-li-pang itu mengangkat-angkat kedua tangannya di depan dada, dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian ke arah goa. Goa itu lebarnya ada sepuluh meter dan nampak terawat bersih seperti rumah saja. Ada pintu di kanan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka dan nampak menghitam gelap.

“Supek yang mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!” Tetapi suara itu hanya bergema di dalam goa dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun.

Lauw Kang Hui menanti sejenak, maklum bahwa supek-nya memang tidak pernah mau diganggu dan tidak pernah mau berhubungan dengan dunia di luar goa kalau tidak ada keperluan yang teramat penting.

“Supek, teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan kepada teecu!”

Kembali hening sejenak. Mendadak terdengar suara angin dari dalam goa dan tiba-tiba saja tubuh Yo Han tersedot ke arah goa. Anak itu mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi tubuhnya terguling-guling seperti bola saja menggelinding ke arah goa dan lenyap ditelan kegelapan goa.

Tak lama kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa. “Heh-heh-heh, bagus sekali, Kang Hui. Engkau boleh pergi sekarang!”

“Maaf, Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang-I Moli, dan teecu sudah berjanji kepadanya untuk mohon bantuan Supek memberikan obat penawar dari hawa beracun pukulan yang sedang dilatihnya.”

“Heh-heh, Si Iblis Betina Cilik Ang-I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang dia latih itu?”

“Katanya ilmu itu disebut Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa).”

“Wah-wah-wah, keji sekali! Untuk menguasai ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan darah perjaka-perjaka remaja yang sehat!”

“Tadinya anak ini yang akan dia jadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup karena anak ini lebih berharga dari pada dua belas orang remaja biasa.”

“Huh, iblis betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini, berarti aku merasa cocok dengan dia dan boleh kau serahkan obat penawar itu kepadanya. Nah, sekarang pergilah!”

“Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon sedikit petunjuk Supek agar supaya teecu mendapat kemajuan dalam ilmu silat teecu.”

“Heh-heh-heh-heh, engkau orang tamak! Tetapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan kuajarkan sebuah ilmu kepadamu.”

“Terima kasih, Supek. Terima kasih!” kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.

Sementara itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba di dalam goa, masih terduduk di lantai goa di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing kaki.

Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Ia adalah seorang anak yang pernah menjadi murid suami isteri yang sakti, maka biar pun dia tidak pernah berlatih ilmu silat, namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam.

Dia tahu bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari luar goa. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu bahwa orang ini tentu lihai bukan main.

Akan tetapi dia sama sekali tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!

Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah dijinjing pergi memasuki goa itu yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas, seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam goa itu tidak gelap seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga sinar matahari dapat masuk. Juga goa itu menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.

Yo Han dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang membawanya ke dalam goa. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo Han terkejut.

Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun umurnya. Rambutnya putih seperti kapas, tinggal sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus bagaikan kaki tangan anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil tetapi nampak ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!

Mereka saling pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja dibandingkan Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda di bandingkan Ban-tok Mo-ko.

“Heh-heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?” tanya kakek itu, dan suaranya seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah.

Yo Han kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia tadi bicara dengan Ban-tok Mo-ko dan dua orang muridnya, kakek ini dapat mendengarkan!

“Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han,” jawabnya dan dia bersikap hormat karena maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.

“Heh-heh, dan engkau anak luar biasa?” tanya kakek itu pula.

Yo Han merasa kesal. Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Tanpa diminta dia pun menghampiri sebuah dipan dan naik, kemudian duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.

“Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang pula menggangu.”

Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.

“Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dia biasanya cermat dan dia haus akan ilmu baru dariku. Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu.”

Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan dua tangan itu sudah memegang kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh amat aneh. Dia tidak mampu bergerak!

Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat aneh yang membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi lumpuh.

Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari tangannya, pijat sana, pijit sini, mengelus-elus bagian belakang kepala yang menonjol, mengukur dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi. “Ck-ck-ck-ck!”

Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut, kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Yo Han.

Anak itu merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Ia hanya pasrah saja, tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan memang menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan.

Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.

Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya, hawa panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas lantai di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini mendadak mampu bergerak lagi, dan kakek itu berseru dengan penuh takjub.

“Wah-wah-wah, apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang begini! Heiii, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-orang pandai?”

Yo Han cemberut. “Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Tapi apa yang kau lakukan terhadap aku yang muda? Meski pun aku pernah menjadi murid orang pandai, akan tetapi jika Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah belajar silat!”

“Tapi... tapi... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!”

“Aku tidak tahu, Locianpwe. Dan apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan? Kekuatan yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di ALAM MAYAPADA ini? Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?”

“Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa. Engkaulah yang sudah lama kunanti, telah lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi orang yang kelak akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!”

“Locianpwe, aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang dirindukan itu akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu akan muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para orang suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga dan benar.”

Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini seorang bocah, tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa itu yang dirindukan jiwa?”

“Apa yang dirindukan oleh setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan bersatu dengan samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api jika bukan kepada api yang menjadi pusatnya? Demikianlah yang sudah kubaca. Hanya persatuan dengan sumber inilah yang akan membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan yang memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?”

“Kepada Tuhan?” kakek itu memandang heran.

“Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah segala sesuatu datang dari padaNya dan sudah sepatutnya kembali kepadaNya?”

“Wah-wah-wah...! Engkau ini siapa sih?” katanya setengah berkelakar.

Akan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata, “Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Aku ini juga setetes air seperti Locianpwe, yang selalu merindukan samudera!”

“Hahhh?”

Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, tetapi setelah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing sebelum bisa kembali ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya.

Dan lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar kembali ke samudra, ada pula yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu sesudah akhirnya kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka.

“Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai muridku.”

Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi muridmu.”

“Ehh? Hah? Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun akan suka sekali menjadi muridku!”

“Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin dulu mengetahui. Kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah kepadaku?”

“Ha-ha-ha, apa saja yang kau ingin pelajari!”

Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan tidak mengenal takut. Maka dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tak diinginkan anak ini sebelum menjawab agar supaya dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.

“Segala macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe, kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat.”

Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu silatnya dan mendidik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang. Dan sekarang, anak yang dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja kecuali ilmu silat!

“Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?”

“Aku tidak membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak dan hanya mendatangkan permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini.”

“Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu sehat. Bagaimana?”

Yo Han mengamati wajah yang kecil itu. “Tidak akan mengajarkan cara memukul dan menendang orang, apa lagi cara membunuh?”

“Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memangnya kau pikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo? Aku suka padamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin dan pandai menari indah!”

Yo Han tersenyum. “Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu.” Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut. “Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di sini.”

“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!”

Mulai hari itu, Yo Han tinggal di dalam goa bersama gurunya. Ternyata untuk mereka sudah dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong mengajarkan ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Yo Han.

Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga buah unsur, yaitu pertama tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir batin.

Dia mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet, Tarian Ular dan sebagainya. Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat.

Yo Han tekun melatih diri dengan ‘tari-tarian’ itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara teoritis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak ‘tariannya’.

Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam goa itu, pada suatu malam Yo Han dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa, namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin sekali.

Dia segera lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersemedhi, menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?” tanyanya kepada kakek itu yang sudah membuka matanya ketika dia berlutut,

“Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han? Jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima tahun ini kadang terdengar keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang terowongan ini.”

“Tapi... suara apakah itu, Suhu?”

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. “Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri. Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewakili aku menurunkan makanan ke bawah sana. Tiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman, tentu ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur.”

“Tapi, siapa dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?”

“Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kau ketahui, orang itu seperti iblis atau seperti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tidak seorang pun mampu menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andai kata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri. Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?”

Yo Han mengangguk kemudian menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu, dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makanan ke sumur itu.
Si bangau merah bagian 05

Sumur itu kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi sangat dalam. Ketika dia mencoba untuk menjenguk ke dalam, yang nampak hanyalah kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali. Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan ‘locianpwe’ beberapa kali, namun selalu tidak ada jawaban.

Menurut pesan Thian-te Tok-ong, seharusnya dia melemparkan begitu saja bungkusan makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya dengan tali dan mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter tali yang ujungnya mengikat buntalan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti kalau dia lemparkan!

Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika mencoba mengerek bungkusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab! Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!

Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke dasar sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim makanan dengan melemparkannya ke sumur.

Yo Han mulai merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, yaitu mengajarkan ‘tari-tarian’ yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo Han dapat memuaskan selera bacanya yang tidak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat partai-partai besar di dunia persilatan. Akan tetapi, gurunya tak pernah mengajaknya bicara tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara tentang ilmu silat.

**********

Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan marilah kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.

Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suheng-nya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya supaya mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, sering kali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.

Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi.

Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?

Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan menjadi ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya.

Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan.

Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari kedua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil dari pada perbandingan dan penilaian yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, tetapi lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kekecewaan. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.

Sebetulnya, susah dan senang hanyalah akibat dari pada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan. Semua hal yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya.

Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita. Sebaliknya, jika hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita.

Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.

Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan kesusahan telah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, jika kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, dan akan tertimbun kesenangan atau kesusahan lain yang datang silih berganti.

Orang yang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan semuanya pada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang mengatur dan menentukan segalanya.

Hujan? Banjir? Bencana alam? Kehilangan? Keuntungan dan keberhasilan? Sakit dan mati? Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran dan penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, tidak akan pernah lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan
.

Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong serta isterinya, Kao Hong Li, lalu mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar supaya terhibur hatinya.

Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah. Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di salah sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.

Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han!

Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lainnya akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru.

Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita telah digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Jika yang didapatkan itu sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru.

Sejak kanak-kanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walau pun bentuk barang permainan itu yang berbeda.

Permainan kita pada waktu masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, melainkan permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indera. Meski pun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!


Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!

Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu kini tinggal di Pao-teng, berdagang rempah-rempah. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya, Suma Hui, telah berusia lima puluh tiga tahun.

Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko rempah-rempah yang juga membantu rumah tangga.

Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka sudah lama mengurung diri dan tak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tak ada golongan sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal lihai sekali, juga karena Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya.

Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan bagi mereka berdua. Mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat dan segan kepada mereka.

Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui, ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li.

Dulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra.

Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa kemudian menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai!

Namun dasar sudah jodohnya. Hong Li kemudian bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi terputus karena Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan!

Dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apa lagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.

“Sian Li, cucuku yang manis sekali...!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya itu tinggi-tinggi, kemudian mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. “Aduh, engkau makin manis saja, Sian Li. Dan pakaianmu merah! He-he-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”

Kao Cin Liong mengelus rambut kepala Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui. “Bangau Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kongkong!” kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.

Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.

“Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”

Mendadak Sian Li yang berada di pondongan kakeknya berkata, “Kongkong dan Bo-bo (Nenek), Suheng Yo Han nakal, dia pergi bersama seorang bibi iblis!”

Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menagisinya.

“Apa yang terjadi dengan dia?” bertanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.

“Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak Sian Li pesiar.”

Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi kamar Hong Li. Ada pun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.

Sesudah beristirahat dan makan malam, dan sesudah Sian Li tertidur pulas di kamar neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang-I Moli Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!

“Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han sudah pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak dapat mencegahnya karena dia sendiri memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya sendiri.”

“Ahhh, tetapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!”

“Tidak boleh kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang-I Moli supaya iblis betina itu membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han.”

“Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Aku pun tadinya tidak mau mengalah begitu saja dan sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Dia memang lihai, akan tetapi kalau dia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Tetapi betapa pun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu juga sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu.”

Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan amat kagum kepada anak itu. “Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluarga kalian karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?”

Hong Li mengangguk dan menunduk. “Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya sehingga dia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han bila terus dekat dengan dia.”

Sin Hong menarik napas panjang. “Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami sangat sayang kepada Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia.”

“Tetapi... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya jadi terancam...” Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.

“Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tak perlu khawatir,” kata Hong Li sambil memandang suaminya.

Sekarang mereka bertiga semuanya memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.

“Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapa pun janggalnya. Saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran kepada saya, yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Ia amat yakin akan hal ini, maka ia tidak pernah takut menghadapi apa pun, bahkan ancaman maut sekali pun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu menundukkan ular.”

“Aneh sekali!” kata Suma Hui. “Padahal, walau pun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan ular, akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku pun tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li.”

“Itulah keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li. Kami berdua yang mempunyai kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya? Bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang-I Moli untuk membebaskan Sian Li!”

Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimana pun juga, mereka menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang-I Moli. “Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya,” kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang-I Moli entah ke mana.

Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.

Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Pada saat puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali. Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia yang masih demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak!

Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup, apa lagi tanpa anak, dipandang amat hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!

Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tertidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.

“Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.

Kao Cin Liong yang sedang duduk bersemedhi bisa mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-lim-pai yang termasuk tokoh karena tingkat dan kepandaian silatnya sudah cukup tinggi.

Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.

“Tahan...!” seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang terhuyung, menyambar lengannya.

Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.

“Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”

“Mereka... mereka... orang-orang Bu-tong-pai... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah. “Kami sudah mengalah... akan tetapi... seperti pernah kuceritakan... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami...” Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut “Omitohud...!” dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.

Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio, Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!

Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.

“Dia ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!” Dan mereka berdua maju menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat.

Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru, “Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba untuk mengelak.

Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.

“Desss...!”

Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang kuat bukan main. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga.

Sedangkan ia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai yang para pemimpinnya banyak dikenalnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan dua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!

Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Meski pun usianya telah lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena dia maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lantas mengerahkan tenaga Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.

“Aaarghhhh...!”

Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun langsung terjengkang! Akan tetapi pada saat kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sin-liong Hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan tapak tangan mereka ke punggungnya.

“Plakkk! Dukkk!”

Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong Hok-te tadi demikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!

“Aiihhh...!” Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.

“Kongkong...!”

Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja.

Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada.

Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, bila dilakukan berterang, tentu akan dapat diatasinya.

“Haiiittt...!”

Suara Suma Hui melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali. Dia berhasil menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang lihai.

Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sinkang yang dingin.

Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya amat terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka ia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

Pada saat tiga orang tosu yang lainnya hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.

Melihat hal ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria.

Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong, hawa pukulan yang keluar dari tangannya lantas membuat lawannya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.

“Ayah...!” Kao Hong Li yang melihat ayahnya tergeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat menghampiri ayahnya.

Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata, “Hong Li... cepat... kau… bantu... ibumu...”

Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk sekali menghadapi permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biar pun kini dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat, kemudian membantu ibunya. Kini tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.

Walau pun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu!

Bahkan tosu itu sempat berteriak. “Sute, bantu...!”

Teriakannya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan kedua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak pada saat Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun.

Ilmu ini adalah ilmu yang sangat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang pendekar sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sinkang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu.

Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai sekali, ia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja, dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.

Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil, “Ibuuuu...! Ayaahhh...!” Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.

“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”

Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu.

Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.

“Uhhh...!” Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah.

Melihat hal ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu hendak meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.

“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”

“Berhenti, atau kubunuh anakmu!” Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.

Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.

“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.

“Ibuuu...!”

“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?” Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega.

Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada saat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memondong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.

“Ibu...!” Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.

“Aku... berhasil menghajar penculik tadi... tetapi yang lain... membokong dengan curang dari belakang... ahhh... bagaimana... ayahmu...?” Wanita itu terkulai dan tentu segera roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.

“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.

Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya. Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walau pun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.

Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.

“Cepat kalian undang tabib yang paling pandai di kota ini,” berkata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.

Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.

Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alis melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, dan napasnya empas-empis, tinggal satu-satu.

Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!

Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Dia terlampau gagah untuk menangis. Dia berusaha menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan.

Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, lalu dengan lembut dia berkata, “Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biarlah aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”

Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang kurang baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak sangat kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.

“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”

Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Pada waktu Hong Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, “Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”

“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”

“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”

“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”

“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”

Kao Hong Li menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu sempat berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”

“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”

“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”

Sekarang Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. “Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai! Mereka orang-orang jahat!”

“Ssttt, sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan macam itu,” ibunya menghibur.

Dan setelah puterinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.

Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. “Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita mesti cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biar pun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas.”

Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang terluka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong, dan yang satunya pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu, Tan Sin Hong yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.

Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biar pun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sinkang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.

Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar supaya percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.

“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggung jawaban mereka. Perbuatan mereka yang melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”

Tan Sin Hong mengerutkan alisnya. “Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita telah sama mengetahui bahwa akhir-akhir ini memang terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai hingga sering kali terjadi bentrokan di antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan ini memang bukan urusan kita. Kalau kini Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka turut terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”

“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah. Kenapa mereka masih terus menyerang dan tidak mau memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, mengapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”

“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”

Akan tetapi isterinya menggelengkan kepala. “Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang?”

Sin Hong mengangguk-angguk. “Engkau benar. Aku sendiri pun memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dahulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjung ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya.

“Ayah dan Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanya anak itu sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.

“Ssttt, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan engkau bermainlah di luar.”

Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya. Alisnya berkerut, mulutnya cemberut. “Kini Kakek dan Nenek tak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!” Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar.

Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.

Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan kedua orang tua mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sinkang dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Walau pun usaha ini belum bisa menyembuhkan, tapi setidaknya dapat memperkuat hawa murni di dalam tubuh ayah dan ibu mereka serta memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.


SELANJUTNYA SI BANGAU MERAH BAGIAN 06