Si Bangau Merah Bagian 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI BANGAU MERAH BAGIAN 03

Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi tetap hidup dalam keadaan tenteram dan bahagia. Bahkan dua orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja. Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada kalanya terang juga ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadilah perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan negara tetangganya, yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima kerajaan, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan yang turut berperang melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas.

Walau pun di waktu masih hidup suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut, bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, tapi ketika suaminya tewas, Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam. Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak mampu menghibur hatinya. Sesudah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun lamanya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula.

Biar pun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah sunyi yang penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus, serta banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok, namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya. Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, juga kadang menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia mempunyai ilmu kepandaian tinggi, pernah pula digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang.

Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng mengganggunya. Padahal, meski pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita dia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita mau pun dengan tubuhnya yang ramping dan berisi.

Demikianlah, pada malam hari itu Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua, ia pun memasukinya, sama sekali tak mengira akan melihat pemandangan yang membuat dirinya merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak, namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walau pun kuil kosong, membuat ia merasa penasaran.

Bagaimana pun juga, manusia terikat oleh hukum adat, hukum umum, sopan santun dan tata susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya, Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biar pun di sana terdapat berbagai agama, di antaranya Agama Kristen, Hindu, Buddhis dan lain-lainnya, akan tetapi di antara agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian.

Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Jika ada pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimana pun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, selalu memupuk perbuatan baik dan saling menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam gelap sudah memudar sehingga cuaca menjadi remang-remang, saat burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan, Ang-I Moli terjaga dari tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya, kemudian bangkit duduk dan memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. Dia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.

“Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku...”

Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Bagaikan orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri. Mukanya berubah merah sekali, sepasang matanya terbelalak dan cepat dua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.

“Apa... apa yang kau lakukan ini, Bibi?” bentaknya marah.

Wanita itu memandang heran sekali, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Menurut penglihatan dan pendengarannya barusan, Yo Han sama sekali tidak berubah! Tidak hilang ingatannya, tidak terangsang sama sekali! Ini tidak mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu akan terpengaruh oleh pel-pel itu! Apa lagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh dibilang kanak-kanak.

“Yo Han, kau... kau... ke sinilah, sayang.” Ia mencoba untuk meraih. Akan tetapi Yo Han menghindarkan diri dengan langkah ke belakang.

“Bibi, apakah engkau sudah menjadi gila?” Suara Yo Han lantang dan penuh teguran. “Ingatlah, perbuatanmu ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi.”

“Yo Han, ke sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Marilah kita menikmati hidup ini...” Kembali wanita itu meraih dan kini, biar pun Yo Han mengelak, tetap saja pergelangan tangannya tertangkap oleh wanita itu.

Yo Han meronta, akan tetapi apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu? “Lepaskan aku! Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang keji dan hina! Walau kau siksa, kau bunuh sekali pun, aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!”

“Plakk!”

Sebuah tamparan dengan telak mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan di lain detik, dia telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi.

Ang-I Moli menyeringai. Gairah birahinya sudah menghilang, terganti kemarahan karena ia dimaki-maki tadi.

“Anak tolol! Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kau kira kalau engkau telah menolakku, engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan hawa murni dari tubuhmu? Hemm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis hari ini juga. Darahmu akan kuminum sampai habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan kemudian sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan lebih dahulu mampus kehabisan darah!”

Wanita itu tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimana pun juga Yo Han merasa ngeri. Bukan takut akan ancaman itu, akan tetapi ngeri melihat wajah wanita itu dan mendengar suaranya. Dia merasa seperti berhadapan dengan iblis, bukan manusia lagi.

“Sratttt...!”

Tangan wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu telah menyayat leher di dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah mengucur. Wanita itu lalu menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisap darah yang keluar!

Pada saat yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu bergerak, terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.

“Omitohud... hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!”

Ada hawa pukulan mendorong dari samping dan dengan terkejut Ang-I Moli meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak mengerikan sekali. Seperti seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang berada di bibir. Matanya liar memandang kepada wanita berkerudung yang berdiri di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.

“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?” Ang-I Moli membentak dengan marah sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi.

Ang-I Moli sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan kepala berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat menduga bahwa wanita ini datang dari barat dan bukan berbangsa Han.

Gangga Dewi tidak menjawab. Semenjak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya lalu bergerak dan nampak sinar putih menyambar ke arah tubuh Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih yang meluncur bagaikan tombak dan begitu mengenai pundak dan pinggang Yo Han dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya.

Yo Han seorang anak yang sangat cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera menggelindingkan tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu, lantas melompat bangun dan berdiri di belakangnya berlindung di belakang Gangga Dewi.

“Terima kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),” katanya.

Gangga Dewi melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher anak ltu, luka yang tadi sempat dihisap oleh wanita berpakaian serba merah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan memberikannya kepada Yo Han.

“Kau obati luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti mengucur.”

“Heiii, keparat busuk! Siapakah engkau ini? Katakan namamu sebelum aku mencabut nyawamu!”

Meski pun sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras. Dengan perlahan kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan dia nampak lebih tinggi dari biasanya, anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang tersembunyi di balik kelembutannya.

“Perempuan sesat, tidak ada hubungan apa pun di antara kita dan aku pun tidak ingin berkenalan denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang sudah kau lakukan terhadap anak ini tak mungkin kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, cepatlah pergi dan bertobatlah. Masih belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan bertobat!”

“Keparat sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau sedang berhadapan? Aku adalah Ang-I Moli dan tidak ada orang bisa hidup terus jika ia berani menentangku. Lekas kembalikan anak itu kepadaku, kemudian buntungi lengan kirimu, baru aku akan mengampunimu!”

Mendadak Yo Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang-I Moli dan dia marah sekali. Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya lantang penuh teguran.

“Ang-I Moli! Tidak boleh kau lakukan itu! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam menyuruh ia untuk membuntungi lengannya sendiri? Engkau boleh menyiksaku, membunuhku, akan tetapi tidak boleh mencelakai orang lain hanya karena diriku.” Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata, “Locianpwe, harap cepat pergi dan jangan mengorbankan diri hanya karena aku!”

Gangga Dewi terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin sekali ia mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai terjatuh ke tangan wanita jahat itu.

“Anak baik, ke sinilah engkau!” Tangan wanita berkerudung itu bergerak ke depan dan Yo Han merasa dirinya tertarik kembali ke belakang wanita itu.

Gangga Dewi kini memandang kepada Ang-I Moli, lalu mengangguk-angguk. “Kini aku tidak merasa heran. Kiranya engkau memang bukan manusia, melainkan iblis betina (Moli). Pantas engkau melakukan kekejaman seperti itu. Ang-I Moli, engkau sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang kebajikan dari dia.”

“Engkau memang sudah bosan hidup!” Ang-I Moli membentak.

Dan tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan tubrukan ke arah Gangga Dewi. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring, tubuhnya seperti terbang meluncur dan kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah leher Gangga Dewi.

Wanita Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia pun menggeser kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han yang berdiri di belakangnya dan tubuh anak itu terlempar sampai lima meter ke arah kiri. Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi kini berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat tubuhnya melayang keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu. Gangga Dewi sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak leluasa untuk menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.

“Jangan lari kau, keparat!”

Ang-I Moli marah sekali ketika terjangannya hanya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke arah pakaian luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum, juga menyambar pedangnya, mencabut senjata itu dan melemparkan sarung pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran.

Akan tetapi orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, di tempat yang terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya yang kemerahan membakar dan menghalau sisa kegelapan malam. Yo Han berdiri di belakang sebatang pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Tadi, setelah dia bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia melihat bayangan kuning berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada di dekatnya.

“Anak baik, engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya. sekali.”

Yo Han hanya mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi. Sekarang dia tidak mengkhawatirkan lagi, maklum bahwa wanita berkerudung itu bukan orang sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapa pun juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau sampai ada orang menderita celaka apa lagi sampai tewas karena membela dia.

“Bersiaplah untuk segera mampus, engkau perempuan asing yang lancang!” Ang-I Moli membentak lagi.

Sekarang ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ternyata lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas. Tidak begitu sulit bagi Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu dengan menggerakkan kaki kirinya, melangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar untuk menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.

“Syuuuttt...!”

Ang-I Moli terkejut bukan main dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, lalu melompat ke belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk menotok ke arah pergelangan tangannya, gerakannya aneh, cepat dan dari jari telunjuk itu datang angin yang amat dingin.

Tahulah ia bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu memutar pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi. Pedang diputar sedemikian cepatnya sehingga bentuk pedang itu lenyap dan berubah menjadi gulungan sinar yang mendesing-desing. Dari gulungan sinar itu kadang mencuat sinar yang menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau tusukan.

Gangga Dewi terpaksa mengerahkan ginkang-nya dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Gerakan senjata lawan itu demikian cepat sehingga ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Ang-I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat gerakannya. Ia tahu bahwa sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung ini, tidak mungkin ia bisa menguasai Yo Han. Padahal, tadi ia sudah mencicipi darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan, dan menguatkan badan rasanya!

Gangga Dewi terus saja mengelak dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Gerakannya demikian lincah dan indah, seperti sedang menari saja sehingga Yo Han merasa kagum. Dia teringat kepada subo-nya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat juga nampak memiliki gerakan yang indah, seperti menari saja!

Dia menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya, ke dua seni olah raga juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah yang membuat ia tak suka belajar silat. Bela diri ini mengandung kekerasan sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, tetapi balas menyerang dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat membunuh lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam gerakan wanita berkerudung yang menolongnya, dan dia pun kagum.

Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya untuk hanya terus menerus mengelak saja. Kalau hal itu terus dilanjutkan akan membahayakan keselamatan dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai, dan selisih tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak.

Ketika kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang, tiba-tiba ia membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke belakang itu ia bersalto sampai lima kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang tadi ia lolos dari pinggang pada waktu ia berjungkir balik di udara. Hampir saja Yo Han bertepuk tangan memuji, bukan memuji kehebatan ginkang itu, melainkan memuji keindahan gerakan tadi.

“Engkau iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!” kata Gangga Dewi dan sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu meluncur ke depan dan menegang, menjadi seperti batang tombak yang kaku.

Pada saat itu, Ang-I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi menggerakkan sabuk sutera putih itu menangkis.

“Takkk!”

Dan pedang itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku dan kuat! Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau heran. Bagaimana pun juga, dia pernah tinggal bersama sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak mempelajari ilmu silat walau pun hanya mengerti dan dihafalkannya saja. Dia tahu bahwa sabuk sutera di tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya mempergunakan tenaga sinkang yang tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu. Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh, juga amat indahnya.

Kini terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika Gangga Dewi hanya terus-terusan mengelak. Kini dua orang wanita yang lihai itu saling serang dan diam-diam Ang-I Moli mengeluh. Sabuk sutera putih itu memang hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat putus sabuk sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba sabuk itu menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung sabuk itu beberapa kali sempat menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.

“Haiiittt...!”

Mendadak Ang-I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang membabat ke arah leher lawan.

Gangga Dewi merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari bawah ia hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Tetapi tiba-tiba tangan kiri Ang-I Moli bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi.

“Uhhhhh...!”

Gangga Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa batang jarum kecil merah runtuh.

“Keji...!” bentak Gangga Dewi.

Dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang-I Moli. Gerakannya amat cepat karena dia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang. Ang-I Moli melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Ia pun mengerahkan tenaganya untuk menangkis dengan pedang.

“Plakkk!”

Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.

“Tukkk!”

Ang-I Moli mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat merampas pedang itu melalui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap di antara semak-semak.

Wajah Ang-I Moli langsung menjadi pucat saking marahnya. ”Keparat jahanam engkau! Hayo mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!”

Gangga Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang Maha Kasih mengampuni semua dosamu.” Sambil berkata demikian, Gangga Dewi telah menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Akan tetapi Ang-I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.

“Biar kukirim engkau ke neraka!” bentaknya.

Kini ia pun sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw.

Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau harum-harum keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.

“Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?”

Akan tetapi, Gangga Dewi tak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan tubuhnya dan menangkis dari samping dengan memutar lengannya.

“Dukkk!”

Tubuh Gangga Dewi tergetar dan pada saat itu, secara curang sekali kaki Ang-I Moli melayang ke arah selangkangan Gangga Dewi.

“Uhhh...!” Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh. Namun, tetap saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang-I Moli yang melapisi sepatunya dengan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh!

Melihat lawannya roboh miring, Ang-I Moli girang sekali, “Mampuslah!” Ia berseru dan menubruk ke depan untuk mengirimkan pukulan yang terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan lawan yang sudah roboh itu.

“Moli, jangan...!” Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang-I Moli menyusulkan pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring.

Akan tetapi tentu saja Ang-I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan tetap melanjutkan pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu Pek-lian Tok-ciang!

Tetapi, saat ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya terjatuh miring. Ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengirim pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki tangannya menempel pada tanah, diam-diam ia mengerahkan ilmu simpanan yang dahulu pernah dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.

“Dessss...!”

Hebat bukan main pertemuan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang-I Moli terlempar ke atas seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas tanah! Bukan main kagetnya Ang-I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita berkerudung itu.

Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Dan masih untung baginya bahwa tenaga rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terbanting jatuh, juga mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada dan perutnya.

Ang-I Moli bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia tidak bisa memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian hebat.

“Mampuslah!” bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo Han.

“Awas...!” Gangga Dewi berteriak.

Ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han mengeluh dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil itu.

Gangga Dewi tidak mempedulikan lagi Ang-I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh. Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan muka pucat dan napas yang terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya ia pingsan.

Ketika Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba, tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk seluruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.

“Anak yang malang...!” katanya.

Ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada Yo Han, menutupi lima bintik merah itu. Ia mengerahkan sinkang-nya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, juga dari balik kerudung kepalanya mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak tersembul keluar.

Gangga Dewi menggunakan sapu tangan sutera, mencabuti kelima batang jarum yang amat lembut itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.

“Iblis betina kejam...!” katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia memeriksa luka bekas jarum.

“Omitohud...!” Serunya kaget dan heran.

Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seakan-akan darah beracun itu didorong dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sinkang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu dapat dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu?

Akan tetapi, andai kata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam keadaan pingsan! Tidak mungkin dia mampu mengerahkan sinkang-nya dalam keadaan pingsan. Kalau bukan tenaga sinkang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya pingsan, yang mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh?

“Omitohud...!” kembali lagi wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak mengamati dada itu.

Kini darah yang keluar dari kelima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak terengah lagi, dan agaknya dia tidur pulas!

“Omitohud...!” Gangga Dewi terheran-heran dan kagum.

Dia lalu mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu, bungkusan obat bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah pun berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh.

Kalau menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti itu, di dadanya, kecil sekali harapannya untuk bisa diselamatkan nyawanya. Akan tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu supaya jarum-jarum itu keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya. Racun berbahaya itu dapat keluar dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan!

Sungguh selama hidupnya belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada kekuatan mukjijat yang melindunginya?

Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, jari telunjuk Gangga Dewi lalu menekan tengah-tengah di bawah hidung, sedikit di atas bibir. Yo Han mengeluh dan membuka matanya. Pada saat melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.

“Di mana wanita jahat itu?”

“Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri.”

“Aahhhh... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?” kata Yo Han dengan hati lega. “Aku tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh...”

Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang tadi kena tendang masih berdenyut nyeri.

“Ia memang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagai mana dengan lehermu?” Gangga Dewi sengaja tak menyinggung dulu soal luka di dada.

Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang-I Moli. “Sudah kering berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia... ia menghisap darahku!”

“Dan bagaimana dengan dadamu?”

“Dadaku? Kenapa dadaku, Locianpwe?”

Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik. “Tidak tahukah engkau bahwa dadamu terluka oleh jarum-jarum beracun?”

“Ahhh...?” Yo Han amat terkejut. “Aku tidak tahu, Locianpwe.” Dia meraba dadanya dan menggigit bibir.

“Sakitkah?”

“Perih sedikit.”

“Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?”

Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang sakit, Locianpwe.”

Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas rumput. Mereka saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,

“Locianpwe sudah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima kasih, Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan padaku untuk membalas budi kebaikan Locianpwe ini.”

Gangga Dewi semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali. “Anak yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

“Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatang kara, yatim piatu dan aku sedang dalam perjalanan mengikuti Ang-I Moli.”

“Omitohud, anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang-I Moli?”

“Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku... aku menjadi muridnya dan sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah sampai di sini, ternyata ia berubah mengerikan dan hendak membunuhku, menghisap darahku..., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi.”

“Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku pun datang ke kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang-I Moli?”

“Baru kurang lebih dua minggu.”

“Ehhh? Jadi, engkau belum belum belajar ilmu silat darinya?”

“Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe.”

“Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?”

“Aku belum pernah latihan ilmu silat,” kata Yo Han.

Dia tidak mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat dari suhu dan subo-nya di Tatung, akan tetapi ia hanya menghafal saja, dan tak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu dan subo-nya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang benar.

Tentu saja jawaban Yo Han membuat Gangga Dewi menjadi makin terkejut dan heran. Selamanya belum pernah latihan silat. Tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani menentang seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?

“Yo Han, keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau melakukan perjalanan bersama Ang-I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi murid seorang seperti Ang-I Moli dan apa yang hendak kau pelajari darinya kalau bukan ilmu silat?”

Yo Han menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya sering dilakukan manusia adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak suka bicara tentang suhu dan subo-nya.

“Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya meski aku tidak akan mau belajar ilmu silat darinya.”

“Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?”

“Tidak, akan tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, dia menculik seorang anak perempuan. Aku lalu membujuknya untuk mengembalikan anak itu kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan diriku. Jadi anak itu akan dibebaskan, akan tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, maka aku menyanggupi. Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke sini.”

“Bukan main! Luar biasa! Omitohud... belum pernah aku mendengar hal seperti ini...!” kata Gangga Dewi dan ia pun tertegun.

Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih lagi, bocah ini tidak tewas biar pun terkena lima batang jarum di dadanya, jarum-jarum beracun yang ia tahu sangat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Anak apakah ini?

“Ahhh, Locianpwe. Apanya yang bukan main dan luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali tak mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara manusia sudah merupakan suatu kewajiban, bukan?”

“Omitohud... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu ingin sekali menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang melakukan perjalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk memperdalam agama dan mencari kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin sekali menghisap darahnya.”

Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut.

“Ha-ha-ha, Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?”

“Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?”

“Locianpwe, aku ini adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!”

“Omitohud... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun sudah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?”

Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab dengan sikap bersahaja, “Juga banyak kitab Agama Buddha dan kitab sejarah yang penuh kekerasan.”

Setelah sejenak tidak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya, “Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang-I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kau lakukan?”

“Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apa pun juga. Melihat kejahatan Ang-I Moli yang sudah tak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andai kata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan.”

Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Masih sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.

“Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana?”

Yo Han menggelengkan kepalanya. “Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, barulah masuk Propinsi Se-cuan.”

Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu pada saat ia meninggalkan Bhutan, tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!

“Anak baik, kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah maka engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan?”

“Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung.”

“Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?”

“Aku sudah membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu huruf yang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri.”

“Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, tapi kenapa engkau ingin melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?”

“Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang.”

Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Lebih dari seratus tahun yang lalu, pada tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu bangsa Mancu baru saja menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu.

Banyak raja-raja muda dan penguasa-penguasa daerah merasa kehilangan pegangan, dan saat melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.

Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak demikian kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, akan dibunuhnya! Bahkan pernah dia memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya disebabkan dia tak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para prajuritnya diikuti isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri!

Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi bagaikan seorang raja, didukung oleh anak buahnya. Dia begitu takut jika sampai kedudukannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Maka dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya telah dibunuh tanpa dosa!

“Omitohud... mengapa engkau malah ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang tiada taranya itu? Ketahuilah bahwa hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga kini lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si yang tinggal di Se-cuan dibandingkan penduduk aslinya yang tinggal sedikit.”

“Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung mendirikan batu monumen dengan huruf tunggal berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti rakyat. Setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat kemudian dibalikkan agar huruf itu tak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia.”

Gangga Dewi mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapa pun baik mau pun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tidak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu dapat kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hakekatnya hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apa lagi sekarang di wilayah Barat sudah mulai tidak aman, banyak pergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa Mancu di timur.”

“Locianpwe, aku tak takut menghadapi kesukaran, dan aku juga tidak takut menghadapi pergolakan.”

Gangga Dewi tersenyum. Jika ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau hanya diceritakan oleh orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti!

Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi. Kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis semacam Ang-I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat, yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya.
Si bangau merah bagian 03

"Yo Han, biar hanya sedikit, aku telah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan.”

“Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu.”

Gangga Dewi menghela napas panjang. “Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tak pernah berkunjung ke timur. Oleh karena itu aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat yang asing bagiku. Jika saja engkau suka menolongku, Yo Han.”

“Menolong Locianpwe?” Aku...? Aihh, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe?” Yo Han bertanya dengan heran. Sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

“Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tak tahu ke mana harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan tapi sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemani dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya.”

Dua pasang mata itu bertemu. Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Ia merasa kasihan, dan juga baru saja ia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan.

Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan jiwanya. Jika sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana ia akan mampu menolak? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi.

Dengan tegas dia mengangguk. “Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya lebih dulu aku harus mengetahui siapa namanya, bagaimana rupanya, dan berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain.”

“Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik.”

“Bukan menolong, Locianpwe, tapi hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama ayahmu itu?”

“Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio...”

“Ahhh... Tiong Khi Hwesio...?” Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.

“Ya, kenapa, Yo Han?” tanya Gangga Dewi. Anak ini memang penuh kejutan. “Apakah engkau mengenal nama itu?”

“Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhu-ku.”

“Ehhh?”

Untuk kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan terdapat pada diri anak ini.

“Bukankah gurumu Ang-I Moli tadi?”

“Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, sejak aku kehilangan orang tua, aku sudah dipelihara oleh suhu dan subo-ku yang pertama, Locianpwe. Mereka itu adalah suhu dan subo-ku, juga pengganti orang tuaku. Mereka adalah orang-orang sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.”

“Wahh... Omitohud... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han. Siapakah suhu dan subo-mu itu? Katakan, siapa nama mereka?”

“Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locianpwe mengenal mereka?”

Gangga Dewi menggelengkan kepalanya. “Dan kau katakan tadi bahwa suhu-mu yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?”

“Benar, Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng...”

“Ahhh...! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda bernama Wan Tek Hoat! Omitohud... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han, ternyata di antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhu-mu dan subo-mu itu.”

“Suhu-ku tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah kuceritakan tadi.”

“Kalau begitu, suhu-mu itu terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih murid keponakanku sendiri! Dan subo-mu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li? She Kao...”

“Subo juga amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir...”

“Ahh, kalau begitu, ayah subo-mu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi Wan Ceng!”

“Sedangkan ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es.”

“She Suma...?”

“Ya, kalau tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui...”

“Omitohud...! Ibu dari subo-mu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ahh, ahh, jadi engkau murid dari suami isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga? Hebat! Tapi... tapi... kau katakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?”

“Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe...”

“Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat, Yo Han. Kalau dihitung dari suhu-mu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu. Kalau dihitung dari subo-mu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subo-mu itu terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi.”

”Baiklah, Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu dan Subo adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku... aku tidak pernah mau berlatih silat sebab aku melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan bakat dan watakku.”

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!

“Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?”

“Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, meski pun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah mau berlatih.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak melihat manfaatnya berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan kekerasan dan kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga, dan tidak ingin menang dari siapa pun. Untuk apa berlatih silat?”

Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu dia akan marah. Tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah, sehingga ia menganggap bahwa pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.

“Lalu, kalau suhu dan subo-mu telah menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang-I Moli?”

“Sudah kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang-I Moli, aku menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan.”

“Tapi, kenapa tidak kau laporkan pada suhu dan subo-mu? Tentu mereka akan mampu mengusir Ang-I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan keluarga yang amat baik itu?”

Yo Han diam sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya, “Bibi tentu tidak ingin kalau aku membohong, bukan?”

“Tentu saja tidak!”

“Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang kenapa aku pergi meninggalkan Suhu dan Subo. Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?”

Gangga Dewi memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi keras hati, jujur, dan pemberani. “Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu dan subo-mu itu, karena mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang.”

Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke rumah suhu dan subo-nya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke dua, tentu saja suhu-nya merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya.

Tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah suhu dan subo-nya. Dia telah meninggalkan mereka karena kehadirannya di rumah itu tak dikehendaki suhu dan subo-nya, terutama subo-nya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu dan subo-nya akan menitipkan dia ke dalam kuil dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan suhu dan subo-nya.

“Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi kepada seseorang yang tentu akan dapat pula memberi tahu ke mana Bibi harus pergi untuk menemui ayah Bibi itu.”

“Hemm, siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?”

“Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri dan bertapa di Pegunungan Tapa-san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggota keluarga Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun.”

“Suma... Ciang... Bun...?”

Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar dan wajah itu berubah pucat sekali, lalu menjadi merah. Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi dia cepat menguasai perasaannya. “Dia... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han.”

Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia amat tertarik pada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau mungkin ia ingin menariknya menjadi muridnya. Apa lagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau juga cucu muridnya sendiri.

Dan pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar dari suhu-nya bahwa tiga orang guru dari suhu-nya itu telah meninggal dunia semua.

Di lain pihak, Yo Han juga sangat kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa dan tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subo-nya, Gangga Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet.

*********

Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak dalam sejarah dia akan dikenal sebagai Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu, yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar semenjak muda sampai lanjut sekali.

Sejak berusia sembilan belas tahun ia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan tetapi belum nampak tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan singgasana. Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun, ia masih nampak penuh semangat.

Harus diakui dalam sejarah bahwa selama ia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan daerah barat itu kemudian diberi nama Sinkiang (Daerah Baru).

Bala tentara di bawah Kaisar Kian Liong sangat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu ke daerah itu, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.

Bala tentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan Mancu menyerang bagai gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah barat. Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit di Pegunungan Himalaya, telah membuktikan kehebatan pemerintahan Kaisar Kian Liong. Akhirnya pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan juga memaksa mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.

Bukan hanya ke barat bala tentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga ketika terjadi kekacauan di selatan, yaitu saat bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar Kian Liong segera mengirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini lalu memukul mundur bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma.

Meski sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mati-matian mempertahankan diri sehingga tidak dapat ditundukkan, tetapi Kaisar Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi ‘pelajaran’ dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina. Demikian pula dengan negeri An-nam yang pada jaman pemerintahan bangsa Mongol sudah ditundukkan, lalu sempat memberontak dan oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.

Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang ‘pilihan Tuhan’ bahkan ada yang menyebutnya wakil Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat jelata terhadap Kaisarnya sehingga seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan tidak dianggap sebagai manusia lumrah!

Padahal, bila ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan keadaan seorang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekali pun, akan terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga halnya manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-duka dan puas-kecewa.

Ketika itu tahun 1780, dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun. Permaisurinya sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apa lagi sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Hong-houw (Permaisuri Harum).

Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar Kian Liong memang terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak ia pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita cantik.

Setelah dia menjadi Kaisar, di samping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun, seperti halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu birahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar! Nafsu tidak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.

Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu di Sinkiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau mendengar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria. Biar pun puteri itu, anak seorang kepala suku bernama Ho-couw, sudah menikah dengan seorang kepala suku beragama ISLAM, akan tetapi di seluruh Sinkiang ia terkenal dengan sebutan Puteri Harum!

Mendengar berita mengenai wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum pernah selama hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau harum! Keharuman pada tubuh wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!

Kebetulan pada waktu itu banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan panglima pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, sudah mendapat pesan khusus dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang puteri itu dan membawanya ke istana dalam keadaan sehat dan selamat.

Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang istimewa. Pada waktu Jenderal Cao Hui menghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi sangat terpesona menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang khas itu. Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat.

Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalanan amat jauh itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan.

Ia pasti seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu dan segera mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan kemudian menjulukinya Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum.

Pada bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan keluarganya, teringat akan negaranya dan keadaan lingkungan yang amat berbeda.

Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung. Dan atas saran dari para penasehatnya, dia lalu memerintahkan membangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama, dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, juga di situ dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang diberi nama Ruang Mandi Para Bidadari.

Bahkan Kian Liong memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu. Dengan demikian, sang puteri dapat melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan itu dari loteng istananya sehingga dapat mengatasi kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.

Mendapat perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan mulai berusaha untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sulit karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan keluarganya yang telah terbasmi, apa lagi ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.

Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Hong-houw sering kali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam. Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua kegemarannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu birahinya.

Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat Siang Hong-houw memang dari dalam, walau pun bukan tanpa usaha.

Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu tentu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!

Daya tahan tubuh manusia itu sangat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak mudanya sering menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu birahinya, bahkan kadang-kadang dia juga mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya.

Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih. Kini dia merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja ia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering ia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab dari pada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.

Kerenggangan sebagai akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu luang pada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri. Meski Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang yang beragama Islam, tapi permaisuri ini merasa kesepian dan ia pun merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan kepercayaan.

Oleh karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab, Siang Hong-houw menjadi makin akrab dengan seorang thai-kam yang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan oleh ayahnya untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam.

Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar bisa mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur. Maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam. Dengan adanya Mo Si Lim, maka kerinduan Siang Hong-houw pada bangsanya dapat terhibur. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sinkiang.

Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang memiliki cita-cita untuk mengusir penjajah Mancu dari Cina. Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya sudah tewas ketika daerah barat diserbu oleh pasukan Mancu.

Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, supaya dia dapat mendekati dan melayani Puteri Harum.

Sore hari itu Siang Hong-houw duduk sendiri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja dia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khusus dibuat untuknya. Pada waktu dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.

"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."

Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walau pun usianya sudah empat puluh tahun lebih.

Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran anak. Dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya.

Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu birahi. Ketika dipisahkan dengan paksa dari suaminya, maka bersama dengan kematian suaminya, mati pulalah gairah birahinya. Jika ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar yang sangat menyayangnya. Dan sekarang, setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.

Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.

"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur.

Thaikam itu membuka daun pintu, lalu masuk dan menutupkan kembali daun pintu. Dia menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.

"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama sekali tentang Thian-li-pang. Bukankah engkau telah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"

Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya sangat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil sehingga orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.

"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menunggu perintah dan panggilan Paduka, Puteri. Untuk langsung menghadap, hamba tidak berani karena khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba membawakan sepucuk surat permohonan dari Ketua Thian-li-pang sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."

"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.

Mo Si Lim mengeluarkan sampul surat dari saku dalam bajunya. Setelah menyembah, dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sampulnya, lalu mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang coretannya indah. Lalu dia mulai membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika dia membacanya.

"Muslim, apakah engkau juga sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali membaca isi surat.

Muslim atau Mo Si Lim menyembah. "Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa Thian-li-pang ingin mengajukan permohonan pada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."

"Muslim, permintaan mereka yang pertama masih wajar, tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat kusetujui. Cepat kau nyalakan api di tungku perapian itu dulu, surat ini harus dibakar lebih dahulu baru kita bicara."

Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara, dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi. Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.

"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tak dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar supaya aku suka membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."

Tidak nampak perubahan apa pun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya, "Yang mulia, mengapa pula mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"

"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, bila tidak dibunuh sekarang, beberapa tahun lagi tentu Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu asli karena ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung pangeran itu."

Mo Si Lim mengangguk-angguk. "Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya sampaikan kepada mereka?"

Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan yang gemerlapan.

"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dari Sinkiang dulu. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku masih belum dapat menyetujuinya. Bagaimana pun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Jika mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walau pun aku mendukung perjuangan mereka."

Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi kemudian mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruang duduk itu. Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya. Ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya yang tersayang ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja.

Sebelum bangsa Mancu datang menjajah, rumah ini dahulu adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apa lagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.

Agaknya Mo Si Lim tidak asing lagi dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, tapi mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping.

Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,

"Selamat pagi, Sobat... saya hendak bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada di sini?"

Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.

"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.

Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini. Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun sudah berjanji akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang sangat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan menyelamatkan diri.

"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."

"Hemmm, engkau tentu adalah seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.

"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"

Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru, "Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka ingin mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"

Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus. "Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, antara kita lebih baik tak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?”

"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pangcu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun.

Si Tinggi Kurus ini menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana bagi perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia mendapat kepercayaan ini karena Ciang Sun adalah seorang di antara pembantu-pembantu utama yang mempunyai kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.

Mo Si Lim duduk di kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggota Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.

"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."

"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang Sun bertanya, nada suaranya menegur.

"Hemmm, kalian ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat rahasia seperti itu tentu saja butuh ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."

"Baiklah, kami dapat mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"

Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggota Thian-li-pang yang berdiri bagai patung dan dengan suara mengandung kebanggaan ia pun berkata, "Yang Mulia Siang Hong-houw mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang."

Ia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti dan orang-orang Thian-li-pang itu merasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang bernilai cukup besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.

Akan tetapi, bagi Ciang Sun sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang paling penting. "Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"

Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang hanya mau enaknya saja. Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah!

Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau ayahnya gagal terpilih. Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun.

Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.

"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum berkenan menyetujui."

"Ahh! Justru itulah yang terpenting bagi kami! Jika usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"

"Hemmm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda Kaisar... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"

"Tetapi... beliau hanya kami minta persetujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur, hanya memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa menyelundup ke dalam istana tanpa dicurigai dan tanpa dilarang, begitu saja!"

"Apa pun yang kalian katakan, tetap saja Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat pembunuhan itu!" Mo Si Lim berkeras.

"Kalau begitu, kita akan menggunakan siasat yang ke dua!" teriak Ciang Sun kepada kawan-kawannya sebagai isyarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi perjuangan dan demi berhasilnya rencana kami, terpaksa engkau kami korbankan! Salahnya Siang Hong-houw yang tak menyetujui rencana kami!" Dan tiba-tiba saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang Mo Si Lim!

"Ahhhh!"

Mo Si Lim melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang didudukinya menjadi korban bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua. Sambil bergulingan Mo Si Lim yang juga mempunyai ilmu silat yang lumayan, telah mencabut pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan orang anggota Thian-li-pang sudah mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thaikam itu, juga Ciang Sun yang lihai sekali sudah menyerang lagi dengan pedangnya.

Mo Si Lim memutar pedangnya membela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia takkan menang, apa lagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia pun roboh mandi darah dengan tubuh penuh luka dan tewas seketika!

Dan pada siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada pasukan pengawal istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh seorang pencuri yang membawa perhiasan dari dalam istana. Orang gagah itu bukan lain adalah Ciang Sun yang membawa kepala Mo Si Lim dalam buntalan, bersama peti hitam kecil berisi perhiasan yang amat berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim, Ciang Sun lalu memberi tahu kepada anak buahnya bahwa kini terbukalah kesempatan baginya untuk menyelundup ke dalam istana, dengan bertindak sebagai pembunuh pencuri perhiasan itu dan mengembalikan perhiasan itu kepada istana.

"Perhiasan ini memang mahal harganya dan merupakan sumbangan yang besar bagi kita, akan tetapi kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan mengembalikan perhiasan ini. Kalian boleh berangkat ke pusat dan melaporkan kepada Pangcu kita!"

Demikianlah, dengan hati penuh semangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti hitam kecil itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan pengawal yang langsung menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang mengaku telah membunuh pencuri perhiasan milik Siang Hong-houw!

Tentu saja Kaisar Kian Liong terkejut mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar pembunuh pencuri itu dibawa menghadap kepadanya, juga dia memerintahkan agar Siang Hong-houw datang pula ketika mendengar bahwa yang dicuri adalah perhiasan milik permaisurinya itu.

Biar pun dia dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap berjalan dengan gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah seorang pendekar yang sudah digembleng menjadi seorang patriot yang gagah berani, yang rela mengorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu mengusir penjajah dari tanah air. Semangat ini pun bukan tanpa dorongan penyebab yang membuat dia menyimpan dendam dalam hatinya, yang membuat dia membenci pemerintah Mancu.

Ayah dan ibunya tewas dalam bentrokan antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa Mancu. Dendam ini membuat dia membenci semua orang Mancu. Apa lagi melihat betapa bangsanya diperlakukan dengan tidak adil oleh para penguasa bangsa Mancu, kebenciannya bertambah.

Dia semenjak muda membantu gerakan pemberontakan di mana-mana. Namun semua usaha pemberontakan itu selalu gagal karena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di antara pasukan itu terdapat jago-jago silat yang amat lihai, baik orang Mancu sendiri atau orang-orang Han yang telah diperalat oleh pemerintah Mancu. Saking bencinya, Ciang Sun bahkan sudah bersumpah tak akan menikah sebelum penjajah Mancu dapat dihancurkan.


SELANJUTNYA SI BANGAU MERAH BAGIAN 04


Si Bangau Merah Bagian 03

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SI BANGAU MERAH BAGIAN 03

Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi tetap hidup dalam keadaan tenteram dan bahagia. Bahkan dua orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja. Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada kalanya terang juga ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadilah perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan negara tetangganya, yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima kerajaan, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan yang turut berperang melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas.

Walau pun di waktu masih hidup suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut, bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, tapi ketika suaminya tewas, Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam. Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak mampu menghibur hatinya. Sesudah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun lamanya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula.

Biar pun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah sunyi yang penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus, serta banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok, namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya. Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, juga kadang menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia mempunyai ilmu kepandaian tinggi, pernah pula digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang.

Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng mengganggunya. Padahal, meski pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita dia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita mau pun dengan tubuhnya yang ramping dan berisi.

Demikianlah, pada malam hari itu Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua, ia pun memasukinya, sama sekali tak mengira akan melihat pemandangan yang membuat dirinya merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak, namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walau pun kuil kosong, membuat ia merasa penasaran.

Bagaimana pun juga, manusia terikat oleh hukum adat, hukum umum, sopan santun dan tata susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya, Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biar pun di sana terdapat berbagai agama, di antaranya Agama Kristen, Hindu, Buddhis dan lain-lainnya, akan tetapi di antara agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian.

Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Jika ada pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimana pun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, selalu memupuk perbuatan baik dan saling menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam gelap sudah memudar sehingga cuaca menjadi remang-remang, saat burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan, Ang-I Moli terjaga dari tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya, kemudian bangkit duduk dan memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. Dia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.

“Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku...”

Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Bagaikan orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri. Mukanya berubah merah sekali, sepasang matanya terbelalak dan cepat dua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.

“Apa... apa yang kau lakukan ini, Bibi?” bentaknya marah.

Wanita itu memandang heran sekali, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Menurut penglihatan dan pendengarannya barusan, Yo Han sama sekali tidak berubah! Tidak hilang ingatannya, tidak terangsang sama sekali! Ini tidak mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu akan terpengaruh oleh pel-pel itu! Apa lagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh dibilang kanak-kanak.

“Yo Han, kau... kau... ke sinilah, sayang.” Ia mencoba untuk meraih. Akan tetapi Yo Han menghindarkan diri dengan langkah ke belakang.

“Bibi, apakah engkau sudah menjadi gila?” Suara Yo Han lantang dan penuh teguran. “Ingatlah, perbuatanmu ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi.”

“Yo Han, ke sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Marilah kita menikmati hidup ini...” Kembali wanita itu meraih dan kini, biar pun Yo Han mengelak, tetap saja pergelangan tangannya tertangkap oleh wanita itu.

Yo Han meronta, akan tetapi apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu? “Lepaskan aku! Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang keji dan hina! Walau kau siksa, kau bunuh sekali pun, aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!”

“Plakk!”

Sebuah tamparan dengan telak mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan di lain detik, dia telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi.

Ang-I Moli menyeringai. Gairah birahinya sudah menghilang, terganti kemarahan karena ia dimaki-maki tadi.

“Anak tolol! Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kau kira kalau engkau telah menolakku, engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan hawa murni dari tubuhmu? Hemm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis hari ini juga. Darahmu akan kuminum sampai habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan kemudian sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan lebih dahulu mampus kehabisan darah!”

Wanita itu tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimana pun juga Yo Han merasa ngeri. Bukan takut akan ancaman itu, akan tetapi ngeri melihat wajah wanita itu dan mendengar suaranya. Dia merasa seperti berhadapan dengan iblis, bukan manusia lagi.

“Sratttt...!”

Tangan wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu telah menyayat leher di dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah mengucur. Wanita itu lalu menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisap darah yang keluar!

Pada saat yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu bergerak, terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.

“Omitohud... hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!”

Ada hawa pukulan mendorong dari samping dan dengan terkejut Ang-I Moli meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak mengerikan sekali. Seperti seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang berada di bibir. Matanya liar memandang kepada wanita berkerudung yang berdiri di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.

“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?” Ang-I Moli membentak dengan marah sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi.

Ang-I Moli sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan kepala berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat menduga bahwa wanita ini datang dari barat dan bukan berbangsa Han.

Gangga Dewi tidak menjawab. Semenjak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya lalu bergerak dan nampak sinar putih menyambar ke arah tubuh Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih yang meluncur bagaikan tombak dan begitu mengenai pundak dan pinggang Yo Han dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya.

Yo Han seorang anak yang sangat cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera menggelindingkan tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu, lantas melompat bangun dan berdiri di belakangnya berlindung di belakang Gangga Dewi.

“Terima kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),” katanya.

Gangga Dewi melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher anak ltu, luka yang tadi sempat dihisap oleh wanita berpakaian serba merah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan memberikannya kepada Yo Han.

“Kau obati luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti mengucur.”

“Heiii, keparat busuk! Siapakah engkau ini? Katakan namamu sebelum aku mencabut nyawamu!”

Meski pun sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras. Dengan perlahan kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan dia nampak lebih tinggi dari biasanya, anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang tersembunyi di balik kelembutannya.

“Perempuan sesat, tidak ada hubungan apa pun di antara kita dan aku pun tidak ingin berkenalan denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang sudah kau lakukan terhadap anak ini tak mungkin kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, cepatlah pergi dan bertobatlah. Masih belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan bertobat!”

“Keparat sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau sedang berhadapan? Aku adalah Ang-I Moli dan tidak ada orang bisa hidup terus jika ia berani menentangku. Lekas kembalikan anak itu kepadaku, kemudian buntungi lengan kirimu, baru aku akan mengampunimu!”

Mendadak Yo Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang-I Moli dan dia marah sekali. Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya lantang penuh teguran.

“Ang-I Moli! Tidak boleh kau lakukan itu! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam menyuruh ia untuk membuntungi lengannya sendiri? Engkau boleh menyiksaku, membunuhku, akan tetapi tidak boleh mencelakai orang lain hanya karena diriku.” Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata, “Locianpwe, harap cepat pergi dan jangan mengorbankan diri hanya karena aku!”

Gangga Dewi terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin sekali ia mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai terjatuh ke tangan wanita jahat itu.

“Anak baik, ke sinilah engkau!” Tangan wanita berkerudung itu bergerak ke depan dan Yo Han merasa dirinya tertarik kembali ke belakang wanita itu.

Gangga Dewi kini memandang kepada Ang-I Moli, lalu mengangguk-angguk. “Kini aku tidak merasa heran. Kiranya engkau memang bukan manusia, melainkan iblis betina (Moli). Pantas engkau melakukan kekejaman seperti itu. Ang-I Moli, engkau sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang kebajikan dari dia.”

“Engkau memang sudah bosan hidup!” Ang-I Moli membentak.

Dan tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan tubrukan ke arah Gangga Dewi. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring, tubuhnya seperti terbang meluncur dan kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah leher Gangga Dewi.

Wanita Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia pun menggeser kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han yang berdiri di belakangnya dan tubuh anak itu terlempar sampai lima meter ke arah kiri. Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi kini berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat tubuhnya melayang keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu. Gangga Dewi sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak leluasa untuk menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.

“Jangan lari kau, keparat!”

Ang-I Moli marah sekali ketika terjangannya hanya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke arah pakaian luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum, juga menyambar pedangnya, mencabut senjata itu dan melemparkan sarung pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran.

Akan tetapi orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, di tempat yang terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya yang kemerahan membakar dan menghalau sisa kegelapan malam. Yo Han berdiri di belakang sebatang pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Tadi, setelah dia bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia melihat bayangan kuning berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada di dekatnya.

“Anak baik, engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya. sekali.”

Yo Han hanya mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi. Sekarang dia tidak mengkhawatirkan lagi, maklum bahwa wanita berkerudung itu bukan orang sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapa pun juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau sampai ada orang menderita celaka apa lagi sampai tewas karena membela dia.

“Bersiaplah untuk segera mampus, engkau perempuan asing yang lancang!” Ang-I Moli membentak lagi.

Sekarang ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ternyata lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas. Tidak begitu sulit bagi Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu dengan menggerakkan kaki kirinya, melangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar untuk menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.

“Syuuuttt...!”

Ang-I Moli terkejut bukan main dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, lalu melompat ke belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk menotok ke arah pergelangan tangannya, gerakannya aneh, cepat dan dari jari telunjuk itu datang angin yang amat dingin.

Tahulah ia bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu memutar pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi. Pedang diputar sedemikian cepatnya sehingga bentuk pedang itu lenyap dan berubah menjadi gulungan sinar yang mendesing-desing. Dari gulungan sinar itu kadang mencuat sinar yang menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau tusukan.

Gangga Dewi terpaksa mengerahkan ginkang-nya dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Gerakan senjata lawan itu demikian cepat sehingga ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Ang-I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat gerakannya. Ia tahu bahwa sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung ini, tidak mungkin ia bisa menguasai Yo Han. Padahal, tadi ia sudah mencicipi darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan, dan menguatkan badan rasanya!

Gangga Dewi terus saja mengelak dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Gerakannya demikian lincah dan indah, seperti sedang menari saja sehingga Yo Han merasa kagum. Dia teringat kepada subo-nya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat juga nampak memiliki gerakan yang indah, seperti menari saja!

Dia menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya, ke dua seni olah raga juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah yang membuat ia tak suka belajar silat. Bela diri ini mengandung kekerasan sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, tetapi balas menyerang dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat membunuh lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam gerakan wanita berkerudung yang menolongnya, dan dia pun kagum.

Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya untuk hanya terus menerus mengelak saja. Kalau hal itu terus dilanjutkan akan membahayakan keselamatan dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai, dan selisih tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak.

Ketika kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang, tiba-tiba ia membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke belakang itu ia bersalto sampai lima kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang tadi ia lolos dari pinggang pada waktu ia berjungkir balik di udara. Hampir saja Yo Han bertepuk tangan memuji, bukan memuji kehebatan ginkang itu, melainkan memuji keindahan gerakan tadi.

“Engkau iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!” kata Gangga Dewi dan sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu meluncur ke depan dan menegang, menjadi seperti batang tombak yang kaku.

Pada saat itu, Ang-I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi menggerakkan sabuk sutera putih itu menangkis.

“Takkk!”

Dan pedang itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku dan kuat! Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau heran. Bagaimana pun juga, dia pernah tinggal bersama sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak mempelajari ilmu silat walau pun hanya mengerti dan dihafalkannya saja. Dia tahu bahwa sabuk sutera di tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya mempergunakan tenaga sinkang yang tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu. Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh, juga amat indahnya.

Kini terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika Gangga Dewi hanya terus-terusan mengelak. Kini dua orang wanita yang lihai itu saling serang dan diam-diam Ang-I Moli mengeluh. Sabuk sutera putih itu memang hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat putus sabuk sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba sabuk itu menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung sabuk itu beberapa kali sempat menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.

“Haiiittt...!”

Mendadak Ang-I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang membabat ke arah leher lawan.

Gangga Dewi merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari bawah ia hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Tetapi tiba-tiba tangan kiri Ang-I Moli bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi.

“Uhhhhh...!”

Gangga Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa batang jarum kecil merah runtuh.

“Keji...!” bentak Gangga Dewi.

Dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang-I Moli. Gerakannya amat cepat karena dia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang. Ang-I Moli melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Ia pun mengerahkan tenaganya untuk menangkis dengan pedang.

“Plakkk!”

Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.

“Tukkk!”

Ang-I Moli mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat merampas pedang itu melalui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap di antara semak-semak.

Wajah Ang-I Moli langsung menjadi pucat saking marahnya. ”Keparat jahanam engkau! Hayo mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!”

Gangga Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang Maha Kasih mengampuni semua dosamu.” Sambil berkata demikian, Gangga Dewi telah menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Akan tetapi Ang-I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.

“Biar kukirim engkau ke neraka!” bentaknya.

Kini ia pun sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw.

Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau harum-harum keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.

“Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?”

Akan tetapi, Gangga Dewi tak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan tubuhnya dan menangkis dari samping dengan memutar lengannya.

“Dukkk!”

Tubuh Gangga Dewi tergetar dan pada saat itu, secara curang sekali kaki Ang-I Moli melayang ke arah selangkangan Gangga Dewi.

“Uhhh...!” Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh. Namun, tetap saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang-I Moli yang melapisi sepatunya dengan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh!

Melihat lawannya roboh miring, Ang-I Moli girang sekali, “Mampuslah!” Ia berseru dan menubruk ke depan untuk mengirimkan pukulan yang terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan lawan yang sudah roboh itu.

“Moli, jangan...!” Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang-I Moli menyusulkan pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring.

Akan tetapi tentu saja Ang-I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan tetap melanjutkan pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu Pek-lian Tok-ciang!

Tetapi, saat ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya terjatuh miring. Ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengirim pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki tangannya menempel pada tanah, diam-diam ia mengerahkan ilmu simpanan yang dahulu pernah dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.

“Dessss...!”

Hebat bukan main pertemuan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang-I Moli terlempar ke atas seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas tanah! Bukan main kagetnya Ang-I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita berkerudung itu.

Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Dan masih untung baginya bahwa tenaga rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terbanting jatuh, juga mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada dan perutnya.

Ang-I Moli bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia tidak bisa memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian hebat.

“Mampuslah!” bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo Han.

“Awas...!” Gangga Dewi berteriak.

Ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han mengeluh dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil itu.

Gangga Dewi tidak mempedulikan lagi Ang-I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh. Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan muka pucat dan napas yang terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya ia pingsan.

Ketika Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba, tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk seluruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.

“Anak yang malang...!” katanya.

Ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada Yo Han, menutupi lima bintik merah itu. Ia mengerahkan sinkang-nya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, juga dari balik kerudung kepalanya mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak tersembul keluar.

Gangga Dewi menggunakan sapu tangan sutera, mencabuti kelima batang jarum yang amat lembut itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.

“Iblis betina kejam...!” katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia memeriksa luka bekas jarum.

“Omitohud...!” Serunya kaget dan heran.

Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seakan-akan darah beracun itu didorong dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sinkang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu dapat dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu?

Akan tetapi, andai kata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam keadaan pingsan! Tidak mungkin dia mampu mengerahkan sinkang-nya dalam keadaan pingsan. Kalau bukan tenaga sinkang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya pingsan, yang mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh?

“Omitohud...!” kembali lagi wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak mengamati dada itu.

Kini darah yang keluar dari kelima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak terengah lagi, dan agaknya dia tidur pulas!

“Omitohud...!” Gangga Dewi terheran-heran dan kagum.

Dia lalu mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu, bungkusan obat bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah pun berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh.

Kalau menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti itu, di dadanya, kecil sekali harapannya untuk bisa diselamatkan nyawanya. Akan tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu supaya jarum-jarum itu keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya. Racun berbahaya itu dapat keluar dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan!

Sungguh selama hidupnya belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada kekuatan mukjijat yang melindunginya?

Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, jari telunjuk Gangga Dewi lalu menekan tengah-tengah di bawah hidung, sedikit di atas bibir. Yo Han mengeluh dan membuka matanya. Pada saat melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.

“Di mana wanita jahat itu?”

“Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri.”

“Aahhhh... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?” kata Yo Han dengan hati lega. “Aku tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh...”

Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang tadi kena tendang masih berdenyut nyeri.

“Ia memang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagai mana dengan lehermu?” Gangga Dewi sengaja tak menyinggung dulu soal luka di dada.

Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang-I Moli. “Sudah kering berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia... ia menghisap darahku!”

“Dan bagaimana dengan dadamu?”

“Dadaku? Kenapa dadaku, Locianpwe?”

Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik. “Tidak tahukah engkau bahwa dadamu terluka oleh jarum-jarum beracun?”

“Ahhh...?” Yo Han amat terkejut. “Aku tidak tahu, Locianpwe.” Dia meraba dadanya dan menggigit bibir.

“Sakitkah?”

“Perih sedikit.”

“Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?”

Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang sakit, Locianpwe.”

Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas rumput. Mereka saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,

“Locianpwe sudah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima kasih, Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan padaku untuk membalas budi kebaikan Locianpwe ini.”

Gangga Dewi semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali. “Anak yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

“Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatang kara, yatim piatu dan aku sedang dalam perjalanan mengikuti Ang-I Moli.”

“Omitohud, anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang-I Moli?”

“Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku... aku menjadi muridnya dan sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah sampai di sini, ternyata ia berubah mengerikan dan hendak membunuhku, menghisap darahku..., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi.”

“Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku pun datang ke kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang-I Moli?”

“Baru kurang lebih dua minggu.”

“Ehhh? Jadi, engkau belum belum belajar ilmu silat darinya?”

“Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe.”

“Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?”

“Aku belum pernah latihan ilmu silat,” kata Yo Han.

Dia tidak mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat dari suhu dan subo-nya di Tatung, akan tetapi ia hanya menghafal saja, dan tak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu dan subo-nya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang benar.

Tentu saja jawaban Yo Han membuat Gangga Dewi menjadi makin terkejut dan heran. Selamanya belum pernah latihan silat. Tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani menentang seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?

“Yo Han, keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau melakukan perjalanan bersama Ang-I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi murid seorang seperti Ang-I Moli dan apa yang hendak kau pelajari darinya kalau bukan ilmu silat?”

Yo Han menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya sering dilakukan manusia adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak suka bicara tentang suhu dan subo-nya.

“Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya meski aku tidak akan mau belajar ilmu silat darinya.”

“Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?”

“Tidak, akan tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, dia menculik seorang anak perempuan. Aku lalu membujuknya untuk mengembalikan anak itu kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan diriku. Jadi anak itu akan dibebaskan, akan tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, maka aku menyanggupi. Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke sini.”

“Bukan main! Luar biasa! Omitohud... belum pernah aku mendengar hal seperti ini...!” kata Gangga Dewi dan ia pun tertegun.

Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih lagi, bocah ini tidak tewas biar pun terkena lima batang jarum di dadanya, jarum-jarum beracun yang ia tahu sangat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Anak apakah ini?

“Ahhh, Locianpwe. Apanya yang bukan main dan luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali tak mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara manusia sudah merupakan suatu kewajiban, bukan?”

“Omitohud... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu ingin sekali menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang melakukan perjalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk memperdalam agama dan mencari kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin sekali menghisap darahnya.”

Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut.

“Ha-ha-ha, Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?”

“Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?”

“Locianpwe, aku ini adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!”

“Omitohud... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun sudah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?”

Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab dengan sikap bersahaja, “Juga banyak kitab Agama Buddha dan kitab sejarah yang penuh kekerasan.”

Setelah sejenak tidak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya, “Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang-I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kau lakukan?”

“Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apa pun juga. Melihat kejahatan Ang-I Moli yang sudah tak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andai kata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan.”

Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Masih sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.

“Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana?”

Yo Han menggelengkan kepalanya. “Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, barulah masuk Propinsi Se-cuan.”

Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu pada saat ia meninggalkan Bhutan, tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!

“Anak baik, kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah maka engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan?”

“Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung.”

“Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?”

“Aku sudah membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu huruf yang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri.”

“Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, tapi kenapa engkau ingin melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?”

“Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang.”

Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Lebih dari seratus tahun yang lalu, pada tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu bangsa Mancu baru saja menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu.

Banyak raja-raja muda dan penguasa-penguasa daerah merasa kehilangan pegangan, dan saat melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.

Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak demikian kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, akan dibunuhnya! Bahkan pernah dia memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya disebabkan dia tak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para prajuritnya diikuti isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri!

Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi bagaikan seorang raja, didukung oleh anak buahnya. Dia begitu takut jika sampai kedudukannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Maka dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya telah dibunuh tanpa dosa!

“Omitohud... mengapa engkau malah ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang tiada taranya itu? Ketahuilah bahwa hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga kini lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si yang tinggal di Se-cuan dibandingkan penduduk aslinya yang tinggal sedikit.”

“Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung mendirikan batu monumen dengan huruf tunggal berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti rakyat. Setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat kemudian dibalikkan agar huruf itu tak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia.”

Gangga Dewi mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapa pun baik mau pun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tidak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu dapat kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hakekatnya hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apa lagi sekarang di wilayah Barat sudah mulai tidak aman, banyak pergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa Mancu di timur.”

“Locianpwe, aku tak takut menghadapi kesukaran, dan aku juga tidak takut menghadapi pergolakan.”

Gangga Dewi tersenyum. Jika ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau hanya diceritakan oleh orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti!

Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi. Kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis semacam Ang-I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat, yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya.
Si bangau merah bagian 03

"Yo Han, biar hanya sedikit, aku telah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan.”

“Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu.”

Gangga Dewi menghela napas panjang. “Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tak pernah berkunjung ke timur. Oleh karena itu aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat yang asing bagiku. Jika saja engkau suka menolongku, Yo Han.”

“Menolong Locianpwe?” Aku...? Aihh, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe?” Yo Han bertanya dengan heran. Sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

“Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tak tahu ke mana harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan tapi sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemani dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya.”

Dua pasang mata itu bertemu. Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Ia merasa kasihan, dan juga baru saja ia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan.

Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan jiwanya. Jika sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana ia akan mampu menolak? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi.

Dengan tegas dia mengangguk. “Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya lebih dulu aku harus mengetahui siapa namanya, bagaimana rupanya, dan berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain.”

“Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik.”

“Bukan menolong, Locianpwe, tapi hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama ayahmu itu?”

“Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio...”

“Ahhh... Tiong Khi Hwesio...?” Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.

“Ya, kenapa, Yo Han?” tanya Gangga Dewi. Anak ini memang penuh kejutan. “Apakah engkau mengenal nama itu?”

“Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhu-ku.”

“Ehhh?”

Untuk kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan terdapat pada diri anak ini.

“Bukankah gurumu Ang-I Moli tadi?”

“Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, sejak aku kehilangan orang tua, aku sudah dipelihara oleh suhu dan subo-ku yang pertama, Locianpwe. Mereka itu adalah suhu dan subo-ku, juga pengganti orang tuaku. Mereka adalah orang-orang sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.”

“Wahh... Omitohud... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han. Siapakah suhu dan subo-mu itu? Katakan, siapa nama mereka?”

“Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locianpwe mengenal mereka?”

Gangga Dewi menggelengkan kepalanya. “Dan kau katakan tadi bahwa suhu-mu yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?”

“Benar, Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng...”

“Ahhh...! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda bernama Wan Tek Hoat! Omitohud... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han, ternyata di antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhu-mu dan subo-mu itu.”

“Suhu-ku tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah kuceritakan tadi.”

“Kalau begitu, suhu-mu itu terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih murid keponakanku sendiri! Dan subo-mu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li? She Kao...”

“Subo juga amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir...”

“Ahh, kalau begitu, ayah subo-mu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi Wan Ceng!”

“Sedangkan ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es.”

“She Suma...?”

“Ya, kalau tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui...”

“Omitohud...! Ibu dari subo-mu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ahh, ahh, jadi engkau murid dari suami isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga? Hebat! Tapi... tapi... kau katakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?”

“Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe...”

“Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat, Yo Han. Kalau dihitung dari suhu-mu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu. Kalau dihitung dari subo-mu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subo-mu itu terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi.”

”Baiklah, Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu dan Subo adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku... aku tidak pernah mau berlatih silat sebab aku melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan bakat dan watakku.”

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!

“Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?”

“Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, meski pun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah mau berlatih.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak melihat manfaatnya berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan kekerasan dan kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga, dan tidak ingin menang dari siapa pun. Untuk apa berlatih silat?”

Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu dia akan marah. Tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah, sehingga ia menganggap bahwa pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.

“Lalu, kalau suhu dan subo-mu telah menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang-I Moli?”

“Sudah kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang-I Moli, aku menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan.”

“Tapi, kenapa tidak kau laporkan pada suhu dan subo-mu? Tentu mereka akan mampu mengusir Ang-I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan keluarga yang amat baik itu?”

Yo Han diam sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya, “Bibi tentu tidak ingin kalau aku membohong, bukan?”

“Tentu saja tidak!”

“Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang kenapa aku pergi meninggalkan Suhu dan Subo. Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?”

Gangga Dewi memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi keras hati, jujur, dan pemberani. “Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu dan subo-mu itu, karena mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang.”

Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke rumah suhu dan subo-nya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke dua, tentu saja suhu-nya merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya.

Tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah suhu dan subo-nya. Dia telah meninggalkan mereka karena kehadirannya di rumah itu tak dikehendaki suhu dan subo-nya, terutama subo-nya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu dan subo-nya akan menitipkan dia ke dalam kuil dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan suhu dan subo-nya.

“Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi kepada seseorang yang tentu akan dapat pula memberi tahu ke mana Bibi harus pergi untuk menemui ayah Bibi itu.”

“Hemm, siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?”

“Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri dan bertapa di Pegunungan Tapa-san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggota keluarga Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun.”

“Suma... Ciang... Bun...?”

Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar dan wajah itu berubah pucat sekali, lalu menjadi merah. Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi dia cepat menguasai perasaannya. “Dia... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han.”

Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia amat tertarik pada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau mungkin ia ingin menariknya menjadi muridnya. Apa lagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau juga cucu muridnya sendiri.

Dan pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar dari suhu-nya bahwa tiga orang guru dari suhu-nya itu telah meninggal dunia semua.

Di lain pihak, Yo Han juga sangat kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa dan tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subo-nya, Gangga Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet.

*********

Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak dalam sejarah dia akan dikenal sebagai Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu, yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar semenjak muda sampai lanjut sekali.

Sejak berusia sembilan belas tahun ia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan tetapi belum nampak tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan singgasana. Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun, ia masih nampak penuh semangat.

Harus diakui dalam sejarah bahwa selama ia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan daerah barat itu kemudian diberi nama Sinkiang (Daerah Baru).

Bala tentara di bawah Kaisar Kian Liong sangat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu ke daerah itu, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.

Bala tentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan Mancu menyerang bagai gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah barat. Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit di Pegunungan Himalaya, telah membuktikan kehebatan pemerintahan Kaisar Kian Liong. Akhirnya pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan juga memaksa mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.

Bukan hanya ke barat bala tentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga ketika terjadi kekacauan di selatan, yaitu saat bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar Kian Liong segera mengirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini lalu memukul mundur bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma.

Meski sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mati-matian mempertahankan diri sehingga tidak dapat ditundukkan, tetapi Kaisar Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi ‘pelajaran’ dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina. Demikian pula dengan negeri An-nam yang pada jaman pemerintahan bangsa Mongol sudah ditundukkan, lalu sempat memberontak dan oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.

Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang ‘pilihan Tuhan’ bahkan ada yang menyebutnya wakil Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat jelata terhadap Kaisarnya sehingga seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan tidak dianggap sebagai manusia lumrah!

Padahal, bila ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan keadaan seorang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekali pun, akan terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga halnya manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-duka dan puas-kecewa.

Ketika itu tahun 1780, dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun. Permaisurinya sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apa lagi sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Hong-houw (Permaisuri Harum).

Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar Kian Liong memang terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak ia pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita cantik.

Setelah dia menjadi Kaisar, di samping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun, seperti halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu birahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar! Nafsu tidak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.

Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu di Sinkiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau mendengar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria. Biar pun puteri itu, anak seorang kepala suku bernama Ho-couw, sudah menikah dengan seorang kepala suku beragama ISLAM, akan tetapi di seluruh Sinkiang ia terkenal dengan sebutan Puteri Harum!

Mendengar berita mengenai wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum pernah selama hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau harum! Keharuman pada tubuh wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!

Kebetulan pada waktu itu banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan panglima pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, sudah mendapat pesan khusus dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang puteri itu dan membawanya ke istana dalam keadaan sehat dan selamat.

Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang istimewa. Pada waktu Jenderal Cao Hui menghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi sangat terpesona menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang khas itu. Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat.

Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalanan amat jauh itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan.

Ia pasti seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu dan segera mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan kemudian menjulukinya Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum.

Pada bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan keluarganya, teringat akan negaranya dan keadaan lingkungan yang amat berbeda.

Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung. Dan atas saran dari para penasehatnya, dia lalu memerintahkan membangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama, dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, juga di situ dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang diberi nama Ruang Mandi Para Bidadari.

Bahkan Kian Liong memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu. Dengan demikian, sang puteri dapat melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan itu dari loteng istananya sehingga dapat mengatasi kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.

Mendapat perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan mulai berusaha untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sulit karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan keluarganya yang telah terbasmi, apa lagi ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.

Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Hong-houw sering kali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam. Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua kegemarannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu birahinya.

Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat Siang Hong-houw memang dari dalam, walau pun bukan tanpa usaha.

Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu tentu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!

Daya tahan tubuh manusia itu sangat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak mudanya sering menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu birahinya, bahkan kadang-kadang dia juga mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya.

Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih. Kini dia merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja ia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering ia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab dari pada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.

Kerenggangan sebagai akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu luang pada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri. Meski Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang yang beragama Islam, tapi permaisuri ini merasa kesepian dan ia pun merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan kepercayaan.

Oleh karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab, Siang Hong-houw menjadi makin akrab dengan seorang thai-kam yang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan oleh ayahnya untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam.

Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar bisa mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur. Maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam. Dengan adanya Mo Si Lim, maka kerinduan Siang Hong-houw pada bangsanya dapat terhibur. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sinkiang.

Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang memiliki cita-cita untuk mengusir penjajah Mancu dari Cina. Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya sudah tewas ketika daerah barat diserbu oleh pasukan Mancu.

Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, supaya dia dapat mendekati dan melayani Puteri Harum.

Sore hari itu Siang Hong-houw duduk sendiri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja dia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khusus dibuat untuknya. Pada waktu dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.

"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."

Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walau pun usianya sudah empat puluh tahun lebih.

Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran anak. Dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya.

Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu birahi. Ketika dipisahkan dengan paksa dari suaminya, maka bersama dengan kematian suaminya, mati pulalah gairah birahinya. Jika ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar yang sangat menyayangnya. Dan sekarang, setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.

Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.

"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur.

Thaikam itu membuka daun pintu, lalu masuk dan menutupkan kembali daun pintu. Dia menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.

"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama sekali tentang Thian-li-pang. Bukankah engkau telah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"

Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya sangat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil sehingga orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.

"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menunggu perintah dan panggilan Paduka, Puteri. Untuk langsung menghadap, hamba tidak berani karena khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba membawakan sepucuk surat permohonan dari Ketua Thian-li-pang sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."

"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.

Mo Si Lim mengeluarkan sampul surat dari saku dalam bajunya. Setelah menyembah, dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sampulnya, lalu mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang coretannya indah. Lalu dia mulai membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika dia membacanya.

"Muslim, apakah engkau juga sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali membaca isi surat.

Muslim atau Mo Si Lim menyembah. "Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa Thian-li-pang ingin mengajukan permohonan pada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."

"Muslim, permintaan mereka yang pertama masih wajar, tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat kusetujui. Cepat kau nyalakan api di tungku perapian itu dulu, surat ini harus dibakar lebih dahulu baru kita bicara."

Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara, dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi. Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.

"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tak dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar supaya aku suka membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."

Tidak nampak perubahan apa pun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya, "Yang mulia, mengapa pula mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"

"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, bila tidak dibunuh sekarang, beberapa tahun lagi tentu Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu asli karena ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung pangeran itu."

Mo Si Lim mengangguk-angguk. "Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya sampaikan kepada mereka?"

Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan yang gemerlapan.

"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dari Sinkiang dulu. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku masih belum dapat menyetujuinya. Bagaimana pun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Jika mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walau pun aku mendukung perjuangan mereka."

Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi kemudian mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruang duduk itu. Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya. Ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya yang tersayang ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja.

Sebelum bangsa Mancu datang menjajah, rumah ini dahulu adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apa lagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.

Agaknya Mo Si Lim tidak asing lagi dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, tapi mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping.

Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,

"Selamat pagi, Sobat... saya hendak bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada di sini?"

Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.

"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.

Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini. Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun sudah berjanji akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang sangat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan menyelamatkan diri.

"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."

"Hemmm, engkau tentu adalah seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.

"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"

Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru, "Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka ingin mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"

Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus. "Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, antara kita lebih baik tak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?”

"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pangcu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun.

Si Tinggi Kurus ini menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana bagi perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia mendapat kepercayaan ini karena Ciang Sun adalah seorang di antara pembantu-pembantu utama yang mempunyai kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.

Mo Si Lim duduk di kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggota Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.

"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."

"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang Sun bertanya, nada suaranya menegur.

"Hemmm, kalian ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat rahasia seperti itu tentu saja butuh ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."

"Baiklah, kami dapat mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"

Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggota Thian-li-pang yang berdiri bagai patung dan dengan suara mengandung kebanggaan ia pun berkata, "Yang Mulia Siang Hong-houw mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang."

Ia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti dan orang-orang Thian-li-pang itu merasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang bernilai cukup besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.

Akan tetapi, bagi Ciang Sun sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang paling penting. "Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"

Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang hanya mau enaknya saja. Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah!

Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau ayahnya gagal terpilih. Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun.

Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.

"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum berkenan menyetujui."

"Ahh! Justru itulah yang terpenting bagi kami! Jika usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"

"Hemmm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda Kaisar... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"

"Tetapi... beliau hanya kami minta persetujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur, hanya memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa menyelundup ke dalam istana tanpa dicurigai dan tanpa dilarang, begitu saja!"

"Apa pun yang kalian katakan, tetap saja Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat pembunuhan itu!" Mo Si Lim berkeras.

"Kalau begitu, kita akan menggunakan siasat yang ke dua!" teriak Ciang Sun kepada kawan-kawannya sebagai isyarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi perjuangan dan demi berhasilnya rencana kami, terpaksa engkau kami korbankan! Salahnya Siang Hong-houw yang tak menyetujui rencana kami!" Dan tiba-tiba saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang Mo Si Lim!

"Ahhhh!"

Mo Si Lim melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang didudukinya menjadi korban bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua. Sambil bergulingan Mo Si Lim yang juga mempunyai ilmu silat yang lumayan, telah mencabut pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan orang anggota Thian-li-pang sudah mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thaikam itu, juga Ciang Sun yang lihai sekali sudah menyerang lagi dengan pedangnya.

Mo Si Lim memutar pedangnya membela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia takkan menang, apa lagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia pun roboh mandi darah dengan tubuh penuh luka dan tewas seketika!

Dan pada siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada pasukan pengawal istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh seorang pencuri yang membawa perhiasan dari dalam istana. Orang gagah itu bukan lain adalah Ciang Sun yang membawa kepala Mo Si Lim dalam buntalan, bersama peti hitam kecil berisi perhiasan yang amat berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim, Ciang Sun lalu memberi tahu kepada anak buahnya bahwa kini terbukalah kesempatan baginya untuk menyelundup ke dalam istana, dengan bertindak sebagai pembunuh pencuri perhiasan itu dan mengembalikan perhiasan itu kepada istana.

"Perhiasan ini memang mahal harganya dan merupakan sumbangan yang besar bagi kita, akan tetapi kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan mengembalikan perhiasan ini. Kalian boleh berangkat ke pusat dan melaporkan kepada Pangcu kita!"

Demikianlah, dengan hati penuh semangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti hitam kecil itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan pengawal yang langsung menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang mengaku telah membunuh pencuri perhiasan milik Siang Hong-houw!

Tentu saja Kaisar Kian Liong terkejut mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar pembunuh pencuri itu dibawa menghadap kepadanya, juga dia memerintahkan agar Siang Hong-houw datang pula ketika mendengar bahwa yang dicuri adalah perhiasan milik permaisurinya itu.

Biar pun dia dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap berjalan dengan gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah seorang pendekar yang sudah digembleng menjadi seorang patriot yang gagah berani, yang rela mengorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu mengusir penjajah dari tanah air. Semangat ini pun bukan tanpa dorongan penyebab yang membuat dia menyimpan dendam dalam hatinya, yang membuat dia membenci pemerintah Mancu.

Ayah dan ibunya tewas dalam bentrokan antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa Mancu. Dendam ini membuat dia membenci semua orang Mancu. Apa lagi melihat betapa bangsanya diperlakukan dengan tidak adil oleh para penguasa bangsa Mancu, kebenciannya bertambah.

Dia semenjak muda membantu gerakan pemberontakan di mana-mana. Namun semua usaha pemberontakan itu selalu gagal karena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di antara pasukan itu terdapat jago-jago silat yang amat lihai, baik orang Mancu sendiri atau orang-orang Han yang telah diperalat oleh pemerintah Mancu. Saking bencinya, Ciang Sun bahkan sudah bersumpah tak akan menikah sebelum penjajah Mancu dapat dihancurkan.


SELANJUTNYA SI BANGAU MERAH BAGIAN 04