Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 07
"Ayah....! Ibu....!"

Melihat Sama Hui datang bersama seorang pemuda tampan dan dari pekarangan dara itu sudah lari menghampiri mereka sambil menangis, hati Suma Kian Lee dan isterinya diliputi kekhawatiran yang timbul dari kejutan dan keheranan. Mereka mengenal puteri mereka yang cerdik, lincah dan galak, keras hati dan tidak mudah menjadi lemah, tidak mudah menangis cengeng menghadapi apa pun juga.

Kalau sekarang puteri mereka sampai demikian sedihnya, tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Puteri mereka berada di Pulau Es bersama Ciang Bun, akan tetapi sekarang puteri mereka itu pulang tanpa Ciang Bun, bahkan bersama seorang pemuda asing, dan dara itu menangis seperti itu!

Suma Kian Lee, ayah Suma Hui, adalah seorang pendekar sakti, putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dengan Lulu. Berbeda dengan Suma Kian Bu, pendekar ini orangnya serius, pendiam, tenang dan sabar. Isterinya bernama Kim Hwee Li, dahulu seorang gadis petualang yang gagah perkasa dan berani, yang berkecimpung di dalam dunia kaum sesat namun tak pernah ikut menjadi jahat, seperti mutiara yang terendam di lumpur, tetap cemerlang bahkan lebih cemerlang.

Akan tetapi, hidup di antara kaum sesat itu membuat hatinya menjadi keras sekali dan tidak pernah merasa takut, sedangkan ilmu kepandaiannya juga amat hebat. Ia berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun sekarang, empat tahun lebih muda dari suaminya. Tetapi, dengan pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, ia masih nampak ramping dan padat, wajahnya masih tetap cantik dan nampak jauh lebih muda dari pada usianya yang sesungguhnya.

Mereka hidup dengan tenang di Thian-cin, sebuah kota di selatan kota raja. Seperti telah kita ketahui, kedua orang anak mereka, yaitu Suma Hui dan Suma Ciang Bun, menemani kakek nenek mereka di Pulau Es sambil memperdalam ilmu mereka.

Tentu saja suami isteri ini merasa kesepian setelah dua orang anak mereka pergi ke Pulau Es dan hampir setiap hari mereka membicarakan dua orang anak mereka dengan hati rindu. Mereka tidak menyangka bahwa pagi hari itu, selagi mereka duduk di serambi depan, mereka akan melihat puteri mereka pulang dalam keadaan yang sedemikian mengherankan dan mengkhawatirkan.

Suami isteri itu menyambut Suma Hui dengan rangkulan dan ciuman. Kalau Suma Kian Lee bersikap tenang-tenang saja, tidak begitu dengan Kim Hwee Li. Setelah merangkul dan menciumi pipi puterinya, ibu ini membentak, “Apa-apaan engkau ini, Hui-ji? Hayo hentikan kecengenganmu ini dan ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi denganmu! Dan mana Ciang Bun?”

“Nanti dulu,” kata Kian Lee. “Hui-ji, perkenalkan dulu siapa orang muda yang datang bersamamu ini.”

Suma Hui juga memiliki kekerasan hati seperti ibunya, maka sebentar saja ia sudah dapat menguasai hatinya dan menghentikan tangisnya. “Ayah, ibu, dia ini adalah Kao Cin Liong, putera dari enci Wan Ceng.”

“Aihhh....! Jadi engkau ini putera Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu?” Kim Hwee Li berseru girang.

“Hemm, kalau begitu dia masih cucu keponakanku sendiri, bukan orang lain. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata Kian Lee dengan sikapnya yang tenang.

Kao Cin Liong memandang kepada sepasang pendekar itu dengan kagum. Sikap kakek pamannya itu sungguh mengagumkan, begitu tenang dan terkendali, sebaliknya suami isteri pendekar itu pun membayangkan keagungan dan wibawa yang gagah perkasa. Hatinya terasa gentar dan mengecil kalau dia teringat bahwa dia telah jatuh cinta dengan Suma Hui dan dia gentar membayangkan bagaimana suami isteri pendekar ini akan bersikap kalau mendengar akan urusan cintanya itu. Maka dia pun cepat menjura dengan hormat.

Sebenarnya dia harus menyebut cek-kong (kakek paman) kepada pendekar ini, akan tetapi dia tidak berani dan menyebut locianpwe, sebutan yang menghormat dalam dunia persilatan terhadap orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.

“Terima kasih, locianpwe.”

Mereka pun memasuki ruangan dalam. Setelah pelayan mengeluarkan air teh, Hwee Li menutupkan pintu yang menembus ruangan itu sebagai tanda bahwa para pelayan tidak diperkenankan masuk atau mendekat. Setelah itu berkatalah nyonya ini, “Nah, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi.”

“Ohh, ibu, telah terjadi malapetaka yang amat hebat menimpa keluarga kita....” Suma Hui mengeluh, “peristiwa yang amat buruk....”

“Setiap peristiwa yang terjadi pun terjadilah. Setiap penilaian baik atau buruk hanya menipiskan kewaspadaan,” kata Kian Lee mencela pendapat puterinya. “Ceritakan saja selengkapnya dan jangan menilai.”

Akan tetapi Hwee Li sudah memegang lengan puterinya dan cengkeramannya itu kuat sekali sehingga kalau bukan puterinya yang dicengkeram, tentu tulang lengan itu akan patah atan setidaknya kulit lengan itu akan terluka! “Hayo cepat katakan, apa yang telah terjadi?”

Karena maklum akan watak ibunya yang dikenalnya dengan baik, yaitu tidak sabaran dan menjadi kebalikan dari watak ayahnya, Suma Hui tidak mau membuat ibunya kehilangan kesabaran, maka ia pun langsung saja menceritakan inti semua peristiwa dengan kata-kata lirih, “Kakek dan kedua orang nenek telah tewas, Pulau Es telah terbakar habis dan lenyap, adik Ciang Bun terjatuh ke dalam lautan berbadai dan lenyap, sedang adik Ceng Liong dilarikan oleh Hek-i Mo-ong!”

Suma Kian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin kuat, tenang dan bijaksana, sedangkan isterinya adalah seorang pendekar wanita yang gagah dan tabah, tidak mengenal takut. Akan tetapi, berita yang diucapkan dari mulut puteri mereka sekali ini sungguh terlalu amat hebat!

Wajah Kian Lee menjadi pucat dan alisnya berkerut, matanya memandang jauh dengan kosong dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, sedangkan isterinya juga terbelalak pucat, mulutnya terbuka dan mulut itu ditutup dengan punggung tangan seolah-olah nyonya ini hendak menahan jeritnya. Suasana menjadi sunyi dalam beberapa detik, kesunyian yang mengerikan dan suasana menjadi tegang penuh getaran.

“Tidak....! Tidak mungkin....! Siapa yang melakukan itu? Siapa? Hayo katakan, siapa yang melakukan kebiadaban itu? Akan kuhancurkan kepalanya, kupecahkan dadanya, kupatahkan kaki tangannya!” Nyonya itu bangkit dan mengepal tinjunya, dan Cin Liong mendengar suara berkerotokan pada buku-buku jari tangan yang masih halus itu! Bukan main hebatnya nyonya ini, pikirnya kagum dan juga gentar.

Melihat keadaan isterinya tercinta itu, Kian Lee melangkah maju dan memegang kedua tangan Hwee Li. Nyonya yang seperti tidak sadar ini merasakan hawa yang hangat menggetar memasuki kedua lengannya dan ia pun tersadar, lalu menoleh memandang suaminya dan tiba-tiba ia terisak, merangkul suaminya dan menangis tanpa suara di dada suaminya. Kian Lee memejamkan kedua matanya dan mengelus rambut isterinya, menepuk-nepuk bahu isterinya, suatu gerakan yang sebenarnya untuk menepuk hatinya sendiri setelah mendengar akan kematian ayah bundanya di Pulau Es itu.

“Tenanglah.... mati hidup adalah wajar, bukan kita yang menguasainya....,” katanya lirih sekali sehingga seperti bisikan dan tidak kentara kalau suaranya tergetar.

Hanya sebentar saja nyonya itu menangis tanpa suara, hanya pundaknya bergoyang sedikit. Kini ia telah mengangkat mukanya dari dada suaminya dan bukti tangisannya hanyalah baju suaminya yang menjadi basah dan matanya yang agak merah. Akan tetapi kini tidak nampak setetes pun air mata pada mata atau pipinya ketika ia duduk kembali.

“Hui-ji, kini ceritakanlah selengkapnya terjadinya peristiwa itu,” Kian Lee berkata dengan suara yang lirih dan lesu.

Dan untuk kedua kalinya, pertama kali kepada Suma Kian Bu dan isterinya, dan kedua kalinya kini kepada ayah bundanya, Suma Hui menceritakan peristiwa di Pulau Es itu, didengarkan oleh ayah bundanya dengan penuh perhatian. Tentang penyerbuan para datuk, tentang kedatangan Kao Cin Liong dan kemudian tentang kematian dua orang neneknya yang disusul kematian aneh dari kakeknya. Kemudian tentang penyerbuan para datuk dan anak buahnya atas perahu mereka sehingga mereka cerai-berai dan tentu saja Suma Hui menceritakan dan menonjolkan peran Cin Liong yang telah banyak berjasa itu. Bahkan dara itu menceritakan dengan teliti tentang jasa dan pertolongan Cin Liong kepadanya ketika dia ditawan oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.

“Kalau tidak ada Cin Liong yang menyelamatkan aku, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama saja,” demikian dara itu menutup kata-katanya sambil mengerling ke arah Cin Liong.

“Bibi Hui terlalu memuji-muji saya, sesungguhnya saya merasa menyesal sekali tidak dapat melindungi para paman kecil sehingga tidak diketahui bagaimana dengan nasib mereka sekarang,” Cin Liong merendahkan diri.

“Jadi di antara lima orang datuk itu, tiga telah tewas dan yang masih hidup adalah Hek-i Mo-ong yang melarikan Ceng Liong dan Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng itu?” tanya Kim Hwee yang seolah-olah hendak mencatat kedua nama itu baik-baik dalam ingatannya.

“Betul, ibu,” kata Suma Hui. “Aku pun kelak harus dapat membalas sakit hati ini kepada dua orang datuk sesat itu, mencari adik Ciang Bun dan menolong adik Ceng Liong.”

“Mudah saja engkau bicara,” kata Suma Kian Lee. “Mereka adalah orang-orang lihai, kalau tidak mana mungkin kedua orang nenekmu sampai tewas? Lagi pula, nama Hek-i Mo-ong sudah amat tersohor karena ilmu-ilmunya yang hebat. Engkau tinggal di rumah, aku sendiri yang akan mencari Ciang Bun.”

“Aku juga pergi!” kata Kim Hwee Li. “Biar Kian Bu dan isterinya menyusul dan mencari Ceng Liong sedangkan kita pergi mencari anak kita yang hilang. Perkara balas dendam, kelak kita rundingkan bersama keluarga Pulau Es.”

Kian Lee tak dapat membantah keinginan isterinya. Cin Liong lalu berkata dengan sikap hormat, “Karena sudah berhasil menemani bibi Hui sampai di rumah, perkenankan saya untuk melanjutkan tugas saya. Dan saya berjanji untuk ikut juga mendengarkan berita tentang paman-paman kecil Ciang Bun dan Ccng Liong.”

“Tugasmu sebagai jenderal?” tanya Kim Hwee Li tertarik.

“Benar, locianpwe. Saya ditugaskan oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki berita tentang pergerakan-pergerakan para pemberontak di barat dan utara. Saya ke Pulau Es juga hanya kebetulan saja dalam perjalanan saya melakukan tugas itu, ketika saya melihat rombongan anak buah para datuk itu sedang membicarakan tentang Pulau Es. Sekarang saya akan melapor dulu ke kota raja, kemudian melanjutkan perjalanan ke barat.”

Kian Lee mengangguk-angguk. “Jika memang begitu, tak sepatutnya kami menahanmu, Cin Liong. Dan kami sekeluarga mengucapkau terima kasih atas segala bantuanmu, baik terhadap keluarga Pulau Es mau pun terhadap Hui-ji.”

“Saya kira tak perlu demikian, locianpwe, mengingat bahwa di sana terdapat pula nenek buyut Lulu dan agaknya sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu keluarga Pendekar Super Sakti Suma Han locianpwe dari serbuan para penjahat. Nah, saya mohon diri, locianpwe.” Dia memberi hormat kepada Suma Kian Lee dan Hwee Li, kemudian menghadapi Suma Hui.

“Bibi Hui, selamat tinggal....”

“Cin Liong....!” kata Suma Hui ketika ia melihat pemuda itu melangkah keluar, lalu ia meragu dan akhirnya ia lari menghampiri dan berbisik, “Bagaimana dengan urusan kita....?”

“Jangan khawatir, sebelum pergi ke barat, aku akan memberitahukan orang tuaku,” bisik Cin Liong kembali, lalu dia menjura lagi dan pergi dari situ, meninggalkan Suma Hui yang berdiri termangu-mangu dan merasa betapa hatinya perih dan sepi ditinggal pemuda yang semenjak beberapa lama menemaninya dan telah memenuhi hatinya itu. Ia tidak tahu betapa suami isteri itu saling pandang dengan penuh arti, dan Suma Kian Lee membalikkan tubuhnya dengan tiba-tiba.

Malam itu Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bicara bisik-bisik di dalam kamar gadis itu. “Hui-ji, engkau cinta padanya, bukan?”

Dalam pelukan ibunya, Suma Hui mengangguk. Suasana sunyi dan tegang karena Suma Hui maklum betapa pentingnya pengakuannya itu bagi ibunya dan ia menantikan datangnya teguran ibunya.

Setelah hening beberapa lama, terdengar suara ibunya, akan tetapi bukan suara marah sehingga debar jantung di dalam dada Suma Hui menjadi tenang. “Hui-ji, sudah kau yakini akan cintamu itu?”

Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi di dalam rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama beberapa hari berturut-turut ini, kini dia merasa aman sentosa dalam rangkulan ibu kandungnya.

Kembali sunyi sejenak. Dan sekarang kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan, “Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!”

Meski ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka ia pun merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka ia pun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.

“Akan tetapi dia lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-galanya, ibu. Ia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, ia gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia jugalah yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku, padahal, hubungannya sudah amat jauh!”

“Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah. Jadi, kalau pun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan.”

Mendengar ini, Suma Hui lalu bangkit dan memandang ibunya penuh harapan. “Kalau begitu, ibu setuju?”

Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air matanya. Bagaimana pun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan yang mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk. “Ibu sih setuju saja.”

“Ibuuu....!” Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya. “Ibu memang seorang yang amat berbudi....! Terima kasih, ibu.”

Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, dia tidak begitu malu menitikkan air mata walau pun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.

“Jangan bergirang-girang dulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu sebelum bertemu dengan aku, sudah jatuh hati kepada Ceng Ceng. Akan tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng ialah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa kau saling mencinta dengan orang yang masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya.”

“Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!” kata Suma Hui, sikapnya keras.

Kim Hwee Li menarik napas panjang. Dia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya walau pun pendiam dan tenang, akan tetapi juga di dasar hatinya memiliki kekerasan dan pendirian yang teguh. Maka ia telah dapat melihat bayangan yang tidak menyenangkan dalam peristiwa ini.

“Mudah-mudahan saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri oleh karena urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu.”

“Terima kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!” Suma Hui kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati khawatir.

Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.

“Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tak tahu aturan sekali. Apakah mereka sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!”

Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa tidak enak sekali. Dialah yang tadi menyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri, dia marah bukan main.

“Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu,” isterinya mencoba untuk membantah.

“Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan dikata orang-orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih berharga dari pada nyawa!” Makin bicara, makin marahlah Kian Lee. “Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!”

“Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biar ia beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanya pun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Jika benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan itu.”

“Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku dan aku akan menghajar mereka!” kata pula Kian Lee semakin panas.

Isterinya kemudian merangkulnya. “Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua semakin pemarah, sungguh tidak baik itu. Sudahlah, marilah kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun.”

Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan. Akan tetapi, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itu pun tertidur.

Tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya, “Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur sebaiknya untuk Hui-ji.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan.”

“Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ahh, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji belum berkenalan dengan dia.”

“Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana dari pada membiarkan dia jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw-twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula.”

“Tapi.... bagaimana pun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini tidak akan mengecewakan kelak?”

“Hal itu tidak perlu kau khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji.”

“Ahhh....!” Kim Hwee Li mengerutkan alisnya.

Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas. “Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka punya kesempatan untuk saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?”

“Hemm, aku tidak yakin. Kukira semua ini kau lakukan bukan untuk Hui-ji, melainkan untuk menjaga nama kehormatanmu sendiri.”

“Apa bedanya? Kehormatan kita adalah kehormatan Hui-ji pula. Kebahagiaan kita juga kebahagiaannya. Dia masih muda dan perlu dibimbing, baik dalam urusan cinta dan jodoh sekali pun. Percayalah, aku tidak akan bertindak salah, isteriku.”

“Sesukamulah,” akhirnya sang isteri menjawab, walau pun hatinya merasa tidak enak karena ia belum yakin betul akan kebenaran ucapan suaminya.

Suma Kian Lee, pendekar sakti itu, bagaimana pun juga hanyalah manusia biasa yang dapat terjerumus ke dalam pendapat yang keliru seperti terjadi kepada sebagian orang besar, orang-orang tua di dunia ini. Orang-orang tua seperti Suma Kian Lee itu terlalu memandang rendah kepada anaknya sehingga seolah-olah merasa dapat mengatur kehidupan dan kebahagiaan anaknya. Seolah-olah kebahagiaan dalam kehidupan itu adalah sesuatu yang dapat diatur.

Dia lupa bahwa kehidupan seseorang adalah mutlak milik si orang itu sendiri, tidak peduli orang itu adalah anaknya. Tiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, dan si orang itu sendirilah yang dapat merasakan kebahagiaan hidupnya.

Orang boleh saja mengatur untuk mengadakan kesenangannya, seperti kekayaan, kedudukan, termasuk pula suami yang dianggap sempurna dan sebagainya. Akan tetapi semua itu hanyalah bayangan khayal belaka dan hanya berlangsung sementara saja.

Siapa yang berani memastikan bahwa bagi seorang wanita, mempunyai suami yang muda, kaya, pandai dan berkedudukan itu pastilah akan mendatangkan bahagia? Atau sebaliknya bagi seorang pria mendapatkan isteri yang muda dan cantik jelita, pintar dan halus budi itu pun akan mendatangkan bahagia?

Kebahagiaan dalam perjodohan hanya mempunyai satu syaratnya, yaitu cinta kasih! Tanpa ini, segala macam kesenangan yang terdapat dalam perjodohan itu akan luntur dan besar kemungkinannya akan berakhir dengan percekcokan dan kesengsaraan.

Orang-orang tua banyak yang tidak sadar bahwa cintanya terhadap anaknya sudah menyeleweng ke arah cinta terhadap diri sendiri atau keinginan untuk mencari kepuasan diri sendiri. Itulah sebabnya mengapa orang-orang tua selalu memilihkan sesuatu bagi anaknya, dengan keyakinan bahwa pilihannya itu tentu akan cocok bagi anaknya, tentu akan membahagiakan anaknya! Padahal pada dasarnya, yang dapat dipilihnya itu yang dapat menyenangkan hatinya sendiri.

Orang tua seperti ini akan merasa senang jika yang dipilih anaknya itu yang disukainya pula, dan akan merasa tidak senang dan menentang kalau yang dipilih anaknya itu tidak mencocoki seleranya. Dia lupa bahwa selera anaknya itu, biar pun keturunannya sendiri belum tentu sama dengan seleranya sendiri.

Kalau orang tua sungguh-sungguh mencinta anaknya, dia harus berani membiarkan anaknya itu bebas menentukan jalan hidupnya, bebas memilih segala hal mengenai hidupnya, jodohnya, agamanya, pekerjaannya, sahabatnya, dan sebagainya. Tentu hal ini bukan berarti orang tua harus diam saja tak acuh dan tak peduli. Sama sekali bukan demikian.

Bahkan sebaliknya orang tua harus selalu waspada dan kalau dia melihat anaknya itu bertindak menuju ke arah hal yang membahayakan kehidupannya, adalah menjadi kewajibannya, berdasarkan cinta kasih, untuk mengingatkan anaknya, menantunya. Ini bukan berarti memaksanya menuruti kemauan orang tua dalam menentukan jalan hidup
.

Akan tetapi, Suma Kian Lee agaknya merasa yakin bahwa tindakannya benar kalau dia dengan kekerasan menentang pilihan hati puterinya. Bahkan mengusahakan supaya puterinya itu berjodoh dengan orang lain yang dipilihnya, yang menurut anggapannya, cocok menjadi suami anaknya dan kelak akan berbahagia…..

********************

Pilihan Suma Kian Lee itu adalah seorang pemuda berusia Sembilan belas tahun, dan bernama Louw Tek Ciang. Pemuda ini cukup tampan, bahkan kelihatan menarik karena kulit mukanya yang putih bersih. Matanya tajam membayangkan kecerdikan, mulutnya selalu tersenyum dan sikapnya ramah. Biar pun tubuhnya agak pendek, namun tegap dan gagah, apalagi karena pemuda ini selalu berpakaian yang bagus-bagus dan agak pesolek.

Ayahnya bernama Louw Kan atau terkenal di kota Thian-cin sebagai Louw-kauwsu (guru silat Louw) karena kakek berusia lima puluh tahun yang sudah menduda ini membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) di mana dia mengajarkan ilmu silat cabang Siauw-lim-pai dengan memungut bayaran.

Semenjak berusia lima tahun, Tek Ciang telah kematian ibunya, dan ayahnya tidak pernah menikah lagi. Dia merupakan anak tunggal yang tentu saja amat dimanja oleh ayahnya. Sejak kecil dia telah digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri, dan ternyata Tek Ciang memiliki bakat yang amat baik. Di antara murid-murid ayahnya, tidak ada yang dapat menandinginya dalam ilmu silat dan bahkan dia mulai mewakili ayahnya dan membimbing murid-murid ayahnya.

Ketika dia berusia delapan belas tahun, terjadi gejolak batin yang amat hebat dalam diri pemuda ini, tanpa diketahui oleh ayahnya atau pun oleh dirinya sendiri. Ketika itu, untuk ke sekian kalinya, Tek Ciang bertanya kepada ayahnya tentang ibunya.

“Ayah dulu pernah bilang bahwa ada suatu rahasia besar tentang kematian ibu dan jika aku sudah dewasa, baru ayah akan menceritakan rahasia itu. Ayah, aku sangat rindu kepada ibu yang sudah tidak dapat kuingat wajahnya, akan tetapi aku masih ingat bahwa ibu adalah seorang wanita yang cantik. Ceritakanlah, ayah, mengapa ibu mati muda?”

Louw-kauwsu mengerutkan alisnya, dan sambil mengisap huncwe (pipa tembakau) yang panjang, wajahnya berubah menjadi muram. Kemudian, setelah menghembuskan asap tembakaunya, dia berkata, “Memang ibumu itu wanita yang amat cantik, paling cantik bagiku di dunia ini dan aku amat mencintainya. Akan tetapi sayang…., batinnya tidaklah secantik wajahnya, hatinya tidak sebersih kulitnya.”

“Kenapa, Ayah?” Tanya Tek Ciang kaget.

“Ia adalah wanita berhati palsu, seorang isteri yang menyeleweng dan menyakitkan hati suaminya, seorang wanita yang gila lelaki.”

“Isteri menyeleweng? Gila lelaki?” pemuda itu bertanya bingung mengapa ayahnya yang katanya mencintai isterinya itu kini memakinya dengan kata-kata keji.

“Ya, cintanya terhadap suaminya hanya di mulut saja dan diam-diam dia melakukan penyelewengan, berjinah dengan pria lain. Mula-mula suaminya masih mengampuninya. Akan tetapi penyakit itu tidak dapat sembuh, berulang kali dilakukannya perjinahan itu dengan lelaki demi lelaki. Ia memang gila lelaki sehingga akhirnya, perbuatan yang kotor dan keji itu membuatnya mati terbunuh.”

Tek Ciang mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, dan dia kaget bukan main mendengar ucapan terakhir dari ayahnya itu.

“Terbunuh? Jadi ibu mati terbunuh? Siapa yang membunuhnya, Ayah?”

“Suaminya yang entah berapa kali disakiti batinnya.”

Makin pucat wajah Tek Ciang ketika dia bangkit dari tempat duduknya. “Jadi…. jadi…. ayah sendiri yang membunuh ibu?”

Louw-kauwsu menarik napas panjang. “Duduklah, anakku. Memang aku sendiri yang membunuhnya, demi cintaku kepadanya. Karena kalau tidak dibunuh, dia akan terus melakukan hal yang amat tidak sepatutnya itu. Tentu saja bukan tangan ini yang dahulu membunuhnya. Pada penyelewengan terakhir saat tertangkap basah, aku membuatnya berjanji bahwa kalau sekali lagi ia berjinah dan ketahuan, ia akan bunuh diri. Nah, baru beberapa bulan saja, ia telah berjinah lagi dan saat ketahuan olehku, ia lalu membunuh diri, mungkin karena takut atau karena malu. Aku cinta padanya, bahkan aku tidak mau menikah lagi sejak ia meninggal karena aku takut kalau-kalau penyiksaan terhadap perasaanku akan terulang lagi. Jarang ada wanita yang dapat dipercaya, Tek Ciang, oleh karena itu engkau harus berhati-hati sekali dalam memilih jodoh. Dari pada tersiksa hatinya setelah menikah, lebih baik tinggal membujang selama hidup.”

Percakapan dengan ayahnya itulah yang menimbulkan guncangan hebat dalam batin Tek Ciang dan tanpa disadarinya, dia memandang rendah kepada kaum wanita, bahkan ada timbul semacam kebencian! Akan tetapi, hal ini tumbuh di bawah sadar dan dia sendiri tidak merasakannya, karena pada lahirnya, dia suka melihat wanita-wanita cantik dan bukan tergolong seorang pemuda alim.

Dengan para murid ayahnya yang sudah dewasa, kadang-kadang dia pergi bermain main dan ada kalanya pula dia terbawa oleh teman-teman itu pergi mengunjungi tempat pelesir dan bergaul dengan pelacur-pelacur sehingga dalam hal permainan cinta, Tek Ciang bukanlah pemuda yang hijau. Akan tetapi, dia bersikap halus dan kelakuannya sopan seperti seorang terpelajar, maka tidak seorang pun yang akan menduga bahwa sebetulnya pemuda ini tidak asing di antara para pelacur kelas tinggi di kota Thian-cin.

Tek Ciang terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya terlihat oleh umum di tempat-tempat pelacuran itu. Maka ayahnya sendiri pun tak tahu bahwa putera tunggalnya itu bukanlah seorang perjaka tulen dan kadang-kadang menghamburkan uang di tempat pelesir itu.

Juga dia tidak tahu bahwa biar pun pada lahirnya begitu halus, ramah dan sopan, namun setelah berada berdua saja dengan seorang pelacur di dalam kamar, pemuda itu dapat bersikap lain, menjadi kejam dan suka mempermainkan wanita pelacur sesuka hatinya, suka menghinanya dan agaknya menikmati penderitaan lahir batin seorang wanita pelacur. Maka, pemuda ini tersohor sebagai pemuda yang kejam dan tidak disukai di kalangan para pelacur, walau pun dia memang royal dengan uangnya.

Louw Kam atau Louw-kauwsu bersahabat dengan pendekar sakti Suma Kian Lee. Tentu saja guru silat ini mengenal siapa pendekar itu, dan selain kagum, juga amat hormat kepadanya. Maka, dia merasakan sebagai kehormatan besar sekali dapat berkenalan bahkan bersahabat dengan pendekar sakti itu.

Saling berkunjung di antara mereka sering terjadi, dan perkenalannya dengan pendekar ini sungguh amat menguntungkan dirinya. Perguruannya makin maju karena para murid itu berpendapat bahwa seorang guru silat yang menjadi sahabat pendekar sakti Suma Kian Lee, tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Bahkan kalau ada yang diam-diam memusuhi guru silat ini, akhirnya menjadi gentar melihat hubungan yang akrab antara Louw-kauwsu dan pendekar sakti itu. Oleh karena hubungan persahabatan ini maka martabat Louw-kauwsu ikut terangkat.

Demikianlah perkenalan kita dengan keluarga Louw ini…..

Pada suatu pagi, Louw-kauwsu merasa girang sekali melihat munculnya Suma Kian Lee di depan pintu rumahnya. Akan tetapi alisnya berkerut ketika ia melihat wajah pendekar itu nampak agak muram yang berarti bahwa hati sahabat yang dihormatinya itu tentu sedang kesal.

“Ah, selamat pagi, Suma-taihiap!” kata guru silat itu dengan ramah. “Silakan masuk dan duduk. Sungguh gembira sekali hati saya menerima kunjungan taihiap sepagi ini.”

“Terima kasih, Louw-twako,” kata Suma Kian Lee dan mereka pun duduk menghadapi minuman teh panas sebagai sarapan pagi di atas meja.

“Eh, kenapa taihiap memakai pakaian berkabung?” Tiba-tiba guru silat itu terkejut ketika melihat pakaian serba putih dan tanda berkabung yang dipakai oleh pendekar itu.

Pendekar itu menarik napas panjang. Dia tidak ingin menceritakan tentang mala petaka yang menimpa keluarga ayah bundanya di Pulau Es, akan tetapi pakaian berkabung yang dipakainya itu tentu saja tidak dapat disembunyikan. Mengingat bahwa guru silat ini adalah sahabat baiknya dan juga bahkan mungkin akan menjadi calon besannya, maka dia mengambil kebijaksanaan untuk berterus terang saja.

“Anak perempuan kami pulang dari Pulau Es kemarin....”

“Ahh, Siocia sudah pulang? Tentu telah membawa ilmu-ilmu yang luar biasa dari Pulau Es!” teriak guru silat itu dengan kagum.

“Ia membawa berita buruk, yaitu bahwa ayah ibuku telah meninggal dunia.”

“Ahhh....!” Guru silat itu terkejut bukan main, cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada pendekar itu sambil berkata, “Maafkan saya, taihiap, karena tidak tahu maka berani bicara sembarangan. Semoga saja Thian dapat menerima arwah orang tua taihiap dan memberi tempat yang baik.”

“Terima kasih, Louw-twako. Kematian adalah hal yang wajar saja dan kami pun dapat menerimanya dengan tenang. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, terjadi mala petaka di perahu yang mengakibatkan puteraku hilang....”

“Ahhh!” Untuk kesekian kalinya guru silat itu terkejut. “Suma-kongcu hilang? Ke mana dan bagaimana?”

“Dia tercebur ke lautan, terpisah dari enci-nya dan sampai kini belum ada kabar-kabar tentang dia.”

“Siancai....! Sungguh saya ikut merasa berduka sekali, taihiap. Bagaimana mala petaka menimpa demikian berturut-turut?”

“Memang itulah nasibku sekarang ini. Aku dan isteriku akan melakukan perjalanan untuk mencari anakku yang hilang itu dan sebelum aku pergi, aku ingin membicarakan hal penting yang pernah kusinggung dahulu itu, twako, yaitu tentang perjodohan antara puteri kami dan puteramu.”

Berdebar kencang jantung dalam dada Louw Kam. Hal itu memang menjadi idamannya selama ini. Pernah secara iseng-iseng pendekar ini bicara tentang kemungkinannya tali perjodohan itu dan tentu saja dia akan merasa girang dan bangga sekali untuk dapat berbesan dengan pendekar sakti ini. Mempunyai mantu cucu Pendekar Super Sakti! Tentu saja cucu pendekar itu tidak dapat disamakan dengan perempuan-perempuan biasa macam isterinya itu. Biar pun jantungnya berdebar kencang penuh kegembiraan, namun sikapnya biasa dan tenang saja.

“Bagaimanakah kehendak taihiap? Sejak dahulu kami hanya dapat menanti keputusan taihiap dan tentu saja pihak kami setuju sepenuhnya, bahkan merasa memperoleh kehormatan besar sekali kalau anakku yang bodoh itu terpilih untuk menjadi calon jodoh puteri taihiap yang mulia.”

“Tak perlu memuji atau merendah, twako. Manusia ini di permukaan bumi sama saja, dan kelebihan orang dalam suatu hal tidak perlu dijadikan alasan untuk mengangkatnya tinggi-tinggi. Kami merasa setuju dengan puteramu, tetapi.... maafkan pernyataanku ini, agaknya kelak akan merupakan kepincangan yang kurang sehat kalau ilmu silat antara mereka berselisih jauh.”

Wajah guru silat itu menjadi merah dan dia menutupinya dengan tertawa. “Ah, biar saya latih seratus tahun lagi, takkan mungkin tingkat kepandaian Tek Ciang akan dapat menandingi tingkat Suma-siocia.”

“Bukan maksudku untuk merendahkan, twako. Tetapi kenyataannya memang demikian, yaitu bahwa puteriku dalam ilmu silat jauh lebih pandai dari pada puteramu. Akan tetapi kulihat puteramu itu pun memiliki bakat yang baik sekali, maka andai kata engkau memperkenankan, kalau dia menjadi muridku dan menerima bimbinganku sehingga dia dapat menyamai tingkat Hui- ji, alangkah akan baiknya itu....”

Louw-kauwsu cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat. “Laksaan terima kasih saya kepada taihiap! Tentu saja saya setuju sepenuhnya dan agaknya sudah menjadi anugerah bagi anakku yang bodoh untuk memperoleh nasib sebaik ini. Heii! Tek Ciang....! Di mana engkau? Ke sinilah!”

“Jangan beri tahukan dia tentang perjodohan itu lebih dulu, twako,” kata Suma Kian Lee berbisik sebelum pemuda itu muncul dari belakang.

Melihat pendekar itu, Tek Ciang segera menjura dengan sikap hormat dan sopan.

“Ahhh, kiranya Suma-locianpwe yang hadir. Harap locianpwe dalam keadaan baik saja dan terimalah hormat saya,” katanya ramah.

“Terima kasih, Tek Ciang,” jawab Suma Kian Lee senang melihat sikap pemuda yang sopan itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, sayang agak pendek, dan pakaiannya selalu rapi dan bagus.

“Tek Ciang, cepat engkau berlutut pada Suma-taihiap dan menyebut suhu. Dia hendak mengangkatmu sebagai muridnya!” kata Louw-kauwsu dengan girang.

Mendengar ucapan ayahnya ini, Louw Tek Ciang terkejut bukan main dan memandang kepada pendekar itu. Suma Kian Lee mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tek Ciang adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menjadi murid pendekar ini, selain kemungkinan besar untuk memperoleh ilmu yang hebat, juga namanya akan terangkat dan tak seorang pun di kota Thian-cin, bahkan sampai di kota raja yang akan berani menentangnya! Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Kian Lee, memberi hormat sampai delapan kali dan menyebut “Suhu!” berkali-kali.

Kian Lee membangunkan pemuda itu dan berkata, “Tek Ciang, engkau adalah murid pertama dariku. Selama ini aku belum pernah menerima murid dan hanya mengajarkan ilmu-ilmuku kepada kedua orang anakku saja. Sekarang, melihat kebaikan ayahmu dan besarnya bakatmu, aku suka membimbingmu mempelajari ilmu silat.”

“Terima kasih, suhu. Segala petunjuk dan bimbingan suhu pasti akan teecu taati dan junjung tinggi.”

“Sekarang keluarlah dulu dari ruangan ini karena aku hendak bicara urusan penting dengan ayahmu.”

Tek Ciang kembali menghaturkan terima kasih, kemudian pergi dari tempat itu dengan sikap patuh sekali. Setelah pemuda itu pergi dan dengan pendengarannya yang tajam Kian Lee merasa yakin bahwa pemuda itu sudah pergi jauh ke belakang rumah, dia pun berkata, “Louw-twako, biarlah sementara ini perjodohan antara puteramu dan anakku tidak diumumkan dulu, akan tetapi kita berdua telah menyetujui untuk menjodohkan mereka. Dan demi kebaikan mereka berdua, kurasa mereka berdua harus dipertemukan dan diperkenalkan. Maka, aku akan mengajak puteramu untuk tinggal di rumahku, dan selama aku dan isteriku pergi mencari putera kami, biarlah anakku yang memberi petunjuk-petunjuk dalam latihan dasar. Dengan demikian, ada dua keuntungan, yaitu pertama, anakku tidak akan bersendirian saja di rumah dan ke dua, mereka dapat saling berkenalan sebelum perjodohan diumumkan. Bagaimana pendapatmu, Louw-twako?”

Louw-kauwsu yang sudah kegirangan dan merasa amat beruntung itu tentu saja merasa setuju sekali dan berkali-kali dia mengangguk. Demikian girang hatinya sehingga guru silat ini tidak lagi mampu berkata-kata! Betapa tidak? Putera tunggalnya yang amat disayangnya itu selain akan dipungut mantu juga diangkat menjadi murid pertama dan tunggal oleh pendekar sakti Suma Kian Lee! Peristiwa itu tentu saja akan mengangkat namanya setinggi langit. Baru menjadi sahabat dekatnya pendekar itu saja dia sudah merasakan keuntungan besar di bidang nama, kedudukan dan pekerjaannya. Apalagi kalau puteranya menjadi murid, bahkan mantu Suma-taihiap!

“Jika begitu, sebaiknya kalau Tek Ciang hari ini juga berangkat ke rumahku, membawa bekal pakaian karena kami harus segera bersiap-siap. Dalam seminggu ini kami sudah akan berangkat pergi mencari puteraku, Louw-twako. Dan selama kami pergi dan putera twako menemani anakku di rumah, harap twako suka berbaik hati untuk kadang-kadang lewat di rumah kami melihat-lihat keadaan.”

“Jangan khawatir, taihiap. Mulai hari ini, rumah keluarga taihiap sama dengan rumah yang menjadi tanggung jawab saya sendiri. Pasti akan saya bantu jaga seperti rumah saya sendiri selama taihiap berdua bepergian.”

Setelah Suma Kian Lee pulang, Louw-kauwsu menyuruh puteranya segera berkemas. Dia memberi banyak nasehat kepada puteranya itu. “Tek Ciang, engkau memperoleh berkah yang jauh lebih berharga dari pada harta benda apa saja di dunia ini. Engkau diangkat menjadi murid putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Tahukah engkau apa artinya itu? Berarti bahwa kalau engkau belajar dengan baik-baik, kelak engkau akan menjadi seorang pendekar sakti yang hebat! Bahkan seluruh nasib hidupmu di kemudian hari tergantung pada saat-saat inilah. Suma-taihiap menghendaki supaya engkau berangkat ke rumahnya sekarang juga. Engkau akan diberi latihan dasar dan disuruh berlatih dengan petunjuk dari Suma-siocia, karena gurumu itu bersama isterinya akan melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan engkau di sana bersama puteri mereka. Berhati-hatilah engkau di sana, jagalah rumah itu seperti rumahmu sendiri, bersikaplah sopan terhadap Suma-siocia dan semua pelayan di sana. Berusahalah agar semua orang menyukaimu, Tek Ciang. Dengan demikian, engkau tidak akan membikin malu aku sebagai ayahmu.”

Tek Ciang tersenyum. Ayahnya ini bersikap seperti memberi nasehat kepada seorang anak kecil saja! Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dibuatnya agar suhu-nya suka kepadanya. Dan tentu saja dia sudah mendengar akan Suma-siocia, dara remaja yang kabarnya selain lihai dan sakti, juga memiliki kecantikan yang amat menggairahkan! Ah, betapa beruntungnya dia! Berlatih diri di bawah petunjuk seorang dara remaja yang lihai dan cantik jelita!

Akan tetapi, pemuda yang cerdik ini pandai menyembunyikan perasaannya, dan dia pun mengangguk taat. “Baik, ayah. Aku akan mengingat semua nasehatmu.”

Ketika Tek Ciang tiba di rumah keluarga Suma, Kim Hwee Li dan juga Suma Hui sudah mendengar dari Suma Kian Lee tentang pemuda itu yang diangkat menjadi murid dan akan tinggal di rumah itu selama suami isteri itu pergi mencari Ciang Bun.

“Ayah,” Suma Hui membantah ketika ayahnya memberitahukan perihal pemuda yang belum dikenalnya itu. “Apakah ilmu keluarga kita akan diturunkan kepada orang luar?”

Ayahnya mengerutkan alis. “Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang melarang bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang luar. Ayah dari Louw Tek Ciang, yaitu Louw-kauwsu, adalah seorang sahabat baikku. Dia seorang yang bersih namanya dan aku melihat putera tungggalnya itu pun memiliki bakat yang amat baik, juga sikapnya baik. Karena itu aku mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima ilmu-ilmu dariku secara sempurna, maka dia harus lebih dahulu berlatih sinkang dan semedhi yang bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sinkang dari kita. Karena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau mewakili aku dan kadang-kadang memberi petunjuk kepadanya kalau dia berlatih.”

Mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan nada sungguh-sungguh, Suma Hui mengangguk. Ia belum memperoleh kepastian dari ibunya tentang sikap ayahnya terhadap urusannya dengan Cin Liong, maka dari itu ia berpendapat bahwa sebaiknya, sebelum urusan pribadinya itu dibikin terang, ia tidak membuat ayahnya marah. Bagai mana pun juga, hatinya seperti merasa tidak rela ayahnya mengangkat seorang murid.

Ketika Tek Ciang muncul dengan buntalan pakaiannya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah ibunya dan menyebut mereka suhu dan subo dengan sikap menghormat sekali, Suma Hui terkejut. Tak disangkanya bahwa murid yang diangkat oleh ayahnya itu ternyata adalah seorang pemuda dewasa yang lebih tua darinya! Seorang pemuda yang cukup ganteng dan gagah, dan sikapnya amat sopan.

Pemuda itu sedikit pun tidak pernah melirik kepadanya dan hanya menunduk ketika memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu.

“Bangkitlah, Tek Ciang. Perkenalkan, ini adalah puteri kami yang bernama Suma Hui,” kata Kim Hwee Li yang sudah diberi tahu oleh suaminya tentang ‘siasat’ suaminya untuk mendekatkan kedua orang muda itu. Hwee Li menyuruh pemuda itu bangkit untuk dapat melihat lebih jelas wajah dan perawakan pemuda yang oleh suaminya telah dipilih untuk menjadi calon mantunya ini.

“Terima kasih, subo,” berkata Tek Ciang sambil memandang kepada suhu-nya dengan ragu-ragu, seolah-olah dia tidak berani bangkit sebelum menerima perintah suhu-nya.

Melihat ini, diam-diam Suma Kian Lee menjadi girang. Bocah ini sungguh amat taat dan bijaksana, berhati-hati dalam sikap agar tidak menyinggung hati gurunya, menandakan bahwa dia amat teliti dalam melakukan tindakan dan menentukan sikap!

“Bangkit dan duduklah, Tek Ciang,” katanya halus.

Baru pemuda itu bangkit dan menjura kepada suhu dan subonya. “Terima kasih, subo.”

Kemudian dia baru menoleh kepada Suma Hui, akan tetapi hanya sekelebatan saja dia berani menatap wajah itu, wajah yang membuat jantungnya berdebar kencang walau pun baru melihat sekelebatan saja, kemudian dia pun cepat menjura kepada dara itu.

“Suma-siocia (nona Suma), saya Louw Tek Ciang yang bodoh menghaturkan hormat kepada siocia.”

Sepasang alis Kim Hwee Li berkerut sebentar. Pemuda ini terlalu sopan, pikirnya, begitu amat sopan sehingga berkelebihan dan cenderung kepada sikap bermuka-muka dan menjilat. Tentu saja dia segera menekan perasaannya karena dugaan itu pun masih membuat dia ragu.

Sebaliknya, Suma Hui merasa canggung juga diperlakukan dengan sikap yang demikian merendah dan menghormatnya. Ia cepat membalas penghormatan itu.

“Terima kasih, Louw-kongcu (tuan muda Louw),” katanya.

“Hemm, buang saja cara panggilan yang sungkan-sungkan itu!” Suma Kian Lee berkata sambil tersenyum. “Hui-ji, dia adalah murid ayahmu dan biar pun dia murid baru, akan tetapi dia lebih tua darimu dan juga engkau puteriku, bukan muridku. Maka, biar pun sebagai murid tingkatmu lebih tinggi, namun sepatutnya engkau menyebutnya suheng. Dan engkau Tek Ciang, engkau harus menyebut sumoi kepada Hui-ji.”

Kembali Louw Tek Ciang menjura kepada Suma Hui dan tetap saja dia tidak berani mengangkat muka memandang langsung, dan suaranya halus sopan merendah ketika dia berkata, “Maafkan saya, sumoi (adik perempuan seperguruan), saya hanya mentaati perintah suhu, walau pun sesungguhnya saya tidak berani lancang.”

Bagaimana pun juga, sikap pemuda ini menyenangkan hati Suma Hui. Pemuda ini jelas tidak kurang ajar, dan matanya juga tidak jelalatan ketika memandang kepadanya, tidak seperti mata laki-laki lain yang kalau memandang kepadanya seperti mata seekor singa kelaparan. Maka ia pun menjura dan berkata manis, “Tidak mengapa Louw-suheng, kurasa ayah benar sekali dan panggilan ini terasa lebih mudah, bukan?”

“Tek Ciang, dalam beberapa hari ini aku dan subo-mu akan pergi merantau untuk beberapa lamanya. Karena itu, sebelum aku pergi, aku akan menurunkan beberapa latihan dasar untuk mempelajari sinkang dan semedhi. Harus kau perhatikan baik-baik karena dasar latihan sinkang ini adalah pokok dari pada ilmu-ilmu yang akan kuturunkan kepadamu. Kalau latihan dasar keliru, maka kelak dalam mempelajari ilmu-ilmu dariku engkau pun tak akan dapat menguasainya dengan sempurna. Karena itu, engkau harus selalu tekun berlatih dan teliti, jangan sampai keliru. Di sini ada sumoi-mu yang akan dapat memberi petunjuk sewaktu-waktu kalau engkau merasa ragu-ragu.”

“Baik, suhu. Sumoi, saya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari sumoi, dan untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepadamu.”

“Aku bersedia membantumu, suheng. Harap jangan sungkan bertanya,” jawab Suma Hui yang mulai merasa suka kepada pemuda yang sopan dan halus budi ini.

Hanya Kim Hwee Li yang sejak tadi tidak berkata apa-apa, karena nyonya ini masih merasa tidak puas melihat sikap pemuda itu yang dianggapnya tidak wajar dan terlalu sopan, seperti dibuat-buat. Ia hanya mengharapkan bahwa sikap itu adalah sikap yang sewajarnya dan bahwa pemuda itu memang seorang yang sopan dan halus budi, bukannya dibuat-buat karena di baliknya terkandung suatu pamrih tertentu.

“Sekarang pergilah ke kamarmu dan simpan pakaianmu, lalu kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk mulai dengan teori-teori dasar latihan sinkang,” kata pula Suma Kian Lee. “Hui-ji, suruh pelayan datang mengantar suheng-mu ke kamarnya yang sudah disediakan untuknya itu.”

“Baik, ayah.” Melihat sikap ayahnya yang gembira, hati Suma Hui juga menjadi gembira. Ayahnya tidak kelihatan marah, padahal ibunya tentu sudah menyampaikan kepada ayahnya itu perihal urusannya dengan Cin Liong dan ini berarti bahwa ayahnya itu tidak menjadi marah atau menentang. Hal itu pun mendatangkan kegembiraan dalam hati Suma Hui dan ia melakukan perintah ayahnya dengan hati senang pula.

Demikianlah, dalam beberapa hari itu Suma Kian Lee memberi dasar latihan sinkang dengan sungguh-sungguh kepada Tek Ciang. Biar pun pemuda ini pernah mempelajari semedhi dan latihan sinkang dari ayahnya, akan tetapi dasar latihan yang diberikan oleh suhu-nya itu amat berbeda, juga amat sukar sehingga dia harus bersungguh-sungguh kalau dia ingin mengerti benar-benar.

Memang pemuda ini cerdik dan berbakat sekali sehingga walau pun latihan itu tidak mudah dan membutuhkan perhatian dan pengerahan semua kemauan dan kejujuran hati, akhirnya dia dapat juga mengerti. Selagi ayahnya memberi petunjuk, Suma Hui juga hadir dan gadis ini diam-diam harus memuji ketekunan murid ayahnya ini dan ia pun yakin bahwa seorang murid seperti Tek Ciang ini pasti kelak akan menjadi seorang ahli silat keluarga Pulau Es yang baik dan belum tentu akan kalah tinggi tingkatannya dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hemm...

kisah para pendekar pulau es jilid 07


Seminggu kemudian, suami isteri itu berangkat meninggalkan rumah mereka, memulai dengan perjalanan mereka yang tanpa tujuan tempat tertentu, seperti orang meraba-raba di dalam kegelapan. Bagaimana pun juga, sungguh amat sukar mencari seorang anak yang hilang di tengah lautan yang demikian luasnya. Setelah memberi pesanan banyak nasehat kepada puterinya dan muridnya, Suma Kian Lee dan isterinya pun berangkatlah dengan menunggang dua ekor kuda.

Louw-kauwsu sering kali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin sekali agar puteranya jangan sampai ‘gagal’ menjadi mantu pendekar sakti Suma Kian Lee, maka berlawanan dengan kekerasaan hatinya sendiri dia pun diam-diam membisikkan urusan pertalian jodoh itu kepada puteranya!

“Tek Ciang, engkau harus pandai-pandai membawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja telah diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah diangkat menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini masih belum diresmikan, maka engkau pun pura-pura tak tahu sajalah. Aku menceritakan padamu agar engkau pandai-pandai membawa diri.” Demikianlah bisikannya dan mendengar ini tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.

Dan pemuda ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang kurang hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui sehingga tiada alasan sedikit pun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka kepada suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar sinkang itu dengan baik.

********************

“Hyaaaaatttt, ahh…! Hyaaaaatttt, ahh…!”

Lengkingan ini terdengar berkali-kali, menggema di sekeliling tempat yang amat sunyi itu, dari bagian belakang sebuah pondok yang berdiri terpencil di bukit rimbun itu. Itulah bukit Pegunungan Ci-lian-san yang terdapat di perbatasan Sin-kiang dengan Cing-hai.

Sebuah pondok kayu yang nampak masih baru di antara puing-puing banyak bangunan yang pernah kebakaran. Dan pondok ini memang baru saja dibangun oleh Hek-i Mo-ong yang dibantu oleh muridnya yang baru, yaitu Suma Ceng Liong!

Puing-puing itu adalah bekas sarang Hek-i-mo-pang, yaitu Perkumpulan Iblis Baju Hitam yang pernah dipimpinnya akan tetapi yang dihancurkan oleh tiga orang pendekar pada waktu itu, ialah Bu Ci Sian, Kam Hong, dan Sim Hong Bu, bahkan kemudian bekas sarang itu dibakar oleh rakyat yang tinggal di bawah gunung.

Karena tempat itu sunyi dan indah, Hek-i Mo-ong mengajak muridnya tinggal di situ, membangun sebuah pondok kayu yang cukup kuat biar pun sederhana dan mulailah dia melatih ilmu-ilmu yang dahsyat kepada muridnya yang baru berusia sepuluh tahun lebih itu.

Lengkingan nyaring berulang-ulang yang terdengar dari belakang pondok itu adalah lengking suara Ceng Liong! Dan kalau ada orang yang berani melongok ke dalam tanah daratan di belakang pondok itu, tentu dia akan bergidik. Akan tetapi siapa yang berani mengunjungi tempat itu?

Sebelum Hek-i Mo-ong pulang ke situ pun tiada orang yang berani mendekat. Rakyat yang membakar sarang itu hanya melampiaskan dendam mereka terhadap gerombolan yang sudah banyak mengganggu mereka itu. Akan tetapi setelah membakar, mereka pun cepat-cepat pergi, tak berani berlama-lama di situ apalagi saat mereka mendengar berita bahwa Hek-i Mo-ong sendiri tidak nampak mayatnya di antara anak buahnya, berarti bahwa iblis itu masih belum mati. Maka yang tinggal di tempat mengerikan itu hanyalah puing bersama tulang-tulang dan tengkorak anak buah Hek-i-mo-pang yang berserakan di tempat yang kini menjadi tanah datar, di belakang pondok batu itu.

Apakah yang sedang dilakukan oleh guru dan murid di belakang pondok itu? Mereka sedang berlatih dengan cara yang aneh dan mengerikan. Hek-i Mo-ong sendiri nampak sedang bersemedhi dengan cara yang aneh, yaitu dengan jungkir balik. Semedhi jungkir balik ini memang tidak mengherankan dan sudah banyak dilakukan orang, yaitu dengan kepala di atas tanah, kedua kaki lurus ke atas, kedua tangan menopang kepala.

Semedhi seperti ini amat baik untuk melancarkan jalan darah, untuk memperbanyak dan memperlancar jalannya darah ke dalam kepala untuk memulihkan kembali ketidak seimbangan antara hawa Im dan Yang di dalam tubuh. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong itu lain dari pada yang lain.

Kepalanya memang di bawah dan kedua kakinya tegak lurus ke atas, tetapi kepalanya tidak berada di atas tanah, melainkan di atas sebuah tengkorak! Dan kedua lengannya bersedakap di depan dadanya, dan dia pun tidak berjungkir balik dengan diam saja, melainkan tubuhnya yang berjungkir balik itu berloncatan! Kepalanya itu meloncat dan hinggap di atas sebuah tengkorak lainnya dan demikian seterusnya, berpindahan dari tengkorak yang satu ke tengkorak yang lain.

Semuanya terdapat sembilan buah tengkorak yang diletakkan di atas tanah dengan membentuk garis bintang Sim-seng (Bintang Hati) yang terdiri dari tiga titik dengan tiga buah tengkorak dan bintang Jui-seng (Bintang Mulut) yang terdiri dari enam buah tengkorak. Dia berpindah-pindah dengan berloncatan seperti itu, dan terdengar suara dak-duk-dak-duk saat kepalanya bertemu dengan sebuah tengkorak berikutnya, seperti seorang anak kecil bermain loncat-loncatan.

Tak jauh dari situ, Ceng Liong juga berlatih dengan ilmu pukulan yang diajarkan gurunya. Setiap kali berteriak “hyaaaaaatt!” dia berlari menyerbu ke arah sepotong tulang, baik itu tulang kaki atau tengkorak atau tulang-tulang lainnya, dan begitu tiba dia berteriak “ahh!” dan tangannya dengan jari-jari terbuka, agak melengkung seperti cakar, mencengkeram ke arah tulang-tulang itu. Dan tulang-tulang itu pun berlubang! Nampak lubang-lubang kecil bekas cengkeraman jari-jari tangannya!

Itulah Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang sangat keji karena selain jari-jari tangan itu dilatih untuk dapat menembus tulang, juga serangan jari itu membawa hawa beracun yang lama-lama terkumpul dari hawa dalam tengkorak-tengkorak dan tulang-tulang mayat itu ketika berlatih! Meski masih kecil, Ceng Liong adalah putera Pendekar Siluman Kecil dan cucu Pendekar Super Sakti, sejak kecil sudah digembleng dengan hebat dan lebih dari itu, dia telah menerima warisan sumber tenaga sakti dari mendiang kakeknya. Oleh karena itu, kini mudah saja bagi Hek-i Mo-ong untuk menggerakkan sumber tenaga sakti itu dan mempergunakannya untuk mempelajari ilmu-ilmu sesat darinya. Tentu saja Ceng Liong belum tahu apa artinya ilmu bersih dan ilmu kotor, hanya merasa suka kalau diberi pelajaran ilmu-ilmu baru yang aneh dan dahsyat.

Agaknya kakek iblis itu telah merasa cukup berlatih dengan loncatan-loncatan itu, maka tiba-tiba tubuhnya meloncat agak tinggi dan membuat poksai (salto), terus turun dan kini dia berdiri dengan biasa sambil tersenyum memandang kepada muridnya yang berlatih itu. Kakek itu nampak mengerikan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa itu nampak kuat dan kokoh. Pakaian sampai ke sepatunya serba hitam hingga rambutnya yang putih nampak menyolok.

“Cukup, Ceng Liong. Sekarang engkau harus membantuku melakukan latihan yang amat penting.” Berkata demikian, kakek ini lalu mengumpulkan tengkorak-tengkorak di tempat itu dan mulai menumpuki tengkorak-tengkorak itu dengan cara-cara tertentu, bersusun teratur dengan tengkorak-tengkorak itu seperti saling mengisap tengkuk tengkorak di atasnya dan semua terlentang. Paling bawah diatur sepuluh buah, lalu di atasnya sembilan buah, terus delapan buah, dan seterusnya setiap tingkat berkurang satu sampai paling atas hanya sebuah tengkorak saja.

“Latihan bagaimana, Mo-ong ?” Ceng Liong bertanya.

Memang anak ini tidak menyebut suhu kepada gurunya, melainkan menyebut Mo-ong (Raja Iblis) begitu saja karena dia memang sudah berjanji bahwa dia mau menjadi murid akan tetapi tidak mau menyebut suhu dan tidak mau mempelajari kejahatan. Dan bagi seorang datuk kaum sesat yang berwatak aneh seperti Hek-i Mo-ong, sebutan Mo-ong sebaliknya dari pada suhu ini justru menggembirakan hatinya. Makin aneh keadaannya, makin sukalah datuk ini, dan dia akan berbangga kalau orang-orang lain mendengar bahwa muridnya menyebutnya Mo-ong begitu saja, tanda keanehan mereka yang lain dari pada orang lain!

“Aku hendak berlatih Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun) bagian yang paling akhir. Selama aku berlatih, keadaan diriku kosong dan sama sekali tidak berdaya andai kata ada musuh datang menyerang. Dengan pukulan sederhana saja aku bisa mati! Oleh karena itu, engkau harus berjaga-jaga dan engkau lindungi aku selama aku berlatih. Ingat, selama hawa api itu masih di luar badan dan belum kutarik kembali, berarti aku masih tak berdaya dan engkau harus melindungiku dari serangan lain dari luar.”

“Tapi, siapakah yang akan berani menyerangmu, Mo-ong?”

“Memang tidak ada, akan tetapi siapa tahu? Di dunia ini lebih banyak musuh dari pada sahabat. Dan siapa tahu malapetaka datang selagi aku berlatih. Kau jagalah baik-baik dan hentikan latihanmu.”

“Baik, Mo-ong. Aku akan menjagamu,” anak itu berjanji.

Ia lalu berdiri di bawah pohon tak jauh dari timbunan tengkorak itu, memandang dengan hati tertarik sekali karena dia tahu bahwa gurunya itu memang amat lihai dan memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh.

“Nah, kau siaplah!” kata Hek-i Mo-ong.

Dia sendiri lalu mengatur pakaiannya, menggulung lengan bajunya, mempererat ikat pinggang, membetulkan ikatan pita rambutnya, lalu dia berdiri tegak dan mengambil napas dalam-dalam sampai beberapa lamanya. Kemudian, tiba-tiba saja tubuhnya itu meloncat ke atas tumpukan tengkorak, berjungkir balik dan kepalanya hinggap di atas tengkorak yang berada di tumpukan paling atas. Oleh karena tengkorak ini, seperti tengkorak-tengkorak yang lain, menghadap ke atas, maka mulut tengkorak itu seperti mengecup tengkuknya.

Setelah tubuhnya yang berjungkir balik itu tegak lurus dan sedikit pun kakinya tidak bergoyang, kedua lengannya lalu bersedakap seperti tadi. Terdengar dia bernapas dalam dan keras, makin lama suara napasnya semakin keras mendesis-desis dan tak lama kemudian, Ceng Liong melihat betapa ada uap putih perlahan-lahan keluar dari mulut kakek itu yang terbuka!

Dan dia yang berdiri di sebelah kiri gurunya dalam jarak hampir tiga meter sudah mulai merasakan adanya hawa panas! Uap putih itu ternyata tidak melayang pergi, melainkan berkumpul di depan mulut, perlahan-lahan melayang maju dan makin memanjang, ada kalanya tertarik kembali mendekati mulut.

Ceng Liong memandang dengan penuh perhatian. Biar pun dia masih kecil, namun sudah banyak melihat ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan dia pun telah mempelajari teori-teori ilmu yang tinggi dari Pulau Es. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu keluarganya juga amat tinggi dan di antara ilmu-ilmu itu terdapat pula penggunaan hawa sinkang yang panas, yaitu Hwi-yang Sinkang yang dapat membakar dan mencairkan es. Akan tetapi, hawa tenaga sakti itu hanya dipergunakan melalui gerakan pukulan. Dan Raja Iblis ini menggunakan hawa sakti itu melalui pernapasannya, dikeluarkan dari dalam tubuh berupa uap panas yang langsung dipergunakan untuk menyerang musuh!

Kini, uap putih yang tebal itu makin lama semakin tebal dan semakin panjang, sampai melayang lebih dari satu meter dari mulut, akan tetapi tidak pernah terlepas dari mulut yang terbuka itu. Kalau uap itu sampai dapat mencapai dua meter lebih, baru akan menjadi senjata yang amat berbahaya bagi lawan.

Dan agaknya, dalam latihan ini, Hek-i Mo-ong mengerahkan banyak tenaga. Tubuhnya mandi peluh dan napasnya mulai terengah. Padahal, uap itu baru melayang sejauh satu setengah meter. Terpaksa dia menghentikan dorongan dari dalam itu dan uap itu kini berhenti dan tidak bergerak, nampak aneh karena seperti benda keras saja.

Pada saat itu, tiba-tiba telinga Ceng Liong mendengar gerakan ringan dari belakangnya dan munculah seorang kakek berpakaian seperti tosu dengan rambut digelung ke atas. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan mukanya merah sekali. Usianya ada enam puluhan tahun. Selain tosu ini, Ceng Liong masih melihat berkelebatnya banyak bayangan orang di sekitar tempat itu. Tentu saja dia bersikap waspada dan siap sedia melindungi gurunya.

Mula-mula tosu itu nampak kaget dan heran, akan tetapi setelah dia mengenal muka Hek-i Mo-ong, matanya segera mendelik, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan dan tiba-tiba saja dia mengirim serangan, pukulan yang dahsyat dilayangkannya ke arah punggung Raja Iblis itu!

“Desss....!”

Tubuh tosu itu terhuyung ke belakang dan dia memandang terbelalak kepada anak berusia sepuluh tahun yang tiba-tiba menangkis pukulannya tadi dan membuatnya terhuyung! Hampir saja dia tidak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat, dan ketika anak kecil tadi menangkis, dia merasa adanya hawa sakti yang amat kuat menolaknya. Dia terhuyung dan anak itu hanya mundur dua langkah, tanda bahwa dia kalah kuat!

Tentu saja dia menjadi penasaran dan marah, dan menduga bahwa tentu anak ini murid Hek-i Mo-ong. Tidak terlalu mengherankan kalau Raja Iblis itu memiliki murid kecil yang sudah begini lihai, dan sebelum membunuh iblis itu dia harus lebih dulu menyingkirkan anak ini. Akan tetapi, bagaimana pun juga, di depan banyak orang dia masih merasa malu untuk mempergunakan pedangnya. Maka tanpa banyak cakap, dia lalu menerjang maju dan menyerang Ceng Liong.

Ceng Liong mengelak, menangkis dan membalas. Dia mainkan Iimu Silat Sin-coa-kun yang pada waktu itu merupakan satu-satunya ilmu silat dari keluarganya yang sudah agak matang dilatihnya. Maka, untuk berkali-kali, tosu itu merasa terheran-heran karena serangannya luput dan tertangkis, bahkan anak itu dapat mengirim serangan balasan yang cukup cepat.

Bagaimana pun juga, Ceng Liong hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Gerakannya belum mantap, lengannya masih terlalu pendek dan biar pun dia sudah mewarisi tenaga sakti kakeknya, namun dia belum menguasainya benar-benar sehingga belum dapat mempergunakan sumber tenaga itu dengan baik. Maka, belasan jurus kemudian, dia mulai dihajar tunggang-langgang oleh tamparan, pukulan dan tendangan tosu itu.

“Plakkk!”

Keras sekali pukulan sekali ini yang mengenai dada Ceng Liong, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi, bulu tengkuk tosu itu meremang ketika dia melihat anak itu meloncat bangun kembali. Padahal pukulannya tadi amat keras dan akan dapat mencabut nyawa seorang lawan yang cukup tangguh! Akan tetapi, Ceng Liong merasa agak pening dan tahulah anak ini bahwa keadaan gurunya terancam bahaya. Kalau orang-orang lain yang kini sudah berdiri mengepung tempat itu turun tangan, tak mungkin dia dapat melindungi gurunya.

“Mo-ong, sadarlah, bantulah! Sadarlah kalau engkau tidak ingin mati!” Ceng Liong mulai berteriak-teriak menyadarkan gurunya.

Teriakannya itu tentu saja membuat si tosu dan orang-orang lain merasa terheran-heran. Tosu itu pun meragu mendengar seruan anak itu. Tidak mungkin murid si raja iblis kalau menyebut kakek itu Mo-ong begitu saja. Bagaimana pun juga, dia khawatir kalau-kalau Raja Iblis itu sadar dan tentu tidak akan mudah menyerangnya. Maka dengan gemas tosu ini pun melakukan serangan dahsyat sekali.

“Bresss....!”

Tubuh Ceng Liong kini terlempar sampai empat meter lebih terkena tendangan kilat tosu itu. Tubuhnya terbanting keras dan sebelum anak itu sempat bangkit, tosu tadi telah tiba di depannya dan dengan ganas tosu itu mengirim pukulan ke arah kepala Ceng Liong!

Anak itu maklum akan datangnya bahaya maut, maka dia pun teringat akan ilmu yang baru saja dilatihnya, yaitu Coan-kut-ci. Maka dia mengangkat tangan kanan menyambut pukulan itu dengan cengkeraman tangannya.

“Crottt....! Aughhh....!”

Tosu itu terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari tangan Ceng Liong tidak sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan dagingnya terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan dia pun mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak menyambar ke arah kepalanya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin menyambar kuat.

“Trakkk....!”

Tosu itu mengggerakkan pedangnya menangkis. Dia berhasil menangkap tengkorak itu yang runtuh ke atas tanah, akan tetapi dia sendiri pun hampir saja terjengkang saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya. Dia pun terkejut dan memandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah berdiri di atas tumpukan tengkorak dengan kaki di bawah dan tadi dia mengunakan kakinya untuk menendang sebuah tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.

Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tidak memperhatikan tosu itu, melainkan memandang kepada beberapa orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Pada saat itu, Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan tengkorak.

“Huh, bukankah Thong-ciangkun yang datang ini? Dan juga bersama Thai Hong Lama dari Tibet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang belum kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan mendatangi aku secara begini, ada keperluan apakah?” Hek-i Mo-ong menatap wajah mereka satu demi satu dan diam-diam dia pun terkejut karena banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Mau apa begini banyak orang sakti yang ia tahu adalah dari golongan sesat berkumpul? Kalau mereka ini terdiri dari para pendekar, tentu dia akan merasa khawatir karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Tapi mereka jelas datang dari golongan hitam bercampur dengan orang-orang yang sedang menduduki jabatan penting seperti Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.

“Hek-i Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk seorang di antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali. Maka dengan resmi aku atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar ikut bersama kami ke gedung gubernur.”

“Hemm, mana bisa begitu? Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tidak mungkin aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang mengundang itu gubernur sekali pun!”

Thong-ciangkun, perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di wilayah barat ini adalah seorang perwira yang usianya sudah enam puluh tahun dan sudah lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis ini memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pembesar, bahkan ada hubungan baik antara dia dan Gubernur Yong, maka sekarang perwira itu maklum bahwa menghadapi seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati. Sambil tersenyum dia lalu berkata.

“Hek-i Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan dari Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin. Maka engkau diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak dapat memperoleh kemuliaan bersama.”

Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak mempunyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu Pulau Es saja, biar pun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai, dia telah kehilangan kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang lagi entah lari ke mana!

Kini terbukalah kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja. Akan tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat menjadi yang nomor satu atau setidaknya, menjadi pembantu gubernur yang paling berpengaruh dan lihai. Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaiannya di depan semua orang ini. Dia tersenyum kepada Thong-ciangkun.

“Baik, aku akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau pergi.”

Dia menudingkan telunjuknya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi dengan Ceng Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh kebencian.

Thong-ciangkun memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah Yang I Cinjin, seorang tosu perantau pertapa di daerah Pegunungan Himalaya, bukan dari golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak memperoleh kedudukan tinggi yang mulia. Oleh karena kepandaiannya tinggi maka Gubernur Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di samping pengetahuannya yang luas menguasai daerah Himalaya dari sekitar Tibet.

“Sungguh kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?”

“Iblis ini pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi selirnya. Maka, apa pun akibatnya, hari ini pinto harus menebus hutang itu!” kata Yang I Cinjin.

Mendengar keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agaknya telah terlampau mendalam sehingga satu-satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa!

Maka dia pun melangkah mundur dan berkata, “Kami mempunyai urusan penting, tidak akan mencampuri segala urusan pribadi.”

Mendengar ucapan ini, para tokoh lain juga melangkah mundur dan hanya menonton dari jauh. Bagaimana pun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang lebih berharga bagi persekutuan mereka.

Hek-i Mo-ong menghampiri tosu yang mukanya pucat itu. “Ha-ha-ha, kiranya engkau adalah sute dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama dan membalas, majulah!”

Yang I Cinjin mencabut pedangnya dan nampak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tertawa mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga ikut melangkah mundur dan menonton dengan jantung berdebar tegang dan gembira melihat gurunya akan bertanding dengan tosu yang sudah diketahui kelihaiannya itu.

“Heh, Ceng Liong, Coan-kut-ci yang kau mainkan tadi sudah baik, akan tetapi kurang kuat. Kau lihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu bau ini!”

“Iblis busuk, lihat pedang!” Tiba-tiba tosu itu membentak.

Pedangnya diputar sedemikian cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah seorang ahli pedang yang kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang adalah karena sebagai seorang ahli pedang dia enggan menghadapi seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan senjata yang ampuh itu. Akan tetapi sekali ini, ahli pedang itu berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi.

Sebelum menghadapi pedang lawan, Hek-i Mo-ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini dengan kedua lengan telanjang dia menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong menangkis, mengelak dan mempermainkan. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok pada saat kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali menangkis dan pedang bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya tergetar hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.

Setelah membiarkan lawan menghunjamkan serangan sampai tiga puluh jurus tanpa dibalasnya, seakan memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa serangan-serangan itu sama sekali tiada artinya baginya, dan menyatakan pula bahwa dia sudah banyak memberi ‘hati’ dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk mendemonstrasikan keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba saja kakek itu berseru, “Ceng Liong, lihatlah Coan-kut-ci ini!”

Maka mulailah kakek ini mengerahkan tenaga dan kedua tangannya membentuk cakar, persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Tangan kirinya bergerak dan mencengkeram ke depan, ke arah pedang yang menusuk lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang membentuk cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya bergoyang dengan kuat, tangannya mencengkeram dibarengi bentakan “ahh!” tadi.

“Krekkk!” Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Tangan kanannya menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu yang terkejut setengah mati melihat betapa pedang pusakanya dicengkeram patah itu, tangan kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang.

“Krakkk....!”

Tosu itu mengeluh. Ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya terkulai karena tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulitnya saja yang menahan sehingga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas tanah.

Kini tubuh Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Dan cengkeraman tangan kirinya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan hebatnya cengkeraman tangan yang mengandung hawa mukjijat Coan-kut-ci itu, cepat mengelak ke samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya merupakan pancingan karena sekarang cengkeraman tangan kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Dan cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat dielakkan lagi.

“Crotttt....!”

Lima jari-jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh terguling ke atas tanah. Terdapat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur darah bercampur otak dan tosu itu tewas seketika.

Semua yang menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu karena mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu cengkeraman maut yang mengerikan itu.

Mereka yang mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih merasa kagum bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan beberapa orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi semakin lihai saja!”

“Omitohud!” kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada seperti orang bersujud. “Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!”

Hek-i Mo-ong tertawa. “Hahh, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian mentertawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong atau ilmu pukulan Cui-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai Hong Lama?”

“Heh-heh, itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!” kata Pek-bin Tok-ong sambil terkekeh.

“Omitohud, mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!” kata pula Thai Hong Lama dan ucapan itu pun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.

Thong-ciangkun lalu melangkah maju dan menjura. “Hek-i Mo-ong, setelah urusan pribadi selesai, kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemuan. Bagaimana, dapatkah undangan kami ini diterima?”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Baik, akan tetapi aku harus datang berdua dengan muridku ini. Bukankah begitu, Ceng Liong muridku?”

Ceng Liong mengangguk. Ia merasa bangga akan kemampuan gurunya yang demikian mudah mengalahkan tosu tadi dan dia merasa kagum akan kelihaian gurunya. “Memang harus begitu, Mo-ong. Aku tidak sudi ditinggal di sini sendirian saja!” Tentu saja semua orang merasa heran sekali mendengar ucapan bocah itu terhadap gurunya, demikian kasar tanpa hormat, bahkan menyebut gurunya Mo-ong begitu saja.

“Kalau begitu, marilah kita berangkat!” kata pula Thong–ciangkun.

Hek-i Mo-ong mengangguk dan menyuruh Ceng Liong berkemas membawa pakaian. Pada saat itu terdengar teriakan dan tangis orang. Kiranya seorang pemuda tanggung yang usianya tidak akan lebih dari tiga belas tahun telah berlutut dan menangisi mayat Yang I Cinjin, kemudian memondong mayat itu dan pergi dari situ. Sebelum pergi dia menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.

Peristiwa ini mengejutkan semua orang dan seorang di antara mereka yang berada di situ berkata, “Itu adalah muridnya....”

Mendengar ini, Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Hei, anak tikus, lihat dan ingat baik-baik muka Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong muridku ini. Aku tak akan membunuhmu, memberi waktu dan kesempatan kepadamu untuk kelak dapat datang mencari aku atau muridku ini, ha-ha-ha!”

Di dalam hatinya, Ceng Liong sungguh tidak setuju dengan sikap gurunya itu, akan tetapi karena ucapan itu sudah terlanjur dikeluarkan, dia pun hanya memandang kepada anak itu dengan penuh perhatian agar dia tidak akan mudah melupakannya kelak. Dia melihat sebuah tahi lalat hitam di ujung bawah telinga kiri anak itu dan ini menjadi tanda yang takkan pernah dilupakan oleh ingatan Ceng Liong yang tajam. Setelah menatap wajah Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, anak itu sambil menangis melanjutkan perjalanan memondong jenazah gurunya dan pergi dari tempat itu.

Bagaimana pun juga, peristiwa ini membuat Thong-ciangkun merasa tidak enak dan dia pun cepat merubah suasana dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang lain kepada Hek-i Mo-ong.

“Karena akan menjadi rekan seperjuangan, maka kami ingin memperkenalkan sahabat-sahabat ini kepadamu, Mo-ong. Ini adalah saudara Siwananda, dialah wakil koksu (guru negara) Kerajaan Nepal yang baru dan yang telah memperoleh kekuasaan mutlak dari Raja Nepal untuk menghadap Yong-taijin.”

“Hemm, Koksu Nepal? Aku pernah mengenal Sam-ok Bun Hwa Sengjin....,” kata Hek-i Mo-ong.

“Saudara Lakshapadma? Dia memang pernah menjadi Koksu Nepal, akan tetapi karena mengalami kegagalan tidak berani pulang ke Nepal. Kami pernah mendengar bahwa dia bekerja sama denganmu sampai menemui kematiannya di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. Kiranya orang-orang Nepal ini telah mendengar segalanya dan dia percaya bahwa tentu orang ini pun lihai seperti juga Sam-ok Ban Hwa Sengjin dahulu. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas dan Naga Siluman’, Sam-ok Ban Hwa Sengjin adalah orang ke tiga dari Ngo-ok (Lima Jahat) dan pernah menjadi Koksu Nepal. Akhirnya, ketika Sam-ok bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan bentrok dengan para pendekar muda, Sam-ok tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.

“Dan saudara ini adalah kepala Suku Tailu-cin dari Mongol. Dia mewakili sukunya untuk berunding dengan Gubernur Yong.”

Hek-i Mo-ong dan orang Mongol bertubuh raksasa itu saling memberi hormat. Kemudian mereka berangkat menuju ke kota Li-tan yang letaknya di dekat perbatasan antara Tibet, Ching-hai dan Propinsi Uighur yang lalu menjadi daerah yang disebut Sin-kiang (Daerah Baru). Pasukan pengawal Thong-ciangkun mengiringkan mereka sehingga mereka itu dianggap sebagai tamu-tamu pemerintah dan tidak menimbulkan kecurigaan pada rakyat.

Di dalam sebuah gedung di kota Li-tan ini telah menanti Gubernur Yong. Pembesar ini bernama Yong Ki Pok, peranakan Ulghur yang memperoleh kedudukannya melalui ketentaraan. Karena Kaisar Kian Liong paling benci akan kecurangan para pembesar, maka pembersihan diadakan sampai ke daerah ini, dan Gubernur Yong merasa sangat tersinggung ketika menerima teguran dari para pejabat pemeriksa.

Maka, diam-diam gubernur ini lalu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak lain yang menentang kekuasaan kaisar. Apalagi ketika dia mendengar pergerakan pasukan Nepal yang melakukan penyerbuan ke Tibet, dianggapnya itulah kesempatan baik untuk bersekutu dengan pasukan asing agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Maka dia lalu mengutus Thong–ciangkun, orang kepercayaannya untuk menghubungi pihak-pihak itu dan pada hari ini diadakan pertemuan antara wakil-wakil semua pihak dan dengan Gubernur Yong sendiri.

Mereka sudah berkumpul di dalam ruangan itu, sebuah ruangan besar yang cukup mewah. Meja besar diatur memanjang sehingga semua orang dapat duduk di sekelilingnya. Agak lucu melihat Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu, duduk pula semeja dengan gubernur dan tokoh-tokoh kaum persilatan yang berilmu tinggi itu. Lucu dan janggal.

Akan tetapi ini merupakan syarat kehadiran Hek-i Mo-ong, yang tidak mau berpisah dari muridnya. Tak ada seorang pun di antara mereka itu pernah menduga seujung rambut pun bahwa bocah itu adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Entah apa yang akan menjadi reaksinya kalau hal ini mereka ketahui. Hek-i Mo-ong sendiri duduk dengan tenang sambil memandang dan memperhatikan orang-orang yang duduk semeja dengannya itu.

Dengan sinar matanya yang tajam, Hek-i Mo-ong memperhatikan tokoh-tokoh yang hadir dan sinar matanya seperti menilai dan mengukur kelihaian mereka itu. Yang hadir di tempat itu memang merupakan tokoh-tokoh yang amat lihai.

Panglima Thong Su adalah tangan kanan Gubernur Yong dan panglima yang usianya sudah enam puluh tahun ini, yang tubuhnya tegap dan terlatih, adalah seorang ahli perang yang amat berpengalaman. Biar pun ilmu silat atau kekuatan pribadinya tidaklah demikian hebat, namun dalam gerakan perang, orang seperti dia amat diperlukan untuk memimpin pasukan dan mengatur siasat pertempuran.

Thai Hong Lama, pendeta dari Tibet yang kepalanya gundul dan jubahnya merah itu nampak menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh serta kuat, sepasang telinganya lebar sekali dan tangan kirinya memutar-mutar biji tasbeh dengan sikap alim, seperti sepatutnya sikap seorang pendeta. Sebatang suling terselip di pinggang, tertutup jubah. Akan tetapi, di balik sikap alim ini tersembunyi ambisi yang amat besar.

Saat itu Tibet adalah wilayah yang tunduk kepada pemerintah Ceng yang dikendalikan oleh Kaisar Kian Liong. Sebagai kepala-kepala daerah, ditunjuklah beberapa orang pembesar yang bekerja sama dengan para pendeta Lama yang berpengaruh. Dan Thai Hong Lama tidak kebagian tempat karena pendeta ini, biar pun memiliki kepandaian tinggi, telah dicap sebagai seorang penyeleweng ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap basah memperkosa seorang wanita di kuilnya. Maka, diam-diam dia merasa sakit hati dan bercita-cita untuk menggulingkan mereka yang berkuasa di Tibet dan agar dia dapat terangkat menjadi orang nomor satu yang paling berkuasa di daerah itu.

Ilmu silatnya tinggi dan sinkang-nya sudah demikian kuatnya sehingga dengan tenaga khikang kalau dia meniup sulingnya, dia dapat menyerang lawan dengan suara suling itu! Juga tasbeh yang selalu dipermainkan oleh jari-jari tangan kirinya seperti orang bersembahyang membaca mantera setiap saat itu sesungguhnya merupakan senjata yang ampuh.

Kemudian Hek-i Mo-ong memperhatikan Pek-bin Tok–ong. Dia sudah tahu kelihaian orang ini. Pek-bin Tok-ong (Raja Racun Muka Putih) adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, seorang tokoh Pegunungan Go-bi-san yang maha luas itu. Dia berpakaian pertapa serba putih dan longgar, rambutnya putih panjang dan kadang-kadang dibiarkan terurai, kadang-kadang digelung ke atas secara sembarangan saja.

Tubuhnya kurus tinggi dan mukanya putih seperti kapur, karena muka yang putih itulah maka dia dijuluki Raja Racun Muka Putih. Dari julukannya saja orang sudah dapat menduga bahwa tokoh ini adalah seorang ahli yang lihai sekali dalam hal racun. Akan tetapi, bukan dalam urusan mengenai racun saja dia lihai, juga ilmu silatnya amat tinggi dan lebih berhahaya lagi adalah ilmu-ilmunya yang semua dilatih dengan hawa beracun sehingga pukulannya bukan saja kuat, melainkan juga mengandung racun mengerikan. Satu di antara ilmu-ilmunya yang amat hebat, seperti yang disebut oleh Hek-i Mo-ong tadi, adalah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Memutuskan Otot Melepaskan Tulang).

Orang lain yang diperhatikan oleh Hek-i Mo-ong adalah Siwananda dan Tailucin. Siwananda berusia enam puluh tahun lebih, seorang Gorkha yang berkulit kehitaman, tinggi besar dan tubuhnya berbulu, mukanya brewok dan rambut kepalanya yang masih hitam itu dibalut kain kuning. Wakil Koksu Nepal ini juga amat lihai dan tenaganya dapat dilihat dari keadaan tubuhnya. Walau pun dia kurus, namun nampak tinggi besar karena tulang-tulangnya memang besar dan kokoh kuat. Dia bukan hanya pandai ilmu silat Nepal, akan tetapi juga ahli gulat dan pandai pula ilmu sihir.

Biar pun tubuh Thai Hong Lama dan Siwananda dari Nepal itu termasuk tinggi besar, tetapi mereka itu nampak sedang-sedang saja kalau dibandingkan dengan Tailucin, tokoh Mongol itu. Tailucin ini, yang mengaku sebagai keturunan Jenghis Khan, itu Raja Mongol yang amat termasyhur, bertubuh raksasa. Dia pun lihai sekali dan bertenaga gajah. Juga dia pandai berlari sangat cepat seperti larinya kuda dan juga amat pandai menunggang kuda, bahkan pandai menjinakkan kuda-kuda liar. Tentu saja di samping itu semua, dia ahli pula dengan ilmu silat dan gulat Mongol.

Seperti diketahui, Bangsa Mongol pernah menjajah daratan Tiongkok dan mendirikan Dinasti Goan-tiauw, mengoper sebagian besar kebudayaan Tiongkok, termasuk ilmu silatnya. Maka raksasa Mongol ini pun tidak asing dengan ilmu silat yang telah dipelajarinya semenjak dia masih kecil. Kalau senjata dari Siwananda berupa sebatang tongkat pikulan yang berat, maka senjata Tailucin ini lebih dahsyat lagi, yaitu sebuah tongkat penggada yang besar dan lebih berat, terbuat dari pada kayu dari batang semacam pohon yang dinamakan pohon besi.

Hek-i Mo-ong sudah pernah mendengar banyak mengenai kelihaian Thai Hong Lama dari Tibet dan Pek-bin Tok-ong dari Go-bi, akan tetapi dia belum pernah mendengar tentang Siwananda dan Tailucin, maka dia pun hanya dapat menduga-duga saja sampai di mana kehebatan kedua orang ini.

“Kami merasa gembira sekali melihat betapa lo-sicu (orang tua gagah) Hek-i Mo-ong suka memenuhi undangan kami dan dapat hadir dalam pertemuan ini. Kami harap saja bahwa kehadiran lo-sicu ini berarti bahwa lo-sicu telah sanggup untuk membantu kami, bukan?” Demikian antara lain Gubernur Yong berkata kepada Hek-i Mo-ong.

Hek-i Mo-ong menatap wajah pembesar itu dengan berani dan tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab, “Taijin, terus terang saja tadinya saya sedikit pun juga tidak mempunyai niat atau minat untuk mencampuri urusan pergerakan dan pemberontakan terhadap pemerintah. Resiko dan bahayanya terlampau besar menentang pemerintah yang amat kuat. Namun, karena saya sejak dahulu tidak suka kepada Kaisar Kian Liong dan melihat adanya sahabat-sahabat dari Tibet, Nepal, dan Mongol yang bekerja sama, saya sanggup membantu, akan tetapi hanya dengan satu syarat....” Hek-i Mo-ong menghentikan kata-katanya dan menatap wajah mereka yang hadir satu demi satu, seolah-olah hendak melihat apakah ada yang menentang atau merasa tidak setuju dengan ucapannya itu.

Akan tetapi semua orang hanya mendengarkan tanpa reaksi pada wajah mereka, hanya Gubernur Yong mengerutkan alisnya karena pembesar ini diam-diam mengkhawatirkan bahwa syarat yang diajukan oleh Raja Iblis ini akan terlampau memberatkan dirinya.

“Syarat apakah itu? Kalau memang pantas dan dapat dilaksanakan, apa salahnya? Harap lo-sicu suka memberitahu.” Gubernur Yong yang pandai mempergunakan tenaga orang-orang kuat ini berkata dengan nada suara ramah.

“Taijin, sudah menjadi watakku bahwa satu kali saya bekerja, saya akan melakukannya dengan pencurahan seluruh tenaga dan pikiran, dan akan saya bela sampai mati. Oleh karena itu, tanpa imbalan yang pantas, tentu saja saya segan untuk melakukannya. Imbalan atau syarat itu adalah bahwa taijin akan mengangkat saya menjadi penasehat utama dan kalau kelak taijin berhasil, saya diangkat menjadi koksu.”

Semua orang terkejut mendengar ini. Jabatan koksu adalah jabatan yang amat tinggi dalam sebuah pemerintahan karena koksu memiliki kekuasaan yang amat besar, hanya di bawah kekuasaan raja. Bahkan sang raja akan selalu bertindak setelah memperoleh nasehat dan persetujuan dari koksu. Akan tetapi, Gubernur Yong tertawa gembira.

“Ahhh, tanpa syarat itu pun kami akan merasa berterima kasih dan bergembira sekali kalau lo-sicu suka menjadi pembantu dan penasehat utama kami. Tentu saja syarat itu kami terima dengan segala senang hati!”

Tiba-tiba Thong-ciangkun, panglima yang telah belasan tahun mengabdi pada gubernur itu dan menjadi kepercayaan utama, berdehem lalu berkata dengan lembut dan sopan, “Harap taijin dan cu-wi yang hadir suka memaafkan saya. Dan terutama sekali harap Mo-ong suka memaafkan karena sesungguhnya saya bukan bermaksud menentang, melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengingatkan Yong-taijin yang menjadi atasan saya. Begini, taijin. Jabatan calon koksu adalah jabatan yang penting sekali. Seorang koksu bukan saja harus pandai mengatur siasat dan menasehati atasannya, akan tetapi juga harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian orang-orang lain yang membantu taijin. Karena itu saya kira sudah amat tepat kalau kita semua melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Mo-ong agar kita semua dapat menilai apakah memang dia sudah cukup pantas untuk menjadi seorang calon koksu.”

Wajah Hek-i Mo-ong berubah merah ketika dia menatap tajam kepada panglima itu. “Hemm, Thong-ciangkun, agaknya engkau sendiri juga menginginkan kedudukan calon koksu? Kalau begitu, majulah dan marilah kita memperebutkan kedudukan itu!” berkata demikian, Hek-i Mo-ong sudah bangun dari tempat duduknya.

Thong Su juga bangkit lalu menjura kepada Hek-i Mo-ong sambil tersenyum. “Ah, satu di antara syarat menjadi koksu haruslah dapat menahan kesabaran hati, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku bermaksud memperebutkan kedudukan koksu. Aku seorang prajurit, seorang perwira, sama sekali tidak pandai bersiasat, kecuali siasat perang. Dalam hal perang, tentu saja aku berani melawanmu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, sedikit pun aku tidak akan menandingimu.”

Hek-i Mo-ong tersenyum “Kalau engkau tidak ingin menjadi koksu, mengapa engkau mengusulkan agar aku diuji? Nah, kalau engkau hendak menguji, majulah!”

Kembali Thong Su mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Jangan salah sangka, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku hendak mengujimu, dan bukan sekali-kali pula aku tidak percaya kepandaianmu. Tetapi, tanpa memperlihatkan kepandaian, kedudukan jabatan penting itu berarti kau peroleh secara terlalu mudah dan tidak mengesankan. Karena itu, engkau harus memperlihatkan kepandaianmu di depan gubernur.”

“Dengan cara bagaimana? Siapa yang akan mengujiku?” tanya Hek-i Mo-ong dengan sikap takabur karena tokoh ini memang sudah biasa memandang rendah semua orang dan mengangkat diri sendiri di tempat tertinggi.

“Aku sendiri tidak begitu pandai ilmu silat, akan tetapi di sini hadir ahli-ahli yang pandai, yaitu Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, saudara Siwananda dan saudara Tailucin. Sebagai para pembantu dan sekutu dari taijin, maka saya kira mereka berempat tidak keberatan untuk membantu taijin menguji kelihaian orang yang pantas menjadi calon koksu. Kelirukah pendapat hamba ini, taijin?”

Gubernur Yong tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. “Sungguh bagus sekali usul itu! Memang sudah lama aku mendengar akan kelihaian cu-wi lo-sicu yang terhormat. Dan sekarang, setelah kita memperoleh kesempatan berkumpul, agaknya sayang kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyaksikan dengan mata sendiri kehebatan para pembantu dan sekutuku. Tentu saja kalau cu-wi tidak berkeberatan.”

Hek-i Mo-ong segera menjawab, “Saya tidak berkeberatan, kalau saja keempat orang saudara yang gagah ini ingin melakukan ujian terhadap diri saya.” Ucapan ini setengah merupakan tantangan kepada empat orang yang hadir itu!

Pek-bin Tok-ong adalah tokoh dunia persilatan yang seperti kebanyakan para tokoh kang-ouw selalu ‘haus’ akan ilmu silat dan mempunyai kesukaan mengadu ilmu untuk menguji kepandaian masing-masing. Kini mendengar usul Thong-ciangkun yang sudah disetujui oleh gubernur dia menjadi gembira sekali.

“Jika hanya merupakan ujian kepandaian, apa salahnya? Pibu untuk menguji seseorang merupakan hal yang biasa saja dan saya sungguh merasa setuju sekali!” Tokoh ini baru saja merampungkan ilmunya Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat, maka diam-diam dia pun ingin sekali mengadu ilmunya dengan Ilmu Tok-hwe-ji yang dikuasai Hek-i Mo-ong!

Tailucin mengerutkan alisnya. Dengan bahasanya yang kaku dan asing dia pun berseru, “Akan tetapi, saya sama sekali tidak mengenal ujian kepandaian berkelahi yang tidak akan mendatangkan cedera, bahkan mungkin kematian kepada seseorang. Kalau sekali saya maju memperlihatkan kepandaian, maka akibatnya hanya dua, yaitu saya menang atau kalah. Kalau memang, tentu pihak lawan cedera atau mati dan demikian sebaliknya kalau saya kalah, saya cedera atau mati. Bukankah hal ini akan merugikan sekali bagi persekutuan kita?”

Siwananda hanya tersenyum saja. Dia hanya akan menurut bagaimana keputusan teman-temannya yang hadir di situ. Wakil Koksu Nepal ini adalah seorang cerdik dan tidak mau mengambil tindakan sembrono. Dia tidak mau menyinggung hati seorang di antara mereka yang dianggap akan menjadi sekutunya, yang akan menguntungkan negaranya dalam pergerakan negaranya.


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 08


Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 07

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 07
"Ayah....! Ibu....!"

Melihat Sama Hui datang bersama seorang pemuda tampan dan dari pekarangan dara itu sudah lari menghampiri mereka sambil menangis, hati Suma Kian Lee dan isterinya diliputi kekhawatiran yang timbul dari kejutan dan keheranan. Mereka mengenal puteri mereka yang cerdik, lincah dan galak, keras hati dan tidak mudah menjadi lemah, tidak mudah menangis cengeng menghadapi apa pun juga.

Kalau sekarang puteri mereka sampai demikian sedihnya, tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Puteri mereka berada di Pulau Es bersama Ciang Bun, akan tetapi sekarang puteri mereka itu pulang tanpa Ciang Bun, bahkan bersama seorang pemuda asing, dan dara itu menangis seperti itu!

Suma Kian Lee, ayah Suma Hui, adalah seorang pendekar sakti, putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dengan Lulu. Berbeda dengan Suma Kian Bu, pendekar ini orangnya serius, pendiam, tenang dan sabar. Isterinya bernama Kim Hwee Li, dahulu seorang gadis petualang yang gagah perkasa dan berani, yang berkecimpung di dalam dunia kaum sesat namun tak pernah ikut menjadi jahat, seperti mutiara yang terendam di lumpur, tetap cemerlang bahkan lebih cemerlang.

Akan tetapi, hidup di antara kaum sesat itu membuat hatinya menjadi keras sekali dan tidak pernah merasa takut, sedangkan ilmu kepandaiannya juga amat hebat. Ia berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun sekarang, empat tahun lebih muda dari suaminya. Tetapi, dengan pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, ia masih nampak ramping dan padat, wajahnya masih tetap cantik dan nampak jauh lebih muda dari pada usianya yang sesungguhnya.

Mereka hidup dengan tenang di Thian-cin, sebuah kota di selatan kota raja. Seperti telah kita ketahui, kedua orang anak mereka, yaitu Suma Hui dan Suma Ciang Bun, menemani kakek nenek mereka di Pulau Es sambil memperdalam ilmu mereka.

Tentu saja suami isteri ini merasa kesepian setelah dua orang anak mereka pergi ke Pulau Es dan hampir setiap hari mereka membicarakan dua orang anak mereka dengan hati rindu. Mereka tidak menyangka bahwa pagi hari itu, selagi mereka duduk di serambi depan, mereka akan melihat puteri mereka pulang dalam keadaan yang sedemikian mengherankan dan mengkhawatirkan.

Suami isteri itu menyambut Suma Hui dengan rangkulan dan ciuman. Kalau Suma Kian Lee bersikap tenang-tenang saja, tidak begitu dengan Kim Hwee Li. Setelah merangkul dan menciumi pipi puterinya, ibu ini membentak, “Apa-apaan engkau ini, Hui-ji? Hayo hentikan kecengenganmu ini dan ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi denganmu! Dan mana Ciang Bun?”

“Nanti dulu,” kata Kian Lee. “Hui-ji, perkenalkan dulu siapa orang muda yang datang bersamamu ini.”

Suma Hui juga memiliki kekerasan hati seperti ibunya, maka sebentar saja ia sudah dapat menguasai hatinya dan menghentikan tangisnya. “Ayah, ibu, dia ini adalah Kao Cin Liong, putera dari enci Wan Ceng.”

“Aihhh....! Jadi engkau ini putera Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu?” Kim Hwee Li berseru girang.

“Hemm, kalau begitu dia masih cucu keponakanku sendiri, bukan orang lain. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata Kian Lee dengan sikapnya yang tenang.

Kao Cin Liong memandang kepada sepasang pendekar itu dengan kagum. Sikap kakek pamannya itu sungguh mengagumkan, begitu tenang dan terkendali, sebaliknya suami isteri pendekar itu pun membayangkan keagungan dan wibawa yang gagah perkasa. Hatinya terasa gentar dan mengecil kalau dia teringat bahwa dia telah jatuh cinta dengan Suma Hui dan dia gentar membayangkan bagaimana suami isteri pendekar ini akan bersikap kalau mendengar akan urusan cintanya itu. Maka dia pun cepat menjura dengan hormat.

Sebenarnya dia harus menyebut cek-kong (kakek paman) kepada pendekar ini, akan tetapi dia tidak berani dan menyebut locianpwe, sebutan yang menghormat dalam dunia persilatan terhadap orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.

“Terima kasih, locianpwe.”

Mereka pun memasuki ruangan dalam. Setelah pelayan mengeluarkan air teh, Hwee Li menutupkan pintu yang menembus ruangan itu sebagai tanda bahwa para pelayan tidak diperkenankan masuk atau mendekat. Setelah itu berkatalah nyonya ini, “Nah, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi.”

“Ohh, ibu, telah terjadi malapetaka yang amat hebat menimpa keluarga kita....” Suma Hui mengeluh, “peristiwa yang amat buruk....”

“Setiap peristiwa yang terjadi pun terjadilah. Setiap penilaian baik atau buruk hanya menipiskan kewaspadaan,” kata Kian Lee mencela pendapat puterinya. “Ceritakan saja selengkapnya dan jangan menilai.”

Akan tetapi Hwee Li sudah memegang lengan puterinya dan cengkeramannya itu kuat sekali sehingga kalau bukan puterinya yang dicengkeram, tentu tulang lengan itu akan patah atan setidaknya kulit lengan itu akan terluka! “Hayo cepat katakan, apa yang telah terjadi?”

Karena maklum akan watak ibunya yang dikenalnya dengan baik, yaitu tidak sabaran dan menjadi kebalikan dari watak ayahnya, Suma Hui tidak mau membuat ibunya kehilangan kesabaran, maka ia pun langsung saja menceritakan inti semua peristiwa dengan kata-kata lirih, “Kakek dan kedua orang nenek telah tewas, Pulau Es telah terbakar habis dan lenyap, adik Ciang Bun terjatuh ke dalam lautan berbadai dan lenyap, sedang adik Ceng Liong dilarikan oleh Hek-i Mo-ong!”

Suma Kian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin kuat, tenang dan bijaksana, sedangkan isterinya adalah seorang pendekar wanita yang gagah dan tabah, tidak mengenal takut. Akan tetapi, berita yang diucapkan dari mulut puteri mereka sekali ini sungguh terlalu amat hebat!

Wajah Kian Lee menjadi pucat dan alisnya berkerut, matanya memandang jauh dengan kosong dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, sedangkan isterinya juga terbelalak pucat, mulutnya terbuka dan mulut itu ditutup dengan punggung tangan seolah-olah nyonya ini hendak menahan jeritnya. Suasana menjadi sunyi dalam beberapa detik, kesunyian yang mengerikan dan suasana menjadi tegang penuh getaran.

“Tidak....! Tidak mungkin....! Siapa yang melakukan itu? Siapa? Hayo katakan, siapa yang melakukan kebiadaban itu? Akan kuhancurkan kepalanya, kupecahkan dadanya, kupatahkan kaki tangannya!” Nyonya itu bangkit dan mengepal tinjunya, dan Cin Liong mendengar suara berkerotokan pada buku-buku jari tangan yang masih halus itu! Bukan main hebatnya nyonya ini, pikirnya kagum dan juga gentar.

Melihat keadaan isterinya tercinta itu, Kian Lee melangkah maju dan memegang kedua tangan Hwee Li. Nyonya yang seperti tidak sadar ini merasakan hawa yang hangat menggetar memasuki kedua lengannya dan ia pun tersadar, lalu menoleh memandang suaminya dan tiba-tiba ia terisak, merangkul suaminya dan menangis tanpa suara di dada suaminya. Kian Lee memejamkan kedua matanya dan mengelus rambut isterinya, menepuk-nepuk bahu isterinya, suatu gerakan yang sebenarnya untuk menepuk hatinya sendiri setelah mendengar akan kematian ayah bundanya di Pulau Es itu.

“Tenanglah.... mati hidup adalah wajar, bukan kita yang menguasainya....,” katanya lirih sekali sehingga seperti bisikan dan tidak kentara kalau suaranya tergetar.

Hanya sebentar saja nyonya itu menangis tanpa suara, hanya pundaknya bergoyang sedikit. Kini ia telah mengangkat mukanya dari dada suaminya dan bukti tangisannya hanyalah baju suaminya yang menjadi basah dan matanya yang agak merah. Akan tetapi kini tidak nampak setetes pun air mata pada mata atau pipinya ketika ia duduk kembali.

“Hui-ji, kini ceritakanlah selengkapnya terjadinya peristiwa itu,” Kian Lee berkata dengan suara yang lirih dan lesu.

Dan untuk kedua kalinya, pertama kali kepada Suma Kian Bu dan isterinya, dan kedua kalinya kini kepada ayah bundanya, Suma Hui menceritakan peristiwa di Pulau Es itu, didengarkan oleh ayah bundanya dengan penuh perhatian. Tentang penyerbuan para datuk, tentang kedatangan Kao Cin Liong dan kemudian tentang kematian dua orang neneknya yang disusul kematian aneh dari kakeknya. Kemudian tentang penyerbuan para datuk dan anak buahnya atas perahu mereka sehingga mereka cerai-berai dan tentu saja Suma Hui menceritakan dan menonjolkan peran Cin Liong yang telah banyak berjasa itu. Bahkan dara itu menceritakan dengan teliti tentang jasa dan pertolongan Cin Liong kepadanya ketika dia ditawan oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.

“Kalau tidak ada Cin Liong yang menyelamatkan aku, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama saja,” demikian dara itu menutup kata-katanya sambil mengerling ke arah Cin Liong.

“Bibi Hui terlalu memuji-muji saya, sesungguhnya saya merasa menyesal sekali tidak dapat melindungi para paman kecil sehingga tidak diketahui bagaimana dengan nasib mereka sekarang,” Cin Liong merendahkan diri.

“Jadi di antara lima orang datuk itu, tiga telah tewas dan yang masih hidup adalah Hek-i Mo-ong yang melarikan Ceng Liong dan Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng itu?” tanya Kim Hwee yang seolah-olah hendak mencatat kedua nama itu baik-baik dalam ingatannya.

“Betul, ibu,” kata Suma Hui. “Aku pun kelak harus dapat membalas sakit hati ini kepada dua orang datuk sesat itu, mencari adik Ciang Bun dan menolong adik Ceng Liong.”

“Mudah saja engkau bicara,” kata Suma Kian Lee. “Mereka adalah orang-orang lihai, kalau tidak mana mungkin kedua orang nenekmu sampai tewas? Lagi pula, nama Hek-i Mo-ong sudah amat tersohor karena ilmu-ilmunya yang hebat. Engkau tinggal di rumah, aku sendiri yang akan mencari Ciang Bun.”

“Aku juga pergi!” kata Kim Hwee Li. “Biar Kian Bu dan isterinya menyusul dan mencari Ceng Liong sedangkan kita pergi mencari anak kita yang hilang. Perkara balas dendam, kelak kita rundingkan bersama keluarga Pulau Es.”

Kian Lee tak dapat membantah keinginan isterinya. Cin Liong lalu berkata dengan sikap hormat, “Karena sudah berhasil menemani bibi Hui sampai di rumah, perkenankan saya untuk melanjutkan tugas saya. Dan saya berjanji untuk ikut juga mendengarkan berita tentang paman-paman kecil Ciang Bun dan Ccng Liong.”

“Tugasmu sebagai jenderal?” tanya Kim Hwee Li tertarik.

“Benar, locianpwe. Saya ditugaskan oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki berita tentang pergerakan-pergerakan para pemberontak di barat dan utara. Saya ke Pulau Es juga hanya kebetulan saja dalam perjalanan saya melakukan tugas itu, ketika saya melihat rombongan anak buah para datuk itu sedang membicarakan tentang Pulau Es. Sekarang saya akan melapor dulu ke kota raja, kemudian melanjutkan perjalanan ke barat.”

Kian Lee mengangguk-angguk. “Jika memang begitu, tak sepatutnya kami menahanmu, Cin Liong. Dan kami sekeluarga mengucapkau terima kasih atas segala bantuanmu, baik terhadap keluarga Pulau Es mau pun terhadap Hui-ji.”

“Saya kira tak perlu demikian, locianpwe, mengingat bahwa di sana terdapat pula nenek buyut Lulu dan agaknya sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu keluarga Pendekar Super Sakti Suma Han locianpwe dari serbuan para penjahat. Nah, saya mohon diri, locianpwe.” Dia memberi hormat kepada Suma Kian Lee dan Hwee Li, kemudian menghadapi Suma Hui.

“Bibi Hui, selamat tinggal....”

“Cin Liong....!” kata Suma Hui ketika ia melihat pemuda itu melangkah keluar, lalu ia meragu dan akhirnya ia lari menghampiri dan berbisik, “Bagaimana dengan urusan kita....?”

“Jangan khawatir, sebelum pergi ke barat, aku akan memberitahukan orang tuaku,” bisik Cin Liong kembali, lalu dia menjura lagi dan pergi dari situ, meninggalkan Suma Hui yang berdiri termangu-mangu dan merasa betapa hatinya perih dan sepi ditinggal pemuda yang semenjak beberapa lama menemaninya dan telah memenuhi hatinya itu. Ia tidak tahu betapa suami isteri itu saling pandang dengan penuh arti, dan Suma Kian Lee membalikkan tubuhnya dengan tiba-tiba.

Malam itu Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bicara bisik-bisik di dalam kamar gadis itu. “Hui-ji, engkau cinta padanya, bukan?”

Dalam pelukan ibunya, Suma Hui mengangguk. Suasana sunyi dan tegang karena Suma Hui maklum betapa pentingnya pengakuannya itu bagi ibunya dan ia menantikan datangnya teguran ibunya.

Setelah hening beberapa lama, terdengar suara ibunya, akan tetapi bukan suara marah sehingga debar jantung di dalam dada Suma Hui menjadi tenang. “Hui-ji, sudah kau yakini akan cintamu itu?”

Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi di dalam rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama beberapa hari berturut-turut ini, kini dia merasa aman sentosa dalam rangkulan ibu kandungnya.

Kembali sunyi sejenak. Dan sekarang kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan, “Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!”

Meski ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka ia pun merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter. Sampai beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka ia pun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.

“Akan tetapi dia lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-galanya, ibu. Ia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, ia gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia jugalah yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku, padahal, hubungannya sudah amat jauh!”

“Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah. Jadi, kalau pun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan.”

Mendengar ini, Suma Hui lalu bangkit dan memandang ibunya penuh harapan. “Kalau begitu, ibu setuju?”

Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air matanya. Bagaimana pun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan yang mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk. “Ibu sih setuju saja.”

“Ibuuu....!” Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya. “Ibu memang seorang yang amat berbudi....! Terima kasih, ibu.”

Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, dia tidak begitu malu menitikkan air mata walau pun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.

“Jangan bergirang-girang dulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu sebelum bertemu dengan aku, sudah jatuh hati kepada Ceng Ceng. Akan tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng ialah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa kau saling mencinta dengan orang yang masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya.”

“Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!” kata Suma Hui, sikapnya keras.

Kim Hwee Li menarik napas panjang. Dia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya walau pun pendiam dan tenang, akan tetapi juga di dasar hatinya memiliki kekerasan dan pendirian yang teguh. Maka ia telah dapat melihat bayangan yang tidak menyenangkan dalam peristiwa ini.

“Mudah-mudahan saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri oleh karena urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu.”

“Terima kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!” Suma Hui kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati khawatir.

Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.

“Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tak tahu aturan sekali. Apakah mereka sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!”

Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa tidak enak sekali. Dialah yang tadi menyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri, dia marah bukan main.

“Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu,” isterinya mencoba untuk membantah.

“Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan dikata orang-orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih berharga dari pada nyawa!” Makin bicara, makin marahlah Kian Lee. “Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!”

“Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biar ia beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanya pun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Jika benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan itu.”

“Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku dan aku akan menghajar mereka!” kata pula Kian Lee semakin panas.

Isterinya kemudian merangkulnya. “Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua semakin pemarah, sungguh tidak baik itu. Sudahlah, marilah kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun.”

Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan. Akan tetapi, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itu pun tertidur.

Tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya, “Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur sebaiknya untuk Hui-ji.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan.”

“Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ahh, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji belum berkenalan dengan dia.”

“Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana dari pada membiarkan dia jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw-twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula.”

“Tapi.... bagaimana pun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini tidak akan mengecewakan kelak?”

“Hal itu tidak perlu kau khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji.”

“Ahhh....!” Kim Hwee Li mengerutkan alisnya.

Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas. “Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka punya kesempatan untuk saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?”

“Hemm, aku tidak yakin. Kukira semua ini kau lakukan bukan untuk Hui-ji, melainkan untuk menjaga nama kehormatanmu sendiri.”

“Apa bedanya? Kehormatan kita adalah kehormatan Hui-ji pula. Kebahagiaan kita juga kebahagiaannya. Dia masih muda dan perlu dibimbing, baik dalam urusan cinta dan jodoh sekali pun. Percayalah, aku tidak akan bertindak salah, isteriku.”

“Sesukamulah,” akhirnya sang isteri menjawab, walau pun hatinya merasa tidak enak karena ia belum yakin betul akan kebenaran ucapan suaminya.

Suma Kian Lee, pendekar sakti itu, bagaimana pun juga hanyalah manusia biasa yang dapat terjerumus ke dalam pendapat yang keliru seperti terjadi kepada sebagian orang besar, orang-orang tua di dunia ini. Orang-orang tua seperti Suma Kian Lee itu terlalu memandang rendah kepada anaknya sehingga seolah-olah merasa dapat mengatur kehidupan dan kebahagiaan anaknya. Seolah-olah kebahagiaan dalam kehidupan itu adalah sesuatu yang dapat diatur.

Dia lupa bahwa kehidupan seseorang adalah mutlak milik si orang itu sendiri, tidak peduli orang itu adalah anaknya. Tiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, dan si orang itu sendirilah yang dapat merasakan kebahagiaan hidupnya.

Orang boleh saja mengatur untuk mengadakan kesenangannya, seperti kekayaan, kedudukan, termasuk pula suami yang dianggap sempurna dan sebagainya. Akan tetapi semua itu hanyalah bayangan khayal belaka dan hanya berlangsung sementara saja.

Siapa yang berani memastikan bahwa bagi seorang wanita, mempunyai suami yang muda, kaya, pandai dan berkedudukan itu pastilah akan mendatangkan bahagia? Atau sebaliknya bagi seorang pria mendapatkan isteri yang muda dan cantik jelita, pintar dan halus budi itu pun akan mendatangkan bahagia?

Kebahagiaan dalam perjodohan hanya mempunyai satu syaratnya, yaitu cinta kasih! Tanpa ini, segala macam kesenangan yang terdapat dalam perjodohan itu akan luntur dan besar kemungkinannya akan berakhir dengan percekcokan dan kesengsaraan.

Orang-orang tua banyak yang tidak sadar bahwa cintanya terhadap anaknya sudah menyeleweng ke arah cinta terhadap diri sendiri atau keinginan untuk mencari kepuasan diri sendiri. Itulah sebabnya mengapa orang-orang tua selalu memilihkan sesuatu bagi anaknya, dengan keyakinan bahwa pilihannya itu tentu akan cocok bagi anaknya, tentu akan membahagiakan anaknya! Padahal pada dasarnya, yang dapat dipilihnya itu yang dapat menyenangkan hatinya sendiri.

Orang tua seperti ini akan merasa senang jika yang dipilih anaknya itu yang disukainya pula, dan akan merasa tidak senang dan menentang kalau yang dipilih anaknya itu tidak mencocoki seleranya. Dia lupa bahwa selera anaknya itu, biar pun keturunannya sendiri belum tentu sama dengan seleranya sendiri.

Kalau orang tua sungguh-sungguh mencinta anaknya, dia harus berani membiarkan anaknya itu bebas menentukan jalan hidupnya, bebas memilih segala hal mengenai hidupnya, jodohnya, agamanya, pekerjaannya, sahabatnya, dan sebagainya. Tentu hal ini bukan berarti orang tua harus diam saja tak acuh dan tak peduli. Sama sekali bukan demikian.

Bahkan sebaliknya orang tua harus selalu waspada dan kalau dia melihat anaknya itu bertindak menuju ke arah hal yang membahayakan kehidupannya, adalah menjadi kewajibannya, berdasarkan cinta kasih, untuk mengingatkan anaknya, menantunya. Ini bukan berarti memaksanya menuruti kemauan orang tua dalam menentukan jalan hidup
.

Akan tetapi, Suma Kian Lee agaknya merasa yakin bahwa tindakannya benar kalau dia dengan kekerasan menentang pilihan hati puterinya. Bahkan mengusahakan supaya puterinya itu berjodoh dengan orang lain yang dipilihnya, yang menurut anggapannya, cocok menjadi suami anaknya dan kelak akan berbahagia…..

********************

Pilihan Suma Kian Lee itu adalah seorang pemuda berusia Sembilan belas tahun, dan bernama Louw Tek Ciang. Pemuda ini cukup tampan, bahkan kelihatan menarik karena kulit mukanya yang putih bersih. Matanya tajam membayangkan kecerdikan, mulutnya selalu tersenyum dan sikapnya ramah. Biar pun tubuhnya agak pendek, namun tegap dan gagah, apalagi karena pemuda ini selalu berpakaian yang bagus-bagus dan agak pesolek.

Ayahnya bernama Louw Kan atau terkenal di kota Thian-cin sebagai Louw-kauwsu (guru silat Louw) karena kakek berusia lima puluh tahun yang sudah menduda ini membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) di mana dia mengajarkan ilmu silat cabang Siauw-lim-pai dengan memungut bayaran.

Semenjak berusia lima tahun, Tek Ciang telah kematian ibunya, dan ayahnya tidak pernah menikah lagi. Dia merupakan anak tunggal yang tentu saja amat dimanja oleh ayahnya. Sejak kecil dia telah digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri, dan ternyata Tek Ciang memiliki bakat yang amat baik. Di antara murid-murid ayahnya, tidak ada yang dapat menandinginya dalam ilmu silat dan bahkan dia mulai mewakili ayahnya dan membimbing murid-murid ayahnya.

Ketika dia berusia delapan belas tahun, terjadi gejolak batin yang amat hebat dalam diri pemuda ini, tanpa diketahui oleh ayahnya atau pun oleh dirinya sendiri. Ketika itu, untuk ke sekian kalinya, Tek Ciang bertanya kepada ayahnya tentang ibunya.

“Ayah dulu pernah bilang bahwa ada suatu rahasia besar tentang kematian ibu dan jika aku sudah dewasa, baru ayah akan menceritakan rahasia itu. Ayah, aku sangat rindu kepada ibu yang sudah tidak dapat kuingat wajahnya, akan tetapi aku masih ingat bahwa ibu adalah seorang wanita yang cantik. Ceritakanlah, ayah, mengapa ibu mati muda?”

Louw-kauwsu mengerutkan alisnya, dan sambil mengisap huncwe (pipa tembakau) yang panjang, wajahnya berubah menjadi muram. Kemudian, setelah menghembuskan asap tembakaunya, dia berkata, “Memang ibumu itu wanita yang amat cantik, paling cantik bagiku di dunia ini dan aku amat mencintainya. Akan tetapi sayang…., batinnya tidaklah secantik wajahnya, hatinya tidak sebersih kulitnya.”

“Kenapa, Ayah?” Tanya Tek Ciang kaget.

“Ia adalah wanita berhati palsu, seorang isteri yang menyeleweng dan menyakitkan hati suaminya, seorang wanita yang gila lelaki.”

“Isteri menyeleweng? Gila lelaki?” pemuda itu bertanya bingung mengapa ayahnya yang katanya mencintai isterinya itu kini memakinya dengan kata-kata keji.

“Ya, cintanya terhadap suaminya hanya di mulut saja dan diam-diam dia melakukan penyelewengan, berjinah dengan pria lain. Mula-mula suaminya masih mengampuninya. Akan tetapi penyakit itu tidak dapat sembuh, berulang kali dilakukannya perjinahan itu dengan lelaki demi lelaki. Ia memang gila lelaki sehingga akhirnya, perbuatan yang kotor dan keji itu membuatnya mati terbunuh.”

Tek Ciang mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, dan dia kaget bukan main mendengar ucapan terakhir dari ayahnya itu.

“Terbunuh? Jadi ibu mati terbunuh? Siapa yang membunuhnya, Ayah?”

“Suaminya yang entah berapa kali disakiti batinnya.”

Makin pucat wajah Tek Ciang ketika dia bangkit dari tempat duduknya. “Jadi…. jadi…. ayah sendiri yang membunuh ibu?”

Louw-kauwsu menarik napas panjang. “Duduklah, anakku. Memang aku sendiri yang membunuhnya, demi cintaku kepadanya. Karena kalau tidak dibunuh, dia akan terus melakukan hal yang amat tidak sepatutnya itu. Tentu saja bukan tangan ini yang dahulu membunuhnya. Pada penyelewengan terakhir saat tertangkap basah, aku membuatnya berjanji bahwa kalau sekali lagi ia berjinah dan ketahuan, ia akan bunuh diri. Nah, baru beberapa bulan saja, ia telah berjinah lagi dan saat ketahuan olehku, ia lalu membunuh diri, mungkin karena takut atau karena malu. Aku cinta padanya, bahkan aku tidak mau menikah lagi sejak ia meninggal karena aku takut kalau-kalau penyiksaan terhadap perasaanku akan terulang lagi. Jarang ada wanita yang dapat dipercaya, Tek Ciang, oleh karena itu engkau harus berhati-hati sekali dalam memilih jodoh. Dari pada tersiksa hatinya setelah menikah, lebih baik tinggal membujang selama hidup.”

Percakapan dengan ayahnya itulah yang menimbulkan guncangan hebat dalam batin Tek Ciang dan tanpa disadarinya, dia memandang rendah kepada kaum wanita, bahkan ada timbul semacam kebencian! Akan tetapi, hal ini tumbuh di bawah sadar dan dia sendiri tidak merasakannya, karena pada lahirnya, dia suka melihat wanita-wanita cantik dan bukan tergolong seorang pemuda alim.

Dengan para murid ayahnya yang sudah dewasa, kadang-kadang dia pergi bermain main dan ada kalanya pula dia terbawa oleh teman-teman itu pergi mengunjungi tempat pelesir dan bergaul dengan pelacur-pelacur sehingga dalam hal permainan cinta, Tek Ciang bukanlah pemuda yang hijau. Akan tetapi, dia bersikap halus dan kelakuannya sopan seperti seorang terpelajar, maka tidak seorang pun yang akan menduga bahwa sebetulnya pemuda ini tidak asing di antara para pelacur kelas tinggi di kota Thian-cin.

Tek Ciang terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya terlihat oleh umum di tempat-tempat pelacuran itu. Maka ayahnya sendiri pun tak tahu bahwa putera tunggalnya itu bukanlah seorang perjaka tulen dan kadang-kadang menghamburkan uang di tempat pelesir itu.

Juga dia tidak tahu bahwa biar pun pada lahirnya begitu halus, ramah dan sopan, namun setelah berada berdua saja dengan seorang pelacur di dalam kamar, pemuda itu dapat bersikap lain, menjadi kejam dan suka mempermainkan wanita pelacur sesuka hatinya, suka menghinanya dan agaknya menikmati penderitaan lahir batin seorang wanita pelacur. Maka, pemuda ini tersohor sebagai pemuda yang kejam dan tidak disukai di kalangan para pelacur, walau pun dia memang royal dengan uangnya.

Louw Kam atau Louw-kauwsu bersahabat dengan pendekar sakti Suma Kian Lee. Tentu saja guru silat ini mengenal siapa pendekar itu, dan selain kagum, juga amat hormat kepadanya. Maka, dia merasakan sebagai kehormatan besar sekali dapat berkenalan bahkan bersahabat dengan pendekar sakti itu.

Saling berkunjung di antara mereka sering terjadi, dan perkenalannya dengan pendekar ini sungguh amat menguntungkan dirinya. Perguruannya makin maju karena para murid itu berpendapat bahwa seorang guru silat yang menjadi sahabat pendekar sakti Suma Kian Lee, tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Bahkan kalau ada yang diam-diam memusuhi guru silat ini, akhirnya menjadi gentar melihat hubungan yang akrab antara Louw-kauwsu dan pendekar sakti itu. Oleh karena hubungan persahabatan ini maka martabat Louw-kauwsu ikut terangkat.

Demikianlah perkenalan kita dengan keluarga Louw ini…..

Pada suatu pagi, Louw-kauwsu merasa girang sekali melihat munculnya Suma Kian Lee di depan pintu rumahnya. Akan tetapi alisnya berkerut ketika ia melihat wajah pendekar itu nampak agak muram yang berarti bahwa hati sahabat yang dihormatinya itu tentu sedang kesal.

“Ah, selamat pagi, Suma-taihiap!” kata guru silat itu dengan ramah. “Silakan masuk dan duduk. Sungguh gembira sekali hati saya menerima kunjungan taihiap sepagi ini.”

“Terima kasih, Louw-twako,” kata Suma Kian Lee dan mereka pun duduk menghadapi minuman teh panas sebagai sarapan pagi di atas meja.

“Eh, kenapa taihiap memakai pakaian berkabung?” Tiba-tiba guru silat itu terkejut ketika melihat pakaian serba putih dan tanda berkabung yang dipakai oleh pendekar itu.

Pendekar itu menarik napas panjang. Dia tidak ingin menceritakan tentang mala petaka yang menimpa keluarga ayah bundanya di Pulau Es, akan tetapi pakaian berkabung yang dipakainya itu tentu saja tidak dapat disembunyikan. Mengingat bahwa guru silat ini adalah sahabat baiknya dan juga bahkan mungkin akan menjadi calon besannya, maka dia mengambil kebijaksanaan untuk berterus terang saja.

“Anak perempuan kami pulang dari Pulau Es kemarin....”

“Ahh, Siocia sudah pulang? Tentu telah membawa ilmu-ilmu yang luar biasa dari Pulau Es!” teriak guru silat itu dengan kagum.

“Ia membawa berita buruk, yaitu bahwa ayah ibuku telah meninggal dunia.”

“Ahhh....!” Guru silat itu terkejut bukan main, cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada pendekar itu sambil berkata, “Maafkan saya, taihiap, karena tidak tahu maka berani bicara sembarangan. Semoga saja Thian dapat menerima arwah orang tua taihiap dan memberi tempat yang baik.”

“Terima kasih, Louw-twako. Kematian adalah hal yang wajar saja dan kami pun dapat menerimanya dengan tenang. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, terjadi mala petaka di perahu yang mengakibatkan puteraku hilang....”

“Ahhh!” Untuk kesekian kalinya guru silat itu terkejut. “Suma-kongcu hilang? Ke mana dan bagaimana?”

“Dia tercebur ke lautan, terpisah dari enci-nya dan sampai kini belum ada kabar-kabar tentang dia.”

“Siancai....! Sungguh saya ikut merasa berduka sekali, taihiap. Bagaimana mala petaka menimpa demikian berturut-turut?”

“Memang itulah nasibku sekarang ini. Aku dan isteriku akan melakukan perjalanan untuk mencari anakku yang hilang itu dan sebelum aku pergi, aku ingin membicarakan hal penting yang pernah kusinggung dahulu itu, twako, yaitu tentang perjodohan antara puteri kami dan puteramu.”

Berdebar kencang jantung dalam dada Louw Kam. Hal itu memang menjadi idamannya selama ini. Pernah secara iseng-iseng pendekar ini bicara tentang kemungkinannya tali perjodohan itu dan tentu saja dia akan merasa girang dan bangga sekali untuk dapat berbesan dengan pendekar sakti ini. Mempunyai mantu cucu Pendekar Super Sakti! Tentu saja cucu pendekar itu tidak dapat disamakan dengan perempuan-perempuan biasa macam isterinya itu. Biar pun jantungnya berdebar kencang penuh kegembiraan, namun sikapnya biasa dan tenang saja.

“Bagaimanakah kehendak taihiap? Sejak dahulu kami hanya dapat menanti keputusan taihiap dan tentu saja pihak kami setuju sepenuhnya, bahkan merasa memperoleh kehormatan besar sekali kalau anakku yang bodoh itu terpilih untuk menjadi calon jodoh puteri taihiap yang mulia.”

“Tak perlu memuji atau merendah, twako. Manusia ini di permukaan bumi sama saja, dan kelebihan orang dalam suatu hal tidak perlu dijadikan alasan untuk mengangkatnya tinggi-tinggi. Kami merasa setuju dengan puteramu, tetapi.... maafkan pernyataanku ini, agaknya kelak akan merupakan kepincangan yang kurang sehat kalau ilmu silat antara mereka berselisih jauh.”

Wajah guru silat itu menjadi merah dan dia menutupinya dengan tertawa. “Ah, biar saya latih seratus tahun lagi, takkan mungkin tingkat kepandaian Tek Ciang akan dapat menandingi tingkat Suma-siocia.”

“Bukan maksudku untuk merendahkan, twako. Tetapi kenyataannya memang demikian, yaitu bahwa puteriku dalam ilmu silat jauh lebih pandai dari pada puteramu. Akan tetapi kulihat puteramu itu pun memiliki bakat yang baik sekali, maka andai kata engkau memperkenankan, kalau dia menjadi muridku dan menerima bimbinganku sehingga dia dapat menyamai tingkat Hui- ji, alangkah akan baiknya itu....”

Louw-kauwsu cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat. “Laksaan terima kasih saya kepada taihiap! Tentu saja saya setuju sepenuhnya dan agaknya sudah menjadi anugerah bagi anakku yang bodoh untuk memperoleh nasib sebaik ini. Heii! Tek Ciang....! Di mana engkau? Ke sinilah!”

“Jangan beri tahukan dia tentang perjodohan itu lebih dulu, twako,” kata Suma Kian Lee berbisik sebelum pemuda itu muncul dari belakang.

Melihat pendekar itu, Tek Ciang segera menjura dengan sikap hormat dan sopan.

“Ahhh, kiranya Suma-locianpwe yang hadir. Harap locianpwe dalam keadaan baik saja dan terimalah hormat saya,” katanya ramah.

“Terima kasih, Tek Ciang,” jawab Suma Kian Lee senang melihat sikap pemuda yang sopan itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, sayang agak pendek, dan pakaiannya selalu rapi dan bagus.

“Tek Ciang, cepat engkau berlutut pada Suma-taihiap dan menyebut suhu. Dia hendak mengangkatmu sebagai muridnya!” kata Louw-kauwsu dengan girang.

Mendengar ucapan ayahnya ini, Louw Tek Ciang terkejut bukan main dan memandang kepada pendekar itu. Suma Kian Lee mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tek Ciang adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menjadi murid pendekar ini, selain kemungkinan besar untuk memperoleh ilmu yang hebat, juga namanya akan terangkat dan tak seorang pun di kota Thian-cin, bahkan sampai di kota raja yang akan berani menentangnya! Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Kian Lee, memberi hormat sampai delapan kali dan menyebut “Suhu!” berkali-kali.

Kian Lee membangunkan pemuda itu dan berkata, “Tek Ciang, engkau adalah murid pertama dariku. Selama ini aku belum pernah menerima murid dan hanya mengajarkan ilmu-ilmuku kepada kedua orang anakku saja. Sekarang, melihat kebaikan ayahmu dan besarnya bakatmu, aku suka membimbingmu mempelajari ilmu silat.”

“Terima kasih, suhu. Segala petunjuk dan bimbingan suhu pasti akan teecu taati dan junjung tinggi.”

“Sekarang keluarlah dulu dari ruangan ini karena aku hendak bicara urusan penting dengan ayahmu.”

Tek Ciang kembali menghaturkan terima kasih, kemudian pergi dari tempat itu dengan sikap patuh sekali. Setelah pemuda itu pergi dan dengan pendengarannya yang tajam Kian Lee merasa yakin bahwa pemuda itu sudah pergi jauh ke belakang rumah, dia pun berkata, “Louw-twako, biarlah sementara ini perjodohan antara puteramu dan anakku tidak diumumkan dulu, akan tetapi kita berdua telah menyetujui untuk menjodohkan mereka. Dan demi kebaikan mereka berdua, kurasa mereka berdua harus dipertemukan dan diperkenalkan. Maka, aku akan mengajak puteramu untuk tinggal di rumahku, dan selama aku dan isteriku pergi mencari putera kami, biarlah anakku yang memberi petunjuk-petunjuk dalam latihan dasar. Dengan demikian, ada dua keuntungan, yaitu pertama, anakku tidak akan bersendirian saja di rumah dan ke dua, mereka dapat saling berkenalan sebelum perjodohan diumumkan. Bagaimana pendapatmu, Louw-twako?”

Louw-kauwsu yang sudah kegirangan dan merasa amat beruntung itu tentu saja merasa setuju sekali dan berkali-kali dia mengangguk. Demikian girang hatinya sehingga guru silat ini tidak lagi mampu berkata-kata! Betapa tidak? Putera tunggalnya yang amat disayangnya itu selain akan dipungut mantu juga diangkat menjadi murid pertama dan tunggal oleh pendekar sakti Suma Kian Lee! Peristiwa itu tentu saja akan mengangkat namanya setinggi langit. Baru menjadi sahabat dekatnya pendekar itu saja dia sudah merasakan keuntungan besar di bidang nama, kedudukan dan pekerjaannya. Apalagi kalau puteranya menjadi murid, bahkan mantu Suma-taihiap!

“Jika begitu, sebaiknya kalau Tek Ciang hari ini juga berangkat ke rumahku, membawa bekal pakaian karena kami harus segera bersiap-siap. Dalam seminggu ini kami sudah akan berangkat pergi mencari puteraku, Louw-twako. Dan selama kami pergi dan putera twako menemani anakku di rumah, harap twako suka berbaik hati untuk kadang-kadang lewat di rumah kami melihat-lihat keadaan.”

“Jangan khawatir, taihiap. Mulai hari ini, rumah keluarga taihiap sama dengan rumah yang menjadi tanggung jawab saya sendiri. Pasti akan saya bantu jaga seperti rumah saya sendiri selama taihiap berdua bepergian.”

Setelah Suma Kian Lee pulang, Louw-kauwsu menyuruh puteranya segera berkemas. Dia memberi banyak nasehat kepada puteranya itu. “Tek Ciang, engkau memperoleh berkah yang jauh lebih berharga dari pada harta benda apa saja di dunia ini. Engkau diangkat menjadi murid putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Tahukah engkau apa artinya itu? Berarti bahwa kalau engkau belajar dengan baik-baik, kelak engkau akan menjadi seorang pendekar sakti yang hebat! Bahkan seluruh nasib hidupmu di kemudian hari tergantung pada saat-saat inilah. Suma-taihiap menghendaki supaya engkau berangkat ke rumahnya sekarang juga. Engkau akan diberi latihan dasar dan disuruh berlatih dengan petunjuk dari Suma-siocia, karena gurumu itu bersama isterinya akan melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan engkau di sana bersama puteri mereka. Berhati-hatilah engkau di sana, jagalah rumah itu seperti rumahmu sendiri, bersikaplah sopan terhadap Suma-siocia dan semua pelayan di sana. Berusahalah agar semua orang menyukaimu, Tek Ciang. Dengan demikian, engkau tidak akan membikin malu aku sebagai ayahmu.”

Tek Ciang tersenyum. Ayahnya ini bersikap seperti memberi nasehat kepada seorang anak kecil saja! Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dibuatnya agar suhu-nya suka kepadanya. Dan tentu saja dia sudah mendengar akan Suma-siocia, dara remaja yang kabarnya selain lihai dan sakti, juga memiliki kecantikan yang amat menggairahkan! Ah, betapa beruntungnya dia! Berlatih diri di bawah petunjuk seorang dara remaja yang lihai dan cantik jelita!

Akan tetapi, pemuda yang cerdik ini pandai menyembunyikan perasaannya, dan dia pun mengangguk taat. “Baik, ayah. Aku akan mengingat semua nasehatmu.”

Ketika Tek Ciang tiba di rumah keluarga Suma, Kim Hwee Li dan juga Suma Hui sudah mendengar dari Suma Kian Lee tentang pemuda itu yang diangkat menjadi murid dan akan tinggal di rumah itu selama suami isteri itu pergi mencari Ciang Bun.

“Ayah,” Suma Hui membantah ketika ayahnya memberitahukan perihal pemuda yang belum dikenalnya itu. “Apakah ilmu keluarga kita akan diturunkan kepada orang luar?”

Ayahnya mengerutkan alis. “Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang melarang bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang luar. Ayah dari Louw Tek Ciang, yaitu Louw-kauwsu, adalah seorang sahabat baikku. Dia seorang yang bersih namanya dan aku melihat putera tungggalnya itu pun memiliki bakat yang amat baik, juga sikapnya baik. Karena itu aku mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima ilmu-ilmu dariku secara sempurna, maka dia harus lebih dahulu berlatih sinkang dan semedhi yang bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sinkang dari kita. Karena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau mewakili aku dan kadang-kadang memberi petunjuk kepadanya kalau dia berlatih.”

Mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan nada sungguh-sungguh, Suma Hui mengangguk. Ia belum memperoleh kepastian dari ibunya tentang sikap ayahnya terhadap urusannya dengan Cin Liong, maka dari itu ia berpendapat bahwa sebaiknya, sebelum urusan pribadinya itu dibikin terang, ia tidak membuat ayahnya marah. Bagai mana pun juga, hatinya seperti merasa tidak rela ayahnya mengangkat seorang murid.

Ketika Tek Ciang muncul dengan buntalan pakaiannya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah ibunya dan menyebut mereka suhu dan subo dengan sikap menghormat sekali, Suma Hui terkejut. Tak disangkanya bahwa murid yang diangkat oleh ayahnya itu ternyata adalah seorang pemuda dewasa yang lebih tua darinya! Seorang pemuda yang cukup ganteng dan gagah, dan sikapnya amat sopan.

Pemuda itu sedikit pun tidak pernah melirik kepadanya dan hanya menunduk ketika memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu.

“Bangkitlah, Tek Ciang. Perkenalkan, ini adalah puteri kami yang bernama Suma Hui,” kata Kim Hwee Li yang sudah diberi tahu oleh suaminya tentang ‘siasat’ suaminya untuk mendekatkan kedua orang muda itu. Hwee Li menyuruh pemuda itu bangkit untuk dapat melihat lebih jelas wajah dan perawakan pemuda yang oleh suaminya telah dipilih untuk menjadi calon mantunya ini.

“Terima kasih, subo,” berkata Tek Ciang sambil memandang kepada suhu-nya dengan ragu-ragu, seolah-olah dia tidak berani bangkit sebelum menerima perintah suhu-nya.

Melihat ini, diam-diam Suma Kian Lee menjadi girang. Bocah ini sungguh amat taat dan bijaksana, berhati-hati dalam sikap agar tidak menyinggung hati gurunya, menandakan bahwa dia amat teliti dalam melakukan tindakan dan menentukan sikap!

“Bangkit dan duduklah, Tek Ciang,” katanya halus.

Baru pemuda itu bangkit dan menjura kepada suhu dan subonya. “Terima kasih, subo.”

Kemudian dia baru menoleh kepada Suma Hui, akan tetapi hanya sekelebatan saja dia berani menatap wajah itu, wajah yang membuat jantungnya berdebar kencang walau pun baru melihat sekelebatan saja, kemudian dia pun cepat menjura kepada dara itu.

“Suma-siocia (nona Suma), saya Louw Tek Ciang yang bodoh menghaturkan hormat kepada siocia.”

Sepasang alis Kim Hwee Li berkerut sebentar. Pemuda ini terlalu sopan, pikirnya, begitu amat sopan sehingga berkelebihan dan cenderung kepada sikap bermuka-muka dan menjilat. Tentu saja dia segera menekan perasaannya karena dugaan itu pun masih membuat dia ragu.

Sebaliknya, Suma Hui merasa canggung juga diperlakukan dengan sikap yang demikian merendah dan menghormatnya. Ia cepat membalas penghormatan itu.

“Terima kasih, Louw-kongcu (tuan muda Louw),” katanya.

“Hemm, buang saja cara panggilan yang sungkan-sungkan itu!” Suma Kian Lee berkata sambil tersenyum. “Hui-ji, dia adalah murid ayahmu dan biar pun dia murid baru, akan tetapi dia lebih tua darimu dan juga engkau puteriku, bukan muridku. Maka, biar pun sebagai murid tingkatmu lebih tinggi, namun sepatutnya engkau menyebutnya suheng. Dan engkau Tek Ciang, engkau harus menyebut sumoi kepada Hui-ji.”

Kembali Louw Tek Ciang menjura kepada Suma Hui dan tetap saja dia tidak berani mengangkat muka memandang langsung, dan suaranya halus sopan merendah ketika dia berkata, “Maafkan saya, sumoi (adik perempuan seperguruan), saya hanya mentaati perintah suhu, walau pun sesungguhnya saya tidak berani lancang.”

Bagaimana pun juga, sikap pemuda ini menyenangkan hati Suma Hui. Pemuda ini jelas tidak kurang ajar, dan matanya juga tidak jelalatan ketika memandang kepadanya, tidak seperti mata laki-laki lain yang kalau memandang kepadanya seperti mata seekor singa kelaparan. Maka ia pun menjura dan berkata manis, “Tidak mengapa Louw-suheng, kurasa ayah benar sekali dan panggilan ini terasa lebih mudah, bukan?”

“Tek Ciang, dalam beberapa hari ini aku dan subo-mu akan pergi merantau untuk beberapa lamanya. Karena itu, sebelum aku pergi, aku akan menurunkan beberapa latihan dasar untuk mempelajari sinkang dan semedhi. Harus kau perhatikan baik-baik karena dasar latihan sinkang ini adalah pokok dari pada ilmu-ilmu yang akan kuturunkan kepadamu. Kalau latihan dasar keliru, maka kelak dalam mempelajari ilmu-ilmu dariku engkau pun tak akan dapat menguasainya dengan sempurna. Karena itu, engkau harus selalu tekun berlatih dan teliti, jangan sampai keliru. Di sini ada sumoi-mu yang akan dapat memberi petunjuk sewaktu-waktu kalau engkau merasa ragu-ragu.”

“Baik, suhu. Sumoi, saya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari sumoi, dan untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepadamu.”

“Aku bersedia membantumu, suheng. Harap jangan sungkan bertanya,” jawab Suma Hui yang mulai merasa suka kepada pemuda yang sopan dan halus budi ini.

Hanya Kim Hwee Li yang sejak tadi tidak berkata apa-apa, karena nyonya ini masih merasa tidak puas melihat sikap pemuda itu yang dianggapnya tidak wajar dan terlalu sopan, seperti dibuat-buat. Ia hanya mengharapkan bahwa sikap itu adalah sikap yang sewajarnya dan bahwa pemuda itu memang seorang yang sopan dan halus budi, bukannya dibuat-buat karena di baliknya terkandung suatu pamrih tertentu.

“Sekarang pergilah ke kamarmu dan simpan pakaianmu, lalu kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk mulai dengan teori-teori dasar latihan sinkang,” kata pula Suma Kian Lee. “Hui-ji, suruh pelayan datang mengantar suheng-mu ke kamarnya yang sudah disediakan untuknya itu.”

“Baik, ayah.” Melihat sikap ayahnya yang gembira, hati Suma Hui juga menjadi gembira. Ayahnya tidak kelihatan marah, padahal ibunya tentu sudah menyampaikan kepada ayahnya itu perihal urusannya dengan Cin Liong dan ini berarti bahwa ayahnya itu tidak menjadi marah atau menentang. Hal itu pun mendatangkan kegembiraan dalam hati Suma Hui dan ia melakukan perintah ayahnya dengan hati senang pula.

Demikianlah, dalam beberapa hari itu Suma Kian Lee memberi dasar latihan sinkang dengan sungguh-sungguh kepada Tek Ciang. Biar pun pemuda ini pernah mempelajari semedhi dan latihan sinkang dari ayahnya, akan tetapi dasar latihan yang diberikan oleh suhu-nya itu amat berbeda, juga amat sukar sehingga dia harus bersungguh-sungguh kalau dia ingin mengerti benar-benar.

Memang pemuda ini cerdik dan berbakat sekali sehingga walau pun latihan itu tidak mudah dan membutuhkan perhatian dan pengerahan semua kemauan dan kejujuran hati, akhirnya dia dapat juga mengerti. Selagi ayahnya memberi petunjuk, Suma Hui juga hadir dan gadis ini diam-diam harus memuji ketekunan murid ayahnya ini dan ia pun yakin bahwa seorang murid seperti Tek Ciang ini pasti kelak akan menjadi seorang ahli silat keluarga Pulau Es yang baik dan belum tentu akan kalah tinggi tingkatannya dibandingkan dengan dirinya sendiri. Hemm...

kisah para pendekar pulau es jilid 07


Seminggu kemudian, suami isteri itu berangkat meninggalkan rumah mereka, memulai dengan perjalanan mereka yang tanpa tujuan tempat tertentu, seperti orang meraba-raba di dalam kegelapan. Bagaimana pun juga, sungguh amat sukar mencari seorang anak yang hilang di tengah lautan yang demikian luasnya. Setelah memberi pesanan banyak nasehat kepada puterinya dan muridnya, Suma Kian Lee dan isterinya pun berangkatlah dengan menunggang dua ekor kuda.

Louw-kauwsu sering kali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin sekali agar puteranya jangan sampai ‘gagal’ menjadi mantu pendekar sakti Suma Kian Lee, maka berlawanan dengan kekerasaan hatinya sendiri dia pun diam-diam membisikkan urusan pertalian jodoh itu kepada puteranya!

“Tek Ciang, engkau harus pandai-pandai membawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja telah diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah diangkat menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini masih belum diresmikan, maka engkau pun pura-pura tak tahu sajalah. Aku menceritakan padamu agar engkau pandai-pandai membawa diri.” Demikianlah bisikannya dan mendengar ini tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.

Dan pemuda ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang kurang hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui sehingga tiada alasan sedikit pun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka kepada suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar sinkang itu dengan baik.

********************

“Hyaaaaatttt, ahh…! Hyaaaaatttt, ahh…!”

Lengkingan ini terdengar berkali-kali, menggema di sekeliling tempat yang amat sunyi itu, dari bagian belakang sebuah pondok yang berdiri terpencil di bukit rimbun itu. Itulah bukit Pegunungan Ci-lian-san yang terdapat di perbatasan Sin-kiang dengan Cing-hai.

Sebuah pondok kayu yang nampak masih baru di antara puing-puing banyak bangunan yang pernah kebakaran. Dan pondok ini memang baru saja dibangun oleh Hek-i Mo-ong yang dibantu oleh muridnya yang baru, yaitu Suma Ceng Liong!

Puing-puing itu adalah bekas sarang Hek-i-mo-pang, yaitu Perkumpulan Iblis Baju Hitam yang pernah dipimpinnya akan tetapi yang dihancurkan oleh tiga orang pendekar pada waktu itu, ialah Bu Ci Sian, Kam Hong, dan Sim Hong Bu, bahkan kemudian bekas sarang itu dibakar oleh rakyat yang tinggal di bawah gunung.

Karena tempat itu sunyi dan indah, Hek-i Mo-ong mengajak muridnya tinggal di situ, membangun sebuah pondok kayu yang cukup kuat biar pun sederhana dan mulailah dia melatih ilmu-ilmu yang dahsyat kepada muridnya yang baru berusia sepuluh tahun lebih itu.

Lengkingan nyaring berulang-ulang yang terdengar dari belakang pondok itu adalah lengking suara Ceng Liong! Dan kalau ada orang yang berani melongok ke dalam tanah daratan di belakang pondok itu, tentu dia akan bergidik. Akan tetapi siapa yang berani mengunjungi tempat itu?

Sebelum Hek-i Mo-ong pulang ke situ pun tiada orang yang berani mendekat. Rakyat yang membakar sarang itu hanya melampiaskan dendam mereka terhadap gerombolan yang sudah banyak mengganggu mereka itu. Akan tetapi setelah membakar, mereka pun cepat-cepat pergi, tak berani berlama-lama di situ apalagi saat mereka mendengar berita bahwa Hek-i Mo-ong sendiri tidak nampak mayatnya di antara anak buahnya, berarti bahwa iblis itu masih belum mati. Maka yang tinggal di tempat mengerikan itu hanyalah puing bersama tulang-tulang dan tengkorak anak buah Hek-i-mo-pang yang berserakan di tempat yang kini menjadi tanah datar, di belakang pondok batu itu.

Apakah yang sedang dilakukan oleh guru dan murid di belakang pondok itu? Mereka sedang berlatih dengan cara yang aneh dan mengerikan. Hek-i Mo-ong sendiri nampak sedang bersemedhi dengan cara yang aneh, yaitu dengan jungkir balik. Semedhi jungkir balik ini memang tidak mengherankan dan sudah banyak dilakukan orang, yaitu dengan kepala di atas tanah, kedua kaki lurus ke atas, kedua tangan menopang kepala.

Semedhi seperti ini amat baik untuk melancarkan jalan darah, untuk memperbanyak dan memperlancar jalannya darah ke dalam kepala untuk memulihkan kembali ketidak seimbangan antara hawa Im dan Yang di dalam tubuh. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong itu lain dari pada yang lain.

Kepalanya memang di bawah dan kedua kakinya tegak lurus ke atas, tetapi kepalanya tidak berada di atas tanah, melainkan di atas sebuah tengkorak! Dan kedua lengannya bersedakap di depan dadanya, dan dia pun tidak berjungkir balik dengan diam saja, melainkan tubuhnya yang berjungkir balik itu berloncatan! Kepalanya itu meloncat dan hinggap di atas sebuah tengkorak lainnya dan demikian seterusnya, berpindahan dari tengkorak yang satu ke tengkorak yang lain.

Semuanya terdapat sembilan buah tengkorak yang diletakkan di atas tanah dengan membentuk garis bintang Sim-seng (Bintang Hati) yang terdiri dari tiga titik dengan tiga buah tengkorak dan bintang Jui-seng (Bintang Mulut) yang terdiri dari enam buah tengkorak. Dia berpindah-pindah dengan berloncatan seperti itu, dan terdengar suara dak-duk-dak-duk saat kepalanya bertemu dengan sebuah tengkorak berikutnya, seperti seorang anak kecil bermain loncat-loncatan.

Tak jauh dari situ, Ceng Liong juga berlatih dengan ilmu pukulan yang diajarkan gurunya. Setiap kali berteriak “hyaaaaaatt!” dia berlari menyerbu ke arah sepotong tulang, baik itu tulang kaki atau tengkorak atau tulang-tulang lainnya, dan begitu tiba dia berteriak “ahh!” dan tangannya dengan jari-jari terbuka, agak melengkung seperti cakar, mencengkeram ke arah tulang-tulang itu. Dan tulang-tulang itu pun berlubang! Nampak lubang-lubang kecil bekas cengkeraman jari-jari tangannya!

Itulah Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang sangat keji karena selain jari-jari tangan itu dilatih untuk dapat menembus tulang, juga serangan jari itu membawa hawa beracun yang lama-lama terkumpul dari hawa dalam tengkorak-tengkorak dan tulang-tulang mayat itu ketika berlatih! Meski masih kecil, Ceng Liong adalah putera Pendekar Siluman Kecil dan cucu Pendekar Super Sakti, sejak kecil sudah digembleng dengan hebat dan lebih dari itu, dia telah menerima warisan sumber tenaga sakti dari mendiang kakeknya. Oleh karena itu, kini mudah saja bagi Hek-i Mo-ong untuk menggerakkan sumber tenaga sakti itu dan mempergunakannya untuk mempelajari ilmu-ilmu sesat darinya. Tentu saja Ceng Liong belum tahu apa artinya ilmu bersih dan ilmu kotor, hanya merasa suka kalau diberi pelajaran ilmu-ilmu baru yang aneh dan dahsyat.

Agaknya kakek iblis itu telah merasa cukup berlatih dengan loncatan-loncatan itu, maka tiba-tiba tubuhnya meloncat agak tinggi dan membuat poksai (salto), terus turun dan kini dia berdiri dengan biasa sambil tersenyum memandang kepada muridnya yang berlatih itu. Kakek itu nampak mengerikan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa itu nampak kuat dan kokoh. Pakaian sampai ke sepatunya serba hitam hingga rambutnya yang putih nampak menyolok.

“Cukup, Ceng Liong. Sekarang engkau harus membantuku melakukan latihan yang amat penting.” Berkata demikian, kakek ini lalu mengumpulkan tengkorak-tengkorak di tempat itu dan mulai menumpuki tengkorak-tengkorak itu dengan cara-cara tertentu, bersusun teratur dengan tengkorak-tengkorak itu seperti saling mengisap tengkuk tengkorak di atasnya dan semua terlentang. Paling bawah diatur sepuluh buah, lalu di atasnya sembilan buah, terus delapan buah, dan seterusnya setiap tingkat berkurang satu sampai paling atas hanya sebuah tengkorak saja.

“Latihan bagaimana, Mo-ong ?” Ceng Liong bertanya.

Memang anak ini tidak menyebut suhu kepada gurunya, melainkan menyebut Mo-ong (Raja Iblis) begitu saja karena dia memang sudah berjanji bahwa dia mau menjadi murid akan tetapi tidak mau menyebut suhu dan tidak mau mempelajari kejahatan. Dan bagi seorang datuk kaum sesat yang berwatak aneh seperti Hek-i Mo-ong, sebutan Mo-ong sebaliknya dari pada suhu ini justru menggembirakan hatinya. Makin aneh keadaannya, makin sukalah datuk ini, dan dia akan berbangga kalau orang-orang lain mendengar bahwa muridnya menyebutnya Mo-ong begitu saja, tanda keanehan mereka yang lain dari pada orang lain!

“Aku hendak berlatih Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun) bagian yang paling akhir. Selama aku berlatih, keadaan diriku kosong dan sama sekali tidak berdaya andai kata ada musuh datang menyerang. Dengan pukulan sederhana saja aku bisa mati! Oleh karena itu, engkau harus berjaga-jaga dan engkau lindungi aku selama aku berlatih. Ingat, selama hawa api itu masih di luar badan dan belum kutarik kembali, berarti aku masih tak berdaya dan engkau harus melindungiku dari serangan lain dari luar.”

“Tapi, siapakah yang akan berani menyerangmu, Mo-ong?”

“Memang tidak ada, akan tetapi siapa tahu? Di dunia ini lebih banyak musuh dari pada sahabat. Dan siapa tahu malapetaka datang selagi aku berlatih. Kau jagalah baik-baik dan hentikan latihanmu.”

“Baik, Mo-ong. Aku akan menjagamu,” anak itu berjanji.

Ia lalu berdiri di bawah pohon tak jauh dari timbunan tengkorak itu, memandang dengan hati tertarik sekali karena dia tahu bahwa gurunya itu memang amat lihai dan memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh.

“Nah, kau siaplah!” kata Hek-i Mo-ong.

Dia sendiri lalu mengatur pakaiannya, menggulung lengan bajunya, mempererat ikat pinggang, membetulkan ikatan pita rambutnya, lalu dia berdiri tegak dan mengambil napas dalam-dalam sampai beberapa lamanya. Kemudian, tiba-tiba saja tubuhnya itu meloncat ke atas tumpukan tengkorak, berjungkir balik dan kepalanya hinggap di atas tengkorak yang berada di tumpukan paling atas. Oleh karena tengkorak ini, seperti tengkorak-tengkorak yang lain, menghadap ke atas, maka mulut tengkorak itu seperti mengecup tengkuknya.

Setelah tubuhnya yang berjungkir balik itu tegak lurus dan sedikit pun kakinya tidak bergoyang, kedua lengannya lalu bersedakap seperti tadi. Terdengar dia bernapas dalam dan keras, makin lama suara napasnya semakin keras mendesis-desis dan tak lama kemudian, Ceng Liong melihat betapa ada uap putih perlahan-lahan keluar dari mulut kakek itu yang terbuka!

Dan dia yang berdiri di sebelah kiri gurunya dalam jarak hampir tiga meter sudah mulai merasakan adanya hawa panas! Uap putih itu ternyata tidak melayang pergi, melainkan berkumpul di depan mulut, perlahan-lahan melayang maju dan makin memanjang, ada kalanya tertarik kembali mendekati mulut.

Ceng Liong memandang dengan penuh perhatian. Biar pun dia masih kecil, namun sudah banyak melihat ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan dia pun telah mempelajari teori-teori ilmu yang tinggi dari Pulau Es. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu keluarganya juga amat tinggi dan di antara ilmu-ilmu itu terdapat pula penggunaan hawa sinkang yang panas, yaitu Hwi-yang Sinkang yang dapat membakar dan mencairkan es. Akan tetapi, hawa tenaga sakti itu hanya dipergunakan melalui gerakan pukulan. Dan Raja Iblis ini menggunakan hawa sakti itu melalui pernapasannya, dikeluarkan dari dalam tubuh berupa uap panas yang langsung dipergunakan untuk menyerang musuh!

Kini, uap putih yang tebal itu makin lama semakin tebal dan semakin panjang, sampai melayang lebih dari satu meter dari mulut, akan tetapi tidak pernah terlepas dari mulut yang terbuka itu. Kalau uap itu sampai dapat mencapai dua meter lebih, baru akan menjadi senjata yang amat berbahaya bagi lawan.

Dan agaknya, dalam latihan ini, Hek-i Mo-ong mengerahkan banyak tenaga. Tubuhnya mandi peluh dan napasnya mulai terengah. Padahal, uap itu baru melayang sejauh satu setengah meter. Terpaksa dia menghentikan dorongan dari dalam itu dan uap itu kini berhenti dan tidak bergerak, nampak aneh karena seperti benda keras saja.

Pada saat itu, tiba-tiba telinga Ceng Liong mendengar gerakan ringan dari belakangnya dan munculah seorang kakek berpakaian seperti tosu dengan rambut digelung ke atas. Tosu ini membawa pedang di punggungnya dan mukanya merah sekali. Usianya ada enam puluhan tahun. Selain tosu ini, Ceng Liong masih melihat berkelebatnya banyak bayangan orang di sekitar tempat itu. Tentu saja dia bersikap waspada dan siap sedia melindungi gurunya.

Mula-mula tosu itu nampak kaget dan heran, akan tetapi setelah dia mengenal muka Hek-i Mo-ong, matanya segera mendelik, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan dan tiba-tiba saja dia mengirim serangan, pukulan yang dahsyat dilayangkannya ke arah punggung Raja Iblis itu!

“Desss....!”

Tubuh tosu itu terhuyung ke belakang dan dia memandang terbelalak kepada anak berusia sepuluh tahun yang tiba-tiba menangkis pukulannya tadi dan membuatnya terhuyung! Hampir saja dia tidak dapat percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat, dan ketika anak kecil tadi menangkis, dia merasa adanya hawa sakti yang amat kuat menolaknya. Dia terhuyung dan anak itu hanya mundur dua langkah, tanda bahwa dia kalah kuat!

Tentu saja dia menjadi penasaran dan marah, dan menduga bahwa tentu anak ini murid Hek-i Mo-ong. Tidak terlalu mengherankan kalau Raja Iblis itu memiliki murid kecil yang sudah begini lihai, dan sebelum membunuh iblis itu dia harus lebih dulu menyingkirkan anak ini. Akan tetapi, bagaimana pun juga, di depan banyak orang dia masih merasa malu untuk mempergunakan pedangnya. Maka tanpa banyak cakap, dia lalu menerjang maju dan menyerang Ceng Liong.

Ceng Liong mengelak, menangkis dan membalas. Dia mainkan Iimu Silat Sin-coa-kun yang pada waktu itu merupakan satu-satunya ilmu silat dari keluarganya yang sudah agak matang dilatihnya. Maka, untuk berkali-kali, tosu itu merasa terheran-heran karena serangannya luput dan tertangkis, bahkan anak itu dapat mengirim serangan balasan yang cukup cepat.

Bagaimana pun juga, Ceng Liong hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Gerakannya belum mantap, lengannya masih terlalu pendek dan biar pun dia sudah mewarisi tenaga sakti kakeknya, namun dia belum menguasainya benar-benar sehingga belum dapat mempergunakan sumber tenaga itu dengan baik. Maka, belasan jurus kemudian, dia mulai dihajar tunggang-langgang oleh tamparan, pukulan dan tendangan tosu itu.

“Plakkk!”

Keras sekali pukulan sekali ini yang mengenai dada Ceng Liong, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi, bulu tengkuk tosu itu meremang ketika dia melihat anak itu meloncat bangun kembali. Padahal pukulannya tadi amat keras dan akan dapat mencabut nyawa seorang lawan yang cukup tangguh! Akan tetapi, Ceng Liong merasa agak pening dan tahulah anak ini bahwa keadaan gurunya terancam bahaya. Kalau orang-orang lain yang kini sudah berdiri mengepung tempat itu turun tangan, tak mungkin dia dapat melindungi gurunya.

“Mo-ong, sadarlah, bantulah! Sadarlah kalau engkau tidak ingin mati!” Ceng Liong mulai berteriak-teriak menyadarkan gurunya.

Teriakannya itu tentu saja membuat si tosu dan orang-orang lain merasa terheran-heran. Tosu itu pun meragu mendengar seruan anak itu. Tidak mungkin murid si raja iblis kalau menyebut kakek itu Mo-ong begitu saja. Bagaimana pun juga, dia khawatir kalau-kalau Raja Iblis itu sadar dan tentu tidak akan mudah menyerangnya. Maka dengan gemas tosu ini pun melakukan serangan dahsyat sekali.

“Bresss....!”

Tubuh Ceng Liong kini terlempar sampai empat meter lebih terkena tendangan kilat tosu itu. Tubuhnya terbanting keras dan sebelum anak itu sempat bangkit, tosu tadi telah tiba di depannya dan dengan ganas tosu itu mengirim pukulan ke arah kepala Ceng Liong!

Anak itu maklum akan datangnya bahaya maut, maka dia pun teringat akan ilmu yang baru saja dilatihnya, yaitu Coan-kut-ci. Maka dia mengangkat tangan kanan menyambut pukulan itu dengan cengkeraman tangannya.

“Crottt....! Aughhh....!”

Tosu itu terkejut bukan main. Karena dia kuat, maka jari-jari tangan Ceng Liong tidak sampai melubangi tulang lengannya, akan tetapi kulitnya robek dan dagingnya terluka sedikit mengeluarkan darah. Bukan main marahnya dan dia pun mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dan sebuah tengkorak menyambar ke arah kepalanya dengan kecepatan dahsyat dan mendatangkan angin menyambar kuat.

“Trakkk....!”

Tosu itu mengggerakkan pedangnya menangkis. Dia berhasil menangkap tengkorak itu yang runtuh ke atas tanah, akan tetapi dia sendiri pun hampir saja terjengkang saking kerasnya tenaga sambitan tadi ketika bertemu dengan tangkisannya. Dia pun terkejut dan memandang ke arah Hek-i Mo-ong yang ternyata kini telah berdiri di atas tumpukan tengkorak dengan kaki di bawah dan tadi dia mengunakan kakinya untuk menendang sebuah tengkorak yang melayang ke arah tosu itu.

Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tidak memperhatikan tosu itu, melainkan memandang kepada beberapa orang yang memimpin pengepungan itu dan berdiri menghadapinya. Pada saat itu, Ceng Liong juga sudah menghampiri gurunya dan berdiri di dekat tumpukan tengkorak.

“Huh, bukankah Thong-ciangkun yang datang ini? Dan juga bersama Thai Hong Lama dari Tibet, Pek-bin Tok-ong dari Go-bi dan agaknya tokoh-tokoh penting lainnya yang belum kukenal. Hemm.... hemm.... tokoh-tokoh besar berkumpul di sini dan mendatangi aku secara begini, ada keperluan apakah?” Hek-i Mo-ong menatap wajah mereka satu demi satu dan diam-diam dia pun terkejut karena banyak di antara mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Mau apa begini banyak orang sakti yang ia tahu adalah dari golongan sesat berkumpul? Kalau mereka ini terdiri dari para pendekar, tentu dia akan merasa khawatir karena kedatangan mereka tentu akan memusuhinya. Tapi mereka jelas datang dari golongan hitam bercampur dengan orang-orang yang sedang menduduki jabatan penting seperti Thong-ciangkun, maka hatinya pun tenang.

“Hek-i Mo-ong, aku datang sebagai utusan pribadi yang rahasia dari Gubernur Yong untuk mengundang para tokoh ini menghadap ke gedung beliau. Dan engkau termasuk seorang di antara para undangan itu untuk membicarakan urusan penting sekali. Maka dengan resmi aku atas nama Gubernur Yong mengundangmu, Hek-i Mo-ong, agar ikut bersama kami ke gedung gubernur.”

“Hemm, mana bisa begitu? Kalau ada urusan, katakanlah sekarang dan di sini. Tidak mungkin aku pergi menghadiri suatu undangan tanpa kuketahui urusannya, biar yang mengundang itu gubernur sekali pun!”

Thong-ciangkun, perwira tinggi yang menjadi pembantu gubernur dan panglima pasukan di wilayah barat ini adalah seorang perwira yang usianya sudah enam puluh tahun dan sudah lama dia mengenal Hek-i Mo-ong. Dulu sebagai ketua Hek-i-mo-pang, Raja Iblis ini memang sudah memiliki pengaruh yang besar di kalangan pembesar, bahkan ada hubungan baik antara dia dan Gubernur Yong, maka sekarang perwira itu maklum bahwa menghadapi seorang seperti Hek-i Mo-ong ini dia harus berhati-hati. Sambil tersenyum dia lalu berkata.

“Hek-i Mo-ong, saudara-saudara ini datang dari Go-bi-san, dari Tibet, dari Nepal dan dari Mongol. Mereka ini adalah sahabat-sahabat atau sekutu dari Yong-taijin. Maka engkau diundang untuk meramaikan dan memperkuat persekutuan ini agar kelak dapat memperoleh kemuliaan bersama.”

Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut, akan tetapi juga girang. Memang sudah menjadi niatnya untuk menentang kekuasaan Kaisar Kian Liong dan dia tahu bahwa kalau dia tidak mempunyai sekutu yang kuat, niat itu tidak akan mungkin berhasil. Baru menyerbu Pulau Es saja, biar pun dia sudah mengajak empat orang datuk lain yang lihai, dia telah kehilangan kawan-kawannya itu, yang tiga orang tewas yang seorang lagi entah lari ke mana!

Kini terbukalah kesempatan baginya dan tentu saja dia tidak mau melewatkannya begitu saja. Akan tetapi, dia adalah Hek-i Mo-ong dan di dalam persekutuan itu, dia harus dapat menjadi yang nomor satu atau setidaknya, menjadi pembantu gubernur yang paling berpengaruh dan lihai. Maka, dia harus pula memperlihatkan kelihaiannya di depan semua orang ini. Dia tersenyum kepada Thong-ciangkun.

“Baik, aku akan ikut menghadap. Akan tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu aku akan membuat perhitungan dengan tosu bau itu. Sebelum itu, aku tidak akan mau pergi.”

Dia menudingkan telunjuknya ke arah tosu yang tadi menyerangnya dan berkelahi dengan Ceng Liong. Tosu itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh kebencian.

Thong-ciangkun memandang ke arah tosu itu dan alisnya berkerut. Tosu itu adalah Yang I Cinjin, seorang tosu perantau pertapa di daerah Pegunungan Himalaya, bukan dari golongan kaum sesat akan tetapi memiliki ambisi besar untuk membantu dan kelak memperoleh kedudukan tinggi yang mulia. Oleh karena kepandaiannya tinggi maka Gubernur Yong menghubunginya dan ingin menarik tenaganya untuk membantu, di samping pengetahuannya yang luas menguasai daerah Himalaya dari sekitar Tibet.

“Sungguh kami tidak tahu bahwa antara Yang I Cinjin dan engkau ada suatu urusan, Hek-i Mo-ong. Cinjin, mengapa engkau tadi menyerang Hek-i Mo-ong dan anak itu?”

“Iblis ini pernah membunuh guru dan suheng pinto, dan memaksa isteri suheng menjadi selirnya. Maka, apa pun akibatnya, hari ini pinto harus menebus hutang itu!” kata Yang I Cinjin.

Mendengar keterangan itu, mengertilah Thong-ciangkun bahwa dia tidak dapat turun tangan melerai atau mendamaikan. Permusuhan itu agaknya telah terlampau mendalam sehingga satu-satunya yang dapat mengakhiri hanyalah adu nyawa!

Maka dia pun melangkah mundur dan berkata, “Kami mempunyai urusan penting, tidak akan mencampuri segala urusan pribadi.”

Mendengar ucapan ini, para tokoh lain juga melangkah mundur dan hanya menonton dari jauh. Bagaimana pun juga demi untuk suksesnya persekutuan mereka, tentu saja mereka berpihak kepada orang yang lebih kuat, yang tentu akan merupakan tenaga yang lebih berharga bagi persekutuan mereka.

Hek-i Mo-ong menghampiri tosu yang mukanya pucat itu. “Ha-ha-ha, kiranya engkau adalah sute dari Yang Heng Cinjin dan murid dari Thian-teng Losu. Tidak ada perlunya menerangkan sebab-sebab urusan lama. Kalau engkau hendak menggali urusan lama dan membalas, majulah!”

Yang I Cinjin mencabut pedangnya dan nampak sinar berkelebat. Jelas dapat diduga bahwa pedangnya itu tentu sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, Hek-i Mo-ong tertawa mengejek dan menoleh kepada Ceng Liong yang juga ikut melangkah mundur dan menonton dengan jantung berdebar tegang dan gembira melihat gurunya akan bertanding dengan tosu yang sudah diketahui kelihaiannya itu.

“Heh, Ceng Liong, Coan-kut-ci yang kau mainkan tadi sudah baik, akan tetapi kurang kuat. Kau lihat baik-baik bagaimana harus mainkan Coan-kut-ci dan mengalahkan tosu bau ini!”

“Iblis busuk, lihat pedang!” Tiba-tiba tosu itu membentak.

Pedangnya diputar sedemikian cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Semua orang memandang kagum. Memang tosu ini adalah seorang ahli pedang yang kenamaan dan kalau tadi dia tidak menggunakan pedang adalah karena sebagai seorang ahli pedang dia enggan menghadapi seorang bocah berusia sepuluh tahun dengan senjata yang ampuh itu. Akan tetapi sekali ini, ahli pedang itu berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, seorang datuk kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi.

Sebelum menghadapi pedang lawan, Hek-i Mo-ong menggulung kedua lengan bajunya dan kini dengan kedua lengan telanjang dia menandingi pedang lawan. Hek-i Mo-ong menangkis, mengelak dan mempermainkan. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok pada saat kedua lengan itu menangkis pedang dan setiap kali menangkis dan pedang bertemu dengan lengan telanjang, tosu itu merasa betapa tangannya tergetar hebat dan hanya dengan pengerahan tenaga sajalah dia masih berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas dari pegangannya.

Setelah membiarkan lawan menghunjamkan serangan sampai tiga puluh jurus tanpa dibalasnya, seakan memperlihatkan kepada semua yang menonton bahwa serangan-serangan itu sama sekali tiada artinya baginya, dan menyatakan pula bahwa dia sudah banyak memberi ‘hati’ dan kelonggaran kepada lawan, juga untuk mendemonstrasikan keunggulan dan kepandaiannya, tiba-tiba saja kakek itu berseru, “Ceng Liong, lihatlah Coan-kut-ci ini!”

Maka mulailah kakek ini mengerahkan tenaga dan kedua tangannya membentuk cakar, persis seperti ketika Ceng Liong berlatih tadi.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Tangan kirinya bergerak dan mencengkeram ke depan, ke arah pedang yang menusuk lambungnya. Lengan itu meluncur ke depan dan ketika tangannya yang membentuk cakar itu bertemu pedang, pergelangan tangannya bergoyang dengan kuat, tangannya mencengkeram dibarengi bentakan “ahh!” tadi.

“Krekkk!” Ujung pedang itu kena dicengkeram dan patah!

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Tangan kanannya menyambar ke depan, sebelum dapat dihindarkan oleh tosu yang terkejut setengah mati melihat betapa pedang pusakanya dicengkeram patah itu, tangan kanannya sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang.

“Krakkk....!”

Tosu itu mengeluh. Ketika dia meloncat ke belakang, lengan kanannya terkulai karena tulang lengan itu sudah patah dan remuk, hanya tinggal kulitnya saja yang menahan sehingga lengan itu tidak buntung. Pedangnya terlepas dan jatuh ke atas tanah.

Kini tubuh Hek-i Mo-ong bergerak ke depan, mulutnya melengking.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Dan cengkeraman tangan kirinya menyambar ganas ke arah perut. Tosu itu maklum akan hebatnya cengkeraman tangan yang mengandung hawa mukjijat Coan-kut-ci itu, cepat mengelak ke samping. Cengkeraman itu luput, akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya merupakan pancingan karena sekarang cengkeraman tangan kanan sudah menyambar ke arah kepala lawan.

“Haaaiiiiittt.... ahh....!”

Dan cengkeraman tangan kanan itu menyambar dahsyat, tak dapat dielakkan lagi.

“Crotttt....!”

Lima jari-jari tangan kanan Hek-i Mo-ong amblas ke dalam kepala tosu itu. Tosu itu membalik, mulutnya terbuka dan mengeluarkan pekik aneh dan ketika Hek-i Mo-ong mencabut jari-jari tangannya, tubuh tosu itu mengejang lalu terkulai, jatuh terguling ke atas tanah. Terdapat lima lubang di kepalanya dari mana mengucur darah bercampur otak dan tosu itu tewas seketika.

Semua yang menyaksikan perkelahian itu bergidik ngeri. Bukan oleh pembunuhan itu karena mereka semua adalah orang-orang yang sudah biasa melihat perkelahian dan pembunuhan. Akan tetapi mereka ngeri menyaksikan ilmu cengkeraman maut yang mengerikan itu.

Mereka yang mengenal betapa lihainya pedang dari Yang I Cinjin, lebih-lebih merasa kagum bukan main dan tahu bahwa Raja Iblis itu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Tentu saja, orang-orang seperti Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong dan beberapa orang lagi dalam rombongan itu tidak menjadi heran. Bahkan Pek-bin Tok-ong tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Coan-kut-ci itu, Mo-ong. Engkau semakin tua menjadi semakin lihai saja!”

“Omitohud!” kata Thai Hong Lama sambil merangkap jari-jari tangannya di depan dada seperti orang bersujud. “Coan-kut-ci itu memang ilmu yang hebat!”

Hek-i Mo-ong tertawa. “Hahh, pujian kalian itu kosong belaka, untuk menutupi kalian mentertawakan pukulanku tadi. Mana bisa dibandingkan dengan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang) dari Pek-bin Tok-ong atau ilmu pukulan Cui-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pengejar Arwah) dari Thai Hong Lama?”

“Heh-heh, itu masih harus dibuktikan, masih harus dibuktikan!” kata Pek-bin Tok-ong sambil terkekeh.

“Omitohud, mana yang lebih hebat, sukar untuk dapat dikatakan!” kata pula Thai Hong Lama dan ucapan itu pun mengandung arti bahwa dia tidak atau belum menerima kalah.

Thong-ciangkun lalu melangkah maju dan menjura. “Hek-i Mo-ong, setelah urusan pribadi selesai, kami mengundang dengan resmi untuk bersama kami berkunjung ke tempat pertemuan. Bagaimana, dapatkah undangan kami ini diterima?”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Baik, akan tetapi aku harus datang berdua dengan muridku ini. Bukankah begitu, Ceng Liong muridku?”

Ceng Liong mengangguk. Ia merasa bangga akan kemampuan gurunya yang demikian mudah mengalahkan tosu tadi dan dia merasa kagum akan kelihaian gurunya. “Memang harus begitu, Mo-ong. Aku tidak sudi ditinggal di sini sendirian saja!” Tentu saja semua orang merasa heran sekali mendengar ucapan bocah itu terhadap gurunya, demikian kasar tanpa hormat, bahkan menyebut gurunya Mo-ong begitu saja.

“Kalau begitu, marilah kita berangkat!” kata pula Thong–ciangkun.

Hek-i Mo-ong mengangguk dan menyuruh Ceng Liong berkemas membawa pakaian. Pada saat itu terdengar teriakan dan tangis orang. Kiranya seorang pemuda tanggung yang usianya tidak akan lebih dari tiga belas tahun telah berlutut dan menangisi mayat Yang I Cinjin, kemudian memondong mayat itu dan pergi dari situ. Sebelum pergi dia menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.

Peristiwa ini mengejutkan semua orang dan seorang di antara mereka yang berada di situ berkata, “Itu adalah muridnya....”

Mendengar ini, Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Hei, anak tikus, lihat dan ingat baik-baik muka Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong muridku ini. Aku tak akan membunuhmu, memberi waktu dan kesempatan kepadamu untuk kelak dapat datang mencari aku atau muridku ini, ha-ha-ha!”

Di dalam hatinya, Ceng Liong sungguh tidak setuju dengan sikap gurunya itu, akan tetapi karena ucapan itu sudah terlanjur dikeluarkan, dia pun hanya memandang kepada anak itu dengan penuh perhatian agar dia tidak akan mudah melupakannya kelak. Dia melihat sebuah tahi lalat hitam di ujung bawah telinga kiri anak itu dan ini menjadi tanda yang takkan pernah dilupakan oleh ingatan Ceng Liong yang tajam. Setelah menatap wajah Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, anak itu sambil menangis melanjutkan perjalanan memondong jenazah gurunya dan pergi dari tempat itu.

Bagaimana pun juga, peristiwa ini membuat Thong-ciangkun merasa tidak enak dan dia pun cepat merubah suasana dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang lain kepada Hek-i Mo-ong.

“Karena akan menjadi rekan seperjuangan, maka kami ingin memperkenalkan sahabat-sahabat ini kepadamu, Mo-ong. Ini adalah saudara Siwananda, dialah wakil koksu (guru negara) Kerajaan Nepal yang baru dan yang telah memperoleh kekuasaan mutlak dari Raja Nepal untuk menghadap Yong-taijin.”

“Hemm, Koksu Nepal? Aku pernah mengenal Sam-ok Bun Hwa Sengjin....,” kata Hek-i Mo-ong.

“Saudara Lakshapadma? Dia memang pernah menjadi Koksu Nepal, akan tetapi karena mengalami kegagalan tidak berani pulang ke Nepal. Kami pernah mendengar bahwa dia bekerja sama denganmu sampai menemui kematiannya di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. Kiranya orang-orang Nepal ini telah mendengar segalanya dan dia percaya bahwa tentu orang ini pun lihai seperti juga Sam-ok Ban Hwa Sengjin dahulu. Seperti diceritakan dalam kisah ‘Suling Emas dan Naga Siluman’, Sam-ok Ban Hwa Sengjin adalah orang ke tiga dari Ngo-ok (Lima Jahat) dan pernah menjadi Koksu Nepal. Akhirnya, ketika Sam-ok bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan bentrok dengan para pendekar muda, Sam-ok tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong.

“Dan saudara ini adalah kepala Suku Tailu-cin dari Mongol. Dia mewakili sukunya untuk berunding dengan Gubernur Yong.”

Hek-i Mo-ong dan orang Mongol bertubuh raksasa itu saling memberi hormat. Kemudian mereka berangkat menuju ke kota Li-tan yang letaknya di dekat perbatasan antara Tibet, Ching-hai dan Propinsi Uighur yang lalu menjadi daerah yang disebut Sin-kiang (Daerah Baru). Pasukan pengawal Thong-ciangkun mengiringkan mereka sehingga mereka itu dianggap sebagai tamu-tamu pemerintah dan tidak menimbulkan kecurigaan pada rakyat.

Di dalam sebuah gedung di kota Li-tan ini telah menanti Gubernur Yong. Pembesar ini bernama Yong Ki Pok, peranakan Ulghur yang memperoleh kedudukannya melalui ketentaraan. Karena Kaisar Kian Liong paling benci akan kecurangan para pembesar, maka pembersihan diadakan sampai ke daerah ini, dan Gubernur Yong merasa sangat tersinggung ketika menerima teguran dari para pejabat pemeriksa.

Maka, diam-diam gubernur ini lalu mengadakan hubungan dengan pihak-pihak lain yang menentang kekuasaan kaisar. Apalagi ketika dia mendengar pergerakan pasukan Nepal yang melakukan penyerbuan ke Tibet, dianggapnya itulah kesempatan baik untuk bersekutu dengan pasukan asing agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Maka dia lalu mengutus Thong–ciangkun, orang kepercayaannya untuk menghubungi pihak-pihak itu dan pada hari ini diadakan pertemuan antara wakil-wakil semua pihak dan dengan Gubernur Yong sendiri.

Mereka sudah berkumpul di dalam ruangan itu, sebuah ruangan besar yang cukup mewah. Meja besar diatur memanjang sehingga semua orang dapat duduk di sekelilingnya. Agak lucu melihat Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu, duduk pula semeja dengan gubernur dan tokoh-tokoh kaum persilatan yang berilmu tinggi itu. Lucu dan janggal.

Akan tetapi ini merupakan syarat kehadiran Hek-i Mo-ong, yang tidak mau berpisah dari muridnya. Tak ada seorang pun di antara mereka itu pernah menduga seujung rambut pun bahwa bocah itu adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Entah apa yang akan menjadi reaksinya kalau hal ini mereka ketahui. Hek-i Mo-ong sendiri duduk dengan tenang sambil memandang dan memperhatikan orang-orang yang duduk semeja dengannya itu.

Dengan sinar matanya yang tajam, Hek-i Mo-ong memperhatikan tokoh-tokoh yang hadir dan sinar matanya seperti menilai dan mengukur kelihaian mereka itu. Yang hadir di tempat itu memang merupakan tokoh-tokoh yang amat lihai.

Panglima Thong Su adalah tangan kanan Gubernur Yong dan panglima yang usianya sudah enam puluh tahun ini, yang tubuhnya tegap dan terlatih, adalah seorang ahli perang yang amat berpengalaman. Biar pun ilmu silat atau kekuatan pribadinya tidaklah demikian hebat, namun dalam gerakan perang, orang seperti dia amat diperlukan untuk memimpin pasukan dan mengatur siasat pertempuran.

Thai Hong Lama, pendeta dari Tibet yang kepalanya gundul dan jubahnya merah itu nampak menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh serta kuat, sepasang telinganya lebar sekali dan tangan kirinya memutar-mutar biji tasbeh dengan sikap alim, seperti sepatutnya sikap seorang pendeta. Sebatang suling terselip di pinggang, tertutup jubah. Akan tetapi, di balik sikap alim ini tersembunyi ambisi yang amat besar.

Saat itu Tibet adalah wilayah yang tunduk kepada pemerintah Ceng yang dikendalikan oleh Kaisar Kian Liong. Sebagai kepala-kepala daerah, ditunjuklah beberapa orang pembesar yang bekerja sama dengan para pendeta Lama yang berpengaruh. Dan Thai Hong Lama tidak kebagian tempat karena pendeta ini, biar pun memiliki kepandaian tinggi, telah dicap sebagai seorang penyeleweng ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap basah memperkosa seorang wanita di kuilnya. Maka, diam-diam dia merasa sakit hati dan bercita-cita untuk menggulingkan mereka yang berkuasa di Tibet dan agar dia dapat terangkat menjadi orang nomor satu yang paling berkuasa di daerah itu.

Ilmu silatnya tinggi dan sinkang-nya sudah demikian kuatnya sehingga dengan tenaga khikang kalau dia meniup sulingnya, dia dapat menyerang lawan dengan suara suling itu! Juga tasbeh yang selalu dipermainkan oleh jari-jari tangan kirinya seperti orang bersembahyang membaca mantera setiap saat itu sesungguhnya merupakan senjata yang ampuh.

Kemudian Hek-i Mo-ong memperhatikan Pek-bin Tok–ong. Dia sudah tahu kelihaian orang ini. Pek-bin Tok-ong (Raja Racun Muka Putih) adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, seorang tokoh Pegunungan Go-bi-san yang maha luas itu. Dia berpakaian pertapa serba putih dan longgar, rambutnya putih panjang dan kadang-kadang dibiarkan terurai, kadang-kadang digelung ke atas secara sembarangan saja.

Tubuhnya kurus tinggi dan mukanya putih seperti kapur, karena muka yang putih itulah maka dia dijuluki Raja Racun Muka Putih. Dari julukannya saja orang sudah dapat menduga bahwa tokoh ini adalah seorang ahli yang lihai sekali dalam hal racun. Akan tetapi, bukan dalam urusan mengenai racun saja dia lihai, juga ilmu silatnya amat tinggi dan lebih berhahaya lagi adalah ilmu-ilmunya yang semua dilatih dengan hawa beracun sehingga pukulannya bukan saja kuat, melainkan juga mengandung racun mengerikan. Satu di antara ilmu-ilmunya yang amat hebat, seperti yang disebut oleh Hek-i Mo-ong tadi, adalah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Tangan Memutuskan Otot Melepaskan Tulang).

Orang lain yang diperhatikan oleh Hek-i Mo-ong adalah Siwananda dan Tailucin. Siwananda berusia enam puluh tahun lebih, seorang Gorkha yang berkulit kehitaman, tinggi besar dan tubuhnya berbulu, mukanya brewok dan rambut kepalanya yang masih hitam itu dibalut kain kuning. Wakil Koksu Nepal ini juga amat lihai dan tenaganya dapat dilihat dari keadaan tubuhnya. Walau pun dia kurus, namun nampak tinggi besar karena tulang-tulangnya memang besar dan kokoh kuat. Dia bukan hanya pandai ilmu silat Nepal, akan tetapi juga ahli gulat dan pandai pula ilmu sihir.

Biar pun tubuh Thai Hong Lama dan Siwananda dari Nepal itu termasuk tinggi besar, tetapi mereka itu nampak sedang-sedang saja kalau dibandingkan dengan Tailucin, tokoh Mongol itu. Tailucin ini, yang mengaku sebagai keturunan Jenghis Khan, itu Raja Mongol yang amat termasyhur, bertubuh raksasa. Dia pun lihai sekali dan bertenaga gajah. Juga dia pandai berlari sangat cepat seperti larinya kuda dan juga amat pandai menunggang kuda, bahkan pandai menjinakkan kuda-kuda liar. Tentu saja di samping itu semua, dia ahli pula dengan ilmu silat dan gulat Mongol.

Seperti diketahui, Bangsa Mongol pernah menjajah daratan Tiongkok dan mendirikan Dinasti Goan-tiauw, mengoper sebagian besar kebudayaan Tiongkok, termasuk ilmu silatnya. Maka raksasa Mongol ini pun tidak asing dengan ilmu silat yang telah dipelajarinya semenjak dia masih kecil. Kalau senjata dari Siwananda berupa sebatang tongkat pikulan yang berat, maka senjata Tailucin ini lebih dahsyat lagi, yaitu sebuah tongkat penggada yang besar dan lebih berat, terbuat dari pada kayu dari batang semacam pohon yang dinamakan pohon besi.

Hek-i Mo-ong sudah pernah mendengar banyak mengenai kelihaian Thai Hong Lama dari Tibet dan Pek-bin Tok-ong dari Go-bi, akan tetapi dia belum pernah mendengar tentang Siwananda dan Tailucin, maka dia pun hanya dapat menduga-duga saja sampai di mana kehebatan kedua orang ini.

“Kami merasa gembira sekali melihat betapa lo-sicu (orang tua gagah) Hek-i Mo-ong suka memenuhi undangan kami dan dapat hadir dalam pertemuan ini. Kami harap saja bahwa kehadiran lo-sicu ini berarti bahwa lo-sicu telah sanggup untuk membantu kami, bukan?” Demikian antara lain Gubernur Yong berkata kepada Hek-i Mo-ong.

Hek-i Mo-ong menatap wajah pembesar itu dengan berani dan tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab, “Taijin, terus terang saja tadinya saya sedikit pun juga tidak mempunyai niat atau minat untuk mencampuri urusan pergerakan dan pemberontakan terhadap pemerintah. Resiko dan bahayanya terlampau besar menentang pemerintah yang amat kuat. Namun, karena saya sejak dahulu tidak suka kepada Kaisar Kian Liong dan melihat adanya sahabat-sahabat dari Tibet, Nepal, dan Mongol yang bekerja sama, saya sanggup membantu, akan tetapi hanya dengan satu syarat....” Hek-i Mo-ong menghentikan kata-katanya dan menatap wajah mereka yang hadir satu demi satu, seolah-olah hendak melihat apakah ada yang menentang atau merasa tidak setuju dengan ucapannya itu.

Akan tetapi semua orang hanya mendengarkan tanpa reaksi pada wajah mereka, hanya Gubernur Yong mengerutkan alisnya karena pembesar ini diam-diam mengkhawatirkan bahwa syarat yang diajukan oleh Raja Iblis ini akan terlampau memberatkan dirinya.

“Syarat apakah itu? Kalau memang pantas dan dapat dilaksanakan, apa salahnya? Harap lo-sicu suka memberitahu.” Gubernur Yong yang pandai mempergunakan tenaga orang-orang kuat ini berkata dengan nada suara ramah.

“Taijin, sudah menjadi watakku bahwa satu kali saya bekerja, saya akan melakukannya dengan pencurahan seluruh tenaga dan pikiran, dan akan saya bela sampai mati. Oleh karena itu, tanpa imbalan yang pantas, tentu saja saya segan untuk melakukannya. Imbalan atau syarat itu adalah bahwa taijin akan mengangkat saya menjadi penasehat utama dan kalau kelak taijin berhasil, saya diangkat menjadi koksu.”

Semua orang terkejut mendengar ini. Jabatan koksu adalah jabatan yang amat tinggi dalam sebuah pemerintahan karena koksu memiliki kekuasaan yang amat besar, hanya di bawah kekuasaan raja. Bahkan sang raja akan selalu bertindak setelah memperoleh nasehat dan persetujuan dari koksu. Akan tetapi, Gubernur Yong tertawa gembira.

“Ahhh, tanpa syarat itu pun kami akan merasa berterima kasih dan bergembira sekali kalau lo-sicu suka menjadi pembantu dan penasehat utama kami. Tentu saja syarat itu kami terima dengan segala senang hati!”

Tiba-tiba Thong-ciangkun, panglima yang telah belasan tahun mengabdi pada gubernur itu dan menjadi kepercayaan utama, berdehem lalu berkata dengan lembut dan sopan, “Harap taijin dan cu-wi yang hadir suka memaafkan saya. Dan terutama sekali harap Mo-ong suka memaafkan karena sesungguhnya saya bukan bermaksud menentang, melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk mengingatkan Yong-taijin yang menjadi atasan saya. Begini, taijin. Jabatan calon koksu adalah jabatan yang penting sekali. Seorang koksu bukan saja harus pandai mengatur siasat dan menasehati atasannya, akan tetapi juga harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian orang-orang lain yang membantu taijin. Karena itu saya kira sudah amat tepat kalau kita semua melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Mo-ong agar kita semua dapat menilai apakah memang dia sudah cukup pantas untuk menjadi seorang calon koksu.”

Wajah Hek-i Mo-ong berubah merah ketika dia menatap tajam kepada panglima itu. “Hemm, Thong-ciangkun, agaknya engkau sendiri juga menginginkan kedudukan calon koksu? Kalau begitu, majulah dan marilah kita memperebutkan kedudukan itu!” berkata demikian, Hek-i Mo-ong sudah bangun dari tempat duduknya.

Thong Su juga bangkit lalu menjura kepada Hek-i Mo-ong sambil tersenyum. “Ah, satu di antara syarat menjadi koksu haruslah dapat menahan kesabaran hati, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku bermaksud memperebutkan kedudukan koksu. Aku seorang prajurit, seorang perwira, sama sekali tidak pandai bersiasat, kecuali siasat perang. Dalam hal perang, tentu saja aku berani melawanmu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, sedikit pun aku tidak akan menandingimu.”

Hek-i Mo-ong tersenyum “Kalau engkau tidak ingin menjadi koksu, mengapa engkau mengusulkan agar aku diuji? Nah, kalau engkau hendak menguji, majulah!”

Kembali Thong Su mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Jangan salah sangka, Mo-ong. Bukan sekali-kali aku hendak mengujimu, dan bukan sekali-kali pula aku tidak percaya kepandaianmu. Tetapi, tanpa memperlihatkan kepandaian, kedudukan jabatan penting itu berarti kau peroleh secara terlalu mudah dan tidak mengesankan. Karena itu, engkau harus memperlihatkan kepandaianmu di depan gubernur.”

“Dengan cara bagaimana? Siapa yang akan mengujiku?” tanya Hek-i Mo-ong dengan sikap takabur karena tokoh ini memang sudah biasa memandang rendah semua orang dan mengangkat diri sendiri di tempat tertinggi.

“Aku sendiri tidak begitu pandai ilmu silat, akan tetapi di sini hadir ahli-ahli yang pandai, yaitu Thai Hong Lama, Pek-bin Tok-ong, saudara Siwananda dan saudara Tailucin. Sebagai para pembantu dan sekutu dari taijin, maka saya kira mereka berempat tidak keberatan untuk membantu taijin menguji kelihaian orang yang pantas menjadi calon koksu. Kelirukah pendapat hamba ini, taijin?”

Gubernur Yong tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. “Sungguh bagus sekali usul itu! Memang sudah lama aku mendengar akan kelihaian cu-wi lo-sicu yang terhormat. Dan sekarang, setelah kita memperoleh kesempatan berkumpul, agaknya sayang kalau aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyaksikan dengan mata sendiri kehebatan para pembantu dan sekutuku. Tentu saja kalau cu-wi tidak berkeberatan.”

Hek-i Mo-ong segera menjawab, “Saya tidak berkeberatan, kalau saja keempat orang saudara yang gagah ini ingin melakukan ujian terhadap diri saya.” Ucapan ini setengah merupakan tantangan kepada empat orang yang hadir itu!

Pek-bin Tok-ong adalah tokoh dunia persilatan yang seperti kebanyakan para tokoh kang-ouw selalu ‘haus’ akan ilmu silat dan mempunyai kesukaan mengadu ilmu untuk menguji kepandaian masing-masing. Kini mendengar usul Thong-ciangkun yang sudah disetujui oleh gubernur dia menjadi gembira sekali.

“Jika hanya merupakan ujian kepandaian, apa salahnya? Pibu untuk menguji seseorang merupakan hal yang biasa saja dan saya sungguh merasa setuju sekali!” Tokoh ini baru saja merampungkan ilmunya Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat, maka diam-diam dia pun ingin sekali mengadu ilmunya dengan Ilmu Tok-hwe-ji yang dikuasai Hek-i Mo-ong!

Tailucin mengerutkan alisnya. Dengan bahasanya yang kaku dan asing dia pun berseru, “Akan tetapi, saya sama sekali tidak mengenal ujian kepandaian berkelahi yang tidak akan mendatangkan cedera, bahkan mungkin kematian kepada seseorang. Kalau sekali saya maju memperlihatkan kepandaian, maka akibatnya hanya dua, yaitu saya menang atau kalah. Kalau memang, tentu pihak lawan cedera atau mati dan demikian sebaliknya kalau saya kalah, saya cedera atau mati. Bukankah hal ini akan merugikan sekali bagi persekutuan kita?”

Siwananda hanya tersenyum saja. Dia hanya akan menurut bagaimana keputusan teman-temannya yang hadir di situ. Wakil Koksu Nepal ini adalah seorang cerdik dan tidak mau mengambil tindakan sembrono. Dia tidak mau menyinggung hati seorang di antara mereka yang dianggap akan menjadi sekutunya, yang akan menguntungkan negaranya dalam pergerakan negaranya.


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 08