Suling Emas Naga Siluman Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 02
Melihat ini, Lauw-piauwsu lalu mengundurkan diri untuk membantu teman-temannya yang masih sibuk mengurus kawan-kawan yang terluka. Akan tetapi, ketika matahari mulai mengirim sinarnya yang merah keemasan, membuat benang-benang sutera menerobos celah antara daun-daun bambu, dia mendengar teriakan Siauw Goat, “Kongkong....!”

Dia cepat menghampiri dan melihat anak itu berlutut dan mendekap kedua tangan kakek itu yang masih duduk bersila seperti tadi akan tetapi kedua tangannya dirangkap di atas pergelangan kaki. Anak perempuan itu tak menangis, hanya berlutut dan membenamkan mukanya di atas kaki kakeknya. Lauw Sek memandang wajah kakek itu, ia mengerutkan alisnya dan meraba pergelangan tangan kanan kakek itu untuk merasakan denyut nadinya. "Dia sudah meninggal dunia!"

Lauw Sek terkejut dan menoleh. Kiranya yang bicara itu adalah Si Sastrawan muda yang entah dari mana baru saja muncul dan begitu melihat wajah kakek itu telah berhenti bernapas. Dan memang sesungguhnyalah, Lauw Sek tidak dapat merasakan ada denyut nadi, maka dia lalu mengelus kepala Siauw Goat.

“Siauw Goat, kakekmu telah meninggal dunia dalam keadaan tenang, janganlah engkau berduka lagi, Nak.” Suara piauwsu ini agak gemetar karena dia merasa terharu sekali. Dia tahu bahwa kakek ini agaknya sedang mengidap penyakit berat, dan ketika malam tadi menolongnya merobohkan dua orang perampok, agaknya kakek ini terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga luka di dalam tubuhnya makin parah dan mengakibatkan tewasnya.

Anak perempuan itu mengangkat mukanya. Mukanya pucat, sepasang matanya bersinar sinar, namun tidak nampak dia menangis sungguh pun ada bekas air mata membasahi kedua mata dan pipinya. Dia sama sekali tidak terisak, bahkan kini dia mengepal tinju kanannya yang kecil sambil berkata, “Aku bersumpah untuk membalas kematian kakekku kepada Si Jembel tua bangka Koai-tung Sin-kai dan perkumpulan penjahat Eng-jiauw-pang!”

“Hemm, gadis cilik engkau lancang sekali! Koai-tung Sin-kai bukan....“

“Kau peduli apa?” Siauw Goat meloncat berdiri, bertolak pinggang menghadapi pemuda sastrawan yang tadi mencelanya. “Semalam Kongkong yang sedang menderita luka parah telah terpaksa membantu para piauwsu menghadapi penjahat-penjahat perampok Eng-jiauw-pang dan saat itu engkau bersembunyi di mana? Sekarang setelah kakekku meninggal, engkau muncul dan pura-pura hendak menasehatiku. Bagus, ya?”

Sastrawan itu terbelalak, tersenyum urung dan mukanya berubah merah. Wah, anak ini luar biasa, pikirnya. Ketika mengangkat muka, dia melihat pandang mata semua orang ditujukan kepadanya, seolah-olah mereka itu mendukung teguran anak perempuan itu.

“Aku menemukan jejak manusia salju dan mengikutinya semalam suntuk, akan tetapi tak berhasil menemukannya,” dia menggumam.

“Yeti....?” Lauw Sek berteriak dengan muka pucat dan semua piauwsu juga menjadi pucat mukanya, bahkan ada yang menggigil ketakutan dan memandang ke kanan kiri. “Di.... di mana.... dia....?” Lauw-piauwsu bukanlah orang yang lemah, akan tetapi sebagai seorang piauwsu yang sering kali melalui daerah ini, tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang manusia salju atau Yeti, betapa makhluk itu kalau sudah mengamuk amat berbahaya, tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menandinginya. Maka tidak mengherankan kalau dia menjadi pucat ketakutan.

Sastrawan itu menggerakkan pundaknya. “Aku hanya menemukan jejak kakinya saja, dan jelas bahwa orang-orang yang terbunuh itu adalah korban-korbannya.”

“Tapi biasanya Yeti tidak pernah mengganggu manusia. Kecuali kalau dia lebih dulu diganggu. Tentu ada hal hebat dan aneh terjadi maka Yeti dapat mengamuk seperti itu, membunuh banyak orang dan melihat betapa para korban itu dikoyak-koyak jelaslah bahwa Yeti itu benar-benar sedang marah. Kita harus cepat melanjutkan perjalanan. Mari kita cepat mengubur jenazah Kakek Kun, lalu segera melanjutkan perjalanan ke dusun Lhagat!”

Semua orang lalu sibuk bekerja menggali sebuah lubang kuburan. Akan tetapi ketika mereka hendak mengubur kakek itu, ternyata tubuh kakek itu yang masih duduk bersila telah kaku dan tidak dapat ditekuk kaki tangannya agar dapat rebah telentang.

“Biarkan saja!” tiba-tiba Siauw Goat berkata lantang. “Kongkong lebih suka tidur bersila, jangan ganggu jenazahnya!” Anak itu tidak tega melihat betapa para piauwsu berusaha untuk menarik-narik kaki tangan kongkong-nya.

Sastrawan muda itu hanya tersenyum saja dan mengangguk-angguk. Maka beramai ramai para piauwsu lalu menggotong tubuh yang masih bersila itu, meletakkannya ke dalam lubang yang cukup dalam. Setelah Siauw Goat memberi hormat untuk yang terakhir kalinya dengan hio yang menjadi bekal para piauwsu, kemudian semua piauwsu juga memberi hormat, bahkan juga tiga orang saudagar gendut, kecuali Si Sastrawan, maka jenazah dalam lubang itu lalu ditimbuni tanah. Tidak terdengar tangis, akan tetapi sastrawan itu melihat betapa air matanya bercucuran dari kedua mata Siauw Goat yang berdiri tegak. Anak ini menangis, namun kekerasan hatinya membuat tidak ada isak keluar dari mulutnya.

“Luar biasa.... anak luar biasa....,” Sastrawan muda itu menggumam kepada diri sendiri.

Setelah selesai penguburan itu, Siauw Goat lalu minta kepada Lauw Sek agar makam itu diberi tanda. Piauwsu itu kelihatan bingung. “Ah, tanda apa yang dapat dipakai di tempat ini? Kecuali batu-batu kecil ditumpuk.” Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan batu-batu.

Akan tetapi tiba-tiba tampak sastrawan muda itu datang dan kedua tangannya yang diangkat ke atas kepala itu membawa sebongkah batu sebesar kerbau bunting! Semua orang memandang dengan kagum dan terkejut, tetapi dengan seenaknya sastrawan itu menurunkan batu perlahan-lahan ke depan makam baru. Tanpa berkata sesuatu dia lalu mundur lagi. Gadis cilik itu pun hanya memandang sejenak kepada Si Sastrawan, tanpa mengucapkan terima kasihnya karena dia masih mendongkol kepada sastrawan itu. Kalau semalam sastrawan itu berada di situ dan kakeknya tidak perlu harus menandingi para perampok, kakeknya belum tentu akan mati!

Rombongan itu kemudian melanjutkan perjalanan, menuruni lembah, dari hutan bambu itu terus menurun, menuju ke dusun Lhagat. Rombongan melakukan perjalanan dengan agak tergesa-gesa dan pada wajah para piauwsu itu terbayang ketakutan setelah mereka mendengar cerita Si Sastrawan bahwa Yeti berkeliaran di daerah itu dan membunuh orang secara amat mengerikan.

Mereka tidak banyak bicara selama dalam perjalanan ini, bukan hanya karena takut dan ngeri kepada Yeti, akan tetapi juga karena mereka masih menghormati kematian Kakek Kun dan berada dalam keadaan berkabung. Juga Siauw Goat yang biasanya lincah itu kini nampak pendiam, akan tetapi sepasang matanya kadang-kadang mengeluarkan sinar penuh api kemarahan.

“Siauw Goat, Kongkong-mu meninggalkan pesan agar mulai saat ini aku menjadi walimu, mengamatimu, mengurusmu dan mengantarkan engkau untuk mencari orang tuamu,” di dalam perjalanan itu Lauw Sek mendekatinya dan berkata lirih.

Gadis cilik itu mengangguk tanpa menjawab.

“Oleh karena itu, mulai sekarang, kuharap engkau suka menuruti segala petunjukku, karena aku merasa bertanggung jawab atas dirimu. Engkau tentu mengerti bahwa aku harus memenuhi segala janjiku kepada Kongkong-mu, Siauw Goat.”

Gadis cilik itu mengangkat kepala dan memandang kepada wajah piauwsu itu dengan sinar mata penuh selidik, sinar mata yang amat tajam. Agaknya dia merasa puas dengan hasil penyelidikan sinar matanya, karena dia kembali mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar dia menjawab lirih. “Baiklah, Lauw-pek.”

Walau pun dia berjalan agak menyendiri dan agak jauh dari Siauw Goat, akan tetapi pendengaran yang tajam dari Si Sastrawan dapat menangkap percakapan lirih itu dan dia hanya tersenyum sendiri. Perjalanan dilanjutkan dengan secepat mungkin dan kini para piauwsu terpaksa membagi-bagi barang-barang bawaan yang dikawal karena sudah tidak ada lagi kuli-kuli angkut yang membantu mereka.

********************

Lhagat adalah sebuah dusun yang besar, mirip sebuah kota yang dikitari gunung-gunung besar. Lhagat merupakan sebuah tempat di perbatasan yang selalu ramai karena tempat ini merupakan tempat pemberhentian dari mereka yang melakukan perjalanan dari Tibet ke Nepal atau India, atau pun sebaliknya. Juga merupakan tempat di mana orang-orang memperdagangkan barang-barang dagangan mereka dari negaranya masing-masing, pendeknya merupakan pasar bagi para pedagang dari berbagai negeri yang bertetangga.

Tempat perbatasan Lhagat ini dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Menurut pengakuannya secara resmi, Lhagat termasuk wilayah atau daerah dari Negara Tibet. Akan tetapi, karena tempat ini amat jauh dari kota-kota lain, juga amat terpencil dan berada di antara gunung-gunung yang amat luas dan liar, sedangkan tetangganya hanya dusun-dusun kecil terpencil di sana-sini, maka Kepala Daerah itu memerintah tempat ini seperti seorang raja kecil saja! Semua hal termasuk keamanan, pajak, dan peraturan peratuan menjadi wewenangnya, bahkan Kepala Daerah ini mempunyai pasukan sendiri.

Akan tetapi dia terkenal sebagai seorang pembesar atau kepala daerah yang bijaksana, karena Kepala Daerah ini maklum bahwa tempatnya merupakan sumber penghasilan yang besar dengan adanya pusat perdagangan jual beli antara pedagang-pedagang berbagai negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh bantuan berupa pungutan derma semacam pajak yang diberikan secara suka rela oleh para pedagang yang tentu saja mendapatkan banyak keuntungan dari perdagangan mereka.

Pada hari-hari biasa yang lalu, Lhagat merupakan tempat yang tenang dan tenteram, keramaian yang ada hanya keramaian dagang yang tidak segan-segan membuang sebagian dari pada keuntungan mereka untuk bersenang-senang. Akan tetapi pada waktu itu, ada semacam ketegangan yang hebat mencekam hati penduduk Lhagat, membuat semua wajah nampak muram dan ketakutan. Ada dua peristiwa terjadi dan inilah yang membuat para penghuni kehilangan kegembiraannya.

Yang pertama adalah orang-orang asing yang membanjiri Lhagat. Orang-orang asing dengan pakaian dan sikap aneh-aneh dan biar pun sebagian besar mereka itu mengaku pelancong dan pedagang, akan tetapi sikap mereka amat mencurigakan karena yang mengaku pelancong lebih mirip jago-jago silat sedangkan yang mengaku pedagang tidak membawa barang dagangan melainkan membawa-bawa segala macam senjata tajam dan aneh-aneh!

Jelaslah bahwa mereka itu adalah petualang-petualang, orang-orang kang-ouw dan berkumpulnya mereka pada suatu saat di tempat itu tentu telah terjadi hal hal yang amat hebat. Hal ini saja belum meninggalkan kecemasan bagi para penduduk Lhagat.

Yang membuat mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua, yaitu banyaknya mayat-mayat ditemukan di sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutan-hutan. Hampir setiap hari datang laporan kepada Kepala Daerah tentang adanya mayat-mayat yang ditemukan oleh para pelancong itu atau oleh para pemburu, pedagang dan juga para penggembala setempat. Dan selalu mayat-mayat itu ditemukan dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka koyak-koyak. Meski peristiwa ini dihubungkan dengan dongeng tentang manusia salju yang mengamuk, namun para penghuni Lhagat tetap saja menyalahkan para pendatang asing itu, dan memandang mereka dengan sinar mata tidak senang.

“Yeti tidak pernah mengamuk dan membunuhi manusia,” kata seorang kakek penghuni asli Lhagat. “Selama hidupku belum pernah aku mendengar ada Yeti mengamuk karena makhluk itu bukan sebangsa binatang buas pemakan bangkai. Kalau sampai ada Yeti mengamuk, kalau memang benar Yeti yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, maka tentu ada sebabnya, tentu dia dibikin marah dan siapa lagi yang berani membikin marah Yeti kecuali orang-orang asing itu?”

Inilah sebabnya mengapa kota atau dusun yang biasanya ramai meriah itu kini nampak muram dan sunyi, wajah para penghuni membayangkan kegelisahan. Dalam suasana seperti itulah rombongan Lauw-piauwsu memasuki Lhagat. Rombongan Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal oleh penghuni Lhagat, bahkan Kepala Daerah sendiri memiliki hubungan baik dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan rombongan ini tentu saja disambut dengan gembira karena biasanya rombongan ini membawa saudagar-saudagar dan siapa pun yang datang bersama rombongan ini tentu saja tidak dicurigai.

Maka biar pun hotel-hotel sudah penuh, tempat yang disebut dusun itu banyak memiliki hotel karena banyaknya pedagang dari luar daerah yang berdatangan, tidaklah sukar bagi rombongan Lauw-piauwsu untuk memperoleh tempat penginapan. Banyak penghuni yang menawarkan tempatnya untuk Lauw-piauwsu, akan tetapi Lauw-piauwsu yang membawa dua orang teman yang terluka itu lebih suka tinggal menumpang di rumah samping milik Kepala Daerah yang dengan senang hati menerima kedatangan Lauw-piauwsu dan rombongannya.

Lauw-piauwsu kemudian menyuruh anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu untuk melanjutkan perjalanan ke perbatasan Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari Lhagat dan melalui jalan yang sudah aman dan baik. Dan dari perbatasan ini nanti barang-barang kawalan milik pedagang Katmandu itu akan dioperkan kepada kafilah atau rombongan penyambut dari pedagang itu sendiri. Lauw-piauwsu sendiri bersama Siauw Goat dan dua orang anak buahnya yang terluka tinggal di rumah samping gedung kepala daerah sambil merawat dan mengobati dua orang yang terluka itu.

Tiga orang saudagar gendut yang ikut dalam rombongan sudah memisahkan diri setelah membayar biaya pengawalan kepada Lauw-piauwsu dan mereka sudah melupakan kesengsaraan dan ketakutan yang mereka derita dalam perjalanan itu. Kini dengan muka penuh senyum mereka mulai memperdagangkan barang-barang berharga mereka di pasar dengan keuntungan yang berlipat ganda. Juga sastrawan muda itu sudah tidak nampak lagi, tanpa mengucapkan terima kasih kepada Lauw-piauwsu, karena memang dia tidak merasa menumpang, hanya ‘kebetulan’ saja melakukan perjalanan bersama rombongan itu.

Lauw-piauwsu mendengar dari para prajurit penjaga gedung kepala daerah bahwa para pelancong asing itu tertunda keberangkatan mereka di Lhagat. Semua orang tidak dapat melanjutkan perjalanan karena pada waktu itu terdapat badai salju mengamuk, dan biasanya badai seperti ini makan waktu dua tiga pekan. Siapa yang berani melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya pada waktu badai mengamuk berarti ingin mati konyol.

Karena hambatan inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh saja, karena orang-orang kang-ouw makin banyak membanjir datang, sedangkan yang sudah berada di situ tidak dapat pergi karena adanya badai salju itu. Maka kini hampir semua rumah menerima tamu! Keadaan ini ditambah dengan laporan-laporan tentang ditemukannya mayat mayat di sekitar daerah Lhagat, cukup membuat penghuni dusun atau kota itu menjadi panik.

Apalagi ketika mereka mendengar kabar bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat mengkhawatirkan adanya kematian-kematian aneh itu, sudah mengutus sepasukan prajurit untuk melakukan penyelidikan dan telah tiga hari lamanya pasukan itu berangkat, sampai sekarang belum ada kabar beritanya! Mereka semua kini menanti-nanti dengan gelisah.

Karena Lauw-piauwsu sibuk merawat kedua orang anak buahnya, maka Siauw Goat memperoleh banyak kesempatan untuk menyendiri. Namun dara cilik ini agaknya telah reda kedukaannya karena kematian kakeknya dan dia bahkan mendapatkan kembali kelincahan dan kegembiraannya.

“Lauw-pek, kapan kita melanjutkan perjalanan?” berkali-kali dia bertanya.

“Sabarlah, Siauw Goat. Dua orang paman yang luka itu sudah hampir sembuh dan nanti kalau para pamanmu piauwsu itu sudah kembali, kita akan melanjutkan perjalanan memenuhi pesan kakekmu. Pula sekarang terdapat badai salju, tidak seorang pun yang akan mampu melakukan perjalanan karena badai itu berbahaya sekali.”

Siauw Goat tidak banyak membantah karena dia yang banyak berkeliaran keluar sudah mendengar jelas tentang hal itu, bahkan dia sudah mempunyai banyak sekali kenalan dan sudah banyak mengobrol dengan para penghuni dusun Lhagat. Dia dikenal sebagai Goat-siocia (Nona Goat) dan sebagai puteri angkat Lauw-piauwsu!

“Lauw-pek, aku ingin mempunyai busur dan anak panah, ada kulihat dijual orang busur dan anak panahnya yang baik di ujung dusun.”

Lauw Sek memandang dengan alis berkerut dan penuh keheranan. “Busur dan anak panah? Untuk apa?”

“Untuk mempersenjatai diri! Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh penuh bahaya? Aku dapat melindungi diri sendiri dengan senjata itu.”

“Ahh, apakah engkau bisa mempergunakan busur dan anak panah, Siauw Goat?”

“Engkau lihat saja nanti, Lauw-pek. Mari kita membeli sebuah busur dan beberapa batang anak panah untukku!”

Lauw Sek tersenyum mengangguk dan mereka lalu pergi ke tempat orang menjual senjata yang banyak diperjual belikan di situ karena para pemburu sering kehilangan anak panah dan selalu membutuhkan cadangan baru. Lauw Sek kemudian memilihkan sebatang busur yang tidak terlalu besar dan berat, dan segebung anak panah yang belasan batang jumlahnya. Giranglah hati Siauw Goat. Dia segera mengalungkan tempat anak panah itu di pundaknya.

“Mari kita coba anak panahku, Lauw-pek,” katanya gembira dan mereka lalu pergi ke tempat sunyi. “Lihat, aku akan memanah batang pohon itu!” Siauw Goat berkata lagi sambil menuding ke arah sebatang pohon yang tidak lebih besar dari tubuhnya sendiri.

Cepat sekali dia sudah mengambil dua batang anak panah, tahu-tahu sudah dipasang di busurnya dan terdengar tali gendewa menjepret dan dua batang anak panah itu meluncur cepat dan menancap tepat di tengah-tengah batang pohon, berjajar dengan rapinya! Diam-diam Lauw Sek kagum juga. Memang anak ini bukan pembual, pikirnya. Ilmu memanahnya memang boleh juga dan dapat diandalkan sebagai pelindung dirinya kalau bertemu dengan orang jahat. Pantaslah kalau diingat bahwa anak ini adalah cucu dari seorang kakek lihai seperti mendiang Kakek Kun.

“Bagus!” Lauw Sek memuji sambil tertawa. “Kiranya engkau ahli memanah, Siauw Goat. Aku girang melihat ini, dan hatiku merasa lebih aman karena engkau pandai menjaga diri. Akan tetapi jangan engkau sembarangan menggunakan anak panah untuk melukai orang.”

Siauw Goat menghampiri pohon itu dan mencabut dua batang anak panahnya, lalu disimpannya kembali ke tempat anak panah yang tergantung di punggungnya. “Aku tahu, Lauw-pek. Dan pula, anak panah ini pun hanya kupergunakan apabila perlu dan terdesak saja. Sebelum mempergunakan anak panah itu, busur ini pun sudah cukup baik untuk kupakai menjaga diri.”

Ucapan ini makin menggirangkan hati Lauw Sek karena dia tahu bahwa selain pandai memanah, gadis cilik ini tentu pandai bermain silat menggunakan busur itu sebagai senjata, dan hal ini pun tidak mengherankan mengingat akan kepandaian kakeknya. Dia kagum karena menggunakan busur sebagai senjata bukankah hal yang mudah dan harus dipelajari secara khusus, berbeda dengan senjata-senjata lain seperti pedang, golok, tombak atau toya misalnya.

Akan tetapi pada keesokan harinya Lauw-piauwsu menjadi bingung sekali ketika dia tidak melihat anak perempuan itu di kamarnya. Bahkan para pelayan mengatakan bahwa pagi pagi sekali anak perempuan itu telah pergi meninggalkan tempat itu membawa busur dan anak panah. Lauw-piauwsu segera mencarinya, akan tetapi biar pun dia bertanya-tanya dan berputar-putar di daerah dusun, tetap saja dia tidak dapat menemukan Siauw Goat. Tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Apalagi keadaan makin gawat saja dengan berita-berita tentang adanya banyak orang yang kedapatan mati dalam keadaan mengerikan.

Akhirnya Lauw-piauwsu bertemu dengan seorang penduduk yang melihat Siauw Goat. “Dia pagi tadi ikut bersama pasukan keluar dari pintu gerbang!”

Mendengar ini Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya. Pasukan itu adalah pasukan yang diutus oleh Kepala Daerah untuk menyusul pasukan pertama yang sudah tiga hari tidak ada kabar beritanya! Mau apa anak itu ikut dengan rombongan pasukan,yang bertugas menyusul pasukan pertama itu? Teringat akan janjinya kepada Kakek Kun, Lauw Sek merasa tidak enak sekali dan karena keadaan kedua orang temannya yang terluka kini sudah mendingan, dia lalu pergi pula untuk menyusul dan mencari Siauw Goat.

Ke mana perginya anak perempuan itu? Memang benar seperti apa yang didengar oleh Lauw Sek dari penghuni Lhagat itu. Siauw Goat yang banyak kenalan itu mendengar bahwa Kepala Daerah mengirim pasukan untuk mencari pasukan pertama yang sudah tiga hari pergi untuk menyelidiki tentang kematian-kematian aneh yang terjadi di sekitar Lhagat. Mendengar ini, hati Siauw Goat tertarik sekali dan diam-diam dia lalu membujuk komandan pasukan itu untuk diperkenankan ikut!

Sang Komandan, seperti juga orang-orang lain, suka kepada gadis cilik yang lincah ini, apalagi dia tahu bahwa gadis cilik ini adalah ‘puteri angkat’ dari Lauw-piauwsu yang telah dikenalnya, bahkan yang kini tinggal di rumah samping dari gedung Kepala Daerah. Oleh karena itu dengan senang hati komandan itu menerima permintaan Siauw Goat dan demikianlah, pagi-pagi benar Siauw Goat sudah bangun, membawa gendewa dan anak panahnya lalu ikut dengan rombongan pasukan itu keluar dari Lhagat untuk menyusul dan mencari pasukan pertama.

Biar pun hati Lauw Sek sudah tidak begitu khawatir lagi setelah mendengar bahwa Siauw Goat ikut bersama pasukan, namun dia tetap keluar dari dusun itu untuk mencarinya. Adalah menjadi kewajibannya seperti dijanjikan kepada mendiang Kakek Kun untuk menjaga Siauw Goat. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak itu, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Lauw Sek berlari cepat mengejar rombongan pasukan yang menuju ke barat. Dia telah ketinggalan beberapa jam lamanya.

Menjelang tengah hari, pada saat dia tiba di puncak sebuah bukit dan memandang ke bawah ke arah barat, nampaklah olehnya serombongan orang. Hatinya berdebar tegang karena dia mengenal orang yang berpakaian seragam. Yang membuatnya tegang dan khawatir adalah ketika dia melihat mereka itu menggotong mayat beberapa orang! Larilah Lauw Sek dan baru hatinya merasa lapang ketika dia mengenal Siauw Goat berada di antara mereka. Dara cilik ini masih memegang busur dan dia berjalan dengan langkah tegap di samping komandan pasukan, sedangkan anak buah pasukan itu ternyata menggotong mayat-mayat sebanyak tujuh orang!

“Siauw Goat....!” Lauw Sek memanggil girang sambil berlari menghampiri.

“Lauw-pek, engkau mau ke mana?” tanya gadis cilik itu.

Lauw Sek memandang dengan mata terbelalak, menahan kemarahannya. “Ke mana lagi kalau tidak mencarimu, anak nakal? Kenapa engkau pergi tanpa pamit?”

Siauw Goat tersenyum. “Habis, kalau pamit tentu Lauw-pek tidak akan menyetujui.”

Komandan itu cepat menghampiri Lauw Sek. “Ahh, Lauw-piauwsu, jadi puterimu ini tidak memberitahu bahwa dia ikut bersama kami? Ahh, maafkan kami, kami kira dia sudah memberi tahu dan....”

“Sudahlah, syukur tidak terjadi sesuatu dengan dia. Dan mayat-mayat ini....“ dia tidak melanjutkan karena pandang matanya mengenal sepatu dan pakaian seragam pada mayat-mayat itu maka mengertilah dia bahwa mayat-mayat itu adalah mayat-mayat para prajurit pasukan pertama yang tiada kabar beritanya itu! Ternyata mereka juga telah menjadi korban, entah korban Yeti seperti yang dikabarkan orang, entah korban apa.

“Kami menemukan mereka di lereng bukit di sana, hanya ada tujuh orang yang telah tewas, sedangkan sisanya semua berada di dalam jurang yang amat curam, tak mungkin diambil lagi mayat-mayat mereka yang berada di dasar jurang itu,” kata komandan pasukan sambil menarik napas panjang.

“Siapa.... yang melakukan itu?” tanya Lauw Sek, pertanyaannya yang sia-sia karena sebetulnya semua orang, juga dia, menduga keras bahwa tentulah semua pembunuhan itu dilakukan oleh Yeti!

Komandan itu mengangkat pundak, kemudian berkata lirih. “Kami tak menemukan siapa siapa di sana, hanya melihat jejak kaki yang besar dan dalam....“

“Jejak....”

“Yeti, Pek-pek! Sudah pasti jejak makhluk kejam itu! Aku sudah minta kepada paman paman ini untuk melanjutkan perjalanan mencari makhluk itu, akan tetapi mereka tidak mau dan lebih dulu hendak membawa pulang mayat-mayat itu. Aku ingin bertemu dengan dia, dan akan kuhabiskan panahku untuk membunuhnya!”

“Hushh, Siauw Goat, jangan lancang bicara kau!” Lauw-piauwsu berkata dan dia merasa seram, memandang ke kanan kiri.

“Apakah Pek-pek juga takut terhadap Yeti yang jahat itu?” Hemm, kalau Kongkong masih hidup, tentu kongkong akan mencarinya dan membunuhnya supaya dia tidak lagi membunuhi banyak orang.”

Diam-diam Lauw Sek kagum sekali kepada anak perempuan ini dan mengertilah dia mengapa anak ini minta dibelikan busur dan anak panah. Kiranya diam-diam anak itu marah kepada Yeti yang membunuh banyak orang dan ketika terbuka kesempatan, dia ikut bersama pasukan itu dengan harapan untuk dapat membunuh Yeti! Akan tetapi, keberanian yang nekat dari anak ini kelak dapat membuat repot kalau dia mengantar anak ini mencari orang tuanya, pikirnya. Maka di sepanjang perjalanan kembali ke Lhagat, Lauw Sek mengomeli Siauw Goat dan memesan dengan keras bahwa anak itu selanjutnya tidak boleh pergi tanpa pamit.

“Siauw Goat, engkau tahu bahwa akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu, maka engkau tidak boleh pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku. Mengerti?”

Melihat wajah yang marah dan suara yang kaku itu, mulut kecil mungil itu merengut dan dia tidak menjawab, hanya mengangguk kaku. Selanjutnya, Siauw Goat tak pernah mau bicara lagi dalam perjalanan itu sampai mereka memasuki dusun Lhagat, disambut dengan wajah pucat oleh semua orang yang melihat mayat-mayat para prajurit keamanan itu dan mendengar tentang kematian seluruh pasukan pertama secara mengerikan dan juga aneh. Makin paniklah orang-orang di situ, dan sekarang mereka membicarakan Yeti dengan suara berbisik-bisik, seolah-olah takut kalau-kalau makhluk iblis itu akan muncul kalau namanya disebut-sebut dengan keras.

Ratap tangis terdengar di Lhagat hari itu ketika keluarga para prajurit yang tewas itu menangisi kematian mereka. Penduduk merasa prihatin dan juga diam-diam marah sekali. Kaum tua di Lhagat masih tetap berpendapat bahwa semua ini adalah gara-gara para orang kang-ouw yang berdatangan di Lhagat. Tentu di antara mereka itu ada yang mengusik Yeti sehingga makhluk yang oleh para penghuni Lhagat dianggap dewa penjaga gunung salju itu kini mengamuk dan membunuh orang tanpa pilih bulu lagi. Maka kaum tua ini lalu mendesak kepala daerah untuk melakukan upacara sembahyang agar dewa itu berhenti mengamuk.

Akan tetapi di kalangan orang kang-ouw yang berada di Lhagat, diam-diam merasa curiga. Mungkinkah Yeti yang mengamuk? Seorang atau seekor Yeti saja? Ataukah ada rahasia tersembunyi di balik pembunuhan-pembunuhan itu? Mereka semua tahu bahwa kini banyak tokoh-tokoh besar kaum sesat juga berada di daerah itu untuk mencari dan memperebutkan pedang pusaka yang dicuri orang dari dalam istana. Dan pembunuhan pembunuhan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh golongan sesat, tentu saja kalau bukan Yeti pelakunya.

Siauw Goat yang agak marah karena terus diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut pulang melainkan memasuki sebuah warung yang pemiliknya telah menjadi kenalan baiknya. Melihat gadis cilik itu kelihatan marah, Lauw-piauwsu hanya menarik napas panjang saja dan maklum bahwa dia sungguh memperoleh tugas yang amat berat dari mendiang Kakek Kun. Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan!

Masuknya Siauw Goat ke dalam restoran kecil itu disambut oleh pemilik warung dan para pelayannya dengan senyum gembira. “Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut bersama rombongan pasukan yang menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah kepada kami!” teriak Si Pemilik Warung.

“Ceritakan apa lagi?” kata Siauw Goat dengan nada tak senang. “Mereka semua telah mati oleh iblis terkutuk Yeti itu!”

“Siocia....!” Semua orang terkejut dan memandang kepada dara cilik itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Yeti dianggap dewa penunggu Gunung Salju oleh mereka, merupakan makhluk yang sakti dan dapat memberkahi atau mengutuk mereka. Dan kini gadis cilik itu seenaknya saja menamakan dewa itu iblis terkutuk!

Melihat sikap ini, Siauw Goat menjadi makin mendongkol. Betapa semua orang takut kepada Yeti, bahkan Lauw-piauwsu juga ketakutan! Dia lalu membusungkan dadanya yang masih belum penuh betul itu, lalu berkata, “Tunggu saja, kalau aku bertemu dengan Yeti si iblis terkutuk, akan kuhabiskan semua anak panahku untuk membunuhnya!”

Semua orang menjadi semakin kaget, dan pada saat itu terdengar suara ketawa seorang laki-laki di sudut warung. Laki-laki ini sedang minum arak dari sebuah cawan, agaknya dia setengah mabok. Kepalanya bergoyang-goyang ketika dia tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, omongan bau kentut busuk, bau kentut busuk....!”

Semua orang menahan ketawanya. Tentu saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu adalah omongan Siauw Goat yang dianggap kentut busuk alias omong kosong. Dan memang semua orang menganggapnya omong kosong. Gadis cilik seperti ini menantang Yeti dan bersumbar akan membunuhnya? Akan tetapi Siauw Goat menjadi marah bukan main mendengar ejekan itu. Secepat kilat dia telah memasang sebatang anak panah pada busurnya dan sekali busurnya menjepret, anak panah itu menyambar ke arah Si Pemabok.

“Tringgg!” Cawan di tangan Si Pemabok itu tepat terkena anak panah dan terlepas dari tangannya. Arak muncrat dan menyiram mukanya.

“Ehhh....?” Si Pemabok bangun dan memandang kepada Siauw Goat dengan marah. “Berani engkau....?”

Akan tetapi beberapa orang pelayan memegang pundaknya dan berkata, “Ssttt.... kau sudah mabok rupanya. Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini adalah Goat-siocia puteri Lauw-piauwsu. Pergilah....!”

Ternyata nama Lauw-piauwsu sudah amat terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok dapat dibujuk-bujuk meninggalkan warung itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri tegak sambil tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busurnya.

“Hemmm, engkau makin angkuh saja....!” Tiba-tiba terdengar suara halus.

Siauw Goat cepat memutar tubuhnya menengok ke arah suara itu dan ternyata di sudut yang lain duduk seorang sastrawan muda yang pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal, maka bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya, bahkan yang diketahuinya merupakan seorang yang berilmu tinggi, maka gembiralah hatinya, lupa bahwa dahulu dia juga sering kali mendongkol kepada sastrawan muda itu.

“Eh, kau di sini?” tegurnya seperti menegur seorang kawan sebaya saja, dan Siauw Goat dengan wajah yang manis berseri lalu berloncatan menghampiri. Sikap yang demikian lincah, senyum yang demikian manis dan wajah yang berseri-seri itu tidak mungkin membuat hati orang tinggal beku.

Sastrawan muda itu pun menahan senyumnya dan setelah mereka saling berpandangan, sastrawan muda itu lalu bangkit berdiri dan berkata. “Duduklah, dan kalau engkau suka, mari makan dan minum denganku.”

“Kalau aku suka? Tentu saja! Aku haus sekali dan.... wah, perutku lapar bukan main, agaknya....“ dia menengok ke arah pemilik warung dan pelayannya, lalu melanjutkan dengan kesengajaan yang nakal. “agaknya saat ini aku bisa menghabiskan seekor Yeti panggang saus tomat sekarang ini!”

Tentu saja wajah pemilik warung dan para pelayannya amat lucu untuk dipandang, dan sastrawan muda itu pun hampir tak kuat menahan senyumnya. “Lopek, tambahkan lagi bakminya, daging panggang dan.... ehh, Siauw Goat, apa engkau suka minum arak?”

Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Untukku teh panas saja!”

Dia pun lalu duduk dan tak lama kemudian gadis cilik ini sudah makan minum sambil mengobrol dengan asyiknya bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak mempedulikan permintaan pemilik warung dan para pelayan, kini dengan suka rela tanpa diminta dia menceritakan pengalamannya ketika dia mengikuti rombongan pasukan dan menemukan mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit itu.

“Wah, jejak kaki itu besar dan dalam sekali, Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti. Apakah dulu Paman juga pernah melihatnya?”

Cara gadis cilik ini bicara amat ramah dan seolah-olah dia bicara dengan seorang pamannya sendiri, membuat sastrawan itu pun merasa gembira dan sebutan paman yang demikian akrab itu membuatnya tersenyum. Selama dalam perjalanan, belum pernah Siauw Goat melihat orang ini tersenyum maka ketika melihat wajah tampan itu tersenyum, dia kagum dan memandang dengan bengong.

“Hei, apa yang kau pandang?” sastrawan itu berseru.

“Wajahmu! Engkau.... tampan sekali kalau tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak mau sering tersenyum atau tertawa, sebaliknya selalu bermuram saja yang menyelimuti ketampananmu?”

Sepasang mata yang biasanya muram dan mencorong aneh itu kini terbelalak. Kejujuran dan kepolosan watak gadis cilik ini amat menarik hatinya, juga mengejutkan. Perlahan lahan wajah yang muram itu berseri. “Engkau pun manis sekali, Siauw Goat.”

Gadis cilik itu mengangguk! Agaknya dia pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya, yakin akan dirinya sendiri seperti sudah diperlihatkan tadi ketika dia memanah cawan dari tangan Si Pemabok tadi. Kalau tidak yakin kepada diri sendiri tentu dia akan merasa ragu dan takut kalau-kalau panahnya meleset dan mengenai tubuh orang itu!

“Paman, engkau tentu seorang siucai (sastrawan), bukan? Pakaianmu itu....”

Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Biarlah kupanggil engkau Paman Sastrawan! Namamu tidak dapat diberitahukan orang lain, bukan?”

Kembali pria itu terkejut. Bocah ini sungguh bermata tajam sekali dan agaknya mampu menjenguk isi hatinya. “Bagaimana engkau bisa menduga begitu?”

Siauw Goat mengangguk-angguk. “Kau ini seperti mendiang kakekku, selalu menyelimuti diri dengan rahasia dan keanehan. Kau tahu, bahkan namaku pun dirahasiakan kakek, setidaknya, nama lengkapku dan aku hanya boleh memperkenalkan diri dengan nama Goat saja, yang hanya merupakan sebutan. Dan nama kakek hanya diperkenalkan sebagai Kun saja. Biarlah, aku pun tidak akan mendesak untuk bertanya siapa namamu, karena andai kata kau berikan pun, tentu itu nama palsu. Tetapi, boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke mana, Paman?”

Ditanya demikian, sastrawan itu termangu-mangu, lalu menarik napas panjang dan berkata, “Ke mana, ya? Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tempat tertentu, hanya merantau saja. Sudah puluhan propinsi kulalui, ratusan kota kukunjungi, ribuan dusun kujelajahi. Entah sudah berapa ratus buah gunung kudaki, ratusan batang sungai kuseberangi....“

“Aihhh senangnya....!” Siauw Goat berseru, kemudian menengadah seperti orang yang membayangkan semua itu dengan wajah berseri dan bibir yang mungil kemerahan itu tersenyum!

Sastrawan itu memandang heran. “Apanya yang senang?”

“Tidak senangkah engkau?”

“Entahlah....“

“Tentu senang sekali.” Tiba-tiba dia menggerakkan tangan, telunjuk kirinya yang kecil menuding ke luar jendela warung, ke arah seekor burung yang sedang beterbangan di angkasa. “Lihat, engkau seperti burung itu! Alangkah senangnya, terbang bebas lepas tanpa ada yang mengikat!”

Sastrawan itu memandang sebentar, lalu dia menatap wajah mungil itu sambil berkata, “Siauw Goat, engkau agaknya tidak mendengar keluhan burung itu....”

“Apa? Dia hanya berkicau riang! Apakah dia mengeluh, dan apa yang dikeluhkannya?”

“Dengar baik-baik. Kalau dia sudah kelelahan terbang, kepanasan, kehujanan, akhirnya dia mengeluh, merindukan sebuah sarang di mana dia dapat beristirahat dengan tenang dan aman....“

“Ohh.... ahh.... benarkah itu, Paman?” Gadis itu termenung, agaknya kata-kata sastrawan itu menimbulkan kebimbangan di dalam hatinya. Dia sendiri selama ini membayangkan betapa bahagianya hidup bebas lepas seperti burung di udara, akan tetapi ternyata sastrawan yang hidup seperti burung ini agaknya tidak merasakan kebahagiaan itu, bahkan agaknya merindukan rumah, merindukan ikatan!

Memang selama manusia belum dapat bebas dalam arti yang sebenarnya, dia akan selalu merindukan sesuatu yang tidak atau belum ada! Tidaklah mengherankan apabila manusia yang tinggal di tepi laut merindukan keindahan alam pegunungan, sebaliknya mereka yang tinggal di lereng gunung merindukan keindahan pantai lautan!

Manusia yang belum bebas selalu menganggap keadaan orang lain lebih menyenangkan dari pada keadaan diri sendiri, milik orang lain lebih menarik dari pada miliknya sendiri, dan selanjutnya. Pendeknya, yang terbaik dan terindah itu selalu berada di sana, sedangkan yang berada di sini selalu membosankan, buruk dan tidak seindah yang di sana!
< br>Hanya kalau orang sudah benar-benar bebas dari pada permainan pikiran yang mengejar kesenangan, kalau sudah bebas dari bayangan-bayangan kesenangan masa lalu yang menjadi kenangan, bebas dari penilaian, bebas dari perbandingan, maka dia dapat membuka mata dan memandang dengan wajar, memandang dengan waspada dan dengan penuh perhatian, sepenuh perhatiannya, kepada apa adanya di saat ini!

Dan kalau sudah dapat memandang seperti itu, setiap saat terhadap apa yang ada, tanpa dikotori perbandingan dan penilaian, maka batin tidak lagi digoda oleh bayangan bayangan yang hanya mendatangkan pengejaran kesenangan dan akhirnya menuntun kita kepada kebosanan, kekecewaan dan kesengsaraan. Hanya kalau mata kita terbuka dan mengamati apa adanya setiap saat, maka akan nampaklah segala yang ada pada apa adanya itu.

Dan apabila dalam penglihatan hasil pengamatan ini masih ada ‘ini baik dan menyenangkan’, ‘itu buruk dan tidak menyenangkan’, maka pengamatan itu pun akan menjadi kotor dan ternoda karena yang berkata baik atau buruk, itu bukan lain adalah pikiran yang selalu menjangkau kesenangan!

Maka, dapatkah kita mengamati segala sesuatu yang terjadi, baik di luar mau pun di dalam diri, mengamati segala macam benda di luar kita dan segala macam gerak-gerik tubuh kita, kata-kata kita, pikiran kita, tanpa penilaian, tanpa perbandingan dan hanya pengamatan saja yang ada, tanpa adanya si aku atau pikiran yang mengamati.

Pengamatan seperti ini bebas dari baik buruk atau susah senang, pengamatan seperti ini melahirkan tindakan-tindakan wajar yang tidak dipengaruhi untung rugi. Pengamatan seperti ini adalah bebas, dan hanya dalam kebebasan inilah cinta kasih dapat menembuskan sinarnya
.

“Paman Sastrawan, jika memang engkau merasa bosan merantau bebas seperti seekor burung, mengapa tidak kau hentikan saja?” Siauw Goat memang seorang anak yang cerdik, maka kini dia mendesak pemuda sastrawan itu.

“Karena aku tidak mungkin berhenti, aku harus mencari....”

“Mencari apa? Mencari siapa?”

“Mencari isteriku....”

“Ehhh....?” Siauw Goat memandang dengan matanya yang bening tajam.

Sastrawan itu menarik napas panjang. Anak perempuan itu demikian menarik hatinya, merupakan satu-satunya orang yang selama bertahun-tahun ini dapat menggerakkan hatinya sehingga dia mau bicara tentang dirinya. Kini dia berkata dengan nada suara berat. “Sudah hampir lima tahun aku mencarinya.... ke seluruh kolong langit.... dan aku sudah hampir putus asa....”

“Isterimu kenapa, Paman? Bagaimana mungkin seorang isteri lari darimu? Siapa dia dan siapa namanya, bagaimana macamnya? Biar aku bantu mencari!”

Menghadapi pertanyaan bertubil-tubi itu, sastrawan muda ini menahan senyum. Dia sudah sadar lagi dan kini hanya menggeleng kepala.

Siapakah sebenarnya pemuda sastrawan ini? Pernah dia mengaku kepada Koai-tung Sin-kai Bhok Sun bahwa Sai-cu Kai-ong pernah menjadi gurunya. Dari pengakuan ini para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu akan dapat mengenalnya atau menduga siapa adanya sastrawan muda ini.

Sastrawan muda yang berwajah tampan gagah dan bertubuh jangkung tegap ini bernama Kam Hong. Dia adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Semenjak kecil Kam Hong sudah menjadi yatim piatu dan dia dirawat oleh seorang kakek sakti berjuluk Sin-siauw Sengjin (Manusia Dewa Suling Sakti) yang sebetulnya merupakan keturunan dari seorang hamba dari Suling Emas dan kakek inilah yang secara rahasia menyimpan kitab-kitab peninggalan Suling Emas, menyimpannya untuk kelak diserahkan kepada yang berhak yaitu Kam Hong sebagai keturunan langsung dari pendekar sakti Suling Emas.

Ketika masih kecil sekali, Kam Hong telah ditunangkan dengan seorang anak perempuan yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Yu, yaitu yang dahulu menjadi sahabat baik Suling Emas dan menjadi pendiri dari perkumpulan pengemIs Khong-sim Kai-pang. Kemudian, Sin-siauw Sengjin menyerahkan Kam Hong kepada Sai-cu Kai-ong untuk digembleng, sedangkan Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek yang telah ditunangkan dengan Kam Hong itu sebaliknya oleh kakeknya diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk dididik. Jadi, dua orang kakek ini telah saling menukar cucu dan momongan masing-masing untuk digembleng, dengan maksud agar keturunan Suling Emas itu memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi dan juga agar dapat tersembunyi karena Suling Emas mempunyai banyak musuh-musuh yang selalu berusaha untuk membasmi keturunannya.

Akan tetapi Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong yang diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin itu diculik orang dan penculiknya itu bukan orang sembarangan, melainkan Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling Sakti Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan dia menculik anak itu bukan dengan niat buruk, bahkan dia mengambil anak perempuan itu sebagai muridnya yang terkasih!

Peristiwa ini menimbulkan hal-hal yang lucu dan menarik seperti yang dapat diikuti dalam cerita JODOH RAJAWALI. Dalam cerita itu dituturkan betapa setelah mereka menjadi dewasa, akhirnya Kam Hong dapat bertemu dengan Yu Hwi yang telah dijodohkan kepadanya oleh dua orang kakek itu. Akan tetapi Yu Hwi yang sebelumnya oleh gurunya diberi nama Kang Swi Hwa dan berjuluk Ang-siocia, agaknya tidak mau menerima perjodohan itu apalagi karena dalam perantauannya dia tadinya menyamar sebagai pria dan ketika dia terluka dan pingsan, Kam Hong yang menolongnya pernah membuka bajunya dan melihat rahasianya bahwa dia seorang dara yang menyamar pria, maka peristiwa ini membuatnya merasa malu dan mendongkol kepada Kam Hong. Maka, ketika ia diberitahu bahwa dia adalah cucu Sai-cu Kai-ong bernama Yu Hwi dan bahwa dia telah dijodohkan sejak kecil kepada Kam Hong, dia menjadi marah lalu melarikan diri minggat!

Demikianlah riwayat singkat dari Kam Hong. Pemuda ini kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalan dari nenek moyangnya, yaitu Suling Emas. Dan memang dia berbakat sekali maka akhirnya dia dapat menguasai semua ilmu-ilmu itu, membuat Sin-siauw Sengjin menjadi girang bukan main. Ilmu-ilmu itu amat sukar, dan Sin-siauw Sengjin sendiri yang sudah selama puluhan tahun berusaha menguasainya, tetap gagal sungguh pun dengan latihan-latihan itu dia telah merupakan seorang tokoh puncak di dunia persilatan.

Kini, pemuda keturunan Suling Emas itu mampu menguasai seluruh ilmu itu! Dan tentu saja, dengan ilmu-ilmu yang amat hebat ini. Kam Hong kini menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur tingginya, bahkan Sin-siauw Sengjin sendiri, mau pun bekas gurunya sendiri. Sai-cu Kai-ong, kini bukan tandingannya! Akan tetapi, biar pun dia memiliki ilmu kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang amat tinggi, namun di dalam hati Kam Hong menderita. Telah bertahun-tahun dia berusaha mencari Yu Hwi, mencari tunangannya atau yang bahkan telah diakui sebagai isterinya di depan Siauw Goat itu, namun hasilnya sia-sia belaka.

Kam Hong sendiri belum yakin benar apakah dia mencinta Yu Hwi, juga dia tidak tahu apakah tunangannya itu mencintanya, sungguh pun mudah dugaannya bahwa tentu Yu Hwi tidak mencintanya, bahkan membencinya melihat betapa dara itu melarikan diri ketika diberitahu bahwa antara mereka telah ada ikatan perjodohan. Akan tetapi, ikatan jodoh itu telah ditentukan oleh kedua pihak wali mereka semenjak mereka masih kanak kanak, oleh karena itu, dia tidak mungkin dapat memutuskannya begitu saja! Janji antara keluarga merupakan hal yang harus dipegang teguh, karena menyangkut kehormatan dan nama keluarga!

Apalagi kalau dia mengingat bahwa antara keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas dan keluarga Yu, yaitu keluarga para ketua Khong-sim Kai-pang, terdapat hubungan yang amat baik. Ikatan perjodohan yang sudah ditentukan oleh kedua kakek yang mewakili dua keluarga itu adalah urusan kehormatan, maka bagaimana pun juga harus dipegang teguh, harus dilaksanakan. Oleh karena itulah maka dia mati-matian mencari Yu Hwi tunangannya itu dan akan dicarinya terus sampai dapat, ke mana pun dia harus pergi.

Kenekatan Kam Hong dalam mencari Yu Hwi itu sama sekali bukan terdorong oleh cintanya karena dia sendiri belum tahu apakah dia mencinta dara yang ditunangkan kepadanya itu, melainkan terdorong oleh kebiasaan atau tradisi atau kebudayaan atau pandangan umum pada waktu itu yang dianggapnya benar dan baik. Dan bukan Kam Hong saja yang berkeadaan seperti itu.

Bahkan sampai sekarang pun, kehidupan kita penuh dengan pengaruh-pengaruh yang datang dari tradisi, kebiasaan, kebudayaan atau pandangan umum ini. Semua itu membentuk kita menjadi manusia-manusia yang tidak bebas, terikat oleh ketentuan ketentuan itu, membuat kita menjadi manusia-manusia robot yang bergerak menurut apa yang telah digariskan oleh tradisi, oleh kebiasaan, oleh kebudayaan atau pun oleh pandangan umum itu.

Kita ingin dianggap benar, dianggap baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu. Segala perbuatan yang dilakukan menurut contoh-contoh ketentuan yang dianggap baik, maka jelas perbuatan itu adalah palsu adanya. Kalau seorang melakukan sesuatu yang dianggapnya baik, maka di balik perbuatan yang dilakukannya itu terkandung pamrih, yaitu agar dianggap baik oleh orang lain atau dirinya sendiri! Setiap perbuatan yang didasari dengan cinta kasih adalah spontan, tidak dinilai sebagai baik atau buruk, pikiran tidak mencampuri, dan si pelaku bahkan tidak ingat bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang baik.

Tradisi atau kebiasaan yang dinamakan pandangan atau pendapat umum telah kita terima sebagai garis ketentuan hidup, membelenggu kita lahir batin sehingga kita hidup seperti pelawak-pelawak yang bermain di atas punggung! Kita tak berani menanggalkan itu semua karena takut akan pandangan orang, takut akan pendapat umum, dan takut kalau-kalau kita akan terasing. Terutama sekali kita takut karena dengan menanggalkan itu semua kita akan menjadi kosong dan tidak berarti apa-apa lagi!

Betapa hidup kita hanya merupakan gerakan-gerakan kebiasaan itu kita mencandu dan merasakan kesenangan dan keenakan palsu, seperti halnya keenakan orang merokok atau minum arak. Keenakan itu timbul karena kecanduan, karena kebiasaan, dan di balik keenakan itu terdapat pengrusakan terhadap diri sendiri tanpa kita sadari lagi, karena kita mabok oleh keenakan itu.

Semua panca indera kita telah tumpul kecanduan oleh kebiasaan yang ditanamkan kepada kita sejak kita masih kecil. Baik penciuman, penglihatan, pendengaran, selera dan segalanya telah dibentuk sedemikian rupa oleh kebiasaan ini. Oleh karena bentukan bentukan inilah maka selera setiap bangsa selalu berbeda-beda, baik dalam hal penciuman, penglihatan, pendengaran dan sebagainya, dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh keadaan setempat dan sekeliling. Kita akan merasa terganggu oleh sesuatu bunyi musik yang asing bagi kita, padahal orang-orang dari mana musik itu berasal akan menari-nari karena bagi mereka suara itu amat merdu dan enak didengar. Kita mungkin akan muntah untuk makan sesuatu yang menjadi makanan kegemaran bangsa lain, dan sebagainya. Jadi enak tidak enak, baik buruk bukan terletak pada suara kita, atau pada makanan itu, melainkan ditentukan oleh selera yang telah dibentuk semenjak kita lahir
.

Mendengar penuturan Kam Hong, Siauw Goat merasa tertarik dan entah bagaimana dia merasa amat kasihan kepada sastrawan itu! Ketika pertanyaannya tidak terjawab, dan melihat betapa pemuda itu hanya tersenyum saja, senyum yang baginya merupakan sesuatu yang menyembunyikan tangis, Siauw Goat bertanya lagi, “Siapakah namanya, Paman? Dan siapa namamu?”

Kini Kam Hong menatap wajah gadis cilik itu. Baru dia merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada anak ini, mengapa kalau selama ini dia merahasiakan keadaan dirinya, kini secara terbuka dia menceritakan tentang tunangannya kepada Siauw Goat? Apakah yang menyebabkan dia percaya dan tertarik? Apakah mata yang bening dan polos itu? Apakah mulut yang kecil mungil dengan bibir merah merekah seperti sekuntum bunga yang masih menguncup itu? Ataukah ada suara yang merdu itu? Ataukah karena dia merasa kasihan mengingat betapa anak ini ditinggal mati kakeknya dan hidup sebatang kara di dunia?

“Siauw Goat, aku sendiri sudah hampir melupakan namaku. Kalau kini kuberitahukan maukah kau berjanji untuk merahasiakan namaku dan nama isteriku?”

Siauw Goat mengangguk. “Aku bersumpah untuk merahasiakannya, Paman. Kongkong sendiri pun selalu merahasiakan keadaan keluarga kami.”

“Baiklah, kuberitahukan kepadamu sebagai satu-satunya orang yang mengenal namaku yang selama bertahun-tahun ini selalu kurahasiakan. Aku she Kam dan bernama Hong, sedangkan isteriku itu she Yu bernama Hwi.”

“Kam Hong dan Yu Hwi.... akan kuingat baik-baik nama-nama itu Paman.”

Tiba-tiba mereka tertarik oleh munculnya empat buah tandu yang digotong oleh orang orang yang bertubuh kekar. Setiap tandu digotong oleh empat orang dan pintu tandu itu tertutup tirai sutera berwarna-warni, ada yang merah, ada yang hijau atau kuning. Tentu saja iring-iringan empat buah tandu ini menarik perhatian orang dan ketika para penggotong tandu itu berhenti di depan rumah makan itu, Kam Hong dan Siauw Goat memandang dengan penuh perhatian.

“Turunkan tandu!” tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita yang duduk di dalam tandu pertama. Mendengar ini, empat orang penggotong tandu pertama itu menurunkan tandu di atas tanah, dan tiga tandu lain yang berada di belakang juga diturunkan oleh para penggotongnya. Agaknya tandu pertama ini merupakan tandu pimpinan!

Tirai-tirai empat buah tandu itu tersingkap dari dalam sehingga semua orang yang memandang, terutama kaum prianya, menahan napas dan mata mereka terbelalak penuh kagum memandang kepada empat orang wanita yang cantik-cantik! Kini wanita yang duduk di tandu paling depan keluar dari tandu dan tiga orang yang lain juga mengikutinya. Makin kagumlah semua orang melihat bahwa selain berwajah cantik cantik, juga mereka itu memiliki tubuh langsing menarik.

Akan tetapi wajah-wajah yang cantik jelita ini memiliki sepasang mata yang sinarnya tajam sekali, berkilat, dan wajah itu pun kelihatan dingin dan angkuh, sedikit pun tidak mengandung senyum. Lebih lagi di punggung mereka nampak gagang pedang dan sikap mereka demikian gesit dan gagah sehingga mudah diduga bahwa wanita-wanita cantik ini bukanlah wanita-wanita lemah. Oleh karena itu, pandang mata kagum dari para pria yang berada di sekitar warung itu mengandung perasaan segan.

Empat orang wanita itu berkumpul di depan warung, memandang ke kanan kiri penuh selidik. Ketika itu, Kam Hong dan Siauw Goat telah selesai makan dan mereka sudah keluar dari warung. Melihat Kam Hong dan Siauw Goat yang membawa busur dan anak panah, seorang di antara empat wanita itu, yang paling muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya sedangkan yang lain-lain sekitar tiga puluhan, dan yang berpakaian baju hijau, melangkah maju dan bertanya kepada Kam Hong, nada suaranya ketus dan angkuh sekali seperti seorang nona majikan bertanya kepada pelayannya. “Ehh, apakah kamu melihat dua orang anak laki-laki kembar yang usianya sekitar empat belas tahun lewat di dusun ini?”

Semenjak melihat munculnya empat orang wanita itu, di dalam hatinya Siauw Goat sudah merasa tidak suka. Dia menganggap empat orang wanita itu sombong dan angkuh sekali. Kini mendengar seorang di antara mereka mengajukan pertanyaan kepada Kam Hong dengan lagak seperti itu, muka Siauw Goat telah menjadi merah karena marah. Selagi Kam Hong memandang dengan sikap tak acuh, agaknya merasa enggan untuk menjawab, Siauw Goat sudah melompat maju ke depan wanita baju hijau itu, lalu menudingkan ujung busurnya ke arah hidung wanita itu sambil membentak.

“Huhh, engkau menyapa orang dengan ah-ah-eh-eh, lagakmu seperti ratu saja! Manusia tak tahu sopan santun macam engkau ini tidak berharga bicara dengan pamanku!”

Wanita cantik berbaju hijau itu memandang kepada Siauw Goat dengan mata berapi-api dan alisnya yang bagus bentuknya itu, dengan bantuan penghitam alis, agak berkerut dan sejenak ia hanya memandang dengan mata tajam bersinar-sinar. Akan tetapi, Siauw Goat juga membalas pandang mata itu dengan sama tajamnya, bahkan mengandung tantangan!

“Bocah siluman, mulutmu busuk. Kalau kau besar engkau tentu menjadi iblis, lebih baik kuenyahkan sekarang!” kata wanita baju hijau itu yang telah merah kedua pipinya karena marah dan malu mendengar dia dimaki-maki seorang anak perempuan di depan umum.

Tentu saja Siauw Goat menjadi seperti api yang disiram minyak, makin berkobarlah kemarahannya. Dengan sepasang mata terbuka lebar dia lalu memaki-maki. “Engkaulah siluman rase, siluman kucing, siluman anjing! Engkaulah iblis busuk yang harus dibasmi dari permukaan bumi!” Setelah berkata demikian, Siauw Goat sudah menggerakkan busurnya, menyerang dengan cepat.

Wanita itu terkejut dan marah melihat betapa ujung busur itu langsung menusuk ke arah tenggorokannya kemudian dibalik karena tidak mengenai sasaran dan menusuk ke bawah pusar! Dan saat itu, tangan kiri Siauw Goat sudah maju mencengkeram ke arah buah dadanya!

“Cih, Iblis kecil ini benar jahat!” teriaknya melihat serangan-serangan yang dianggapnya kasar dan selain berbahaya juga tidak patut.

Tangan kirinya mengibas dan dari tangan kiri itu menyambar hawa pukulan yang membuat Siauw Goat terpelanting! Wanita baju hijau itu sudah marah sekali dan dengan sinar mata penuh benci dia sudah melangkah maju dan menyusulkan pukulan tangan kanan, juga pukulan jarak jauh mengandung tenaga sinkang yang dahsyat. Serangkum angin menyambar ke arah kepala Siauw Goat yang masih telentang di atas tanah.

“Tahan dulu!” Tiba-tiba Kam Hong berkata halus dan dia pun menggerakkan tangan ke depan, menangkis pukulan itu. Dua hawa pukulan sinkang bertemu dan akibatnya wanita baju hijau itu terhuyung ke belakang!

Wanita baju hijau itu terkejut bukan main! Dia tadi merasa betapa tenaganya bertemu dengan tenaga yang amat kuatnya, yang membuat dadanya tergetar dan cepat dia menarik kembali tenaganya dan akibatnya dia terhuyung seperti disambar angin taufan. Wajahnya menjadi pucat dan dia memandang kepada sasterawan itu dengan mata terbelalak.

Wanita di dalam tandu terdepan, yang berusia tiga puluh tahunan, mempunyai tahi lalat di dagu, berbaju kuning dan yang memiliki wajah paling manis di antara mereka berempat, juga melihat gerakan tadi dan dia memandang tajam kepada Kam Hong. Melihat sastrawan yang nampak lemah dan yang sekarang menunduk dengan sikap menyembunyikan diri itu, Si Baju Kuning menarik napas panjang.

“A-ciu, jangan membikin ribut!” tegurnya kepada Si Baju Hijau, dan dengan isyarat tangan, dia memasuki tandu, diikuti oleh Si Baju Hijau A-ciu dan dua orang temannya. Empat buah tandu lalu digotong oleh para penggotong yang bertubuh kuat itu dan mereka pun pergi dari depan warung yang mulai dipenuhi penonton itu.

“Siluman dia! Hemm, lain kali akan kuhajar dia!” Siauw Goat berkata penasaran sambil bangun dan mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor.

Para penonton diam-diam merasa geli akan tetapi juga kagum kepada anak perempuan yang bandel dan tidak mengenal takut ini. Agaknya Siauw Goat juga tahu bahwa orang orang diam-diam mentertawakannya, maka setelah mengerling satu kali kepada Kam Hong dia kemudian pergi dengan langkah lebar untuk kembali ke tempat pemondokan Lauw-piauwsu.

Kam Hong sendiri kemudian pergi dari situ tanpa menarik perhatian orang karena perbuatannya ketika menangkis pukulan wanita baju hijau itu dilakukan dengan tenaga sinkang jarak jauh sehingga orang tidak melihat dia bergerak untuk bertanding. Tidak ada yang tahu betapa pemuda ini diam-diam membayangi empat buah tandu yang digotong keluar dusun itu lagi setelah wanita-wanita itu di sepanjang jalan bertanya-tanya tentang ‘dua orang anak laki-laki kembar’.

suling emas naga siluman jilid 02


Pada saat terdengar berita bahwa badai salju sudah mereda, mulailah dusun Lhagat mengalami kesibukan-kesibukan. Mereka yang menamakan dirinya pelancong pelancong dan pedagang-pedagang mulai berkemas karena mereka sudah harus menanti sampai beberapa hari lamanya, tertunda perjalanan mereka karena adanya badai salju itu. Kini, badai salju telah berlalu atau setidaknya mereda. Hal ini ditandai dengan mereda dan kecilnya angin dingin yang bertiup keras dalam beberapa hari ini melalui Lhagat, dari arah selatan dan barat.

Rombongan Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal telah kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang piauwsu yang luka-luka oleh dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun sudah-sembuh kembali.

Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup lengkap, membekali setiap anggota rombongan dengan baju-baju bulu yang amat tebal karena mereka akan melalui daerah yang dingin dan diliputi salju, berangkatlah rombongan ini.

Anak buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi karena Lauw-piauwsu telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan Siauw Goat mencari orang tuanya, maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya untuk membantunya mengawal anak perempuan itu melakukan perjalanan yang amat sukar ini. Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah menyelamatkan para piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah menerima sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya pengawalan yang bagaimana sukar dan jauh sekali pun!

Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan dia pun tadinya hendak membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat kepada wanita-wanita naik tandu yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras.

“Lauw-pek aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi naik tandu seperti penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!” Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini dan demikianlah, ketika rombongan itu berangkat, Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka.

Anak perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa gembira sekali begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya muncul kembali. Kadang-kadang dia mendahului rombongan, kadang-kadang agak ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam yang amat indah di sepanjang perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu ini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya itu.

Jalan pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai dengan orang-orang yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang berpakaian macam-macam dan yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap, sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan perjalanan cepat seolah-olah mereka berlomba dalam mengejar sesuatu.

Sering kali ada rombongan yang mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu. Lauw-piauwsu serombongan tidak hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan biar pun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang pusaka yang lenyap dari istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini, namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka itu.

Setelah melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw Goat ini tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju masih nampak jelas. Banyak pohon yang tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk seperti bukit, ada pula bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang mengamuk selama berhari hari itu.

Menjelang senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis rebah dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini pula! Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih merasa dingin, apalagi harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya! Orang itu mungkin gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua Koai-tung Sin-kai, terdapat perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti pengemis.

“Jembel lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal.

“Ssttt, Siauw Goat....!” Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut.

Ketua piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan dia dapat menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak membantah dan diam saja.

Pengemis itu menggeliat kemudian terbangun agaknya, menoleh. Rombongan itu melihat bahwa wajah pengemis itu masih muda dan mereka terkejut melihat sepasang mata yang mencorong amat tajamnya. Akan tetapi wajah muda itu penuh kumis dan jenggot yang tidak terpelihara, muka yang hitam terbakar matahari dan sepasang mata yang mencorong itu kadang-kadang menjadi liar dan mulut di balik kumis dan jenggot lebat itu tersenyum-senyum aneh.

Semua ini membuat Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya karena dia melihat tanda-tanda bahwa pengemis muda ini menderita penyakit gila, atau setidaknya agak miring otaknya! Setelah mengeluarkan suara tertawa ditahan seperti orang merasa geli, pengemis muda itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari naik mendaki lereng itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak lalu menghilang.

“Ihh, dia seperti iblis saja!” kata Siauw Goat.

“Siauw Goat, lain kali harap engkau suka menahan diri dan jangan terlalu sembrono. Ingat, di sini banyak terdapat tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita kesalahan bicara dapat menimbulkan hal-hal yang hebat,” kata Lauw Sek menegur Siauw Goat.

“Ah, Lauw-pek, aku pun melihat orangnya sebelum bicara. Dia itu hanya seorang jembel lagi, tidak urung dia pun tentu jahat seperti jembel tua itu. Atau setidaknya, dia itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek tidak melihat mukanya yang menyeramkan seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh....“

Terpaksa Lauw-piauwsu tidak membantah lagi. Dia tahu bahwa watak anak perempuan ini keras dan pemberani bukan main, dan kalau dia mempergunakan sikap keras, mungkin akan menjadi makin berabe keadaannya. “Mari kita melanjutkan cepat-cepat. Sebelum matahari kehilangan sinarnya di balik puncak itu, kita harus sudah tiba di balik puncak, melalui lereng dengan jalan memutar. Di sana ada daerah berbatu di mana terdapat banyak goa untuk tempat bermalam dan berlindung dari salju.”

Mereka melanjutkan pendakian. Kadang-kadang mereka masih disusul oleh rombongan lain, bahkan juga menyusul rombongan lain yang sedang melepas lelah di tepi jalan. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, dan pengemis gila tadi pun tidak nampak lagi. Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap mereka tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu besar dan goa-goa. Akan tetapi ternyata banyak juga orang yang sudah berada di situ. Untung tempat itu luas sekali sehingga tidak sukar bagi rombongan piauwsu ini untuk menemukan sebuah goa kosong yang cukup besar untuk menampung mereka semua.

“Ihhh, engkau lagi di sini!” Tiba-tiba Siauw Goat berseru dengan nada suara marah.

Kiranya ketika mereka memasuki goa, Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu melihat ada sesosok tubuh manusia rebah di sudut goa dan ketika dia mendekati untuk melihat lebih jelas karena cuaca sudah remang-remang, ternyata yang tidur di situ adalah Si Pengemis muda tadi!

Pengemis itu menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah baru bangun tidur nyenyak dan diam-diam Lauw Sek terkejut dan merasa heran. Pengemis itu kelihatan lemah, bahkan tidak memakai pakaian tebal, akan tetapi ternyata dapat bergerak cepat sekali sehingga mereka yang juga melakukan perjalanan cepat itu kalah jauh dan pengemis itu agaknya sudah lama tidur di situ ketika mereka tiba!

“Siauw Goat, tempat ini cukup lebar, jangan ganggu orang!” Lauw Sek memperingatkan gadis cilik itu.

Akan tetapi Siauw Goat melihat mata yang mencorong itu bermain-main, kadang-kadang dipejamkan yang kanan kadang-kadang yang kiri, dan mulut di balik kumis itu seperti mentertawakan, maka dia menjadi semakin gemas.

“Ehhh, jembel busuk, apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai? Kalau kau temannya, akan kuhajar! Kalau bukan, lekas kau keluar dari goa ini karena engkau menjemukan dan menjijikkan!”

Semua piauwsu terkejut mendengar ini. Gadis cilik itu sudah amat keterlaluan menghina orang. Lauw Sek sendiri sudah menjadi pucat mukanya. Akan tetapi pengemis itu seolah olah tidak mendengar maki-makian Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum. Sikapnya seperti orang yang tidak perduli atau memandang rendah. Dia duduk sambil menggaruk garuk lehernya.

Lauw Sek memegang tangan Siauw Goat dan ditariknya mundur menjauhi pengemis itu. Kemudian para piauwsu itu mengeluarkan roti kering dan air minum. Mereka makan dengan diam saja, kadang-kadang mata mereka mengerling ke arah pengemis muda yang duduk membelakangi mereka di sudut goa. Tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di dalam goa itu, amat menyeramkan seolah-olah di sebelah dalam dari goa itu terdapat iblis-iblis yang ikut tertawa bersamanya. Kemudian pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau dan kasar, kata-katanya tidak karuan!

Cinta itu gila
gagah itu lemah
pintar itu tolol!
Mulut semanis-manisnya
membohong sebesar-besarnya
tapi sampai mati aku tidak bisa lupa....!


Suara nyanyian itu pun bergema di dalam goa seperti para iblis ikut pula bernyanyi, lalu pengemis itu tertawa-tawa lagi. Tetapi suara ketawanya yang bergelak itu mendadak berhenti, seperti jangkerik terpijak dan suasana menjadi hening sekali, hening yang menyeramkan. Lalu terdengar isak perlahan-lahan. Pengemis itu menangis!

Para piauwsu saling pandang. Jelaslah bahwa memang pengemis itu gila!

“Celaka, bermalam dengan orang gila!” Siauw Goat mengomel dan Lauw Sek menyentuh tangannya, menyuruhnya diam.

Seorang piauwsu yang merasa kasihan kemudian bangkit dan menghampiri pengemis itu, memberinya sepotong besar roti kering. “Sobat kau terimalah roti ini dan makanlah bersama kami,” katanya.

Pengemis itu menengok, menyeringai, menerima roti itu dan menciumnya beberapa kali, terkekeh dan kemudian dia membuang roti itu seperti orang merasa jijik! Dan dia lalu mengomel tanpa menoleh, masih menghadap ke arah dinding batu, seolah-olah dia mengomel kepada dinding itu. “Memberi roti berisi racun! Mulut manis menyembunyikan hati yang pahit. Huh, manusia adalah makhluk palsu, jahat dan keji, makhluk paling kotor di dunia ini, ha-ha-ha....!”

Piauwsu yang tadi memberi roti masih berdiri di belakang pengemis itu. Tentu saja dia menjadi marah bukan main. Dia memberi roti karena terdorong oleh rasa kasihan kepada pengemis muda ini, akan tetapi pemberiannya itu dibuang, bahkan disertai ucapan yang seolah-olah mengejek bahwa pemberiannya itu adalah palsu, roti itu beracun! Apalagi peristiwa itu terjadi di depan kawan-kawannya. Dia merasa terhina dan marah, maka dia ingin menakut-nakuti pengemis itu. Segera dicabutnya goloknya yang besar dan tajam berkilauan itu.

“Jembel gila!” bentaknya. “Engkau ditolong malah balas menghina orang! Engkau amat menjemukan. Hayo keluar dari goa ini dan jangan mengganggu kami, kalau tidak, akan kupotong daun telingamu!” Untuk menakut-nakuti, piauwsu itu menempelkan goloknya ke dekat telinga orang!

Lauw-piauwsu memandang dengan alis berkerut, tetapi dia tahu bahwa anak buahnya itu hanya menggertak saja. Memang sebaiknya kalau pengemis itu keluar dari dalam goa dan mencari tempat bermalam lainnya karena dengan adanya pengemis gila itu memang membuat hati menjadi tidak enak. Lagi pula, melihat betapa pengemis gila itu menghina pemberiannya dengan membuang roti tadi, menandakan bahwa di balik kegilaannya, memang ada watak tidak baik pada Si Pengemis.

Pengemis itu perlahan-lahan bangkit berdiri, seperti orang ketakutan memandang ke arah golok yang menempel di telinganya, kini dia memutar tubuh menghadapi piauwsu yang masih menodongnya dengan golok. Piauwsu itu bersikap garang untuk menakut nakuti, dan pengemis muda itu juga mundur-mundur sampai dekat dengan mulut goa.

“Hayo keluar, pergi dari sini!” kembali piauwsu itu membentak.

Tiba-tiba tangan kiri pengemis itu bergerak dan tahu-tahu dia telah menangkap dan menggenggam golok itu! Si Piauwsu terkejut dan khawatir sekali. Goloknya amat tajam dan pengemis itu tentu akan melukai tangannya sendiri. Dia tak berani menarik goloknya yang dicengkeram oleh karena takut kalau-kalau goloknya akan membikin putus tangan pengemis itu. Akan tetapi, segera terjadi hal yang membuat semua orang terbelalak.

“Krakkkkk....!” Tangan itu mencengkeram dan golok itu menjadi patah-patah dalam cengkeraman tangan kiri pengemis muda itu. Dengan suara ketawa tertahan, pengemis itu kemudian melemparkan pecahan golok, menepuk-nepuk tangan seolah-olah hendak membersihkan telapak tangannya dari debu kotor, kemudian melangkah lebar keluar dari goa dan tak lama kemudian terdengar suara tangisnya, sesenggukan yang makin lama makin jauh sampai tidak terdengar lagi.

Semua orang, termasuk Siauw Goat dan Lauw-piauwsu, masih tertegun menahan napas seperti patung tidak bergerak. Mereka terlampau heran dan kagum. Peristiwa yang terjadi itu seolah-olah merupakan mimpi atau dongeng yang sukar dipercaya. Golok piauwsu itu terdiri dari baja yang baik, hal ini diketahui benar oleh Lauw Sek. Juga amat tebal dan amat tajam. Bagaimana mungkin hanya sekali cengkeram saja golok itu patah patah, dan bahkan pecah-pecah seolah-olah golok itu hanya sehelai daun kering saja? Piauwsu pemilik golok itu sendiri masih berdiri dengan muka pucat dan matanya terbelalak memandang sisa goloknya yang masih dipegangnya, yaitu tinggal gagang dan sedikit sisa golok yang sudah buntung!

“Ahhh.... kiranya dia.... seorang manusia sakti....,” terdengar Lauw Sek akhirnya berkata dengan suara agak gemetar. “Mulai sekarang kita harus berhati-hati, jangan sekali-kali mengganggu orang....”

Biar pun pengemis gila itu sudah pergi, suasana menjadi sangat menyeramkan setelah terjadinya peristiwa itu. Lauw Sek menduga-duga siapa gerangan pengemis gila itu! Dia banyak mengenal orang-orang kang-ouw, akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang pengemis ini. Seorang pengemis yang dia lihat masih muda, belum ada tiga puluh tahun usianya, dan dia belum pernah mendengar di dunia kang-ouw seorang tokoh pengemis yang memiliki kepandaian sehebat itu.

Tentu saja Lauw Sek tidak mengenal pengemis itu karena sebenarnya orang gila itu bukan tokoh pengemis, bukan seorang tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Pakaiannya bagai pengemis sebab memang dia tak mempedulikan pakaiannya sehingga compang-camping seperti pakaian pengemis. Akan tetapi dia tidak pernah mengemis! Kalau orang gila itu menyebutkan nama julukannya sebelum dia berkeadaan seperti sekarang ini, tentu Lauw-piauwsu dan para anak buahnya akan mengenalnya. Pengemis muda itu sesungguhnya berjuluk Si Jari Maut!

Para pembaca cerita kisah Jodoh Rajawali yang sudah mengenal Si Jari Maut tentu tidak akan merasa heran lagi kalau dengan sekali cengkeram saja dia telah mampu mematahkan golok! Pengemis ini adalah Ang Tek Hoat atau Si Jari Maut yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di dalam kisah jodoh sepasang rajawalidiceritakan bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang calon mantu Raja Bhutan, lalu mengapa kini dia menjadi seorang pengemis gila yang terlunta-lunta seperti itu?

Pemuda gagah perkasa ini memang bernasib buruk. Dinamakan nasib sebagai hiburan saja, padahal segala sesuatu terjadi sebagai akibat dari pada perbuatannya sendiri. Ketika masih amat muda, Ang Tek Hoat melakukan banyak penyelewengan, melakukan banyak kejahatan. Oleh karena itu, perbuatannya sendiri inilah yang menyeret dia ke dalam keadaan yang amat sengsara.

Dia saling mencinta dengan Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal Raja Bhutan, akan tetapi ikatan jodoh yang akhirnya disetujui pula oleh Raja Bhutan itu selalu gagal dan kedua orang muda yang saling mencinta itu selalu terpisah oleh berbagai persoalan yang timbul. Yang terakhir sekali, Puteri Syanti Dewi pergi dari Bhutan dan tidak pernah kembali lagi. Padahal, Ang Tek Hoat yang telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Bhutan dari pemberontakan, telah diangkat menjadi panglima muda oleh Raja Bhutan dan pertunangannya dengan Sang Puteri telah disahkan oleh Sang Raja!

Biar pun dia menikmati kehidupan mulia dan terhormat di Kerajaan Bhutan, namun Tek Hoat menderita karena puteri yang dicintanya itu tidak berada di sampingnya. Oleh karena itu, dia tidak mau tinggal berenang dalam lautan kemewahan di Bhutan, sebaliknya dia lalu pergi dan merantau untuk mencari kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya. Bertahun-tahun dia merantau dan dia tidak pernah berhasil menemukan Sang Puteri dan akhirnya, kekecewaan dan kedukaan membuat dia menjadi terganggu jiwanya dan membuat dia menjadi seperti seorang pengemis gila!

Dan agaknya, walau pun pikirannya sudah terganggu, dalam kegilaannya itu Tek Hoat mendengar pula akan peristiwa yang akan menggegerkan dunia kang-ouw dan yang membuat banyak tokoh kang-ouw berbondong-bondong pergi ke Pegunungan Himalaya. Dan dia pun terseret oleh arus ini dan pergi ke Pegunungan Himalaya, sungguh pun selama bertahun-tahun dan sampai saat itu yang menjadi tujuan semua perjalanannya hanya satu, yaitu mencari Puteri Syanti Dewi!

Tentu saja sekali mencengkeram Tek Hoat mampu mematahkan golok piauwsu itu karena pemuda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia pernah mendapat gemblengan dari Sai-cu Lo-mo dan mewarisi ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun. Kemudian sekali, yang membuat dia menjadi sedemikian lihainya adalah karena dia mewarisi kitab-kitab dari dua orang datuk Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Dari kitab-kitab ini dia dapat menghimpun tenaga sakti yang dinamakan Tenaga Inti Bumi, dan semua ini dimatangkan oleh pengalaman pengalamannya menghadapi banyak sekali pertempuran melawan orang-orang pandai. Kini usianya sudah sekitar dua puluh delapan tahun, akan tetapi keadaan hidupnya menjadi sedemikian rusak sehingga tidak ada orang yang mengenalnya kecuali sebagai seorang pengemis muda yang gila!

Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa di dalam goa besar yang dijadikan tempat bermalam para piauwsu. Hati mereka merasa lega dan pada keesokan harinya mereka keluar dari goa untuk melanjutkan perjalanan, setelah cuaca tidak begitu gelap lagi tanda bahwa matahari telah naik tinggi. Akan tetapi matahari tidak nampak, hanya sinarnya saja yang membuat cuaca tidak gelap. Hawa dingin sekali karena kabut memenuhi udara. Mereka hendak menuju ke Gunung Kongmaa La karena menurut pesan Kakek Kun, di situlah kiranya orang tua Siauw Goat dapat ditemukan.

Pada waktu mereka melewati goa-goa yang kemarin sore penuh dengan orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan dan mengaso di situ, ternyata goa-goa itu telah kosong semua, tanda bahwa mereka itu pagi-pagi benar telah melanjutkan perjalanan seperti orang tergesa-gesa. Lauw-piauwsu maklum bahwa mereka itu adalah orang orang kang-ouw yang agaknya mencari pedang pusaka yang hilang dan juga berlomba untuk mendapatkannya. Dia tidak peduli karena dia mempunyai tugas lain dan sama sekali tidak ingin untuk ikut berlomba memperebutkan. Oleh karena itu, dia memimpln rombongannya jalan seenaknya karena perjalanan mendaki itu amat sukar sehingga kalau tergesa-gesa akan cepat kehabisan tenaga.

Biar pun badai salju telah mereda, namun salju masih turun dan memenuhl permukaan bumi, menaburi batang-batang pohon tanpa daun sehingga menciptakan pohon-pohon putih. Seluruh permukaan bumi menjadi putih dan pemandangan amat luar biasa, seolah-olah dunia dilapisi dengan perak, membuat orang merasa seperti dalam dunia mimpi.

Lewat tengah hari mereka tiba di sebuah puncak bukit yang datar dan begitu mereka tiba di situ, mereka melihat bahwa di tempat itu sedang terjadi pertempuran yang amat hebat. Lauw Sek cepat menyuruh rombongannya berhenti dan mereka melihat dari jarak yang cukup jauh agar tidak terlibat dalam pertempuran itu.

“Ahh, bukankah mereka itu tosu-tosu dari Go-bi-pai?” tiba-tiba Lauw-piauwsu berkata lirih dengan nada suara khawatir.

“Benar, Lauw-twako, yang bersenjata rantai baja itu jelas adalah Liang Tosu tokoh Go-bi-pai!” sambung seorang piauwsu.

Kini semua piauwsu merasa yakin bahwa lima orang tosu tua yang sedang bertempur melawan empat orang wanita itu adalah tosu-tosu Go-bi-pai. Mereka tidak mengenal empat orang wanita yang amat lihai itu, maka tentu saja diam-diam mereka berpihak kepada para tosu Go-bi-pai yang mereka kenal sebagai tosu-tosu gagah perkasa yang menentang kejahatan.

Kini para tosu itu tampak terdesak hebat oleh pedang-pedang yang dimainkan oleh empat orang wanita cantik itu. Para wanita itu memang hebat sekali. Pedang di tangan mereka lenyap berubah menjadi gulungan sinar-sinar yang menyilaukan mata. Lima orang tosu Go-bi-pai itu melawan mati-matian dengan senjata mereka yang bermacam macam, ada rantai baja, ada toya, ada pula yang menggunakan pedang. Namun semua perlawanan mereka sia-sia belaka karena mereka terdesak dan terkurung oleh sinar sinar pedang yang berkilauan itu.

Akhirnya, dua orang di antara para tosu itu kelihatan terpental dan jatuh bergulingan. Tiga orang temannya lalu berloncatan ke belakang, menyambar tubuh dua orang kawan yang terluka dan larilah lima orang tosu itu dengan cepat menuruni puncak, tidak dikejar oleh empat orang wanita itu.

Tiba-tiba Siauw Goat berteriak. “Itu adalah empat siluman rase yang jahat!” Dan anak perempuan ini membawa busurnya lari cepat menuju ke arah empat orang wanita itu.

Melihat ini, Lauw-piauwsu cepat meloncat dan mengejar. “Siauw Goat, kembali kau....!” bentaknya.

Empat orang wanita itu menoleh dan mereka segera mengenali Siauw Goat, anak perempuan yang pernah menghina dan memaki wanita baju hijau dari rombongan itu di depan rumah makan. Melihat ini, dan mendengar anak perempuan itu memaki mereka empat siluman rase jahat, wanita baju hijau itu terkejut dan marah bukan main. Bagaikan terbang cepatnya dia berlari menghampiri sambil membawa pedangnya.

“Bocah setan engkau mengantar nyawa!” teriaknya.

Melihat ini, Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Dia mempercepat larinya dan karena jarak antara dia lebih dekat dengan Siauw Goat dibandingkan dengan wanita baju hijau itu, biar pun baju hijau berlari seperti terbang cepatnya, maka dia lebih dulu dapat menyusul Siauw Goat. Akan tetapi saat itu, Siauw Goat telah memasang dua batang anak panah dan melepaskan anak panah dari busurnya, dibidikkan ke arah wanita baju hijau tadi. Lauw Sek datang terlambat. Dia memegang lengan Siauw Goat akan tetapi dua batang anak panah itu telah meluncur ke arah wanita baju hijau yang menjadi semakin marah menghadapi serangan ini. Sekali memutar pedang, dua batang anak panah itu patah-patah dan runtuh, dan dia terus berlari menghampiri.

Akan tetapi Lauw Sek telah berdiri melindungi Siauw Goat dan wanita baju hijau itu berhenti menghadapinya dengan sinar mata tajam penuh kemarahan.

“Hayo cepat kau serahkan budak itu, kalau tidak engkau pun akan kubunuh sekalian!” hardiknya.

Lauw Sek sudah maklum bahwa wanita itu lihai sekali, buktinya para tosu Go-bi-pai sendiri pun tidak mampu mengalahkan dia dan kawan-kawannya, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata. “Toanio, harap sudi memaafkan keponakanku ini dengan memandang mukaku. Harap Toanio ketahui bahwa aku adalah Lauw Sek, pengawal Pek-i-piauw-kiok dari Ceng-tu dan....”

“Tidak peduli engkau pengawal nyawa dari neraka sekali pun, engkau tetap harus menyerahkan bocah setan itu kepadaku kalau engkau ingin hidup lebih lama lagi!”

Lauw Sek mengerutkan alisnya. Wanita ini ternyata galak dan kejam, juga sombong sekali, pikirnya. Akan tetapi dia bersikap tenang dan sabar sambil melirik ke arah anak buahnya yang sudah mendekati tempat itu. Betapa pun juga, dia bersama anak buahnya berjumlah dua belas orang dan wanita itu hanya empat orang. Tentu enam belas orang pemanggul tandu itu tidak masuk hitungan, pikirnya.

“Toanio, aku bicara dengan baik-baik, harap Toanio suka menghabiskan urusan dengan seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa....“

“Cerewet!” Wanita baju hijau itu membentak, sama sekali tidak mempedulikan bahwa rombongan piauwsu yang berpakaian seragam putih itu kini sudah berada di depannya semua, seolah-olah dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka. “Berikan anak itu atau berikan nyawamu!”

“Terlalu!” membentak beberapa orang piauwsu dan Lauw Sek yang juga menjadi marah melihat sikap wanita itu, maklum bahwa tiada jalan damai. Maka dia pun lalu mendorong Siauw Goat ke belakang dan mencabut sepasang goloknya, melintangkan sepasang golok itu di depan dadanya.

“Toanio, engkau sungguh amat mendesak orang!”

“Peduli amat!” Wanita baju hijau itu membentak dan dia telah menggerakkan pedangnya menyerang. Lauw Sek cepat menggerakkan sepasang goloknya menangkis.

“Tranggg....!”

Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Kedua tangannya yang memegang golok tergetar hebat ketika menangkis pedang itu dan pedang yang ditangkisnya itu tidak terpental melainkan terus meluncur ke arah lehernya! Untung dia cepat membuang tubuh ke belakang sehingga serangan dahsyat itu luput dan beberapa orang temannya sudah menerjang maju pula sehingga dalam waktu singkat wanita baju hijau itu sudah terkurung!

Akan tetapi, tiga orang wanita cantik lainnya telah datang seperti terbang cepatnya, masing-masing memegang sebatang pedang dan mereka itu langsung menyerbu ke dalam pertempuran. Bukan main hebatnya gerakan mereka. Terutama wanita yang mengenakan baju warna kuning, yang tercantik di antara keempat wanita itu, pedangnya berkelebatan seperti kilat dan dalam beberapa gebrakan saja dua orang piauwsu telah terluka lengannya, mengucurkan darah sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan.

Lauw Sek terkejut dan dia cepat menerjang wanita baju kuning ini, disambut oleh wanita itu dengan senyum dingin dan begitu golok kirinya bertemu dengan pedang wanita itu, hampir saja goloknya terlepas dari pegangan karena tangannya tergetar hampir lumpuh! Lauw Sek maklum bahwa wanita baju kuning ini ternyata yang paling lihai di antara mereka, maka dia pun cepat menyambitkan hui-to ke arah wanita itu. Biar pun sekaligus ia menyambitkan enam batang pisau terbang dari jarak dekat, namun sinar pedang wanita itu meruntuhkan semua hui-to itu dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat Lauw Sek terhuyung mundur.

Akan tetapi, betapa pun Lauw Sek dan anak buahnya melakukan perlawanan mati matian, mereka dua belas orang laki-laki gagah perkasa ini ternyata sama sekali bukan lawan empat orang wanita cantik itu! Seorang demi seorang roboh, dan hebatnya, empat orang wanita itu sama sekali tidak mau memberi ampun, terus mengejar yang terluka dan mengirim tusukan maut sehingga mereka yang berjatuhan itu semua tewas oleh tusukan tusukan pedang!

Melihat ini Lauw Sek menjadi gelisah sekali dan dia berteriak kepada Siauw Goat, “Siauw Goat kau larilah.... cepat....!”

Lauw Sek sendiri dengan nekat bersama sisa teman-temannya menahan empat orang wanita itu. Siauw Goat adalah seorang anak yang cerdik. Biar pun dia pemberani, namun dia dapat melihat betapa sia-sianya melawan empat orang wanita yang lihai itu. Maka dia pun lalu melarikan diri dengan cepat sambil membuang busur dan anak panahnya yang tidak dapat dipergunakan lagi menghadapi empat orang wanita yang amat sakti itu. Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat, dia berloncatan di atas salju dan sebentar saja sudah menghilang di balik tumpukan salju yang membukit. Akan tetapi gerakannya ini dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.

“Iblis cilik, mau lari ke mana kau?”

Lauw Sek terkejut dan hendak mengejar untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi hal ini membuat dia lengah sehingga sambaran ujung pedang wanita baju kuning mengenai pundaknya, membuat pundak itu terluka parah. Dan ketika sebuah tendangan menyusul mengenai pinggangnya, maka robohlah Lauw-piauwsu! Teman-temannya masih nekat melawan, akan tetapi seorang demi seorang robohlah para piauwsu itu, semua tewas kecuali Lauw Sek yang memang agaknya tidak dibunuh oleh para wanita itu!

Lauw Sek membuka mata dan pertempuran itu ternyata telah berhenti. Dia siuman dari pingsannya, melihat bahwa di situ kini hanya tinggal wanita baju kuning, sedangkan tiga orang wanita lain telah pergi, agaknya mereka semua mengejar Siauw Goat!

“Kami membiarkan engkau hidup agar engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat permainan oleh serombongan piauwsu yang lancang!” kata wanita baju kuning itu.

“Siapa.... siapa kalian....?” Lauw Sek bertanya lemah, hatinya penuh duka melihat bahwa sebelas orang anak buahnya ternyata telah tewas semua dalam keadaan menyedihkan sekali. Dia bangkit duduk dan pundak kirinya terasa nyeri, akan tetapi darah sudah berhenti mengucur, agaknya membeku di luar karena hawa dingin dan salju yang turun ke atas luka besar itu.

Wanita baju kuning itu tersenyum. Manis sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek di saat itu, senyum ini seperti senyum iblis dari neraka! “Memang kami sengaja membiarkan kamu hidup agar mengenal siapa kami. Kami adalah utusan dari Sam-thaihouw! Nah, ingatlah baik-baik!”

Wanita baju kuning itu menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menendang dan tepat mengenai dada Lauw Sek membuat piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan lagi! Sambil tersenyum wanita baju kuning itu lalu melompat dan lari dari situ untuk menyusul teman-temannya, sedangkan enam belas orang penggotong tandu itu duduk seenaknya saja semenjak tadi menonton pertempuran di dekat tandu-tandu kosong mereka, seolah olah mereka sedang menjadi penonton pertunjukan yang menarik!

Sementara itu, Siauw Goat lari pontang-panting di antara hujan salju. Dia melarikan diri secepatnya tanpa arah tertentu dan dia memasuki daerah bersalju yang turun naik. Dia melihat adanya tiga orang yang mengejarnya. Untung baginya bahwa hujan salju makin deras sehingga pandang mata menjadi kabur dan para pengejarnya kadang-kadang kehilangan bayangannya. Juga jejak-jejak kakinya segera tertutup oleh salju sehingga tiga orang wanita itu seperti orang meraba-raba ketika mengejar dan mencarinya.

Dia mendengar lengkingan panjang di sebelah belakang, yang segera disambut oleh lengkingan lain yang lebih dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak tahu bahwa lengking pertama itu adalah suara wanita pertama yang dijawab oleh wanita ke empat sehingga tak lama kemudian wanita pertama itu sudah bergabung dengan tiga orang temannya dan kini mereka berempat semua mencari-carinya.

Beberapa kali Siauw Goat roboh terguling. Napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa lemah dan hawa dingin yang luar biasa membuat dia makin menderita. Jubah bulu tebal itu dikerudungkan di tubuh dan kepalanya, kedua tepinya dipeganginya erat-erat dan dia melanjutkan larinya biar pun napasnya seperti akan putus rasanya. Dia memaksa diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang terbuat dari tumpukan salju dan setelah tiba di puncaknya, mendadak salju yang diinjaknya itu runtuh ke bawah sehingga tubuhnya bergulingan ke bawah. Kiranya ‘bukit’ itu adalah sebatang pohon yang tertutup salju sehingga bergunduk menjadi semacam bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju yang menutupi pohon itu menjadi runtuh.

Perutnya terasa lapar bukan main, akan tetapi terutama sekali yang amat menyiksa adalah hawa dingin, kelelahan dan pernapasannya yang makin terengah, Akhlrnya tubuh yang berguling-guling itu berhenti, akan tetapi tidak bangun kembali karena Siauw Goat merasa malas untuk bangun! Terasa nikmat sekali rebah miring di atas salju, dan biar pun hawa amat dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah, napas yang sesak, dan perut yang lapar itu seperti tidak terasa lagi, yang terasa hanya, dingin dan ingin tidur!

Akan tetapi dia teringat akan nasehat-nasehat Lauw-piauwsu bahwa amat berbahaya kalau sampai orang tertidur di atas salju. Percakapan ini terjadi ketika mereka habis berjumpa dengan pengemis muda lihai yang tidur di atas salju dengan pakaian tipis.

“Pengemis itu tentu seorang kang-ouw yang sakti,” demikian kata piauwsu itu. “Padahal, tidur di atas salju amatlah berbahaya. Bagi orang biasa, kadang-kadang kelelahan dan hawa dingin membuat dia ingin sekali untuk tidur, rasa kantuk menyerang dan kalau sampai orang itu tertidur di atas salju, itu merupakan tanda bahwa dia tidak akan bangun kembali karena tentu dia terus mati dalam keadaan membeku darahnya!”

Siauw Goat bergidik. Mati! Mati tanpa dirasakannya! Dan dia masih muda! Dan dia masih harus membalas kematian kakeknya, dan dia harus bertemu dengan orang tuanya. Tidak, dia tidak boleh mati! Maka dengan sisa tenaga seadanya dia lalu bangkit lagi, merangkak bangun dan melihat betapa kaki tangannya lecet-lecet, agaknya terjadi ketika dia jatuh bergulingan tadi. Dipaksanya badan yang telah hampir mogok itu untuk bangun berdiri dan dia lalu melangkah lagi, bermaksud hendak lari.

Akan tetapi baru saja melangkah beberapa belas tindak, dia mengeluh, terguling dan pingsan! Akan tetapi, sebelum pingsan dia melihat bayangan dua orang, bukan wanita wanita yang mengejarnya, melainkan bayangan dua orang pria. Bayangan inilah yang menghabiskan semangatnya untuk pantang menyerah kepada kelelahannya. Ada orang, tentu dia akan tertolong, demikian jalan pikirannya yang terakhir sebelum membiarkan dirinya hanyut ke dalam ketidak-sadaran.

Dua orang itu pun melihat Siauw Goat. Tadinya mereka memandang heran sekali melihat seorang gadis cilik berlari-lari seorang diri di tempat yang amat sunyi dan liar itu, dan terkejutlah mereka saat melihat gadis itu berguling-guling di atas onggokan salju, bangkit lari lagi dan berguling lagi, kini diam tak bergerak di atas salju.

“Ahh, mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari kita menolongnya, Paman!” Seorang di antara mereka berkata dan terus lari menghampiri tempat Siauw Goat terguling. Orang kedua tidak menjawab akan tetapi ikut berlari.

Mereka adalah dua orang laki-laki yang memegang busur dan membawa banyak anak panah, sikap mereka gagah perkasa dan gerakan mereka tangkas, dengan pakaian seperti biasa dipakai para pemburu. Yang bicara tadi masih remaja, kurang lebih lima belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan, kejujuran dan ketabahan sedangkan sepasang matanya tajam dan membayangkan kecerdasan. Pria kedua berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di balik wajahnya yang gagah membayang kesabaran.

Memang mereka itu adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Mereka adalah keluarga pemburu turun-temurun menjadi pemburu binatang buas yang ahli dan berpengalaman. Mereka berasal dari Lok-yang di mana sekeluarga mereka bekerja sebagai pemburu-pemburu, dan kini mereka berada di Pegunungan Himalaya juga untuk berburu, dan terutama sekali sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu tertarik akan berita tentang makhluk yang dinamakan manusia salju atau Yeti. Sebagai pemburu permburu berpengalaman tentu saja berita ini amat menarik dan mereka ingin sekali dapat menangkap makhluk itu yang menurut pendapat mereka tentulah semacam binatang liar yang belum pernah dilihat manusia. Akan tetapi biar pun mereka sudah sering kali menemukan jejak Yeti, mereka sampai sekarang belum juga berhasil berjumpa dengan makhluk itu sendiri.

Pemuda remaja yang sudah memiliki bentuk tubuh seorang dewasa karena semenjak kecilnya sudah sering ikut berburu dan menghadapi kekerasan dan kesukaran itu bernama Sim Hong Bu. Ada pun pamannya yang bertubuh sedang dan sikapnya agak terlalu halus untuk seorang pemburu itu bernama Sim Tek, adik dari ayah Hong Bu.

Dahulu mereka semua ada empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang bernama Sim Hoat, kemudian adik-adiknya Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri. Akan tetapi, tiga tahun yang lalu, ketika Sim Hoat dan Sim Kun sedang berburu beruang di utara, mereka berdua diserang oleh dua ular yang sangat beracun dan nyawa mereka tidak tertolong lagi. Maka tinggallah mereka berdua saja, Sim Hong Bu dan Sim Tek pamannya, dan untuk sekedar menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh duka, Sim Tek yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai anak isteri itu lalu mengajaknya merantau ke daerah daerah liar untuk berburu. Akhirnya, dua bulan yang lalu mereka sampai di Pegunungan Himalaya karena tertarik oleh cerita tentang Yeti.

Di dalam kisah jodoh rajawali
ada diceritakan tentang Sim Hong Bu ini. Para pembaca kisah tersebut tentu masih ingat akan anak laki-laki pemburu yang pernah menyelamatkan Phang Chui Lan, dayang dari Gubernur Ho-nan yang dikejar kejar pasukan, kemudian bersama keluarga Sim dan kawan-kawan pemburu yang lain, mereka beramai-ramai menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.

Sim Hong Bu dan Sim Tek kini berlutut di dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek segera memeriksa gadis cilik itu.

“Hemm, dia pingsan dan tidak terluka, tidak pula sakit. Agaknya hanya kedinginan dan kelaparan,” kata Sim Tek. “Hong Bu, lekas kau ambil arak dan obat penghangat perut dan juga pel penambah darah itu.”

Sim Hong Bu cepat-cepat membuka buntalan bekal mereka dan melaksanakan perintah pamannya. Setelah diberi makan obat dan minum arak, digosok-gosok pula kaki dan tangannya dengan obat pemanas kulit, akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu siuman, dia meloncat berdiri, terhuyung, akan tetapi dengan nekat dia siap untuk melawan.

“Siapa kalian....?!” bentaknya.

Hong Bu tersenyum, memandang kagum kepada gadis cilik itu. Sungguh seorang gadis yang gagah dan sama sekali tidak cengeng, pikirnya, dan melihat gerakan gadis itu saat meloncat dan mengepal kedua tangannya, dia dapat menduga bahwa gadis itu pernah mempelajari ilmu silat.

“Nona, kami menemukan engkau rebah pingsan di sini, dan kami hanya menolong dan menyadarkanmu. Kami adalah pemburu-pemburu....”

“Ahh, maaf....!” Tiba-tiba sikap dara itu berubah. “Dan terima kasih atas kebaikan kalian. Mana.... mana mereka itu?”

“Mereka siapa?” tanya Hong Bu.

“Mereka yang mengejarku! Empat orang iblis betina itu....!” Siauw Goat lalu memandang ke sekeliling dengan sikap khawatir karena dia teringat akan keadaan Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang terdesak dan bahkan banyak yang sudah roboh.

“Tidak ada siapa-siapa di sini selain kita bertiga,” kata Sim Tek heran.

“Jangan khawatir, Nona. Kalau ada yang hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar dengan anak panah dan busurku ini!” Sim Hong Bu berkata menghibur sambil tangannya mengangkat busurnya yang besar ke atas kepala.

Pada saat itu terdengar suara melengking susul-menyusul, suara yang mendatangkan gema dan getaran panjang.

“Itu mereka....!” Siauw Goat berkata dengan wajah berubah agak pucat. “Pinjamkan pedangmu, aku harus melawan mereka mati-matian!” katanya.

Hong Bu dan pamannya bangkit berdiri. Hong Bu mencabut pedangnya dan kemudian menyerahkan pedang itu kepada Siauw Goat sambil berkata, “Jangan khawatir, aku dan Paman akan menjagamu dan menghadapi mereka!” Belum nampak adanya orang lain di situ dan suara melengking tadi agaknya dikeluarkan dari tempat jauh.

“Siapakah mereka, Nona? Dan mengapa mereka mengejar-ngejarmu?” Sim Tek yang lebih berhati-hati itu bertanya kepada Siauw Goat.

Dia maklum bahwa orang-orang yang dapat mengeluarkan suara melengking panjang menggetarkan seperti tadi pasti bukan orang sembarangan. Juga dia bersikap hati-hati, tidak seperti keponakannya yang begitu mudahnya menjanjikan bantuan kepada gadis cilik ini tanpa lebih dulu mengetahui apa yang menjadi persoalannya maka gadis itu dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis ini yang berada di pihak salah? Bukan tidak mungkin itu!

“Aku tidak tahu siapa iblis-iblis betina itu! Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi para piauwsu yang mengawalku dan mengejar-ngejarku untuk dibunuh!”

“Jahat mereka itu!” Hong Bu berseru marah.

Mendadak terdengar suara melengking nyaring dan keempat orang wanita itu kini telah muncul dari balik bukit salju dan gerakan mereka sangat cepatnya ketika mereka lari menghampiri. Tetapi Sim Tek dan Sim Hong Bu telah berdiri dengan tegak melindungi Siauw Goat. Sim Tek memegang sebatang pedang dan Hong Bu siap dengan busur dan anak panahnya. Juga Siauw Goat sudah memegang pedang yang diterimanya dari Hong Bu tadi.

Melihat betapa gadis cilik yang mereka kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria yang kelihatan gagah, empat orang wanita cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau yang merasa paling marah dan sakit hati terhadap Siauw Goat, melangkah maju sambil berkata kepada teman-temannya. “Biar kuhadapi anjing-anjing ini!”

Mendengar ucapan itu, diam-diam Sim Tek menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini benar amat sombong sekali, pikirnya dan kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis cilik seperti anak yang pingsan tadi berada di pihak salah.

“Harap Nona sabar sedikit,” katanya sambil melangkah maju. “Tidak baik menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis cilik, kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan dengan tenang.”

“Heh, pemburu babi yang busuk, jangan engkau mencampuri urusan orang lain! Pergilah sebelum terpaksa kubunuh engkau!” bentak wanita baju hijau yang oleh tiga temannya disebut A-ciu itu.

“Paman, Nona cilik ini benar, mereka adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuhajar mereka!”

Tiba-tiba Sim Hong Bu berteriak marah dan dengan gerakan cepat sekali pemuda remaja ini telah menggerakkan tali busurnya empat kali. Terdengar suara menjepret empat kali dan berturut-turut, empat batang anak panah menyambar seperti kilat ke arah empat orang wanita cantik itu! Akan tetapi, anak-anak panah itu semua menyambar ke arah betis kaki, maka jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud membunuh, hanya ingin melukai empat orang yang dianggapnya jahat itu.

Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati Hong Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua melihat empat orang wanita itu mengangkat kaki, dengan enak dan mudah saja mereka menendang ke arah anak panah yang menyambar itu dan.... anak-anak panah itu semua meluncur kembali ke arah Sim Hong Bu!

Tentu saja pemuda remaja ini menjadi sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat akan tetapi hampir saja menjadi korban anak panahnya sendiri, maka dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian dengan suara menggeram seperti seekor singa muda dia menyerang ke depan, menggerakkan busurnya yang dihantamkan ke arah kepala A-ciu.

“Plakkk!” Tubuh Hong Bu terhuyung ke belakang ketika busurnya ditangkis oleh lengan tangan A-ciu.

Melihat itu Sim Tek sudah menyerang pula dengan pedangnya, juga Siauw Goat sudah menggerakkan pedangnya dan maju menerjang dengan nekat. A-ciu dikeroyok tiga, tapi wanita cantik baju hijau ini hanya tersenyum dan mendengus dengan sikap mengejek, mengelak dengan mudah dari sambaran-sambaran senjata ketiga orang pengeroyoknya, dan dua kali kakinya menendang, merobohkan Hong Bu dan Siauw Goat! Akan tetapi, dua orang anak tanggung ini meloncat bangun dan menyerang lagi.

“Plakk! Aughhhh....!” Sim Tek mengeluh dan terdorong ke belakang. Pundak kirinya kena disambar jari tangan wanita itu dan dia merasa seolah-olah pundaknya lumpuh, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia sudah siap untuk menerjang lagi.

Kembali wanita itu menggerakkan kaki dan untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan Hong Bu terlempar, kini lebih jauh lagi.

“Huh, kalau aku menghendaki, apa kalian kira sekarang ini kalian masih bernapas? Tadi aku hanya hendak menguji, dan kiranya kalian adalah orang-orang tak berguna sama sekali. Hayo segera menggelinding pergi dan serahkan setan cilik itu kepadaku!” A-ciu membentak dengan sikap angkuh, berdiri tegak dan bertolak pinggang.

“Kami adalah lelaki sejati, tak mungkin membiarkan seorang anak perempuan terancam tanpa melindunginya!” kata Sim Tek dengan sikap yang gagah. Pemburu yang sudah biasa menghadapi bahaya ini tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa keempat orang wanita ini sangat kejam dan agaknya akan membunuh anak perempuan itu, maka dia sebagai seorang gagah tentu saja tidak mungkin tinggal diam.

“Lebih baik mati dari pada membiarkan dia kalian bunuh!” Hong Bu juga membentak dan dengan nekat anak ini sudah menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek juga sudah menyerang lagi dengan pedangnya, menahan rasa nyeri di pundaknya.

“Hemm, kalian benar-benar bosan hidup!” A-ciu membentak dan kini dia menyambut serangan itu dengan terjangan ke depan. Dua kali tangannya bergerak, dengan tepat dia menampar ke arah lengan tangan dua orang penyerangnya itu. Hong Bu dan Sim Tek berteriak kaget dan senjata busur dan pedang mereka terlempar.

“Mampuslah!” A-ciu membentak dan menerjang tubuh dua orang yang sudah terhuyung itu.

“Hemm, sungguh ganas!” Bentakan halus ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan tiba-tiba tubuh A-ciu terdorong ke belakang.

Wanita berbaju hijau ini terkejut, memandang orang yang baru datang dan yang serta merta menangkis serangannya yang ditujukan kepada dua orang pemburu itu.

“Ahhh, kiranya engkau lagi!” bentaknya dengan marah bukan main ketika mengenal penangkis itu ternyata adalah pemuda sastrawan yang tampan, yang pernah melindungi anak perempuan bengal itu di depan restoran tempo hari!

“Sayang, aku terpaksa meninggalkan kalian karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak mungkin engkau sampai dapat membunuhi para piauwsu itu,” Kam Hong menarik napas panjang dan suaranya yang tenang itu terdengar bercampur nada marah. “Kalian ini empat orang wanita sungguh kejam seperti iblis!”

“Apa?” Siauw Goat menjerit. “Kalian iblis-iblis betina telah membunuh semua Paman piauwsu?” Anak perempuan ini menjadi marah sekali dan dengan nekat dia lalu meloncat ke depan.

Pedang pinjaman tadi telah terlempar dan sekarang dia menyerang A-ciu dengan kedua tangan kosong saja, dengan penuh kenekatan karena sakit hati dan marah mendengar betapa semua piauwsu telah tewas oleh empat orang wanita ini.

Melihat dia diserang oleh Siauw Goat, tentu saja A-ciu juga marah. “Huh, engkau setan cilik menjadi gara-gara! Mampuslah!” bentaknya.

Dan dia memapaki serangan Siauw Goat ini dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang. Kalau tamparan ini mengenai tubuh Siauw Goat, tentu anak perempuan ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.

“Hahh....?!” Dia terkejut karena tiba-tiba saja tangannya yang menampar itu terhenti di tengah-tengah, tak dapat digerakkan lagi!

“Plakkk!” Tangan Siauw Goat yang menamparnya telah tiba dan tamparan itu dengan kerasnya mengenai pipi kiri A-ciu!

Melihat tamparannya berhasil, Siauw Goat menjadi girang. Kiranya ‘tidak seberapa’ wanita iblis ini, pikirnya dan dia pun menyerang terus dengan pukulan kepalan tangannya ke arah perut orang. Melihat ini, A-ciu yang masih terkejut merasakan keanehan tadi, cepat menggerakkan kakinya untuk mengelak dan dilanjutkan dengan tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik karena tiba-tiba saja kakinya tak dapat digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat telah tiba.

“Ngekkk!” perutnya kena dihantam dan walau pun tidak membahayakan, namun cukup membuat perutnya mulas karena ketika dia hendak mengerahkan tenaga sinkang menyambut pukulan, ternyata seperti juga kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak mampu! Seolah-olah pusat penggerak tenaga di dalam tubuhnya telah dilumpuhkan orang.

Siauw Goat makin bersemangat, memukul, menendang, menampar sampai tubuh A-ciu terhuyung-huyung dihujani pukulan oleh dara cilik itu. Tiga orang perempuan lain yang melihat ini terbelalak, akan tetapi mereka segera tahu mengapa terjadi hal sedemikian anehnya ketika mereka melihat Kam Hong yang berdiri tegak itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah A-ciu. Kiranya pemuda sastrawan itulah yang mempergunakan ilmu aneh, agaknya dengan kekuatan sinkang jarak jauh yang amat dahsyat, membuat A-ciu tidak berdaya dan menjadi bulan-bulan penyerangan Siauw Goat!

“Desss!!”

Sebuah pukulan Siauw Goat tepat mengenai mulut A-ciu, merobek bibir sehingga bibir itu berdarah, tetapi Siauw Goat juga menyeringai kesakitan karena punggung tangannya bertemu dengan gigi A-ciu yang menjadi goyang, akan tetapi sedikit melukai kulit tangan Siauw Goat.

“Cukuplah, Siauw Goat.” kata Kam Hong sambil melangkah maju dan menarik lengan gadis cilik itu.

Pada saat itu, tiga orang wanita lainnya sudah berloncatan mendekat. Wanita berbaju kuning, yang tertua dan tercantik, dan yang agaknya menjadi pimpinan mereka, sudah mencabut pedangnya, diikuti pula oleh dua orang temannya dan juga oleh A-ciu yang mukanya menjadi merah sekali, bukan hanya merah karena marah akan tetapi juga merah karena bekas pukulan-pukulan Siauw Goat tadi.

“A-kiauw, engkau di sebelah kanannya!” perintahnya dan wanita baju merah sekali meloncat sudah berada di sebelah kanan Kam Hong.

“A-bwee, engkau di sebelah kirinya!” perintahnya lagi dan wanita baju biru meloncat ke sebelah kiri Kam Hong.

“A-ciu, engkau di belakangnya! Kita membentuk Barisan Segi Empat, kalian tahu apa yang harus dimainkan!” bentak lagi A-hui, wanita baju kuning yang menjadi pimpinan itu.

Kam Hong hanya berdiri dengan tenang, diam tidak bergerak, agak menunduk dan lebih menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mengikuti gerak-gerik mereka dari pada menggunakan matanya. Suasana menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, juga Siauw Goat amat tertarik.

Anak ini mulai dapat menduga bahwa kalau tadi dia berhasil memukuli wanita baju hijau seenaknya dan semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan sastrawan itu! Dia adalah anak yang semenjak kecil mempelajari ilmu silat, maka dia dapat mengerti akan hal itu dan kini dia memandang penuh harap kepada Kam Hong karena dia dapat menduga bahwa empat orang wanita itu memang lihai sekali. Apalagi kalau diingat betapa semua piauwsu telah tewas oleh mereka ini, hatinya menjadi sakit bukan main.

Tiba-tiba terdengar lengking dahsyat dan A-ciu telah mulai menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah punggung Kam Hong, disusul lengkingan-lengkingan lain berturut turut karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee juga sudah menggerakkan pedang mereka melakukan serangan kilat.

Hebatnya, serangan mereka itu berbeda-beda sifat dan sasarannya. A-hui memutar pedang menyerang dari depan seperti gelombang mengamuk, A-kiauw menyerang dengan loncatan ke atas seperti petir menyambar-nyambar, A-bwee menyerang dari bawah seperti serangan ular sakti, dan A-ciu menyerang dengan gerakan lurus dan bertubi-tubi ke arah tubuh bagian tengah.

Tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali dengan tangan kirinya walau pun seluruh tubuh masih nampak tenang sekali, Kam Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Ketika tangan kirinya bergerak, seperti bermain sulap saja nampak sinar putih yang lebar berkelebat dan sinar ini digerakkan oleh tangan kirinya ke belakang, kiri, kanan dan depan. Dan gerakan-gerakan itu ternyata dapat menangkis semua serangan empat pedang lawan!

Ketika empat orang wanita itu merasa betapa pedang mereka membalik oleh tenaga yang amat kuat, mereka melangkah mundur untuk mengatur posisi sambil memandang. Kiranya sinar putih lebar tadi adalah gerakan sebuah kipas putih yang kini dipegang oleh tangan kiri Kam Hong dan dibeberkan lalu dipakai untuk mengipasi lehernya seolah-olah pemuda sastrawan ini merasa kegerahan!

Padahal, berdiri tegak dengan kipas terpentang lalu dikipas-kipaskan di leher itu merupakan pasangan pembukaan dari ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan)! Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu warisan keluarga Suling Emas, satu di antara ilmu-ilmu yang amat diandalkan dan yang dahulu pernah mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti Suling Emas! Ketika sejenak kipas itu berhenti mengebut, empat orang wanita yang kini bergerak melangkah perlahan mengelilinginya itu dapat membaca huruf-huruf indah yang tertulis di permukaan kipas putih itu.

Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang lembut mampu menerobos yang kasar
Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!


Huruf-huruf indah yang membentuk kata-kata itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimat kalimat itu adalah kalimat yang sering dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu Kai-ong, keturunan dari para tokoh Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Isinya membayangkan sifat dari perkumpulan pengemis itu dan mengandung pelajaran atau pesan bahwa untuk dapat belajar dan menerima pengertian-pengertian baru, hati dan pikiran haruslah kosong.

Mata dan telinga yang memandang atau mendengar secara kosong, yaitu tanpa adanya pendapat yang muncul dari pengetahuan-pengetahuan yang bertumpuk dalam pikiran, dapat melakukan penelitian dan penyelidikan, dapat waspada dan mempelajari sampai sedalam-dalamnya segala persoalan yang dihadapinya.

Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan dan kepintaran adalah seperti katak dalam tempurung, seperti gentong kosong yang hanya nyaring suaranya saja. Demikian pula kekasaran dan ketakutan mudah bertemu lawan, mudah patah dan menimbulkan kekerasan, sebaliknya kelembutan mampu menerobos segala sesuatu.

Kalimat terakhir menggambarkan keadaan pengemis Khong-sim Kai-pang. Meski disebut pengemis, orang yang semiskin-miskinnya di antara semua tingkat kehidupan, namun karena tidak pernah mengeluh, tak pernah membandingkan, tidak pernah merasa kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan oleh karena merasa cukup itulah maka dia tidak menginginkan apa-apa lagi sehingga orang beginilah yang patut disebut kaya raya. Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya seseorang, kalau dia itu masih selalu merasa tidak cukup, maka dia akan berusaha memperbesar kekayaannya itu tanpa mempedulikan jalan kotor apa yang ditempuhnya!

A-hui mengeluarkan bentakan nyaring secara tiba-tiba dan empat orang wanita yang tadinya berjalan mengelilingi Kam Hong itu tiba-tiba melakukan penyerangan. Serangan mereka cukup dahsyat dan teratur rapi, oleh karena memang mereka mempergunakan Barisan Segi Empat yang amat teratur. Pedang mereka gemerlapan dan menyambar nyambar seperti halilintar, mengeluarkan suara berdesing dan angin serangan yang membuat rambut dan ujung pita rambut Kam Hong dan ujung kuncir Kam Hong berkibar itu membuktikan betapa kuatnya sinkang dari empat orang wanita itu.

Akan tetapi Kam Hong menghadapi mereka dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak berloncatan, hanya berputaran ke sana-sini dengan langkah-langkah kaki yang sangat tegap. Kipasnya bergerak cepat, kadang-kadang menjadi sinar yang membentuk perisai atau benteng melindungi tubuhnya sehingga semua serangan pedang itu gagal karena tertangkis dan membalik.

Kadang-kadang kipas itu tertutup dan dipergunakan untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan darah yang penting, kadang-kadang dibuka dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat dipergunakan untuk mengebut ke arah muka lawan sehingga beberapa kali empat orang wanita itu gelagapan sukar bernapas karena tiupan angin keras dari kipas itu ke arah muka mereka!

Pertempuran itu berlangsung dengan amat serunya dan gerakan empat orang wanita itu makin lama makin cepat, mereka bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga seolah-olah mereka itu beterbangan mengelilingi Kam Hong yang masih bergerak dengan tenang. Menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini, berkali-kali Sim Tek menarik napas panjang saking kagumnya.

“Paman, sastrawan itu hebat sekali, ya?”

Pamannya mengangguk tanpa melepaskan pandangan matanya dari pertarungan itu. “Bukan main lihainya, hanya dengan kipas.... padahal empat orang wanita itu amat tangguhnya....”

“Mana lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil, Paman?”

Pamannya menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak tahu.... tidak tahu....“ katanya penuh kagum karena kini gerakan kipas makin menghebat dan membuat empat orang wanita itu terdesak dan gerakan mereka terpaksa makin melebar.

“Siapa Siluman Kecil itu? Apa sih kehebatannya?” Tiba-tiba Siauw Goat yang berdiri tidak jauh dari Hong Bu, bertanya sambil mendekat, akan tetapi seperti yang lain, dia juga masih terus menonton pertempuran itu.

Sejenak Hong Bu menoleh kepada Siauw Goat, alisnya berkerut seperti orang marah mendengar betapa Siluman Kecil, pendekar yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak kecil itu kini dipandang rendah orang.

“Pendekar Siluman Kecil adalah pendekar nomor satu di kolong langit, kepandaiannya tidak ada yang mampu melawannya!” demikian dia berkata dan kembali dia memandang ke arah pertempuran yang menjadi semakin seru itu.

“Tidak mungkin!” Siauw Goat membantah. “Pendekar nomor satu di kolong langit adalah mendiang Kongkong-ku, kemudian nomor dua adalah dia itu!” Dia menunjuk kepada bayangan Kam Hong, lalu tiba-tiba ia mendapatkan suatu pikiran yang dianggapnya amat baik dan berteriaklah gadis cilik itu, “Heii, Paman Kam, lekas selesaikan pertandingan itu agar engkau dapat diadu dengan Pendekar Siluman Kecil!”

Bukan hanya Kam Hong yang terkejut sekali mendengar kata-kata dan disebutnya nama Pendekar Siluman Kecil itu, bahkan empat orang lawannya yang sudah terdesak juga amat terkejut dan mereka itu berloncatan mundur.

“Tahan!” seru A-hui sambil melintangkan pedang di depan dada. Keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, demikian pula dengan tiga orang temannya. Kam Hong berhenti bergerak dan pemuda sastrawan ini tidak kelihatan lelah sama sekali.

“Pernah apakah engkau dengan Pendekar Siluman Kecil?”

Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Bukan apa-apa.”

“Tapi setan cilik itu tadi hendak mengadumu dengan Siluman Kecil. Apakah engkau adalah musuhnya?”

“Hemmm, perempuan kejam, jangan kau bicara sembarangan! Pendekar Siluman Kecil adalah seorang pendekar kenamaan yang budiman, mana mungkin aku memusuhinya? Sudahlah, kalian lekas pergi dan jangan mengganggu siapa pun. Kalau tidak, mengingat bahwa engkau sudah membunuh banyak orang dalam rombongan piauwsu itu, kalian harus dihukum....“

“Paman Kam, bunuh saja mereka iblis-iblis betina itu!” Siauw Goat berteriak lagi.

Empat orang wanita itu menjadi marah dan serentak mereka menyerang lagi.

“Katakan dahulu siapa engkau baru kami mau sudah!” teriak A-hui sambil menggerakkan pedang diikuti oleh tiga orang temannya.

“Pergilah....!” Tiba-tiba Kam Hong membentak dan nampak sinar kuning keemasan yang berkeredepan menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring empat kali dan empat orang wanita itu terjengkang ke belakang, pedang mereka terlepas dan terjatuh ke atas salju!

Mereka terbelalak memandang kepada pemuda sastrawan itu yang kini berdiri dengan gagahnya, tangan kiri masih memegang sebatang kipas yang dikembangkan, dan tangan kanan tahu-tahu telah memegang sebatang suling terbuat dari pada emas yang sinarnya berkilauan.

“Suling Emas....?!” A-hui merangkak bangun dan memandang kepada suling di tangan sastrawan muda itu dengan mata terbelalak.

Nama Pendekar Suling Emas pada waktu itu hanya sebagai dongeng pahlawan kuno belaka, dan biar pun pernah dihebohkan oleh dunia kangouw bahwa Pendekar Suling Emas meninggalkan pusaka-pusaka, namun karena tidak ada yang berhasil mencarinya maka lambat laun berita itu lenyap ditelan waktu.

Dan kini muncul seorang sastrawan muda yang bersenjata suling dan kipas secara lihai sekali, mirip dengan tokoh pendekar kuno itu! Empat orang wanita itu sekarang sudah bangkit, menyeringai kesakitan dan mengambll pedang masing-masing, tidak berani banyak lagak lagi!.

SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 03


Suling Emas Naga Siluman Jilid 02

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 02
Melihat ini, Lauw-piauwsu lalu mengundurkan diri untuk membantu teman-temannya yang masih sibuk mengurus kawan-kawan yang terluka. Akan tetapi, ketika matahari mulai mengirim sinarnya yang merah keemasan, membuat benang-benang sutera menerobos celah antara daun-daun bambu, dia mendengar teriakan Siauw Goat, “Kongkong....!”

Dia cepat menghampiri dan melihat anak itu berlutut dan mendekap kedua tangan kakek itu yang masih duduk bersila seperti tadi akan tetapi kedua tangannya dirangkap di atas pergelangan kaki. Anak perempuan itu tak menangis, hanya berlutut dan membenamkan mukanya di atas kaki kakeknya. Lauw Sek memandang wajah kakek itu, ia mengerutkan alisnya dan meraba pergelangan tangan kanan kakek itu untuk merasakan denyut nadinya. "Dia sudah meninggal dunia!"

Lauw Sek terkejut dan menoleh. Kiranya yang bicara itu adalah Si Sastrawan muda yang entah dari mana baru saja muncul dan begitu melihat wajah kakek itu telah berhenti bernapas. Dan memang sesungguhnyalah, Lauw Sek tidak dapat merasakan ada denyut nadi, maka dia lalu mengelus kepala Siauw Goat.

“Siauw Goat, kakekmu telah meninggal dunia dalam keadaan tenang, janganlah engkau berduka lagi, Nak.” Suara piauwsu ini agak gemetar karena dia merasa terharu sekali. Dia tahu bahwa kakek ini agaknya sedang mengidap penyakit berat, dan ketika malam tadi menolongnya merobohkan dua orang perampok, agaknya kakek ini terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga luka di dalam tubuhnya makin parah dan mengakibatkan tewasnya.

Anak perempuan itu mengangkat mukanya. Mukanya pucat, sepasang matanya bersinar sinar, namun tidak nampak dia menangis sungguh pun ada bekas air mata membasahi kedua mata dan pipinya. Dia sama sekali tidak terisak, bahkan kini dia mengepal tinju kanannya yang kecil sambil berkata, “Aku bersumpah untuk membalas kematian kakekku kepada Si Jembel tua bangka Koai-tung Sin-kai dan perkumpulan penjahat Eng-jiauw-pang!”

“Hemm, gadis cilik engkau lancang sekali! Koai-tung Sin-kai bukan....“

“Kau peduli apa?” Siauw Goat meloncat berdiri, bertolak pinggang menghadapi pemuda sastrawan yang tadi mencelanya. “Semalam Kongkong yang sedang menderita luka parah telah terpaksa membantu para piauwsu menghadapi penjahat-penjahat perampok Eng-jiauw-pang dan saat itu engkau bersembunyi di mana? Sekarang setelah kakekku meninggal, engkau muncul dan pura-pura hendak menasehatiku. Bagus, ya?”

Sastrawan itu terbelalak, tersenyum urung dan mukanya berubah merah. Wah, anak ini luar biasa, pikirnya. Ketika mengangkat muka, dia melihat pandang mata semua orang ditujukan kepadanya, seolah-olah mereka itu mendukung teguran anak perempuan itu.

“Aku menemukan jejak manusia salju dan mengikutinya semalam suntuk, akan tetapi tak berhasil menemukannya,” dia menggumam.

“Yeti....?” Lauw Sek berteriak dengan muka pucat dan semua piauwsu juga menjadi pucat mukanya, bahkan ada yang menggigil ketakutan dan memandang ke kanan kiri. “Di.... di mana.... dia....?” Lauw-piauwsu bukanlah orang yang lemah, akan tetapi sebagai seorang piauwsu yang sering kali melalui daerah ini, tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang manusia salju atau Yeti, betapa makhluk itu kalau sudah mengamuk amat berbahaya, tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menandinginya. Maka tidak mengherankan kalau dia menjadi pucat ketakutan.

Sastrawan itu menggerakkan pundaknya. “Aku hanya menemukan jejak kakinya saja, dan jelas bahwa orang-orang yang terbunuh itu adalah korban-korbannya.”

“Tapi biasanya Yeti tidak pernah mengganggu manusia. Kecuali kalau dia lebih dulu diganggu. Tentu ada hal hebat dan aneh terjadi maka Yeti dapat mengamuk seperti itu, membunuh banyak orang dan melihat betapa para korban itu dikoyak-koyak jelaslah bahwa Yeti itu benar-benar sedang marah. Kita harus cepat melanjutkan perjalanan. Mari kita cepat mengubur jenazah Kakek Kun, lalu segera melanjutkan perjalanan ke dusun Lhagat!”

Semua orang lalu sibuk bekerja menggali sebuah lubang kuburan. Akan tetapi ketika mereka hendak mengubur kakek itu, ternyata tubuh kakek itu yang masih duduk bersila telah kaku dan tidak dapat ditekuk kaki tangannya agar dapat rebah telentang.

“Biarkan saja!” tiba-tiba Siauw Goat berkata lantang. “Kongkong lebih suka tidur bersila, jangan ganggu jenazahnya!” Anak itu tidak tega melihat betapa para piauwsu berusaha untuk menarik-narik kaki tangan kongkong-nya.

Sastrawan muda itu hanya tersenyum saja dan mengangguk-angguk. Maka beramai ramai para piauwsu lalu menggotong tubuh yang masih bersila itu, meletakkannya ke dalam lubang yang cukup dalam. Setelah Siauw Goat memberi hormat untuk yang terakhir kalinya dengan hio yang menjadi bekal para piauwsu, kemudian semua piauwsu juga memberi hormat, bahkan juga tiga orang saudagar gendut, kecuali Si Sastrawan, maka jenazah dalam lubang itu lalu ditimbuni tanah. Tidak terdengar tangis, akan tetapi sastrawan itu melihat betapa air matanya bercucuran dari kedua mata Siauw Goat yang berdiri tegak. Anak ini menangis, namun kekerasan hatinya membuat tidak ada isak keluar dari mulutnya.

“Luar biasa.... anak luar biasa....,” Sastrawan muda itu menggumam kepada diri sendiri.

Setelah selesai penguburan itu, Siauw Goat lalu minta kepada Lauw Sek agar makam itu diberi tanda. Piauwsu itu kelihatan bingung. “Ah, tanda apa yang dapat dipakai di tempat ini? Kecuali batu-batu kecil ditumpuk.” Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan batu-batu.

Akan tetapi tiba-tiba tampak sastrawan muda itu datang dan kedua tangannya yang diangkat ke atas kepala itu membawa sebongkah batu sebesar kerbau bunting! Semua orang memandang dengan kagum dan terkejut, tetapi dengan seenaknya sastrawan itu menurunkan batu perlahan-lahan ke depan makam baru. Tanpa berkata sesuatu dia lalu mundur lagi. Gadis cilik itu pun hanya memandang sejenak kepada Si Sastrawan, tanpa mengucapkan terima kasihnya karena dia masih mendongkol kepada sastrawan itu. Kalau semalam sastrawan itu berada di situ dan kakeknya tidak perlu harus menandingi para perampok, kakeknya belum tentu akan mati!

Rombongan itu kemudian melanjutkan perjalanan, menuruni lembah, dari hutan bambu itu terus menurun, menuju ke dusun Lhagat. Rombongan melakukan perjalanan dengan agak tergesa-gesa dan pada wajah para piauwsu itu terbayang ketakutan setelah mereka mendengar cerita Si Sastrawan bahwa Yeti berkeliaran di daerah itu dan membunuh orang secara amat mengerikan.

Mereka tidak banyak bicara selama dalam perjalanan ini, bukan hanya karena takut dan ngeri kepada Yeti, akan tetapi juga karena mereka masih menghormati kematian Kakek Kun dan berada dalam keadaan berkabung. Juga Siauw Goat yang biasanya lincah itu kini nampak pendiam, akan tetapi sepasang matanya kadang-kadang mengeluarkan sinar penuh api kemarahan.

“Siauw Goat, Kongkong-mu meninggalkan pesan agar mulai saat ini aku menjadi walimu, mengamatimu, mengurusmu dan mengantarkan engkau untuk mencari orang tuamu,” di dalam perjalanan itu Lauw Sek mendekatinya dan berkata lirih.

Gadis cilik itu mengangguk tanpa menjawab.

“Oleh karena itu, mulai sekarang, kuharap engkau suka menuruti segala petunjukku, karena aku merasa bertanggung jawab atas dirimu. Engkau tentu mengerti bahwa aku harus memenuhi segala janjiku kepada Kongkong-mu, Siauw Goat.”

Gadis cilik itu mengangkat kepala dan memandang kepada wajah piauwsu itu dengan sinar mata penuh selidik, sinar mata yang amat tajam. Agaknya dia merasa puas dengan hasil penyelidikan sinar matanya, karena dia kembali mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar dia menjawab lirih. “Baiklah, Lauw-pek.”

Walau pun dia berjalan agak menyendiri dan agak jauh dari Siauw Goat, akan tetapi pendengaran yang tajam dari Si Sastrawan dapat menangkap percakapan lirih itu dan dia hanya tersenyum sendiri. Perjalanan dilanjutkan dengan secepat mungkin dan kini para piauwsu terpaksa membagi-bagi barang-barang bawaan yang dikawal karena sudah tidak ada lagi kuli-kuli angkut yang membantu mereka.

********************

Lhagat adalah sebuah dusun yang besar, mirip sebuah kota yang dikitari gunung-gunung besar. Lhagat merupakan sebuah tempat di perbatasan yang selalu ramai karena tempat ini merupakan tempat pemberhentian dari mereka yang melakukan perjalanan dari Tibet ke Nepal atau India, atau pun sebaliknya. Juga merupakan tempat di mana orang-orang memperdagangkan barang-barang dagangan mereka dari negaranya masing-masing, pendeknya merupakan pasar bagi para pedagang dari berbagai negeri yang bertetangga.

Tempat perbatasan Lhagat ini dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Menurut pengakuannya secara resmi, Lhagat termasuk wilayah atau daerah dari Negara Tibet. Akan tetapi, karena tempat ini amat jauh dari kota-kota lain, juga amat terpencil dan berada di antara gunung-gunung yang amat luas dan liar, sedangkan tetangganya hanya dusun-dusun kecil terpencil di sana-sini, maka Kepala Daerah itu memerintah tempat ini seperti seorang raja kecil saja! Semua hal termasuk keamanan, pajak, dan peraturan peratuan menjadi wewenangnya, bahkan Kepala Daerah ini mempunyai pasukan sendiri.

Akan tetapi dia terkenal sebagai seorang pembesar atau kepala daerah yang bijaksana, karena Kepala Daerah ini maklum bahwa tempatnya merupakan sumber penghasilan yang besar dengan adanya pusat perdagangan jual beli antara pedagang-pedagang berbagai negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh bantuan berupa pungutan derma semacam pajak yang diberikan secara suka rela oleh para pedagang yang tentu saja mendapatkan banyak keuntungan dari perdagangan mereka.

Pada hari-hari biasa yang lalu, Lhagat merupakan tempat yang tenang dan tenteram, keramaian yang ada hanya keramaian dagang yang tidak segan-segan membuang sebagian dari pada keuntungan mereka untuk bersenang-senang. Akan tetapi pada waktu itu, ada semacam ketegangan yang hebat mencekam hati penduduk Lhagat, membuat semua wajah nampak muram dan ketakutan. Ada dua peristiwa terjadi dan inilah yang membuat para penghuni kehilangan kegembiraannya.

Yang pertama adalah orang-orang asing yang membanjiri Lhagat. Orang-orang asing dengan pakaian dan sikap aneh-aneh dan biar pun sebagian besar mereka itu mengaku pelancong dan pedagang, akan tetapi sikap mereka amat mencurigakan karena yang mengaku pelancong lebih mirip jago-jago silat sedangkan yang mengaku pedagang tidak membawa barang dagangan melainkan membawa-bawa segala macam senjata tajam dan aneh-aneh!

Jelaslah bahwa mereka itu adalah petualang-petualang, orang-orang kang-ouw dan berkumpulnya mereka pada suatu saat di tempat itu tentu telah terjadi hal hal yang amat hebat. Hal ini saja belum meninggalkan kecemasan bagi para penduduk Lhagat.

Yang membuat mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua, yaitu banyaknya mayat-mayat ditemukan di sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutan-hutan. Hampir setiap hari datang laporan kepada Kepala Daerah tentang adanya mayat-mayat yang ditemukan oleh para pelancong itu atau oleh para pemburu, pedagang dan juga para penggembala setempat. Dan selalu mayat-mayat itu ditemukan dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka koyak-koyak. Meski peristiwa ini dihubungkan dengan dongeng tentang manusia salju yang mengamuk, namun para penghuni Lhagat tetap saja menyalahkan para pendatang asing itu, dan memandang mereka dengan sinar mata tidak senang.

“Yeti tidak pernah mengamuk dan membunuhi manusia,” kata seorang kakek penghuni asli Lhagat. “Selama hidupku belum pernah aku mendengar ada Yeti mengamuk karena makhluk itu bukan sebangsa binatang buas pemakan bangkai. Kalau sampai ada Yeti mengamuk, kalau memang benar Yeti yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, maka tentu ada sebabnya, tentu dia dibikin marah dan siapa lagi yang berani membikin marah Yeti kecuali orang-orang asing itu?”

Inilah sebabnya mengapa kota atau dusun yang biasanya ramai meriah itu kini nampak muram dan sunyi, wajah para penghuni membayangkan kegelisahan. Dalam suasana seperti itulah rombongan Lauw-piauwsu memasuki Lhagat. Rombongan Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal oleh penghuni Lhagat, bahkan Kepala Daerah sendiri memiliki hubungan baik dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan rombongan ini tentu saja disambut dengan gembira karena biasanya rombongan ini membawa saudagar-saudagar dan siapa pun yang datang bersama rombongan ini tentu saja tidak dicurigai.

Maka biar pun hotel-hotel sudah penuh, tempat yang disebut dusun itu banyak memiliki hotel karena banyaknya pedagang dari luar daerah yang berdatangan, tidaklah sukar bagi rombongan Lauw-piauwsu untuk memperoleh tempat penginapan. Banyak penghuni yang menawarkan tempatnya untuk Lauw-piauwsu, akan tetapi Lauw-piauwsu yang membawa dua orang teman yang terluka itu lebih suka tinggal menumpang di rumah samping milik Kepala Daerah yang dengan senang hati menerima kedatangan Lauw-piauwsu dan rombongannya.

Lauw-piauwsu kemudian menyuruh anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu untuk melanjutkan perjalanan ke perbatasan Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari Lhagat dan melalui jalan yang sudah aman dan baik. Dan dari perbatasan ini nanti barang-barang kawalan milik pedagang Katmandu itu akan dioperkan kepada kafilah atau rombongan penyambut dari pedagang itu sendiri. Lauw-piauwsu sendiri bersama Siauw Goat dan dua orang anak buahnya yang terluka tinggal di rumah samping gedung kepala daerah sambil merawat dan mengobati dua orang yang terluka itu.

Tiga orang saudagar gendut yang ikut dalam rombongan sudah memisahkan diri setelah membayar biaya pengawalan kepada Lauw-piauwsu dan mereka sudah melupakan kesengsaraan dan ketakutan yang mereka derita dalam perjalanan itu. Kini dengan muka penuh senyum mereka mulai memperdagangkan barang-barang berharga mereka di pasar dengan keuntungan yang berlipat ganda. Juga sastrawan muda itu sudah tidak nampak lagi, tanpa mengucapkan terima kasih kepada Lauw-piauwsu, karena memang dia tidak merasa menumpang, hanya ‘kebetulan’ saja melakukan perjalanan bersama rombongan itu.

Lauw-piauwsu mendengar dari para prajurit penjaga gedung kepala daerah bahwa para pelancong asing itu tertunda keberangkatan mereka di Lhagat. Semua orang tidak dapat melanjutkan perjalanan karena pada waktu itu terdapat badai salju mengamuk, dan biasanya badai seperti ini makan waktu dua tiga pekan. Siapa yang berani melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya pada waktu badai mengamuk berarti ingin mati konyol.

Karena hambatan inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh saja, karena orang-orang kang-ouw makin banyak membanjir datang, sedangkan yang sudah berada di situ tidak dapat pergi karena adanya badai salju itu. Maka kini hampir semua rumah menerima tamu! Keadaan ini ditambah dengan laporan-laporan tentang ditemukannya mayat mayat di sekitar daerah Lhagat, cukup membuat penghuni dusun atau kota itu menjadi panik.

Apalagi ketika mereka mendengar kabar bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat mengkhawatirkan adanya kematian-kematian aneh itu, sudah mengutus sepasukan prajurit untuk melakukan penyelidikan dan telah tiga hari lamanya pasukan itu berangkat, sampai sekarang belum ada kabar beritanya! Mereka semua kini menanti-nanti dengan gelisah.

Karena Lauw-piauwsu sibuk merawat kedua orang anak buahnya, maka Siauw Goat memperoleh banyak kesempatan untuk menyendiri. Namun dara cilik ini agaknya telah reda kedukaannya karena kematian kakeknya dan dia bahkan mendapatkan kembali kelincahan dan kegembiraannya.

“Lauw-pek, kapan kita melanjutkan perjalanan?” berkali-kali dia bertanya.

“Sabarlah, Siauw Goat. Dua orang paman yang luka itu sudah hampir sembuh dan nanti kalau para pamanmu piauwsu itu sudah kembali, kita akan melanjutkan perjalanan memenuhi pesan kakekmu. Pula sekarang terdapat badai salju, tidak seorang pun yang akan mampu melakukan perjalanan karena badai itu berbahaya sekali.”

Siauw Goat tidak banyak membantah karena dia yang banyak berkeliaran keluar sudah mendengar jelas tentang hal itu, bahkan dia sudah mempunyai banyak sekali kenalan dan sudah banyak mengobrol dengan para penghuni dusun Lhagat. Dia dikenal sebagai Goat-siocia (Nona Goat) dan sebagai puteri angkat Lauw-piauwsu!

“Lauw-pek, aku ingin mempunyai busur dan anak panah, ada kulihat dijual orang busur dan anak panahnya yang baik di ujung dusun.”

Lauw Sek memandang dengan alis berkerut dan penuh keheranan. “Busur dan anak panah? Untuk apa?”

“Untuk mempersenjatai diri! Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh penuh bahaya? Aku dapat melindungi diri sendiri dengan senjata itu.”

“Ahh, apakah engkau bisa mempergunakan busur dan anak panah, Siauw Goat?”

“Engkau lihat saja nanti, Lauw-pek. Mari kita membeli sebuah busur dan beberapa batang anak panah untukku!”

Lauw Sek tersenyum mengangguk dan mereka lalu pergi ke tempat orang menjual senjata yang banyak diperjual belikan di situ karena para pemburu sering kehilangan anak panah dan selalu membutuhkan cadangan baru. Lauw Sek kemudian memilihkan sebatang busur yang tidak terlalu besar dan berat, dan segebung anak panah yang belasan batang jumlahnya. Giranglah hati Siauw Goat. Dia segera mengalungkan tempat anak panah itu di pundaknya.

“Mari kita coba anak panahku, Lauw-pek,” katanya gembira dan mereka lalu pergi ke tempat sunyi. “Lihat, aku akan memanah batang pohon itu!” Siauw Goat berkata lagi sambil menuding ke arah sebatang pohon yang tidak lebih besar dari tubuhnya sendiri.

Cepat sekali dia sudah mengambil dua batang anak panah, tahu-tahu sudah dipasang di busurnya dan terdengar tali gendewa menjepret dan dua batang anak panah itu meluncur cepat dan menancap tepat di tengah-tengah batang pohon, berjajar dengan rapinya! Diam-diam Lauw Sek kagum juga. Memang anak ini bukan pembual, pikirnya. Ilmu memanahnya memang boleh juga dan dapat diandalkan sebagai pelindung dirinya kalau bertemu dengan orang jahat. Pantaslah kalau diingat bahwa anak ini adalah cucu dari seorang kakek lihai seperti mendiang Kakek Kun.

“Bagus!” Lauw Sek memuji sambil tertawa. “Kiranya engkau ahli memanah, Siauw Goat. Aku girang melihat ini, dan hatiku merasa lebih aman karena engkau pandai menjaga diri. Akan tetapi jangan engkau sembarangan menggunakan anak panah untuk melukai orang.”

Siauw Goat menghampiri pohon itu dan mencabut dua batang anak panahnya, lalu disimpannya kembali ke tempat anak panah yang tergantung di punggungnya. “Aku tahu, Lauw-pek. Dan pula, anak panah ini pun hanya kupergunakan apabila perlu dan terdesak saja. Sebelum mempergunakan anak panah itu, busur ini pun sudah cukup baik untuk kupakai menjaga diri.”

Ucapan ini makin menggirangkan hati Lauw Sek karena dia tahu bahwa selain pandai memanah, gadis cilik ini tentu pandai bermain silat menggunakan busur itu sebagai senjata, dan hal ini pun tidak mengherankan mengingat akan kepandaian kakeknya. Dia kagum karena menggunakan busur sebagai senjata bukankah hal yang mudah dan harus dipelajari secara khusus, berbeda dengan senjata-senjata lain seperti pedang, golok, tombak atau toya misalnya.

Akan tetapi pada keesokan harinya Lauw-piauwsu menjadi bingung sekali ketika dia tidak melihat anak perempuan itu di kamarnya. Bahkan para pelayan mengatakan bahwa pagi pagi sekali anak perempuan itu telah pergi meninggalkan tempat itu membawa busur dan anak panah. Lauw-piauwsu segera mencarinya, akan tetapi biar pun dia bertanya-tanya dan berputar-putar di daerah dusun, tetap saja dia tidak dapat menemukan Siauw Goat. Tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Apalagi keadaan makin gawat saja dengan berita-berita tentang adanya banyak orang yang kedapatan mati dalam keadaan mengerikan.

Akhirnya Lauw-piauwsu bertemu dengan seorang penduduk yang melihat Siauw Goat. “Dia pagi tadi ikut bersama pasukan keluar dari pintu gerbang!”

Mendengar ini Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya. Pasukan itu adalah pasukan yang diutus oleh Kepala Daerah untuk menyusul pasukan pertama yang sudah tiga hari tidak ada kabar beritanya! Mau apa anak itu ikut dengan rombongan pasukan,yang bertugas menyusul pasukan pertama itu? Teringat akan janjinya kepada Kakek Kun, Lauw Sek merasa tidak enak sekali dan karena keadaan kedua orang temannya yang terluka kini sudah mendingan, dia lalu pergi pula untuk menyusul dan mencari Siauw Goat.

Ke mana perginya anak perempuan itu? Memang benar seperti apa yang didengar oleh Lauw Sek dari penghuni Lhagat itu. Siauw Goat yang banyak kenalan itu mendengar bahwa Kepala Daerah mengirim pasukan untuk mencari pasukan pertama yang sudah tiga hari pergi untuk menyelidiki tentang kematian-kematian aneh yang terjadi di sekitar Lhagat. Mendengar ini, hati Siauw Goat tertarik sekali dan diam-diam dia lalu membujuk komandan pasukan itu untuk diperkenankan ikut!

Sang Komandan, seperti juga orang-orang lain, suka kepada gadis cilik yang lincah ini, apalagi dia tahu bahwa gadis cilik ini adalah ‘puteri angkat’ dari Lauw-piauwsu yang telah dikenalnya, bahkan yang kini tinggal di rumah samping dari gedung Kepala Daerah. Oleh karena itu dengan senang hati komandan itu menerima permintaan Siauw Goat dan demikianlah, pagi-pagi benar Siauw Goat sudah bangun, membawa gendewa dan anak panahnya lalu ikut dengan rombongan pasukan itu keluar dari Lhagat untuk menyusul dan mencari pasukan pertama.

Biar pun hati Lauw Sek sudah tidak begitu khawatir lagi setelah mendengar bahwa Siauw Goat ikut bersama pasukan, namun dia tetap keluar dari dusun itu untuk mencarinya. Adalah menjadi kewajibannya seperti dijanjikan kepada mendiang Kakek Kun untuk menjaga Siauw Goat. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak itu, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Lauw Sek berlari cepat mengejar rombongan pasukan yang menuju ke barat. Dia telah ketinggalan beberapa jam lamanya.

Menjelang tengah hari, pada saat dia tiba di puncak sebuah bukit dan memandang ke bawah ke arah barat, nampaklah olehnya serombongan orang. Hatinya berdebar tegang karena dia mengenal orang yang berpakaian seragam. Yang membuatnya tegang dan khawatir adalah ketika dia melihat mereka itu menggotong mayat beberapa orang! Larilah Lauw Sek dan baru hatinya merasa lapang ketika dia mengenal Siauw Goat berada di antara mereka. Dara cilik ini masih memegang busur dan dia berjalan dengan langkah tegap di samping komandan pasukan, sedangkan anak buah pasukan itu ternyata menggotong mayat-mayat sebanyak tujuh orang!

“Siauw Goat....!” Lauw Sek memanggil girang sambil berlari menghampiri.

“Lauw-pek, engkau mau ke mana?” tanya gadis cilik itu.

Lauw Sek memandang dengan mata terbelalak, menahan kemarahannya. “Ke mana lagi kalau tidak mencarimu, anak nakal? Kenapa engkau pergi tanpa pamit?”

Siauw Goat tersenyum. “Habis, kalau pamit tentu Lauw-pek tidak akan menyetujui.”

Komandan itu cepat menghampiri Lauw Sek. “Ahh, Lauw-piauwsu, jadi puterimu ini tidak memberitahu bahwa dia ikut bersama kami? Ahh, maafkan kami, kami kira dia sudah memberi tahu dan....”

“Sudahlah, syukur tidak terjadi sesuatu dengan dia. Dan mayat-mayat ini....“ dia tidak melanjutkan karena pandang matanya mengenal sepatu dan pakaian seragam pada mayat-mayat itu maka mengertilah dia bahwa mayat-mayat itu adalah mayat-mayat para prajurit pasukan pertama yang tiada kabar beritanya itu! Ternyata mereka juga telah menjadi korban, entah korban Yeti seperti yang dikabarkan orang, entah korban apa.

“Kami menemukan mereka di lereng bukit di sana, hanya ada tujuh orang yang telah tewas, sedangkan sisanya semua berada di dalam jurang yang amat curam, tak mungkin diambil lagi mayat-mayat mereka yang berada di dasar jurang itu,” kata komandan pasukan sambil menarik napas panjang.

“Siapa.... yang melakukan itu?” tanya Lauw Sek, pertanyaannya yang sia-sia karena sebetulnya semua orang, juga dia, menduga keras bahwa tentulah semua pembunuhan itu dilakukan oleh Yeti!

Komandan itu mengangkat pundak, kemudian berkata lirih. “Kami tak menemukan siapa siapa di sana, hanya melihat jejak kaki yang besar dan dalam....“

“Jejak....”

“Yeti, Pek-pek! Sudah pasti jejak makhluk kejam itu! Aku sudah minta kepada paman paman ini untuk melanjutkan perjalanan mencari makhluk itu, akan tetapi mereka tidak mau dan lebih dulu hendak membawa pulang mayat-mayat itu. Aku ingin bertemu dengan dia, dan akan kuhabiskan panahku untuk membunuhnya!”

“Hushh, Siauw Goat, jangan lancang bicara kau!” Lauw-piauwsu berkata dan dia merasa seram, memandang ke kanan kiri.

“Apakah Pek-pek juga takut terhadap Yeti yang jahat itu?” Hemm, kalau Kongkong masih hidup, tentu kongkong akan mencarinya dan membunuhnya supaya dia tidak lagi membunuhi banyak orang.”

Diam-diam Lauw Sek kagum sekali kepada anak perempuan ini dan mengertilah dia mengapa anak ini minta dibelikan busur dan anak panah. Kiranya diam-diam anak itu marah kepada Yeti yang membunuh banyak orang dan ketika terbuka kesempatan, dia ikut bersama pasukan itu dengan harapan untuk dapat membunuh Yeti! Akan tetapi, keberanian yang nekat dari anak ini kelak dapat membuat repot kalau dia mengantar anak ini mencari orang tuanya, pikirnya. Maka di sepanjang perjalanan kembali ke Lhagat, Lauw Sek mengomeli Siauw Goat dan memesan dengan keras bahwa anak itu selanjutnya tidak boleh pergi tanpa pamit.

“Siauw Goat, engkau tahu bahwa akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu, maka engkau tidak boleh pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku. Mengerti?”

Melihat wajah yang marah dan suara yang kaku itu, mulut kecil mungil itu merengut dan dia tidak menjawab, hanya mengangguk kaku. Selanjutnya, Siauw Goat tak pernah mau bicara lagi dalam perjalanan itu sampai mereka memasuki dusun Lhagat, disambut dengan wajah pucat oleh semua orang yang melihat mayat-mayat para prajurit keamanan itu dan mendengar tentang kematian seluruh pasukan pertama secara mengerikan dan juga aneh. Makin paniklah orang-orang di situ, dan sekarang mereka membicarakan Yeti dengan suara berbisik-bisik, seolah-olah takut kalau-kalau makhluk iblis itu akan muncul kalau namanya disebut-sebut dengan keras.

Ratap tangis terdengar di Lhagat hari itu ketika keluarga para prajurit yang tewas itu menangisi kematian mereka. Penduduk merasa prihatin dan juga diam-diam marah sekali. Kaum tua di Lhagat masih tetap berpendapat bahwa semua ini adalah gara-gara para orang kang-ouw yang berdatangan di Lhagat. Tentu di antara mereka itu ada yang mengusik Yeti sehingga makhluk yang oleh para penghuni Lhagat dianggap dewa penjaga gunung salju itu kini mengamuk dan membunuh orang tanpa pilih bulu lagi. Maka kaum tua ini lalu mendesak kepala daerah untuk melakukan upacara sembahyang agar dewa itu berhenti mengamuk.

Akan tetapi di kalangan orang kang-ouw yang berada di Lhagat, diam-diam merasa curiga. Mungkinkah Yeti yang mengamuk? Seorang atau seekor Yeti saja? Ataukah ada rahasia tersembunyi di balik pembunuhan-pembunuhan itu? Mereka semua tahu bahwa kini banyak tokoh-tokoh besar kaum sesat juga berada di daerah itu untuk mencari dan memperebutkan pedang pusaka yang dicuri orang dari dalam istana. Dan pembunuhan pembunuhan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh golongan sesat, tentu saja kalau bukan Yeti pelakunya.

Siauw Goat yang agak marah karena terus diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut pulang melainkan memasuki sebuah warung yang pemiliknya telah menjadi kenalan baiknya. Melihat gadis cilik itu kelihatan marah, Lauw-piauwsu hanya menarik napas panjang saja dan maklum bahwa dia sungguh memperoleh tugas yang amat berat dari mendiang Kakek Kun. Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan!

Masuknya Siauw Goat ke dalam restoran kecil itu disambut oleh pemilik warung dan para pelayannya dengan senyum gembira. “Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut bersama rombongan pasukan yang menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah kepada kami!” teriak Si Pemilik Warung.

“Ceritakan apa lagi?” kata Siauw Goat dengan nada tak senang. “Mereka semua telah mati oleh iblis terkutuk Yeti itu!”

“Siocia....!” Semua orang terkejut dan memandang kepada dara cilik itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Yeti dianggap dewa penunggu Gunung Salju oleh mereka, merupakan makhluk yang sakti dan dapat memberkahi atau mengutuk mereka. Dan kini gadis cilik itu seenaknya saja menamakan dewa itu iblis terkutuk!

Melihat sikap ini, Siauw Goat menjadi makin mendongkol. Betapa semua orang takut kepada Yeti, bahkan Lauw-piauwsu juga ketakutan! Dia lalu membusungkan dadanya yang masih belum penuh betul itu, lalu berkata, “Tunggu saja, kalau aku bertemu dengan Yeti si iblis terkutuk, akan kuhabiskan semua anak panahku untuk membunuhnya!”

Semua orang menjadi semakin kaget, dan pada saat itu terdengar suara ketawa seorang laki-laki di sudut warung. Laki-laki ini sedang minum arak dari sebuah cawan, agaknya dia setengah mabok. Kepalanya bergoyang-goyang ketika dia tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, omongan bau kentut busuk, bau kentut busuk....!”

Semua orang menahan ketawanya. Tentu saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu adalah omongan Siauw Goat yang dianggap kentut busuk alias omong kosong. Dan memang semua orang menganggapnya omong kosong. Gadis cilik seperti ini menantang Yeti dan bersumbar akan membunuhnya? Akan tetapi Siauw Goat menjadi marah bukan main mendengar ejekan itu. Secepat kilat dia telah memasang sebatang anak panah pada busurnya dan sekali busurnya menjepret, anak panah itu menyambar ke arah Si Pemabok.

“Tringgg!” Cawan di tangan Si Pemabok itu tepat terkena anak panah dan terlepas dari tangannya. Arak muncrat dan menyiram mukanya.

“Ehhh....?” Si Pemabok bangun dan memandang kepada Siauw Goat dengan marah. “Berani engkau....?”

Akan tetapi beberapa orang pelayan memegang pundaknya dan berkata, “Ssttt.... kau sudah mabok rupanya. Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini adalah Goat-siocia puteri Lauw-piauwsu. Pergilah....!”

Ternyata nama Lauw-piauwsu sudah amat terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok dapat dibujuk-bujuk meninggalkan warung itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri tegak sambil tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busurnya.

“Hemmm, engkau makin angkuh saja....!” Tiba-tiba terdengar suara halus.

Siauw Goat cepat memutar tubuhnya menengok ke arah suara itu dan ternyata di sudut yang lain duduk seorang sastrawan muda yang pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal, maka bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya, bahkan yang diketahuinya merupakan seorang yang berilmu tinggi, maka gembiralah hatinya, lupa bahwa dahulu dia juga sering kali mendongkol kepada sastrawan muda itu.

“Eh, kau di sini?” tegurnya seperti menegur seorang kawan sebaya saja, dan Siauw Goat dengan wajah yang manis berseri lalu berloncatan menghampiri. Sikap yang demikian lincah, senyum yang demikian manis dan wajah yang berseri-seri itu tidak mungkin membuat hati orang tinggal beku.

Sastrawan muda itu pun menahan senyumnya dan setelah mereka saling berpandangan, sastrawan muda itu lalu bangkit berdiri dan berkata. “Duduklah, dan kalau engkau suka, mari makan dan minum denganku.”

“Kalau aku suka? Tentu saja! Aku haus sekali dan.... wah, perutku lapar bukan main, agaknya....“ dia menengok ke arah pemilik warung dan pelayannya, lalu melanjutkan dengan kesengajaan yang nakal. “agaknya saat ini aku bisa menghabiskan seekor Yeti panggang saus tomat sekarang ini!”

Tentu saja wajah pemilik warung dan para pelayannya amat lucu untuk dipandang, dan sastrawan muda itu pun hampir tak kuat menahan senyumnya. “Lopek, tambahkan lagi bakminya, daging panggang dan.... ehh, Siauw Goat, apa engkau suka minum arak?”

Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Untukku teh panas saja!”

Dia pun lalu duduk dan tak lama kemudian gadis cilik ini sudah makan minum sambil mengobrol dengan asyiknya bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak mempedulikan permintaan pemilik warung dan para pelayan, kini dengan suka rela tanpa diminta dia menceritakan pengalamannya ketika dia mengikuti rombongan pasukan dan menemukan mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit itu.

“Wah, jejak kaki itu besar dan dalam sekali, Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti. Apakah dulu Paman juga pernah melihatnya?”

Cara gadis cilik ini bicara amat ramah dan seolah-olah dia bicara dengan seorang pamannya sendiri, membuat sastrawan itu pun merasa gembira dan sebutan paman yang demikian akrab itu membuatnya tersenyum. Selama dalam perjalanan, belum pernah Siauw Goat melihat orang ini tersenyum maka ketika melihat wajah tampan itu tersenyum, dia kagum dan memandang dengan bengong.

“Hei, apa yang kau pandang?” sastrawan itu berseru.

“Wajahmu! Engkau.... tampan sekali kalau tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak mau sering tersenyum atau tertawa, sebaliknya selalu bermuram saja yang menyelimuti ketampananmu?”

Sepasang mata yang biasanya muram dan mencorong aneh itu kini terbelalak. Kejujuran dan kepolosan watak gadis cilik ini amat menarik hatinya, juga mengejutkan. Perlahan lahan wajah yang muram itu berseri. “Engkau pun manis sekali, Siauw Goat.”

Gadis cilik itu mengangguk! Agaknya dia pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya, yakin akan dirinya sendiri seperti sudah diperlihatkan tadi ketika dia memanah cawan dari tangan Si Pemabok tadi. Kalau tidak yakin kepada diri sendiri tentu dia akan merasa ragu dan takut kalau-kalau panahnya meleset dan mengenai tubuh orang itu!

“Paman, engkau tentu seorang siucai (sastrawan), bukan? Pakaianmu itu....”

Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Biarlah kupanggil engkau Paman Sastrawan! Namamu tidak dapat diberitahukan orang lain, bukan?”

Kembali pria itu terkejut. Bocah ini sungguh bermata tajam sekali dan agaknya mampu menjenguk isi hatinya. “Bagaimana engkau bisa menduga begitu?”

Siauw Goat mengangguk-angguk. “Kau ini seperti mendiang kakekku, selalu menyelimuti diri dengan rahasia dan keanehan. Kau tahu, bahkan namaku pun dirahasiakan kakek, setidaknya, nama lengkapku dan aku hanya boleh memperkenalkan diri dengan nama Goat saja, yang hanya merupakan sebutan. Dan nama kakek hanya diperkenalkan sebagai Kun saja. Biarlah, aku pun tidak akan mendesak untuk bertanya siapa namamu, karena andai kata kau berikan pun, tentu itu nama palsu. Tetapi, boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke mana, Paman?”

Ditanya demikian, sastrawan itu termangu-mangu, lalu menarik napas panjang dan berkata, “Ke mana, ya? Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tempat tertentu, hanya merantau saja. Sudah puluhan propinsi kulalui, ratusan kota kukunjungi, ribuan dusun kujelajahi. Entah sudah berapa ratus buah gunung kudaki, ratusan batang sungai kuseberangi....“

“Aihhh senangnya....!” Siauw Goat berseru, kemudian menengadah seperti orang yang membayangkan semua itu dengan wajah berseri dan bibir yang mungil kemerahan itu tersenyum!

Sastrawan itu memandang heran. “Apanya yang senang?”

“Tidak senangkah engkau?”

“Entahlah....“

“Tentu senang sekali.” Tiba-tiba dia menggerakkan tangan, telunjuk kirinya yang kecil menuding ke luar jendela warung, ke arah seekor burung yang sedang beterbangan di angkasa. “Lihat, engkau seperti burung itu! Alangkah senangnya, terbang bebas lepas tanpa ada yang mengikat!”

Sastrawan itu memandang sebentar, lalu dia menatap wajah mungil itu sambil berkata, “Siauw Goat, engkau agaknya tidak mendengar keluhan burung itu....”

“Apa? Dia hanya berkicau riang! Apakah dia mengeluh, dan apa yang dikeluhkannya?”

“Dengar baik-baik. Kalau dia sudah kelelahan terbang, kepanasan, kehujanan, akhirnya dia mengeluh, merindukan sebuah sarang di mana dia dapat beristirahat dengan tenang dan aman....“

“Ohh.... ahh.... benarkah itu, Paman?” Gadis itu termenung, agaknya kata-kata sastrawan itu menimbulkan kebimbangan di dalam hatinya. Dia sendiri selama ini membayangkan betapa bahagianya hidup bebas lepas seperti burung di udara, akan tetapi ternyata sastrawan yang hidup seperti burung ini agaknya tidak merasakan kebahagiaan itu, bahkan agaknya merindukan rumah, merindukan ikatan!

Memang selama manusia belum dapat bebas dalam arti yang sebenarnya, dia akan selalu merindukan sesuatu yang tidak atau belum ada! Tidaklah mengherankan apabila manusia yang tinggal di tepi laut merindukan keindahan alam pegunungan, sebaliknya mereka yang tinggal di lereng gunung merindukan keindahan pantai lautan!

Manusia yang belum bebas selalu menganggap keadaan orang lain lebih menyenangkan dari pada keadaan diri sendiri, milik orang lain lebih menarik dari pada miliknya sendiri, dan selanjutnya. Pendeknya, yang terbaik dan terindah itu selalu berada di sana, sedangkan yang berada di sini selalu membosankan, buruk dan tidak seindah yang di sana!
< br>Hanya kalau orang sudah benar-benar bebas dari pada permainan pikiran yang mengejar kesenangan, kalau sudah bebas dari bayangan-bayangan kesenangan masa lalu yang menjadi kenangan, bebas dari penilaian, bebas dari perbandingan, maka dia dapat membuka mata dan memandang dengan wajar, memandang dengan waspada dan dengan penuh perhatian, sepenuh perhatiannya, kepada apa adanya di saat ini!

Dan kalau sudah dapat memandang seperti itu, setiap saat terhadap apa yang ada, tanpa dikotori perbandingan dan penilaian, maka batin tidak lagi digoda oleh bayangan bayangan yang hanya mendatangkan pengejaran kesenangan dan akhirnya menuntun kita kepada kebosanan, kekecewaan dan kesengsaraan. Hanya kalau mata kita terbuka dan mengamati apa adanya setiap saat, maka akan nampaklah segala yang ada pada apa adanya itu.

Dan apabila dalam penglihatan hasil pengamatan ini masih ada ‘ini baik dan menyenangkan’, ‘itu buruk dan tidak menyenangkan’, maka pengamatan itu pun akan menjadi kotor dan ternoda karena yang berkata baik atau buruk, itu bukan lain adalah pikiran yang selalu menjangkau kesenangan!

Maka, dapatkah kita mengamati segala sesuatu yang terjadi, baik di luar mau pun di dalam diri, mengamati segala macam benda di luar kita dan segala macam gerak-gerik tubuh kita, kata-kata kita, pikiran kita, tanpa penilaian, tanpa perbandingan dan hanya pengamatan saja yang ada, tanpa adanya si aku atau pikiran yang mengamati.

Pengamatan seperti ini bebas dari baik buruk atau susah senang, pengamatan seperti ini melahirkan tindakan-tindakan wajar yang tidak dipengaruhi untung rugi. Pengamatan seperti ini adalah bebas, dan hanya dalam kebebasan inilah cinta kasih dapat menembuskan sinarnya
.

“Paman Sastrawan, jika memang engkau merasa bosan merantau bebas seperti seekor burung, mengapa tidak kau hentikan saja?” Siauw Goat memang seorang anak yang cerdik, maka kini dia mendesak pemuda sastrawan itu.

“Karena aku tidak mungkin berhenti, aku harus mencari....”

“Mencari apa? Mencari siapa?”

“Mencari isteriku....”

“Ehhh....?” Siauw Goat memandang dengan matanya yang bening tajam.

Sastrawan itu menarik napas panjang. Anak perempuan itu demikian menarik hatinya, merupakan satu-satunya orang yang selama bertahun-tahun ini dapat menggerakkan hatinya sehingga dia mau bicara tentang dirinya. Kini dia berkata dengan nada suara berat. “Sudah hampir lima tahun aku mencarinya.... ke seluruh kolong langit.... dan aku sudah hampir putus asa....”

“Isterimu kenapa, Paman? Bagaimana mungkin seorang isteri lari darimu? Siapa dia dan siapa namanya, bagaimana macamnya? Biar aku bantu mencari!”

Menghadapi pertanyaan bertubil-tubi itu, sastrawan muda ini menahan senyum. Dia sudah sadar lagi dan kini hanya menggeleng kepala.

Siapakah sebenarnya pemuda sastrawan ini? Pernah dia mengaku kepada Koai-tung Sin-kai Bhok Sun bahwa Sai-cu Kai-ong pernah menjadi gurunya. Dari pengakuan ini para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu akan dapat mengenalnya atau menduga siapa adanya sastrawan muda ini.

Sastrawan muda yang berwajah tampan gagah dan bertubuh jangkung tegap ini bernama Kam Hong. Dia adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Semenjak kecil Kam Hong sudah menjadi yatim piatu dan dia dirawat oleh seorang kakek sakti berjuluk Sin-siauw Sengjin (Manusia Dewa Suling Sakti) yang sebetulnya merupakan keturunan dari seorang hamba dari Suling Emas dan kakek inilah yang secara rahasia menyimpan kitab-kitab peninggalan Suling Emas, menyimpannya untuk kelak diserahkan kepada yang berhak yaitu Kam Hong sebagai keturunan langsung dari pendekar sakti Suling Emas.

Ketika masih kecil sekali, Kam Hong telah ditunangkan dengan seorang anak perempuan yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Yu, yaitu yang dahulu menjadi sahabat baik Suling Emas dan menjadi pendiri dari perkumpulan pengemIs Khong-sim Kai-pang. Kemudian, Sin-siauw Sengjin menyerahkan Kam Hong kepada Sai-cu Kai-ong untuk digembleng, sedangkan Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek yang telah ditunangkan dengan Kam Hong itu sebaliknya oleh kakeknya diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk dididik. Jadi, dua orang kakek ini telah saling menukar cucu dan momongan masing-masing untuk digembleng, dengan maksud agar keturunan Suling Emas itu memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi dan juga agar dapat tersembunyi karena Suling Emas mempunyai banyak musuh-musuh yang selalu berusaha untuk membasmi keturunannya.

Akan tetapi Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong yang diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin itu diculik orang dan penculiknya itu bukan orang sembarangan, melainkan Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling Sakti Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan dia menculik anak itu bukan dengan niat buruk, bahkan dia mengambil anak perempuan itu sebagai muridnya yang terkasih!

Peristiwa ini menimbulkan hal-hal yang lucu dan menarik seperti yang dapat diikuti dalam cerita JODOH RAJAWALI. Dalam cerita itu dituturkan betapa setelah mereka menjadi dewasa, akhirnya Kam Hong dapat bertemu dengan Yu Hwi yang telah dijodohkan kepadanya oleh dua orang kakek itu. Akan tetapi Yu Hwi yang sebelumnya oleh gurunya diberi nama Kang Swi Hwa dan berjuluk Ang-siocia, agaknya tidak mau menerima perjodohan itu apalagi karena dalam perantauannya dia tadinya menyamar sebagai pria dan ketika dia terluka dan pingsan, Kam Hong yang menolongnya pernah membuka bajunya dan melihat rahasianya bahwa dia seorang dara yang menyamar pria, maka peristiwa ini membuatnya merasa malu dan mendongkol kepada Kam Hong. Maka, ketika ia diberitahu bahwa dia adalah cucu Sai-cu Kai-ong bernama Yu Hwi dan bahwa dia telah dijodohkan sejak kecil kepada Kam Hong, dia menjadi marah lalu melarikan diri minggat!

Demikianlah riwayat singkat dari Kam Hong. Pemuda ini kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalan dari nenek moyangnya, yaitu Suling Emas. Dan memang dia berbakat sekali maka akhirnya dia dapat menguasai semua ilmu-ilmu itu, membuat Sin-siauw Sengjin menjadi girang bukan main. Ilmu-ilmu itu amat sukar, dan Sin-siauw Sengjin sendiri yang sudah selama puluhan tahun berusaha menguasainya, tetap gagal sungguh pun dengan latihan-latihan itu dia telah merupakan seorang tokoh puncak di dunia persilatan.

Kini, pemuda keturunan Suling Emas itu mampu menguasai seluruh ilmu itu! Dan tentu saja, dengan ilmu-ilmu yang amat hebat ini. Kam Hong kini menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur tingginya, bahkan Sin-siauw Sengjin sendiri, mau pun bekas gurunya sendiri. Sai-cu Kai-ong, kini bukan tandingannya! Akan tetapi, biar pun dia memiliki ilmu kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang amat tinggi, namun di dalam hati Kam Hong menderita. Telah bertahun-tahun dia berusaha mencari Yu Hwi, mencari tunangannya atau yang bahkan telah diakui sebagai isterinya di depan Siauw Goat itu, namun hasilnya sia-sia belaka.

Kam Hong sendiri belum yakin benar apakah dia mencinta Yu Hwi, juga dia tidak tahu apakah tunangannya itu mencintanya, sungguh pun mudah dugaannya bahwa tentu Yu Hwi tidak mencintanya, bahkan membencinya melihat betapa dara itu melarikan diri ketika diberitahu bahwa antara mereka telah ada ikatan perjodohan. Akan tetapi, ikatan jodoh itu telah ditentukan oleh kedua pihak wali mereka semenjak mereka masih kanak kanak, oleh karena itu, dia tidak mungkin dapat memutuskannya begitu saja! Janji antara keluarga merupakan hal yang harus dipegang teguh, karena menyangkut kehormatan dan nama keluarga!

Apalagi kalau dia mengingat bahwa antara keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas dan keluarga Yu, yaitu keluarga para ketua Khong-sim Kai-pang, terdapat hubungan yang amat baik. Ikatan perjodohan yang sudah ditentukan oleh kedua kakek yang mewakili dua keluarga itu adalah urusan kehormatan, maka bagaimana pun juga harus dipegang teguh, harus dilaksanakan. Oleh karena itulah maka dia mati-matian mencari Yu Hwi tunangannya itu dan akan dicarinya terus sampai dapat, ke mana pun dia harus pergi.

Kenekatan Kam Hong dalam mencari Yu Hwi itu sama sekali bukan terdorong oleh cintanya karena dia sendiri belum tahu apakah dia mencinta dara yang ditunangkan kepadanya itu, melainkan terdorong oleh kebiasaan atau tradisi atau kebudayaan atau pandangan umum pada waktu itu yang dianggapnya benar dan baik. Dan bukan Kam Hong saja yang berkeadaan seperti itu.

Bahkan sampai sekarang pun, kehidupan kita penuh dengan pengaruh-pengaruh yang datang dari tradisi, kebiasaan, kebudayaan atau pandangan umum ini. Semua itu membentuk kita menjadi manusia-manusia yang tidak bebas, terikat oleh ketentuan ketentuan itu, membuat kita menjadi manusia-manusia robot yang bergerak menurut apa yang telah digariskan oleh tradisi, oleh kebiasaan, oleh kebudayaan atau pun oleh pandangan umum itu.

Kita ingin dianggap benar, dianggap baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu. Segala perbuatan yang dilakukan menurut contoh-contoh ketentuan yang dianggap baik, maka jelas perbuatan itu adalah palsu adanya. Kalau seorang melakukan sesuatu yang dianggapnya baik, maka di balik perbuatan yang dilakukannya itu terkandung pamrih, yaitu agar dianggap baik oleh orang lain atau dirinya sendiri! Setiap perbuatan yang didasari dengan cinta kasih adalah spontan, tidak dinilai sebagai baik atau buruk, pikiran tidak mencampuri, dan si pelaku bahkan tidak ingat bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang baik.

Tradisi atau kebiasaan yang dinamakan pandangan atau pendapat umum telah kita terima sebagai garis ketentuan hidup, membelenggu kita lahir batin sehingga kita hidup seperti pelawak-pelawak yang bermain di atas punggung! Kita tak berani menanggalkan itu semua karena takut akan pandangan orang, takut akan pendapat umum, dan takut kalau-kalau kita akan terasing. Terutama sekali kita takut karena dengan menanggalkan itu semua kita akan menjadi kosong dan tidak berarti apa-apa lagi!

Betapa hidup kita hanya merupakan gerakan-gerakan kebiasaan itu kita mencandu dan merasakan kesenangan dan keenakan palsu, seperti halnya keenakan orang merokok atau minum arak. Keenakan itu timbul karena kecanduan, karena kebiasaan, dan di balik keenakan itu terdapat pengrusakan terhadap diri sendiri tanpa kita sadari lagi, karena kita mabok oleh keenakan itu.

Semua panca indera kita telah tumpul kecanduan oleh kebiasaan yang ditanamkan kepada kita sejak kita masih kecil. Baik penciuman, penglihatan, pendengaran, selera dan segalanya telah dibentuk sedemikian rupa oleh kebiasaan ini. Oleh karena bentukan bentukan inilah maka selera setiap bangsa selalu berbeda-beda, baik dalam hal penciuman, penglihatan, pendengaran dan sebagainya, dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh keadaan setempat dan sekeliling. Kita akan merasa terganggu oleh sesuatu bunyi musik yang asing bagi kita, padahal orang-orang dari mana musik itu berasal akan menari-nari karena bagi mereka suara itu amat merdu dan enak didengar. Kita mungkin akan muntah untuk makan sesuatu yang menjadi makanan kegemaran bangsa lain, dan sebagainya. Jadi enak tidak enak, baik buruk bukan terletak pada suara kita, atau pada makanan itu, melainkan ditentukan oleh selera yang telah dibentuk semenjak kita lahir
.

Mendengar penuturan Kam Hong, Siauw Goat merasa tertarik dan entah bagaimana dia merasa amat kasihan kepada sastrawan itu! Ketika pertanyaannya tidak terjawab, dan melihat betapa pemuda itu hanya tersenyum saja, senyum yang baginya merupakan sesuatu yang menyembunyikan tangis, Siauw Goat bertanya lagi, “Siapakah namanya, Paman? Dan siapa namamu?”

Kini Kam Hong menatap wajah gadis cilik itu. Baru dia merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada anak ini, mengapa kalau selama ini dia merahasiakan keadaan dirinya, kini secara terbuka dia menceritakan tentang tunangannya kepada Siauw Goat? Apakah yang menyebabkan dia percaya dan tertarik? Apakah mata yang bening dan polos itu? Apakah mulut yang kecil mungil dengan bibir merah merekah seperti sekuntum bunga yang masih menguncup itu? Ataukah ada suara yang merdu itu? Ataukah karena dia merasa kasihan mengingat betapa anak ini ditinggal mati kakeknya dan hidup sebatang kara di dunia?

“Siauw Goat, aku sendiri sudah hampir melupakan namaku. Kalau kini kuberitahukan maukah kau berjanji untuk merahasiakan namaku dan nama isteriku?”

Siauw Goat mengangguk. “Aku bersumpah untuk merahasiakannya, Paman. Kongkong sendiri pun selalu merahasiakan keadaan keluarga kami.”

“Baiklah, kuberitahukan kepadamu sebagai satu-satunya orang yang mengenal namaku yang selama bertahun-tahun ini selalu kurahasiakan. Aku she Kam dan bernama Hong, sedangkan isteriku itu she Yu bernama Hwi.”

“Kam Hong dan Yu Hwi.... akan kuingat baik-baik nama-nama itu Paman.”

Tiba-tiba mereka tertarik oleh munculnya empat buah tandu yang digotong oleh orang orang yang bertubuh kekar. Setiap tandu digotong oleh empat orang dan pintu tandu itu tertutup tirai sutera berwarna-warni, ada yang merah, ada yang hijau atau kuning. Tentu saja iring-iringan empat buah tandu ini menarik perhatian orang dan ketika para penggotong tandu itu berhenti di depan rumah makan itu, Kam Hong dan Siauw Goat memandang dengan penuh perhatian.

“Turunkan tandu!” tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita yang duduk di dalam tandu pertama. Mendengar ini, empat orang penggotong tandu pertama itu menurunkan tandu di atas tanah, dan tiga tandu lain yang berada di belakang juga diturunkan oleh para penggotongnya. Agaknya tandu pertama ini merupakan tandu pimpinan!

Tirai-tirai empat buah tandu itu tersingkap dari dalam sehingga semua orang yang memandang, terutama kaum prianya, menahan napas dan mata mereka terbelalak penuh kagum memandang kepada empat orang wanita yang cantik-cantik! Kini wanita yang duduk di tandu paling depan keluar dari tandu dan tiga orang yang lain juga mengikutinya. Makin kagumlah semua orang melihat bahwa selain berwajah cantik cantik, juga mereka itu memiliki tubuh langsing menarik.

Akan tetapi wajah-wajah yang cantik jelita ini memiliki sepasang mata yang sinarnya tajam sekali, berkilat, dan wajah itu pun kelihatan dingin dan angkuh, sedikit pun tidak mengandung senyum. Lebih lagi di punggung mereka nampak gagang pedang dan sikap mereka demikian gesit dan gagah sehingga mudah diduga bahwa wanita-wanita cantik ini bukanlah wanita-wanita lemah. Oleh karena itu, pandang mata kagum dari para pria yang berada di sekitar warung itu mengandung perasaan segan.

Empat orang wanita itu berkumpul di depan warung, memandang ke kanan kiri penuh selidik. Ketika itu, Kam Hong dan Siauw Goat telah selesai makan dan mereka sudah keluar dari warung. Melihat Kam Hong dan Siauw Goat yang membawa busur dan anak panah, seorang di antara empat wanita itu, yang paling muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya sedangkan yang lain-lain sekitar tiga puluhan, dan yang berpakaian baju hijau, melangkah maju dan bertanya kepada Kam Hong, nada suaranya ketus dan angkuh sekali seperti seorang nona majikan bertanya kepada pelayannya. “Ehh, apakah kamu melihat dua orang anak laki-laki kembar yang usianya sekitar empat belas tahun lewat di dusun ini?”

Semenjak melihat munculnya empat orang wanita itu, di dalam hatinya Siauw Goat sudah merasa tidak suka. Dia menganggap empat orang wanita itu sombong dan angkuh sekali. Kini mendengar seorang di antara mereka mengajukan pertanyaan kepada Kam Hong dengan lagak seperti itu, muka Siauw Goat telah menjadi merah karena marah. Selagi Kam Hong memandang dengan sikap tak acuh, agaknya merasa enggan untuk menjawab, Siauw Goat sudah melompat maju ke depan wanita baju hijau itu, lalu menudingkan ujung busurnya ke arah hidung wanita itu sambil membentak.

“Huhh, engkau menyapa orang dengan ah-ah-eh-eh, lagakmu seperti ratu saja! Manusia tak tahu sopan santun macam engkau ini tidak berharga bicara dengan pamanku!”

Wanita cantik berbaju hijau itu memandang kepada Siauw Goat dengan mata berapi-api dan alisnya yang bagus bentuknya itu, dengan bantuan penghitam alis, agak berkerut dan sejenak ia hanya memandang dengan mata tajam bersinar-sinar. Akan tetapi, Siauw Goat juga membalas pandang mata itu dengan sama tajamnya, bahkan mengandung tantangan!

“Bocah siluman, mulutmu busuk. Kalau kau besar engkau tentu menjadi iblis, lebih baik kuenyahkan sekarang!” kata wanita baju hijau itu yang telah merah kedua pipinya karena marah dan malu mendengar dia dimaki-maki seorang anak perempuan di depan umum.

Tentu saja Siauw Goat menjadi seperti api yang disiram minyak, makin berkobarlah kemarahannya. Dengan sepasang mata terbuka lebar dia lalu memaki-maki. “Engkaulah siluman rase, siluman kucing, siluman anjing! Engkaulah iblis busuk yang harus dibasmi dari permukaan bumi!” Setelah berkata demikian, Siauw Goat sudah menggerakkan busurnya, menyerang dengan cepat.

Wanita itu terkejut dan marah melihat betapa ujung busur itu langsung menusuk ke arah tenggorokannya kemudian dibalik karena tidak mengenai sasaran dan menusuk ke bawah pusar! Dan saat itu, tangan kiri Siauw Goat sudah maju mencengkeram ke arah buah dadanya!

“Cih, Iblis kecil ini benar jahat!” teriaknya melihat serangan-serangan yang dianggapnya kasar dan selain berbahaya juga tidak patut.

Tangan kirinya mengibas dan dari tangan kiri itu menyambar hawa pukulan yang membuat Siauw Goat terpelanting! Wanita baju hijau itu sudah marah sekali dan dengan sinar mata penuh benci dia sudah melangkah maju dan menyusulkan pukulan tangan kanan, juga pukulan jarak jauh mengandung tenaga sinkang yang dahsyat. Serangkum angin menyambar ke arah kepala Siauw Goat yang masih telentang di atas tanah.

“Tahan dulu!” Tiba-tiba Kam Hong berkata halus dan dia pun menggerakkan tangan ke depan, menangkis pukulan itu. Dua hawa pukulan sinkang bertemu dan akibatnya wanita baju hijau itu terhuyung ke belakang!

Wanita baju hijau itu terkejut bukan main! Dia tadi merasa betapa tenaganya bertemu dengan tenaga yang amat kuatnya, yang membuat dadanya tergetar dan cepat dia menarik kembali tenaganya dan akibatnya dia terhuyung seperti disambar angin taufan. Wajahnya menjadi pucat dan dia memandang kepada sasterawan itu dengan mata terbelalak.

Wanita di dalam tandu terdepan, yang berusia tiga puluh tahunan, mempunyai tahi lalat di dagu, berbaju kuning dan yang memiliki wajah paling manis di antara mereka berempat, juga melihat gerakan tadi dan dia memandang tajam kepada Kam Hong. Melihat sastrawan yang nampak lemah dan yang sekarang menunduk dengan sikap menyembunyikan diri itu, Si Baju Kuning menarik napas panjang.

“A-ciu, jangan membikin ribut!” tegurnya kepada Si Baju Hijau, dan dengan isyarat tangan, dia memasuki tandu, diikuti oleh Si Baju Hijau A-ciu dan dua orang temannya. Empat buah tandu lalu digotong oleh para penggotong yang bertubuh kuat itu dan mereka pun pergi dari depan warung yang mulai dipenuhi penonton itu.

“Siluman dia! Hemm, lain kali akan kuhajar dia!” Siauw Goat berkata penasaran sambil bangun dan mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor.

Para penonton diam-diam merasa geli akan tetapi juga kagum kepada anak perempuan yang bandel dan tidak mengenal takut ini. Agaknya Siauw Goat juga tahu bahwa orang orang diam-diam mentertawakannya, maka setelah mengerling satu kali kepada Kam Hong dia kemudian pergi dengan langkah lebar untuk kembali ke tempat pemondokan Lauw-piauwsu.

Kam Hong sendiri kemudian pergi dari situ tanpa menarik perhatian orang karena perbuatannya ketika menangkis pukulan wanita baju hijau itu dilakukan dengan tenaga sinkang jarak jauh sehingga orang tidak melihat dia bergerak untuk bertanding. Tidak ada yang tahu betapa pemuda ini diam-diam membayangi empat buah tandu yang digotong keluar dusun itu lagi setelah wanita-wanita itu di sepanjang jalan bertanya-tanya tentang ‘dua orang anak laki-laki kembar’.

suling emas naga siluman jilid 02


Pada saat terdengar berita bahwa badai salju sudah mereda, mulailah dusun Lhagat mengalami kesibukan-kesibukan. Mereka yang menamakan dirinya pelancong pelancong dan pedagang-pedagang mulai berkemas karena mereka sudah harus menanti sampai beberapa hari lamanya, tertunda perjalanan mereka karena adanya badai salju itu. Kini, badai salju telah berlalu atau setidaknya mereda. Hal ini ditandai dengan mereda dan kecilnya angin dingin yang bertiup keras dalam beberapa hari ini melalui Lhagat, dari arah selatan dan barat.

Rombongan Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal telah kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang piauwsu yang luka-luka oleh dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun sudah-sembuh kembali.

Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup lengkap, membekali setiap anggota rombongan dengan baju-baju bulu yang amat tebal karena mereka akan melalui daerah yang dingin dan diliputi salju, berangkatlah rombongan ini.

Anak buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi karena Lauw-piauwsu telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan Siauw Goat mencari orang tuanya, maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya untuk membantunya mengawal anak perempuan itu melakukan perjalanan yang amat sukar ini. Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah menyelamatkan para piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah menerima sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya pengawalan yang bagaimana sukar dan jauh sekali pun!

Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan dia pun tadinya hendak membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat kepada wanita-wanita naik tandu yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras.

“Lauw-pek aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi naik tandu seperti penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!” Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini dan demikianlah, ketika rombongan itu berangkat, Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka.

Anak perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa gembira sekali begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya muncul kembali. Kadang-kadang dia mendahului rombongan, kadang-kadang agak ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam yang amat indah di sepanjang perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu ini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya itu.

Jalan pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai dengan orang-orang yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang berpakaian macam-macam dan yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap, sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan perjalanan cepat seolah-olah mereka berlomba dalam mengejar sesuatu.

Sering kali ada rombongan yang mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu. Lauw-piauwsu serombongan tidak hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan biar pun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang pusaka yang lenyap dari istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini, namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka itu.

Setelah melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw Goat ini tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju masih nampak jelas. Banyak pohon yang tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk seperti bukit, ada pula bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang mengamuk selama berhari hari itu.

Menjelang senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis rebah dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini pula! Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih merasa dingin, apalagi harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya! Orang itu mungkin gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua Koai-tung Sin-kai, terdapat perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti pengemis.

“Jembel lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal.

“Ssttt, Siauw Goat....!” Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut.

Ketua piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan dia dapat menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak membantah dan diam saja.

Pengemis itu menggeliat kemudian terbangun agaknya, menoleh. Rombongan itu melihat bahwa wajah pengemis itu masih muda dan mereka terkejut melihat sepasang mata yang mencorong amat tajamnya. Akan tetapi wajah muda itu penuh kumis dan jenggot yang tidak terpelihara, muka yang hitam terbakar matahari dan sepasang mata yang mencorong itu kadang-kadang menjadi liar dan mulut di balik kumis dan jenggot lebat itu tersenyum-senyum aneh.

Semua ini membuat Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya karena dia melihat tanda-tanda bahwa pengemis muda ini menderita penyakit gila, atau setidaknya agak miring otaknya! Setelah mengeluarkan suara tertawa ditahan seperti orang merasa geli, pengemis muda itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari naik mendaki lereng itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak lalu menghilang.

“Ihh, dia seperti iblis saja!” kata Siauw Goat.

“Siauw Goat, lain kali harap engkau suka menahan diri dan jangan terlalu sembrono. Ingat, di sini banyak terdapat tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita kesalahan bicara dapat menimbulkan hal-hal yang hebat,” kata Lauw Sek menegur Siauw Goat.

“Ah, Lauw-pek, aku pun melihat orangnya sebelum bicara. Dia itu hanya seorang jembel lagi, tidak urung dia pun tentu jahat seperti jembel tua itu. Atau setidaknya, dia itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek tidak melihat mukanya yang menyeramkan seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh....“

Terpaksa Lauw-piauwsu tidak membantah lagi. Dia tahu bahwa watak anak perempuan ini keras dan pemberani bukan main, dan kalau dia mempergunakan sikap keras, mungkin akan menjadi makin berabe keadaannya. “Mari kita melanjutkan cepat-cepat. Sebelum matahari kehilangan sinarnya di balik puncak itu, kita harus sudah tiba di balik puncak, melalui lereng dengan jalan memutar. Di sana ada daerah berbatu di mana terdapat banyak goa untuk tempat bermalam dan berlindung dari salju.”

Mereka melanjutkan pendakian. Kadang-kadang mereka masih disusul oleh rombongan lain, bahkan juga menyusul rombongan lain yang sedang melepas lelah di tepi jalan. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, dan pengemis gila tadi pun tidak nampak lagi. Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap mereka tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu besar dan goa-goa. Akan tetapi ternyata banyak juga orang yang sudah berada di situ. Untung tempat itu luas sekali sehingga tidak sukar bagi rombongan piauwsu ini untuk menemukan sebuah goa kosong yang cukup besar untuk menampung mereka semua.

“Ihhh, engkau lagi di sini!” Tiba-tiba Siauw Goat berseru dengan nada suara marah.

Kiranya ketika mereka memasuki goa, Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu melihat ada sesosok tubuh manusia rebah di sudut goa dan ketika dia mendekati untuk melihat lebih jelas karena cuaca sudah remang-remang, ternyata yang tidur di situ adalah Si Pengemis muda tadi!

Pengemis itu menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah baru bangun tidur nyenyak dan diam-diam Lauw Sek terkejut dan merasa heran. Pengemis itu kelihatan lemah, bahkan tidak memakai pakaian tebal, akan tetapi ternyata dapat bergerak cepat sekali sehingga mereka yang juga melakukan perjalanan cepat itu kalah jauh dan pengemis itu agaknya sudah lama tidur di situ ketika mereka tiba!

“Siauw Goat, tempat ini cukup lebar, jangan ganggu orang!” Lauw Sek memperingatkan gadis cilik itu.

Akan tetapi Siauw Goat melihat mata yang mencorong itu bermain-main, kadang-kadang dipejamkan yang kanan kadang-kadang yang kiri, dan mulut di balik kumis itu seperti mentertawakan, maka dia menjadi semakin gemas.

“Ehhh, jembel busuk, apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai? Kalau kau temannya, akan kuhajar! Kalau bukan, lekas kau keluar dari goa ini karena engkau menjemukan dan menjijikkan!”

Semua piauwsu terkejut mendengar ini. Gadis cilik itu sudah amat keterlaluan menghina orang. Lauw Sek sendiri sudah menjadi pucat mukanya. Akan tetapi pengemis itu seolah olah tidak mendengar maki-makian Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum. Sikapnya seperti orang yang tidak perduli atau memandang rendah. Dia duduk sambil menggaruk garuk lehernya.

Lauw Sek memegang tangan Siauw Goat dan ditariknya mundur menjauhi pengemis itu. Kemudian para piauwsu itu mengeluarkan roti kering dan air minum. Mereka makan dengan diam saja, kadang-kadang mata mereka mengerling ke arah pengemis muda yang duduk membelakangi mereka di sudut goa. Tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di dalam goa itu, amat menyeramkan seolah-olah di sebelah dalam dari goa itu terdapat iblis-iblis yang ikut tertawa bersamanya. Kemudian pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau dan kasar, kata-katanya tidak karuan!

Cinta itu gila
gagah itu lemah
pintar itu tolol!
Mulut semanis-manisnya
membohong sebesar-besarnya
tapi sampai mati aku tidak bisa lupa....!


Suara nyanyian itu pun bergema di dalam goa seperti para iblis ikut pula bernyanyi, lalu pengemis itu tertawa-tawa lagi. Tetapi suara ketawanya yang bergelak itu mendadak berhenti, seperti jangkerik terpijak dan suasana menjadi hening sekali, hening yang menyeramkan. Lalu terdengar isak perlahan-lahan. Pengemis itu menangis!

Para piauwsu saling pandang. Jelaslah bahwa memang pengemis itu gila!

“Celaka, bermalam dengan orang gila!” Siauw Goat mengomel dan Lauw Sek menyentuh tangannya, menyuruhnya diam.

Seorang piauwsu yang merasa kasihan kemudian bangkit dan menghampiri pengemis itu, memberinya sepotong besar roti kering. “Sobat kau terimalah roti ini dan makanlah bersama kami,” katanya.

Pengemis itu menengok, menyeringai, menerima roti itu dan menciumnya beberapa kali, terkekeh dan kemudian dia membuang roti itu seperti orang merasa jijik! Dan dia lalu mengomel tanpa menoleh, masih menghadap ke arah dinding batu, seolah-olah dia mengomel kepada dinding itu. “Memberi roti berisi racun! Mulut manis menyembunyikan hati yang pahit. Huh, manusia adalah makhluk palsu, jahat dan keji, makhluk paling kotor di dunia ini, ha-ha-ha....!”

Piauwsu yang tadi memberi roti masih berdiri di belakang pengemis itu. Tentu saja dia menjadi marah bukan main. Dia memberi roti karena terdorong oleh rasa kasihan kepada pengemis muda ini, akan tetapi pemberiannya itu dibuang, bahkan disertai ucapan yang seolah-olah mengejek bahwa pemberiannya itu adalah palsu, roti itu beracun! Apalagi peristiwa itu terjadi di depan kawan-kawannya. Dia merasa terhina dan marah, maka dia ingin menakut-nakuti pengemis itu. Segera dicabutnya goloknya yang besar dan tajam berkilauan itu.

“Jembel gila!” bentaknya. “Engkau ditolong malah balas menghina orang! Engkau amat menjemukan. Hayo keluar dari goa ini dan jangan mengganggu kami, kalau tidak, akan kupotong daun telingamu!” Untuk menakut-nakuti, piauwsu itu menempelkan goloknya ke dekat telinga orang!

Lauw-piauwsu memandang dengan alis berkerut, tetapi dia tahu bahwa anak buahnya itu hanya menggertak saja. Memang sebaiknya kalau pengemis itu keluar dari dalam goa dan mencari tempat bermalam lainnya karena dengan adanya pengemis gila itu memang membuat hati menjadi tidak enak. Lagi pula, melihat betapa pengemis gila itu menghina pemberiannya dengan membuang roti tadi, menandakan bahwa di balik kegilaannya, memang ada watak tidak baik pada Si Pengemis.

Pengemis itu perlahan-lahan bangkit berdiri, seperti orang ketakutan memandang ke arah golok yang menempel di telinganya, kini dia memutar tubuh menghadapi piauwsu yang masih menodongnya dengan golok. Piauwsu itu bersikap garang untuk menakut nakuti, dan pengemis muda itu juga mundur-mundur sampai dekat dengan mulut goa.

“Hayo keluar, pergi dari sini!” kembali piauwsu itu membentak.

Tiba-tiba tangan kiri pengemis itu bergerak dan tahu-tahu dia telah menangkap dan menggenggam golok itu! Si Piauwsu terkejut dan khawatir sekali. Goloknya amat tajam dan pengemis itu tentu akan melukai tangannya sendiri. Dia tak berani menarik goloknya yang dicengkeram oleh karena takut kalau-kalau goloknya akan membikin putus tangan pengemis itu. Akan tetapi, segera terjadi hal yang membuat semua orang terbelalak.

“Krakkkkk....!” Tangan itu mencengkeram dan golok itu menjadi patah-patah dalam cengkeraman tangan kiri pengemis muda itu. Dengan suara ketawa tertahan, pengemis itu kemudian melemparkan pecahan golok, menepuk-nepuk tangan seolah-olah hendak membersihkan telapak tangannya dari debu kotor, kemudian melangkah lebar keluar dari goa dan tak lama kemudian terdengar suara tangisnya, sesenggukan yang makin lama makin jauh sampai tidak terdengar lagi.

Semua orang, termasuk Siauw Goat dan Lauw-piauwsu, masih tertegun menahan napas seperti patung tidak bergerak. Mereka terlampau heran dan kagum. Peristiwa yang terjadi itu seolah-olah merupakan mimpi atau dongeng yang sukar dipercaya. Golok piauwsu itu terdiri dari baja yang baik, hal ini diketahui benar oleh Lauw Sek. Juga amat tebal dan amat tajam. Bagaimana mungkin hanya sekali cengkeram saja golok itu patah patah, dan bahkan pecah-pecah seolah-olah golok itu hanya sehelai daun kering saja? Piauwsu pemilik golok itu sendiri masih berdiri dengan muka pucat dan matanya terbelalak memandang sisa goloknya yang masih dipegangnya, yaitu tinggal gagang dan sedikit sisa golok yang sudah buntung!

“Ahhh.... kiranya dia.... seorang manusia sakti....,” terdengar Lauw Sek akhirnya berkata dengan suara agak gemetar. “Mulai sekarang kita harus berhati-hati, jangan sekali-kali mengganggu orang....”

Biar pun pengemis gila itu sudah pergi, suasana menjadi sangat menyeramkan setelah terjadinya peristiwa itu. Lauw Sek menduga-duga siapa gerangan pengemis gila itu! Dia banyak mengenal orang-orang kang-ouw, akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang pengemis ini. Seorang pengemis yang dia lihat masih muda, belum ada tiga puluh tahun usianya, dan dia belum pernah mendengar di dunia kang-ouw seorang tokoh pengemis yang memiliki kepandaian sehebat itu.

Tentu saja Lauw Sek tidak mengenal pengemis itu karena sebenarnya orang gila itu bukan tokoh pengemis, bukan seorang tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Pakaiannya bagai pengemis sebab memang dia tak mempedulikan pakaiannya sehingga compang-camping seperti pakaian pengemis. Akan tetapi dia tidak pernah mengemis! Kalau orang gila itu menyebutkan nama julukannya sebelum dia berkeadaan seperti sekarang ini, tentu Lauw-piauwsu dan para anak buahnya akan mengenalnya. Pengemis muda itu sesungguhnya berjuluk Si Jari Maut!

Para pembaca cerita kisah Jodoh Rajawali yang sudah mengenal Si Jari Maut tentu tidak akan merasa heran lagi kalau dengan sekali cengkeram saja dia telah mampu mematahkan golok! Pengemis ini adalah Ang Tek Hoat atau Si Jari Maut yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di dalam kisah jodoh sepasang rajawalidiceritakan bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang calon mantu Raja Bhutan, lalu mengapa kini dia menjadi seorang pengemis gila yang terlunta-lunta seperti itu?

Pemuda gagah perkasa ini memang bernasib buruk. Dinamakan nasib sebagai hiburan saja, padahal segala sesuatu terjadi sebagai akibat dari pada perbuatannya sendiri. Ketika masih amat muda, Ang Tek Hoat melakukan banyak penyelewengan, melakukan banyak kejahatan. Oleh karena itu, perbuatannya sendiri inilah yang menyeret dia ke dalam keadaan yang amat sengsara.

Dia saling mencinta dengan Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal Raja Bhutan, akan tetapi ikatan jodoh yang akhirnya disetujui pula oleh Raja Bhutan itu selalu gagal dan kedua orang muda yang saling mencinta itu selalu terpisah oleh berbagai persoalan yang timbul. Yang terakhir sekali, Puteri Syanti Dewi pergi dari Bhutan dan tidak pernah kembali lagi. Padahal, Ang Tek Hoat yang telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Bhutan dari pemberontakan, telah diangkat menjadi panglima muda oleh Raja Bhutan dan pertunangannya dengan Sang Puteri telah disahkan oleh Sang Raja!

Biar pun dia menikmati kehidupan mulia dan terhormat di Kerajaan Bhutan, namun Tek Hoat menderita karena puteri yang dicintanya itu tidak berada di sampingnya. Oleh karena itu, dia tidak mau tinggal berenang dalam lautan kemewahan di Bhutan, sebaliknya dia lalu pergi dan merantau untuk mencari kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya. Bertahun-tahun dia merantau dan dia tidak pernah berhasil menemukan Sang Puteri dan akhirnya, kekecewaan dan kedukaan membuat dia menjadi terganggu jiwanya dan membuat dia menjadi seperti seorang pengemis gila!

Dan agaknya, walau pun pikirannya sudah terganggu, dalam kegilaannya itu Tek Hoat mendengar pula akan peristiwa yang akan menggegerkan dunia kang-ouw dan yang membuat banyak tokoh kang-ouw berbondong-bondong pergi ke Pegunungan Himalaya. Dan dia pun terseret oleh arus ini dan pergi ke Pegunungan Himalaya, sungguh pun selama bertahun-tahun dan sampai saat itu yang menjadi tujuan semua perjalanannya hanya satu, yaitu mencari Puteri Syanti Dewi!

Tentu saja sekali mencengkeram Tek Hoat mampu mematahkan golok piauwsu itu karena pemuda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia pernah mendapat gemblengan dari Sai-cu Lo-mo dan mewarisi ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun. Kemudian sekali, yang membuat dia menjadi sedemikian lihainya adalah karena dia mewarisi kitab-kitab dari dua orang datuk Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Dari kitab-kitab ini dia dapat menghimpun tenaga sakti yang dinamakan Tenaga Inti Bumi, dan semua ini dimatangkan oleh pengalaman pengalamannya menghadapi banyak sekali pertempuran melawan orang-orang pandai. Kini usianya sudah sekitar dua puluh delapan tahun, akan tetapi keadaan hidupnya menjadi sedemikian rusak sehingga tidak ada orang yang mengenalnya kecuali sebagai seorang pengemis muda yang gila!

Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa di dalam goa besar yang dijadikan tempat bermalam para piauwsu. Hati mereka merasa lega dan pada keesokan harinya mereka keluar dari goa untuk melanjutkan perjalanan, setelah cuaca tidak begitu gelap lagi tanda bahwa matahari telah naik tinggi. Akan tetapi matahari tidak nampak, hanya sinarnya saja yang membuat cuaca tidak gelap. Hawa dingin sekali karena kabut memenuhi udara. Mereka hendak menuju ke Gunung Kongmaa La karena menurut pesan Kakek Kun, di situlah kiranya orang tua Siauw Goat dapat ditemukan.

Pada waktu mereka melewati goa-goa yang kemarin sore penuh dengan orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan dan mengaso di situ, ternyata goa-goa itu telah kosong semua, tanda bahwa mereka itu pagi-pagi benar telah melanjutkan perjalanan seperti orang tergesa-gesa. Lauw-piauwsu maklum bahwa mereka itu adalah orang orang kang-ouw yang agaknya mencari pedang pusaka yang hilang dan juga berlomba untuk mendapatkannya. Dia tidak peduli karena dia mempunyai tugas lain dan sama sekali tidak ingin untuk ikut berlomba memperebutkan. Oleh karena itu, dia memimpln rombongannya jalan seenaknya karena perjalanan mendaki itu amat sukar sehingga kalau tergesa-gesa akan cepat kehabisan tenaga.

Biar pun badai salju telah mereda, namun salju masih turun dan memenuhl permukaan bumi, menaburi batang-batang pohon tanpa daun sehingga menciptakan pohon-pohon putih. Seluruh permukaan bumi menjadi putih dan pemandangan amat luar biasa, seolah-olah dunia dilapisi dengan perak, membuat orang merasa seperti dalam dunia mimpi.

Lewat tengah hari mereka tiba di sebuah puncak bukit yang datar dan begitu mereka tiba di situ, mereka melihat bahwa di tempat itu sedang terjadi pertempuran yang amat hebat. Lauw Sek cepat menyuruh rombongannya berhenti dan mereka melihat dari jarak yang cukup jauh agar tidak terlibat dalam pertempuran itu.

“Ahh, bukankah mereka itu tosu-tosu dari Go-bi-pai?” tiba-tiba Lauw-piauwsu berkata lirih dengan nada suara khawatir.

“Benar, Lauw-twako, yang bersenjata rantai baja itu jelas adalah Liang Tosu tokoh Go-bi-pai!” sambung seorang piauwsu.

Kini semua piauwsu merasa yakin bahwa lima orang tosu tua yang sedang bertempur melawan empat orang wanita itu adalah tosu-tosu Go-bi-pai. Mereka tidak mengenal empat orang wanita yang amat lihai itu, maka tentu saja diam-diam mereka berpihak kepada para tosu Go-bi-pai yang mereka kenal sebagai tosu-tosu gagah perkasa yang menentang kejahatan.

Kini para tosu itu tampak terdesak hebat oleh pedang-pedang yang dimainkan oleh empat orang wanita cantik itu. Para wanita itu memang hebat sekali. Pedang di tangan mereka lenyap berubah menjadi gulungan sinar-sinar yang menyilaukan mata. Lima orang tosu Go-bi-pai itu melawan mati-matian dengan senjata mereka yang bermacam macam, ada rantai baja, ada toya, ada pula yang menggunakan pedang. Namun semua perlawanan mereka sia-sia belaka karena mereka terdesak dan terkurung oleh sinar sinar pedang yang berkilauan itu.

Akhirnya, dua orang di antara para tosu itu kelihatan terpental dan jatuh bergulingan. Tiga orang temannya lalu berloncatan ke belakang, menyambar tubuh dua orang kawan yang terluka dan larilah lima orang tosu itu dengan cepat menuruni puncak, tidak dikejar oleh empat orang wanita itu.

Tiba-tiba Siauw Goat berteriak. “Itu adalah empat siluman rase yang jahat!” Dan anak perempuan ini membawa busurnya lari cepat menuju ke arah empat orang wanita itu.

Melihat ini, Lauw-piauwsu cepat meloncat dan mengejar. “Siauw Goat, kembali kau....!” bentaknya.

Empat orang wanita itu menoleh dan mereka segera mengenali Siauw Goat, anak perempuan yang pernah menghina dan memaki wanita baju hijau dari rombongan itu di depan rumah makan. Melihat ini, dan mendengar anak perempuan itu memaki mereka empat siluman rase jahat, wanita baju hijau itu terkejut dan marah bukan main. Bagaikan terbang cepatnya dia berlari menghampiri sambil membawa pedangnya.

“Bocah setan engkau mengantar nyawa!” teriaknya.

Melihat ini, Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Dia mempercepat larinya dan karena jarak antara dia lebih dekat dengan Siauw Goat dibandingkan dengan wanita baju hijau itu, biar pun baju hijau berlari seperti terbang cepatnya, maka dia lebih dulu dapat menyusul Siauw Goat. Akan tetapi saat itu, Siauw Goat telah memasang dua batang anak panah dan melepaskan anak panah dari busurnya, dibidikkan ke arah wanita baju hijau tadi. Lauw Sek datang terlambat. Dia memegang lengan Siauw Goat akan tetapi dua batang anak panah itu telah meluncur ke arah wanita baju hijau yang menjadi semakin marah menghadapi serangan ini. Sekali memutar pedang, dua batang anak panah itu patah-patah dan runtuh, dan dia terus berlari menghampiri.

Akan tetapi Lauw Sek telah berdiri melindungi Siauw Goat dan wanita baju hijau itu berhenti menghadapinya dengan sinar mata tajam penuh kemarahan.

“Hayo cepat kau serahkan budak itu, kalau tidak engkau pun akan kubunuh sekalian!” hardiknya.

Lauw Sek sudah maklum bahwa wanita itu lihai sekali, buktinya para tosu Go-bi-pai sendiri pun tidak mampu mengalahkan dia dan kawan-kawannya, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata. “Toanio, harap sudi memaafkan keponakanku ini dengan memandang mukaku. Harap Toanio ketahui bahwa aku adalah Lauw Sek, pengawal Pek-i-piauw-kiok dari Ceng-tu dan....”

“Tidak peduli engkau pengawal nyawa dari neraka sekali pun, engkau tetap harus menyerahkan bocah setan itu kepadaku kalau engkau ingin hidup lebih lama lagi!”

Lauw Sek mengerutkan alisnya. Wanita ini ternyata galak dan kejam, juga sombong sekali, pikirnya. Akan tetapi dia bersikap tenang dan sabar sambil melirik ke arah anak buahnya yang sudah mendekati tempat itu. Betapa pun juga, dia bersama anak buahnya berjumlah dua belas orang dan wanita itu hanya empat orang. Tentu enam belas orang pemanggul tandu itu tidak masuk hitungan, pikirnya.

“Toanio, aku bicara dengan baik-baik, harap Toanio suka menghabiskan urusan dengan seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa....“

“Cerewet!” Wanita baju hijau itu membentak, sama sekali tidak mempedulikan bahwa rombongan piauwsu yang berpakaian seragam putih itu kini sudah berada di depannya semua, seolah-olah dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka. “Berikan anak itu atau berikan nyawamu!”

“Terlalu!” membentak beberapa orang piauwsu dan Lauw Sek yang juga menjadi marah melihat sikap wanita itu, maklum bahwa tiada jalan damai. Maka dia pun lalu mendorong Siauw Goat ke belakang dan mencabut sepasang goloknya, melintangkan sepasang golok itu di depan dadanya.

“Toanio, engkau sungguh amat mendesak orang!”

“Peduli amat!” Wanita baju hijau itu membentak dan dia telah menggerakkan pedangnya menyerang. Lauw Sek cepat menggerakkan sepasang goloknya menangkis.

“Tranggg....!”

Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Kedua tangannya yang memegang golok tergetar hebat ketika menangkis pedang itu dan pedang yang ditangkisnya itu tidak terpental melainkan terus meluncur ke arah lehernya! Untung dia cepat membuang tubuh ke belakang sehingga serangan dahsyat itu luput dan beberapa orang temannya sudah menerjang maju pula sehingga dalam waktu singkat wanita baju hijau itu sudah terkurung!

Akan tetapi, tiga orang wanita cantik lainnya telah datang seperti terbang cepatnya, masing-masing memegang sebatang pedang dan mereka itu langsung menyerbu ke dalam pertempuran. Bukan main hebatnya gerakan mereka. Terutama wanita yang mengenakan baju warna kuning, yang tercantik di antara keempat wanita itu, pedangnya berkelebatan seperti kilat dan dalam beberapa gebrakan saja dua orang piauwsu telah terluka lengannya, mengucurkan darah sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan.

Lauw Sek terkejut dan dia cepat menerjang wanita baju kuning ini, disambut oleh wanita itu dengan senyum dingin dan begitu golok kirinya bertemu dengan pedang wanita itu, hampir saja goloknya terlepas dari pegangan karena tangannya tergetar hampir lumpuh! Lauw Sek maklum bahwa wanita baju kuning ini ternyata yang paling lihai di antara mereka, maka dia pun cepat menyambitkan hui-to ke arah wanita itu. Biar pun sekaligus ia menyambitkan enam batang pisau terbang dari jarak dekat, namun sinar pedang wanita itu meruntuhkan semua hui-to itu dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat Lauw Sek terhuyung mundur.

Akan tetapi, betapa pun Lauw Sek dan anak buahnya melakukan perlawanan mati matian, mereka dua belas orang laki-laki gagah perkasa ini ternyata sama sekali bukan lawan empat orang wanita cantik itu! Seorang demi seorang roboh, dan hebatnya, empat orang wanita itu sama sekali tidak mau memberi ampun, terus mengejar yang terluka dan mengirim tusukan maut sehingga mereka yang berjatuhan itu semua tewas oleh tusukan tusukan pedang!

Melihat ini Lauw Sek menjadi gelisah sekali dan dia berteriak kepada Siauw Goat, “Siauw Goat kau larilah.... cepat....!”

Lauw Sek sendiri dengan nekat bersama sisa teman-temannya menahan empat orang wanita itu. Siauw Goat adalah seorang anak yang cerdik. Biar pun dia pemberani, namun dia dapat melihat betapa sia-sianya melawan empat orang wanita yang lihai itu. Maka dia pun lalu melarikan diri dengan cepat sambil membuang busur dan anak panahnya yang tidak dapat dipergunakan lagi menghadapi empat orang wanita yang amat sakti itu. Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat, dia berloncatan di atas salju dan sebentar saja sudah menghilang di balik tumpukan salju yang membukit. Akan tetapi gerakannya ini dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.

“Iblis cilik, mau lari ke mana kau?”

Lauw Sek terkejut dan hendak mengejar untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi hal ini membuat dia lengah sehingga sambaran ujung pedang wanita baju kuning mengenai pundaknya, membuat pundak itu terluka parah. Dan ketika sebuah tendangan menyusul mengenai pinggangnya, maka robohlah Lauw-piauwsu! Teman-temannya masih nekat melawan, akan tetapi seorang demi seorang robohlah para piauwsu itu, semua tewas kecuali Lauw Sek yang memang agaknya tidak dibunuh oleh para wanita itu!

Lauw Sek membuka mata dan pertempuran itu ternyata telah berhenti. Dia siuman dari pingsannya, melihat bahwa di situ kini hanya tinggal wanita baju kuning, sedangkan tiga orang wanita lain telah pergi, agaknya mereka semua mengejar Siauw Goat!

“Kami membiarkan engkau hidup agar engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat permainan oleh serombongan piauwsu yang lancang!” kata wanita baju kuning itu.

“Siapa.... siapa kalian....?” Lauw Sek bertanya lemah, hatinya penuh duka melihat bahwa sebelas orang anak buahnya ternyata telah tewas semua dalam keadaan menyedihkan sekali. Dia bangkit duduk dan pundak kirinya terasa nyeri, akan tetapi darah sudah berhenti mengucur, agaknya membeku di luar karena hawa dingin dan salju yang turun ke atas luka besar itu.

Wanita baju kuning itu tersenyum. Manis sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek di saat itu, senyum ini seperti senyum iblis dari neraka! “Memang kami sengaja membiarkan kamu hidup agar mengenal siapa kami. Kami adalah utusan dari Sam-thaihouw! Nah, ingatlah baik-baik!”

Wanita baju kuning itu menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menendang dan tepat mengenai dada Lauw Sek membuat piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan lagi! Sambil tersenyum wanita baju kuning itu lalu melompat dan lari dari situ untuk menyusul teman-temannya, sedangkan enam belas orang penggotong tandu itu duduk seenaknya saja semenjak tadi menonton pertempuran di dekat tandu-tandu kosong mereka, seolah olah mereka sedang menjadi penonton pertunjukan yang menarik!

Sementara itu, Siauw Goat lari pontang-panting di antara hujan salju. Dia melarikan diri secepatnya tanpa arah tertentu dan dia memasuki daerah bersalju yang turun naik. Dia melihat adanya tiga orang yang mengejarnya. Untung baginya bahwa hujan salju makin deras sehingga pandang mata menjadi kabur dan para pengejarnya kadang-kadang kehilangan bayangannya. Juga jejak-jejak kakinya segera tertutup oleh salju sehingga tiga orang wanita itu seperti orang meraba-raba ketika mengejar dan mencarinya.

Dia mendengar lengkingan panjang di sebelah belakang, yang segera disambut oleh lengkingan lain yang lebih dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak tahu bahwa lengking pertama itu adalah suara wanita pertama yang dijawab oleh wanita ke empat sehingga tak lama kemudian wanita pertama itu sudah bergabung dengan tiga orang temannya dan kini mereka berempat semua mencari-carinya.

Beberapa kali Siauw Goat roboh terguling. Napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa lemah dan hawa dingin yang luar biasa membuat dia makin menderita. Jubah bulu tebal itu dikerudungkan di tubuh dan kepalanya, kedua tepinya dipeganginya erat-erat dan dia melanjutkan larinya biar pun napasnya seperti akan putus rasanya. Dia memaksa diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang terbuat dari tumpukan salju dan setelah tiba di puncaknya, mendadak salju yang diinjaknya itu runtuh ke bawah sehingga tubuhnya bergulingan ke bawah. Kiranya ‘bukit’ itu adalah sebatang pohon yang tertutup salju sehingga bergunduk menjadi semacam bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju yang menutupi pohon itu menjadi runtuh.

Perutnya terasa lapar bukan main, akan tetapi terutama sekali yang amat menyiksa adalah hawa dingin, kelelahan dan pernapasannya yang makin terengah, Akhlrnya tubuh yang berguling-guling itu berhenti, akan tetapi tidak bangun kembali karena Siauw Goat merasa malas untuk bangun! Terasa nikmat sekali rebah miring di atas salju, dan biar pun hawa amat dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah, napas yang sesak, dan perut yang lapar itu seperti tidak terasa lagi, yang terasa hanya, dingin dan ingin tidur!

Akan tetapi dia teringat akan nasehat-nasehat Lauw-piauwsu bahwa amat berbahaya kalau sampai orang tertidur di atas salju. Percakapan ini terjadi ketika mereka habis berjumpa dengan pengemis muda lihai yang tidur di atas salju dengan pakaian tipis.

“Pengemis itu tentu seorang kang-ouw yang sakti,” demikian kata piauwsu itu. “Padahal, tidur di atas salju amatlah berbahaya. Bagi orang biasa, kadang-kadang kelelahan dan hawa dingin membuat dia ingin sekali untuk tidur, rasa kantuk menyerang dan kalau sampai orang itu tertidur di atas salju, itu merupakan tanda bahwa dia tidak akan bangun kembali karena tentu dia terus mati dalam keadaan membeku darahnya!”

Siauw Goat bergidik. Mati! Mati tanpa dirasakannya! Dan dia masih muda! Dan dia masih harus membalas kematian kakeknya, dan dia harus bertemu dengan orang tuanya. Tidak, dia tidak boleh mati! Maka dengan sisa tenaga seadanya dia lalu bangkit lagi, merangkak bangun dan melihat betapa kaki tangannya lecet-lecet, agaknya terjadi ketika dia jatuh bergulingan tadi. Dipaksanya badan yang telah hampir mogok itu untuk bangun berdiri dan dia lalu melangkah lagi, bermaksud hendak lari.

Akan tetapi baru saja melangkah beberapa belas tindak, dia mengeluh, terguling dan pingsan! Akan tetapi, sebelum pingsan dia melihat bayangan dua orang, bukan wanita wanita yang mengejarnya, melainkan bayangan dua orang pria. Bayangan inilah yang menghabiskan semangatnya untuk pantang menyerah kepada kelelahannya. Ada orang, tentu dia akan tertolong, demikian jalan pikirannya yang terakhir sebelum membiarkan dirinya hanyut ke dalam ketidak-sadaran.

Dua orang itu pun melihat Siauw Goat. Tadinya mereka memandang heran sekali melihat seorang gadis cilik berlari-lari seorang diri di tempat yang amat sunyi dan liar itu, dan terkejutlah mereka saat melihat gadis itu berguling-guling di atas onggokan salju, bangkit lari lagi dan berguling lagi, kini diam tak bergerak di atas salju.

“Ahh, mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari kita menolongnya, Paman!” Seorang di antara mereka berkata dan terus lari menghampiri tempat Siauw Goat terguling. Orang kedua tidak menjawab akan tetapi ikut berlari.

Mereka adalah dua orang laki-laki yang memegang busur dan membawa banyak anak panah, sikap mereka gagah perkasa dan gerakan mereka tangkas, dengan pakaian seperti biasa dipakai para pemburu. Yang bicara tadi masih remaja, kurang lebih lima belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan, kejujuran dan ketabahan sedangkan sepasang matanya tajam dan membayangkan kecerdasan. Pria kedua berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di balik wajahnya yang gagah membayang kesabaran.

Memang mereka itu adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Mereka adalah keluarga pemburu turun-temurun menjadi pemburu binatang buas yang ahli dan berpengalaman. Mereka berasal dari Lok-yang di mana sekeluarga mereka bekerja sebagai pemburu-pemburu, dan kini mereka berada di Pegunungan Himalaya juga untuk berburu, dan terutama sekali sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu tertarik akan berita tentang makhluk yang dinamakan manusia salju atau Yeti. Sebagai pemburu permburu berpengalaman tentu saja berita ini amat menarik dan mereka ingin sekali dapat menangkap makhluk itu yang menurut pendapat mereka tentulah semacam binatang liar yang belum pernah dilihat manusia. Akan tetapi biar pun mereka sudah sering kali menemukan jejak Yeti, mereka sampai sekarang belum juga berhasil berjumpa dengan makhluk itu sendiri.

Pemuda remaja yang sudah memiliki bentuk tubuh seorang dewasa karena semenjak kecilnya sudah sering ikut berburu dan menghadapi kekerasan dan kesukaran itu bernama Sim Hong Bu. Ada pun pamannya yang bertubuh sedang dan sikapnya agak terlalu halus untuk seorang pemburu itu bernama Sim Tek, adik dari ayah Hong Bu.

Dahulu mereka semua ada empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang bernama Sim Hoat, kemudian adik-adiknya Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri. Akan tetapi, tiga tahun yang lalu, ketika Sim Hoat dan Sim Kun sedang berburu beruang di utara, mereka berdua diserang oleh dua ular yang sangat beracun dan nyawa mereka tidak tertolong lagi. Maka tinggallah mereka berdua saja, Sim Hong Bu dan Sim Tek pamannya, dan untuk sekedar menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh duka, Sim Tek yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai anak isteri itu lalu mengajaknya merantau ke daerah daerah liar untuk berburu. Akhirnya, dua bulan yang lalu mereka sampai di Pegunungan Himalaya karena tertarik oleh cerita tentang Yeti.

Di dalam kisah jodoh rajawali
ada diceritakan tentang Sim Hong Bu ini. Para pembaca kisah tersebut tentu masih ingat akan anak laki-laki pemburu yang pernah menyelamatkan Phang Chui Lan, dayang dari Gubernur Ho-nan yang dikejar kejar pasukan, kemudian bersama keluarga Sim dan kawan-kawan pemburu yang lain, mereka beramai-ramai menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.

Sim Hong Bu dan Sim Tek kini berlutut di dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek segera memeriksa gadis cilik itu.

“Hemm, dia pingsan dan tidak terluka, tidak pula sakit. Agaknya hanya kedinginan dan kelaparan,” kata Sim Tek. “Hong Bu, lekas kau ambil arak dan obat penghangat perut dan juga pel penambah darah itu.”

Sim Hong Bu cepat-cepat membuka buntalan bekal mereka dan melaksanakan perintah pamannya. Setelah diberi makan obat dan minum arak, digosok-gosok pula kaki dan tangannya dengan obat pemanas kulit, akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu siuman, dia meloncat berdiri, terhuyung, akan tetapi dengan nekat dia siap untuk melawan.

“Siapa kalian....?!” bentaknya.

Hong Bu tersenyum, memandang kagum kepada gadis cilik itu. Sungguh seorang gadis yang gagah dan sama sekali tidak cengeng, pikirnya, dan melihat gerakan gadis itu saat meloncat dan mengepal kedua tangannya, dia dapat menduga bahwa gadis itu pernah mempelajari ilmu silat.

“Nona, kami menemukan engkau rebah pingsan di sini, dan kami hanya menolong dan menyadarkanmu. Kami adalah pemburu-pemburu....”

“Ahh, maaf....!” Tiba-tiba sikap dara itu berubah. “Dan terima kasih atas kebaikan kalian. Mana.... mana mereka itu?”

“Mereka siapa?” tanya Hong Bu.

“Mereka yang mengejarku! Empat orang iblis betina itu....!” Siauw Goat lalu memandang ke sekeliling dengan sikap khawatir karena dia teringat akan keadaan Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang terdesak dan bahkan banyak yang sudah roboh.

“Tidak ada siapa-siapa di sini selain kita bertiga,” kata Sim Tek heran.

“Jangan khawatir, Nona. Kalau ada yang hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar dengan anak panah dan busurku ini!” Sim Hong Bu berkata menghibur sambil tangannya mengangkat busurnya yang besar ke atas kepala.

Pada saat itu terdengar suara melengking susul-menyusul, suara yang mendatangkan gema dan getaran panjang.

“Itu mereka....!” Siauw Goat berkata dengan wajah berubah agak pucat. “Pinjamkan pedangmu, aku harus melawan mereka mati-matian!” katanya.

Hong Bu dan pamannya bangkit berdiri. Hong Bu mencabut pedangnya dan kemudian menyerahkan pedang itu kepada Siauw Goat sambil berkata, “Jangan khawatir, aku dan Paman akan menjagamu dan menghadapi mereka!” Belum nampak adanya orang lain di situ dan suara melengking tadi agaknya dikeluarkan dari tempat jauh.

“Siapakah mereka, Nona? Dan mengapa mereka mengejar-ngejarmu?” Sim Tek yang lebih berhati-hati itu bertanya kepada Siauw Goat.

Dia maklum bahwa orang-orang yang dapat mengeluarkan suara melengking panjang menggetarkan seperti tadi pasti bukan orang sembarangan. Juga dia bersikap hati-hati, tidak seperti keponakannya yang begitu mudahnya menjanjikan bantuan kepada gadis cilik ini tanpa lebih dulu mengetahui apa yang menjadi persoalannya maka gadis itu dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis ini yang berada di pihak salah? Bukan tidak mungkin itu!

“Aku tidak tahu siapa iblis-iblis betina itu! Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi para piauwsu yang mengawalku dan mengejar-ngejarku untuk dibunuh!”

“Jahat mereka itu!” Hong Bu berseru marah.

Mendadak terdengar suara melengking nyaring dan keempat orang wanita itu kini telah muncul dari balik bukit salju dan gerakan mereka sangat cepatnya ketika mereka lari menghampiri. Tetapi Sim Tek dan Sim Hong Bu telah berdiri dengan tegak melindungi Siauw Goat. Sim Tek memegang sebatang pedang dan Hong Bu siap dengan busur dan anak panahnya. Juga Siauw Goat sudah memegang pedang yang diterimanya dari Hong Bu tadi.

Melihat betapa gadis cilik yang mereka kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria yang kelihatan gagah, empat orang wanita cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau yang merasa paling marah dan sakit hati terhadap Siauw Goat, melangkah maju sambil berkata kepada teman-temannya. “Biar kuhadapi anjing-anjing ini!”

Mendengar ucapan itu, diam-diam Sim Tek menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini benar amat sombong sekali, pikirnya dan kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis cilik seperti anak yang pingsan tadi berada di pihak salah.

“Harap Nona sabar sedikit,” katanya sambil melangkah maju. “Tidak baik menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis cilik, kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan dengan tenang.”

“Heh, pemburu babi yang busuk, jangan engkau mencampuri urusan orang lain! Pergilah sebelum terpaksa kubunuh engkau!” bentak wanita baju hijau yang oleh tiga temannya disebut A-ciu itu.

“Paman, Nona cilik ini benar, mereka adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuhajar mereka!”

Tiba-tiba Sim Hong Bu berteriak marah dan dengan gerakan cepat sekali pemuda remaja ini telah menggerakkan tali busurnya empat kali. Terdengar suara menjepret empat kali dan berturut-turut, empat batang anak panah menyambar seperti kilat ke arah empat orang wanita cantik itu! Akan tetapi, anak-anak panah itu semua menyambar ke arah betis kaki, maka jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud membunuh, hanya ingin melukai empat orang yang dianggapnya jahat itu.

Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati Hong Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua melihat empat orang wanita itu mengangkat kaki, dengan enak dan mudah saja mereka menendang ke arah anak panah yang menyambar itu dan.... anak-anak panah itu semua meluncur kembali ke arah Sim Hong Bu!

Tentu saja pemuda remaja ini menjadi sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat akan tetapi hampir saja menjadi korban anak panahnya sendiri, maka dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian dengan suara menggeram seperti seekor singa muda dia menyerang ke depan, menggerakkan busurnya yang dihantamkan ke arah kepala A-ciu.

“Plakkk!” Tubuh Hong Bu terhuyung ke belakang ketika busurnya ditangkis oleh lengan tangan A-ciu.

Melihat itu Sim Tek sudah menyerang pula dengan pedangnya, juga Siauw Goat sudah menggerakkan pedangnya dan maju menerjang dengan nekat. A-ciu dikeroyok tiga, tapi wanita cantik baju hijau ini hanya tersenyum dan mendengus dengan sikap mengejek, mengelak dengan mudah dari sambaran-sambaran senjata ketiga orang pengeroyoknya, dan dua kali kakinya menendang, merobohkan Hong Bu dan Siauw Goat! Akan tetapi, dua orang anak tanggung ini meloncat bangun dan menyerang lagi.

“Plakk! Aughhhh....!” Sim Tek mengeluh dan terdorong ke belakang. Pundak kirinya kena disambar jari tangan wanita itu dan dia merasa seolah-olah pundaknya lumpuh, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia sudah siap untuk menerjang lagi.

Kembali wanita itu menggerakkan kaki dan untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan Hong Bu terlempar, kini lebih jauh lagi.

“Huh, kalau aku menghendaki, apa kalian kira sekarang ini kalian masih bernapas? Tadi aku hanya hendak menguji, dan kiranya kalian adalah orang-orang tak berguna sama sekali. Hayo segera menggelinding pergi dan serahkan setan cilik itu kepadaku!” A-ciu membentak dengan sikap angkuh, berdiri tegak dan bertolak pinggang.

“Kami adalah lelaki sejati, tak mungkin membiarkan seorang anak perempuan terancam tanpa melindunginya!” kata Sim Tek dengan sikap yang gagah. Pemburu yang sudah biasa menghadapi bahaya ini tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa keempat orang wanita ini sangat kejam dan agaknya akan membunuh anak perempuan itu, maka dia sebagai seorang gagah tentu saja tidak mungkin tinggal diam.

“Lebih baik mati dari pada membiarkan dia kalian bunuh!” Hong Bu juga membentak dan dengan nekat anak ini sudah menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek juga sudah menyerang lagi dengan pedangnya, menahan rasa nyeri di pundaknya.

“Hemm, kalian benar-benar bosan hidup!” A-ciu membentak dan kini dia menyambut serangan itu dengan terjangan ke depan. Dua kali tangannya bergerak, dengan tepat dia menampar ke arah lengan tangan dua orang penyerangnya itu. Hong Bu dan Sim Tek berteriak kaget dan senjata busur dan pedang mereka terlempar.

“Mampuslah!” A-ciu membentak dan menerjang tubuh dua orang yang sudah terhuyung itu.

“Hemm, sungguh ganas!” Bentakan halus ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan tiba-tiba tubuh A-ciu terdorong ke belakang.

Wanita berbaju hijau ini terkejut, memandang orang yang baru datang dan yang serta merta menangkis serangannya yang ditujukan kepada dua orang pemburu itu.

“Ahhh, kiranya engkau lagi!” bentaknya dengan marah bukan main ketika mengenal penangkis itu ternyata adalah pemuda sastrawan yang tampan, yang pernah melindungi anak perempuan bengal itu di depan restoran tempo hari!

“Sayang, aku terpaksa meninggalkan kalian karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak mungkin engkau sampai dapat membunuhi para piauwsu itu,” Kam Hong menarik napas panjang dan suaranya yang tenang itu terdengar bercampur nada marah. “Kalian ini empat orang wanita sungguh kejam seperti iblis!”

“Apa?” Siauw Goat menjerit. “Kalian iblis-iblis betina telah membunuh semua Paman piauwsu?” Anak perempuan ini menjadi marah sekali dan dengan nekat dia lalu meloncat ke depan.

Pedang pinjaman tadi telah terlempar dan sekarang dia menyerang A-ciu dengan kedua tangan kosong saja, dengan penuh kenekatan karena sakit hati dan marah mendengar betapa semua piauwsu telah tewas oleh empat orang wanita ini.

Melihat dia diserang oleh Siauw Goat, tentu saja A-ciu juga marah. “Huh, engkau setan cilik menjadi gara-gara! Mampuslah!” bentaknya.

Dan dia memapaki serangan Siauw Goat ini dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang. Kalau tamparan ini mengenai tubuh Siauw Goat, tentu anak perempuan ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.

“Hahh....?!” Dia terkejut karena tiba-tiba saja tangannya yang menampar itu terhenti di tengah-tengah, tak dapat digerakkan lagi!

“Plakkk!” Tangan Siauw Goat yang menamparnya telah tiba dan tamparan itu dengan kerasnya mengenai pipi kiri A-ciu!

Melihat tamparannya berhasil, Siauw Goat menjadi girang. Kiranya ‘tidak seberapa’ wanita iblis ini, pikirnya dan dia pun menyerang terus dengan pukulan kepalan tangannya ke arah perut orang. Melihat ini, A-ciu yang masih terkejut merasakan keanehan tadi, cepat menggerakkan kakinya untuk mengelak dan dilanjutkan dengan tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik karena tiba-tiba saja kakinya tak dapat digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat telah tiba.

“Ngekkk!” perutnya kena dihantam dan walau pun tidak membahayakan, namun cukup membuat perutnya mulas karena ketika dia hendak mengerahkan tenaga sinkang menyambut pukulan, ternyata seperti juga kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak mampu! Seolah-olah pusat penggerak tenaga di dalam tubuhnya telah dilumpuhkan orang.

Siauw Goat makin bersemangat, memukul, menendang, menampar sampai tubuh A-ciu terhuyung-huyung dihujani pukulan oleh dara cilik itu. Tiga orang perempuan lain yang melihat ini terbelalak, akan tetapi mereka segera tahu mengapa terjadi hal sedemikian anehnya ketika mereka melihat Kam Hong yang berdiri tegak itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah A-ciu. Kiranya pemuda sastrawan itulah yang mempergunakan ilmu aneh, agaknya dengan kekuatan sinkang jarak jauh yang amat dahsyat, membuat A-ciu tidak berdaya dan menjadi bulan-bulan penyerangan Siauw Goat!

“Desss!!”

Sebuah pukulan Siauw Goat tepat mengenai mulut A-ciu, merobek bibir sehingga bibir itu berdarah, tetapi Siauw Goat juga menyeringai kesakitan karena punggung tangannya bertemu dengan gigi A-ciu yang menjadi goyang, akan tetapi sedikit melukai kulit tangan Siauw Goat.

“Cukuplah, Siauw Goat.” kata Kam Hong sambil melangkah maju dan menarik lengan gadis cilik itu.

Pada saat itu, tiga orang wanita lainnya sudah berloncatan mendekat. Wanita berbaju kuning, yang tertua dan tercantik, dan yang agaknya menjadi pimpinan mereka, sudah mencabut pedangnya, diikuti pula oleh dua orang temannya dan juga oleh A-ciu yang mukanya menjadi merah sekali, bukan hanya merah karena marah akan tetapi juga merah karena bekas pukulan-pukulan Siauw Goat tadi.

“A-kiauw, engkau di sebelah kanannya!” perintahnya dan wanita baju merah sekali meloncat sudah berada di sebelah kanan Kam Hong.

“A-bwee, engkau di sebelah kirinya!” perintahnya lagi dan wanita baju biru meloncat ke sebelah kiri Kam Hong.

“A-ciu, engkau di belakangnya! Kita membentuk Barisan Segi Empat, kalian tahu apa yang harus dimainkan!” bentak lagi A-hui, wanita baju kuning yang menjadi pimpinan itu.

Kam Hong hanya berdiri dengan tenang, diam tidak bergerak, agak menunduk dan lebih menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mengikuti gerak-gerik mereka dari pada menggunakan matanya. Suasana menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, juga Siauw Goat amat tertarik.

Anak ini mulai dapat menduga bahwa kalau tadi dia berhasil memukuli wanita baju hijau seenaknya dan semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan sastrawan itu! Dia adalah anak yang semenjak kecil mempelajari ilmu silat, maka dia dapat mengerti akan hal itu dan kini dia memandang penuh harap kepada Kam Hong karena dia dapat menduga bahwa empat orang wanita itu memang lihai sekali. Apalagi kalau diingat betapa semua piauwsu telah tewas oleh mereka ini, hatinya menjadi sakit bukan main.

Tiba-tiba terdengar lengking dahsyat dan A-ciu telah mulai menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah punggung Kam Hong, disusul lengkingan-lengkingan lain berturut turut karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee juga sudah menggerakkan pedang mereka melakukan serangan kilat.

Hebatnya, serangan mereka itu berbeda-beda sifat dan sasarannya. A-hui memutar pedang menyerang dari depan seperti gelombang mengamuk, A-kiauw menyerang dengan loncatan ke atas seperti petir menyambar-nyambar, A-bwee menyerang dari bawah seperti serangan ular sakti, dan A-ciu menyerang dengan gerakan lurus dan bertubi-tubi ke arah tubuh bagian tengah.

Tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali dengan tangan kirinya walau pun seluruh tubuh masih nampak tenang sekali, Kam Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Ketika tangan kirinya bergerak, seperti bermain sulap saja nampak sinar putih yang lebar berkelebat dan sinar ini digerakkan oleh tangan kirinya ke belakang, kiri, kanan dan depan. Dan gerakan-gerakan itu ternyata dapat menangkis semua serangan empat pedang lawan!

Ketika empat orang wanita itu merasa betapa pedang mereka membalik oleh tenaga yang amat kuat, mereka melangkah mundur untuk mengatur posisi sambil memandang. Kiranya sinar putih lebar tadi adalah gerakan sebuah kipas putih yang kini dipegang oleh tangan kiri Kam Hong dan dibeberkan lalu dipakai untuk mengipasi lehernya seolah-olah pemuda sastrawan ini merasa kegerahan!

Padahal, berdiri tegak dengan kipas terpentang lalu dikipas-kipaskan di leher itu merupakan pasangan pembukaan dari ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan)! Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu warisan keluarga Suling Emas, satu di antara ilmu-ilmu yang amat diandalkan dan yang dahulu pernah mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti Suling Emas! Ketika sejenak kipas itu berhenti mengebut, empat orang wanita yang kini bergerak melangkah perlahan mengelilinginya itu dapat membaca huruf-huruf indah yang tertulis di permukaan kipas putih itu.

Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang lembut mampu menerobos yang kasar
Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!


Huruf-huruf indah yang membentuk kata-kata itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimat kalimat itu adalah kalimat yang sering dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu Kai-ong, keturunan dari para tokoh Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Isinya membayangkan sifat dari perkumpulan pengemis itu dan mengandung pelajaran atau pesan bahwa untuk dapat belajar dan menerima pengertian-pengertian baru, hati dan pikiran haruslah kosong.

Mata dan telinga yang memandang atau mendengar secara kosong, yaitu tanpa adanya pendapat yang muncul dari pengetahuan-pengetahuan yang bertumpuk dalam pikiran, dapat melakukan penelitian dan penyelidikan, dapat waspada dan mempelajari sampai sedalam-dalamnya segala persoalan yang dihadapinya.

Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan dan kepintaran adalah seperti katak dalam tempurung, seperti gentong kosong yang hanya nyaring suaranya saja. Demikian pula kekasaran dan ketakutan mudah bertemu lawan, mudah patah dan menimbulkan kekerasan, sebaliknya kelembutan mampu menerobos segala sesuatu.

Kalimat terakhir menggambarkan keadaan pengemis Khong-sim Kai-pang. Meski disebut pengemis, orang yang semiskin-miskinnya di antara semua tingkat kehidupan, namun karena tidak pernah mengeluh, tak pernah membandingkan, tidak pernah merasa kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan oleh karena merasa cukup itulah maka dia tidak menginginkan apa-apa lagi sehingga orang beginilah yang patut disebut kaya raya. Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya seseorang, kalau dia itu masih selalu merasa tidak cukup, maka dia akan berusaha memperbesar kekayaannya itu tanpa mempedulikan jalan kotor apa yang ditempuhnya!

A-hui mengeluarkan bentakan nyaring secara tiba-tiba dan empat orang wanita yang tadinya berjalan mengelilingi Kam Hong itu tiba-tiba melakukan penyerangan. Serangan mereka cukup dahsyat dan teratur rapi, oleh karena memang mereka mempergunakan Barisan Segi Empat yang amat teratur. Pedang mereka gemerlapan dan menyambar nyambar seperti halilintar, mengeluarkan suara berdesing dan angin serangan yang membuat rambut dan ujung pita rambut Kam Hong dan ujung kuncir Kam Hong berkibar itu membuktikan betapa kuatnya sinkang dari empat orang wanita itu.

Akan tetapi Kam Hong menghadapi mereka dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak berloncatan, hanya berputaran ke sana-sini dengan langkah-langkah kaki yang sangat tegap. Kipasnya bergerak cepat, kadang-kadang menjadi sinar yang membentuk perisai atau benteng melindungi tubuhnya sehingga semua serangan pedang itu gagal karena tertangkis dan membalik.

Kadang-kadang kipas itu tertutup dan dipergunakan untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan darah yang penting, kadang-kadang dibuka dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat dipergunakan untuk mengebut ke arah muka lawan sehingga beberapa kali empat orang wanita itu gelagapan sukar bernapas karena tiupan angin keras dari kipas itu ke arah muka mereka!

Pertempuran itu berlangsung dengan amat serunya dan gerakan empat orang wanita itu makin lama makin cepat, mereka bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga seolah-olah mereka itu beterbangan mengelilingi Kam Hong yang masih bergerak dengan tenang. Menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini, berkali-kali Sim Tek menarik napas panjang saking kagumnya.

“Paman, sastrawan itu hebat sekali, ya?”

Pamannya mengangguk tanpa melepaskan pandangan matanya dari pertarungan itu. “Bukan main lihainya, hanya dengan kipas.... padahal empat orang wanita itu amat tangguhnya....”

“Mana lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil, Paman?”

Pamannya menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak tahu.... tidak tahu....“ katanya penuh kagum karena kini gerakan kipas makin menghebat dan membuat empat orang wanita itu terdesak dan gerakan mereka terpaksa makin melebar.

“Siapa Siluman Kecil itu? Apa sih kehebatannya?” Tiba-tiba Siauw Goat yang berdiri tidak jauh dari Hong Bu, bertanya sambil mendekat, akan tetapi seperti yang lain, dia juga masih terus menonton pertempuran itu.

Sejenak Hong Bu menoleh kepada Siauw Goat, alisnya berkerut seperti orang marah mendengar betapa Siluman Kecil, pendekar yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak kecil itu kini dipandang rendah orang.

“Pendekar Siluman Kecil adalah pendekar nomor satu di kolong langit, kepandaiannya tidak ada yang mampu melawannya!” demikian dia berkata dan kembali dia memandang ke arah pertempuran yang menjadi semakin seru itu.

“Tidak mungkin!” Siauw Goat membantah. “Pendekar nomor satu di kolong langit adalah mendiang Kongkong-ku, kemudian nomor dua adalah dia itu!” Dia menunjuk kepada bayangan Kam Hong, lalu tiba-tiba ia mendapatkan suatu pikiran yang dianggapnya amat baik dan berteriaklah gadis cilik itu, “Heii, Paman Kam, lekas selesaikan pertandingan itu agar engkau dapat diadu dengan Pendekar Siluman Kecil!”

Bukan hanya Kam Hong yang terkejut sekali mendengar kata-kata dan disebutnya nama Pendekar Siluman Kecil itu, bahkan empat orang lawannya yang sudah terdesak juga amat terkejut dan mereka itu berloncatan mundur.

“Tahan!” seru A-hui sambil melintangkan pedang di depan dada. Keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, demikian pula dengan tiga orang temannya. Kam Hong berhenti bergerak dan pemuda sastrawan ini tidak kelihatan lelah sama sekali.

“Pernah apakah engkau dengan Pendekar Siluman Kecil?”

Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Bukan apa-apa.”

“Tapi setan cilik itu tadi hendak mengadumu dengan Siluman Kecil. Apakah engkau adalah musuhnya?”

“Hemmm, perempuan kejam, jangan kau bicara sembarangan! Pendekar Siluman Kecil adalah seorang pendekar kenamaan yang budiman, mana mungkin aku memusuhinya? Sudahlah, kalian lekas pergi dan jangan mengganggu siapa pun. Kalau tidak, mengingat bahwa engkau sudah membunuh banyak orang dalam rombongan piauwsu itu, kalian harus dihukum....“

“Paman Kam, bunuh saja mereka iblis-iblis betina itu!” Siauw Goat berteriak lagi.

Empat orang wanita itu menjadi marah dan serentak mereka menyerang lagi.

“Katakan dahulu siapa engkau baru kami mau sudah!” teriak A-hui sambil menggerakkan pedang diikuti oleh tiga orang temannya.

“Pergilah....!” Tiba-tiba Kam Hong membentak dan nampak sinar kuning keemasan yang berkeredepan menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring empat kali dan empat orang wanita itu terjengkang ke belakang, pedang mereka terlepas dan terjatuh ke atas salju!

Mereka terbelalak memandang kepada pemuda sastrawan itu yang kini berdiri dengan gagahnya, tangan kiri masih memegang sebatang kipas yang dikembangkan, dan tangan kanan tahu-tahu telah memegang sebatang suling terbuat dari pada emas yang sinarnya berkilauan.

“Suling Emas....?!” A-hui merangkak bangun dan memandang kepada suling di tangan sastrawan muda itu dengan mata terbelalak.

Nama Pendekar Suling Emas pada waktu itu hanya sebagai dongeng pahlawan kuno belaka, dan biar pun pernah dihebohkan oleh dunia kangouw bahwa Pendekar Suling Emas meninggalkan pusaka-pusaka, namun karena tidak ada yang berhasil mencarinya maka lambat laun berita itu lenyap ditelan waktu.

Dan kini muncul seorang sastrawan muda yang bersenjata suling dan kipas secara lihai sekali, mirip dengan tokoh pendekar kuno itu! Empat orang wanita itu sekarang sudah bangkit, menyeringai kesakitan dan mengambll pedang masing-masing, tidak berani banyak lagak lagi!.

SELANJUTNYA SULING EMAS NAGA SILUMAN JILID 03