Kisah Sepasang Rajawali Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 21
Setelah merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu timbul kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata tidak kalah cantiknya dengan kakaknya yang telah melarikan diri! Maka sambil tersenyum dia lalu memanggul tubuh ‘pengantinnya’ itu dan di bawah sorak dan tawa para tamu yang masih belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu pergi dari dalam ruangan dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias meriah dan berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi! Siang In terkejut dan ketakutan, akan tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh, dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor kelinci yang diterkam harimau.

Tambolon sebenarnya bukanlah seorang yang mata keranjang atau gila wanita. Tetapi, dia mempunyai kepercayaan bahwa dia akan ‘awet muda’ dan dapat menggunakan ilmunya untuk memindahkan kemurnian seorang gadis ke dalam tubuhnya sehingga memperkuat tenaga mukjijatnya jika dia memperoleh seorang gadis, maka raja liar yang berilmu tinggi ini di mana-mana selalu mencari korban seorang gadis.

Dia tidak pernah jatuh cinta dan setiap kali mendapatkan seorang perawan, setelah dipermainkannya paling lama sepekan saja lalu ‘dioperkan’ kepada para pembantunya untuk menyenangkan hati para pembantunya itu. Tentu saja setelah dia menyedot hawa murni dari gadis korbannya itu untuk memperkuat dirinya. Dia tidak pernah mempunyai isteri dan karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki tangannya, amat mudah bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan untuk menjadi korbannya. Betapa pun juga, tentu saja untuk membangkitkan birahinya, dia selalu memilih wanita yang cantik.

Ketika membawa bahan-bahan obat untuk dijual ke kota, Siang Hwa bertemu dengan serombongan kaki tangan Tambolon yang dipimpin oleh Si Petani Maut. Melihat gadis cantik ini, Petani Maut yang memang sudah dipesan oleh Tambolon untuk mencarikan ‘isteri’ lalu menangkapnya dan perlawanan Siang Hwa percuma saja. Tambolon yang baru saja kehilangan pasukannya dan sedang berusaha untuk menghimpun tenaga, lalu menggunakan kesempatan mendapat ‘isteri’ baru itu untuk mengundang para pimpinan suku bangsa liar di utara mengadakan perjamuan untuk menyenangkan hati mereka. Pesta pernikahan itu hanyalah alasan saja, karena yang penting baginya adalah menyenangkan hati calon-calon pembantu dan sekutunya itu dan kedua memperoleh korban seorang perawan baru.

Demikianlah, dengan wajah berseri-seri sungguh pun tadi dia marah-marah karena gangguan di dalam pesta sehingga terjadi kebakaran, kini Tambolon memanggul tubuh Siang In. Dengan kasar dia membentak para pelayan dan penjaga di depan kamarnya agar pergi, kemudian dia berkata kepada Siang In, “Heh-heh, manis, sekarang kita hanya berdua saja, jangan kau bersikap malu-malu lagi...”

“Jahanam, iblis keji, anjing babi hina dina! Kau bunuhlah saja aku...!” Siang In memaki-maki dengan suara serak karena sudah sehari penuh dia memaki-maki tadi. Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi lumpuh ditotok secara istimewa oleh Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau membunuh diri.

“He-he-heh, sayang kalau dibunuh, kau begini segar dan muda!” Tambolon menendang daun pintu kamarnya terbuka, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.

“Heh-haaa?” Dia terbelalak dan terheran-heran memandang ke dalam karena di tengah kamarnya, seperti seorang dewi dari kahyangan, berdiri seorang wanita yang cantik dan menyala pakaiannya, dengan gelung rambut tinggi dihias emas mutiara, jubahnya merah dan pakaiannya ketat membayangkan tubuh yang penuh tantangan, akan tetapi wanita ini berdiri sambil bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang pedang tergantung di punggungnya!

“Ehh, Nona cantik, siapakah kau...?” Tambolon benar-benar terkejut dan kagum sekali. Wanita yang berdiri di dalam kamarnya itu biar pun tidak semuda gadis remaja yang dipanggulnya, akan tetapi cantik menarik dan penuh daya pikat, dengan tubuh yang sudah matang!

“Tambolon, kau bebaskan bocah itu.”

“Kenapa?” Tambolon bertanya. “Dan siapakah kau?”

“Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau telah bertemu dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin pasukan pemberontak menghancurkan pasukan itu!”

“Ahhhh...!” Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan sambil berkata, “Manis, kau tunggu sebentar di situ!” Kemudian ia menghadapi wanita itu dan memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini adalah adik seperguruan tokoh itu.

“Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya menentang Tambolon?”

“Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti juga kami, akan tetapi siapa suruh kau berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong hingga terjadi saling serang dan akhirnya kita dihancurkan semua oleh pasukan pemerintah? Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku bukan karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini.”

Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya ini. Dengan orang-orang seperti itu jauh lebih baik bersekutu dari pada bermusuhan, dan dia sedang membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu tertawa.

“Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah menjadi isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu saja?” Kemudian dia melanjutkan setelah menjelajahi tubuh wanita cantik itu dengan pandang matanya.

“Kalau kau hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-ha-ha!”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Menemanimu saja bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon. Tetapi aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat bagiku untuk berkunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang aku tidak ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi membawa nona itu.”

“Kalau aku menolak?”

“Hi-hi-hik-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!”

Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang amat penting. Masih banyak perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu dengan Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat kedudukannya. Tetapi dia adalah seorang raja, selain amat merendahkan kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai seorang yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita yang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.

“Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat kecantikanmu. Sambutlah!” Tambolon lalu loncat ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak wanita cantik itu.

“Hemm, bagus...!” Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri.

Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan dia pun tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah memasuki sarang naga yang berbahaya. Maka sambil meloncat, dia terus mencelat ke arah pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang In yang dikempit dengan lengan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil tempat yanci (alat pemerah pipi).

Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak menduga apa-apa, terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos kecil itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biar pun benda itu hanya dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil bertiarap.

“Darrrrr...!”

Seperti yang telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tak berarti itu kiranya adalah sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan pembaringan di dalam kamar itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak bertiarap, tentu dia dapat terluka pula. Dia menjadi kagum akan tetapi juga marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta bantuan gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In, maka dengan hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.

Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena wanita pesolek itulah yang telah mencuri kitab catatan peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur sekali, sungguh pun dia menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu mengandung pamrih sesuatu. Seorang yang berwatak palsu seperti wanita ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab seperti maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya melarikan dia dari tangan Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi kepentingan dirinya sendiri.

Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam kegelapan malam, melalui pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.

“Setelah mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan apa?” Siang In menegur, akan tetapi tidak menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa Tambolon dan anak buahnya tentu melakukan pengejaran.

“Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!” Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang In.

Dara ini makin heran, tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya. Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka telah hafal akan isinya, dan sekarang mereka menyimpannya hanya sebagai barang pusaka peninggalan ayah mereka.

“Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku, lalu mencuri kitab ini. Sekarang engkau bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon kemudian mengembalikan kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?”

Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata, “Engkau puteri mendiang Yok-sian, sayang kalau sampai menjadi makanan Tambolon yang rakus! Dan, ehh, adik kecil yang baik, siapa namamu?”

“Aku Teng Siang In.”

“Adik Siang In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi. Engkau tentu tahu bahwa tanpa aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu merupakan penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya pertolonganku ataukah tidak?”

Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia bergidik ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut dari tangan Tambolon, sekarang dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan dia menjawab, “Mo-li, lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau kehendaki dari aku setelah kitab yang kau curi ini agaknya tidak ada gunanya bagimu.”

“Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku berterus terang saja.” Dia berhenti di bawah pohon kecil dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di depannya.

“Terus terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi ketika aku mencuri mempelajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suheng-ku. Sebelum sempurna aku mempelajarinya, suheng-ku tahu akan hal itu dan dia merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjutkan latihanku. Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suheng-ku itu memang orang kejam! Dia malah menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri pelajaran orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri kitab itu dari Dewa Bongkok....” Mauw Siauw Mo-li berhenti sejenak untuk menarik napas.

“Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali. Nah, aku mendengar bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku lalu mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya berisi catatan tentang nama-nama dan macamnya tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan ingin minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu dari ayahmu.”

Siang In mengerutkan alisnya. “Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu diwarisi oleh enci-ku, dan aku hanya bisa mengenal bahan-bahan obat saja. Akan tetapi, biar enci-ku sendiri kiranya tidak akan dapat menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang salah. Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh enci-ku dan aku, dan karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka rahasia itu kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu.”

Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini. “Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan aku? Lekas katakan!”

“Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku masih berusia lima tahun, Ayah sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan anak naga itu...”

“Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!”

Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang In lalu membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya itu.....

Di sebuah telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di sebelah barat Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin sekali merupakan naga terakhir di dunia ini. Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada permulaan musim semi, naga itu keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas untuk menerima sinar matahari.

Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada telurnya yang menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari. Nah, anak naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, karena dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit, terutama keracunan. Juga bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi kuat dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga sinkang.

“Sekarang aku telah berusia lima belas tahun, berarti sepuluh tahun telah lewat sejak naga itu muncul di permukaan air Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau pergi ke telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga, jangankan baru keracunan di dalam darahmu, biar engkau sudah tiga perempat mati pun akan dapat disembuhkan.”

Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali. “Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi...”

Dia berhenti dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan remang-remang itu menyelidiki wajah Siang In. “Siang In, benarkah apa yang kau ceritakan semua itu?”

Siang In cemberut. “Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal dunia. Apa kau kira aku sudi untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara membohongimu? Betapa pun juga, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau kuberi tahu tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari penyembuhan untuk darahmu yang keracunan.”

“Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan menghaturkan terima kasih ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke sana dan engkau akan menerima hukuman yang pasti lebih mengerikan dari pada kalau engkau terjatuh ke tangan Tambolon.” Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan lenyap.

Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing terinjak ekornya dari jauh. Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan sendirian saja, sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan pengejaran, maka kemudian dia melanjutkan perjalanan melarikan diri.

Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di lereng Gunung Pek-thouw-san, sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama enci-nya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya pergi ke hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau rempah-rempah yang banyak tumbuh di daerah itu.

Kini, dia melakukan perjalanan mencari enci-nya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia sama sekali asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apa lagi perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari, hanya diterangi bulan muda dan bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu melarikan diri secara ngawur.

Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri lebih dulu ketika terjadi kebakaran. Rombongan kedua adalah pasukan yang mengejar Mauw Siauw Mo-li dan Siang In. Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan pasukan kedua dipimpin oleh Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak kecil hidup di daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka mengenal baik daerah itu dan mereka dapat melakukan pengejaran dengan terarah dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila pada keesokan harinya, Siang In terkejut sekali mendengar derap kaki kuda jauh dari belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah datar tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi, maka larilah dara ini ke depan, secepat mungkin!

Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu membalapkan kuda mereka karena mereka telah melihat gadis yang berlari cepat itu, dan mendengar betapa derap kaki kuda makin dekat, Siang In mempercepat larinya dan mengeluh,

“Ahhh... kalau saja Pek-liong berada di sini...” Kalau dia menunggang keledai itu, dia tidak takut biar dikejar oleh siapa pun juga karena keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimana pun.

Para pengejar semakin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah ketika tiba-tiba dia membelalakkan mata dan menghentikan larinya karena di depannya membentang luas sebatang sungai yang amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.

“Celaka...!” Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang kuda mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si Sastrawan!

“Biar aku melawan sampai mati!” Siang In yang maklum bahwa dia tidak dapat lari terus karena ada sungai lebar menghalang di depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit bibir bawah dan matanya berkilat penuh kemarahan!
Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat belasan orang lagi datang berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh Si Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam usahanya mengejar para tawanan yang lolos telah tiba pula di tempat itu! Tentu saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan celaka di tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan dari pada hidup menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!

“In-moi...!”

Siang In terkejut dan jantungnya berdebar keras. Itulah suara enci-nya Siang Hwa!

“Cici...!” Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya saat dia melihat Kian Bu bersama enci-nya, seorang kakek tua berambut putih, dan lima orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh mereka ke tepi sungai.

“Bu-koko... kau tolonglah aku...” Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu.

Dia telah salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang kutu buku yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu bertemu dia berteriak minta tolong.

“Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!” Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan gerakan yang amat lincah, diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.

“Nona, ke mana engkau hendak lari?” Yu Ci Pok yang bertugas menawan kembali ‘pengantin kedua’ ini menubruk sambil meloncat dari atas kudanya.

Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada sastrawan itu.

“Plakk!” Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan sambil tertawa dan sebaliknya sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang In.

“Lepaskan aku...!” Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Keparat, Lepaskan dia!”

Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan itu pesat melayang ke arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat, mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.

“Dessss...!”

Kian Bu telah mendorong dan mengerahkan sinkang-nya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang sambil memandang heran dan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit.

Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan, terdengar suara ketawa dan ketika dia menoleh ada tangan menampar mukanya. Untung Liauw Kui adalah seorang berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka begitu mendengar ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang kakek berambut putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa!

Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini juga belum mengenal See-thian Hoat-su, bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah cepat mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya lalu menyerang kakek itu sambil menyerukan perintah mengepung dan mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!

Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek atau rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan membawanya lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh orang lebih itu.

See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini mengira bahwa bekas isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas isterinya yang merupakan tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat dia berkata, “Orang muda, mau tunggu apa lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!”

Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan sebuah batu melayang lurus ke depan, tepat di permukaan air sungai, disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi batu kedua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah tiba di atas rakit. Akan tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas, lalu di atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur terdorong gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit dengan ringan. Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya melongo melihat demonstrasi ginkang istimewa yang dilakukan oleh kakek berambut putih dan pemuda tampan itu.

Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang dan terharu bahwa mereka berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon. Namun mereka tidak mendapat banyak kesempatan untuk bertangisan dan saling menceritakan pengalaman lebih lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su berseru, “Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka telah mengejar kita!”

Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu telah mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam buah rakit yang mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.

“Awas anak panah!” Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri.

Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas menyambut anak-anak panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa gembira.

“Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang hebat!”

Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan menendang setiap anak panah yang meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang anak kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak panah dengan menangkis, enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang dengan tombak-tombak panjang.

Si kakek berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh dan sambil bersorak girang dia meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang di atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka dan hanya menampar dan menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat mereka berjatuhan akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi. Hal ini agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing yang sedang mempermainkan enam ekor tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan sambil tertawa-tawa.

“Heiittt, wuuhh, tidak kena... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan kau rebahlah!” Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga hati Kian Bu.

Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat melawan dan menahan semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung bahwa Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan gagah berani, juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka, sungguh pun keadaan mereka amat repot karena dikepung dan dikeroyok.

“Awas pinggir rakit!” Kian Bu berteriak.

Cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di pinggir rakit. Kiranya sekarang mereka telah mengirim beberapa orang untuk menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi Panglima Jayin dan para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang mulai bergoyang-goyang.

“Auuhhh...!” Salah seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya terjungkal ke dalam air sungai karena perutnya telah terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dilepas oleh Si Petani Maut.

“Awas senjata rahasia!” Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di pinggir rakit.

Berkat amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si Petani Maut Liauw Kui dan Sastrawan Yu Ci Pok yang tidak dapat langsung menyerang secara dekat itu kembali menyuruh para anak buahnya mundurkan rakit.

“Lepas anak panah...!” perintahnya.

Kembali anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian itu. Kian Bu sibuk sendiri dan tidak mungkin dia harus melindungi seluruh rakit dari anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak buahnya juga sudah memutar golok mereka menangkisi anak-anak panah yang datang menyambar ke arah mereka. Juga dua orang gadis itu harus berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri. Akan tetapi tiba-tiba Siang Hwa mengeluh dan roboh di atas rakit.

“Cici...!” Siang In menubruk enci-nya dan alangkah kaget hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa punggung enci-nya terluka hebat dan ketika dia mendekap enci-nya, Siang Hwa mengerang lirih.

“In-moi... kau... jaga dirimu... baik-baik...” Gadis ini mengerang lalu terkulai. Sebatang paku beracun yang dilepaskan oleh Petani Maut kembali telah memperoleh korban, memasuki punggung Siang Hwa dan tepat mengenai jantung sehingga gadis itu tewas seketika.

“Enci Siang Hwa...!” Siang In menjerit dan menangis sambil memeluk enci-nya yang sudah menjadi mayat.

Melihat ini, Kian Bu menjadi semakin gemas kepada See-thian Hoat-su, “Kakek yang menjemukan! Kau membantu kami ataukah membantu musuh?” teriaknya.

See-thian Hoat-su tertawa dan sekali kaki tangannya bergerak, enam orang yang dipermainkannya itu terlempar semua dari atas rakit, tenggelam dan hinggap di pinggir rakit para pelarian itu.

“Ehh, ohhh, kenapa menangis...? Kenapa dia?”

“Enci Siang Hwa... telah... tewas...!” Siang In menangis.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah enak-enak mati mengapa pula ditangisi? Apa kau ingin melihat enci-mu hidup lagi dan menderita seperti kita ini? Ohhhh, bocah tolol kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai puluhan tahun tidak juga mampus, sekarang enci-mu sudah enak-enak mati, membikin aku iri saja, engkau malah menangis!”

Siang In tidak mempedulikan kata-kata yang aneh dan gila-gilaan dari kakek itu, terus memeluki mayat enci-nya dengan hati hancur dan dia tidak peduli lagi apakah dia terancam bahaya atau tidak, karena setelah enci-nya mati, dia amat ngeri dan takut menghadapi hidup seorang diri saja di dunia yang kejam ini. Enci-nya merupakan pengganti ayah bundanya, sekarang enci-nya telah mati, berarti bahwa dia akan hidup seorang diri saja di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan ini.

Kakek See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima Jayin dan pembantunya yang tinggal tiga orang itu masih melakukan perlawanan mati-matian karena para anak buah Tambolon masih terus mengepung mereka. Andai kata pertandingan itu terjadi di atas daratan, dengan adanya See-thian Hoat-su dan Suma Kian Bu, tentu sudah sejak tadi dua orang pengawal Tambolon beserta puluhan orang anak buahnya itu akan roboh semua dalam waktu singkat.

Akan tetapi pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan dikepung dari jauh, dihujani anak panah dan senjata rahasia, maka tentu saja para pelarian itu makin lama makin repot. Rakit mereka telah berada di tengah sungai yang lebar itu, terlalu jauh dari tepi sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk mendarat. Para pengeroyok sudah mengepung mereka dan biar pun di antara para pengeroyok itu sudah sepuluh orang yang terjungkal ke dalam air, namun Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang maklum akan kelemahan lawan di air, terus mengepung dan berusaha menggulingkan rakit itu dengan berbagai cara.

Sementara itu, langit di atas mereka berkumpul awan mendung yang menghitam tanpa diketahui oleh mereka yang sedang sibuk bertempur. Pada waktu itu Liauw Kui sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang dengan panah api! Dia merasa amat penasaran bahwa dengan banyak anak buah belum juga mereka dapat mengalahkan para pelarian itu, maka timbul keinginannya untuk menumpas musuh yang tidak bisa ditawan kembali itu.

Berhamburanlah anak panah berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su berteriak-teriak marah. Akan tetapi kakek yang lihai ini bersama Suma Kian Bu repot menangkis panah-panah ini, demikian pula Jayin dan anak buahnya. Hanya Siang In yang tidak peduli akan itu semua, dan kalau tidak ada Kian Bu yang selalu melindunginya, tentu gadis ini akan menjadi korban panah berapi. Tetapi, walau pun mereka tidak atau belum terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap di rakit mereka yang mulai terbakar!

Salah seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas jubahnya, membasahi jubah itu dengan air sungai kemudian dia cepat memadamkan api yang mulai membakar permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi, karena sibuk dengan usaha ini, dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan terdengar teriakan mengerikan ketika orang ini terkena anak panah yang menancap di lambungnya! Orang Bhutan ini terjungkal dan jatuh ke dalam air sungai.

Pada saat itu tiba-tiba turun hujan dengan derasnya seperti dituang dari langit, dibarengi dengan angin yang kencang. Amukan hujan dan angin ini sekaligus membubarkan pertempuran, karena selain hujan yang amat deras membuat cuaca menjadi gelap sekali dan membuat mereka sukar membuka mata, juga angin ribut membuat air sungai mulai bergelombang yang makin lama makin dahsyat.

Beberapa kali Siang In menjerit karena hampir dia tak dapat menahan mayat kakaknya yang akan terlempar keluar karena rakit itu mulai berguncang dan miring ke kanan kiri. Semua orang harus berpegangan kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak terlempar keluar. Ternyata hujan sejak tadi sudah turun di hulu Sungai Yi-tung dan kini air mulai membanjir datang, menciptakan arus yang amat kuat sehingga rakit-rakit itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat dikendalikan lagi.

Rakit yang membawa para pelarian itu pun hanyut terseret arus, berputaran. Kian Bu mendengar Siang In menjerit dan menangis karena jenazah enci-nya tidak dapat dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir jungkir-balik dan dia hampir saja terbawa air kalau saja dia tidak cepat-cepat memegang pinggiran rakit. Dan karena menyelamatkan diri sendiri ini, dia melepaskan mayat enci-nya yang tahu-tahu telah lenyap disambar air.

“Enci...!” Dara itu menjerit dan dengan nekat dia hendak menyusul mayat enci-nya.

“In-moi, jangan...!”

Di antara deras air hujan yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu melihat dara itu bangkit berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil mendorong kembali Siang In sehingga terlempar dan roboh di atas rakit, disambar lengannya oleh See-thian Hoat-su, namun Kian Bu sendiri tergelincir di pinggir rakit dan terseret oleh air yang mengganas.

“Bu-twako...!” Siang In menjerit akan tetapi Kian Bu telah lenyap ditelan air sungai yang menggelora itu. Siang In menjerit-jerit dan roboh pingsan di pelukan Kakek See-thian Hoat-su.

“In-moi... ah, In-moi...”

Kian Bu mengeluh, kepalanya terasa pening dan yang pertama kali teringat olehnya ketika dia siuman dari pingsannya adalah Siang In karena ketika dia terlempar ke air sungai dia sedang berusaha menolong gadis itu. Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu di dalam air yang mengamuk itu dia sama sekali tidak berdaya. Dia terseret oleh arus, dibuat terguling-guling, tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh gelombang, dihempas lagi ke bawah dan dia pingsan. Tubuhnya seperti tidak bernyawa lagi dipermainkan air Sungai Yi-tung yang mengamuk. Mungkin saja karena pingsan inilah maka nyawanya tertolong.

Andai kata dia tidak pingsan, tentu dia akan melawan maut dan justru perlawanan yang sia-sia itu membuat tubuhnya kaku dan mungkin akan remuk-remuk terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan tubuhnya menjadi lemas dan tidak pernah melawan saat dipermainkan air dan agaknya air sungai pun tidak bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau melawan, seperti seekor kucing tidak bernafsu lagi mempermainkan seekor tikus yang sudah tidak dapat bergerak.

Akhirnya air menjadi bosan dengan tubuh manusia yang tak mampu bergerak lagi itu dan menyeretnya ke tepi, melontarkan ke pinggir sehingga separuh tubuhnya berada di atas tanah sedangkan dari pinggang ke bawah masih di dalam air.

“Siang In... kasihan kau...” Kembali dia mengeluh.

“Engkau juga kasihan, muda belia yang tampan...” Terdengar suara halus berada di dekatnya.

Kian Bu terkejut dan kesadarannya mulai kembali. Ketika dia merasa betapa kepalanya rebah di tempat yang lunak dan hangat, dia cepat membuka matanya dan terbelalak heran melihat sebuah wajah yang cantik sekali berada di atasnya. Wajah yang berkulit halus, dengan sepasang mata bening yang menatap mesra, dengan bibir yang merah tersenyum ramah. Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai, kepalanya rebah di atas pangkuan wanita berwajah cantik itu!

Tentu saja Kian Bu terkejut sekali dan cepat dia bangkit duduk dan membalikkan tubuh memandang. Wanita itu cantik bukan main dan ia mencium bau harum semerbak.

“Kau... kau siapakah...?” Kian Bu bertanya meragu karena dia seperti pernah melihat wanita ini.

Senyum di bibir merah itu makin melebar dan nampaklah deretan gigi putih bersih, kemudian, hanya sekilas pandang, nampak ujung lidah yang meruncing dan merah menjilat keluar di antara deretan gigi atas bawah, hanya sebentar saja akan tetapi mendatangkan penglihatan yang mengesankan.

“Namaku Hong Kui... she Lauw... aku melihat engkau rebah di tepi sungai, kukira sudah mati, lalu kutarik ke sini, ternyata engkau masih hidup. Sukurlah, Kongcu, sukur engkau masih hidup...” Suara wanita ini merdu dan seperti orang bernyanyi saja penuh dengan nada tinggi rendah dan kata-katanya diiringi gerak bibir mempesona dan kerling mata yang menyambar-nyambar.

Heran sekali, ketika melihat bibir yang bergerak-gerak dan mata mengerling tajam itu teringatlah Kian Bu kepada Siang In ketika dara itu berlagak meniru gerak-gerik wanita yang genit memikat. Wanita genit memikat! Tak salah lagi, dia inilah orangnya!

“Jadi... engkaukah ini...?” Dia meloncat berdiri.

Wanita itu memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan menempel ketat di tubuhnya, sambil tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia menutupkan jubahnya yang juga basah kuyup di depan tubuhnya. Sialan! Celana yang basah kuyup itu membuat dia seperti telanjang saja.

“Engkau sudah mengenal aku, Kongcu?” wanita itu bertanya dan memandang penuh selidik.

“Bukankah engkau yang dicari-cari oleh Teng Siang In?” Kian Bu bertanya, diam-diam harus mengakui bahwa wanita yang sudah matang ini benar-benar cantik menarik dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. “Bukankah engkau yang... eh, mencuri kitab dari dara itu?”

Wanita yang berpakaian mewah dan indah, dengan gelung rambutnya yang tinggi itu tersenyum lagi. Dia ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li. Seperti telah kita ketahui, setelah mendengar dari Siang In tentang obat anak naga di Telaga Sungari, wanita ini meninggalkan Siang In dan melanjutkan perjalanan hendak menuju ke telaga itu.

Tetapi dia terhalang oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat perlindungan dan berteduh di dalam sebuah bekas bangunan kuil tak jauh dari Sungai Yi-tung yang akan diseberangi. Setelah hujan berhenti, dia keluar dari tempat peneduhan itu dan secara kebetulan saja dia melihat Kian Bu terdampar di tepi sungai. Melihat seorang pemuda yang amat tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia merasa sayang sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup.

“Ahh, agaknya Adik Siang In telah bercerita kepadamu tentang kitab itu? Ahh, Kongcu, kitab itu hanya kupinjam saja dan sekarang telah kukembalikan. Apakah dia tidak bercerita kepadamu betapa aku telah menolong dan menyelamatkannya dari tangan Tambolon? Akulah yang mengajaknya lari sebelum dia menjadi korban kejahatan Tambolon dan mengantarnya sampai dia selamat dari kejaran mereka.”

Kian Bu lalu duduk kembali dan wanita itu membuat api unggun. Sampai lama mereka tidak bicara, dan wanita itu sering mengerling dan tersenyum kepadanya, sedangkan semua gerak-geriknya ketika membuat api unggun, ketika melangkah dan melenggang, semua penuh daya pikat dan seluruh bagian tubuh wanita itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak dengan penuh keindahan, dari gerak matanya, sampai ke ujung jari tangannya, pinggungnya, kakinya, bibirnya.

“Agaknya engkau telah menolong aku pula, Toanio...”

“Aihhh, jangan kau menyebut aku Toanio, Kongcu...,” wanita itu cepat memutar tubuh, mencela akan tetapi sambil tertawa. “Setelah kita bertemu di sini dan kebetulan aku menarikmu dari air, bukankah kita telah menjadi sahabat?”

“Engkau juga menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)...”

“Hi-hik, engkau sungkan benar..., biarlah kau menyebut aku... enci, karena aku memang lebih tua darimu dan kau... eh, siapa sih namamu?”

“Aku Kian Bu, Suma Kian Bu.”

“Namamu gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu, bukankah kini kita sudah bersahabat dan lebih akrab kalau aku menyebut namamu saja dan kau menyebut enci kepadaku seolah-olah kita ini dua orang bersahabat atau bersaudara?”

“Terima kasih... Enci Hong Kui, engkau baik sekali.”

Wanita itu kembali tersenyum dan membesarkan api unggun. “Kau duduklah dekat api, biar tubuhmu hangat dan pakaianmu kering.”

“Aku harus segera pergi mencari yang lain-lain, Enci. Mungkin mereka pun terdampar dan selamat seperti aku.”

“Ehh, yang lain-lain siapakah?”

Mereka berdua duduk berdampingan di atas rumput, dekat api unggun. Malam itu gelap dan dingin, tetapi api unggun itu hangat. Kian Bu lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia bersama Siang Hwa, Kakek See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan melarikan diri dari sarang gerombolan Tambolon. Kemudian setelah berhasil membawa pula Siang In yang muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah Tambolon dan dikeroyok, akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.

“Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib mereka karena aku terlempar keluar dari rakit dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku harus segera mencari Siang In. Kasihan sekali gadis itu, sudah kehilangan enci-nya yang tewas di atas rakit, kemudian dia sendiri masih terancam bahaya maut. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan selamat, dan aku harus mencarinya sekarang juga, Enci Hong Kui.”

Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li menggeleng kepalanya. “Tidak akan ada gunanya, Kian Bu. Malam amat gelap, langit masih diliputi mendung dan tidak mungkin kita dapat mencari dia di tempat gelap begini. Kita menanti sampai besok dan aku pasti akan membantumu mencari dia. Sekarang, mari kau makan dulu, aku membawa bekal roti dan arak.”

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke arah sungai. Air masih penuh sungguh pun gelombang tidak mengamuk seperti tadi, akan tetapi keadaannya gelap benar sehingga memang tidak mungkin untuk mencari Siang In di sepanjang tepi sungai itu. Dia menarik napas panjang dan duduk kembali, sementara wanita itu mengeluarkan bungkusan roti dan seguci arak. Makanan itu dibelinya dari warung di dusun yang dilewatinya tadi dan dibawa sebagai bekal.

“Sungguh kasihan sekali Siang In...” Kian Bu berkata ketika dia sudah kembali duduk dan membayangkan keadaan dara yang lincah jenaka itu.

“Eh..., apamukah dia itu? Sahabat baikmu? Pacarmu?”

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang diajukan dengan suara biasa saja.

“Oh, bukan! Kami hanya teman-teman seperjalanan yang beberapa hari yang lalu saling berjumpa dalam hutan.”

“Ah, kukira pacar atau... calon isteri.”

“Hemmm, aku masih belum bertunangan,” Kian Bu menjawab cepat untuk menyetop percakapan mengenai hal itu

Wanita itu memandangnya dengan kerling tajam dan senyumnya melebar, manis sekali. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan di bawah sinar api unggun. “Kian Bu, engkau makanlah. Roti ini kubeli di dusun tadi, masih lunak. Marilah!”

“Terima kasih.”

Kian Bu menerima roti dan bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama Lauw Hong Kui, nama kecilnya yang jarang dikenal orang itu, dia makan roti karena memang perutnya terasa lapar sekali. Teringat olehnya betapa dia bersama Siang In sudah sejak ditawan tidak makan apa-apa dan perutnya menerima roti dengan hangat.

Melihat Kian Bu menelan roti agak seret, Mauw Siauw Mo-li tersenyum mengulurkan tangannya yang memegang guci arak. “Minumlah... arak ini pun arak baik, manis dan tidak begitu keras.”

“Mana cawan atau mangkoknya?” Kian Bu menerima guci.

“Ih, membawa cawan di perjalanan berabe saja dan di tempat ini mana ada mangkok? Kau minum saja dari guci itu.”

“Tapi... tapi... ini guci arakmu dan...”

“Aih, Kian Bu, mengapa engkau banyak sungkan? Minum begitu saja mengapa sih?”

“Habis, bagaimana engkau nanti kalau hendak minum?”

“Bagaimana? Ya biasa saja, dari guci.”

“Kalau begitu, kau minumlah dulu!” Kian Bu mengembalikan guci arak, merasa sungkan kalau harus mendahului. Untuk minum dari guci, berarti bahwa mulut guci akan beradu dengan mulutnya.

“Hi-hi-hik, engkau seperti anak kecil saja.” Mauw Siauw Mo-li diam-diam merasa girang sekali dan makin tergila-gila kepada pemuda remaja yang tampan dan sopan ini. Dia membuka tutup guci, mencucup mulut guci dan mereguk sedikit arak, lalu menyerahkan guci itu kepada Kian Bu. “Nah, giliranmu minum!”

Karena memang roti itu sebagian berhenti di kerongkongannya, Kian Bu menerima guci arak dan mereguk araknya, langsung dari mulut guci masuk ke mulutnya. Setelah dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li mengambil dari tangannya dan tanpa ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu melihat betapa sepasang bibir yang berkulit tipis itu mengulum mulut guci dan betapa leher yang panjang itu bergerak-gerak ketika arak memasukinya. Cepat Kian Bu menunduk karena penglihatan itu terlalu mendebarkan jantungnya, entah mengapa dia sendiri pun tidak mengerti.

Baru saja mereka selesai makan roti dan minum arak, pada waktu Kian Bu duduk membelakangi api untuk mengeringkan pakaiannya di bagian punggung, tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan dia bersikap waspada sungguh pun masih kelihatan tenang saja. Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa orang mendekat tempat itu dari arah daratan yang penuh pohon-pohon.

Mula-mula dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang In dan teman-teman lain, akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu sia-sia karena kalau Siang In, tentu sudah berseru memanggilnya, pula kalau mereka itu teman-teman, tentu tidak berindap-indap seperti kelakuan orang-orang yang mempunyai niat buruk.

“Ssssttt, kau mendekatlah ke sini. Ada orang-orang yang datang...” Mauw Siauw Mo-li berbisik.

Tahulah Kian Bu bahwa wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat tajam. Dan wanita ini kelihatan tenang saja, bahkan kini menambah kayu kering pada api unggun sehingga keadaan di situ menjadi cukup terang.

“Kau mendekatlah agar aku dapat melindungimu, Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang yang berniat buruk...”

Kian Bu menurut dan dia mendekati wanita itu. Mereka masih duduk dekat api unggun ketika orang-orang itu telah datang mengurung dan dari sudut matanya Kian Bu melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pembantu Tambolon bersama sepuluh orang anak buah mereka. Dia bersikap waspada karena maklum bahwa dua orang pembantu raja liar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua orang pengejar ini mendatangkan dua macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan masih berkeliarannya mereka itu di sini, berarti bahwa mereka belum dapat menawan kembali Siang In dan yang lain-lain, akan tetapi juga menimbulkan keraguan apakah mereka semua yang menjadi pelarian itu dapat menyelamatkan diri dari sungai yang mengganas.

Yang datang itu memang benar adalah sisa-sisa anak buah Tambolon yang berhasil menyelamatkan diri dari amukan badai di Sungai Yi-tung, dipimpin oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Mereka tidak berhasil menemukan para pelarian itu dan melihat api unggun dari jauh, mereka lalu berindap-indap datang ke tempat itu. Marah hati mereka ketika mengenal Kian Bu sebagai seorang di antara para pelarian itu, dan dua orang pembantu Tambolon ini mengenal pula Mauw Siauw Mo-li, karena ketika Siluman Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw Lo-mo memimpin pasukan pemberontak menumpas pasukan Tambolon di Koan-bun, mereka berdua langsung berhadapan dengan wanita ini dan suheng-nya yang lihai.

“Hemm, kiranya engkau pula yang berada di sini, Siauw Mo-li!” Liauw Kui berkata marah sambil melintangkan batang pikulannya di depan dada. “Sudah beberapa kali engkau sengaja merintangi jalan kami. Sesudah penyerbuan di Koan-bun, engkau melarikan pengantin raja kami, kemudian sekarang engkau di sini bersama seorang buruan kami. Berikan dia kepada kami.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Kalian orang-orang liar kaki tangan Tambolon, lebih baik lekas pergi dari sini, jangan mengganggu aku kalau kalian belum bosan hidup.” Dengan sikap tenang seenaknya Lauw Hong Kui, wanita cantik yang kesenangannya merasa terganggu itu berkata sambil mengorek api unggun sehingga nyalanya menjadi makin besar.

“Perempuan sombong! Kau kira aku takut kepadamu?” Liauw Kui membentak marah sekali.

“Hi-hik, engkau sudah bosan hidup!” Mauw Siauw Mo-li tertawa lalu berbisik kepada Kian Bu, “Engkau tunggu sebentar, aku akan menghajar tikus-tikus busuk ini!”

Kian Bu mengangguk dan memandang dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita cantik jelita yang telah menolongnya ini, yang mempunyai nama indah, yaitu Lauw Hong Kui, kiranya adalah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing yang telah dia dengar namanya dari kakaknya itu. Kiranya ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang lihai!

Heran sekali dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki seorang sumoi sehebat ini dan sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis betina itu ternyata adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini ternyata tidak membohong ketika mengatakan bahwa dia menyelamatkan Siang In dari tangan Tambolon, karena menurut ucapan Liauw Kui yang marah tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu duduk di dekat api unggun dan menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui tidak tahu bahwa dia memiliki kepandaian maka dia pun tidak akan turun tangan kalau tidak perlu sekali, sungguh pun dia telah siap karena maklum betapa lihainya dua orang pembunuh utama Tambolon.

“Mampuslah...!”

Tiba-tiba tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan sebatang ranting yang ujungnya bernyala ke arah Petani Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya, menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu. Liauw Kui mendengus marah, batang pikulannya bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara anak buah pasukan Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini menjadi padam.

Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran ranting itu sedemikian kuatnya sehingga biar pun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh seorang anak buahnya.

Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan nampak di antara cahaya api ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah berteriak keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya.

“Singgg... wirrr...!”

Pikulan itu berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li. Namun wanita ini tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya untuk balas menyerang.

“Tring-tring-tringgg...!”

Berkali-kali kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling menyerang dengan marah.

Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah dan lihai sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena senjata batang pikulan itu pun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan.

Betapa pun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan lawannya, meski pun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian.

Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.

“Iblis betina banyak tingkah!” teriaknya.

Dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.

“Cring-cring-cring-tranggg...!”

Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.

Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak, “Kian Bu, tiarap...!”

Terdengar bunyi ledakan keras. Empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat berlarian cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang sangat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui datang menghantam punggungnya yang biar pun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.

“Wuuuttt... desss!”

Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan. Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sinkang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.

“Enci Hong Kui... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka...?” kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.

“Kian Bu, awas...!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.

Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.

“Plak-plak-bresss...!”

Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sinkang. Batang pikulan Liauw Kui yang tertangkis membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.

Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.

“Awas peledak...!” Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh.

Tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.



Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu sudah berlutut di dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.

“Eh, engkau kenapa, Enci?” tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.

“Kian Bu... kau... tak kusangka... aihhh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya... kau hebat, aku kagum sekali padamu...”

“Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui.”

Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya. Jari-jari tangan wanita itu lalu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah. Teringat olehnya akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu.

Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata, “Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?”

Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu birahinya. Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya, kemudian menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi dari pada kepandainnya sendiri.

“Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tak suka kepadaku. Aku benci sekali, apa lagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong Kui, wanita biasa saja...”

Kian Bu tersenyum. “Enci Hong Kui, biar pun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraka...”

Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita. “Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita?”

“Engkau memang cantik dan genit memikat...” Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. “Dan biar pun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In...”

Kian Bu telah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengar wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.

“Ehhh, Kian Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu. “Kenapa kau ingin pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku pasti akan membantumu mencari dia, Kian Bu.”

“Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu.”

“Kau tetap nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biarlah aku menemanimu.”

Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.

“Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini.”

Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.

“Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku? Selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In. Mengapa?”

Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan walau pun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius atau obat perangsang.

Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan melepaskan semua hasrat petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika mendadak dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!

“Ehh, Enci..., kau kenapa?” tanyanya sambil bangkit duduk.

Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk, “Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu...” Air matanya bercucuran.

“Eh, apa maksudmu, Enci?” Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.

“Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi... aku sangsi apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut..., karena itu aku membantumu sekuat tenagaku hanya... hanya agar supaya engkau menaruh kasihan kepadaku...”

“Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku sekali pun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu tidak akan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku.”

Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan. “Benarkah, Kian Bu? Ahhh, benarkah kau sudi menolongku? Aku... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara...”

“Ada suheng-mu...”

“Suheng-ku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...”

“Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia suci-mu...? Ahhh, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas...”

“Andai kata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi dari pada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu.”

“Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya.”

“Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tak akan mungkin berhasil. Karena itu, aku mohon kepadamu..., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku.” Dan wanita itu pun menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!

Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu. “Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu.”

“Terima kasih... ohh, terima kasih...!” Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia sekali.

“Enci, kau aneh sekali.” Kian Bu perlahan menarik tangannya. “Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu.”

“Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku.”

Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan birahinya karena dia tak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itu pun dia sudah merasa puas!

Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu?

Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suheng-nya dan kini sedang menjalankan siasat untuk menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan.

Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapa pun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya saat dia dilatih sinkang di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik jantungnya.

Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabui oleh Hong Kui. Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabui seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu.

Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapa pun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikiran yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula. Pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya.

Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu saja mampu membedakannya. Karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya itu tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya hingga terlihat amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah hingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!

Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu birahinya telah terangsang dan ingin dia segera merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.

Pada dasarnya Suma Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi.

Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sinkang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mukjijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.

Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik pengalaman tadi.

Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum.....

********************

Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya hingga bumi seperti terengah-engah kehausan. Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering diganggu mendung dan hujan.

Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang bersandar pada batang pohon dan kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguh pun tidak merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu.

Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua pengalamannya. Teringat dia akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya namun ternyata adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun Beng, supek-nya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan kekecewaan karena peristiwa yang tak terduga-duga olehnya. Betapa semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang besar dan pandai.

Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul peristiwa hebat yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang penuh kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li, sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian mala petaka yang menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan atas dirinya!

Semua itu agaknya masih belum habis sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil membantu demi kehancuran pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya! Dan sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya.

Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi, mungkin dalam belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya, belum juga dapat ditemukannya! Ah, kenapa nasibnya begini buruk?

Ayahnya..., ahh, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang lahir dari hasil perkosaan! Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang tidak berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal singkat itu harus diisi dengan kedukaan? Tidak, dia harus bergembira! Dia dulu selalu gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi. Sekarang, hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.

“Hemm, sebulan lagi...!” Dia berkata sambil membuka matanya.

Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan kekhawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di dunia ini. Manusia aneh yang berkali-kali telah menolongnya, yang amat setia kepadanya.

“Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka sekali?” Topeng Setan bertanya, suaranya mengandung getaran aneh, seperti orang yang amat terharu, sungguh pun wajah yang kasar dan buruk itu tidak membayangkan apa-apa.

Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian sehingga beberapa lamanya mereka saling beradu pandang mata dan akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah tidak kuat menatap pandang mata itu.

“Kenapa engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya.

Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya. “Aku harap bengcu tidak memaksaku, kita telah berjanji...”

Ceng Ceng menghela napas. “Aku bukan ingin melanggar janji, hanya karena engkau satu-satunya sahahatku yang baik dan karena aku ingin sekali tahu apakah engkau ini adalah seorang kakek tua renta, seorang setengah tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...”

“Mengapa? Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan panggilan itu...”

“Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah berulang kali membantu dan menyelamatkan diriku. Apakah engkau seorang kakek-kakek ataukah seorang muda? Kepandaianmu demikian tingginya hingga sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi...”

“Aku memang sudah tua, Bengcu...”

“Kalau begitu, biarlah kusebut engkau Paman...”

“Terserah kepada Bengcu...”

“Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi kepala dari para perampok dan maling itu. Apa lagi dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu.”

“Ehhh...?!” Topeng Setan berseru heran.

“Aku bukan she Lu, aku she Wan... ahhh, aku sendiri baru tahu. Namaku adalah Wan Ceng, nama terkutuk...”

Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah. “Bengcu..., mengapa... mengapa begitu? Apa yang terjadi?”

“Paman, maafkan, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu paman, maka kau anggaplah aku keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Tentu saja kalau kau sudi...”

“Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi tertindih, Ceng Ceng. Apa lagi dengan luka yang kau derita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran yang menimbulkan duka.”

Ceng Ceng tersenyum. “Memang aku harus begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi, perlu apa aku berduka?”

“Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, tetapi kau tidak akan mati...”

“Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, namun tidak perlu kau memberi harapan kosong. Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih dari satu bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai seperti Pendekar Super Sakti ayah dari... Paman... ehhh, dari Suma Kian Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau... Ban-tok Mo-li guruku sendiri yang telah mati...”

“Ahhh...! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?”

“Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang amat dahsyat, akan tetapi itu pun masih dapat disembuhkan oleh Yok-kwi kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun yang timbul karena latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa beracun, maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri, maka aku tidak dapat tertolong lagi...”

“Cukup, Ceng Ceng. Jangan lagi kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan menyembuhkanmu.”

“Siapa...?”

“Aku sendiri!”

“Aihhh... Paman... engkau yang telah menolongku berkali-kali... katakanlah sejujurnya, apakah benar engkau dapat menyembuhkan aku?” Ceng Ceng berteriak sambil loncat berdiri dengan mata terbelalak. Wajahnya yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar, dan kedua matanya menjadi basah karena hatinya tergoncang penuh ketegangan.

Topeng Setan mengangguk. “Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa aku pun pernah mempelajari tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu.”

Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan membiarkan pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar sambil menahan napas ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih halus itu. Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan berkata, “Maafkan aku harus meraba pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng.”

“Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku sendiri.”

Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu. Beberapa lama dia meraba-raba pundak dan punggung, menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.

“Bagaimana Paman?”

“Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali...”

Ceng Ceng terkejut. “Kalau begitu... benarkah bahwa aku... aku akan mati dalam waktu sebulan?”

Topeng Setan menjawab cepat. “Tidak! Memang demikian kalau tidak ada orang yang mengobati, akan tetapi aku pasti akan menyembuhkanmu, Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku pasti akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan terjadi!”

Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata Topeng Setan.

“Dia memang benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur dengan racun di tubuhmu yang timbul karena latihan-latihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan menyerang dirimu sendiri... biar pun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo lenyap engkau tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu menderita dan kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat membersihkan tubuhmu sama sekali dari cengkeraman hawa beracun itu.”

“Dan obat itu tak mungkin didapatkan...?” Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal paling buruk sekali pun karena sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari tubuhnya.

“Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak naga yang berada di Telaga Sungari, yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas. Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari tempat sunyi untuk pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain.”

Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang sunyi dan tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan minta agar Ceng Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian dia sendiri lalu duduk bersila dan bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga dan memusatkan panca indra.

“Kau lumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang nanti kulakukan kepadamu, janganlah kau lawan dan jangan kaget kalau nanti engkau muntah darah,” terdengar suara Topeng Setan berbisik.

Ceng Ceng mengangguk, membiarkan dirinya ‘terbuka’, dan melemaskan seluruh urat serta menyimpan semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu, pukulan seorang biasa saja sudah cukup untuk membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pengalamannya ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya, maka dia berkata, “Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya bagimu? Paman... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sinkang dan hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya.”

“Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu untuk mengadakan perlawanan otomatis. Nah, aku mulai!”

Topeng Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya, kemudian mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa tubuh belakangnya menjadi panas sekali, akan tetapi dia mempertahankannya, bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan tubuh sedikit pun juga. Dia sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh bertopeng buruk ini. Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apalah artinya bahaya lain lagi yang mungkin dapat mengancamnya dalam cara pengobatan ini?

Gerakan jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung serta pundaknya itu kemudian berhenti, lalu terasa olehnya betapa kedua telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar dari kedua telapak tangan itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat di pundaknya yang terluka.

Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk tak bergerak dan hanya beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang menandakan betapa gadis itu menderita rasa nyeri yang hebat!

Kedua tangan yang lebar itu sekarang gemetar dan makin lama makin hebat, akhirnya menggigil dan Ceng Ceng merasakan betapa gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan menyerang pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi halus dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran.

Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai ini? Siapakah yang bersembunyi di balik topeng buruk itu dan kenapa orang ini menyembunyikan mukanya dari dunia? Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan.

Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya tercekik dari dalam, membuatnya tidak dapat bernapas lagi! Kalau saja Ceng Ceng belum menyerahkan seluruh keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah percaya sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan.

Namun dia pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam tubuhnya, yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak membuat dia menjadi panik. Bahkan dia merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat yang mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu sampai di tenggorokannya. Tak dapat ditahan lagi, dia lalu muntahkan darah kental menghitam yang cukup banyak!

Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih, “Sekarang kau rebahlah, Ceng Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...”

Bagai terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng kemudian merebahkan diri terlentang. Bajunya masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh kedua tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan lelah luar biasa membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman meliputi dirinya, terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi, membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis ini pun sudah tidur pulas!

Ketika terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya menjadi lapar sekali. Dia ingat akan pengobatan tadi dan membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang dipakai menutupi dadanya kini terdapat sehelai jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia teringat bahwa tadi dia muntah darah, akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah dibersihkan oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng lalu bangkit duduk dan memakai kembali bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar dan melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.

“Eh, kau sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, ehhh... apa yang kau lakukan ini?”

Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!

“Paman telah berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan kepadaku, entah dengan cara bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikan Paman.”

“Ehh, kau... kau... jangan begitu!” Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa bangkit berdiri.

“Ceng Ceng, janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati tulus, sama sekali tidak mengandung pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku. Aku... aku tidak suka engkau bersikap demikian. Pula engkau memang telah terbebas dari pukulan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan kakek iblis itu.”

Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, kemudian duduk dekat api tempat Topeng Setan memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu berkata, “Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka, Paman Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku? Mengapa engkau selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu itu? Mengapa?”

“Karena... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?”

“Ahh, harap engkau jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan alasan kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi dari pada kepandaianku, namun engkau merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura, bersandiwara. Kau tahu bahwa aku menjadi bengcu karena hanya ingin membantu pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek Hoat yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan terikat sumpah dengan aku. Akan tetapi kau... mengapa kau selalu menolongku?”

Topeng Setan menarik napas panjang dan membalik panggangannya. “Mungkin karena aku merasa kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari kita makan ayam panggang ini saja dan aku sudah mencari air minum.” Dia mengangkat sebuah guci penuh air. “Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi petunjuk latihan untuk membersihkan sisa hawa pukulan itu, sungguh pun racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mukjijat itu.”

“Anak naga...?”

Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yang masih mengepulkan uap itu. Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apa bila perut sudah lapar dan tubuh membutuhkan tenaga baru. Apa lagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya muda dan gemuk lagi! Tidak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng Ceng bertanya, “Paman, kalau obat mukjijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin kita menangkapnya?”

“Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari guruku, yang berada di dasar Telaga Sungari itu adalah seekor ular besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan menjadi ular telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur dan kalau telurnya menetas, dan biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan membawa anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap inti tenaga matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan, maka kita harus berusaha untuk menangkap ular besar itu.”

“Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)?” Ceng Ceng berhenti sebentar dan memandang penuh selidik. “Kalau gagal memperoleh obat mukjijat itu, akhirnya aku akan mati juga?”

Topeng Setan menggeleng kepalanya. “Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya itu adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang kukenal, dilatihnya dengan menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati karena racun itu, Ceng Ceng, hanya... karena racun di tubuhmu sudah diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk itu pun masih ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi sedikit racun itu dapat dikurangi pengaruhnya.”

“Jalan apa, Paman?”

“Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat.”

“Paman, sudah sejak kecil saya berlatih silat...”

“Aku tahu, Ceng Ceng. Namun harus kau akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat dengan dasar membekali diri untuk perkelahian, bukan? Itulah makanya engkau sampai terjeblos mempelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya sama sekali mempunyai dasar lain, yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga kesehatan.”

“Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, aku belum pernah mendengar tentang itu.”

“Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya terlebih dahulu sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti dan mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu kebatinan Agama Buddha untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi inti dari ilmu silat, terutama ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu Siauw-lim-pai.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. Soal Tat Mo Couwsu sudah pernah didengarnya dari kakeknya. Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat yang dikenal sekarang.

“Ceritanya begini....” Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia menceritakan riwayat penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian.

********************

Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang (Tahun 506-556 M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh lemah terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat pula, maka dia lalu menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata harus dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan menyehatkan tubuh mereka.

Dan delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat yang makin lama makin berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di kemudian hari. Tiap jurus dikembangkan menjadi empat sehingga terciptalah ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai tujuh puluh dua jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari Tat Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.

“Demikianlah, ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu silat yang bertebaran di seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari negara lain,” Topeng Setan melanjutkan. “Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu yang masih asli dan kini menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi hawa beracun di dalam tubuhmu sebelum engkau dapat memperoleh obat mukjijat itu, Ceng Ceng.”

Gadis itu menjadi girang sekali. “Terima kasih, Lopek. Aku pasti akan suka melatihnya dengan giat.”

“Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun tidak boleh berlebihan, sungguh pun kalau kurang pun tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu Mengganti Otot), terdiri dari dua belas gerakan.”

Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini mempunyai nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.

Gerakan Pertama :
Kosongkan pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang sejauh satu kaki (30 senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan kedua lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan. Pada saat membengkokkan lengan, tenaganya didorong ke bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua telapak tangan menekan meja dan siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan tangan kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan buang napas di waktu mengendurkan tenaga.

Gerakan kedua :
Agak dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu jari lurus mengacung. Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua ibu jari bersambung. Kemudian tarik ibu jari (ditegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini berulang 49 kali.

Gerakan ketiga :
Pentangkan kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah, jangan pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan kendurkan kedua pundak. Lalu keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali mengeras dan mengendur sampai 49 kali.

Gerakan keempat :
Rapatkan kedua kaki. Kepal dua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sampai lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan menahan napas. Lalu keluarkan napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.

Gerakan kelima :
Kedua kaki merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak terlentang sampai jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu kepal kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke enam :
Pisahkan kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat kedua lengan ke samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Lalu bongkokkan lengan menjadi segi tiga, permukaan tangan menghadap pundak. Kemudian keraskan kepalan tangan. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke tujuh :
Rapatkan kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke depan. Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak, kepalan menelungkup. Lalu angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan buka kepalan. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke delapan :
Kedua kaki masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri di atas jari kaki angkat tumit. Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke sembilan :
Kedua kaki masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke depan akan tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap ke muka sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke dalam sampai menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.

Gerakan ke sepuluh :
Kaki tetap merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak. Kamudian tarik kedua kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan, seolah-olah sedang mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang dan kepalan mengeras. Ulangi 49 kali.

Gerakan ke sebelas :
Kedua kaki merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar. Kepalan mengendur dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu jari ditegangkan. Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.

Gerakan kedua belas :
Kedua kaki merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan sejajar pundak dengan telapak terlentang, angkat pula tumit. Jangan kerahkan tenaga. Tahan posisi ini sejenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi 12 kali
.

Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng Ceng.

“Kau latih gerakan semua itu, ulangi dari yang pertama sampai kedua belas sebanyak tiga kali, dan lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas dikeluarkan.”

“Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak seberapa berat bagiku.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini makin akrab. Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya dengan pengerahan sinkang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di punggung gadis itu.

Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk seorang diri dengan mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil sambil memandang ke depan. Ceng Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak badan itu. Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia menghampiri Topeng Setan.

“Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis, Paman!” Ceng Ceng berseru kagum melihat lukisan seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.

“Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng.”

“Kalau begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!”

Topeng Setan memandang heran. “Melukis orang? Siapa yang kau maksudkan?” Ceng Ceng duduk di atas tanah.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil mencarinya, karena orang lain tik ada yang tahu bagaimana macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua), maukah engkau menolongku lagi? Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!”

“Wajah siapa yang kau maksudkan?” Topeng Setan bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah di balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam penuh selidik.

Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan perasaannya, dia mengangkat muka memandang dan menjawab, “Siapa lagi jika bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang musuh besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku mencari-cari tanpa hasil, maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku mempunyal akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya akan lebih mudah bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!” Ceng Ceng mengeluarkan kalimat terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit sekali, sampai dia lupa bahwa andai kata dia sudah berhadapan dengan musuh besarnya itu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, belum tentu dia akan dapat menandinginya!

“Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah musuh besarmu itu?” Topeng Setan bertanya, suaranya penuh getaran oleh karena merasa kasihan.

“Engkau adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman sendiri, maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu.”

“Hemm..., Kok Cu? Dan siapa she (nama keluarga) orang itu?”

“Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana Gurun Pasir bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid dari Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana, bahkan dibantu anak buah kita, Namun tidak ada yang pernah mengenal nama itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar mukanya, tentu akan lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya.”

Hening sejenak. Topeng Setan hanya menunduk dan termenung, kemudian dia berkata, “Mana mungkin aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah kulihat sendiri?”

“Tentu bisa, Paman” Ceng Ceng berkata penuh semangat. “Mari kita mencari kertas dan alat tulisnya, nanti aku yang menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman.”

Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang baik dan pensil serta tinta, kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah menyapu lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada Topeng Setan untuk menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.

“Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...,” katanya penuh gairah karena hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.

“Hemm, wajah bulat laki-laki muda? Berapa usianya?” Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang pensil bulu.

“Entahlah... hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah,” Ceng Ceng menjawab.

Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah bulat. “Begini?”

“Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wajahnya bulat... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras berlekuk tengahnya...”

Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.

“Nah... nah, begitu sudah lebih mirip... sekarang rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan panjang, atasnya agak tebal disisir ke belakang, kuncirnya panjang membelit leher dan pundak... ahh, tidak menutup telinga, Paman. Telinganya masih nampak... yaaa, begitu lebih mirip, rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya begitu...”

Topeng Setan membuat coret-coret di atas lantai.

“Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal panjang seperti golok, ah, bukan begitu... matanya tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja dan bibirnya membayangkan kekerasan hati... aihh... mengapa berbeda...?”

Ceng Ceng lama memandang coretan di atas lantai itu dengan mata disipitkan, kadang-kadang dipicingkan sebelah dan mulutnya menggerutu,

“Hemmm... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain? Seingatku tidak begitu dia... ahhh, tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!”

“Matanya berbeda bagaimana? Kau bilang tadi sudah mirip.”

“Maksudku sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti binatang buas...”

“Ehh...?! Seperti binatang buas?”

“Ya, seperti... ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam seekor domba!”

“Aihh, aneh betul mata orang itu.”

“Memang aneh, Paman. Dia seperti... eh, dia memang seorang yang gila pada saat itu. Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan bersinar penuh api. Nah, begitu, Paman... ya, ya... tulang pipi dan dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan... ehh, dan jahat seperti seekor harimau jantan yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap Paman lukis di atas kertas ini!” Ceng Ceng merasa gembira sekali karena coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh besarnya!

Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas lantai itu ke atas kertas. Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah lukisan seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.

“Beginikah dia...?” Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng Ceng.

Akan tetapi dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata merah dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan itu dengan kasar dari tangan Topeng Setan.

“Plak-plak! Brettt... reeeetttt...! Mampus engkau, jahanam...!”

Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan itu sampai hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng melempar kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya dengan kedua kakinya penuh kemarahan.

Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng Ceng akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu sambil menangis. Dengan hati-hati Topeng Setan mendekati, duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng mereda, dia bertanya lirih, “Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya?”

Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih bertitik turun. “Benci? Tak ada orang di dunia ini yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan dapat mati meram apa bila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!”

Hening sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar Topeng Setan berkata, “Alangkah hebat bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali kepada seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini membencinya.” Orang tua bermuka seperti setan itu menghela napas panjang. “Apakah yang telah diperbuatnya terhadapmu?”

Ceng Ceng menghapus air matanya, kemudian dia menggeleng kepala. “Hal itu tidak mungkin dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar dengan nyawa, itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena Paman merupakan satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia, aku akan menceritakan sakit hatiku itu kepada Paman.”

“Ke mana engkau hendak mencarinya?”

“Ke mana saja, ke ujung dunia sekali pun. Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia dan membalas dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia dan... ahhh, apa yang telah kulakukan? Gambar itu... ahhh, gambar itu kurusak...” Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar yang dapat menolong dia mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya tadi.

“Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik dari pada tadi. Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan wajah musuh besarnya itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari.

Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan setiap kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka, setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya, sedangkan dia sendiri lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang mengukus bakpao di dekat pintu.

“Bung, saya ingin bertanya kepadamu,” katanya kepada seorang di antara dua tukang bakpao itu yang cepat menoleh dan memandang heran serta kagum karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan pandang mata pria di mana pun dia berada.

“Tentu saja, Nona...” Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil tersenyum bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau menyapanya.

Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh besarnya sambil dia berkata, “Harap kau lihatlah baik-baik, barangkali engkau mengenal orang ini dan tahu di mana dia berada?”

Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di atas bibir itu ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut seolah-olah dia sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet. “Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah... ehhh, nanti kuingat-ingat dulu, Nona... hemm...”

“Heiiii...! Subo (Ibu Guru)...!” Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil. “Kiranya Subo berada di sini...?”

Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja telah berdiri di belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik sekali, bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan. Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara remaja itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di situ.

Pernah dia melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan main sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati anak perempuan itu untuk diajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera pandang matanya bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan bakpao di sudut ruangan, maka hatinya menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada Hek-tiauw Lo-mo.


BERSAMBUNG KE JILID 22


Kisah Sepasang Rajawali Jilid 21

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH SEPASANG RAJAWALI BAGIAN 21
Setelah merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu timbul kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata tidak kalah cantiknya dengan kakaknya yang telah melarikan diri! Maka sambil tersenyum dia lalu memanggul tubuh ‘pengantinnya’ itu dan di bawah sorak dan tawa para tamu yang masih belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu pergi dari dalam ruangan dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias meriah dan berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi! Siang In terkejut dan ketakutan, akan tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh, dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor kelinci yang diterkam harimau.

Tambolon sebenarnya bukanlah seorang yang mata keranjang atau gila wanita. Tetapi, dia mempunyai kepercayaan bahwa dia akan ‘awet muda’ dan dapat menggunakan ilmunya untuk memindahkan kemurnian seorang gadis ke dalam tubuhnya sehingga memperkuat tenaga mukjijatnya jika dia memperoleh seorang gadis, maka raja liar yang berilmu tinggi ini di mana-mana selalu mencari korban seorang gadis.

Dia tidak pernah jatuh cinta dan setiap kali mendapatkan seorang perawan, setelah dipermainkannya paling lama sepekan saja lalu ‘dioperkan’ kepada para pembantunya untuk menyenangkan hati para pembantunya itu. Tentu saja setelah dia menyedot hawa murni dari gadis korbannya itu untuk memperkuat dirinya. Dia tidak pernah mempunyai isteri dan karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki tangannya, amat mudah bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan untuk menjadi korbannya. Betapa pun juga, tentu saja untuk membangkitkan birahinya, dia selalu memilih wanita yang cantik.

Ketika membawa bahan-bahan obat untuk dijual ke kota, Siang Hwa bertemu dengan serombongan kaki tangan Tambolon yang dipimpin oleh Si Petani Maut. Melihat gadis cantik ini, Petani Maut yang memang sudah dipesan oleh Tambolon untuk mencarikan ‘isteri’ lalu menangkapnya dan perlawanan Siang Hwa percuma saja. Tambolon yang baru saja kehilangan pasukannya dan sedang berusaha untuk menghimpun tenaga, lalu menggunakan kesempatan mendapat ‘isteri’ baru itu untuk mengundang para pimpinan suku bangsa liar di utara mengadakan perjamuan untuk menyenangkan hati mereka. Pesta pernikahan itu hanyalah alasan saja, karena yang penting baginya adalah menyenangkan hati calon-calon pembantu dan sekutunya itu dan kedua memperoleh korban seorang perawan baru.

Demikianlah, dengan wajah berseri-seri sungguh pun tadi dia marah-marah karena gangguan di dalam pesta sehingga terjadi kebakaran, kini Tambolon memanggul tubuh Siang In. Dengan kasar dia membentak para pelayan dan penjaga di depan kamarnya agar pergi, kemudian dia berkata kepada Siang In, “Heh-heh, manis, sekarang kita hanya berdua saja, jangan kau bersikap malu-malu lagi...”

“Jahanam, iblis keji, anjing babi hina dina! Kau bunuhlah saja aku...!” Siang In memaki-maki dengan suara serak karena sudah sehari penuh dia memaki-maki tadi. Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi lumpuh ditotok secara istimewa oleh Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau membunuh diri.

“He-he-heh, sayang kalau dibunuh, kau begini segar dan muda!” Tambolon menendang daun pintu kamarnya terbuka, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.

“Heh-haaa?” Dia terbelalak dan terheran-heran memandang ke dalam karena di tengah kamarnya, seperti seorang dewi dari kahyangan, berdiri seorang wanita yang cantik dan menyala pakaiannya, dengan gelung rambut tinggi dihias emas mutiara, jubahnya merah dan pakaiannya ketat membayangkan tubuh yang penuh tantangan, akan tetapi wanita ini berdiri sambil bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang pedang tergantung di punggungnya!

“Ehh, Nona cantik, siapakah kau...?” Tambolon benar-benar terkejut dan kagum sekali. Wanita yang berdiri di dalam kamarnya itu biar pun tidak semuda gadis remaja yang dipanggulnya, akan tetapi cantik menarik dan penuh daya pikat, dengan tubuh yang sudah matang!

“Tambolon, kau bebaskan bocah itu.”

“Kenapa?” Tambolon bertanya. “Dan siapakah kau?”

“Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau telah bertemu dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin pasukan pemberontak menghancurkan pasukan itu!”

“Ahhhh...!” Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan sambil berkata, “Manis, kau tunggu sebentar di situ!” Kemudian ia menghadapi wanita itu dan memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini adalah adik seperguruan tokoh itu.

“Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya menentang Tambolon?”

“Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti juga kami, akan tetapi siapa suruh kau berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong hingga terjadi saling serang dan akhirnya kita dihancurkan semua oleh pasukan pemerintah? Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku bukan karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini.”

Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya ini. Dengan orang-orang seperti itu jauh lebih baik bersekutu dari pada bermusuhan, dan dia sedang membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu tertawa.

“Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah menjadi isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu saja?” Kemudian dia melanjutkan setelah menjelajahi tubuh wanita cantik itu dengan pandang matanya.

“Kalau kau hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-ha-ha!”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Menemanimu saja bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon. Tetapi aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat bagiku untuk berkunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang aku tidak ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi membawa nona itu.”

“Kalau aku menolak?”

“Hi-hi-hik-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!”

Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang amat penting. Masih banyak perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu dengan Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat kedudukannya. Tetapi dia adalah seorang raja, selain amat merendahkan kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai seorang yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita yang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.

“Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat kecantikanmu. Sambutlah!” Tambolon lalu loncat ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak wanita cantik itu.

“Hemm, bagus...!” Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri.

Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan dia pun tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah memasuki sarang naga yang berbahaya. Maka sambil meloncat, dia terus mencelat ke arah pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang In yang dikempit dengan lengan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil tempat yanci (alat pemerah pipi).

Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak menduga apa-apa, terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos kecil itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biar pun benda itu hanya dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil bertiarap.

“Darrrrr...!”

Seperti yang telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tak berarti itu kiranya adalah sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan pembaringan di dalam kamar itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak bertiarap, tentu dia dapat terluka pula. Dia menjadi kagum akan tetapi juga marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta bantuan gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In, maka dengan hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.

Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena wanita pesolek itulah yang telah mencuri kitab catatan peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur sekali, sungguh pun dia menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu mengandung pamrih sesuatu. Seorang yang berwatak palsu seperti wanita ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab seperti maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya melarikan dia dari tangan Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi kepentingan dirinya sendiri.

Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam kegelapan malam, melalui pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.

“Setelah mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan apa?” Siang In menegur, akan tetapi tidak menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa Tambolon dan anak buahnya tentu melakukan pengejaran.

“Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!” Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang In.

Dara ini makin heran, tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya. Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka telah hafal akan isinya, dan sekarang mereka menyimpannya hanya sebagai barang pusaka peninggalan ayah mereka.

“Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku, lalu mencuri kitab ini. Sekarang engkau bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon kemudian mengembalikan kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?”

Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata, “Engkau puteri mendiang Yok-sian, sayang kalau sampai menjadi makanan Tambolon yang rakus! Dan, ehh, adik kecil yang baik, siapa namamu?”

“Aku Teng Siang In.”

“Adik Siang In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi. Engkau tentu tahu bahwa tanpa aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu merupakan penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya pertolonganku ataukah tidak?”

Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia bergidik ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut dari tangan Tambolon, sekarang dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan dia menjawab, “Mo-li, lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau kehendaki dari aku setelah kitab yang kau curi ini agaknya tidak ada gunanya bagimu.”

“Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku berterus terang saja.” Dia berhenti di bawah pohon kecil dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di depannya.

“Terus terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi ketika aku mencuri mempelajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suheng-ku. Sebelum sempurna aku mempelajarinya, suheng-ku tahu akan hal itu dan dia merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjutkan latihanku. Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suheng-ku itu memang orang kejam! Dia malah menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri pelajaran orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri kitab itu dari Dewa Bongkok....” Mauw Siauw Mo-li berhenti sejenak untuk menarik napas.

“Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali. Nah, aku mendengar bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku lalu mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya berisi catatan tentang nama-nama dan macamnya tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan ingin minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu dari ayahmu.”

Siang In mengerutkan alisnya. “Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu diwarisi oleh enci-ku, dan aku hanya bisa mengenal bahan-bahan obat saja. Akan tetapi, biar enci-ku sendiri kiranya tidak akan dapat menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang salah. Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh enci-ku dan aku, dan karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka rahasia itu kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu.”

Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini. “Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan aku? Lekas katakan!”

“Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku masih berusia lima tahun, Ayah sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan anak naga itu...”

“Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!”

Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang In lalu membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya itu.....

Di sebuah telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di sebelah barat Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin sekali merupakan naga terakhir di dunia ini. Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada permulaan musim semi, naga itu keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas untuk menerima sinar matahari.

Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada telurnya yang menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari. Nah, anak naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, karena dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit, terutama keracunan. Juga bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi kuat dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga sinkang.

“Sekarang aku telah berusia lima belas tahun, berarti sepuluh tahun telah lewat sejak naga itu muncul di permukaan air Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau pergi ke telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga, jangankan baru keracunan di dalam darahmu, biar engkau sudah tiga perempat mati pun akan dapat disembuhkan.”

Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali. “Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi...”

Dia berhenti dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan remang-remang itu menyelidiki wajah Siang In. “Siang In, benarkah apa yang kau ceritakan semua itu?”

Siang In cemberut. “Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal dunia. Apa kau kira aku sudi untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara membohongimu? Betapa pun juga, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau kuberi tahu tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari penyembuhan untuk darahmu yang keracunan.”

“Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan menghaturkan terima kasih ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke sana dan engkau akan menerima hukuman yang pasti lebih mengerikan dari pada kalau engkau terjatuh ke tangan Tambolon.” Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan lenyap.

Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing terinjak ekornya dari jauh. Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan sendirian saja, sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan pengejaran, maka kemudian dia melanjutkan perjalanan melarikan diri.

Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di lereng Gunung Pek-thouw-san, sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama enci-nya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya pergi ke hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau rempah-rempah yang banyak tumbuh di daerah itu.

Kini, dia melakukan perjalanan mencari enci-nya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia sama sekali asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apa lagi perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari, hanya diterangi bulan muda dan bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu melarikan diri secara ngawur.

Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri lebih dulu ketika terjadi kebakaran. Rombongan kedua adalah pasukan yang mengejar Mauw Siauw Mo-li dan Siang In. Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan pasukan kedua dipimpin oleh Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak kecil hidup di daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka mengenal baik daerah itu dan mereka dapat melakukan pengejaran dengan terarah dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila pada keesokan harinya, Siang In terkejut sekali mendengar derap kaki kuda jauh dari belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah datar tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi, maka larilah dara ini ke depan, secepat mungkin!

Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu membalapkan kuda mereka karena mereka telah melihat gadis yang berlari cepat itu, dan mendengar betapa derap kaki kuda makin dekat, Siang In mempercepat larinya dan mengeluh,

“Ahhh... kalau saja Pek-liong berada di sini...” Kalau dia menunggang keledai itu, dia tidak takut biar dikejar oleh siapa pun juga karena keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimana pun.

Para pengejar semakin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah ketika tiba-tiba dia membelalakkan mata dan menghentikan larinya karena di depannya membentang luas sebatang sungai yang amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.

“Celaka...!” Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang kuda mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si Sastrawan!

“Biar aku melawan sampai mati!” Siang In yang maklum bahwa dia tidak dapat lari terus karena ada sungai lebar menghalang di depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit bibir bawah dan matanya berkilat penuh kemarahan!
Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat belasan orang lagi datang berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh Si Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam usahanya mengejar para tawanan yang lolos telah tiba pula di tempat itu! Tentu saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan celaka di tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan dari pada hidup menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!

“In-moi...!”

Siang In terkejut dan jantungnya berdebar keras. Itulah suara enci-nya Siang Hwa!

“Cici...!” Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya saat dia melihat Kian Bu bersama enci-nya, seorang kakek tua berambut putih, dan lima orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh mereka ke tepi sungai.

“Bu-koko... kau tolonglah aku...” Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu.

Dia telah salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang kutu buku yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu bertemu dia berteriak minta tolong.

“Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!” Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan gerakan yang amat lincah, diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.

“Nona, ke mana engkau hendak lari?” Yu Ci Pok yang bertugas menawan kembali ‘pengantin kedua’ ini menubruk sambil meloncat dari atas kudanya.

Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada sastrawan itu.

“Plakk!” Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan sambil tertawa dan sebaliknya sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang In.

“Lepaskan aku...!” Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Keparat, Lepaskan dia!”

Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan itu pesat melayang ke arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat, mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.

“Dessss...!”

Kian Bu telah mendorong dan mengerahkan sinkang-nya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang sambil memandang heran dan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit.

Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan, terdengar suara ketawa dan ketika dia menoleh ada tangan menampar mukanya. Untung Liauw Kui adalah seorang berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka begitu mendengar ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang kakek berambut putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa!

Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini juga belum mengenal See-thian Hoat-su, bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah cepat mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya lalu menyerang kakek itu sambil menyerukan perintah mengepung dan mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!

Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek atau rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan membawanya lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh orang lebih itu.

See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini mengira bahwa bekas isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas isterinya yang merupakan tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat dia berkata, “Orang muda, mau tunggu apa lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!”

Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan sebuah batu melayang lurus ke depan, tepat di permukaan air sungai, disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi batu kedua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah tiba di atas rakit. Akan tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas, lalu di atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur terdorong gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit dengan ringan. Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya melongo melihat demonstrasi ginkang istimewa yang dilakukan oleh kakek berambut putih dan pemuda tampan itu.

Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang dan terharu bahwa mereka berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon. Namun mereka tidak mendapat banyak kesempatan untuk bertangisan dan saling menceritakan pengalaman lebih lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su berseru, “Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka telah mengejar kita!”

Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu telah mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam buah rakit yang mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.

“Awas anak panah!” Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri.

Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas menyambut anak-anak panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa gembira.

“Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang hebat!”

Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan menendang setiap anak panah yang meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang anak kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak panah dengan menangkis, enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang dengan tombak-tombak panjang.

Si kakek berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh dan sambil bersorak girang dia meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang di atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka dan hanya menampar dan menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat mereka berjatuhan akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi. Hal ini agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing yang sedang mempermainkan enam ekor tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan sambil tertawa-tawa.

“Heiittt, wuuhh, tidak kena... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan kau rebahlah!” Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga hati Kian Bu.

Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat melawan dan menahan semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung bahwa Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan gagah berani, juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka, sungguh pun keadaan mereka amat repot karena dikepung dan dikeroyok.

“Awas pinggir rakit!” Kian Bu berteriak.

Cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di pinggir rakit. Kiranya sekarang mereka telah mengirim beberapa orang untuk menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi Panglima Jayin dan para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang mulai bergoyang-goyang.

“Auuhhh...!” Salah seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya terjungkal ke dalam air sungai karena perutnya telah terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dilepas oleh Si Petani Maut.

“Awas senjata rahasia!” Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di pinggir rakit.

Berkat amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si Petani Maut Liauw Kui dan Sastrawan Yu Ci Pok yang tidak dapat langsung menyerang secara dekat itu kembali menyuruh para anak buahnya mundurkan rakit.

“Lepas anak panah...!” perintahnya.

Kembali anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian itu. Kian Bu sibuk sendiri dan tidak mungkin dia harus melindungi seluruh rakit dari anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak buahnya juga sudah memutar golok mereka menangkisi anak-anak panah yang datang menyambar ke arah mereka. Juga dua orang gadis itu harus berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri. Akan tetapi tiba-tiba Siang Hwa mengeluh dan roboh di atas rakit.

“Cici...!” Siang In menubruk enci-nya dan alangkah kaget hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa punggung enci-nya terluka hebat dan ketika dia mendekap enci-nya, Siang Hwa mengerang lirih.

“In-moi... kau... jaga dirimu... baik-baik...” Gadis ini mengerang lalu terkulai. Sebatang paku beracun yang dilepaskan oleh Petani Maut kembali telah memperoleh korban, memasuki punggung Siang Hwa dan tepat mengenai jantung sehingga gadis itu tewas seketika.

“Enci Siang Hwa...!” Siang In menjerit dan menangis sambil memeluk enci-nya yang sudah menjadi mayat.

Melihat ini, Kian Bu menjadi semakin gemas kepada See-thian Hoat-su, “Kakek yang menjemukan! Kau membantu kami ataukah membantu musuh?” teriaknya.

See-thian Hoat-su tertawa dan sekali kaki tangannya bergerak, enam orang yang dipermainkannya itu terlempar semua dari atas rakit, tenggelam dan hinggap di pinggir rakit para pelarian itu.

“Ehh, ohhh, kenapa menangis...? Kenapa dia?”

“Enci Siang Hwa... telah... tewas...!” Siang In menangis.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah enak-enak mati mengapa pula ditangisi? Apa kau ingin melihat enci-mu hidup lagi dan menderita seperti kita ini? Ohhhh, bocah tolol kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai puluhan tahun tidak juga mampus, sekarang enci-mu sudah enak-enak mati, membikin aku iri saja, engkau malah menangis!”

Siang In tidak mempedulikan kata-kata yang aneh dan gila-gilaan dari kakek itu, terus memeluki mayat enci-nya dengan hati hancur dan dia tidak peduli lagi apakah dia terancam bahaya atau tidak, karena setelah enci-nya mati, dia amat ngeri dan takut menghadapi hidup seorang diri saja di dunia yang kejam ini. Enci-nya merupakan pengganti ayah bundanya, sekarang enci-nya telah mati, berarti bahwa dia akan hidup seorang diri saja di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan ini.

Kakek See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima Jayin dan pembantunya yang tinggal tiga orang itu masih melakukan perlawanan mati-matian karena para anak buah Tambolon masih terus mengepung mereka. Andai kata pertandingan itu terjadi di atas daratan, dengan adanya See-thian Hoat-su dan Suma Kian Bu, tentu sudah sejak tadi dua orang pengawal Tambolon beserta puluhan orang anak buahnya itu akan roboh semua dalam waktu singkat.

Akan tetapi pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan dikepung dari jauh, dihujani anak panah dan senjata rahasia, maka tentu saja para pelarian itu makin lama makin repot. Rakit mereka telah berada di tengah sungai yang lebar itu, terlalu jauh dari tepi sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk mendarat. Para pengeroyok sudah mengepung mereka dan biar pun di antara para pengeroyok itu sudah sepuluh orang yang terjungkal ke dalam air, namun Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang maklum akan kelemahan lawan di air, terus mengepung dan berusaha menggulingkan rakit itu dengan berbagai cara.

Sementara itu, langit di atas mereka berkumpul awan mendung yang menghitam tanpa diketahui oleh mereka yang sedang sibuk bertempur. Pada waktu itu Liauw Kui sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang dengan panah api! Dia merasa amat penasaran bahwa dengan banyak anak buah belum juga mereka dapat mengalahkan para pelarian itu, maka timbul keinginannya untuk menumpas musuh yang tidak bisa ditawan kembali itu.

Berhamburanlah anak panah berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su berteriak-teriak marah. Akan tetapi kakek yang lihai ini bersama Suma Kian Bu repot menangkis panah-panah ini, demikian pula Jayin dan anak buahnya. Hanya Siang In yang tidak peduli akan itu semua, dan kalau tidak ada Kian Bu yang selalu melindunginya, tentu gadis ini akan menjadi korban panah berapi. Tetapi, walau pun mereka tidak atau belum terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap di rakit mereka yang mulai terbakar!

Salah seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas jubahnya, membasahi jubah itu dengan air sungai kemudian dia cepat memadamkan api yang mulai membakar permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi, karena sibuk dengan usaha ini, dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan terdengar teriakan mengerikan ketika orang ini terkena anak panah yang menancap di lambungnya! Orang Bhutan ini terjungkal dan jatuh ke dalam air sungai.

Pada saat itu tiba-tiba turun hujan dengan derasnya seperti dituang dari langit, dibarengi dengan angin yang kencang. Amukan hujan dan angin ini sekaligus membubarkan pertempuran, karena selain hujan yang amat deras membuat cuaca menjadi gelap sekali dan membuat mereka sukar membuka mata, juga angin ribut membuat air sungai mulai bergelombang yang makin lama makin dahsyat.

Beberapa kali Siang In menjerit karena hampir dia tak dapat menahan mayat kakaknya yang akan terlempar keluar karena rakit itu mulai berguncang dan miring ke kanan kiri. Semua orang harus berpegangan kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak terlempar keluar. Ternyata hujan sejak tadi sudah turun di hulu Sungai Yi-tung dan kini air mulai membanjir datang, menciptakan arus yang amat kuat sehingga rakit-rakit itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat dikendalikan lagi.

Rakit yang membawa para pelarian itu pun hanyut terseret arus, berputaran. Kian Bu mendengar Siang In menjerit dan menangis karena jenazah enci-nya tidak dapat dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir jungkir-balik dan dia hampir saja terbawa air kalau saja dia tidak cepat-cepat memegang pinggiran rakit. Dan karena menyelamatkan diri sendiri ini, dia melepaskan mayat enci-nya yang tahu-tahu telah lenyap disambar air.

“Enci...!” Dara itu menjerit dan dengan nekat dia hendak menyusul mayat enci-nya.

“In-moi, jangan...!”

Di antara deras air hujan yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu melihat dara itu bangkit berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil mendorong kembali Siang In sehingga terlempar dan roboh di atas rakit, disambar lengannya oleh See-thian Hoat-su, namun Kian Bu sendiri tergelincir di pinggir rakit dan terseret oleh air yang mengganas.

“Bu-twako...!” Siang In menjerit akan tetapi Kian Bu telah lenyap ditelan air sungai yang menggelora itu. Siang In menjerit-jerit dan roboh pingsan di pelukan Kakek See-thian Hoat-su.

“In-moi... ah, In-moi...”

Kian Bu mengeluh, kepalanya terasa pening dan yang pertama kali teringat olehnya ketika dia siuman dari pingsannya adalah Siang In karena ketika dia terlempar ke air sungai dia sedang berusaha menolong gadis itu. Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu di dalam air yang mengamuk itu dia sama sekali tidak berdaya. Dia terseret oleh arus, dibuat terguling-guling, tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh gelombang, dihempas lagi ke bawah dan dia pingsan. Tubuhnya seperti tidak bernyawa lagi dipermainkan air Sungai Yi-tung yang mengamuk. Mungkin saja karena pingsan inilah maka nyawanya tertolong.

Andai kata dia tidak pingsan, tentu dia akan melawan maut dan justru perlawanan yang sia-sia itu membuat tubuhnya kaku dan mungkin akan remuk-remuk terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan tubuhnya menjadi lemas dan tidak pernah melawan saat dipermainkan air dan agaknya air sungai pun tidak bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau melawan, seperti seekor kucing tidak bernafsu lagi mempermainkan seekor tikus yang sudah tidak dapat bergerak.

Akhirnya air menjadi bosan dengan tubuh manusia yang tak mampu bergerak lagi itu dan menyeretnya ke tepi, melontarkan ke pinggir sehingga separuh tubuhnya berada di atas tanah sedangkan dari pinggang ke bawah masih di dalam air.

“Siang In... kasihan kau...” Kembali dia mengeluh.

“Engkau juga kasihan, muda belia yang tampan...” Terdengar suara halus berada di dekatnya.

Kian Bu terkejut dan kesadarannya mulai kembali. Ketika dia merasa betapa kepalanya rebah di tempat yang lunak dan hangat, dia cepat membuka matanya dan terbelalak heran melihat sebuah wajah yang cantik sekali berada di atasnya. Wajah yang berkulit halus, dengan sepasang mata bening yang menatap mesra, dengan bibir yang merah tersenyum ramah. Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai, kepalanya rebah di atas pangkuan wanita berwajah cantik itu!

Tentu saja Kian Bu terkejut sekali dan cepat dia bangkit duduk dan membalikkan tubuh memandang. Wanita itu cantik bukan main dan ia mencium bau harum semerbak.

“Kau... kau siapakah...?” Kian Bu bertanya meragu karena dia seperti pernah melihat wanita ini.

Senyum di bibir merah itu makin melebar dan nampaklah deretan gigi putih bersih, kemudian, hanya sekilas pandang, nampak ujung lidah yang meruncing dan merah menjilat keluar di antara deretan gigi atas bawah, hanya sebentar saja akan tetapi mendatangkan penglihatan yang mengesankan.

“Namaku Hong Kui... she Lauw... aku melihat engkau rebah di tepi sungai, kukira sudah mati, lalu kutarik ke sini, ternyata engkau masih hidup. Sukurlah, Kongcu, sukur engkau masih hidup...” Suara wanita ini merdu dan seperti orang bernyanyi saja penuh dengan nada tinggi rendah dan kata-katanya diiringi gerak bibir mempesona dan kerling mata yang menyambar-nyambar.

Heran sekali, ketika melihat bibir yang bergerak-gerak dan mata mengerling tajam itu teringatlah Kian Bu kepada Siang In ketika dara itu berlagak meniru gerak-gerik wanita yang genit memikat. Wanita genit memikat! Tak salah lagi, dia inilah orangnya!

“Jadi... engkaukah ini...?” Dia meloncat berdiri.

Wanita itu memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan menempel ketat di tubuhnya, sambil tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia menutupkan jubahnya yang juga basah kuyup di depan tubuhnya. Sialan! Celana yang basah kuyup itu membuat dia seperti telanjang saja.

“Engkau sudah mengenal aku, Kongcu?” wanita itu bertanya dan memandang penuh selidik.

“Bukankah engkau yang dicari-cari oleh Teng Siang In?” Kian Bu bertanya, diam-diam harus mengakui bahwa wanita yang sudah matang ini benar-benar cantik menarik dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. “Bukankah engkau yang... eh, mencuri kitab dari dara itu?”

Wanita yang berpakaian mewah dan indah, dengan gelung rambutnya yang tinggi itu tersenyum lagi. Dia ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li. Seperti telah kita ketahui, setelah mendengar dari Siang In tentang obat anak naga di Telaga Sungari, wanita ini meninggalkan Siang In dan melanjutkan perjalanan hendak menuju ke telaga itu.

Tetapi dia terhalang oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat perlindungan dan berteduh di dalam sebuah bekas bangunan kuil tak jauh dari Sungai Yi-tung yang akan diseberangi. Setelah hujan berhenti, dia keluar dari tempat peneduhan itu dan secara kebetulan saja dia melihat Kian Bu terdampar di tepi sungai. Melihat seorang pemuda yang amat tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia merasa sayang sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup.

“Ahh, agaknya Adik Siang In telah bercerita kepadamu tentang kitab itu? Ahh, Kongcu, kitab itu hanya kupinjam saja dan sekarang telah kukembalikan. Apakah dia tidak bercerita kepadamu betapa aku telah menolong dan menyelamatkannya dari tangan Tambolon? Akulah yang mengajaknya lari sebelum dia menjadi korban kejahatan Tambolon dan mengantarnya sampai dia selamat dari kejaran mereka.”

Kian Bu lalu duduk kembali dan wanita itu membuat api unggun. Sampai lama mereka tidak bicara, dan wanita itu sering mengerling dan tersenyum kepadanya, sedangkan semua gerak-geriknya ketika membuat api unggun, ketika melangkah dan melenggang, semua penuh daya pikat dan seluruh bagian tubuh wanita itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak dengan penuh keindahan, dari gerak matanya, sampai ke ujung jari tangannya, pinggungnya, kakinya, bibirnya.

“Agaknya engkau telah menolong aku pula, Toanio...”

“Aihhh, jangan kau menyebut aku Toanio, Kongcu...,” wanita itu cepat memutar tubuh, mencela akan tetapi sambil tertawa. “Setelah kita bertemu di sini dan kebetulan aku menarikmu dari air, bukankah kita telah menjadi sahabat?”

“Engkau juga menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)...”

“Hi-hik, engkau sungkan benar..., biarlah kau menyebut aku... enci, karena aku memang lebih tua darimu dan kau... eh, siapa sih namamu?”

“Aku Kian Bu, Suma Kian Bu.”

“Namamu gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu, bukankah kini kita sudah bersahabat dan lebih akrab kalau aku menyebut namamu saja dan kau menyebut enci kepadaku seolah-olah kita ini dua orang bersahabat atau bersaudara?”

“Terima kasih... Enci Hong Kui, engkau baik sekali.”

Wanita itu kembali tersenyum dan membesarkan api unggun. “Kau duduklah dekat api, biar tubuhmu hangat dan pakaianmu kering.”

“Aku harus segera pergi mencari yang lain-lain, Enci. Mungkin mereka pun terdampar dan selamat seperti aku.”

“Ehh, yang lain-lain siapakah?”

Mereka berdua duduk berdampingan di atas rumput, dekat api unggun. Malam itu gelap dan dingin, tetapi api unggun itu hangat. Kian Bu lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia bersama Siang Hwa, Kakek See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan melarikan diri dari sarang gerombolan Tambolon. Kemudian setelah berhasil membawa pula Siang In yang muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah Tambolon dan dikeroyok, akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.

“Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib mereka karena aku terlempar keluar dari rakit dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku harus segera mencari Siang In. Kasihan sekali gadis itu, sudah kehilangan enci-nya yang tewas di atas rakit, kemudian dia sendiri masih terancam bahaya maut. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan selamat, dan aku harus mencarinya sekarang juga, Enci Hong Kui.”

Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li menggeleng kepalanya. “Tidak akan ada gunanya, Kian Bu. Malam amat gelap, langit masih diliputi mendung dan tidak mungkin kita dapat mencari dia di tempat gelap begini. Kita menanti sampai besok dan aku pasti akan membantumu mencari dia. Sekarang, mari kau makan dulu, aku membawa bekal roti dan arak.”

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke arah sungai. Air masih penuh sungguh pun gelombang tidak mengamuk seperti tadi, akan tetapi keadaannya gelap benar sehingga memang tidak mungkin untuk mencari Siang In di sepanjang tepi sungai itu. Dia menarik napas panjang dan duduk kembali, sementara wanita itu mengeluarkan bungkusan roti dan seguci arak. Makanan itu dibelinya dari warung di dusun yang dilewatinya tadi dan dibawa sebagai bekal.

“Sungguh kasihan sekali Siang In...” Kian Bu berkata ketika dia sudah kembali duduk dan membayangkan keadaan dara yang lincah jenaka itu.

“Eh..., apamukah dia itu? Sahabat baikmu? Pacarmu?”

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang diajukan dengan suara biasa saja.

“Oh, bukan! Kami hanya teman-teman seperjalanan yang beberapa hari yang lalu saling berjumpa dalam hutan.”

“Ah, kukira pacar atau... calon isteri.”

“Hemmm, aku masih belum bertunangan,” Kian Bu menjawab cepat untuk menyetop percakapan mengenai hal itu

Wanita itu memandangnya dengan kerling tajam dan senyumnya melebar, manis sekali. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan di bawah sinar api unggun. “Kian Bu, engkau makanlah. Roti ini kubeli di dusun tadi, masih lunak. Marilah!”

“Terima kasih.”

Kian Bu menerima roti dan bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama Lauw Hong Kui, nama kecilnya yang jarang dikenal orang itu, dia makan roti karena memang perutnya terasa lapar sekali. Teringat olehnya betapa dia bersama Siang In sudah sejak ditawan tidak makan apa-apa dan perutnya menerima roti dengan hangat.

Melihat Kian Bu menelan roti agak seret, Mauw Siauw Mo-li tersenyum mengulurkan tangannya yang memegang guci arak. “Minumlah... arak ini pun arak baik, manis dan tidak begitu keras.”

“Mana cawan atau mangkoknya?” Kian Bu menerima guci.

“Ih, membawa cawan di perjalanan berabe saja dan di tempat ini mana ada mangkok? Kau minum saja dari guci itu.”

“Tapi... tapi... ini guci arakmu dan...”

“Aih, Kian Bu, mengapa engkau banyak sungkan? Minum begitu saja mengapa sih?”

“Habis, bagaimana engkau nanti kalau hendak minum?”

“Bagaimana? Ya biasa saja, dari guci.”

“Kalau begitu, kau minumlah dulu!” Kian Bu mengembalikan guci arak, merasa sungkan kalau harus mendahului. Untuk minum dari guci, berarti bahwa mulut guci akan beradu dengan mulutnya.

“Hi-hi-hik, engkau seperti anak kecil saja.” Mauw Siauw Mo-li diam-diam merasa girang sekali dan makin tergila-gila kepada pemuda remaja yang tampan dan sopan ini. Dia membuka tutup guci, mencucup mulut guci dan mereguk sedikit arak, lalu menyerahkan guci itu kepada Kian Bu. “Nah, giliranmu minum!”

Karena memang roti itu sebagian berhenti di kerongkongannya, Kian Bu menerima guci arak dan mereguk araknya, langsung dari mulut guci masuk ke mulutnya. Setelah dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li mengambil dari tangannya dan tanpa ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu melihat betapa sepasang bibir yang berkulit tipis itu mengulum mulut guci dan betapa leher yang panjang itu bergerak-gerak ketika arak memasukinya. Cepat Kian Bu menunduk karena penglihatan itu terlalu mendebarkan jantungnya, entah mengapa dia sendiri pun tidak mengerti.

Baru saja mereka selesai makan roti dan minum arak, pada waktu Kian Bu duduk membelakangi api untuk mengeringkan pakaiannya di bagian punggung, tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan dia bersikap waspada sungguh pun masih kelihatan tenang saja. Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa orang mendekat tempat itu dari arah daratan yang penuh pohon-pohon.

Mula-mula dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang In dan teman-teman lain, akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu sia-sia karena kalau Siang In, tentu sudah berseru memanggilnya, pula kalau mereka itu teman-teman, tentu tidak berindap-indap seperti kelakuan orang-orang yang mempunyai niat buruk.

“Ssssttt, kau mendekatlah ke sini. Ada orang-orang yang datang...” Mauw Siauw Mo-li berbisik.

Tahulah Kian Bu bahwa wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat tajam. Dan wanita ini kelihatan tenang saja, bahkan kini menambah kayu kering pada api unggun sehingga keadaan di situ menjadi cukup terang.

“Kau mendekatlah agar aku dapat melindungimu, Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang yang berniat buruk...”

Kian Bu menurut dan dia mendekati wanita itu. Mereka masih duduk dekat api unggun ketika orang-orang itu telah datang mengurung dan dari sudut matanya Kian Bu melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pembantu Tambolon bersama sepuluh orang anak buah mereka. Dia bersikap waspada karena maklum bahwa dua orang pembantu raja liar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua orang pengejar ini mendatangkan dua macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan masih berkeliarannya mereka itu di sini, berarti bahwa mereka belum dapat menawan kembali Siang In dan yang lain-lain, akan tetapi juga menimbulkan keraguan apakah mereka semua yang menjadi pelarian itu dapat menyelamatkan diri dari sungai yang mengganas.

Yang datang itu memang benar adalah sisa-sisa anak buah Tambolon yang berhasil menyelamatkan diri dari amukan badai di Sungai Yi-tung, dipimpin oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Mereka tidak berhasil menemukan para pelarian itu dan melihat api unggun dari jauh, mereka lalu berindap-indap datang ke tempat itu. Marah hati mereka ketika mengenal Kian Bu sebagai seorang di antara para pelarian itu, dan dua orang pembantu Tambolon ini mengenal pula Mauw Siauw Mo-li, karena ketika Siluman Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw Lo-mo memimpin pasukan pemberontak menumpas pasukan Tambolon di Koan-bun, mereka berdua langsung berhadapan dengan wanita ini dan suheng-nya yang lihai.

“Hemm, kiranya engkau pula yang berada di sini, Siauw Mo-li!” Liauw Kui berkata marah sambil melintangkan batang pikulannya di depan dada. “Sudah beberapa kali engkau sengaja merintangi jalan kami. Sesudah penyerbuan di Koan-bun, engkau melarikan pengantin raja kami, kemudian sekarang engkau di sini bersama seorang buruan kami. Berikan dia kepada kami.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Kalian orang-orang liar kaki tangan Tambolon, lebih baik lekas pergi dari sini, jangan mengganggu aku kalau kalian belum bosan hidup.” Dengan sikap tenang seenaknya Lauw Hong Kui, wanita cantik yang kesenangannya merasa terganggu itu berkata sambil mengorek api unggun sehingga nyalanya menjadi makin besar.

“Perempuan sombong! Kau kira aku takut kepadamu?” Liauw Kui membentak marah sekali.

“Hi-hik, engkau sudah bosan hidup!” Mauw Siauw Mo-li tertawa lalu berbisik kepada Kian Bu, “Engkau tunggu sebentar, aku akan menghajar tikus-tikus busuk ini!”

Kian Bu mengangguk dan memandang dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita cantik jelita yang telah menolongnya ini, yang mempunyai nama indah, yaitu Lauw Hong Kui, kiranya adalah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing yang telah dia dengar namanya dari kakaknya itu. Kiranya ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang lihai!

Heran sekali dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki seorang sumoi sehebat ini dan sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis betina itu ternyata adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini ternyata tidak membohong ketika mengatakan bahwa dia menyelamatkan Siang In dari tangan Tambolon, karena menurut ucapan Liauw Kui yang marah tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu duduk di dekat api unggun dan menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui tidak tahu bahwa dia memiliki kepandaian maka dia pun tidak akan turun tangan kalau tidak perlu sekali, sungguh pun dia telah siap karena maklum betapa lihainya dua orang pembunuh utama Tambolon.

“Mampuslah...!”

Tiba-tiba tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan sebatang ranting yang ujungnya bernyala ke arah Petani Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya, menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu. Liauw Kui mendengus marah, batang pikulannya bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara anak buah pasukan Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini menjadi padam.

Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran ranting itu sedemikian kuatnya sehingga biar pun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh seorang anak buahnya.

Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan nampak di antara cahaya api ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah berteriak keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya.

“Singgg... wirrr...!”

Pikulan itu berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li. Namun wanita ini tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya untuk balas menyerang.

“Tring-tring-tringgg...!”

Berkali-kali kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling menyerang dengan marah.

Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah dan lihai sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena senjata batang pikulan itu pun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan.

Betapa pun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan lawannya, meski pun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan penuh perhatian.

Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi tidak sabar.

“Iblis betina banyak tingkah!” teriaknya.

Dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan tubuh wanita lihai itu.

“Cring-cring-cring-tranggg...!”

Siauw Mo-li terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.

Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing, tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi sambil berteriak, “Kian Bu, tiarap...!”

Terdengar bunyi ledakan keras. Empat orang anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat berlarian cerai-berai. Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci Pok. Sebuah totokan yang sangat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui datang menghantam punggungnya yang biar pun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.

“Wuuuttt... desss!”

Dua orang itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin sekali melanda mereka dari depan. Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa sakti Swat-im Sinkang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja, maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.

“Enci Hong Kui... apakah engkau tidak apa-apa? Tidak terluka...?” kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar penuh keheranan.

“Kian Bu, awas...!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li berseru keras.

Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua orang itu.

“Plak-plak-bresss...!”

Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sinkang. Batang pikulan Liauw Kui yang tertangkis membalik dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya seperti lumpuh dan panas terbakar.

Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan dua buah benda bundar lagi ke arah musuh.

“Awas peledak...!” Si Petani Maut berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh.

Tetapi tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.



Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat wanita itu sudah berlutut di dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi tangannya itu.

“Eh, engkau kenapa, Enci?” tanyanya, akan tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh wanita itu.

“Kian Bu... kau... tak kusangka... aihhh, engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati aku tidak menyangkanya... kau hebat, aku kagum sekali padamu...”

“Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci Hong Kui.”

Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu menatapnya. Jari-jari tangan wanita itu lalu merayap dari lengannya, ke atas, membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum, agak terbuka, agak terengah. Teringat olehnya akan Siang In yang pernah meniru lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu.

Berdebar rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata, “Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?”

Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya, untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu birahinya. Entah sudah berapa banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya, kemudian menjadi bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu, setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai, memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi dari pada kepandainnya sendiri.

“Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu. Julukan yang diberikan oleh mereka yang tak suka kepadaku. Aku benci sekali, apa lagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong Kui, wanita biasa saja...”

Kian Bu tersenyum. “Enci Hong Kui, biar pun engkau mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua Pulau Neraka...”

Akan tetapi wanita itu sudah tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya mendengar pujian bahwa dia cantik jelita. “Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau berpendapat bahwa aku cantik jelita?”

“Engkau memang cantik dan genit memikat...” Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. “Dan biar pun engkau sumoi Hek-tiauw Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus mencari Siang In...”

Kian Bu telah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengar wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan membangkitkan keinginan tahunya.

“Ehhh, Kian Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu. “Kenapa kau ingin pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka. Tunggulah sampai besok pagi, aku pasti akan membantumu mencari dia, Kian Bu.”

“Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri. Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu.”

“Kau tetap nekat hendak pergi mencari gelap-gelap begini? Kalau begitu, biarlah aku menemanimu.”

Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.

“Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah sekali, biar aku yang menjaga di sini.”

Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.

“Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu. Mengapa engkau begini baik kepadaku? Selain menolongku dari sungai ketika aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini hendak membantuku mencari Siang In. Mengapa?”

Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Pemuda yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan walau pun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang besar, namun pemuda seperti ini tak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat bius atau obat perangsang.

Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan melepaskan semua hasrat petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja dia bisa mendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus bersikap cerdik dan hati-hati.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Bu ketika mendadak dia melihat wanita cantik itu menutupi muka dengan kedua tangan dan terisak menangis!

“Ehh, Enci..., kau kenapa?” tanyanya sambil bangkit duduk.

Hong Kui terisak lirih, mengatur pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk, “Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian Bu...” Air matanya bercucuran.

“Eh, apa maksudmu, Enci?” Kian Bu memandang penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak berpura-pura dan bergaya memikat.

“Tadi aku tidak berterus terang ketika menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, maka timbul kembali harapanku, akan tetapi... aku sangsi apakah engkau akan sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut..., karena itu aku membantumu sekuat tenagaku hanya... hanya agar supaya engkau menaruh kasihan kepadaku...”

“Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian? Tanpa engkau menolongku sekali pun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu tidak akan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku.”

Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri, mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan. “Benarkah, Kian Bu? Ahhh, benarkah kau sudi menolongku? Aku... aku adalah seorang sebatang kara, tidak punya ayah bunda, tidak ada saudara...”

“Ada suheng-mu...”

“Suheng-ku adalah seorang yang jahat, seorang yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan dia tidak peduli...”

“Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo. Bukankah dia suci-mu...? Ahhh, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas...”

“Andai kata masih hidup pun, Suci itu lebih jahat lagi dari pada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini, dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang dapat membantuku, Kian Bu.”

“Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku pun engkau tentu dapat melakukannya.”

“Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali. Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi, tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri saja, agaknya tak akan mungkin berhasil. Karena itu, aku mohon kepadamu..., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku.” Dan wanita itu pun menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!

Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali lalu membangunkan wanita itu. “Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan membantumu.”

“Terima kasih... ohh, terima kasih...!” Lauw Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena dia merasa gembira dan berbahagia sekali.

“Enci, kau aneh sekali.” Kian Bu perlahan menarik tangannya. “Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya kalau manusia hidup harus bantu-membantu.”

“Aku besok akan membantumu mencari Siang In dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini adalah mati hidup bagiku.”

Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau terlalu mendesak, menahan kerinduan dan birahinya karena dia tak ingin pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya. Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu, akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itu pun dia sudah merasa puas!

Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini, pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya yang penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita cantik yang terancam bahaya maut. Akan tetapi benarkah itu?

Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini pun jahat seperti suheng-nya dan kini sedang menjalankan siasat untuk menipunya? Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan.

Akan tetapi, dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak nampak olehnya. Betapa pun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa murni di dalam tubuh yang dimilikinya saat dia dilatih sinkang di bawah gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya dan detik jantungnya.

Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih hijau ini dapat dikelabui oleh Hong Kui. Wanita ini amat pandai, dan tahu bahwa untuk mengelabui seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu akan diketahui oleh pemuda lihai itu.

Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak tidur, betapa pun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikiran yang menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan jantung itu terpengaruh pula. Pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya.

Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu saja mampu membedakannya. Karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya itu tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung tubuhnya hingga terlihat amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil rebah hingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tak lagi mempengaruhi jantungnya, membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!

Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini. Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak tangan di antara bukit dadanya, nafsu birahinya telah terangsang dan ingin dia segera merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.

Pada dasarnya Suma Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, tetapi ketika ujung jari tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada, jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi.

Ketika Kian Bu mengerahkan sedikit sinkang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mukjijat dan berbahaya mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.

Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik pengalaman tadi.

Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah senyum.....

********************

Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan. Matahari amat teriknya hingga bumi seperti terengah-engah kehausan. Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering diganggu mendung dan hujan.

Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap wajah cantik yang bersandar pada batang pohon dan kedua matanya terpejam itu. Wajah cantik itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguh pun tidak merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu.

Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua pengalamannya. Teringat dia akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya namun ternyata adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun Beng, supek-nya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan kekecewaan karena peristiwa yang tak terduga-duga olehnya. Betapa semenjak meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang besar dan pandai.

Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul peristiwa hebat yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang penuh kegetiran hidup. Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li, sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo, kemudian mala petaka yang menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan hidupnya, pemerkosaan atas dirinya!

Semua itu agaknya masih belum habis sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil membantu demi kehancuran pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya! Dan sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya.

Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi, mungkin dalam belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya, pemerkosanya, belum juga dapat ditemukannya! Ah, kenapa nasibnya begini buruk?

Ayahnya..., ahh, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang lahir dari hasil perkosaan! Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang tidak berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal singkat itu harus diisi dengan kedukaan? Tidak, dia harus bergembira! Dia dulu selalu gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi. Sekarang, hidup tinggal sebulan, bahkan mungkin hanya beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.

“Hemm, sebulan lagi...!” Dia berkata sambil membuka matanya.

Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan yang duduk tak jauh di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan iba dan kekhawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya sahabatnya di dunia ini. Manusia aneh yang berkali-kali telah menolongnya, yang amat setia kepadanya.

“Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka sekali?” Topeng Setan bertanya, suaranya mengandung getaran aneh, seperti orang yang amat terharu, sungguh pun wajah yang kasar dan buruk itu tidak membayangkan apa-apa.

Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah buruk itu penuh perhatian sehingga beberapa lamanya mereka saling beradu pandang mata dan akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah tidak kuat menatap pandang mata itu.

“Kenapa engkau tidak mau menanggalkan topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya.

Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya. “Aku harap bengcu tidak memaksaku, kita telah berjanji...”

Ceng Ceng menghela napas. “Aku bukan ingin melanggar janji, hanya karena engkau satu-satunya sahahatku yang baik dan karena aku ingin sekali tahu apakah engkau ini adalah seorang kakek tua renta, seorang setengah tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu...”

“Mengapa? Bengcu sudah biasa memanggilku Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan panggilan itu...”

“Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau adalah penolongku, sudah berulang kali membantu dan menyelamatkan diriku. Apakah engkau seorang kakek-kakek ataukah seorang muda? Kepandaianmu demikian tingginya hingga sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi...”

“Aku memang sudah tua, Bengcu...”

“Kalau begitu, biarlah kusebut engkau Paman...”

“Terserah kepada Bengcu...”

“Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu (ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi kepala dari para perampok dan maling itu. Apa lagi dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu.”

“Ehhh...?!” Topeng Setan berseru heran.

“Aku bukan she Lu, aku she Wan... ahhh, aku sendiri baru tahu. Namaku adalah Wan Ceng, nama terkutuk...”

Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah. “Bengcu..., mengapa... mengapa begitu? Apa yang terjadi?”

“Paman, maafkan, aku tidak dapat menceritakan kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu paman, maka kau anggaplah aku keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Tentu saja kalau kau sudi...”

“Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi tertindih, Ceng Ceng. Apa lagi dengan luka yang kau derita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran yang menimbulkan duka.”

Ceng Ceng tersenyum. “Memang aku harus begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi, perlu apa aku berduka?”

“Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau memang menderita pukulan beracun, tetapi kau tidak akan mati...”

“Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur sekali, namun tidak perlu kau memberi harapan kosong. Yok-kwi adalah seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan lebih dari satu bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang pandai seperti Pendekar Super Sakti ayah dari... Paman... ehhh, dari Suma Kian Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau... Ban-tok Mo-li guruku sendiri yang telah mati...”

“Ahhh...! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?”

“Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang amat dahsyat, akan tetapi itu pun masih dapat disembuhkan oleh Yok-kwi kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun yang timbul karena latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari mendiang Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa beracun, maka pukulan Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri, maka aku tidak dapat tertolong lagi...”

“Cukup, Ceng Ceng. Jangan lagi kau khawatir karena ada orang yang akan mampu menolongmu dan menyembuhkanmu.”

“Siapa...?”

“Aku sendiri!”

“Aihhh... Paman... engkau yang telah menolongku berkali-kali... katakanlah sejujurnya, apakah benar engkau dapat menyembuhkan aku?” Ceng Ceng berteriak sambil loncat berdiri dengan mata terbelalak. Wajahnya yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar, dan kedua matanya menjadi basah karena hatinya tergoncang penuh ketegangan.

Topeng Setan mengangguk. “Duduklah, Ceng Ceng dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa aku pun pernah mempelajari tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu.”

Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan membiarkan pundaknya yang kanan telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar sambil menahan napas ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang berkulit putih halus itu. Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan berkata, “Maafkan aku harus meraba pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng.”

“Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku sendiri.”

Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi hijau kehitaman itu. Beberapa lama dia meraba-raba pundak dan punggung, menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.

“Bagaimana Paman?”

“Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali...”

Ceng Ceng terkejut. “Kalau begitu... benarkah bahwa aku... aku akan mati dalam waktu sebulan?”

Topeng Setan menjawab cepat. “Tidak! Memang demikian kalau tidak ada orang yang mengobati, akan tetapi aku pasti akan menyembuhkanmu, Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku pasti akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan terjadi!”

Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata Topeng Setan.

“Dia memang benar sekali ketika mengatakan bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur dengan racun di tubuhmu yang timbul karena latihan-latihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi aku mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan menyerang dirimu sendiri... biar pun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo lenyap engkau tidak akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu menderita dan kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat membersihkan tubuhmu sama sekali dari cengkeraman hawa beracun itu.”

“Dan obat itu tak mungkin didapatkan...?” Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal paling buruk sekali pun karena sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari tubuhnya.

“Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak naga yang berada di Telaga Sungari, yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas. Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari tempat sunyi untuk pengobatan ini agar jangan terganggu orang lain.”

Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang sunyi dan tersembunyi, di balik sekumpulan batu-batu besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan minta agar Ceng Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila, kemudian dia sendiri lalu duduk bersila dan bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga dan memusatkan panca indra.

“Kau lumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu, dan apa pun yang nanti kulakukan kepadamu, janganlah kau lawan dan jangan kaget kalau nanti engkau muntah darah,” terdengar suara Topeng Setan berbisik.

Ceng Ceng mengangguk, membiarkan dirinya ‘terbuka’, dan melemaskan seluruh urat serta menyimpan semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu, pukulan seorang biasa saja sudah cukup untuk membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan pengalamannya ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya, maka dia berkata, “Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya bagimu? Paman... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sinkang dan hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya.”

“Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa beracun di tubuhmu untuk mengadakan perlawanan otomatis. Nah, aku mulai!”

Topeng Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya, kemudian mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa tubuh belakangnya menjadi panas sekali, akan tetapi dia mempertahankannya, bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan tubuh sedikit pun juga. Dia sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh bertopeng buruk ini. Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apalah artinya bahaya lain lagi yang mungkin dapat mengancamnya dalam cara pengobatan ini?

Gerakan jari-jari tangan yang kuat dan mengurut-urut punggung serta pundaknya itu kemudian berhenti, lalu terasa olehnya betapa kedua telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar dari kedua telapak tangan itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat di pundaknya yang terluka.

Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng Ceng tetap duduk tak bergerak dan hanya beberapa tetes air mata yang meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang menandakan betapa gadis itu menderita rasa nyeri yang hebat!

Kedua tangan yang lebar itu sekarang gemetar dan makin lama makin hebat, akhirnya menggigil dan Ceng Ceng merasakan betapa gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan menyerang pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi halus dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam dia makin kagum dan terheran-heran.

Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai ini? Siapakah yang bersembunyi di balik topeng buruk itu dan kenapa orang ini menyembunyikan mukanya dari dunia? Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan.

Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya tercekik dari dalam, membuatnya tidak dapat bernapas lagi! Kalau saja Ceng Ceng belum menyerahkan seluruh keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah percaya sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan.

Namun dia pasrah dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam tubuhnya, yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak membuat dia menjadi panik. Bahkan dia merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat yang mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu sampai di tenggorokannya. Tak dapat ditahan lagi, dia lalu muntahkan darah kental menghitam yang cukup banyak!

Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan berkata lirih, “Sekarang kau rebahlah, Ceng Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan memikirkan apa-apa...”

Bagai terkena sihir, tanpa membuka matanya Ceng Ceng kemudian merebahkan diri terlentang. Bajunya masih belum dipakai lagi, kini dipegang oleh kedua tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan lelah luar biasa membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman meliputi dirinya, terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi, membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis ini pun sudah tidur pulas!

Ketika terbangun, Ceng Ceng merasakan tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya menjadi lapar sekali. Dia ingat akan pengobatan tadi dan membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang dipakai menutupi dadanya kini terdapat sehelai jubah lebar yang menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia teringat bahwa tadi dia muntah darah, akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah dibersihkan oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng lalu bangkit duduk dan memakai kembali bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar dan melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.

“Eh, kau sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, ehhh... apa yang kau lakukan ini?”

Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!

“Paman telah berkali-kali menolongku, dan sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan kepadaku, entah dengan cara bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikan Paman.”

“Ehh, kau... kau... jangan begitu!” Sekali tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa bangkit berdiri.

“Ceng Ceng, janganlah kau ulangi lagi perbuatanmu itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati tulus, sama sekali tidak mengandung pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku. Aku... aku tidak suka engkau bersikap demikian. Pula engkau memang telah terbebas dari pukulan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu yang menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan kakek iblis itu.”

Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, kemudian duduk dekat api tempat Topeng Setan memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu berkata, “Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka, Paman Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku? Mengapa engkau selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu itu? Mengapa?”

“Karena... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng. Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?”

“Ahh, harap engkau jangan menggunakan alasan itu, karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan alasan kosong yang dicari-cari. Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi dari pada kepandaianku, namun engkau merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura, bersandiwara. Kau tahu bahwa aku menjadi bengcu karena hanya ingin membantu pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek Hoat yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan terikat sumpah dengan aku. Akan tetapi kau... mengapa kau selalu menolongku?”

Topeng Setan menarik napas panjang dan membalik panggangannya. “Mungkin karena aku merasa kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari kita makan ayam panggang ini saja dan aku sudah mencari air minum.” Dia mengangkat sebuah guci penuh air. “Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi petunjuk latihan untuk membersihkan sisa hawa pukulan itu, sungguh pun racun di dalam tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mukjijat itu.”

“Anak naga...?”

Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan daging ayam panggang yang masih mengepulkan uap itu. Gurih sedap! Makanan apa pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apa bila perut sudah lapar dan tubuh membutuhkan tenaga baru. Apa lagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya muda dan gemuk lagi! Tidak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng Ceng bertanya, “Paman, kalau obat mukjijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin kita menangkapnya?”

“Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak naga! Menurut cerita dari guruku, yang berada di dasar Telaga Sungari itu adalah seekor ular besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan menjadi ular telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur dan kalau telurnya menetas, dan biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan membawa anaknya yang baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap inti tenaga matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan, maka kita harus berusaha untuk menangkap ular besar itu.”

“Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)?” Ceng Ceng berhenti sebentar dan memandang penuh selidik. “Kalau gagal memperoleh obat mukjijat itu, akhirnya aku akan mati juga?”

Topeng Setan menggeleng kepalanya. “Bahaya pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya itu adalah pukulan Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang kukenal, dilatihnya dengan menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati karena racun itu, Ceng Ceng, hanya... karena racun di tubuhmu sudah diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk itu pun masih ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi sedikit racun itu dapat dikurangi pengaruhnya.”

“Jalan apa, Paman?”

“Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat.”

“Paman, sudah sejak kecil saya berlatih silat...”

“Aku tahu, Ceng Ceng. Namun harus kau akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat dengan dasar membekali diri untuk perkelahian, bukan? Itulah makanya engkau sampai terjeblos mempelajari ilmu dari Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya sama sekali mempunyai dasar lain, yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga kesehatan.”

“Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, aku belum pernah mendengar tentang itu.”

“Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu mengetahui riwayatnya terlebih dahulu sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti dan mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu kebatinan Agama Buddha untuk menolong manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan kebajikan, juga beliau yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi inti dari ilmu silat, terutama ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu Siauw-lim-pai.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. Soal Tat Mo Couwsu sudah pernah didengarnya dari kakeknya. Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah pencipta pertama dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat yang dikenal sekarang.

“Ceritanya begini....” Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia menceritakan riwayat penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian.

********************

Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang (Tahun 506-556 M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh lemah terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat pula, maka dia lalu menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata harus dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan menyehatkan tubuh mereka.

Dan delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat yang makin lama makin berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di kemudian hari. Tiap jurus dikembangkan menjadi empat sehingga terciptalah ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai tujuh puluh dua jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari Tat Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.

“Demikianlah, ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu silat yang bertebaran di seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari negara lain,” Topeng Setan melanjutkan. “Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu yang masih asli dan kini menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi hawa beracun di dalam tubuhmu sebelum engkau dapat memperoleh obat mukjijat itu, Ceng Ceng.”

Gadis itu menjadi girang sekali. “Terima kasih, Lopek. Aku pasti akan suka melatihnya dengan giat.”

“Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun tidak boleh berlebihan, sungguh pun kalau kurang pun tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu Mengganti Otot), terdiri dari dua belas gerakan.”

Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini mempunyai nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.

Gerakan Pertama :
Kosongkan pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang sejauh satu kaki (30 senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan kedua lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan. Pada saat membengkokkan lengan, tenaganya didorong ke bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua telapak tangan menekan meja dan siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan tangan kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan buang napas di waktu mengendurkan tenaga.

Gerakan kedua :
Agak dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu jari lurus mengacung. Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua ibu jari bersambung. Kemudian tarik ibu jari (ditegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini berulang 49 kali.

Gerakan ketiga :
Pentangkan kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah, jangan pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan kendurkan kedua pundak. Lalu keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali mengeras dan mengendur sampai 49 kali.

Gerakan keempat :
Rapatkan kedua kaki. Kepal dua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sampai lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan menahan napas. Lalu keluarkan napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.

Gerakan kelima :
Kedua kaki merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak terlentang sampai jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu kepal kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke enam :
Pisahkan kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat kedua lengan ke samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Lalu bongkokkan lengan menjadi segi tiga, permukaan tangan menghadap pundak. Kemudian keraskan kepalan tangan. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke tujuh :
Rapatkan kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke depan. Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak, kepalan menelungkup. Lalu angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan buka kepalan. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke delapan :
Kedua kaki masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri di atas jari kaki angkat tumit. Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke sembilan :
Kedua kaki masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke depan akan tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap ke muka sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke dalam sampai menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.

Gerakan ke sepuluh :
Kaki tetap merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak. Kamudian tarik kedua kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan, seolah-olah sedang mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang dan kepalan mengeras. Ulangi 49 kali.

Gerakan ke sebelas :
Kedua kaki merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar. Kepalan mengendur dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu jari ditegangkan. Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.

Gerakan kedua belas :
Kedua kaki merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan sejajar pundak dengan telapak terlentang, angkat pula tumit. Jangan kerahkan tenaga. Tahan posisi ini sejenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi 12 kali
.

Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng Ceng.

“Kau latih gerakan semua itu, ulangi dari yang pertama sampai kedua belas sebanyak tiga kali, dan lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas dikeluarkan.”

“Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak seberapa berat bagiku.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini makin akrab. Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya dengan pengerahan sinkang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di punggung gadis itu.

Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk seorang diri dengan mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil sambil memandang ke depan. Ceng Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak badan itu. Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia menghampiri Topeng Setan.

“Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis, Paman!” Ceng Ceng berseru kagum melihat lukisan seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.

“Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng.”

“Kalau begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!”

Topeng Setan memandang heran. “Melukis orang? Siapa yang kau maksudkan?” Ceng Ceng duduk di atas tanah.

“Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil mencarinya, karena orang lain tik ada yang tahu bagaimana macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua), maukah engkau menolongku lagi? Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!”

“Wajah siapa yang kau maksudkan?” Topeng Setan bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah di balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam penuh selidik.

Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan perasaannya, dia mengangkat muka memandang dan menjawab, “Siapa lagi jika bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang musuh besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku mencari-cari tanpa hasil, maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku mempunyal akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya akan lebih mudah bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!” Ceng Ceng mengeluarkan kalimat terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit sekali, sampai dia lupa bahwa andai kata dia sudah berhadapan dengan musuh besarnya itu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, belum tentu dia akan dapat menandinginya!

“Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah musuh besarmu itu?” Topeng Setan bertanya, suaranya penuh getaran oleh karena merasa kasihan.

“Engkau adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman sendiri, maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu.”

“Hemm..., Kok Cu? Dan siapa she (nama keluarga) orang itu?”

“Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana Gurun Pasir bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid dari Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana, bahkan dibantu anak buah kita, Namun tidak ada yang pernah mengenal nama itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar mukanya, tentu akan lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya.”

Hening sejenak. Topeng Setan hanya menunduk dan termenung, kemudian dia berkata, “Mana mungkin aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah kulihat sendiri?”

“Tentu bisa, Paman” Ceng Ceng berkata penuh semangat. “Mari kita mencari kertas dan alat tulisnya, nanti aku yang menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman.”

Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang baik dan pensil serta tinta, kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah menyapu lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada Topeng Setan untuk menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.

“Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...,” katanya penuh gairah karena hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.

“Hemm, wajah bulat laki-laki muda? Berapa usianya?” Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang pensil bulu.

“Entahlah... hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah,” Ceng Ceng menjawab.

Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah bulat. “Begini?”

“Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wajahnya bulat... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras berlekuk tengahnya...”

Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.

“Nah... nah, begitu sudah lebih mirip... sekarang rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan panjang, atasnya agak tebal disisir ke belakang, kuncirnya panjang membelit leher dan pundak... ahh, tidak menutup telinga, Paman. Telinganya masih nampak... yaaa, begitu lebih mirip, rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya begitu...”

Topeng Setan membuat coret-coret di atas lantai.

“Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal panjang seperti golok, ah, bukan begitu... matanya tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja dan bibirnya membayangkan kekerasan hati... aihh... mengapa berbeda...?”

Ceng Ceng lama memandang coretan di atas lantai itu dengan mata disipitkan, kadang-kadang dipicingkan sebelah dan mulutnya menggerutu,

“Hemmm... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain? Seingatku tidak begitu dia... ahhh, tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!”

“Matanya berbeda bagaimana? Kau bilang tadi sudah mirip.”

“Maksudku sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti binatang buas...”

“Ehh...?! Seperti binatang buas?”

“Ya, seperti... ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam seekor domba!”

“Aihh, aneh betul mata orang itu.”

“Memang aneh, Paman. Dia seperti... eh, dia memang seorang yang gila pada saat itu. Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan bersinar penuh api. Nah, begitu, Paman... ya, ya... tulang pipi dan dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan... ehh, dan jahat seperti seekor harimau jantan yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap Paman lukis di atas kertas ini!” Ceng Ceng merasa gembira sekali karena coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh besarnya!

Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas lantai itu ke atas kertas. Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah lukisan seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.

“Beginikah dia...?” Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng Ceng.

Akan tetapi dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata merah dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan itu dengan kasar dari tangan Topeng Setan.

“Plak-plak! Brettt... reeeetttt...! Mampus engkau, jahanam...!”

Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan itu sampai hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng melempar kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya dengan kedua kakinya penuh kemarahan.

Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng Ceng akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu sambil menangis. Dengan hati-hati Topeng Setan mendekati, duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng mereda, dia bertanya lirih, “Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya?”

Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih bertitik turun. “Benci? Tak ada orang di dunia ini yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan dapat mati meram apa bila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!”

Hening sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar Topeng Setan berkata, “Alangkah hebat bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali kepada seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini membencinya.” Orang tua bermuka seperti setan itu menghela napas panjang. “Apakah yang telah diperbuatnya terhadapmu?”

Ceng Ceng menghapus air matanya, kemudian dia menggeleng kepala. “Hal itu tidak mungkin dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar dengan nyawa, itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena Paman merupakan satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia, aku akan menceritakan sakit hatiku itu kepada Paman.”

“Ke mana engkau hendak mencarinya?”

“Ke mana saja, ke ujung dunia sekali pun. Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia dan membalas dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia dan... ahhh, apa yang telah kulakukan? Gambar itu... ahhh, gambar itu kurusak...” Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar yang dapat menolong dia mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya tadi.

“Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik dari pada tadi. Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan wajah musuh besarnya itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari.

Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan setiap kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka, setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya, sedangkan dia sendiri lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang mengukus bakpao di dekat pintu.

“Bung, saya ingin bertanya kepadamu,” katanya kepada seorang di antara dua tukang bakpao itu yang cepat menoleh dan memandang heran serta kagum karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan pandang mata pria di mana pun dia berada.

“Tentu saja, Nona...” Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil tersenyum bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau menyapanya.

Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh besarnya sambil dia berkata, “Harap kau lihatlah baik-baik, barangkali engkau mengenal orang ini dan tahu di mana dia berada?”

Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di atas bibir itu ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut seolah-olah dia sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet. “Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah... ehhh, nanti kuingat-ingat dulu, Nona... hemm...”

“Heiiii...! Subo (Ibu Guru)...!” Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil. “Kiranya Subo berada di sini...?”

Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja telah berdiri di belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik sekali, bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan. Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara remaja itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di situ.

Pernah dia melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan main sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati anak perempuan itu untuk diajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera pandang matanya bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan bakpao di sudut ruangan, maka hatinya menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada Hek-tiauw Lo-mo.


BERSAMBUNG KE JILID 22