Jodoh Rajawali Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 14
Liong Bian Cu cepat pergi ke tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana dan bahkan suka mandi di sumber air mancur itu, sungguh pun di dalam kamarnya telah tersedia kamar mandi dan kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat sunyi itu, jantungnya berdebar keras. Betapa sering dia harus menahan gelora nafsunya kalau berhadapan dengan Hwee Li.

Nafsunya mendorong untuk menubruk dan memeluk dara itu, seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor domba muda. Akan tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia ingin menikmati penyerahan diri Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan sikap yang membalas perasaan cintanya. Hampir tiap malam dia mimpi bermain cinta dengan tunangannya itu. Mimpi yang.

Kini, membayangkan Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di hatinya untuk mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi. Setidaknya tentu dara itu akan menanggalkan pakaian luarnya! Dengan hati-hati pangeran ini lalu menghampiri sumber air, lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!

Sementara itu, Hwee Li sejak tadi memang menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah berhari-hari dia mengatur siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di lorong kecil yang menuju ke sumber air itu dan sebuah batu runtuh dari tebing di sebelah kiri lorong dan hampir menimpanya. Dia melihat bahwa tebing itu hampir longsor, tanahnya sudah retak-retak dan di atas tebing terdapat sebongkah batu sebesar kepala gajah! Untung hanya batu sebesar kepala manusia saja yang runtuh dan hampir menimpanya. Kalau batu besar itu yang runtuh, tentu akan membawa semua batu yang berada di atas dan tepi tebing, dan dia akan teruruk oleh batu-batu besar karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan sempit sekali.

Peristiwa itu menimbulkan siasat kepada Hwee Li yang amat cerdik. Berhari-hari dia mempelajari keadaan tebing dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu besar itu tidak sampai longsor ke bawah adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh di tebing, juga ada beberapa buah batu yang tidak begitu besar merupakan pengganjal. Kalau pohon itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu pohon itu tidak kuat menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah.

Dia mencari akal dan mulailah dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas tebing, tepat di bawah batu besar itu, menyingkirkan beberapa batu pengganjal dengan hati-hati sekali. Pekerjaan ini dilakukannya secara diam-diam selama beberapa hari. Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya dengan heran di situ, Hwee Li cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu sehingga pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran itu mencari jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan memang dara remaja itu masih bersikap lincah seperti anak kecil!

Setelah membuat persiapan secara menyakinkan, Hwee Li lalu mengikatkan tali pada batang pohon kecil yang kini seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar tadi, serta menyembunyikan tali panjang itu melalui belakang batu-batu besar, terus menurun dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan pada senja hari itu, dia sengaja mandi di situ. Meski dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong Bian Cu memanggil manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan pangeran itu mendatangi sumber air.

Liong Bian Cu juga bukan seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai dari jauh, dia melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja hanya memakai pakaian dalam, akan tetapi dara itu kelihatan tegang dan tidak mandi! Dan dara itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah sumber air, seolah olah menanti kedatangannya! Dia teringat bahwa dia tadi telah menggunakan khikang ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak mendengar panggilannya. Akan tetapi gadis itu tidak pernah menjawab. Dan kini Hwee Li seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di dalam air yang membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari sumber air dari batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir pemuda itu. Demikian mencurigakan sikapnya.

Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat melihatnya ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum akan kecerdikan Liong Bian Cu. Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui lorong? Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada gunanya membujuk Bian Cu untuk naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu dan dia tahu umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya sendiri.

Maka, dengan sikap biasa, setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian dalamnya dengan berdiri membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai. Nampaklah tubuh belakangnya yang mulus.

Melihat adegan strip-tease (tarian menanggalkan pakaian) yang terjadi di alam terbuka ini, Liong Bian Cu berkali-kali menelan ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip satu kali pun, pandang matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu bulat-bulat dengan sinar matanya! Liong Bian Cu bukanlah seorang pemuda hijau.

Tidak, dia adalah seorang pangeran dan di Nepal sudah biasa bagi seorang pangeran untuk mengambil selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita wanita cantik, akan tetapi belum pernah dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya sekarang terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu, yang dirindukannya siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat dia menjadi seperti cacing terkena abu panas!

Lebih-lebih lagi ketika dengan gerakan tanpa disengaja Hwee Li miringkan tubuhnya sehingga nampak dari samping sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan seperti terkena pesona, terkena sihir yang amat kuat. Dengan semangat seperti terbang meninggalkan tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke dalam lorong dan matanya masih tanpa berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot oleh kekuatan rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua kakinya bergerak dan berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.

Hwee Li yang memutar tubuh miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong, dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran itu tiba tepat di bawah batu besar, kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang dipegangnya sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.

“Braakkk... bruuuuukkkkk...!”

Suara ini disusul suara hiruk-pikuk saat batu sebesar gajah itu menggelinding menuruni tebing, membawa batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon kecil itu tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat lagi menahan batu besar dan karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah lagi batu itu menggelinding turun.

Liong Bian Cu terkejut bukan main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan tebing tinggi, maka jalan satu-satunya baginya hanya meloncat ke belakang. Namun, gerakannya kurang cepat dan biar pun dia berhasil menghindarkan diri dari tindihan batu sebesar gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman batu-batu kecil lainnya yang datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi, terpelanting dan tubuhnya ditimpa banyak batu yang menguruknya. Debu mengebul tinggi dan suara hiruk-pikuk dari batu batu yang runtuh itu terdengar sampai jauh.

Sementara itu, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan kembali pakaiannya dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia melihat sebelah kaki dan sebelah tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu. Dia bergidik ngeri, mengira bahwa tentu pemuda ini telah tewas.

Dan memang demikianlah perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya untuk dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat. Pertama, orang-orang tidak akan tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh dia. Kedua, kalau dia dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ketiga, andai kata dia tidak dapat membebaskan garuda, setelah pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak membutuhkan lagi dia dan mungkin saja dia dibiarkan lolos dari situ. Semua kemungkinan itu tidak mungkin ada selama Liong Bian Cu masih hidup!

Cepat dia berusaha mencari kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di sakunya. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan, “Apa yang terjadi? Minggir kau!” dan tubuh Hwee Li terdorong ke samping.

Dara ini terkejut sekali melihat seorang kakek bermantel merah sudah berada di situ. Dorongan dari jarak jauh yang dilakukan oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu, amat hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur. Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa, kakek itu membongkar batu dan melempar-lemparkan batu yang menindih tubuh muridnya. Tubuh itu penuh dengan luka-luka dan berdarah.

Ban Hwa Sengjin memondong tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di tengah lembah. Hwee Li berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan. Akan tetapi, selagi semua orang sibuk mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia berusaha untuk membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia menuju ke taman di belakang gedung untuk menuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, sebab selama ini dia telah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut taman di belakang gedung.

Tetapi, baru saja dia muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia rencanakan untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya. Yang berdiri di situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li maklum bahwa terhadap dua orang kakek ini, percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan suara dibuat gugup dia bertanya, “Bagaimana keadaan Pangeran...?”

Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya!

Hwee Li terkejut dan berusaha untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua orang sakti itu secara berbareng, tentu saja dia tak mungkin dapat menyelamatkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat dia roboh terguling, Hek-tiauw Lo-mo mengempit tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam gedung.

Dapat dibayangkan betapa kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia dibawa masuk ke dalam kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia melihat Liong Bian Cu sedang duduk di atas pembaringan dengan muka pucat dan masih nampak obat kuning di atas luka-luka di seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia telah memakai baju bersih dan sinar matanya memandang lembut kepada Hwee Li sedangkan mulutnya tersenyum.

“Kau... kau...?” Hwee Li menggagap, tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan, “Kau tidak apa-apa, Pangeran...?”

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo membentaknya, “Dasar anak durhaka! Engkau hampir saja membunuhnya dan untung Ban Hwa Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena beliau kebetulan datang! Kalau tidak, dan Pangeran sampai meninggal dunia, tentu kau sudah kami bunuh sejak tadi!”

“Locianpwe, jangan bicara begitu...!” Mendadak pangeran itu berkata, suaranya lemah menandakan bahwa peristiwa tersebut benar-benar sangat berbahaya baginya dan membuatnya menderita, sungguh pun tidak sampai berbahaya bagi nyawanya. “Hwee Li tidak bersalah!”

“Muridku, Pangeran yang mulia. Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka tertindih batu-batu itu, bagaimana Paduka dapat mengatakan bahwa dia tak bersalah?” Terdengar Ban Hwa Sengjin yang duduk di dalam kamar itu pula menegur, mata kakek ini dengan tajamnya menatap wajah Hwee Li.

“Tidak, Suhu. Dia tidak bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan. Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, bebaskan dia!”

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan membebaskan totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Dia maklum bahwa dengan satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti itu tentu akan turun tangan membunuhnya.

“Pangeran, maafkan saya. Akan tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada yang menarik tali itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding turun!” kata Hek-hwa Lo-kwi.

“Pangeran, harap Paduka tidak membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang berdosa,” Ban Hwa Sengjin juga memperingatkan.

Liong Bian Cu memandang wajah dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

“Jangan gerakkan lengan kiri Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya benarkan,” kata Ban Hwa Sengjin.

“Sam-wi (Anda Bertiga) harap jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena kesalahan saya sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya melihat tempat itu dapat menjadi perangkap yang baik, perangkap rahasia untuk melindungi diri kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik sekali, dia membantuku dan kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki di bawah tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan berpegang pada pohon itu, pohon itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah, lalu batu-batu itu menimpa turun.”

“Ah, tapi...“ Ban Hwa Sengjin hendak membantah.

Liong Bian Cu mengangkat tangan kanan ke atas menyetopnya. “Sudahlah, Koksu, aku sudah bicara. Peristiwa itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapa pun untuk menggangu kekasihku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap kau ceritakan tentang perkembangan usaha kita.”

Kakek bermantel merah itu kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan berkata, “Baiklah, Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia sudah menyanggupi untuk melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat ini dijadikan sebagai markas untuk sementara. Selain itu, sesuai dengan perintah Paduka, Gitananda sedang pergi menjemput tawanan itu untuk dipindahkan ke sini.”

“Bagus! Memang sebaiknya puteri itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga, selain itu, juga dia dapat menjadi teman tunanganku. Betapa pun juga, dialah orangnya yang dapat mengajarkan kepada Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan hal-hal lain yang patut diketahui oleh seorang calon puteri kerajaan.”

Hwee Li tidak turut bicara sungguh pun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh perhatiannya. Dia masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa heran sekali mengapa pangeran ini menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini tentu tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan kecelakaan, namun usahanya untuk membunuh Liong Bian Cu.

Setelah percakapan itu selesai, Liong Bian Cu lalu berkata, “Sekarang harap Sam-wi meninggalkan kamar ini. Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li menemaniku.”

Kembali tiga orang itu bangkit dan memandang dengan ragu-ragu. “Maaf, Pangeran. Apakah itu bijaksana?” tanya Ban Hwa Sengjin.

“Berbahaya sekali membiarkan dia di sini sendiri bersama Paduka!” berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil memandang ke arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah sekali atas perbuatan ‘bekas anaknya’ itu.

Akan tetapi pandang mata Liong Bian Cu menjadi keras. “Siapa pun tidak boleh menilai calon isteriku! Pergilah kalian!” bentaknya.

Ban Hwa Sengjin dan dua orang kakek itu lalu menjura dan pergi. Biar pun Ban Hwa Sengjin itu seorang Koksu Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga guru dari Liong Bian Cu, akan tetapi betapa pun juga, terhadap pemuda itu dia adalah seorang petugas terhadap atasannya, maka sikapnya selalu menghormat dan taat.

Setelah mereka pergi dan pintu kamar ditutupkan dari luar dengan amat hati-hati oleh seorang pelayan yang atas isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu ke luar lagi, mereka kini tinggal berdua saja di dalam kamar itu. Hwee Li lalu mundur dan duduk di atas bangku, agak jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu duduk. Gadis itu mengangkat muka dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat, mukanya hampir penuh dengan warna-warna kuning, yaitu obat cair yang dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin untuk mengobati luka-lukanya. Sepertinya obat itu manjur bukan main karena luka-luka itu kelihatan sudah mengering.

Liong Bian Cu juga memandang kepadanya, kemudian mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan sebelah matanya, seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat sikap ini, Hwee Li merasa makin heran. “Pangeran, mengapa engkau malah menolongku?” tanyanya, tidak tahan dia melihat sikap itu.

Kalau pangeran itu marah-marah tentu dia akan menerimanya dengan tenang saja, akan tetapi melihat pangeran itu bersikap demikian baik terhadap perbuatannya yang hampir saja mengakibatkan pangeran ini tewas, benar-benar sukar dapat diterimanya.

“Kenapa? Tentu saja karena aku cinta padamu, Hwee Li! Dan mengapa engkau tadi bermaksud membunuhku?”

“Perlukah kujawab itu?”

“Tentu saja. Karena aku merasa penasaran kalau tidak mendengar sebabnya.”

“Karena aku membencimu, Pangeran.”

“Ahhh! Engkau membenciku karena aku mencintamu?”

Hwee Li menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci kepadamu oleh karena engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau mengurung aku di sini, karena biar pun engkau bersikap ramah dan baik, akan tetapi pada hakekatnya engkau melakukan penekanan dan paksaan kepadaku.”

“Hemmm, semua itu kulakukan demi cintaku padamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai seorang pangeran, belum pernah ada wanita yang bagaimana pun menolak cintaku? Dan engkau tidak saja menolak, bahkan sudah beberapa kali engkau nyaris membunuhku!”

“Dan aku akan masih terus berusaha membunuhmu!” kata Hwee Li terus terang.

“Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang membuat aku semakin tergila-gila dan semakin cinta kepadamu, sayang. Kalau saja engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdikan, engkau tabah, berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk mendapatkan cintamu.”

“Aku tidak akan mencintamu, Pangeran.”

“Ha-ha-ha, kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan kebaikan yang kulimpahkan, pada suatu hari aku berharap akan dapat mencairkan kekerasan hatimu, dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil jeri payahku selama ini.”

“Aku akan berusaha untuk minggat!”

Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di sini? Bukankah di sini semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat terpenuhi? Bukan itu saja, engkau bahkan akan memperoleh seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini.”

“Siapakah dia?”

“Dia adalah Puteri Syanti Dewi, Puteri Bhutan.”

Diam-diam Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biar pun dia sendiri tidak pernah mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.

“Apakah dia itu tamumu?” tanyanya.

“Bukan, dia adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku, puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu.”

“Dia kau tawan pula? Pangeran, memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?”

“Ha-ha-ha, mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dari kenyataan bahwa Puteri Bhutan itu kutawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak dia akan menjadi selirku, tapi ahh, sementara ini, aku tidak ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang.”

Sejak peristiwa itu, biar pun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan kebenciannya terhadap Liong Bian Cu tidak berkurang. Biar pun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai orang kurang mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar cinta kepadanya, tidak sakit hati biar pun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran itu. Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu sengaja hendak ‘melepas budi’ agar dia merasa berhutang budi kepadanya.

Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini untuk memperlihatkan sikap kasar terhadap pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan benci itu sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu.

Pada keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui, Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda. Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya. Kemudian koksu menceritakan hal itu kepada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu memerintahkan agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya.

Setelah Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya berunding. Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu, diam diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pandang mata dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu adalah seorang wanita yang sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat kuat.

Hwee Li lalu mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan, cepat memberi hormat dan tak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, sungguh pun tidak akan ada pula yang berani membantunya andai kata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pangeran tak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin langsung membunuhnya seketika!

Hwee Li memasuki kamar dan melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat.

“Keluarlah kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!” kata Hwee Li dengan sikap kereng.

Dua orang pelayan itu menghormat, lalu keluar dari dalam kamar. Mereka bersama para penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka!

“Bibi Syanti Dewi...!” Hwee Li melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal, bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biar pun dia merasa berduka karena putus harapannya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini. Hanya karena terlalu berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga badannya lemah dan mukanya pucat.

Kini, setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu bahwa dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran melihat munculnya seorang dara remaja yang sangat cantik dan yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pelayan, dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan tajam dan penuh selidik.

“Engkau siapakah, Nona?” tanyanya sambil bangkit duduk.

“Namaku Hwee Li,” jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri Bhutan itu. “Engkau tentu tak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi. Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi.”

Dari subo-nya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subo-nya bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik angkatnya.

Mendengar disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara itu dan bertanya, “Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?”

Hwee Li merasa kasihan melihat kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik napas panjang dan menjawab lirih, “Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini.”

“Ahhhhh...!”

Syanti Dewi masih memegang tangan Hwee Li, tetapi dia kini duduk kembali di samping dara itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan dirinya sendiri karena semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan. Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.

Hwee Li kemidian menceritakan keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat itu, sungguh pun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati oleh para pengawal dan pelayan. Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut pinangan pangeran itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama sekali tidak gembira!

“Aku benci dia, Bibi! Aku ingin membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali, apa lagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya.”

“Ayahmu?” Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?

“Ya, ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo...!”

“Ahhhhh...!”

Bukan main terkejutnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peran dalam keributan pemberontakan dua orang Pangeran Liong dulu. Dara cantik jelita ini, yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri dari majikan Pulau Neraka itu? Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi segera melepaskan pegangan tangannya dan duduk agak menjauh.

Gerakan Syanti Dewi ini tidak terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu cepat berkata, “Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang kini menjadi pembantu utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan menjadi seorang yang mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi...“

Syanti Dewi mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan memegang tangan Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini. Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri malah! Bukankah dia sudah memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal karena ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu menjadi mantu?

Betapa banyak gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur karena paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, meski pun berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbullah rasa sayang di dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.

“Hwee Li, sungguh engkau patut dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai hati memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi...“

“Akan tetapi dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku sangat benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau bisa!” Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Hwee Li,” katanya dengan suara kereng. “Engkau adalah murid adikku Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata kataku pula. Engkau telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?”

“Dia bukan ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!” Hwee Li berseru dan sepasang mata itu menjadi merah.

“Ehhh, bagaimana pula ini, Hwee Li?” Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba saja Hwee Li menangis tersedu-sedu.

Syanti Dewi terkejut. Dia cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang dideritanya selama ini, apa lagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa seluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya, menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekanan batin itu.

Kini, berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan kepadanya, apa lagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka, menangislah dia, sewajarnya tangis yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa sayang dan iba.

Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukanlah seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.

Setelah tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang keluarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak.

Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap kerajaan. Betapa pun juga, sikapnya itu tentu ada alasannya, dan biar pun oleh kerajaan dia dianggap berdosa, namun sebagai manusia dia tidaklah sejahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau, murid adik angkatku, juga dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya! Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus berusaha untuk meloloskan diri dari tempat berbahaya ini!”

“Ahhh, tidak mudah, Bibi.” Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya upayanya gagal. “Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan lagi. Aku khawatir, Bibi, apa lagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat menolong Bibi dari tempat ini!”

“Tak perlu engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Tetapi engkau…, engkau menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat lolos dari sini.”

Demikianlah, dua orang wanita itu sekarang menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari jalan untuk dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan tetapi Hwee Li tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai. Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa orang orang seperti suhu-nya dan subo-nya, seperti Suma Kian Bu si Siluman Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu!

********************

Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di dalam lembah dan sama sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng Ceng pergi menuju ke kota Pao-ting. Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah mertuanya, dia sudah berjanji untuk saling bertemu di Pao-ting bersama suaminya setelah dia dan suaminya berpisah dan melakukan penyelidikan untuk mencari putera mereka secara berpencar.

Mereka tiba di kota Pao-ting pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu, pertemuan di antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu, Ceng Ceng kemudian mengajak ayah, mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari rumah penginapan.

Akan tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang lebih dua belas tahun, seorang anak yang berpakaian pengemis, menghampiri mereka yang sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu dan berbisik kepada Ceng Ceng. Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak mengemis, akan tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika mendengar anak itu berbisik, “Apakah Toanio mengenal Topeng Setan?”

Tentu saja Ceng Ceng kaget karena Topeng Setan adalah nama julukan suaminya dulu ketika suaminya belum menikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi wajahnya yang tampan. “Anak baik, kau membawa berita apa dari Topeng Setan?” tanyanya, berbisik dan membungkuk.

“Saya disuruh menyerahkan surat ini,” jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya yang butut.

“Ah, terima kasih!” Ceng Ceng berseru, menerima surat itu dan mengeluarkan beberapa potong uang kecil. “Ini hadiah untukmu.”

“Tidak, Toanio. Saya sudah menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini.”

Setelah berkata demikian, bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongannya. Ceng Ceng lalu menoleh kepada ayah mertuanya dan berkata, “Ayah, lihatlah, seorang anak jembel pun mempunyai kejujuran.”

Jenderal Kao Liang mengangguk dan menghela napas panjang. “Justeru kejujuran biasanya ditemukan pada orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar dan pandai, agaknya tidak mengenal lagi kejujuran yang mereka anggap semacam kebodohan.”

Ceng Ceng membuka sampul surat dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas kertas, tulisan yang amat dikenalnya.

Isteriku, harap ajak ayah dan adik-adik ke kuil kosong di sudut barat kota.’

Ceng Ceng memperlihatkan surat itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jenderal ini girang bukan main dan diam-diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata telah dapat mengetahui bahwa dia dan dua orang puteranya datang bersama menantunya. Dia membenarkan sikap putera sulungnya yang berhati-hati dan tidak menghendaki pertemuan di tempat terbuka.

“Mari kita pergi ke sana,” katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke barat. Malam telah tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap itu.

“Ayah...!” Kao Kok Cu menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hormat sambil berlutut di atas lantai ruangan kuil itu. Ruangan itu luas dan sebagian dindingnya sudah runtuh, atapnya juga sebagian banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua batang lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan lantainya dibersihkan.

Bekas jenderal itu mengangkat bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh perhatian dan penuh selidik. Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Tubuhnya tinggi dan padat, dan kelihatan agak kurus. Wajahnya yang tampan itu kelihatan agak muram. Lengan kirinya yang buntung tertutup lengan baju yang tergantung lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun Pasir, pendekar sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi yang kini bersama isterinya merana dan berduka, mencari putera mereka yang hilang.

“Saya melihat Ceng Ceng muncul bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak pengemis mengirim surat,” katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya yang kelihatan demikian muram dan berduka, bahkan sepasang mata kakek itu basah. Melihat ini, Kao Kok Cu bertanya khawatir, “Ada apakah Ayah? Apa yang terjadi?”

“Twako...!” Dua orang adiknya berseru dan kini dua orang muda itu menangis sambil merangkul kakak mereka.

“Ehh, ehhh, Adik Tiong dan Han! Ada apakah?” Kok Cu bertanya, semakin kaget dan khawatir. “Mari kita duduk di lantai dan bicara!”

Mereka berlima duduk di atas lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao Liang tentang semua peristiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa keluarganya. Semua dia ceritakan dengan jelas, melewati hal-hal yang dianggapnya kurang penting. Sebagai penutup, dia menghela napas panjang dan berkata, suaranya gemetar, “Kami bertiga masih bingung dan tertekan oleh peristiwa hebat itu dan engkau dapat membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan tetapi, kemudian kami bertemu dengan isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat kita lakukan sekarang?” Ayah itu mengusap ke arah bawah matanya untuk menghapus dua tetes air matanya.

Si Naga Sakti dari Gurun Pasir tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa sinar dua batang lilin yang lemah. Mendengar betapa ibunya, iparnya, bibinya, keponakan keponakannya diculik orang, betapa keluarga ayahnya, tertimpa malapetaka yang hebat itu, dia menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap dan kini ibunya dan semua keluarganya diculik orang.

Melihat keadaan pendekar itu, ayahnya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar juga. Memang hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan! Mereka hanya menanti ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng, keras dan kaku, hanya matanya yang mencorong itulah yang hidup, bergerak seperti mata naga mencari mustikanya. Melihat ini, mengertilah Ceng Ceng bahwa suaminya menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang mengerahkan sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa suaminya marah dan andai kata orang-orang yang menyebabkan malapetaka itu berada di situ, berapa pun banyaknya, betapa pun kuatnya, tentu akan mengalami saat kiamat di tangan suaminya!

“Suamiku, kemarahan adalah sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruhkan plkiran,” katanya dengan suara halus, tangannya meraba lengan suaminya. Kata-kata itu adalah kata-kata suaminya sendiri yang sekarang dia pergunakan untuk membantu suaminya sadar akan keadaan dirinya.

Perlahan-lahan wajah yang kaku itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang dan matanya, biar pun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia menoleh dan memandang isterinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi jari-jari tangannya memegang tangan isterinya, tergetar dan Ceng Ceng dapat menerima rasa syukur dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan dan pandang mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi kedua matanya. Dia menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun.

“Ayah, tidak mungkin semua peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa kesalahan, kemudian perjalanan Ayah ke kampung diganggu, keluarga kita diculik dan harta yang dikumpulkan secara jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan tahun dicuri, dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang. Aku dan Ceng Ceng sudah melakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat bahwa Cin Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang membawanya pergi. Semua ini kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait. Bukankah menurut cerita Ayah tadi, di antara para penghadang yang kemudian saling bertempur sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawal-pengawal istana?”

Bekas jenderal itu mengangguk. “Aku sendiri memang sudah menduga demikian, Kok Cu. Akan tetapi, sungguh aneh sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan semua kekejian itu terhadap kita? Dan siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami mengira keluarga Suma, akan tetapi ternyata bukan.”

“Memang bukan. Aku sudah berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama sekali tidak tahu, bahkan mereka berjanji akan membantu kita untuk menyelidiki,” kata Ceng Ceng yang percaya sepenuhnya kepada dua orang pamannya dari Pulau Es itu.

“Aku sendiri tidak akan percaya kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini, akan tetapi kita tidak bisa mengandalkan orang lain. Kita harus menyelidiki sendiri. Karena awal peristiwa ini dimulai dengan pemecatan Ayah di kota raja, maka kurasa semua rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku bersama isteriku akan melakukan penyelidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui rahasianya, kiranya tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan keluarga kita dan anakku.“

“Akan tetapi... ahhh, bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sampai anakku Cin Liong...?” Ceng Ceng tak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat.

“Tidak mungkin!” Tiba-tiba Kok Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jenderal Kao dan dua orang puteranya. “Kalau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita, mereka semua, siapa pun adanya mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekali pun, tidak akan dapat terlepas dari tanganku!” Hebat bukan main ancaman ini dan hati Jenderal Kao Liang yang semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar, seperti tertusuk. Akan tetapi ayah yang bijaksana ini tidak berkata sesuatu, karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan kemarahan, tidak baik kalau menentang putera sulungnya.

“Baiklah, Kok Cu. Engkau pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu dipecat. Kami bertiga akan melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di tempat peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu kami akan bisa menemukan jejak.”

Malam itu mereka tidak tidur, tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan bercakap cakap saling menceritakan perjalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang sangat mengharukan dari keluarga seorang jenderal yang pernah menjadi panglima besar, yang kini mengadakan pertemuan di kuil kosong, sunyi dan kotor. Biar pun keadaannya demikian, agaknya pertemuan itu tentu akan berlangsung penuh kegembiraan kalau saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa keluarga mereka. Tetapi kini, pertemuan itu menjadi pertemuan yang amat mengharukan dan menyedihkan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di depan kaki Jenderal Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja di mana mereka akan menyelidiki rahasia malapetaka yang menimpa keluarga mereka. Jenderal Kao Liang mengelus kepala mereka seperti memberi berkah, kemudian Kok Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami isteri pendekar ini meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap.

Jenderal Kao Liang sendiri bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju ke daerah lembah Huang-ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak melakukan penyelidikan yang lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka itu.

Pada suatu siang, tibalah mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka meninggalkan keluarga mereka yang kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana rombongan mereka diserang dan banyak yang mati keracunan oleh balok-balok yang menghadang jalan. Mereka termenung berdiri di situ. Peristiwa yang telah lalu itu seperti baru terjadi dan masih terbayang di mata mereka.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari belakang mereka datang sepasukan orang berkuda yang jumlahnya ada dua puluh orang lebih.

“Hati-hati, dan jangan sembarangan turun tangan,” bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang puteranya.

Mereka berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang semakin dekat itu. Mereka mengira bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melainkan pasukan yang memakai pakaian aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam berwarna biru gelap, akan lewat. Akan tetapi, ternyata mereka itu menghentikan kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gambar naga di dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus, melompat turun dari atas kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil tersenyum lebar.

Ayah dan anak ini sangat terkejut ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk Hoa-gu-ji (Kerbau Belang), seorang tokoh dari Kwi-liong-pang dan tahulah mereka kini bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang Kwi-liong-pang, salah satu di antara gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta benda mereka! Jenderal Kao Liang maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walau pun dia dan dua orang puteranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian.

Akan tetapi, setelah tertawa, Hoa-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat untuk menyerang. Sebaliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada Jenderal Kao Liang sambil berkata, “Kao-goanswe, maafkan kalau kami mengganggu. Kami sengaja menemui Kao-goanswe untuk menyerahkan bungkusan ini, harap kau suka menerima dan memeriksa isinya.”

Hoa-gu-ji mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna kuning. Walau pun meragu, Jenderal Kao Liang menerimanya juga.

“Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya.

“Bukalah, dan engkau akan mengetahuinya sendiri, Kao-goanswe,” jawab Hoa-gu-ji.

Jenderal Kao Liang membuka bungkusan itu, dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak percaya kepada orang seperti tokoh Kwi-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi bungkusan itu nampak, Kok Tiong yang bersama Kok Han ikut pula memperhatikan, berseru kaget.

“Ini tusuk konde isteriku!” teriaknya.

Jenderal Kao Liang mengangguk dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik isterinya! Ternyata orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi bukti bahwa keluarga Kao berada di tangan mereka!

“Keparat, kau apakan mereka? Di mana mereka?” Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti oleh Kok Han, akan tetapi Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh mereka mundur dan menyimpan pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji yang akan diserang itu hanya memandang sambil tersenyum lebar saja.

Jenderal Kao Liang membuka sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah benda perhiasan wanita itu.

Jenderal Kao Liang,
Kalau engkau ingin bertemu dengan keluargamu, ikutlah bersama utusan kami dan taati semua perintahnya
.

Surat itu tanpa tanda tangan, tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao Liang. Dengan adanya tusuk konde menantunya dan cincin isterinya, jelas bahwa keluarganya berada dalam cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia menghendaki dapat bertemu kembali dengan mereka, bahkan demi keselamatan mereka, dia dan dua orang puteranya harus menyerah!

“Baiklah, kami akan ikut bersama kalian,” kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia berkata, “Kao Han, engkau susul twako-mu ke kota raja.”

“Baik, Ayah,” kata Kok Han yang tadi juga sudah ikut membaca surat itu. Dia menjura kepada ayahnya, memeluk kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat.

Hoa-gu-ji tidak mencegahnya karena menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal Kao Liang saja. Dia lalu melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian mereka berdua dibelenggu dan disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian keduanya dibawa pergi dengan mata ditutup kain hitam.

Ayah dan anak ini tak pernah melepaskan perhatian dalam perjalanan itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-bukit dan hutan-hutan yang dapat mereka ketahui dari jalan yang naik turun dan dari hawa dan suara angin di antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan. Malam itu mata mereka dibuka ketika rombongan berhenti di dalam sebuah hutan yang gelap, dan mereka diberi makan yang cukup baik, diperlakukan dengan sikap yang hormat biar pun Hoa-gu-ji dan seluruh anggota rombongan tidak pernah bicara.

Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup. Ketika hari telah panas, mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturunkan dari punggung kuda, dibawa masuk ke dalam rumah yang luas dan ke dalam ruangan. Mata mereka dibuka dan mereka memandang silau.

Ruangan itu luas dan di situ terdapat banyak pintu. Di tengah ruangan terdapat meja besar dan di belakang meja duduk beberapa orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Dengan adanya Hek-tiauw Lo-mo di situ, tahulah dia bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia hitam, orang-orang yang berniat memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw Lo-mo dahulu juga bersekutu dengan pemberontak.

Diam-diam dia memperhatikan, demikian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada di kursi-kursi belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang laki-laki muda yang kelihatan berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung melengkung dan mata cekung, gagah dan tampan namun juga aneh dan asing, rambutnya coklat dan pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan di sebelah kanannya duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun bertubuh seperti raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah. Pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan kakek botak itulah yang agaknya menjadi orang-orang terpenting di situ, maka Jenderal Kao Liang menujukan pandang matanya kepada mereka.

Dugaannya benar. Pemuda itu lalu bangkit berdiri dan menyambutnya dengan mata bersinar dan mulut tersenyum lebar. “Ah, sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat bertemu muka dengan Jenderal Kao Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia! Haaii, Hoa-gu-ji, hayo cepat buka belenggu mereka!”

Hoa-gu-ji memberi hormat dan dibantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan Jenderal Kao Liang dan puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda berkulit kehitaman itu berkata lagi, “Jenderal Kao Liang, silakan kau duduk bersama puteramu dan menikmati hidangan kami sebagai penyambutan!”

Jenderal Kao Liang melangkah maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu berkata, “Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan puteraku bukanlah tamu undangan, melainkan tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan. Apakah sebabnya engkau menawan keluarga kami dan siapakah engkau?”

“Ha-ha-ha, sungguh hebat dan tegas!” Tiba-tlba kakek botak itu berkata dan matanya memandang penuh kagum. “Memang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!”

“Suhu, tidak percuma dia pernah menjadi panglima besar,” kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi kepada Jenderal Kao Liang. “Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk bekerja sama dengan kami.”

Jantung Kao Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi, mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapa pun juga, Kao Liang adalah bekas panglima besar dan dia sudah sering kali menghadapi urusan-urusan besar, sungguh pun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya dalam keadaan selamat semua.

Jodoh Rajawali Jilid 14


Dengan sikap tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap hormat pula, “Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat. Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan percakapan dengan hati terbuka.”

Kembali Liong Bian Cu tertawa. “Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?”

Ban Hwa Sengjin mengangguk. “Dia memang laki-laki sejati!”

“Suhu, harap suka membawa mereka melihat-lihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena belum sampai saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka.”

Ban Hwa Sengjin kembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya.

“Goanswe dan Sicu, mari silakan ikut bersama kami.”

Dengan jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa Sengjin berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang kakek iblis itu mengikuti dari belakang. Mereka melalui lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin berhenti dan memberi isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang lebar dan di depan pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat.

“Buka daun pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!” kata Ban Hwa Sengjin kepada kepala penjaga.

Perintah ini cepat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping. Ternyata di balik pintu kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar yang besar sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja dan kursi-kursi. Dan di dalam kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring, ada yang duduk membaca, ada pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap.

Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguh pun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biar pun tidak ada yang kelihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin.

“Ayah...!” Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.

Semua orang dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji-ruji besi, seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.

Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju, sambil berkata, “Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan selamat, Kao-goanswe.” Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, “Tutup kembali pintunya!”

Kao Liang dan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu memanggil manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti mereka sambil tersenyum-senyum.

Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas, “Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kau minta dariku?”

“Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,” kata Liong Bian Cu sambil memberi isyarat kepada pelayan.

Segera pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas. Liong Bian Cu lalu menuangkan sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan mereka untuk minum.

“Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?” Kao Liang berkata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Liong Bian Cu tersenyum melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah bekas jenderal itu, “Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biar pun engkau belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi saya kira engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya.”

Kao Liang mengerutkan alisnya. “She Liong...?” dia berkata lirih dan mengingat-ingat karena setahunya, yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!

“Benar, Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!”

“Ahhh...!” Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas berbicara mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan!

“Antara mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan,” akhirnya Kao Liang berkata dengan suara berat, “Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan antara mendiang ayahmu dan saya itu.”

Liong Bian Cu tersenyum lebar. “Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi. Saya adalah seorang pangeran, cucu dari raja besar di Nepal.”

Kao Liang rnengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti raksasa menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.

“Dan saya memperkenalkan Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk Ban Hwa Sengjin,” Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu bangkit berdiri.

Kao Liang makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu. Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal! Tentu ada apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.

“Mereka berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goanswe. Beliau ini adalah Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo.”

“Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!” berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum araknya.

“Kiranya Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan tetapi apa hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya lakukan untuk Kongcu?”

“Kami tahu bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pandai! Kami amat membutuhkan bantuanmu, Kao-goanswe. Kami ingin agar engkau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil mau pun militer.”

Berubah wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan pahlawan yang setia! Dan sekarang, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu untuk memberontak terhadap kerajaan! Hampir saja tangan Kao Liang menghantam meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan kumisnya seolah-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya.

“Engkau berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk menjamin keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?” Liong Bian Cu kembali berkata dengan suaranya yang tenang dan halus.

“Tidak...! Tidak sudi aku...!” Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan cepat bangkit berdiri, mengepal tinjunya, mukanya merah dan matanya mendelik.

“Ayah...!” Kok Tiong berkata lirih, suaranya penuh kegelisahan. “Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan dua orang cucumu!” Muka orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh keluarga yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya!

“Tidak...! Seribu kali lebih baik kita mati semua!” kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.

“Gihu (Ayah Angkat)...!” Dan muncullah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera memeluk Syanti Dewi yang sudah merangkulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang.

“Kau...? Dewi...? Kau... juga di sini?” bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh kekhawatiran.

“Gihu, saya menjadi... tawanan perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga Gihu semua juga menjadi tawanan di sini... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan bersikap bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu...!”

“Syanti Dewi, biar pun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini lancang sekali dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan ini,” kata Liong Bian Cu dengan sikap halus.

Syanti Dewi segera melepaskan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi kemerahan.

“Semua ini tentu gara-gara Hwee Li!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara itu dengan nyaring, “Hwee Li, hayo kau ajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!”

Dara cantik jelita yang barusan datang bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang menghadapi Hek-tiauw Lo-mo kemudian berkata, “Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis, kau mau apa?” Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Alangkah beraninya sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya sangat angkuh itu, kejam dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu!

Pangeran Liong Bian Cu cepat bangkit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus dia berkata kepada dara itu, “Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat ribut di sini. Kami sedang membicarakan urusan besar, harap engkau suka mengajak Syanti Dewi ke taman, Sayang.”

Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demikian ramah dan mesra kepadanya di depan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut kalau-kalau pangeran itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu benar harus bersikap bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu.

“Maaf atas gangguan tadi, Kao-goanswe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah anak angkatmu. Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, atau tunangan saya.”

Diam-diam Kao Liang merasa heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan pangeran ini? Puteri Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek-tiauw Lo-mo membantu pangeran ini. Dan biar pun dia kagum akan kecantikan dan keberanian dara itu, namun diam-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap ayahnya! Dasar ayahnya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian kurang ajar terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan hatinya, bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu kelihatan begitu akrab dengan dara iblis tadi?

“Kao-goanswe,” tiba-tiba Koksu Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban Hwa Sengjin memang seorang asli Nepal, sungguh pun dia telah berusaha mempelajari bahasa Han dengan baik dan dapat bicara dengan lancar. “Kita sama sama adalah orang-orang yang tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan kesetiaan terhadap pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air dan bangsa melalui kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat betapa pemerintah dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak bijaksana, benarkah kalau dia mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan rakyatnya? Tentu tidak, dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang demikian, demi kebaktiannya kepada rakyat dan tanah airnya.”

Kao Liang memandang wajah kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam bekas jenderal itu terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan penuh wibawa itu, maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kemarahan hebat yang tadi membakar dadanya kini sudah mereda setelah munculnya Syanti Dewi yang tak disangka-sangkanya.

“Ban Hwa Sengjin, ke manakah tujuan kata-katamu itu?”

“Kao-goanswe, seperti yang dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijaksana akan lebih dulu mengutamakan keselamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah seorang yang akan menentukan mati hidupnya keluarga Goanswe, termasuk pula Syanti Dewi.”

“Hemmm, engkau hendak mengancam keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku, Koksu?” bekas jenderal itu mengejek.

“Bukan ancaman kosong belaka, Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku sanggup menyuruh algojo memenggal leher keluargamu di depan matamu!” Pangeran Liong Bian Cu berkata tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh ancaman yang mengerikan sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini.

“Bukan sekedar mengancam untuk memaksa, Jenderal Kao Liang!” kata pula Ban Hwa Sengjin dengan sinar mata tajam. “Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat mengetahui kalau keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah dan kami yang menang, karena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan sudah selayaknya kalau engkau tahu diri sebagai pihak yang kalah. Akan tetapi, selain kenyataan ini aku ingin membuka mata dan kesadaranmu akan kenyataan lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain.”

Kao Liang menegakkan kepalanya dan mengangkat dadanya. “Bagiku, tetap saja ada pilihan, Koksu, karena aku lebih menghargai kehormatan dari pada nyawa. Ancamanmu terhadap keluargaku, sama sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai kehormatan kami!”

Wajah koksu itu sudah menjadi merah karena dia marah sekali melihat kekerasan hati bekas jenderal ini. Akan tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepadanya dan orang muda yang cerdik ini lalu berkata, “Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan gagah itu amat mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan itu tentu ada dasarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya. Ketika mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena kaisar terlalu lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat besar besaran, memeras rakyat. Ayah memberontak dan gagal, hal itu sudah biasa dan tidak perlu disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman berlangsung terus. Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu diangkat menjadi panglima besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang membuat ayahku memberontak, Jenderal Kao. Lihat, betapa lalimnya kaisar! Betapa kaisar memberi hati kepada para thaikam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat, sehingga banyak orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau, malah disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat, tukang korupsi besar malah dipakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang dipecat dan diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan termasuk pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh tindakan lalim kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pahlawan yang setia. Tetapi sebaliknya, engkau membiarkan kaisar dan kaki tangannya melakukan kelaliman yang menyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa engkau pun membantu kelaliman mereka. Bukankah orang yang tahu kejahatan dan tinggal memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?”

Kata-kata Liong Bian Cu merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas jenderal itu, membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat. Harus diakui bahwa di dalam kata-kata itu terkandung kebenaran yang sukar untuk disangkal. Memang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit sakitan itu seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam yang korup dan lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung tanpa ada yang berani menentang.

“Saya... saya tidak mungkin mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga dari pada memberontak...” Akhirnya dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya.

“Ayah...!” Kok Tiong berkata dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas pipinya. Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi membayangkan ibunya dibunuh, dan dua orang anaknya, benar-benar membuat dia hampir tidak kuat menahan.

“Hemmm, lihat betapa lemahnya jenderal yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas panglima yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji orang sebagai pahlawan ini! Membiarkan keluarganya terancam kematian padahal ia dapat menyelamatkan mereka, membiarkan rakyat tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk mengubah nasib mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementingkan diri sendiri, kehormatan dan namanya sendiri saja!” kata Liong Bian Cu berkata lagi.

“Brakkkkk!”

Jenderal Kao menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mangkok piring mencelat berkerontangan. “Cukup!” bentaknya. “Baiklah, aku mau membantu kalian, akan tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku mau memimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh mana pun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimana pun, jangan harap dapat memaksaku memimpin pasukan menyerbu kerajaan!”

Liong Bian Cu tersenyum dan cepat bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Goanswe. Siapa yang mengharapkan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat lembah ini menjadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau akan mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!”

“Hemmm, Liong-kongcu, lebih dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan menjamin keselamatan keluargaku dan Puteri Bhutan!”

“Baik, aku berjanji akan menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhutan, demi nama nenek moyangku!” Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguh-sungguh.

“Dan aku berjanji akan mempertahankan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga Kao!” kata bekas jenderal itu.

Hidangan dan minuman lalu ditambah dan mereka merayakan persekutuan itu. Untuk melupakan perasaannya yang tertindih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai akhirnya dia mabuk dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya, bersama Kok Tiong. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis terjadi.

Demikianlah, mulai hari itu, Kao Liang dengan sungguh hati lalu membangun lembah itu menjadi sebuah benteng yang kokoh kuat. Pelaksanaannya dibantu oleh tukang-tukang dan tenaga dari Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh Jenderal Kao dilaksanakan sehingga tempat itu menjadi sebuah benteng yang sukar sekali ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan diperlebar, ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di sekeliling lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula banyak tempat-tempat jebakan yang amat berbahaya.

Jenderal Kao dan seluruh keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri Syanti Dewi yang seperti telah bergabung menjadi anggota keluarga jenderal itu. Akan tetapi biar pun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi ke mana saja, akan tetapi selalu di situ terdapat anggota keluarga mereka menjadi sandera dan tidaklah mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga yang terdiri dari wanita wanita dan anak-anak itu!

Dalam waktu beberapa pekan saja, rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal ini terjadi karena memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu demi menyelamatkan keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada mendiang ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan panglima-panglima besar yang setia…..

********************

“Satu-satunya sumber yang baik dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa,” kata Ceng Ceng kepada suaminya setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah penginapan. “Kalau masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula, tentu beliau dapat membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di kota raja, tidak berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima tahun yang lalu, maka satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat kupercaya adalah Pangeran Yung Hwa.”

Kao Kok Cu menggunakan tangan kanan untuk meraba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir, matanya memandang kepada isterinya penuh selidik. “Akan tetapi, bukankah dahulu pernah dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku? Dan kau sekarang hendak menemuinya?”

Ceng Ceng tersenyum, mendekati dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja. “Ihhh! Jangan kau bilang bahwa engkau cemburu!”

Kao Kok Cu tertawa dan mencium isterinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia berada di dekat isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan sejenak dia atau mereka, dapat melupakan kedukaan yang menindih hati. “Engkau salah duga, isteriku. Kau tahu betapa aku mencintamu, betapa kita saling mencinta, dan cinta adalah kepercayaan. Seujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu menyentuh hatiku, aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau mencari keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu. Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, membuat luka kembali kambuh, juga mana mungkin dia mau membantu kita?”

“Engkau belum mengenal siapa dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukan sembarang pangeran yang mabuk kekuasaan dan rusak oleh keangkuhan seperti biasanya para muda bangsawan. Sama sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi Milana, hanya bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat.”

Ceng Ceng lalu menceritakan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta kepadanya itu. Setelah mendengar penuturan Ceng Ceng, akhirnya Kok Cu percaya juga bahwa mungkin dari pangeran itulah isterinya akan dapat menyelidiki rahasia dari sernua malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.

“Selain menyelidiki rahasia itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa penyesalanku kepada kaisar melalui Pangeran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu.” Demikian Ceng Ceng berkata dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah mencari istana Pangeran Yung Hwa dan menghadap pangeran itu.

Pangeran Yung Hwa menyambut kedatangan Ceng Ceng yang mengunjunginya itu dengan perasaan heran dan gembira. Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi hormat kepadanya, dia segera teringat kepada wanita perkasa itu.

“Ahhh... engkau...?” serunya dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di depannya. “Aku telah mendengar bahwa engkau menjadi menantu Jenderal Kao Liang! Bagaimana keadaanmu? Kuharap baik-baik saja dan berbahagia.”

Melihat sikap pangeran itu yang ramah dan jujur, Ceng Ceng merasa terharu. “Terima kasih atas kebaikan dan perhatian Paduka, Pangeran. Sesungguhnya saya cukup berbahagia kalau saja tidak timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga kami, merupakan bencana yang didatangkan dari istana.”

Pangeran Yung Hwa mengerutkan alis. “Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana terhadap keluargamu?”

Ceng Ceng lalu menceritakan tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar. Kemudian diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh keluarga melakukan perjalanan menuju ke kampung halaman, di tengah jalan diganggu oleh berbagai golongan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu terdapat pengawal-pengawal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya puteranya yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga Jenderal Kao Liang.

“Coba Paduka pikir, siapa lagi yang menyuruh pengawal-pengawal itu menghadang dan mengganggu keluarga Kao? Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?”

Pangeran Yung Hwa meraba dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah dicintanya itu, bertanya, “Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku dan menceritakan semua ini kepadaku?”

Ceng Ceng membalas pandang mata itu dan berkata terus terang, “Saya dan suami saya menduga keras bahwa kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu kami datang ke kota raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa Padukalah satu-satunya orang yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana yang adil dan bijaksana, maka saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan Paduka sehingga saya dapat mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana pula adanya keluarga Kao yang terculik.”

Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. “Aihhhhh... kalau saja aku tahu, tentu sekarang juga aku akan turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat menyelidikinya? Harus kuakui bahwa keadaan kaisar amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantunya yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bahwa Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan mengundurkan diri. Kelemahan kaisar memang membuat para pembesar yang tidak jujur untuk bergerak demi keuntungan diri pribadi sehingga terjadi banyak hal yang buruk. Biar pun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi munculmu di sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya Kao. Hari ini juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya beliau saja yang akan dapat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang menodai istana. Mudah mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan oleh kakakku, Pangeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau dapat menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah yang dapat kulakukan.”

Tentu saja Ceng Ceng tidak merasa sangat puas dengan hasil ini, akan tetapi dia pun maklum bahwa Pangeran Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di mana adanya puteranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya. Sudah jelas bahwa bukan kaisar yang melakukan tindakan itu, melainkan pembesar lalim yang amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu berpamit setelah menghaturkan terima kasih, pergi meninggalkan istana Pangeran Yung Hwa untuk segera menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan pangeran itu.

Sementara itu, Pangeran Yung Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya. Dengan menyamar pangeran ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si untuk menemui kakaknya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan perasaan heran bagi yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari kakaknya, Pangeran Yung Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim?

Tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid Siauw-lim-pai! Pangeran ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apa lagi setelah dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu silat karena dia berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain harus ahli dalam soal-soal bun yang meliputi juga soal-soal tata negara, harus mahir pula dalam bu atau ilmu silat, juga ilmu perang. Maka dia lalu masuk ke Siauw-lim-si dan menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang amat besar dan telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu.

Pangeran Yung Hwa menjumpai kakaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama kakaknya tenggelam dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan para pembesar. Pangeran Yung Hwa menceritakan pula tentang pemecatan-pemecatan yang dilakukan oleh kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan menceritakan betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung Hwa menceritakan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan.

“Kenapa kau tidak adukan semua itu kepada kaisar?” Pangeran Yung Ceng menegur adiknya. “Gubernur Ho-nan yang memberontak itu harus ditindak!”

Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. “Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa menyusulmu ke sini. Kaisar sama sekali tidak mau mendengar laporanku, bahkan marah-marah dan kalau bukan aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum. Betapa banyaknya pembesar jujur yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau, akan tetapi malah menerima hukuman. Pengaruh para thaikam (pembesar kebiri) amat besar dan kaisar amat lemah, seperti bersikap masa bodoh.”

“Hemmm, sampai sekian jauhnya keadaan buruk itu?” tanya Pangeran Yung Ceng.

“Malah lebih lagi,” kata Yung Hwa. “Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau sendiri pergi memperdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di dalam istana. Aku sendiri biar pun telah terbebas dari cengkeraman Gubernur Ho-nan dan berkali-kali tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku menyamar dan datang ke sini ada orang-orang yang diam-diam membayangiku.”

“Ahhh! Sampai begitu hebat?” Pangeran Yung Ceng mengepal tinjunya. “Yung Hwa, wajah kita mirip sekali seperti saudara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu dan keluar lebih dulu dari kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dengan dikawal oleh murid-murid Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri, sampai di manakah kenekatan dan keberanian pengkhianat-pengkhianat itu!”

Dengan marah sekali Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya. Setelah berpamit kepada para guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke kota raja, dia lalu meninggalkan kuil. Memang wajah Pangeran Yung Ceng mirip sekali dengan wajah Pangeran Yung Hwa. Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka pakaian, nampak perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa halus lemah lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar berolah raga itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyikan dalam pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan.

Hari telah mulai senja ketika Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah selatan kota raja. Karena menyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan dia sengaja melakukan perjalanan lambat untuk melihat-lihat keadaan. Banyak sudah dia mendengar percakapan di antara rakyat tentang penyelewengan para petugas, dan dia pun mendengar berita-berita tentang sikap memberontak dari para pembesar di Ho-nan yang tentu saja mencontoh sikap gubernur mereka. Dia juga tahu bahwa diam-diam dia selalu dibayangi orang seperti yang diceritakan oleh adiknya.

Ketika malam hari itu Pangeran Yung Ceng memasuki salah sebuah restoran di kota Thian-cin. Dia tahu bahwa ada lima orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak geriknya menunjukkan bahwa mereka adalah jagoan-jagoan, yang diam-diam sedang membayanginya dan mereka pun masuk pula di restoran itu, mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja pangeran itu. Restoran itu tidak begitu ramai dan banyak kursi yang kosong.

Ketika pangeran itu memesan masakan kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di antara lima orang yang duduk di meja yang berdekatan itu tampak bangkit berdiri dan menghampiri Pangeran Yung Ceng, menjura dan berkata, “Harap maafkan! Kalau tidak salah lihat, bukankah Kongcu datang dari kota raja?”

Yung Ceng memandang dengan sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Bukan, saya memang hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota raja, saya orang dari selatan.”

Orang itu berkata ‘maaf’ sambil tersenyum, kemudian kembali duduk di tempat teman temannya. Percakapan pendek itu disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi untuk mempersiapkan pesanan Pangeran Yung Ceng.

“Ha-ha, memang mirip, akan tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu,” tiba-tiba terdengar seorang di antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras sehingga terdengar oleh Pangeran Yung Ceng.

“Kalau dia Pangeran Yung Hwa, sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi,” terdengar pula mereka bicara.

“Ha-ha-ha, yang ini hanyalah seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang. Dan kita telah membayanginya sehari penuh. Sialan!”

“Karena gara-gara dia kita membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu buku ini.”

“Akan tetapi, bagaimana kalau dia benar Pangeran Yung Hwa...?” terdengar suara lain, berbisik dan kalau yang duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak akan dapat mendengar bisikan itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah mempelajari ilmu yang tinggi, sehingga panca inderanya lebih peka dan tajam dari pada orang biasa. Dia mampu mendengarkan bisikan ini.

“Lebih baik lagi kalau begitu! Dan kita tak akan salah, karena bukankah dia menyangkal siapa dirinya? Pelayan itu menjadi saksi.”

Sekarang maklumlah Pangeran Yung Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya. Kalau dia sudah menyangkal sebagai pangeran, maka andai kata mereka itu membunuhnya, mereka kemudian dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak mengenalnya sebagai pangeran, seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi.

Pelayan tadi datang membawa masakan, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.

“Heeeii, itu pesanan kami!” teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.

“Tidak, Sicu, ini adalah pesanan Kongcu ini!” bantah si pelayan.

“Setan! Kami juga memesan masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan kepada kami. Apakah kau hendak menjilat kutu buku ini?”

Pangeran Yung Ceng maklum bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu yang kini bersikap kasar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia berkata tenang, “Sobat, harap jangan membikin ribut!”

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia segera menghampiri Pangeran Yung Ceng, lalu menghardik, “Jika aku membikin ribut, engkau mau apa, cacing buku yang busuk?”

Akan tetapi, biar pun Yung Ceng juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan mengejek bagi seorang sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali bukan! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan telah diberi pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai sehingga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Tidak apa-apa,” jawab Pangeran Yung Ceng tenang. “Hanya kalau kau tidak segera pergi dari sini, aku akan mencabuti kumismu!”

Sepasang mata itu terbelalak semakin lebar, mulutnya ternganga seakan-akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Benarkah si kutu buku ini sudah berani berkata demikian kepadanya?

“Keparat...!” teriaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala anak kecil, yang keras dan terlatih karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, sekarang menyambar ke arah kepala Pangeran Yung Ceng.

Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan tenang, pangeran itu miringkan kepalanya, membiarkan tangan yang memukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya menyambar dan membetot.

“Auuwwhhhh...!” Si Kumis Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya yang berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung Ceng.

“Manusia bosan hidup!” terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari kursi mereka dan menerjang Pangeran Yung Ceng. Pelayan itu lari ketakutan dan kini pangeran itu bangkit berdiri, wajahnya merah karena marah.

Empat orang itu menerjang dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan jagoan-jagoan yang pandai ilmu silat. Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah murid Siauw-lim-pai yang sudah matang ilmu silatnya, maka segera terdengar suara mereka mengaduh dan meja kursi berserakan ketika pangeran itu membagi-bagi pukulan dan tendangan yang membuat mereka terlempar ke sana-sini.

Mengertilah lima orang itu sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang mereka sangka adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Kemarahan mereka memuncak dan mereka berlima, termasuk Si Kumis Tebal yang kini telah berubah menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya menempel di bawah hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan dengan teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu.

Yung Ceng meraba pinggangnya dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pangeran ini sudah mencabut sebatang pedang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju sastrawannya. Pedang pendeknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan sinar menyambar-nyambar dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah makan itu. Para tamu sudah sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian pun para pelayan ada yang lari, ada pula yang sembunyi dengan tubuh menggigil.

Dengan marah sekali Pangeran Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan berturut turut terdengarlah pekik mengerikan disusul robohnya lima orang pengeroyok itu, ada yang lehernya terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan ada pula yang dadanya berlubang. Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja hanya dia lukai pahanya, dia cepat mencengkeram pundak orang itu, lalu ditariknya naik dan dia membentak, “Kalian telah membayangi aku dan sekarang sengaja menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian!”

Orang itu meringis kesakitan, mukanya pucat dan dia sangat ketakutan, menggeleng gelengkan kepala.

“Hayo mengaku! Kau tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!”

Orang itu terbelalak. “Am... ampunkan hamba... hamba hanya utusan... dari... dari...!”

Pada saat itu nampak sinar berkelebat menyambar. Pangeran Yung Ceng amat terkejut karena sinar itu datangnya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena tidak mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang yang dicengkeram pundaknya itu, dipakai sebagai perisai.

“Crottt...auggghhhhh...!”

Orang itu menjadi lemas dan melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng melemparkannya ke atas lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di antara banyak orang di jalan raya. Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung orang tadi tertusuk jarum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya kelihatan sedikit saja ujungnya. Tahulah dia bahwa penyerangnya adalah seorang yang mahir menggunakan senjata rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal karena tawanan ini belum sempat mengaku siapa yang menyuruh mereka.

Ketika pembesar setempat mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya, dia tergopoh-gopoh datang diiringkan oleh pasukan pengawal. Kiranya ketika Pangeran Yung Ceng tadi mengakui dirinya untuk memaksa tawanannya mengaku, ada beberapa orang yang mendengar dan cepat mereka itu melaporkan kepada para penjaga keamanan sehingga pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu.

Pangeran Yung Ceng menerima penghormatan mereka yang berlutut dan dengan singkat dia lalu memerintahkan untuk menyelidiki lima orang itu, kemudian dia minta seekor kuda dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika hendak dikawal. Pangeran mahkota ini marah sekali karena kini dia mendapatkan bukti sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat yang menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pangeran Yung Hwa. Dia dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang diutus oleh Gubernur Ho-nan yang sudah memperlihatkan sikap memberontak itu.

Setelah tiba di kota raja, pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia menceritakan keadaan yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang menyeleweng itu kepada kaisar.

Kaisar Kang Hsi adalah seorang kaisar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur pemerintahan, berwibawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan baiknya, dan harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama Dinasti Kerajaan Ceng-tiauw. Tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia menjadi tidak acuh dan malas. Kini, mendengar teguran puteranya yang telah dipilihnya untuk kelak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi mendengarkan dengan sabar dan dengan sikap tidak acuh, kemudian dia menggerakkan tangan dan berkata, “Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan sudah malas untuk mengurus segala macam hal yang memusingkan belaka. Di dalam tahun-tahun terakhir dari usiaku ini, aku ingin hidup tenteram dan enak, ingin menikmati hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku. Mengapa aku tidak boleh menikmati kehidupan di dalam usia setua ini? Engkau saja yang harus rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan aku, engkau sudah benar-benar cakap.”

“Maafkan hamba, bukan maksud hamba untuk membantah. Akan tetapi sudah lupakah Paduka akan Sri Baginda Raja Liang Hwi Ong?”

Kaisar yang tua itu memandang puteranya sambil tersenyum. “Hemmm, maksudmu?”

Dengan tegas Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pelajaran dalam kitab Beng Cu. Beng Cu adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang bijaksana sekali dan banyaklah contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi Khong Cu. Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong adalah pelajaran Beng Cu yang menuturkan tentang pertemuan antara Raja Hwi Ong dari Negeri Liang dengan Beng Cu.

Raja Hwi Ong bertanya kepada Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi negerinya di waktu itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab. “Mengapa Baginda menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan kebenaran. Apa bila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para pembesar tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluarga mereka, dan rakyat pun akan bertanya tentang keuntungan bagi diri sendiri. Apa bila yang berkedudukan tinggi mau pun yang rendah hanya memperebutkan atau menginginkan keuntungan saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki berlaksa kereta perang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki ribuan kereta perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh keluarga yang hanya memiliki seratus kereta perang. Apa bila yang memiliki selaksa kereta perang mengambil yang seribu, tentu yang memiliki seribu mengambil yang seratus dan selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apa bila manusia membelakangi kebenaran dan mengutamakan keuntungan, pasti dia tidak puas sebelum memperoleh seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang manusia yang mempunyai cinta kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum pernah ada seorang manusia yang menjunjung kebenaran membelakangi rakyatnya. Seharusnya Paduka bertanya tentang cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa bertanya tentang keuntungan?”

Demikianlah pelajaran dalam kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng untuk menyadarkan ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi.

Kaisar Kang Hsi sudah amat tua dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi semenjak dia berduka atas kematian saudara-saudaranya yang telah memberontak. “Sudahlah, Yung Ceng, jangan ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku sudah lelah dan aku tidak ingin memusingkan keadaan di luar kamarku.”

“Akan tetapi Paduka masih seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat besar terhadap rakyat jelata. Apakah Paduka masih belum tahu akan segala peristiwa di luaran? Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa terbunuh karena Gubernur Ho-nan hendak memberontak? Betapa pembesar-pembesar jahat sekarang ini sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hitam dan menanti saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan bijaksana Paduka pecat oleh karena bujukan para pembesar palsu yang menjilat-jilat? Betapa kedudukan Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara diam-diam diambil alih oleh mereka yang berpengaruh di dalam istana?”

“Sudahlah, Yung Ceng. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah bosan dengan semua itu?”

“Paduka dapat turun tangan, Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan pertama-tama Paduka seyogyanya dapat membebaskan diri dari pengaruh para thaikam...”

Pada saat itu, thaikam kepala yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ, tiba-tiba berkata, “Pangeran, harap jangan terlalu mendesak kepada Sri Baginda. Beliau sedang kurang sehat dan lelah...“

“Diam kau! Jangan mencampuri!” Yung Ceng membentak.

“Yung Ceng, tidak boleh kau bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa...” Kaisar mencela.

“Justeru dia inilah salah seorang di antara mereka yang jahat dan palsu, akan tetapi dia pandai menjilat!”

“Pangeran, tidak boleh Paduka berkata demikian...“

“Yung Ceng, Kong Tek Jin adalah seorang yang amat setia!”

Akan tetapi Yung Ceng sudah meloncat dan menyambar pundak thaikam itu, kemudian mengangkatnya dan membantingnya ke atas lantai.

“Brukkkkk...!”

Thaikam yang gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal dalam bergerak maju, Yung Ceng bertolak pinggang dan membentak, “Kalian mundurlah! Berani melawan Pangeran Mahkota?”

Tentu saja para pengawal itu meragu dan mereka memandang ke arah Sri Baginda. Kalau Sri Baginda memberi aba-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan menerjang pangeran itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang kepada puteranya dan kembali Yung Ceng membentak, “Kalian keluar dari sini, jaga di luar pintu kamar!” Kembali para pengawal memandang kepada kaisar. Sekali ini kaisar mengangguk dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka keluar.

Setelah para pengawal keluar, Yung Ceng berkata kepada ayahnya, “Sekarang hamba akan membuktikan siapa adanya manusia macam ini!”

Dia sudah mendekati Thaikam Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah tengkuk thaikam itu, kemudian menghardik. “Hayo kau mengaku sebenarnya! Bukankah seluruh keluargamu telah kau datangkan ke sini dan kau angkat menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan kepalamu sekarang juga?”

Sambil berkata demikian, Yung Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di tengkuk yang menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan karena dia tahu bahwa pangeran ini memang berilmu tinggi. Dia harus menyelamatkan diri dulu, baru kelak mencari jalan untuk melenyapkan pangeran ini. Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia benar-benar akan dibunuh.

“Be... benar, Pangeran. Akan tetapi apakah salahnya hal itu? Tentu saja hamba ingin menolong keluarga hamba...”

“Dan untuk itu kau memecat pejabat-pejabat lama? Dan engkau sudah menumpuk harta kekayaan berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pembesar-pembesar bawahan agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?”

“Ini... ini...“

“Hayo katakan yang benar! Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan seribu tail emas dan dua kereta bertabur emas kepadamu baru-baru ini?” kata Yung Ceng yang mendengar ini semua dari Pangeran Yung Hwa. “Dan dengan pemecatan Jenderal Kao Liang, engkau memperolah hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat menjadi panglima penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk membasmi keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar kepalsuanmu di depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?”

“Ti... tidak... tidak...“

Yung Ceng mencabut pedang pendeknya.

“Crottt...!” Ujung pedang itu menusuk paha sampai beberapa senti dalamnya, dan dia mencengkeram otot di punggung sehingga thaikam itu memekik-mekik seperti seekor babi disembelih saking nyerinya.

“Hayo kau menjawab, benarkah semua itu?”

“Ya... ya... benar...!” Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia sudah bersumpah untuk membalas pangeran ini.

“Sekarang, katakan, bukankah engkau sudah tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan memberontak? Hayo jawab!”

Tubuh thaikam itu menggigil. “Hamba... hamba tidak ikut-ikut...“

“Tapi engkau tahu?”

“Ya... ya...”

Kaisar kini mengerutkan alisnya. “Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hendak memberontak dan kau tidak melaporkan kepada kami?”

“Hamba... hamba tidak berani... hamba...“

“Yung Ceng, kiranya benar pelaporanmu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak kusangka. Suruh bawa dia pergi!”

Yung Ceng memanggil pengawal. “Seret dia ke dalam tahanan!”

Kini kaisar memandang puteranya dengan kagum. Kemudian dia mencabut pedangnya, pedang kerajaan yang merupakan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu. “Terimalah ini dan kau wakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar istana. Aku sudah lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan tugasmu itu. Harus kau selesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja melaporkan kepadaku.”

Pangeran Yung Ceng lalu menerima pedang pusaka itu sambil berlutut, menghaturkan terima kasih dan cepat meninggalkan kamar ayahnya. Mulailah pangeran mahkota ini melakukan pembersihan. Tindakannya yang pertama adalah menangkapi para thaikam yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati! Dan semua pembesar yang diangkat oleh para thaikam ini, para keluarga thaikam dan sobat-sobat mereka, yang memperoleh kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat dari kedudukannya dan ada pula yang dijatuhi hukuman.

Kota raja geger! Para pembesar palsu yang kerjanya hanya korupsi dan menumpuk kekayaan pribadi tanpa menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Mereka tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin menghebat karena mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan dengan cara sogok sana sogok sini. Kalau dunianya para koruptor itu geger, adalah para petugas yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka seolah-olah melihat cahaya terang, melihat matahari muncul kembali di tengah-tengah kegelapanan yang ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah bertahun-tahun mengancam kerajaan.

Setelah pembersihan di dalam istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tindakannya dengan segera melakukan pembersihan-pembersihan di luar istana atas nama kaisar. Gubernur Ho-pei cepat menghadap dan barulah sekarang dia berani melapor tentang sikap memberontak Gubernur Ho-nan. Sebelum ini, dia sama sekali tidak berani melaporkan kepada kaisar, karena maklumlah gubernur ini bahwa melaporkan akan percuma saja, sama sekali tidak akan diterima oleh kaisar, bahkan sebaliknya akan membahayakan dia sekeluarganya karena yang dihadapi bukan kaisar melainkan para thaikam yang berkuasa seolah-olah melebihi kaisar.

Ketika mendengar laporan Gubernur Ho-pei betapa pihak pemberontak, yaitu Gubernur Ho-nan diam-diam telah bersekutu dengan kerajaan Nepal, bahkan mendirikan benteng di perbatasan propinsi, di lembah Sungai Huang-ho, dia terkejut dan marah sekali. Dia maklum akan bahayanya perang saudara, maka pangeran mahkota ini lalu teringat akan Puteri Milana. Dia segera menyebar orang-orang untuk mencari Puteri Milana, karena dia tahu bahwa puteri itu adalah seorang yang paling boleh diandalkan untuk menanggulangi ancaman bahaya pemberontakan itu. Dia tidak mau sembrono mengirim pasukan, karena hal itu akan menimbulkan perang saudara yang akan membuat rakyat menderita sengsara.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Puteri Milana bersama Pendekar Sakti Gak Bun Beng telah meninggalkan dunia ramai. Puteri Milana adalah puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han majikan Pulau Es. Ibunya adalah Puteri Nirahai. Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, Puteri Milana sudah pergi dari istana, minggat setelah suaminya, yaitu mendiang Panglima Han Wi Kong, membunuh Pangeran Liong Bin Ong. Selain untuk membunuh seorang pemberontak dan pengkhianat, pembunuhan atas diri pangeran ini dilakukan oleh Han Wi Kong sebagai cara untuk membunuh diri karena dia ingin memberi kebebasan kepada Puteri Milana yang menjadi isterinya hanya dalam nama saja. Dia tahu isterinya itu mencinta Gak Bun Beng, maka semenjak menikah, belum pernah dia mendekati isterinya dan belum pernah mereka tidur bersama.

Demikianlah, Puteri Milana akhirnya bertemu dan berkumpul juga dengan pria yang dicintanya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Akan tetapi, atas permintaan Gak Bun Beng yang tidak ingin mendengar nama kekasihnya ini cemar dan tertimpa aib, sebagai janda bangsawan, seorang puteri istana, menikah lagi dengan dia, maka dia mengajak kekasihnya yang menjadi isterinya itu ke tempat sunyi, jauh dari dunia ramai. Mereka berdua meninggalkan segala kericuhan hidup di dunia ramai dan tinggal di sebuah puncak, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san, yaitu puncak yang disebut puncak Telaga Mawar karena di situ terdapat sebuah telaga kecil yang penuh dengan pohon bunga mawar.

Suami isteri ini seolah-olah hendak menebus segala kerinduan mereka bertahun-tahun yang lalu, belasan tahun penuh kerinduan ketika mereka dahulu saling berpisah. Kini mereka itu seolah-olah tenggelam dan berenang di dalam lautan madu asmara, mencurahkan seluruh perasaan cinta kasih satu kepada yang lain di tempat sunyi di pondok mereka dekat telaga, di tengah-tengah suasana tenang dan hening yang diliputi keharuman bunga-bunga mawar.


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 15


Jodoh Rajawali Jilid 14

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 14
Liong Bian Cu cepat pergi ke tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana dan bahkan suka mandi di sumber air mancur itu, sungguh pun di dalam kamarnya telah tersedia kamar mandi dan kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat sunyi itu, jantungnya berdebar keras. Betapa sering dia harus menahan gelora nafsunya kalau berhadapan dengan Hwee Li.

Nafsunya mendorong untuk menubruk dan memeluk dara itu, seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor domba muda. Akan tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia ingin menikmati penyerahan diri Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan sikap yang membalas perasaan cintanya. Hampir tiap malam dia mimpi bermain cinta dengan tunangannya itu. Mimpi yang.

Kini, membayangkan Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di hatinya untuk mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi. Setidaknya tentu dara itu akan menanggalkan pakaian luarnya! Dengan hati-hati pangeran ini lalu menghampiri sumber air, lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!

Sementara itu, Hwee Li sejak tadi memang menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah berhari-hari dia mengatur siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di lorong kecil yang menuju ke sumber air itu dan sebuah batu runtuh dari tebing di sebelah kiri lorong dan hampir menimpanya. Dia melihat bahwa tebing itu hampir longsor, tanahnya sudah retak-retak dan di atas tebing terdapat sebongkah batu sebesar kepala gajah! Untung hanya batu sebesar kepala manusia saja yang runtuh dan hampir menimpanya. Kalau batu besar itu yang runtuh, tentu akan membawa semua batu yang berada di atas dan tepi tebing, dan dia akan teruruk oleh batu-batu besar karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan sempit sekali.

Peristiwa itu menimbulkan siasat kepada Hwee Li yang amat cerdik. Berhari-hari dia mempelajari keadaan tebing dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu besar itu tidak sampai longsor ke bawah adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh di tebing, juga ada beberapa buah batu yang tidak begitu besar merupakan pengganjal. Kalau pohon itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu pohon itu tidak kuat menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah.

Dia mencari akal dan mulailah dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas tebing, tepat di bawah batu besar itu, menyingkirkan beberapa batu pengganjal dengan hati-hati sekali. Pekerjaan ini dilakukannya secara diam-diam selama beberapa hari. Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya dengan heran di situ, Hwee Li cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu sehingga pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran itu mencari jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan memang dara remaja itu masih bersikap lincah seperti anak kecil!

Setelah membuat persiapan secara menyakinkan, Hwee Li lalu mengikatkan tali pada batang pohon kecil yang kini seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar tadi, serta menyembunyikan tali panjang itu melalui belakang batu-batu besar, terus menurun dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan pada senja hari itu, dia sengaja mandi di situ. Meski dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong Bian Cu memanggil manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan pangeran itu mendatangi sumber air.

Liong Bian Cu juga bukan seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai dari jauh, dia melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja hanya memakai pakaian dalam, akan tetapi dara itu kelihatan tegang dan tidak mandi! Dan dara itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah sumber air, seolah olah menanti kedatangannya! Dia teringat bahwa dia tadi telah menggunakan khikang ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak mendengar panggilannya. Akan tetapi gadis itu tidak pernah menjawab. Dan kini Hwee Li seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di dalam air yang membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari sumber air dari batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir pemuda itu. Demikian mencurigakan sikapnya.

Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat melihatnya ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum akan kecerdikan Liong Bian Cu. Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui lorong? Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada gunanya membujuk Bian Cu untuk naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu dan dia tahu umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya sendiri.

Maka, dengan sikap biasa, setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian dalamnya dengan berdiri membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai. Nampaklah tubuh belakangnya yang mulus.

Melihat adegan strip-tease (tarian menanggalkan pakaian) yang terjadi di alam terbuka ini, Liong Bian Cu berkali-kali menelan ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip satu kali pun, pandang matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu bulat-bulat dengan sinar matanya! Liong Bian Cu bukanlah seorang pemuda hijau.

Tidak, dia adalah seorang pangeran dan di Nepal sudah biasa bagi seorang pangeran untuk mengambil selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita wanita cantik, akan tetapi belum pernah dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya sekarang terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu, yang dirindukannya siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat dia menjadi seperti cacing terkena abu panas!

Lebih-lebih lagi ketika dengan gerakan tanpa disengaja Hwee Li miringkan tubuhnya sehingga nampak dari samping sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan seperti terkena pesona, terkena sihir yang amat kuat. Dengan semangat seperti terbang meninggalkan tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke dalam lorong dan matanya masih tanpa berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot oleh kekuatan rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua kakinya bergerak dan berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.

Hwee Li yang memutar tubuh miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong, dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran itu tiba tepat di bawah batu besar, kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang dipegangnya sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.

“Braakkk... bruuuuukkkkk...!”

Suara ini disusul suara hiruk-pikuk saat batu sebesar gajah itu menggelinding menuruni tebing, membawa batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon kecil itu tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat lagi menahan batu besar dan karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah lagi batu itu menggelinding turun.

Liong Bian Cu terkejut bukan main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan tebing tinggi, maka jalan satu-satunya baginya hanya meloncat ke belakang. Namun, gerakannya kurang cepat dan biar pun dia berhasil menghindarkan diri dari tindihan batu sebesar gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman batu-batu kecil lainnya yang datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi, terpelanting dan tubuhnya ditimpa banyak batu yang menguruknya. Debu mengebul tinggi dan suara hiruk-pikuk dari batu batu yang runtuh itu terdengar sampai jauh.

Sementara itu, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan kembali pakaiannya dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia melihat sebelah kaki dan sebelah tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu. Dia bergidik ngeri, mengira bahwa tentu pemuda ini telah tewas.

Dan memang demikianlah perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya untuk dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat. Pertama, orang-orang tidak akan tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh dia. Kedua, kalau dia dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ketiga, andai kata dia tidak dapat membebaskan garuda, setelah pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak membutuhkan lagi dia dan mungkin saja dia dibiarkan lolos dari situ. Semua kemungkinan itu tidak mungkin ada selama Liong Bian Cu masih hidup!

Cepat dia berusaha mencari kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di sakunya. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan, “Apa yang terjadi? Minggir kau!” dan tubuh Hwee Li terdorong ke samping.

Dara ini terkejut sekali melihat seorang kakek bermantel merah sudah berada di situ. Dorongan dari jarak jauh yang dilakukan oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu, amat hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur. Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa, kakek itu membongkar batu dan melempar-lemparkan batu yang menindih tubuh muridnya. Tubuh itu penuh dengan luka-luka dan berdarah.

Ban Hwa Sengjin memondong tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di tengah lembah. Hwee Li berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan. Akan tetapi, selagi semua orang sibuk mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia berusaha untuk membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia menuju ke taman di belakang gedung untuk menuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, sebab selama ini dia telah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut taman di belakang gedung.

Tetapi, baru saja dia muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia rencanakan untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya. Yang berdiri di situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li maklum bahwa terhadap dua orang kakek ini, percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan suara dibuat gugup dia bertanya, “Bagaimana keadaan Pangeran...?”

Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya!

Hwee Li terkejut dan berusaha untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua orang sakti itu secara berbareng, tentu saja dia tak mungkin dapat menyelamatkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat dia roboh terguling, Hek-tiauw Lo-mo mengempit tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam gedung.

Dapat dibayangkan betapa kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia dibawa masuk ke dalam kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia melihat Liong Bian Cu sedang duduk di atas pembaringan dengan muka pucat dan masih nampak obat kuning di atas luka-luka di seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia telah memakai baju bersih dan sinar matanya memandang lembut kepada Hwee Li sedangkan mulutnya tersenyum.

“Kau... kau...?” Hwee Li menggagap, tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan, “Kau tidak apa-apa, Pangeran...?”

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo membentaknya, “Dasar anak durhaka! Engkau hampir saja membunuhnya dan untung Ban Hwa Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena beliau kebetulan datang! Kalau tidak, dan Pangeran sampai meninggal dunia, tentu kau sudah kami bunuh sejak tadi!”

“Locianpwe, jangan bicara begitu...!” Mendadak pangeran itu berkata, suaranya lemah menandakan bahwa peristiwa tersebut benar-benar sangat berbahaya baginya dan membuatnya menderita, sungguh pun tidak sampai berbahaya bagi nyawanya. “Hwee Li tidak bersalah!”

“Muridku, Pangeran yang mulia. Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka tertindih batu-batu itu, bagaimana Paduka dapat mengatakan bahwa dia tak bersalah?” Terdengar Ban Hwa Sengjin yang duduk di dalam kamar itu pula menegur, mata kakek ini dengan tajamnya menatap wajah Hwee Li.

“Tidak, Suhu. Dia tidak bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan. Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, bebaskan dia!”

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan membebaskan totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Dia maklum bahwa dengan satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti itu tentu akan turun tangan membunuhnya.

“Pangeran, maafkan saya. Akan tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada yang menarik tali itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding turun!” kata Hek-hwa Lo-kwi.

“Pangeran, harap Paduka tidak membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang berdosa,” Ban Hwa Sengjin juga memperingatkan.

Liong Bian Cu memandang wajah dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

“Jangan gerakkan lengan kiri Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya benarkan,” kata Ban Hwa Sengjin.

“Sam-wi (Anda Bertiga) harap jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena kesalahan saya sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya melihat tempat itu dapat menjadi perangkap yang baik, perangkap rahasia untuk melindungi diri kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik sekali, dia membantuku dan kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki di bawah tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan berpegang pada pohon itu, pohon itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah, lalu batu-batu itu menimpa turun.”

“Ah, tapi...“ Ban Hwa Sengjin hendak membantah.

Liong Bian Cu mengangkat tangan kanan ke atas menyetopnya. “Sudahlah, Koksu, aku sudah bicara. Peristiwa itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapa pun untuk menggangu kekasihku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap kau ceritakan tentang perkembangan usaha kita.”

Kakek bermantel merah itu kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan berkata, “Baiklah, Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia sudah menyanggupi untuk melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat ini dijadikan sebagai markas untuk sementara. Selain itu, sesuai dengan perintah Paduka, Gitananda sedang pergi menjemput tawanan itu untuk dipindahkan ke sini.”

“Bagus! Memang sebaiknya puteri itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga, selain itu, juga dia dapat menjadi teman tunanganku. Betapa pun juga, dialah orangnya yang dapat mengajarkan kepada Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan hal-hal lain yang patut diketahui oleh seorang calon puteri kerajaan.”

Hwee Li tidak turut bicara sungguh pun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh perhatiannya. Dia masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa heran sekali mengapa pangeran ini menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini tentu tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan kecelakaan, namun usahanya untuk membunuh Liong Bian Cu.

Setelah percakapan itu selesai, Liong Bian Cu lalu berkata, “Sekarang harap Sam-wi meninggalkan kamar ini. Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li menemaniku.”

Kembali tiga orang itu bangkit dan memandang dengan ragu-ragu. “Maaf, Pangeran. Apakah itu bijaksana?” tanya Ban Hwa Sengjin.

“Berbahaya sekali membiarkan dia di sini sendiri bersama Paduka!” berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil memandang ke arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah sekali atas perbuatan ‘bekas anaknya’ itu.

Akan tetapi pandang mata Liong Bian Cu menjadi keras. “Siapa pun tidak boleh menilai calon isteriku! Pergilah kalian!” bentaknya.

Ban Hwa Sengjin dan dua orang kakek itu lalu menjura dan pergi. Biar pun Ban Hwa Sengjin itu seorang Koksu Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga guru dari Liong Bian Cu, akan tetapi betapa pun juga, terhadap pemuda itu dia adalah seorang petugas terhadap atasannya, maka sikapnya selalu menghormat dan taat.

Setelah mereka pergi dan pintu kamar ditutupkan dari luar dengan amat hati-hati oleh seorang pelayan yang atas isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu ke luar lagi, mereka kini tinggal berdua saja di dalam kamar itu. Hwee Li lalu mundur dan duduk di atas bangku, agak jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu duduk. Gadis itu mengangkat muka dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat, mukanya hampir penuh dengan warna-warna kuning, yaitu obat cair yang dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin untuk mengobati luka-lukanya. Sepertinya obat itu manjur bukan main karena luka-luka itu kelihatan sudah mengering.

Liong Bian Cu juga memandang kepadanya, kemudian mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan sebelah matanya, seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat sikap ini, Hwee Li merasa makin heran. “Pangeran, mengapa engkau malah menolongku?” tanyanya, tidak tahan dia melihat sikap itu.

Kalau pangeran itu marah-marah tentu dia akan menerimanya dengan tenang saja, akan tetapi melihat pangeran itu bersikap demikian baik terhadap perbuatannya yang hampir saja mengakibatkan pangeran ini tewas, benar-benar sukar dapat diterimanya.

“Kenapa? Tentu saja karena aku cinta padamu, Hwee Li! Dan mengapa engkau tadi bermaksud membunuhku?”

“Perlukah kujawab itu?”

“Tentu saja. Karena aku merasa penasaran kalau tidak mendengar sebabnya.”

“Karena aku membencimu, Pangeran.”

“Ahhh! Engkau membenciku karena aku mencintamu?”

Hwee Li menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci kepadamu oleh karena engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau mengurung aku di sini, karena biar pun engkau bersikap ramah dan baik, akan tetapi pada hakekatnya engkau melakukan penekanan dan paksaan kepadaku.”

“Hemmm, semua itu kulakukan demi cintaku padamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai seorang pangeran, belum pernah ada wanita yang bagaimana pun menolak cintaku? Dan engkau tidak saja menolak, bahkan sudah beberapa kali engkau nyaris membunuhku!”

“Dan aku akan masih terus berusaha membunuhmu!” kata Hwee Li terus terang.

“Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang membuat aku semakin tergila-gila dan semakin cinta kepadamu, sayang. Kalau saja engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdikan, engkau tabah, berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk mendapatkan cintamu.”

“Aku tidak akan mencintamu, Pangeran.”

“Ha-ha-ha, kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan kebaikan yang kulimpahkan, pada suatu hari aku berharap akan dapat mencairkan kekerasan hatimu, dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil jeri payahku selama ini.”

“Aku akan berusaha untuk minggat!”

Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di sini? Bukankah di sini semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat terpenuhi? Bukan itu saja, engkau bahkan akan memperoleh seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini.”

“Siapakah dia?”

“Dia adalah Puteri Syanti Dewi, Puteri Bhutan.”

Diam-diam Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biar pun dia sendiri tidak pernah mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.

“Apakah dia itu tamumu?” tanyanya.

“Bukan, dia adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku, puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu.”

“Dia kau tawan pula? Pangeran, memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?”

“Ha-ha-ha, mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dari kenyataan bahwa Puteri Bhutan itu kutawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak dia akan menjadi selirku, tapi ahh, sementara ini, aku tidak ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang.”

Sejak peristiwa itu, biar pun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan kebenciannya terhadap Liong Bian Cu tidak berkurang. Biar pun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai orang kurang mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar cinta kepadanya, tidak sakit hati biar pun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran itu. Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu sengaja hendak ‘melepas budi’ agar dia merasa berhutang budi kepadanya.

Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini untuk memperlihatkan sikap kasar terhadap pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan benci itu sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu.

Pada keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui, Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda. Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya. Kemudian koksu menceritakan hal itu kepada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu memerintahkan agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya.

Setelah Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya berunding. Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu, diam diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pandang mata dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu adalah seorang wanita yang sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat kuat.

Hwee Li lalu mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan, cepat memberi hormat dan tak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, sungguh pun tidak akan ada pula yang berani membantunya andai kata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pangeran tak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin langsung membunuhnya seketika!

Hwee Li memasuki kamar dan melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat.

“Keluarlah kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!” kata Hwee Li dengan sikap kereng.

Dua orang pelayan itu menghormat, lalu keluar dari dalam kamar. Mereka bersama para penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka!

“Bibi Syanti Dewi...!” Hwee Li melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal, bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biar pun dia merasa berduka karena putus harapannya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini. Hanya karena terlalu berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga badannya lemah dan mukanya pucat.

Kini, setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu bahwa dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran melihat munculnya seorang dara remaja yang sangat cantik dan yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pelayan, dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan tajam dan penuh selidik.

“Engkau siapakah, Nona?” tanyanya sambil bangkit duduk.

“Namaku Hwee Li,” jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri Bhutan itu. “Engkau tentu tak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi. Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi.”

Dari subo-nya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subo-nya bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik angkatnya.

Mendengar disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara itu dan bertanya, “Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?”

Hwee Li merasa kasihan melihat kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik napas panjang dan menjawab lirih, “Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini.”

“Ahhhhh...!”

Syanti Dewi masih memegang tangan Hwee Li, tetapi dia kini duduk kembali di samping dara itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan dirinya sendiri karena semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan. Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.

Hwee Li kemidian menceritakan keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat itu, sungguh pun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati oleh para pengawal dan pelayan. Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut pinangan pangeran itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama sekali tidak gembira!

“Aku benci dia, Bibi! Aku ingin membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali, apa lagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya.”

“Ayahmu?” Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?

“Ya, ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo...!”

“Ahhhhh...!”

Bukan main terkejutnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peran dalam keributan pemberontakan dua orang Pangeran Liong dulu. Dara cantik jelita ini, yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri dari majikan Pulau Neraka itu? Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi segera melepaskan pegangan tangannya dan duduk agak menjauh.

Gerakan Syanti Dewi ini tidak terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu cepat berkata, “Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang kini menjadi pembantu utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan menjadi seorang yang mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi...“

Syanti Dewi mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan memegang tangan Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini. Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri malah! Bukankah dia sudah memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal karena ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu menjadi mantu?

Betapa banyak gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur karena paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, meski pun berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbullah rasa sayang di dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.

“Hwee Li, sungguh engkau patut dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai hati memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi...“

“Akan tetapi dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku sangat benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau bisa!” Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Hwee Li,” katanya dengan suara kereng. “Engkau adalah murid adikku Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata kataku pula. Engkau telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?”

“Dia bukan ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!” Hwee Li berseru dan sepasang mata itu menjadi merah.

“Ehhh, bagaimana pula ini, Hwee Li?” Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba saja Hwee Li menangis tersedu-sedu.

Syanti Dewi terkejut. Dia cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang dideritanya selama ini, apa lagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa seluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya, menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekanan batin itu.

Kini, berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan kepadanya, apa lagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka, menangislah dia, sewajarnya tangis yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa sayang dan iba.

Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukanlah seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.

Setelah tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang keluarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak.

Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap kerajaan. Betapa pun juga, sikapnya itu tentu ada alasannya, dan biar pun oleh kerajaan dia dianggap berdosa, namun sebagai manusia dia tidaklah sejahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau, murid adik angkatku, juga dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya! Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus berusaha untuk meloloskan diri dari tempat berbahaya ini!”

“Ahhh, tidak mudah, Bibi.” Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya upayanya gagal. “Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan lagi. Aku khawatir, Bibi, apa lagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat menolong Bibi dari tempat ini!”

“Tak perlu engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Tetapi engkau…, engkau menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat lolos dari sini.”

Demikianlah, dua orang wanita itu sekarang menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari jalan untuk dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan tetapi Hwee Li tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai. Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa orang orang seperti suhu-nya dan subo-nya, seperti Suma Kian Bu si Siluman Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu!

********************

Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di dalam lembah dan sama sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng Ceng pergi menuju ke kota Pao-ting. Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah mertuanya, dia sudah berjanji untuk saling bertemu di Pao-ting bersama suaminya setelah dia dan suaminya berpisah dan melakukan penyelidikan untuk mencari putera mereka secara berpencar.

Mereka tiba di kota Pao-ting pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu, pertemuan di antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu, Ceng Ceng kemudian mengajak ayah, mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari rumah penginapan.

Akan tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang lebih dua belas tahun, seorang anak yang berpakaian pengemis, menghampiri mereka yang sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu dan berbisik kepada Ceng Ceng. Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak mengemis, akan tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika mendengar anak itu berbisik, “Apakah Toanio mengenal Topeng Setan?”

Tentu saja Ceng Ceng kaget karena Topeng Setan adalah nama julukan suaminya dulu ketika suaminya belum menikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi wajahnya yang tampan. “Anak baik, kau membawa berita apa dari Topeng Setan?” tanyanya, berbisik dan membungkuk.

“Saya disuruh menyerahkan surat ini,” jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya yang butut.

“Ah, terima kasih!” Ceng Ceng berseru, menerima surat itu dan mengeluarkan beberapa potong uang kecil. “Ini hadiah untukmu.”

“Tidak, Toanio. Saya sudah menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini.”

Setelah berkata demikian, bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongannya. Ceng Ceng lalu menoleh kepada ayah mertuanya dan berkata, “Ayah, lihatlah, seorang anak jembel pun mempunyai kejujuran.”

Jenderal Kao Liang mengangguk dan menghela napas panjang. “Justeru kejujuran biasanya ditemukan pada orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar dan pandai, agaknya tidak mengenal lagi kejujuran yang mereka anggap semacam kebodohan.”

Ceng Ceng membuka sampul surat dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas kertas, tulisan yang amat dikenalnya.

Isteriku, harap ajak ayah dan adik-adik ke kuil kosong di sudut barat kota.’

Ceng Ceng memperlihatkan surat itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jenderal ini girang bukan main dan diam-diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata telah dapat mengetahui bahwa dia dan dua orang puteranya datang bersama menantunya. Dia membenarkan sikap putera sulungnya yang berhati-hati dan tidak menghendaki pertemuan di tempat terbuka.

“Mari kita pergi ke sana,” katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke barat. Malam telah tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap itu.

“Ayah...!” Kao Kok Cu menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hormat sambil berlutut di atas lantai ruangan kuil itu. Ruangan itu luas dan sebagian dindingnya sudah runtuh, atapnya juga sebagian banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua batang lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan lantainya dibersihkan.

Bekas jenderal itu mengangkat bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh perhatian dan penuh selidik. Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Tubuhnya tinggi dan padat, dan kelihatan agak kurus. Wajahnya yang tampan itu kelihatan agak muram. Lengan kirinya yang buntung tertutup lengan baju yang tergantung lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun Pasir, pendekar sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi yang kini bersama isterinya merana dan berduka, mencari putera mereka yang hilang.

“Saya melihat Ceng Ceng muncul bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak pengemis mengirim surat,” katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya yang kelihatan demikian muram dan berduka, bahkan sepasang mata kakek itu basah. Melihat ini, Kao Kok Cu bertanya khawatir, “Ada apakah Ayah? Apa yang terjadi?”

“Twako...!” Dua orang adiknya berseru dan kini dua orang muda itu menangis sambil merangkul kakak mereka.

“Ehh, ehhh, Adik Tiong dan Han! Ada apakah?” Kok Cu bertanya, semakin kaget dan khawatir. “Mari kita duduk di lantai dan bicara!”

Mereka berlima duduk di atas lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao Liang tentang semua peristiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa keluarganya. Semua dia ceritakan dengan jelas, melewati hal-hal yang dianggapnya kurang penting. Sebagai penutup, dia menghela napas panjang dan berkata, suaranya gemetar, “Kami bertiga masih bingung dan tertekan oleh peristiwa hebat itu dan engkau dapat membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan tetapi, kemudian kami bertemu dengan isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat kita lakukan sekarang?” Ayah itu mengusap ke arah bawah matanya untuk menghapus dua tetes air matanya.

Si Naga Sakti dari Gurun Pasir tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa sinar dua batang lilin yang lemah. Mendengar betapa ibunya, iparnya, bibinya, keponakan keponakannya diculik orang, betapa keluarga ayahnya, tertimpa malapetaka yang hebat itu, dia menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap dan kini ibunya dan semua keluarganya diculik orang.

Melihat keadaan pendekar itu, ayahnya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar juga. Memang hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan! Mereka hanya menanti ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng, keras dan kaku, hanya matanya yang mencorong itulah yang hidup, bergerak seperti mata naga mencari mustikanya. Melihat ini, mengertilah Ceng Ceng bahwa suaminya menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang mengerahkan sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa suaminya marah dan andai kata orang-orang yang menyebabkan malapetaka itu berada di situ, berapa pun banyaknya, betapa pun kuatnya, tentu akan mengalami saat kiamat di tangan suaminya!

“Suamiku, kemarahan adalah sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruhkan plkiran,” katanya dengan suara halus, tangannya meraba lengan suaminya. Kata-kata itu adalah kata-kata suaminya sendiri yang sekarang dia pergunakan untuk membantu suaminya sadar akan keadaan dirinya.

Perlahan-lahan wajah yang kaku itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang dan matanya, biar pun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia menoleh dan memandang isterinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi jari-jari tangannya memegang tangan isterinya, tergetar dan Ceng Ceng dapat menerima rasa syukur dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan dan pandang mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi kedua matanya. Dia menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun.

“Ayah, tidak mungkin semua peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa kesalahan, kemudian perjalanan Ayah ke kampung diganggu, keluarga kita diculik dan harta yang dikumpulkan secara jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan tahun dicuri, dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang. Aku dan Ceng Ceng sudah melakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat bahwa Cin Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang membawanya pergi. Semua ini kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait. Bukankah menurut cerita Ayah tadi, di antara para penghadang yang kemudian saling bertempur sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawal-pengawal istana?”

Bekas jenderal itu mengangguk. “Aku sendiri memang sudah menduga demikian, Kok Cu. Akan tetapi, sungguh aneh sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan semua kekejian itu terhadap kita? Dan siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami mengira keluarga Suma, akan tetapi ternyata bukan.”

“Memang bukan. Aku sudah berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama sekali tidak tahu, bahkan mereka berjanji akan membantu kita untuk menyelidiki,” kata Ceng Ceng yang percaya sepenuhnya kepada dua orang pamannya dari Pulau Es itu.

“Aku sendiri tidak akan percaya kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini, akan tetapi kita tidak bisa mengandalkan orang lain. Kita harus menyelidiki sendiri. Karena awal peristiwa ini dimulai dengan pemecatan Ayah di kota raja, maka kurasa semua rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku bersama isteriku akan melakukan penyelidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui rahasianya, kiranya tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan keluarga kita dan anakku.“

“Akan tetapi... ahhh, bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sampai anakku Cin Liong...?” Ceng Ceng tak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat.

“Tidak mungkin!” Tiba-tiba Kok Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jenderal Kao dan dua orang puteranya. “Kalau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita, mereka semua, siapa pun adanya mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekali pun, tidak akan dapat terlepas dari tanganku!” Hebat bukan main ancaman ini dan hati Jenderal Kao Liang yang semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar, seperti tertusuk. Akan tetapi ayah yang bijaksana ini tidak berkata sesuatu, karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan kemarahan, tidak baik kalau menentang putera sulungnya.

“Baiklah, Kok Cu. Engkau pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu dipecat. Kami bertiga akan melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di tempat peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu kami akan bisa menemukan jejak.”

Malam itu mereka tidak tidur, tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan bercakap cakap saling menceritakan perjalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang sangat mengharukan dari keluarga seorang jenderal yang pernah menjadi panglima besar, yang kini mengadakan pertemuan di kuil kosong, sunyi dan kotor. Biar pun keadaannya demikian, agaknya pertemuan itu tentu akan berlangsung penuh kegembiraan kalau saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa keluarga mereka. Tetapi kini, pertemuan itu menjadi pertemuan yang amat mengharukan dan menyedihkan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di depan kaki Jenderal Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja di mana mereka akan menyelidiki rahasia malapetaka yang menimpa keluarga mereka. Jenderal Kao Liang mengelus kepala mereka seperti memberi berkah, kemudian Kok Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami isteri pendekar ini meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap.

Jenderal Kao Liang sendiri bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju ke daerah lembah Huang-ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak melakukan penyelidikan yang lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka itu.

Pada suatu siang, tibalah mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka meninggalkan keluarga mereka yang kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana rombongan mereka diserang dan banyak yang mati keracunan oleh balok-balok yang menghadang jalan. Mereka termenung berdiri di situ. Peristiwa yang telah lalu itu seperti baru terjadi dan masih terbayang di mata mereka.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari belakang mereka datang sepasukan orang berkuda yang jumlahnya ada dua puluh orang lebih.

“Hati-hati, dan jangan sembarangan turun tangan,” bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang puteranya.

Mereka berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang semakin dekat itu. Mereka mengira bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melainkan pasukan yang memakai pakaian aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam berwarna biru gelap, akan lewat. Akan tetapi, ternyata mereka itu menghentikan kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gambar naga di dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus, melompat turun dari atas kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil tersenyum lebar.

Ayah dan anak ini sangat terkejut ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk Hoa-gu-ji (Kerbau Belang), seorang tokoh dari Kwi-liong-pang dan tahulah mereka kini bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang Kwi-liong-pang, salah satu di antara gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta benda mereka! Jenderal Kao Liang maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walau pun dia dan dua orang puteranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian.

Akan tetapi, setelah tertawa, Hoa-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat untuk menyerang. Sebaliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada Jenderal Kao Liang sambil berkata, “Kao-goanswe, maafkan kalau kami mengganggu. Kami sengaja menemui Kao-goanswe untuk menyerahkan bungkusan ini, harap kau suka menerima dan memeriksa isinya.”

Hoa-gu-ji mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna kuning. Walau pun meragu, Jenderal Kao Liang menerimanya juga.

“Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya.

“Bukalah, dan engkau akan mengetahuinya sendiri, Kao-goanswe,” jawab Hoa-gu-ji.

Jenderal Kao Liang membuka bungkusan itu, dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak percaya kepada orang seperti tokoh Kwi-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi bungkusan itu nampak, Kok Tiong yang bersama Kok Han ikut pula memperhatikan, berseru kaget.

“Ini tusuk konde isteriku!” teriaknya.

Jenderal Kao Liang mengangguk dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik isterinya! Ternyata orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi bukti bahwa keluarga Kao berada di tangan mereka!

“Keparat, kau apakan mereka? Di mana mereka?” Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti oleh Kok Han, akan tetapi Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh mereka mundur dan menyimpan pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji yang akan diserang itu hanya memandang sambil tersenyum lebar saja.

Jenderal Kao Liang membuka sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah benda perhiasan wanita itu.

Jenderal Kao Liang,
Kalau engkau ingin bertemu dengan keluargamu, ikutlah bersama utusan kami dan taati semua perintahnya
.

Surat itu tanpa tanda tangan, tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao Liang. Dengan adanya tusuk konde menantunya dan cincin isterinya, jelas bahwa keluarganya berada dalam cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia menghendaki dapat bertemu kembali dengan mereka, bahkan demi keselamatan mereka, dia dan dua orang puteranya harus menyerah!

“Baiklah, kami akan ikut bersama kalian,” kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia berkata, “Kao Han, engkau susul twako-mu ke kota raja.”

“Baik, Ayah,” kata Kok Han yang tadi juga sudah ikut membaca surat itu. Dia menjura kepada ayahnya, memeluk kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat.

Hoa-gu-ji tidak mencegahnya karena menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal Kao Liang saja. Dia lalu melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian mereka berdua dibelenggu dan disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian keduanya dibawa pergi dengan mata ditutup kain hitam.

Ayah dan anak ini tak pernah melepaskan perhatian dalam perjalanan itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-bukit dan hutan-hutan yang dapat mereka ketahui dari jalan yang naik turun dan dari hawa dan suara angin di antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan. Malam itu mata mereka dibuka ketika rombongan berhenti di dalam sebuah hutan yang gelap, dan mereka diberi makan yang cukup baik, diperlakukan dengan sikap yang hormat biar pun Hoa-gu-ji dan seluruh anggota rombongan tidak pernah bicara.

Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup. Ketika hari telah panas, mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturunkan dari punggung kuda, dibawa masuk ke dalam rumah yang luas dan ke dalam ruangan. Mata mereka dibuka dan mereka memandang silau.

Ruangan itu luas dan di situ terdapat banyak pintu. Di tengah ruangan terdapat meja besar dan di belakang meja duduk beberapa orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Dengan adanya Hek-tiauw Lo-mo di situ, tahulah dia bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia hitam, orang-orang yang berniat memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw Lo-mo dahulu juga bersekutu dengan pemberontak.

Diam-diam dia memperhatikan, demikian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada di kursi-kursi belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang laki-laki muda yang kelihatan berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung melengkung dan mata cekung, gagah dan tampan namun juga aneh dan asing, rambutnya coklat dan pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan di sebelah kanannya duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun bertubuh seperti raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah. Pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan kakek botak itulah yang agaknya menjadi orang-orang terpenting di situ, maka Jenderal Kao Liang menujukan pandang matanya kepada mereka.

Dugaannya benar. Pemuda itu lalu bangkit berdiri dan menyambutnya dengan mata bersinar dan mulut tersenyum lebar. “Ah, sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat bertemu muka dengan Jenderal Kao Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia! Haaii, Hoa-gu-ji, hayo cepat buka belenggu mereka!”

Hoa-gu-ji memberi hormat dan dibantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan Jenderal Kao Liang dan puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda berkulit kehitaman itu berkata lagi, “Jenderal Kao Liang, silakan kau duduk bersama puteramu dan menikmati hidangan kami sebagai penyambutan!”

Jenderal Kao Liang melangkah maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu berkata, “Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan puteraku bukanlah tamu undangan, melainkan tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan. Apakah sebabnya engkau menawan keluarga kami dan siapakah engkau?”

“Ha-ha-ha, sungguh hebat dan tegas!” Tiba-tlba kakek botak itu berkata dan matanya memandang penuh kagum. “Memang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!”

“Suhu, tidak percuma dia pernah menjadi panglima besar,” kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi kepada Jenderal Kao Liang. “Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk bekerja sama dengan kami.”

Jantung Kao Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi, mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapa pun juga, Kao Liang adalah bekas panglima besar dan dia sudah sering kali menghadapi urusan-urusan besar, sungguh pun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya dalam keadaan selamat semua.

Jodoh Rajawali Jilid 14


Dengan sikap tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap hormat pula, “Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat. Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan percakapan dengan hati terbuka.”

Kembali Liong Bian Cu tertawa. “Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?”

Ban Hwa Sengjin mengangguk. “Dia memang laki-laki sejati!”

“Suhu, harap suka membawa mereka melihat-lihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena belum sampai saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka.”

Ban Hwa Sengjin kembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya.

“Goanswe dan Sicu, mari silakan ikut bersama kami.”

Dengan jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa Sengjin berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang kakek iblis itu mengikuti dari belakang. Mereka melalui lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin berhenti dan memberi isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang lebar dan di depan pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat.

“Buka daun pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!” kata Ban Hwa Sengjin kepada kepala penjaga.

Perintah ini cepat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping. Ternyata di balik pintu kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar yang besar sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja dan kursi-kursi. Dan di dalam kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring, ada yang duduk membaca, ada pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap.

Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguh pun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biar pun tidak ada yang kelihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin.

“Ayah...!” Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.

Semua orang dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji-ruji besi, seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.

Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju, sambil berkata, “Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan selamat, Kao-goanswe.” Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, “Tutup kembali pintunya!”

Kao Liang dan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu memanggil manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti mereka sambil tersenyum-senyum.

Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas, “Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kau minta dariku?”

“Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,” kata Liong Bian Cu sambil memberi isyarat kepada pelayan.

Segera pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas. Liong Bian Cu lalu menuangkan sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan mereka untuk minum.

“Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?” Kao Liang berkata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Liong Bian Cu tersenyum melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah bekas jenderal itu, “Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biar pun engkau belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi saya kira engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya.”

Kao Liang mengerutkan alisnya. “She Liong...?” dia berkata lirih dan mengingat-ingat karena setahunya, yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!

“Benar, Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!”

“Ahhh...!” Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas berbicara mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan!

“Antara mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan,” akhirnya Kao Liang berkata dengan suara berat, “Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan antara mendiang ayahmu dan saya itu.”

Liong Bian Cu tersenyum lebar. “Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi. Saya adalah seorang pangeran, cucu dari raja besar di Nepal.”

Kao Liang rnengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti raksasa menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.

“Dan saya memperkenalkan Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk Ban Hwa Sengjin,” Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu bangkit berdiri.

Kao Liang makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu. Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal! Tentu ada apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.

“Mereka berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goanswe. Beliau ini adalah Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo.”

“Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!” berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum araknya.

“Kiranya Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan tetapi apa hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya lakukan untuk Kongcu?”

“Kami tahu bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pandai! Kami amat membutuhkan bantuanmu, Kao-goanswe. Kami ingin agar engkau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil mau pun militer.”

Berubah wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan pahlawan yang setia! Dan sekarang, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu untuk memberontak terhadap kerajaan! Hampir saja tangan Kao Liang menghantam meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan kumisnya seolah-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya.

“Engkau berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk menjamin keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?” Liong Bian Cu kembali berkata dengan suaranya yang tenang dan halus.

“Tidak...! Tidak sudi aku...!” Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan cepat bangkit berdiri, mengepal tinjunya, mukanya merah dan matanya mendelik.

“Ayah...!” Kok Tiong berkata lirih, suaranya penuh kegelisahan. “Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan dua orang cucumu!” Muka orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh keluarga yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya!

“Tidak...! Seribu kali lebih baik kita mati semua!” kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.

“Gihu (Ayah Angkat)...!” Dan muncullah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera memeluk Syanti Dewi yang sudah merangkulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang.

“Kau...? Dewi...? Kau... juga di sini?” bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh kekhawatiran.

“Gihu, saya menjadi... tawanan perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga Gihu semua juga menjadi tawanan di sini... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan bersikap bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu...!”

“Syanti Dewi, biar pun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini lancang sekali dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan ini,” kata Liong Bian Cu dengan sikap halus.

Syanti Dewi segera melepaskan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi kemerahan.

“Semua ini tentu gara-gara Hwee Li!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara itu dengan nyaring, “Hwee Li, hayo kau ajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!”

Dara cantik jelita yang barusan datang bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang menghadapi Hek-tiauw Lo-mo kemudian berkata, “Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis, kau mau apa?” Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Alangkah beraninya sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya sangat angkuh itu, kejam dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu!

Pangeran Liong Bian Cu cepat bangkit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus dia berkata kepada dara itu, “Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat ribut di sini. Kami sedang membicarakan urusan besar, harap engkau suka mengajak Syanti Dewi ke taman, Sayang.”

Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demikian ramah dan mesra kepadanya di depan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut kalau-kalau pangeran itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu benar harus bersikap bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu.

“Maaf atas gangguan tadi, Kao-goanswe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah anak angkatmu. Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, atau tunangan saya.”

Diam-diam Kao Liang merasa heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan pangeran ini? Puteri Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek-tiauw Lo-mo membantu pangeran ini. Dan biar pun dia kagum akan kecantikan dan keberanian dara itu, namun diam-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap ayahnya! Dasar ayahnya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian kurang ajar terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan hatinya, bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu kelihatan begitu akrab dengan dara iblis tadi?

“Kao-goanswe,” tiba-tiba Koksu Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban Hwa Sengjin memang seorang asli Nepal, sungguh pun dia telah berusaha mempelajari bahasa Han dengan baik dan dapat bicara dengan lancar. “Kita sama sama adalah orang-orang yang tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan kesetiaan terhadap pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air dan bangsa melalui kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat betapa pemerintah dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak bijaksana, benarkah kalau dia mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan rakyatnya? Tentu tidak, dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang demikian, demi kebaktiannya kepada rakyat dan tanah airnya.”

Kao Liang memandang wajah kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam bekas jenderal itu terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan penuh wibawa itu, maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kemarahan hebat yang tadi membakar dadanya kini sudah mereda setelah munculnya Syanti Dewi yang tak disangka-sangkanya.

“Ban Hwa Sengjin, ke manakah tujuan kata-katamu itu?”

“Kao-goanswe, seperti yang dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijaksana akan lebih dulu mengutamakan keselamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah seorang yang akan menentukan mati hidupnya keluarga Goanswe, termasuk pula Syanti Dewi.”

“Hemmm, engkau hendak mengancam keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku, Koksu?” bekas jenderal itu mengejek.

“Bukan ancaman kosong belaka, Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku sanggup menyuruh algojo memenggal leher keluargamu di depan matamu!” Pangeran Liong Bian Cu berkata tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh ancaman yang mengerikan sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini.

“Bukan sekedar mengancam untuk memaksa, Jenderal Kao Liang!” kata pula Ban Hwa Sengjin dengan sinar mata tajam. “Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat mengetahui kalau keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah dan kami yang menang, karena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan sudah selayaknya kalau engkau tahu diri sebagai pihak yang kalah. Akan tetapi, selain kenyataan ini aku ingin membuka mata dan kesadaranmu akan kenyataan lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain.”

Kao Liang menegakkan kepalanya dan mengangkat dadanya. “Bagiku, tetap saja ada pilihan, Koksu, karena aku lebih menghargai kehormatan dari pada nyawa. Ancamanmu terhadap keluargaku, sama sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai kehormatan kami!”

Wajah koksu itu sudah menjadi merah karena dia marah sekali melihat kekerasan hati bekas jenderal ini. Akan tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepadanya dan orang muda yang cerdik ini lalu berkata, “Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan gagah itu amat mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan itu tentu ada dasarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya. Ketika mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena kaisar terlalu lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat besar besaran, memeras rakyat. Ayah memberontak dan gagal, hal itu sudah biasa dan tidak perlu disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman berlangsung terus. Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu diangkat menjadi panglima besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang membuat ayahku memberontak, Jenderal Kao. Lihat, betapa lalimnya kaisar! Betapa kaisar memberi hati kepada para thaikam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat, sehingga banyak orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau, malah disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat, tukang korupsi besar malah dipakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang dipecat dan diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan termasuk pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh tindakan lalim kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pahlawan yang setia. Tetapi sebaliknya, engkau membiarkan kaisar dan kaki tangannya melakukan kelaliman yang menyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa engkau pun membantu kelaliman mereka. Bukankah orang yang tahu kejahatan dan tinggal memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?”

Kata-kata Liong Bian Cu merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas jenderal itu, membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat. Harus diakui bahwa di dalam kata-kata itu terkandung kebenaran yang sukar untuk disangkal. Memang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit sakitan itu seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam yang korup dan lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung tanpa ada yang berani menentang.

“Saya... saya tidak mungkin mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga dari pada memberontak...” Akhirnya dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya.

“Ayah...!” Kok Tiong berkata dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas pipinya. Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi membayangkan ibunya dibunuh, dan dua orang anaknya, benar-benar membuat dia hampir tidak kuat menahan.

“Hemmm, lihat betapa lemahnya jenderal yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas panglima yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji orang sebagai pahlawan ini! Membiarkan keluarganya terancam kematian padahal ia dapat menyelamatkan mereka, membiarkan rakyat tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk mengubah nasib mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementingkan diri sendiri, kehormatan dan namanya sendiri saja!” kata Liong Bian Cu berkata lagi.

“Brakkkkk!”

Jenderal Kao menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mangkok piring mencelat berkerontangan. “Cukup!” bentaknya. “Baiklah, aku mau membantu kalian, akan tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku mau memimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh mana pun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimana pun, jangan harap dapat memaksaku memimpin pasukan menyerbu kerajaan!”

Liong Bian Cu tersenyum dan cepat bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Goanswe. Siapa yang mengharapkan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat lembah ini menjadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau akan mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!”

“Hemmm, Liong-kongcu, lebih dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan menjamin keselamatan keluargaku dan Puteri Bhutan!”

“Baik, aku berjanji akan menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhutan, demi nama nenek moyangku!” Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguh-sungguh.

“Dan aku berjanji akan mempertahankan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga Kao!” kata bekas jenderal itu.

Hidangan dan minuman lalu ditambah dan mereka merayakan persekutuan itu. Untuk melupakan perasaannya yang tertindih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai akhirnya dia mabuk dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya, bersama Kok Tiong. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis terjadi.

Demikianlah, mulai hari itu, Kao Liang dengan sungguh hati lalu membangun lembah itu menjadi sebuah benteng yang kokoh kuat. Pelaksanaannya dibantu oleh tukang-tukang dan tenaga dari Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh Jenderal Kao dilaksanakan sehingga tempat itu menjadi sebuah benteng yang sukar sekali ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan diperlebar, ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di sekeliling lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula banyak tempat-tempat jebakan yang amat berbahaya.

Jenderal Kao dan seluruh keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri Syanti Dewi yang seperti telah bergabung menjadi anggota keluarga jenderal itu. Akan tetapi biar pun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi ke mana saja, akan tetapi selalu di situ terdapat anggota keluarga mereka menjadi sandera dan tidaklah mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga yang terdiri dari wanita wanita dan anak-anak itu!

Dalam waktu beberapa pekan saja, rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal ini terjadi karena memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu demi menyelamatkan keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada mendiang ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan panglima-panglima besar yang setia…..

********************

“Satu-satunya sumber yang baik dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa,” kata Ceng Ceng kepada suaminya setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah penginapan. “Kalau masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula, tentu beliau dapat membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di kota raja, tidak berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima tahun yang lalu, maka satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat kupercaya adalah Pangeran Yung Hwa.”

Kao Kok Cu menggunakan tangan kanan untuk meraba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir, matanya memandang kepada isterinya penuh selidik. “Akan tetapi, bukankah dahulu pernah dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku? Dan kau sekarang hendak menemuinya?”

Ceng Ceng tersenyum, mendekati dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja. “Ihhh! Jangan kau bilang bahwa engkau cemburu!”

Kao Kok Cu tertawa dan mencium isterinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia berada di dekat isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan sejenak dia atau mereka, dapat melupakan kedukaan yang menindih hati. “Engkau salah duga, isteriku. Kau tahu betapa aku mencintamu, betapa kita saling mencinta, dan cinta adalah kepercayaan. Seujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu menyentuh hatiku, aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau mencari keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu. Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, membuat luka kembali kambuh, juga mana mungkin dia mau membantu kita?”

“Engkau belum mengenal siapa dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukan sembarang pangeran yang mabuk kekuasaan dan rusak oleh keangkuhan seperti biasanya para muda bangsawan. Sama sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi Milana, hanya bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat.”

Ceng Ceng lalu menceritakan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta kepadanya itu. Setelah mendengar penuturan Ceng Ceng, akhirnya Kok Cu percaya juga bahwa mungkin dari pangeran itulah isterinya akan dapat menyelidiki rahasia dari sernua malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.

“Selain menyelidiki rahasia itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa penyesalanku kepada kaisar melalui Pangeran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu.” Demikian Ceng Ceng berkata dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah mencari istana Pangeran Yung Hwa dan menghadap pangeran itu.

Pangeran Yung Hwa menyambut kedatangan Ceng Ceng yang mengunjunginya itu dengan perasaan heran dan gembira. Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi hormat kepadanya, dia segera teringat kepada wanita perkasa itu.

“Ahhh... engkau...?” serunya dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di depannya. “Aku telah mendengar bahwa engkau menjadi menantu Jenderal Kao Liang! Bagaimana keadaanmu? Kuharap baik-baik saja dan berbahagia.”

Melihat sikap pangeran itu yang ramah dan jujur, Ceng Ceng merasa terharu. “Terima kasih atas kebaikan dan perhatian Paduka, Pangeran. Sesungguhnya saya cukup berbahagia kalau saja tidak timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga kami, merupakan bencana yang didatangkan dari istana.”

Pangeran Yung Hwa mengerutkan alis. “Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana terhadap keluargamu?”

Ceng Ceng lalu menceritakan tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar. Kemudian diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh keluarga melakukan perjalanan menuju ke kampung halaman, di tengah jalan diganggu oleh berbagai golongan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu terdapat pengawal-pengawal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya puteranya yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga Jenderal Kao Liang.

“Coba Paduka pikir, siapa lagi yang menyuruh pengawal-pengawal itu menghadang dan mengganggu keluarga Kao? Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?”

Pangeran Yung Hwa meraba dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah dicintanya itu, bertanya, “Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku dan menceritakan semua ini kepadaku?”

Ceng Ceng membalas pandang mata itu dan berkata terus terang, “Saya dan suami saya menduga keras bahwa kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu kami datang ke kota raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa Padukalah satu-satunya orang yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana yang adil dan bijaksana, maka saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan Paduka sehingga saya dapat mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana pula adanya keluarga Kao yang terculik.”

Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. “Aihhhhh... kalau saja aku tahu, tentu sekarang juga aku akan turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat menyelidikinya? Harus kuakui bahwa keadaan kaisar amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantunya yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bahwa Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan mengundurkan diri. Kelemahan kaisar memang membuat para pembesar yang tidak jujur untuk bergerak demi keuntungan diri pribadi sehingga terjadi banyak hal yang buruk. Biar pun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi munculmu di sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya Kao. Hari ini juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya beliau saja yang akan dapat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang menodai istana. Mudah mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan oleh kakakku, Pangeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau dapat menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah yang dapat kulakukan.”

Tentu saja Ceng Ceng tidak merasa sangat puas dengan hasil ini, akan tetapi dia pun maklum bahwa Pangeran Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di mana adanya puteranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya. Sudah jelas bahwa bukan kaisar yang melakukan tindakan itu, melainkan pembesar lalim yang amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu berpamit setelah menghaturkan terima kasih, pergi meninggalkan istana Pangeran Yung Hwa untuk segera menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan pangeran itu.

Sementara itu, Pangeran Yung Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya. Dengan menyamar pangeran ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si untuk menemui kakaknya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan perasaan heran bagi yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari kakaknya, Pangeran Yung Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim?

Tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid Siauw-lim-pai! Pangeran ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apa lagi setelah dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu silat karena dia berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain harus ahli dalam soal-soal bun yang meliputi juga soal-soal tata negara, harus mahir pula dalam bu atau ilmu silat, juga ilmu perang. Maka dia lalu masuk ke Siauw-lim-si dan menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang amat besar dan telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu.

Pangeran Yung Hwa menjumpai kakaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama kakaknya tenggelam dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan para pembesar. Pangeran Yung Hwa menceritakan pula tentang pemecatan-pemecatan yang dilakukan oleh kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan menceritakan betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung Hwa menceritakan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan.

“Kenapa kau tidak adukan semua itu kepada kaisar?” Pangeran Yung Ceng menegur adiknya. “Gubernur Ho-nan yang memberontak itu harus ditindak!”

Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. “Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa menyusulmu ke sini. Kaisar sama sekali tidak mau mendengar laporanku, bahkan marah-marah dan kalau bukan aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum. Betapa banyaknya pembesar jujur yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau, akan tetapi malah menerima hukuman. Pengaruh para thaikam (pembesar kebiri) amat besar dan kaisar amat lemah, seperti bersikap masa bodoh.”

“Hemmm, sampai sekian jauhnya keadaan buruk itu?” tanya Pangeran Yung Ceng.

“Malah lebih lagi,” kata Yung Hwa. “Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau sendiri pergi memperdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di dalam istana. Aku sendiri biar pun telah terbebas dari cengkeraman Gubernur Ho-nan dan berkali-kali tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku menyamar dan datang ke sini ada orang-orang yang diam-diam membayangiku.”

“Ahhh! Sampai begitu hebat?” Pangeran Yung Ceng mengepal tinjunya. “Yung Hwa, wajah kita mirip sekali seperti saudara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu dan keluar lebih dulu dari kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dengan dikawal oleh murid-murid Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri, sampai di manakah kenekatan dan keberanian pengkhianat-pengkhianat itu!”

Dengan marah sekali Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya. Setelah berpamit kepada para guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke kota raja, dia lalu meninggalkan kuil. Memang wajah Pangeran Yung Ceng mirip sekali dengan wajah Pangeran Yung Hwa. Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka pakaian, nampak perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa halus lemah lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar berolah raga itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyikan dalam pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan.

Hari telah mulai senja ketika Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah selatan kota raja. Karena menyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan dia sengaja melakukan perjalanan lambat untuk melihat-lihat keadaan. Banyak sudah dia mendengar percakapan di antara rakyat tentang penyelewengan para petugas, dan dia pun mendengar berita-berita tentang sikap memberontak dari para pembesar di Ho-nan yang tentu saja mencontoh sikap gubernur mereka. Dia juga tahu bahwa diam-diam dia selalu dibayangi orang seperti yang diceritakan oleh adiknya.

Ketika malam hari itu Pangeran Yung Ceng memasuki salah sebuah restoran di kota Thian-cin. Dia tahu bahwa ada lima orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak geriknya menunjukkan bahwa mereka adalah jagoan-jagoan, yang diam-diam sedang membayanginya dan mereka pun masuk pula di restoran itu, mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja pangeran itu. Restoran itu tidak begitu ramai dan banyak kursi yang kosong.

Ketika pangeran itu memesan masakan kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di antara lima orang yang duduk di meja yang berdekatan itu tampak bangkit berdiri dan menghampiri Pangeran Yung Ceng, menjura dan berkata, “Harap maafkan! Kalau tidak salah lihat, bukankah Kongcu datang dari kota raja?”

Yung Ceng memandang dengan sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Bukan, saya memang hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota raja, saya orang dari selatan.”

Orang itu berkata ‘maaf’ sambil tersenyum, kemudian kembali duduk di tempat teman temannya. Percakapan pendek itu disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi untuk mempersiapkan pesanan Pangeran Yung Ceng.

“Ha-ha, memang mirip, akan tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu,” tiba-tiba terdengar seorang di antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras sehingga terdengar oleh Pangeran Yung Ceng.

“Kalau dia Pangeran Yung Hwa, sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi,” terdengar pula mereka bicara.

“Ha-ha-ha, yang ini hanyalah seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang. Dan kita telah membayanginya sehari penuh. Sialan!”

“Karena gara-gara dia kita membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu buku ini.”

“Akan tetapi, bagaimana kalau dia benar Pangeran Yung Hwa...?” terdengar suara lain, berbisik dan kalau yang duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak akan dapat mendengar bisikan itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah mempelajari ilmu yang tinggi, sehingga panca inderanya lebih peka dan tajam dari pada orang biasa. Dia mampu mendengarkan bisikan ini.

“Lebih baik lagi kalau begitu! Dan kita tak akan salah, karena bukankah dia menyangkal siapa dirinya? Pelayan itu menjadi saksi.”

Sekarang maklumlah Pangeran Yung Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya. Kalau dia sudah menyangkal sebagai pangeran, maka andai kata mereka itu membunuhnya, mereka kemudian dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak mengenalnya sebagai pangeran, seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi.

Pelayan tadi datang membawa masakan, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.

“Heeeii, itu pesanan kami!” teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.

“Tidak, Sicu, ini adalah pesanan Kongcu ini!” bantah si pelayan.

“Setan! Kami juga memesan masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan kepada kami. Apakah kau hendak menjilat kutu buku ini?”

Pangeran Yung Ceng maklum bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu yang kini bersikap kasar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia berkata tenang, “Sobat, harap jangan membikin ribut!”

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia segera menghampiri Pangeran Yung Ceng, lalu menghardik, “Jika aku membikin ribut, engkau mau apa, cacing buku yang busuk?”

Akan tetapi, biar pun Yung Ceng juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan mengejek bagi seorang sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali bukan! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan telah diberi pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai sehingga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Tidak apa-apa,” jawab Pangeran Yung Ceng tenang. “Hanya kalau kau tidak segera pergi dari sini, aku akan mencabuti kumismu!”

Sepasang mata itu terbelalak semakin lebar, mulutnya ternganga seakan-akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Benarkah si kutu buku ini sudah berani berkata demikian kepadanya?

“Keparat...!” teriaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala anak kecil, yang keras dan terlatih karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, sekarang menyambar ke arah kepala Pangeran Yung Ceng.

Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan tenang, pangeran itu miringkan kepalanya, membiarkan tangan yang memukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya menyambar dan membetot.

“Auuwwhhhh...!” Si Kumis Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya yang berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung Ceng.

“Manusia bosan hidup!” terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari kursi mereka dan menerjang Pangeran Yung Ceng. Pelayan itu lari ketakutan dan kini pangeran itu bangkit berdiri, wajahnya merah karena marah.

Empat orang itu menerjang dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan jagoan-jagoan yang pandai ilmu silat. Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah murid Siauw-lim-pai yang sudah matang ilmu silatnya, maka segera terdengar suara mereka mengaduh dan meja kursi berserakan ketika pangeran itu membagi-bagi pukulan dan tendangan yang membuat mereka terlempar ke sana-sini.

Mengertilah lima orang itu sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang mereka sangka adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Kemarahan mereka memuncak dan mereka berlima, termasuk Si Kumis Tebal yang kini telah berubah menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya menempel di bawah hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan dengan teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu.

Yung Ceng meraba pinggangnya dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pangeran ini sudah mencabut sebatang pedang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju sastrawannya. Pedang pendeknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan sinar menyambar-nyambar dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah makan itu. Para tamu sudah sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian pun para pelayan ada yang lari, ada pula yang sembunyi dengan tubuh menggigil.

Dengan marah sekali Pangeran Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan berturut turut terdengarlah pekik mengerikan disusul robohnya lima orang pengeroyok itu, ada yang lehernya terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan ada pula yang dadanya berlubang. Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja hanya dia lukai pahanya, dia cepat mencengkeram pundak orang itu, lalu ditariknya naik dan dia membentak, “Kalian telah membayangi aku dan sekarang sengaja menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian!”

Orang itu meringis kesakitan, mukanya pucat dan dia sangat ketakutan, menggeleng gelengkan kepala.

“Hayo mengaku! Kau tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!”

Orang itu terbelalak. “Am... ampunkan hamba... hamba hanya utusan... dari... dari...!”

Pada saat itu nampak sinar berkelebat menyambar. Pangeran Yung Ceng amat terkejut karena sinar itu datangnya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena tidak mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang yang dicengkeram pundaknya itu, dipakai sebagai perisai.

“Crottt...auggghhhhh...!”

Orang itu menjadi lemas dan melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng melemparkannya ke atas lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di antara banyak orang di jalan raya. Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung orang tadi tertusuk jarum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya kelihatan sedikit saja ujungnya. Tahulah dia bahwa penyerangnya adalah seorang yang mahir menggunakan senjata rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal karena tawanan ini belum sempat mengaku siapa yang menyuruh mereka.

Ketika pembesar setempat mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya, dia tergopoh-gopoh datang diiringkan oleh pasukan pengawal. Kiranya ketika Pangeran Yung Ceng tadi mengakui dirinya untuk memaksa tawanannya mengaku, ada beberapa orang yang mendengar dan cepat mereka itu melaporkan kepada para penjaga keamanan sehingga pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu.

Pangeran Yung Ceng menerima penghormatan mereka yang berlutut dan dengan singkat dia lalu memerintahkan untuk menyelidiki lima orang itu, kemudian dia minta seekor kuda dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika hendak dikawal. Pangeran mahkota ini marah sekali karena kini dia mendapatkan bukti sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat yang menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pangeran Yung Hwa. Dia dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang diutus oleh Gubernur Ho-nan yang sudah memperlihatkan sikap memberontak itu.

Setelah tiba di kota raja, pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia menceritakan keadaan yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang menyeleweng itu kepada kaisar.

Kaisar Kang Hsi adalah seorang kaisar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur pemerintahan, berwibawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan baiknya, dan harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama Dinasti Kerajaan Ceng-tiauw. Tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia menjadi tidak acuh dan malas. Kini, mendengar teguran puteranya yang telah dipilihnya untuk kelak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi mendengarkan dengan sabar dan dengan sikap tidak acuh, kemudian dia menggerakkan tangan dan berkata, “Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan sudah malas untuk mengurus segala macam hal yang memusingkan belaka. Di dalam tahun-tahun terakhir dari usiaku ini, aku ingin hidup tenteram dan enak, ingin menikmati hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku. Mengapa aku tidak boleh menikmati kehidupan di dalam usia setua ini? Engkau saja yang harus rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan aku, engkau sudah benar-benar cakap.”

“Maafkan hamba, bukan maksud hamba untuk membantah. Akan tetapi sudah lupakah Paduka akan Sri Baginda Raja Liang Hwi Ong?”

Kaisar yang tua itu memandang puteranya sambil tersenyum. “Hemmm, maksudmu?”

Dengan tegas Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pelajaran dalam kitab Beng Cu. Beng Cu adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang bijaksana sekali dan banyaklah contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi Khong Cu. Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong adalah pelajaran Beng Cu yang menuturkan tentang pertemuan antara Raja Hwi Ong dari Negeri Liang dengan Beng Cu.

Raja Hwi Ong bertanya kepada Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi negerinya di waktu itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab. “Mengapa Baginda menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan kebenaran. Apa bila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para pembesar tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluarga mereka, dan rakyat pun akan bertanya tentang keuntungan bagi diri sendiri. Apa bila yang berkedudukan tinggi mau pun yang rendah hanya memperebutkan atau menginginkan keuntungan saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki berlaksa kereta perang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki ribuan kereta perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh keluarga yang hanya memiliki seratus kereta perang. Apa bila yang memiliki selaksa kereta perang mengambil yang seribu, tentu yang memiliki seribu mengambil yang seratus dan selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apa bila manusia membelakangi kebenaran dan mengutamakan keuntungan, pasti dia tidak puas sebelum memperoleh seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang manusia yang mempunyai cinta kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum pernah ada seorang manusia yang menjunjung kebenaran membelakangi rakyatnya. Seharusnya Paduka bertanya tentang cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa bertanya tentang keuntungan?”

Demikianlah pelajaran dalam kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng untuk menyadarkan ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi.

Kaisar Kang Hsi sudah amat tua dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi semenjak dia berduka atas kematian saudara-saudaranya yang telah memberontak. “Sudahlah, Yung Ceng, jangan ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku sudah lelah dan aku tidak ingin memusingkan keadaan di luar kamarku.”

“Akan tetapi Paduka masih seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat besar terhadap rakyat jelata. Apakah Paduka masih belum tahu akan segala peristiwa di luaran? Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa terbunuh karena Gubernur Ho-nan hendak memberontak? Betapa pembesar-pembesar jahat sekarang ini sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hitam dan menanti saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan bijaksana Paduka pecat oleh karena bujukan para pembesar palsu yang menjilat-jilat? Betapa kedudukan Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara diam-diam diambil alih oleh mereka yang berpengaruh di dalam istana?”

“Sudahlah, Yung Ceng. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah bosan dengan semua itu?”

“Paduka dapat turun tangan, Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan pertama-tama Paduka seyogyanya dapat membebaskan diri dari pengaruh para thaikam...”

Pada saat itu, thaikam kepala yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ, tiba-tiba berkata, “Pangeran, harap jangan terlalu mendesak kepada Sri Baginda. Beliau sedang kurang sehat dan lelah...“

“Diam kau! Jangan mencampuri!” Yung Ceng membentak.

“Yung Ceng, tidak boleh kau bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa...” Kaisar mencela.

“Justeru dia inilah salah seorang di antara mereka yang jahat dan palsu, akan tetapi dia pandai menjilat!”

“Pangeran, tidak boleh Paduka berkata demikian...“

“Yung Ceng, Kong Tek Jin adalah seorang yang amat setia!”

Akan tetapi Yung Ceng sudah meloncat dan menyambar pundak thaikam itu, kemudian mengangkatnya dan membantingnya ke atas lantai.

“Brukkkkk...!”

Thaikam yang gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal dalam bergerak maju, Yung Ceng bertolak pinggang dan membentak, “Kalian mundurlah! Berani melawan Pangeran Mahkota?”

Tentu saja para pengawal itu meragu dan mereka memandang ke arah Sri Baginda. Kalau Sri Baginda memberi aba-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan menerjang pangeran itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang kepada puteranya dan kembali Yung Ceng membentak, “Kalian keluar dari sini, jaga di luar pintu kamar!” Kembali para pengawal memandang kepada kaisar. Sekali ini kaisar mengangguk dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka keluar.

Setelah para pengawal keluar, Yung Ceng berkata kepada ayahnya, “Sekarang hamba akan membuktikan siapa adanya manusia macam ini!”

Dia sudah mendekati Thaikam Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah tengkuk thaikam itu, kemudian menghardik. “Hayo kau mengaku sebenarnya! Bukankah seluruh keluargamu telah kau datangkan ke sini dan kau angkat menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan kepalamu sekarang juga?”

Sambil berkata demikian, Yung Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di tengkuk yang menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan karena dia tahu bahwa pangeran ini memang berilmu tinggi. Dia harus menyelamatkan diri dulu, baru kelak mencari jalan untuk melenyapkan pangeran ini. Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia benar-benar akan dibunuh.

“Be... benar, Pangeran. Akan tetapi apakah salahnya hal itu? Tentu saja hamba ingin menolong keluarga hamba...”

“Dan untuk itu kau memecat pejabat-pejabat lama? Dan engkau sudah menumpuk harta kekayaan berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pembesar-pembesar bawahan agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?”

“Ini... ini...“

“Hayo katakan yang benar! Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan seribu tail emas dan dua kereta bertabur emas kepadamu baru-baru ini?” kata Yung Ceng yang mendengar ini semua dari Pangeran Yung Hwa. “Dan dengan pemecatan Jenderal Kao Liang, engkau memperolah hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat menjadi panglima penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk membasmi keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar kepalsuanmu di depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?”

“Ti... tidak... tidak...“

Yung Ceng mencabut pedang pendeknya.

“Crottt...!” Ujung pedang itu menusuk paha sampai beberapa senti dalamnya, dan dia mencengkeram otot di punggung sehingga thaikam itu memekik-mekik seperti seekor babi disembelih saking nyerinya.

“Hayo kau menjawab, benarkah semua itu?”

“Ya... ya... benar...!” Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia sudah bersumpah untuk membalas pangeran ini.

“Sekarang, katakan, bukankah engkau sudah tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan memberontak? Hayo jawab!”

Tubuh thaikam itu menggigil. “Hamba... hamba tidak ikut-ikut...“

“Tapi engkau tahu?”

“Ya... ya...”

Kaisar kini mengerutkan alisnya. “Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hendak memberontak dan kau tidak melaporkan kepada kami?”

“Hamba... hamba tidak berani... hamba...“

“Yung Ceng, kiranya benar pelaporanmu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak kusangka. Suruh bawa dia pergi!”

Yung Ceng memanggil pengawal. “Seret dia ke dalam tahanan!”

Kini kaisar memandang puteranya dengan kagum. Kemudian dia mencabut pedangnya, pedang kerajaan yang merupakan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu. “Terimalah ini dan kau wakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar istana. Aku sudah lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan tugasmu itu. Harus kau selesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja melaporkan kepadaku.”

Pangeran Yung Ceng lalu menerima pedang pusaka itu sambil berlutut, menghaturkan terima kasih dan cepat meninggalkan kamar ayahnya. Mulailah pangeran mahkota ini melakukan pembersihan. Tindakannya yang pertama adalah menangkapi para thaikam yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati! Dan semua pembesar yang diangkat oleh para thaikam ini, para keluarga thaikam dan sobat-sobat mereka, yang memperoleh kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat dari kedudukannya dan ada pula yang dijatuhi hukuman.

Kota raja geger! Para pembesar palsu yang kerjanya hanya korupsi dan menumpuk kekayaan pribadi tanpa menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Mereka tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin menghebat karena mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan dengan cara sogok sana sogok sini. Kalau dunianya para koruptor itu geger, adalah para petugas yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka seolah-olah melihat cahaya terang, melihat matahari muncul kembali di tengah-tengah kegelapanan yang ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah bertahun-tahun mengancam kerajaan.

Setelah pembersihan di dalam istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tindakannya dengan segera melakukan pembersihan-pembersihan di luar istana atas nama kaisar. Gubernur Ho-pei cepat menghadap dan barulah sekarang dia berani melapor tentang sikap memberontak Gubernur Ho-nan. Sebelum ini, dia sama sekali tidak berani melaporkan kepada kaisar, karena maklumlah gubernur ini bahwa melaporkan akan percuma saja, sama sekali tidak akan diterima oleh kaisar, bahkan sebaliknya akan membahayakan dia sekeluarganya karena yang dihadapi bukan kaisar melainkan para thaikam yang berkuasa seolah-olah melebihi kaisar.

Ketika mendengar laporan Gubernur Ho-pei betapa pihak pemberontak, yaitu Gubernur Ho-nan diam-diam telah bersekutu dengan kerajaan Nepal, bahkan mendirikan benteng di perbatasan propinsi, di lembah Sungai Huang-ho, dia terkejut dan marah sekali. Dia maklum akan bahayanya perang saudara, maka pangeran mahkota ini lalu teringat akan Puteri Milana. Dia segera menyebar orang-orang untuk mencari Puteri Milana, karena dia tahu bahwa puteri itu adalah seorang yang paling boleh diandalkan untuk menanggulangi ancaman bahaya pemberontakan itu. Dia tidak mau sembrono mengirim pasukan, karena hal itu akan menimbulkan perang saudara yang akan membuat rakyat menderita sengsara.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Puteri Milana bersama Pendekar Sakti Gak Bun Beng telah meninggalkan dunia ramai. Puteri Milana adalah puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han majikan Pulau Es. Ibunya adalah Puteri Nirahai. Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, Puteri Milana sudah pergi dari istana, minggat setelah suaminya, yaitu mendiang Panglima Han Wi Kong, membunuh Pangeran Liong Bin Ong. Selain untuk membunuh seorang pemberontak dan pengkhianat, pembunuhan atas diri pangeran ini dilakukan oleh Han Wi Kong sebagai cara untuk membunuh diri karena dia ingin memberi kebebasan kepada Puteri Milana yang menjadi isterinya hanya dalam nama saja. Dia tahu isterinya itu mencinta Gak Bun Beng, maka semenjak menikah, belum pernah dia mendekati isterinya dan belum pernah mereka tidur bersama.

Demikianlah, Puteri Milana akhirnya bertemu dan berkumpul juga dengan pria yang dicintanya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Akan tetapi, atas permintaan Gak Bun Beng yang tidak ingin mendengar nama kekasihnya ini cemar dan tertimpa aib, sebagai janda bangsawan, seorang puteri istana, menikah lagi dengan dia, maka dia mengajak kekasihnya yang menjadi isterinya itu ke tempat sunyi, jauh dari dunia ramai. Mereka berdua meninggalkan segala kericuhan hidup di dunia ramai dan tinggal di sebuah puncak, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san, yaitu puncak yang disebut puncak Telaga Mawar karena di situ terdapat sebuah telaga kecil yang penuh dengan pohon bunga mawar.

Suami isteri ini seolah-olah hendak menebus segala kerinduan mereka bertahun-tahun yang lalu, belasan tahun penuh kerinduan ketika mereka dahulu saling berpisah. Kini mereka itu seolah-olah tenggelam dan berenang di dalam lautan madu asmara, mencurahkan seluruh perasaan cinta kasih satu kepada yang lain di tempat sunyi di pondok mereka dekat telaga, di tengah-tengah suasana tenang dan hening yang diliputi keharuman bunga-bunga mawar.


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 15