Jodoh Rajawali Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 11
Maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia yang akan celaka akibat kalah cepat oleh gerakan suling, maka Kian Bu kemudian mengambil keputusan untuk menggunakan pukulannya yang paling ampuh dan paling hebat. Kalau dia tidak dapat merobohkan lawan, tentu dia yang akan roboh. Gulungan sinar emas itu terlalu cepat baginya!

Maka tiba-tiba pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang bertentangan, yaitu yang kanan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya sehingga pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus lawan, sedangkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku darah dalam tubuh lawan.

“Ihhhhh...!” Kakek itu berseru keras.

Dia pun mendorongkan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan mukjijat itu, dan sulingnya dia sambitkan ke depan pada saat dia mendorongkan kedua tangannya. Suling Emas itu meluncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu seperti kilat menyambar.

“Desssss... tukkkkk...!”

Tubuh kakek itu terlempar ke belakang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri terpelanting dan roboh terguling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok ketiak kirinya sehingga dia roboh dan merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh sama sekali!

“Ughhh... ughhh...!” Sin-siauw Sengjin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan tetapi dia segera memejamkan mata dan mengatur pernapasan sehingga sebentar saja pulih kembali kekuatannya. Dia membuka mata dan menghampiri Kian Bu yang masih rebah miring dengan sinar mata penuh keheranan dan penasaran. Suling Emasnya yang menggeletak di atas tanah, lalu dipungutnya kembali dan diamat-amatinya.

“Saya... saya... mengaku kalah, akan tetapi... tunggu lima tahun lagi... saya pasti akan mencari Locianpwe dan membuat perhitungan... ahhhhh...,“ Kian Bu mengeluh karena totokan itu hebat bukan main dan agaknya bukan hanya menghentikan jalan darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya yang sebelah kiri.

Mendengar ucapan Kian Bu itu, Sin-siauw Sengjin mendengus, lalu dia berkata, “Orang muda ini terlalu berbahaya...,” seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya sendiri, lalu nampak sinar emas berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke arah tubuh Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu.

Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang mengarah ke kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya.

“Desss...!” Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan!

“Omitohud...!” Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah!

Kakek itu dan muridnya terkejut, akan tetapi segera mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat gerakannya itu. Sin-siauw Sengjin kemudian berkata, “Kiranya Kim Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urusan kami?”

“Siancai… siancai… siancai...!” Kim Sim Nikouw berkata halus. “Seorang yang gagah perkasa seperti Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri? Omitohud... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya... Omitohud...!”

Wajah kakek itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedungnya, diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya. Dengan gerakan kaki yang cepatnya luar biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu.

Perlahan-lahan Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya. Sentuhan jari tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya. Tubuhnya lemah sekali dan dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah!

Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang lembut, sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa lagi orangnya yang memiliki mata sebening dan seindah itu, semesra itu memandangnya kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi yang dapat mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang menyentuh demikian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan jari tangan ibunya?

“Ibuuuuu...,” Dia memanggil dengan suara bisikan panjang.

Mulut itu tersenyum dan sepasang mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah dia melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan seorang wanita perkasa yang belum pernah dilihatnya menangis!

Kian Bu membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw berkerudung kain kuning. Seorang nikouw yang pernah dijumpainya di lereng bukit, nikouw pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah pandai terbang!

“Suthai...,” Kian Bu memanggil lirih.

“Omitohud... terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha...! Engkau sudah siuman, Suma-sicu? Aihhh, betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama seperti... seperti... sudah tak bernyawa lagi...,” Nikouw itu menghapus dua titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar.

Pada saat Kian Bu hendak bangkit duduk, dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh tidak dapat digerakkan. Nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan memegang pundaknya, merapatkan duduknya.

“Jangan bergerak dulu... lukamu amat parah dan hebat...”

“Ouhhhhh...!” Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia teringat akan semuanya. “Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?”

“Sudah tiga hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu pertanda baik sekali.”

“Jadi... Suthai yang menolong saya...?”

Nikouw itu menaruh telunjuk ke depan mulut. “Sssttt... janganlah banyak bicara dulu, anakku. Kau harus banyak beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini tidak percuma pinni mempelajari ilmu pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan sekarang beristirahatlah.”

Nikouw itu cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk dengan merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai habis.

“Nah, kau tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu,” kata nikouw itu setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa senyum dan memejamkan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.

Beberapa hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh. Meski dia sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerakkan kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya. Ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijinkannya. Melihat setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tak ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu menyebutnya ‘anakku’!

“Nah, sekarang bahaya telah lewat!” pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan wajah berseri. “Engkau sudah tidak terancam maut lagi dan kini tinggal memulihkan tenaga.”

“Akan tetapi kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak...”

“Jangan khawatir. Memang pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh rangkaian urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni yakin engkau akan sembuh kembali sama sekali.”

“Betapa, besar budi Suthai kepada saya...” Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa terharu sekali.

Nikouw tua itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya. “Sekarang engkau sudah tidak terancam bahaya. Bolehlah kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama ayahmu?”

“Ayah? Ayah bernama Suma Han...”

“Han Han... ahhh, sudah kuduga... wajahmu, sikapmu... dan Swat-im Sin-ciang itu...! Dugaanku tidak salah... ahhh, Han Han...” Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum ketika dia memandang pemuda itu melalui air matanya. “Engkau puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau juga anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku...”

“Apa maksudnya ini, Suthai?” Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri Nirahai, mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya?

Nikouw itu kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya, mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan karena terharu dan gembira!

“Jangan salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan... ehhh, siapa ibumu?”

“Ibu adalah Puteri Nirahai.”

“Hemmm, pantas... pantas...! Kuulangi lagi, janganlah kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah bundamu itu, dan aku... aku hanyalah bekas sahabat baik ayahmu, bahkan dahulu... dahulu sekali… puluhan tahun yang lalu, saat namaku masih Kim Cu, di antara ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kau gunakan tadi. Dan dahulu... dahulu... sekali... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku... aku mencintanya. Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku dengan engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-akan juga anakku sendiri, Kian Bu.”

Kian Bu mendengarkan penuh keharuan. Nikouw ini pada waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!

“Bagaimana keadaan ayahmu, Kian Bu?” tanya nikouw itu sambil mengusap air mata untuk ke sekian kalinya.

“Baik, Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya... telah beberapa lama meninggalkan Pulau Es.”

“Jadi ayahmu hidup bahagia?”

Kian Bu mengangguk.

“Terima kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih!” Nikouw itu berseru. “Betapa bahagianya mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!”

Kian Bu memandang wanita itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya bertanya, “Di wakktu muda dahulu, Suthai... mencinta ayahku?”

Nikouw itu memandangnya, mengangguk dan menarik napas panjang. “Sampai detik ini tak pernah aku berhenti mencintanya.”

“Dan ayah... apakah ayah juga membalas cinta kasih Suthai?”

Nikouw itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta? Mungkin sekali, ya, aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku mencintanya...”

“Dan Suthai tidak menderita sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang ayah?” Kian Bu makin terheran.

“Puluhan tahun aku telah menderita, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu bukanlah akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah benar-benar dikatakan bahwa cintanya itu murni, apa bila dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik orang itu menjadi jodohnya atau pun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia, Han Han seorang yang amat baik...,” dan dia berhenti sebentar. “Entah berapa puluh tahun setiap hari pinni bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia dapat hidup berbahagia. Ternyata doa pinni telah terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali...”

“Ahhh, betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni... dan sekarang Suthai telah menyelamatkan nyawa saya... ahh, bagaimana saya akan dapat membalas semua budi Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang demikian suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada saya?”

“Budi? Membalas budi? Omitohud... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam, itulah biang segala pertentangan! Tetapi, karena hal itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat kemanusiaan, maka supaya hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa berhutang budi, baiklah kau balas dengan cara... mau kuanggap sebagai anakku. Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku, aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa seakan-akan engkau adalah anakku sendiri.”

Kian Bu menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata, “Ibu...”

Kim Sim Nikouw merangkulnya dan menangis!

Sampai lama nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, lalu dia dapat menekan perasaannya, duduk dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya bercahaya, dia mengelus dahi pemuda itu. “Terima kasih, anakku, terima kasih. Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti sedia kala.”

“Terima kasih, Ibu. Akan tetapi sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu.”

Kian Bu tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.

“Dulu aku bernama Kim Cu, anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku pula dalam hal keagamaan dan melayani orang-orang yang datang untuk bersembahyang ke kuil ini.”

“Aku ingin sekali cepat sembuh, Ibu.”

“Jangan khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari pengobatan selama puluhan tahun ini.”

“Aku harus cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin,” kata Kian Bu sambil mengepal tinju kanannya.

Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu. “Kau mendendam karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?”

Kian Bu juga memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu, dia cepat-cepat menggeleng kepalanya, “Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan karena aku harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya.”

Kim Sim Nikouw membelalakkan matanya. “Apa maksudmu?”

“Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin juga dia memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini.”

Nikouw itu mengerutkan alisnya. “Ahh, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang kau pergunakan pun tidak mampu mengalahkannya.”

“Betapa pun, setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu.”

“Kau dapat belajar, anakku! Dan jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu puluhan tahun ini hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu baru, anakku.”

“Aku telah melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa.”

“Itu satu di antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo, dan aku tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi lawannya. Biar pun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, tetapi menurut perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang mau pun Swat-im Sin-ciang tidak akan mampu menandinginya.”

“Ah, kalau begitu Ibu harus mengajarkannya kepadaku!” Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan kirinya masih lumpuh. “Ah, mana mungkin aku dapat belajar dalam keadaan begini?”

“Kau harus bersabar, anakku. Keadaanmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang Hui-teng bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apa lagi melatih penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri sudah mencoba sampai belasan tahun, namun belum juga berhasil.”

“Ahhh, kalau begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!”

“Hemmm, lupakah kau bahwa engkau berjanji akan menemuinya lagi setelah lewat lima tahun?”

“Apa? Apakah maksudmu, Ibu?” Kian Bu berseru kaget.

Nikouw itu tersenyum. “Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali hingga engkau sampai tidak ingat lagi apa yang kau ucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau mengaku kalah dan dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan.”

“Ahh, kenapa begitu lama?”

“Malah sebaiknya begitu, anakku. Engkau bisa menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?”

Suma Kian Bu menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu…..

“Demikiahlah, Lee-ko, riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak pernah pulang ke Pulau Es.” Kian Bu mengakhiri ceritanya. “Selama kurang lebih tiga tahun itu aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw, dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku juga dapat menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang sudah diajarkan oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun.”

Semenjak tadi Kian Lee mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.

“Dan pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu...?” tanyanya kagum.

“Itulah hasil dari melatih diri menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dengan Swat-im Sin-ciang, yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku.”

“Hemmm, rambutmu lalu menjadi putih semua?” Kian Lee memandang kepala adiknya itu. “Itu disebabkan melatih sinkang mukjijat itu?”

“Sebagian dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih selama tiga tahun dan berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku.”

Kian Lee mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar dan mengenal namamu itu, Bu-te. Semenjak aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguh pun aku sama sekali tidak menyangka bahwa engkaulah orangnya. Pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika aku terancam bahaya, orang orang yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya.”

Kian Bu memandang kepada kakaknya dengan heran. “Menegurnya?”

“Benar, dan sekarang aku akan langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang kau lakukan terhadap Nona Cui Lan sungguh keterlaluan!”

“Ehh, ada apa dengan dia?” Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak.

“Dia seorang gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta kasih yang murni terhadap dirimu, namun engkau melupakan dia begitu saja dan membiarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?”

Kian Lee lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur Ho-nan, kemudian tentang keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei dan ketika mengerahkan teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan cinta kasihnya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan.

Mendengar semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu lalu menundukkan mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan menegurnya, dia berkata, “Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka aku sengaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia membenciku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak. Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura membalas cintanya dan bersikap palsu?”

Kian Lee menjadi terharu dan memegang tangan adiknya yang wajahnya menjadi agak pucat. Dia menghela napas.

“Tentu saja tidak, adikku. Asal kau tidak mempermainkannya, dan mendengar ceritamu, agaknya memang engkau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu kalau dia mencintamu tanpa dapat kau balas karena engkau mencinta orang lain. Aihh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak kesengsaraan karena cinta? Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula engkau, adikku...”

“Lee-ko, tidak perlu engkau mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita berdua amat lemah, bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam persoalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain, tetapi mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan sungguh ayah kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu.”

“Memang luar biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kau ceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi tekanan batinnya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bu-te.”

“Ahh, aku bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada wanita lain.”

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang sangat cantik itu terbayang di depan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata, “Dan aku akan mencontoh ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi dapat hidup berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan.” Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu.

Mendengar penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang. “Sungguh aku khawatir sekali bahwa kenyataannya tidak seperti yang kau harapkan itu, adikku.”

“Apa maksudmu, Lee-ko?”

“Tentang kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini telah aku bertemu dengan Ang Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat.”

Kian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya, mengenai perjalanannya mencari adiknya itu, lalu pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang menyerangnya dan menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan juga menculik keluarganya. Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di istana Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan Gubernur Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan.

Mendengar cerita kakaknya itu, bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir mendengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar dari pada kemarahannya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.

“Apakah yang telah terjadi dengan Syanti Dewi?” katanya dengan alis berkerut. “Andai kata Syanti Dewi berada di sisi Ang Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi sesuatu!” Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah. “Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!”

“Tenanglah, Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini yang belum tahu semua persoalannya, tidak baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apa lagi mengandung kemarahan di dalam hati terhadap seseorang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya berbuat demikian.”

“Hemmm, aku sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Tetapi...” Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini, keponakan langsung dari ibunya, karena Tek Hoat adalah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja.

Mereka kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah sempat dicuri oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai Po-hai di teluk sebelah utara.

“Hemmm, banyak persoalan yang harus kita hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang masih belum beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan.”

“Akan tetapi engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah sehat benar, dan nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu sudah menyusul!”

Benar saja, muncullah Sai-cu Kai-ong. “Wah, jangan lama-lama membiarkan diri ditiup angin sejuk, Kian Lee taihiap!” Kakek itu segera menegur. “Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!” Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, “Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah habis dan obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk mencari dan membelikan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap.”

“Tentu saja saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami dua kakak beradik yang sudah menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri, maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami,” kata Kian Bu.

“Benar apa yang dikatakan adikku, Locianpwe,” sambung Kian Lee.

“Ha, kalau begitu kalian harus membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku.” Mereka bertiga tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat tinggal kakek itu yang seperti istana kuno dikelilingi tembok tebal seperti benteng.

Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat kedua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu Kai-ong berkata, “Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kalian akan kubawa berkeliling dan melihat-lihat rumah peninggalan nenek moyangku ini.”

Mereka memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang berpakaian pengemis dan setelah perlahan merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek itu…..

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu. Kita melihat dia yang terakhir berada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang Hun, majikan Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san dekat belokan Sungai Huang-ho. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tang Hun sastrawan yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-gila kepada Syanti Dewi dan memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia.

Akan tetapi di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi telah hilang tanpa diketahui jejaknya! Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah perkasa dan pandai ilmu sihir yang berusaha menolong dan membebaskan Syanti Dewi, juga tidak tahu ke mana perginya puteri itu. Bukan dia saja, malah Ang Tek Hoat, yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan Syanti Dewi, juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun tidak tahu ke mana lenyapnya Syanti Dewi yang asli!

Ke manakan perginya Syanti Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan yang amat ketat itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti Siang In, dan dari pencarian seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih dibantu oleh banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita ikuti pengalaman Syanti Dewi semenjak dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu…..

Seperti kita ketahui, Syanti Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In yang mengunjunginya di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu termenung berduka, tidak mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti pakaian, setelah Siang In mengunjunginya dan tahu bahwa gadis yang luar biasa itu akan menolong dan membebaskannya, kegembiraan membuat dia seketika merasa lapar sekali dan dia segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya sehingga para pelayan itu menjadi heran dan juga girang sekali.

Dari dapur yang khusus didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak gemuk yang berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan istimewa di atas meja dalam kamar sang puteri atau calon pengantin wanita itu. Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu cepat makan dan minum, akan tetapi terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik di telinganya, “Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan terlalu banyak.”

Dia menoleh ke kanan kiri. Di situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu ternyata masih berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Pada saat dia bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian koki itu, secara mendadak kakek itu mengedipkan sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan dia seperti sudah mengenal wajah koki itu.

Tahulah dia bahwa suara bisikan yang didengarnya tadi, tentu adalah suara koki itu yang entah bagaimana dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa didengar oleh para pelayan agaknya. Tetapi sebagai seorang yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, seperti pendekar sakti Gak Bun Beng, bekas tunangannya Ang Tek Hoat, puteri sakti Milana, dan banyak lagi orang dari golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti Dewi tidak lagi merasa heran dan tahulah dia bahwa koki itu adalah seorang yang berilmu tinggi!

“Harap kau suruh mereka itu keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu,” kembali terdengar bisikan tadi.

Syanti Dewi tentu saja tidak mempercayai suara itu begitu saja, biar pun dia seperti pernah mengenal wajah koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh mukjijat yang membuat dia tidak dapat menolak lagi! Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia lalu berkata, “Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju biru. Aku tidak suka makan ditunggui banyak orang.”

Para pelayan itu tersenyum dan mereka pun lalu pergi meninggalkan kamar itu, tanpa mempedulikan koki tua yang masih berdiri seperti arca di sudut kamar.

“Kau tutupkan daun pintunya, kunci dari dalam.” Kembali Syanti Dewi berkata kepada pelayan baju biru seperti bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru yang cantik itu mengangguk, lalu menutupkan daun pintu dan menguncinya, kemudian dia kembali duduk di dekat sang puteri untuk melayaninya.

Kini kakek yang berpakaian koki itu melangkah maju mendekati meja, dipandang penuh perhatian dan dengan hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang pelayan baju biru itu melihat kakek ini. Dia terkejut dan heran. “Ihhh, kau masih di sini? Tidak boleh, hayo cepat keluar...”

Akan tetapi tiba-tiba tangan kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari ke pintu, dan tahu-tahu dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya mendekati meja di mana Syanti Dewi masih bengong, lalu terdengar kakek itu berkata lirih namun dengan nada penuh ancaman, “Jangan berteriak, jangan banyak ribut, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau ingin selamat!”

Tiba-tiba sebuah totokan di tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak lagi, hanya matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut. Dicobanya untuk mengeluarkan suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita itu oleh jari tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak dapat mengeluarkan suaranya sama sekali seperti orang gagu!

“Hemmm, apa artinya ini? Siapa engkau?” Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam.

“He-he-he, kau lupa lagi kepadaku, Puteri?” Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti yang biasa dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk ke dalam masakan. Kini kelihatan kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya yang putih. Biar pun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi dengan kakek ini dan biar pun kakek ini sekarang agak gendut perutnya, tapi melihat wajah yang tersenyum-senyum itu teringatlah Syanti Dewi.

“Ah, bukankah Locianpwe ini guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoatsu...?” tanyanya dengan heran.

“Ha-ha-ha, ternyata ingatanmu kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku.”

Hati Syanti Dewi girang sekali. Beberapa tahun yang lalu ketika dia dikejar-kejar oleh Raja Tambolon dan anak buahnya, dia pernah ditolong dan diselamatkan oleh kakek yang pandai ilmu sihir ini dan dari percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa kakek ini adalah guru Siang In. Maka tentu saja dia menjadi girang dan kini menaruh kepercayaan kepada kakek ini.

“Locianpwe, baru saja Siang In juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari sini...”

“Itulah sebabnya mengapa aku datang sendiri, Puteri Syanti Dewi. Keadaan di sini amat berbahaya dan terlalu banyak orang pandai menghendaki dirimu. Rencana Siang In tentu akan gagal kalau aku tidak cepat turun tangan. Sekarang kau diamlah saja dan menurut segala petunjukku.”

Syanti Dewi tidak terkejut mendengar itu sebab dia maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, maka dia lalu mengangguk.

“Cepat kau tanggalkan pakaian luarmu,” bisik kakek itu, dan ketika Syanti Dewi melihat kakek itu mulai menanggalkan pakaian luar pelayan yang ditotoknya itu, mengertilah dia maksudnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan tubuhnya dan menanggalkan pakaian luarnya. Dia tidak perlu merasa malu dalam keadaan seperti itu, apa lagi yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang kakek sakti yang sudah amat dipercaya.

“Aih, sukarnya...!” Kakek itu mengomel ketika dia mencoba untuk mengenakan pakaian luar Syanti Dewi pada pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah mengenakan pakaian luar pelayan itu segera membantunya. Kakek itu memang cerdik. Yang tadi dipilihnya adalah seorang pelayan yang selain cantik juga memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga ketika pakaian mereka saling ditukar, dapat pas sekali.

Setelah selesai, kakek itu lalu berbisik, “Cepat kau atur rambutnya seperti sanggul rambutmu dan tambah bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu.”

Syanti Dewi cepat melakukan semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-su sendiri menggunakan alat penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah bentuk bibir, alis serta mata Syanti Dewi dengan menggunakan pemerah bibir dan penghitam. Sebentar saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi melihat bayangannya sendiri dalam cermin, puteri ini hampir tertawa geli melihat betapa dia sudah berubah menjadi seorang wanita yang bermata sipit, alisnya tebal dan mulutnya lebar, mukanya ada beberapa totol hitam yang melenyapkan semua kemanisannya.

“Mari cepat...,” kata kakek itu dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan pakaian Syanti Dewi, mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan sinar mata penuh pengaruh yang amat kuat sambil berkata, “Kau tidak akan dapat bicara semalam ini dan akan menurut saja apa yang dilakukan orang-orang kepada dirimu!” Setelah menanamkan kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak pelayan itu, See-thian Hoat-su lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa menyelinap ke luar melalui jendela, tidak lupa untuk lebih dulu meniup padam lilin yang bernyala di atas meja.

Akan tetapi baru saja mereka meloncat ke luar dan menutupkan daun jendela, Syanti Dewi menahan seruan kaget dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan dengan langkah tegap ke arah mereka! Tetapi, kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya ke arah dua orang pengawal itu. Mereka memandang, terkejut dan berdiri seperti patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat bergerak sampai kakek itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ.

Setelah kakek dan puteri itu lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa terheran-heran.

“Ehh, kenapa kita berdiri bengong di sini?” tanya yang seorang.

“Heran, aku merasa seperti baru saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Seperti mimpi saja,” kata yang kedua.

“Hemm, agaknya kita tadi sudah terlalu banyak minum arak.” Dan mereka melanjutkan perondaan mereka.

Sementara itu, See-thian Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di ruangan dekat dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon-pohon katai. Hwa-i-kongcu Tang Hun memang mempunyai kegemaran mengumpulkan bunga-bunga dan pohon-pohon katai yang aneh dan indah dalam pot-pot kuno dan dikumpulkan di ruangan itu. Bukan ruangan tertutup, akan tetapi cukup gelap dan Syanti Dewi merasa heran sekali mengapa penolongnya itu mengajaknya bersembunyi, dan di tempat terbuka seperti itu.

“Kenapa kita tidak lari...?” bisiknya.

“Sssttttt... kita tunggu sampai terjadi keributan,” jawab See-thian Hoat-su.

Syanti Dewi hendak bertanya mengapa mereka bersembunyi di tempat terbuka seperti itu, akan tetapi dia mengurungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang yang berjalan ke arah tempat itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya melihat-lihat, diantar oleh salah seorang pengawal.

“Ini adalah kumpulan-kumpulan bunga-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali oleh Kongcu,” si pengawal menerangkan.

Mereka melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari mereka mendekati Syanti Dewi dan mencium-cium, mendengus-dengus.

“Hemmm, wangi...!” katanya. “Sayang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat mengagumi bunga-bunga ini dengan jelas.”

“Besok saja kita melihat-lihat lagi ke sini,” kata tamu kedua dan mereka berjalan pergi.

Syanti Dewi sudah gemetar saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh orang itu dan dia disangka bunga! Dia terheran-heran, akan tetapi ketika dia menoleh kepada kakek itu yang terkekeh geli, mengertilah dia bahwa peristiwa aneh itu adalah akibat permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang yang tadi datang telah melihat mereka berdua seperti bunga dalam pot, maka rambutnya dicium oleh seorang di antara mereka. Teringatlah dia akan permainan sihir dari Siang In yang membuat dara itu kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain!

“Kenapa kita harus menunggu sampai terjadi keributan, Locianpwe?” Dia berbisik.

Kakek itu menarik napas panjang. “Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di sini hadir orang dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat dari pada dia. Kalau kita lari sekarang dan ketahuan, banyak bahayanya akan gagal karena di depan orang itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan sihir.”

Saat yang dinanti-nanti oleh kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba terdengarlah canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan disusul teriakan-teriakan nyaring. Dari tempat sembunyi itu, mereka melihat berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan dan melihat pula seorang pelayan wanita tua yang cantik memondong Syanti Dewi palsu tadi dengan gerakan ringan sekali. Lalu terdengar keributan di ruangan pesta, disusul padamnya lampu-lampu dan ributnya suara orang bertempur!

“Sekarang...!” Kakek itu berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan diri melalui jalan belakang.

“Heiii, siapa...?” Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena semua orang sedang sibuk berkelahi dan mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu, See-thian Hoat-su dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api.

Setelah pergi jauh, Syanti Dewi berkata, “Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak menanti dia?”

Kakek itu menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa yang indah penuh bintang. “Ahhh, dia kini bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri.”

“Akan tetapi... tentu dia akan mencari-cari Locianpwe dan saya...”

“Dia tidak tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya, ha-ha-ha!” Kakek yang aneh itu tertawa.

Syanti Dewi tak membantah lagi. Kakek ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang mendekati watak orang gila!

“Lalu... lalu kita akan pergi ke mana, Locianpwe?” tanyanya penuh keraguan.

“Ke tempatku di pantai Po-hai. Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana bersamaku.”

Syanti Dewi tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biar pun dia berniat mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In, dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula, kini dia ikut bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat.

Rombongan Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Yang-liu Nionio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu. Mereka telah mengorbankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti Dewi itu hanyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nionio lalu membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya.

Siang In sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya seorang pelayan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa penculiknya. Jelas bukan Tek Hoat, bukan pula salah satu wanita dari rombongan Hek-eng-pang, namun jelas sudah lenyap dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapakah yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran sekali dan mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan.

Sementara itu, seperti telah diceritakan pula di bagian depan, dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu telah membuyarkan kekuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya. Orang itu adalah Gitananda, kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut itu.

Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang-liu Nionio yang dianggapnya telah menculik pengantin perempuan, akan tetapi Yang-liu Nionio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan diri dan Gitananda tidak berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang pandai.

Gitananda adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedudukannya, dia harus menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh dari golongan hitam.

Oleh karena itulah, maka dia menyebar para pembantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya sebagai ketua Liong-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya, juga amat lihai, bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi murid Durganini, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir dari India dan Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya.

Sebetulnya, ketika Gitananda mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai dia bisa mendapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal! Tetapi tentu saja dia tidak boleh membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tak mau mengganggu pengantin puteri.

Akan tetapi ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan yang sangat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia mampu merampasnya kembali dari tangan penculik. Bukan untuk diserahkan kembali kepada Hwa-i-kongcu, sungguh pun hal itu akan berarti melepaskan Liong-sim-pang sebagai sahabat. Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi Nepal, dari pada persahabatan Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan puteri itu di luar tahu Liong-sim-pang, bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu sudah melihat sendiri betapa dia telah membantu untuk melawan para penculik, biar pun tidak berhasil.

Dia harus dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan, tentu saja tanpa diketahui oleh Hwa-i-kongcu! Maka setelah para penculik itu kabur, Gitananda melakukan pengejaran dengan seenaknya karena dia perlu untuk diam-diam kembali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang sunyi.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau yang paruhnya merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih dan merupakan burung yang amat cerdik. Dengan dalih ingin memeriksa kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi, dia berhasil memasuki kamar pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini dia melepaskan burung itu yang membawa robekan saputangan di antara paruhnya yang merah dan kuat.

“Carilah sampai dapat!” teriak Gitananda sambil melepaskan burung itu.

Burung hijau itu terbang seperti kilat cepatnya ke atas, tinggi sekali, lalu mulai terbang tinggi berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di paruhnya. Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke bawah, tajam sekali.

Gitananda menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, burung hijau itu terbang sampai tiba di atas tempatnya berdiri, lalu melepaskan robekan saputangan dan mengeluarkan suara mencicit.

“Burung yang baik, kau telah menemukan dia?”

Burung itu mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah! Dan burung itu terbang menuju ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga berkibar sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng.

Sementara itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau yang terbang berputaran di atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu.

“Eh, burung apakah itu demikian aneh?” katanya sambil menuding ke atas.

See-thian Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biar pun usianya jauh lebih tua, akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia dapat mengerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung itu nampak jelas olehnya.

“Puteri, katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?” tiba-tiba dia bertanya sambil memandang ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.

“Saputangan kuning...?” Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba yang janggal itu.

“Ya... ya, saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api, di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?”

“Benar... akan tetapi kutinggalkan di kamar...”

“Ah, celaka...! Benar, dia tentu burung mata-mata!” teriak See-thian Hoat-su dengan kaget, apa lagi ketika dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya!

“Kita harus cepat pergi dari sini!” Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya karena merasa ngeri.

Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari orang-orang pandai sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak mempedulikan pandangan para penghuni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang kakek botak yang larinya seperti setan!

Jodoh Rajawali Jilid 11


Lebih-lebih lagi keheranan mereka ketika tidak beberapa lama kemudian, muncul pula seorang kakek berkulit hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut, halus budi dan agung, lewat di dusun itu.

“Ah, kami melihat seorang dara cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek botak...”

“Yaaa! Itulah dia! Ke mana mereka pergi?” Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri Bhutan itu dilarikan seorang penculik!

Kini para penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban yang bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata, “Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja Bhutan dan aku adalah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat memberi tahu, ke mana mereka itu pergi?”

Tentu saja para penghuni dusun merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berpihak kepada orang asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka memberi tahu ke mana arah larinya kakek botak yang memondong dan menculik sang puteri. Setelah mendengar bahwa kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke timur, Gitananda cepat melakukan pengejaran bersama burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain.

Sementara itu, See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan yang hampir tidak pernah ditundanya kecuali kalau malam gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti Dewi di Goa Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini….

Syanti Dewi merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang tersembunyi, dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat indah akan tetapi juga menyeramkan. Goa besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap. Goa itu terletak di antara batu-batu karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk Po-hai.

Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang dan malam, merupakan dendang yang tiada hentinya sehingga menciptakan suasana yang aneh dan berbeda sekali dari suasana di darat dan pegunungan. Angin bersilir terus jarang berhenti, dan di atas goa itu adalah sebuah bukit batu karang yang di bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah kiri goa terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang pecah oleh akar-akar pohon, air yang merupakan berkah bagi penghuni goa karena memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan. Goa itu sendiri kalau dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.

“Jangan terlalu jauh meninggalkan goa,” kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali Syanti Dewi yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai. “Sekarang belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar sampai ke sini. Siapa pun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu dari sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah mereka.”

Mendengar itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini bekerja membersihkan goa, kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya terdapat di tempat itu. Biar pun dia seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kota Raja Bhutan membuat dia tidak canggung melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana sekali. Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur!

Malam itu Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam goa. Heran dia mengapa di sebelah dalam goa itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan goa, angin bersilir tiada hentinya. Namun di dalam goa, api lilin tidak bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali! Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat yang berlubang dan ada tembusannya. Goa itu merupakan lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi hawa lain dari luar mengalir masuk.

Setelah mereka makan dengan sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang ditangkap oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat lezat karena hati tenang dan perut lapar ditambah tubuh yang lelah, mereka lalu mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur.

Namun Syanti Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa dia telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat berjumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apa lagi yang akan dialaminya selanjutnya?

Baru beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya yang gagah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi tiba-tiba saja terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram.

Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan! Dia menarik napas panjang. Dia amat mencinta Tek Hoat, mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pemuda itu baginya? Dia dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi orang tersesat, bahkan membantu pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan benar? Betapa pun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.

“Syanti Dewi...!” Tiba-tiba dia mendengar suara halus datang dari luar Goa Tengkorak.

Suara seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?

“Enci Syanti Dewi...!” Kembali terdengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor ular.

Siapakah dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mungkinkah Siang In? Dia curiga sekali. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih dari luar goa? Bukankah goa ini adalah tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis itu tidak mau langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara mencurigakan?

Syanti Dewi sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia kang-ouw amat licik dan curang, dan oleh karena itu dia tetap saja diam mendengarkan, tidak mau tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tidak lama kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak keras biar pun masih dengan suara mendesis agar tidak terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur.

“Kalau benar bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra Dewi berada di sini!”

Syanti Dewi terkejut, jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi karena dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan keluar goa yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di kamar See-thian Hoat-su saja.

Di luar goa juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit. Dia melihat sesosok tubuh seorang wanita berdiri di luar goa itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai dulu dan jantungnya berdebar penuh kegirangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya!

Wanita itu memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun Pasir! Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing dari dunia ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk mencari putera mereka yang hilang! Mereka mencium jejak putera mereka itu dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu. Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya, karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk mendapatkan kembali jejak yang hilang itu.

Di dalam perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng mendengar desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang puteri yang terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada ‘Puteri Bhutan’ dilarikan iblis dan dikejar dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan beberapa orang pembantunya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang lagi-Iagi menimbulkan geger di tempat ini!

Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Goa Tengkorak pada malam hari itu. Tetapi dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu menggunakan tenaga khikang-nya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu.

“Adik Ceng...!” Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar.

“Enci Syanti...!”

Dua orang wanita ini saling rangkul.

“Aihhh, kiranya benar engkau, Enci Syanti!”

“Adik Candra... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu...“

Pada saat itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini langsung menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat-cepat mendorong tubuh Syanti Dewi, “Enci, menjauhlah!” katanya dan dia cepat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main.

“Desssss...!”

Tangkisan Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mukjijat. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang sekarang menjadi suaminya, telah berhasil memperoleh anak naga yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, walau pun untuk itu Kao Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu.

Setelah Ceng Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya, tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga dia telah memperoleh tenaga mukjijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mukjijat itu dengan baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.

Tubuh Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka saling bertemu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya.

Tadi kakek ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia tidak berani sembrono menyerbu ke dalam goa dan hanya menanti saat baik selagi puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari luar goa membuat dia terheran-heran, akan tetapi giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam goa dan cepat dia lalu menerjang wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika wanita itu menangkis dengan tenaga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang sampai jauh!

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam goa sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh. Terjadilah pertempuran yang amat seru dan dahsyat di depan goa, di dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka berdua lebih mengandalkan ketajaman pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan lawan dari pada ketajaman pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu.

Syanti Dewi tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng Ceng diserang kakek botak dari dalam goa, dia terkejut. Kakek itu adalah See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak untuk berseru agar mereka berhenti berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak, akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat memondongnya dan menyelinap pergi di dalam kegelapan malam.

Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang dengan hebat dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan kenyataan bahwa lawan masing-masing amat lihai.

“Plak-plakkk!”

Untuk ke sekian kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bahwa wanita yang dilawannya memiliki sinkang yang amat mukjijat dan kalau saja pertandingan itu dilanjutkan beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya yang dapat tergetar dan rusak!

Maka dia kemudian mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihirnya untuk mengalahkan lawannya. Kalau saja cuaca tidak segelap itu, dengan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan ini. Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir, akan tetapi justeru pada saat itu lawannya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk menggunakan sihir oleh karena sekali saja terkena pukulan wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, akan sangat berbahaya baginya.

Sementara itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan penculiknya ternyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat dia menjadi marah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang itu dari seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas oleh Tambolon dan kawan-kawannya yang tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya kembali dan semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak pernah dipergunakannya.

Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga-jaga saja karena dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.

“Ihhhhh...!” See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau kehitaman yang mendirikan bulu roma itu.

“Penculik hina dina!” Ceng Ceng lalu memaki. “Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, maka engkau pun akan tewas di tanganku!” Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban dengan ganasnya!

“Heiii... nanti dulu...!” See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru, “Nanti dulu, nanti dulu!”

“Kau mau bicara apa lagi?” Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar seperti mata seekor naga berapi hingga kembali See-thian Hoat-su terkejut dan merasa ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu dengan sihirnya.

“Engkau mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Aneh… sungguh aneh sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan benarkah dia ini adikmu?”

Akan tetapi, tentu saja tak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh dan mencari Syanti Dewi.

“Enci Syanti Dewi...! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!” teriaknya pula.

Akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari cari, namun Puteri Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

“Celaka...!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya. “Selagi kita berdua saling hantam, ada orang ketiga yang datang dan membawanya lari!”

Ceng Ceng terkejut dan membenarkan dugaan itu. “Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan mengejar!” Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari.

Sia-sia saja mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam berganti pagi. Akhirnya mereka kembali ke depan goa dan saling berjumpa di depan goa dengan alis berkerut. Kini mereka dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat wajah kakek botak berambut putih itu.

“Siapakah Locianpwe? Dan bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?” tanyanya sambil memandang tajam.

See-thian Hoat-su bersungut-sungut. “Kalau kau benar-benar adiknya, mengapa datang malam-malam seperti pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian mengerikan?”

Ceng Ceng membelalakkan matanya. “Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!” Tentu saja dia pernah mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang melawan Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang merobohkan nenek Durganini dan membawanya pergi.

“Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti Dewi, yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di Bhutan. Sekarang saya telah menjadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir.”

“Aaahhhhh...!” Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau aku menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami sampai di sini.”

“Sayalah yang harus minta maaf, Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu sekarang, bahwa saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini perbuatan dewa hitam itu!”

“Dewa hitam? Apa pula maksudmu, Toanio?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata, “Mari kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita tuturkan.”

Memang Ceng Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam kecemasan memikirkan nasib puteranya yang lenyap dan belum juga dapat dia temukan. Kini ditambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja dia merasa semakin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia masuk ke dalam goa besar, dia hanya mengangguk dan mereka lalu memasuki tempat itu.

Setelah duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa mereka melihat seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek, dan betapa kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat. Penghuni dusun lalu menyebar luaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri.

“Mendengar puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, dan menduga bahwa Enci Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan pengejaran. Ketika saya memanggil Enci Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan sempat berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu sehingga dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul dan menyerang saya. Karena mengira bahwa tentu Locianpwe adalah sekutu dari penyerang pertama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti.”

See-thian Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. “Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?”

“Pesta apa yang Locianpwe maksudkan?” Ceng Ceng bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang. “Sebaiknya kuceritakan dari permulaannya,” katanya. “Ketika itu aku sedang bertapa dan mengundurkan diri di goa ini setelah muridku yang bernama Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan meluaskan pengalaman. Akan tetapi tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu...“ dia berhenti dan menghela napas panjang.

“Nenek Durganini...?” Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah nenek itu.

“Siapa lagi kalau bukan dia?” Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar dari siulian. Dia datang dan marah-marah, katanya dia mendengar dari muridku bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang! Aku maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan hatinya dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang Syanti Dewi.”

“Ahhh...? Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba dapat berada di sini lagi.”

“Aku pun baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari ke sini. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san. Secara kebetulan saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang In, yang melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini dan hendak menghajarnya.” Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan kenakalan muridnya.

“Nenek gila itu paling benci mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun dan mendengar ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu meninggalkan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik. Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap hendak menculik Syanti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya. Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan Syanti Dewi terculik lagi.”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. “Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan berada di tempat ini?”

“Dia menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi keributan di negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan ltu sehingga tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku itulah yang sudah membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak mencari Tek Hoat, akan tetapi sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang.”

“Hemmm, sungguh kasihan Enci Syanti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?”

Kakek itu mengepal tinjunya. “Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi, Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti hanya terdapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh bertanya?”

Ceng Ceng menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap. “Sudah berbulan-bulan saya dan suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah hilang.”

“Hilang?”

“Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga sampai kini kami belum berhasil.”

“Aihhh, manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan berpikir panjang untuk melakukan hal itu,” kata See-thian Hoat-su dengan heran. Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang yang berani menculik puteranya?

“Buktinya ada yang menculiknya!” kata Ceng Ceng gemas. “Kalau saja aku dapat menangkap penculik hina itu!” Dan dia mengepal tinjunya.

See-thian Hoat-su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah merasakan kelihaian nyonya muda ini, apa lagi pedangnya yang mengerikan itu. Baru nyonyanya sudah demikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!

“Aku akan mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagai mana ciri-cirinya?”

“Banyak terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe,” kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya menemukan puteranya. “Nama putera kami itu adalah Kao Cin Liong, usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan matanya lebar, di bawah telinga kirinya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya.”

“Baik, aku akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku akan berangkat hendak mencari jejak Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu.”

“Terima kasih, Locianpwe.”

Mereka keluar dari dalam goa dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah. Di sepanjang jalan See-thian Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan. Tadinya, setelah muridnya Siang In meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai, bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat pertapaannya, di Goa Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia! Dan setelah kini melihat Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia akan selalu merasa bersalah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali.

“Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai...“ gerutunya, namun tetap saja dia melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat goanya, dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.

********************

Warung nasi itu penuh dengan orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim dan masakan-masakan yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya dibandingkan dengan harga makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh dengan tamu, apa lagi di waktu siang dan malam, waktunya orang-orang makan siang dan makan malam.

Siang itu hawanya panas bukan main, apa lagi di dalam restoran kecil atau warung nasi itu, seolah-olah merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal-hal yang hebat. Selagi banyak orang makan minum sambil bercakap-cakap, masuklah seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita yang usianya mendekati empat puluh tahun namun masih kelihatan muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir tersenyum genit. Pakaiannya serba indah dan pesolek, bibirnya yang memang bagus sekali bentuknya itu kemerahan oleh gincu, juga kedua pipinya ditambahi bedak dan pemerah pipi, di punggungnya tergantung pedang.

Wanita ini memasuki restoran dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit pinggulnya yang terbungkus ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia melenggang, membuat beberapa orang yang sedang makan mi terpaksa harus menjulur-julurkan lehernya karena mi panjang yang ditelannya itu nyasar, mata mereka melotot dan melekat kepada buah pinggul yang menari-nari. Pemuda di sebelah wanita itu masih muda, baru dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan dengan muka yang membayangkan kekerasan, agak muram dengan mata tajam dingin, mulutnya tertarik seperti orang mengejek, dan sikapnya tidak mempedulikan siapa pun.

Wanita itu adalah Lauw Hong Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman Kucing, dan yang berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan dari kisah ini, mereka meninggalkan sarang perkumpulan Hek-eng-pang untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti kita ketahui, Ang Tek Hoat yang dibantu oleh Yang-liu Nionio, ketua Hek-eng-pang, telah menyerbu puncak Naga Api dan berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun.

Akan tetapi, ternyata yang mereka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya hanyalah seorang pelayan! Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka menjadi korban kenakalan kakek See-thian Hoat-su yang telah membawa lari Syanti Dewi. Dan ketika Ang Tek Hoat hendak pergi meninggalkan Yang-liu Nionio, Mauw Siauw Mo-li mengatakan bahwa dia melihat ada seorang gadis mencari-cari Puteri Syanti Dewi dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat untuk membantu pemuda itu mencari kekasihnya.

Demikianlah, hari itu mereka tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang mencari-cari Syanti Dewi, dan memasuki restoran di mana dia beberapa hari yang lalu melihat gadis itu. Dan Mauw Siauw Mo-li memang tidak berbohong. Di restoran ini, beberapa hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi muridnya, Yang-liu Nionio, dia memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari Syanti Dewi dan gadis ini bukan lain adalah Siang In yang masih terus menyelidiki dan mencari sahabatnya itu.

Tentu saja Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya untuk membantu orang lain tanpa ada pamrih lain di dalam hatinya. Begitu dia bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang pernah membangkitkan gairah birahinya lima tahun yang lalu, maka timbuliah hasratnya untuk mendekati pemuda tampan dan gagah ini. Maka dia menawarkan bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi jalan agar dia dapat mendekati Si Jari Maut, pendekar muda yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu.

Akan tetapi selama tiga hari tiga malam ini, dia sama sekali belum berhasil ‘mendekati’ Ang Tek Hoat yang bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi, ketika mereka melewatkan malam di hutan dan pagi tadi dia sengaja mandi di sumber air dengan bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian Tek Hoat, pemuda itu malah marah-marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tak pernah mau melirik, apa lagi mengagumi keindahan bentuk tubuhnya! Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi gemas dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali. Tidak mengindahkan dan tidak menyatakan kagum terhadap keindahan tubuhnya merupakan penghinaan! Dan kalau saja bukan Tek Hoat, tentu dia sudah akan membunuh pria yang berani menghinanya seperti itu.

Akan tetapi terhadap Tek Hoat dia tidak berani main-main karena dia maklum betapa lihainya pemuda ini dan betapa berbahayanya untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi itu tanpa pembantu. Maka dia menahan kesabarannya dan mengambil keputusan untuk berhati-hati dan bersikap cerdik menghadapi pemuda ini, akan perlahan-lahan memasang jaringnya untuk menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya.

Semua mata para tamu yang terdiri dari kaum pria itu tidak ada yang tidak memandang kepada Mauw Siauw Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang cantik manis dan sudah matang! Tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan mereka, melainkan tersenyum bangga dan sadar akan kekaguman yang membanjiri dirinya dan matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu dia menggapai ke arah pelayan itu.

Pelayan itu sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu. Ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki berisi masakan kepada seorang rekannya dan dia sendiri tergesa-gesa menghampiri wanita cantik itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum dengan sikap penuh hormat dan penjilatan.

“Ahhh... apakah Toanio dan Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat yang kosong dan enak bagi Ji-wi (Anda berdua).”

Mauw Siauw Mo-li mengangguk dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar mereka ke sudut di mana terdapat meja kosong yang cepat dibersihkannya dengan kain yang selalu tergantung di pundaknya.

“Toanio hendak pesan apa? Dan Kongcu?” tanyanya ramah.

“Keluarkan mi, daging dan sayur terbaik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri yang melayani kami karena kami ingin bicara denganmu.”

Pelayan itu membelalakkan matanya yang kecil sipit, tetapi lalu tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk seperti seekor ayam sedang makan beras. “Baik, Toanio, baik...“ dan dia lalu mengundurkan diri untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw Mo-li itu.

“Dialah yang ketika itu ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang melayani klta,” bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk.

Pelayan itu datang membawa masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua itu di atas meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil tersenyum-senyum dan siap untuk melayani dua orang ini kalau-kalau membutuhkan sesuatu.

Mauw Siauw Mo-li mengajak Tek Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa kenyang dan menyusut bibirnya yang merah dan berminyak itu dengan sapu tangan, dia memberi isyarat kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan membongkokkan tubuhnya agar kepalanya lebih dekat dengan wanita itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan wanita itu.

“Aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan sebenarnya. Kalau kau memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir, aku akan memberi hadiah kepadamu. Tapi jika kau berbohong atau menyembunyikan sesuatu, pedangku tidak akan segan-segan untuk menyembelih lehermu.”

“Uhhhhh...! Ti... tidak... mana saya berani...“ Pelayan gendut itu berkata dan tubuhnya menggigil.

Mauw Siauw Mo-li terkekeh sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh dari situ menoleh semua. Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya mengerling penuh daya tarik kepada mereka, empat orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentu terdiri dari kongcu yang beruang itu juga tersenyum-senyum. Bahkan seorang di antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh tahun, pakaiannya rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li. Sambil terkekeh genit wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga laki-laki itu kelihatan girang bukan main lalu minum araknya. Mereka berempat lalu tertawa-tawa dan berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan hati muak, akan tetapi dia pura pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang kepada pelayan gendut itu.

Setelah sedikit gangguan main mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li kembali menghadapi pelayan dan mulailah dia bertanya, “Beberapa hari yang lalu aku juga makan di sini...“

“Ahhh, saya ingat, Toanio. Saya ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut karena saya merasa pernah melihat Toanio...,“ pelayan itu cepat berkata.

“Dan pada waktu itu, engkau melayani seorang gadis cantik berbaju sutera merah indah dan membawa payung. Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa dengan paksa oleh seorang kakek.” Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu mengerutkan alis mengingat-ingat.

Ketika dia membayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di dusun Khun-kwa tak jauh dari kota ini, dia terus mengikuti gadis itu sampai gadis itu memasuki rumah makan di kota ini. Akan tetapi karena pada waktu itu terdapat banyak sekali tamu dan suasana amat berisik, maka dia tidak dapat mendengarkan percakapan antara gadis itu dan pelayan gendut ini dengan jelas, hanya melihat si gendut ini menggerak-gerakkan tangan. Pada waktu itu dia tidak begitu memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan urusan itu, akan tetapi setelah dia berniat membantu Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh gadis itu tentulah Puteri Syanti Dewi.

“Ahhh, sekarang saya ingat, Toanio. Benar..., gadis membawa payung...“

“Nah, dengarlah. Aku juga ingin mencari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Ke manakah mereka?” Lalu dia menambahkan, “Awas, jangan berbohong kau!”

“Aihhh, mana saya berani berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya ceritakan kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan gadis seperti yang dimaksudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya tidak tahu ke mana mereka pergi. Hanya di waktu makan, saya mendengar kakek itu menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya ketahui dan demikian pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio.”

“Pantai Lautan Po-hai?” Tek Hoat mengulang dan alisnya berkerut. “Kalau begitu, aku akan menyusul ke sana!” katanya dan alisnya berkerut makin dalam ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li sudah tersenyum-senyum dan bermain mata lagi dengan laki-laki berbaju kuning di meja lain itu. Ternyata Siluman Kucing ini tidak mendengarkan atau mempedulikan keterangan si pelayan sama sekali, tetapi asyik bermain mata dengan laki-laki itu!

Tiba-tiba laki-laki itu yang agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan permainan mata dan bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah yang agak terhuyung dia menghampiri meja wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan berdiri tidak lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia tersenyum lebar kepada Mauw Siauw Mo-li.

“He-he-he, engkau... he-he, cantik seperti bidadari... mari kita makan minum bersama... he-he-he, tentu kita berdua akan senang sekali...”

“Prattt...!”

Laki-laki itu menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw Mo-li. Bukan hanya karena kuah itu panas yang membuat laki-laki itu kini bergulingan dl atas lantai sambil menjerit-jerit, akan tetapi karena kuah itu dilemparkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini tertawa terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang.

Tentu saja tiga orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah sekali melihat teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa teman mereka itu dipukul atau terkena senjata lain karena kalau hanya kuah, tidak mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak mereka bangkit dan lari menghampiri meja Mauw Siauw Mo-li.

“Kau apakan teman kami?” bentak mereka.

“Hi-hik, dia terlalu mabuk dan kalian juga!”

Kini berhamburanlah mangkok-mangkok beserta sumpit-sumpit dari atas meja di depan wanita itu dan terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang laki-laki ini pun terpelanting dan roboh bergulingan seperti teman mereka yang pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit matanya, ada pula yang pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala sampai pecah mangkok itu sehingga pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu segera menjadi geger dan para tamu banyak yang lari keluar.

Melihat ini, hati Tek Hoat terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari tempat itu tanpa mempedulikan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini cepat memburu.

“Ehh, nanti dulu, Ang-sicu...!” Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi, bahkan tidak peduli ketika Mauw Siauw Mo-li melangkah di sampingnya dan mereka keluar dari kota itu.

Setelah mereka jauh meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali tidak mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li lalu berkata, “Ang-sicu, apakah kau marah kepadaku?”

Tek Hoat tidak menjawab dan ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil memegang tangannya, Tek Hoat malah mengibaskan tangan itu terlepas dan membalik, matanya memancarkan sinar berkilat. “Pergilah dan jangan membikin aku merah!” hardiknya. Dia sudah siap untuk menyerang!

“Eh, ehh, Ang Tek Hoat!” Mauw Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut. “Berhari-hari aku selalu bersikap hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada di sampingmu karena hendak membantumu mencari Syanti Dewi?”

Tek Hoat menghela napas. Benar juga, betapa pun wanita ini telah berusaha membantu menemukan kembali jejak Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan agak mereda kemarahannya. ”Sepak terjangmu membuat aku kesal dan marah.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Mulut yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak deretan gigi yang rapi dan putIh, rongga mulut yang merah seperti daging mentah yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.

“Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?” tanyanya halus, sikapnya merendah.

Ang Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang sudah dilakukan oleh wanita ini? “Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!” akhirnya dia berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.

“Ehhh?? Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati?”

Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. “Aku tidak membela mereka atau siapa pun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?”

Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai. “Jadi engkau... engkau memperhatikan semua itu? Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka?” Pandang mata itu kini penuh selidik.

Wajah Tek Hoat menjadi merah.

“Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku.”

“Aihhh... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku kini berhadapan dengan Si Jari Maut? Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut? Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mukjijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor domba yang jinak?”

“Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut... Aku benci kepadanya! Aku benci...!” Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka berdua berhenti di dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu.

Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersemedhi beberapa lama lalu tidur sambil bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah.

Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, dan pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, serta bayangan muram pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan.

Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama berhari hari dia tak berhasil ‘mendekati’ pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja tadi telah membuat empat orang laki-laki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!

Kalau dia mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya, namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu!

Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Perbedaannya yaitu, kalau Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Ang Tek Hoat sebaliknya, seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!

“Aihhh... mengapa engkau begitu angkuh...?” keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu.

Sudah berhari-hari dia tak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar, akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu!

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon-pohon yang gelap. Tak lama kemudian dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran. Mauw Siauw Mo-li tersenyum.

Dia sedang ‘haus’ dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang datang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik, pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan memapaki lima orang itu.

“Ohhh...!” Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.

Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li berseru, “Ini dia siluman itu!”

Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.

“Tolonggg...! Toloonggggg... Ang-sicu...!” Terdengar dia menjerit-jerit.

Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.

“Uhhh... uhhhhh... keparat kalian... iiihhhhh, tolooonggggg...!”

“Jahanam...!” Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya cepat bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!

“Uuuhhhhh... hu-huuuk, Sicu...!” Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat.

Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu. Dia menuduk, lalu memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya, “Kenapa... apa yang terjadi...?”

Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya!

Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung yang kembang kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.

“Apa yang kau lakukan ini?” dia membentak.

“Tek Hoat... ahhh, Tek Hoat...” Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, namun Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.

“Mo-li, apa yang kau lakukan ini?” kembali dia membentak.

“Tek Hoat... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku... sebab engkau telah menyelamatkan aku dari pada penghinaan... lihatlah pakaianku... dan mereka... mereka jahanam-jahanam itu...“ Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya sendiri.

Tek Hoat membuang muka. “Huh, kau... kau telah menipuku, Mo-li!” Tek Hoat berseru marah dan kini dia memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. “Kau pura pura kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan.”

“Tidak... tidak... aku... aku hampir...“

“Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku... si tolol... aku terlebak! Dasar engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!”

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit. “Hi-hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita berdua memang cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan? Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa saat ini tubuh kita saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?”

“Wuuuuuttttt...!”

Jari tangan Tek Hoat menyambar, akan tetapi dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari sambaran jari tangan maut itu.

“Perempuan tak tahu malu!” Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu birahi! Tadi, pada saat mulutnya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.

“Hi-hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepadamu!”

“Wuuuttttt... brakkkkk!”

Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, lalu pemuda ini membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam. Pada keesokan harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu.

“Tek Hoat tunggu...!” Terdengar teriakan dari belakang.

“Keparat...!” Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan untuk membunuh wanita itu.

Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam pandang mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di pinggangnya, di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak.

“Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akan main-main lagi, aku bicara sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kau kira di mana engkau akan dapat menyusul Syanti Dewi?”

Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguh pun dia masih marah. “Di pantai Po-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu.”

“Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai berapa tahun kau akan berhasil? Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek yang lihai, dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi.”

Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu saja. “Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan membunuhmu!”

“Hi-hik, kau kira aku wanita macam apa mudah saja kau bunuh? Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau aku benar-benar cin... ehh, suka kepadamu?”

“Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?!”

“Hemm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Telah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai... apa pun, pendeknya, sebagai sahabat. Oleh karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini untuk mengaku. Andai kata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekali pun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekali pun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini dari pada memusuhinya, apa lagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang.

“Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku takkan menuruti permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan.”

Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hubungan antara pria dan wanita, yang penting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta!


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 12


Jodoh Rajawali Jilid 11

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

JODOH RAJAWALI JILID 11
Maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia yang akan celaka akibat kalah cepat oleh gerakan suling, maka Kian Bu kemudian mengambil keputusan untuk menggunakan pukulannya yang paling ampuh dan paling hebat. Kalau dia tidak dapat merobohkan lawan, tentu dia yang akan roboh. Gulungan sinar emas itu terlalu cepat baginya!

Maka tiba-tiba pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang bertentangan, yaitu yang kanan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya sehingga pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus lawan, sedangkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku darah dalam tubuh lawan.

“Ihhhhh...!” Kakek itu berseru keras.

Dia pun mendorongkan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan mukjijat itu, dan sulingnya dia sambitkan ke depan pada saat dia mendorongkan kedua tangannya. Suling Emas itu meluncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu seperti kilat menyambar.

“Desssss... tukkkkk...!”

Tubuh kakek itu terlempar ke belakang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri terpelanting dan roboh terguling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok ketiak kirinya sehingga dia roboh dan merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh sama sekali!

“Ughhh... ughhh...!” Sin-siauw Sengjin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan tetapi dia segera memejamkan mata dan mengatur pernapasan sehingga sebentar saja pulih kembali kekuatannya. Dia membuka mata dan menghampiri Kian Bu yang masih rebah miring dengan sinar mata penuh keheranan dan penasaran. Suling Emasnya yang menggeletak di atas tanah, lalu dipungutnya kembali dan diamat-amatinya.

“Saya... saya... mengaku kalah, akan tetapi... tunggu lima tahun lagi... saya pasti akan mencari Locianpwe dan membuat perhitungan... ahhhhh...,“ Kian Bu mengeluh karena totokan itu hebat bukan main dan agaknya bukan hanya menghentikan jalan darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya yang sebelah kiri.

Mendengar ucapan Kian Bu itu, Sin-siauw Sengjin mendengus, lalu dia berkata, “Orang muda ini terlalu berbahaya...,” seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya sendiri, lalu nampak sinar emas berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke arah tubuh Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu.

Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang mengarah ke kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya.

“Desss...!” Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan!

“Omitohud...!” Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah!

Kakek itu dan muridnya terkejut, akan tetapi segera mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat gerakannya itu. Sin-siauw Sengjin kemudian berkata, “Kiranya Kim Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urusan kami?”

“Siancai… siancai… siancai...!” Kim Sim Nikouw berkata halus. “Seorang yang gagah perkasa seperti Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri? Omitohud... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya... Omitohud...!”

Wajah kakek itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedungnya, diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya. Dengan gerakan kaki yang cepatnya luar biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu.

Perlahan-lahan Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya. Sentuhan jari tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya. Tubuhnya lemah sekali dan dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah!

Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang lembut, sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa lagi orangnya yang memiliki mata sebening dan seindah itu, semesra itu memandangnya kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi yang dapat mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang menyentuh demikian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan jari tangan ibunya?

“Ibuuuuu...,” Dia memanggil dengan suara bisikan panjang.

Mulut itu tersenyum dan sepasang mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah dia melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan seorang wanita perkasa yang belum pernah dilihatnya menangis!

Kian Bu membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw berkerudung kain kuning. Seorang nikouw yang pernah dijumpainya di lereng bukit, nikouw pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah pandai terbang!

“Suthai...,” Kian Bu memanggil lirih.

“Omitohud... terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha...! Engkau sudah siuman, Suma-sicu? Aihhh, betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama seperti... seperti... sudah tak bernyawa lagi...,” Nikouw itu menghapus dua titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar.

Pada saat Kian Bu hendak bangkit duduk, dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh tidak dapat digerakkan. Nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan memegang pundaknya, merapatkan duduknya.

“Jangan bergerak dulu... lukamu amat parah dan hebat...”

“Ouhhhhh...!” Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia teringat akan semuanya. “Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?”

“Sudah tiga hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu pertanda baik sekali.”

“Jadi... Suthai yang menolong saya...?”

Nikouw itu menaruh telunjuk ke depan mulut. “Sssttt... janganlah banyak bicara dulu, anakku. Kau harus banyak beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini tidak percuma pinni mempelajari ilmu pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan sekarang beristirahatlah.”

Nikouw itu cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk dengan merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai habis.

“Nah, kau tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu,” kata nikouw itu setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa senyum dan memejamkan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.

Beberapa hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh. Meski dia sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerakkan kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya. Ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijinkannya. Melihat setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tak ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu menyebutnya ‘anakku’!

“Nah, sekarang bahaya telah lewat!” pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan wajah berseri. “Engkau sudah tidak terancam maut lagi dan kini tinggal memulihkan tenaga.”

“Akan tetapi kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak...”

“Jangan khawatir. Memang pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh rangkaian urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni yakin engkau akan sembuh kembali sama sekali.”

“Betapa, besar budi Suthai kepada saya...” Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa terharu sekali.

Nikouw tua itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya. “Sekarang engkau sudah tidak terancam bahaya. Bolehlah kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama ayahmu?”

“Ayah? Ayah bernama Suma Han...”

“Han Han... ahhh, sudah kuduga... wajahmu, sikapmu... dan Swat-im Sin-ciang itu...! Dugaanku tidak salah... ahhh, Han Han...” Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum ketika dia memandang pemuda itu melalui air matanya. “Engkau puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau juga anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku...”

“Apa maksudnya ini, Suthai?” Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri Nirahai, mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya?

Nikouw itu kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya, mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan karena terharu dan gembira!

“Jangan salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan... ehhh, siapa ibumu?”

“Ibu adalah Puteri Nirahai.”

“Hemmm, pantas... pantas...! Kuulangi lagi, janganlah kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah bundamu itu, dan aku... aku hanyalah bekas sahabat baik ayahmu, bahkan dahulu... dahulu sekali… puluhan tahun yang lalu, saat namaku masih Kim Cu, di antara ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kau gunakan tadi. Dan dahulu... dahulu... sekali... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku... aku mencintanya. Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku dengan engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-akan juga anakku sendiri, Kian Bu.”

Kian Bu mendengarkan penuh keharuan. Nikouw ini pada waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!

“Bagaimana keadaan ayahmu, Kian Bu?” tanya nikouw itu sambil mengusap air mata untuk ke sekian kalinya.

“Baik, Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya... telah beberapa lama meninggalkan Pulau Es.”

“Jadi ayahmu hidup bahagia?”

Kian Bu mengangguk.

“Terima kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih!” Nikouw itu berseru. “Betapa bahagianya mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!”

Kian Bu memandang wanita itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya bertanya, “Di wakktu muda dahulu, Suthai... mencinta ayahku?”

Nikouw itu memandangnya, mengangguk dan menarik napas panjang. “Sampai detik ini tak pernah aku berhenti mencintanya.”

“Dan ayah... apakah ayah juga membalas cinta kasih Suthai?”

Nikouw itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta? Mungkin sekali, ya, aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku mencintanya...”

“Dan Suthai tidak menderita sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang ayah?” Kian Bu makin terheran.

“Puluhan tahun aku telah menderita, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu bukanlah akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah benar-benar dikatakan bahwa cintanya itu murni, apa bila dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik orang itu menjadi jodohnya atau pun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia, Han Han seorang yang amat baik...,” dan dia berhenti sebentar. “Entah berapa puluh tahun setiap hari pinni bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia dapat hidup berbahagia. Ternyata doa pinni telah terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali...”

“Ahhh, betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni... dan sekarang Suthai telah menyelamatkan nyawa saya... ahh, bagaimana saya akan dapat membalas semua budi Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang demikian suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada saya?”

“Budi? Membalas budi? Omitohud... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam, itulah biang segala pertentangan! Tetapi, karena hal itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat kemanusiaan, maka supaya hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa berhutang budi, baiklah kau balas dengan cara... mau kuanggap sebagai anakku. Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku, aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa seakan-akan engkau adalah anakku sendiri.”

Kian Bu menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata, “Ibu...”

Kim Sim Nikouw merangkulnya dan menangis!

Sampai lama nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, lalu dia dapat menekan perasaannya, duduk dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya bercahaya, dia mengelus dahi pemuda itu. “Terima kasih, anakku, terima kasih. Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti sedia kala.”

“Terima kasih, Ibu. Akan tetapi sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu.”

Kian Bu tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.

“Dulu aku bernama Kim Cu, anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku pula dalam hal keagamaan dan melayani orang-orang yang datang untuk bersembahyang ke kuil ini.”

“Aku ingin sekali cepat sembuh, Ibu.”

“Jangan khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari pengobatan selama puluhan tahun ini.”

“Aku harus cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin,” kata Kian Bu sambil mengepal tinju kanannya.

Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu. “Kau mendendam karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?”

Kian Bu juga memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu, dia cepat-cepat menggeleng kepalanya, “Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan karena aku harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya.”

Kim Sim Nikouw membelalakkan matanya. “Apa maksudmu?”

“Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin juga dia memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini.”

Nikouw itu mengerutkan alisnya. “Ahh, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang kau pergunakan pun tidak mampu mengalahkannya.”

“Betapa pun, setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu.”

“Kau dapat belajar, anakku! Dan jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu puluhan tahun ini hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu baru, anakku.”

“Aku telah melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa.”

“Itu satu di antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo, dan aku tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi lawannya. Biar pun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, tetapi menurut perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang mau pun Swat-im Sin-ciang tidak akan mampu menandinginya.”

“Ah, kalau begitu Ibu harus mengajarkannya kepadaku!” Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan kirinya masih lumpuh. “Ah, mana mungkin aku dapat belajar dalam keadaan begini?”

“Kau harus bersabar, anakku. Keadaanmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang Hui-teng bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apa lagi melatih penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri sudah mencoba sampai belasan tahun, namun belum juga berhasil.”

“Ahhh, kalau begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!”

“Hemmm, lupakah kau bahwa engkau berjanji akan menemuinya lagi setelah lewat lima tahun?”

“Apa? Apakah maksudmu, Ibu?” Kian Bu berseru kaget.

Nikouw itu tersenyum. “Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali hingga engkau sampai tidak ingat lagi apa yang kau ucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau mengaku kalah dan dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan.”

“Ahh, kenapa begitu lama?”

“Malah sebaiknya begitu, anakku. Engkau bisa menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?”

Suma Kian Bu menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu…..

“Demikiahlah, Lee-ko, riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak pernah pulang ke Pulau Es.” Kian Bu mengakhiri ceritanya. “Selama kurang lebih tiga tahun itu aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw, dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku juga dapat menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang sudah diajarkan oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun.”

Semenjak tadi Kian Lee mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.

“Dan pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu...?” tanyanya kagum.

“Itulah hasil dari melatih diri menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dengan Swat-im Sin-ciang, yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku.”

“Hemmm, rambutmu lalu menjadi putih semua?” Kian Lee memandang kepala adiknya itu. “Itu disebabkan melatih sinkang mukjijat itu?”

“Sebagian dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih selama tiga tahun dan berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku.”

Kian Lee mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar dan mengenal namamu itu, Bu-te. Semenjak aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguh pun aku sama sekali tidak menyangka bahwa engkaulah orangnya. Pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika aku terancam bahaya, orang orang yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya.”

Kian Bu memandang kepada kakaknya dengan heran. “Menegurnya?”

“Benar, dan sekarang aku akan langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang kau lakukan terhadap Nona Cui Lan sungguh keterlaluan!”

“Ehh, ada apa dengan dia?” Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak.

“Dia seorang gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta kasih yang murni terhadap dirimu, namun engkau melupakan dia begitu saja dan membiarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?”

Kian Lee lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur Ho-nan, kemudian tentang keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei dan ketika mengerahkan teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan cinta kasihnya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan.

Mendengar semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu lalu menundukkan mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan menegurnya, dia berkata, “Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka aku sengaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia membenciku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak. Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura membalas cintanya dan bersikap palsu?”

Kian Lee menjadi terharu dan memegang tangan adiknya yang wajahnya menjadi agak pucat. Dia menghela napas.

“Tentu saja tidak, adikku. Asal kau tidak mempermainkannya, dan mendengar ceritamu, agaknya memang engkau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu kalau dia mencintamu tanpa dapat kau balas karena engkau mencinta orang lain. Aihh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak kesengsaraan karena cinta? Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula engkau, adikku...”

“Lee-ko, tidak perlu engkau mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita berdua amat lemah, bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam persoalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain, tetapi mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan sungguh ayah kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu.”

“Memang luar biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kau ceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi tekanan batinnya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bu-te.”

“Ahh, aku bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada wanita lain.”

Biar pun mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang sangat cantik itu terbayang di depan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata, “Dan aku akan mencontoh ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi dapat hidup berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan.” Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu.

Mendengar penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang. “Sungguh aku khawatir sekali bahwa kenyataannya tidak seperti yang kau harapkan itu, adikku.”

“Apa maksudmu, Lee-ko?”

“Tentang kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini telah aku bertemu dengan Ang Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat.”

Kian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya, mengenai perjalanannya mencari adiknya itu, lalu pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang menyerangnya dan menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan juga menculik keluarganya. Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di istana Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan Gubernur Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan.

Mendengar cerita kakaknya itu, bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir mendengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar dari pada kemarahannya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.

“Apakah yang telah terjadi dengan Syanti Dewi?” katanya dengan alis berkerut. “Andai kata Syanti Dewi berada di sisi Ang Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi sesuatu!” Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah. “Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!”

“Tenanglah, Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini yang belum tahu semua persoalannya, tidak baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apa lagi mengandung kemarahan di dalam hati terhadap seseorang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya berbuat demikian.”

“Hemmm, aku sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Tetapi...” Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini, keponakan langsung dari ibunya, karena Tek Hoat adalah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja.

Mereka kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah sempat dicuri oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai Po-hai di teluk sebelah utara.

“Hemmm, banyak persoalan yang harus kita hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang masih belum beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan.”

“Akan tetapi engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah sehat benar, dan nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu sudah menyusul!”

Benar saja, muncullah Sai-cu Kai-ong. “Wah, jangan lama-lama membiarkan diri ditiup angin sejuk, Kian Lee taihiap!” Kakek itu segera menegur. “Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!” Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, “Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah habis dan obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk mencari dan membelikan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap.”

“Tentu saja saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami dua kakak beradik yang sudah menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri, maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami,” kata Kian Bu.

“Benar apa yang dikatakan adikku, Locianpwe,” sambung Kian Lee.

“Ha, kalau begitu kalian harus membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku.” Mereka bertiga tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat tinggal kakek itu yang seperti istana kuno dikelilingi tembok tebal seperti benteng.

Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat kedua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu Kai-ong berkata, “Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kalian akan kubawa berkeliling dan melihat-lihat rumah peninggalan nenek moyangku ini.”

Mereka memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang berpakaian pengemis dan setelah perlahan merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek itu…..

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu. Kita melihat dia yang terakhir berada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang Hun, majikan Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san dekat belokan Sungai Huang-ho. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tang Hun sastrawan yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-gila kepada Syanti Dewi dan memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia.

Akan tetapi di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi telah hilang tanpa diketahui jejaknya! Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah perkasa dan pandai ilmu sihir yang berusaha menolong dan membebaskan Syanti Dewi, juga tidak tahu ke mana perginya puteri itu. Bukan dia saja, malah Ang Tek Hoat, yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan Syanti Dewi, juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun tidak tahu ke mana lenyapnya Syanti Dewi yang asli!

Ke manakan perginya Syanti Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan yang amat ketat itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti Siang In, dan dari pencarian seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih dibantu oleh banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita ikuti pengalaman Syanti Dewi semenjak dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu…..

Seperti kita ketahui, Syanti Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In yang mengunjunginya di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu termenung berduka, tidak mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti pakaian, setelah Siang In mengunjunginya dan tahu bahwa gadis yang luar biasa itu akan menolong dan membebaskannya, kegembiraan membuat dia seketika merasa lapar sekali dan dia segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya sehingga para pelayan itu menjadi heran dan juga girang sekali.

Dari dapur yang khusus didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak gemuk yang berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan istimewa di atas meja dalam kamar sang puteri atau calon pengantin wanita itu. Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu cepat makan dan minum, akan tetapi terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik di telinganya, “Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan terlalu banyak.”

Dia menoleh ke kanan kiri. Di situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu ternyata masih berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Pada saat dia bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian koki itu, secara mendadak kakek itu mengedipkan sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan dia seperti sudah mengenal wajah koki itu.

Tahulah dia bahwa suara bisikan yang didengarnya tadi, tentu adalah suara koki itu yang entah bagaimana dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa didengar oleh para pelayan agaknya. Tetapi sebagai seorang yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, seperti pendekar sakti Gak Bun Beng, bekas tunangannya Ang Tek Hoat, puteri sakti Milana, dan banyak lagi orang dari golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti Dewi tidak lagi merasa heran dan tahulah dia bahwa koki itu adalah seorang yang berilmu tinggi!

“Harap kau suruh mereka itu keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu,” kembali terdengar bisikan tadi.

Syanti Dewi tentu saja tidak mempercayai suara itu begitu saja, biar pun dia seperti pernah mengenal wajah koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh mukjijat yang membuat dia tidak dapat menolak lagi! Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia lalu berkata, “Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju biru. Aku tidak suka makan ditunggui banyak orang.”

Para pelayan itu tersenyum dan mereka pun lalu pergi meninggalkan kamar itu, tanpa mempedulikan koki tua yang masih berdiri seperti arca di sudut kamar.

“Kau tutupkan daun pintunya, kunci dari dalam.” Kembali Syanti Dewi berkata kepada pelayan baju biru seperti bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru yang cantik itu mengangguk, lalu menutupkan daun pintu dan menguncinya, kemudian dia kembali duduk di dekat sang puteri untuk melayaninya.

Kini kakek yang berpakaian koki itu melangkah maju mendekati meja, dipandang penuh perhatian dan dengan hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang pelayan baju biru itu melihat kakek ini. Dia terkejut dan heran. “Ihhh, kau masih di sini? Tidak boleh, hayo cepat keluar...”

Akan tetapi tiba-tiba tangan kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari ke pintu, dan tahu-tahu dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya mendekati meja di mana Syanti Dewi masih bengong, lalu terdengar kakek itu berkata lirih namun dengan nada penuh ancaman, “Jangan berteriak, jangan banyak ribut, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau ingin selamat!”

Tiba-tiba sebuah totokan di tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak lagi, hanya matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut. Dicobanya untuk mengeluarkan suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita itu oleh jari tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak dapat mengeluarkan suaranya sama sekali seperti orang gagu!

“Hemmm, apa artinya ini? Siapa engkau?” Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam.

“He-he-he, kau lupa lagi kepadaku, Puteri?” Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti yang biasa dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk ke dalam masakan. Kini kelihatan kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya yang putih. Biar pun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi dengan kakek ini dan biar pun kakek ini sekarang agak gendut perutnya, tapi melihat wajah yang tersenyum-senyum itu teringatlah Syanti Dewi.

“Ah, bukankah Locianpwe ini guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoatsu...?” tanyanya dengan heran.

“Ha-ha-ha, ternyata ingatanmu kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku.”

Hati Syanti Dewi girang sekali. Beberapa tahun yang lalu ketika dia dikejar-kejar oleh Raja Tambolon dan anak buahnya, dia pernah ditolong dan diselamatkan oleh kakek yang pandai ilmu sihir ini dan dari percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa kakek ini adalah guru Siang In. Maka tentu saja dia menjadi girang dan kini menaruh kepercayaan kepada kakek ini.

“Locianpwe, baru saja Siang In juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari sini...”

“Itulah sebabnya mengapa aku datang sendiri, Puteri Syanti Dewi. Keadaan di sini amat berbahaya dan terlalu banyak orang pandai menghendaki dirimu. Rencana Siang In tentu akan gagal kalau aku tidak cepat turun tangan. Sekarang kau diamlah saja dan menurut segala petunjukku.”

Syanti Dewi tidak terkejut mendengar itu sebab dia maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, maka dia lalu mengangguk.

“Cepat kau tanggalkan pakaian luarmu,” bisik kakek itu, dan ketika Syanti Dewi melihat kakek itu mulai menanggalkan pakaian luar pelayan yang ditotoknya itu, mengertilah dia maksudnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan tubuhnya dan menanggalkan pakaian luarnya. Dia tidak perlu merasa malu dalam keadaan seperti itu, apa lagi yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang kakek sakti yang sudah amat dipercaya.

“Aih, sukarnya...!” Kakek itu mengomel ketika dia mencoba untuk mengenakan pakaian luar Syanti Dewi pada pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah mengenakan pakaian luar pelayan itu segera membantunya. Kakek itu memang cerdik. Yang tadi dipilihnya adalah seorang pelayan yang selain cantik juga memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga ketika pakaian mereka saling ditukar, dapat pas sekali.

Setelah selesai, kakek itu lalu berbisik, “Cepat kau atur rambutnya seperti sanggul rambutmu dan tambah bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu.”

Syanti Dewi cepat melakukan semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-su sendiri menggunakan alat penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah bentuk bibir, alis serta mata Syanti Dewi dengan menggunakan pemerah bibir dan penghitam. Sebentar saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi melihat bayangannya sendiri dalam cermin, puteri ini hampir tertawa geli melihat betapa dia sudah berubah menjadi seorang wanita yang bermata sipit, alisnya tebal dan mulutnya lebar, mukanya ada beberapa totol hitam yang melenyapkan semua kemanisannya.

“Mari cepat...,” kata kakek itu dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan pakaian Syanti Dewi, mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan sinar mata penuh pengaruh yang amat kuat sambil berkata, “Kau tidak akan dapat bicara semalam ini dan akan menurut saja apa yang dilakukan orang-orang kepada dirimu!” Setelah menanamkan kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak pelayan itu, See-thian Hoat-su lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa menyelinap ke luar melalui jendela, tidak lupa untuk lebih dulu meniup padam lilin yang bernyala di atas meja.

Akan tetapi baru saja mereka meloncat ke luar dan menutupkan daun jendela, Syanti Dewi menahan seruan kaget dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan dengan langkah tegap ke arah mereka! Tetapi, kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya ke arah dua orang pengawal itu. Mereka memandang, terkejut dan berdiri seperti patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat bergerak sampai kakek itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ.

Setelah kakek dan puteri itu lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa terheran-heran.

“Ehh, kenapa kita berdiri bengong di sini?” tanya yang seorang.

“Heran, aku merasa seperti baru saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Seperti mimpi saja,” kata yang kedua.

“Hemm, agaknya kita tadi sudah terlalu banyak minum arak.” Dan mereka melanjutkan perondaan mereka.

Sementara itu, See-thian Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di ruangan dekat dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon-pohon katai. Hwa-i-kongcu Tang Hun memang mempunyai kegemaran mengumpulkan bunga-bunga dan pohon-pohon katai yang aneh dan indah dalam pot-pot kuno dan dikumpulkan di ruangan itu. Bukan ruangan tertutup, akan tetapi cukup gelap dan Syanti Dewi merasa heran sekali mengapa penolongnya itu mengajaknya bersembunyi, dan di tempat terbuka seperti itu.

“Kenapa kita tidak lari...?” bisiknya.

“Sssttttt... kita tunggu sampai terjadi keributan,” jawab See-thian Hoat-su.

Syanti Dewi hendak bertanya mengapa mereka bersembunyi di tempat terbuka seperti itu, akan tetapi dia mengurungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang yang berjalan ke arah tempat itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya melihat-lihat, diantar oleh salah seorang pengawal.

“Ini adalah kumpulan-kumpulan bunga-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali oleh Kongcu,” si pengawal menerangkan.

Mereka melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari mereka mendekati Syanti Dewi dan mencium-cium, mendengus-dengus.

“Hemmm, wangi...!” katanya. “Sayang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat mengagumi bunga-bunga ini dengan jelas.”

“Besok saja kita melihat-lihat lagi ke sini,” kata tamu kedua dan mereka berjalan pergi.

Syanti Dewi sudah gemetar saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh orang itu dan dia disangka bunga! Dia terheran-heran, akan tetapi ketika dia menoleh kepada kakek itu yang terkekeh geli, mengertilah dia bahwa peristiwa aneh itu adalah akibat permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang yang tadi datang telah melihat mereka berdua seperti bunga dalam pot, maka rambutnya dicium oleh seorang di antara mereka. Teringatlah dia akan permainan sihir dari Siang In yang membuat dara itu kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain!

“Kenapa kita harus menunggu sampai terjadi keributan, Locianpwe?” Dia berbisik.

Kakek itu menarik napas panjang. “Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di sini hadir orang dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat dari pada dia. Kalau kita lari sekarang dan ketahuan, banyak bahayanya akan gagal karena di depan orang itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan sihir.”

Saat yang dinanti-nanti oleh kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba terdengarlah canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan disusul teriakan-teriakan nyaring. Dari tempat sembunyi itu, mereka melihat berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan dan melihat pula seorang pelayan wanita tua yang cantik memondong Syanti Dewi palsu tadi dengan gerakan ringan sekali. Lalu terdengar keributan di ruangan pesta, disusul padamnya lampu-lampu dan ributnya suara orang bertempur!

“Sekarang...!” Kakek itu berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan diri melalui jalan belakang.

“Heiii, siapa...?” Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena semua orang sedang sibuk berkelahi dan mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu, See-thian Hoat-su dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api.

Setelah pergi jauh, Syanti Dewi berkata, “Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak menanti dia?”

Kakek itu menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa yang indah penuh bintang. “Ahhh, dia kini bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri.”

“Akan tetapi... tentu dia akan mencari-cari Locianpwe dan saya...”

“Dia tidak tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya, ha-ha-ha!” Kakek yang aneh itu tertawa.

Syanti Dewi tak membantah lagi. Kakek ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang mendekati watak orang gila!

“Lalu... lalu kita akan pergi ke mana, Locianpwe?” tanyanya penuh keraguan.

“Ke tempatku di pantai Po-hai. Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana bersamaku.”

Syanti Dewi tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biar pun dia berniat mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In, dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula, kini dia ikut bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat.

Rombongan Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Yang-liu Nionio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu. Mereka telah mengorbankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti Dewi itu hanyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nionio lalu membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya.

Siang In sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya seorang pelayan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa penculiknya. Jelas bukan Tek Hoat, bukan pula salah satu wanita dari rombongan Hek-eng-pang, namun jelas sudah lenyap dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapakah yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran sekali dan mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan.

Sementara itu, seperti telah diceritakan pula di bagian depan, dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu telah membuyarkan kekuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya. Orang itu adalah Gitananda, kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut itu.

Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang-liu Nionio yang dianggapnya telah menculik pengantin perempuan, akan tetapi Yang-liu Nionio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan diri dan Gitananda tidak berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang pandai.

Gitananda adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedudukannya, dia harus menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh dari golongan hitam.

Oleh karena itulah, maka dia menyebar para pembantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya sebagai ketua Liong-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya, juga amat lihai, bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi murid Durganini, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir dari India dan Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya.

Sebetulnya, ketika Gitananda mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai dia bisa mendapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal! Tetapi tentu saja dia tidak boleh membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tak mau mengganggu pengantin puteri.

Akan tetapi ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan yang sangat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia mampu merampasnya kembali dari tangan penculik. Bukan untuk diserahkan kembali kepada Hwa-i-kongcu, sungguh pun hal itu akan berarti melepaskan Liong-sim-pang sebagai sahabat. Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi Nepal, dari pada persahabatan Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan puteri itu di luar tahu Liong-sim-pang, bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu sudah melihat sendiri betapa dia telah membantu untuk melawan para penculik, biar pun tidak berhasil.

Dia harus dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan, tentu saja tanpa diketahui oleh Hwa-i-kongcu! Maka setelah para penculik itu kabur, Gitananda melakukan pengejaran dengan seenaknya karena dia perlu untuk diam-diam kembali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang sunyi.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau yang paruhnya merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih dan merupakan burung yang amat cerdik. Dengan dalih ingin memeriksa kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi, dia berhasil memasuki kamar pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini dia melepaskan burung itu yang membawa robekan saputangan di antara paruhnya yang merah dan kuat.

“Carilah sampai dapat!” teriak Gitananda sambil melepaskan burung itu.

Burung hijau itu terbang seperti kilat cepatnya ke atas, tinggi sekali, lalu mulai terbang tinggi berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di paruhnya. Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke bawah, tajam sekali.

Gitananda menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, burung hijau itu terbang sampai tiba di atas tempatnya berdiri, lalu melepaskan robekan saputangan dan mengeluarkan suara mencicit.

“Burung yang baik, kau telah menemukan dia?”

Burung itu mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah! Dan burung itu terbang menuju ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga berkibar sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng.

Sementara itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau yang terbang berputaran di atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu.

“Eh, burung apakah itu demikian aneh?” katanya sambil menuding ke atas.

See-thian Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biar pun usianya jauh lebih tua, akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia dapat mengerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung itu nampak jelas olehnya.

“Puteri, katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?” tiba-tiba dia bertanya sambil memandang ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.

“Saputangan kuning...?” Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba yang janggal itu.

“Ya... ya, saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api, di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?”

“Benar... akan tetapi kutinggalkan di kamar...”

“Ah, celaka...! Benar, dia tentu burung mata-mata!” teriak See-thian Hoat-su dengan kaget, apa lagi ketika dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya!

“Kita harus cepat pergi dari sini!” Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya karena merasa ngeri.

Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari orang-orang pandai sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak mempedulikan pandangan para penghuni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang kakek botak yang larinya seperti setan!

Jodoh Rajawali Jilid 11


Lebih-lebih lagi keheranan mereka ketika tidak beberapa lama kemudian, muncul pula seorang kakek berkulit hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut, halus budi dan agung, lewat di dusun itu.

“Ah, kami melihat seorang dara cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek botak...”

“Yaaa! Itulah dia! Ke mana mereka pergi?” Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri Bhutan itu dilarikan seorang penculik!

Kini para penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban yang bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata, “Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja Bhutan dan aku adalah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat memberi tahu, ke mana mereka itu pergi?”

Tentu saja para penghuni dusun merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berpihak kepada orang asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka memberi tahu ke mana arah larinya kakek botak yang memondong dan menculik sang puteri. Setelah mendengar bahwa kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke timur, Gitananda cepat melakukan pengejaran bersama burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain.

Sementara itu, See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan yang hampir tidak pernah ditundanya kecuali kalau malam gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti Dewi di Goa Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini….

Syanti Dewi merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang tersembunyi, dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat indah akan tetapi juga menyeramkan. Goa besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap. Goa itu terletak di antara batu-batu karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk Po-hai.

Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang dan malam, merupakan dendang yang tiada hentinya sehingga menciptakan suasana yang aneh dan berbeda sekali dari suasana di darat dan pegunungan. Angin bersilir terus jarang berhenti, dan di atas goa itu adalah sebuah bukit batu karang yang di bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah kiri goa terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang pecah oleh akar-akar pohon, air yang merupakan berkah bagi penghuni goa karena memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan. Goa itu sendiri kalau dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.

“Jangan terlalu jauh meninggalkan goa,” kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali Syanti Dewi yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai. “Sekarang belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar sampai ke sini. Siapa pun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu dari sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah mereka.”

Mendengar itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini bekerja membersihkan goa, kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya terdapat di tempat itu. Biar pun dia seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kota Raja Bhutan membuat dia tidak canggung melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana sekali. Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur!

Malam itu Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam goa. Heran dia mengapa di sebelah dalam goa itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan goa, angin bersilir tiada hentinya. Namun di dalam goa, api lilin tidak bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali! Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat yang berlubang dan ada tembusannya. Goa itu merupakan lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi hawa lain dari luar mengalir masuk.

Setelah mereka makan dengan sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang ditangkap oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat lezat karena hati tenang dan perut lapar ditambah tubuh yang lelah, mereka lalu mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur.

Namun Syanti Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa dia telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat berjumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apa lagi yang akan dialaminya selanjutnya?

Baru beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya yang gagah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi tiba-tiba saja terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram.

Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan! Dia menarik napas panjang. Dia amat mencinta Tek Hoat, mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pemuda itu baginya? Dia dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi orang tersesat, bahkan membantu pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan benar? Betapa pun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.

“Syanti Dewi...!” Tiba-tiba dia mendengar suara halus datang dari luar Goa Tengkorak.

Suara seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?

“Enci Syanti Dewi...!” Kembali terdengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor ular.

Siapakah dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mungkinkah Siang In? Dia curiga sekali. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih dari luar goa? Bukankah goa ini adalah tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis itu tidak mau langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara mencurigakan?

Syanti Dewi sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia kang-ouw amat licik dan curang, dan oleh karena itu dia tetap saja diam mendengarkan, tidak mau tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tidak lama kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak keras biar pun masih dengan suara mendesis agar tidak terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur.

“Kalau benar bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra Dewi berada di sini!”

Syanti Dewi terkejut, jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi karena dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan keluar goa yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di kamar See-thian Hoat-su saja.

Di luar goa juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit. Dia melihat sesosok tubuh seorang wanita berdiri di luar goa itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai dulu dan jantungnya berdebar penuh kegirangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya!

Wanita itu memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun Pasir! Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing dari dunia ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk mencari putera mereka yang hilang! Mereka mencium jejak putera mereka itu dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu. Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya, karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk mendapatkan kembali jejak yang hilang itu.

Di dalam perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng mendengar desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang puteri yang terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada ‘Puteri Bhutan’ dilarikan iblis dan dikejar dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan beberapa orang pembantunya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang lagi-Iagi menimbulkan geger di tempat ini!

Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Goa Tengkorak pada malam hari itu. Tetapi dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu menggunakan tenaga khikang-nya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu.

“Adik Ceng...!” Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar.

“Enci Syanti...!”

Dua orang wanita ini saling rangkul.

“Aihhh, kiranya benar engkau, Enci Syanti!”

“Adik Candra... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu...“

Pada saat itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini langsung menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat-cepat mendorong tubuh Syanti Dewi, “Enci, menjauhlah!” katanya dan dia cepat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main.

“Desssss...!”

Tangkisan Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mukjijat. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang sekarang menjadi suaminya, telah berhasil memperoleh anak naga yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, walau pun untuk itu Kao Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu.

Setelah Ceng Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya, tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga dia telah memperoleh tenaga mukjijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mukjijat itu dengan baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.

Tubuh Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka saling bertemu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya.

Tadi kakek ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia tidak berani sembrono menyerbu ke dalam goa dan hanya menanti saat baik selagi puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari luar goa membuat dia terheran-heran, akan tetapi giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam goa dan cepat dia lalu menerjang wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika wanita itu menangkis dengan tenaga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang sampai jauh!

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam goa sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh. Terjadilah pertempuran yang amat seru dan dahsyat di depan goa, di dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka berdua lebih mengandalkan ketajaman pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan lawan dari pada ketajaman pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu.

Syanti Dewi tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng Ceng diserang kakek botak dari dalam goa, dia terkejut. Kakek itu adalah See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak untuk berseru agar mereka berhenti berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak, akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat memondongnya dan menyelinap pergi di dalam kegelapan malam.

Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang dengan hebat dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan kenyataan bahwa lawan masing-masing amat lihai.

“Plak-plakkk!”

Untuk ke sekian kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bahwa wanita yang dilawannya memiliki sinkang yang amat mukjijat dan kalau saja pertandingan itu dilanjutkan beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya yang dapat tergetar dan rusak!

Maka dia kemudian mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihirnya untuk mengalahkan lawannya. Kalau saja cuaca tidak segelap itu, dengan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan ini. Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir, akan tetapi justeru pada saat itu lawannya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk menggunakan sihir oleh karena sekali saja terkena pukulan wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, akan sangat berbahaya baginya.

Sementara itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan penculiknya ternyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat dia menjadi marah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang itu dari seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas oleh Tambolon dan kawan-kawannya yang tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya kembali dan semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak pernah dipergunakannya.

Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga-jaga saja karena dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.

“Ihhhhh...!” See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau kehitaman yang mendirikan bulu roma itu.

“Penculik hina dina!” Ceng Ceng lalu memaki. “Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, maka engkau pun akan tewas di tanganku!” Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban dengan ganasnya!

“Heiii... nanti dulu...!” See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru, “Nanti dulu, nanti dulu!”

“Kau mau bicara apa lagi?” Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar seperti mata seekor naga berapi hingga kembali See-thian Hoat-su terkejut dan merasa ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu dengan sihirnya.

“Engkau mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Aneh… sungguh aneh sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan benarkah dia ini adikmu?”

Akan tetapi, tentu saja tak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh dan mencari Syanti Dewi.

“Enci Syanti Dewi...! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!” teriaknya pula.

Akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari cari, namun Puteri Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

“Celaka...!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya. “Selagi kita berdua saling hantam, ada orang ketiga yang datang dan membawanya lari!”

Ceng Ceng terkejut dan membenarkan dugaan itu. “Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan mengejar!” Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari.

Sia-sia saja mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam berganti pagi. Akhirnya mereka kembali ke depan goa dan saling berjumpa di depan goa dengan alis berkerut. Kini mereka dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat wajah kakek botak berambut putih itu.

“Siapakah Locianpwe? Dan bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?” tanyanya sambil memandang tajam.

See-thian Hoat-su bersungut-sungut. “Kalau kau benar-benar adiknya, mengapa datang malam-malam seperti pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian mengerikan?”

Ceng Ceng membelalakkan matanya. “Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!” Tentu saja dia pernah mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang melawan Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang merobohkan nenek Durganini dan membawanya pergi.

“Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti Dewi, yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di Bhutan. Sekarang saya telah menjadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir.”

“Aaahhhhh...!” Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau aku menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami sampai di sini.”

“Sayalah yang harus minta maaf, Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu sekarang, bahwa saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini perbuatan dewa hitam itu!”

“Dewa hitam? Apa pula maksudmu, Toanio?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata, “Mari kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita tuturkan.”

Memang Ceng Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam kecemasan memikirkan nasib puteranya yang lenyap dan belum juga dapat dia temukan. Kini ditambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja dia merasa semakin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia masuk ke dalam goa besar, dia hanya mengangguk dan mereka lalu memasuki tempat itu.

Setelah duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa mereka melihat seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek, dan betapa kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat. Penghuni dusun lalu menyebar luaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri.

“Mendengar puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, dan menduga bahwa Enci Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan pengejaran. Ketika saya memanggil Enci Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan sempat berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu sehingga dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul dan menyerang saya. Karena mengira bahwa tentu Locianpwe adalah sekutu dari penyerang pertama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti.”

See-thian Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. “Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?”

“Pesta apa yang Locianpwe maksudkan?” Ceng Ceng bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang. “Sebaiknya kuceritakan dari permulaannya,” katanya. “Ketika itu aku sedang bertapa dan mengundurkan diri di goa ini setelah muridku yang bernama Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan meluaskan pengalaman. Akan tetapi tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu...“ dia berhenti dan menghela napas panjang.

“Nenek Durganini...?” Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah nenek itu.

“Siapa lagi kalau bukan dia?” Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar dari siulian. Dia datang dan marah-marah, katanya dia mendengar dari muridku bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang! Aku maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan hatinya dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang Syanti Dewi.”

“Ahhh...? Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba dapat berada di sini lagi.”

“Aku pun baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari ke sini. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san. Secara kebetulan saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang In, yang melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini dan hendak menghajarnya.” Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan kenakalan muridnya.

“Nenek gila itu paling benci mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun dan mendengar ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu meninggalkan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik. Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap hendak menculik Syanti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya. Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan Syanti Dewi terculik lagi.”

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. “Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan berada di tempat ini?”

“Dia menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi keributan di negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan ltu sehingga tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku itulah yang sudah membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak mencari Tek Hoat, akan tetapi sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang.”

“Hemmm, sungguh kasihan Enci Syanti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?”

Kakek itu mengepal tinjunya. “Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi, Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti hanya terdapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh bertanya?”

Ceng Ceng menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap. “Sudah berbulan-bulan saya dan suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah hilang.”

“Hilang?”

“Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga sampai kini kami belum berhasil.”

“Aihhh, manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan berpikir panjang untuk melakukan hal itu,” kata See-thian Hoat-su dengan heran. Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang yang berani menculik puteranya?

“Buktinya ada yang menculiknya!” kata Ceng Ceng gemas. “Kalau saja aku dapat menangkap penculik hina itu!” Dan dia mengepal tinjunya.

See-thian Hoat-su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah merasakan kelihaian nyonya muda ini, apa lagi pedangnya yang mengerikan itu. Baru nyonyanya sudah demikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!

“Aku akan mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagai mana ciri-cirinya?”

“Banyak terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe,” kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya menemukan puteranya. “Nama putera kami itu adalah Kao Cin Liong, usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan matanya lebar, di bawah telinga kirinya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya.”

“Baik, aku akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku akan berangkat hendak mencari jejak Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu.”

“Terima kasih, Locianpwe.”

Mereka keluar dari dalam goa dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah. Di sepanjang jalan See-thian Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan. Tadinya, setelah muridnya Siang In meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai, bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat pertapaannya, di Goa Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia! Dan setelah kini melihat Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia akan selalu merasa bersalah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali.

“Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai...“ gerutunya, namun tetap saja dia melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat goanya, dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.

********************

Warung nasi itu penuh dengan orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim dan masakan-masakan yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya dibandingkan dengan harga makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh dengan tamu, apa lagi di waktu siang dan malam, waktunya orang-orang makan siang dan makan malam.

Siang itu hawanya panas bukan main, apa lagi di dalam restoran kecil atau warung nasi itu, seolah-olah merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal-hal yang hebat. Selagi banyak orang makan minum sambil bercakap-cakap, masuklah seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita yang usianya mendekati empat puluh tahun namun masih kelihatan muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir tersenyum genit. Pakaiannya serba indah dan pesolek, bibirnya yang memang bagus sekali bentuknya itu kemerahan oleh gincu, juga kedua pipinya ditambahi bedak dan pemerah pipi, di punggungnya tergantung pedang.

Wanita ini memasuki restoran dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit pinggulnya yang terbungkus ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia melenggang, membuat beberapa orang yang sedang makan mi terpaksa harus menjulur-julurkan lehernya karena mi panjang yang ditelannya itu nyasar, mata mereka melotot dan melekat kepada buah pinggul yang menari-nari. Pemuda di sebelah wanita itu masih muda, baru dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan dengan muka yang membayangkan kekerasan, agak muram dengan mata tajam dingin, mulutnya tertarik seperti orang mengejek, dan sikapnya tidak mempedulikan siapa pun.

Wanita itu adalah Lauw Hong Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman Kucing, dan yang berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan dari kisah ini, mereka meninggalkan sarang perkumpulan Hek-eng-pang untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti kita ketahui, Ang Tek Hoat yang dibantu oleh Yang-liu Nionio, ketua Hek-eng-pang, telah menyerbu puncak Naga Api dan berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun.

Akan tetapi, ternyata yang mereka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya hanyalah seorang pelayan! Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka menjadi korban kenakalan kakek See-thian Hoat-su yang telah membawa lari Syanti Dewi. Dan ketika Ang Tek Hoat hendak pergi meninggalkan Yang-liu Nionio, Mauw Siauw Mo-li mengatakan bahwa dia melihat ada seorang gadis mencari-cari Puteri Syanti Dewi dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat untuk membantu pemuda itu mencari kekasihnya.

Demikianlah, hari itu mereka tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang mencari-cari Syanti Dewi, dan memasuki restoran di mana dia beberapa hari yang lalu melihat gadis itu. Dan Mauw Siauw Mo-li memang tidak berbohong. Di restoran ini, beberapa hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi muridnya, Yang-liu Nionio, dia memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari Syanti Dewi dan gadis ini bukan lain adalah Siang In yang masih terus menyelidiki dan mencari sahabatnya itu.

Tentu saja Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya untuk membantu orang lain tanpa ada pamrih lain di dalam hatinya. Begitu dia bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang pernah membangkitkan gairah birahinya lima tahun yang lalu, maka timbuliah hasratnya untuk mendekati pemuda tampan dan gagah ini. Maka dia menawarkan bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi jalan agar dia dapat mendekati Si Jari Maut, pendekar muda yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu.

Akan tetapi selama tiga hari tiga malam ini, dia sama sekali belum berhasil ‘mendekati’ Ang Tek Hoat yang bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi, ketika mereka melewatkan malam di hutan dan pagi tadi dia sengaja mandi di sumber air dengan bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian Tek Hoat, pemuda itu malah marah-marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tak pernah mau melirik, apa lagi mengagumi keindahan bentuk tubuhnya! Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi gemas dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali. Tidak mengindahkan dan tidak menyatakan kagum terhadap keindahan tubuhnya merupakan penghinaan! Dan kalau saja bukan Tek Hoat, tentu dia sudah akan membunuh pria yang berani menghinanya seperti itu.

Akan tetapi terhadap Tek Hoat dia tidak berani main-main karena dia maklum betapa lihainya pemuda ini dan betapa berbahayanya untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi itu tanpa pembantu. Maka dia menahan kesabarannya dan mengambil keputusan untuk berhati-hati dan bersikap cerdik menghadapi pemuda ini, akan perlahan-lahan memasang jaringnya untuk menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya.

Semua mata para tamu yang terdiri dari kaum pria itu tidak ada yang tidak memandang kepada Mauw Siauw Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang cantik manis dan sudah matang! Tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan mereka, melainkan tersenyum bangga dan sadar akan kekaguman yang membanjiri dirinya dan matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu dia menggapai ke arah pelayan itu.

Pelayan itu sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu. Ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki berisi masakan kepada seorang rekannya dan dia sendiri tergesa-gesa menghampiri wanita cantik itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum dengan sikap penuh hormat dan penjilatan.

“Ahhh... apakah Toanio dan Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat yang kosong dan enak bagi Ji-wi (Anda berdua).”

Mauw Siauw Mo-li mengangguk dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar mereka ke sudut di mana terdapat meja kosong yang cepat dibersihkannya dengan kain yang selalu tergantung di pundaknya.

“Toanio hendak pesan apa? Dan Kongcu?” tanyanya ramah.

“Keluarkan mi, daging dan sayur terbaik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri yang melayani kami karena kami ingin bicara denganmu.”

Pelayan itu membelalakkan matanya yang kecil sipit, tetapi lalu tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk seperti seekor ayam sedang makan beras. “Baik, Toanio, baik...“ dan dia lalu mengundurkan diri untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw Mo-li itu.

“Dialah yang ketika itu ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang melayani klta,” bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk.

Pelayan itu datang membawa masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua itu di atas meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil tersenyum-senyum dan siap untuk melayani dua orang ini kalau-kalau membutuhkan sesuatu.

Mauw Siauw Mo-li mengajak Tek Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa kenyang dan menyusut bibirnya yang merah dan berminyak itu dengan sapu tangan, dia memberi isyarat kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan membongkokkan tubuhnya agar kepalanya lebih dekat dengan wanita itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan wanita itu.

“Aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan sebenarnya. Kalau kau memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir, aku akan memberi hadiah kepadamu. Tapi jika kau berbohong atau menyembunyikan sesuatu, pedangku tidak akan segan-segan untuk menyembelih lehermu.”

“Uhhhhh...! Ti... tidak... mana saya berani...“ Pelayan gendut itu berkata dan tubuhnya menggigil.

Mauw Siauw Mo-li terkekeh sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh dari situ menoleh semua. Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya mengerling penuh daya tarik kepada mereka, empat orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentu terdiri dari kongcu yang beruang itu juga tersenyum-senyum. Bahkan seorang di antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh tahun, pakaiannya rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li. Sambil terkekeh genit wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga laki-laki itu kelihatan girang bukan main lalu minum araknya. Mereka berempat lalu tertawa-tawa dan berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan hati muak, akan tetapi dia pura pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang kepada pelayan gendut itu.

Setelah sedikit gangguan main mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li kembali menghadapi pelayan dan mulailah dia bertanya, “Beberapa hari yang lalu aku juga makan di sini...“

“Ahhh, saya ingat, Toanio. Saya ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut karena saya merasa pernah melihat Toanio...,“ pelayan itu cepat berkata.

“Dan pada waktu itu, engkau melayani seorang gadis cantik berbaju sutera merah indah dan membawa payung. Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa dengan paksa oleh seorang kakek.” Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu mengerutkan alis mengingat-ingat.

Ketika dia membayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di dusun Khun-kwa tak jauh dari kota ini, dia terus mengikuti gadis itu sampai gadis itu memasuki rumah makan di kota ini. Akan tetapi karena pada waktu itu terdapat banyak sekali tamu dan suasana amat berisik, maka dia tidak dapat mendengarkan percakapan antara gadis itu dan pelayan gendut ini dengan jelas, hanya melihat si gendut ini menggerak-gerakkan tangan. Pada waktu itu dia tidak begitu memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan urusan itu, akan tetapi setelah dia berniat membantu Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh gadis itu tentulah Puteri Syanti Dewi.

“Ahhh, sekarang saya ingat, Toanio. Benar..., gadis membawa payung...“

“Nah, dengarlah. Aku juga ingin mencari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Ke manakah mereka?” Lalu dia menambahkan, “Awas, jangan berbohong kau!”

“Aihhh, mana saya berani berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya ceritakan kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan gadis seperti yang dimaksudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya tidak tahu ke mana mereka pergi. Hanya di waktu makan, saya mendengar kakek itu menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya ketahui dan demikian pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio.”

“Pantai Lautan Po-hai?” Tek Hoat mengulang dan alisnya berkerut. “Kalau begitu, aku akan menyusul ke sana!” katanya dan alisnya berkerut makin dalam ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li sudah tersenyum-senyum dan bermain mata lagi dengan laki-laki berbaju kuning di meja lain itu. Ternyata Siluman Kucing ini tidak mendengarkan atau mempedulikan keterangan si pelayan sama sekali, tetapi asyik bermain mata dengan laki-laki itu!

Tiba-tiba laki-laki itu yang agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan permainan mata dan bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah yang agak terhuyung dia menghampiri meja wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan berdiri tidak lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia tersenyum lebar kepada Mauw Siauw Mo-li.

“He-he-he, engkau... he-he, cantik seperti bidadari... mari kita makan minum bersama... he-he-he, tentu kita berdua akan senang sekali...”

“Prattt...!”

Laki-laki itu menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw Mo-li. Bukan hanya karena kuah itu panas yang membuat laki-laki itu kini bergulingan dl atas lantai sambil menjerit-jerit, akan tetapi karena kuah itu dilemparkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini tertawa terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang.

Tentu saja tiga orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah sekali melihat teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa teman mereka itu dipukul atau terkena senjata lain karena kalau hanya kuah, tidak mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak mereka bangkit dan lari menghampiri meja Mauw Siauw Mo-li.

“Kau apakan teman kami?” bentak mereka.

“Hi-hik, dia terlalu mabuk dan kalian juga!”

Kini berhamburanlah mangkok-mangkok beserta sumpit-sumpit dari atas meja di depan wanita itu dan terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang laki-laki ini pun terpelanting dan roboh bergulingan seperti teman mereka yang pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit matanya, ada pula yang pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala sampai pecah mangkok itu sehingga pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu segera menjadi geger dan para tamu banyak yang lari keluar.

Melihat ini, hati Tek Hoat terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari tempat itu tanpa mempedulikan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini cepat memburu.

“Ehh, nanti dulu, Ang-sicu...!” Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi, bahkan tidak peduli ketika Mauw Siauw Mo-li melangkah di sampingnya dan mereka keluar dari kota itu.

Setelah mereka jauh meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali tidak mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li lalu berkata, “Ang-sicu, apakah kau marah kepadaku?”

Tek Hoat tidak menjawab dan ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil memegang tangannya, Tek Hoat malah mengibaskan tangan itu terlepas dan membalik, matanya memancarkan sinar berkilat. “Pergilah dan jangan membikin aku merah!” hardiknya. Dia sudah siap untuk menyerang!

“Eh, ehh, Ang Tek Hoat!” Mauw Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut. “Berhari-hari aku selalu bersikap hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada di sampingmu karena hendak membantumu mencari Syanti Dewi?”

Tek Hoat menghela napas. Benar juga, betapa pun wanita ini telah berusaha membantu menemukan kembali jejak Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan agak mereda kemarahannya. ”Sepak terjangmu membuat aku kesal dan marah.”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Mulut yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak deretan gigi yang rapi dan putIh, rongga mulut yang merah seperti daging mentah yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.

“Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?” tanyanya halus, sikapnya merendah.

Ang Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang sudah dilakukan oleh wanita ini? “Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!” akhirnya dia berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.

“Ehhh?? Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati?”

Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. “Aku tidak membela mereka atau siapa pun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?”

Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai. “Jadi engkau... engkau memperhatikan semua itu? Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka?” Pandang mata itu kini penuh selidik.

Wajah Tek Hoat menjadi merah.

“Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku.”

“Aihhh... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku kini berhadapan dengan Si Jari Maut? Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut? Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mukjijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor domba yang jinak?”

“Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut... Aku benci kepadanya! Aku benci...!” Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka berdua berhenti di dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu.

Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersemedhi beberapa lama lalu tidur sambil bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah.

Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, dan pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, serta bayangan muram pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan.

Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama berhari hari dia tak berhasil ‘mendekati’ pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja tadi telah membuat empat orang laki-laki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!

Kalau dia mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya, namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu!

Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Perbedaannya yaitu, kalau Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Ang Tek Hoat sebaliknya, seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!

“Aihhh... mengapa engkau begitu angkuh...?” keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu.

Sudah berhari-hari dia tak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar, akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu!

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon-pohon yang gelap. Tak lama kemudian dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran. Mauw Siauw Mo-li tersenyum.

Dia sedang ‘haus’ dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang datang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik, pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan memapaki lima orang itu.

“Ohhh...!” Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.

Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li berseru, “Ini dia siluman itu!”

Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.

“Tolonggg...! Toloonggggg... Ang-sicu...!” Terdengar dia menjerit-jerit.

Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.

“Uhhh... uhhhhh... keparat kalian... iiihhhhh, tolooonggggg...!”

“Jahanam...!” Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya cepat bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!

“Uuuhhhhh... hu-huuuk, Sicu...!” Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat.

Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu. Dia menuduk, lalu memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya, “Kenapa... apa yang terjadi...?”

Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya!

Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung yang kembang kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.

“Apa yang kau lakukan ini?” dia membentak.

“Tek Hoat... ahhh, Tek Hoat...” Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, namun Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.

“Mo-li, apa yang kau lakukan ini?” kembali dia membentak.

“Tek Hoat... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku... sebab engkau telah menyelamatkan aku dari pada penghinaan... lihatlah pakaianku... dan mereka... mereka jahanam-jahanam itu...“ Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya sendiri.

Tek Hoat membuang muka. “Huh, kau... kau telah menipuku, Mo-li!” Tek Hoat berseru marah dan kini dia memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. “Kau pura pura kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan.”

“Tidak... tidak... aku... aku hampir...“

“Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku... si tolol... aku terlebak! Dasar engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!”

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit. “Hi-hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita berdua memang cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan? Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa saat ini tubuh kita saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?”

“Wuuuuuttttt...!”

Jari tangan Tek Hoat menyambar, akan tetapi dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari sambaran jari tangan maut itu.

“Perempuan tak tahu malu!” Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu birahi! Tadi, pada saat mulutnya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.

“Hi-hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepadamu!”

“Wuuuttttt... brakkkkk!”

Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, lalu pemuda ini membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam. Pada keesokan harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu.

“Tek Hoat tunggu...!” Terdengar teriakan dari belakang.

“Keparat...!” Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan untuk membunuh wanita itu.

Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam pandang mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di pinggangnya, di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak.

“Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akan main-main lagi, aku bicara sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kau kira di mana engkau akan dapat menyusul Syanti Dewi?”

Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguh pun dia masih marah. “Di pantai Po-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu.”

“Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai berapa tahun kau akan berhasil? Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek yang lihai, dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi.”

Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu saja. “Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan membunuhmu!”

“Hi-hik, kau kira aku wanita macam apa mudah saja kau bunuh? Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau aku benar-benar cin... ehh, suka kepadamu?”

“Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?!”

“Hemm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Telah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai... apa pun, pendeknya, sebagai sahabat. Oleh karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini untuk mengaku. Andai kata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekali pun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekali pun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini dari pada memusuhinya, apa lagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang.

“Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku takkan menuruti permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan.”

Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hubungan antara pria dan wanita, yang penting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta!


SELANJUTNYA JODOH RAJAWALI JILID 12