Pendekar Super Sakti Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PENDEKAR SUPER SAKTI

BAGIAN 15

Kini menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.

“Trang-trang-cringgg...! Ehhhhh...!”

Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan! Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat bukan main.

Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit!

“Aahhh... ayaaaaa... trang-trang-trang...!”

Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.

“Hemmm... mundurlah!” Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sinkang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.

“Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau mainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?”

“Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk. “Pantas, kiam-hoat-mu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah jika mendengar engkau akan membantu pengkhianat Bu Sam Kwi.”

“Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama menentang Mancu!”

Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda marah.

“Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng jauh! Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?”

Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diejek. “Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah benderanya, habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.

“Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?”

Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak. “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”

Gadis muda yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum mengejek, lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.

“Cu-wi sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang tidak tahu bahwa dia melatih murid-muridnya di In-kok-san untuk membentuk barisan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri menjadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!”

Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot ia membentak, “Memang benar! Dan mengapa tidak? Aku jauh lebih berharga dari pada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku lebih patut dijadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah dari pada si pengkhianat bangsa Bu Sam Kwi!”

Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat menghadapinya dan menjura penuh hormat. “Harap Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja urusan ini. Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang penjajah Mancu. Silakan!”

“Tidak bisa!” Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya masih saja membayangkan ketidak-puasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba itu. “Kalau kalian semua masih melanjutkan keinginan hendak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! Dengan demikian kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?”

Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata, “Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang. Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil, kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?”

Lauw-pangcu menghela napas panjang. “Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. “Tentu saja pendirian saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.”

Para tamu berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang mendukungnya.

“Lauw-pangcu! Jikalau begitu, engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas... pantas...! Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat! Sekarang, sudah menjadi pengemis jembel gelandangan pun masih menjadi pengkhianat! Sungguh tak tahu malu!”

“Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki. “Engkaulah yang tidak tahu malu! Sebagai tamu seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah tamu yang diundang!”

“Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin!”

“Siangkoan Lee! Biar sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur...!” Lauw-pangcu menjadi marah.

“Tahan, Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan pedangnya.

Karena ia maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari tubuh Ma-bin Lo-mo.

Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di antara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu datuk golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi dari pada tingkat Sin Lian. Jangankan hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam maju bersama sekali pun, belum tentu akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!

Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, memuji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat.

Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, ia tak mau sembrono menurunkan tangan keji, hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.

“Hi-yeh-heh... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kau pergunakan untuk menyerangku, Nona Cilik!” Ia mengejek.

Kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapa pun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya terseret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.

“Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!” Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah ginkang mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat!

Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka. Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan diri dari pada sambaran dua pedang.

Akan tetapi kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya membentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat terangnya, menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang lihai itu pun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.

Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu. Dengan ‘meminjam’ tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget sekali karena tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan menjadi jeri.

Pada saat itu mendadak terdengar suara keras, “Harap hentikan pertandingan! Saya datang membawa berita penting!”

Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.

“Kau... kau masih hidup...?”

Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu. Dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar! Tentu saja ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ!

Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han di balik dadanya.

“Siangkoan-locianpwe, engkau banyak baikkah?” Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat.

Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat seperti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak muntah!

Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga dadanya sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat. Akan tetapi ia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat ia terluka dan jeri. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa pamit.

“Han Han...!” Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.

“Han-twako...!” gadis yang datang bersama pemuda itu pun berseru. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi, seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun memandang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran.

Han Han tersenyum, lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoi-nya, Lu Soan Li.
“Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja.”

Tiga orang muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.

“Ah, engkau Sie Han...? Akan tetapi, kenapa dengan kakimu...?” Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa kakimu itu, Han Han?”

Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang, “Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung, Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe diberkahi panjang usia dan kesehatan!”

Lauw-pangcu tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah juga matang, bahkan ada sesuatu yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah memegang lengan tangan Han Han dan berkata.

“Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana... di mana Nona Lulu?”

Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya. “Entahlah, aku sedang mencari dia.”

“Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!” kata Sin Lian dan Han Han menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab.

Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata, “Marilah kita bicara di dalam!” Ia memberi perintah kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya.

Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.

“Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.”

“Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia...”

“Iiihhh, kenapa engkau sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala, apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?” Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut.

Hati Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini.

Merah wajah Han Han ditegur gadis itu. “Eh... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li!”

“Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang hormat.”

Akan tetapi Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu dengan alis berdiri. Betapa pun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas luka akibat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.

Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata, “Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali...”

Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya watak Sin Lian adalah lincah dan peramah. Kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.

“Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita sehingga peristiwa di piauwkiok itu seolah-olah dapat kubayangkan dengan mata sendiri!”

“Eh, Non... ehh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu... bagaimana ini?”

Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti! Sungguh pun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.

“Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat.”

Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas, “Tadi telah disinggung oleh Sumoi akan maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan persoalan salah paham akibat adu domba pihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-san-pai.”

Sin Lian mengangguk-angguk. “Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apa lagi setelah saya mendengar penuturan siauw-moi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada pihak Mancu.”

Lauw-pangcu menghela napas. “Memang perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.”

“Aaahhh...!” Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini? Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu, ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!

“Aku mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas dendam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah... adikmu itu adalah seorang manusia yang benar-benar memiliki watak murni dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya....”

Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lembah Huang-ho itu.

“Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?” Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas panjang.

“Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil...”

Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera berkata.

“Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”

Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini!

“Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono...”

“Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya lagi!” kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandinginya.

“Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kau katakan bahwa engkau datang membawa berita penting. Akan tetapi sebelum kau ceritakan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa... kakimu sampai buntung, Han Han.”

Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata, “Urusan kecil... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li...”

“Iblis betina yang kejam...!” Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api. “Dan... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?”

Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian merah seperti hendak menahan tangis!

“Hemmm, aku sudah mendengar dari Suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako, kenapa dia melakukan hal sekejam itu?” Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat.

Ia tersenyum. “Tidak kejam, melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri akan dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertawan olehnya, kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya dibicarakan lagi,” Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan Soan Li kelihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li. “Yang penting adalah keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun, komandan pasukan Mancu yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.”

Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru, “Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu, keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah...!”

Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala. “Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat perintah ini.”

Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biar pun sudah lama sekali ia tidak lagi aktif dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya.

“Ah, ini kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan kepada Su-ciangkun, biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat membasmi mereka! Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan kepada mereka!”

Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul, kemudian mengantonginya. “Tepat sekali seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerahkan surat ini.”

“Heeiii...! Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang!”

“Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?”

“Memang tetap berbahaya, akan tetapi andai kata anak buahku sampai mati sekali pun dia akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”

“Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri dengan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir kalau-kalau pihak Mancu tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan mereka, melainkan palsu!” Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat ia terpincang-pincang keluar dari pondok itu.

Setibanya di ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak. Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang mukjizat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti terbang.

“Han Han...!” Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.

“Han Han... kau... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi...!”

Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian. “Ah, kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?”

Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justru karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.

“Eh, Sin Lian... kau menangis? Kenapa?”

Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Ia hanya dapat menghapus dua butir air mata dari pipinya, namun tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus. Akhirnya ia dapat berkata lirih, “Aku... aku kasihan melihatmu... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong...”

Han Han tersenyum. “Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu.”

“Han Han, harap kau maafkan aku...”

“Ehhh? Maafkan? Kenapa?”

“Dahulu, aku telah salah sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”

Han Han menarik nafas panjang. “Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-saudaramu orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”

Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil, “Han Han...!”

Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka.

Hemmm, sungguh-sungguh tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang, menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum kakinya buntung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian mencintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.

“Ada apakah, Sin Lian?” tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah berhasil menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia mentertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.

“Han Han, biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang kepada Ayah.”

Han Han terkejut. “Ahhh, tidak mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya!”

“Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita hadapi bersama. Aku tidak takut!”

Han Han tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.

“Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini? Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su itu, Sin Lian.”

“Akan tetapi...”

“Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih berkeras, Han Han cepat menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat.

Terkejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja bayangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor belalang berloncatan.

“Han Han...!” Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh... perasaan aneh di hatinya.

Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung dan menundukkan mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala.

Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya. Betapa pun tampannya, betapa pun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacat, seorang buntung! Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka dari pada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik dibandingkan ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han seorang pemuda tanpa cacat? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya sebagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biar pun kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya, seorang penderita cacat, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.

Sin Lian sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan pertamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati. Kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung kakinya, ia merasa betapa hatinya bagai ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu. Ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang berambut panjang itu.

“Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia seorang diri saja dan... kakinya sudah buntung. Ah, Suheng, mengapa kau tadi tidak mencegahnya pergi? Bukankah lebih baik Suheng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung menempuh bahaya di sarang harimau!”

“Engkau maksudkan Han Han?” Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali. Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Sumoi?”

“Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami mala petaka. Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, Suheng. Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu Han-twako...”

Sin Kiat memandang wajah sumoi-nya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.

“Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?”

Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang pandang mata suheng-nya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.

“Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati Suheng terhadap Lulu.”

Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoi-nya, memaksa tubuh sumoi-nya menjadi tegak untuk memandang wajah sumoi-nya. “Soan Li, Sumoi-ku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dan liciklah kalau aku mencela Sumoi jatuh cinta kepada Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, Sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh Suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu, sebagai wakil Suhu, aku peringatkan kepadamu, Sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.”

Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata penuh kemarahan. “Suheng, apakah Suheng menilai saya serendah itu?”

“Eh, Sumoi, apa maksudmu?” Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.

“Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh Suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati kehendak Suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Adakah itu merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan perasaan hati saja. Jangan Suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan, akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan Suhu! Jangan sekali-kali Suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang sesat!”

Melihat sumoi-nya berdiri dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua lengan sumoi-nya dan berkata.

“Maafkan aku... maafkan aku... Sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai Sumoi-ku yang bijaksana. Ahh, Sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting. Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, Sumoi.”

Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram lengan suheng-nya. “Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih, Suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun juga... akan kusimpan sebagai rahasia... kubawa mati...”

Melihat sumoi-nya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil. “Sumoi!”

Sumoi-nya menahan kakinya, menengok.

“Sumoi, hati-hatilah, Sumoi...!”

Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, mulutnya senyum akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoi-nya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoi-nya ketika menengok tadi. Wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara linangan air mata!

Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal, mengapa suhu-nya menentukan jodoh bagi sumoi-nya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhu-nya itu tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa cinta dari pihak calon isteri?

Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut serbuan pasukan Mancu...

******************


Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biar pun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.

“Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?” bentak seorang pemimpin regu yang mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.

Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab, “Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun! Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun!”

Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itu pun tidaklah galak lagi ketika bertanya.

“Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus seorang... ehh, pincang... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?”

Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biar pun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguh pun ia tidak dapat membedakan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,

“Hemmm, beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengertikah?”

Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah puteri yang amat mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi Puteri Nirahai.

“Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapa pun juga, kami sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja.”

“Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?” Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di bagian depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah.

Tentu saja sebagai tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata, “Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun!”

Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala tentaranya banyak, juga perlengkapan mereka cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memasuki sebuah gedung besar di tengah markas dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat.



Setelah melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dihadapkan pada seorang perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara. Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri!

Sungguh pun yang memperkosa enci-nya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihu-nya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa olehnya. Lima orang perwira lainnya itu pun ikut bertanggung jawab atas terbasminya keluarga orang tuanya! Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan penuh wibawa.

“Heh, orang muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja! Kalau benar demikian, apa yang ditugaskan padamu?”

Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.

“Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!”

“Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!”

Perwira tinggi besar itu menepuk-nepuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia, terdengar suaranya, “Tangkap dia dan rampas suratnya!”

Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran. Apakah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang benar demikian, mengapa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya?

Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.

“Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?”

Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah Su-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi kami!”

Han Han tertawa dengan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar hanya mengujinya. “Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”

Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya. Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya.

Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para peiigeroyoknya! Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata terbelalak.

Pintu terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya tinggi. “Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja! Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat... hebat...!”

Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kedua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya. Kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk menyelamatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.

“Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?”

“Percaya... percaya...! Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe...”

“Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciangkun?”

“Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau...” Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han. Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.

“Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?”

“Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.”

Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam gedung itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar ini pun dijaga oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi. Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang wanita muda yang pakaian suteranya membayangkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam. Waduhhh.

Mereka itu cantik-cantik, namun begitu memasuki kamar, Su-ciangkun lalu menyuruh mereka pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi dengan langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, tubuh mereka yang membayang dari balik sutera tipis itu bergerak menggairahkan, lenyap memasuki kamar lain melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.

“Silakan duduk, sicu. Siapakah nama sicu?”

“Saya she Suma, ciangkun.” Han Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang asli malah, karena ia khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie Han.

Agaknya perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak menanyakan namanya sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan mencari nama palsu lagi. Ia lalu mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada perwira itu.

Perwira itu menerima surat, mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan mengeluarkan suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah perwira itu berseri dan ia menepuk pahanya sendiri. “Bagus! Kiranya di sana tempat persembunyian kakek jembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat hebat dan cerdik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini akan dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin pusing para petugas keamanan! Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan melaporkan bahwa kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri sebaik-baiknya. Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik dan bekal secukupnya!”

Akan tetapi Han Han mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari Sang Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil baik, bahkan saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan kembali ke kota raja dan menyampaikan laporan kepada Sang Puteri.”

“Begitukah? Bagus sekali!” Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri. “Dengan bantuan sicu yang gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan!” Perwira itu lalu bertepuk tangan dua kali. Masuklah lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciangkun memberi perintah untuk mengeluarkan hidangan.

Han Han merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah memanggil tiga orang wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani!

“Ha-ha-ha, jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang bertugas mengawani dan melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu menginginkan seorang di antara mereka, tunjuk saja! Ha-ha-ha, aku akan merasa bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu.”

“Terima kasih, ciangkun. Ti... tidak... saya... saya amat lelah dan setelah makan akan beristirahat. Perjalanan jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Lagi pula, saya rasa ciangkun pasti akan melakukan persiapan secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak itu.”

“Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar mengagumkan, begini penuh semangat! Baiklah, kalau sicu ingin beristirahat.” Ia memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu. “Kau antarkan Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan!”

Han Han menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang berjalan dengan pinggul menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki kamar seindah ini.

“Saya akan menemani taihiap semalam di sini...” Wanita itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang memang tidak rapat itu tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan perut yang putih kuning. Matanya menjadi ‘silau’ dan ia memejamkan kedua matanya.

“Hi-hi-hik-hik... marilah taihiap... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku? Hi-hik...!”

Han Han merasa betapa kedua lengan wanita yang telah bangkit itu seperti dua ekor ular merayap melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau harum memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali renggut dan mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu menjerit kecil.

“Maaf...!” Han Han membuka matanya. “Aku... aku mau tidur sendiri.”

Wanita itu tertawa. “Hi-hik, taihiap masih... masih jejaka tulen?”

Han Han memandang tajam dan berkata agak ketus, “Pergilah, aku mau mengaso!”

Ketika bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia tergesa-gesa pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti biasa!

Hari itu juga Su-ciangkun segera mengadakan persiapan, memanggil semua perwira pembantunya dan mengatur rencana untuk mengirim seribu orang pasukan menyerbu tempat persembunyian Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Han Han yang diberi kebebasan pura-pura ikut pula melakukan pemeriksaan, bahkan ia lalu membantu untuk melakukan penjagaan dengan dalih khawatir ada mata-mata musuh yang menyelundup dan mengetahui persiapan mereka.

Su-ciangkun yang sudah mempercayainya tidak menjadi curiga dan Han Han lalu keluar dari benteng untuk ‘melakukan pemeriksaan’ di luar daerah benteng. Padahal ia hendak mengenal tempat itu sehingga kalau sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya, ia akan mengenal jalan untuk menyelamatkan diri. Ia mengambil keputusan untuk membiarkan Su-ciangkun mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu yang memasang jebakan, kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai banyak kesempatan ‘membereskan’ musuh besarnya itu.

Hari telah menjadi malam ketika Han Han berjalan-jalan di luar benteng tanpa dicurigai para penjaga yang kini menganggapnya sebagai seorang utusan kota raja yang menjadi tamu Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang kabarnya amat lihai itu akan membantu pula penyerbuan sarang pemberontak.

Tiba-tiba Han Han melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon di luar benteng. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bayangan itu adalah orang yang tidak ingin dilihat penjaga. Cepat ia menengok ke kanan kiri dan setelah merasa yakin tidak ada penjaga yang melihatnya, ia menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat itu, menyelinap di antara gerombolan pohon, mencelat ke atas dan tampaklah olehnya bayangan hitam berindap-indap di antara batang-batang pohon. Bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya menukik ke bawah, ke arah bayangan itu.

Sebatang pedang yang berkilauan sinarnya menyambut tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sambil berbisik, “Sssttttt, aku Han Han, Nona Lu...!”

Lu Soan Li, bayangan itu, kaget bukan main. Kaget karena hampir saja pedangnya melukai atau membunuh orang yang hendak dilindunginya! Juga ia amat kagum, bahkan tidak mengerti bagaimana pergelangan tangannya sampai dapat ditangkap oleh orang yang diserangnya itu. Kagum betapa setelah kakinya buntung, agaknya Han Han kini malah memiliki kelihaian yang amat luar biasa!

“Han-twako... kau... ahhh, betapa gelisah hatiku. Setengah hari lamanya aku berkeliaran di sini, tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu ke sarang harimau itu!” kata Soan Li sambil menyimpan pedangnya, setelah menarik napas lega melihat bahwa orang yang dijadikan kenangan ternyata selamat.

“Nona, mengapa engkau bisa berada di sini? Mengapa pula engkau... ehh, agaknya menyusulku...?”

“Aku... mengkhawatirkan keadaanmu, twako. Dan aku ingin... ingin membantumu...”

Han Han memandang muka yang ditundukkan itu. Cuaca sudah gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat muka tunduk itu di bawah sinar bintang-bintang yang memenuhi langit biru. Heran dia mengapa nona ini susah payah hendak melindunginya? Ingin ia menegur, akan tetapi melihat gadis itu menundukkan muka dan bersikap seperti seorang anak kecil takut dimarahi, ia tidak tega untuk menegur, hanya berkata.

“Ah, kenapa Sin Kiat membiarkan engkau menempuh bahaya ini? Kedatanganmu ini amat berbahaya, Nona.”

“Apakah kunjunganmu ke benteng itu tidak kurang berbahaya?”

Han Han menghela napas. “Nona, aku telah berhasil bertemu dengan Su-ciangkun. Besok pagi-pagi pasukan terdiri dari seribu orang akan diberangkatkan ke sana untuk menyerbu. Lebih baik malam ini juga Nona kembali ke sana memberi kabar kepada Lauw-pangcu. Aku akan pura-pura ikut menyerbu. Kembalilah...”

“Akan tetapi... apakah... apakah hatimu sangat yakin bahwa engkau tidak... tidak akan terancam bahaya di sana...?” Bertanya demikian, saking khawatirnya, Soan Li sampai lupa diri dan kedua tangannya memegang lengan Han Han.

Han Han merasa betapa dari jari-jari tangan itu tersalur getaran-getaran aneh. Jantungnya berdebar. Apa pula ini? Mengapa gadis ini begini mengkhawatirkan keselamatannya sehingga melupakan keselamatan diri sendiri? Apakah yang terjadi dalam hati nona ini? Seperti mimpi, tanpa ia sadari mulutnya mengeluarkan bisikan hatinya yang penuh dugaan dan pertanyaan.

“Lu-siocia, mengapa tanganmu gemetar...?”

Soan Li yang mendengar ini seperti didongkel isi hatinya, jari-jari tangannya malah mencengkeram lengan Han Han dan suaranya terdengar penuh perasaan dan gemetar!

“Twako... Han-twako, aku... amat khawatir kalau-kalau engkau akan celaka...”

Han Han tertawa. Teringat ia akan adiknya, Lulu. Dalam keadaan gelap ia merasa seolah-olah gadis ini adalah Lulu. Bentuk tubuhnya hampir sama, dan harum rambutnya sama dengan harum rambut Lulu, suaranya juga hampir sama menggetarkan kekhawatiran dengan perhatian sepenuhnya atas keselamatan dirinya. Karena teringat kepada Lulu, Han Han merasa terharu sekali dan mengangkat kedua tangan, ditaruhnya kedua tangan ke atas pundak Soan Li dan berkata dengan suara halus.

“Adikku yang baik, jangan engkau mengkhawatirkan aku...!”

Han Han terkejut sekali karena tiba-tiba gadis itu terisak dan ia merasa betapa muka itu menimpa dadanya, dan bajunya menjadi basah oleh air mata yang menembus ke kulit dadanya! Sejenak ia tertegun, terharu dan tangannya mengusap rambut yang halus itu. Kemudian ia teringat bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya, melainkan Lu Soan Li, Hoa-san Kiam-li! Ia menurunkan tangannya dan bertanya.

“Nona Lu... mengapa kau...?”

Soan Li menahan napas, menahan tangis, kemudian merenggangkan tubuhnya. “Twako... aku... aku... akan merasa sengsara sekali kalau kau sampai celaka... hati-hatilah, twako...!” Tubuhnya lalu berkelebat dalam gelap dan ia lenyap dari depan Han Han ditelan kegelapan malam.

Sampai lama Han Han berdiri termenung di tempat itu, mengerutkan keningnya dan tiada habisnya mengherankan sikap gadis itu. Ia benar-benar tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Soan Li berhal seperti itu, menangis di dadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu. Ia menggaruk-garuk rambut kepalanya. Mimpikah dia? Dirabanya bajunya. Masih basah oleh air mata gadis itu. Soan Li telah menangis karena mengkhawatirkan keselamatannya! Betapa mungkin ini?

Terbayanglah ia akan wajah Sin Lian. Tak salah lagi, Sin Lian mencintanya, Seperti Kim Cu. Ahhh, Kim Cu, Sin Lian, dan Soan Li! Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti terbayang di depan matanya, membuat Han Han menjadi bingung dan pandang matanya kabur, kepalanya pening. Ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya kembali ke benteng. Lebih baik menghilangkan kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk menghadapi peristiwa besok pagi. Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan tetapi ia harus mendapat kepastian lebih dulu bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar seorang di antara tujuh orang perwira yang menjadi musuh besarnya.

Soan Li berlari di malam gelap sambil masih terisak-isak. Hatinya penuh dengan dua macam perasaan, bahagia dan juga berduka. Han Han mencintanya! Terasa oleh hatinya, ketika tangan pemuda itu terletak di atas kedua pundaknya, ketika jari-jari tangan itu mengelus rambutnya. Dan dia, walau tanpa kata-kata telah memperlihatkan rasa cintanya terhadap pemuda itu.

Matanya terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia merasa malu sekali. Ah, malu apa? Biarlah! Memang demikian kenyataan hatinya. Dia mencinta Han Han! Biar pun takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya dengan perjodohan, biar pun dia akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya saja yang terpaksa ia serahkan kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati dan kasih sayangnya telah ia serahkan kepada Han Han!

Soan Li menjatuhkan diri di bawah pohon. Duduk bersandar pohon mengenangkan semua peristiwa tadi. Peristiwa yang takkan ia lupakan selama hidupnya. Biarlah, selagi masih jelas terukir di lubuk hatinya, selagi sentuhan tangan Han Han pada pundak dan rambutnya masih terasa hangat, selagi air matanya yang tadi membasahi dada pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia mengenangkan saat-saat bahagia itu. Gadis itu tersenyum penuh kebahagiaan, akan tetapi air matanya terus mengalir.

Tak lama kemudian ia meloncat bangun dan melanjutkan perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya. Dia harus segera melapor kepada Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan sebaiknya. Musuh akan menyerbu, berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya! Karena malam gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho, Soan Li tidak dapat mempergunakan lari cepatnya. Ia berjalan dengan cepat menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi ia akan tiba di sarang Pek-lian Kai-pang. Namun belum terlambat. Pasukan musuh baru akan berangkat besok pagi, tentu akan menyerbu besok sore.

Lewat tengah malam, selagi gadis ini berjalan dekat sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah perahu mendarat. Ia menjadi curiga, apa lagi ketika melihat betapa orang-orang yang berloncatan ke luar dari dua buah perahu itu amat gesit dan ringan tubuhnya. Cepat ia menyelinap di antara pohon dan mendekati mereka. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat orang terakhir yang keluar dari perahu adalah Ma-bin Lo-mo! Ouw Kian si Muka Bopeng juga berada di situ, bersama seorang yang mukanya seperti tengkorak dan seorang hwesio bertubuh gemuk.

Dia menduga-duga. Apakah Ma-bin Lo-mo dan pembantu-pembantunya itu akan menyerbu pula ke benteng? Biar pun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan tetapi teringat akan sikapnya ketika menghadiri perayaan ulang tahun Lauw-pangcu, Soan Li menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa kakek lihai itu muncul terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang. Kalau Ma-bin Lo-mo yang meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya kedatangannya mendekat akan diketahui oleh tokoh In-kok-san itu. Dari perahu ke dua muncul belasan orang berpakaian... pengawal Mancu! Soan Li memandang dengan jantung berdebar. Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal Mancu? Sungguh aneh dan mencurigakan.

“Siangkoan-locianpwe, ada keperluan apakah locianpwe memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam begini dan ke mana kita hendak pergi?” Si Muka Tengkorak bertanya kepada Ma-bin Lo-mo.

“Dan mereka itu... kenapa berada di sini bersama locianpwe?” tanya pula hwesio gemuk.

“Hemmm... kalian belum mengerti. Telah terjadi perubahan hebat sekali di kalangan para pejuang. Mereka itu telah menyeleweng dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi! Aku melihat perubahan besar. Kekuasaan Mancu seperti munculnya matahari yang tak terkalahkan, dan sebaliknya pertahanan Bu Sam Kwi memperpanjang perang dan menyusahkan banyak rakyat. Sudah tiba waktunya kita berganti haluan dan berlaku cerdik. Aku menerima tawaran Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk membantu pemerintah menghancurkan Se-cuan.”

“Omitohud...!” Hwesio itu berkata lirih.

“Apa!? Siapa tidak setuju dan siapa tidak suka membantuku?”

“Ohhh, tidak... tidak... pinceng setuju dan suka membantu.”

“Saya pun akan membantu dan selalu siap mengikuti jejak locianpwe,” kata Si Muka Tengkorak.

“Nah, dengarlah baik-baik. Pasukan ini membawa pesan dari Su-ciangkun, yaitu komandan yang bertugas di daerah ini untuk memanggil aku karena di markas itu muncul seorang mata-mata musuh.”

“Siapa...?” tanya Si Hwesio Gemuk.

“Bocah buntung terkutuk itu. Han Han!”

“Eh, bukankah dia dahulu yang kita bakar di kapal...?” Si Muka Tengkorak bertanya.

“Tidak ada waktu untuk bercerita panjang. Bocah itu telah mehyelundup ke dalam benteng dan mengingat bahwa dia kini lihai bukan main, kita harus menyergapnya, dan menurut perintah Su-ciangkun, harus dapat kita tangkap hidup-hidup untuk memaksa pihak pemberontak agar suka menakluk. Hayo kita berangkat!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Soan Li yang mendengarkan semua ini. Tanpa berpikir panjang lagi gadis itu lalu melesat pergi untuk cepat-cepat kembali ke benteng. Dia harus memberi tahu Han Han. Dengan cara apa pun juga. Ternyata, entah bagaimana caranya, rahasia Han Han telah diketahui musuh! Betapa lihainya musuh!

“Heiii... siapa itu? Kejar!”

Ma-bin Lo-mo yang berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas dari pada yang lain sudah melihat berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis itu. Dia cepat mengejar, diikuti oleh tiga orang pembantunya dan para pengawal pasukan yang sudah mendaratkan kuda mereka. Empat ekor kuda disediakan untuk Ma-bin Lo-mo dan para pembantunya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda yang melakukan pengejaran.

Soan Li juga mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin jelas. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlari secepat mungkin. Dia harus mendahului mereka tiba di benteng! Dia akan mengamuk sehingga Han Han yang mendengar amukannya akan keluar dan akan mendengar peringatannya.

Han Han harus diselamatkan. Kalau ia terlambat, celakalah pemuda itu! Betapa pun lihainya Han Han, tidak mungkin dapat melawan Ma-bin Lo-mo, apa lagi masih ada empat orang pembantunya dan para pengawal, ditambah ribuan orang tentara di dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa pemuda yang dicintanya itu tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari!

Di dalam tubuh setiap orang manusia memang terdapat kekuatan yang maha dahsyat, yang gaib dan sukar diukur oleh akal manusia. Kekuatan maha dahsyat ini kadang-kadang timbul di luar kesadaran, agaknya selalu bersembunyi di bawah sadar. Timbul apa bila si manusia berada dalam keadaan tak sadar oleh perasaan yang menghimpitnya.

Orang yang berduka hebat kadang-kadang dapat bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan yang takkan mungkin dapat tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa. Seorang yang sedang ketakutan hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang ajaib seperti mengangkat benda yang beberapa kali lipat lebih dari pada daya kekuatan tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi dari pada kemampuannya dalam keadaan biasa
.

Demikian pula dengan Soan Li. Gadis ini sebagai murid Im-yang Seng-cu memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki sinkang kuat dan ginkang yang hebat sehingga memungkinkan dia berlari cepat sekali. Akan tetapi, dalam keadaan penuh kekhawatiran, ketegangan seperti saat itu, kekuatan maha dahsyat yang mukjizat itu timbul di luar kesadarannya sehingga membuat kecepatan larinya menjadi berlipat ganda apa bila dibandingkan dengan kemampuannya yang biasa. Bahkan kejaran kuda yang dibalapkan itu masih tidak mampu menyusulnya!

Setelah malam terganti pagi, sinar matahari mulai muncul mendahului mataharinya sendiri, Soan Li telah lari mendekati benteng. Peluhnya membasahi seluruh pakaiannya, napasnya terengah-engah dan kini Ma-bin Lo-mo bersama tiga orang pembantunya yang sudah meninggalkan kuda, sudah amat dekat di belakangnya.

“Berhenti...!” Ma-bin Lo-mo berteriak. “Bukankah engkau gadis yang kemarin dulu berada di rumah Lauw-pangcu?”

Soan Li maklum bahwa kalau ia sampai tersusul, ia akan celaka. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya. Yang amat menggelisahkan hatinya adalah bahwa kalau dia terpegang oleh Ma-bin Lo-mo, berarti Han Han akan celaka! Maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan melompat jauh ke depan. Biar pun Ma-bin Lo-mo suaranya terdengar dekat, namun sebenarnya masih agak jauh.

“Berhenti, kalau tidak pinceng terpaksa merobohkanmu!” terdengar pula bentakan dari belakang. Akan tetapi Soan Li berlari terus, tidak mempedulikan teriakan-teriakan di belakangnya.

Pada saat itu pintu benteng terbuka dan muncullah sepasukan tentara Mancu didahului oleh dua ekor kuda yang ditunggangi oleh Su-ciangkun sendiri dan Han Han, di samping tentara yang memegang bendera kebesaran Su-ciangkun.

“Han Han...!” Jerit suara Soan Li melengking amat nyaringnya. Akan tetapi terdengar bentakan dari belakangnya.

“Robohlah, bocah keras kepala!”

Serangkum tenaga yang amat dahsyat menyambar dari belakang. Soan Li yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi maklum bahwa Ma-bin Lo-mo menyerangnya dengan pukulan sinkang, pukulan jarak jauh yang amat kuat. Cepat ia mengelak dengan meloncat ke samping, akan tetapi tetap saja hawa pukulan Swat-im Sin-ciang menyerempetnya dan ia terhuyung-huyung, merasa betapa tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi dingin sekali. Pada saat tubuhnya terhuyung itu, terdengar teriakan Han Han.

“Soan Li...!”

“Han Han... awas... tertipu...!”

“Syut-syut-syut-ser-ser-ser...!”

Ketika tangan Kek Bu Hwesio, yaitu hwesio gemuk yang menjadi pembantu Ma-bin Lo-mo bergerak, belasan batang panah tangan telah beterbangan menyambar ke arah tubuh Soan Li dari belakang. Memang hwesio yang menjadi pelarian Kong-thong-pai ini memiliki keahlian mempergunakan panah tangan.

Soan Li sedang terhuyung dan perhatiannya tertarik kepada Han Han, maka biar pun ia berusaha melempar tubuh mengelak, tetap saja ada enam batang anak panah mengenai tubuhnya, menancap di pundak, punggung dan lengan.

“Aduhhhhh...! Han Han... Han-twako... awas...!”

“Soan Li...!” Han Han sudah sejak tadi mencelat dari atas kudanya dan dengan kecepatan luar biasa sekali tubuhnya berloncatan ke depan sehingga dalam beberapa detik saja ia sudah tiba di tempat itu. Namun terlambat. Dengan mata terbelalak pemuda ini melihat betapa tubuh Soan Li penuh dengan anak panah dan dara ini merangkak ke arahnya dengan tangan terulur ke depan dan bibir mengeluarkan kata-kata.

“Han Han... mereka akan membunuhmu... kau terjebak...!”

Akan tetapi Han Han tidak mendengarkan lagi ucapan gadis itu. Tongkatnya sudah bergerak seperti kilat menyambar ke arah Ma-bin Lo-mo dan hwesio yang hanya gundul kepalanya akan tetapi di tengkuknya tumbuh rambut, jenggotnya seperti jenggot kambing dan kumisnya melingkar itu. Kek Bu Hwesio meloncat ke belakang, lalu melepas anak panah ke arah Han Han, sedangkan Ma-bin Lo-mo cepat mengelak.

Akan tetapi dengan gerakan tongkatnya Han Han berhasil meruntuhkan semua anak panah dan melihat betapa tubuh Soan Li penuh anak panah, kemarahannya meluap ke arah hwesio itu dan tubuhnya secara tiba-tiba sudah mencelat ke depan Kek Bu Hwesio. Ma-bin Lo-mo mendengus dan menerjang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Akan tetapi dengan tangan kirinya Han Han menangkis.

“Deessss!!”

Tubuh Ma-bin Lo-mo mencelat sampai hampir sepuluh meter. Kakek ini berjungkir-balik dan matanya terbelalak saking heran dan gentarnya. Han Han sudah menggerakkan tangannya dan ketika itu ada serangan dari belakang, yaitu serangan pedang yang dilakukan oleh Ouw Kian dan serangan pecut besi di tangan si Muka Tengkorak Swi Coan, dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo.

“Haiiiiittttt...!”

Han Han menggerakkan tongkatnya ke belakang, cepat sekali sampai tak dapat diikuti pandangan mata.

“Prakkkk! Prakkkk!” tanpa dapat mengeluh lagi Ouw Kian dan Swi Coan roboh dengan kepala pecah!

Kek Bu Hwesio sudah dapat melompat mundur dan enam orang pengawal yang berkuda sudah datang menerjang. Han Han mengamuk. Tongkatnya bergerak sedemikian rupa sehingga enam orang pengawal itu mencelat dengan tubuh remuk, tiga ekor kuda roboh akan tetapi tongkat Han Han tertinggal di perut kuda terakhir! Dia terpaksa melepaskan tongkatnya karena pada saat itu belasan batang anak panah yang dilepas Kek Bu Hwesio datang menyambar.

Dengan kedua tangan kosong Han Han menangkap belasan batang anak panah lalu kedua tangannya bergerak. Terdengar teriakan-teriakan ketika belasan orang pengawal roboh dan beberapa ekor kuda roboh pula terkena anak panah yang dilontarkan Han Han. Kini sekali kakinya mengenjot tanah, tubuhnya sudah menyambar ke depan, tahu-tahu jubah depan Kek Bu Hwesio sudah ia cengkeram dengan tangan kiri.

“Han Han... Twako... awas... larilah...!”

Han Han menoleh dan melihat betapa Soan Li merangkak-rangkak ke arahnya, dan kini menyentuh lututnya, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Gadis itu dalam keadaan hampir mati masih saja memikirkan keselamatannya! Dengan kemarahan meluap, ketika pada saat itu ada seekor kuda yang ditunggangi seorang pengawal meloncat hendak menubruk, Han Han menggunakan tangan kanan menampar ke arah perut kuda.

“Bukkk!” Kuda meringkik, terlempar ke udara bersama penunggangnya dan terbanting roboh menindih penunggangnya yang mati seketika karena tulang punggungnya patah.

“Jahanam engkau... penjahat berpakaian pendeta...!” Mulut Han Han mendesis, kedua matanya bercucuran air mata dan ia membanting tubuh hwesio itu ke atas tanah.

“Prokkk!” Hwesio itu tewas dengan kepalanya hancur tidak merupakan kepala lagi.

“Han-twako...!” Soan Li mengeluh. “Larilah...!”

“Soan Li... ahhh, Soan Li...!” Han Han menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas. Ketika turun, kakinya menendang roboh dua orang pengawal.

“Tangkap... kepung...!” Terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang juga mengejar sungguh pun ia terbelalak menyaksikan sepak terjang pemuda itu. Betapa mungkin pemuda buntung itu menjadi sedemikian lihainya setelah kakinya buntung?

Han Han menangkap seorang pengawal dengan sebelah tangan dan melontarkannya ke arah Ma-bin Lo-mo yang mengejarnya. Terpaksa kakek ini mengelak, akan tetapi Han Han sudah merobohkan lagi empat orang pengawal yang berani membayanginya dan melihat keganasan sepak terjang pemuda buntung itu, para prajurit menjadi gentar. Han Han terus melompat dan mengerahkan ilmu yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee sehingga tubuhnya yang memanggul tubuh Soan Li itu sebentar saja mencelat berulang-ulang, makin jauh dan akhirnya lenyap dari situ!

“Kejar...! Tangkap...!”

Entah mulut siapa yang berteriak-teriak ini, terlalu banyak. Dan mereka memang mengejar, akan tetapi karena hati telah menjadi gentar, tidak ada yang mendahului kawan dan pengejaran itu sia-sia belaka.

Dengan air mata bercucuran Han Han merebahkan tubuh Soan Li ke atas rumput setelah mencabuti anak panah yang menancap di bagian belakang tubuh gadis itu. Akan tetapi Soan Li rebah tak bergerak, mukanya pucat, seluruh pakaiannya berlumuran darah, kedua matanya meram.

“Soan Li...! Soan Li... ahhh, Soan Li!” Han Han menangis dan mengguncang tubuh itu, seolah-olah hendak memanggil kembali nyawa yang sudah hampir meninggalkan raga itu.

Soan Li membuka kedua matanya, memandang Han Han dan... tersenyum! Senyum ini merupakan tangan maut sendiri yang merenggut jantung Han Han.

“Soan Li...! Mengapa engkau mengorbankan diri untukku...?”

“Han... Twako... syukur engkau selamat... hatiku puas...”

“Soan Li! Soan Li... kenapa engkau begini...? Apa kau kira aku akan bahagia melihat engkau mati karena hendak menyelamatkan aku? Soan Li... kau tidak boleh mati hanya untuk aku...!” Han Han seperti orang gila, mengguncang-guncang tubuh gadis itu yang sudah memejamkan mata kembali.

Soan Li membuka mata untuk kedua kalinya. Pandang mata gadis itu persis pandang mata Kim Cu, persis pandang mata Sin Lian. Begitu mesra! Han Han menangis, mengguguk. Tak mampu ia bicara lagi.

“Han-twako... aku bahagia... aku... aku cinta padamu, Han-twako...”

“Soan Li...!”

Mulut gadis itu megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Han Han menjerit, lalu menutup mulut gadis itu dengan mulutnya sendiri, seolah-olah ia ingin menyambung nyawa gadis itu, ingin menambah napas gadis itu dengan napasnya.

“Han-twako...,” gadis itu mengeluh dan Han Han seperti merasa betapa napas terakhir terhembus dari mulut itu memenuhi dadanya sendiri dan ia tergelimpang, pingsan sambil memeluk Soan Li!

Tentu saja Han Han sama sekali tidak tahu bahwa siasat yang diaturnya bersama Lauw-pangcu itu sebetulnya telah diketahui semua oleh pihak Mancu! Dua orang utusan yang dibunuhnya dan dirampas suratnya adalah utusan dari Puteri Nirahai. Puteri ini memiliki kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja ketika mengirim utusan kepada Su-ciangkun untuk membawa perintah sepenting itu, Puteri Nirahai tidak mau bertindak sembrono. Setengah hari setelah dua orang utusan pertama itu berangkat, dia mengirim utusan kedua yang bertugas menyelidiki apakah perintah yang dibawa utusan pertama itu telah tiba di markas Su-ciangkun dengan selamat.

Tentu saja utusan ke dua ini menemukan mayat dua orang kawannya di tengah jalan, maka cepat ia melanjutkan perjalanan ke markas Su-ciangkun. Ketika ia menyampaikan laporan tentang terbunuhnya utusan dari kota raja dan lenyapnya surat perintah, saat itu Han Han sedang mengunjungi Lauw-pangcu.

Demikianlah, ketika Han Han muncul di markas itu mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai, tentu saja Su-ciangkun sudah tahu bahwa pemuda buntung itu sebetulnya adalah mata-mata pemberontak yang membunuh utusan kota raja dan merampas surat perintah. Ketika Han Han menyerahkan surat perintah itu kepadanya dan ia membaca isinya yang tulen, Su-ciangkun sebagai seorang perwira perang mengerti bahwa pihak pemberontak menggunakan surat perintah itu untuk mengatur jebakan.

Dia lalu sengaja mencoba ilmu kepandaian Han Han, terkejut menyaksikan kelihaian pemuda buntung itu, maka ia menerimanya dengan baik akan tetapi diam-diam ia mengirim utusan untuk memanggil Ma-bin Lo-mo agar dengan bantuan orang sakti itu, pemuda buntung yang lihai ini dapat ditangkap dalam keadaan hidup. Dia ingin menggunakan pemuda buntung itu untuk memaksa para pemberontak agar suka menyerah tanpa perang.

Dan mengapa Ma-bin Lo-mo yang terkenal sebagai seorang pejuang itu tiba-tiba bersekutu dengan perwira Mancu? Mengapa pula dia mau diundang oleh pasukan utusan Su-ciangkun dan datang menunggang perahu, bahkan mengajak pula tiga orang pembantunya untuk membantu pasukan Mancu?

Hal ini sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Ma-bin Lo-mo mendatangi tempat tinggal Lauw-pangcu. Jauh sebelum itu, Ma-bin Lo-mo telah bertukar haluan, diam-diam ia telah membalik dan membantu Kerajaan Mancu. Hal ini tadinya ia lakukan secara terpaksa sekali karena tekanan yang dilakukan Kang-thouw-kwi Gak Liat sesuai dengan rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai. Gak Liat telah menemui Ma-bin Lo-mo dan membujuk Iblis Muka Kuda ini untuk bekerja sama membantu Kerajaan Ceng dan menghancurkan pertahanan Bu Sam Kwi di Se-cuan. Tentu saja Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dahulu pernah menjadi seorang menteri di Kerajaan Beng menolak dan memaki-maki Gak Liat.

“Setan Botak tak tahu malu!” Demikian jawabnya. “Engkau telah melupakan bangsa dan mengekor kepada bangsa Mancu, itu adalah urusanmu sendiri. Mengapa engkau membujuk-bujuk aku? Kalau aku tidak sudi, engkau mau apa? Hemmm... Hwi-yang Sin-ciang darimu itu sama sekali tidak membuat aku takut!”

“Ha-ha-ha-ha! Si Kuda Iblis, sombong sekali bicaramu!” Kang-thouw-kwi Gak Liat memaki dan tertawa mengejek. “Siapakah tidak tahu bahwa Siangkoan Lee dahulu adalah seorang menteri Kerajaan Beng? Akan tetapi siapa pula tidak tahu bahwa Menteri Siangkoan Lee menjadi rusak namanya karena selain tukang merampas anak bini orang, tukang merampas harta dan tanah ladang, juga tukang korupsi besar-besaran?”

“Setan Botak mau mampus! Mulutmu sama busuknya dengan hatimu! Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita!”

Melihat Ma-bin Lo-mo sudah dapat dibikin panas hatinya dan hendak menyerang, Gak Liat cepat berkata, “Tahan dulu! Sama sekali aku tidak takut kepadamu, kuda iblis! Akan tetapi sayang kalau kau mampus sekarang, tenagamu masih amat dibutuhkan pemerintah. Sekarang kau boleh pilih, membantu pemerintah Ceng ataukah engkau mati dikeroyok murid-muridmu sendiri?”

“Hahhh? Apa maksudmu, Setan Botak keparat?”

Gak Liat tertawa. “Ma-bin Lo-mo, marilah kita bicara sebagai orang-orang tua yang sudah matang pikirannya. Aku tahu, juga pemerintah, bahwa engkau berjuang untuk dirimu sendiri. Engkau bercita-cita mengalahkan Pemerintah Ceng agar engkau dapat membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah runtuh dan engkau akan menjadi kaisarnya! Hemmm, boleh saja bercita-cita mengejar kemuliaan, akan tetapi jangan terlampau tinggi. Engkau mimpi di siang hari. Lebih baik engkau mengabdi kepada Kerajaan Ceng dan engkau tentu akan menikmati kemuliaan dan kedudukan yang cukup tinggi, sesuai dengan kepandaianmu. Pemerintah Ceng pandai menghargai orang. Kalau engkau menolak, murid-muridmu yang menjadi pasukan In-kok-san akan tahu siapa sebetulnya yang membasmi keluarga mereka!”

Wajah Ma-bin Lo-mo berubah. Ia pura-pura tidak mengerti dan memaki lagi, “Gak Liat, apa artinya ucapanmu itu?”

“Wah, engkau masih pura-pura lagi, Siangkoan Lee? Engkau bermaksud membentuk pasukan yang kuat, terdiri dari murid-muridmu di In-kok-san. Untuk keperluan itu engkau memilih banyak bocah yang berbakat, diam-diam kau bunuh keluarga mereka dan kau katakan bahwa orang Mancu yang membunuh sehingga engkau menanamkan benih kebencian di hati para muridmu terhadap Pemerintah Mancu agar kelak dapat kau pergunakan tenaga mereka untuk membantu kau mencapai cita-citamu...!”

Wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. “Setan...! Cukup, tak perlu membuka mulut lagi. Katakan, apa kehendakmu?”

“Aku hanya melakukan tugas yang diperintahkan Puteri Nirahai.”

“Hemmm, apa kehendaknya?”

“Tidak lain, kau diminta untuk bekerja sama, membantu pemerintah untuk meng-hancurkan para pemberontak, terutama sekali pemberontak Bu Sam Kwi di Se-cuan. Untuk jasa-jasamu, tentu kaisar tidak akan melupakan dan kelak kita tentu akan menikmati hari tua yang mulia dan terhormat.”

Demikianlah, siasat yang dijalankan oleh Gak Liat atas perintah Puteri Nirahai itu berhasil baik. Ma-bin Lo-mo membujuk murid-muridnya yang berjumlah hampir seratus orang untuk membalik dan membantu Pemerintah Mancu. Tentu saja sebagian besar muridnya tidak sudi karena bukankah keluarga mereka terbasmi habis oleh orang-orang Mancu? Mereka yang tidak mau mengikuti jejak guru mereka lalu meninggalkan In-kok-san dan sebagian menggabung pada para pejuang. Banyak pula yang lari ke Se-cuan untuk membantu Bu Sam Kwi mengadakan perlawanan terhadap bala tentara Mancu yang berusaha menalukkan Se-cuan.

Ketika tidak berhasil menangkap Han Han, bahkan tiga orang pembantunya yang setia dan pandai itu tewas secara mengerikan di tangan pemuda kaki buntung yang amat luar biasa itu, Ma-bin Lo-mo menjadi marah dan menyesal sekali. Juga di dalam hatinya ia merasa heran. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Pulau Es, akan tetapi dia pernah bertanding melawan Han Han sebelum kaki pemuda itu buntung, dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi mengapa sekarang pemuda itu setelah kakinya buntung menjadi makin hebat kepandaiannya?

Bahkan tadi ketika menangkis pukulan saktinya juga membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda itu jauh lebih matang dari pada sebelum kakinya buntung! Dan ilmunya bergerak seperti kilat itu, berloncatan seperti terbang saja! Ilmu apakah itu dan dari mana pemuda buntung itu memperolehnya? Diam-diam ia merasa gentar sekali, maklum bahwa kini tingkat kepandaiannya tidak akan dapat menandingi kepandaian pemuda yang mukjizat itu!

Pasukan yang dipimpin oleh Su-ciangkun dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo melanjutkan perjalanan mereka menyerbu sarang Pek-lian Kai-pang. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Han Han dan Soan Li tadi tidak mengubah rencana mereka menghancurkan sarang pemberontak. Su-ciangkun sebagai seorang ahli perang yang pandai maklum bahwa pasukannya akan menghadapi jebakan kaum pemberontak, maka diam-diam dia memecah-mecah pasukannya menjadi empat bagian.

Bagian pertama sengaja ia biarkan untuk dijebak, akan tetapi diam-diam dua pasukan menyusul dari kanan kiri merupakan sayap untuk melindungi induk pasukan yang akan dijebak musuh. Sedangkan bagian ke empat menggunakan perahu-perahu menyerbu melalui air! Dengan siasat yang lihai ini, bukan pasukan Mancu yang terancam, sebaliknya malah pihak pemberontak yang berada dalam bahaya.

Lauw-pangcu yang sudah mengatur barisan pendam di dalam hutan menjadi girang sekali ketika melihat pasukan Mancu terdiri dari dua ratus lima orang memasuki hutan itu, memasuki jebakan, memasuki perangkap yang dipasangnya! Hari telah menjelang senja ketika pasukan Mancu itu memasuki hutan yang dijadikan tempat perangkap untuk menyergap pasukan Mancu.

Setelah pasukan Mancu yang megah itu semua memasuki hutan, tiba-tiba terdengar suara melengking dan itulah tanda yang diberikan oleh Sin Lian. Dari lubang-lubang dalam tanah menyambar ratusan batang anak panah ke arah dua ratus lima orang tentara Mancu yang menggunakan perisai-perisai dan golok menangkis anak panah dan melindungi diri. Akan tetapi ada beberapa orang terjungkal dan beberapa ekor kuda roboh. Selagi pasukan Mancu menjadi bingung karena diserang dari kanan kiri dan muka belakang, para pejuang bersorak-sorak dan berteriak-teriak, meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dalam tanah berlubang, dari balik-balik batang pohon dan semak-semak, dari atas pohon dan menyerbu pasukan yang sedang bingung itu.

Jumlah anak buah Lauw-pangcu tidak kurang dari tiga ratus orang dan hampir semua adalah ahli-ahli silat yang pandai. Apa lagi di situ, terdapat Lauw-pangcu sendiri yang mengamuk, dan terutama sekali Lauw Sin Lian dan Wan Sin Kiat yang membabati para prajurit Mancu seperti orang membabati rumput saja. Kalau Su-ciangkun tidak mengatur siasat lebih dulu dengan membagi-bagi pasukannya, dan andai kata pasukannya hanya berjumlah lima ratus dan semua terjebak, tentu akan hancurlah pasukannya. Pasukan induk ini melawan sekuatnya, namun karena mereka diserbu dari empat penjuru secara tiba-tiba, mereka menjadi kacau-balau.

Para pemberontak atau pejuang sudah merasa girang sekali dan menganggap bahwa siasat mereka berhasil. Tidak sampai setengah malam tentu semua pasukan Mancu akan dapat mereka basmi semua, demikian pikir Lauw-pangcu dan anak buahnya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara terompet tanduk berbunyi dari empat penjuru di luar hutan itu dan menyerbulah tujuh ratus lima puluh orang tentara Mancu dari empat penjuru, dipimpin oleh Su-ciangkun sendiri dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo! Kalau tadi anak buah Lauw-pangcu menyergap dan mengurung, kini mereka sendiri dikurung dan keadaan menjadi kacau-balau. Perang terjadi amat hebatnya. Anak buah Lauw-pangcu yang terjepit itu menjadi nekat dan mengamuk mati-matian. Mereka akan mati seperti tikus-tikus terjepit, maka lebih baik melawan dan mati sebagai sekumpulan harimau.

Lauw-pangcu terkejut bukan main. Juga Sin Lian dan terutama sekali Sin Kiat menjadi khawatir sekali. Bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan sumoi-nya dan Han Han. Kalau sampai keadaan berubah seperti ini, hanya berarti bahwa Han Han dan sumoi-nya tentu telah gagal. Namun mereka tidak sempat banyak berpikir karena pihak musuh datang menyerbu bagaikan air membanjir. Dikeroyok banyak lawan, satu lawan empat, mulai berjatuhanlah pihak pejuang. Di bawah sinar obor yang dipegang kedua pihak, tampak darah muncrat, diselingi bunga api berpijar dan teriakan-teriakan bercampur dengan rintihan. Tubuh-tubuh manusia berjatuhan tumpang tindih, mayat-mayat yang mandi darah mulai berserakan.

Lauw-pangcu yang mengamuk hebat, setelah merobohkan tidak kurang dari dua puluh orang lawan dengan tongkatnya yang lihai, akhirnya roboh juga dengan dada tertembus tombak. Melihat ayahnya roboh, Sin Lian menjerit dan dengan isak tertahan gadis ini mengamuk. Pedangnya berkelebat seperti naga mengamuk dan tentara musuh yang berani mendekatinya tentu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja. Melihat kenekatan Sin Lian yang mencoba mendekati ayahnya, Sin Kiat menyerbu dan membantunya. Makin mawutlah pihak musuh.

“Hemmm, kalian sudah bosan hidup!” Bentakan ini disusul dengan menyambarnya angin pukulan dingin dan ternyata Ma-bin Lo-mo yang menyaksikan sepak terjang dua orang muda ini sudah maju menyerang.

Melihat kakek ini, Sin Lian lalu membentak marah. “Kiranya engkau iblis tua bangka! Kiranya engkau adalah anjing penjilat Mancu pula!”

Akan tetapi terpaksa Sin Lian harus membuang diri menghindar dari sambaran angin pukulan Ma-bin Lo-mo seperti yang dilakukan Sin Kiat, kemudian ia membalas dengan terjangan ke depan dan menusukkan pedangnya ke dada kakek itu. Sin Kiat juga menerjang dari kiri, pedangnya membabat leher.

Ma-bin Lo-mo sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang kedua orang muda itu, maka ia tidak berani memandang rendah. Melihat dua sinar pedang menyambar, ia cepat melompat ke belakang, ujung lengan bajunya menampar untuk menangkis pedang Sin Lian yang melanjutkan tusukan dengan babatan kilat.

“Brett!” Pedang Sin Lian terpental dan cepat ia memutar tubuh agar pedangnya tidak terlepas, akan tetapi ujung lengan baju Ma-bin Lo-mo terbabat putus!

Kakek ini marah sekali. Setelah dia mengelak dari tusukan pedang Sin Kiat yang menyambar, secepat kilat kedua tangannya mendorong ke arah dua orang muda itu. Sin Kiat dan Sin Lian maklum akan kelihaian pukulan jarak jauh ini. Mereka tidak keburu mengelak, dan menangkis dengan gerakan tangan sambil mengerahkan sinkang pula. Akan tetapi tetap saja tubuh mereka terdorong hebat ke belakang, membuat mereka terhuyung dan pada saat itu, dua orang perwira pembantu Su-ciangkun sudah menubruk dan menusukkan tombak mereka ke arah kedua orang muda yang sedang terhuyung itu.

Sin Kiat yang sedang terhuyung melihat datangnya tusukan tombak dengan tenaga yang kuat itu, cepat menjatuhkan diri, berguling ke depan sehingga tombak lewat di atas kepalanya, kemudian ia menusukkan pedangnya yang amblas ke dalam perut lawan. Ketika darah mengucur menyusul pedang yang dicabutnya, Sin Kiat sudah meloncat kembali sehingga tidak terkena semprotan darah.

Ada pun Sin Lian yang tadinya juga terhuyung, tidak sempat menangkis ketika ditusuk dari arah kanan oleh perwira Mancu. Ia mempergunakan tangan kiri menyambar leher tombak, meminjam tenaga lawan menarik tombak sehingga tubuh lawan ikut terdorong ke depan, lalu menggunakan tenaga sinkang ia menekuk tombak sehingga patah tengahnya, lalu terus ia tusukkan ke lambung perwira itu sehingga tembus!

Melihat betapa dalam keadaan terhuyung kedua orang muda itu masih sempat merobohkan dua orang perwira menengah, Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran dan marah. Ia menerjang maju, bertubi-tubi menggerakkan kedua tangan ke arah Sin Lian dan Sin Kiat yang menjadi sibuk mengelak dan menangkis, tidak sempat lagi menyerang, padahal para pengeroyok sudah mengelilingi mereka dan siap-siap menghujankan senjata kepada dua orang muda lihai ini apa bila mereka roboh oleh desakan Ma-bin Lo-mo. Menghadapi kakek bermuka iblis, murid Siauw-lim Chit-kiam dan murid Im-yang Seng-cu benar-benar kewalahan karena Ma-bin Lo-mo menggunakan Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya.

Tiba-tiba keadaan perang menjadi makin kacau ketika banyak tentara Mancu roboh dan bahkan ada yang terlempar ke sana-sini seperti diamuk badai. Ternyata yang datang mengamuk itu adalah Han Han! Setelah dia siuman dari pingsannya dan menangisi Soan Li yang telah tewas, akhirnya Han Han teringat akan bahaya yang mengancam Lauw-pangcu dan anak buahnya. Teringat akan itu, dengan hati berduka sekali ia lalu menggali lubang dan menguburkan jenazah Soan Li. Kemudian ia menggunakan kepandaiannya berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal Lauw-pangcu.

“Han Han... mana Sumoi...?” Sin Kiat merasa lega melihat pemuda buntung itu, akan tetapi ia gelisah karena tidak melihat sumoi-nya datang bersama Han Han.

Ditanya tentang Soan Li, Han Han diingatkan kembali, air matanya mengalir turun dan tanpa menjawab ia lalu menerjang maju, menghadapi Ma-bin Lo-mo yang sedang mendesak Sin Kiat dan Sin Lian.

Ketika melihat Han Han, Ma-bin Lo-mo yang marah sekali itu lalu menerjang sambil mengeluarkan suara meringkik keras seperti kuda marah. Ia masih merasa penasaran dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya yang ada. Terdengar suara bercuitan ketika tenaga Swat-im Sin-ciang dengan kekuatan sepenuhnya menyambar ke depan! Han Han mengenal pukulan sakti, cepat ia berseru.

“Kalian minggirlah!”

Sin Kiat dan Sin Lian yang sudah berkali-kali mengenal pukulan dahsyat dari kakek itu cepat melompat ke kanan kiri. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mau melompat minggir. Ia sudah marah sekali, kemarahannya yang timbul dari kedukaan yang hebat karena kematian Soan Li. Maka kini menyaksikan betapa Ma-bin Lo-mo mengerahkan pukulan Swat-im Sin-ciang, ia pun berteriak keras dan dengan berdiri di atas sebelah kakinya, ia mendorongkan kedua tangannya ke depan menyambut pukulan Ma-bin Lo-mo! Han Han sudah kehilangan tongkatnya yang tertinggal di perut kuda ketika ia mengamuk di depan benteng, kini ia tidak bertongkat lagi. Akan tetapi sinkang yang keluar dari kedua lengannya adalah inti sari dari tenaga Im-kang yang amat dahsyat, yang sudah dia kuasai ketika ia berlatih di Pulau Es.

“Desssss...!”

Hebat bukan main benturan dua tenaga sakti yang sama-sama mengandung hawa dingin itu. Empat orang tentara Mancu yang berdiri terlalu dekat memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi karena jantung mereka membeku terkena sambaran tenaga sakti yang saling bertabrakan.

Tubuh Han Han mencelat ke atas, tinggi sekali. Akan tetapi ia sudah meloncat lagi ketika kakinya menyentuh dahan pohon. Kini tubuhnya mencelat ke depan menyambar Ma-bin Lo-mo yang terhuyung ke belakang dengan mulut muntahkan darah segar!

Melihat betapa tubuh Han Han dari atas pohon menukik ke bawah, Ma-bin Lo-mo mengeluarkan seruan kaget, cepat tubuhnya melesat ke bawah, bergulingan dan lenyap di antara kaki para pengawal.

“Bressssss...!” Lima orang pengawal roboh dan tewas seketika dengan tulang-tulang remuk ketika terjangan Han Han dari atas itu menyambar ke arah mereka. Akan tetapi Ma-bin Lo-mo tidak tampak lagi bayangannya.

Han Han mengamuk terus dengan hebatnya. Juga Sin Lian dan Sin Kiat mengamuk dengan pedang mereka. Setelah kini Ma-bin Lo-mo terluka dan tidak muncul lagi, tidak ada yang dapat mengimbangi amukan tiga orang muda yang perkasa ini. Akan tetapi, di pihak para pejuang, ternyata hanya tinggal mereka bertiga karena yang lain-lain semua telah tewas dalam perang tanding yang amat seru di dalam hutan itu. Ada pun di pihak tentara Mancu juga mengalami kerugian tidak sedikit, kurang lebih sama jumlahnya dengan anak buah Pek-lian Kai-pang!

“Han Han, mari kita pergi...!” kata Sin Kiat. “Semua saudara telah tewas, tak perlu melawan lagi!”

Akan tetapi Han Han tidak mau mendengarkan kata-kata Sin Kiat. Hatinya sudah terlalu sakit dan ia akan bertempur sampai mati untuk membalaskan dendam Soan Li. Melihat itu Sin Lian lalu menyambar tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat, sambil menangis terisak ia mendekati Han Han yang masih mengamuk.

“Han Han... bantulah aku... menyelamatkan jenazah Ayah...!”

Mendengar suara wanita menangis, Han Han seperti baru sadar dari keadaan yang tidak wajar itu, yang membuatnya mengamuk seperti orang gila. Ia menengok dan ketika ia melihat Sin Lian menangis sambil memondong mayat Lauw-pangcu, Han Han terkejut sekali.

“Ah, Lauw-pangcu...!”

“Dia gugur, Han Han, tolonglah aku membuka jalan ke luar dari sini...!”

Han Han mengangguk, lalu bersama Sin Kiat ia mengawal Sin Lian yang memondong mayat ayahnya keluar dari kepungan. Sebetulnya hal ini tidak perlu karena para pengepung itu tidak ada yang berani mengganggu melihat tiga orang muda itu keluar dari hutan. Mereka telah menjadi jeri menyaksikan sepak terjang mereka tadi, apa lagi sepak terjang pemuda yang buntung kakinya.

Sin Lian yang menangis sambil memondong tubuh ayahnya berlari terus sampai pagi, baru ia berhenti di pinggir Sungai Huang-ho paling barat, di mana air sungai itu datang mengalir dari utara dan di tikungan itu membelok ke timur. Daerah ini penuh pula dengan hutan dan amat sunyi.

Setengah malam mereka tadi berlari, tanpa berkata-kata, masih tegang dan berduka menghadapi mala petaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang. Yang paling gelisah adalah Sin Kiat. Pemuda ini ingin sekali mengetahui akan keadaan sumoi-nya, ia pun ingin tahu bagaimana pihak Mancu sampai dapat melakukan sergapan seperti itu, bahkan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo. Ia menduga bahwa tentu Han Han tahu akan itu semua, akan tetapi mengingat akan kedukaan Sin Lian, Sin Kiat menahan keinginan tahunya. Setelah dia dan Han Han membantu Sin Lian mengubur jenazah Lauw-pangcu di dalam hutan itu, barulah Sin Kiat mengajak Han Han menjauhi Sin Lian yang berkabung dan menangis di depan kuburan ayahnya.

“Han Han, ceritakanlah lekas, bagaimana dengan Sumoi!”

Akan tetapi, mendengar pertanyaan ini Han Han menjatuhkan diri duduk di atas tanah, matanya memandang jauh dengan sinar muram dan kosong, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sin Kiat. Melihat ini Sin Kiat berlutut dan menyentuh lengan Han Han, mengguncangnya dan bertanya tegang.

“Han Han, apa yang terjadi dengan Sumoi? Di mana dia?”

Tiba-tiba Han Han mengipatkan lengannya dan Sin Kiat terlempar ke belakang hingga terjengkang. Ia meloncat lagi dan terkejut melihat Han Han sudah berdiri di atas sebelah kakinya dan menudingkan telunjuk ke mukanya sambil membentak, “Sin Kiat, kenapa engkau membolehkan sumoi-mu pergi menyusulku? Kenapa tidak kau cegah dia? Percuma saja engkau menjadi suheng-nya!”

Pucatlah wajah Sin Kiat. Tanpa mempedulikan kemarahan Han Han, ia menubruk maju dan memegang lengan pemuda buntung itu. “Han Han...!” Sin Kiat menjerit, suaranya gemetar. “Lekas katakan, di mana dia? Di mana sumoi...? Dia sendiri yang memaksa hendak menyusulmu karena mengkhawatirkan keadaanmu. Han Han, di mana sumoi?”

Mendengar suara Sin Kiat menjerit-jerit ini, Sin Lian yang menangis di depan kuburan ayahnya menjadi terkejut, menengok dan cepat ia menghampiri mereka karena ia melihat Han Han berdiri seperti orang marah dan Sin Kiat menjerit-jerit seperti orang gila.
“Ada apakah? Han Han, apa yang terjadi?”

Suara Sin Lian ini mengusir kemarahan di hati Han Han. Ia menghela napas panjang, menundukkan muka sehingga air mata yang memenuhi pelupuk mata itu menetes jatuh satu-satu.

“Soan Li... dia... dia telah tewas...!”

“Sumoi...!” Sin Kiat memekik keras. Matanya melotot, mukanya pucat seperti mayat dan tangannya mencengkeram lengan Han Han.

“Apa...! Sumoi-ku... mati? Han Han, bagaimana? Siapa yang membunuhnya?”

Han Han menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput. Sin Lian juga duduk di atas tanah, mukanya makin berduka. Sin Kiat duduk dan mengangkat kedua lutut, menunjang kedua siku dengan lututnya dan menutupi mukanya mendengarkan penuturan Han Han yang menceritakan semua peristiwa itu dengan suara gemetar.

Setelah habis cerita Han Han, Sin Kiat masih menutupi mukanya. Perlahan-lahan dari celah-celah jari tangannya keluar beberapa tetes air mata. Dadanya bergelombang, diseling sedu. Hancur hati Sin Kiat. Teringat ia akan wajah sumoi-nya yang menengok dan tersenyum ketika hendak meninggalkannya. Senyum manis di antara linangan air mata duka!

“Aduh, Sumoi...! Ah, dia seperti adikku sendiri... ahh, bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap suhu, terhadap... keluarga tunangannya...?”

Tiba-tiba Han Han menggerakkan kepala, menoleh kemudian memandang Sin Kiat. “Tunangannya?”

Sin Kiat yang maklum akan isi hati sumoi-nya, dan dapat menduga bahwa Han Han yang kelihatan demikian berduka dan menyesal atas kematian sumoi-nya agaknya juga sudah tahu akan perasaan cinta Soan Li terhadapnya, tanpa menoleh kepada Han Han berkata lirih, “Ya tunangannya. Beberapa tahun yang lalu, atas kehendak Suhu, Sumoi telah ditunangkan dengan putera sahabat suhu, seorang siucai she Tan yang tinggal di Nan-king.”

Han Han menghela napas panjang. “Dan dia mati berkorban untukku...” Ia berbisik lirih. “Betapa mulia hatinya... dan betapa besar dosaku...!”

Sin Lian melirik dan melihat betapa wajah Han Han lebih muram dari pada biasanya, betapa wajah yang menarik itu makin bertambah guratannya, ia merasa kasihan dan teringatlah ia akan pernyataan Lulu bahwa banyak wanita yang jatuh cinta kepada Han Han. Kini mengertilah ia dan biar pun tidak ada yang bicara di saat itu, Sin Lian dapat menduga apa yang telah terjadi di dalam hati Soan Li. Tentu dara jelita murid Im-yang Seng-cu itu diam-diam jatuh cinta kepada Han Han, akan tetapi karena merasa bahwa dia telah terikat jodoh dengan orang lain, maka Soan Li menahan diri. Betapa pun juga, cinta kasih membuat gadis itu nekat hendak menyusul Han Han untuk melindunginya dan akhirnya mengorbankan nyawa sendiri.

“Kasihan Adik Soan Li...!” Sin Lian berkata dan menyentuh lengan Han Han, “Han Han, sudahlah, tak perlu kita terlalu berduka karena kematian orang-orang yang kita sayang. Ayahku dan juga Soan Li tewas sebagai orang-orang gagah, tewas dalam pelaksanaan tugas. Perlu apa harus berduka? Tidak, Han Han. Sebenarnya, menurut patut, kita malah harus bangga bahwa mereka tewas sebagai orang-orang gagah, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita dan kegagahan mereka. Kita harus melanjutkan perjuangan mendiang Soan Li, menentang penjajah Mancu sampai detik hidup terakhir!”

Mendengar ucapan gadis perkasa ini, hati Han Han dan Sin Kiat kagum bukan main. Gadis ini baru saja kematian ayahnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi keluarganya dan mereka dapat mengerti betapa duka hati Sin Lian. Namun gadis itu masih mampu menghibur mereka berdua, dua orang pria yang semestinya lebih kuat hatinya!

“Nona Lauw benar-benar mengagumkan sekali dan apa yang diucapkannya tak dapat disangkal kebenarannya! Hidup atau mati bukanlah urusan manusia, bagi manusia yang paling tepat hanya menjaga agar hidup atau mati sebagai manusia-manusia yang membela kebenaran dan keadilan! Han Han, marilah engkau ikut bersamaku ke Se-cuan. Agaknya tinggal di sanalah satu-satunya tempat di mana kita dapat menyumbangkan tenaga menentang penjajah sampai berhasil atau hancur!”

“Aku... aku harus mencari Lulu...” Suara Han Han masih tidak bersemangat.

Memang Han Han masih sangat merasa tertekan oleh rentetan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Urusan Kim Cu, gadis yang berkorban demi cinta kasihnya terhadap dirinya merupakan urusan yang amat menindih hatinya dan yang takkan pernah dapat ia lupakan, yang membuat ia merasa berdosa, merasa menjadi penyebab hancurnya kebahagiaan hidup seorang gadis semulia Kim Cu. Kemudian ditambah lagi dengan lenyapnya Lulu yang amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya, lalu kekecewaan karena belum juga ia berhasil membunuh seorang pun di antara tujuh orang musuh besar keluarganya.

Kini peristiwa yang menimpa diri Soan Li dan menyebabkan dara itu tewas, tewas di depan matanya sendiri sebagai pengorbanan dalam usaha gadis itu yang hendak menyelamatkannya. Ia merasa berduka sekali, bertubi-tubi perasaan hatinya mengalami hantaman yang berat, membuat ia kehilangan semangat, merasa seperti hanyut dalam arus yang penuh kesengsaraan, membuat ia kehilangan pegangan dan dalam keadaan seperti itu, dia harus cepat bertemu Lulu. Hanya adiknya itulah tempat ia berpegang dalam arus penuh kesengsaraan ini, hanya adiknya Lulu itulah yang akan dapat menghiburnya, yang akan dapat mengembalikan semangatnya.

“Aku harus mencari adikku Lulu...,” katanya lagi penuh rindu.

“Han Han, aku pun ingin sekali bertemu dengan adikku itu. Aku pun akan mencarinya. Bahkan aku akan mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan. Aku akan berusaha mencari Lulu untuk kemudian kuajak mereka semua ke Se-cuan,” kata Sin Lian.

“Aku pun akan membantumu mencari adikmu itu, Han Han. Akan tetapi, mengingat bahwa adikmu pun tentu sedang mencari-carimu seperti yang ia katakan kepada Nona Sin Lian, apakah tidak mungkin kalau dia itu pun pergi mencarimu ke Se-cuan, mengira bahwa engkau berada di sana? Lebih baik kita berangkat ke Se-cuan sambil mendengar-dengar dan mencari-cari.”

Han Han mengangguk-angguk. “Pendapatmu benar juga, dan aku pun memang harus pergi ke Se-cuan karena urusan pribadi.” Ia teringat akan penuturan Sie Leng enci-nya bahwa sebagian besar musuh-musuhnya berada di Se-cuan, yaitu memimpin bala tentara yang ditugaskan mengurung dan menggempur Se-cuan.

“Memang demikian lebih baik,” kata Sin Lian. “Kalian berdua berangkatlah lebih dulu ke Se-cuan, sedangkan aku sendiri akan mengumpulkan sisa teman-teman dan sekalian mencari Lulu di bagian timur. Kalau bertemu, tentu akan kuajak menyusul ke barat.”

Setelah mereka melakukan penghormatan terakhir di depan kuburan Lauw-pangcu, Sin Lian lalu meninggalkan dua orang pemuda itu untuk mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan yang pada malam itu sebagian besar terbasmi oleh tentara Mancu. Ada pun Han Han, atas desakan Sin Kiat mengantar temannya ini berkunjung ke makam Soan Li di mana Sin Kiat berkabung dan Han Han juga tak dapat menahan runtuhnya air matanya.

"Han Han, ketahuilah, hanya kepada aku seorang mendiang sumoi membuka rahasia hatinya bahwa dia mencintamu."...


BERSAMBUNG KE JILID 16


Pendekar Super Sakti Jilid 15

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PENDEKAR SUPER SAKTI

BAGIAN 15

Kini menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.

“Trang-trang-cringgg...! Ehhhhh...!”

Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan! Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat bukan main.

Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit!

“Aahhh... ayaaaaa... trang-trang-trang...!”

Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.

“Hemmm... mundurlah!” Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sinkang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.

“Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau mainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?”

“Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk. “Pantas, kiam-hoat-mu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah jika mendengar engkau akan membantu pengkhianat Bu Sam Kwi.”

“Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama menentang Mancu!”

Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda marah.

“Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng jauh! Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?”

Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diejek. “Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah benderanya, habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.

“Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?”

Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak. “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”

Gadis muda yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum mengejek, lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.

“Cu-wi sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang tidak tahu bahwa dia melatih murid-muridnya di In-kok-san untuk membentuk barisan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri menjadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!”

Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot ia membentak, “Memang benar! Dan mengapa tidak? Aku jauh lebih berharga dari pada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku lebih patut dijadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah dari pada si pengkhianat bangsa Bu Sam Kwi!”

Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat menghadapinya dan menjura penuh hormat. “Harap Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja urusan ini. Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang penjajah Mancu. Silakan!”

“Tidak bisa!” Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya masih saja membayangkan ketidak-puasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba itu. “Kalau kalian semua masih melanjutkan keinginan hendak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! Dengan demikian kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?”

Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata, “Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang. Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil, kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?”

Lauw-pangcu menghela napas panjang. “Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. “Tentu saja pendirian saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.”

Para tamu berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang mendukungnya.

“Lauw-pangcu! Jikalau begitu, engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas... pantas...! Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat! Sekarang, sudah menjadi pengemis jembel gelandangan pun masih menjadi pengkhianat! Sungguh tak tahu malu!”

“Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki. “Engkaulah yang tidak tahu malu! Sebagai tamu seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah tamu yang diundang!”

“Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin!”

“Siangkoan Lee! Biar sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur...!” Lauw-pangcu menjadi marah.

“Tahan, Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan pedangnya.

Karena ia maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari tubuh Ma-bin Lo-mo.

Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di antara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu datuk golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi dari pada tingkat Sin Lian. Jangankan hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam maju bersama sekali pun, belum tentu akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!

Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, memuji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat.

Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, ia tak mau sembrono menurunkan tangan keji, hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.

“Hi-yeh-heh... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kau pergunakan untuk menyerangku, Nona Cilik!” Ia mengejek.

Kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapa pun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya terseret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.

“Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!” Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah ginkang mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat!

Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka. Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan diri dari pada sambaran dua pedang.

Akan tetapi kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya membentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat terangnya, menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang lihai itu pun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.

Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu. Dengan ‘meminjam’ tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget sekali karena tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan menjadi jeri.

Pada saat itu mendadak terdengar suara keras, “Harap hentikan pertandingan! Saya datang membawa berita penting!”

Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.

“Kau... kau masih hidup...?”

Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu. Dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar! Tentu saja ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ!

Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han di balik dadanya.

“Siangkoan-locianpwe, engkau banyak baikkah?” Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat.

Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat seperti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak muntah!

Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga dadanya sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat. Akan tetapi ia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat ia terluka dan jeri. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa pamit.

“Han Han...!” Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.

“Han-twako...!” gadis yang datang bersama pemuda itu pun berseru. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi, seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun memandang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran.

Han Han tersenyum, lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoi-nya, Lu Soan Li.
“Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja.”

Tiga orang muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.

“Ah, engkau Sie Han...? Akan tetapi, kenapa dengan kakimu...?” Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa kakimu itu, Han Han?”

Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang, “Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung, Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe diberkahi panjang usia dan kesehatan!”

Lauw-pangcu tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah juga matang, bahkan ada sesuatu yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah memegang lengan tangan Han Han dan berkata.

“Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana... di mana Nona Lulu?”

Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya. “Entahlah, aku sedang mencari dia.”

“Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!” kata Sin Lian dan Han Han menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab.

Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata, “Marilah kita bicara di dalam!” Ia memberi perintah kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya.

Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.

“Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.”

“Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia...”

“Iiihhh, kenapa engkau sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala, apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?” Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut.

Hati Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini.

Merah wajah Han Han ditegur gadis itu. “Eh... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li!”

“Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang hormat.”

Akan tetapi Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu dengan alis berdiri. Betapa pun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas luka akibat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.

Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata, “Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali...”

Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya watak Sin Lian adalah lincah dan peramah. Kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.

“Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita sehingga peristiwa di piauwkiok itu seolah-olah dapat kubayangkan dengan mata sendiri!”

“Eh, Non... ehh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu... bagaimana ini?”

Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti! Sungguh pun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.

“Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat.”

Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas, “Tadi telah disinggung oleh Sumoi akan maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan persoalan salah paham akibat adu domba pihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-san-pai.”

Sin Lian mengangguk-angguk. “Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apa lagi setelah saya mendengar penuturan siauw-moi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada pihak Mancu.”

Lauw-pangcu menghela napas. “Memang perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.”

“Aaahhh...!” Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini? Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu, ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!

“Aku mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas dendam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah... adikmu itu adalah seorang manusia yang benar-benar memiliki watak murni dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya....”

Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lembah Huang-ho itu.

“Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?” Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas panjang.

“Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil...”

Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera berkata.

“Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”

Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini!

“Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono...”

“Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya lagi!” kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja Lulu tidak dapat menandinginya.

“Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kau katakan bahwa engkau datang membawa berita penting. Akan tetapi sebelum kau ceritakan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa... kakimu sampai buntung, Han Han.”

Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan kemudian berkata, “Urusan kecil... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li...”

“Iblis betina yang kejam...!” Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api. “Dan... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?”

Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian merah seperti hendak menahan tangis!

“Hemmm, aku sudah mendengar dari Suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako, kenapa dia melakukan hal sekejam itu?” Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat.

Ia tersenyum. “Tidak kejam, melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri akan dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertawan olehnya, kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya dibicarakan lagi,” Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan Soan Li kelihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li. “Yang penting adalah keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun, komandan pasukan Mancu yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.”

Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru, “Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu, keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah...!”

Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala. “Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima surat perintah ini.”

Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biar pun sudah lama sekali ia tidak lagi aktif dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya timbul kembali jiwa kepahlawanannya.

“Ah, ini kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan kepada Su-ciangkun, biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat membasmi mereka! Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan kepada mereka!”

Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul, kemudian mengantonginya. “Tepat sekali seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada pangcu, dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerahkan surat ini.”

“Heeiii...! Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang!”

“Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?”

“Memang tetap berbahaya, akan tetapi andai kata anak buahku sampai mati sekali pun dia akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”

“Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri dengan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir kalau-kalau pihak Mancu tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan utusan mereka, melainkan palsu!” Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat ia terpincang-pincang keluar dari pondok itu.

Setibanya di ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak. Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang mukjizat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa, berloncatan seperti terbang.

“Han Han...!” Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.

“Han Han... kau... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi...!”

Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian. “Ah, kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?”

Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justru karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas sepasang pipinya.

“Eh, Sin Lian... kau menangis? Kenapa?”

Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Ia hanya dapat menghapus dua butir air mata dari pipinya, namun tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus. Akhirnya ia dapat berkata lirih, “Aku... aku kasihan melihatmu... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong...”

Han Han tersenyum. “Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu.”

“Han Han, harap kau maafkan aku...”

“Ehhh? Maafkan? Kenapa?”

“Dahulu, aku telah salah sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”

Han Han menarik nafas panjang. “Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap saudara-saudaramu orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”

Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil, “Han Han...!”

Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka.

Hemmm, sungguh-sungguh tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang, menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul sebelum kakinya buntung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian mencintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.

“Ada apakah, Sin Lian?” tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah berhasil menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia mentertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.

“Han Han, biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang kepada Ayah.”

Han Han terkejut. “Ahhh, tidak mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya!”

“Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah kita hadapi bersama. Aku tidak takut!”

Han Han tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.

“Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini? Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su itu, Sin Lian.”

“Akan tetapi...”

“Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih berkeras, Han Han cepat menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat.

Terkejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja bayangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor belalang berloncatan.

“Han Han...!” Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh... perasaan aneh di hatinya.

Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung dan menundukkan mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian yang berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala.

Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya. Betapa pun tampannya, betapa pun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacat, seorang buntung! Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka dari pada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik dibandingkan ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han seorang pemuda tanpa cacat? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya sebagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biar pun kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya, seorang penderita cacat, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.

Sin Lian sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan pertamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati. Kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah buntung kakinya, ia merasa betapa hatinya bagai ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu. Ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah tampan yang berambut panjang itu.

“Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia seorang diri saja dan... kakinya sudah buntung. Ah, Suheng, mengapa kau tadi tidak mencegahnya pergi? Bukankah lebih baik Suheng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung menempuh bahaya di sarang harimau!”

“Engkau maksudkan Han Han?” Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali. Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Sumoi?”

“Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami mala petaka. Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, Suheng. Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu Han-twako...”

Sin Kiat memandang wajah sumoi-nya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.

“Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?”

Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang pandang mata suheng-nya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.

“Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati Suheng terhadap Lulu.”

Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoi-nya, memaksa tubuh sumoi-nya menjadi tegak untuk memandang wajah sumoi-nya. “Soan Li, Sumoi-ku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dan liciklah kalau aku mencela Sumoi jatuh cinta kepada Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, Sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh Suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu, sebagai wakil Suhu, aku peringatkan kepadamu, Sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.”

Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata penuh kemarahan. “Suheng, apakah Suheng menilai saya serendah itu?”

“Eh, Sumoi, apa maksudmu?” Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.

“Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh Suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati kehendak Suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Adakah itu merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya merupakan perasaan hati saja. Jangan Suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan, akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan Suhu! Jangan sekali-kali Suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang sesat!”

Melihat sumoi-nya berdiri dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua lengan sumoi-nya dan berkata.

“Maafkan aku... maafkan aku... Sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai Sumoi-ku yang bijaksana. Ahh, Sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting. Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, Sumoi.”

Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram lengan suheng-nya. “Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih, Suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun juga... akan kusimpan sebagai rahasia... kubawa mati...”

Melihat sumoi-nya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil. “Sumoi!”

Sumoi-nya menahan kakinya, menengok.

“Sumoi, hati-hatilah, Sumoi...!”

Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, mulutnya senyum akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah sumoi-nya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoi-nya ketika menengok tadi. Wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara linangan air mata!

Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal, mengapa suhu-nya menentukan jodoh bagi sumoi-nya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhu-nya itu tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa cinta dari pihak calon isteri?

Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu yang mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut serbuan pasukan Mancu...

******************


Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biar pun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.

“Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?” bentak seorang pemimpin regu yang mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.

Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab, “Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun! Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk disampaikan kepada Su-ciangkun!”

Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itu pun tidaklah galak lagi ketika bertanya.

“Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus seorang... ehh, pincang... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?”

Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biar pun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguh pun ia tidak dapat membedakan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,

“Hemmm, beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini Puteri Nirahai mengirim perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengertikah?”

Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai, karena pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah puteri yang amat mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi utusan pribadi Puteri Nirahai.

“Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapa pun juga, kami sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja.”

“Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?” Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di bagian depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah.

Tentu saja sebagai tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata, “Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun!”

Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala tentaranya banyak, juga perlengkapan mereka cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memasuki sebuah gedung besar di tengah markas dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat.



Setelah melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dihadapkan pada seorang perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara. Melihat wajah perwira ini, jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri!

Sungguh pun yang memperkosa enci-nya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihu-nya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa olehnya. Lima orang perwira lainnya itu pun ikut bertanggung jawab atas terbasminya keluarga orang tuanya! Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan penuh wibawa.

“Heh, orang muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja! Kalau benar demikian, apa yang ditugaskan padamu?”

Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.

“Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!”

“Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!”

Perwira tinggi besar itu menepuk-nepuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia, terdengar suaranya, “Tangkap dia dan rampas suratnya!”

Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran. Apakah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang benar demikian, mengapa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya?

Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.

“Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?”

Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah Su-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi kami!”

Han Han tertawa dengan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar hanya mengujinya. “Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”

Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu kakinya. Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya.

Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para peiigeroyoknya! Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata terbelalak.

Pintu terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya tinggi. “Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja! Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat... hebat...!”

Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kedua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya. Kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk menyelamatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.

“Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?”

“Percaya... percaya...! Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu yang... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe...”

“Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciangkun?”

“Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau...” Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han. Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.

“Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?”

“Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.”

Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam gedung itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar ini pun dijaga oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi. Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang wanita muda yang pakaian suteranya membayangkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam. Waduhhh.

Mereka itu cantik-cantik, namun begitu memasuki kamar, Su-ciangkun lalu menyuruh mereka pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi dengan langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, tubuh mereka yang membayang dari balik sutera tipis itu bergerak menggairahkan, lenyap memasuki kamar lain melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.

“Silakan duduk, sicu. Siapakah nama sicu?”

“Saya she Suma, ciangkun.” Han Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang asli malah, karena ia khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie Han.

Agaknya perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak menanyakan namanya sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan mencari nama palsu lagi. Ia lalu mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada perwira itu.

Perwira itu menerima surat, mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan mengeluarkan suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah perwira itu berseri dan ia menepuk pahanya sendiri. “Bagus! Kiranya di sana tempat persembunyian kakek jembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat hebat dan cerdik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini akan dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin pusing para petugas keamanan! Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan melaporkan bahwa kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri sebaik-baiknya. Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik dan bekal secukupnya!”

Akan tetapi Han Han mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari Sang Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil baik, bahkan saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan kembali ke kota raja dan menyampaikan laporan kepada Sang Puteri.”

“Begitukah? Bagus sekali!” Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri. “Dengan bantuan sicu yang gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan!” Perwira itu lalu bertepuk tangan dua kali. Masuklah lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciangkun memberi perintah untuk mengeluarkan hidangan.

Han Han merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah memanggil tiga orang wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani!

“Ha-ha-ha, jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang bertugas mengawani dan melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu menginginkan seorang di antara mereka, tunjuk saja! Ha-ha-ha, aku akan merasa bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu.”

“Terima kasih, ciangkun. Ti... tidak... saya... saya amat lelah dan setelah makan akan beristirahat. Perjalanan jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Lagi pula, saya rasa ciangkun pasti akan melakukan persiapan secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak itu.”

“Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar mengagumkan, begini penuh semangat! Baiklah, kalau sicu ingin beristirahat.” Ia memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu. “Kau antarkan Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan!”

Han Han menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang berjalan dengan pinggul menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki kamar seindah ini.

“Saya akan menemani taihiap semalam di sini...” Wanita itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang memang tidak rapat itu tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan perut yang putih kuning. Matanya menjadi ‘silau’ dan ia memejamkan kedua matanya.

“Hi-hi-hik-hik... marilah taihiap... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku? Hi-hik...!”

Han Han merasa betapa kedua lengan wanita yang telah bangkit itu seperti dua ekor ular merayap melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau harum memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali renggut dan mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu menjerit kecil.

“Maaf...!” Han Han membuka matanya. “Aku... aku mau tidur sendiri.”

Wanita itu tertawa. “Hi-hik, taihiap masih... masih jejaka tulen?”

Han Han memandang tajam dan berkata agak ketus, “Pergilah, aku mau mengaso!”

Ketika bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia tergesa-gesa pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti biasa!

Hari itu juga Su-ciangkun segera mengadakan persiapan, memanggil semua perwira pembantunya dan mengatur rencana untuk mengirim seribu orang pasukan menyerbu tempat persembunyian Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Han Han yang diberi kebebasan pura-pura ikut pula melakukan pemeriksaan, bahkan ia lalu membantu untuk melakukan penjagaan dengan dalih khawatir ada mata-mata musuh yang menyelundup dan mengetahui persiapan mereka.

Su-ciangkun yang sudah mempercayainya tidak menjadi curiga dan Han Han lalu keluar dari benteng untuk ‘melakukan pemeriksaan’ di luar daerah benteng. Padahal ia hendak mengenal tempat itu sehingga kalau sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya, ia akan mengenal jalan untuk menyelamatkan diri. Ia mengambil keputusan untuk membiarkan Su-ciangkun mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu yang memasang jebakan, kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai banyak kesempatan ‘membereskan’ musuh besarnya itu.

Hari telah menjadi malam ketika Han Han berjalan-jalan di luar benteng tanpa dicurigai para penjaga yang kini menganggapnya sebagai seorang utusan kota raja yang menjadi tamu Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang kabarnya amat lihai itu akan membantu pula penyerbuan sarang pemberontak.

Tiba-tiba Han Han melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon di luar benteng. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bayangan itu adalah orang yang tidak ingin dilihat penjaga. Cepat ia menengok ke kanan kiri dan setelah merasa yakin tidak ada penjaga yang melihatnya, ia menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat itu, menyelinap di antara gerombolan pohon, mencelat ke atas dan tampaklah olehnya bayangan hitam berindap-indap di antara batang-batang pohon. Bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya menukik ke bawah, ke arah bayangan itu.

Sebatang pedang yang berkilauan sinarnya menyambut tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sambil berbisik, “Sssttttt, aku Han Han, Nona Lu...!”

Lu Soan Li, bayangan itu, kaget bukan main. Kaget karena hampir saja pedangnya melukai atau membunuh orang yang hendak dilindunginya! Juga ia amat kagum, bahkan tidak mengerti bagaimana pergelangan tangannya sampai dapat ditangkap oleh orang yang diserangnya itu. Kagum betapa setelah kakinya buntung, agaknya Han Han kini malah memiliki kelihaian yang amat luar biasa!

“Han-twako... kau... ahhh, betapa gelisah hatiku. Setengah hari lamanya aku berkeliaran di sini, tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu ke sarang harimau itu!” kata Soan Li sambil menyimpan pedangnya, setelah menarik napas lega melihat bahwa orang yang dijadikan kenangan ternyata selamat.

“Nona, mengapa engkau bisa berada di sini? Mengapa pula engkau... ehh, agaknya menyusulku...?”

“Aku... mengkhawatirkan keadaanmu, twako. Dan aku ingin... ingin membantumu...”

Han Han memandang muka yang ditundukkan itu. Cuaca sudah gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat muka tunduk itu di bawah sinar bintang-bintang yang memenuhi langit biru. Heran dia mengapa nona ini susah payah hendak melindunginya? Ingin ia menegur, akan tetapi melihat gadis itu menundukkan muka dan bersikap seperti seorang anak kecil takut dimarahi, ia tidak tega untuk menegur, hanya berkata.

“Ah, kenapa Sin Kiat membiarkan engkau menempuh bahaya ini? Kedatanganmu ini amat berbahaya, Nona.”

“Apakah kunjunganmu ke benteng itu tidak kurang berbahaya?”

Han Han menghela napas. “Nona, aku telah berhasil bertemu dengan Su-ciangkun. Besok pagi-pagi pasukan terdiri dari seribu orang akan diberangkatkan ke sana untuk menyerbu. Lebih baik malam ini juga Nona kembali ke sana memberi kabar kepada Lauw-pangcu. Aku akan pura-pura ikut menyerbu. Kembalilah...”

“Akan tetapi... apakah... apakah hatimu sangat yakin bahwa engkau tidak... tidak akan terancam bahaya di sana...?” Bertanya demikian, saking khawatirnya, Soan Li sampai lupa diri dan kedua tangannya memegang lengan Han Han.

Han Han merasa betapa dari jari-jari tangan itu tersalur getaran-getaran aneh. Jantungnya berdebar. Apa pula ini? Mengapa gadis ini begini mengkhawatirkan keselamatannya sehingga melupakan keselamatan diri sendiri? Apakah yang terjadi dalam hati nona ini? Seperti mimpi, tanpa ia sadari mulutnya mengeluarkan bisikan hatinya yang penuh dugaan dan pertanyaan.

“Lu-siocia, mengapa tanganmu gemetar...?”

Soan Li yang mendengar ini seperti didongkel isi hatinya, jari-jari tangannya malah mencengkeram lengan Han Han dan suaranya terdengar penuh perasaan dan gemetar!

“Twako... Han-twako, aku... amat khawatir kalau-kalau engkau akan celaka...”

Han Han tertawa. Teringat ia akan adiknya, Lulu. Dalam keadaan gelap ia merasa seolah-olah gadis ini adalah Lulu. Bentuk tubuhnya hampir sama, dan harum rambutnya sama dengan harum rambut Lulu, suaranya juga hampir sama menggetarkan kekhawatiran dengan perhatian sepenuhnya atas keselamatan dirinya. Karena teringat kepada Lulu, Han Han merasa terharu sekali dan mengangkat kedua tangan, ditaruhnya kedua tangan ke atas pundak Soan Li dan berkata dengan suara halus.

“Adikku yang baik, jangan engkau mengkhawatirkan aku...!”

Han Han terkejut sekali karena tiba-tiba gadis itu terisak dan ia merasa betapa muka itu menimpa dadanya, dan bajunya menjadi basah oleh air mata yang menembus ke kulit dadanya! Sejenak ia tertegun, terharu dan tangannya mengusap rambut yang halus itu. Kemudian ia teringat bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya, melainkan Lu Soan Li, Hoa-san Kiam-li! Ia menurunkan tangannya dan bertanya.

“Nona Lu... mengapa kau...?”

Soan Li menahan napas, menahan tangis, kemudian merenggangkan tubuhnya. “Twako... aku... aku... akan merasa sengsara sekali kalau kau sampai celaka... hati-hatilah, twako...!” Tubuhnya lalu berkelebat dalam gelap dan ia lenyap dari depan Han Han ditelan kegelapan malam.

Sampai lama Han Han berdiri termenung di tempat itu, mengerutkan keningnya dan tiada habisnya mengherankan sikap gadis itu. Ia benar-benar tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Soan Li berhal seperti itu, menangis di dadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu. Ia menggaruk-garuk rambut kepalanya. Mimpikah dia? Dirabanya bajunya. Masih basah oleh air mata gadis itu. Soan Li telah menangis karena mengkhawatirkan keselamatannya! Betapa mungkin ini?

Terbayanglah ia akan wajah Sin Lian. Tak salah lagi, Sin Lian mencintanya, Seperti Kim Cu. Ahhh, Kim Cu, Sin Lian, dan Soan Li! Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti terbayang di depan matanya, membuat Han Han menjadi bingung dan pandang matanya kabur, kepalanya pening. Ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya kembali ke benteng. Lebih baik menghilangkan kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk menghadapi peristiwa besok pagi. Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan tetapi ia harus mendapat kepastian lebih dulu bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar seorang di antara tujuh orang perwira yang menjadi musuh besarnya.

Soan Li berlari di malam gelap sambil masih terisak-isak. Hatinya penuh dengan dua macam perasaan, bahagia dan juga berduka. Han Han mencintanya! Terasa oleh hatinya, ketika tangan pemuda itu terletak di atas kedua pundaknya, ketika jari-jari tangan itu mengelus rambutnya. Dan dia, walau tanpa kata-kata telah memperlihatkan rasa cintanya terhadap pemuda itu.

Matanya terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia merasa malu sekali. Ah, malu apa? Biarlah! Memang demikian kenyataan hatinya. Dia mencinta Han Han! Biar pun takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya dengan perjodohan, biar pun dia akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya saja yang terpaksa ia serahkan kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati dan kasih sayangnya telah ia serahkan kepada Han Han!

Soan Li menjatuhkan diri di bawah pohon. Duduk bersandar pohon mengenangkan semua peristiwa tadi. Peristiwa yang takkan ia lupakan selama hidupnya. Biarlah, selagi masih jelas terukir di lubuk hatinya, selagi sentuhan tangan Han Han pada pundak dan rambutnya masih terasa hangat, selagi air matanya yang tadi membasahi dada pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia mengenangkan saat-saat bahagia itu. Gadis itu tersenyum penuh kebahagiaan, akan tetapi air matanya terus mengalir.

Tak lama kemudian ia meloncat bangun dan melanjutkan perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya. Dia harus segera melapor kepada Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan sebaiknya. Musuh akan menyerbu, berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya! Karena malam gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho, Soan Li tidak dapat mempergunakan lari cepatnya. Ia berjalan dengan cepat menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi ia akan tiba di sarang Pek-lian Kai-pang. Namun belum terlambat. Pasukan musuh baru akan berangkat besok pagi, tentu akan menyerbu besok sore.

Lewat tengah malam, selagi gadis ini berjalan dekat sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah perahu mendarat. Ia menjadi curiga, apa lagi ketika melihat betapa orang-orang yang berloncatan ke luar dari dua buah perahu itu amat gesit dan ringan tubuhnya. Cepat ia menyelinap di antara pohon dan mendekati mereka. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat orang terakhir yang keluar dari perahu adalah Ma-bin Lo-mo! Ouw Kian si Muka Bopeng juga berada di situ, bersama seorang yang mukanya seperti tengkorak dan seorang hwesio bertubuh gemuk.

Dia menduga-duga. Apakah Ma-bin Lo-mo dan pembantu-pembantunya itu akan menyerbu pula ke benteng? Biar pun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan tetapi teringat akan sikapnya ketika menghadiri perayaan ulang tahun Lauw-pangcu, Soan Li menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa kakek lihai itu muncul terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang. Kalau Ma-bin Lo-mo yang meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya kedatangannya mendekat akan diketahui oleh tokoh In-kok-san itu. Dari perahu ke dua muncul belasan orang berpakaian... pengawal Mancu! Soan Li memandang dengan jantung berdebar. Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal Mancu? Sungguh aneh dan mencurigakan.

“Siangkoan-locianpwe, ada keperluan apakah locianpwe memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam begini dan ke mana kita hendak pergi?” Si Muka Tengkorak bertanya kepada Ma-bin Lo-mo.

“Dan mereka itu... kenapa berada di sini bersama locianpwe?” tanya pula hwesio gemuk.

“Hemmm... kalian belum mengerti. Telah terjadi perubahan hebat sekali di kalangan para pejuang. Mereka itu telah menyeleweng dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi! Aku melihat perubahan besar. Kekuasaan Mancu seperti munculnya matahari yang tak terkalahkan, dan sebaliknya pertahanan Bu Sam Kwi memperpanjang perang dan menyusahkan banyak rakyat. Sudah tiba waktunya kita berganti haluan dan berlaku cerdik. Aku menerima tawaran Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk membantu pemerintah menghancurkan Se-cuan.”

“Omitohud...!” Hwesio itu berkata lirih.

“Apa!? Siapa tidak setuju dan siapa tidak suka membantuku?”

“Ohhh, tidak... tidak... pinceng setuju dan suka membantu.”

“Saya pun akan membantu dan selalu siap mengikuti jejak locianpwe,” kata Si Muka Tengkorak.

“Nah, dengarlah baik-baik. Pasukan ini membawa pesan dari Su-ciangkun, yaitu komandan yang bertugas di daerah ini untuk memanggil aku karena di markas itu muncul seorang mata-mata musuh.”

“Siapa...?” tanya Si Hwesio Gemuk.

“Bocah buntung terkutuk itu. Han Han!”

“Eh, bukankah dia dahulu yang kita bakar di kapal...?” Si Muka Tengkorak bertanya.

“Tidak ada waktu untuk bercerita panjang. Bocah itu telah mehyelundup ke dalam benteng dan mengingat bahwa dia kini lihai bukan main, kita harus menyergapnya, dan menurut perintah Su-ciangkun, harus dapat kita tangkap hidup-hidup untuk memaksa pihak pemberontak agar suka menakluk. Hayo kita berangkat!”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Soan Li yang mendengarkan semua ini. Tanpa berpikir panjang lagi gadis itu lalu melesat pergi untuk cepat-cepat kembali ke benteng. Dia harus memberi tahu Han Han. Dengan cara apa pun juga. Ternyata, entah bagaimana caranya, rahasia Han Han telah diketahui musuh! Betapa lihainya musuh!

“Heiii... siapa itu? Kejar!”

Ma-bin Lo-mo yang berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas dari pada yang lain sudah melihat berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis itu. Dia cepat mengejar, diikuti oleh tiga orang pembantunya dan para pengawal pasukan yang sudah mendaratkan kuda mereka. Empat ekor kuda disediakan untuk Ma-bin Lo-mo dan para pembantunya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda yang melakukan pengejaran.

Soan Li juga mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin jelas. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlari secepat mungkin. Dia harus mendahului mereka tiba di benteng! Dia akan mengamuk sehingga Han Han yang mendengar amukannya akan keluar dan akan mendengar peringatannya.

Han Han harus diselamatkan. Kalau ia terlambat, celakalah pemuda itu! Betapa pun lihainya Han Han, tidak mungkin dapat melawan Ma-bin Lo-mo, apa lagi masih ada empat orang pembantunya dan para pengawal, ditambah ribuan orang tentara di dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa pemuda yang dicintanya itu tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari!

Di dalam tubuh setiap orang manusia memang terdapat kekuatan yang maha dahsyat, yang gaib dan sukar diukur oleh akal manusia. Kekuatan maha dahsyat ini kadang-kadang timbul di luar kesadaran, agaknya selalu bersembunyi di bawah sadar. Timbul apa bila si manusia berada dalam keadaan tak sadar oleh perasaan yang menghimpitnya.

Orang yang berduka hebat kadang-kadang dapat bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan yang takkan mungkin dapat tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa. Seorang yang sedang ketakutan hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang ajaib seperti mengangkat benda yang beberapa kali lipat lebih dari pada daya kekuatan tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi dari pada kemampuannya dalam keadaan biasa
.

Demikian pula dengan Soan Li. Gadis ini sebagai murid Im-yang Seng-cu memang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki sinkang kuat dan ginkang yang hebat sehingga memungkinkan dia berlari cepat sekali. Akan tetapi, dalam keadaan penuh kekhawatiran, ketegangan seperti saat itu, kekuatan maha dahsyat yang mukjizat itu timbul di luar kesadarannya sehingga membuat kecepatan larinya menjadi berlipat ganda apa bila dibandingkan dengan kemampuannya yang biasa. Bahkan kejaran kuda yang dibalapkan itu masih tidak mampu menyusulnya!

Setelah malam terganti pagi, sinar matahari mulai muncul mendahului mataharinya sendiri, Soan Li telah lari mendekati benteng. Peluhnya membasahi seluruh pakaiannya, napasnya terengah-engah dan kini Ma-bin Lo-mo bersama tiga orang pembantunya yang sudah meninggalkan kuda, sudah amat dekat di belakangnya.

“Berhenti...!” Ma-bin Lo-mo berteriak. “Bukankah engkau gadis yang kemarin dulu berada di rumah Lauw-pangcu?”

Soan Li maklum bahwa kalau ia sampai tersusul, ia akan celaka. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya. Yang amat menggelisahkan hatinya adalah bahwa kalau dia terpegang oleh Ma-bin Lo-mo, berarti Han Han akan celaka! Maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan melompat jauh ke depan. Biar pun Ma-bin Lo-mo suaranya terdengar dekat, namun sebenarnya masih agak jauh.

“Berhenti, kalau tidak pinceng terpaksa merobohkanmu!” terdengar pula bentakan dari belakang. Akan tetapi Soan Li berlari terus, tidak mempedulikan teriakan-teriakan di belakangnya.

Pada saat itu pintu benteng terbuka dan muncullah sepasukan tentara Mancu didahului oleh dua ekor kuda yang ditunggangi oleh Su-ciangkun sendiri dan Han Han, di samping tentara yang memegang bendera kebesaran Su-ciangkun.

“Han Han...!” Jerit suara Soan Li melengking amat nyaringnya. Akan tetapi terdengar bentakan dari belakangnya.

“Robohlah, bocah keras kepala!”

Serangkum tenaga yang amat dahsyat menyambar dari belakang. Soan Li yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi maklum bahwa Ma-bin Lo-mo menyerangnya dengan pukulan sinkang, pukulan jarak jauh yang amat kuat. Cepat ia mengelak dengan meloncat ke samping, akan tetapi tetap saja hawa pukulan Swat-im Sin-ciang menyerempetnya dan ia terhuyung-huyung, merasa betapa tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi dingin sekali. Pada saat tubuhnya terhuyung itu, terdengar teriakan Han Han.

“Soan Li...!”

“Han Han... awas... tertipu...!”

“Syut-syut-syut-ser-ser-ser...!”

Ketika tangan Kek Bu Hwesio, yaitu hwesio gemuk yang menjadi pembantu Ma-bin Lo-mo bergerak, belasan batang panah tangan telah beterbangan menyambar ke arah tubuh Soan Li dari belakang. Memang hwesio yang menjadi pelarian Kong-thong-pai ini memiliki keahlian mempergunakan panah tangan.

Soan Li sedang terhuyung dan perhatiannya tertarik kepada Han Han, maka biar pun ia berusaha melempar tubuh mengelak, tetap saja ada enam batang anak panah mengenai tubuhnya, menancap di pundak, punggung dan lengan.

“Aduhhhhh...! Han Han... Han-twako... awas...!”

“Soan Li...!” Han Han sudah sejak tadi mencelat dari atas kudanya dan dengan kecepatan luar biasa sekali tubuhnya berloncatan ke depan sehingga dalam beberapa detik saja ia sudah tiba di tempat itu. Namun terlambat. Dengan mata terbelalak pemuda ini melihat betapa tubuh Soan Li penuh dengan anak panah dan dara ini merangkak ke arahnya dengan tangan terulur ke depan dan bibir mengeluarkan kata-kata.

“Han Han... mereka akan membunuhmu... kau terjebak...!”

Akan tetapi Han Han tidak mendengarkan lagi ucapan gadis itu. Tongkatnya sudah bergerak seperti kilat menyambar ke arah Ma-bin Lo-mo dan hwesio yang hanya gundul kepalanya akan tetapi di tengkuknya tumbuh rambut, jenggotnya seperti jenggot kambing dan kumisnya melingkar itu. Kek Bu Hwesio meloncat ke belakang, lalu melepas anak panah ke arah Han Han, sedangkan Ma-bin Lo-mo cepat mengelak.

Akan tetapi dengan gerakan tongkatnya Han Han berhasil meruntuhkan semua anak panah dan melihat betapa tubuh Soan Li penuh anak panah, kemarahannya meluap ke arah hwesio itu dan tubuhnya secara tiba-tiba sudah mencelat ke depan Kek Bu Hwesio. Ma-bin Lo-mo mendengus dan menerjang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Akan tetapi dengan tangan kirinya Han Han menangkis.

“Deessss!!”

Tubuh Ma-bin Lo-mo mencelat sampai hampir sepuluh meter. Kakek ini berjungkir-balik dan matanya terbelalak saking heran dan gentarnya. Han Han sudah menggerakkan tangannya dan ketika itu ada serangan dari belakang, yaitu serangan pedang yang dilakukan oleh Ouw Kian dan serangan pecut besi di tangan si Muka Tengkorak Swi Coan, dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo.

“Haiiiiittttt...!”

Han Han menggerakkan tongkatnya ke belakang, cepat sekali sampai tak dapat diikuti pandangan mata.

“Prakkkk! Prakkkk!” tanpa dapat mengeluh lagi Ouw Kian dan Swi Coan roboh dengan kepala pecah!

Kek Bu Hwesio sudah dapat melompat mundur dan enam orang pengawal yang berkuda sudah datang menerjang. Han Han mengamuk. Tongkatnya bergerak sedemikian rupa sehingga enam orang pengawal itu mencelat dengan tubuh remuk, tiga ekor kuda roboh akan tetapi tongkat Han Han tertinggal di perut kuda terakhir! Dia terpaksa melepaskan tongkatnya karena pada saat itu belasan batang anak panah yang dilepas Kek Bu Hwesio datang menyambar.

Dengan kedua tangan kosong Han Han menangkap belasan batang anak panah lalu kedua tangannya bergerak. Terdengar teriakan-teriakan ketika belasan orang pengawal roboh dan beberapa ekor kuda roboh pula terkena anak panah yang dilontarkan Han Han. Kini sekali kakinya mengenjot tanah, tubuhnya sudah menyambar ke depan, tahu-tahu jubah depan Kek Bu Hwesio sudah ia cengkeram dengan tangan kiri.

“Han Han... Twako... awas... larilah...!”

Han Han menoleh dan melihat betapa Soan Li merangkak-rangkak ke arahnya, dan kini menyentuh lututnya, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Gadis itu dalam keadaan hampir mati masih saja memikirkan keselamatannya! Dengan kemarahan meluap, ketika pada saat itu ada seekor kuda yang ditunggangi seorang pengawal meloncat hendak menubruk, Han Han menggunakan tangan kanan menampar ke arah perut kuda.

“Bukkk!” Kuda meringkik, terlempar ke udara bersama penunggangnya dan terbanting roboh menindih penunggangnya yang mati seketika karena tulang punggungnya patah.

“Jahanam engkau... penjahat berpakaian pendeta...!” Mulut Han Han mendesis, kedua matanya bercucuran air mata dan ia membanting tubuh hwesio itu ke atas tanah.

“Prokkk!” Hwesio itu tewas dengan kepalanya hancur tidak merupakan kepala lagi.

“Han-twako...!” Soan Li mengeluh. “Larilah...!”

“Soan Li... ahhh, Soan Li...!” Han Han menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas. Ketika turun, kakinya menendang roboh dua orang pengawal.

“Tangkap... kepung...!” Terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang juga mengejar sungguh pun ia terbelalak menyaksikan sepak terjang pemuda itu. Betapa mungkin pemuda buntung itu menjadi sedemikian lihainya setelah kakinya buntung?

Han Han menangkap seorang pengawal dengan sebelah tangan dan melontarkannya ke arah Ma-bin Lo-mo yang mengejarnya. Terpaksa kakek ini mengelak, akan tetapi Han Han sudah merobohkan lagi empat orang pengawal yang berani membayanginya dan melihat keganasan sepak terjang pemuda buntung itu, para prajurit menjadi gentar. Han Han terus melompat dan mengerahkan ilmu yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee sehingga tubuhnya yang memanggul tubuh Soan Li itu sebentar saja mencelat berulang-ulang, makin jauh dan akhirnya lenyap dari situ!

“Kejar...! Tangkap...!”

Entah mulut siapa yang berteriak-teriak ini, terlalu banyak. Dan mereka memang mengejar, akan tetapi karena hati telah menjadi gentar, tidak ada yang mendahului kawan dan pengejaran itu sia-sia belaka.

Dengan air mata bercucuran Han Han merebahkan tubuh Soan Li ke atas rumput setelah mencabuti anak panah yang menancap di bagian belakang tubuh gadis itu. Akan tetapi Soan Li rebah tak bergerak, mukanya pucat, seluruh pakaiannya berlumuran darah, kedua matanya meram.

“Soan Li...! Soan Li... ahhh, Soan Li!” Han Han menangis dan mengguncang tubuh itu, seolah-olah hendak memanggil kembali nyawa yang sudah hampir meninggalkan raga itu.

Soan Li membuka kedua matanya, memandang Han Han dan... tersenyum! Senyum ini merupakan tangan maut sendiri yang merenggut jantung Han Han.

“Soan Li...! Mengapa engkau mengorbankan diri untukku...?”

“Han... Twako... syukur engkau selamat... hatiku puas...”

“Soan Li! Soan Li... kenapa engkau begini...? Apa kau kira aku akan bahagia melihat engkau mati karena hendak menyelamatkan aku? Soan Li... kau tidak boleh mati hanya untuk aku...!” Han Han seperti orang gila, mengguncang-guncang tubuh gadis itu yang sudah memejamkan mata kembali.

Soan Li membuka mata untuk kedua kalinya. Pandang mata gadis itu persis pandang mata Kim Cu, persis pandang mata Sin Lian. Begitu mesra! Han Han menangis, mengguguk. Tak mampu ia bicara lagi.

“Han-twako... aku bahagia... aku... aku cinta padamu, Han-twako...”

“Soan Li...!”

Mulut gadis itu megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Han Han menjerit, lalu menutup mulut gadis itu dengan mulutnya sendiri, seolah-olah ia ingin menyambung nyawa gadis itu, ingin menambah napas gadis itu dengan napasnya.

“Han-twako...,” gadis itu mengeluh dan Han Han seperti merasa betapa napas terakhir terhembus dari mulut itu memenuhi dadanya sendiri dan ia tergelimpang, pingsan sambil memeluk Soan Li!

Tentu saja Han Han sama sekali tidak tahu bahwa siasat yang diaturnya bersama Lauw-pangcu itu sebetulnya telah diketahui semua oleh pihak Mancu! Dua orang utusan yang dibunuhnya dan dirampas suratnya adalah utusan dari Puteri Nirahai. Puteri ini memiliki kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja ketika mengirim utusan kepada Su-ciangkun untuk membawa perintah sepenting itu, Puteri Nirahai tidak mau bertindak sembrono. Setengah hari setelah dua orang utusan pertama itu berangkat, dia mengirim utusan kedua yang bertugas menyelidiki apakah perintah yang dibawa utusan pertama itu telah tiba di markas Su-ciangkun dengan selamat.

Tentu saja utusan ke dua ini menemukan mayat dua orang kawannya di tengah jalan, maka cepat ia melanjutkan perjalanan ke markas Su-ciangkun. Ketika ia menyampaikan laporan tentang terbunuhnya utusan dari kota raja dan lenyapnya surat perintah, saat itu Han Han sedang mengunjungi Lauw-pangcu.

Demikianlah, ketika Han Han muncul di markas itu mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai, tentu saja Su-ciangkun sudah tahu bahwa pemuda buntung itu sebetulnya adalah mata-mata pemberontak yang membunuh utusan kota raja dan merampas surat perintah. Ketika Han Han menyerahkan surat perintah itu kepadanya dan ia membaca isinya yang tulen, Su-ciangkun sebagai seorang perwira perang mengerti bahwa pihak pemberontak menggunakan surat perintah itu untuk mengatur jebakan.

Dia lalu sengaja mencoba ilmu kepandaian Han Han, terkejut menyaksikan kelihaian pemuda buntung itu, maka ia menerimanya dengan baik akan tetapi diam-diam ia mengirim utusan untuk memanggil Ma-bin Lo-mo agar dengan bantuan orang sakti itu, pemuda buntung yang lihai ini dapat ditangkap dalam keadaan hidup. Dia ingin menggunakan pemuda buntung itu untuk memaksa para pemberontak agar suka menyerah tanpa perang.

Dan mengapa Ma-bin Lo-mo yang terkenal sebagai seorang pejuang itu tiba-tiba bersekutu dengan perwira Mancu? Mengapa pula dia mau diundang oleh pasukan utusan Su-ciangkun dan datang menunggang perahu, bahkan mengajak pula tiga orang pembantunya untuk membantu pasukan Mancu?

Hal ini sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Ma-bin Lo-mo mendatangi tempat tinggal Lauw-pangcu. Jauh sebelum itu, Ma-bin Lo-mo telah bertukar haluan, diam-diam ia telah membalik dan membantu Kerajaan Mancu. Hal ini tadinya ia lakukan secara terpaksa sekali karena tekanan yang dilakukan Kang-thouw-kwi Gak Liat sesuai dengan rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai. Gak Liat telah menemui Ma-bin Lo-mo dan membujuk Iblis Muka Kuda ini untuk bekerja sama membantu Kerajaan Ceng dan menghancurkan pertahanan Bu Sam Kwi di Se-cuan. Tentu saja Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dahulu pernah menjadi seorang menteri di Kerajaan Beng menolak dan memaki-maki Gak Liat.

“Setan Botak tak tahu malu!” Demikian jawabnya. “Engkau telah melupakan bangsa dan mengekor kepada bangsa Mancu, itu adalah urusanmu sendiri. Mengapa engkau membujuk-bujuk aku? Kalau aku tidak sudi, engkau mau apa? Hemmm... Hwi-yang Sin-ciang darimu itu sama sekali tidak membuat aku takut!”

“Ha-ha-ha-ha! Si Kuda Iblis, sombong sekali bicaramu!” Kang-thouw-kwi Gak Liat memaki dan tertawa mengejek. “Siapakah tidak tahu bahwa Siangkoan Lee dahulu adalah seorang menteri Kerajaan Beng? Akan tetapi siapa pula tidak tahu bahwa Menteri Siangkoan Lee menjadi rusak namanya karena selain tukang merampas anak bini orang, tukang merampas harta dan tanah ladang, juga tukang korupsi besar-besaran?”

“Setan Botak mau mampus! Mulutmu sama busuknya dengan hatimu! Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita!”

Melihat Ma-bin Lo-mo sudah dapat dibikin panas hatinya dan hendak menyerang, Gak Liat cepat berkata, “Tahan dulu! Sama sekali aku tidak takut kepadamu, kuda iblis! Akan tetapi sayang kalau kau mampus sekarang, tenagamu masih amat dibutuhkan pemerintah. Sekarang kau boleh pilih, membantu pemerintah Ceng ataukah engkau mati dikeroyok murid-muridmu sendiri?”

“Hahhh? Apa maksudmu, Setan Botak keparat?”

Gak Liat tertawa. “Ma-bin Lo-mo, marilah kita bicara sebagai orang-orang tua yang sudah matang pikirannya. Aku tahu, juga pemerintah, bahwa engkau berjuang untuk dirimu sendiri. Engkau bercita-cita mengalahkan Pemerintah Ceng agar engkau dapat membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah runtuh dan engkau akan menjadi kaisarnya! Hemmm, boleh saja bercita-cita mengejar kemuliaan, akan tetapi jangan terlampau tinggi. Engkau mimpi di siang hari. Lebih baik engkau mengabdi kepada Kerajaan Ceng dan engkau tentu akan menikmati kemuliaan dan kedudukan yang cukup tinggi, sesuai dengan kepandaianmu. Pemerintah Ceng pandai menghargai orang. Kalau engkau menolak, murid-muridmu yang menjadi pasukan In-kok-san akan tahu siapa sebetulnya yang membasmi keluarga mereka!”

Wajah Ma-bin Lo-mo berubah. Ia pura-pura tidak mengerti dan memaki lagi, “Gak Liat, apa artinya ucapanmu itu?”

“Wah, engkau masih pura-pura lagi, Siangkoan Lee? Engkau bermaksud membentuk pasukan yang kuat, terdiri dari murid-muridmu di In-kok-san. Untuk keperluan itu engkau memilih banyak bocah yang berbakat, diam-diam kau bunuh keluarga mereka dan kau katakan bahwa orang Mancu yang membunuh sehingga engkau menanamkan benih kebencian di hati para muridmu terhadap Pemerintah Mancu agar kelak dapat kau pergunakan tenaga mereka untuk membantu kau mencapai cita-citamu...!”

Wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. “Setan...! Cukup, tak perlu membuka mulut lagi. Katakan, apa kehendakmu?”

“Aku hanya melakukan tugas yang diperintahkan Puteri Nirahai.”

“Hemmm, apa kehendaknya?”

“Tidak lain, kau diminta untuk bekerja sama, membantu pemerintah untuk meng-hancurkan para pemberontak, terutama sekali pemberontak Bu Sam Kwi di Se-cuan. Untuk jasa-jasamu, tentu kaisar tidak akan melupakan dan kelak kita tentu akan menikmati hari tua yang mulia dan terhormat.”

Demikianlah, siasat yang dijalankan oleh Gak Liat atas perintah Puteri Nirahai itu berhasil baik. Ma-bin Lo-mo membujuk murid-muridnya yang berjumlah hampir seratus orang untuk membalik dan membantu Pemerintah Mancu. Tentu saja sebagian besar muridnya tidak sudi karena bukankah keluarga mereka terbasmi habis oleh orang-orang Mancu? Mereka yang tidak mau mengikuti jejak guru mereka lalu meninggalkan In-kok-san dan sebagian menggabung pada para pejuang. Banyak pula yang lari ke Se-cuan untuk membantu Bu Sam Kwi mengadakan perlawanan terhadap bala tentara Mancu yang berusaha menalukkan Se-cuan.

Ketika tidak berhasil menangkap Han Han, bahkan tiga orang pembantunya yang setia dan pandai itu tewas secara mengerikan di tangan pemuda kaki buntung yang amat luar biasa itu, Ma-bin Lo-mo menjadi marah dan menyesal sekali. Juga di dalam hatinya ia merasa heran. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Pulau Es, akan tetapi dia pernah bertanding melawan Han Han sebelum kaki pemuda itu buntung, dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi mengapa sekarang pemuda itu setelah kakinya buntung menjadi makin hebat kepandaiannya?

Bahkan tadi ketika menangkis pukulan saktinya juga membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda itu jauh lebih matang dari pada sebelum kakinya buntung! Dan ilmunya bergerak seperti kilat itu, berloncatan seperti terbang saja! Ilmu apakah itu dan dari mana pemuda buntung itu memperolehnya? Diam-diam ia merasa gentar sekali, maklum bahwa kini tingkat kepandaiannya tidak akan dapat menandingi kepandaian pemuda yang mukjizat itu!

Pasukan yang dipimpin oleh Su-ciangkun dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo melanjutkan perjalanan mereka menyerbu sarang Pek-lian Kai-pang. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Han Han dan Soan Li tadi tidak mengubah rencana mereka menghancurkan sarang pemberontak. Su-ciangkun sebagai seorang ahli perang yang pandai maklum bahwa pasukannya akan menghadapi jebakan kaum pemberontak, maka diam-diam dia memecah-mecah pasukannya menjadi empat bagian.

Bagian pertama sengaja ia biarkan untuk dijebak, akan tetapi diam-diam dua pasukan menyusul dari kanan kiri merupakan sayap untuk melindungi induk pasukan yang akan dijebak musuh. Sedangkan bagian ke empat menggunakan perahu-perahu menyerbu melalui air! Dengan siasat yang lihai ini, bukan pasukan Mancu yang terancam, sebaliknya malah pihak pemberontak yang berada dalam bahaya.

Lauw-pangcu yang sudah mengatur barisan pendam di dalam hutan menjadi girang sekali ketika melihat pasukan Mancu terdiri dari dua ratus lima orang memasuki hutan itu, memasuki jebakan, memasuki perangkap yang dipasangnya! Hari telah menjelang senja ketika pasukan Mancu itu memasuki hutan yang dijadikan tempat perangkap untuk menyergap pasukan Mancu.

Setelah pasukan Mancu yang megah itu semua memasuki hutan, tiba-tiba terdengar suara melengking dan itulah tanda yang diberikan oleh Sin Lian. Dari lubang-lubang dalam tanah menyambar ratusan batang anak panah ke arah dua ratus lima orang tentara Mancu yang menggunakan perisai-perisai dan golok menangkis anak panah dan melindungi diri. Akan tetapi ada beberapa orang terjungkal dan beberapa ekor kuda roboh. Selagi pasukan Mancu menjadi bingung karena diserang dari kanan kiri dan muka belakang, para pejuang bersorak-sorak dan berteriak-teriak, meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dalam tanah berlubang, dari balik-balik batang pohon dan semak-semak, dari atas pohon dan menyerbu pasukan yang sedang bingung itu.

Jumlah anak buah Lauw-pangcu tidak kurang dari tiga ratus orang dan hampir semua adalah ahli-ahli silat yang pandai. Apa lagi di situ, terdapat Lauw-pangcu sendiri yang mengamuk, dan terutama sekali Lauw Sin Lian dan Wan Sin Kiat yang membabati para prajurit Mancu seperti orang membabati rumput saja. Kalau Su-ciangkun tidak mengatur siasat lebih dulu dengan membagi-bagi pasukannya, dan andai kata pasukannya hanya berjumlah lima ratus dan semua terjebak, tentu akan hancurlah pasukannya. Pasukan induk ini melawan sekuatnya, namun karena mereka diserbu dari empat penjuru secara tiba-tiba, mereka menjadi kacau-balau.

Para pemberontak atau pejuang sudah merasa girang sekali dan menganggap bahwa siasat mereka berhasil. Tidak sampai setengah malam tentu semua pasukan Mancu akan dapat mereka basmi semua, demikian pikir Lauw-pangcu dan anak buahnya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara terompet tanduk berbunyi dari empat penjuru di luar hutan itu dan menyerbulah tujuh ratus lima puluh orang tentara Mancu dari empat penjuru, dipimpin oleh Su-ciangkun sendiri dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo! Kalau tadi anak buah Lauw-pangcu menyergap dan mengurung, kini mereka sendiri dikurung dan keadaan menjadi kacau-balau. Perang terjadi amat hebatnya. Anak buah Lauw-pangcu yang terjepit itu menjadi nekat dan mengamuk mati-matian. Mereka akan mati seperti tikus-tikus terjepit, maka lebih baik melawan dan mati sebagai sekumpulan harimau.

Lauw-pangcu terkejut bukan main. Juga Sin Lian dan terutama sekali Sin Kiat menjadi khawatir sekali. Bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan sumoi-nya dan Han Han. Kalau sampai keadaan berubah seperti ini, hanya berarti bahwa Han Han dan sumoi-nya tentu telah gagal. Namun mereka tidak sempat banyak berpikir karena pihak musuh datang menyerbu bagaikan air membanjir. Dikeroyok banyak lawan, satu lawan empat, mulai berjatuhanlah pihak pejuang. Di bawah sinar obor yang dipegang kedua pihak, tampak darah muncrat, diselingi bunga api berpijar dan teriakan-teriakan bercampur dengan rintihan. Tubuh-tubuh manusia berjatuhan tumpang tindih, mayat-mayat yang mandi darah mulai berserakan.

Lauw-pangcu yang mengamuk hebat, setelah merobohkan tidak kurang dari dua puluh orang lawan dengan tongkatnya yang lihai, akhirnya roboh juga dengan dada tertembus tombak. Melihat ayahnya roboh, Sin Lian menjerit dan dengan isak tertahan gadis ini mengamuk. Pedangnya berkelebat seperti naga mengamuk dan tentara musuh yang berani mendekatinya tentu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja. Melihat kenekatan Sin Lian yang mencoba mendekati ayahnya, Sin Kiat menyerbu dan membantunya. Makin mawutlah pihak musuh.

“Hemmm, kalian sudah bosan hidup!” Bentakan ini disusul dengan menyambarnya angin pukulan dingin dan ternyata Ma-bin Lo-mo yang menyaksikan sepak terjang dua orang muda ini sudah maju menyerang.

Melihat kakek ini, Sin Lian lalu membentak marah. “Kiranya engkau iblis tua bangka! Kiranya engkau adalah anjing penjilat Mancu pula!”

Akan tetapi terpaksa Sin Lian harus membuang diri menghindar dari sambaran angin pukulan Ma-bin Lo-mo seperti yang dilakukan Sin Kiat, kemudian ia membalas dengan terjangan ke depan dan menusukkan pedangnya ke dada kakek itu. Sin Kiat juga menerjang dari kiri, pedangnya membabat leher.

Ma-bin Lo-mo sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang kedua orang muda itu, maka ia tidak berani memandang rendah. Melihat dua sinar pedang menyambar, ia cepat melompat ke belakang, ujung lengan bajunya menampar untuk menangkis pedang Sin Lian yang melanjutkan tusukan dengan babatan kilat.

“Brett!” Pedang Sin Lian terpental dan cepat ia memutar tubuh agar pedangnya tidak terlepas, akan tetapi ujung lengan baju Ma-bin Lo-mo terbabat putus!

Kakek ini marah sekali. Setelah dia mengelak dari tusukan pedang Sin Kiat yang menyambar, secepat kilat kedua tangannya mendorong ke arah dua orang muda itu. Sin Kiat dan Sin Lian maklum akan kelihaian pukulan jarak jauh ini. Mereka tidak keburu mengelak, dan menangkis dengan gerakan tangan sambil mengerahkan sinkang pula. Akan tetapi tetap saja tubuh mereka terdorong hebat ke belakang, membuat mereka terhuyung dan pada saat itu, dua orang perwira pembantu Su-ciangkun sudah menubruk dan menusukkan tombak mereka ke arah kedua orang muda yang sedang terhuyung itu.

Sin Kiat yang sedang terhuyung melihat datangnya tusukan tombak dengan tenaga yang kuat itu, cepat menjatuhkan diri, berguling ke depan sehingga tombak lewat di atas kepalanya, kemudian ia menusukkan pedangnya yang amblas ke dalam perut lawan. Ketika darah mengucur menyusul pedang yang dicabutnya, Sin Kiat sudah meloncat kembali sehingga tidak terkena semprotan darah.

Ada pun Sin Lian yang tadinya juga terhuyung, tidak sempat menangkis ketika ditusuk dari arah kanan oleh perwira Mancu. Ia mempergunakan tangan kiri menyambar leher tombak, meminjam tenaga lawan menarik tombak sehingga tubuh lawan ikut terdorong ke depan, lalu menggunakan tenaga sinkang ia menekuk tombak sehingga patah tengahnya, lalu terus ia tusukkan ke lambung perwira itu sehingga tembus!

Melihat betapa dalam keadaan terhuyung kedua orang muda itu masih sempat merobohkan dua orang perwira menengah, Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran dan marah. Ia menerjang maju, bertubi-tubi menggerakkan kedua tangan ke arah Sin Lian dan Sin Kiat yang menjadi sibuk mengelak dan menangkis, tidak sempat lagi menyerang, padahal para pengeroyok sudah mengelilingi mereka dan siap-siap menghujankan senjata kepada dua orang muda lihai ini apa bila mereka roboh oleh desakan Ma-bin Lo-mo. Menghadapi kakek bermuka iblis, murid Siauw-lim Chit-kiam dan murid Im-yang Seng-cu benar-benar kewalahan karena Ma-bin Lo-mo menggunakan Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya.

Tiba-tiba keadaan perang menjadi makin kacau ketika banyak tentara Mancu roboh dan bahkan ada yang terlempar ke sana-sini seperti diamuk badai. Ternyata yang datang mengamuk itu adalah Han Han! Setelah dia siuman dari pingsannya dan menangisi Soan Li yang telah tewas, akhirnya Han Han teringat akan bahaya yang mengancam Lauw-pangcu dan anak buahnya. Teringat akan itu, dengan hati berduka sekali ia lalu menggali lubang dan menguburkan jenazah Soan Li. Kemudian ia menggunakan kepandaiannya berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal Lauw-pangcu.

“Han Han... mana Sumoi...?” Sin Kiat merasa lega melihat pemuda buntung itu, akan tetapi ia gelisah karena tidak melihat sumoi-nya datang bersama Han Han.

Ditanya tentang Soan Li, Han Han diingatkan kembali, air matanya mengalir turun dan tanpa menjawab ia lalu menerjang maju, menghadapi Ma-bin Lo-mo yang sedang mendesak Sin Kiat dan Sin Lian.

Ketika melihat Han Han, Ma-bin Lo-mo yang marah sekali itu lalu menerjang sambil mengeluarkan suara meringkik keras seperti kuda marah. Ia masih merasa penasaran dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya yang ada. Terdengar suara bercuitan ketika tenaga Swat-im Sin-ciang dengan kekuatan sepenuhnya menyambar ke depan! Han Han mengenal pukulan sakti, cepat ia berseru.

“Kalian minggirlah!”

Sin Kiat dan Sin Lian yang sudah berkali-kali mengenal pukulan dahsyat dari kakek itu cepat melompat ke kanan kiri. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mau melompat minggir. Ia sudah marah sekali, kemarahannya yang timbul dari kedukaan yang hebat karena kematian Soan Li. Maka kini menyaksikan betapa Ma-bin Lo-mo mengerahkan pukulan Swat-im Sin-ciang, ia pun berteriak keras dan dengan berdiri di atas sebelah kakinya, ia mendorongkan kedua tangannya ke depan menyambut pukulan Ma-bin Lo-mo! Han Han sudah kehilangan tongkatnya yang tertinggal di perut kuda ketika ia mengamuk di depan benteng, kini ia tidak bertongkat lagi. Akan tetapi sinkang yang keluar dari kedua lengannya adalah inti sari dari tenaga Im-kang yang amat dahsyat, yang sudah dia kuasai ketika ia berlatih di Pulau Es.

“Desssss...!”

Hebat bukan main benturan dua tenaga sakti yang sama-sama mengandung hawa dingin itu. Empat orang tentara Mancu yang berdiri terlalu dekat memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi karena jantung mereka membeku terkena sambaran tenaga sakti yang saling bertabrakan.

Tubuh Han Han mencelat ke atas, tinggi sekali. Akan tetapi ia sudah meloncat lagi ketika kakinya menyentuh dahan pohon. Kini tubuhnya mencelat ke depan menyambar Ma-bin Lo-mo yang terhuyung ke belakang dengan mulut muntahkan darah segar!

Melihat betapa tubuh Han Han dari atas pohon menukik ke bawah, Ma-bin Lo-mo mengeluarkan seruan kaget, cepat tubuhnya melesat ke bawah, bergulingan dan lenyap di antara kaki para pengawal.

“Bressssss...!” Lima orang pengawal roboh dan tewas seketika dengan tulang-tulang remuk ketika terjangan Han Han dari atas itu menyambar ke arah mereka. Akan tetapi Ma-bin Lo-mo tidak tampak lagi bayangannya.

Han Han mengamuk terus dengan hebatnya. Juga Sin Lian dan Sin Kiat mengamuk dengan pedang mereka. Setelah kini Ma-bin Lo-mo terluka dan tidak muncul lagi, tidak ada yang dapat mengimbangi amukan tiga orang muda yang perkasa ini. Akan tetapi, di pihak para pejuang, ternyata hanya tinggal mereka bertiga karena yang lain-lain semua telah tewas dalam perang tanding yang amat seru di dalam hutan itu. Ada pun di pihak tentara Mancu juga mengalami kerugian tidak sedikit, kurang lebih sama jumlahnya dengan anak buah Pek-lian Kai-pang!

“Han Han, mari kita pergi...!” kata Sin Kiat. “Semua saudara telah tewas, tak perlu melawan lagi!”

Akan tetapi Han Han tidak mau mendengarkan kata-kata Sin Kiat. Hatinya sudah terlalu sakit dan ia akan bertempur sampai mati untuk membalaskan dendam Soan Li. Melihat itu Sin Lian lalu menyambar tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat, sambil menangis terisak ia mendekati Han Han yang masih mengamuk.

“Han Han... bantulah aku... menyelamatkan jenazah Ayah...!”

Mendengar suara wanita menangis, Han Han seperti baru sadar dari keadaan yang tidak wajar itu, yang membuatnya mengamuk seperti orang gila. Ia menengok dan ketika ia melihat Sin Lian menangis sambil memondong mayat Lauw-pangcu, Han Han terkejut sekali.

“Ah, Lauw-pangcu...!”

“Dia gugur, Han Han, tolonglah aku membuka jalan ke luar dari sini...!”

Han Han mengangguk, lalu bersama Sin Kiat ia mengawal Sin Lian yang memondong mayat ayahnya keluar dari kepungan. Sebetulnya hal ini tidak perlu karena para pengepung itu tidak ada yang berani mengganggu melihat tiga orang muda itu keluar dari hutan. Mereka telah menjadi jeri menyaksikan sepak terjang mereka tadi, apa lagi sepak terjang pemuda yang buntung kakinya.

Sin Lian yang menangis sambil memondong tubuh ayahnya berlari terus sampai pagi, baru ia berhenti di pinggir Sungai Huang-ho paling barat, di mana air sungai itu datang mengalir dari utara dan di tikungan itu membelok ke timur. Daerah ini penuh pula dengan hutan dan amat sunyi.

Setengah malam mereka tadi berlari, tanpa berkata-kata, masih tegang dan berduka menghadapi mala petaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang. Yang paling gelisah adalah Sin Kiat. Pemuda ini ingin sekali mengetahui akan keadaan sumoi-nya, ia pun ingin tahu bagaimana pihak Mancu sampai dapat melakukan sergapan seperti itu, bahkan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo. Ia menduga bahwa tentu Han Han tahu akan itu semua, akan tetapi mengingat akan kedukaan Sin Lian, Sin Kiat menahan keinginan tahunya. Setelah dia dan Han Han membantu Sin Lian mengubur jenazah Lauw-pangcu di dalam hutan itu, barulah Sin Kiat mengajak Han Han menjauhi Sin Lian yang berkabung dan menangis di depan kuburan ayahnya.

“Han Han, ceritakanlah lekas, bagaimana dengan Sumoi!”

Akan tetapi, mendengar pertanyaan ini Han Han menjatuhkan diri duduk di atas tanah, matanya memandang jauh dengan sinar muram dan kosong, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sin Kiat. Melihat ini Sin Kiat berlutut dan menyentuh lengan Han Han, mengguncangnya dan bertanya tegang.

“Han Han, apa yang terjadi dengan Sumoi? Di mana dia?”

Tiba-tiba Han Han mengipatkan lengannya dan Sin Kiat terlempar ke belakang hingga terjengkang. Ia meloncat lagi dan terkejut melihat Han Han sudah berdiri di atas sebelah kakinya dan menudingkan telunjuk ke mukanya sambil membentak, “Sin Kiat, kenapa engkau membolehkan sumoi-mu pergi menyusulku? Kenapa tidak kau cegah dia? Percuma saja engkau menjadi suheng-nya!”

Pucatlah wajah Sin Kiat. Tanpa mempedulikan kemarahan Han Han, ia menubruk maju dan memegang lengan pemuda buntung itu. “Han Han...!” Sin Kiat menjerit, suaranya gemetar. “Lekas katakan, di mana dia? Di mana sumoi...? Dia sendiri yang memaksa hendak menyusulmu karena mengkhawatirkan keadaanmu. Han Han, di mana sumoi?”

Mendengar suara Sin Kiat menjerit-jerit ini, Sin Lian yang menangis di depan kuburan ayahnya menjadi terkejut, menengok dan cepat ia menghampiri mereka karena ia melihat Han Han berdiri seperti orang marah dan Sin Kiat menjerit-jerit seperti orang gila.
“Ada apakah? Han Han, apa yang terjadi?”

Suara Sin Lian ini mengusir kemarahan di hati Han Han. Ia menghela napas panjang, menundukkan muka sehingga air mata yang memenuhi pelupuk mata itu menetes jatuh satu-satu.

“Soan Li... dia... dia telah tewas...!”

“Sumoi...!” Sin Kiat memekik keras. Matanya melotot, mukanya pucat seperti mayat dan tangannya mencengkeram lengan Han Han.

“Apa...! Sumoi-ku... mati? Han Han, bagaimana? Siapa yang membunuhnya?”

Han Han menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput. Sin Lian juga duduk di atas tanah, mukanya makin berduka. Sin Kiat duduk dan mengangkat kedua lutut, menunjang kedua siku dengan lututnya dan menutupi mukanya mendengarkan penuturan Han Han yang menceritakan semua peristiwa itu dengan suara gemetar.

Setelah habis cerita Han Han, Sin Kiat masih menutupi mukanya. Perlahan-lahan dari celah-celah jari tangannya keluar beberapa tetes air mata. Dadanya bergelombang, diseling sedu. Hancur hati Sin Kiat. Teringat ia akan wajah sumoi-nya yang menengok dan tersenyum ketika hendak meninggalkannya. Senyum manis di antara linangan air mata duka!

“Aduh, Sumoi...! Ah, dia seperti adikku sendiri... ahh, bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap suhu, terhadap... keluarga tunangannya...?”

Tiba-tiba Han Han menggerakkan kepala, menoleh kemudian memandang Sin Kiat. “Tunangannya?”

Sin Kiat yang maklum akan isi hati sumoi-nya, dan dapat menduga bahwa Han Han yang kelihatan demikian berduka dan menyesal atas kematian sumoi-nya agaknya juga sudah tahu akan perasaan cinta Soan Li terhadapnya, tanpa menoleh kepada Han Han berkata lirih, “Ya tunangannya. Beberapa tahun yang lalu, atas kehendak Suhu, Sumoi telah ditunangkan dengan putera sahabat suhu, seorang siucai she Tan yang tinggal di Nan-king.”

Han Han menghela napas panjang. “Dan dia mati berkorban untukku...” Ia berbisik lirih. “Betapa mulia hatinya... dan betapa besar dosaku...!”

Sin Lian melirik dan melihat betapa wajah Han Han lebih muram dari pada biasanya, betapa wajah yang menarik itu makin bertambah guratannya, ia merasa kasihan dan teringatlah ia akan pernyataan Lulu bahwa banyak wanita yang jatuh cinta kepada Han Han. Kini mengertilah ia dan biar pun tidak ada yang bicara di saat itu, Sin Lian dapat menduga apa yang telah terjadi di dalam hati Soan Li. Tentu dara jelita murid Im-yang Seng-cu itu diam-diam jatuh cinta kepada Han Han, akan tetapi karena merasa bahwa dia telah terikat jodoh dengan orang lain, maka Soan Li menahan diri. Betapa pun juga, cinta kasih membuat gadis itu nekat hendak menyusul Han Han untuk melindunginya dan akhirnya mengorbankan nyawa sendiri.

“Kasihan Adik Soan Li...!” Sin Lian berkata dan menyentuh lengan Han Han, “Han Han, sudahlah, tak perlu kita terlalu berduka karena kematian orang-orang yang kita sayang. Ayahku dan juga Soan Li tewas sebagai orang-orang gagah, tewas dalam pelaksanaan tugas. Perlu apa harus berduka? Tidak, Han Han. Sebenarnya, menurut patut, kita malah harus bangga bahwa mereka tewas sebagai orang-orang gagah, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita dan kegagahan mereka. Kita harus melanjutkan perjuangan mendiang Soan Li, menentang penjajah Mancu sampai detik hidup terakhir!”

Mendengar ucapan gadis perkasa ini, hati Han Han dan Sin Kiat kagum bukan main. Gadis ini baru saja kematian ayahnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi keluarganya dan mereka dapat mengerti betapa duka hati Sin Lian. Namun gadis itu masih mampu menghibur mereka berdua, dua orang pria yang semestinya lebih kuat hatinya!

“Nona Lauw benar-benar mengagumkan sekali dan apa yang diucapkannya tak dapat disangkal kebenarannya! Hidup atau mati bukanlah urusan manusia, bagi manusia yang paling tepat hanya menjaga agar hidup atau mati sebagai manusia-manusia yang membela kebenaran dan keadilan! Han Han, marilah engkau ikut bersamaku ke Se-cuan. Agaknya tinggal di sanalah satu-satunya tempat di mana kita dapat menyumbangkan tenaga menentang penjajah sampai berhasil atau hancur!”

“Aku... aku harus mencari Lulu...” Suara Han Han masih tidak bersemangat.

Memang Han Han masih sangat merasa tertekan oleh rentetan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Urusan Kim Cu, gadis yang berkorban demi cinta kasihnya terhadap dirinya merupakan urusan yang amat menindih hatinya dan yang takkan pernah dapat ia lupakan, yang membuat ia merasa berdosa, merasa menjadi penyebab hancurnya kebahagiaan hidup seorang gadis semulia Kim Cu. Kemudian ditambah lagi dengan lenyapnya Lulu yang amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya, lalu kekecewaan karena belum juga ia berhasil membunuh seorang pun di antara tujuh orang musuh besar keluarganya.

Kini peristiwa yang menimpa diri Soan Li dan menyebabkan dara itu tewas, tewas di depan matanya sendiri sebagai pengorbanan dalam usaha gadis itu yang hendak menyelamatkannya. Ia merasa berduka sekali, bertubi-tubi perasaan hatinya mengalami hantaman yang berat, membuat ia kehilangan semangat, merasa seperti hanyut dalam arus yang penuh kesengsaraan, membuat ia kehilangan pegangan dan dalam keadaan seperti itu, dia harus cepat bertemu Lulu. Hanya adiknya itulah tempat ia berpegang dalam arus penuh kesengsaraan ini, hanya adiknya Lulu itulah yang akan dapat menghiburnya, yang akan dapat mengembalikan semangatnya.

“Aku harus mencari adikku Lulu...,” katanya lagi penuh rindu.

“Han Han, aku pun ingin sekali bertemu dengan adikku itu. Aku pun akan mencarinya. Bahkan aku akan mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan. Aku akan berusaha mencari Lulu untuk kemudian kuajak mereka semua ke Se-cuan,” kata Sin Lian.

“Aku pun akan membantumu mencari adikmu itu, Han Han. Akan tetapi, mengingat bahwa adikmu pun tentu sedang mencari-carimu seperti yang ia katakan kepada Nona Sin Lian, apakah tidak mungkin kalau dia itu pun pergi mencarimu ke Se-cuan, mengira bahwa engkau berada di sana? Lebih baik kita berangkat ke Se-cuan sambil mendengar-dengar dan mencari-cari.”

Han Han mengangguk-angguk. “Pendapatmu benar juga, dan aku pun memang harus pergi ke Se-cuan karena urusan pribadi.” Ia teringat akan penuturan Sie Leng enci-nya bahwa sebagian besar musuh-musuhnya berada di Se-cuan, yaitu memimpin bala tentara yang ditugaskan mengurung dan menggempur Se-cuan.

“Memang demikian lebih baik,” kata Sin Lian. “Kalian berdua berangkatlah lebih dulu ke Se-cuan, sedangkan aku sendiri akan mengumpulkan sisa teman-teman dan sekalian mencari Lulu di bagian timur. Kalau bertemu, tentu akan kuajak menyusul ke barat.”

Setelah mereka melakukan penghormatan terakhir di depan kuburan Lauw-pangcu, Sin Lian lalu meninggalkan dua orang pemuda itu untuk mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan yang pada malam itu sebagian besar terbasmi oleh tentara Mancu. Ada pun Han Han, atas desakan Sin Kiat mengantar temannya ini berkunjung ke makam Soan Li di mana Sin Kiat berkabung dan Han Han juga tak dapat menahan runtuhnya air matanya.

"Han Han, ketahuilah, hanya kepada aku seorang mendiang sumoi membuka rahasia hatinya bahwa dia mencintamu."...


BERSAMBUNG KE JILID 16


Loading...