Istana Pulau Es Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 22

TUBUH Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling melengking makin tinggi. Tiba-tiba ular itu berubah gerakannya, kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian dada Liang Bi!

“Iihhh... ouhhh...” Liang Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup makin dalam. “Aduuuuhhhh... tolongggg... ihhhh... ambil dia... ambil binatang ini... uhu-hu-huuuu...!”

“Engkau menyerah?” Suma Hoat bertanya.

Dengan tubuh menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah. “...aku menyerah... hu-hu-huuuuhh...”

Suma Hoat lompat mendekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke kebun di mana ular yang ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput. Sambil tersenyum-senyum Suma Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi, membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.

Cui Leng berdiri dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi. Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita!

Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia mendapat kawan!

Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia? Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir air matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.

Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.

serial bu kek siansu episode istana pulau es
Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.

“Ahh, kalian benar-benar cantik jelita!” katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.

“Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?” Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda itu.

Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan. “Bahagia? Aku berbahagia...?” Ia menghela napas, mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini wajah Liang Bi menjadi makin pucat.

”Jangan...! Jangan panggil ular...” Ia merintih.

Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya. “Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau menakut-nakuti engkau lagi?” Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka.

Lagu itu terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian, suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.

Bahagia, siapakah gerangan Anda?
Seribu kali bayanganmu menggapai kuraih kupeluk mesra
Hanya mendapatkan kenyataan hampa bahwa semua bayanganmu itu bukanlah Anda!
Serasa tampak Anda mengintai di balik kelopak bunga mengharum
Menunggang cahaya matahari pagi di balik senyum kekasih jelita
Di antara tawa sahabat-sahabat di dalam gelak anak-anak
Di antara tumpukan harta benda
Di atas kedudukan mulia
Di balik kemasyhuran nama namun...
Setelah didekap dalam pelukan
Semua itu pun hampa bukan Anda!
Duhai kebahagiaan siapa dan di mana gerangan Anda?


Belum habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak tampak.

Mempunyai mata seperti buta
Sudah ada dicari-cari keluar menjauh
Siapa bisa memisahkan bayangan dari badan?
Yang mencari takkan mendapatkan
Yang mendapatkan takkan memiliki
Yang memiliki akan kehilangan
Yang mengharap akan kecewa
Tanpa dicari, tanpa diharap
Tanpa dimiliki, tanpa pamrih
Hanya membuka mata ke dalam
Sadar bahwa semua telah ada
Setelah bersatu dengan keadaan
Apa lagi yang dicari?


Suma Hoat meloncat bangun, suling siap di tangannya. Wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat sekali. Apa lagi karena suara itu tidak asing bagi kedua orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak pucat.

Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.

“Suhu...!” Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka pucat.

“Omitohud...!” Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang. Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang.

Kian Ti Hosiang lalu berkata, “Sayang...! Sungguh sayang sekali...! Orang muda, kalau pinceng tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?”

Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua orang gadis itu. Dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasakan selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka. Kalau keadaan mengijinkan, agaknya ia bersedia menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya!

Akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan menjura sambil berkata, “Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!”

“Oohhhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng.

Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk suci-nya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan mala-petaka besar itu!

“Kau... kau... Suma Hoat...?” Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang dengan adiknya.

Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata, “Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman. Akan tetapi sayang... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang keluarga Suma!”

Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding. “Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang... memberatkan selirnya dari pada putera tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat. Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti Hosiang?”

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dan orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!

Akan tetapi, karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang saja menjawab, “Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia. Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua makhluk agar kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu.”

“Ha-ha-ha! Amat berlawanan dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kau basmi semua, kalau kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja apakah?”

Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan jahatnya!

Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang. “Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!”

Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya, kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang nakal!

“Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai dua orang murid perempuanmu! Nah, bukankah perbuatanku amat terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku dengan hukuman paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?”

Kian Ti Hosiang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. “Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma Hoat. Perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu.”

“Pendeta sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!”

”Suma Hoat manusia iblis!” Kam Siang Kui membentak marah sekali.

Suma Hoat tersenyum lebar. “Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik, hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...”

“Jahanam!” Kam Siang Hui yang mendengar enci-nya dihina seperti itu sudah tidak dapat menahan lagi hatinya. Dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan sinkang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.

“Plak! Plak!” Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya.

Ada pun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu mengalahkan mereka! Akan tetapi hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.

“Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?”

“Suma Hoat, bocah celaka!” Kam Siang Kui kembali membentak.

“Harap Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia,” kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.

“Kian Ti Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?” Suma Hoat mengejek lagi dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah, bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.

“Suma-sicu, pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita? Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kau lakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya.”

Wajah Suma Hoat menjadi merah. “Kalau aku menolak?”

Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat!

Kian Ti Hosiang menghela napas panjang. “Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh.”

“Apa? Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?”

Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya. “Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup.”

“Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?”

Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. “Pinceng tidak takut kepada siapa pun juga, kecuali kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu.”

“Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasehatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku. Bagaimana?”

Kian Ti Hosiang mengangguk tenang. “Omitohud...! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah. Pinceng menerima syarat itu...”

“Locianpwe...!” Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat. “Bagaimana Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami membasminya!”

“Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya.” Terpaksa kedua orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.

Kian Ti Hosiang melangkah maju mendekati Suma Hoat. “Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik.”

Hampir Suma Hoat tidak dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya! “Apa? Engkau menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?”

Kian Ti Hosiang menggeleng kepala. “Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau pun akan membuang semua perbuatan sesat.”

Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio ini.

“Baik, aku berjanji!” bentaknya.

“Nah, silakan memukul dua kali, Sicu.” Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti orang berdoa.

Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan sernua sinkang di tubuhnya, disalurkan ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sinkang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat.

Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih menyakitkan hati dari pada makian atau serangan. Dia, seorang yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi dia tidak percaya bahwa hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan.

Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sinkang untuk menangkis. Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya. Maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang.

Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menggunakan ilmu pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!

“Krekkk! Krekkkk!” Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu.

Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu, sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.

Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biar pun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.

“Kau... kau...! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati... terimalah ini...!” Suma Hoat yang merasa ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati dari pada melihat ia cacat selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!

Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.

“Desss...!”

Telapak tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya... tubuh Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!

“Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?” dengan tenang Kian Ti Hosiang menegur perlahan.

Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sinkang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan mematikannya.

“Oohhh, bocah setan yang kejam...!” Kam Siang Kui menggeram.

“Manusia iblis yang patut dibasmi!” Kam Siang Hui juga membentak.

Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang, “Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!”

Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi, “Bagaimana, Suma Hoat, apakah engkau akan memegang janji?” Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.

Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini?

Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab, “Locianpwe, aku bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi... aku tidak yakin apakah akan berhasil...”

“Berhasil atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupan untuk berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu.”

“Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...”

Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya, Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoi-nya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoi-nya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai tembus.

Kian Ti Hosiang menoleh, merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, “Omitohud... dosa ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.

Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya. Biasanya dia bisa tertawa-tawa melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes dari matanya. Biar pun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.

“Bocah setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat lagi!” terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.

“Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!” Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, “Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!”

Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan tersenyum. “Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biar pun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!”

“Keparat bermulut busuk!” Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.

“Plakkk!” Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum biar pun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. “Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kau langgar, bedebah!”

“Ha-ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ini juga jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biar pun sudah agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat...!”

“Plak-plak!”

Kini Suma Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka akibat sinkang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.

“Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masak-masaknya, manis dan...”

“Kubunuh engkau!” Kam Siang Hui membentak dan....

“Srat!” pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.

“Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu,” Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.

“Suma Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kau hina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!” Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.

“Ahhhh...!” Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!

“Aduhhh... ampunkan aku... kedua bibi... ampunkan aku...,” ketika siuman Suma Hoat merintih-rintih, suaranya mengandung penuh penyesalan.

Tentu saja ia sudah mendengar akan nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!

“Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin....”

Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan sinkang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.

“Ahhh... mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati....” Suma Hoat mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa sesak di dadanya.

“Jai-hwa-sian... baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menderita luka dalam yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sinkang amat kuatnya. Itu masih belum aneh. Yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta ampun. Aihhh... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang amat mengagumimu, atau saudaramu... ceritakanlah apa yang terjadi?”

Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang kara. Kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!

Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil terisak Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri. Kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada wanita, benci di samping dorongan birahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!

Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan.

Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.

“Aihhh..., betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong? Ah... ah..., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas... pantas...! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya begitu rupa!”

Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. “Dia mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat...! Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...”

Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian. Di samping itu, hemmm... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan bijaksana itu sengaja membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan Beng-kauw!”

Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.

“Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?”

“Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya. Kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang, maka agaknya pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!”

“Eh, mengapa begitu?”

Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian. “Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang kedua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka dia sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu.”

Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. “Aihhhh...! Dan seorang yang berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?” Dia mengeluh penuh penyesalan.

Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu.”

“Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?” Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya.

Im-yang Seng-cu membalas pegangan itu dan berkata, “Kedua bibimu berjuang untuk merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama.”

Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri. “Bagus sekali! Terima kasih atas nasehatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!”

Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali. “Aku tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!” Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.

******************


Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang malam nanti akan menyerang barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat.

Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!

Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ia melihat ada sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasuki perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?

Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya. Biar pun ia mengepalai banyak sekali pasukan, namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suheng-nya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan suheng-nya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es! Apakah suheng-nya masih berada di sana? Dan sumoi-nya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoi-nya itu pun berada di sana?

Teringat akan suheng-nya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoi-nya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suheng-nya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suheng-nya amat sayang kepada dia dan sumoi-nya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoi-nya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!

“Maya...”

Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata, “Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?”

“Maya... aku... aku...,” Ji Kun menggagap.

Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja, padahal biasanya menyebutnya ‘li-ciangkun’.

“Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!”

Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata, “Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kau anggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?”

Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab, “Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu.”

“Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya... eh, semenjak kita bertemu... sesungguhnya... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!”

Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Baru pertama kali ini didengarnya pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya. Hal ini menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suheng-nya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras.

“Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa.... Kau kira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan menyatakan cinta kepadaku?”

“Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!”

“Sudahlah!” Maya berkata jengkel. “Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun, dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?”

“Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?” Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!

Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak, “Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!”

“Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...”

“Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!”

“Maya... apakah... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?”

Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya.

Melihat ini Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya, “Siapa dia, Maya? Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!”

Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah. “Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apa lagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!” Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata, “Dan jangan lupa menyebutku ‘ciangkun’ kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!”

Ji Kun tidak menjawab, hanya berdiri tegak dengan kepala menunduk. Ia tak berani menatap kepergian gadis itu, seakan takut bahwa ia telah ditinggalkan selamanya.

Setelah tiba di kamarnya, Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suheng-nya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan. Diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah.

Betapa pun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti... seperti dia mencinta Han Ki!

Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun dan melesat ke luar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.

Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya!

Yan Hwa tak tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoi-nya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!

Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biar pun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.

“Cring-cring...!” Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.

“Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!” bentak Maya.

“Aku harus membunuhnya!” Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.

“Perempuan sombong, kau kira begitu mudah?” Ji Kun balas membentak.

“Tranggg....!” Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.

“Berhenti kataku!” Maya menerjang lagi di antara mereka. Pedangnya berkelebat menyilaukan mata, mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.

“Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!”

Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini, maka biar pun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.

“Maya... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi.”

Yan Hwa menarik napas panjang. “Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf.”

Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata, “Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus di kesampingkan dulu. Apa lagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!”

“Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita.”

“Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati.”

“Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?”

Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu!

Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun.

Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suheng-nya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suheng-nya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoi-nya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang?

Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa-huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya.

Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!

Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh. Begitu tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka!

Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang sampyuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.

Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling sembelih dan saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat.

Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biar pun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan belakang.

Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata gagal. Tanpa terduga-duga awan-awan gelap menutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu sering kali terjadi atas diri manusia.

Betapa pun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.

Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau karena Maya telah mengerahkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan.

Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu!...


BERSAMBUNG KE JILID 23


Istana Pulau Es Jilid 22

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

EPISODE ISTANA PULAU ES JILID 22

TUBUH Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling melengking makin tinggi. Tiba-tiba ular itu berubah gerakannya, kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian dada Liang Bi!

“Iihhh... ouhhh...” Liang Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup makin dalam. “Aduuuuhhhh... tolongggg... ihhhh... ambil dia... ambil binatang ini... uhu-hu-huuuu...!”

“Engkau menyerah?” Suma Hoat bertanya.

Dengan tubuh menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah. “...aku menyerah... hu-hu-huuuuhh...”

Suma Hoat lompat mendekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke kebun di mana ular yang ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput. Sambil tersenyum-senyum Suma Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi, membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.

Cui Leng berdiri dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi. Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita!

Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia mendapat kawan!

Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia? Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir air matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.

Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.

serial bu kek siansu episode istana pulau es
Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.

“Ahh, kalian benar-benar cantik jelita!” katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.

“Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?” Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda itu.

Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan. “Bahagia? Aku berbahagia...?” Ia menghela napas, mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini wajah Liang Bi menjadi makin pucat.

”Jangan...! Jangan panggil ular...” Ia merintih.

Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya. “Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau menakut-nakuti engkau lagi?” Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka.

Lagu itu terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian, suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.

Bahagia, siapakah gerangan Anda?
Seribu kali bayanganmu menggapai kuraih kupeluk mesra
Hanya mendapatkan kenyataan hampa bahwa semua bayanganmu itu bukanlah Anda!
Serasa tampak Anda mengintai di balik kelopak bunga mengharum
Menunggang cahaya matahari pagi di balik senyum kekasih jelita
Di antara tawa sahabat-sahabat di dalam gelak anak-anak
Di antara tumpukan harta benda
Di atas kedudukan mulia
Di balik kemasyhuran nama namun...
Setelah didekap dalam pelukan
Semua itu pun hampa bukan Anda!
Duhai kebahagiaan siapa dan di mana gerangan Anda?


Belum habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak tampak.

Mempunyai mata seperti buta
Sudah ada dicari-cari keluar menjauh
Siapa bisa memisahkan bayangan dari badan?
Yang mencari takkan mendapatkan
Yang mendapatkan takkan memiliki
Yang memiliki akan kehilangan
Yang mengharap akan kecewa
Tanpa dicari, tanpa diharap
Tanpa dimiliki, tanpa pamrih
Hanya membuka mata ke dalam
Sadar bahwa semua telah ada
Setelah bersatu dengan keadaan
Apa lagi yang dicari?


Suma Hoat meloncat bangun, suling siap di tangannya. Wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat sekali. Apa lagi karena suara itu tidak asing bagi kedua orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak pucat.

Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.

“Suhu...!” Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka pucat.

“Omitohud...!” Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang. Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang.

Kian Ti Hosiang lalu berkata, “Sayang...! Sungguh sayang sekali...! Orang muda, kalau pinceng tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?”

Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua orang gadis itu. Dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasakan selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka. Kalau keadaan mengijinkan, agaknya ia bersedia menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya!

Akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan menjura sambil berkata, “Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!”

“Oohhhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng.

Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk suci-nya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan mala-petaka besar itu!

“Kau... kau... Suma Hoat...?” Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang dengan adiknya.

Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata, “Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman. Akan tetapi sayang... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang keluarga Suma!”

Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding. “Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang... memberatkan selirnya dari pada putera tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat. Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti Hosiang?”

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dan orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!

Akan tetapi, karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang saja menjawab, “Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia. Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua makhluk agar kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu.”

“Ha-ha-ha! Amat berlawanan dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kau basmi semua, kalau kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja apakah?”

Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan jahatnya!

Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang. “Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!”

Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya, kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang nakal!

“Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai dua orang murid perempuanmu! Nah, bukankah perbuatanku amat terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku dengan hukuman paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?”

Kian Ti Hosiang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. “Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma Hoat. Perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu.”

“Pendeta sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!”

”Suma Hoat manusia iblis!” Kam Siang Kui membentak marah sekali.

Suma Hoat tersenyum lebar. “Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik, hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...”

“Jahanam!” Kam Siang Hui yang mendengar enci-nya dihina seperti itu sudah tidak dapat menahan lagi hatinya. Dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan sinkang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.

“Plak! Plak!” Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya.

Ada pun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu mengalahkan mereka! Akan tetapi hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.

“Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?”

“Suma Hoat, bocah celaka!” Kam Siang Kui kembali membentak.

“Harap Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia,” kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.

“Kian Ti Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?” Suma Hoat mengejek lagi dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah, bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.

“Suma-sicu, pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita? Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kau lakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya.”

Wajah Suma Hoat menjadi merah. “Kalau aku menolak?”

Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat!

Kian Ti Hosiang menghela napas panjang. “Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh.”

“Apa? Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?”

Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya. “Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup.”

“Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?”

Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. “Pinceng tidak takut kepada siapa pun juga, kecuali kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu.”

“Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasehatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku. Bagaimana?”

Kian Ti Hosiang mengangguk tenang. “Omitohud...! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah. Pinceng menerima syarat itu...”

“Locianpwe...!” Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat. “Bagaimana Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami membasminya!”

“Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya.” Terpaksa kedua orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.

Kian Ti Hosiang melangkah maju mendekati Suma Hoat. “Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik.”

Hampir Suma Hoat tidak dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya! “Apa? Engkau menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?”

Kian Ti Hosiang menggeleng kepala. “Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau pun akan membuang semua perbuatan sesat.”

Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio ini.

“Baik, aku berjanji!” bentaknya.

“Nah, silakan memukul dua kali, Sicu.” Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti orang berdoa.

Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan sernua sinkang di tubuhnya, disalurkan ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sinkang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat.

Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih menyakitkan hati dari pada makian atau serangan. Dia, seorang yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi dia tidak percaya bahwa hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan.

Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sinkang untuk menangkis. Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya. Maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang.

Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menggunakan ilmu pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!

“Krekkk! Krekkkk!” Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu.

Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu, sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.

Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biar pun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.

“Kau... kau...! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati... terimalah ini...!” Suma Hoat yang merasa ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati dari pada melihat ia cacat selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!

Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.

“Desss...!”

Telapak tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya... tubuh Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!

“Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?” dengan tenang Kian Ti Hosiang menegur perlahan.

Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sinkang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan mematikannya.

“Oohhh, bocah setan yang kejam...!” Kam Siang Kui menggeram.

“Manusia iblis yang patut dibasmi!” Kam Siang Hui juga membentak.

Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang, “Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!”

Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi, “Bagaimana, Suma Hoat, apakah engkau akan memegang janji?” Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.

Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini?

Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab, “Locianpwe, aku bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi... aku tidak yakin apakah akan berhasil...”

“Berhasil atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupan untuk berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu.”

“Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...”

Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya, Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoi-nya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoi-nya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai tembus.

Kian Ti Hosiang menoleh, merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, “Omitohud... dosa ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.

Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya. Biasanya dia bisa tertawa-tawa melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes dari matanya. Biar pun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.

“Bocah setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat lagi!” terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.

“Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!” Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, “Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!”

Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan tersenyum. “Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biar pun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!”

“Keparat bermulut busuk!” Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.

“Plakkk!” Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum biar pun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. “Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kau langgar, bedebah!”

“Ha-ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ini juga jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biar pun sudah agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat...!”

“Plak-plak!”

Kini Suma Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka akibat sinkang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.

“Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masak-masaknya, manis dan...”

“Kubunuh engkau!” Kam Siang Hui membentak dan....

“Srat!” pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.

“Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu,” Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.

“Suma Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kau hina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!” Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.

“Ahhhh...!” Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!

“Aduhhh... ampunkan aku... kedua bibi... ampunkan aku...,” ketika siuman Suma Hoat merintih-rintih, suaranya mengandung penuh penyesalan.

Tentu saja ia sudah mendengar akan nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!

“Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin....”

Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan sinkang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.

“Ahhh... mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati....” Suma Hoat mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa sesak di dadanya.

“Jai-hwa-sian... baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menderita luka dalam yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sinkang amat kuatnya. Itu masih belum aneh. Yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta ampun. Aihhh... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang amat mengagumimu, atau saudaramu... ceritakanlah apa yang terjadi?”

Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang kara. Kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!

Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil terisak Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri. Kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada wanita, benci di samping dorongan birahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!

Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan.

Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.

“Aihhh..., betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong? Ah... ah..., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas... pantas...! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya begitu rupa!”

Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. “Dia mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat...! Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...”

Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian. Di samping itu, hemmm... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan bijaksana itu sengaja membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan Beng-kauw!”

Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.

“Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?”

“Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya. Kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang, maka agaknya pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!”

“Eh, mengapa begitu?”

Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian. “Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang kedua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka dia sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu.”

Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. “Aihhhh...! Dan seorang yang berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?” Dia mengeluh penuh penyesalan.

Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu.”

“Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?” Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya.

Im-yang Seng-cu membalas pegangan itu dan berkata, “Kedua bibimu berjuang untuk merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama.”

Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri. “Bagus sekali! Terima kasih atas nasehatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!”

Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali. “Aku tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!” Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.

******************


Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang malam nanti akan menyerang barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat.

Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!

Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ia melihat ada sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasuki perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?

Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya. Biar pun ia mengepalai banyak sekali pasukan, namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suheng-nya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan suheng-nya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es! Apakah suheng-nya masih berada di sana? Dan sumoi-nya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoi-nya itu pun berada di sana?

Teringat akan suheng-nya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoi-nya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suheng-nya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suheng-nya amat sayang kepada dia dan sumoi-nya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoi-nya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!

“Maya...”

Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata, “Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?”

“Maya... aku... aku...,” Ji Kun menggagap.

Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja, padahal biasanya menyebutnya ‘li-ciangkun’.

“Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!”

Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata, “Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kau anggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?”

Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab, “Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu.”

“Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya... eh, semenjak kita bertemu... sesungguhnya... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!”

Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Baru pertama kali ini didengarnya pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya. Hal ini menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suheng-nya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras.

“Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa.... Kau kira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan menyatakan cinta kepadaku?”

“Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!”

“Sudahlah!” Maya berkata jengkel. “Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun, dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?”

“Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?” Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!

Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak, “Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!”

“Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...”

“Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!”

“Maya... apakah... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?”

Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya.

Melihat ini Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya, “Siapa dia, Maya? Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!”

Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah. “Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apa lagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!” Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata, “Dan jangan lupa menyebutku ‘ciangkun’ kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!”

Ji Kun tidak menjawab, hanya berdiri tegak dengan kepala menunduk. Ia tak berani menatap kepergian gadis itu, seakan takut bahwa ia telah ditinggalkan selamanya.

Setelah tiba di kamarnya, Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suheng-nya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan. Diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah.

Betapa pun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti... seperti dia mencinta Han Ki!

Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun dan melesat ke luar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.

Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya!

Yan Hwa tak tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoi-nya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!

Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biar pun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.

“Cring-cring...!” Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.

“Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!” bentak Maya.

“Aku harus membunuhnya!” Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.

“Perempuan sombong, kau kira begitu mudah?” Ji Kun balas membentak.

“Tranggg....!” Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.

“Berhenti kataku!” Maya menerjang lagi di antara mereka. Pedangnya berkelebat menyilaukan mata, mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.

“Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!”

Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini, maka biar pun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.

“Maya... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi.”

Yan Hwa menarik napas panjang. “Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf.”

Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata, “Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus di kesampingkan dulu. Apa lagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!”

“Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita.”

“Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati.”

“Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?”

Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu!

Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun.

Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suheng-nya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suheng-nya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoi-nya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang?

Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa-huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya.

Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!

Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh. Begitu tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka!

Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang sampyuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.

Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling sembelih dan saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat.

Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biar pun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan belakang.

Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata gagal. Tanpa terduga-duga awan-awan gelap menutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu sering kali terjadi atas diri manusia.

Betapa pun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.

Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau karena Maya telah mengerahkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan.

Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu!...


BERSAMBUNG KE JILID 23