Cinta Bernoda Darah Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 13

BEBERAPA hari kemudian, pagi-pagi sekali di tanah pekuburan kaum Beng-kauw terdapat dua orang muda yang berjalan perlahan berdampingan. Mereka ini adalah Lin Lin dan Suling Emas yang melakukan perjalanan cepat ke selatan dan kini telah tiba di tanah pekuburan kaum Beng-kauw di Nan-cao. Inilah tanah pekuburan para tokoh yang termasuk pimpinan Beng-kauw, selama Beng-kauw didirikan di Nan-cao oleh Pat-jiu Sin-ong.

Keadaan di situ menyeramkan. Matahari belum tampak, masih tertutup pohon-pohon dan Lin Lin merasa seakan-akan ia mendatangi sebuah kota orang mati yang penghuninya hanya terdiri dari orang-orang mati yang pada saat sepagi itu masih belum bangun, masih tidur di dalam rumah yang berupa gundukan-gundukan tanah dihias batu nisan itu.

“Di mana makamnya...?” tanya Lin Lin, suaranya agak gemetar.

Hatinya gentar juga setelah tiba di tempat pekuburan itu. Harus diakui bahwa sesungguhnya ia tidaklah begitu senang untuk bersumpah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong yang sudah mati. Ia mempelajari ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong bukan disengaja, tapi secara kebetulan dan ia sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa ilmu itu ciptaan pendiri Beng-kauw.



Kalau dulu ia menurut kepada Suling Emas dan sanggup untuk bersumpah menjadi murid, hal itu hanyalah karena ia begitu amat inginnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas! Dan harus ia akui bahwa selama beberapa pekan ini, melakukan perjalanan di samping Suling Emas, siang malam selalu berada di dekatnya, mendatangkan rasa gembira luar biasa dan mempertebal keyakinannya bahwa Suling Emas juga mencintanya, sebesar ia mencinta pendekar sakti itu!

“Di sana makamnya, di bagian yang agak tinggi. Kau lihat, masih baru!” jawab Suling Emas sambil menudingkan telunjuknya.

Mereka berjalan menghampiri makam Pat-jiu Sin-ong yang besar dan mewah. Bagi Lin Lin tempat ini menyeramkan sekali, akan tetapi yang lebih menggelisahkan hatinya adalah bahwa ia harus bersumpah menjadi murid penghuni makam! Amat heran hati Lin Lin melihat betapa Suling Emas serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat di depan makam. Mengapa Suling Emas begini menghormat ketua Beng-kauw yang sudah meninggal, pikirnya. Padahal seingatnya, Suling Emas duduk sejajar dengan ketua Beng-kauw yang masih hidup.

“Lin-moi, lekas kau berlutut dan mengucapkan sumpahmu, biar aku menjadi saksi,” terdengar Suling Emas berkata.

Akan tetapi Lin Lin tetap berdiri tegak, tidak mau berlutut dan tidak mengeluarkan kata-kata.

“Lin-moi, mau tunggu apa lagi?”

Lin Lin tetap diam saja.

“Lin-moi, mengapa kau ragu-ragu? Bukankah sudah jelas kuterangkan kepadamu?”

“Ah, aku... aku tidak bisa. Hal ini seakan-akan suatu paksaan. Suling Emas, bagaimana kau bisa tahu apakah benar-benar Pat-jiu Sin-ong menghendaki aku menjadi muridnya? Kalau beliau tidak menghendaki, bukankah berarti kita membikin rohnya menjadi penasaran?”

Suling Emas tertegun, memandang kepada Lin Lin, lalu menoleh ke arah makam. Pada saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Ketika ia memandang jauh, hatinya berdebar karena ia mengenal laki-laki tua memakai caping lebar itu. Kauw Bian Cinjin! Celaka, pikirnya. Kalau Kauw Bian Cinjin melihat mereka di situ tentu akan bertanya dan kalau kakek itu mengetahui duduk perkara sebenarnya, sudah pasti kakek itu takkan membiarkan Lin Lin hidup!

“Lin-moi, lekas berlutut. Lekas bersumpah sebelum terlambat!” desaknya sambil memegang tangan gadis itu.

“Tidak, aku tidak bisa lakukan itu... masih ada jalan lain...”

Suling Emas hendak membantah, akan tetapi terlambat. Kauw Bian Cinjin yang bergerak cepat sekali sudah tiba di situ dan kakek ini biar pun terheran melihat Suling Emas dan Lin Lin berada di makam Pat-jiu Sin-ong, namun agaknya tidak mempedulikan ini. Malah ia segera berseru.

“Kim-siauw-eng (Suling Emas)! Apakah kau tidak melihat Hwee-ji (Anak Hwee)?” Pertanyaan ini yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tentu saja membuat Suling Emas tercengang.

“Bukankah dia sudah pulang bersama Bu Sin?” Tentu saja ia menjadi tercengang dan heran karena ia sendiri yang menolong kedua orang muda itu dari ancaman Siang-mou Sin-ni, kemudian ia menyuruh mereka kembali ke Nan-cao sedangkan ia sendiri pergi mencari Lin Lin dan Sian Eng.

Kauw Bian Cinjin kelihatannya tergesa-gesa sehingga tidak sempat untuk banyak bercerita. “Dia sudah pulang. Kam Bu Sin sicu (tuan muda gagah) pulang lebih dulu ke Cin-ling-san menemui bibi gurunya. Akan tetapi malam tadi, entah bagaimana dan mengapa, kelihatan di sini putera pangeran yang jahat itu, Suma Boan, berkeliaran dan keadaannya seperti orang gila! Hwee-ji mengejarnya, akan tetapi sampai sekarang keduanya tidak tampak bayangannya, kami menjadi khawatir sekali.”

“Ahhh...!” Suling Emas terkejut. “Biarlah aku mencari mereka!” Sambil berkata demikian, ia menyambar tangan Lin Lin dan berkata, “Hayo kita pergi dulu dari sini mengejar mereka!”

Lin Lin tidak diberi kesempatan bicara. Pula, gadis ini diam-diam merasa girang dan lega bahwa ada urusan lain yang membuat penyumpahannya sebagai murid Pat-jiu Sin-ong tertunda. Ia tadi sudah bingung dan khawatir kalau-kalau Suling Emas menjadi kecewa dan marah oleh penolakannya. Kini Suling Emas mengajaknya pergi, tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut berlari sambil mengangguk dan tersenyum kepada Kauw Bian Cinjin yang memandangnya dengan kening berkerut. Mau apa gadis liar ini di sini? Demikian pikir Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi karena ia tahu bahwa gadis itu adalah adik angkat Suling Emas, ia pun tidak mau memikirkannya lagi.

“Kim-siauw-eng, kau mencari ke timur aku ke utara!” teriaknya. Suaranya terbawa angin dan karena kakek ini mengerahkan khikang, dapat juga suara ini mengejar dan sampai ke telinga Suling Emas.

“Baik!” jawab Suling Emas sambil mengerahkan khikang pula karena keduanya sudah terpisah amat jauh, tidak tampak lagi, namun dengan kesaktian mereka, kedua orang ini masih dapat saling menyampaikan pesan!

********************


Apakah sebenarnya yang terjadi? Bagaimana Suma Boan, putera pangeran itu, secara mendadak berada di Nan-cao, dan kata Kauw Bian Cinjin berkeliaran seperti orang gila sehingga kini dikejar-kejar oleh Liu Hwee?

Seperti telah dituturkan di bagian depan, ketika Sian Eng dan Bu Sin menjadi tawanan Hek-giam-lo di dalam terowongan rahasia, Bu Sin diculik oleh Siang-mou Sin-ni sehingga akhirnya tertolong oleh Liu Hwee dan kemudian ditolong pula oleh Suling Emas. Ada pun Sian Eng yang berada dalam keadaan tertotok, ditolong dan dibawa pergi oleh Suma Boan!

Cinta memang dapat meracuni hati siapa saja tanpa pandang bulu. Dan kalau cinta sudah berkuasa, banyak terjadi hal-hal aneh dan kadang-kadang pandangan seorang korban cinta jauh berlawanan dengan pandangan umum. Agaknya seluruh orang di dunia ini yang merasa suka kepada Sian Eng, akan kecewa dan tidak setuju kalau gadis cantik gagah ini jatuh cinta kepada seorang pemuda bangsawan yang berwatak buruk macam Suma Boan. Akan tetapi apa hendak dikata. Sejak pertemuan pertama Sian Eng memang sudah jatuh hati kepada putera pangeran ini! Apa pun yang akan dikatakan orang lain, tak mungkin masuk di hati seorang yang sudah jatuh cinta.

Demikianlah, ketika dirinya dipondong pergi oleh Suma Boan, diam-diam Sian Eng merasa terharu dan girang sekali, sungguh pun ada perasaan kecewa dan khawatir di hatinya kalau ia teringat akan kakaknya, Bu Sin. Suma Boan berlari cepat dan karena ia berada dalam keadaan tertotok, Sian Eng tidak bisa apa-apa. Baru beberapa hari kemudian Suma Boan menurunkannya dari pondongan dan membebaskan totokannya.

Sian Eng segera menegur, “Suma-koko, kenapa baru sekarang kau bebaskan aku? Kalau tadi-tadi, kan kita berdua bisa menolong Bu Sin Koko? Ah, bagaimana nasibnya sekarang?”

Suma Boan merangkul pundaknya. “Jangan bodoh, Eng-moi. Kau tahu sendiri, tempat itu adalah tempat Hek-giam-lo yang lihai. Bagaimana aku bisa sekaligus menolong dua orang? Dan saking takutku kalau-kalau Hek-giam-lo akan mengejar, aku terus saja membawamu lari dan baru sekarang berani berhenti di sini. Ah, Moi-moi, baru sekarang kita dapat bertemu dan berkumpul. Alangkah gelisah hatiku ketika kita berpisah di Nan-cao. Eng-moi, mengapa kau bisa berada di terowongan tempat sembunyi Hek-giam-lo itu bersama kakakmu?”

Dengan halus Sian Eng melepaskan pundaknya dari rangkulan. Biar pun di hutan itu sunyi tidak ada orang lain, namun ia tidak mau pemuda yang dicintanya itu bersikap terlalu mesra kepada dirinya. Mereka belum berjodoh, belum pula bertunangan! Akan tetapi ia mengajak pemuda itu duduk mengaso dan berceritalah ia tentang usaha mereka mencari Lin Lin sehingga mereka berdua terpisah dari Suling Emas dan kena tangkap Hek-giam-lo.

“Kau agaknya sudah tahu bahwa kakakku yang hilang, Kam Bu Song, adalah Suling Emas. Kenapa dahulu-dahulu tidak lekas beri tahu padaku?” tegur Sian Eng.

Suma Boan tersenyum dan memegang tangan gadis itu. “Aku belum yakin, hanya baru menduga. Kakakmu itu saling mencinta dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal karena ayah tidak setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti setuju mempunyai mantu seperti kau.” Sambil berkata demikian Suma Boan mencoba untuk merangkul lagi.

“Ihhh, jangan begitu...!” Sian Eng melepaskan diri. “Soal perjodohan, bagaimana aku dapat memberi keputusan? Ada kakak-kakakku, dan terutama sekali ada bibi guruku di Cin-ling-san.”

“Aku akan pergi ke sana, akan kulamar kau dari tangan bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada urusan penting sekali. Maukah kau membantuku?”

“Lihat-lihat urusannya!”

“Begini, adikku yang manis. Kita melihat sendiri betapa Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang semenjak belasan tahun lenyap tak tentu rimbanya, kiranya muncul pada ulang tahun Beng-kauw dan tewas pula di situ. Akan tetapi ia telah memperlihatkan ilmu yang amat luar biasa. Agaknya ia mempunyai tempat persembunyian di Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di waktu muda dahulu, Tok-siauw-kui telah mencuri banyak sekali kitab-kitab rahasia ilmu kesaktian yang jarang bandingnya di dunia ini. Sekarang ia telah mati, akan tetapi aku percaya bahwa kitab-kitab itu masih ada, ia sembunyikan di tempat di mana ia tadinya sembunyi sebelum ia muncul dan tewas di tangan ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan sekali! Pat-jiu Sin-ong dan Tok-siauw-kui, ayah dan anak itu benar-benar bukan manusia, melainkan iblis-iblis yang luar biasa.”

Sian Eng mengerutkan keningnya, lalu menggunakan tangan kanannya menutup bibir pemuda itu. “Hushhh, jangan kau bicara begitu, Suma-koko. Betapa pun juga, dia adalah kakek dan ibu kandung dari kakakku Kam Bu Song.”

Suma Boan mencekal tangan itu dan menciumi jari-jari yang mungil sampai Sian Eng menariknya kembali.

“Gila!” cela gadis itu dengan muka menjadi merah. “Kau ceritakan semua itu kepadaku, dengan maksud apakah?”

“Begini, kekasihku. Aku ingin sekali mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui itu dan kuharap kau suka membantuku....”

“Ihhh!” Sian Eng mengkirik karena merasa seram. “Kau sudah begini lihai, kau menjadi murid It-gan Kai-ong yang sakti, masa masih mau mencari kitab pusaka lagi, untuk apa?”

“Ah, siapa bilang aku lihai? Hanya kau yang mencintaku yang bilang begitu, Eng-moi. Akan tetapi, apakah kau tidak suka melihat aku menjadi lebih lihai lagi? Begitu lihai, sehingga kalau kelak kau menjadi isteriku, aku mampu melindungimu dari pada segala macam bahaya, dan kelak kalau kiia mempunyai anak, aku mampu menurunkan kepandaian kepada anak kita sehingga dia menjadi seorang pendekar nomor satu di dunia.”

Sian Eng adalah seorang gadis gunung yang sederhana pikirannya. Ucapan manis dan muluk-muluk ini sudah membuat semangatnya terbang melayang dengan nikmat sekali. Akan tetapi ia memandang Suma Boan dengan bingung.

“Bagaimana kau bisa menemukan tempatnya? Andai kata bisa... hiiihh, mengerikan sekali!” Gadis ini merasa takut teringat akan cerita kakaknya, Bu Sin.

“Apa yang mengerikan? Kau akan kuajak ke Nan-cao dan di sana, mengingat bahwa kau adalah adik tiri Suling Emas, tentu kau akan leluasa bergerak di antara orang-orang Beng-kauw. Nah, kau menjadi semacam penyelidik dan aku akan bersembunyi di luar kota raja. Setelah kau mendapat keterangan, kau sampaikan kepadaku dan kita mencari kitab-kitab itu bersama. Bukankah ini bagus? He, kau mau bilang apa?”

“Aku... aku sudah tahu tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”

“Apa...?” Saking kaget, bernafsu dan girang, Suma Boan menarik tangan Sian Eng sehingga gadis ini tersentak berdiri dan merasa lengannya sakit.

“Auuuhhhhh...” keluhnya. Suma Boan sadar dan cepat ia merangkul, mencium, Siang Eng meronta, melepaskan diri dan bersungut-sungut.

“Jangan sekali-kali kau berani lagi berbuat seperti ini sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau kau berani ulangi, aku akan membencimu!” Matanya berapi-api dan sikapnya menantang.

Suma Boan adalah searang pemuda yang bangor, yang sudah banyak pengalamannya, maka tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kaki gadis itu. “Maaf Eng-moi, maafkan aku yang tak kuasa mengendalikan diri saking besarnya cintaku. Mari kita duduk dan ceritakanlah tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”

Melihat pemuda bangsawan yang dikasihinya itu berlutut memeluk kakinya dan memohon dengan suara yang minta dikasihani, luluhlah hati gadis Sian Eng yang masih hijau. Cinta itu buta kata orang. Bukan cinta yang buta, melainkan orang yang sedang dimabuk cinta seperti buta. Buta dalam arti kata lengah kehilangan kewaspadaan. Pertimbangannya menjadi miring karena orang yang jatuh cinta selalu melihat kebaikan memancar ke luar dari orang yang dicinta, tiada tampak cacad celanya sehingga ada perumpamaan kasar yang berbunyi bahwa tahi pun, kalau tahi kekasih, harum baunya!

Demikian pula Sian Eng yang sudah tercengkeram asmara, segala gerak-gerik pemuda bangsawan ini selalu menarik, selalu menimbulkan kasihan. Melihat Suma Boan berlutut di depannya, ia lalu menyentuh pundak pemuda itu dan berkata halus. “Sudahlah, Koko. Aku tidak marah lagi, asal kau jangan sekasar tadi.”

Girang hati Suma Boan. Gadis ini merupakan korban yang mudah dan lunak baginya. Ia lalu menarik tangan Sian Eng dan diajak duduk di bawah pohon besar, diminta menceritakan tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui.

“Aku sendiri belum melihat tempat itu, hanya mendengar dari kakakku Bu Sin.” Ia lalu menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Bu Sin ketika bersama Liu Hwee melarikan diri dari tahanan It-gan Kai-ong melalui lorong rahasia dan bertemu dengan Tok-siauw-kui.

“Bagus!” Suma Boan berseru girang. “Kiranya Tok-siauw-kui selama belasan tahun menghilang bersembunyi di negaranya sendiri, di dalam lorong di bawah tanah? Tentu kitab-kitabnya berada di sana pula karena ketika ia keluar dan tewas, ia tidak membawa kitab-kitab itu. Di manakah jalan ke luar lorong itu menurut cerita kakakmu?”

“Dia bilang jalan keluar itu merupakan sebuah goa kecil yang tertutup alang-alang dan tidak tampak dari luar, di sebuah hutan yang berada dekat dengan tanah kuburan para pimpinan Beng-kauw. Entah apa namanya hutan kecil itu, akan tetapi Sin-ko melihat ada serumpun bambu kuning tumbuh di atas goa.”

Suma Boan mengerutkan keningnya, memutar otaknya, “Tok-siauw-kui muncul dari dalam gedung sembahyang, tentu lorong rahasia itu ada tembusannya ke ruangan itu. Kalau kita bisa menyelidik ke sana, kau sebagai adik Suling Emas, tentu mudah menyelidik tanpa dicurigai.”

Sian Eng tidak setuju. “Berbahaya sekali. Tempat itu merupakan tempat keramat bagi Beng-kauw, tentu terjaga kuat dan merupakan tempat terlarang bagi orang luar. Lebih aman kalau kita mencoba mencari hutan kecil dan berusaha mendapatkan goa yang atasnya ada serumpun bambu kuning itu.”

Suma Boan menarik tangan Sian Eng dan mereka berdiri. Wajah pemuda bangsawan ini berseri-seri. Ia gembira sekali karena kalau ia sampai bisa menemukan kitab-kitab itu, ia akan menjadi seorang jagoan yang hebat!

“Mari kekasihku, mari kita mencari tempat itu! Aku akan berterima kasih selama hidupku kepadamu kalau kita bisa mendapatkan tempat itu. Mari!”

Berlari-larilah mereka menuju ke tanah pekuburan keluarga Beng-kauw. Tentu saja Suma Boan yang cerdik sengaja mengambil jalan memutar agar jangan sampai ketahuan oleh orang-orang Beng-kauw. Ia maklum bahwa sekali mereka itu curiga, biar pun di situ ada Sian Eng, mereka tetap akan mencurigainya dan kalau sampai terjadi bentrok dengan mereka, biar pun ia tidak takut, namun usahanya ini tentu akan gagal. Ia sengaja memilih waktu malam untuk menyelundup masuk dan mencari hutan itu yang akhinya dapat mereka temukan. Sebuah hutan kecil di sebelah utara tanah pekuburan pimpinan Beng­kauw.

“Agaknya itulah tempatnya!” akhirnya Sian Eng berseru girang ketika mereka berdiri di depan serumpun alang-alang dan di atas segunduk gunung-gunungan kecil terdapat pohon-pohon bambu kuning yang indah.

Waktu itu menjelang pagi dan dengan hati-hati mereka menyingkap alang-alang itu dan... betapa girang hati Suma Boan ketika melihat bahwa di balik alang-alang tebal itu betul saja terdapat sebuah goa yang setinggi dua meter lebih, gelap dan menyeramkan seperti mulut seekor naga terbuka lebar.

Suma Boan seorang yang cerdik dan licik. Betapa pun besar nafsunya untuk mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui, namun ia tidak mau menghadapi resiko terlalu besar untuk memasuki goa terowongan yang menyeramkan dan belum diketahui benar keamanannya itu. Ia maklum bahwa goa itu merupakan tempat keramat bagi orang­orang Beng-kauw, siapa tahu di sebelah dalamnya terdapat tokoh-tokoh Beng-kauw yang lihai.

“Eng-moi, kekasihku, kau tentu suka membantu aku, bukan? Sebetulnya memang aku yang seharusnya memasuki goa ini dan mencari kitab-kitab itu. Akan tetapi kau tahu sendiri, kalau ada yang melihatku, tentu terjadi pertempuran mati­matian dan tidak ada harapan bagiku untuk keluar hidup-hidup. Oleh karena itu, demi cinta kasihmu kepadaku, aku minta dengan sangat sukalah kiranya kau yang mencari ke dalam dan aku menjaga di luar. Andai kata ada tokoh Beng-kauw melihatmu, bisa saja kau menggunakan alasan untuk mencari kakakmu Suling Emas, atau dengan dalih bahwa kakakmu Bu Sin pernah memasuki lorong rahasia ini dan karena kau ingin sekali menyaksikan sendiri, maka kau memasukinya.”

Dengan bujukan-bujukan yang manis dan alasan-alasan yang masuk akal, terutama dengan janji bahwa setelah mereka menemukan kitab itu, Suma Boan akan membawa Sian Eng pulang ke Cin-ling-san menemui Kui Lan Nikouw untuk memibicarakan urusan perjodohan mereka, akhirnya Sian Eng tak dapat membantah lagi.

“Baiklah, Suma-koko, akan tetapi apa pun yang akan terjadi dengan diriku di dalam terowongan ini, kau jangan meninggalkan tempat ini, dan andai kata aku berhasil kelak mendapatkan kitab-kitab itu, kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk mempelajari ilmunya.”

Suma Boan merangkul pundak Sian Eng sambil tersenyum lebar. “Tentu saja, manisku, masa kau tidak percaya kepadaku?”

Girang hati Sian Eng dan ia pun tersenyum, lalu mencabut pedangnya dan memasuki goa itu dengan hati-hati sekali. Setelah melihat gadis itu menghilang di dalam kegelapan goa itu Suma Boan lalu menutup dan merapikan kembali rumpun alang-alang dari sebelah dalam sehingga tidak akan tampak dari luar dan dia sendiri duduk menanti di mulut goa dengan hati berdebar-debar.

Sian Eng terus melangkah ke depan dengan hati-hati sekali karena di dalam terowongan goa itu amat gelap. Kakinya melangkah dengan pasangan kuda-kuda untuk menjaga segala kemungkinan, pedangnya siap di depan dada. Ia merasa agak lega bahwa lantai yang diinjaknya kering dan tidak licin, juga rata seakan-akan diratakan oleh manusia. Ia maju terus menyusuri terowongan yang agaknya tidak ada ujungnya itu.

Beberapa kali terowongan itu berbelok dan setelah ia berjalan selama satu jam, keadaan di depannya mulai terang. Tak lama kemudian Sian Eng dapat melihat keadaan sekelilingnya. Di kanan kiri terlihat dinding batu karang yang agak basah. Jalan terowongan yang dilaluinya selebar tiga meter, tingginya dua meter. Sekali lagi ia membelok ke kanan dan tibalah ia di sebuah ruangan selebar empat meter persegi yang cuacanya terang sekali.

Berbeda dengan terowongan tadi, ruangan ini atasnya terbuka merupakan sumur yang amat dalam dan cahaya matahari masuk melalui celah-celah di atas. Kiranya sumur yang dalamnya lebih dari lima puluh meter ini atasnya tertutup batu-batu besar dan celah-celah di antara batu-batu besar inilah yang diterobosi sinar matahari sehingga tidak hanya ruangan bawah tanah itu yang terang melainkan sebagian lorong juga mendapatkan cahaya.

Tiba-tiba terdengar suara bercicit dan sesosok bayangan hitam kecil menyambar dari depan ke arah kepala Sian Eng. Gadis ini kaget sekali, mengira bahwa bayangan itu adalah senjata rahasia karena anginnya halus dan cepat. Ia miringkan tubuhnya dan melompat ke tengah ruangan. Akan tetapi segera ternyata olehnya bahwa sebetulnya tak perlu ia mengelak, karena benda itu ternyata adalah seekor kelelawar yang tentu saja silau matanya ketika melalui ruangan terang itu dan hampir menabrak kepalanya. Betapa pun juga, karena tubuhnya sudah meloncat, Sian Eng turun ke tengah ruangan untuk dapat bersikap lebih hati-hati dan dapat memandang keadaan sekelilingnya dengan jelas. Dengan ringan kedua kakinya turun ke atas lantai.

Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai tepat di tengah-tengah ruangan itu, terdengar suara hiruk-pikuk di depan dan belakangnya. Sian Eng kaget sekali dan cepat ia memandang. Kiranya pada saat itu, jalan terowongan di depan dan belakang, mulai tertutup oleh batu besar yang bergerak keluar dari dalam dinding!

“Celaka...!” Sian Eng berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk menerobos keluar kembali dari ruangan itu.

Akan tetapi terlambat. Batu itu sudah hampir menutup seluruh jalan terowongan. Gadis ini segera memegang batu yang berbentuk seperti roda dan bergeser maju terus itu, mengerahkan sinkang untuk menahan atau mendorong kembali batu itu agar ia dapat menerobos keluar. Akan tetapi kagetlah Sian Eng ketika mendapat kenyataan bahwa batu itu luar biasa beratnya, tak kuasa ia menahan sehingga batu itu terus bergerak sampai terowongan itu tertutup seluruhnya.

Sian Eng membalikkan tubuh dan meloncat ke sebelah seberang, juga dengan maksud menahan batu yang di sebelah sana masih belum menutup lorong itu seluruhnya. Akan tetapi kembali ia terlambat dan tidak kuasa mendorong kembali batu penutup yang dapat bergerak secara aneh itu.

Sian Eng kembali meloncat ke tengah ruangan. Ia telah terkurung kini. Kanan kirinya hanya dinding kasar batu karang yang agak basah, bawahnya lantai batu karang pula, di depan dan belakang kini tertutup batu besar yang menutup lorong dan demikian beratnya sehingga ia tidak mampu menggerakkannya. Di atasnya, lima puluh meter tingginya, tertutup batu-batu besar pula dan hanya celah-celahnya yang cukup lebar saja dapat diterobos sinar matahari.

Sian Eng bukan seorang gadis penakut, akan tetapi pada saat itu ia merasa ngeri juga. Kembali ia mendekati batu­batu yang menutup lorong itu, bergantian ia memeriksa dengan teliti kalau-kalau ada cara untuk membuka sedikit sehingga terdapat lubang untuk diterobosnya. Memang betul di antara dua batu penutup dan dinding karang terdapat celah-celah yang cukup lebar-lebar untuk dimasuki dua buah lengannya, karena di antara dinding dan batu itu terdapat bagian-bagian yang tidak rata, akan tetapi tak mungkin dipergunakan untuk meloloskan diri karena terlampau kecil.

Sian Eng cepat mencabut pedangnya dan membacok bagian yang ada celahnya dengan maksud berusaha memperlebar celah itu. Akan tetapi pedangnya membalik dan tidak ada sekeping pun batu dapat dipecahkan pedangnya! Ketika ia memeriksa, ternyata batu hitam itu luar biasa kerasnya, seperti baja! Setengah hari lebih Sian Eng berusaha mengorek dan membacoki batu. Namun sia-sia. Akhirnya ia menjadi lelah dan menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan yang mulai gelap, telapak tangannya berdarah dan perih, bahkan pedangnya menjadi rusak-rusak ujungnya.

Sian Eng menangis! Kemudian ia ber­teriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama Suma Boan yang ia tahu menanti di luar goa.

“Suma-koko! Suma-koko...! Ke sinilah dan tolong aku...!”

Ia menjerit-jerit terus sampai ruangan itu menjadi gelap pekat karena matahari sudah lenyap dari angkasa, dan ia berhenti setelah suaranya menjadi serak dan habis. Dengan lelah dan lemah lahir batin, Sian Eng kini duduk bersandar dinding. Mulailah ia menenteramkan hatinya dan memperhatikan sekeliling yang kini menjadi gelap sekali itu.

Setelah dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali kelelawar berseliweran di dalam ruangan itu. Mula­mula ia merasa heran, dari mana datangnya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia teringat bahwa di antara batu-batu penutup lorong itu terdapat lubang-lubang yang cukup lebar untuk diterobosi kelelawar-kelelawar itu. Pada saat itu, alangkah inginnya dia menjadi seekor kelelawar!

Semalam suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap pekat menghitam membuat Sian Eng merasa seperti menjadi buta, merupakan saat-saat yang amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan dan tersiksa oleh para kelelawar yang makin memenuhi ruangan itu dan menyambarnya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa seram dan ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan jalan ke luar sama sekali. Andai kata Suma Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda itu dapat membebaskannya dari kurungan batu­batu yang kokoh kuat ini? Sian Eng tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering.

Akhirnya, menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi ruangan itu, meraba-raba sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras otaknya.

“Aku harus hidup! Aku harus hidup!” terdengar ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit, kemudian ketika ada angin menyambar, ia cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu, namun sia-sia.

Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam gelap, binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu yang merupakan indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka sehingga sambaran tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian tiba-tiba gadis ini merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa kulit tengkuknya sakit sekali.

“Kurang ajar!” bentaknya.

Cepat ia mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit sudah terbang pergi lagi. Sian Eng meraba bekas gigitan, berdarah sedikit. Akan tetapi agaknya bau darah ini membuat binatang-binatang kecil itu menjadi ganas dan liar, karena secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari segala jurusan.

Sian Eng menggerak-gerakkan kedua tangannya, menampar ke sana-sini, mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan beberapa ekor kelelawar, akan tetapi gigitan-gigitan itu mengenai banyak bagian tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki. Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini terguling roboh ketika racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika ia roboh, binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya, menghisap darahnya!

Suma Boan yang menunggu di luar goa tanpa mengetahui keadaan gadis itu menjadi amat gelisah. Sudah tiga hari tiga malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul ke luar! Pemuda ini tetap bersembunyi di mulut goa, di belakang rumpun alang-alang karena ia khawatir kalau-kalau terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di waktu malam ia meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapa pun juga ia percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti.

Akan tetapi setelah lewat dua pekan masih juga belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa gelisah sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak mencinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka karena kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena memikirkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng tertangkap? Ataukah gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya itulah yang ia pikirkan.

Karena khawatir kalau-kalau usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari ke enam belas, pagi-pagi setelah matahari mulai bersinar, Suma Boan memasuki goa itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia melangkah maju dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia sampai di lorong yang membawanya ke ruangan yang kini tertutup batu. Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki lorong ini, ada cahaya terang sinar matahari dari ruangan, kalau sekarang, karena yang menyorot dari celah-celah batu penutup, maka keadaan hanya remang-remang saja.

Betapa kaget dan bingungnya hati Suma Boan ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup lorong. Jalan itu menjadi buntu! Dicobanya untuk mendorong batu itu, namun sia-sia belaka. Ia merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau celah-celah antara batu dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat lantai batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya matahari sudah memasuki sumur itu.

“Eng-moi!” Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema suaranya yang terdengar menggereng seperti suara dari alam lain.

“Sian Eng! Di mana kau?” Kembali ia berseru keras. Tetap sunyi.

Ah, tentu Sian Eng tidak berada di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia sendiri tidak mampu mendorong batu ini, apa lagi Sian Eng? Tentu, seperti juga dia sendiri gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini dan menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan di lorong bawah tanah ini, pikirnya. Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan hati-hati, meraba-raba dinding batu.

Ia kembali dan mencari jalan simpangan. Siapa tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan ini. Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena lebarnya hanya setengah meter saja.

Lorong kecil ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama Sian Eng. Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah ruangan lebar dan Suma Boan berdiri terpaku saking kaget dan seram. Lorong itu diterangi sinar kehijauan yang entah datang dari mana. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan tetapi ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seramnya.

Ruangan itu lebarnya kurang lebih dua tombak, panjangnya tiga tombak. Di tiap ujung berdiri sebuah rangka manusia yang lengkap dengan rahang terbuka seakan-akan hendak berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya, empat buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang, sebuah memegang golok, sebuah memegang joan-pian (semacam cambuk baja), dan yang sebuah lagi memegang tombak!

Suma Boan bukanlah seorang penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di antara Enam Iblis. Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakutkan dari pada empat buah rangka manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan dari empat buah rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak lagi? Pula, melihat keadaan ruangan yang aneh dan menyeramkan ini, agaknya di situlah disimpannya kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui! Oleh karena itu, dengan tabah hati Suma Boan melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan.

Tetapi alangkah kagetnya ketika ia sampai di tengah ruangan. Tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak menyerangnya dari empat penjuru! Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia memutar pedang menangkis. Ia memandang rendah. Jangankan hanya empat buah rangka mati yang entah bagaimana sekarang dapat bergerak menyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau hanya baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya bahwa sekali memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat membabat putus senjata-senjata dan tulang-tulang lengan mereka.

Terkejutlah Suma Boan ketika melihat betapa gerakan serangan mereka itu hebat dan aneh sekali. Senjata mereka tidak bergerak biasa, melainkan dengan gerakan tergetar, ada yang menyerong dan ada yang berbentuk lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat yang amat tinggi dan aneh! Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil menangkis sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat mencegah serampangan gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada punggungnya! Suma Boan merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat tertahankan lagi ia terguling roboh di atas lantai!

Kiranya empat buah rangka itu hanya satu kali saja menyerang karena kini secara otomatis mereka bergerak mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu di sudut-sudut ruangan itu. Kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan yang langsung merayap menghampiri Suma Boan.

Sebagai seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular kepala putih yang amat berbisa, yang gigitannya sekali saja dapat mendatangkan maut! Dan ia dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh alat rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka­rangka itu kalau ia menginjak lantai ruangan, maka jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari ruangan ini hanya dengan jalan merangkak perlahan-lahan.

Akan tetapi kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular itu akan menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang membuat gerakannya kurang cepat. Kalau ia menggunakan pedangnya melawan ular-ular itu, keselamatannya belum tentu terjamin. Pemuda bangsawan yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu menggunakan pedangnya, merobek dan memotong sebagian daging betis kirinya.

Karena pedangnya amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri ketika ia memotong betisnya. Gumpalan daging betisnya ia lemparkan ke tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma Boan mempergunakan kesempatan ini untuk merangkak pergi, dan begitu ia tiba di lorong, lalu ia menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.

Baru sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang dipotong daging betisnya. Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan membalut luka di betisnya setelah ia beri obat bubuk yang memang tersedia di saku bajunya. Kemudian ia berjalan lagi sambil berteriak-teriak memanggil Sian Eng.

Mulai gelisah hati Suma Boan. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan besar tentu tak mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong kecil ini pun takkan mungkin karena tentu akan bertemu ruangan rahasia yang amat berbahaya itu. Lalu ke mana perginya Sian Eng? Jangan-jangan gadis itu telah tertawan oleh orang-orang Beng-kauw, pikirnya. Kalau tewas tentu ia dapat melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor ular tadi menghabiskan seluruh badan mayat seseorang apa lagi tiga ekor ular tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan tidak mendapat mangsa.

Dengan tubuh sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan napasnya sesak. Cepat ia berhenti di tempat gelap dan mengumpulkan napas, mengerahkan sinkang-nya. Sebagai murid orang sakti, tahulah ia bahwa ia telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai mempengaruhinya! Kaget bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan pandang matanya kabur.

Hatinya lega ketika ia melihat sinar terang dari luar goa. Ia telah tiba di mulut goa dan tiba-tiba tampak olehnya bayangan seorang wanita berkelebat di depan goa itu.

“Moi-moi...! Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga...!” teriaknya girang sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar ke luar. Pandang matanya agak berkunang dan kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang berdiri di luar alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa lagi kalau bukan Sian Eng?

“Kekasihku...!”

“Tutup mulutmu yang kotor!” tiba-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras menyambar muka Suma Boan. Biar pun kepalanya pening, namun Suma Boan belum kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan bahkan berusaha mencengkeram lengan tangan gadis itu yang juga dapat menghindarkan diri.

“Moi-moi... kau hendak mengkhianatiku? Serahkan kitab-kitab itu, di mana kau sembunyikan?” bentak Suma Boan sambil menubruk lagi hendak memeluk gadis itu.

Dengan teriakan tertahan gadis itu mengelak dan menerjang Suma Boan dengan obor di tangannya. Kiranya cahaya terang yang kelihatan dari dalam goa oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah mulai gelap! Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan tangan melakukan pukulan jarak jauh dan... padamlah obor itu. Keadaan sudah menjelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca remang-remang.

Tampak bayangan lain berkelebat datang, “Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?” terdengar bayangan yang datang ini bertanya.

“Susiok (Paman Guru), dia ini Suma Boan si jahat itu. Dia baru keluar dari goa rahasia! Mari tangkap! Dia kelihatan seperti gila!” jawab Liu Hwee, gadis itu.

Sementara itu, ketika Suma Boan mendengar percakapan pendek ini, sadarlah ia bahwa ia telah keliru sangka. Gadis itu sama sekali bukanlah Sian Eng seperti yang dikiranya, melainkan Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, dan yang baru datang adalah Kauw Bian Cinjin, orang kedua dari Beng-kauw! Tanpa banyak cakap lagi ia lalu lari tunggang langgang secepat kedua kakinya bergerak. Liu Hwee juga melompat mengejar dan terjadilah kejar-mengejar di malam buta.

Kauw Bian Cinjin juga ikut mengejar, akan tetapi hanya sebentar ia kembali lagi. Ia pikir bahwa seorang lawan macam Suma Boan cukup ditandingi oleh Liu Hwee. Ia khawatir kalau-kalau kedatangan Suma Boan itu hanya pancingan belaka agar ia ikut pula mengejar, sedangkan siapa tahu kalau-kalau guru pemuda itu, It-gan Kai-ong yang akan datang beraksi! Karena itu Kauw Bian Cinjin tidak melanjutkan pengejarannya, melainkan melakukan perondaan di sekitar tanah kuburan Beng-kauw yang berada di atas lorong-lorong rahasia.

Demikian, seperti kita ketahui di bagian depan cerita ini, Kauw Bian Cin­jin bertemu dengan Suling Emas dan Lin Lin yang berada di depan kuburan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Kemudian Kauw Bian Cinjin minta bantuan Suling Emas untuk mencari-cari Liu Hwee yang belum juga tampak kembali. Suling Emas mengejar ke timur sedangkan Kauw Bian Cinjin mengejar ke utara.

********************


SULING EMAS dan Lin Lin mengejar ke timur dengan cepat. Tanpa disadari sendiri oleh gadis itu, kini ia dapat mengimbangi kecepatan Suling Emas, kemajuan yang luar biasa semenjak ia mempelajari ilmu peninggalan Pat-jiu Sin­ong, terutama sekali petunjuk-petunjuk cara bersemedhi dan mengatur napas. Gadis ini tidak menyadari hal itu, akan tetapi Suling Emas dapat menduganya karena dahulu gerakan Lin Lin tidaklah sehebat ini. Diam-diam pendekar ini menjadi amat khawatir.

Ilmu ciptaan Pat­jiu Sin-ong ini hebat sekali, baru satu jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat) yang pernah dipergunakan Lin Lin ketika ia mencobanya itu saja sudah luar biasa sekali saktinya. Kalau sudah terlatih matang, agaknya gadis ini akan menjadi salah satu orang sakti di dunia persilatan. Ia hanya khawatir kalau-kalau kepandaian sakti itu pada diri seorang gadis seperti Lin Lin akan menimbulkan keributan kelak. Ia tahu bahwa sesungguhnya kepandaian sebagian anugerah Thian (Tuhan) setelah jatuh pada diri manusia, menimbulkan dua macam hal bertentangan, yaitu baik dan buruk, tergantung dari pada si manusia itu sendiri. Dan manusia macam Lin Lin adalah manusia yang amat aneh, sukar sekali dimengerti.

Sampai sepekan mereka mengejar, belum juga mereka mendapatkan jejak Suma Boan mau pun Liu Hwee. Pada hari ke tujuh mereka sudah tiba di tapal batas wilayah Kerajaan Wu-yue dan berhentilah Suling Emas.

“Tiada guna,” katanya ketika mereka mengaso pada tengah hari yang panas itu di bawah pohon dalam hutan. “Tidak ada jejak mereka ke sini, agaknya bukan ke timur mereka menuju. Pula Kauw Bian Cinjin sudah melakukan pengejaran, tentu akan dapat menyusul dan menyelamatkan puteri Beng-kauw. Andai kata tidak dapat menyusulnya, Suma Boan akan bisa berbuat apakah? Kepandaiannya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kesombongannya.”

“Apakah kepandaian Liu Hwee itu hebat?” Lin Lin bertanya sambil memandang wajah tampan di sebelah kanannya. Kembali rasa cemburu menggerogoti hatinya karena ia menyaksikan sendiri betapa akrab hubungan antara Suling Emas dan Liu Hwee.

“Puteri tunggal ketua Beng-kauw tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Selain berilmu tinggi, juga pandangannya luas dan ia selalu hati-hati dan waspada,” Suling Emas memuji-muji sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Seketika bibir Lin Lin cemberut. “Sekali waktu aku ingin menandinginya, coba-coba siapa yang lebih lihai antara dia dan aku!”

Suling Emas yang tadinya duduk seperti melamun menjadi kaget, dan cepat menoleh memandang wajah gadis itu yang masih cemberut. Mulut dan mata gadis itu jelas membayangkan apa yang sedang bergejolak di dalam dada Lin Lin. Suling Emas tidak jadi menjawab, hatinya berdebar dan ia menarik napas panjang. Melihat wajah yang begitu mirip dengan wajah kekasihnya, Suma Ceng, hampir saja pertahanan hatinya bobol.

Bagaimana ia tidak dapat mencintai gadis yang wajahnya begini mirip Suma Ceng, yang wataknya begini aneh dan lincah jenaka, yang sudah pasti sekali akan mendatangkan cahaya bahagia di ruang dadanya yang gelap muram? Bagaimana takkan terobati luka-luka di hatinya, luka yang diakibatkan kegagalan cinta kasih, apa bila ia menerima uluran hati gadis ini? Namun tidak! Tak mungkin ia menerima cinta kasih Lin Lin. Ia tahu betul bahwa gadis ini mencintanya, semenjak... semenjak peristiwa di dalam gelap di malam hari dalam kamar perpustakaan istana dulu!

Semenjak ia memeluk dan mencium gadis itu tanpa disengaja karena mengira Lin Lin adalah Suma Ceng kekasihnya. Akan tetapi betapa mungkin ia menerima uluran cinta kasih itu betapa pun inginnya? Gadis ini adalah adik angkatnya. Hal pertama ini sungguh pun bukan merupakan penghalang besar, namun sudah merupakan penghalang. Kedua, gadis ini masih amat muda kalau dibandingkan dengan dia. Usia Lin Lin baru delapan belas tahun, sedangkan dia sudah berusia tiga puluh tahun! Tidak, ia harus tahu diri!

“He, mengapa kau diam saja? Bagaimana pendapatmu?” Tiba-tiba Lin Lin menepuk lengan Suling Emas yang menjadi kaget dan sadar dari lamunannya.

“Apa? Pendapat apa?” tanyanya tersenyum.

“Aku bilang tadi, ingin aku menandingi Liu Hwee untuk menguji kepandaiannya!”

“Hemmm, ada-ada saja kau ini. Tidak ada alasan sedikit pun juga bagimu untuk mencari perkara dengan puteri Beng­kauwcu (ketua Beng-kauw).”

“Siapa bilang tidak ada?” Sepasang mata yang jeli dan indah itu bersinar-sinar. “Banyak sekali alasannya!”

“Hemmm, apakah kesalahannya? Apa alasannya?” Suling Emas membantah, mengerutkan kening.

“Banyak, terutama sekali karena aku tidak mau kalah olehnya!”

Suling Emas melongo. Dia seorang jagoan yang sudah banyak makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak mengenal watak-watak orang aneh seperti iblis-iblis Thian-te Liok-koai. Akan tetapi sesungguhnya belum banyak pengalamannya dengan wanita, karena semenjak hatinya terluka oleh Suma Ceng yang dipaksa bercerai dari padanya dan menikah dengan orang lain, seakan-akan merupakan pantangan bagi Suling Emas untuk mendekati wanita. Karena itu ia sama sekali tidak mengenal watak-watak wanita dan tidak dapat menyelami lubuk hati Lin Lin. Akan tetapi melihat pandang mata yang begitu menantang dari gadis ini, pandang mata yang mengandung sinar kemesraan seperti kalau sepasang mata Suma Ceng memandangnya, Suling Emas segera menundukkan muka.

“Sudahlah,” katanya kemudian setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar tidak karuan. “Mari kita bicarakan urusan lain yang lebih penting. Lin-moi, kurasa di sini kita harus berpisah. Kulihat kau tidak rela menjadi murid Pat-jiu Sin-ong, hal ini pun tak dapat kupaksa. Akan tetapi pesanku, kau tidak boleh mempergunakan jurus-jurus ilmu yang kau dapatkan dari dalam tongkat Beng-kauw, karena kalau hal itu diketahui tokoh-tokoh Beng-kauw, kau pasti akan dimusuhi, dianggap sebagai pencuri ilmu peninggalan pendiri Beng-kauw.”

Akan tetapi Lin Lin sama sekali tidak memperhatikan atau pedulikan kalimat terakhir. Matanya terbelalak dan wajahnya berubah, karena kata-kata ‘berpisah’ itulah yang menggores hatinya.

“Berpisah?” ia tergagap. “Kenapa...?”

Suling Emas tersenyum duka. Kembali sikap gadis yang sewajarnya ini jelas menunjukkan bahwa Lin Lin tidak ingin berpisah dari padanya. Sama dengan Suma Ceng. Hanya bedanya, kalau Suma Ceng bersikap lemah dan menerima keadaan, sebaliknya gadis ini bersikap keras, agaknya takkan mau berpisah kalau tidak ia sendiri yang menghendaki.

“Tentu saja kita harus berpisah, karena jalan kita memang tidak sama. Kau kembalilah ke Cin-ling-san menyusul kakakmu Bu Sin. Biarkan aku sendiri mencari Sian Eng. Setelah dapat bertemu, tentu dia pun akan kusuruh menyusul ke Cin-ling-san.”

“Aku ikut! Aku juga hendak mencari Enci Sian Eng sampai dapat. Kita mencari bersama, bukankah lebih baik? Aku tidak akan menyusahkanmu, biar... biarlah aku mencari makan minumku sendiri!”

Mau tak mau Suling Emas tertawa. Benar-benar gadis ini kadang-kadang mempunyai pendapat dan jalan pikiran seperti kanak-kanak.

“Bukan begitu, Lin Lin. Banyak sekali urusan besar harus kuhadapi. Bahkan pertandingan puncak antara Thian-te Liok-koai di Thai-san sudah dekat waktunya, aku pun harus hadir di sana. Selain itu, kau melihat sendiri bahwa banyak orang kang-ouw memusuhi aku. Setiap langkahku terancam bahaya....”

“Aku tidak takut! Kalau mereka mengganggumu, aku akan hajar mereka! Apa kau kira aku ini seorang manusia yang tiada gunanya? Aku akan membantumu, juga di Thai-san!”

“Wah, kau mau menandingi iblis-iblis seperti Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong?”

“Aku tidak takut terhadap mereka. Aku akan memperdalam ilmu yang baru kudapatkan.”

“Hemmm, baru saja kupesan supaya kau tidak menggunakan ilmu peninggalan....”

“Kan mereka bukan orang Beng-kauw? Takut apa menggunakan ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong? Malah kalau aku dapat mengalahkan mereka dengan ilmu ini, bukankah berarti aku mengangkat nama Beng-kauw dan terutama nama pencipta ilmu ini? Roh Pat-jiu Sin-ong tentu akan tertawa melihat betapa ilmunya di tangan seorang gadis seperti aku dapat mengalahkan iblis-iblis jahat!”

Suling Emas merasa kalah berdebat. “Tak baik jadinya kalau ikut denganku, Lin Lin. Tidak bisa, kita harus berpisah. Atau... kau boleh menanti di Nan-cao, mari kuantar sampai di Nan-cao. Kau tinggal dulu di sana, menanti sampai aku dapat menemukan Sian Eng, baru kau dan enci-mu pulang bersama.”

“Tidak! Sekali lagi ti....”

Tiba-tiba tangan Suling Emas bergerak dan tahu-tahu mulut Lin Lin sudah didekapnya dengan telapak tangannya. Lin Lin memandang dengan mata terbelalak kaget dan heran, akan tetapi baru ia mengerti ketika Suling Emas menaruh telunjuknya di depan mulut dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara.

Kini baru Lin Lin melihat bahwa jauh dari depan tampak bayangan manusia berkelebat cepat sekali dan sebentar saja sudah lewat. Sukar dilihat siapa orang itu, hanya jelas tampak pakaiannya, pakaian wanita, juga bentuk tubuhnya ramping. Akan tetapi mukanya tidak tampak karena ketika lari menghadapkan muka ke sebelah sana. Yang mengagumkan adalah kecepatan larinya, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah.

“Seperti Enci Sian Eng...,” bisik Lin Lin terheran-heran.

Memang bentuk tubuh wanita itu seperti Sian Eng, akan tetapi pakaiannya bukan pakaian seorang ahli silat yang serba ringkas, melainkan pakaian seorang wanita dusun atau petani yang sederhana. Juga wanita itu rambutnya panjang terurai. Sungguh pun tidak sepanjang rambut Siang-mou Sin-ni, namun terurai sampai ke lutut belakang.

“Bukan, mari kita ikuti dia, mencurigakan sekali...!” kata Suling Emas yang sudah melompat dan mengejar.

Lin Lin terpaksa mengejar juga. Dengan sekuat tenaga Lin Lin mengerahkan ginkang dan berusaha lari mengimbangi kecepatan Suling Emas. Akan tetapi kali ini ia tertinggal karena kini Suling Emas betul-betul berlari cepat. Baru ia tahu bahwa kepandaiannya dalam berlari cepat masih kalah sedikitnya dua tingkat oleh pendekar yang dikasihinya itu. Sesungguhnya tidak demikian. Hanya karena belum matang dalam latihan ilmunya yang baru, maka Lin Lin masih kalah jauh. Namun sudah banyak maju kalau dibandingkan dengan sebelum ia mendapatkan ilmu itu.

Tiba-tiba Suling Emas berhenti ketika melihat Lin Lin tertinggal jauh. Ketika gadis itu sudah datang dekat, ia berkata. “Hebat ilmu lari cepat orang itu. Lin-moi, kau pegang tanganku!”

Tak usah menanti diperintah dua kali, Lin Lin menyambar tangan kiri Suling Emas. Kalau boleh ia tak ingin melepas tangan itu untuk selamanya! Akan tetapi tak sempat ia bermimpi muluk karena segera tubuhnya tersentak keras ke depan dan di lain saat ia terpaksa harus mengerahkan ginkang-nya lagi karena Suling Emas sudah membawanya lari seperti terbang cepatnya!

Namun, bayangan wanita di depan itu tetap tak dapat tersusul. Hal ini saja membuktikan betapa ilmu lari cepat wanita di depan itu betul-betul sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Lin Lin merasa kagum sekali dan ia pun ingin segera melihat siapa sebenarnya wanita itu.

Wanita di depan itu lari menuju ke timur. Setelah tiba di daerah pegunungan yang tandus dan sunyi, mulailah ia mengurangi kecepatannya dan akhirnya ia hanya berjalan kaki. Suling Emas mengajak Lin Lin terus mengikutinya dari belakang.

“Kenapa tidak susul dia? Aku ingin sekali melihat mukanya, ingin melihat siapa dia,” bisik Lin Lin.

“Sssttt, apa perlunya? Aku merasa curiga. Ilmu larinya bukan main, tentu dia seorang sakti. Aku ingin tahu dia hendak ke mana dan hendak berbuat apa. Serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi lupa lagi...,” kata Suling Emas.

Akan tetapi wanita itu benar-benar kuat sekali. Tak pernah ia berhenti berjalan sampai senja berganti malam! Lin Lin sudah merasa lelah sekali.

“Aku... aku tidak kuat lagi berjalan...” ia mengeluh. “Kakiku serasa hendak copot sambungan tulangnya. Mau apa sih mengikuti orang gila? Suling Emas, aku mogok, tidak kuat lagi...” Lin Lin tiba-tiba menjatuhkan diri duduk di atas tanah.

“Mari kupondong!” Suling Emas yang betul-betul tertarik oleh wanita di depan itu yang luar biasa ilmu lari cepatnya, tanpa ragu-ragu membungkuk dan memondong tubuh Lin Lin.

Gadis ini segera merangkul lehernya dan merebahkan kepala di atas pundaknya dengan hati penuh bahagia dan manja. Suling Emas hanya menghela napas dan melanjutkan perjalanan mengikuti wanita itu. Ia benar-benar merasa kasihan kepada Lin Lin, gadis aneh yang kadang-kadang menyebut ‘kanda’, ada kalanya menyebut ‘Suling Emas’ begitu saja kepadanya. Gadis yang bukan sedarah daging dengannya, lain ayah ibu, gadis berdarah bangsawan, puteri bangsa Khitan yang gagah perkasa.

Malam itu bulan muncul sepenuhnya. Bulan purnama. Lin Lin agaknya sudah lupa akan wanita yang mereka ikuti. Seluruh perasaannya tenggelam ke dalam laut bahagia dan mesra. Dengan bulan purnama di angkasa, suasana menjadi romantis sekali. Tidak salah kiranya orang tua yang mengatakan bahwa sinar bulan purnama mendorong dan merangsang hati muda ke arah kemesraan dan memperkuat pengaruh asmara.

Lin Lin masih merangkul leher Suling Emas, kepalanya rebah miring di atas pundak pendekar itu dan matanya ketap-ketip menatap wajah yang mencuri hatinya itu penuh cinta kasih. Sudah lebih tiga jam Suling Emas memondongnya. Sudah banyak berkurang kelelahan Lin Lin, namun gadis itu tidak sadar akan hal ini. Dirasanya baru sebentar ia dipondong!

“Koko...,” bisiknya di dekat telinga Suling Emas.

“Hemmm...?” Suling Emas menjawab acuh tak acuh karena perhatiannya tertuju ke depan. Wanita itu mendaki sebuah bukit kecil di mana terdapat tanah kuburan yang penuh dengan gundukan-gundukan tanah dan batu nisan!

“... ingin sekali aku selamanya berada di dalam pondonganmu...”

“Huh, kau bukan bayi! Sudah terlalu lama kau kupondong. Turun!” Suling Emas menurunkan Lin Lin dan baiknya sinar bulan berwarna kemerahan sehingga menyembunyikan muka pendekar ini yang menjadi merah sekali.

“Koko....”

“Hushhhhh... lihat itu....” Suling Emas menuding ke depan.

Teringatlah Lin Lin akan wanita yang tadi sudah ia lupakan sama sekali. Di dalam pondongan Suling Emas di malam penuh sinar bulan tadi, ia sudah lupa segala, yang teringat hanya dia dan Suling Emas, dunia ini hanya ada mereka berdua, ada urusan cinta kasih mereka, yang lain-lain tidak ada lagi! Sekarang ia teringat dan cepat memandang. Kagetlah hati Lin Lin ketika mendapat kenyataan bahwa mereka telah berada di daerah kuburan, bahkan Suling Emas dan dia sudah mengintai dari balik sebuah batu nisan, di bawah sebatang pohon kecil.

Dengan lenggang yang menunjukkan bahwa dia seorang yang masih muda dan berperawakan bagus sekali, wanita itu berjalan menghampiri sebuah makam, lalu menjatuhkan diri berlutut memeluk batu nisan sambil menangis tersedu-sedu!

“Ayah..., Ayah yang baik... ampunilah anakmu...,” ratap tangis wanita itu.

Sejenak Lin Lin tercengang, kemudian tak terasa lagi air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Teringatlah ia akan dirinya sendiri yang sudah yatim piatu, tiada ayah bunda lagi, bahkan dibandingkan dengan wanita di sana itu, dia lebih sengsara. Setidaknya wanita itu dapat menangisi kuburan ayahnya, sedangkan dia, di mana kuburan ayah bundanya saja tidak tahu!

Timbul rasa simpati dan kasihan kepada wanita yang berlutut dan tersedu-sedu itu, merasa senasib dan ia ingin mendekati dan menghiburnya. Perasaan ini menggerakkan kakinya dan Lin Lin sudah bangkit berdiri hendak melangkah maju. Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas memegang lengannya dan menahannya. Pendekar ini memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut. Lin Lin sadar bahwa mereka sedang mengintai, maka ia membatalkan niatnya dan menghapus air mata dari pipi, lalu mengintai dan mendengarkan.

“Ayah... ampunkan aku, Ayah. Anakmu telah gagal membalaskan dendam untukmu... dia terlalu sakti, bukan lawanku. Banyak tokoh kang-ouw bersamaku mengeroyoknya, tapi tanpa hasil. Ayah... tak mungkin aku dapat membalaskan sakit hatimu, tak mungkin aku dapat mengalahkan dia, pula... ampunkan aku, Ayah... anakmu ini... yang hina dina... tidak akan tega membunuhnya. Mungkin dapat aku memperdalam ilmu untuk mengalahkannya, akan tetapi... aku... aku cinta padanya. Aku mencinta Suling Emas putera musuh besarmu...,” kembali gadis itu tersedu menangis, kemudian tiba-tiba bangkit berdiri mengembangkan kedua lengannya berdongak memandang bulan purnama dan bersumpah.

“Ayah, semoga rohmu mendengarkan sumpahku, disaksikan oleh Dewa Bulan! Biar pun aku tidak akan dapat membunuh Suling Emas, namun aku bersumpah untuk membunuh semua isterinya kalau dia beristeri, dan semua anaknya kalau dia mempunyai anak!”

Sampai pucat wajah Suling Emas ketika ia mengenal suara dan wanita ini yang bukan lain adalah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian, puteri tunggal almarhum Hui-kiam-eng Tan Hui yang tewas di tangan ibunya! Bukan main hebatnya sumpah ini sehingga biar pun hati Suling Emas sekuat baja, namun ia menjadi pucat dan gemetar juga karena maklum bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya.

Sementara itu, Lin Lin tadinya juga pucat sekali mendengar ini, akan tetapi timbul kemarahannya mendengar pengakuan wanita itu yang mencinta Suling Emas dan bersumpah untuk membunuh anak dan isteri kekasihnya ini, membuat ia tak kuat menahan lagi. Dengan seruan yang merupakan lengking tinggi, hasil yang tak disadarinya dari pada ilmunya yang baru, ia telah melompat ke depan dan selagi wanita itu membalikkan tubuh dengan kaget dan heran, Lin Lin secara otomatis sudah melancarkan serangan berdasarkan ilmunya yang baru. Kedua kepalan tangannya yang kecil halus saling bertumbukan, namun tepat menghantam tubuh wanita itu secara berbareng.

Wanita itu menjerit dan terpental ke belakang, menabrak batu nisan ayahnya yang menjadi pecah seketika! Lin Lin sendiri berdiri terbelalak keheranan karena tidak mengira bahwa pukulannya akan sehebat ini, apa lagi kalau diingat betapa wanita ini memiliki kesaktian, terbukti dari ilmu larinya yang luar biasa.

“Lin-moi, jangan...!” Suling Emas berseru namun terlambat.

Andai kata Suling Emas tidak demikian terpengaruh oleh sumpah Tan Lian, agaknya pendekar sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia kini berkelebat dan tahu-tahu sudah membungkuk dan berlutut di depan tubuh Tan Lian yang rebah dengan mata meram dan muka pucat, mulut mengalirkan darah. Cepat Suling Emas memeriksa dan ia mengeluarkan seruan kaget. Ia sendiri kaget bukan main melihat akibat dari pada pukulan Lin Lin, karena setelah memeriksa ia mengerti bahwa keadaan Tan Lian parah sekali dan nyawa wanita ini takkan dapat ditolong lagi.

Pukulan itu telah meracuni darah dan meretakkan tulang-tulang! Kiranya tanpa disadarinya sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu pukulan dahsyat dari Pat-jiu Sin-ong yang disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut (Racuni Darah Patahkan Tulang)! Suling Emas maklum bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang hebat dan satu-satunya jalan untuk menolong Tan Lian hanya membawanya secepat mungkin kepada tabib yang sakti, karena tabib-tabib biasa saja takkan mungkin mampu menolongnya.

“Bocah lancang!” bentaknya kepada Lin Lin. “Mengapa memukul orang tak berdosa?” Setelah berkata demikian, Suling Emas menyambar tubuh Tan Lian dan dibawanya lari berkelebat lenyap dari tempat itu.

“Koko... tunggu...!” Lin Lin berseru keras sambil mengejar, akan tetapi Suling Emas tidak menjawab dan sudah tidak tampak lagi.

Lin Lin memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke mari, akhirnya ia menjatuhkan diri di pinggir jalan dengan napas terengah-engah dan air mata membasahi pipi.

“Dia marah kepadaku...,” pikirnya. “Mengapa marah? Perempuan itu musuhnya. Ah, aku harus mencarinya, dia harus menjelaskan sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san, aku pun akan ke sana, biar kunanti dia di sana.” Pikiran ini menguatkan hati Lin Lin dan menghilangkan kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat itu.

Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang jauh dan sukar, lagi amat berbahaya pada masa itu. Akan tetapi Lin Lin melakukan perjalanan dengan tekun, sabar, dan penuh keberanian. Apa lagi setelah ia dengan satu kali pukulan mampu merobohkan seorang yang lihai, seperti wanita di kuburan itu, timbul kepercayaan besar pada dirinya sendiri, kepercayaan bahwa ia mampu menghadapi siapa pun juga karena pada dirinya terdapat sebuah ilmu yang ampuh dan sakti.

Pikiran ini pula yang membuat Lin Lin makin rajin melatih diri dengan jurus-jurus yang hanya berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk cara menghimpun tenaga sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu yang terdiri dari pada tiga belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti).

Berpekan-pekan Lin Lin melakukan perjalanan menuju ke Thai-san, bertanya-tanya kepada para penduduk dusun dan kota yang dilaluinya. Akhirnya pada suatu hari sampailah ia di kaki Gunung Thai-san. Puncak gunung itu menjulang tinggi, tampak agung dan megah. Hati Lin Lin berdebar. Akan berhasilkah ia bertemu dengan Suling Emas di puncak itu? Bagaimana kalau dia tidak berada di sana? Dan wanita yang memusuhi Suling Emas itu, yang roboh karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas?

Hatinya tidak enak dan cemburunya makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu ternyata masih muda dan cantik jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia teringat betapa wanita itu dipondong oleh Suling Emas dan entah untuk berapa lamanya! Dan masih marah hatinya kalau ia mengenangkan bentakan Suling Emas yang marah-marah kepadanya dan memakinya sebagai bocah lancang. Dia lancang? Memukul seorang wanita yang memusuhi Suling Emas tapi juga mengaku cinta, lancangkah itu?

“Ah, Suling Emas, aku cinta kepadamu... demi cintaku maka aku memukul dia yang tidak kukenal.” Ia menghela napas dan duduk di pinggir jalan, menghapus keringatnya dengan sapu tangan. Hari itu ia telah melakukan perjalanan amat jauh dan enak rasanya menyandarkan tubuh pada batang pohon yang tua dan hampir mati, duduk di atas rumput hijau yang empuk dan ditiupi angin sejuk pada sore hari itu.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara derap kaki kuda. Jalan mulai sukar di bagian itu, maka penunggang kuda itu pun menahan kudanya dan maju perlahan-lahan melalui tanah yang tidak rata. Penunggangnya seorang laki-laki yang bertubuh tegap, memakai caping lebar seperti caping petani, akan tetapi dari balik pundaknya tampak gagang pedang. Melihat duduknya yang tegak lurus dan tidak bergoyang-goyang biar pun si kuda naik turun, Lin Lin mengerti bahwa penunggang kuda ini seorang yang berkepandaian. Akan tetapi dari jauh ia tidak dapat melihat muka yang tertutup caping itu.

Kuda makin mendekati tempat Lin Lin duduk. Penunggang kuda itu mengangkat muka, dan....

“Liong-twako...!” Lin Lin berseru sambil melompat bangun.

“Lin-moi...!”

Penunggang kuda itu, Lie Bok Liong, melompat dari atas punggung kudanya, lari menghampiri Lin Lin dan serta merta memeluknya dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya. Begitu besar kegirangan hati Bok Liong sehingga ia lupa diri seperti itu. Sedetik Lin Lin kaget dan jengah, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda ini untuknya ia membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada dada Bok Liong.

“Lin-moi... ah, Lin-moi... alangkah bahagia hatiku melihat kau, Moi-moi. Syukur kepada Tuhan bahwa kau selamat, bisa terbebas dari pada tangan Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang jahat!” seru Bok Liong dengan suara serak dan ketika Lin Lin merenggangkan diri dan memandang, hatinya terharu menyaksikan betapa pipi pemuda itu basah oleh air mata!

Dengan gerakan halus Lin Lin melepaskan diri dari pelukan itu. Ia tidak marah, tidak merasa terhina, bahkan terharu karena ia maklum bahwa pemuda ini benar-benar amat gembira dengan pertemuan ini sehingga berbuat agak melewati batas kesopanan.

“Twako, tenanglah, mari kita bicara yang enak. Aku pun girang sekali melihat kau selamat. Tadinya aku sudah khawatir sekali, mengira kau tentu tewas oleh kenekatanmu melawan Hek-giam-lo dan orang-orangnya.”

Lin Lin menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas rumput. Sambil berbuat demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir kalau-kalau ada orang melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi tempat itu amat sunyi, tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak makhluk lain kecuali kuda Bok Liong yang kini dengan enaknya makan rumput dengan peluh membasahi tubuh, tanda bahwa kuda itu pun baru saja melakukan perjalanan jauh.

Bok Liong tertawa, menghapus air matanya. “Ah, maafkan aku, saking girangku sampai tak tahan mengeluarkan air mata seperti bocah cengeng,” katanya.

“Bukan begitu, Twako. Kau terlalu baik hati. Kau telah berusaha berkali-kali untuk menolongku tanpa menghiraukan keselamatan dirimu. Betapa hancur hatiku ketika melihat kau tersiksa tanpa mampu menolongmu kembali. Akan tetapi, bagaimana kau dapat selamat? Aku mendengar bahwa kau tertolong oleh suhu-mu yang lucu itu.”

“Betul, Lin-moi. Suhu yang telah menolongku. Beliau merawatku sampai sembuh dan aku diminta tinggal bersama Suhu untuk memperdalam ilmu. Dan kau sendiri, yang sudah membuat aku putus asa, yang membuat aku hari ini tergesa-gesa hendak menemui Hek-giam-lo dan mengadu nyawa kalau tidak mau membebaskanmu, bagaimana kau dapat bebas dan tahu-tahu berada di sini?”

“Aku ditolong oleh Kim-lun Seng-jin.” Dengan singkat Lin Lin menceritakan pengalamannya dan tentu saja ia tidak menceritakan penemuannya tentang ilmu di dalam tongkat Beng-kauw, juga ia tidak mau menyebut-nyebut nama Suling Emas.

“Tapi mengapa kau bisa berada di kaki Gunung Thai-san ini, Lin-moi?” Bok Liong meraba tangan Lin Lin terus digenggamnya. “Tempat ini berbahaya sekali! Thian-te Liok-koai yang tinggal lima orang, Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, akan bertemu dan mengadu kepandaian di puncak gunung ini. Kalau sampai bertemu dengan seorang di antara mereka, hal itu amat berbahaya karena mereka adalah orang-orang yang sudah bukan manusia lagi, jahat seperti iblis.”

Lin Lin tersenyum dan senyum ini menyambar dan menancap di ulu hati Bok Liong, melebihi runcingnya pedang.

“Twako, justru kedatanganku ini hendak menonton pertandingan mereka. Tentu ramai sekali!”

Bok Liong melongo dan menggaruk-garuk rambutnya dengan sepuluh jari tangannya. “Nonton? Moi-moi, kau terlalu meremehkan mereka! Ketahuilah, kejahatan mereka sudah tersohor di kolong langit. Kadang-kadang mereka menyiksa dan membunuh orang secara begitu saja, secara sembarangan. Dalam gembira bisa saja mereka membunuh orang, apa lagi dalam marah atau duka. Pendeknya, sedikit persoalan saja cukup untuk mereka jadikan alasan menurunkan tangan iblis. Bahkan agaknya mereka berlomba untuk dapat disebut orang yang paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te Liok-koai merupakan sebutan kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di dunia! Moi-moi, mari kita pergi cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!” Kembali Bok Liong memegang tangan gadis itu erat-erat.

Lin Lin kembali merasa tidak enak tangannya dipegang erat oleh pemuda itu, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda itu, ia mendiamkannya saja, lalu menjawab, “Liong-twako, kenapa kau sekarang berubah begini penakut? Belum lama ini kau bahkan berani menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orangnya, menyerbu berkali-kali dengan keberanian yang membuat orang sedunia boleh merasa kagum. Kenapa sekarang kau takut? Dan pula, bukankah kau juga datang ke tempat ini? Andai kata tidak berjumpa denganku, kau hendak ke manakah?”

“Ah, Lin-moi, sudah kuceritakan kepadamu tadi. Aku sakit hati kepada Hek-giam-lo, mengira bahwa kau tentu celaka di tangan iblis itu. Oleh karena inilah setelah aku menerima gemblengan dari Suhu, aku sengaja datang ke sini karena teringat akan janji pertemuan para iblis di sini. Aku pasti akan bertemu dengan Hek-giam-lo di puncak dan akan kuajak dia bertempur sampai mati kalau dia tidak bisa mengembalikan kau. Moi-moi, sebelum bertemu denganmu, aku menjadi nekat dan tidak ingin hidup lagi kalau kau tewas di tangan Hek-giam-lo. Akan tetapi setelah kini melihat kau selamat, aku pun ingin hidup, Moi-moi!” Ucapan ini terdengar gemetar penuh perasaan dan mata pemuda itu menatap wajah Lin Lin penuh cinta kasih, membuat Lin Lin terharu dan ia pun membalas pegangan itu dengan mesra.

“Hemmm, kau selalu memikirkan tentang keselamatanku tanpa menghiraukan keselamatanmu sendiri, Twako. Andai kata aku menuruti kehendakmu tidak jadi naik ke puncak untuk nonton pertandingan hebat, lalu kau hendak mengajakku ke mana?”

Tiba-tiba Bok Liong berlutut dan memegangi kedua tangan Lin Lin sambil memandang tajam dan suaranya gemetar, “Lin Lin, Moi-moi... aku... aku akan mengajakmu ke Cin-ling-san, menemui bibi gurumu, aku... aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku....”

Bukan main kagetnya hati Lin Lin. Memang, tentu saja ia tahu bahwa pemuda ini mencintanya, akan tetapi mendengar bahwa Bok Liong hendak meminangnya dari tangan bibi gurunya, ia benar-benar menjadi kaget dan wajahnya seketika berubah pucat. Ia menarik kedua tangannya dan bangkit berdiri.

“Tidak... tidak... Liong-twako, aku... menganggapmu sebagai kakak sendiri, seorang kakak yang baik. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara... tapi aku tidak... tidak....”

Bok Liong yang masih berlutut memegang kaki kanan Lin Lin, suaranya penuh permohonan, “Lin Lin, dewi pujaan hatiku... aku cinta kepadamu, Lin Lin. Perlukah ini kujelaskan lagi? Aku mencintaimu semenjak pertemuan kita yang pertama, aku rela mati untukmu... sudilah kau menerima cintaku, bukan sebagai adik, melainkan sebagai calon teman hidup selamanya. Aku bersumpah akan membahagiakan hidupmu selamanya Moi-moi....”

Air mata bercucuran dari sepasang mata Lin Lin. Hatinya amat terharu dan ia yakin bahwa andai kata ia menjadi isteri pemuda ini, sudah pasti hidupnya akan terjamin dengan kasih sayang yang suci. Akan tetapi wajah Suling Emas terbayang di depan matanya, membayang di antara air mata dan tak mungkin ia menerima pinangan pemuda lain selama bayangan wajah ini tidak lenyap dari kenangannya. Ia tahu bahwa Lie Bok Liong adalah seorang pendekar muda pilihan, seorang gagah perkasa yang berhati emas, satria sejati. Namun hatinya telah terampas oleh Suling Emas dan ia hanya memiliki sebuah hati untuk diberikan kepada pria idamannya.

“Tidak, Liong-twako...!”

Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan kakinya terlepas dari pelukan Bok Liong dan tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan pemuda itu, lari seperti terbang mendaki gunung Thai-san!

Sejenak Lie Bok Liong tercengang, mukanya pucat sekali, pandang matanya sayu mengikuti bayangan gadis pujaannya yang sebentar saja sudah menghilang di balik pepohonan. Ia menghela napas panjang, meramkan kedua matanya, menggigit bibir kemudian bangkit dan berjalan perlahan, mendaki gunung itu pula. Ia merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia tidak putus asa. Lin Lin tidak pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak mencintanya, hanya menolak, mungkin karena malu, mungkin karena kaget dan gelisah. Hal ini memang mungkin sekali, sebagai seorang gadis remaja yang mendengar pengakuan cinta dan pinangan dari seorang muda. Ia tidak putus asa dan akan berlaku sabar.

Akan tetapi hatinya khawatir bukan main melihat gadis itu mendaki puncak Thai-san yang ia tahu amat berbahaya pada waktu itu dengan akan hadirnya iblis-iblis itu. Ia harus mengejar, harus menyusul dan siap untuk membela dan melindungi Lin Lin dari pada marabahaya. Gurunya, Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa pada hari-hari pertandingan para iblis di pun­cak Thai-san, gurunya itu akan datang untuk menonton pula. Dan agaknya hanya orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti gurunya itulah yang akan berani datang untuk menonton pertandingan berbahaya itu. Maka hatinya menjadi besar dan dengan tabah Lie Bok Liong terus mendaki lereng gunung yang amat curam dan sukar dilalui itu.

Baru sekarang teringat olehnya betapa cepatnya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin ketika lari dari padanya mendaki gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian gadis itu hanya sebanding saja dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah malah. Bagaimana tadi ia melihat Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung sedangkan dia sendiri merasa betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia harus bergerak dengan hati-hati dan lambat!

Ketika Lie Bok Liong tiba di daerah gunung itu yang penuh batu besar, di sebuah lereng di punggung gunung Thai-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang terkekeh ketawa. Kagetnya bukan main karena ia tidak melihat bayangan orang, mengapa tahu-tahu ada suara ketawa yang menyeramkan ini? Ia menengok dan memandang ke sana ke mari, namun tidak juga melihat bayangan orangnya.

Bulu tengkuk pemuda ini berdiri. Biar pun ia tidak percaya akan setan yang dapat muncul di siang hari, ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti di tempat itu. Masih untung kalau orang sakti yang baik bagi Bok Liong, akan tetapi suara ketawa itu bukan muncul dan mulut seorang sakti yang baik, melainkan dari mulut seorang iblis sakti yang bukan main kejamnya, yaitu It-gan Kai-ong sendiri!

Kini kakek ini muncul dari balik sebuah batu besar dan mukanya lebih buruk dari pada dulu. Punggungnya makin bongkok, rambutnya yang riap-riapan itu kotor sekali, penuh lumpur dan debu. Mukanya keriputan begitu dalamnya seperti tersayat, matanya yang tinggal sebelah itu melotot sedangkan mata yang buta mengeluarkan air lendir, mulutnya terkekeh dan dari ujung bibirnya mengalir air liur. Tangannya memegang sebatang tongkat butut.

“Heh-heh-ho-hah! Orang muda, pakaianmu seperti seorang kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa kebisaanmu?”

Di dalam hatinya Bok Liong mendongkol sekali, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang iblis sakti yang sama sekali tak boleh dipandang ringan, ia segera menjura dalam-dalam dan menjawab dengan sikap sopan. “Kai-ong (Raja Pengemis) yang mulia, harap maafkan bahwa saya tidak tahu Locianpwe (Orang Tua Gagah) berada di sini sehingga terlambat menyampaikan salam.”

“Hua-hah-hah, kau mengenal aku? Akan tetapi aku tidak mengenal kau.”

“Mana mungkin Locianpwe mengenal saya yang tidak ternama dan bodoh ini? Akan tetapi saya kira Locianpwe sudah mengenal Suhu.”

“Heh-heh, tak perlu kau perkenalkan, aku akan tahu sendiri. Terima ini!” Tiba-tiba tongkat butut di tangan itu bergerak dan tahu-tahu sudah mengancam jalan darah maut di dada kiri Bok Liong dengan totokannya!

“Aaaiiihhhhh!” Bok Liong terkejut sekali, akan tetapi sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, jurus-jurus silatnya sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerak otomatisnya berjalan dan ia berhasil mengelak dari totokan ini.

Melihat gerakan itu, terutama sekali bagian tubuh belakang yang megal-megol, It-gan Kai-ong tertawa sambil menarik kembali tongkatnya. “Heh-heh, kau murid si tukang gambar edan Gan-lopek! Mana gurumu? Suruh dia muncul!”

“Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani memanggil Suhu kalau beliau tidak berkenan muncul atas kehendak sendiri,” jawaban Bok Liong ini mencerminkan kecerdikannya.

Ia tidak tahu apakah gurunya sudah berada di gunung ini, dan ia pun tidak mau membohong dan menyombong bahwa gurunya akan melindunginya. Akan tetapi jawaban itu membayangkan bahwa gurunya mungkin ada dan mungkin tidak, jadi tidak membohong akan tetapi sekaligus merupakan peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek berada di situ maka ia tidak boleh mengganggu murid orang sakti itu!

Akan tetapi It-gan Kai-ong adalah seorang manusia iblis yang sukar digertak. “Heh-heh-heh, kalau begitu gurumu tentu belum datang. Sayang sekali, sebetulnya aku hendak membekuk mampus gurumu itu agar kujadikan bukti bahwa korbanku bukan orang biasa. Akan kagumlah iblis-iblis itu kalau aku berhasil membawa orang she Gan si tukang gambar ke puncak. Menangkapmu tiada gunanya, kau orang tiada guna dan tidak berarti. Tapi kau sudah bertemu denganku di Thai-san, maka kau harus mampus!”

Kaget sekali Bok Liong. Ia bersiap-siap. “Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?” Biar pun ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut dan tidak gemetar.

“Huah-ha-ha! Semua iblis yang datang ke sini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.” Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan dan menjijikkan ini membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong. “Cuh-cuh!”

Dua gumpal ludah menyambar bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah waspada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan amblas masuk ke dalam batu besar di belakangnya!

“Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!” Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun setiap titik air menuju ke arah jalan darah dengan kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.

Bok Liong memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua percikan air ludah itu. Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.

“Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.

Bok Liong sibuk sekali dan ia mengerahkan sinkang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari samping sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke samping.

“Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini,” pikir Bok Liong dan menangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapa pun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang!

Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya membuat It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya serangan ludahnya sudah cukup untuk menewaskan lawan yang muda.

“Eh, kau boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!” Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang ke arah dirinya.

Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur dengan loncatan­loncatan lincah. Namun akhirnya ia terpaksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar, siap mencaploknya!

“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh, dan tongkat bututnya mendesak makin dahsyat.

Betapa pun dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara berdesing. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang dengan nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.

It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapa pun juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu. Kakek ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya seakan-akan serasa patah.

Namun dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya ‘terbuka’ dan tidak terlindung. Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan dengan pengerahan tenaga Im.

Akan tetapi tiba-tiba pedang itu terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia celaka karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan ‘menyedot’ sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.

Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada. Tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya berubah, melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai tepat akan membahayakan keselamatan nyawa. Akan tetapi karena memang kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.

“Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhkan pukulan maut.

Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia bergulingan cepat sehingga ia terlepas dari pada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar!

Pada saat itu sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.

“He, pengemis iblis picak! Kau apakan muridku? Mana dia sekarang?”

“Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?” Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.

Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya. “Jembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau, beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu, tua sama tua!”

“Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?”

“Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong. Kau telah membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”

“Majulah, siapa takut kepadamu?”

Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Keduanya tidak main-main lagi, maklum bahwa lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya. Ada pun Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan kanan sedangkan, yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.

Ada lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga dahsyat dan angin pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.

“Wesssss!” tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek.

Pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya, melakukan dua kali totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi dengan gerakan tubuh yang tepat raja pengemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka sekarang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh menegang.

Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan. Akan tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan pertahanan sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah ‘lubang’ dan hal ini berbahaya.

Inilah sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kai­ong sudah menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.

Biar pun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkar­lingkar dan seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya. Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek.

Tubuh kakek ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk menghindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apa lagi dengan gerakan khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.

Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya sudah amat tinggi dan betapa pun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja. Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga setelah saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, belum juga ada yang tampak terdesak.

Memang harus diakui bahwa pihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya yang lihai selalu gagal! Di lain pihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah mengerahkan sinkang-nya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek pelukis itu, apa lagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka Empek Gan.

“Heh, jembel busuk!” Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan... air itu menyambar balik, kembali ke arah tuannya.

Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan ‘ilmu’ meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya melengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.

“Ayaaa...!” Gan-lopek berseru terkejut.

Baru kali ini ia menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia memaksa diri untuk menangkis dan mengerahkan lweekang-nya, namun tetap saja ia ikut terputar oleh daya serang tongkat yang menimbulkan kekuatan seperti angin puyuh ini sehingga tubuhnya berpusing tak tertahankan lagi! Ia tidak tahu bahwa inilah ilmu yang telah dipelajari oleh It-gan Kai-ong dari kitab rampasannya dari tangan Bu Kek Siansu, yaitu kitab yang separuh terampas olehnya sedangkan separuhnya lagi terampas oleh Hek-giam-lo.

Tadinya It-gan Kai-ong tidak ingin mengeluarkan ilmu ini sebelum ia berada di puncak Thai-san dan berhadapan dengan anggota-anggota Thian-te Liok-koai yang lain, hendak menggunakannya sebagai ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan tetapi karena Gan-lopek merupakan lawan yang ampuh dan ulet bukan main, saking mendongkolnya, It-gan Kai-ong segera mengeluarkannya dan hasilnya bukan main!

Sayang bagi It-gan Kai-ong, ilmu itu hanya sebagian saja ia miliki, sedangkan bagian lain berada di tangan Hek-giam-lo, maka ia seperti kenal kepala tidak kenal buntut, tahu awal tidak tahu akhir. Lawannya sudah ‘tertawan’ oleh daya serangannya, sudah ikut berpusing, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan ilmunya dan merobohkan lawan. Betapa pun juga, dalam keadaan berpusing seperti itu banyak lowongan terdapat dalam kedudukan Gan-lopek. Dengan terkekeh-kekeh beringas It-gan Kai-ong menggerakkan tongkathya untuk memberi pukulan maut kepada lawannya ini. Tongkatnya sudah berkelebat menusuk ke arah lambung!

“Trakkkkk...!” tiba-tiba segulung sinar kuning menyambar dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong yang menusuk lambung Gan-lopek, disusul ucapan nyaring. “Gan-lopek, jangan takut, biarkan kutusuk matanya yang sebelah dan kau coret-coret mukanya dengan tinta hitam putih!”

It-gan Kai-ong kaget sekali karena tangkisan pedang itu membuat kakinya tergeser. Tidak hebat tenaga orang yang baru datang ini, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Ia terbelalak heran dan matanya yang tinggal satu itu mengeluarkan sinar berapi ketika ia mengenal bahwa yang datang menolong Gan-lopek ini ternyata hanya seorang gadis remaja yang bukan lain adalah Lin Lin.

Lebih-lebih kaget dan herannya ketika Lin Lin sudah mengerjakan pedangnya, Pedang Besi Kuning menerjang dengan gerakan-gerakan yang luar biasa sekali. Karena tadinya ia memandang rendah, menyangka bahwa gadis ini masih seperti dulu yang tidak seberapa kepandaiannya, It-gan Kai-ong tadinya berlaku lambat. Siapa tahu kesalahan menduga ini hampir mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu dengan gerakan melingkar sudah mendekati tenggorokan dan ketika ia mengelak, tahu-tahu ujung pedang sudah dekat sekali dengan matanya yang tidak buta, merupakan serangan yang luar biasa sekali dan agaknya matanya akan benar-benar ditusuk!

Baiknya It-gan Kai-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya ini, menangkis atau mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan... air ludahnya muncrat ketika bertemu pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata sudah dapat menahan pedang sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis pedang yang datang agak terlambat karena tangkisan air ludah tadi.

“Wah, kotor! Keparat busuk, manusia jorok! Pedangku kena ludahnya! Celaka...!” Lin Lin melompat mundur dan menggosok-gosokkan pedangnya pada batang pohon untuk menghapus air ludah yang menempel di situ!

Ada pun It-gan Kai-ong yang merasa kaget sekali menyaksikan gerakan pedang Lin Lin, maklum bahwa kalau ia dikeroyok, akan berbahaya baginya. Ia seorang sakti, akan tetapi sebagai seorang manusia iblis tentu saja ia tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan kelicikan. Melihat bahwa keadaan dirinya berada di pihak lemah, selagi Lin Lin ribut membersihkan pedang, ia cepat menggunakan kesempatan untuk melesat pergi sambil berseru.

“Gan-lopek, kegembiraanku lenyap dengan datangnya gangguan seorang bocah. Lain kali kita lanjutkan!”

“Dia curang, dia licik, main kotor!” Lin Lin memaki-maki, kemudian menoleh kepada Gan-lopek dan berkata, “Gan-lopek, apakah kau juga datang hendak menonton pertandingan para iblis itu?”

Sejenak, seperti juga It-gan Kai-ong tadi, Gan-lopek tertegun, dan tercengang menyaksikan gerakan pedang Lin Lin. Akan tetapi ia segera tertawa. “Ha-ha-ha, si iblis mata satu itu kiranya jeri menghadapi seorang nona!” Lalu kegembiraannya mereda ketika ia teringat akan muridnya.

“Nona yang baik, muridku terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat baiknya, bukan? Mari bantu aku mencarinya, mudah-mudahan dia masih hidup!”

Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar ini dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut kakek itu menuruni jurang dengan hati-hati melalui jalan memutar yang tidak begitu terjal. Jurang itu amat curam dan betapa pun pandainya seorang manusia biasa yang tidak pandai terbang seperti burung tak mungkin dapat menuruninya tanpa memilih jalan memutar. Oleh karena jalan memutar inilah maka sejam lebih kemudian baru mereka berdua dapat sampai ke dasar jurang dan mulai mencari-cari. Namun tidak ada jejak mau pun bayangan Lie Bok Liong!

Ke manakah pemuda yang tadi terjungkal masuk ke dalam jurang itu? Apakah tubuhnya sudah hancur lebur terbanting dari tempat yang amat tinggi sehingga tidak ada bekasnya lagi? Agaknya akan begitulah kalau tidak terjadi hal yang kebetulan dan aneh, dan yang menyelamatkan nyawanya.....

Ketika tubuhnya terjungkal dan melayang turun dengan kecepatan mengerikan, Bok Liong sudah yakin bahwa ia tentu akan tewas. Namun sebagai seorang yang berjiwa gagah, ia menggigit bibirnya dan menahan diri agar tidak berteriak ketakutan. Bahkan kedua tangannya lalu mencengkeram sana-sini, mencari pegangan. Tentu saja ia tidak dapat mencari apa yang akan dipegang atau disambarnya, karena ia hanya melihat bayangan-bayangan batu terbang ke atas di sampingnya, amat cepat memusingkan kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang terlampau dekat dengan batu menonjol terbentur pada batu itu. Karena yang terbentur itu adalah pundaknya dan kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok Liong merasa kepalanya seolah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan pikirannya menjadi gelap, ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.

Ia tidak tahu betapa sebelum tubuhnya menimpa batu-batu di dasar jurang, tiba-tiba berkelebat bayangan yang berseru aneh, lalu bayangan ini melesat ke arah ia akan jatuh, menggerakkan kedua tangannya dan tubuhnya terayun naik lagi. Karena kekuatan luncuran tubuhnya tadi amat keras, kini oleh bayangan itu dibelokkan dan membalik ke atas lagi, maka ada empat lima meter tubuhnya melayang ke atas, lalu turun kembali dan disambut oleh kedua tangan bayangan itu.

Hanya sebentar Bok Liong pingsan. Ketika ia membuka kedua matanya, ia merasa kepala dan lehernya basah semua. Ia gelagapan dan membuka matanya, seketika ingat bahwa ia tadi melayang jatuh. Ketika ia bangun, kiranya ia sudah duduk di atas batu. Dan tak jauh dari situ ia melihat seorang wanita muda berjalan pergi. Melihat tubuhnya tidak hancur, biar pun ada luka-luka sedikit dan pundaknya sakit, Bok Liong menjadi heran dan mengira bahwa dia tentu sudah mati. Inikah neraka? Ia menjadi bingung dan melihat wanita muda itu cepat ia memanggil.

“Heeeiii, Nona, tunggu...!”

Gadis itu menengok sebentar, akan tetapi lalu lari pergi.

“Eh, kau Sian Eng...!” Bok Liong begitu heran sampai ia meloncat berdiri, tidak mempedulikan rasa nyeri di pundaknya dan melompat lari mengejar. Biar pun hanya sekali menoleh, ia mengenal wajah itu, wajah Sian Eng! Akan tetapi dalam sekejap mata saja bayangan gadis itu sudah lenyap dan kecepatan yang luar biasa ini membuat Bok Liong berhenti termangu-mangu.

“Aku tentu sudah mati... dan agaknya Sian Eng juga sudah mati... tentu ini alam baka...,” pikirnya sambil kembali duduk di atas batu.

Akan tetapi sedikit demi sedikit pikirannya menjadi terang kembali. Ia masih dapat merasa, tubuhnya masih lengkap, pikirannya masih utuh dan ia tahu bahwa ia berada di dalam jurang, bahwa It-gan Kai-ong berada di atas jurang sana dan kakek itulah yang membuat ia terguling ke dalam jurang. Entah bagaimana ia tidak terbanting remuk. Agaknya Sian Eng yang telah menolongnya, betapa tidak mungkinnya hal ini terjadi.

Sian Eng cukup ia kenal. Tidak hanya orangnya, malah ia kenal pula kepandaiannya, tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya, malah jauh lebih rendah. Bagaimana gadis itu mau menolongnya? Bagaimana caranya? Dan andai kata benar Sian Eng gadis itu tadi, dan Sian Eng menolongnya, mengapa tadi terus pergi dan mengapa ada bayangan yang begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya halus peramah itu?

Ketika teringat lagi bahwa It-gan Kai-ong masih di atas dan mungkin sekali kakek itu akan mencari jalan ke bawah dan melihatnya masih hidup, Bok Liong segera menguatkan diri, berdiri dan pergi cepat-cepat dari tempat itu. Untung pundaknya tidak patah tulangnya, hanya luka kulit dan daging di bahu saja.

Inilah sebabnya mengapa Lin Lin dan Gan-lopek tidak dapat menemukan Bok Liong, bekas-bekasnya pun tidak. Hal ini membuat Gan-lopek terheran-heran, akan tetapi Lin Lin segera menjatuhkan diri di atas batu dan menangis tersedu-sedu.

“Eh-eh, mengapa kau menangis?” Gan-lopek bertanya heran.

Lin Lin tidak menjawab, tetapi terus menangis keras dan akhirnya dengan kata-kata bercampur isak ia berkata, “Kasihan... Liong-twako... tentu telah hancur lebur... ah, Liong-twako kau orang yang amat baik... mengapa mengalami nasib begini buruk? Mati pun tidak ada kuburnya... ah, Liong-twako...!” Lin Lin menangis makin keras karena memang gadis ini merasa kasihan dan berduka.

“Hush, bocah tolol, kenapa kau bicara yang bukan-bukan? Siapa bilang Bok Liong sudah mati?”

Seketika terhenti tangis Lin Lin dan ia berdongak memandang wajah kakek itu dengan mata merah. Diam-diam si kakek girang sekali melihat bahwa gadis ini betul-betul menangisi Bok Liong muridnya, tanda bahwa gadis ini betul-betul mencinta muridnya.

Melihat pandang mata Lin Lin penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya tadi, Gan-lopek segera tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya terbanting ke dasar ini, biar pun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di saat itu.”

Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul kakek itu dan... menangis lagi.

“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?” Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen kalau muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk sebelah tangan, cinta kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.

Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon ‘mantu murid’ ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di panggung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mungkin juga mereka disangka iblis-iblis penjaga jurang!

“Eh, nanti dulu. Kenapa kau tertawa?” Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.

Lin Lin akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini berkata, “Banyak sekali hal yang patut membikin aku tertawa, Kek,” tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.

“Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”

“Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”

“Hemmm, lalu hal apa lagi yang membikin kau tertawa selain hal yang kau sebutkan tadi?”

Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.

Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khikang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal ini tidak menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khikang dan sinkang-nya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.

Maka terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari dasar jurang membubung naik sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri! Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang bergirang tertawa karena keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti orang kegirangan, melainkan sungguh-sungguh dan seperti orang mengerahkan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!

“Stop...! Stop...!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.

Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk ‘mendorong’ gadis itu dalam ‘pergulatan’ tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu. Setelah berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah mereka dari pada pertandingan khikang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.

Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan berkata, “Kau hebat, Kek!”

Si tua menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk. “Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau... ah, hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biar pun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”

Lin Lin kaget. “Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andai kata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”

“Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah mendengar dari Bok Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak seperti yang kau perlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”

Kini Lin Lin benar-benar merasa heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya yang tadi mendatangkan khikang luar biasa yang membuat Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.

“Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan berguna!”

Empek Gan tertawa. “Wah, boleh... boleh... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak demikian dengan perutku. Perutku perih sekali!” Tiba-tiba terdengar ‘ayam berkokok’ dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa geli.

“Tunggulah, Kek. Betapa pun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan perut perih.” Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali.

Di dalam hatinya, Lin Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera menggunakan kecerdikannya untuk ‘mengambil hati’ melalui perut lapar Kakek Gan.

********************


Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Empek Gan, dan mari kita selidiki siapakah gerangan gadis yang telah menolong Bok Liong secara aneh itu? Menurut pandangan Bok Liong, gadis itu mirip benar dengan Sian Eng, akan tetapi tidak mau berhenti ketika ia dipanggil.

Siapakah gadis itu sesungguhnya? Pandang mata Bok Liong yang tajam memang tidak salah. Gadis itu adalah Sian Eng! Akan tetapi kita tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng tidaklah amat tinggi, dan sebaliknya, cara menolong Bok Liong yang melayang jatuh dari atas jurang itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kesaktian luar biasa. Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan dan pengalaman Sian Eng.

Telah kita ketahui bahwa Sian Eng dapat dibujuk oleh laki-laki yang dikasihinya, Suma Boan, untuk memasuki lorong rahasia di bawah tanah bekas tempat sembunyi Tok-siauw-kui yang belasan tahun lamanya bertapa dan bersembunyi di tempat ini. Dan kemudian betapa Sian Eng terjebak ke dalam ruangan di bawah tanah oleh alat-alat rahasia yang agaknya telah dipasang orang sehingga ia terkurung oleh empat dinding batu tanpa dapat mencari jalan ke luar karena jalan ke luar satu-satunya hanya mendorong batu yang menutup lorong, padahal batu itu beratnya ribuan kati dan ternyata Suma Boan sendiri dari luar ruangan itu tak mampu menggerakkan batu ini!

Di bagian depan cerita ini, kita tinggalkan Sian Eng dalam keadaan roboh dan dikeroyok oleh kelelawar-kelelawar kecil beracun yang menyerangnya dengan gigitan, lalu menyedot darahnya. Setelah roboh dan merasa betapa kelelawar-kelelawar itu menyerbunya, Sian Eng diserang rasa takut dan ngeri yang bercampuran dengan sakit di seluruh tubuhnya. Gigitan binatang-binatang kecil itu mendatangkan rasa panas, gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke mari, menjerit-jerit seperti orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian dan ketakutan itu timbullah suatu kenekatan yang luar biasa, kemarahan yang secara aneh membuat ia tiba-tiba mendapatkan kekuatan baru.

Sian Eng meloncat bangun, kedua tangannya mencengkeram kelelawar-kelelawar yang masih menempel di tubuhnya, membanting, menginjak, bahkan ia lalu menggigit kepala binatang-binatang kecil itu, meremukkan kepala dan menghisap darahnya. Rasa sakit yang amat hebat membuat gadis ini seperti tidak ingat lagi akan keadaan sekitarnya, yang ada di dalam ingatan hanya membalas, membunuh, mengamuk!

Pergulatan menyeramkan di gelap ini, seandainya terjadi di tempat terang dan kelihatan orang lain tentu akan membuat orang merasa ngeri dan seram. Gadis itu sudah tidak karuan lagi pakaiannya, robek sana-sini, rambutnya terurai awut-awutan. Juga tingkah lakunya seperti orang gila. Ia bergulingan, kadang-kadang meloncat berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa, lalu menangis, semua ini karena penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa takut dan ngeri. Akan tetapi tiada hentinya ia membunuh kelelawar dan bahkan mulai makan dagingnya dan minum darahnya.

Semalam suntuk Sian Eng bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk di ruangan itu dan entah sudah berapa banyak darah yang diminumnya, daging yang ditelannya. Akhirnya malam pun berakhir berganti pagi dengan ditandai seberkas cahaya memasuki ruangan. Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir kelelawar-kelelawar. Akan tetapi Sian Eng juga kehabisan tenaga, menggeletak terlentang pingsan di atas bangkai-bangkai kelelawar! Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh bintik-bintik merah dari darah yang keluar dari luka-lukanya.

Sehari penuh Sian Eng menggeletak di atas bangkai-bangkai kelelawar di dalam ruangan di bawah tanah itu, setengah pingsan setengah tidur, atau seperti telah mati. Akan tetapi setelah matahari tenggelam dan ruangan itu menjadi gelap, kelelawar-kelelawar kecil mulai beterbangan kemudian menyerangnya. Sian Eng seperti dibangunkan dan seakan-akan seekor hantu betina atau kuntilanak yang hanya ‘hidup’ di waktu malam, ia bangkit lagi dan seperti malam kemarin, kembali terjadi pertandingan dengan kelelawar-kelelawar kecil yang menyerang dan mengeroyoknya secara ganas sekali...


BERSAMBUNG KE JILID 14


Cinta Bernoda Darah Jilid 13

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 13

BEBERAPA hari kemudian, pagi-pagi sekali di tanah pekuburan kaum Beng-kauw terdapat dua orang muda yang berjalan perlahan berdampingan. Mereka ini adalah Lin Lin dan Suling Emas yang melakukan perjalanan cepat ke selatan dan kini telah tiba di tanah pekuburan kaum Beng-kauw di Nan-cao. Inilah tanah pekuburan para tokoh yang termasuk pimpinan Beng-kauw, selama Beng-kauw didirikan di Nan-cao oleh Pat-jiu Sin-ong.

Keadaan di situ menyeramkan. Matahari belum tampak, masih tertutup pohon-pohon dan Lin Lin merasa seakan-akan ia mendatangi sebuah kota orang mati yang penghuninya hanya terdiri dari orang-orang mati yang pada saat sepagi itu masih belum bangun, masih tidur di dalam rumah yang berupa gundukan-gundukan tanah dihias batu nisan itu.

“Di mana makamnya...?” tanya Lin Lin, suaranya agak gemetar.

Hatinya gentar juga setelah tiba di tempat pekuburan itu. Harus diakui bahwa sesungguhnya ia tidaklah begitu senang untuk bersumpah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong yang sudah mati. Ia mempelajari ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong bukan disengaja, tapi secara kebetulan dan ia sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa ilmu itu ciptaan pendiri Beng-kauw.



Kalau dulu ia menurut kepada Suling Emas dan sanggup untuk bersumpah menjadi murid, hal itu hanyalah karena ia begitu amat inginnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas! Dan harus ia akui bahwa selama beberapa pekan ini, melakukan perjalanan di samping Suling Emas, siang malam selalu berada di dekatnya, mendatangkan rasa gembira luar biasa dan mempertebal keyakinannya bahwa Suling Emas juga mencintanya, sebesar ia mencinta pendekar sakti itu!

“Di sana makamnya, di bagian yang agak tinggi. Kau lihat, masih baru!” jawab Suling Emas sambil menudingkan telunjuknya.

Mereka berjalan menghampiri makam Pat-jiu Sin-ong yang besar dan mewah. Bagi Lin Lin tempat ini menyeramkan sekali, akan tetapi yang lebih menggelisahkan hatinya adalah bahwa ia harus bersumpah menjadi murid penghuni makam! Amat heran hati Lin Lin melihat betapa Suling Emas serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat di depan makam. Mengapa Suling Emas begini menghormat ketua Beng-kauw yang sudah meninggal, pikirnya. Padahal seingatnya, Suling Emas duduk sejajar dengan ketua Beng-kauw yang masih hidup.

“Lin-moi, lekas kau berlutut dan mengucapkan sumpahmu, biar aku menjadi saksi,” terdengar Suling Emas berkata.

Akan tetapi Lin Lin tetap berdiri tegak, tidak mau berlutut dan tidak mengeluarkan kata-kata.

“Lin-moi, mau tunggu apa lagi?”

Lin Lin tetap diam saja.

“Lin-moi, mengapa kau ragu-ragu? Bukankah sudah jelas kuterangkan kepadamu?”

“Ah, aku... aku tidak bisa. Hal ini seakan-akan suatu paksaan. Suling Emas, bagaimana kau bisa tahu apakah benar-benar Pat-jiu Sin-ong menghendaki aku menjadi muridnya? Kalau beliau tidak menghendaki, bukankah berarti kita membikin rohnya menjadi penasaran?”

Suling Emas tertegun, memandang kepada Lin Lin, lalu menoleh ke arah makam. Pada saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Ketika ia memandang jauh, hatinya berdebar karena ia mengenal laki-laki tua memakai caping lebar itu. Kauw Bian Cinjin! Celaka, pikirnya. Kalau Kauw Bian Cinjin melihat mereka di situ tentu akan bertanya dan kalau kakek itu mengetahui duduk perkara sebenarnya, sudah pasti kakek itu takkan membiarkan Lin Lin hidup!

“Lin-moi, lekas berlutut. Lekas bersumpah sebelum terlambat!” desaknya sambil memegang tangan gadis itu.

“Tidak, aku tidak bisa lakukan itu... masih ada jalan lain...”

Suling Emas hendak membantah, akan tetapi terlambat. Kauw Bian Cinjin yang bergerak cepat sekali sudah tiba di situ dan kakek ini biar pun terheran melihat Suling Emas dan Lin Lin berada di makam Pat-jiu Sin-ong, namun agaknya tidak mempedulikan ini. Malah ia segera berseru.

“Kim-siauw-eng (Suling Emas)! Apakah kau tidak melihat Hwee-ji (Anak Hwee)?” Pertanyaan ini yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tentu saja membuat Suling Emas tercengang.

“Bukankah dia sudah pulang bersama Bu Sin?” Tentu saja ia menjadi tercengang dan heran karena ia sendiri yang menolong kedua orang muda itu dari ancaman Siang-mou Sin-ni, kemudian ia menyuruh mereka kembali ke Nan-cao sedangkan ia sendiri pergi mencari Lin Lin dan Sian Eng.

Kauw Bian Cinjin kelihatannya tergesa-gesa sehingga tidak sempat untuk banyak bercerita. “Dia sudah pulang. Kam Bu Sin sicu (tuan muda gagah) pulang lebih dulu ke Cin-ling-san menemui bibi gurunya. Akan tetapi malam tadi, entah bagaimana dan mengapa, kelihatan di sini putera pangeran yang jahat itu, Suma Boan, berkeliaran dan keadaannya seperti orang gila! Hwee-ji mengejarnya, akan tetapi sampai sekarang keduanya tidak tampak bayangannya, kami menjadi khawatir sekali.”

“Ahhh...!” Suling Emas terkejut. “Biarlah aku mencari mereka!” Sambil berkata demikian, ia menyambar tangan Lin Lin dan berkata, “Hayo kita pergi dulu dari sini mengejar mereka!”

Lin Lin tidak diberi kesempatan bicara. Pula, gadis ini diam-diam merasa girang dan lega bahwa ada urusan lain yang membuat penyumpahannya sebagai murid Pat-jiu Sin-ong tertunda. Ia tadi sudah bingung dan khawatir kalau-kalau Suling Emas menjadi kecewa dan marah oleh penolakannya. Kini Suling Emas mengajaknya pergi, tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut berlari sambil mengangguk dan tersenyum kepada Kauw Bian Cinjin yang memandangnya dengan kening berkerut. Mau apa gadis liar ini di sini? Demikian pikir Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi karena ia tahu bahwa gadis itu adalah adik angkat Suling Emas, ia pun tidak mau memikirkannya lagi.

“Kim-siauw-eng, kau mencari ke timur aku ke utara!” teriaknya. Suaranya terbawa angin dan karena kakek ini mengerahkan khikang, dapat juga suara ini mengejar dan sampai ke telinga Suling Emas.

“Baik!” jawab Suling Emas sambil mengerahkan khikang pula karena keduanya sudah terpisah amat jauh, tidak tampak lagi, namun dengan kesaktian mereka, kedua orang ini masih dapat saling menyampaikan pesan!

********************


Apakah sebenarnya yang terjadi? Bagaimana Suma Boan, putera pangeran itu, secara mendadak berada di Nan-cao, dan kata Kauw Bian Cinjin berkeliaran seperti orang gila sehingga kini dikejar-kejar oleh Liu Hwee?

Seperti telah dituturkan di bagian depan, ketika Sian Eng dan Bu Sin menjadi tawanan Hek-giam-lo di dalam terowongan rahasia, Bu Sin diculik oleh Siang-mou Sin-ni sehingga akhirnya tertolong oleh Liu Hwee dan kemudian ditolong pula oleh Suling Emas. Ada pun Sian Eng yang berada dalam keadaan tertotok, ditolong dan dibawa pergi oleh Suma Boan!

Cinta memang dapat meracuni hati siapa saja tanpa pandang bulu. Dan kalau cinta sudah berkuasa, banyak terjadi hal-hal aneh dan kadang-kadang pandangan seorang korban cinta jauh berlawanan dengan pandangan umum. Agaknya seluruh orang di dunia ini yang merasa suka kepada Sian Eng, akan kecewa dan tidak setuju kalau gadis cantik gagah ini jatuh cinta kepada seorang pemuda bangsawan yang berwatak buruk macam Suma Boan. Akan tetapi apa hendak dikata. Sejak pertemuan pertama Sian Eng memang sudah jatuh hati kepada putera pangeran ini! Apa pun yang akan dikatakan orang lain, tak mungkin masuk di hati seorang yang sudah jatuh cinta.

Demikianlah, ketika dirinya dipondong pergi oleh Suma Boan, diam-diam Sian Eng merasa terharu dan girang sekali, sungguh pun ada perasaan kecewa dan khawatir di hatinya kalau ia teringat akan kakaknya, Bu Sin. Suma Boan berlari cepat dan karena ia berada dalam keadaan tertotok, Sian Eng tidak bisa apa-apa. Baru beberapa hari kemudian Suma Boan menurunkannya dari pondongan dan membebaskan totokannya.

Sian Eng segera menegur, “Suma-koko, kenapa baru sekarang kau bebaskan aku? Kalau tadi-tadi, kan kita berdua bisa menolong Bu Sin Koko? Ah, bagaimana nasibnya sekarang?”

Suma Boan merangkul pundaknya. “Jangan bodoh, Eng-moi. Kau tahu sendiri, tempat itu adalah tempat Hek-giam-lo yang lihai. Bagaimana aku bisa sekaligus menolong dua orang? Dan saking takutku kalau-kalau Hek-giam-lo akan mengejar, aku terus saja membawamu lari dan baru sekarang berani berhenti di sini. Ah, Moi-moi, baru sekarang kita dapat bertemu dan berkumpul. Alangkah gelisah hatiku ketika kita berpisah di Nan-cao. Eng-moi, mengapa kau bisa berada di terowongan tempat sembunyi Hek-giam-lo itu bersama kakakmu?”

Dengan halus Sian Eng melepaskan pundaknya dari rangkulan. Biar pun di hutan itu sunyi tidak ada orang lain, namun ia tidak mau pemuda yang dicintanya itu bersikap terlalu mesra kepada dirinya. Mereka belum berjodoh, belum pula bertunangan! Akan tetapi ia mengajak pemuda itu duduk mengaso dan berceritalah ia tentang usaha mereka mencari Lin Lin sehingga mereka berdua terpisah dari Suling Emas dan kena tangkap Hek-giam-lo.

“Kau agaknya sudah tahu bahwa kakakku yang hilang, Kam Bu Song, adalah Suling Emas. Kenapa dahulu-dahulu tidak lekas beri tahu padaku?” tegur Sian Eng.

Suma Boan tersenyum dan memegang tangan gadis itu. “Aku belum yakin, hanya baru menduga. Kakakmu itu saling mencinta dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal karena ayah tidak setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti setuju mempunyai mantu seperti kau.” Sambil berkata demikian Suma Boan mencoba untuk merangkul lagi.

“Ihhh, jangan begitu...!” Sian Eng melepaskan diri. “Soal perjodohan, bagaimana aku dapat memberi keputusan? Ada kakak-kakakku, dan terutama sekali ada bibi guruku di Cin-ling-san.”

“Aku akan pergi ke sana, akan kulamar kau dari tangan bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada urusan penting sekali. Maukah kau membantuku?”

“Lihat-lihat urusannya!”

“Begini, adikku yang manis. Kita melihat sendiri betapa Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang semenjak belasan tahun lenyap tak tentu rimbanya, kiranya muncul pada ulang tahun Beng-kauw dan tewas pula di situ. Akan tetapi ia telah memperlihatkan ilmu yang amat luar biasa. Agaknya ia mempunyai tempat persembunyian di Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di waktu muda dahulu, Tok-siauw-kui telah mencuri banyak sekali kitab-kitab rahasia ilmu kesaktian yang jarang bandingnya di dunia ini. Sekarang ia telah mati, akan tetapi aku percaya bahwa kitab-kitab itu masih ada, ia sembunyikan di tempat di mana ia tadinya sembunyi sebelum ia muncul dan tewas di tangan ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan sekali! Pat-jiu Sin-ong dan Tok-siauw-kui, ayah dan anak itu benar-benar bukan manusia, melainkan iblis-iblis yang luar biasa.”

Sian Eng mengerutkan keningnya, lalu menggunakan tangan kanannya menutup bibir pemuda itu. “Hushhh, jangan kau bicara begitu, Suma-koko. Betapa pun juga, dia adalah kakek dan ibu kandung dari kakakku Kam Bu Song.”

Suma Boan mencekal tangan itu dan menciumi jari-jari yang mungil sampai Sian Eng menariknya kembali.

“Gila!” cela gadis itu dengan muka menjadi merah. “Kau ceritakan semua itu kepadaku, dengan maksud apakah?”

“Begini, kekasihku. Aku ingin sekali mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui itu dan kuharap kau suka membantuku....”

“Ihhh!” Sian Eng mengkirik karena merasa seram. “Kau sudah begini lihai, kau menjadi murid It-gan Kai-ong yang sakti, masa masih mau mencari kitab pusaka lagi, untuk apa?”

“Ah, siapa bilang aku lihai? Hanya kau yang mencintaku yang bilang begitu, Eng-moi. Akan tetapi, apakah kau tidak suka melihat aku menjadi lebih lihai lagi? Begitu lihai, sehingga kalau kelak kau menjadi isteriku, aku mampu melindungimu dari pada segala macam bahaya, dan kelak kalau kiia mempunyai anak, aku mampu menurunkan kepandaian kepada anak kita sehingga dia menjadi seorang pendekar nomor satu di dunia.”

Sian Eng adalah seorang gadis gunung yang sederhana pikirannya. Ucapan manis dan muluk-muluk ini sudah membuat semangatnya terbang melayang dengan nikmat sekali. Akan tetapi ia memandang Suma Boan dengan bingung.

“Bagaimana kau bisa menemukan tempatnya? Andai kata bisa... hiiihh, mengerikan sekali!” Gadis ini merasa takut teringat akan cerita kakaknya, Bu Sin.

“Apa yang mengerikan? Kau akan kuajak ke Nan-cao dan di sana, mengingat bahwa kau adalah adik tiri Suling Emas, tentu kau akan leluasa bergerak di antara orang-orang Beng-kauw. Nah, kau menjadi semacam penyelidik dan aku akan bersembunyi di luar kota raja. Setelah kau mendapat keterangan, kau sampaikan kepadaku dan kita mencari kitab-kitab itu bersama. Bukankah ini bagus? He, kau mau bilang apa?”

“Aku... aku sudah tahu tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”

“Apa...?” Saking kaget, bernafsu dan girang, Suma Boan menarik tangan Sian Eng sehingga gadis ini tersentak berdiri dan merasa lengannya sakit.

“Auuuhhhhh...” keluhnya. Suma Boan sadar dan cepat ia merangkul, mencium, Siang Eng meronta, melepaskan diri dan bersungut-sungut.

“Jangan sekali-kali kau berani lagi berbuat seperti ini sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau kau berani ulangi, aku akan membencimu!” Matanya berapi-api dan sikapnya menantang.

Suma Boan adalah searang pemuda yang bangor, yang sudah banyak pengalamannya, maka tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kaki gadis itu. “Maaf Eng-moi, maafkan aku yang tak kuasa mengendalikan diri saking besarnya cintaku. Mari kita duduk dan ceritakanlah tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”

Melihat pemuda bangsawan yang dikasihinya itu berlutut memeluk kakinya dan memohon dengan suara yang minta dikasihani, luluhlah hati gadis Sian Eng yang masih hijau. Cinta itu buta kata orang. Bukan cinta yang buta, melainkan orang yang sedang dimabuk cinta seperti buta. Buta dalam arti kata lengah kehilangan kewaspadaan. Pertimbangannya menjadi miring karena orang yang jatuh cinta selalu melihat kebaikan memancar ke luar dari orang yang dicinta, tiada tampak cacad celanya sehingga ada perumpamaan kasar yang berbunyi bahwa tahi pun, kalau tahi kekasih, harum baunya!

Demikian pula Sian Eng yang sudah tercengkeram asmara, segala gerak-gerik pemuda bangsawan ini selalu menarik, selalu menimbulkan kasihan. Melihat Suma Boan berlutut di depannya, ia lalu menyentuh pundak pemuda itu dan berkata halus. “Sudahlah, Koko. Aku tidak marah lagi, asal kau jangan sekasar tadi.”

Girang hati Suma Boan. Gadis ini merupakan korban yang mudah dan lunak baginya. Ia lalu menarik tangan Sian Eng dan diajak duduk di bawah pohon besar, diminta menceritakan tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui.

“Aku sendiri belum melihat tempat itu, hanya mendengar dari kakakku Bu Sin.” Ia lalu menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Bu Sin ketika bersama Liu Hwee melarikan diri dari tahanan It-gan Kai-ong melalui lorong rahasia dan bertemu dengan Tok-siauw-kui.

“Bagus!” Suma Boan berseru girang. “Kiranya Tok-siauw-kui selama belasan tahun menghilang bersembunyi di negaranya sendiri, di dalam lorong di bawah tanah? Tentu kitab-kitabnya berada di sana pula karena ketika ia keluar dan tewas, ia tidak membawa kitab-kitab itu. Di manakah jalan ke luar lorong itu menurut cerita kakakmu?”

“Dia bilang jalan keluar itu merupakan sebuah goa kecil yang tertutup alang-alang dan tidak tampak dari luar, di sebuah hutan yang berada dekat dengan tanah kuburan para pimpinan Beng-kauw. Entah apa namanya hutan kecil itu, akan tetapi Sin-ko melihat ada serumpun bambu kuning tumbuh di atas goa.”

Suma Boan mengerutkan keningnya, memutar otaknya, “Tok-siauw-kui muncul dari dalam gedung sembahyang, tentu lorong rahasia itu ada tembusannya ke ruangan itu. Kalau kita bisa menyelidik ke sana, kau sebagai adik Suling Emas, tentu mudah menyelidik tanpa dicurigai.”

Sian Eng tidak setuju. “Berbahaya sekali. Tempat itu merupakan tempat keramat bagi Beng-kauw, tentu terjaga kuat dan merupakan tempat terlarang bagi orang luar. Lebih aman kalau kita mencoba mencari hutan kecil dan berusaha mendapatkan goa yang atasnya ada serumpun bambu kuning itu.”

Suma Boan menarik tangan Sian Eng dan mereka berdiri. Wajah pemuda bangsawan ini berseri-seri. Ia gembira sekali karena kalau ia sampai bisa menemukan kitab-kitab itu, ia akan menjadi seorang jagoan yang hebat!

“Mari kekasihku, mari kita mencari tempat itu! Aku akan berterima kasih selama hidupku kepadamu kalau kita bisa mendapatkan tempat itu. Mari!”

Berlari-larilah mereka menuju ke tanah pekuburan keluarga Beng-kauw. Tentu saja Suma Boan yang cerdik sengaja mengambil jalan memutar agar jangan sampai ketahuan oleh orang-orang Beng-kauw. Ia maklum bahwa sekali mereka itu curiga, biar pun di situ ada Sian Eng, mereka tetap akan mencurigainya dan kalau sampai terjadi bentrok dengan mereka, biar pun ia tidak takut, namun usahanya ini tentu akan gagal. Ia sengaja memilih waktu malam untuk menyelundup masuk dan mencari hutan itu yang akhinya dapat mereka temukan. Sebuah hutan kecil di sebelah utara tanah pekuburan pimpinan Beng­kauw.

“Agaknya itulah tempatnya!” akhirnya Sian Eng berseru girang ketika mereka berdiri di depan serumpun alang-alang dan di atas segunduk gunung-gunungan kecil terdapat pohon-pohon bambu kuning yang indah.

Waktu itu menjelang pagi dan dengan hati-hati mereka menyingkap alang-alang itu dan... betapa girang hati Suma Boan ketika melihat bahwa di balik alang-alang tebal itu betul saja terdapat sebuah goa yang setinggi dua meter lebih, gelap dan menyeramkan seperti mulut seekor naga terbuka lebar.

Suma Boan seorang yang cerdik dan licik. Betapa pun besar nafsunya untuk mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui, namun ia tidak mau menghadapi resiko terlalu besar untuk memasuki goa terowongan yang menyeramkan dan belum diketahui benar keamanannya itu. Ia maklum bahwa goa itu merupakan tempat keramat bagi orang­orang Beng-kauw, siapa tahu di sebelah dalamnya terdapat tokoh-tokoh Beng-kauw yang lihai.

“Eng-moi, kekasihku, kau tentu suka membantu aku, bukan? Sebetulnya memang aku yang seharusnya memasuki goa ini dan mencari kitab-kitab itu. Akan tetapi kau tahu sendiri, kalau ada yang melihatku, tentu terjadi pertempuran mati­matian dan tidak ada harapan bagiku untuk keluar hidup-hidup. Oleh karena itu, demi cinta kasihmu kepadaku, aku minta dengan sangat sukalah kiranya kau yang mencari ke dalam dan aku menjaga di luar. Andai kata ada tokoh Beng-kauw melihatmu, bisa saja kau menggunakan alasan untuk mencari kakakmu Suling Emas, atau dengan dalih bahwa kakakmu Bu Sin pernah memasuki lorong rahasia ini dan karena kau ingin sekali menyaksikan sendiri, maka kau memasukinya.”

Dengan bujukan-bujukan yang manis dan alasan-alasan yang masuk akal, terutama dengan janji bahwa setelah mereka menemukan kitab itu, Suma Boan akan membawa Sian Eng pulang ke Cin-ling-san menemui Kui Lan Nikouw untuk memibicarakan urusan perjodohan mereka, akhirnya Sian Eng tak dapat membantah lagi.

“Baiklah, Suma-koko, akan tetapi apa pun yang akan terjadi dengan diriku di dalam terowongan ini, kau jangan meninggalkan tempat ini, dan andai kata aku berhasil kelak mendapatkan kitab-kitab itu, kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk mempelajari ilmunya.”

Suma Boan merangkul pundak Sian Eng sambil tersenyum lebar. “Tentu saja, manisku, masa kau tidak percaya kepadaku?”

Girang hati Sian Eng dan ia pun tersenyum, lalu mencabut pedangnya dan memasuki goa itu dengan hati-hati sekali. Setelah melihat gadis itu menghilang di dalam kegelapan goa itu Suma Boan lalu menutup dan merapikan kembali rumpun alang-alang dari sebelah dalam sehingga tidak akan tampak dari luar dan dia sendiri duduk menanti di mulut goa dengan hati berdebar-debar.

Sian Eng terus melangkah ke depan dengan hati-hati sekali karena di dalam terowongan goa itu amat gelap. Kakinya melangkah dengan pasangan kuda-kuda untuk menjaga segala kemungkinan, pedangnya siap di depan dada. Ia merasa agak lega bahwa lantai yang diinjaknya kering dan tidak licin, juga rata seakan-akan diratakan oleh manusia. Ia maju terus menyusuri terowongan yang agaknya tidak ada ujungnya itu.

Beberapa kali terowongan itu berbelok dan setelah ia berjalan selama satu jam, keadaan di depannya mulai terang. Tak lama kemudian Sian Eng dapat melihat keadaan sekelilingnya. Di kanan kiri terlihat dinding batu karang yang agak basah. Jalan terowongan yang dilaluinya selebar tiga meter, tingginya dua meter. Sekali lagi ia membelok ke kanan dan tibalah ia di sebuah ruangan selebar empat meter persegi yang cuacanya terang sekali.

Berbeda dengan terowongan tadi, ruangan ini atasnya terbuka merupakan sumur yang amat dalam dan cahaya matahari masuk melalui celah-celah di atas. Kiranya sumur yang dalamnya lebih dari lima puluh meter ini atasnya tertutup batu-batu besar dan celah-celah di antara batu-batu besar inilah yang diterobosi sinar matahari sehingga tidak hanya ruangan bawah tanah itu yang terang melainkan sebagian lorong juga mendapatkan cahaya.

Tiba-tiba terdengar suara bercicit dan sesosok bayangan hitam kecil menyambar dari depan ke arah kepala Sian Eng. Gadis ini kaget sekali, mengira bahwa bayangan itu adalah senjata rahasia karena anginnya halus dan cepat. Ia miringkan tubuhnya dan melompat ke tengah ruangan. Akan tetapi segera ternyata olehnya bahwa sebetulnya tak perlu ia mengelak, karena benda itu ternyata adalah seekor kelelawar yang tentu saja silau matanya ketika melalui ruangan terang itu dan hampir menabrak kepalanya. Betapa pun juga, karena tubuhnya sudah meloncat, Sian Eng turun ke tengah ruangan untuk dapat bersikap lebih hati-hati dan dapat memandang keadaan sekelilingnya dengan jelas. Dengan ringan kedua kakinya turun ke atas lantai.

Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai tepat di tengah-tengah ruangan itu, terdengar suara hiruk-pikuk di depan dan belakangnya. Sian Eng kaget sekali dan cepat ia memandang. Kiranya pada saat itu, jalan terowongan di depan dan belakang, mulai tertutup oleh batu besar yang bergerak keluar dari dalam dinding!

“Celaka...!” Sian Eng berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk menerobos keluar kembali dari ruangan itu.

Akan tetapi terlambat. Batu itu sudah hampir menutup seluruh jalan terowongan. Gadis ini segera memegang batu yang berbentuk seperti roda dan bergeser maju terus itu, mengerahkan sinkang untuk menahan atau mendorong kembali batu itu agar ia dapat menerobos keluar. Akan tetapi kagetlah Sian Eng ketika mendapat kenyataan bahwa batu itu luar biasa beratnya, tak kuasa ia menahan sehingga batu itu terus bergerak sampai terowongan itu tertutup seluruhnya.

Sian Eng membalikkan tubuh dan meloncat ke sebelah seberang, juga dengan maksud menahan batu yang di sebelah sana masih belum menutup lorong itu seluruhnya. Akan tetapi kembali ia terlambat dan tidak kuasa mendorong kembali batu penutup yang dapat bergerak secara aneh itu.

Sian Eng kembali meloncat ke tengah ruangan. Ia telah terkurung kini. Kanan kirinya hanya dinding kasar batu karang yang agak basah, bawahnya lantai batu karang pula, di depan dan belakang kini tertutup batu besar yang menutup lorong dan demikian beratnya sehingga ia tidak mampu menggerakkannya. Di atasnya, lima puluh meter tingginya, tertutup batu-batu besar pula dan hanya celah-celahnya yang cukup lebar saja dapat diterobos sinar matahari.

Sian Eng bukan seorang gadis penakut, akan tetapi pada saat itu ia merasa ngeri juga. Kembali ia mendekati batu­batu yang menutup lorong itu, bergantian ia memeriksa dengan teliti kalau-kalau ada cara untuk membuka sedikit sehingga terdapat lubang untuk diterobosnya. Memang betul di antara dua batu penutup dan dinding karang terdapat celah-celah yang cukup lebar-lebar untuk dimasuki dua buah lengannya, karena di antara dinding dan batu itu terdapat bagian-bagian yang tidak rata, akan tetapi tak mungkin dipergunakan untuk meloloskan diri karena terlampau kecil.

Sian Eng cepat mencabut pedangnya dan membacok bagian yang ada celahnya dengan maksud berusaha memperlebar celah itu. Akan tetapi pedangnya membalik dan tidak ada sekeping pun batu dapat dipecahkan pedangnya! Ketika ia memeriksa, ternyata batu hitam itu luar biasa kerasnya, seperti baja! Setengah hari lebih Sian Eng berusaha mengorek dan membacoki batu. Namun sia-sia. Akhirnya ia menjadi lelah dan menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan yang mulai gelap, telapak tangannya berdarah dan perih, bahkan pedangnya menjadi rusak-rusak ujungnya.

Sian Eng menangis! Kemudian ia ber­teriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama Suma Boan yang ia tahu menanti di luar goa.

“Suma-koko! Suma-koko...! Ke sinilah dan tolong aku...!”

Ia menjerit-jerit terus sampai ruangan itu menjadi gelap pekat karena matahari sudah lenyap dari angkasa, dan ia berhenti setelah suaranya menjadi serak dan habis. Dengan lelah dan lemah lahir batin, Sian Eng kini duduk bersandar dinding. Mulailah ia menenteramkan hatinya dan memperhatikan sekeliling yang kini menjadi gelap sekali itu.

Setelah dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali kelelawar berseliweran di dalam ruangan itu. Mula­mula ia merasa heran, dari mana datangnya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia teringat bahwa di antara batu-batu penutup lorong itu terdapat lubang-lubang yang cukup lebar untuk diterobosi kelelawar-kelelawar itu. Pada saat itu, alangkah inginnya dia menjadi seekor kelelawar!

Semalam suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap pekat menghitam membuat Sian Eng merasa seperti menjadi buta, merupakan saat-saat yang amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan dan tersiksa oleh para kelelawar yang makin memenuhi ruangan itu dan menyambarnya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa seram dan ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan jalan ke luar sama sekali. Andai kata Suma Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda itu dapat membebaskannya dari kurungan batu­batu yang kokoh kuat ini? Sian Eng tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering.

Akhirnya, menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi ruangan itu, meraba-raba sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras otaknya.

“Aku harus hidup! Aku harus hidup!” terdengar ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit, kemudian ketika ada angin menyambar, ia cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu, namun sia-sia.

Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam gelap, binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu yang merupakan indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka sehingga sambaran tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian tiba-tiba gadis ini merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa kulit tengkuknya sakit sekali.

“Kurang ajar!” bentaknya.

Cepat ia mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit sudah terbang pergi lagi. Sian Eng meraba bekas gigitan, berdarah sedikit. Akan tetapi agaknya bau darah ini membuat binatang-binatang kecil itu menjadi ganas dan liar, karena secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari segala jurusan.

Sian Eng menggerak-gerakkan kedua tangannya, menampar ke sana-sini, mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan beberapa ekor kelelawar, akan tetapi gigitan-gigitan itu mengenai banyak bagian tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki. Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini terguling roboh ketika racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika ia roboh, binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya, menghisap darahnya!

Suma Boan yang menunggu di luar goa tanpa mengetahui keadaan gadis itu menjadi amat gelisah. Sudah tiga hari tiga malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul ke luar! Pemuda ini tetap bersembunyi di mulut goa, di belakang rumpun alang-alang karena ia khawatir kalau-kalau terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di waktu malam ia meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapa pun juga ia percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti.

Akan tetapi setelah lewat dua pekan masih juga belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa gelisah sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak mencinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka karena kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena memikirkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng tertangkap? Ataukah gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya itulah yang ia pikirkan.

Karena khawatir kalau-kalau usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari ke enam belas, pagi-pagi setelah matahari mulai bersinar, Suma Boan memasuki goa itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia melangkah maju dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia sampai di lorong yang membawanya ke ruangan yang kini tertutup batu. Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki lorong ini, ada cahaya terang sinar matahari dari ruangan, kalau sekarang, karena yang menyorot dari celah-celah batu penutup, maka keadaan hanya remang-remang saja.

Betapa kaget dan bingungnya hati Suma Boan ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup lorong. Jalan itu menjadi buntu! Dicobanya untuk mendorong batu itu, namun sia-sia belaka. Ia merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau celah-celah antara batu dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat lantai batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya matahari sudah memasuki sumur itu.

“Eng-moi!” Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema suaranya yang terdengar menggereng seperti suara dari alam lain.

“Sian Eng! Di mana kau?” Kembali ia berseru keras. Tetap sunyi.

Ah, tentu Sian Eng tidak berada di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia sendiri tidak mampu mendorong batu ini, apa lagi Sian Eng? Tentu, seperti juga dia sendiri gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini dan menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan di lorong bawah tanah ini, pikirnya. Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan hati-hati, meraba-raba dinding batu.

Ia kembali dan mencari jalan simpangan. Siapa tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan ini. Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena lebarnya hanya setengah meter saja.

Lorong kecil ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama Sian Eng. Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah ruangan lebar dan Suma Boan berdiri terpaku saking kaget dan seram. Lorong itu diterangi sinar kehijauan yang entah datang dari mana. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan tetapi ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seramnya.

Ruangan itu lebarnya kurang lebih dua tombak, panjangnya tiga tombak. Di tiap ujung berdiri sebuah rangka manusia yang lengkap dengan rahang terbuka seakan-akan hendak berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya, empat buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang, sebuah memegang golok, sebuah memegang joan-pian (semacam cambuk baja), dan yang sebuah lagi memegang tombak!

Suma Boan bukanlah seorang penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di antara Enam Iblis. Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakutkan dari pada empat buah rangka manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan dari empat buah rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak lagi? Pula, melihat keadaan ruangan yang aneh dan menyeramkan ini, agaknya di situlah disimpannya kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui! Oleh karena itu, dengan tabah hati Suma Boan melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan.

Tetapi alangkah kagetnya ketika ia sampai di tengah ruangan. Tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak menyerangnya dari empat penjuru! Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia memutar pedang menangkis. Ia memandang rendah. Jangankan hanya empat buah rangka mati yang entah bagaimana sekarang dapat bergerak menyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau hanya baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya bahwa sekali memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat membabat putus senjata-senjata dan tulang-tulang lengan mereka.

Terkejutlah Suma Boan ketika melihat betapa gerakan serangan mereka itu hebat dan aneh sekali. Senjata mereka tidak bergerak biasa, melainkan dengan gerakan tergetar, ada yang menyerong dan ada yang berbentuk lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat yang amat tinggi dan aneh! Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil menangkis sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat mencegah serampangan gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada punggungnya! Suma Boan merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat tertahankan lagi ia terguling roboh di atas lantai!

Kiranya empat buah rangka itu hanya satu kali saja menyerang karena kini secara otomatis mereka bergerak mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu di sudut-sudut ruangan itu. Kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan yang langsung merayap menghampiri Suma Boan.

Sebagai seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular kepala putih yang amat berbisa, yang gigitannya sekali saja dapat mendatangkan maut! Dan ia dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh alat rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka­rangka itu kalau ia menginjak lantai ruangan, maka jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari ruangan ini hanya dengan jalan merangkak perlahan-lahan.

Akan tetapi kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular itu akan menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang membuat gerakannya kurang cepat. Kalau ia menggunakan pedangnya melawan ular-ular itu, keselamatannya belum tentu terjamin. Pemuda bangsawan yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu menggunakan pedangnya, merobek dan memotong sebagian daging betis kirinya.

Karena pedangnya amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri ketika ia memotong betisnya. Gumpalan daging betisnya ia lemparkan ke tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma Boan mempergunakan kesempatan ini untuk merangkak pergi, dan begitu ia tiba di lorong, lalu ia menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.

Baru sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang dipotong daging betisnya. Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan membalut luka di betisnya setelah ia beri obat bubuk yang memang tersedia di saku bajunya. Kemudian ia berjalan lagi sambil berteriak-teriak memanggil Sian Eng.

Mulai gelisah hati Suma Boan. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan besar tentu tak mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong kecil ini pun takkan mungkin karena tentu akan bertemu ruangan rahasia yang amat berbahaya itu. Lalu ke mana perginya Sian Eng? Jangan-jangan gadis itu telah tertawan oleh orang-orang Beng-kauw, pikirnya. Kalau tewas tentu ia dapat melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor ular tadi menghabiskan seluruh badan mayat seseorang apa lagi tiga ekor ular tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan tidak mendapat mangsa.

Dengan tubuh sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan napasnya sesak. Cepat ia berhenti di tempat gelap dan mengumpulkan napas, mengerahkan sinkang-nya. Sebagai murid orang sakti, tahulah ia bahwa ia telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai mempengaruhinya! Kaget bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan pandang matanya kabur.

Hatinya lega ketika ia melihat sinar terang dari luar goa. Ia telah tiba di mulut goa dan tiba-tiba tampak olehnya bayangan seorang wanita berkelebat di depan goa itu.

“Moi-moi...! Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga...!” teriaknya girang sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar ke luar. Pandang matanya agak berkunang dan kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang berdiri di luar alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa lagi kalau bukan Sian Eng?

“Kekasihku...!”

“Tutup mulutmu yang kotor!” tiba-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras menyambar muka Suma Boan. Biar pun kepalanya pening, namun Suma Boan belum kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan bahkan berusaha mencengkeram lengan tangan gadis itu yang juga dapat menghindarkan diri.

“Moi-moi... kau hendak mengkhianatiku? Serahkan kitab-kitab itu, di mana kau sembunyikan?” bentak Suma Boan sambil menubruk lagi hendak memeluk gadis itu.

Dengan teriakan tertahan gadis itu mengelak dan menerjang Suma Boan dengan obor di tangannya. Kiranya cahaya terang yang kelihatan dari dalam goa oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah mulai gelap! Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan tangan melakukan pukulan jarak jauh dan... padamlah obor itu. Keadaan sudah menjelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca remang-remang.

Tampak bayangan lain berkelebat datang, “Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?” terdengar bayangan yang datang ini bertanya.

“Susiok (Paman Guru), dia ini Suma Boan si jahat itu. Dia baru keluar dari goa rahasia! Mari tangkap! Dia kelihatan seperti gila!” jawab Liu Hwee, gadis itu.

Sementara itu, ketika Suma Boan mendengar percakapan pendek ini, sadarlah ia bahwa ia telah keliru sangka. Gadis itu sama sekali bukanlah Sian Eng seperti yang dikiranya, melainkan Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, dan yang baru datang adalah Kauw Bian Cinjin, orang kedua dari Beng-kauw! Tanpa banyak cakap lagi ia lalu lari tunggang langgang secepat kedua kakinya bergerak. Liu Hwee juga melompat mengejar dan terjadilah kejar-mengejar di malam buta.

Kauw Bian Cinjin juga ikut mengejar, akan tetapi hanya sebentar ia kembali lagi. Ia pikir bahwa seorang lawan macam Suma Boan cukup ditandingi oleh Liu Hwee. Ia khawatir kalau-kalau kedatangan Suma Boan itu hanya pancingan belaka agar ia ikut pula mengejar, sedangkan siapa tahu kalau-kalau guru pemuda itu, It-gan Kai-ong yang akan datang beraksi! Karena itu Kauw Bian Cinjin tidak melanjutkan pengejarannya, melainkan melakukan perondaan di sekitar tanah kuburan Beng-kauw yang berada di atas lorong-lorong rahasia.

Demikian, seperti kita ketahui di bagian depan cerita ini, Kauw Bian Cin­jin bertemu dengan Suling Emas dan Lin Lin yang berada di depan kuburan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Kemudian Kauw Bian Cinjin minta bantuan Suling Emas untuk mencari-cari Liu Hwee yang belum juga tampak kembali. Suling Emas mengejar ke timur sedangkan Kauw Bian Cinjin mengejar ke utara.

********************


SULING EMAS dan Lin Lin mengejar ke timur dengan cepat. Tanpa disadari sendiri oleh gadis itu, kini ia dapat mengimbangi kecepatan Suling Emas, kemajuan yang luar biasa semenjak ia mempelajari ilmu peninggalan Pat-jiu Sin­ong, terutama sekali petunjuk-petunjuk cara bersemedhi dan mengatur napas. Gadis ini tidak menyadari hal itu, akan tetapi Suling Emas dapat menduganya karena dahulu gerakan Lin Lin tidaklah sehebat ini. Diam-diam pendekar ini menjadi amat khawatir.

Ilmu ciptaan Pat­jiu Sin-ong ini hebat sekali, baru satu jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat) yang pernah dipergunakan Lin Lin ketika ia mencobanya itu saja sudah luar biasa sekali saktinya. Kalau sudah terlatih matang, agaknya gadis ini akan menjadi salah satu orang sakti di dunia persilatan. Ia hanya khawatir kalau-kalau kepandaian sakti itu pada diri seorang gadis seperti Lin Lin akan menimbulkan keributan kelak. Ia tahu bahwa sesungguhnya kepandaian sebagian anugerah Thian (Tuhan) setelah jatuh pada diri manusia, menimbulkan dua macam hal bertentangan, yaitu baik dan buruk, tergantung dari pada si manusia itu sendiri. Dan manusia macam Lin Lin adalah manusia yang amat aneh, sukar sekali dimengerti.

Sampai sepekan mereka mengejar, belum juga mereka mendapatkan jejak Suma Boan mau pun Liu Hwee. Pada hari ke tujuh mereka sudah tiba di tapal batas wilayah Kerajaan Wu-yue dan berhentilah Suling Emas.

“Tiada guna,” katanya ketika mereka mengaso pada tengah hari yang panas itu di bawah pohon dalam hutan. “Tidak ada jejak mereka ke sini, agaknya bukan ke timur mereka menuju. Pula Kauw Bian Cinjin sudah melakukan pengejaran, tentu akan dapat menyusul dan menyelamatkan puteri Beng-kauw. Andai kata tidak dapat menyusulnya, Suma Boan akan bisa berbuat apakah? Kepandaiannya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kesombongannya.”

“Apakah kepandaian Liu Hwee itu hebat?” Lin Lin bertanya sambil memandang wajah tampan di sebelah kanannya. Kembali rasa cemburu menggerogoti hatinya karena ia menyaksikan sendiri betapa akrab hubungan antara Suling Emas dan Liu Hwee.

“Puteri tunggal ketua Beng-kauw tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Selain berilmu tinggi, juga pandangannya luas dan ia selalu hati-hati dan waspada,” Suling Emas memuji-muji sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Seketika bibir Lin Lin cemberut. “Sekali waktu aku ingin menandinginya, coba-coba siapa yang lebih lihai antara dia dan aku!”

Suling Emas yang tadinya duduk seperti melamun menjadi kaget, dan cepat menoleh memandang wajah gadis itu yang masih cemberut. Mulut dan mata gadis itu jelas membayangkan apa yang sedang bergejolak di dalam dada Lin Lin. Suling Emas tidak jadi menjawab, hatinya berdebar dan ia menarik napas panjang. Melihat wajah yang begitu mirip dengan wajah kekasihnya, Suma Ceng, hampir saja pertahanan hatinya bobol.

Bagaimana ia tidak dapat mencintai gadis yang wajahnya begini mirip Suma Ceng, yang wataknya begini aneh dan lincah jenaka, yang sudah pasti sekali akan mendatangkan cahaya bahagia di ruang dadanya yang gelap muram? Bagaimana takkan terobati luka-luka di hatinya, luka yang diakibatkan kegagalan cinta kasih, apa bila ia menerima uluran hati gadis ini? Namun tidak! Tak mungkin ia menerima cinta kasih Lin Lin. Ia tahu betul bahwa gadis ini mencintanya, semenjak... semenjak peristiwa di dalam gelap di malam hari dalam kamar perpustakaan istana dulu!

Semenjak ia memeluk dan mencium gadis itu tanpa disengaja karena mengira Lin Lin adalah Suma Ceng kekasihnya. Akan tetapi betapa mungkin ia menerima uluran cinta kasih itu betapa pun inginnya? Gadis ini adalah adik angkatnya. Hal pertama ini sungguh pun bukan merupakan penghalang besar, namun sudah merupakan penghalang. Kedua, gadis ini masih amat muda kalau dibandingkan dengan dia. Usia Lin Lin baru delapan belas tahun, sedangkan dia sudah berusia tiga puluh tahun! Tidak, ia harus tahu diri!

“He, mengapa kau diam saja? Bagaimana pendapatmu?” Tiba-tiba Lin Lin menepuk lengan Suling Emas yang menjadi kaget dan sadar dari lamunannya.

“Apa? Pendapat apa?” tanyanya tersenyum.

“Aku bilang tadi, ingin aku menandingi Liu Hwee untuk menguji kepandaiannya!”

“Hemmm, ada-ada saja kau ini. Tidak ada alasan sedikit pun juga bagimu untuk mencari perkara dengan puteri Beng­kauwcu (ketua Beng-kauw).”

“Siapa bilang tidak ada?” Sepasang mata yang jeli dan indah itu bersinar-sinar. “Banyak sekali alasannya!”

“Hemmm, apakah kesalahannya? Apa alasannya?” Suling Emas membantah, mengerutkan kening.

“Banyak, terutama sekali karena aku tidak mau kalah olehnya!”

Suling Emas melongo. Dia seorang jagoan yang sudah banyak makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak mengenal watak-watak orang aneh seperti iblis-iblis Thian-te Liok-koai. Akan tetapi sesungguhnya belum banyak pengalamannya dengan wanita, karena semenjak hatinya terluka oleh Suma Ceng yang dipaksa bercerai dari padanya dan menikah dengan orang lain, seakan-akan merupakan pantangan bagi Suling Emas untuk mendekati wanita. Karena itu ia sama sekali tidak mengenal watak-watak wanita dan tidak dapat menyelami lubuk hati Lin Lin. Akan tetapi melihat pandang mata yang begitu menantang dari gadis ini, pandang mata yang mengandung sinar kemesraan seperti kalau sepasang mata Suma Ceng memandangnya, Suling Emas segera menundukkan muka.

“Sudahlah,” katanya kemudian setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar tidak karuan. “Mari kita bicarakan urusan lain yang lebih penting. Lin-moi, kurasa di sini kita harus berpisah. Kulihat kau tidak rela menjadi murid Pat-jiu Sin-ong, hal ini pun tak dapat kupaksa. Akan tetapi pesanku, kau tidak boleh mempergunakan jurus-jurus ilmu yang kau dapatkan dari dalam tongkat Beng-kauw, karena kalau hal itu diketahui tokoh-tokoh Beng-kauw, kau pasti akan dimusuhi, dianggap sebagai pencuri ilmu peninggalan pendiri Beng-kauw.”

Akan tetapi Lin Lin sama sekali tidak memperhatikan atau pedulikan kalimat terakhir. Matanya terbelalak dan wajahnya berubah, karena kata-kata ‘berpisah’ itulah yang menggores hatinya.

“Berpisah?” ia tergagap. “Kenapa...?”

Suling Emas tersenyum duka. Kembali sikap gadis yang sewajarnya ini jelas menunjukkan bahwa Lin Lin tidak ingin berpisah dari padanya. Sama dengan Suma Ceng. Hanya bedanya, kalau Suma Ceng bersikap lemah dan menerima keadaan, sebaliknya gadis ini bersikap keras, agaknya takkan mau berpisah kalau tidak ia sendiri yang menghendaki.

“Tentu saja kita harus berpisah, karena jalan kita memang tidak sama. Kau kembalilah ke Cin-ling-san menyusul kakakmu Bu Sin. Biarkan aku sendiri mencari Sian Eng. Setelah dapat bertemu, tentu dia pun akan kusuruh menyusul ke Cin-ling-san.”

“Aku ikut! Aku juga hendak mencari Enci Sian Eng sampai dapat. Kita mencari bersama, bukankah lebih baik? Aku tidak akan menyusahkanmu, biar... biarlah aku mencari makan minumku sendiri!”

Mau tak mau Suling Emas tertawa. Benar-benar gadis ini kadang-kadang mempunyai pendapat dan jalan pikiran seperti kanak-kanak.

“Bukan begitu, Lin Lin. Banyak sekali urusan besar harus kuhadapi. Bahkan pertandingan puncak antara Thian-te Liok-koai di Thai-san sudah dekat waktunya, aku pun harus hadir di sana. Selain itu, kau melihat sendiri bahwa banyak orang kang-ouw memusuhi aku. Setiap langkahku terancam bahaya....”

“Aku tidak takut! Kalau mereka mengganggumu, aku akan hajar mereka! Apa kau kira aku ini seorang manusia yang tiada gunanya? Aku akan membantumu, juga di Thai-san!”

“Wah, kau mau menandingi iblis-iblis seperti Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong?”

“Aku tidak takut terhadap mereka. Aku akan memperdalam ilmu yang baru kudapatkan.”

“Hemmm, baru saja kupesan supaya kau tidak menggunakan ilmu peninggalan....”

“Kan mereka bukan orang Beng-kauw? Takut apa menggunakan ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong? Malah kalau aku dapat mengalahkan mereka dengan ilmu ini, bukankah berarti aku mengangkat nama Beng-kauw dan terutama nama pencipta ilmu ini? Roh Pat-jiu Sin-ong tentu akan tertawa melihat betapa ilmunya di tangan seorang gadis seperti aku dapat mengalahkan iblis-iblis jahat!”

Suling Emas merasa kalah berdebat. “Tak baik jadinya kalau ikut denganku, Lin Lin. Tidak bisa, kita harus berpisah. Atau... kau boleh menanti di Nan-cao, mari kuantar sampai di Nan-cao. Kau tinggal dulu di sana, menanti sampai aku dapat menemukan Sian Eng, baru kau dan enci-mu pulang bersama.”

“Tidak! Sekali lagi ti....”

Tiba-tiba tangan Suling Emas bergerak dan tahu-tahu mulut Lin Lin sudah didekapnya dengan telapak tangannya. Lin Lin memandang dengan mata terbelalak kaget dan heran, akan tetapi baru ia mengerti ketika Suling Emas menaruh telunjuknya di depan mulut dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara.

Kini baru Lin Lin melihat bahwa jauh dari depan tampak bayangan manusia berkelebat cepat sekali dan sebentar saja sudah lewat. Sukar dilihat siapa orang itu, hanya jelas tampak pakaiannya, pakaian wanita, juga bentuk tubuhnya ramping. Akan tetapi mukanya tidak tampak karena ketika lari menghadapkan muka ke sebelah sana. Yang mengagumkan adalah kecepatan larinya, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah.

“Seperti Enci Sian Eng...,” bisik Lin Lin terheran-heran.

Memang bentuk tubuh wanita itu seperti Sian Eng, akan tetapi pakaiannya bukan pakaian seorang ahli silat yang serba ringkas, melainkan pakaian seorang wanita dusun atau petani yang sederhana. Juga wanita itu rambutnya panjang terurai. Sungguh pun tidak sepanjang rambut Siang-mou Sin-ni, namun terurai sampai ke lutut belakang.

“Bukan, mari kita ikuti dia, mencurigakan sekali...!” kata Suling Emas yang sudah melompat dan mengejar.

Lin Lin terpaksa mengejar juga. Dengan sekuat tenaga Lin Lin mengerahkan ginkang dan berusaha lari mengimbangi kecepatan Suling Emas. Akan tetapi kali ini ia tertinggal karena kini Suling Emas betul-betul berlari cepat. Baru ia tahu bahwa kepandaiannya dalam berlari cepat masih kalah sedikitnya dua tingkat oleh pendekar yang dikasihinya itu. Sesungguhnya tidak demikian. Hanya karena belum matang dalam latihan ilmunya yang baru, maka Lin Lin masih kalah jauh. Namun sudah banyak maju kalau dibandingkan dengan sebelum ia mendapatkan ilmu itu.

Tiba-tiba Suling Emas berhenti ketika melihat Lin Lin tertinggal jauh. Ketika gadis itu sudah datang dekat, ia berkata. “Hebat ilmu lari cepat orang itu. Lin-moi, kau pegang tanganku!”

Tak usah menanti diperintah dua kali, Lin Lin menyambar tangan kiri Suling Emas. Kalau boleh ia tak ingin melepas tangan itu untuk selamanya! Akan tetapi tak sempat ia bermimpi muluk karena segera tubuhnya tersentak keras ke depan dan di lain saat ia terpaksa harus mengerahkan ginkang-nya lagi karena Suling Emas sudah membawanya lari seperti terbang cepatnya!

Namun, bayangan wanita di depan itu tetap tak dapat tersusul. Hal ini saja membuktikan betapa ilmu lari cepat wanita di depan itu betul-betul sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Lin Lin merasa kagum sekali dan ia pun ingin segera melihat siapa sebenarnya wanita itu.

Wanita di depan itu lari menuju ke timur. Setelah tiba di daerah pegunungan yang tandus dan sunyi, mulailah ia mengurangi kecepatannya dan akhirnya ia hanya berjalan kaki. Suling Emas mengajak Lin Lin terus mengikutinya dari belakang.

“Kenapa tidak susul dia? Aku ingin sekali melihat mukanya, ingin melihat siapa dia,” bisik Lin Lin.

“Sssttt, apa perlunya? Aku merasa curiga. Ilmu larinya bukan main, tentu dia seorang sakti. Aku ingin tahu dia hendak ke mana dan hendak berbuat apa. Serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi lupa lagi...,” kata Suling Emas.

Akan tetapi wanita itu benar-benar kuat sekali. Tak pernah ia berhenti berjalan sampai senja berganti malam! Lin Lin sudah merasa lelah sekali.

“Aku... aku tidak kuat lagi berjalan...” ia mengeluh. “Kakiku serasa hendak copot sambungan tulangnya. Mau apa sih mengikuti orang gila? Suling Emas, aku mogok, tidak kuat lagi...” Lin Lin tiba-tiba menjatuhkan diri duduk di atas tanah.

“Mari kupondong!” Suling Emas yang betul-betul tertarik oleh wanita di depan itu yang luar biasa ilmu lari cepatnya, tanpa ragu-ragu membungkuk dan memondong tubuh Lin Lin.

Gadis ini segera merangkul lehernya dan merebahkan kepala di atas pundaknya dengan hati penuh bahagia dan manja. Suling Emas hanya menghela napas dan melanjutkan perjalanan mengikuti wanita itu. Ia benar-benar merasa kasihan kepada Lin Lin, gadis aneh yang kadang-kadang menyebut ‘kanda’, ada kalanya menyebut ‘Suling Emas’ begitu saja kepadanya. Gadis yang bukan sedarah daging dengannya, lain ayah ibu, gadis berdarah bangsawan, puteri bangsa Khitan yang gagah perkasa.

Malam itu bulan muncul sepenuhnya. Bulan purnama. Lin Lin agaknya sudah lupa akan wanita yang mereka ikuti. Seluruh perasaannya tenggelam ke dalam laut bahagia dan mesra. Dengan bulan purnama di angkasa, suasana menjadi romantis sekali. Tidak salah kiranya orang tua yang mengatakan bahwa sinar bulan purnama mendorong dan merangsang hati muda ke arah kemesraan dan memperkuat pengaruh asmara.

Lin Lin masih merangkul leher Suling Emas, kepalanya rebah miring di atas pundak pendekar itu dan matanya ketap-ketip menatap wajah yang mencuri hatinya itu penuh cinta kasih. Sudah lebih tiga jam Suling Emas memondongnya. Sudah banyak berkurang kelelahan Lin Lin, namun gadis itu tidak sadar akan hal ini. Dirasanya baru sebentar ia dipondong!

“Koko...,” bisiknya di dekat telinga Suling Emas.

“Hemmm...?” Suling Emas menjawab acuh tak acuh karena perhatiannya tertuju ke depan. Wanita itu mendaki sebuah bukit kecil di mana terdapat tanah kuburan yang penuh dengan gundukan-gundukan tanah dan batu nisan!

“... ingin sekali aku selamanya berada di dalam pondonganmu...”

“Huh, kau bukan bayi! Sudah terlalu lama kau kupondong. Turun!” Suling Emas menurunkan Lin Lin dan baiknya sinar bulan berwarna kemerahan sehingga menyembunyikan muka pendekar ini yang menjadi merah sekali.

“Koko....”

“Hushhhhh... lihat itu....” Suling Emas menuding ke depan.

Teringatlah Lin Lin akan wanita yang tadi sudah ia lupakan sama sekali. Di dalam pondongan Suling Emas di malam penuh sinar bulan tadi, ia sudah lupa segala, yang teringat hanya dia dan Suling Emas, dunia ini hanya ada mereka berdua, ada urusan cinta kasih mereka, yang lain-lain tidak ada lagi! Sekarang ia teringat dan cepat memandang. Kagetlah hati Lin Lin ketika mendapat kenyataan bahwa mereka telah berada di daerah kuburan, bahkan Suling Emas dan dia sudah mengintai dari balik sebuah batu nisan, di bawah sebatang pohon kecil.

Dengan lenggang yang menunjukkan bahwa dia seorang yang masih muda dan berperawakan bagus sekali, wanita itu berjalan menghampiri sebuah makam, lalu menjatuhkan diri berlutut memeluk batu nisan sambil menangis tersedu-sedu!

“Ayah..., Ayah yang baik... ampunilah anakmu...,” ratap tangis wanita itu.

Sejenak Lin Lin tercengang, kemudian tak terasa lagi air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Teringatlah ia akan dirinya sendiri yang sudah yatim piatu, tiada ayah bunda lagi, bahkan dibandingkan dengan wanita di sana itu, dia lebih sengsara. Setidaknya wanita itu dapat menangisi kuburan ayahnya, sedangkan dia, di mana kuburan ayah bundanya saja tidak tahu!

Timbul rasa simpati dan kasihan kepada wanita yang berlutut dan tersedu-sedu itu, merasa senasib dan ia ingin mendekati dan menghiburnya. Perasaan ini menggerakkan kakinya dan Lin Lin sudah bangkit berdiri hendak melangkah maju. Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas memegang lengannya dan menahannya. Pendekar ini memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut. Lin Lin sadar bahwa mereka sedang mengintai, maka ia membatalkan niatnya dan menghapus air mata dari pipi, lalu mengintai dan mendengarkan.

“Ayah... ampunkan aku, Ayah. Anakmu telah gagal membalaskan dendam untukmu... dia terlalu sakti, bukan lawanku. Banyak tokoh kang-ouw bersamaku mengeroyoknya, tapi tanpa hasil. Ayah... tak mungkin aku dapat membalaskan sakit hatimu, tak mungkin aku dapat mengalahkan dia, pula... ampunkan aku, Ayah... anakmu ini... yang hina dina... tidak akan tega membunuhnya. Mungkin dapat aku memperdalam ilmu untuk mengalahkannya, akan tetapi... aku... aku cinta padanya. Aku mencinta Suling Emas putera musuh besarmu...,” kembali gadis itu tersedu menangis, kemudian tiba-tiba bangkit berdiri mengembangkan kedua lengannya berdongak memandang bulan purnama dan bersumpah.

“Ayah, semoga rohmu mendengarkan sumpahku, disaksikan oleh Dewa Bulan! Biar pun aku tidak akan dapat membunuh Suling Emas, namun aku bersumpah untuk membunuh semua isterinya kalau dia beristeri, dan semua anaknya kalau dia mempunyai anak!”

Sampai pucat wajah Suling Emas ketika ia mengenal suara dan wanita ini yang bukan lain adalah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian, puteri tunggal almarhum Hui-kiam-eng Tan Hui yang tewas di tangan ibunya! Bukan main hebatnya sumpah ini sehingga biar pun hati Suling Emas sekuat baja, namun ia menjadi pucat dan gemetar juga karena maklum bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya.

Sementara itu, Lin Lin tadinya juga pucat sekali mendengar ini, akan tetapi timbul kemarahannya mendengar pengakuan wanita itu yang mencinta Suling Emas dan bersumpah untuk membunuh anak dan isteri kekasihnya ini, membuat ia tak kuat menahan lagi. Dengan seruan yang merupakan lengking tinggi, hasil yang tak disadarinya dari pada ilmunya yang baru, ia telah melompat ke depan dan selagi wanita itu membalikkan tubuh dengan kaget dan heran, Lin Lin secara otomatis sudah melancarkan serangan berdasarkan ilmunya yang baru. Kedua kepalan tangannya yang kecil halus saling bertumbukan, namun tepat menghantam tubuh wanita itu secara berbareng.

Wanita itu menjerit dan terpental ke belakang, menabrak batu nisan ayahnya yang menjadi pecah seketika! Lin Lin sendiri berdiri terbelalak keheranan karena tidak mengira bahwa pukulannya akan sehebat ini, apa lagi kalau diingat betapa wanita ini memiliki kesaktian, terbukti dari ilmu larinya yang luar biasa.

“Lin-moi, jangan...!” Suling Emas berseru namun terlambat.

Andai kata Suling Emas tidak demikian terpengaruh oleh sumpah Tan Lian, agaknya pendekar sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia kini berkelebat dan tahu-tahu sudah membungkuk dan berlutut di depan tubuh Tan Lian yang rebah dengan mata meram dan muka pucat, mulut mengalirkan darah. Cepat Suling Emas memeriksa dan ia mengeluarkan seruan kaget. Ia sendiri kaget bukan main melihat akibat dari pada pukulan Lin Lin, karena setelah memeriksa ia mengerti bahwa keadaan Tan Lian parah sekali dan nyawa wanita ini takkan dapat ditolong lagi.

Pukulan itu telah meracuni darah dan meretakkan tulang-tulang! Kiranya tanpa disadarinya sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu pukulan dahsyat dari Pat-jiu Sin-ong yang disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut (Racuni Darah Patahkan Tulang)! Suling Emas maklum bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang hebat dan satu-satunya jalan untuk menolong Tan Lian hanya membawanya secepat mungkin kepada tabib yang sakti, karena tabib-tabib biasa saja takkan mungkin mampu menolongnya.

“Bocah lancang!” bentaknya kepada Lin Lin. “Mengapa memukul orang tak berdosa?” Setelah berkata demikian, Suling Emas menyambar tubuh Tan Lian dan dibawanya lari berkelebat lenyap dari tempat itu.

“Koko... tunggu...!” Lin Lin berseru keras sambil mengejar, akan tetapi Suling Emas tidak menjawab dan sudah tidak tampak lagi.

Lin Lin memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke mari, akhirnya ia menjatuhkan diri di pinggir jalan dengan napas terengah-engah dan air mata membasahi pipi.

“Dia marah kepadaku...,” pikirnya. “Mengapa marah? Perempuan itu musuhnya. Ah, aku harus mencarinya, dia harus menjelaskan sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san, aku pun akan ke sana, biar kunanti dia di sana.” Pikiran ini menguatkan hati Lin Lin dan menghilangkan kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat itu.

Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang jauh dan sukar, lagi amat berbahaya pada masa itu. Akan tetapi Lin Lin melakukan perjalanan dengan tekun, sabar, dan penuh keberanian. Apa lagi setelah ia dengan satu kali pukulan mampu merobohkan seorang yang lihai, seperti wanita di kuburan itu, timbul kepercayaan besar pada dirinya sendiri, kepercayaan bahwa ia mampu menghadapi siapa pun juga karena pada dirinya terdapat sebuah ilmu yang ampuh dan sakti.

Pikiran ini pula yang membuat Lin Lin makin rajin melatih diri dengan jurus-jurus yang hanya berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk cara menghimpun tenaga sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu yang terdiri dari pada tiga belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti).

Berpekan-pekan Lin Lin melakukan perjalanan menuju ke Thai-san, bertanya-tanya kepada para penduduk dusun dan kota yang dilaluinya. Akhirnya pada suatu hari sampailah ia di kaki Gunung Thai-san. Puncak gunung itu menjulang tinggi, tampak agung dan megah. Hati Lin Lin berdebar. Akan berhasilkah ia bertemu dengan Suling Emas di puncak itu? Bagaimana kalau dia tidak berada di sana? Dan wanita yang memusuhi Suling Emas itu, yang roboh karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas?

Hatinya tidak enak dan cemburunya makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu ternyata masih muda dan cantik jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia teringat betapa wanita itu dipondong oleh Suling Emas dan entah untuk berapa lamanya! Dan masih marah hatinya kalau ia mengenangkan bentakan Suling Emas yang marah-marah kepadanya dan memakinya sebagai bocah lancang. Dia lancang? Memukul seorang wanita yang memusuhi Suling Emas tapi juga mengaku cinta, lancangkah itu?

“Ah, Suling Emas, aku cinta kepadamu... demi cintaku maka aku memukul dia yang tidak kukenal.” Ia menghela napas dan duduk di pinggir jalan, menghapus keringatnya dengan sapu tangan. Hari itu ia telah melakukan perjalanan amat jauh dan enak rasanya menyandarkan tubuh pada batang pohon yang tua dan hampir mati, duduk di atas rumput hijau yang empuk dan ditiupi angin sejuk pada sore hari itu.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara derap kaki kuda. Jalan mulai sukar di bagian itu, maka penunggang kuda itu pun menahan kudanya dan maju perlahan-lahan melalui tanah yang tidak rata. Penunggangnya seorang laki-laki yang bertubuh tegap, memakai caping lebar seperti caping petani, akan tetapi dari balik pundaknya tampak gagang pedang. Melihat duduknya yang tegak lurus dan tidak bergoyang-goyang biar pun si kuda naik turun, Lin Lin mengerti bahwa penunggang kuda ini seorang yang berkepandaian. Akan tetapi dari jauh ia tidak dapat melihat muka yang tertutup caping itu.

Kuda makin mendekati tempat Lin Lin duduk. Penunggang kuda itu mengangkat muka, dan....

“Liong-twako...!” Lin Lin berseru sambil melompat bangun.

“Lin-moi...!”

Penunggang kuda itu, Lie Bok Liong, melompat dari atas punggung kudanya, lari menghampiri Lin Lin dan serta merta memeluknya dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya. Begitu besar kegirangan hati Bok Liong sehingga ia lupa diri seperti itu. Sedetik Lin Lin kaget dan jengah, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda ini untuknya ia membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada dada Bok Liong.

“Lin-moi... ah, Lin-moi... alangkah bahagia hatiku melihat kau, Moi-moi. Syukur kepada Tuhan bahwa kau selamat, bisa terbebas dari pada tangan Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang jahat!” seru Bok Liong dengan suara serak dan ketika Lin Lin merenggangkan diri dan memandang, hatinya terharu menyaksikan betapa pipi pemuda itu basah oleh air mata!

Dengan gerakan halus Lin Lin melepaskan diri dari pelukan itu. Ia tidak marah, tidak merasa terhina, bahkan terharu karena ia maklum bahwa pemuda ini benar-benar amat gembira dengan pertemuan ini sehingga berbuat agak melewati batas kesopanan.

“Twako, tenanglah, mari kita bicara yang enak. Aku pun girang sekali melihat kau selamat. Tadinya aku sudah khawatir sekali, mengira kau tentu tewas oleh kenekatanmu melawan Hek-giam-lo dan orang-orangnya.”

Lin Lin menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas rumput. Sambil berbuat demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir kalau-kalau ada orang melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi tempat itu amat sunyi, tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak makhluk lain kecuali kuda Bok Liong yang kini dengan enaknya makan rumput dengan peluh membasahi tubuh, tanda bahwa kuda itu pun baru saja melakukan perjalanan jauh.

Bok Liong tertawa, menghapus air matanya. “Ah, maafkan aku, saking girangku sampai tak tahan mengeluarkan air mata seperti bocah cengeng,” katanya.

“Bukan begitu, Twako. Kau terlalu baik hati. Kau telah berusaha berkali-kali untuk menolongku tanpa menghiraukan keselamatan dirimu. Betapa hancur hatiku ketika melihat kau tersiksa tanpa mampu menolongmu kembali. Akan tetapi, bagaimana kau dapat selamat? Aku mendengar bahwa kau tertolong oleh suhu-mu yang lucu itu.”

“Betul, Lin-moi. Suhu yang telah menolongku. Beliau merawatku sampai sembuh dan aku diminta tinggal bersama Suhu untuk memperdalam ilmu. Dan kau sendiri, yang sudah membuat aku putus asa, yang membuat aku hari ini tergesa-gesa hendak menemui Hek-giam-lo dan mengadu nyawa kalau tidak mau membebaskanmu, bagaimana kau dapat bebas dan tahu-tahu berada di sini?”

“Aku ditolong oleh Kim-lun Seng-jin.” Dengan singkat Lin Lin menceritakan pengalamannya dan tentu saja ia tidak menceritakan penemuannya tentang ilmu di dalam tongkat Beng-kauw, juga ia tidak mau menyebut-nyebut nama Suling Emas.

“Tapi mengapa kau bisa berada di kaki Gunung Thai-san ini, Lin-moi?” Bok Liong meraba tangan Lin Lin terus digenggamnya. “Tempat ini berbahaya sekali! Thian-te Liok-koai yang tinggal lima orang, Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, akan bertemu dan mengadu kepandaian di puncak gunung ini. Kalau sampai bertemu dengan seorang di antara mereka, hal itu amat berbahaya karena mereka adalah orang-orang yang sudah bukan manusia lagi, jahat seperti iblis.”

Lin Lin tersenyum dan senyum ini menyambar dan menancap di ulu hati Bok Liong, melebihi runcingnya pedang.

“Twako, justru kedatanganku ini hendak menonton pertandingan mereka. Tentu ramai sekali!”

Bok Liong melongo dan menggaruk-garuk rambutnya dengan sepuluh jari tangannya. “Nonton? Moi-moi, kau terlalu meremehkan mereka! Ketahuilah, kejahatan mereka sudah tersohor di kolong langit. Kadang-kadang mereka menyiksa dan membunuh orang secara begitu saja, secara sembarangan. Dalam gembira bisa saja mereka membunuh orang, apa lagi dalam marah atau duka. Pendeknya, sedikit persoalan saja cukup untuk mereka jadikan alasan menurunkan tangan iblis. Bahkan agaknya mereka berlomba untuk dapat disebut orang yang paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te Liok-koai merupakan sebutan kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di dunia! Moi-moi, mari kita pergi cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!” Kembali Bok Liong memegang tangan gadis itu erat-erat.

Lin Lin kembali merasa tidak enak tangannya dipegang erat oleh pemuda itu, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda itu, ia mendiamkannya saja, lalu menjawab, “Liong-twako, kenapa kau sekarang berubah begini penakut? Belum lama ini kau bahkan berani menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orangnya, menyerbu berkali-kali dengan keberanian yang membuat orang sedunia boleh merasa kagum. Kenapa sekarang kau takut? Dan pula, bukankah kau juga datang ke tempat ini? Andai kata tidak berjumpa denganku, kau hendak ke manakah?”

“Ah, Lin-moi, sudah kuceritakan kepadamu tadi. Aku sakit hati kepada Hek-giam-lo, mengira bahwa kau tentu celaka di tangan iblis itu. Oleh karena inilah setelah aku menerima gemblengan dari Suhu, aku sengaja datang ke sini karena teringat akan janji pertemuan para iblis di sini. Aku pasti akan bertemu dengan Hek-giam-lo di puncak dan akan kuajak dia bertempur sampai mati kalau dia tidak bisa mengembalikan kau. Moi-moi, sebelum bertemu denganmu, aku menjadi nekat dan tidak ingin hidup lagi kalau kau tewas di tangan Hek-giam-lo. Akan tetapi setelah kini melihat kau selamat, aku pun ingin hidup, Moi-moi!” Ucapan ini terdengar gemetar penuh perasaan dan mata pemuda itu menatap wajah Lin Lin penuh cinta kasih, membuat Lin Lin terharu dan ia pun membalas pegangan itu dengan mesra.

“Hemmm, kau selalu memikirkan tentang keselamatanku tanpa menghiraukan keselamatanmu sendiri, Twako. Andai kata aku menuruti kehendakmu tidak jadi naik ke puncak untuk nonton pertandingan hebat, lalu kau hendak mengajakku ke mana?”

Tiba-tiba Bok Liong berlutut dan memegangi kedua tangan Lin Lin sambil memandang tajam dan suaranya gemetar, “Lin Lin, Moi-moi... aku... aku akan mengajakmu ke Cin-ling-san, menemui bibi gurumu, aku... aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku....”

Bukan main kagetnya hati Lin Lin. Memang, tentu saja ia tahu bahwa pemuda ini mencintanya, akan tetapi mendengar bahwa Bok Liong hendak meminangnya dari tangan bibi gurunya, ia benar-benar menjadi kaget dan wajahnya seketika berubah pucat. Ia menarik kedua tangannya dan bangkit berdiri.

“Tidak... tidak... Liong-twako, aku... menganggapmu sebagai kakak sendiri, seorang kakak yang baik. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara... tapi aku tidak... tidak....”

Bok Liong yang masih berlutut memegang kaki kanan Lin Lin, suaranya penuh permohonan, “Lin Lin, dewi pujaan hatiku... aku cinta kepadamu, Lin Lin. Perlukah ini kujelaskan lagi? Aku mencintaimu semenjak pertemuan kita yang pertama, aku rela mati untukmu... sudilah kau menerima cintaku, bukan sebagai adik, melainkan sebagai calon teman hidup selamanya. Aku bersumpah akan membahagiakan hidupmu selamanya Moi-moi....”

Air mata bercucuran dari sepasang mata Lin Lin. Hatinya amat terharu dan ia yakin bahwa andai kata ia menjadi isteri pemuda ini, sudah pasti hidupnya akan terjamin dengan kasih sayang yang suci. Akan tetapi wajah Suling Emas terbayang di depan matanya, membayang di antara air mata dan tak mungkin ia menerima pinangan pemuda lain selama bayangan wajah ini tidak lenyap dari kenangannya. Ia tahu bahwa Lie Bok Liong adalah seorang pendekar muda pilihan, seorang gagah perkasa yang berhati emas, satria sejati. Namun hatinya telah terampas oleh Suling Emas dan ia hanya memiliki sebuah hati untuk diberikan kepada pria idamannya.

“Tidak, Liong-twako...!”

Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan kakinya terlepas dari pelukan Bok Liong dan tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan pemuda itu, lari seperti terbang mendaki gunung Thai-san!

Sejenak Lie Bok Liong tercengang, mukanya pucat sekali, pandang matanya sayu mengikuti bayangan gadis pujaannya yang sebentar saja sudah menghilang di balik pepohonan. Ia menghela napas panjang, meramkan kedua matanya, menggigit bibir kemudian bangkit dan berjalan perlahan, mendaki gunung itu pula. Ia merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia tidak putus asa. Lin Lin tidak pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak mencintanya, hanya menolak, mungkin karena malu, mungkin karena kaget dan gelisah. Hal ini memang mungkin sekali, sebagai seorang gadis remaja yang mendengar pengakuan cinta dan pinangan dari seorang muda. Ia tidak putus asa dan akan berlaku sabar.

Akan tetapi hatinya khawatir bukan main melihat gadis itu mendaki puncak Thai-san yang ia tahu amat berbahaya pada waktu itu dengan akan hadirnya iblis-iblis itu. Ia harus mengejar, harus menyusul dan siap untuk membela dan melindungi Lin Lin dari pada marabahaya. Gurunya, Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa pada hari-hari pertandingan para iblis di pun­cak Thai-san, gurunya itu akan datang untuk menonton pula. Dan agaknya hanya orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti gurunya itulah yang akan berani datang untuk menonton pertandingan berbahaya itu. Maka hatinya menjadi besar dan dengan tabah Lie Bok Liong terus mendaki lereng gunung yang amat curam dan sukar dilalui itu.

Baru sekarang teringat olehnya betapa cepatnya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin ketika lari dari padanya mendaki gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian gadis itu hanya sebanding saja dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah malah. Bagaimana tadi ia melihat Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung sedangkan dia sendiri merasa betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia harus bergerak dengan hati-hati dan lambat!

Ketika Lie Bok Liong tiba di daerah gunung itu yang penuh batu besar, di sebuah lereng di punggung gunung Thai-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang terkekeh ketawa. Kagetnya bukan main karena ia tidak melihat bayangan orang, mengapa tahu-tahu ada suara ketawa yang menyeramkan ini? Ia menengok dan memandang ke sana ke mari, namun tidak juga melihat bayangan orangnya.

Bulu tengkuk pemuda ini berdiri. Biar pun ia tidak percaya akan setan yang dapat muncul di siang hari, ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti di tempat itu. Masih untung kalau orang sakti yang baik bagi Bok Liong, akan tetapi suara ketawa itu bukan muncul dan mulut seorang sakti yang baik, melainkan dari mulut seorang iblis sakti yang bukan main kejamnya, yaitu It-gan Kai-ong sendiri!

Kini kakek ini muncul dari balik sebuah batu besar dan mukanya lebih buruk dari pada dulu. Punggungnya makin bongkok, rambutnya yang riap-riapan itu kotor sekali, penuh lumpur dan debu. Mukanya keriputan begitu dalamnya seperti tersayat, matanya yang tinggal sebelah itu melotot sedangkan mata yang buta mengeluarkan air lendir, mulutnya terkekeh dan dari ujung bibirnya mengalir air liur. Tangannya memegang sebatang tongkat butut.

“Heh-heh-ho-hah! Orang muda, pakaianmu seperti seorang kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa kebisaanmu?”

Di dalam hatinya Bok Liong mendongkol sekali, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang iblis sakti yang sama sekali tak boleh dipandang ringan, ia segera menjura dalam-dalam dan menjawab dengan sikap sopan. “Kai-ong (Raja Pengemis) yang mulia, harap maafkan bahwa saya tidak tahu Locianpwe (Orang Tua Gagah) berada di sini sehingga terlambat menyampaikan salam.”

“Hua-hah-hah, kau mengenal aku? Akan tetapi aku tidak mengenal kau.”

“Mana mungkin Locianpwe mengenal saya yang tidak ternama dan bodoh ini? Akan tetapi saya kira Locianpwe sudah mengenal Suhu.”

“Heh-heh, tak perlu kau perkenalkan, aku akan tahu sendiri. Terima ini!” Tiba-tiba tongkat butut di tangan itu bergerak dan tahu-tahu sudah mengancam jalan darah maut di dada kiri Bok Liong dengan totokannya!

“Aaaiiihhhhh!” Bok Liong terkejut sekali, akan tetapi sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, jurus-jurus silatnya sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerak otomatisnya berjalan dan ia berhasil mengelak dari totokan ini.

Melihat gerakan itu, terutama sekali bagian tubuh belakang yang megal-megol, It-gan Kai-ong tertawa sambil menarik kembali tongkatnya. “Heh-heh, kau murid si tukang gambar edan Gan-lopek! Mana gurumu? Suruh dia muncul!”

“Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani memanggil Suhu kalau beliau tidak berkenan muncul atas kehendak sendiri,” jawaban Bok Liong ini mencerminkan kecerdikannya.

Ia tidak tahu apakah gurunya sudah berada di gunung ini, dan ia pun tidak mau membohong dan menyombong bahwa gurunya akan melindunginya. Akan tetapi jawaban itu membayangkan bahwa gurunya mungkin ada dan mungkin tidak, jadi tidak membohong akan tetapi sekaligus merupakan peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek berada di situ maka ia tidak boleh mengganggu murid orang sakti itu!

Akan tetapi It-gan Kai-ong adalah seorang manusia iblis yang sukar digertak. “Heh-heh-heh, kalau begitu gurumu tentu belum datang. Sayang sekali, sebetulnya aku hendak membekuk mampus gurumu itu agar kujadikan bukti bahwa korbanku bukan orang biasa. Akan kagumlah iblis-iblis itu kalau aku berhasil membawa orang she Gan si tukang gambar ke puncak. Menangkapmu tiada gunanya, kau orang tiada guna dan tidak berarti. Tapi kau sudah bertemu denganku di Thai-san, maka kau harus mampus!”

Kaget sekali Bok Liong. Ia bersiap-siap. “Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?” Biar pun ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut dan tidak gemetar.

“Huah-ha-ha! Semua iblis yang datang ke sini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.” Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan dan menjijikkan ini membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong. “Cuh-cuh!”

Dua gumpal ludah menyambar bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah waspada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan amblas masuk ke dalam batu besar di belakangnya!

“Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!” Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun setiap titik air menuju ke arah jalan darah dengan kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.

Bok Liong memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua percikan air ludah itu. Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.

“Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.

Bok Liong sibuk sekali dan ia mengerahkan sinkang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari samping sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke samping.

“Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini,” pikir Bok Liong dan menangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapa pun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang!

Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya membuat It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya serangan ludahnya sudah cukup untuk menewaskan lawan yang muda.

“Eh, kau boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!” Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang ke arah dirinya.

Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur dengan loncatan­loncatan lincah. Namun akhirnya ia terpaksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar, siap mencaploknya!

“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh, dan tongkat bututnya mendesak makin dahsyat.

Betapa pun dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara berdesing. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang dengan nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.

It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapa pun juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu. Kakek ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya seakan-akan serasa patah.

Namun dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya ‘terbuka’ dan tidak terlindung. Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan dengan pengerahan tenaga Im.

Akan tetapi tiba-tiba pedang itu terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia celaka karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan ‘menyedot’ sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.

Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada. Tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya berubah, melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai tepat akan membahayakan keselamatan nyawa. Akan tetapi karena memang kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.

“Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhkan pukulan maut.

Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia bergulingan cepat sehingga ia terlepas dari pada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar!

Pada saat itu sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.

“He, pengemis iblis picak! Kau apakan muridku? Mana dia sekarang?”

“Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?” Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.

Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya. “Jembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau, beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu, tua sama tua!”

“Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?”

“Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong. Kau telah membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”

“Majulah, siapa takut kepadamu?”

Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Keduanya tidak main-main lagi, maklum bahwa lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya. Ada pun Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan kanan sedangkan, yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.

Ada lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga dahsyat dan angin pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.

“Wesssss!” tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek.

Pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya, melakukan dua kali totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi dengan gerakan tubuh yang tepat raja pengemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka sekarang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh menegang.

Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan. Akan tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan pertahanan sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah ‘lubang’ dan hal ini berbahaya.

Inilah sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kai­ong sudah menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.

Biar pun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkar­lingkar dan seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya. Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek.

Tubuh kakek ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk menghindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apa lagi dengan gerakan khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.

Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya sudah amat tinggi dan betapa pun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja. Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga setelah saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, belum juga ada yang tampak terdesak.

Memang harus diakui bahwa pihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya yang lihai selalu gagal! Di lain pihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah mengerahkan sinkang-nya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek pelukis itu, apa lagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka Empek Gan.

“Heh, jembel busuk!” Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan... air itu menyambar balik, kembali ke arah tuannya.

Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan ‘ilmu’ meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya melengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.

“Ayaaa...!” Gan-lopek berseru terkejut.

Baru kali ini ia menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia memaksa diri untuk menangkis dan mengerahkan lweekang-nya, namun tetap saja ia ikut terputar oleh daya serang tongkat yang menimbulkan kekuatan seperti angin puyuh ini sehingga tubuhnya berpusing tak tertahankan lagi! Ia tidak tahu bahwa inilah ilmu yang telah dipelajari oleh It-gan Kai-ong dari kitab rampasannya dari tangan Bu Kek Siansu, yaitu kitab yang separuh terampas olehnya sedangkan separuhnya lagi terampas oleh Hek-giam-lo.

Tadinya It-gan Kai-ong tidak ingin mengeluarkan ilmu ini sebelum ia berada di puncak Thai-san dan berhadapan dengan anggota-anggota Thian-te Liok-koai yang lain, hendak menggunakannya sebagai ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan tetapi karena Gan-lopek merupakan lawan yang ampuh dan ulet bukan main, saking mendongkolnya, It-gan Kai-ong segera mengeluarkannya dan hasilnya bukan main!

Sayang bagi It-gan Kai-ong, ilmu itu hanya sebagian saja ia miliki, sedangkan bagian lain berada di tangan Hek-giam-lo, maka ia seperti kenal kepala tidak kenal buntut, tahu awal tidak tahu akhir. Lawannya sudah ‘tertawan’ oleh daya serangannya, sudah ikut berpusing, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan ilmunya dan merobohkan lawan. Betapa pun juga, dalam keadaan berpusing seperti itu banyak lowongan terdapat dalam kedudukan Gan-lopek. Dengan terkekeh-kekeh beringas It-gan Kai-ong menggerakkan tongkathya untuk memberi pukulan maut kepada lawannya ini. Tongkatnya sudah berkelebat menusuk ke arah lambung!

“Trakkkkk...!” tiba-tiba segulung sinar kuning menyambar dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong yang menusuk lambung Gan-lopek, disusul ucapan nyaring. “Gan-lopek, jangan takut, biarkan kutusuk matanya yang sebelah dan kau coret-coret mukanya dengan tinta hitam putih!”

It-gan Kai-ong kaget sekali karena tangkisan pedang itu membuat kakinya tergeser. Tidak hebat tenaga orang yang baru datang ini, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Ia terbelalak heran dan matanya yang tinggal satu itu mengeluarkan sinar berapi ketika ia mengenal bahwa yang datang menolong Gan-lopek ini ternyata hanya seorang gadis remaja yang bukan lain adalah Lin Lin.

Lebih-lebih kaget dan herannya ketika Lin Lin sudah mengerjakan pedangnya, Pedang Besi Kuning menerjang dengan gerakan-gerakan yang luar biasa sekali. Karena tadinya ia memandang rendah, menyangka bahwa gadis ini masih seperti dulu yang tidak seberapa kepandaiannya, It-gan Kai-ong tadinya berlaku lambat. Siapa tahu kesalahan menduga ini hampir mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu dengan gerakan melingkar sudah mendekati tenggorokan dan ketika ia mengelak, tahu-tahu ujung pedang sudah dekat sekali dengan matanya yang tidak buta, merupakan serangan yang luar biasa sekali dan agaknya matanya akan benar-benar ditusuk!

Baiknya It-gan Kai-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya ini, menangkis atau mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan... air ludahnya muncrat ketika bertemu pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata sudah dapat menahan pedang sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis pedang yang datang agak terlambat karena tangkisan air ludah tadi.

“Wah, kotor! Keparat busuk, manusia jorok! Pedangku kena ludahnya! Celaka...!” Lin Lin melompat mundur dan menggosok-gosokkan pedangnya pada batang pohon untuk menghapus air ludah yang menempel di situ!

Ada pun It-gan Kai-ong yang merasa kaget sekali menyaksikan gerakan pedang Lin Lin, maklum bahwa kalau ia dikeroyok, akan berbahaya baginya. Ia seorang sakti, akan tetapi sebagai seorang manusia iblis tentu saja ia tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan kelicikan. Melihat bahwa keadaan dirinya berada di pihak lemah, selagi Lin Lin ribut membersihkan pedang, ia cepat menggunakan kesempatan untuk melesat pergi sambil berseru.

“Gan-lopek, kegembiraanku lenyap dengan datangnya gangguan seorang bocah. Lain kali kita lanjutkan!”

“Dia curang, dia licik, main kotor!” Lin Lin memaki-maki, kemudian menoleh kepada Gan-lopek dan berkata, “Gan-lopek, apakah kau juga datang hendak menonton pertandingan para iblis itu?”

Sejenak, seperti juga It-gan Kai-ong tadi, Gan-lopek tertegun, dan tercengang menyaksikan gerakan pedang Lin Lin. Akan tetapi ia segera tertawa. “Ha-ha-ha, si iblis mata satu itu kiranya jeri menghadapi seorang nona!” Lalu kegembiraannya mereda ketika ia teringat akan muridnya.

“Nona yang baik, muridku terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat baiknya, bukan? Mari bantu aku mencarinya, mudah-mudahan dia masih hidup!”

Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar ini dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut kakek itu menuruni jurang dengan hati-hati melalui jalan memutar yang tidak begitu terjal. Jurang itu amat curam dan betapa pun pandainya seorang manusia biasa yang tidak pandai terbang seperti burung tak mungkin dapat menuruninya tanpa memilih jalan memutar. Oleh karena jalan memutar inilah maka sejam lebih kemudian baru mereka berdua dapat sampai ke dasar jurang dan mulai mencari-cari. Namun tidak ada jejak mau pun bayangan Lie Bok Liong!

Ke manakah pemuda yang tadi terjungkal masuk ke dalam jurang itu? Apakah tubuhnya sudah hancur lebur terbanting dari tempat yang amat tinggi sehingga tidak ada bekasnya lagi? Agaknya akan begitulah kalau tidak terjadi hal yang kebetulan dan aneh, dan yang menyelamatkan nyawanya.....

Ketika tubuhnya terjungkal dan melayang turun dengan kecepatan mengerikan, Bok Liong sudah yakin bahwa ia tentu akan tewas. Namun sebagai seorang yang berjiwa gagah, ia menggigit bibirnya dan menahan diri agar tidak berteriak ketakutan. Bahkan kedua tangannya lalu mencengkeram sana-sini, mencari pegangan. Tentu saja ia tidak dapat mencari apa yang akan dipegang atau disambarnya, karena ia hanya melihat bayangan-bayangan batu terbang ke atas di sampingnya, amat cepat memusingkan kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang terlampau dekat dengan batu menonjol terbentur pada batu itu. Karena yang terbentur itu adalah pundaknya dan kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok Liong merasa kepalanya seolah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan pikirannya menjadi gelap, ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.

Ia tidak tahu betapa sebelum tubuhnya menimpa batu-batu di dasar jurang, tiba-tiba berkelebat bayangan yang berseru aneh, lalu bayangan ini melesat ke arah ia akan jatuh, menggerakkan kedua tangannya dan tubuhnya terayun naik lagi. Karena kekuatan luncuran tubuhnya tadi amat keras, kini oleh bayangan itu dibelokkan dan membalik ke atas lagi, maka ada empat lima meter tubuhnya melayang ke atas, lalu turun kembali dan disambut oleh kedua tangan bayangan itu.

Hanya sebentar Bok Liong pingsan. Ketika ia membuka kedua matanya, ia merasa kepala dan lehernya basah semua. Ia gelagapan dan membuka matanya, seketika ingat bahwa ia tadi melayang jatuh. Ketika ia bangun, kiranya ia sudah duduk di atas batu. Dan tak jauh dari situ ia melihat seorang wanita muda berjalan pergi. Melihat tubuhnya tidak hancur, biar pun ada luka-luka sedikit dan pundaknya sakit, Bok Liong menjadi heran dan mengira bahwa dia tentu sudah mati. Inikah neraka? Ia menjadi bingung dan melihat wanita muda itu cepat ia memanggil.

“Heeeiii, Nona, tunggu...!”

Gadis itu menengok sebentar, akan tetapi lalu lari pergi.

“Eh, kau Sian Eng...!” Bok Liong begitu heran sampai ia meloncat berdiri, tidak mempedulikan rasa nyeri di pundaknya dan melompat lari mengejar. Biar pun hanya sekali menoleh, ia mengenal wajah itu, wajah Sian Eng! Akan tetapi dalam sekejap mata saja bayangan gadis itu sudah lenyap dan kecepatan yang luar biasa ini membuat Bok Liong berhenti termangu-mangu.

“Aku tentu sudah mati... dan agaknya Sian Eng juga sudah mati... tentu ini alam baka...,” pikirnya sambil kembali duduk di atas batu.

Akan tetapi sedikit demi sedikit pikirannya menjadi terang kembali. Ia masih dapat merasa, tubuhnya masih lengkap, pikirannya masih utuh dan ia tahu bahwa ia berada di dalam jurang, bahwa It-gan Kai-ong berada di atas jurang sana dan kakek itulah yang membuat ia terguling ke dalam jurang. Entah bagaimana ia tidak terbanting remuk. Agaknya Sian Eng yang telah menolongnya, betapa tidak mungkinnya hal ini terjadi.

Sian Eng cukup ia kenal. Tidak hanya orangnya, malah ia kenal pula kepandaiannya, tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya, malah jauh lebih rendah. Bagaimana gadis itu mau menolongnya? Bagaimana caranya? Dan andai kata benar Sian Eng gadis itu tadi, dan Sian Eng menolongnya, mengapa tadi terus pergi dan mengapa ada bayangan yang begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya halus peramah itu?

Ketika teringat lagi bahwa It-gan Kai-ong masih di atas dan mungkin sekali kakek itu akan mencari jalan ke bawah dan melihatnya masih hidup, Bok Liong segera menguatkan diri, berdiri dan pergi cepat-cepat dari tempat itu. Untung pundaknya tidak patah tulangnya, hanya luka kulit dan daging di bahu saja.

Inilah sebabnya mengapa Lin Lin dan Gan-lopek tidak dapat menemukan Bok Liong, bekas-bekasnya pun tidak. Hal ini membuat Gan-lopek terheran-heran, akan tetapi Lin Lin segera menjatuhkan diri di atas batu dan menangis tersedu-sedu.

“Eh-eh, mengapa kau menangis?” Gan-lopek bertanya heran.

Lin Lin tidak menjawab, tetapi terus menangis keras dan akhirnya dengan kata-kata bercampur isak ia berkata, “Kasihan... Liong-twako... tentu telah hancur lebur... ah, Liong-twako kau orang yang amat baik... mengapa mengalami nasib begini buruk? Mati pun tidak ada kuburnya... ah, Liong-twako...!” Lin Lin menangis makin keras karena memang gadis ini merasa kasihan dan berduka.

“Hush, bocah tolol, kenapa kau bicara yang bukan-bukan? Siapa bilang Bok Liong sudah mati?”

Seketika terhenti tangis Lin Lin dan ia berdongak memandang wajah kakek itu dengan mata merah. Diam-diam si kakek girang sekali melihat bahwa gadis ini betul-betul menangisi Bok Liong muridnya, tanda bahwa gadis ini betul-betul mencinta muridnya.

Melihat pandang mata Lin Lin penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya tadi, Gan-lopek segera tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya terbanting ke dasar ini, biar pun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di saat itu.”

Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul kakek itu dan... menangis lagi.

“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?” Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen kalau muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk sebelah tangan, cinta kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.

Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon ‘mantu murid’ ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di panggung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mungkin juga mereka disangka iblis-iblis penjaga jurang!

“Eh, nanti dulu. Kenapa kau tertawa?” Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.

Lin Lin akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini berkata, “Banyak sekali hal yang patut membikin aku tertawa, Kek,” tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.

“Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”

“Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”

“Hemmm, lalu hal apa lagi yang membikin kau tertawa selain hal yang kau sebutkan tadi?”

Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.

Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khikang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal ini tidak menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khikang dan sinkang-nya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.

Maka terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari dasar jurang membubung naik sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri! Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang bergirang tertawa karena keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti orang kegirangan, melainkan sungguh-sungguh dan seperti orang mengerahkan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!

“Stop...! Stop...!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.

Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk ‘mendorong’ gadis itu dalam ‘pergulatan’ tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu. Setelah berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah mereka dari pada pertandingan khikang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.

Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan berkata, “Kau hebat, Kek!”

Si tua menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk. “Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau... ah, hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biar pun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”

Lin Lin kaget. “Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andai kata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”

“Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah mendengar dari Bok Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak seperti yang kau perlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”

Kini Lin Lin benar-benar merasa heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya yang tadi mendatangkan khikang luar biasa yang membuat Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.

“Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan berguna!”

Empek Gan tertawa. “Wah, boleh... boleh... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak demikian dengan perutku. Perutku perih sekali!” Tiba-tiba terdengar ‘ayam berkokok’ dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa geli.

“Tunggulah, Kek. Betapa pun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan perut perih.” Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali.

Di dalam hatinya, Lin Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera menggunakan kecerdikannya untuk ‘mengambil hati’ melalui perut lapar Kakek Gan.

********************


Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Empek Gan, dan mari kita selidiki siapakah gerangan gadis yang telah menolong Bok Liong secara aneh itu? Menurut pandangan Bok Liong, gadis itu mirip benar dengan Sian Eng, akan tetapi tidak mau berhenti ketika ia dipanggil.

Siapakah gadis itu sesungguhnya? Pandang mata Bok Liong yang tajam memang tidak salah. Gadis itu adalah Sian Eng! Akan tetapi kita tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng tidaklah amat tinggi, dan sebaliknya, cara menolong Bok Liong yang melayang jatuh dari atas jurang itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kesaktian luar biasa. Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan dan pengalaman Sian Eng.

Telah kita ketahui bahwa Sian Eng dapat dibujuk oleh laki-laki yang dikasihinya, Suma Boan, untuk memasuki lorong rahasia di bawah tanah bekas tempat sembunyi Tok-siauw-kui yang belasan tahun lamanya bertapa dan bersembunyi di tempat ini. Dan kemudian betapa Sian Eng terjebak ke dalam ruangan di bawah tanah oleh alat-alat rahasia yang agaknya telah dipasang orang sehingga ia terkurung oleh empat dinding batu tanpa dapat mencari jalan ke luar karena jalan ke luar satu-satunya hanya mendorong batu yang menutup lorong, padahal batu itu beratnya ribuan kati dan ternyata Suma Boan sendiri dari luar ruangan itu tak mampu menggerakkan batu ini!

Di bagian depan cerita ini, kita tinggalkan Sian Eng dalam keadaan roboh dan dikeroyok oleh kelelawar-kelelawar kecil beracun yang menyerangnya dengan gigitan, lalu menyedot darahnya. Setelah roboh dan merasa betapa kelelawar-kelelawar itu menyerbunya, Sian Eng diserang rasa takut dan ngeri yang bercampuran dengan sakit di seluruh tubuhnya. Gigitan binatang-binatang kecil itu mendatangkan rasa panas, gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke mari, menjerit-jerit seperti orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian dan ketakutan itu timbullah suatu kenekatan yang luar biasa, kemarahan yang secara aneh membuat ia tiba-tiba mendapatkan kekuatan baru.

Sian Eng meloncat bangun, kedua tangannya mencengkeram kelelawar-kelelawar yang masih menempel di tubuhnya, membanting, menginjak, bahkan ia lalu menggigit kepala binatang-binatang kecil itu, meremukkan kepala dan menghisap darahnya. Rasa sakit yang amat hebat membuat gadis ini seperti tidak ingat lagi akan keadaan sekitarnya, yang ada di dalam ingatan hanya membalas, membunuh, mengamuk!

Pergulatan menyeramkan di gelap ini, seandainya terjadi di tempat terang dan kelihatan orang lain tentu akan membuat orang merasa ngeri dan seram. Gadis itu sudah tidak karuan lagi pakaiannya, robek sana-sini, rambutnya terurai awut-awutan. Juga tingkah lakunya seperti orang gila. Ia bergulingan, kadang-kadang meloncat berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa, lalu menangis, semua ini karena penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa takut dan ngeri. Akan tetapi tiada hentinya ia membunuh kelelawar dan bahkan mulai makan dagingnya dan minum darahnya.

Semalam suntuk Sian Eng bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk di ruangan itu dan entah sudah berapa banyak darah yang diminumnya, daging yang ditelannya. Akhirnya malam pun berakhir berganti pagi dengan ditandai seberkas cahaya memasuki ruangan. Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir kelelawar-kelelawar. Akan tetapi Sian Eng juga kehabisan tenaga, menggeletak terlentang pingsan di atas bangkai-bangkai kelelawar! Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh bintik-bintik merah dari darah yang keluar dari luka-lukanya.

Sehari penuh Sian Eng menggeletak di atas bangkai-bangkai kelelawar di dalam ruangan di bawah tanah itu, setengah pingsan setengah tidur, atau seperti telah mati. Akan tetapi setelah matahari tenggelam dan ruangan itu menjadi gelap, kelelawar-kelelawar kecil mulai beterbangan kemudian menyerangnya. Sian Eng seperti dibangunkan dan seakan-akan seekor hantu betina atau kuntilanak yang hanya ‘hidup’ di waktu malam, ia bangkit lagi dan seperti malam kemarin, kembali terjadi pertandingan dengan kelelawar-kelelawar kecil yang menyerang dan mengeroyoknya secara ganas sekali...


BERSAMBUNG KE JILID 14