Cinta Bernoda Darah Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 07

Toat-beng Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar, bibirnya yang tebal, dan giginya yang besar-besar. Dengan hati berdebar penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba matanya terbelalak lebar. Yang terikat seperti babi kebiri hendak dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi memang Bok Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan pemuda itu, biar pun keadaannya juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong melainkan seorang kakek yang pringas-pringis (menyeringai) dan matanya meram melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang hangat!

Agaknya sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan keheranan ini menarik perhatian Toat-beng Koai-jin. Kakek ini segera menengok ke arah ‘panggangannya’ dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu dengan muka yang meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis panjang, tubuh yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia jumpai di rumah Ouw-kauwsu!

Kakek yang menggantikan kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata, “Ahhhhh... nikmatnya! Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah begitu kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras? Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kau panggang seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”

“Demi Iblis! Siapakah kau ini orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri dan siap bertempur. Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu yang sikapnya gila-gilaan itu sebenarnya memiliki kepandaian hebat. Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh.

kho ping hoo serial cinta bernoda darah jilid 07


"Hua-ha-hah, Toat-beng Koai-jin, kita memang baru tadi saling berjumpa. Tak perlu tanya namaku, tapi kau sudah melakukan dosa besar terhadapku. Kau tua bangka yang tak lama lagi mampus, tidak tahu malu, beraninya hanya mengganggu orang-orang muda yang masih hijau. He, pemakan bangkai, tahukah kau bahwa pemuda yang akan kau panggang hidup-hidup tadi adalah muridku?”

Toat-beng Koai-jin menggereng seperti seekor singa kelaparan. “Bagus! Mari tua sama tua mengadu kepandaian!” serunya sambil menerjang maju, sepuluh buah kuku-kuku yang runcing tajam itu mencengkeram.

“Tak tahu malu!” Empek Gan, kakek lucu itu, berseru.

Benar-benar sepak terjang Toat-beng Koai-jin kali ini amat licik, masa menerjang lawan yang masih terikat dan terpanggang di atas api? Empek Gan cepat menggulingkan dirinya dan kaki tangannya bergerak, kayu-kayu dan daun-daun yang masih terbakar itu kini terbang berhamburan ke arah Toat-beng Koai-jin!

Si kakek liar terkejut bukan main, cepat ia mengibaskan kedua lengannya. Biar pun serangan kakek pendek itu tidak berbahaya, namun api merupakan senjata yang tak terlawan dan sedikit banyak tentu akan melukai kulitnya. Ketika kayu dan daun yang menyala itu runtuh semua, Empek Gan kini telah berdiri tegak, telah memakai pakaiannya dengan lengkap.

“Benar-benar kakek yang luar biasa,” pikir Lin Lin yang masih duduk sambil menonton dengan hati tertarik. Begitu mendengar bahwa kakek itu adalah guru sahabatnya, guru Lie Bok Liong, hatinya begitu girang sehingga ia lupa akan penderitaannya sendiri. Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti bahwa sahabatnya itu tentu telah tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan besar tertolong. Apa lagi ketika melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu itu dapat menyerang lawannya dengan api kemudian dalam sekejap mata saja sudah memakai kembali pakaiannya, ia makin heran dan kagum.

Segera kedua orang kakek sakti itu bertempur hebat. Entah dari mana dapatnya, Gan-lopek atau Empek Gan sudah memegang hek-mou-pit (pensil bulu hitam) di tangan kanan dan pek-mou-pit (pensil bulu putih) di tangan kirinya, dan ketika kedua tangannya bergerak yang tampak hanya dua gulungan sinar putih dan hitam yang kecil panjang dan kuat, saling libat dan kemudian bersama-sama menerjang Toat-beng Koai-jin.

“Ho-ho, tahan dulu! Kiranya kau ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar Toat-beng Koai-jin berseru kaget, akan tetapi ia sendiri tidak menghentikan gerakannya.

“Hi-hi-hik, setan bangkotan pemakan bangkai! Kita sama-sama tua, sama-sama terkenal sebagai tua bangka gila. Hayo keluarkan semua kepandaianmu, kerahkan segala kekuatanmu, selagi aku ada kegembiraan untuk melayanimu!” Sepasang senjatanya, pensil butu hitam dan putih, bergerak secara aneh, seperti orang sedang melukis, akan tetapi nyatanya si kakek liar menjadi sibuk sekali menghindar ke sana ke mari, malah lalu mundur-mundur sampai mepet batu besar. Sinar hitam dan putih terus mengurung dirinya, kakek liar itu mendengus-dengus dan akhirnya menggereng-gereng lalu melarikan diri, atau bertempur sambil berlari, dikejar terus oleh Gan-lopek yang masih terdengar suaranya terkekeh-kekeh.

“Lin-moi, kau mengalami banyak kaget?”

Lin Lin terkejut, cepat menengok dan giranglah hatinya melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Lie Bok Liong. Pemuda ini sudah memakai pakaian lagi, akan tetapi masih tampak betapa pakaiannya robek di sana-sini. Cepat Bok Liong membebaskan Lin Lin dari ikatan kaki tangan dan mulut.

“Berbahaya sekali...,” Lin Lin mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”

“Suhu...”

“Wah, Suhu-mu hebat! Memang badut dia, tapi hebat!”

Muka Bok Liong menjadi merah, ia tersenyum dan menjawab, “Memang Suhu paling suka main-main. Menurut kata Suhu sendiri, hidup ini adalah main sandiwara, dunia ini panggungnya dan kita manusia anak-anak wayangnya. Bagi Suhu, main sandiwara yang paling menyenangkan adalah menjadi pelawak, hidup satu kali harus pandai tertawa dan mengajak orang lain tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis. Lihat, setelah Suhu menggantikan aku dipanggang, dalam bertempur melawan Toat-beng Koai-jin yang lihai itu pun Suhu masih main-main!” Dalam kata-katanya ini jelas terdengar bahwa ia merasa bangga sekali akan kelihaian gurunya.

Lin Lin memandang dan ia menjulurkan lidahnya ke luar saking kagumnya. Memang hebat Gan-lopek, lawannya demikian sakti, akan tetapi masih ada kesempatan untuk membadut dan memamerkan keahliannya, yaitu melukis! Bagaimana tidak mengagumkan? Di atas batu karang di mana tadi Toat-beng Koai-jin bertempur membelakangi batu, tampak lukisan hitam putih yang amat hidup, yaitu lukisan Toat-beng Koai-jin sendiri! Begitu bagus lukisan ini, persis aslinya, punuknya, gendutnya, air liurnya yang muncrat-muncrat!

“Wah, Suhu-mu jago menggambar! Kau tentu pandai pula, Twako?”

“Ah, kepandaian Suhu melukis memang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu itu tak pernah diturunkannya kepada siapa pun juga. Suhu amat pelit dengan ilmunya melukis ini. Katanya, kalau diturunkan kepada murid tiada artinya, malah merugikan. Kalau muridnya menjual hasil gambarannya, bukankah itu meremehkan dirinya? Kalau tidak pun apa gunanya?”

“Twako, apakah kau sudah berhasil menemukan Enci Sian Eng?”

Bok Liong mengangguk. “Baru saja aku mendengar dari Suhu. Kau tahu, setelah kuselidiki, ternyata Nona Sian Eng ikut bersama Suma Boan pergi menuju ke Nan-cao pula, dan....”

“Apa? Bagaimana? Enci Sian Eng ikut Suma Boan? Mana mungkin! Tentu diculik!”

Bok Liong menggeleng kepala. “Aku pun masih heran, tapi kenyataannya enci-mu itu melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Karena mereka berdua dikawani Tok-sim Lo-tong yang amat lihai, sedangkan kepandaian Suma Boan sendiri pun sudah terlalu tinggi bagiku, maka terpaksa aku lalu mohon bantuan Suhu. Kami mengejar dan sampai di sini, Suhu turun tangan mengajak pergi enci-mu dari samping Suma Boan.”

“Di mana sekarang Enci Sian Eng?” Lin Lin bertanya, hatinya penuh penasaran dan tak mengerti mengapa enci-nya bisa melakukan perjalanan bersama putera pangeran itu.

“Baru saja Suhu memberi tahu bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada dengan Suling Emas, melakukan perjalanan ke Nan-cao.”

“Kalau begitu mari kita cepat menyusul ke sana, Twako. Wah, tadinya kuharapkan kau dapat bertemu dengan Enci Eng dan melakukan perjalanan bersamanya, siapa kira, sekarang malah aku yang melakukan perjalanan bersamamu, sedangkan Enci Eng kembali bersama... eh, dia!” Diam-diam Lin Lin mendongkol dan teringat akan pedangnya, ia makin gemas. “Celaka, pedangku lenyap ketika bertanding melawan kakek ibils yang gila tadi!”

“Kalau perlu kau boleh pakai pedangku ini, Moi-moi. Mari kita berangkat, siapa tahu kalau kita melakukan perjalanan cepat, akan dapat menyusul mereka.”

Berangkatlah dua orang muda ini menuju ke Nan-cao yang tidak jauh lagi dari situ. Lin Lin menjadi pendiam kali ini. Tidak saja ia masih bingung dan heran memikirkan bagaimana enci-nya dapat melakukan perjalanan bersama Suma Boan, juga diam-diam ia merasa penasaran karena sikap Suling Emas terhadapnya masih terlalu dingin dan tidak acuh. Alangkah jauh bedanya antara sikap Suling Emas dan sikap Lie Bok Liong terhadapnya. Kalau saja sikap Suling Emas terhadapnya semanis sikap Bok Liong, ah...! Andai kata begitu, ada apa? Tidak apa-apa, hanya... alangkah akan senang hatinya!

********************


Tiongkok pada masa itu masih dalam keadaan terpecah-pecah menjadi banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di samping beberapa buah kerajaan besar. Kerajaan Sung setelah dapat mempersatukan Lima Dinasti yang batasnya di utara sampai ke tembok besar, di selatan sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, di barat sampai ke Propinsi Kan-su dan ke timur sampai ke laut, merupakan kerajaan terbesar.

Seperti diketahui, pendiri Kerajaan Sung Cao Kuang Yin, hanya berhasil menyatukan lima kerajaan utara itu. Akan tetapi kerajaan-kerajaan kecil di selatan Sungai Yang-ce-kiang masih amat banyak. Di luar tembok besar sebelah utara terus ke timur masih dalam kekuasaan bangsa Khitan yang amat kuat. Di Se-cuan terdapat Kerajaan Shu, di sebelah timurnya ada kerajaan kecil yang disebut Nan-ping sebelah timur lagi Kerajaan Nan-tang, lalu disambung Kerajaan Wu-yueh di pantai timur. Di sebelah selatan Kerajaan Nan-ping dan Kerajaan Shu inilah terdapat Kerajaan Nan-cao, di sebelah selatan lagi Kerajaan Nan-han dan Kerajaan Min.

Cao Kuang Ying atau setelah menjadi kaisar berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, tidak berhasil menundukkan kerajaan-kerajaan di selatan ini. Biar pun Kerajaan Sung tidak lagi melakukan perang secara terbuka, akan tetapi sering kali terjadi bentrok hingga di antara mereka terjadilah ‘perang dingin’.

Akan tetapi kaisar pertama dari Kerajaan Sung ini adalah seorang yang amat bijaksana. Pada tahun pertama dari pemerintahannya, pada suatu pagi yang cerah ia mengumpulkan semua jenderal-jenderalnya yang telah berjasa dalam membantunya mendirikan Kerajaan Sung. Berkatalah sang Kaisar ini. “Para panglimaku, setiap malam aku tidak dapat tidur nyenyak.”

Tentu saja para panglima itu terheran dan bertanya apa yang menyebabkan demikian.

“Jelas sekali sebabnya,” jawab Kaisar Sung Thai Cu. “Siapakah di antara kalian yang tidak merindukan singgasana dan mahkotaku?”

Para panglima itu berlutut dan membantah. Seorang di antara mereka yang tertua mewakili teman-temannya, “Duhai Sri Baginda yang mulia. Tuhan telah menentukan Paduka menjadi Kaisar, bagaimana Paduka masih menyangsikan hal ini? Siapakah di antara hamba sahaya yang berani menentang dan memiliki hati khianat?”

“Aku percaya akan kesetiaan hati kalian, para panglimaku yang gagah. Akan tetapi, andai kata pada suatu pagi yang buruk seorang di antara kalian dibangunkan dari tidur dan dipaksa mengenakan pakaian kuning (pakaian raja), betapa pun hatimu tidak setuju, tapi bagaimana kamu akan dapat menghindarkan pemberontakan?”

Sibuklah para panglima itu menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun di antara mereka memiliki hati seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang cukup berharga untuk menjadi kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan sembah. “Ampun, Sri Baginda yang mulia. Apa bila hal itu mengganggu ketenteraman hati Paduka, mohon Paduka mengambil langkah-langkah yang Paduka anggap terbaik untuk mencegah terjadinya kemungkinan itu. Hamba sekalian akan taat dan tetap setia kepada Paduka yang mulia.”

Kaisar Sung Thai Cu tersenyum, mengelus-elus jenggotnya yang hitam lalu bersabda, suaranya nyaring dan kata-katanya lancar karena memang hal ini sudah direncanakan lebih dahulu. “Hidup di dunia ini amatlah pendek. Yang disebut bahagia adalah memiliki harta dan kesempatan untuk menikmati hidup, kemudian meninggalkan kemuliaan itu kepada anak cucu. Karena itu, para panglimaku yang setia, pilihlah jalan ke arah kebahagiaan ini. Kalian kuperkenankan melepas pakaian panglima, mengundurkan diri ke daerah pedalaman, di sana memilih tempat tinggal yang paling menyenangkan, menikmati hidup di hari tua penuh ketenteraman. Bukankah ini jauh lebih baik dari pada hidup tak berketentuan nasibnya dan selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian, di antara kita tidaklah terdapat bayangan kecurigaan, tidak akan ada fitnah-memfitnah, curiga mencurigai. Kita akan saling mengikat dengan pernikahan-pernikahan antara keturunan kita sehingga antara raja dan pembantunya terdapat persababatan dan persatuan yang kokoh kuat.”

Mendengar ini, tentu saja para jenderal dan panglima segera menyatakan persetujuan mereka, dan pada hari-hari berikutnya mereka mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Kaisar menerima semua permohonan ini, membagi-bagi tanah dan jasa kehormatan berupa hadiah-hadiah dan titel.

Demikian, dengan cara yang cerdik dan halus ini Sung Thai Cu membersihkan istana dari pada kemungkinan-kemungkinan terjadi perebutan kekuasaan dan pemberontakan-pemberontakan. Dan agaknya siasat yang dijalankan kaisar pertama Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan pula hati raja-raja kecil yang berkuasa di luar daerah yang dikuasai Kerajaan Sung. Mereka merasa suka dan memperlihatkan sikap damai, kecuali Kerajaan Khitan, Nan-cao, dan Wu-yueh yang agaknya merasa bahwa mereka terlampau kuat untuk bersikap mengalah terhadap Kerajaan Sung!

Sungguh pun Sung Thai Cu memiliki banyak keturunan, di antaranya adalah putera-putera, namun mereka itu masih kecil-kecil. Karena itulah, mentaati perintah yang dipesankan ibu suri menjelang kematiannya, yang diangkat menjadi pangeran mahkota, yaitu calon pengganti kaisar adalah adik kaisar sendiri yang kelak terkenal dengan sebutan Sung Thai Cung, kaisar kedua Ahala Sung. Peristiwa ini pun tercatat dalam sejarah, merupakan pelajaran yang amat baik bagi para kaisar khususnya dan para pemimpin negara pada umumnya dan dianggap sebagai kebijaksanaan ibu suri. Beginilah kurang lebih percakapan yang terjadi di dalam kamar ibu suri ketika ibunda kaisar ini berada di ambang kematian karena usia tua.

“Puteraku Baginda, apakah yang menyebabkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan?”

Sebagai seorang anak berbakti yang selalu menjunjung tinggi nama baik dan nama besar leluhurnya, Kaisar Sung Thai Cu menjawab, “Ibunda yang mulia, ananda menerima anugerah Tuhan dengan kemuliaan ini semata-mata mengandalkan kebijaksanaan dan budi kebaikan yang sudah ditanam oleh para leluhur kita, terutama sekali karena kebijaksanaan Ibunda.”

Senang juga hati nenek yang sudah lemah jasmaninya namun masih amat kuat ingatannya itu. “Anak baik selalu berusaha mengangkat tinggi orang tua...! Puteranda sayang, bukan... bukan aku, bukan pula leluhurmu yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Satu-satunya sebab yang memungkinkan puteranda hari ini menjadi Kaisar Kerajaan Sung Utara, bukan lain adalah karena kebodohan kaisar terakhir dari Kerajaan Cou! Puteranda harus dapat belajar dari sejarah, harus dapat mengenal kelemahan bekas lawan agar diri sendiri jangan sampai mengulangi kebodohan dan kelemahan bekas lawan itu. Kaisar terakhir dari Cou telah begitu bodoh untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya yang masih kecil untuk menggantikan kedudukannya. Kebodohan itulah yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Tak mungkin sekarang puteranda akan mengulangi kebodohan seperti itu.”

Inilah ucapan ibu suri yang sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar tertegun dan termenung. Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang telah lalu. Setelah Kerajaan Tang roboh oleh pemberontak, lahirlah Kerajaan Liang yang hanya bertahan selama tujuh belas tahun. Segera digulingkan oleh seorang panglima perang lain yang mendirikan Kerajaan Tang Muda yang lebih pendek lagi umurnya, hanya empat belas tahun. Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin Muda, hanya dua belas tahun umurnya. Kerajaan keempat yang menggantikannya adalah Kerajaan Han Muda, kerajaan ini malah hanya empat tahun umurnya dan kemudian sekali, lahirlah Kerajaan Cou yang bertahan hanya sepuluh tahun lamanya. Demikianlah sedikit sejarah tentang Lima Wangsa yang terbayang di dalam ingatan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kaisar dari Lima Wangsa itu adalah panglima-panglima perang belaka, yang memperebutkan kedudukan dan saling menggulingkan.

Memang tepat ucapan ibunya. Kaisar terakhir dari Kerajaan Cao telah menyerahkan kedudukannya kepada puteranya yang masih kecil, di bawah pimpinan ibu tiri. Itulah yang memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao Kuang Ying, melakukan pemberontakan dan merampas singgasana. Pengalamannya ini pula yang membuat Cao Kuang Ying setelah menjadi Kaisar Sung Thai Cu, selalu gelisah dan menyindirkan keadaannya kepada para panglimanya. Karena sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena dia ‘terpaksa’ pula. Pada pagi hari, para panglima membangunkannya dari tidur dan ‘memaksanya’ mengenakan pakaian kuning, pakaian raja. Dia diangkat sebagai raja atau kaisar baru dan terjadilah pemberontakan melawan Kerajaan Cou yang dirajai seorang anak-anak itu.

Dan ini sebabnya mengapa pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan putera kaisar, melainkan adiknya. Dan ini pula yang membuat kaisar pertama Kerajaan Sung ini dikenal sebagai seorang kaisar bijaksana, tidak mementingkan diri atau keturunan sendiri.

Cukup kiranya sekelumit tentang keadaan Kerajaan Sung Utara yang mem­punyai ibu kota atau kota raja di Kai-feng (sebuah kota di Propinsi Ho-nan), dan marilah kita meninjau keadaan kota raja Nan-cao di sebelah selatan yang sedang menghadapi perayaan besar itu.

Kerajaan kecil yang wilayahnya meliputi satu propinsi ini keadaannya lebih tenteram dari pada kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri. Rakyatnya tunduk kepada pimpinan dan jarang terjadi kejahatan-kejahatan yang menyolok. Hal ini sesungguhnya adalah berkat pengaruh Agama Beng-kauw yang boleh dibilang menguasai pimpinan kerajaan. Raja sendiri bukan hanya pemeluk Agama Beng-kauw, akan tetapi lebih dari pada itu, malah terhitung keponakan dari ketua Beng-kauw dan juga amat tekun serta aktip dalam memajukan agama ini.

Ketua Beng-kauw sendiri atau disebut kauwcu (ketua agama) mempunyai kedudukan tinggi di dalam istana karena dia menjadi koksu (guru atau penasehat negara). Ketua Beng-kauw bernama Liu Mo, adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Lengan Delapan) Liu Gan yang sudah meninggal dunia seribu hari yang lalu dan yang akan diperingati kematiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang kakaknya, Liu Mo ini memiliki kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia adalah tokoh nomor satu di Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan ditakuti oleh semua orang.

Usia Liu Mo sudah amat tua, tak seorang pun di Nan-cao dapat mengetahui berapa tuanya, akan tetapi tubuhnya masih kelihatan sehat dan wajahnya masih segar dan penuh semangat, biar pun ia terkenal sebagai seorang yang pendiam dan hanya bicara seperlunya saja. Ada yang mengatakan bahwa usianya tentu lebih dari seratus tahun. Tak seorang pun dapat membuktikan kebenaran atau kebohongan kata-kata ini. Akan tetapi Liu Mo tidak peduli akan usianya dan buktinya, ia mempunyai empat orang isteri yang cantik-cantik!

Hanya seorang di antara isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai anak seorang, Liu Hwee, anak perempuan tunggal ini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan kecantikan dan kelihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya. Untuk memperkuat kedudukan ayahnya dan juga menjaga keamanan di istana, Liu Hwee telah membentuk sepasukan pengawal wanita yang terdiri dari pada seratus orang gadis-gadis muda dan cantik, yang kesemuanya telah ia latih ilmu silat, ilmu pedang, ilmu panah dan menunggang kuda!

Kerajaan-kerajaan tetangga juga tidak ada yang berani mengganggu Nan-cao. Puluhan tahun yang lalu, beberapa buah negara kerajaan tetangga pernah mencoba untuk memusuhi kerajaan kecil ini, namun mereka kena gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu dipimpin oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebagai ketua Beng-kauw dan koksu, melakukan perlawanan dan para penyerbu itu dipukul hancur. Semenjak itu, tidak ada yang berani mencoba-coba lagi dan Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama Beng-kauw dipandang sebagai negara kecil yang kuat.

Mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebetulnya adalah tokoh pertama yang membawa masuk Agama Beng-kauw ini dari daerah barat. Dia memang keluarga kerajaan, seorang pangeran yang lebih suka mengejar ilmu dari pada mengejar kemuliaan dan kedudukan. Puluhan tahun ia menghilang ke barat dan setelah kembali, ia telah menjadi seorang pendeta atau ahli Agama Beng-kauw dan memasukkan agama ini ke dalam negerinya. Tentu saja pada permulaannya ia ditentang, akan tetapi segera para penentangnya itu roboh seorang demi seorang oleh kesaktiannya yang hebat. Akhirnya ia terkenal sebagai tokoh paling sakti di Nan-cao dan agamanya diterima, ia menjadi kauwcu (ketua agama) dan sekaligus diangkat menjadi koksu oleh raja yang masih keponakannya sendiri.

Pernah diceritakan sedikit dalam cerita ini tentang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Seperti juga adiknya, mendiang Liu Gan ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang juga amat sakti dan terkenal dengan julukannya, Tok-siauw-kui (Setan Cilik Beracun). Namanya Liu Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas. Hampir tiga puluh tahun yang lalu, ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih seorang gadis remaja berusia dua puluh tahun, cantik jelita dan lihai, ia terlibat dalam cinta asmara dengan Kam Si Ek, seorang panglima yang muda dan gagah perkasa dan yang bertugas di Shan-si.

Mula-mula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak setuju akan pilihan puterinya, karena ia selalu bermimpikan seorang mantu raja. Akan tetapi karena Liu Lu Sian keras hati dan nekat, akhirnya ayahnya mengalah dan menikahlah Liu Lu Sian dengan Kam Si Ek. Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Tok-siauw-kui amat terkenal, banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang tergila-gila kepadanya. Bagaimana sekarang memilih suami seorang seperti Kam Si Ek, seorang jenderal yang kepandaiannya tidak banyak artinya?

Namun tak seorang pun berani menyatakan kekecewaan mereka secara berterang, apa lagi menentangnya. Dengan bantuan isterinya yang memiliki kepandaian jauh melebihinya, Kam Si Ek mendapat kemajuan dalam tugasnya. Dalam memukul mundur suku bangsa Khitan, berkali-kali isterinya ini memberikan bantuan. Agaknya kehidupan mereka penuh bahagia, saling mencinta.

Akan tetapi, siapa saja yang mengira bahwa kesenangan atau kesusahan duniawi ini kekal abadi, dia akan kecewa. Susah senang hanyalah permainan perasaan belaka dan semua ‘permainan’ ini tidaklah kekal adanya. Demikian pun dengan hidup. Susah senang tergantung yang menjalani dan yang merasakannya berdasarkan penerimaannya sendiri. Baik buruknya keadaan rumah tangga, tergantung dari pada si suami dan isteri sendiri karena rumah tangga ibarat bangunan yang dibangun oleh suami isteri.

Pembangunan yang gawat ini membutuhkan pencurahan segala kemampuan yang ada, membutuhkan pengertian dan kesabaran agar bangunan yang dibangun itu menjadi kokoh kuat, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, bagaikan batu karang nan kokoh, kuat menahan hantaman ombak samudera kehidupan. Sebaliknya, kalau suami isteri membangun benteng rumah tangganya secara ‘sambil lalu’ saja, hanya dengan kegairahan dan semangat pada permulaannya saja, buta oleh nafsu yang selalu dibakar oleh renungan yang muluk-muluk dan indah-indah namun segera padam oleh kenyataan yang kadang-kadang berlawanan dengan renungan muluk, maka rumah tangganya, umpama batu karang, bukanlah batu karang yang kokoh kuat. Rumah tangganya akan mudah pecah, seperti batu karang pasir yang mudah digerogoti air laut sehingga bolong-bolong kemudian pecah, hancur berantakan!

Alangkah bahagianya suami isteri yang membentuk rumah tangganya dengan berhasil tadi. Ada suka dinikmati bersama, ada duka dipikul berdua. Suka dibagi makin bertambah, duka dibagi serasa ringan. Suka si isteri suka si suami, duka si suami duka isteri. Kalau sudah begini, barulah rumah tangga bahagia namanya dan dari rumah tangga inilah lahirnya anak-anak yang baik, calon-calon manusia yang jiwanya berlandaskan cinta kasih penuh pengorbanan.

Sayang tidak demikian dengan Jenderal Kam Si Ek dan Liu Lu Sian. Dua orang ini saling mencinta, saling tergila-gila. Hal yang lumrah. Kam Si Ek seorang pemuda tampan dan gagah perkasa, perempuan mana yang takkan tergila-gila? Sebaliknya, Liu Lu Sian terkenal cantik jelita dan lihai, pemuda mana takkan tergila-gila? Inilah yang disebut cinta buta, cinta nafsu, cinta yang berdasarkan kecantikan atau ketampanan muka, berdasarkan nafsu birahi yang timbul di kala orang menyaksikan keindahan muka dan tubuh lain jenis.

Dan cinta yang dibutakan oleh nafsu ini, seperti menjadi sifat nafsu sendiri, dikobar-kobarkan oleh renungan muluk-muluk, kemudian padam kalau sudah menjadi kenyataan. Jika nafsu masih menyala, berkobar-kobar oleh renungan muluk dan indah, yang tampak hanya yang indah-indah saja, seperti api yang berkobar selalu indah dipandang, kalau tangan sudah tersentuh hangus baru sadar bahwa di balik yang indah itu belum tentu menyenangkan!

Dalam buaian cinta nafsu, segala yang tampak pada diri si dia hanya indah semata, segi buruknya tersembunyi atau disembunyikan, tak tampak atau sengaja tidak dilihat. Kalau tujuan cinta nafsu sudah tercapai dalam pernikahan, baru tampak segi-segi buruknya dan kagetlah si perenung, ngerilah si korban cinta nafsu. Inilah yang disebut cinta buta, sebetulnya cinta nafsu yang membuat mata orang menjadi buta!

Bumi langit bedanya dengan cinta murni, cinta dengan mata melek yang melihat kebaikan, juga keburukan dari pada yang dicinta, biar baik biar buruk tetap dicinta dan berusaha memperbaiki segala keburukan yang dicinta. Inilah cinta, siap sedia berkorban, demi kebahagiaan yang dicinta, bukan semata cinta karena cantik atau tampan. Melihat setangkai kembang mawar harum, tangan memetik hidung menciumi, membelai-belai, kemudian si kembang layu dan si pemetik membuangnya dengan rasa jijik. Inilah sifat cinta nafsu, cinta buta, cinta birahi!


Setelah Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, mulailah cinta kasih di antara mereka melayu, seperti kembang mawar tadi. Timbul percekcokan-percekcokan kecil yang segera berkembang menjadi percekcokan besar. Dan kalau suami isteri sudah cekcok, lenyaplah segala yang indah-indah, hanya yang buruk-buruk saja tampak. Isteri secantik bidadari berubah seperti kuntilanak, suami tampan dan menyenangkan berubah menjadi keledai yang menjijikkan. Lenyaplah cinta, pergi tanpa bekas. Pergi? Bukan, melainkan pian-hoa (malih rupa) menjadi benci! Memang, cinta dan benci saudara kembar, bersifat Im dan Yang!

Memang pada dasarnya, watak kedua orang ini jauh berbeda. Liu Lu Sian terlalu lama, semenjak kanak-kanak, berkecimpung di dunia kang-ouw dan bergaul dengan tokoh-tokoh dunia hitam. Malah ia sendiri memiliki watak liar dan ganas, sampai-sampai mendapat julukan Setan Cilik Beracun. Sebaliknya, Kam Si Ek adalah seorang berdarah pendekar, berdarah patriot dan semenjak kecil hanya melihat perbuatan-perbuatan gagah perkasa, mendengar hal-hal yang menentang kejahatan. Inilah pokok pangkal pertentangan rumah tangga mereka. Memang sesungguhnya persesuaian watak jadi lebih penting dalam pembangunan rumah tangga dari pada cinta nafsu yang membuta.

Percekcokan antara Kam Si Ek dan isterinya berlarut-larut dan berakhir dengan lolosnya Liu Lu Sian dari rumah suaminya. Wanita ini rela meninggalkan suami dan putera demi untuk kebebasan dirinya. Wanita yang sebelum menikah hidup bebas lepas seperti seekor kuda liar di lereng bukit itu merasa seperti diikat hidungnya oleh kendali pernikahan, seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga. Sekarang setelah minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda liar lagi, terasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang dikandungnya selama sembilan bulan dan yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa.

Seperti telah kita ketahui di bagian depan, putera yang ditinggalkan itu adalah Kam Bu Song yang dicari-cari oleh ketiga orang adiknya sehingga terjadi cerita ini. Dan semenjak itu, orang tidak mendengar lagi nama Liu Lu Sian. Akan tetapi Kam Si Ek menikah lagi dan seperti yang kita ketahui, dari isteri baru ini mendapat anak Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng.

Setelah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan meninggal dunia tiga tahun yang lalu, maka kedudukan ketua Beng-kauw dan sekaligus Koksu Kerajaan Nan-cao jatuh ke tangan adiknya, Liu Mo yang dalam hal kesaktian hampir menyamai kelihaian kakaknya. Sesungguhnya Liu Mo malah lebih tekun dari pada kakaknya dalam hal kebatinan dan wataknya tidaklah sekeras dan seaneh mendiang Liu Gan. Kalau Liu Gan di waktu hidupnya seakan-akan tidak peduli lagi kepada puterinya yang telah menikah dengan Kam Si Ek, adalah Liu Mo setelah menjadi ketua Beng-kauw justru berusaha untuk mencari keponakannya itu.

Demikianlah keadaan para tokoh pimpinan Beng-kauw yang juga merupakan tokoh paling berpengaruh di Nan-cao. Pada waktu itu, seluruh Kota Raja Nan-cao sudah siap menyambut datangnya hari besar untuk merayakan ulang tahun Agama Beng-kauw dan juga sekaligus memperingati seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Bangunan-bangunan besar dan bangunan-bangunan darurat disediakan untuk tempat penginapan para tamu agung dari seluruh pelosok. Kerajaan Nan-cao adalah sebuah kerajaan kecil namun kaya raya dan kuat, sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama yang dipimpin oleh tokoh besar dan di situ terdapat banyak ahli-ahli yang ternama di dunia kang-ouw. Maka perayaan ini tentu akan dihadiri oleh utusan-utusan kerajaan lain, juga oleh tokoh-tokoh dunia kang-ouw serta partai-partai persilatan besar.

Di depan pintu gerbang dibangun sebuah gedung penerimaan tamu. Semua tamu dipersilakan memasuki gedung ini untuk diadakan penyambutan kemudian diatur pembagian tempat penginapan di lingkungan istana. Bukan pengawal-pengawal biasa yang ditugaskan untuk melakukan penyambutan ini, melainkan tokoh-tokoh Nan-cao yang cukup penting.

Sebagai kepala rombongan penyambut bagian pria adalah Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta Beng-kauw yang tinggi kedudukannya, masih sute sendiri dari ketua Beng-kauw. Pakaian Kauw Bian Cinjin sederhana sekali, dari mori putih yang mangkak, potongannya lebar dan terlalu besar. Rambutnya yang panjang digelung ke atas dan diikat dengan tali serat, sepatunya dari rumput, dipunggungnya tampak sebuah topi caping lebar yang tergantung dari leher.

Ujung sebatang cambuk tersembul dari bawah caping. Cambuk ini adalah cambuk tukang gembala kerbau. Kelihatannya cambuk biasa, akan tetapi sesungguhnya ini adalah sebatang cambuk sakti yang amat ampuh, senjata yang paling diandalkan pendeta Beng-kauw itu. Sederhana sekali kelihatannya kakek ini, namun di dalam kesederhanaannya tersembunyi kekuatan dan wibawa yang besar. Dalam tugasnya sebagai penyambut tamu pria, Kam Bian Cinjin dibantu oleh beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya.

Ada pun penyambut tamu wanita dilakukan oleh serombongan penyambut wanita yang dikepalai oleh seorang gadis yang cantik dan kelihatan gagah perkasa dengan gerak-gerik gesit sekali. Gadis itu bertubuh langsing padat, rambutnya dibungkus sapu tangan lebar berwarna merah, pakaiannya dari sutera halus akan tetapi ada keanehan pada pakaian gadis cantik ini. Potongan bajunya biasa saja, akan tetapi warna lengan bajunya berbeda, yang kiri hitam yang kanan putih! Juga sepasang sepatunya berlainan warna, satu hitam dan satu putih. Benar-benar warna pakaian yang aneh sekali, dan yang mengherankan orang, warna berlawanan ini sama sekali tidak mendatangkan pemandangan janggal, malah menambah keluwesan gadis itu!

Memang betul kata orang bahwa wanita cantik memakai apa pun juga tetap tampak cantik menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu terlibat tali hitam kecil yang aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada ujung tali-tali itu, tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol. Sepintas pandang orang akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang itu tentulah sebatang ikat pinggang atau hiasan yang aneh. Padahal sebetulnya bukan demikian. Benda itu adalah senjata ampuh dari si Gadis manis merupakan sepasang cambuk lemas yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau si Gadis manis sudah mainkan senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw!

Banyak sudah tamu-tamu yang datang biar pun pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu membawa barang sumbangan berupa tanda mata yang serba indah. Harus diketahui bahwa para undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah semua kerajaan di seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah yang mahal harganya dan jarang terdapat. Semua barang sumbangan ini dikumpulkan dalam sebuah ruangan tersendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan tersendiri.

Kerajaan Sung di utara yang diwakili oleh seorang panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata. Petinya saja terbuat dari pada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar naga dan burung dewata! Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa bulu biruang yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar tinggi bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agaknya segan ia bertemu dengan orang banyak dan menjadi tontonan! Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim bingkisan berupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar, sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan persekutuan rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara, mengirim sebuah kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw! Seperti halnya dengan Kerajaan Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam diperkuat dengan jagoan masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong sedangkan Kerajaan Hou-han tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni.

Banyak juga di antara para tamu yang membawa hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak jumlahnya, menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di depan Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) sendiri sambil mengucapkan selamat. Di antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran dari kota An-sui itu. Biar pun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan datang atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer, banyak hubungannya, maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw. Di samping Suma Boan, banyak pula tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini pun membawa sumbangan ‘kecil’ sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat munculnya Beng-kauwcu sendiri.

Seperti dapat kita ketahui dari pertemuan yang lalu, di antara para tokoh besar persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena urusan pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka bela. Akan tetapi sebagai tamu dari pada Beng-kauw, mereka ini diperlakukan sama rata dan mereka pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain agar tidak menjadi pengacau dalam perayaan di negara orang lain.

Betapa pun juga, karena memang di dalam hati sudah mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah timbulnya peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua orang atau dua golongan bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling menyindir. Akan tetapi, seperti telah diterangkan tadi, karena mereka memandang muka Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan kemarahan dan saling menantang untuk membereskan urusan melalui kepalan tangan nanti setelah keluar dari Nan-cao!

Pada hari yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indahnya. Suasana pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi pusat perayaan, akan tetapi juga di jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak orang bekerja seperti biasa. Tampak pada wajah semua penduduk yang terhias senyum, pada pintu-pintu rumah yang ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu beraneka ragam yang menjadi lambang Terang, sifat dari pada Agama Beng-kauw.

Di istana sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di depan istana yang dapat menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para pengiringnya telah hadir, duduk di tempat kehormatan. Wajah raja yang sudah berusia lima puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali karena memang patut dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata menerima banyak wakil negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah kerajaan yang terpandang tinggi.

Di sebelah kanan raja ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh. Sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa.

Pakaiannya serba kuning sederhana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti menyala. Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya.

Dua perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti.

Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya. Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya.

Banyak di antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh! Biar pun kini di antara yang enam itu baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu.

Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biar pun cantik manis dan sedap dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apa lagi kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati lemas kehabisan darah!

Seakan-akan tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka.

Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita memandang kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini.

Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata, “Enci yang baik, tak usah repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku dan...,” tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu disambungnya kata-kata yang terputus tadi, “Nah, itu dia... merekalah yang kucari....”

Tanpa mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng! Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan ‘blusukan’ tanpa aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu.

Sementara itu Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih. “Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!”

Sian Eng yang lebih mengenal aturan dari pada Lin Lin, segera menarik tangan adiknya itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu yang diterima oleh mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di jidat dan gagang tongkat. Ia melangkah maju, memandang teliti dan bertanya.

“Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?”

Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera mengundurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin berani.

“Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah membawa lampu!”

Raja Nan-cao tidak dapat menahan ketawanya. “Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada di sini, kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.”

Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut. “Wah, senang sekali... tapi, selamanya di sini? Tidak mungkin!”

“Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau!” Suling Emas membentak lirih. Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek, lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.

“Terima kasih atas keramahan Ji-wi (Kalian Berdua)!” Ia lalu melangkah lebar mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng...”

“Hush, Lin-moi! Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan orang lain.”

Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok kepadanya. “Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda dan Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?”

“Sssttt, kau lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan waktunya bicara. Kau lihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?”

Lin Lin teringat akan kakaknya, lalu menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biar pun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan asli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?

“Aku akan tanya kepadanya!” Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya.

Melihat ini Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya. “Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sembrono.”

Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song!

Lin Lin gembira sekali. “Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia....” ia mengerling ke arah Suling Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita di sini. Kalau betul di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apa lagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya.”

“Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya.”

Pada saat itu dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh. “Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada bandingnya di seluruh dunia!” Sambil berkata demikian ia mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.

Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biar pun kakek pendek itu kelihatannya tidak normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula.

Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.

Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel. “Di mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat itu!”

Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata lembut, “Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan ulang tahun Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok di dalam kuil istana.”

“Ohhhhh, begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga.”

“Gan-sicu, keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu merupakan hadiah yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak, karena membikin kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.

Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian, terutama seni sastra, sajak dan lukis, dengan wajah berseri segera berkata, “Silakan... silakan...”

Empek Gan tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai, kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi tinta bak yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja tangan kanan itu hitam semua. Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih, makin lama sepasang mata itu makin melotot lebar.

Di sana-sini sudah terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu seperti seorang badut yang miring otaknya. Akan tetapi mereka yang sudah mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis, menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya melukis.

Empek Gan mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak cepat sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan mata melotot, menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini. Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sinkang sepenuhnya sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.

Para tamu yang hanya berani menonton dari tempat duduk masing-masing, agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat menikmati demonstrasi yang memang luar biasa ini. Mula-mula coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak bentuk yang amat hidup dan indah luar biasa dari seekor harimau!

Mata harimau yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis dengan taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti seekor binatang hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jari-jari tangan. Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan!

“Bagus... indah sekali...!” Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan memandang lebih jelas.

Gan-lopek tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi! Tentu saja hal ini menimbulkan keheranan besar, bahkan raja sendiri sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang dengan tenang.

Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam itu demikian tepatnya menempel pada kain putih di sebelah atas lukisan harimau, membentuk sebuah lingkaran bulat dan biar pun hanya merupakan titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan itu telah menciptakan sebuah matahari yang gemilang!

Gan-lopek kini bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, akan tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di dalam mulutnya! Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.

“Kauwcu yang baik, terimalah persembahanku yang tidak berharga ini!”

“Terima kasih, Gan-sicu, terima kasih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan itu.

“Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat menikmati keindahannya,” kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri.

Beng-kauwcu memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera maju menerima lukisan, lalu digantungkan pada dinding di tempat yang agak tinggi sehingga semua orang dapat memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek, kini menjadi keheran-heranan.

Lukisan itu merupakan seekor harimau yang amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata yang seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar matahari yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja!

Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.

“Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan hubungan yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang masih terhitung keluarga Kaisar di Sung Utara menghaturkan selamat kepada Agama Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi.” Sampai di sini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu berpidato.

“Kami sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya, melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi kenang-kenangan.” Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.

“Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu!” seru Raja Nan-cao.

Sambil tersenyum Suma Boan berkata, “Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang layak.”

Kini raja sendiri yang memberi perintah kepada dua orang pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang paling baik adalah di dinding yang sekarang terhias lukisan harimau buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan Gan-lopek. Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat lukisan itu dan semua orang berseru kagum.

Lukisan itu melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat sehingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga mendengar derap dari jauh! Ukuran lukisan kuda ini lebih besar dari pada lukisan harimau dan biar pun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan warna asli.

Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia berkata. “Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu.”

Raja yang suka akan lukisan dan sajak, segera berseru, “Silakan, orang muda yang pintar, silakan.”

Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak dengan suara nyaring. “Kuda sakti, lambang keindahan, kegagahan, dan kecepatan! Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw, akan maju secepat larinya kuda sakti!”

“Bagus!” Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin membusung.

Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang menengok ke arah Gan-lopek karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara... kentut! Ada yang sampai pucat mukanya mendengar ini karena perbuatan Gan-lopek kali ini benar-benar merupakan sebuah kekurang-ajaran yang melewati batas! Suma Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut dengan bunyi kentut oleh Gan-lopek!

“Gan-lopek, apa kau memandang rendah kepada sajakku tadi?” Suma Boan memancing kakek itu yang masih duduk di lantai.

Kakek itu bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali, kata-katanya sengaja ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan hatinya ini.

Gan-lopek tertawa bergelak. “Bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu!” Ia menuding ke arah gambar kuda.

Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.

“Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan asli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami!” Ketua Beng-kauw biar pun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apa lagi dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang. Sekarang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.

“Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”

“Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan! Kau yang membuang kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku?” Suma Boan menudingkan telunjuknya.

“Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur! Siapa di antara semua orang yang hadir di sini tak pernah kentut? Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau! Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda itu binatang apakah? Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?”

Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah mengira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa. “Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai memutar-balikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau kami boleh mendengar keterangannya?”

“Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas!” Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga akibat mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.

Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring, “Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biar pun besar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang dari pada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu!”

Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek. “Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding dengan dia!”

Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biar pun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apa lagi ahli sajak!

Biar pun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan tewas! Sebaliknya dalam mengadu ilmu sastra, biar pun yang kalah tidak akan terluka apa lagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.

Akan tetapi Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biar pun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat menyelamatkan diri dari pada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang ‘mati kutu’ terhadap Suma Boan!

“Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kau panggil ke sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun belum jelas, apa lagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?”

Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguh pun belum boleh dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apa lagi merangkai empat buah huruf saja menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.

“Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar ini.”

Setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring. “Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?”

“Betul, betul!” Gan-lopek mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar kau pakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!”

“Gan-lopek, mulailah! Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata!” Suma Boan menantang.

Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.

Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata, “Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku jika kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah?”

Suma Boan tersenyurn mengejek. “Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru!”

“Ho-hah, boleh... boleh... akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!”

Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan kata-kata ‘tahi’ ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila!

Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biar pun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.

Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan. “Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!”

Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya ‘makan tahi’! Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti halnya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.

Setelah menanti sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang, “Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kau putar-putarlah otakmu, kau rangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu, hoh-hoh!”

Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biar pun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-balik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.

“Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!” seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya.

Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru. “Harap hadirin jangan berisik!” Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan dalam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.

“Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”

Dengan suara nyaring Suma Boan menjawab, “Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.” Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak di antara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir mereka. “Akan tetapi di antara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!”

Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan. “Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang kedua bagaimana?”

“Yang kedua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!”

Kini Empek Gan terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya. “Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi. “Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan tahi harimau? Hoa-ha-ha!”

“Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!” teriak Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi!”

Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya. “Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biar pun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?” Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, “Jawaban itu bohong!” Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.

“Jawaban Suma Boan itu bohong semua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!” Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira, “Betul...! Ucapan Nona betul!”

Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biar pun ada artinya, namun memang tidak benar.

Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam, “Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”

Suma Boan melotot ke arah Lin Ling, kemudian ia merengut dan menjawab. “Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kau kira aku mudah kau tipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kalau kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab, aku pun bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?”

“Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!”

Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah. “Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu!” Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar.

Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.

“Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini...” Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.

“HARIMAU MAKAN KUDA!” Akhirnya Empek Gan berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda!”

“Tidak betul!” Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!”

“Sudah betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu?”

“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kau tinggalkan!”

Orang-orang berteriak-teriak, “Ya, TAHI-nya bagaimana?”

Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek, “Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?”

Empek Gan tertawa, “Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan kudanya, ada pun TAHI-nya... kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu!”

Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.

Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan.

Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya.

Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apa lagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencongkel pergi nyawanya dari badan!

Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal. “Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”

Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya!

Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.

“Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.

Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk asli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki mau pun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol!

Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun setalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!

“Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri?” tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biar pun suara itu parau dan tak enak didengar.

“Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh...,” kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.

Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata, “Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”

Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!

“Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!” Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?”

Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!

Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.

Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut ‘Suling Emas’ begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.

“Kim-siauw Koko (Kakak Suling Emas)...,” akhirnya ia berkata perlahan.

Suling Emas terkejut seperti baru sadar dari pada lamunannya, lalu menengok ke belakang. “Kau? Kau bilang apa tadi?”

Lin Lin tersenyum. “Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”

“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”

“Aku menagih janji!”

“Janji apa?”

“Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat... eh, kau melihat apa?” Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang.

Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.

“Lin-moi, ke sinilah...!”

Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri enci-nya.

“Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”

“Ah, orang macam itu kau percaya, Enci Eng?”

“Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka agak panas. “Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!”

“Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu....” Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.

“Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang... eh, Lin-moi, kau ke mana...?”

Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!

Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari.

Tidak ada bayangan Suling Emas mau pun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini lalu berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.

Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apa lagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok kedua... dadanya makin panas seperti terbakar ketika ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.

“... ah, kau terlalu lemah...”

“... cintaku takkan kunodai darah...,” terdengar jawaban Suling Emas, kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

Dalam tempat persembunyiannya Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau di antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat.

“Dan dia demikian dinginnya terhadap aku,” pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?

Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang... iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biar pun baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau makhluk ini tentulah Hek-giam-lo yang pernah menawan enci-nya.

“Harap jangan berteriak...,” suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.

“Hemmm, apa perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,” kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya tersenyum mengejek.

“Kau kenal padaku...?” Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar bayangan heran.

“Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas dan suka berlaku sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah keadaan Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur hidup-hidup enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani berbuat seperti itu jahatnya?”

Tercenganglah Hek-giam-lo, biar pun tidak dapat dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun. “Kau... kau... betulkah kau orang yang kucari-cari...? Sudah berkali-kali aku keliru....”

“Hek-giam-lo, kau berhadapan dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalina!” Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh, sikap seorang puteri raja asli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti ini, sikap seorang junjungan terhadap hamba sahayanya!

Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah berlutut! Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika ia berkata. “Be... betulkah ini...? Tidak tertipu lagikah... tidak keliru lagikah...?”

“Hek-giam-lo! Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubukan Raja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi puteri mahkota? Apakah aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu? Berani kau menghina aku seperti itu?” Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng menyaksikan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang saudara angkat itu akan terheran-heran.

“Ampun, Tuan Puteri! Ampunkan hamba, Tuan Puteri Yalina yang mulia! Alangkah bahagia hati hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba antarkan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman Paduka.”

Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti Hek-giam-lo ini, takkan mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita enci-nya tentang tokoh ini dan ia tahu bahwa mau atau pun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si tengkorak hidup.

Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya, yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa berat untuk... berpisah dari Suling Emas! Menolak permintaan Hek-giam-lo, berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak baik, berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk dari tokoh ini terhadapnya.

“Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak kalau sudah selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu Paman...”

“Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka, harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita berangkat.”

Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia harus mencari akal....

“Sekarang? Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu... perayaan Beng-kauw masih belum habis...”

“Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting dari pada urusan negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama sekali tidak ada artinya, apa lagi urusan negara lain..., marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalina!” Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju. “Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri.”

Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap dan kata-kata menghormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk melawan berarti ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan menghormat terhadapnya.

“Hek-giam-lo, aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku tanpa membalas?”

Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.

“Tuan Puteri Yalina, siapakah gerangan berani menghina Paduka? Jangan khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga! Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?”

“Ada dua orang yang telah menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kau pikir, apakah ini bukan penghinaan besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bukankah itu berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo, kau rampas tongkat Beng-kauw itu untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan bangsa lain.”

“Tongkat Beng-kauwcu...?” Biar pun dia seorang tokoh besar, malah seorang di antara enam iblis, terang bahwa Hek-giam-lo kaget juga mendengar perintah ini.

“Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua Beng­kauw?”

“Hamba tidak takut terhadap siapa pun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan menimbulkan sengketa antara Khitan dan Nan-cao?”

“Khitan tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak sudi menelan penghinaan begitu saja! Tongkat itu hanya kita pinjam dan kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga menyatakan maaf. Dengan demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir?”

Kena juga akhirnya tokoh iblis ini ‘dibakar’ oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat. “Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi.”

“Bagus! Sekarang musuhku yang kedua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku, pembunuhnya tentulah Suling Emas, biar pun ia menyangkal. Kau tangkap dia, jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan.”

Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.

“Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak takut!”

“Hamba juga tidak takut, akan tetapi... urusan ini... tidaklah begitu mudah, malah agaknya lebih sukar dari pada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang terbunuh itu?”

“Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di...”

Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana tarikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang kata-katanya terdengar amat ketus, “Kam Si Ek? Musuh besar kita itu! Tuan Puteri Yalina, Kam Si Ek itulah pembunuh banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan!”

Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik dari bibi gurunya mau pun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.

“Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku akan menanti di sini.” Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya makhluk yang mengerikan ini pergi meninggalkannya.

“Paduka akan berangkat sekarang juga....”

Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat. “Apa kau bilang? Lebih dulu ambil tongkat...”

Akan tetapi Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar terus-menerus dan sambung-menyambung.

“Mau apa kau? Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini...?” berkali-kali Lin Lin bertanya.

Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya seperti berdetik, tubuhnya panas dingin dan kepalanya pening. Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas, telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi.

Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang mengandung penuh tenaga khikang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman) yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya. Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan panca indera, mengerahkan sinkang untuk diputar-putar di seluruh tubuh melindungi dirinya dari serangan tak langsung tapi cukup hebat itu.

Benar saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat mendengar suara mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini penuh oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendahan dari sebelah barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu.

Lewat sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan... bukan Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan seorang kakek yang buntung kedua kakinya! Kakek ini usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang terkempit di kedua ketiaknya.

“Kau... kau siapa?” Lin Lin bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan selubung hitamnya dan menjadi kakek ini? “Mana Hek-giam-lo?”

Kakek itu membungkukkan tubuhnya. “Tuan Puteri Yalina, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Ada pun Suheng (Kakak Seper­guruan) Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan perintah Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini. Suheng memesan agar supaya hamba mengajak Paduka sekarang juga.”

Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kira­nya suara mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mempunyai pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya buntung, agaknya di atas lutut. Mengerikan dan juga menimbulkan kasihan.

Kakek begini disuruh mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan diri, meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat bersilat dengan baik? Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.

“Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat.” kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang akan merintanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si buntung ini. Akan tetapi, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali melihat senyum mengejek pada wajah kakek ini.

“Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja.”

Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan tetapi sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana ia dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi, melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Memang kakek itu ‘berjalan’ agak terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat cepat.

Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan!

Ketika ia menoleh, kakek itu ter­senyum lebar dan berkata, “Untung sekali Paduka dapat berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan lebih cepat.”

Lin Lin tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan para penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka tidak mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin cepat keluar dari Kota Raja Ke­rajaan Nan-cao. Sebentar saja mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.

“Heiiiii! Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat sekali...!” seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat mengikutinya.

“Pak-sin-tung, aku tidak mau berangkat sekarang!” tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.

“Apa maksud Paduka?”

“Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda.”

Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara tenang. “Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus membawa Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi.”

“Kalau aku tidak mau?” bentak Lin Lin.

“Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan.”

“Srattt!” Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali dari tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan dikembalikan kepadanya.

“Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa!” Kini Lin Lin menantang.

“Pedang pusaka Besi Kuning...!” Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur. “Tidak... hamba tidak berani... tidak berani...”

Besar hati Lin Lin dan sekarang tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia membentak.

“Kau masih berani membantah perintah junjunganmu? Rasakan ini!” Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.

“Ti... tidak, hamba tidak berani...,” kakek buntung itu meloncat ke atas, tongkatnya bergerak-gerak dan ke mana pun juga pedang itu menerjang, selalu dapat dihalau tongkat.

Hebat sekali kakek ini. Biar pun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak kalah oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini benar-benar tak boleh dipandang rendah, karena setiap kali senjata bertemu, tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan Khong-in-ban-kin!

“Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah....”

Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang, apa lagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu? Orang-orang sakti yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan dari pada didesak menjadi lawan. Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk... menawan Suling Emas!

Hasrat hati ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin memberi ‘hajaran’ kepada Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.

“Pak-sin-tung, kalau kau menurut perintahku dan tidak melawan aku pun mana suka bertentangan dengan orang sendiri? Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman Baginda di Khitan. Akan tetapi aku baru mau pergi setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu, bantuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman lain yang dapat membantuku di sini?”

Kini kakek buntung itu duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya, matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin. “Ajaib...,” katanya perlahan, “... pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di tangan Paduka pula... ajaib... agaknya inilah isyarat dan tanda dari langit....”

“Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan!”

“Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia, akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam terdiri dari dua losin orang prajurit pilihan mengawal secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka.”

“Bagus! Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal.”


BERSAMBUNG KE JILID 08


Cinta Bernoda Darah Jilid 07

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 07

Toat-beng Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar, bibirnya yang tebal, dan giginya yang besar-besar. Dengan hati berdebar penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba matanya terbelalak lebar. Yang terikat seperti babi kebiri hendak dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi memang Bok Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan pemuda itu, biar pun keadaannya juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong melainkan seorang kakek yang pringas-pringis (menyeringai) dan matanya meram melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang hangat!

Agaknya sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan keheranan ini menarik perhatian Toat-beng Koai-jin. Kakek ini segera menengok ke arah ‘panggangannya’ dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu dengan muka yang meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis panjang, tubuh yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia jumpai di rumah Ouw-kauwsu!

Kakek yang menggantikan kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata, “Ahhhhh... nikmatnya! Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah begitu kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras? Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kau panggang seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”

“Demi Iblis! Siapakah kau ini orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri dan siap bertempur. Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu yang sikapnya gila-gilaan itu sebenarnya memiliki kepandaian hebat. Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh.

kho ping hoo serial cinta bernoda darah jilid 07


"Hua-ha-hah, Toat-beng Koai-jin, kita memang baru tadi saling berjumpa. Tak perlu tanya namaku, tapi kau sudah melakukan dosa besar terhadapku. Kau tua bangka yang tak lama lagi mampus, tidak tahu malu, beraninya hanya mengganggu orang-orang muda yang masih hijau. He, pemakan bangkai, tahukah kau bahwa pemuda yang akan kau panggang hidup-hidup tadi adalah muridku?”

Toat-beng Koai-jin menggereng seperti seekor singa kelaparan. “Bagus! Mari tua sama tua mengadu kepandaian!” serunya sambil menerjang maju, sepuluh buah kuku-kuku yang runcing tajam itu mencengkeram.

“Tak tahu malu!” Empek Gan, kakek lucu itu, berseru.

Benar-benar sepak terjang Toat-beng Koai-jin kali ini amat licik, masa menerjang lawan yang masih terikat dan terpanggang di atas api? Empek Gan cepat menggulingkan dirinya dan kaki tangannya bergerak, kayu-kayu dan daun-daun yang masih terbakar itu kini terbang berhamburan ke arah Toat-beng Koai-jin!

Si kakek liar terkejut bukan main, cepat ia mengibaskan kedua lengannya. Biar pun serangan kakek pendek itu tidak berbahaya, namun api merupakan senjata yang tak terlawan dan sedikit banyak tentu akan melukai kulitnya. Ketika kayu dan daun yang menyala itu runtuh semua, Empek Gan kini telah berdiri tegak, telah memakai pakaiannya dengan lengkap.

“Benar-benar kakek yang luar biasa,” pikir Lin Lin yang masih duduk sambil menonton dengan hati tertarik. Begitu mendengar bahwa kakek itu adalah guru sahabatnya, guru Lie Bok Liong, hatinya begitu girang sehingga ia lupa akan penderitaannya sendiri. Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti bahwa sahabatnya itu tentu telah tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan besar tertolong. Apa lagi ketika melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu itu dapat menyerang lawannya dengan api kemudian dalam sekejap mata saja sudah memakai kembali pakaiannya, ia makin heran dan kagum.

Segera kedua orang kakek sakti itu bertempur hebat. Entah dari mana dapatnya, Gan-lopek atau Empek Gan sudah memegang hek-mou-pit (pensil bulu hitam) di tangan kanan dan pek-mou-pit (pensil bulu putih) di tangan kirinya, dan ketika kedua tangannya bergerak yang tampak hanya dua gulungan sinar putih dan hitam yang kecil panjang dan kuat, saling libat dan kemudian bersama-sama menerjang Toat-beng Koai-jin.

“Ho-ho, tahan dulu! Kiranya kau ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar Toat-beng Koai-jin berseru kaget, akan tetapi ia sendiri tidak menghentikan gerakannya.

“Hi-hi-hik, setan bangkotan pemakan bangkai! Kita sama-sama tua, sama-sama terkenal sebagai tua bangka gila. Hayo keluarkan semua kepandaianmu, kerahkan segala kekuatanmu, selagi aku ada kegembiraan untuk melayanimu!” Sepasang senjatanya, pensil butu hitam dan putih, bergerak secara aneh, seperti orang sedang melukis, akan tetapi nyatanya si kakek liar menjadi sibuk sekali menghindar ke sana ke mari, malah lalu mundur-mundur sampai mepet batu besar. Sinar hitam dan putih terus mengurung dirinya, kakek liar itu mendengus-dengus dan akhirnya menggereng-gereng lalu melarikan diri, atau bertempur sambil berlari, dikejar terus oleh Gan-lopek yang masih terdengar suaranya terkekeh-kekeh.

“Lin-moi, kau mengalami banyak kaget?”

Lin Lin terkejut, cepat menengok dan giranglah hatinya melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Lie Bok Liong. Pemuda ini sudah memakai pakaian lagi, akan tetapi masih tampak betapa pakaiannya robek di sana-sini. Cepat Bok Liong membebaskan Lin Lin dari ikatan kaki tangan dan mulut.

“Berbahaya sekali...,” Lin Lin mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”

“Suhu...”

“Wah, Suhu-mu hebat! Memang badut dia, tapi hebat!”

Muka Bok Liong menjadi merah, ia tersenyum dan menjawab, “Memang Suhu paling suka main-main. Menurut kata Suhu sendiri, hidup ini adalah main sandiwara, dunia ini panggungnya dan kita manusia anak-anak wayangnya. Bagi Suhu, main sandiwara yang paling menyenangkan adalah menjadi pelawak, hidup satu kali harus pandai tertawa dan mengajak orang lain tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis. Lihat, setelah Suhu menggantikan aku dipanggang, dalam bertempur melawan Toat-beng Koai-jin yang lihai itu pun Suhu masih main-main!” Dalam kata-katanya ini jelas terdengar bahwa ia merasa bangga sekali akan kelihaian gurunya.

Lin Lin memandang dan ia menjulurkan lidahnya ke luar saking kagumnya. Memang hebat Gan-lopek, lawannya demikian sakti, akan tetapi masih ada kesempatan untuk membadut dan memamerkan keahliannya, yaitu melukis! Bagaimana tidak mengagumkan? Di atas batu karang di mana tadi Toat-beng Koai-jin bertempur membelakangi batu, tampak lukisan hitam putih yang amat hidup, yaitu lukisan Toat-beng Koai-jin sendiri! Begitu bagus lukisan ini, persis aslinya, punuknya, gendutnya, air liurnya yang muncrat-muncrat!

“Wah, Suhu-mu jago menggambar! Kau tentu pandai pula, Twako?”

“Ah, kepandaian Suhu melukis memang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu itu tak pernah diturunkannya kepada siapa pun juga. Suhu amat pelit dengan ilmunya melukis ini. Katanya, kalau diturunkan kepada murid tiada artinya, malah merugikan. Kalau muridnya menjual hasil gambarannya, bukankah itu meremehkan dirinya? Kalau tidak pun apa gunanya?”

“Twako, apakah kau sudah berhasil menemukan Enci Sian Eng?”

Bok Liong mengangguk. “Baru saja aku mendengar dari Suhu. Kau tahu, setelah kuselidiki, ternyata Nona Sian Eng ikut bersama Suma Boan pergi menuju ke Nan-cao pula, dan....”

“Apa? Bagaimana? Enci Sian Eng ikut Suma Boan? Mana mungkin! Tentu diculik!”

Bok Liong menggeleng kepala. “Aku pun masih heran, tapi kenyataannya enci-mu itu melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Karena mereka berdua dikawani Tok-sim Lo-tong yang amat lihai, sedangkan kepandaian Suma Boan sendiri pun sudah terlalu tinggi bagiku, maka terpaksa aku lalu mohon bantuan Suhu. Kami mengejar dan sampai di sini, Suhu turun tangan mengajak pergi enci-mu dari samping Suma Boan.”

“Di mana sekarang Enci Sian Eng?” Lin Lin bertanya, hatinya penuh penasaran dan tak mengerti mengapa enci-nya bisa melakukan perjalanan bersama putera pangeran itu.

“Baru saja Suhu memberi tahu bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada dengan Suling Emas, melakukan perjalanan ke Nan-cao.”

“Kalau begitu mari kita cepat menyusul ke sana, Twako. Wah, tadinya kuharapkan kau dapat bertemu dengan Enci Eng dan melakukan perjalanan bersamanya, siapa kira, sekarang malah aku yang melakukan perjalanan bersamamu, sedangkan Enci Eng kembali bersama... eh, dia!” Diam-diam Lin Lin mendongkol dan teringat akan pedangnya, ia makin gemas. “Celaka, pedangku lenyap ketika bertanding melawan kakek ibils yang gila tadi!”

“Kalau perlu kau boleh pakai pedangku ini, Moi-moi. Mari kita berangkat, siapa tahu kalau kita melakukan perjalanan cepat, akan dapat menyusul mereka.”

Berangkatlah dua orang muda ini menuju ke Nan-cao yang tidak jauh lagi dari situ. Lin Lin menjadi pendiam kali ini. Tidak saja ia masih bingung dan heran memikirkan bagaimana enci-nya dapat melakukan perjalanan bersama Suma Boan, juga diam-diam ia merasa penasaran karena sikap Suling Emas terhadapnya masih terlalu dingin dan tidak acuh. Alangkah jauh bedanya antara sikap Suling Emas dan sikap Lie Bok Liong terhadapnya. Kalau saja sikap Suling Emas terhadapnya semanis sikap Bok Liong, ah...! Andai kata begitu, ada apa? Tidak apa-apa, hanya... alangkah akan senang hatinya!

********************


Tiongkok pada masa itu masih dalam keadaan terpecah-pecah menjadi banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di samping beberapa buah kerajaan besar. Kerajaan Sung setelah dapat mempersatukan Lima Dinasti yang batasnya di utara sampai ke tembok besar, di selatan sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, di barat sampai ke Propinsi Kan-su dan ke timur sampai ke laut, merupakan kerajaan terbesar.

Seperti diketahui, pendiri Kerajaan Sung Cao Kuang Yin, hanya berhasil menyatukan lima kerajaan utara itu. Akan tetapi kerajaan-kerajaan kecil di selatan Sungai Yang-ce-kiang masih amat banyak. Di luar tembok besar sebelah utara terus ke timur masih dalam kekuasaan bangsa Khitan yang amat kuat. Di Se-cuan terdapat Kerajaan Shu, di sebelah timurnya ada kerajaan kecil yang disebut Nan-ping sebelah timur lagi Kerajaan Nan-tang, lalu disambung Kerajaan Wu-yueh di pantai timur. Di sebelah selatan Kerajaan Nan-ping dan Kerajaan Shu inilah terdapat Kerajaan Nan-cao, di sebelah selatan lagi Kerajaan Nan-han dan Kerajaan Min.

Cao Kuang Ying atau setelah menjadi kaisar berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, tidak berhasil menundukkan kerajaan-kerajaan di selatan ini. Biar pun Kerajaan Sung tidak lagi melakukan perang secara terbuka, akan tetapi sering kali terjadi bentrok hingga di antara mereka terjadilah ‘perang dingin’.

Akan tetapi kaisar pertama dari Kerajaan Sung ini adalah seorang yang amat bijaksana. Pada tahun pertama dari pemerintahannya, pada suatu pagi yang cerah ia mengumpulkan semua jenderal-jenderalnya yang telah berjasa dalam membantunya mendirikan Kerajaan Sung. Berkatalah sang Kaisar ini. “Para panglimaku, setiap malam aku tidak dapat tidur nyenyak.”

Tentu saja para panglima itu terheran dan bertanya apa yang menyebabkan demikian.

“Jelas sekali sebabnya,” jawab Kaisar Sung Thai Cu. “Siapakah di antara kalian yang tidak merindukan singgasana dan mahkotaku?”

Para panglima itu berlutut dan membantah. Seorang di antara mereka yang tertua mewakili teman-temannya, “Duhai Sri Baginda yang mulia. Tuhan telah menentukan Paduka menjadi Kaisar, bagaimana Paduka masih menyangsikan hal ini? Siapakah di antara hamba sahaya yang berani menentang dan memiliki hati khianat?”

“Aku percaya akan kesetiaan hati kalian, para panglimaku yang gagah. Akan tetapi, andai kata pada suatu pagi yang buruk seorang di antara kalian dibangunkan dari tidur dan dipaksa mengenakan pakaian kuning (pakaian raja), betapa pun hatimu tidak setuju, tapi bagaimana kamu akan dapat menghindarkan pemberontakan?”

Sibuklah para panglima itu menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun di antara mereka memiliki hati seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang cukup berharga untuk menjadi kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan sembah. “Ampun, Sri Baginda yang mulia. Apa bila hal itu mengganggu ketenteraman hati Paduka, mohon Paduka mengambil langkah-langkah yang Paduka anggap terbaik untuk mencegah terjadinya kemungkinan itu. Hamba sekalian akan taat dan tetap setia kepada Paduka yang mulia.”

Kaisar Sung Thai Cu tersenyum, mengelus-elus jenggotnya yang hitam lalu bersabda, suaranya nyaring dan kata-katanya lancar karena memang hal ini sudah direncanakan lebih dahulu. “Hidup di dunia ini amatlah pendek. Yang disebut bahagia adalah memiliki harta dan kesempatan untuk menikmati hidup, kemudian meninggalkan kemuliaan itu kepada anak cucu. Karena itu, para panglimaku yang setia, pilihlah jalan ke arah kebahagiaan ini. Kalian kuperkenankan melepas pakaian panglima, mengundurkan diri ke daerah pedalaman, di sana memilih tempat tinggal yang paling menyenangkan, menikmati hidup di hari tua penuh ketenteraman. Bukankah ini jauh lebih baik dari pada hidup tak berketentuan nasibnya dan selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian, di antara kita tidaklah terdapat bayangan kecurigaan, tidak akan ada fitnah-memfitnah, curiga mencurigai. Kita akan saling mengikat dengan pernikahan-pernikahan antara keturunan kita sehingga antara raja dan pembantunya terdapat persababatan dan persatuan yang kokoh kuat.”

Mendengar ini, tentu saja para jenderal dan panglima segera menyatakan persetujuan mereka, dan pada hari-hari berikutnya mereka mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Kaisar menerima semua permohonan ini, membagi-bagi tanah dan jasa kehormatan berupa hadiah-hadiah dan titel.

Demikian, dengan cara yang cerdik dan halus ini Sung Thai Cu membersihkan istana dari pada kemungkinan-kemungkinan terjadi perebutan kekuasaan dan pemberontakan-pemberontakan. Dan agaknya siasat yang dijalankan kaisar pertama Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan pula hati raja-raja kecil yang berkuasa di luar daerah yang dikuasai Kerajaan Sung. Mereka merasa suka dan memperlihatkan sikap damai, kecuali Kerajaan Khitan, Nan-cao, dan Wu-yueh yang agaknya merasa bahwa mereka terlampau kuat untuk bersikap mengalah terhadap Kerajaan Sung!

Sungguh pun Sung Thai Cu memiliki banyak keturunan, di antaranya adalah putera-putera, namun mereka itu masih kecil-kecil. Karena itulah, mentaati perintah yang dipesankan ibu suri menjelang kematiannya, yang diangkat menjadi pangeran mahkota, yaitu calon pengganti kaisar adalah adik kaisar sendiri yang kelak terkenal dengan sebutan Sung Thai Cung, kaisar kedua Ahala Sung. Peristiwa ini pun tercatat dalam sejarah, merupakan pelajaran yang amat baik bagi para kaisar khususnya dan para pemimpin negara pada umumnya dan dianggap sebagai kebijaksanaan ibu suri. Beginilah kurang lebih percakapan yang terjadi di dalam kamar ibu suri ketika ibunda kaisar ini berada di ambang kematian karena usia tua.

“Puteraku Baginda, apakah yang menyebabkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan?”

Sebagai seorang anak berbakti yang selalu menjunjung tinggi nama baik dan nama besar leluhurnya, Kaisar Sung Thai Cu menjawab, “Ibunda yang mulia, ananda menerima anugerah Tuhan dengan kemuliaan ini semata-mata mengandalkan kebijaksanaan dan budi kebaikan yang sudah ditanam oleh para leluhur kita, terutama sekali karena kebijaksanaan Ibunda.”

Senang juga hati nenek yang sudah lemah jasmaninya namun masih amat kuat ingatannya itu. “Anak baik selalu berusaha mengangkat tinggi orang tua...! Puteranda sayang, bukan... bukan aku, bukan pula leluhurmu yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Satu-satunya sebab yang memungkinkan puteranda hari ini menjadi Kaisar Kerajaan Sung Utara, bukan lain adalah karena kebodohan kaisar terakhir dari Kerajaan Cou! Puteranda harus dapat belajar dari sejarah, harus dapat mengenal kelemahan bekas lawan agar diri sendiri jangan sampai mengulangi kebodohan dan kelemahan bekas lawan itu. Kaisar terakhir dari Cou telah begitu bodoh untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya yang masih kecil untuk menggantikan kedudukannya. Kebodohan itulah yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Tak mungkin sekarang puteranda akan mengulangi kebodohan seperti itu.”

Inilah ucapan ibu suri yang sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar tertegun dan termenung. Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang telah lalu. Setelah Kerajaan Tang roboh oleh pemberontak, lahirlah Kerajaan Liang yang hanya bertahan selama tujuh belas tahun. Segera digulingkan oleh seorang panglima perang lain yang mendirikan Kerajaan Tang Muda yang lebih pendek lagi umurnya, hanya empat belas tahun. Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin Muda, hanya dua belas tahun umurnya. Kerajaan keempat yang menggantikannya adalah Kerajaan Han Muda, kerajaan ini malah hanya empat tahun umurnya dan kemudian sekali, lahirlah Kerajaan Cou yang bertahan hanya sepuluh tahun lamanya. Demikianlah sedikit sejarah tentang Lima Wangsa yang terbayang di dalam ingatan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kaisar dari Lima Wangsa itu adalah panglima-panglima perang belaka, yang memperebutkan kedudukan dan saling menggulingkan.

Memang tepat ucapan ibunya. Kaisar terakhir dari Kerajaan Cao telah menyerahkan kedudukannya kepada puteranya yang masih kecil, di bawah pimpinan ibu tiri. Itulah yang memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao Kuang Ying, melakukan pemberontakan dan merampas singgasana. Pengalamannya ini pula yang membuat Cao Kuang Ying setelah menjadi Kaisar Sung Thai Cu, selalu gelisah dan menyindirkan keadaannya kepada para panglimanya. Karena sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena dia ‘terpaksa’ pula. Pada pagi hari, para panglima membangunkannya dari tidur dan ‘memaksanya’ mengenakan pakaian kuning, pakaian raja. Dia diangkat sebagai raja atau kaisar baru dan terjadilah pemberontakan melawan Kerajaan Cou yang dirajai seorang anak-anak itu.

Dan ini sebabnya mengapa pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan putera kaisar, melainkan adiknya. Dan ini pula yang membuat kaisar pertama Kerajaan Sung ini dikenal sebagai seorang kaisar bijaksana, tidak mementingkan diri atau keturunan sendiri.

Cukup kiranya sekelumit tentang keadaan Kerajaan Sung Utara yang mem­punyai ibu kota atau kota raja di Kai-feng (sebuah kota di Propinsi Ho-nan), dan marilah kita meninjau keadaan kota raja Nan-cao di sebelah selatan yang sedang menghadapi perayaan besar itu.

Kerajaan kecil yang wilayahnya meliputi satu propinsi ini keadaannya lebih tenteram dari pada kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri. Rakyatnya tunduk kepada pimpinan dan jarang terjadi kejahatan-kejahatan yang menyolok. Hal ini sesungguhnya adalah berkat pengaruh Agama Beng-kauw yang boleh dibilang menguasai pimpinan kerajaan. Raja sendiri bukan hanya pemeluk Agama Beng-kauw, akan tetapi lebih dari pada itu, malah terhitung keponakan dari ketua Beng-kauw dan juga amat tekun serta aktip dalam memajukan agama ini.

Ketua Beng-kauw sendiri atau disebut kauwcu (ketua agama) mempunyai kedudukan tinggi di dalam istana karena dia menjadi koksu (guru atau penasehat negara). Ketua Beng-kauw bernama Liu Mo, adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Lengan Delapan) Liu Gan yang sudah meninggal dunia seribu hari yang lalu dan yang akan diperingati kematiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang kakaknya, Liu Mo ini memiliki kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia adalah tokoh nomor satu di Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan ditakuti oleh semua orang.

Usia Liu Mo sudah amat tua, tak seorang pun di Nan-cao dapat mengetahui berapa tuanya, akan tetapi tubuhnya masih kelihatan sehat dan wajahnya masih segar dan penuh semangat, biar pun ia terkenal sebagai seorang yang pendiam dan hanya bicara seperlunya saja. Ada yang mengatakan bahwa usianya tentu lebih dari seratus tahun. Tak seorang pun dapat membuktikan kebenaran atau kebohongan kata-kata ini. Akan tetapi Liu Mo tidak peduli akan usianya dan buktinya, ia mempunyai empat orang isteri yang cantik-cantik!

Hanya seorang di antara isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai anak seorang, Liu Hwee, anak perempuan tunggal ini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan kecantikan dan kelihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya. Untuk memperkuat kedudukan ayahnya dan juga menjaga keamanan di istana, Liu Hwee telah membentuk sepasukan pengawal wanita yang terdiri dari pada seratus orang gadis-gadis muda dan cantik, yang kesemuanya telah ia latih ilmu silat, ilmu pedang, ilmu panah dan menunggang kuda!

Kerajaan-kerajaan tetangga juga tidak ada yang berani mengganggu Nan-cao. Puluhan tahun yang lalu, beberapa buah negara kerajaan tetangga pernah mencoba untuk memusuhi kerajaan kecil ini, namun mereka kena gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu dipimpin oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebagai ketua Beng-kauw dan koksu, melakukan perlawanan dan para penyerbu itu dipukul hancur. Semenjak itu, tidak ada yang berani mencoba-coba lagi dan Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama Beng-kauw dipandang sebagai negara kecil yang kuat.

Mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebetulnya adalah tokoh pertama yang membawa masuk Agama Beng-kauw ini dari daerah barat. Dia memang keluarga kerajaan, seorang pangeran yang lebih suka mengejar ilmu dari pada mengejar kemuliaan dan kedudukan. Puluhan tahun ia menghilang ke barat dan setelah kembali, ia telah menjadi seorang pendeta atau ahli Agama Beng-kauw dan memasukkan agama ini ke dalam negerinya. Tentu saja pada permulaannya ia ditentang, akan tetapi segera para penentangnya itu roboh seorang demi seorang oleh kesaktiannya yang hebat. Akhirnya ia terkenal sebagai tokoh paling sakti di Nan-cao dan agamanya diterima, ia menjadi kauwcu (ketua agama) dan sekaligus diangkat menjadi koksu oleh raja yang masih keponakannya sendiri.

Pernah diceritakan sedikit dalam cerita ini tentang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Seperti juga adiknya, mendiang Liu Gan ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang juga amat sakti dan terkenal dengan julukannya, Tok-siauw-kui (Setan Cilik Beracun). Namanya Liu Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas. Hampir tiga puluh tahun yang lalu, ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih seorang gadis remaja berusia dua puluh tahun, cantik jelita dan lihai, ia terlibat dalam cinta asmara dengan Kam Si Ek, seorang panglima yang muda dan gagah perkasa dan yang bertugas di Shan-si.

Mula-mula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak setuju akan pilihan puterinya, karena ia selalu bermimpikan seorang mantu raja. Akan tetapi karena Liu Lu Sian keras hati dan nekat, akhirnya ayahnya mengalah dan menikahlah Liu Lu Sian dengan Kam Si Ek. Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Tok-siauw-kui amat terkenal, banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang tergila-gila kepadanya. Bagaimana sekarang memilih suami seorang seperti Kam Si Ek, seorang jenderal yang kepandaiannya tidak banyak artinya?

Namun tak seorang pun berani menyatakan kekecewaan mereka secara berterang, apa lagi menentangnya. Dengan bantuan isterinya yang memiliki kepandaian jauh melebihinya, Kam Si Ek mendapat kemajuan dalam tugasnya. Dalam memukul mundur suku bangsa Khitan, berkali-kali isterinya ini memberikan bantuan. Agaknya kehidupan mereka penuh bahagia, saling mencinta.

Akan tetapi, siapa saja yang mengira bahwa kesenangan atau kesusahan duniawi ini kekal abadi, dia akan kecewa. Susah senang hanyalah permainan perasaan belaka dan semua ‘permainan’ ini tidaklah kekal adanya. Demikian pun dengan hidup. Susah senang tergantung yang menjalani dan yang merasakannya berdasarkan penerimaannya sendiri. Baik buruknya keadaan rumah tangga, tergantung dari pada si suami dan isteri sendiri karena rumah tangga ibarat bangunan yang dibangun oleh suami isteri.

Pembangunan yang gawat ini membutuhkan pencurahan segala kemampuan yang ada, membutuhkan pengertian dan kesabaran agar bangunan yang dibangun itu menjadi kokoh kuat, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, bagaikan batu karang nan kokoh, kuat menahan hantaman ombak samudera kehidupan. Sebaliknya, kalau suami isteri membangun benteng rumah tangganya secara ‘sambil lalu’ saja, hanya dengan kegairahan dan semangat pada permulaannya saja, buta oleh nafsu yang selalu dibakar oleh renungan yang muluk-muluk dan indah-indah namun segera padam oleh kenyataan yang kadang-kadang berlawanan dengan renungan muluk, maka rumah tangganya, umpama batu karang, bukanlah batu karang yang kokoh kuat. Rumah tangganya akan mudah pecah, seperti batu karang pasir yang mudah digerogoti air laut sehingga bolong-bolong kemudian pecah, hancur berantakan!

Alangkah bahagianya suami isteri yang membentuk rumah tangganya dengan berhasil tadi. Ada suka dinikmati bersama, ada duka dipikul berdua. Suka dibagi makin bertambah, duka dibagi serasa ringan. Suka si isteri suka si suami, duka si suami duka isteri. Kalau sudah begini, barulah rumah tangga bahagia namanya dan dari rumah tangga inilah lahirnya anak-anak yang baik, calon-calon manusia yang jiwanya berlandaskan cinta kasih penuh pengorbanan.

Sayang tidak demikian dengan Jenderal Kam Si Ek dan Liu Lu Sian. Dua orang ini saling mencinta, saling tergila-gila. Hal yang lumrah. Kam Si Ek seorang pemuda tampan dan gagah perkasa, perempuan mana yang takkan tergila-gila? Sebaliknya, Liu Lu Sian terkenal cantik jelita dan lihai, pemuda mana takkan tergila-gila? Inilah yang disebut cinta buta, cinta nafsu, cinta yang berdasarkan kecantikan atau ketampanan muka, berdasarkan nafsu birahi yang timbul di kala orang menyaksikan keindahan muka dan tubuh lain jenis.

Dan cinta yang dibutakan oleh nafsu ini, seperti menjadi sifat nafsu sendiri, dikobar-kobarkan oleh renungan muluk-muluk, kemudian padam kalau sudah menjadi kenyataan. Jika nafsu masih menyala, berkobar-kobar oleh renungan muluk dan indah, yang tampak hanya yang indah-indah saja, seperti api yang berkobar selalu indah dipandang, kalau tangan sudah tersentuh hangus baru sadar bahwa di balik yang indah itu belum tentu menyenangkan!

Dalam buaian cinta nafsu, segala yang tampak pada diri si dia hanya indah semata, segi buruknya tersembunyi atau disembunyikan, tak tampak atau sengaja tidak dilihat. Kalau tujuan cinta nafsu sudah tercapai dalam pernikahan, baru tampak segi-segi buruknya dan kagetlah si perenung, ngerilah si korban cinta nafsu. Inilah yang disebut cinta buta, sebetulnya cinta nafsu yang membuat mata orang menjadi buta!

Bumi langit bedanya dengan cinta murni, cinta dengan mata melek yang melihat kebaikan, juga keburukan dari pada yang dicinta, biar baik biar buruk tetap dicinta dan berusaha memperbaiki segala keburukan yang dicinta. Inilah cinta, siap sedia berkorban, demi kebahagiaan yang dicinta, bukan semata cinta karena cantik atau tampan. Melihat setangkai kembang mawar harum, tangan memetik hidung menciumi, membelai-belai, kemudian si kembang layu dan si pemetik membuangnya dengan rasa jijik. Inilah sifat cinta nafsu, cinta buta, cinta birahi!


Setelah Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, mulailah cinta kasih di antara mereka melayu, seperti kembang mawar tadi. Timbul percekcokan-percekcokan kecil yang segera berkembang menjadi percekcokan besar. Dan kalau suami isteri sudah cekcok, lenyaplah segala yang indah-indah, hanya yang buruk-buruk saja tampak. Isteri secantik bidadari berubah seperti kuntilanak, suami tampan dan menyenangkan berubah menjadi keledai yang menjijikkan. Lenyaplah cinta, pergi tanpa bekas. Pergi? Bukan, melainkan pian-hoa (malih rupa) menjadi benci! Memang, cinta dan benci saudara kembar, bersifat Im dan Yang!

Memang pada dasarnya, watak kedua orang ini jauh berbeda. Liu Lu Sian terlalu lama, semenjak kanak-kanak, berkecimpung di dunia kang-ouw dan bergaul dengan tokoh-tokoh dunia hitam. Malah ia sendiri memiliki watak liar dan ganas, sampai-sampai mendapat julukan Setan Cilik Beracun. Sebaliknya, Kam Si Ek adalah seorang berdarah pendekar, berdarah patriot dan semenjak kecil hanya melihat perbuatan-perbuatan gagah perkasa, mendengar hal-hal yang menentang kejahatan. Inilah pokok pangkal pertentangan rumah tangga mereka. Memang sesungguhnya persesuaian watak jadi lebih penting dalam pembangunan rumah tangga dari pada cinta nafsu yang membuta.

Percekcokan antara Kam Si Ek dan isterinya berlarut-larut dan berakhir dengan lolosnya Liu Lu Sian dari rumah suaminya. Wanita ini rela meninggalkan suami dan putera demi untuk kebebasan dirinya. Wanita yang sebelum menikah hidup bebas lepas seperti seekor kuda liar di lereng bukit itu merasa seperti diikat hidungnya oleh kendali pernikahan, seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga. Sekarang setelah minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda liar lagi, terasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang dikandungnya selama sembilan bulan dan yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa.

Seperti telah kita ketahui di bagian depan, putera yang ditinggalkan itu adalah Kam Bu Song yang dicari-cari oleh ketiga orang adiknya sehingga terjadi cerita ini. Dan semenjak itu, orang tidak mendengar lagi nama Liu Lu Sian. Akan tetapi Kam Si Ek menikah lagi dan seperti yang kita ketahui, dari isteri baru ini mendapat anak Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng.

Setelah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan meninggal dunia tiga tahun yang lalu, maka kedudukan ketua Beng-kauw dan sekaligus Koksu Kerajaan Nan-cao jatuh ke tangan adiknya, Liu Mo yang dalam hal kesaktian hampir menyamai kelihaian kakaknya. Sesungguhnya Liu Mo malah lebih tekun dari pada kakaknya dalam hal kebatinan dan wataknya tidaklah sekeras dan seaneh mendiang Liu Gan. Kalau Liu Gan di waktu hidupnya seakan-akan tidak peduli lagi kepada puterinya yang telah menikah dengan Kam Si Ek, adalah Liu Mo setelah menjadi ketua Beng-kauw justru berusaha untuk mencari keponakannya itu.

Demikianlah keadaan para tokoh pimpinan Beng-kauw yang juga merupakan tokoh paling berpengaruh di Nan-cao. Pada waktu itu, seluruh Kota Raja Nan-cao sudah siap menyambut datangnya hari besar untuk merayakan ulang tahun Agama Beng-kauw dan juga sekaligus memperingati seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Bangunan-bangunan besar dan bangunan-bangunan darurat disediakan untuk tempat penginapan para tamu agung dari seluruh pelosok. Kerajaan Nan-cao adalah sebuah kerajaan kecil namun kaya raya dan kuat, sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama yang dipimpin oleh tokoh besar dan di situ terdapat banyak ahli-ahli yang ternama di dunia kang-ouw. Maka perayaan ini tentu akan dihadiri oleh utusan-utusan kerajaan lain, juga oleh tokoh-tokoh dunia kang-ouw serta partai-partai persilatan besar.

Di depan pintu gerbang dibangun sebuah gedung penerimaan tamu. Semua tamu dipersilakan memasuki gedung ini untuk diadakan penyambutan kemudian diatur pembagian tempat penginapan di lingkungan istana. Bukan pengawal-pengawal biasa yang ditugaskan untuk melakukan penyambutan ini, melainkan tokoh-tokoh Nan-cao yang cukup penting.

Sebagai kepala rombongan penyambut bagian pria adalah Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta Beng-kauw yang tinggi kedudukannya, masih sute sendiri dari ketua Beng-kauw. Pakaian Kauw Bian Cinjin sederhana sekali, dari mori putih yang mangkak, potongannya lebar dan terlalu besar. Rambutnya yang panjang digelung ke atas dan diikat dengan tali serat, sepatunya dari rumput, dipunggungnya tampak sebuah topi caping lebar yang tergantung dari leher.

Ujung sebatang cambuk tersembul dari bawah caping. Cambuk ini adalah cambuk tukang gembala kerbau. Kelihatannya cambuk biasa, akan tetapi sesungguhnya ini adalah sebatang cambuk sakti yang amat ampuh, senjata yang paling diandalkan pendeta Beng-kauw itu. Sederhana sekali kelihatannya kakek ini, namun di dalam kesederhanaannya tersembunyi kekuatan dan wibawa yang besar. Dalam tugasnya sebagai penyambut tamu pria, Kam Bian Cinjin dibantu oleh beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya.

Ada pun penyambut tamu wanita dilakukan oleh serombongan penyambut wanita yang dikepalai oleh seorang gadis yang cantik dan kelihatan gagah perkasa dengan gerak-gerik gesit sekali. Gadis itu bertubuh langsing padat, rambutnya dibungkus sapu tangan lebar berwarna merah, pakaiannya dari sutera halus akan tetapi ada keanehan pada pakaian gadis cantik ini. Potongan bajunya biasa saja, akan tetapi warna lengan bajunya berbeda, yang kiri hitam yang kanan putih! Juga sepasang sepatunya berlainan warna, satu hitam dan satu putih. Benar-benar warna pakaian yang aneh sekali, dan yang mengherankan orang, warna berlawanan ini sama sekali tidak mendatangkan pemandangan janggal, malah menambah keluwesan gadis itu!

Memang betul kata orang bahwa wanita cantik memakai apa pun juga tetap tampak cantik menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu terlibat tali hitam kecil yang aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada ujung tali-tali itu, tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol. Sepintas pandang orang akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang itu tentulah sebatang ikat pinggang atau hiasan yang aneh. Padahal sebetulnya bukan demikian. Benda itu adalah senjata ampuh dari si Gadis manis merupakan sepasang cambuk lemas yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau si Gadis manis sudah mainkan senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw!

Banyak sudah tamu-tamu yang datang biar pun pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu membawa barang sumbangan berupa tanda mata yang serba indah. Harus diketahui bahwa para undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah semua kerajaan di seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah yang mahal harganya dan jarang terdapat. Semua barang sumbangan ini dikumpulkan dalam sebuah ruangan tersendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan tersendiri.

Kerajaan Sung di utara yang diwakili oleh seorang panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata. Petinya saja terbuat dari pada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar naga dan burung dewata! Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa bulu biruang yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar tinggi bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agaknya segan ia bertemu dengan orang banyak dan menjadi tontonan! Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim bingkisan berupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar, sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan persekutuan rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara, mengirim sebuah kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw! Seperti halnya dengan Kerajaan Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam diperkuat dengan jagoan masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong sedangkan Kerajaan Hou-han tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni.

Banyak juga di antara para tamu yang membawa hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak jumlahnya, menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di depan Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) sendiri sambil mengucapkan selamat. Di antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran dari kota An-sui itu. Biar pun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan datang atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer, banyak hubungannya, maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw. Di samping Suma Boan, banyak pula tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini pun membawa sumbangan ‘kecil’ sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat munculnya Beng-kauwcu sendiri.

Seperti dapat kita ketahui dari pertemuan yang lalu, di antara para tokoh besar persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena urusan pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka bela. Akan tetapi sebagai tamu dari pada Beng-kauw, mereka ini diperlakukan sama rata dan mereka pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain agar tidak menjadi pengacau dalam perayaan di negara orang lain.

Betapa pun juga, karena memang di dalam hati sudah mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah timbulnya peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua orang atau dua golongan bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling menyindir. Akan tetapi, seperti telah diterangkan tadi, karena mereka memandang muka Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan kemarahan dan saling menantang untuk membereskan urusan melalui kepalan tangan nanti setelah keluar dari Nan-cao!

Pada hari yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indahnya. Suasana pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi pusat perayaan, akan tetapi juga di jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak orang bekerja seperti biasa. Tampak pada wajah semua penduduk yang terhias senyum, pada pintu-pintu rumah yang ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu beraneka ragam yang menjadi lambang Terang, sifat dari pada Agama Beng-kauw.

Di istana sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di depan istana yang dapat menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para pengiringnya telah hadir, duduk di tempat kehormatan. Wajah raja yang sudah berusia lima puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali karena memang patut dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata menerima banyak wakil negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah kerajaan yang terpandang tinggi.

Di sebelah kanan raja ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh. Sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa.

Pakaiannya serba kuning sederhana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti menyala. Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya.

Dua perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti.

Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya. Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya.

Banyak di antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh! Biar pun kini di antara yang enam itu baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu.

Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biar pun cantik manis dan sedap dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apa lagi kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati lemas kehabisan darah!

Seakan-akan tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka.

Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita memandang kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini.

Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata, “Enci yang baik, tak usah repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku dan...,” tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu disambungnya kata-kata yang terputus tadi, “Nah, itu dia... merekalah yang kucari....”

Tanpa mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng! Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan ‘blusukan’ tanpa aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu.

Sementara itu Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih. “Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!”

Sian Eng yang lebih mengenal aturan dari pada Lin Lin, segera menarik tangan adiknya itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu yang diterima oleh mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di jidat dan gagang tongkat. Ia melangkah maju, memandang teliti dan bertanya.

“Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?”

Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera mengundurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin berani.

“Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah membawa lampu!”

Raja Nan-cao tidak dapat menahan ketawanya. “Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada di sini, kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.”

Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut. “Wah, senang sekali... tapi, selamanya di sini? Tidak mungkin!”

“Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau!” Suling Emas membentak lirih. Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek, lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.

“Terima kasih atas keramahan Ji-wi (Kalian Berdua)!” Ia lalu melangkah lebar mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng...”

“Hush, Lin-moi! Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan orang lain.”

Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok kepadanya. “Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda dan Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?”

“Sssttt, kau lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan waktunya bicara. Kau lihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?”

Lin Lin teringat akan kakaknya, lalu menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biar pun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan asli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?

“Aku akan tanya kepadanya!” Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya.

Melihat ini Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya. “Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sembrono.”

Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song!

Lin Lin gembira sekali. “Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia....” ia mengerling ke arah Suling Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita di sini. Kalau betul di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apa lagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya.”

“Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya.”

Pada saat itu dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh. “Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada bandingnya di seluruh dunia!” Sambil berkata demikian ia mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.

Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biar pun kakek pendek itu kelihatannya tidak normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula.

Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.

Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel. “Di mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat itu!”

Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata lembut, “Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan ulang tahun Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok di dalam kuil istana.”

“Ohhhhh, begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga.”

“Gan-sicu, keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu merupakan hadiah yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak, karena membikin kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.

Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian, terutama seni sastra, sajak dan lukis, dengan wajah berseri segera berkata, “Silakan... silakan...”

Empek Gan tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai, kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi tinta bak yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja tangan kanan itu hitam semua. Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih, makin lama sepasang mata itu makin melotot lebar.

Di sana-sini sudah terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu seperti seorang badut yang miring otaknya. Akan tetapi mereka yang sudah mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis, menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya melukis.

Empek Gan mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak cepat sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan mata melotot, menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini. Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sinkang sepenuhnya sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.

Para tamu yang hanya berani menonton dari tempat duduk masing-masing, agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat menikmati demonstrasi yang memang luar biasa ini. Mula-mula coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak bentuk yang amat hidup dan indah luar biasa dari seekor harimau!

Mata harimau yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis dengan taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti seekor binatang hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jari-jari tangan. Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan!

“Bagus... indah sekali...!” Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan memandang lebih jelas.

Gan-lopek tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi! Tentu saja hal ini menimbulkan keheranan besar, bahkan raja sendiri sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang dengan tenang.

Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam itu demikian tepatnya menempel pada kain putih di sebelah atas lukisan harimau, membentuk sebuah lingkaran bulat dan biar pun hanya merupakan titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan itu telah menciptakan sebuah matahari yang gemilang!

Gan-lopek kini bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, akan tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di dalam mulutnya! Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.

“Kauwcu yang baik, terimalah persembahanku yang tidak berharga ini!”

“Terima kasih, Gan-sicu, terima kasih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan itu.

“Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat menikmati keindahannya,” kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri.

Beng-kauwcu memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera maju menerima lukisan, lalu digantungkan pada dinding di tempat yang agak tinggi sehingga semua orang dapat memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek, kini menjadi keheran-heranan.

Lukisan itu merupakan seekor harimau yang amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata yang seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar matahari yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja!

Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.

“Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan hubungan yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang masih terhitung keluarga Kaisar di Sung Utara menghaturkan selamat kepada Agama Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi.” Sampai di sini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu berpidato.

“Kami sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya, melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi kenang-kenangan.” Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.

“Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu!” seru Raja Nan-cao.

Sambil tersenyum Suma Boan berkata, “Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang layak.”

Kini raja sendiri yang memberi perintah kepada dua orang pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang paling baik adalah di dinding yang sekarang terhias lukisan harimau buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan Gan-lopek. Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat lukisan itu dan semua orang berseru kagum.

Lukisan itu melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat sehingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga mendengar derap dari jauh! Ukuran lukisan kuda ini lebih besar dari pada lukisan harimau dan biar pun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan warna asli.

Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia berkata. “Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu.”

Raja yang suka akan lukisan dan sajak, segera berseru, “Silakan, orang muda yang pintar, silakan.”

Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak dengan suara nyaring. “Kuda sakti, lambang keindahan, kegagahan, dan kecepatan! Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw, akan maju secepat larinya kuda sakti!”

“Bagus!” Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin membusung.

Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang menengok ke arah Gan-lopek karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara... kentut! Ada yang sampai pucat mukanya mendengar ini karena perbuatan Gan-lopek kali ini benar-benar merupakan sebuah kekurang-ajaran yang melewati batas! Suma Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut dengan bunyi kentut oleh Gan-lopek!

“Gan-lopek, apa kau memandang rendah kepada sajakku tadi?” Suma Boan memancing kakek itu yang masih duduk di lantai.

Kakek itu bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali, kata-katanya sengaja ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan hatinya ini.

Gan-lopek tertawa bergelak. “Bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu!” Ia menuding ke arah gambar kuda.

Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.

“Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan asli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami!” Ketua Beng-kauw biar pun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apa lagi dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang. Sekarang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.

“Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”

“Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan! Kau yang membuang kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku?” Suma Boan menudingkan telunjuknya.

“Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur! Siapa di antara semua orang yang hadir di sini tak pernah kentut? Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau! Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda itu binatang apakah? Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?”

Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah mengira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa. “Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai memutar-balikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau kami boleh mendengar keterangannya?”

“Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas!” Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga akibat mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.

Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring, “Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biar pun besar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang dari pada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu!”

Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek. “Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding dengan dia!”

Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biar pun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apa lagi ahli sajak!

Biar pun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan tewas! Sebaliknya dalam mengadu ilmu sastra, biar pun yang kalah tidak akan terluka apa lagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.

Akan tetapi Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biar pun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat menyelamatkan diri dari pada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang ‘mati kutu’ terhadap Suma Boan!

“Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kau panggil ke sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun belum jelas, apa lagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?”

Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguh pun belum boleh dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apa lagi merangkai empat buah huruf saja menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.

“Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar ini.”

Setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring. “Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?”

“Betul, betul!” Gan-lopek mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar kau pakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!”

“Gan-lopek, mulailah! Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata!” Suma Boan menantang.

Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.

Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata, “Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku jika kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah?”

Suma Boan tersenyurn mengejek. “Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru!”

“Ho-hah, boleh... boleh... akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!”

Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan kata-kata ‘tahi’ ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila!

Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biar pun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.

Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan. “Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!”

Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya ‘makan tahi’! Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti halnya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.

Setelah menanti sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang, “Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kau putar-putarlah otakmu, kau rangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu, hoh-hoh!”

Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biar pun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-balik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.

“Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!” seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya.

Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru. “Harap hadirin jangan berisik!” Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan dalam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.

“Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”

Dengan suara nyaring Suma Boan menjawab, “Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.” Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak di antara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir mereka. “Akan tetapi di antara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!”

Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan. “Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang kedua bagaimana?”

“Yang kedua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!”

Kini Empek Gan terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya. “Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi. “Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan tahi harimau? Hoa-ha-ha!”

“Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!” teriak Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi!”

Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya. “Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biar pun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?” Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, “Jawaban itu bohong!” Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.

“Jawaban Suma Boan itu bohong semua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!” Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira, “Betul...! Ucapan Nona betul!”

Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biar pun ada artinya, namun memang tidak benar.

Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam, “Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”

Suma Boan melotot ke arah Lin Ling, kemudian ia merengut dan menjawab. “Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kau kira aku mudah kau tipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kalau kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab, aku pun bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?”

“Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!”

Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah. “Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu!” Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar.

Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.

“Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini...” Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.

“HARIMAU MAKAN KUDA!” Akhirnya Empek Gan berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda!”

“Tidak betul!” Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!”

“Sudah betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu?”

“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kau tinggalkan!”

Orang-orang berteriak-teriak, “Ya, TAHI-nya bagaimana?”

Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek, “Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?”

Empek Gan tertawa, “Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan kudanya, ada pun TAHI-nya... kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu!”

Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.

Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan.

Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya.

Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apa lagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencongkel pergi nyawanya dari badan!

Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal. “Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”

Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya!

Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.

“Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.

Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk asli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki mau pun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol!

Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun setalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!

“Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri?” tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biar pun suara itu parau dan tak enak didengar.

“Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh...,” kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.

Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata, “Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”

Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!

“Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!” Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?”

Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!

Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.

Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut ‘Suling Emas’ begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.

“Kim-siauw Koko (Kakak Suling Emas)...,” akhirnya ia berkata perlahan.

Suling Emas terkejut seperti baru sadar dari pada lamunannya, lalu menengok ke belakang. “Kau? Kau bilang apa tadi?”

Lin Lin tersenyum. “Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”

“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”

“Aku menagih janji!”

“Janji apa?”

“Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat... eh, kau melihat apa?” Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang.

Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.

“Lin-moi, ke sinilah...!”

Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri enci-nya.

“Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”

“Ah, orang macam itu kau percaya, Enci Eng?”

“Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka agak panas. “Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!”

“Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu....” Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.

“Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang... eh, Lin-moi, kau ke mana...?”

Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!

Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari.

Tidak ada bayangan Suling Emas mau pun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini lalu berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.

Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apa lagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok kedua... dadanya makin panas seperti terbakar ketika ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.

“... ah, kau terlalu lemah...”

“... cintaku takkan kunodai darah...,” terdengar jawaban Suling Emas, kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

Dalam tempat persembunyiannya Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau di antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat.

“Dan dia demikian dinginnya terhadap aku,” pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?

Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang... iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biar pun baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau makhluk ini tentulah Hek-giam-lo yang pernah menawan enci-nya.

“Harap jangan berteriak...,” suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.

“Hemmm, apa perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,” kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya tersenyum mengejek.

“Kau kenal padaku...?” Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar bayangan heran.

“Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas dan suka berlaku sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah keadaan Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur hidup-hidup enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani berbuat seperti itu jahatnya?”

Tercenganglah Hek-giam-lo, biar pun tidak dapat dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun. “Kau... kau... betulkah kau orang yang kucari-cari...? Sudah berkali-kali aku keliru....”

“Hek-giam-lo, kau berhadapan dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalina!” Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh, sikap seorang puteri raja asli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti ini, sikap seorang junjungan terhadap hamba sahayanya!

Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah berlutut! Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika ia berkata. “Be... betulkah ini...? Tidak tertipu lagikah... tidak keliru lagikah...?”

“Hek-giam-lo! Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubukan Raja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi puteri mahkota? Apakah aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu? Berani kau menghina aku seperti itu?” Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng menyaksikan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang saudara angkat itu akan terheran-heran.

“Ampun, Tuan Puteri! Ampunkan hamba, Tuan Puteri Yalina yang mulia! Alangkah bahagia hati hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba antarkan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman Paduka.”

Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti Hek-giam-lo ini, takkan mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita enci-nya tentang tokoh ini dan ia tahu bahwa mau atau pun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si tengkorak hidup.

Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya, yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa berat untuk... berpisah dari Suling Emas! Menolak permintaan Hek-giam-lo, berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak baik, berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk dari tokoh ini terhadapnya.

“Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak kalau sudah selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu Paman...”

“Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka, harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita berangkat.”

Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia harus mencari akal....

“Sekarang? Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu... perayaan Beng-kauw masih belum habis...”

“Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting dari pada urusan negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama sekali tidak ada artinya, apa lagi urusan negara lain..., marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalina!” Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju. “Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri.”

Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap dan kata-kata menghormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk melawan berarti ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan menghormat terhadapnya.

“Hek-giam-lo, aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku tanpa membalas?”

Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.

“Tuan Puteri Yalina, siapakah gerangan berani menghina Paduka? Jangan khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga! Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?”

“Ada dua orang yang telah menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kau pikir, apakah ini bukan penghinaan besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bukankah itu berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo, kau rampas tongkat Beng-kauw itu untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan bangsa lain.”

“Tongkat Beng-kauwcu...?” Biar pun dia seorang tokoh besar, malah seorang di antara enam iblis, terang bahwa Hek-giam-lo kaget juga mendengar perintah ini.

“Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua Beng­kauw?”

“Hamba tidak takut terhadap siapa pun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan menimbulkan sengketa antara Khitan dan Nan-cao?”

“Khitan tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak sudi menelan penghinaan begitu saja! Tongkat itu hanya kita pinjam dan kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga menyatakan maaf. Dengan demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir?”

Kena juga akhirnya tokoh iblis ini ‘dibakar’ oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat. “Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi.”

“Bagus! Sekarang musuhku yang kedua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku, pembunuhnya tentulah Suling Emas, biar pun ia menyangkal. Kau tangkap dia, jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan.”

Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.

“Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak takut!”

“Hamba juga tidak takut, akan tetapi... urusan ini... tidaklah begitu mudah, malah agaknya lebih sukar dari pada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang terbunuh itu?”

“Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di...”

Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana tarikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang kata-katanya terdengar amat ketus, “Kam Si Ek? Musuh besar kita itu! Tuan Puteri Yalina, Kam Si Ek itulah pembunuh banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan!”

Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik dari bibi gurunya mau pun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.

“Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku akan menanti di sini.” Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya makhluk yang mengerikan ini pergi meninggalkannya.

“Paduka akan berangkat sekarang juga....”

Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat. “Apa kau bilang? Lebih dulu ambil tongkat...”

Akan tetapi Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar terus-menerus dan sambung-menyambung.

“Mau apa kau? Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini...?” berkali-kali Lin Lin bertanya.

Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya seperti berdetik, tubuhnya panas dingin dan kepalanya pening. Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas, telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi.

Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang mengandung penuh tenaga khikang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman) yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya. Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan panca indera, mengerahkan sinkang untuk diputar-putar di seluruh tubuh melindungi dirinya dari serangan tak langsung tapi cukup hebat itu.

Benar saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat mendengar suara mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini penuh oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendahan dari sebelah barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu.

Lewat sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan... bukan Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan seorang kakek yang buntung kedua kakinya! Kakek ini usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang terkempit di kedua ketiaknya.

“Kau... kau siapa?” Lin Lin bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan selubung hitamnya dan menjadi kakek ini? “Mana Hek-giam-lo?”

Kakek itu membungkukkan tubuhnya. “Tuan Puteri Yalina, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Ada pun Suheng (Kakak Seper­guruan) Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan perintah Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini. Suheng memesan agar supaya hamba mengajak Paduka sekarang juga.”

Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kira­nya suara mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mempunyai pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya buntung, agaknya di atas lutut. Mengerikan dan juga menimbulkan kasihan.

Kakek begini disuruh mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan diri, meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat bersilat dengan baik? Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.

“Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat.” kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang akan merintanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si buntung ini. Akan tetapi, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali melihat senyum mengejek pada wajah kakek ini.

“Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja.”

Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan tetapi sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana ia dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi, melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Memang kakek itu ‘berjalan’ agak terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat cepat.

Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan!

Ketika ia menoleh, kakek itu ter­senyum lebar dan berkata, “Untung sekali Paduka dapat berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan lebih cepat.”

Lin Lin tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan para penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka tidak mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin cepat keluar dari Kota Raja Ke­rajaan Nan-cao. Sebentar saja mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.

“Heiiiii! Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat sekali...!” seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat mengikutinya.

“Pak-sin-tung, aku tidak mau berangkat sekarang!” tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.

“Apa maksud Paduka?”

“Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda.”

Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara tenang. “Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus membawa Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi.”

“Kalau aku tidak mau?” bentak Lin Lin.

“Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan.”

“Srattt!” Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali dari tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan dikembalikan kepadanya.

“Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa!” Kini Lin Lin menantang.

“Pedang pusaka Besi Kuning...!” Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur. “Tidak... hamba tidak berani... tidak berani...”

Besar hati Lin Lin dan sekarang tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia membentak.

“Kau masih berani membantah perintah junjunganmu? Rasakan ini!” Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.

“Ti... tidak, hamba tidak berani...,” kakek buntung itu meloncat ke atas, tongkatnya bergerak-gerak dan ke mana pun juga pedang itu menerjang, selalu dapat dihalau tongkat.

Hebat sekali kakek ini. Biar pun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak kalah oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini benar-benar tak boleh dipandang rendah, karena setiap kali senjata bertemu, tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan Khong-in-ban-kin!

“Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah....”

Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang, apa lagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu? Orang-orang sakti yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan dari pada didesak menjadi lawan. Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk... menawan Suling Emas!

Hasrat hati ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin memberi ‘hajaran’ kepada Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.

“Pak-sin-tung, kalau kau menurut perintahku dan tidak melawan aku pun mana suka bertentangan dengan orang sendiri? Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman Baginda di Khitan. Akan tetapi aku baru mau pergi setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu, bantuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman lain yang dapat membantuku di sini?”

Kini kakek buntung itu duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya, matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin. “Ajaib...,” katanya perlahan, “... pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di tangan Paduka pula... ajaib... agaknya inilah isyarat dan tanda dari langit....”

“Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan!”

“Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia, akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam terdiri dari dua losin orang prajurit pilihan mengawal secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka.”

“Bagus! Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal.”


BERSAMBUNG KE JILID 08