Hantu Rimba Larangan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Serial pendekar pulau neraka
Episode Hantu Rimba Larangan

Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



cersil Pendekar pulau neraka episode hantu rimba larangan



SATU

Bocah berusia sekitar tujuh tahun itu berkali- kali dihardik oleh bapaknya. Wajahnya terlihat kecut dan air matanya seperti hendak merembang di kelopak mata. Namun dikuatkan juga hatinya. Dan dengan ketakutan dia kembali memasang kuda-kuda.

"Duk!"

"Anak goblok! Tolol! Bagaimana mungkin kamu bisa menjadi orang hebat kalau kuda-kudamu saja, tak kokoh!" bentak bapaknya sambil menendang lutut bagian belakang si bocah.

Anak kecil itu kembali terjerembab di tanah keras. Keningnya berdarah. Dan kali ini dia tak kuat lagi menahan rasa sakit. Air matanya meleleh ketika dia bangkit tertatih-tatih sambil memandangi laki-laki berkumis melintang yang melotot garang.

"Ayo cepat! Atau kutendang lagi pantatmu!

"Tapi ayah... seluruh tubuhku sakit sekali...."

"Laki-laki apa kau ini?! Baru terkena hajar begitu sudah lembek! Cepat pasang kembali kuda-kudamu dan ulangi kembali gerakan yang tadi kuajarkan!"

"Hup!"

Bocah itu mengulangi gerakan-gerakan dasar ilmu silat yang tadi diajarkan bapaknya. Sebisa mungkin dihemposnya seluruh tenaga agar terlihat mantap.

"Yang benar kau Jliteng! Atau kuhajar kau!" hardik laki-laki berkumis melintang itu dengan wajah garang melihat gerakan yang dilakukan anaknya terlihat lemah dan tak bertenaga.
Baru saja selesai kata-katanya, kaki kanannya telah melayang menghantam punggung bocah yang bernama Jliteng. Si bocah berusaha membungkukkan tubuh seperti pelajaran yang diingatnya. Kemudian menggeser tubuh dan berbalik cepat menghantam paha lawan dengan satu tendangan keras. Namun jangankan berbuat begitu. Untuk membungkukkan badan saja dia tak sempat. Tendangan bapaknya sangat cepat dirasakan. Walau terlihat asal-asalan namun karena keadaan tubuhnya yang letih, Jliteng tersungkur dan kembali mencium tanah. Kali ini dia mengaduh kesakitan sambil menggelepar.

"Bangun!"

Jliteng seperti tak mendengarkan bentakan itu. Biasanya walau sakit bagaimana pun akan ditahannya, dan dengan wajah ketakutan dia akan berusaha cepat bangkit. Tapi tendangan itu ternyata betul-betul tak tertahankan lagi sakitnya. Bocah kecil yang bernama Jliteng cuma terisak sambil merintih kesakitan memegangi punggungnya yang memar.

"Dari pada menjadi laki-laki tak berguna, mendingan sekalian saja kau mampus!" sentak laki-laki itu bertambah geram lalu mencengkram kerah baju anaknya.

Si bocah diangkatnya tinggi-tinggi dan akan dibantingnya ke tanah. Namun pada saat yang bersamaan menjerit satu suara yang membuat laki-laki itu mengurungkan niatnya sesaat. Dari dalam rumah keluar seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun sambil mengacungkan pedang ke arah laki-laki itu.

"Kakang Patisena, kalau kau tak suka mengajari Jliteng ilmu silat, ya sudah! Aku tak akan memaksa. Tapi kalau kau bermaksud menyiksa anakku, langkahi dulu mayatku!"

Seperti sadar akan kelakuannya yang keterlaluan, laki-laki itu melepaskan anaknya sambil menggelengkan kepala dengan wajah lesu. Jliteng sendiri begitu bebas dari cengkraman Bapaknya langsung menghambur ke pelukan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.

"Maaf Andini... aku tak bermaksud begitu..." ujar Patisena dengan suara lemah.

"Cukup Kakang Patisena! Selama seminggu ini kulihat kau bukan mengajari Jliteng ilmu silat, tapi kau malah menyiksanya! Aku sadar bahwa dia bukan anak kandungmu sehingga mana mungkin kau mau mengajarkan dia dengan baik!"

"Andini, jangan berkata begitu! Aku hanya ingin mengajarkan padanya bahwa hidup ini keras. Sebagai laki-laki dia harus menyadari hal itu!"

"Menyadari apa? Menyadari untuk kau siksa setiap hari? Tidak bisakah kau sedikit bersikap lunak padanya? Apakah begitu caranya kau mendidik anak laki-laki agar menjadi keras dengan cara menyiksanya habis-habisan?! Katakan Kakang Patisena, bahwa kau tak sayang padanya. Dalam hatimu hanya ada kebencian karena wajah Jliteng mirip dengan almarhum ayahnya sehingga membuat batinmu panas setiap kali melihatnya!" sentak wanita itu dengan suara berapi-api penuh kemarahan.

Patisena terkejut mendengar tuduhan itu. Benarkah apa yang dikatakan Andini? Wajah Jliteng memang mirip dengan Bomantara, ayah kandung Jliteng. Dulu ketika masih muda mereka sahabat karib. Sampai kemudian tanpa disadari keduanya menaruh hati pada seorang gadis yang merupakan kembang paling harum di desa mereka, yaitu Andini. Namun karena Bomantara berparas lebih tampan dan halus budi bahasanya, Andini lebih tertarik padanya. Patisena waktu itu memang sakit hati.

Cintanya pada Andini begitu mendalam. Dan melihat Bomantara berhasil mempersunting Andini, timbul dendam dan kebencian di hatinya. Semua penduduk desa mengetahui hal itu. Tingkahnya sering ugal-ugalan dan brangasan. Namun sampai sejauh itu dia masih bersikap ksatria dan tak mau mengganggu rumah tangga sahabatnya. Patisena mengalah dan pergi meninggalkan desanya untuk mengembara.

Beberapa tahun kemudian dia kembali dan mendapati Andini telah menjanda dan mempunyai seorang anak. Walaupun demikian hasrat hatinya tetap menggebu untuk menyunting Andini, dan ketika hal itu diutarakan, ternyata dia tak bertepuk sebelah tangan. Andini menyambut baik dengan satu persyaratan bahwa Patisena harus menganggap Jliteng, anak hasil perkawinannya dengan Bomantara, sebagai anaknya sendiri.

"Andini... sudahlah. Jangan bawa-bawa persoalan ini di depan anak-anak. Aku memang salah. Maafkanlah..." kata Patisena pelan.

Mendengar kata-kata Patisena semakin melunak, luluh juga hati wanita itu. Pedang ditangannya ditarik kembali. Diusap-usapnya kepala Jliteng dengan penuh kasih sayang.

"Sejak ayahnya meninggal dia tak punya siapa-siapa lagi selain diriku. Bersamamu penuh harapanku agar anak ini mendapat kebahagiaannya kembali. Mungkin aku salah terlalu berharap banyak agar kau pun sayang padanya..." ujar Andini pelan.

"Aku sayang padanya...."

Andini terdiam mendengar kata-kata Patisena. Diliriknya Patisena sekilas. Kemudian melangkah mendekati sambil merangkul mereka berdua.

"Aku sayang pada kalian..." desah Patisena kembali.

Diraihnya pedang yang masih dalam genggaman isterinya, dan dibimbingnya mereka ke dalam bersama-sama. Patisena menggendong Jliteng sambil mengusap-usap kepala anak itu.



***


Siang yang terik itu perlahan-lahan memudar ketika sekumpulan awan kelabu berarak di angkasa. Patisena duduk beralaskan tikar di ruang depan rumah mereka. Sesekali bola matanya melirik ke kamar. Terlihat Jliteng tertidur pulas setelah tubuhnya diurut dan dibaluri obat. Dia beranjak ke ruang tengah ketika melihat isterinya baru saja selesai menyusui putri bungsu mereka yang baru berusia kurang dari dua tahun, buah perkawinan mereka berdua. Bocah mungil itu tertidur dan bibirnya menyungging senyum menggemaskan. Patisena meliriknya sekilas, kemudian sambil menghela nafas panjang kembali dia mondar-mandir di ruang depan.

Andini beranjak mendekatinya setelah menidurkan anak bungsunya di kamar. Dengan penuh kelembutan diusapnya punggung suaminya sambil menyandarkan wajahnya. Patisena seperti tak bereaksi. Pandangannya lurus ke depan menatap pekarangan yang ditumbuhi pepohonan. Wanita itu merasa heran dan menghela nafas pendek.

"Kakang marah atas kata-kataku tadi...?" tanya Andini pelan.

Patisena memandang wajah isterinya sekilas. Kemudian dia menggelengkan kepala sambil duduk di atas balai-balai. Andini pun ikut duduk di sampingnya.

"Tidak."

"Kelihatannya Kakang gelisah terus sejak tadi?"

Patisena diam tak menjawab.

"Katakanlah, Kakang Patisena, apakah kakang marah? Aku sudah memaafkan perbuatanmu tadi pagi, asal kakang berjanji tidak mengulanginya lagi. Bagaimanapun juga aku masih tetap berharap agar Kakang bisa menerima Jliteng sebagai anak kandung sendiri. Bukankah Kakang telah berjanji demikian ketika mengawiniku dulu?"

"Andini, aku sudah menganggap Jliteng sebagai anak kandungku sendiri...."

"Jadi apa lagi yang merisaukan pikiran Kakang?"

"Entahlah, aku pun tak tahu. Tadi malam aku mimpi buruk dan sangat mengganggu sekali. Mimpi yang sama seperti kenyataan yang bakal terjadi. Berturut-turut dalam seminggu ini..."

"Mimpi? Mimpi apa, Kakang? Kenapa kau tak pernah menceritakannya padaku?" tanya Andini terkejut.

Patisena melirik isterinya, kemudian memandangnya tajam-tajam.

"Kau ingat kematian Bomantara?" tanya Patisena pelan.

"Tentu saja aku ingat. Saat itu dia disuruh guru kita dalam suatu tugas bersama dua orang kawannya yang lain. Mereka tewas dibunuh, menurut keterangan orang-orang yang mengantarkan mayatnya. Tapi apa hubungannya dengan mimpimu?"

Patisena menghela nafas. Terasa berat dan sesak.

"Bukankah sampai saat ini kau, aku, bahkan almarhum guru kita tak tahu sebab kematiannya dan dia tewas oleh siapa?"

"Kami menduga bahwa Kakang Bomantara dibunuh oleh musuh-musuhnya...."

"Tidak mungkin, Andini. Di luaran sana Bomantara tidak mempunyai musuh. Kalaupun ada yang mendendam dan benci kepadanya, orang itu adalah aku. Tapi aku bersumpah tidak membunuhnya. Walaupun dia yang mendapatkanmu, aku tak sepicik dan serendah itu untuk membunuhnya!"

"Aku percaya, Kakang Patisena. Tapi ceritamu semakin membuatku bingung...."

"Tahukah kau, Andini kira-kira siapa orang yang membenci kita dan kawan-kawan sepermainan kita dulu semasa kita masih remaja? Maksudku, adakah orang yang pernah kau ingat di desa kita ini dulu? Orang yang sangat aneh dan sering diejek oleh kawan-kawan kita yang lain?"

Andini mengingat-ingat sesuatu sampai keningnya berkerut. Tiba-tiba dia tersentak kaget.

"Astaga! Apakah yang kau maksud anak yang tinggal di tepi hutan itu?!"

Patisena mengangguk.

"Ya, pemuda yang memiliki keanehan seperti tak masuk akal. Dia memiliki dua buah kepala dan dua pasang tangan. Dulu kita sering mengejeknya sebagai anak setan, anak haram, dan anak pembawa malapetaka. Bahkan hampir semua pemuda di desa ini yang sebaya dengan kita memperlakukannya dengan kejam. Termasuk juga aku. Gadis-gadis berpaling dan membuang ludah di depan matanya ketika dia memandang kalian. Kau pun berbuat seperti itu padanya. Bahkan aku ingat, kaulah yang paling jijik bila dia memandangmu sering-sering," ujar Patisena.

Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk Andini merinding mengingat kejadian itu. Pemuda itu entah datang dari mana, tapi dia diasuh oleh perempuan tua yang hidup sendiri di dekat hutan pinggiran desa mereka. Pada waktu-waktu tertentu dia sering berjalan di desa, sepertinya ingin bergaul dengan mereka semua. Patisena dan Bomantara paling suka mengejek dan menyiksa pemuda itu. Lebih-lebih lagi mereka berdua memang murid terpandai Ki Sena Manggala, orang tua yang menjadi guru hampir semua muda-mudi di desa ini.

Kasihan pemuda aneh itu. Dia cuma mengeluh dan berteriak kesakitan kalau kedua pemuda itu telah memukulinya. Dari sorot matanya terlihat api dendam dan kebencian. Dan kalau sudah begitu maka pemuda-pemuda yang lainnya bertambah senang memukulinya. Sampai ibu dari pemuda aneh itu datang dan menghardik pemuda-pemuda yang memukul anaknya.
Kemudian dengan penuh kasih sayang dituntunnya anaknya pulang sambil berkeluh kesah.

Tapi pemuda aneh itu sepertinya tak pernah merasa kapok. Beberapa hari kemudian dia datang lagi. Bahkan dia berani mengintip gadis-gadis yang sedang mencuci dan mandi di pancuran. Dan, bila pemuda-pemuda di desa itu mengetahuinya, maka tak ampun lagi mereka langsung memukulinya sampai babak belur. Tapi ketika ibunya meninggal, pemuda aneh itu pun tak pernah terlihat lagi. Dia hilang bagai ditelan bumi.

"Apakah... apakah mimpimu berkaitan dengan pemuda itu...?" tanya Andini ragu. Patisena mengangguk pasti.

"Itulah yang merisaukanku. Beberapa hari ini mimpi itu semakin terbayang nyata. Dia datang sambil tersenyum dan menjinjing kepala Bomantara yang ditujukannya padaku...."

"Apa?!" pekik Andini kaget sambil memandang wajah suaminya tajam.

"Maaf Andini, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu. Itulah yang membuatku melatih Jliteng dengan keras. Agar dia mampu melindungi dirinya dari lawan kelak."

Andini terdiam beberapa saat. Bola matanya menerawang ke mana-mana dengan wajah gelisah.

"Hei!"

Sebuah bayangan melintas di halaman depan. Andini cepat bergerak menyambar pedang yang tergantung di dinding.


***


Ada apa?" tanya Patisena cemas.

"Bersiaplah, Kakang...!" bisik Andini lirih sambil melangkah pelan ke depan. Patisena mengikuti dari belakang dengan pedang ditangan.

"Aaaa...!"

Suami istri itu saling pandang ketika mendengar jerit tertahan dari arah kamar.

"Anakku!" pekik Andini sambil melompat ke kamar.

Patisena sigap menghadapi segala kemungkinan. Tapi belum lagi mereka tiba, dari dalam kamar melesat dua sosok tubuh kecil dan persis jatuh di kaki mereka.

"Anakku!" jerit Andini dengan tubuh terguncang. Wajah wanita itu pucat pasi begitu melihat Jliteng dan putri bungsunya yang baru berusia setahun lebih, tewas dengan kepala remuk. Dipeluknya kedua tubuh yang sudah tak bernyawa itu dengan kesedihan yang mendalam.

"Anjing biadab! Siapa yang melakukan ini?!" bentak Patisena langsung menerjang ke dalam kamar dengan pedang terhunus.

Namun dengan tiba-tiba satu bayangan melesat memapaki. Patisena membabatkan pedangnya dengan cepat.

"Tak!"
"Begkh!"
"Akh!"

Patisena terkejut. Gerakan lawan sangat cepat. Bukan saja dia tak berhasil mengirimkan serangan maut, tapi dengan tiba-tiba tangannya seperti dihantam besi keras dan membuat pedangnya terlepas. Belum sempat mengetahui apa yang terjadi tiba-tiba dadanya dihantam oleh suatu benda yang amat keras dan membuat tubuhnya terlempar menghantam dinding kamar hingga jebol. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah segar.

"Si... siapa kau?! Hah? Ka... kau...?"

Sosok tubuh berdiri di hadapannya. Pandangan mata Patisena agak gelap. Namun ketika dia menegaskan, bukan main terkejutnya laki-laki itu. Sosok tubuh yang berdiri di hadapannya inilah yang selalu menghantui mimpinya. Pemuda aneh berkepala dua dan bertangan empat.

"Dolu Lungkat?!" pekik Andini halus ketika mengetahui siapa bayangan itu sebenarnya.

Seperti Patisena, dia pun tersentak kaget, dan tanpa sadar menyebut nama pemuda aneh itu. Melihat namanya disebut, pemuda aneh itu menoleh. Kali ini Andini dapat melihat dengan jelas keadaan tubuhnya yang ganjil. Kepalanya bulat lonjong dan ada dua buah. Yang satu agak lebih besar, namun wajahnya serupa betul. Hitam legam dengan sorot mata yang tajam menakutkan seperti rajawali hendak menerkam mangsa. Satu tangan kanannya menuding, dan satu tangan kiri bertolak pinggang, sedangkan dua lengan yang lainnya diam tak bergerak.

"Hmmm... kalian masih mengenaliku rupanya. Bagus! Hari ini adalah hari pembalasan untuk manusia-manusia terhormat seperti kalian. Kau akan mampus seperti Bomantara, dan suamimu sekarang dalam keadaan sekarat. Sebentar lagi dia pun akan menyusul kawannya.

Tapi kau! Sebelum kau mati, ada hadiah dariku yang akan kau bawa ke akherat!" suara pemuda aneh itu serak dan berat.

"Ja... jadi kau pembunuh suamiku Bomantara yang..."

Belum lagi habis kata-kata Andini, pemuda aneh itu bergerak cepat dengan sebelah tangan melambai ke arahnya. Andini mencoba menangkis. Tanpa mengelak pemuda aneh itu menangkap pergelangan tangan Andini. Entah bagaimana tiba-tiba gadis itu telah berada dalam pelukannya. Dan tangan-tangan yang lain bergerak merobek baju yang dikenakan wanita itu.

"Keparat! Apa maksudmu?! Lepaskan aku! Lepaskan...!" teriak Andini berusaha berontak.

Percuma saja Andini berontak, karena kedua tangan pemuda aneh itu mendekapnya erat sekali. Kemudian dengan tiba-tiba tubuh Andini direbahkannya ke lantai dan dengan beringas dia melampiaskan nafsu setannya pada wanita itu. Andini berusaha berontak tapi sia-sia saja. Tubuhnya terasa lemah tak berdaya, dan kerongkongannya seperti tersumbat ketika beberapa bagian tubuhnya ditotok pemuda aneh itu.

Sementara dengan sisa tenaganya Patisena berusaha bangkit untuk menolong isterinya. Kemarahannya begitu memuncak sampai urat-urat di pelipisnya menegang. Tapi dia tak sampai melangkah ketika dadanya terasa nyeri bukan kepalang. Tubuhnya kembali tersungkur persis di dekat isterinya yang tak berdaya digumuli pemuda bertubuh aneh itu.

"Ke... keparat...!" makinya geram ketika pemuda aneh itu selesai melampiaskan perbuatan bejatnya.

"Itulah hadiah dariku atas apa yang kau berikan padaku dulu. Penghinaan dan pandangan menjijikkan! Nah, sekarang pergilah kalian ke akherat!"

"Crab!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Dengan tiba-tiba tangan pemuda aneh itu mencengkram dada kiri Andini. Gadis itu memekik kesakitan ketika jantungnya dikorek keluar. Pada saat yang bersamaan tubuh Patisena kembali menghantam dinding ketika satu tendangan menerpanya. Suami isteri itu tewas seketika, dengan tubuh penuh luka yang mengerikan. Pemuda bertubuh aneh itu meninggalkannya sambil mengeluarkan tawa yang menyeramkan.


***


DUA

Matahari belum lagi terbenam ketika hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Tanah-tanah yang tadinya kering kini mulai lembab dan sebentar lagi becek. Pohon-pohon tampak bergoyang-goyang ditiup angin sambil melambai-lambaikan rantingnya yang berdaun lebat. Seperti merayakan hari kegembiraan atas turunnya hujan yang memberikan kehidupan bagi mereka. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Dia dan seekor monyet kecil di pundaknya berlari-lari kecil sambil mendesah kesal mencari perlindungan.

"Hmmm... untung ada tebing yang bentuknya seperti ini," kata pemuda berbaju kulit harimau menghela nafas lega.

"Nguk!"

"Yaah... lebih baik sedikit basah dari pada mandi hujan dan kedinginan," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Bayu Hanggara atau lebih dikenal dengan Pendekar Pulau Neraka.

Mereka berdua berteduh pada sebuah batu yang menempel di sisi sebuah tebing. Batu itu agak menjorok ke dalam kira-kira lima jengkal. Sehingga merupakan tempat berteduh yang amah dari siraman air hujan.

"Nguk!"

Monyet kecil berbulu hitam menyeringai lebar sambil menepuk-nepuk perutnya. Bayu terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Wajahnya terlihat kesal sekali.

"Ah, hujan sial! Datang tiba-tiba mengejutkan orang saja. Padahal kita sedang enak-enak bersantap. Kau lihat Tiren! Aku cuma sempat membawa sekerat daging kijang ini. Padahal yang tertinggal masih cukup untuk dua hari lagi."

"Nguk...!"

Tiren mencericit sambil sesekali menunjukkan wajah tak senang dengan kata-kata yang diucapkan Bayu.

"Kenapa? Kau tak suka aku berkata begitu? Jelas, karena daging itu bukan jatahmu. Paling buah-buahan yang kau petik tertinggal dan gampang mencarinya lagi. Tapi daging kijang? Sulit diperoleh!"

"Kaaaakh!"
"Lho, kenapa?"
"Nguk! Nguk!"

Tiren menyeringai garang sambil menunjukkan tangannya ke atas.

"O... kau mau disambar petir?" tanya Bayu sambil terkekeh menggoda sahabatnya.

"Kaaaakh...?" Tiren terlihat semakin kesal dengan jeritan kerasnya itu.

"Iya, iya... aku mengerti maksudmu. Kita harus berterima kasih atas turunnya hujan, sebab ini anugerah Yang Maha Kuasa. Begitu?"

Tiren tersenyum lebar sambil menepuk-nepukkan tangan di atas kepalanya.

"Tapi bukan berarti kita tak boleh kesal. Itu bukan berarti kita tidak mensyukuri, tapi... ya, pokoknya kesal saja! Orang lagi enak-enaknya bersantap tiba-tiba turun hujan. Huh, mana perut sedang lapar!" gerutu Bayu kembali.

Pemuda itu memang sengaja berkata begitu agar sahabatnya jengkel. Dan benar saja. Binatang cerdas itu betul-betul seperti mengerti ucapan manusia. Khususnya apa yang diucapkan oleh Bayu. Kembali dia mencericit dengan suara ribut sambil memperlihatkan wajah garang.

"Ha ha ha ha...! Nah, begitu lebih bagus, Tiren. Paling tidak saat hujan begini ada yang dijadikan hiburan. Daripada kesal memikirkan perut lapar."

"Nguk!"

"Lho, kok berhenti? Ayo, menjeritlah yang keras!"

Monyet kecil berbulu hitam itu malah membuang muka dan bungkam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bayu semakin geli saja melihat tingkahnya. Kilat menyambar-nyambar di angkasa. Cuaca yang tadinya gelap tiba-tiba menjadi terang sesaat. Pandangan Bayu yang tajam melihat sesuatu pada jarak sepuluh tombak di depannya.

"Hei?!"

Tubuhnya melesat cepat menembus derasnya air hujan. Tiren terpaksa mengikuti dari belakang. Apa yang dilihat Bayu ternyata seorang bocah perempuan berusia enam tahun yang sedang menekuri dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat. Bajunya kuyup oleh air hujan. Wajahnya menekur sambil memandangi kedua mayat itu tak berkedip. Bibirnya yang mungil mulai membiru ketika tubuhnya bergetar hebat karena kedinginan. Tapi semuanya seperti tak dirasakan. Betul-betul bocah yang keras hati.

"Siapa namamu, Nak? Mengapa kau berada di sini?" tanya Bayu ramah sambil menepuk pundaknya. Bocah kecil itu menoleh, dan terlihat wajahnya yang pucat menampakkan ketakutannya yang hebat. Buru-buru dia bangkit dan bermaksud kabur dari tempatnya itu.

"Hei! Jangan takut. Aku tak bermaksud melukaimu!" teriak Bayu sambil mencekal pergelangan tangan bocah itu.

"Ampun...! Ampuuun...! Jangan bunuh aku. ayah... ibu... tolong! Jangan bunuh aku...!" teriaknya semakin panik.

Bayu berusaha menenangkannya. Tapi bukannya diam, bocah itu semakin keras berontak dan berteriak-teriak ketakutan.

"Nguk! Nguk!"
"Ohhh...."

Melihat seekor monyet kecil yang memandangnya sambil mengulurkan tangan, bocah kecil itu seketika tertegun. Tapi tak lama kemudian dia kembali berusaha berontak untuk melepaskan diri dari cekalan Bayu.

"Adik manis, diamlah. Aku tak bermaksud jahat padamu. Demikian pula Tiren. Kami ingin berkawan denganmu...."

Bocah itu seperti tak perduli dengan kata-kata Bayu. Dia terus menjerit-jerit ketakutan. Bayu hilang kesabarannya melihat keadaan itu.

"Diam!" bentaknya keras.

Bocah perempuan itu tersentak kaget. Wajah pias seperti mayat. Bibirnya bergetar hebat. Bukan saja oleh rasa dingin yang menyengat, tapi juga oleh rasa takut yang memuncak di hatinya. Suaranya seperti tersangkut di kerongkongan. Dipandanginya wajah pemuda berambut gondrong dengan mimik seperti orang melihat sesuatu yang mengerikan yang akan mengancam jiwanya.

"Nah, begitu lebih baik dari pada kau terus berteriak-teriak seperti orang gila..." lanjut Bayu dengan suara ramah.

"Nguk!"

"Namaku Bayu, dan ini sahabatku, Tiren. Kami tidak jahat karena ingin berkawan denganmu. Kau tentu mau menerima kami sebagai kawanmu, bukan?"

Bocah itu masih diam tak menyahut. Ketakutannya seperti tak hilang sedikit pun di wajahnya. Bayu menggelengkan kepala sambil menghela nafas panjang. Tubuh mereka telah kuyup oleh air hujan, dan ketika sekali lagi berusaha ramah, bocah itu tetap tak memberikan reaksi. Dia melirik sekilas pada dua sosok mayat yang tergeletak di depannya.

"Apakah mereka ini ayahmu? Pamanmu? Atau saudaramu...?" tanya Bayu lirih.

Bocah perempuan itu cuma melirik sekilas tanpa menyahut sepatah kata pun.

"Hmmm... sungguh kejam orang yang telah membunuh mereka. Awas! Kalau sampai bertemu denganku dia tak akan lolos. Akan kupatahkan lehernya!" geram Bayu.

Bocah itu melirik lagi ke arah Bayu. Kali ini ketakutannya sedikit mereda. Entah oleh kata-kata Bayu atau hatinya mulai percaya bahwa pemuda di depannya bukanlah orang jahat.

"Betulkan Tiren? Akan kita patahkan leher orang yang telah berbuat kejam itu!"

"Nguk!"


***


"Wa... wajahnya seram...."
"Hei! Apa katamu?"

Bocah perempuan itu memandang ragu pada pemuda berbaju kulit harimau.

"Jangan takut. Kami adalah kawanmu. Kita akan balas perbuatan orang yang telah membuat paman-pamanmu ini mati. Orang itu harus mendapat hukuman yang berat."

"Be... betulkah?"

"Tentu saja! Orang itu pasti jahat, dan orang jahat harus dihukum."

"Tapi orang itu berilmu tinggi. Kedua pamanku tak mampu melawannya."

"Hmmm... jadi mereka ini adalah pamanmu? Siapa yang telah membunuh mereka?"

"Seorang berwajah seram. Kepalanya ada dua dan tangannya empat."

"Apa?!" Bayu terkejut mendengar keterangan bocah itu.

"Betul, Paman. Aku melihat sendiri dari balik semak-semak. Ketika itu aku bermaksud pipis, dan berada agak jauh dari kedua paman. Tiba-tiba orang itu muncul. Mereka berkelahi, tapi dia dengan mudah membunuh paman-pamanku. Aku tak berani keluar karena takut. Jadi hanya bersembunyi di balik semak-semak saja...."

Bayu tertegun mendengar cerita bocah perempuan itu. Tidak salahkah kata-katanya? Seorang tokoh berkepala dua dan bertangan empat? Apa bukan karena rasa ketakutannya saja?

"Apakah paman tak percaya ceritaku?"

"Ehh... percaya. Tentu saja paman percaya pada ceritamu. Nah, kalau mereka paman-pamanmu, tentu kau punya orang tua bukan? Di mana mereka berada, biar aku antar kau pulang."

"Aku tak tahu jalan pulang, Paman..." sahut bocah perempuan itu lesu.

"Hmmm... apakah kau tak tahu nama desamu?"

"Kalau itu aku ingat. Desa Kedungbala."

"Kalau begitu biar kita kubur mayat pamanmu ini, dan setelah itu kita akan mencari desa tempat asalmu," sahut Bayu.

Setelah mengubur kedua mayat itu, mereka langsung meninggalkan tempat tersebut. Tiren berada di pundaknya, dan bocah perempuan itu digendongnya di belakang ketika Bayu mengerahkan ilmu lari cepatnya.

"Takut?" tanya Bayu diantara desir angin yang membuat bocah itu sulit untuk melihat ke depan.

"Ti... tidak."

"Ha ha ha ha.... Sebentar lagi tentu kau akan terbiasa. Oh, aku lupa siapa namamu?"

"Ambar, Paman."

"Ambar? Hmm... nama yang bagus dan cantik seperti orangnya," puji Pendekar Pulau Neraka.

"Paman dari desa mana?" tanya bocah bernama Ambar mulai berani.

"Paman berasal dari jauh. Di sebuah pulau dekat Pantai Selatan"

"Apakah paman masih punya orangtua?"

"Orangtua paman sudah meninggal sewaktu paman masih kecil."

"Paman tentu sedih, bukan?"

Bayu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Sepanjang perjalanan mereka, bocah perempuan itu mulai banyak bertanya dan terlihat sifat aslinya yang polos dan riang sebagaimana layaknya bocah-bocah seumurnya.

Setelah bertanya pada beberapa orang yang mereka temui di tengah perjalanan, mereka tiba di desa yang dituju. Desa itu persis berada di pinggiran sebuah hutan dekat kaki gunung. Tapi bukan satu-satunya desa yang terdapat di situ. Ada dua desa lagi yang agak berdekatan jaraknya.

Hari telah malam ketika mereka sampai di Desa Kedungbala. Suasananya tampak sepi. Tapi Ambar terus menghambur sambil berlari kecil menuju rumahnya.

"Ayaaah.... Ibuuu...!"

Bayu mengikuti dari belakang. Tak berapa lama pintu depan rumah yang dituju bocah itu terkuak. Sepasang suami istri berusia setengah baya menyambutnya dengan suka cita. Mereka berpelukan sesaat menumpahkan kerinduan. Namun ketika Ambar mulai menceritakan kejadian yang dialaminya, kedua orang tuanya terperanjat kaget.

"Untung ada Paman Bayu yang mengantarkan Ambar pulang. Kalau tidak tentu Ambar akan kesasar dan tak akan menemukan jalan pulang ke sini," celoteh bocah itu dengan mulut bijak.

Dengan sifat kekanak-kanakkannya yang polos, Ambar menarik tangan Bayu dan memperkenalkannya pada kedua orang tuanya.

"Terima kasih atas pertolongan Kisanak pada anak kami� kata ayah Ambar dengan wajah haru.

"Ah, tidak apa. Itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk saling tolong menolong."

"Tampaknya Kisanak telah melakukan perjalanan jauh. Kalau tidak keberatan menginaplah di rumah kami. Apalagi hari telah malam begini...."

"Terima kasih kalau tidak merepotkan...."

Bayu mengikuti mereka beranjak ke dalam. Keluarga ini bukan termasuk orang berada, tapi mereka menyambutnya berlebihan sekali. Segala hidangan dikeluarkan ketika mereka makan bersama. Seorang gadis manis berusia sekitar lima belas tahun melayaninya dengan cekatan.

"Ini adik istri saya. Namanya Puji Lestari," kata Ayahnya Ambar tanpa diminta.

Bayu menganggukkan kepala. Ketika diliriknya, gadis itu sedang melirik pula ke arahnya. Tapi buru-buru dia menundukkan kepala sambil menuangkan air minum pada cangkir pemuda berambut gondrong berwajah tampan itu. Setelah selesai makan, mereka berkumpul di ruang tengah dan saling bercerita. Tapi malam ini suasananya lain. Berita yang dibawa Ambar sungguh mengejutkan hati dan membuat laki-laki bertubuh kurus yang tak lain dari ayahnya Ambar, lebih banyak berdiam diri.

"Maaf, Kisanak. Desa ini terlihat begitu sepi, melihat dari jumlah rumah yang ada mestinya merupakan desa yang cukup ramai," tanya Bayu sekedar membuka pembicaraan.

"Tadinya memang cukup ramai. Tapi dalam dua hari ini telah banyak orang yang mengungsi...."

"Mengungsi? Kenapa?

Laki-laki kurus itu tersenyum getir.

"Desa kami ini tampaknya sudah tak aman lagi dihuni...."

"Kenapa begitu, Ki sanak?"

"Seorang berkepandaian tinggi telah menjatuhkan hukuman mati bagi seluruh penduduk desa!"

"Heh? Sungguh aneh. Siapa orang itu dan apa haknya menghukum mati semua orang yang belum tentu bersalah?"

"Ceritanya panjang Ki sanak...."

"Kalau Kisanak mau menceritakannya, tentu aku akan suka mendengarkannya sampai selesai...."

"Ayah, ceritakanlah. Paman Bayu akan menolong kita semua. Paman Bayu hebat. Dia bisa berlari lebih cepat dari kuda!" celetuk Ambar bersemangat.

Laki-laki bertubuh kurus itu menarik nafas panjang sesaat sebelum menceritakan peristiwa yang terjadi di desa mereka dalam waktu seminggu belakangan.

"Ooh... benarkah itu?!" tanya Bayu seperti tak percaya.

Wajah pemuda itu tampak kaget. Apa yang diceritakan laki-laki ini sama dengan apa yang dilihat Ambar tentang pembunuh kedua pamannya.

"Betul Ki sanak. Orang itu memang berkepala dua dan bertangan empat. Dulu dia penduduk desa ini, tapi karena semua penduduk desa tak menyukainya, dia dikucilkan. Bahkan beberapa pemuda sebayanya sering memperlakukannya dengan kejam. Mungkin dia dendam dan ingin menuntut balas!"


***


Bayu mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah takjub. Sulit dipercaya ada orang seaneh itu. Tapi laki-laki bertubuh kurus bercerita dengan cara yang meyakinkan. Hingga mau tak mau timbul juga rasa percayanya walau belum sepenuh hati. Tapi apa urusannya menjatuhkan hukuman mati bagi seluruh penduduk desa ini?

"Tidak ada yang berusaha melawan? Atau barangkali mereka hendak menyelamatkan diri? Atau juga mendatangkan bala bantuan dari luar?" tanya Bayu hati-hati.

"Tiada seorang pun yang mampu melawannya. Beberapa orang telah mencoba, tapi mereka tewas dengan mudah. Ada penduduk yang mencoba mengungsi, tapi mereka tak ada yang selamat karena telah tewas sebelum keluar dari desa ini. Kami pun telah mencoba mendatangkan bantuan seperti yang kau lihat. Kusuruh adikku untuk pergi mencari saudaraku yang paling tua di desa lain. Beruntung dia dapat selamat keluar dari desa, bahkan membawa Ambar yang secara diam-diam mengikutinya. Tapi akhirnya jadi begini. Dia pun tewas sebelum kembali ke desa ini. Hhh... entah bagaimana caranya. Kalau saja Ki Sena Manggala masih hidup tentu lain ceritanya..." kata laki-laki itu mengakhiri ceritanya sambil menghela nafas sesak.

"Ki Sena Manggala? Siapa dia?" tanya Bayu ingin tahu.

"Dia seorang pendekar hebat yang kemudian menetap di desa ini. Banyak muda-mudi yang berguru padanya. Termasuk juga Bomantara dan Patisena...."

"Siapa mereka Ki sanak?" tanya Bayu kembali.

"Dua orang murid Ki Sena Manggala yang terpandai. Tapi mereka pun tewas. Bahkan kematian keluarga Patisena terjadi secara mengerikan.

"Dibunuh oleh orang yang sama?"
"Ya...!"

"Hmmm... sungguh kejam sekali orang itu..." gumam Bayu geram.

"Dia sengaja membuat kami ketakutan menunggu giliran, sebelum mati ditangannya satu persatu...."

"Dapatkah Ki sanak menunjukkan padaku di mana orang itu berada?"

"Ki sanak akan mendatanginya?"

Bayu menganggukkan kepala mantap. Laki-laki kurus itu menggelengkan kepala berkali-kali sambil menghela nafas panjang.

"Hei?!"

Bayu tiba-tiba tersentak dan cepat berdiri tegak mengawasi pintu depan dengan pandangan tajam. Selintas terlihat olehnya sebuah bayangan bergerak cepat. Pemuda berbaju kulit harimau bermaksud mengejar keluar, namun dia cepat berpikir jika hal tersebut merupakan suatu pancingan agar bayangan itu bisa leluasa masuk ke dalam.

Pendekar Pulau Neraka menunggu beberapa saat. Belum terdengar tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan pendengarannya yang tajam tak mendengar suara apa pun. Apakah matanya tadi salah melihat? Tak mungkin!

Walau bayang tadi bergerak cepat sekali, tapi penglihatannya tak bisa tertipu. Sekilas diliriknya keluarga itu. Wajahnya pucat dan tegang seperti dicekam ketakutan yang hebat.

"Ki sanak yang berada di luar, silahkan masuk jika bermaksud baik. Keluarga ini tentu akan menyambutmu dengan senang hati!" kata Bayu dengan suara keras.

Belum terdengar ada reaksi. Bayu kembali menunggu beberapa saat lamanya sambil memberi isyarat kepada empat orang itu agar jangan bergerak meninggalkan tempatnya.


***


TIGA

"Hup!"

Tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat ke atas wuwungan menyambut sosok bayangan yang tiba-tiba melesat turun dengan cepat menjebol atap rumah.

"Yeaaa...!"
"Plak!"

Benturan pukulan antara keduanya tak dapat dielakkan lagi. Tubuh Pendekar Pulau Neraka terjajar ketika jatuh ke bawah sambil bersalto dengan ringan. Namun dia cepat bangkit dan mengirim satu serangan kilat.

"Ki sanak, tiarap semua!" teriak Bayu memperingatkan.

Keempat orang itu buru-buru tengkurap di lantai ketika dua sosok tubuh itu kembali bergerak cepat saling berhadapan.

"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Beghk!"
"Akh...!"

Terdengar keluh kesakitan. Sosok bayangan mencelat keluar dan terus berlari kencang. Bayangan kedua menyusulnya dengan gerakan yang tak kalah cepat. Sebentar saja terlihat mereka saling berkejaran di kegelapan malam.

"Kakang, bagaimana keadaan mereka?" tanya wanita setengah baya yang tak lain dari ibunya Ambar pada suaminya ketika mereka bangkit dan melihat keadaan sekeliling.

"Entahlah... aku sendiri tak tahu siapa orang tadi. Barangkali si Dolo Lungkat."
"Kau yakin itu?"

"Aku tak yakin. Tapi siapa lagi yang mampu berbuat begitu selain dari dirinya?

Tapi pemuda itu pun tampaknya bukan orang sembarangan. Hmmm... mudah-mudahan dia mampu mengalahkan orang gila itu."

"Paman Bayu hebat! Dia pasti akan membinasakan orang jahat itu!" sahut Ambar dengan wajah penuh keyakinan.

"Siapa dia sebenarnya, Bar?" tanya bibinya.

"Ambar tidak tahu. Tapi Paman Bayu bilang bahwa dia berasal dari Pantai Selatan. Di mana tempat itu?" tanya Ambar kepada bibinya.

Gadis manis yang bernama Puji Lestari menggelengkan kepala.

"Mana bibi tahu. Sejak kecil sampai sekarang bibi tak pernah kemana-mana...."

"Tempat itu agak jauh dari sini...." kata ayahnya.

"Ayah tahu di mana?! Paman Bayu berasal dari sebuah pulau tak jauh dari Pantai Selatan katanya!" celoteh Ambar bersemangat.

"Apa?! Kau katakan dia berasal dari sebuah pulau di dekat Pantai Selatan?!" tanya ayahnya dengan wajah kaget.

Ambar mengangguk pasti.

"Heh! Cuma ada sebuah pulau yang sangat angker di tempat tersebut. Tak seorang pun yang bisa keluar hidup-hidup dari tempat itu. Jangankan menginjakkan kaki, berada di dekatnya saja orang tidak akan selamat, selain...."

"Selain apa, Kakang?" tanya istrinya sedikit mendesak.

"Ah, rasanya tak mungkin!"

"Tak mungkin kenapa Kakang?" tanya isterinya semakin penasaran.

"Menurut cerita yang kudengar ada seorang pendekar sakti berilmu tinggi yang berasal dari pulau itu. Seperti namanya, dia bergelar Pendekar Pulau Neraka...."

"Pendekar Pulau Neraka? Siapa dia, Kakang?" tanya Puji Lestari heran.

"Dia seorang pendekar hebat yang belakangan ini namanya ramai dibicarakan orang. Aku sendiri belum pernah menyaksikan kehebatannya. Tapi menurut cerita orang, kehebatannya tak pernah diragukan lagi."

"Jadi... jadi, pemuda itukah yang bergelar Pendekar Pulau Neraka, kang?" tanya Puji Lestari dengan wajah kagum.

"Entahlah... aku sendiri belum yakin benar...."

Pada saat yang bersamaan Bayu telah kembali. Wajahnya terlihat lesu, keempat orang itu memperhatikan dengan wajah penuh tanya. Pemuda berbaju kulit harimau, duduk beralaskan tikar pandan di dekat mereka. Dia menarik nafas pelan dan menghembuskannya perlahan-lahan.

"Sayang sekali Ki sanak. Aku tak berhasil menangkapnya. Dia menghilang dikegelapan malam persis di dekat hutan di ujung desa," kata Bayu lirih.

"Apakah Ki sanak mengetahui siapa orang itu?"

"Tak begitu jelas, tapi penglihatanku tak mungkin salah. Orang itu persis seperti apa yang kalian ceritakan...."

"Hmmm.... Dolo Lungkat...."
"Kau tahu juga namanya, Ki?"
"Ya...."
"Tentu tahu juga di mana dia berada?"

"Tidak pasti. Tapi dulu dia tinggal di dekat hutan di ujung desa ini bersama ibunya. Namun setelah orang tuanya meninggal, dia hilang entah ke mana. Sejak saat itu tak seorang pun mengetahui di mana dia berada."

"Hmmm... kalau begitu biar besok aku akan ke sana. Siapa tahu ada petunjuk tempat dia berada saat ini."

"Itu pekerjaan yang berbahaya, Ki sanak...."

"Tidak apa, Ki. Kalau kalian memperkenankan aku bermaksud akan membantu menyelesaikan persoalan ini sebisaku."

"Oh, tentu saja kami akan sangat bergembira sekali. Tapi...."

"Tapi kenapa?"

"Rasanya tak pantas kau berkorban untuk kami. Orang itu hebat dan ilmunya tinggi. Kalau kau tewas dengan sia-sia tentu kami akan sangat merasa bersalah."

"Belum tentu aku tewas di tangannya, Ki. Umur seseorang bukan ditentukan oleh manusia atau makhluk lain, melainkan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Walaupun kepandaianku tak seberapa, tapi kalau Tuhan belum mengijinkan aku mati, maka segalanya akan mudah. Begitu juga sebaliknya. Kalau Tuhan telah menggariskan aku akan mati, maka walau berada di mana pun aku pasti akan tewas," sahut Bayu sambil tersenyum kecil.

"Ya, ya... kau benar, Ki sanak."

"Kalau kalian hendak beristirahat, silahkan. Biarkan aku akan berjaga-jaga di sini...."

"Baiklah. Terima kasih atas segala budi baikmu ini...."

Keempat orang itu segera beranjak ke kamar masing-masing. Bayu duduk bersila sambil melatih pernafasannya di ruang tengah. Telinganya dipertajam untuk mendengar sesuatu yang mungkin mencurigakan. Sementara sepasang matanya terpejam. Dengan kedua tangan bertopang di atas paha, sikap Pendekar Pulau Neraka terlihat khusuk.

Malam semakin merambat, dan suasana masih terlihat sepi. Tapi Bayu tetap tak bergeming di tempatnya. Monyet kecil berbulu hitam yang selalu setia menemaninya, tampak terkantuk-kantuk di atas sebuah kursi.

"Siapa?" tanya Bayu merandek pelan ketika telinganya mendengar suara langkah halus mendekati.

A... aku...."

Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh. Puji Lestari malu-malu melirik ke arahnya.

"Kenapa belum tidur juga?"
"Mataku tak mau terpejam. Aku... aku takut sekali...."
"Hmm... tidurlah. Aku akan tetap berjaga di sini...."
"Kau tidak mengantuk...? Udara terasa dingin sekali. Aku akan buatkan kopi untukmu," kata Puji Lestari.

Bayu tak menjawab ketika Puji Lestari beranjak ke dapur. Tak berapa lama kemudian gadis itu kembali bersama secangkir kopi panas di tangannya.

"Terima kasih. Kau baik sekali...."
"Ah, ini bukan apa-apa...."

"Duduklah," ujar Pendekar Pulau Neraka ketika melihat gadis itu berdiri termangu seperti ragu hendak beranjak ke dalam.
"Tidak mengganggu?"
Bayu tersenyum sambil menggelengkan kepala.


***


Keduanya berdiam diri beberapa lama. Suara jangkrik kembali terdengar seperti bernyanyi, dan tiba-tiba monyet kecil yang tadi tertidur pulas terbangun, kemudian melompat dengan ringan ke pangkuan Pendekar Pulau Neraka. Bayu membelai-belai kepalanya sambil menunjuk ke arah Puji Lestari.

"Tiren, kau belum sempat berkenalan dengan gadis cantik ini, bukan? Nah, ayo ulurkan tanganmu!"

Monyet kecil itu mengulurkan tangannya sambil menyeringai lebar. Puji Lestari menyambutnya sambil tersenyum lucu.

"Monyet ini cerdas sekali. Siapa tadi namanya?
Tiren?"
"Nguk!"

Dengan lincah monyet itu melompat ke pangkuan gadis cantik itu. Puji Lestari terlonjak kaget dengan wajah takut.

"Jangan takut, dia tak akan mencakarmu," kata Bayu sambil terkekeh.
"Nguk!"

Melihat monyet itu terlihat jinak dan ramah, perlahan-lahan rasa takut gadis itu hilang. Bahkan kemudian dia sudah berani membelai-belainya. Tiren terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya seperti hendak tidur.

"Tiren ini monyet laki-laki, jadi kalau dibelai wanita dia keenakan!" goda Bayu.
"Nguk!"

Monyet kecil berbulu hitam menyeringai sambil menepuk-nepuk tangannya di atas kepala. Kemudian terlihat dia memainkan bibirnya seperti mengejek ke arah Bayu.

"Eeee, berani kau mengejek aku, ya?!"

Monyet kecil itu semakin mencibirkan bibirnya saja. Bahkan sesekali mengeluarkan lidah. Puji Lestari terkekeh melihat hal itu.

"Monyet kalau menjulurkan lidah bukan berarti bertambah bagus. Mukamu seperti kunyuk!"

Tiren menghentikan perbuatannya dan memandang Bayu sambil memiringkan kepala. Sebelah tangannya menggaruk-garuk kepala seperti terlihat bingung.

"Ha ha ha ha...! Agaknya dia bingung apa yang kau katakan tadi. Tiren, monyet dan kunyuk itu sama saja. Tak ada bedanya," Jelas Puji Lestari.

Tiren kembali nyengir.

"Eh, siapa bilang tak ada bedanya? Jelas ada. Bahkan banyak sekali bedanya!" tangkis Bayu.

Dilihatnya Tiren bertingkah seperti tadi seperti bingung.

"Monyet itu untuk kera yang baik, cerdas, ganteng, dan berkelakuan baik. Sedangkan kunyuk itu untuk kera yang jahat, goblok, tolol, wajahnya jelek, dan berkelakuan buruk. Nah, kalau kau disebut kunyuk itu penghinaan!"

"Kaaakh...!"

Tiren melompat dari pangkuan Puji Lestari dan kembali ke kursinya sambil mencericit pelan dengan wajah menyeringai.

"Nah, begitu lebih baik. Lebih bagus lagi kalau sekalian tidur. Tidak boleh mengganggu kalau orang sedang ngobrol. Apalagi kalau lagi ngobrol dengan wanita," goda Bayu lagi sambil tersenyum.

Tiren malah memalingkan wajah mendengar itu.

"Wah, dia marah!"
"Tidak. Dia begitu malah ingin bercanda lagi."

"Kalian berdua tampak akrab. Sampai sampai dia mengerti segala ucapanmu. Eh, betul dia mengerti segala yang kau bicarakan?"

"Mungkin juga begitu. Tampaknya kalau aku berbicara apa pun dia bisa menangkapnya. Pada mulanya aku memang agak heran dan takjub. Tapi lama kelamaan timbul rasa kagum kepada pemilik pertama yang membuat Tiren semakin cerdas...."

"Pemilik pertama?"

"Ya. Beliau adalah anak guruku..." sahut Bayu lirih seperti mengandung kesedihan.

Puji Lestari agaknya cepat tanggap melihat perubahan wajah Pendekar Pulau Neraka.

"Maaf, aku tak bermaksud membuatmu bersedih...."
"Tak apa. Hal itu sudah berlangsung lama...." Keduanya kembali terdiam beberapa saat lama-nya.

"Eh... ng... mengenai orang itu apakah kau pun mengetahuinya?" tanya Bayu memecahkan kesunyian diantara mereka.

"Orang yang mana?"
"Yang diceritakan kakangmu tadi?"
"Oo.... Dolo Lungkat? Aku sedikit sekali mengetahuinya. Waktu kejadian itu terjadi aku masih kanak-kanak. Cuma sering kulihat keanehan orang itu. Kasihan dia sering diejek bahkan dipukuli oleh pemuda-pemuda desa ini karena kelainan pada anggota tubuhnya...."

Bayu mengangguk-anggukkan kepala.

"Tapi kini aku tak menyesali kejadian yang diperbuat orang-orang desa ini terhadap dirinya!" dengus gadis itu geram.

"Kenapa?"

"Dia memang bukan manusia, tapi iblis jahat yang berhati kejam seperti binatang. Dia membunuh tak kenal ampun, serta merusak kehormatan wanita-wanita desa ini satu persatu sebelum dibunuhnya!"

"Ini tentu karena dendam. Dia sakit hati pada penduduk desa yang dulu telah menghinanya...."

"Tapi apakah begitu caranya? Kalau dia mau sakit hati, itu wajar. Kalau dia mau membalas dendam, balaslah pada orang-orang yang menyakiti dan menyiksanya dulu. Bukan pada seluruh penduduk desa ini yang tak berdosa apa-apa padanya. Kudengar dulu juga banyak yang kasihan dan memberikan pertolongan padanya. Tidak semua penduduk desa ini memusuhinya!"


***


Bayu membiarkan gadis itu menumpahkan segala kesal di hatinya karena ancaman yang dilakukan orang aneh bernama Dolo Lungkat. Setelah mulai agak tenang, pemuda gondrong berbaju kulit harimau itu berkata pelan.

"Sulit untuk memilih korban ketika dendam telah menyelimuti hatinya. Bagi dia bukan lagi orang yang menjadi ukuran untuk membalas sakit hatinya, melainkan penduduk desa yang dianggap telah menghina dirinya...."

Gadis itu baru saja akan menyahut ketika terdengar bunyi kentongan bertalu-talu yang dipukul seseorang. Bayu cepat bereaksi dengan beranjak ke pintu depan. Dia baru saja akan meninggalkan rumah ketika ingat sesuatu dan menyurutkan langkah.

"Kenapa? Sebaiknya, Kakang melihat. Siapa tahu ada yang membutuhkan pertolonganmu."

"Aku khawatir ini suatu pancingan agar aku keluar dari rumah ini. Kalau dia berani masuk ke dalam rumah, itu berarti keluarga kalianlah yang mendapat giliran menjadi korbannya," sahut Bayu.

Bayu masih belum beranjak. Hatinya betul-betul ragu. Sementara bunyi kentongan semakin keras saja terdengar. Beberapa penghuni desa tampak mulai keluar rumah satu persatu untuk melihat apa yang terjadi. Termasuk juga kedua orang tua Ambar. Mereka tersentak terjaga.

"Ada apa, Ki sanak? Apa yang terjadi?"

"Entahlah. Aku ingin melihatnya tapi khawatir orang itu malah akan ke sini dan melakukan niat jahatnya tadi yang tak kesampaian."

"Kalau begitu pergilah jika ingin melihat. Jangan khawatir, kami bisa menjaga diri. Siapa tahu mereka membutuhkan pertolongan."

Bayu ragu-ragu melangkah.

"Baiklah. Biar Tiren berada di sini. Dia akan menjerit keras kalau sesuatu terjadi pada keluarga ini," sahut Bayu sambil terus melesat meninggalkan tempat itu dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Kentongan tadi telah berhenti. Pada sebuah rumah terdengar jeritan seseorang. Bayu melesat ke tempat itu secepatnya. Seorang wanita tua tampak sedang menangisi beberapa sosok mayat yang bergelimpangan dalam keadaan tanpa sehelai benang melekat ditubuhnya. Pada dadanya yang sebelah kiri tampak berlubang.

Beberapa orang penduduk menyusul ketempat itu dan menghibur wanita tua yang sedang menangisi mayat di depannya. Dan yang lainnya merapihkan mayat-mayat yang bergelimpangan."

"Nek, apakah nenek melihat siapa yang melakukan semua ini?" tanya Bayu pelan.

Si nenek cuma menggelengkan kepala.

"Nenek sedang berada di belakang ketika mendengar jeritan mereka. Tahu-tahu anak dan cucu-cucuku telah mati semua...!"

"Pasti perbuatan si keparat itu!" geram Bayu ketika nenek berusia sekitar delapan puluh tahun itu dipapah beberapa orang untuk menenangkannya. Seorang wanita tua tampak sedang menangisi beberapa sosok mayat yang bergelimpangan dalam keadaan tanpa sehelai benang melekat di tubuhnya. Pada dadanya yang sebelah kiri tampak berlubang. Pemuda berbaju kulit harimau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka buru-buru keluar dan kembali ke rumah Ambar. Tapi di jalan mereka bertemu. Wajah mereka tampak pucat dan bertanya-tanya.

"Ada apa, Ki sanak?" tanya kedua orang tua Ambar.

"Keluarga di seberang sana menjadi korban..." sahut Bayu lesu sambil menunjuk pada rumah yang dimasukinya tadi.

"Astaga! Ki Sugiarta...? Mereka mati?!" Bayu mengangguk lemah.
"Kalau saja aku bisa tiba tepat pada waktunya, paling tidak bisa berbuat sesuatu. Tapi aku berjanji bahwa hal ini tak bisa didiamkan saja. Orang itu harus mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya!" lanjut Bayu sambil menggeram.

"Paman Bayu, orang jahat itu harus mati!" teriak Ambar marah.

"Ya, Ambar. Orang itu harus mendapat hukuman yang setimpal. Sebaiknya kita pulang saja dulu. Hari telah larut malam."

Mereka segera beranjak meninggalkan tempat itu. Dan seperti malam sebelumnya Bayu terus berjaga di ruang tengah. Tapi mereka kepalang dicekam perasaan takut oleh peristiwa itu, hingga sampai pagi tiba tak seorang pun yang bisa memejamkan mata. Bayu sendiri setelah sarapan pagi segera meninggalkan rumah orang tua Ambar, untuk mencari jejak orang yang telah meresahkan penduduk Desa Kedungbala.

"Paman, kembalilah sebelum malam. Aku takut..." ujar Ambar dengan wajah pucat ketika Pendekar Pulau Neraka akan melangkahkan kakinya.

Pemuda berambut gondrong itu menganggukkan kepala, kemudian langsung berkelebat cepat meninggalkan tempat itu menuju pinggiran hutan.


***


EMPAT

Agak jauh dari hutan di sebelah barat Desa Kedungbala terdapat sebuah gunung yang menjulang tinggi. Gunung itu tak persis betul dikelilingi oleh hutan, karena masih terdapat beberapa buah desa di dekatnya. Namun hutan itu terus saling berhubungan dibalik gunung pada sisi yang lain. Dan hutan yang berada dibalik gunung itu jarang ada orang yang berani mendekat. Bukan saja karena pohon-pohonnya yang

lebat dan besar hingga membuatnya sulit ditembus sinar matahari, tapi juga banyak orang yang meyakini bahwa di dalam hutan itu terdapat mahluk yang menyeramkan. Itu terbukti dengan banyaknya tulang-tulang yang berserakan di pinggir hutan. Baik tulang-tulang manusia maupun binatang. Hingga orang-orang menyebutnya sebagai Rimba Larangan. Dan makhluk yang menguasai itu dijuluki sebagai Hantu Rimba Larangan. Di langit awan hitam mulai berarak dan melingkupi suasana di pinggiran hutan.

Cuaca mulai terlihat gelap, padahal senja belum lagi tiba. Beberapa orang tampak tergopoh-gopoh sambil berlari-lari kecil. Sesekali mereka melirik ke belakang dengan wajah cemas seperti dikejar setan. Kemudian setelah merasa bahwa tempat itu cukup aman, mereka berhenti untuk melepaskan lelah.

"Hmm... mudah-mudahan prajurit-prajurit kerajaan tak mengejar kita sampai di sini...." kata seorang sambil menyarungkan golok besarnya di punggung.

"Tapi mereka agaknya bernafsu betul untuk melenyapkan kita sampai ke akar-akarnya, karena sasaran kita pagi tadi adalah upeti yang dikirimkan untuk kerajaan," sahut kawannya.

"Hmm... ke mana kira-kira Ki Cagak Palung dan yang lainnya melarikan diri?" tanya kawannya yang lain.!

"Entahlah... mana ku tahu. Dia cuma memerintahkan kita untuk berpencar agar pihak kerajaan bisa terkecoh," sahut yang pertama tadi.

"Jangan-jangan malah kita yang dikejar. Mereka enak-enakan membawa harta itu!" kata yang bermata sipit curiga.

"Tak mungkin! Ki Cagak Palung selama ini selalu adil dalam pembagian harta rampokan yang kita peroleh!" sahut seorang yang bertubuh kurus dengan cepat.

"Ya. Selama ini memang Ki Cagak Palung tak pernah berbuat curang. Tapi kali ini persoalannya lain," ujar salah seorang yang bermuka bulat.

"Lain bagaimana?" tanya yang bertubuh kurus.
"Kali ini kita dikejar-kejar prajurit-prajurit kerajaan dalam jumlah yang cukup besar. Rasanya mereka tak mungkin mau melepaskan kita begitu saja. Siapa tahu hal ini mempengaruhi pikiran Ki Cagak Palung, karena untuk beberapa waktu kita tak mungkin bisa bebas berkeliaran," jelas si muka bulat.

"Ya, dengan begitu mereka yang bersama dengan Ki Cagak Palung bisa enak-enakan membagi hasil upeti itu, sedang kita akan bersusah payah sambil gigit jari!" sahut si mata sipit menimpali.

Untuk beberapa saat terlihat mereka saling pandang setelah mendengar kata-kata kawannya tadi. Niat untuk beristirahat tiba-tiba sirna ketika berpikir ke arah harta rampasan itu.

"Bagaimana kalau kita mencari Ki Cagak Palung?" kata si muka bulat memberi usul.

"Jangan, Kilung! Ki Cagak Palung pasti akan marah sekali karena kita tak mematuhi kata-katanya!" cegah orang yang bertubuh kurus pada si muka bulat yang dipanggil Kilung.

"Tapi Rambe! Kita tak bisa berdiam diri. Sampai kapan kita harus bersembunyi seperti yang diperintahkan Ki Cagak Palung?" sahut Kilung pada si kurus yang bernama Rambe.

"Betul yang dikatakan Kilung! Kita tak bisa terus bersembunyi sementara pihak kerajaan memburu kita!" sahut si mata sipit cepat.

"Apakah kau mau menanggung akibatnya, Walalang?!" tanya Rambe pada si mata sipit yang bernama Walalang.

"Lho, kenapa musti aku? Kalau kita sudah sepakat, akibatnya harus kita tanggung bersama!" timpal yang lainnya.

Ketika melihat semuanya telah sepakat, Rambe tak punya pilihan lain. Akhirnya dia pun setuju juga atas keputusan yang mereka ambil.

"Baiklah. Kalau begitu sekarang juga kita akan berangkat mencari Ki Cagak Palung dan rombongan yang lain. Kita akan bergabung dan mengatakan bahwa kita tak punya pilihan lain untuk bersembunyi dari kejaran prajurit-prajurit kerajaan!" ujar Rambe sambil bangkit dan memberi perintah pada kawan-kawannya untuk melanjutkan perjalanan.

Rombongan itu baru berjalan kira-kira sepuluh langkah ketika terdengar sesuatu gerak yang mencurigakan. Rambe yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu memberikan isyarat agar mereka berhenti.

"Kenapa?" tanya Kilung.

"Apakah kau tak mendengar sesuatu yang mencurigakan?"

Kilung menggeleng. Matanya menyapu ke seputar tempat itu. Baru saja dia akan bertanya lebih lanjut pada Rambe, tiba-tiba mereka dikejutkan ketika puluhan orang-orang berseragam telah mengepung tempat itu.

"Berhenti! Kalian telah terkepung. Menyerahlah atau kalian akan menyesal nanti!"

"Hah?! Kita telah dikepung prajurit-prajurit kerajaan!" sentak Kilung terkejut.


***


Apa yang dikatakan Kilung memang tak salah. Lebih dari tiga puluh orang prajurit kerajaan telah mengepung tempat itu dengan senjata terhunus. Tak terasa nyali mereka tiba-tiba menjadi ciut. Jumlah mereka yang kurang dari lima belas orang dalam waktu singkat pasti akan disapu bersih jika mereka melakukan perlawanan.

"Bagaimana, Rambe? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Kilung kebingungan.
"Kita akan lawan mereka!"

"Kau gila! Jumlah mereka banyak. Kita tak mungkin bisa memberikan perlawanan. Kau lihat, mereka dipimpin oleh Panglima Sudra Wulung. Orang itu kejam dan ilmu silatnya tinggi!"

"Kita tak punya pilihan lain, Kilung. Kalau menyerah pun mereka tak akan mengampuni kita. Tak ada pilihan lagi. Lebih baik mati dalam pertarungan dari pada menjadi tawanan yang akhirnya pun akan mati dengan terhina," sahut Rambe sambil mendengus garang.

"Benar, Kilung. Walau bagaimana pun kita harus melawan mereka sampai tetes darah terakhir!" timbal Walalang.
"Terserah kalian. Aku hanya ikut saja...." sahut Kilung lemah.

"Anjing-anjing keparat! Agaknya kalian lebih suka mampus dari pada menyerah dan mengembalikan upeti yang kalian rampok tadi pagi! Aku hitung sampai tiga kalau kalian tak mau menyerah, jangan menyesal kalau kami terpaksa menghukum kalian di tempat ini juga!" teriak Panglima Sudra Wulung yang bertubuh besar dengan kumis melintang.

"Kami tak akan menyerah!" sentak Rambe garang.

"Bagus! Kalau begitu mampuslah kalian semua!" dengus Panglima Sudra Wulung sambil memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyerang mereka.

Seperti tanggul jebol, prajurit-prajurit kerajaan langsung menyerang orang-orang itu dengan semangat menyala-nyala. Selama ini begal-begal itu sering membuat kekacauan dan merampok harta benda penduduk. Mereka sangat kejam tak mengenal belas kasihan, tak segan-segan membunuh korbannya jika melawan. Selain licin dan sulit ditangkap, mereka pun rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.

Tapi prajurit-prajurit yang dipimpin oleh Panglima Sudra Wulung kali ini bukan sembarang. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang rata-rata berkepandaian tinggi, dan hebat ilmu silatnya. Tak heran bila dalam kegemasan dan kejengkelan terhadap begal-begal itu kini tertumpah ruah dan mendapat pelampiasan yang paling tepat. Prajurit-prajurit itu mengamuk sejadi-jadinya. Hingga dalam tempo singkat beberapa anggota begal tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

"Kini giliranmu, keparat!" bentak Panglima Sudra Wulung ketika berhadapan dengan Rambe.
"Huh! jangan bermimpi kau dapat menangkapku!" dengus Rambe garang.

"Siapa yang sudi menangkap orang sepertimu?! Kau akan mampus dengan siksaan yang berat agar menjadi contoh yang baik bagi kawan-kawanmu untuk tidak mencoba-coba mengganggu harta kerajaan!"

"Kau boleh melakukannya di akherat sana, Panglima!" sahut Rambe sudah langsung menyerang lawan.

"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Trak!"
"Bet!"

"Hmm... boleh juga kepandaianmu. Tapi jangan berharap terlalu banyak kau bisa lolos dariku!" ujar Panglima Sudra Wulung ketika dalam bentrokan pertama lawan mampu menghindar dari sambaran pedangnya yang cepat dan bertenaga kuat.

"Jangan girang dulu, Panglima. Justru aku yang khawatir bila kau yang ternyata terbirit-birit lari dariku!" ejek Rambe tersenyum sinis.

"Ha ha ha ha...! Pintar juga kau bicara. Tapi sebentar lagi bukan saja kau tak mampu bicara, tapi kau akan membisu selamanya."

"Hiyaaat...!"

Dengan satu teriakan menggelegar, Panglima Sudra Wulung menyerang lawan sambil memutar pedangnya bagai titiran. Terasa angin serangannya mengandung tenaga dalam kuat. Tubuh Rambe jungkir balik menghindari serangan lawan. Beberapa kali dicobanya untuk menangkis, tapi telapak tangannya terasa kesemutan dan perih. Agaknya tenaga dalam lawan lebih tinggi dua tingkat diatasnya. Diam-diam Rambe mengeluh dalam hati. Kalau keadaan ini berlangsung terus dalam tempo tiga jurus lagi dia pasti akan kena dihajar lawan. Bahkan bukan tidak mungkin dia akan terbunuh. Untung kecepatannya bergerak masih mampu menolong. Tapi itu tak akan lama. Dia harus berusaha meloloskan diri dari pertarungan ini, pikirnya.

"Hiyaaa...!"

Rambe berteriak kencang sambil membalas serangan Panglima Sudra Wulung dengan gencar.

"Ha ha ha ha...! Kau mulai mengeluarkan ilmu simpananmu? Ayo, keluarkan semuanya agar aku tak mati penasaran!" ejek Panglima Sudra Wulung sambil terkekeh.

"Tertawalah sepuasmu, karena kaulah yang akan mampus!" dengus Rambe gemas.

Dalam empat kali serangan Rambe mampu sedikit mendesak Panglima kerajaan itu, tapi selanjutnya Panglima Sudra Wulung menggeram sambil memutar pedangnya sedemikian rupa, kembali Rambe terdesak. Orang bertubuh kurus itu sudah nekat. Dia merencanakan untuk kabur kalau lawan terdesak. Sebelum Panglima Sudra Wulung mendesaknya, Rambe mencelat jauh sambil bersalto beberapa kali ke belakang.

"Mau coba-coba kabur, he! Jangan harap kau lolos dariku!" dengus Panglima Sudra Wulung. Pedang di tangannya melesat cepat ke tubuh Rambe ketika orang bertubuh besar itu melemparnya dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Rambe bukannya tak mengetahui hal itu. Dia berusaha menangkis, tapi pedang itu cuma bergeser sedikit. Justru lebih membahayakan dirinya karena ujung pedang kini jadi tepat menghunjam ke dada sebelah kiri.

"Crab!"
"Aaa...!"

Rambe menjerit setinggi langit ketika pedang Panglima Sudra Wulung menembus dadanya dan terus melesat hingga menancap pada batang pohon di belakangnya. Sehingga terlihat pemandangan yang mengerikan. Tubuh Rambe terkulai layu di atas batang pohon disangga oleh pedang Panglima Sudra Wulung.

"Huh! Mampuslah kau perampok hina!" dengus Panglima Sudra Wulung sinis. Dia kemudian berteriak lantang memperingatkan sisa-sisa perampok untuk menyerah.

"Menyerahlah kalian sebelum mati sia-sia! Tunjukkan di mana harta rampasan itu kalian sembunyikan, dan beritahu di mana pemimpin kalian yang bernama Cagak Palung berada!"

Pertempuran tersebut seketika berhenti. Sisa-sisa perampok yang berjumlah lima orang, termasuk Kilung dan Walalang, saling pandangan satu sama lain. Belum lagi mereka memutuskan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar. Semuanya berpaling dan melihat kurang lebih dua puluh orang kawanan perampok mengepung prajurit kerajaan dengan senjata terhunus.


***


"Ha ha ha ha...! Cacing-cacing kerajaan cuma bisa bermimpi bila berharap dapat menangkap Cagak Palung!" kata seorang laki-laki bertubuh besar dengan perut buncit.

Lima orang sisa-sisa perampok itu berseru girang ketika mengetahui siapa yang datang.

"Ki Cagak Palung, bagus kau cepat datang!" seru Kilung gembira.
"Hmm... jadi kau yang bernama Cagak Palung?! Bagus kau berani menampakkan dirimu. Lekas berlutut dan menyerah, kalau tidak kalian semua akan mampus di sini!" bentak Panglima Sudra Wulung garang.

"Ha ha ha ha... jadi kau yang bernama Sudra Wulung panglima kerajaan yang diutus untuk menangkapku? Kalau di luaran sana kalian boleh mengejar-ngejar kami seperti tikus kejepit. Tapi di daerah ini jangan harap hal itu bisa kalian lakukan dengan mudah. Pulanglah dan katakan pada rajamu, Cagak Palung berhak atas harta benda yang telah dirampasnya!"

"Keparat kau, Cagak Palung! Mampuslah bagianmu!" bentak Panglima Sudra Wulung garang.

Dia segera memerintahkan anak buahnya untuk menggempur lawan. Tapi kali ini seluruh anak buah Ki Cagak Palung menyambutnya dengan bersemangat seperti mereka hendak mengincar mangsa yang berharta banyak.

Pertempuran diantara kedua belah pihak tak dapat lagi dihindari. Masing-masing berjumlah sama dan mempunyai kesempatan untuk menghabisi lawan secepatnya.

"Kau bagianku, Panglima! Aku akan membuat perhitungan atas apa yang kau lakukan terhadap Rambe!" dengus Ki Cagak Palung sambil melompat dan menghunuskan golok panjang ke arah lawan.

"Hahahaha...! Mulut besarmu boleh juga. Tapi jangan harap kali ini kau bisa lolos dari tanganku!" sahut Panglima Sudra Wulung sambil tertawa mengejek.

"Yeaaa...!"
"Hiyaat...!"
"Trak!"
"Bet!"

Ketika tubuh Ki Cagak Palung melesat, Panglima Sudra Wulung langsung memapaki dengan ayunan pedang sambil berteriak keras. Keduanya sama terkejut ketika merasakan bahwa tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat senjata masing-masing ternyata hampir berimbang. Walau begitu Panglima Sudra Wulung masih sempat membabatkan sekali ujung pedangnya ke lambung lawan.

Ki Cagak Palung ternyata bukanlah orang sembarangan. Pengalamannya selama ini banyak membantu. Walau tak sempat membalas, namun dia menyadari akan serangan susulan lawan. Itulah sebabnya tubuh besar berperut buncit itu melenting dengan ringan sambil jungkir balik ke belakang.

"Tap!"
"Yeaaa...!"

Begitu kedua kakinya menjejak ke tanah Ki Cagak Palung langsung melenting kembali dengan satu serangan hebat ke arah lawan. Panglima Sudra Wulung melompat ke atas sambil mengirimkan satu tendangan ke batok kepala lawan.

"Hut!"
"Bet!"

Tubuh Ki Cagak Palung membungkuk dengan perut menghadap ke atas dan terus ke belakang sambil menghantamkan kedua kakinya ke perut lawan.

"Cras!"
"Akh!"
"Hiyaaa...!"

Ki Cagak Palung mengeluh tertahan. Tulang keringnya patah, dan kakinya menggantung nyaris putus. Tapi dia masih sempat berpijak pada kaki kanannya dan terus melompat ke samping menghindari tebasan pedang lawan berikutnya yang dengan cepat hendak menyambar pinggangnya.

"Huh! Tak ada tempat lagi bagimu untuk kabur. Kau akan mampus di sini!" dengus Panglima Sudra Wulung sinis sambil terus menyerang lawan dengan gencar.

Dengan sebuah kaki yang hampir putus perlawanan Ki Cagak Palung tak sehebat tadi. Hingga dalam waktu singkat dia menjadi bulan-bulanan lawan. Melihat pemimpinnya dalam keadaan terdesak, semangat anak buahnya mengendor. Sebaliknya prajurit-prajurit kerajaan semakin bersemangat menghabisi lawan-lawannya.

Korban yang jatuh di pihak para perampok itu semakin bertambah banyak. Sementara dalam satu kesempatan, ujung pedang Panglima Sudra Wulung berhasil menggores dada lawan. Ki Cagak Palung terkejut. Kesempatan itu dipergunakan oleh Panglima Sudra Wulung, melayangkan kepalan tangannya ke perut lawan dengan cepat.

"Begkh!"
"Aaakh...!"

Tubuh Ki Cagak Palung terpental sambil menjerit keras. Pada saat yang bersamaan, sebelum tubuhnya menyentuh tanah, serangkum angin panas menghantam tubuhnya kembali. Ki Cagak Palung tak sempat menjerit. Tubuhnya kembali mencelat dan menghantam sebuah batu keras. Kemudian jatuh terkulai dengan nyawa lepas. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah segar. Seseorang dengan tubuh aneh telah berdiri di tempat itu sambil mendengus sinis. Kedua belah pihak sama terkejut melihat kehadirannya!


***


LIMA

"Siapa pun yang berani berada di wilayah Rimba Larangan akan mati tanpa ampun!" Terdengar suatu suara serak yang mengandung ancaman.

"Siapa kau? Manusia atau hantu penunggu hutan ini?!" tanya Panglima Sudra Wulung dengan suara lantang.

Kepala pasukan prajurit istana itu sempat bergetar juga menyaksikan kehadirannya. Sesosok tubuh hitam dengan dua buah kepala dan dua pasang tangan. Matanya bulat seperti tak memiliki kelopak. Menatap tajam ke arah mereka dengan penuh kebencian.

"Hantu Rimba Larangan telah menjatuhkan hukuman mati bagi kalian!" suara serak dan dalam kembali bergema.

"Hantu Rimba Larangan? Jadi cerita-cerita mengenai dirimu rupanya betul ada. Hmm..., bagus! Kami akan sekalian menangkapmu karena perbuatanmu selama ini!" dengus Panglima Sudra Wulung.

Tapi belum lagi dia memerintahkan para prajuritnya untuk menyerang, Hantu Rimba Larangan telah bergerak cepat. Tubuhnya melayang bagai sehelai kapas bertiup angin ke arah mereka.

"Aaaa...!"
"Keparat!"
"Seraaang!"

Seperti dikomando, kedua belah pihak yang tadi bertempur kini malah berbalik mengeroyok Hantu Rimba Larangan.

"Hari ini aku akan mulai menjatuhkan hukuman mati pada manusia-manusia keparat seperti kalian dan orang-orang diluaran sana. Terimalah pembalasan dari Hantu Rimba Larangan!" teriak sosok bertubuh aneh dengan suara yang mengandung dendam dan kebencian.

"Huh!"
"Yeaaah...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"

Dengan gerakan yang ringan dan bertenaga dalam kuat, Hantu Rimba Larangan kembali membuat beberapa orang terjungkal dan tewas seketika dengan tubuh remuk.

"Keparat! Kau akan terima hukumanmu!" teriak Panglima Sudra Wulung geram.

Tubuhnya melesat cepat ke arah Hantu Rimba Larangan sambil mengirimkan serangan hebat. Ujung pedangnya berputar-putar menyambar tubuh lawan seperti hendak melipat dan mengirisnya menjadi beberapa potongan kecil. Hantu Rimba Larangan berkelebat cepat. Tubuhnya lenyap bagai ditelan bumi dan menghilang dari serangan lawan. Panglima Sudra Wulung tercekat. Selama ini belum ada seorang pun yang mampu menghilang begitu saja dari serangannya. Tapi gerakan lawan yang satu ini cepat bukan main. Belum lagi menyadari
di mana lawan berada. Tiba-tiba serangkum angin pukulan berhawa panas menderu ke arahnya dari samp-
ing kiri.

"Heh?!"
"Begkh!"
"Akh!"

Walaupun dia cepat menyadari dan mencoba berkelit, tapi pukulan jarak jauh lawan sempat menghantam pinggangnya. Panglima Sudra Wulung menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung dari sela bibirnya menetes darah segar. Belum lagi dia memperbaiki posisi, Hantu Rimba Larangan telah kembali melesat sambil mengirim serangan yang mematikan.

"Mampus!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Kali ini Panglima Sudra Wulung tak sempat lagi menghindar. Kepalan tangan lawan dengan telak menghantam perutnya. Tubuhnya terjengkang beberapa tombak dan hanya sempat menjerit kecil. Ketika ambruk ke tanah, terkulai dan nyawanya putus saat itu juga.

"Kini giliran kalian!" dengus Hantu Rimba Larangan sambil menghantam para prajurit kerajaan dan sisa anggota perampok tanpa kenal ampun.

"Yeaaa...!"
"Seraaaang...!"
"Duk! Begkh! Des!"
"Aaaa...!"

Walaupun mereka berusaha melawan mati-matian, tapi Hantu Rimba Larangan terlalu tangguh. Bagai sekumpulan anak ayam menghadapi rajawali, mereka dibantai dengan mudah.

"Ha ha ha ha...! Hari ini adalah pembalasan bagi manusia-manusia terkutuk seperti kalian. Kabarkan kematian ke seluruh penjuru, bahwa Hantu Rimba Larangan akan datang dan mencabut nyawa mereka satu persatu!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil tertawa-tawa girang penuh kemenangan.

"Tak mungkin kita bisa melawannya. Orang ini bukan manusia, tapi setan pencabut nyawa!" keluh salah seorang perampok.

"Betul. Sebaiknya kita lari saja!" sahut kawannya.

"Tapi mana mungkin dia mau melepaskan kita begitu saja. Setan ini pasti akan membunuh kita semua."

"Ah, aku tak perduli! Lawanlah dia kalau kau mau mati. Aku akan menyelamatkan diri. Dia tak ada urusannya dengan kita!" kata orang itu sambil berlari kencang meninggalkan kawan-kawannya. Melihat itu beberapa prajurit kerajaan pun mulai ikut melarikan diri.

"Ha ha ha ha...! Mana mungkin kalian bisa melarikan diri dariku begitu mudah. Hari ini adalah kematian bagi diri kalian. Hantu Rimba Larangan tak memberi ampun

Yeaaa...!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Terdengar pekik kematian. Beberapa orang kembali tersungkur dengan nyawa melayang dihantam pukulan yang dilontarkan Hantu Rimba Larangan. Dia betul-betul mengamuk. Hingga dalam waktu singkat kedua belah pihak tinggal segelintir saja. Mereka berusaha untuk melarikan diri.


***


"Ha ha ha ha...! Baiklah, aku mencabut kata-kataku. Kalian boleh melarikan diri. Ayo, hus! Hus! Katakan pada semua orang, bahwa mulai hari ini Hantu Rimba Larangan akan keluar dan membuat perhitungan dengan mereka semua!" teriak orang bertubuh aneh itu.

Tapi mana lagi mereka memikirkan kata-kata Hantu Rimba Larangan pada saat begitu. Yang utama adalah bahwa mereka ternyata bisa selamat karena Hantu Rimba Larangan betul-betul membuktikan kata-katanya dan tidak menyerang mereka. Tapi jumlah itu terlalu sedikit. Tiga orang prajurit kerajaan serta dua orang anggota perampok yang tersisa hidup dan melarikan diri. Dari kejauhan suara tawa Hantu Rimba Larangan masih terus menggema seperti mengejar kemana saja mereka lari.

Setelah suara tawa itu hilang, kelima orang itu terengah-engah sambil melepaskan lelah di dekat sebuah pohon. Dalam keadaan begitu terlihat mereka seperti melupakan persoalan yang tadi membuat pertempuran di kedua belah pihak.

"Apa yang harus kita laporkan pada Gusti Prabu?" tanya salah seorang prajurit kerajaan.

"Entahlah, akupun tak tahu. Selama ini cerita mengenai Hantu Rimba Larangan seperti dongeng. Jarang ada orang yang mempercayainya.

"Tapi kenyataannya ada, dan dia betul-betul seperti hantu."
"Bukan seperti, tapi memang hantu sungguhan!"

"Apa Gusti Prabu akan percaya pada laporan kita?" Prajurit ketiga melirik pada kedua perampok yang melepaskan letih.

"Mereka akan menjadi barang bukti...."
"Apa? Kami? Bu..., bukankah sekarang kita berkawan?" tanya salah seorang perampok itu dengan wajah ketakutan.

Tapi ketiga prajurit itu telah mengurung mereka sambil menghunuskan pedang masing-masing. Kedua perampok itu tak punya pilihan lagi. Waktu melarikan diri tadi senjata mereka terjatuh, dan kalaupun bermaksud melawan dengan tangan kosong akan percuma saja. Prajurit-prajurit ini bukanlah orang sembarangan.

"Kalian tetaplah penjahat yang musti di tangkap. Selain itu kalian akan membenarkan laporan kami pada Gusti Prabu bahwa apa yang terjadi tadi adalah nyata agar laporan kami bisa dipercaya!" sahut salah seorang prajurit dengan garang.

Karena tak punya pilihan lain, terpaksa kedua perampok itu menyerah dan digiring ke istana untuk diadili. Apa yang dipikirkan para prajurit itu memang beralasan. Banyak kalangan pejabat istana yang sulit mempercayai cerita mereka. Demikian juga halnya dengan Baginda Raja. Meskipun kedua perampok yang mereka tangkap telah membenarkan kejadian yang menimpa mereka di pinggir Rimba Larangan, Baginda Raja belum juga dapat mempercayainya.

Tetapi karena banyak prajurit kerajaan yang tewas terpaksa Baginda Raja mengirimkan beberapa orang prajurit untuk menyelidiki kejadian tersebut. Jalan-jalan di sepanjang Kotaraja sepi, dan segala kegiatan yang sehari-hari dilakukan penduduk berkurang satu persatu. Beberapa orang dikirim untuk menangkap Hantu Rimba Larangan. Tapi kebanyakan dari mereka tak pernah kembali. Tentu saja hal ini membuat kecemasan di hati setiap penduduk desa itu semakin menjadi-jadi.

Bukan saja penduduk yang merasa cemas dengan ancaman Hantu Rimba Larangan tetapi juga kalangan dunia persilatan merasa cemas dan marah. Hantu Rimba Larangan sepertinya tak pilih-pilih korban. Dalam dua hari saja, banyak sudah perguruan silat yang hancur ditangannya. Baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam.

Seperti yang terjadi hari ini pada Perguruan Elang Hitam. Perguruan yang dipimpin oleh Ki Sadewo Murai adalah salah satu perguruan silat yang terkenal. Orang tua yang telah berusia sekitar tujuh puluh tahun itu belakangan ini memperketat penjagaan. Beberapa orang muridnya pagi tadi tewas dibantai oleh Hantu Rimba Larangan ketika membantu prajurit kerajaan untuk menangkap orang itu.

Banyak orang yang mengetahui, bahwa murid-murid perguruan itu acap kali membantu pihak kerajaan jika dibutuhkan. Bahkan boleh disebut bahwa sebagian besar prajurit-prajurit kerajaan merupakan murid-murid perguruan silat itu. Sore ini terlihat Ki Sadewo Murai tengah berkumpul dengan murid-murid utamanya. Untuk membicarakan soal Hantu Rimba Larangan.

"Kita harus secepatnya mengambil tindakan terhadap orang gila itu, Ki. Kalau tidak akan semakin banyak korban yang jatuh!" kata salah seorang muridnya yang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah geram.

"Itulah yang sedang kupikirkan, Rumpin! Orang itu sangat berbahaya. Kita tak boleh sembarangan. Ilmu silatnya tinggi dan sulit diukur. Aku tak yakin kita bisa melawannya seorang diri."

"Maksudnya kita harus beramai-ramai mengeroyoknya?"

"Bukan begitu. Tapi kita harus meminta bantuan perguruan silat lain untuk membantu menumpas iblis itu!" sahut Ki Sadewo Murai.

"Tapi, Ki..., selama ini Elang Hitam dikenal sebagai perguruan silat yang terkuat di wilayah utara ini. Apa tidak malu kita mengundang mereka dan meminta bantuannya dalam menyelesaikan soal Hantu Rimba Larangan?!" tanya Rumpin heran.

Ki Sadewo Murai tersenyum arif. "Aku tak pernah mengajarkan kalian untuk bersikap sombong, dan menganggap diri sendiri hebat. Persoalan ini bukan saja melibatkan kita, tapi juga banyak orang. Mereka pun pantas terlibat...."

"Betul apa yang dikatakan, Ki Guru. Pagi tadi kami bertemu dengan murid Perguruan Gelang Terbang. Mereka secara tak langsung menyampaikan amanat gurunya agar Ki Sadewo Murai mau membantu mereka untuk bergabung. Dan bersama-sama menggempur orang gila itu!" sahut salah seorang murid Elang Hitam yang bernama Bapang.

"Apakah tidak memalukan bila beberapa perguruan bergabung dan mengeroyok lawan yang cuma seorang?" tanya Rumpin ragu.

Ki Sadewo Murai belum sempat menjawab ketika dari arah luar terdengar jeritan kesakitan yang disusul oleh suara tawa yang menggelegar.

"Orang-orang yang berada di dalam, keluar dan sambut kematian kalian yang telah dijanjikan Hantu Rimba Larangan!"

"Dia datang, Ki!" sentak beberapa orang murid hampir berbareng.


***


Walaupun Ki Sadewo Murai agak terkejut mengetahui kehadiran orang yang sedang mereka bicarakan, namun sebisa mungkin dia bersikap tenang agar para muridnya mampu mengusai diri. Perlahan-lahan dia bangkit dan berjalan menuju halaman depan diikuti oleh murid-muridnya.

Tepat dipintu gerbang perguruan yang telah hancur berantakan, berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Kepalanya dua buah dengan rambut kaku. Sepasang matanya lebar dan bulat seperti tidak memiliki kelopak, serta sepasang tangan yang berkacak pinggang, dan sepasang lagi terlipat di dada. Tak jauh di dekat orang itu berdiri tergeletak beberapa orang murid Elang Hitam dalam keadaan tak bernyawa. Dari mulutnya mengalir darah segar.

"Ki sanak, kau datang tanpa diundang dan tahu-tahu membuat keonaran di sini. Apa sebenarnya yang kau inginkan?" tanya Ki Sadewo Murai dengan suara datar menahan hawa amarah.

"Jangan banyak berbasa-basi, Orang tua! Kau tahu siapa aku dan tahu apa yang kuinginkan, yaitu kematian kalian!" dengus orang itu dengan suara serak dan dalam penuh dengan kebencian dan dendam.

"Hm..., jadi betulkah engkau yang bernama Hantu Rimba Larangan, dan telah menjatuhkan hukuman mati pada semua orang dengan seenak perutmu sendiri?" tanya Ki Sadewo Murai dengan suara yang lebih lantang.

"Ha ha ha ha...! Akhirnya kau ingat juga, Tua Bangka. Nah, bersiaplah untuk menerima kematianmu!"

Tiba-tiba orang yang menamakan dirinya Hantu Rimba Larangan telah mencelat dan menyerang Ki Sadewo Murai.

"Hiyaaat...!"

"Orang gila keparat, hadapilah dulu aku baru kau boleh menyentuh guru kami!" teriak Rumpin sambil mencabut golok bercagaknya dan memapaki serangan lawan.

"Huh! Bocah tak tahu diri! Mampuslah kau sekarang juga!" dengus Hantu Rimba Larangan sambil berkelit dan mengirim satu pukulan jarak jauh.

Tapi Rumpin bukanlah murid sembarangan. Dalam jajaran Perguruan Elang Hitam dia termasuk tangan kanan Ki Sadewo Murai. Tak heran bila ilmu silatnya sudah hampir menyamai gurunya itu.

"Yeaaa...!"

Tubuhnya bergulung-gulung menghindari angin sambaran pukulan Hantu Rimba Larangan. Kemudian dengan cepat kembali menyerang lawan sambil menggunakan jurus maut yang dimilikinya. Rumpin menyadari bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, hingga tak heran kalau dia langsung melayaninya seperti menghadapi musuh bebuyutannya. Ujung golok bercagaknya mendesing dan mengancam seluruh titik kematian di tubuh lawan. Dalam beberapa serangan Hantu Rimba Larangan terlihat mulai terdesak, dan ketika jurus pertamanya selesai, Rumpin seperti mendapat peluang emas. Pertahanan lawan kelihatan terbuka. Dengan cepat ujung goloknya menyambar bahu kanan lawan.

"Tak!"
"Begkh!?
"Aaaa...!"

"Rumpin...!" Ki Sadewo Murai berteriak ingin memperingatkan, tapi sudah terlambat. Hal itu terjadi memang disengaja Hantu Rimba Larangan. Dia mengumpan bahunya, dan Rumpin tak sempat menyadari bahwa tubuh lawan ternyata kebal senjata tajam. Kulit tubuh orang itu hanya sedikit tergores seperti terkena duri. Tapi dengan tiba-tiba kepalan tangan lama dengan cepat menghantam dadanya dengan telak.

Rumpin cuma mampu menjerit tertahan ketika tubuhnya terjungkal dan ambruk ditanah dengan nyawa putus. Beberapa orang murid Elang Hitam sudah langsung maju dan bermaksud menyerang lawan. Tapi Ki Sadewo Murai memberi isyarat. Mereka menggerutu kesal dan menahan amarahnya ketika orang tua itu berkata dengan suara pelan.

"Hantu Rimba Larangan, perbuatanmu sungguh kejam dan biadab. Kau memang tak pantas menjadi seorang manusia, tapi lebih rendah dari seekor binatang!"

"Jangan banyak mulut kau, Tua Bangka! Majulah biar lebih gampang kukirim kau ke akherat!"

"Jangan khawatir, Ki sanak. Aku akan merelakan tulang tua yang tak berguna ini untuk menghentikan segala perbuatan terkutukmu!"

"Ha ha ha ha...! Kau hendak menghentikan perbuatanku? Jangan bermimpi tua bangka keparat! Hantu Rimba Larangan akan membuat kalian mampus semuanya!"

"Sring!"

Ki Sadewo Murai mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah golok yang ujungnya bercagak dua dan gagangnya terbuat dari perak.

"Aku tak terbiasa bertarung dengan tangan kosong, dan karena kulihat tubuhmu kebal senjata tajam, biarlah hitung-hitung pertarungan ini berjalan dengan adil," ujar Ki Sadewo Murai sambil tersenyum sinis.

"Aku tak peduli kau bersenjata atau tidak. Bahkan bila seluruh muridmu ingin ambil bagian, mereka boleh mengeroyokku!"

"Hmmm..., sombong sekali kau. Lihat serangan...!" teriak Ki Sadewo Murai sambil berkelebat cepat menyerang lawan. Hantu Rimba Larangan melenting ke atas dengan ringan, tapi tubuh Ki Sadewo Murai dengan tiba-tiba telah berada di belakangnya dengan ujung golok mengancam leher lawan.

"Bet!"

Tapi dengan gerakan yang tak terduga tubuh Hantu Rimba Larangan membungkuk dalam keadaan berada di udara, kemudian kedua kakinya menendang ke arah lawan.

"Hiyaaa...!"


***


ENAM

Ki Sadewo Murai bukanlah tokoh sembarangan. Meski belum termasuk dalam jajaran datuk-datuk persilatan, namun banyak kalangan persilatan yang segan kepadanya. Selain jarang terlibat urusan dengan sesama tokoh persilatan dalam hal perkelahian, konon melihat dari sepak terjang murid-muridnya yang selalu membela kebenaran, orang dapat menilai sampai dimana kehebatan ilmu silat orang tua itu. Begitu juga ketika Hantu Rimba Larangan mencoba mengecoh orang tua itu dengan gerak tipu, Ki Sadewo Murai dengan manis menghindarinya, lalu dengan tiba-tiba menyerang lawan.

"Hm..., bagus! Agaknya kau memiliki ilmu silat yang lumayan juga, Tua Bangka. Tapi itu bukan membuatku senang, karena berarti umurmu akan cepat selesai. Tak seorang pun boleh mensejajarkan diri dengan Hantu Rimba Larangan!" kata orang bertubuh aneh itu dengan nada sombong.

"Bicaralah sesuka hatimu, Ki sanak. Siapa tahu justru hari ini adalah hari terakhirmu mampu bicara!" dengus Ki Sadewo Murai.

"Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"

Kali ini dengan satu teriakan hebat, tubuh Hantu Rimba Larangan mencelat menyerang lawan. Ki Sadewo Murai sedikit terkejut. Golok di tangannya cepat berkelebat dengan gerakan yang sulit diikuti oleh pandangan mata biasa.

"Bet!"
"Duk!"
"Crak!"
"Akh!"

Sabetan golok Ki Sadewo Murai dapat dielakkan lawan. Hantu Rimba Larangan bahkan berhasil menghantamkan pukulan ke dada ketua Perguruan Elang Hitam itu. Ki Sadewo Murai mengeluh kesakitan. Namun bersamaan dengan itu goloknya berhasil melukai perut lawan.

Hantu Rimba Larangan memang kebal senjata tajam, namun tidak terlalu hebat karena tubuhnya masih mampu digores senjata lawan. Kali ini lukanya sedikit parah karena darah sempat mengucur dari perutnya yang terluka. Kalau saja hal itu dilakukan oleh orang biasa, mungkin golok itu tak begitu berarti. Tapi di tangan Ki Sadewo Murai lain halnya. Orang tua itu memainkannya dengan pengerahan tenaga dalam kuat.

Ki Sadewo Murai berguling ke samping menghindari dua kepalan tangan sekaligus yang menghantamnya, namun dua lengan kiri lawan dengan cepat menyodok perutnya ketika kakinya tersandung kaki lawan. Orang tua itu cuma berpikir, jika senjata Rumpin saja berhasil menggores kulit lawan, berarti lawan masih mampu dilukai jika dia mengerahkan tenaga dalam kuat.

Tapi hal itu ternyata harus dibayar mahal. Ki Sadewo Murai terluka parah di dalam dadanya akibat pukulan lawan tadi. Meski dia memiliki tenaga dalam yang tinggi, namun pukulan lawan menghantam lebih kuat. Belum lagi dia sempat memperbaiki posisi, tubuh Hantu Rimba Larangan kembali mencelat sambil mengirim satu serangan kilat ke arahnya.

"Sekarang mampuslah kau, Orang Tua!

Hiyaaat...!"

Ki Sadewo Murai berguling ke samping menghindari dua kepalan tangan sekaligus yang menghantamnya, namun dua lengan kiri lawan dengan cepat menyodok perutnya ketika kakinya tersandung kaki lawan.

"Begkh! Begkh!"

Ki Sadewo Murai cuma mengeluh pelan sekali. Bahkan suara pukulan itu lebih kencang ketimbang keluh kesakitannya. Dari mulut orang tua itu muncrat darah segar ketika tubuhnya terangkat setinggi tiga kaki ke atas. Ketika tubuh tua itu ambruk ke tanah, nyawanya sudah lepas dari raga.

"Keparat! Kau harus membayar mahal untuk semua ini!" bentak salah seorang anak murid Perguruan Elang Hitam dengan garang.

"Cincang manusia biadab itu!"
"Bunuuuh...!"
"Yeaaah...!"

Amarah yang sejak tadi telah memuncak di setiap hati murid Perguruan Elang Hitam, kini semakin marah dengan kematian guru mereka di tangan Hantu Rimba Larangan. Tanpa memikirkan keselamatan, mereka langsung menyerang lawan dengan ganas dan buas.

"Ha ha ha ha...! Mari ke sini, dan terimalah kematian kalian seperti yang telah kujanjikan!" teriak Hantu Rimba Larangan seperti orang kegirangan.

Hantu Rimba Larangan bekerja tak kepalang tanggung. Sekali tubuhnya bergerak, dua atau tiga orang murid Perguruan Elang Hitam telah tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kalau kepala mereka tidak pecah, maka ada yang perutnya jebol dan ususnya terurai keluar. Bahkan ada yang mengalami kematian dengan keadaan yang mengerikan. Dada kirinya bolong dengan jantung hancur, serta tubuh mereka remuk dari kepala hingga kaki.

Satu persatu murid Perguruan Elang Hitam binasa. Sia-sia mereka melakukan perlawanan karena tak seorangpun yang mampu menahan serangan Hantu Rimba Larangan lebih dari enam gerakan. Dan orang itu memang betul-betul gila karena dia seperti menikmati apa yang dilakukannya sambil tertawa penuh kemenangan.

"Hi hi hi hi...! Mampuslah kalian semua, mampuslah kalian semua! Telah tiba saatnya hari pembalasan, dan kalian akan merasakan penderitaanku dulu dengan kematian. Menangislah di akherat sana dan sesali nasib kalian yang buruk seperti aku menyesali nasibku dulu!"

Seperti orang kesurupan, Hantu Rimba Larangan berteriak-teriak sendiri dengan suara menggelegar. Kemudian dia tertawa-tawa sambil memutari mayat-mayat yang bergelimpangan seperti orang menari. Kemudian setelah puas melampiaskan segala kegirangannya, dia meninggalkan tempat itu sambil terus tertawa terbahak-bahak. Tempat itu seketika senyap. Bau anyir tercium bersama dengan tiupan angin yang membawanya jauh ke desa terdekat. Seperti memperingatkan bahwa Hantu Rimba Larangan telah berada di dekat mereka dan siap menjemput maut.


***


Pemuda berambut gondrong berbaju harimau melangkah lesu. Monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada di pundaknya terus mencericit ribut. Tapi pemuda yang tak lain adalah Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka masih terus memandang sekeliling dengan perasaan curiga. Tempat itu telah diamatinya berkali-kali. Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Bahkan perabotan di dalam pondok kecil itu penuh debu seperti tak pernah dihuni bertahun-tahun.

"Nguk!"

"Diamlah dulu, Tiren. Aku tahu sebentar lagi senja. Tapi kita harus memeriksa tempat ini sekali lagi."

"Kaaaakh...!"

Bayu mendesah pelan. "Iya, aku tahu. Kau mengkhawatirkan mereka, bukan? Begitu juga aku. Baiklah, kita kembali. Sudah seharian kita menyelusuri tempat ini serta hutan didalam sana, namun tak terlihat batang hidung orang itu. Mungkin dia memang tak berada di tempat ini," kata Bayu sambil menggelengkan kepala lemah.

"Nguk!"

Setelah memastikan bahwa tak ada sesuatu yang dapat memberikan petunjuk tentang buruannya, Bayu langsung kembali ke Desa Kedungbala. Ambar menyambutnya dengan girang sambil memeluk pemuda itu. Sedangkan Puji Lestari cuma tersenyum mengamati.

"Bagaimana, Bayu? Apakah betul dia berada di sana?" tanya laki-laki bertubuh kurus yang kini telah memanggil pemuda itu dengan namanya.

"Agaknya dia telah lama meninggalkan tempat itu, Ki Legowo..." sahut Bayu sambil menggelengkan kepala.

"Hhhh... kalau begitu aku betul-betul tak tahu lagi di mana dia berada kini..." sahut Ki Legowo lirih.

"Kurasa aku pun tak bisa berlama-lama di sini, Ki...."

"Paman mau ke mana?" tanya Ambar dengan wajah sedih.
"Paman harus pergi...."
"Kenapa Paman harus pergi? Tidak sukakah paman tinggal bersama kami di sini?" tanya gadis cilik itu setengah memohon.

Bayu tersenyum kecil. "Ambar, Paman Bayu tak bisa menetap di sini karena dia harus meneruskan perjalanan. Paman Bayu seorang pengembara, dan orang seperti dia tak mungkin mau menetap di satu tempat...!" Ujar Puji Lestari dengan suara pelan sambil memangku sepupunya.

Bayu melirik sekilas pada gadis itu. Kemudian mengalihkan pandangan kepada Ambar sambil berjongkok di hadapannya.

"Ambar, paman tak bisa berdiam diri di sini saja. Orang jahat itu akan banyak membunuh orang kalau tidak dihentikan. Kalau paman berada di sini terus, bagaimana paman bisa menghentikannya? Nah, untuk itu paman harus pergi mencari dan kemudian menghukumnya," jelas Pendekar Pulau Neraka sambil tersenyum.

"Tapi paman akan kembali lagi ke sini."

"Tentu! Bukankah paman belum mengucapkan bahwa paman harus berpisah denganmu, bukan?"

"Paman berjanji akan ke sini lagi dan menetap bersama kami?" tanya bocah itu penuh harap dengan wajah girang.

Pendekar Pulau Neraka menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Sulit rasanya dia menjawab pertanyaan bocah itu. Tak tega rasanya untuk menyakiti hati anak yang masih polos ini. baginya kehidupan-kehidupan itu cuma hitam dan putih yang gampang dicerna dan dibuat mudah.

"Ambar, paman bukan tak ingin menetap di sini, tapi kalau paman harus pergi itu karena ingin mencari orang tua paman yang sampai sekarang belum juga bertemu. Paman rindu sekali padanya. Jadi Ambar tak keberatan bukan? Setelah paman menghukum orang itu maka paman akan ke sini untuk berpamitan denganmu," kata Bayu lirih.

Bocah cilik itu menundukkan wajah. Dalam dua hari ini saja persahabatannya dengan Bayu telah membuat dirinya akrab dan merasa kenal bertahun-tahun. Ada yang memperhatikannya, dan mengajaknya bicara tentang hal yang selama ini belum pernah dikenalnya. Dan kini tiba-tiba orang itu harus pergi. Terasa berat sekali hatinya untuk melepaskan Bayu. Namun alasan yang dikeluarkan pemuda itu sangat menyentuh hatinya. Dia dapat merasakan, betapa sedihnya jika berpisah dengan kedua orang tua. Jangankan sampai bertahun-tahun, beberapa hari saja tak bertemu rasanya bingung.

"Nah, kau mengerti bukan?" tanya Bayu sambil memandangi wajah bocah polos itu dalam-dalam.

Ambar mengangukkan kepala. "Tapi paman tidak akan berangkat sekarang, bukan? Besok pagi saja! Sebentar lagi malam, tentu paman harus tidur dulu untuk beristirahat."

"Baiklah. Paman akan berangkat besok pagi...." Pemuda berambut gondrong itu baru saja bangkit dari duduknya ketika dari arah luar terlihat sosok tubuh tergopoh-gopoh berlari menuju ke rumah ini.

"Ki Legowo! Ki Legowo...! Ada berita penting!" teriaknya.

"Berita penting apa, Bondang?" tanya Ki Legowo ketika orang itu telah mendekat.

Sekilas dia tersenyum pada Bayu, kemudian laki-laki yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu meneruskan kata-katanya.

"Ki Karta dan keluarga kembali lagi ke desa...."

"Astaga! Jadi juga dia pergi. Selamatkah mereka...?" tanya Ki Legowo khawatir.
"Mereka selamat, Ki."
"Lalu kenapa mereka kembali?"

"Inilah yang menjadi permasalahan. Dalam perjalanan dia mendengar tentang Dolo Lungkat...."
"Dolo Lungkat? Kabar apa?"

"Orang itu membuat kekacauan di mana-mana dan menyebut dirinya sebagai Hantu Rimba Larangan!" jelas orang yang bernama Bondang.

Kemudian Bondang menceritakan apa yang di dengarnya dari Ki Karta sehubungan dengan keganasan Hantu Rimba Larangan beberapa hari ini.

"Cerita itu telah menyebar ke mana-mana. Banyak sudah orang yang binasa di tangannya. Bahkan beberapa tokoh persilatan ikut menjadi korban!" lanjut Bondang.

"Hmmm... orang itu betul-betul sudah tidak waras. Membunuh orang tanpa alasan selain kesenangan dan melampiaskan dendamnya yang tak berketentuan," gumam Ki Legowo geram.

"Sudah, Ki. Aku ingin mengabarkan hal ini pada yang lainnya. Ini kesempatan baik bagi kita untuk secepatnya meninggalkan desa ini," kata Bondang kembali sambil pamit dan meninggalkan rumah Ki Legowo.


***


"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga, Ki. Kalau menunggu besok mungkin orang itu akan mencari korban yang lain," kata Bayu menyentakkan lamunan Ki Legowo.

"Kau akan mencarinya ke mana?"

"Ke Kotaraja seperti yang diceritakan Bondang tadi. Paling tidak di desa-desa sekitar Kotaraja."

"Apakah tidak sebaiknya besok pagi saja kau berangkat, Bayu. Kotaraja agak jauh dari sini dan memerlukan perjalanan satu hari penuh. Kau tentu masih lelah...."

"Betul. Paman berangkat besok pagi saja!" cegah si kecil Ambar.

"Jangan-jangan malah malam ini dia akan kembali ke desa ini lagi. Orang itu sulit diterka, namun yang jelas dia pasti akan kembali untuk melanjutkan perbuatannya yang gila itu," sambung Puji Lestari dengan nada khawatir.

Bayu memandang wajah mereka sekilas satu persatu. Masih terbesit perasaan takut dan cemas bercampur geram. Lebih-lebih melihat wajah si kecil Ambar yang kini tampak pucat begitu mendengar nama Hantu Rimba Larangan disebut-sebut.

"Nguk!"

Monyet kecil berbulu hitam di pundaknya pun memandang dengan wajah kuyu kepada Pendekar Pulau Neraka. Seolah-olah dia membenarkan kata-kata gadis cantik yang duduk di sebelahnya. Sambil menghela nafas panjang Bayu mengangkat bahu dan berkata pelan.

"Yah... kalau demikian apa boleh buat. Tak baik menolak tawaran orang lain. Baiklah, aku akan berangkat besok pagi...."

Ambar tersenyum mendengar kata-kata itu. Malam ini dilalui Pendekar Pulau Neraka seperti malam sebelumnya. Hanya kali ini dia tak terjaga penuh. Kantuknya terasa berat bukan main. Dia merebahkan diri di bale-bale yang berada di ruang. Tiren berjaga-jaga di sisinya.

"Tiren, jangan sampai kau tertidur pula. Kalau kau merasa tak kuat menahan kantuk, bangunkan aku!" pesan Pendekar Pulau Neraka. Matanya masih terasa berat dan kantuk menyerangnya luar biasa, tapi pemuda berambut gondrong itu cuma merasa tidur sesaat ketika Tiren mencericit di telinga. Bayu cepat bangkit sambil merasakan kepalanya pusing.

"Ada apa, Tiren? Kenapa kau menggangguku? Aku ngantuk sekali!"

"Nguk!"

Monyet kecil itu menunjuk sesuatu. Bayu menoleh, dan buru-buru dia mengucekkan matanya ketika Puji Lestari telah berada di dekatnya sambil membawa secangkir kopi panas. Gadis itu tersenyum manis.

"Maaf, aku tak bermaksud mengganggu. Tapi Tiren terjaga dan mencericit terus di dekatmu. Aku... aku cuma ingin mengantarkan kopi ini saja sahut gadis cantik itu dengan suara terbata-bata.

"Oh ya... terima kasih! Kenapa tak tidur?" Gadis itu tersenyum.

"Aku biasa bangun pagi-pagi sekali...."

Bayu mendongak sekilas, dan lapat-lapat telinganya mendengar kokok ayam di kejauhan. Barulah dia menepuk kepalanya sambil terkekeh kecil.

"Begitu mengantuknya aku tak sadar kalau hari sudah pagi. Eh, terima kasih, Puji. Kau baik sekali. Sudah mandi?" tanya Bayu sambil tersenyum menggoda.

"Belum...."
"Tapi tetap saja tubuhmu harum."
"Ka... Kakang Bayu bisa saja...."

"Betul, aku bicara apa adanya," sahut Pendekar Pulau Neraka sambil menghirup kopinya. Gadis itu menundukkan wajah sambil mempermainkan ujung bajunya. Bayu kembali memandang sambil tersenyum.

"Kenapa berdiri terus? Kau tak mau duduk?"
"Tidak mengganggu?"

Bayu menggeleng. Puji Lestari duduk di depannya dengan malu-malu. Keduanya terdiam beberapa lama seperti tak ada bahan pembicaraan.

"Kaaakh...!"
Ouw!"

Dasar monyet jahil! Dengan tiba-tiba dia melompat di punggung gadis cantik itu sambil menjerit. Bukan main terkejutnya Puji Lestari. Tanpa sadar dia menjerit memeluk Bayu dengan wajah pucat.

"Tenanglah, Puji... itu cuma kerjaan si Tiren yang memang usil. Itu tandanya dia suka denganmu, dan ingin selalu berdekatan setiap hari..." suara Bayu terdengar lirih.

Gadis itu seperti tak berusaha berontak ketika dia memandang Bayu. Wajah mereka begitu dekat. Suasana sepi itu seperti menggoda hati mereka masing-masing. Puji Lestari mengatupkan kedua kelopak matanya ketika wajah pemuda itu dirasanya semakin mendekat. Tiba-tiba dia merasa sulit bernafas ketika bibirnya terasa hangat. Perasaan ganjil menyesak di dadanya, dan hal itu belum pernah dialaminya selama ini. Perasaan suka, senang, dan bahagia bercampur takut namun tak kuasa menghindar.

"Kaaaakh...!"

Tiren kembali memekik nyaring mengagetkan kedua insan yang tenggelam dalam suasana pagi yang dingin.

"Eh...ng...maaf. Aku...aku...." Bayu salah tingkah sambil melepaskan pelukannya pada gadis itu.

Lewat cahaya pelita yang menyala redup Bayu mampu melihat wajah wanita itu yang memerah sebelum dia menundukkan kepala dengan malu-malu dan langsung beranjak ke belakang. Pendekar Pulau Neraka menggaruk-garukkan kepalanya dengan wajah bingung seperti orang tolol. Kemudian dia senyum-senyum sendiri ketika Tiren menyeringai dan menjulurkan lidah persis di depannya. Bayu terkekeh kecil.


***


TUJUH

Matahari belum lagi tepat berada di atas kepala ketika sebuah bayangan tampak melesat cepat meninggalkan sebuah gedung mewah sambil tertawa-tawa kegirangan. Melihat caranya bergerak bagai sapuan angin pastilah orang tersebut memiliki ilmu lari cepat tingkat tinggi, dan setidaknya pasti memiliki ilmu silat yang jauh di atas orang-orang persilatan kebanyakan.

Namun bila melihatnya dari dekat, terlihat hal aneh pada anggota tubuh orang itu. Tubuhnya berkulit hitam legam memiliki kepala dua dan dua pasang tangan. Rambutnya hitam kaku dan lusuh seperti tak pernah kena air bertahun-tahun. Sepasang matanya yang lebar dan bulat menempel begitu saja seperti tak memiliki kelopak.

"Ha ha ha ha...! Semuanya akan tewas di tangan Hantu Rimba Larangan! Kalian akan merasakan siksaan serta hinaan berat seperti apa yang kualami dulu. Kalian akan merasakan semua...!" Terdengar suara serak dan berat berkumandang ke segala pelosok tempat itu.

Sesosok bayangan yang tak lain dari Hantu Rimba Larangan terus berkelebat cepat mendekati sebuah lembah di mana terdapat sebuah telaga yang di atasnya mengucur sebuah air terjun. Pemandangan ditempat itu indah sekali. Sebongkah bukit cadas tegak berdiri ditumbuhi lumut dan pepohonan kecil di tebingnya yang curam. Dari situlah mengalir air terjun tersebut.

Hantu Rimba Larangan berhenti dan menciduk air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Terdengar helaan nafasnya yang lega. Kemudian tertunduk menekur pada sebuah batu besar dan berkaca pada air telaga. Wajahnya tiba-tiba garang penuh kebencian dendam kesumat, berubah lesu dan nuansa kepedihan terbayang nyata.

"Ibu... tak pernah aku menyalahkanmu atas kelahiranku yang tak semestinya ini. Tenanglah kau di alam sana. Karena aku akan membalas sakit hatimu pada mereka. Orang-orang itu harus mendapat pembalasan yang setimpal...." katanya dengan suara lirih.

Hantu Rimba Larangan termangu. Wajahnya berubah serius, dan sepertinya dia merasakan kehadiran orang yang disebutnya tadi berbicara padanya lewat bayangan di permukaan telaga.

"Tidak ibu! Jalan yang kutempuh adalah yang benar! Masih ingatkah engkau ketika mereka mengejek dan menyiksaku? Mereka menganggapku lebih hina dari anjing kudisan. Hanya kau seorang yang mengasihiku di atas dunia ini. Tahukah ketika engkau kemudian meninggalkanku?

Hatiku hancur, Bu. Aku berlari seperti orang gila ke dalam hutan. Saat itu aku tak ingin hidup lagi. Kau pun tahu bukan? Sampai akhirnya aku terperosok ke dalam sebuah sumur tua yang dalam dan pengap. Di sanalah kutemukan kitab pelajaran ilmu silat. Bertahun-tahun aku melatih diri untuk membalaskan sakit hati ini, dan sekarang masa itu telah tiba. Mereka harus menanggung akibatnya!" sentak Hantu Rimba Larangan sambil bangkit berdiri dan mendengus garang.

Tak terasa air matanya menitik dan jatuh di permukaan telaga hingga membuat bayangan dirinya bercerai berai sesaat.

"Tidak ibu! Aku harus membalasnya pada mereka. Kalau kau tak setuju dengan caraku, aku tak peduli!" teriaknya seperti kehilangan akal.

Dengan gemas kemudian diangkat sebongkah batu besar dan dibenamkannya ke dalam telaga. Suara gemuruh terdengar sesaat. Air telaga itu bergelombang. Tidak sampai di situ, karena dengan tiba-tiba telapak tangan kanan Hantu Rimba Larangan menghantam permukaan telaga dengan tenaga dalam penuh.

"Hiyaaaat...!"
"Pyar!"

Sungguh hebat akibatnya. Air telaga yang tadi tenang kini bergelombang tinggi hingga mampu melawan arus yang dibuat oleh air terjun di bawahnya.

"Yeaaaa...!"

Seperti orang kesurupan, Hantu Rimba Larangan kembali menghantamkan pukulan dari atas ke bawah pada curahan air terjun. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkannya. Untuk beberapa saat air terjun yang tercurah itu berhenti dan memuncrat ke atas pada jarak kurang dari dua tombak di atas permukaan telaga.

"Aku tak peduli apa yang kau katakan! Aku tak peduli! Mereka harus mampus semua Mereka harus mampus! Hiyaaat...!" teriak Hantu Rimba Larangan seperti orang gila.

Dia mengamuk sejadi-jadinya. Batu cadas sebesar kerbau hancur berantakan dan beberapa pohon besar tumbang dihantam pukulannya. Tempat itu seperti dilanda gempa dalam sekejap.

"Yeaaa...!"
"Glaaar!"

Setelah puas mengamuk, dia kembali terduduk dengan wajah lesu dan kuyu. Seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Terlihat Hantu Rimba Larangan menangis kecil.

"Maafkan kelakuanku, Bu. Aku tak bermaksud melawanmu, tapi apa yang kau katakan sangat bertentangan dengan hatiku. Apakah kau tidak merasakan betapa sakitnya hatiku saat mereka menghina, mengejek, bahkan menyiksaku dengan angkuhnya? Mereka beranggapan punya derajat lebih tinggi dariku. Tidak pantaskah aku membalasnya dengan kematian mereka? Apakah orang seperti itu harus dibiarkan hidup?

Mereka sama saja. Semua orang sama kelakuannya", dan mereka akan mendapat ganjaran yang setimpal dariku...." ujar Hantu Rimba Larangan kembali dengan suara pilu. Lama dia terpaku begitu tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya.

"Hantu Rimba Larangan, saat ini adalah hari kematian bagimu! Dosamu telah melewati takaran. Tak ada ampun lagi bagimu, dan tak ada tempat bagimu untuk kabur! Tempat ini telah kami kepung rapat!"


***


Orang bertubuh aneh itu menoleh. Terlihat di sekeliling tempat itu telah ramai oleh berbagai orang dengan senjata terhunus. Dari cara berpakaian agaknya mereka berasal dari dunia persilatan. Hantu Rimba Larangan menghitung, jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh orang. Bukannya dia merasa takut dan cemas sebaliknya tertawa-tawa senang.

"Ha ha ha ha...! Bagus kalian telah berkumpul di sini hingga tak susah-susah lagi aku mencari kalian satu persatu. Ayo, siapa yang ingin maju lebih dulu?! Atau kalian mau berbarengan, begitu lebih bagus agar lebih mudah aku mengirimnya ke akherat!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil bangkit berdiri menghadap orang-orang dari rimba persilatan.

"Huh! Sombong sekali kau keparat! Terimalah salam dariku Garuda Merah Penyapu Angkasa!" teriak seseorang yang mengenakan baju merah sambil menyerang Hantu Rimba Larangan dengan sengit.

"Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"

Hantu Rimba Larangan memapaki serangan lawan dengan wajah berkerut penuh kebencian. Orang yang menamakan dirinya Garuda Merah Penyapu Angkasa mengetahui bahwa lawan berilmu tinggi, tapi dia begitu yakin akan kemampuan ilmu silat dan tenaga dalamnya. Hingga begitu melihat kedua tangan lawan terkembang, kedua telapak tangannya pun menghantam sambil mengerahkan tenaga dalam dengan kekuatan penuh. Agaknya dia begitu yakin lawan akan binasa atau terluka olehnya.

"Glaaaar!"
"Aaaa...!"

Orang yang mengenakan baju merah itu cuma mampu mengeluh pelan ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Darah muncrat dari mulut dan hidungnya. Begitu tiba di tanah, nyawanya lepas seketika.

"Ha ha ha ha...!" Mampuslah bagianmu, orang celaka! Kau pikir mampu mengalahkan Hantu Rimba Larangan begitu mudah?! Puiih!"

"Jahanam! Kau betul-betul manusia keparat. Hantu Rimba Larangan, mampuslah kau! bentak salah seorang di antara mereka.

"Seraaang...!"

Mendengar teriakan itu, semuanya langsung bergerak mengeroyok Hantu Rimba Larangan.

"Yeaaa...!"

"Ha ha ha ha...! Majulah semua! Ayo, majulah dan jemput kematian kalian di tanganku!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil tertawa kegirangan.

Orang-orang itu memang bukanlah tokoh sembarangan. Nama Hantu Rimba Larangan beberapa hari dikenal sebagai tokoh pencabut nyawa yang ditakuti karena ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya. Maka jika mereka yang berasal dari tokoh-tokoh gabungan berbagai Perguruan silat berani mengejar dan bermaksud membunuhnya, tentulah mereka bukan orang sembarangan. Paling tidak mereka adalah wakil nomor satu di perguruannya masing-masing. Bahkan tak sedikit di antara mereka terdapat ketua perguruan silat itu sendiri.

Tapi Hantu Rimba Larangan betul-betul membuktikan bahwa dia tokoh yang sulit ditaklukkan. Tubuhnya berkelebat dengan ringan menghantam lawan dan bergerak dengan cepat menghindari serangan lawan-lawannya. Kedua pasang tangannya itu sangat merepotkan, dan merupakan alat pembunuh yang ampuh.

"Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"

Beberapa orang kembali tewas di tangan Hantu Rimba Larangan. Pada masing-masing tangannya keluar angin pukulan yang berbeda. Dua telapak kanan mengeluarkan pukulan yang berhawa panas, sedangkan dari telapak kirinya menghantam pukulan berhawa dingin. Pengerahan dua pukulan yang masing-
masing berlawanan itu menunjukkan bahwa Hantu Rimba Larangan bukanlah tokoh sembarangan, sebab hal itu sangat sulit dilakukan meski oleh tokoh persilatan terkemuka sekalipun. Akibatnya bukan saja akan merusak diri, bahkan mampu berbalik dan menyerang diri sendiri, tapi Hantu Rimba Larangan mampu melakukannya dengan leluasa. Dan tak sedikit pun tanda-
tanda bahwa dia terkena pukulan sendiri.

"Hantu Rimba Larangan, terimalah kematianmu!" teriak seorang sambil melemparkan sepasang senjata yang mirip gelang.

"Bet! Bet!"

Tubuh Hantu Rimba Larangan bersalto di udara beberapa kali menghindari terjangan senjata lawan. Namun pada saat itu utusan dari Perguruan Walet Merah telah mengejar sambil menghunuskan pedang. Sementara tiga orang ketua perguruan silat menyerangnya dari arah yang berlawanan.

"Hiyaaaat...!"
"Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Aaaa...!"

Sehebat-hebatnya seorang tokoh persilatan berilmu tinggi, tentu akan sulit menghindari dari serangan itu. Apalagi dalam keadaan tubuh yang mengapung di udara. Namun dengan berani Hantu Rimba Larangan memapaki serangan mereka. Ujung pedang salah seorang utusan Walet Merah menggores punggungnya, tapi pukulannya menghantam lawan yang seorang lagi hingga terpental sambil menjerit keras.

Hantu Rimba Larangan menekuk kepalanya menghindari salah seorang yang akan menyabet lehernya. Dua telapak tangan kanannya menghantam ke arah dua orang lawan, namun kedua orang itu membalas dengan sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam penuh.

"Yeaaa...!"
"Glaaar!"

Kedua orang itu terpental sambil mengeluh kesakitan. Hantu Rimba Larangan bukannya tak merasakan akibat pukulan lawan. Namun dia menggunakannya sebagai tenaga dorongan yang membuat tubuhnya terpental agak jauh dan bersalto beberapa kali di udara.

"Habisi dia...!"
"Dia telah terluka...!"
"Cincaaaang...!"

Kedua kaki Hantu Rimba Larangan belum lagi menjejak di atas tanah ketika lima orang lawan menyerangnya dengan ganas.

"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"

Dua orang kembali terjungkal dihantam pukulan Hantu Rimba Larangan dan tewas seketika. Tapi dia sempat terhuyung-huyung ketika sebuah pukulan lawan menyodok dadanya dengan keras.

"Rencah dia! Keparat ini telah terluka. Tak lama dia pasti akan kehabisan tenaga dan mampus!" teriak seseorang memberi semangat.

Hantu Rimba Larangan memang berilmu tinggi dan sulit dikalahkan. Tapi para pengeroyoknya pun bukanlah orang sembarangan. Bila diteruskan dengan cara begini, lama kelamaan dia akan terus terdesak dan kehabisan tenaga. Jumlah ini sudah melampaui batas untuk dilawannya seorang diri.

Seorang datuk persilatan yang tak terkalahkan pun akan binasa bila dikeroyok oleh orang-orang berilmu tinggi seperti mereka dalam jumlah banyak. Berpikir begitu tubuhnya melesat ke atas sebuah cabang pohon dan menghilang dari pandangan para pengeroyoknya untuk melarikan diri.

"Kejar terus...!" Jangan biarkan dia melarikan diri...!" teriak salah seorang memberi komando.


***


Hantu Rimba Larangan telah bersumpah akan membunuh orang itu semua, hingga tak mungkin dia lari begitu saja dari pertarungan tanpa menuntut balas. Rencananya telah tersusun rapi. Sambil menunggu malam tiba, dia beristirahat di sebuah cabang pohon yang besar dan tinggi untuk memulihkan tenaganya. Dari situ dia dapat mengintai mereka satu persatu yang masih terus men-carinya. Sementara itu gabungan orang-orang persilatan terus melakukan pencarian terhadap Hantu Rimba Larangan sampai senja mulai tiba.

"Bagaimana, Ki Srengseng? Apakah kita akan terus mencarinya di tempat ini?" tanya salah seorang ketua perguruan silat yang bernama Ki Bagus Sapta kepada ketua Perguruan Gelang Terbang.

"Hmm... aku punya firasat bahwa dia masih berada di sekitar sini. Dia mengalami luka dalam, dan lagi pula orang gila sepertinya tak mungkin mau kabur begitu saja. Dia pasti akan muncul!"

"Bagaimana kalau dia benar-benar telah melarikan diri?" tanya Ki Walang Sangit, ketua Perguruan Belalang Ijo.

"Kami sependapat dengan Ki Srengseng. Hantu Rimba Larangan adalah orang gila yang haus darah. Tak mungkin dia meninggalkan kita begitu saja. Orang itu pasti masih berada di sekitar sini!" sahut salah seorang utusan dari Perguruan Kembang Pelangi.

"Pasti dia mempunyai rencana tertentu terhadap kita!" dengus Ki Bagus Sapta.

"Aaaa...!"
"Heh?"
"Apa itu?"

Semua mengalihkan perhatian ke arah suara jeritan tadi. Dua orang utusan dari Perguruan Batu Hitam tewas dengan kepala remuk.

"Aaaa...!"
"Heh?"

Kembali terdengar jerit kematian. Lima orang utusan Perguruan Angsa Putih menemui ajal dihantam satu pukulan jarak jauh berhawa panas.

"Kurang ajar! Dia hendak bermain kucing-kucingan pada kita!" sentak Ki Srengseng garang.

"Pertajam pendengaran kalian dan jangan lengah!" teriak Ki Bagus Sapta garang.

Mendengar itu semuanya langsung berjaga-jaga dengan sikap lebih waspada. Pendengaran mereka dibuka lebar-lebar dan pandangan matanya dipertajam unntuk mengawasi setiap gerak yang mencurigakan.

"Yeaaa...!"
"Itu dia!"
"Seraaaang...!"
"Aaaa...!"

Suatu bentakan nyaring kembali terdengar yang disusul dengan terpentalnya empat orang yang berada di dekat sebuah pohon besar. Nyawa mereka lepas seketika setelah menyentuh tanah. Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit nyaris jadi korban kalau mereka tak cepat menghindar.

"Sing!"

Sepasang gelang terbang milik Ki Srengseng mendesing cepat ke arah sebuah bayangan yang sempat ditangkap penglihatannya.

"Kejar dia ke arah sana!" teriaknya memberi komando pada yang lain.

"Hiyaaat...!"

Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit telah mendahului yang lain dan mencelat ke cabang sebuah pohon sambil mengirim satu pukulan jarak jauh dengan tenaga dalam penuh.


"Aaaa...!"
"Hei?!"

Mereka tersentak kaget. Dari arah lain kembali jatuh korban. Enam orang kembali tewas terpental dihantam pukulan jarak jauh yang membuat tubuh mereka remuk.

"Keparat kau Hantu Rimba Larangan! Keluarlah kalau kau memang bukan pengecut!" teriak Ki Srengseng sambil menangkap kembali sepasang gelang terbangnya yang tak menemui sasaran.

Tak terdengar sahutan. Tempat itu masih senyap seperti semula. Ki Srengseng menatap yang lainnya. Jumlah mereka kini banyak berkurang. Tak lebih dari sepuluh orang. Hal ini betul-betul menjengkelkan dan membuat hati mereka panas bukan main.

"Hmm... dia menggunakan kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh untuk mengecoh kita!" dengus Ki Srengseng garang.

"Betul, Ki. Tenaga dalamnya pun hebat, dan berada di atas kita. Dengan caranya itu kita tahu betul-betul telah terkepung!" sahut Ki Walang Sangit.

"Awaas...!" teriak Ki Bagus Sapta memperingatkan yang lain ketika sesosok bayangan menerpa ke arah mereka.

Ketiga orang ketua perguruan silat itu melompat menghadang, namun gerakan mereka terlambat. Empat orang dari tokoh persilatan kembali menjadi korban hantaman pukulan sesosok bayangan itu. Tubuh mereka terpental sambil menjerit tertahan. Dan nyawanya langsung putus seketika.

"Yeaaa...!"

Bayangan itu bergerak begitu cepatnya. Bahkan hampir tak terlihat dia menjejakkan kaki dan kembali menyerang mereka dengan menimbulkan desir angin kencang bagai badai topan.

"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Aaaa...!"

Ki Srengseng memapaki serangan lawan ketika sepasang gelang terbangnya dengan mudah dielakkan. Orang tua itu mengeluh kesakitan ketika kedua telapak tangan mereka saling beradu. Bayangan itu bergerak cepat sekali menghindari sabetan pedang Ki Bagus Sapta, namun tak urung dia mengeluh pelan ketika senjata Ki Walang Sangit yang berupa clurit menggores kulit perutnya sampai meneteskan darah segar. Namun sebagai balasannya tiga orang di antara mereka kembali menjadi korban pukulan dan tendangan kaki bayangan itu.


***


DELAPAN

Sesosok bayangan itu melompat jauh sekitar tiga tombak sambil mengeluarkan suara tawa yang serak dan dalam.

"Ha ha ha ha...! Sekarang tinggal kalian bertiga. Salah seorang terluka parah, itu berarti tinggal berdua. Dengan sekali tepuk tamatlah riwayat kalian!"

"Hantu Rimba Larangan, kau adalah seorang pengecut yang amat menjijikkan!" dengus Ki Walang Sangit garang.

"Ha ha ha ha...! Siapa sebenarnya yang pengecut? Mereka yang mengeroyok ataukah orang yang menyelamatkan diri dengan berbagai cara?" ejek orang yang tak lain dari Hantu Rimba Larangan sambil tersenyum kecil.

"Huh! Jangan kira walaupun berdua kami tak takut menghadapimu! Hari ini kalau bukan kami maka kaulah yang akan mampus!" kata Ki Bagus Sapta lantang.

"Kalau kalian patut mampus, tapi aku? Ha ha ha ha...! Kau bermimpi mengharapkan kematianku dalam keadaan begini!"

Selesai berkata begitu tiba-tiba tubuh Hantu Rimba Larangan mencelat ke arah mereka sambil berteriak nyaring.

"Hiyaaat...!"

Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit cepat menghindar sambil balas menyerang lawan dengan senjatanya masing-masing. Namun dengan mudah Hantu Rimba Larangan menghindari serangan mereka.

"Plak!
Duk!"
"Akh!"
"Yeaaa...!"

Ketika Ki Bagus Sapta membabatkan pedangnya, tubuh Hantu Rimba Larangan bergerak ke samping sambil menundukkan kepala dari sabetan clurit Ki Walang Sangit. Kepalan tangan kanannya menghantam lurus ke dada Ki Bagus Sapta. Tapi orang tua itu cepat melompat ke belakang, sementara tubuh Hantu Rimba Larangan mengikuti sekaligus kedua tangan kirinya menangkis pergelangan tangan Ki Walang Sangit ketika terlebih dahulu menghindari sabetan senjatanya.

Saat itulah secara tak terduga kaki kanannya berhasil menghajar tulang kering Ki Bagus Sapta hingga orang tua itu mengeluh kesakitan. Demikian juga halnya dengan Ki Walang Sangit. Tangan kanannya yang memegang clurit nyaris terlepas ketika tubuhnya mampu menghindari dua buah pukulan yang dilontarkan lawan.

Tapi tubuh Hantu Rimba Larangan telah kembali mencelat sebelum mereka memperbaiki posisi. Sasaran yang dirasanya lemah adalah Ki Bagus Sapta. Ketua Perguruan Bulan Kambangan itu berguling-guling menghindari serangan lawan. Untung pada saat-saat terdesak Ki Walang Sangit masih sempat membantu sehingga nyawanya masih bisa terselamatkan.

Sementara itu Ki Srengseng yang terluka dalam akibat benturan tenaga dengan Hantu Rimba Larangan, memaksakan diri bangkit dan bermaksud membantu kedua rekannya.

"Hmm... kalau kau memang menginginkan kematian, pergilah lebih dulu!" dengus Hantu Rimba Larangan ketika menghindari serangannya.

"Yeaaa...!"

Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit berbarengan melompat menyerang lawan ketika Hantu Rimba Larangan bersiap menghantamkan pukulannya ke arah Ki Srengseng.

"Huh! Kalau begitu mampuslah kalian bertiga!" dengusnya sambil mengertakkan rahang dan mengalihkan pukulan ke arah keduanya.

"Hup!"
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
"Duk!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Bukan main terkejutnya Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit melihat serangan Hantu Rimba Larangan yang cepat dan kuat. Ketika hantaman pertama tadi mereka masih mampu berkelit, tapi siapa sangka pukulan lawan sama cepatnya dengan gerakan tubuhnya. Keduanya tak sempat lagi menghindar ketika sepasang tangan Hantu Rimba Larangan menghantam dada mereka dengan telak. Keduanya terjengkang sambil menjerit keras dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Mampuslah kalian sekarang...!"

"Yeaaa...!"

Walaupun telah terluka parah, namun keduanya bertahan mati-matian sambil bergulingan pada arah yang berlawanan agar lawan tak mampu menghantam mereka sekaligus. Taktik itu memang cukup jitu, namun bagi Hantu Rimba Larangan taktik itu tak berarti!"

"Hmm... kalian kira bisa menunda kematian dariku? Kupastikan kalian akan mampus ketiganya pada saat yang bersamaan," gumam Hantu Rimba Larangan sambil tersenyum sinis.

Kedua tangan kirinya siap menghantam dengan pukulan berhawa panas ke arah Ki Walang Sangit yang dianggapnya memiliki tenaga dalam lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Sedangkan tangan kirinya yang satu lagi siap menghantamkan hawa pukulan dingin ke arah tubuh Ki Srengseng yang bersiap akan menyerang lawan.

"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Hei?!"


***


Pada saat yang sangat keritis bagi ketiganya sesosok bayangan tiba-tiba melesat ke arah Hantu Rimba Larangan sambil berteriak nyaring. Orang itu terpaksa mengalihkan pukulannya ke arah bayangan yang baru datang. Merasakan angin serangannya yang kencang, Hantu Rimba Larangan tak berani menganggap enteng. Keempat telapak tangannya diarahkan penuh. Tapi bayangan tadi lebih lincah lagi bergerak. Tubuhnya melenting beberapa kali di udara, kemudian mencelat ke tanah. Namun belum lagi Hantu Rimba Larangan menegaskan siapa bayangan yang menyerangnya, tiba-tiba datang lagi serangan kilat ke arah tubuhnya.

"Hiyaaa...!"
"Huh!"
"Plak!"
"Begkh!"

"Keparat!" Hantu Rimba Larangan memaki ketika pukulan mereka saling beradu. Namun lawan masih sempat menyarangkan satu tendangan ke perutnya, yang membuat tubuh Hantu Rimba Larangan terhuyung-huyung ke belakang sejauh tiga langkah.

"Dolo Lungkat! Sudah waktunya kau mengakhiri semua ini!" kata bayangan itu sambil berdiri tegak pada jarak dua tombak di depannya.

"Siapa kau?! Dari mana kau tahu namaku?!" bentak Hantu Rimba Larangan sambil menegaskan penglihatannya.

Namun ketika mengetahui siapa sebenarnya bayangan itu, yang tak lain dari pemuda gondrong berbaju kulit harimau yang pernah ditemuinya beberapa hari lalu.

"Hmmm... kau rupanya orang usil!" dengusnya sinis.

"Dolo Lungkat, dosamu telah melewati takaran. Kau harus terima hukumannya. Kalaupun aku bisa mengampuni jiwamu, tapi mustahil semua orang mau mengampunimu. Perbuatanmu sungguh biadab hingga kau betul-betul bukan manusia seperti yang diejekkan orang-orang di Desa Kedungbala padamu dulu," ujar pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain dari Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.

"Jangan bawa-bawa peristiwa lalu. Kau atau yang lainnya sama saja. Kalian manusia-manusia laknat yang harus menerima pembalasan dariku. Termasuk juga kau!"

"Sungguh sayang... orang dengan kepandaian tinggi sepertimu seharusnya mengabdikan diri di jalan kebenaran. Tapi kau malah berbuat sebaliknya...." sahut Bayu tenang sambil menggelengkan kepala.

"Jangan menasehatiku! Kau pun akan mampus seperti yang lainnya," dengus Hantu Rimba Larangan.

Tak seperti menghadapi lawan-lawannya yang lain, kali ini terlihat dia tak berani gegabah menghadapi pemuda berambut gondrong itu. Pertarungan singkat di Desa Kedungbala memberikan pelajaran pahit karena ternyata pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Hantu Rimba Larangan berkelebat cepat dengan mengerahkan tenaga dalam penuh sambil berteriak nyaring.

"Terimalah kematianmu, Bocah! Yeaaa...!"

"Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka dengan cepat menyambut serangan lawan ketika tubuhnya melenting ke atas menghindarinya. Namun tubuh Hantu Rimba Larangan berbalik cepat mengejarnya.

"Hmm... agaknya kau betul-betul sulit disadarkan. Kau menganggap dirimu tak terkalahkan. Meski aku tak memiliki kepandaian, tapi aku bersumpah akan menghentikan segala kebiadabanmu!" ujar Pendekar Pulau Neraka dengan nada merendah.

"Jangan banyak mulut! Hari ini adalah kematian bagi kalian semua!" sahut Hantu Rimba Larangan.

"Hiyaaat...!"
"Plak!"
"Duk!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka menggeram dahsyat. Kedua telapak tangannya memapaki keempat telapak tangan lawan dengan gerakan yang cepat hingga sulit diikuti oleh mata biasa. Kaki kiri Hantu Rimba Larangan masih sempat menendang ke perut lawan. Bayu mengeluh pelan merasakan isi perutnya seperti diaduk-aduk. Untung dia telah melindungi diri dengan mengerahkan tenaga dalamnya.

Tapi bukan berarti lawan tak mengalami naas. Kaki Bayu menghantam telak dadanya. Keduanya terhuyung-huyung ke belakang berapa tindak. Darah segar menetes disudut bibir masing-masing menandakan keduanya mengalami luka dalam.

Hantu Rimba Larangan terkejut bukan main. Selama dia malang melintang menghadapi lawan, belum pernah dia bertemu dengan orang yang kepandaiannya setinggi pemuda itu. Diam-diam timbul juga rasa khawatir dalam hatinya.

"Siapa kau sebenarnya, Bocah?"

"Sebelum kau mampus, ada baiknya aku memberitahukan siapa diriku agar kau tak mati penasaran. Orang-orang persilatan menyebutku dengan Pendekar Pulau Neraka. Jelas bukan?"

"Hmm.... Pendekar Pulau Neraka?" gumam Hantu Rimba Larangan sambil menganggukkan kepala berusaha tenang. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan keterkejutannya. Boleh jadi karena dia baru mengenal nama itu. Tak heran, karena selama ini dia memang jarang bergaul dan tak pernah mengenal siapa pun tokoh-tokoh dunia persilatan. Dalam benaknya mereka sama saja, dan dianggapnya tak berarti. Tapi berhadapan dengan pemuda itu membuatnya lebih waspada dan menyadari bahwa ada juga orang-orang yang memiliki ilmu silat setingkat dengan dirinya. Bahkan tak mustahil melebihinya.

Sebaliknya dengan ketiga tokoh yang merupakan ketua perguruan silat, nama Pendekar Pulau Neraka tak asing lagi di telinga mereka.

"Pendekar Pulau Neraka? Oh, tak sangka akhirnya aku bisa melihat tokoh yang menggegerkan dunia persilatan belakangan ini!" seru Ki Srengseng sambil tersenyum kecil.

"Hmmm... tak kusangka orangnya ternyata masih muda. Sungguh hebat dia!" puji Ki Bagus Sapta.

"Kiranya nama itu ada dan aku telah melihatnya sendiri kali ini. Padahal kupikir nama itu hanya legenda saja," sahut Ki Walang Sangit.

"Mudah-mudahan dia mampu mengatasi orang gila itu!" Ki Srengseng berharap sambil menggeram penuh kemarahan.


***


Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Hantu Rimba Larangan terus berlangsung alot. Sesekali terdengar monyet kecil berbulu hitam yang tadi muncul bersama pemuda itu menjerit keras sambil melompat-lompat ke sana ke mari. Kedua tangannya bertepuk sambil memberikan semangat pada Pendekar Pulau Neraka. Kelihatannya dia yakin betul bahwa pemuda itu mampu mengalahkan lawannya.

Bayu sendiri memang harus mengakui bahwa kepandaian lawan cukup tinggi. Bahkan tenaga dalamnya belum tentu berada di bawahnya. Tapi dia sedikit merasa di atas angin ketika mengetahui ilmu meringankan tubuhnya setingkat di atas lawan. Hal itu sangat menguntungkan. Lebih-lebih lagi keadaan Hantu Rimba Larangan tidak lagi sesegar ketika dia mulai bertarung dengan gabungan tokoh persilatan yang tadi mengeroyoknya. Saat ini tenaganya nyaris banyak terkuras.

Tapi bukan berarti Pendekar Pulau Neraka dapat dengan mudah mencegahnya. Kedua pasang tangannya masih sulit ditembus, dan penglihatannya masih cukup tajam mengamati setiap gerakan lawan. Pendekar Pulau Neraka telah kepalang geram dan muak pada tokoh yang satu ini. Apalagi ketika terbayang segala perbuatannya yang biadab, membunuh manusia seperti membunuh binatang yang nyawanya tak berarti. Berpikir ke arah itu kemarahannya semakin memuncak, dan serangan-serangannya semakin gencar.

"Hiyaaa...!"

Tubuhnya bergerak cepat menghantam perut lawan, namun dengan nekat Hantu Rimba Larangan memapaki dengan kedua tangan kanannya. Sementara kedua tangan kirinya bersiap menghantam ke dada lawan.

"Plak!"
"Bed!"
"Des!"
"Aaaa...!"
"Yeaaa...!"

Tubuh Hantu Rimba Larangan terpental ke belakang beberapa langkah ketika pukulan mereka saling bertemu. Kedua tangan kirinya dengan mudah dielakkan pemuda itu. Ketika tubuhnya melenting ke atas, dan dengan cepat mengirim tendangan telak ke dada lawan. Hantu Rimba Larangan menjerit keras. Tubuhnya terbanting dua tombak darah mengalir dari sela bibir dan hidungnya.

"Uts!"

Namun dia masih sempat berguling menghindari serangan susulan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya sebelum tubuhnya mengejar lawan dengan satu serangan yang cukup cepat dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

"Sing!"
"Yeaaa...!"
"Cras!"

Hantu Rimba Larangan memang masih mampu menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka, namun Cakra Maut yang dilontarkan Bayu tak mampu dihindarinya.

"Aaaa...!"

Hantu Rimba Larangan menjerit keras ketika perutnya robek disambar senjata lawan. Kulit tubuhnya memang kebal terhadap senjata lawan, namun dia tak memiliki ilmu kebal yang hebat. Lagi pula senjata Pendekar Pulau Neraka bukanlah senjata sembarangan. Di tangan si Cakra Maut, guru Pendekar Pulau Neraka, senjata itu telah banyak membuktika kehebatannya dan ditakuti lawan. Di samping itu Bayu pun menyadari bahwa lawan kebal terhadap senjata tajam. Itulah sebabnya dia tak mau meremehkannya, dan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi saat melemparkannya tadi.

"Hiyaaat...!"
"Begkh! Des!"
"Aaaa...!"

Tubuh Pendekar Pulau Neraka kembali melesat sambil berputar bagai gasing. Hantu Rimba Larangan berusaha bangkit sambil bergulingan. Tapi tendangan kaki lawan lebih cepat lagi menghantam pinggang. Terdengar tulang berderak patah. Tubuh Hantu Rimba Larangan terangkat setengah tombak. Pendekar Pulau Neraka agaknya tak mau bertindak kepalang tanggung. Kepalan tangan kanannya menyusul menghantam tubuh lawan. Hantu Rimba Larangan menjerit lemah. Tubuhnya terlempar sejauh tiga tombak dan membentur batu besar didekat telaga. Kepalanya menggeleng lemah sesaat sebelum akhirnya diam tak bergerak. Nyawanya putus saat itu juga.

"Tenanglah kau di alam sana dari pada hidup membuat kekejaman dan kebiadaban..." ujar Bayu lirih.

Agak lama dia memandang tubuh ganjil itu sebelum akhirnya melangkah pelan setelah menangkap monyet kecil sahabatnya. Dan meletakkannya di pundak. Wajahnya terlihat kelam. Bagaimanapun hatinya tersentuh dengan penderitaan yang dialami orang itu. Tapi kalau dibiarkan hidup pasti akan menjadi ancaman bagi umat manusia.

"Ki sanak, tunggu...!"

Bayu menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya. Baru dia teringat bahwa dia bukan satu-satunya yang masih hidup, masih ada tiga orang lagi yang merupakan ketua perguruan silat di tempat itu.

"Kami ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongan Kisanak...." ujar Ki Srengseng mewakili dua orang rekannya. Bayu tersenyum kecil.

"Paman, tak perlu berterima kasih padaku. Ini sudah menjadi kewajiban kita bersama...."

"Setidaknya kau telah menyelamatkan kami dari incaran maut..." timpal Ki Bagus Sapta.

"Paman, aku hanya perantara dan sama sekali bukan penyelamat nyawa paman semua. Nah, untuk segala sesuatunya aku mohon pamit dulu. Masih banyak yang harus kukerjakan." kata Bayu sambil menjura hormat.

Pendekar Pulau Neraka cepat berkelebat dari tempat itu sambil menggunakan ilmu lari cepatnya. Hingga dalam sekejap tubuhnya telah lenyap dari pandangan mereka. Ketiganya menggelengkan kepala dengan wajah takjub!


SELESAI

Episode Selanjutnya WARISAN KITAB PUSAKA

Hantu Rimba Larangan

Cerita Silat Serial pendekar pulau neraka
Episode Hantu Rimba Larangan

Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



cersil Pendekar pulau neraka episode hantu rimba larangan



SATU

Bocah berusia sekitar tujuh tahun itu berkali- kali dihardik oleh bapaknya. Wajahnya terlihat kecut dan air matanya seperti hendak merembang di kelopak mata. Namun dikuatkan juga hatinya. Dan dengan ketakutan dia kembali memasang kuda-kuda.

"Duk!"

"Anak goblok! Tolol! Bagaimana mungkin kamu bisa menjadi orang hebat kalau kuda-kudamu saja, tak kokoh!" bentak bapaknya sambil menendang lutut bagian belakang si bocah.

Anak kecil itu kembali terjerembab di tanah keras. Keningnya berdarah. Dan kali ini dia tak kuat lagi menahan rasa sakit. Air matanya meleleh ketika dia bangkit tertatih-tatih sambil memandangi laki-laki berkumis melintang yang melotot garang.

"Ayo cepat! Atau kutendang lagi pantatmu!

"Tapi ayah... seluruh tubuhku sakit sekali...."

"Laki-laki apa kau ini?! Baru terkena hajar begitu sudah lembek! Cepat pasang kembali kuda-kudamu dan ulangi kembali gerakan yang tadi kuajarkan!"

"Hup!"

Bocah itu mengulangi gerakan-gerakan dasar ilmu silat yang tadi diajarkan bapaknya. Sebisa mungkin dihemposnya seluruh tenaga agar terlihat mantap.

"Yang benar kau Jliteng! Atau kuhajar kau!" hardik laki-laki berkumis melintang itu dengan wajah garang melihat gerakan yang dilakukan anaknya terlihat lemah dan tak bertenaga.
Baru saja selesai kata-katanya, kaki kanannya telah melayang menghantam punggung bocah yang bernama Jliteng. Si bocah berusaha membungkukkan tubuh seperti pelajaran yang diingatnya. Kemudian menggeser tubuh dan berbalik cepat menghantam paha lawan dengan satu tendangan keras. Namun jangankan berbuat begitu. Untuk membungkukkan badan saja dia tak sempat. Tendangan bapaknya sangat cepat dirasakan. Walau terlihat asal-asalan namun karena keadaan tubuhnya yang letih, Jliteng tersungkur dan kembali mencium tanah. Kali ini dia mengaduh kesakitan sambil menggelepar.

"Bangun!"

Jliteng seperti tak mendengarkan bentakan itu. Biasanya walau sakit bagaimana pun akan ditahannya, dan dengan wajah ketakutan dia akan berusaha cepat bangkit. Tapi tendangan itu ternyata betul-betul tak tertahankan lagi sakitnya. Bocah kecil yang bernama Jliteng cuma terisak sambil merintih kesakitan memegangi punggungnya yang memar.

"Dari pada menjadi laki-laki tak berguna, mendingan sekalian saja kau mampus!" sentak laki-laki itu bertambah geram lalu mencengkram kerah baju anaknya.

Si bocah diangkatnya tinggi-tinggi dan akan dibantingnya ke tanah. Namun pada saat yang bersamaan menjerit satu suara yang membuat laki-laki itu mengurungkan niatnya sesaat. Dari dalam rumah keluar seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun sambil mengacungkan pedang ke arah laki-laki itu.

"Kakang Patisena, kalau kau tak suka mengajari Jliteng ilmu silat, ya sudah! Aku tak akan memaksa. Tapi kalau kau bermaksud menyiksa anakku, langkahi dulu mayatku!"

Seperti sadar akan kelakuannya yang keterlaluan, laki-laki itu melepaskan anaknya sambil menggelengkan kepala dengan wajah lesu. Jliteng sendiri begitu bebas dari cengkraman Bapaknya langsung menghambur ke pelukan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.

"Maaf Andini... aku tak bermaksud begitu..." ujar Patisena dengan suara lemah.

"Cukup Kakang Patisena! Selama seminggu ini kulihat kau bukan mengajari Jliteng ilmu silat, tapi kau malah menyiksanya! Aku sadar bahwa dia bukan anak kandungmu sehingga mana mungkin kau mau mengajarkan dia dengan baik!"

"Andini, jangan berkata begitu! Aku hanya ingin mengajarkan padanya bahwa hidup ini keras. Sebagai laki-laki dia harus menyadari hal itu!"

"Menyadari apa? Menyadari untuk kau siksa setiap hari? Tidak bisakah kau sedikit bersikap lunak padanya? Apakah begitu caranya kau mendidik anak laki-laki agar menjadi keras dengan cara menyiksanya habis-habisan?! Katakan Kakang Patisena, bahwa kau tak sayang padanya. Dalam hatimu hanya ada kebencian karena wajah Jliteng mirip dengan almarhum ayahnya sehingga membuat batinmu panas setiap kali melihatnya!" sentak wanita itu dengan suara berapi-api penuh kemarahan.

Patisena terkejut mendengar tuduhan itu. Benarkah apa yang dikatakan Andini? Wajah Jliteng memang mirip dengan Bomantara, ayah kandung Jliteng. Dulu ketika masih muda mereka sahabat karib. Sampai kemudian tanpa disadari keduanya menaruh hati pada seorang gadis yang merupakan kembang paling harum di desa mereka, yaitu Andini. Namun karena Bomantara berparas lebih tampan dan halus budi bahasanya, Andini lebih tertarik padanya. Patisena waktu itu memang sakit hati.

Cintanya pada Andini begitu mendalam. Dan melihat Bomantara berhasil mempersunting Andini, timbul dendam dan kebencian di hatinya. Semua penduduk desa mengetahui hal itu. Tingkahnya sering ugal-ugalan dan brangasan. Namun sampai sejauh itu dia masih bersikap ksatria dan tak mau mengganggu rumah tangga sahabatnya. Patisena mengalah dan pergi meninggalkan desanya untuk mengembara.

Beberapa tahun kemudian dia kembali dan mendapati Andini telah menjanda dan mempunyai seorang anak. Walaupun demikian hasrat hatinya tetap menggebu untuk menyunting Andini, dan ketika hal itu diutarakan, ternyata dia tak bertepuk sebelah tangan. Andini menyambut baik dengan satu persyaratan bahwa Patisena harus menganggap Jliteng, anak hasil perkawinannya dengan Bomantara, sebagai anaknya sendiri.

"Andini... sudahlah. Jangan bawa-bawa persoalan ini di depan anak-anak. Aku memang salah. Maafkanlah..." kata Patisena pelan.

Mendengar kata-kata Patisena semakin melunak, luluh juga hati wanita itu. Pedang ditangannya ditarik kembali. Diusap-usapnya kepala Jliteng dengan penuh kasih sayang.

"Sejak ayahnya meninggal dia tak punya siapa-siapa lagi selain diriku. Bersamamu penuh harapanku agar anak ini mendapat kebahagiaannya kembali. Mungkin aku salah terlalu berharap banyak agar kau pun sayang padanya..." ujar Andini pelan.

"Aku sayang padanya...."

Andini terdiam mendengar kata-kata Patisena. Diliriknya Patisena sekilas. Kemudian melangkah mendekati sambil merangkul mereka berdua.

"Aku sayang pada kalian..." desah Patisena kembali.

Diraihnya pedang yang masih dalam genggaman isterinya, dan dibimbingnya mereka ke dalam bersama-sama. Patisena menggendong Jliteng sambil mengusap-usap kepala anak itu.



***


Siang yang terik itu perlahan-lahan memudar ketika sekumpulan awan kelabu berarak di angkasa. Patisena duduk beralaskan tikar di ruang depan rumah mereka. Sesekali bola matanya melirik ke kamar. Terlihat Jliteng tertidur pulas setelah tubuhnya diurut dan dibaluri obat. Dia beranjak ke ruang tengah ketika melihat isterinya baru saja selesai menyusui putri bungsu mereka yang baru berusia kurang dari dua tahun, buah perkawinan mereka berdua. Bocah mungil itu tertidur dan bibirnya menyungging senyum menggemaskan. Patisena meliriknya sekilas, kemudian sambil menghela nafas panjang kembali dia mondar-mandir di ruang depan.

Andini beranjak mendekatinya setelah menidurkan anak bungsunya di kamar. Dengan penuh kelembutan diusapnya punggung suaminya sambil menyandarkan wajahnya. Patisena seperti tak bereaksi. Pandangannya lurus ke depan menatap pekarangan yang ditumbuhi pepohonan. Wanita itu merasa heran dan menghela nafas pendek.

"Kakang marah atas kata-kataku tadi...?" tanya Andini pelan.

Patisena memandang wajah isterinya sekilas. Kemudian dia menggelengkan kepala sambil duduk di atas balai-balai. Andini pun ikut duduk di sampingnya.

"Tidak."

"Kelihatannya Kakang gelisah terus sejak tadi?"

Patisena diam tak menjawab.

"Katakanlah, Kakang Patisena, apakah kakang marah? Aku sudah memaafkan perbuatanmu tadi pagi, asal kakang berjanji tidak mengulanginya lagi. Bagaimanapun juga aku masih tetap berharap agar Kakang bisa menerima Jliteng sebagai anak kandung sendiri. Bukankah Kakang telah berjanji demikian ketika mengawiniku dulu?"

"Andini, aku sudah menganggap Jliteng sebagai anak kandungku sendiri...."

"Jadi apa lagi yang merisaukan pikiran Kakang?"

"Entahlah, aku pun tak tahu. Tadi malam aku mimpi buruk dan sangat mengganggu sekali. Mimpi yang sama seperti kenyataan yang bakal terjadi. Berturut-turut dalam seminggu ini..."

"Mimpi? Mimpi apa, Kakang? Kenapa kau tak pernah menceritakannya padaku?" tanya Andini terkejut.

Patisena melirik isterinya, kemudian memandangnya tajam-tajam.

"Kau ingat kematian Bomantara?" tanya Patisena pelan.

"Tentu saja aku ingat. Saat itu dia disuruh guru kita dalam suatu tugas bersama dua orang kawannya yang lain. Mereka tewas dibunuh, menurut keterangan orang-orang yang mengantarkan mayatnya. Tapi apa hubungannya dengan mimpimu?"

Patisena menghela nafas. Terasa berat dan sesak.

"Bukankah sampai saat ini kau, aku, bahkan almarhum guru kita tak tahu sebab kematiannya dan dia tewas oleh siapa?"

"Kami menduga bahwa Kakang Bomantara dibunuh oleh musuh-musuhnya...."

"Tidak mungkin, Andini. Di luaran sana Bomantara tidak mempunyai musuh. Kalaupun ada yang mendendam dan benci kepadanya, orang itu adalah aku. Tapi aku bersumpah tidak membunuhnya. Walaupun dia yang mendapatkanmu, aku tak sepicik dan serendah itu untuk membunuhnya!"

"Aku percaya, Kakang Patisena. Tapi ceritamu semakin membuatku bingung...."

"Tahukah kau, Andini kira-kira siapa orang yang membenci kita dan kawan-kawan sepermainan kita dulu semasa kita masih remaja? Maksudku, adakah orang yang pernah kau ingat di desa kita ini dulu? Orang yang sangat aneh dan sering diejek oleh kawan-kawan kita yang lain?"

Andini mengingat-ingat sesuatu sampai keningnya berkerut. Tiba-tiba dia tersentak kaget.

"Astaga! Apakah yang kau maksud anak yang tinggal di tepi hutan itu?!"

Patisena mengangguk.

"Ya, pemuda yang memiliki keanehan seperti tak masuk akal. Dia memiliki dua buah kepala dan dua pasang tangan. Dulu kita sering mengejeknya sebagai anak setan, anak haram, dan anak pembawa malapetaka. Bahkan hampir semua pemuda di desa ini yang sebaya dengan kita memperlakukannya dengan kejam. Termasuk juga aku. Gadis-gadis berpaling dan membuang ludah di depan matanya ketika dia memandang kalian. Kau pun berbuat seperti itu padanya. Bahkan aku ingat, kaulah yang paling jijik bila dia memandangmu sering-sering," ujar Patisena.

Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk Andini merinding mengingat kejadian itu. Pemuda itu entah datang dari mana, tapi dia diasuh oleh perempuan tua yang hidup sendiri di dekat hutan pinggiran desa mereka. Pada waktu-waktu tertentu dia sering berjalan di desa, sepertinya ingin bergaul dengan mereka semua. Patisena dan Bomantara paling suka mengejek dan menyiksa pemuda itu. Lebih-lebih lagi mereka berdua memang murid terpandai Ki Sena Manggala, orang tua yang menjadi guru hampir semua muda-mudi di desa ini.

Kasihan pemuda aneh itu. Dia cuma mengeluh dan berteriak kesakitan kalau kedua pemuda itu telah memukulinya. Dari sorot matanya terlihat api dendam dan kebencian. Dan kalau sudah begitu maka pemuda-pemuda yang lainnya bertambah senang memukulinya. Sampai ibu dari pemuda aneh itu datang dan menghardik pemuda-pemuda yang memukul anaknya.
Kemudian dengan penuh kasih sayang dituntunnya anaknya pulang sambil berkeluh kesah.

Tapi pemuda aneh itu sepertinya tak pernah merasa kapok. Beberapa hari kemudian dia datang lagi. Bahkan dia berani mengintip gadis-gadis yang sedang mencuci dan mandi di pancuran. Dan, bila pemuda-pemuda di desa itu mengetahuinya, maka tak ampun lagi mereka langsung memukulinya sampai babak belur. Tapi ketika ibunya meninggal, pemuda aneh itu pun tak pernah terlihat lagi. Dia hilang bagai ditelan bumi.

"Apakah... apakah mimpimu berkaitan dengan pemuda itu...?" tanya Andini ragu. Patisena mengangguk pasti.

"Itulah yang merisaukanku. Beberapa hari ini mimpi itu semakin terbayang nyata. Dia datang sambil tersenyum dan menjinjing kepala Bomantara yang ditujukannya padaku...."

"Apa?!" pekik Andini kaget sambil memandang wajah suaminya tajam.

"Maaf Andini, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu. Itulah yang membuatku melatih Jliteng dengan keras. Agar dia mampu melindungi dirinya dari lawan kelak."

Andini terdiam beberapa saat. Bola matanya menerawang ke mana-mana dengan wajah gelisah.

"Hei!"

Sebuah bayangan melintas di halaman depan. Andini cepat bergerak menyambar pedang yang tergantung di dinding.


***


Ada apa?" tanya Patisena cemas.

"Bersiaplah, Kakang...!" bisik Andini lirih sambil melangkah pelan ke depan. Patisena mengikuti dari belakang dengan pedang ditangan.

"Aaaa...!"

Suami istri itu saling pandang ketika mendengar jerit tertahan dari arah kamar.

"Anakku!" pekik Andini sambil melompat ke kamar.

Patisena sigap menghadapi segala kemungkinan. Tapi belum lagi mereka tiba, dari dalam kamar melesat dua sosok tubuh kecil dan persis jatuh di kaki mereka.

"Anakku!" jerit Andini dengan tubuh terguncang. Wajah wanita itu pucat pasi begitu melihat Jliteng dan putri bungsunya yang baru berusia setahun lebih, tewas dengan kepala remuk. Dipeluknya kedua tubuh yang sudah tak bernyawa itu dengan kesedihan yang mendalam.

"Anjing biadab! Siapa yang melakukan ini?!" bentak Patisena langsung menerjang ke dalam kamar dengan pedang terhunus.

Namun dengan tiba-tiba satu bayangan melesat memapaki. Patisena membabatkan pedangnya dengan cepat.

"Tak!"
"Begkh!"
"Akh!"

Patisena terkejut. Gerakan lawan sangat cepat. Bukan saja dia tak berhasil mengirimkan serangan maut, tapi dengan tiba-tiba tangannya seperti dihantam besi keras dan membuat pedangnya terlepas. Belum sempat mengetahui apa yang terjadi tiba-tiba dadanya dihantam oleh suatu benda yang amat keras dan membuat tubuhnya terlempar menghantam dinding kamar hingga jebol. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah segar.

"Si... siapa kau?! Hah? Ka... kau...?"

Sosok tubuh berdiri di hadapannya. Pandangan mata Patisena agak gelap. Namun ketika dia menegaskan, bukan main terkejutnya laki-laki itu. Sosok tubuh yang berdiri di hadapannya inilah yang selalu menghantui mimpinya. Pemuda aneh berkepala dua dan bertangan empat.

"Dolu Lungkat?!" pekik Andini halus ketika mengetahui siapa bayangan itu sebenarnya.

Seperti Patisena, dia pun tersentak kaget, dan tanpa sadar menyebut nama pemuda aneh itu. Melihat namanya disebut, pemuda aneh itu menoleh. Kali ini Andini dapat melihat dengan jelas keadaan tubuhnya yang ganjil. Kepalanya bulat lonjong dan ada dua buah. Yang satu agak lebih besar, namun wajahnya serupa betul. Hitam legam dengan sorot mata yang tajam menakutkan seperti rajawali hendak menerkam mangsa. Satu tangan kanannya menuding, dan satu tangan kiri bertolak pinggang, sedangkan dua lengan yang lainnya diam tak bergerak.

"Hmmm... kalian masih mengenaliku rupanya. Bagus! Hari ini adalah hari pembalasan untuk manusia-manusia terhormat seperti kalian. Kau akan mampus seperti Bomantara, dan suamimu sekarang dalam keadaan sekarat. Sebentar lagi dia pun akan menyusul kawannya.

Tapi kau! Sebelum kau mati, ada hadiah dariku yang akan kau bawa ke akherat!" suara pemuda aneh itu serak dan berat.

"Ja... jadi kau pembunuh suamiku Bomantara yang..."

Belum lagi habis kata-kata Andini, pemuda aneh itu bergerak cepat dengan sebelah tangan melambai ke arahnya. Andini mencoba menangkis. Tanpa mengelak pemuda aneh itu menangkap pergelangan tangan Andini. Entah bagaimana tiba-tiba gadis itu telah berada dalam pelukannya. Dan tangan-tangan yang lain bergerak merobek baju yang dikenakan wanita itu.

"Keparat! Apa maksudmu?! Lepaskan aku! Lepaskan...!" teriak Andini berusaha berontak.

Percuma saja Andini berontak, karena kedua tangan pemuda aneh itu mendekapnya erat sekali. Kemudian dengan tiba-tiba tubuh Andini direbahkannya ke lantai dan dengan beringas dia melampiaskan nafsu setannya pada wanita itu. Andini berusaha berontak tapi sia-sia saja. Tubuhnya terasa lemah tak berdaya, dan kerongkongannya seperti tersumbat ketika beberapa bagian tubuhnya ditotok pemuda aneh itu.

Sementara dengan sisa tenaganya Patisena berusaha bangkit untuk menolong isterinya. Kemarahannya begitu memuncak sampai urat-urat di pelipisnya menegang. Tapi dia tak sampai melangkah ketika dadanya terasa nyeri bukan kepalang. Tubuhnya kembali tersungkur persis di dekat isterinya yang tak berdaya digumuli pemuda bertubuh aneh itu.

"Ke... keparat...!" makinya geram ketika pemuda aneh itu selesai melampiaskan perbuatan bejatnya.

"Itulah hadiah dariku atas apa yang kau berikan padaku dulu. Penghinaan dan pandangan menjijikkan! Nah, sekarang pergilah kalian ke akherat!"

"Crab!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Dengan tiba-tiba tangan pemuda aneh itu mencengkram dada kiri Andini. Gadis itu memekik kesakitan ketika jantungnya dikorek keluar. Pada saat yang bersamaan tubuh Patisena kembali menghantam dinding ketika satu tendangan menerpanya. Suami isteri itu tewas seketika, dengan tubuh penuh luka yang mengerikan. Pemuda bertubuh aneh itu meninggalkannya sambil mengeluarkan tawa yang menyeramkan.


***


DUA

Matahari belum lagi terbenam ketika hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Tanah-tanah yang tadinya kering kini mulai lembab dan sebentar lagi becek. Pohon-pohon tampak bergoyang-goyang ditiup angin sambil melambai-lambaikan rantingnya yang berdaun lebat. Seperti merayakan hari kegembiraan atas turunnya hujan yang memberikan kehidupan bagi mereka. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau. Dia dan seekor monyet kecil di pundaknya berlari-lari kecil sambil mendesah kesal mencari perlindungan.

"Hmmm... untung ada tebing yang bentuknya seperti ini," kata pemuda berbaju kulit harimau menghela nafas lega.

"Nguk!"

"Yaah... lebih baik sedikit basah dari pada mandi hujan dan kedinginan," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata adalah Bayu Hanggara atau lebih dikenal dengan Pendekar Pulau Neraka.

Mereka berdua berteduh pada sebuah batu yang menempel di sisi sebuah tebing. Batu itu agak menjorok ke dalam kira-kira lima jengkal. Sehingga merupakan tempat berteduh yang amah dari siraman air hujan.

"Nguk!"

Monyet kecil berbulu hitam menyeringai lebar sambil menepuk-nepuk perutnya. Bayu terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Wajahnya terlihat kesal sekali.

"Ah, hujan sial! Datang tiba-tiba mengejutkan orang saja. Padahal kita sedang enak-enak bersantap. Kau lihat Tiren! Aku cuma sempat membawa sekerat daging kijang ini. Padahal yang tertinggal masih cukup untuk dua hari lagi."

"Nguk...!"

Tiren mencericit sambil sesekali menunjukkan wajah tak senang dengan kata-kata yang diucapkan Bayu.

"Kenapa? Kau tak suka aku berkata begitu? Jelas, karena daging itu bukan jatahmu. Paling buah-buahan yang kau petik tertinggal dan gampang mencarinya lagi. Tapi daging kijang? Sulit diperoleh!"

"Kaaaakh!"
"Lho, kenapa?"
"Nguk! Nguk!"

Tiren menyeringai garang sambil menunjukkan tangannya ke atas.

"O... kau mau disambar petir?" tanya Bayu sambil terkekeh menggoda sahabatnya.

"Kaaaakh...?" Tiren terlihat semakin kesal dengan jeritan kerasnya itu.

"Iya, iya... aku mengerti maksudmu. Kita harus berterima kasih atas turunnya hujan, sebab ini anugerah Yang Maha Kuasa. Begitu?"

Tiren tersenyum lebar sambil menepuk-nepukkan tangan di atas kepalanya.

"Tapi bukan berarti kita tak boleh kesal. Itu bukan berarti kita tidak mensyukuri, tapi... ya, pokoknya kesal saja! Orang lagi enak-enaknya bersantap tiba-tiba turun hujan. Huh, mana perut sedang lapar!" gerutu Bayu kembali.

Pemuda itu memang sengaja berkata begitu agar sahabatnya jengkel. Dan benar saja. Binatang cerdas itu betul-betul seperti mengerti ucapan manusia. Khususnya apa yang diucapkan oleh Bayu. Kembali dia mencericit dengan suara ribut sambil memperlihatkan wajah garang.

"Ha ha ha ha...! Nah, begitu lebih bagus, Tiren. Paling tidak saat hujan begini ada yang dijadikan hiburan. Daripada kesal memikirkan perut lapar."

"Nguk!"

"Lho, kok berhenti? Ayo, menjeritlah yang keras!"

Monyet kecil berbulu hitam itu malah membuang muka dan bungkam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bayu semakin geli saja melihat tingkahnya. Kilat menyambar-nyambar di angkasa. Cuaca yang tadinya gelap tiba-tiba menjadi terang sesaat. Pandangan Bayu yang tajam melihat sesuatu pada jarak sepuluh tombak di depannya.

"Hei?!"

Tubuhnya melesat cepat menembus derasnya air hujan. Tiren terpaksa mengikuti dari belakang. Apa yang dilihat Bayu ternyata seorang bocah perempuan berusia enam tahun yang sedang menekuri dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat. Bajunya kuyup oleh air hujan. Wajahnya menekur sambil memandangi kedua mayat itu tak berkedip. Bibirnya yang mungil mulai membiru ketika tubuhnya bergetar hebat karena kedinginan. Tapi semuanya seperti tak dirasakan. Betul-betul bocah yang keras hati.

"Siapa namamu, Nak? Mengapa kau berada di sini?" tanya Bayu ramah sambil menepuk pundaknya. Bocah kecil itu menoleh, dan terlihat wajahnya yang pucat menampakkan ketakutannya yang hebat. Buru-buru dia bangkit dan bermaksud kabur dari tempatnya itu.

"Hei! Jangan takut. Aku tak bermaksud melukaimu!" teriak Bayu sambil mencekal pergelangan tangan bocah itu.

"Ampun...! Ampuuun...! Jangan bunuh aku. ayah... ibu... tolong! Jangan bunuh aku...!" teriaknya semakin panik.

Bayu berusaha menenangkannya. Tapi bukannya diam, bocah itu semakin keras berontak dan berteriak-teriak ketakutan.

"Nguk! Nguk!"
"Ohhh...."

Melihat seekor monyet kecil yang memandangnya sambil mengulurkan tangan, bocah kecil itu seketika tertegun. Tapi tak lama kemudian dia kembali berusaha berontak untuk melepaskan diri dari cekalan Bayu.

"Adik manis, diamlah. Aku tak bermaksud jahat padamu. Demikian pula Tiren. Kami ingin berkawan denganmu...."

Bocah itu seperti tak perduli dengan kata-kata Bayu. Dia terus menjerit-jerit ketakutan. Bayu hilang kesabarannya melihat keadaan itu.

"Diam!" bentaknya keras.

Bocah perempuan itu tersentak kaget. Wajah pias seperti mayat. Bibirnya bergetar hebat. Bukan saja oleh rasa dingin yang menyengat, tapi juga oleh rasa takut yang memuncak di hatinya. Suaranya seperti tersangkut di kerongkongan. Dipandanginya wajah pemuda berambut gondrong dengan mimik seperti orang melihat sesuatu yang mengerikan yang akan mengancam jiwanya.

"Nah, begitu lebih baik dari pada kau terus berteriak-teriak seperti orang gila..." lanjut Bayu dengan suara ramah.

"Nguk!"

"Namaku Bayu, dan ini sahabatku, Tiren. Kami tidak jahat karena ingin berkawan denganmu. Kau tentu mau menerima kami sebagai kawanmu, bukan?"

Bocah itu masih diam tak menyahut. Ketakutannya seperti tak hilang sedikit pun di wajahnya. Bayu menggelengkan kepala sambil menghela nafas panjang. Tubuh mereka telah kuyup oleh air hujan, dan ketika sekali lagi berusaha ramah, bocah itu tetap tak memberikan reaksi. Dia melirik sekilas pada dua sosok mayat yang tergeletak di depannya.

"Apakah mereka ini ayahmu? Pamanmu? Atau saudaramu...?" tanya Bayu lirih.

Bocah perempuan itu cuma melirik sekilas tanpa menyahut sepatah kata pun.

"Hmmm... sungguh kejam orang yang telah membunuh mereka. Awas! Kalau sampai bertemu denganku dia tak akan lolos. Akan kupatahkan lehernya!" geram Bayu.

Bocah itu melirik lagi ke arah Bayu. Kali ini ketakutannya sedikit mereda. Entah oleh kata-kata Bayu atau hatinya mulai percaya bahwa pemuda di depannya bukanlah orang jahat.

"Betulkan Tiren? Akan kita patahkan leher orang yang telah berbuat kejam itu!"

"Nguk!"


***


"Wa... wajahnya seram...."
"Hei! Apa katamu?"

Bocah perempuan itu memandang ragu pada pemuda berbaju kulit harimau.

"Jangan takut. Kami adalah kawanmu. Kita akan balas perbuatan orang yang telah membuat paman-pamanmu ini mati. Orang itu harus mendapat hukuman yang berat."

"Be... betulkah?"

"Tentu saja! Orang itu pasti jahat, dan orang jahat harus dihukum."

"Tapi orang itu berilmu tinggi. Kedua pamanku tak mampu melawannya."

"Hmmm... jadi mereka ini adalah pamanmu? Siapa yang telah membunuh mereka?"

"Seorang berwajah seram. Kepalanya ada dua dan tangannya empat."

"Apa?!" Bayu terkejut mendengar keterangan bocah itu.

"Betul, Paman. Aku melihat sendiri dari balik semak-semak. Ketika itu aku bermaksud pipis, dan berada agak jauh dari kedua paman. Tiba-tiba orang itu muncul. Mereka berkelahi, tapi dia dengan mudah membunuh paman-pamanku. Aku tak berani keluar karena takut. Jadi hanya bersembunyi di balik semak-semak saja...."

Bayu tertegun mendengar cerita bocah perempuan itu. Tidak salahkah kata-katanya? Seorang tokoh berkepala dua dan bertangan empat? Apa bukan karena rasa ketakutannya saja?

"Apakah paman tak percaya ceritaku?"

"Ehh... percaya. Tentu saja paman percaya pada ceritamu. Nah, kalau mereka paman-pamanmu, tentu kau punya orang tua bukan? Di mana mereka berada, biar aku antar kau pulang."

"Aku tak tahu jalan pulang, Paman..." sahut bocah perempuan itu lesu.

"Hmmm... apakah kau tak tahu nama desamu?"

"Kalau itu aku ingat. Desa Kedungbala."

"Kalau begitu biar kita kubur mayat pamanmu ini, dan setelah itu kita akan mencari desa tempat asalmu," sahut Bayu.

Setelah mengubur kedua mayat itu, mereka langsung meninggalkan tempat tersebut. Tiren berada di pundaknya, dan bocah perempuan itu digendongnya di belakang ketika Bayu mengerahkan ilmu lari cepatnya.

"Takut?" tanya Bayu diantara desir angin yang membuat bocah itu sulit untuk melihat ke depan.

"Ti... tidak."

"Ha ha ha ha.... Sebentar lagi tentu kau akan terbiasa. Oh, aku lupa siapa namamu?"

"Ambar, Paman."

"Ambar? Hmm... nama yang bagus dan cantik seperti orangnya," puji Pendekar Pulau Neraka.

"Paman dari desa mana?" tanya bocah bernama Ambar mulai berani.

"Paman berasal dari jauh. Di sebuah pulau dekat Pantai Selatan"

"Apakah paman masih punya orangtua?"

"Orangtua paman sudah meninggal sewaktu paman masih kecil."

"Paman tentu sedih, bukan?"

Bayu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Sepanjang perjalanan mereka, bocah perempuan itu mulai banyak bertanya dan terlihat sifat aslinya yang polos dan riang sebagaimana layaknya bocah-bocah seumurnya.

Setelah bertanya pada beberapa orang yang mereka temui di tengah perjalanan, mereka tiba di desa yang dituju. Desa itu persis berada di pinggiran sebuah hutan dekat kaki gunung. Tapi bukan satu-satunya desa yang terdapat di situ. Ada dua desa lagi yang agak berdekatan jaraknya.

Hari telah malam ketika mereka sampai di Desa Kedungbala. Suasananya tampak sepi. Tapi Ambar terus menghambur sambil berlari kecil menuju rumahnya.

"Ayaaah.... Ibuuu...!"

Bayu mengikuti dari belakang. Tak berapa lama pintu depan rumah yang dituju bocah itu terkuak. Sepasang suami istri berusia setengah baya menyambutnya dengan suka cita. Mereka berpelukan sesaat menumpahkan kerinduan. Namun ketika Ambar mulai menceritakan kejadian yang dialaminya, kedua orang tuanya terperanjat kaget.

"Untung ada Paman Bayu yang mengantarkan Ambar pulang. Kalau tidak tentu Ambar akan kesasar dan tak akan menemukan jalan pulang ke sini," celoteh bocah itu dengan mulut bijak.

Dengan sifat kekanak-kanakkannya yang polos, Ambar menarik tangan Bayu dan memperkenalkannya pada kedua orang tuanya.

"Terima kasih atas pertolongan Kisanak pada anak kami� kata ayah Ambar dengan wajah haru.

"Ah, tidak apa. Itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk saling tolong menolong."

"Tampaknya Kisanak telah melakukan perjalanan jauh. Kalau tidak keberatan menginaplah di rumah kami. Apalagi hari telah malam begini...."

"Terima kasih kalau tidak merepotkan...."

Bayu mengikuti mereka beranjak ke dalam. Keluarga ini bukan termasuk orang berada, tapi mereka menyambutnya berlebihan sekali. Segala hidangan dikeluarkan ketika mereka makan bersama. Seorang gadis manis berusia sekitar lima belas tahun melayaninya dengan cekatan.

"Ini adik istri saya. Namanya Puji Lestari," kata Ayahnya Ambar tanpa diminta.

Bayu menganggukkan kepala. Ketika diliriknya, gadis itu sedang melirik pula ke arahnya. Tapi buru-buru dia menundukkan kepala sambil menuangkan air minum pada cangkir pemuda berambut gondrong berwajah tampan itu. Setelah selesai makan, mereka berkumpul di ruang tengah dan saling bercerita. Tapi malam ini suasananya lain. Berita yang dibawa Ambar sungguh mengejutkan hati dan membuat laki-laki bertubuh kurus yang tak lain dari ayahnya Ambar, lebih banyak berdiam diri.

"Maaf, Kisanak. Desa ini terlihat begitu sepi, melihat dari jumlah rumah yang ada mestinya merupakan desa yang cukup ramai," tanya Bayu sekedar membuka pembicaraan.

"Tadinya memang cukup ramai. Tapi dalam dua hari ini telah banyak orang yang mengungsi...."

"Mengungsi? Kenapa?

Laki-laki kurus itu tersenyum getir.

"Desa kami ini tampaknya sudah tak aman lagi dihuni...."

"Kenapa begitu, Ki sanak?"

"Seorang berkepandaian tinggi telah menjatuhkan hukuman mati bagi seluruh penduduk desa!"

"Heh? Sungguh aneh. Siapa orang itu dan apa haknya menghukum mati semua orang yang belum tentu bersalah?"

"Ceritanya panjang Ki sanak...."

"Kalau Kisanak mau menceritakannya, tentu aku akan suka mendengarkannya sampai selesai...."

"Ayah, ceritakanlah. Paman Bayu akan menolong kita semua. Paman Bayu hebat. Dia bisa berlari lebih cepat dari kuda!" celetuk Ambar bersemangat.

Laki-laki bertubuh kurus itu menarik nafas panjang sesaat sebelum menceritakan peristiwa yang terjadi di desa mereka dalam waktu seminggu belakangan.

"Ooh... benarkah itu?!" tanya Bayu seperti tak percaya.

Wajah pemuda itu tampak kaget. Apa yang diceritakan laki-laki ini sama dengan apa yang dilihat Ambar tentang pembunuh kedua pamannya.

"Betul Ki sanak. Orang itu memang berkepala dua dan bertangan empat. Dulu dia penduduk desa ini, tapi karena semua penduduk desa tak menyukainya, dia dikucilkan. Bahkan beberapa pemuda sebayanya sering memperlakukannya dengan kejam. Mungkin dia dendam dan ingin menuntut balas!"


***


Bayu mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah takjub. Sulit dipercaya ada orang seaneh itu. Tapi laki-laki bertubuh kurus bercerita dengan cara yang meyakinkan. Hingga mau tak mau timbul juga rasa percayanya walau belum sepenuh hati. Tapi apa urusannya menjatuhkan hukuman mati bagi seluruh penduduk desa ini?

"Tidak ada yang berusaha melawan? Atau barangkali mereka hendak menyelamatkan diri? Atau juga mendatangkan bala bantuan dari luar?" tanya Bayu hati-hati.

"Tiada seorang pun yang mampu melawannya. Beberapa orang telah mencoba, tapi mereka tewas dengan mudah. Ada penduduk yang mencoba mengungsi, tapi mereka tak ada yang selamat karena telah tewas sebelum keluar dari desa ini. Kami pun telah mencoba mendatangkan bantuan seperti yang kau lihat. Kusuruh adikku untuk pergi mencari saudaraku yang paling tua di desa lain. Beruntung dia dapat selamat keluar dari desa, bahkan membawa Ambar yang secara diam-diam mengikutinya. Tapi akhirnya jadi begini. Dia pun tewas sebelum kembali ke desa ini. Hhh... entah bagaimana caranya. Kalau saja Ki Sena Manggala masih hidup tentu lain ceritanya..." kata laki-laki itu mengakhiri ceritanya sambil menghela nafas sesak.

"Ki Sena Manggala? Siapa dia?" tanya Bayu ingin tahu.

"Dia seorang pendekar hebat yang kemudian menetap di desa ini. Banyak muda-mudi yang berguru padanya. Termasuk juga Bomantara dan Patisena...."

"Siapa mereka Ki sanak?" tanya Bayu kembali.

"Dua orang murid Ki Sena Manggala yang terpandai. Tapi mereka pun tewas. Bahkan kematian keluarga Patisena terjadi secara mengerikan.

"Dibunuh oleh orang yang sama?"
"Ya...!"

"Hmmm... sungguh kejam sekali orang itu..." gumam Bayu geram.

"Dia sengaja membuat kami ketakutan menunggu giliran, sebelum mati ditangannya satu persatu...."

"Dapatkah Ki sanak menunjukkan padaku di mana orang itu berada?"

"Ki sanak akan mendatanginya?"

Bayu menganggukkan kepala mantap. Laki-laki kurus itu menggelengkan kepala berkali-kali sambil menghela nafas panjang.

"Hei?!"

Bayu tiba-tiba tersentak dan cepat berdiri tegak mengawasi pintu depan dengan pandangan tajam. Selintas terlihat olehnya sebuah bayangan bergerak cepat. Pemuda berbaju kulit harimau bermaksud mengejar keluar, namun dia cepat berpikir jika hal tersebut merupakan suatu pancingan agar bayangan itu bisa leluasa masuk ke dalam.

Pendekar Pulau Neraka menunggu beberapa saat. Belum terdengar tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan pendengarannya yang tajam tak mendengar suara apa pun. Apakah matanya tadi salah melihat? Tak mungkin!

Walau bayang tadi bergerak cepat sekali, tapi penglihatannya tak bisa tertipu. Sekilas diliriknya keluarga itu. Wajahnya pucat dan tegang seperti dicekam ketakutan yang hebat.

"Ki sanak yang berada di luar, silahkan masuk jika bermaksud baik. Keluarga ini tentu akan menyambutmu dengan senang hati!" kata Bayu dengan suara keras.

Belum terdengar ada reaksi. Bayu kembali menunggu beberapa saat lamanya sambil memberi isyarat kepada empat orang itu agar jangan bergerak meninggalkan tempatnya.


***


TIGA

"Hup!"

Tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat ke atas wuwungan menyambut sosok bayangan yang tiba-tiba melesat turun dengan cepat menjebol atap rumah.

"Yeaaa...!"
"Plak!"

Benturan pukulan antara keduanya tak dapat dielakkan lagi. Tubuh Pendekar Pulau Neraka terjajar ketika jatuh ke bawah sambil bersalto dengan ringan. Namun dia cepat bangkit dan mengirim satu serangan kilat.

"Ki sanak, tiarap semua!" teriak Bayu memperingatkan.

Keempat orang itu buru-buru tengkurap di lantai ketika dua sosok tubuh itu kembali bergerak cepat saling berhadapan.

"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Beghk!"
"Akh...!"

Terdengar keluh kesakitan. Sosok bayangan mencelat keluar dan terus berlari kencang. Bayangan kedua menyusulnya dengan gerakan yang tak kalah cepat. Sebentar saja terlihat mereka saling berkejaran di kegelapan malam.

"Kakang, bagaimana keadaan mereka?" tanya wanita setengah baya yang tak lain dari ibunya Ambar pada suaminya ketika mereka bangkit dan melihat keadaan sekeliling.

"Entahlah... aku sendiri tak tahu siapa orang tadi. Barangkali si Dolo Lungkat."
"Kau yakin itu?"

"Aku tak yakin. Tapi siapa lagi yang mampu berbuat begitu selain dari dirinya?

Tapi pemuda itu pun tampaknya bukan orang sembarangan. Hmmm... mudah-mudahan dia mampu mengalahkan orang gila itu."

"Paman Bayu hebat! Dia pasti akan membinasakan orang jahat itu!" sahut Ambar dengan wajah penuh keyakinan.

"Siapa dia sebenarnya, Bar?" tanya bibinya.

"Ambar tidak tahu. Tapi Paman Bayu bilang bahwa dia berasal dari Pantai Selatan. Di mana tempat itu?" tanya Ambar kepada bibinya.

Gadis manis yang bernama Puji Lestari menggelengkan kepala.

"Mana bibi tahu. Sejak kecil sampai sekarang bibi tak pernah kemana-mana...."

"Tempat itu agak jauh dari sini...." kata ayahnya.

"Ayah tahu di mana?! Paman Bayu berasal dari sebuah pulau tak jauh dari Pantai Selatan katanya!" celoteh Ambar bersemangat.

"Apa?! Kau katakan dia berasal dari sebuah pulau di dekat Pantai Selatan?!" tanya ayahnya dengan wajah kaget.

Ambar mengangguk pasti.

"Heh! Cuma ada sebuah pulau yang sangat angker di tempat tersebut. Tak seorang pun yang bisa keluar hidup-hidup dari tempat itu. Jangankan menginjakkan kaki, berada di dekatnya saja orang tidak akan selamat, selain...."

"Selain apa, Kakang?" tanya istrinya sedikit mendesak.

"Ah, rasanya tak mungkin!"

"Tak mungkin kenapa Kakang?" tanya isterinya semakin penasaran.

"Menurut cerita yang kudengar ada seorang pendekar sakti berilmu tinggi yang berasal dari pulau itu. Seperti namanya, dia bergelar Pendekar Pulau Neraka...."

"Pendekar Pulau Neraka? Siapa dia, Kakang?" tanya Puji Lestari heran.

"Dia seorang pendekar hebat yang belakangan ini namanya ramai dibicarakan orang. Aku sendiri belum pernah menyaksikan kehebatannya. Tapi menurut cerita orang, kehebatannya tak pernah diragukan lagi."

"Jadi... jadi, pemuda itukah yang bergelar Pendekar Pulau Neraka, kang?" tanya Puji Lestari dengan wajah kagum.

"Entahlah... aku sendiri belum yakin benar...."

Pada saat yang bersamaan Bayu telah kembali. Wajahnya terlihat lesu, keempat orang itu memperhatikan dengan wajah penuh tanya. Pemuda berbaju kulit harimau, duduk beralaskan tikar pandan di dekat mereka. Dia menarik nafas pelan dan menghembuskannya perlahan-lahan.

"Sayang sekali Ki sanak. Aku tak berhasil menangkapnya. Dia menghilang dikegelapan malam persis di dekat hutan di ujung desa," kata Bayu lirih.

"Apakah Ki sanak mengetahui siapa orang itu?"

"Tak begitu jelas, tapi penglihatanku tak mungkin salah. Orang itu persis seperti apa yang kalian ceritakan...."

"Hmmm.... Dolo Lungkat...."
"Kau tahu juga namanya, Ki?"
"Ya...."
"Tentu tahu juga di mana dia berada?"

"Tidak pasti. Tapi dulu dia tinggal di dekat hutan di ujung desa ini bersama ibunya. Namun setelah orang tuanya meninggal, dia hilang entah ke mana. Sejak saat itu tak seorang pun mengetahui di mana dia berada."

"Hmmm... kalau begitu biar besok aku akan ke sana. Siapa tahu ada petunjuk tempat dia berada saat ini."

"Itu pekerjaan yang berbahaya, Ki sanak...."

"Tidak apa, Ki. Kalau kalian memperkenankan aku bermaksud akan membantu menyelesaikan persoalan ini sebisaku."

"Oh, tentu saja kami akan sangat bergembira sekali. Tapi...."

"Tapi kenapa?"

"Rasanya tak pantas kau berkorban untuk kami. Orang itu hebat dan ilmunya tinggi. Kalau kau tewas dengan sia-sia tentu kami akan sangat merasa bersalah."

"Belum tentu aku tewas di tangannya, Ki. Umur seseorang bukan ditentukan oleh manusia atau makhluk lain, melainkan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Walaupun kepandaianku tak seberapa, tapi kalau Tuhan belum mengijinkan aku mati, maka segalanya akan mudah. Begitu juga sebaliknya. Kalau Tuhan telah menggariskan aku akan mati, maka walau berada di mana pun aku pasti akan tewas," sahut Bayu sambil tersenyum kecil.

"Ya, ya... kau benar, Ki sanak."

"Kalau kalian hendak beristirahat, silahkan. Biarkan aku akan berjaga-jaga di sini...."

"Baiklah. Terima kasih atas segala budi baikmu ini...."

Keempat orang itu segera beranjak ke kamar masing-masing. Bayu duduk bersila sambil melatih pernafasannya di ruang tengah. Telinganya dipertajam untuk mendengar sesuatu yang mungkin mencurigakan. Sementara sepasang matanya terpejam. Dengan kedua tangan bertopang di atas paha, sikap Pendekar Pulau Neraka terlihat khusuk.

Malam semakin merambat, dan suasana masih terlihat sepi. Tapi Bayu tetap tak bergeming di tempatnya. Monyet kecil berbulu hitam yang selalu setia menemaninya, tampak terkantuk-kantuk di atas sebuah kursi.

"Siapa?" tanya Bayu merandek pelan ketika telinganya mendengar suara langkah halus mendekati.

A... aku...."

Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh. Puji Lestari malu-malu melirik ke arahnya.

"Kenapa belum tidur juga?"
"Mataku tak mau terpejam. Aku... aku takut sekali...."
"Hmm... tidurlah. Aku akan tetap berjaga di sini...."
"Kau tidak mengantuk...? Udara terasa dingin sekali. Aku akan buatkan kopi untukmu," kata Puji Lestari.

Bayu tak menjawab ketika Puji Lestari beranjak ke dapur. Tak berapa lama kemudian gadis itu kembali bersama secangkir kopi panas di tangannya.

"Terima kasih. Kau baik sekali...."
"Ah, ini bukan apa-apa...."

"Duduklah," ujar Pendekar Pulau Neraka ketika melihat gadis itu berdiri termangu seperti ragu hendak beranjak ke dalam.
"Tidak mengganggu?"
Bayu tersenyum sambil menggelengkan kepala.


***


Keduanya berdiam diri beberapa lama. Suara jangkrik kembali terdengar seperti bernyanyi, dan tiba-tiba monyet kecil yang tadi tertidur pulas terbangun, kemudian melompat dengan ringan ke pangkuan Pendekar Pulau Neraka. Bayu membelai-belai kepalanya sambil menunjuk ke arah Puji Lestari.

"Tiren, kau belum sempat berkenalan dengan gadis cantik ini, bukan? Nah, ayo ulurkan tanganmu!"

Monyet kecil itu mengulurkan tangannya sambil menyeringai lebar. Puji Lestari menyambutnya sambil tersenyum lucu.

"Monyet ini cerdas sekali. Siapa tadi namanya?
Tiren?"
"Nguk!"

Dengan lincah monyet itu melompat ke pangkuan gadis cantik itu. Puji Lestari terlonjak kaget dengan wajah takut.

"Jangan takut, dia tak akan mencakarmu," kata Bayu sambil terkekeh.
"Nguk!"

Melihat monyet itu terlihat jinak dan ramah, perlahan-lahan rasa takut gadis itu hilang. Bahkan kemudian dia sudah berani membelai-belainya. Tiren terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya seperti hendak tidur.

"Tiren ini monyet laki-laki, jadi kalau dibelai wanita dia keenakan!" goda Bayu.
"Nguk!"

Monyet kecil berbulu hitam menyeringai sambil menepuk-nepuk tangannya di atas kepala. Kemudian terlihat dia memainkan bibirnya seperti mengejek ke arah Bayu.

"Eeee, berani kau mengejek aku, ya?!"

Monyet kecil itu semakin mencibirkan bibirnya saja. Bahkan sesekali mengeluarkan lidah. Puji Lestari terkekeh melihat hal itu.

"Monyet kalau menjulurkan lidah bukan berarti bertambah bagus. Mukamu seperti kunyuk!"

Tiren menghentikan perbuatannya dan memandang Bayu sambil memiringkan kepala. Sebelah tangannya menggaruk-garuk kepala seperti terlihat bingung.

"Ha ha ha ha...! Agaknya dia bingung apa yang kau katakan tadi. Tiren, monyet dan kunyuk itu sama saja. Tak ada bedanya," Jelas Puji Lestari.

Tiren kembali nyengir.

"Eh, siapa bilang tak ada bedanya? Jelas ada. Bahkan banyak sekali bedanya!" tangkis Bayu.

Dilihatnya Tiren bertingkah seperti tadi seperti bingung.

"Monyet itu untuk kera yang baik, cerdas, ganteng, dan berkelakuan baik. Sedangkan kunyuk itu untuk kera yang jahat, goblok, tolol, wajahnya jelek, dan berkelakuan buruk. Nah, kalau kau disebut kunyuk itu penghinaan!"

"Kaaakh...!"

Tiren melompat dari pangkuan Puji Lestari dan kembali ke kursinya sambil mencericit pelan dengan wajah menyeringai.

"Nah, begitu lebih baik. Lebih bagus lagi kalau sekalian tidur. Tidak boleh mengganggu kalau orang sedang ngobrol. Apalagi kalau lagi ngobrol dengan wanita," goda Bayu lagi sambil tersenyum.

Tiren malah memalingkan wajah mendengar itu.

"Wah, dia marah!"
"Tidak. Dia begitu malah ingin bercanda lagi."

"Kalian berdua tampak akrab. Sampai sampai dia mengerti segala ucapanmu. Eh, betul dia mengerti segala yang kau bicarakan?"

"Mungkin juga begitu. Tampaknya kalau aku berbicara apa pun dia bisa menangkapnya. Pada mulanya aku memang agak heran dan takjub. Tapi lama kelamaan timbul rasa kagum kepada pemilik pertama yang membuat Tiren semakin cerdas...."

"Pemilik pertama?"

"Ya. Beliau adalah anak guruku..." sahut Bayu lirih seperti mengandung kesedihan.

Puji Lestari agaknya cepat tanggap melihat perubahan wajah Pendekar Pulau Neraka.

"Maaf, aku tak bermaksud membuatmu bersedih...."
"Tak apa. Hal itu sudah berlangsung lama...." Keduanya kembali terdiam beberapa saat lama-nya.

"Eh... ng... mengenai orang itu apakah kau pun mengetahuinya?" tanya Bayu memecahkan kesunyian diantara mereka.

"Orang yang mana?"
"Yang diceritakan kakangmu tadi?"
"Oo.... Dolo Lungkat? Aku sedikit sekali mengetahuinya. Waktu kejadian itu terjadi aku masih kanak-kanak. Cuma sering kulihat keanehan orang itu. Kasihan dia sering diejek bahkan dipukuli oleh pemuda-pemuda desa ini karena kelainan pada anggota tubuhnya...."

Bayu mengangguk-anggukkan kepala.

"Tapi kini aku tak menyesali kejadian yang diperbuat orang-orang desa ini terhadap dirinya!" dengus gadis itu geram.

"Kenapa?"

"Dia memang bukan manusia, tapi iblis jahat yang berhati kejam seperti binatang. Dia membunuh tak kenal ampun, serta merusak kehormatan wanita-wanita desa ini satu persatu sebelum dibunuhnya!"

"Ini tentu karena dendam. Dia sakit hati pada penduduk desa yang dulu telah menghinanya...."

"Tapi apakah begitu caranya? Kalau dia mau sakit hati, itu wajar. Kalau dia mau membalas dendam, balaslah pada orang-orang yang menyakiti dan menyiksanya dulu. Bukan pada seluruh penduduk desa ini yang tak berdosa apa-apa padanya. Kudengar dulu juga banyak yang kasihan dan memberikan pertolongan padanya. Tidak semua penduduk desa ini memusuhinya!"


***


Bayu membiarkan gadis itu menumpahkan segala kesal di hatinya karena ancaman yang dilakukan orang aneh bernama Dolo Lungkat. Setelah mulai agak tenang, pemuda gondrong berbaju kulit harimau itu berkata pelan.

"Sulit untuk memilih korban ketika dendam telah menyelimuti hatinya. Bagi dia bukan lagi orang yang menjadi ukuran untuk membalas sakit hatinya, melainkan penduduk desa yang dianggap telah menghina dirinya...."

Gadis itu baru saja akan menyahut ketika terdengar bunyi kentongan bertalu-talu yang dipukul seseorang. Bayu cepat bereaksi dengan beranjak ke pintu depan. Dia baru saja akan meninggalkan rumah ketika ingat sesuatu dan menyurutkan langkah.

"Kenapa? Sebaiknya, Kakang melihat. Siapa tahu ada yang membutuhkan pertolonganmu."

"Aku khawatir ini suatu pancingan agar aku keluar dari rumah ini. Kalau dia berani masuk ke dalam rumah, itu berarti keluarga kalianlah yang mendapat giliran menjadi korbannya," sahut Bayu.

Bayu masih belum beranjak. Hatinya betul-betul ragu. Sementara bunyi kentongan semakin keras saja terdengar. Beberapa penghuni desa tampak mulai keluar rumah satu persatu untuk melihat apa yang terjadi. Termasuk juga kedua orang tua Ambar. Mereka tersentak terjaga.

"Ada apa, Ki sanak? Apa yang terjadi?"

"Entahlah. Aku ingin melihatnya tapi khawatir orang itu malah akan ke sini dan melakukan niat jahatnya tadi yang tak kesampaian."

"Kalau begitu pergilah jika ingin melihat. Jangan khawatir, kami bisa menjaga diri. Siapa tahu mereka membutuhkan pertolongan."

Bayu ragu-ragu melangkah.

"Baiklah. Biar Tiren berada di sini. Dia akan menjerit keras kalau sesuatu terjadi pada keluarga ini," sahut Bayu sambil terus melesat meninggalkan tempat itu dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Kentongan tadi telah berhenti. Pada sebuah rumah terdengar jeritan seseorang. Bayu melesat ke tempat itu secepatnya. Seorang wanita tua tampak sedang menangisi beberapa sosok mayat yang bergelimpangan dalam keadaan tanpa sehelai benang melekat ditubuhnya. Pada dadanya yang sebelah kiri tampak berlubang.

Beberapa orang penduduk menyusul ketempat itu dan menghibur wanita tua yang sedang menangisi mayat di depannya. Dan yang lainnya merapihkan mayat-mayat yang bergelimpangan."

"Nek, apakah nenek melihat siapa yang melakukan semua ini?" tanya Bayu pelan.

Si nenek cuma menggelengkan kepala.

"Nenek sedang berada di belakang ketika mendengar jeritan mereka. Tahu-tahu anak dan cucu-cucuku telah mati semua...!"

"Pasti perbuatan si keparat itu!" geram Bayu ketika nenek berusia sekitar delapan puluh tahun itu dipapah beberapa orang untuk menenangkannya. Seorang wanita tua tampak sedang menangisi beberapa sosok mayat yang bergelimpangan dalam keadaan tanpa sehelai benang melekat di tubuhnya. Pada dadanya yang sebelah kiri tampak berlubang. Pemuda berbaju kulit harimau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka buru-buru keluar dan kembali ke rumah Ambar. Tapi di jalan mereka bertemu. Wajah mereka tampak pucat dan bertanya-tanya.

"Ada apa, Ki sanak?" tanya kedua orang tua Ambar.

"Keluarga di seberang sana menjadi korban..." sahut Bayu lesu sambil menunjuk pada rumah yang dimasukinya tadi.

"Astaga! Ki Sugiarta...? Mereka mati?!" Bayu mengangguk lemah.
"Kalau saja aku bisa tiba tepat pada waktunya, paling tidak bisa berbuat sesuatu. Tapi aku berjanji bahwa hal ini tak bisa didiamkan saja. Orang itu harus mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya!" lanjut Bayu sambil menggeram.

"Paman Bayu, orang jahat itu harus mati!" teriak Ambar marah.

"Ya, Ambar. Orang itu harus mendapat hukuman yang setimpal. Sebaiknya kita pulang saja dulu. Hari telah larut malam."

Mereka segera beranjak meninggalkan tempat itu. Dan seperti malam sebelumnya Bayu terus berjaga di ruang tengah. Tapi mereka kepalang dicekam perasaan takut oleh peristiwa itu, hingga sampai pagi tiba tak seorang pun yang bisa memejamkan mata. Bayu sendiri setelah sarapan pagi segera meninggalkan rumah orang tua Ambar, untuk mencari jejak orang yang telah meresahkan penduduk Desa Kedungbala.

"Paman, kembalilah sebelum malam. Aku takut..." ujar Ambar dengan wajah pucat ketika Pendekar Pulau Neraka akan melangkahkan kakinya.

Pemuda berambut gondrong itu menganggukkan kepala, kemudian langsung berkelebat cepat meninggalkan tempat itu menuju pinggiran hutan.


***


EMPAT

Agak jauh dari hutan di sebelah barat Desa Kedungbala terdapat sebuah gunung yang menjulang tinggi. Gunung itu tak persis betul dikelilingi oleh hutan, karena masih terdapat beberapa buah desa di dekatnya. Namun hutan itu terus saling berhubungan dibalik gunung pada sisi yang lain. Dan hutan yang berada dibalik gunung itu jarang ada orang yang berani mendekat. Bukan saja karena pohon-pohonnya yang

lebat dan besar hingga membuatnya sulit ditembus sinar matahari, tapi juga banyak orang yang meyakini bahwa di dalam hutan itu terdapat mahluk yang menyeramkan. Itu terbukti dengan banyaknya tulang-tulang yang berserakan di pinggir hutan. Baik tulang-tulang manusia maupun binatang. Hingga orang-orang menyebutnya sebagai Rimba Larangan. Dan makhluk yang menguasai itu dijuluki sebagai Hantu Rimba Larangan. Di langit awan hitam mulai berarak dan melingkupi suasana di pinggiran hutan.

Cuaca mulai terlihat gelap, padahal senja belum lagi tiba. Beberapa orang tampak tergopoh-gopoh sambil berlari-lari kecil. Sesekali mereka melirik ke belakang dengan wajah cemas seperti dikejar setan. Kemudian setelah merasa bahwa tempat itu cukup aman, mereka berhenti untuk melepaskan lelah.

"Hmm... mudah-mudahan prajurit-prajurit kerajaan tak mengejar kita sampai di sini...." kata seorang sambil menyarungkan golok besarnya di punggung.

"Tapi mereka agaknya bernafsu betul untuk melenyapkan kita sampai ke akar-akarnya, karena sasaran kita pagi tadi adalah upeti yang dikirimkan untuk kerajaan," sahut kawannya.

"Hmm... ke mana kira-kira Ki Cagak Palung dan yang lainnya melarikan diri?" tanya kawannya yang lain.!

"Entahlah... mana ku tahu. Dia cuma memerintahkan kita untuk berpencar agar pihak kerajaan bisa terkecoh," sahut yang pertama tadi.

"Jangan-jangan malah kita yang dikejar. Mereka enak-enakan membawa harta itu!" kata yang bermata sipit curiga.

"Tak mungkin! Ki Cagak Palung selama ini selalu adil dalam pembagian harta rampokan yang kita peroleh!" sahut seorang yang bertubuh kurus dengan cepat.

"Ya. Selama ini memang Ki Cagak Palung tak pernah berbuat curang. Tapi kali ini persoalannya lain," ujar salah seorang yang bermuka bulat.

"Lain bagaimana?" tanya yang bertubuh kurus.
"Kali ini kita dikejar-kejar prajurit-prajurit kerajaan dalam jumlah yang cukup besar. Rasanya mereka tak mungkin mau melepaskan kita begitu saja. Siapa tahu hal ini mempengaruhi pikiran Ki Cagak Palung, karena untuk beberapa waktu kita tak mungkin bisa bebas berkeliaran," jelas si muka bulat.

"Ya, dengan begitu mereka yang bersama dengan Ki Cagak Palung bisa enak-enakan membagi hasil upeti itu, sedang kita akan bersusah payah sambil gigit jari!" sahut si mata sipit menimpali.

Untuk beberapa saat terlihat mereka saling pandang setelah mendengar kata-kata kawannya tadi. Niat untuk beristirahat tiba-tiba sirna ketika berpikir ke arah harta rampasan itu.

"Bagaimana kalau kita mencari Ki Cagak Palung?" kata si muka bulat memberi usul.

"Jangan, Kilung! Ki Cagak Palung pasti akan marah sekali karena kita tak mematuhi kata-katanya!" cegah orang yang bertubuh kurus pada si muka bulat yang dipanggil Kilung.

"Tapi Rambe! Kita tak bisa berdiam diri. Sampai kapan kita harus bersembunyi seperti yang diperintahkan Ki Cagak Palung?" sahut Kilung pada si kurus yang bernama Rambe.

"Betul yang dikatakan Kilung! Kita tak bisa terus bersembunyi sementara pihak kerajaan memburu kita!" sahut si mata sipit cepat.

"Apakah kau mau menanggung akibatnya, Walalang?!" tanya Rambe pada si mata sipit yang bernama Walalang.

"Lho, kenapa musti aku? Kalau kita sudah sepakat, akibatnya harus kita tanggung bersama!" timpal yang lainnya.

Ketika melihat semuanya telah sepakat, Rambe tak punya pilihan lain. Akhirnya dia pun setuju juga atas keputusan yang mereka ambil.

"Baiklah. Kalau begitu sekarang juga kita akan berangkat mencari Ki Cagak Palung dan rombongan yang lain. Kita akan bergabung dan mengatakan bahwa kita tak punya pilihan lain untuk bersembunyi dari kejaran prajurit-prajurit kerajaan!" ujar Rambe sambil bangkit dan memberi perintah pada kawan-kawannya untuk melanjutkan perjalanan.

Rombongan itu baru berjalan kira-kira sepuluh langkah ketika terdengar sesuatu gerak yang mencurigakan. Rambe yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu memberikan isyarat agar mereka berhenti.

"Kenapa?" tanya Kilung.

"Apakah kau tak mendengar sesuatu yang mencurigakan?"

Kilung menggeleng. Matanya menyapu ke seputar tempat itu. Baru saja dia akan bertanya lebih lanjut pada Rambe, tiba-tiba mereka dikejutkan ketika puluhan orang-orang berseragam telah mengepung tempat itu.

"Berhenti! Kalian telah terkepung. Menyerahlah atau kalian akan menyesal nanti!"

"Hah?! Kita telah dikepung prajurit-prajurit kerajaan!" sentak Kilung terkejut.


***


Apa yang dikatakan Kilung memang tak salah. Lebih dari tiga puluh orang prajurit kerajaan telah mengepung tempat itu dengan senjata terhunus. Tak terasa nyali mereka tiba-tiba menjadi ciut. Jumlah mereka yang kurang dari lima belas orang dalam waktu singkat pasti akan disapu bersih jika mereka melakukan perlawanan.

"Bagaimana, Rambe? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Kilung kebingungan.
"Kita akan lawan mereka!"

"Kau gila! Jumlah mereka banyak. Kita tak mungkin bisa memberikan perlawanan. Kau lihat, mereka dipimpin oleh Panglima Sudra Wulung. Orang itu kejam dan ilmu silatnya tinggi!"

"Kita tak punya pilihan lain, Kilung. Kalau menyerah pun mereka tak akan mengampuni kita. Tak ada pilihan lagi. Lebih baik mati dalam pertarungan dari pada menjadi tawanan yang akhirnya pun akan mati dengan terhina," sahut Rambe sambil mendengus garang.

"Benar, Kilung. Walau bagaimana pun kita harus melawan mereka sampai tetes darah terakhir!" timbal Walalang.
"Terserah kalian. Aku hanya ikut saja...." sahut Kilung lemah.

"Anjing-anjing keparat! Agaknya kalian lebih suka mampus dari pada menyerah dan mengembalikan upeti yang kalian rampok tadi pagi! Aku hitung sampai tiga kalau kalian tak mau menyerah, jangan menyesal kalau kami terpaksa menghukum kalian di tempat ini juga!" teriak Panglima Sudra Wulung yang bertubuh besar dengan kumis melintang.

"Kami tak akan menyerah!" sentak Rambe garang.

"Bagus! Kalau begitu mampuslah kalian semua!" dengus Panglima Sudra Wulung sambil memberikan perintah pada anak buahnya untuk menyerang mereka.

Seperti tanggul jebol, prajurit-prajurit kerajaan langsung menyerang orang-orang itu dengan semangat menyala-nyala. Selama ini begal-begal itu sering membuat kekacauan dan merampok harta benda penduduk. Mereka sangat kejam tak mengenal belas kasihan, tak segan-segan membunuh korbannya jika melawan. Selain licin dan sulit ditangkap, mereka pun rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.

Tapi prajurit-prajurit yang dipimpin oleh Panglima Sudra Wulung kali ini bukan sembarang. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang rata-rata berkepandaian tinggi, dan hebat ilmu silatnya. Tak heran bila dalam kegemasan dan kejengkelan terhadap begal-begal itu kini tertumpah ruah dan mendapat pelampiasan yang paling tepat. Prajurit-prajurit itu mengamuk sejadi-jadinya. Hingga dalam tempo singkat beberapa anggota begal tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

"Kini giliranmu, keparat!" bentak Panglima Sudra Wulung ketika berhadapan dengan Rambe.
"Huh! jangan bermimpi kau dapat menangkapku!" dengus Rambe garang.

"Siapa yang sudi menangkap orang sepertimu?! Kau akan mampus dengan siksaan yang berat agar menjadi contoh yang baik bagi kawan-kawanmu untuk tidak mencoba-coba mengganggu harta kerajaan!"

"Kau boleh melakukannya di akherat sana, Panglima!" sahut Rambe sudah langsung menyerang lawan.

"Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Trak!"
"Bet!"

"Hmm... boleh juga kepandaianmu. Tapi jangan berharap terlalu banyak kau bisa lolos dariku!" ujar Panglima Sudra Wulung ketika dalam bentrokan pertama lawan mampu menghindar dari sambaran pedangnya yang cepat dan bertenaga kuat.

"Jangan girang dulu, Panglima. Justru aku yang khawatir bila kau yang ternyata terbirit-birit lari dariku!" ejek Rambe tersenyum sinis.

"Ha ha ha ha...! Pintar juga kau bicara. Tapi sebentar lagi bukan saja kau tak mampu bicara, tapi kau akan membisu selamanya."

"Hiyaaat...!"

Dengan satu teriakan menggelegar, Panglima Sudra Wulung menyerang lawan sambil memutar pedangnya bagai titiran. Terasa angin serangannya mengandung tenaga dalam kuat. Tubuh Rambe jungkir balik menghindari serangan lawan. Beberapa kali dicobanya untuk menangkis, tapi telapak tangannya terasa kesemutan dan perih. Agaknya tenaga dalam lawan lebih tinggi dua tingkat diatasnya. Diam-diam Rambe mengeluh dalam hati. Kalau keadaan ini berlangsung terus dalam tempo tiga jurus lagi dia pasti akan kena dihajar lawan. Bahkan bukan tidak mungkin dia akan terbunuh. Untung kecepatannya bergerak masih mampu menolong. Tapi itu tak akan lama. Dia harus berusaha meloloskan diri dari pertarungan ini, pikirnya.

"Hiyaaa...!"

Rambe berteriak kencang sambil membalas serangan Panglima Sudra Wulung dengan gencar.

"Ha ha ha ha...! Kau mulai mengeluarkan ilmu simpananmu? Ayo, keluarkan semuanya agar aku tak mati penasaran!" ejek Panglima Sudra Wulung sambil terkekeh.

"Tertawalah sepuasmu, karena kaulah yang akan mampus!" dengus Rambe gemas.

Dalam empat kali serangan Rambe mampu sedikit mendesak Panglima kerajaan itu, tapi selanjutnya Panglima Sudra Wulung menggeram sambil memutar pedangnya sedemikian rupa, kembali Rambe terdesak. Orang bertubuh kurus itu sudah nekat. Dia merencanakan untuk kabur kalau lawan terdesak. Sebelum Panglima Sudra Wulung mendesaknya, Rambe mencelat jauh sambil bersalto beberapa kali ke belakang.

"Mau coba-coba kabur, he! Jangan harap kau lolos dariku!" dengus Panglima Sudra Wulung. Pedang di tangannya melesat cepat ke tubuh Rambe ketika orang bertubuh besar itu melemparnya dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Rambe bukannya tak mengetahui hal itu. Dia berusaha menangkis, tapi pedang itu cuma bergeser sedikit. Justru lebih membahayakan dirinya karena ujung pedang kini jadi tepat menghunjam ke dada sebelah kiri.

"Crab!"
"Aaa...!"

Rambe menjerit setinggi langit ketika pedang Panglima Sudra Wulung menembus dadanya dan terus melesat hingga menancap pada batang pohon di belakangnya. Sehingga terlihat pemandangan yang mengerikan. Tubuh Rambe terkulai layu di atas batang pohon disangga oleh pedang Panglima Sudra Wulung.

"Huh! Mampuslah kau perampok hina!" dengus Panglima Sudra Wulung sinis. Dia kemudian berteriak lantang memperingatkan sisa-sisa perampok untuk menyerah.

"Menyerahlah kalian sebelum mati sia-sia! Tunjukkan di mana harta rampasan itu kalian sembunyikan, dan beritahu di mana pemimpin kalian yang bernama Cagak Palung berada!"

Pertempuran tersebut seketika berhenti. Sisa-sisa perampok yang berjumlah lima orang, termasuk Kilung dan Walalang, saling pandangan satu sama lain. Belum lagi mereka memutuskan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar. Semuanya berpaling dan melihat kurang lebih dua puluh orang kawanan perampok mengepung prajurit kerajaan dengan senjata terhunus.


***


"Ha ha ha ha...! Cacing-cacing kerajaan cuma bisa bermimpi bila berharap dapat menangkap Cagak Palung!" kata seorang laki-laki bertubuh besar dengan perut buncit.

Lima orang sisa-sisa perampok itu berseru girang ketika mengetahui siapa yang datang.

"Ki Cagak Palung, bagus kau cepat datang!" seru Kilung gembira.
"Hmm... jadi kau yang bernama Cagak Palung?! Bagus kau berani menampakkan dirimu. Lekas berlutut dan menyerah, kalau tidak kalian semua akan mampus di sini!" bentak Panglima Sudra Wulung garang.

"Ha ha ha ha... jadi kau yang bernama Sudra Wulung panglima kerajaan yang diutus untuk menangkapku? Kalau di luaran sana kalian boleh mengejar-ngejar kami seperti tikus kejepit. Tapi di daerah ini jangan harap hal itu bisa kalian lakukan dengan mudah. Pulanglah dan katakan pada rajamu, Cagak Palung berhak atas harta benda yang telah dirampasnya!"

"Keparat kau, Cagak Palung! Mampuslah bagianmu!" bentak Panglima Sudra Wulung garang.

Dia segera memerintahkan anak buahnya untuk menggempur lawan. Tapi kali ini seluruh anak buah Ki Cagak Palung menyambutnya dengan bersemangat seperti mereka hendak mengincar mangsa yang berharta banyak.

Pertempuran diantara kedua belah pihak tak dapat lagi dihindari. Masing-masing berjumlah sama dan mempunyai kesempatan untuk menghabisi lawan secepatnya.

"Kau bagianku, Panglima! Aku akan membuat perhitungan atas apa yang kau lakukan terhadap Rambe!" dengus Ki Cagak Palung sambil melompat dan menghunuskan golok panjang ke arah lawan.

"Hahahaha...! Mulut besarmu boleh juga. Tapi jangan harap kali ini kau bisa lolos dari tanganku!" sahut Panglima Sudra Wulung sambil tertawa mengejek.

"Yeaaa...!"
"Hiyaat...!"
"Trak!"
"Bet!"

Ketika tubuh Ki Cagak Palung melesat, Panglima Sudra Wulung langsung memapaki dengan ayunan pedang sambil berteriak keras. Keduanya sama terkejut ketika merasakan bahwa tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat senjata masing-masing ternyata hampir berimbang. Walau begitu Panglima Sudra Wulung masih sempat membabatkan sekali ujung pedangnya ke lambung lawan.

Ki Cagak Palung ternyata bukanlah orang sembarangan. Pengalamannya selama ini banyak membantu. Walau tak sempat membalas, namun dia menyadari akan serangan susulan lawan. Itulah sebabnya tubuh besar berperut buncit itu melenting dengan ringan sambil jungkir balik ke belakang.

"Tap!"
"Yeaaa...!"

Begitu kedua kakinya menjejak ke tanah Ki Cagak Palung langsung melenting kembali dengan satu serangan hebat ke arah lawan. Panglima Sudra Wulung melompat ke atas sambil mengirimkan satu tendangan ke batok kepala lawan.

"Hut!"
"Bet!"

Tubuh Ki Cagak Palung membungkuk dengan perut menghadap ke atas dan terus ke belakang sambil menghantamkan kedua kakinya ke perut lawan.

"Cras!"
"Akh!"
"Hiyaaa...!"

Ki Cagak Palung mengeluh tertahan. Tulang keringnya patah, dan kakinya menggantung nyaris putus. Tapi dia masih sempat berpijak pada kaki kanannya dan terus melompat ke samping menghindari tebasan pedang lawan berikutnya yang dengan cepat hendak menyambar pinggangnya.

"Huh! Tak ada tempat lagi bagimu untuk kabur. Kau akan mampus di sini!" dengus Panglima Sudra Wulung sinis sambil terus menyerang lawan dengan gencar.

Dengan sebuah kaki yang hampir putus perlawanan Ki Cagak Palung tak sehebat tadi. Hingga dalam waktu singkat dia menjadi bulan-bulanan lawan. Melihat pemimpinnya dalam keadaan terdesak, semangat anak buahnya mengendor. Sebaliknya prajurit-prajurit kerajaan semakin bersemangat menghabisi lawan-lawannya.

Korban yang jatuh di pihak para perampok itu semakin bertambah banyak. Sementara dalam satu kesempatan, ujung pedang Panglima Sudra Wulung berhasil menggores dada lawan. Ki Cagak Palung terkejut. Kesempatan itu dipergunakan oleh Panglima Sudra Wulung, melayangkan kepalan tangannya ke perut lawan dengan cepat.

"Begkh!"
"Aaakh...!"

Tubuh Ki Cagak Palung terpental sambil menjerit keras. Pada saat yang bersamaan, sebelum tubuhnya menyentuh tanah, serangkum angin panas menghantam tubuhnya kembali. Ki Cagak Palung tak sempat menjerit. Tubuhnya kembali mencelat dan menghantam sebuah batu keras. Kemudian jatuh terkulai dengan nyawa lepas. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah segar. Seseorang dengan tubuh aneh telah berdiri di tempat itu sambil mendengus sinis. Kedua belah pihak sama terkejut melihat kehadirannya!


***


LIMA

"Siapa pun yang berani berada di wilayah Rimba Larangan akan mati tanpa ampun!" Terdengar suatu suara serak yang mengandung ancaman.

"Siapa kau? Manusia atau hantu penunggu hutan ini?!" tanya Panglima Sudra Wulung dengan suara lantang.

Kepala pasukan prajurit istana itu sempat bergetar juga menyaksikan kehadirannya. Sesosok tubuh hitam dengan dua buah kepala dan dua pasang tangan. Matanya bulat seperti tak memiliki kelopak. Menatap tajam ke arah mereka dengan penuh kebencian.

"Hantu Rimba Larangan telah menjatuhkan hukuman mati bagi kalian!" suara serak dan dalam kembali bergema.

"Hantu Rimba Larangan? Jadi cerita-cerita mengenai dirimu rupanya betul ada. Hmm..., bagus! Kami akan sekalian menangkapmu karena perbuatanmu selama ini!" dengus Panglima Sudra Wulung.

Tapi belum lagi dia memerintahkan para prajuritnya untuk menyerang, Hantu Rimba Larangan telah bergerak cepat. Tubuhnya melayang bagai sehelai kapas bertiup angin ke arah mereka.

"Aaaa...!"
"Keparat!"
"Seraaang!"

Seperti dikomando, kedua belah pihak yang tadi bertempur kini malah berbalik mengeroyok Hantu Rimba Larangan.

"Hari ini aku akan mulai menjatuhkan hukuman mati pada manusia-manusia keparat seperti kalian dan orang-orang diluaran sana. Terimalah pembalasan dari Hantu Rimba Larangan!" teriak sosok bertubuh aneh dengan suara yang mengandung dendam dan kebencian.

"Huh!"
"Yeaaah...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"

Dengan gerakan yang ringan dan bertenaga dalam kuat, Hantu Rimba Larangan kembali membuat beberapa orang terjungkal dan tewas seketika dengan tubuh remuk.

"Keparat! Kau akan terima hukumanmu!" teriak Panglima Sudra Wulung geram.

Tubuhnya melesat cepat ke arah Hantu Rimba Larangan sambil mengirimkan serangan hebat. Ujung pedangnya berputar-putar menyambar tubuh lawan seperti hendak melipat dan mengirisnya menjadi beberapa potongan kecil. Hantu Rimba Larangan berkelebat cepat. Tubuhnya lenyap bagai ditelan bumi dan menghilang dari serangan lawan. Panglima Sudra Wulung tercekat. Selama ini belum ada seorang pun yang mampu menghilang begitu saja dari serangannya. Tapi gerakan lawan yang satu ini cepat bukan main. Belum lagi menyadari
di mana lawan berada. Tiba-tiba serangkum angin pukulan berhawa panas menderu ke arahnya dari samp-
ing kiri.

"Heh?!"
"Begkh!"
"Akh!"

Walaupun dia cepat menyadari dan mencoba berkelit, tapi pukulan jarak jauh lawan sempat menghantam pinggangnya. Panglima Sudra Wulung menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung dari sela bibirnya menetes darah segar. Belum lagi dia memperbaiki posisi, Hantu Rimba Larangan telah kembali melesat sambil mengirim serangan yang mematikan.

"Mampus!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Kali ini Panglima Sudra Wulung tak sempat lagi menghindar. Kepalan tangan lawan dengan telak menghantam perutnya. Tubuhnya terjengkang beberapa tombak dan hanya sempat menjerit kecil. Ketika ambruk ke tanah, terkulai dan nyawanya putus saat itu juga.

"Kini giliran kalian!" dengus Hantu Rimba Larangan sambil menghantam para prajurit kerajaan dan sisa anggota perampok tanpa kenal ampun.

"Yeaaa...!"
"Seraaaang...!"
"Duk! Begkh! Des!"
"Aaaa...!"

Walaupun mereka berusaha melawan mati-matian, tapi Hantu Rimba Larangan terlalu tangguh. Bagai sekumpulan anak ayam menghadapi rajawali, mereka dibantai dengan mudah.

"Ha ha ha ha...! Hari ini adalah pembalasan bagi manusia-manusia terkutuk seperti kalian. Kabarkan kematian ke seluruh penjuru, bahwa Hantu Rimba Larangan akan datang dan mencabut nyawa mereka satu persatu!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil tertawa-tawa girang penuh kemenangan.

"Tak mungkin kita bisa melawannya. Orang ini bukan manusia, tapi setan pencabut nyawa!" keluh salah seorang perampok.

"Betul. Sebaiknya kita lari saja!" sahut kawannya.

"Tapi mana mungkin dia mau melepaskan kita begitu saja. Setan ini pasti akan membunuh kita semua."

"Ah, aku tak perduli! Lawanlah dia kalau kau mau mati. Aku akan menyelamatkan diri. Dia tak ada urusannya dengan kita!" kata orang itu sambil berlari kencang meninggalkan kawan-kawannya. Melihat itu beberapa prajurit kerajaan pun mulai ikut melarikan diri.

"Ha ha ha ha...! Mana mungkin kalian bisa melarikan diri dariku begitu mudah. Hari ini adalah kematian bagi diri kalian. Hantu Rimba Larangan tak memberi ampun

Yeaaa...!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Terdengar pekik kematian. Beberapa orang kembali tersungkur dengan nyawa melayang dihantam pukulan yang dilontarkan Hantu Rimba Larangan. Dia betul-betul mengamuk. Hingga dalam waktu singkat kedua belah pihak tinggal segelintir saja. Mereka berusaha untuk melarikan diri.


***


"Ha ha ha ha...! Baiklah, aku mencabut kata-kataku. Kalian boleh melarikan diri. Ayo, hus! Hus! Katakan pada semua orang, bahwa mulai hari ini Hantu Rimba Larangan akan keluar dan membuat perhitungan dengan mereka semua!" teriak orang bertubuh aneh itu.

Tapi mana lagi mereka memikirkan kata-kata Hantu Rimba Larangan pada saat begitu. Yang utama adalah bahwa mereka ternyata bisa selamat karena Hantu Rimba Larangan betul-betul membuktikan kata-katanya dan tidak menyerang mereka. Tapi jumlah itu terlalu sedikit. Tiga orang prajurit kerajaan serta dua orang anggota perampok yang tersisa hidup dan melarikan diri. Dari kejauhan suara tawa Hantu Rimba Larangan masih terus menggema seperti mengejar kemana saja mereka lari.

Setelah suara tawa itu hilang, kelima orang itu terengah-engah sambil melepaskan lelah di dekat sebuah pohon. Dalam keadaan begitu terlihat mereka seperti melupakan persoalan yang tadi membuat pertempuran di kedua belah pihak.

"Apa yang harus kita laporkan pada Gusti Prabu?" tanya salah seorang prajurit kerajaan.

"Entahlah, akupun tak tahu. Selama ini cerita mengenai Hantu Rimba Larangan seperti dongeng. Jarang ada orang yang mempercayainya.

"Tapi kenyataannya ada, dan dia betul-betul seperti hantu."
"Bukan seperti, tapi memang hantu sungguhan!"

"Apa Gusti Prabu akan percaya pada laporan kita?" Prajurit ketiga melirik pada kedua perampok yang melepaskan letih.

"Mereka akan menjadi barang bukti...."
"Apa? Kami? Bu..., bukankah sekarang kita berkawan?" tanya salah seorang perampok itu dengan wajah ketakutan.

Tapi ketiga prajurit itu telah mengurung mereka sambil menghunuskan pedang masing-masing. Kedua perampok itu tak punya pilihan lagi. Waktu melarikan diri tadi senjata mereka terjatuh, dan kalaupun bermaksud melawan dengan tangan kosong akan percuma saja. Prajurit-prajurit ini bukanlah orang sembarangan.

"Kalian tetaplah penjahat yang musti di tangkap. Selain itu kalian akan membenarkan laporan kami pada Gusti Prabu bahwa apa yang terjadi tadi adalah nyata agar laporan kami bisa dipercaya!" sahut salah seorang prajurit dengan garang.

Karena tak punya pilihan lain, terpaksa kedua perampok itu menyerah dan digiring ke istana untuk diadili. Apa yang dipikirkan para prajurit itu memang beralasan. Banyak kalangan pejabat istana yang sulit mempercayai cerita mereka. Demikian juga halnya dengan Baginda Raja. Meskipun kedua perampok yang mereka tangkap telah membenarkan kejadian yang menimpa mereka di pinggir Rimba Larangan, Baginda Raja belum juga dapat mempercayainya.

Tetapi karena banyak prajurit kerajaan yang tewas terpaksa Baginda Raja mengirimkan beberapa orang prajurit untuk menyelidiki kejadian tersebut. Jalan-jalan di sepanjang Kotaraja sepi, dan segala kegiatan yang sehari-hari dilakukan penduduk berkurang satu persatu. Beberapa orang dikirim untuk menangkap Hantu Rimba Larangan. Tapi kebanyakan dari mereka tak pernah kembali. Tentu saja hal ini membuat kecemasan di hati setiap penduduk desa itu semakin menjadi-jadi.

Bukan saja penduduk yang merasa cemas dengan ancaman Hantu Rimba Larangan tetapi juga kalangan dunia persilatan merasa cemas dan marah. Hantu Rimba Larangan sepertinya tak pilih-pilih korban. Dalam dua hari saja, banyak sudah perguruan silat yang hancur ditangannya. Baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam.

Seperti yang terjadi hari ini pada Perguruan Elang Hitam. Perguruan yang dipimpin oleh Ki Sadewo Murai adalah salah satu perguruan silat yang terkenal. Orang tua yang telah berusia sekitar tujuh puluh tahun itu belakangan ini memperketat penjagaan. Beberapa orang muridnya pagi tadi tewas dibantai oleh Hantu Rimba Larangan ketika membantu prajurit kerajaan untuk menangkap orang itu.

Banyak orang yang mengetahui, bahwa murid-murid perguruan itu acap kali membantu pihak kerajaan jika dibutuhkan. Bahkan boleh disebut bahwa sebagian besar prajurit-prajurit kerajaan merupakan murid-murid perguruan silat itu. Sore ini terlihat Ki Sadewo Murai tengah berkumpul dengan murid-murid utamanya. Untuk membicarakan soal Hantu Rimba Larangan.

"Kita harus secepatnya mengambil tindakan terhadap orang gila itu, Ki. Kalau tidak akan semakin banyak korban yang jatuh!" kata salah seorang muridnya yang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah geram.

"Itulah yang sedang kupikirkan, Rumpin! Orang itu sangat berbahaya. Kita tak boleh sembarangan. Ilmu silatnya tinggi dan sulit diukur. Aku tak yakin kita bisa melawannya seorang diri."

"Maksudnya kita harus beramai-ramai mengeroyoknya?"

"Bukan begitu. Tapi kita harus meminta bantuan perguruan silat lain untuk membantu menumpas iblis itu!" sahut Ki Sadewo Murai.

"Tapi, Ki..., selama ini Elang Hitam dikenal sebagai perguruan silat yang terkuat di wilayah utara ini. Apa tidak malu kita mengundang mereka dan meminta bantuannya dalam menyelesaikan soal Hantu Rimba Larangan?!" tanya Rumpin heran.

Ki Sadewo Murai tersenyum arif. "Aku tak pernah mengajarkan kalian untuk bersikap sombong, dan menganggap diri sendiri hebat. Persoalan ini bukan saja melibatkan kita, tapi juga banyak orang. Mereka pun pantas terlibat...."

"Betul apa yang dikatakan, Ki Guru. Pagi tadi kami bertemu dengan murid Perguruan Gelang Terbang. Mereka secara tak langsung menyampaikan amanat gurunya agar Ki Sadewo Murai mau membantu mereka untuk bergabung. Dan bersama-sama menggempur orang gila itu!" sahut salah seorang murid Elang Hitam yang bernama Bapang.

"Apakah tidak memalukan bila beberapa perguruan bergabung dan mengeroyok lawan yang cuma seorang?" tanya Rumpin ragu.

Ki Sadewo Murai belum sempat menjawab ketika dari arah luar terdengar jeritan kesakitan yang disusul oleh suara tawa yang menggelegar.

"Orang-orang yang berada di dalam, keluar dan sambut kematian kalian yang telah dijanjikan Hantu Rimba Larangan!"

"Dia datang, Ki!" sentak beberapa orang murid hampir berbareng.


***


Walaupun Ki Sadewo Murai agak terkejut mengetahui kehadiran orang yang sedang mereka bicarakan, namun sebisa mungkin dia bersikap tenang agar para muridnya mampu mengusai diri. Perlahan-lahan dia bangkit dan berjalan menuju halaman depan diikuti oleh murid-muridnya.

Tepat dipintu gerbang perguruan yang telah hancur berantakan, berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Kepalanya dua buah dengan rambut kaku. Sepasang matanya lebar dan bulat seperti tidak memiliki kelopak, serta sepasang tangan yang berkacak pinggang, dan sepasang lagi terlipat di dada. Tak jauh di dekat orang itu berdiri tergeletak beberapa orang murid Elang Hitam dalam keadaan tak bernyawa. Dari mulutnya mengalir darah segar.

"Ki sanak, kau datang tanpa diundang dan tahu-tahu membuat keonaran di sini. Apa sebenarnya yang kau inginkan?" tanya Ki Sadewo Murai dengan suara datar menahan hawa amarah.

"Jangan banyak berbasa-basi, Orang tua! Kau tahu siapa aku dan tahu apa yang kuinginkan, yaitu kematian kalian!" dengus orang itu dengan suara serak dan dalam penuh dengan kebencian dan dendam.

"Hm..., jadi betulkah engkau yang bernama Hantu Rimba Larangan, dan telah menjatuhkan hukuman mati pada semua orang dengan seenak perutmu sendiri?" tanya Ki Sadewo Murai dengan suara yang lebih lantang.

"Ha ha ha ha...! Akhirnya kau ingat juga, Tua Bangka. Nah, bersiaplah untuk menerima kematianmu!"

Tiba-tiba orang yang menamakan dirinya Hantu Rimba Larangan telah mencelat dan menyerang Ki Sadewo Murai.

"Hiyaaat...!"

"Orang gila keparat, hadapilah dulu aku baru kau boleh menyentuh guru kami!" teriak Rumpin sambil mencabut golok bercagaknya dan memapaki serangan lawan.

"Huh! Bocah tak tahu diri! Mampuslah kau sekarang juga!" dengus Hantu Rimba Larangan sambil berkelit dan mengirim satu pukulan jarak jauh.

Tapi Rumpin bukanlah murid sembarangan. Dalam jajaran Perguruan Elang Hitam dia termasuk tangan kanan Ki Sadewo Murai. Tak heran bila ilmu silatnya sudah hampir menyamai gurunya itu.

"Yeaaa...!"

Tubuhnya bergulung-gulung menghindari angin sambaran pukulan Hantu Rimba Larangan. Kemudian dengan cepat kembali menyerang lawan sambil menggunakan jurus maut yang dimilikinya. Rumpin menyadari bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, hingga tak heran kalau dia langsung melayaninya seperti menghadapi musuh bebuyutannya. Ujung golok bercagaknya mendesing dan mengancam seluruh titik kematian di tubuh lawan. Dalam beberapa serangan Hantu Rimba Larangan terlihat mulai terdesak, dan ketika jurus pertamanya selesai, Rumpin seperti mendapat peluang emas. Pertahanan lawan kelihatan terbuka. Dengan cepat ujung goloknya menyambar bahu kanan lawan.

"Tak!"
"Begkh!?
"Aaaa...!"

"Rumpin...!" Ki Sadewo Murai berteriak ingin memperingatkan, tapi sudah terlambat. Hal itu terjadi memang disengaja Hantu Rimba Larangan. Dia mengumpan bahunya, dan Rumpin tak sempat menyadari bahwa tubuh lawan ternyata kebal senjata tajam. Kulit tubuh orang itu hanya sedikit tergores seperti terkena duri. Tapi dengan tiba-tiba kepalan tangan lama dengan cepat menghantam dadanya dengan telak.

Rumpin cuma mampu menjerit tertahan ketika tubuhnya terjungkal dan ambruk ditanah dengan nyawa putus. Beberapa orang murid Elang Hitam sudah langsung maju dan bermaksud menyerang lawan. Tapi Ki Sadewo Murai memberi isyarat. Mereka menggerutu kesal dan menahan amarahnya ketika orang tua itu berkata dengan suara pelan.

"Hantu Rimba Larangan, perbuatanmu sungguh kejam dan biadab. Kau memang tak pantas menjadi seorang manusia, tapi lebih rendah dari seekor binatang!"

"Jangan banyak mulut kau, Tua Bangka! Majulah biar lebih gampang kukirim kau ke akherat!"

"Jangan khawatir, Ki sanak. Aku akan merelakan tulang tua yang tak berguna ini untuk menghentikan segala perbuatan terkutukmu!"

"Ha ha ha ha...! Kau hendak menghentikan perbuatanku? Jangan bermimpi tua bangka keparat! Hantu Rimba Larangan akan membuat kalian mampus semuanya!"

"Sring!"

Ki Sadewo Murai mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah golok yang ujungnya bercagak dua dan gagangnya terbuat dari perak.

"Aku tak terbiasa bertarung dengan tangan kosong, dan karena kulihat tubuhmu kebal senjata tajam, biarlah hitung-hitung pertarungan ini berjalan dengan adil," ujar Ki Sadewo Murai sambil tersenyum sinis.

"Aku tak peduli kau bersenjata atau tidak. Bahkan bila seluruh muridmu ingin ambil bagian, mereka boleh mengeroyokku!"

"Hmmm..., sombong sekali kau. Lihat serangan...!" teriak Ki Sadewo Murai sambil berkelebat cepat menyerang lawan. Hantu Rimba Larangan melenting ke atas dengan ringan, tapi tubuh Ki Sadewo Murai dengan tiba-tiba telah berada di belakangnya dengan ujung golok mengancam leher lawan.

"Bet!"

Tapi dengan gerakan yang tak terduga tubuh Hantu Rimba Larangan membungkuk dalam keadaan berada di udara, kemudian kedua kakinya menendang ke arah lawan.

"Hiyaaa...!"


***


ENAM

Ki Sadewo Murai bukanlah tokoh sembarangan. Meski belum termasuk dalam jajaran datuk-datuk persilatan, namun banyak kalangan persilatan yang segan kepadanya. Selain jarang terlibat urusan dengan sesama tokoh persilatan dalam hal perkelahian, konon melihat dari sepak terjang murid-muridnya yang selalu membela kebenaran, orang dapat menilai sampai dimana kehebatan ilmu silat orang tua itu. Begitu juga ketika Hantu Rimba Larangan mencoba mengecoh orang tua itu dengan gerak tipu, Ki Sadewo Murai dengan manis menghindarinya, lalu dengan tiba-tiba menyerang lawan.

"Hm..., bagus! Agaknya kau memiliki ilmu silat yang lumayan juga, Tua Bangka. Tapi itu bukan membuatku senang, karena berarti umurmu akan cepat selesai. Tak seorang pun boleh mensejajarkan diri dengan Hantu Rimba Larangan!" kata orang bertubuh aneh itu dengan nada sombong.

"Bicaralah sesuka hatimu, Ki sanak. Siapa tahu justru hari ini adalah hari terakhirmu mampu bicara!" dengus Ki Sadewo Murai.

"Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"

Kali ini dengan satu teriakan hebat, tubuh Hantu Rimba Larangan mencelat menyerang lawan. Ki Sadewo Murai sedikit terkejut. Golok di tangannya cepat berkelebat dengan gerakan yang sulit diikuti oleh pandangan mata biasa.

"Bet!"
"Duk!"
"Crak!"
"Akh!"

Sabetan golok Ki Sadewo Murai dapat dielakkan lawan. Hantu Rimba Larangan bahkan berhasil menghantamkan pukulan ke dada ketua Perguruan Elang Hitam itu. Ki Sadewo Murai mengeluh kesakitan. Namun bersamaan dengan itu goloknya berhasil melukai perut lawan.

Hantu Rimba Larangan memang kebal senjata tajam, namun tidak terlalu hebat karena tubuhnya masih mampu digores senjata lawan. Kali ini lukanya sedikit parah karena darah sempat mengucur dari perutnya yang terluka. Kalau saja hal itu dilakukan oleh orang biasa, mungkin golok itu tak begitu berarti. Tapi di tangan Ki Sadewo Murai lain halnya. Orang tua itu memainkannya dengan pengerahan tenaga dalam kuat.

Ki Sadewo Murai berguling ke samping menghindari dua kepalan tangan sekaligus yang menghantamnya, namun dua lengan kiri lawan dengan cepat menyodok perutnya ketika kakinya tersandung kaki lawan. Orang tua itu cuma berpikir, jika senjata Rumpin saja berhasil menggores kulit lawan, berarti lawan masih mampu dilukai jika dia mengerahkan tenaga dalam kuat.

Tapi hal itu ternyata harus dibayar mahal. Ki Sadewo Murai terluka parah di dalam dadanya akibat pukulan lawan tadi. Meski dia memiliki tenaga dalam yang tinggi, namun pukulan lawan menghantam lebih kuat. Belum lagi dia sempat memperbaiki posisi, tubuh Hantu Rimba Larangan kembali mencelat sambil mengirim satu serangan kilat ke arahnya.

"Sekarang mampuslah kau, Orang Tua!

Hiyaaat...!"

Ki Sadewo Murai berguling ke samping menghindari dua kepalan tangan sekaligus yang menghantamnya, namun dua lengan kiri lawan dengan cepat menyodok perutnya ketika kakinya tersandung kaki lawan.

"Begkh! Begkh!"

Ki Sadewo Murai cuma mengeluh pelan sekali. Bahkan suara pukulan itu lebih kencang ketimbang keluh kesakitannya. Dari mulut orang tua itu muncrat darah segar ketika tubuhnya terangkat setinggi tiga kaki ke atas. Ketika tubuh tua itu ambruk ke tanah, nyawanya sudah lepas dari raga.

"Keparat! Kau harus membayar mahal untuk semua ini!" bentak salah seorang anak murid Perguruan Elang Hitam dengan garang.

"Cincang manusia biadab itu!"
"Bunuuuh...!"
"Yeaaah...!"

Amarah yang sejak tadi telah memuncak di setiap hati murid Perguruan Elang Hitam, kini semakin marah dengan kematian guru mereka di tangan Hantu Rimba Larangan. Tanpa memikirkan keselamatan, mereka langsung menyerang lawan dengan ganas dan buas.

"Ha ha ha ha...! Mari ke sini, dan terimalah kematian kalian seperti yang telah kujanjikan!" teriak Hantu Rimba Larangan seperti orang kegirangan.

Hantu Rimba Larangan bekerja tak kepalang tanggung. Sekali tubuhnya bergerak, dua atau tiga orang murid Perguruan Elang Hitam telah tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kalau kepala mereka tidak pecah, maka ada yang perutnya jebol dan ususnya terurai keluar. Bahkan ada yang mengalami kematian dengan keadaan yang mengerikan. Dada kirinya bolong dengan jantung hancur, serta tubuh mereka remuk dari kepala hingga kaki.

Satu persatu murid Perguruan Elang Hitam binasa. Sia-sia mereka melakukan perlawanan karena tak seorangpun yang mampu menahan serangan Hantu Rimba Larangan lebih dari enam gerakan. Dan orang itu memang betul-betul gila karena dia seperti menikmati apa yang dilakukannya sambil tertawa penuh kemenangan.

"Hi hi hi hi...! Mampuslah kalian semua, mampuslah kalian semua! Telah tiba saatnya hari pembalasan, dan kalian akan merasakan penderitaanku dulu dengan kematian. Menangislah di akherat sana dan sesali nasib kalian yang buruk seperti aku menyesali nasibku dulu!"

Seperti orang kesurupan, Hantu Rimba Larangan berteriak-teriak sendiri dengan suara menggelegar. Kemudian dia tertawa-tawa sambil memutari mayat-mayat yang bergelimpangan seperti orang menari. Kemudian setelah puas melampiaskan segala kegirangannya, dia meninggalkan tempat itu sambil terus tertawa terbahak-bahak. Tempat itu seketika senyap. Bau anyir tercium bersama dengan tiupan angin yang membawanya jauh ke desa terdekat. Seperti memperingatkan bahwa Hantu Rimba Larangan telah berada di dekat mereka dan siap menjemput maut.


***


Pemuda berambut gondrong berbaju harimau melangkah lesu. Monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada di pundaknya terus mencericit ribut. Tapi pemuda yang tak lain adalah Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka masih terus memandang sekeliling dengan perasaan curiga. Tempat itu telah diamatinya berkali-kali. Tak ada sesuatu yang mencurigakan. Bahkan perabotan di dalam pondok kecil itu penuh debu seperti tak pernah dihuni bertahun-tahun.

"Nguk!"

"Diamlah dulu, Tiren. Aku tahu sebentar lagi senja. Tapi kita harus memeriksa tempat ini sekali lagi."

"Kaaaakh...!"

Bayu mendesah pelan. "Iya, aku tahu. Kau mengkhawatirkan mereka, bukan? Begitu juga aku. Baiklah, kita kembali. Sudah seharian kita menyelusuri tempat ini serta hutan didalam sana, namun tak terlihat batang hidung orang itu. Mungkin dia memang tak berada di tempat ini," kata Bayu sambil menggelengkan kepala lemah.

"Nguk!"

Setelah memastikan bahwa tak ada sesuatu yang dapat memberikan petunjuk tentang buruannya, Bayu langsung kembali ke Desa Kedungbala. Ambar menyambutnya dengan girang sambil memeluk pemuda itu. Sedangkan Puji Lestari cuma tersenyum mengamati.

"Bagaimana, Bayu? Apakah betul dia berada di sana?" tanya laki-laki bertubuh kurus yang kini telah memanggil pemuda itu dengan namanya.

"Agaknya dia telah lama meninggalkan tempat itu, Ki Legowo..." sahut Bayu sambil menggelengkan kepala.

"Hhhh... kalau begitu aku betul-betul tak tahu lagi di mana dia berada kini..." sahut Ki Legowo lirih.

"Kurasa aku pun tak bisa berlama-lama di sini, Ki...."

"Paman mau ke mana?" tanya Ambar dengan wajah sedih.
"Paman harus pergi...."
"Kenapa Paman harus pergi? Tidak sukakah paman tinggal bersama kami di sini?" tanya gadis cilik itu setengah memohon.

Bayu tersenyum kecil. "Ambar, Paman Bayu tak bisa menetap di sini karena dia harus meneruskan perjalanan. Paman Bayu seorang pengembara, dan orang seperti dia tak mungkin mau menetap di satu tempat...!" Ujar Puji Lestari dengan suara pelan sambil memangku sepupunya.

Bayu melirik sekilas pada gadis itu. Kemudian mengalihkan pandangan kepada Ambar sambil berjongkok di hadapannya.

"Ambar, paman tak bisa berdiam diri di sini saja. Orang jahat itu akan banyak membunuh orang kalau tidak dihentikan. Kalau paman berada di sini terus, bagaimana paman bisa menghentikannya? Nah, untuk itu paman harus pergi mencari dan kemudian menghukumnya," jelas Pendekar Pulau Neraka sambil tersenyum.

"Tapi paman akan kembali lagi ke sini."

"Tentu! Bukankah paman belum mengucapkan bahwa paman harus berpisah denganmu, bukan?"

"Paman berjanji akan ke sini lagi dan menetap bersama kami?" tanya bocah itu penuh harap dengan wajah girang.

Pendekar Pulau Neraka menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Sulit rasanya dia menjawab pertanyaan bocah itu. Tak tega rasanya untuk menyakiti hati anak yang masih polos ini. baginya kehidupan-kehidupan itu cuma hitam dan putih yang gampang dicerna dan dibuat mudah.

"Ambar, paman bukan tak ingin menetap di sini, tapi kalau paman harus pergi itu karena ingin mencari orang tua paman yang sampai sekarang belum juga bertemu. Paman rindu sekali padanya. Jadi Ambar tak keberatan bukan? Setelah paman menghukum orang itu maka paman akan ke sini untuk berpamitan denganmu," kata Bayu lirih.

Bocah cilik itu menundukkan wajah. Dalam dua hari ini saja persahabatannya dengan Bayu telah membuat dirinya akrab dan merasa kenal bertahun-tahun. Ada yang memperhatikannya, dan mengajaknya bicara tentang hal yang selama ini belum pernah dikenalnya. Dan kini tiba-tiba orang itu harus pergi. Terasa berat sekali hatinya untuk melepaskan Bayu. Namun alasan yang dikeluarkan pemuda itu sangat menyentuh hatinya. Dia dapat merasakan, betapa sedihnya jika berpisah dengan kedua orang tua. Jangankan sampai bertahun-tahun, beberapa hari saja tak bertemu rasanya bingung.

"Nah, kau mengerti bukan?" tanya Bayu sambil memandangi wajah bocah polos itu dalam-dalam.

Ambar mengangukkan kepala. "Tapi paman tidak akan berangkat sekarang, bukan? Besok pagi saja! Sebentar lagi malam, tentu paman harus tidur dulu untuk beristirahat."

"Baiklah. Paman akan berangkat besok pagi...." Pemuda berambut gondrong itu baru saja bangkit dari duduknya ketika dari arah luar terlihat sosok tubuh tergopoh-gopoh berlari menuju ke rumah ini.

"Ki Legowo! Ki Legowo...! Ada berita penting!" teriaknya.

"Berita penting apa, Bondang?" tanya Ki Legowo ketika orang itu telah mendekat.

Sekilas dia tersenyum pada Bayu, kemudian laki-laki yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu meneruskan kata-katanya.

"Ki Karta dan keluarga kembali lagi ke desa...."

"Astaga! Jadi juga dia pergi. Selamatkah mereka...?" tanya Ki Legowo khawatir.
"Mereka selamat, Ki."
"Lalu kenapa mereka kembali?"

"Inilah yang menjadi permasalahan. Dalam perjalanan dia mendengar tentang Dolo Lungkat...."
"Dolo Lungkat? Kabar apa?"

"Orang itu membuat kekacauan di mana-mana dan menyebut dirinya sebagai Hantu Rimba Larangan!" jelas orang yang bernama Bondang.

Kemudian Bondang menceritakan apa yang di dengarnya dari Ki Karta sehubungan dengan keganasan Hantu Rimba Larangan beberapa hari ini.

"Cerita itu telah menyebar ke mana-mana. Banyak sudah orang yang binasa di tangannya. Bahkan beberapa tokoh persilatan ikut menjadi korban!" lanjut Bondang.

"Hmmm... orang itu betul-betul sudah tidak waras. Membunuh orang tanpa alasan selain kesenangan dan melampiaskan dendamnya yang tak berketentuan," gumam Ki Legowo geram.

"Sudah, Ki. Aku ingin mengabarkan hal ini pada yang lainnya. Ini kesempatan baik bagi kita untuk secepatnya meninggalkan desa ini," kata Bondang kembali sambil pamit dan meninggalkan rumah Ki Legowo.


***


"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga, Ki. Kalau menunggu besok mungkin orang itu akan mencari korban yang lain," kata Bayu menyentakkan lamunan Ki Legowo.

"Kau akan mencarinya ke mana?"

"Ke Kotaraja seperti yang diceritakan Bondang tadi. Paling tidak di desa-desa sekitar Kotaraja."

"Apakah tidak sebaiknya besok pagi saja kau berangkat, Bayu. Kotaraja agak jauh dari sini dan memerlukan perjalanan satu hari penuh. Kau tentu masih lelah...."

"Betul. Paman berangkat besok pagi saja!" cegah si kecil Ambar.

"Jangan-jangan malah malam ini dia akan kembali ke desa ini lagi. Orang itu sulit diterka, namun yang jelas dia pasti akan kembali untuk melanjutkan perbuatannya yang gila itu," sambung Puji Lestari dengan nada khawatir.

Bayu memandang wajah mereka sekilas satu persatu. Masih terbesit perasaan takut dan cemas bercampur geram. Lebih-lebih melihat wajah si kecil Ambar yang kini tampak pucat begitu mendengar nama Hantu Rimba Larangan disebut-sebut.

"Nguk!"

Monyet kecil berbulu hitam di pundaknya pun memandang dengan wajah kuyu kepada Pendekar Pulau Neraka. Seolah-olah dia membenarkan kata-kata gadis cantik yang duduk di sebelahnya. Sambil menghela nafas panjang Bayu mengangkat bahu dan berkata pelan.

"Yah... kalau demikian apa boleh buat. Tak baik menolak tawaran orang lain. Baiklah, aku akan berangkat besok pagi...."

Ambar tersenyum mendengar kata-kata itu. Malam ini dilalui Pendekar Pulau Neraka seperti malam sebelumnya. Hanya kali ini dia tak terjaga penuh. Kantuknya terasa berat bukan main. Dia merebahkan diri di bale-bale yang berada di ruang. Tiren berjaga-jaga di sisinya.

"Tiren, jangan sampai kau tertidur pula. Kalau kau merasa tak kuat menahan kantuk, bangunkan aku!" pesan Pendekar Pulau Neraka. Matanya masih terasa berat dan kantuk menyerangnya luar biasa, tapi pemuda berambut gondrong itu cuma merasa tidur sesaat ketika Tiren mencericit di telinga. Bayu cepat bangkit sambil merasakan kepalanya pusing.

"Ada apa, Tiren? Kenapa kau menggangguku? Aku ngantuk sekali!"

"Nguk!"

Monyet kecil itu menunjuk sesuatu. Bayu menoleh, dan buru-buru dia mengucekkan matanya ketika Puji Lestari telah berada di dekatnya sambil membawa secangkir kopi panas. Gadis itu tersenyum manis.

"Maaf, aku tak bermaksud mengganggu. Tapi Tiren terjaga dan mencericit terus di dekatmu. Aku... aku cuma ingin mengantarkan kopi ini saja sahut gadis cantik itu dengan suara terbata-bata.

"Oh ya... terima kasih! Kenapa tak tidur?" Gadis itu tersenyum.

"Aku biasa bangun pagi-pagi sekali...."

Bayu mendongak sekilas, dan lapat-lapat telinganya mendengar kokok ayam di kejauhan. Barulah dia menepuk kepalanya sambil terkekeh kecil.

"Begitu mengantuknya aku tak sadar kalau hari sudah pagi. Eh, terima kasih, Puji. Kau baik sekali. Sudah mandi?" tanya Bayu sambil tersenyum menggoda.

"Belum...."
"Tapi tetap saja tubuhmu harum."
"Ka... Kakang Bayu bisa saja...."

"Betul, aku bicara apa adanya," sahut Pendekar Pulau Neraka sambil menghirup kopinya. Gadis itu menundukkan wajah sambil mempermainkan ujung bajunya. Bayu kembali memandang sambil tersenyum.

"Kenapa berdiri terus? Kau tak mau duduk?"
"Tidak mengganggu?"

Bayu menggeleng. Puji Lestari duduk di depannya dengan malu-malu. Keduanya terdiam beberapa lama seperti tak ada bahan pembicaraan.

"Kaaakh...!"
Ouw!"

Dasar monyet jahil! Dengan tiba-tiba dia melompat di punggung gadis cantik itu sambil menjerit. Bukan main terkejutnya Puji Lestari. Tanpa sadar dia menjerit memeluk Bayu dengan wajah pucat.

"Tenanglah, Puji... itu cuma kerjaan si Tiren yang memang usil. Itu tandanya dia suka denganmu, dan ingin selalu berdekatan setiap hari..." suara Bayu terdengar lirih.

Gadis itu seperti tak berusaha berontak ketika dia memandang Bayu. Wajah mereka begitu dekat. Suasana sepi itu seperti menggoda hati mereka masing-masing. Puji Lestari mengatupkan kedua kelopak matanya ketika wajah pemuda itu dirasanya semakin mendekat. Tiba-tiba dia merasa sulit bernafas ketika bibirnya terasa hangat. Perasaan ganjil menyesak di dadanya, dan hal itu belum pernah dialaminya selama ini. Perasaan suka, senang, dan bahagia bercampur takut namun tak kuasa menghindar.

"Kaaaakh...!"

Tiren kembali memekik nyaring mengagetkan kedua insan yang tenggelam dalam suasana pagi yang dingin.

"Eh...ng...maaf. Aku...aku...." Bayu salah tingkah sambil melepaskan pelukannya pada gadis itu.

Lewat cahaya pelita yang menyala redup Bayu mampu melihat wajah wanita itu yang memerah sebelum dia menundukkan kepala dengan malu-malu dan langsung beranjak ke belakang. Pendekar Pulau Neraka menggaruk-garukkan kepalanya dengan wajah bingung seperti orang tolol. Kemudian dia senyum-senyum sendiri ketika Tiren menyeringai dan menjulurkan lidah persis di depannya. Bayu terkekeh kecil.


***


TUJUH

Matahari belum lagi tepat berada di atas kepala ketika sebuah bayangan tampak melesat cepat meninggalkan sebuah gedung mewah sambil tertawa-tawa kegirangan. Melihat caranya bergerak bagai sapuan angin pastilah orang tersebut memiliki ilmu lari cepat tingkat tinggi, dan setidaknya pasti memiliki ilmu silat yang jauh di atas orang-orang persilatan kebanyakan.

Namun bila melihatnya dari dekat, terlihat hal aneh pada anggota tubuh orang itu. Tubuhnya berkulit hitam legam memiliki kepala dua dan dua pasang tangan. Rambutnya hitam kaku dan lusuh seperti tak pernah kena air bertahun-tahun. Sepasang matanya yang lebar dan bulat menempel begitu saja seperti tak memiliki kelopak.

"Ha ha ha ha...! Semuanya akan tewas di tangan Hantu Rimba Larangan! Kalian akan merasakan siksaan serta hinaan berat seperti apa yang kualami dulu. Kalian akan merasakan semua...!" Terdengar suara serak dan berat berkumandang ke segala pelosok tempat itu.

Sesosok bayangan yang tak lain dari Hantu Rimba Larangan terus berkelebat cepat mendekati sebuah lembah di mana terdapat sebuah telaga yang di atasnya mengucur sebuah air terjun. Pemandangan ditempat itu indah sekali. Sebongkah bukit cadas tegak berdiri ditumbuhi lumut dan pepohonan kecil di tebingnya yang curam. Dari situlah mengalir air terjun tersebut.

Hantu Rimba Larangan berhenti dan menciduk air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Terdengar helaan nafasnya yang lega. Kemudian tertunduk menekur pada sebuah batu besar dan berkaca pada air telaga. Wajahnya tiba-tiba garang penuh kebencian dendam kesumat, berubah lesu dan nuansa kepedihan terbayang nyata.

"Ibu... tak pernah aku menyalahkanmu atas kelahiranku yang tak semestinya ini. Tenanglah kau di alam sana. Karena aku akan membalas sakit hatimu pada mereka. Orang-orang itu harus mendapat pembalasan yang setimpal...." katanya dengan suara lirih.

Hantu Rimba Larangan termangu. Wajahnya berubah serius, dan sepertinya dia merasakan kehadiran orang yang disebutnya tadi berbicara padanya lewat bayangan di permukaan telaga.

"Tidak ibu! Jalan yang kutempuh adalah yang benar! Masih ingatkah engkau ketika mereka mengejek dan menyiksaku? Mereka menganggapku lebih hina dari anjing kudisan. Hanya kau seorang yang mengasihiku di atas dunia ini. Tahukah ketika engkau kemudian meninggalkanku?

Hatiku hancur, Bu. Aku berlari seperti orang gila ke dalam hutan. Saat itu aku tak ingin hidup lagi. Kau pun tahu bukan? Sampai akhirnya aku terperosok ke dalam sebuah sumur tua yang dalam dan pengap. Di sanalah kutemukan kitab pelajaran ilmu silat. Bertahun-tahun aku melatih diri untuk membalaskan sakit hati ini, dan sekarang masa itu telah tiba. Mereka harus menanggung akibatnya!" sentak Hantu Rimba Larangan sambil bangkit berdiri dan mendengus garang.

Tak terasa air matanya menitik dan jatuh di permukaan telaga hingga membuat bayangan dirinya bercerai berai sesaat.

"Tidak ibu! Aku harus membalasnya pada mereka. Kalau kau tak setuju dengan caraku, aku tak peduli!" teriaknya seperti kehilangan akal.

Dengan gemas kemudian diangkat sebongkah batu besar dan dibenamkannya ke dalam telaga. Suara gemuruh terdengar sesaat. Air telaga itu bergelombang. Tidak sampai di situ, karena dengan tiba-tiba telapak tangan kanan Hantu Rimba Larangan menghantam permukaan telaga dengan tenaga dalam penuh.

"Hiyaaaat...!"
"Pyar!"

Sungguh hebat akibatnya. Air telaga yang tadi tenang kini bergelombang tinggi hingga mampu melawan arus yang dibuat oleh air terjun di bawahnya.

"Yeaaaa...!"

Seperti orang kesurupan, Hantu Rimba Larangan kembali menghantamkan pukulan dari atas ke bawah pada curahan air terjun. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkannya. Untuk beberapa saat air terjun yang tercurah itu berhenti dan memuncrat ke atas pada jarak kurang dari dua tombak di atas permukaan telaga.

"Aku tak peduli apa yang kau katakan! Aku tak peduli! Mereka harus mampus semua Mereka harus mampus! Hiyaaat...!" teriak Hantu Rimba Larangan seperti orang gila.

Dia mengamuk sejadi-jadinya. Batu cadas sebesar kerbau hancur berantakan dan beberapa pohon besar tumbang dihantam pukulannya. Tempat itu seperti dilanda gempa dalam sekejap.

"Yeaaa...!"
"Glaaar!"

Setelah puas mengamuk, dia kembali terduduk dengan wajah lesu dan kuyu. Seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Terlihat Hantu Rimba Larangan menangis kecil.

"Maafkan kelakuanku, Bu. Aku tak bermaksud melawanmu, tapi apa yang kau katakan sangat bertentangan dengan hatiku. Apakah kau tidak merasakan betapa sakitnya hatiku saat mereka menghina, mengejek, bahkan menyiksaku dengan angkuhnya? Mereka beranggapan punya derajat lebih tinggi dariku. Tidak pantaskah aku membalasnya dengan kematian mereka? Apakah orang seperti itu harus dibiarkan hidup?

Mereka sama saja. Semua orang sama kelakuannya", dan mereka akan mendapat ganjaran yang setimpal dariku...." ujar Hantu Rimba Larangan kembali dengan suara pilu. Lama dia terpaku begitu tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya.

"Hantu Rimba Larangan, saat ini adalah hari kematian bagimu! Dosamu telah melewati takaran. Tak ada ampun lagi bagimu, dan tak ada tempat bagimu untuk kabur! Tempat ini telah kami kepung rapat!"


***


Orang bertubuh aneh itu menoleh. Terlihat di sekeliling tempat itu telah ramai oleh berbagai orang dengan senjata terhunus. Dari cara berpakaian agaknya mereka berasal dari dunia persilatan. Hantu Rimba Larangan menghitung, jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh orang. Bukannya dia merasa takut dan cemas sebaliknya tertawa-tawa senang.

"Ha ha ha ha...! Bagus kalian telah berkumpul di sini hingga tak susah-susah lagi aku mencari kalian satu persatu. Ayo, siapa yang ingin maju lebih dulu?! Atau kalian mau berbarengan, begitu lebih bagus agar lebih mudah aku mengirimnya ke akherat!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil bangkit berdiri menghadap orang-orang dari rimba persilatan.

"Huh! Sombong sekali kau keparat! Terimalah salam dariku Garuda Merah Penyapu Angkasa!" teriak seseorang yang mengenakan baju merah sambil menyerang Hantu Rimba Larangan dengan sengit.

"Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"

Hantu Rimba Larangan memapaki serangan lawan dengan wajah berkerut penuh kebencian. Orang yang menamakan dirinya Garuda Merah Penyapu Angkasa mengetahui bahwa lawan berilmu tinggi, tapi dia begitu yakin akan kemampuan ilmu silat dan tenaga dalamnya. Hingga begitu melihat kedua tangan lawan terkembang, kedua telapak tangannya pun menghantam sambil mengerahkan tenaga dalam dengan kekuatan penuh. Agaknya dia begitu yakin lawan akan binasa atau terluka olehnya.

"Glaaaar!"
"Aaaa...!"

Orang yang mengenakan baju merah itu cuma mampu mengeluh pelan ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Darah muncrat dari mulut dan hidungnya. Begitu tiba di tanah, nyawanya lepas seketika.

"Ha ha ha ha...!" Mampuslah bagianmu, orang celaka! Kau pikir mampu mengalahkan Hantu Rimba Larangan begitu mudah?! Puiih!"

"Jahanam! Kau betul-betul manusia keparat. Hantu Rimba Larangan, mampuslah kau! bentak salah seorang di antara mereka.

"Seraaang...!"

Mendengar teriakan itu, semuanya langsung bergerak mengeroyok Hantu Rimba Larangan.

"Yeaaa...!"

"Ha ha ha ha...! Majulah semua! Ayo, majulah dan jemput kematian kalian di tanganku!" teriak Hantu Rimba Larangan sambil tertawa kegirangan.

Orang-orang itu memang bukanlah tokoh sembarangan. Nama Hantu Rimba Larangan beberapa hari dikenal sebagai tokoh pencabut nyawa yang ditakuti karena ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya. Maka jika mereka yang berasal dari tokoh-tokoh gabungan berbagai Perguruan silat berani mengejar dan bermaksud membunuhnya, tentulah mereka bukan orang sembarangan. Paling tidak mereka adalah wakil nomor satu di perguruannya masing-masing. Bahkan tak sedikit di antara mereka terdapat ketua perguruan silat itu sendiri.

Tapi Hantu Rimba Larangan betul-betul membuktikan bahwa dia tokoh yang sulit ditaklukkan. Tubuhnya berkelebat dengan ringan menghantam lawan dan bergerak dengan cepat menghindari serangan lawan-lawannya. Kedua pasang tangannya itu sangat merepotkan, dan merupakan alat pembunuh yang ampuh.

"Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"

Beberapa orang kembali tewas di tangan Hantu Rimba Larangan. Pada masing-masing tangannya keluar angin pukulan yang berbeda. Dua telapak kanan mengeluarkan pukulan yang berhawa panas, sedangkan dari telapak kirinya menghantam pukulan berhawa dingin. Pengerahan dua pukulan yang masing-
masing berlawanan itu menunjukkan bahwa Hantu Rimba Larangan bukanlah tokoh sembarangan, sebab hal itu sangat sulit dilakukan meski oleh tokoh persilatan terkemuka sekalipun. Akibatnya bukan saja akan merusak diri, bahkan mampu berbalik dan menyerang diri sendiri, tapi Hantu Rimba Larangan mampu melakukannya dengan leluasa. Dan tak sedikit pun tanda-
tanda bahwa dia terkena pukulan sendiri.

"Hantu Rimba Larangan, terimalah kematianmu!" teriak seorang sambil melemparkan sepasang senjata yang mirip gelang.

"Bet! Bet!"

Tubuh Hantu Rimba Larangan bersalto di udara beberapa kali menghindari terjangan senjata lawan. Namun pada saat itu utusan dari Perguruan Walet Merah telah mengejar sambil menghunuskan pedang. Sementara tiga orang ketua perguruan silat menyerangnya dari arah yang berlawanan.

"Hiyaaaat...!"
"Yeaaa...!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Aaaa...!"

Sehebat-hebatnya seorang tokoh persilatan berilmu tinggi, tentu akan sulit menghindari dari serangan itu. Apalagi dalam keadaan tubuh yang mengapung di udara. Namun dengan berani Hantu Rimba Larangan memapaki serangan mereka. Ujung pedang salah seorang utusan Walet Merah menggores punggungnya, tapi pukulannya menghantam lawan yang seorang lagi hingga terpental sambil menjerit keras.

Hantu Rimba Larangan menekuk kepalanya menghindari salah seorang yang akan menyabet lehernya. Dua telapak tangan kanannya menghantam ke arah dua orang lawan, namun kedua orang itu membalas dengan sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam penuh.

"Yeaaa...!"
"Glaaar!"

Kedua orang itu terpental sambil mengeluh kesakitan. Hantu Rimba Larangan bukannya tak merasakan akibat pukulan lawan. Namun dia menggunakannya sebagai tenaga dorongan yang membuat tubuhnya terpental agak jauh dan bersalto beberapa kali di udara.

"Habisi dia...!"
"Dia telah terluka...!"
"Cincaaaang...!"

Kedua kaki Hantu Rimba Larangan belum lagi menjejak di atas tanah ketika lima orang lawan menyerangnya dengan ganas.

"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"

Dua orang kembali terjungkal dihantam pukulan Hantu Rimba Larangan dan tewas seketika. Tapi dia sempat terhuyung-huyung ketika sebuah pukulan lawan menyodok dadanya dengan keras.

"Rencah dia! Keparat ini telah terluka. Tak lama dia pasti akan kehabisan tenaga dan mampus!" teriak seseorang memberi semangat.

Hantu Rimba Larangan memang berilmu tinggi dan sulit dikalahkan. Tapi para pengeroyoknya pun bukanlah orang sembarangan. Bila diteruskan dengan cara begini, lama kelamaan dia akan terus terdesak dan kehabisan tenaga. Jumlah ini sudah melampaui batas untuk dilawannya seorang diri.

Seorang datuk persilatan yang tak terkalahkan pun akan binasa bila dikeroyok oleh orang-orang berilmu tinggi seperti mereka dalam jumlah banyak. Berpikir begitu tubuhnya melesat ke atas sebuah cabang pohon dan menghilang dari pandangan para pengeroyoknya untuk melarikan diri.

"Kejar terus...!" Jangan biarkan dia melarikan diri...!" teriak salah seorang memberi komando.


***


Hantu Rimba Larangan telah bersumpah akan membunuh orang itu semua, hingga tak mungkin dia lari begitu saja dari pertarungan tanpa menuntut balas. Rencananya telah tersusun rapi. Sambil menunggu malam tiba, dia beristirahat di sebuah cabang pohon yang besar dan tinggi untuk memulihkan tenaganya. Dari situ dia dapat mengintai mereka satu persatu yang masih terus men-carinya. Sementara itu gabungan orang-orang persilatan terus melakukan pencarian terhadap Hantu Rimba Larangan sampai senja mulai tiba.

"Bagaimana, Ki Srengseng? Apakah kita akan terus mencarinya di tempat ini?" tanya salah seorang ketua perguruan silat yang bernama Ki Bagus Sapta kepada ketua Perguruan Gelang Terbang.

"Hmm... aku punya firasat bahwa dia masih berada di sekitar sini. Dia mengalami luka dalam, dan lagi pula orang gila sepertinya tak mungkin mau kabur begitu saja. Dia pasti akan muncul!"

"Bagaimana kalau dia benar-benar telah melarikan diri?" tanya Ki Walang Sangit, ketua Perguruan Belalang Ijo.

"Kami sependapat dengan Ki Srengseng. Hantu Rimba Larangan adalah orang gila yang haus darah. Tak mungkin dia meninggalkan kita begitu saja. Orang itu pasti masih berada di sekitar sini!" sahut salah seorang utusan dari Perguruan Kembang Pelangi.

"Pasti dia mempunyai rencana tertentu terhadap kita!" dengus Ki Bagus Sapta.

"Aaaa...!"
"Heh?"
"Apa itu?"

Semua mengalihkan perhatian ke arah suara jeritan tadi. Dua orang utusan dari Perguruan Batu Hitam tewas dengan kepala remuk.

"Aaaa...!"
"Heh?"

Kembali terdengar jerit kematian. Lima orang utusan Perguruan Angsa Putih menemui ajal dihantam satu pukulan jarak jauh berhawa panas.

"Kurang ajar! Dia hendak bermain kucing-kucingan pada kita!" sentak Ki Srengseng garang.

"Pertajam pendengaran kalian dan jangan lengah!" teriak Ki Bagus Sapta garang.

Mendengar itu semuanya langsung berjaga-jaga dengan sikap lebih waspada. Pendengaran mereka dibuka lebar-lebar dan pandangan matanya dipertajam unntuk mengawasi setiap gerak yang mencurigakan.

"Yeaaa...!"
"Itu dia!"
"Seraaaang...!"
"Aaaa...!"

Suatu bentakan nyaring kembali terdengar yang disusul dengan terpentalnya empat orang yang berada di dekat sebuah pohon besar. Nyawa mereka lepas seketika setelah menyentuh tanah. Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit nyaris jadi korban kalau mereka tak cepat menghindar.

"Sing!"

Sepasang gelang terbang milik Ki Srengseng mendesing cepat ke arah sebuah bayangan yang sempat ditangkap penglihatannya.

"Kejar dia ke arah sana!" teriaknya memberi komando pada yang lain.

"Hiyaaat...!"

Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit telah mendahului yang lain dan mencelat ke cabang sebuah pohon sambil mengirim satu pukulan jarak jauh dengan tenaga dalam penuh.


"Aaaa...!"
"Hei?!"

Mereka tersentak kaget. Dari arah lain kembali jatuh korban. Enam orang kembali tewas terpental dihantam pukulan jarak jauh yang membuat tubuh mereka remuk.

"Keparat kau Hantu Rimba Larangan! Keluarlah kalau kau memang bukan pengecut!" teriak Ki Srengseng sambil menangkap kembali sepasang gelang terbangnya yang tak menemui sasaran.

Tak terdengar sahutan. Tempat itu masih senyap seperti semula. Ki Srengseng menatap yang lainnya. Jumlah mereka kini banyak berkurang. Tak lebih dari sepuluh orang. Hal ini betul-betul menjengkelkan dan membuat hati mereka panas bukan main.

"Hmm... dia menggunakan kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh untuk mengecoh kita!" dengus Ki Srengseng garang.

"Betul, Ki. Tenaga dalamnya pun hebat, dan berada di atas kita. Dengan caranya itu kita tahu betul-betul telah terkepung!" sahut Ki Walang Sangit.

"Awaas...!" teriak Ki Bagus Sapta memperingatkan yang lain ketika sesosok bayangan menerpa ke arah mereka.

Ketiga orang ketua perguruan silat itu melompat menghadang, namun gerakan mereka terlambat. Empat orang dari tokoh persilatan kembali menjadi korban hantaman pukulan sesosok bayangan itu. Tubuh mereka terpental sambil menjerit tertahan. Dan nyawanya langsung putus seketika.

"Yeaaa...!"

Bayangan itu bergerak begitu cepatnya. Bahkan hampir tak terlihat dia menjejakkan kaki dan kembali menyerang mereka dengan menimbulkan desir angin kencang bagai badai topan.

"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Aaaa...!"

Ki Srengseng memapaki serangan lawan ketika sepasang gelang terbangnya dengan mudah dielakkan. Orang tua itu mengeluh kesakitan ketika kedua telapak tangan mereka saling beradu. Bayangan itu bergerak cepat sekali menghindari sabetan pedang Ki Bagus Sapta, namun tak urung dia mengeluh pelan ketika senjata Ki Walang Sangit yang berupa clurit menggores kulit perutnya sampai meneteskan darah segar. Namun sebagai balasannya tiga orang di antara mereka kembali menjadi korban pukulan dan tendangan kaki bayangan itu.


***


DELAPAN

Sesosok bayangan itu melompat jauh sekitar tiga tombak sambil mengeluarkan suara tawa yang serak dan dalam.

"Ha ha ha ha...! Sekarang tinggal kalian bertiga. Salah seorang terluka parah, itu berarti tinggal berdua. Dengan sekali tepuk tamatlah riwayat kalian!"

"Hantu Rimba Larangan, kau adalah seorang pengecut yang amat menjijikkan!" dengus Ki Walang Sangit garang.

"Ha ha ha ha...! Siapa sebenarnya yang pengecut? Mereka yang mengeroyok ataukah orang yang menyelamatkan diri dengan berbagai cara?" ejek orang yang tak lain dari Hantu Rimba Larangan sambil tersenyum kecil.

"Huh! Jangan kira walaupun berdua kami tak takut menghadapimu! Hari ini kalau bukan kami maka kaulah yang akan mampus!" kata Ki Bagus Sapta lantang.

"Kalau kalian patut mampus, tapi aku? Ha ha ha ha...! Kau bermimpi mengharapkan kematianku dalam keadaan begini!"

Selesai berkata begitu tiba-tiba tubuh Hantu Rimba Larangan mencelat ke arah mereka sambil berteriak nyaring.

"Hiyaaat...!"

Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit cepat menghindar sambil balas menyerang lawan dengan senjatanya masing-masing. Namun dengan mudah Hantu Rimba Larangan menghindari serangan mereka.

"Plak!
Duk!"
"Akh!"
"Yeaaa...!"

Ketika Ki Bagus Sapta membabatkan pedangnya, tubuh Hantu Rimba Larangan bergerak ke samping sambil menundukkan kepala dari sabetan clurit Ki Walang Sangit. Kepalan tangan kanannya menghantam lurus ke dada Ki Bagus Sapta. Tapi orang tua itu cepat melompat ke belakang, sementara tubuh Hantu Rimba Larangan mengikuti sekaligus kedua tangan kirinya menangkis pergelangan tangan Ki Walang Sangit ketika terlebih dahulu menghindari sabetan senjatanya.

Saat itulah secara tak terduga kaki kanannya berhasil menghajar tulang kering Ki Bagus Sapta hingga orang tua itu mengeluh kesakitan. Demikian juga halnya dengan Ki Walang Sangit. Tangan kanannya yang memegang clurit nyaris terlepas ketika tubuhnya mampu menghindari dua buah pukulan yang dilontarkan lawan.

Tapi tubuh Hantu Rimba Larangan telah kembali mencelat sebelum mereka memperbaiki posisi. Sasaran yang dirasanya lemah adalah Ki Bagus Sapta. Ketua Perguruan Bulan Kambangan itu berguling-guling menghindari serangan lawan. Untung pada saat-saat terdesak Ki Walang Sangit masih sempat membantu sehingga nyawanya masih bisa terselamatkan.

Sementara itu Ki Srengseng yang terluka dalam akibat benturan tenaga dengan Hantu Rimba Larangan, memaksakan diri bangkit dan bermaksud membantu kedua rekannya.

"Hmm... kalau kau memang menginginkan kematian, pergilah lebih dulu!" dengus Hantu Rimba Larangan ketika menghindari serangannya.

"Yeaaa...!"

Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit berbarengan melompat menyerang lawan ketika Hantu Rimba Larangan bersiap menghantamkan pukulannya ke arah Ki Srengseng.

"Huh! Kalau begitu mampuslah kalian bertiga!" dengusnya sambil mengertakkan rahang dan mengalihkan pukulan ke arah keduanya.

"Hup!"
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
"Duk!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Bukan main terkejutnya Ki Bagus Sapta dan Ki Walang Sangit melihat serangan Hantu Rimba Larangan yang cepat dan kuat. Ketika hantaman pertama tadi mereka masih mampu berkelit, tapi siapa sangka pukulan lawan sama cepatnya dengan gerakan tubuhnya. Keduanya tak sempat lagi menghindar ketika sepasang tangan Hantu Rimba Larangan menghantam dada mereka dengan telak. Keduanya terjengkang sambil menjerit keras dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Mampuslah kalian sekarang...!"

"Yeaaa...!"

Walaupun telah terluka parah, namun keduanya bertahan mati-matian sambil bergulingan pada arah yang berlawanan agar lawan tak mampu menghantam mereka sekaligus. Taktik itu memang cukup jitu, namun bagi Hantu Rimba Larangan taktik itu tak berarti!"

"Hmm... kalian kira bisa menunda kematian dariku? Kupastikan kalian akan mampus ketiganya pada saat yang bersamaan," gumam Hantu Rimba Larangan sambil tersenyum sinis.

Kedua tangan kirinya siap menghantam dengan pukulan berhawa panas ke arah Ki Walang Sangit yang dianggapnya memiliki tenaga dalam lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Sedangkan tangan kirinya yang satu lagi siap menghantamkan hawa pukulan dingin ke arah tubuh Ki Srengseng yang bersiap akan menyerang lawan.

"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Hei?!"


***


Pada saat yang sangat keritis bagi ketiganya sesosok bayangan tiba-tiba melesat ke arah Hantu Rimba Larangan sambil berteriak nyaring. Orang itu terpaksa mengalihkan pukulannya ke arah bayangan yang baru datang. Merasakan angin serangannya yang kencang, Hantu Rimba Larangan tak berani menganggap enteng. Keempat telapak tangannya diarahkan penuh. Tapi bayangan tadi lebih lincah lagi bergerak. Tubuhnya melenting beberapa kali di udara, kemudian mencelat ke tanah. Namun belum lagi Hantu Rimba Larangan menegaskan siapa bayangan yang menyerangnya, tiba-tiba datang lagi serangan kilat ke arah tubuhnya.

"Hiyaaa...!"
"Huh!"
"Plak!"
"Begkh!"

"Keparat!" Hantu Rimba Larangan memaki ketika pukulan mereka saling beradu. Namun lawan masih sempat menyarangkan satu tendangan ke perutnya, yang membuat tubuh Hantu Rimba Larangan terhuyung-huyung ke belakang sejauh tiga langkah.

"Dolo Lungkat! Sudah waktunya kau mengakhiri semua ini!" kata bayangan itu sambil berdiri tegak pada jarak dua tombak di depannya.

"Siapa kau?! Dari mana kau tahu namaku?!" bentak Hantu Rimba Larangan sambil menegaskan penglihatannya.

Namun ketika mengetahui siapa sebenarnya bayangan itu, yang tak lain dari pemuda gondrong berbaju kulit harimau yang pernah ditemuinya beberapa hari lalu.

"Hmmm... kau rupanya orang usil!" dengusnya sinis.

"Dolo Lungkat, dosamu telah melewati takaran. Kau harus terima hukumannya. Kalaupun aku bisa mengampuni jiwamu, tapi mustahil semua orang mau mengampunimu. Perbuatanmu sungguh biadab hingga kau betul-betul bukan manusia seperti yang diejekkan orang-orang di Desa Kedungbala padamu dulu," ujar pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain dari Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.

"Jangan bawa-bawa peristiwa lalu. Kau atau yang lainnya sama saja. Kalian manusia-manusia laknat yang harus menerima pembalasan dariku. Termasuk juga kau!"

"Sungguh sayang... orang dengan kepandaian tinggi sepertimu seharusnya mengabdikan diri di jalan kebenaran. Tapi kau malah berbuat sebaliknya...." sahut Bayu tenang sambil menggelengkan kepala.

"Jangan menasehatiku! Kau pun akan mampus seperti yang lainnya," dengus Hantu Rimba Larangan.

Tak seperti menghadapi lawan-lawannya yang lain, kali ini terlihat dia tak berani gegabah menghadapi pemuda berambut gondrong itu. Pertarungan singkat di Desa Kedungbala memberikan pelajaran pahit karena ternyata pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Hantu Rimba Larangan berkelebat cepat dengan mengerahkan tenaga dalam penuh sambil berteriak nyaring.

"Terimalah kematianmu, Bocah! Yeaaa...!"

"Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka dengan cepat menyambut serangan lawan ketika tubuhnya melenting ke atas menghindarinya. Namun tubuh Hantu Rimba Larangan berbalik cepat mengejarnya.

"Hmm... agaknya kau betul-betul sulit disadarkan. Kau menganggap dirimu tak terkalahkan. Meski aku tak memiliki kepandaian, tapi aku bersumpah akan menghentikan segala kebiadabanmu!" ujar Pendekar Pulau Neraka dengan nada merendah.

"Jangan banyak mulut! Hari ini adalah kematian bagi kalian semua!" sahut Hantu Rimba Larangan.

"Hiyaaat...!"
"Plak!"
"Duk!"
"Des!"
"Aaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka menggeram dahsyat. Kedua telapak tangannya memapaki keempat telapak tangan lawan dengan gerakan yang cepat hingga sulit diikuti oleh mata biasa. Kaki kiri Hantu Rimba Larangan masih sempat menendang ke perut lawan. Bayu mengeluh pelan merasakan isi perutnya seperti diaduk-aduk. Untung dia telah melindungi diri dengan mengerahkan tenaga dalamnya.

Tapi bukan berarti lawan tak mengalami naas. Kaki Bayu menghantam telak dadanya. Keduanya terhuyung-huyung ke belakang berapa tindak. Darah segar menetes disudut bibir masing-masing menandakan keduanya mengalami luka dalam.

Hantu Rimba Larangan terkejut bukan main. Selama dia malang melintang menghadapi lawan, belum pernah dia bertemu dengan orang yang kepandaiannya setinggi pemuda itu. Diam-diam timbul juga rasa khawatir dalam hatinya.

"Siapa kau sebenarnya, Bocah?"

"Sebelum kau mampus, ada baiknya aku memberitahukan siapa diriku agar kau tak mati penasaran. Orang-orang persilatan menyebutku dengan Pendekar Pulau Neraka. Jelas bukan?"

"Hmm.... Pendekar Pulau Neraka?" gumam Hantu Rimba Larangan sambil menganggukkan kepala berusaha tenang. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan keterkejutannya. Boleh jadi karena dia baru mengenal nama itu. Tak heran, karena selama ini dia memang jarang bergaul dan tak pernah mengenal siapa pun tokoh-tokoh dunia persilatan. Dalam benaknya mereka sama saja, dan dianggapnya tak berarti. Tapi berhadapan dengan pemuda itu membuatnya lebih waspada dan menyadari bahwa ada juga orang-orang yang memiliki ilmu silat setingkat dengan dirinya. Bahkan tak mustahil melebihinya.

Sebaliknya dengan ketiga tokoh yang merupakan ketua perguruan silat, nama Pendekar Pulau Neraka tak asing lagi di telinga mereka.

"Pendekar Pulau Neraka? Oh, tak sangka akhirnya aku bisa melihat tokoh yang menggegerkan dunia persilatan belakangan ini!" seru Ki Srengseng sambil tersenyum kecil.

"Hmmm... tak kusangka orangnya ternyata masih muda. Sungguh hebat dia!" puji Ki Bagus Sapta.

"Kiranya nama itu ada dan aku telah melihatnya sendiri kali ini. Padahal kupikir nama itu hanya legenda saja," sahut Ki Walang Sangit.

"Mudah-mudahan dia mampu mengatasi orang gila itu!" Ki Srengseng berharap sambil menggeram penuh kemarahan.


***


Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Hantu Rimba Larangan terus berlangsung alot. Sesekali terdengar monyet kecil berbulu hitam yang tadi muncul bersama pemuda itu menjerit keras sambil melompat-lompat ke sana ke mari. Kedua tangannya bertepuk sambil memberikan semangat pada Pendekar Pulau Neraka. Kelihatannya dia yakin betul bahwa pemuda itu mampu mengalahkan lawannya.

Bayu sendiri memang harus mengakui bahwa kepandaian lawan cukup tinggi. Bahkan tenaga dalamnya belum tentu berada di bawahnya. Tapi dia sedikit merasa di atas angin ketika mengetahui ilmu meringankan tubuhnya setingkat di atas lawan. Hal itu sangat menguntungkan. Lebih-lebih lagi keadaan Hantu Rimba Larangan tidak lagi sesegar ketika dia mulai bertarung dengan gabungan tokoh persilatan yang tadi mengeroyoknya. Saat ini tenaganya nyaris banyak terkuras.

Tapi bukan berarti Pendekar Pulau Neraka dapat dengan mudah mencegahnya. Kedua pasang tangannya masih sulit ditembus, dan penglihatannya masih cukup tajam mengamati setiap gerakan lawan. Pendekar Pulau Neraka telah kepalang geram dan muak pada tokoh yang satu ini. Apalagi ketika terbayang segala perbuatannya yang biadab, membunuh manusia seperti membunuh binatang yang nyawanya tak berarti. Berpikir ke arah itu kemarahannya semakin memuncak, dan serangan-serangannya semakin gencar.

"Hiyaaa...!"

Tubuhnya bergerak cepat menghantam perut lawan, namun dengan nekat Hantu Rimba Larangan memapaki dengan kedua tangan kanannya. Sementara kedua tangan kirinya bersiap menghantam ke dada lawan.

"Plak!"
"Bed!"
"Des!"
"Aaaa...!"
"Yeaaa...!"

Tubuh Hantu Rimba Larangan terpental ke belakang beberapa langkah ketika pukulan mereka saling bertemu. Kedua tangan kirinya dengan mudah dielakkan pemuda itu. Ketika tubuhnya melenting ke atas, dan dengan cepat mengirim tendangan telak ke dada lawan. Hantu Rimba Larangan menjerit keras. Tubuhnya terbanting dua tombak darah mengalir dari sela bibir dan hidungnya.

"Uts!"

Namun dia masih sempat berguling menghindari serangan susulan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya sebelum tubuhnya mengejar lawan dengan satu serangan yang cukup cepat dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

"Sing!"
"Yeaaa...!"
"Cras!"

Hantu Rimba Larangan memang masih mampu menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka, namun Cakra Maut yang dilontarkan Bayu tak mampu dihindarinya.

"Aaaa...!"

Hantu Rimba Larangan menjerit keras ketika perutnya robek disambar senjata lawan. Kulit tubuhnya memang kebal terhadap senjata lawan, namun dia tak memiliki ilmu kebal yang hebat. Lagi pula senjata Pendekar Pulau Neraka bukanlah senjata sembarangan. Di tangan si Cakra Maut, guru Pendekar Pulau Neraka, senjata itu telah banyak membuktika kehebatannya dan ditakuti lawan. Di samping itu Bayu pun menyadari bahwa lawan kebal terhadap senjata tajam. Itulah sebabnya dia tak mau meremehkannya, dan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi saat melemparkannya tadi.

"Hiyaaat...!"
"Begkh! Des!"
"Aaaa...!"

Tubuh Pendekar Pulau Neraka kembali melesat sambil berputar bagai gasing. Hantu Rimba Larangan berusaha bangkit sambil bergulingan. Tapi tendangan kaki lawan lebih cepat lagi menghantam pinggang. Terdengar tulang berderak patah. Tubuh Hantu Rimba Larangan terangkat setengah tombak. Pendekar Pulau Neraka agaknya tak mau bertindak kepalang tanggung. Kepalan tangan kanannya menyusul menghantam tubuh lawan. Hantu Rimba Larangan menjerit lemah. Tubuhnya terlempar sejauh tiga tombak dan membentur batu besar didekat telaga. Kepalanya menggeleng lemah sesaat sebelum akhirnya diam tak bergerak. Nyawanya putus saat itu juga.

"Tenanglah kau di alam sana dari pada hidup membuat kekejaman dan kebiadaban..." ujar Bayu lirih.

Agak lama dia memandang tubuh ganjil itu sebelum akhirnya melangkah pelan setelah menangkap monyet kecil sahabatnya. Dan meletakkannya di pundak. Wajahnya terlihat kelam. Bagaimanapun hatinya tersentuh dengan penderitaan yang dialami orang itu. Tapi kalau dibiarkan hidup pasti akan menjadi ancaman bagi umat manusia.

"Ki sanak, tunggu...!"

Bayu menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya. Baru dia teringat bahwa dia bukan satu-satunya yang masih hidup, masih ada tiga orang lagi yang merupakan ketua perguruan silat di tempat itu.

"Kami ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongan Kisanak...." ujar Ki Srengseng mewakili dua orang rekannya. Bayu tersenyum kecil.

"Paman, tak perlu berterima kasih padaku. Ini sudah menjadi kewajiban kita bersama...."

"Setidaknya kau telah menyelamatkan kami dari incaran maut..." timpal Ki Bagus Sapta.

"Paman, aku hanya perantara dan sama sekali bukan penyelamat nyawa paman semua. Nah, untuk segala sesuatunya aku mohon pamit dulu. Masih banyak yang harus kukerjakan." kata Bayu sambil menjura hormat.

Pendekar Pulau Neraka cepat berkelebat dari tempat itu sambil menggunakan ilmu lari cepatnya. Hingga dalam sekejap tubuhnya telah lenyap dari pandangan mereka. Ketiganya menggelengkan kepala dengan wajah takjub!


SELESAI

Episode Selanjutnya WARISAN KITAB PUSAKA