Bunga Dalam Lumpur - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Bunga Dalam Lumpur
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar pulau Neraka

SATU

Sorak sorai yang diselingi tepuk tangan dan mulut-mulut usil terdengar riuh dari orang yang memadati halaman besar sebuah bangunan batu menyerupai puri. Di tengah tengah lingkaran bergaris putih, terlihat dua orang bertubuh tinggi kekar dengan otot-otot bersembulan sedang berlaga. Tubuh mereka yang hanya mengenakan cawat dari kulit binatang, telah kotor oleh tanah berlumpur.

Tampak pada bagian atas undakan bangunan puri itu, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun di atas kursi berukir. Dia dikawal empat orang bersenjata tombak dan pedang. Di sampingnya duduk seorang wanita muda yang wajahnya terlindung cadar tipis dari sutra. Dalam bayang-bayang cadar tipis itu, masih terlihat seraut wajah cantik yang memiliki mata bening bercahaya. Namun nampak jelas kalau wanita itu tidak menyenangi acara adu kekuatan. Dari sikapnya yang selalu gelisah, mencerminkan ketidaktahannya berlama-lama di situ.

Sementara itu dua orang yang berlaga sudah mencapai puncaknya. Suara sorak sorai bergemuruh ketika salah seorang terjerembab tewas dengan dada tertembus golok besar dan panjang. Orang yang memperoleh kemenangan itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi keatas, kemudian membungkuk memberi hormat pada laki-laki yang dikawal empat orang bersenjata itu.

Seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul mendekatkan wajahnya pada laki-laki di depannya yang berbaju indah dihiasi manik-manik dan sulaman benang emas. Dia membisikkan sesuatu.

"Silakan, umumkan saja," kata orang yang duduk di kursi berukir itu.

Orang tua berjubah kuning gading itu kemudian mendekati seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berkumis tebal melintang. Juga dibisikkan sesuatu, dan laki laki tegap berkumis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian laki-laki berkumis melintang itu melangkah maju tiga tindak, lalu menjura memberi hormat.

"Ada pengumuman dari Yang Mulia Sura Antaka. Siapa saja boleh maju menantang Singo Barong. Yang menang akan mendapat hadiah seratus keping emas!" lantang suara laki-laki berkumis itu.

Pengumuman itu disambut gegap gempita, namun tidak ada seorang pun yang melompat maju ke arena. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah beringas, berdiri tegak dengan angkuhnya. Sikapnya menantang siapa saja yang mau mencoba bertanding dengannya.

"Ayah, boleh aku pergi sebentar?" wanita yang duduk di samping Sura Antaka memohon lembut.

"Sebentar lagi, anakku. Pertunjukkan belum selesai," kata Sura Antaka.

Wanita bercadar tipis itu langsung diam. Dari sinar matanya dapat ditebak kalau dia semakin tidak senang dengan semua pertunjukkan ini, tapi tidak berani untuk meninggalkannya. Dia tahu kalau ayahnya sangat disegani dan ditakuti di daerah Utara ini. Seorang yang memiliki kekuasaan besar, meskipun bukan raja. Pengikutnya cukup banyak, dan rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Sementara itu, dari kerumunan penonton yang tidak bisa diam mulutnya, melompat seorang pemuda ke tengah-tengah arena. Wajahnya cukup tampan. Namun luka codet di pipi kirinya sangat mengganggu, dan seperti mengurangi ketampanannya. Dia menjura memberi hormat pada Sura Antaka.

“Yang Mulia, aku minta hadiahnya ditambah. Aku menginginkan Putri Dewi Mustikaweni menjadi hadiahnya,” kata pemuda itu lantang

"Bocah lancang! Berani benar menghina Putri Dewi Mustikaweni!" bentak laki-laki tua berjubah dan berkepala gundul itu.

“Pendeta Ajisaka, bagiku seratus keping emas tidak ada artinya. Hanya Putri Dewi Mustikaweni yang menjadi keinginanku," tegas pemuda itu semakin berani.

Sementara Singo Barong menggeram marah mendengar kelancangan mulut calon lawannya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa sebelum mendapat perintah dari junjungannya. Singo Barong hanya bisa menatap dengan mata merah membara penuh kemarahan. Saat itu Sura Antaka bangkit dari kursinya. Suasana yang semula riuh, mendadak sunyi. Semua orang yang berada di tempat itu menjadi berdebar mendengar kelancangan mulut pemuda codet di pipi kirinya itu.

"Anak muda, siapa namamu? Dari mana kau berasal?" tanya Sura Antaka kalem nada suaranya.

"Aku Gagak Codet, dan berasal dari Gunung Pitu. Sengaja datang ke sini untuk mengikuti pertandingan ini. Tapi tujuanku hanya untuk memboyong putrimu!" lantang jawaban pemuda yang mengaku bernama Gagak Codet

"Kau sudah kenal putriku?" tanya Sura Antaka lagi. Nada suaranya masih terdengar tenang.

"Belum."

Suara tawa langsung pecah seketika. Tapi suara tawa itu seketika berhenti ketika Gagak Codet membentak dengan keras. Sedangkan Sura Antaka hanya tersenyum saja.

"Baiklah, Gagak Codet. Aku terima tawaranmu. Tapi kalahkan dulu Singo Barong. Setelah itu hadapi Macan Gadak, kemudian Pendeta Ajisaka. Dan yang terakhir aku sendiri. Bagaimana?"

"Tidak perlu satu-satu. Lebih baik maju semua!" tantang Gagak Codet.

"Sombong!" dengus Singo Barong semakin muak.

"Aku bukan orang yang senang main keroyokan, Gagak Codet Nah! Lawanlah Singo Barong lebih dahulu," masih terdengar tenang nada suara Sura Antaka.

Belum lagi kata-kata Sura Antaka hilang dari pendengaran, Singo Barong sudah menggeram keras, lalu secepat kilat melompat menerjang Gagak Codet. Namun terjangan itu dengan manis sekali dapat dihindarkan. Bahkan Gagak Codet masih mampu memberikan pukulan keras ke arah kepala manusia bertubuh tinggi tegap dan kotor berlumpur itu. Sekitar arena pertandingan itu memang becek dan berlumpur.

Sorak dan tepuk tangan serta celetukan-celetukan memanasi kembali terdengar. Sura Antaka kembali duduk di kursinya. Bibirnya tetap tersenyum menyaksikan pertarungan yang sudah berlangsung sengit itu. Nampak sekali kalau Gagak Codet memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Gerakan-gerakannya lincah, dan setiap pukulannya mengandung pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Beberapa kali Singo Barong terkena pukulan pemuda berwajah codet pada pipi kirinya itu. Tapi tubuh Singo Barong memang kebal, bagai terbuat dari baja. Dia hanya menggerung setiap terkena pukulan atau tendangan pada tubuhnya.

Hari sudah menjelang senja, tapi pertarungan antara Singo Barong melawan Gagak Codet masih terus berlangsung sengit. Kini Gagak Codet sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa pedang tipis dan panjang, hampir melebihi panjang tangannya sendiri. Dan Singo Barong pun sudah menggenggam goloknya yang besar dan nampak berat itu.

"Modar! Hiyaaat...!" tiba-tiba Gagak Codet berteriak keras menggelegar.

Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat, mengarah ke dada Singo Barong. Namun laki-laki bertubuh tinggi besar penuh lumpur itu malah menurunkan tangannya, lalu membuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, tebasan pedang Gagak Codet kontan menghantam dada Singo Barong. Namun yang terjadi sungguh mengejutkan!

"Akh...!" Gagak Codet malah terpekik, dan langsung melompat mundur.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak.

"Setan...!" geram Gagak Codet sambil meringis. Semua jari-jari tangannya jadi terasa kaku berdenyut. Sungguh luar biasa sekali tubuh Singo Barong. Padahal tepat sekali pedang Gagak Codet membelah dadanya. Dan pemuda codet itu malah merasakan seperti menghantam sebongkah baja yang kuat sekali. Bahkan pedangnya sampai terpental balik, dan seluruh persendian tangannya bergetar nyeri.

Semua orang yang memadati sekitar arena pertarungan itu bersorak mengelu-elukan Singo Barong. Beberapa mulut usil mengejek Gagak Codet, dan memanas-manasinya. Wajah Gagak Codet jadi merah padam. Bergegas digerak-gerakkan pedangnya membuat satu gerak pembuka jurus.

"Keluarkan semua kemampuanmu, Gagak jelek! Aku beri kesempatan lima jurus!" kata Singo Barong jumawa.

"Phuih!" Gagak Codet menyemburkan ludahnya. Bagaikan seekor macan lapar, Gagak Codet melompat cepat sambil membabatkan pedangnya tiga kali ke arah bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Tapi hebatnya Singo Barong tidak bergeming sedikit pun. Bahkan dibiarkan saja pedang itu menghantam tubuhnya, sambil dia tertawa terbahak-bahak. Gagak Codet mendengus kesal bercampur geram. Namun dalam hatinya jadi gentar juga menghadapi kenyataan ini. Kemampuannya sudah semua dikeluarkan, tapi sedikit pun tidak dapat melukai kulit manusia tambun ini.

"Cukup, Gagak jelek! Sekarang giliranku!" seru Singo Barong keras.

Setelah berkata demikian, Singo Barong mengebutkan tangan. Ditangkapnya pedang Gagak Codet yang terayun cepat mengarah ke leher. Singo Barong menghentakkan pedang itu, sehingga Gagak Codet terangkat naik, dan terpental ke udara. Dengan keras, Gagak Codet jatuh bergelimpangan di tanah berlumpur hitam. Bajunya yang semula bersih, seketika dipenuhi kotoran lumpur.

Tapi Gagak Codet tidak sempat menghiraukan lumpur yang mengotori tubuh dan bajunya, karena dia sudah sibuk menghindari serangan golok besar Singo Barong. Gagak Codet hanya mampu berkelit. Pedangnya sudah patah-patah dirampas manusia tinggi besar berwajah garang itu.

"Phuih! Aku tidak mau mati konyol di sini!" dengus Gagak Codet

Tepat ketika golok Singo Barong mengarah ke kakinya, Gagak Codet melompat. Dan dengan ujung jari kakinya dia menotok permukaan golok itu. Dengan meminjam tenaga Singo Barong, tubuhnya melenting, melewati beberapa kepala, dan hinggap di atas dahan pohon. Sebelum ada yang menyadari, Gagak Codet cepat melesat kabur dari tempat itu.

"Jangan biarkan dia lolos! Kejar...!" seru Pendeta Ajisaka keras.

Beberapa orang berseragam membawa pedang dan tombak, langsung bergerak mengejar. Bahkan tiga puluh orang berkuda segera menggebah kudanya ikut mengejar Gagak Codet. Sura Antaka sendiri sampai terlonjak berdiri dari kursinya melihat Gagak Codet kabur. Belum pernah dalam acara pertandingan yang diadakan setiap tiga bulan ini ada orang yang kabur dalam kekalahannya. Biasanya yang kalah langsung mati di tempat.

"Paman Ajisaka, cari monyet keparat itu sampai dapat. Bawa dia padaku!" kata Sura Antaka geram.

"Baik, Yang Mulia," sahut Pendeta Ajisaka seraya menjura hormat

Sura Antaka melangkah menuruni undakan bangunan puri itu. Sedangkan Putri Dewi Mustikaweni mengikuti di sampingnya. Sebuah kereta ditarik delapan ekor kuda putih, telah siap di depan undakan batu itu. Seorang berseragam merah membawa tombak panjang, membuka pintu kereta.

Sura Antaka memberikan kesempatan pada putrinya untuk masuk lebih dahulu, kemudian baru dia sendiri melangkah masuk. Kereta indah yang ditarik delapan ekor kuda putih itu bergerak meninggalkan halaman puri ini. Sekitar lima puluh orang berpakaian seragam merah dan bersenjata tombak, mengikuti dari belakang dengan kuda-kuda mereka. Sedangkan lima puluh orang lagi berkuda di depan. Di samping kanan kereta, tampak seorang laki-laki tegap berkumis tebal berkuda dengan tenangnya. Dialah yang bernama Macan Gadak, salah seorang andalan Sura Antaka di samping Singo Barong dan Pendeta Ajisaka.

Semua orang yang memadati halaman puri itu segera bubar begitu kereta kuda yang membawa Sura Antaka dan putrinya meninggalkan halaman puri. Tinggallah di situ Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan lima puluh orang berseragam dengan senjata tombak dan pedang. Beberapa ekor kuda pun masih tertambat di bawah pohon. Mereka juga langsung bergerak pergi, tapi arahnya berbeda. Sepertinya menuju ke arah Gagak Codet kabur.

********************

Suara gamelan mengalun, mengiringi lenggak-lenggok para penari yang memamerkan keindahan tubuhnya di depan puluhan pasang mata yang tidak berkedip memandanginya. Malam itu, di tempat kediaman Sura Antaka tengah dilangsungkan pesta yang sangat meriah. Pesta yang selalu diadakan setelah siang harinya berlangsung acara adu ketangkasan dan kekuatan di halaman puri.

Bangunan besar dan indah bagai istana itu tampak ramai dipenuhi orang, baik di halaman maupun di sekitar luar pagar tembok yang tinggi membentengi bangunan itu. Lampu lampu berhias terpancang di setiap tempat Umbul-umbul dan hiasan-hiasan lain menambah semaraknya malam ini. Tampak di bagian lain terlihat beberapa kelompok orang berjudi, minum tuak sambil bermabuk-mabukkan ditemani wanita-wanita pengobral senyum. Semua orang kelihatan bergembira. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang gadis cantik yang mengurung diri dalam sebuah kamar yang sangat besar dan indah. Dua orang wanita gemuk berusia sekitar lima puluhan menemaninya.

"Semua orang bergembira di luar. Tapi Gusti Ayu Dewi Mustikaweni malah mengurung diri di kamar," terdengar gumaman salah seorang wanita gemuk itu.

"Hus! Ngomong jangan sembarangan!" dengus seorang lagi.

"Lha..., memangnya aku ngomong apa? Memang benar kok kenyataannya. Rugi lho tidak ikut menikmati pesta."

"Kalau kalian ingin pesta, silakan. Biarkan aku sendirian di sini," sergah Putri Dewi Mustikaweni seraya menoleh menatap kedua embannya.

"Ah! Tidak kok, Den Ayu."

"Aku tidak apa-apa. Memang sebaiknya kalian ikut bersenang-senang. Pergilah kalian."

"Tidak ah, Den Ayu. Wong tadi hanya becanda saja kok," kata wanita gemuk itu.

Putri Dewi Mustikaweni hanya tersenyum saja. Sungguh manis dan memikat sekali senyumnya itu. Kakinya melangkah gemulai mendekati pembaringan besar beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Lembut sekali dia membaringkan tubuhnya. Bola matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Sedangkan dua embannya hanya bersimpuh saja di lantai. Mereka tidak berbicara lagi.

Sementara di luar sana, keramaian masih terus berlangsung. Semakin larut, suasana pesta itu semakin meriah. Para nayaga terus menabuh gamelan dengan irama yang semakin hangat, menambah kesemarakan suasana pesta. Tampak di dalam ruangan lain yang sangat besar dan indah, Sura Antaka setengah berbaring dikelilingi wanita cantik berkemben, sehingga menampakkan kulit bahu dan sebagian dadanya yang membusung.

Pendeta Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo Barong di kursi menghadapi meja bundar beralaskan batu pualam putih berkilat. Beberapa guci arak menggeletak kosong. Masing-masing ditemani seorang wanita bertubuh sintal yang senyumnya selalu mengembang.

"Paman Ajisaka, aku belum mendengar laporan tentang Gagak Codet. Bagaimana usaha pencarianmu?" tanya Sura Antaka.

"Sukar dicari, Yang Mulia Sura Antaka. Tapi sudah kuperintahkan untuk terus mencari sampai dapat. Mereka orang-orang pilihan yang berkemampuan cukup tinggi. Aku yakin, dalam waktu yang tidak lama si keparat itu bisa ditemukan," sahut Pendeta Ajisaka sambil mencolek dahu wanita yang menemaninya. Wanita itu manja sekali menggelayutkan tubuhnya, memeluk leher laki-laki tua berkepala gundul itu.

"Bagus! Aku ingin bocah itu segera ditangkap. Dia sudah berani menghinaku, dan harus mati!" tegas Sura Antaka.

"Hanya Yang Mulia yang boleh membunuhnya," sambut Pendeta Ajisaka.

"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.

Laki-laki setengah baya itu menatap pada Macan Gadak yang asyik bersama teman wanitanya. Suara cekikikan manja terdengar mengusik telinga.

"Macan Gadak...!"

"Oh, hamba.... Yang Mulia," Macan Gadak agak tergagap.

"Sudah ada berita dari kerajaan?" tanya Sura Antaka.

"Dua hari lagi akan datang kiriman dari Kadipaten Galungan. Pihak kerajaan mengirimkan prajurit-prajuritnya untuk mengawal. Aku tidak tahu pasti, apa yang mereka bawa. Mungkin juga upeti," sahut Macan Gadak.

"Bagus! Persiapkanlah orang-orang kita, dan aku sendiri yang akan memimpin. Lewat jalan mana mereka?"

"Seperti biasa. Melalui Bukit Rangkat," sahut Macan Gadak.

"Ha ha ha ha...! Kita rampas upeti mereka. Bunuh semua prajurit kerajaan!" Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.

"Benar, Yang Mulia. Kalau mereka sudah kekurangan prajurit, maka dengan mudah kita dapat menguasai Kerajaan Gelang Wesi!" sambut Pendeta Ajisaka.

"Itu sudah menjadi cita-citaku, Paman Ajisaka. Prabu Nayadarma harus turun tahta. Biar dia tahu, bagaimana rasanya jadi orang terbuang! Biar dia tahu rasa! Ha ha ha ha...!" kembali Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.

Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Sedangkan yang wanita hanya cekikikan saja, tidak mempedulikan pembicaraan itu. Bagi mereka, semakin banyak harta rampasan yang diperoleh, semakin banyak pula penghasilan. Dan tentu saja mereka bisa hidup tanpa kekurangan lagi. Yang penting bagi mereka adalah tidak mengecewakan orang-orang berkuasa di daerah Utara ini.

Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau pembicaraan itu didengar seseorang yang berlindung di balik tembok dekat jendela besar yang terbuka lebar. Seorang yang memakai kerudung kain berwarna gelap. Orang itu langsung menyelinap pergi tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Sementara suasana pesta semakin tidak menentu. Para Nayaga tidak lagi menabuh gamelannya. Mereka sudah mabuk bergelimpangan kebanyakan minum arak. Tubuh-tubuh lain sudah bergelimpangan tidak menentu di mana-mana. Suara tawa lepas dan cekikikan manja wanita-wanita pengobral senyum masih mewarnai dari tempat tertentu. Sedangkan di salah satu kamar, Dewi Mustikaweni tetap berbaring, dan matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Namun dua embannya sudah rebah mendengkur di lantai beralaskan permadani bulu yang tebal dan hangat.

"Hhh...!" Dewi Mustikaweni menghembuskan napas panjang. Pelahan-lahan matanya terpejam.

Malam terus merayap semakin larut. Suara-suara di luar masih saja terdengar timbul tenggelam. Angin berhembus kencang menaburkan hawa dingin menusuk tulang. Namun semua itu tidak dipedulikan lagi. Di mana-mana tercium bau arak yang keras. Semua yang terjadi di tempat bagai istana itu tidak luput dari perhatian seseorang yang berkelebat menyelinap dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian sosok tubuh itu lenyap setelah melewati bagian belakang tembok benteng yang mengelilingi bangunan besar dan indah bagai sebuah istana itu.

********************

DUA

Serombongan orang berpakaian seragam prajurit yang membawa umbul-umbul bergambar lambang sebuah kerajaan, bergerak melingkari Kaki Bukit Rangkat. Empat orang bertubuh tegap, menggotong sebuah peti besar dengan tandu. Mereka berjalan tidak tergesa-gesa. Seorang laki-laki yang berkuda paling depan, selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya tegap, berseragam pakaian punggawa. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya.

"Seraaang...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan keras. Seketika itu juga dari arah samping kanan, kiri, belakang, dan depan berhamburan orang-orang berseragam merah yang pada dadanya bergambar seekor naga. Mereka semua membawa senjata pedang, tombak, dan golok. Para prajurit yang berjumlah tidak lebih dari seratus orang itu langsung berhenti.

"Bertahan...!" seru punggawa yang menunggang kuda putih dengan keras.

Suara gemuruh derap kaki kuda dan teriakan-teriakan gegap gempita memecah udara di Kaki Bukit Rangkat itu. Tidak berapa lama, terdengar denting senjata beradu dan jeritan melengking kematian. Pertempuran pecah seketika itu juga. Orang-orang berbaju merah bergambar naga pada bagian dada, bertempur dengan sengit. Sebentar saja prajurit dari Kerajaan Gelang Wesi dan prajurit Kadipaten Kranggan sudah banyak yang tewas. Bau anyir darah langsung menyebar menyengat hidung.

Belum lagi pertarungan itu berlangsung lama, tiba-tiba dari arah Selatan muncul prajurit-prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Mereka semua mengendarai kuda yang dipacu cepat. Tampak dari lereng bukit, Sura Antaka begitu geram melihat kemunculan prajurit Kerajaan Gelang Wesi yang jumlahnya menjadi tiga kali lipat dari jumlah orang-orangnya.

"Macan Gadak! Perintahkan semuanya mundur!" perintah Sura Antaka.

"Baik Yang Mulia," sahut Macan Gadak.

Sura Antaka melompat naik ke punggung kuda, lalu menggebahnya kencang menuju Utara, diikuti Pendeta Ajisaka dan Singo Barong. Sedangkan Macan Gadak bergegas menuruni bukit mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

"Mundur...!" seru Macan Gadak keras. Suara teriakannya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Seketika itu juga orang-orang berbaju merah bergambar seekor naga pada dadanya, berlompatan mundur. Sementara yang terlambat, langsung tewas terkena sambaran senjata para prajurit. Cepat sekali mereka bergerak, sebentar saja sudah lenyap ke dalam hutan. Seorang yang berpangkat panglima, memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk tidak mengejar.

Macan Gadak mengumpulkan anak buahnya yang tersebar di lerang bukit sebelah Utara, kemudian sama-sama bergerak kembali ke daerah Utara, tempat mereka menetap. Sementara itu rombongan prajurit itu melanjutkan perjalanannya. Mereka meninggalkan mayat-mayat yang tumpang tindih memenuhi jalan melingkar di Kaki Bukit Rangkat ini.

********************

DUA

"Setan..!"

Brak!

Sura Antaka menggeram dahsyat. Meja yang terkena pukulannya langsung hancur berantakan. Wajahnya merah padam, dan matanya liar menyala bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja. Sedangkan Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan Gadak hanya menundukkan kepalanya saja.

Peristiwa pahit yang pertama kali ini dialami mereka. Gagal merampas barang upeti bawaan dari Kadipaten Kranggan. Bahkan hampir saja terjebak, dan terkurung prajurit prajurit Gelang Wesi. Sura Antaka memandangi satu persatu orang-orang kepercayaannya yang duduk bersimpuh di lantai sambil tertunduk dalam.

"Mereka seperti sudah tahu rencana ini. Phuih! Aku mencium ada mata-mata di antara kita!" dengus Sura Antaka menggeram.

"Akan kucari pengkhianat itu, Yang Mulia," kata Macan Gadak.

"Bukan hanya dicari, tapi temukan dan bunuh!" bentak Sura Antaka.

Macan Gadak kembali diam.

"Aku tidak peduli. Siapa pun orangnya yang mencoba mengkhianatiku, harus mampus! Kalian dengar itu...!"

Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan Gadak serentak mengangguk dan menyahut. Sura Antaka mendengus, lalu berbalik dan melangkah dengan kaki menghentak kesal. Laki-laki setengah baya itu membanting dirinya ke kursi berukir yang hampir menenggelamkan tubuhnya. Sepasang bola matanya masih merah menyala.

"Kalian geledah seluruh daerah ini. Siapa saja yang mencurigakan, tangkap! Kalau membangkang, bunuh!" perintah Sura Antaka tegas.

Ketiga orang kepercayaannya itu segera bangkit berdiri dan menjura memberi hormat. Bergegas mereka meninggalkan ruangan besar itu. Sura Antaka masih duduk di kursinya dengan wajah memerah. Diambilnya guci arak dan langsung ditenggaknya sampai tandas, tak tersisa sedikit pun. Dengan kesal, dilemparkan guci arak itu, tepat menghantam pilar. Guci itu hancur berkeping-keping.

"Ayah...," tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah kanan.

Sura Antaka menoleh.

"Kau ada perlu denganku, Mustikaweni?" nada suara Sura Antaka dibuat lembut, meskipun raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kegeramannya.

"Ada yang ingin kukatakan, Ayah," kata Dewi Mustikaweni seraya melangkah mendekati.

Gadis itu duduk di samping ayahnya. Dengan lembut diletakkan tangannya yang halus berkulit putih di pergelangan tangan Sura Antaka.

"Katakanlah. Apa yang hendak kau katakan," terdengar lembut suara Sura Antaka.

Di depan anaknya, Sura Antaka tidak pernah berkata kasar. Apa lagi memasang wajah berang. Laki-laki setengah baya itu terlalu mencintai gadis ini, dan selalu mengabulkan permintaannya. Pelahan-lahan, wajah berangnya berangsur sirna melihat senyuman lembut tersungging di bibir yang selalu merah merekah itu.

"Boleh aku pergi ke danau?" ada nada berharap pada suara Dewi Mustikaweni.

"Kenapa tidak? Pergilah selagi masih siang."

"Terima kasih, Ayah."

Sura Antaka tersenyum. Dewi Mustikaweni bangkit dan melangkah riang meninggalkan ruangan itu.

"Dengan siapa kau ke sana?" tanya Sura Antaka sebelum putrinya itu lenyap di balik pintu.

"Dengan emban," sahut Dewi Mustikaweni.

Sura Antaka memandangi putrinya sampai lenyap di balik pintu pemisah ruangan depan ini dengan ruangan tengah. Mendadak saja wajahnya berubah mendung, dan pandangan matanya sayu. Ditariknya napas panjang, lalu bangkit berdiri. Kakinya melangkah pelahan menuju jendela. Dia berdiri di depan jendela dengan tangan bertumpu pada balok kayu.

"Kau mirip sekali dengan ibumu, Mustikaweni," desah Sura Antaka lirih.

Pandangan laki-laki setengah baya itu tidak lepas dari putrinya yang berjalan riang didampingi dua orang emban pengasuhnya. Yang seorang, perempuan gemuk dan seorang lagi kurus bagai tidak memiliki daging. Kedua emban itu sudah merawat Dewi Mustikaweni sejak masih bayi. Terlebih lagi setelah ibunya meninggal. Kedua emban itu seperti pengganti ibunya saja. Ke mana Mustikaweni pergi, kedua emban itu tidak pernah ketinggalan.

"Hhh.... Kau terlalu agung hidup di sini, Mustikaweni. Tidak pantas kau hidup di tengah-tengah manusia berlumpur seperti ini. Kau bagai setangkai bunga tumbuh di tengah danau berlumpur. Hhh...! Semua ini gara-gara...."

Gumaman Antaka terhenti ketika telinganya mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Dia berbalik, dan tampaklah Pendeta Ajisaka datang bersama seorang pemuda bertubuh kecil memakai baju lusuh dan bagian dada terbuka. Pemuda itu langsung jatuh berlutut di depan Sura Antaka.

“Paman Ajisaka, ada apa ini?" tanya Sura Antaka.

"Dia bernama Belung. Seorang perambah hutan yang hidup di sekitar sini, Yang Mulia. Katanya, semalam dia melihat seseorang menyelinap dengan tingkah mencurigakan," lapor Pendeta Ajisaka.

"Hm..., benar begitu?" tanya Sura Antaka menatap tajam pemuda yang bernama Belung itu.

"Benar, Gusti. Hamba melihat sendiri. Orang itu berdiri dekat jendela itu. Kemudian berpindah-pindah tempat, lalu pergi melalui jalan belakang," kata Belung dengan sikap hormat.

"Kau kenali wajahnya?" tanya Sura Antaka lagi.

'Tidak, Gusti. Tapi...."

"Tapi, kenapa?"

"Hamba sempat melihat waktu dia berbalik. Ada luka di pipi kirinya."

"Gagak Codet...!" desis Sura Antaka.

"Kau berkata benar, Belung?!" agak membentak suara Pendeta Ajisaka.

"Hamba berkata yang sebenarnya, Gusti Pendeta. Hamba melihat dengan jelas meskipun waktu itu keadaan gelap. Hamba ada dekat sekali."

"Di mana kau waktu itu?" tanya Pendeta Ajisaka lagi.

"Di balik pohon kenanga itu, Gusti," Belung menunjuk sebatang pohon kenanga yang tidak begitu jauh dari jendela ruangan ini. "Hamba waktu itu bersama dengan...."

"Ya, sudah. Kau cukup jelas memberi keterangan," potong Sura Antaka.

"Terima kasih, Gusti," ucap Belung seraya memberi hormat.

“Paman, beri dia hadiah. Keterangannya sangat berharga sekali," kata Sura Antaka.

"Baik, Yang Mulia."

"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Gusti."

"Ya, sudah. Pergi sana!"

Pemuda kurus kerempeng itu berdiri, lalu membungkuk beberapa kali sebelum melangkah pergi. Pendeta Ajisaka memberinya sekantung uang sebelum pemuda perambah hutan itu pergi. Tentu saja Belung jadi berbinar matanya, dan langsung membungkuk beberapa kali memberi hormat sambil mengucapkan puluhan terima kasih. Pendeta Ajisaka mengantarkannya sampai ke pintu.

********************

Sementara itu di tepi sebuah danau yang berair biru bening, Dewi Mustikaweni merendam tubuhnya. Sedangkan kedua emban pengasuhnya menunggu tidak jauh dari tepi danau itu. Dewi Mustikaweni bermain-main di dalam danau, dan baru naik ke tepi setelah puas. Hanya selembar kain tipis menutupi tubuhnya yang ramping dan indah. Sungguh cantik wajahnya dalam keadaan basah.

Dewi Mustikaweni melangkah menghampiri kedua embannya yang duduk bersandar pada pohon rindang. Tapi mendadak, gadis itu tertegun melihat kedua embannya seperti tertidur sambil duduk bersandar. Gadis itu kembali menghampiri dan membangunkan kedua wanita pengasuhnya itu. Tapi kedua wanita itu tidak bergerak sedikit pun. Dewi Mustikaweni jadi kebingungan. Buru-buru diambil pakaiannya, dan dikenakannya dengan tergesa-gesa. Tapi belum juga sempurna mengenakan pakaian, mendadak muncul seorang laki-laki dengan wajah yang luka pada pipi kirinya.

"Oh...!" gadis itu terkejut. Buru-buru ditutupi bagian dadanya yang masih terbuka.

"Kau masih ingat aku, Mustikaweni?" lembut suara laki-laki berwajah codet itu.

"Kau.... Kau Gagak Codet?" bergetar suara Dewi Mustikaweni.

"Benar. Aku Gagak Codet," pemuda itu tersenyum lebar.

"Mau apa kau ke sini?"

"Membawamu pergi."

"Oh! Tidak...!" Dewi Mustikaweni terkejut bukan main, dan langsung melangkah mundur dengan wajah pucat pasi. Matanya melirik kedua emban pengasuhnya yang tampak seperti terlelap tidur.

"Mereka hanya pingsan. Sebentar lagi juga siuman," kata Gagak Codet seperti mengetahui lirikan gadis itu.

"Jangan dekat!" sentak Dewi Mustikaweni begitu melihat Gagak Codet melangkah mendekati. "Berani mendekat, aku akan berteriak!"

"Berteriaklah. Tidak ada seorang pun di sini, kecuali kau dan aku," tantang Gagak Codet.

Putri Dewi Mustikaweni jadi gelagapan. Dia tahu kalau sekitar danau ini tidak ada seorang pun. Tidak ada seorang pun yang berani ke danau ini kalau dia ada di sini. Ayahnya bisa memenggal kepala siapa saja yang berani melihat gadis itu mandi di danau ini. Dewi Musrikaweni beringsut mundur. Tapi sebuah akar yang menyembul ke tanah membuat tubuhnya limbung.

"Oh...!"

"Hup!" Gagak Codet cepat melompat, dan menangkap tubuh ramping itu. Tentu saja hal ini membuat gadis itu terkejut setengah mati. Dia memberontak berusaha melepaskan diri, tapi pelukan Gagak Codet demikian kuat Gadis itu terus berontak sambil menjerit-jerit minta tolong. Gagak Codet jadi kewalahan, dan...

"Ah...!" Dewi Musrikaweni memekik kecil. Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah. Namun pelukan Gagak Codet tidak juga terlepas, dan malah menindihnya kuat-kuat. Dewi Mustikaweni mencoba memberontak, memukuli pemuda itu.

"Diam...!" bentak Gagak Codet Pemuda dengan luka menggores pipi kiri itu mencekal kedua tangan Dewi Musrikaweni, dan menekannya merentang ke samping. Dengan kedua pahanya dia menjepit pinggang gadis itu.

Dewi Musrikaweni benar-benar tidak berdaya lagi. Air mata mulai menitik keluar dari sudut matanya yang bulat bening dan indah itu. "Aku mohon, lepaskan... Jangan sakiti aku, rintih Dewi Musrikaweni meratap.

"Huh!" dengus Gagak Codet.

Sambil bangkit, dengan kasar pemuda itu menyentakkan tangan Dewi Musrikaweni. Akibatnya gadis itu ikut terangkat bangun. Musrikaweni memekik tertahan. Pergelangan tangannya terasa sakit karena dicengkeram kuat sekali.

"Jangan banyak tingkah! Ayo, jalan!" bentak Gagak Codet mendorong kasar.

"Mau dibawa ke mana aku?" rintih Dewi Musrikaweni.

"Cerewet! Dasar anak manja! Jalan!"

Dewi Musrikaweni tidak ada pilihan lain. Dia melangkah dengan tangan tertekuk ke belakang dipegangi kuat-kuat. Air mata semakin banyak berlinang membasahi pipinya yang putih halus bagai sutra. Gagak Codet terus mendorong agar lebih cepat. Beberapa kali gadis itu memekik kesakitan.

"Ck ck ck ck... Kasihan sekali, cantik-cantik tersiksa...," tiba-tiba terdengar suara pelahan.

"Eh!" Gagak Codet tersentak kaget langsung menoleh.

Tampak seorang pemuda berwajah tampan memakai baju dari kulit harimau tengah duduk di atas pohon tumbang. Sesaat Gagak Codet terpaku, sehingga dia lalai akan Dewi Mustikaweni. Kesempatan yang sedikit ini, dimanfaatkan gadis itu untuk melepaskan diri. Dewi Musrikaweni langsung berlari.

"He...!, sentak Gagak Codet terkejut.

"Tolong...! Dia akan menculikku!" teriak Dewi Musrikaweni terus berlari.

Tapi Gagak Codet sudah melompat cepat, dari menghadang gadis itu. Mustikaweni tersentak, langsung berbalik. Tapi Gagak Codet lebih cepat menangkap tangan gadis itu. Namun baru saja bisa mencekal, mendadak....

"Akh!" Gagak Codet terpekik tertahan. Cekalannya terlepas, dan mulutnya meringis kesakitan memegangi pergelangan tangannya. Matanya langsung menatap pada pemuda berbaju kulit harimau yang memain-mainkan kerikil ditangannya. Sementara itu, Dewi Mustikaweni kembali berlari menghampiri pemuda itu, lalu berlindung di balik punggung yang kokoh itu.

"Tolong, dia akan menculikku. Dia jahat...," rintih Dewi Mustikaweni.

"Kisanak, kuharap jangan ikut campur urusanku. Dia istriku!" bentak Gagak Codet.

"O...," pemuda berbaju kulit harimau itu mengangkat alisnya.

"Bohong! Dia jahat! Dia mau menculikku...!" sergah Dewi Mustikaweni.

"Mana yang benar ini? Kalian suami istri, atau bukan...?" pemuda itu nampak kebingungan.

"Percaya padaku, Kisanak. Dia istriku yang ingin kabur!" kata Gagak Codet.

Pemuda itu menoleh menatap wanita cantik yang berlindung padanya. Dan belum lagi membuka mulut akan bertanya, dari jauh terdengar teriakan dua orang wanita. Yang satu gemuk, dan satunya lagi kurus kerempeng. Mereka berlari-lari sambil memanggil-manggil Dewi Mustikaweni.

"Gusti..., Gusti Ayu...!"

"Oh! Itu kedua emban pengasuhku. Kau bisa tanyakan pada mereka, Kisanak." Ada pengharapan pada nada suara Dewi Mustikaweni melihat kedua emban pengasuhnya berlari-lari menghampiri.

"Monyet buntung!" geram Gagak Codet kesal melihat dua orang emban itu sudah sadar dari pingsannya.

Dan sebelum emban itu dekat, Gagak Codet sudah melompat hendak menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun hanya sedikit saja mengegoskan tubuhnya, terjangan Gagak Codet luput dari sasaran. Pemuda berbaju kulit harimau itu melompat ke samping sambil mendorong tubuh Dewi Mustikaweni, sehingga gadis itu terdorong jatuh. Untung kedua emban pengasuhnya sudah cepat menghampiri, sehingga cepat-cepat menolongnya berdiri.

Sementara itu Gagak Codet kembali menyerang dahsyat Dan pemuda berbaju kulit harimau itu seperti malas-malasan melayaninya. Namun setiap serangan balasannya, sudah dapat membuat Gagak Codet pontang-panting menghindarinya. Beberapa jurus berganti cepat Gagak Codet sadar kalau dirinya tidak akan mampu menundukkan pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.

Saat mempunyai kesempatan, dengan cepat tubuhnya melompat kabur. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh berlari. Gagak Codet kini telah menghilang dalam hutan di pinggir danau ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu memutar tubuhnya menghadap pada Dewi Mustikaweni.

"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" lembut nada pemuda berbaju harimau itu.

"Tidak," sahut Dewi Mustikaweni. "Terima atas pertolonganmu."

"Sebaiknya cepat pulang. Aku khawatir dia akan datang lagi ke sini," kata pemuda itu.

"Benar, Gusti Ayu. Sebaiknya cepat-cepat pulang," sergah wanita gemuk itu.

"Sebentar, Bi Emban," ucap Dewi Mustikaweni.

"Sudah sore, Gusti Ayu."

Mustikaweni tidak menghiraukan peringatan embannya, dan malah melangkah menghampiri pemuda berbaju kulit harimau itu. Kedua emban itu nampak cemas. Mereka melirik ke kanan dan ke kiri. Mereka tahu kalau di sekitar danau ini tidak ada yang boleh datang kalau ada Dewi Mustikaweni. Terlebih lagi laki-laki. Kalau ketahuan, bisa celaka nanti.

"Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" pinta Dewi Mustikaweni lembut.

"Untuk apa?"

"Kau telah menyelamatkan nyawaku. Sudah sepantasnya kuberi hadiah yang pantas. Aku akan mengatakan hal ini pada Ayah, dan pasti kau akan memperoleh hadiah yang besar," ujar Dewi Mustikaweni.

"Terima kasih, tapi aku harus segera pergi," ucap pemuda itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik dan melangkah pergi. Kelihatan kakinya melangkah biasa saja, tapi sebentar saja sudah jauh.

"Kisanak, siapa namamu? teriak Dewi Mustikaweni.

"Bayu!"

********************

TIGA

Sejak bertemu pemuda berbaju kulit harimau, Dewi Mustikaweni jadi sering pergi ke danau. Di tempat itu dia hanya berdiri saja memandangi danau, menghabiskan waktu hingga senja jatuh dalam pelukan Mayapada. Dewi Mustikaweni yang memang pendiam, semakin sukar diajak bicara. Gadis itu jadi lebih senang menyendiri, merenung seorang diri. Kedua emban pengasuhnya bisa menebak apa yang ada dalam hati junjungannya itu.

"Sudah sore, Gusti Ayu. Sebentar lagi malam datang," ujar seorang emban bertubuh gemuk.

Dewi Mustikaweni menarik napas panjang. Dua bola matanya yang indah menatap matahari yang hampir tenggelam di balik permukaan danau. Sinarnya yang kemerahan tampak lembut dan sedap dipandang. Permukaan danau bagai ditaburi ribuan butir mutiara berkilauan, menambah keindahan pemandangan di tempat itu. Tidak salah kalau danau ini dinamakan Danau Mutiara.

"Gusti Sura Antaka pasti sudah menunggu, Gusti Ayu," sambung emban yang bertubuh kurus.

"Sebentar lagi, Bi Emban," pinta Dewi Mustikaweni.

Kedua emban itu saling berpandangan. Tampak wanita yang bertubuh kurus tersenyum memandang ke satu arah. Emban pengasuh bertubuh gemuk jadi berkerut keningnya. Dia menoleh, lalu juga memandang ke arah yang sama. Bibirnya pun tersenyum begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau melangkah ringan menghampiri mereka. Pemuda itu berhenti tepat di samping agak ke belakang dari Dewi Mustikaweni.

"Ehm ehm...!" pemuda berbaju kulit harimau itu mendehem.

"Oh...!" Dewi Mustikaweni terkejut, langsung berbalik. "Bayu...," desisnya begitu melihat pemuda yang selalu dinantikannya selama tiga hari ini.

"Selamat sore, Gadis Ayu," ucap pemuda itu yang memang bernama Bayu Hanggara atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. "Aku mengganggu?"

"Oh, tid..., tidak," Dewi Mustikaweni jadi tergagap.

"Bagaimana suamimu? Sudah tidak kasar lagi?" tanya Bayu.

"Suami...? Suami yang mana?" Dewi Mustikaweni terbeliak.

"Yang memaksamu pulang."

"Enak saja! Itu bukan suamiku. Dia akan menculikku, tahu!"

"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah," ucap Bayu.

"Aku tidak marah, hanya tidak suka saja," Dewi Mustikaweni memberengut.

Gadis itu memang manja. Tidak boleh tersinggung sedikit. Tapi itu hanya sebentar saja. Dan kini wajahnya sudah kembali manis dan semakin cantik dipandang. Dewi Mustikaweni tertunduk mendapat tatapan yang begitu menusuk dari pemuda itu. Sementara kedua emban pengasuhnya semakin gelisah. Sebentar-sebentar menatap ke arah jalan, takut kalau-kalau ada yang melihat dan mengadukan pada Sura Antaka.

"Gusti Ayu...!" tiba-tiba emban yang kurus tersentak.

"Ada apa?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Ada yang datang...."

"Oh...!"

Terlambat Empat orang laki-laki berseragam baju merah dengan gambar seekor naga pada bagian dada sudah melihat. Dan mereka bergegas menghampiri, langsung menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Dewi Mustikaweni tampak pucat dan kebingungan sekali. Demikian juga dengan kedua emban pengasuhnya. Mereka sampai bergetar seluruh tubuhnya.

"Gusti Ayu, siapa laki-laki ini?" tanya salah seorang menunjuk pada Bayu.

"Dia..., eh, dia...," Dewi Mustikaweni tergagap.

"Hei, bangsat! Ke sini!" bentak orang yang bertanya tadi.

Sedangkan Bayu hanya diam saja, meskipun jari telunjuk itu mengarah padanya. Pendekar Pulau Neraka itu diam sambil menatap tajam menusuk. Gerahamnya bergerut menahan marah mandapat bentakan penghinaan itu.

"O.... Kau tuli atau menantang, heh?!"

"Kisanak, kenapa datang-datang langsung marah? Apakah wanita ini milikmu?" agak ditekan nada suara Bayu.

"Keparat! Kau berani kurang ajar pada Gusti Ayu Mustikaweni!" geram orang itu seraya mencabut goloknya.

Tiga orang yang berada di belakangnya juga langsung mencabut golok. Mereka menggeser ke samping dengan golok melintang di depan dada. Sedangkan Bayu hanya memandangi tanpa berkedip.

"Heran..., kenapa orang-orang di sini begitu galak? Apakah biasa makan daging mentah?" Bayu bergumam seperti bicara dengan dirinya sendiri.

Sementara itu kedua emban pengasuh sudah membawa Dewi Mustikaweni menyingkir. Mereka sudah merasakan adanya gelagat tidak baik. Sementara gadis itu hanya bisa memandang Pendekar Pulau Neraka, dengan sinar mata sukar untuk diartikan. Empat orang berbaju merah yang bergambar naga pada dadanya, sudah bergerak mengurung dari empat jurusan. Sedangkan Bayu hanya melirik saja memperhatikan sambil melipat tangannya di depan dada.

“Tidak ada seorang pun yang diijinkan mendekati Gusti Dewi Mustikaweni. Kau pasti akan dijatuhi hukuman mati, oleh Yang Mulia Sura Antaka, keparat!" geram orang yang berada di depan Bayu.

"Oh.... Apakah gadis itu terbuat dari emas? Lucu sekali, hanya bicara saja harus mati," sinis nada suara Bayu.

"Lancang bicaramu!"

"Aku punya mulut dan bicara sendiri. Kenapa kau yang marah?"

"Tutup mulutmu! Hiyaat..!"

Satu terjangan golok yang menusuk ke arah dada terjadi demikian cepat. Dewi Mustikaweni memekik tertahan dan memejamkan matanya. Rasanya tidak sanggup melihat serangan yang cepat itu. Tapi hatinya terkejut, karena mendengar satu benturan keras, diikuti pekikkan tertahan.

Tampak laki-laki yang menyerang, terbanting keras ke tanah. Dan entah bagaimana, goloknya sudah berpindah ke tangan Pendekar Pulau Neraka yang tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri. Dewi Mustikaweni yang langsung membuka matanya, jadi terbeliak tidak percaya.

"Keparat...!"

Tiga orang lainnya langsung berlompatan menyerang secara bersamaan. Pendekar Pulau Neraka berlompatan menghindari serangan yang datang dengan cepat dan sangat mematikan itu. Namun hanya sekali gebrak, tiga orang itu terpekik dan mental ke belakang. Bayu sendiri tegak sambil menggenggam golok di tangan. Empat orang itu jadi kelabakan, karena golok mereka sudah berpindah tangan tanpa diketahui bagaimana kejadiannya. Mereka beringsut bangun, lalu saling berpandangan.

Trek!

Empat orang berbaju merah bergambar naga itu terbeliak begitu melihat Bayu yang betapa mudahnya mematahkan golok-golok di tangannya, lalu melemparkan begitu saja ke tanah. Kembali mereka saling berpandangan, seketika itu wajah mereka pucat pasi. Tanpa berkata apa-apa lagi, keempat orang itu segera melarikan diri.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian menghampiri Dewi Mustikaweni yang berdiri agak jauh didampingi kedua emban pengasuhnya. Bayu berhenti sekitar dua langkah lagi jaraknya di depan gadis itu.

"Sebaiknya cepat pergi dari sini. Kau akan dihukum mati nanti," kata Dewi Mustikaweni agak bergetar nada suaranya.

"Siapa mereka itu?" tanya Bayu tidak mempedulikan peringatan gadis itu.

"Mereka para prajurit ayahku," sahut Dewi Mustikaweni.

"Prajurit...?"

"Sebenarnya memang tidak pantas disebut prajurit. Tapi Ayah selalu berkata begitu. Ayah menganggap dirinya seorang raja yang menguasai seluruh daerah Utara ini. Cepatlah pergi, sebelum mereka kembali menangkapmu," ujar Dewi Mustikaweni gelisah.

"Kau akan datang lagi ke sini?" tanya Bayu.

"Entahlah," desah Dewi Mustikaweni tidak yakin.

"Kalau begitu, aku yang akan mengunjungimu."

"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat.

Tapi belum sempat gadis itu mengatakan sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata sudah lenyap dari pandangan. Kedua emban pengasuh itu bergegas meminta Dewi Mustikaweni meninggalkan danau ini.

********************

Dewi Mustikaweni hanya tertunduk saja, duduk bersimpuh di lantai kamarnya. Sedangkan dua emban pengasuhnya lebih dalam lagi tertunduk, tidak berani mengangkat wajah memandang Sura Antaka yang duduk angkuh dikursi. Tatapan mata laki-laki setengah baya yang masih kelihatan gagah itu, demikian tajam menusuk. Wajahnya memerah dan urat-uratnya menegang.

"Katakan padaku, siapa laki-laki yang kau kunjungi di danau, Mustikaweni?" dingin dan datar nada suara Sura Antaka.

"Namanya Bayu, Ayah. Aku tidak mengunjunginya. Dia datang sendiri dan menolongku dari tangan Gagak Codet," sahut Dewi Mustikaweni sambil mengangkat kepalanya pelahan-lahan.

"Itu tiga hari yang lalu, Weni!"

"Sungguh, Ayah. Aku tidak bermaksud menemuinya. Dia datang sendiri," Dewi Mustikaweni mencoba meyakinkan ayahnya.

"Dan kedatangannya benar-benar kau harapkan, bukan?" desak Sura Antaka.

Dewi Mustikaweni kembali diam tertunduk. Wajahnya sebentar memerah, dan sebentar kemudian memucat. Tebakan ayahnya memang tidak dapat disangkal lagi. Sejak Pendekar Pulau Neraka menolongnya dari cengkeraman tangan Gagak Codet, dia memang selalu berharap dapat bertemu lagi. Entah kenapa, bayang-bayang pendekar tampan itu selalu menghantuinya setiap saat.

"Dengar, Weni. Aku sangat menyayangimu. Aku tidak mau kau bergaul dengan sembarang laki-laki. Yang kuinginkan, agar kau mendapat seorang laki-laki yang gagah dan berkemampuan sangat tinggi, dan dapat melindungimu setiap waktu. Aku tidak melarangmu memilih calon pendampingmu. Tapi aku harus tahu, apakah pemuda itu memiliki kemampuan tinggi dan dapat dipercaya untuk melindungimu. Hanya itu, Weni," terdengar lembut nada suara Sura Antaka.

"Ayah...," kembali Dewi Mustikaweni mengangkat kepalanya. Sudah bisa dimengerti maksud kata-kata ayahnya barusan.

"Undang dia ke sini, dan aku akan menguji pantas tidaknya dia menjadi pendampingmu," tegas Sura Antaka.

"Tapi...," suara Dewi Mustikaweni tersekat di tenggorokan.

"Jika kau tidak mengundangnya, itu berarti tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Kau mengerti, Weni?!"

"Mengerti, Ayah."

"Kapan kau akan menemuinya lagi?" tanya Sura Antaka.

"Aku tidak tahu. Dia muncul tiba-tiba."

"Hm..., kalau begitu pergilah besok ke danau. Paman Ajisaka akan mendampingimu."

Dewi Mustikaweni tidak bisa berkata apa-apa lagi. Keputusan ayahnya sukar untuk dicabut kembali. Gadis itu hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya. Sementara Sura Antaka bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamar putrinya ini. Seorang emban yang bertubuh gemuk, bergegas mendahului dan membukakan pintu. Tanpa melirik sedikit pun, Sura Antaka melangkah keluar. Emban bertubuh gemuk itu bergegas menutup kembali pintunya, dan menghampiri Dewi Mustikaweni yang sudah terisak sesunggukkan.

"Sudahlah, Gusti Ayu. Mudah-mudahan saja Den Bayu tidak muncul besok," ujar emban gemuk itu mencoba menghibur.

"Tapi dia sendiri yang akan ke sini, Bi Emban," ucap Dewi Mustikaweni di sela isaknya yang tertahan.

"Mudah-mudahan saja dia tidak berani," desah emban gemuk itu pelan.

Dewi Mustikaweni beranjak bangkit berdiri. Tapi baru saja mengangkat kepalanya, mendadak dia tersentak kaget setengah mati. Di depan jendela kamarnya yang terbuka, kini sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju dari kulit harimau. Dua orang emban pengasuh itu juga bergegas berdiri terkejut. Mereka langsung melangkah ke jendela, dan menyeret pemuda itu masuk. Buru-buru emban gemuk menutup jendela.

"Bayu...," desis Dewi Mustikaweni.

"Aku menepati janji, Gadis Ayu," ucap Bayu lembut.

"Bagaimana bisa masuk ke sini?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Mudah saja. Aku menunggu ayahmu pergi dulu," tenang jawaban Pendekar Pulau Neraka itu.

"Apa...?" bukan main terkejutnya Dewi Mustikaweni mendengar jawaban yang begitu ringan tanpa ada beban sedikit pun.

Bayu hanya tersenyum saja. Diliriknya dua perempuan pengasuh yang berdiri saja membelakangi jendela. Kedua emban pengasuh itu bisa mengerti, lalu mereka melangkah keluar. Pintu kamar itu kembali tertutup setelah kedua wanita pengasuh itu sampai di luar kamar. Tinggal Pendekar Pulau Neraka dan Dewi Mustikaweni yang hanya diam beberapa saat dengan mata saling menatap.

"Kau dengar semuanya, Ka...," terputus ucapan gadis itu.

"Aku senang kalau kau memanggilku Kakang, Weni," lembut suara Bayu.

Dewi Mustikaweni tersenyum tersipu. Wajahnya menyemburat merah dadu seketika. Dibalikkan tubuhnya, dan dilangkahkan kakinya mendekati sebuah kursi. Gadis itu duduk dengan anggunnya. Sebentar ditatap pemuda tampan yang berdiri saja di tempatnya, kemudian kepalanya bergerak menunduk kembali. Rasanya tidak sanggup menatap bola mata yang mengandung daya tarik sangat kuat sekali.

"Aku dengar semua, Weni. Dan akan kutunggu di tepi danau, tempat pertama kali kita bertemu," kata Bayu kalem.

"Sebaiknya jangan, Kakang. Mereka akan membunuhmu. Aku tidak ingin kau celaka di tangan mereka," cegah Dewi Mustikaweni.

"Jangan khawatir, Weni. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Tidak ada yang akan celaka. Percayalah," Bayu meyakinkan.

"Tapi...," terputus suara Dewi Mustikaweni.

"Ssst...!" Bayu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan bibirnya sendiri.

Pendekar Pulau Neraka itu melangkah menghampiri, dan berlutut di depan gadis itu. Dengan lembut diambilnya tangan berjari lentik dengan kuku terawat rapi. Bergetar seluruh tubuh Dewi Mustikaweni ketika Bayu begitu lembutnya mengecup jari-jari tangannya. Gadis itu sampai terpejam beberapa saat, menikmati kecupan lembut yang baru pertama kali dirasakannya.

"Oh...," Dewi Mustikaweni mendesah lirih.

"Besok, saat matahari tepat di atas kepala, aku akan datang ke tepi danau," ujar Bayu lembut, namun bernada tegas.

"Kakang..., aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku sama sekali tidak mengharapkan kau mendapat kesulitan," lirih sekali suara Dewi Mustikaweni.

"Kau cantik sekali, Weni. Hatimu lembut. Rasanya kau tidak pantas berada di tengah-tengah manusia kasar bergelimang lumpur. Aku akan mengangkatmu dari lumpur, dan membawamu ke tempat yang lebih cocok untukmu," ujar Bayu.

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"

Bayu tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri setengah membungkuk. Begitu dekat wajahnya dengan wajah gadis itu, sehingga hembusan napasnya terasa hangat di pipi yang halus memerah saga. Kembali bola mata Dewi Mustikaweni terpejam, dan bibirnya setengah terbuka agak bergetar. Mendadak seluruh aliran darahnya serasa berhenti mengalir, saat dirasakan satu kecupan lembut mendarat di bibirnya.

Dewi Mustikaweni mendesah lirih, dan dia masih terpejam merasakan kecupan lembut yang pertama kali dari seorang pemuda tampan yang telah mencuri sekeping hatinya. Agak lama juga gadis itu terpejam dengan tubuh menegang kaku. Pelahan-lahan dia membuka matanya karena tidak terasa lagi sentuhan lembut dari Pendekar Pulau Neraka.

"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat, karena pemuda itu sudah tidak ada lagi di kamar ini.

Bergegas gadis itu bangkit berdiri, lalu berlari ke jendela yang sudah terbuka lagi. Matanya berkeliling mencari-cari di luar sana, tapi bayangan pemuda itu sudah lenyap tanpa terlihat lagi bekasnya.

"Ahhh..., Bayu...," desah Dewi Mustikaweni lirih seraya membalikkan tubuhnya.

Gadis itu berlari menghambur ke pembaringan! Dijatuhkan dirinya ke atas pembaringan yang empuk beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Tubuh yang ramping padat berisi itu bergulir. Pelahan bibirnya menyunggingkan senyuman, dan jari-jari tangannya meraba bibirnya. Dihayati kembali kecupan lembut yang hangat dan menggetarkan. Kecupan pertama yang dirasakan dari seorang pemuda.

Beberapa kali gadis itu menarik napas panjang, dan meng hembuskannya pelahan-lahan. Matanya menerawang jauh, menatap langit-langit kamarnya. Sampai-sampai tidak disadari kalau kedua emban pengasuhnya sudah masuk, dan menghampirinya. Kedua emban pengasuh itu hanya tersenyum saja menyaksikan putri junjungannya tengah tersenyum-senyum sendirian.

"Gusti Ayu...," tegur emban gemuk pelan.

"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget.

Gadis itu langsung menggerinjang bangkit. Wajahnya seketika terasa panas, bersemu merah bagai kepiting rebus. Buru-buru dibalikkan tubuhnya, menyembunyikan rona merah yang menjalar hangat di seluruh wajahnya. Seolah-olah malu, dan tidak ingin kedua emban pengasuhnya itu tahu, apa yang baru dirasakannya tadi.

********************

EMPAT

Matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya yang terik membakar kulit seorang pemuda yang berdiri tegak di tepi danau. Pandangannya tidak terlepas ke arah jalan tanah berbatu kerikil tidak jauh di depannya. Pemuda itu memakai baju kulit harimau dengan sebuah benda melingkar bersegi enam di pergelangan tangannya yang terlipat di depan dada.

"Hm..., kau datang juga akhirnya," gumam pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara si Pendekar Pulau Neraka.

Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum melihat kedatangan Dewi Mustikaweni didampingi dua orang emban pengasuh dan seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul. Laki-laki tua itu memegang sebuah untaian kalung dari batu hitam yang berkilat. Mereka dikawal tidak kurang dari tiga puluh orang berseragam merah dengan gambar seekor naga pada bagian dadanya.

"Hm...," Bayu bergumam ketika laki-laki tua gundul itu memberi isyarat. Seketika tiga puluh orang bersenjata tombak dengan pedang menggantung di pinggang, bergerak cepat membentuk lingkaran mengelilingi Pendekar Pulau Neraka.

"Namaku Pendeta Ajisaka, utusan dari Yang Mulia Sura Antaka. Apakah kau yang bernama Bayu Hanggara?" tanya laki-laki tua berjubah kuning gading itu.

"Tepat sekali," sahut Bayu seraya melirik Dewi Mustikaweni.

Yang dilirik hanya tertunduk saja, seperti tidak sanggup menatap pemuda tampan yang telah merenggut sekeping hatinya itu. Bahkan juga tidak sanggup untuk membayangkan apa yang akan terjadi nanti seandainya Pendekar Pulau Neraka itu dibawa menghadap ayahnya.
“Yang Mulia memintamu untuk datang ke istana sekarang juga," kata Pendeta Ajisaka kembali.

"O..., untuk apa?" Bayu pura-pura tidak tahu.

"Kau sudah melanggar peraturan yang ditetapkan Yang Mulia Sura Antaka. Kau harus menerima hukumannya, Kisanak. Yang Mulia sendiri akan menentukan hukumannya, dan sebaiknya jangan bertingkah. Menurut lebih baik daripada mencari penyakit!" tegas kata-kata Pendeta Ajisaka.

"Hm.... Bicaramu bernada mengancam, Pendeta," gumam Bayu kurang senang.

"Tergantung dari tingkahmu, Anak Muda," dingin nada suara Pendeta Ajisaka.

"Kalau begitu, aku tidak akan memenuhi undangan junjunganmu!" tolak Bayu tegas bernada menantang.

"Kakang,..," desis Dewi Mustikaweni tersentak kaget.

"Bagus! Itu berarti kau memilih jalan kematianmu sendiri, Anak Muda!"

Trik!

Pendeta Ajisaka menjentikkan ujung jarinya, maka empat orang berseragam merah bergambar seekor naga pada dadanya langsung melompat maju. Tanpa menunggu perintah dua kali, empat orang itu segera menyerang dengan tombak terhunus.

"Hup!"

Bayu melompat mundur dua tindak, lalu cepat menarik tubuhnya ke belakang sedikit. Dua ujung tombak lewat di depan dadanya. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangannya, dan....

Trek!

Dua batang tombak itu patah jadi dua terhantam tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan belum lagi dua orang itu bisa menyadari, secepat kilat Bayu melompat sambil menghentakkan kakinya menendang sekaligus dua orang penyerangnya. Pekikkan tertahan terdengar bersamaan terjungkalnya dua lawannya itu. Dan belum lagi semua orang bisa menyadari, Bayu sudah memutar tubuhnya. Dua pukulan dilayangkan tepat, menghantam dua orang lagi. Raungan keras terdengar saling sambut, disusul ambruknya dua orang sambil menutupi wajahnya.

"Bagaimana, Pendeta Ajisaka? Jika kau berlaku sopan, aku akan lebih sopan darimu," kata Bayu kalem seraya melipat tangannya di depan dada.

"Kau terlalu keras kepala, Anak Muda!" geram Pendeta Ajisaka.

"Kepalaku memang lebih keras dari batu."

“Phuih!” Pendeta Ajisaka menyemburkan ludahnya. Kembali laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu memberi isyarat dengan jarinya. Seketika sepuluh orang berseragam merah bergambar seekor naga di dada langsung melompat menyerang.

Kembali Pendekar Pulau Neraka melompat berkelit, menghadapi sepuluh orang penyerangnya. Pertarungan kembali berlangsung. Tapi baru beberapa gebrak saja, tiga orang sudah terjungkal roboh memuntahkan darah kental. Dan belum lagi orang itu mampu bangkit, kembali dua orang terpental ke atas, lalu jatuh keras ke tanah. Jerit dan pekik pertempuran disertai pekikkan menyayat terdengar saling sambut. Pendeta Ajisaka semakin geram, melihat orang-orangnya jungkir balik kewalahan menghadapi Pendekar Pulau Neraka itu. Kembali diberi isyarat. Maka semua orang berseragam merah bergambar naga di dada berlompatan maju menyerang.

Semula Bayu hanya bermaksud membuat orang-orang itu jera. Tapi melihat kesungguhan dan kenekadan orang-orang berseragam merah ini, Pendekar Pulau Neraka itu jadi gusar juga. Meskipun sudah jatuh bangun kena pukulan dan tendangan cukup keras, mereka tidak juga jera. Bahkan semakin ganas saja. Memang pukulan Bayu tidak disertai tenaga dalam.

Lain halnya dengan Pendeta Ajisaka. Dia tahu betul kalau Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertarung sungguh-sungguh. Tapi tiga puluh orang pengikutnya tidak ada yang mampu meringkusnya. Bahkan tombak serta pedang mereka berpatahan dan berpentalan ke udara. Mereka jatuh bangun, tidak mampu lagi menandingi pemuda itu. Sikap Bayu yang hanya main-main, membuat Pendeta Ajisaka berang Pemuda itu dianggap menghinanya.

"Mundur...!" teriak Pendeta Ajisaka keras menggelegar.

Bentakan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu membuat orang-orang berseragam baju merah, serentak berlompatan mundur. Mereka sudah tidak lagi memiliki senjata, karena telah terampas dan pata-patah oleh Bayu. Sebagian malah tergeletak di tanah berpasir. Pendeta Ajisaka melangkah maju beberapa tindak.

"Kau terlalu pongah, bocah!" geram Pendeta Ajisaka.

"Aku ingin tahu, apakah kepala gundulmu juga sekeras batu?" ejek Bayu sinis.

"Phuih! Keparat...!"

Pendeta Ajisaka menggerakkan tangannya, membuka jurus penyerangan. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Matanya sempat mengerling pada Dewi Mustikaweni yang berdiri agak jauh didampingi kedua orang emban pengasuhnya yang setia. Entah kenapa, gadis itu tersenyum, seakan merasa yakin kalau Bayu dapat menundukkan Pendeta Ajisaka.

"Awas serangan! Hiyaaa...!" seru Pendeta Ajisaka lantang.

"Hait...!"

Bayu melentingkan tubuhnya ketika Pendeta Ajisaka melompat datar dan kakinya menyampok berputar mengarah ke bagian kaki. Pada saat Bayu berada di udara, tiba-tiba saja laki-laki tua gundul itu mengebutkan tasbih hitamnya. Kalau saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak memutar tubuhnya, tasbih itu bisa merobek perutnya.

"Hap!"

Ringan sekali Bayu mendarat di belakang laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu. Dan secepat kilat dilayangkan satu tendangan berputar. Pendeta Ajisaka tersentak kaget, buru-buru ditarik kakinya ke samping sambil didoyongkan tubuhnya ke depan. Tendangan Bayu luput dari sasaran. Pendeta Ajisaka langsung memutar tubuhnya sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

"Hih!"

Bayu sengaja tidak menghindar. Bahkan dipapaknya pukulan itu dengan tangan kiri, disertai kemposan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan Tak dapat dihindarkan lagi, dua tangan beradu dengan keras.

Trak!

"Akh...!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.

Buru-buru laki-laki tua gundul itu melompat ke belakang. Mulutnya meringis merasakan nyeri pada pergelangan tangannya. Namun belum juga Pendeta gundul itu sempurna menjejak tanah, Bayu sudah lebih cepat melompat sambil melontarkan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam setengahnya. Tendangan keras dan cepat itu tidak bisa dihindari lagi, dan mendarat telak di dada kurus kerempeng tertutup jubah kuning gading.

"Aaakh...!" kembali Pendeta Ajisaka memekik keras.

Tubuh tua kurus itu terpental cukup jauh, dan menabrak sebatang pohon cemara hingga tumbang. Tapi Pendeta Ajisaka langsung bisa bangkit berdiri. Tampak dari sudut bibirnya mengucurkan darah kental. Digeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Bayu berdiri tegak sambil tersenyum. Pendeta Ajisaka mencoba menggerakkan tangan kanannya, tapi dia jadi terkejut. Ternyata tulang pergelangan tangannya patah terbentur tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Setan keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.

Laki-laki tua itu langsung menyadari kalau tenaga dalamnya masih berada di bawah pemuda berbaju kulit harimau itu. Dia menggeram marah, dan menggeser kakinya mendekati Dewi Mustikaweni.

"Paman..., Paman terluka...?" Dewi Mustikaweni panik juga melihat darah menetes dari sudut bibir Pendeta Ajisaka.

"Huh!" Pendeta Ajisaka hanya mendengus saja.

Dewi Mustikaweni menyentuh pergelangan laki-laki tua gundul itu. Betapa terkejutnya dia, karena Pendeta Ajisaka malah terpekik keras. Mulutnya meringis merasakan nyeri yang amat sangat pada pergelangan tangan kanannya.

"Oh, maaf..... Maaf, Paman," ucap Dewi Mustikaweni tergagap ketakutan.

"Ayo kita pulang!" dengus Pendeta Ajisaka.

"Pulang...? Tapi...," Dewi Mustikaweni tergagap. Matanya melirik Pendekar Pulau Neraka yang hanya memperhatikan saja dengan senyum tersungging di bibir.

"Bawa kambing tua itu pulang, Weni. Katakan pada ayahmu, agar mengirim utusan yang lebih sopan," ejek Bayu.

"Bocah keparat! Kau akan menanggung sendiri akibatnya!" geram Pendeta Ajisaka.

"Ha ha ha....'" Bayu malah tertawa terbahak-bahak.

"Ayo, Weni. Pulang...!" dengus Pendeta Ajisaka memberengut gusar.

Dewi Mustikaweni ragu-ragu sejenak. Sebentar diliriknya Bayu. Namun begitu Pendekar Pulau Neraka itu menganggukkan kepalanya, gadis itu segera melangkah pergi diiringi kedua emban pengasuhnya. Tiga puluh orang berbaju seragam merah yang sudah babak belur, bergegas melangkah pergi tertatih-tatih. Bahkan tidak sedikit yang terpaksa dipapah temannya.

"Ha ha ha...!" Bayu Hanggara tertawa terbahak-bahak.

Pendekar Pulau Neraka itu masih tetap berdiri tegak memandang kepergian orang-orang itu. Sampai mereka tidak kelihatan lagi, Bayu masih tetap berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Kepalanya menoleh saat telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri dari arah samping kanan. Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya, lalu menghampiri seorang laki-laki muda berwajah tampan dan berpakaian indah berwarna biru. Pemuda itu didampingi empat orang laki-laki setengah baya dengan pedang menggantung di pinggang.

"Kau hebat, Kakang. Tidak percuma Ayahanda Prabu meminta bantuanmu," ucap pemuda tampan yang pedangnya tersampir di punggung.

"Aku rasa mereka baru kroco, Raden Arga Yuda. Masih perlu banyak waktu untuk melumpuhkannya dari dalam," kata Bayu kalem.

"Aku percaya padamu, Kakang. Aku memang diperintahkan Ayahanda Prabu untuk selalu mengikuti semua kata-katamu," ujar pemuda yang dipanggil Raden Arga Yuda itu.

"Ayahmu terlalu berlebihan, Raden," Bayu merendah.

"Tidak. Kau memang patut mendapat penghargaan. kagum akan kepandaianmu," puji Raden Arga Yuda.

"Ah, sudahlah. Sebaiknya kita cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada yang datang ke sini," sergah Bayu yang tidak ingin memperpanjang segala macam pujian yang terlontar dari bibir putra mahkota Kerajaan Gelang Wesi ini.

Mereka segera melangkah pergi masuk ke dalam hutan kembali. Suasana di sekitar tepian danau, kembali lengang. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Di tempat bekas pertempuran tadi, hanya ada tombak dan pedang yang patah berserakan. Tak ada yang menyadari kalau semua peristiwa itu disaksikan seseorang dari dalam semak belukar. Dan orang itu juga bergegas pergi ke arah lain setelah tidak ada lagi yang dapat dilihatnya. Namun tiba-tiba dia berbalik dan melompat cepat ke arah Pendekar Pulau Neraka, Raden Arga Yuda, dan empat orang pengiringnya pergi!

********************

Serombongan orang berkuda bergerak cepat menuju Danau Mutiara. Terlihat paling depan adalah Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan Gadak. Pergelangan tangan Pendeta Ajisaka terbalut kain putih bersih. Di belakang mereka berpacu sekitar seratus orang berseragam baju merah bergambar naga pada dadanya.

Tiba-tiba saja di depan mereka melesat sebuah bayangan, dan tahu-tahu seseorang berdiri menghadang. Ternyata dia seorang laki-laki memakai baju tanpa lengan. Bagian dada dan perut dibiarkan terbuka. Warnanya sudah pudar, dan celana yang dikenakan hanya sebatas lutut. Sebuah caping bambu berukuran besar bertengger di kepala, menutupi hampir seluruh wajahnya. Rombongan berkuda itu langsung berhenti.

"He! Siapa kau? Minggir...!" bentak Pendeta Aji saka.

"Kalian menuju arah yang salah. Orang yang kalian buru tidak ada lagi di sini," berat terdengar suara orang itu sambil tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun.

"Aku peringatkan sekali lagi padamu, keparat Minggir...!" bentak Pendeta Ajisaka menggeram.

"Hmmm….Pakaianmu seperti seorang pendeta, tapi bicaramu tidak lebih dari bajingan!" gumam orang itu dingin.

"Setan alas! Hiyaaat...!"

Pendeta Ajisaka tidak dapat lagi menahan amarahnya. Secepat kilat dia melompat dari punggung kudanya, langsung menerjang orang bercaping besar itu. Namun hanya sedikit mengegoskan tubuhnya, terjangan Pendeta Ajisaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga.sama sekali, orang bercaping itu mengibaskan tangannya. Akibatnya, kibasan itu telak menghantam punggung laki-laki tua gundul itu.

"Ughk..!" Pendeta Ajisaka mengeluh tertahan.

Seketika itu juga Pendeta Ajisaka tersuruk jatuh mencium tanah. Namun secepat kilat mampu bangkit berdiri, dan kembali menyerang diikuti kibasan untaian tasbih dari batu hitam yang keras. Laki-laki bercaping itu melompat mundur menghindari kibasan tasbih Pendeta Ajisaka. Namun laki-laki tua gundul itu tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dirangsek orang bercaping itu dengan jurus jurus maut yang cepat dan dahsyat luar biasa.

Sebentar saja pertarungan sudah berjalan lebih dari lima jurus. Dan memasuki jurus ke enam, tampak kalau Pendeta Ajisaka semakin terdesak hebat. Dua pukulan keras tidak dapat dibendung lagi. Laki-laki gundul itu memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar cukup jauh, hingga menghantam sebongkah batu besar berlumut. Batu itu hancur berkeping keping.

Pendeta Ajisaka menggerung kesakitan bercampur marah yang meluap. Dia berusaha bangkit berdiri, tapi laki-laki bercaping itu sudah melompat cepat. Bahkan kaki kirinya kini telah menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka. Pada saat itu, Singo Barong dan Macan Badak melompat turun dari punggung kudanya.

"Berani mendekat, tua bangka gundul ini mampus!" ancam orang bercaping itu.

Singo Barong dan Macan Gadak tidak jadi melangkah mendekati. Sementara Pendeta Ajisaka tampak tersengal, karena tenggorokannya terganjal kaki orang bercaping bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya.

"Bawa tikus-tikusmu pulang dan tua bangka botak ini tetap bersamaku!" kata orang bercaping itu lagi. Nadanya tetap tajam dan terdengar berat.

"Ghrrr...!" Singo Barong menggeram marah. Wajahnya sudah memerah bagai terbakar. Sepasang bola matanya berkilat membara.

Macan Gadak yang kelihatannya lebih sabar, menarik tangan Singo Barong, lalu mengajaknya mundur. Dengan terpaksa, Singo Barong bergerak mundur mendekati kudanya kembali.

"Dengar! Jika kalian menginginkan dia hidup, maka harus ditukar dengan Dewi Mustikaweni!" kata orang bercaping itu lagi. Lantang sekali nada suaranya.

"Keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.

"Diam, monyet!" bentak orang bercaping itu sambil menekan kakinya yang menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka.

"Akh!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan. Batang tenggorokannya terasa sakit, seperti akan patah semua tulang-tulang lehernya. Injakan kaki orang bercaping itu demikian kuat sehingga Pendeta Ajisaka benar-benar tidak berdaya lagi. Hanya bola matanya saja bersinar penuh kemarahan.

"Kakang Singo...," ujar Macan Gadak seraya menepuk pundak Singo Barong.

“Huh! Phuih...!" Singo Barong menyemburkan ludahnya.

Tidak ada pilihan lain bagi mereka mengingat keselamatan Pendeta Ajisaka. Sekali tekan saja, leher laki-laki tua berkepala gundul itu bisa remuk. Macan Gadak dan Singo Barong melompat naik ke punggung kudanya masing-masing, kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk kembali.

Rombongan berkuda itu bergerak pergi. Orang bercaping itu memandangi sampai rombongan berkuda itu tidak terlihat lagi. Hanya debu yang masih berkepul membumbung tinggi ke udara. Dilepaskan injakan kakinya pada leher Pendeta Ajisaka, lalu dengan cepat ditotok jalan darahnya. Pendeta Ajisaka mengeluh pendek. Seketika itu juga tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa digerakkan lagi. Laki-laki tua itu hanya bisa mengumpat, memaki, dan menyumpah dalam hati.

Orang bercaping itu mengambil sulur pohon yang cukup kuat dan panjang, lalu mengikat kedua kaki Pendeta Ajisaka. Kemudian dilemparkan ujung satunya ke atas dahan yang melintang cukup tinggi. Ringan sekali tubuhnya melenting tinggi ke angkasa, lalu hinggap di cabang pohon itu.

"He...! Apa yang kau lakukan...?" seru Pendeta Ajisaka tersentak kaget.

Tapi belum juga ada jawaban, tubuh laki-laki tua berjubah kuning gading itu terangkat naik. Kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Pendeta Ajisaka menyumpah dan memaki-maki dengan berang. Orang bercaping besar itu meluruk turun. Indah sekali gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia mendarat di bawah tubuh tergantung terbalik.

"Keparat! Kubunuh kau!" geram Pendeta Ajisaka berang.

"Bagaimana kau akan membunuhku, Pendeta murtad? Sebentar lagi kau akan terbang ke neraka," ejek orang bercaping itu seraya melepaskan tudung anyaman bambu dari kepalanya.

Tampak seraut wajah tampan berkulit kurung langsat terlihat begitu caping besar terlepas. Caping itu bertengger dipunggungnya. Dengan gerakan yang lembut dan cepat, dibukanya totokan di tubuh Pendeta Ajisaka. Laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu kini bisa bergerak lagi. Tapi seluruh tubuhnya jadi kesemutan, bergetar nyeri.

"Aku yakin, mereka tidak akan mempedulikan dirimu. Nah! Berdoalah agar kau lancar menuju ke neraka, Pendeta murtad," ujar pemuda itu tersenyum lebar.

Sambil tertawa berderai, pemuda itu berbalik dan melangkah. Pendeta Ajisaka mengumpat dan memaki habis-habisan. Sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan di kedua kakinya. Tapi seluruh tubuhnya terasa sakit, seperti dikerubuti jutaan semut yang menggigiti seluruh tubuhnya. Sedangkan pemuda berwajah tampan itu menghenyakkan dirinya duduk di atas batang pohon tumbang.

Pemuda itu melepaskan capingnya. Dari dalam caping itu dikeluarkan selembar baju, lalu dikenakannya tanpa membuka baju yang telah dikenakan sebelumnya. Kemudian dipermak wajahnya, sehingga kelihatan buruk, dan...

"Gagak Codet...!" desis Pendeta Ajisaka begitu! pemuda itu memasang sebentuk kulit kering pada pipi kirinya, sehingga menyerupai luka memanjang.

"Kau terkejut, Pendeta Ajisaka?" pemuda yang kini sudah berubah wajahnya itu tersenyum menyeringai.

"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pendeta Ajisaka.

"Kau kenali ini, Pendeta murtad?" pemuda yang sudah berganti wajah yang dikenal bernama Gagak Codet, mengeluarkan seuntai kalung dari balik sabuk yang melilit pinggangnya.

Kedua mata Pendeta Ajisaka membeliak lebar begitu melihat seuntai kalung berbentuk kepala naga dengan mata dari batu merah bercahaya. Kalung itu dibuat dari emas murni berhiaskan butiran intan berlian. Sambil tersenyum menyeringai, Gagak Codet menyimpan kembali kalung itu ke dalam sabuknya.

"Ha ha ha ha...." pemuda itu tertawa terbahak-bahak, lalu melangkah pergi dengan tenangnya.

Sedangkan Pendeta Ajisaka jadi terbengong memandangi punggung pemuda itu. Sebentar wajahnya berubah memerah dan pucat pasi. Tentu saja dia kenal betul dengan untaian kalung berbentuk kepala naga mata merah itu. Bahkan tidak akan dilupakan seumur hidupnya. Dan kalung itu kini berada di tangan seorang pemuda tampan yang menyamar menjadi seorang laki-laki berwajah buruk yang memiliki luka codet memanjang di pipi kirinya. Pemuda yang lebih dikenal bernama Gagak Codet.

"Ohhh....," Pendeta Ajisaka mengeluh. panjang. "Dewata Yang Agung..., tidakkah aku bermimpi...? Apakah dia masih hidup?"

Sebentar Pendeta Ajisaka memejamkan matanya, kemudian kelopak matanya terbuka kembali. Pemuda yang dikenal bernama Gagak Codet itu sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya. Pendeta Ajisaka kemudian mengerahkan hawa murni yang terpusat pada tubuhnya. Perlahan-lahan hawa panas mulai menjalar ke dalam aliran darahnya, dengan cepat dikebutkan untaian tasbihnya ke arah sulur kayu yang mengikat kakinya.

Tas...! Bruk!

"Heghk!" Pendeta Ajisaka mengeluh pendek begitu tubuhnya terbanting keras ke tanah. Buru-buru laki-laki tua itu membuka ikatan pada kakinya, kemudian bangkit berdiri. Dan belum juga berdiri tegak, seekor kuda berpacu cepat ke arahnya. Tampak Singo Barong memacu cepat kudanya menghampiri. Tampak jauh di belakang serombongan orang berkuda menyusul. Sedangkan Singo Barong langsung melompat turun dari punggung kudanya dan menghampiri Pendeta Ajisaka.

"Paman tidak apa-apa?" ujar Singo Barong.

"Gundulmu!" rungut Pendeta Ajisaka.

"Mana kudaku?”

"Ada di belakang!"

"Huh!"

********************

LIMA

Suara seruling mengalun lembut terbawa angin senja yang berhembus perlahan. Suara merdu itu terus menyusup melewati pepohonan, terpantul dinding tebing dan bebatuan. Alunan irama yang begitu lembut dan nyaman didengar, membangkitkan Dewi Mustikaweni dari pembaringannya. Gadis itu melangkah mendekati jendela, dan membukanya lebar-lebar.

Alunan irama suara seruling itu semakin terdengar jelas dan merdu mengusik gendang telinga gadis itu. Dewi Mustikaweni mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seakan hendak mencari sumber suara seruling itu. Tatapannya langsung terpaku pada sebatang pohon tinggi diluar batas tembok yang cukup tinggi mengelilingi bangunan besar dan megah bagai istana ini.

Pada salah satu dahan pohon itu, terlihatlah seseorang tengah duduk mencangkuk meniup seruling bambu. Wajahnya tidak begitu jelas karena tertutup sebuah caping anyaman bambu yang cukup lebar. Dia hanya mengenakan baju tanpa lengan. Bagian dada dan perutnya dibiarkan terbuka lebar. Warnanya juga sudah kumal, dan celananya hanya sebatas lutut saja. Dewi Mustikaweni memandanginya tidak berkedip. Orang itu menoleh dan menghentikan tiupan serulingnya.

"Oh...!" Dewi Musrikaweni terperanjat begitu orang itu membuka capingnya.

Tampak seraut wajah tampan berkulit putih langsat tersenyum mempesona. Pemuda itu menatapnya lekat-lekat. Sesaat Dewi Mustikaweni jadi gelagapan, buru-buru dipalingkan mukanya ke arah lain. Tapi tanpa diduga sama sekali pemuda itu melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan jendela kamar itu.

"Oh...!" Dewi Musrikaweni terperanjat kaget.

Dewi Musrikaweni melangkah mundur. Dan ingin menutup jendela kamarnya. Pemuda itu sudah keburu menahan. Bahkan malah melompat masuk ke dalam. Buru-buru ditutupnya jendela setelah berada di dalam kamar itu. Dewi Mustikaweni semakin terperanjat sambil melangkah mundur sampai kakinya menyentuh pembaringan. Wajahnya seketika pucat pasi, dan bola matanya berputar.

"Jangan takut Weni. Aku tidak akan berbuat buruk padamu. Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja," ujar pemuda itu lembut.

"Siapa kau?" tanya Dewi Musrikaweni agak bergetar suaranya.

"Arga Yuda," sahut pemuda itu lembut.

"Aku tidak kenal denganmu. Mengapa kau ke sini?"

"Karena ingin membawamu keluar dari lumpur neraka ini," kata pemuda yang ternyata Arga Yuda seorang putra mahkota dari Kerajaan Gelang Wesi.

"Oh..., tidak...," desis Dewi Musrikaweni.

"Jangan khawatir, Weni. Bukan sekarang waktunya. Tapi nanti. Percayalah, aku tidak bermaksud buruk padamu. Aku akan membawamu pada ayahmu," jelas Arga Yuda tetap lembut nada suaranya.

"Ayahku...?"

"Ya. Ayahmu."

"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu?"

"Sayang, tidak ada waktu untuk menjelaskan. Oh, ada orang datang ke sini. Maaf, aku harus pergi."

"He, tunggu...!"

Tapi Raden Arga Yuda sudah lebih cepat membuka jendela dan melompat keluar. Begitu cepatnya melesat, sehingga meskipun Dewi Mustikaweni memburu, pemuda itu sudah lenyap dari pandangan. Dewi Musrikaweni mengarahkan pandangannya ke pohon, tapi tidak ada apa-apa lagi di sana. Gadis itu menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

“Ya, siapa...?" bergegas Dewi Musrikaweni melangkah ke pintu.

Sura Antaka menerobos masuk begitu pintu terbuka. Dewi Mustikaweni tertegun memandanginya. Laki-laki setengah baya itu langsung melongok keluar jendela, lalu memandangi setiap sudut kamar ini.

"Siapa yang masuk sini tadi?" tanya Sura Antaka.

"Tid.... Tidak ada siapa-siapa, Ayah," sahut Dewi Musrikaweni tergagap. Hatinya sungguh terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Aku mendengar kau tengah bicara dengan seseorang. Siapa dia, Weni?" desak ayahnya.

"Aku.... Aku bicara sendiri, Ayah," masih tergagap suara Dewi Mustikaweni.

"Hm..., wajahmu pucat. Kau tidak mendustaiku, Weni?" selidik Sura Antaka tidak percaya.

"Tidak, Ayah. Sungguh, aku tadi bicara sendiri," Dewi Musrikaweni berusaha menyakinkan ayahnya.

"Hm...," Sura Antaka menggumam tidak jelas. Tatapan matanya menusuk langsung mengandung kecurigaan yang dalam.

Dewi Mustikaweni hanya tertunduk saja. Kegelisahan menyelimuti hatinya. Kepalanya masih tertunduk saat ayahnya melangkah menghampiri pintu. Laki-laki setengah baya itu menoleh sebelum melangkah keluar.

"Tutup jendelanya, Weni. Aku tidak suka kau menyembunyikan orang di kamarmu," kata Sura Antaka.

"Baik, Ayah."

Sura Antaka melangkah keluar. Dewi Mustikaweni bergegas menutup pintunya, lalu menarik napas panjang seraya memejamkan matanya. Kemudian kakinya melangkah menuju jendela, lalu menutupnya. Gadis itu berbalik, melangkah menghampiri pembaringan. Sambil mendesah panjang, dibanting tubuhnya ke pembaringan. Sejak peristiwa di tepi danau, Sura Antaka melarang gadis itu keluar dari kamarnya kalau tidak disertai pengawalan ketat. Terlebih lagi kalau keluar dari bangunan bagai istana ini. Tidak kurang dari lima puluh orang ketat mengawalnya.

Dewi Mustikaweni semakin merasakan dirinya bagai hidup dalam sangkar emas berlumpur. Ke mana pun pergi, selalu ada pengawal membuntuti. Bahkan emban pengasuhnya saja tidak lagi bisa bebas bepergian. Dewi Mustikaweni menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Hidupnya semakin terasa sunyi.

********************

Hari-hari buruk rupanya membayangi Sura Antaka bersama semua orang-orangnya. Setiap kali membegal, selalu gagal. Bahkan tidak sedikit orangnya tewas atau tertangkap prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Sura Antaka jadi tidak habis mengerti, setiap rencananya selalu saja bocor dan dapat diketahui. Kalau hanya prajurit kerajaan saja, tidak menjadi persoalan baginya. Tapi yang membuat berang adalah munculnya seorang pemuda berkulit harimau dan seorang laki-laki bercaping. Mereka kerap menggagalkan aksinya, bahkan menewaskan banyak anak buahnya.

Nama Pendekar Pulau Neraka dan Pendekar Caping Bambu menjadi momok bagi Sura Antaka dan semua pengikutnya. Bahkan Pendeta Ajisaka jadi lebih banyak diam dan meyendiri sejak digantung dengan kepala di bawah oleh orang bercaping yang menabah dirinya menjadi Gagak Codet. Bahkan sebenarnya wajahnya cukup tampan bagai putra mahkota.

"Mungkinkah dia Arga Yuda...," desah Pendeta Ajisaka siang itu saat duduk sendiri di pinggir kolam taman belakang kediaman Sura Antaka yang bagaikan istana itu.

"Dia sudah mati, Paman," tiba-tiba terdengar suara dari belakang.

"Oh!" Pendeta Ajisaka terkejut, langsung membalikkan tubuhnya.

Sura Antaka menghampiri dan duduk di samping laki-laki tua berkepala gundul yang selalu memakai jubah kuning gading itu. Pendeta Ajisaka menggeser duduknya merenggang.

"Kenapa kau ingat-ingat bocah setan itu lagi, Paman?" tegur Sura Antaka. Nada suaranya terdengar kurang senang.

"Maaf, Adi Sura Antaka. Aku hanya bergumam saja tadi," ujar Pendeta Ajisaka yang selalu memanggil adik pada Sura Antaka jika hanya berdua saja. Tapi di depan orang lain, dia akan selalu menyebut Yang Mulia pada Sura Antaka.

"Kau jauh berubah beberapa hari ini, Paman. Sering menyendiri. Bahkan beberapa ku dengar kau menyebut-nyebut nama Arga Yuda," kata Sura Antaka.

"Hhh....!" Pendeta Ajisaka menarik napas panjang.

"Ada yang mengganggu pikiranmu, Paman?"

"Sedikit," desah Pendeta Ajisaka.

"Katakanlah. Mungkin aku bisa membantu."

"Kau sudah terlalu banyak menanggung beban, Adi Sura Antaka. Rasanya tidak pantas kalau aku juga ikut membebani pikiranmu. Biarlah semua persoalan ini aku sendiri yang menyeselaikan," tolak Pendeta Ajisaka halus.

"Persoalanmu adalah juga persoalanku, Paman. Aku tahu, belakangan ini aksi kita selalu gagal. Aku merasa di antara orang-orang kita ada yang berkhianat, dan selalu membocorkan setiap rencana penyergapan. Aku memang berang, tapi juga harus mencari jalan keluar yang terbaik. Aku tidak ingin Partai Naga Merah hancur begitu saja, karena ada pengkhianat yang menyusup," kata Sura Antaka. Pendeta Ajisaka diam saja.

"Paman, kau selalu menyebut-nyebut nama Arga Yuda. Apakah...."

"Anak itu masih hidup, Adi Sura Antaka," potong Pendeta Ajisaka cepat.

"Mustahil!" desis Sura Antaka tidak percaya.

"Kau ingat ketika aku digantung, Adi Sura? Waktu itu aku bersama Macan Gagak dan Singo Barong serta beberapa orang berusaha mengejar Pendekar Pulau Neraka yang menghina dan membangkang undanganmu. Belum sampai ke danau, seorang bercaping mencegat. Kepandaiannya sangat tinggi. Aku berhasil dikalahkannya, lalu aku digantung, Adi Sura," kata Pendeta Ajisaka mulai terbuka.

"Hm, ya. Aku sudah mendengar itu."

"Tidak ada yang tahu, Adi Sura. Aku yakin orang bercaping itu pasti Arga Yuda.

"Kau tidak bergurau, Paman Ajisaka...?!"

"Sungguh, Adi Sura. Itulah yang menjadi beban pikiranku saat ini. Arga Yuda begitu pandai menyamar. Aku yakin kalau dia mudah menyusup ke sini, dan mengetahui semua rencana kita. Jadi bukan ada pengkhianatan, tapi memang ada penyusup yang masuk tanpa kita ketahui."

"Hm.... Kenapa baru sekarang kau katakan ini, Paman?" Sura Antaka sedikit menyesali.

"Aku masih mencari bukti kuat, Adi Sura."

"Keyakinanmu sudah menjadi bukti kuat, Paman. Hmmm..., aneh! Bagaimana mungkin bocah itu bisa hidup?"

"Bukan hanya bisa hidup, Adi Sura. Bahkan telah mempunyai kalung lambang kebesaran Partai Naga Merah."

"Apa...?!" Sura Antaka terkejut setengah mati mendengarnya, bahkan sampai terlonjak bangkit berdiri.

"Dia menunjukkan kalung itu padaku," sambung Pendeta Ajisaka.

"Mustahil! Tapi..."

Sura Antaka bergegas melangkah menuju suatu bangunan kecil yang terbuat dari dinding batu hitam. Pendeta Ajisaka mengikutinya dari belakang. Dua orang penjaga bersenjata tombak membungkuk memberi hormat dan salah seorang bergegas membuka pintu dari besi baja yang kokoh. Sura Antaka melangkah masuk, diikuti Pendeta Ajisaka.

Udara lembab dan pengap langsung menyeruak, tapi kedua laki-laki itu terus melangkah menuruni undakan batu menuju ke bagian bawah. Mereka berhenti setelah tiba di depan sebuah pintu dari lempengan baja putih. Sura Antaka membuka pintu itu. Suara bergerit terdengar nyaring saat pintu itu terkuak. Seberkas cahaya menerobos menerangi ruangan kecil berdinding dan beratap batu hitam.

"Keparat..!" geram Sura Antaka seraya menengadah menatap lubang yang menganga lebar pada bagian atas ruangan kecil ini.

"Sudah kuduga, Adi Sura. Bocah itu pasti bisa lolos," tegas Pendeta Ajisaka.

"Tidak mungkin! Pasti ada yang menolongnya. Lima belas tahun terkurung di sini, mustahil kalau dia masih hidup!" dengus Sura Antaka menggeram.

Laki-laki setengah baya itu menatap Pendeta Ajisaka dalam-dalam, sedangkan yang ditatap malah membalas dengan tajam pula. Kemudian mereka mendongak ke atas, lalu hampir bersamaan melesat naik ke atas lubang itu. Sebentar saja mereka sudah berada di luar, tepat di luar pagar tembok yang membentengi bangunan besar bagai istana itu.

"Emban Bulem...!" desis Sura Antaka. "Hanya dia yang kuijinkan masuk ke sini."

"Di mana dia?" tanya Pendeta Ajisaka.

"Di... Mustikaweni..!"

Sura Antaka langsung melompat melewati pagar tembok. Pendeta Ajisaka mengikuti dengan gerakan tangkas dan ringan. Sekejap saja kedua laki-laki itu sudah lenyap di balik dinding tembok yang mengelilingi rumah besar bagai istana itu.

"Weni....' Mustikaweni...!" teriak Sura Antaka sambil menggedor pintu kamar yang tertutup rapat.

Gedoran yang keras itu tidak juga membuka pintu kamar tersebut. Pendeta Ajisaka menahan tangan Sura Antaka. Sebentar ditatapnya laki-laki setengah baya itu. Sura Antaka melangkah mundur, dan Pendeta Ajisaka menghentakkan tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

Brak!

Pintu tebal dari kayu jati itu hancur seketika. Pendeta Ajisaka dan Sura Antaka langsung menerobos masuk, dan langsung tercengang. Ternyata di dalam kamar ini tidak ada seorang pun. Sura Antaka bergegas ke jendela yang terbuka. Matanya membeliak begitu melihat tiga orang berpakaian merah bergambar naga di dada telah tergeletak berlumuran darah di bawah jendela.

"Paman, perintahkan semua yang ada. Cari dan kejar anakku!" seru Sura Antaka berang.

"Baik," sahut Pendeta Ajisaka.

Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar. Sedangkan Sura Antaka menyandarkan tubuhnya ke dinding di samping jendela. Sebentar matanya terpejam, kemudian terbuka lagi. Tangannya terkepal erat. Dengan kemarahan yang meluap, dihantamnya dinding kamar ini hingga jebol berantakan.

Sura Antaka bergegas keluar dari kamar itu. Langkahnya cepat dan lebar-lebar. Wajahnya memerah, pertanda hatinya sedang terselimut amarah yang luar biasa. Laki-laki setengah baya itu langsung menuju ruangan depan. Di sana Pendeta Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo Barong sudah menunggu. Dari pintu ruangan depan ini terlihat hampir seratus orang berbaris menunggu perintah. Mereka semua berseragam merah dengan sulaman gambar naga pada dadanya.

"Semua sudah siap, Yang Mulia," ujar Pendeta Ajisaka seraya menjura memberi hormat.

"Pecah bagi empat dan menyebar ke empat jurusan!" perintah Sura Antaka.

Ketiga orang itu menjura memberi hormat, lalu bergegas melangkah keluar. Tidak berapa lama, terdengar beberapa suara bernada perintah. Dan barisan berseragam merah itu segera.memisahkan diri menjadi empat kelompok. Pendeta Ajisaka berdiri di depan kelompok paling kanan, disusul Macan Gadak, dan Singo Barong. Sedangkan sekelompok lagi akan ikut bersama Sura Antaka.

"Dengar kalian semua...!" kata Sura Antaka lantang begitu sudah berada di luar. "Ku ijinkan kalian membunuh siapa saja yang ada bersama Putri Dewi Mustikaweni!"

Semua orang menjura memberi hormat.

"Berangkat sekarang!" perintah Sura Antaka tegas.

Tiga kelompok yang masing-masing dipimpin tiga orang kepercayaan Sura Antaka, segera bergerak. Sedangkan Sura Antaka sendiri menghenyakkan tubuhnya di kursi di beranda depan ini. Sekitar dua puluh lima orang masih berbaris rapi menunggu perintah. Mereka semua memegang tombak panjang dan sebilah pedang tergantung di pinggang. Sura Antaka merayapi dua puluh lima orang anak buahnya yang setia tengah menanti perintah.

"Kalian semua tetap di sini. Jangan terlalu jauh dari rumah ini. Mengerti...?!" kata Sura Antaka tegas.

"Mengerti, Yang Mulia....'" sahut mereka serempak seraya membungkukkan badan.

Sura Antaka mengibaskan tangannya. Maka sekitar dua puluh lima orang berseragam merah itu serentak bergerak mencari tempat untuk menjaga junjungannya. Sementara Sura Antaka masih tetap duduk di kursinya. Pandangannya kosong lurus ke depan.

"Hhhh...! Mungkinkah semua ini awal kehancuranku? Tidak! Aku tidak boleh putus asa. Partai Naga Merah tidak boleh hancur dan harus tetap kuat!" desis Sura Antaka pelahan, namun terdengar agak tertekan nada suaranya.

********************

ENAM

Sementara itu, di sebuah hutan yang cukup jauh dari tempat tinggal Sura Antaka atau yang lebih dikenal sebagai sarang Partai Naga Merah, tampak Dewi Mustikaweni melangkah terseret bersama seorang perempuan gemuk. Jelas dia adalah Emban Bulem, pengasuh gadis cantik itu. Beberapa kali kaki Dewi Mustikaweni terantuk akar, dan terjatuh. Tapi Emban Bulem segera menarik, dan menyeretnya agar terus berjalan.

"Aku letih, Bi. Istirahat dulu...," rintih Dewi Mustikaweni kepayahan. Keringat membanjiri wajah dan lehernya yang jenjang berkulit halus. Sepasang pipinya merona merah karena kelelahan.

Emban Bulem berhenti melangkah. Ditatapnya dalam-dalam bola mata bulat yang dihiasi bulu mata lentik itu. Dewi Mustikaweni menyeka keringat dengan sapu tangan berwarna merah muda. Napasnya terengah mendengus-dengus.

"Kau terlalu manja, Mustikaweni. Inilah akibatnya malas berlatih ilmu olah kanuragan!" dengus Emban Bulem.

"Bi...!" sentak Dewi Mustikaweni terkejut mendengar nada suara agak kasar dari emban pengasuhnya ini.

"Ayo cepat jalan, sebelum mereka tahu!" sentak Emban Bulem.

"Aku letih, Bi...," rengek Dewi Mustikaweni.

"Kebebasanmu sudah dekat, Weni. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Ibu dan kakakmu sudah cemas menunggu. Ayo jalan lagi," bujuk Emban Bulem.

"Bi..., aku tidak mengerti maksudmu. Akan dibawa ke mana aku...?" tanya Dewi Mustikaweni seraya mengayunkan kakinya kembali.

Kali ini Emban Bulem tidak lagi menyeretnya. Mereka berjalan berdampingan menerobos lebarnya hutan. Semakin jauh berjalan, semakin sukar untuk ditempuh. Hutan ini bertambah rapat, dan berudara lembab. Begitu rapatnya, sehingga sinar matahari tidak sanggup menembusnya. Dewi Mustikaweni agak getir juga hatinya. Belum pernah dimasuki hutan sampai sejauh ini. Dia takut kalau-kalau bertemu binatang buas.

"Bi, tolong jelaskan. Kenapa kau lakukan semua ini padaku...?" rengek Dewi Mustikaweni masih belum mengerti sikap emban pengasuhnya ini.

"Dengar, Weni. Sebenarnya aku ini adalah adik kandung ibumu. Waktu Padepokan Naga Merah yang kini menjadi Partai Naga Merah hancur, aku menyamar jadi seorang pembantu. Untungnya Sura Antaka tidak kenal jati diriku, sehingga mengijinkan aku untuk mengasuhmu. Waktu itu usiamu baru satu tahun, Weni. Dan kau punya kakak yang berusia lima tahun pada waktu itu. Laki-laki.... Ibumu dan kakakmu berhasil meloloskan diri, sedangkan ayahmu yang sebenarnya telah tewas di tangan Sura Antaka...," Emban Bulem mencoba menjelaskan.

"Sungguhkah itu, Bi?" tanya Dewi Mustikaweni kurang percaya.

"Kau akan tahu nanti, Weni. Aku hanya bisa menceritakan sedikit. Kau tahu, daerah ini masih termasuk wilayah Kerajaan Gelang Wesi. Gusti Prabu Nayadarma adalah pamanmu, kakak ayahmu. Mereka masing-masing punya pilihan sendiri. Gusti Nayadarma lebih senang pada hal-hal pemerintahan. Sedangkan ayahmu lebih suka menjadi pertapa, dan memimpin sebuah padepokan yang didirikan atas usahanya sendiri. Padepokan Naga Merah cepat berkembang pesat. Tapi seorang kepala gerombolan perampok telah mengacaukannya. Direbutnya wilayah Padepokan Naga Merah, lalu dijadikannya sarang gerombolannya yang dinamakan Partai Naga Merah. Kepala gerombolan perampok itu adalah Sura Antaka."

"Ayah...?!"

"Dia bukan ayahmu, Weni. Sura Antaka masih terhitung saudara ayahmu. Tapi hanya saudara jauh. Dia iri dan dengki terhadap ayahmu yang berhasil menjadi seorang pertapa dan guru besar sebuah padepokan. Sura Antaka kemudian lari dari istana dan berkelana menjadi kepala begal. Kebenciannya semakin menjadi begitu mendengar gadis yang sudah lama diinginkannya dipersunting ayahmu. Gadis itu adalah ibumu, Weni. Sura Antaka kemudian menghancurkan Padepokan Naga Merah, dan membunuh ayahmu. Ibumu hendak direbutnya juga, tapi gagal. Dia hanya berhasil menawan kakakmu dan dirimu, Weni."

"Kenapa dia tidak membunuhku saja, Bi?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Tidak. Karena aku telah memohon dan berjanji untuk selalu setia serta merawatmu dengan baik. Aku janji untuk tidak membocorkan semua rahasia ini. Tapi aku jadi merasa tertekan dan berdosa. Terlebih lagi setelah kau dewasa, Weni. Dan sekarang kakakmu sedang berusaha mengeluarkanmu dari neraka lumpur ini."

"Kakakku...? Kau katakan tadi kakakku juga tertawan, Bi," Dewi Mustikaweni meminta penjelasan.

"Benar. Kakakmu tertawan dan dijebloskan dalam penjara bawah tanah. Penjara yang sebenarnya tempat bersamadi ayahmu dulu. Berkat upaya ku pula, Sura Antaka mengijinkanku untuk memberinya makan dan minum setiap hari. Dalam pekan-pekan pertama, memang selalu ada pengawal yang menjaga tempat itu sampai ke dalam. Tapi setelah lewat tiga purnama, aku bisa masuk sendirian tanpa dikawal seorang penjaga pun. Di situ aku pun berusaha membebaskan kakakmu dengan jalan menjebol dinding atas yang kuketahui langsung berhubungan dengan lingkungan luar. Tapi sebelum itu, diam-diam aku juga telah memberi tahu pihak Kerajaan Gelang Wesi. Maka pamanmu pun segera mengirimkan dua orang panglimanya untuk menunggu. Kakakmu selamat sampai di Kerajaan Gelang Wesi dan telah berkumpul bersama ibunya. Ibumu juga, Weni."

Dewi Mustikaweni terdiam, tidak tahu lagi harus berkata apa lagi. Semua cerit perempuan gemuk itu sungguh meresap, langsung masuk ke dalam relung hatinya. Diam-diam Dewi Mustikaweni menghubung-hubungkannya dengan semua yang dilihat dan dialaminya selama berada dalam sangkar emas berlumpur itu, hingga peristiwa yang terjadi belakangan ini.

"Aku tidak mendesakmu agar percaya sekarang juga, Weni. Kau akan tahu sendiri nanti," kata Emban Bulem lagi.

"Entahlah, Bi. Aku tidak tahu," desah Dewi Mustikaweni. Mereka terus berjalan tanpa ada yang bicara lagi.

********************

Senja sudah mulai turun dalam pelukan bumi. Sinar matahari tidak lagi terik menyengat. Dua orang wanita masih terus berjalan tanpa beristirahat. Mereka sudah mulai memasuki tempat terbuka. Pohon-pohon tidak lagi rapat, dan sinar matahari senja menghangati kulit mereka. Tapi mendadak...

"Berhenti...!"

"Bi...," tergetar suara Dewi Mustikaweni begitu tiba-tiba di depan mereka muncul Singo Barong bersama dua puluh lima orang berseragam merah bersulaman gambar naga pada bagian dadanya.

"Emban Bulem..., pengkhianat busuk!" geram Singo Barong.

"Aku bukan pengkhianat, setan!" bentak Emban Bulem ketus.

"Heh!" Singo Barong berjingkrak kaget mendengar bentakan keras wanita gemuk itu. "Berani benar kau membentakku, perempuan keparat!"

"Kau pikir aku takut? Majulah!" tantang Emban Bulem.

Singo Barong semakin terperanjat begitu tiba-tiba saja Emban Bulem melepaskan selendang kuning yang membelit pinggangnya. Cepat sekali perempuan gemuk itu mengebutkannya ke arah laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berwajah kasar penuh berewok itu.

"Hup!" Singo Barong melompat cepat menghindari terjangan ujung selendang kuning itu. Tapi ternyata seorang yang berada tepat di belakangnya tidak bisa berkelit lagi Orang itu menjerit keras melengking, lalu menggelepar jatuh dengan dada terbelah tersambar ujung selendang kuning itu.

"Setan keparat...! Rupanya kau punya simpanan juga, heh?!" geram Singo Barong.

"Simpanan untuk mencabut nyawamu, Singo Barong!"

"Edan! Mampus kau! Hiyaaat..!"

Singo Barong memuncak amarahnya. Langsung dilentingkan tubuhnya, dan meluruk deras ke arah Emban Bulem. Namun perempuan gemuk itu lincah sekali mengebut-ngebutkan selendangnya, menghalau serangan Singo Barong. Tentu saja hal ini membuat laki-laki tinggi kekar itu menjadi kelabakan menghindari kebutan selendang yang meliuk-liuk bagai memiliki mata itu.

"Ghrrr...!" Singo Barong menggerung keras bagai seekor binatang buas kelaparan.

Sementara itu, orang-orang yang mengenakan seragam merah telah berlompatan membuat lingkaran mengepung. Sedangkan Dewi Mustikaweni tidak berani jauh-jauh dari perempuan gemuk yang sibuk memainkan selendangnya, mencecar Singo Barong.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Singo Barong berteriak keras.

Dan pada saat yang bersamaan, Emban bulem mengebutkan selendangnya ke arah kaki. Tubuh laki-laki tinggi kekar itu melenting ke atas, lalu mendarat lunak di atas selendang kuning itu. Cepat sekali goloknya yang besar dan kelihatan berat itu ditarik keluar.

"Hup! Hyaaa...!"
Wut!
Bret..!

Emban Bulem tersentak kaget begitu tiba tiba saja golok Singo Barong merobek selendangnya tepat pada bagian tengah hingga terpotong jadi dua bagian. Dan belum lagi hilang keterkejutan perempuan gemuk itu, Singo Barong sudah melompat bagaikan kilat. Goloknya dikibaskan cepat mengarah ke leher.

"Uts! Haiiit...!"

Emban Bulem melompat mundur menghindari tebasan golok itu. Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, tiba-tiba dari arah belakang, meluncur sebatang tombak panjang berwarna merah darah. Dan tombak itu langsung menembus punggung wanita gemuk itu hingga tembus ke dada.

"Aaaaa...!" Emban Bulem menjerit melengking tinggi.

"Mampus kau! Hiyaaat...!" Seketika itu juga Singo Barong mengebutkan goloknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung menebas leher Bibi Emban Bulem hingga buntung.

"Bibi...!" jerit Dewi Mustikaweni.

Tubuh gemuk itu jatuh berdebum ke tanah. Darah mengucur deras dari leher yang buntung, sedangkan kepala perempuan gemuk itu menggelinding terpisah. Singo Barong tertawa terbahak-bahak melihat lawannya tewas seketika. Sedangkan Dewi Mustikaweni yang tidak sanggup melihat kejadian itu, langsung jatuh pingsan saat itu juga.

"Bawa perempuan itu!" perintah Singo Barong.

Dua orang melangkah maju. Tapi belum juga tubuh ramping itu sempat disentuh, mendadak sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuh Dewi Mustikaweni yang tergeletak pingsan di tanah. Tahu-tahu di tempat gadis itu tergeletak, sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau. Badannya yang kekar memondong tubuh ramping yang tidak sadarkan diri.

"Aku muak melihat tikus-tikus busuk bertingkah!” dingin nada suara pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Bocah edan! Siapa kau?" bentak Singo Barong geram.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Katakan saja pada Sura Antaka kalau kehancurannya sudah tiba!"

"Heh...!"

Tiba-tiba saja pemuda berbaju kulit harimau itu melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap. Singo Barong dan yang lainnya jadi terperangah. Mereka seperti melihat hantu yang muncul dan menghilang tiba-tiba. Laki-laki kekar berwajah menyeramkan itu cepat tersadar, lalu memerintahkan semua anak buahnya untuk segera mengejar. Singo Barong melompat cepat ke arah hilangnya pemuda berbaju kulit harimau tadi, diikuti orang-orang berseragam merah bergambar naga pada bagian dadanya.

********************

"Oh...," Mustikaweni merintih lirih. Kepala gadis itu menggeleng pelahan, dan kelopak matanya terbuka. Sebentar matanya mengerjap, lalu tubuhnya menggelinjang bangkit begitu menyadari dirinya berada di tempat yang sangat asing dan belum dikenalnya. Gadis itu semakin terkejut begitu melihat seorang pemuda duduk bersila tidak jauh darinya.

"Kakang Bayu...," desis Dewi Mustikaweni mengenali pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau itu.

"Kau sudah bangun, Weni?" lembut suara Bayu.

"Di mana aku?" tanya Dewi Mustikaweni seraya memandang berkeliling.

Tempat ini tidak begitu besar, dan semua dindingnya terbuat dari kulit kayu. Atapnya dari daun-daun kering yang dirangkai oleh kulit kayu. Gadis itu sendiri berada pada tumpukan rumput kering di atas tanah lembab yang banyak berserakan daun-daun kering.

"Cukup aman dari kejaran mereka," ujar Bayu seperti bisa membaca jalan pikiran gadis itu.

Dewi Mustikaweni menatap pemuda itu sesaat, lalu kepalanya tertunduk Kembali terbayang semua peristiwa yang dialaminya, lalu tiba-tiba saja dia menangis sesunggukkan. Namun cepat-cepat dihapus air matanya dengan ujung lengan bajunya. Dewi Mustikaweni menarik napas panjang, mencoba mencari kekuatan. Meskipun hatinya sedih karena kematian emban pengasuh yang begitu setia dan rela berkorban nyawa untuknya, tapi gadis itu tidak ingin kelihatan cengeng lagi. Dia harus tabah. Dia sudah tahu siapa dirinya, dan masalah apa yang sedang dihadapinya sekarang ini.

"Kakang, bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanya dewi Mustikaweni.

"Hanya kebetulan aku lebih cepat dari mereka,” sahut Bayu seenaknya.

"Oh, Bibi...," rintih Dewi Mustikaweni kembali teringat kematian emban pengasuhnya yang begitu tragis. Tidak kuasa lagi air matanya dibendung.

"Sudahlah, Weni. Tidak ada gunanya menangis. Yang penting sekarang kau harus tabah menghadapi semua kenyataan ini. Sampai saat ini kau belum bisa merasa aman. Masih banyak yang harus kau hadapi," kata Bayu lembut, namun cukup tegas nada suaranya.

"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan. Sepertinya aku sedang bermimpi buruk saja," lirih suara Dewi Mustikaweni.

"Anggaplah ini mimpi burukmu, Weni. Dan jangan terjaga sebelum semuanya berakhir."

"Ah, Kakang. Kau hanya menggodaku saja."

"Nah..., begitu. Tersenyumlah. Kau semakin cantik jika tersenyum," goda Bayu agar gadis itu hilang dari kesedihannya.

Terpaksa Dewi Mustikaweni tersenyum, meskipun terasa pahit dan bergetar. Dan Bayu sudah senang melihatnya. Pemuda itu beringsut lebih mendekat. Ditatapnya dalam dalam wajah cantik penuh air mata. Lembut sekali Bayu menghapus air mata itu dengan ujung jarinya. Dewi Mustikaweni memejamkan matanya, kembali teringat kecupan pertama pada bibirnya. Dan pemuda inilah yang pertama kali menciumnya.

"Weni...," bisik Bayu lembut.

Dewi Mustikaweni membuka matanya.

"Ada yang ingin kubicarakan padamu, dan ini mungkin saat yang tepat," kata Bayu pelahan.

"Ada apa, Kakang?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Weni, apa yang ada dalam pikiranmu atas keberadaanku yang tiba-tiba di sini?" Bayu balik bertanya.

"Aku tidak tahu," sahut Dewi Mustikaweni keheranan.

"Ketahuilah, keberadaanku di daerah Utara ini bukan karena tidak sengaja. Kedatanganku ke sini karena diutus seseorang. Seseorang yang membutuhkan pertolongan, dan aku tidak bisa menolaknya," jelas Bayu. Terdengar hati-hati sekali nada suaranya.

Dewi Mustikaweni diam saja. Dicobanya untuk bisa memahami setiap kata yang terucapkan dari bibir pemuda itu. Berbagai macam dugaan langsung hadir di benaknya. Dan semua dugaan itu membuat jantungnya berdebar kencang.

"Aku yakin, emban pengasuhmu sudah bercerita banyak kepadamu," kata Bayu lagi. "Dan semua itu ada hubungannya dengan kedatanganku ke sini."

"Bibi Bulem ..?" dada Dewi Mustikaweni semakin keras berdebar.

Gadis itu teringat akan semua cerita perempuan gemuk yang selama ini dikenalnya hanya sebagai emban pengasuh saja. Dan ternyata Bibi Bulem memang adalah bibinya sendiri, adik kandung ibunya. Sedangkan ibunya sendiri katanya sekarang berada di istana Kerajaan Gelang Wesi. Dewi Mustikaweni masih belum percaya sepenuhnya. Tapi saat Bayu berkata tadi..., entah kenapa tiba-tiba saja dadanya jadi bergemuruh, dan jantungnya serasa lebih cepat berdetak. Dewi Mustikaweni menatap bola mata pemuda itu dalam-dalam, seolah-olah ada yang dicarinya di sana.

"Jika Bibi Bulem sudah mengatakan semuanya padamu, rasanya tidak perlu lagi kukatakan padamu, Weni. Semua yang dikatakannya adalah benar. Dan aku berada di sini untuk membantunya mengeluarkanmu, agar kau bisa berkumpul lagi bersama ibu dan kakakmu. Oh, ya. Kakakmu juga ada di sini, tapi sudah dua hari ini terpisah dariku. Entah berada di mana sekarang. Yang jelas dia bersama empat orang panglima," lanjut Bayu.

Dewi Mustikaweni semakin tidak bisa membuka mulutnya. Tidak dapat dilukiskan lagi, bagaimana perasaan hatinya sekarang. Keragu-raguan, kebimbangan, dan ketidakpercayaan serta rasa ingin mempercayai berbalut jadi satu dalam dadanya. Dia hanya bisa memandang dengan bibir bergetar tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Tidak mudah baginya untuk bisa menerima semua ini. Sejak kecil yang dikenal hanya Sura Antaka sebagai ayahnya. Dan laki-laki setengah baya itu selalu mengatakan ibunya sudah meninggal ketika melahirkannya. Hanya itu saja yang diketahuinya. Tidak lebih. Tapi sekarang.... Dewi Mustikaweni tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakan dan diperbuatnya.

********************

Sudah dua hari Dewi Mustikaweni tinggal di pondok kecil yang reyot dan nampak kumuh itu. Selama itu Bayu selalu menceritakan bagaimana caranya dia berhubungan dengan Emban Bulem. Juga tentang kakaknya yang kini entah berada di mana setelah terpisah dengannya. Hanya sebentar saja Bayu berada di pondok ini Pendekar Pulau Neraka itu selalu keluar mencari Raden Arga Yuda. Mereka akan kembali ke Istana Gelang Wesi bersama-sama nanti.

Namun sudah dua hari ini Bayu belum juga bertemu Raden Arga Yuda. Dan hal ini membuat Dewi Mustikaweni jadi murung. Dia sudah yakin kalau dirinya bukan anak Sura Antaka, dan masih mempunyai ibu dan seorang kakak. Bertahun-tahun terpisah, sejak kecil sehingga tidak bisa mengenali satu dengan lainnya.

Saat itu hari sudah menjelang senja. Tapi Bayu belum juga kembali. Dewi Mustikaweni menunggu di beranda pondok kecil ini. Gadis itu tidak juga beranjak dari kursinya yang hanya terbuat dari bambu yang disatukan dengan kulit kayu. Setiap kali digerakkan tubuhnya, selalu terdengar suara bergerit.

"He he he....!" tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh.

"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget. Seketika wajah gadis itu memucat begitu tiba-tiba di depannya muncul seorang laki-laki tua berjubah kuning dengan kepala gundul. Di belakangnya berdiri dua orang bertubuh kekar. Belum hilang rasa terkejut Dewi Mustikaweni, dari balik pepohonan dan semak bermunculan orang-orang berseragam merah yang bergambar naga pada dadanya. Gadis itu tahu siapa mereka, terlebih lagi terhadap tiga orang itu.

"Akhirnya kutemukan juga kau di sini, Weni," ujar Pendeta Ajisaka.

"Oh, mau apa kalian ke sini?" bentak Dewi Mustikaweni semakin memucat wajahnya.

"Ayahmu menunggu, Weni. Sudah dua hari kau tidak pulang," kata Macan Gadak.

Dewi Mustikaweni menelan ludahnya.

"Kau tersasar di sini, Cah Ayu? Atau ingin melarikan diri?" sinis nada suara Pendeta Ajisaka.

"Aku..., aku," tergagap suara Dewi Mustikaweni.

"Ayo kita pulang," ajak Pendeta Ajisaka.

"Tidak!" sentak Dewi Mustikaweni ketika laki-laki berjubah kuning gading itu menjulurkan tangannya.

"O..., rupanya kau ingin membangkang ya?"

"Aku tidak akan kembali! Aku mau pulang!" keras nada suara Dewi Mustikaweni.

"Pulang...? Pulang ke mana, Weni? Ini bukan rumahmu!" bentak Pendeta Ajisaka jadi gusar.

"Aku mau pulang ke Ibu!"

Pendeta Ajisaka tersentak kaget. Sedangkan Singo Barong dan Macan Gadak saling berpandangan. Tapi cepat sekali mereka melompat dan tahu-tahu kedua tangan Dewi Mustikaweni sudah teringkus.

"Akh! Lepaskan...!" jerit Dewi Mustikaweni berusaha memberontak.

"Hih!" Macan Gadak menotok jalan darah gadis itu.

"Ahhh...!"

Seketika itu juga tubuh Dewi Mustikaweni lunglai lemas tak berdaya. Singo Barong memondongnya. Mereka saling berpandangan sesaat.

"Dia tidak ke sini sendirian, Paman Pendeta," kata Singo Barong.

"Kau boleh menunggunya di sini, Singo Barong. Aku akan membawa bocah nakal ini pulang," ujar Pendeta Ajisaka.

"Aku bersamamu, Singo Barong," selak Macan Gadak.

"Tidak! Kau ikut Paman Pendeta saja," tolak Singo Barong.

Macan Gadak mengangkat bahunya. Dia tahu kalau Singo Barong sangat keras wataknya. Sekali bilang hitam, selamanya akan hitam. Tidak mungkin bisa dirubah lagi. Macan Gadak menggantikan Singo Barong memondong Dewi Mustikaweni yang terkulai tidak sadarkan diri.

"Hati-hati, Singo Barong," ucap Pendeta Ajisaka.

"Akan kubawa kepalanya untuk kalian semua," kata Singo Barong mantap.

Pendeta Ajisaka menepuk pundak laki-laki tinggi kekar itu, kemudian melangkah menghampiri kudanya yang dituntun seorang berbaju merah. Laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu melompat naik ke kudanya, kemudian menerima tubuh Dewi Mustikaweni dari Macan Gadak. Gadis itu tidak bergerak gerak lagi, lemas karena tertotok jalan darahnya.

Sebentar saja Pendeta Ajisaka dan Macan Gadak sudah pergi. Tinggal Singo Barong di tempat itu ditemani sekitar lima belas orang berseragam merah dan bergambar naga di bagian dadanya. Laki-laki berwajah kasar penuh berewok itu memandang ke sekeliling. Tangannya menjambret obor yang terpancang di tiang beranda pondok itu, lalu melemparkannya ke atap pondok. Api langsung berkobar besar, melahap atap yang terbuat dari daun-daun kering dan rerumputan yang teranyam.

"Ha ha ha...!"

********************

TUJUH

Bayu tersentak kaget saat mendapati pondoknya sudah hangus menjadi abu. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba di sekelilingnya bermunculan sekitar lima belas orang berseragam merah bergambar naga pada bagian dadanya. Tampak Singo Barong berdiri tegak. Matanya merah membara, bagai api yang menghanguskan pondok kecil itu.

Bayu memutar tubuhnya, memandangi orang-orang yang sudah mengepungnya sambil membawa tombak terhunus. Tatapan matanya langsung terpaku pada Singo Barong. Laki-laki inilah yang memenggal kepala Emban Bulem, dan yang juga berusaha membawa paksa Dewi Mustikaweni kembali ke dalam sangkar emasnya yang penuh bergelimang noda lumpur.

"Ha ha ha ha...! Tidak semudah itu kau bisa membawa Dewi Mustikaweni!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak.

"Di mana Mustikaweni?" dengus Bayu.

"Bersama ayahnya," sahut Singo Barong dingin. Singo Barong menjentikkan ujung jarinya. Dan seketika itu juga lima belas orang berseragam dengan tombak terhunus, langsung berlompatan menyerang. Bayu yang sudah kesal karena Dewi Mustikaweni hilang, semakin menjadi geram mendapat keroyokan yang membabi buta seperti ini.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka itu berkelebat cepat menghindari setiap serangan yang datang, sambil balas menyerang. Pukulan-pukulannya cepat luar biasa, dan mengandung tenaga dalam sangat sempurna. Pekik pertempuran, kini berubah jadi jerit lengking kematian. Satu persatu tubuh orang berbaju merah bergelimpangan dengan keadaan remuk.

Singo Barong menggeram dahsyat karena melihat dalam keadaan sebentar saja, lebih dari separuh anak buahnya tewas. Laki-laki tinggi kekar itu langsung melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tidak tanggung-tanggung lagi, segera dihunus goloknya yang besar dan panjang.

Wut!

"Uts!" Bayu merundukkan kepalanya ketika merasakan desiran angin kencang mengarah ke kepalanya. Agak terkesiap juga hatinya begitu sebuah golok besar melesat di atas kepalanya. Dan Bayu jadi membeliak. Ternyata belum lagi diangkat kepalanya, sebatang tombak menyodok dari arah samping.

"Hih!" Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kirinya memapak tombak yang menyodok ke arah iga.

Trak!

Tombak itu patah. Dan belum lagi pemiliknya bisa menarik diri, Bayu sudah melompat cepat sambil mengayunkan satu pukulan bertenaga dalam luar biasa. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah. Orang itu menjerit melengking tinggi sambil memegangi kepalanya, dan langsung ambruk menggelepar di tanah. Dari kepala yang hancur mengucur darah segar.

Bayu membalikkan tubuhnya. Dipandanginya Singo Barong dan sisa anak buahnya yang tinggal tiga orang lagi. Tampak sekali kalau Singo Barong seperti ragu-ragu. Hatinya gentar juga melihat anak buahnya tinggal tiga orang lagi. Dua belas orang tewas dalam waktu sebentar saja.

"Kenapa diam? Kalian takut...?" ejek Bayu tersenyum sinis.

"Phuih!" Singo Barong menyemburkan ludahnya, berusaha mengusir kegentaran yang melanda hatinya saat ini.

Laki-laki bertubuh tinggi besar itu melintangkan goloknya di depan dada. Tatapan matanya tajam menusuk ke bola mata Pendekar Pulau Neraka. Pelahan-lahan kakinya bergerak menggeser ke samping. Digerak-gerakkan goloknya di depan dada. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya diam sambil melipat tangan di depan dada. Terasa sinis senyum yang mengembang di bibirnya.

Beberapa kali Singo Barong menyemburkan ludahnya. Setiap kali kakinya bergerak menggeser, Bayu memperhatikan dengan ujung ekor mata. Pendekar Pulau Neraka itu juga terus mengawasi tiga orang yang kini memegang pedang terhunus. Tiga orang berseragam merah itu juga bergerak ke arah yang berlawanan dari Singo Barong.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba salah seorang dari tiga orang yang mengenakan seragam merah, melompat sambil menusukkan pedangnya dari arah samping kanan. Bayu menarik tubuhnya ke belakang, maka tusukan pedang itu hanya lewat di depan dadanya. Cepat sekali tangan Pendekar Pulau Neraka itu bergerak, langsung menghantam perut penyerangnya.

Buk!

"Heghk...!"

Saat tubuh orang itu terbungkuk, Bayu menghantamkan satu pukulan keras bertenaga dalam hampir mencapai kesempurnaan. Pukulannya telak menghantam punggung, hingga orang itu terjerembab mencium tanah. Satu tendangan keras membuat orang itu terpental dan tewas seketika. Baru saja Bayu berdiri tegak dua orang lainnya langsung berlompatan menyerang. Pedang mereka berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.

"Hup! Hyaaa...!"

Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Seketika itu juga secercah cahaya keperakan melesat bagai kilat dari pergelangan tangan kanannya. Cakra Maut pun langsung meluncur membabat leher kedua orang yang terbengong sesaat.

Jeritan melengking terdengar menyayat mengiringi kematian dua orang berbaju merah itu. Leher mereka hampir putus terbabat ujung Cakra Maut yang berjumlah enam buah. Bayu mengangkat tangannya ke atasi begitu kakinya mendarat di tanah. Maka Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu kembali melekat di pergelangan tangannya.

"Giliranmu sudah tiba, Singo Barong!" desis Bayu dingin dan datar. Tatapan matanya tajam menusuk.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak. "Kau pikir mudah menjatuhkan aku, bocah setan! Jangan bangga dulu bisa membasmi tikus-tikus tidak berguna itu, keparat!"

Wutt!

Singo Barong mengebutkan goloknya yang begitu besar ke arah perut Pendekar Pulau Neraka. Tapi hanya dengan menarik sedikit tubuhnya ke belakang, golok itu hanya membabat angin di depan perut Pendekar Pulau Neraka. Begitu besar tenaga yang dimiliki Singo Barong, sehingga angin kibasan goloknya saja sudah bisa membuat Bayu terdorong sedikit ke belakang. Dan belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa menguasai diri, Singo Barong sudah melompat sambil berteriak keras menggelegar. Satu tendangan dahsyat dilepaskan mengarah ke dada.

"Uts!" Buru-buru Bayu melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Dan tendangan keras itu luput dari sasaran. Namun rupanya Singo Barong tidak memberi kesempatan kepada Pendekar Pulau Neraka itu untuk balas menyerang. Bayu terus dicecar dengan jurus jurus yang dahsyat dan selalu mengandung tenaga luar biasa. Pendekar Pulau Neraka terpaksa berpelantingan menghindari serangan yang tidak ada henti-hentinya itu. Sekalipun tidak ada kesempatan untuk balas menyerang.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus, tapi belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak. Bayu sempat memungut sebuah pedang yang tergeletak di tanah, dan langsung dibabatkan ke tubuh Singo Barong. Bukan main tercengangnya Bayu, karena pedang itu patah saat menghantam tubuh laki-laki tinggi tegap dengan wajah kasar penuh berewok.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak. Dia bertolak pinggang dengan pongahnya. Sementara Pendekar Pulau Neraka hanya memandangi tanpa berkedip. Di tangan kanannya masih tergenggam sebatang pedang yang buntung. Bayu melempar pedang itu, lalu dipungutnya pedang lain yang tergeletak dekat ujung kakinya. Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan pedangnya, tepat mengarah ke leher.

"Hiyaaat..!"

Trak!

"Ha ha ha ha...!"

Buru-buru Bayu melompat mundur begitu mata pedang yang dipungutnya dari tanah telah patah jadi dua. Sedangkan kulit leher Singo Barong tidak tergores sedikit pun juga. Malah orang berewokan itu tertawa terbahak-bahak berkacak pinggang.

Gila! Ilmu apa yang digunakan?" dengus Bayu keheranan.

"Keluarkan semua kepandaianmu, bocah!" tantang Singo Barong pongah.

"Hmmm...," Bayu menggumam pelan. Dengan ujung jari kakinya, dijentik sebilah pedang, dan langsung ditangkapnya. Sebentar dipandangi pedang yang berkilat keperakan. Lalu dijentikkannya ujung pedang itu dengan ujung jari tangan kiri.

Tring!

Suara tawa Singo Barong langsung lenyap begitu melihat pedang di tangan Pendekar Pulau Neraka terpotong tepat pada bagian tengahnya. Padahal tadi ujungnya hanya disentil sedikit saja. Singo Barong terkesiap. Dia sadar kalau ilmu tenaga dalam yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu sukar untuk diukur ketinggiannya.

"Cuma pedang mainan. Tidak heran kalau tubuhmu kebal," dengus Bayu setengah bergumam.

"Phuih! Keluarkan senjatamu, bocah!" geram Singo Barong.

"Hmmm.... Aku jadi ingin tahu, sampai di mana kekebalan tubuhmu," gumam Bayu ringan seraya tersenyum sinis.

Pendekar Pulau Neraka itu merentangkan kakinya ke samping. Lalu dengan satu kaki kiri ditekuk ke depan, dimiringkan tubuhnya ke kiri. Tangan kanannya disilangkan di depan dada. Sebentar diliriknya Singo Barong yang masih berdiri tegak bertolak pinggang. Laki-laki tinggi kekar itu tertawa terbahak-bahak dengan sikap meremehkan.

"Hih! Hyaaa...!"

Bayu mengibaskan cepat tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga Cakra Maut melesat bagai kilat. Hanya secercah cahaya keperakan yang terlihat berkelebat cepat, langsung mengarah ke dada Singo Barong yang terbuka.

Laki-laki tinggi tegap dengan wajah penuh berewok itu tidak bergeming sedikit pun. Sikapnya sungguh meremehkan. Tidak pelak lagi, Cakra Maut menghantam dadanya dengan keras.

"Aaakh...!" Singo Barong menjerit melengking tinggi.

Tampak Cakra Maut menancap dalam pada dada berbulu lebat itu. Darah langsung merembes keluar begitu tangan Bayu terhentak ke atas. Cakra Maut itu pun kembali melesat keluar setelah merobek dada Singo Barong. Tubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Singo Barong menekap dadanya yang mengucurkan darah segar. Wajahnya pucat seketika itu juga. Sementara Cakra Maut sudah menempel kembali di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

Bruk!

Singo Barong ambruk ke tanah, dan menggelepar sambil menggerung keras. Sedangkan Bayu hanya memandangi saja sambil melipat tangannya di depan dada. Cukup lama.juga Singo Barong menggelepar. Pendekar Pulau Neraka yakin kalau sebentar lagi orang itu pasti akan tewas. Tapi mendadak saja....

"Hiyaaa...!" Singo Barong berteriak keras, dan tubuhnya melesat bangkit berdiri.

"Heh?" Bayu tersentak kaget setengah mati, sampai terlonjak mundur tiga langkah.

Darah masih mengucur deras dari dada yang berlubang sangat dalam. Singo Barong meraung keras menggelegar sambil memutar goloknya diatas kepala. Laki-laki berwajah seram itu berlari cepat sambil mengerahkan seluruh kekuatannya. Golok besar itu menderu keras mengibas ke arah tubuh Pendekar Pulau Neraka.

"Uts!" Bayu melompat ke samping, menghindari tebasan golok besar itu. Tanpa diduga kakinya melayang cepat memberikan satu tendangan bertenaga dalam sangat sempurna. Tendangan menggeledek itu telak mendarat di bagian kepala sebelah kiri Singo Barong.

"Argh...!" Singo Barong meraung keras. Dengan cepat Singo Barong berbalik, sambil mengebutkan goloknya. Tidak dipedulikannya lagi darah yang menyemburat keluar dari kepalanya yang pecah.

Bayu melompat cepat melewati kepala manusia kuat itu. Dan sekali lagi didaratkan tendangan keras ke kepala, lalu disusul dua pukulan beruntun begitu kakinya mendarat di belakang Singo Barong Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan Cakra Mautnya, langsung mengoyak leher laki-laki tinggi kekar itu.

"Aaarghk...!" Singo Barong meraung keras menggelegar.

Sebentar tubuhnya masih bisa berdiri tegak, beberapa saat mulai limbung, dan ambruk menggelepar di tanah. Sungguh mengerikan keadaan tubuhnya. Kepalanya pecah berlumuran darah. Lehernya koyak hampir putus terbabat senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Bagian punggungnya melesak masuk ke dalam, dan dadanya bolong bersimbah darah.

Hanya sebentar Singo Barong menggelepar, sesaat kemudian tubuhnya diam tidak bergerak-gerak lagi. Laki-laki berwajah kasar penuh berewok itu tewas seketika setelah beberapa kali mendapat pukulan dan tendangan keras disertai hunjaman Cakra Maut. Bayu menarik napas panjang, melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak seketika.

********************

Suasana di sekitar bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi kokoh, tampak sunyi sepi. Bayu mengamati sekitar bangunan besar bagai istana itu dari atas benteng bagian belakang Tatapan matanya lurus tertuju langsung ke jendela kamar yang terbuka. Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau itu kamar Dewi Mustikaweni.

"Hm...." Bayu menggumam pelan ketika tiba-tiba matanya menangkap satu sosok bayangan berkelebat cepat ke atas atap.

Malam ini cukup gelap, sehingga tidak dapat terlihat jelas bayangan hitam itu. Juga setelah berada di atap, Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa melihat sosok tubuh yang merapat pada atap bangunan bagai istana itu. Belum sempat Bayu bisa mengenali sosok tubuh di atap itu, mendadak dikejutkan oleh denting senjata beradu, disusul pekik pertempuran dan jerit melengking tinggi. Pada bagian samping bangunan besar ini, terlihat empat orang tengah bertarung melawan sekitar tiga puluh orang berseragam merah.

Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu kembali tertuju pada sosok tubuh di atas atap. Tapi dia terkejut, karena tiba-tiba saja sosok tubuh itu lenyap. Tubuhnya telah meluruk ke bawah, terhalang sebuah tembok batu yang tinggi. Namun beberapa saat kemudian, terdengar lagi suara pertarungan dari balik tembok itu. Tampaklah kini dua sosok tubuh melesat ke atas atap. Dua orang itu tengah bertarung sengit di atas atap bangunan besar bagai istana itu.

"Gagak Codet...," desis Bayu begitu mengenali salah seorang yang bertarung di atas atap.

Sedangkan yang seorang lagi adalah si Macan Gadak. Bayu bisa mengenali mereka karena sudah bertemu beberapa kali. Pendekar Pulau Neraka itu langsung bisa mengerti, kenapa Macan Gadak dan Gagak Codet bertarung. Bayu tahu kalau Macan Gadak adalah salah seorang kepercayaan Sura Antaka. Sedangkan Gagak Codet selalu berusaha menculik Dewi Mustikaweni, dengan cara apa pun juga. Tapi....

Bayu langsung mengalihkan pandangannya pada pertempuran di tempat lain. Dia bisa mengenali empat orang yang bertarung melawan keroyokan orang berseragam merah bergambar naga pada dadanya. Empat orang itu adalah para panglima dari Kerajaan Gelang Wesi. Tapi dimana Raden Arga Yuda...? Pertanyaan ini menyentakkan kesadaran Pendekar Pulau Neraka itu. bergegas tubuhnya melompat turun, masuk ke dalam lingkungan markas Partai Naga Merah ini.

"Hup...!"

Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Pulau Neraka itu sudah berada di pinggir jendela kamar.Dewi Mustikaweni. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu menjulurkan kepalanya ke dalam. Kedua matanya sedikit menyipit, karena keadaan di dalam kamar itu berentakan sekali. Persis baru saja terjadi pertempuran di sini. Terlihat dua sosok mayat berbaju merah menggeletak terhimpit balok kayu.

"He he he he.... Akhirnya kau datang juga, Pendekar Pulau Neraka!"

"Heh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari arah belakangnya.

Dan baru saja dia menoleh, mendadak secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai kilat meluncur ke arahnya. Bayu bergegas memiringkan tubuhnya ke samping, maka cahaya keperakan itu menghantam dinding kamar. Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu melirik Tampak sebilah pisau kecil tipis tertanam dalam pada dinding tembok.

"Oh! Huppp...!"

Begitu kepala Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, mendadak sebuah bayangan kuning berkelebat menyambar. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka melesat ke samping. Langsung dijatuhkan tubuhnya, bergulingan beberapa kali di tanah. Secepat itu pula dia melompat bangkit. Namun bayangan itu kembali melesat dan cepat menyerangnya.

"Hup! Hyaaa...!"

********************

DELAPAN

Bagai seekor burung, Bayu melentingkan tubuhnya ke atas begitu mendapat serangan dari bayangan kuning Dan secepat itu pula tubuhnya menukik deras, langsung memberikan satu pukulan keras pada sosok bayangan kuning itu.

Bug!

"Heghk!" terdengar satu keluhan pendek begitu satu pukulan keras didaratkan Pendekar Pulau Neraka.

Tampak satu sosok tubuh bergulingan di tanah. Bayu mendarat ringan tidak jauh dari orang yang sedang berusaha bangkit berdiri. Seorang tua kurus berbaju jubah panjang berwarna kuning gading. Kepalanya gundul, dan di tangan kanannya tergenggam seuntai rangkaian batu hitam sebesar ibu jari.

"Pendeta Ajisaka...," Bayu mengenali laki-laki tua berjubah kuning itu.

Pendeta Ajisaka menggeram sambil menyeka darah yang menetes dari sudut bibirnya. Pukulan Pendekar Pulau Neraka tadi tepat menghantam punggungnya. Sungguh keras. Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, namun cukup membuat Pendeta Ajisaka meringis menahan sakit yang amat sangat.

"Di mana kau sembunyikan Dewi Mustikaweni?" tanya Bayu dingin.

"Phuih! Untuk apa kau tanyakan anak setan itu?!" dengus Pendeta Ajisaka.

"Dia bukan anak setan, tapi kau pendeta iblis!" tiba-tiba terdengar suara keras.

Belum lagi hilang dari pendengaran, tahu tahu di samping Pendekar Pulau Neraka berdiri seorang laki-laki berbaju kumal dan berwajah buruk. Sebuah luka menggores di pipi kiri, menambah seram raut wajahnya. Sebuah caping dari anyaman bambu bertengger di punggung.

Bayu sempat melirik laki-laki yang pernah bertemu dengannya di tepi danau. Saat itu, dia yang dikenal bernama Gagak Codet hendak membawa paksa Dewi Mustikaweni. Pendekar Pulau Neraka itu menggeser kakinya agak menjauhi Gagak Codet.

"Berikan iblis keparat ini padaku, Bayu. Cari saja Dewi Mustikaweni. Dia pasti bersama Sura Antaka," kata Gagak Codet seraya melirik Pendekar Pulau Neraka.

Agak heran juga Bayu mendengar kata-kata itu. Yang lebih mengherankan lagi, suara itu seperti pernah dikenalnya. Bahkan Gagak Codet juga menyebut nama asli Pendekar Pulau Neraka. Padahal mereka baru sekali bertemu, dan belum saling menyebutkan nama masing-masing.

Belum juga Bayu sempat bertanya sesuatu, Gagak Codet sudah melompat menerjang Pendeta Ajisaka. Bayu jadi kebingungan sendiri jadinya. Tapi baru saja akan melangkah, sesuatu menetes di pundaknya. Pendekar Pulau Neraka itu mendongak ke atas, dan kontan menggelinjang terkejut

Di atas atap, tampak sesosok tubuh membujur dengan leher terpenggal hampir buntung. Darahnya menetes ke bawah. Pendekar Pulau Neraka itu melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di samping tubuh yang sudah jadi mayat itu. Dibalikkan kepala mayat itu. Kedua bola matanya kontan membeliak lebar begitu mengenali mayat itu.

"Macan Gadak...," desis Bayu menahan keterkejutannya.

Belum lama, Bayu melihat Macan Gadak bertempur melawan Gagak Codet. Tapi sekarang pengikut Sura Antaka itu sudah jadi mayat, tepat saat Gagak Codet muncul. Pendekar Pulau Neraka itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Matanya mencari cari kalau-kalau melihat Raden Arga Yuda. Tapi yang dapat terlihat hanya pertarungan empat panglima Kerajaan Gelang Wesi melawan orang-orang berseragam merah. Tidak jauh di bawahnya, Gagak Codet tengah bertarung sengit melawan Pendeta Ajisaka.

"Ke mana Raden Arga Yuda...?" desis Bayu bertanya pada dirinya sendiri.

Belum juga terjawab pertanyaan itu, tiba-tiba:saja beberapa batang tombak meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka. Mau tidak mau Bayu harus melompat menghindari serbuan tombak yang berjumlah puluhan itu. Dan baru saja kalanya mendarat di tanah, sekitar tiga puluh orang berbaju merah dengan gambar naga pada dadanya sudah berlompatan menyerang.

Pendekar Pulau Neraka itu jadi sibuk sesaat namun cepat menguasai keadaan. Dengan jurus-jurus maut, dihalaunya serangan yang datang dari segala penjuru. Setiap pukulan dan tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Pekik lengking kematian terdengar saling sambut Satu persatu tubuh bergelimpangan jadi mayat. Darah bersimbah membasahi tanah. Bayu tidak tanggung-tanggung lagi. Kini dikerahkan jurus andalannya, sehingga amukannya sukar dibendung lagi.

Pendekar Pulau Neraka saat ini benar-benar mencemaskan keselamatan Raden Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni. Prabu Nayadarma sudah memberikan titah untuk menjaga keselamatan dua orang itu. Menyadari sampai saat ini belum bisa mengetahui keadaan Raden Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni, Pendekar Pulau Neraka itu langsung memperhebat serangan-serangannya. Gerakannya sungguh cepat luar biasa, sehingga sukar untuk diikuti oleh pandangan mata biasa.

Sebentar saja tiga puluh orang pengeroyoknya sudah bergelimpangan tanpa nyawa lagi. Pendekar Pulau Neraka langsung melompat menuju ke arah pertarungan empat orang panglima dengan orang-orang dari Partai Naga Merah itu. Namun pada saat itu, terlihat dua orang panglima terjungkal roboh, dan tubuhnya berlumuran darah.

"Mundur kalian....'" seru Bayu keras.

"Bayu...!" seru salah seorang panglima itu langsung saja melompat mundur, diikuti seorang lagi. Tapi orang-orang berseragam merah dengan gambar naga di bagian dada, tidak membiarkan lawannya mundur begitu saja. Mereka terus merangsek, sehingga membuat Bayu geram bukan main. Pendekar Pulau Neraka itu langsung meluruk sambil melepaskan Cakra Maut.

Sementara itu di lain tempat, Gagak Codet semakin mendesak Pendeta Ajisaka. Serangan-serangannya yang dahsyat sukar dibendung lagi. Laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul itu sudah jatuh bangun menghadang setiap serangan yang datang. Darah sudah membasahi jubahnya. Dua kali pedang Gagak Codet merobek tubuhnya yang kurus.

"Mampus! Hiyaaa...!" seru Gagak Codet tiba-tiba. Seketika itu juga pedang di tangan Gagak Codet berkelebat cepat mengarah ke dada. Namun Pendeta Ajisaka masih mampu mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang. Tapi tanpa diduga sama sekali, Gagak Codet memutar pedangnya ke atas, langsung menusuk ke arah leher.

Crab!

"Aaakh...!" Pendeta Ajisaka menjerit keras agak tertahan.

Pedang Gagak Codet menghunjam leher pendeta gundul itu hingga tembus ke belakang. Dengan sekali hentak saja, leher laki-laki tua itu sudah robek lebar. Darah muncrat keluar dengan derasnya. Dan belum sempat Pendeta Ajisaka mengeluarkan suara, Gagak Codet sudah melompat. Langsung saja dikirimkan satu tendangan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tendangan itu tepat mendarat di dada Pendeta Ajisaka.

"Aaaa...!" Pendeta Ajisaka menjerit keras melengking tinggi.

Tubuh kurus berjubah kuning gading penuh darah itu terpental deras menghantam dinding batu hingga jebol berantakan. Hanya sebentar laki-laki tua kurus berkepala gundul itu mampu bergerak, tapi sesaat kemudian sudah diam tak berkutik lagi. Pendeta Ajisaka tewas seketika itu juga.

"Hhh...!" Gagak Codet menarik napas panjang dan dalam. Sebentar matanya merayap ke sekeliling. Terlihat Pendekar Pulau Neraka tengah mengamuk membantai orang-orang berseragam merah. Sedangkan dua orang panglima dari Kerajaan Gelang Wesi hanya memperhatikan saja, tapi sesekali juga mengibaskan pedangnya jika ada yang mencoba menyerang.

"Hhh...! Aku harus cepat mencari Dinda Mustikaweni," desah Gagak Codet

Laki-laki berwajah buruk dengan luka memanjang membelah pipi itu langsung melompat masuk ke dalam kamar yang berantakan. Dia berlari cepat menerobos pintu yang rusak, hancur berkeping-keping. Gagak Codet terus berlari menyusuri lorong. Setiap pintu yang ditemui langsung didobrak, dan diperiksa setiap kamar. Gagak Codet tiba di ruangan luas yang lantainya dari batu pualam putih berkilat. Sebentar dipandangi ruangan pertemuan itu. Tidak ada siapa-siapa di sini.

Pelahan-lahan Gagak Codet melangkah menyeberangi ruangan itu. Matanya tajam memandang ke sekeliling Ayunan kakinya kembali terhenti setelah sampai pada bagian ruangan depan. Satu ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Di sini juga sepi, malah keadaannya berantakan sekali. Gagak Codet melompat cepat keluar begitu matanya menangkap sebuah bayangan berkelebat melintasi pintu depan bangunan besar ini.

"Tolooong...!" tiba-tiba saja terdengar suara jeritan melengking.

"Dinda Weni...," desis Gagak Codet.

Cepat sekali Gagak Codet melentingkan tubuhnya menuju ke sumber arah suara jeritan tadi. Jelas sekali kalau suara itu adalah jeritan seorang perempuan. Gagak Codet terhenyak kaget begitu sampai di sebuah tempat yang tidak begitu besar, namun terdapat banyak senjata terpajang. Tempat yang terbuka, hanya terdiri dari pilar-pilar yang dinaungi atap. Lantainya sangat keras, terbuat dari batu hitam berkilat

Wus!

Gagak Codet berpaling ketika telinganya mendengar suara desiran angin yang mengarah ke dirinya. Dan tubuhnya langsung melesat cepat ke atas, begitu terlihat secercah cahaya kemerahan meluncur deras ke arahnya. Suara ledakan keras terjadi saat sinar kemerahan itu menghantam pilar.

"Hup!"

Gagak Codet melompat cepat keluar dari bangsal latihan itu, begitu dua sinar kemerahan kembali meluncur ke arahnya, dan kembali menghantam pilar. Akibatnya atap bangsal itu roboh, membuat suara gaduh menggetarkan bumi. Manis sekali Gagak Codet mendarat ditanah. Namun belum juga berdiri sempurna, matanya membeliak lebar.

"Weni...," desis Gagak Codet.

Dewi Mustikaweni tampak tidak berdaya terikat pada sebatang tonggak kayu. Pandangan gadis itu redup, seakan tidak memiliki gairah hidup lagi. Pelahan-lahan Gagak Codet menghampiri. Namun baru saja berjalan tiga tindak, mendadak sebuah bayangan berkelebat cepat di depannya. Tahu-tahu seorang laki-laki setengah baya sudah berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depan Gagak Codet

"Sura Antaka...!" desis Gagak Codet tertahan suaranya.

"Tidak perlu menyamar, Arga Yuda! Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya!" dingin nada suara Sura Antaka.

"Iblis keparat..! Lepaskan adikku!" bentak Gagak Codet yang ternyata memang Raden Arga Yuda.

"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.

Pada saat itu, Pendekar Pulau Neraka telah muncul. Pemuda berbaju kulit harimau itu datang karena juga mendengar jeritan minta tolong yang melengking Tidak berapa lama, dua orang panglima dari Kerajaan Gelang Wesi juga tiba. Mereka berdiri di belakang Raden Arga Yuda, atau si Gagak Codet Bayu menghampiri laki-laki yang memakai baju kumal itu.

Gagak Codet melepaskan capingnya yang menyampir di punggung. Dengan caping itu, dirinya juga dikenal sebagai Pendekar Caping Bambu. Pemuda itu memang pandai menyamarkan diri. Dan setiap kali menyamar, tidak ada yang dapat mengenali lagi. Sungguh sempurna samarannya. Pemuda itu melepaskan rambut palsu, dan juga tempelan-tempelan yang membuat wajahnya jadi buruk. Kini yang terlihat adalah seraut wajah tampan. Bayu sendiri sempat berdecak kagum, melihat penyamaran yang begitu sempurna. Kini baru dimengerti kalau tiga nama yang menjadi bahan pemikirannya selama ini hanya satu orang yang memilikinya.

"Bagus! Kalian sudah kumpul di sini. Dan itu berarti akan terbang ke neraka bersama sama!" dingin nada suara Sura Antaka.

"Hanya kau yang ke neraka. Sura Antaka!" dengus Raden Arga Yuda datar.

"Ha ha ha ha...! Kalian lihat ini!"

Sura Antaka melompat. Langsung disambarnya sebuah obor yang terpancang tidak jauh darinya. Kemudian digeser kakinya mendekati Dewi Mustikaweni.

Bayu dan Raden Arga Yuda melirik ke bawah kaki gadis itu. Tampak setumpuk kayu bakar melingkar. Kedua anak muda itu saling berpandangan. Sekali saja Sura Antaka melemparkan obor itu, api kontan akan melahap tubuh Dewi Mustikaweni. Dan ini yang tidak diinginkan sama sekali.

"Bagaimana, Bayu?" bisik Raden Arga Yuda.

"Mundurlah," sahut Bayu.

"Gila! Susah payah aku berusaha mengeluarkan Dewi Mustikaweni dari sini, sekarang kau suruh aku mundur!" rungut Raden Arga Yuda.

"Kalau tidak ingin kehilangan adikmu, mundurlah. Biar aku yang menyelesaikan," kata Bayu tegas, namun terdengar tenang nada suaranya.

"Apa yang akan kau lakukan, Bayu?" tanya Raden Arga Yuda.

"Entahlah," tenang sekali Bayu menjawab.

"Jangan main-main, Bayu. Nyawa adikku harus selamat!"

"Kalau kau percaya padaku, mundurlah!" tegas kata-kata Bayu.

"Kau sudah bertindak sendiri, dan telah merusak semua rencanaku. Kalau adikmu sampai tewas, itu karena kesalahanmu, Raden!"

Raden Arga Yuda terdiam. Memang selama ini semua kata-kata Pendekar Pulau Neraka ini tidak diturutinya. Padahal Bayu telah diberi kekuasaan oleh Prabu Nayadarma untuk membebaskan Dewi Mustikaweni dari tangan Sura Antaka. Raden Arga Yuda menganggap tindakan Bayu terlalu lambat sehingga dia tidak sabaran menunggu. Terpaksa digunakan keahliannya menyamar, mengacaukan semua rencana Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan juga menyusup ke sarang Partai Naga Merah ini, lalu membocorkan setiap gerakan dan rencana penyergapan.

Suatu saat, Raden Arga Yuda juga pernah mencoba membawa Dewi Mustikaweni secara paksa, seperti seorang penculik. Tapi semuanya gagal. Maksudnya adalah membebaskan adiknya tanpa melibatkan orang lain. Lebih-lebih melibatkan pihak Kerajaan Gelang Wesi. Tapi sekarang nyawa adiknya yang sudah sekian tahun berpisah, menjadi terancam keselamatannya. Dan semua itu akibat ulahnya, kecerobohannya, dan ketidak sabarannya. Pelahan-lahan Arga Yuda melangkah mundur sambil memberi isyarat pada kedua panglimanya untuk mundur juga.

Sedangkan Pendekar pulau Neraka tetap berdiri tegap pada tempatnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Sura Antaka. Sementara Sura Antaka sudah semakin mendekati Dewi Mustikaweni yang terikat tak berdaya pada tonggak.

"Apa lagi yang kau tunggu, Sura Antaka? Aku tidak peduli seandainya kau lemparkan obor itu!" kata Bayu dingin menantang.

Kata-kata Bayu yang tegas dan lantang itu mengejutkan Raden Arga Yuda. Namun pemuda itu hanya diam saja, dan kembali melangkah mundur semakin menjauh. Pemuda yang masih didampingi dua orang panglima itu, berhenti setelah jaraknya cukup jauh juga.

"He he he...! Kau memang tidak akan peduli atas nasibnya, Pendekar Pulau Neraka. Tapi Arga Yuda tidak mungkin bisa menerima kematian adiknya. Dan sudah tentu kau tidak luput dari sasarannya, bahkan pihak kerajaan juga akan mengejarmu!" kata Sura Antaka disertai tawa terkekehnya.

"Aku seorang pengembara, Sura Antaka. Aku tak akan peduli semua itu. Di mana pun berpijak, di situ aku harus menghadapi iblis macam kau!" sahut Bayu dingin.

"Keparat! Kau menantangku, bocah?!" geram Sura Antaka.

Kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang terdengar tenang itu, membuat wajah Sura Antaka memerah padam. Kata-kata itu sungguh menyakitkan gendang telinganya. Jelas nadanya menantang dan meremehkan.

"Aku ingin tahu, sampai di mana kau sanggup melihat gadis ini mati terbakar!" geram Sura Antaka mengancam.

"Silakan," tantang Bayu.

"Phuih!" Sura Antaka menyemburkan ludahnya. Seketika itu juga dilemparkan obor di tangannya.

Arga Yuda menjerit keras, begitu juga Dewi Mustikaweni. Gadis itu memekik melengking dan bola matanya membeliak lebar. Namun pada saat yang kritis itu, secepat kilat Bayu mengibaskan tangan kanannya ke depan. Maka secercah cahaya keperakan langsung melesat bagai kilat. Bersamaan meluncurnya Cakra Maut, secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka melompat ke arah Sura Antaka. Semua itu dilakukan begitu cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga sukar untuk bisa disadari lebih lanjut.

Sura Antaka sendiri jadi terkejut bukan main. Sebelum obor yang dilemparkannya jatuh, Cakra Maut sudah menghantam nyala api obor itu hingga padam. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, laki-laki setengah baya itu harus melompat ke samping menghindari terjangan Pendekar Pulau Neraka. Namun gerakannya terlambat sedikit. Akibatnya, sepakan kaki Bayu Hanggara masih sempat menyambar bahunya.

"Akh!" Sura Antaka memekik tertahan. Tubuh laki-laki setengah baya itu sedikit limbung. Dan belum lagi bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah kembali menyerang setelah menarik tangannya ke atas. Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan, bersamaan dengan melekatnya kembali Cakra Maut ke arah pergelangan tangan kanannya.

"Uts!" Sura Antaka memiringkan tubuhnya ke kiri, menghindari tendangan keras menggeledek itu. Dan buru-buru dia melompat ke belakang. Seketika itu juga dicabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Lalu...

"Hiyaaat...!"

"Hap!" Bayu mengibaskan tangan kanannya ketika Sura Antaka membabatkan pedangnya menyamping ke arah dada. Tak dapat dihindarkan lagi. Mata pedang Sura Antaka menghantam pergelangan tangan kanan lawan.

Tring!

Sura Antaka tersentak kaget ketika pedangnya membentur pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Dia langsung melompat mundur, dan memeriksa mata pedangnya. Kedua matanya kontan membeliak lebar melihat mata pedangnya gompal. Sedangkan pergelangan tangan Bayu tidak mengalami luka sedikit pun. Ternyata pedang itu tepat menghantam Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Keparat...!" geram Sura Antaka. Laki-laki setengah baya itu melemparkan pedangnya, kemudian mencabut sepasang tongkat pendek yang kedua ujungnya runcing. Tongkat itu berwarna merah menyala bagai terbakar. Sambil berteriak keras, Sura Antaka melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan sengit pun tidak dapat dihindari lagi.

Sementara di tempat lain yang agak jauh, Raden Arga Yuda dan dua panglima dari Kerajaan Gelang Wesi memperhatikan tanpa berkedip. Mereka begitu terpesona, sehingga lupa terhadap Dewi Mustikaweni yang masih terikat pada tonggak kayu.

Jurus demi jurus berlalu cepat tanpa terasa. Namun pada saat memasuki jurus kesebelas, satu pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Sura Antaka berusaha membendung dengan mengibaskan satu tongkatnya. Dugaannya, Bayu akan menarik pulang pukulannya. Namun yang terjadi justru sangat mengejutkan.

"Hyaaa...!"

Trak!

Bayu tidak menarik pulang pukulannya, bahkan dikempos tenaga dalamnya agar lebih tinggi lagi. Satu pukulan bertenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan itu langsung menghantam tongkat merah pendek hingga patah jadi dua bagian. Sura Antaka tersentak kaget. Tapi belum juga bisa menarik mundur dirinya, Bayu sudah melepaskan lagi satu pukulan telaknya.

"Hup!" Buru-buru Sura Antaka membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali menjauh.

Dan pada saat melompat bangkit, Bayu telah mengibaskan tangan kanannya sambil agak membungkuk miring ke kiri. Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel pada pergelangan tangan kanannya melesat bagai kilat.

Sesaat Sura Antaka terkesiap. Dan belum lagi bisa melakukan sesuatu, mendadak saja Cakra Maut itu sudah menghunjam dalam di perutnya. Sura Antaka menjerit keras sambil memegangi perutnya yang sobek Darah mengalir keluar demikian deras.

"Saatmu sudah tiba, Sura Antaka!" bentak Bayu menggelegar. "Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka itu melompat cepat lalu berputar dua kali di udara. Begitu kakinya mendarat tepat di depan laki-laki setengah baya itu, kedua tangannya bergerak cepat menghantam kepala Sura Antaka dari dua sisi.

"Prak!"

"Aaa...!" Sura Antaka menjerit melengking tinggi. Kedua tangan Pendekar Pulau Neraka mengepruk kepala Sura Antaka hingga hancur. Dan sebelum tubuh laki-laki setengah baya itu ambruk, satu pukulan keras kembali menghantam dada. Tak ayal lagi, tubuh setengah baya itu terpental jauh dan menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Sedikit pun tak ada gerakan. Sura Antaka tewas seketika itu juga.

Bayu melompat cepat menghampiri Dewi Mustikaweni, lalu melepaskan ikatan pada tangan gadis itu. Dewi Mustikaweni langsung memeluk pemuda berbaju kulit harimau itu, dan seketika tangisnya pecah dalam pelukan Bayu Hanggara. Tampak Arga Yuda dan dua orang panglimanya menghampiri. Pelahan Bayu melepaskan pelukan Dewi Mustikaweni.

"Kakakmu, Weni," bisik Bayu seraya melirik Raden Arga Yuda yang sudah berada dekat.

Dewi Mustikaweni menatap Bayu sejenak, lalu beralih pada pemuda berwajah tampan yang pernah masuk ke dalam kamarnya beberapa hari yang lalu. Pemuda yang juga pernah akan menculiknya dalam penyamaran bernama Gagak Codet. Dewi Mustikaweni kembali menatap Bayu Hanggara, dan Pendekar Pulau Neraka itu mengangguk seraya memberikan senyuman manis.

"Kakang...," desah Dewi Mustikaweni.

"Adikku..., Weni."

Dua manusia yang sudah terpisah sekian tahun lamanya itu saling berpelukan, melepaskan kerinduan yang selama ini terpendam dalam dada. Dewi Mustikaweni tidak bisa lagi menahan air matanya. Sebuah tangisan bahagia, haru, dan entah apa lagi yang ada dalam dadanya. Yang jelas, perasaannya seperti meledak-ledak. Betapa tidak? Ternyata, setelah hampir sekian tahun, baru sekaranglah dia bertemu saudara sekandungnya.

Sementara Pendekar Pulau Neraka menarik napas panjang. Sebentar ditatapnya kakak beradik yang sedang berpelukan itu, kemudian melesat cepat. Begitu sempurnanya ilmu yang dimiliki Bayu. Sehingga, sebelum ada yang menyadari, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

"Mari kita pulang, Dinda Weni. Ibu sudah menunggu," ajak Raden Arga Yuda lembut seraya melepaskan pelukannya.

"Kakang Bayu...," desis Dewi Mustikaweni teringat akan pemuda yang telah merenggut sekeping hatinya.

Tapi di situ tidak ada lagi Pendekar Pulau Neraka. Dewi Mustikaweni berteriak keras memanggil Bayu Hanggara, namun yang dipanggil tidak juga muncul. Beberapa kali Dewi Mustikaweni berteriak memanggil. Sampai suaranya serak, Bayu tidak juga muncul.

"Sudahlah, Dinda. Mungkin dia masih mempunyai tugas lain yang harus diselesaikan," ujar Raden Arga Yuda seraya merengkuh pundak gadis itu.

"Apakah dia akan kembali lagi, Kakang?" tanya Dewi Mustikaweni.

Raden Arga Yuda hanya menarik napas, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia sendiri tidak tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka akan kembali atau tidak sama sekali. Disadari betul kalau Bayu seorang pendekar kelana yang tidak pernah menetap pada satu tempat saja.

Bayu bisa mendapat tugas dari Prabu Nayadarma, itu karena dia telah menolong raja Gelang Wesi itu dari gerombolan perampok Partai Naga Merah yang dipimpin Sura Antaka. Melihat kemampuan Pendekar Pulau Neraka itu, maka Prabu Nayadarma minta bantuannya untuk membebaskan keponakannya. Siapa lagi kalau bukan Dewi Mustikaweni yang sudah berada di tangan Sura Antaka sejak masih berusia satu tahun.

"Kakang...."

"Ayo kita pulang, Dinda Weni," ajak Raden Arga Yuda mendesah panjang.

Mereka kemudian melangkah pergi meninggalkan puing-puing kejayaan Partai Naga Merah. Dua orang panglima dari Gelang Wesi mengikuti dari belakang. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.

Namun terlihat jelas pada raut wajah kalau Dewi Mustikaweni merasa ada yang tertinggal di sini. Entah apa yang hilang pada dirinya? Tapi yang jelas, tak akan terlupakan kenangan manisnya bersama Pendekar Pulau Neraka. Pemuda yang pertama kali mencium bibirnya, sekaligus menggetarkan jantungnya. Dewi Mustikaweni hanya bisa berharap untuk bertemu kembali dengan pendekar muda yang bernama Bayu Hanggara itu.

S E L E S A I

Bunga Dalam Lumpur

Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Bunga Dalam Lumpur
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar pulau Neraka

SATU

Sorak sorai yang diselingi tepuk tangan dan mulut-mulut usil terdengar riuh dari orang yang memadati halaman besar sebuah bangunan batu menyerupai puri. Di tengah tengah lingkaran bergaris putih, terlihat dua orang bertubuh tinggi kekar dengan otot-otot bersembulan sedang berlaga. Tubuh mereka yang hanya mengenakan cawat dari kulit binatang, telah kotor oleh tanah berlumpur.

Tampak pada bagian atas undakan bangunan puri itu, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun di atas kursi berukir. Dia dikawal empat orang bersenjata tombak dan pedang. Di sampingnya duduk seorang wanita muda yang wajahnya terlindung cadar tipis dari sutra. Dalam bayang-bayang cadar tipis itu, masih terlihat seraut wajah cantik yang memiliki mata bening bercahaya. Namun nampak jelas kalau wanita itu tidak menyenangi acara adu kekuatan. Dari sikapnya yang selalu gelisah, mencerminkan ketidaktahannya berlama-lama di situ.

Sementara itu dua orang yang berlaga sudah mencapai puncaknya. Suara sorak sorai bergemuruh ketika salah seorang terjerembab tewas dengan dada tertembus golok besar dan panjang. Orang yang memperoleh kemenangan itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi keatas, kemudian membungkuk memberi hormat pada laki-laki yang dikawal empat orang bersenjata itu.

Seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul mendekatkan wajahnya pada laki-laki di depannya yang berbaju indah dihiasi manik-manik dan sulaman benang emas. Dia membisikkan sesuatu.

"Silakan, umumkan saja," kata orang yang duduk di kursi berukir itu.

Orang tua berjubah kuning gading itu kemudian mendekati seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berkumis tebal melintang. Juga dibisikkan sesuatu, dan laki laki tegap berkumis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian laki-laki berkumis melintang itu melangkah maju tiga tindak, lalu menjura memberi hormat.

"Ada pengumuman dari Yang Mulia Sura Antaka. Siapa saja boleh maju menantang Singo Barong. Yang menang akan mendapat hadiah seratus keping emas!" lantang suara laki-laki berkumis itu.

Pengumuman itu disambut gegap gempita, namun tidak ada seorang pun yang melompat maju ke arena. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah beringas, berdiri tegak dengan angkuhnya. Sikapnya menantang siapa saja yang mau mencoba bertanding dengannya.

"Ayah, boleh aku pergi sebentar?" wanita yang duduk di samping Sura Antaka memohon lembut.

"Sebentar lagi, anakku. Pertunjukkan belum selesai," kata Sura Antaka.

Wanita bercadar tipis itu langsung diam. Dari sinar matanya dapat ditebak kalau dia semakin tidak senang dengan semua pertunjukkan ini, tapi tidak berani untuk meninggalkannya. Dia tahu kalau ayahnya sangat disegani dan ditakuti di daerah Utara ini. Seorang yang memiliki kekuasaan besar, meskipun bukan raja. Pengikutnya cukup banyak, dan rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Sementara itu, dari kerumunan penonton yang tidak bisa diam mulutnya, melompat seorang pemuda ke tengah-tengah arena. Wajahnya cukup tampan. Namun luka codet di pipi kirinya sangat mengganggu, dan seperti mengurangi ketampanannya. Dia menjura memberi hormat pada Sura Antaka.

“Yang Mulia, aku minta hadiahnya ditambah. Aku menginginkan Putri Dewi Mustikaweni menjadi hadiahnya,” kata pemuda itu lantang

"Bocah lancang! Berani benar menghina Putri Dewi Mustikaweni!" bentak laki-laki tua berjubah dan berkepala gundul itu.

“Pendeta Ajisaka, bagiku seratus keping emas tidak ada artinya. Hanya Putri Dewi Mustikaweni yang menjadi keinginanku," tegas pemuda itu semakin berani.

Sementara Singo Barong menggeram marah mendengar kelancangan mulut calon lawannya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa sebelum mendapat perintah dari junjungannya. Singo Barong hanya bisa menatap dengan mata merah membara penuh kemarahan. Saat itu Sura Antaka bangkit dari kursinya. Suasana yang semula riuh, mendadak sunyi. Semua orang yang berada di tempat itu menjadi berdebar mendengar kelancangan mulut pemuda codet di pipi kirinya itu.

"Anak muda, siapa namamu? Dari mana kau berasal?" tanya Sura Antaka kalem nada suaranya.

"Aku Gagak Codet, dan berasal dari Gunung Pitu. Sengaja datang ke sini untuk mengikuti pertandingan ini. Tapi tujuanku hanya untuk memboyong putrimu!" lantang jawaban pemuda yang mengaku bernama Gagak Codet

"Kau sudah kenal putriku?" tanya Sura Antaka lagi. Nada suaranya masih terdengar tenang.

"Belum."

Suara tawa langsung pecah seketika. Tapi suara tawa itu seketika berhenti ketika Gagak Codet membentak dengan keras. Sedangkan Sura Antaka hanya tersenyum saja.

"Baiklah, Gagak Codet. Aku terima tawaranmu. Tapi kalahkan dulu Singo Barong. Setelah itu hadapi Macan Gadak, kemudian Pendeta Ajisaka. Dan yang terakhir aku sendiri. Bagaimana?"

"Tidak perlu satu-satu. Lebih baik maju semua!" tantang Gagak Codet.

"Sombong!" dengus Singo Barong semakin muak.

"Aku bukan orang yang senang main keroyokan, Gagak Codet Nah! Lawanlah Singo Barong lebih dahulu," masih terdengar tenang nada suara Sura Antaka.

Belum lagi kata-kata Sura Antaka hilang dari pendengaran, Singo Barong sudah menggeram keras, lalu secepat kilat melompat menerjang Gagak Codet. Namun terjangan itu dengan manis sekali dapat dihindarkan. Bahkan Gagak Codet masih mampu memberikan pukulan keras ke arah kepala manusia bertubuh tinggi tegap dan kotor berlumpur itu. Sekitar arena pertandingan itu memang becek dan berlumpur.

Sorak dan tepuk tangan serta celetukan-celetukan memanasi kembali terdengar. Sura Antaka kembali duduk di kursinya. Bibirnya tetap tersenyum menyaksikan pertarungan yang sudah berlangsung sengit itu. Nampak sekali kalau Gagak Codet memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Gerakan-gerakannya lincah, dan setiap pukulannya mengandung pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Beberapa kali Singo Barong terkena pukulan pemuda berwajah codet pada pipi kirinya itu. Tapi tubuh Singo Barong memang kebal, bagai terbuat dari baja. Dia hanya menggerung setiap terkena pukulan atau tendangan pada tubuhnya.

Hari sudah menjelang senja, tapi pertarungan antara Singo Barong melawan Gagak Codet masih terus berlangsung sengit. Kini Gagak Codet sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa pedang tipis dan panjang, hampir melebihi panjang tangannya sendiri. Dan Singo Barong pun sudah menggenggam goloknya yang besar dan nampak berat itu.

"Modar! Hiyaaat...!" tiba-tiba Gagak Codet berteriak keras menggelegar.

Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat, mengarah ke dada Singo Barong. Namun laki-laki bertubuh tinggi besar penuh lumpur itu malah menurunkan tangannya, lalu membuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, tebasan pedang Gagak Codet kontan menghantam dada Singo Barong. Namun yang terjadi sungguh mengejutkan!

"Akh...!" Gagak Codet malah terpekik, dan langsung melompat mundur.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak.

"Setan...!" geram Gagak Codet sambil meringis. Semua jari-jari tangannya jadi terasa kaku berdenyut. Sungguh luar biasa sekali tubuh Singo Barong. Padahal tepat sekali pedang Gagak Codet membelah dadanya. Dan pemuda codet itu malah merasakan seperti menghantam sebongkah baja yang kuat sekali. Bahkan pedangnya sampai terpental balik, dan seluruh persendian tangannya bergetar nyeri.

Semua orang yang memadati sekitar arena pertarungan itu bersorak mengelu-elukan Singo Barong. Beberapa mulut usil mengejek Gagak Codet, dan memanas-manasinya. Wajah Gagak Codet jadi merah padam. Bergegas digerak-gerakkan pedangnya membuat satu gerak pembuka jurus.

"Keluarkan semua kemampuanmu, Gagak jelek! Aku beri kesempatan lima jurus!" kata Singo Barong jumawa.

"Phuih!" Gagak Codet menyemburkan ludahnya. Bagaikan seekor macan lapar, Gagak Codet melompat cepat sambil membabatkan pedangnya tiga kali ke arah bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Tapi hebatnya Singo Barong tidak bergeming sedikit pun. Bahkan dibiarkan saja pedang itu menghantam tubuhnya, sambil dia tertawa terbahak-bahak. Gagak Codet mendengus kesal bercampur geram. Namun dalam hatinya jadi gentar juga menghadapi kenyataan ini. Kemampuannya sudah semua dikeluarkan, tapi sedikit pun tidak dapat melukai kulit manusia tambun ini.

"Cukup, Gagak jelek! Sekarang giliranku!" seru Singo Barong keras.

Setelah berkata demikian, Singo Barong mengebutkan tangan. Ditangkapnya pedang Gagak Codet yang terayun cepat mengarah ke leher. Singo Barong menghentakkan pedang itu, sehingga Gagak Codet terangkat naik, dan terpental ke udara. Dengan keras, Gagak Codet jatuh bergelimpangan di tanah berlumpur hitam. Bajunya yang semula bersih, seketika dipenuhi kotoran lumpur.

Tapi Gagak Codet tidak sempat menghiraukan lumpur yang mengotori tubuh dan bajunya, karena dia sudah sibuk menghindari serangan golok besar Singo Barong. Gagak Codet hanya mampu berkelit. Pedangnya sudah patah-patah dirampas manusia tinggi besar berwajah garang itu.

"Phuih! Aku tidak mau mati konyol di sini!" dengus Gagak Codet

Tepat ketika golok Singo Barong mengarah ke kakinya, Gagak Codet melompat. Dan dengan ujung jari kakinya dia menotok permukaan golok itu. Dengan meminjam tenaga Singo Barong, tubuhnya melenting, melewati beberapa kepala, dan hinggap di atas dahan pohon. Sebelum ada yang menyadari, Gagak Codet cepat melesat kabur dari tempat itu.

"Jangan biarkan dia lolos! Kejar...!" seru Pendeta Ajisaka keras.

Beberapa orang berseragam membawa pedang dan tombak, langsung bergerak mengejar. Bahkan tiga puluh orang berkuda segera menggebah kudanya ikut mengejar Gagak Codet. Sura Antaka sendiri sampai terlonjak berdiri dari kursinya melihat Gagak Codet kabur. Belum pernah dalam acara pertandingan yang diadakan setiap tiga bulan ini ada orang yang kabur dalam kekalahannya. Biasanya yang kalah langsung mati di tempat.

"Paman Ajisaka, cari monyet keparat itu sampai dapat. Bawa dia padaku!" kata Sura Antaka geram.

"Baik, Yang Mulia," sahut Pendeta Ajisaka seraya menjura hormat

Sura Antaka melangkah menuruni undakan bangunan puri itu. Sedangkan Putri Dewi Mustikaweni mengikuti di sampingnya. Sebuah kereta ditarik delapan ekor kuda putih, telah siap di depan undakan batu itu. Seorang berseragam merah membawa tombak panjang, membuka pintu kereta.

Sura Antaka memberikan kesempatan pada putrinya untuk masuk lebih dahulu, kemudian baru dia sendiri melangkah masuk. Kereta indah yang ditarik delapan ekor kuda putih itu bergerak meninggalkan halaman puri ini. Sekitar lima puluh orang berpakaian seragam merah dan bersenjata tombak, mengikuti dari belakang dengan kuda-kuda mereka. Sedangkan lima puluh orang lagi berkuda di depan. Di samping kanan kereta, tampak seorang laki-laki tegap berkumis tebal berkuda dengan tenangnya. Dialah yang bernama Macan Gadak, salah seorang andalan Sura Antaka di samping Singo Barong dan Pendeta Ajisaka.

Semua orang yang memadati halaman puri itu segera bubar begitu kereta kuda yang membawa Sura Antaka dan putrinya meninggalkan halaman puri. Tinggallah di situ Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan lima puluh orang berseragam dengan senjata tombak dan pedang. Beberapa ekor kuda pun masih tertambat di bawah pohon. Mereka juga langsung bergerak pergi, tapi arahnya berbeda. Sepertinya menuju ke arah Gagak Codet kabur.

********************

Suara gamelan mengalun, mengiringi lenggak-lenggok para penari yang memamerkan keindahan tubuhnya di depan puluhan pasang mata yang tidak berkedip memandanginya. Malam itu, di tempat kediaman Sura Antaka tengah dilangsungkan pesta yang sangat meriah. Pesta yang selalu diadakan setelah siang harinya berlangsung acara adu ketangkasan dan kekuatan di halaman puri.

Bangunan besar dan indah bagai istana itu tampak ramai dipenuhi orang, baik di halaman maupun di sekitar luar pagar tembok yang tinggi membentengi bangunan itu. Lampu lampu berhias terpancang di setiap tempat Umbul-umbul dan hiasan-hiasan lain menambah semaraknya malam ini. Tampak di bagian lain terlihat beberapa kelompok orang berjudi, minum tuak sambil bermabuk-mabukkan ditemani wanita-wanita pengobral senyum. Semua orang kelihatan bergembira. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang gadis cantik yang mengurung diri dalam sebuah kamar yang sangat besar dan indah. Dua orang wanita gemuk berusia sekitar lima puluhan menemaninya.

"Semua orang bergembira di luar. Tapi Gusti Ayu Dewi Mustikaweni malah mengurung diri di kamar," terdengar gumaman salah seorang wanita gemuk itu.

"Hus! Ngomong jangan sembarangan!" dengus seorang lagi.

"Lha..., memangnya aku ngomong apa? Memang benar kok kenyataannya. Rugi lho tidak ikut menikmati pesta."

"Kalau kalian ingin pesta, silakan. Biarkan aku sendirian di sini," sergah Putri Dewi Mustikaweni seraya menoleh menatap kedua embannya.

"Ah! Tidak kok, Den Ayu."

"Aku tidak apa-apa. Memang sebaiknya kalian ikut bersenang-senang. Pergilah kalian."

"Tidak ah, Den Ayu. Wong tadi hanya becanda saja kok," kata wanita gemuk itu.

Putri Dewi Mustikaweni hanya tersenyum saja. Sungguh manis dan memikat sekali senyumnya itu. Kakinya melangkah gemulai mendekati pembaringan besar beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Lembut sekali dia membaringkan tubuhnya. Bola matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Sedangkan dua embannya hanya bersimpuh saja di lantai. Mereka tidak berbicara lagi.

Sementara di luar sana, keramaian masih terus berlangsung. Semakin larut, suasana pesta itu semakin meriah. Para nayaga terus menabuh gamelan dengan irama yang semakin hangat, menambah kesemarakan suasana pesta. Tampak di dalam ruangan lain yang sangat besar dan indah, Sura Antaka setengah berbaring dikelilingi wanita cantik berkemben, sehingga menampakkan kulit bahu dan sebagian dadanya yang membusung.

Pendeta Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo Barong di kursi menghadapi meja bundar beralaskan batu pualam putih berkilat. Beberapa guci arak menggeletak kosong. Masing-masing ditemani seorang wanita bertubuh sintal yang senyumnya selalu mengembang.

"Paman Ajisaka, aku belum mendengar laporan tentang Gagak Codet. Bagaimana usaha pencarianmu?" tanya Sura Antaka.

"Sukar dicari, Yang Mulia Sura Antaka. Tapi sudah kuperintahkan untuk terus mencari sampai dapat. Mereka orang-orang pilihan yang berkemampuan cukup tinggi. Aku yakin, dalam waktu yang tidak lama si keparat itu bisa ditemukan," sahut Pendeta Ajisaka sambil mencolek dahu wanita yang menemaninya. Wanita itu manja sekali menggelayutkan tubuhnya, memeluk leher laki-laki tua berkepala gundul itu.

"Bagus! Aku ingin bocah itu segera ditangkap. Dia sudah berani menghinaku, dan harus mati!" tegas Sura Antaka.

"Hanya Yang Mulia yang boleh membunuhnya," sambut Pendeta Ajisaka.

"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.

Laki-laki setengah baya itu menatap pada Macan Gadak yang asyik bersama teman wanitanya. Suara cekikikan manja terdengar mengusik telinga.

"Macan Gadak...!"

"Oh, hamba.... Yang Mulia," Macan Gadak agak tergagap.

"Sudah ada berita dari kerajaan?" tanya Sura Antaka.

"Dua hari lagi akan datang kiriman dari Kadipaten Galungan. Pihak kerajaan mengirimkan prajurit-prajuritnya untuk mengawal. Aku tidak tahu pasti, apa yang mereka bawa. Mungkin juga upeti," sahut Macan Gadak.

"Bagus! Persiapkanlah orang-orang kita, dan aku sendiri yang akan memimpin. Lewat jalan mana mereka?"

"Seperti biasa. Melalui Bukit Rangkat," sahut Macan Gadak.

"Ha ha ha ha...! Kita rampas upeti mereka. Bunuh semua prajurit kerajaan!" Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.

"Benar, Yang Mulia. Kalau mereka sudah kekurangan prajurit, maka dengan mudah kita dapat menguasai Kerajaan Gelang Wesi!" sambut Pendeta Ajisaka.

"Itu sudah menjadi cita-citaku, Paman Ajisaka. Prabu Nayadarma harus turun tahta. Biar dia tahu, bagaimana rasanya jadi orang terbuang! Biar dia tahu rasa! Ha ha ha ha...!" kembali Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.

Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Sedangkan yang wanita hanya cekikikan saja, tidak mempedulikan pembicaraan itu. Bagi mereka, semakin banyak harta rampasan yang diperoleh, semakin banyak pula penghasilan. Dan tentu saja mereka bisa hidup tanpa kekurangan lagi. Yang penting bagi mereka adalah tidak mengecewakan orang-orang berkuasa di daerah Utara ini.

Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau pembicaraan itu didengar seseorang yang berlindung di balik tembok dekat jendela besar yang terbuka lebar. Seorang yang memakai kerudung kain berwarna gelap. Orang itu langsung menyelinap pergi tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Sementara suasana pesta semakin tidak menentu. Para Nayaga tidak lagi menabuh gamelannya. Mereka sudah mabuk bergelimpangan kebanyakan minum arak. Tubuh-tubuh lain sudah bergelimpangan tidak menentu di mana-mana. Suara tawa lepas dan cekikikan manja wanita-wanita pengobral senyum masih mewarnai dari tempat tertentu. Sedangkan di salah satu kamar, Dewi Mustikaweni tetap berbaring, dan matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Namun dua embannya sudah rebah mendengkur di lantai beralaskan permadani bulu yang tebal dan hangat.

"Hhh...!" Dewi Mustikaweni menghembuskan napas panjang. Pelahan-lahan matanya terpejam.

Malam terus merayap semakin larut. Suara-suara di luar masih saja terdengar timbul tenggelam. Angin berhembus kencang menaburkan hawa dingin menusuk tulang. Namun semua itu tidak dipedulikan lagi. Di mana-mana tercium bau arak yang keras. Semua yang terjadi di tempat bagai istana itu tidak luput dari perhatian seseorang yang berkelebat menyelinap dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian sosok tubuh itu lenyap setelah melewati bagian belakang tembok benteng yang mengelilingi bangunan besar dan indah bagai sebuah istana itu.

********************

DUA

Serombongan orang berpakaian seragam prajurit yang membawa umbul-umbul bergambar lambang sebuah kerajaan, bergerak melingkari Kaki Bukit Rangkat. Empat orang bertubuh tegap, menggotong sebuah peti besar dengan tandu. Mereka berjalan tidak tergesa-gesa. Seorang laki-laki yang berkuda paling depan, selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya tegap, berseragam pakaian punggawa. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya.

"Seraaang...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan keras. Seketika itu juga dari arah samping kanan, kiri, belakang, dan depan berhamburan orang-orang berseragam merah yang pada dadanya bergambar seekor naga. Mereka semua membawa senjata pedang, tombak, dan golok. Para prajurit yang berjumlah tidak lebih dari seratus orang itu langsung berhenti.

"Bertahan...!" seru punggawa yang menunggang kuda putih dengan keras.

Suara gemuruh derap kaki kuda dan teriakan-teriakan gegap gempita memecah udara di Kaki Bukit Rangkat itu. Tidak berapa lama, terdengar denting senjata beradu dan jeritan melengking kematian. Pertempuran pecah seketika itu juga. Orang-orang berbaju merah bergambar naga pada bagian dada, bertempur dengan sengit. Sebentar saja prajurit dari Kerajaan Gelang Wesi dan prajurit Kadipaten Kranggan sudah banyak yang tewas. Bau anyir darah langsung menyebar menyengat hidung.

Belum lagi pertarungan itu berlangsung lama, tiba-tiba dari arah Selatan muncul prajurit-prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Mereka semua mengendarai kuda yang dipacu cepat. Tampak dari lereng bukit, Sura Antaka begitu geram melihat kemunculan prajurit Kerajaan Gelang Wesi yang jumlahnya menjadi tiga kali lipat dari jumlah orang-orangnya.

"Macan Gadak! Perintahkan semuanya mundur!" perintah Sura Antaka.

"Baik Yang Mulia," sahut Macan Gadak.

Sura Antaka melompat naik ke punggung kuda, lalu menggebahnya kencang menuju Utara, diikuti Pendeta Ajisaka dan Singo Barong. Sedangkan Macan Gadak bergegas menuruni bukit mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

"Mundur...!" seru Macan Gadak keras. Suara teriakannya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Seketika itu juga orang-orang berbaju merah bergambar seekor naga pada dadanya, berlompatan mundur. Sementara yang terlambat, langsung tewas terkena sambaran senjata para prajurit. Cepat sekali mereka bergerak, sebentar saja sudah lenyap ke dalam hutan. Seorang yang berpangkat panglima, memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk tidak mengejar.

Macan Gadak mengumpulkan anak buahnya yang tersebar di lerang bukit sebelah Utara, kemudian sama-sama bergerak kembali ke daerah Utara, tempat mereka menetap. Sementara itu rombongan prajurit itu melanjutkan perjalanannya. Mereka meninggalkan mayat-mayat yang tumpang tindih memenuhi jalan melingkar di Kaki Bukit Rangkat ini.

********************

DUA

"Setan..!"

Brak!

Sura Antaka menggeram dahsyat. Meja yang terkena pukulannya langsung hancur berantakan. Wajahnya merah padam, dan matanya liar menyala bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja. Sedangkan Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan Gadak hanya menundukkan kepalanya saja.

Peristiwa pahit yang pertama kali ini dialami mereka. Gagal merampas barang upeti bawaan dari Kadipaten Kranggan. Bahkan hampir saja terjebak, dan terkurung prajurit prajurit Gelang Wesi. Sura Antaka memandangi satu persatu orang-orang kepercayaannya yang duduk bersimpuh di lantai sambil tertunduk dalam.

"Mereka seperti sudah tahu rencana ini. Phuih! Aku mencium ada mata-mata di antara kita!" dengus Sura Antaka menggeram.

"Akan kucari pengkhianat itu, Yang Mulia," kata Macan Gadak.

"Bukan hanya dicari, tapi temukan dan bunuh!" bentak Sura Antaka.

Macan Gadak kembali diam.

"Aku tidak peduli. Siapa pun orangnya yang mencoba mengkhianatiku, harus mampus! Kalian dengar itu...!"

Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan Gadak serentak mengangguk dan menyahut. Sura Antaka mendengus, lalu berbalik dan melangkah dengan kaki menghentak kesal. Laki-laki setengah baya itu membanting dirinya ke kursi berukir yang hampir menenggelamkan tubuhnya. Sepasang bola matanya masih merah menyala.

"Kalian geledah seluruh daerah ini. Siapa saja yang mencurigakan, tangkap! Kalau membangkang, bunuh!" perintah Sura Antaka tegas.

Ketiga orang kepercayaannya itu segera bangkit berdiri dan menjura memberi hormat. Bergegas mereka meninggalkan ruangan besar itu. Sura Antaka masih duduk di kursinya dengan wajah memerah. Diambilnya guci arak dan langsung ditenggaknya sampai tandas, tak tersisa sedikit pun. Dengan kesal, dilemparkan guci arak itu, tepat menghantam pilar. Guci itu hancur berkeping-keping.

"Ayah...," tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah kanan.

Sura Antaka menoleh.

"Kau ada perlu denganku, Mustikaweni?" nada suara Sura Antaka dibuat lembut, meskipun raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kegeramannya.

"Ada yang ingin kukatakan, Ayah," kata Dewi Mustikaweni seraya melangkah mendekati.

Gadis itu duduk di samping ayahnya. Dengan lembut diletakkan tangannya yang halus berkulit putih di pergelangan tangan Sura Antaka.

"Katakanlah. Apa yang hendak kau katakan," terdengar lembut suara Sura Antaka.

Di depan anaknya, Sura Antaka tidak pernah berkata kasar. Apa lagi memasang wajah berang. Laki-laki setengah baya itu terlalu mencintai gadis ini, dan selalu mengabulkan permintaannya. Pelahan-lahan, wajah berangnya berangsur sirna melihat senyuman lembut tersungging di bibir yang selalu merah merekah itu.

"Boleh aku pergi ke danau?" ada nada berharap pada suara Dewi Mustikaweni.

"Kenapa tidak? Pergilah selagi masih siang."

"Terima kasih, Ayah."

Sura Antaka tersenyum. Dewi Mustikaweni bangkit dan melangkah riang meninggalkan ruangan itu.

"Dengan siapa kau ke sana?" tanya Sura Antaka sebelum putrinya itu lenyap di balik pintu.

"Dengan emban," sahut Dewi Mustikaweni.

Sura Antaka memandangi putrinya sampai lenyap di balik pintu pemisah ruangan depan ini dengan ruangan tengah. Mendadak saja wajahnya berubah mendung, dan pandangan matanya sayu. Ditariknya napas panjang, lalu bangkit berdiri. Kakinya melangkah pelahan menuju jendela. Dia berdiri di depan jendela dengan tangan bertumpu pada balok kayu.

"Kau mirip sekali dengan ibumu, Mustikaweni," desah Sura Antaka lirih.

Pandangan laki-laki setengah baya itu tidak lepas dari putrinya yang berjalan riang didampingi dua orang emban pengasuhnya. Yang seorang, perempuan gemuk dan seorang lagi kurus bagai tidak memiliki daging. Kedua emban itu sudah merawat Dewi Mustikaweni sejak masih bayi. Terlebih lagi setelah ibunya meninggal. Kedua emban itu seperti pengganti ibunya saja. Ke mana Mustikaweni pergi, kedua emban itu tidak pernah ketinggalan.

"Hhh.... Kau terlalu agung hidup di sini, Mustikaweni. Tidak pantas kau hidup di tengah-tengah manusia berlumpur seperti ini. Kau bagai setangkai bunga tumbuh di tengah danau berlumpur. Hhh...! Semua ini gara-gara...."

Gumaman Antaka terhenti ketika telinganya mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Dia berbalik, dan tampaklah Pendeta Ajisaka datang bersama seorang pemuda bertubuh kecil memakai baju lusuh dan bagian dada terbuka. Pemuda itu langsung jatuh berlutut di depan Sura Antaka.

“Paman Ajisaka, ada apa ini?" tanya Sura Antaka.

"Dia bernama Belung. Seorang perambah hutan yang hidup di sekitar sini, Yang Mulia. Katanya, semalam dia melihat seseorang menyelinap dengan tingkah mencurigakan," lapor Pendeta Ajisaka.

"Hm..., benar begitu?" tanya Sura Antaka menatap tajam pemuda yang bernama Belung itu.

"Benar, Gusti. Hamba melihat sendiri. Orang itu berdiri dekat jendela itu. Kemudian berpindah-pindah tempat, lalu pergi melalui jalan belakang," kata Belung dengan sikap hormat.

"Kau kenali wajahnya?" tanya Sura Antaka lagi.

'Tidak, Gusti. Tapi...."

"Tapi, kenapa?"

"Hamba sempat melihat waktu dia berbalik. Ada luka di pipi kirinya."

"Gagak Codet...!" desis Sura Antaka.

"Kau berkata benar, Belung?!" agak membentak suara Pendeta Ajisaka.

"Hamba berkata yang sebenarnya, Gusti Pendeta. Hamba melihat dengan jelas meskipun waktu itu keadaan gelap. Hamba ada dekat sekali."

"Di mana kau waktu itu?" tanya Pendeta Ajisaka lagi.

"Di balik pohon kenanga itu, Gusti," Belung menunjuk sebatang pohon kenanga yang tidak begitu jauh dari jendela ruangan ini. "Hamba waktu itu bersama dengan...."

"Ya, sudah. Kau cukup jelas memberi keterangan," potong Sura Antaka.

"Terima kasih, Gusti," ucap Belung seraya memberi hormat.

“Paman, beri dia hadiah. Keterangannya sangat berharga sekali," kata Sura Antaka.

"Baik, Yang Mulia."

"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Gusti."

"Ya, sudah. Pergi sana!"

Pemuda kurus kerempeng itu berdiri, lalu membungkuk beberapa kali sebelum melangkah pergi. Pendeta Ajisaka memberinya sekantung uang sebelum pemuda perambah hutan itu pergi. Tentu saja Belung jadi berbinar matanya, dan langsung membungkuk beberapa kali memberi hormat sambil mengucapkan puluhan terima kasih. Pendeta Ajisaka mengantarkannya sampai ke pintu.

********************

Sementara itu di tepi sebuah danau yang berair biru bening, Dewi Mustikaweni merendam tubuhnya. Sedangkan kedua emban pengasuhnya menunggu tidak jauh dari tepi danau itu. Dewi Mustikaweni bermain-main di dalam danau, dan baru naik ke tepi setelah puas. Hanya selembar kain tipis menutupi tubuhnya yang ramping dan indah. Sungguh cantik wajahnya dalam keadaan basah.

Dewi Mustikaweni melangkah menghampiri kedua embannya yang duduk bersandar pada pohon rindang. Tapi mendadak, gadis itu tertegun melihat kedua embannya seperti tertidur sambil duduk bersandar. Gadis itu kembali menghampiri dan membangunkan kedua wanita pengasuhnya itu. Tapi kedua wanita itu tidak bergerak sedikit pun. Dewi Mustikaweni jadi kebingungan. Buru-buru diambil pakaiannya, dan dikenakannya dengan tergesa-gesa. Tapi belum juga sempurna mengenakan pakaian, mendadak muncul seorang laki-laki dengan wajah yang luka pada pipi kirinya.

"Oh...!" gadis itu terkejut. Buru-buru ditutupi bagian dadanya yang masih terbuka.

"Kau masih ingat aku, Mustikaweni?" lembut suara laki-laki berwajah codet itu.

"Kau.... Kau Gagak Codet?" bergetar suara Dewi Mustikaweni.

"Benar. Aku Gagak Codet," pemuda itu tersenyum lebar.

"Mau apa kau ke sini?"

"Membawamu pergi."

"Oh! Tidak...!" Dewi Mustikaweni terkejut bukan main, dan langsung melangkah mundur dengan wajah pucat pasi. Matanya melirik kedua emban pengasuhnya yang tampak seperti terlelap tidur.

"Mereka hanya pingsan. Sebentar lagi juga siuman," kata Gagak Codet seperti mengetahui lirikan gadis itu.

"Jangan dekat!" sentak Dewi Mustikaweni begitu melihat Gagak Codet melangkah mendekati. "Berani mendekat, aku akan berteriak!"

"Berteriaklah. Tidak ada seorang pun di sini, kecuali kau dan aku," tantang Gagak Codet.

Putri Dewi Mustikaweni jadi gelagapan. Dia tahu kalau sekitar danau ini tidak ada seorang pun. Tidak ada seorang pun yang berani ke danau ini kalau dia ada di sini. Ayahnya bisa memenggal kepala siapa saja yang berani melihat gadis itu mandi di danau ini. Dewi Musrikaweni beringsut mundur. Tapi sebuah akar yang menyembul ke tanah membuat tubuhnya limbung.

"Oh...!"

"Hup!" Gagak Codet cepat melompat, dan menangkap tubuh ramping itu. Tentu saja hal ini membuat gadis itu terkejut setengah mati. Dia memberontak berusaha melepaskan diri, tapi pelukan Gagak Codet demikian kuat Gadis itu terus berontak sambil menjerit-jerit minta tolong. Gagak Codet jadi kewalahan, dan...

"Ah...!" Dewi Musrikaweni memekik kecil. Mereka sama-sama jatuh bergulingan di tanah. Namun pelukan Gagak Codet tidak juga terlepas, dan malah menindihnya kuat-kuat. Dewi Mustikaweni mencoba memberontak, memukuli pemuda itu.

"Diam...!" bentak Gagak Codet Pemuda dengan luka menggores pipi kiri itu mencekal kedua tangan Dewi Musrikaweni, dan menekannya merentang ke samping. Dengan kedua pahanya dia menjepit pinggang gadis itu.

Dewi Musrikaweni benar-benar tidak berdaya lagi. Air mata mulai menitik keluar dari sudut matanya yang bulat bening dan indah itu. "Aku mohon, lepaskan... Jangan sakiti aku, rintih Dewi Musrikaweni meratap.

"Huh!" dengus Gagak Codet.

Sambil bangkit, dengan kasar pemuda itu menyentakkan tangan Dewi Musrikaweni. Akibatnya gadis itu ikut terangkat bangun. Musrikaweni memekik tertahan. Pergelangan tangannya terasa sakit karena dicengkeram kuat sekali.

"Jangan banyak tingkah! Ayo, jalan!" bentak Gagak Codet mendorong kasar.

"Mau dibawa ke mana aku?" rintih Dewi Musrikaweni.

"Cerewet! Dasar anak manja! Jalan!"

Dewi Musrikaweni tidak ada pilihan lain. Dia melangkah dengan tangan tertekuk ke belakang dipegangi kuat-kuat. Air mata semakin banyak berlinang membasahi pipinya yang putih halus bagai sutra. Gagak Codet terus mendorong agar lebih cepat. Beberapa kali gadis itu memekik kesakitan.

"Ck ck ck ck... Kasihan sekali, cantik-cantik tersiksa...," tiba-tiba terdengar suara pelahan.

"Eh!" Gagak Codet tersentak kaget langsung menoleh.

Tampak seorang pemuda berwajah tampan memakai baju dari kulit harimau tengah duduk di atas pohon tumbang. Sesaat Gagak Codet terpaku, sehingga dia lalai akan Dewi Mustikaweni. Kesempatan yang sedikit ini, dimanfaatkan gadis itu untuk melepaskan diri. Dewi Musrikaweni langsung berlari.

"He...!, sentak Gagak Codet terkejut.

"Tolong...! Dia akan menculikku!" teriak Dewi Musrikaweni terus berlari.

Tapi Gagak Codet sudah melompat cepat, dari menghadang gadis itu. Mustikaweni tersentak, langsung berbalik. Tapi Gagak Codet lebih cepat menangkap tangan gadis itu. Namun baru saja bisa mencekal, mendadak....

"Akh!" Gagak Codet terpekik tertahan. Cekalannya terlepas, dan mulutnya meringis kesakitan memegangi pergelangan tangannya. Matanya langsung menatap pada pemuda berbaju kulit harimau yang memain-mainkan kerikil ditangannya. Sementara itu, Dewi Mustikaweni kembali berlari menghampiri pemuda itu, lalu berlindung di balik punggung yang kokoh itu.

"Tolong, dia akan menculikku. Dia jahat...," rintih Dewi Mustikaweni.

"Kisanak, kuharap jangan ikut campur urusanku. Dia istriku!" bentak Gagak Codet.

"O...," pemuda berbaju kulit harimau itu mengangkat alisnya.

"Bohong! Dia jahat! Dia mau menculikku...!" sergah Dewi Mustikaweni.

"Mana yang benar ini? Kalian suami istri, atau bukan...?" pemuda itu nampak kebingungan.

"Percaya padaku, Kisanak. Dia istriku yang ingin kabur!" kata Gagak Codet.

Pemuda itu menoleh menatap wanita cantik yang berlindung padanya. Dan belum lagi membuka mulut akan bertanya, dari jauh terdengar teriakan dua orang wanita. Yang satu gemuk, dan satunya lagi kurus kerempeng. Mereka berlari-lari sambil memanggil-manggil Dewi Mustikaweni.

"Gusti..., Gusti Ayu...!"

"Oh! Itu kedua emban pengasuhku. Kau bisa tanyakan pada mereka, Kisanak." Ada pengharapan pada nada suara Dewi Mustikaweni melihat kedua emban pengasuhnya berlari-lari menghampiri.

"Monyet buntung!" geram Gagak Codet kesal melihat dua orang emban itu sudah sadar dari pingsannya.

Dan sebelum emban itu dekat, Gagak Codet sudah melompat hendak menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun hanya sedikit saja mengegoskan tubuhnya, terjangan Gagak Codet luput dari sasaran. Pemuda berbaju kulit harimau itu melompat ke samping sambil mendorong tubuh Dewi Mustikaweni, sehingga gadis itu terdorong jatuh. Untung kedua emban pengasuhnya sudah cepat menghampiri, sehingga cepat-cepat menolongnya berdiri.

Sementara itu Gagak Codet kembali menyerang dahsyat Dan pemuda berbaju kulit harimau itu seperti malas-malasan melayaninya. Namun setiap serangan balasannya, sudah dapat membuat Gagak Codet pontang-panting menghindarinya. Beberapa jurus berganti cepat Gagak Codet sadar kalau dirinya tidak akan mampu menundukkan pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.

Saat mempunyai kesempatan, dengan cepat tubuhnya melompat kabur. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh berlari. Gagak Codet kini telah menghilang dalam hutan di pinggir danau ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu memutar tubuhnya menghadap pada Dewi Mustikaweni.

"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" lembut nada pemuda berbaju harimau itu.

"Tidak," sahut Dewi Mustikaweni. "Terima atas pertolonganmu."

"Sebaiknya cepat pulang. Aku khawatir dia akan datang lagi ke sini," kata pemuda itu.

"Benar, Gusti Ayu. Sebaiknya cepat-cepat pulang," sergah wanita gemuk itu.

"Sebentar, Bi Emban," ucap Dewi Mustikaweni.

"Sudah sore, Gusti Ayu."

Mustikaweni tidak menghiraukan peringatan embannya, dan malah melangkah menghampiri pemuda berbaju kulit harimau itu. Kedua emban itu nampak cemas. Mereka melirik ke kanan dan ke kiri. Mereka tahu kalau di sekitar danau ini tidak ada yang boleh datang kalau ada Dewi Mustikaweni. Terlebih lagi laki-laki. Kalau ketahuan, bisa celaka nanti.

"Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" pinta Dewi Mustikaweni lembut.

"Untuk apa?"

"Kau telah menyelamatkan nyawaku. Sudah sepantasnya kuberi hadiah yang pantas. Aku akan mengatakan hal ini pada Ayah, dan pasti kau akan memperoleh hadiah yang besar," ujar Dewi Mustikaweni.

"Terima kasih, tapi aku harus segera pergi," ucap pemuda itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik dan melangkah pergi. Kelihatan kakinya melangkah biasa saja, tapi sebentar saja sudah jauh.

"Kisanak, siapa namamu? teriak Dewi Mustikaweni.

"Bayu!"

********************

TIGA

Sejak bertemu pemuda berbaju kulit harimau, Dewi Mustikaweni jadi sering pergi ke danau. Di tempat itu dia hanya berdiri saja memandangi danau, menghabiskan waktu hingga senja jatuh dalam pelukan Mayapada. Dewi Mustikaweni yang memang pendiam, semakin sukar diajak bicara. Gadis itu jadi lebih senang menyendiri, merenung seorang diri. Kedua emban pengasuhnya bisa menebak apa yang ada dalam hati junjungannya itu.

"Sudah sore, Gusti Ayu. Sebentar lagi malam datang," ujar seorang emban bertubuh gemuk.

Dewi Mustikaweni menarik napas panjang. Dua bola matanya yang indah menatap matahari yang hampir tenggelam di balik permukaan danau. Sinarnya yang kemerahan tampak lembut dan sedap dipandang. Permukaan danau bagai ditaburi ribuan butir mutiara berkilauan, menambah keindahan pemandangan di tempat itu. Tidak salah kalau danau ini dinamakan Danau Mutiara.

"Gusti Sura Antaka pasti sudah menunggu, Gusti Ayu," sambung emban yang bertubuh kurus.

"Sebentar lagi, Bi Emban," pinta Dewi Mustikaweni.

Kedua emban itu saling berpandangan. Tampak wanita yang bertubuh kurus tersenyum memandang ke satu arah. Emban pengasuh bertubuh gemuk jadi berkerut keningnya. Dia menoleh, lalu juga memandang ke arah yang sama. Bibirnya pun tersenyum begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau melangkah ringan menghampiri mereka. Pemuda itu berhenti tepat di samping agak ke belakang dari Dewi Mustikaweni.

"Ehm ehm...!" pemuda berbaju kulit harimau itu mendehem.

"Oh...!" Dewi Mustikaweni terkejut, langsung berbalik. "Bayu...," desisnya begitu melihat pemuda yang selalu dinantikannya selama tiga hari ini.

"Selamat sore, Gadis Ayu," ucap pemuda itu yang memang bernama Bayu Hanggara atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. "Aku mengganggu?"

"Oh, tid..., tidak," Dewi Mustikaweni jadi tergagap.

"Bagaimana suamimu? Sudah tidak kasar lagi?" tanya Bayu.

"Suami...? Suami yang mana?" Dewi Mustikaweni terbeliak.

"Yang memaksamu pulang."

"Enak saja! Itu bukan suamiku. Dia akan menculikku, tahu!"

"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah," ucap Bayu.

"Aku tidak marah, hanya tidak suka saja," Dewi Mustikaweni memberengut.

Gadis itu memang manja. Tidak boleh tersinggung sedikit. Tapi itu hanya sebentar saja. Dan kini wajahnya sudah kembali manis dan semakin cantik dipandang. Dewi Mustikaweni tertunduk mendapat tatapan yang begitu menusuk dari pemuda itu. Sementara kedua emban pengasuhnya semakin gelisah. Sebentar-sebentar menatap ke arah jalan, takut kalau-kalau ada yang melihat dan mengadukan pada Sura Antaka.

"Gusti Ayu...!" tiba-tiba emban yang kurus tersentak.

"Ada apa?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Ada yang datang...."

"Oh...!"

Terlambat Empat orang laki-laki berseragam baju merah dengan gambar seekor naga pada bagian dada sudah melihat. Dan mereka bergegas menghampiri, langsung menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Dewi Mustikaweni tampak pucat dan kebingungan sekali. Demikian juga dengan kedua emban pengasuhnya. Mereka sampai bergetar seluruh tubuhnya.

"Gusti Ayu, siapa laki-laki ini?" tanya salah seorang menunjuk pada Bayu.

"Dia..., eh, dia...," Dewi Mustikaweni tergagap.

"Hei, bangsat! Ke sini!" bentak orang yang bertanya tadi.

Sedangkan Bayu hanya diam saja, meskipun jari telunjuk itu mengarah padanya. Pendekar Pulau Neraka itu diam sambil menatap tajam menusuk. Gerahamnya bergerut menahan marah mandapat bentakan penghinaan itu.

"O.... Kau tuli atau menantang, heh?!"

"Kisanak, kenapa datang-datang langsung marah? Apakah wanita ini milikmu?" agak ditekan nada suara Bayu.

"Keparat! Kau berani kurang ajar pada Gusti Ayu Mustikaweni!" geram orang itu seraya mencabut goloknya.

Tiga orang yang berada di belakangnya juga langsung mencabut golok. Mereka menggeser ke samping dengan golok melintang di depan dada. Sedangkan Bayu hanya memandangi tanpa berkedip.

"Heran..., kenapa orang-orang di sini begitu galak? Apakah biasa makan daging mentah?" Bayu bergumam seperti bicara dengan dirinya sendiri.

Sementara itu kedua emban pengasuh sudah membawa Dewi Mustikaweni menyingkir. Mereka sudah merasakan adanya gelagat tidak baik. Sementara gadis itu hanya bisa memandang Pendekar Pulau Neraka, dengan sinar mata sukar untuk diartikan. Empat orang berbaju merah yang bergambar naga pada dadanya, sudah bergerak mengurung dari empat jurusan. Sedangkan Bayu hanya melirik saja memperhatikan sambil melipat tangannya di depan dada.

“Tidak ada seorang pun yang diijinkan mendekati Gusti Dewi Mustikaweni. Kau pasti akan dijatuhi hukuman mati, oleh Yang Mulia Sura Antaka, keparat!" geram orang yang berada di depan Bayu.

"Oh.... Apakah gadis itu terbuat dari emas? Lucu sekali, hanya bicara saja harus mati," sinis nada suara Bayu.

"Lancang bicaramu!"

"Aku punya mulut dan bicara sendiri. Kenapa kau yang marah?"

"Tutup mulutmu! Hiyaat..!"

Satu terjangan golok yang menusuk ke arah dada terjadi demikian cepat. Dewi Mustikaweni memekik tertahan dan memejamkan matanya. Rasanya tidak sanggup melihat serangan yang cepat itu. Tapi hatinya terkejut, karena mendengar satu benturan keras, diikuti pekikkan tertahan.

Tampak laki-laki yang menyerang, terbanting keras ke tanah. Dan entah bagaimana, goloknya sudah berpindah ke tangan Pendekar Pulau Neraka yang tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri. Dewi Mustikaweni yang langsung membuka matanya, jadi terbeliak tidak percaya.

"Keparat...!"

Tiga orang lainnya langsung berlompatan menyerang secara bersamaan. Pendekar Pulau Neraka berlompatan menghindari serangan yang datang dengan cepat dan sangat mematikan itu. Namun hanya sekali gebrak, tiga orang itu terpekik dan mental ke belakang. Bayu sendiri tegak sambil menggenggam golok di tangan. Empat orang itu jadi kelabakan, karena golok mereka sudah berpindah tangan tanpa diketahui bagaimana kejadiannya. Mereka beringsut bangun, lalu saling berpandangan.

Trek!

Empat orang berbaju merah bergambar naga itu terbeliak begitu melihat Bayu yang betapa mudahnya mematahkan golok-golok di tangannya, lalu melemparkan begitu saja ke tanah. Kembali mereka saling berpandangan, seketika itu wajah mereka pucat pasi. Tanpa berkata apa-apa lagi, keempat orang itu segera melarikan diri.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian menghampiri Dewi Mustikaweni yang berdiri agak jauh didampingi kedua emban pengasuhnya. Bayu berhenti sekitar dua langkah lagi jaraknya di depan gadis itu.

"Sebaiknya cepat pergi dari sini. Kau akan dihukum mati nanti," kata Dewi Mustikaweni agak bergetar nada suaranya.

"Siapa mereka itu?" tanya Bayu tidak mempedulikan peringatan gadis itu.

"Mereka para prajurit ayahku," sahut Dewi Mustikaweni.

"Prajurit...?"

"Sebenarnya memang tidak pantas disebut prajurit. Tapi Ayah selalu berkata begitu. Ayah menganggap dirinya seorang raja yang menguasai seluruh daerah Utara ini. Cepatlah pergi, sebelum mereka kembali menangkapmu," ujar Dewi Mustikaweni gelisah.

"Kau akan datang lagi ke sini?" tanya Bayu.

"Entahlah," desah Dewi Mustikaweni tidak yakin.

"Kalau begitu, aku yang akan mengunjungimu."

"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat.

Tapi belum sempat gadis itu mengatakan sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata sudah lenyap dari pandangan. Kedua emban pengasuh itu bergegas meminta Dewi Mustikaweni meninggalkan danau ini.

********************

Dewi Mustikaweni hanya tertunduk saja, duduk bersimpuh di lantai kamarnya. Sedangkan dua emban pengasuhnya lebih dalam lagi tertunduk, tidak berani mengangkat wajah memandang Sura Antaka yang duduk angkuh dikursi. Tatapan mata laki-laki setengah baya yang masih kelihatan gagah itu, demikian tajam menusuk. Wajahnya memerah dan urat-uratnya menegang.

"Katakan padaku, siapa laki-laki yang kau kunjungi di danau, Mustikaweni?" dingin dan datar nada suara Sura Antaka.

"Namanya Bayu, Ayah. Aku tidak mengunjunginya. Dia datang sendiri dan menolongku dari tangan Gagak Codet," sahut Dewi Mustikaweni sambil mengangkat kepalanya pelahan-lahan.

"Itu tiga hari yang lalu, Weni!"

"Sungguh, Ayah. Aku tidak bermaksud menemuinya. Dia datang sendiri," Dewi Mustikaweni mencoba meyakinkan ayahnya.

"Dan kedatangannya benar-benar kau harapkan, bukan?" desak Sura Antaka.

Dewi Mustikaweni kembali diam tertunduk. Wajahnya sebentar memerah, dan sebentar kemudian memucat. Tebakan ayahnya memang tidak dapat disangkal lagi. Sejak Pendekar Pulau Neraka menolongnya dari cengkeraman tangan Gagak Codet, dia memang selalu berharap dapat bertemu lagi. Entah kenapa, bayang-bayang pendekar tampan itu selalu menghantuinya setiap saat.

"Dengar, Weni. Aku sangat menyayangimu. Aku tidak mau kau bergaul dengan sembarang laki-laki. Yang kuinginkan, agar kau mendapat seorang laki-laki yang gagah dan berkemampuan sangat tinggi, dan dapat melindungimu setiap waktu. Aku tidak melarangmu memilih calon pendampingmu. Tapi aku harus tahu, apakah pemuda itu memiliki kemampuan tinggi dan dapat dipercaya untuk melindungimu. Hanya itu, Weni," terdengar lembut nada suara Sura Antaka.

"Ayah...," kembali Dewi Mustikaweni mengangkat kepalanya. Sudah bisa dimengerti maksud kata-kata ayahnya barusan.

"Undang dia ke sini, dan aku akan menguji pantas tidaknya dia menjadi pendampingmu," tegas Sura Antaka.

"Tapi...," suara Dewi Mustikaweni tersekat di tenggorokan.

"Jika kau tidak mengundangnya, itu berarti tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Kau mengerti, Weni?!"

"Mengerti, Ayah."

"Kapan kau akan menemuinya lagi?" tanya Sura Antaka.

"Aku tidak tahu. Dia muncul tiba-tiba."

"Hm..., kalau begitu pergilah besok ke danau. Paman Ajisaka akan mendampingimu."

Dewi Mustikaweni tidak bisa berkata apa-apa lagi. Keputusan ayahnya sukar untuk dicabut kembali. Gadis itu hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya. Sementara Sura Antaka bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamar putrinya ini. Seorang emban yang bertubuh gemuk, bergegas mendahului dan membukakan pintu. Tanpa melirik sedikit pun, Sura Antaka melangkah keluar. Emban bertubuh gemuk itu bergegas menutup kembali pintunya, dan menghampiri Dewi Mustikaweni yang sudah terisak sesunggukkan.

"Sudahlah, Gusti Ayu. Mudah-mudahan saja Den Bayu tidak muncul besok," ujar emban gemuk itu mencoba menghibur.

"Tapi dia sendiri yang akan ke sini, Bi Emban," ucap Dewi Mustikaweni di sela isaknya yang tertahan.

"Mudah-mudahan saja dia tidak berani," desah emban gemuk itu pelan.

Dewi Mustikaweni beranjak bangkit berdiri. Tapi baru saja mengangkat kepalanya, mendadak dia tersentak kaget setengah mati. Di depan jendela kamarnya yang terbuka, kini sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju dari kulit harimau. Dua orang emban pengasuh itu juga bergegas berdiri terkejut. Mereka langsung melangkah ke jendela, dan menyeret pemuda itu masuk. Buru-buru emban gemuk menutup jendela.

"Bayu...," desis Dewi Mustikaweni.

"Aku menepati janji, Gadis Ayu," ucap Bayu lembut.

"Bagaimana bisa masuk ke sini?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Mudah saja. Aku menunggu ayahmu pergi dulu," tenang jawaban Pendekar Pulau Neraka itu.

"Apa...?" bukan main terkejutnya Dewi Mustikaweni mendengar jawaban yang begitu ringan tanpa ada beban sedikit pun.

Bayu hanya tersenyum saja. Diliriknya dua perempuan pengasuh yang berdiri saja membelakangi jendela. Kedua emban pengasuh itu bisa mengerti, lalu mereka melangkah keluar. Pintu kamar itu kembali tertutup setelah kedua wanita pengasuh itu sampai di luar kamar. Tinggal Pendekar Pulau Neraka dan Dewi Mustikaweni yang hanya diam beberapa saat dengan mata saling menatap.

"Kau dengar semuanya, Ka...," terputus ucapan gadis itu.

"Aku senang kalau kau memanggilku Kakang, Weni," lembut suara Bayu.

Dewi Mustikaweni tersenyum tersipu. Wajahnya menyemburat merah dadu seketika. Dibalikkan tubuhnya, dan dilangkahkan kakinya mendekati sebuah kursi. Gadis itu duduk dengan anggunnya. Sebentar ditatap pemuda tampan yang berdiri saja di tempatnya, kemudian kepalanya bergerak menunduk kembali. Rasanya tidak sanggup menatap bola mata yang mengandung daya tarik sangat kuat sekali.

"Aku dengar semua, Weni. Dan akan kutunggu di tepi danau, tempat pertama kali kita bertemu," kata Bayu kalem.

"Sebaiknya jangan, Kakang. Mereka akan membunuhmu. Aku tidak ingin kau celaka di tangan mereka," cegah Dewi Mustikaweni.

"Jangan khawatir, Weni. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Tidak ada yang akan celaka. Percayalah," Bayu meyakinkan.

"Tapi...," terputus suara Dewi Mustikaweni.

"Ssst...!" Bayu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan bibirnya sendiri.

Pendekar Pulau Neraka itu melangkah menghampiri, dan berlutut di depan gadis itu. Dengan lembut diambilnya tangan berjari lentik dengan kuku terawat rapi. Bergetar seluruh tubuh Dewi Mustikaweni ketika Bayu begitu lembutnya mengecup jari-jari tangannya. Gadis itu sampai terpejam beberapa saat, menikmati kecupan lembut yang baru pertama kali dirasakannya.

"Oh...," Dewi Mustikaweni mendesah lirih.

"Besok, saat matahari tepat di atas kepala, aku akan datang ke tepi danau," ujar Bayu lembut, namun bernada tegas.

"Kakang..., aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku sama sekali tidak mengharapkan kau mendapat kesulitan," lirih sekali suara Dewi Mustikaweni.

"Kau cantik sekali, Weni. Hatimu lembut. Rasanya kau tidak pantas berada di tengah-tengah manusia kasar bergelimang lumpur. Aku akan mengangkatmu dari lumpur, dan membawamu ke tempat yang lebih cocok untukmu," ujar Bayu.

"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"

Bayu tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri setengah membungkuk. Begitu dekat wajahnya dengan wajah gadis itu, sehingga hembusan napasnya terasa hangat di pipi yang halus memerah saga. Kembali bola mata Dewi Mustikaweni terpejam, dan bibirnya setengah terbuka agak bergetar. Mendadak seluruh aliran darahnya serasa berhenti mengalir, saat dirasakan satu kecupan lembut mendarat di bibirnya.

Dewi Mustikaweni mendesah lirih, dan dia masih terpejam merasakan kecupan lembut yang pertama kali dari seorang pemuda tampan yang telah mencuri sekeping hatinya. Agak lama juga gadis itu terpejam dengan tubuh menegang kaku. Pelahan-lahan dia membuka matanya karena tidak terasa lagi sentuhan lembut dari Pendekar Pulau Neraka.

"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat, karena pemuda itu sudah tidak ada lagi di kamar ini.

Bergegas gadis itu bangkit berdiri, lalu berlari ke jendela yang sudah terbuka lagi. Matanya berkeliling mencari-cari di luar sana, tapi bayangan pemuda itu sudah lenyap tanpa terlihat lagi bekasnya.

"Ahhh..., Bayu...," desah Dewi Mustikaweni lirih seraya membalikkan tubuhnya.

Gadis itu berlari menghambur ke pembaringan! Dijatuhkan dirinya ke atas pembaringan yang empuk beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Tubuh yang ramping padat berisi itu bergulir. Pelahan bibirnya menyunggingkan senyuman, dan jari-jari tangannya meraba bibirnya. Dihayati kembali kecupan lembut yang hangat dan menggetarkan. Kecupan pertama yang dirasakan dari seorang pemuda.

Beberapa kali gadis itu menarik napas panjang, dan meng hembuskannya pelahan-lahan. Matanya menerawang jauh, menatap langit-langit kamarnya. Sampai-sampai tidak disadari kalau kedua emban pengasuhnya sudah masuk, dan menghampirinya. Kedua emban pengasuh itu hanya tersenyum saja menyaksikan putri junjungannya tengah tersenyum-senyum sendirian.

"Gusti Ayu...," tegur emban gemuk pelan.

"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget.

Gadis itu langsung menggerinjang bangkit. Wajahnya seketika terasa panas, bersemu merah bagai kepiting rebus. Buru-buru dibalikkan tubuhnya, menyembunyikan rona merah yang menjalar hangat di seluruh wajahnya. Seolah-olah malu, dan tidak ingin kedua emban pengasuhnya itu tahu, apa yang baru dirasakannya tadi.

********************

EMPAT

Matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya yang terik membakar kulit seorang pemuda yang berdiri tegak di tepi danau. Pandangannya tidak terlepas ke arah jalan tanah berbatu kerikil tidak jauh di depannya. Pemuda itu memakai baju kulit harimau dengan sebuah benda melingkar bersegi enam di pergelangan tangannya yang terlipat di depan dada.

"Hm..., kau datang juga akhirnya," gumam pemuda yang tidak lain dari Bayu Hanggara si Pendekar Pulau Neraka.

Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum melihat kedatangan Dewi Mustikaweni didampingi dua orang emban pengasuh dan seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul. Laki-laki tua itu memegang sebuah untaian kalung dari batu hitam yang berkilat. Mereka dikawal tidak kurang dari tiga puluh orang berseragam merah dengan gambar seekor naga pada bagian dadanya.

"Hm...," Bayu bergumam ketika laki-laki tua gundul itu memberi isyarat. Seketika tiga puluh orang bersenjata tombak dengan pedang menggantung di pinggang, bergerak cepat membentuk lingkaran mengelilingi Pendekar Pulau Neraka.

"Namaku Pendeta Ajisaka, utusan dari Yang Mulia Sura Antaka. Apakah kau yang bernama Bayu Hanggara?" tanya laki-laki tua berjubah kuning gading itu.

"Tepat sekali," sahut Bayu seraya melirik Dewi Mustikaweni.

Yang dilirik hanya tertunduk saja, seperti tidak sanggup menatap pemuda tampan yang telah merenggut sekeping hatinya itu. Bahkan juga tidak sanggup untuk membayangkan apa yang akan terjadi nanti seandainya Pendekar Pulau Neraka itu dibawa menghadap ayahnya.
“Yang Mulia memintamu untuk datang ke istana sekarang juga," kata Pendeta Ajisaka kembali.

"O..., untuk apa?" Bayu pura-pura tidak tahu.

"Kau sudah melanggar peraturan yang ditetapkan Yang Mulia Sura Antaka. Kau harus menerima hukumannya, Kisanak. Yang Mulia sendiri akan menentukan hukumannya, dan sebaiknya jangan bertingkah. Menurut lebih baik daripada mencari penyakit!" tegas kata-kata Pendeta Ajisaka.

"Hm.... Bicaramu bernada mengancam, Pendeta," gumam Bayu kurang senang.

"Tergantung dari tingkahmu, Anak Muda," dingin nada suara Pendeta Ajisaka.

"Kalau begitu, aku tidak akan memenuhi undangan junjunganmu!" tolak Bayu tegas bernada menantang.

"Kakang,..," desis Dewi Mustikaweni tersentak kaget.

"Bagus! Itu berarti kau memilih jalan kematianmu sendiri, Anak Muda!"

Trik!

Pendeta Ajisaka menjentikkan ujung jarinya, maka empat orang berseragam merah bergambar seekor naga pada dadanya langsung melompat maju. Tanpa menunggu perintah dua kali, empat orang itu segera menyerang dengan tombak terhunus.

"Hup!"

Bayu melompat mundur dua tindak, lalu cepat menarik tubuhnya ke belakang sedikit. Dua ujung tombak lewat di depan dadanya. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangannya, dan....

Trek!

Dua batang tombak itu patah jadi dua terhantam tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan belum lagi dua orang itu bisa menyadari, secepat kilat Bayu melompat sambil menghentakkan kakinya menendang sekaligus dua orang penyerangnya. Pekikkan tertahan terdengar bersamaan terjungkalnya dua lawannya itu. Dan belum lagi semua orang bisa menyadari, Bayu sudah memutar tubuhnya. Dua pukulan dilayangkan tepat, menghantam dua orang lagi. Raungan keras terdengar saling sambut, disusul ambruknya dua orang sambil menutupi wajahnya.

"Bagaimana, Pendeta Ajisaka? Jika kau berlaku sopan, aku akan lebih sopan darimu," kata Bayu kalem seraya melipat tangannya di depan dada.

"Kau terlalu keras kepala, Anak Muda!" geram Pendeta Ajisaka.

"Kepalaku memang lebih keras dari batu."

“Phuih!” Pendeta Ajisaka menyemburkan ludahnya. Kembali laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu memberi isyarat dengan jarinya. Seketika sepuluh orang berseragam merah bergambar seekor naga di dada langsung melompat menyerang.

Kembali Pendekar Pulau Neraka melompat berkelit, menghadapi sepuluh orang penyerangnya. Pertarungan kembali berlangsung. Tapi baru beberapa gebrak saja, tiga orang sudah terjungkal roboh memuntahkan darah kental. Dan belum lagi orang itu mampu bangkit, kembali dua orang terpental ke atas, lalu jatuh keras ke tanah. Jerit dan pekik pertempuran disertai pekikkan menyayat terdengar saling sambut. Pendeta Ajisaka semakin geram, melihat orang-orangnya jungkir balik kewalahan menghadapi Pendekar Pulau Neraka itu. Kembali diberi isyarat. Maka semua orang berseragam merah bergambar naga di dada berlompatan maju menyerang.

Semula Bayu hanya bermaksud membuat orang-orang itu jera. Tapi melihat kesungguhan dan kenekadan orang-orang berseragam merah ini, Pendekar Pulau Neraka itu jadi gusar juga. Meskipun sudah jatuh bangun kena pukulan dan tendangan cukup keras, mereka tidak juga jera. Bahkan semakin ganas saja. Memang pukulan Bayu tidak disertai tenaga dalam.

Lain halnya dengan Pendeta Ajisaka. Dia tahu betul kalau Pendekar Pulau Neraka itu tidak bertarung sungguh-sungguh. Tapi tiga puluh orang pengikutnya tidak ada yang mampu meringkusnya. Bahkan tombak serta pedang mereka berpatahan dan berpentalan ke udara. Mereka jatuh bangun, tidak mampu lagi menandingi pemuda itu. Sikap Bayu yang hanya main-main, membuat Pendeta Ajisaka berang Pemuda itu dianggap menghinanya.

"Mundur...!" teriak Pendeta Ajisaka keras menggelegar.

Bentakan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu membuat orang-orang berseragam baju merah, serentak berlompatan mundur. Mereka sudah tidak lagi memiliki senjata, karena telah terampas dan pata-patah oleh Bayu. Sebagian malah tergeletak di tanah berpasir. Pendeta Ajisaka melangkah maju beberapa tindak.

"Kau terlalu pongah, bocah!" geram Pendeta Ajisaka.

"Aku ingin tahu, apakah kepala gundulmu juga sekeras batu?" ejek Bayu sinis.

"Phuih! Keparat...!"

Pendeta Ajisaka menggerakkan tangannya, membuka jurus penyerangan. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Matanya sempat mengerling pada Dewi Mustikaweni yang berdiri agak jauh didampingi kedua orang emban pengasuhnya yang setia. Entah kenapa, gadis itu tersenyum, seakan merasa yakin kalau Bayu dapat menundukkan Pendeta Ajisaka.

"Awas serangan! Hiyaaa...!" seru Pendeta Ajisaka lantang.

"Hait...!"

Bayu melentingkan tubuhnya ketika Pendeta Ajisaka melompat datar dan kakinya menyampok berputar mengarah ke bagian kaki. Pada saat Bayu berada di udara, tiba-tiba saja laki-laki tua gundul itu mengebutkan tasbih hitamnya. Kalau saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak memutar tubuhnya, tasbih itu bisa merobek perutnya.

"Hap!"

Ringan sekali Bayu mendarat di belakang laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu. Dan secepat kilat dilayangkan satu tendangan berputar. Pendeta Ajisaka tersentak kaget, buru-buru ditarik kakinya ke samping sambil didoyongkan tubuhnya ke depan. Tendangan Bayu luput dari sasaran. Pendeta Ajisaka langsung memutar tubuhnya sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

"Hih!"

Bayu sengaja tidak menghindar. Bahkan dipapaknya pukulan itu dengan tangan kiri, disertai kemposan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan Tak dapat dihindarkan lagi, dua tangan beradu dengan keras.

Trak!

"Akh...!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.

Buru-buru laki-laki tua gundul itu melompat ke belakang. Mulutnya meringis merasakan nyeri pada pergelangan tangannya. Namun belum juga Pendeta gundul itu sempurna menjejak tanah, Bayu sudah lebih cepat melompat sambil melontarkan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam setengahnya. Tendangan keras dan cepat itu tidak bisa dihindari lagi, dan mendarat telak di dada kurus kerempeng tertutup jubah kuning gading.

"Aaakh...!" kembali Pendeta Ajisaka memekik keras.

Tubuh tua kurus itu terpental cukup jauh, dan menabrak sebatang pohon cemara hingga tumbang. Tapi Pendeta Ajisaka langsung bisa bangkit berdiri. Tampak dari sudut bibirnya mengucurkan darah kental. Digeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Bayu berdiri tegak sambil tersenyum. Pendeta Ajisaka mencoba menggerakkan tangan kanannya, tapi dia jadi terkejut. Ternyata tulang pergelangan tangannya patah terbentur tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Setan keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.

Laki-laki tua itu langsung menyadari kalau tenaga dalamnya masih berada di bawah pemuda berbaju kulit harimau itu. Dia menggeram marah, dan menggeser kakinya mendekati Dewi Mustikaweni.

"Paman..., Paman terluka...?" Dewi Mustikaweni panik juga melihat darah menetes dari sudut bibir Pendeta Ajisaka.

"Huh!" Pendeta Ajisaka hanya mendengus saja.

Dewi Mustikaweni menyentuh pergelangan laki-laki tua gundul itu. Betapa terkejutnya dia, karena Pendeta Ajisaka malah terpekik keras. Mulutnya meringis merasakan nyeri yang amat sangat pada pergelangan tangan kanannya.

"Oh, maaf..... Maaf, Paman," ucap Dewi Mustikaweni tergagap ketakutan.

"Ayo kita pulang!" dengus Pendeta Ajisaka.

"Pulang...? Tapi...," Dewi Mustikaweni tergagap. Matanya melirik Pendekar Pulau Neraka yang hanya memperhatikan saja dengan senyum tersungging di bibir.

"Bawa kambing tua itu pulang, Weni. Katakan pada ayahmu, agar mengirim utusan yang lebih sopan," ejek Bayu.

"Bocah keparat! Kau akan menanggung sendiri akibatnya!" geram Pendeta Ajisaka.

"Ha ha ha....'" Bayu malah tertawa terbahak-bahak.

"Ayo, Weni. Pulang...!" dengus Pendeta Ajisaka memberengut gusar.

Dewi Mustikaweni ragu-ragu sejenak. Sebentar diliriknya Bayu. Namun begitu Pendekar Pulau Neraka itu menganggukkan kepalanya, gadis itu segera melangkah pergi diiringi kedua emban pengasuhnya. Tiga puluh orang berbaju seragam merah yang sudah babak belur, bergegas melangkah pergi tertatih-tatih. Bahkan tidak sedikit yang terpaksa dipapah temannya.

"Ha ha ha...!" Bayu Hanggara tertawa terbahak-bahak.

Pendekar Pulau Neraka itu masih tetap berdiri tegak memandang kepergian orang-orang itu. Sampai mereka tidak kelihatan lagi, Bayu masih tetap berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Kepalanya menoleh saat telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri dari arah samping kanan. Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya, lalu menghampiri seorang laki-laki muda berwajah tampan dan berpakaian indah berwarna biru. Pemuda itu didampingi empat orang laki-laki setengah baya dengan pedang menggantung di pinggang.

"Kau hebat, Kakang. Tidak percuma Ayahanda Prabu meminta bantuanmu," ucap pemuda tampan yang pedangnya tersampir di punggung.

"Aku rasa mereka baru kroco, Raden Arga Yuda. Masih perlu banyak waktu untuk melumpuhkannya dari dalam," kata Bayu kalem.

"Aku percaya padamu, Kakang. Aku memang diperintahkan Ayahanda Prabu untuk selalu mengikuti semua kata-katamu," ujar pemuda yang dipanggil Raden Arga Yuda itu.

"Ayahmu terlalu berlebihan, Raden," Bayu merendah.

"Tidak. Kau memang patut mendapat penghargaan. kagum akan kepandaianmu," puji Raden Arga Yuda.

"Ah, sudahlah. Sebaiknya kita cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada yang datang ke sini," sergah Bayu yang tidak ingin memperpanjang segala macam pujian yang terlontar dari bibir putra mahkota Kerajaan Gelang Wesi ini.

Mereka segera melangkah pergi masuk ke dalam hutan kembali. Suasana di sekitar tepian danau, kembali lengang. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Di tempat bekas pertempuran tadi, hanya ada tombak dan pedang yang patah berserakan. Tak ada yang menyadari kalau semua peristiwa itu disaksikan seseorang dari dalam semak belukar. Dan orang itu juga bergegas pergi ke arah lain setelah tidak ada lagi yang dapat dilihatnya. Namun tiba-tiba dia berbalik dan melompat cepat ke arah Pendekar Pulau Neraka, Raden Arga Yuda, dan empat orang pengiringnya pergi!

********************

Serombongan orang berkuda bergerak cepat menuju Danau Mutiara. Terlihat paling depan adalah Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan Gadak. Pergelangan tangan Pendeta Ajisaka terbalut kain putih bersih. Di belakang mereka berpacu sekitar seratus orang berseragam baju merah bergambar naga pada dadanya.

Tiba-tiba saja di depan mereka melesat sebuah bayangan, dan tahu-tahu seseorang berdiri menghadang. Ternyata dia seorang laki-laki memakai baju tanpa lengan. Bagian dada dan perut dibiarkan terbuka. Warnanya sudah pudar, dan celana yang dikenakan hanya sebatas lutut. Sebuah caping bambu berukuran besar bertengger di kepala, menutupi hampir seluruh wajahnya. Rombongan berkuda itu langsung berhenti.

"He! Siapa kau? Minggir...!" bentak Pendeta Aji saka.

"Kalian menuju arah yang salah. Orang yang kalian buru tidak ada lagi di sini," berat terdengar suara orang itu sambil tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun.

"Aku peringatkan sekali lagi padamu, keparat Minggir...!" bentak Pendeta Ajisaka menggeram.

"Hmmm….Pakaianmu seperti seorang pendeta, tapi bicaramu tidak lebih dari bajingan!" gumam orang itu dingin.

"Setan alas! Hiyaaat...!"

Pendeta Ajisaka tidak dapat lagi menahan amarahnya. Secepat kilat dia melompat dari punggung kudanya, langsung menerjang orang bercaping besar itu. Namun hanya sedikit mengegoskan tubuhnya, terjangan Pendeta Ajisaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga.sama sekali, orang bercaping itu mengibaskan tangannya. Akibatnya, kibasan itu telak menghantam punggung laki-laki tua gundul itu.

"Ughk..!" Pendeta Ajisaka mengeluh tertahan.

Seketika itu juga Pendeta Ajisaka tersuruk jatuh mencium tanah. Namun secepat kilat mampu bangkit berdiri, dan kembali menyerang diikuti kibasan untaian tasbih dari batu hitam yang keras. Laki-laki bercaping itu melompat mundur menghindari kibasan tasbih Pendeta Ajisaka. Namun laki-laki tua gundul itu tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dirangsek orang bercaping itu dengan jurus jurus maut yang cepat dan dahsyat luar biasa.

Sebentar saja pertarungan sudah berjalan lebih dari lima jurus. Dan memasuki jurus ke enam, tampak kalau Pendeta Ajisaka semakin terdesak hebat. Dua pukulan keras tidak dapat dibendung lagi. Laki-laki gundul itu memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar cukup jauh, hingga menghantam sebongkah batu besar berlumut. Batu itu hancur berkeping keping.

Pendeta Ajisaka menggerung kesakitan bercampur marah yang meluap. Dia berusaha bangkit berdiri, tapi laki-laki bercaping itu sudah melompat cepat. Bahkan kaki kirinya kini telah menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka. Pada saat itu, Singo Barong dan Macan Badak melompat turun dari punggung kudanya.

"Berani mendekat, tua bangka gundul ini mampus!" ancam orang bercaping itu.

Singo Barong dan Macan Gadak tidak jadi melangkah mendekati. Sementara Pendeta Ajisaka tampak tersengal, karena tenggorokannya terganjal kaki orang bercaping bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya.

"Bawa tikus-tikusmu pulang dan tua bangka botak ini tetap bersamaku!" kata orang bercaping itu lagi. Nadanya tetap tajam dan terdengar berat.

"Ghrrr...!" Singo Barong menggeram marah. Wajahnya sudah memerah bagai terbakar. Sepasang bola matanya berkilat membara.

Macan Gadak yang kelihatannya lebih sabar, menarik tangan Singo Barong, lalu mengajaknya mundur. Dengan terpaksa, Singo Barong bergerak mundur mendekati kudanya kembali.

"Dengar! Jika kalian menginginkan dia hidup, maka harus ditukar dengan Dewi Mustikaweni!" kata orang bercaping itu lagi. Lantang sekali nada suaranya.

"Keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.

"Diam, monyet!" bentak orang bercaping itu sambil menekan kakinya yang menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka.

"Akh!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan. Batang tenggorokannya terasa sakit, seperti akan patah semua tulang-tulang lehernya. Injakan kaki orang bercaping itu demikian kuat sehingga Pendeta Ajisaka benar-benar tidak berdaya lagi. Hanya bola matanya saja bersinar penuh kemarahan.

"Kakang Singo...," ujar Macan Gadak seraya menepuk pundak Singo Barong.

“Huh! Phuih...!" Singo Barong menyemburkan ludahnya.

Tidak ada pilihan lain bagi mereka mengingat keselamatan Pendeta Ajisaka. Sekali tekan saja, leher laki-laki tua berkepala gundul itu bisa remuk. Macan Gadak dan Singo Barong melompat naik ke punggung kudanya masing-masing, kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk kembali.

Rombongan berkuda itu bergerak pergi. Orang bercaping itu memandangi sampai rombongan berkuda itu tidak terlihat lagi. Hanya debu yang masih berkepul membumbung tinggi ke udara. Dilepaskan injakan kakinya pada leher Pendeta Ajisaka, lalu dengan cepat ditotok jalan darahnya. Pendeta Ajisaka mengeluh pendek. Seketika itu juga tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa digerakkan lagi. Laki-laki tua itu hanya bisa mengumpat, memaki, dan menyumpah dalam hati.

Orang bercaping itu mengambil sulur pohon yang cukup kuat dan panjang, lalu mengikat kedua kaki Pendeta Ajisaka. Kemudian dilemparkan ujung satunya ke atas dahan yang melintang cukup tinggi. Ringan sekali tubuhnya melenting tinggi ke angkasa, lalu hinggap di cabang pohon itu.

"He...! Apa yang kau lakukan...?" seru Pendeta Ajisaka tersentak kaget.

Tapi belum juga ada jawaban, tubuh laki-laki tua berjubah kuning gading itu terangkat naik. Kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Pendeta Ajisaka menyumpah dan memaki-maki dengan berang. Orang bercaping besar itu meluruk turun. Indah sekali gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia mendarat di bawah tubuh tergantung terbalik.

"Keparat! Kubunuh kau!" geram Pendeta Ajisaka berang.

"Bagaimana kau akan membunuhku, Pendeta murtad? Sebentar lagi kau akan terbang ke neraka," ejek orang bercaping itu seraya melepaskan tudung anyaman bambu dari kepalanya.

Tampak seraut wajah tampan berkulit kurung langsat terlihat begitu caping besar terlepas. Caping itu bertengger dipunggungnya. Dengan gerakan yang lembut dan cepat, dibukanya totokan di tubuh Pendeta Ajisaka. Laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu kini bisa bergerak lagi. Tapi seluruh tubuhnya jadi kesemutan, bergetar nyeri.

"Aku yakin, mereka tidak akan mempedulikan dirimu. Nah! Berdoalah agar kau lancar menuju ke neraka, Pendeta murtad," ujar pemuda itu tersenyum lebar.

Sambil tertawa berderai, pemuda itu berbalik dan melangkah. Pendeta Ajisaka mengumpat dan memaki habis-habisan. Sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan di kedua kakinya. Tapi seluruh tubuhnya terasa sakit, seperti dikerubuti jutaan semut yang menggigiti seluruh tubuhnya. Sedangkan pemuda berwajah tampan itu menghenyakkan dirinya duduk di atas batang pohon tumbang.

Pemuda itu melepaskan capingnya. Dari dalam caping itu dikeluarkan selembar baju, lalu dikenakannya tanpa membuka baju yang telah dikenakan sebelumnya. Kemudian dipermak wajahnya, sehingga kelihatan buruk, dan...

"Gagak Codet...!" desis Pendeta Ajisaka begitu! pemuda itu memasang sebentuk kulit kering pada pipi kirinya, sehingga menyerupai luka memanjang.

"Kau terkejut, Pendeta Ajisaka?" pemuda yang kini sudah berubah wajahnya itu tersenyum menyeringai.

"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pendeta Ajisaka.

"Kau kenali ini, Pendeta murtad?" pemuda yang sudah berganti wajah yang dikenal bernama Gagak Codet, mengeluarkan seuntai kalung dari balik sabuk yang melilit pinggangnya.

Kedua mata Pendeta Ajisaka membeliak lebar begitu melihat seuntai kalung berbentuk kepala naga dengan mata dari batu merah bercahaya. Kalung itu dibuat dari emas murni berhiaskan butiran intan berlian. Sambil tersenyum menyeringai, Gagak Codet menyimpan kembali kalung itu ke dalam sabuknya.

"Ha ha ha ha...." pemuda itu tertawa terbahak-bahak, lalu melangkah pergi dengan tenangnya.

Sedangkan Pendeta Ajisaka jadi terbengong memandangi punggung pemuda itu. Sebentar wajahnya berubah memerah dan pucat pasi. Tentu saja dia kenal betul dengan untaian kalung berbentuk kepala naga mata merah itu. Bahkan tidak akan dilupakan seumur hidupnya. Dan kalung itu kini berada di tangan seorang pemuda tampan yang menyamar menjadi seorang laki-laki berwajah buruk yang memiliki luka codet memanjang di pipi kirinya. Pemuda yang lebih dikenal bernama Gagak Codet.

"Ohhh....," Pendeta Ajisaka mengeluh. panjang. "Dewata Yang Agung..., tidakkah aku bermimpi...? Apakah dia masih hidup?"

Sebentar Pendeta Ajisaka memejamkan matanya, kemudian kelopak matanya terbuka kembali. Pemuda yang dikenal bernama Gagak Codet itu sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya. Pendeta Ajisaka kemudian mengerahkan hawa murni yang terpusat pada tubuhnya. Perlahan-lahan hawa panas mulai menjalar ke dalam aliran darahnya, dengan cepat dikebutkan untaian tasbihnya ke arah sulur kayu yang mengikat kakinya.

Tas...! Bruk!

"Heghk!" Pendeta Ajisaka mengeluh pendek begitu tubuhnya terbanting keras ke tanah. Buru-buru laki-laki tua itu membuka ikatan pada kakinya, kemudian bangkit berdiri. Dan belum juga berdiri tegak, seekor kuda berpacu cepat ke arahnya. Tampak Singo Barong memacu cepat kudanya menghampiri. Tampak jauh di belakang serombongan orang berkuda menyusul. Sedangkan Singo Barong langsung melompat turun dari punggung kudanya dan menghampiri Pendeta Ajisaka.

"Paman tidak apa-apa?" ujar Singo Barong.

"Gundulmu!" rungut Pendeta Ajisaka.

"Mana kudaku?”

"Ada di belakang!"

"Huh!"

********************

LIMA

Suara seruling mengalun lembut terbawa angin senja yang berhembus perlahan. Suara merdu itu terus menyusup melewati pepohonan, terpantul dinding tebing dan bebatuan. Alunan irama yang begitu lembut dan nyaman didengar, membangkitkan Dewi Mustikaweni dari pembaringannya. Gadis itu melangkah mendekati jendela, dan membukanya lebar-lebar.

Alunan irama suara seruling itu semakin terdengar jelas dan merdu mengusik gendang telinga gadis itu. Dewi Mustikaweni mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seakan hendak mencari sumber suara seruling itu. Tatapannya langsung terpaku pada sebatang pohon tinggi diluar batas tembok yang cukup tinggi mengelilingi bangunan besar dan megah bagai istana ini.

Pada salah satu dahan pohon itu, terlihatlah seseorang tengah duduk mencangkuk meniup seruling bambu. Wajahnya tidak begitu jelas karena tertutup sebuah caping anyaman bambu yang cukup lebar. Dia hanya mengenakan baju tanpa lengan. Bagian dada dan perutnya dibiarkan terbuka lebar. Warnanya juga sudah kumal, dan celananya hanya sebatas lutut saja. Dewi Mustikaweni memandanginya tidak berkedip. Orang itu menoleh dan menghentikan tiupan serulingnya.

"Oh...!" Dewi Musrikaweni terperanjat begitu orang itu membuka capingnya.

Tampak seraut wajah tampan berkulit putih langsat tersenyum mempesona. Pemuda itu menatapnya lekat-lekat. Sesaat Dewi Mustikaweni jadi gelagapan, buru-buru dipalingkan mukanya ke arah lain. Tapi tanpa diduga sama sekali pemuda itu melesat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan jendela kamar itu.

"Oh...!" Dewi Musrikaweni terperanjat kaget.

Dewi Musrikaweni melangkah mundur. Dan ingin menutup jendela kamarnya. Pemuda itu sudah keburu menahan. Bahkan malah melompat masuk ke dalam. Buru-buru ditutupnya jendela setelah berada di dalam kamar itu. Dewi Mustikaweni semakin terperanjat sambil melangkah mundur sampai kakinya menyentuh pembaringan. Wajahnya seketika pucat pasi, dan bola matanya berputar.

"Jangan takut Weni. Aku tidak akan berbuat buruk padamu. Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja," ujar pemuda itu lembut.

"Siapa kau?" tanya Dewi Musrikaweni agak bergetar suaranya.

"Arga Yuda," sahut pemuda itu lembut.

"Aku tidak kenal denganmu. Mengapa kau ke sini?"

"Karena ingin membawamu keluar dari lumpur neraka ini," kata pemuda yang ternyata Arga Yuda seorang putra mahkota dari Kerajaan Gelang Wesi.

"Oh..., tidak...," desis Dewi Musrikaweni.

"Jangan khawatir, Weni. Bukan sekarang waktunya. Tapi nanti. Percayalah, aku tidak bermaksud buruk padamu. Aku akan membawamu pada ayahmu," jelas Arga Yuda tetap lembut nada suaranya.

"Ayahku...?"

"Ya. Ayahmu."

"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu?"

"Sayang, tidak ada waktu untuk menjelaskan. Oh, ada orang datang ke sini. Maaf, aku harus pergi."

"He, tunggu...!"

Tapi Raden Arga Yuda sudah lebih cepat membuka jendela dan melompat keluar. Begitu cepatnya melesat, sehingga meskipun Dewi Mustikaweni memburu, pemuda itu sudah lenyap dari pandangan. Dewi Musrikaweni mengarahkan pandangannya ke pohon, tapi tidak ada apa-apa lagi di sana. Gadis itu menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

“Ya, siapa...?" bergegas Dewi Musrikaweni melangkah ke pintu.

Sura Antaka menerobos masuk begitu pintu terbuka. Dewi Mustikaweni tertegun memandanginya. Laki-laki setengah baya itu langsung melongok keluar jendela, lalu memandangi setiap sudut kamar ini.

"Siapa yang masuk sini tadi?" tanya Sura Antaka.

"Tid.... Tidak ada siapa-siapa, Ayah," sahut Dewi Musrikaweni tergagap. Hatinya sungguh terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Aku mendengar kau tengah bicara dengan seseorang. Siapa dia, Weni?" desak ayahnya.

"Aku.... Aku bicara sendiri, Ayah," masih tergagap suara Dewi Mustikaweni.

"Hm..., wajahmu pucat. Kau tidak mendustaiku, Weni?" selidik Sura Antaka tidak percaya.

"Tidak, Ayah. Sungguh, aku tadi bicara sendiri," Dewi Musrikaweni berusaha menyakinkan ayahnya.

"Hm...," Sura Antaka menggumam tidak jelas. Tatapan matanya menusuk langsung mengandung kecurigaan yang dalam.

Dewi Mustikaweni hanya tertunduk saja. Kegelisahan menyelimuti hatinya. Kepalanya masih tertunduk saat ayahnya melangkah menghampiri pintu. Laki-laki setengah baya itu menoleh sebelum melangkah keluar.

"Tutup jendelanya, Weni. Aku tidak suka kau menyembunyikan orang di kamarmu," kata Sura Antaka.

"Baik, Ayah."

Sura Antaka melangkah keluar. Dewi Mustikaweni bergegas menutup pintunya, lalu menarik napas panjang seraya memejamkan matanya. Kemudian kakinya melangkah menuju jendela, lalu menutupnya. Gadis itu berbalik, melangkah menghampiri pembaringan. Sambil mendesah panjang, dibanting tubuhnya ke pembaringan. Sejak peristiwa di tepi danau, Sura Antaka melarang gadis itu keluar dari kamarnya kalau tidak disertai pengawalan ketat. Terlebih lagi kalau keluar dari bangunan bagai istana ini. Tidak kurang dari lima puluh orang ketat mengawalnya.

Dewi Mustikaweni semakin merasakan dirinya bagai hidup dalam sangkar emas berlumpur. Ke mana pun pergi, selalu ada pengawal membuntuti. Bahkan emban pengasuhnya saja tidak lagi bisa bebas bepergian. Dewi Mustikaweni menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Hidupnya semakin terasa sunyi.

********************

Hari-hari buruk rupanya membayangi Sura Antaka bersama semua orang-orangnya. Setiap kali membegal, selalu gagal. Bahkan tidak sedikit orangnya tewas atau tertangkap prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Sura Antaka jadi tidak habis mengerti, setiap rencananya selalu saja bocor dan dapat diketahui. Kalau hanya prajurit kerajaan saja, tidak menjadi persoalan baginya. Tapi yang membuat berang adalah munculnya seorang pemuda berkulit harimau dan seorang laki-laki bercaping. Mereka kerap menggagalkan aksinya, bahkan menewaskan banyak anak buahnya.

Nama Pendekar Pulau Neraka dan Pendekar Caping Bambu menjadi momok bagi Sura Antaka dan semua pengikutnya. Bahkan Pendeta Ajisaka jadi lebih banyak diam dan meyendiri sejak digantung dengan kepala di bawah oleh orang bercaping yang menabah dirinya menjadi Gagak Codet. Bahkan sebenarnya wajahnya cukup tampan bagai putra mahkota.

"Mungkinkah dia Arga Yuda...," desah Pendeta Ajisaka siang itu saat duduk sendiri di pinggir kolam taman belakang kediaman Sura Antaka yang bagaikan istana itu.

"Dia sudah mati, Paman," tiba-tiba terdengar suara dari belakang.

"Oh!" Pendeta Ajisaka terkejut, langsung membalikkan tubuhnya.

Sura Antaka menghampiri dan duduk di samping laki-laki tua berkepala gundul yang selalu memakai jubah kuning gading itu. Pendeta Ajisaka menggeser duduknya merenggang.

"Kenapa kau ingat-ingat bocah setan itu lagi, Paman?" tegur Sura Antaka. Nada suaranya terdengar kurang senang.

"Maaf, Adi Sura Antaka. Aku hanya bergumam saja tadi," ujar Pendeta Ajisaka yang selalu memanggil adik pada Sura Antaka jika hanya berdua saja. Tapi di depan orang lain, dia akan selalu menyebut Yang Mulia pada Sura Antaka.

"Kau jauh berubah beberapa hari ini, Paman. Sering menyendiri. Bahkan beberapa ku dengar kau menyebut-nyebut nama Arga Yuda," kata Sura Antaka.

"Hhh....!" Pendeta Ajisaka menarik napas panjang.

"Ada yang mengganggu pikiranmu, Paman?"

"Sedikit," desah Pendeta Ajisaka.

"Katakanlah. Mungkin aku bisa membantu."

"Kau sudah terlalu banyak menanggung beban, Adi Sura Antaka. Rasanya tidak pantas kalau aku juga ikut membebani pikiranmu. Biarlah semua persoalan ini aku sendiri yang menyeselaikan," tolak Pendeta Ajisaka halus.

"Persoalanmu adalah juga persoalanku, Paman. Aku tahu, belakangan ini aksi kita selalu gagal. Aku merasa di antara orang-orang kita ada yang berkhianat, dan selalu membocorkan setiap rencana penyergapan. Aku memang berang, tapi juga harus mencari jalan keluar yang terbaik. Aku tidak ingin Partai Naga Merah hancur begitu saja, karena ada pengkhianat yang menyusup," kata Sura Antaka. Pendeta Ajisaka diam saja.

"Paman, kau selalu menyebut-nyebut nama Arga Yuda. Apakah...."

"Anak itu masih hidup, Adi Sura Antaka," potong Pendeta Ajisaka cepat.

"Mustahil!" desis Sura Antaka tidak percaya.

"Kau ingat ketika aku digantung, Adi Sura? Waktu itu aku bersama Macan Gagak dan Singo Barong serta beberapa orang berusaha mengejar Pendekar Pulau Neraka yang menghina dan membangkang undanganmu. Belum sampai ke danau, seorang bercaping mencegat. Kepandaiannya sangat tinggi. Aku berhasil dikalahkannya, lalu aku digantung, Adi Sura," kata Pendeta Ajisaka mulai terbuka.

"Hm, ya. Aku sudah mendengar itu."

"Tidak ada yang tahu, Adi Sura. Aku yakin orang bercaping itu pasti Arga Yuda.

"Kau tidak bergurau, Paman Ajisaka...?!"

"Sungguh, Adi Sura. Itulah yang menjadi beban pikiranku saat ini. Arga Yuda begitu pandai menyamar. Aku yakin kalau dia mudah menyusup ke sini, dan mengetahui semua rencana kita. Jadi bukan ada pengkhianatan, tapi memang ada penyusup yang masuk tanpa kita ketahui."

"Hm.... Kenapa baru sekarang kau katakan ini, Paman?" Sura Antaka sedikit menyesali.

"Aku masih mencari bukti kuat, Adi Sura."

"Keyakinanmu sudah menjadi bukti kuat, Paman. Hmmm..., aneh! Bagaimana mungkin bocah itu bisa hidup?"

"Bukan hanya bisa hidup, Adi Sura. Bahkan telah mempunyai kalung lambang kebesaran Partai Naga Merah."

"Apa...?!" Sura Antaka terkejut setengah mati mendengarnya, bahkan sampai terlonjak bangkit berdiri.

"Dia menunjukkan kalung itu padaku," sambung Pendeta Ajisaka.

"Mustahil! Tapi..."

Sura Antaka bergegas melangkah menuju suatu bangunan kecil yang terbuat dari dinding batu hitam. Pendeta Ajisaka mengikutinya dari belakang. Dua orang penjaga bersenjata tombak membungkuk memberi hormat dan salah seorang bergegas membuka pintu dari besi baja yang kokoh. Sura Antaka melangkah masuk, diikuti Pendeta Ajisaka.

Udara lembab dan pengap langsung menyeruak, tapi kedua laki-laki itu terus melangkah menuruni undakan batu menuju ke bagian bawah. Mereka berhenti setelah tiba di depan sebuah pintu dari lempengan baja putih. Sura Antaka membuka pintu itu. Suara bergerit terdengar nyaring saat pintu itu terkuak. Seberkas cahaya menerobos menerangi ruangan kecil berdinding dan beratap batu hitam.

"Keparat..!" geram Sura Antaka seraya menengadah menatap lubang yang menganga lebar pada bagian atas ruangan kecil ini.

"Sudah kuduga, Adi Sura. Bocah itu pasti bisa lolos," tegas Pendeta Ajisaka.

"Tidak mungkin! Pasti ada yang menolongnya. Lima belas tahun terkurung di sini, mustahil kalau dia masih hidup!" dengus Sura Antaka menggeram.

Laki-laki setengah baya itu menatap Pendeta Ajisaka dalam-dalam, sedangkan yang ditatap malah membalas dengan tajam pula. Kemudian mereka mendongak ke atas, lalu hampir bersamaan melesat naik ke atas lubang itu. Sebentar saja mereka sudah berada di luar, tepat di luar pagar tembok yang membentengi bangunan besar bagai istana itu.

"Emban Bulem...!" desis Sura Antaka. "Hanya dia yang kuijinkan masuk ke sini."

"Di mana dia?" tanya Pendeta Ajisaka.

"Di... Mustikaweni..!"

Sura Antaka langsung melompat melewati pagar tembok. Pendeta Ajisaka mengikuti dengan gerakan tangkas dan ringan. Sekejap saja kedua laki-laki itu sudah lenyap di balik dinding tembok yang mengelilingi rumah besar bagai istana itu.

"Weni....' Mustikaweni...!" teriak Sura Antaka sambil menggedor pintu kamar yang tertutup rapat.

Gedoran yang keras itu tidak juga membuka pintu kamar tersebut. Pendeta Ajisaka menahan tangan Sura Antaka. Sebentar ditatapnya laki-laki setengah baya itu. Sura Antaka melangkah mundur, dan Pendeta Ajisaka menghentakkan tangannya ke depan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

Brak!

Pintu tebal dari kayu jati itu hancur seketika. Pendeta Ajisaka dan Sura Antaka langsung menerobos masuk, dan langsung tercengang. Ternyata di dalam kamar ini tidak ada seorang pun. Sura Antaka bergegas ke jendela yang terbuka. Matanya membeliak begitu melihat tiga orang berpakaian merah bergambar naga di dada telah tergeletak berlumuran darah di bawah jendela.

"Paman, perintahkan semua yang ada. Cari dan kejar anakku!" seru Sura Antaka berang.

"Baik," sahut Pendeta Ajisaka.

Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar. Sedangkan Sura Antaka menyandarkan tubuhnya ke dinding di samping jendela. Sebentar matanya terpejam, kemudian terbuka lagi. Tangannya terkepal erat. Dengan kemarahan yang meluap, dihantamnya dinding kamar ini hingga jebol berantakan.

Sura Antaka bergegas keluar dari kamar itu. Langkahnya cepat dan lebar-lebar. Wajahnya memerah, pertanda hatinya sedang terselimut amarah yang luar biasa. Laki-laki setengah baya itu langsung menuju ruangan depan. Di sana Pendeta Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo Barong sudah menunggu. Dari pintu ruangan depan ini terlihat hampir seratus orang berbaris menunggu perintah. Mereka semua berseragam merah dengan sulaman gambar naga pada dadanya.

"Semua sudah siap, Yang Mulia," ujar Pendeta Ajisaka seraya menjura memberi hormat.

"Pecah bagi empat dan menyebar ke empat jurusan!" perintah Sura Antaka.

Ketiga orang itu menjura memberi hormat, lalu bergegas melangkah keluar. Tidak berapa lama, terdengar beberapa suara bernada perintah. Dan barisan berseragam merah itu segera.memisahkan diri menjadi empat kelompok. Pendeta Ajisaka berdiri di depan kelompok paling kanan, disusul Macan Gadak, dan Singo Barong. Sedangkan sekelompok lagi akan ikut bersama Sura Antaka.

"Dengar kalian semua...!" kata Sura Antaka lantang begitu sudah berada di luar. "Ku ijinkan kalian membunuh siapa saja yang ada bersama Putri Dewi Mustikaweni!"

Semua orang menjura memberi hormat.

"Berangkat sekarang!" perintah Sura Antaka tegas.

Tiga kelompok yang masing-masing dipimpin tiga orang kepercayaan Sura Antaka, segera bergerak. Sedangkan Sura Antaka sendiri menghenyakkan tubuhnya di kursi di beranda depan ini. Sekitar dua puluh lima orang masih berbaris rapi menunggu perintah. Mereka semua memegang tombak panjang dan sebilah pedang tergantung di pinggang. Sura Antaka merayapi dua puluh lima orang anak buahnya yang setia tengah menanti perintah.

"Kalian semua tetap di sini. Jangan terlalu jauh dari rumah ini. Mengerti...?!" kata Sura Antaka tegas.

"Mengerti, Yang Mulia....'" sahut mereka serempak seraya membungkukkan badan.

Sura Antaka mengibaskan tangannya. Maka sekitar dua puluh lima orang berseragam merah itu serentak bergerak mencari tempat untuk menjaga junjungannya. Sementara Sura Antaka masih tetap duduk di kursinya. Pandangannya kosong lurus ke depan.

"Hhhh...! Mungkinkah semua ini awal kehancuranku? Tidak! Aku tidak boleh putus asa. Partai Naga Merah tidak boleh hancur dan harus tetap kuat!" desis Sura Antaka pelahan, namun terdengar agak tertekan nada suaranya.

********************

ENAM

Sementara itu, di sebuah hutan yang cukup jauh dari tempat tinggal Sura Antaka atau yang lebih dikenal sebagai sarang Partai Naga Merah, tampak Dewi Mustikaweni melangkah terseret bersama seorang perempuan gemuk. Jelas dia adalah Emban Bulem, pengasuh gadis cantik itu. Beberapa kali kaki Dewi Mustikaweni terantuk akar, dan terjatuh. Tapi Emban Bulem segera menarik, dan menyeretnya agar terus berjalan.

"Aku letih, Bi. Istirahat dulu...," rintih Dewi Mustikaweni kepayahan. Keringat membanjiri wajah dan lehernya yang jenjang berkulit halus. Sepasang pipinya merona merah karena kelelahan.

Emban Bulem berhenti melangkah. Ditatapnya dalam-dalam bola mata bulat yang dihiasi bulu mata lentik itu. Dewi Mustikaweni menyeka keringat dengan sapu tangan berwarna merah muda. Napasnya terengah mendengus-dengus.

"Kau terlalu manja, Mustikaweni. Inilah akibatnya malas berlatih ilmu olah kanuragan!" dengus Emban Bulem.

"Bi...!" sentak Dewi Mustikaweni terkejut mendengar nada suara agak kasar dari emban pengasuhnya ini.

"Ayo cepat jalan, sebelum mereka tahu!" sentak Emban Bulem.

"Aku letih, Bi...," rengek Dewi Mustikaweni.

"Kebebasanmu sudah dekat, Weni. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Ibu dan kakakmu sudah cemas menunggu. Ayo jalan lagi," bujuk Emban Bulem.

"Bi..., aku tidak mengerti maksudmu. Akan dibawa ke mana aku...?" tanya Dewi Mustikaweni seraya mengayunkan kakinya kembali.

Kali ini Emban Bulem tidak lagi menyeretnya. Mereka berjalan berdampingan menerobos lebarnya hutan. Semakin jauh berjalan, semakin sukar untuk ditempuh. Hutan ini bertambah rapat, dan berudara lembab. Begitu rapatnya, sehingga sinar matahari tidak sanggup menembusnya. Dewi Mustikaweni agak getir juga hatinya. Belum pernah dimasuki hutan sampai sejauh ini. Dia takut kalau-kalau bertemu binatang buas.

"Bi, tolong jelaskan. Kenapa kau lakukan semua ini padaku...?" rengek Dewi Mustikaweni masih belum mengerti sikap emban pengasuhnya ini.

"Dengar, Weni. Sebenarnya aku ini adalah adik kandung ibumu. Waktu Padepokan Naga Merah yang kini menjadi Partai Naga Merah hancur, aku menyamar jadi seorang pembantu. Untungnya Sura Antaka tidak kenal jati diriku, sehingga mengijinkan aku untuk mengasuhmu. Waktu itu usiamu baru satu tahun, Weni. Dan kau punya kakak yang berusia lima tahun pada waktu itu. Laki-laki.... Ibumu dan kakakmu berhasil meloloskan diri, sedangkan ayahmu yang sebenarnya telah tewas di tangan Sura Antaka...," Emban Bulem mencoba menjelaskan.

"Sungguhkah itu, Bi?" tanya Dewi Mustikaweni kurang percaya.

"Kau akan tahu nanti, Weni. Aku hanya bisa menceritakan sedikit. Kau tahu, daerah ini masih termasuk wilayah Kerajaan Gelang Wesi. Gusti Prabu Nayadarma adalah pamanmu, kakak ayahmu. Mereka masing-masing punya pilihan sendiri. Gusti Nayadarma lebih senang pada hal-hal pemerintahan. Sedangkan ayahmu lebih suka menjadi pertapa, dan memimpin sebuah padepokan yang didirikan atas usahanya sendiri. Padepokan Naga Merah cepat berkembang pesat. Tapi seorang kepala gerombolan perampok telah mengacaukannya. Direbutnya wilayah Padepokan Naga Merah, lalu dijadikannya sarang gerombolannya yang dinamakan Partai Naga Merah. Kepala gerombolan perampok itu adalah Sura Antaka."

"Ayah...?!"

"Dia bukan ayahmu, Weni. Sura Antaka masih terhitung saudara ayahmu. Tapi hanya saudara jauh. Dia iri dan dengki terhadap ayahmu yang berhasil menjadi seorang pertapa dan guru besar sebuah padepokan. Sura Antaka kemudian lari dari istana dan berkelana menjadi kepala begal. Kebenciannya semakin menjadi begitu mendengar gadis yang sudah lama diinginkannya dipersunting ayahmu. Gadis itu adalah ibumu, Weni. Sura Antaka kemudian menghancurkan Padepokan Naga Merah, dan membunuh ayahmu. Ibumu hendak direbutnya juga, tapi gagal. Dia hanya berhasil menawan kakakmu dan dirimu, Weni."

"Kenapa dia tidak membunuhku saja, Bi?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Tidak. Karena aku telah memohon dan berjanji untuk selalu setia serta merawatmu dengan baik. Aku janji untuk tidak membocorkan semua rahasia ini. Tapi aku jadi merasa tertekan dan berdosa. Terlebih lagi setelah kau dewasa, Weni. Dan sekarang kakakmu sedang berusaha mengeluarkanmu dari neraka lumpur ini."

"Kakakku...? Kau katakan tadi kakakku juga tertawan, Bi," Dewi Mustikaweni meminta penjelasan.

"Benar. Kakakmu tertawan dan dijebloskan dalam penjara bawah tanah. Penjara yang sebenarnya tempat bersamadi ayahmu dulu. Berkat upaya ku pula, Sura Antaka mengijinkanku untuk memberinya makan dan minum setiap hari. Dalam pekan-pekan pertama, memang selalu ada pengawal yang menjaga tempat itu sampai ke dalam. Tapi setelah lewat tiga purnama, aku bisa masuk sendirian tanpa dikawal seorang penjaga pun. Di situ aku pun berusaha membebaskan kakakmu dengan jalan menjebol dinding atas yang kuketahui langsung berhubungan dengan lingkungan luar. Tapi sebelum itu, diam-diam aku juga telah memberi tahu pihak Kerajaan Gelang Wesi. Maka pamanmu pun segera mengirimkan dua orang panglimanya untuk menunggu. Kakakmu selamat sampai di Kerajaan Gelang Wesi dan telah berkumpul bersama ibunya. Ibumu juga, Weni."

Dewi Mustikaweni terdiam, tidak tahu lagi harus berkata apa lagi. Semua cerit perempuan gemuk itu sungguh meresap, langsung masuk ke dalam relung hatinya. Diam-diam Dewi Mustikaweni menghubung-hubungkannya dengan semua yang dilihat dan dialaminya selama berada dalam sangkar emas berlumpur itu, hingga peristiwa yang terjadi belakangan ini.

"Aku tidak mendesakmu agar percaya sekarang juga, Weni. Kau akan tahu sendiri nanti," kata Emban Bulem lagi.

"Entahlah, Bi. Aku tidak tahu," desah Dewi Mustikaweni. Mereka terus berjalan tanpa ada yang bicara lagi.

********************

Senja sudah mulai turun dalam pelukan bumi. Sinar matahari tidak lagi terik menyengat. Dua orang wanita masih terus berjalan tanpa beristirahat. Mereka sudah mulai memasuki tempat terbuka. Pohon-pohon tidak lagi rapat, dan sinar matahari senja menghangati kulit mereka. Tapi mendadak...

"Berhenti...!"

"Bi...," tergetar suara Dewi Mustikaweni begitu tiba-tiba di depan mereka muncul Singo Barong bersama dua puluh lima orang berseragam merah bersulaman gambar naga pada bagian dadanya.

"Emban Bulem..., pengkhianat busuk!" geram Singo Barong.

"Aku bukan pengkhianat, setan!" bentak Emban Bulem ketus.

"Heh!" Singo Barong berjingkrak kaget mendengar bentakan keras wanita gemuk itu. "Berani benar kau membentakku, perempuan keparat!"

"Kau pikir aku takut? Majulah!" tantang Emban Bulem.

Singo Barong semakin terperanjat begitu tiba-tiba saja Emban Bulem melepaskan selendang kuning yang membelit pinggangnya. Cepat sekali perempuan gemuk itu mengebutkannya ke arah laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berwajah kasar penuh berewok itu.

"Hup!" Singo Barong melompat cepat menghindari terjangan ujung selendang kuning itu. Tapi ternyata seorang yang berada tepat di belakangnya tidak bisa berkelit lagi Orang itu menjerit keras melengking, lalu menggelepar jatuh dengan dada terbelah tersambar ujung selendang kuning itu.

"Setan keparat...! Rupanya kau punya simpanan juga, heh?!" geram Singo Barong.

"Simpanan untuk mencabut nyawamu, Singo Barong!"

"Edan! Mampus kau! Hiyaaat..!"

Singo Barong memuncak amarahnya. Langsung dilentingkan tubuhnya, dan meluruk deras ke arah Emban Bulem. Namun perempuan gemuk itu lincah sekali mengebut-ngebutkan selendangnya, menghalau serangan Singo Barong. Tentu saja hal ini membuat laki-laki tinggi kekar itu menjadi kelabakan menghindari kebutan selendang yang meliuk-liuk bagai memiliki mata itu.

"Ghrrr...!" Singo Barong menggerung keras bagai seekor binatang buas kelaparan.

Sementara itu, orang-orang yang mengenakan seragam merah telah berlompatan membuat lingkaran mengepung. Sedangkan Dewi Mustikaweni tidak berani jauh-jauh dari perempuan gemuk yang sibuk memainkan selendangnya, mencecar Singo Barong.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Singo Barong berteriak keras.

Dan pada saat yang bersamaan, Emban bulem mengebutkan selendangnya ke arah kaki. Tubuh laki-laki tinggi kekar itu melenting ke atas, lalu mendarat lunak di atas selendang kuning itu. Cepat sekali goloknya yang besar dan kelihatan berat itu ditarik keluar.

"Hup! Hyaaa...!"
Wut!
Bret..!

Emban Bulem tersentak kaget begitu tiba tiba saja golok Singo Barong merobek selendangnya tepat pada bagian tengah hingga terpotong jadi dua bagian. Dan belum lagi hilang keterkejutan perempuan gemuk itu, Singo Barong sudah melompat bagaikan kilat. Goloknya dikibaskan cepat mengarah ke leher.

"Uts! Haiiit...!"

Emban Bulem melompat mundur menghindari tebasan golok itu. Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, tiba-tiba dari arah belakang, meluncur sebatang tombak panjang berwarna merah darah. Dan tombak itu langsung menembus punggung wanita gemuk itu hingga tembus ke dada.

"Aaaaa...!" Emban Bulem menjerit melengking tinggi.

"Mampus kau! Hiyaaat...!" Seketika itu juga Singo Barong mengebutkan goloknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung menebas leher Bibi Emban Bulem hingga buntung.

"Bibi...!" jerit Dewi Mustikaweni.

Tubuh gemuk itu jatuh berdebum ke tanah. Darah mengucur deras dari leher yang buntung, sedangkan kepala perempuan gemuk itu menggelinding terpisah. Singo Barong tertawa terbahak-bahak melihat lawannya tewas seketika. Sedangkan Dewi Mustikaweni yang tidak sanggup melihat kejadian itu, langsung jatuh pingsan saat itu juga.

"Bawa perempuan itu!" perintah Singo Barong.

Dua orang melangkah maju. Tapi belum juga tubuh ramping itu sempat disentuh, mendadak sebuah bayangan berkelebat menyambar tubuh Dewi Mustikaweni yang tergeletak pingsan di tanah. Tahu-tahu di tempat gadis itu tergeletak, sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau. Badannya yang kekar memondong tubuh ramping yang tidak sadarkan diri.

"Aku muak melihat tikus-tikus busuk bertingkah!” dingin nada suara pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Bocah edan! Siapa kau?" bentak Singo Barong geram.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Katakan saja pada Sura Antaka kalau kehancurannya sudah tiba!"

"Heh...!"

Tiba-tiba saja pemuda berbaju kulit harimau itu melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap. Singo Barong dan yang lainnya jadi terperangah. Mereka seperti melihat hantu yang muncul dan menghilang tiba-tiba. Laki-laki kekar berwajah menyeramkan itu cepat tersadar, lalu memerintahkan semua anak buahnya untuk segera mengejar. Singo Barong melompat cepat ke arah hilangnya pemuda berbaju kulit harimau tadi, diikuti orang-orang berseragam merah bergambar naga pada bagian dadanya.

********************

"Oh...," Mustikaweni merintih lirih. Kepala gadis itu menggeleng pelahan, dan kelopak matanya terbuka. Sebentar matanya mengerjap, lalu tubuhnya menggelinjang bangkit begitu menyadari dirinya berada di tempat yang sangat asing dan belum dikenalnya. Gadis itu semakin terkejut begitu melihat seorang pemuda duduk bersila tidak jauh darinya.

"Kakang Bayu...," desis Dewi Mustikaweni mengenali pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau itu.

"Kau sudah bangun, Weni?" lembut suara Bayu.

"Di mana aku?" tanya Dewi Mustikaweni seraya memandang berkeliling.

Tempat ini tidak begitu besar, dan semua dindingnya terbuat dari kulit kayu. Atapnya dari daun-daun kering yang dirangkai oleh kulit kayu. Gadis itu sendiri berada pada tumpukan rumput kering di atas tanah lembab yang banyak berserakan daun-daun kering.

"Cukup aman dari kejaran mereka," ujar Bayu seperti bisa membaca jalan pikiran gadis itu.

Dewi Mustikaweni menatap pemuda itu sesaat, lalu kepalanya tertunduk Kembali terbayang semua peristiwa yang dialaminya, lalu tiba-tiba saja dia menangis sesunggukkan. Namun cepat-cepat dihapus air matanya dengan ujung lengan bajunya. Dewi Mustikaweni menarik napas panjang, mencoba mencari kekuatan. Meskipun hatinya sedih karena kematian emban pengasuh yang begitu setia dan rela berkorban nyawa untuknya, tapi gadis itu tidak ingin kelihatan cengeng lagi. Dia harus tabah. Dia sudah tahu siapa dirinya, dan masalah apa yang sedang dihadapinya sekarang ini.

"Kakang, bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanya dewi Mustikaweni.

"Hanya kebetulan aku lebih cepat dari mereka,” sahut Bayu seenaknya.

"Oh, Bibi...," rintih Dewi Mustikaweni kembali teringat kematian emban pengasuhnya yang begitu tragis. Tidak kuasa lagi air matanya dibendung.

"Sudahlah, Weni. Tidak ada gunanya menangis. Yang penting sekarang kau harus tabah menghadapi semua kenyataan ini. Sampai saat ini kau belum bisa merasa aman. Masih banyak yang harus kau hadapi," kata Bayu lembut, namun cukup tegas nada suaranya.

"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan. Sepertinya aku sedang bermimpi buruk saja," lirih suara Dewi Mustikaweni.

"Anggaplah ini mimpi burukmu, Weni. Dan jangan terjaga sebelum semuanya berakhir."

"Ah, Kakang. Kau hanya menggodaku saja."

"Nah..., begitu. Tersenyumlah. Kau semakin cantik jika tersenyum," goda Bayu agar gadis itu hilang dari kesedihannya.

Terpaksa Dewi Mustikaweni tersenyum, meskipun terasa pahit dan bergetar. Dan Bayu sudah senang melihatnya. Pemuda itu beringsut lebih mendekat. Ditatapnya dalam dalam wajah cantik penuh air mata. Lembut sekali Bayu menghapus air mata itu dengan ujung jarinya. Dewi Mustikaweni memejamkan matanya, kembali teringat kecupan pertama pada bibirnya. Dan pemuda inilah yang pertama kali menciumnya.

"Weni...," bisik Bayu lembut.

Dewi Mustikaweni membuka matanya.

"Ada yang ingin kubicarakan padamu, dan ini mungkin saat yang tepat," kata Bayu pelahan.

"Ada apa, Kakang?" tanya Dewi Mustikaweni.

"Weni, apa yang ada dalam pikiranmu atas keberadaanku yang tiba-tiba di sini?" Bayu balik bertanya.

"Aku tidak tahu," sahut Dewi Mustikaweni keheranan.

"Ketahuilah, keberadaanku di daerah Utara ini bukan karena tidak sengaja. Kedatanganku ke sini karena diutus seseorang. Seseorang yang membutuhkan pertolongan, dan aku tidak bisa menolaknya," jelas Bayu. Terdengar hati-hati sekali nada suaranya.

Dewi Mustikaweni diam saja. Dicobanya untuk bisa memahami setiap kata yang terucapkan dari bibir pemuda itu. Berbagai macam dugaan langsung hadir di benaknya. Dan semua dugaan itu membuat jantungnya berdebar kencang.

"Aku yakin, emban pengasuhmu sudah bercerita banyak kepadamu," kata Bayu lagi. "Dan semua itu ada hubungannya dengan kedatanganku ke sini."

"Bibi Bulem ..?" dada Dewi Mustikaweni semakin keras berdebar.

Gadis itu teringat akan semua cerita perempuan gemuk yang selama ini dikenalnya hanya sebagai emban pengasuh saja. Dan ternyata Bibi Bulem memang adalah bibinya sendiri, adik kandung ibunya. Sedangkan ibunya sendiri katanya sekarang berada di istana Kerajaan Gelang Wesi. Dewi Mustikaweni masih belum percaya sepenuhnya. Tapi saat Bayu berkata tadi..., entah kenapa tiba-tiba saja dadanya jadi bergemuruh, dan jantungnya serasa lebih cepat berdetak. Dewi Mustikaweni menatap bola mata pemuda itu dalam-dalam, seolah-olah ada yang dicarinya di sana.

"Jika Bibi Bulem sudah mengatakan semuanya padamu, rasanya tidak perlu lagi kukatakan padamu, Weni. Semua yang dikatakannya adalah benar. Dan aku berada di sini untuk membantunya mengeluarkanmu, agar kau bisa berkumpul lagi bersama ibu dan kakakmu. Oh, ya. Kakakmu juga ada di sini, tapi sudah dua hari ini terpisah dariku. Entah berada di mana sekarang. Yang jelas dia bersama empat orang panglima," lanjut Bayu.

Dewi Mustikaweni semakin tidak bisa membuka mulutnya. Tidak dapat dilukiskan lagi, bagaimana perasaan hatinya sekarang. Keragu-raguan, kebimbangan, dan ketidakpercayaan serta rasa ingin mempercayai berbalut jadi satu dalam dadanya. Dia hanya bisa memandang dengan bibir bergetar tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Tidak mudah baginya untuk bisa menerima semua ini. Sejak kecil yang dikenal hanya Sura Antaka sebagai ayahnya. Dan laki-laki setengah baya itu selalu mengatakan ibunya sudah meninggal ketika melahirkannya. Hanya itu saja yang diketahuinya. Tidak lebih. Tapi sekarang.... Dewi Mustikaweni tidak tahu lagi, apa yang harus dikatakan dan diperbuatnya.

********************

Sudah dua hari Dewi Mustikaweni tinggal di pondok kecil yang reyot dan nampak kumuh itu. Selama itu Bayu selalu menceritakan bagaimana caranya dia berhubungan dengan Emban Bulem. Juga tentang kakaknya yang kini entah berada di mana setelah terpisah dengannya. Hanya sebentar saja Bayu berada di pondok ini Pendekar Pulau Neraka itu selalu keluar mencari Raden Arga Yuda. Mereka akan kembali ke Istana Gelang Wesi bersama-sama nanti.

Namun sudah dua hari ini Bayu belum juga bertemu Raden Arga Yuda. Dan hal ini membuat Dewi Mustikaweni jadi murung. Dia sudah yakin kalau dirinya bukan anak Sura Antaka, dan masih mempunyai ibu dan seorang kakak. Bertahun-tahun terpisah, sejak kecil sehingga tidak bisa mengenali satu dengan lainnya.

Saat itu hari sudah menjelang senja. Tapi Bayu belum juga kembali. Dewi Mustikaweni menunggu di beranda pondok kecil ini. Gadis itu tidak juga beranjak dari kursinya yang hanya terbuat dari bambu yang disatukan dengan kulit kayu. Setiap kali digerakkan tubuhnya, selalu terdengar suara bergerit.

"He he he....!" tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh.

"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget. Seketika wajah gadis itu memucat begitu tiba-tiba di depannya muncul seorang laki-laki tua berjubah kuning dengan kepala gundul. Di belakangnya berdiri dua orang bertubuh kekar. Belum hilang rasa terkejut Dewi Mustikaweni, dari balik pepohonan dan semak bermunculan orang-orang berseragam merah yang bergambar naga pada dadanya. Gadis itu tahu siapa mereka, terlebih lagi terhadap tiga orang itu.

"Akhirnya kutemukan juga kau di sini, Weni," ujar Pendeta Ajisaka.

"Oh, mau apa kalian ke sini?" bentak Dewi Mustikaweni semakin memucat wajahnya.

"Ayahmu menunggu, Weni. Sudah dua hari kau tidak pulang," kata Macan Gadak.

Dewi Mustikaweni menelan ludahnya.

"Kau tersasar di sini, Cah Ayu? Atau ingin melarikan diri?" sinis nada suara Pendeta Ajisaka.

"Aku..., aku," tergagap suara Dewi Mustikaweni.

"Ayo kita pulang," ajak Pendeta Ajisaka.

"Tidak!" sentak Dewi Mustikaweni ketika laki-laki berjubah kuning gading itu menjulurkan tangannya.

"O..., rupanya kau ingin membangkang ya?"

"Aku tidak akan kembali! Aku mau pulang!" keras nada suara Dewi Mustikaweni.

"Pulang...? Pulang ke mana, Weni? Ini bukan rumahmu!" bentak Pendeta Ajisaka jadi gusar.

"Aku mau pulang ke Ibu!"

Pendeta Ajisaka tersentak kaget. Sedangkan Singo Barong dan Macan Gadak saling berpandangan. Tapi cepat sekali mereka melompat dan tahu-tahu kedua tangan Dewi Mustikaweni sudah teringkus.

"Akh! Lepaskan...!" jerit Dewi Mustikaweni berusaha memberontak.

"Hih!" Macan Gadak menotok jalan darah gadis itu.

"Ahhh...!"

Seketika itu juga tubuh Dewi Mustikaweni lunglai lemas tak berdaya. Singo Barong memondongnya. Mereka saling berpandangan sesaat.

"Dia tidak ke sini sendirian, Paman Pendeta," kata Singo Barong.

"Kau boleh menunggunya di sini, Singo Barong. Aku akan membawa bocah nakal ini pulang," ujar Pendeta Ajisaka.

"Aku bersamamu, Singo Barong," selak Macan Gadak.

"Tidak! Kau ikut Paman Pendeta saja," tolak Singo Barong.

Macan Gadak mengangkat bahunya. Dia tahu kalau Singo Barong sangat keras wataknya. Sekali bilang hitam, selamanya akan hitam. Tidak mungkin bisa dirubah lagi. Macan Gadak menggantikan Singo Barong memondong Dewi Mustikaweni yang terkulai tidak sadarkan diri.

"Hati-hati, Singo Barong," ucap Pendeta Ajisaka.

"Akan kubawa kepalanya untuk kalian semua," kata Singo Barong mantap.

Pendeta Ajisaka menepuk pundak laki-laki tinggi kekar itu, kemudian melangkah menghampiri kudanya yang dituntun seorang berbaju merah. Laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu melompat naik ke kudanya, kemudian menerima tubuh Dewi Mustikaweni dari Macan Gadak. Gadis itu tidak bergerak gerak lagi, lemas karena tertotok jalan darahnya.

Sebentar saja Pendeta Ajisaka dan Macan Gadak sudah pergi. Tinggal Singo Barong di tempat itu ditemani sekitar lima belas orang berseragam merah dan bergambar naga di bagian dadanya. Laki-laki berwajah kasar penuh berewok itu memandang ke sekeliling. Tangannya menjambret obor yang terpancang di tiang beranda pondok itu, lalu melemparkannya ke atap pondok. Api langsung berkobar besar, melahap atap yang terbuat dari daun-daun kering dan rerumputan yang teranyam.

"Ha ha ha...!"

********************

TUJUH

Bayu tersentak kaget saat mendapati pondoknya sudah hangus menjadi abu. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba di sekelilingnya bermunculan sekitar lima belas orang berseragam merah bergambar naga pada bagian dadanya. Tampak Singo Barong berdiri tegak. Matanya merah membara, bagai api yang menghanguskan pondok kecil itu.

Bayu memutar tubuhnya, memandangi orang-orang yang sudah mengepungnya sambil membawa tombak terhunus. Tatapan matanya langsung terpaku pada Singo Barong. Laki-laki inilah yang memenggal kepala Emban Bulem, dan yang juga berusaha membawa paksa Dewi Mustikaweni kembali ke dalam sangkar emasnya yang penuh bergelimang noda lumpur.

"Ha ha ha ha...! Tidak semudah itu kau bisa membawa Dewi Mustikaweni!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak.

"Di mana Mustikaweni?" dengus Bayu.

"Bersama ayahnya," sahut Singo Barong dingin. Singo Barong menjentikkan ujung jarinya. Dan seketika itu juga lima belas orang berseragam dengan tombak terhunus, langsung berlompatan menyerang. Bayu yang sudah kesal karena Dewi Mustikaweni hilang, semakin menjadi geram mendapat keroyokan yang membabi buta seperti ini.

"Hiya...! Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka itu berkelebat cepat menghindari setiap serangan yang datang, sambil balas menyerang. Pukulan-pukulannya cepat luar biasa, dan mengandung tenaga dalam sangat sempurna. Pekik pertempuran, kini berubah jadi jerit lengking kematian. Satu persatu tubuh orang berbaju merah bergelimpangan dengan keadaan remuk.

Singo Barong menggeram dahsyat karena melihat dalam keadaan sebentar saja, lebih dari separuh anak buahnya tewas. Laki-laki tinggi kekar itu langsung melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tidak tanggung-tanggung lagi, segera dihunus goloknya yang besar dan panjang.

Wut!

"Uts!" Bayu merundukkan kepalanya ketika merasakan desiran angin kencang mengarah ke kepalanya. Agak terkesiap juga hatinya begitu sebuah golok besar melesat di atas kepalanya. Dan Bayu jadi membeliak. Ternyata belum lagi diangkat kepalanya, sebatang tombak menyodok dari arah samping.

"Hih!" Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kirinya memapak tombak yang menyodok ke arah iga.

Trak!

Tombak itu patah. Dan belum lagi pemiliknya bisa menarik diri, Bayu sudah melompat cepat sambil mengayunkan satu pukulan bertenaga dalam luar biasa. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah. Orang itu menjerit melengking tinggi sambil memegangi kepalanya, dan langsung ambruk menggelepar di tanah. Dari kepala yang hancur mengucur darah segar.

Bayu membalikkan tubuhnya. Dipandanginya Singo Barong dan sisa anak buahnya yang tinggal tiga orang lagi. Tampak sekali kalau Singo Barong seperti ragu-ragu. Hatinya gentar juga melihat anak buahnya tinggal tiga orang lagi. Dua belas orang tewas dalam waktu sebentar saja.

"Kenapa diam? Kalian takut...?" ejek Bayu tersenyum sinis.

"Phuih!" Singo Barong menyemburkan ludahnya, berusaha mengusir kegentaran yang melanda hatinya saat ini.

Laki-laki bertubuh tinggi besar itu melintangkan goloknya di depan dada. Tatapan matanya tajam menusuk ke bola mata Pendekar Pulau Neraka. Pelahan-lahan kakinya bergerak menggeser ke samping. Digerak-gerakkan goloknya di depan dada. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka hanya diam sambil melipat tangan di depan dada. Terasa sinis senyum yang mengembang di bibirnya.

Beberapa kali Singo Barong menyemburkan ludahnya. Setiap kali kakinya bergerak menggeser, Bayu memperhatikan dengan ujung ekor mata. Pendekar Pulau Neraka itu juga terus mengawasi tiga orang yang kini memegang pedang terhunus. Tiga orang berseragam merah itu juga bergerak ke arah yang berlawanan dari Singo Barong.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba salah seorang dari tiga orang yang mengenakan seragam merah, melompat sambil menusukkan pedangnya dari arah samping kanan. Bayu menarik tubuhnya ke belakang, maka tusukan pedang itu hanya lewat di depan dadanya. Cepat sekali tangan Pendekar Pulau Neraka itu bergerak, langsung menghantam perut penyerangnya.

Buk!

"Heghk...!"

Saat tubuh orang itu terbungkuk, Bayu menghantamkan satu pukulan keras bertenaga dalam hampir mencapai kesempurnaan. Pukulannya telak menghantam punggung, hingga orang itu terjerembab mencium tanah. Satu tendangan keras membuat orang itu terpental dan tewas seketika. Baru saja Bayu berdiri tegak dua orang lainnya langsung berlompatan menyerang. Pedang mereka berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.

"Hup! Hyaaa...!"

Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Seketika itu juga secercah cahaya keperakan melesat bagai kilat dari pergelangan tangan kanannya. Cakra Maut pun langsung meluncur membabat leher kedua orang yang terbengong sesaat.

Jeritan melengking terdengar menyayat mengiringi kematian dua orang berbaju merah itu. Leher mereka hampir putus terbabat ujung Cakra Maut yang berjumlah enam buah. Bayu mengangkat tangannya ke atasi begitu kakinya mendarat di tanah. Maka Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu kembali melekat di pergelangan tangannya.

"Giliranmu sudah tiba, Singo Barong!" desis Bayu dingin dan datar. Tatapan matanya tajam menusuk.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak. "Kau pikir mudah menjatuhkan aku, bocah setan! Jangan bangga dulu bisa membasmi tikus-tikus tidak berguna itu, keparat!"

Wutt!

Singo Barong mengebutkan goloknya yang begitu besar ke arah perut Pendekar Pulau Neraka. Tapi hanya dengan menarik sedikit tubuhnya ke belakang, golok itu hanya membabat angin di depan perut Pendekar Pulau Neraka. Begitu besar tenaga yang dimiliki Singo Barong, sehingga angin kibasan goloknya saja sudah bisa membuat Bayu terdorong sedikit ke belakang. Dan belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa menguasai diri, Singo Barong sudah melompat sambil berteriak keras menggelegar. Satu tendangan dahsyat dilepaskan mengarah ke dada.

"Uts!" Buru-buru Bayu melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Dan tendangan keras itu luput dari sasaran. Namun rupanya Singo Barong tidak memberi kesempatan kepada Pendekar Pulau Neraka itu untuk balas menyerang. Bayu terus dicecar dengan jurus jurus yang dahsyat dan selalu mengandung tenaga luar biasa. Pendekar Pulau Neraka terpaksa berpelantingan menghindari serangan yang tidak ada henti-hentinya itu. Sekalipun tidak ada kesempatan untuk balas menyerang.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus, tapi belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak. Bayu sempat memungut sebuah pedang yang tergeletak di tanah, dan langsung dibabatkan ke tubuh Singo Barong. Bukan main tercengangnya Bayu, karena pedang itu patah saat menghantam tubuh laki-laki tinggi tegap dengan wajah kasar penuh berewok.

"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak. Dia bertolak pinggang dengan pongahnya. Sementara Pendekar Pulau Neraka hanya memandangi tanpa berkedip. Di tangan kanannya masih tergenggam sebatang pedang yang buntung. Bayu melempar pedang itu, lalu dipungutnya pedang lain yang tergeletak dekat ujung kakinya. Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan pedangnya, tepat mengarah ke leher.

"Hiyaaat..!"

Trak!

"Ha ha ha ha...!"

Buru-buru Bayu melompat mundur begitu mata pedang yang dipungutnya dari tanah telah patah jadi dua. Sedangkan kulit leher Singo Barong tidak tergores sedikit pun juga. Malah orang berewokan itu tertawa terbahak-bahak berkacak pinggang.

Gila! Ilmu apa yang digunakan?" dengus Bayu keheranan.

"Keluarkan semua kepandaianmu, bocah!" tantang Singo Barong pongah.

"Hmmm...," Bayu menggumam pelan. Dengan ujung jari kakinya, dijentik sebilah pedang, dan langsung ditangkapnya. Sebentar dipandangi pedang yang berkilat keperakan. Lalu dijentikkannya ujung pedang itu dengan ujung jari tangan kiri.

Tring!

Suara tawa Singo Barong langsung lenyap begitu melihat pedang di tangan Pendekar Pulau Neraka terpotong tepat pada bagian tengahnya. Padahal tadi ujungnya hanya disentil sedikit saja. Singo Barong terkesiap. Dia sadar kalau ilmu tenaga dalam yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu sukar untuk diukur ketinggiannya.

"Cuma pedang mainan. Tidak heran kalau tubuhmu kebal," dengus Bayu setengah bergumam.

"Phuih! Keluarkan senjatamu, bocah!" geram Singo Barong.

"Hmmm.... Aku jadi ingin tahu, sampai di mana kekebalan tubuhmu," gumam Bayu ringan seraya tersenyum sinis.

Pendekar Pulau Neraka itu merentangkan kakinya ke samping. Lalu dengan satu kaki kiri ditekuk ke depan, dimiringkan tubuhnya ke kiri. Tangan kanannya disilangkan di depan dada. Sebentar diliriknya Singo Barong yang masih berdiri tegak bertolak pinggang. Laki-laki tinggi kekar itu tertawa terbahak-bahak dengan sikap meremehkan.

"Hih! Hyaaa...!"

Bayu mengibaskan cepat tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga Cakra Maut melesat bagai kilat. Hanya secercah cahaya keperakan yang terlihat berkelebat cepat, langsung mengarah ke dada Singo Barong yang terbuka.

Laki-laki tinggi tegap dengan wajah penuh berewok itu tidak bergeming sedikit pun. Sikapnya sungguh meremehkan. Tidak pelak lagi, Cakra Maut menghantam dadanya dengan keras.

"Aaakh...!" Singo Barong menjerit melengking tinggi.

Tampak Cakra Maut menancap dalam pada dada berbulu lebat itu. Darah langsung merembes keluar begitu tangan Bayu terhentak ke atas. Cakra Maut itu pun kembali melesat keluar setelah merobek dada Singo Barong. Tubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Singo Barong menekap dadanya yang mengucurkan darah segar. Wajahnya pucat seketika itu juga. Sementara Cakra Maut sudah menempel kembali di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

Bruk!

Singo Barong ambruk ke tanah, dan menggelepar sambil menggerung keras. Sedangkan Bayu hanya memandangi saja sambil melipat tangannya di depan dada. Cukup lama.juga Singo Barong menggelepar. Pendekar Pulau Neraka yakin kalau sebentar lagi orang itu pasti akan tewas. Tapi mendadak saja....

"Hiyaaa...!" Singo Barong berteriak keras, dan tubuhnya melesat bangkit berdiri.

"Heh?" Bayu tersentak kaget setengah mati, sampai terlonjak mundur tiga langkah.

Darah masih mengucur deras dari dada yang berlubang sangat dalam. Singo Barong meraung keras menggelegar sambil memutar goloknya diatas kepala. Laki-laki berwajah seram itu berlari cepat sambil mengerahkan seluruh kekuatannya. Golok besar itu menderu keras mengibas ke arah tubuh Pendekar Pulau Neraka.

"Uts!" Bayu melompat ke samping, menghindari tebasan golok besar itu. Tanpa diduga kakinya melayang cepat memberikan satu tendangan bertenaga dalam sangat sempurna. Tendangan menggeledek itu telak mendarat di bagian kepala sebelah kiri Singo Barong.

"Argh...!" Singo Barong meraung keras. Dengan cepat Singo Barong berbalik, sambil mengebutkan goloknya. Tidak dipedulikannya lagi darah yang menyemburat keluar dari kepalanya yang pecah.

Bayu melompat cepat melewati kepala manusia kuat itu. Dan sekali lagi didaratkan tendangan keras ke kepala, lalu disusul dua pukulan beruntun begitu kakinya mendarat di belakang Singo Barong Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan Cakra Mautnya, langsung mengoyak leher laki-laki tinggi kekar itu.

"Aaarghk...!" Singo Barong meraung keras menggelegar.

Sebentar tubuhnya masih bisa berdiri tegak, beberapa saat mulai limbung, dan ambruk menggelepar di tanah. Sungguh mengerikan keadaan tubuhnya. Kepalanya pecah berlumuran darah. Lehernya koyak hampir putus terbabat senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Bagian punggungnya melesak masuk ke dalam, dan dadanya bolong bersimbah darah.

Hanya sebentar Singo Barong menggelepar, sesaat kemudian tubuhnya diam tidak bergerak-gerak lagi. Laki-laki berwajah kasar penuh berewok itu tewas seketika setelah beberapa kali mendapat pukulan dan tendangan keras disertai hunjaman Cakra Maut. Bayu menarik napas panjang, melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak seketika.

********************

Suasana di sekitar bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi kokoh, tampak sunyi sepi. Bayu mengamati sekitar bangunan besar bagai istana itu dari atas benteng bagian belakang Tatapan matanya lurus tertuju langsung ke jendela kamar yang terbuka. Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau itu kamar Dewi Mustikaweni.

"Hm...." Bayu menggumam pelan ketika tiba-tiba matanya menangkap satu sosok bayangan berkelebat cepat ke atas atap.

Malam ini cukup gelap, sehingga tidak dapat terlihat jelas bayangan hitam itu. Juga setelah berada di atap, Pendekar Pulau Neraka itu tidak bisa melihat sosok tubuh yang merapat pada atap bangunan bagai istana itu. Belum sempat Bayu bisa mengenali sosok tubuh di atap itu, mendadak dikejutkan oleh denting senjata beradu, disusul pekik pertempuran dan jerit melengking tinggi. Pada bagian samping bangunan besar ini, terlihat empat orang tengah bertarung melawan sekitar tiga puluh orang berseragam merah.

Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu kembali tertuju pada sosok tubuh di atas atap. Tapi dia terkejut, karena tiba-tiba saja sosok tubuh itu lenyap. Tubuhnya telah meluruk ke bawah, terhalang sebuah tembok batu yang tinggi. Namun beberapa saat kemudian, terdengar lagi suara pertarungan dari balik tembok itu. Tampaklah kini dua sosok tubuh melesat ke atas atap. Dua orang itu tengah bertarung sengit di atas atap bangunan besar bagai istana itu.

"Gagak Codet...," desis Bayu begitu mengenali salah seorang yang bertarung di atas atap.

Sedangkan yang seorang lagi adalah si Macan Gadak. Bayu bisa mengenali mereka karena sudah bertemu beberapa kali. Pendekar Pulau Neraka itu langsung bisa mengerti, kenapa Macan Gadak dan Gagak Codet bertarung. Bayu tahu kalau Macan Gadak adalah salah seorang kepercayaan Sura Antaka. Sedangkan Gagak Codet selalu berusaha menculik Dewi Mustikaweni, dengan cara apa pun juga. Tapi....

Bayu langsung mengalihkan pandangannya pada pertempuran di tempat lain. Dia bisa mengenali empat orang yang bertarung melawan keroyokan orang berseragam merah bergambar naga pada dadanya. Empat orang itu adalah para panglima dari Kerajaan Gelang Wesi. Tapi dimana Raden Arga Yuda...? Pertanyaan ini menyentakkan kesadaran Pendekar Pulau Neraka itu. bergegas tubuhnya melompat turun, masuk ke dalam lingkungan markas Partai Naga Merah ini.

"Hup...!"

Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Pulau Neraka itu sudah berada di pinggir jendela kamar.Dewi Mustikaweni. Pemuda berbaju dari kulit harimau itu menjulurkan kepalanya ke dalam. Kedua matanya sedikit menyipit, karena keadaan di dalam kamar itu berentakan sekali. Persis baru saja terjadi pertempuran di sini. Terlihat dua sosok mayat berbaju merah menggeletak terhimpit balok kayu.

"He he he he.... Akhirnya kau datang juga, Pendekar Pulau Neraka!"

"Heh!" Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari arah belakangnya.

Dan baru saja dia menoleh, mendadak secercah cahaya keperakan melesat cepat bagai kilat meluncur ke arahnya. Bayu bergegas memiringkan tubuhnya ke samping, maka cahaya keperakan itu menghantam dinding kamar. Sejenak Pendekar Pulau Neraka itu melirik Tampak sebilah pisau kecil tipis tertanam dalam pada dinding tembok.

"Oh! Huppp...!"

Begitu kepala Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, mendadak sebuah bayangan kuning berkelebat menyambar. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka melesat ke samping. Langsung dijatuhkan tubuhnya, bergulingan beberapa kali di tanah. Secepat itu pula dia melompat bangkit. Namun bayangan itu kembali melesat dan cepat menyerangnya.

"Hup! Hyaaa...!"

********************

DELAPAN

Bagai seekor burung, Bayu melentingkan tubuhnya ke atas begitu mendapat serangan dari bayangan kuning Dan secepat itu pula tubuhnya menukik deras, langsung memberikan satu pukulan keras pada sosok bayangan kuning itu.

Bug!

"Heghk!" terdengar satu keluhan pendek begitu satu pukulan keras didaratkan Pendekar Pulau Neraka.

Tampak satu sosok tubuh bergulingan di tanah. Bayu mendarat ringan tidak jauh dari orang yang sedang berusaha bangkit berdiri. Seorang tua kurus berbaju jubah panjang berwarna kuning gading. Kepalanya gundul, dan di tangan kanannya tergenggam seuntai rangkaian batu hitam sebesar ibu jari.

"Pendeta Ajisaka...," Bayu mengenali laki-laki tua berjubah kuning itu.

Pendeta Ajisaka menggeram sambil menyeka darah yang menetes dari sudut bibirnya. Pukulan Pendekar Pulau Neraka tadi tepat menghantam punggungnya. Sungguh keras. Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, namun cukup membuat Pendeta Ajisaka meringis menahan sakit yang amat sangat.

"Di mana kau sembunyikan Dewi Mustikaweni?" tanya Bayu dingin.

"Phuih! Untuk apa kau tanyakan anak setan itu?!" dengus Pendeta Ajisaka.

"Dia bukan anak setan, tapi kau pendeta iblis!" tiba-tiba terdengar suara keras.

Belum lagi hilang dari pendengaran, tahu tahu di samping Pendekar Pulau Neraka berdiri seorang laki-laki berbaju kumal dan berwajah buruk. Sebuah luka menggores di pipi kiri, menambah seram raut wajahnya. Sebuah caping dari anyaman bambu bertengger di punggung.

Bayu sempat melirik laki-laki yang pernah bertemu dengannya di tepi danau. Saat itu, dia yang dikenal bernama Gagak Codet hendak membawa paksa Dewi Mustikaweni. Pendekar Pulau Neraka itu menggeser kakinya agak menjauhi Gagak Codet.

"Berikan iblis keparat ini padaku, Bayu. Cari saja Dewi Mustikaweni. Dia pasti bersama Sura Antaka," kata Gagak Codet seraya melirik Pendekar Pulau Neraka.

Agak heran juga Bayu mendengar kata-kata itu. Yang lebih mengherankan lagi, suara itu seperti pernah dikenalnya. Bahkan Gagak Codet juga menyebut nama asli Pendekar Pulau Neraka. Padahal mereka baru sekali bertemu, dan belum saling menyebutkan nama masing-masing.

Belum juga Bayu sempat bertanya sesuatu, Gagak Codet sudah melompat menerjang Pendeta Ajisaka. Bayu jadi kebingungan sendiri jadinya. Tapi baru saja akan melangkah, sesuatu menetes di pundaknya. Pendekar Pulau Neraka itu mendongak ke atas, dan kontan menggelinjang terkejut

Di atas atap, tampak sesosok tubuh membujur dengan leher terpenggal hampir buntung. Darahnya menetes ke bawah. Pendekar Pulau Neraka itu melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di samping tubuh yang sudah jadi mayat itu. Dibalikkan kepala mayat itu. Kedua bola matanya kontan membeliak lebar begitu mengenali mayat itu.

"Macan Gadak...," desis Bayu menahan keterkejutannya.

Belum lama, Bayu melihat Macan Gadak bertempur melawan Gagak Codet. Tapi sekarang pengikut Sura Antaka itu sudah jadi mayat, tepat saat Gagak Codet muncul. Pendekar Pulau Neraka itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Matanya mencari cari kalau-kalau melihat Raden Arga Yuda. Tapi yang dapat terlihat hanya pertarungan empat panglima Kerajaan Gelang Wesi melawan orang-orang berseragam merah. Tidak jauh di bawahnya, Gagak Codet tengah bertarung sengit melawan Pendeta Ajisaka.

"Ke mana Raden Arga Yuda...?" desis Bayu bertanya pada dirinya sendiri.

Belum juga terjawab pertanyaan itu, tiba-tiba:saja beberapa batang tombak meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka. Mau tidak mau Bayu harus melompat menghindari serbuan tombak yang berjumlah puluhan itu. Dan baru saja kalanya mendarat di tanah, sekitar tiga puluh orang berbaju merah dengan gambar naga pada dadanya sudah berlompatan menyerang.

Pendekar Pulau Neraka itu jadi sibuk sesaat namun cepat menguasai keadaan. Dengan jurus-jurus maut, dihalaunya serangan yang datang dari segala penjuru. Setiap pukulan dan tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Pekik lengking kematian terdengar saling sambut Satu persatu tubuh bergelimpangan jadi mayat. Darah bersimbah membasahi tanah. Bayu tidak tanggung-tanggung lagi. Kini dikerahkan jurus andalannya, sehingga amukannya sukar dibendung lagi.

Pendekar Pulau Neraka saat ini benar-benar mencemaskan keselamatan Raden Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni. Prabu Nayadarma sudah memberikan titah untuk menjaga keselamatan dua orang itu. Menyadari sampai saat ini belum bisa mengetahui keadaan Raden Arga Yuda dan Dewi Mustikaweni, Pendekar Pulau Neraka itu langsung memperhebat serangan-serangannya. Gerakannya sungguh cepat luar biasa, sehingga sukar untuk diikuti oleh pandangan mata biasa.

Sebentar saja tiga puluh orang pengeroyoknya sudah bergelimpangan tanpa nyawa lagi. Pendekar Pulau Neraka langsung melompat menuju ke arah pertarungan empat orang panglima dengan orang-orang dari Partai Naga Merah itu. Namun pada saat itu, terlihat dua orang panglima terjungkal roboh, dan tubuhnya berlumuran darah.

"Mundur kalian....'" seru Bayu keras.

"Bayu...!" seru salah seorang panglima itu langsung saja melompat mundur, diikuti seorang lagi. Tapi orang-orang berseragam merah dengan gambar naga di bagian dada, tidak membiarkan lawannya mundur begitu saja. Mereka terus merangsek, sehingga membuat Bayu geram bukan main. Pendekar Pulau Neraka itu langsung meluruk sambil melepaskan Cakra Maut.

Sementara itu di lain tempat, Gagak Codet semakin mendesak Pendeta Ajisaka. Serangan-serangannya yang dahsyat sukar dibendung lagi. Laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul itu sudah jatuh bangun menghadang setiap serangan yang datang. Darah sudah membasahi jubahnya. Dua kali pedang Gagak Codet merobek tubuhnya yang kurus.

"Mampus! Hiyaaa...!" seru Gagak Codet tiba-tiba. Seketika itu juga pedang di tangan Gagak Codet berkelebat cepat mengarah ke dada. Namun Pendeta Ajisaka masih mampu mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang. Tapi tanpa diduga sama sekali, Gagak Codet memutar pedangnya ke atas, langsung menusuk ke arah leher.

Crab!

"Aaakh...!" Pendeta Ajisaka menjerit keras agak tertahan.

Pedang Gagak Codet menghunjam leher pendeta gundul itu hingga tembus ke belakang. Dengan sekali hentak saja, leher laki-laki tua itu sudah robek lebar. Darah muncrat keluar dengan derasnya. Dan belum sempat Pendeta Ajisaka mengeluarkan suara, Gagak Codet sudah melompat. Langsung saja dikirimkan satu tendangan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tendangan itu tepat mendarat di dada Pendeta Ajisaka.

"Aaaa...!" Pendeta Ajisaka menjerit keras melengking tinggi.

Tubuh kurus berjubah kuning gading penuh darah itu terpental deras menghantam dinding batu hingga jebol berantakan. Hanya sebentar laki-laki tua kurus berkepala gundul itu mampu bergerak, tapi sesaat kemudian sudah diam tak berkutik lagi. Pendeta Ajisaka tewas seketika itu juga.

"Hhh...!" Gagak Codet menarik napas panjang dan dalam. Sebentar matanya merayap ke sekeliling. Terlihat Pendekar Pulau Neraka tengah mengamuk membantai orang-orang berseragam merah. Sedangkan dua orang panglima dari Kerajaan Gelang Wesi hanya memperhatikan saja, tapi sesekali juga mengibaskan pedangnya jika ada yang mencoba menyerang.

"Hhh...! Aku harus cepat mencari Dinda Mustikaweni," desah Gagak Codet

Laki-laki berwajah buruk dengan luka memanjang membelah pipi itu langsung melompat masuk ke dalam kamar yang berantakan. Dia berlari cepat menerobos pintu yang rusak, hancur berkeping-keping. Gagak Codet terus berlari menyusuri lorong. Setiap pintu yang ditemui langsung didobrak, dan diperiksa setiap kamar. Gagak Codet tiba di ruangan luas yang lantainya dari batu pualam putih berkilat. Sebentar dipandangi ruangan pertemuan itu. Tidak ada siapa-siapa di sini.

Pelahan-lahan Gagak Codet melangkah menyeberangi ruangan itu. Matanya tajam memandang ke sekeliling Ayunan kakinya kembali terhenti setelah sampai pada bagian ruangan depan. Satu ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Di sini juga sepi, malah keadaannya berantakan sekali. Gagak Codet melompat cepat keluar begitu matanya menangkap sebuah bayangan berkelebat melintasi pintu depan bangunan besar ini.

"Tolooong...!" tiba-tiba saja terdengar suara jeritan melengking.

"Dinda Weni...," desis Gagak Codet.

Cepat sekali Gagak Codet melentingkan tubuhnya menuju ke sumber arah suara jeritan tadi. Jelas sekali kalau suara itu adalah jeritan seorang perempuan. Gagak Codet terhenyak kaget begitu sampai di sebuah tempat yang tidak begitu besar, namun terdapat banyak senjata terpajang. Tempat yang terbuka, hanya terdiri dari pilar-pilar yang dinaungi atap. Lantainya sangat keras, terbuat dari batu hitam berkilat

Wus!

Gagak Codet berpaling ketika telinganya mendengar suara desiran angin yang mengarah ke dirinya. Dan tubuhnya langsung melesat cepat ke atas, begitu terlihat secercah cahaya kemerahan meluncur deras ke arahnya. Suara ledakan keras terjadi saat sinar kemerahan itu menghantam pilar.

"Hup!"

Gagak Codet melompat cepat keluar dari bangsal latihan itu, begitu dua sinar kemerahan kembali meluncur ke arahnya, dan kembali menghantam pilar. Akibatnya atap bangsal itu roboh, membuat suara gaduh menggetarkan bumi. Manis sekali Gagak Codet mendarat ditanah. Namun belum juga berdiri sempurna, matanya membeliak lebar.

"Weni...," desis Gagak Codet.

Dewi Mustikaweni tampak tidak berdaya terikat pada sebatang tonggak kayu. Pandangan gadis itu redup, seakan tidak memiliki gairah hidup lagi. Pelahan-lahan Gagak Codet menghampiri. Namun baru saja berjalan tiga tindak, mendadak sebuah bayangan berkelebat cepat di depannya. Tahu-tahu seorang laki-laki setengah baya sudah berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depan Gagak Codet

"Sura Antaka...!" desis Gagak Codet tertahan suaranya.

"Tidak perlu menyamar, Arga Yuda! Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya!" dingin nada suara Sura Antaka.

"Iblis keparat..! Lepaskan adikku!" bentak Gagak Codet yang ternyata memang Raden Arga Yuda.

"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.

Pada saat itu, Pendekar Pulau Neraka telah muncul. Pemuda berbaju kulit harimau itu datang karena juga mendengar jeritan minta tolong yang melengking Tidak berapa lama, dua orang panglima dari Kerajaan Gelang Wesi juga tiba. Mereka berdiri di belakang Raden Arga Yuda, atau si Gagak Codet Bayu menghampiri laki-laki yang memakai baju kumal itu.

Gagak Codet melepaskan capingnya yang menyampir di punggung. Dengan caping itu, dirinya juga dikenal sebagai Pendekar Caping Bambu. Pemuda itu memang pandai menyamarkan diri. Dan setiap kali menyamar, tidak ada yang dapat mengenali lagi. Sungguh sempurna samarannya. Pemuda itu melepaskan rambut palsu, dan juga tempelan-tempelan yang membuat wajahnya jadi buruk. Kini yang terlihat adalah seraut wajah tampan. Bayu sendiri sempat berdecak kagum, melihat penyamaran yang begitu sempurna. Kini baru dimengerti kalau tiga nama yang menjadi bahan pemikirannya selama ini hanya satu orang yang memilikinya.

"Bagus! Kalian sudah kumpul di sini. Dan itu berarti akan terbang ke neraka bersama sama!" dingin nada suara Sura Antaka.

"Hanya kau yang ke neraka. Sura Antaka!" dengus Raden Arga Yuda datar.

"Ha ha ha ha...! Kalian lihat ini!"

Sura Antaka melompat. Langsung disambarnya sebuah obor yang terpancang tidak jauh darinya. Kemudian digeser kakinya mendekati Dewi Mustikaweni.

Bayu dan Raden Arga Yuda melirik ke bawah kaki gadis itu. Tampak setumpuk kayu bakar melingkar. Kedua anak muda itu saling berpandangan. Sekali saja Sura Antaka melemparkan obor itu, api kontan akan melahap tubuh Dewi Mustikaweni. Dan ini yang tidak diinginkan sama sekali.

"Bagaimana, Bayu?" bisik Raden Arga Yuda.

"Mundurlah," sahut Bayu.

"Gila! Susah payah aku berusaha mengeluarkan Dewi Mustikaweni dari sini, sekarang kau suruh aku mundur!" rungut Raden Arga Yuda.

"Kalau tidak ingin kehilangan adikmu, mundurlah. Biar aku yang menyelesaikan," kata Bayu tegas, namun terdengar tenang nada suaranya.

"Apa yang akan kau lakukan, Bayu?" tanya Raden Arga Yuda.

"Entahlah," tenang sekali Bayu menjawab.

"Jangan main-main, Bayu. Nyawa adikku harus selamat!"

"Kalau kau percaya padaku, mundurlah!" tegas kata-kata Bayu.

"Kau sudah bertindak sendiri, dan telah merusak semua rencanaku. Kalau adikmu sampai tewas, itu karena kesalahanmu, Raden!"

Raden Arga Yuda terdiam. Memang selama ini semua kata-kata Pendekar Pulau Neraka ini tidak diturutinya. Padahal Bayu telah diberi kekuasaan oleh Prabu Nayadarma untuk membebaskan Dewi Mustikaweni dari tangan Sura Antaka. Raden Arga Yuda menganggap tindakan Bayu terlalu lambat sehingga dia tidak sabaran menunggu. Terpaksa digunakan keahliannya menyamar, mengacaukan semua rencana Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan juga menyusup ke sarang Partai Naga Merah ini, lalu membocorkan setiap gerakan dan rencana penyergapan.

Suatu saat, Raden Arga Yuda juga pernah mencoba membawa Dewi Mustikaweni secara paksa, seperti seorang penculik. Tapi semuanya gagal. Maksudnya adalah membebaskan adiknya tanpa melibatkan orang lain. Lebih-lebih melibatkan pihak Kerajaan Gelang Wesi. Tapi sekarang nyawa adiknya yang sudah sekian tahun berpisah, menjadi terancam keselamatannya. Dan semua itu akibat ulahnya, kecerobohannya, dan ketidak sabarannya. Pelahan-lahan Arga Yuda melangkah mundur sambil memberi isyarat pada kedua panglimanya untuk mundur juga.

Sedangkan Pendekar pulau Neraka tetap berdiri tegap pada tempatnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Sura Antaka. Sementara Sura Antaka sudah semakin mendekati Dewi Mustikaweni yang terikat tak berdaya pada tonggak.

"Apa lagi yang kau tunggu, Sura Antaka? Aku tidak peduli seandainya kau lemparkan obor itu!" kata Bayu dingin menantang.

Kata-kata Bayu yang tegas dan lantang itu mengejutkan Raden Arga Yuda. Namun pemuda itu hanya diam saja, dan kembali melangkah mundur semakin menjauh. Pemuda yang masih didampingi dua orang panglima itu, berhenti setelah jaraknya cukup jauh juga.

"He he he...! Kau memang tidak akan peduli atas nasibnya, Pendekar Pulau Neraka. Tapi Arga Yuda tidak mungkin bisa menerima kematian adiknya. Dan sudah tentu kau tidak luput dari sasarannya, bahkan pihak kerajaan juga akan mengejarmu!" kata Sura Antaka disertai tawa terkekehnya.

"Aku seorang pengembara, Sura Antaka. Aku tak akan peduli semua itu. Di mana pun berpijak, di situ aku harus menghadapi iblis macam kau!" sahut Bayu dingin.

"Keparat! Kau menantangku, bocah?!" geram Sura Antaka.

Kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang terdengar tenang itu, membuat wajah Sura Antaka memerah padam. Kata-kata itu sungguh menyakitkan gendang telinganya. Jelas nadanya menantang dan meremehkan.

"Aku ingin tahu, sampai di mana kau sanggup melihat gadis ini mati terbakar!" geram Sura Antaka mengancam.

"Silakan," tantang Bayu.

"Phuih!" Sura Antaka menyemburkan ludahnya. Seketika itu juga dilemparkan obor di tangannya.

Arga Yuda menjerit keras, begitu juga Dewi Mustikaweni. Gadis itu memekik melengking dan bola matanya membeliak lebar. Namun pada saat yang kritis itu, secepat kilat Bayu mengibaskan tangan kanannya ke depan. Maka secercah cahaya keperakan langsung melesat bagai kilat. Bersamaan meluncurnya Cakra Maut, secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka melompat ke arah Sura Antaka. Semua itu dilakukan begitu cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga sukar untuk bisa disadari lebih lanjut.

Sura Antaka sendiri jadi terkejut bukan main. Sebelum obor yang dilemparkannya jatuh, Cakra Maut sudah menghantam nyala api obor itu hingga padam. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, laki-laki setengah baya itu harus melompat ke samping menghindari terjangan Pendekar Pulau Neraka. Namun gerakannya terlambat sedikit. Akibatnya, sepakan kaki Bayu Hanggara masih sempat menyambar bahunya.

"Akh!" Sura Antaka memekik tertahan. Tubuh laki-laki setengah baya itu sedikit limbung. Dan belum lagi bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah kembali menyerang setelah menarik tangannya ke atas. Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan, bersamaan dengan melekatnya kembali Cakra Maut ke arah pergelangan tangan kanannya.

"Uts!" Sura Antaka memiringkan tubuhnya ke kiri, menghindari tendangan keras menggeledek itu. Dan buru-buru dia melompat ke belakang. Seketika itu juga dicabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Lalu...

"Hiyaaat...!"

"Hap!" Bayu mengibaskan tangan kanannya ketika Sura Antaka membabatkan pedangnya menyamping ke arah dada. Tak dapat dihindarkan lagi. Mata pedang Sura Antaka menghantam pergelangan tangan kanan lawan.

Tring!

Sura Antaka tersentak kaget ketika pedangnya membentur pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Dia langsung melompat mundur, dan memeriksa mata pedangnya. Kedua matanya kontan membeliak lebar melihat mata pedangnya gompal. Sedangkan pergelangan tangan Bayu tidak mengalami luka sedikit pun. Ternyata pedang itu tepat menghantam Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

"Keparat...!" geram Sura Antaka. Laki-laki setengah baya itu melemparkan pedangnya, kemudian mencabut sepasang tongkat pendek yang kedua ujungnya runcing. Tongkat itu berwarna merah menyala bagai terbakar. Sambil berteriak keras, Sura Antaka melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan sengit pun tidak dapat dihindari lagi.

Sementara di tempat lain yang agak jauh, Raden Arga Yuda dan dua panglima dari Kerajaan Gelang Wesi memperhatikan tanpa berkedip. Mereka begitu terpesona, sehingga lupa terhadap Dewi Mustikaweni yang masih terikat pada tonggak kayu.

Jurus demi jurus berlalu cepat tanpa terasa. Namun pada saat memasuki jurus kesebelas, satu pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Sura Antaka berusaha membendung dengan mengibaskan satu tongkatnya. Dugaannya, Bayu akan menarik pulang pukulannya. Namun yang terjadi justru sangat mengejutkan.

"Hyaaa...!"

Trak!

Bayu tidak menarik pulang pukulannya, bahkan dikempos tenaga dalamnya agar lebih tinggi lagi. Satu pukulan bertenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan itu langsung menghantam tongkat merah pendek hingga patah jadi dua bagian. Sura Antaka tersentak kaget. Tapi belum juga bisa menarik mundur dirinya, Bayu sudah melepaskan lagi satu pukulan telaknya.

"Hup!" Buru-buru Sura Antaka membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali menjauh.

Dan pada saat melompat bangkit, Bayu telah mengibaskan tangan kanannya sambil agak membungkuk miring ke kiri. Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel pada pergelangan tangan kanannya melesat bagai kilat.

Sesaat Sura Antaka terkesiap. Dan belum lagi bisa melakukan sesuatu, mendadak saja Cakra Maut itu sudah menghunjam dalam di perutnya. Sura Antaka menjerit keras sambil memegangi perutnya yang sobek Darah mengalir keluar demikian deras.

"Saatmu sudah tiba, Sura Antaka!" bentak Bayu menggelegar. "Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka itu melompat cepat lalu berputar dua kali di udara. Begitu kakinya mendarat tepat di depan laki-laki setengah baya itu, kedua tangannya bergerak cepat menghantam kepala Sura Antaka dari dua sisi.

"Prak!"

"Aaa...!" Sura Antaka menjerit melengking tinggi. Kedua tangan Pendekar Pulau Neraka mengepruk kepala Sura Antaka hingga hancur. Dan sebelum tubuh laki-laki setengah baya itu ambruk, satu pukulan keras kembali menghantam dada. Tak ayal lagi, tubuh setengah baya itu terpental jauh dan menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Sedikit pun tak ada gerakan. Sura Antaka tewas seketika itu juga.

Bayu melompat cepat menghampiri Dewi Mustikaweni, lalu melepaskan ikatan pada tangan gadis itu. Dewi Mustikaweni langsung memeluk pemuda berbaju kulit harimau itu, dan seketika tangisnya pecah dalam pelukan Bayu Hanggara. Tampak Arga Yuda dan dua orang panglimanya menghampiri. Pelahan Bayu melepaskan pelukan Dewi Mustikaweni.

"Kakakmu, Weni," bisik Bayu seraya melirik Raden Arga Yuda yang sudah berada dekat.

Dewi Mustikaweni menatap Bayu sejenak, lalu beralih pada pemuda berwajah tampan yang pernah masuk ke dalam kamarnya beberapa hari yang lalu. Pemuda yang juga pernah akan menculiknya dalam penyamaran bernama Gagak Codet. Dewi Mustikaweni kembali menatap Bayu Hanggara, dan Pendekar Pulau Neraka itu mengangguk seraya memberikan senyuman manis.

"Kakang...," desah Dewi Mustikaweni.

"Adikku..., Weni."

Dua manusia yang sudah terpisah sekian tahun lamanya itu saling berpelukan, melepaskan kerinduan yang selama ini terpendam dalam dada. Dewi Mustikaweni tidak bisa lagi menahan air matanya. Sebuah tangisan bahagia, haru, dan entah apa lagi yang ada dalam dadanya. Yang jelas, perasaannya seperti meledak-ledak. Betapa tidak? Ternyata, setelah hampir sekian tahun, baru sekaranglah dia bertemu saudara sekandungnya.

Sementara Pendekar Pulau Neraka menarik napas panjang. Sebentar ditatapnya kakak beradik yang sedang berpelukan itu, kemudian melesat cepat. Begitu sempurnanya ilmu yang dimiliki Bayu. Sehingga, sebelum ada yang menyadari, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

"Mari kita pulang, Dinda Weni. Ibu sudah menunggu," ajak Raden Arga Yuda lembut seraya melepaskan pelukannya.

"Kakang Bayu...," desis Dewi Mustikaweni teringat akan pemuda yang telah merenggut sekeping hatinya.

Tapi di situ tidak ada lagi Pendekar Pulau Neraka. Dewi Mustikaweni berteriak keras memanggil Bayu Hanggara, namun yang dipanggil tidak juga muncul. Beberapa kali Dewi Mustikaweni berteriak memanggil. Sampai suaranya serak, Bayu tidak juga muncul.

"Sudahlah, Dinda. Mungkin dia masih mempunyai tugas lain yang harus diselesaikan," ujar Raden Arga Yuda seraya merengkuh pundak gadis itu.

"Apakah dia akan kembali lagi, Kakang?" tanya Dewi Mustikaweni.

Raden Arga Yuda hanya menarik napas, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia sendiri tidak tahu, apakah Pendekar Pulau Neraka akan kembali atau tidak sama sekali. Disadari betul kalau Bayu seorang pendekar kelana yang tidak pernah menetap pada satu tempat saja.

Bayu bisa mendapat tugas dari Prabu Nayadarma, itu karena dia telah menolong raja Gelang Wesi itu dari gerombolan perampok Partai Naga Merah yang dipimpin Sura Antaka. Melihat kemampuan Pendekar Pulau Neraka itu, maka Prabu Nayadarma minta bantuannya untuk membebaskan keponakannya. Siapa lagi kalau bukan Dewi Mustikaweni yang sudah berada di tangan Sura Antaka sejak masih berusia satu tahun.

"Kakang...."

"Ayo kita pulang, Dinda Weni," ajak Raden Arga Yuda mendesah panjang.

Mereka kemudian melangkah pergi meninggalkan puing-puing kejayaan Partai Naga Merah. Dua orang panglima dari Gelang Wesi mengikuti dari belakang. Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi.

Namun terlihat jelas pada raut wajah kalau Dewi Mustikaweni merasa ada yang tertinggal di sini. Entah apa yang hilang pada dirinya? Tapi yang jelas, tak akan terlupakan kenangan manisnya bersama Pendekar Pulau Neraka. Pemuda yang pertama kali mencium bibirnya, sekaligus menggetarkan jantungnya. Dewi Mustikaweni hanya bisa berharap untuk bertemu kembali dengan pendekar muda yang bernama Bayu Hanggara itu.

S E L E S A I