Beribadah Kepada Allah Dengan Jiwa Merdeka - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items


Beribadah Kepada Allah Dengan Jiwa Merdeka - Salah satu ajaran dalam Islam adalah tentang ibadah. Ibadah menjadi salah satu risalah bukan dimaksudkan untuk membebani umat Nabi Muhammad SAW, melainkan untuk mengarahkan perilaku manusia menjadi terarah dengan lebih baik sehingga manusia sebagai khalifah dapat menjalankannya dengan sebaik-baiknya.

Allah SWT sebagai pencipta manusia, sejak semula telah menetapkan kehendak-Nya agar manusia senantiasa beribadah kepada-Nya. Demikian pula ketika eksistensi manusia telah terwujud, ketentuan atau perintah yang diperuntukkan manusia pun tidak lain kecuali beribadah dengan dilandasi kesadaran, ketaatan dan keihklasan dalam mengamalkannya.

Dalam melaksanakan ibadahnya, umat tergolong menjadi dua. Yaitu:

1. Tulus

Golongan ini sering disebut dengan mukhlishin lahu ad-din hunafa. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻣِﺮُﻭﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻴَﻌْﺒُﺪُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣُﺨْﻠِﺼِﻴﻦَ ﻟَﻪُ ﺍﻟﺪِّﻳﻦَ ﺣُﻨَﻔَﺎﺀَ ﻭَﻳُﻘِﻴﻤُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻭَﻳُﺆْﺗُﻮﺍ ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَ ۚ ﻭَﺫَٰﻟِﻚَ ﺩِﻳﻦُ ﺍﻟْﻘَﻴِّﻤَﺔ

"Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." – (QS Al-Bayyinah [98]: 5)

2. Tidak tulus

Golongan kedua ini disebut ya‘budullaha ‘ala harf. Allah Ta'ala berfirman,

ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺒُﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪَﻋَﻠَﻰٰ ﺣَﺮْﻑٍ ۖ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑَﻪُ ﺧَﻴْﺮٌ
ﺍﻃْﻤَﺄَﻥَّ ﺑِﻪِ ۖ ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑَﺘْﻪُ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﺍﻧْﻘَﻠَﺐَ ﻋَﻠَﻰٰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺧَﺴِﺮَ
ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓَ ۚ ﺫَٰﻟِﻚَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﺨُﺴْﺮَﺍﻥُ ﺍﻟْﻤُﺒِﻴﻦُ

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS al-Hajj [22]: 11).


Beribadah kepada Allah dengan jiwa yang merdeka


Dari kedua golongan diatas, tentu saja kita dapat menentukan mana yang benar dan yang tidak. Tetapi, dalam kelompok pertama pun ada tiga model pendekatan. Dalam buku Nahj al Balaghah, sebuah buku kumpulan nasehat, wejangan, dan kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib yang disusun dan dikumpulkan Asy-Syarîf ar-Radhiy, sahabat Ali bin Abi Thalib berkata;

“Ada orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu, itu adalah cara ibadahnya pedagang. Ada orang yang beribadah kepada Allah karena takut, itu cara ibadahnya budak atau hamba sahaya. Ada pula orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur, itulah cara ibadahnya orang-orang yang merdeka.”

1. Cara beribadah pedagang

Orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu. Maka itu termasuk cara beribadahnya pedagang. Dia beribadah karena mengharapkan dapat pahala atau ketika bersedekah dia mengharapkan dapat untung (supaya terkenal dan dapat pujian dari orang-orang), itu artinya dia seperti pedagang karena lebih mempertimbangkan untung dan rugi. Meski dibolehkan, ibadah cara ini bukan yang terbaik.

2. Cara beribadah budak

Jika orang baru terpanggil untuk beribadah karena takut masuk neraka, itu adalah cara ibadahnya budak atau hamba sahaya.

Ini mirip seperti pengendara sepeda motor yang memakai helm karena takut ditilang polisi, bukan demi keselamatan dirinya. Kalau tidak ada polisi, dia tidak memakai helm. Polisi boleh saja tidak ada, tetapi kecelakaan bisa terjadi kapan saja. Ibadah cara seperti ini pun boleh walaupun bukan yang terbaik.

3. Cara beribadah orang-orang berjiwa bebas

Orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur. Orang seperti ini melaksanakan shalat bukan lantaran takut neraka, tetapi semata-mata karena sadar Allah satu-satunya yang patut disembah.

Ibaratnya, ada atau tidak ada polisi, orang seperti ini akan tetap menggunakan helm demi menghindari bahaya. Orang-orang seperti ini akan lebih konsisten dalam beribadah karena merasa sudah teramat banyak nikmat Allah yang mereka terima dan patut mereka syukuri.

Sebesar apapun derita yang dialami, mereka lebih memandang kenikmatan yang ada di balik itu. Sesuatu yang patut mereka syukuri sehingga terdorong untuk terus beribadah.

Orang yang beribadah dengan cara pedagang dan budak, biasanya bersikap itung-itungan. Dia cenderung hanya mengerjakan ibadah yang wajib saja. Sudah merasa cukup kalau sudah melaksanakan shalat lima waktu. Sudah merasa cukup kalau sudah puasa Ramadhan.

Tetapi, orang yang beribadah dengan jiwa bebas akan selalu terdorong untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Sebab, orang seperti ini yakin sekali, nikmat Allah yang harus disyukuri pun begitu amat banyak, bahkan tak terhitung.

Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa Rasulullah selalu bangun malam, shalat tahajud, dan witir sampai kaki beliau bengkak. Ketika ditanya Aisyah mengapa masih saja berpayah-payah bangun malam, padahal Allah SWT sudah mengampuni dosanya, Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”

Rasa ingin bersyukur itulah yang mendorong Rasulullah melakukan banyak sekali ibadah. Dengan kata lain, ibadah yang Rasulullah lakukan itu merupakan wujud dari kesyukuran kepada Allah atas berbagai karunia-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

 ﺇِﻧَّﺎ ﺃَﻋْﻄَﻴْﻨَﺎﻙَ ﺍﻟْﻜَﻮْﺛَﺮَ ‏(١‏)ﻓَﺼَﻞِّ ﻟِﺮَﺑِّﻚَ ﻭَﺍﻧْﺤَﺮْ ‏( ٢‏) ﺇِﻥَّ ﺷَﺎﻧِﺌَﻚَ ﻫُﻮَ ﺍﻷﺑْﺘَﺮُ ‏(٣ 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS al-Kautsar [108]: 1-3).

Beribadah Kepada Allah Dengan Jiwa Merdeka


Beribadah Kepada Allah Dengan Jiwa Merdeka - Salah satu ajaran dalam Islam adalah tentang ibadah. Ibadah menjadi salah satu risalah bukan dimaksudkan untuk membebani umat Nabi Muhammad SAW, melainkan untuk mengarahkan perilaku manusia menjadi terarah dengan lebih baik sehingga manusia sebagai khalifah dapat menjalankannya dengan sebaik-baiknya.

Allah SWT sebagai pencipta manusia, sejak semula telah menetapkan kehendak-Nya agar manusia senantiasa beribadah kepada-Nya. Demikian pula ketika eksistensi manusia telah terwujud, ketentuan atau perintah yang diperuntukkan manusia pun tidak lain kecuali beribadah dengan dilandasi kesadaran, ketaatan dan keihklasan dalam mengamalkannya.

Dalam melaksanakan ibadahnya, umat tergolong menjadi dua. Yaitu:

1. Tulus

Golongan ini sering disebut dengan mukhlishin lahu ad-din hunafa. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻣِﺮُﻭﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻴَﻌْﺒُﺪُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣُﺨْﻠِﺼِﻴﻦَ ﻟَﻪُ ﺍﻟﺪِّﻳﻦَ ﺣُﻨَﻔَﺎﺀَ ﻭَﻳُﻘِﻴﻤُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻭَﻳُﺆْﺗُﻮﺍ ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَ ۚ ﻭَﺫَٰﻟِﻚَ ﺩِﻳﻦُ ﺍﻟْﻘَﻴِّﻤَﺔ

"Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." – (QS Al-Bayyinah [98]: 5)

2. Tidak tulus

Golongan kedua ini disebut ya‘budullaha ‘ala harf. Allah Ta'ala berfirman,

ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺒُﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪَﻋَﻠَﻰٰ ﺣَﺮْﻑٍ ۖ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑَﻪُ ﺧَﻴْﺮٌ
ﺍﻃْﻤَﺄَﻥَّ ﺑِﻪِ ۖ ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺻَﺎﺑَﺘْﻪُ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﺍﻧْﻘَﻠَﺐَ ﻋَﻠَﻰٰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺧَﺴِﺮَ
ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓَ ۚ ﺫَٰﻟِﻚَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﺨُﺴْﺮَﺍﻥُ ﺍﻟْﻤُﺒِﻴﻦُ

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS al-Hajj [22]: 11).


Beribadah kepada Allah dengan jiwa yang merdeka


Dari kedua golongan diatas, tentu saja kita dapat menentukan mana yang benar dan yang tidak. Tetapi, dalam kelompok pertama pun ada tiga model pendekatan. Dalam buku Nahj al Balaghah, sebuah buku kumpulan nasehat, wejangan, dan kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib yang disusun dan dikumpulkan Asy-Syarîf ar-Radhiy, sahabat Ali bin Abi Thalib berkata;

“Ada orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu, itu adalah cara ibadahnya pedagang. Ada orang yang beribadah kepada Allah karena takut, itu cara ibadahnya budak atau hamba sahaya. Ada pula orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur, itulah cara ibadahnya orang-orang yang merdeka.”

1. Cara beribadah pedagang

Orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu. Maka itu termasuk cara beribadahnya pedagang. Dia beribadah karena mengharapkan dapat pahala atau ketika bersedekah dia mengharapkan dapat untung (supaya terkenal dan dapat pujian dari orang-orang), itu artinya dia seperti pedagang karena lebih mempertimbangkan untung dan rugi. Meski dibolehkan, ibadah cara ini bukan yang terbaik.

2. Cara beribadah budak

Jika orang baru terpanggil untuk beribadah karena takut masuk neraka, itu adalah cara ibadahnya budak atau hamba sahaya.

Ini mirip seperti pengendara sepeda motor yang memakai helm karena takut ditilang polisi, bukan demi keselamatan dirinya. Kalau tidak ada polisi, dia tidak memakai helm. Polisi boleh saja tidak ada, tetapi kecelakaan bisa terjadi kapan saja. Ibadah cara seperti ini pun boleh walaupun bukan yang terbaik.

3. Cara beribadah orang-orang berjiwa bebas

Orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur. Orang seperti ini melaksanakan shalat bukan lantaran takut neraka, tetapi semata-mata karena sadar Allah satu-satunya yang patut disembah.

Ibaratnya, ada atau tidak ada polisi, orang seperti ini akan tetap menggunakan helm demi menghindari bahaya. Orang-orang seperti ini akan lebih konsisten dalam beribadah karena merasa sudah teramat banyak nikmat Allah yang mereka terima dan patut mereka syukuri.

Sebesar apapun derita yang dialami, mereka lebih memandang kenikmatan yang ada di balik itu. Sesuatu yang patut mereka syukuri sehingga terdorong untuk terus beribadah.

Orang yang beribadah dengan cara pedagang dan budak, biasanya bersikap itung-itungan. Dia cenderung hanya mengerjakan ibadah yang wajib saja. Sudah merasa cukup kalau sudah melaksanakan shalat lima waktu. Sudah merasa cukup kalau sudah puasa Ramadhan.

Tetapi, orang yang beribadah dengan jiwa bebas akan selalu terdorong untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Sebab, orang seperti ini yakin sekali, nikmat Allah yang harus disyukuri pun begitu amat banyak, bahkan tak terhitung.

Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa Rasulullah selalu bangun malam, shalat tahajud, dan witir sampai kaki beliau bengkak. Ketika ditanya Aisyah mengapa masih saja berpayah-payah bangun malam, padahal Allah SWT sudah mengampuni dosanya, Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”

Rasa ingin bersyukur itulah yang mendorong Rasulullah melakukan banyak sekali ibadah. Dengan kata lain, ibadah yang Rasulullah lakukan itu merupakan wujud dari kesyukuran kepada Allah atas berbagai karunia-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

 ﺇِﻧَّﺎ ﺃَﻋْﻄَﻴْﻨَﺎﻙَ ﺍﻟْﻜَﻮْﺛَﺮَ ‏(١‏)ﻓَﺼَﻞِّ ﻟِﺮَﺑِّﻚَ ﻭَﺍﻧْﺤَﺮْ ‏( ٢‏) ﺇِﻥَّ ﺷَﺎﻧِﺌَﻚَ ﻫُﻮَ ﺍﻷﺑْﺘَﺮُ ‏(٣ 

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS al-Kautsar [108]: 1-3).