Perserikatan Naga Api Jilid 23

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Jilid 23 Karya Stevanus S.P

Perserikatan Naga Api Jilid 23

SEHABIS makan siang dan mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat di tempat masing-masing, Wi-hong dan Wi-lian segera memanggil pelayan tua itu ke tempat penyimpanan buku. Ruangan buku itu ternyata juga sudah dibangun seperti aslinya dulu, namun buku-bukunya sudah banyak berkurang karena termakan api ketika penyerbuan orang-orangnya Cia To-bun dua tahun yang lalu.

Tong Wi-hong lah yang pertama kali bertanya kepada pelayan tua itu, “Paman, betapapun baiknya kau melayani kami, tapi hati kami tidak akan tenteram sebelum mendapat jawaban dari beberapa pertanyaan yang akan kami tanyakan kepada paman ini.”

Pelayan itu mengerutkan alisnya, “Kenapa harus merasa tidak tenteram? Bukankah tuan muda dan nona ada di dalam rumah sendiri?”

Supaya pembicaraan tidak bertele-tele, Wi-hong langsung bicara secara terus terang, “Paman, memang sudah menjadi tekad kami untuk pulang ke rumah ini, sebab rumah ini memang pusaka leluhur kami yang akan kami pertahankan dengan cara apapun. Tetapi kami benar-benar tidak membayangkan bahwa rumah ini telah diperbaiki sehingga utuh seperti semula, padahal kami sudah membayangkan bahwa yang akan kami temui hanyalah puing-puing tak berguna. Yang kurang menenteramkan hati kami adalah soal bahwa kami tidak tahu siapakah yang telah membangun kembali rumah ini.”

Muka si pelayan tua semakin menampakkan keheranannya, “Lho, tentu saja aku yang memperbaikinya, sebab bukankah aku telah menerima kiriman uang dari tuan muda dalam jumlah besar sebagai pembiayaan perbaikan rumah ini?”

“Kau keliru, paman, kami merasa belum pernah mengirimkan uang sepersenpun kepada paman, meskipun kami punya niat pula untuk membangun kembali rumah ini,” sahut Wi-lian dengan jujur.

Kali ini giliran si pelayan tua yang terlongong heran. Katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Kalau begitu, benar-benar suatu kejadian yang aneh.”

“Kami pun merasa aneh, karena tahu-tahu menemui rumah kami dalam keadaan baik dan bahkan telah dilengkapi pula dengan para pelayan,” kata Wi-hong. Sementara itu di dalam hatinya dia sudah dapat menduga siapakah yang telah melakukan perbuatan itu, namun ia belum mengatakannya karena ingin lebih dulu mencari keterangan si pelayan tua itu.

Wi-lian juga punya pikiran yang sama dengan kakaknya itu. Maka dia mendesak si pelayan tua, “Karena itu paman harus menceritakan semua yang terjadi berkenaan dengan dibangunnya kembali rumah ini.”

Si pelayan tua itupun merasa bahwa barangkali kakak-beradik yang duduk dihadapannya itu akan bisa ikut menyingkapkan semua teka-teki itu. Karena itu tanpa disuruh untuk kedua kalinya, diapun segera menceritakan suatu kisah yang diawali kurang lebih dua bulan yang lalu. Tadinya si pelayan tua itu adalah seorang yang mendapatkan nafkahnya dengan jalan menyewakan perahu untuk para pelancong yang ingin berdayung di telaga Po-yang-ou.

Namun kemudian, entah apa sebabnya para pelancong yang bertamasya ke Po-yang-ou semakin lama semakin sedikit, sehingga rejeki si tukang menyewakan perahu itupun mulai merosot banyak. Si tukang perahu yang bernama Lau Hok itupun kemudian mulai terlibat hutang yang makin lama makin mencekik leher. Pada suatu ketika, ia tidak tahan lagi mendengar rengekan anak isterinya yang terus-menerus minta makan, karena pikirannya gelap, ia segera menuju ke tepi telaga dan berniat akan menggantung diri di tempat yang sepi.

Pada saat tali sudah diikatkan di dahan pohon, dan lehernya pun sudah terjerat pula, tinggal melompat dari atas pohon, tiba-tiba ada seseorang yang melihat perbuatannya dan mencegahnya. Orang yang mencegahnya bunuh diri itu ternyata adalah seorang pendeta Buddha yang bertubuh gemuk pendek, kepalanya gundul, tetapi di janggutnya ada segumpal jenggot keriting berwarna pirang, bola matanya berwarna biru.

Jelaslah pendeta Buddha itu bukan seorang bangsa Han melainkan seorang berasal dari suku-suku bangsa di sebelah barat. Begitu mendekati Lau Hok, dia langsung memuji keagungan Buddha dan memberi beberapa nasehat agar Lau Hok membatalkan niatnya untuk bunuh diri itu. Kemudian pendeta Buddha itu bertanya, “Tuan, tahukah tuan dimana rumah mendiang Tong Tian yang bergelar Kiang-se-tay-hiap itu?”

Di dalam hatinya Lau Hok menggerutui pendeta Buddha ini, karena ingin matipun ternyata dicegah, apalagi kalau memikirkan anak isteri yang kelaparan di rumah. Maka acuh tak acuh saja dia menjawab pertanyaan si rahib, “Aku tidak tahu...”

Padahal Lau Hok ini sudah cukup lama Lau Hok menjadi penduduk An-yang-shia, tentu saja dia tahu dimana letak rumah Kiang-se-tay-hiap yang telah dibumi hanguskan itu, hanya saja Lau Hok memang sedang mendongkol dan malas menjawab. Tapi nasib Lau Hok memang sedang bagus. Rahib itu ternyata tidak tersinggung ketika menghadapi sikap Lau Hok yang dingin itu. Agaknya rahib itu maklum bahwa Lau Hok sedang pepat pikirannya, maka untuk melonggarkan pikirannya diambilnya segumpal uang perak dari dalam jubah pendetanya, dan katanya sambil tersenyum bijaksana,

“Tuan, kewajiban orang hidup adalah tolong menolong, jika tuan sedang dalam kesulitan, maka aku si pendeta miskin ini sanggup juga menolong dengan sedikit uang dan dengan beberapa nasehat Sang Buddha sendiri. Tetapi akupun sedang bingung untuk menemukan rumah dari Tong...”

“Aku tahu rumah Tong Tay-hiap!” Tiba-tiba saja semangat hidup Lau Hok berkobar kembali. Pandangan matanya berkali-kali melirik kearah gumpalan uang perak dalam genggaman rahib asing itu.

Jika Lau Hok mau berpikir agak jernih sedikit, tentu dia akan heran karena melihat seorang rahib membawa uang sebanyak itu, sebab biasanya kaum rahib ini hidup dari hasil mengemis dan hidup secara sederhana pula. Tetapi pikiran Lau Hok saat itu sedang tidak begitu jernih, pikirannya hanya terpusat bagaimana bisa bebas dari rengekan anak isterinya.

Ternyata kemudian, segumpal uang perak yang didapatkan oleh Lau Hok itu bukan yang terakhir, tapi baru merupakan “pembukaan” dari rejeki besar yang datang selanjutnya. Bahkan Lau Hok mendadak berubah menjadi orang paling kaya di kampungnya. Rahib asing itu ternyata kemudian memberi suatu pekerjaan yang empuk kepada Lau Hok.

Yaitu Lau Hok harus mengumpulkan tukang-tukang untuk memperbaiki rumah Kiang-se-tay-hiap, begitu pula tugas untuk mengawasi pekerjaan tukang-tukang itupun diserahkan kepada Lau Hok. Untuk pekerjaan seringan itu, Lau Hok mendapat upah diluar dugaannya sendiri.

Cerita si pelayan tua yang bernama Lau Hok itu diperhatikan oleh Wi-hong dan adiknya dengan seksama. Wi-hong menoleh kepada adiknya dan berkata, “Aku bertambah yakin bahwa A-siang lah yang memperbaiki rumah ini. Tapi A-siang hanya bekerja di belakang layar, sebab rahib asing itu mungkin hanya suruhannya. Kalau bukan A-siang yang memperbaikinya, bagaimana mungkin paman Lau sendirian saja bisa mengatur kembali rumah ini sehingga persis seperti semula?”

“Aku sependapat denganmu,” dukung adiknya. “Tetapi aku tidak tahu entah cara apa yang digunakan oleh A-siang untuk mengawasi jalannya pemugaran ini sampai persis seperti semula?”

Wi-lian lalu memandang kepada Lau Hok dan bertanya, “Paman Lau, selama kau mengawasi pemugaran rumah ini apakah kau merasakan sesuatu yang tidak wajar? Coba kau bicara sejujurnya saja.”

Lau Hok menarik napas panjang, tetapi kemudian ia tersenyum geli dan berkata, “Nona Wi-lian bagaikan seorang yang memiliki sepasang mata malaikat saja, dapat tahu segala-galanya dari kejauhan. Agaknya aku tidak dapat membohongi nona. Memang, selama aku memimpin pemugaran rumah ini, aku merasakan adanya suatu keanehan. Secara resmi aku adalah pemimpin pekerjaan pemugaran itu, tukang-tukang itu akulah yang memanggilnya. Tetapi ternyata ada seorang tukang batu yang memiliki suatu pengaruh kuat atas diriku. Benar-benar aneh, aku menuruti saja apa yang diusulkan oleh tukang batu yang aneh itu. Jika aku diperintahkan untuk meletakkan meja di dekat pintu, maka aku tidak akan berani untuk meletakkan di tempat lain. Jika tukang batu itu bilang bahwa bentuk kursinya harus begini, maka aku menuruti saja. Kedengarannya memang aneh, seorang mandor diperintah-perintah oleh seorang tukang batu tanpa kuasa membantahnya.”

“Bagaimana tampang tukang batu yang aneh itu, paman?”

“Kalau kuamati, sebenarnya dia cukup tampan juga. Namun agaknya mukanya sengaja dibuat kotor dengan arang dan tanah, sehingga akupun sulit melihat wajah yang sebenarnya,” potong Lau Hok. “Gerak-geriknya pun kadang-kadang tidak mencerminkan gerak-gerik seorang tukang batu, tapi lebih mirip seorang pemimpin yang biasa memerintah orang.”

Hampir berbarengan Wi-hong dan Wi-lian tertawa, dan bergumam, “Si bengal itu benar-benar cerdik. Ia dapat mengatur pemugaran rumah ini menurut kehendaknya, tetapi tanpa memunculkan dirinya sendiri yang sebenarnya. Bahkan hasilnyapun persis dengan apa yang diingininya.”

Lau Hok tidak mengerti mendengar percakapan kakak beradik itu, namun sebagai seorang pelayan dia tidak terlalu banyak bertanya, apalagi karena nampaknya kakak beradik itupun tidak berniat untuk menerangkannya. Kemudian Lau Hok minta diri keluar dari ruangan itu untuk meneruskan tugas-tugas sehari-harinya.

Sedangkan bagi Wi-hong dan adiknya, semua cerita Lau Hok itu cukup untuk memberi isyarat bagi mereka, bahwa pertemuan dengan kakak tertua yang sangat dirindukan itu agaknya sudah tidak lama lagi. Wi-lian yang punya hubungan sangat erat dengan Tong Wi-siang, sampai tidak bisa tidur semalam suntuk, sebab memikirkan pertemuannya dengan kakaknya itu.

Setelah beristirahat sehari penuh di rumah keluarga Tong itu, keesokan harinya Tong Wi-hong mulai mengajak adiknya dan kawan-kawannya untuk melakukan rencana mereka berikutnya, yaitu mencari makam ayahnya, dan kalau perlu membongkar kembali kuburannya dan memakamkan lagi jenazahnya secara lebih layak dan terhormat. Mereka terbagi dalam tiga rombongan.

Rombongan pertama adalah Wi-hong dan Cian Ping, rombongan kedua Tong Wi-lian dan Ting Bun, sedang rombongan ketiga adalah kakak beradik So Hou dan So Pa, si sepasang harimau pegunungan. Karena sekitar rumah keluarga Tong itu berbukit-bukit dan kurang tepat untuk para penunggang kuda, maka ketiga rombongan itu akan melakukan pencariannya dengan berjalan kaki saja. Mereka juga saling bersepakat untuk memberi tanda dengan suitan, jika salah satu telah menemukan makam itu atau karena membutuhkan bantuan.

Wi-hong dan Cian Ping langsung mendaki bukit yang terletak di belakang rumah keluarga Tong, dengan arah lurus ke atas. Ting Bun dan Tong Wi-lian kebagian tugas untuk menyusuri tepi telaga ke arah utara dan kemudian membelok ke timur, untuk mengitari daerah perbukitan. Sedang dua saudara Ho menyusuri tepi telaga ke selatan, dan nantinya juga akan membelok ke timur. Jadi gerakan ketiga rombongan pencari itu membentuk seperti trisula.

Tepat menjelang tengah hari, ternyata rombongan dua saudara So itulah yang lebih dulu menemukan apa yang mereka cari, sebab dari arah selatan bukit itu terdengar suitan nyaring dua kali berturut-turut. Rombongan-rombongan yang lainpun segera mengubah arah dan serentak menuju ke arah selatan bukit. Begitu rombongan-rombongan itu tiba di bagian selatan bukit itu, terbeliaklah mata Wi-hong dan adiknya.

Mereka tidak menjumpai sebuah makam yang hanya berujud segundukan tanah yang ditumbuhi rumput liar, melainkan sebuah bangunan yang luar biasa mewah dan indahnya, berlapiskan batu pualam, sedangkan panjang maupun lebarnya memakan tempat puluhan tombak persegi. Bahkan beberapa puluh langkah dari makam mewah itu dibangun pula sebuah rumah pemujaan arwah yang juga sangat indah, dan jelas menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Pada bong-pay (batu nisan) yang terbuat dari pualam hitam yang sangat mahal itu, terukirlah huruf-huruf berwarna emas yang bermakna, “Makam Kiang-se-tay-hiap Tong Tian yang agung”. Lalu di bagian bawah dari batu nisan itu terukir pula huruf-huruf emas yang bentuknya lebih kecil, “Dipersembahkan oleh anak yang berdosa, Tong Wi-siang”.

Berhadapan dengan makam tempat tulang belulang ayahnya terpendam, seketika itu luluhlah kekerasan hati Wi-hong dan Wi-lian berdua. Tanpa dapat menahan perasaannya lagi, kakak beradik itu jatuh berlutut di depan makam sang ayah, dan menangis terisak-isak. Suasana yang sangat mengharukan itu mempengaruhi pula orang-orang lainnya, sehingga mereka pun ikut berlutut dan menunjukkan hormatnya kepada kuburan Kiang-se-tay-hiap Tong Tian itu.

Segala perlengkapan sembahyang yang memang sudah dipersiapkan dari rumah tadi, sekarang dikeluarkan semua dan mulai diatur di atas altar batu di depan makam. Sesaat kemudian, tempat itu telah dipenuhi dengan bau dupa yang harum, suasana khidmat menyelubungi hati masing-masing.

Selesai bersembahyang, Wi-hong lalu berkata kepada adiknya, “Meskipun A-siang itu bersifat bengal dan keras kepala luar biasa, tetapi ternyata masih memiliki sifat kebaktian kepada orang tuanya, rasa penyesalannya pun telah ditunjukkannya dengan jalan memperbaiki makam ayah sehingga menjadi seindah ini, bahkan membangun pula rumah abu untuk menghormat arwah beliau.”

Wi-lian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengusap-usap matanya yang masih basah. Sahutnya dengan suara yang semakin tersendat, A-siang bukan seorang jahat, aku tahu pasti tentang sifatnya, ia hanya menjadi bengal karena terpengaruh oleh teman-temannya.”

“Mari kita melihat ke dalam rumah abu itu,” kata Wi-hong. Keenam orang itu segera melangkah ke arah rumah abu yang indah itu, yang letaknya tidak jauh dari makam. Tong Wi-hong yang berjalan paling depan itu segera melangkah masuk, namun tiba-tiba dia berseru kaget dan melangkah keluar kembali dengan muka yang agak pucat. Kesan seram masih nampak di wajahnya.

“Ada apa?” tanya Cian Ping dan Wi-lian berbarengan.

“Kalian masuk dan lihatlah sendiri, tetapi siapkah perasaan kalian agar tidak terlalu kaget,” kata Wi-hong.

Kedua orang gadis itupun segera melangkah masuk ke dalam rumah abu dengan diiringi oleh Ting Bun dan dua saudara So, sambil menabahkan hati mereka. Dan ternyata apa yang mereka saksikan di dalam rumah abu itu memang cukup membuat bulu tengkuk mereka bergidik ngeri.

Rumah abu itu sendiri sebenarnya adalah dalam keadaan bersih dan indah. Di tengah-tengah ruangan nampaklah patung Kiang-se-tay-hiap Tong Tian yang sedang berdiri dengan gagah dengan pedang terhunus, pakaiannya bukan pakaian manusia biasa melainkan mirip dengan pakaian malaikat-malaikat dan dewa-dewa seperti yang dapat dilihat dalam lukisan kuno. Pembuatan patung itu demikian halus dan hebatnya, sehingga patung itu terasa hidup, seakan orang yang memandangnya akan merasa berhadapan dengan Tong Tian semasa hidupnya.

Yang membuat Wi-hong dan lain-lainnya bergidik, adalah karena adanya delapan butir batok kepala manusia yang masih segar darahnya, tergolek di meja sembahyang di depan patung itu. Delapan butir kepala manusia itu sudah dikerumuni lalat, namun masih belum membusuk, menandakan belum terlalu lama “dipetik” dari leher pemiliknya. Setiap butir kepala manusia terletak di atas sebuah piring pualam yang mahal, seakan-akan memang dipersembahkan kepada patung itu.

Tanpa diberi tahupun Wi-hong dan adiknya akan segera tahu siapakah yang telah meletakkan batok-batok kepala itu, sebab mereka melihat kepala Cia To-bun dan kepala Cia Bok, anaknya, terletak di antara batok-batok kepala itu. Lain-lainnya mungkin adalah batok kepala sanak keluarga Cia To-bun yang bernasib malang.

“A-siang bertindak tidak kepalang tanggung,” gumam Wi-hong sambil mengerutkan alisnya.

Yang lain-lainnya pun bungkam tidak menjawab gumam Wi-hong itu, tetapi dalam hati mereka merasa bahwa cara yang dipergunakan oleh Tong Wi-siang dalam membalaskan sakit hati orang tuanya, ternyata adalah cara yang mirip dengan cara-cara kaum sesat. Bahkan Wi-lian yang selama ini sudah agak terpengaruh oleh ajaran agama Buddha, merasa bahwa cara Wi-siang membalas dendam itu benar-benar agak keterlaluan.

Karena di dalam rumah abu itu ternyata kurang sedap dilihatnya, maka Wi-hong dan kawan-kawannya pun merasa segan untuk tinggal terlalu lama di dalam rumah abu itu. Setelah berlutut ke arah patung Kiang-se-tay-hiap Tong Tian, mereka pun segera keluar dari situ.

Begitu mereka telah melangkah keluar, kembali terjadi peristiwa lain yang menarik perhatian. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di depan makam Kiang-se-tay-hiap itu kini ada seorang rahib Buddha bertubuh gemuk pendek sedang duduk bersila. Rahib itu bermata biru dan jenggotnya keriting pirang. Tangannya memegang sebatang hong-pian-jan (toya yang ujungnya berbentuk bulan sabit). Rahib itu memandang orang-orang muda yang baru keluar dari rumah abu itu dengan pandangan yang ramah, dan sama sekali tidak mengandung sikap bermusuhan.

“Siapakah di antara kalian ini yang bernama Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian?” tanya rahib ini secara langsung.

Wi-hong maju ke depan sambil berkata dengan hormat, “Aku yang rendah adalah Tong Wi-hong,” lalu katanya sambil menunjuk kepada Wi-lian, “...dan ini adalah Tong Wi-lian, adikku.”

Rahib itu mengangguk-anggukkan kepala gundulnya sambil tertawa girang. Dari dalam jubah pendeknya dia mengeluarkan sehelai sampul surat, yang lalu diangsurkannya kepada Wi-hong sambil berkata, “Aku mendapat tugas untuk menyampaikan sampul surat ini kepada kalian. Terimalah.”

“Siapakah yang menugaskan tay-su (bapak pendeta)?” tanya Wi-hong sambil menerima sampul surat itu.

Rahib itu memutarkan pandangan matanya, berganti-ganti memandang ke arah Cian Ping, Ting Bun dan dua saudara So, lalu berkata, “Maaf, aku tidak bisa bicara terlalu banyak. Sekarang aku mohon pamit.”

Lalu dari duduk silanya itu dia tahu-tahu melompat berdiri, lalu tubuhnya yang bulat mirip bola daging raksasa itu tahu-tahu telah meluncur pergi secepat kilat. Ia seolah-olah terbang di atas tanah. Meskipun kakinya tidak terlihat menapak tanah, namun gerakannya cepat bukan main, dalam sekejap saja sudah tidak tampak lagi bayangannya. Keruan saja orang-orang muda terlongong melihat kepandaian setinggi itu. Agaknya tokoh-tokoh seperti Sebun Say dan Tang Kiau-po juga belum tentu bisa mengalahkan rahib asing yang aneh itu.

Sesaat kemudian barulah Wi-lian berkata memecahkan kesunyian, “Aku yakin bahwa dia adalah Hong-goan Hweshio yang menghilang di Jing-hay pada lima tahun yang lalu itu. Ilmu meringankan tubuh yang digunakannya itu aku tahu adalah ilmu dari cabang Siauw-lim yang disebut Co-siang-hui (terbang di atas rumput).”

Sementara itu Wi-hong telah merobek sampul surat yang diberikan oleh rahib aneh itu, lalu dibacanya suratnya yang berbunyi, “Adik-adikku A-hong dan A-lian, aku merasa sangat gembira dan bahagia bahwa tidak lama lagi kita bertiga agaknya akan berkumpul kembali seperti dulu. Nanti malam, aku sangat berharap agar kalian berdua berperahu ke tengah danau Po-yang-ou, aku akan menemui kalian di sana dan berbicara panjang lebar dengan kalian. Sebaiknya sendirian saja, tidak usah mengajak teman-teman kalian dulu, namun betapapun juga sampaikan salah hangatku untuk mereka. Dari kakakmu, Tong Wi-siang.”

“Benar-benar surat dari A-siang!” seru Wi-hong kegirangan. “Tidak mungkin palsu, aku mengenal pula gaya tulisannya!”

Demikianlah rombongan orang-orang muda itu pulang kembali ke rumah keluarga Tong. Cian Ping, Ting Bun dan dua saudara So itu ikut larut pula dalam kegembiraan yang tengah dialami Wi-hong dan adiknya itu. Mereka dapat memaklumi kenapa Wi-siang memesankan agar tidak ada orang lain yang ikut, sebab dalam pertemuan kakak beradik yang sudah lama terpisah itu tentu akan timbul pembicaraan-pembicaraan pribadi.

Rasanya Wi-hong dan Wi-lian tidak sabar melihat jalannya matahari yang demikian lambat seperti keong, mereka ingin agar matahari cepat-cepat turun dan malam pun tiba, supaya segera dapat berlangsung pertemuan yang dijanjikan itu. Ting Bun dan yang lain-lainnya pun menjadi geli juga melihat kegelisahan kakak beradik itu.

“Setelah pertemuan dengan kalian selesai,” demikianlah Ting Bun memesankan. “Kalian harus sanggup menyeret si bengal itu untuk kemari menemui aku. Bukan cuma kalian saja yang rindu kepadanya.”

“Tentu saja,” sahut Wi-lian. “A-siang tidak pernah menolak permintaanku.”

Ting Bun tertawa, “Aku percaya itu. Ketika paman Tong dan A-siang berkunjung ke rumah kami di Pak-khia beberapa tahun yang lalu, A-siang pernah bercerita kepadaku bahwa ia punya seorang adik perempuan yang suka merengek. Kadang-kadang dia jengkel juga, tapi adiknya itu sangat disayanginya.”

Yang lain-lainnya serentak tertawa mendengar ucapan Ting Bun itu. Sedang Wi-lian sendiri mukanya menjadi merah, katanya, “Biarlah, kali inipun aku akan merengek lagi kepadanya. Coba ingin kulihat dia masih sayang kepadaku atau tidak.”

Wi-hong menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu bergumam sendiri seakan mensyukuri nasib baiknya, “Untunglah aku bukan A-siang.”

Demikianlah mereka menunggu tibanya waktu yang dijanjikan, dengan cara bergurau dan bercakap-cakap. Bahkan So Hou dan So Pa juga ikut bergurau meramaikan suasana, seperti ditengah-tengah keluarganya sendiri saja. Suasana antara atasan dan bawahan tidak nampak di ruangan itu.

Akhirnya matahari tenggelam juga ditelan cakrawala, haripun menjadi gelap. Wi-hong dan Wi-lian benar-benar telah tidak sabar untuk bertemu dengan kakak mereka. Dua orang mendayung satu perahu, mereka menuju ke tengah telaga Po-yang-ou yang senja itu nampak sepi dari para pelancong. Kakak beradik itu tidak tahu dimana dan dengan cara apa dan bagaimana Tong Wi-siang akan menjumpai mereka, namun mereka yakin bahwa sang kakak akan punya cara tersendiri untuk menemui mereka.

Dan ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Sesaat kemudian dari arah depan muncullah sebuah perahu yang megah dan besar, ujungnya berhias ukiran kepala naga. Di atas perahu itu nampak suasana yang terang benderang karena ada puluhan batang lilin besar yang dinyalakan.

Di atas geladak kapal, nampak rahib asing tadi melambaikan tangan ke arah perahu Wi-hong dan Wi-lian, sambil berseru keras, “Apakah Tong Sicu dan nona Tong yang datang itu?”

“Betul,” sahut Wi-hong sambil menjura ke arah perahu.

Segera pula muncul dua orang lelaki bertubuh kekar yang mengulurkan tangga tali dari atas geladak. Sementara rahib asing itu telah berseru pula, “Silahkan kalian naik ke perahu kami!”

Wi-hong yang tidak sabar lagi ingin segera menemui kakaknya itu, tidak mau melalui tangga tali yang disediakan itu, melainkan langsung melompat ke geladak kapal dengan gerakan Yan-cu-hoan-sin (walet membalikkan badan) dengan gaya yang ringan dan mempesona. Namun baru saja ia menginjakkan kaki di atas geladak, adiknya pun ternyata telah mendaratkan kakinya di atas geladak pula.

Rahib asing itu tersenyum dan mengangkat jempolnya, ia memuji, “Ilmu meringankan tubuh yang hebat! Anak-anak muda yang bersemangat!” Dan khusus kepada Wi-lian dia berkata, “Menilik dari cara melompatmu, kau tentu seorang murid Siau-lim-pay pula. Siapakah gurumu yang terhormat?”

Tong Wi-lian yakin dengan siapa dia berhadapan, maka langsung saja dia memberi hormat dengan gaya khas perguruan Siau-lim, tangan kiri dibuka dan tangan kanan mengepal. Sahutnya hormat, “Aku adalah murid dari Suhu Hong-tay. Salam hormatku untuk paman guru Hong-goan!”

Rahib asing itu nampak tercengang karena gadis itu bisa langsung menebak siapa dirinya, namun akhirnya ia pun tertawa lebar dan berkata, “Ah, ternyata orang-orang Siau-lim-pay belum melupakan aku! Bagaimana dengan kesehatan Suhumu serta para Susiok sekalian?”

“Semuanya dalam keadaan yang baik.”

Rahib asing itu memang bukan lain adalah Hong-goan Hweshio, seorang rahib Siau-lim pula. Ia berkata sambil menarik napas panjang, “Alangkah rindunya aku untuk menemui saudara-saudara seperguruanku itu, dan menilik sendiri kesehatan mereka. Tetapi saat ini kedudukanku masih sangat menyulitkan aku untuk menemui mereka, sehingga perasaan rinduku ini terpaksa masih kupendam dalam hati.”

Tiba-tiba tirai yang menutup ruangan dalam kapal itu tersingkap dari sebelah dalam, lalu terdengarlah sebuah suara yang berat dan berwibawa, “Suatu saat pandangan orang kepada Hwe-liong-pang tentu akan berubah. Dan saat itulah kau dapat mengunjungi saudara-saudara seperguruanmu dengan bebas, Hong-goan Su-cia.”

Serempak Wi-hong dan Wi-lian menoleh ke arah orang yang bersuara itu dan serempak pula mulut mereka menyebut, “A- siang!”

Sedangkan Hong-goan Hweshio dan dua lelaki tegap yang mengulurkan tali tadi serempak membungkuk hormat sambil berkata, “Hormat kepada Pang-cu (Ketua)!”

Waktu itu Wi-lian sudah tidak mau tahu lagi bahwa A-siang yang dirindukannya itu adalah seorang Pang-cu, orang yang berkedudukan paling tinggi di Hwe-liong-pang, orang yang paling ditakuti dunia persilatan saat itu. Tapi yang ada dalam mata Wi-lian hanyalah A-siang, kakak tertuanya yang menyayanginya dan disayanginya. Maka seperti seorang anak kecil yang menemukan ibunya, Wi-lian langsung menubruk ke dalam pelukan kakaknya itu dan kemudian menangis kegirangan.

Tong Wi-siang membalas pelukan adiknya itu, lalu dibelainya rambut adiknya itu sementara matanya pun ikut berkaca-kaca. Sesaat lamanya geladak kapal itu diliputi suasana kehangatan dari pertemuan kakak beradik itu. Agak lama Wi-siang tidak bicara, setelah itu barulah ia tertawa dan berkata, “Kau masih saja kolokan seperti dahulu. Selama ini si kutu-buku itu tentu banyak dipusingkan olehmu bukan?”

Lalu Tong Wi-siang menepuk-nepuk pundak Wi-hong sambil berkata, “He, kutu buku, bagaimana keadaanmu selama ini?”

Tong Wi-hong tertawa, dia memang sudah biasa dengan panggilan “kutu buku” seperti itu. Maka dia pun menyahut, “Aku baik-baik saja. Aku tidak menduga bahwa kau benar-benar Hwe-liong-pang-cu yang disegani dunia persilatan.”

“Kalian merasa tidak senang?” tanya Wi-siang.

“Senang dan bangga,” sahut Wi-hong terus terang. “Namun aku mengharapkan agar di kemudian hari kau lebih ketat dalam mengawasi tingkah laku anak buahmu di luaran.”

Nampak alis Wi-siang berkerut sedikit, katanya, “Aku menyenangi keterus-teranganmu. Terima kasih. Tujuanku mengadakan pertemuan lengkap seluruh anggota Hwe-liong-pang ini, adalah juga untuk mengadakan pembersihan diri sendiri tanpa kenal ampun, dan mendepak keluar semua unsur yang menodai tujuan perjuangan kami. Adalah bohong belaka kabar angin yang mengatakan bahwa pertemuan Hwe-liong-pang ini justru untuk menandingi pertemuan kaum ksatria di Siong-san nanti.”

Bahwa kedua orang adiknya ternyata tidak menunjukkan sikap bermusuhan ketika mengetahui dirinya adalah Hwe-liong-pang-cu, itu sangat menggembirakan Tong Wi-siang. Ia lalu mengajak kedua adiknya itu untuk masuk ke dalam ruangan perahu, yang meskipun berhias sederhana tetapi menimbulkan rasa nyaman. Kepada Hong-goan Hweshio dan dua orang lelaki yang mengerek tali tangga tadi, Wi-siang berkata dengan gembira,

“Hong-goan Su-cia dan Ji-wi Tong- cu (anda berdua pemimpin kelompok), malam ini aku sedang dalam suasana gembira karena pertemuan dengan adik-adikku setelah sekian lama kami terpencar-pencar tanpa saling mengetahui nasib masing-masing. Maka malam ini kuundang kalian untuk ikut dalam perjamuan makan kecil kami. Yang mengundang ini bukan Hwe-liong-pang-cu kalian, melainkan Tong Wi-siang, putera sulung keluarga Tong. Marilah.”

Rahib Hong-goan dan kedua lelaki tegap itu serempak mengucapkan terima kasih, lalu tanpa sungkan-sungkan lagi mereka ikut duduk mengitari meja perjamuan yang memang sudah tersedia di tengah ruangan kapal itu. Kejadian itu menandakan bahwa dalam kehidupan sehari-harinya, agaknya Wi-siang cukup akrab dengan orang-orang bawahannya, sikap itu berbeda dengan sikap Te-liong Hiang-cu, Tang Kiau-po atau Sebun Say yang begitu kaku mempertahankan tingkat kedudukannya.

Yang membuat Wi-hong dan Wi-lian agak heran hanyalah ketika menemui kenyataan bahwa Tong Wi-siang ternyata tidak menyembunyikan diri dibalik topeng tengkorak yang menyeramkan itu, bahkan dihadapan para anak buahnya dia tidak merahasiakan dirinya.

Wi-hong dan adiknya juga hanya menarik napas, ketika melihat bahwa di tengah-tengah antara kedua alis Wi-siang terdapat warna hitam yang samar-samar, mirip dengan Siangkoan Hong yang pernah menjumpai mereka. Itulah tanda seseorang yang berlatih ilmu sesat, makin samar warna hitamnya menandakan makin tinggi tingkat ilmu yang dilatihnya.

Sementara itu, setelah semuanya duduk melingkari meja perjamuan, Tong Wi-siang lebih dulu saling memperkenalkan anak buahnya kepada adik-adiknya, ia berkata, “Rahib Hong-goan adalah seorang murid Siau-lim-pay yang bersimpati kepada garis perjuangan kami, karena itu ia tidak ragu-ragu lagi menggabungkan diri ke dalam perjuangan kami. Dan kini dia kami percayai sebagai salah seorang Su-cia (duta) kami.”

Kemudian Wi-siang menunjuk kepada dua orang lelaki tegap yang mengerek tangga tali tadi dan memperkenalkan mereka. Yang berbadan lebih tinggi dan bermuka hitam itu bernama Lu Siong dan mempunyai julukan sebagai Jian-kih-sin-kun (tinju malaikat 1000 kati) karena kehebatan ilmu pukulannya. Lu Siong ini dalam Hwe-liong-pang menempati kedudukan sebagai Tong-cu (pemimpin kelompok) dari Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu).

Sedang yang seorang lagi berbadan agak langsing dan bermuka cerah, dia seorang peranakan Korea yang bernama Oh Yun-kim dan mempunyai julukan Bu-ing-tui (tendangan tanpa bayangan) dan berkedudukan sebagai Tong-cu dari Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih). Demikianlah kedua orang Tong-cu itu yang satu merupakan ahli pukulan, yang lainnya adalah jago tendangan.

Sikap dan gerak-gerik Tong-cu dari Ci-ki-tong dan Pek-ki-tong itu ternyata mampu menumbuhkan kesan baik di dalam hati Wi-hong dan Wi-lian, sangat berbeda kesannya dengan Tong-cu Tong-cu Hwe-liong-pang yang lainnya seperti Au-yang Siau-hui atau Mo Hui. Meskipun Lu Siong itu bersikap pendiam dan bicaranya pun kaku, namun dia nampak jujur dan berani. Sedangkan Oh Yun-Kim agaknya adalah seorang yang suka bergurau dan menghadapi segala persoalan dengan hati gembira.

Setelah pihak-pihak yang diperkenalkan itu saling memberi hormat, maka acara perjamuan kecil itupun dimulai. Suasananya gembira dan santai. Dalam suasana seperti itulah maka Wi-lian merasa adanya suatu kesempatan baik untuk berbicara kepada Tong Wi-siang, untuk mengadukan kelakuan orang-orang Hwe-liong-pang yang mengganggu ketenteraman umum selama ini.

Setelah mendengar pengaduan adik-adiknya itu, Wi-siang menarik napas dan berkata, “Semuanya memang kesalahanku juga. Tadinya aku bermaksud untuk mengumpulkan kekuatan sebanyak-banyaknya guna mendobrak kebobrokan dinasti Beng seperti sekarang ini. Aku memperluas keanggotaan dengan jalan menerima anggota baru sebanyak-banyaknya, sehingga lupa menyaring mereka. Tidak sedikit anggota-anggota yang bergabung dengan kami itu memang punya cita-cita seperti aku, yaitu memperbaiki keadaan negeri yang rusak ini, contohnya mereka adalah Ui-ki-tong-cu Kwa Heng, Lam-ki-tong-cu In Yong, Ci-ki-tong-cu Lu Siong serta Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim. Aku percaya mereka bergabung dengan kami dengan niat yang tulus untuk ikut mendobrak segala kebobrokan ini.”

Lu Siong dan Oh Yun-kim serempak menyahut, “Terima kasih atas besarnya kepercayaan Pang-cu kepada kami!”

Sedangkan Tong Wi-siang kembali menarik napas dengan beratnya, dan melanjutkan perkataannya, “Tetapi disamping masuknya orang-orang yang bercita-cita murni seperti mereka ini, muncul pula orang-orang yang hanya sekedar ingin menumpang dalam kejayaan kami, atau orang-orang yang hanya ingin mendapat tempat perlindungan yang aman dari buruan musuh-musuh mereka, dan yang paling buruk adalah munculnya orang-orang yang hanya ingin mendapat sandaran kekuatan untuk melaksanakan nafsu sewenang-wenang mereka. Orang-orang inilah yang telah menodai perjuangan Hwe-liong-pang. Dapat kusebutkan orang-orang macam ini antara lain adalah Jing-ki-tong-cu Au-yang Siau-hui, Jai-ki-tong-cu Mo Hui, Hek-ki-tong-cu Lamkiong Hok serta Ang-ki-tong-cu Ko Ci-yang. Kudengar perbuatan mereka di luaran yang sangat tercela, sehingga akhirnya orang-orang dunia persilatan memandang kita tidak lebih dari sebuah gerombolan liar!”

Berbicara sampai di sini, Wi-siang tidak dapat menahan perasaannya lagi, sehingga tanpa sadar ia mengerahkan tenaga ke telapak tangannya, maka cawan arak yang sedang dipegangnya itu langsung hancur dan berubah menjadi segumpal bubuk halus.

Rahib Hong-goan lalu berkata untuk menghibur ketuanya itu, “Pang-cu, kau tidak usah berkecil hati dalam menghadapi persoalan ini. Akupun merasa sedih bahwa perjuangan kita telah dinodai oleh tikus-tikus busuk tak kenal malu itu. Aku dan saudara Ling telah saling bersumpah setia akan berdiri sepenuhnya di belakang Pang-cu dalam usaha pembersihan ini! Cukup Pang-cu keluarkan sepatah kata perintah, aku akan segera menumpas bangsat-bangsat yang menodai perjuangan itu.”

Jian-kin-sin-kun Lu Siong juga ikut terbawa oleh arus perasaannya, maka diapun menggebrak meja dan berkata dengan suaranya yang keras dan kasar itu, “Seluruh anggota Ci-ki-tong siap berdiri di belakang Pang-cu untuk mendukung kebijaksanaan Pang-cu!”

Oh Yun-kim si Tendangan Tanpa Bayangan itu masih bersikap tenang-tenang saja dalam menenggak araknya, namun sepasang matanya sudah bersinar-sinar dengan penuh semangat pula. Meskipun kata-katanya diucapkan tanpa menggebrak meja, namun nada suaranya menunjukkan kebulatan tekadnya, “Aku orang she Oh ini siap hancur lebur bersama seluruh anggota Pek-ki-tong demi mempertahankan kemurnian tujuan perjuangan Hwe-liong-pang!”

Melihat sikap ketiga anak buahnya itu, mau tak mau Wi-siang merasa hatinya terhibur dan bangga juga. Wajahnya yang tadi suram itu kini nampak cerah kembali, “Ikrar kesetiaan saudara-saudara sangat membesarkan hatiku dan mengobarkan semangatku. Betapapun aku percaya, bahwa selama Hwe-liong-pang kita masih berdiri di atas jalan kebenaran, kita tidak perlu gentar menghadapi kesulitan yang bagaimanapun juga, dari luar maupun dari dalam! Saudara-saudara, mari kita minum secawan untuk tercapainya cita-cita kita!”

Wi-hong dan Wi-lian pun ikut mengangkat cawan araknya. Hal itu membuat Wi-siang bertambah gembira. Sambil tertawa bergelak dia berkata, “Adik-adikku, aku berbesar hati melihat dukungan kalian pula, meskipun kalian bukan anggota Hwe-liong-pang. Melakukan pembersihan dalam Hwe-liong-pang yang sudah terlanjur mendapat busuk ini, memang mudah diucapkannya, tetapi sangat sulit dijalankan. Dari antara delapan kelompok yang ada dalam Hwe-liong-pang, empat kelompok diantaranya sudah tersesat dan menyeleweng dari cita-cita Pang kami. Diantara empat orang Su-cia kami, dua diantaranya juga sudah tidak murni lagi tujuan perjuangannya. Jadi melakukan pembersihan dalam tubuh perkumpulan ini sama saja artinya dengan memecat atau menghukum hampir separuh dari seluruh anggota perkumpulan kami!”

Namun Tong Wi-hong menyahut untuk membesarkan hati kakaknya, “Semua usaha yang bertujuan baik tentu akan direstui oleh Thian. A-siang, dalam usahamu kelak untuk membersihkan tubuh Hwe-liong-pang dari para pengacau itu, aku menyediakan tenagaku untuk membantumu.”

“Akupun menyediakan tenagaku,” sambung Wi-lian.

Tong Wi-siang menarik napas panjang, jawabnya kemudian, “Terima kasih, adik-adikku, tetapi saat ini tenaga kalian itu masih belum kuperlukan. Pendukungku masih cukup banyak di dalam Hwe-liong-pang sendiri. Meskipun pembersihan Hwe-liong-pang ini akan memakan banyak tenaga, tetapi aku yakin akan berhasil, dan setelah itu yang akan nampak di dunia persilatan adalah sebuah Hwe-liong-pang yang bersih dengan cita-cita perjuangan yang luhur.”

Begitulah ketiga kakak beradik yang baru saja bertemu setelah suatu perpisahan yang cukup lama itu, kini berbicara dengan asyiknya membicarakan segala sesuatu. Tidak lupa Tong Wi-siang sempat bertanya pula kepada Wi-hong tentang keadaan ibunya, “Aku mendengar kabar bahwa ibu berada di Soat-san bersamamu, A-hong, apakah keadaan beliau baik-baik saja?”

“Ibu dalam keadaan baik-baik saja, bahkan ilmu silat pedang serta tenaga dalam beliau mengalami banyak kemajuan karena giat berlatih,” jawab Wi-hong menenteramkan hati kakaknya. “Dalam pertemuan besar kaum ksatria di Siong-san yang diselenggarakan bulan depan itu, ibu akan ikut menghadirinya bersama-sama dengan rombongan dari Soat-san-pay.”

“Ah, syukurlah kalau ibu dalam keadaan baik. Selama ini aku sudah terlalu banyak menyusahkan dan membebani pikiran beliau. Bahkan kematian ayahpun secara tidak langsung adalah akibat dari perbuatanku yang kurang pikir. Ingin rasanya aku bersujud kepada ibu dan mencium kakinya, entah kapan kesempatan itu datang,” kata Wi-siang.

Setelah menarik napas beberapa kali, Tong Wi-siang lalu menyambung perkataannya, “Aku punya keinginan untuk ikut menghadiri pertemuan di Siong-san itu, tetapi pelaksanaannya tergantung perkembangan keadaan nanti.”

“Kau hadir di Siong-san sebagai Tong Wi-siang atau sebagai Hwe-liong-pang-cu?” tanya Wi-lian dengan tegang. Gadis itu tahu bahwa pertemuan di Siong-san itu diselenggarakan khusus untuk menghadapi Hwe-liong-pang, entah bagaimana kalau kehadiran kakaknya itu tidak berkenan di hati kaum pendekar.

Jawab Wi-siang, “Tong Wi-siang adalah Hwe-liong-pang-cu, Hwe-liong-pang-cu adalah Tong Wi-siang, maka aku akan hadir di Siong-san sebagai kedua-duanya. Sebagai Tong Wi-siang pribadi, aku ingin bersujud kepada ibu dan menjumpai para sesepuh. Sebagai ketua Hwe-liong-pang aku ingin memberi penjelasan kepada para kesatria agar kesalahpahaman terhadap Hwe-liong-pang selama ini terhapus bersih. Aku akan menjelaskan pula bahwa Hwe-liong-pang siap bergandengan tangan dengan kaum kesatria di seluruh negeri untuk menentang dan menghancurkan kezaliman Kaisar Cong-ceng!”

Kalimat yang terakhir ini ternyata sangat mengejutkan Wi-hong dan Wi-lian. Dari kalimat itu dapatlah disimpulkan bahwa yang disebut “Cita-cita luhur Hwe-liong-pang” itu ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah merobohkan Kerajaan Beng yang bejat itu dan mendirikan negara baru! Suatu cita-cita yang tidak tanggung-tanggung, pikir Wi-hong.

Ketika Wi-hong melirik ke arah Hong-goan Hweshio, Oh Yun-kim serta Lu Siong, maka nampaklah bahwa air muka ketiga orang itu ternyata tidak berubah sedikitpun dalam mendengar ucapan Wi-siang itu. Jelas bahwa ketiga orang itupun mempunyai cita-cita yang sama dengan Wi-siang, dan merupakan pendukung-pendukung setia dari perjuangan hebat itu. Demikianlah, makan minum di atas kapal di tengah telaga Po-yang-ou itu berlangsung dengan suasana santai dan gembira, dan kadang-kadang diselingi dengan suasana yang penuh semangat berkobar.

Mendadak dari arah tepi telaga yang berjarak puluhan tombak disana, terdengar suara suitan melengking nyaring, dua kali suitan pendek dan sekali suitan panjang. Suara suitan panjang yang terakhir itu mengalun panjang dan keras sehingga mendenging di telinga. Jelas bahwa suitan itu dilandasi dengan tenaga dalam yang meyakinkan.

“Ilmu Liong-ling-kang (Ilmu naga menjerit) yang hebat!” tak terasa Wi-hong memuji mendengar suara suitan itu. “Siapakah tokoh hebat di pinggir telaga itu?”

Wi-siang tersenyum dan menjawab tenang, “Dia juga seorang tokoh Hwe-liong-pang kami, jabatannya adalah Su-cia, namanya Ling Thian-ki dan berjulukan Jian-jiu-sin-wan (lutung sakti bertangan seribu).”

Dan kepada Hong-goan Hweshio, Tong Wi-siang memerintahkan, “Su-cia, tolong kau jawab panggilan Ling Su-cia itu, dan silahkanlah dia naik ke kapal ini.”

Rahib Hong-goan segera keluar dari ruangan perjamuan itu dan berdiri di geladak menghadap ke arah pinggir telaga. Serunya, “Lutung tua she Ling, jangan bertingkah di situ, hayolah cepat naik kemari supaya kau masih kebagian hidangan sebelum kuhabiskan sama sekali!”

Seruan Hong-goan Hweshio itu nampaknya hanya diucapkan secara biasa saja dan tidak dengan berteriak, namun gema suaranya terasa menggetarkan udara lembab di permukaan danau yang tenang itu.

Kembali Wi-hong mengeluarkan pujiannya, “Yang pertama tadi Liong-ling-kang dan yang ini adalah Say-cu-hou-kang (ilmu singa menggeram) yang tidak kalah sempurnanya!”

Sahut Wi-lian, “Baik Hong-goan Hweshio maupun Ling Su-cia ini kepandaiannya jelas-jelas lebih tinggi dibandingkan Sebun Say atau Tang Kiau-po, tetapi kenapa nama mereka tidak tercantum dalam deretan nama Sepuluh Tokoh Sakti? Kenapa justru nama Sebun Say dan Tang Kiau-po yang tercantum?”

Agaknya gadis itu lupa bahwa deretan nama “Sepuluh Tokoh Sakti” itu dibuat hampir lima belas tahun yang lalu, sehingga kurang dapat dijadikan pegangan lagi untuk jaman itu. Diantara sepuluh tokoh yang namanya dicantumkan itu tentu saja ada yang kesaktiannya mengalami peningkatan, sebaliknya ada pula yang mengalami kemunduran, begitu pula muncul tokoh-tokoh baru yang tadinya belum tercantum namanya memiliki kesaktian yang pantas diperhitungkan. Dengan demikian sebenarnya urut-urutan nama Sepuluh Tokoh Sakti di jaman itu perlu diperbaharui kembali.

Sementara itu, dari arah tepian telaga kembali terdengar suara lengkingan nyaring yang semakin lama semakin mendekat ke arah perahu. Lalu terlihat sesosok bayangan berkelebat ke atas perahu, dan muncullah seorang manusia berwujud aneh di kapal itu. Disebut aneh, sebab yang muncul ini lebih tepat kalau dikatakan setengah manusia setengah kera.

Ia bertubuh agak bungkuk seperti kera, mulutnya agak monyong dan mukanya penuh bulu, sedangkan ujung jari-jari tangannya yang panjang-panjang itu jika dikebawahkan akan mencapai bawah lutut lebih. Potongan manusia yang satu ini memang benar-benar mirip monyet, tetapi dia memiliki sepasang mata yang jernih dan bersinar lembut.

Begitu menginjakkan kakinya di atas kapal, manusia monyet ini segera menjura kepada Wi-siang dan memberi salam, “Ling Thian-ki memberi hormat kepada Pang-cu!”

Sedangkan Lu Siong dan Oh Yun-kim yang kedudukannya lebih rendah dari Ling Thian-ki, segera berdiri menyambut kedatangan manusia monyet itu dan mengucapkan salamnya. Tokoh yang berjulukan Jian-jiu-sin-wan itu menyapukan pandangannya ke segala sudut ruangan kapal itu. Ia nampak menjadi heran ketika melihat dua orang muda-mudi yang tidak dikenalnya tengah duduk makan minum dengan akrabnya bersama sang ketua.

Demi tata-krama dunia persilatan, karena merasa dirinya lebih muda, Wi-hong dan Wi-lian lebih dulu berdiri dan memberi hormat kepada Ling Thian-ki, dan dibalas oleh tokoh tua itu dengan hormat pula.

Tong Wi-siang segera bertindak untuk memperkenalkan kedua belah pihak, “Ling Su-cia, inilah adik-adikku yang bernama Wi-hong dan Wi-lian. Adik-adikku, inilah Ling Su-cia yang tadi telah kalian puji ilmu Liong-ling-kang nya. Silahkan kalian berkenalan.”

Setelah saling berkenalan, Ling Thian-ki segera memenuhi undangan Tong Wi-siang untuk ikut duduk di dalam perjamuan kecil itu. Setelah menerima suguhan secawan arak dari ketuanya, Ling Thian-ki segera berkata dengan nada yang sungguh-sungguh, “Pang-cu, kedatanganku ini sesungguhnya hendak melaporkan suatu hal yang penting dan patut untuk cepat-cepat diketahui...”

Setelah berbicara sampai disini, Ling Thian-ki melirik ke arah Wi-hong dan Wi-lian dengan sikap agak ragu-ragu. Agaknya dia bingung apakah akan meneruskan perkataannya atau tidak, sebab meskipun Wi-hong dan Wi-lian itu adalah adik-adik dari ketuanya, namun mereka bukan anggota Hwe-liong-pang, sedangkan urusan yang hendak dilaporkan oleh Ling Thian-ki itu menyangkut urusan Hwe-liong-pang.

Wi-siang mengerti kebimbangan Ling Thian-ki itu, maka ia berkata, “Ling Su-cia, tidak usah ragu-ragu untuk berkata, mereka adalah adik-adikku yang dapat kupercaya. Sebelum kau datang, akupun telah berbicara banyak dengan mereka tentang perkumpulan kita. Adik-adikku ini sudah tahu pula tentang kebobrokan dalam Pang kita, bahkan tidak jarang bentrok dengan anak buah kita. Tidak ada halangannya Su-cia meneruskan perkataan tadi.”

Jian-jiu-sin-wan Ling Thian-ki menganggukkan kepalanya dengan lega, lalu mulai berkata, “Baiklah aku menurut perintah Pang-cu. Aku hendak melaporkan bahwa persiapan Pang kita untuk sebuah pertemuan lengkap di lembah Jian-hoa-kok (lembah seribu bunga) di dekat kota Lam-cang itu telah berjalan dengan cukup lancar. Segenap anggota dari kelompok-kelompok bendera Putih, Kuning, Hijau, Biru, Coklat, Hitam, Merah dan Ungu telah berdatangan semuanya dan hanya menunggu kedatangan Pang-cu. Tetapi... tetapi...”

Kening Wi-siang berkerut melihat sikap bimbang Ling Thian-ki itu. Katanya, “Ada apa? Tidak usah ragu-ragu, berita baik maupun berita buruk kau laporkan seadanya saja, akupun ingin mengetahui.”

Ling Thian-ki menarik napas panjang lalu berkata, “Aku secara halus telah menjajaki pendapat para Tong-cu (Kepala Kelompok) tentang pembersihan dalam tubuh Pang yang bakal diadakan ini. Ui-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Panji Kuning) Kwa Heng serta Lam-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Panji Biru) sudah menyatakan sikap akan mendukung usaha pembersihan itu, dan berdiri sepenuhnya dibawah garis perintah Pang-cu. Namun sikap para Tong-cu dari Ang-ki-tong, Hek-ki-tong, Jing-ki-tong dan Jai-ki-tong agaknya sangat meragukan, bahkan samar-samar mereka menunjukkan sikap menentang, mereka agaknya didukung oleh Tang Kiau-po dan Sebun Say. Mereka ngotot mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang telah mereka tempuh selama ini dapat dibenarkan dan sama sekali tidak menyeleweng dari garis perjuangan yang Pang-cu tetapkan. Dan mereka nampaknya juga sudah menyiapkan diri untuk... maaf, untuk menentang Pang-cu secara terang-terangan!”

“Kurang ajar! Ini adalah suatu pengkhianatan!” tiba-tiba Lu Siong berteriak sambil menggebrak meja. “Pang-cu, perintahkanlah aku untuk menumpas pemberontak-pemberontak itu!”

Bukan hanya Lu Siong, tetapi Oh Yun-kim dan Hong-goan Hweshio juga menjadi panas hatinya ketika mendengar laporan Ling Thian-ki itu. Rahib Hong-goan segera menggeram sengit, “Sudah jelas bersalah tetapi tidak mau mengakui kesalahannya, malah hendak memberontak kepada Pang-cu. Pang-cu, agaknya kau perlu menyiapkan beberapa butir Racun Penghancur tubuh untuk dihadiahkan kepada mereka.”

Wajah Tong Wi-siang pun berubah menjadi merah padam karena marahnya, namun dia berhasil mendinginkan suasana dengan mengangkat tangannya ke atas, lalu katanya dengan suara dingin menyeramkan, “Hem, para pembangkang itu mengandalkan apa hendak melawan aku?”

Sahut Ling Thian-ki setelah menarik napas, “Pang-cu, jika hanya Tang Kiau-po, Sebun Say serta keempat orang Tong-cu dari Ang, Hek, Jing dan Jai-ki-tong saja kukira mereka tidak berani bertindak sekurang-ajar itu. Bahkan cukup dengan tenagaku serta tenaga saudara Hong-goan serta bantuan keempat Tong-cu dari Ui, Pek, Lam dan Ci-ki-tong, mereka akan berhasil ditumpas. Namun Sebun Say dan komplotannya berani berbuat demikian kurang-ajar itu sesungguhnya memang punya seorang andalan yang tangguh. Maaf, Pang-cu apakah aku boleh berbicara terus?”

“Teruskan berbicara. Aku ingin tahu sejelas-jelasnya,” kata Wi-siang.

Ling Thian-ki nampak merasa lega, sebab dia diperkenankan mengeluarkan isi yang selama ini belum sempat diucapkannya. Katanya, “Pang-cu, sesungguhnya para pembangkang itu berani berbuat sedemikian jauh karena mereka merasa dilindungi dan direstui oleh Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi).”

Bagi Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, jawaban Ling Thian-ki itu tidak terlalu mengagetkan mereka. Beberapa bulan yang lalu, ketika mereka bertempur dengan orang-orang Hwe-liong-pang di tengah padang perdu di luar kota Tay-beng untuk merebut Cian Ping dari tangan orang Hwe-liong-pang, Wi-hong dan Wi-lian pernah bertemu dengan tokoh yang disebut Te-liong Hiang-cu itul.

Saat itu memang Wi-hong melihat dengan matanya sendiri bahwa Te-liong Hiang-cu cenderung membenarkan semua tindakan sewenang-wenang dari orang-orang Hwe-liong-pang, dengan alasan untuk menggentarkan dunia persilatan. Bahkan waktu itu Te-liong Hiang-cu sampai bertengkar dengan tokoh lain yang bergelar Thian-liong Hiang-cu.

Sedangkan bagi Tong Wi-siang, keterlibatan Te-liong Hiang- cu dalam komplotan penentang-penentang itu merupakan berita baru yang sangat mengejutkannya. Mukanya menjadi pucat, kemudian menjadi merah padam menahan amarah, giginya pun gemeretak hebat. “Ling Su-cia, benarkah ucapanmu itu?” geram Wi-siang.

Wajah Ling Thian-ki saat itu kelihatan amat lesu, seakan teringat hal yang membuatnya sangat malu. Suaranya terdengar lesu pula ketika ia menyahut, “Biarpun aku makan hati macan pun tetap tidak berani membohongi Pang-cu. Peristiwa yang kualami beberapa hari yang lalu itu benar-benar sangat memalukan, sehingga jika aku mengingatnya aku seakan-akan bosan hidup di dunia ini.”

Biasanya si Lutung Sakti Bertangan Seribu ini bersikap riang gembira dan senang bergurau, tetapi kini sungguh diluar dugaan kalau ia bersikap begitu lesu dan bahkan mengucapkan kata-kata yang bernada putus asa itu. Tentu saja Wi-siang dan orang-orang Hwe-liong-pang ingin tahu apa gerangan yang telah dialami oleh Ling Thian-ki ini?

“Saudara Ling, maukah kau menceritakan kepada kami tentang beban yang memberatkan hatimu itu?” tanya Rahib Hong-goan.

“Betul, Ling Su-cia, ceritakanlah,” sambung Wi-siang.

Ling Thian-ki pun mulai bertutur, “Beberapa hari yang lalu, seluruh anggota kita sudah berkumpul di Jin-hoa-kok dan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Ketika aku memeriksa keadaan di sana, aku mendapat laporan tentang kelakuan-kelakuan yang kejam dari orang-orang Ang-ki-tong, Jing-ki-tong, Hek-ki-tong, dan Jai-ki-tong.

"Aku mendengar bagaimana orang Ang-ki-tong mengejar dan menumpas Hong-ho-sam-hiong bersama seluruh keluarganya, tanpa ampun dan belas kasihan sedikitpun. Lalu kudengar pula Lam-kiong Hok dengan Kelompok Bendera Hitamnya telah menumpas Sin-hou-bun (Perguruan Harimau Sakti) di Kwi-tang sehingga jatuh korban dua ratus orang lebih, hanya karena Sin-hou-bun enggan mengakui kepemimpinan Lam-kiong Hok di wilayah itu.

"Lalu kudengar pula Jin-ki-tong dengan cara yang brutal dibawah pimpinan Au-yang Siau-hui telah membunuh pemimpin Tiong-gi Piau-hang dan menculik anak gadisnya. Tidak ketinggalan si serigala sinting Mo Hui dengan Jai-ki-tong nya telah mencoba merebut pengaruh dengan Bu-tong-pay di wilayah Ho-pak, sehingga telah tertanam permusuhan dengan pihak Bu-tong-pay.

"Dan berita yang paling akhir kudengar, dan yang paling gila, yaitu Ko Ci-yang, Lam-kiong Hok, Au-yang Siau-hui dan Mo Hui telah mempersatukan kekuatan Tong mereka masing-masing untuk merampok barang-barang hantaran Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng, yang nyaris membangkrutkan cabang itu sama sekali.

"Untunglah tindakan itu diketahui oleh Thian-liong Hiang-cu, dan Hiang-cu dengan cara yang sangat bijaksana telah berhasil mengembalikan barang-barang yang dirampok itu ke tangan Tiong-gi Piau-hang kembali, sehingga permusuhan yang semakin hebat dengan Tiong-gi Piau-hang dapat dihindari. Namun demikian, tindakan-tindakan brutal dari anak buah kita itu telah menimbulkan kemarahan segenap kaum ksatria di dunia persilatan.

"Harap Pang-cu mengetahui, bahwa bulan depan ini seluruh kaum pendekar akan berkumpul di Siong-san dan mengadakan pertemuan besar, tujuannya adalah untuk membahas bagaimana menghadapi kita! Dalam pandangan kaum pendekar itu, kita sekarang sudah dicap sebagai gerombolan pengacau dunia persilatan!”

Bicara sampai di sini, agaknya Ling Thian-ki sudah sangat terpengaruh oleh gejolak perasaannya, suaranya pun makin lama makin meninggi. Bahkan pada akhir kalimatnya, tanpa sadar dia mencengkeramkan jari-jarinya ke permukaan meja, sehingga membekaslah lima jalur guratan yang cukup dalam di atas meja yang terbuat dari kayu keras itu! Sesaat lamanya Ling Thian-ki nampak berusaha meredakan gejolak perasaannya yang terasa menyesakkan dada itu, lalu ia melanjutkan bicaranya dengan suara yang lebih tenang.

“Maaf, Pang-cu, aku sangat terbawa oleh kemarahan dan penyesalanku sehingga kurang dapat mengendalikan diri. Sekarang akan kulanjutkan penuturanku. Setelah aku mendengar laporan tentang tindak-tanduk para Tong-cu yang dapat mencemarkan nama baik Hwe-liong-pang itu, maka aku segera memanggil mereka ke suatu tempat yang sepi untuk menegur dan memperingatkan mereka.

"Tengah aku berbicara dengan mereka, datang pula Sebun Say dan Tang Kiau-po ke tempat itu, dan tanpa memberi muka sedikit pun kepadaku, mereka malah membalik menyalahkan aku dan mencaci maki diriku, secara terang-terangan mereka membela tindakan para Tong-cu yang kutegur itu. Mereka berpendapat bahwa tindakan-tindakan berdarah itu sangat diperlukan, katanya supaya seluruh dunia persilatan menggigil ketakutan di bawah kaki Hwe-liong-pang.

"Aku masih berusaha menghindari perpecahan terbuka antara sesama anggota Hwe-liong-pang, maka kuajak mereka berbicara secara baik-baik dan dengan kepala dingin. Tapi sikap Sebun Say dan Tang Kiau-po itu semakin kurang ajar, sehingga hampir saja kami bertempur. Lalu muncullah Te-liong Hiang-cu di tempat itu untuk melerai kami. Tadinya aku berharap bahwa kemunculan Te-liong Hiang-cu itu akan memutuskan secara bijaksana tentang apa yang kami pertengkarkan itu.

"Tetapi ternyata kemudian bahwa harapanku itu terlalu berlebihan. Begitu muncul, ternyata Te-liong Hiang-cu langsung berpihak kepada Sebun Say dan komplotannya, bahkan dia terus mencaci aku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati, katanya aku adalah seorang cengeng yang tidak berani melihat darah dan sebagainya. Tentu saja aku tidak berani membantahnya dan cuma memendam perasaan dalam hati.

"Sementara Sebun Say dan orang-orangnya memandang kepadaku dengan sikap penuh kemenangan dan sangat menghina. Puncak penderitaan batin yang kualami adalah ketika Te-liong Hiang-cu memaksa aku untuk memberi hormat dan meminta maaf kepada Sebun Su-cia, Tang Su-cia serta keempat orang Tong-cu yang baru saja kutegur dan kumarahi itu, dan mereka menggunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan kata-kata sindiran yang memerahkan telingaku!”

Demikian Ling Thian-ki mengakhiri penuturannya, suasana dalam ruangan di atas kapal itupun menjadi sunyi mencekam. Hanya terdengar suara gemericiknya air telaga yang tersibak oleh tubuh perahu besar itu....

Selanjutnya;

إرسال تعليق

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.