Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Liong-li lalu bercerita secara singkat namun padat. Betapa untuk menyelamatkan ayahnya yang korup, ia dipaksa menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong dan karena ia melawan ketika hendak digauli, ia disiksa, diperkosa secara kejam oleh pangeran itu, kemudian karena masih terus melawan, ia dijual ke rumah bordil dan oleh pemilik rumah bordil yang mempunyai tukang-tukang pukul, iapun disiksa dan dipaksa untuk menjadi pelacur!

Tanpa malu-malu lagi ia menceritakan betapa ia dipaksa melayani banyak orang, dan betapa ia diam-diam ia mengusahakan pelariannya. Betapa ia berhasil melarikan diri, dikejar-kejar dan ditolong oleh nenek Huang-ho Kui-bo yang kemudian menjadi gurunya selama tujuh tahun. Setelah selesai belajar silat, ia lalu membalas dendam dan membuat semua orang yang pernah menghinanya menjadi penderita cacat seumur hidup dengan membuntungi kaki tangannya, dan para hidung belang itu ia buntungi hidung mereka. Pangeran Coan Sui Ong ia buntungi kaki tangannya.

“Akupun dipesan oleh subo untuk mencari Kim-san Liong-cu dan dalam usaha mencari mutiara itu, aku bertemu dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu. Nah, demikianlah riwayat hidupku dan kuharap engkau sebagai satu-satunya orang yang pernah mendengarnya, akan merahasiakannya.”

Cin Hay atau yang kini berjuluk Liong-eng menghela napas panjang, memandang kepada kawannya itu dengan penuh perasaan iba. “Aduh, riwayat hidupmu sungguh menyedihkan sekali, Liong-li. Tentu saja aku akan merahasiakannya seperti rahasia pribadiku sendiri.”

“Tidak, Liong-eng. Engkau yang lebih menderita, karena engkau kehilangan isteri yang tercinta, bahkan kehilangan calon anak. Engkau menderita kehilangan, sedangkan aku hanya menderita penghinaan.”

“Betapapun juga, Liong-li, Kita berdua adalah dua orang yang menjadi korban kejahatan manusia yang berhati iblis. Oleh karena itu, kita harus selalu menentang kejahatan dalam bentuk apapun juga! Maukah engkau bekerja sama dengan aku dalam hal ini? Dengan bekerja sama, tentu kita menjadi lebih kuat.”

“Aku setuju, Liong-eng. Akan tetapi, tidak semua lawan perlu kita hadapi bersama. Kalau seorang di antara kita menghadapi kesulitan, bertemu dengan lawan yang amat tangguh seperti Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, barulah kita saling mengabari dan saling bantu. Setujukah engkau?”

Liong-eng atau Tan Cin Hay mengangguk. Diapun tahu bahwa kalau mereka selalu berkumpul, banyak sekali bahayanya. Mereka itu saling kagum, dan kalau terlalu sering berkumpul, bukan tidak mungkin akan terjalin hubungan yang lebih akrab dan mesra di antara mereka dan hal itu akan merupakan kelemahan mereka.

“Baik, Liong-li. Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat saling menghubungi atau mencari?”

“Aku berasal dari Lok-yang, maka akupun tidak akan meninggalkan Lok-yang jauh-jauh. Aku akan berada di sekitar Lok-yang, dan kalau engkau ingin bertemu atau menghubungi aku, datanglah engkau ke tepi sungai ini. Aku akan mendirikan sebuah pondok di sini untuk tempat peristirahatan, dan di tempat inilah engkau akan menemui aku. Dan bagaimana dengan kau? Kalau aku perlu denganmu, ke mana aku harus mencarimu?”

“Aku? Aku akan berada di sekitar Telaga See-ouw! Aku tidak dapat melupakan telaga yang indah itu. Kampung halamanku tidak jauh dari telaga itu di mana orang tuaku hidup bertani, dan kuburan isteriku juga berada di sana.”

“Bagus, kalau begitu semua telah disepakati. Aku girang sekali dapat menjadi sahabatmu, Liong-eng dan mudah-mudahan tidak lama lagi kita akan dapat saling bertemu kembali.” Iapun bangkit berdiri.

Liong-eng juga bangkit berdiri. “Kita berpisah sekarang, Liong-li?”

Wanita itu tersenyum, manis sekali.

“Ada pertemuan harus ada perpisahan, dan hanya perpisahan yang membuat pertemuan berikutnya menjadi teramat indahnya! Bukankah begitu?”

Liong-li tersenyum, mengangguk. Sungguh menyenangkan sekali mempunyai seorang sahabat sejati seperti Liong-li ini, wataknya aneh akan tetapi amat gagah dan baik, pandangan luas, dan hatinya bebas. Dan yang lebih dari itu, wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya, dan dia sendiripun pernah menyelamatkan nyawanya.

“Selamat jalan dan selamat berpisah, Liong-li,” katanya sambil membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, bersoja.

Liong-li membalas penghormatan itu, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya, mendekati Liong-eng. Sambil tersenyum orang muda itu menyambut uluran tangan itu, menyambut dalam jabatan tangan yang hangat di mana kedua tangan itu saling genggam penuh getaran persahabatan.

Begitu keduanya melepaskan jabatan tangan, keduanya saling pandang, tersenyum dan keduanya lalu berkelebat lenyap, yang seorang ke utara, seorang ke selatan menurut arah sungai yang membelok ke selatan itu. Sebentar saja yang nampak hanyalah dua titik, satu hitam satu putih yang makin lama makin saling menjauhi sampai akhirnya lenyap.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 22 karya kho ping hoo

Rumah besar di lereng bukit luar kota itu memang menyeramkan. Bentuknya seperti sebuah benteng yang dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan tebal. Di sebelah dalam pagar tembok terdapat beberapa bangunan mengelilingi bangunan induk yang besar dan kuno, seperti kuil-kuil saja. Bukit itu merupakan sebuah di antara bukit-bukit yang mengelilingi Telaga Po-yang di Propinsi Kiang-si.

Di bukit-bukit itu memang terdapat banyak bangunan kuno, peninggalan jaman dahulu, kuil-kuil tua yang sudah tidak dipergunakan sebagai kuil lagi, hanya menjadi peninggalan kuno yang kadang-kadang dikunjungi orang untuk dikagumi. Akan tetapi, bangunan yang satu ini, yang terletak di lereng Bukit Merak, tidak pernah dikunjungi orang!

Semua orang di sekitar daerah itu tidak ada yang berani, apa lagi berkunjung, mendekatipun mereka tidak berani. Kecuali mereka yang mempunyai keperluan seperti pedagang beras dan kebutuhan lain untuk dikirimkan kepada penghuni bangunan besar itu. Kalau para penduduk di sekitar tempat itu takut mendekatinya karena telah mendengar betapa para penghuni rumah besar itu bengis dan galak, juga lihai dan suka main pukul, para tokoh kang-ouw lebih takut lagi untuk mendekati tempat itu.

Dunia kang-ouw sudah mengetahui bahwa rumah besar di lereng bukit yang disebut Bukit Merak itu adalah tempat tinggal dari Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka Tertawa), seorang di antara datuk sesat yang dikenal dengan sebutan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang kini merajalela di dunia persilatan setelah puluhan tahun mereka tidak pernah mencampuri urusan dunia. Baru beberapa tahun ini Kiu Lo-mo terjun ke dunia ramai dan dunia kang-ouw menjadi gempar karena sepak terjang mereka yang menggegerkan dunia persilatan, menaklukkan seluruh golongan hitam untuk menjadi anak buah mereka di daerah kekuasaan masing-masing.

Siauw-bin Ciu-kwi yang menguasai seluruh daerah Propinsi Kiang-si, dalam waktu beberapa tahun saja sudah menalukkan sebagian besar kaum sesat dan diapun diangkat menjadi Beng-cu (pemimpin) oleh para tokoh sesat yang tidak mampu menandingi ilmu kepandaiannya yang konon amat tinggi sehingga dia dinamakan seorang yang sakti.

Malam itu amat sunyi di sekitar lereng Bukit Merak. Lampu-lampu gantung di atas pagar tembok dan di luar rumah-rumah besar tua itu nampak berkelap-kelip di antara kegelapan malam, menambah seramnya suasana yang amat sunyi itu. Tidak ada seorangpun penduduk di sekitar Telaga Po-yang berani mendekati Bukit Merak, apalagi sampai ke lerengnya, baru di kaki bukit itu saja mereka tidak berani. Lebih baik mengambil jalan memutar yang lebih jauh dari pada harus melalui kaki Bukit Merak.

Akan tetapi, dalam keremangan cuaca malam yang hanya disinari oleh laksaan bintang di langit, nampak empat orang laki-laki mendorong-dorong seorang hwesio, mendaki kaki bukit terus ke lereng. Beberapa kali, kalau hwesio itu berjalan kurang cepat, dia didorong oleh empat orang yang berjalan di belakangnya sambil dibentak sehingga hwesio itu terhuyung-huyung ke depan.

Hwesio itu usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh kurus dan bermuka pucat. Kepalanya gundul dan jubahnya yang kuning itu agak kumal. Dia melangkah sambil merangkap kedua tangan di depan dada, agaknya dia sudah menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa, maklum bahwa dia tidak berdaya dan terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang jiwanya dikuasai nafsu iblis.

Hwesio ini bernama Loan Khi Hwesio, ketua dari sebuah kuil kecil di sebuah bukit yang berada di sebelah barat Telaga Po-yang. Sore tadi, dia kedatangan empat orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya ini, dan dengan suara kasar mereka memaksa dia harus ikut bersama mereka untuk menghadap Beng-cu di lereng Bukit Merak!

Lima orang hwesio yang menjadi pembantunya, hwesio-hwesio muda, tentu saja tidak merelakan dia yang menjadi ketua kuil diculik begitu saja. Mereka melawan, akan tetapi apa daya lima orang hwesio yang hanya menguasai sedikit ilmu silat menghadapi empat orang yang lihai itu? Dengan mudah lima orang hwesio itu dihajar sampai pingsan semua dan dia pun dipaksa untuk ikut mereka ke Bukit Merak.

Loan Khi Hwesio maklum siapa yang disebut Beng-cu itu. Dia sudah mendengar tentang Siauw-bin Ciu-kwi, seorang datuk besar kaum sesat yang amat sakti dan kejam. Maka, diapun pasrah dan hanya mempergunakan kekuatan batinnya untuk menghadapi ancaman bahaya maut ini.

Empat orang itu yang rata-rata berusia empatpuluh tahun, memiliki tubuh yang kokoh kuat dan wajah yang bengis, orang-orang yang sudah biasa melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Mereka adalah sebagian dari para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi, hanya merupakan pembantu rendahan saja, bukan pembantu utama yang berilmu tinggi.

Kini mereka tiba di depan pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal. Seorang di antara empat tukang pukul itu membunyikan genta dan dari dalam pintu, seorang penjaga mengintai melalui lubang daun pintu, kemudian membuka pintu gerbang itu, dibantu oleh seorang teman karena pintu gerbang itu amat berat saking tebal dan besarnya. Loan Khi Hwesio didorong masuk dan hampir saja jatuh karena kakinya tersandung batu.

“Hayo cepat!” bentak seorang di antara empat jagoan itu sambil menangkap lengan hwesio itu dan menyeretnya menuju ke sebuah bangunan induk di dalam tembok yang seperti benteng.

Setelah mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup terang, hwesio itu didorong masuk sampai jatuh menelungkup. Akan tetapi, dia bangkit lagi tanpa mengeluh, kedua tangan masih dirangkap depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk mohon kekuatan kepada Yang Maha Kuasa. Dia lalu mengangkat muka memandang.

Kiranya di dalam ruangan itu duduk beberapa orang yang kesemuanya memandang kepadanya, bagaikan segerombolan anjing srigala kelaparan. Loan Khi Hwesio merasa betapa dia seperti seekor kelinci yang dikepung srigala-srigala itu sehingga diam-diam diapun bergidik walaupun penyerahan dirinya kepada Tuhan telah membuat dia tidak merasa takut. Dia merasa ngeri menghadapi manusia-manusia yang pada lahirnya saja sudah nampak sedemikian mengerikan dan penuh dengan kepalsuan dan kekejaman.

Siauw-bin Ciu-kwi mudah dikenal oleh orang yang baru mendengar namanya dan belum pernah melihat mukanya. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut, nampak semakin pendek karena duduk di atas kursi yang besar dan dalam. Dia nampak seperti seekor katak bersembunyi di dalam lubangnya. Kepalanya botak, sedemikian botaknya sehingga kelihatan gundul. Mukanya sungguh aneh. Muka yang seperti muka kanak-kanak, gemuk dengan kedua pipi tebal, akan tetapi mulutnya terus menyeringai, tersenyum lebar!

Seluruh wajahnya tersenyum kecuali matanya. Sepasang mata itu sama sekali tidak tersenyum, sama sekali tidak membayangkan keramahan atau kegembiraan, melainkan sepasang mata yang mencorong dengan sinar yang tajam menusuk dan mengandung kekejaman dan kecerdikan luar biasa. Agaknya karena mulutnya yang selalu menyeringai itulah maka dia dijuluki Siauw-bin (Muka Tertawa).

Di atas meja di depannya nampak sebuah guci arak besar dan di tangannya nampak cawan arak yang tak pernah kosong karena setiap kali dia meneguk isi cawan, selalu ada tangan halus yang mengisi cawan itu kembali dari guci arak. Tangan halus itu milik seorang wanita muda yang selalu duduk di samping Beng-cu itu, seorang wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun yang berwajah cantik manis, pesolek, dengan mulut penuh gairah dan sepasang mata yang indah.

Melihat seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh demikian indah, wajah manis dan sikap yang genit memikat, orang tidak akan mengira bahwa wanita ini sungguh bukan seorang wanita yang lemah! Biarpun ia dapat menjadi hangat dan penuh kemesraan, namun di balik semua keindahan itu tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat, kekejaman yang membuat seorang penjahat sekalipun menjadi ngeri, dan kepandaian silat yang membuat namanya terkenal di seluruh Propinsi Kiang-si.

Wanita yang kini seolah-olah menjadi pelayan terkasih dari Beng-cu itu terkenal dengan julukan Tok-sim Nio-cu (Nona Berhati Racun). Nama kecilnya adalah Lui Cin Si, akan tetapi di dunia kang-ouw, nama ini tidak dikenal orang, akan tetapi kalau sekali orang menyebut Tok-sim Nio-cu, penjahat yang paling kejam sekalipun akan merasa serem dan takut!

Ketika Siauw-bin Ciu-kwi muncul di dunia persilatan dan bermukim di Propinsi Kiang-si, tentu saja seperti banyak tokoh kang-ouw, Tok-sim Nio-cu juga tidak sudi untuk menyerah dan takluk kepada datuk besar yang baru muncul ini. Apalagi melihat orangnya yang tidak mengesankan, hanya seorang laki-laki setengah tua yang pendek berperut gendut dan selalu senyum-senyum seperti orang sinting.

Tok-sim Nio-cu bahkan memandang rendah dan ia menantang datuk ini. Sungguh di luar perkiraannya, menghadapi si pendek gendut itu, dalam beberapa jurus saja, kurang dari sepuluh jurus, ia sudah terjungkal roboh! Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu bukan orang yang mudah menyerah.

Tidak mudah bagi Siauw-bin Ciu-kwi untuk menalukkan wanita liar ini, yang masih merasa penasaran dan ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk mengeroyok. Baru setelah berkali-kali semua usahanya menentang Siauw-bin Ciu-kwi gagal dan berkali-kali ia dirobohkan tanpa dibunuh, akhirnya Tok-sim Nio-cu menyatakan takluk dan menyerah!

Setelah Tok-sim Nio-cu menyerah, kini ia malah menjadi seorang pembantu yang paling dipercaya oleh Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan tidak hanya itu, ia juga menjadi kekasih Beng-cu itu dan karena ini, kekuasaannya amat besar dan hanya di sebelah bawah kekuasaan sang Beng-cu! Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, ternyata si pendek gendut yang tidak dapat dibilang ganteng dan tidak memiliki banyak daya tarik sebagai seorang pria terhadap wanita itu, ternyata adalah seorang pria yang jantan bagi seorang wanita haus laki-laki seperti Tok-sim Nio-cu! Seorang pria yang dapat memuaskan hatinya!

Di samping ini, juga Beng-cu itu berkenan mengajarkan beberapa jurus ilmu silat yang tinggi kepadanya, menguruknya pula dengan kemuliaan, kemewahan dan kedudukan sehingga membuat wanita genit itu benar-benar takluk dan setia! Demikianlah, wanita ini bahkan tidak malu-malu dan tidak merasa rendah untuk menuangkan arak dan melayani Beng-cu seperti seorang pelayan biasa saja, biarpun di depan banyak orang! Tentu saja tidak ada seorangpun berani memandang rendah kepadanya, yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Beng-cu!

Hanya Tok-sim Nio-cu seorang yang duduk di samping Beng-cu menghadapi meja, seperti seorang pelayan, juga seperti seorang kekasih atau isteri, karena Beng-cu tidak mempunyai isteri. Ada pula enam orang wanita muda yang menjadi semacam selir, atau dayang atau juga pelayan, menjadi penghibur Beng-cu. Mereka duduk bersimpuh di atas lantai, siap untuk melaksanakan perintah Beng-cu, baik perintah untuk bermain musik, menari, bernyanyi, atau juga beramai “mengeroyok” Beng-cu melayani segala kehendak pria pendek gendut yang amat sakti itu!

Mereka adalah gadis-gadis pilihan yang mau tidak mau kini menjadi pelayan dan penghibur datuk besar itu. Di belakang datuk itu, nampak tiga orang laki-laki yang nampak aneh dan tidak seperti manusia biasa. Memang mereka bukan manusia biasa, melainkan manusia berwatak iblis yang sejak lama menjadi tokoh-tokoh sesat di Propinsi Kiang-si. Seperti juga Tok-sim Nio-cu, mereka ditundukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dengan kekerasan dan mereka baru mau sungguh-sungguh takluk setelah kalah mutlak menghadapi Beng-cu yang sakti itu.

Kini mereka menjadi pembantu-pembantu setia dari Beng-cu yang pandai mengambil hati mereka dengan melimpahkan kemuliaan dan kemewahan. Juga, menjadi pembantu Beng-cu mengangkat nama mereka lebih tinggi di dunia kang-ouw membuat mereka semakin disegani dan ditakuti orang. Yang pertama hanya dikenal julukannya saja, yaitu Lim-kwi Sai-kong (Si Muka Singa Setan Hutan), dan memang sebelum menjadi pembantu utama Beng-cu, dia menjadi seorang penunggu hutan yang ditakuti. Usianya sudah enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya seperti muka singa, penuh dengan cambang bauk dan persegi menyeramkan, wajah yang penuh kegarangan dengan mata yang lebar dan sinarnya aneh.

Pakaiannya selalu hitam dari kain tebal dan tidak pernah bersih, tubuhnya juga berbau binatang hutan. Sebatang golok besar tak pernah meninggalkan pinggangnya dan sehelai rantai baja besar melilit pula pinggang itu. Biarpun dia seperti seorang hutan tulen, namun jangan dikira bahwa dia hanya buas dan mengandalkan tenaga raksasa saja, seperti seekor singa. Tidak, di samping tenaga besar dan kebuasannya, juga dia memiliki ilmu silat yang dahsyat, bahkan pandai pula mempergunakan khi-kang untuk mengeluarkan auman yang menggetarkan jantung dan melumpuhkan kaki seorang lawan!

Orang kedua kurang mengesankan sebagai seorang jagoan, apa lagi sebagai seorang pembantu utama dari Siauw-bin Ciu-kwi. Dia seorang pria berusia tigapuluh lima tahun bernama Ciong Koan dan berjuluk Pek-i Kongcu (Tuan Muda Baju Putih). Pria muda ini selalu mengenakan pakaian putih, akan tetapi bukan putih sederhana, melainkan putih pesolek, rambutnya disisir licin dan diminyaki. Seorang pria yang berwajah tampan, mulutnya memiliki senyum memikat akan tetapi matanya jelas membayangkan kecabulan.

Pria berbaju putih ini dahulunya adalah seorang murid Kun-lun-pai yang memiliki keahlian bermain pedang. Dari remaja dididik untuk menjadi seorang pendekar. Akan tetapi setelah dewasa, dia runtuh oleh nafsunya sendiri, melakukan penyelewengan-penyelewengan karena diperbudak oleh berahi yang tidak wajar.

Akhirnya, dia terseret oleh lingkungan dan menjadi seorang tokoh sesat yang suka mempermainkan wanita, baik melalui rayuan dan ketampanannya, maupun melalui paksaan mengandalkan kelihaiannya. Entah berapa banyak gadis diperkosanya, isteri orang dirayunya sehingga melakukan penyelewengan. Setelah ditaklukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dia menjadi seorang pembantu setia dan kekejamannya bertambah karena selalu berdekatan dengan para datuk dan tokoh sesat.

Orang ketiga bernama Lok Hun berjuluk Hek-giam-ong, berusia empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan sesuai dengan julukannya, yaitu Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), maka seluruh kulit tubuhnya, dari muka sampai kaki, berwarna hitam gelap. Mukanya yang hitam itu amat menyeramkan, apa lagi karena wajahnya itu amat dingin, matanya seperti tanpa sinar, mulutnya tidak pernah tersenyum dan muka itu seperti topeng saja, tidak pernah membayangkan apa yang dirasakannya. Senjata istimewanya adalah sebuah ruyung yang berat.

Demikianlah keadaan Siauw-bin Ciu-kwi dan empat orang pembantu utamanya. Dengan hati yang penuh penyerahan karena maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis, Loan Khi Hwesio memandang kepada mereka semua sambil berdiri dan merangkap kedua tangan depan dada.

“Hwesio sialan! Berlutut kau!” bentak Lim-kwi Sai-kong dengan suaranya yang mengguntur ketika dia melihat betapa tawanan itu berdiri saja di depan Beng-cu.

“Omitohud...!” Loan Khi Hwesio menjura sambil tetap merangkap kedua tangan depan dada. “Pinceng tidak pernah berlutut, kecuali kepada Sang Buddha...”

Para anak buah rendahan yang tadi menangkap dan mengantar hwesio itu menghadap Beng-cu, sudah disuruh keluar dan tidak boleh ikut mendengarkan dan melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Kini yang menyaksikan hanyalah Beng-cu dan para pembantunya, termasuk enam orang dayang yang menjadi pembantu dan juga selir-selirnya.

Mendengar jawaban pendeta itu, Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo dari Beng-cu, berseru, “Beng-cu, haruskah kupatah-patahkan kakinya agar dia mau berlutut?”

Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi menyeringai, kini tertawa dan menenggak secawan arak, lalu memberikan cawan kosong kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si untuk diisi kembali. “Biarkanlah, nanti saja kalau dia tidak mau mengaku, baru kau boleh siksa dia sampai setengah mati!” kata Siauw-bin Ciu-kwi, sengaja mengancam untuk mengecilkan hati hwesio itu. Kemudian dia bertanya kepada tawanan itu. “Apakah engkau yang bernama Loan Khi Hwesio?”

Loan Khi Hwesio menjura dengan sikap hormat. “Benar sekali, pinceng bernama Loan Khi Hwesio. Tidak tahu ada urusan apa maka pinceng dipaksa datang ke tempat ini?”

“Ha-ha-ha, Loan Khi Hwesio, apakah engkau benar tidak tahu atau tidak dapat menduganya? Ataukah hanya berpura-pura saja?”

“Pinceng sungguh tidak tahu dan tidak dapat menduga...”

Tiba-tiba Beng-cu itu menggebrak meja dengan marah walaupun mulutnya masih menyeringai. “Serahkan peta itu kepadaku!”

Wajah yang sudah pucat itu semakin pucat dan mata pendeta itu terbelalak memandang kepada wajah yang kekanak-kanakan itu. “Peta? Peta apakah yang kau maksudkan?”

“Hwesio tolol!” kembali Lim-kwi Sai-kong membentak marah. “Jaga sikap dan bicaramu! Engkau menghadap Beng-cu yang berkuasa di seluruh Kiang-si! Salah sedikit saja bicaramu, kaki tanganmu akan dibuntungi dan lidahmu akan dipotong!”

Tentu saja hwesio itu menjadi semakin ngeri. “Maaf, Beng-cu. Sungguh, pinceng tidak mengerti peta apa yang dimaksudkan itu...”

Siauw-bin Ciu-kwi mendengus dan mulutnya menyeringai semakin lebar. “Huh, peta apa lagi kalau bukan peta Patung Emas!”

“Peta Patung Emas? Pinceng... tidak... tidak tahu...”

“Brakkk!” kembali Beng-cu menggebrak meja. “Tak perlu bohong! Kami sudah tahu bahwa engkau telah mendapatkan sebagian dari peta itu. Peta yang ada gambarnya patung emas, peta harta terpendam di Telaga Po-yang! Sudahlah, tidak perlu pura-pura tidak tahu lagi. Serahkan peta itu kepadaku dan engkau akan kami bebaskan dan boleh melanjutkan pekerjaanmu di kuil tua itu! Akan tetapi kalau engkau tidak mau menyerahkan, tidak mau mengaku di mana adanya peta itu, engkau akan disiksa sampai mati!”

Seluruh tubuh pendeta itu gemetar, mulutnya terasa kering dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Sungguh, pinceng tidak menyimpannya... pinceng tidak tahu peta itu di mana...”

“Hek-giam-ong, paksa dia mengaku di mana peta itu!” kata Siauw-bin Ciu-kwi.

Pembantunya yang menerima perintah ini bangkit dari kursinya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menjulang tinggi dan mukanya yang seperti topeng hitam itu nampak dingin dan tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi ketika dia melangkah dan mendekati Loan Khi Hwesio, sinar matanya mencorong penuh ancaman.

Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya kemak-kemik membaca doa karena dia maklum bahwa bahaya maut mengancamnya. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan, tentu saja hatinya merasa ngeri.

“Hwesio, sekali lagi ku ulangi permintaan Beng-cu. Serahkan peta itu atau katakan di mana adanya peta itu sekarang!” kata Hek-giam-ong Lok Hun dengan muka tidak membayangkan sesuatu, tetap dingin dan suaranya juga terdengar datar saja sehingga terdengar menyeramkan, lebih menyeramkan dari pada kalau suara itu mengandung bentakan marah.

“Tidak... tidak tahu... pinceng tidak tahu!”

Tiba-tiba tangan Hek-giam-ong meluncur dan menangkap lengan kiri hwesio itu. “Katakan, atau akan kupatahkan jari tanganmu satu demi satu!”

Loan Khi Hwesio menggeleng kepala. “Omitohud... maafkan... pinceng sungguh tidak tahu...!”

Hek-giam-ong yang memegang lengan kiri hwesio itu dengan tangan kanan, lalu menangkap ibu jari tangan itu dengan tangan kirinya dan menekuk ibu jari itu ke belakang punggung tangan.

“Kreekkk!” tulang ibu jari itu patah dan Loan Khi Hwesio mengeluarkan suara rintihan. mukanya yang semakin pucat itu basah dengan keringat yang keluar dari tubuhnya saking nyerinya. Kini telujuknya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya, dan satu demi satu, perlahan-lahan, kelima jari tangan kirinya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya. Loan Khi Hwesio merintih, mengerang, bahkan menjerit. Ketika kelingkingnya ditekuk patah, dia meraung dan pingsan! Ketika dia siuman kembali, tangan kanannya sudah dipegang tangan kiri algojo itu.

“Nah, sekarang katakan terus terang, di mana peta itu? Kalau engkau tidak mau mengaku, jari-jari tangan kananmu akan kupatah-patahkan seperti tangan kirimu tadi!” Hek-giam-ong mengancam.

Tubuh Hwsio itu menggigil. Dia kini bangkit duduk. Tangan kirinya tak dapat dia gerakkan, nyeri bukan main, rasa nyeri yang datang dari jari-jari tangan itu dan terus menerus sampai ke jantungnya. Akan tetapi, dia tetap berusaha melindungi dirinya dengan doa, walaupun kini dia mulai meragukan apakah doanya akan berguna dalam keadaan seperti itu.

Dia menggeleng kepala. “Pinceng... tidak... tidak tahu...” Dan diapun memejamkan kedua matanya dan mulutnya berkemak-kemik, menanti datangnya saat penyiksaan yang lebih hebat. Dan siksaan itupun datang! Seperti tadi, ibu jari tangan kanannya ditekuk ke belakang sampai mengeluarkan bunyi “krekkk!” dan tulang ibu jari itu patah sambungannya, disusul jari-jari yang lain. Baru tiga batang jari yang dipatahkan, kembali hwesio itu sudah jatuh pingsan, karena tidak dapat menahan lagi perasaan nyeri yang menusuk jantung.

Ketika untuk kedua kalinya dia siuman, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Rasa nyeri dari kedua tangannya itu menjalar ke seluruh tubuh. Dua buah tangannya sudah tidak dapat dia gerakkan lagi. Dia bangkit duduk lalu menunduk dan memejamkan kedua matanya, mohon kekuatan dari Yang Maha Kuasa, dan menyerahkan seluruh jiwa raganya.

Ketika dia tenggelam ke dalam penyerahan ini, terjadilah keanehan pada dirinya. Tadinya, dari kedua tangannya keluar denyut-denyut yang amat nyeri, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk jantung. Sukar digambarkan bagaimana perasaan nyeri itu. Ada rasa panas, perih, menusuk-nusuk dan mencabut-cabut. Akan tetapi, rasa berdenyut-denyut itu kini berubah sama sekali!

Tidak lagi mendatangkan nyeri, bahkan mendatangkan nikmat! Sungguh! Tidak perlu lagi dia merintih. Denyut-denyut nyeri tadi kini bertukar denyut nikmat. Ataukah penerimaannya, alat penerimaannya yang berubah? Bukankah nyeri dan nikmat hanyalah permainan dari perasaan belaka? Penyerahannya yang sebulatnya kepada Tuhan melenyapkan perbedaan antara nyeri dan nikmat, antara enak dan tidak enak, sehingga diapun tidak tahu lagi apakah kedua tangannya itu terasa nyeri ataukah nikmat! Loan Khi Hwesio yang memejamkan matanya itu kini tersenyum. Senyum wajar karena bebas dari rasa nyeri, bahkan merasakan kenikmatan pada kedua tangannya.

Melihat hwesio itu tersenyum, Beng-cu berpandangan dengan para pembantunya. Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang datuk besar. Dia menduga bahwa tentu hwesio yang tentu saja memiliki ilmu kebatinan yang mendalam itu agaknya sudah mampu menguasai perasaan nyeri, maka dalam keadaan semua jari tangannya patah-patah itu masih mampu tersenyum, senyum sama sekali bebas dari rasa nyeri!

“Loan Khi Hwesio, apakah engkau masih juga belum mau menyerahkan peta itu?” terdengar Siauw-bin Ciu-kwi bertanya. “Kesempatanmu untuk bebas dari maut hanya tinggal yang terakhir!”

Tanpa membuka matanya, Loan Khi Hwesio berkata, “Omitohud biar dibunuh sekalipun, pinceng tidak dapat memenuhi permintaan itu. Pinceng tidak tahu di mana peta yang dimaksudkan itu...”

“Jahanam! Engkau tidak akan mati begitu saja! Giam-ong, pergunakan siksaan Selaksa Tetes Air!”

Sepasang mata dari muka yang hitam itu mengeluarkan sinar berkilat, agaknya perintah ini mendatangkan perasaan gembira di hatinya yang penuh dengan sifat yang sadis dan kejam bukan main. Dia lalu mengambil seember besar air dan menggantung ember itu. Kemudian, setelah menotok tubuh Loan Khi Hwesio sehingga pendeta ini tidak mampu bergerak, dia memaksa hwesio itu duduk di bawah ember, mengikat tubuh hwesio itu dengan sebuah bangku. Ember itu telah dilubangi kecil dan kini dari bawah ember, air menetes-netes satu-satu!

Loan Khi Hwesio sendiri tidak mengerti apa artinya hukuman seperti ini. Dia hanya merasa ada air menetes dan menimpa kepalanya yang gundul. Akan tetapi tentu saja hal itu tidak merupakan siksaan. Hanya tertimpa setetes air dan membuat kepalanya basah. Tetes demi tetes air menimpa kepalanya dan mulailah air mengalir turun dari kepala, membasahi leher. Akan tetapi hal itu tidaklah menyiksa benar. Yang lebih menyiksa adalah bahwa dia sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya, bukan hanya karena diikat pada bangku, melainkan karena tertotok. Menggerakkan kepalapun tidak mampu!

Agaknya, Beng-cu dan para pembantunya tidak lagi memperhatikan dia. Kini ada pelayan datang membawa hidangan dan mereka mulai makan minum sambil tertawa-tawa. Itukah yang dimaksudkan mereka untuk menyiksanya? Memaksa dia melihat, atau lebih tepat mendengarkan orang-orang berpesta?

Hwesio yang masih memejamkan matanya itu tersenyum di dalam hati. Agaknya para penjahat ini tidak tahu bahwa dia, sebagai seorang hwesio, sudah lama sekali menalukkan nafsu makan enak. Mendengar atau bahkan melihat sekalipun orang-orang makan enak, seujung rambut dia tidak kepingin!

“Tukk...! Tukk...! Tukkk...!!”

Terdengar keluhan keluar dari mulut Loan Khi Hwesio! Air yang menimpa kepalanya itu, setetes demi setetes, kini tidak lagi terasa seperti tetesan air biasa! Melainkan terasa amat menyakitkan. Air setetes itu seperti berubah menjadi sebutir baja yang keras dan berat!

Dia tidak tahu bahwa air yang menetes-netes satu-satu dan yang menimpa di suatu titik tertentu, memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Batu dan besi saja lama-lama akan dapat berlubang tertimpa air setetes demi setetes di tempat yang sama, apa lagi kepala orang!

Kini setiap tetes air yang menimpa kepala terasa seperti palu godam dan mendatangkan suara berdengung di telinganya, rasa nyeri yang sukar dapat dipertahankannya lagi! Dia masih menyerah, akan tetapi karena tadinya dia tidak mengira akan mengalami siksaan seperti ini, maka penyerahannya berbeda dengan tadi ketika tulang jari-jari tangannya dipatahkan. Kini dia mengaduh, mengeluh, menjerit dan meraung!

Beng-cu dan para pembantunya masih makan minum dengan lahap. Akan tetapi, diam-diam Beng-cu dan para pembantunya memperhatikan keadaan pendeta yang sedang mengalami penyiksaan hebat itu dan senyum Siauw-bin Ciu-kwi melebar. Bagus, pikirnya, hwesio itu mulai merasakan hebatnya penyiksaan itu dan tidak mungkin dia mampu bertahan sampai detik terakhir!

Kini keadaan Loan Khi Hwesio semakin payah. Setiap kali air menetes dan menimpa kepalanya, tubuhnya tergoncang hebat lalu menggigil. Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo penyiksa dan pembunuh, tahu saatnya yang tepat, maka dia sudah menghampiri hwesio itu lalu membebaskan totokannya. Begitu dibebaskan, keadaan hwesio itu semakin tersiksa. Dia berusaha mengelak dari serangan air yang menetes, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya mampu menggerakkan sedikit saja kepalanya. Kembali air menimpa dan dia meraung!

“Bodoh, membiarkan diri tersiksa seperti ini hanya karena sepotong peta yang tidak ada harganya!” Kini Siauw-bin Ciu-kwi menghampiri dan mengejek. “Peta itu hanya merupakan barang duniawi, mengapa engkau sebagai seorang pendeta masih begitu kukuh mempertahankannya? Katakanlah di mana peta itu dan engkau akan kubebaskan!”

Dalam keadaan setengah sadar dan hampir gila oleh rasa nyeri, mulut pendeta itu berkata lemah, “...pinceng... berikan... kepada dermawan Thio... dermawan Thio...” Diapun terkulai dan nyawanya melayang.

Serangan air yang menetes-netes itu telah mencabut nyawanya. Lebih baik begitu kiranya bagi hwesio yang bernasib malang ini. Banyak korban siksaan seperti itu bernasib lebih buruk lagi, yaitu tidak mati akan tetapi hidup sebagai seorang yang sinting...

Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 22

Liong-li lalu bercerita secara singkat namun padat. Betapa untuk menyelamatkan ayahnya yang korup, ia dipaksa menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong dan karena ia melawan ketika hendak digauli, ia disiksa, diperkosa secara kejam oleh pangeran itu, kemudian karena masih terus melawan, ia dijual ke rumah bordil dan oleh pemilik rumah bordil yang mempunyai tukang-tukang pukul, iapun disiksa dan dipaksa untuk menjadi pelacur!

Tanpa malu-malu lagi ia menceritakan betapa ia dipaksa melayani banyak orang, dan betapa ia diam-diam ia mengusahakan pelariannya. Betapa ia berhasil melarikan diri, dikejar-kejar dan ditolong oleh nenek Huang-ho Kui-bo yang kemudian menjadi gurunya selama tujuh tahun. Setelah selesai belajar silat, ia lalu membalas dendam dan membuat semua orang yang pernah menghinanya menjadi penderita cacat seumur hidup dengan membuntungi kaki tangannya, dan para hidung belang itu ia buntungi hidung mereka. Pangeran Coan Sui Ong ia buntungi kaki tangannya.

“Akupun dipesan oleh subo untuk mencari Kim-san Liong-cu dan dalam usaha mencari mutiara itu, aku bertemu dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu. Nah, demikianlah riwayat hidupku dan kuharap engkau sebagai satu-satunya orang yang pernah mendengarnya, akan merahasiakannya.”

Cin Hay atau yang kini berjuluk Liong-eng menghela napas panjang, memandang kepada kawannya itu dengan penuh perasaan iba. “Aduh, riwayat hidupmu sungguh menyedihkan sekali, Liong-li. Tentu saja aku akan merahasiakannya seperti rahasia pribadiku sendiri.”

“Tidak, Liong-eng. Engkau yang lebih menderita, karena engkau kehilangan isteri yang tercinta, bahkan kehilangan calon anak. Engkau menderita kehilangan, sedangkan aku hanya menderita penghinaan.”

“Betapapun juga, Liong-li, Kita berdua adalah dua orang yang menjadi korban kejahatan manusia yang berhati iblis. Oleh karena itu, kita harus selalu menentang kejahatan dalam bentuk apapun juga! Maukah engkau bekerja sama dengan aku dalam hal ini? Dengan bekerja sama, tentu kita menjadi lebih kuat.”

“Aku setuju, Liong-eng. Akan tetapi, tidak semua lawan perlu kita hadapi bersama. Kalau seorang di antara kita menghadapi kesulitan, bertemu dengan lawan yang amat tangguh seperti Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, barulah kita saling mengabari dan saling bantu. Setujukah engkau?”

Liong-eng atau Tan Cin Hay mengangguk. Diapun tahu bahwa kalau mereka selalu berkumpul, banyak sekali bahayanya. Mereka itu saling kagum, dan kalau terlalu sering berkumpul, bukan tidak mungkin akan terjalin hubungan yang lebih akrab dan mesra di antara mereka dan hal itu akan merupakan kelemahan mereka.

“Baik, Liong-li. Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat saling menghubungi atau mencari?”

“Aku berasal dari Lok-yang, maka akupun tidak akan meninggalkan Lok-yang jauh-jauh. Aku akan berada di sekitar Lok-yang, dan kalau engkau ingin bertemu atau menghubungi aku, datanglah engkau ke tepi sungai ini. Aku akan mendirikan sebuah pondok di sini untuk tempat peristirahatan, dan di tempat inilah engkau akan menemui aku. Dan bagaimana dengan kau? Kalau aku perlu denganmu, ke mana aku harus mencarimu?”

“Aku? Aku akan berada di sekitar Telaga See-ouw! Aku tidak dapat melupakan telaga yang indah itu. Kampung halamanku tidak jauh dari telaga itu di mana orang tuaku hidup bertani, dan kuburan isteriku juga berada di sana.”

“Bagus, kalau begitu semua telah disepakati. Aku girang sekali dapat menjadi sahabatmu, Liong-eng dan mudah-mudahan tidak lama lagi kita akan dapat saling bertemu kembali.” Iapun bangkit berdiri.

Liong-eng juga bangkit berdiri. “Kita berpisah sekarang, Liong-li?”

Wanita itu tersenyum, manis sekali.

“Ada pertemuan harus ada perpisahan, dan hanya perpisahan yang membuat pertemuan berikutnya menjadi teramat indahnya! Bukankah begitu?”

Liong-li tersenyum, mengangguk. Sungguh menyenangkan sekali mempunyai seorang sahabat sejati seperti Liong-li ini, wataknya aneh akan tetapi amat gagah dan baik, pandangan luas, dan hatinya bebas. Dan yang lebih dari itu, wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya, dan dia sendiripun pernah menyelamatkan nyawanya.

“Selamat jalan dan selamat berpisah, Liong-li,” katanya sambil membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, bersoja.

Liong-li membalas penghormatan itu, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya, mendekati Liong-eng. Sambil tersenyum orang muda itu menyambut uluran tangan itu, menyambut dalam jabatan tangan yang hangat di mana kedua tangan itu saling genggam penuh getaran persahabatan.

Begitu keduanya melepaskan jabatan tangan, keduanya saling pandang, tersenyum dan keduanya lalu berkelebat lenyap, yang seorang ke utara, seorang ke selatan menurut arah sungai yang membelok ke selatan itu. Sebentar saja yang nampak hanyalah dua titik, satu hitam satu putih yang makin lama makin saling menjauhi sampai akhirnya lenyap.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 22 karya kho ping hoo

Rumah besar di lereng bukit luar kota itu memang menyeramkan. Bentuknya seperti sebuah benteng yang dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan tebal. Di sebelah dalam pagar tembok terdapat beberapa bangunan mengelilingi bangunan induk yang besar dan kuno, seperti kuil-kuil saja. Bukit itu merupakan sebuah di antara bukit-bukit yang mengelilingi Telaga Po-yang di Propinsi Kiang-si.

Di bukit-bukit itu memang terdapat banyak bangunan kuno, peninggalan jaman dahulu, kuil-kuil tua yang sudah tidak dipergunakan sebagai kuil lagi, hanya menjadi peninggalan kuno yang kadang-kadang dikunjungi orang untuk dikagumi. Akan tetapi, bangunan yang satu ini, yang terletak di lereng Bukit Merak, tidak pernah dikunjungi orang!

Semua orang di sekitar daerah itu tidak ada yang berani, apa lagi berkunjung, mendekatipun mereka tidak berani. Kecuali mereka yang mempunyai keperluan seperti pedagang beras dan kebutuhan lain untuk dikirimkan kepada penghuni bangunan besar itu. Kalau para penduduk di sekitar tempat itu takut mendekatinya karena telah mendengar betapa para penghuni rumah besar itu bengis dan galak, juga lihai dan suka main pukul, para tokoh kang-ouw lebih takut lagi untuk mendekati tempat itu.

Dunia kang-ouw sudah mengetahui bahwa rumah besar di lereng bukit yang disebut Bukit Merak itu adalah tempat tinggal dari Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka Tertawa), seorang di antara datuk sesat yang dikenal dengan sebutan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang kini merajalela di dunia persilatan setelah puluhan tahun mereka tidak pernah mencampuri urusan dunia. Baru beberapa tahun ini Kiu Lo-mo terjun ke dunia ramai dan dunia kang-ouw menjadi gempar karena sepak terjang mereka yang menggegerkan dunia persilatan, menaklukkan seluruh golongan hitam untuk menjadi anak buah mereka di daerah kekuasaan masing-masing.

Siauw-bin Ciu-kwi yang menguasai seluruh daerah Propinsi Kiang-si, dalam waktu beberapa tahun saja sudah menalukkan sebagian besar kaum sesat dan diapun diangkat menjadi Beng-cu (pemimpin) oleh para tokoh sesat yang tidak mampu menandingi ilmu kepandaiannya yang konon amat tinggi sehingga dia dinamakan seorang yang sakti.

Malam itu amat sunyi di sekitar lereng Bukit Merak. Lampu-lampu gantung di atas pagar tembok dan di luar rumah-rumah besar tua itu nampak berkelap-kelip di antara kegelapan malam, menambah seramnya suasana yang amat sunyi itu. Tidak ada seorangpun penduduk di sekitar Telaga Po-yang berani mendekati Bukit Merak, apalagi sampai ke lerengnya, baru di kaki bukit itu saja mereka tidak berani. Lebih baik mengambil jalan memutar yang lebih jauh dari pada harus melalui kaki Bukit Merak.

Akan tetapi, dalam keremangan cuaca malam yang hanya disinari oleh laksaan bintang di langit, nampak empat orang laki-laki mendorong-dorong seorang hwesio, mendaki kaki bukit terus ke lereng. Beberapa kali, kalau hwesio itu berjalan kurang cepat, dia didorong oleh empat orang yang berjalan di belakangnya sambil dibentak sehingga hwesio itu terhuyung-huyung ke depan.

Hwesio itu usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh kurus dan bermuka pucat. Kepalanya gundul dan jubahnya yang kuning itu agak kumal. Dia melangkah sambil merangkap kedua tangan di depan dada, agaknya dia sudah menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa, maklum bahwa dia tidak berdaya dan terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang jiwanya dikuasai nafsu iblis.

Hwesio ini bernama Loan Khi Hwesio, ketua dari sebuah kuil kecil di sebuah bukit yang berada di sebelah barat Telaga Po-yang. Sore tadi, dia kedatangan empat orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya ini, dan dengan suara kasar mereka memaksa dia harus ikut bersama mereka untuk menghadap Beng-cu di lereng Bukit Merak!

Lima orang hwesio yang menjadi pembantunya, hwesio-hwesio muda, tentu saja tidak merelakan dia yang menjadi ketua kuil diculik begitu saja. Mereka melawan, akan tetapi apa daya lima orang hwesio yang hanya menguasai sedikit ilmu silat menghadapi empat orang yang lihai itu? Dengan mudah lima orang hwesio itu dihajar sampai pingsan semua dan dia pun dipaksa untuk ikut mereka ke Bukit Merak.

Loan Khi Hwesio maklum siapa yang disebut Beng-cu itu. Dia sudah mendengar tentang Siauw-bin Ciu-kwi, seorang datuk besar kaum sesat yang amat sakti dan kejam. Maka, diapun pasrah dan hanya mempergunakan kekuatan batinnya untuk menghadapi ancaman bahaya maut ini.

Empat orang itu yang rata-rata berusia empatpuluh tahun, memiliki tubuh yang kokoh kuat dan wajah yang bengis, orang-orang yang sudah biasa melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Mereka adalah sebagian dari para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi, hanya merupakan pembantu rendahan saja, bukan pembantu utama yang berilmu tinggi.

Kini mereka tiba di depan pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal. Seorang di antara empat tukang pukul itu membunyikan genta dan dari dalam pintu, seorang penjaga mengintai melalui lubang daun pintu, kemudian membuka pintu gerbang itu, dibantu oleh seorang teman karena pintu gerbang itu amat berat saking tebal dan besarnya. Loan Khi Hwesio didorong masuk dan hampir saja jatuh karena kakinya tersandung batu.

“Hayo cepat!” bentak seorang di antara empat jagoan itu sambil menangkap lengan hwesio itu dan menyeretnya menuju ke sebuah bangunan induk di dalam tembok yang seperti benteng.

Setelah mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup terang, hwesio itu didorong masuk sampai jatuh menelungkup. Akan tetapi, dia bangkit lagi tanpa mengeluh, kedua tangan masih dirangkap depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk mohon kekuatan kepada Yang Maha Kuasa. Dia lalu mengangkat muka memandang.

Kiranya di dalam ruangan itu duduk beberapa orang yang kesemuanya memandang kepadanya, bagaikan segerombolan anjing srigala kelaparan. Loan Khi Hwesio merasa betapa dia seperti seekor kelinci yang dikepung srigala-srigala itu sehingga diam-diam diapun bergidik walaupun penyerahan dirinya kepada Tuhan telah membuat dia tidak merasa takut. Dia merasa ngeri menghadapi manusia-manusia yang pada lahirnya saja sudah nampak sedemikian mengerikan dan penuh dengan kepalsuan dan kekejaman.

Siauw-bin Ciu-kwi mudah dikenal oleh orang yang baru mendengar namanya dan belum pernah melihat mukanya. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut, nampak semakin pendek karena duduk di atas kursi yang besar dan dalam. Dia nampak seperti seekor katak bersembunyi di dalam lubangnya. Kepalanya botak, sedemikian botaknya sehingga kelihatan gundul. Mukanya sungguh aneh. Muka yang seperti muka kanak-kanak, gemuk dengan kedua pipi tebal, akan tetapi mulutnya terus menyeringai, tersenyum lebar!

Seluruh wajahnya tersenyum kecuali matanya. Sepasang mata itu sama sekali tidak tersenyum, sama sekali tidak membayangkan keramahan atau kegembiraan, melainkan sepasang mata yang mencorong dengan sinar yang tajam menusuk dan mengandung kekejaman dan kecerdikan luar biasa. Agaknya karena mulutnya yang selalu menyeringai itulah maka dia dijuluki Siauw-bin (Muka Tertawa).

Di atas meja di depannya nampak sebuah guci arak besar dan di tangannya nampak cawan arak yang tak pernah kosong karena setiap kali dia meneguk isi cawan, selalu ada tangan halus yang mengisi cawan itu kembali dari guci arak. Tangan halus itu milik seorang wanita muda yang selalu duduk di samping Beng-cu itu, seorang wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun yang berwajah cantik manis, pesolek, dengan mulut penuh gairah dan sepasang mata yang indah.

Melihat seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh demikian indah, wajah manis dan sikap yang genit memikat, orang tidak akan mengira bahwa wanita ini sungguh bukan seorang wanita yang lemah! Biarpun ia dapat menjadi hangat dan penuh kemesraan, namun di balik semua keindahan itu tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat, kekejaman yang membuat seorang penjahat sekalipun menjadi ngeri, dan kepandaian silat yang membuat namanya terkenal di seluruh Propinsi Kiang-si.

Wanita yang kini seolah-olah menjadi pelayan terkasih dari Beng-cu itu terkenal dengan julukan Tok-sim Nio-cu (Nona Berhati Racun). Nama kecilnya adalah Lui Cin Si, akan tetapi di dunia kang-ouw, nama ini tidak dikenal orang, akan tetapi kalau sekali orang menyebut Tok-sim Nio-cu, penjahat yang paling kejam sekalipun akan merasa serem dan takut!

Ketika Siauw-bin Ciu-kwi muncul di dunia persilatan dan bermukim di Propinsi Kiang-si, tentu saja seperti banyak tokoh kang-ouw, Tok-sim Nio-cu juga tidak sudi untuk menyerah dan takluk kepada datuk besar yang baru muncul ini. Apalagi melihat orangnya yang tidak mengesankan, hanya seorang laki-laki setengah tua yang pendek berperut gendut dan selalu senyum-senyum seperti orang sinting.

Tok-sim Nio-cu bahkan memandang rendah dan ia menantang datuk ini. Sungguh di luar perkiraannya, menghadapi si pendek gendut itu, dalam beberapa jurus saja, kurang dari sepuluh jurus, ia sudah terjungkal roboh! Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu bukan orang yang mudah menyerah.

Tidak mudah bagi Siauw-bin Ciu-kwi untuk menalukkan wanita liar ini, yang masih merasa penasaran dan ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk mengeroyok. Baru setelah berkali-kali semua usahanya menentang Siauw-bin Ciu-kwi gagal dan berkali-kali ia dirobohkan tanpa dibunuh, akhirnya Tok-sim Nio-cu menyatakan takluk dan menyerah!

Setelah Tok-sim Nio-cu menyerah, kini ia malah menjadi seorang pembantu yang paling dipercaya oleh Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan tidak hanya itu, ia juga menjadi kekasih Beng-cu itu dan karena ini, kekuasaannya amat besar dan hanya di sebelah bawah kekuasaan sang Beng-cu! Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, ternyata si pendek gendut yang tidak dapat dibilang ganteng dan tidak memiliki banyak daya tarik sebagai seorang pria terhadap wanita itu, ternyata adalah seorang pria yang jantan bagi seorang wanita haus laki-laki seperti Tok-sim Nio-cu! Seorang pria yang dapat memuaskan hatinya!

Di samping ini, juga Beng-cu itu berkenan mengajarkan beberapa jurus ilmu silat yang tinggi kepadanya, menguruknya pula dengan kemuliaan, kemewahan dan kedudukan sehingga membuat wanita genit itu benar-benar takluk dan setia! Demikianlah, wanita ini bahkan tidak malu-malu dan tidak merasa rendah untuk menuangkan arak dan melayani Beng-cu seperti seorang pelayan biasa saja, biarpun di depan banyak orang! Tentu saja tidak ada seorangpun berani memandang rendah kepadanya, yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Beng-cu!

Hanya Tok-sim Nio-cu seorang yang duduk di samping Beng-cu menghadapi meja, seperti seorang pelayan, juga seperti seorang kekasih atau isteri, karena Beng-cu tidak mempunyai isteri. Ada pula enam orang wanita muda yang menjadi semacam selir, atau dayang atau juga pelayan, menjadi penghibur Beng-cu. Mereka duduk bersimpuh di atas lantai, siap untuk melaksanakan perintah Beng-cu, baik perintah untuk bermain musik, menari, bernyanyi, atau juga beramai “mengeroyok” Beng-cu melayani segala kehendak pria pendek gendut yang amat sakti itu!

Mereka adalah gadis-gadis pilihan yang mau tidak mau kini menjadi pelayan dan penghibur datuk besar itu. Di belakang datuk itu, nampak tiga orang laki-laki yang nampak aneh dan tidak seperti manusia biasa. Memang mereka bukan manusia biasa, melainkan manusia berwatak iblis yang sejak lama menjadi tokoh-tokoh sesat di Propinsi Kiang-si. Seperti juga Tok-sim Nio-cu, mereka ditundukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dengan kekerasan dan mereka baru mau sungguh-sungguh takluk setelah kalah mutlak menghadapi Beng-cu yang sakti itu.

Kini mereka menjadi pembantu-pembantu setia dari Beng-cu yang pandai mengambil hati mereka dengan melimpahkan kemuliaan dan kemewahan. Juga, menjadi pembantu Beng-cu mengangkat nama mereka lebih tinggi di dunia kang-ouw membuat mereka semakin disegani dan ditakuti orang. Yang pertama hanya dikenal julukannya saja, yaitu Lim-kwi Sai-kong (Si Muka Singa Setan Hutan), dan memang sebelum menjadi pembantu utama Beng-cu, dia menjadi seorang penunggu hutan yang ditakuti. Usianya sudah enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya seperti muka singa, penuh dengan cambang bauk dan persegi menyeramkan, wajah yang penuh kegarangan dengan mata yang lebar dan sinarnya aneh.

Pakaiannya selalu hitam dari kain tebal dan tidak pernah bersih, tubuhnya juga berbau binatang hutan. Sebatang golok besar tak pernah meninggalkan pinggangnya dan sehelai rantai baja besar melilit pula pinggang itu. Biarpun dia seperti seorang hutan tulen, namun jangan dikira bahwa dia hanya buas dan mengandalkan tenaga raksasa saja, seperti seekor singa. Tidak, di samping tenaga besar dan kebuasannya, juga dia memiliki ilmu silat yang dahsyat, bahkan pandai pula mempergunakan khi-kang untuk mengeluarkan auman yang menggetarkan jantung dan melumpuhkan kaki seorang lawan!

Orang kedua kurang mengesankan sebagai seorang jagoan, apa lagi sebagai seorang pembantu utama dari Siauw-bin Ciu-kwi. Dia seorang pria berusia tigapuluh lima tahun bernama Ciong Koan dan berjuluk Pek-i Kongcu (Tuan Muda Baju Putih). Pria muda ini selalu mengenakan pakaian putih, akan tetapi bukan putih sederhana, melainkan putih pesolek, rambutnya disisir licin dan diminyaki. Seorang pria yang berwajah tampan, mulutnya memiliki senyum memikat akan tetapi matanya jelas membayangkan kecabulan.

Pria berbaju putih ini dahulunya adalah seorang murid Kun-lun-pai yang memiliki keahlian bermain pedang. Dari remaja dididik untuk menjadi seorang pendekar. Akan tetapi setelah dewasa, dia runtuh oleh nafsunya sendiri, melakukan penyelewengan-penyelewengan karena diperbudak oleh berahi yang tidak wajar.

Akhirnya, dia terseret oleh lingkungan dan menjadi seorang tokoh sesat yang suka mempermainkan wanita, baik melalui rayuan dan ketampanannya, maupun melalui paksaan mengandalkan kelihaiannya. Entah berapa banyak gadis diperkosanya, isteri orang dirayunya sehingga melakukan penyelewengan. Setelah ditaklukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dia menjadi seorang pembantu setia dan kekejamannya bertambah karena selalu berdekatan dengan para datuk dan tokoh sesat.

Orang ketiga bernama Lok Hun berjuluk Hek-giam-ong, berusia empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan sesuai dengan julukannya, yaitu Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), maka seluruh kulit tubuhnya, dari muka sampai kaki, berwarna hitam gelap. Mukanya yang hitam itu amat menyeramkan, apa lagi karena wajahnya itu amat dingin, matanya seperti tanpa sinar, mulutnya tidak pernah tersenyum dan muka itu seperti topeng saja, tidak pernah membayangkan apa yang dirasakannya. Senjata istimewanya adalah sebuah ruyung yang berat.

Demikianlah keadaan Siauw-bin Ciu-kwi dan empat orang pembantu utamanya. Dengan hati yang penuh penyerahan karena maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis, Loan Khi Hwesio memandang kepada mereka semua sambil berdiri dan merangkap kedua tangan depan dada.

“Hwesio sialan! Berlutut kau!” bentak Lim-kwi Sai-kong dengan suaranya yang mengguntur ketika dia melihat betapa tawanan itu berdiri saja di depan Beng-cu.

“Omitohud...!” Loan Khi Hwesio menjura sambil tetap merangkap kedua tangan depan dada. “Pinceng tidak pernah berlutut, kecuali kepada Sang Buddha...”

Para anak buah rendahan yang tadi menangkap dan mengantar hwesio itu menghadap Beng-cu, sudah disuruh keluar dan tidak boleh ikut mendengarkan dan melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Kini yang menyaksikan hanyalah Beng-cu dan para pembantunya, termasuk enam orang dayang yang menjadi pembantu dan juga selir-selirnya.

Mendengar jawaban pendeta itu, Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo dari Beng-cu, berseru, “Beng-cu, haruskah kupatah-patahkan kakinya agar dia mau berlutut?”

Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi menyeringai, kini tertawa dan menenggak secawan arak, lalu memberikan cawan kosong kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si untuk diisi kembali. “Biarkanlah, nanti saja kalau dia tidak mau mengaku, baru kau boleh siksa dia sampai setengah mati!” kata Siauw-bin Ciu-kwi, sengaja mengancam untuk mengecilkan hati hwesio itu. Kemudian dia bertanya kepada tawanan itu. “Apakah engkau yang bernama Loan Khi Hwesio?”

Loan Khi Hwesio menjura dengan sikap hormat. “Benar sekali, pinceng bernama Loan Khi Hwesio. Tidak tahu ada urusan apa maka pinceng dipaksa datang ke tempat ini?”

“Ha-ha-ha, Loan Khi Hwesio, apakah engkau benar tidak tahu atau tidak dapat menduganya? Ataukah hanya berpura-pura saja?”

“Pinceng sungguh tidak tahu dan tidak dapat menduga...”

Tiba-tiba Beng-cu itu menggebrak meja dengan marah walaupun mulutnya masih menyeringai. “Serahkan peta itu kepadaku!”

Wajah yang sudah pucat itu semakin pucat dan mata pendeta itu terbelalak memandang kepada wajah yang kekanak-kanakan itu. “Peta? Peta apakah yang kau maksudkan?”

“Hwesio tolol!” kembali Lim-kwi Sai-kong membentak marah. “Jaga sikap dan bicaramu! Engkau menghadap Beng-cu yang berkuasa di seluruh Kiang-si! Salah sedikit saja bicaramu, kaki tanganmu akan dibuntungi dan lidahmu akan dipotong!”

Tentu saja hwesio itu menjadi semakin ngeri. “Maaf, Beng-cu. Sungguh, pinceng tidak mengerti peta apa yang dimaksudkan itu...”

Siauw-bin Ciu-kwi mendengus dan mulutnya menyeringai semakin lebar. “Huh, peta apa lagi kalau bukan peta Patung Emas!”

“Peta Patung Emas? Pinceng... tidak... tidak tahu...”

“Brakkk!” kembali Beng-cu menggebrak meja. “Tak perlu bohong! Kami sudah tahu bahwa engkau telah mendapatkan sebagian dari peta itu. Peta yang ada gambarnya patung emas, peta harta terpendam di Telaga Po-yang! Sudahlah, tidak perlu pura-pura tidak tahu lagi. Serahkan peta itu kepadaku dan engkau akan kami bebaskan dan boleh melanjutkan pekerjaanmu di kuil tua itu! Akan tetapi kalau engkau tidak mau menyerahkan, tidak mau mengaku di mana adanya peta itu, engkau akan disiksa sampai mati!”

Seluruh tubuh pendeta itu gemetar, mulutnya terasa kering dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Sungguh, pinceng tidak menyimpannya... pinceng tidak tahu peta itu di mana...”

“Hek-giam-ong, paksa dia mengaku di mana peta itu!” kata Siauw-bin Ciu-kwi.

Pembantunya yang menerima perintah ini bangkit dari kursinya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menjulang tinggi dan mukanya yang seperti topeng hitam itu nampak dingin dan tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi ketika dia melangkah dan mendekati Loan Khi Hwesio, sinar matanya mencorong penuh ancaman.

Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya kemak-kemik membaca doa karena dia maklum bahwa bahaya maut mengancamnya. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan, tentu saja hatinya merasa ngeri.

“Hwesio, sekali lagi ku ulangi permintaan Beng-cu. Serahkan peta itu atau katakan di mana adanya peta itu sekarang!” kata Hek-giam-ong Lok Hun dengan muka tidak membayangkan sesuatu, tetap dingin dan suaranya juga terdengar datar saja sehingga terdengar menyeramkan, lebih menyeramkan dari pada kalau suara itu mengandung bentakan marah.

“Tidak... tidak tahu... pinceng tidak tahu!”

Tiba-tiba tangan Hek-giam-ong meluncur dan menangkap lengan kiri hwesio itu. “Katakan, atau akan kupatahkan jari tanganmu satu demi satu!”

Loan Khi Hwesio menggeleng kepala. “Omitohud... maafkan... pinceng sungguh tidak tahu...!”

Hek-giam-ong yang memegang lengan kiri hwesio itu dengan tangan kanan, lalu menangkap ibu jari tangan itu dengan tangan kirinya dan menekuk ibu jari itu ke belakang punggung tangan.

“Kreekkk!” tulang ibu jari itu patah dan Loan Khi Hwesio mengeluarkan suara rintihan. mukanya yang semakin pucat itu basah dengan keringat yang keluar dari tubuhnya saking nyerinya. Kini telujuknya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya, dan satu demi satu, perlahan-lahan, kelima jari tangan kirinya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya. Loan Khi Hwesio merintih, mengerang, bahkan menjerit. Ketika kelingkingnya ditekuk patah, dia meraung dan pingsan! Ketika dia siuman kembali, tangan kanannya sudah dipegang tangan kiri algojo itu.

“Nah, sekarang katakan terus terang, di mana peta itu? Kalau engkau tidak mau mengaku, jari-jari tangan kananmu akan kupatah-patahkan seperti tangan kirimu tadi!” Hek-giam-ong mengancam.

Tubuh Hwsio itu menggigil. Dia kini bangkit duduk. Tangan kirinya tak dapat dia gerakkan, nyeri bukan main, rasa nyeri yang datang dari jari-jari tangan itu dan terus menerus sampai ke jantungnya. Akan tetapi, dia tetap berusaha melindungi dirinya dengan doa, walaupun kini dia mulai meragukan apakah doanya akan berguna dalam keadaan seperti itu.

Dia menggeleng kepala. “Pinceng... tidak... tidak tahu...” Dan diapun memejamkan kedua matanya dan mulutnya berkemak-kemik, menanti datangnya saat penyiksaan yang lebih hebat. Dan siksaan itupun datang! Seperti tadi, ibu jari tangan kanannya ditekuk ke belakang sampai mengeluarkan bunyi “krekkk!” dan tulang ibu jari itu patah sambungannya, disusul jari-jari yang lain. Baru tiga batang jari yang dipatahkan, kembali hwesio itu sudah jatuh pingsan, karena tidak dapat menahan lagi perasaan nyeri yang menusuk jantung.

Ketika untuk kedua kalinya dia siuman, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Rasa nyeri dari kedua tangannya itu menjalar ke seluruh tubuh. Dua buah tangannya sudah tidak dapat dia gerakkan lagi. Dia bangkit duduk lalu menunduk dan memejamkan kedua matanya, mohon kekuatan dari Yang Maha Kuasa, dan menyerahkan seluruh jiwa raganya.

Ketika dia tenggelam ke dalam penyerahan ini, terjadilah keanehan pada dirinya. Tadinya, dari kedua tangannya keluar denyut-denyut yang amat nyeri, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk jantung. Sukar digambarkan bagaimana perasaan nyeri itu. Ada rasa panas, perih, menusuk-nusuk dan mencabut-cabut. Akan tetapi, rasa berdenyut-denyut itu kini berubah sama sekali!

Tidak lagi mendatangkan nyeri, bahkan mendatangkan nikmat! Sungguh! Tidak perlu lagi dia merintih. Denyut-denyut nyeri tadi kini bertukar denyut nikmat. Ataukah penerimaannya, alat penerimaannya yang berubah? Bukankah nyeri dan nikmat hanyalah permainan dari perasaan belaka? Penyerahannya yang sebulatnya kepada Tuhan melenyapkan perbedaan antara nyeri dan nikmat, antara enak dan tidak enak, sehingga diapun tidak tahu lagi apakah kedua tangannya itu terasa nyeri ataukah nikmat! Loan Khi Hwesio yang memejamkan matanya itu kini tersenyum. Senyum wajar karena bebas dari rasa nyeri, bahkan merasakan kenikmatan pada kedua tangannya.

Melihat hwesio itu tersenyum, Beng-cu berpandangan dengan para pembantunya. Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang datuk besar. Dia menduga bahwa tentu hwesio yang tentu saja memiliki ilmu kebatinan yang mendalam itu agaknya sudah mampu menguasai perasaan nyeri, maka dalam keadaan semua jari tangannya patah-patah itu masih mampu tersenyum, senyum sama sekali bebas dari rasa nyeri!

“Loan Khi Hwesio, apakah engkau masih juga belum mau menyerahkan peta itu?” terdengar Siauw-bin Ciu-kwi bertanya. “Kesempatanmu untuk bebas dari maut hanya tinggal yang terakhir!”

Tanpa membuka matanya, Loan Khi Hwesio berkata, “Omitohud biar dibunuh sekalipun, pinceng tidak dapat memenuhi permintaan itu. Pinceng tidak tahu di mana peta yang dimaksudkan itu...”

“Jahanam! Engkau tidak akan mati begitu saja! Giam-ong, pergunakan siksaan Selaksa Tetes Air!”

Sepasang mata dari muka yang hitam itu mengeluarkan sinar berkilat, agaknya perintah ini mendatangkan perasaan gembira di hatinya yang penuh dengan sifat yang sadis dan kejam bukan main. Dia lalu mengambil seember besar air dan menggantung ember itu. Kemudian, setelah menotok tubuh Loan Khi Hwesio sehingga pendeta ini tidak mampu bergerak, dia memaksa hwesio itu duduk di bawah ember, mengikat tubuh hwesio itu dengan sebuah bangku. Ember itu telah dilubangi kecil dan kini dari bawah ember, air menetes-netes satu-satu!

Loan Khi Hwesio sendiri tidak mengerti apa artinya hukuman seperti ini. Dia hanya merasa ada air menetes dan menimpa kepalanya yang gundul. Akan tetapi tentu saja hal itu tidak merupakan siksaan. Hanya tertimpa setetes air dan membuat kepalanya basah. Tetes demi tetes air menimpa kepalanya dan mulailah air mengalir turun dari kepala, membasahi leher. Akan tetapi hal itu tidaklah menyiksa benar. Yang lebih menyiksa adalah bahwa dia sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya, bukan hanya karena diikat pada bangku, melainkan karena tertotok. Menggerakkan kepalapun tidak mampu!

Agaknya, Beng-cu dan para pembantunya tidak lagi memperhatikan dia. Kini ada pelayan datang membawa hidangan dan mereka mulai makan minum sambil tertawa-tawa. Itukah yang dimaksudkan mereka untuk menyiksanya? Memaksa dia melihat, atau lebih tepat mendengarkan orang-orang berpesta?

Hwesio yang masih memejamkan matanya itu tersenyum di dalam hati. Agaknya para penjahat ini tidak tahu bahwa dia, sebagai seorang hwesio, sudah lama sekali menalukkan nafsu makan enak. Mendengar atau bahkan melihat sekalipun orang-orang makan enak, seujung rambut dia tidak kepingin!

“Tukk...! Tukk...! Tukkk...!!”

Terdengar keluhan keluar dari mulut Loan Khi Hwesio! Air yang menimpa kepalanya itu, setetes demi setetes, kini tidak lagi terasa seperti tetesan air biasa! Melainkan terasa amat menyakitkan. Air setetes itu seperti berubah menjadi sebutir baja yang keras dan berat!

Dia tidak tahu bahwa air yang menetes-netes satu-satu dan yang menimpa di suatu titik tertentu, memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Batu dan besi saja lama-lama akan dapat berlubang tertimpa air setetes demi setetes di tempat yang sama, apa lagi kepala orang!

Kini setiap tetes air yang menimpa kepala terasa seperti palu godam dan mendatangkan suara berdengung di telinganya, rasa nyeri yang sukar dapat dipertahankannya lagi! Dia masih menyerah, akan tetapi karena tadinya dia tidak mengira akan mengalami siksaan seperti ini, maka penyerahannya berbeda dengan tadi ketika tulang jari-jari tangannya dipatahkan. Kini dia mengaduh, mengeluh, menjerit dan meraung!

Beng-cu dan para pembantunya masih makan minum dengan lahap. Akan tetapi, diam-diam Beng-cu dan para pembantunya memperhatikan keadaan pendeta yang sedang mengalami penyiksaan hebat itu dan senyum Siauw-bin Ciu-kwi melebar. Bagus, pikirnya, hwesio itu mulai merasakan hebatnya penyiksaan itu dan tidak mungkin dia mampu bertahan sampai detik terakhir!

Kini keadaan Loan Khi Hwesio semakin payah. Setiap kali air menetes dan menimpa kepalanya, tubuhnya tergoncang hebat lalu menggigil. Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo penyiksa dan pembunuh, tahu saatnya yang tepat, maka dia sudah menghampiri hwesio itu lalu membebaskan totokannya. Begitu dibebaskan, keadaan hwesio itu semakin tersiksa. Dia berusaha mengelak dari serangan air yang menetes, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya mampu menggerakkan sedikit saja kepalanya. Kembali air menimpa dan dia meraung!

“Bodoh, membiarkan diri tersiksa seperti ini hanya karena sepotong peta yang tidak ada harganya!” Kini Siauw-bin Ciu-kwi menghampiri dan mengejek. “Peta itu hanya merupakan barang duniawi, mengapa engkau sebagai seorang pendeta masih begitu kukuh mempertahankannya? Katakanlah di mana peta itu dan engkau akan kubebaskan!”

Dalam keadaan setengah sadar dan hampir gila oleh rasa nyeri, mulut pendeta itu berkata lemah, “...pinceng... berikan... kepada dermawan Thio... dermawan Thio...” Diapun terkulai dan nyawanya melayang.

Serangan air yang menetes-netes itu telah mencabut nyawanya. Lebih baik begitu kiranya bagi hwesio yang bernasib malang ini. Banyak korban siksaan seperti itu bernasib lebih buruk lagi, yaitu tidak mati akan tetapi hidup sebagai seorang yang sinting...